View
409
Download
8
Category
Tags:
Preview:
DESCRIPTION
nn
Citation preview
• ISSN: 0125-913X • CDK-204/ vol. 40 no. 5 • Mei 2013 • http.//www.kalbemed.com/CDK.aspx
BERITA TERKINI
Respons Stres Anestesi Inhalasi
Desl urane vs Sevol urane
TINJAUAN PUSTAKA
Nefropati Urat
PROFIL
Pakar Bedah Epilepsi Indonesia
Bereputasi Internasional
330330 362362 393393
Akreditasi IDI
327327
Continuing Medical EducationContinuing Medical Education
Artikel CMEArtikel CME
Malaria Malaria Plasmodium KnowlesiPlasmodium Knowlesi
342342
Prof. dr. Zainal Muttaqin, SpBS(K), Ph.D. Prof. dr. Zainal Muttaqin, SpBS(K), Ph.D.
Tata Laksana Diabetes Melitus Tata Laksana Diabetes Melitus
saat Puasa Ramadansaat Puasa Ramadan
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
DAFTAR ISI
323
ISSN: 0125-913X
http://www.kalbemed.com/CDK.aspx
Susunan Redaksi
Alamat Redaksi
Gedung KALBE
Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
Tlp: 021-420 8171
Fax: 021-4287 3685
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
http://twitter.com/CDKMagazine
Nomor Ijin
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976
Penerbit
Kalbe Farma
Pencetak
PT. Dian Rakyat
Ketua Pengarahdr. Boenjamin Setiawan, PhD
Pemimpin Umumdr. Kupiya Timbul Wahyudi
Ketua PenyuntingDr. dr. Budi Riyanto W., SpS
Dewan Redaksidr. Karta Sadana, MSc, SpOkdr. Artatidr. Esther Kristiningrumdr. Dedyanto Henkydr. Harvian Satya Dharmadr. Yoska Yasahardjadr. Albertus Agung Mahode
Tata UsahaDodi Sumarna
325 EDITORIAL
ARTIKEL
327 Malaria Plasmodium Knowlesi
RHH Nelwan (Alm.)
330 Nefropati Urat
Nata Pratama Hardjo Lugito
337 Hepsidin: Peranannya dalam Patogenesis dan Implikasinya terhadap
Tata Laksana Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis
Dimas Kusnugroho Bonardo Pardede
342 Tata Laksana Diabetes Melitus saat Puasa Ramadan
M. Adi Firmansyah
348 Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring
Hendrawan Ariwibowo
352 Diagnosis dan Manajemen Amyotrophic Lateral Sclerosis
Dito Anurogo
357 Kanker Payudara dalam Kehamilan
Azamris
BERITA TERKINI
362 Respons Stres Anestesi Inhalasi Desl urane vs Sevol urane
364 Dosis Awal Allopurinol yang Tinggi Meningkatkan Risiko Allopurinol
Hypersensitivity Syndrome
366 Intervensi Nutrisi Enteral pada Pasien dengan Pressure Ulcer
Menurunkan Biaya Pengobatan
368 Paracetamol IV Memiliki Ei kasi Analgesik Lebih Baik Dibandingkan
Dosis Oral
370 Pemberian Antibiotik Jangka Pendek untuk ISK pada Pria
372 Skrining Malnutrisi Pasien Kanker Usia Lanjut
374 Kombinasi Midazolam - Propofol Bermanfaat pada Pasien Lanjut Usia
376 Asam Folat Mengurangi Risiko Stroke
378 Manfaat Astaxanthin bagi Kesehatan Tubuh
382 Omalizumab untuk Terapi Urtikaria Idiopatik Kronik atau Spontan
385 Pancrealipase Lepas Lambat untuk Insui siensi Pankreas
388 Opini
393 Proi l
395 Agenda
397 Indeks
APE/M
LY/1203/Ins-1
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013324
CDK (Cermin Dunia Kedokteran) menerima naskah yang membahas berbagai aspek
kesehatan, kedokteran, dan farmasi, bisa berupa tinjauan pustaka, opini, ataupun hasil
penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk laporan kasus. Naskah yang dikirim ke
Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK (belum pernah diterbitkan
di jurnal lain); bila pernah dibahas atau dibacakan dalam pertemuan ilmiah, hendaknya
diberi keterangan mengenai nama, tempat, dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
PANDUAN UMUM
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Jika menggunakan bahasa Indonesia,
hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku (merujuk pada Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Umum PembentukanKamus
Besar Bahasa Indonesia). Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa
Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Panjang naskah
berkisar antara 2000-3000 kata, ditulis dengan program MS Word, jenis huruf Times New
Roman ukuran 12.
ABSTRAK DAN KATA KUNCI
Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris,
disertai dengan 3-5 kata kunci yang disusun berdasarkan abjad. Abstrak ditulis dalam 1
(satu) paragraf dan, untuk artikel penelitian, bentuknya tidak terstruktur dengan format
introduction, methods, results, discussion (IMRAD). Panjang abstrak maksimal 200 kata. Jika
tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Indonesia maupun Inggris
untuk naskah tersebut.
NAMA DAN INSTITUSI PENULIS
Nama (para) penulis dicantumkan lengkap (tidak disingkat), disertai keterangan lembaga/
fakultas/institut tempat bekerjanya dan alamat e-mail.
TABEL/GRAFIK/GAMBAR/BAGAN
Tabel/grai k/gambar/bagan yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dan dikirimkan
terpisah dalam format JPG (resolusi minimal 150 dpi dengan ukuran sebenarnya). Keterangan
pada tabel/grai k/gambar/bagan sedapat-dapatnya dituliskan dalam bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka disusun menurut aturan Vancouver. Rujukan diberi nomor urut sesuai
pemunculannya di dalam naskah. Jika penulis enam orang atau kurang, cantumkan semua;
bila tujuh atau lebih, tuliskan enam yang pertama dan tambahkan et al.
Kepustakaan maksimal berjumlah 20 buah, terbitan 10 tahun terakhir. Diupayakan lebih
banyak kepustakaan primer (dari jurnal, proporsi minimal 40%) dibanding kepustakaan
sekunder.
Contoh format penulisan kepustakaan sesuai aturan Vancouver:
JURNAL
• Standar
1. Halpern SD, Ubel PA.Solid-organ transplantation in HIV-infected patients. N Engl J
Med. 2002;347:284-7.
2. Skalsky K, Yahav D, Bishara J, Pitlik S, Leibovici L, Paul M. Treatment of human
brucellosis: systematic review and meta-analysis of randomised controlled trials.
BMJ. 2008; 36(7646):701-4.
3. Rose ME, Huerbin MB, Melick J, Marion DW, Palmer AM, Schiding JK, et al. Regulation
of interstitial excitatory amino acid concentrations after cortical contusion injury.
Brain Res. 2002;935(1-2):40-6.
• Organisasi sebagai Penulis
1. American Diabetes Association. Diabetes update. Nursing. 2003;Suppl:19-20, 24.
2. Parkinson Study Group. A randomized placebo-controlled trial of rasagiline in
levodopatreated patients with Parkinson disease and motor l uctuations: the
PRESTO study. Arch Neurol. 2005;62(2):241-8.
• Tanpa Nama Penulis
Pelvic l oor exercise can reduce stress incontinence. Health News. 2005;11(4):11.
• Volume dengan Suplemen
Geraud G, Spierings EL, Keywood C. Tolerability and safety of frovatriptan with short-
and long-term use for treatment of migraine and in comparison with sumatriptan.
Headache. 2002;42 Suppl 2:S93-9.
• Edisi dengan Suplemen
Glauser TA. Integrating clinical trial data into clinical practice. Neurology. 2002;58(12
Suppl 7):S6-12.
• Jurnal Elektronik
Sillick TJ, Schutte NS. Emotional intelligence and self-esteem mediate between
perceived early parental love and adult happiness. E-Jnl Appl Psych [serial on the
Internet]. 2006 [cited 2010 Aug 6];2(2):38-48. Available from: http://ojs.lib.swin.edu.au/
index.php/ejap/article/view/71/100.
BUKU
• Penulis/Editor Tunggal
1. Hoppert M. Microscopic techniques in biotechnology. Weinheim: Wiley-VCH;
2003.
2. Storey KB, editors. Functional metabolism: regulation and adaptation. Hoboken
(NJ): J. Wiley & Sons; 2004.
• Lebih dari Satu Penulis/Editor
1. Lawhead JB, Baker MC. Introduction to veterinary science. Clifton Park (NY):
Thomson Delmar Learning; 2005.
2. Gilstrap LC, Cunningham FG, Van Dorsten JP, editors. Operative obstetrics. 2nd ed.
New York: McGraw-Hill; 2002.
• Edisi dengan Volume
Lee GR, Bithell TC, Foerster J, Athens JW, Lukens JN, editors. Wintrobes clinical
hematology. 9th ed. Vol 2. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.
• Bab dalam Buku
Ford HL, Sclafani RA, Degregori J. Cell cycle regulatory cascades. In: Stein GS, Pardee
AB, editors. Cell cycle and growth control: biomolecular regulation and cancer. 2nd ed.
Hoboken (NJ): Wiley-Liss; 2004. p. 42-67.
PROSIDING KONFERENSI
Harnden P, Jof e JK, Jones WG, editors. Germ cell tumours V: Proceedings of the 5th Germ Cell
Tumour conference; 2001 Sep 13-15; Leeds, UK. New York: Springer; 2002.
MAKALAH KONFERENSI
Christensen S, Oppacher F. An analysis of Koza’s computational ef ort statistic for genetic
programming. In: Foster JA, Lutton E, Miller J, Ryan C, Tettamanzi AG, editors. Genetic
programming: EuroGP 2002: Proceedings of the 5th European Conference on Genetic
Programming; 2002 Apr 3-5; Kinsdale, Ireland. Berlin: Springer; 2002. p. 182-91.
PENGIRIMAN NASKAH
Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui e-mail ke alamat:
Redaksi CDK
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
Tlp: (62-21) 4208171 Fax: (62-21) 42873685
Seluruh pernyataan dalam naskah merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi berhak
mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Naskah yang tidak diterbitkan
dikembalikan ke pengarang jika ada permintaan.
Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online), tentu naskah yang telah
diterbitkan akan dapat lebih mudah diunduh dan dimanfaatkan oleh kalangan yang lebih
luas.
Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail. Untuk keperluan administrasi,
mohon disertakan juga curriculum vitae, no. Rek. Bank, dan (bila ada) no./alamat NPWP.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan
tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.
PANDUAN UNTUK PENULIS
325CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
• ISSN: 0125-913X • CDK-204/ vol. 40 no. 5 • Mei 2013 • http.//www.kalbemed.com/CDK.aspx
BERITA TERKINI
Respons Stres Anestesi Inhalasi
Desl urane vs Sevol urane
TINJAUAN PUSTAKA
Nefropati Urat
PROFIL
Pakar Bedah Epilepsi Indonesia
Bereputasi Internasional
330330 362362 393393
Akreditasi IDI
327327
Continuing Medical EducationContinuing Medical Education
Artikel CMEArtikel CME
Malaria Malaria Plasmodium KnowlesiPlasmodium Knowlesi
342342
Prof. Zainal MuttaqinProf. Zainal Muttaqin
Tata Laksana Diabetes Melitus Tata Laksana Diabetes Melitus
saat Puasa Ramadansaat Puasa Ramadan
Bagi sejawat yang bekerja di kota besar barangkali malaria bukan merupakan masalah, berbeda
dengan para dokter dan paramedik yang berkarya di pedalaman, apalagi di daerah Indonesia
Timur yang sampai saat ini merupakan daerah endemis malaria. Artikel malaria mudah-mudahan
bisa menyegarkan kembali pengetahuan sejawat mengenai masalah yang laten dan kronis ini.
Dua artikel mengenai masalah ginjal juga dapat dibaca pada edisi ini. Bahasan lain yang tidak
kalah menarik adalah bagaimana mengelola diabetes mellitus selama berpuasa; para praktisi
kesehatan diharapkan dapat memberi nasehat yang tepat agar para diabetisi tetap optimal dalam
menjalankan kegiatan dan ibadahnya.
Opini dari penulis tamu mengenai i toterapi patut disimak untuk mendapatkan perspektif yang
baru mengenai pengobatan tradisional secara umum.
Selamat membaca,
Redaksi
Editorial
REDAKSI KEHORMATAN
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013326
Prof. dr. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Univer sitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Prof. Dr. Dra. Arini Setiawati, SpFK
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta
Prof. dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. Dr. dr. Charles Surjadi, MPH
Puslitkes Unika Atma Jaya
Prof. Dr. dr. Darwin Karyadi, SpGK
Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat
Prof. dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. dr. Faisal Yunus, PhD, SpP (K)
Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan,
Jakarta
Prof. Dr. dr. Ignatius Riwanto, SpB (K)
Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr.
Kariadi, Semarang
Prof. Dr. dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKN
Departemen Kedokteran Nuklir, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Prof. dr. Rianto Setiabudy, SpFK
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta
Prof. Dr. dr. Rully M. A. Roesli, SpPD-KGH
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Prof. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI
Sub Dept. Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas In donesia/RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo, Jakarta
Prof. dr. Sarah S. Waraouw, SpA (K)
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado
Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. drg. Siti Wuryan A. Prayitno, SKM, MScD, PhD
Bagian Periodontologi, Fakultas Kedoteran Gigi Universitas Indonesia,
Jakarta
Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar
Dr. dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUP Kanker Dharmais,
Jakarta
Dr. dr. med. Abraham Simatupang, M.Kes
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Indonesia, Jakarta
dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd
Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr.
Soetomo, Surabaya
dr. Hendro Susilo, SpS (K)
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/
RS Dr. Soetomo, Surabaya
Dr. dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, KMN, M.Kes
Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran Bandung/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
dr. Prijo Sidipratomo, SpRad (K)
Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN
Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
dr. R.M. Nugroho Abikusno, M.Sc., DrPH
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta
dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD
Universitas Trisakti/Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia,
Jakarta
Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/Pusat Jantung Nasional Harapan
Kita, Jakarta
dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP (K) FIHA
Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia (PP PERKI), Jakarta
dr. Savitri Sayogo, SpGK
Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
dr. Sudung O. Pardede, SpA (K)
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Akreditasi IDI – 3 SKP
Malaria Plasmodium knowlesi
RHH Nelwan (Alm.)
SubBagian Penyakit Tropis dan Infeksi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Plasmodium knowlesi adalah parasit penyebab malaria pada kera yang telah dikenal sejak tahun 1932. Akhir-akhir ini infeksi alamiah pada manusia
telah dilaporkan di beberapa negara di Asia Tenggara. Pada manusia sebagian besar kasus terdiagnosis sebagai Plasmodium malariae karena
secara mikroskopis tampak serupa. Gejala paling khas adalah demam setiap 24 jam (quotidian fever). Plasmodium knowlesi dapat menyebabkan
penyakit berat yang berakhir dengan kematian. Panduan pengobatan malaria WHO yang mutakhir belum membahas pengobatan Plasmodium
knowlesi, kombinasi klorokuin dan primakuin seperti yang digunakan untuk Plasmodium malariae telah memberi respons pengobatan yang
baik.
Kata kunci: malaria, Plasmodium knowlesi, quotidian fever
ABSTRACT
Plasmodium knowlesi has been recognized since 1932 as a parasite that causes malaria in monkey. There have been numerous reports of
naturally acquired infections of Plasmodium knowlesi in human in Southeast Asia. Natural infections in human frequently diagnosed as
Plasmodium malariae because they are microscopically similar. The most characteristic symptom is fever occuring every 24 hours (quotidian
fever). Plasmodium knowlesi could cause severe disease with possible mortality. The latest WHO malaria treatment guidelines (2011) do not
discussed treatment for Plasmodium knowlesi. Some clinical studies have been using chloroquine and primaquine combination, the same
treatment for Plasmodium malariae, with good response. RHH Nelwan (Alm.). Malaria Plasmodium knowlesi.
Key words: malaria, Plasmodium knowlesi, quotidian fever
Plasmodium knowlesi pertama kali
terdokumentasi pada tahun 1927 oleh
Giuseppe Franchiti saat mengamati darah
Macaca fascicularis dan disadari penampakan
yang berbeda dari Plasmodium cynomogli dan
Plasmodium inui.1 Pada tahun 1932, dr. Knowles
dan dr. Das Gupta mengamati sebuah spesies
malaria pada kera makakus rhesus (Macaca
mulata), menggambarkannya dengan detail
untuk pertama kali dan menunjukkan bahwa
spesies ini dapat ditularkan ke manusia
melalui darah, tetapi tidak memberinya nama.
Kemudian Sinton dan Mulligan memberinya
nama sesuai penemunya yaitu Plasmodium
knowlesi.2
Sejak dikenal oleh dr. Knowles dan dr. Das
Gupta, infeksi Plasmodium knowlesi secara
alamiah hanya diketahui terjadi pada kera
terutama spesies Macaca fascicularis. Laporan
pertama infeksi alamiah Plasmodium knowlesi
pada manusia terjadi pada seorang warga
Amerika yang baru pulang bekerja di hutan
semenanjung Malaysia tahun 1965. Awalnya
pasien dicurigai terinfeksi Plasmodium
falciparum tetapi kemudian diidentii kasi
sebagai Plasmodium malariae dan kemudian
baru diketahui sebagai Plasmodium knowlesi
setelah darah pasien diinokulasi ke kera Rhesus
dan ternyata juga menginfeksi kera.3 Laporan
kedua tahun 1971 pada seorang warga
Malaysia. Pada saat itu diagnosis dilakukan
atas dasar deteksi molekuler karena secara
mikroskopis Plasmodium knowlesi memiliki
bentuk serupa dengan Plasmodium malariae.4
Sejak tahun 2004 banyak dilaporkan kasus
infeksi alami Plasmodium knowlesi pada
manusia di beberapa negara di Asia Tenggara
seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina
dan Indonesia.4 Sebuah penelitian dilakukan
sejak tahun 2000 sampai 2002 di distrik Kapit
Malaysia mengevaluasi sampel darah 208
pasien dengan diagnosis malaria dengan
pemeriksaan Polymerase Chain Reaction
(PCR) menggunakan primer untuk spesies
Plasmodium knowlesi, ternyata 120 pasien
atau 58% disebabkan oleh Plasmodium
knowlesi, tidak ada yang didiagnosis
terinfeksi Plasmodium malariae. Penelitian ini
menyimpulkan bahwa infeksi alamiah pada
manusia oleh Plasmodium knowlesi cukup
Alamat korespondensi email: jade_update@yahoo.com
Gambar 1 Penampakan mikroskopis apusan darah pasien
terinfeksi Plasmodium knowlesi5
327
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
328
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
banyak terjadi di distrik Kapit Malaysia.4 Selain
itu disimpulkan juga karena penampakan
mikroskopis Plasmodium knowlesi menyerupai
Plasmodium malariae, banyak pasien yang
terdiagnosis Plasmodium malariae ternyata
terinfeksi oleh Plasmodium knowlesi setelah
dikoni rmasi dengan PCR.4
Penelitian lain dari Malaysia dilakukan sejak
tahun 2001 sampai 2006 untuk mengetahui
distribusi infeksi Plasmodium knowlesi pada
manusia. Penelitian ini mengevaluasi sampel
darah dari 960 pasien yang terdiagnosis malaria
di Serawak, Sabah dan Pahang menggunakan
PCR dan mikroskop. Hasilnya menunjukkan
bahwa dari total 960 pasien dengan diagnosis
malaria, 266 pasien atau 27,7% disebabkan
oleh Plasmodium knowlesi. Dan dari 312 pasien
yang terdiagnosis infeksi Plasmodium malariae,
ternyata 228 pasien atau 73% dikoni rmasi
terinfeksi Plasmodium knowlesi oleh PCR.
Selain itu ditemukan 4 pasien terdiagnosis
infeksi Plasmodium knowlesi yang meninggal.
Keempat pasien tersebut mengalami
hiperparasitemia dan mengalami gangguan
hati dan ginjal. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa malaria yang disebabkan oleh infeksi
alamiah Plasmodium knowlesi terdistribusi
secara luas dan banyak didiagnosis sebagai
infeksi Plasmodium malariae serta berpotensi
menyebabkan penyakit berat yang dapat
berakibat kematian.5
Secara patoi siologi, Plasmodium knowlesi
adalah parasit malaria yang bereplikasi dengan
siklus hidup 24 jam.5 Karena siklus hidupnya
yang singkat, jumlah parasit dalam tubuh
dapat cepat meningkat, sehingga infeksi
Plasmodium knowlesi berpotensi menjadi
penyakit yang berat.5
Vektor utama Plasmodium knowlesi adalah
nyamuk Anopheles. Penularan dapat terjadi
dari kera ke kera, kera ke manusia, manusia ke
manusia atau manusia ke kera. Manusia dapat
terinfeksi Plasmodium knowlesi yang ditularkan
dari kera atau dari manusia lain melalui
perantara gigitan nyamuk Anopheles cracens
dan Anopheles maculatus.6 Di dalam tubuh
nyamuk, Plasmodium knowlesi mengalami
siklus hidup gametosit → (mikrogamet
atau makrogamet) → zigot → ookinet →
ookista → sporozoit. Saat nyamuk Anopheles
menghisap darah manusia penularan terjadi
melalui saliva. Di dalam hati manusia akan
terjadi siklus sporozoit → skizon → merozoit.
Tabel 1 Perbandingan hasil deteksi spesies Plasmodium oleh mikroskop dan PCR.5
Hasil PCR
Jumlah kasus yang teridentii kasi melalui mikroskop
P. falciparum P. vivax P. malariae P. ovaleP. falciparum dan
P. vivaxTotal
P. falciparum 167 18 33 1 0 219
P. vivax 23 372 43 1 1 440
P. malariae 0 0 1 0 0 1
P. ovale 0 2 2 0 0 4
P. knowlesi 11 16 216 0 0 243
P. falciparum dan vivax 11 9 4 0 1 25
P. falciparum dan malariae 0 0 1 0 0 1
P. falciparum dan ovale 1 0 0 0 0 1
P. falciparum dan knowlesi 1 0 2 0 0 3
P. vivax dan knowlesi 2 8 9 0 0 19
P. vivax dan malariae 0 2 0 0 0 2
P. vivax dan ovale 0 1 0 0 0 1
P. ovale dan knowlesi 0 0 1 0 0 1
Total 216 428 312 2 2 960
Tabel 2 Gejala pasien malaria Plasmodium knowlesi, falciparum dan vivax.9
Variabel Plasmodium knowlesi
(n=107)
Plasmodium falciparum
(n=24)
Plasmodium vivax
(n=21)
Gejala Persentase (%)
Demam/menggigil 100 91,7 95,1
Sakit kepala 94,4 87,5 52,4
Kaku 89,7 79,2 85,7
Anoreksia 83,2 70,8 52,4
Mialgia 87,9 79,2 90,2
Batuk 56,1 54,7 47,6
Mual 56,1 87,5 28,5
Muntah 33,6 41,7 19,0
Nyeri Perut 52,3 37,5 23,8
Diare 29,0 47,5 33,3
Tabel 3 Tanda pasien malaria Plasmodium knowlesi, falciparum dan vivax.9
Variabel Plasmodium knowlesi
(n=107)
Plasmodium falciparum
(n=24)
Plasmodium vivax
(n=21)
Tanda
Laju Pernapasan, median 26 25,5 27
Frekuensi nadi, rata-rata 95 99 97
Tekanan darah arteri, rata-rata 89 85 89
Capillary Rei ll Time, median 2 2 2
Hepatomegali (%) 24,3 29,2 16,7
Splenomegali (%) 15,0 20,8 23,8
Waktu sampai bebas demam (jam) 20 (12 – 31) 20 (11 – 37) 16 (4 – 28)
Tabel 4 Kelainan hasil pemeriksaan penunjang malaria Plasmodium knowlesi.9
Variabel Rentang Normal Plasmodium
knowlesi (n=107)
Plasmodium
falciparum (n=24)
Plasodium vivax
(n=21)
Hitung Parasit NA 1.387 26.781 4.258
Hemoglobin 11,3 - 15,7 13,3 12,9 13,5
WBC 3,1 – 10,3 5,6 6,3 6,1
Neutroi l 0,2 – 5,3 3,7 4,6 4,6
Limfosit 0,8 – 2,7 1,5 1,0 1,0
Hitung Platelet 150 – 450 71 108 118
* Pemeriksaan lainnya dalam batas normal.
329
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Plasmodium knowlesi tidak memiliki bentuk
hypnozoite di hati. Setelah menjadi merozoite,
parasit akan menginfestasi eritrosit melalui
siklus merozoit → trophozoite → skizon →
merozoit. Sebagian schizont dari eritrosit akan
berkembang menjadi gametosit dan dapat
ditularkan kembali oleh nyamuk Anopheles.6
Masa inkubasi infeksi Plasmodium knowlesi
sekitar 11 hari.8 Gejala paling khas malaria
akibat infeksi Plasmodium knowlesi adalah
demam yang berlangsung setiap 24 jam atau
setiap hari, disebut juga quotidian fever.3,7
Selain itu gejala malaria yang disebabkan oleh
Plasmodium knowlesi meliputi nyeri kepala,
demam, menggigil dan keringat dingin.8
Daneshvar sejak tahun 2006 sampai 2008
mengevaluasi gejala klinis dan tanda
pada pasien dengan malaria akibat infeksi
Plasmodium knowlesi di rumah sakit Kapit,
Serawak, Malaysia. Pada penelitian ini
terdiagnosis 107 pasien terinfeksi Plasmodium
knowlesi dengan cara PCR. Secara umum, gejala
penyakit malaria akibat infeksi Plasmodium
knowlesi tidak khas yaitu demam dan
menggigil. Pada sebagian pasien juga disertai
nyeri perut, sesak napas dan batuk berdahak.
Gejala lain yang juga banyak terjadi adalah
takipnea dan takikardi.9 Pada pemeriksaan
laboratorium, hitung parasit pasien terinfeksi
Plasmodium knowlesi cukup rendah yaitu
rata-rata hanya 1.387 dibandingkan dengan
hitung parasit Plasmodium vivax yang rata-rata
mencapai 26.781. Kelainan yang paling banyak
terjadi adalah trombositopenia yang tercatat
pada 104 pasien (98%) dan 31 (29%) dengan
hitung trombosit kurang dari 50.000 platelet/
μL. Limfopenia terjadi pada 7 kasus (6,5%) dan
anemia terjadi pada 5 kasus (4,6%).9
Pada penelitian ini ditemukan 7,5% atau
8 kasus malaria berat (berdasarkan kriteria
WHO) akibat infeksi Plasmodium knowlesi. Dari
8 pasien malaria berat ini, 4 pasien mengalami
distres pernapasan, 3 pasien mengalami
hiperparasitemia, 3 pasien mengalami ikterus,
3 pasien mengalami gangguan fungsi ginjal,
2 pasien mengalami hipotensi, 1 pasien
mengalami hipoglikemia dan 2 pasien
meninggal.9 Secara lengkap, gejala, tanda dan
hasil pemeriksaan penunjang pada penelitian
ini ditampilkan pada tabel 2, 3 dan 4:
Cara diagnosis malaria Plasmodium
knowlesi sebenarnya sama dengan cara
diagnosis malaria akibat spesies lainnya
yaitu dengan gejala dan tanda klinis disertai
pemeriksaan apusan darah tebal. Akan
tetapi karena morfologinya yang serupa
dengan Plasmodium malariae, untuk infeksi
Plasmodium knowlesi dibutuhkan deteksi
molekular seperti PCR.4
Sampai saat ini (2011), WHO belum
memberikan rekomendasi pengobatan
malaria akibat infeksi Plasmodium knowlesi.11
Beberapa penelitian menggunakan guideline
pengobatan untuk Plasmodium malariae
yaitu kombinasi klorokuin dan primakuin
memberikan respons klinis yang baik (Singh
dkk., 2004).4 Tetapi bila gejala pasien memberat
dan hitung parasit tinggi, sebaiknya pasien
ditatalaksana sebagai malaria berat. Daneshvar
(2009) mengevaluasi malaria Plasmodium
knowlesi pada 107 pasien yang mendapat
pengobatan klorokuin oral (25 mg base/kg
selama 3 hari) diikuti primakuin (15 mg setiap
hari selama 2 hari); 100 (93,5%) pasien tanpa
komplikasi dan menunjukkan respons klinik
yang baik, keadaan tetap baik pada follow up
hari ke-28; 2 (1,8%) pasien meninggal. 9
Dapat disimpulkan bahwa malaria
Plasmodium knowlesi dapat terjadi secara
alamiah pada manusia dalam jumlah
yang cukup bermakna. Sebagian besar
kasus infeksi Plasmodium knowlesi pada
manusia terdiagnosis sebagai Plasmodium
malariae karena struktur mikroskopis yang
serupa. Gejala berupa demam setiap 24
jam (quotidian fever) dan gejala lain yang
tidak khas. Saat ini belum tersedia panduan
pengobatan infeksi Plasmodium knowlesi dari
WHO. Beberapa penelitian menggunakan
cara pengobatan Plasmodium malariae yaitu
kombinasi klorokuin dan primakuin dengan
respons yang baik. Infeksi Plasmodium
knowlesi dapat menyebabkan malaria berat
yang berakibat kematian.9 Berbeda dengan
Plasmodium falciparum yang parasitnya
bereplikasi selang sehari, Plasmodium
knowlesi mengalami replikasi setiap hari
menyebabkan hiperparasitemia berat dan
cepat menyebabkan kematian.10
DAFTAR PUSTAKA
1. Franchini G. Su di un plasmodio pigmentato di una scimmia. Arch Ital Sci Med Colon;8:187–90.
2. Knowles R, Das Gupta BM. A study of monkey-malaria and its experimental transmission to man. Ind Med Gaz. 1932;67:301-21.
3. Chin W, Contacos PG, Coatney RG, Kimbal HR. A naturally acquired quotidian- type malaria in man transferable to monkeys. Science. 1965;149:865.
4. Singh B, Lee KS, Matusop A, Radhakrishnan A, Shamsul SSG, Cox-Singh J, Thomas A, Conway DJ: A large focus of naturally acquired Plasmodium knowlesi infections in human beings.
Lancet. 2004;363:1017-24.
5. Cox Singh J, Davis TME, Lee KS, Shamsul SSG, Matusop A, Ratnam S, Hasan AR, Conway DJ, Singh B: Plasmodium knowlesi malaria in humans is widely distributed and potentially life
threatening. Clin Infect Dis. 2008;46:165-71.
6. Vythilingam I, Noorazian YM, Huat TC, Jiram AI, Yusri YM, Azahari AH, et al Plasmodium knowlesi in humans, macaques and mosquitoes in peninsular Malaysia. Parasit Vectors.
2008;1(1):26.
7. Jongwutiwes S, Putaportip C, Iwasaki T, Sata T, Kanbara H. Naturally acquired Plasmodium knowlesi malaria in human, Thailand. Emerging Infectious Diseases. 2004;10(12):2211-3.
8. Bronner U, Divis PC, Färnert A, Singh B. Swedish traveller with Plasmodium knowlesi malaria after visiting Malaysian Borneo. Malar J. 2009;8:15.
9. Daneshvar C, Davis TME, Cox-Singh J, Rafa’ee MZ, Zakaria SK, Divis PCS and Singh B. Clinical and Laboratory Features of Human Plasmodium knowlesi Infection. Clinical Infectious Diseases.
2009;49:852–60.
10. Cox-Singh J, Hiu J, Lucas SB, Divis PC, Zulkarnaen M, Chandran P, Wong KT, Adem P, Zaki SR, Singh B, Krishna S. Severe malaria - a case of fatal Plasmodium knowlesi infection with post-
mortem i ndings: A case report. Malar J. 2010;9:10.
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013330
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Hiperurisemia adalah keadaan peningkatan
kadar asam urat darah di atas normal. Secara
biokomiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu
kelarutan asam urat di serum yang melewati
ambang batasnya. Batasan hiperurisemia
secara ideal yaitu kadar asam urat di atas
2 standar deviasi hasil laboratorium pada
populasi normal.1,2 Namun secara pragmatis
berdasarkan berbagai studi epidemologi
dapat digunakan patokan kadar asam urat >
7 mg/dL pada laki-laki, dan > 6 mg/dL pada
perempuan. Keadaan hiperurisemia akan
berisiko timbulnya arthritis gout, nefropati
urat, atau batu ginjal. Hiperurisemia bisa
terjadi akibat peningkatan metabolisme
asam urat, penurunan ekskresi asam urat urin,
atau gabungan keduanya.1,3 Sedangkan gout
merupakan kelompok penyakit heterogen
Nefropati Urat
Nata Pratama Hardjo LugitoPeserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Gouty nephropathy atau chronic uric acid nephropathy atau nefropati urat kronik adalah suatu keadaan asam urat atau kristal urat terdeposit pada
parenkim dan lumen tubulus secara independen dan menyebabkan cedera langsung lewat mekanisme respons inl amasi kronik, serupa dengan
yang terjadi pada pembentukan mikrotofus pada bagian tubuh lain, yang berpotensi menyebabkan i brosis interstitial dan gagal ginjal kronik.
Penumpukan asam urat atau kristal urat terjadi karena hipersaturasi asam urat atau hiperurisemia. Hiperurisemia bisa terjadi akibat peningkatan
metabolisme asam urat, penurunan ekskresi asam urat urin, atau gabungan keduanya. Hiperurisemia berhubungan dengan hipertensi, kelainan
vaskular dan gagal ginjal, namun mekanisme cedera ginjal langsung akibat hiperurisemia masih kontroversial. Hiperurisemia merupakan
faktor independen kelainan ginjal pada nefropati IgA, namun bukan prediktor penurunan fungsi ginjal. Jika hiperurisemia merupakan faktor
independen gagal ginjal, usaha untuk menurunkan kadar plasma asam urat akan menurunkan prevalensi gagal ginjal. Masih dibutuhkan studi
lebih lanjut untuk memastikan hal tersebut.
Kata kunci: nefropati urat kronik, hiperurisemia, gagal ginjal
ABSTRACT
Gouty nephropathy or chronic uric acid nephropathy is a situation where uric acid or crystal is deposited on parenchyma and lumen of kidney
tubule independently, causing chronic inl ammatory response via direct injury, similar to formation of microtophus in other organs, causing
interstitial i brosis and i nally kidney failure. Deposition of uric acid or crystal formed because of hypersaturation of uric acid or hyperuricaemia.
Hyperuricaemia is caused by increased uric acid metabolism, decreased urinary uric acid excretion or both. Hyperuricaemia is associated with
hypertension, vascular abnormality and kidney failure, direct injury mechanism theory is still controversial. Hyperuricaemia is an independent
factor in IgA nephropathy, but not as a predictor of kidney function decline. If hyperuricaemia is independent factor to kidney failure, ef orts to
lower plasma uric acid will also lower kidney failure prevalence. Nata Pratama Hardjo Lugito. Gouty Nephropaty.
Key words: chronic uric acid nephropathy, hyperuricaemia, kidney failure
Alamat korespondensi email: nata_pratama_hl@yahoo.com
sebagai akibat deposisi kristal monosodium
urat pada jaringan, akibat gangguan
metabolisme berupa hiperurisemia.
Manifestasi klinik deposisi urat meliputi
artritis gout, akumulasi kristal di jaringan
yang merusak tulang (tofus), batu urat, dan
nefropati urat.1
Prevalensi hiperurisemia kira-kira 2,6 – 47,2%
yang bervariasi pada berbagai populasi.
Sedangkan prevalensi gout bervariasi antara 1
– 15,3%. Pada suatu studi didapatkan insidens
gout 4,9% pada kadar asam urat darah > 9
mg/dL, 0,5% pada kadar 7 – 8,9 mg/dL, dan
0,1% pada kadar <7 mg/dL.1 Prevalensi gout
di Jawa Tengah bagian Utara sebesar 1,7% di
daerah rural dan 4,8% di daerah urban.4
Hiperurisemia berhubungan dengan
hipertensi, kelainan vaskular dan gagal ginjal,
namun mekanisme cedera ginjal langsung
akibat hiperurisemia masih kontroversial.
Hiperurisemia merupakan faktor independen
kelainan ginjal pada nefropati IgA, namun
bukan prediktor penurunan fungsi ginjal
menurut studi MDRD. Jika hiperurisemia
merupakan faktor independen gagal
ginjal, tentunya usaha untuk menurunkan
kadar plasma asam urat akan menurunkan
prevalensi gagal ginjal.
PEMBAHASAN
Metabolisme Asam Urat1-3,5,7
Asam urat adalah hasil akhir metabolisme purin.
Pada keadaan normal, 90% metabolit nukleotid
(adenin, guanin dan hipoxantin) dipakai
kembali untuk membentuk AMP, IMP dan
GMP oleh adenine phosphoribosyltransferase
331CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
(APRT) dan hypoxanthin guanine
phosphoribosyltransferase (HGPRT). Hanya
10% sisanya diubah menjadi xantin kemudian
menjadi asam urat oleh xanthine oxidase (XO).
Kelarutan urat yang rendah, terutama asam
urat adalah alasan mengapa hiperurisemia
menimbulkan gout. Eksresi asam urat oleh
ginjal mencapai 10% jumlah yang dii ltrasi,
sehingga pada hasil akhir urin kadarnya 10 –
20 x kadar plasma. Hiperurisemia terjadi pada
10% populasi di negara maju, 1 di antara 20
menderita gout (laki-laki lebih banyak dari
pada perempuan), 90% pasien gout adalah
gout primer dengan predisposisi genetik.
Hiperurisemia primer terjadi karena ekskresi
ginjal baru dapat meningkat sesuai dengan
produksinya jika kadarnya dalam plasma dan
i ltrat glomerularnya meningkat (hiperurise-
mia asimptomatik). Jika terjadi peningkatan
asupan purin, terjadi penumpukan kristal
monosodium urat. Peningkatan kadar asam
urat dalam urin menyebabkan terjadinya
batu saluran kemih. Alkohol, obesitas dan
beberapa obat seperti diuretik meningkatkan
metabolisme adenin nukleotida sehingga
memudahkan terjadinya penumpukan
kristal. Pada gout kronik, serangan berulang
menimbulkan kerusakan sendi, serta
penumpukan urat (tofus) pada daun telinga
dan ginjal (nefropati urat).
Obat urikosurik seperti benzbromaron dan
benziodaron meningkatkan ekskresi asam
urat sehingga menurunkan kadar plasmanya.
Sedangkan alopurinol adalah suatu anti xantin
oksidase (XO), menurunkan produksi asam
urat lewat blokade enzim tersebut.
Penanganan urat oleh ginjal 8
Kovarsky; Stone dan Simmonds me-
nyimpulkan bahwa pengikatan urat in vivo
sangat rendah, antara 4 – 5% saja dan urat
tidak dii ltrasi di glomerulus. Di tubulus,
sekitar 90% urat direabsorbsi, sehingga FEur
(Fractional Excretion of uric acid) mencapai
10% (Wyngaarden dan Kelley; Wortman).
Reabsorbsi pada laki-laki lebih tinggi (92%)
dibandingkan perempuan (88%), lebih
rendah pada anak-anak (70 – 85%). Hal ini
menjelaskan lebih tingginya kadar asam urat
plasma pada laki-laki dan jarangnya gout klasik
pada perempuan dan anak-anak. Ras juga
merupakan faktor yang mempengaruhi kadar
asam urat plasma. Laki-laki dan perempuan
Polinesia memiliki kadar asam urat plasma
lebih tinggi dibandingkan Kaukasia.
Faktor endogen atau eksogen yang
mempengaruhi penanganan urat oleh
ginjal
Banyak faktor yang memengaruhi
penanganan urat atau asam urat oleh ginjal
dan memengaruhi kadar urat plasma. Pada
beberapa kasus, hal ini nampaknya efek
langsung terhadap transporter urat, namun
pada kasus lainnya merupakan efek sekunder
akibat kontraksi atau ekspansi volume
plasma atau efek terhadap hemodinamik
ginjal. Beberapa obat memiliki efek bifasik
terhadap ekskresi urat, pada dosis rendah
meningkatkan retensi sedangkan pada dosis
tinggi bersifat urikosurik. Obat tersebut antara
lain salisilat, fenilbutazon dan inhibitor siklo-
oksigenase lainnya, pirazinamid, probenesid,
dan nikotinat.
Faktor yang menurunkan klirens asam
urat
Beberapa agen i siologis dan patologis dapat
menurunkan ekskresi urat dan menyebabkan
peningkatan kadar urat plasma, yang juga
dapat mencetuskan serangan akut gout
pada individu yang kadar urat plasma sudah
di batas atas karena penurunan proporsi
ekskresi urat terhadap LFG. Kontraksi
volume plasma karena asupan yang tak
adekuat, kehilangan cairan karena diare,
muntah atau diuretik dapat meningkatkan
reabsorbsi urat bersama senyawa lain di
tubulus proksimal seperti Na+ and HCO3
–.
Gout pada pasien yang mendapatkan
pengobatan kombinasi obat anti hipertensi
seperti diuretik mencapai 50% pasien baru
yang berobat untuk gout. Vasokonstriktor
ginjal seperti adrenalin, noradrenalin,
angiotensin dan beberapa inhibitor siklo-
oksigenase menurunkan klirens urat.
Siklosporin juga merupakan vasokonstriktor
kuat dan menjadi salah satu faktor penyebab
peningkatan insidens hiperurisemia dan
gout pada resipien transplantasi. Senyawa
i siologik yang menurunkan ekskresi urat
adalah asam organik seperti laktat, asetosetat
dan β-hidroksi butirat; yang produksinya
meningkat pada status epileptikus dan
konsumsi alkohol berlebihan bersamaan
dengan asupan makanan tak adekuat.
Intoksikasi timbal kronik menyebabkan
penurunan ekskresi urat lewat mekanisme
yang belum dapat ditentukan. Obat-obat
pirazinamid dan etambutol serta obat
urikosurik benzbromaron menyebabkan
peningkatan kadar urat plasma.
Faktor yang meningkatkan klirens asam
urat
Peningkatan volume plasma menyebabkan
peningkatan ekskresi urat sebagai akibat
sekresi ADH (antidiuretic hormone) yang tak
sesuai, yang terjadi pada pasien dengan
keganasan, awal kehamilan. Obat urikosurik
seperti probenesid, suli npirazon dan
benzbromaron menurunkan kadar urat
plasma dengan meningkatkan ekskresi asam
urat. Hal tersebut dapat menimbulkan gagal
ginjal akut karena presipitasi asam urat pada
tubulus. Vitamin C dosis besar juga bersifat
urikosurik dan menyebabkan kristaluria atau
batu campuran antara oksalat dan urat. Obat
yang biasanya tak memengaruhi ekskresi urat
kadang juga menyebabkan urikosuria, seperti
radiokontras, warfarin dan kortikosteroid,
antibiotik, seperti ampisilin, serta asam amino,
seperti glisin.
Penyebab Hiperurisemia dan Gout1-3
Penyebab hiperurisemia dibedakan
menjadi penyebab primer pada sebagian
besar kasus, serta penyebab sekunder
dan idiopatik. Penyebab primer berarti
tidak ada penyakit atau penyebab lain,
berbeda dengan kelompok sekunder yang
didapatkan penyebab lain, baik genetik
maupun metabolik. Pada 99% kasus gout
dan hiperurisemia dengan penyebab primer,
ditemukan kelainan molekuler yang tidak
jelas meskipun diketahui adanya mekanisme
penurunan sekresi pada 80-90% dan produksi
berlebihan pada 10-20% kasus. Sedangkan
pada kelompok hiperurisemia dan gout
sekunder, terjadi melalui mekanisme produksi
berlebihan, seperti gangguan metabolisme
purin pada dei siensi enzim glucose-6-
phosphatase atau fructose-1-phospate aldolase.
Hal yang sama juga terjadi pada keadaan infark
miokard, status epileptikus, penyakit hemolisis
kronis, polisitemia, psoriasis, keganasan
mieloproliferatif dan limfoproliferatif;
yang meningkatkan pemecahan ATP dan
asam nukleat dari inti sel. Mekanisme
penurunan sekresi dapat ditemukan pada
keadaan penyakit ginjal kronik, dehidrasi,
diabetes insipidus, alkoholisme, myxodema,
hiperparatiroid, ketoasidosis dan keracunan
berilium. Selain itu juga dapat terjadi pada
pemakaian obat seperti diuretik, salisilat
dosis rendah, pirazinamid, etambutol
dan siklosporin. Hiperurisemia diketahui
juga berkaitan dengan berbagai keadaan
gangguan metabolik seperti diabetes melitus,
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013332
TINJAUAN PUSTAKA
hipertrigliseridemia, obesitas, sindrom
metabolik, dan hipotiroidisme. Sebaliknya
hiperurisemia diduga menjadi faktor risiko
hipertensi, aterosklerosis dan penyakit jantung
koroner.
Dei nisi Nefropati Urat
Penyakit ginjal yang disebabkan oleh asam
urat atau penumpukan kristal urat, terbagi
menjadi 3 jenis, yaitu nefropati asam urat akut,
nefropati urat kronik dan nefrolitiasis asam
urat.6,7,8 Dalam tinjauan pustaka ini, yang akan
dibahas adalah nefropati urat kronik.
Gouty nephropathy atau chronic uric acid
nephropathy atau nefropati urat kronik adalah
suatu keadaan asam urat atau kristal urat
terdeposit pada parenkim dan lumen tubulus
secara independen dan menyebabkan
cedera langsung pada ginjal selama suatu
periode waktu sehingga menyebabkan gagal
ginjal.6,7 Nefropati urat kronik adalah suatu
bentuk penyakit ginjal kronik yang diinduksi
oleh penumpukan monosodium urat pada
interstitial medula, yang menyebabkan
respons inl amasi kronik, serupa dengan
yang terjadi pada pembentukan mikrotofus
pada bagian tubuh lain, yang berpotensi
menyebabkan i brosis interstitial dan gagal
ginjal kronik.8
Nefropati urat kronik yang pada masa lalu
sering ditemukan pada pasien dengan
tophaceous gout, saat ini jarang ditemukan.
Namun demikian pasien penyakit ginjal kronik
dengan sedimen urin serta hiperurisemia yang
tak sesuai dengan derajat gangguan ginjalnya
memenuhi kriteria nefropati urat kronik. Studi
pada hewan menunjukkan bahwa pada
penyakit ginjal kronik terjadi hiperurisemia
ringan, yang terjadi lewat dua mekanisme
yang mengkompensasi penurunan ei siensi
ekskresi ginjal yaitu peningkatan ekskresi
asam urat usus dan penurunan produksi
karena penurunan aktivitas xantin oksidase.8
Peningkatan kadar urat plasma yang tidak
sesuai dengan derajat gangguan ginjal
didei nisikan sebagai berikut:8
• Kadar urat plasma > 9 mg/dL (535 μmol/L)
jika kadar kreatinin plasma ≤ 1,5 mg/dL (132
μmol/L)
• Kadar urat plasma > 10 mg/dL (595
μmol/L) jika kadar kreatinin plasma 1,5 – 2,0
mg/dL (132 to 176 μmol/L)
• Kadar urat plasma > 12 mg/dL (714
μmol/L) dengan gagal ginjal yang lebih berat
Sejarah Nefropati Urat Kronik
Istilah nefropati urat kronik serta
keberadaannya telah menjadi subjek
perdebatan selama bertahun-tahun. Salah
satu penyebab kebingungan adalah bahwa
di masa lalu beberapa varian pasien gout
digolongkan menjadi 1 kelompok. Pada
satu spektrum ditemukan pada laki-laki usia
pertengahan yang disebut gout primer,
yang produksi asam uratnya normal namun
mengalami peningkatan ekskresi asam urat
tergantung dari diet tinggi purin, fungsi
ginjalnya normal untuk umurnya dan tetap
normal. Pada spektrum lain ditemukan
pasien usia muda atau bahkan anak-anak
dari kedua jenis kelamin dengan gout familial
onset prekoks, yang mengalami penurunan
fungsi ginjal secara cepat, walaupun produksi
dan ekskresi asam uratnya normal bahkan
rendah. Lalu ditemukan pasien intoksikasi
timbal dan pasien dengan peningkatan
produksi asam urat dengan ekskresi asam
urat sangat meningkat dan pada ginjal terjadi
penumpukan kristal.8
Foley dan Weinman (1984) serta Beck
(1986) menentang entitas nefropati urat
kronik. Namun, saat ini hubungan antara
hiperurisemia dan penyakit ginjal kronis tidak
diragukan lagi walaupun pola hubungannya
yang masih diperdebatkan. Gambar 2
menunjukkan kemungkinan pola hubungan
tersebut.6
Spektrum pasien gout meliputi yang saat ini
telah diketahui, terdiri dari:
Gout primer 8
Sekitar 30–40 tahun yang lalu, penyakit dan
gagal ginjal merupakan hal yang umum
pada pasien laki-laki gout usia pertengahan
serta merupakan penyebab utama kematian.
Keterlibatan ginjal mencapai 100% dan antara
20 – 80% kematian disebabkan uremia.
Saat ini, setelah gout jarang dijumpai pada
gagal ginjal, ternyata gagal ginjal juga
menjadi jarang pada pasien gout primer atau
klasik, yang berusia 50 – 60 tahun. Fungsi
ginjal pasien hampir selalu normal untuk
usianya dan tetap stabil walaupun terdeteksi
abnormalitas sedimen urin dan proteinuria
ringan. Penurunan konsentrasi asam urat
mendekati normal tidak mempengaruhi
perjalanan penyakit. Kelainan ginjal yang
ditemukan hanyalah FEur yang rendah (rata-
rata 5,4%) yang menunjukkan bahwa gout
primer adalah kelainan ginjal dengan dasar
kelainan genetik mayor.
Alasan tingginya prevalensi gagal ginjal
pada gout primer di masa lalu tidak jelas.
Diperkirakan kerusakan ginjal mengikuti
penyakit vaskular pada gout, atau adanya
penumpukan asam urat atau kristal urat
dalam ginjal. Demikian pula tidak mungkin
mencari penyebab penurunan mortalitas,
namun disimpulkan bahwa hal tersebut
Gambar 1 Penumpukan kristal urat pada media basa di interstitial ginjal menyebabkan terjadinya i brosis dan atroi 6
333CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
berhubungan dengan penurunan asupan
purin, pengobatan yang lebih efektif
dengan agen urikosurik dan alopurinol, serta
penurunan insidens intoksikasi timbal. Saat ini
tophaceous gout sudah jarang dan hipertensi
yang terkait juga sudah menjadi normotensi
dengan pengobatan yang efektif.
Asal tofus interstitial monosodium urat
juga kontroversial. Hal tersebut diperkirakan
merupakan hasil tingginya konsentrasi asam
urat plasma dengan penumpukan primer pada
interstitial ginjal sebagai monosodium urat.
Studi lain menyimpulkan bahwa hal tersebut
terjadi akibat erosi kristal asam urat pada
tubulus ke dalam interstitial yang menyebabkan
terbentuknya monosodium urat.
Saat ini masih dipertanyakan penyebab
kerusakan ginjal apakah monosodium urat
atau asam urat. Pada interstitial ginjal, pH
7,37 dan karena pK disosiasi gugus hidroksil
asam urat adalah 5,44, bentuk utama purin
adalah monosodium urat monohidrat
berbentuk jarum. Sedangkan di tubulus, pH
dapat mencapai 5,0 bahkan lebih rendah, dan
bentuk utama adalah asam urat amorf. Kedua
mekanisme dapat terjadi pada nefropati urat
kronik, asam urat dan monosodium urat
dapat menyebabkan inl amasi jaringan ikat
sekunder.
Gout juvenilis 8
Penurunan jumlah pasien dengan keterlibatan
ginjal pada gout primer menyebabkan
munculnya kelompok pasien baru, berusia
muda (antara 10 – 35 tahun) dengan onset
prekoks hiperurisemia sehingga disebut
sebagai familial juvenile hyperuricaemic
nephropathy (FJHN) atau medullary cystic
kidney disease type 2 (MCDK2). Kelainan ini
adalah kelainan autosom dominan dengan
hiperurisemia dan gout pada awal perjalanan
penyakit dengan gangguan ginjal yang
progresif. Masih diperdebatkan apakah
hiperurisemia atau kelainan ginjalnya yang
merupakan faktor primer. Walaupun gagal
ginjal umum ditemukan, biopsi ginjal dan
nefrektomi menunjukkan nefropati interstitial
dengan atroi tubular dan glomerulosklerosis,
dan kristal urat jarang ditemukan.
Nefropati terinduksi kristal 8
Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa
dalam jangka waktu singkat, penumpukan
kristal dapat menyebabkan kerusakan Gambar 2 Metabolisme asam urat, penumpukan asam urat dan kelainan yang ditimbulkannya6
Tabel 1 Faktor yang meningkatkan risiko perburukan fungsi ginjal pada pasien hipertensi primer12
Faktor risiko
Hipertensi berat (TD sistolik > 170 mmHg)Hipertensi lamaRas Afrika Amerika*Hiperurisemia dan/atau gout*Intoksikasi timbal kronik*Obesitas dan/atau Sindrom Metabolik*Diuretik*Penurunan jumlah nefronUsia lanjut
*Kondisi yang berhubungan dengan hiperurisemia
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013334
TINJAUAN PUSTAKA
ginjal yang berat dan permanen, pada
awalnya terjadi kerusakan epitel tubular
diikuti erosi membran basal, perpindahan
kristal ke interstitial, dan terpicunya respons
inl amasi. Walaupun kristal perlahan
menghilang, fokus inl amasinya menetap.
Pada akhirnya didapatkan ginjal yang
mengecil, sklerosis glomerulus dengan garis-
garis i brosis dari korteks ke medula. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ditemukannya
kristal pada nefritis interstitial nonspesii k
tidak meniadakan nefropati kristal sebagai
penyebab lesi ginjal.
Patogenesis Nefropati Urat Kronik
Data histopatologis menunjukkan inl amasi
interstitial dan i brosis bersamaan dengan
deposit kristal asam urat. Beberapa studi
menunjukkan indeks ginjal dan fungsi endotel
yang abnormal pada pasien hiperurisemia
asimptomatik.
Studi Heinin dan Johnson pada binatang
pengerat membuktikan bahwa hiperurisemia
meningkatkan tekanan darah dan
menimbulkan lesi pada mikrovaskular ginjal,
glomerular dan tubulointerstitial, namun
mekanismenya masih belum diketahui.
Walaupun demikian, data pada manusia
belum dapat membuktikannya.6 Studi
lain pada otopsi 79 – 99% pasien gout
menunjukkan lesi histologis pada nefropati
urat kronik berupa glomerulosklerosis, i brosis
interstital, arteriosklerosis dan seringkali
disertai penumpukan kristal urat interstitial
fokal.9-12
Walaupun terlihat ada hubungan antara
gout dengan kelainan ginjal, masih terdapat
kontroversi apakah asam urat merupakan
etiologinya, karena sulit menggambarkan
cedera ginjal karena penumpukan kristal urat
secara umum, banyaknya pasien gout juga
menderita hipertensi yang gambarannya
serupa, serta apakah penurunan kadar asam
urat dapat memperlambat penurunan fungsi
ginjal.8
Weiner dkk.13 menemukan bahwa kadar asam
urat pada awal studi berhubungan dengan
peningkatan risiko terjadinya penyakit ginjal
pada model berdasarkan LFG (OR 1,07
(95% CI 1,01 – 1,14)) dan kadar kreatinin
(OR 1,11 (95% CI 1,01 – 1,21)), disimpulkan
bahwa peningkatan kadar asam urat
adalah faktor risiko independen timbulnya
penyakit ginjal pada populasi umum. Studi
Domrongkitchaiporn dkk.14 menunjukkan
bahwa OR terjadinya penurunan fungsi ginjal
adalah 1,82 pada kadar asam urat > 6,29 mg/
dl dibandingkan dengan kadar asam urat <4,5
mg/dl. Pada studi ini, hiperurisemia bukan
merupakan hasil dari penurunan fungsi ginjal,
karena semua pasien yang diteliti memiliki
LFG > 60 ml/min per 1,73 m2 pada awal studi.
Studi Obermayr dkk.7 selama 7 tahun terhadap
21.000 pasien dengan berbagai kadar asam
urat dan laju i ltrasi glomerulus yang sepadan
menunjukkan bahwa setelah dilakukan
penyesuaian terhadap LFG, OR menderita
gangguan ginjal yang berhubungan dengan
kadar asam urat meningkat 17% pada pasien
dengan kadar asam urat 7,0 – 8,9 mg/dL dan
25% pada pasien dengan kadar > 9,0 mg/
dL. Dengan penyesuaian jenis kelamin dan
umur, OR pada 2 kelompok meningkat 11%
dan 19%. Hasil ini menunjukkan efek toksik
langsung atau tak langsung asam urat pada
perkembangan CKD stage 3. Studi ini juga
menemukan adanya interaksi antara kadar
asam urat dengan hipertensi pada timbulnya
CKD stage 3. Hal tersebut terlihat pada
gambar 2. Pengaruh kadar asam urat pada
timbulnya gangguan ginjal baru adalah linear
pada kadar 6 – 7 mg/dL pada perempuan dan
kadar 7 – 8 mg/dL pada laki-laki, kemudian
OR meningkat tajam pada kadar di atasnya.
Pengaruh peningkatan kadar asam urat
terhadap OR timbulnya gangguan ginjal baru
meningkat tajam pada pasien hipertensi dan
perempuan.
Studi Darmawan dkk.4 menunjukkan bahwa
hiperurisemia, kadar ureum dan kreatinin
serum, klirens kreatinin membaik setelah terapi
dengan prednison dan obat anti inl amasi non
steroid (OAINS). Fungsi ginjal, kadar kolesterol
dan trigliserida serum, kadar glukosa puasa
dan fungsi hati juga mengalami perbaikan
Gambar 4 OR for development of a GFR < 60 ml/min per 1.73 m2 depending on UA levels (natural cubic splines) compared with
mean UA levels (4.2 mg/dl for women and 5.9 mg/dl for men); stratii ed for gender and hypertension groups adjusted for GFRb, age,
waist circumference, fasting glucose (natural cubic spline), HDL (log-transformed), triglycerides (log-transformed), and antihyper-
tensive drug use. Dashed lines denote 95% CI. Hypertension groups: normal BP, systolic < 120 mmHg and diastolic < 80 mmHg;
prehypertension, systolic 120 to 139 mmHg or diastolic 80 to 89 mmHg; hypertension, systolic >140 mmHg or diastolic > 90 mmHg
335CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
dengan diet rendah kalori, rendah purin dan
rendah lemak. Secara umum disimpulkan tidak
terjadi urolitiasis dan perburukan fungsi ginjal
jika kadar asam urat serum dipertahankan di
bawah 5 mg/dL. Persentase pasien dengan
kadar serum kreatinin > 5 mg/dL menurun
secara bermakna setelah kontrol hiperurisemia
selama 10 tahun, dan tidak ada lagi pasien
dengan klirens kreatinin < 30 ml/menit. Studi
Iseki dkk.15 terhadap 6.400 subjek dengan
fungsi ginjal normal, didapatkan bahwa
kadar asam urat > 8,0 mg/dL dibandingkan
dengan < 5,0 mg/dL berhubungan dengan
peningkatan risiko timbulnya gangguan
ginjal dalam 2 tahun sebesar 2,9 kali pada
laki-laki dan 10 kali pada perempuan. Hal ini
tak terpengaruh usia, indeks massa tubuh,
tekanan darah sistolik, kolesterol total,
albumin serum, kadar gula darah, merokok,
alkohol, kebiasaan olahraga, proteinuria dan
hematuria. Malah, peningkatan kadara asam
urat lebih prediktif dibandingkan proteinuria
terhadap timbulnya gangguan ginjal.
Studi Kang dkk.16 pada tikus menemukan
beberapa hal penting dalam patogenesis
nefropati urat kronik. Asam urat adalah
mediator penting terjadinya kelainan ginjal,
hiperurisemia meningkatkan tekanan
darah, proteinuria, disfungsi ginjal dan
pembentukan jaringan ikat pada ginjal
serta memacu kelainan vaskular lewat jalur
COX-2. Salah satu peran asam urat adalah
melalui aktivasi sistem renin-angiotensin,
mediator penting pada gangguan ginjal
lewat efek hemodinamik yang meningkatkan
tekanan sistemik dan glomerular, serta
efek i brogenik pada sel ginjal dan vaskular.
Pada tikus percobaan, peningkatan kadar
asam urat meningkatkan ekspresi renin
jukstaglomerular dan pemberian enalapril
mengendalikan tekanan darah, memperbaiki
arteriolopati serta mencegah cedera ginjal.
Pemberian alopurinol dan benziodaron
untuk mencegah hiperurisemia menurunkan
kadar renin yang mengurangi cedera ginjal.
Pada tikus hiperurisemia terjadi vaskulopati
preglomerular berat, terlihat adanya
penebalan dan peningkatan jumlah sel otot
polos vaskular serta ini ltrasi makrofag pada
subendotel, media dan adventisia. Perubahan
ini menimbulkan arteriopati obliterasi yang
memperberat cedera ginjal karena iskemia
sirkulasi postglomerular. Menyempitnya
lumen juga meningkatkan ekspresi renin dan
menyebabkan hipertensi.
Selain itu ditemukan mekanisme baru
yang berhubungan dengan COX-2, yang
meningkat ekspresinya pada sel otot polos
aorta dan preglomerular akibat peningkatan
kadar asam urat dan proliferasi sel otot polos.
Peningkatan ekspresi COX-2 meningkatkan
kadar tromboksan. Namun masih belum
jelas apakah peningkatan ekspresi renin
merupakan efek langsung peningkatan
kadar asam urat atau berhubungan dengan
stimulasi COX-2 pada makula densa dan
arteriol atau efek tak langsung kelainan
vaskular yang menyebabkan penurunan
perfusi ginjal. Pada pokoknya, angiotensin
II menyebabkan proliferasi dan hipertroi
sel otot polos vaskular dan ini ltrasi sel
radang. Vaskulopati akibat hiperurisemia
dapat dicegah dengan inhibisi sistem renin
angiotensin dan proliferasi sel otot polos
vaskular diinhibisi sebagian dengan blokade
reseptor AT1. Perubahan pembuluh darah
preglomerular bukan hanya disebabkan oleh
peningkatan tekanan darah, yang terlihat
pada tikus hiperurisemia yang mengalami
perubahan pembuluh darah yang lebih
dibandingkan tikus dengan tekanan darah
yang setara namun kadar asam urat lebih
rendah. Studi Zocalli dkk.17 menunjukkan
bahwa hiperurisemia ringan merupakan
faktor yang mempengaruhi disfungsi
endotel pada pasien hipertensi yang belum
terkomplikasi dan tidak diterapi. Inl amasi
merupakan jalur yang cukup penting dalam
kerusakan endotel yang ditimbulkan oleh
asam urat, di mana asam urat menstimulasi
sintesis C-Reactive Protein (CRP). Data studi
ini menunjukkan bahwa paparan kronik
hiperurisemia ringan merupakan faktor
yang menimbulkan inl amasi mikro dan
peningkatan CRP pada pasien hipertensi
esensial. Studi lain oleh Forman dkk.18
menunjukkan kadar asam urat berhubungan
dengan aliran plasma ginjal basal yang
lebih rendah dan perlambatan rel eks
vasokonstriksi ginjal, yang mendukung
hipotesis bahwa asam urat mengaktifkan
sistem renin angiotensin. Selain itu, proliferasi
sel otot polos vaskular dan inl amasi
akibat asam urat menyebabkan kerusakan
ireversibel pada pembuluh darah kecil ginjal,
yang selanjutnya mengakibatkan hipertensi
dan sensitivitas garam. Namun mekanisme
ini kurang berperan pada usia lanjut jika
kekakuan aorta adalah mekanisme utama,
diikuti aktivasi sistem renin angiotensin yang
meningkat pada usia lanjut.
Studi pada tikus oleh Patschan dkk.19
menunjukkan bahwa asam urat adalah
mediator mobilisasi endothelial progenitor cells
(EPC) terhadap iskemi jaringan. Pada keadaan
hiperurisemua kronik terjadi penurunan
mobilisasi EPC dan efek proteksinya terhadap
ginjal.
Studi Kang dkk.20 menunjukkan bahwa
peningkatan kadar asam urat berhubungan
dengan peningkatan produksi CRP pada
human vascular smooth muscle cells (HVSMC)
dan human umbilical vein endothelial cells
(HUVEC), yang menunjukkan bahwa masuknya
asam urat ke intrasel bertanggung jawab untuk
ekspresi CRP. Asam urat juga meningkatkan
migrasi HVSMC dan menghambat migrasi
HUVEC, serta menghambat pembebasan nitric
oxide (NO) pada HUVEC. Pemberian antibodi
anti-CRP membalik efek asam urat terhadap
proliferasi dan migrasi HVSMC dan pelepasan
NO pada HUVEC, yang menunjukkan pula
peran asam urat pada remodeling vaskular.
Tata Laksana Nefropati Urat Kronik
Seperti penatalaksanaan penurunan asam urat
pada gout lainnya, harus dipertimbangkan
kemungkinan interaksi obat dan efek samping
serta kondisi komorbid. Gout bukanlah
suatu penyakit yang selalu progresif. Kadar
asam urat kadang kembali normal tanpa
penggunaan obat antihiperurisemik jika
pasien berhenti mengonsumsi alkohol, jika
obat antihipertensi diganti dengan diuretik
tiazid, atau pasien obesitas menurunkan
berat badan. Diet rendah purin kadang tidak
dapat dilaksanakan dan hanya dapat sedikit
menurunkan kadar asam urat. Suatu studi
menunjukkan bahwa diet rendah kalori
yang dapat meningkatkan sensitivitas insulin
berhasil menurunkan berat badan 7,7 kg dan
hiperurisemia sebesar 17%.21
Berdasarkan studi-studi di atas, obat
urikosurik seperti benzbromaron dan
benziodaron serta anti xantin oksidase (XO)
seperti alopurinol dapat digunakan untuk
mencegah nefropati urat kronik. Penggunaan
alopurinol untuk menurunkan kadar asam
urat ternyata mencegah gangguan ginjal,
proteinuria, hipertensi, kelainan vaskular,
dan hipertroi ginjal; diperkirakan lewat
kemampuannya menurunkan kadar asam
urat serum. Benziodaron, obat urikosurik,
kurang efektif menurunkan asam urat dan
hanya sebagian menurunkan ekspresi renin.
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013336
TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1. Wortmann RL. Gout and hyperuricemia. Dalam: Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Rudy S, Sergen JS, (eds.) Kelley’s Textbook of Rheumatology. 8th ed. Philadelphia:Saunders; 2009.hal.1481
– 506.
2. Edward NL. Gout: Clinical features. Dalam: Klippel JH, Stone JH, Crof ord LJ, White PH (eds.) 3rd ed. New York:Springer; 2008.hal.241 – 9.
3. Putra TR. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.hal.1213 – 7.
4. Poor G, Mituszova M. History, Classii cation and epidemology of crystal related artropathies. Dalam: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology.
3rd ed. Edinburg: Elsevier; 2003.hal.1893 – 901
5. Darmawan J, Rasker JJ, Nuralim H. The Ef ect of Control and Self-Medication of Chronic Gout in a Developing Country. Outcome After 10 Years. J Rheumatol 2003;30:hal. 2437 – 43.
6. Orson W. Moe. Posing the Question Again: Does Chronic Uric Acid Nephropathy Exist? J Am Soc Nephrol 2010;21: 395 – 7.
7. Obermayr RP, Temml C, Gutjahr G, Knechtelsdorfer M, Oberbauer R, Klauser-Braun R. Elevated uric acid increases the risk for kidney disease. J Am Soc Nephrol 2008;19: 2407 – 13.
8. Cameron JS, Moro F, Simmonds HA. Uric acid and the kidney. Dalam: Davison AM, Cameron JS, Grunfeld JP, Kerr DNS, Ritz E, et.al. Oxford Textbook of Clinical Nephrology. 2nd ed.: Oxford
University Press, 1998; hal. 1267 – 79.
9. Talbott JH, Terplan KL. The kidney in gout. Medicine 1960;39: 405 – 67.
10. Gonick HC, Rubini MD, Gleason IO, Sommers SC. The renal lesion in gout. Ann Int Med 1965;62: 667 – 74.
11. Siebernagl S . Gout. Dalam: Siebernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. 1st Edition. 2000 Georg Thieme Verlag. Stuttgart. Hal. 250 – 1.
12. Johnson RJ, Segal MS, Srinivas T, Ejaz A, Mu W,et.al.. Essential Hypertension, Progressive Renal Disease, and Uric Acid: A Pathogenetic Link? J Am Soc Nephrol 2005;16: 1909 –19.
13. Weiner DE, Tighiouart H, Elsayed EF, Grii th JL, Salem JN, Levey AS. Uric Acid and Incident Kidney Disease in the Community. J Am Soc Nephrol 2008;19: hal. 1204–11.
14. Domrongkitchaiporn S, Sritara P, Kitiyakara C, Stitchantrakul W, Krittaphol V, et.al.. Risk Factors for Development of Decreased Kidney Function in a Southeast Asian Population: A 12-Year
Cohort Study. J Am Soc Nephrol 2005;16: 791 – 9.
15. Iseki K, Oshiro S, Tozawa M, Iseki C, Ikemiya Y, Takishita S. Signii cance of hyperuricemia on the early detection of renal failure in a cohort of screened subjects. Hypertens Res 2001;24: 691
– 7.
16. Kang D, Nakagawa T, Feng L, Watanabe S, Han L. et.al. A Role for Uric Acid in the Progression of Renal Disease. J Am Soc Nephrol 2002;13: 2888 – 97.
17. Zoccali C, Maio R, Mallamaci F, Sesti G, Perticone F. Uric Acid and Endothelial Dysfunction in Essential Hypertension. J Am Soc Nephrol 2006;17: 1466 – 71.
18. Forman JP, Choi H, Curhan GC. Plasma Uric Acid Level and Risk for Incident Hypertension Among Men. J Am Soc Nephrol 2007;18: 287–92.
19. Patschan D, Patschan S, Gobe GG, Chintala S, Goligorsky MS. Uric Acid Heralds Ischemic Tissue Injury to Mobilize Endothelial Progenitor Cells. J Am Soc Nephrol 2007;18: 1516–24.
20. Kang DH, Park SK, Lee I, Johnson RJ . Uric Acid–Induced C-Reactive Protein Expression:Implication on Cell Proliferation and Nitric Oxide Production of Human Vascular Cells. J Am Soc
Nephrol 2005;16: 3553–62.
21. Terkeltaub RA, Gout. N Engl J Med 2003;349: 1647 – 55.
Namun, benziodaron lebih efektif mencegah
perubahan glomerular (proteinuria dan
glomerulosklerosis) dibandingkan perubahan
vaskular dan interstitial. Hal ini mungkin
karena perubahan glomerular berhubungan
dengan kadar asam urat, atau karena cedera
interstitial tidak dicegah secara efektif akibat
efek urikosurik benziodaron.15
Dua faktor harus dipertimbangkan
pada tata laksana nefropati urat kronik.
Faktor pertama adalah metabolit aktif
alopurinol, yaitu oksipurinol, mengalami
perjalanan yang sama dengan asam urat,
yang direabsorbsi, secara aktif di tubulus.
Pada pasien dengan fungsi ginjal normal,
klirensnya dipengaruhi semua hal yang
mempengaruhi klirens urat, terutama
kontraksi volume termasuk akibat diuretik,
akan meningkatkan konsentrasi plasma
oksipurinol dan memperpanjang waktu
paruhnya. Oleh karena itu, pada pasien
gagal ginjal, dosis alopurinol harus
diturunkan menjadi 100 mg perhari atau
bahkan 100 mg seminggu 3 kali.
Faktor kedua adalah klirens urat harus
diperhitungkan independen terhadap
LFG. Oksipurinol direabsorpsi secara aktif
oleh ginjal, sehingga pada semua derajat
gangguan ginjal, retensi oksipurinol
terjadi lebih besar pada pasien dengan
FEur yang menurun. FEur menurun lebih
besar dengan penggunaan diuretik,
seperti benzbromaron atau azapropazon,
sedangkan furosemid malah menurunkan
kadar urat plasma. Kedua faktor tersebut
menjadi pertimbangan bahwa alopurinol
tidak selalu obat pilihan pada pasien gagal
ginjal. Obat urikosurik, seperti probenesid,
malah mengganggu transpor tubular
diuretik.
SIMPULAN
Berbagai studi telah menunjukkan bahwa
hiperurisemia adalah faktor risiko independen
terjadinya kelainan ginjal, yang disebut
nefropati urat kronik. Namun dalam berbagai
studi juga disebutkan berbagai kelemahan, di
antaranya tidak dapat disingkirkannya semua
faktor perancu seperti keadaan metabolik,
hipertensi dan usia. Masih dibutuhkan studi
lebih lanjut untuk memastikan hiperurisemia
sebagai faktor independen kelainan ginjal,
sehingga dapat dilakukan usaha untuk
menurunkan insidens gagal ginjal akibat
nefropati urat kronik.
337CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Anemia sering dijumpai pada pasien
penyakit ginjal kronis (PGK) dan berkontribusi
menyebabkan penurunan kualitas hidup
pasien PGK. Anemia pada PGK juga dikaitkan
dengan berbagai penyulit seperti perawatan di
rumah sakit, penyakit kardiovaskuler, gangguan
kognitif, dan kematian. Berkurangnya produksi
eritropoietin merupakan faktor terpenting
dalam patogenesisnya.1,2 Erythropoiesis-
stimulating agents (ESA) telah merevolusi
Hepsidin: Peranannya dalam Patogenesis dan Implikasinya terhadap Tata Laksana Anemia pada
Penyakit Ginjal Kronis
Dimas Kusnugroho Bonardo PardedeRS PGI Cikini, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Anemia sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK) dan menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tata laksana anemia
pada PGK saat ini meliputi pemberian besi, pemberian erythropoiesis-stimulating agents (ESA), dan transfusi sel darah merah. Hepsidin (hepcidin)
adalah suatu peptida yang diproduksi di hepar dan merupakan regulator penting homeostasis besi sistemik yang mencegah terjadinya
kelebihan besi dengan cara menyebabkan sekuestrasi besi di makrofag dan menurunkan absorpsi besi enteral. Produksinya ditingkatkan oleh
inl amasi dan pemberian besi; dihambat oleh hipoksia, anemia, dei siensi besi, peningkatan aktivitas eritropoiesis dan pemberian ESA. Penelitian
menunjukkan bahwa pada pasien PGK terdapat peningkatan kadar hepsidin serum. Peningkatan kadar hepsidin berperan menyebabkan
anemia pada PGK dengan cara menciptakan keadaan iron-restricted erythropoiesis, menghambat pembentukan koloni eritroid dan mengurangi
kesintasan sel darah merah. Implikasinya adalah bahwa hepsidin diharapkan bisa menjadi biomarker penting status besi, panduan prediksi dan
pemantauan respons terapi besi, dan prediktor respons terapi dan resistensi ESA. Selain itu hepsidin juga dapat dijadikan target terapi suatu
antagonis hepsidin untuk penatalaksanaan anemia pada PGK yang lebih efektif.
Kata kunci: anemia, penyakit ginjal kronis, hepsidin
ABSTRACT
Anemia is prevalent in chronic kidney disease (CKD) patients and associated with increased morbidity and mortality. Current management of
anemia in CKD resolves around iron supplementation, erythropoiesis-stimulating agents (ESA), and red cell transfusion. Hepcidin is a peptide
produced in liver and is a key regulator of systemic iron homeostasis to prevent iron overload by iron sequestration in macrophages and
decreasing enteral iron absorption. The production is increased by inl ammation and iron supplementation; attenuated by hypoxia, anemia,
iron dei ciency, increased erythropoiesis activity and ESA. Studies have shown that hepcidin serum level in patients with CKD is increased.
High hepcidin serum level contributes to anemia in CKD by mediating iron-restricted erythropoiesis, inhibiting erythroid colony formation,
and impairing red blood cell survival. Its implication is that hepcidin has the potential to be an important biomarker of iron status, a guide
to predict and monitor iron therapy response, and a predictor of ESA response and resistance. Also, hepcidin has the potential to become a
therapeutic target for hepcidin antagonist agent which could lead to ef ective treatment of anemia in CKD. Dimas Kusnugroho Bonardo
Pardede. Hepcidin: Role in the Pathogenesis and Implications for Management of Anemia in Chronic Kidney Disease.
Key words: anemia, chronic kidney disease, hepcidin
Alamat korespondensi email: vanynardo@yahoo.com
penanganan anemia pada PGK dan dapat
menangani kebanyakan pasien PGK dengan
anemia secara efektif. Akan tetapi sekitar
10-20% pasien dilaporkan hipo- atau non-
responsif terhadap ESA sementara pemberian
ESA dosis lebih tinggi menyebabkan
peningkatan mortalitas.1-3 Resistensi terhadap
ESA sering dikaitkan dengan kelainan
metabolisme besi dan inl amasi. Pada pasien
PGK sering dijumpai kelainan metabolisme
besi dan keadaan inl amasi kronis.
Hepsidin (hepcidin) adalah protein dengan berat
molekul rendah yang belum lama ini ditemu-
kan, berperan penting dalam metabolisme
besi dan produksinya dipengaruhi oleh
inl amasi. Keberadaan hepsidin mungkin dapat
menjelaskan ketidakseimbangan metabolisme
besi yang sering ditemukan pada pasien
PGK dengan anemia dan resisten terhadap
ESA. Oleh karena itu peran hepsidin dalam
patogenesis dan implikasinya terhadap tata
laksana anemia pada PGK banyak diteliti.1,2,4-6
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013338
TINJAUAN PUSTAKA
ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL
KRONIS
Menurut National Kidney Foundation’s Kidney
Disease Outcomes Quality Initiative, anemia
didei nisikan jika kadar hemoglobin (Hb)
< 12 g/dL (hematokrit < 37%) pada pria
dewasa dan wanita pasca-menopause atau
Hb < 11 g/dL (hematokrit < 33%) pada anak
pre-pubertas dan wanita pre-menopause.7
Anemia sering dijumpai pada pasien PGK dan
berkontribusi menurunkan kualitas hidup.
Anemia pada PGK juga dikaitkan dengan
berbagai penyulit seperti perawatan rumah
sakit, penyakit kardiovaskuler, gangguan
kognitif dan kematian.1
Tata laksana anemia pada PGK meliputi
pemberian besi oral dan/atau parenteral, pem-
berian Erythropoiesis-Stimulating Agent (ESA),
dan transfusi sel darah merah.8 Pemberian
besi berisiko menyebabkan kelebihan besi
sedangkan transfusi memiliki banyak risiko
seperti hiperkalemia, volume overload,
kelebihan besi, toksisitas sitrat, reaksi transfusi,
hipotermi, koagulopati, transfusion-related
acute lung injury dan infeksi.8,9 ESA telah
merevolusi penanganan anemia pada PGK
dan dapat menangani kebanyakan pasien
PGK dengan anemia secara efektif, akan
tetapi sekitar 10-20% pasien dilaporkan
hipo- atau non-responsif terhadap ESA
sementara pemberian ESA dosis lebih tinggi
meningkatkan mortalitas.1-3,8,9
Hiporesponsivitas ESA (didei nisikan sebagai
tidak adanya kenaikan Hb setelah bulan
pertama pemberian ESA dosis adekuat atau
dalam upaya menjaga kadar Hb tetap stabil
dibutuhkan peningkatkan dosis ESA sebanyak
dua kali hingga 50% dosis pemeliharaan)
sering dikaitkan dengan dei siensi besi dan
inl amasi.4,5,8 Meskipun berkurangnya produksi
eritropoietin merupakan faktor terpenting,
kenyataannya patogenesis anemia pada PGK
bersifat multifaktorial. Faktor lain yang juga
berperan antara lain: pemendekan kesintasan
eritrosit, kehilangan darah, hemolisis, stres
oksidatif, akumulasi toksin uremik yang
menghambat eritropoiesis, dan kelainan
metabolisme besi.1,2,5
Kelainan metabolisme besi sering dijumpai
pada pasien PGK berupa dei siensi besi
absolut atau dei siensi besi fungsional/
blokade retikuloendotelial. Dei siensi besi
fungsional yang dicirikan dengan rendahnya
ketersediaan besi di sirkulasi untuk eritropoiesis
meskipun kadarnya di penyimpanan tinggi,
juga merupakan ciri anemia karena inl amasi/
penyakit kronis.1 Pada pasien PGK juga sering
ditemukan keadaan inl amasi kronis yang
disebabkan peningkatan insidens infeksi
dan/atau induksi sitokin proinl amasi karena
prosedur hemodialisis. Penelitian belakangan
ini menunjukkan bahwa kelainan metabolisme
besi yang dijumpai pada pasien PGK, seperti
pada pasien dengan anemia karena inl amasi,
mungkin disebabkan oleh peningkatan kadar
hepsidin.1
HEPSIDIN: STRUKTUR, AKTIVITAS
BIOLOGIS, DAN REGULASI
Hepsidin adalah peptida dengan 25 asam
amino, 8 residu sistein, dan 4 ikatan disuli da
yang belum lama ini ditemukan dalam rangka
pencarian peptida antimikrobial baru.5,10-12
Karena diproduksi di hepar dan memiliki sifat
antimikrobial, Park dkk. menamakan peptida
ini sebagai hepcidin (hepatic bactericidal
protein).11 Hepsidin ditemukan pada berbagai
spesies dan merupakan produk dari gen
HAMP yang memproduksi 84-asam amino
pre-prohepsidin, untuk kemudian mengalami
pembelahan menjadi 60-asam amino
prohepsidin selanjutnya menjadi bentuk
matur/aktif yaitu hepsidin-25 yang memiliki
kemampuan regulator besi dan antimikrobial.
Selain hepsidin-25, dihasilkan juga dua
isoform lebih kecil lainnya yaitu hepsidin-20
dan -22 yang kepentingan biologisnya belum
diketahui.2,5,9,10,12
Hepsidin merupakan regulator penting
homeostasis besi sistemik yang berperan
mencegah terjadinya kelebihan besi; mutasi
gen hepsidin seperti pada hemokromatosis
dapat menyebabkan gejala klinis akibat
kelebihan besi. Hepsidin menyebabkan
degradasi dan internalisasi feroportin, yaitu
eksportir besi (pengangkut el uks besi
transmembran) yang terdapat di permukaan
sel makrofag, enterosit dan hepatosit.
Kadar hepsidin yang tinggi menghambat
pelepasan simpanan besi di dalam makrofag
dan hepatosit serta mencegah pergerakan
absorpsi besi melalui feroportin di enterosit
ke sirkulasi. Sekuestrasi besi di makrofag dan
penurunan absorpsi besi enteral dalam jangka
panjang akan menyebabkan anemia dengan
cara menurunkan ketersediaan besi untuk
eritropoiesis. Sebaliknya, kadar hepsidin yang
rendah menyebabkan tidak terkendalinya
absorpsi besi usus dan mengakibatkan
kelebihan besi.1-3,5,9,10,12 Regulator utama
kadar hepsidin darah adalah status besi,
anemia, hipoksia, inl amasi dan aktivitas
eritropoiesis. Inl amasi dan pemberian besi
menginduksi produksi hepsidin sedangkan
hipoksia, anemia, dei siensi besi, peningkatan
aktivitas eritropoiesis dan pemberian ESA
menghambat produksinya.1-3,5,6,9,10,12
Inl amasi menyebabkan kenaikan kadar
hepsidin secara cepat dan hipoferemia sebagai
akibatnya, dengan interleukin-6 (IL-6) sebagai
mediator utamanya, menyebabkan pengikatan
Signal Transducer and Activator of Transcription
3 (STAT3) ke promotor hepsidin sehingga
meningkatkan aktivitasnya. Pemberian infus
IL-6 atau lipopolisakarida yang menginduksi
peningkatan kadar IL-6 pada sukarelawan
sehat menyebabkan peningkatan hepsidin
diikuti hipoferemia. Penelitian pada manusia
dengan infeksi kronis dan penyakit inl amasi
berat juga menunjukkan peningkatan kadar
hepsidin yang mengindikasikan bahwa pe-
ningkatan kadar hepsidin berperan penting
dalam anemia karena inl amasi dan blokade
retikuloendotelial.1,3,10 Pemberian besi, baik
oral maupun parenteral, secara cepat
meningkatkan kadar mRNA hepsidin hepatik
dan hepsidin plasma. Peningkatan kadar
hepsidin selanjutnya menghambat absorpsi
besi usus dan melindungi dari kelebihan
besi.10 Meskipun mekanisme molekular
yang sebenarnya belum sepenuhnya
dimengerti, regulasi hepsidin melalui induksi
transkripsi gen hepsidin oleh pemberian besi
diperantarai jalur pengiriman sinyal bone
morphogenic protein-6 (BMP-6)/ SMAD yang
meliputi protein hemojuvelin (HJV), protein
hemokromatosis HFE, tranferrin receptor (TFR)
1 dan 2. Sebaliknya, kondisi dei siensi besi
menghasilkan kadar hepsidin yang rendah.
Protease serin transmembran hepar yang
dikenal sebagai TMPRSS6 atau matriptase-2,
dibutuhkan untuk menekan gen hepsidin
dalam kondisi tersebut. Protease ini membelah
dan melarutkan HJV, menghambat jalur
pengiriman sinyal BMP-6/SMAD.1,3,10
Mekanisme molekular regulasi hepsidin
oleh hipoksia atau anemia belum diketahui
dengan jelas. Penelitian menunjukkan bahwa
hypoxia inducable factor (HIF) -1 alpha, yaitu
suatu faktor transkripsi heterodimer yang juga
memperantarai tingkat ekspresi eritropoietin
dan berbagai gen terinduksi hipoksia,
339CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
besi dan inl amasi, kini prohepsidin tidak
lagi dianggap representatif.2,3 Tomosugi
dkk. menggunakan mass spectroscopy
yang mampu mengukur hepsidin matur,
melaporkan peningkatan kadar hepsidin
pada pasien PGK hemodialisis. Selain itu juga
dilaporkan bahwa hepsidin dibuang saat
dialisis pada beberapa pasien.14 Penelitian
lain menggunakan mass spectroscopy pada
pasien PGK predialitik dengan LFG < 30
mL/menit juga melaporkan peningkatan
kadar hepsidin.3 Zaritsky dkk. menggunakan
competitive enzyme-linked immunosorbent
assay untuk mengukur hepsidin dan
melaporkan peningkatan kadar hepsidin
serum pada pasien anak (rerata: 127,3 ng/
mL) dan dewasa (rerata: 269,9 ng/mL) dengan
PGK stadium 2 sampai 4 dan pada pasien anak
dengan dialisis peritoneal (rerata: 652,4 ng/
mL) dibanding kontrol (rerata anak: 25,3 ng/
mL, rerata dewasa: 72,9 ng/mL).4 Ashby dkk.
juga melaporkan peningkatan konsentrasi
hepsidin pada pasien PGK dewasa dan pasien
hemodialisis dengan konsentrasi tertinggi
ditemukan pada kelompok hemodialisis.15
Gambar 1 Regulasi hepsidin10
Pemberian besi/status besi yang cukup dan inl amasi meningkatkan produksi hepsidin di hepar. Peningkatan kadar hepsidin
menurunkan ekspresi ferroportin (FPN) di permukaan sel duodenum dan retikuloendotelial, menyebabkan berkurangnya
absorpsi besi di usus, pelepasan besi dari penyimpanannya, dan saturasi transferin (TrFn). Sebaliknya, stimulasi eritropoiesis,
stabilisasi hypoxia inducible factor (HIF) pada hipoksia, dan dei siensi besi menekan produksi hepsidin, menyebabkan
meningkatnya absorpsi besi di usus, pelepasan besi dari penyimpanannya, dan saturasi transferin sehingga besi digunakan
secara lebih ei sien untuk eritropoiesis.
berkontribusi menghambat produksi hepsidin.
Hypoxia inducable factor diduga menekan
ekspresi hepsidin secara tidak langsung
dengan menurunkan induksi hepsidin
termediasi BMP-SMAD dan/atau induksi
hepsidin termediasi HFE/TFR2. Penelitian lain
menunjukkan bahwa induksi eritropoiesis
akibat hipoksia atau anemia itu sendiri yang
menghambat produksi hepsidin.1,2 Regulasi
hepsidin oleh eritropoiesis juga belum
dimengerti sepenuhnya. Peningkatan aktivitas
eritropoiesis yang juga dapat disebabkan oleh
pemberian ESA menurunkan kadar hepsidin
di sirkulasi dan menyebabkan mobilisasi cepat
besi dari penyimpanannya untuk memenuhi
kebutuhan sumsum tulang.2 Hubungan
antara produksi hepsidin dan eritropoiesis
menandakan adanya regulator antara eritron
dan hepar yaitu soluble transferrin receptor
(sTfR) dan growth dif erential factor 15 (GDF-
15).2,3
PENGUKURAN HEPSIDIN
Kadar hepsidin sulit diukur meskipun berbagai
metode pemeriksaan telah dikembangkan.
Pemeriksaan hepsidin yang pertama adalah
dengan imunodot untuk mengukur hepsidin
urin, akan tetapi pemeriksaan ini sifatnya
semi-kuantitatif, sulit, dan tidak cocok untuk
mengukur hepsidin serum. Selanjutnya
dikembangkan pemeriksaan lebih komersial
yang mendeteksi kadar prohepsidin, tetapi
tidak berkorelasi dengan aktivitas biologis,
status besi, inl amasi dan tidak lagi dianggap
memiliki kegunaan klinis. Teknik pemeriksaan
lain adalah dengan mass spectroscopy yang
mengukur hepsidin matur di urin dan serum.
Meskipun teknik ini memiliki keuntungan
dapat membedakan hepsidin-25, hepsidin-22,
dan hepsidin-20, tetapi masih mengandalkan
peralatan mahal yang tidak tersedia luas dan
bersifat semi-kuantitatif. Belakangan telah
dikembangkan pemeriksaan imunologis
(immunoassay) dan pemeriksaan berdasarkan
kompetisi terhadap ikatan 125I-hepsidin-25 ke
peptida yang identik dengan tempat ikatan
hepsidin feroportin yang dapat mengukur
hepsidin-25 secara kuantitatif.1,2,5,10,12
Rentang kadar hepsidin normal pada
individu sehat menurut satu penelitian
menggunakan metode competitive enzyme-
link immunosorbent assay adalah 29-254 ng/
mL (rerata 112 ng/mL) pada pria dan 17-
286 ng/mL (rerata 65 ng/mL) pada wanita.13
Sementara penelitian lain melaporkan rerata
kadar hepsidin serum pada anak 25,3 ng/mL
dan pada dewasa 72,9 ng/mL, menandakan
adanya variasi kadar hepsidin terkait jenis
kelamin dan usia. Selain itu juga dilaporkan
adanya variasi diurnal kadar hepsidin pada
individu sehat dengan kadar puncak di sore
hari, pola diurnal ini tidak terlalu tampak pada
pasien PGK yang menjalani dialisis karena
berkurangnya bersihan hepsidin di ginjal
akibat penurunan laju i ltrasi glomerulus
(LFG).9 Satu penelitian yang membandingkan
berbagai metode pemeriksaan menggunakan
mass spectroscopy dan imunokimia untuk
mengukur hepsidin matur di serum dan urin
secara kuantitatif menunjukkan perbedaan
besar hasil pengukuran kadar hepsidin
sehingga metode pemeriksaan hepsidin yang
ada masih perlu distandarisasi.1
HEPSIDIN PADA PASIEN PGK
Penelitian terdahulu yang menggunakan
prohepsidin untuk mengukur hepsidin secara
tidak langsung, melaporkan peningkatan
kadar prohepsidin pada pasien PGK. Akan
tetapi karena kurang berkorelasi dengan
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013340
TINJAUAN PUSTAKA
Hepsidin Sebagai Parameter Diagnostik
Anemia Pada PGK
Marker status besi yang paling sering
digunakan saat ini yaitu kadar feritin dan
saturasi transferin yang dianggap kurang
optimal dan tidak dapat memprediksi respons
terapi besi dengan akurat. Hepsidin secara
langsung menggambarkan ketersediaan
dan kebutuhan besi untuk eritropoesis dan
karena berhubungan dengan inl amasi dan
eritropoiesis, dapat menggambarkan status
homeostasis besi lebih baik dibandingkan
parameter tunggal seperti saturasi transferin,
feritin, dan c-reactive protein. Kadar hepsidin
yang tinggi disertai feritin yang tinggi
menandakan kurangnya ketersediaan besi
untuk eritropoiesis meski simpanan besinya
berlebih. Keadaan ini disebut hepcidin-
mediated iron-restrictive erythropoiesis, mem-
butuhkan terapi besi intravena; sehingga
kadar hepsidin dapat memprediksi kebutuhan
terapi besi intravena pada pasien PGK.
Sebaliknya, kadar hepsidin yang rendah dapat
memprediksi kemungkinan respons yang
baik dengan terapi besi oral saja. Peningkatan
kadar hepsidin setelah pemberian besi juga
dapat membantu klinisi memantau respons
terapi besi sekaligus dapat memperingatkan
bila terjadi kelebihan besi. Oleh karenanya,
sebagai regulator homeostasis besi yang
sesungguhnya, hepsidin diharapkan dapat
menjadi biomarker penting status besi dan
panduan prediksi dan pemantauan respons
terapi besi untuk anemia pada PGK.1-4,9,10,12
Hepsidin berkorelasi terbalik dengan dosis
ESA yang merupakan inhibitor ekspresi
hepsidin. Hal ini menimbulkan pemikiran
bahwa hepsidin mungkin memiliki peran
diagnostik sebagai prediktor respons terapi
ESA. Penurunan kadar hepsidin pada awal
terapi ESA merupakan indikator responsivitas
jangka panjang terhadap pemberian ESA.
Selain itu hepsidin juga dapat digunakan
sebagai prediktor resistensi ESA. Makin tinggi
kadar hepsidin, makin tinggi juga dosis ESA
yang dibutuhkan untuk menurunkannya
yang menandakan makin tingginya resistensi
terhadap ESA.1-3,9,10,12
Meskipun hepsidin memiliki potensi sebagai
modalitas diagnostik dan prediktor terapi
dalam tata laksana anemia pada PGK, saat
ini data tentang hal tersebut masih terbatas.
Beberapa penelitian justru meragukan
kegunaan diagnostik hepsidin. Kato dkk.
oleh berbagai penelitian juga berkorelasi
dengan anemia sehingga diduga berperan
dalam patogenesis terjadinya anemia.
Kadar hepsidin yang berlebih menghambat
pelepasan besi dari simpanannya ke sirkulasi
(blokade retikuloendotelial) dan menurunkan
absorpsi besi enteral sehingga mengurangi
ketersediaan besi untuk eritropoiesis yang
lama-kelamaan menyebabkan anemia
dei siensi besi. Mekanisme ini juga diduga
berperan dalam terjadinya resistensi ESA.
Selain itu, penelitian in vitro juga menunjukkan
bahwa peningkatan kadar hepsidin dapat
berkontribusi menyebabkan anemia pada
PGK dengan menghambat pembentukan
koloni eritroid saat konsentrasi eritropoietin
rendah dan mengurangi kesintasan sel darah
merah.1-3,5,9,10
IMPLIKASI KLINIS HEPSIDIN DALAM
TATA LAKSANA ANEMIA PADA PGK
Karena pentingnya peran hepsidin dalam
patogenesis anemia pada PGK, diharapkan
hepsidin juga mempunyai implikasi penting
dalam tata laksana anemia pada PGK. Hepsidin
diharapkan berguna sebagai parameter
diagnostik dan target terapi anemia pada
PGK.
Dari berbagai penelitian yang sudah ada,
tampak jelas terdapat peningkatan kadar
hepsidin serum pada pasien PGK; pada pasien
PGK predialitik terdapat peningkatan serum
hepsidin sekitar dua hingga empat kali lipat
sedangkan pada PGK dialisis sekitar enam
hingga sembilan kali lipat jika dibandingkan
kontrol.1,3,9,10
Hepsidin terutama diekskresi melalui ginjal
dan terdeteksi di urin. Penelitian menunjukkan
bahwa LFG berkorelasi terbalik dengan
hepsidin serum, mengindikasikan bahwa
penurunan LFG berkontribusi meningkatkan
kadar hepsidin serum pada pasien PGK.
Penelitian lain yang mendukung hal ini adalah
fungsi ginjal sisa, yang diukur dari luaran urin,
berhubungan dengan kadar hepsidin serum
yang lebih rendah pada pasien hemodialisis
dan dialisis peritoneal dibandingkan pasien
yang anuri. Mekanisme lain yang berperan
menyebabkan peningkatan kadar hepsidin
adalah akibat adanya inl amasi kronis dan
pemberian besi pada pasien PGK.1-3,5,9,10
HEPSIDIN DAN ANEMIA PADA PGK
Pada pasien PGK, peningkatan kadar
hepsidin seperti yang sudah diperlihatkan
Gambar 2 Jalur pengiriman sinyal untuk transkripsi hepsidin hepatik10
Interleukin-6 (IL-6) berikatan dengan reseptornya dan bekerjasama dengan Janus kinase (JAK) mengaktivasi pengiriman
sinyal STAT3. Status besi yang cukup meningkatkan produksi hepsidin melalui ikatan antara besi terikat transferin (transferrin-
bound iron) dan transferrin receptor 1 (TFR1) yang menggeser HFE, suatu produk gen hemokromatosis. HFE dan besi terikat
transferin berikatan dengan transferrin receptor 2 (TFR2) dan meningkatkan transkripsi hepsidin baik secara langsung maupun
bersama bone morphogenic protein-6 (BMP-6)/ hemojuvelin (HJV)/ kompleks reseptor BMP. Mutasi pada HFE, HJV, dan TFR2
dapat mengganggu transkripsi hepsidin termediasi besi, menyebabkan kelebihan besi progresif. Dei siensi besi mengganggu
transkripsi hepsidin melalui HJV terikat protease TMPRSS6 pembelah membran (protease TMPRSS6 cleaving membrane-bound
HJV), menghasilkan HJV terlarut (soluble HJV) (sHJV) yang mengganggu pengiriman sinyal kompleks reseptor BMP secara
kompetitif.
341CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
produksi hepsidin. Penelitian pada manusia
lainnya menunjukkan bahwa inhibitor
HIF prolyl hydrolase dapat meningkatkan
HIF, memperbaiki anemia pada PGK,
meningkatkan produksi eritropoietin
endogen, dan menurunkan kadar hepsidin.
Selain itu ada juga penelitian in vitro yang
menunjukkan bahwa inhibitor STAT3 seperti
curcumin dapat menekan ekspresi gen
hepsidin meskipun telah distimulasi oleh IL-
6.9,10 Tetap diperlukan penelitian lain untuk
membuktikan efektivitas antagonis hepsidin
tersebut dalam penatalaksanaan anemia
pada PGK dan potensi efek sampingnya.
SIMPULAN
Hepsidin sebagai regulator homeostasis besi
sistemik berperan penting dalam patogenesis
terjadinya anemia pada PGK. Karena itu,
hepsidin diharapkan memiliki implikasi
penting sebagai modalitas diagnostik
dan terapeutik untuk penatalaksanaan
anemia pada PGK yang lebih efektif di masa
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Babitt JL, Lin HY. Molecular mechanisms of hepcidin regulation: implications for the anemia of CKD. Am J Kidney Dis. 2010; 55: 726-41
2. Swinkels DW, Wetzels JFM. Hepcidin: a new tool in the management of anaemia in patients with chronic kidney disease? Nephrol Dial Transplant. 2008; 23: 2450-3.
3. Young B, Zaritsky J. Hepcidin for clinicians. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4: 1384-7.
4. Zaritsky J, Young B, Wang HJ, Westerman M, Olbina G, Nemeth E, dkk. Hepcidin - a potential novel biomarker for iron status in chronic kidney disease. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4:
1051-6.
5. Malyszko J, Mysliwiec M. Hepcidin in anemia and inl ammation in chronic kidney disease. Kidney Blood Press Res. 2007; 30: 15-30.
6. Deicher R, Horl WH. Hepcidin: a molecular link between inl ammation and anemia. Nephrol Dial Transplant. 2004; 19: 521-4.
7. Nurko S. Anemia in chronic kidney disease: causes, diagnosis, treatment. Cleve Clin J Med. 2006; 73: 289-97.
8. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Anemia Work Group. KDIGO clinical practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney Int., suppl. 2012; 2: 279-335.
9. Atkinson MA, White CT. Hepcidin in anemia of chronic kidney disease: review for the pediatric nephrologist. Pediatr Nephrol. 2012; 27: 33-40.
10. Coyne DW. Hepcidin: clinical utility as a diagnostic tool and therapeutic target. Kidney Int. 2011; 80: 240-4.
11. Park CH, Valore EV, Waring AJ, Ganz T. Hepcidin, a urinary antimicrobial peptide synthesized in the liver. J Biol Chem. 2001; 276: 7806-10.
12. Kemna EHJM, Tjalsma H, Willems HL, Swinkels DW. Hepcidin: from discovery to dif erential diagnosis. Haematologica. 2008; 93: 90-7.
13. Ganz T, Olbina G, Girelli D, Nemeth E, Westerman M. Immunoassay for human serum hepcidin. Blood. 2008; 112: 4292-7.
14. Tomosugi N, Kawabata H, Wakatabe R, Higuchi M, Yamaya H, Umehara H, dkk. Detection of serum hepcidin in renal failure and inl ammation using proteinchip system. Blood. 2006; 108:
1381-7.
15. Ashby DR, Gale DP, Busbridge M, Murphy KG, Duncan ND, Cairns TD, dkk. Plasma hepcidin levels are elevated but responsive to erythropoietin therapy in renal disease. Kidney Int. 2009;
75: 976-81.
16. Kato A, Tsuji T, Luo J, Sakao Y, Yasuda H, Hishida A. Association of prohepcidin and hepcidin-25 with eryhtropoietin response and ferritin in hemodialysis patients. Am J Nephrol. 2008; 28:
115-21.
yang meneliti kegunaan hepsidin sebagai
prediktor responsivitas ESA pada sejumlah
kecil pasien dialisis dengan menggunakan
mass spectroscopy melaporkan bahwa
kadar hepsidin pada kelompok pasien yang
responsif ESA dan tidak responsif ESA tidak
berbeda.16 Karena itu, penelitian lebih lanjut
masih diperlukan untuk mengkoni rmasi
potensi kegunaan diagnostik hepsidin.2,10
Hepsidin Sebagai Target Terapi Anemia
pada PGK dan Agen Penurun Kadar
Hepsidin
Seperti dijelaskan sebelumnya, peningkatan
kadar hepsidin menyebabkan keadaan iron-
restricted erythropoiesis dan berkontribusi
menyebabkan anemia pada PGK. Oleh
karenanya, penghambatan kerja hepsidin
diharapkan dapat memperbaiki anemia,
mengatasi dei siensi besi fungsional dan
menurunkan kebutuhan ESA melalui
peningkatan ambilan besi dari saluran
cerna dan pelepasannya dari makrofag.
Atas dasar inilah muncul pemikiran untuk
mengembangkan suatu antagonis hepsidin
dan menjadikan hepsidin suatu target terapi.1-
3,5,9,10
Berbagai penelitian untuk mencari dan
mengembangkan antagonis hepsidin telah
dilakukan. Penelitian pada tikus percobaan
melaporkan bahwa pemberian antibodi
monoklonal dapat menetralisasi hepsidin
dan memperbaiki respons terhadap
eritropoietin. Penelitian lain pada hewan
menunjukkan bahwa inhibitor BMP, termasuk
HJV terlarut, dan suatu molekul kecil
penghambat BMP yaitu dorsomorphin, dapat
berfungsi menurunkan kadar hepsidin untuk
meningkatkan mobilisasi besi dari limpa
dan meningkatkan kadar besi serum.1,9,10
Pemberian anti-IL-6 seperti tocilizumab
dilaporkan dapat menekan produksi hepsidin
dan memperbaiki anemia pada penyakit
Castleman, suatu gangguan limfoproliferatif
yang dicirikan dengan kadar IL-6 yang tinggi,
menunjukkan bahwa terapi anti-sitokin
secara umum mungkin dapat menurunkan
342
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
Akreditasi IDI – 3 SKP
Tata Laksana Diabetes Melitus saat Puasa Ramadhan
M. Adi FirmansyahPPDS Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia /
RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Diperkirakan terdapat 40-50 juta orang dengan diabetes (diabetesi) di seluruh dunia yang menjalani puasa Ramadhan setiap tahunnya. Studi
EPIDIAR (Epidemiology of Diabetes and Ramadhan) yang meneliti 12.243 pasien diabetes dari 13 negara Islam mendapatkan 43% pasien diabetes
melitus tipe 1 dan 79% pasien diabetes tipe 2 berpuasa selama Ramadhan. Diabetesi yang berpuasa berisiko mengalami efek samping seperti
hipoglikemia, hiperglikemia dengan atau tanpa ketoasidosis dan dehidrasi sehingga pengetahuan tata kelola yang baik sangat diperlukan.
Lima hal penting yang perlu diperhatikan yakni (1) tata laksana bersifat individual; (2) pemantauan kadar glukosa darah secara teratur; (3) nutrisi
tidak boleh berbeda dari kebutuhan nutrisi harian; (4) olahraga tidak boleh berlebihan dan (5) pasien harus tahu kapan membatalkan puasa.
Kata kunci: diabetes melitus, puasa Ramadhan, diabetesi
ABSTRACT
It is estimated that there are 40-50 million people with diabetes (called as diabetics) worldwide fasting during Ramadhan every year. A large
epidemiological study, EPIDIAR (Epidemiology of Diabetes and Ramadhan) conducted in 13 Islamic countries on 12,243 diabetic individuals
who fasted during Ramadhan showed 43% of patients with type 1 diabetes mellitus and 79% of patients with type 2 diabetes fasted during
Ramadhan. Diabetics had major potential complications associated with fasting such as hypoglycemia, hyperglycemia with or without
ketoacidosis and dehydration. Five important things are (1) individual management; (2) regular blood glucose monitoring; (3) diet should not
dif er from the daily nutritional requirements; (4) no excessive sports, and (5) the patient must know when to break the fast. M. Adi Firmansyah.
Management at Diabetes Mellitus on Ramadhan Fasting.
Key words: diabetes mellitus, Ramadhan fasting, diabetics
PENDAHULUAN
Berpuasa dalam bulan Ramadhan merupakan
kewajiban bagi seorang muslim dewasa.
Puasa diartikan sebagai ibadah menahan diri
atau berpantang makan, minum, dan segala
hal yang membatalkannya, dimulai dari terbit
fajar sampai terbenam matahari.1 Selama
puasa Ramadhan, mayoritas umat muslim
akan memiliki dua waktu makan, yakni segera
saat tenggelamnya matahari yang ditandai
de-ngan masuknya waktu sholat maghrib
(dikenal dengan istilah ifthar atau berbuka
puasa) dan makan saat sebelum fajar terbit
(dikenal dengan istilah sahur) sehingga
lamanya waktu berpuasa adalah berkisar
antara 11 jam hingga 18 jam setiap harinya.2
Studi EPIDIAR (Epidemiology of Diabetes and
Ramadhan) yang meneliti 12.243 pasien
diabetes dari 13 negara Islam mendapatkan
43% pasien diabetes melitus (DM) tipe 1
dan 79% pasien DM tipe 2 berpuasa selama
Ramadhan. Diperkirakan terdapat 1,1 hingga
1,5 milyar penduduk muslim di seluruh dunia.
Angka prevalensi diabetes di seluruh dunia
sekitar 4,6%,3 dan bila diproyeksikan ke hasil
studi EPIDIAR ini maka diperkirakan 40 – 50
juta diabetesi di seluruh dunia menjalankan
puasa Ramadhan setiap tahunnya.4
Puasa sejatinya tidak dimaksudkan untuk
menyulitkan dan mencelakakan individu
muslim. Secara tegas, dalam kitab suci umat
Islam Al-Quran dijelaskan bahwa berpuasa
tidak diwajibkan pada anak-anak, perempuan
dalam masa menstruasi, orang sakit, orang
yang dalam perjalanan, perempuan hamil dan
menyusui.5
Diabetesi yang berpuasa berisiko mengalami
efek samping seperti hipoglikemia, hiper-
glikemia dengan atau tanpa ketoasidosis
dan dehidrasi. Risiko ini akan meningkat
pada periode berpuasa yang lama.3 Namun,
tidak sedikit yang tetap ingin menjalani
puasa Ramadhan dan meminta saran terkait
kondisi medisnya. Hal penting yang tidak
boleh dilupakan adalah bahwa peranan
dokter bukan sebagai penentu atau pemberi
Alamat korespondensi email: madif12@gmail.com
343
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
fatwa apakah seorang pasien boleh berpuasa
atau tidak. Dokter hanya berperan memberi
pandangan dan panduan mengenai dampak
puasa terhadap kondisi medis pasien.
Keputusan akhir apakah berpuasa atau tidak,
dikembalikan kepada pasien sendiri.
EFEK PUASA PADA INDIVIDU NORMAL
Banyak studi telah meneliti efek berpuasa
Ramadhan yang dilakukan individu muslim
terhadap metabolisme tubuh, antara lain
terhadap berat badan, metabolisme glukosa,
dan metabolisme lipid.
Efek terhadap Berat Badan
Beberapa studi mendapati bahwa individu
sehat yang menjalani puasa Ramadhan
mengalami penurunan berat badan.6 Studi
pada 81 orang mahasiswa sehat di sebuah
universitas Teheran mendapati penurunan
berat badan setelah berpuasa Ramadhan baik
pada lelaki ataupun perempuan.7 Hasil yang
sama juga didapatkan oleh Sadiya dkk.8
Efek terhadap Metabolisme Glukosa
Pada individu normal, proses makan
akan merangsang sekresi insulin dari sel
beta pankreas. Proses ini pada akhirnya
menghasilkan glikogenesis dan penyimpanan
glukosa dalam bentuk glikogen di hati
dan otot. Sebaliknya, pada kondisi puasa,
sekresi insulin akan berkurang sementara
hormon kontra-regulator seperti glukagon
dan katekolamin akan meningkat. Kondisi
ini akan menyebabkan glikogenolisis dan
glukoneogenesis.
Selama puasa berlangsung, simpanan
glikogen akan berkurang dan rendahnya
kadar insulin plasma memicu pelepasan
asam lemak dari sel adiposit. Oksidasi asam
lemak ini menghasilkan keton sebagai bahan
bakar metabolisme oleh otot rangka, otot
jantung, hati, ginjal dan jaringan adipose. Hal
ini menghemat penggunaan glukosa yang
memang terutama ditujukan untuk otak dan
eritrosit (lihat gambar 1).4,6
Efek terhadap Metabolisme Lipid
Efek puasa Ramadhan terhadap proi l lipid
bervariasi dalam banyak studi, mungkin
disebabkan perubahan menu diet dan
berkurangnya aktivitas. Ziaee dkk tidak
mendapatkan adanya perbedaan kadar
trigliserida (TG) yang signii kan sebelum dan
sesudah Ramadhan meski kadar TG meningkat
selama Ramadhan. Kondisi ini diperkirakan
akibat konsumsi diet tinggi karbohidrat
terutama konsumsi gula7,9 Penyebab lain
adalah perubahan pola konsumsi sumber
karbohidrat dari karbohidrat kompleks
(seperti sereal, buah, sayuran) menjadi
karbohidrat sederhana seperti minuman
manis atau dengan pemanis buatan selama
Ramadhan.8
PERUBAHAN PADA DIABETESI SAAT
BERPUASA
Banyak penelitian umumnya tidak
mendapatkan masalah besar pada pasien
diabetes, baik DM tipe 2 maupun tipe 1
yang menjalani puasa.2,4,6,10 Asupan kalori
umumnya berkurang meski ada juga yang
tidak berubah, dan didapatkan penurunan
berat badan selama puasa. Selain itu, tidak
ditemukan perubahan berarti kadar glukosa
puasa dan HbA1c 10,11.
Efek Puasa terhadap Metabolisme
Pasien Diabetes
Pada pasien DM tipe 1 dan kondisi dei siensi
insulin berat akan terjadi proses glikogenolisis,
glukoneogenesis dan ketogenesis yang
berlebihan. Kondisi ini pada akhirnya
menyebabkan hiperglikemia dan ketoasidosis
yang dapat mengancam nyawa (Gambar 2).
Selain itu, pasien-pasien diabetes memiliki
neuropati otonom yang dapat menyebabkan
respons tidak adekuat terhadap kondisi
hipoglikemia.
Gambar 1 Patoi siologi Puasa pada Individu Normal
(Diadaptasi dari: Karamat MA, Syed A, Hanif W. Review of diabetes management and guidelines during Ramadan. J R Soc
Med. 2010:103:139-47)
Gambar 2 Patoi siologi Puasa pada Individu dengan Diabetes
(Diadaptasi dari: Karamat MA, Syed A, Hanif W. Review of diabetes management and guidelines during Ramadan. J R Soc
Med. 2010:103:139-47)
344
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Efek terhadap Berat Badan
Studi EPIDIAR menunjukkan bahwa secara
umum tidak terdapat perubahan berat
badan bermakna pada pasien diabetes
yang berpuasa.10 Namun, ada laporan yang
menyebutkan peningkatan atau penurunan
berat badan setelah berpuasa Ramadhan.11
Tidak adanya asupan makanan atau minuman
antara waktu sahur dan waktu berbuka;
seringnya pasien tidak membatasi jumlah
atau jenis asupan makanan saat malam; juga
akibat pembatasan aktivitas harian selama
berpuasa karena kekawatiran hipoglikemia,
tampaknya mungkin menjadi penyebab tidak
hanya menurunnya berat badan tetapi juga
peningkatan berat badan.11
Efek terhadap Kadar Glukosa
Beberapa studi menunjukkan tidak ada
perubahan signii kan terhadap kendali kadar
glukosa. Variasi kadar glukosa mungkin
disebabkan dari jumlah atau jenis makanan
yang dikonsumsi, keteraturan mengonsumsi
obat, pola makan yang tidak terkendali saat
berbuka, atau menurunnya aktivitas i sik.11
Meski begitu, pasien diabetes yang berpuasa
tetap berisiko mengalami hipoglikemia,
hiperglikemia ataupun ketoasidosis.4,6,11 Studi
EPIDIAR menunjukkan peningkatan risiko
hipoglikemia berat yang membutuhkan
perawatan sekitar 4,7 kali lipat pada pasien DM
tipe 1 dan 7,5 kali lipat pada DM tipe 2.6,10 Di
sisi lain, risiko hiperglikemia berat meningkat
sekitar 5 kali lipat pada pasien DM tipe 2 dan 3
kali lipat pada tipe 1.10
Efek terhadap Proi l Lipid
Beberapa studi menunjukkan tidak ada
perubahan signii kan proi l lipid. Dilaporkan
terdapat penurunan ringan kadar kolestrol
total dan trigliserida dan peningkatan kadar
HDL, yang menunjukkan penurunan risiko
kejadian kardiovaskular.6
RISIKO TERKAIT PUASA PADA
DIABETESI
Studi EPIDIAR menemukan peningkatan
komplikasi saat berpuasa.4,10 Beberapa risiko
yang sering timbul pada diabetesi saat puasa
antara lain hipoglikemia, hiperglikemia,
ketoasidosis diabetikum, dan dehidrasi serta
trombosis.
Hipoglikemia
Menurut studi EPIDIAR dikatakan bahwa risiko
hipoglikemia berat meningkat sebesar 4,7 kali
lipat pada pasien DM tipe 1 dan 7,5 kali lipat
pada pasien DM tipe 2. Hipoglikemia terjadi
lebih sering pada pasien dengan perubahan
dosis antidiabetik oral dan insulin, dan pada
pasien yang melakukan perubahan gaya
hidup signii kan selama puasa.4,10
Hiperglikemia
Kondisi hiperglikemia sangat erat kaitannya
dengan beragam komplikasi baik
mikrovaskular maupun makrovaskular. Banyak
penelitian menemukan bahwa pada pasien
diabetes yang menjalani puasa, pengendalian
Tabel 1 Kategori Risiko Pasien Diabetes tipe 1 atau 2 yang Berpuasa Ramadhan
Sumber: Al-Arouj M, Bouguerra R, Buse J, et al. American Diabetes Association recommendations for management of diabetes dur-
ing Ramadan: update 2010. Diabetes Care. 2010;33:1895-1902.
Tabel 2 Kelompok Pasien DM yang Boleh dan Tidak Boleh (Tidak Dianjurkan) Berpuasa13
Kelompok I
Pasien DM yang kadar gula darahnya terkontrol dengan
perencanaan makanan dan olah raga saja.
Dapat berpuasa tanpa masalah dengan tetap
memperhatikan pengaturan makan dan aktivitas fisik
Kelompok II
Pasein DM yang selain melaksanakan perencanaan makan dan olah raga juga memerlukan obat hipoglikemik oral
(OHO) untuk mengontrol kadar gula darahnya.
IIa Membutuhkan dosis tunggal dan kecil, misalnya
glibenklamid 1 x 1 tablet sehari, pagi
Boleh berpuasa dengan menggeser obat pagi ke sore
saat berbuka puasa.
IIb Membutuhkan OHO dengan dosis lebih tinggi dan
terbagi, misalnya glibenklamid pagi 2 tablet dan
sore 1 tablet.
Dapat berpuasa dengan menggeser obat pagi ke saat
berbuka dan obat sore ke saat makan sahur dengan
dosis setengahnya.
Jika minum obat 3 kali sehari Berpuasa dengan obat pagi dan siang diminum pada
saat berbuka, dan obat sore digeser ke saat makan
sahur dengan dosis setengahnya
Kelompok III
Pasien DM yang selain perencanaan makan dan olahraga juga membutuhkan / tergantung insulin atau kombinasi
dengan OHO.
IIIa Membutuhkan insulin satu kali sehari.
Misalnya NPH 20U 1 x sehari
Dapat berpuasa dengan motiviasi yang kuat dan harus
dengan pengawasan yang ekstra ketat. Suntikan insulin
digeser ke saat berbuka.
IIIb Membutuhkan insulin dua kali sehari atau lebih
sehari.
Misalnya RI 3 x 12 U sehari
Tidak dianjurkan berpuasa karena dianggap kadar
glukosa darah tidak stabil.
IIIc Membutuhkan kombinasi OHO dengan insulin
satu kali sehari.
Boleh berpuasa dengan pengaturan OHO seperti
kelompok II dan suntik insulin saat berbuka
IIId Membutuhkan kombinasi OHO dengan insulin dua
kali sehari atau lebih.
Tidak dianjurkan berpuasa karena dianggap kadar
glukosa darah tidak stabil.
Subekti I. Berpuasa bagi pasien diabetes. Dalam: Syam AF, Setiati S, Subekti I. Tips berpuasa Ramadhan pada berbagai penyakit
kronis. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. p. 27-37.
345
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
kadar glukosa darah dapat memburuk,
membaik atau tidak berubah. Studi EPIDIAR
menunjukkan peningkatan lima kali lipat
risiko hiperglikemia berat pada pasien DM
tipe 2 dan tiga kali lipat pada pasien DM
tipe 1 yang menjalani puasa Ramadhan10.
Diperkirakan kondisi hiperglikemi ini terjadi
akibat pengurangan dosis pengobatan yang
berlebihan, yang sebenarnya dimaksudkan
untuk mencegah hipoglikemia. Juga pada
pasien diabetes yang meningkatkan pola
konsumsi selama bulan puasa.10
Ketoasidosis diabetikum
Pasien diabetes tipe 1, yang menjalankan
puasa Ramadhan, mengalami peningkatan
risiko komplikasi ini, khususnya mereka
dengan pengendalian glukosa yang buruk
sebelum Ramadhan. Risiko ini makin
meningkat dengan pengurangan dosis
pengobatan yang berlebihan.4,10
Dehidrasi dan Trombosis
Saat puasa, terjadi pengurangan asupan cairan
jangka panjang (11 – 16 jam) yang berisiko
menimbulkan dehidrasi. Kondisi dehidrasi
ini dapat diperberat dengan perspirasi
(pengeluaran keringat) berlebihan dikaitkan
dengan kondisi cuaca terik dan aktivitas i sik
yang berat.4,10 Selain itu, hiperglikemia dapat
mencetuskan terjadinya diuresis osmosis
yang dapat menyebabkan deplesi cairan dan
elektrolit. Hipotensi ortostatik dapat terjadi,
khususnya pada mereka dengan neuropati
otonom sehingga risiko sinkop, jatuh atau
fraktur tulang penting diperhatikan. Adanya
kontraksi ruang intravaskular dapat memicu
kondisi hiperkoagulabel. Peningkatan viskositas
darah akibat dehidrasi ini meningkatkan risiko
trombosis dan stroke. Tetapi Temizhan dkk
melaporkan bahwa insiden perawatan rumah
sakit akibat penyakit koroner atau stroke tidak
meningkat selama Ramadhan.12
TATA LAKSANA PASIEN DIABETES YANG
BERPUASA
Mengingat banyaknya risiko pada pasien
diabetes saat menjalankan puasa, sangat
diperlukan pengetahuan pengelolaan yang
baik. American Diabetes Association (ADA)
mengeluarkan rekomendasi tata laksana
puasa pada pasien diabetes pada tahun 2005
yang telah diperbaharui pada tahun 2010.
Penilaian Sebelum Ramadhan
Semua pasien diabetes yang hendak berpuasa
Ramadhan, hendaknya menjalani penilaian
medis 1 – 2 bulan sebelumnya. Pasien diabetes
sering tetap ingin berpuasa meskipun secara
medis tidak memungkinkan. Peranan dokter,
sekali lagi, bukan sebagai pemberi fatwa
apakah seseorang pasien boleh berpuasa atau
tidak. Dokter hanya berperan memberikan
pandangan dan panduan mengenai dampak
puasa terhadap kondisi medis pasien dan
bagaimana mengurangi risiko komplikasi.
Untuk itu, pengenalan risiko berpuasa bagi
pasien penting dilakukan (tabel 1 dan tabel 2).
Pada prinsipnya, penilaian sebelum
Ramadhan meliputi: 1) kondisi i sik; 2)
parameter metabolik; 3) penyesuaian
terhadap perubahan pola asupan selama
Ramadhan; 4) penyesuaian regmen dan
dosis obat; 5) penyesuaian aktivitas i sik; dan
6) pengenalan tanda dehidrasi, hipoglikemia
atau hiperglikemia.
Ada lima hal penting yang perlu diperhatikan
dalam pengelolaan pasien diabetes yang
menjalankan puasa, yakni (1) Tata laksana
bersifat individual; (2) Pemantauan teratur
kadar glukosa darah; (3) Nutrisi tidak boleh ber-
beda dari kebutuhan nutrisi harian; (4) Olah-
raga tidak boleh berlebihan. Sholat tarawih
(sholat dengan jumlah rakaat yang cukup
banyak) yang dilakukan setiap malam di bulan
Ramadhan, dapat dipertimbangkan sebagai
bagian dari bentuk olahraga yang dianjurkan;
dan (5) Membatalkan puasa. Pasien harus
selalu diajarkan agar segera membatalkan
puasa jika terdapat gejala hipoglikemia (kadar
glukosa darah < 60 mg/dL) atau bila dalam
kondisi hiperglikemia.4 Pasien hendaknya
lebih sering memeriksa kadar glukosa darah,
misalnya dalam 2 jam sesudah makan sahur.
Puasa sebaiknya dibatalkan jika kadar glukosa
darah < 70 mg/dL dalam 1-2 jam awal puasa,
terutama bagi pasien yang menggunakan
insulin, sulfonilurea pada saat sahur.4
Beberapa petunjuk umum yang perlu
diperhatikan bagi pasien diabetes yang
berpuasa adalah11,13:
1. Perencanaan makan, jumlah asupan
kalori sehari selama bulan puasa kira-kira
sama dengan jumlah asupan sehari-hari yang
dianjurkan sebelum puasa. Pengaturan selama
bulan Ramadhan adalah dalam hal pembagian
porsi, 40% dikonsumsi saat makan sahur, 50%
saat berbuka dan 10% malam sebelum tidur
(sesudah sholat tarawih).
2. Makan sahur sebaiknya dilambatkan.
3. Lakukan aktivitas i sik sehari-hari dengan
wajar seperti biasa. Dianjurkan beristirahat
setelah sholat dzuhur (siang hari).
Tata Laksana Puasa Pasien DM Tipe 1
Pasien DM tipe 1 memiliki risiko sangat tinggi
saat berpuasa Ramadhan. Risiko ini makin
meningkat pada pasien dengan kadar glukosa
buruk, atau mereka yang terbatas aksesnya ke
pelayanan kesehatan, adanya hipoglikemia
yang tidak disadari, atau riwayat perawatan
di rumah sakit yang berulang.4 Saran tepat
bagi mereka dengan diabetes tipe 1 adalah
anjuran untuk tidak berpuasa,4,6,11 namun
diperkirakan sekitar 43% pasien DM tipe 1
tetap berpuasa Ramadhan.4,10 Jika pasien
memutuskan untuk berpuasa Ramadhan,
sebaiknya mereka menggunakan terapi
insulin dalam rejimen basal bolus dan rutin
memeriksa kadar glukosa darah. Laporan 15
orang pasien diabetes tipe 1 yang menjalani
puasa menyebutkan penggunaan insulin
glargin hanya menyebabkan sedikit kasus
hipoglikemia.14 Perbaikan kendali kadar
glukosa dan penurunan risiko hipoglikemia
lebih banyak dijumpai pada penggunaan
insulin lispro bila dibandingkan dengan
regular human insulin.6
Tata Laksana Puasa pada Pasien DM Tipe 2
• Pasien Terkendali dengan Diet
Kelompok pasien ini merupakan kelompok
risiko rendah yang diharapkan dapat menjalani
puasa Ramadhan tanpa masalah. Asupan kalori
dalam beberapa porsi kecil daripada hanya
satu porsi besar akan membantu mengurangi
hiperglikemia post-prandial. Kebutuhan cairan
hendaknya dicukupi untuk mencegah risiko
dehidrasi dan risiko trombosis.4,6
• Pasien dalam Terapi Obat Hipogli-
kemik Oral
Metformin
Pasien dengan terapi metformin diharapkan
dapat menjalani puasa mengingat risiko
hipoglikemianya kecil. Namun, pasien
dianjurkan mengubah waktu mengonsumsi
obat dengan saran sepertiga dosis diberikan
saat sahur dan dua pertiga dosis saat
berbuka.4,6
Tiazolidinedion
Penggunaan kelompok obat ini diketahui
tidak menyebabkan kejadian hipoglikemia
meski dapat memperkuat efek hipoglikemik
346
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
golongan sulfonilurea, glinid, dan insulin.4
Tidak diperlukan penyesuaian dosis selama
berpuasa Ramadhan.4
Sulfonilurea
Kelompok obat ini diketahui sering berkaitan
dengan kejadian hipoglikemia sehingga perlu
hati-hati digunakan selama puasa Ramadhan.
Penggunaan glibenklamid dikaitkan de-
ngan risiko hipoglikemia yang lebih besar
dibandingkan sulfonilurea generasi kedua
lain seperti gliklazid, glimepirid dan glipizid.4
Belkhadir dkk mendapati penggunaan
glibenklamid aman pada 591 pasien diabetes
yang berpuasa.15 Laporan lain menyebutkan
penggunaan glimepirid pada 332 pasien
diabetes yang berpuasa Ramadhan hanya
menyebabkan kejadian hipoglikemia sebesar
3% pada pasien yang baru terdiagnosis dan
3,7% pada pasien yang telah diterapi.16
Penyesuaian dosis bersifat individual
dengan menimbang besar kecilnya risiko
hipoglikemia. Misalnya, pasien dengan
sulfonilurea kerja panjang misalnya glimepirid
sekali sehari, selama puasa Ramadhan
dianjurkan mengubah waktu minum
obatnya menjadi saat berbuka puasa. Dosis
disesuaikan dengan penilaian terhadap kadar
glukosa darah pasien dan risiko hipoglikemia.4
Pada penggunaan sulfonilurea dua kali sehari,
disarankan setengah dosis diberikan pada
saat sahur, dan dosis biasa pada saat berbuka.
Glinid
Kelompok obat ini diketahui memiliki risiko
hipoglikemia rendah karena sifat kerjanya
yang pendek. Dapat digunakan dua kali
sehari yakni pada saat sahur dan saat berbuka
puasa.
Penghambat alfa glukosidase
Kelompok obat ini tidak dikaitkan dengan
kejadian hipoglikemia sehingga aman
digunakan selama puasa Ramadhan yakni
pada saat sahur dan pada saat berbuka
puasa.4
Terapi berbasis inkretin
Kelompok obat ini misalnya penghambat
enzim DPP-4 (dipeptidyl peptidase-4) dan
analog GLP-1 (glucagon-like peptide-1) tidak
dikaitkan dengan kejadian hipoglikemia
sehingga aman digunakan selama puasa
Ramadhan.4,6 Tidak dibutuhkan penyesuaian
dosis namun risiko hipoglikemia akan tinggi
bila dikombinasikan dengan sulfonilurea.6
• Pasien dalam Terapi Insulin
Saran umum bagi pasien pengguna insulin
kerja panjang (misalnya, glargin dan detemir)
adalah mengurangi dosis sebesar 20% untuk
mengurangi risiko hipoglikemia. Kelompok
insulin kerja panjang ini disarankan diberikan
saat makan besar saat berbuka puasa.6 Insulin
kerja cepat preprandial tetap dapat diberikan
selama berpuasa, tanpa dosis siang hari.
Untuk insulin kerja campuran (premix), dosis
pagi hari diberikan pada saat berbuka dan
setengah dosis malam hari diberikan pada
saat sahur.4,6
Tabel 3 meringkas panduan tata laksana
pasien diabetes selama berpuasa Ramadhan.
Hal penting yang harus diperhatikan,
bahwa pengelolaan pasien diabetes bersifat
individual sehingga penilaian yang didasarkan
dari kendali kadar glukosa darah dan risiko
hipoglikemia tetap memegang peranan
penting.
SIMPULAN
Kebudayaan dan agama memberikan dampak
terhadap tata laksana penyakit kronik seperti
diabetes. Puasa Ramadhan merupakan salah
satu pilar (rukun) Islam bagi umat muslim
di seluruh dunia. Banyak pasien DM tetap
ingin menjalankan ibadahnya meski secara
medis tidak dianjurkan, misalnya mereka
dengan kadar glukosa belum terkendali,
perempuan diabetes hamil, mereka dengan
riwayat ketoasidosis atau koma hiperosmolar,
dan pasien dengan komplikasi serius seperti
penyakit jantung koroner, gagal ginjal kronik,
pasien diabetes usia lanjut, dan pasien
dengan riwayat berulang hipoglikemia atau
hiperglikemia sebelum dan selama puasa
Ramadhan.
Peranan dokter adalah bersikap bijak
memberikan panduan, menentukan
stratii kasi risiko pasien, mengatur regimen
yang sesuai yang tetap bertujuan mengurangi
risiko komplikasi. Lima hal penting yang perlu
diperhatikan dalam pengelolaan pasien
diabetes yang menjalankan puasa yakni (1)
tata laksana bersifat individual; (2) pemantauan
kadar teratur glukosa darah; (3) nutrisi tidak
boleh berbeda dari kebutuhan nutrisi harian;
(4) olahraga tidak boleh berlebihan dan
(5) pasien harus tahu kapan membatalkan
puasa.
Tabel 3 Rekomendasi Regimen Terapi Pasien Diabetes Tipe 2 yang Menjalankan Puasa
Sumber: Karamat MA, Syed A, Hanif W. Review of diabetes management and guidelines during Ramadan. J R Soc Med.
2010:103:139-47.
347
CONTINUING MEDICAL EDUCATION
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
DAFTAR PUSTAKA
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit; 2000.
2. Azizi F. Islamic fasting and health. Ann Nutr Metab. 2010;56:273-82.
3. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of diabetes, estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care. 2004; 27:1047–53.
4. Al-Arouj M, Bouguerra R, Buse J, Hafez S, Hassanein M, Ibrahim MA, et al. American Diabetes Association recommendations for management of diabetes during Ramadan: update 2010.
Diabetes Care. 2010;33: 1895-902.
5. Al-Quran surah 2, ayat 183-5.
6. Karamat MA, Syed A, Hanif W. Review of diabetes management and guidelines during Ramadan. J R Soc Med. 2010: 103: 139–47.
7. Ziaee V, Razaei M, Ahmadinejad Z, Shaikh H, Yousei R,Yarmohammadi L, et al. The changes of metabolic proi le and weight during Ramadan fasting. Singapore Med J. 2006;47:409–14.
8. Sadiya A, Ahmed S, Siddieq HH, Babas J, Carlsson M. Ef ect of Ramadan fasting on metabolic markers, body composition, and dietary intake in Emiratis of Ajman (UAE) with metabolic
syndrome. Diabetes Metab Syndr Obes. 2011;4:409-1.
9. Hallak MH, Nomani MZA. Body weight loss and changes in blood lipid levels in normal men on hypocaloric diets during Ramadan fasting. Am J Clin Nutr. 1988; 48:1197-210.
10. Salti I, Be´nard E, Detournay B, Bianchi-Biscay M, Le Brigand C, Voinet C, et al. EPIDIAR study group. A population based study of diabetes and its characteristics during the fasting month
of Ramadan in 13 countries: Results of the epidemiology of diabetes and Ramadan 1422/2001 (EPIDIAR) study. Diabetes Care. 2004;27:2306–11.
11. Azizi F, Siahkolah B. Ramadan fasting and diabetes mellitus. Arch Iranian Med. 2003; 6 (4): 237 – 42.
12. Temizhan A, Donderici O, Ouz D, Demirbas B. Is there any ef ect of Ramadan fasting on acute coronary heart disease events? [abstract]. Int J Cardiol. 1999;70:149-53.
13. Subekti I. Berpuasa bagi pasien diabetes. Dalam: Syam AF, Setiati S, Subekti I. Tips berpuasa Ramadan pada berbagai penyakit kronis. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI;2006:27-37.
14. Mucha GT, Merkel S, Thomas W, Bantle JP. Fasting and insulin glargine in individuals with type 1 diabetes. Diabetes Care. 2004;27:1209-10.
15. Belkhadir J, el Ghomari H, Klöcker N, et al. Muslims with non-insulin dependent diabetes fasting during Ramadan: treatment with glibenclamide. BMJ. 1993;307:292-5.
16. Glimepiride in Ramadan (GLIRA) Study Group. The ei cacy and safety of glimepiride in the management of type 2 diabetes in Muslim patients during Ramadan. Diabetes Care.
2005;28:421-2.
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013348
TINJAUAN PUSTAKA
Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring
Hendrawan Ariwibowo
Dokter Internship RS IA Moeis dan Puskesmas Karang Asam, Samarinda,
Kalimantan Timur, Indonesia
ABSTRAK
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas primer, termasuk lima besar keganasan pada laki-laki di Indonesia. Tinjauan pustaka atas
buku dan jurnal sejak tahun 2002-2012 dilakukan untuk mengetahui faktor risiko karsinoma nasofaring. Faktor risiko dengan hubungan kuat
dan konsisten antara lain virus Epstein Barr (Epstein Barr Virus, EBV) dan riwayat keluarga dengan karsinoma nasofaring, faktor risiko dengan
hubungan sedang-kuat dan konsisten antara lain konsumsi ikan asin rutin dan genotip human leucocyte antigen kelas I. Faktor risiko dengan
kekuatan hubungan lemah-sedang, tidak selalu konsisten antara lain kurang makan sayur dan buah, merokok, infeksi saluran napas kronik,
makanan berpengawet lain. Faktor risiko dengan kekuatan hubungan lemah-sedang yang tidak konsisten antara lain inhalasi, obat herbal, debu
pekerjaan, formaldehid. Alkohol tidak berhubungan dengan risiko karsinoma nasofaring.
Kata kunci: virus Epstein Barr, faktor risiko, karsinoma nasofaring
ABSTRACT
Nasopharyngeal carcinoma is among i ve major malignancies in Indonesia and the primary malignant tumor in men. Literature review was
conducted to study the risk factors for nasopharyngeal carcinoma using books and journals since 2002-2012. Risk factors with a strong and
consistent correlation: Epstein Barr Virus (EBV) and family history of nasopharyngeal carcinoma. Risk factors with moderate to strong and
consistent correlation: regular consumption of salted i sh and human leukocyte antigen class I genotypes. Risk factors with weak to moderate
correlation, less consistent: less fruit and vegetables consumption, smoking, chronic respiratory tract infections, and preserved foods. Risk
factors with weak correlation, not consistent: inhalation, herbal medicine, occupational exposures, formaldehyde. Alcohol was not associated
with nasopharyngeal carcinoma. Hendrawan Ariwibowo. Risk Factors of Nasopharyngeal Carcinoma.
Key words: Epstein Barr virus, risk factor, nasopharyngeal carcinoma
PENDAHULUAN
Kejadian karsinoma nasofaring termasuk
jarang di populasi dunia, sekitar kurang dari
satu per 100.000 penduduk per tahun, namun
relatif tinggi di Cina Selatan, Asia Tenggara
dan Afrika Utara.2,3 Perbandingan laki-laki
dan perempuan 2,2:1.3 Karsinoma nasofaring
lebih sering timbul pada ras Mongoloid.
Insiden di Cina Selatan dan Asia Tenggara
sekitar 20 sampai 40 per 100.000 jiwa per
tahun,4 tertinggi di provinsi Guangdong dan
wilayah Guangxi, Cina sebesar lebih dari 50
orang per 100.000 jiwa per tahun.5 Pada tahun
2002, tercatat 80.000 insiden karsinoma
nasofaring di seluruh dunia dengan sekitar
50.000 kematian, yang menjadikan kanker
paling sering nomor 3 di dunia dan kanker
no 4 paling sering di Hong Kong.10 Di Cina
karsinoma nasofaring meningkat setelah
umur 20 tahun dan menurun setelah umur
40 tahun, rata-rata berumur 40 dan 50
tahun.7 Karsinoma nasofaring merupakan
tumor ganas yang paling banyak dijumpai
di antara tumor ganas telinga hidung
tenggorok di Indonesia, termasuk dalam
lima besar tumor ganas dengan frekuensi
tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan
leher menduduki tempat pertama. Survei
Departemen Kesehatan pada tahun 1980
mendapatkan angka prevalensi karsinoma
nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau
diperkirakan 7.000 sampai 8.000 kasus
per tahun di seluruh Indonesia.11 Data
registrasi kanker di Indonesia berdasarkan
histopatologi tahun 2003 menunjukkan
bahwa karsinoma nasofaring menempati
urutan pertama dari semua tumor ganas
primer pada laki–laki dan urutan ke 8 pada
perempuan.12 Karsinoma nasofaring paling
sering di fossa Rosenmuller6 yang merupakan
daerah transisional epitel kuboid berubah
menjadi epitel skuamosa.11
Karsinoma nasofaring dibagi menjadi 3
tipe histopatologi berdasarkan klasii kasi
WHO 1991, tipe-1 (karsinoma sel skuamosa
berkeratin) sekitar 10%, tipe-2 (karsinoma
tidak berkeratin berdiferensiasi) sekitar 15%
dan tipe-3 (karsinoma tidak berkeratin tidak
berdiferensiasi), tipe yang ke-3 yang paling
sering muncul (75%).3
Gejala dan tanda karsinoma nasofaring
yang sering berupa benjolan di leher (78%),
obstruksi hidung (35,5%), epistaksis (27,5%)
dan diplopia.3 Termasuk adenopati leher,
epistaksis, otitis media efusi, gangguan
pendengaran unilateral atau bilateral,
hidung tersumbat, paralisis nervus kranial,
retrosphenoidal syndrome of Jacod (kesulitan
ekspresi wajah, masalah gerakan mata dan
rahang), retroparotidian syndrome of Villaret
(sulit mengunyah, gangguan gerakan lidah
dan leher), nyeri telinga yang menjalar.6
Alamat korespondensi email: hendrawan.ariwibowo@gmail.com
349CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
Seperempat pasien karsinoma nasofaring
mengalami gangguan nervus kranial, 28,8%
mengenai nervus V, 26,9 % mengenai nervus
VI dan 25% mengenai nervus X.3
Penegakan diagnosis pasti serta stadium
tumor dengan cara anamnesis/pemeriksaan
i sik, pemeriksaan nasofaring, biopsi
nasofaring, pemeriksaan patologi anatomi,
pemeriksaan radiologi, pemeriksaan neuro-
oftalmologi, pemeriksaan serologi.11
Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau
tanpa kemoterapi. Terapi kedua adalah
kemoterapi; kemoterapi sebagai terapi
tambahan pada karsinoma nasofaring dapat
meningkatkan hasil terapi, terutama diberikan
pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh. Terapi ketiga adalah operasi, berupa
diseksi leher radikal dan nasofaringektomi.
Diseksi leher dilakukan jika masih ada
sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya
kekambuhan kelenjar dengan syarat tumor
primer sudah dinyatakan bersih dibuktikan
dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.
Nasofaringektomi merupakan operasi paliatif
pada kasus-kasus kambuh atau adanya
residu di nasofaring yang tidak berhasil
diterapi dengan cara lain. Terapi keempat
adalah imunoterapi; dengan diketahuinya
kemungkinan penyebab virus Epstein-Barr,
penderita karsinoma nasofaring dapat diberi
imunoterapi.11
FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring
antara lain virus Epstein Barr, ikan asin, kurang
konsumsi buah dan sayuran segar, tembakau,
asap lain, alkohol, obat herbal, paparan
pekerjaan, paparan lain, familial clustering,
Human Leukocyte Antigen Genes, dan variasi
genetik lain.
1. Virus Epstein Barr
EBV merupakan faktor risiko mayor karsinoma
nasofaring. Sebagian besar infeksi EBV tidak
menimbulkan gejala2. EBV menginfeksi dan
menetap secara laten pada 90% populasi
dunia. Di Hong Kong, 80% anak terinfeksi
pada umur 6 tahun, hampir 100% mengalami
serokonversi pada umur 10 tahun. Infeksi
EBV primer biasanya subklinis. Transmisi
utama melalui saliva, biasanya pada negara
berkembang yang kehidupannya padat
dan kurang bersih. Limfosit B adalah target
utama EBV, jalur masuk EBV ke sel epitel masih
belum jelas, replikasi EBV dapat terjadi di sel
epitel orofaring10. Virus Epstein-Barr dapat
memasuki sel-sel epitel orofaring, bersifat
menetap (persisten), tersembunyi (laten)
dan sepanjang masa (life-long).12 Antibodi
Anti-EBV ditemukan lebih tinggi pada pasien
karsinoma nasofaring, pada pasien karsinoma
nasofaring terjadi peningkatan antibodi
IgG dan IgA, hal ini dijadikan pedoman tes
skrining karsinoma nasofaring pada populasi
dengan risiko tinggi.10
2. Ikan asin
Paparan non-viral yang paling konsisten dan
berhubungan kuat dengan risiko karsinoma
nasofaring adalah konsumsi ikan asin.
Konsumsi ikan asin meningkatkan risiko 1,7
sampai 7,5 kali lebih tinggi dibanding yang
tidak mengkonsumsi. Diet konsumsi ikan asin
lebih dari tiga kali sebulan meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring.7 Potensi karsinogenik
ikan asin didukung dengan penelitian pada
tikus disebabkan proses pengawetan dengan
garam tidak ei sien sehingga terjadi akumulasi
nitrosamin yang dikenal karsinogen pada
hewan10. Enam puluh dua persen pasien
karsinoma nasofaring mengkonsumsi secara
rutin makanan fermentasi yang diawetkan3.
Tingginya konsumsi nitrosamin dan nitrit dari
daging, ikan dan sayuran yang berpengawet
selama masa kecil meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring4. Delapan puluh delapan
persen penderita karsinoma nasofaring
mempunyai riwayat konsumsi daging asap
secara rutin3.
3. Buah dan Sayuran Segar
Konsumsi buah dan sayuran segar seperti
wortel, kobis, sayuran berdaun segar, produk
kedelai segar, jeruk, konsumsi vitamin E atau
C, karoten terutama pada saat anak-anak,
menurunkan risiko karsinoma nasofaring.
Efek protektif ini berhubungan dengan efek
antioksidan dan pencegahan pembentukan
nitrosamin.10
4. Tembakau
Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa
merokok menyebabkan kanker. Merokok
menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta
per tahunnya dan diperkirakan menjadi 10 juta
per tahunnya pada 2030.1 Rokok mempunyai
lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk
nitrosamin yang meningkatkan risiko terkena
karsinoma nasofaring2. Kebanyakan penelitian
menunjukkan merokok meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6
kali. Sekitar 60% karsinoma nasofaring tipe I
berhubungan dengan merokok sedangkan
risiko karsinoma nasofaring tipe II atau III tidak
berhubungan dengan merokok.10 Perokok
lebih dari 30 bungkus per tahun mempunyai
risiko besar terkena karsinoma nasofaring.
Kebanyakan penderita karsinoma nasofaring
merokok selama minimal 15 tahun (51%)
dan mengkonsumsi tembakau dalam bentuk
lain (47%).3 Merokok lebih dari 25 tahun
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring4.
Merokok lebih dari 40 tahun meningkatkan 2
kali lipat risiko karsinoma nasofaring9.
5. Asap lain
Beberapa peneliti menyatakan bahwa insidens
karsinoma nasofaring yang tinggi di Cina
Selatan dan Afrika Utara disebabkan karena
asap dari pembakaran kayu bakar10. Sembilan
puluh tiga persen penderita karsinoma
nasofaring tinggal di rumah dengan ventilasi
buruk dan mempunyai riwayat terkena asap
hasil bakaran kayu bakar3. Pajanan asap hasil
kayu bakar lebih dari 10 tahun meningkatkan
6 kali lipat terkena karsinoma nasofaring7.
6. Alkohol
Konsumsi alkohol tidak berhubungan dengan
peningkatan risiko karsinoma nasofaring10.
7. Obat Herbal
Pada populasi Asia, beberapa penelitian
melaporkan 2 sampai 4 kali lipat peningkatan
risiko karsinoma nasofaring karena pengguna-
an obat herbal tradisional, tetapi tiga penelitian
di Cina Selatan tidak menemukan hubungan
obat herbal dengan karsinoma nasofaring. Di
Filipina, penggunaan obat herbal tradisional
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring,
terutama pada orang yang mempunyai titer
antibodi anti-HBV tinggi.10
8. Pajanan Pekerjaan
Pajanan pekerjaan terhadap fume, asap, debu
atau bahan kimia lain meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring 2 sampai 6 kali lipat.
Peningkatan risiko karsinoma nasofaring
karena pajanan kerja terhadap formaldehid
sekitar 2 sampai 4 kali lipat, didukung oleh
penelitian pada tikus, terutama untuk tipe
I tetapi tidak untuk tipe II dan III7,10. Namun
sebuah meta-analisis dari 47 penelitian tidak
mendukung hubungan formaldehid dengan
karsinoma nasofaring.
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013350
TINJAUAN PUSTAKA
Stimulasi dan inl amasi jalan nafas kronik,
berkurangnya pembersihan mukosiliar, dan
perubahan sel epitel mengikuti tertumpuknya
debu kayu di nasofaring memicu karsinoma
nasofaring, paparan ke pelarut dan pengawet
kayu, seperti klorofenol juga memicu
karsinoma nasofaring. Paparan debu katun
yang hebat meningkatkan risiko karsinoma
nasofaring karena iritasi dan inl amasi
nasofaring langsung atau melalui endotoksin
bakteri. Paparan tempat kerja yang panas atau
produk bakaran meningkatkan dua kali lipat
risiko terkena karsinoma nasofaring10. Paparan
debu kayu di tempat kerja lebih dari 10 tahun
meningkatkan risiko terkena karsinoma
nasofaring4.
9. Pajanan Lain
Riwayat infeksi kronik telinga, hidung,
tenggorok dan saluran napas bawah me-
ningkatkan risiko karsinoma nasofaring se-
banyak dua kali lipat. Bakteri yang menginfeksi
saluran nafas dapat mengurai nitrat menjadi
nitrit, kemudian dapat membentuk bahan
N-nitroso yang karsinogenik. Di Taiwan,
kebiasaan mengunyah betel nut (Areca catechu)
selama lebih dari 20 tahun berhubungan
dengan peningkatan 70% risiko karsinoma
nasofaring. Sebuah penelitian ekologi di Cina
Selatan menemukan 2 sampai 3 kali lipat
kadar nikel di nasi, air minum, dan rambut
penduduk yang tinggal di wilayah yang tinggi
insiden karsinoma nasofaringnya. Penelitian
lain menyatakan bahwa kandungan nikel, zinc
dan cadmium pada air minum lebih tinggi
di wilayah yang tinggi insiden karsinoma
nasofaringnya. Kadar nikel pada air minum,
kadar elemen alkali seperti magnesium,
kalsium, strontium yang rendah pada tanah,
dan tingginya kadar radioaktif seperti thorium
dan uranium pada tanah berperan pada
mortalitas karsinoma nasofaring, namun
masih perlu dibuktikan dengan penelitian
epidemiologi analitik. Risiko karsinoma
nasofaring juga meningkat berhubungan
dengan makanan berpengawet lain seperti
daging, telur, buah dan sayur terutama di Cina
Selatan, Asia Tenggara, Afrika Utara/Timur
Tengah dan penduduk asli Artik.10
10. Familial Clustering
Kerabat pertama, kedua, ketiga pasien
karsinoma nasofaring lebih berisiko
terkena karsinoma nasofaring.7 Orang yang
mempunyai keluarga tingkat pertama
karsinoma nasofaring mempunyai risiko empat
sampai sepuluh kali dibanding yang tidak.8,10
Risiko kanker kelenjar air liur dan serviks uterus
juga meningkat pada keluarga dengan kasus
karsinoma nasofaring. Faktor risiko lingkungan
seperti ikan asin, merokok dan paparan pada
produk kayu meningkatkan level antibodi anti-
EBV dan beberapa polimorfasi genetik. Kasus
familial biasanya pada tipe II dan III, sedangkan
tipe I non familial.10
11. Human Leukocyte Antigen Genes
Di Cina Selatan dan populasi Asia lain,
Human Leukocyte Antigen-A2-B46 dan
B-17 berhubungan dengan peningkatan
dua sampai tiga kali lipat risiko karsinoma
nasofaring. Sebaliknya Human Leukocyte
Antigen-A11 menurunkan 30%-50% risiko
terkena karsinoma nasofaring pada ras Kulit
Putih dan Cina, B13 pada ras Cina, dan A2
pada ras Kulit Putih. Sebuah meta analisis
pada populasi di Cina Selatan menunjukkan
peningkatan karsinoma nasofaring pada HLA-
A2, B14 dan B46, dan penurunan karsinoma
nasofaring pada HLA-A11, B13 dan B22.10
12. Variasi Genetik Lain
Polimori di sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) dan
CYP2A6 dan ketiadaan Glutation S-transferase
M1 (GSTM1) dan atau GSTT1 berhubungan
dengan peningkatan risiko dua sampai lima
kali lipat terkena karsinoma nasofaring. Di
Thailand dan Cina, polimori pada polymeric
immunoglobulin receptor (PIGR), sebuah
reseptor permukaan sel memudahkan
masuknya EBV masuk ke epitel hidung dan
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.10
RANGKUMAN
Faktor risiko yang memiliki hubungan kuat
dan konsisten antara lain EBV dan riwayat
keluarga dengan karsinoma nasofaring,
sedangkan yang memiliki hubungan sedang-
kuat dan konsisten antara lain konsumsi
ikan asin rutin dan genotip HLA kelas I.
Faktor risiko yang tidak selalu konsisten
antara lain kurang makan sayur dan buah,
merokok, kondisi traktus pernafasan kronik,
makanan berpengawet lain dengan kekuatan
hubungan lemah-sedang. Faktor risiko yang
tidak konsisten/inkonsisten meningkatkan
faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain
inhalasi lain, obat herbal, debu pekerjaan,
formaldehid dengan kekuatan hubungan
lemah-sedang. Sedangkan alkohol tidak
berhubungan dengan peningkatan risiko
karsinoma nasofaring.
Tabel Rangkuman Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring10
No. Faktor Kekuatan Hubungan Konsistensi Hubungan Hubungan
1. EBV Kuat Konsisten Lebih konsisten berhubungan
dengan karsinoma nasofaring
tipe II dan III
2. Ikan Asin Sedang-Kuat Konsisten Hubungan lebih kuat jika
konsumsi rutin
3. Kurang makan buah dan
sayur segar
Sedang Tidak konsisten
4. Merokok Lemah-Sedang Tidak konsisten Hubungan lebih kuat dengan
karsinoma nasofaring tipe I
5. Inhalasi lain Lemah-Sedang Inkonsisten
6. Alkohol Lemah Tidak berhubungan
7. Obat Herbal Lemah-Sedang Inkonsisten
8. Debu Pekerjaan Lemah-Sedang Inkonsisten Lebih konsisten berhubungan
dengan paparan debu kayu
9. Kondisi traktus pernafasan
kronik
Sedang Tidak konsisten
10. Riwayat keluarga dengan
karsinoma nasofaring
Kuat Konsisten
11. Genotip HLA kelas I Sedang-Kuat Konsisten Inkonsisten berhubungan
dengan genotip HLA kelas II
12. Makanan berpengawet lain Sedang Tidak konsisten
13. Formaldehid Lemah-Sedang Inkonsisten
351CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
1. Vineis P, Alavanja M, Bul er P, Fontham E, Franceschi S,. Gao YT et al. Tobacco and Cancer: Recent Epidemiological Evidence. J Nat Cancer Inst. 2004; 96(2):99-106.
2. Hsu W-L, Chen J-Y, Chien Y-C, et al. Independent Ef ect of EBV and Cigarette Smoking on Nasopharyngeal Carcinoma: A 20-Year Follow-Up Study on 9,622 Males without Family History in
Taiwan. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2009;18:1218-26.
3. Sharma TD, Singh Th T, Laishram RS, Chandra Sharma LD, Sunita AK, Tiameren Imchen L. Nasopharyngeal Carcinoma - a Clinico-pathological Study in a Regional Cancer Centre of
Northeastern India. Asian Pacii c J Cancer Prev. 12, 1583-7.
4. Yang X, Diehl S, Pfeif er R, Chen C-J, Hsu W-L, Dosemeci M, et al. Evaluation of Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in Taiwan.
Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2005;14:900-5.
5. Shri JN.Mathur for the Indian Council of Medical Research, New Delhi. Epidemiological and Etiological Factors Associated with Nasopharyngeal Carcinoma. ICMR Of set Press, New Delhi.
2003; 33(9).
6. Lee N, Chan K. Benign & Malignant Lesions of The Nasopharynx. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2nd ed. McGraw-Hill Co, Inc. 2008. p
362-6.
7. Ondrey FG,.Wright SK. Neoplasms of the Nasopharynx. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. 2003. p 1407-22.
8. Guo X, Johnson RC, Deng H, Liao J, Guan L,. Nelson GW, et al.Evaluation of nonviral risk factors for nasopharyngeal carcinoma in a high-risk population of Southern China. Int. J. Cancer.
2009;124, 2942–7.
9. Friborg JT, Yuan J-M, Wang R, Koh W-P, Lee H-P, Yu MC. A Prospective Study of Tobacco and Alcohol Use as Risk Factors for Pharyngeal Carcinomas in Singapore Chinese. Cancer 2007. 109(
6): 1183-91.
10.. Chang ET, Adami H-O. The Enigmatic Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2006;15:1765-77.
11.. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. USU digital library 2002.
12. Yenita, Aswiyanti Asri. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1 Virus Epstein-Barr dengan P53 pada Karsinoma Nasofaring (Penelitian Lanjutan). Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(1).
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013352
TINJAUAN PUSTAKA
Diagnosis dan ManajemenAmyotrophic Lateral Sclerosis
Dito AnurogoNeuroscience Department, Brain Circulation Institute of Indonesia (BCII),
Surya University, Tangerang, Banten
ABSTRAK
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) merupakan penyakit neuron motorik degeneratif yang progresif. Memahami etiopatogenesis dan biomaker
adalah cara terbaik untuk memulai manajemen ALS. Temuan biomaker ALS baru-baru ini memunculkan harapan bagi penderita ALS. Aspek-
aspek komprehensif ALS dipaparkan, meliputi sejarah, epidenologi, etiopatogenesis, gambaran klinis, kriteria diagnostik, penekan penunjang,
diagnosis banding, penatalaksanaan, biomaker, dan komplikasi.
Kata Kunci: amyotrophic lateral sclerosis, etiopatogenesis, manajemen, biomaker
ABSTRACT
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) is a progressive, degenerative motor neuron disease. Understanding of etiopathogenesis and biomarker
is the best ways towards ALS management. The recent i nding of biomarker ALS of ers hope to ALS suf erers. A comprehensive aspects of
ALS have been discussed, including history, epidemiology, etiopathogenesis, clinical pictures, diagnostic criteria, supporting examination,
dif erential diagnosis, management, biomarker, and complication.
Key words: amyotrophic lateral sclerosis, etiopathogenesis, management, biomarker
INTRODUKSI
Penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
disebut juga motor neuron disease (MND),
Charcot disease, Lou Gehrig disease. ALS
adalah penyakit neurologis progresif yang
dikarakterisasikan oleh degenerasi UMN dan
LMN (upper and lower motor neuron). ALS
pertama kali diobservasi oleh neurologist Jean-
Martin Charcot pada tahun 1869, barulah pada
tahun 1874, terminologi ALS diperkenalkan.
Penyakit ini menjadi populer setelah pemain
baseball, Lou Gehrig, didiagnosis menderita
ALS pada tahun 1939. Sejumlah 90-95% kasus
penyebabnya belum diketahui.1
EPIDEMIOLOGI
Di seluruh dunia, ALS dialami oleh 1 dari 3
orang per 100.000 ribu. Di Eropa, insiden
tahunan adalah 2,16 per 100 ribu orang/
tahun. Di Indonesia, belum ada data pasti.
Rasio pria:wanita adalah 1,5:1, pada ALS familial
rasio ini hampir sama. Sekitar 5-10% kasus
ALS diwariskan. Pada ALS tipe familial, usia
terbanyak adalah 47–52 tahun. Pada ALS tipe
sporadik, usia terbanyak adalah 58–63 tahun.2,3
Kematian dapat terjadi dalam rentang waktu
3-5 tahun setelah diagnosis. Hanya 1 dari 4
penderita ALS yang dapat bertahan hidup
lebih dari 5 tahun setelah diagnosis. Sebagian
besar penderita ALS meninggal dunia karena
gagal nafas (respiratory failure), rata-rata 3
tahun atau sekitar 2-4 tahun setelah onset,
beberapa penderita dapat bertahan hidup
hingga satu dasawarsa atau lebih.4
ETIOPATOGENESIS
Penyebab pasti ALS belum diketahui. Terdapat
beragam hipotesis tentang etiologi yang masih
kontroversial: merokok sigaret, diet tinggi lemak
atau tinggi glutamat, berpartisipasi di perang
Teluk.5,6 Faktor lingkungan intoksikasi timah dan
merkuri juga diduga penyebab ALS. Asumsi ini
bermula dari tingginya insiden ALS di pulau
Guam pada tahun 1945. Begitu pula kondisi
eksitotoksik asam-asam amino, terutama
glutamat, sempat diduga kuat menyebabkan
ALS. Hipotesis ini memerlukan riset lanjutan,
mengingat beberapa paparan lingkungan
dapat mengubah genetic programming melalui
mekanisme epigenetik. 5-7
Beberapa studi menunjukkan bahwa pada
ALS terjadi degenerasi neuron motorik akibat
apoptosis, yang dipicu oleh stres oksidatif dan
disfungsi mitokondria. Disfungsi kemampuan
sel-sel saraf untuk mengendalikan stres oksidatif
juga terjadi pada ALS familial yang disebabkan
karena mutasi gen yang mengkode cytosolic
antioxidant enzyme copper/zinc superoxide
dismutase (SOD1). 5,6 Neuroinl amasi jelas
berperan pada ALS. Sitokin proinl amasi yang
meningkat pada neuron-neuron motorik
berdegenerasi juga memicu inl amasi
mikroglia. Pada ALS sporadis, terjadi akumulasi
proses neurodegeneratif yang kompleks.8
Terdapat neuron-neuron motorik yang rentan,
dibuktikan dengan adanya neuronal inclusions,
termasuk untai ubikuitin (ubiquitinated skeins)
atau Lewy-like formations dan Bunina bodies.
Struktur ini dijumpai pada sebagian besar
penderita ALS sporadik. Pada ALS familial,
dijumpai bentuk berbeda, yaitu hyaline
conglomerate yang termasuk neuroi lamen
dan tidak mengandung ubiquitin.8Antigen
neuron di dalam inclusions yang dikenal oleh
antibodi untuk ubiquitin telah teridentii kasi
sebagai TDP-43 (protein yang dijumpai pada
HIV). Mutasi pada gen TDP-43 (TARDBP)
telah teridentii kasi sebagai penyebab ALS
tipe sporadik dan familial. Identii kasi TDP-
43 penting di dalam menegakkan diagnosis
postmortem ALS.8
Alamat korespondensi email: ditoanurogo@gmail.com
353CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
Penemuan mutasi patogenik pada TARDBP
mengimplikasikan TDP-43 sebagai mediator
aktif neurodegenerasi pada proteinopati TDP-
43, termasuk ALS.9 Hal lain yang menarik, terjadi
kehilangan selektif EAAT 2, astrocyte-selective
glutamate transporter, di bagian motor cortex
dan spinal cord penderita yang meninggal
dunia karena ALS.10 Riset molekuler berhasil
mengungkap 12 gen/lokus kausatif pada
ALS familial, misalnya: (1) ALS1/21q22.1, (2)
ALS2/2q33-35, (3) ALS3/18q21, (4) ALS4/9q34,
(5) ALS5/15q15-q22, (6) ALS6/16q15-q22, (7)
ALS7/20ptel, (8) ALS8/20q13.33, (9) ALS9/14q11,
(10) ALS10/1q36, (11) ALS-FTD/9q21-22, (12)
ALS-FTD/9p13.2-21,3. Sedangkan untuk ALS
sporadik, beberapa gen yang rentan, misalnya:
SOD1, HFE (human hemochromatosis protein),
MAPT (microtubule-associated protein tau),
NEFH (neuroi lament, heavy polypeptide), PRPH
(peripherin), DCT1 (divalent cation transporter
1), PON 1-3 (paroxonase 1-3), Progranulin, ANG
(angiogenin, ribonuclease, RNase A family, 5),
APEX, SMN1 (survival of motor neuron-1), SMN2,
TDP-43, UNC13A.1
BIOMARKER
Biomarker yang ideal dapat mendeteksi ciri
atau karakteristik fundamental patoi siologi
suatu penyakit sekaligus mampu membedakan
penyakit dari kondisi lainnya dengan nilai
prediktif positif dan negatif yang diterima.
Uji dan pemeriksaan biomarker haruslah
sederhana dan mudah, relatif noninvasive,
murah, terpercaya, akurat, mudah direproduksi
di semua laboratorium.42 Teknologi terbaru
dengan platform (teknik) “omics”, seperti:
genomics, transcriptomics, proteomics dan
metabolomics berupaya menemukan biomarker
ALS.43 Beragam teknologi ini, memungkinkan
identii kasi biomarker yang tervalidasi, yang
berasal dari jaringan otak, sel-sel, dan cairan
tubuh.44
Untuk memeriksa klasii kasi pola protein yang
canggih pada cairan serebrospinal, digunakan
alat liquid chromatography-Fourier transform
ion cyclotron resonance mass spectrometry (LC-
FTICR-MS) kapiler.46 Ditemukan mutasi genetik
dan perubahan protein spesii k pada cairan
biologis atau biol uids (misalnya: cerebrospinal
l uid dan darah) dan/atau jaringan penderita
ALS. Contoh biomarker ALS adalah TDP-
43 (TAR DNA-binding protein 43 kDa),
phosphorylated neuroi lament heavy subunit
(pNF-H), neuroi lament light chain (NFL).47 TAR
DNA binding protein of 43 kDa (TDP-43) adalah
protein khas utama pada penderita ALS. TDP-43
diukur dari cairan serebrospinal dengan metode
ELISA. Rendahnya kadar TDP-43 menunjukkan
akumulasi TDP-43 di neuron motorik kortikal
dan spinal sehingga kelangsungan hidup
menjadi lebih pendek, meskipun hasil ini
memerlukan riset prospektif lanjutan. Proses
immunoreactivity TDP-43 di jaringan otak yang
berkaitan dengan penyakit direl eksikan oleh
peningkatan kadar TDP-43 di CSF. Dengan
analisis receiver operating characteristic (ROC),
diketahui bahwa sensitivitas TDP-43 mencapai
59,3% dan spesii sitasnya mencapai 96%.48,49
pNF-H adalah suatu komponen struktural
utama di akson motorik. Pada ALS, dijumpai
peningkatan konsentrasi pNF-H di plasma,
serum, dan cairan serebrospinal. Hal ini berkaitan
erat dengan laju perkembangan penyakit.50
Kadar neuroi lament light chain (NFL) pada
cairan serebrospinal digunakan sebagai
parameter aktivitas dan proses perjalanan
penyakit. Tingginya kadar NFL pada penderita
ALS menunjukkan proses neurodegenerasi
yang terjadi pada ALS.51
Penggunaan berbagai protein biomarker
bertujuan untuk menegakkan diagnosis secara
cepat, memfasilitasi intervensi terapeutik yang
efektif dan memantau efektivitas obat. Selain
itu, kombinasi berbagai biomarker bermanfaat
sebagai efek terapeutik dini.
GAMBARAN KLINIS
Secara klinis, ALS dapat diketahui dari
adanya gangguan LMN (lower motor neuron)
berupa: kelemahan, otot mengecil (wasting),
kedutan (fasciculation) dan gangguan UMN
(upper motor neuron) berupa: rel eks tendon
hiperaktif, tanda Hof mann, tanda Babinski,
atau klonus di anggota gerak yang sama.8
ALS dimulai dengan fasikulasi, kelemahan
ekstremitas, salah bicara (keseleo lidah). Pada
akhirnya, ALS mempengaruhi kemampuan
untuk mengendalikan otot yang diperlukan
untuk bergerak, berbicara, makan, dan bernafas.11
Kondisi sistem saraf penderita (neurological
status) dapat dinilai dengan kuesioner revised
ALS Functional Rating Scale (ALSFRS-r).19
Disfungsi kognitif dialami oleh 20–50%
penderita ALS, dan 3–15% berkembang
menjadi dementia yang dikategorikan sebagai
frontotemporal lobar degeneration (FTLD).12
Gejala ALS biasanya belum tampak hingga
penderita berusia 50 tahun, namun bisa
muncul perlahan di usia muda. Penderita ALS
biasanya kehilangan kekuatan dan koordinasi
otot sehingga sulit melakukan aktivitas harian,
seperti: naik tangga, berdiri dari kursi, menelan,
dsb. Otot-otot menelan dan pernafasan
adalah yang pertama kali diserang ALS.
Makin memburuk, makin banyak kelompok
otot yang terkena. ALS tidak mempengaruhi
panca indera (penglihatan, penghidu, perasa/
pengecap, pendengaran, peraba). ALS jarang
menyerang fungsi kandung kemih, organ
perut, gerak mata, kemampuan berpikir. Gejala
ALS antara lain: sulit bernafas, sulit menelan,
mudah merasa tercekik, mengeluarkan air liur,
tersumbat, kram otot, kepala lunglai (mudah
terkulai) karena lemahnya otot leher, kontraksi
otot (fasciculation), kelemahan otot yang
memburuk, umumnya pertama kali terkait
dengan satu anggota tubuh seperti lengan atau
tangan; menjadi paralisis, sulit mengangkat,
menaiki anak tangga, berjalan. Kesulitan
berbicara, seperti: pola bicara abnormal atau
perlahan, perkataan menyatu/kacau (slurring
of words), perubahan suara, serak/parau
(hoarseness). Berat badan turun.13-14
Potret klinis gangguan pernafasan pada
penderita ALS terdiri dari beberapa tanda dan
gejala seperti: bernafas cepat, penggunaan
otot-otot bantu pernafasan, pergerakan
abdomen yang berlawanan (paradox),
berkurangnya gerakan dada, batuk encer atau
melemah, berkeringat, takikardi, penurunan
berat badan, bingung (confusion), halusinasi,
pusing atau sensasi berputar (dizziness),
papilloedema (jarang), pingsan (syncope),
mulut kering. Gejala lain, seperti: sesak nafas
saat beraktivitas atau berbicara, orthopnoea,
sering terbangun di malam hari, mengantuk
berlebihan dan lelah di siang hari, sulit
membersihkan sekresi, nyeri kepala di pagi
hari, nocturia, depresi, selera makan berkurang
bahkan hilang, konsentrasi dan/atau memori
berkurang.15
KRITERIA DIAGNOSTIK16,17
Kriteria positif
Diagnosis ALS memerlukan adanya: (1) Tanda-
tanda LMN (termasuk gambaran EMG di otot
yang tidak terpengaruh secara klinis). (2)
Tanda-tanda UMN. (3) Perkembangan gejala
dan tanda klinis. Diagnosis ALS didukung
oleh: (1) Fasikulasi pada satu bagian atau
lebih. (2) Perubahan neurogenik pada EMG. (3)
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013354
TINJAUAN PUSTAKA
Konduksi nervus sensoris dan motoris normal.
(4) Ketiadaan conduction block.
DIAGNOSIS EKSKLUSI
Pada ALS tidak dijumpai: (1) Gangguan
sensoris. (2) Gangguan sphincter (3) Gangguan
visual. (4) Gangguan otonom. (5) Disfungsi
ganglia basal. (6) Demensia tipe Alzheimer.
Diagnosis ALS ditegakkan secara klinis yang
memerlukan waktu beberapa bulan.
DIAGNOSIS BANDING
Beberapa penyakit yang menyerupai ALS,
seperti: 18,21-23
A. Ketidaknormalan anatomis/sindrom
kompresi, seperti: (1) Arnold-Chiari–1 dan
malformasi hindbrain lainnya, (2) tumor
regio fossa posterior, servikal, atau foramen
magnum, (3) herniasi diskus servikal dengan
osteokondrosis, (4) meningioma servikal, (5)
tumor retrofaring, (6) kista spinal epidural, (7)
mielopati spondilotik dan/atau radikulopati
motorik, (8) syringomyelia.
B. Defek enzim (acquired), seperti: (9)
gangliosidosis GM2 dewasa (dei siensi
hexosaminidase-A atau -B), (10) polyglucosan
body disease.
C. Sindrom otoimun, seperti: (11) gamopati
monoklonal dengan neuropati motorik,
(12) neuropati motorik multifokal dengan/
tanpa hambatan konduksi, (13) sindrom LMN
disimun (dengan antibodi GM1, GD1b, dan
asialo-GM1), (14) sindrom LMN dys-immune
lainnya termasuk CIDP, (15) multiple sclerosis,
(16) myasthenia gravis (terutama varian anti-
MuSK positif ).
D. Abnormalitas endokrin, seperti: (17)
sindrom Allgrove, (18) diabetic ‘amyotrophy’,
(19) insulinoma menyebabkan neuropati,
(20) hipertiroidisme dengan miopati,
(21) hipotiroidisme dengan miopati,
(22) hiperparatiroidisme (primer), (23)
hiperparatiroidisme (sekunder karena
dei siensi vitamin D), (24) hipokalaemia
(sindrom Conn).
E. Infeksi, seperti: (25) poliomielitis akut,
(26) sindrom atroi muskuler progresif paska-
poliomielitis, (27) HIV-1 (dengan mielopati
vakuolar), (28) HTLV-1 associated myelopathy
(HAM, tropical spastic paraplegia), (29)
neuroborreliosis, (30) syphilitic hypertrophic
pachymeningitis, (31) spinal encephalitis
lethargica, (32) varicella-zoster, (33) trichinosis,
(34) brucellosis, (35) cat-scratch disease, (36)
prion disorders.
F. Miopati, seperti: (37) miopati cachectic,
(38) miopati karsinoid, (39) dystrophin-dei cient
myopathy, (40) inclusion body myositis (IBM),
(41) inl ammatory myopathies, (42) miopati
nemaline, (43) polimiositis, (44) miositis
sarkoid.
G. Sindrom neoplastik, seperti: (45) leukemia
limfositik kronis, (46) glioma intrameduler,
(47) gangguan limfoproliferatif dengan
paraproteinaemia dan/atau oligoclonal bands
di cairan serebrospinal, (48) sindrom tumor
Pancoast, (49) paraneoplastic encephalomyelitis
(PEM) dengan keterlibatan anterior horn cell,
(50) sindrom stif -person-plus (SPS).
H. Cedera i sik, seperti: (51) electric shock
neuronopathy, (52) radiation-induced radiculo-
plexopathies dan/mielopati.
I. Gangguan vaskuler, seperti: (53)
arteriovenous malformation (AVM), (54)
Dejerine anterior bulbar artery syndrome, (55)
stroke, (56) vaskulitis.
J. Kondisi neurologis lainnya, seperti: (57)
bentuk atipikal MND/ALS Pasii k barat (Guam,
New Guinea, Kii Peninsula Jepang), (58)
bentuk atipikal Karibia dari MND-dementia-
psp (Guadeloupe), (59) bentuk Madras dari
MND/ALS onset anak (India selatan), (60)
demensia frontotemporal dengan MND/ALS
(termasuk penyakit Pick dengan amiotroi ),
(61) multiple system atrophy (MSA), (62)
sindrom OPCA (olivo-ponto cerebellar atrophy),
(63) primary lateral sclerosis (PLS; beberapa
subtipe tidak berkaitan dengan ALS), (64)
progressive encephalomyelitis with rigidity
(PER), (65) progressive supranuclear palsy (PSP),
(66) hereditary spastic paraplegia (HSP; banyak
varian, beberapa subtipe dengan amiotroi
distal), (67) progressive spinal muscular atrophy
(PMA; beberapa subtipe tidak berkaitan
dengan ALS), (68) spinobulbar muscular atrophy
(SBMA) dengan/tanpa dynactin atau mutasi
reseptor androgen, (69) SMA (spinal muscular
atrophy) I-IV, (70) sindrom Brown-Vialetto-van
Laere (ALS spinal dan bulbar onset dini dengan
tuli sensorineural), (71) sindrom Fazio-Londe
(PBP infantil), (72) sindrom Harper-Young (SMA
distal dan laringeal), (73) monomelic sporadic
spinal muscular atrophy (termasuk sindrom
Hirayama), (74) polineuropati dengan dominasi
gejala motorik (seperti HMSN tipe 2, HMN tipe
5), (75) familial amyloid polyneuropathy (FAP),
(76) benign fasciculations, (77) myokymia.
K. Toksin eksogen, misalnya: (78) intoksikasi
timah, (79) intoksikasi merkuri, (80) intoksikasi
kadmium, (81) intoksikasi aluminium, (82)
intoksikasi arsen, (83) intoksikasi thallium, (84)
intoksikasi mangan, (85) intoksikasi pestisida
organik, (86) intoksikasi neurolathyrism, (87)
intoksikasi konzo.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang
direkomendasikan untuk diperiksa pada dugaan
ALS, antara lain: (1) darah [laju endap darah,
C-reactive protein, screening hematologi, SGOT,
SGPT, LDH, hormon TSH, FT4, FT3, vitamin B12
dan folat, serum protein elektroforesis, serum
imunoelektroforesis, creatine kinase, kreatinin,
elektrolit (Na+, K+, Cl-, Ca2+, PO43-), glukosa], (2)
neuroi siologi (EMG, kecepatan konduksi saraf ),
(3) radiologi [MRI/CAT (kepala/servikal, torakal,
lumbal), rontgen dada].18
Pemeriksaan laboratorium yang di-
rekomendasikan pada kasus ALS tertentu: (1)
darah: angiotensin converting enzyme (ACE),
laktat, assay hexoaminidase A dan B, antibodi
ganglioside GM-1, anti-Hu, anti-MAG, RA, ANA,
anti-DNA, antibodi anti-AChR, anti-MUSK,
serologi (Borrelia, virus termasuk HIV), analisis
DNA. (2) Pemeriksaan cairan serebrospinal,
seperti: hitung sel, sitologi, konsentrasi
protein total, glukosa, laktat, elektroforesis
protein termasuk indeks IgG, serologi
(Borrelia, virus), antibodi gangliosida. (3)
Pemeriksaan urin: kadmium, timah (sekresi 24
jam), raksa, mangan, imunoelektroforesis urin.
(4) Pemeriksaan neuroi siologi, seperti: MEP.
Pemeriksaan elektrodiagnostik berkontribusi
terhadap ketepatan diagnosis. (5) Pemeriksaan
radiologi, seperti: mammography. (6) Biopsi;
otot, saraf, sumsum tulang, limfonodi.18
Tidak ada abnormalitas laboratorium yang
patognomonik untuk ALS. Diagnosis klinis
sebaiknya dikoni rmasikan dengan EMG yang
menunjukkan bukti active denervation pada
sekurangnya tiga anggota gerak. Kecepatan
konduksi saraf normal atau hampir normal.
Protein cairan serebrospinal meningkat di atas
50 mg/dL pada 30% penderita dan di atas 75
mg/dL pada 10% penderita; angka yang lebih
tinggi dapat dijumpai pada kasus monoclonal
gammopathy atau limfoma. Gammopathy
dijumpai pada 5-10% penderita dengan
metode sensitif, seperti: immunoi xation
electrophoresis.8
Untuk kepentingan riset, dapat diperiksa IgG
antibodies against light (NFL) and medium (NFM)
subunits dari neuroi lamen menggunakan
ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)
355CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
dari contoh serum dan cerebrospinal l uid (CSF)
penderita ALS. Dijumpai peningkatan kadar
serum anti-NFL. OX40 (CD134) adalah sitokin
anggota keluarga reseptor TNF (tumor necrosis
factor) dan diekspresikan secara selektif pada
limfosit T yang teraktivasi. Penurunan kadar
serum soluble OX40 (sOX40) pada penderita
ALS membuktikan bahwa sitokin ini berperan
pada perjalanan penyakit (pathomechanisms)
ALS.20
PENATALAKSANAAN
Direkomendasikan riluzole (suatu antagonis
glutamat) 50 mg dua kali sehari, dengan
pemantauan teratur. Pemberian 100 mg
riluzole oral setiap hari setelah 18 bulan
memperpanjang harapan hidup penderita
ALS sekitar tiga bulan. Efek samping riluzole
adalah fatigue dan asthenia. Hingga kini,
belum ada terapi efektif untuk ALS.24-25
Berbagai obat yang sedang memasuki
trial fase II/III: arimoclomol, ceftriaxone,
edaravone, IGF-1 polypeptide, minocycline,
sodium phenylbutyrate, tamoxifen,
thalidomide. Sedangkan obat yang sedang
dipertimbangkan dan direncanakan
memasuki trial fase III: AEOL 10150, celastrol,
coenzyme Q10, copaxone, IGF-1 – viral delivery,
memantine, NAALADase inhibitor, nimesulide,
ritonavir, hydroxyurea, scriptaid, talampanel,
trehalose.18
Status nutrisi penderita ALS juga perlu
dievaluasi, mengingat sering terjadi disfagia,
hipermetabolisme, serta beragam penyakit.
Tatalaksana nutrisi termasuk diet, strategi
menelan, kemungkinan dipasang selang
makanan langsung ke lambung (gastrostomy
tube placement), dan suplementasi berupa
vitamin dan mineral.26
Medikasi simtomatis untuk mengatasi
spastisitas yang mengganggu aktivitas harian
adalah pemberian baclofen atau diazepam.
Untuk mengatasi produksi saliva berlebihan
(sialorrhea) dapat diberi trihexyphenidyl atau
amitriptyline. Bila refrakter, dapat diberi injeksi
botulinum toxin type B di kelenjar parotid
dan submandibular, amitriptyline, atau
antikolinergik. Terapi radiasi dengan dosis
7–7,5 Gy bilateral efektif mengurangi produksi
saliva, namun ada efek samping, seperti:
erythema, sore throat, dan mual. 27-30
Depresi diatasi dengan antidepresan, misalnya:
amitriptyline atau golongan SSRI. Insomnia
diatasi dengan amitriptyline atau golongan
hipnotik, seperti: zolpidem, diphenhydramine.
Cemas (anxiety) diatasi dengan bupropion
atau diazepam 0,5 mg 2-3 kali sehari, atau
lorazepam sublingual.31
Pseudobulbar af ect, menangis-tertawa
berlebihan, atau gangguan ekspresi emosional
involunter dialami 20–50% penderita ALS,
terutama pada kasus pseudobulbar palsy.32 Kom-
binasi 30 mg dextromethorphan dan 30 mg
quinidine BID efektif mengatasi pseudobulbar
af ect. Efek samping yang sering terjadi adalah
dizziness, nausea, dan somnolen.33
Gunakan oksigen hanya pada kasus hipoksia
simtomatis. Untuk mengatasi terminal
restlessness dan confusion karena hypercapnia,
digunakan neuroleptik (chlorpromazine 12,5
mg setiap 4 hingga 12 jam p.o., i.v. atau p.r.).
Untuk dyspnoea dan/atau nyeri refrakter,
digunakan opioid dosis tunggal atau di-
kombinasi dengan benzodiazepine jika disertai
cemas. Titrasi dosis tidak akan mengakibatkan
depresi saluran pernapasan.34-35
Komplikasi pernafasan adalah penyebab
umum morbiditas dan mortalitas penderita
ALS. Tatalaksana insui siensi saluran
pernapasan dengan ventilasi noninvasif
meningkatkan kualitas dan kelangsungan
hidup penderita ALS.36
Terapi Recombinant human insulin-like growth
factor (rhIGF-I) - protein manusia yang
dimodii kasi secara genetik - diharapkan
dapat meningkatkan dan memperkuat
kelangsungan hidup neuron motorik pada
ALS. Diberikan setiap hari melalui injeksi
subkutan.37 Terapi stem cell menjanjikan,
namun efektivitasnya masih memerlukan riset
lanjutan.38
KOMPLIKASI
ALS dapat menyebabkan terjadi berbagai
komplikasi, yaitu: aspirasi, penurunan
kemampuan perawatan diri, gagal paru-paru,
berat badan menurun, pressure sores, dan
pneumonia.52
RINGKASAN
Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) adalah
penyakit degeneratif motor neuron yang
progresif. Pemahaman etiopatogenesis
penting dalam penatalaksanaan penyakit ini.
Studi biomarker diharapkan dapat memberi
harapan baru bagi penderitanya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hardiman, Orla (February 2010) Amyotrophic Lateral Sclerosis. In: Encyclopedia of Life Sciences (ELS). John Wiley & Sons, Ltd: Chichester. DOI: 10.1002/9780470015902.a0000014.pub2
2. Ringholz GM, Appel SH, Bradshaw M, Cooke NA, Mosnik DM, Schulz PE. Prevalence and patterns of cognitive impairment in sporadic ALS. Neurology 2005;65(4):586–590.
3. Haverkamp LJ, Appel V, Appel SH. Natural history of amyotrophic lateral sclerosis in a database population. Validation of a scoring system and a model for survival prediction. Brain.
1995;118:707–19.
4. Forsgren L, Almay BG, Holmgren G, Wall S. Epidemiology of motor neuron disease in northern Sweden. Acta Neurol Scand. 1983;68:20–9.
5. Beal FM. Mitochondria take center stage in aging and neurodegeneration. Ann Neurol 2005;58:495–505.
6. Rosen DR, et al. Mutations in Cu/Zn superoxide dismutase gene are associated with familial amyotrophic lateral sclerosis. Nature 1993;362:59–62.
7. Stefanska B, Karlic H, Varga F, Fabianowska-Majewska K, Haslberger AG. Epigenetic mechanisms in anti-cancer actions of bioactive food components – the implications in cancer preven-
tion. British J Pharmacol 2012;167:279–297.
8. Rowland LP, Mitsumoto H, Przedborski S. Amyotrophic Lateral Sclerosis, Progressive Muscular Atrophy, and Primary Lateral Sclerosis. In: Rowland LP, Pedley TA (Ed.) Merritt’s Neurology,
12th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2010. Chapter 128, page 803-8.
9. Van Deerlin VM, Leverenz JB, Bekris LM, Bird TD, Yuan W, Elman LB, et al. TARDBP mutations in amyotrophic lateral sclerosis with TDP-43 neuropathology: a genetic and histopathological
analysis. The Lancet Neurology. May 2008;7(5):409-416.
10. Squire L, Berg D, Bloom F, du Lac S, Ghosh A, Spitzer N. (Ed.) Fundamental Neuroscience. 3rd Edition. Elsevier. 2008. page 284.
11. Jokelainen M. Amyotrophic lateral sclerosis in Finland. II: Clinical characteristics. Acta Neurol Scand. 1977;56:194–204.
12. Abrahams S, Goldstein LH, Kew JJ, Brooks DJ, Lloyd CM, Frith CD, et al. Frontal lobe dysfunction in amyotrophic lateral sclerosis. A PET study. Brain. 1996;119:2105–20.
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013356
TINJAUAN PUSTAKA
13. Murray B, Mitsumoto H. Disorders of upper and lower motor neurons.In: Darof RB, Fenichel GM, Jankovic J, eds. Bradley’s Neurology in Clinical Practice. 6th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2012:chapter 74.
14. Shaw PJ. Amyotrophic lateral sclerosis and other motor neuron diseases. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011:chapter 418.
15. Leigh PN, Abrahams S, Al-Chalabi A, Ampong MA, Goldstein LH, Johnson J, et al., King’s MND Care and Research Team. The management of motor neuron disease. J Neurol Neurosurg
Psychiatry.2003;70(Suppl 4):32–47.
16. Brooks BR, Miller RG, Swash M. El Escorial revisited: revised criteria for the diagnosis of amyotrophic lateral sclerosis. Amyotroph Lateral Scler Other Motor Neuron Disord. 2000;1:293–9.
17. Miller RG, Rosenberg JA, Gelinas DF, Mitsumoto H, Newman D, Sui t R. et al. Practice parameter: the care of the patient with amyotrophic lateral sclerosis (an evidence-based review): report
of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology: ALS Practice Parameters Task Force. Neurology. 1999;52:1311–23.
18. Andersen PM, Borasio GD, Dengler R, Hardiman O, Kollewe K, Leigh PN, Pradat PF, Silani V, Tomik B. EFNS task force on management of amyotrophic lateral sclerosis: guidelines for diagnos-
ing and clinical care of patients and relatives. An evidence-based review with good practice points. European Journal of Neurology 2005;12:921–38.
19. Fialová L, Svarcová J, Bartos A, Ridzon P, Malbohan I, Keller O, Rusina R. Cerebrospinal l uid and serum antibodies against neuroi laments in patients with amyotrophic lateral sclerosis. Eur
J Neurol. 2010 Apr;17(4):562-6. Epub 2009 Nov 24.
20. Iłzecka J. Serum soluble OX40 in patients with amyotrophic lateral sclerosis. Acta Clin Croat. 2012 Mar;51(1):3-7.
21. Evangelista T, Carvalho M, Conceicao I, Pinto A, de Lurdes M, Luis ML. Motor neuropathies mimicking amyotrophic lateral sclerosis/motor neuron disease. J Neurol Sci
1996;139(Suppl):95–8.
22. Traynor BJ, Codd MB, Corr B, Forde C, Frost E, Hardiman O. Amyotrophic lateral sclerosis mimic syndromes. Arch Neurol 2000;57:109–13.
23. Belsh JM, Schif man PL. The amyotrophic lateral sclerosis (ALS) patient perspective on misdiagnosis and it repercussions. J Neurol Sci 1996;139(Suppl):110–6.
24. Bensimon G, Lacomblez L, Meininger V. A controlled trial of riluzole in amyotrophic lateral sclerosis. ALS/Riluzole Study Group N Engl J Med 1994;330:585–91.
25. Lacomblez L, Bensimon G, Leigh PN, Guillet P, Meininger V. Dose-ranging study of riluzole in amyotrophic lateral sclerosis: Amyotrophic Lateral Sclerosis/Riluzole Study Group II. Lancet
1996;347:1425–31.
26. Braun MM, Osecheck M, Joyce NC. Nutrition assessment and management in amyotrophic lateral sclerosis. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2012 Nov;23(4):751-71.
27. Andersen PM, Gronberg H, Franze L, Funegard U. External radiation of the parotid glands signii cantly reduces drooling in patients with motor neuron disease with bulbar paresis. J Neurol
Sci 2001;191:111–4.
28. Jackson CE, Gronseth G, Rosenfeld J, et al. Randomized double-blind study of botulinum toxin type B for sialorrhea in ALS patients. Muscle Nerve 2008;39:137–43.
29. Levitsky G. Pharmacological therapy of sialorrhea in patients with motor neuron disease. ZH Neurol Psikhiar Im SS Kovsakova 2005;105:19 –22.
30. Harriman M, Morrison M, Hay J, Revonta M, Eisen A, Lentle B. Use of radiotherapy for control of sialorrhea in patients with amyotrophic lateral sclerosis. J Otolaryngol 2001;30:242–5.
31. Kurt A, Nijboer F, Matuz T, Kubler A. Depression and anxiety in individuals with amyotrophic lateral sclerosis: epidemiology and management. CNS Drugs 2007;21:279–91.
32. McCullagh S, Moore M, Gawel M, Feinstein A. Pathological laughing and crying in amyotrophic lateral sclerosis: an association with prefrontal cognitive dysfunction. J Neurol Sci
1999;169:43–8.
33. Brooks BR, Thisted RA, Appel SH, et al. Treatment of pseudobulbar af ect in ALS with dextromethorphan/quinidine: a randomized trial. Neurology 2004;63:1364–70.
34. Sykes N, Thorns A. The use of opioids and sedatives at the end of life. Lancet Oncology. 2003;4:312–8.
35. Mitsumoto H, Bromberg M, Johnston W, Tandan R, Byock I, Lyon M, et al. Promoting excellence in end-ol ife care in ALS. Amyotroph Lateral Scler. 2005;6:145–54.
36. Gruis KL, Lechtzin N. Respiratory therapies for amyotrophic lateral sclerosis: A primer. Muscle Nerve. 2012;46:313–31.
37. Beauverd M, Mitchell JD, Wokke JHJ, Borasio GD. Recombinant human insulin-like growth factor I (rhIGF-I) for the treatment of amyotrophic lateral sclerosis/motor neuron disease. Co-
chrane Database of Systematic Reviews 2012, Issue 11. Art. No.: CD002064. DOI: 10.1002/14651858.CD002064.pub3.
38. Silani V, Cova L, Corbo M, Ciammola A, Polli E. Stem-cell therapy for amyotrophic lateral sclerosis. Lancet. 2004;364:200–2.
39. De Gruttola VG, Clax P, DeMets DL, et al. Considerations in the evaluation of surrogate endpoints in clinical trials. Summary of a National Institutes of Health workshop. Control Clin Trials
2001;22:485–502.
40. Tokuda T.Biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis.Brain Nerve. 2012 May;64(5):515-23.
41. Turck CW (Ed.). Biomarkers for Psychiatric Disorders. Springer. 2008. Chapter 6, page 130.
42. Sunderland T, Gur RE, Arnold SE. The use of biomarkers in the elderly: current and future challenges. Biol Psychiatr 2005;58: 272–6.
43. Ludolph AC, Sperfeld AD. Preclinical trials: an update on translational research in ALS. Neurodegener Dis 2005;2(34):215–9.
44. Riley CP, Adamec J: Discovery of new biomarkers of cancer using proteomics technology. Current Cancer Therapy Reviews 2010:6.
45. Ekegren T, Hanrieder J, Bergquist J. Clinical perspectives of high-resolution mass spectrometry-based proteomics in neuroscience: exemplii ed in amyotrophic lateral sclerosis biomarker
discovery research. J Mass Spectrom. 2008 May;43(5):559-71.
46. Ryberg H, Bowser R. Protein biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis. Expert Rev Proteomics. 2008 Apr;5(2):249-62.
47. Bowser R, Cudkowicz M, Kaddurah-Daouk R. Biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis. Expert Rev Mol Diagn. 2006 May;6(3):387-98.
48. Steinacker P, Hendrich C, Sperfeld AD, Jesse S, von Arnim CAF, Lehnert S, et.al. TDP-43 in Cerebrospinal Fluid of Patients With Frontotemporal Lobar Degeneration and Amyotrophic Lateral
Sclerosis. Arch Neurol 2008 November;65(11):1481–7.
49. Noto Y, Shibuya K, Sato Y, Kanai K, Misawa S, Sawai S, Mori M, Uchiyama T, Isose S, Nasu S, Sekiguchi Y, Fujimaki Y, Kasai T, Tokuda T, Nakagawa M, Kuwabara S. Elevated CSF TDP-43 levels in
amyotrophic lateral sclerosis: specii city, sensitivity, and a possible prognostic value. Amyotroph Lateral Scler. 2011 Mar;12(2):140-3. Epub 2010 Dec 2.
50. Boylan KB, Glass JD, Crook JE, Yang C, Thomas CS, Desaro P, Johnston A, Overstreet K, Kelly C, Polak M, Shaw G. Phosphorylated neuroi lament heavy subunit (pNF-H) in peripheral blood
and CSF as a potential prognostic biomarker in amyotrophic lateral sclerosis. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2012 Oct 31. [Epub ahead of print]
51. Tortelli R, Ruggieri M, Cortese R, D’Errico E, Capozzo R, Leo A, Mastrapasqua M, Zoccolella S, Leante R, Livrea P, Logroscino G, Simone IL. Elevated cerebrospinal l uid neuroi lament light
levels in patients with amyotrophic lateral sclerosis: a possible marker of disease severity and progression. Eur J Neurol. 2012 Dec;19(12):1561-7.
52. A.D.A.M. Medical Encyclopedia. Amyotrophic lateral sclerosis. Last reviewed: 26 August 2012. Last accessed: 3 January 2013. Cited from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/
PMH0001708
357CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
TINJAUAN PUSTAKA
357
LAPORAN KASUS
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
PENDAHULUAN
Kanker payudara merupakan keganasan
yang paling sering diumpai pada wanita
dan merupakan keganasan penyebab
kematian terbanyak pada wanita.1 Kanker
payudara juga merupakan kanker yang
terbanyak ditemukan pada wanita hamil
dan menyusui,1,2 dengan angka kejadian 1
kasus dalam 3.000 kehamilan,3-6 peneliti lain
menyebutkan 3 dalam 10.000 kehamilan,2 dan
3% dari seluruh penderita kanker payudara
merupakan wanita hamil.2-4 Sekitar 7% wanita
penderita kanker payudara akan mengalami
kehamilan.3 Kanker payudara pada kehamilan
paling banyak ditemukan pada wanita yang
menunda kehamilan pada usia mencapai 30
sampai 40 tahunan.4 Usia terbanyak kanker
payudara dalam kehamilan pada 32 – 38
tahun.5-8
Kanker payudara pada kehamilan sering
ditemukan pada stadium lanjut. Ribeiro
dan Palmer melaporkan dari 88 pasien
kanker payudara dalam kehamilan, 19
pasien inoperabel, 69 pasien yang operabel
didapatkan 89% KGB (Kelenjar Getah Bening)
positif pada aksila ipsilateral. Holleb dan
Farrow melaporkan 72% KGB aksila positif dari
117 pasien, dibandingkan dengan hanya 40
– 50% KGB aksilla positif pada wanita kanker
payudara yang tidak hamil.1
ETIOLOGI
Penyebab kanker payudara secara pasti
belum diketahui.1,4 Kehamilan dan kanker
payudara merupakan dua kondisi biologis
yaitu jaringan berupa antigen yang ditolerir
oleh sistem imun tubuh. Belum ada bukti
bahwa kehamilan atau masa menyusui
Kanker Payudara dalam Kehamilan
Azamris
Bagian Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RS. Dr. M. Djamil,
Padang, Sumatera Barat, Indonesia
ABSTRAK
Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering dijumpai pada wanita dan merupakan keganasan terbanyak penyebab kematian
pada wanita, juga merupakan kanker yang terbanyak ditemukan pada wanita hamil dan menyusui, dengan angka kejadian 1 kasus dalam 3.000
kehamilan. Keterlambatan diagnosis kanker payudara pada kehamilan disebabkan karena perubahan parenkim dan peningkatan kandungan
air dalam payudara menyulitkan pemeriksaan klinis. Ultrasonograi dan mamograi dapat dilakukan dengan sedikit risiko pada perkembangan
fetus dilanjutkan dengan biopsi untuk menegakkan diagnosis. Pada kanker payudara stadium dini (I dan II) pada kehamilan trimester pertama,
dapat dilakukan modii ed radical mastectomy. Radiasi dilakukan setelah bayi lahir. Kemoterapi adjuvan tidak boleh diberikan pada trimester
pertama dan pada masa laktasi. Tindakan operasi dilakukan setelah ibu berhenti menyusui. Menyusui juga harus dihentikan bila dilakukan
kemoterapi. Dilaporkan 6 kasus kanker payudara dalam kehamilan selama 2 tahun di RS. Dr. M. Djamil Padang. Semua pasien berada pada
trimester ke III kehamilan. Semua kasus ditemukan pada stadium lanjut. Satu pasien dengan metastasis di paru. Lima pasien menjalani modii ed
radical mastectomy. Hanya dua pasien yang dapat dikemoterapi setelah partus. Pada 1 pasien anak lahir prematur. Satu pasien datang satu hari
setelah partus dan mastektomi dilakukan pada hari ke tujuh pasca persalinan.
Kata kunci: kanker payudara, kehamilan, mastektomi
ABSTRACT
Breast cancer is the most frequent cancer and cause of cancer death in women, and is also the most common cancer in pregnant and lactating
women, occurs in 1 of every 3,000 pregnancies, Breast changes during pregnancy make clinical assessment dii cult. Cancers are usually
detected at later stage. Ultrasound and a mammogram can be performed with little risk to the fetus. Biopsy is important for diagnosis. In the i rst
trimester of the pregnancy modii ed radical mastectomy is treatment of choice. Conservative surgery with radiation therapy has been used for
breast preservation. Adjuvant chemotherapy and radiation therapy should be avoided during the i rst trimester due to the risk of teratogenicity.
Chemotherapy may be given after the i rst trimester. Breast feeding should be stopped before surgery to make the breast smaller and lessen the
blood l ow. It should also be stopped if chemotherapy is planned. Six cases were reported in two years at dr. M. Djamil Hospital Padang. All cases
were in late stage. One patient has lung metastasis. Modii ed radical mastectomy was performed in i ve patients. Two patients had adjuvant
chemotherapy post partum. One patient had premature labour. One patient came i rst day after labour, and mastectomy was performed on
seventh day post partum. Azamris. Breast Cancer in Pregnancy.
Key words: breast cancer, pregnancy, mastectomy
Alamat korespondensi email: drazamrisspbank@yahoo.com
358
LAPORAN KASUS
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
merupakan etiologi atau menyebabkan
progresivitas kanker payudara.1,4 Perubahan
hormonal selama kehamilan seperti
peningkatan kortikosteroid sirkulasi akan
menyebabkan imunosupresi. Perubahan ini
secara teoritis mempercepat pertumbuhan
tumor, tetapi bukan penyebab utama.
Diperkirakan kanker payudara telah terjadi
beberapa bulan bahkan beberapa tahun
sebelum konsepsi kehamilan.
GAMBARAN KLINIS
Kanker payudara pada kehamilan sulit
didiagnosis karena adanya pembesaran
payudara selama kehamilan dan masa
menyusui.2-4 Selama kehamilan terjadi
peningkatan hormon estrogen dan
progesteron, payudara menjadi kencang
dan teraba multinodular. Massa pada
payudara menjadi sulit diraba dan sering
diragukan dengan hipertrofi payudara.1
Kelenjar Montgomery di sekitar areola
menjadi hitam dan areola sendiri akan
menjadi lebih gelap.4 Keterlambatan
diagnosis dilaporkan 5 sampai 15 bulan
sejak keluhan pertama kali sampai diagnosis
ditegakkan,1,5-,8 mengakibatkan stadium
klinis saat diagnosis ditegakkan lebih tinggi
dibandingkan dengan pasien tidak hamil.5-8
Mungkin hal tersebut merupakan alasan
mengapa kanker payudara pada kehamilan
dan laktasi memilliki prognosis buruk.1,2,4
Abnormalitas payudara selama kehamilan
dapat diperiksa dengan sonografi atau
mamografi yang dilakukan dengan memakai
pelindung fetus. 1,5-8
DIAGNOSIS
Saat pertama pasien datang berobat,
pemeriksaan payudara dengan seksama
sangat perlu dilakukan sebelum payudara
membesar dan sulit diperiksa. Dokter
dan pasien sering gagal menentukan
perkembangan serius pada payudara
selama kehamilan.1,2,4 Xeroradiograi tidak
begitu membantu menunjukkan perubahan
parenkim. Peningkatan densitas air payudara
menurunkan kapasitas mammogram.1,2
Pajanan radiasi pada janin harus dihindari
dengan melindungi abdomen secara tepat.2,3,4
Dalam penelitian pemeriksaan mamograi
terhadap 368 wanita hamil, tidak tampak
kerusakan janin. Pada wanita dengan massa
yang teraba dan berbatas tegas, mamogram
hanya sedikit memengaruhi terapi, sebaiknya
tidak dilakukan.1,4
Evaluasi sebaiknya dimulai dengan FNAB
untuk membedakan lesi solid dan kistik, dapat
dilakukan dengan anestesi lokal.1,2 Jika biopsi
dilakukan selama laktasi, beberapa ahli bedah
cenderung mensupresi laktasi preoperatif
menggunakan bromokriptin. Risiko i stula
sangat rendah untuk lesi perifer tetapi dapat
menjadi masalah pada lesi sentral dan dalam.1
Spektrum histopatologi pasien hamil sama
dengan yang ditemukan pada pasien tidak
hamil, penemuan karsinoma tampaknya
sama dengan sampel massa payudara pada
populasi tidak hamil. Byrd et al. menemukan
22% sampel biopsi payudara pada wanita
hamil menunjukkan keganasan dibandingkan
dengan 19% pada seluruh populasi. Karsinoma
inl amatori dikatakan lebih sering terjadi
selama kehamilan tetapi tidak ditunjang oleh
penelitian modern.1
Reseptor hormon steroid sulit didapat pada
jaringan kanker payudara selama kehamilan
kecuali dengan metode khusus. Kehamilan
dapat menurunkan kadar reseptor estrogen
dan progesteron yang terdapat pada fraksi
sitosol kanker payudara dan menyebabkan
hasil negatif palsu. Kadar estrogen darah
yang tinggi pada kehamilan menyebabkan
translokasi reseptor menuju nukleus dan
menempati semua reseptor sitoplasmik,
sehingga tidak ada yang tersisa untuk assay.
Selama kehamilan, estrogen yang tidak terikat
harus disingkirkan dengan terapi sitosol
dengan dextran. Assay kemudian dilakukan
untuk mendeteksi reseptor estrogen yang
terpakai dalam sitosol dan nukleus. Tidak ada
data mengenai reseptor estrogen pada kanker
payudara selama kehamilan yang memiliki arti
prognostik.1-3
Tidak terdapat bukti biopsi payudara me-
nimbulkan risiko yang bermakna untuk ibu
dan bayi sekalipun dengan anestesi umum.
Hanya terdapat satu kematian janin dari 134
kasus biopsi payudara dengan anestesi umum
pada wanita hamil karena ketidaktahuan
keadaan hamil.1,2
EVALUASI
Setelah diagnosis kanker payudara di-
tegakkan harus dilakukan staging sebelum
keputusan terapi diambil. Tes fungsi hati,
kalsium dan evaluasi CEA dapat membantu
tapi tidak memberikan diagnosis dei nitif atau
lokasi metastasis.1,4 Beberapa kepustakaan
menyebutkan bone scanning dapat dilakukan
bila didapatkan nyeri tulang pada kehamilan
setelah 25 – 30 minggu, tetapi bone scanning
tidak menentukan keputusan terapi.1 Pasien
dengan dei sit neurologis mungkin lebih baik
menjalani CT Scan dan hepar dapat dievaluasi
dengan ultrasonograi .1
Kanker payudara pada kehamilan sering
ditemukan pada stadium lanjut karena
keterlambatan diagnosis. Jackisch et al..
melaporkan 17% pasien terdiagnosis pada
stadium I, 33% pada stadium II, 17% stadium
III dan 33% stadium IV, rata-rata ukuran tumor
2,9 cm. Skrining klinis kanker payudara perlu
menjadi bagian dari program masa prenatal,
dan biopsi payudara merupakan skrining
yang penting.2
TERAPI
Selama trimester pertama, modii ed radical
mastectomy merupakan terapi pilihan. Operasi
breast conserving (BCS) seperti lumpektomi
dengan terapi radiasi dihindari karena pajanan
radiasi dosis tinggi pada janin. Risiko radiasi
paling tinggi pada trimester pertama dan
dapat menimbulkan organogenesis,2 atau
malformasi kongenital terutama mikrosefali.5
Risiko radiasi tidak berkurang walaupun fetus
dilindungi dengan pelindung radiasi. Pilihan
mengakhiri kehamilan jika radiasi sangat di-
perlukan, namun tidak ada bukti peningkatan
survival dengan mengakhiri kehamilan.1-4 BCS
dapat menjadi pilihan terapi setelah trimester
ketiga sebab radioterapi dapat diberikan
setelah bayi lahir. Dalam kehamilan, jika pada
operasi ditemukan metastasis pada KGB aksila
dianjurkan kemoterapi.1,2
Kemoterapi selama kehamilan trimester
pertama memiliki risiko teratogenik.
Antimetabolit seperti metotreksat me-
nyebabkan abortus pada trimester pertama.
Alkylating agent dan antimetabolit dosis
rendah dapat menimbulkan malformasi.
Tidak ada risiko abnormalitas morfologi
yang signii kan setelah trimester pertama.
Paparan kemoterapi pada trimester ketiga
hanya menyebabkan peningkatan insidens
perlambatan pertumbuhan intrauterin dan
persalinan prematur.2 Efek jangka lama pada
neonatus tidak diketahui. Perlu diwaspadai
abnormalitas neurologi, disfungsi gonad,
dan malignansi pasca kelahiran. Keputusan
pemberian kemoterapi harus dijelaskan
dengan seksama kepada pasien.2
359
LAPORAN KASUS
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
(74% memiliki kelenjar positif dibandingkan
dengan 37% pada wanita tidak hamil) (tabel
2).1
Sebagian besar bukti mendukung pendapat
bahwa kehamilan tidak memperburuk
penyakit tapi menutupi penyakit sehingga
metastasis berlanjut. Diperlukan peningkatan
kewaspadaan dokter saat pemeriksaan selama
kehamilan.1,9,11
Valentgas mendapatkan bahwa wanita hamil
dengan kanker payudara invasif stadium I dan II
yang diterapi, mempunyai risiko kekambuhan
yang lebih rendah.4 Petrek mengevaluasi 56
pasien kanker payudara yang hamil dan 166
pasien kanker payudara yang tidak hamil
dan mendapatkan 5 dan 10-year survival rate
yang sama. Zemlickis et al. membandingkan
102 pasien hamil dan 269 pasien tidak hamil,
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
survival rate yang signii kan.2,8,10 Tetapi Tretli et
al. berdasarkan penelitian retrospektif pada
20 pasien kanker yang hamil mendapatkan
survival rate signii kan lebih buruk pada
wanita hamil, dengan membandingkan
umur dan stadium saat didiagnosis.2 Hampir
semua laporan menyebutkan bahwa pasien
hamil ditemukan pada stadium lanjut saat
didiagnosis, namun ditinjau menurut stadium
penyakit didapatkan survival rate yang sama
antara pasien hamil dan pasien yang tidak
hamil.2
LAPORAN KASUS
Ditemukan 6 kasus (3,20%) kanker payudara
pada kehamilan dari 187 pasien kanker
payudara selama 2 tahun di RS. Dr. M. Djamil
Padang. Semua kasus ditemukan pada stadium
lanjut. Satu hari pasca melahirkan, satu pasien
dilakukan modii ed radical mastectomy di
hari ke tujuh, satu pasien 3 minggu pasca
melahirkan, sudah bermetastasis jauh ke
kedua paru.
Kasus Pertama
Wanita, umur 33 tahun, didiagnosis kanker
payudara T4 N
1 M
0 stadium IIIB, dengan
kehamilan pada trimester ketiga. Dilakukan
modii ed radical mastectomy, bayi lahir hidup,
pasien tidak pernah kontrol untuk terapi
lanjutan.
Kasus Kedua
Wanita, umur 32 tahun, didiagnosis kanker
payudara T4 N
1 M
0 stadium III dengan
Table 1 Treatment Results in Operable Breast Cancer in Pregnancy or Lactation
Penulis - Tahun
Jumlah Pasien5-Year Survival Rate
Benjolan positif (%) Benjolan Negatif (%) Keseluruhan (%)
Peters, 1962
Holleb and Farrow, 1962
Rissanen, 1968
Donegan, 1978
Ribeiro et al., 1986
Total
60
119
33
24
121
357
23
17
36
31
25
26*
62
65
80
86
79
74*
37
30
43
48
37
39*
*Rerata persentase
Sumber: Hoover HC. Carcinoma of the Breast in Pregnancy and Lactation. In: Special Clinical Problem in Breast Cancer
Table 2 Stage of Breast Cancer at Diagnosis in Patients Younger than 40 years
StadiumJumlah (%)
Hamil (N=19) Tidak Hamil (N=155)
I (Benjolan negatif )
II (Benjolan positif )
III (distant disease)
4 (21)
14 (74)
1 (5)
84 (54)
57 (37)
14 (9)
Sumber: Hoover HC. Carcinoma of the Breast in Pregnancy and Lactation. In: Special Clinical Problem in Breast Cancer
Table 3 Five-year Survival Rate of Pregnant and Nonpregnant Women Younger than 40 years
StadiumSurvival No. (%)
Hamil Tidak Hamil Nilai p
I
II
III
Overall
4/4
7/14
0/1
11/19
(100)
(50)
(0)
(57)
59/84
27/57
1/14
87/155
(70)
(48)
(7)
(56)
0.57
1.00
1.00
1.00
Sumber: Hoover HC. Carcinoma of the Breast in Pregnancy and Lactation. In: Special Clinical Problem in Breast Cancer
TERAPI MENURUT STADIUM
Stadium Dini (Stadium I dan II)
Pembedahan dianjurkan sebagai terapi pilihan
utama kanker payudara pada kehamilan.
Radiasi tidak diberikan karena sangat
berpotensi mengganggu perkembangan
janin. Terapi radiasi diberikan setelah
melahirkan. Kemoterapi dapat diberikan
setelah trimester pertama, hal ini tidak
menimbulkan risiko tinggi malformasi janin,
tetapi mungkin menyebabkan kelahiran
prematur dan berat badan lahir rendah.1,4,8
Penelitian terapi hormonal saja atau kombinasi
dengan kemoterapi pada kanker payudara
selama kehamilan sangat terbatas. Radioterapi
bila diperlukan, harus ditangguhkan sampai
setelah bayi lahir, karena mengganggu
perkembangan janin selama kehamilan. 1,4,8
Stadium Lanjut (Stadium III dan IV)
Radioterapi pada trimeter pertama harus
dihindari. Kemoterapi dapat diberikan setelah
trimester pertama. Mengingat ibu mungkin
memiliki harapan hidup terbatas (5-year
survival rate pasien kanker payudara pada
kehamilan stadium II dan IV adalah 10%), dan
kemungkinan besar kerusakan janin akan
terjadi selama terapi pada trimester pertama,
kelanjutan kehamilan harus didiskusikan,
tetapi terapi aborsi tidak memperbaiki
prognosis.1,4,8
PROGNOSIS
Kanker payudara pada kehamilan dan laktasi
merupakan kasus jarang dijumpai. Penelitian
retrospektif kebanyakan hanya melaporkan
sedikit pasien sehingga sulit dianalisis. Hampir
seluruhnya mempertimbangkan kesamaan
antara laktasi dan kehamilan. Wanita hamil
dan menyusui yang didiagnosis lebih awal
dengan KGB aksila negatif memiliki hasil terapi
yang mirip dengan wanita tidak hamil (Tabel
1). Nugent dan O’Connell membandingkan
distribusi stadium penyakit kanker payudara
pada wanita hamil dengan wanita yang
lebih muda dari 40 tahun yang tidak hamil.
Kecenderungan menunjukkan stadium
penyakit yang lebih tinggi pada wanita hamil
360
LAPORAN KASUS
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
kehamilan trimester ketiga. Dilakukan modii ed
radical mastectomy tetapi pasien tidak kontrol
lagi.
Kasus Ketiga
Wanita, umur 35 tahun, didiagnosis kanker
payudara lobular sinistra T4 N
1 M
0 stadium
III, dengan kehamilan trimester ketiga.
Anak lahir hidup, dilakukan modii ed radical
mastectomy. Kondisi pasien terus menurun
setelah melahirkan dan meninggal sebelum
pengobatan lebih lanjut.
Kasus Keempat
Wanita, umur 38 tahun, didiagnosis kanker
payudara T4 N
1 M
0 stadium IIIB, dengan
kehamilan trimester ketiga. Anak lahir hidup.
dilakukan modii ed radical mastectomy
dilanjutkan dengan kemoterapi.
ada keluhan dan gejala selama kehamilan.
Keterlambatan diagnosis merupakan pe-
nyebab utama meningkatnya stadium
dan menurunnya angka harapan hidup.
Prognosis kanker payudara pada kehamilan
dibanding dengan tanpa kehamilan sama.
Massa payudara harus dibiopsi. Standar
terapi kanker payudara selama trimester
pertama adalah MRM. Lumpektomi
dan diseksi kelenjar aksila yang diikuti
dengan radiasi setelah melahirkan. Pilihan
kemoterapi dilakukan pada trimester kedua
dan ketiga, setelah diberi penjelasan rinci
tentang manfaat dan efek samping yang
akan timbul. Terminasi kehamilan tidak
memperbaiki prognosis. Ditemukan enam
kasus kanker payudara stadium lanjut (IIIB)
pada kehamilan trimester ketiga. Satu
pasien pada stadium IV.
Tabel 4 Pasien Kanker Payudara pada Kehamilan di RS. Dr. M. Djamil Padang 2004-2005
No Umur Stadium Kehamilan Trimester Node Operasi Histopatologi Sitologi Kemoterapi Adjuvan Anak Pasien
1 33 III III + N1 MRM Invasive Ductal Ca. Mammae Ca. Mammae - Hidup Hidup
2 32 III III + N1 MRM Lobular Ca. Mammae Ca. Mammae Kemoterapi CAF Hidup Hidup
3 35 III III + N1 MRM Invasive Ductal Ca. Mammae Ca. Mammae - Hidup Meninggal
4 38 III III + N1 MRM Invasive Ductal Ca. Mammae Ca. Mammae Kemoterapi CAF Hidup Hidup
5 34 III Pasca melahirkan 1 hari + N1 MRM Invasive Ductal Ca. Mammae Ca. Mammae - Hidup Hidup
6 35 IV
Metastasis paru
Pasca melahirkan 3
minggu
+ N1 - - Ca. Mammae - Hidup Hidup
DAFTAR PUSTAKA
1. Hoover HC Jr. Carcinoma of the breast in pregnancy and lactation. In: Special Clinical Problem in Breast Cancer. Philadelphia. WB. Saunders Co. 2001.p1034–40.
2. Fiorica JV. Breast cancer and pregnancy, in: Marchant DJ. Breast Disease. Philadelphia. W.B. Saunders Co. 1997.p241-6.
3. Helewa M, Levesque P, Provencher D. Breast cancer, pregnancy, and breastfeeding. SOGC Clinical Practice Guideline. (Internet) 2002 (Cited 2013 April 18). Available from: http://sogc.org/
wp.content/upload/2013/01/111-CPG-February 2002.pdf.
4. Breast cancer and pregnancy. http://www.imaginis.com/breasthealth/lump. asp.
5. Hoover HC Jr. Breast cancer during pregnancy and lactation. Surg Clin North Am 70 (5): 1151–63.
6. Breast cancer and pregnancy. National Cancer Institute. http://www.meb.uni-bonn.de/cancernet/105380.
7. Petrek JA, Dukof R. Rogatko A: Prognosis of pregnancy-associated breast cancer. Cancer 1991:67(4): 69–72.
8. Petrek JA. Pregnacy safety after breast cancer. Cancer 1994:74(1 suppl):528–31.
9. Haagensen. Result with Halsted’s Radical Mastectomy, in: Disease of the Breast. 3rd ed. 1986.p.903 – 31.
10. Petrek JA. Breast Cancer and Pregnancy. In: Disease if the Breast. 1998.p.883 – 92.
11. Handerson B. et al..Epidemiology and Screening. In: Textbook of Breast Cancer.1998.p.1–16.
Kasus Kelima
Wanita, umur 34 tahun didiagnosis kanker
payudara T4 N
1 M
0. Pasca melahirkan 1 hari,
hari ke tujuh dilakukan modii ed radical
mastectomy. Anak lahir hidup.
Kasus Keenam
Seorang wanita, umur 35 tahun, didagnosa
dengan kanker payudara T4 N
1 M
1 (kedua paru).
3 minggu pasca melahirkan. Tidak mungkin
untuk dilakukan tindakan dan pengobatan,
karena keadaan sangat jelek.
SIMPULAN
Tiga persen dari kanker payudara
didiagnosis selama kehamilan. Perhatian
khusus dan pemeriksaan payudara yang
teliti harus dilakukan pada pasien pada saat
kunjungan prenatal pertama, terutama bila
362
BERITA TERKINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Beberapa faktor yang mempengaruhi
perubahan neurohumoral, imunologik,
dan metabolik sebuah prosedur
pembedahan antara lain adalah derajat
cedera, lama waktu pembedahan, volume
hilangnya darah intraoperatif, derajat nyeri
pascaoperasi, dan teknik anestesi yang
digunakan selama pembedahan. Respons
stres terhadap pembedahan sangat berkaitan
dengan outcome pembedahan tersebut,
khususnya pada pembedahan mayor.
Perbaikan outcome dapat dicapai dengan
menurunkan respons stres, sehingga terdapat
penurunan lama rawat inap di rumah sakit
(RS) dan penurunan biaya perawatan. Oleh
karena itu, pemilihan teknik anestesi stress-
free sangat penting, yang dapat mengurangi
aktivasi respons neuroendokrin, inl amasi, dan
imun. Kebanyakan gas anestesi inhalasi dapat
memodulasi respons endokrin pada saat
pembedahan.
Sebuah studi dilakukan untuk mem-
bandingkan respons stres pada penggunaan
anestesi inhalasi sevol urane dan desl urane.
Studi dilakukan terhadap 50 pasien wanita yang
akan menjalani pembedahan laparoskopi
untuk kista ovarium dengan anestesi inhalasi.
Secara acak pasien diberi desl urane (DES) atau
sevol urane (SEVO). Kedua kelompok menerima
bolus fentanyl 3 μg/kgBB dan infus remifentanil
15 μg/kgBB/mnt. Beberapa parameter yang
dinilai kadar noradrenaline, adrenaline, ACTH
(adenocorticotropic hormone), cortisol, IL-6,
glukosa, dan CRP (C-reactive protein).
Berikut hasil studi tersebut:
1. Kadar adrenaline dan noradrenaline
meningkat pada kedua kelompok segera
setelah pembedahan, tetapi peningkatan
lebih tinggi secara bermakna pada kelompok
DES jika dibandingkan dengan kelompok
SEVO (p <0,001).
2. Penurunan cortisol lebih bermakna pada
kelompok DES pada T2 (30 menit setelah
dimulainya pembedahan) (p=0,007) dengan
peningkatan ACTH yang tidak bermakna.
3. Penurunan kortisol tidak bermakna pada
kelompok SEVO, tetapi peningkatan ACTH
bermakna (p <0,001).
4. 4 jam pascaoperasi, kadar adrenaline,
noradrenaline, cortisol, dan ACTH kembali ke
basal.
5. Perbedaan kadar IL-6, glukosa, dan CRP,
serta derajat nyeri tidak bermakna pada kedua
kelompok.
keterangan:
• T1 = Basal
• T2 = 30 menit setelah pembedahan
dimulai
• T3 = 30 menit setelah pembedahan
selesai
• T4 = 2 jam pascaoperasi
• T5 = 4 jam pascaoperasi
Simpulannya, pelepasan catcholamine yang
lebih tinggi karena pemberian anestesi inhalasi
dengan desl urane dapat menimbulkan
efek samping pada pasien dengan kondisi
penyakit kardiovaskuler. Pada pembedahan
dengan stres minimal, pemberian desl urane
memiliki kontrol respons cortisol dan ACTH
intraoperatif yang lebih baik dibandingkan
dengan sevol urane. Pemberian desl urane
direkomendasikan untuk diberikan pada
pasien dengan diabetes atau gangguan
ACTH-cortisol. � (MAJ)
REFERENSI:
1. Marana E, Scambia G, Maussier ML, Parpaglioni R, Ferrandina G, Meo F, et al. Neuroendocrine stress response in patients undergoing benign ovarian cyst surgery by laparoscopy, minilapa-
rotomy, and laparotomy. J Am Assoc Gynecol Laparosc. 2003;10(2):159-65.
2. Marana E, Russo A, Colici S, Polidori L, Bevilacqua F, Viviani D, et al. Desl urane versus sevol urane: A comparison on stress response. Minerva Anestesiol. 2012. [Epub ahead of print].
Respons Stres Anestesi Inhalasi Desflurane vs Sevoflurane
364
BERITA TERKINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Studi terbaru menunjukkan pemberian
allopurinol dosis lebih tinggi pada awal
terapi meningkatkan risiko terjadinya
allopurinol hypersensitivity syndrome (AHS),
efek samping yang jarang tetapi berpotensi
fatal yang dapat terjadi pada awal terapi
allopurinol.
Menurut Dr. Lis K Stamp (MBChB, PhD, FRACP,
University of Otago, Christchurch, New
Zealand) dkk, AHS ditandai dengan ruam
yang bersifat fatal, seperti pada sindrom
Stevens-Johnson atau nekrolisis epidermal
toksik, disertai eosinoi lia, leukositosis, demam,
hepatitis, dan gagal fungsi hati. AHS dikaitkan
dengan tingkat mortalitas yang cukup
tinggi (27%) dan hanya bisa dirawat dengan
diagnosis dini, penghentian allopurinol, dan
perawatan suportif.
Pasien wanita, lanjut usia, dengan gangguan
fungsi ginjal, menerima diuretik, dan mereka
yang baru saja memulai penggunaan
allopurinol adalah pasien dengan risiko
tertinggi.
Dr. Stamp dkk. memulai studi ini karena adanya
laporan bahwa pasien dengan gangguan
fungsi ginjal yang menerima allopurinol dosis
penuh (≥300 mg/hari) berisiko mengalami
AHS dan pasien tersebut mengalami
penurunan ekskresi oxypurinol, metabolit aktif
dari allopurinol. Sedangkan guideline yang ada
saat ini tidak mencantumkan isu dosis awal
vs dosis pemeliharaan. Tujuan studi ini adalah
untuk menentukan hubungan antara dosis
awal dengan dosis allopurinol pada waktu
reaksi AHS timbul.
Peneliti melakukan studi case control
retroprospektif pada pasien gout yang
mengalami AHS antara Januari 1998 –
September 2010. Mereka mencocokkan
masing-masing 54 pasien gout dengan AHS
dengan 3 pasien gout kontrol yang diberi
allopurinol tetapi tidak mengalami AHS.
Pasien kontrol dicocokkan jenis kelamin,
dosis diuretik saat mulai diberi allopurinol,
umur, dan estimated glomerular i ltration rate
(eGFR). Pasien diidentii kasi di 5 wilayah besar
New Zealand, yang merepresentasikan 3 juta
penduduk. Analisis ini menunjukkan risiko AHS
meningkat jika dosis awal allopurinol (yang
disesuaikan dengan eGFR) ditingkatkan.
Pasien dalam kuartil tertinggi dosis awal per
GFR 23 kali lebih mungkin untuk mengalami
AHS, dosis awalnya adalah sebesar 1,5 mg/
unit atau lebih dibanding eGFR (mg/mL/
menit) dalam 91% pasien AHS, tetapi hanya
pada 36% pasien gout yang tidak mengalami
AHS.
Dr. Stamp mengatakan bahwa pasien
yang memulai allopurinol dalam creatinine
clearance–based dose atau lebih memiliki risiko
lebih tinggi untuk mengalami AHS. Dosis awal
1,5 mg/mL eGFR didasarkan sebuah receiver
operator analysis, menggunakan semua data
dan clinically sensible berdasar ukuran tablet.
Hampir semua kasus AHS (90%) terjadi dalam
180 hari pertama perawatan allopurinol,
dengan waktu median 30 hari dari awal
pemberian allopurinol.
Dr. Stamp juga mengatakan bahwa sebaik-
nya allopurinol diberikan dalam dosis awal
rendah, kemudian ditingkatkan perlahan per
bulan (start low, go slow). Peningkatan dosis
allopurinol yang perlahan mungkin dapat
mencegah eksaserbasi gout.
Robert Terkeltaub (MD, interim chief of
the Division of Rheumatology, Allergy, and
Immunology at the University of California, San
Diego) menambahkan bahwa simpulan studi
Dr. Stamp ini sejalan dengan rekomendasi
US Food and Drug Administration dan
European League Against Rheumatism yang
menganjurkan allopurinol diberikan dalam
dosis awal yang rendah, kemudian perlahan
dititrasi naik.
Simpulannya, pemberian allopurinol dalam
dosis lebih tinggi pada awal terapi meningkat-
kan risiko terjadinya allopurinol hypersensitivity
syndrome (AHS). Sebaiknya allopurinol diberi-
kan pada dosis rendah pada awal terapi dan
dititrasi naik secara perlahan. � (AGN)
Dosis Awal Allopurinol yang Tinggi Meningkatkan Risiko Allopurinol Hypersensitivity Syndrome
REFERENSI:
1. Kelly JC. Starting allopurinol at higher dose increases risk for AHS. Medscape [Internet] 2012 [Cited 2012 Dec 31]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/768403
2. Stamp LK, Taylor WJ, Jones PB, Dockerty JL, Drake J, Frampton C, et al. Starting dose is a risk factor for allopurinol hypersensitivity syndrome: A proposed safe starting dose of allopurinol.
Arthritis Rheum. 2012;64:2529-36.
366
BERITA TERKINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Pasien pressure ulcer memerlukan biaya
pengobatan yang tinggi, sehingga pada
beberapa rumah sakit di USA menjadi
salah satu kondisi yang perlu diperhatikan. Di
US, UK, dan Canada, angka kejadian pressure
ulcer mencapai 4,7-32,1% di rumah sakit, 4,4-
33% di komunitas masyarakat, dan 4,6-20,7%
di nursing home.
Pressure ulcer merupakan cedera yang
berbentuk luka pada kulit, terjadi umumnya
karena adanya tekanan pada daerah kulit
tersebut, menyebabkan berkurangnya aliran
darah sehingga mengakibatkan kematian
sel-sel kulit dan jaringan di area tersebut.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
terjadinya pressure ulcer adalah pengguna
kursi roda atau pasien yang tidak dapat
berpindah dari tempat tidur untuk jangka
waktu lama, pasien lanjut usia, pasien lumpuh
misalnya pasien cedera tulang belakang atau
cedera kepala, pasien diabetes atau jantung,
dan pasien malnutrisi.
Pressure ulcer dapat secara bermakna
menurunkan QOL (quality of life) karena nyeri
yang ditimbulkan, kualitas pengobatan, lama
rawat inap, dan juga penyebab kematian
dini. Selain itu, beban biaya pengobatan
yang harus dikeluarkan juga cukup besar
dan umumnya pasien dengan pressure ulcer
sudah tidak dapat melakukan aktivitas sehari-
hari seperti biasa (normal). Selain beban
terhadap individu, beberapa negara dengan
layanan kesehatan yang baik seperti UK,
USA, dan Australia pun merasakan beban
yang meningkat dalam biaya pengobatan; di
USA total biaya pengobatan tahunan untuk
pressure ulcer mencapai US$3 Milyar.
Dengan meningkatnya jumlah penduduk
lanjut usia, maka angka kejadia pressure ulcer
pun akan terus meningkat. Oleh karena itu, di-
perlukan intervensi khusus untuk mengurangi
angka kejadian dan juga menurunkan biaya
pengobatan untuk pressure ulcer.
Sebuah studi di Jepang menganalisis peranan
intervensi nutrisi, khususnya nutrisi enteral,
memiliki dampak yang baik terhadap angka
kejadian pressure ulcer dan juga menurunkan
biaya pengobatan. Studi ini dilakukan
terhadap 60 pasien pressure ulcer derajat III-IV
yang bed-ridden. Pasien dibagi secara acak dan
menerima intervensi nutrisi khusus (Kelompok
EN) atau nutrisi konvensional (Kontrol). Kedua
kelompok diberi nutrisi secara tube feeding.
Jenis nutrisi yang digunakan pada kelompok
EN adalah nutrisi enteral dengan densitas
1,0 Kkal/mL dan distribusi kalori dari protein
sebesar 18%. Selain itu, juga mengandung
0,64 Zn dan 125 μg Cu.
Berikut hasil studi tersebut:
1. PUD (pressure ulcer days) secara bermakna
lebih rendah pada kelompok EN jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol
(p<0,05).
2. Perbaikan pada QALY (quality-adjusted
life-years) secara bermakna lebih baik pada
kelompok EN jika dibandingkan dengan
kelompok kontrol (p<0,05).
3. Biaya pengobatan secara bermakna lebih
minimal pada kelompok EN jika dibandingkan
dengan kelompok kontrol (p <0,05).
Simpulannya, pemberian intervensi nutrisi
seperti nutrisi enteral dapat secara bermakna
memperbaiki kondisi klinis pasien pressure
ulcer, serta juga dapat menurunkan biaya
pengobatan jika dibandingkan dengan
kontrol. � (MAJ)
REFERENSI:
1. A.D.A.M Medical Encyclopedia. Pressure ulcer [Internet]. 2012 [cited 2012 Dec 21]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/ H0004443/.
2. Hisashige A, Ohura T. Cost-ef ectiveness of nutritional intervention on healing of pressure ulcers. Clin Nutr. 2012;31(6):868-74.
Intervensi Nutrisi Enteral pada Pasien dengan Pressure Ulcer Menurunkan Biaya Pengobatan
Figure Prevalence curve for pressure ulcers
0.1
.2
.3
.4
.5
.6
.7
.8
.9
1.0
20 40 60
Days
Observation Follow-up
Intervention
Control
Prevalence of
pressure ulcers
80 100
368
BERITA TERKINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Hallux valgus (HV) merupakan
deformitas pada kaki yang ber-
langsung progresif. Meningkatnya
derajat penyakit HV sering dikaitkan dengan
keadaan osteoartritis (OA). Menurut sebuah
studi, HV terjadi pada kurang lebih 23%
dewasa dan tata laksana yang umumnya
dilakukan untuk memperbaiki HV adalah
dengan prosedur pembedahan.
Tata laksana nyeri adalah bagian yang
penting dalam perawatan pascaoperasi. Tata
laksana nyeri yang baik dengan konsumsi
analgesik yang adekuat dapat mempercepat
mobilitas, lama rawat di rumah sakit, dan juga
menurunkan risiko morbiditas. Dari sebuah
survei yang dilakukan didapatkan hampir 80%
pasien yang menjalani pembedahan ortopedi
mengalami nyeri derajat sedang hingga
berat. Dalam Tata laksana nyeri, umumnya
pemberian obat analgesik nonopioid (contoh:
paracetamol) diberikan secara tunggal atau
dikombinasikan dengan golongan opioid
(contoh: morphine).
Propacetamol merupakan bentuk prodrug
paracetamol yang secara cepat dihidrolisis
dalam darah oleh enzim esterase untuk
diubah menjadi paracetamol. Beberapa studi
menunjukkan 2 g propacetamol intravena
secara bioekuivalen sebanding dengan 1 g
paracetamol intravena. Propacetamol infus
merupakan sediaan intravena pertama
untuk paracetamol infus yang dahulu sering
digunakan sebagai salah satu regimen untuk
tata laksana nyeri.
Sebuah studi acak, tersamar ganda, dan
multisenter dengan kontrol plasebo dilakukan
terhadap 323 pasien yang menjalani
pembedahan HV untuk mengetahui ei kasi
propacetamol IV vs paracetamol oral. Pasien
secara acak dibagi menjadi 3 kelompok dan
diberi 2 g propacetamol IV (setara dengan
1 g paracetamol IV – Kelompok PR), 1 g
paracetamol oral (Kelompok PA), dan plasebo
(sediaan oral dan IV – kontrol). Efek analgesik
diukur dengan 5-point verbal scale selama 5
jam pascaoperasi.
Berikut hasil studi tersebut:
1. Kelompok PR dan PA secara bermakna
lebih superior dalam hal tata laksana nyeri jika
dibandingkan kontrol (p <0,05).
2. PR secara bermakna memiliki penurunan
nyeri lebih baik dibandingkan PA pada T30 (30
menit pascaoperasi) sampai T4 jam (p <0,01).
3. Secara umum PR memberikan ei kasi
lebih baik dan efek analgesik lebih lama secara
bermakna dibandingkan PA dan kontrol (p
<0,05).
4. Efek tidak diinginkan dijumpai pada 3
kasus di kelompok PR (nyeri pada tempat
suntikan, sakit kepala, dan muntah), 6 kasus di
kelompok PA (mual, tremor, nyeri pada tempat
suntikan, dan malaise), 1 kasus di kelompok
kontrol (nyeri pada tempat suntikan).
Simpulannya, propacetamol 2 g infus intravena
yang sebanding dengan paracetamol 1 g infus
intravena secara bermakna memiliki ei kasi
lebih baik dan efek analgesik lebih lama jika
dibandingkan dengan dosis yang sama pada
sediaan oral. � (MAJ)
Paracetamol IV Memiliki Ei kasi Analgesik Lebih Baik Dibandingkan Dosis Oral
REFERENSI:
1. Nix SE, Vicenzino BT, Smith MD. Foot pain and functional limitation in healthy adults with hallux valgus: A cross-sectional study. BMC Musculoskelet Disord. 2012;13(1):197-218.
2. Sinatra RS, Jahr JS, Reynolds LW, Viscusi ER, Groudine SB, Payen-Champenois C. Ei cacy and safety of single and repeated administration of 1 gram intravenous acetaminophen injection
(paracetamol) for pain management after major orthopedic surgery. Anesthesiology 2005;102(4):822-31.
3. Jarde O, Boccard E. Parenteral versus Oral Route Increases Paracetamol Ei cacy. Clin Drug Invest. 1997;14(6):474-81.
370
BERITA TERKINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Studi terbaru menunjukkan pemberian
antibiotik lebih lama dari 7 hari untuk
infeksi saluran kemih (ISK) tidak
mengurangi kekambuhan ISK dini atau lanjut
dibandingkan pemberian antibiotik dengan
durasi lebih singkat, dan mungkin terkait
dengan peningkatan risiko Clostridium dii cile
infection (CDI).
Dimitri M. Drekonja dkk. menganalisis
39.149 rekam medis pasien pria dengan ISK
yang menggunakan VA outpatient services
selama tahun 2009. Dari total 39.149 pasien,
peneliti menginklusi 33.336 (85,2%; umur
median 67,9 tahun) index cases (International
Classii cation of Diseases, Ninth Revision, kasus
ISK dikombinasikan dengan peresepan
antimikroba yang relevan) dalam analisis
mereka.
Dari total index cases, 1772 (4,5%) pasien
mengalami kekambuhan dini dan 4041
(10,3%) mengalami kekambuhan lanjut.
Durasi pemberian antimikroba berkisar dari 1-
173 hari (median, 10 hari, rentang interkuartil,
7–10 hari); 11.666 (35%) dirawat kurang dari
7 hari, dan 21.670 (65%) dirawat lebih dari 7
hari.
Menggunakan analisis multivariate logistic
regression, peneliti menemukan bahwa durasi
perawatan tidak terkait dengan kekambuhan
dini (odds ratio [OR], 1,01; 95% coni dence
interval [CI], 0,90 – 1,14). Akan tetapi, mereka
menemukan bahwa perawatan dengan durasi
yang lebih lama terkait dengan peningkatan
kekambuhan lanjut dibandingkan perawatan
dengan durasi lebih singkat (10,8% untuk >7
hari vs 8,4% untuk ≤7 hari; P < 0,001) dan kaitan
ini tetap signii kan setelah analisis multivariat
(OR, 1,20; 95% CI, 1,10 – 1,30). Dalam analisis
multivariat, peneliti memperhitungkan faktor
umur, komorbiditas, faktor risiko ISK yang
ada, jenis antibiotik yang digunakan, durasi
perawatan, dan riwayat CDI.
Temuan bahwa durasi perawatan yang lebih
panjang terkait dengan peningkatan risiko
kekambuhan lanjut dalam analisis univariat
dan multivariat tidak terduga. CDI didiagnosis
dalam 144 (0,4%) kasus dalam 90 hari setelah
perawatan, dengan interval berkisar dari 1 –
89 hari (mean [SD], 38,7 [26,9] hari). Perawatan
yang lebih lama terkait dengan peningkatan
risiko CDI dibanding dengan perawatan lebih
pendek (0,5% vs 0,3%; P = 0,02) dalam analisis
univariat, tetapi perbedaan ini tidak signii kan
dalam analisis multivariat.
Peneliti menemukan 2 obat (ciprol oxacin dan
trimethoprim-sulfamethoxazole) yang paling
banyak digunakan untuk merawat ISK pada
pria dan durasi perawatan berkisar dalam
rentang 7 hari – 14 hari [84,4% pasien], dan
15,6% sisanya di luar rentang ini.
Temuan ini mempertanyakan efektivitas
perawatan durasi panjang pada pasien pria
dengan ISK.
Dalam penelitian lain yang dipublikasikan
bersamaan, peneliti menyimpulkan bahwa
screening preoperatif dan penanganan
bakteriuria tidak bermanfaat dan harus
dihindari pada pasien ISK yang menjalani
operasi kardiovaskuler, ortopedi, dan vaskuler.
Penelitian kedua ini menganalisis rekam
medis dari 1934 prosedur pada 1688 pasien
VA (96% pria; rerata umur 61,8 tahun) yang
menjalani prosedur ortopedi (1291 pada 1115
pasien), prosedur kardiotorasik (331 pada 314
pasien), dan prosedur vaskuler (312 pada
259 pasien). Kultur urin preoperatif diambil
dari 25% total pasien, bervariasi dalam setiap
prosedur (kardiotorasik 85%; vaskuler, 48%;
dan orthopedi, 4%; P < 0,001).
Pasien yang discreen lebih tua (66,9 vs 60 tahun;
p<0,01), lebih banyak pria (98% vs 95%; p=0,02)
dan lebih mungkin untuk mengalami surgical
site infection [SSI] (17% vs 4%; p<0,01), diare (6%
vs 2%; p<0,01), dan CDI (0,6% vs 0%; P=0,02).
Simpulannya, pemberian antibiotik yang
lebih singkat (7 hari) terkait dengan risiko
ke-kambuhan yang lebih rendah dibanding
pemberian antibiotik jangka panjang.
Pemberian antibiotik jangka panjang me-
ningkatkan risiko CDI. Screening preoperatif
dan penanganan bakteriuria pada pasien ISK
tidak bermanfaat dan harus dihindari pada
pasien yang menjalani operasi kardiovaskuler,
ortopedi, dan vaskuler. � (AGN)
REFERENSI:
Hand L. UTI treatment in men: Shorter may be better. Medscape Medical News [Internet] 2012 [Cited 2012 Dec 27]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/775587
Pemberian Antibiotik Jangka Pendek untuk ISK pada Pria
372
BERITA TERKINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Nutrisi merupakan hal yang penting
bagi pasien usia lanjut dengan kanker,
tetapi masih banyak oncologists
yang melupakan aspek ini dalam terapi. Hal
ini dikemukakan oleh Dr. Federico Bozzetti
pada sesi khusus di pertemuan tahunan the
International Society of Geriatric Oncology.
Pasien usia lanjut dengan kanker perlu
diskrin apakah mengalami malnutrisi atau
tidak, dan intervensi yang bersifat individual,
multimodalitas sebaiknya diberikan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisinya. Status
nutrisi sebaiknya dinilai dan diintervensi untuk
mencegah perburukan dan mempertahankan
kualitas hidup.
Malnutrisi merupakan keadaan yang
subakut atau kronik, yang juga merupakan
kombinasi dari over- atau undernutrition dan
aktivitas inflamasi, menyebabkan perubahan
komposisi tubuh dan menurunnya fungsi
tubuh. Beberapa evidence mengkaitkan
malnutrisi dengan outcome klinis yang
lebih buruk, meningkatnya lama rawat inap,
lebih panjangnya masa penyembuhan,
menurunnya kualitas hidup, meningkatnya
morbiditas, dan meningkatnya mortalitas.
Selain itu, malnutrisi berkaitan dengan
meningkatnya toksisitas terhadap kemo-
terapi.
Data menunjukkan bahwa sampai sekitar
56% pasien geriatri mengalami malnutrisi,
dengan sekitar 20-80% dari pasien kanker
memiliki risiko yang tinggi. Status nutrisi
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor
antara lain asupan makanan, indeks massa
tubuh, kehilangan berat badan patologis,
dan tingkat keparahan penyakit. Terdapat
beberapa alat skrining yang membantu
mengidentii kasi apakah pasien berisiko
mengalami malnutrisi dan membutuhkan
dukungan nutrisi.
Walaupun belum terdapat konsensus
mengenai alat mana yang terbaik untuk
skrining, terdapat beberapa plilihan yaitu the
Malnutrition Universal Screening Tool (MUST),
the Nutritional Risk Screening (NRS) 2002, dan
the Mini Nutritional Assessment Short Form
(MNA-SF).
Dr. Paula Ravasco, anggota the SIOG Task
Force on Nutrition, menyatakan bahwa
nutrisi adjuvan berperan penting dalam
penatalaksanaan pasien kanker. Temuan
sebelumnya pada pasien dengan kanker
kolorektal menunjukkan bahwa pasien yang
menjalani konseling nutrisi mengalami
perbaikan asupan dan status nutrisi,
penurunan toksisitas, dan perbaikan kualitas
hidup dibandingkan pasien yang tidak
menjalani konseling.
Pemberian nutrisi dengan nasogastric atau
nasojejunal tube mungkin merupakan pilihan
untuk nutrisi jangka pendek jika saluran
cerna bagian atas tidak berfungsi dengan
baik. Nutrisi parenteral mungkin diberikan
pada pasien jika saluran cerna tidak berfungsi
baik, atau untuk memenuhi nutrisi oral yang
inadekuat. � (HLI)
Skrining Malnutrisi Pasien Kanker Usia Lanjut
REFERENSI:
1. Freeman S. Screen elderly cancer patients for malnutrition. OncologyStat [Internet]. 2012 Nov 21 [cited 2012 Dec 25]. Available from: http://www.oncologystat.com/news/Screen_El-
derly_Cancer_Patients_for_Malnutrition_US.html
2. Balducci L, Extermann M. Management of cancer in the older person: A practical approach. The Oncologist 2000;5:224-37.
3. Blanc-Bisson C, Fonck M, Rainfray M, Soubeyran P, Bourdel-Marchasson I. Undernutrition in elderly patients with cancer : Target for diagnosis and intervention. Crit Rev Hematol Oncol.
2008;67:243-54.
374
BERITA TERKINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Kombinasi Midazolam - Propofol Bermanfaat pada Pasien Lanjut Usia
Pasien lanjut usia memerlukan perhatian
dan observasi khusus pada saat induksi
anestesi dan intubasi endotrakeal
karena kemungkinan terjadinya efek samping
yang relatif tinggi meskipun dengan dosis
dewasa. Hal ini disebabkan oleh penurunan
fungsi organ, perubahan sistem saraf otonom,
dan peningkatan sensitivitas terhadap
obat jika dibandingkan dengan pasien
yang lebih muda. Selain itu, pasien lanjut
usia memerlukan perhatian khusus karena
risiko iskemik jantung, serebral, dan infark
serebral dapat meningkat meskipun terdapat
penurunan HR dan tekanan darah (BP – blood
pressure) sementara.
Propofol memiliki onset cepat, sehingga
direkomendasikan menjadi anestesi intravena
yang diberikan pada pasien lanjut usia. Akan
tetapi, pada pasien lanjut usia terdapat
peningkatan sensitivitas di otak, sehingga efek
anestesi propofol meningkat dengan dosis
yang sama. Selain itu, prevalensi penurunan
tekanan sistolik sebesar 15-40% terjadi pada
induksi anestesi dengan propofol.
Oleh karena itu, pada pasien lanjut usia
dengan perubahan hemodinamik yang
berat, penggunaan metode ko-induksi
(induksi secara bersamaan) dengan anestesi
infus intravena dapat meningkatkan ei kasi
dan keamanan obat tersebut. Metode ko-
induksi adalah metode sebuah obat anestesi
diberikan bersamaan dengan dosis kecil obat
anestesi atau sedatif lainnya dengan tujuan
menurunkan dosis obat anestesi induksi.
Metode ini bermanfaat menurunkan kejadian
efek samping yang timbul dibandingkan
dengan pemberian tunggal.
Propofol dan remifentanil adalah 2 obat yang
seringkali digunakan dalam metode ko-induksi
ini, akan tetapi pemilihan dosis kedua obat ini
harus tepat karena dapat menimbulkan efek
samping hipotensi dan bradikardi. Selain itu,
sering terjadi penurunan tekanan darah berat
sebelum dan setelah intubasi endotrakeal
pada pasien lanjut usia meskipun induksi
dengan dosis minimum. Sebagai alternatif,
penggunaan kombinasi midazolam dan
propofol terbukti dapat menurunkan dosis
propofol dengan memberikan efek sedasi
yang sinergis.
Studi acak dilakukan untuk membandingkan
efek perubahan kardiovaskuler terhadap
pemberian ko-induksi propofol, remifentanil,
dan midazolam atau propofol dan remifentanil.
80 pasien lanjut usia dengan usia >65
tahun yang akan menjalani pembedahan
elektif dengan anestesi umum secara acak
dibagi menjadi 2 kelompok dan menerima
remifentanil 10 μg/kgBB/jam, midazolam
0,03 mg/kgBB, dan propofol 0,8 mg/kgBB
(kelompok MP, n=40) atau 10 μg/kgBB/jam
dan propofol 0,8 mg/kgBB (kontrol, n=40).
Berikut hasil studi tersebut:
1. Perubahan tekanan darah rerata
lebih bermakna pada kelompok kontrol
jika dibandingkan dengan kelompok MP
(p<0,05).
2. Perubahan frekuensi nadi sebanding
antara kedua kelompok (p>0,05).
Simpulannya, ko-induksi midazolam dan
propofol dapat mencegah penurunan
tekanan darah yang bermakna pada intubasi
trakeal ketika induksi pada pasien lanjut usia.
� (MAJ)
REFERENSI:
1. Cressey DM, Claydon P, Bhaskaran NC, Reilly CS. Ef ect of midazolam pretreatment on induction dose requirements of propofol in combination with fentanyl in younger and older adults.
Anesthesia 2001;56(2):108-13.
2. Kim CS, Shim JY, Ryu KH, Seo SW, Choi JH, Yang NY, et al. The ef ect of co-administration of midazolam on induction and recovery using continuous propofol infusion. Korean J Anesthesiol.
1999;37(2):193-8.
3. Lim YS, Kang DH, Kim SH, Jang TH, Kim KH, Ryu SJ, et al. The cardiovascular ef ects of midazolam co-induction to propofol for induction in aged patients. Korean J Anesthesiol. 2012;62(6):536-42.
Grai k 1 Perubahan tekanan darah rerata (MBP) lebih bermakna pada kelompok kontrol (P-propofol) jika dibandingkan den-
gan kelompok MP (midazolam-propofol) (p <0,05)
Grai k 2 Perubahan frekuensi nadi (HR) sebanding antara kedua kelompok (p>0,05)
376
BERITA TERKINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
stroke sebagai titik akhir. Risiko relatif (RR)
digunakan sebagai alat ukur pengaruh
suplementasi asam folat pada risiko stroke
dengan model efek random. Analisis ini lebih
lanjut dikelompokkan berdasarkan faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi efek terapi.
Suplementasi asam folat secara signii kan
mengurangi risiko stroke sebesar 18% (RR 0,82,
95% CI 0,68 -1,00, p=0,045). Dalam analisis
bertingkat, efek menguntungkan yang lebih
besar terlihat pada uji dengan durasi terapi
lebih dari 36 bulan (0,71, 0,57-0,87; p=0,001),
penurunan konsentrasi homosistein lebih
dari 20% (0,77, 0,63 -0,94, p=0,012), tidak ada
fortii kasi atau sebagian difortii kasi (0,75,
0,62-0,91, p=0,003), dan tidak ada riwayat
stroke (0,75, 0,62-0,90, p=0,002). Temuan ini
menunjukkan bahwa suplementasi asam
folat dapat mengurangi risiko stroke pada
pencegahan primer.
Selanjutnya dilakukan meta-analisis ber-
dasarkan uji relevan, up-to-date. Risiko
relatif (RR) digunakan untuk mengukur efek
suplementasi asam folat pada risiko stroke
dengan model i xed-efect. Secara keseluruhan,
suplementasi asam folat mengurangi risiko
stroke sebesar 8% (n=55.764, RR: 0,92, 95%
CI: 0,86-1,00, p=0,038). Dalam 10 uji tanpa
atau fortii kasi parsial asam folat (n= 43.426),
risiko stroke berkurang sebesar 11% (0.89,
0,82-0,97, p=0,010). Analisis meta-regresi
juga menunjukkan hubungan dosis-respons
positif antara penggunaan statin dan log-RR
stroke terkait dengan suplementasi asam folat
(p=0.013). Dosis harian 0,4-0.8 mg asam folat
tampaknya cukup untuk pencegahan stroke.
Dalam lima uji tersisa pada populasi dengan
fortii kasi asam folat (n=12.338), suplementasi
asam folat tidak berpengaruh pada risiko
stroke (1,03; 0,88-1,21, 0,69).
Analisis ini menunjukkan bahwa suple-
mentasi asam folat efektif mencegah
stroke pada populasi tanpa atau dengan
fortifikasi asam folat parsial. Selain itu, efek
menguntungkan yang lebih besar ditemu-
kan pada uji dengan penggunaan statin
lebih rendah. Temuan ini menggarisbawahi
pentingnya identifikasi populasi target yang
bisa mendapatkan keuntungan dari terapi
asam folat. � (RWA)
REFERENSI:
1. Wang X, Qin X, Demirtas H, Li J, Mao G, Huo Y. Ei cacy of folic acid supplementation in stroke prevention: a meta-analysis. The Lancet 2007;369(9576):1876-82.
2. Huo Y, Qin X, Wang J, Sun N, Zeng Q, Xu X, et al. Ei cacy of folic acid supplementation in stroke prevention: new insight from a meta-analysis. Int J Clin Pract. 2012;66(6):544-51.
Asam Folat Mengurangi Risiko Stroke
Ei kasi terapi untuk menurunkan
konsentrasi homosistein sehingga me-
ngurangi risiko penyakit kardiovaskular
masih kontroversial. Untuk itu dilakukan
meta-analisis uji acak yang relevan untuk
menilai ei kasi suplementasi asam folat
dalam pencegahan stroke. Dikumpulkan
data dari delapan uji acak asam folat dengan
378
BERITA TERKINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Hingga kini telah cukup banyak bukti
(baik dari studi pre-klinik maupun
klinik) yang menunjukkan manfaat
astaxanthin, suatu xanthophylls, bagi kesehat-
an secara luas. Peran utama astaxanthin yaitu
sebagai antioksidan kuat. Selain itu, berbagai
manfaat lainnya meliputi prevensi dan terapi
berbagai kondisi seperti yang terangkum di
bawah ini:
Aktivitas antioksidan
• Aktivitas antioksidan astaxanthin terbesar
dibandingkan lutein, lycopene, a-carotene,
b-carotene, a-tocopherol, 6-hydroxy-2,5,7,8-
tetramethylchroman-2-carboxylic acid, mau-
pun carotenoid lainnya.
• Aktivitas astaxanthin 10 kali lebih
tinggi dibandingkan carotenoid lain, seperti
zeaxanthin, lutein, canthaxantin, dan
β-carotene; 100 kali lebih tinggi dibandingkan
α-tocopherol / vitamin E.
• Adanya bagian hydroxyl dan keto
menyebabklan aktivitas antioksidan
astaxanthin yang tinggi.
• Astaxanthin tidak bersifat pro-oksidan.
• Astaxanthin mengurangi oksidasi
guanosine (komponen DNA)
Aktivitas anti-inl amasi
• Dilaporkan bahwa astaxanthin dapat
menghambat produksi mediator / sitokin
inl amasi: nitrit oxide synthase, cycloosygenase-2,
tumor necrosis factor α, dan interleukin-6.
• Astaxanthin meningkatkan fagositik
neutroi l dan kemampuan membunuh
bakteri, serta mengurangi produksi superoxide
anion dan hydrogen peroxide.
• Pada pasien asma, terdapat suatu studi
yang menyatakan benei t astaxanthin dalam
mensupresi aktivitas sel T.
Aktivitas gastro-protektif
• Astaxanthin mengurangi proliferasi dan
inl amasi yang disebabkan H pylori.
• Astaxanthin mengurangi timbulnya ulkus
lambung pada mencit yang diinduksi stres.
• Pemberian astaxanthin dosis tinggi (40
mg/hari) mengurangi gejala rel uks pada
pasien, terutama dengan infeksi H pylori.
• Astaxanthin melindungi lambung
terhadap kerusakan yang disebabkan ethanol
pada mencit.
Aktivitas hepatoprotektif
• Astaxanthin terakumulasi dalam mikrosom
dan mitokondria hati dan berpotensi melindungi
hati terhadap toksin melalui mekanisme hambat-
an peroksidasi lemak, stimulasi antioksidan
seluler, dan modulasi proses inl amasi.
• Pada studi hewan coba, astaxanthin
terlihat menurunkan progresivitas keganasan
dengan induksi karsinogen al atoxin.
• Astaxanthin melindungi hati terhadap
iskemia – reperfusi.
• Astaxanthin tidak memengaruhi efek
antivirus terapi standar hepatitis C (pegylated
interferon dan ribavirin).
• Astaxanthin menghambat peningkatan
berat badan, berat jaringan lemak, kadar
trigliserida liver dan plasma, kolesterol total,
dan meningkatkan sensitivitas insulin serta
kerusakan hati pada mencit yang diberikan
diet tinggi lemak.
Aktivitas antidiabetes
• Diabetes mellitus berkaitan erat dengan
stres oksidatif. Stres oksidatif yang diinduksi
kadar gula berlebih dapat menyebabkan
disfungsi pankreas.
Manfaat Astaxanthin bagi Kesehatan Tubuh
379
BERITA TERKINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
• Astaxanthin dapat mengurangi stres
oksidatif pada sel β pankreas (sel penghasil
insulin) yang diinduksi kadar gula berlebih.
• Astaxanthin terpantau meningkatkan
sensitivitas insulin, toleransi glukosa, kadar
insulin serum, dan menurunkan kadar gula
darah.
• Astaxanthin menghambar terjadinya
disfungsi limfosit pada pasien diabetes.
• Pada hewan coba, astaxanthin
mengurangi kerusakan ginjal (nefropati) pada
kondisi diabetes. Mekanismenya terutama
melalui penurunan stres oksidatif pada ginjal.
• Pada kondisi diabetes, astaxanthin
mengembalikan aktivitas enzimatik kelenjar
liur.
Aktivitas kardioprotektif
• Carotenoid dipercaya bermanfaat
melindungi jantung karena aktivitas
antioksidannya.
• Astaxanthin secara bermakna mengurangi
ini ltasi makrofag pada plak aterosklerosis dan
mengurangi apoptosis makrofag dan ruptur
(pecah) plak � plaque stability.
• Pemberian astaxanthin pada hewan coba
terpantau menurunkan tekanan darah arteri
pada kondisi hipertensi, serta mengurangi
insidens stroke.
• Astaxanthin terpantau mengurangi
aktivitas sistem renin-angiotensin yang
berhubungan dengan peningkatan tekanan
darah.
• Astaxanthin meningkatkan kontraktilitas
jantung pada mencit.
• Pada uji klinik, pemberian astaxanthin
meningkatkan kadar adinopectin dan
memperbaiki kadar trigliserida, dan high-
density lipoprotein. Pada uji klinik lainnya,
astaxanthin terpantau memperbaiki rheology
darah (parameter: blood transit time).
Aktivitas antikanker
• Di antara canthaxanthin dan β-carotene,
astaxanthin menunjukkan aktivitas antikanker
tertinggi.
• Efek inhibisi astaxanthin terpantau pada
jenis kanker kolon, i brosarkoma mulut,
payudara, prostat, i broblas embionik, dan
beberapa jenis kanker lainnya.
• Astaxanthin terpantau bersifat
kemopreventif terhadap karsinogen pada
hewan coba.
• Pada hewan coba, pemberian astaxanthin
sebelum mulai adanya tumor (diinduksi)
menghambat pertumbuhan tumor payudara
dan meningkatkan jumlah sel natural killer.
Namun, pemberian setelah induksi tumor
meningkatkan pertumbuhan tumor dan
meningkatkan produksi sitokin proinl amasi.
Aktivitas neuroprotektif
• Astaxanthin melindungi sel saraf dari
kerusakan yang diinduksi, sehingga protektif
terhadap penyakit neurodegeneratif
(termasuk Parkinson dan Alzheimer). Namun
belum ada uji klinik yang mengkoni rmasi hal
ini.
• Astaxanthin dapat mengurangi
kerusakan yang diinduksi iskemia dan infark
serebrum melalui hambatan stres oksidatif
(antiapoptosis) pada jaringan otak.
• Berbagai studi menemukan mekanisme
– mekanisme neuroprotektif astaxanthin
yang beragam, sehingga memberikan dasar
evidens potensi astaxanthin dalam prevensi
dan terapi berbagai penyakit / kelainan saraf.
• Astaxanthin juga terpantau meningkatkan
kemampuan sel punca neural (saraf ).
Aktivitas protektif terhadap mata
• Pada sukarelawan sehat (usia > 40 tahun),
konsumsi astaxanthin 4 atau 12 mg/hari
selama 28 hari memperbaiki penglihatan
jarak jauh dan mempersingkat kemampuan
akomodasi mata.
• Pada uji klinik, astaxanthin terpantau
memperbaiki fungsi retina dan kelelahan
mata.
• Astaxanthin terpantau meningkatkan
aliran darah pada mata dan juga bersifat anti-
inl amasi.
• Studi pada hewan menunjukkan efek
protektif astaxanthin pada lensa mata
terhadap kerusakan oksidatif.
Aktivitas protektif terhadap kulit
• Astaxanthin menghambat kerusakan
akibat pajanan sinar ultraviolet.
• Pada 3 uji klinik, astaxanthin terpantau
mengurangi kerutan halus dan age spot, baik
pada wanita maupun pria.
REFERENSI:
1. Yuan JP, et al. Potential health-promoting ef ects of astaxanthin: A high-value carotenoid mostly from microalgae. Mol Nutr Food Res. 2011; 55:150-65.
2. Yamashita E.The ef ects of a dietary supplement containing astaxanthin on skin condition.Carotenoid Science.2006;10:91-5.
3. Tominaga K, et al.Cosmetic benei ts of astaxanthin on humans subjects.Acta Biochimica Polonica.2012;59(1):43-7.
Aktivitas terhadap kemampuan i sik
• Pada sukarelawan pria sehat, pemberian
astaxanthin secara bermakna menurunkan
kadar asam laktat (hasil buangan aktivitas
otot) serum pasca latihan i sik. Sehingga
astaxanthin berpotensi meningkatkan
kemampuan latihan i sik / olahraga.
• Astaxanthin terpantau mengurangi
kerusakan otot rangka dan jantung yang
diinduksi latihan i sik pada mencit.
• Astaxanthin meningkatkan metabolisme
lemak (dan penggunaan asam lemak),
bukan meningkatkan penggunaan
glukosa, sehingga menyebabkan perbaikan
pengurangan jaringan lemak saat latihan
fisik dan mengurangi penggunaan glikogen
untuk digunakan kemudian (later stage
of exercise), sehingga meningkatkan
kemampuan latihan fisik dan menunda
timbulnya rasa lelah.
Aktivitas terhadap fertilitas
• Uji klinik menunjukkan bahwa pemberian
astaxanthin sebagain terapi tambahan secara
bermakna mengurangi pembentukan radikal
bebas pada sel reproduksi.
• Studi pada hewan coba menunjukkan
manfaat astaxanthin dalam meningkatkan
berat testis, jumlah dan morfologi spermatozoa
yang diinduksi cyclophosphamide.
Aktivitas terhadap fungsi ginjal
• Astaxanthin mengurangi dampak
toksisitas merkuri terhadap ginjal.
Mekanismenya melalui hambatan oksidasi
lemak dan protein.
Potensi manfaat astaxanthin yang luas
perlu dikonfirmasi dalam uji klinik. Jika
sudah ada uji klinik dengan metode yang
baik, maka besar kemungkinan astaxanthin
akan menjadi suatu nutraseutikal yang
direkomendasikan sebagai upaya prevensi
/ terapi penyakit.
Astaxanthin dapat ditemukan pada microalgae
Haematococcus pluvialis, Chlorella zoi ngiensis,
Chlorococcum sp, dan ragi merah Phai a
rhodozyma. Namun, H pluvialis memiliki
kapasitas akumulasi astaxanthin tertinggi
(hingga 4-5% berat kering). � (HSD)
382
BERITA TERKINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Urtikaria idiopatik kronik (disebut
juga urtikaria spontan kronik)
adalah urtikaria yang gatal hingga
6 minggu, dengan atau tanpa angioedema
dan tanpa adanya pemicu eksternal. Kondisi
tersebut berlanjut hingga 1 sampai 5 tahun
(bertahan lebih dari 5 tahun pada 11-14%
pasien) dan berdampak buruk pada emosi
pasien dan kualitas hidup yang berkaitan
dengan kesehatan i sik. Gangguan yang
berhubungan dengan kelainan ini sering
disamakan dengan pasien dengan penyakit
jantung iskemik. Pasien merasakan kurang
energi, isolasi sosial, dan emosi yang
meningkat sama dengan mereka yang
menderita penyakit jantung. Antihistamin
H1 nonsedasi adalah terapi awal dan agen
satu-satunya yang telah diberi lisensi untuk
digunakan pada pasien dengan urtikaria
idiopatik kronik. Namun, sebagian besar
pasien tidak responsif terhadap antihistamin
H1, bahkan pada tiga atau empat kali dosis
yang dilisensikan.
Pilihan terapi untuk pasien yang tidak
responsif pada antihistamin H1 termasuk
penggunaan antihistamin H2, antagonis
reseptor leukotrien, glucocorticoid sistemik,
cyclosporine, hydroxychloroquine, dapson,
methotrexate, sulfasalazin, dan imunoglobulin
intravena. Tidak satupun agen-agen tersebut
yang telah disetujui untuk terapi urtikaria
idiopatik kronik. Sebagai tambahan, data
pendukung untuk penggunaan obat-obat
ini terbatas, dan penggunaan jangka panjang
beberapa agen ini dapat dihubungkan
dengan efek samping bermakna.
Pelepasan histamin dari sel mast kulit telah
lama dihubungkan dengan patogenesis
urtikaria idiopatik kronik; basoi l dan IgE juga
memegang peranan penting.
Omalizumab, sebuah antibodi monoklonal
manusia rekombinan disetujui sebagai terapi
tambahan untuk asma alergi sedang sampai
persisten berat. Omalizumab mengurangi
kadar IgE bebas dan reseptor ai nitas tinggi
untuk region Fc dari IgE (FcåRI), keduanya
penting dalam aktivasi basoi l dan sel mast.
Bukti awal dari penelitian memperlihatkan
bahwa omalizumab mungkin efektif pada
pasien urtikaria idiopatik kronik yang tetap
simptomatik meskipun dengan terapi
antihistamin. Data dari dua penelitian fase 2
multisenter. acak. tersamar-ganda, kontrol-
plasebo yang melibatkan total 139 pasien
memperlihatkan bahwa omalizumab, yang
telah dikenal aman, bermanfaat pada pasien
dengan urtikaria idiopatik kronik yang tetap
simptomatik meskipun telah menggunakan
antihistamin H1.
Pada penelitian kontrol-plasebo, tersamar-
ganda, multisenter, internasional, acak
ini, para peneliti meneliti efektivitas dan
keamanan omalizumab selama 28 minggu
pada dewasa dan remaja (>12 tahun) pasien
dengan urtikaria idiopatik kronik yang tetap
simptomatik meskipun telah menggunakan
antihistamin H1. Setelah skrining selama
2 minggu, pasien diacak menjadi empat
kelompok dengan perbandingan 1:1:1:1
untuk menerima tiga injeksi subkutan
omalizumab (dosis 75 mg, 150 mg, atau 300
mg) atau plasebo. Dosis untuk penelitian ini
berdasarkan hasil penelitian rentang dosis fase
2 sebelumnya. Dosis diberikan dengan interval
4 minggu dan untuk memastikan kesamaran
terjaga, setiap dosis diberikan oleh klinisi yang
tidak dilibatkan pada evaluasi gejala pasien.
Terapi selama 12 minggu ini diikuti oleh
periode evaluasi selama 16 minggu. Pasien
menggunakan alat elektronik untuk merekam
data sendiri dengan Urticaria Patient Daily
Diary (UPDD) yang telah divalidasi. Diari
elektronik ini dilengkapi dengan waktu dan
tanggal untuk memastikan agar data tidak
termasuk yang di luar waktu penilaian.
Pasien mendapatkan dosis stabil antihistamin
H1 selama periode terapi. Dalam periode tindak
lanjut, pasien dibolehkan menggunakan satu
tambahan antihistamin H1. Selama penelitian,
Omalizumab untuk Terapi Urtikaria Idiopatik Kronik atau Spontan
383CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
REFERENSI:
Maurer M, et al. Omalizumab for the treatment of chronic idiopatic or spontaneous urticaria [citated April 16, 2013]. N Engl J Med 2013; 368:924-935. Available from: http://www.nejm.org/doi/
full/10.1056/NEJMoa1215372#t=articleTop
seluruh pasien diberi diphenhydramine (25
mg) sebagai pengobatan darurat untuk
mengurangi gejala gatal (sampai maksimum
tiga dosis dalam 24 jam).
Pasien dilibatkan dalam penelitian jika
mereka berumur antara 12 hingga 75 tahun
(antara 18 sampai 75 tahun di Jerman) dan
memenuhi seluruh kriteria yaitu riwayat
paling sedikit 6 bulan urtikaria idiopatik
kronik, adanya urtikaria dihubungkan
dengan gatal selama paling sedikit 8 minggu
berturut-turut meskipun sudah meng-
gunakan antihistamin H1, skor aktivitas
urtikaria (UAS) selama periode 7 hari (UAS7)
16 atau lebih (rentang skala 0-42, skala lebih
tinggi mengindikasikan aktivitas lebih besar
dan minimally important dif erence [MID] 9,5
hingga 10,5), skor keparahan gatal mingguan
8 atau lebih (rentang skala 0-21, angka lebih
besar mengindikasikan gatal yang lebih
parah dan MID lebih dari sama dengan 5)
selama 7 hari sebelum pengacakan (minggu
ke-0), skor 4 atau lebih pada UAS (rentang
0-6, skor lebih tinggi mengindikasikan
aktivitas yang lebih besar) dinilai oleh klinisi
paling sedikit pada satu kunjungan skrining,
dan menerima antihistamin H1 generasi
kedua untuk urtikaria idiopatik kronik selama
paling sedikit tiga hari berturut-turut segera
setelah kunjungan skrining ke-14 sebelum
pengacakan, dan tidak menghilangkan diari
elektronik 7 hari sebelum randomisasi.
Kriteria eksklusi meliputi penyebab penyerta
urtikaria kronik (seperti urtikaria i sik), pem-
berian rutin (setiap hari atau setiap hari lain se-
lama lebih dari 5 hari) glucocorticoid sistemik,
hydrochloroquine, methotrexate, cyclosporin,
cyclophosphamide, atau imunoglobulin
intravena dalam 30 hari terakhir untuk
indikasi apa saja, penggunaan antihistamin
H2 atau antagonis reseptor leukotrien dalam
7 hari setelah kunjungan hari ke-14 sebelum
randomisasi, penggunaan antihistamin H1
dengan dosis yang lebih besar daripada dosis
yang ditentukan dalam 3 hari setelah kunjungan
skrining hari ke-14 sebelum randomisasi,
riwayat kanker, berat badan kurang dari 20 kg,
diketahui hipersensitif terhadap omalizumab,
terapi omalizumab dalam 1 tahun terakhir, atau
kehamilan. Sebelum penelitian, seluruh pasien
atau orang tua atau wali (untuk umur di bawah
18 tahun) menandatangani informed consent.
Pada penelitian ini, omalizumab tiga dosis
150 mg atau 300 mg dengan interval 4
minggu secara signii kan mengurangi
gejala, dibandingkan dengan plasebo, pada
pasien urtikaria idiopatik kronik yang tetap
simptomatik dengan antihistamin H1. Efek
yang berarti secara klinis dan signii kan terlihat
pada pasien yang menerima 150 sampai
300 mg omalizumab. Tingkat keamanan
omalizumab sama dengan yang sebelumnya
dilaporkan pada penggunaan omalizumab
pada pasien asma alergi; sebagian besar efek
samping serius terjadi pada kelompok yang
menerima dosis tertinggi (300 mg).
Omalizumab memiliki onset efek dalam satu
minggu setelah terapi awal. Waktu median
terhadap respons minimally important
dif erence (MID) pada skor keparahan gatal
mingguan secara signii kan lebih pendek
pada kelompok yang menerima 300 mg (1
minggu) dan pada kelompok yang menerima
150 mg (2 minggu) daripada kelompok
plasebo (4 minggu). Penelitian fase 2 juga
memperlihatkan pengurangan UAS dan UAS7
selama minggu pertama terapi omalizumab.
Durasi supresi pada skor keparahan gatal
mingguan setelah minggu ke-12 lebih besar
pada pasien yang menerima dosis lebih tinggi
(150 dan 300 mg) omalizumab. Tidak tampak
peningkatan kembali gejala terhadap baseline
selama omalizumab dihentikan.
Mekanisme kerja omalizumab untuk
urtikaria belum sepenuhnya diketahui.
Telah dilaporkan bahwa pasien urtikaria
idiopatik kronik aktif memiliki fungsi basoi l
abnormal, termasuk supresi jalur reseptor IgE
ai nitas tinggi (FcåRI), basopenia darah, dan
rekrutmen basoi l ke tempat lesi kulit. Pada
pasien urtikaria idiopatik kronik saat remisi,
basopenia darah dan supresi jalur reseptor
IgE ai nitas tinggi kembali normal. Pada
penelitian sebelumnya, pengikatan IgE yang
bersirkulasi oleh omalizumab memperlihatkan
pengurangan IgE bebas dalam beberapa jam
setelah pemberian dan penurunan regulasi
FcåRI pada basoi l darah dalam 2 minggu,
pada sel mast, pengurangan ekspresi FcåRI,
dan degranulasi terjadi setelah 8 minggu.
Penelitian ini tidak dibuat untuk menjelaskan
mekanisme aksi omalizumab pada pasien
urtikaria idiopatik kronik.
Simpulannya, selama 12 minggu pertama
penelitian, omalizumab dosis 150 mg dan
300 mg secara signii kan meningkatkan
luaran pasien urtikaria idiopatik kronik yang
tetap simptomatik meskipun menggunakan
antihistamin H1. Jumlah pasien terlalu
sedikit untuk menyimpulkan keamanan,
tetapi kejadian efek samping serius lebih
umum pada pasien dengan dosis tertinggi
omalizumab (300 mg). � (Prima Almazini)
385
BERITA TERKINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Pancrealipase Lepas Lambat untuk Insui siensi Pankreas
Terapi penggantian enzim pankreas
(pancreatic enzyme replacement
therapy=PERT) diperlukan untuk
mencegah maldigesti berat dan penurunan
berat badan yang tidak diinginkan terkait
dengan insui siensi pankreatik eksokrin
(exocrine pancreatic insui ciency=EPI) karena
pankreatitis kronis (chronic pancreatitis=CP)
atau operasi pankreas (pancreatic surgery=PS).
Studi tersamar ganda terkontrol plasebo
dilakukan 7 hari dilanjutkan open-label
ekstensi selama 6 bulan pada pasien berusia ≥
18 tahun dengan EPI karena CP atau PS yang
sebelumnya menerima PERT. Pasien menerima
dosis pancrelipase individual seperti yang
diarahkan oleh peneliti. Secara keseluruhan,
48 dari 51 pasien menyelesaikan fase open-
label, satu mengundurkan diri karena efek
samping mendadak yang tidak berhubungan
dengan terapi, yaitu luka bakar kulit dan dua
tidak melanjutkan. Usia rata-rata 50,9 tahun,
70,6% dari pasien laki-laki, 76,5% memiliki
CP dan 23,5% telah menjalani PS. Rata-rata
dosis pancrelipase adalah 186.960 ± 74.640
unit lipase/hari. Efek samping dilaporkan oleh
22 pasien (43,1%) secara keseluruhan. Hanya
4 pasien (7,8%) mengalami efek samping
yang dianggap terkait pengobatan. Dari fase
awal tersamar ganda sampai akhir periode
open-label, berat badan meningkat 2,7±3,4
kg (p <0,0001) dan perubahan frekuensi
buang air besar harian 1.0±1.3 (p <0,001).
Juga diamati perbaikan nyeri perut, perut
kembung dan konsistensi tinja. Pancrelipase
ditoleransi dengan baik selama 6 bulan dan
menghasilkan peningkatan berat badan yang
signii kan secara statistik serta penurunan
frekuensi buang air besar pada pasien dengan
EPI karena CP atau PS yang sebelumnya
dikelola dengan PERT standar.
Kapsul pancrelipase lepas lambat adalah
sediaan enzim pankreas berisi pancrelipase,
sebuah ekstrak yang diturunkan dari kelenjar
pankreatik porsin. Enzim pankreatik ini
beraksi seperti enzim pencernaan yang
secara i siologis disekresi pankreas. Kapsul
pancrelipase lepas lambat sebelumnya untuk
terapi insui siensi pankreas karena i brosis
kistik atau kondisi lainnya.
Insui siensi eksokrin pankreas (IEP) sering
diamati pada pasien dengan penyakit
pankreas, termasuk pankreatitis kronis,
i brosis kistik, dan tumor, atau setelah reseksi
bedah. IEP sering menyebabkan malnutrisi,
penurunan berat badan dan steatorrhea,
yang bersama-sama meningkatkan risiko
morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu,
intervensi gizi, seperti diet rendah lemak dan
terapi penggantian enzim pankreas (TPEP),
diperlukan untuk memperbaiki gejala klinis,
dan untuk mengatasi patoi siologi insui siensi
pankreas eksokrin. TPEP dengan pancrelipase
lepas lambat sekarang menjadi terapi standar
untuk insui siensi pankreas eksokrin karena
secara signii kan memperbaiki koei sien
lemak dan penyerapan nitrogen serta
gejala klinis, tanpa efek samping serius yang
muncul. Efek samping yang utama adalah
gejala saluran pencernaan yang dapat
ditoleransi, seperti nyeri perut, mual, dan
kembung. Colonopathy i brosing, komplikasi
serius, terkait dengan dosis tinggi enzim.
Meskipun banyak uji klinik tersamar ganda,
terkontrol plasebo produk pancrelipase telah
dilakukan dalam beberapa tahun terakhir,
penelitian telah mendaftarkan pasien relatif
sedikit dan sering menjadi kurang dari
beberapa minggu dalam durasi. Selain itu,
beberapa studi telah membahas masalah
diabetes pankreas, jenis diabetes yang
ditandai dengan hipoglikemia yang sering,
yang sulit dikelola. Selain itu, tidak jelas
apakah TPEP meningkatkan morbiditas dan
mortalitas dalam pengaturan tersebut. Oleh
karena itu, uji jangka panjang prospektif yang
besar diperlukan untuk mengidentii kasi
pengobatan yang optimal untuk insui siensi
pankreas eksokrin. Studi-studi juga harus
memeriksa sejauh mana TPEP menggunakan
pancrelipase meningkatkan mortalitas dan
morbiditas. Etiologi dan beratnya insui siensi
eksokrin pankreas sering berbeda antara
pasien dengan penyakit gastrointestinal atau
diabetes (tipe 1 dan tipe 2), dan di antara
subyek lansia.
Meskipun saat ini bukti klinis terbatas,
sejumlah penyakit ekstrapankreatik dan
kondisi yang lazim dalam populasi umum
juga dapat dipertimbangkan menjadi target
potensial untuk perawatan TPEP dan terapi
terkait.3 � (RWA)
REFERENSI:
1. Gubergrits N, Malecka-Panas E, Lehman GA, Vasileva G, Shen Y, Sander-Struckmeier S, et al. A 6-month, open-label clinical trial of pancrelipase delayed-release capsules (Creon) in patients
with exocrine pancreatic insui ciency due to chronic pancreatitis or pancreatic surgery. Aliment Pharmacol Ther. 2011;33:1152–1161.
2. Drug Information Ultresa (pancrelipase) delayed-release capsules [Internet]. 2012 [cited 2012 Nov 30]. Available from: http://www.centerwatch.com/drug-information/fda-approvals/
drug-details.aspx?DrugID=1191.
3. Nakajima K, Oshida H, Muneyuki T, Kakei M. Pancrelipase: an evidence-based review of its use for treating pancreatic exocrine insui ciency. Core Evidence 2012:7 77–91.
388
OPINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
The medicinal use of plants is age-old, and
might be related to the discovery of the
benei cial properties of certain food plants,
a process documented in the veterinarian
literature not only in primates, but also in
animals more evolutionally distant from Man.1
While zoopharmacy, that is the medicinal use
of plants by animals, might have predated the
birth of human medicine and have inspired it,1
there are several indications that the distinction
between food plants and medicinal plants
was rather blurred in the past. Thus, food
plants (legumes), and not medicinal plants
were used in the i rst recorded description
(Book of Daniel of the Bible) of what we would
now consider a clinical trial.2 Remarkably, food
plants (Citrus fruits) were also used, almost
2000 years later, by the naval surgeon James
Lindt in his classic study on the prevention
of scurvy, the i rst modern clinical trial in the
history of medicine.2 The Lind comparative
study of several preventive treatments for
scurvy (Citrus fruits, legumes, vinegar, acids)
is considered the starting date for modern
medicine, just like the experiments of the
young German pharmacist Sertürner, who
in 1818 obtained a white powder from
opium, marked the beginning of modern
pharmaceutical research.3 Sertürner baptized
the product morphine in honor of Morpheus,
the Greek God of sleep, since this compound
could reproduce, in a magnii ed form, the
analgesic and sedative properties of opium.
The impact of this discovery was enormous
and far-reaching. The old alchemic theories
on the quintessential of things seemed to
materialize: from a crude product it was
possible to obtain one constituent that
recapitulated its biological properties. This
condensate (quintessence in the para-
alchemic lingo of the early pharmacy) was
named active principle, Wirkstof in German,
the scientii c lingua franca of that time. The
example by Sertürner was contagious, and,
by the end of the 19th century, the active
principles of most medicinal plants with a
marked bioactivity (heroic medicinal plants)
had already been isolated. Because of their
powerful action and low therapeutic margin,
these medicinal plants (poppy, foxglove,
belladonna) are not directly used in medicine
any more, and have been replaced by their
purii ed active ingredients (morphine,
papaverine, lanatosides, atropine), by semi-
synthetic derivatives, or by fully synthetic
analogs prepared in chemical laboratories.
These heroic plants are nowadays only used
as a starting material for the isolation of their
pure active principles, and are substantially
outside the realm of phytotherapy, whose
i eld use is largely limited to chronic conditions
characterized by complex etiology. Nowadays,
it would be foolish or even criminal to use
plants like foxglove or belladonna rather than
their purii ed active ingredients dosed with
precision and formulated to optimize activity.
Most medicinal plants are, however, not
heroic. Their study is much more complex,
The Role of Plants in Modern Medicine. Back to the Future or Back to Quackery?
Giovanni AppendinoDipartimento di Scienze del Farmaco, Italy
ABSTRACT
Over the past decades, there has been a growing interest in the medical community for medicinal plants, as testii ed by the introduction in the
mainstream pharmaceutical market of standardized plant extracts, both in European Union and in the United States. However, from a regulatory
standpoint, most medicinal plants are still in the healthfood limbo, and this article highlights the many dii culties that exist in the clinical
translation of the potential of medicinal plants to improve human health.
Key words: medicinal plants, standardized plant extracts, phytotherapy
ABSTRAK
Dalam beberapa dekade terakhir, komunitas medis meningkatkan perhatiannya pada tanaman obat, sebagaimana terbukti dengan
diperkenalkannya ekstrak tanaman terstandardisasi dalam pasar utama farmasi. Baik di Uni Eropa maupun Amerika Serikat. Namun, dari
sudut pandang regulasi, kebanyakan tanaman obat masih digolongkan sebagai makanan kesehatan. Tulisan ini menggarisbawahi banyaknya
kesulitan yang muncul dalam penerjemahan klinis potensi tanaman obat untuk meningkatkan kesehatan manusia. Giovanni Appendino.
Peran Tanaman dalam Kedokteran Modern. Back to the Future or Back to Quackery?
Kata kunci: tanaman obat, ekstrak tanaman terstandardisasi, i toterapi
Alamat korespondensi email: appendino@pharm.unipmn.it
389
OPINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
and had to wait the technological and
biomedical progresses of the past decades
to move from anecdotic empirism to rational
investigation. Thus, most medicinal plants are
not characterized by the presence of a single
active ingredients, with a single molecular
target and a single mechanism of action.4
Furthermore, the active ingredients are
sometimes present in the plant as precursors,
activated during digestion by intestinal
enzymes, or by the intestinal bacteria.
Chamomile, a medicinal plant universally
known, will guide us in this tour of modern
phytotherapy and its subtleties. Chamomile
(Matricaria chamomilla L.) shows anti-
inl ammatory activity qualitatively similar, but
less potent, than non-steroid anti-inl ammatory
drugs (NSADIs). Only recently, however, it was
possible to identify its active ingredients and
molecular targets.5 Chamomile extracts show
only modest anti-inl ammatory activity in in
vitro assays, but they are much more potent
in vivo. The textbooks of phototherapy list
an intimidating series of potential active
ingredients for chamomile. Flavonoids,
polyacetylenic spiroethers, α-bisabolol,
chamazulene, coumarins, polyphenolics and
the essential oil are all mentioned as active
constituents of the plant, puzzling readers. If,
however, we scour the literature, we discover
that all these ingredients are poorly absorbed,
extensively degraded during storing, require
high temperatures for their formation, or are
contained also in other plants for which the
anti-inl ammatory actions of chamomile have
never been claimed. It is therefore easy to
dismiss chamomile as medical archeology.
Actually, the situation is more complex (and
exciting for researchers). Chamomile tastes
bitter because of the presence of the terpene
lactone matricin. Matricin substantially
lacks biological activity beyond its sensory
properties, but in the acidic stomach
environment it is turned into chamazulene
carboxylic acid, a structural analogue of
the well-known NSAID ibuprofen.6 This
compound has a more marked COX-2 ai nity
than ibuprofen, and any lingering stomach-
damaging activity mediated by the residual
COX-1 ai nity is buf ered by the soothing
activity of another constituent, α-bisabolol, on
gastric mucosa. Given the overall low intake of
matricin from a standard dosage of chamomile,
it is dii cult to translate these observation into
a clinical activity, but the anti-inl ammatory
activity of chamazulene carboxylic acid
could be magnii ed by the presence of
several l avonoids. Chamomile is rich of
apigenin glycosides, from which the parent
l avonoid s generated by removal of the sugar
decoration in the small intestine. Apigenin is
a potent spasmolytic agent, at least potent
as papaverine fom opium, and can interfere
with the transcription of the genes coding
for COXs and other inl ammatory enzymes
and factors.7 Add also that chamomile is taken
as a warm infusion, and that the trigeminal
stimulation of the thermo-sensors of the oral
cavity has an intrinsic mild anti-inl ammatory
action,8 and we arrive at a complex scenario
where activity is generated in a way that
substantially transcends the concept of active
principle.
The principle that “a rose is a rose is a rose”
does not apply to chamomile, since there
are several types of chamomile, containing
dif erent compounds and therefore endowed
with dif erent grades of activity. The
l owerheads of chamomile have two types
of l owers, the white and ligular peripheral
ones, and the central yellowish ones (Figure
2). The two types of l owers contain dif erent
compounds. The white peripheral ones
contain most of the l avonoids, while most
matricin is contained in the central yellowish
ones.5 Incidentally, we could note that
Nature is complicated, since l avonoids were
named in this way because many of them
are yellowish, but glycosidation, as occurs in
chamomile l avonoids, is detrimental for color.
To benei t from the activity of the plant, you
need both types of l owers, but most of the
chamomile of the commerce contains only
the central l owers, since the peripheral ones
are easily lost during drying.7 And this is only
the beginning of the complications!
The next one is the “expiring date”. Everything
that is natural degrades, since natural
products are, by principle, all biodegradable
(the alternative would be that they would
sequester all carbon on earth!). They have
been around for enough time to induce
their microbial degradation. Matricin is an
unstable compound, and its concentration in
chamomile decreases with time. Nothing is
immortal in Nature, and another of its law is
that nothing is exactly equal, with variability
being a sort of “insurance” for survival. Not
all chamomile samples contain the same
phytochemical proi le. In particular, some
of them are completely devoid of matricin,
others of bisabolol, and the composition
of the essential oil is also highly variable.5
The distribution of these chemical races is
essentially geographical, with most South-
American samples being devoid of matricin,
and most European ones containing this
Figure 1 The monument to Friedrich Sertürner (1783-1841) in Neuhaus, his native German town
390
OPINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Figure 2 The l owerheads of chamomile contain two dif erent types of l owers, the peripherals are white and contain most of
the l avonoids, while the central are yellow and contain most of sesquiterpene lactones
compound. If Nature secures variability,
humans can cause confusion, as exemplii ed
by the adulteration issues. Certain plants look
like chamomile, and are cheaper and easier
to grow than chamomile, raising the issue
of adulterated chamomile samples. Most of
the times the adulteration is harmless, but
sometimes can lead to toxicity. For instance,
Anthemis cotula L. looks very much like
chamomile, and is easy to grow. However,
it lacks the properties of chamomile, and
contains high concentrations of anthecotulin,
a powerful allergen.5 It is now believed that
the allergic reactions reported for chamomile
are actually related to the presence of this
adulterant, and not a property of the real
herb.5
Considerations like those we have described
for chamomille apply to many medicinal plants,
whose medicinal proi le is therefore complex.
In general, the rational basis for the use of
phytotherapy is synergy, namely the presence
of active constituents with complementary
activity that can mutually reinforce each
other.9 It is what is known in pharmacology
as the “entourage ef ect”. Medicinal plants
contain a cocktail of constituents that interact
in terms of both pharmacokinetic and
pharmacodynamic, and whose biological
proi le substantially transcend that of any of
its single constituent. This cocktail has been
named “phytocomplex”, a vague dei nition
that, nevertheless, made its way into the
research literature, and that needs discussion.
A phytocomplex is like a secondary color. If
we were looking for the essence of green with
an analytical and reductionistical strategy,
we will never end up in anything. “Greeness”
does not exist, but is, rather, the result of the
overlapping of two primary colors, yellow
and blue. In the same way, in most cases the
activity of medicinal plants cannot be traced
back to a simple and unique active principle,
a “quintessential” constituent. The complexity
of composition of many medicinal natural
products is impressive. Escin, a topical anti-
inl ammatory agent from chestnut fruits,
is a mixture of at least 50 closely related
saponins,10 and we are discussing only a
“single” constituent of the plant! Also bilberry
has a complex composition, with a bouquet
of 15 distinct anthocyanosides,11 while the
roots of ginseng contain at least 60 distinct
triterpene saponins known as ginsenosides.12
Medicinal plants are a complex matrix,
and trying to apply them simple criteria of
molecular validation, is somewhat like trying
to open the digital lock of a door with a key.
On the other hand, it is also important not
to coni ne medicinal plants into a limbo of
improvable generalities, or evaluate them
only on the basis of vague properties whose
only strength is the impossibility to prove
them. Tonic ef ect, depurative properties,
draining and purifying claims are popular
in folk medicine, but are substantially alien
to modern medicine. The translation of folk
medicine indications into therapeutical uses
is generally not straightforward, and gingko
(Gingko biloba L.) is an example. The leaves
of gingko contain a complex mixture of
l avonoids and terpenoids, to which various
properties related to memory and brain
circulation have been associated. These
properties underlie the use of gingko for the
prevention of senile dementia and Alzheimer’s
disease, but are scarcely documented in the
medicinal use of gingko in traditional Asian
medicine. It is, nevertheless, still unclear how
gingko work, if it works for everyone, or if its
activity can indeed be related to the molecular
targets so far identii ed for its constituents.
The leaves of gingko are not used for the
preparation of herbal teas, but only as a
source of standardized extracts. There are
two reasons for this. The i rst one is that the
concentration of the active ingredients are
too low in the leaves,13 and the second one
is that the leaves contain a series of potently
allergenic compounds, the gingkolic acids,
whose contents cannot be higher than 5 mg/
kg in gingko extracts.13
In some cases, skepticism on the clinical
properties of a medicinal plant is related to
the lack of understating on the molecular
mechanism(s) underlying activity, a reasoning
that would remove from our medicinal
portfolio important drugs, like metformin or
antidepressants, whose molecular targets are
still unclear. They work, and were approved
for this reason, and not for the subtleties
of the many mechanisms that have been
proposed for their activity. No one would
refuse a tasty meal only because he does not
understand digestion! On the other hand,
the mechanisms underlying the activity of
medicinal plants can be dif erent from those
identii ed for synthetic compounds used for
the treatment of a specii c disease. This is the
case of St. John’s worth (Hypericum perforatum
L.), and ant depressant plant. The potency of
St. John’s worth extracts is comparable, at
least for minor depression, to that of synthetic
anti-depressants, but none of its constituents
show a clear activity towards the various
molecular targets of antidepressants (MAO,
biogenic amine transporters). The mechanism
of action of St. John’s worth was clarii ed
only recently, identifying the phloroglucinol
derivative hyperforin as a critical constituent.14
Hyperforin binds to a novel anti-depressant
target, the ion channel TRPC6, a so far
overlooked anti-depressant target.14 In a drug-
discovery context, hyperforin qualii es as a i rst-
in-the-class agent, showing that sometimes
the failure to identify specii c targets for
the action of medicinal plants is due to our
limited knowledge in the mechanism of many
diseases. In this context, the case of Veregen
391
OPINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
is exemplii ciative.15 Veregen is a mixture
of green tea polyphenolics (kanucatechin)
approved by FDA for the topical treatment of
genital and perianal condiloma acuminata in
the almost complete lack of knowledge on its
mechanism of action.15 Veregen works, is not
toxic, and there are few alternative options for
the management of this disease.
Sometimes, complex extracts are better
tolerated than single active ingredients, as
Cannabis demonstrates. Cannabis and its
psychotropic principle tetrahydrocannabinol
(THC) are useful for the management
of weight loss (cachexia) associated to
the terminal stages of cancer and HIV
infection, and of vomit associated to cancer
chemotherapy.16 Both THC (produced semi-
synthetically from cannabidiol, CBD) and
its totally synthetic analogue dronabinol
are used in many countries, US included,
for these conditions. However, due to
their psychotropic and anxiogenic ef ects,
medicinal marijuana is preferred by patients,
since another cannabinoid (CBD) attenuates
these ef ects. Indeed a combination of extracts
from recreational hemp, rich of THC, and i ber
hemp, rich of CBD, has been developed as
a mainstream pharmaceutical under the
name of Sativex®, and is used in Canada and
the European Union for the symptomatic
management of multiple sclerosis.17
In general, three elements can be
identii ed in a phytocomplex, namely the
pharmacodynamic-, the pharmacokinetic-
and the modulatory components. The
pharmacodynamic component is represented
by constituents that act on specii c targets
of relevance for a disease, while the
pharmacodynamic element is represented
by compounds that can af ect, both
positively and negatively, the absorption of
the pharmacodynamic fraction. For instance,
tannins are well know to delay, and in many
cases decrease as well, the absorption of other
phytochemicals and especially alkaloids, while
piperine from black pepper has the capacity
to promote the absorption of phytochemicals,
rationalizing its universal inclusion in
the Indian medicinal formulations.18
The modulatory component af ects the
stability of the compounds endowed with
phamacodynamic and the pharmacokinetic
properties, and can minimize their toxicity. This
is an important issue, especially in the context
of liver toxicity. Many medicinal plants contain
compounds potentially poisonous for the
liver, but that can, however, be “neutralized”
by the presence of thiol derivatives in the
plant, or by that of compounds capable to
activate the cellular response to oxidants
and electrophilic compounds. For instance,
comfrey (Symphytum oi cinale L.) contains
hepatotoxic pyrrolizidine alkaloids, but their
activity is neutralized, so as to say, by the high
concentration of cystine derivatives present in
the plant.19
Nowadays phytotherapy rarely uses medicinal
plants, largely replaced by standardized
extracts. As exemplii ed by gingko, this
replacement makes it possible to use plants
having low concentration of active ingredients,
or containing toxic compounds that can
be removed by purii cation.13 Furthermore,
extracts are easier to standardized than whole
plants, and are also easier to store, securing
ei cacy and stability. Standardization is also
essential to identify dosages and safety of a
product. Plant extracts are somewhat similar
to multi-component preparations, and their
standardization is therefore more dii cult than
that of monomolecular drugs. Standardization
can refer to a single constituent (e.g. hypericin
or hyperforin for St. John’s wort) but most
often makes reference to a structurally
homogenous class of constituents, like
ginsenosides for ginseng or anthocyanines for
bilberry. In some cases, more than one class of
compounds is quantii ed, as in gingko, whose
extracts are standardized in l avonoids (24%)
and terpene lactones (6%).13 Many extracts
and compounds used in phytotherapy
come from food plants, as exemplii ed by
curcumin, silymarin, and grape seeds. Since
the absorption of natural products can be
very dif erent between a food matrix and a
pharmaceutical matrix (capsules, soft gels),
various promoters of absorption are used,
promoting absorption with a pharmacological
(piperine)- or formulative strategy. Within the
formulation strategies, lecithin formulations
have become increasingly popular in the
healthfood arena.20 Lecithin is a dietary
phospholipid endowed with “soap-like”
properties on compounds that do not dissolve
well into water. Lecithin formulations have
been developed for many herbal ingredients,
including curcumin,20 silibin, grape seeds
proanthocyanidins, and boswellic acids,
validating in terms of improved absorption
and ei cacy this important strategy.21
In the light of these considerations, it is clear
that the contrast between phototherapy
and pharmacology is not that between
modernity and obsolescence, but that
between the technology of Nature and that
of Man, or, better, between combinations of
active ingredients, like a plant extract can be
considered, and monomolecular drugs. Just
like modern medicines, also medicinal plants
and the extracts prepared from them act
because they contain specii c compounds
capable of modulating in a benei cial way
certain biological structures (enzymes,
transcription factors, receptors, nucleic
acids) whose malfunctioning underlie the
development of a disease. Phytotherapy
relies undoubtedly on tradition and the use
of plants in folk medicine, but there is ample
potential for innovating in the light of this
tradition.
Despite the poverty of the pharmaceutical
pipeline, three new drugs of plant origin were
approved by FDA in 2012.22 One of them
(Crophelemer) is a complex polyphenolic
extract from an Amazonian species (Croton
lechleri).22 Most plant diversity lies, indeed, in
the tropics, and is still substantially untapped
from a medicinal standpoint. Five centuries
ago, the search for tropical spices fostered
the Age of Exploration, and the study of
tropical medicinal plants has, undoubtedly,
the potential to help medicine to better
navigate the perilous seas of human diseases
and to discover access to new continents of
medicines.
DAFTAR PUSTAKA
1. M. A. Huf man, Animal self-medication and ethno-medicine: Exploration and exploitation of the medicinal properties of plants. Proc Nutrit Soc. 2003;62:371-3.
2. Haber B. The Mediterranean diet: a view from history. Am J Clin Nutr. 1997;66:1053-7S.
3. Lachance H, Wetzel S, Kumar K, Waldmann H. Charting, navigating, and populating natural product chemical space for drug discovery. J Med Chem. 2012;55:5989-6001.
4. Wang Y. Needs for new plant-derived pharmaceuticals in the post-genome era and industrial view in drug research and development. Phytochem Rev. 2008;7:395-406.
392
OPINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
5. McKay, DL, Blumberg JB. A review of the bioactivity and potential health benei ts of chamomile tea (Matricaria recutita L.). Phytother Res. 2006;20:519-30.
6. Ramadan M, Goeters S, Watzer B, Krause E, Lohmann K, Bauer R, Hempel B, Imming P. Chamazulene carboxylic acid and matricin: A natural profen and its natural prodrug, identii ed
through similarity to synthetic drug substances. J Nat Prod. 2006;69:1041-5.
7. Berene I, Daberte I, Zvirgzdina L, Iriste V. The complex technology on products of German chamomile. Medicina (Kaunas). 2003;39:127-31.
8. Nilius B, Appendino G. Tasty and healthy TR(i)Ps. The human quest for culinary pungengy. EMBO Reports. 2011;12:1094-101.
9. Wagner H, Ulrich-Merzenich G. Synergy research: Approaching a new generation of phytopharmaceuticals. Phytomedicine. 2009;16:97-110.
10. Luzzi MGR, Grossi MG, Belcaro G, Cesarone MR, Cornelli U, Dugall M, et al. Aescin: Microcirculatory activity: Ef ects of accessory components on clinical and microcirculatory ei cacy.
Panminerva Med. 2010;34:1-2.
11. Morazzoni P, Bombardelli E. Vaccinium myrtillus L. Fitoterapia. 67;1996:3-29.
12. Christensen LP. Ginsenosides: Chemistry, biosynthesis, analysis, and potential health ef ects. Food Nutr Res. 2009:55:1-99.
13. Fransen HP, Pelgrom SMGI, Steward-Knox B, de Kaste D, Verhagen H. Assessment of health claims, content, and safety of herbal supplemements containing ginkgo biloba. Food Nutr Res.
2010;54:5221-9.
14. Leuner K, Kazanski V, Muller M, Essin K, Henke B, Gollasch M, et al. Hyperforin–A key constituent of St. John’s wort- specii cally activates TRPC6 channels. FASEB J. 2007;21:4101-11.
15. ST, Dou J, Temple R, Agarwal R, Wu K-M, Walker S. New therapies from old medicines. Nature Biotechnol. 2008;26:1077-83.
16. Russo EB. Taming THC: potential cannabis synergy andd phytocannabinoid-terpenoid entourage ef ects. Br J Pharmacol. 2011;163:1344-64.
17. Appendino G, Chianese G, Taglialatela-Scafati O. Cannabinoids: Occurrence and medicinal chemistry. Curr Med Chem. 2011;18:1085-99.
18. Khajuria A, Thusu N, Zutshi U. Piperine modulates permeability characteristics of intestine by inducing alterations in membrane dynamics: Inl uence on brush border membrane l uidity,
ultrastructure and enzyme kinetics. Phytomedicine. 2002;9:224-31.
19. Gaillard Y, Pepin G. Poisoning by plant material: Review of human cases and analytical determination of main toxins by high-performance liquid chromatography-(tandem) mass spec-
trometry. J Chromatogr B. 1999;733:181-229.
20. Cuomo J, Appendino G, Adam S, Dern AS, Schneider E, McKinnon TP, et al. Comparative absorption of a standardized curcuminoid mixture and its lecithin formulation. J Nat Prod.
2011;74:664-9.
21. Semalty A, Semalty M, Rawat MSM, Franceschi F. Suparmolecular phospholipids-polyphenolics interactions: The phytosome strategy to improve the bioavailability of phytochemicals.
Fitoterapia. 2010;81:306-14.
22. Jarvis LM. A bountiful year. Chem & Eng News. 2013;4:15-7.
393
OPINI
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013 393
PROFIL
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Prof. dr. Zainal Muttaqin, SpBS(K), Ph.D.
Pakar Bedah Epilepsi Indonesia Bereputasi Internasional
Prof. dr. Zainal Muttaqin, SpBS(K), Ph.D. adalah pakar
bedah saraf pertama yang merintis metode bedah
untuk penderita epilepsi di Indonesia. Beliau lulusan
S3 sekaligus spesialis bedah saraf dari Universitas Hiroshima
Jepang.
394
PROFIL
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Cita-cita menjadi dokter baru muncul saat
SMA. Sedangkan obsesi untuk menjadi dokter
spesialis bedah saraf baru muncul mulai
semester delapan saat menjadi mahasiswa
kedokteran di Fakultas Kedokteran UNDIP
Semarang karena saat itu mulai ada mata
kuliah neurosurgery yang dibina oleh dr.
Amanullah.
Sejak SD, pria yang dikukuhkan sebagai
guru besar pada 1 Oktober 2007 ini sudah
membantu orangtua berdagang di pasar
Johar Semarang. Kalau Minggu, seharian
penuh membantu orangtua. Ia ke mana-
mana selalu membawa buku. Prestasi pria
kelahiran Semarang, 24 November 1957
ini dimulai saat kelas lima SD yang berhasil
menjadi juara II. Saat kelas enam SD menjadi
juara I. Saat SMP kelas dua dan tiga, menjadi
bintang kelas. Saat SMA, aktif berorganisasi di
OSIS, pramuka, drama, karate, Zainal terpilih
menjadi pelajar berprestasi se-SMA, dan
mengikuti pertukaran pelajar ke Plymouth-
Carver High School, USA dan Plymouth, Mass,
USA.
Aktivis – Organisatoris
Saat menjadi mahasiswa kedokteran, ia aktif di
organisasi HMI, Badan Perwakilan Mahasiswa
(mirip BEM), dan pengurus masjid. Literatur
medis dibacanya berulang-ulang agar paham.
Ke manapun pergi, ia membawa buku. Sambil
membaca, dibuat ringkasan. Uniknya, Zainal
biasa tidur 4-5 jam per hari. Kecintaannya pada
berorganisasi dibuktikannya dengan aktif
di berbagai organisasi profesi baik nasional
maupun Internasional, seperti: IDI (Ikatan
Dokter Indonesia), Perspebsi (Perhimpunan
Dokter Spesialis Bedah Saraf ), IKABI (Ikatan
Ahli Bedah Indonesia), Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), PERPEI
(Perhimpunan Epilepsi Indonesia), ACNS
(ASEAN Conggress of Neurological Surgeons),
AOSBS (Asian Oceanian Skull Base Society).
Hingga kini, selain mengajar dan membimbing
mahasiswa S1, S2, PPDS, dan S3 di Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro (FK
UNDIP), profesor yang memiliki ribuan jurnal
dan buku ini juga aktif sebagai pembina UKM
Rohani Islam (Rohis) UNDIP, pengurus Yayasan
Badan Wakaf Sultan Agung Semarang,
pengurus RS Roemani Semarang, anggota
komite medik RS Dr. Kariadi Semarang,
anggota komite medik dan panitia kredensial
RS Telogorejo Semarang.
Kecintaan pada neuroanatomi-neuroi siologi,
membuat suami Nadhira ini aktif mencari
kesempatan untuk mendapat beasiswa.
Sempat dua kali gagal menembus ujian
ECFMG (Education Commission for Foreign
Medical Graduate), ia berhasil meraih beasiswa
dari kedutaan besar Jepang. Di Jepang, beliau
belajar ilmu bedah saraf (neurosurgery) selama
5,5 tahun, dengan bimbingan Profesor Uozumi
di Universitas Hiroshima. Pendidikan di Jepang
tidak mengenal kelas akselerasi (percepatan)
karena pendidikan itu sebenarnya pematangan
jiwa dan pendewasaan pemikiran. Kurikulum
dan ilmu pengetahuan memang dapat
dipadatkan, namun kematangan pikiran
(termasuk metodologi berpikir) tidak
dapat dimampatkan, jadi memang perlu
berproses. Selain itu, juga ditekankan budaya
berkelompok dan kerjasama tim.
Ada hikmah yang mengesankan. Saat itu,
di Fukuoka akan diselenggarakan kongres
bedah saraf. Zainal mendengar kabar bahwa
salah satu tamu dari Indonesia adalah
dr. Iskarno dari Unpad, Bandung. Beliau
adalah ketua perhimpunan bedah saraf di
Indonesia. Zainal berhasil mengundang
beliau ke Hiroshima, dan diantar ke mana-
mana. Akhirnya Zainal menjadi akrab
dengan Iskarno. “Saya memang semaksimal
mungkin memanfaatkan setiap peluang dan
kesempatan untuk menjalin silaturahmi dan
networking dengan siapapun.” “Karena dapat
menjalin hubungan baik dengan siapapun,
banyak orang Jepang berkata bahwa saya
adalah investasinya yang terbesar. Mereka
bahkan mentargetkan bahwa dalam waktu
10 tahun, mereka harus mendengar nama
saya ada di Indonesia (reputasi baik di
bidang neurosurgery harus nyata terbukti).
Mereka juga siap membantu kapanpun saya
memerlukan mereka, termasuk saat saya
ingin mendirikan sentral epilepsi.” Saat balik
ke Indonesia, memang belum ada satupun
pusat epilepsi yang berdiri. Ia berupaya
membangun jejaring dengan semua ahli
di Indonesia dan Jepang. Terjadilah transfer
of skill, knowledge, dan konsep berpikir.
Alhamdulillah, akhirnya sentral epilepsi di
RS Kariadi dapat berdiri dan berkembang
hingga kini.
Jatuh cinta pada neuroanatomi-neuroi siologi
sama rasanya seperti jatuh cinta dengan
pujaan hatinya, Nadhira. Dengan tersenyum
beliau menuturkan, “Saya bertemu calon istri
(Nadhira) saat ada pertemuan organisasi di
HMI. Masa ta’aruf (perkenalan) saya tiga bulan,
setelah itu langsung menikah.”
Berprestasi Namun Rendah Hati
Tentang prestasi, profesor yang murah
senyum dan berbudi pekerti luhur ini dengan
rendah hati mengakui bahwa semua yang
diperolehnya adalah semata-mata karena
ridho Allah SWT dan restu kedua orang tua
(Bp. Yusuf Achmad dan Ibunda tercinta Siti
Muti’ah). Padahal beliau kaya prestasi, seperti:
dosen berprestasi baik di tingkat fakultas
maupun universitas (tahun 1998, 2000, 2005),
penerima excellent paper award pada 6th Asian-
Oceanian Skull Base Society (AOSBS) Congress di
Makuhari, Tokyo 2000 (Skullbase Meningioma
Operations in Indonesia), penerima excellent
paper award pada 4th Asian-Oceanian Epilepsy
Conggress (AOEC) di Karuizawa, Jepang,
2002 (Surgery for Temporal Lobe Epilepsy
in Indonesia), makalah terbaik ke-2 pada
PIT (pertemuan ilmiah tahunan) Perdici
(Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia)
2004 di Jakarta (Management of Subarachnoid
Hemorrhage in Indonesia: Present Status and
Future Direction), penerima Radiology Award
terbaik pada KONAS X Radiologi 2005 di
Yogyakarta (Neuroimaging in Epilepsy: MRI
evaluation in Intractable Temporal Lobe Epilepsy
patients). Selain itu karya ilmiah beliau lebih
dari 41 publikasi baik di tingkat nasional
hingga internasional, antara lain di: Hiroshima
J Med Sci, Neurosurgical Review, Neurologia
Medico Chirurgica, Surgical Neurology, Acta
Neurochirurgica, Springer – Verlag, World
Congress of Neurological Surgery Bologna
Medimond, Japanese Journal of Surgery for
Stroke, Japanese Journal of Clinical Monitoring,
Neurosonology, Elsevier Science Publishers New
York, Neurology Asia, Neuroradiology, National
Epilepsy Center Medical Institute of Neurological
Disorders Shizuoka.
Tentang rahasia sukses, Zainal mengaku
terinspirasi dari hadits riwayat Thabrani,
“Sesungguhnya yang paling baik di antara
manusia adalah mereka yang paling bisa
memberi manfaat bagi manusia lainnya.” Untuk
generasi muda yang berkeinginan menjadi
dokter, ia berpesan,”Jangan tergesa-gesa
untuk segera hidup enak atau terburu-buru
untuk cepat kaya. Perjalanan untuk aktualisasi
diri memerlukan waktu yang panjang.”
Dito Anurogo
395
PROFIL
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013 395
AGENDA
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
Current Concepts in Neonatal Care
Tanggal : 25-28 September 2013
Tempat : Napa Valley Marriott Hotel & Spa
Sekretariat : Symposia Medicus
Telp/Fax : (925) 969-1789
URL : www.symposiamedicus.org
PIT IKA VI 2013
Tanggal : 5-9 Oktober 2013
Tempat : The Sunan Hotel, Solo
Sekretariat : IDAI
Telp/Fax : 0812 2611 231 (dr. Septin)
Email : pitika6solo@yahoo.com
URL : www.pitika6solo.com
The 29th International Congress of “The Fetus as Patient”
Tanggal : 13-16 Oktober 2013
Tempat : Four Seasons Hotel, Jakarta
Sekretariat : Jl. Kimia no. 5, Jakarta Pusat
Telp/Fax : 021 3928721 / 021 3928721
URL : www.fetus2013.com
KONAS VIII Patologi Klinik
Tanggal : 23-25 Oktober 2013
Tempat : Sheraton Mustika Hotel, Jogjakarta
Sekretariat : Intalasi Lab Klinik RSUP Dr Sardjito
Telp/Fax : 0274 - 518687
13th PIT PERDOSKI XIII in Conjunction with 12th APEODS XII
Tanggal : 23-26 Oktober 2013
Tempat : Sahid Rich Jogja Hotel
Sekretariat : PERDOSKI cabang Jogjakarta
Telp/Fax : 0274 560700
Email : apeods12.pitxiiiperdoski@gmail.com
URL : apeods-pit2013.com
The 17th AFES Congress in Conjunction with The 22nd JDM
Tanggal : 13-16 November 2013
Tempat : Ritz Carlton Hotel, Jakarta
Sekretariat : Division of Endocrinology and Metabolism,
Departement of Internal Medicine, Faculty
of Medicine University of Indonesia/Cipto
Mangunkusumo National Hospital
Telp/Fax : 021-3907703, 3100075 / 021-3928658, 3928659
Email : afes2013@gmail.com
URL : www.afes2013.org
The 5th International Conference on Fixed Combination in the Treatment of Hypertension,
Dyslipidemia and Diabetes Mellitus
Tanggal : 21-24 November 2013
Tempat : Bangkok, Thailand
Sekretariat : Noa Beer-Raveh, Conference Secretariat, Paragon
Conventions
Telp/Fax : 011-41-22-533-0948
Email : i xed2013@i xedcombination.com
URL : www.i xedcombination.com
The 5th Annual Conference on Emergencies in Pediatrics
Tanggal : 20-21 Desember 2013
Tempat : New York Hilton Midtown, New York City, New York
Sekretariat : Symposia Medicus
Telp/Fax : (925) 969-1789
URL : www.symposiamedicus.org
AGENDA KEGIATAN ILMIAH
397
INDEKS
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
INDEKS PENULIS
A
Azamris 357
D
Dimas Kusnugroho Bonardo Pardede 337
Dito Anurogo 352
G
Giovanni Appendino 388
H
Hendrawan Ariwibowo 348
M
M. Adi Firmansyah 342
N
Nata Pratama Hardjo Lugito 330
P
Prima Almazini 383
R
RHH Nelwan (Alm.) 327
398
INDEKS
CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013
INDEKS SUBJEK
A
ALS, 352-5
etiopatogenesis, 352-3
penatalaksanaan, 352, 355
biomarker, 353
kriteria diagnostik, 353-4
amyotrophic lateral sclerosis,
lihat ALS
anemia, 337-8, 340-1
Anopheles, 328-9
cracens, 328
maculatus, 328
D
diabetes melitus, 342, 343, 343g, 344,
344t, 345, 346, 346t
E
ekstrak tanaman terstandardisasi,
lihat standardized plant extracts
F
i toterapi,
lihat phytotherapy
G
gagal ginjal, 330
gout, 330-5
artritis, 330
primer, 332, 333g
juvenilis, 333
gouty nephropathy,
lihat nefropati urat kronik
H
hepsidin, 337-8, 339, 339g,
340, 340g, 341
hiperurisemia, 330-2, 333g, 334-5
K
kanker payudara, 357-8, 359, 359t,
360, 360t
pada kehamilan, 357-8, 359, 359t,
360, 360t
pada masa menyusui, 357-8
karsinoma nasofaring, 348-9, 350, 350t
klorokuin, 327, 329
M
Macaca fascicularis, 327
malaria, 327-9
mastektomi, 357
modii ed radical, 357-60
medicinal plants, 388-91
N
nefropati urat, 330, 332, 334-6
kronis, 334-6
P
penyakit ginjal kronis,
lihat PGK
PGK, 337-41
phytotherapy, 388, 390
Plasmodium, 327, 327g, 328,
328t, 329
knowlesi, 327, 327g, 328,
328t, 329
malariae, 327-9
falciparum, 327, 328t
vivax, 328t
cynomogli, 327
inui, 327
primakuin, 327, 330
puasa, 342, 343, 343g,
344, 344t, 345, 346,
346t
Ramadan, 342, 343, 344t,
345-6
Q
quotidian fever, 327, 329
S
standardized plant extracts, 388, 390-1
T
tanaman obat,
lihat medicinal plants
V
virus Epstein Barr, 348-9, 350, 350t
Recommended