62
• ISSN: 0125-913X • CDK-204/ vol. 40 no. 5 • Mei 2013 • http.//www.kalbemed.com/CDK.aspx BERITA TERKINI Respons Stres Anestesi Inhalasi Deslurane vs Sevolurane TINJAUAN PUSTAKA Nefropati Urat PROFIL Pakar Bedah Epilepsi Indonesia Bereputasi Internasional 330 330 362 362 393 393 Akreditasi IDI 327 327 Continuing Medical Education Continuing Medical Education Artikel CME Artikel CME Malaria Malaria Plasmodium Knowlesi Plasmodium Knowlesi 342 342 Prof. dr. Zainal Muttaqin, SpBS(K), Ph.D. Prof. dr. Zainal Muttaqin, SpBS(K), Ph.D. Tata Laksana Diabetes Melitus Tata Laksana Diabetes Melitus saat Puasa Ramadan saat Puasa Ramadan

Cdk 204 Interna

Embed Size (px)

DESCRIPTION

nn

Citation preview

Page 1: Cdk 204 Interna

• ISSN: 0125-913X • CDK-204/ vol. 40 no. 5 • Mei 2013 • http.//www.kalbemed.com/CDK.aspx

BERITA TERKINI

Respons Stres Anestesi Inhalasi

Desl urane vs Sevol urane

TINJAUAN PUSTAKA

Nefropati Urat

PROFIL

Pakar Bedah Epilepsi Indonesia

Bereputasi Internasional

330330 362362 393393

Akreditasi IDI

327327

Continuing Medical EducationContinuing Medical Education

Artikel CMEArtikel CME

Malaria Malaria Plasmodium KnowlesiPlasmodium Knowlesi

342342

Prof. dr. Zainal Muttaqin, SpBS(K), Ph.D. Prof. dr. Zainal Muttaqin, SpBS(K), Ph.D.

Tata Laksana Diabetes Melitus Tata Laksana Diabetes Melitus

saat Puasa Ramadansaat Puasa Ramadan

Page 2: Cdk 204 Interna

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

DAFTAR ISI

323

ISSN: 0125-913X

http://www.kalbemed.com/CDK.aspx

Susunan Redaksi

Alamat Redaksi

Gedung KALBE

Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4

Cempaka Putih, Jakarta 10510

Tlp: 021-420 8171

Fax: 021-4287 3685

E-mail: [email protected]

http://twitter.com/CDKMagazine

Nomor Ijin

151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976

Penerbit

Kalbe Farma

Pencetak

PT. Dian Rakyat

Ketua Pengarahdr. Boenjamin Setiawan, PhD

Pemimpin Umumdr. Kupiya Timbul Wahyudi

Ketua PenyuntingDr. dr. Budi Riyanto W., SpS

Dewan Redaksidr. Karta Sadana, MSc, SpOkdr. Artatidr. Esther Kristiningrumdr. Dedyanto Henkydr. Harvian Satya Dharmadr. Yoska Yasahardjadr. Albertus Agung Mahode

Tata UsahaDodi Sumarna

325 EDITORIAL

ARTIKEL

327 Malaria Plasmodium Knowlesi

RHH Nelwan (Alm.)

330 Nefropati Urat

Nata Pratama Hardjo Lugito

337 Hepsidin: Peranannya dalam Patogenesis dan Implikasinya terhadap

Tata Laksana Anemia pada Penyakit Ginjal Kronis

Dimas Kusnugroho Bonardo Pardede

342 Tata Laksana Diabetes Melitus saat Puasa Ramadan

M. Adi Firmansyah

348 Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring

Hendrawan Ariwibowo

352 Diagnosis dan Manajemen Amyotrophic Lateral Sclerosis

Dito Anurogo

357 Kanker Payudara dalam Kehamilan

Azamris

BERITA TERKINI

362 Respons Stres Anestesi Inhalasi Desl urane vs Sevol urane

364 Dosis Awal Allopurinol yang Tinggi Meningkatkan Risiko Allopurinol

Hypersensitivity Syndrome

366 Intervensi Nutrisi Enteral pada Pasien dengan Pressure Ulcer

Menurunkan Biaya Pengobatan

368 Paracetamol IV Memiliki Ei kasi Analgesik Lebih Baik Dibandingkan

Dosis Oral

370 Pemberian Antibiotik Jangka Pendek untuk ISK pada Pria

372 Skrining Malnutrisi Pasien Kanker Usia Lanjut

374 Kombinasi Midazolam - Propofol Bermanfaat pada Pasien Lanjut Usia

376 Asam Folat Mengurangi Risiko Stroke

378 Manfaat Astaxanthin bagi Kesehatan Tubuh

382 Omalizumab untuk Terapi Urtikaria Idiopatik Kronik atau Spontan

385 Pancrealipase Lepas Lambat untuk Insui siensi Pankreas

388 Opini

393 Proi l

395 Agenda

397 Indeks

APE/M

LY/1203/Ins-1

Page 3: Cdk 204 Interna

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013324

CDK (Cermin Dunia Kedokteran) menerima naskah yang membahas berbagai aspek

kesehatan, kedokteran, dan farmasi, bisa berupa tinjauan pustaka, opini, ataupun hasil

penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk laporan kasus. Naskah yang dikirim ke

Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh CDK (belum pernah diterbitkan

di jurnal lain); bila pernah dibahas atau dibacakan dalam pertemuan ilmiah, hendaknya

diberi keterangan mengenai nama, tempat, dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

PANDUAN UMUM

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Jika menggunakan bahasa Indonesia,

hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku (merujuk pada Pedoman

Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Pedoman Umum PembentukanKamus

Besar Bahasa Indonesia). Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa

Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Panjang naskah

berkisar antara 2000-3000 kata, ditulis dengan program MS Word, jenis huruf Times New

Roman ukuran 12.

ABSTRAK DAN KATA KUNCI

Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris,

disertai dengan 3-5 kata kunci yang disusun berdasarkan abjad. Abstrak ditulis dalam 1

(satu) paragraf dan, untuk artikel penelitian, bentuknya tidak terstruktur dengan format

introduction, methods, results, discussion (IMRAD). Panjang abstrak maksimal 200 kata. Jika

tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Indonesia maupun Inggris

untuk naskah tersebut.

NAMA DAN INSTITUSI PENULIS

Nama (para) penulis dicantumkan lengkap (tidak disingkat), disertai keterangan lembaga/

fakultas/institut tempat bekerjanya dan alamat e-mail.

TABEL/GRAFIK/GAMBAR/BAGAN

Tabel/grai k/gambar/bagan yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dan dikirimkan

terpisah dalam format JPG (resolusi minimal 150 dpi dengan ukuran sebenarnya). Keterangan

pada tabel/grai k/gambar/bagan sedapat-dapatnya dituliskan dalam bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Daftar pustaka disusun menurut aturan Vancouver. Rujukan diberi nomor urut sesuai

pemunculannya di dalam naskah. Jika penulis enam orang atau kurang, cantumkan semua;

bila tujuh atau lebih, tuliskan enam yang pertama dan tambahkan et al.

Kepustakaan maksimal berjumlah 20 buah, terbitan 10 tahun terakhir. Diupayakan lebih

banyak kepustakaan primer (dari jurnal, proporsi minimal 40%) dibanding kepustakaan

sekunder.

Contoh format penulisan kepustakaan sesuai aturan Vancouver:

JURNAL

• Standar

1. Halpern SD, Ubel PA.Solid-organ transplantation in HIV-infected patients. N Engl J

Med. 2002;347:284-7.

2. Skalsky K, Yahav D, Bishara J, Pitlik S, Leibovici L, Paul M. Treatment of human

brucellosis: systematic review and meta-analysis of randomised controlled trials.

BMJ. 2008; 36(7646):701-4.

3. Rose ME, Huerbin MB, Melick J, Marion DW, Palmer AM, Schiding JK, et al. Regulation

of interstitial excitatory amino acid concentrations after cortical contusion injury.

Brain Res. 2002;935(1-2):40-6.

• Organisasi sebagai Penulis

1. American Diabetes Association. Diabetes update. Nursing. 2003;Suppl:19-20, 24.

2. Parkinson Study Group. A randomized placebo-controlled trial of rasagiline in

levodopatreated patients with Parkinson disease and motor l uctuations: the

PRESTO study. Arch Neurol. 2005;62(2):241-8.

• Tanpa Nama Penulis

Pelvic l oor exercise can reduce stress incontinence. Health News. 2005;11(4):11.

• Volume dengan Suplemen

Geraud G, Spierings EL, Keywood C. Tolerability and safety of frovatriptan with short-

and long-term use for treatment of migraine and in comparison with sumatriptan.

Headache. 2002;42 Suppl 2:S93-9.

• Edisi dengan Suplemen

Glauser TA. Integrating clinical trial data into clinical practice. Neurology. 2002;58(12

Suppl 7):S6-12.

• Jurnal Elektronik

Sillick TJ, Schutte NS. Emotional intelligence and self-esteem mediate between

perceived early parental love and adult happiness. E-Jnl Appl Psych [serial on the

Internet]. 2006 [cited 2010 Aug 6];2(2):38-48. Available from: http://ojs.lib.swin.edu.au/

index.php/ejap/article/view/71/100.

BUKU

• Penulis/Editor Tunggal

1. Hoppert M. Microscopic techniques in biotechnology. Weinheim: Wiley-VCH;

2003.

2. Storey KB, editors. Functional metabolism: regulation and adaptation. Hoboken

(NJ): J. Wiley & Sons; 2004.

• Lebih dari Satu Penulis/Editor

1. Lawhead JB, Baker MC. Introduction to veterinary science. Clifton Park (NY):

Thomson Delmar Learning; 2005.

2. Gilstrap LC, Cunningham FG, Van Dorsten JP, editors. Operative obstetrics. 2nd ed.

New York: McGraw-Hill; 2002.

• Edisi dengan Volume

Lee GR, Bithell TC, Foerster J, Athens JW, Lukens JN, editors. Wintrobes clinical

hematology. 9th ed. Vol 2. Philadelphia: Lea & Febiger; 1993.

• Bab dalam Buku

Ford HL, Sclafani RA, Degregori J. Cell cycle regulatory cascades. In: Stein GS, Pardee

AB, editors. Cell cycle and growth control: biomolecular regulation and cancer. 2nd ed.

Hoboken (NJ): Wiley-Liss; 2004. p. 42-67.

PROSIDING KONFERENSI

Harnden P, Jof e JK, Jones WG, editors. Germ cell tumours V: Proceedings of the 5th Germ Cell

Tumour conference; 2001 Sep 13-15; Leeds, UK. New York: Springer; 2002.

MAKALAH KONFERENSI

Christensen S, Oppacher F. An analysis of Koza’s computational ef ort statistic for genetic

programming. In: Foster JA, Lutton E, Miller J, Ryan C, Tettamanzi AG, editors. Genetic

programming: EuroGP 2002: Proceedings of the 5th European Conference on Genetic

Programming; 2002 Apr 3-5; Kinsdale, Ireland. Berlin: Springer; 2002. p. 182-91.

PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui e-mail ke alamat:

Redaksi CDK

Jl. Letjen Suprapto Kav. 4

Cempaka Putih, Jakarta 10510

E-mail: [email protected]

Tlp: (62-21) 4208171 Fax: (62-21) 42873685

Seluruh pernyataan dalam naskah merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi berhak

mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Naskah yang tidak diterbitkan

dikembalikan ke pengarang jika ada permintaan.

Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online), tentu naskah yang telah

diterbitkan akan dapat lebih mudah diunduh dan dimanfaatkan oleh kalangan yang lebih

luas.

Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail. Untuk keperluan administrasi,

mohon disertakan juga curriculum vitae, no. Rek. Bank, dan (bila ada) no./alamat NPWP.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan

tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.

PANDUAN UNTUK PENULIS

Page 4: Cdk 204 Interna

325CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

• ISSN: 0125-913X • CDK-204/ vol. 40 no. 5 • Mei 2013 • http.//www.kalbemed.com/CDK.aspx

BERITA TERKINI

Respons Stres Anestesi Inhalasi

Desl urane vs Sevol urane

TINJAUAN PUSTAKA

Nefropati Urat

PROFIL

Pakar Bedah Epilepsi Indonesia

Bereputasi Internasional

330330 362362 393393

Akreditasi IDI

327327

Continuing Medical EducationContinuing Medical Education

Artikel CMEArtikel CME

Malaria Malaria Plasmodium KnowlesiPlasmodium Knowlesi

342342

Prof. Zainal MuttaqinProf. Zainal Muttaqin

Tata Laksana Diabetes Melitus Tata Laksana Diabetes Melitus

saat Puasa Ramadansaat Puasa Ramadan

Bagi sejawat yang bekerja di kota besar barangkali malaria bukan merupakan masalah, berbeda

dengan para dokter dan paramedik yang berkarya di pedalaman, apalagi di daerah Indonesia

Timur yang sampai saat ini merupakan daerah endemis malaria. Artikel malaria mudah-mudahan

bisa menyegarkan kembali pengetahuan sejawat mengenai masalah yang laten dan kronis ini.

Dua artikel mengenai masalah ginjal juga dapat dibaca pada edisi ini. Bahasan lain yang tidak

kalah menarik adalah bagaimana mengelola diabetes mellitus selama berpuasa; para praktisi

kesehatan diharapkan dapat memberi nasehat yang tepat agar para diabetisi tetap optimal dalam

menjalankan kegiatan dan ibadahnya.

Opini dari penulis tamu mengenai i toterapi patut disimak untuk mendapatkan perspektif yang

baru mengenai pengobatan tradisional secara umum.

Selamat membaca,

Redaksi

Editorial

Page 5: Cdk 204 Interna

REDAKSI KEHORMATAN

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013326

Prof. dr. Abdul Muthalib, SpPD-KHOM

Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Univer sitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo, Jakarta

Prof. Dr. Dra. Arini Setiawati, SpFK

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta

Prof. dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. Dr. dr. Charles Surjadi, MPH

Puslitkes Unika Atma Jaya

Prof. Dr. dr. Darwin Karyadi, SpGK

Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat

Prof. dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia/RSUPN

Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. dr. Faisal Yunus, PhD, SpP (K)

Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan,

Jakarta

Prof. Dr. dr. Ignatius Riwanto, SpB (K)

Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr.

Kariadi, Semarang

Prof. Dr. dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKN

Departemen Kedokteran Nuklir, Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Prof. dr. Rianto Setiabudy, SpFK

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta

Prof. Dr. dr. Rully M. A. Roesli, SpPD-KGH

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Prof. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI

Sub Dept. Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas In donesia/RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo, Jakarta

Prof. dr. Sarah S. Waraouw, SpA (K)

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

Prof. Dr. dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. drg. Siti Wuryan A. Prayitno, SKM, MScD, PhD

Bagian Periodontologi, Fakultas Kedoteran Gigi Universitas Indonesia,

Jakarta

Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

Dr. dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUP Kanker Dharmais,

Jakarta

Dr. dr. med. Abraham Simatupang, M.Kes

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen

Indonesia, Jakarta

dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd

Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr.

Soetomo, Surabaya

dr. Hendro Susilo, SpS (K)

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/

RS Dr. Soetomo, Surabaya

Dr. dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, KMN, M.Kes

Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran Bandung/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

dr. Prijo Sidipratomo, SpRad (K)

Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN

Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

dr. R.M. Nugroho Abikusno, M.Sc., DrPH

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD

Universitas Trisakti/Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia,

Jakarta

Dr. dr. Yoga Yuniadi, SpJP

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular, Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia/Pusat Jantung Nasional Harapan

Kita, Jakarta

dr. Anna Ulfah Rahajoe, SpJP (K) FIHA

Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular

Indonesia (PP PERKI), Jakarta

dr. Savitri Sayogo, SpGK

Departemen Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

dr. Sudung O. Pardede, SpA (K)

Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Page 6: Cdk 204 Interna

Akreditasi IDI – 3 SKP

Malaria Plasmodium knowlesi

RHH Nelwan (Alm.)

SubBagian Penyakit Tropis dan Infeksi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK

Plasmodium knowlesi adalah parasit penyebab malaria pada kera yang telah dikenal sejak tahun 1932. Akhir-akhir ini infeksi alamiah pada manusia

telah dilaporkan di beberapa negara di Asia Tenggara. Pada manusia sebagian besar kasus terdiagnosis sebagai Plasmodium malariae karena

secara mikroskopis tampak serupa. Gejala paling khas adalah demam setiap 24 jam (quotidian fever). Plasmodium knowlesi dapat menyebabkan

penyakit berat yang berakhir dengan kematian. Panduan pengobatan malaria WHO yang mutakhir belum membahas pengobatan Plasmodium

knowlesi, kombinasi klorokuin dan primakuin seperti yang digunakan untuk Plasmodium malariae telah memberi respons pengobatan yang

baik.

Kata kunci: malaria, Plasmodium knowlesi, quotidian fever

ABSTRACT

Plasmodium knowlesi has been recognized since 1932 as a parasite that causes malaria in monkey. There have been numerous reports of

naturally acquired infections of Plasmodium knowlesi in human in Southeast Asia. Natural infections in human frequently diagnosed as

Plasmodium malariae because they are microscopically similar. The most characteristic symptom is fever occuring every 24 hours (quotidian

fever). Plasmodium knowlesi could cause severe disease with possible mortality. The latest WHO malaria treatment guidelines (2011) do not

discussed treatment for Plasmodium knowlesi. Some clinical studies have been using chloroquine and primaquine combination, the same

treatment for Plasmodium malariae, with good response. RHH Nelwan (Alm.). Malaria Plasmodium knowlesi.

Key words: malaria, Plasmodium knowlesi, quotidian fever

Plasmodium knowlesi pertama kali

terdokumentasi pada tahun 1927 oleh

Giuseppe Franchiti saat mengamati darah

Macaca fascicularis dan disadari penampakan

yang berbeda dari Plasmodium cynomogli dan

Plasmodium inui.1 Pada tahun 1932, dr. Knowles

dan dr. Das Gupta mengamati sebuah spesies

malaria pada kera makakus rhesus (Macaca

mulata), menggambarkannya dengan detail

untuk pertama kali dan menunjukkan bahwa

spesies ini dapat ditularkan ke manusia

melalui darah, tetapi tidak memberinya nama.

Kemudian Sinton dan Mulligan memberinya

nama sesuai penemunya yaitu Plasmodium

knowlesi.2

Sejak dikenal oleh dr. Knowles dan dr. Das

Gupta, infeksi Plasmodium knowlesi secara

alamiah hanya diketahui terjadi pada kera

terutama spesies Macaca fascicularis. Laporan

pertama infeksi alamiah Plasmodium knowlesi

pada manusia terjadi pada seorang warga

Amerika yang baru pulang bekerja di hutan

semenanjung Malaysia tahun 1965. Awalnya

pasien dicurigai terinfeksi Plasmodium

falciparum tetapi kemudian diidentii kasi

sebagai Plasmodium malariae dan kemudian

baru diketahui sebagai Plasmodium knowlesi

setelah darah pasien diinokulasi ke kera Rhesus

dan ternyata juga menginfeksi kera.3 Laporan

kedua tahun 1971 pada seorang warga

Malaysia. Pada saat itu diagnosis dilakukan

atas dasar deteksi molekuler karena secara

mikroskopis Plasmodium knowlesi memiliki

bentuk serupa dengan Plasmodium malariae.4

Sejak tahun 2004 banyak dilaporkan kasus

infeksi alami Plasmodium knowlesi pada

manusia di beberapa negara di Asia Tenggara

seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Filipina

dan Indonesia.4 Sebuah penelitian dilakukan

sejak tahun 2000 sampai 2002 di distrik Kapit

Malaysia mengevaluasi sampel darah 208

pasien dengan diagnosis malaria dengan

pemeriksaan Polymerase Chain Reaction

(PCR) menggunakan primer untuk spesies

Plasmodium knowlesi, ternyata 120 pasien

atau 58% disebabkan oleh Plasmodium

knowlesi, tidak ada yang didiagnosis

terinfeksi Plasmodium malariae. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa infeksi alamiah pada

manusia oleh Plasmodium knowlesi cukup

Alamat korespondensi email: [email protected]

Gambar 1 Penampakan mikroskopis apusan darah pasien

terinfeksi Plasmodium knowlesi5

327

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Page 7: Cdk 204 Interna

328

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

banyak terjadi di distrik Kapit Malaysia.4 Selain

itu disimpulkan juga karena penampakan

mikroskopis Plasmodium knowlesi menyerupai

Plasmodium malariae, banyak pasien yang

terdiagnosis Plasmodium malariae ternyata

terinfeksi oleh Plasmodium knowlesi setelah

dikoni rmasi dengan PCR.4

Penelitian lain dari Malaysia dilakukan sejak

tahun 2001 sampai 2006 untuk mengetahui

distribusi infeksi Plasmodium knowlesi pada

manusia. Penelitian ini mengevaluasi sampel

darah dari 960 pasien yang terdiagnosis malaria

di Serawak, Sabah dan Pahang menggunakan

PCR dan mikroskop. Hasilnya menunjukkan

bahwa dari total 960 pasien dengan diagnosis

malaria, 266 pasien atau 27,7% disebabkan

oleh Plasmodium knowlesi. Dan dari 312 pasien

yang terdiagnosis infeksi Plasmodium malariae,

ternyata 228 pasien atau 73% dikoni rmasi

terinfeksi Plasmodium knowlesi oleh PCR.

Selain itu ditemukan 4 pasien terdiagnosis

infeksi Plasmodium knowlesi yang meninggal.

Keempat pasien tersebut mengalami

hiperparasitemia dan mengalami gangguan

hati dan ginjal. Penelitian ini menyimpulkan

bahwa malaria yang disebabkan oleh infeksi

alamiah Plasmodium knowlesi terdistribusi

secara luas dan banyak didiagnosis sebagai

infeksi Plasmodium malariae serta berpotensi

menyebabkan penyakit berat yang dapat

berakibat kematian.5

Secara patoi siologi, Plasmodium knowlesi

adalah parasit malaria yang bereplikasi dengan

siklus hidup 24 jam.5 Karena siklus hidupnya

yang singkat, jumlah parasit dalam tubuh

dapat cepat meningkat, sehingga infeksi

Plasmodium knowlesi berpotensi menjadi

penyakit yang berat.5

Vektor utama Plasmodium knowlesi adalah

nyamuk Anopheles. Penularan dapat terjadi

dari kera ke kera, kera ke manusia, manusia ke

manusia atau manusia ke kera. Manusia dapat

terinfeksi Plasmodium knowlesi yang ditularkan

dari kera atau dari manusia lain melalui

perantara gigitan nyamuk Anopheles cracens

dan Anopheles maculatus.6 Di dalam tubuh

nyamuk, Plasmodium knowlesi mengalami

siklus hidup gametosit → (mikrogamet

atau makrogamet) → zigot → ookinet →

ookista → sporozoit. Saat nyamuk Anopheles

menghisap darah manusia penularan terjadi

melalui saliva. Di dalam hati manusia akan

terjadi siklus sporozoit → skizon → merozoit.

Tabel 1 Perbandingan hasil deteksi spesies Plasmodium oleh mikroskop dan PCR.5

Hasil PCR

Jumlah kasus yang teridentii kasi melalui mikroskop

P. falciparum P. vivax P. malariae P. ovaleP. falciparum dan

P. vivaxTotal

P. falciparum 167 18 33 1 0 219

P. vivax 23 372 43 1 1 440

P. malariae 0 0 1 0 0 1

P. ovale 0 2 2 0 0 4

P. knowlesi 11 16 216 0 0 243

P. falciparum dan vivax 11 9 4 0 1 25

P. falciparum dan malariae 0 0 1 0 0 1

P. falciparum dan ovale 1 0 0 0 0 1

P. falciparum dan knowlesi 1 0 2 0 0 3

P. vivax dan knowlesi 2 8 9 0 0 19

P. vivax dan malariae 0 2 0 0 0 2

P. vivax dan ovale 0 1 0 0 0 1

P. ovale dan knowlesi 0 0 1 0 0 1

Total 216 428 312 2 2 960

Tabel 2 Gejala pasien malaria Plasmodium knowlesi, falciparum dan vivax.9

Variabel Plasmodium knowlesi

(n=107)

Plasmodium falciparum

(n=24)

Plasmodium vivax

(n=21)

Gejala Persentase (%)

Demam/menggigil 100 91,7 95,1

Sakit kepala 94,4 87,5 52,4

Kaku 89,7 79,2 85,7

Anoreksia 83,2 70,8 52,4

Mialgia 87,9 79,2 90,2

Batuk 56,1 54,7 47,6

Mual 56,1 87,5 28,5

Muntah 33,6 41,7 19,0

Nyeri Perut 52,3 37,5 23,8

Diare 29,0 47,5 33,3

Tabel 3 Tanda pasien malaria Plasmodium knowlesi, falciparum dan vivax.9

Variabel Plasmodium knowlesi

(n=107)

Plasmodium falciparum

(n=24)

Plasmodium vivax

(n=21)

Tanda

Laju Pernapasan, median 26 25,5 27

Frekuensi nadi, rata-rata 95 99 97

Tekanan darah arteri, rata-rata 89 85 89

Capillary Rei ll Time, median 2 2 2

Hepatomegali (%) 24,3 29,2 16,7

Splenomegali (%) 15,0 20,8 23,8

Waktu sampai bebas demam (jam) 20 (12 – 31) 20 (11 – 37) 16 (4 – 28)

Tabel 4 Kelainan hasil pemeriksaan penunjang malaria Plasmodium knowlesi.9

Variabel Rentang Normal Plasmodium

knowlesi (n=107)

Plasmodium

falciparum (n=24)

Plasodium vivax

(n=21)

Hitung Parasit NA 1.387 26.781 4.258

Hemoglobin 11,3 - 15,7 13,3 12,9 13,5

WBC 3,1 – 10,3 5,6 6,3 6,1

Neutroi l 0,2 – 5,3 3,7 4,6 4,6

Limfosit 0,8 – 2,7 1,5 1,0 1,0

Hitung Platelet 150 – 450 71 108 118

* Pemeriksaan lainnya dalam batas normal.

Page 8: Cdk 204 Interna

329

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Plasmodium knowlesi tidak memiliki bentuk

hypnozoite di hati. Setelah menjadi merozoite,

parasit akan menginfestasi eritrosit melalui

siklus merozoit → trophozoite → skizon →

merozoit. Sebagian schizont dari eritrosit akan

berkembang menjadi gametosit dan dapat

ditularkan kembali oleh nyamuk Anopheles.6

Masa inkubasi infeksi Plasmodium knowlesi

sekitar 11 hari.8 Gejala paling khas malaria

akibat infeksi Plasmodium knowlesi adalah

demam yang berlangsung setiap 24 jam atau

setiap hari, disebut juga quotidian fever.3,7

Selain itu gejala malaria yang disebabkan oleh

Plasmodium knowlesi meliputi nyeri kepala,

demam, menggigil dan keringat dingin.8

Daneshvar sejak tahun 2006 sampai 2008

mengevaluasi gejala klinis dan tanda

pada pasien dengan malaria akibat infeksi

Plasmodium knowlesi di rumah sakit Kapit,

Serawak, Malaysia. Pada penelitian ini

terdiagnosis 107 pasien terinfeksi Plasmodium

knowlesi dengan cara PCR. Secara umum, gejala

penyakit malaria akibat infeksi Plasmodium

knowlesi tidak khas yaitu demam dan

menggigil. Pada sebagian pasien juga disertai

nyeri perut, sesak napas dan batuk berdahak.

Gejala lain yang juga banyak terjadi adalah

takipnea dan takikardi.9 Pada pemeriksaan

laboratorium, hitung parasit pasien terinfeksi

Plasmodium knowlesi cukup rendah yaitu

rata-rata hanya 1.387 dibandingkan dengan

hitung parasit Plasmodium vivax yang rata-rata

mencapai 26.781. Kelainan yang paling banyak

terjadi adalah trombositopenia yang tercatat

pada 104 pasien (98%) dan 31 (29%) dengan

hitung trombosit kurang dari 50.000 platelet/

μL. Limfopenia terjadi pada 7 kasus (6,5%) dan

anemia terjadi pada 5 kasus (4,6%).9

Pada penelitian ini ditemukan 7,5% atau

8 kasus malaria berat (berdasarkan kriteria

WHO) akibat infeksi Plasmodium knowlesi. Dari

8 pasien malaria berat ini, 4 pasien mengalami

distres pernapasan, 3 pasien mengalami

hiperparasitemia, 3 pasien mengalami ikterus,

3 pasien mengalami gangguan fungsi ginjal,

2 pasien mengalami hipotensi, 1 pasien

mengalami hipoglikemia dan 2 pasien

meninggal.9 Secara lengkap, gejala, tanda dan

hasil pemeriksaan penunjang pada penelitian

ini ditampilkan pada tabel 2, 3 dan 4:

Cara diagnosis malaria Plasmodium

knowlesi sebenarnya sama dengan cara

diagnosis malaria akibat spesies lainnya

yaitu dengan gejala dan tanda klinis disertai

pemeriksaan apusan darah tebal. Akan

tetapi karena morfologinya yang serupa

dengan Plasmodium malariae, untuk infeksi

Plasmodium knowlesi dibutuhkan deteksi

molekular seperti PCR.4

Sampai saat ini (2011), WHO belum

memberikan rekomendasi pengobatan

malaria akibat infeksi Plasmodium knowlesi.11

Beberapa penelitian menggunakan guideline

pengobatan untuk Plasmodium malariae

yaitu kombinasi klorokuin dan primakuin

memberikan respons klinis yang baik (Singh

dkk., 2004).4 Tetapi bila gejala pasien memberat

dan hitung parasit tinggi, sebaiknya pasien

ditatalaksana sebagai malaria berat. Daneshvar

(2009) mengevaluasi malaria Plasmodium

knowlesi pada 107 pasien yang mendapat

pengobatan klorokuin oral (25 mg base/kg

selama 3 hari) diikuti primakuin (15 mg setiap

hari selama 2 hari); 100 (93,5%) pasien tanpa

komplikasi dan menunjukkan respons klinik

yang baik, keadaan tetap baik pada follow up

hari ke-28; 2 (1,8%) pasien meninggal. 9

Dapat disimpulkan bahwa malaria

Plasmodium knowlesi dapat terjadi secara

alamiah pada manusia dalam jumlah

yang cukup bermakna. Sebagian besar

kasus infeksi Plasmodium knowlesi pada

manusia terdiagnosis sebagai Plasmodium

malariae karena struktur mikroskopis yang

serupa. Gejala berupa demam setiap 24

jam (quotidian fever) dan gejala lain yang

tidak khas. Saat ini belum tersedia panduan

pengobatan infeksi Plasmodium knowlesi dari

WHO. Beberapa penelitian menggunakan

cara pengobatan Plasmodium malariae yaitu

kombinasi klorokuin dan primakuin dengan

respons yang baik. Infeksi Plasmodium

knowlesi dapat menyebabkan malaria berat

yang berakibat kematian.9 Berbeda dengan

Plasmodium falciparum yang parasitnya

bereplikasi selang sehari, Plasmodium

knowlesi mengalami replikasi setiap hari

menyebabkan hiperparasitemia berat dan

cepat menyebabkan kematian.10

DAFTAR PUSTAKA

1. Franchini G. Su di un plasmodio pigmentato di una scimmia. Arch Ital Sci Med Colon;8:187–90.

2. Knowles R, Das Gupta BM. A study of monkey-malaria and its experimental transmission to man. Ind Med Gaz. 1932;67:301-21.

3. Chin W, Contacos PG, Coatney RG, Kimbal HR. A naturally acquired quotidian- type malaria in man transferable to monkeys. Science. 1965;149:865.

4. Singh B, Lee KS, Matusop A, Radhakrishnan A, Shamsul SSG, Cox-Singh J, Thomas A, Conway DJ: A large focus of naturally acquired Plasmodium knowlesi infections in human beings.

Lancet. 2004;363:1017-24.

5. Cox Singh J, Davis TME, Lee KS, Shamsul SSG, Matusop A, Ratnam S, Hasan AR, Conway DJ, Singh B: Plasmodium knowlesi malaria in humans is widely distributed and potentially life

threatening. Clin Infect Dis. 2008;46:165-71.

6. Vythilingam I, Noorazian YM, Huat TC, Jiram AI, Yusri YM, Azahari AH, et al Plasmodium knowlesi in humans, macaques and mosquitoes in peninsular Malaysia. Parasit Vectors.

2008;1(1):26.

7. Jongwutiwes S, Putaportip C, Iwasaki T, Sata T, Kanbara H. Naturally acquired Plasmodium knowlesi malaria in human, Thailand. Emerging Infectious Diseases. 2004;10(12):2211-3.

8. Bronner U, Divis PC, Färnert A, Singh B. Swedish traveller with Plasmodium knowlesi malaria after visiting Malaysian Borneo. Malar J. 2009;8:15.

9. Daneshvar C, Davis TME, Cox-Singh J, Rafa’ee MZ, Zakaria SK, Divis PCS and Singh B. Clinical and Laboratory Features of Human Plasmodium knowlesi Infection. Clinical Infectious Diseases.

2009;49:852–60.

10. Cox-Singh J, Hiu J, Lucas SB, Divis PC, Zulkarnaen M, Chandran P, Wong KT, Adem P, Zaki SR, Singh B, Krishna S. Severe malaria - a case of fatal Plasmodium knowlesi infection with post-

mortem i ndings: A case report. Malar J. 2010;9:10.

Page 9: Cdk 204 Interna

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013330

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Hiperurisemia adalah keadaan peningkatan

kadar asam urat darah di atas normal. Secara

biokomiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu

kelarutan asam urat di serum yang melewati

ambang batasnya. Batasan hiperurisemia

secara ideal yaitu kadar asam urat di atas

2 standar deviasi hasil laboratorium pada

populasi normal.1,2 Namun secara pragmatis

berdasarkan berbagai studi epidemologi

dapat digunakan patokan kadar asam urat >

7 mg/dL pada laki-laki, dan > 6 mg/dL pada

perempuan. Keadaan hiperurisemia akan

berisiko timbulnya arthritis gout, nefropati

urat, atau batu ginjal. Hiperurisemia bisa

terjadi akibat peningkatan metabolisme

asam urat, penurunan ekskresi asam urat urin,

atau gabungan keduanya.1,3 Sedangkan gout

merupakan kelompok penyakit heterogen

Nefropati Urat

Nata Pratama Hardjo LugitoPeserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam,

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK

Gouty nephropathy atau chronic uric acid nephropathy atau nefropati urat kronik adalah suatu keadaan asam urat atau kristal urat terdeposit pada

parenkim dan lumen tubulus secara independen dan menyebabkan cedera langsung lewat mekanisme respons inl amasi kronik, serupa dengan

yang terjadi pada pembentukan mikrotofus pada bagian tubuh lain, yang berpotensi menyebabkan i brosis interstitial dan gagal ginjal kronik.

Penumpukan asam urat atau kristal urat terjadi karena hipersaturasi asam urat atau hiperurisemia. Hiperurisemia bisa terjadi akibat peningkatan

metabolisme asam urat, penurunan ekskresi asam urat urin, atau gabungan keduanya. Hiperurisemia berhubungan dengan hipertensi, kelainan

vaskular dan gagal ginjal, namun mekanisme cedera ginjal langsung akibat hiperurisemia masih kontroversial. Hiperurisemia merupakan

faktor independen kelainan ginjal pada nefropati IgA, namun bukan prediktor penurunan fungsi ginjal. Jika hiperurisemia merupakan faktor

independen gagal ginjal, usaha untuk menurunkan kadar plasma asam urat akan menurunkan prevalensi gagal ginjal. Masih dibutuhkan studi

lebih lanjut untuk memastikan hal tersebut.

Kata kunci: nefropati urat kronik, hiperurisemia, gagal ginjal

ABSTRACT

Gouty nephropathy or chronic uric acid nephropathy is a situation where uric acid or crystal is deposited on parenchyma and lumen of kidney

tubule independently, causing chronic inl ammatory response via direct injury, similar to formation of microtophus in other organs, causing

interstitial i brosis and i nally kidney failure. Deposition of uric acid or crystal formed because of hypersaturation of uric acid or hyperuricaemia.

Hyperuricaemia is caused by increased uric acid metabolism, decreased urinary uric acid excretion or both. Hyperuricaemia is associated with

hypertension, vascular abnormality and kidney failure, direct injury mechanism theory is still controversial. Hyperuricaemia is an independent

factor in IgA nephropathy, but not as a predictor of kidney function decline. If hyperuricaemia is independent factor to kidney failure, ef orts to

lower plasma uric acid will also lower kidney failure prevalence. Nata Pratama Hardjo Lugito. Gouty Nephropaty.

Key words: chronic uric acid nephropathy, hyperuricaemia, kidney failure

Alamat korespondensi email: [email protected]

sebagai akibat deposisi kristal monosodium

urat pada jaringan, akibat gangguan

metabolisme berupa hiperurisemia.

Manifestasi klinik deposisi urat meliputi

artritis gout, akumulasi kristal di jaringan

yang merusak tulang (tofus), batu urat, dan

nefropati urat.1

Prevalensi hiperurisemia kira-kira 2,6 – 47,2%

yang bervariasi pada berbagai populasi.

Sedangkan prevalensi gout bervariasi antara 1

– 15,3%. Pada suatu studi didapatkan insidens

gout 4,9% pada kadar asam urat darah > 9

mg/dL, 0,5% pada kadar 7 – 8,9 mg/dL, dan

0,1% pada kadar <7 mg/dL.1 Prevalensi gout

di Jawa Tengah bagian Utara sebesar 1,7% di

daerah rural dan 4,8% di daerah urban.4

Hiperurisemia berhubungan dengan

hipertensi, kelainan vaskular dan gagal ginjal,

namun mekanisme cedera ginjal langsung

akibat hiperurisemia masih kontroversial.

Hiperurisemia merupakan faktor independen

kelainan ginjal pada nefropati IgA, namun

bukan prediktor penurunan fungsi ginjal

menurut studi MDRD. Jika hiperurisemia

merupakan faktor independen gagal

ginjal, tentunya usaha untuk menurunkan

kadar plasma asam urat akan menurunkan

prevalensi gagal ginjal.

PEMBAHASAN

Metabolisme Asam Urat1-3,5,7

Asam urat adalah hasil akhir metabolisme purin.

Pada keadaan normal, 90% metabolit nukleotid

(adenin, guanin dan hipoxantin) dipakai

kembali untuk membentuk AMP, IMP dan

GMP oleh adenine phosphoribosyltransferase

Page 10: Cdk 204 Interna

331CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA

(APRT) dan hypoxanthin guanine

phosphoribosyltransferase (HGPRT). Hanya

10% sisanya diubah menjadi xantin kemudian

menjadi asam urat oleh xanthine oxidase (XO).

Kelarutan urat yang rendah, terutama asam

urat adalah alasan mengapa hiperurisemia

menimbulkan gout. Eksresi asam urat oleh

ginjal mencapai 10% jumlah yang dii ltrasi,

sehingga pada hasil akhir urin kadarnya 10 –

20 x kadar plasma. Hiperurisemia terjadi pada

10% populasi di negara maju, 1 di antara 20

menderita gout (laki-laki lebih banyak dari

pada perempuan), 90% pasien gout adalah

gout primer dengan predisposisi genetik.

Hiperurisemia primer terjadi karena ekskresi

ginjal baru dapat meningkat sesuai dengan

produksinya jika kadarnya dalam plasma dan

i ltrat glomerularnya meningkat (hiperurise-

mia asimptomatik). Jika terjadi peningkatan

asupan purin, terjadi penumpukan kristal

monosodium urat. Peningkatan kadar asam

urat dalam urin menyebabkan terjadinya

batu saluran kemih. Alkohol, obesitas dan

beberapa obat seperti diuretik meningkatkan

metabolisme adenin nukleotida sehingga

memudahkan terjadinya penumpukan

kristal. Pada gout kronik, serangan berulang

menimbulkan kerusakan sendi, serta

penumpukan urat (tofus) pada daun telinga

dan ginjal (nefropati urat).

Obat urikosurik seperti benzbromaron dan

benziodaron meningkatkan ekskresi asam

urat sehingga menurunkan kadar plasmanya.

Sedangkan alopurinol adalah suatu anti xantin

oksidase (XO), menurunkan produksi asam

urat lewat blokade enzim tersebut.

Penanganan urat oleh ginjal 8

Kovarsky; Stone dan Simmonds me-

nyimpulkan bahwa pengikatan urat in vivo

sangat rendah, antara 4 – 5% saja dan urat

tidak dii ltrasi di glomerulus. Di tubulus,

sekitar 90% urat direabsorbsi, sehingga FEur

(Fractional Excretion of uric acid) mencapai

10% (Wyngaarden dan Kelley; Wortman).

Reabsorbsi pada laki-laki lebih tinggi (92%)

dibandingkan perempuan (88%), lebih

rendah pada anak-anak (70 – 85%). Hal ini

menjelaskan lebih tingginya kadar asam urat

plasma pada laki-laki dan jarangnya gout klasik

pada perempuan dan anak-anak. Ras juga

merupakan faktor yang mempengaruhi kadar

asam urat plasma. Laki-laki dan perempuan

Polinesia memiliki kadar asam urat plasma

lebih tinggi dibandingkan Kaukasia.

Faktor endogen atau eksogen yang

mempengaruhi penanganan urat oleh

ginjal

Banyak faktor yang memengaruhi

penanganan urat atau asam urat oleh ginjal

dan memengaruhi kadar urat plasma. Pada

beberapa kasus, hal ini nampaknya efek

langsung terhadap transporter urat, namun

pada kasus lainnya merupakan efek sekunder

akibat kontraksi atau ekspansi volume

plasma atau efek terhadap hemodinamik

ginjal. Beberapa obat memiliki efek bifasik

terhadap ekskresi urat, pada dosis rendah

meningkatkan retensi sedangkan pada dosis

tinggi bersifat urikosurik. Obat tersebut antara

lain salisilat, fenilbutazon dan inhibitor siklo-

oksigenase lainnya, pirazinamid, probenesid,

dan nikotinat.

Faktor yang menurunkan klirens asam

urat

Beberapa agen i siologis dan patologis dapat

menurunkan ekskresi urat dan menyebabkan

peningkatan kadar urat plasma, yang juga

dapat mencetuskan serangan akut gout

pada individu yang kadar urat plasma sudah

di batas atas karena penurunan proporsi

ekskresi urat terhadap LFG. Kontraksi

volume plasma karena asupan yang tak

adekuat, kehilangan cairan karena diare,

muntah atau diuretik dapat meningkatkan

reabsorbsi urat bersama senyawa lain di

tubulus proksimal seperti Na+ and HCO3

–.

Gout pada pasien yang mendapatkan

pengobatan kombinasi obat anti hipertensi

seperti diuretik mencapai 50% pasien baru

yang berobat untuk gout. Vasokonstriktor

ginjal seperti adrenalin, noradrenalin,

angiotensin dan beberapa inhibitor siklo-

oksigenase menurunkan klirens urat.

Siklosporin juga merupakan vasokonstriktor

kuat dan menjadi salah satu faktor penyebab

peningkatan insidens hiperurisemia dan

gout pada resipien transplantasi. Senyawa

i siologik yang menurunkan ekskresi urat

adalah asam organik seperti laktat, asetosetat

dan β-hidroksi butirat; yang produksinya

meningkat pada status epileptikus dan

konsumsi alkohol berlebihan bersamaan

dengan asupan makanan tak adekuat.

Intoksikasi timbal kronik menyebabkan

penurunan ekskresi urat lewat mekanisme

yang belum dapat ditentukan. Obat-obat

pirazinamid dan etambutol serta obat

urikosurik benzbromaron menyebabkan

peningkatan kadar urat plasma.

Faktor yang meningkatkan klirens asam

urat

Peningkatan volume plasma menyebabkan

peningkatan ekskresi urat sebagai akibat

sekresi ADH (antidiuretic hormone) yang tak

sesuai, yang terjadi pada pasien dengan

keganasan, awal kehamilan. Obat urikosurik

seperti probenesid, suli npirazon dan

benzbromaron menurunkan kadar urat

plasma dengan meningkatkan ekskresi asam

urat. Hal tersebut dapat menimbulkan gagal

ginjal akut karena presipitasi asam urat pada

tubulus. Vitamin C dosis besar juga bersifat

urikosurik dan menyebabkan kristaluria atau

batu campuran antara oksalat dan urat. Obat

yang biasanya tak memengaruhi ekskresi urat

kadang juga menyebabkan urikosuria, seperti

radiokontras, warfarin dan kortikosteroid,

antibiotik, seperti ampisilin, serta asam amino,

seperti glisin.

Penyebab Hiperurisemia dan Gout1-3

Penyebab hiperurisemia dibedakan

menjadi penyebab primer pada sebagian

besar kasus, serta penyebab sekunder

dan idiopatik. Penyebab primer berarti

tidak ada penyakit atau penyebab lain,

berbeda dengan kelompok sekunder yang

didapatkan penyebab lain, baik genetik

maupun metabolik. Pada 99% kasus gout

dan hiperurisemia dengan penyebab primer,

ditemukan kelainan molekuler yang tidak

jelas meskipun diketahui adanya mekanisme

penurunan sekresi pada 80-90% dan produksi

berlebihan pada 10-20% kasus. Sedangkan

pada kelompok hiperurisemia dan gout

sekunder, terjadi melalui mekanisme produksi

berlebihan, seperti gangguan metabolisme

purin pada dei siensi enzim glucose-6-

phosphatase atau fructose-1-phospate aldolase.

Hal yang sama juga terjadi pada keadaan infark

miokard, status epileptikus, penyakit hemolisis

kronis, polisitemia, psoriasis, keganasan

mieloproliferatif dan limfoproliferatif;

yang meningkatkan pemecahan ATP dan

asam nukleat dari inti sel. Mekanisme

penurunan sekresi dapat ditemukan pada

keadaan penyakit ginjal kronik, dehidrasi,

diabetes insipidus, alkoholisme, myxodema,

hiperparatiroid, ketoasidosis dan keracunan

berilium. Selain itu juga dapat terjadi pada

pemakaian obat seperti diuretik, salisilat

dosis rendah, pirazinamid, etambutol

dan siklosporin. Hiperurisemia diketahui

juga berkaitan dengan berbagai keadaan

gangguan metabolik seperti diabetes melitus,

Page 11: Cdk 204 Interna

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013332

TINJAUAN PUSTAKA

hipertrigliseridemia, obesitas, sindrom

metabolik, dan hipotiroidisme. Sebaliknya

hiperurisemia diduga menjadi faktor risiko

hipertensi, aterosklerosis dan penyakit jantung

koroner.

Dei nisi Nefropati Urat

Penyakit ginjal yang disebabkan oleh asam

urat atau penumpukan kristal urat, terbagi

menjadi 3 jenis, yaitu nefropati asam urat akut,

nefropati urat kronik dan nefrolitiasis asam

urat.6,7,8 Dalam tinjauan pustaka ini, yang akan

dibahas adalah nefropati urat kronik.

Gouty nephropathy atau chronic uric acid

nephropathy atau nefropati urat kronik adalah

suatu keadaan asam urat atau kristal urat

terdeposit pada parenkim dan lumen tubulus

secara independen dan menyebabkan

cedera langsung pada ginjal selama suatu

periode waktu sehingga menyebabkan gagal

ginjal.6,7 Nefropati urat kronik adalah suatu

bentuk penyakit ginjal kronik yang diinduksi

oleh penumpukan monosodium urat pada

interstitial medula, yang menyebabkan

respons inl amasi kronik, serupa dengan

yang terjadi pada pembentukan mikrotofus

pada bagian tubuh lain, yang berpotensi

menyebabkan i brosis interstitial dan gagal

ginjal kronik.8

Nefropati urat kronik yang pada masa lalu

sering ditemukan pada pasien dengan

tophaceous gout, saat ini jarang ditemukan.

Namun demikian pasien penyakit ginjal kronik

dengan sedimen urin serta hiperurisemia yang

tak sesuai dengan derajat gangguan ginjalnya

memenuhi kriteria nefropati urat kronik. Studi

pada hewan menunjukkan bahwa pada

penyakit ginjal kronik terjadi hiperurisemia

ringan, yang terjadi lewat dua mekanisme

yang mengkompensasi penurunan ei siensi

ekskresi ginjal yaitu peningkatan ekskresi

asam urat usus dan penurunan produksi

karena penurunan aktivitas xantin oksidase.8

Peningkatan kadar urat plasma yang tidak

sesuai dengan derajat gangguan ginjal

didei nisikan sebagai berikut:8

• Kadar urat plasma > 9 mg/dL (535 μmol/L)

jika kadar kreatinin plasma ≤ 1,5 mg/dL (132

μmol/L)

• Kadar urat plasma > 10 mg/dL (595

μmol/L) jika kadar kreatinin plasma 1,5 – 2,0

mg/dL (132 to 176 μmol/L)

• Kadar urat plasma > 12 mg/dL (714

μmol/L) dengan gagal ginjal yang lebih berat

Sejarah Nefropati Urat Kronik

Istilah nefropati urat kronik serta

keberadaannya telah menjadi subjek

perdebatan selama bertahun-tahun. Salah

satu penyebab kebingungan adalah bahwa

di masa lalu beberapa varian pasien gout

digolongkan menjadi 1 kelompok. Pada

satu spektrum ditemukan pada laki-laki usia

pertengahan yang disebut gout primer,

yang produksi asam uratnya normal namun

mengalami peningkatan ekskresi asam urat

tergantung dari diet tinggi purin, fungsi

ginjalnya normal untuk umurnya dan tetap

normal. Pada spektrum lain ditemukan

pasien usia muda atau bahkan anak-anak

dari kedua jenis kelamin dengan gout familial

onset prekoks, yang mengalami penurunan

fungsi ginjal secara cepat, walaupun produksi

dan ekskresi asam uratnya normal bahkan

rendah. Lalu ditemukan pasien intoksikasi

timbal dan pasien dengan peningkatan

produksi asam urat dengan ekskresi asam

urat sangat meningkat dan pada ginjal terjadi

penumpukan kristal.8

Foley dan Weinman (1984) serta Beck

(1986) menentang entitas nefropati urat

kronik. Namun, saat ini hubungan antara

hiperurisemia dan penyakit ginjal kronis tidak

diragukan lagi walaupun pola hubungannya

yang masih diperdebatkan. Gambar 2

menunjukkan kemungkinan pola hubungan

tersebut.6

Spektrum pasien gout meliputi yang saat ini

telah diketahui, terdiri dari:

Gout primer 8

Sekitar 30–40 tahun yang lalu, penyakit dan

gagal ginjal merupakan hal yang umum

pada pasien laki-laki gout usia pertengahan

serta merupakan penyebab utama kematian.

Keterlibatan ginjal mencapai 100% dan antara

20 – 80% kematian disebabkan uremia.

Saat ini, setelah gout jarang dijumpai pada

gagal ginjal, ternyata gagal ginjal juga

menjadi jarang pada pasien gout primer atau

klasik, yang berusia 50 – 60 tahun. Fungsi

ginjal pasien hampir selalu normal untuk

usianya dan tetap stabil walaupun terdeteksi

abnormalitas sedimen urin dan proteinuria

ringan. Penurunan konsentrasi asam urat

mendekati normal tidak mempengaruhi

perjalanan penyakit. Kelainan ginjal yang

ditemukan hanyalah FEur yang rendah (rata-

rata 5,4%) yang menunjukkan bahwa gout

primer adalah kelainan ginjal dengan dasar

kelainan genetik mayor.

Alasan tingginya prevalensi gagal ginjal

pada gout primer di masa lalu tidak jelas.

Diperkirakan kerusakan ginjal mengikuti

penyakit vaskular pada gout, atau adanya

penumpukan asam urat atau kristal urat

dalam ginjal. Demikian pula tidak mungkin

mencari penyebab penurunan mortalitas,

namun disimpulkan bahwa hal tersebut

Gambar 1 Penumpukan kristal urat pada media basa di interstitial ginjal menyebabkan terjadinya i brosis dan atroi 6

Page 12: Cdk 204 Interna

333CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA

berhubungan dengan penurunan asupan

purin, pengobatan yang lebih efektif

dengan agen urikosurik dan alopurinol, serta

penurunan insidens intoksikasi timbal. Saat ini

tophaceous gout sudah jarang dan hipertensi

yang terkait juga sudah menjadi normotensi

dengan pengobatan yang efektif.

Asal tofus interstitial monosodium urat

juga kontroversial. Hal tersebut diperkirakan

merupakan hasil tingginya konsentrasi asam

urat plasma dengan penumpukan primer pada

interstitial ginjal sebagai monosodium urat.

Studi lain menyimpulkan bahwa hal tersebut

terjadi akibat erosi kristal asam urat pada

tubulus ke dalam interstitial yang menyebabkan

terbentuknya monosodium urat.

Saat ini masih dipertanyakan penyebab

kerusakan ginjal apakah monosodium urat

atau asam urat. Pada interstitial ginjal, pH

7,37 dan karena pK disosiasi gugus hidroksil

asam urat adalah 5,44, bentuk utama purin

adalah monosodium urat monohidrat

berbentuk jarum. Sedangkan di tubulus, pH

dapat mencapai 5,0 bahkan lebih rendah, dan

bentuk utama adalah asam urat amorf. Kedua

mekanisme dapat terjadi pada nefropati urat

kronik, asam urat dan monosodium urat

dapat menyebabkan inl amasi jaringan ikat

sekunder.

Gout juvenilis 8

Penurunan jumlah pasien dengan keterlibatan

ginjal pada gout primer menyebabkan

munculnya kelompok pasien baru, berusia

muda (antara 10 – 35 tahun) dengan onset

prekoks hiperurisemia sehingga disebut

sebagai familial juvenile hyperuricaemic

nephropathy (FJHN) atau medullary cystic

kidney disease type 2 (MCDK2). Kelainan ini

adalah kelainan autosom dominan dengan

hiperurisemia dan gout pada awal perjalanan

penyakit dengan gangguan ginjal yang

progresif. Masih diperdebatkan apakah

hiperurisemia atau kelainan ginjalnya yang

merupakan faktor primer. Walaupun gagal

ginjal umum ditemukan, biopsi ginjal dan

nefrektomi menunjukkan nefropati interstitial

dengan atroi tubular dan glomerulosklerosis,

dan kristal urat jarang ditemukan.

Nefropati terinduksi kristal 8

Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa

dalam jangka waktu singkat, penumpukan

kristal dapat menyebabkan kerusakan Gambar 2 Metabolisme asam urat, penumpukan asam urat dan kelainan yang ditimbulkannya6

Tabel 1 Faktor yang meningkatkan risiko perburukan fungsi ginjal pada pasien hipertensi primer12

Faktor risiko

Hipertensi berat (TD sistolik > 170 mmHg)Hipertensi lamaRas Afrika Amerika*Hiperurisemia dan/atau gout*Intoksikasi timbal kronik*Obesitas dan/atau Sindrom Metabolik*Diuretik*Penurunan jumlah nefronUsia lanjut

*Kondisi yang berhubungan dengan hiperurisemia

Page 13: Cdk 204 Interna

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013334

TINJAUAN PUSTAKA

ginjal yang berat dan permanen, pada

awalnya terjadi kerusakan epitel tubular

diikuti erosi membran basal, perpindahan

kristal ke interstitial, dan terpicunya respons

inl amasi. Walaupun kristal perlahan

menghilang, fokus inl amasinya menetap.

Pada akhirnya didapatkan ginjal yang

mengecil, sklerosis glomerulus dengan garis-

garis i brosis dari korteks ke medula. Hal ini

menunjukkan bahwa tidak ditemukannya

kristal pada nefritis interstitial nonspesii k

tidak meniadakan nefropati kristal sebagai

penyebab lesi ginjal.

Patogenesis Nefropati Urat Kronik

Data histopatologis menunjukkan inl amasi

interstitial dan i brosis bersamaan dengan

deposit kristal asam urat. Beberapa studi

menunjukkan indeks ginjal dan fungsi endotel

yang abnormal pada pasien hiperurisemia

asimptomatik.

Studi Heinin dan Johnson pada binatang

pengerat membuktikan bahwa hiperurisemia

meningkatkan tekanan darah dan

menimbulkan lesi pada mikrovaskular ginjal,

glomerular dan tubulointerstitial, namun

mekanismenya masih belum diketahui.

Walaupun demikian, data pada manusia

belum dapat membuktikannya.6 Studi

lain pada otopsi 79 – 99% pasien gout

menunjukkan lesi histologis pada nefropati

urat kronik berupa glomerulosklerosis, i brosis

interstital, arteriosklerosis dan seringkali

disertai penumpukan kristal urat interstitial

fokal.9-12

Walaupun terlihat ada hubungan antara

gout dengan kelainan ginjal, masih terdapat

kontroversi apakah asam urat merupakan

etiologinya, karena sulit menggambarkan

cedera ginjal karena penumpukan kristal urat

secara umum, banyaknya pasien gout juga

menderita hipertensi yang gambarannya

serupa, serta apakah penurunan kadar asam

urat dapat memperlambat penurunan fungsi

ginjal.8

Weiner dkk.13 menemukan bahwa kadar asam

urat pada awal studi berhubungan dengan

peningkatan risiko terjadinya penyakit ginjal

pada model berdasarkan LFG (OR 1,07

(95% CI 1,01 – 1,14)) dan kadar kreatinin

(OR 1,11 (95% CI 1,01 – 1,21)), disimpulkan

bahwa peningkatan kadar asam urat

adalah faktor risiko independen timbulnya

penyakit ginjal pada populasi umum. Studi

Domrongkitchaiporn dkk.14 menunjukkan

bahwa OR terjadinya penurunan fungsi ginjal

adalah 1,82 pada kadar asam urat > 6,29 mg/

dl dibandingkan dengan kadar asam urat <4,5

mg/dl. Pada studi ini, hiperurisemia bukan

merupakan hasil dari penurunan fungsi ginjal,

karena semua pasien yang diteliti memiliki

LFG > 60 ml/min per 1,73 m2 pada awal studi.

Studi Obermayr dkk.7 selama 7 tahun terhadap

21.000 pasien dengan berbagai kadar asam

urat dan laju i ltrasi glomerulus yang sepadan

menunjukkan bahwa setelah dilakukan

penyesuaian terhadap LFG, OR menderita

gangguan ginjal yang berhubungan dengan

kadar asam urat meningkat 17% pada pasien

dengan kadar asam urat 7,0 – 8,9 mg/dL dan

25% pada pasien dengan kadar > 9,0 mg/

dL. Dengan penyesuaian jenis kelamin dan

umur, OR pada 2 kelompok meningkat 11%

dan 19%. Hasil ini menunjukkan efek toksik

langsung atau tak langsung asam urat pada

perkembangan CKD stage 3. Studi ini juga

menemukan adanya interaksi antara kadar

asam urat dengan hipertensi pada timbulnya

CKD stage 3. Hal tersebut terlihat pada

gambar 2. Pengaruh kadar asam urat pada

timbulnya gangguan ginjal baru adalah linear

pada kadar 6 – 7 mg/dL pada perempuan dan

kadar 7 – 8 mg/dL pada laki-laki, kemudian

OR meningkat tajam pada kadar di atasnya.

Pengaruh peningkatan kadar asam urat

terhadap OR timbulnya gangguan ginjal baru

meningkat tajam pada pasien hipertensi dan

perempuan.

Studi Darmawan dkk.4 menunjukkan bahwa

hiperurisemia, kadar ureum dan kreatinin

serum, klirens kreatinin membaik setelah terapi

dengan prednison dan obat anti inl amasi non

steroid (OAINS). Fungsi ginjal, kadar kolesterol

dan trigliserida serum, kadar glukosa puasa

dan fungsi hati juga mengalami perbaikan

Gambar 4 OR for development of a GFR < 60 ml/min per 1.73 m2 depending on UA levels (natural cubic splines) compared with

mean UA levels (4.2 mg/dl for women and 5.9 mg/dl for men); stratii ed for gender and hypertension groups adjusted for GFRb, age,

waist circumference, fasting glucose (natural cubic spline), HDL (log-transformed), triglycerides (log-transformed), and antihyper-

tensive drug use. Dashed lines denote 95% CI. Hypertension groups: normal BP, systolic < 120 mmHg and diastolic < 80 mmHg;

prehypertension, systolic 120 to 139 mmHg or diastolic 80 to 89 mmHg; hypertension, systolic >140 mmHg or diastolic > 90 mmHg

Page 14: Cdk 204 Interna

335CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA

dengan diet rendah kalori, rendah purin dan

rendah lemak. Secara umum disimpulkan tidak

terjadi urolitiasis dan perburukan fungsi ginjal

jika kadar asam urat serum dipertahankan di

bawah 5 mg/dL. Persentase pasien dengan

kadar serum kreatinin > 5 mg/dL menurun

secara bermakna setelah kontrol hiperurisemia

selama 10 tahun, dan tidak ada lagi pasien

dengan klirens kreatinin < 30 ml/menit. Studi

Iseki dkk.15 terhadap 6.400 subjek dengan

fungsi ginjal normal, didapatkan bahwa

kadar asam urat > 8,0 mg/dL dibandingkan

dengan < 5,0 mg/dL berhubungan dengan

peningkatan risiko timbulnya gangguan

ginjal dalam 2 tahun sebesar 2,9 kali pada

laki-laki dan 10 kali pada perempuan. Hal ini

tak terpengaruh usia, indeks massa tubuh,

tekanan darah sistolik, kolesterol total,

albumin serum, kadar gula darah, merokok,

alkohol, kebiasaan olahraga, proteinuria dan

hematuria. Malah, peningkatan kadara asam

urat lebih prediktif dibandingkan proteinuria

terhadap timbulnya gangguan ginjal.

Studi Kang dkk.16 pada tikus menemukan

beberapa hal penting dalam patogenesis

nefropati urat kronik. Asam urat adalah

mediator penting terjadinya kelainan ginjal,

hiperurisemia meningkatkan tekanan

darah, proteinuria, disfungsi ginjal dan

pembentukan jaringan ikat pada ginjal

serta memacu kelainan vaskular lewat jalur

COX-2. Salah satu peran asam urat adalah

melalui aktivasi sistem renin-angiotensin,

mediator penting pada gangguan ginjal

lewat efek hemodinamik yang meningkatkan

tekanan sistemik dan glomerular, serta

efek i brogenik pada sel ginjal dan vaskular.

Pada tikus percobaan, peningkatan kadar

asam urat meningkatkan ekspresi renin

jukstaglomerular dan pemberian enalapril

mengendalikan tekanan darah, memperbaiki

arteriolopati serta mencegah cedera ginjal.

Pemberian alopurinol dan benziodaron

untuk mencegah hiperurisemia menurunkan

kadar renin yang mengurangi cedera ginjal.

Pada tikus hiperurisemia terjadi vaskulopati

preglomerular berat, terlihat adanya

penebalan dan peningkatan jumlah sel otot

polos vaskular serta ini ltrasi makrofag pada

subendotel, media dan adventisia. Perubahan

ini menimbulkan arteriopati obliterasi yang

memperberat cedera ginjal karena iskemia

sirkulasi postglomerular. Menyempitnya

lumen juga meningkatkan ekspresi renin dan

menyebabkan hipertensi.

Selain itu ditemukan mekanisme baru

yang berhubungan dengan COX-2, yang

meningkat ekspresinya pada sel otot polos

aorta dan preglomerular akibat peningkatan

kadar asam urat dan proliferasi sel otot polos.

Peningkatan ekspresi COX-2 meningkatkan

kadar tromboksan. Namun masih belum

jelas apakah peningkatan ekspresi renin

merupakan efek langsung peningkatan

kadar asam urat atau berhubungan dengan

stimulasi COX-2 pada makula densa dan

arteriol atau efek tak langsung kelainan

vaskular yang menyebabkan penurunan

perfusi ginjal. Pada pokoknya, angiotensin

II menyebabkan proliferasi dan hipertroi

sel otot polos vaskular dan ini ltrasi sel

radang. Vaskulopati akibat hiperurisemia

dapat dicegah dengan inhibisi sistem renin

angiotensin dan proliferasi sel otot polos

vaskular diinhibisi sebagian dengan blokade

reseptor AT1. Perubahan pembuluh darah

preglomerular bukan hanya disebabkan oleh

peningkatan tekanan darah, yang terlihat

pada tikus hiperurisemia yang mengalami

perubahan pembuluh darah yang lebih

dibandingkan tikus dengan tekanan darah

yang setara namun kadar asam urat lebih

rendah. Studi Zocalli dkk.17 menunjukkan

bahwa hiperurisemia ringan merupakan

faktor yang mempengaruhi disfungsi

endotel pada pasien hipertensi yang belum

terkomplikasi dan tidak diterapi. Inl amasi

merupakan jalur yang cukup penting dalam

kerusakan endotel yang ditimbulkan oleh

asam urat, di mana asam urat menstimulasi

sintesis C-Reactive Protein (CRP). Data studi

ini menunjukkan bahwa paparan kronik

hiperurisemia ringan merupakan faktor

yang menimbulkan inl amasi mikro dan

peningkatan CRP pada pasien hipertensi

esensial. Studi lain oleh Forman dkk.18

menunjukkan kadar asam urat berhubungan

dengan aliran plasma ginjal basal yang

lebih rendah dan perlambatan rel eks

vasokonstriksi ginjal, yang mendukung

hipotesis bahwa asam urat mengaktifkan

sistem renin angiotensin. Selain itu, proliferasi

sel otot polos vaskular dan inl amasi

akibat asam urat menyebabkan kerusakan

ireversibel pada pembuluh darah kecil ginjal,

yang selanjutnya mengakibatkan hipertensi

dan sensitivitas garam. Namun mekanisme

ini kurang berperan pada usia lanjut jika

kekakuan aorta adalah mekanisme utama,

diikuti aktivasi sistem renin angiotensin yang

meningkat pada usia lanjut.

Studi pada tikus oleh Patschan dkk.19

menunjukkan bahwa asam urat adalah

mediator mobilisasi endothelial progenitor cells

(EPC) terhadap iskemi jaringan. Pada keadaan

hiperurisemua kronik terjadi penurunan

mobilisasi EPC dan efek proteksinya terhadap

ginjal.

Studi Kang dkk.20 menunjukkan bahwa

peningkatan kadar asam urat berhubungan

dengan peningkatan produksi CRP pada

human vascular smooth muscle cells (HVSMC)

dan human umbilical vein endothelial cells

(HUVEC), yang menunjukkan bahwa masuknya

asam urat ke intrasel bertanggung jawab untuk

ekspresi CRP. Asam urat juga meningkatkan

migrasi HVSMC dan menghambat migrasi

HUVEC, serta menghambat pembebasan nitric

oxide (NO) pada HUVEC. Pemberian antibodi

anti-CRP membalik efek asam urat terhadap

proliferasi dan migrasi HVSMC dan pelepasan

NO pada HUVEC, yang menunjukkan pula

peran asam urat pada remodeling vaskular.

Tata Laksana Nefropati Urat Kronik

Seperti penatalaksanaan penurunan asam urat

pada gout lainnya, harus dipertimbangkan

kemungkinan interaksi obat dan efek samping

serta kondisi komorbid. Gout bukanlah

suatu penyakit yang selalu progresif. Kadar

asam urat kadang kembali normal tanpa

penggunaan obat antihiperurisemik jika

pasien berhenti mengonsumsi alkohol, jika

obat antihipertensi diganti dengan diuretik

tiazid, atau pasien obesitas menurunkan

berat badan. Diet rendah purin kadang tidak

dapat dilaksanakan dan hanya dapat sedikit

menurunkan kadar asam urat. Suatu studi

menunjukkan bahwa diet rendah kalori

yang dapat meningkatkan sensitivitas insulin

berhasil menurunkan berat badan 7,7 kg dan

hiperurisemia sebesar 17%.21

Berdasarkan studi-studi di atas, obat

urikosurik seperti benzbromaron dan

benziodaron serta anti xantin oksidase (XO)

seperti alopurinol dapat digunakan untuk

mencegah nefropati urat kronik. Penggunaan

alopurinol untuk menurunkan kadar asam

urat ternyata mencegah gangguan ginjal,

proteinuria, hipertensi, kelainan vaskular,

dan hipertroi ginjal; diperkirakan lewat

kemampuannya menurunkan kadar asam

urat serum. Benziodaron, obat urikosurik,

kurang efektif menurunkan asam urat dan

hanya sebagian menurunkan ekspresi renin.

Page 15: Cdk 204 Interna

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013336

TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

1. Wortmann RL. Gout and hyperuricemia. Dalam: Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Rudy S, Sergen JS, (eds.) Kelley’s Textbook of Rheumatology. 8th ed. Philadelphia:Saunders; 2009.hal.1481

– 506.

2. Edward NL. Gout: Clinical features. Dalam: Klippel JH, Stone JH, Crof ord LJ, White PH (eds.) 3rd ed. New York:Springer; 2008.hal.241 – 9.

3. Putra TR. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI;

2006.hal.1213 – 7.

4. Poor G, Mituszova M. History, Classii cation and epidemology of crystal related artropathies. Dalam: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology.

3rd ed. Edinburg: Elsevier; 2003.hal.1893 – 901

5. Darmawan J, Rasker JJ, Nuralim H. The Ef ect of Control and Self-Medication of Chronic Gout in a Developing Country. Outcome After 10 Years. J Rheumatol 2003;30:hal. 2437 – 43.

6. Orson W. Moe. Posing the Question Again: Does Chronic Uric Acid Nephropathy Exist? J Am Soc Nephrol 2010;21: 395 – 7.

7. Obermayr RP, Temml C, Gutjahr G, Knechtelsdorfer M, Oberbauer R, Klauser-Braun R. Elevated uric acid increases the risk for kidney disease. J Am Soc Nephrol 2008;19: 2407 – 13.

8. Cameron JS, Moro F, Simmonds HA. Uric acid and the kidney. Dalam: Davison AM, Cameron JS, Grunfeld JP, Kerr DNS, Ritz E, et.al. Oxford Textbook of Clinical Nephrology. 2nd ed.: Oxford

University Press, 1998; hal. 1267 – 79.

9. Talbott JH, Terplan KL. The kidney in gout. Medicine 1960;39: 405 – 67.

10. Gonick HC, Rubini MD, Gleason IO, Sommers SC. The renal lesion in gout. Ann Int Med 1965;62: 667 – 74.

11. Siebernagl S . Gout. Dalam: Siebernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophysiology. 1st Edition. 2000 Georg Thieme Verlag. Stuttgart. Hal. 250 – 1.

12. Johnson RJ, Segal MS, Srinivas T, Ejaz A, Mu W,et.al.. Essential Hypertension, Progressive Renal Disease, and Uric Acid: A Pathogenetic Link? J Am Soc Nephrol 2005;16: 1909 –19.

13. Weiner DE, Tighiouart H, Elsayed EF, Grii th JL, Salem JN, Levey AS. Uric Acid and Incident Kidney Disease in the Community. J Am Soc Nephrol 2008;19: hal. 1204–11.

14. Domrongkitchaiporn S, Sritara P, Kitiyakara C, Stitchantrakul W, Krittaphol V, et.al.. Risk Factors for Development of Decreased Kidney Function in a Southeast Asian Population: A 12-Year

Cohort Study. J Am Soc Nephrol 2005;16: 791 – 9.

15. Iseki K, Oshiro S, Tozawa M, Iseki C, Ikemiya Y, Takishita S. Signii cance of hyperuricemia on the early detection of renal failure in a cohort of screened subjects. Hypertens Res 2001;24: 691

– 7.

16. Kang D, Nakagawa T, Feng L, Watanabe S, Han L. et.al. A Role for Uric Acid in the Progression of Renal Disease. J Am Soc Nephrol 2002;13: 2888 – 97.

17. Zoccali C, Maio R, Mallamaci F, Sesti G, Perticone F. Uric Acid and Endothelial Dysfunction in Essential Hypertension. J Am Soc Nephrol 2006;17: 1466 – 71.

18. Forman JP, Choi H, Curhan GC. Plasma Uric Acid Level and Risk for Incident Hypertension Among Men. J Am Soc Nephrol 2007;18: 287–92.

19. Patschan D, Patschan S, Gobe GG, Chintala S, Goligorsky MS. Uric Acid Heralds Ischemic Tissue Injury to Mobilize Endothelial Progenitor Cells. J Am Soc Nephrol 2007;18: 1516–24.

20. Kang DH, Park SK, Lee I, Johnson RJ . Uric Acid–Induced C-Reactive Protein Expression:Implication on Cell Proliferation and Nitric Oxide Production of Human Vascular Cells. J Am Soc

Nephrol 2005;16: 3553–62.

21. Terkeltaub RA, Gout. N Engl J Med 2003;349: 1647 – 55.

Namun, benziodaron lebih efektif mencegah

perubahan glomerular (proteinuria dan

glomerulosklerosis) dibandingkan perubahan

vaskular dan interstitial. Hal ini mungkin

karena perubahan glomerular berhubungan

dengan kadar asam urat, atau karena cedera

interstitial tidak dicegah secara efektif akibat

efek urikosurik benziodaron.15

Dua faktor harus dipertimbangkan

pada tata laksana nefropati urat kronik.

Faktor pertama adalah metabolit aktif

alopurinol, yaitu oksipurinol, mengalami

perjalanan yang sama dengan asam urat,

yang direabsorbsi, secara aktif di tubulus.

Pada pasien dengan fungsi ginjal normal,

klirensnya dipengaruhi semua hal yang

mempengaruhi klirens urat, terutama

kontraksi volume termasuk akibat diuretik,

akan meningkatkan konsentrasi plasma

oksipurinol dan memperpanjang waktu

paruhnya. Oleh karena itu, pada pasien

gagal ginjal, dosis alopurinol harus

diturunkan menjadi 100 mg perhari atau

bahkan 100 mg seminggu 3 kali.

Faktor kedua adalah klirens urat harus

diperhitungkan independen terhadap

LFG. Oksipurinol direabsorpsi secara aktif

oleh ginjal, sehingga pada semua derajat

gangguan ginjal, retensi oksipurinol

terjadi lebih besar pada pasien dengan

FEur yang menurun. FEur menurun lebih

besar dengan penggunaan diuretik,

seperti benzbromaron atau azapropazon,

sedangkan furosemid malah menurunkan

kadar urat plasma. Kedua faktor tersebut

menjadi pertimbangan bahwa alopurinol

tidak selalu obat pilihan pada pasien gagal

ginjal. Obat urikosurik, seperti probenesid,

malah mengganggu transpor tubular

diuretik.

SIMPULAN

Berbagai studi telah menunjukkan bahwa

hiperurisemia adalah faktor risiko independen

terjadinya kelainan ginjal, yang disebut

nefropati urat kronik. Namun dalam berbagai

studi juga disebutkan berbagai kelemahan, di

antaranya tidak dapat disingkirkannya semua

faktor perancu seperti keadaan metabolik,

hipertensi dan usia. Masih dibutuhkan studi

lebih lanjut untuk memastikan hiperurisemia

sebagai faktor independen kelainan ginjal,

sehingga dapat dilakukan usaha untuk

menurunkan insidens gagal ginjal akibat

nefropati urat kronik.

Page 16: Cdk 204 Interna

337CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Anemia sering dijumpai pada pasien

penyakit ginjal kronis (PGK) dan berkontribusi

menyebabkan penurunan kualitas hidup

pasien PGK. Anemia pada PGK juga dikaitkan

dengan berbagai penyulit seperti perawatan di

rumah sakit, penyakit kardiovaskuler, gangguan

kognitif, dan kematian. Berkurangnya produksi

eritropoietin merupakan faktor terpenting

dalam patogenesisnya.1,2 Erythropoiesis-

stimulating agents (ESA) telah merevolusi

Hepsidin: Peranannya dalam Patogenesis dan Implikasinya terhadap Tata Laksana Anemia pada

Penyakit Ginjal Kronis

Dimas Kusnugroho Bonardo PardedeRS PGI Cikini, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK

Anemia sering dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronis (PGK) dan menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Tata laksana anemia

pada PGK saat ini meliputi pemberian besi, pemberian erythropoiesis-stimulating agents (ESA), dan transfusi sel darah merah. Hepsidin (hepcidin)

adalah suatu peptida yang diproduksi di hepar dan merupakan regulator penting homeostasis besi sistemik yang mencegah terjadinya

kelebihan besi dengan cara menyebabkan sekuestrasi besi di makrofag dan menurunkan absorpsi besi enteral. Produksinya ditingkatkan oleh

inl amasi dan pemberian besi; dihambat oleh hipoksia, anemia, dei siensi besi, peningkatan aktivitas eritropoiesis dan pemberian ESA. Penelitian

menunjukkan bahwa pada pasien PGK terdapat peningkatan kadar hepsidin serum. Peningkatan kadar hepsidin berperan menyebabkan

anemia pada PGK dengan cara menciptakan keadaan iron-restricted erythropoiesis, menghambat pembentukan koloni eritroid dan mengurangi

kesintasan sel darah merah. Implikasinya adalah bahwa hepsidin diharapkan bisa menjadi biomarker penting status besi, panduan prediksi dan

pemantauan respons terapi besi, dan prediktor respons terapi dan resistensi ESA. Selain itu hepsidin juga dapat dijadikan target terapi suatu

antagonis hepsidin untuk penatalaksanaan anemia pada PGK yang lebih efektif.

Kata kunci: anemia, penyakit ginjal kronis, hepsidin

ABSTRACT

Anemia is prevalent in chronic kidney disease (CKD) patients and associated with increased morbidity and mortality. Current management of

anemia in CKD resolves around iron supplementation, erythropoiesis-stimulating agents (ESA), and red cell transfusion. Hepcidin is a peptide

produced in liver and is a key regulator of systemic iron homeostasis to prevent iron overload by iron sequestration in macrophages and

decreasing enteral iron absorption. The production is increased by inl ammation and iron supplementation; attenuated by hypoxia, anemia,

iron dei ciency, increased erythropoiesis activity and ESA. Studies have shown that hepcidin serum level in patients with CKD is increased.

High hepcidin serum level contributes to anemia in CKD by mediating iron-restricted erythropoiesis, inhibiting erythroid colony formation,

and impairing red blood cell survival. Its implication is that hepcidin has the potential to be an important biomarker of iron status, a guide

to predict and monitor iron therapy response, and a predictor of ESA response and resistance. Also, hepcidin has the potential to become a

therapeutic target for hepcidin antagonist agent which could lead to ef ective treatment of anemia in CKD. Dimas Kusnugroho Bonardo

Pardede. Hepcidin: Role in the Pathogenesis and Implications for Management of Anemia in Chronic Kidney Disease.

Key words: anemia, chronic kidney disease, hepcidin

Alamat korespondensi email: [email protected]

penanganan anemia pada PGK dan dapat

menangani kebanyakan pasien PGK dengan

anemia secara efektif. Akan tetapi sekitar

10-20% pasien dilaporkan hipo- atau non-

responsif terhadap ESA sementara pemberian

ESA dosis lebih tinggi menyebabkan

peningkatan mortalitas.1-3 Resistensi terhadap

ESA sering dikaitkan dengan kelainan

metabolisme besi dan inl amasi. Pada pasien

PGK sering dijumpai kelainan metabolisme

besi dan keadaan inl amasi kronis.

Hepsidin (hepcidin) adalah protein dengan berat

molekul rendah yang belum lama ini ditemu-

kan, berperan penting dalam metabolisme

besi dan produksinya dipengaruhi oleh

inl amasi. Keberadaan hepsidin mungkin dapat

menjelaskan ketidakseimbangan metabolisme

besi yang sering ditemukan pada pasien

PGK dengan anemia dan resisten terhadap

ESA. Oleh karena itu peran hepsidin dalam

patogenesis dan implikasinya terhadap tata

laksana anemia pada PGK banyak diteliti.1,2,4-6

Page 17: Cdk 204 Interna

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013338

TINJAUAN PUSTAKA

ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL

KRONIS

Menurut National Kidney Foundation’s Kidney

Disease Outcomes Quality Initiative, anemia

didei nisikan jika kadar hemoglobin (Hb)

< 12 g/dL (hematokrit < 37%) pada pria

dewasa dan wanita pasca-menopause atau

Hb < 11 g/dL (hematokrit < 33%) pada anak

pre-pubertas dan wanita pre-menopause.7

Anemia sering dijumpai pada pasien PGK dan

berkontribusi menurunkan kualitas hidup.

Anemia pada PGK juga dikaitkan dengan

berbagai penyulit seperti perawatan rumah

sakit, penyakit kardiovaskuler, gangguan

kognitif dan kematian.1

Tata laksana anemia pada PGK meliputi

pemberian besi oral dan/atau parenteral, pem-

berian Erythropoiesis-Stimulating Agent (ESA),

dan transfusi sel darah merah.8 Pemberian

besi berisiko menyebabkan kelebihan besi

sedangkan transfusi memiliki banyak risiko

seperti hiperkalemia, volume overload,

kelebihan besi, toksisitas sitrat, reaksi transfusi,

hipotermi, koagulopati, transfusion-related

acute lung injury dan infeksi.8,9 ESA telah

merevolusi penanganan anemia pada PGK

dan dapat menangani kebanyakan pasien

PGK dengan anemia secara efektif, akan

tetapi sekitar 10-20% pasien dilaporkan

hipo- atau non-responsif terhadap ESA

sementara pemberian ESA dosis lebih tinggi

meningkatkan mortalitas.1-3,8,9

Hiporesponsivitas ESA (didei nisikan sebagai

tidak adanya kenaikan Hb setelah bulan

pertama pemberian ESA dosis adekuat atau

dalam upaya menjaga kadar Hb tetap stabil

dibutuhkan peningkatkan dosis ESA sebanyak

dua kali hingga 50% dosis pemeliharaan)

sering dikaitkan dengan dei siensi besi dan

inl amasi.4,5,8 Meskipun berkurangnya produksi

eritropoietin merupakan faktor terpenting,

kenyataannya patogenesis anemia pada PGK

bersifat multifaktorial. Faktor lain yang juga

berperan antara lain: pemendekan kesintasan

eritrosit, kehilangan darah, hemolisis, stres

oksidatif, akumulasi toksin uremik yang

menghambat eritropoiesis, dan kelainan

metabolisme besi.1,2,5

Kelainan metabolisme besi sering dijumpai

pada pasien PGK berupa dei siensi besi

absolut atau dei siensi besi fungsional/

blokade retikuloendotelial. Dei siensi besi

fungsional yang dicirikan dengan rendahnya

ketersediaan besi di sirkulasi untuk eritropoiesis

meskipun kadarnya di penyimpanan tinggi,

juga merupakan ciri anemia karena inl amasi/

penyakit kronis.1 Pada pasien PGK juga sering

ditemukan keadaan inl amasi kronis yang

disebabkan peningkatan insidens infeksi

dan/atau induksi sitokin proinl amasi karena

prosedur hemodialisis. Penelitian belakangan

ini menunjukkan bahwa kelainan metabolisme

besi yang dijumpai pada pasien PGK, seperti

pada pasien dengan anemia karena inl amasi,

mungkin disebabkan oleh peningkatan kadar

hepsidin.1

HEPSIDIN: STRUKTUR, AKTIVITAS

BIOLOGIS, DAN REGULASI

Hepsidin adalah peptida dengan 25 asam

amino, 8 residu sistein, dan 4 ikatan disuli da

yang belum lama ini ditemukan dalam rangka

pencarian peptida antimikrobial baru.5,10-12

Karena diproduksi di hepar dan memiliki sifat

antimikrobial, Park dkk. menamakan peptida

ini sebagai hepcidin (hepatic bactericidal

protein).11 Hepsidin ditemukan pada berbagai

spesies dan merupakan produk dari gen

HAMP yang memproduksi 84-asam amino

pre-prohepsidin, untuk kemudian mengalami

pembelahan menjadi 60-asam amino

prohepsidin selanjutnya menjadi bentuk

matur/aktif yaitu hepsidin-25 yang memiliki

kemampuan regulator besi dan antimikrobial.

Selain hepsidin-25, dihasilkan juga dua

isoform lebih kecil lainnya yaitu hepsidin-20

dan -22 yang kepentingan biologisnya belum

diketahui.2,5,9,10,12

Hepsidin merupakan regulator penting

homeostasis besi sistemik yang berperan

mencegah terjadinya kelebihan besi; mutasi

gen hepsidin seperti pada hemokromatosis

dapat menyebabkan gejala klinis akibat

kelebihan besi. Hepsidin menyebabkan

degradasi dan internalisasi feroportin, yaitu

eksportir besi (pengangkut el uks besi

transmembran) yang terdapat di permukaan

sel makrofag, enterosit dan hepatosit.

Kadar hepsidin yang tinggi menghambat

pelepasan simpanan besi di dalam makrofag

dan hepatosit serta mencegah pergerakan

absorpsi besi melalui feroportin di enterosit

ke sirkulasi. Sekuestrasi besi di makrofag dan

penurunan absorpsi besi enteral dalam jangka

panjang akan menyebabkan anemia dengan

cara menurunkan ketersediaan besi untuk

eritropoiesis. Sebaliknya, kadar hepsidin yang

rendah menyebabkan tidak terkendalinya

absorpsi besi usus dan mengakibatkan

kelebihan besi.1-3,5,9,10,12 Regulator utama

kadar hepsidin darah adalah status besi,

anemia, hipoksia, inl amasi dan aktivitas

eritropoiesis. Inl amasi dan pemberian besi

menginduksi produksi hepsidin sedangkan

hipoksia, anemia, dei siensi besi, peningkatan

aktivitas eritropoiesis dan pemberian ESA

menghambat produksinya.1-3,5,6,9,10,12

Inl amasi menyebabkan kenaikan kadar

hepsidin secara cepat dan hipoferemia sebagai

akibatnya, dengan interleukin-6 (IL-6) sebagai

mediator utamanya, menyebabkan pengikatan

Signal Transducer and Activator of Transcription

3 (STAT3) ke promotor hepsidin sehingga

meningkatkan aktivitasnya. Pemberian infus

IL-6 atau lipopolisakarida yang menginduksi

peningkatan kadar IL-6 pada sukarelawan

sehat menyebabkan peningkatan hepsidin

diikuti hipoferemia. Penelitian pada manusia

dengan infeksi kronis dan penyakit inl amasi

berat juga menunjukkan peningkatan kadar

hepsidin yang mengindikasikan bahwa pe-

ningkatan kadar hepsidin berperan penting

dalam anemia karena inl amasi dan blokade

retikuloendotelial.1,3,10 Pemberian besi, baik

oral maupun parenteral, secara cepat

meningkatkan kadar mRNA hepsidin hepatik

dan hepsidin plasma. Peningkatan kadar

hepsidin selanjutnya menghambat absorpsi

besi usus dan melindungi dari kelebihan

besi.10 Meskipun mekanisme molekular

yang sebenarnya belum sepenuhnya

dimengerti, regulasi hepsidin melalui induksi

transkripsi gen hepsidin oleh pemberian besi

diperantarai jalur pengiriman sinyal bone

morphogenic protein-6 (BMP-6)/ SMAD yang

meliputi protein hemojuvelin (HJV), protein

hemokromatosis HFE, tranferrin receptor (TFR)

1 dan 2. Sebaliknya, kondisi dei siensi besi

menghasilkan kadar hepsidin yang rendah.

Protease serin transmembran hepar yang

dikenal sebagai TMPRSS6 atau matriptase-2,

dibutuhkan untuk menekan gen hepsidin

dalam kondisi tersebut. Protease ini membelah

dan melarutkan HJV, menghambat jalur

pengiriman sinyal BMP-6/SMAD.1,3,10

Mekanisme molekular regulasi hepsidin

oleh hipoksia atau anemia belum diketahui

dengan jelas. Penelitian menunjukkan bahwa

hypoxia inducable factor (HIF) -1 alpha, yaitu

suatu faktor transkripsi heterodimer yang juga

memperantarai tingkat ekspresi eritropoietin

dan berbagai gen terinduksi hipoksia,

Page 18: Cdk 204 Interna

339CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA

besi dan inl amasi, kini prohepsidin tidak

lagi dianggap representatif.2,3 Tomosugi

dkk. menggunakan mass spectroscopy

yang mampu mengukur hepsidin matur,

melaporkan peningkatan kadar hepsidin

pada pasien PGK hemodialisis. Selain itu juga

dilaporkan bahwa hepsidin dibuang saat

dialisis pada beberapa pasien.14 Penelitian

lain menggunakan mass spectroscopy pada

pasien PGK predialitik dengan LFG < 30

mL/menit juga melaporkan peningkatan

kadar hepsidin.3 Zaritsky dkk. menggunakan

competitive enzyme-linked immunosorbent

assay untuk mengukur hepsidin dan

melaporkan peningkatan kadar hepsidin

serum pada pasien anak (rerata: 127,3 ng/

mL) dan dewasa (rerata: 269,9 ng/mL) dengan

PGK stadium 2 sampai 4 dan pada pasien anak

dengan dialisis peritoneal (rerata: 652,4 ng/

mL) dibanding kontrol (rerata anak: 25,3 ng/

mL, rerata dewasa: 72,9 ng/mL).4 Ashby dkk.

juga melaporkan peningkatan konsentrasi

hepsidin pada pasien PGK dewasa dan pasien

hemodialisis dengan konsentrasi tertinggi

ditemukan pada kelompok hemodialisis.15

Gambar 1 Regulasi hepsidin10

Pemberian besi/status besi yang cukup dan inl amasi meningkatkan produksi hepsidin di hepar. Peningkatan kadar hepsidin

menurunkan ekspresi ferroportin (FPN) di permukaan sel duodenum dan retikuloendotelial, menyebabkan berkurangnya

absorpsi besi di usus, pelepasan besi dari penyimpanannya, dan saturasi transferin (TrFn). Sebaliknya, stimulasi eritropoiesis,

stabilisasi hypoxia inducible factor (HIF) pada hipoksia, dan dei siensi besi menekan produksi hepsidin, menyebabkan

meningkatnya absorpsi besi di usus, pelepasan besi dari penyimpanannya, dan saturasi transferin sehingga besi digunakan

secara lebih ei sien untuk eritropoiesis.

berkontribusi menghambat produksi hepsidin.

Hypoxia inducable factor diduga menekan

ekspresi hepsidin secara tidak langsung

dengan menurunkan induksi hepsidin

termediasi BMP-SMAD dan/atau induksi

hepsidin termediasi HFE/TFR2. Penelitian lain

menunjukkan bahwa induksi eritropoiesis

akibat hipoksia atau anemia itu sendiri yang

menghambat produksi hepsidin.1,2 Regulasi

hepsidin oleh eritropoiesis juga belum

dimengerti sepenuhnya. Peningkatan aktivitas

eritropoiesis yang juga dapat disebabkan oleh

pemberian ESA menurunkan kadar hepsidin

di sirkulasi dan menyebabkan mobilisasi cepat

besi dari penyimpanannya untuk memenuhi

kebutuhan sumsum tulang.2 Hubungan

antara produksi hepsidin dan eritropoiesis

menandakan adanya regulator antara eritron

dan hepar yaitu soluble transferrin receptor

(sTfR) dan growth dif erential factor 15 (GDF-

15).2,3

PENGUKURAN HEPSIDIN

Kadar hepsidin sulit diukur meskipun berbagai

metode pemeriksaan telah dikembangkan.

Pemeriksaan hepsidin yang pertama adalah

dengan imunodot untuk mengukur hepsidin

urin, akan tetapi pemeriksaan ini sifatnya

semi-kuantitatif, sulit, dan tidak cocok untuk

mengukur hepsidin serum. Selanjutnya

dikembangkan pemeriksaan lebih komersial

yang mendeteksi kadar prohepsidin, tetapi

tidak berkorelasi dengan aktivitas biologis,

status besi, inl amasi dan tidak lagi dianggap

memiliki kegunaan klinis. Teknik pemeriksaan

lain adalah dengan mass spectroscopy yang

mengukur hepsidin matur di urin dan serum.

Meskipun teknik ini memiliki keuntungan

dapat membedakan hepsidin-25, hepsidin-22,

dan hepsidin-20, tetapi masih mengandalkan

peralatan mahal yang tidak tersedia luas dan

bersifat semi-kuantitatif. Belakangan telah

dikembangkan pemeriksaan imunologis

(immunoassay) dan pemeriksaan berdasarkan

kompetisi terhadap ikatan 125I-hepsidin-25 ke

peptida yang identik dengan tempat ikatan

hepsidin feroportin yang dapat mengukur

hepsidin-25 secara kuantitatif.1,2,5,10,12

Rentang kadar hepsidin normal pada

individu sehat menurut satu penelitian

menggunakan metode competitive enzyme-

link immunosorbent assay adalah 29-254 ng/

mL (rerata 112 ng/mL) pada pria dan 17-

286 ng/mL (rerata 65 ng/mL) pada wanita.13

Sementara penelitian lain melaporkan rerata

kadar hepsidin serum pada anak 25,3 ng/mL

dan pada dewasa 72,9 ng/mL, menandakan

adanya variasi kadar hepsidin terkait jenis

kelamin dan usia. Selain itu juga dilaporkan

adanya variasi diurnal kadar hepsidin pada

individu sehat dengan kadar puncak di sore

hari, pola diurnal ini tidak terlalu tampak pada

pasien PGK yang menjalani dialisis karena

berkurangnya bersihan hepsidin di ginjal

akibat penurunan laju i ltrasi glomerulus

(LFG).9 Satu penelitian yang membandingkan

berbagai metode pemeriksaan menggunakan

mass spectroscopy dan imunokimia untuk

mengukur hepsidin matur di serum dan urin

secara kuantitatif menunjukkan perbedaan

besar hasil pengukuran kadar hepsidin

sehingga metode pemeriksaan hepsidin yang

ada masih perlu distandarisasi.1

HEPSIDIN PADA PASIEN PGK

Penelitian terdahulu yang menggunakan

prohepsidin untuk mengukur hepsidin secara

tidak langsung, melaporkan peningkatan

kadar prohepsidin pada pasien PGK. Akan

tetapi karena kurang berkorelasi dengan

Page 19: Cdk 204 Interna

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013340

TINJAUAN PUSTAKA

Hepsidin Sebagai Parameter Diagnostik

Anemia Pada PGK

Marker status besi yang paling sering

digunakan saat ini yaitu kadar feritin dan

saturasi transferin yang dianggap kurang

optimal dan tidak dapat memprediksi respons

terapi besi dengan akurat. Hepsidin secara

langsung menggambarkan ketersediaan

dan kebutuhan besi untuk eritropoesis dan

karena berhubungan dengan inl amasi dan

eritropoiesis, dapat menggambarkan status

homeostasis besi lebih baik dibandingkan

parameter tunggal seperti saturasi transferin,

feritin, dan c-reactive protein. Kadar hepsidin

yang tinggi disertai feritin yang tinggi

menandakan kurangnya ketersediaan besi

untuk eritropoiesis meski simpanan besinya

berlebih. Keadaan ini disebut hepcidin-

mediated iron-restrictive erythropoiesis, mem-

butuhkan terapi besi intravena; sehingga

kadar hepsidin dapat memprediksi kebutuhan

terapi besi intravena pada pasien PGK.

Sebaliknya, kadar hepsidin yang rendah dapat

memprediksi kemungkinan respons yang

baik dengan terapi besi oral saja. Peningkatan

kadar hepsidin setelah pemberian besi juga

dapat membantu klinisi memantau respons

terapi besi sekaligus dapat memperingatkan

bila terjadi kelebihan besi. Oleh karenanya,

sebagai regulator homeostasis besi yang

sesungguhnya, hepsidin diharapkan dapat

menjadi biomarker penting status besi dan

panduan prediksi dan pemantauan respons

terapi besi untuk anemia pada PGK.1-4,9,10,12

Hepsidin berkorelasi terbalik dengan dosis

ESA yang merupakan inhibitor ekspresi

hepsidin. Hal ini menimbulkan pemikiran

bahwa hepsidin mungkin memiliki peran

diagnostik sebagai prediktor respons terapi

ESA. Penurunan kadar hepsidin pada awal

terapi ESA merupakan indikator responsivitas

jangka panjang terhadap pemberian ESA.

Selain itu hepsidin juga dapat digunakan

sebagai prediktor resistensi ESA. Makin tinggi

kadar hepsidin, makin tinggi juga dosis ESA

yang dibutuhkan untuk menurunkannya

yang menandakan makin tingginya resistensi

terhadap ESA.1-3,9,10,12

Meskipun hepsidin memiliki potensi sebagai

modalitas diagnostik dan prediktor terapi

dalam tata laksana anemia pada PGK, saat

ini data tentang hal tersebut masih terbatas.

Beberapa penelitian justru meragukan

kegunaan diagnostik hepsidin. Kato dkk.

oleh berbagai penelitian juga berkorelasi

dengan anemia sehingga diduga berperan

dalam patogenesis terjadinya anemia.

Kadar hepsidin yang berlebih menghambat

pelepasan besi dari simpanannya ke sirkulasi

(blokade retikuloendotelial) dan menurunkan

absorpsi besi enteral sehingga mengurangi

ketersediaan besi untuk eritropoiesis yang

lama-kelamaan menyebabkan anemia

dei siensi besi. Mekanisme ini juga diduga

berperan dalam terjadinya resistensi ESA.

Selain itu, penelitian in vitro juga menunjukkan

bahwa peningkatan kadar hepsidin dapat

berkontribusi menyebabkan anemia pada

PGK dengan menghambat pembentukan

koloni eritroid saat konsentrasi eritropoietin

rendah dan mengurangi kesintasan sel darah

merah.1-3,5,9,10

IMPLIKASI KLINIS HEPSIDIN DALAM

TATA LAKSANA ANEMIA PADA PGK

Karena pentingnya peran hepsidin dalam

patogenesis anemia pada PGK, diharapkan

hepsidin juga mempunyai implikasi penting

dalam tata laksana anemia pada PGK. Hepsidin

diharapkan berguna sebagai parameter

diagnostik dan target terapi anemia pada

PGK.

Dari berbagai penelitian yang sudah ada,

tampak jelas terdapat peningkatan kadar

hepsidin serum pada pasien PGK; pada pasien

PGK predialitik terdapat peningkatan serum

hepsidin sekitar dua hingga empat kali lipat

sedangkan pada PGK dialisis sekitar enam

hingga sembilan kali lipat jika dibandingkan

kontrol.1,3,9,10

Hepsidin terutama diekskresi melalui ginjal

dan terdeteksi di urin. Penelitian menunjukkan

bahwa LFG berkorelasi terbalik dengan

hepsidin serum, mengindikasikan bahwa

penurunan LFG berkontribusi meningkatkan

kadar hepsidin serum pada pasien PGK.

Penelitian lain yang mendukung hal ini adalah

fungsi ginjal sisa, yang diukur dari luaran urin,

berhubungan dengan kadar hepsidin serum

yang lebih rendah pada pasien hemodialisis

dan dialisis peritoneal dibandingkan pasien

yang anuri. Mekanisme lain yang berperan

menyebabkan peningkatan kadar hepsidin

adalah akibat adanya inl amasi kronis dan

pemberian besi pada pasien PGK.1-3,5,9,10

HEPSIDIN DAN ANEMIA PADA PGK

Pada pasien PGK, peningkatan kadar

hepsidin seperti yang sudah diperlihatkan

Gambar 2 Jalur pengiriman sinyal untuk transkripsi hepsidin hepatik10

Interleukin-6 (IL-6) berikatan dengan reseptornya dan bekerjasama dengan Janus kinase (JAK) mengaktivasi pengiriman

sinyal STAT3. Status besi yang cukup meningkatkan produksi hepsidin melalui ikatan antara besi terikat transferin (transferrin-

bound iron) dan transferrin receptor 1 (TFR1) yang menggeser HFE, suatu produk gen hemokromatosis. HFE dan besi terikat

transferin berikatan dengan transferrin receptor 2 (TFR2) dan meningkatkan transkripsi hepsidin baik secara langsung maupun

bersama bone morphogenic protein-6 (BMP-6)/ hemojuvelin (HJV)/ kompleks reseptor BMP. Mutasi pada HFE, HJV, dan TFR2

dapat mengganggu transkripsi hepsidin termediasi besi, menyebabkan kelebihan besi progresif. Dei siensi besi mengganggu

transkripsi hepsidin melalui HJV terikat protease TMPRSS6 pembelah membran (protease TMPRSS6 cleaving membrane-bound

HJV), menghasilkan HJV terlarut (soluble HJV) (sHJV) yang mengganggu pengiriman sinyal kompleks reseptor BMP secara

kompetitif.

Page 20: Cdk 204 Interna

341CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA

produksi hepsidin. Penelitian pada manusia

lainnya menunjukkan bahwa inhibitor

HIF prolyl hydrolase dapat meningkatkan

HIF, memperbaiki anemia pada PGK,

meningkatkan produksi eritropoietin

endogen, dan menurunkan kadar hepsidin.

Selain itu ada juga penelitian in vitro yang

menunjukkan bahwa inhibitor STAT3 seperti

curcumin dapat menekan ekspresi gen

hepsidin meskipun telah distimulasi oleh IL-

6.9,10 Tetap diperlukan penelitian lain untuk

membuktikan efektivitas antagonis hepsidin

tersebut dalam penatalaksanaan anemia

pada PGK dan potensi efek sampingnya.

SIMPULAN

Hepsidin sebagai regulator homeostasis besi

sistemik berperan penting dalam patogenesis

terjadinya anemia pada PGK. Karena itu,

hepsidin diharapkan memiliki implikasi

penting sebagai modalitas diagnostik

dan terapeutik untuk penatalaksanaan

anemia pada PGK yang lebih efektif di masa

mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Babitt JL, Lin HY. Molecular mechanisms of hepcidin regulation: implications for the anemia of CKD. Am J Kidney Dis. 2010; 55: 726-41

2. Swinkels DW, Wetzels JFM. Hepcidin: a new tool in the management of anaemia in patients with chronic kidney disease? Nephrol Dial Transplant. 2008; 23: 2450-3.

3. Young B, Zaritsky J. Hepcidin for clinicians. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4: 1384-7.

4. Zaritsky J, Young B, Wang HJ, Westerman M, Olbina G, Nemeth E, dkk. Hepcidin - a potential novel biomarker for iron status in chronic kidney disease. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4:

1051-6.

5. Malyszko J, Mysliwiec M. Hepcidin in anemia and inl ammation in chronic kidney disease. Kidney Blood Press Res. 2007; 30: 15-30.

6. Deicher R, Horl WH. Hepcidin: a molecular link between inl ammation and anemia. Nephrol Dial Transplant. 2004; 19: 521-4.

7. Nurko S. Anemia in chronic kidney disease: causes, diagnosis, treatment. Cleve Clin J Med. 2006; 73: 289-97.

8. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Anemia Work Group. KDIGO clinical practice guideline for anemia in chronic kidney disease. Kidney Int., suppl. 2012; 2: 279-335.

9. Atkinson MA, White CT. Hepcidin in anemia of chronic kidney disease: review for the pediatric nephrologist. Pediatr Nephrol. 2012; 27: 33-40.

10. Coyne DW. Hepcidin: clinical utility as a diagnostic tool and therapeutic target. Kidney Int. 2011; 80: 240-4.

11. Park CH, Valore EV, Waring AJ, Ganz T. Hepcidin, a urinary antimicrobial peptide synthesized in the liver. J Biol Chem. 2001; 276: 7806-10.

12. Kemna EHJM, Tjalsma H, Willems HL, Swinkels DW. Hepcidin: from discovery to dif erential diagnosis. Haematologica. 2008; 93: 90-7.

13. Ganz T, Olbina G, Girelli D, Nemeth E, Westerman M. Immunoassay for human serum hepcidin. Blood. 2008; 112: 4292-7.

14. Tomosugi N, Kawabata H, Wakatabe R, Higuchi M, Yamaya H, Umehara H, dkk. Detection of serum hepcidin in renal failure and inl ammation using proteinchip system. Blood. 2006; 108:

1381-7.

15. Ashby DR, Gale DP, Busbridge M, Murphy KG, Duncan ND, Cairns TD, dkk. Plasma hepcidin levels are elevated but responsive to erythropoietin therapy in renal disease. Kidney Int. 2009;

75: 976-81.

16. Kato A, Tsuji T, Luo J, Sakao Y, Yasuda H, Hishida A. Association of prohepcidin and hepcidin-25 with eryhtropoietin response and ferritin in hemodialysis patients. Am J Nephrol. 2008; 28:

115-21.

yang meneliti kegunaan hepsidin sebagai

prediktor responsivitas ESA pada sejumlah

kecil pasien dialisis dengan menggunakan

mass spectroscopy melaporkan bahwa

kadar hepsidin pada kelompok pasien yang

responsif ESA dan tidak responsif ESA tidak

berbeda.16 Karena itu, penelitian lebih lanjut

masih diperlukan untuk mengkoni rmasi

potensi kegunaan diagnostik hepsidin.2,10

Hepsidin Sebagai Target Terapi Anemia

pada PGK dan Agen Penurun Kadar

Hepsidin

Seperti dijelaskan sebelumnya, peningkatan

kadar hepsidin menyebabkan keadaan iron-

restricted erythropoiesis dan berkontribusi

menyebabkan anemia pada PGK. Oleh

karenanya, penghambatan kerja hepsidin

diharapkan dapat memperbaiki anemia,

mengatasi dei siensi besi fungsional dan

menurunkan kebutuhan ESA melalui

peningkatan ambilan besi dari saluran

cerna dan pelepasannya dari makrofag.

Atas dasar inilah muncul pemikiran untuk

mengembangkan suatu antagonis hepsidin

dan menjadikan hepsidin suatu target terapi.1-

3,5,9,10

Berbagai penelitian untuk mencari dan

mengembangkan antagonis hepsidin telah

dilakukan. Penelitian pada tikus percobaan

melaporkan bahwa pemberian antibodi

monoklonal dapat menetralisasi hepsidin

dan memperbaiki respons terhadap

eritropoietin. Penelitian lain pada hewan

menunjukkan bahwa inhibitor BMP, termasuk

HJV terlarut, dan suatu molekul kecil

penghambat BMP yaitu dorsomorphin, dapat

berfungsi menurunkan kadar hepsidin untuk

meningkatkan mobilisasi besi dari limpa

dan meningkatkan kadar besi serum.1,9,10

Pemberian anti-IL-6 seperti tocilizumab

dilaporkan dapat menekan produksi hepsidin

dan memperbaiki anemia pada penyakit

Castleman, suatu gangguan limfoproliferatif

yang dicirikan dengan kadar IL-6 yang tinggi,

menunjukkan bahwa terapi anti-sitokin

secara umum mungkin dapat menurunkan

Page 21: Cdk 204 Interna

342

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

Akreditasi IDI – 3 SKP

Tata Laksana Diabetes Melitus saat Puasa Ramadhan

M. Adi FirmansyahPPDS Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia /

RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK

Diperkirakan terdapat 40-50 juta orang dengan diabetes (diabetesi) di seluruh dunia yang menjalani puasa Ramadhan setiap tahunnya. Studi

EPIDIAR (Epidemiology of Diabetes and Ramadhan) yang meneliti 12.243 pasien diabetes dari 13 negara Islam mendapatkan 43% pasien diabetes

melitus tipe 1 dan 79% pasien diabetes tipe 2 berpuasa selama Ramadhan. Diabetesi yang berpuasa berisiko mengalami efek samping seperti

hipoglikemia, hiperglikemia dengan atau tanpa ketoasidosis dan dehidrasi sehingga pengetahuan tata kelola yang baik sangat diperlukan.

Lima hal penting yang perlu diperhatikan yakni (1) tata laksana bersifat individual; (2) pemantauan kadar glukosa darah secara teratur; (3) nutrisi

tidak boleh berbeda dari kebutuhan nutrisi harian; (4) olahraga tidak boleh berlebihan dan (5) pasien harus tahu kapan membatalkan puasa.

Kata kunci: diabetes melitus, puasa Ramadhan, diabetesi

ABSTRACT

It is estimated that there are 40-50 million people with diabetes (called as diabetics) worldwide fasting during Ramadhan every year. A large

epidemiological study, EPIDIAR (Epidemiology of Diabetes and Ramadhan) conducted in 13 Islamic countries on 12,243 diabetic individuals

who fasted during Ramadhan showed 43% of patients with type 1 diabetes mellitus and 79% of patients with type 2 diabetes fasted during

Ramadhan. Diabetics had major potential complications associated with fasting such as hypoglycemia, hyperglycemia with or without

ketoacidosis and dehydration. Five important things are (1) individual management; (2) regular blood glucose monitoring; (3) diet should not

dif er from the daily nutritional requirements; (4) no excessive sports, and (5) the patient must know when to break the fast. M. Adi Firmansyah.

Management at Diabetes Mellitus on Ramadhan Fasting.

Key words: diabetes mellitus, Ramadhan fasting, diabetics

PENDAHULUAN

Berpuasa dalam bulan Ramadhan merupakan

kewajiban bagi seorang muslim dewasa.

Puasa diartikan sebagai ibadah menahan diri

atau berpantang makan, minum, dan segala

hal yang membatalkannya, dimulai dari terbit

fajar sampai terbenam matahari.1 Selama

puasa Ramadhan, mayoritas umat muslim

akan memiliki dua waktu makan, yakni segera

saat tenggelamnya matahari yang ditandai

de-ngan masuknya waktu sholat maghrib

(dikenal dengan istilah ifthar atau berbuka

puasa) dan makan saat sebelum fajar terbit

(dikenal dengan istilah sahur) sehingga

lamanya waktu berpuasa adalah berkisar

antara 11 jam hingga 18 jam setiap harinya.2

Studi EPIDIAR (Epidemiology of Diabetes and

Ramadhan) yang meneliti 12.243 pasien

diabetes dari 13 negara Islam mendapatkan

43% pasien diabetes melitus (DM) tipe 1

dan 79% pasien DM tipe 2 berpuasa selama

Ramadhan. Diperkirakan terdapat 1,1 hingga

1,5 milyar penduduk muslim di seluruh dunia.

Angka prevalensi diabetes di seluruh dunia

sekitar 4,6%,3 dan bila diproyeksikan ke hasil

studi EPIDIAR ini maka diperkirakan 40 – 50

juta diabetesi di seluruh dunia menjalankan

puasa Ramadhan setiap tahunnya.4

Puasa sejatinya tidak dimaksudkan untuk

menyulitkan dan mencelakakan individu

muslim. Secara tegas, dalam kitab suci umat

Islam Al-Quran dijelaskan bahwa berpuasa

tidak diwajibkan pada anak-anak, perempuan

dalam masa menstruasi, orang sakit, orang

yang dalam perjalanan, perempuan hamil dan

menyusui.5

Diabetesi yang berpuasa berisiko mengalami

efek samping seperti hipoglikemia, hiper-

glikemia dengan atau tanpa ketoasidosis

dan dehidrasi. Risiko ini akan meningkat

pada periode berpuasa yang lama.3 Namun,

tidak sedikit yang tetap ingin menjalani

puasa Ramadhan dan meminta saran terkait

kondisi medisnya. Hal penting yang tidak

boleh dilupakan adalah bahwa peranan

dokter bukan sebagai penentu atau pemberi

Alamat korespondensi email: [email protected]

Page 22: Cdk 204 Interna

343

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

fatwa apakah seorang pasien boleh berpuasa

atau tidak. Dokter hanya berperan memberi

pandangan dan panduan mengenai dampak

puasa terhadap kondisi medis pasien.

Keputusan akhir apakah berpuasa atau tidak,

dikembalikan kepada pasien sendiri.

EFEK PUASA PADA INDIVIDU NORMAL

Banyak studi telah meneliti efek berpuasa

Ramadhan yang dilakukan individu muslim

terhadap metabolisme tubuh, antara lain

terhadap berat badan, metabolisme glukosa,

dan metabolisme lipid.

Efek terhadap Berat Badan

Beberapa studi mendapati bahwa individu

sehat yang menjalani puasa Ramadhan

mengalami penurunan berat badan.6 Studi

pada 81 orang mahasiswa sehat di sebuah

universitas Teheran mendapati penurunan

berat badan setelah berpuasa Ramadhan baik

pada lelaki ataupun perempuan.7 Hasil yang

sama juga didapatkan oleh Sadiya dkk.8

Efek terhadap Metabolisme Glukosa

Pada individu normal, proses makan

akan merangsang sekresi insulin dari sel

beta pankreas. Proses ini pada akhirnya

menghasilkan glikogenesis dan penyimpanan

glukosa dalam bentuk glikogen di hati

dan otot. Sebaliknya, pada kondisi puasa,

sekresi insulin akan berkurang sementara

hormon kontra-regulator seperti glukagon

dan katekolamin akan meningkat. Kondisi

ini akan menyebabkan glikogenolisis dan

glukoneogenesis.

Selama puasa berlangsung, simpanan

glikogen akan berkurang dan rendahnya

kadar insulin plasma memicu pelepasan

asam lemak dari sel adiposit. Oksidasi asam

lemak ini menghasilkan keton sebagai bahan

bakar metabolisme oleh otot rangka, otot

jantung, hati, ginjal dan jaringan adipose. Hal

ini menghemat penggunaan glukosa yang

memang terutama ditujukan untuk otak dan

eritrosit (lihat gambar 1).4,6

Efek terhadap Metabolisme Lipid

Efek puasa Ramadhan terhadap proi l lipid

bervariasi dalam banyak studi, mungkin

disebabkan perubahan menu diet dan

berkurangnya aktivitas. Ziaee dkk tidak

mendapatkan adanya perbedaan kadar

trigliserida (TG) yang signii kan sebelum dan

sesudah Ramadhan meski kadar TG meningkat

selama Ramadhan. Kondisi ini diperkirakan

akibat konsumsi diet tinggi karbohidrat

terutama konsumsi gula7,9 Penyebab lain

adalah perubahan pola konsumsi sumber

karbohidrat dari karbohidrat kompleks

(seperti sereal, buah, sayuran) menjadi

karbohidrat sederhana seperti minuman

manis atau dengan pemanis buatan selama

Ramadhan.8

PERUBAHAN PADA DIABETESI SAAT

BERPUASA

Banyak penelitian umumnya tidak

mendapatkan masalah besar pada pasien

diabetes, baik DM tipe 2 maupun tipe 1

yang menjalani puasa.2,4,6,10 Asupan kalori

umumnya berkurang meski ada juga yang

tidak berubah, dan didapatkan penurunan

berat badan selama puasa. Selain itu, tidak

ditemukan perubahan berarti kadar glukosa

puasa dan HbA1c 10,11.

Efek Puasa terhadap Metabolisme

Pasien Diabetes

Pada pasien DM tipe 1 dan kondisi dei siensi

insulin berat akan terjadi proses glikogenolisis,

glukoneogenesis dan ketogenesis yang

berlebihan. Kondisi ini pada akhirnya

menyebabkan hiperglikemia dan ketoasidosis

yang dapat mengancam nyawa (Gambar 2).

Selain itu, pasien-pasien diabetes memiliki

neuropati otonom yang dapat menyebabkan

respons tidak adekuat terhadap kondisi

hipoglikemia.

Gambar 1 Patoi siologi Puasa pada Individu Normal

(Diadaptasi dari: Karamat MA, Syed A, Hanif W. Review of diabetes management and guidelines during Ramadan. J R Soc

Med. 2010:103:139-47)

Gambar 2 Patoi siologi Puasa pada Individu dengan Diabetes

(Diadaptasi dari: Karamat MA, Syed A, Hanif W. Review of diabetes management and guidelines during Ramadan. J R Soc

Med. 2010:103:139-47)

Page 23: Cdk 204 Interna

344

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Efek terhadap Berat Badan

Studi EPIDIAR menunjukkan bahwa secara

umum tidak terdapat perubahan berat

badan bermakna pada pasien diabetes

yang berpuasa.10 Namun, ada laporan yang

menyebutkan peningkatan atau penurunan

berat badan setelah berpuasa Ramadhan.11

Tidak adanya asupan makanan atau minuman

antara waktu sahur dan waktu berbuka;

seringnya pasien tidak membatasi jumlah

atau jenis asupan makanan saat malam; juga

akibat pembatasan aktivitas harian selama

berpuasa karena kekawatiran hipoglikemia,

tampaknya mungkin menjadi penyebab tidak

hanya menurunnya berat badan tetapi juga

peningkatan berat badan.11

Efek terhadap Kadar Glukosa

Beberapa studi menunjukkan tidak ada

perubahan signii kan terhadap kendali kadar

glukosa. Variasi kadar glukosa mungkin

disebabkan dari jumlah atau jenis makanan

yang dikonsumsi, keteraturan mengonsumsi

obat, pola makan yang tidak terkendali saat

berbuka, atau menurunnya aktivitas i sik.11

Meski begitu, pasien diabetes yang berpuasa

tetap berisiko mengalami hipoglikemia,

hiperglikemia ataupun ketoasidosis.4,6,11 Studi

EPIDIAR menunjukkan peningkatan risiko

hipoglikemia berat yang membutuhkan

perawatan sekitar 4,7 kali lipat pada pasien DM

tipe 1 dan 7,5 kali lipat pada DM tipe 2.6,10 Di

sisi lain, risiko hiperglikemia berat meningkat

sekitar 5 kali lipat pada pasien DM tipe 2 dan 3

kali lipat pada tipe 1.10

Efek terhadap Proi l Lipid

Beberapa studi menunjukkan tidak ada

perubahan signii kan proi l lipid. Dilaporkan

terdapat penurunan ringan kadar kolestrol

total dan trigliserida dan peningkatan kadar

HDL, yang menunjukkan penurunan risiko

kejadian kardiovaskular.6

RISIKO TERKAIT PUASA PADA

DIABETESI

Studi EPIDIAR menemukan peningkatan

komplikasi saat berpuasa.4,10 Beberapa risiko

yang sering timbul pada diabetesi saat puasa

antara lain hipoglikemia, hiperglikemia,

ketoasidosis diabetikum, dan dehidrasi serta

trombosis.

Hipoglikemia

Menurut studi EPIDIAR dikatakan bahwa risiko

hipoglikemia berat meningkat sebesar 4,7 kali

lipat pada pasien DM tipe 1 dan 7,5 kali lipat

pada pasien DM tipe 2. Hipoglikemia terjadi

lebih sering pada pasien dengan perubahan

dosis antidiabetik oral dan insulin, dan pada

pasien yang melakukan perubahan gaya

hidup signii kan selama puasa.4,10

Hiperglikemia

Kondisi hiperglikemia sangat erat kaitannya

dengan beragam komplikasi baik

mikrovaskular maupun makrovaskular. Banyak

penelitian menemukan bahwa pada pasien

diabetes yang menjalani puasa, pengendalian

Tabel 1 Kategori Risiko Pasien Diabetes tipe 1 atau 2 yang Berpuasa Ramadhan

Sumber: Al-Arouj M, Bouguerra R, Buse J, et al. American Diabetes Association recommendations for management of diabetes dur-

ing Ramadan: update 2010. Diabetes Care. 2010;33:1895-1902.

Tabel 2 Kelompok Pasien DM yang Boleh dan Tidak Boleh (Tidak Dianjurkan) Berpuasa13

Kelompok I

Pasien DM yang kadar gula darahnya terkontrol dengan

perencanaan makanan dan olah raga saja.

Dapat berpuasa tanpa masalah dengan tetap

memperhatikan pengaturan makan dan aktivitas fisik

Kelompok II

Pasein DM yang selain melaksanakan perencanaan makan dan olah raga juga memerlukan obat hipoglikemik oral

(OHO) untuk mengontrol kadar gula darahnya.

IIa Membutuhkan dosis tunggal dan kecil, misalnya

glibenklamid 1 x 1 tablet sehari, pagi

Boleh berpuasa dengan menggeser obat pagi ke sore

saat berbuka puasa.

IIb Membutuhkan OHO dengan dosis lebih tinggi dan

terbagi, misalnya glibenklamid pagi 2 tablet dan

sore 1 tablet.

Dapat berpuasa dengan menggeser obat pagi ke saat

berbuka dan obat sore ke saat makan sahur dengan

dosis setengahnya.

Jika minum obat 3 kali sehari Berpuasa dengan obat pagi dan siang diminum pada

saat berbuka, dan obat sore digeser ke saat makan

sahur dengan dosis setengahnya

Kelompok III

Pasien DM yang selain perencanaan makan dan olahraga juga membutuhkan / tergantung insulin atau kombinasi

dengan OHO.

IIIa Membutuhkan insulin satu kali sehari.

Misalnya NPH 20U 1 x sehari

Dapat berpuasa dengan motiviasi yang kuat dan harus

dengan pengawasan yang ekstra ketat. Suntikan insulin

digeser ke saat berbuka.

IIIb Membutuhkan insulin dua kali sehari atau lebih

sehari.

Misalnya RI 3 x 12 U sehari

Tidak dianjurkan berpuasa karena dianggap kadar

glukosa darah tidak stabil.

IIIc Membutuhkan kombinasi OHO dengan insulin

satu kali sehari.

Boleh berpuasa dengan pengaturan OHO seperti

kelompok II dan suntik insulin saat berbuka

IIId Membutuhkan kombinasi OHO dengan insulin dua

kali sehari atau lebih.

Tidak dianjurkan berpuasa karena dianggap kadar

glukosa darah tidak stabil.

Subekti I. Berpuasa bagi pasien diabetes. Dalam: Syam AF, Setiati S, Subekti I. Tips berpuasa Ramadhan pada berbagai penyakit

kronis. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006. p. 27-37.

Page 24: Cdk 204 Interna

345

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

kadar glukosa darah dapat memburuk,

membaik atau tidak berubah. Studi EPIDIAR

menunjukkan peningkatan lima kali lipat

risiko hiperglikemia berat pada pasien DM

tipe 2 dan tiga kali lipat pada pasien DM

tipe 1 yang menjalani puasa Ramadhan10.

Diperkirakan kondisi hiperglikemi ini terjadi

akibat pengurangan dosis pengobatan yang

berlebihan, yang sebenarnya dimaksudkan

untuk mencegah hipoglikemia. Juga pada

pasien diabetes yang meningkatkan pola

konsumsi selama bulan puasa.10

Ketoasidosis diabetikum

Pasien diabetes tipe 1, yang menjalankan

puasa Ramadhan, mengalami peningkatan

risiko komplikasi ini, khususnya mereka

dengan pengendalian glukosa yang buruk

sebelum Ramadhan. Risiko ini makin

meningkat dengan pengurangan dosis

pengobatan yang berlebihan.4,10

Dehidrasi dan Trombosis

Saat puasa, terjadi pengurangan asupan cairan

jangka panjang (11 – 16 jam) yang berisiko

menimbulkan dehidrasi. Kondisi dehidrasi

ini dapat diperberat dengan perspirasi

(pengeluaran keringat) berlebihan dikaitkan

dengan kondisi cuaca terik dan aktivitas i sik

yang berat.4,10 Selain itu, hiperglikemia dapat

mencetuskan terjadinya diuresis osmosis

yang dapat menyebabkan deplesi cairan dan

elektrolit. Hipotensi ortostatik dapat terjadi,

khususnya pada mereka dengan neuropati

otonom sehingga risiko sinkop, jatuh atau

fraktur tulang penting diperhatikan. Adanya

kontraksi ruang intravaskular dapat memicu

kondisi hiperkoagulabel. Peningkatan viskositas

darah akibat dehidrasi ini meningkatkan risiko

trombosis dan stroke. Tetapi Temizhan dkk

melaporkan bahwa insiden perawatan rumah

sakit akibat penyakit koroner atau stroke tidak

meningkat selama Ramadhan.12

TATA LAKSANA PASIEN DIABETES YANG

BERPUASA

Mengingat banyaknya risiko pada pasien

diabetes saat menjalankan puasa, sangat

diperlukan pengetahuan pengelolaan yang

baik. American Diabetes Association (ADA)

mengeluarkan rekomendasi tata laksana

puasa pada pasien diabetes pada tahun 2005

yang telah diperbaharui pada tahun 2010.

Penilaian Sebelum Ramadhan

Semua pasien diabetes yang hendak berpuasa

Ramadhan, hendaknya menjalani penilaian

medis 1 – 2 bulan sebelumnya. Pasien diabetes

sering tetap ingin berpuasa meskipun secara

medis tidak memungkinkan. Peranan dokter,

sekali lagi, bukan sebagai pemberi fatwa

apakah seseorang pasien boleh berpuasa atau

tidak. Dokter hanya berperan memberikan

pandangan dan panduan mengenai dampak

puasa terhadap kondisi medis pasien dan

bagaimana mengurangi risiko komplikasi.

Untuk itu, pengenalan risiko berpuasa bagi

pasien penting dilakukan (tabel 1 dan tabel 2).

Pada prinsipnya, penilaian sebelum

Ramadhan meliputi: 1) kondisi i sik; 2)

parameter metabolik; 3) penyesuaian

terhadap perubahan pola asupan selama

Ramadhan; 4) penyesuaian regmen dan

dosis obat; 5) penyesuaian aktivitas i sik; dan

6) pengenalan tanda dehidrasi, hipoglikemia

atau hiperglikemia.

Ada lima hal penting yang perlu diperhatikan

dalam pengelolaan pasien diabetes yang

menjalankan puasa, yakni (1) Tata laksana

bersifat individual; (2) Pemantauan teratur

kadar glukosa darah; (3) Nutrisi tidak boleh ber-

beda dari kebutuhan nutrisi harian; (4) Olah-

raga tidak boleh berlebihan. Sholat tarawih

(sholat dengan jumlah rakaat yang cukup

banyak) yang dilakukan setiap malam di bulan

Ramadhan, dapat dipertimbangkan sebagai

bagian dari bentuk olahraga yang dianjurkan;

dan (5) Membatalkan puasa. Pasien harus

selalu diajarkan agar segera membatalkan

puasa jika terdapat gejala hipoglikemia (kadar

glukosa darah < 60 mg/dL) atau bila dalam

kondisi hiperglikemia.4 Pasien hendaknya

lebih sering memeriksa kadar glukosa darah,

misalnya dalam 2 jam sesudah makan sahur.

Puasa sebaiknya dibatalkan jika kadar glukosa

darah < 70 mg/dL dalam 1-2 jam awal puasa,

terutama bagi pasien yang menggunakan

insulin, sulfonilurea pada saat sahur.4

Beberapa petunjuk umum yang perlu

diperhatikan bagi pasien diabetes yang

berpuasa adalah11,13:

1. Perencanaan makan, jumlah asupan

kalori sehari selama bulan puasa kira-kira

sama dengan jumlah asupan sehari-hari yang

dianjurkan sebelum puasa. Pengaturan selama

bulan Ramadhan adalah dalam hal pembagian

porsi, 40% dikonsumsi saat makan sahur, 50%

saat berbuka dan 10% malam sebelum tidur

(sesudah sholat tarawih).

2. Makan sahur sebaiknya dilambatkan.

3. Lakukan aktivitas i sik sehari-hari dengan

wajar seperti biasa. Dianjurkan beristirahat

setelah sholat dzuhur (siang hari).

Tata Laksana Puasa Pasien DM Tipe 1

Pasien DM tipe 1 memiliki risiko sangat tinggi

saat berpuasa Ramadhan. Risiko ini makin

meningkat pada pasien dengan kadar glukosa

buruk, atau mereka yang terbatas aksesnya ke

pelayanan kesehatan, adanya hipoglikemia

yang tidak disadari, atau riwayat perawatan

di rumah sakit yang berulang.4 Saran tepat

bagi mereka dengan diabetes tipe 1 adalah

anjuran untuk tidak berpuasa,4,6,11 namun

diperkirakan sekitar 43% pasien DM tipe 1

tetap berpuasa Ramadhan.4,10 Jika pasien

memutuskan untuk berpuasa Ramadhan,

sebaiknya mereka menggunakan terapi

insulin dalam rejimen basal bolus dan rutin

memeriksa kadar glukosa darah. Laporan 15

orang pasien diabetes tipe 1 yang menjalani

puasa menyebutkan penggunaan insulin

glargin hanya menyebabkan sedikit kasus

hipoglikemia.14 Perbaikan kendali kadar

glukosa dan penurunan risiko hipoglikemia

lebih banyak dijumpai pada penggunaan

insulin lispro bila dibandingkan dengan

regular human insulin.6

Tata Laksana Puasa pada Pasien DM Tipe 2

• Pasien Terkendali dengan Diet

Kelompok pasien ini merupakan kelompok

risiko rendah yang diharapkan dapat menjalani

puasa Ramadhan tanpa masalah. Asupan kalori

dalam beberapa porsi kecil daripada hanya

satu porsi besar akan membantu mengurangi

hiperglikemia post-prandial. Kebutuhan cairan

hendaknya dicukupi untuk mencegah risiko

dehidrasi dan risiko trombosis.4,6

• Pasien dalam Terapi Obat Hipogli-

kemik Oral

Metformin

Pasien dengan terapi metformin diharapkan

dapat menjalani puasa mengingat risiko

hipoglikemianya kecil. Namun, pasien

dianjurkan mengubah waktu mengonsumsi

obat dengan saran sepertiga dosis diberikan

saat sahur dan dua pertiga dosis saat

berbuka.4,6

Tiazolidinedion

Penggunaan kelompok obat ini diketahui

tidak menyebabkan kejadian hipoglikemia

meski dapat memperkuat efek hipoglikemik

Page 25: Cdk 204 Interna

346

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

golongan sulfonilurea, glinid, dan insulin.4

Tidak diperlukan penyesuaian dosis selama

berpuasa Ramadhan.4

Sulfonilurea

Kelompok obat ini diketahui sering berkaitan

dengan kejadian hipoglikemia sehingga perlu

hati-hati digunakan selama puasa Ramadhan.

Penggunaan glibenklamid dikaitkan de-

ngan risiko hipoglikemia yang lebih besar

dibandingkan sulfonilurea generasi kedua

lain seperti gliklazid, glimepirid dan glipizid.4

Belkhadir dkk mendapati penggunaan

glibenklamid aman pada 591 pasien diabetes

yang berpuasa.15 Laporan lain menyebutkan

penggunaan glimepirid pada 332 pasien

diabetes yang berpuasa Ramadhan hanya

menyebabkan kejadian hipoglikemia sebesar

3% pada pasien yang baru terdiagnosis dan

3,7% pada pasien yang telah diterapi.16

Penyesuaian dosis bersifat individual

dengan menimbang besar kecilnya risiko

hipoglikemia. Misalnya, pasien dengan

sulfonilurea kerja panjang misalnya glimepirid

sekali sehari, selama puasa Ramadhan

dianjurkan mengubah waktu minum

obatnya menjadi saat berbuka puasa. Dosis

disesuaikan dengan penilaian terhadap kadar

glukosa darah pasien dan risiko hipoglikemia.4

Pada penggunaan sulfonilurea dua kali sehari,

disarankan setengah dosis diberikan pada

saat sahur, dan dosis biasa pada saat berbuka.

Glinid

Kelompok obat ini diketahui memiliki risiko

hipoglikemia rendah karena sifat kerjanya

yang pendek. Dapat digunakan dua kali

sehari yakni pada saat sahur dan saat berbuka

puasa.

Penghambat alfa glukosidase

Kelompok obat ini tidak dikaitkan dengan

kejadian hipoglikemia sehingga aman

digunakan selama puasa Ramadhan yakni

pada saat sahur dan pada saat berbuka

puasa.4

Terapi berbasis inkretin

Kelompok obat ini misalnya penghambat

enzim DPP-4 (dipeptidyl peptidase-4) dan

analog GLP-1 (glucagon-like peptide-1) tidak

dikaitkan dengan kejadian hipoglikemia

sehingga aman digunakan selama puasa

Ramadhan.4,6 Tidak dibutuhkan penyesuaian

dosis namun risiko hipoglikemia akan tinggi

bila dikombinasikan dengan sulfonilurea.6

• Pasien dalam Terapi Insulin

Saran umum bagi pasien pengguna insulin

kerja panjang (misalnya, glargin dan detemir)

adalah mengurangi dosis sebesar 20% untuk

mengurangi risiko hipoglikemia. Kelompok

insulin kerja panjang ini disarankan diberikan

saat makan besar saat berbuka puasa.6 Insulin

kerja cepat preprandial tetap dapat diberikan

selama berpuasa, tanpa dosis siang hari.

Untuk insulin kerja campuran (premix), dosis

pagi hari diberikan pada saat berbuka dan

setengah dosis malam hari diberikan pada

saat sahur.4,6

Tabel 3 meringkas panduan tata laksana

pasien diabetes selama berpuasa Ramadhan.

Hal penting yang harus diperhatikan,

bahwa pengelolaan pasien diabetes bersifat

individual sehingga penilaian yang didasarkan

dari kendali kadar glukosa darah dan risiko

hipoglikemia tetap memegang peranan

penting.

SIMPULAN

Kebudayaan dan agama memberikan dampak

terhadap tata laksana penyakit kronik seperti

diabetes. Puasa Ramadhan merupakan salah

satu pilar (rukun) Islam bagi umat muslim

di seluruh dunia. Banyak pasien DM tetap

ingin menjalankan ibadahnya meski secara

medis tidak dianjurkan, misalnya mereka

dengan kadar glukosa belum terkendali,

perempuan diabetes hamil, mereka dengan

riwayat ketoasidosis atau koma hiperosmolar,

dan pasien dengan komplikasi serius seperti

penyakit jantung koroner, gagal ginjal kronik,

pasien diabetes usia lanjut, dan pasien

dengan riwayat berulang hipoglikemia atau

hiperglikemia sebelum dan selama puasa

Ramadhan.

Peranan dokter adalah bersikap bijak

memberikan panduan, menentukan

stratii kasi risiko pasien, mengatur regimen

yang sesuai yang tetap bertujuan mengurangi

risiko komplikasi. Lima hal penting yang perlu

diperhatikan dalam pengelolaan pasien

diabetes yang menjalankan puasa yakni (1)

tata laksana bersifat individual; (2) pemantauan

kadar teratur glukosa darah; (3) nutrisi tidak

boleh berbeda dari kebutuhan nutrisi harian;

(4) olahraga tidak boleh berlebihan dan

(5) pasien harus tahu kapan membatalkan

puasa.

Tabel 3 Rekomendasi Regimen Terapi Pasien Diabetes Tipe 2 yang Menjalankan Puasa

Sumber: Karamat MA, Syed A, Hanif W. Review of diabetes management and guidelines during Ramadan. J R Soc Med.

2010:103:139-47.

Page 26: Cdk 204 Interna

347

CONTINUING MEDICAL EDUCATION

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

DAFTAR PUSTAKA

1. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit; 2000.

2. Azizi F. Islamic fasting and health. Ann Nutr Metab. 2010;56:273-82.

3. Wild S, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalence of diabetes, estimates for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care. 2004; 27:1047–53.

4. Al-Arouj M, Bouguerra R, Buse J, Hafez S, Hassanein M, Ibrahim MA, et al. American Diabetes Association recommendations for management of diabetes during Ramadan: update 2010.

Diabetes Care. 2010;33: 1895-902.

5. Al-Quran surah 2, ayat 183-5.

6. Karamat MA, Syed A, Hanif W. Review of diabetes management and guidelines during Ramadan. J R Soc Med. 2010: 103: 139–47.

7. Ziaee V, Razaei M, Ahmadinejad Z, Shaikh H, Yousei R,Yarmohammadi L, et al. The changes of metabolic proi le and weight during Ramadan fasting. Singapore Med J. 2006;47:409–14.

8. Sadiya A, Ahmed S, Siddieq HH, Babas J, Carlsson M. Ef ect of Ramadan fasting on metabolic markers, body composition, and dietary intake in Emiratis of Ajman (UAE) with metabolic

syndrome. Diabetes Metab Syndr Obes. 2011;4:409-1.

9. Hallak MH, Nomani MZA. Body weight loss and changes in blood lipid levels in normal men on hypocaloric diets during Ramadan fasting. Am J Clin Nutr. 1988; 48:1197-210.

10. Salti I, Be´nard E, Detournay B, Bianchi-Biscay M, Le Brigand C, Voinet C, et al. EPIDIAR study group. A population based study of diabetes and its characteristics during the fasting month

of Ramadan in 13 countries: Results of the epidemiology of diabetes and Ramadan 1422/2001 (EPIDIAR) study. Diabetes Care. 2004;27:2306–11.

11. Azizi F, Siahkolah B. Ramadan fasting and diabetes mellitus. Arch Iranian Med. 2003; 6 (4): 237 – 42.

12. Temizhan A, Donderici O, Ouz D, Demirbas B. Is there any ef ect of Ramadan fasting on acute coronary heart disease events? [abstract]. Int J Cardiol. 1999;70:149-53.

13. Subekti I. Berpuasa bagi pasien diabetes. Dalam: Syam AF, Setiati S, Subekti I. Tips berpuasa Ramadan pada berbagai penyakit kronis. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI;2006:27-37.

14. Mucha GT, Merkel S, Thomas W, Bantle JP. Fasting and insulin glargine in individuals with type 1 diabetes. Diabetes Care. 2004;27:1209-10.

15. Belkhadir J, el Ghomari H, Klöcker N, et al. Muslims with non-insulin dependent diabetes fasting during Ramadan: treatment with glibenclamide. BMJ. 1993;307:292-5.

16. Glimepiride in Ramadan (GLIRA) Study Group. The ei cacy and safety of glimepiride in the management of type 2 diabetes in Muslim patients during Ramadan. Diabetes Care.

2005;28:421-2.

Page 27: Cdk 204 Interna

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013348

TINJAUAN PUSTAKA

Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring

Hendrawan Ariwibowo

Dokter Internship RS IA Moeis dan Puskesmas Karang Asam, Samarinda,

Kalimantan Timur, Indonesia

ABSTRAK

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas primer, termasuk lima besar keganasan pada laki-laki di Indonesia. Tinjauan pustaka atas

buku dan jurnal sejak tahun 2002-2012 dilakukan untuk mengetahui faktor risiko karsinoma nasofaring. Faktor risiko dengan hubungan kuat

dan konsisten antara lain virus Epstein Barr (Epstein Barr Virus, EBV) dan riwayat keluarga dengan karsinoma nasofaring, faktor risiko dengan

hubungan sedang-kuat dan konsisten antara lain konsumsi ikan asin rutin dan genotip human leucocyte antigen kelas I. Faktor risiko dengan

kekuatan hubungan lemah-sedang, tidak selalu konsisten antara lain kurang makan sayur dan buah, merokok, infeksi saluran napas kronik,

makanan berpengawet lain. Faktor risiko dengan kekuatan hubungan lemah-sedang yang tidak konsisten antara lain inhalasi, obat herbal, debu

pekerjaan, formaldehid. Alkohol tidak berhubungan dengan risiko karsinoma nasofaring.

Kata kunci: virus Epstein Barr, faktor risiko, karsinoma nasofaring

ABSTRACT

Nasopharyngeal carcinoma is among i ve major malignancies in Indonesia and the primary malignant tumor in men. Literature review was

conducted to study the risk factors for nasopharyngeal carcinoma using books and journals since 2002-2012. Risk factors with a strong and

consistent correlation: Epstein Barr Virus (EBV) and family history of nasopharyngeal carcinoma. Risk factors with moderate to strong and

consistent correlation: regular consumption of salted i sh and human leukocyte antigen class I genotypes. Risk factors with weak to moderate

correlation, less consistent: less fruit and vegetables consumption, smoking, chronic respiratory tract infections, and preserved foods. Risk

factors with weak correlation, not consistent: inhalation, herbal medicine, occupational exposures, formaldehyde. Alcohol was not associated

with nasopharyngeal carcinoma. Hendrawan Ariwibowo. Risk Factors of Nasopharyngeal Carcinoma.

Key words: Epstein Barr virus, risk factor, nasopharyngeal carcinoma

PENDAHULUAN

Kejadian karsinoma nasofaring termasuk

jarang di populasi dunia, sekitar kurang dari

satu per 100.000 penduduk per tahun, namun

relatif tinggi di Cina Selatan, Asia Tenggara

dan Afrika Utara.2,3 Perbandingan laki-laki

dan perempuan 2,2:1.3 Karsinoma nasofaring

lebih sering timbul pada ras Mongoloid.

Insiden di Cina Selatan dan Asia Tenggara

sekitar 20 sampai 40 per 100.000 jiwa per

tahun,4 tertinggi di provinsi Guangdong dan

wilayah Guangxi, Cina sebesar lebih dari 50

orang per 100.000 jiwa per tahun.5 Pada tahun

2002, tercatat 80.000 insiden karsinoma

nasofaring di seluruh dunia dengan sekitar

50.000 kematian, yang menjadikan kanker

paling sering nomor 3 di dunia dan kanker

no 4 paling sering di Hong Kong.10 Di Cina

karsinoma nasofaring meningkat setelah

umur 20 tahun dan menurun setelah umur

40 tahun, rata-rata berumur 40 dan 50

tahun.7 Karsinoma nasofaring merupakan

tumor ganas yang paling banyak dijumpai

di antara tumor ganas telinga hidung

tenggorok di Indonesia, termasuk dalam

lima besar tumor ganas dengan frekuensi

tertinggi, sedangkan di daerah kepala dan

leher menduduki tempat pertama. Survei

Departemen Kesehatan pada tahun 1980

mendapatkan angka prevalensi karsinoma

nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau

diperkirakan 7.000 sampai 8.000 kasus

per tahun di seluruh Indonesia.11 Data

registrasi kanker di Indonesia berdasarkan

histopatologi tahun 2003 menunjukkan

bahwa karsinoma nasofaring menempati

urutan pertama dari semua tumor ganas

primer pada laki–laki dan urutan ke 8 pada

perempuan.12 Karsinoma nasofaring paling

sering di fossa Rosenmuller6 yang merupakan

daerah transisional epitel kuboid berubah

menjadi epitel skuamosa.11

Karsinoma nasofaring dibagi menjadi 3

tipe histopatologi berdasarkan klasii kasi

WHO 1991, tipe-1 (karsinoma sel skuamosa

berkeratin) sekitar 10%, tipe-2 (karsinoma

tidak berkeratin berdiferensiasi) sekitar 15%

dan tipe-3 (karsinoma tidak berkeratin tidak

berdiferensiasi), tipe yang ke-3 yang paling

sering muncul (75%).3

Gejala dan tanda karsinoma nasofaring

yang sering berupa benjolan di leher (78%),

obstruksi hidung (35,5%), epistaksis (27,5%)

dan diplopia.3 Termasuk adenopati leher,

epistaksis, otitis media efusi, gangguan

pendengaran unilateral atau bilateral,

hidung tersumbat, paralisis nervus kranial,

retrosphenoidal syndrome of Jacod (kesulitan

ekspresi wajah, masalah gerakan mata dan

rahang), retroparotidian syndrome of Villaret

(sulit mengunyah, gangguan gerakan lidah

dan leher), nyeri telinga yang menjalar.6

Alamat korespondensi email: [email protected]

Page 28: Cdk 204 Interna

349CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA

Seperempat pasien karsinoma nasofaring

mengalami gangguan nervus kranial, 28,8%

mengenai nervus V, 26,9 % mengenai nervus

VI dan 25% mengenai nervus X.3

Penegakan diagnosis pasti serta stadium

tumor dengan cara anamnesis/pemeriksaan

i sik, pemeriksaan nasofaring, biopsi

nasofaring, pemeriksaan patologi anatomi,

pemeriksaan radiologi, pemeriksaan neuro-

oftalmologi, pemeriksaan serologi.11

Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma

nasofaring adalah radioterapi dengan atau

tanpa kemoterapi. Terapi kedua adalah

kemoterapi; kemoterapi sebagai terapi

tambahan pada karsinoma nasofaring dapat

meningkatkan hasil terapi, terutama diberikan

pada stadium lanjut atau pada keadaan

kambuh. Terapi ketiga adalah operasi, berupa

diseksi leher radikal dan nasofaringektomi.

Diseksi leher dilakukan jika masih ada

sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya

kekambuhan kelenjar dengan syarat tumor

primer sudah dinyatakan bersih dibuktikan

dengan pemeriksaan radiologik dan serologi.

Nasofaringektomi merupakan operasi paliatif

pada kasus-kasus kambuh atau adanya

residu di nasofaring yang tidak berhasil

diterapi dengan cara lain. Terapi keempat

adalah imunoterapi; dengan diketahuinya

kemungkinan penyebab virus Epstein-Barr,

penderita karsinoma nasofaring dapat diberi

imunoterapi.11

FAKTOR RISIKO

Beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring

antara lain virus Epstein Barr, ikan asin, kurang

konsumsi buah dan sayuran segar, tembakau,

asap lain, alkohol, obat herbal, paparan

pekerjaan, paparan lain, familial clustering,

Human Leukocyte Antigen Genes, dan variasi

genetik lain.

1. Virus Epstein Barr

EBV merupakan faktor risiko mayor karsinoma

nasofaring. Sebagian besar infeksi EBV tidak

menimbulkan gejala2. EBV menginfeksi dan

menetap secara laten pada 90% populasi

dunia. Di Hong Kong, 80% anak terinfeksi

pada umur 6 tahun, hampir 100% mengalami

serokonversi pada umur 10 tahun. Infeksi

EBV primer biasanya subklinis. Transmisi

utama melalui saliva, biasanya pada negara

berkembang yang kehidupannya padat

dan kurang bersih. Limfosit B adalah target

utama EBV, jalur masuk EBV ke sel epitel masih

belum jelas, replikasi EBV dapat terjadi di sel

epitel orofaring10. Virus Epstein-Barr dapat

memasuki sel-sel epitel orofaring, bersifat

menetap (persisten), tersembunyi (laten)

dan sepanjang masa (life-long).12 Antibodi

Anti-EBV ditemukan lebih tinggi pada pasien

karsinoma nasofaring, pada pasien karsinoma

nasofaring terjadi peningkatan antibodi

IgG dan IgA, hal ini dijadikan pedoman tes

skrining karsinoma nasofaring pada populasi

dengan risiko tinggi.10

2. Ikan asin

Paparan non-viral yang paling konsisten dan

berhubungan kuat dengan risiko karsinoma

nasofaring adalah konsumsi ikan asin.

Konsumsi ikan asin meningkatkan risiko 1,7

sampai 7,5 kali lebih tinggi dibanding yang

tidak mengkonsumsi. Diet konsumsi ikan asin

lebih dari tiga kali sebulan meningkatkan risiko

karsinoma nasofaring.7 Potensi karsinogenik

ikan asin didukung dengan penelitian pada

tikus disebabkan proses pengawetan dengan

garam tidak ei sien sehingga terjadi akumulasi

nitrosamin yang dikenal karsinogen pada

hewan10. Enam puluh dua persen pasien

karsinoma nasofaring mengkonsumsi secara

rutin makanan fermentasi yang diawetkan3.

Tingginya konsumsi nitrosamin dan nitrit dari

daging, ikan dan sayuran yang berpengawet

selama masa kecil meningkatkan risiko

karsinoma nasofaring4. Delapan puluh delapan

persen penderita karsinoma nasofaring

mempunyai riwayat konsumsi daging asap

secara rutin3.

3. Buah dan Sayuran Segar

Konsumsi buah dan sayuran segar seperti

wortel, kobis, sayuran berdaun segar, produk

kedelai segar, jeruk, konsumsi vitamin E atau

C, karoten terutama pada saat anak-anak,

menurunkan risiko karsinoma nasofaring.

Efek protektif ini berhubungan dengan efek

antioksidan dan pencegahan pembentukan

nitrosamin.10

4. Tembakau

Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa

merokok menyebabkan kanker. Merokok

menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta

per tahunnya dan diperkirakan menjadi 10 juta

per tahunnya pada 2030.1 Rokok mempunyai

lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk

nitrosamin yang meningkatkan risiko terkena

karsinoma nasofaring2. Kebanyakan penelitian

menunjukkan merokok meningkatkan risiko

karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6

kali. Sekitar 60% karsinoma nasofaring tipe I

berhubungan dengan merokok sedangkan

risiko karsinoma nasofaring tipe II atau III tidak

berhubungan dengan merokok.10 Perokok

lebih dari 30 bungkus per tahun mempunyai

risiko besar terkena karsinoma nasofaring.

Kebanyakan penderita karsinoma nasofaring

merokok selama minimal 15 tahun (51%)

dan mengkonsumsi tembakau dalam bentuk

lain (47%).3 Merokok lebih dari 25 tahun

meningkatkan risiko karsinoma nasofaring4.

Merokok lebih dari 40 tahun meningkatkan 2

kali lipat risiko karsinoma nasofaring9.

5. Asap lain

Beberapa peneliti menyatakan bahwa insidens

karsinoma nasofaring yang tinggi di Cina

Selatan dan Afrika Utara disebabkan karena

asap dari pembakaran kayu bakar10. Sembilan

puluh tiga persen penderita karsinoma

nasofaring tinggal di rumah dengan ventilasi

buruk dan mempunyai riwayat terkena asap

hasil bakaran kayu bakar3. Pajanan asap hasil

kayu bakar lebih dari 10 tahun meningkatkan

6 kali lipat terkena karsinoma nasofaring7.

6. Alkohol

Konsumsi alkohol tidak berhubungan dengan

peningkatan risiko karsinoma nasofaring10.

7. Obat Herbal

Pada populasi Asia, beberapa penelitian

melaporkan 2 sampai 4 kali lipat peningkatan

risiko karsinoma nasofaring karena pengguna-

an obat herbal tradisional, tetapi tiga penelitian

di Cina Selatan tidak menemukan hubungan

obat herbal dengan karsinoma nasofaring. Di

Filipina, penggunaan obat herbal tradisional

meningkatkan risiko karsinoma nasofaring,

terutama pada orang yang mempunyai titer

antibodi anti-HBV tinggi.10

8. Pajanan Pekerjaan

Pajanan pekerjaan terhadap fume, asap, debu

atau bahan kimia lain meningkatkan risiko

karsinoma nasofaring 2 sampai 6 kali lipat.

Peningkatan risiko karsinoma nasofaring

karena pajanan kerja terhadap formaldehid

sekitar 2 sampai 4 kali lipat, didukung oleh

penelitian pada tikus, terutama untuk tipe

I tetapi tidak untuk tipe II dan III7,10. Namun

sebuah meta-analisis dari 47 penelitian tidak

mendukung hubungan formaldehid dengan

karsinoma nasofaring.

Page 29: Cdk 204 Interna

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013350

TINJAUAN PUSTAKA

Stimulasi dan inl amasi jalan nafas kronik,

berkurangnya pembersihan mukosiliar, dan

perubahan sel epitel mengikuti tertumpuknya

debu kayu di nasofaring memicu karsinoma

nasofaring, paparan ke pelarut dan pengawet

kayu, seperti klorofenol juga memicu

karsinoma nasofaring. Paparan debu katun

yang hebat meningkatkan risiko karsinoma

nasofaring karena iritasi dan inl amasi

nasofaring langsung atau melalui endotoksin

bakteri. Paparan tempat kerja yang panas atau

produk bakaran meningkatkan dua kali lipat

risiko terkena karsinoma nasofaring10. Paparan

debu kayu di tempat kerja lebih dari 10 tahun

meningkatkan risiko terkena karsinoma

nasofaring4.

9. Pajanan Lain

Riwayat infeksi kronik telinga, hidung,

tenggorok dan saluran napas bawah me-

ningkatkan risiko karsinoma nasofaring se-

banyak dua kali lipat. Bakteri yang menginfeksi

saluran nafas dapat mengurai nitrat menjadi

nitrit, kemudian dapat membentuk bahan

N-nitroso yang karsinogenik. Di Taiwan,

kebiasaan mengunyah betel nut (Areca catechu)

selama lebih dari 20 tahun berhubungan

dengan peningkatan 70% risiko karsinoma

nasofaring. Sebuah penelitian ekologi di Cina

Selatan menemukan 2 sampai 3 kali lipat

kadar nikel di nasi, air minum, dan rambut

penduduk yang tinggal di wilayah yang tinggi

insiden karsinoma nasofaringnya. Penelitian

lain menyatakan bahwa kandungan nikel, zinc

dan cadmium pada air minum lebih tinggi

di wilayah yang tinggi insiden karsinoma

nasofaringnya. Kadar nikel pada air minum,

kadar elemen alkali seperti magnesium,

kalsium, strontium yang rendah pada tanah,

dan tingginya kadar radioaktif seperti thorium

dan uranium pada tanah berperan pada

mortalitas karsinoma nasofaring, namun

masih perlu dibuktikan dengan penelitian

epidemiologi analitik. Risiko karsinoma

nasofaring juga meningkat berhubungan

dengan makanan berpengawet lain seperti

daging, telur, buah dan sayur terutama di Cina

Selatan, Asia Tenggara, Afrika Utara/Timur

Tengah dan penduduk asli Artik.10

10. Familial Clustering

Kerabat pertama, kedua, ketiga pasien

karsinoma nasofaring lebih berisiko

terkena karsinoma nasofaring.7 Orang yang

mempunyai keluarga tingkat pertama

karsinoma nasofaring mempunyai risiko empat

sampai sepuluh kali dibanding yang tidak.8,10

Risiko kanker kelenjar air liur dan serviks uterus

juga meningkat pada keluarga dengan kasus

karsinoma nasofaring. Faktor risiko lingkungan

seperti ikan asin, merokok dan paparan pada

produk kayu meningkatkan level antibodi anti-

EBV dan beberapa polimorfasi genetik. Kasus

familial biasanya pada tipe II dan III, sedangkan

tipe I non familial.10

11. Human Leukocyte Antigen Genes

Di Cina Selatan dan populasi Asia lain,

Human Leukocyte Antigen-A2-B46 dan

B-17 berhubungan dengan peningkatan

dua sampai tiga kali lipat risiko karsinoma

nasofaring. Sebaliknya Human Leukocyte

Antigen-A11 menurunkan 30%-50% risiko

terkena karsinoma nasofaring pada ras Kulit

Putih dan Cina, B13 pada ras Cina, dan A2

pada ras Kulit Putih. Sebuah meta analisis

pada populasi di Cina Selatan menunjukkan

peningkatan karsinoma nasofaring pada HLA-

A2, B14 dan B46, dan penurunan karsinoma

nasofaring pada HLA-A11, B13 dan B22.10

12. Variasi Genetik Lain

Polimori di sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) dan

CYP2A6 dan ketiadaan Glutation S-transferase

M1 (GSTM1) dan atau GSTT1 berhubungan

dengan peningkatan risiko dua sampai lima

kali lipat terkena karsinoma nasofaring. Di

Thailand dan Cina, polimori pada polymeric

immunoglobulin receptor (PIGR), sebuah

reseptor permukaan sel memudahkan

masuknya EBV masuk ke epitel hidung dan

meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.10

RANGKUMAN

Faktor risiko yang memiliki hubungan kuat

dan konsisten antara lain EBV dan riwayat

keluarga dengan karsinoma nasofaring,

sedangkan yang memiliki hubungan sedang-

kuat dan konsisten antara lain konsumsi

ikan asin rutin dan genotip HLA kelas I.

Faktor risiko yang tidak selalu konsisten

antara lain kurang makan sayur dan buah,

merokok, kondisi traktus pernafasan kronik,

makanan berpengawet lain dengan kekuatan

hubungan lemah-sedang. Faktor risiko yang

tidak konsisten/inkonsisten meningkatkan

faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain

inhalasi lain, obat herbal, debu pekerjaan,

formaldehid dengan kekuatan hubungan

lemah-sedang. Sedangkan alkohol tidak

berhubungan dengan peningkatan risiko

karsinoma nasofaring.

Tabel Rangkuman Faktor Risiko Karsinoma Nasofaring10

No. Faktor Kekuatan Hubungan Konsistensi Hubungan Hubungan

1. EBV Kuat Konsisten Lebih konsisten berhubungan

dengan karsinoma nasofaring

tipe II dan III

2. Ikan Asin Sedang-Kuat Konsisten Hubungan lebih kuat jika

konsumsi rutin

3. Kurang makan buah dan

sayur segar

Sedang Tidak konsisten

4. Merokok Lemah-Sedang Tidak konsisten Hubungan lebih kuat dengan

karsinoma nasofaring tipe I

5. Inhalasi lain Lemah-Sedang Inkonsisten

6. Alkohol Lemah Tidak berhubungan

7. Obat Herbal Lemah-Sedang Inkonsisten

8. Debu Pekerjaan Lemah-Sedang Inkonsisten Lebih konsisten berhubungan

dengan paparan debu kayu

9. Kondisi traktus pernafasan

kronik

Sedang Tidak konsisten

10. Riwayat keluarga dengan

karsinoma nasofaring

Kuat Konsisten

11. Genotip HLA kelas I Sedang-Kuat Konsisten Inkonsisten berhubungan

dengan genotip HLA kelas II

12. Makanan berpengawet lain Sedang Tidak konsisten

13. Formaldehid Lemah-Sedang Inkonsisten

Page 30: Cdk 204 Interna

351CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

1. Vineis P, Alavanja M, Bul er P, Fontham E, Franceschi S,. Gao YT et al. Tobacco and Cancer: Recent Epidemiological Evidence. J Nat Cancer Inst. 2004; 96(2):99-106.

2. Hsu W-L, Chen J-Y, Chien Y-C, et al. Independent Ef ect of EBV and Cigarette Smoking on Nasopharyngeal Carcinoma: A 20-Year Follow-Up Study on 9,622 Males without Family History in

Taiwan. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev. 2009;18:1218-26.

3. Sharma TD, Singh Th T, Laishram RS, Chandra Sharma LD, Sunita AK, Tiameren Imchen L. Nasopharyngeal Carcinoma - a Clinico-pathological Study in a Regional Cancer Centre of

Northeastern India. Asian Pacii c J Cancer Prev. 12, 1583-7.

4. Yang X, Diehl S, Pfeif er R, Chen C-J, Hsu W-L, Dosemeci M, et al. Evaluation of Risk Factors for Nasopharyngeal Carcinoma in High-Risk Nasopharyngeal Carcinoma Families in Taiwan.

Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2005;14:900-5.

5. Shri JN.Mathur for the Indian Council of Medical Research, New Delhi. Epidemiological and Etiological Factors Associated with Nasopharyngeal Carcinoma. ICMR Of set Press, New Delhi.

2003; 33(9).

6. Lee N, Chan K. Benign & Malignant Lesions of The Nasopharynx. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2nd ed. McGraw-Hill Co, Inc. 2008. p

362-6.

7. Ondrey FG,.Wright SK. Neoplasms of the Nasopharynx. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th ed. 2003. p 1407-22.

8. Guo X, Johnson RC, Deng H, Liao J, Guan L,. Nelson GW, et al.Evaluation of nonviral risk factors for nasopharyngeal carcinoma in a high-risk population of Southern China. Int. J. Cancer.

2009;124, 2942–7.

9. Friborg JT, Yuan J-M, Wang R, Koh W-P, Lee H-P, Yu MC. A Prospective Study of Tobacco and Alcohol Use as Risk Factors for Pharyngeal Carcinomas in Singapore Chinese. Cancer 2007. 109(

6): 1183-91.

10.. Chang ET, Adami H-O. The Enigmatic Epidemiology of Nasopharyngeal Carcinoma. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev 2006;15:1765-77.

11.. Asroel HA. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. USU digital library 2002.

12. Yenita, Aswiyanti Asri. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1 Virus Epstein-Barr dengan P53 pada Karsinoma Nasofaring (Penelitian Lanjutan). Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(1).

Page 31: Cdk 204 Interna

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013352

TINJAUAN PUSTAKA

Diagnosis dan ManajemenAmyotrophic Lateral Sclerosis

Dito AnurogoNeuroscience Department, Brain Circulation Institute of Indonesia (BCII),

Surya University, Tangerang, Banten

ABSTRAK

Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) merupakan penyakit neuron motorik degeneratif yang progresif. Memahami etiopatogenesis dan biomaker

adalah cara terbaik untuk memulai manajemen ALS. Temuan biomaker ALS baru-baru ini memunculkan harapan bagi penderita ALS. Aspek-

aspek komprehensif ALS dipaparkan, meliputi sejarah, epidenologi, etiopatogenesis, gambaran klinis, kriteria diagnostik, penekan penunjang,

diagnosis banding, penatalaksanaan, biomaker, dan komplikasi.

Kata Kunci: amyotrophic lateral sclerosis, etiopatogenesis, manajemen, biomaker

ABSTRACT

Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) is a progressive, degenerative motor neuron disease. Understanding of etiopathogenesis and biomarker

is the best ways towards ALS management. The recent i nding of biomarker ALS of ers hope to ALS suf erers. A comprehensive aspects of

ALS have been discussed, including history, epidemiology, etiopathogenesis, clinical pictures, diagnostic criteria, supporting examination,

dif erential diagnosis, management, biomarker, and complication.

Key words: amyotrophic lateral sclerosis, etiopathogenesis, management, biomarker

INTRODUKSI

Penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS)

disebut juga motor neuron disease (MND),

Charcot disease, Lou Gehrig disease. ALS

adalah penyakit neurologis progresif yang

dikarakterisasikan oleh degenerasi UMN dan

LMN (upper and lower motor neuron). ALS

pertama kali diobservasi oleh neurologist Jean-

Martin Charcot pada tahun 1869, barulah pada

tahun 1874, terminologi ALS diperkenalkan.

Penyakit ini menjadi populer setelah pemain

baseball, Lou Gehrig, didiagnosis menderita

ALS pada tahun 1939. Sejumlah 90-95% kasus

penyebabnya belum diketahui.1

EPIDEMIOLOGI

Di seluruh dunia, ALS dialami oleh 1 dari 3

orang per 100.000 ribu. Di Eropa, insiden

tahunan adalah 2,16 per 100 ribu orang/

tahun. Di Indonesia, belum ada data pasti.

Rasio pria:wanita adalah 1,5:1, pada ALS familial

rasio ini hampir sama. Sekitar 5-10% kasus

ALS diwariskan. Pada ALS tipe familial, usia

terbanyak adalah 47–52 tahun. Pada ALS tipe

sporadik, usia terbanyak adalah 58–63 tahun.2,3

Kematian dapat terjadi dalam rentang waktu

3-5 tahun setelah diagnosis. Hanya 1 dari 4

penderita ALS yang dapat bertahan hidup

lebih dari 5 tahun setelah diagnosis. Sebagian

besar penderita ALS meninggal dunia karena

gagal nafas (respiratory failure), rata-rata 3

tahun atau sekitar 2-4 tahun setelah onset,

beberapa penderita dapat bertahan hidup

hingga satu dasawarsa atau lebih.4

ETIOPATOGENESIS

Penyebab pasti ALS belum diketahui. Terdapat

beragam hipotesis tentang etiologi yang masih

kontroversial: merokok sigaret, diet tinggi lemak

atau tinggi glutamat, berpartisipasi di perang

Teluk.5,6 Faktor lingkungan intoksikasi timah dan

merkuri juga diduga penyebab ALS. Asumsi ini

bermula dari tingginya insiden ALS di pulau

Guam pada tahun 1945. Begitu pula kondisi

eksitotoksik asam-asam amino, terutama

glutamat, sempat diduga kuat menyebabkan

ALS. Hipotesis ini memerlukan riset lanjutan,

mengingat beberapa paparan lingkungan

dapat mengubah genetic programming melalui

mekanisme epigenetik. 5-7

Beberapa studi menunjukkan bahwa pada

ALS terjadi degenerasi neuron motorik akibat

apoptosis, yang dipicu oleh stres oksidatif dan

disfungsi mitokondria. Disfungsi kemampuan

sel-sel saraf untuk mengendalikan stres oksidatif

juga terjadi pada ALS familial yang disebabkan

karena mutasi gen yang mengkode cytosolic

antioxidant enzyme copper/zinc superoxide

dismutase (SOD1). 5,6 Neuroinl amasi jelas

berperan pada ALS. Sitokin proinl amasi yang

meningkat pada neuron-neuron motorik

berdegenerasi juga memicu inl amasi

mikroglia. Pada ALS sporadis, terjadi akumulasi

proses neurodegeneratif yang kompleks.8

Terdapat neuron-neuron motorik yang rentan,

dibuktikan dengan adanya neuronal inclusions,

termasuk untai ubikuitin (ubiquitinated skeins)

atau Lewy-like formations dan Bunina bodies.

Struktur ini dijumpai pada sebagian besar

penderita ALS sporadik. Pada ALS familial,

dijumpai bentuk berbeda, yaitu hyaline

conglomerate yang termasuk neuroi lamen

dan tidak mengandung ubiquitin.8Antigen

neuron di dalam inclusions yang dikenal oleh

antibodi untuk ubiquitin telah teridentii kasi

sebagai TDP-43 (protein yang dijumpai pada

HIV). Mutasi pada gen TDP-43 (TARDBP)

telah teridentii kasi sebagai penyebab ALS

tipe sporadik dan familial. Identii kasi TDP-

43 penting di dalam menegakkan diagnosis

postmortem ALS.8

Alamat korespondensi email: [email protected]

Page 32: Cdk 204 Interna

353CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA

Penemuan mutasi patogenik pada TARDBP

mengimplikasikan TDP-43 sebagai mediator

aktif neurodegenerasi pada proteinopati TDP-

43, termasuk ALS.9 Hal lain yang menarik, terjadi

kehilangan selektif EAAT 2, astrocyte-selective

glutamate transporter, di bagian motor cortex

dan spinal cord penderita yang meninggal

dunia karena ALS.10 Riset molekuler berhasil

mengungkap 12 gen/lokus kausatif pada

ALS familial, misalnya: (1) ALS1/21q22.1, (2)

ALS2/2q33-35, (3) ALS3/18q21, (4) ALS4/9q34,

(5) ALS5/15q15-q22, (6) ALS6/16q15-q22, (7)

ALS7/20ptel, (8) ALS8/20q13.33, (9) ALS9/14q11,

(10) ALS10/1q36, (11) ALS-FTD/9q21-22, (12)

ALS-FTD/9p13.2-21,3. Sedangkan untuk ALS

sporadik, beberapa gen yang rentan, misalnya:

SOD1, HFE (human hemochromatosis protein),

MAPT (microtubule-associated protein tau),

NEFH (neuroi lament, heavy polypeptide), PRPH

(peripherin), DCT1 (divalent cation transporter

1), PON 1-3 (paroxonase 1-3), Progranulin, ANG

(angiogenin, ribonuclease, RNase A family, 5),

APEX, SMN1 (survival of motor neuron-1), SMN2,

TDP-43, UNC13A.1

BIOMARKER

Biomarker yang ideal dapat mendeteksi ciri

atau karakteristik fundamental patoi siologi

suatu penyakit sekaligus mampu membedakan

penyakit dari kondisi lainnya dengan nilai

prediktif positif dan negatif yang diterima.

Uji dan pemeriksaan biomarker haruslah

sederhana dan mudah, relatif noninvasive,

murah, terpercaya, akurat, mudah direproduksi

di semua laboratorium.42 Teknologi terbaru

dengan platform (teknik) “omics”, seperti:

genomics, transcriptomics, proteomics dan

metabolomics berupaya menemukan biomarker

ALS.43 Beragam teknologi ini, memungkinkan

identii kasi biomarker yang tervalidasi, yang

berasal dari jaringan otak, sel-sel, dan cairan

tubuh.44

Untuk memeriksa klasii kasi pola protein yang

canggih pada cairan serebrospinal, digunakan

alat liquid chromatography-Fourier transform

ion cyclotron resonance mass spectrometry (LC-

FTICR-MS) kapiler.46 Ditemukan mutasi genetik

dan perubahan protein spesii k pada cairan

biologis atau biol uids (misalnya: cerebrospinal

l uid dan darah) dan/atau jaringan penderita

ALS. Contoh biomarker ALS adalah TDP-

43 (TAR DNA-binding protein 43 kDa),

phosphorylated neuroi lament heavy subunit

(pNF-H), neuroi lament light chain (NFL).47 TAR

DNA binding protein of 43 kDa (TDP-43) adalah

protein khas utama pada penderita ALS. TDP-43

diukur dari cairan serebrospinal dengan metode

ELISA. Rendahnya kadar TDP-43 menunjukkan

akumulasi TDP-43 di neuron motorik kortikal

dan spinal sehingga kelangsungan hidup

menjadi lebih pendek, meskipun hasil ini

memerlukan riset prospektif lanjutan. Proses

immunoreactivity TDP-43 di jaringan otak yang

berkaitan dengan penyakit direl eksikan oleh

peningkatan kadar TDP-43 di CSF. Dengan

analisis receiver operating characteristic (ROC),

diketahui bahwa sensitivitas TDP-43 mencapai

59,3% dan spesii sitasnya mencapai 96%.48,49

pNF-H adalah suatu komponen struktural

utama di akson motorik. Pada ALS, dijumpai

peningkatan konsentrasi pNF-H di plasma,

serum, dan cairan serebrospinal. Hal ini berkaitan

erat dengan laju perkembangan penyakit.50

Kadar neuroi lament light chain (NFL) pada

cairan serebrospinal digunakan sebagai

parameter aktivitas dan proses perjalanan

penyakit. Tingginya kadar NFL pada penderita

ALS menunjukkan proses neurodegenerasi

yang terjadi pada ALS.51

Penggunaan berbagai protein biomarker

bertujuan untuk menegakkan diagnosis secara

cepat, memfasilitasi intervensi terapeutik yang

efektif dan memantau efektivitas obat. Selain

itu, kombinasi berbagai biomarker bermanfaat

sebagai efek terapeutik dini.

GAMBARAN KLINIS

Secara klinis, ALS dapat diketahui dari

adanya gangguan LMN (lower motor neuron)

berupa: kelemahan, otot mengecil (wasting),

kedutan (fasciculation) dan gangguan UMN

(upper motor neuron) berupa: rel eks tendon

hiperaktif, tanda Hof mann, tanda Babinski,

atau klonus di anggota gerak yang sama.8

ALS dimulai dengan fasikulasi, kelemahan

ekstremitas, salah bicara (keseleo lidah). Pada

akhirnya, ALS mempengaruhi kemampuan

untuk mengendalikan otot yang diperlukan

untuk bergerak, berbicara, makan, dan bernafas.11

Kondisi sistem saraf penderita (neurological

status) dapat dinilai dengan kuesioner revised

ALS Functional Rating Scale (ALSFRS-r).19

Disfungsi kognitif dialami oleh 20–50%

penderita ALS, dan 3–15% berkembang

menjadi dementia yang dikategorikan sebagai

frontotemporal lobar degeneration (FTLD).12

Gejala ALS biasanya belum tampak hingga

penderita berusia 50 tahun, namun bisa

muncul perlahan di usia muda. Penderita ALS

biasanya kehilangan kekuatan dan koordinasi

otot sehingga sulit melakukan aktivitas harian,

seperti: naik tangga, berdiri dari kursi, menelan,

dsb. Otot-otot menelan dan pernafasan

adalah yang pertama kali diserang ALS.

Makin memburuk, makin banyak kelompok

otot yang terkena. ALS tidak mempengaruhi

panca indera (penglihatan, penghidu, perasa/

pengecap, pendengaran, peraba). ALS jarang

menyerang fungsi kandung kemih, organ

perut, gerak mata, kemampuan berpikir. Gejala

ALS antara lain: sulit bernafas, sulit menelan,

mudah merasa tercekik, mengeluarkan air liur,

tersumbat, kram otot, kepala lunglai (mudah

terkulai) karena lemahnya otot leher, kontraksi

otot (fasciculation), kelemahan otot yang

memburuk, umumnya pertama kali terkait

dengan satu anggota tubuh seperti lengan atau

tangan; menjadi paralisis, sulit mengangkat,

menaiki anak tangga, berjalan. Kesulitan

berbicara, seperti: pola bicara abnormal atau

perlahan, perkataan menyatu/kacau (slurring

of words), perubahan suara, serak/parau

(hoarseness). Berat badan turun.13-14

Potret klinis gangguan pernafasan pada

penderita ALS terdiri dari beberapa tanda dan

gejala seperti: bernafas cepat, penggunaan

otot-otot bantu pernafasan, pergerakan

abdomen yang berlawanan (paradox),

berkurangnya gerakan dada, batuk encer atau

melemah, berkeringat, takikardi, penurunan

berat badan, bingung (confusion), halusinasi,

pusing atau sensasi berputar (dizziness),

papilloedema (jarang), pingsan (syncope),

mulut kering. Gejala lain, seperti: sesak nafas

saat beraktivitas atau berbicara, orthopnoea,

sering terbangun di malam hari, mengantuk

berlebihan dan lelah di siang hari, sulit

membersihkan sekresi, nyeri kepala di pagi

hari, nocturia, depresi, selera makan berkurang

bahkan hilang, konsentrasi dan/atau memori

berkurang.15

KRITERIA DIAGNOSTIK16,17

Kriteria positif

Diagnosis ALS memerlukan adanya: (1) Tanda-

tanda LMN (termasuk gambaran EMG di otot

yang tidak terpengaruh secara klinis). (2)

Tanda-tanda UMN. (3) Perkembangan gejala

dan tanda klinis. Diagnosis ALS didukung

oleh: (1) Fasikulasi pada satu bagian atau

lebih. (2) Perubahan neurogenik pada EMG. (3)

Page 33: Cdk 204 Interna

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013354

TINJAUAN PUSTAKA

Konduksi nervus sensoris dan motoris normal.

(4) Ketiadaan conduction block.

DIAGNOSIS EKSKLUSI

Pada ALS tidak dijumpai: (1) Gangguan

sensoris. (2) Gangguan sphincter (3) Gangguan

visual. (4) Gangguan otonom. (5) Disfungsi

ganglia basal. (6) Demensia tipe Alzheimer.

Diagnosis ALS ditegakkan secara klinis yang

memerlukan waktu beberapa bulan.

DIAGNOSIS BANDING

Beberapa penyakit yang menyerupai ALS,

seperti: 18,21-23

A. Ketidaknormalan anatomis/sindrom

kompresi, seperti: (1) Arnold-Chiari–1 dan

malformasi hindbrain lainnya, (2) tumor

regio fossa posterior, servikal, atau foramen

magnum, (3) herniasi diskus servikal dengan

osteokondrosis, (4) meningioma servikal, (5)

tumor retrofaring, (6) kista spinal epidural, (7)

mielopati spondilotik dan/atau radikulopati

motorik, (8) syringomyelia.

B. Defek enzim (acquired), seperti: (9)

gangliosidosis GM2 dewasa (dei siensi

hexosaminidase-A atau -B), (10) polyglucosan

body disease.

C. Sindrom otoimun, seperti: (11) gamopati

monoklonal dengan neuropati motorik,

(12) neuropati motorik multifokal dengan/

tanpa hambatan konduksi, (13) sindrom LMN

disimun (dengan antibodi GM1, GD1b, dan

asialo-GM1), (14) sindrom LMN dys-immune

lainnya termasuk CIDP, (15) multiple sclerosis,

(16) myasthenia gravis (terutama varian anti-

MuSK positif ).

D. Abnormalitas endokrin, seperti: (17)

sindrom Allgrove, (18) diabetic ‘amyotrophy’,

(19) insulinoma menyebabkan neuropati,

(20) hipertiroidisme dengan miopati,

(21) hipotiroidisme dengan miopati,

(22) hiperparatiroidisme (primer), (23)

hiperparatiroidisme (sekunder karena

dei siensi vitamin D), (24) hipokalaemia

(sindrom Conn).

E. Infeksi, seperti: (25) poliomielitis akut,

(26) sindrom atroi muskuler progresif paska-

poliomielitis, (27) HIV-1 (dengan mielopati

vakuolar), (28) HTLV-1 associated myelopathy

(HAM, tropical spastic paraplegia), (29)

neuroborreliosis, (30) syphilitic hypertrophic

pachymeningitis, (31) spinal encephalitis

lethargica, (32) varicella-zoster, (33) trichinosis,

(34) brucellosis, (35) cat-scratch disease, (36)

prion disorders.

F. Miopati, seperti: (37) miopati cachectic,

(38) miopati karsinoid, (39) dystrophin-dei cient

myopathy, (40) inclusion body myositis (IBM),

(41) inl ammatory myopathies, (42) miopati

nemaline, (43) polimiositis, (44) miositis

sarkoid.

G. Sindrom neoplastik, seperti: (45) leukemia

limfositik kronis, (46) glioma intrameduler,

(47) gangguan limfoproliferatif dengan

paraproteinaemia dan/atau oligoclonal bands

di cairan serebrospinal, (48) sindrom tumor

Pancoast, (49) paraneoplastic encephalomyelitis

(PEM) dengan keterlibatan anterior horn cell,

(50) sindrom stif -person-plus (SPS).

H. Cedera i sik, seperti: (51) electric shock

neuronopathy, (52) radiation-induced radiculo-

plexopathies dan/mielopati.

I. Gangguan vaskuler, seperti: (53)

arteriovenous malformation (AVM), (54)

Dejerine anterior bulbar artery syndrome, (55)

stroke, (56) vaskulitis.

J. Kondisi neurologis lainnya, seperti: (57)

bentuk atipikal MND/ALS Pasii k barat (Guam,

New Guinea, Kii Peninsula Jepang), (58)

bentuk atipikal Karibia dari MND-dementia-

psp (Guadeloupe), (59) bentuk Madras dari

MND/ALS onset anak (India selatan), (60)

demensia frontotemporal dengan MND/ALS

(termasuk penyakit Pick dengan amiotroi ),

(61) multiple system atrophy (MSA), (62)

sindrom OPCA (olivo-ponto cerebellar atrophy),

(63) primary lateral sclerosis (PLS; beberapa

subtipe tidak berkaitan dengan ALS), (64)

progressive encephalomyelitis with rigidity

(PER), (65) progressive supranuclear palsy (PSP),

(66) hereditary spastic paraplegia (HSP; banyak

varian, beberapa subtipe dengan amiotroi

distal), (67) progressive spinal muscular atrophy

(PMA; beberapa subtipe tidak berkaitan

dengan ALS), (68) spinobulbar muscular atrophy

(SBMA) dengan/tanpa dynactin atau mutasi

reseptor androgen, (69) SMA (spinal muscular

atrophy) I-IV, (70) sindrom Brown-Vialetto-van

Laere (ALS spinal dan bulbar onset dini dengan

tuli sensorineural), (71) sindrom Fazio-Londe

(PBP infantil), (72) sindrom Harper-Young (SMA

distal dan laringeal), (73) monomelic sporadic

spinal muscular atrophy (termasuk sindrom

Hirayama), (74) polineuropati dengan dominasi

gejala motorik (seperti HMSN tipe 2, HMN tipe

5), (75) familial amyloid polyneuropathy (FAP),

(76) benign fasciculations, (77) myokymia.

K. Toksin eksogen, misalnya: (78) intoksikasi

timah, (79) intoksikasi merkuri, (80) intoksikasi

kadmium, (81) intoksikasi aluminium, (82)

intoksikasi arsen, (83) intoksikasi thallium, (84)

intoksikasi mangan, (85) intoksikasi pestisida

organik, (86) intoksikasi neurolathyrism, (87)

intoksikasi konzo.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Beberapa pemeriksaan laboratorium yang

direkomendasikan untuk diperiksa pada dugaan

ALS, antara lain: (1) darah [laju endap darah,

C-reactive protein, screening hematologi, SGOT,

SGPT, LDH, hormon TSH, FT4, FT3, vitamin B12

dan folat, serum protein elektroforesis, serum

imunoelektroforesis, creatine kinase, kreatinin,

elektrolit (Na+, K+, Cl-, Ca2+, PO43-), glukosa], (2)

neuroi siologi (EMG, kecepatan konduksi saraf ),

(3) radiologi [MRI/CAT (kepala/servikal, torakal,

lumbal), rontgen dada].18

Pemeriksaan laboratorium yang di-

rekomendasikan pada kasus ALS tertentu: (1)

darah: angiotensin converting enzyme (ACE),

laktat, assay hexoaminidase A dan B, antibodi

ganglioside GM-1, anti-Hu, anti-MAG, RA, ANA,

anti-DNA, antibodi anti-AChR, anti-MUSK,

serologi (Borrelia, virus termasuk HIV), analisis

DNA. (2) Pemeriksaan cairan serebrospinal,

seperti: hitung sel, sitologi, konsentrasi

protein total, glukosa, laktat, elektroforesis

protein termasuk indeks IgG, serologi

(Borrelia, virus), antibodi gangliosida. (3)

Pemeriksaan urin: kadmium, timah (sekresi 24

jam), raksa, mangan, imunoelektroforesis urin.

(4) Pemeriksaan neuroi siologi, seperti: MEP.

Pemeriksaan elektrodiagnostik berkontribusi

terhadap ketepatan diagnosis. (5) Pemeriksaan

radiologi, seperti: mammography. (6) Biopsi;

otot, saraf, sumsum tulang, limfonodi.18

Tidak ada abnormalitas laboratorium yang

patognomonik untuk ALS. Diagnosis klinis

sebaiknya dikoni rmasikan dengan EMG yang

menunjukkan bukti active denervation pada

sekurangnya tiga anggota gerak. Kecepatan

konduksi saraf normal atau hampir normal.

Protein cairan serebrospinal meningkat di atas

50 mg/dL pada 30% penderita dan di atas 75

mg/dL pada 10% penderita; angka yang lebih

tinggi dapat dijumpai pada kasus monoclonal

gammopathy atau limfoma. Gammopathy

dijumpai pada 5-10% penderita dengan

metode sensitif, seperti: immunoi xation

electrophoresis.8

Untuk kepentingan riset, dapat diperiksa IgG

antibodies against light (NFL) and medium (NFM)

subunits dari neuroi lamen menggunakan

ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay)

Page 34: Cdk 204 Interna

355CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA

dari contoh serum dan cerebrospinal l uid (CSF)

penderita ALS. Dijumpai peningkatan kadar

serum anti-NFL. OX40 (CD134) adalah sitokin

anggota keluarga reseptor TNF (tumor necrosis

factor) dan diekspresikan secara selektif pada

limfosit T yang teraktivasi. Penurunan kadar

serum soluble OX40 (sOX40) pada penderita

ALS membuktikan bahwa sitokin ini berperan

pada perjalanan penyakit (pathomechanisms)

ALS.20

PENATALAKSANAAN

Direkomendasikan riluzole (suatu antagonis

glutamat) 50 mg dua kali sehari, dengan

pemantauan teratur. Pemberian 100 mg

riluzole oral setiap hari setelah 18 bulan

memperpanjang harapan hidup penderita

ALS sekitar tiga bulan. Efek samping riluzole

adalah fatigue dan asthenia. Hingga kini,

belum ada terapi efektif untuk ALS.24-25

Berbagai obat yang sedang memasuki

trial fase II/III: arimoclomol, ceftriaxone,

edaravone, IGF-1 polypeptide, minocycline,

sodium phenylbutyrate, tamoxifen,

thalidomide. Sedangkan obat yang sedang

dipertimbangkan dan direncanakan

memasuki trial fase III: AEOL 10150, celastrol,

coenzyme Q10, copaxone, IGF-1 – viral delivery,

memantine, NAALADase inhibitor, nimesulide,

ritonavir, hydroxyurea, scriptaid, talampanel,

trehalose.18

Status nutrisi penderita ALS juga perlu

dievaluasi, mengingat sering terjadi disfagia,

hipermetabolisme, serta beragam penyakit.

Tatalaksana nutrisi termasuk diet, strategi

menelan, kemungkinan dipasang selang

makanan langsung ke lambung (gastrostomy

tube placement), dan suplementasi berupa

vitamin dan mineral.26

Medikasi simtomatis untuk mengatasi

spastisitas yang mengganggu aktivitas harian

adalah pemberian baclofen atau diazepam.

Untuk mengatasi produksi saliva berlebihan

(sialorrhea) dapat diberi trihexyphenidyl atau

amitriptyline. Bila refrakter, dapat diberi injeksi

botulinum toxin type B di kelenjar parotid

dan submandibular, amitriptyline, atau

antikolinergik. Terapi radiasi dengan dosis

7–7,5 Gy bilateral efektif mengurangi produksi

saliva, namun ada efek samping, seperti:

erythema, sore throat, dan mual. 27-30

Depresi diatasi dengan antidepresan, misalnya:

amitriptyline atau golongan SSRI. Insomnia

diatasi dengan amitriptyline atau golongan

hipnotik, seperti: zolpidem, diphenhydramine.

Cemas (anxiety) diatasi dengan bupropion

atau diazepam 0,5 mg 2-3 kali sehari, atau

lorazepam sublingual.31

Pseudobulbar af ect, menangis-tertawa

berlebihan, atau gangguan ekspresi emosional

involunter dialami 20–50% penderita ALS,

terutama pada kasus pseudobulbar palsy.32 Kom-

binasi 30 mg dextromethorphan dan 30 mg

quinidine BID efektif mengatasi pseudobulbar

af ect. Efek samping yang sering terjadi adalah

dizziness, nausea, dan somnolen.33

Gunakan oksigen hanya pada kasus hipoksia

simtomatis. Untuk mengatasi terminal

restlessness dan confusion karena hypercapnia,

digunakan neuroleptik (chlorpromazine 12,5

mg setiap 4 hingga 12 jam p.o., i.v. atau p.r.).

Untuk dyspnoea dan/atau nyeri refrakter,

digunakan opioid dosis tunggal atau di-

kombinasi dengan benzodiazepine jika disertai

cemas. Titrasi dosis tidak akan mengakibatkan

depresi saluran pernapasan.34-35

Komplikasi pernafasan adalah penyebab

umum morbiditas dan mortalitas penderita

ALS. Tatalaksana insui siensi saluran

pernapasan dengan ventilasi noninvasif

meningkatkan kualitas dan kelangsungan

hidup penderita ALS.36

Terapi Recombinant human insulin-like growth

factor (rhIGF-I) - protein manusia yang

dimodii kasi secara genetik - diharapkan

dapat meningkatkan dan memperkuat

kelangsungan hidup neuron motorik pada

ALS. Diberikan setiap hari melalui injeksi

subkutan.37 Terapi stem cell menjanjikan,

namun efektivitasnya masih memerlukan riset

lanjutan.38

KOMPLIKASI

ALS dapat menyebabkan terjadi berbagai

komplikasi, yaitu: aspirasi, penurunan

kemampuan perawatan diri, gagal paru-paru,

berat badan menurun, pressure sores, dan

pneumonia.52

RINGKASAN

Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) adalah

penyakit degeneratif motor neuron yang

progresif. Pemahaman etiopatogenesis

penting dalam penatalaksanaan penyakit ini.

Studi biomarker diharapkan dapat memberi

harapan baru bagi penderitanya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hardiman, Orla (February 2010) Amyotrophic Lateral Sclerosis. In: Encyclopedia of Life Sciences (ELS). John Wiley & Sons, Ltd: Chichester. DOI: 10.1002/9780470015902.a0000014.pub2

2. Ringholz GM, Appel SH, Bradshaw M, Cooke NA, Mosnik DM, Schulz PE. Prevalence and patterns of cognitive impairment in sporadic ALS. Neurology 2005;65(4):586–590.

3. Haverkamp LJ, Appel V, Appel SH. Natural history of amyotrophic lateral sclerosis in a database population. Validation of a scoring system and a model for survival prediction. Brain.

1995;118:707–19.

4. Forsgren L, Almay BG, Holmgren G, Wall S. Epidemiology of motor neuron disease in northern Sweden. Acta Neurol Scand. 1983;68:20–9.

5. Beal FM. Mitochondria take center stage in aging and neurodegeneration. Ann Neurol 2005;58:495–505.

6. Rosen DR, et al. Mutations in Cu/Zn superoxide dismutase gene are associated with familial amyotrophic lateral sclerosis. Nature 1993;362:59–62.

7. Stefanska B, Karlic H, Varga F, Fabianowska-Majewska K, Haslberger AG. Epigenetic mechanisms in anti-cancer actions of bioactive food components – the implications in cancer preven-

tion. British J Pharmacol 2012;167:279–297.

8. Rowland LP, Mitsumoto H, Przedborski S. Amyotrophic Lateral Sclerosis, Progressive Muscular Atrophy, and Primary Lateral Sclerosis. In: Rowland LP, Pedley TA (Ed.) Merritt’s Neurology,

12th Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2010. Chapter 128, page 803-8.

9. Van Deerlin VM, Leverenz JB, Bekris LM, Bird TD, Yuan W, Elman LB, et al. TARDBP mutations in amyotrophic lateral sclerosis with TDP-43 neuropathology: a genetic and histopathological

analysis. The Lancet Neurology. May 2008;7(5):409-416.

10. Squire L, Berg D, Bloom F, du Lac S, Ghosh A, Spitzer N. (Ed.) Fundamental Neuroscience. 3rd Edition. Elsevier. 2008. page 284.

11. Jokelainen M. Amyotrophic lateral sclerosis in Finland. II: Clinical characteristics. Acta Neurol Scand. 1977;56:194–204.

12. Abrahams S, Goldstein LH, Kew JJ, Brooks DJ, Lloyd CM, Frith CD, et al. Frontal lobe dysfunction in amyotrophic lateral sclerosis. A PET study. Brain. 1996;119:2105–20.

Page 35: Cdk 204 Interna

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013356

TINJAUAN PUSTAKA

13. Murray B, Mitsumoto H. Disorders of upper and lower motor neurons.In: Darof RB, Fenichel GM, Jankovic J, eds. Bradley’s Neurology in Clinical Practice. 6th ed. Philadelphia: Saunders

Elsevier; 2012:chapter 74.

14. Shaw PJ. Amyotrophic lateral sclerosis and other motor neuron diseases. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011:chapter 418.

15. Leigh PN, Abrahams S, Al-Chalabi A, Ampong MA, Goldstein LH, Johnson J, et al., King’s MND Care and Research Team. The management of motor neuron disease. J Neurol Neurosurg

Psychiatry.2003;70(Suppl 4):32–47.

16. Brooks BR, Miller RG, Swash M. El Escorial revisited: revised criteria for the diagnosis of amyotrophic lateral sclerosis. Amyotroph Lateral Scler Other Motor Neuron Disord. 2000;1:293–9.

17. Miller RG, Rosenberg JA, Gelinas DF, Mitsumoto H, Newman D, Sui t R. et al. Practice parameter: the care of the patient with amyotrophic lateral sclerosis (an evidence-based review): report

of the Quality Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology: ALS Practice Parameters Task Force. Neurology. 1999;52:1311–23.

18. Andersen PM, Borasio GD, Dengler R, Hardiman O, Kollewe K, Leigh PN, Pradat PF, Silani V, Tomik B. EFNS task force on management of amyotrophic lateral sclerosis: guidelines for diagnos-

ing and clinical care of patients and relatives. An evidence-based review with good practice points. European Journal of Neurology 2005;12:921–38.

19. Fialová L, Svarcová J, Bartos A, Ridzon P, Malbohan I, Keller O, Rusina R. Cerebrospinal l uid and serum antibodies against neuroi laments in patients with amyotrophic lateral sclerosis. Eur

J Neurol. 2010 Apr;17(4):562-6. Epub 2009 Nov 24.

20. Iłzecka J. Serum soluble OX40 in patients with amyotrophic lateral sclerosis. Acta Clin Croat. 2012 Mar;51(1):3-7.

21. Evangelista T, Carvalho M, Conceicao I, Pinto A, de Lurdes M, Luis ML. Motor neuropathies mimicking amyotrophic lateral sclerosis/motor neuron disease. J Neurol Sci

1996;139(Suppl):95–8.

22. Traynor BJ, Codd MB, Corr B, Forde C, Frost E, Hardiman O. Amyotrophic lateral sclerosis mimic syndromes. Arch Neurol 2000;57:109–13.

23. Belsh JM, Schif man PL. The amyotrophic lateral sclerosis (ALS) patient perspective on misdiagnosis and it repercussions. J Neurol Sci 1996;139(Suppl):110–6.

24. Bensimon G, Lacomblez L, Meininger V. A controlled trial of riluzole in amyotrophic lateral sclerosis. ALS/Riluzole Study Group N Engl J Med 1994;330:585–91.

25. Lacomblez L, Bensimon G, Leigh PN, Guillet P, Meininger V. Dose-ranging study of riluzole in amyotrophic lateral sclerosis: Amyotrophic Lateral Sclerosis/Riluzole Study Group II. Lancet

1996;347:1425–31.

26. Braun MM, Osecheck M, Joyce NC. Nutrition assessment and management in amyotrophic lateral sclerosis. Phys Med Rehabil Clin N Am. 2012 Nov;23(4):751-71.

27. Andersen PM, Gronberg H, Franze L, Funegard U. External radiation of the parotid glands signii cantly reduces drooling in patients with motor neuron disease with bulbar paresis. J Neurol

Sci 2001;191:111–4.

28. Jackson CE, Gronseth G, Rosenfeld J, et al. Randomized double-blind study of botulinum toxin type B for sialorrhea in ALS patients. Muscle Nerve 2008;39:137–43.

29. Levitsky G. Pharmacological therapy of sialorrhea in patients with motor neuron disease. ZH Neurol Psikhiar Im SS Kovsakova 2005;105:19 –22.

30. Harriman M, Morrison M, Hay J, Revonta M, Eisen A, Lentle B. Use of radiotherapy for control of sialorrhea in patients with amyotrophic lateral sclerosis. J Otolaryngol 2001;30:242–5.

31. Kurt A, Nijboer F, Matuz T, Kubler A. Depression and anxiety in individuals with amyotrophic lateral sclerosis: epidemiology and management. CNS Drugs 2007;21:279–91.

32. McCullagh S, Moore M, Gawel M, Feinstein A. Pathological laughing and crying in amyotrophic lateral sclerosis: an association with prefrontal cognitive dysfunction. J Neurol Sci

1999;169:43–8.

33. Brooks BR, Thisted RA, Appel SH, et al. Treatment of pseudobulbar af ect in ALS with dextromethorphan/quinidine: a randomized trial. Neurology 2004;63:1364–70.

34. Sykes N, Thorns A. The use of opioids and sedatives at the end of life. Lancet Oncology. 2003;4:312–8.

35. Mitsumoto H, Bromberg M, Johnston W, Tandan R, Byock I, Lyon M, et al. Promoting excellence in end-ol ife care in ALS. Amyotroph Lateral Scler. 2005;6:145–54.

36. Gruis KL, Lechtzin N. Respiratory therapies for amyotrophic lateral sclerosis: A primer. Muscle Nerve. 2012;46:313–31.

37. Beauverd M, Mitchell JD, Wokke JHJ, Borasio GD. Recombinant human insulin-like growth factor I (rhIGF-I) for the treatment of amyotrophic lateral sclerosis/motor neuron disease. Co-

chrane Database of Systematic Reviews 2012, Issue 11. Art. No.: CD002064. DOI: 10.1002/14651858.CD002064.pub3.

38. Silani V, Cova L, Corbo M, Ciammola A, Polli E. Stem-cell therapy for amyotrophic lateral sclerosis. Lancet. 2004;364:200–2.

39. De Gruttola VG, Clax P, DeMets DL, et al. Considerations in the evaluation of surrogate endpoints in clinical trials. Summary of a National Institutes of Health workshop. Control Clin Trials

2001;22:485–502.

40. Tokuda T.Biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis.Brain Nerve. 2012 May;64(5):515-23.

41. Turck CW (Ed.). Biomarkers for Psychiatric Disorders. Springer. 2008. Chapter 6, page 130.

42. Sunderland T, Gur RE, Arnold SE. The use of biomarkers in the elderly: current and future challenges. Biol Psychiatr 2005;58: 272–6.

43. Ludolph AC, Sperfeld AD. Preclinical trials: an update on translational research in ALS. Neurodegener Dis 2005;2(34):215–9.

44. Riley CP, Adamec J: Discovery of new biomarkers of cancer using proteomics technology. Current Cancer Therapy Reviews 2010:6.

45. Ekegren T, Hanrieder J, Bergquist J. Clinical perspectives of high-resolution mass spectrometry-based proteomics in neuroscience: exemplii ed in amyotrophic lateral sclerosis biomarker

discovery research. J Mass Spectrom. 2008 May;43(5):559-71.

46. Ryberg H, Bowser R. Protein biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis. Expert Rev Proteomics. 2008 Apr;5(2):249-62.

47. Bowser R, Cudkowicz M, Kaddurah-Daouk R. Biomarkers for amyotrophic lateral sclerosis. Expert Rev Mol Diagn. 2006 May;6(3):387-98.

48. Steinacker P, Hendrich C, Sperfeld AD, Jesse S, von Arnim CAF, Lehnert S, et.al. TDP-43 in Cerebrospinal Fluid of Patients With Frontotemporal Lobar Degeneration and Amyotrophic Lateral

Sclerosis. Arch Neurol 2008 November;65(11):1481–7.

49. Noto Y, Shibuya K, Sato Y, Kanai K, Misawa S, Sawai S, Mori M, Uchiyama T, Isose S, Nasu S, Sekiguchi Y, Fujimaki Y, Kasai T, Tokuda T, Nakagawa M, Kuwabara S. Elevated CSF TDP-43 levels in

amyotrophic lateral sclerosis: specii city, sensitivity, and a possible prognostic value. Amyotroph Lateral Scler. 2011 Mar;12(2):140-3. Epub 2010 Dec 2.

50. Boylan KB, Glass JD, Crook JE, Yang C, Thomas CS, Desaro P, Johnston A, Overstreet K, Kelly C, Polak M, Shaw G. Phosphorylated neuroi lament heavy subunit (pNF-H) in peripheral blood

and CSF as a potential prognostic biomarker in amyotrophic lateral sclerosis. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2012 Oct 31. [Epub ahead of print]

51. Tortelli R, Ruggieri M, Cortese R, D’Errico E, Capozzo R, Leo A, Mastrapasqua M, Zoccolella S, Leante R, Livrea P, Logroscino G, Simone IL. Elevated cerebrospinal l uid neuroi lament light

levels in patients with amyotrophic lateral sclerosis: a possible marker of disease severity and progression. Eur J Neurol. 2012 Dec;19(12):1561-7.

52. A.D.A.M. Medical Encyclopedia. Amyotrophic lateral sclerosis. Last reviewed: 26 August 2012. Last accessed: 3 January 2013. Cited from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/

PMH0001708

Page 36: Cdk 204 Interna

357CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

TINJAUAN PUSTAKA

357

LAPORAN KASUS

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

PENDAHULUAN

Kanker payudara merupakan keganasan

yang paling sering diumpai pada wanita

dan merupakan keganasan penyebab

kematian terbanyak pada wanita.1 Kanker

payudara juga merupakan kanker yang

terbanyak ditemukan pada wanita hamil

dan menyusui,1,2 dengan angka kejadian 1

kasus dalam 3.000 kehamilan,3-6 peneliti lain

menyebutkan 3 dalam 10.000 kehamilan,2 dan

3% dari seluruh penderita kanker payudara

merupakan wanita hamil.2-4 Sekitar 7% wanita

penderita kanker payudara akan mengalami

kehamilan.3 Kanker payudara pada kehamilan

paling banyak ditemukan pada wanita yang

menunda kehamilan pada usia mencapai 30

sampai 40 tahunan.4 Usia terbanyak kanker

payudara dalam kehamilan pada 32 – 38

tahun.5-8

Kanker payudara pada kehamilan sering

ditemukan pada stadium lanjut. Ribeiro

dan Palmer melaporkan dari 88 pasien

kanker payudara dalam kehamilan, 19

pasien inoperabel, 69 pasien yang operabel

didapatkan 89% KGB (Kelenjar Getah Bening)

positif pada aksila ipsilateral. Holleb dan

Farrow melaporkan 72% KGB aksila positif dari

117 pasien, dibandingkan dengan hanya 40

– 50% KGB aksilla positif pada wanita kanker

payudara yang tidak hamil.1

ETIOLOGI

Penyebab kanker payudara secara pasti

belum diketahui.1,4 Kehamilan dan kanker

payudara merupakan dua kondisi biologis

yaitu jaringan berupa antigen yang ditolerir

oleh sistem imun tubuh. Belum ada bukti

bahwa kehamilan atau masa menyusui

Kanker Payudara dalam Kehamilan

Azamris

Bagian Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RS. Dr. M. Djamil,

Padang, Sumatera Barat, Indonesia

ABSTRAK

Kanker payudara merupakan keganasan yang paling sering dijumpai pada wanita dan merupakan keganasan terbanyak penyebab kematian

pada wanita, juga merupakan kanker yang terbanyak ditemukan pada wanita hamil dan menyusui, dengan angka kejadian 1 kasus dalam 3.000

kehamilan. Keterlambatan diagnosis kanker payudara pada kehamilan disebabkan karena perubahan parenkim dan peningkatan kandungan

air dalam payudara menyulitkan pemeriksaan klinis. Ultrasonograi dan mamograi dapat dilakukan dengan sedikit risiko pada perkembangan

fetus dilanjutkan dengan biopsi untuk menegakkan diagnosis. Pada kanker payudara stadium dini (I dan II) pada kehamilan trimester pertama,

dapat dilakukan modii ed radical mastectomy. Radiasi dilakukan setelah bayi lahir. Kemoterapi adjuvan tidak boleh diberikan pada trimester

pertama dan pada masa laktasi. Tindakan operasi dilakukan setelah ibu berhenti menyusui. Menyusui juga harus dihentikan bila dilakukan

kemoterapi. Dilaporkan 6 kasus kanker payudara dalam kehamilan selama 2 tahun di RS. Dr. M. Djamil Padang. Semua pasien berada pada

trimester ke III kehamilan. Semua kasus ditemukan pada stadium lanjut. Satu pasien dengan metastasis di paru. Lima pasien menjalani modii ed

radical mastectomy. Hanya dua pasien yang dapat dikemoterapi setelah partus. Pada 1 pasien anak lahir prematur. Satu pasien datang satu hari

setelah partus dan mastektomi dilakukan pada hari ke tujuh pasca persalinan.

Kata kunci: kanker payudara, kehamilan, mastektomi

ABSTRACT

Breast cancer is the most frequent cancer and cause of cancer death in women, and is also the most common cancer in pregnant and lactating

women, occurs in 1 of every 3,000 pregnancies, Breast changes during pregnancy make clinical assessment dii cult. Cancers are usually

detected at later stage. Ultrasound and a mammogram can be performed with little risk to the fetus. Biopsy is important for diagnosis. In the i rst

trimester of the pregnancy modii ed radical mastectomy is treatment of choice. Conservative surgery with radiation therapy has been used for

breast preservation. Adjuvant chemotherapy and radiation therapy should be avoided during the i rst trimester due to the risk of teratogenicity.

Chemotherapy may be given after the i rst trimester. Breast feeding should be stopped before surgery to make the breast smaller and lessen the

blood l ow. It should also be stopped if chemotherapy is planned. Six cases were reported in two years at dr. M. Djamil Hospital Padang. All cases

were in late stage. One patient has lung metastasis. Modii ed radical mastectomy was performed in i ve patients. Two patients had adjuvant

chemotherapy post partum. One patient had premature labour. One patient came i rst day after labour, and mastectomy was performed on

seventh day post partum. Azamris. Breast Cancer in Pregnancy.

Key words: breast cancer, pregnancy, mastectomy

Alamat korespondensi email: [email protected]

Page 37: Cdk 204 Interna

358

LAPORAN KASUS

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

merupakan etiologi atau menyebabkan

progresivitas kanker payudara.1,4 Perubahan

hormonal selama kehamilan seperti

peningkatan kortikosteroid sirkulasi akan

menyebabkan imunosupresi. Perubahan ini

secara teoritis mempercepat pertumbuhan

tumor, tetapi bukan penyebab utama.

Diperkirakan kanker payudara telah terjadi

beberapa bulan bahkan beberapa tahun

sebelum konsepsi kehamilan.

GAMBARAN KLINIS

Kanker payudara pada kehamilan sulit

didiagnosis karena adanya pembesaran

payudara selama kehamilan dan masa

menyusui.2-4 Selama kehamilan terjadi

peningkatan hormon estrogen dan

progesteron, payudara menjadi kencang

dan teraba multinodular. Massa pada

payudara menjadi sulit diraba dan sering

diragukan dengan hipertrofi payudara.1

Kelenjar Montgomery di sekitar areola

menjadi hitam dan areola sendiri akan

menjadi lebih gelap.4 Keterlambatan

diagnosis dilaporkan 5 sampai 15 bulan

sejak keluhan pertama kali sampai diagnosis

ditegakkan,1,5-,8 mengakibatkan stadium

klinis saat diagnosis ditegakkan lebih tinggi

dibandingkan dengan pasien tidak hamil.5-8

Mungkin hal tersebut merupakan alasan

mengapa kanker payudara pada kehamilan

dan laktasi memilliki prognosis buruk.1,2,4

Abnormalitas payudara selama kehamilan

dapat diperiksa dengan sonografi atau

mamografi yang dilakukan dengan memakai

pelindung fetus. 1,5-8

DIAGNOSIS

Saat pertama pasien datang berobat,

pemeriksaan payudara dengan seksama

sangat perlu dilakukan sebelum payudara

membesar dan sulit diperiksa. Dokter

dan pasien sering gagal menentukan

perkembangan serius pada payudara

selama kehamilan.1,2,4 Xeroradiograi tidak

begitu membantu menunjukkan perubahan

parenkim. Peningkatan densitas air payudara

menurunkan kapasitas mammogram.1,2

Pajanan radiasi pada janin harus dihindari

dengan melindungi abdomen secara tepat.2,3,4

Dalam penelitian pemeriksaan mamograi

terhadap 368 wanita hamil, tidak tampak

kerusakan janin. Pada wanita dengan massa

yang teraba dan berbatas tegas, mamogram

hanya sedikit memengaruhi terapi, sebaiknya

tidak dilakukan.1,4

Evaluasi sebaiknya dimulai dengan FNAB

untuk membedakan lesi solid dan kistik, dapat

dilakukan dengan anestesi lokal.1,2 Jika biopsi

dilakukan selama laktasi, beberapa ahli bedah

cenderung mensupresi laktasi preoperatif

menggunakan bromokriptin. Risiko i stula

sangat rendah untuk lesi perifer tetapi dapat

menjadi masalah pada lesi sentral dan dalam.1

Spektrum histopatologi pasien hamil sama

dengan yang ditemukan pada pasien tidak

hamil, penemuan karsinoma tampaknya

sama dengan sampel massa payudara pada

populasi tidak hamil. Byrd et al. menemukan

22% sampel biopsi payudara pada wanita

hamil menunjukkan keganasan dibandingkan

dengan 19% pada seluruh populasi. Karsinoma

inl amatori dikatakan lebih sering terjadi

selama kehamilan tetapi tidak ditunjang oleh

penelitian modern.1

Reseptor hormon steroid sulit didapat pada

jaringan kanker payudara selama kehamilan

kecuali dengan metode khusus. Kehamilan

dapat menurunkan kadar reseptor estrogen

dan progesteron yang terdapat pada fraksi

sitosol kanker payudara dan menyebabkan

hasil negatif palsu. Kadar estrogen darah

yang tinggi pada kehamilan menyebabkan

translokasi reseptor menuju nukleus dan

menempati semua reseptor sitoplasmik,

sehingga tidak ada yang tersisa untuk assay.

Selama kehamilan, estrogen yang tidak terikat

harus disingkirkan dengan terapi sitosol

dengan dextran. Assay kemudian dilakukan

untuk mendeteksi reseptor estrogen yang

terpakai dalam sitosol dan nukleus. Tidak ada

data mengenai reseptor estrogen pada kanker

payudara selama kehamilan yang memiliki arti

prognostik.1-3

Tidak terdapat bukti biopsi payudara me-

nimbulkan risiko yang bermakna untuk ibu

dan bayi sekalipun dengan anestesi umum.

Hanya terdapat satu kematian janin dari 134

kasus biopsi payudara dengan anestesi umum

pada wanita hamil karena ketidaktahuan

keadaan hamil.1,2

EVALUASI

Setelah diagnosis kanker payudara di-

tegakkan harus dilakukan staging sebelum

keputusan terapi diambil. Tes fungsi hati,

kalsium dan evaluasi CEA dapat membantu

tapi tidak memberikan diagnosis dei nitif atau

lokasi metastasis.1,4 Beberapa kepustakaan

menyebutkan bone scanning dapat dilakukan

bila didapatkan nyeri tulang pada kehamilan

setelah 25 – 30 minggu, tetapi bone scanning

tidak menentukan keputusan terapi.1 Pasien

dengan dei sit neurologis mungkin lebih baik

menjalani CT Scan dan hepar dapat dievaluasi

dengan ultrasonograi .1

Kanker payudara pada kehamilan sering

ditemukan pada stadium lanjut karena

keterlambatan diagnosis. Jackisch et al..

melaporkan 17% pasien terdiagnosis pada

stadium I, 33% pada stadium II, 17% stadium

III dan 33% stadium IV, rata-rata ukuran tumor

2,9 cm. Skrining klinis kanker payudara perlu

menjadi bagian dari program masa prenatal,

dan biopsi payudara merupakan skrining

yang penting.2

TERAPI

Selama trimester pertama, modii ed radical

mastectomy merupakan terapi pilihan. Operasi

breast conserving (BCS) seperti lumpektomi

dengan terapi radiasi dihindari karena pajanan

radiasi dosis tinggi pada janin. Risiko radiasi

paling tinggi pada trimester pertama dan

dapat menimbulkan organogenesis,2 atau

malformasi kongenital terutama mikrosefali.5

Risiko radiasi tidak berkurang walaupun fetus

dilindungi dengan pelindung radiasi. Pilihan

mengakhiri kehamilan jika radiasi sangat di-

perlukan, namun tidak ada bukti peningkatan

survival dengan mengakhiri kehamilan.1-4 BCS

dapat menjadi pilihan terapi setelah trimester

ketiga sebab radioterapi dapat diberikan

setelah bayi lahir. Dalam kehamilan, jika pada

operasi ditemukan metastasis pada KGB aksila

dianjurkan kemoterapi.1,2

Kemoterapi selama kehamilan trimester

pertama memiliki risiko teratogenik.

Antimetabolit seperti metotreksat me-

nyebabkan abortus pada trimester pertama.

Alkylating agent dan antimetabolit dosis

rendah dapat menimbulkan malformasi.

Tidak ada risiko abnormalitas morfologi

yang signii kan setelah trimester pertama.

Paparan kemoterapi pada trimester ketiga

hanya menyebabkan peningkatan insidens

perlambatan pertumbuhan intrauterin dan

persalinan prematur.2 Efek jangka lama pada

neonatus tidak diketahui. Perlu diwaspadai

abnormalitas neurologi, disfungsi gonad,

dan malignansi pasca kelahiran. Keputusan

pemberian kemoterapi harus dijelaskan

dengan seksama kepada pasien.2

Page 38: Cdk 204 Interna

359

LAPORAN KASUS

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

(74% memiliki kelenjar positif dibandingkan

dengan 37% pada wanita tidak hamil) (tabel

2).1

Sebagian besar bukti mendukung pendapat

bahwa kehamilan tidak memperburuk

penyakit tapi menutupi penyakit sehingga

metastasis berlanjut. Diperlukan peningkatan

kewaspadaan dokter saat pemeriksaan selama

kehamilan.1,9,11

Valentgas mendapatkan bahwa wanita hamil

dengan kanker payudara invasif stadium I dan II

yang diterapi, mempunyai risiko kekambuhan

yang lebih rendah.4 Petrek mengevaluasi 56

pasien kanker payudara yang hamil dan 166

pasien kanker payudara yang tidak hamil

dan mendapatkan 5 dan 10-year survival rate

yang sama. Zemlickis et al. membandingkan

102 pasien hamil dan 269 pasien tidak hamil,

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan

survival rate yang signii kan.2,8,10 Tetapi Tretli et

al. berdasarkan penelitian retrospektif pada

20 pasien kanker yang hamil mendapatkan

survival rate signii kan lebih buruk pada

wanita hamil, dengan membandingkan

umur dan stadium saat didiagnosis.2 Hampir

semua laporan menyebutkan bahwa pasien

hamil ditemukan pada stadium lanjut saat

didiagnosis, namun ditinjau menurut stadium

penyakit didapatkan survival rate yang sama

antara pasien hamil dan pasien yang tidak

hamil.2

LAPORAN KASUS

Ditemukan 6 kasus (3,20%) kanker payudara

pada kehamilan dari 187 pasien kanker

payudara selama 2 tahun di RS. Dr. M. Djamil

Padang. Semua kasus ditemukan pada stadium

lanjut. Satu hari pasca melahirkan, satu pasien

dilakukan modii ed radical mastectomy di

hari ke tujuh, satu pasien 3 minggu pasca

melahirkan, sudah bermetastasis jauh ke

kedua paru.

Kasus Pertama

Wanita, umur 33 tahun, didiagnosis kanker

payudara T4 N

1 M

0 stadium IIIB, dengan

kehamilan pada trimester ketiga. Dilakukan

modii ed radical mastectomy, bayi lahir hidup,

pasien tidak pernah kontrol untuk terapi

lanjutan.

Kasus Kedua

Wanita, umur 32 tahun, didiagnosis kanker

payudara T4 N

1 M

0 stadium III dengan

Table 1 Treatment Results in Operable Breast Cancer in Pregnancy or Lactation

Penulis - Tahun

Jumlah Pasien5-Year Survival Rate

Benjolan positif (%) Benjolan Negatif (%) Keseluruhan (%)

Peters, 1962

Holleb and Farrow, 1962

Rissanen, 1968

Donegan, 1978

Ribeiro et al., 1986

Total

60

119

33

24

121

357

23

17

36

31

25

26*

62

65

80

86

79

74*

37

30

43

48

37

39*

*Rerata persentase

Sumber: Hoover HC. Carcinoma of the Breast in Pregnancy and Lactation. In: Special Clinical Problem in Breast Cancer

Table 2 Stage of Breast Cancer at Diagnosis in Patients Younger than 40 years

StadiumJumlah (%)

Hamil (N=19) Tidak Hamil (N=155)

I (Benjolan negatif )

II (Benjolan positif )

III (distant disease)

4 (21)

14 (74)

1 (5)

84 (54)

57 (37)

14 (9)

Sumber: Hoover HC. Carcinoma of the Breast in Pregnancy and Lactation. In: Special Clinical Problem in Breast Cancer

Table 3 Five-year Survival Rate of Pregnant and Nonpregnant Women Younger than 40 years

StadiumSurvival No. (%)

Hamil Tidak Hamil Nilai p

I

II

III

Overall

4/4

7/14

0/1

11/19

(100)

(50)

(0)

(57)

59/84

27/57

1/14

87/155

(70)

(48)

(7)

(56)

0.57

1.00

1.00

1.00

Sumber: Hoover HC. Carcinoma of the Breast in Pregnancy and Lactation. In: Special Clinical Problem in Breast Cancer

TERAPI MENURUT STADIUM

Stadium Dini (Stadium I dan II)

Pembedahan dianjurkan sebagai terapi pilihan

utama kanker payudara pada kehamilan.

Radiasi tidak diberikan karena sangat

berpotensi mengganggu perkembangan

janin. Terapi radiasi diberikan setelah

melahirkan. Kemoterapi dapat diberikan

setelah trimester pertama, hal ini tidak

menimbulkan risiko tinggi malformasi janin,

tetapi mungkin menyebabkan kelahiran

prematur dan berat badan lahir rendah.1,4,8

Penelitian terapi hormonal saja atau kombinasi

dengan kemoterapi pada kanker payudara

selama kehamilan sangat terbatas. Radioterapi

bila diperlukan, harus ditangguhkan sampai

setelah bayi lahir, karena mengganggu

perkembangan janin selama kehamilan. 1,4,8

Stadium Lanjut (Stadium III dan IV)

Radioterapi pada trimeter pertama harus

dihindari. Kemoterapi dapat diberikan setelah

trimester pertama. Mengingat ibu mungkin

memiliki harapan hidup terbatas (5-year

survival rate pasien kanker payudara pada

kehamilan stadium II dan IV adalah 10%), dan

kemungkinan besar kerusakan janin akan

terjadi selama terapi pada trimester pertama,

kelanjutan kehamilan harus didiskusikan,

tetapi terapi aborsi tidak memperbaiki

prognosis.1,4,8

PROGNOSIS

Kanker payudara pada kehamilan dan laktasi

merupakan kasus jarang dijumpai. Penelitian

retrospektif kebanyakan hanya melaporkan

sedikit pasien sehingga sulit dianalisis. Hampir

seluruhnya mempertimbangkan kesamaan

antara laktasi dan kehamilan. Wanita hamil

dan menyusui yang didiagnosis lebih awal

dengan KGB aksila negatif memiliki hasil terapi

yang mirip dengan wanita tidak hamil (Tabel

1). Nugent dan O’Connell membandingkan

distribusi stadium penyakit kanker payudara

pada wanita hamil dengan wanita yang

lebih muda dari 40 tahun yang tidak hamil.

Kecenderungan menunjukkan stadium

penyakit yang lebih tinggi pada wanita hamil

Page 39: Cdk 204 Interna

360

LAPORAN KASUS

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

kehamilan trimester ketiga. Dilakukan modii ed

radical mastectomy tetapi pasien tidak kontrol

lagi.

Kasus Ketiga

Wanita, umur 35 tahun, didiagnosis kanker

payudara lobular sinistra T4 N

1 M

0 stadium

III, dengan kehamilan trimester ketiga.

Anak lahir hidup, dilakukan modii ed radical

mastectomy. Kondisi pasien terus menurun

setelah melahirkan dan meninggal sebelum

pengobatan lebih lanjut.

Kasus Keempat

Wanita, umur 38 tahun, didiagnosis kanker

payudara T4 N

1 M

0 stadium IIIB, dengan

kehamilan trimester ketiga. Anak lahir hidup.

dilakukan modii ed radical mastectomy

dilanjutkan dengan kemoterapi.

ada keluhan dan gejala selama kehamilan.

Keterlambatan diagnosis merupakan pe-

nyebab utama meningkatnya stadium

dan menurunnya angka harapan hidup.

Prognosis kanker payudara pada kehamilan

dibanding dengan tanpa kehamilan sama.

Massa payudara harus dibiopsi. Standar

terapi kanker payudara selama trimester

pertama adalah MRM. Lumpektomi

dan diseksi kelenjar aksila yang diikuti

dengan radiasi setelah melahirkan. Pilihan

kemoterapi dilakukan pada trimester kedua

dan ketiga, setelah diberi penjelasan rinci

tentang manfaat dan efek samping yang

akan timbul. Terminasi kehamilan tidak

memperbaiki prognosis. Ditemukan enam

kasus kanker payudara stadium lanjut (IIIB)

pada kehamilan trimester ketiga. Satu

pasien pada stadium IV.

Tabel 4 Pasien Kanker Payudara pada Kehamilan di RS. Dr. M. Djamil Padang 2004-2005

No Umur Stadium Kehamilan Trimester Node Operasi Histopatologi Sitologi Kemoterapi Adjuvan Anak Pasien

1 33 III III + N1 MRM Invasive Ductal Ca. Mammae Ca. Mammae - Hidup Hidup

2 32 III III + N1 MRM Lobular Ca. Mammae Ca. Mammae Kemoterapi CAF Hidup Hidup

3 35 III III + N1 MRM Invasive Ductal Ca. Mammae Ca. Mammae - Hidup Meninggal

4 38 III III + N1 MRM Invasive Ductal Ca. Mammae Ca. Mammae Kemoterapi CAF Hidup Hidup

5 34 III Pasca melahirkan 1 hari + N1 MRM Invasive Ductal Ca. Mammae Ca. Mammae - Hidup Hidup

6 35 IV

Metastasis paru

Pasca melahirkan 3

minggu

+ N1 - - Ca. Mammae - Hidup Hidup

DAFTAR PUSTAKA

1. Hoover HC Jr. Carcinoma of the breast in pregnancy and lactation. In: Special Clinical Problem in Breast Cancer. Philadelphia. WB. Saunders Co. 2001.p1034–40.

2. Fiorica JV. Breast cancer and pregnancy, in: Marchant DJ. Breast Disease. Philadelphia. W.B. Saunders Co. 1997.p241-6.

3. Helewa M, Levesque P, Provencher D. Breast cancer, pregnancy, and breastfeeding. SOGC Clinical Practice Guideline. (Internet) 2002 (Cited 2013 April 18). Available from: http://sogc.org/

wp.content/upload/2013/01/111-CPG-February 2002.pdf.

4. Breast cancer and pregnancy. http://www.imaginis.com/breasthealth/lump. asp.

5. Hoover HC Jr. Breast cancer during pregnancy and lactation. Surg Clin North Am 70 (5): 1151–63.

6. Breast cancer and pregnancy. National Cancer Institute. http://www.meb.uni-bonn.de/cancernet/105380.

7. Petrek JA, Dukof R. Rogatko A: Prognosis of pregnancy-associated breast cancer. Cancer 1991:67(4): 69–72.

8. Petrek JA. Pregnacy safety after breast cancer. Cancer 1994:74(1 suppl):528–31.

9. Haagensen. Result with Halsted’s Radical Mastectomy, in: Disease of the Breast. 3rd ed. 1986.p.903 – 31.

10. Petrek JA. Breast Cancer and Pregnancy. In: Disease if the Breast. 1998.p.883 – 92.

11. Handerson B. et al..Epidemiology and Screening. In: Textbook of Breast Cancer.1998.p.1–16.

Kasus Kelima

Wanita, umur 34 tahun didiagnosis kanker

payudara T4 N

1 M

0. Pasca melahirkan 1 hari,

hari ke tujuh dilakukan modii ed radical

mastectomy. Anak lahir hidup.

Kasus Keenam

Seorang wanita, umur 35 tahun, didagnosa

dengan kanker payudara T4 N

1 M

1 (kedua paru).

3 minggu pasca melahirkan. Tidak mungkin

untuk dilakukan tindakan dan pengobatan,

karena keadaan sangat jelek.

SIMPULAN

Tiga persen dari kanker payudara

didiagnosis selama kehamilan. Perhatian

khusus dan pemeriksaan payudara yang

teliti harus dilakukan pada pasien pada saat

kunjungan prenatal pertama, terutama bila

Page 40: Cdk 204 Interna

362

BERITA TERKINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Beberapa faktor yang mempengaruhi

perubahan neurohumoral, imunologik,

dan metabolik sebuah prosedur

pembedahan antara lain adalah derajat

cedera, lama waktu pembedahan, volume

hilangnya darah intraoperatif, derajat nyeri

pascaoperasi, dan teknik anestesi yang

digunakan selama pembedahan. Respons

stres terhadap pembedahan sangat berkaitan

dengan outcome pembedahan tersebut,

khususnya pada pembedahan mayor.

Perbaikan outcome dapat dicapai dengan

menurunkan respons stres, sehingga terdapat

penurunan lama rawat inap di rumah sakit

(RS) dan penurunan biaya perawatan. Oleh

karena itu, pemilihan teknik anestesi stress-

free sangat penting, yang dapat mengurangi

aktivasi respons neuroendokrin, inl amasi, dan

imun. Kebanyakan gas anestesi inhalasi dapat

memodulasi respons endokrin pada saat

pembedahan.

Sebuah studi dilakukan untuk mem-

bandingkan respons stres pada penggunaan

anestesi inhalasi sevol urane dan desl urane.

Studi dilakukan terhadap 50 pasien wanita yang

akan menjalani pembedahan laparoskopi

untuk kista ovarium dengan anestesi inhalasi.

Secara acak pasien diberi desl urane (DES) atau

sevol urane (SEVO). Kedua kelompok menerima

bolus fentanyl 3 μg/kgBB dan infus remifentanil

15 μg/kgBB/mnt. Beberapa parameter yang

dinilai kadar noradrenaline, adrenaline, ACTH

(adenocorticotropic hormone), cortisol, IL-6,

glukosa, dan CRP (C-reactive protein).

Berikut hasil studi tersebut:

1. Kadar adrenaline dan noradrenaline

meningkat pada kedua kelompok segera

setelah pembedahan, tetapi peningkatan

lebih tinggi secara bermakna pada kelompok

DES jika dibandingkan dengan kelompok

SEVO (p <0,001).

2. Penurunan cortisol lebih bermakna pada

kelompok DES pada T2 (30 menit setelah

dimulainya pembedahan) (p=0,007) dengan

peningkatan ACTH yang tidak bermakna.

3. Penurunan kortisol tidak bermakna pada

kelompok SEVO, tetapi peningkatan ACTH

bermakna (p <0,001).

4. 4 jam pascaoperasi, kadar adrenaline,

noradrenaline, cortisol, dan ACTH kembali ke

basal.

5. Perbedaan kadar IL-6, glukosa, dan CRP,

serta derajat nyeri tidak bermakna pada kedua

kelompok.

keterangan:

• T1 = Basal

• T2 = 30 menit setelah pembedahan

dimulai

• T3 = 30 menit setelah pembedahan

selesai

• T4 = 2 jam pascaoperasi

• T5 = 4 jam pascaoperasi

Simpulannya, pelepasan catcholamine yang

lebih tinggi karena pemberian anestesi inhalasi

dengan desl urane dapat menimbulkan

efek samping pada pasien dengan kondisi

penyakit kardiovaskuler. Pada pembedahan

dengan stres minimal, pemberian desl urane

memiliki kontrol respons cortisol dan ACTH

intraoperatif yang lebih baik dibandingkan

dengan sevol urane. Pemberian desl urane

direkomendasikan untuk diberikan pada

pasien dengan diabetes atau gangguan

ACTH-cortisol. � (MAJ)

REFERENSI:

1. Marana E, Scambia G, Maussier ML, Parpaglioni R, Ferrandina G, Meo F, et al. Neuroendocrine stress response in patients undergoing benign ovarian cyst surgery by laparoscopy, minilapa-

rotomy, and laparotomy. J Am Assoc Gynecol Laparosc. 2003;10(2):159-65.

2. Marana E, Russo A, Colici S, Polidori L, Bevilacqua F, Viviani D, et al. Desl urane versus sevol urane: A comparison on stress response. Minerva Anestesiol. 2012. [Epub ahead of print].

Respons Stres Anestesi Inhalasi Desflurane vs Sevoflurane

Page 41: Cdk 204 Interna

364

BERITA TERKINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Studi terbaru menunjukkan pemberian

allopurinol dosis lebih tinggi pada awal

terapi meningkatkan risiko terjadinya

allopurinol hypersensitivity syndrome (AHS),

efek samping yang jarang tetapi berpotensi

fatal yang dapat terjadi pada awal terapi

allopurinol.

Menurut Dr. Lis K Stamp (MBChB, PhD, FRACP,

University of Otago, Christchurch, New

Zealand) dkk, AHS ditandai dengan ruam

yang bersifat fatal, seperti pada sindrom

Stevens-Johnson atau nekrolisis epidermal

toksik, disertai eosinoi lia, leukositosis, demam,

hepatitis, dan gagal fungsi hati. AHS dikaitkan

dengan tingkat mortalitas yang cukup

tinggi (27%) dan hanya bisa dirawat dengan

diagnosis dini, penghentian allopurinol, dan

perawatan suportif.

Pasien wanita, lanjut usia, dengan gangguan

fungsi ginjal, menerima diuretik, dan mereka

yang baru saja memulai penggunaan

allopurinol adalah pasien dengan risiko

tertinggi.

Dr. Stamp dkk. memulai studi ini karena adanya

laporan bahwa pasien dengan gangguan

fungsi ginjal yang menerima allopurinol dosis

penuh (≥300 mg/hari) berisiko mengalami

AHS dan pasien tersebut mengalami

penurunan ekskresi oxypurinol, metabolit aktif

dari allopurinol. Sedangkan guideline yang ada

saat ini tidak mencantumkan isu dosis awal

vs dosis pemeliharaan. Tujuan studi ini adalah

untuk menentukan hubungan antara dosis

awal dengan dosis allopurinol pada waktu

reaksi AHS timbul.

Peneliti melakukan studi case control

retroprospektif pada pasien gout yang

mengalami AHS antara Januari 1998 –

September 2010. Mereka mencocokkan

masing-masing 54 pasien gout dengan AHS

dengan 3 pasien gout kontrol yang diberi

allopurinol tetapi tidak mengalami AHS.

Pasien kontrol dicocokkan jenis kelamin,

dosis diuretik saat mulai diberi allopurinol,

umur, dan estimated glomerular i ltration rate

(eGFR). Pasien diidentii kasi di 5 wilayah besar

New Zealand, yang merepresentasikan 3 juta

penduduk. Analisis ini menunjukkan risiko AHS

meningkat jika dosis awal allopurinol (yang

disesuaikan dengan eGFR) ditingkatkan.

Pasien dalam kuartil tertinggi dosis awal per

GFR 23 kali lebih mungkin untuk mengalami

AHS, dosis awalnya adalah sebesar 1,5 mg/

unit atau lebih dibanding eGFR (mg/mL/

menit) dalam 91% pasien AHS, tetapi hanya

pada 36% pasien gout yang tidak mengalami

AHS.

Dr. Stamp mengatakan bahwa pasien

yang memulai allopurinol dalam creatinine

clearance–based dose atau lebih memiliki risiko

lebih tinggi untuk mengalami AHS. Dosis awal

1,5 mg/mL eGFR didasarkan sebuah receiver

operator analysis, menggunakan semua data

dan clinically sensible berdasar ukuran tablet.

Hampir semua kasus AHS (90%) terjadi dalam

180 hari pertama perawatan allopurinol,

dengan waktu median 30 hari dari awal

pemberian allopurinol.

Dr. Stamp juga mengatakan bahwa sebaik-

nya allopurinol diberikan dalam dosis awal

rendah, kemudian ditingkatkan perlahan per

bulan (start low, go slow). Peningkatan dosis

allopurinol yang perlahan mungkin dapat

mencegah eksaserbasi gout.

Robert Terkeltaub (MD, interim chief of

the Division of Rheumatology, Allergy, and

Immunology at the University of California, San

Diego) menambahkan bahwa simpulan studi

Dr. Stamp ini sejalan dengan rekomendasi

US Food and Drug Administration dan

European League Against Rheumatism yang

menganjurkan allopurinol diberikan dalam

dosis awal yang rendah, kemudian perlahan

dititrasi naik.

Simpulannya, pemberian allopurinol dalam

dosis lebih tinggi pada awal terapi meningkat-

kan risiko terjadinya allopurinol hypersensitivity

syndrome (AHS). Sebaiknya allopurinol diberi-

kan pada dosis rendah pada awal terapi dan

dititrasi naik secara perlahan. � (AGN)

Dosis Awal Allopurinol yang Tinggi Meningkatkan Risiko Allopurinol Hypersensitivity Syndrome

REFERENSI:

1. Kelly JC. Starting allopurinol at higher dose increases risk for AHS. Medscape [Internet] 2012 [Cited 2012 Dec 31]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/768403

2. Stamp LK, Taylor WJ, Jones PB, Dockerty JL, Drake J, Frampton C, et al. Starting dose is a risk factor for allopurinol hypersensitivity syndrome: A proposed safe starting dose of allopurinol.

Arthritis Rheum. 2012;64:2529-36.

Page 42: Cdk 204 Interna

366

BERITA TERKINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Pasien pressure ulcer memerlukan biaya

pengobatan yang tinggi, sehingga pada

beberapa rumah sakit di USA menjadi

salah satu kondisi yang perlu diperhatikan. Di

US, UK, dan Canada, angka kejadian pressure

ulcer mencapai 4,7-32,1% di rumah sakit, 4,4-

33% di komunitas masyarakat, dan 4,6-20,7%

di nursing home.

Pressure ulcer merupakan cedera yang

berbentuk luka pada kulit, terjadi umumnya

karena adanya tekanan pada daerah kulit

tersebut, menyebabkan berkurangnya aliran

darah sehingga mengakibatkan kematian

sel-sel kulit dan jaringan di area tersebut.

Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan

terjadinya pressure ulcer adalah pengguna

kursi roda atau pasien yang tidak dapat

berpindah dari tempat tidur untuk jangka

waktu lama, pasien lanjut usia, pasien lumpuh

misalnya pasien cedera tulang belakang atau

cedera kepala, pasien diabetes atau jantung,

dan pasien malnutrisi.

Pressure ulcer dapat secara bermakna

menurunkan QOL (quality of life) karena nyeri

yang ditimbulkan, kualitas pengobatan, lama

rawat inap, dan juga penyebab kematian

dini. Selain itu, beban biaya pengobatan

yang harus dikeluarkan juga cukup besar

dan umumnya pasien dengan pressure ulcer

sudah tidak dapat melakukan aktivitas sehari-

hari seperti biasa (normal). Selain beban

terhadap individu, beberapa negara dengan

layanan kesehatan yang baik seperti UK,

USA, dan Australia pun merasakan beban

yang meningkat dalam biaya pengobatan; di

USA total biaya pengobatan tahunan untuk

pressure ulcer mencapai US$3 Milyar.

Dengan meningkatnya jumlah penduduk

lanjut usia, maka angka kejadia pressure ulcer

pun akan terus meningkat. Oleh karena itu, di-

perlukan intervensi khusus untuk mengurangi

angka kejadian dan juga menurunkan biaya

pengobatan untuk pressure ulcer.

Sebuah studi di Jepang menganalisis peranan

intervensi nutrisi, khususnya nutrisi enteral,

memiliki dampak yang baik terhadap angka

kejadian pressure ulcer dan juga menurunkan

biaya pengobatan. Studi ini dilakukan

terhadap 60 pasien pressure ulcer derajat III-IV

yang bed-ridden. Pasien dibagi secara acak dan

menerima intervensi nutrisi khusus (Kelompok

EN) atau nutrisi konvensional (Kontrol). Kedua

kelompok diberi nutrisi secara tube feeding.

Jenis nutrisi yang digunakan pada kelompok

EN adalah nutrisi enteral dengan densitas

1,0 Kkal/mL dan distribusi kalori dari protein

sebesar 18%. Selain itu, juga mengandung

0,64 Zn dan 125 μg Cu.

Berikut hasil studi tersebut:

1. PUD (pressure ulcer days) secara bermakna

lebih rendah pada kelompok EN jika

dibandingkan dengan kelompok kontrol

(p<0,05).

2. Perbaikan pada QALY (quality-adjusted

life-years) secara bermakna lebih baik pada

kelompok EN jika dibandingkan dengan

kelompok kontrol (p<0,05).

3. Biaya pengobatan secara bermakna lebih

minimal pada kelompok EN jika dibandingkan

dengan kelompok kontrol (p <0,05).

Simpulannya, pemberian intervensi nutrisi

seperti nutrisi enteral dapat secara bermakna

memperbaiki kondisi klinis pasien pressure

ulcer, serta juga dapat menurunkan biaya

pengobatan jika dibandingkan dengan

kontrol. � (MAJ)

REFERENSI:

1. A.D.A.M Medical Encyclopedia. Pressure ulcer [Internet]. 2012 [cited 2012 Dec 21]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/ H0004443/.

2. Hisashige A, Ohura T. Cost-ef ectiveness of nutritional intervention on healing of pressure ulcers. Clin Nutr. 2012;31(6):868-74.

Intervensi Nutrisi Enteral pada Pasien dengan Pressure Ulcer Menurunkan Biaya Pengobatan

Figure Prevalence curve for pressure ulcers

0.1

.2

.3

.4

.5

.6

.7

.8

.9

1.0

20 40 60

Days

Observation Follow-up

Intervention

Control

Prevalence of

pressure ulcers

80 100

Page 43: Cdk 204 Interna

368

BERITA TERKINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Hallux valgus (HV) merupakan

deformitas pada kaki yang ber-

langsung progresif. Meningkatnya

derajat penyakit HV sering dikaitkan dengan

keadaan osteoartritis (OA). Menurut sebuah

studi, HV terjadi pada kurang lebih 23%

dewasa dan tata laksana yang umumnya

dilakukan untuk memperbaiki HV adalah

dengan prosedur pembedahan.

Tata laksana nyeri adalah bagian yang

penting dalam perawatan pascaoperasi. Tata

laksana nyeri yang baik dengan konsumsi

analgesik yang adekuat dapat mempercepat

mobilitas, lama rawat di rumah sakit, dan juga

menurunkan risiko morbiditas. Dari sebuah

survei yang dilakukan didapatkan hampir 80%

pasien yang menjalani pembedahan ortopedi

mengalami nyeri derajat sedang hingga

berat. Dalam Tata laksana nyeri, umumnya

pemberian obat analgesik nonopioid (contoh:

paracetamol) diberikan secara tunggal atau

dikombinasikan dengan golongan opioid

(contoh: morphine).

Propacetamol merupakan bentuk prodrug

paracetamol yang secara cepat dihidrolisis

dalam darah oleh enzim esterase untuk

diubah menjadi paracetamol. Beberapa studi

menunjukkan 2 g propacetamol intravena

secara bioekuivalen sebanding dengan 1 g

paracetamol intravena. Propacetamol infus

merupakan sediaan intravena pertama

untuk paracetamol infus yang dahulu sering

digunakan sebagai salah satu regimen untuk

tata laksana nyeri.

Sebuah studi acak, tersamar ganda, dan

multisenter dengan kontrol plasebo dilakukan

terhadap 323 pasien yang menjalani

pembedahan HV untuk mengetahui ei kasi

propacetamol IV vs paracetamol oral. Pasien

secara acak dibagi menjadi 3 kelompok dan

diberi 2 g propacetamol IV (setara dengan

1 g paracetamol IV – Kelompok PR), 1 g

paracetamol oral (Kelompok PA), dan plasebo

(sediaan oral dan IV – kontrol). Efek analgesik

diukur dengan 5-point verbal scale selama 5

jam pascaoperasi.

Berikut hasil studi tersebut:

1. Kelompok PR dan PA secara bermakna

lebih superior dalam hal tata laksana nyeri jika

dibandingkan kontrol (p <0,05).

2. PR secara bermakna memiliki penurunan

nyeri lebih baik dibandingkan PA pada T30 (30

menit pascaoperasi) sampai T4 jam (p <0,01).

3. Secara umum PR memberikan ei kasi

lebih baik dan efek analgesik lebih lama secara

bermakna dibandingkan PA dan kontrol (p

<0,05).

4. Efek tidak diinginkan dijumpai pada 3

kasus di kelompok PR (nyeri pada tempat

suntikan, sakit kepala, dan muntah), 6 kasus di

kelompok PA (mual, tremor, nyeri pada tempat

suntikan, dan malaise), 1 kasus di kelompok

kontrol (nyeri pada tempat suntikan).

Simpulannya, propacetamol 2 g infus intravena

yang sebanding dengan paracetamol 1 g infus

intravena secara bermakna memiliki ei kasi

lebih baik dan efek analgesik lebih lama jika

dibandingkan dengan dosis yang sama pada

sediaan oral. � (MAJ)

Paracetamol IV Memiliki Ei kasi Analgesik Lebih Baik Dibandingkan Dosis Oral

REFERENSI:

1. Nix SE, Vicenzino BT, Smith MD. Foot pain and functional limitation in healthy adults with hallux valgus: A cross-sectional study. BMC Musculoskelet Disord. 2012;13(1):197-218.

2. Sinatra RS, Jahr JS, Reynolds LW, Viscusi ER, Groudine SB, Payen-Champenois C. Ei cacy and safety of single and repeated administration of 1 gram intravenous acetaminophen injection

(paracetamol) for pain management after major orthopedic surgery. Anesthesiology 2005;102(4):822-31.

3. Jarde O, Boccard E. Parenteral versus Oral Route Increases Paracetamol Ei cacy. Clin Drug Invest. 1997;14(6):474-81.

Page 44: Cdk 204 Interna

370

BERITA TERKINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Studi terbaru menunjukkan pemberian

antibiotik lebih lama dari 7 hari untuk

infeksi saluran kemih (ISK) tidak

mengurangi kekambuhan ISK dini atau lanjut

dibandingkan pemberian antibiotik dengan

durasi lebih singkat, dan mungkin terkait

dengan peningkatan risiko Clostridium dii cile

infection (CDI).

Dimitri M. Drekonja dkk. menganalisis

39.149 rekam medis pasien pria dengan ISK

yang menggunakan VA outpatient services

selama tahun 2009. Dari total 39.149 pasien,

peneliti menginklusi 33.336 (85,2%; umur

median 67,9 tahun) index cases (International

Classii cation of Diseases, Ninth Revision, kasus

ISK dikombinasikan dengan peresepan

antimikroba yang relevan) dalam analisis

mereka.

Dari total index cases, 1772 (4,5%) pasien

mengalami kekambuhan dini dan 4041

(10,3%) mengalami kekambuhan lanjut.

Durasi pemberian antimikroba berkisar dari 1-

173 hari (median, 10 hari, rentang interkuartil,

7–10 hari); 11.666 (35%) dirawat kurang dari

7 hari, dan 21.670 (65%) dirawat lebih dari 7

hari.

Menggunakan analisis multivariate logistic

regression, peneliti menemukan bahwa durasi

perawatan tidak terkait dengan kekambuhan

dini (odds ratio [OR], 1,01; 95% coni dence

interval [CI], 0,90 – 1,14). Akan tetapi, mereka

menemukan bahwa perawatan dengan durasi

yang lebih lama terkait dengan peningkatan

kekambuhan lanjut dibandingkan perawatan

dengan durasi lebih singkat (10,8% untuk >7

hari vs 8,4% untuk ≤7 hari; P < 0,001) dan kaitan

ini tetap signii kan setelah analisis multivariat

(OR, 1,20; 95% CI, 1,10 – 1,30). Dalam analisis

multivariat, peneliti memperhitungkan faktor

umur, komorbiditas, faktor risiko ISK yang

ada, jenis antibiotik yang digunakan, durasi

perawatan, dan riwayat CDI.

Temuan bahwa durasi perawatan yang lebih

panjang terkait dengan peningkatan risiko

kekambuhan lanjut dalam analisis univariat

dan multivariat tidak terduga. CDI didiagnosis

dalam 144 (0,4%) kasus dalam 90 hari setelah

perawatan, dengan interval berkisar dari 1 –

89 hari (mean [SD], 38,7 [26,9] hari). Perawatan

yang lebih lama terkait dengan peningkatan

risiko CDI dibanding dengan perawatan lebih

pendek (0,5% vs 0,3%; P = 0,02) dalam analisis

univariat, tetapi perbedaan ini tidak signii kan

dalam analisis multivariat.

Peneliti menemukan 2 obat (ciprol oxacin dan

trimethoprim-sulfamethoxazole) yang paling

banyak digunakan untuk merawat ISK pada

pria dan durasi perawatan berkisar dalam

rentang 7 hari – 14 hari [84,4% pasien], dan

15,6% sisanya di luar rentang ini.

Temuan ini mempertanyakan efektivitas

perawatan durasi panjang pada pasien pria

dengan ISK.

Dalam penelitian lain yang dipublikasikan

bersamaan, peneliti menyimpulkan bahwa

screening preoperatif dan penanganan

bakteriuria tidak bermanfaat dan harus

dihindari pada pasien ISK yang menjalani

operasi kardiovaskuler, ortopedi, dan vaskuler.

Penelitian kedua ini menganalisis rekam

medis dari 1934 prosedur pada 1688 pasien

VA (96% pria; rerata umur 61,8 tahun) yang

menjalani prosedur ortopedi (1291 pada 1115

pasien), prosedur kardiotorasik (331 pada 314

pasien), dan prosedur vaskuler (312 pada

259 pasien). Kultur urin preoperatif diambil

dari 25% total pasien, bervariasi dalam setiap

prosedur (kardiotorasik 85%; vaskuler, 48%;

dan orthopedi, 4%; P < 0,001).

Pasien yang discreen lebih tua (66,9 vs 60 tahun;

p<0,01), lebih banyak pria (98% vs 95%; p=0,02)

dan lebih mungkin untuk mengalami surgical

site infection [SSI] (17% vs 4%; p<0,01), diare (6%

vs 2%; p<0,01), dan CDI (0,6% vs 0%; P=0,02).

Simpulannya, pemberian antibiotik yang

lebih singkat (7 hari) terkait dengan risiko

ke-kambuhan yang lebih rendah dibanding

pemberian antibiotik jangka panjang.

Pemberian antibiotik jangka panjang me-

ningkatkan risiko CDI. Screening preoperatif

dan penanganan bakteriuria pada pasien ISK

tidak bermanfaat dan harus dihindari pada

pasien yang menjalani operasi kardiovaskuler,

ortopedi, dan vaskuler. � (AGN)

REFERENSI:

Hand L. UTI treatment in men: Shorter may be better. Medscape Medical News [Internet] 2012 [Cited 2012 Dec 27]. Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/775587

Pemberian Antibiotik Jangka Pendek untuk ISK pada Pria

Page 45: Cdk 204 Interna

372

BERITA TERKINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Nutrisi merupakan hal yang penting

bagi pasien usia lanjut dengan kanker,

tetapi masih banyak oncologists

yang melupakan aspek ini dalam terapi. Hal

ini dikemukakan oleh Dr. Federico Bozzetti

pada sesi khusus di pertemuan tahunan the

International Society of Geriatric Oncology.

Pasien usia lanjut dengan kanker perlu

diskrin apakah mengalami malnutrisi atau

tidak, dan intervensi yang bersifat individual,

multimodalitas sebaiknya diberikan untuk

memenuhi kebutuhan nutrisinya. Status

nutrisi sebaiknya dinilai dan diintervensi untuk

mencegah perburukan dan mempertahankan

kualitas hidup.

Malnutrisi merupakan keadaan yang

subakut atau kronik, yang juga merupakan

kombinasi dari over- atau undernutrition dan

aktivitas inflamasi, menyebabkan perubahan

komposisi tubuh dan menurunnya fungsi

tubuh. Beberapa evidence mengkaitkan

malnutrisi dengan outcome klinis yang

lebih buruk, meningkatnya lama rawat inap,

lebih panjangnya masa penyembuhan,

menurunnya kualitas hidup, meningkatnya

morbiditas, dan meningkatnya mortalitas.

Selain itu, malnutrisi berkaitan dengan

meningkatnya toksisitas terhadap kemo-

terapi.

Data menunjukkan bahwa sampai sekitar

56% pasien geriatri mengalami malnutrisi,

dengan sekitar 20-80% dari pasien kanker

memiliki risiko yang tinggi. Status nutrisi

dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor

antara lain asupan makanan, indeks massa

tubuh, kehilangan berat badan patologis,

dan tingkat keparahan penyakit. Terdapat

beberapa alat skrining yang membantu

mengidentii kasi apakah pasien berisiko

mengalami malnutrisi dan membutuhkan

dukungan nutrisi.

Walaupun belum terdapat konsensus

mengenai alat mana yang terbaik untuk

skrining, terdapat beberapa plilihan yaitu the

Malnutrition Universal Screening Tool (MUST),

the Nutritional Risk Screening (NRS) 2002, dan

the Mini Nutritional Assessment Short Form

(MNA-SF).

Dr. Paula Ravasco, anggota the SIOG Task

Force on Nutrition, menyatakan bahwa

nutrisi adjuvan berperan penting dalam

penatalaksanaan pasien kanker. Temuan

sebelumnya pada pasien dengan kanker

kolorektal menunjukkan bahwa pasien yang

menjalani konseling nutrisi mengalami

perbaikan asupan dan status nutrisi,

penurunan toksisitas, dan perbaikan kualitas

hidup dibandingkan pasien yang tidak

menjalani konseling.

Pemberian nutrisi dengan nasogastric atau

nasojejunal tube mungkin merupakan pilihan

untuk nutrisi jangka pendek jika saluran

cerna bagian atas tidak berfungsi dengan

baik. Nutrisi parenteral mungkin diberikan

pada pasien jika saluran cerna tidak berfungsi

baik, atau untuk memenuhi nutrisi oral yang

inadekuat. � (HLI)

Skrining Malnutrisi Pasien Kanker Usia Lanjut

REFERENSI:

1. Freeman S. Screen elderly cancer patients for malnutrition. OncologyStat [Internet]. 2012 Nov 21 [cited 2012 Dec 25]. Available from: http://www.oncologystat.com/news/Screen_El-

derly_Cancer_Patients_for_Malnutrition_US.html

2. Balducci L, Extermann M. Management of cancer in the older person: A practical approach. The Oncologist 2000;5:224-37.

3. Blanc-Bisson C, Fonck M, Rainfray M, Soubeyran P, Bourdel-Marchasson I. Undernutrition in elderly patients with cancer : Target for diagnosis and intervention. Crit Rev Hematol Oncol.

2008;67:243-54.

Page 46: Cdk 204 Interna

374

BERITA TERKINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Kombinasi Midazolam - Propofol Bermanfaat pada Pasien Lanjut Usia

Pasien lanjut usia memerlukan perhatian

dan observasi khusus pada saat induksi

anestesi dan intubasi endotrakeal

karena kemungkinan terjadinya efek samping

yang relatif tinggi meskipun dengan dosis

dewasa. Hal ini disebabkan oleh penurunan

fungsi organ, perubahan sistem saraf otonom,

dan peningkatan sensitivitas terhadap

obat jika dibandingkan dengan pasien

yang lebih muda. Selain itu, pasien lanjut

usia memerlukan perhatian khusus karena

risiko iskemik jantung, serebral, dan infark

serebral dapat meningkat meskipun terdapat

penurunan HR dan tekanan darah (BP – blood

pressure) sementara.

Propofol memiliki onset cepat, sehingga

direkomendasikan menjadi anestesi intravena

yang diberikan pada pasien lanjut usia. Akan

tetapi, pada pasien lanjut usia terdapat

peningkatan sensitivitas di otak, sehingga efek

anestesi propofol meningkat dengan dosis

yang sama. Selain itu, prevalensi penurunan

tekanan sistolik sebesar 15-40% terjadi pada

induksi anestesi dengan propofol.

Oleh karena itu, pada pasien lanjut usia

dengan perubahan hemodinamik yang

berat, penggunaan metode ko-induksi

(induksi secara bersamaan) dengan anestesi

infus intravena dapat meningkatkan ei kasi

dan keamanan obat tersebut. Metode ko-

induksi adalah metode sebuah obat anestesi

diberikan bersamaan dengan dosis kecil obat

anestesi atau sedatif lainnya dengan tujuan

menurunkan dosis obat anestesi induksi.

Metode ini bermanfaat menurunkan kejadian

efek samping yang timbul dibandingkan

dengan pemberian tunggal.

Propofol dan remifentanil adalah 2 obat yang

seringkali digunakan dalam metode ko-induksi

ini, akan tetapi pemilihan dosis kedua obat ini

harus tepat karena dapat menimbulkan efek

samping hipotensi dan bradikardi. Selain itu,

sering terjadi penurunan tekanan darah berat

sebelum dan setelah intubasi endotrakeal

pada pasien lanjut usia meskipun induksi

dengan dosis minimum. Sebagai alternatif,

penggunaan kombinasi midazolam dan

propofol terbukti dapat menurunkan dosis

propofol dengan memberikan efek sedasi

yang sinergis.

Studi acak dilakukan untuk membandingkan

efek perubahan kardiovaskuler terhadap

pemberian ko-induksi propofol, remifentanil,

dan midazolam atau propofol dan remifentanil.

80 pasien lanjut usia dengan usia >65

tahun yang akan menjalani pembedahan

elektif dengan anestesi umum secara acak

dibagi menjadi 2 kelompok dan menerima

remifentanil 10 μg/kgBB/jam, midazolam

0,03 mg/kgBB, dan propofol 0,8 mg/kgBB

(kelompok MP, n=40) atau 10 μg/kgBB/jam

dan propofol 0,8 mg/kgBB (kontrol, n=40).

Berikut hasil studi tersebut:

1. Perubahan tekanan darah rerata

lebih bermakna pada kelompok kontrol

jika dibandingkan dengan kelompok MP

(p<0,05).

2. Perubahan frekuensi nadi sebanding

antara kedua kelompok (p>0,05).

Simpulannya, ko-induksi midazolam dan

propofol dapat mencegah penurunan

tekanan darah yang bermakna pada intubasi

trakeal ketika induksi pada pasien lanjut usia.

� (MAJ)

REFERENSI:

1. Cressey DM, Claydon P, Bhaskaran NC, Reilly CS. Ef ect of midazolam pretreatment on induction dose requirements of propofol in combination with fentanyl in younger and older adults.

Anesthesia 2001;56(2):108-13.

2. Kim CS, Shim JY, Ryu KH, Seo SW, Choi JH, Yang NY, et al. The ef ect of co-administration of midazolam on induction and recovery using continuous propofol infusion. Korean J Anesthesiol.

1999;37(2):193-8.

3. Lim YS, Kang DH, Kim SH, Jang TH, Kim KH, Ryu SJ, et al. The cardiovascular ef ects of midazolam co-induction to propofol for induction in aged patients. Korean J Anesthesiol. 2012;62(6):536-42.

Grai k 1 Perubahan tekanan darah rerata (MBP) lebih bermakna pada kelompok kontrol (P-propofol) jika dibandingkan den-

gan kelompok MP (midazolam-propofol) (p <0,05)

Grai k 2 Perubahan frekuensi nadi (HR) sebanding antara kedua kelompok (p>0,05)

Page 47: Cdk 204 Interna

376

BERITA TERKINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

stroke sebagai titik akhir. Risiko relatif (RR)

digunakan sebagai alat ukur pengaruh

suplementasi asam folat pada risiko stroke

dengan model efek random. Analisis ini lebih

lanjut dikelompokkan berdasarkan faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi efek terapi.

Suplementasi asam folat secara signii kan

mengurangi risiko stroke sebesar 18% (RR 0,82,

95% CI 0,68 -1,00, p=0,045). Dalam analisis

bertingkat, efek menguntungkan yang lebih

besar terlihat pada uji dengan durasi terapi

lebih dari 36 bulan (0,71, 0,57-0,87; p=0,001),

penurunan konsentrasi homosistein lebih

dari 20% (0,77, 0,63 -0,94, p=0,012), tidak ada

fortii kasi atau sebagian difortii kasi (0,75,

0,62-0,91, p=0,003), dan tidak ada riwayat

stroke (0,75, 0,62-0,90, p=0,002). Temuan ini

menunjukkan bahwa suplementasi asam

folat dapat mengurangi risiko stroke pada

pencegahan primer.

Selanjutnya dilakukan meta-analisis ber-

dasarkan uji relevan, up-to-date. Risiko

relatif (RR) digunakan untuk mengukur efek

suplementasi asam folat pada risiko stroke

dengan model i xed-efect. Secara keseluruhan,

suplementasi asam folat mengurangi risiko

stroke sebesar 8% (n=55.764, RR: 0,92, 95%

CI: 0,86-1,00, p=0,038). Dalam 10 uji tanpa

atau fortii kasi parsial asam folat (n= 43.426),

risiko stroke berkurang sebesar 11% (0.89,

0,82-0,97, p=0,010). Analisis meta-regresi

juga menunjukkan hubungan dosis-respons

positif antara penggunaan statin dan log-RR

stroke terkait dengan suplementasi asam folat

(p=0.013). Dosis harian 0,4-0.8 mg asam folat

tampaknya cukup untuk pencegahan stroke.

Dalam lima uji tersisa pada populasi dengan

fortii kasi asam folat (n=12.338), suplementasi

asam folat tidak berpengaruh pada risiko

stroke (1,03; 0,88-1,21, 0,69).

Analisis ini menunjukkan bahwa suple-

mentasi asam folat efektif mencegah

stroke pada populasi tanpa atau dengan

fortifikasi asam folat parsial. Selain itu, efek

menguntungkan yang lebih besar ditemu-

kan pada uji dengan penggunaan statin

lebih rendah. Temuan ini menggarisbawahi

pentingnya identifikasi populasi target yang

bisa mendapatkan keuntungan dari terapi

asam folat. � (RWA)

REFERENSI:

1. Wang X, Qin X, Demirtas H, Li J, Mao G, Huo Y. Ei cacy of folic acid supplementation in stroke prevention: a meta-analysis. The Lancet 2007;369(9576):1876-82.

2. Huo Y, Qin X, Wang J, Sun N, Zeng Q, Xu X, et al. Ei cacy of folic acid supplementation in stroke prevention: new insight from a meta-analysis. Int J Clin Pract. 2012;66(6):544-51.

Asam Folat Mengurangi Risiko Stroke

Ei kasi terapi untuk menurunkan

konsentrasi homosistein sehingga me-

ngurangi risiko penyakit kardiovaskular

masih kontroversial. Untuk itu dilakukan

meta-analisis uji acak yang relevan untuk

menilai ei kasi suplementasi asam folat

dalam pencegahan stroke. Dikumpulkan

data dari delapan uji acak asam folat dengan

Page 48: Cdk 204 Interna

378

BERITA TERKINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Hingga kini telah cukup banyak bukti

(baik dari studi pre-klinik maupun

klinik) yang menunjukkan manfaat

astaxanthin, suatu xanthophylls, bagi kesehat-

an secara luas. Peran utama astaxanthin yaitu

sebagai antioksidan kuat. Selain itu, berbagai

manfaat lainnya meliputi prevensi dan terapi

berbagai kondisi seperti yang terangkum di

bawah ini:

Aktivitas antioksidan

• Aktivitas antioksidan astaxanthin terbesar

dibandingkan lutein, lycopene, a-carotene,

b-carotene, a-tocopherol, 6-hydroxy-2,5,7,8-

tetramethylchroman-2-carboxylic acid, mau-

pun carotenoid lainnya.

• Aktivitas astaxanthin 10 kali lebih

tinggi dibandingkan carotenoid lain, seperti

zeaxanthin, lutein, canthaxantin, dan

β-carotene; 100 kali lebih tinggi dibandingkan

α-tocopherol / vitamin E.

• Adanya bagian hydroxyl dan keto

menyebabklan aktivitas antioksidan

astaxanthin yang tinggi.

• Astaxanthin tidak bersifat pro-oksidan.

• Astaxanthin mengurangi oksidasi

guanosine (komponen DNA)

Aktivitas anti-inl amasi

• Dilaporkan bahwa astaxanthin dapat

menghambat produksi mediator / sitokin

inl amasi: nitrit oxide synthase, cycloosygenase-2,

tumor necrosis factor α, dan interleukin-6.

• Astaxanthin meningkatkan fagositik

neutroi l dan kemampuan membunuh

bakteri, serta mengurangi produksi superoxide

anion dan hydrogen peroxide.

• Pada pasien asma, terdapat suatu studi

yang menyatakan benei t astaxanthin dalam

mensupresi aktivitas sel T.

Aktivitas gastro-protektif

• Astaxanthin mengurangi proliferasi dan

inl amasi yang disebabkan H pylori.

• Astaxanthin mengurangi timbulnya ulkus

lambung pada mencit yang diinduksi stres.

• Pemberian astaxanthin dosis tinggi (40

mg/hari) mengurangi gejala rel uks pada

pasien, terutama dengan infeksi H pylori.

• Astaxanthin melindungi lambung

terhadap kerusakan yang disebabkan ethanol

pada mencit.

Aktivitas hepatoprotektif

• Astaxanthin terakumulasi dalam mikrosom

dan mitokondria hati dan berpotensi melindungi

hati terhadap toksin melalui mekanisme hambat-

an peroksidasi lemak, stimulasi antioksidan

seluler, dan modulasi proses inl amasi.

• Pada studi hewan coba, astaxanthin

terlihat menurunkan progresivitas keganasan

dengan induksi karsinogen al atoxin.

• Astaxanthin melindungi hati terhadap

iskemia – reperfusi.

• Astaxanthin tidak memengaruhi efek

antivirus terapi standar hepatitis C (pegylated

interferon dan ribavirin).

• Astaxanthin menghambat peningkatan

berat badan, berat jaringan lemak, kadar

trigliserida liver dan plasma, kolesterol total,

dan meningkatkan sensitivitas insulin serta

kerusakan hati pada mencit yang diberikan

diet tinggi lemak.

Aktivitas antidiabetes

• Diabetes mellitus berkaitan erat dengan

stres oksidatif. Stres oksidatif yang diinduksi

kadar gula berlebih dapat menyebabkan

disfungsi pankreas.

Manfaat Astaxanthin bagi Kesehatan Tubuh

Page 49: Cdk 204 Interna

379

BERITA TERKINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

• Astaxanthin dapat mengurangi stres

oksidatif pada sel β pankreas (sel penghasil

insulin) yang diinduksi kadar gula berlebih.

• Astaxanthin terpantau meningkatkan

sensitivitas insulin, toleransi glukosa, kadar

insulin serum, dan menurunkan kadar gula

darah.

• Astaxanthin menghambar terjadinya

disfungsi limfosit pada pasien diabetes.

• Pada hewan coba, astaxanthin

mengurangi kerusakan ginjal (nefropati) pada

kondisi diabetes. Mekanismenya terutama

melalui penurunan stres oksidatif pada ginjal.

• Pada kondisi diabetes, astaxanthin

mengembalikan aktivitas enzimatik kelenjar

liur.

Aktivitas kardioprotektif

• Carotenoid dipercaya bermanfaat

melindungi jantung karena aktivitas

antioksidannya.

• Astaxanthin secara bermakna mengurangi

ini ltasi makrofag pada plak aterosklerosis dan

mengurangi apoptosis makrofag dan ruptur

(pecah) plak � plaque stability.

• Pemberian astaxanthin pada hewan coba

terpantau menurunkan tekanan darah arteri

pada kondisi hipertensi, serta mengurangi

insidens stroke.

• Astaxanthin terpantau mengurangi

aktivitas sistem renin-angiotensin yang

berhubungan dengan peningkatan tekanan

darah.

• Astaxanthin meningkatkan kontraktilitas

jantung pada mencit.

• Pada uji klinik, pemberian astaxanthin

meningkatkan kadar adinopectin dan

memperbaiki kadar trigliserida, dan high-

density lipoprotein. Pada uji klinik lainnya,

astaxanthin terpantau memperbaiki rheology

darah (parameter: blood transit time).

Aktivitas antikanker

• Di antara canthaxanthin dan β-carotene,

astaxanthin menunjukkan aktivitas antikanker

tertinggi.

• Efek inhibisi astaxanthin terpantau pada

jenis kanker kolon, i brosarkoma mulut,

payudara, prostat, i broblas embionik, dan

beberapa jenis kanker lainnya.

• Astaxanthin terpantau bersifat

kemopreventif terhadap karsinogen pada

hewan coba.

• Pada hewan coba, pemberian astaxanthin

sebelum mulai adanya tumor (diinduksi)

menghambat pertumbuhan tumor payudara

dan meningkatkan jumlah sel natural killer.

Namun, pemberian setelah induksi tumor

meningkatkan pertumbuhan tumor dan

meningkatkan produksi sitokin proinl amasi.

Aktivitas neuroprotektif

• Astaxanthin melindungi sel saraf dari

kerusakan yang diinduksi, sehingga protektif

terhadap penyakit neurodegeneratif

(termasuk Parkinson dan Alzheimer). Namun

belum ada uji klinik yang mengkoni rmasi hal

ini.

• Astaxanthin dapat mengurangi

kerusakan yang diinduksi iskemia dan infark

serebrum melalui hambatan stres oksidatif

(antiapoptosis) pada jaringan otak.

• Berbagai studi menemukan mekanisme

– mekanisme neuroprotektif astaxanthin

yang beragam, sehingga memberikan dasar

evidens potensi astaxanthin dalam prevensi

dan terapi berbagai penyakit / kelainan saraf.

• Astaxanthin juga terpantau meningkatkan

kemampuan sel punca neural (saraf ).

Aktivitas protektif terhadap mata

• Pada sukarelawan sehat (usia > 40 tahun),

konsumsi astaxanthin 4 atau 12 mg/hari

selama 28 hari memperbaiki penglihatan

jarak jauh dan mempersingkat kemampuan

akomodasi mata.

• Pada uji klinik, astaxanthin terpantau

memperbaiki fungsi retina dan kelelahan

mata.

• Astaxanthin terpantau meningkatkan

aliran darah pada mata dan juga bersifat anti-

inl amasi.

• Studi pada hewan menunjukkan efek

protektif astaxanthin pada lensa mata

terhadap kerusakan oksidatif.

Aktivitas protektif terhadap kulit

• Astaxanthin menghambat kerusakan

akibat pajanan sinar ultraviolet.

• Pada 3 uji klinik, astaxanthin terpantau

mengurangi kerutan halus dan age spot, baik

pada wanita maupun pria.

REFERENSI:

1. Yuan JP, et al. Potential health-promoting ef ects of astaxanthin: A high-value carotenoid mostly from microalgae. Mol Nutr Food Res. 2011; 55:150-65.

2. Yamashita E.The ef ects of a dietary supplement containing astaxanthin on skin condition.Carotenoid Science.2006;10:91-5.

3. Tominaga K, et al.Cosmetic benei ts of astaxanthin on humans subjects.Acta Biochimica Polonica.2012;59(1):43-7.

Aktivitas terhadap kemampuan i sik

• Pada sukarelawan pria sehat, pemberian

astaxanthin secara bermakna menurunkan

kadar asam laktat (hasil buangan aktivitas

otot) serum pasca latihan i sik. Sehingga

astaxanthin berpotensi meningkatkan

kemampuan latihan i sik / olahraga.

• Astaxanthin terpantau mengurangi

kerusakan otot rangka dan jantung yang

diinduksi latihan i sik pada mencit.

• Astaxanthin meningkatkan metabolisme

lemak (dan penggunaan asam lemak),

bukan meningkatkan penggunaan

glukosa, sehingga menyebabkan perbaikan

pengurangan jaringan lemak saat latihan

fisik dan mengurangi penggunaan glikogen

untuk digunakan kemudian (later stage

of exercise), sehingga meningkatkan

kemampuan latihan fisik dan menunda

timbulnya rasa lelah.

Aktivitas terhadap fertilitas

• Uji klinik menunjukkan bahwa pemberian

astaxanthin sebagain terapi tambahan secara

bermakna mengurangi pembentukan radikal

bebas pada sel reproduksi.

• Studi pada hewan coba menunjukkan

manfaat astaxanthin dalam meningkatkan

berat testis, jumlah dan morfologi spermatozoa

yang diinduksi cyclophosphamide.

Aktivitas terhadap fungsi ginjal

• Astaxanthin mengurangi dampak

toksisitas merkuri terhadap ginjal.

Mekanismenya melalui hambatan oksidasi

lemak dan protein.

Potensi manfaat astaxanthin yang luas

perlu dikonfirmasi dalam uji klinik. Jika

sudah ada uji klinik dengan metode yang

baik, maka besar kemungkinan astaxanthin

akan menjadi suatu nutraseutikal yang

direkomendasikan sebagai upaya prevensi

/ terapi penyakit.

Astaxanthin dapat ditemukan pada microalgae

Haematococcus pluvialis, Chlorella zoi ngiensis,

Chlorococcum sp, dan ragi merah Phai a

rhodozyma. Namun, H pluvialis memiliki

kapasitas akumulasi astaxanthin tertinggi

(hingga 4-5% berat kering). � (HSD)

Page 50: Cdk 204 Interna

382

BERITA TERKINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Urtikaria idiopatik kronik (disebut

juga urtikaria spontan kronik)

adalah urtikaria yang gatal hingga

6 minggu, dengan atau tanpa angioedema

dan tanpa adanya pemicu eksternal. Kondisi

tersebut berlanjut hingga 1 sampai 5 tahun

(bertahan lebih dari 5 tahun pada 11-14%

pasien) dan berdampak buruk pada emosi

pasien dan kualitas hidup yang berkaitan

dengan kesehatan i sik. Gangguan yang

berhubungan dengan kelainan ini sering

disamakan dengan pasien dengan penyakit

jantung iskemik. Pasien merasakan kurang

energi, isolasi sosial, dan emosi yang

meningkat sama dengan mereka yang

menderita penyakit jantung. Antihistamin

H1 nonsedasi adalah terapi awal dan agen

satu-satunya yang telah diberi lisensi untuk

digunakan pada pasien dengan urtikaria

idiopatik kronik. Namun, sebagian besar

pasien tidak responsif terhadap antihistamin

H1, bahkan pada tiga atau empat kali dosis

yang dilisensikan.

Pilihan terapi untuk pasien yang tidak

responsif pada antihistamin H1 termasuk

penggunaan antihistamin H2, antagonis

reseptor leukotrien, glucocorticoid sistemik,

cyclosporine, hydroxychloroquine, dapson,

methotrexate, sulfasalazin, dan imunoglobulin

intravena. Tidak satupun agen-agen tersebut

yang telah disetujui untuk terapi urtikaria

idiopatik kronik. Sebagai tambahan, data

pendukung untuk penggunaan obat-obat

ini terbatas, dan penggunaan jangka panjang

beberapa agen ini dapat dihubungkan

dengan efek samping bermakna.

Pelepasan histamin dari sel mast kulit telah

lama dihubungkan dengan patogenesis

urtikaria idiopatik kronik; basoi l dan IgE juga

memegang peranan penting.

Omalizumab, sebuah antibodi monoklonal

manusia rekombinan disetujui sebagai terapi

tambahan untuk asma alergi sedang sampai

persisten berat. Omalizumab mengurangi

kadar IgE bebas dan reseptor ai nitas tinggi

untuk region Fc dari IgE (FcåRI), keduanya

penting dalam aktivasi basoi l dan sel mast.

Bukti awal dari penelitian memperlihatkan

bahwa omalizumab mungkin efektif pada

pasien urtikaria idiopatik kronik yang tetap

simptomatik meskipun dengan terapi

antihistamin. Data dari dua penelitian fase 2

multisenter. acak. tersamar-ganda, kontrol-

plasebo yang melibatkan total 139 pasien

memperlihatkan bahwa omalizumab, yang

telah dikenal aman, bermanfaat pada pasien

dengan urtikaria idiopatik kronik yang tetap

simptomatik meskipun telah menggunakan

antihistamin H1.

Pada penelitian kontrol-plasebo, tersamar-

ganda, multisenter, internasional, acak

ini, para peneliti meneliti efektivitas dan

keamanan omalizumab selama 28 minggu

pada dewasa dan remaja (>12 tahun) pasien

dengan urtikaria idiopatik kronik yang tetap

simptomatik meskipun telah menggunakan

antihistamin H1. Setelah skrining selama

2 minggu, pasien diacak menjadi empat

kelompok dengan perbandingan 1:1:1:1

untuk menerima tiga injeksi subkutan

omalizumab (dosis 75 mg, 150 mg, atau 300

mg) atau plasebo. Dosis untuk penelitian ini

berdasarkan hasil penelitian rentang dosis fase

2 sebelumnya. Dosis diberikan dengan interval

4 minggu dan untuk memastikan kesamaran

terjaga, setiap dosis diberikan oleh klinisi yang

tidak dilibatkan pada evaluasi gejala pasien.

Terapi selama 12 minggu ini diikuti oleh

periode evaluasi selama 16 minggu. Pasien

menggunakan alat elektronik untuk merekam

data sendiri dengan Urticaria Patient Daily

Diary (UPDD) yang telah divalidasi. Diari

elektronik ini dilengkapi dengan waktu dan

tanggal untuk memastikan agar data tidak

termasuk yang di luar waktu penilaian.

Pasien mendapatkan dosis stabil antihistamin

H1 selama periode terapi. Dalam periode tindak

lanjut, pasien dibolehkan menggunakan satu

tambahan antihistamin H1. Selama penelitian,

Omalizumab untuk Terapi Urtikaria Idiopatik Kronik atau Spontan

Page 51: Cdk 204 Interna

383CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

REFERENSI:

Maurer M, et al. Omalizumab for the treatment of chronic idiopatic or spontaneous urticaria [citated April 16, 2013]. N Engl J Med 2013; 368:924-935. Available from: http://www.nejm.org/doi/

full/10.1056/NEJMoa1215372#t=articleTop

seluruh pasien diberi diphenhydramine (25

mg) sebagai pengobatan darurat untuk

mengurangi gejala gatal (sampai maksimum

tiga dosis dalam 24 jam).

Pasien dilibatkan dalam penelitian jika

mereka berumur antara 12 hingga 75 tahun

(antara 18 sampai 75 tahun di Jerman) dan

memenuhi seluruh kriteria yaitu riwayat

paling sedikit 6 bulan urtikaria idiopatik

kronik, adanya urtikaria dihubungkan

dengan gatal selama paling sedikit 8 minggu

berturut-turut meskipun sudah meng-

gunakan antihistamin H1, skor aktivitas

urtikaria (UAS) selama periode 7 hari (UAS7)

16 atau lebih (rentang skala 0-42, skala lebih

tinggi mengindikasikan aktivitas lebih besar

dan minimally important dif erence [MID] 9,5

hingga 10,5), skor keparahan gatal mingguan

8 atau lebih (rentang skala 0-21, angka lebih

besar mengindikasikan gatal yang lebih

parah dan MID lebih dari sama dengan 5)

selama 7 hari sebelum pengacakan (minggu

ke-0), skor 4 atau lebih pada UAS (rentang

0-6, skor lebih tinggi mengindikasikan

aktivitas yang lebih besar) dinilai oleh klinisi

paling sedikit pada satu kunjungan skrining,

dan menerima antihistamin H1 generasi

kedua untuk urtikaria idiopatik kronik selama

paling sedikit tiga hari berturut-turut segera

setelah kunjungan skrining ke-14 sebelum

pengacakan, dan tidak menghilangkan diari

elektronik 7 hari sebelum randomisasi.

Kriteria eksklusi meliputi penyebab penyerta

urtikaria kronik (seperti urtikaria i sik), pem-

berian rutin (setiap hari atau setiap hari lain se-

lama lebih dari 5 hari) glucocorticoid sistemik,

hydrochloroquine, methotrexate, cyclosporin,

cyclophosphamide, atau imunoglobulin

intravena dalam 30 hari terakhir untuk

indikasi apa saja, penggunaan antihistamin

H2 atau antagonis reseptor leukotrien dalam

7 hari setelah kunjungan hari ke-14 sebelum

randomisasi, penggunaan antihistamin H1

dengan dosis yang lebih besar daripada dosis

yang ditentukan dalam 3 hari setelah kunjungan

skrining hari ke-14 sebelum randomisasi,

riwayat kanker, berat badan kurang dari 20 kg,

diketahui hipersensitif terhadap omalizumab,

terapi omalizumab dalam 1 tahun terakhir, atau

kehamilan. Sebelum penelitian, seluruh pasien

atau orang tua atau wali (untuk umur di bawah

18 tahun) menandatangani informed consent.

Pada penelitian ini, omalizumab tiga dosis

150 mg atau 300 mg dengan interval 4

minggu secara signii kan mengurangi

gejala, dibandingkan dengan plasebo, pada

pasien urtikaria idiopatik kronik yang tetap

simptomatik dengan antihistamin H1. Efek

yang berarti secara klinis dan signii kan terlihat

pada pasien yang menerima 150 sampai

300 mg omalizumab. Tingkat keamanan

omalizumab sama dengan yang sebelumnya

dilaporkan pada penggunaan omalizumab

pada pasien asma alergi; sebagian besar efek

samping serius terjadi pada kelompok yang

menerima dosis tertinggi (300 mg).

Omalizumab memiliki onset efek dalam satu

minggu setelah terapi awal. Waktu median

terhadap respons minimally important

dif erence (MID) pada skor keparahan gatal

mingguan secara signii kan lebih pendek

pada kelompok yang menerima 300 mg (1

minggu) dan pada kelompok yang menerima

150 mg (2 minggu) daripada kelompok

plasebo (4 minggu). Penelitian fase 2 juga

memperlihatkan pengurangan UAS dan UAS7

selama minggu pertama terapi omalizumab.

Durasi supresi pada skor keparahan gatal

mingguan setelah minggu ke-12 lebih besar

pada pasien yang menerima dosis lebih tinggi

(150 dan 300 mg) omalizumab. Tidak tampak

peningkatan kembali gejala terhadap baseline

selama omalizumab dihentikan.

Mekanisme kerja omalizumab untuk

urtikaria belum sepenuhnya diketahui.

Telah dilaporkan bahwa pasien urtikaria

idiopatik kronik aktif memiliki fungsi basoi l

abnormal, termasuk supresi jalur reseptor IgE

ai nitas tinggi (FcåRI), basopenia darah, dan

rekrutmen basoi l ke tempat lesi kulit. Pada

pasien urtikaria idiopatik kronik saat remisi,

basopenia darah dan supresi jalur reseptor

IgE ai nitas tinggi kembali normal. Pada

penelitian sebelumnya, pengikatan IgE yang

bersirkulasi oleh omalizumab memperlihatkan

pengurangan IgE bebas dalam beberapa jam

setelah pemberian dan penurunan regulasi

FcåRI pada basoi l darah dalam 2 minggu,

pada sel mast, pengurangan ekspresi FcåRI,

dan degranulasi terjadi setelah 8 minggu.

Penelitian ini tidak dibuat untuk menjelaskan

mekanisme aksi omalizumab pada pasien

urtikaria idiopatik kronik.

Simpulannya, selama 12 minggu pertama

penelitian, omalizumab dosis 150 mg dan

300 mg secara signii kan meningkatkan

luaran pasien urtikaria idiopatik kronik yang

tetap simptomatik meskipun menggunakan

antihistamin H1. Jumlah pasien terlalu

sedikit untuk menyimpulkan keamanan,

tetapi kejadian efek samping serius lebih

umum pada pasien dengan dosis tertinggi

omalizumab (300 mg). � (Prima Almazini)

Page 52: Cdk 204 Interna

385

BERITA TERKINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Pancrealipase Lepas Lambat untuk Insui siensi Pankreas

Terapi penggantian enzim pankreas

(pancreatic enzyme replacement

therapy=PERT) diperlukan untuk

mencegah maldigesti berat dan penurunan

berat badan yang tidak diinginkan terkait

dengan insui siensi pankreatik eksokrin

(exocrine pancreatic insui ciency=EPI) karena

pankreatitis kronis (chronic pancreatitis=CP)

atau operasi pankreas (pancreatic surgery=PS).

Studi tersamar ganda terkontrol plasebo

dilakukan 7 hari dilanjutkan open-label

ekstensi selama 6 bulan pada pasien berusia ≥

18 tahun dengan EPI karena CP atau PS yang

sebelumnya menerima PERT. Pasien menerima

dosis pancrelipase individual seperti yang

diarahkan oleh peneliti. Secara keseluruhan,

48 dari 51 pasien menyelesaikan fase open-

label, satu mengundurkan diri karena efek

samping mendadak yang tidak berhubungan

dengan terapi, yaitu luka bakar kulit dan dua

tidak melanjutkan. Usia rata-rata 50,9 tahun,

70,6% dari pasien laki-laki, 76,5% memiliki

CP dan 23,5% telah menjalani PS. Rata-rata

dosis pancrelipase adalah 186.960 ± 74.640

unit lipase/hari. Efek samping dilaporkan oleh

22 pasien (43,1%) secara keseluruhan. Hanya

4 pasien (7,8%) mengalami efek samping

yang dianggap terkait pengobatan. Dari fase

awal tersamar ganda sampai akhir periode

open-label, berat badan meningkat 2,7±3,4

kg (p <0,0001) dan perubahan frekuensi

buang air besar harian 1.0±1.3 (p <0,001).

Juga diamati perbaikan nyeri perut, perut

kembung dan konsistensi tinja. Pancrelipase

ditoleransi dengan baik selama 6 bulan dan

menghasilkan peningkatan berat badan yang

signii kan secara statistik serta penurunan

frekuensi buang air besar pada pasien dengan

EPI karena CP atau PS yang sebelumnya

dikelola dengan PERT standar.

Kapsul pancrelipase lepas lambat adalah

sediaan enzim pankreas berisi pancrelipase,

sebuah ekstrak yang diturunkan dari kelenjar

pankreatik porsin. Enzim pankreatik ini

beraksi seperti enzim pencernaan yang

secara i siologis disekresi pankreas. Kapsul

pancrelipase lepas lambat sebelumnya untuk

terapi insui siensi pankreas karena i brosis

kistik atau kondisi lainnya.

Insui siensi eksokrin pankreas (IEP) sering

diamati pada pasien dengan penyakit

pankreas, termasuk pankreatitis kronis,

i brosis kistik, dan tumor, atau setelah reseksi

bedah. IEP sering menyebabkan malnutrisi,

penurunan berat badan dan steatorrhea,

yang bersama-sama meningkatkan risiko

morbiditas dan mortalitas. Oleh karena itu,

intervensi gizi, seperti diet rendah lemak dan

terapi penggantian enzim pankreas (TPEP),

diperlukan untuk memperbaiki gejala klinis,

dan untuk mengatasi patoi siologi insui siensi

pankreas eksokrin. TPEP dengan pancrelipase

lepas lambat sekarang menjadi terapi standar

untuk insui siensi pankreas eksokrin karena

secara signii kan memperbaiki koei sien

lemak dan penyerapan nitrogen serta

gejala klinis, tanpa efek samping serius yang

muncul. Efek samping yang utama adalah

gejala saluran pencernaan yang dapat

ditoleransi, seperti nyeri perut, mual, dan

kembung. Colonopathy i brosing, komplikasi

serius, terkait dengan dosis tinggi enzim.

Meskipun banyak uji klinik tersamar ganda,

terkontrol plasebo produk pancrelipase telah

dilakukan dalam beberapa tahun terakhir,

penelitian telah mendaftarkan pasien relatif

sedikit dan sering menjadi kurang dari

beberapa minggu dalam durasi. Selain itu,

beberapa studi telah membahas masalah

diabetes pankreas, jenis diabetes yang

ditandai dengan hipoglikemia yang sering,

yang sulit dikelola. Selain itu, tidak jelas

apakah TPEP meningkatkan morbiditas dan

mortalitas dalam pengaturan tersebut. Oleh

karena itu, uji jangka panjang prospektif yang

besar diperlukan untuk mengidentii kasi

pengobatan yang optimal untuk insui siensi

pankreas eksokrin. Studi-studi juga harus

memeriksa sejauh mana TPEP menggunakan

pancrelipase meningkatkan mortalitas dan

morbiditas. Etiologi dan beratnya insui siensi

eksokrin pankreas sering berbeda antara

pasien dengan penyakit gastrointestinal atau

diabetes (tipe 1 dan tipe 2), dan di antara

subyek lansia.

Meskipun saat ini bukti klinis terbatas,

sejumlah penyakit ekstrapankreatik dan

kondisi yang lazim dalam populasi umum

juga dapat dipertimbangkan menjadi target

potensial untuk perawatan TPEP dan terapi

terkait.3 � (RWA)

REFERENSI:

1. Gubergrits N, Malecka-Panas E, Lehman GA, Vasileva G, Shen Y, Sander-Struckmeier S, et al. A 6-month, open-label clinical trial of pancrelipase delayed-release capsules (Creon) in patients

with exocrine pancreatic insui ciency due to chronic pancreatitis or pancreatic surgery. Aliment Pharmacol Ther. 2011;33:1152–1161.

2. Drug Information Ultresa (pancrelipase) delayed-release capsules [Internet]. 2012 [cited 2012 Nov 30]. Available from: http://www.centerwatch.com/drug-information/fda-approvals/

drug-details.aspx?DrugID=1191.

3. Nakajima K, Oshida H, Muneyuki T, Kakei M. Pancrelipase: an evidence-based review of its use for treating pancreatic exocrine insui ciency. Core Evidence 2012:7 77–91.

Page 53: Cdk 204 Interna

388

OPINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

The medicinal use of plants is age-old, and

might be related to the discovery of the

benei cial properties of certain food plants,

a process documented in the veterinarian

literature not only in primates, but also in

animals more evolutionally distant from Man.1

While zoopharmacy, that is the medicinal use

of plants by animals, might have predated the

birth of human medicine and have inspired it,1

there are several indications that the distinction

between food plants and medicinal plants

was rather blurred in the past. Thus, food

plants (legumes), and not medicinal plants

were used in the i rst recorded description

(Book of Daniel of the Bible) of what we would

now consider a clinical trial.2 Remarkably, food

plants (Citrus fruits) were also used, almost

2000 years later, by the naval surgeon James

Lindt in his classic study on the prevention

of scurvy, the i rst modern clinical trial in the

history of medicine.2 The Lind comparative

study of several preventive treatments for

scurvy (Citrus fruits, legumes, vinegar, acids)

is considered the starting date for modern

medicine, just like the experiments of the

young German pharmacist Sertürner, who

in 1818 obtained a white powder from

opium, marked the beginning of modern

pharmaceutical research.3 Sertürner baptized

the product morphine in honor of Morpheus,

the Greek God of sleep, since this compound

could reproduce, in a magnii ed form, the

analgesic and sedative properties of opium.

The impact of this discovery was enormous

and far-reaching. The old alchemic theories

on the quintessential of things seemed to

materialize: from a crude product it was

possible to obtain one constituent that

recapitulated its biological properties. This

condensate (quintessence in the para-

alchemic lingo of the early pharmacy) was

named active principle, Wirkstof in German,

the scientii c lingua franca of that time. The

example by Sertürner was contagious, and,

by the end of the 19th century, the active

principles of most medicinal plants with a

marked bioactivity (heroic medicinal plants)

had already been isolated. Because of their

powerful action and low therapeutic margin,

these medicinal plants (poppy, foxglove,

belladonna) are not directly used in medicine

any more, and have been replaced by their

purii ed active ingredients (morphine,

papaverine, lanatosides, atropine), by semi-

synthetic derivatives, or by fully synthetic

analogs prepared in chemical laboratories.

These heroic plants are nowadays only used

as a starting material for the isolation of their

pure active principles, and are substantially

outside the realm of phytotherapy, whose

i eld use is largely limited to chronic conditions

characterized by complex etiology. Nowadays,

it would be foolish or even criminal to use

plants like foxglove or belladonna rather than

their purii ed active ingredients dosed with

precision and formulated to optimize activity.

Most medicinal plants are, however, not

heroic. Their study is much more complex,

The Role of Plants in Modern Medicine. Back to the Future or Back to Quackery?

Giovanni AppendinoDipartimento di Scienze del Farmaco, Italy

ABSTRACT

Over the past decades, there has been a growing interest in the medical community for medicinal plants, as testii ed by the introduction in the

mainstream pharmaceutical market of standardized plant extracts, both in European Union and in the United States. However, from a regulatory

standpoint, most medicinal plants are still in the healthfood limbo, and this article highlights the many dii culties that exist in the clinical

translation of the potential of medicinal plants to improve human health.

Key words: medicinal plants, standardized plant extracts, phytotherapy

ABSTRAK

Dalam beberapa dekade terakhir, komunitas medis meningkatkan perhatiannya pada tanaman obat, sebagaimana terbukti dengan

diperkenalkannya ekstrak tanaman terstandardisasi dalam pasar utama farmasi. Baik di Uni Eropa maupun Amerika Serikat. Namun, dari

sudut pandang regulasi, kebanyakan tanaman obat masih digolongkan sebagai makanan kesehatan. Tulisan ini menggarisbawahi banyaknya

kesulitan yang muncul dalam penerjemahan klinis potensi tanaman obat untuk meningkatkan kesehatan manusia. Giovanni Appendino.

Peran Tanaman dalam Kedokteran Modern. Back to the Future or Back to Quackery?

Kata kunci: tanaman obat, ekstrak tanaman terstandardisasi, i toterapi

Alamat korespondensi email: [email protected]

Page 54: Cdk 204 Interna

389

OPINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

and had to wait the technological and

biomedical progresses of the past decades

to move from anecdotic empirism to rational

investigation. Thus, most medicinal plants are

not characterized by the presence of a single

active ingredients, with a single molecular

target and a single mechanism of action.4

Furthermore, the active ingredients are

sometimes present in the plant as precursors,

activated during digestion by intestinal

enzymes, or by the intestinal bacteria.

Chamomile, a medicinal plant universally

known, will guide us in this tour of modern

phytotherapy and its subtleties. Chamomile

(Matricaria chamomilla L.) shows anti-

inl ammatory activity qualitatively similar, but

less potent, than non-steroid anti-inl ammatory

drugs (NSADIs). Only recently, however, it was

possible to identify its active ingredients and

molecular targets.5 Chamomile extracts show

only modest anti-inl ammatory activity in in

vitro assays, but they are much more potent

in vivo. The textbooks of phototherapy list

an intimidating series of potential active

ingredients for chamomile. Flavonoids,

polyacetylenic spiroethers, α-bisabolol,

chamazulene, coumarins, polyphenolics and

the essential oil are all mentioned as active

constituents of the plant, puzzling readers. If,

however, we scour the literature, we discover

that all these ingredients are poorly absorbed,

extensively degraded during storing, require

high temperatures for their formation, or are

contained also in other plants for which the

anti-inl ammatory actions of chamomile have

never been claimed. It is therefore easy to

dismiss chamomile as medical archeology.

Actually, the situation is more complex (and

exciting for researchers). Chamomile tastes

bitter because of the presence of the terpene

lactone matricin. Matricin substantially

lacks biological activity beyond its sensory

properties, but in the acidic stomach

environment it is turned into chamazulene

carboxylic acid, a structural analogue of

the well-known NSAID ibuprofen.6 This

compound has a more marked COX-2 ai nity

than ibuprofen, and any lingering stomach-

damaging activity mediated by the residual

COX-1 ai nity is buf ered by the soothing

activity of another constituent, α-bisabolol, on

gastric mucosa. Given the overall low intake of

matricin from a standard dosage of chamomile,

it is dii cult to translate these observation into

a clinical activity, but the anti-inl ammatory

activity of chamazulene carboxylic acid

could be magnii ed by the presence of

several l avonoids. Chamomile is rich of

apigenin glycosides, from which the parent

l avonoid s generated by removal of the sugar

decoration in the small intestine. Apigenin is

a potent spasmolytic agent, at least potent

as papaverine fom opium, and can interfere

with the transcription of the genes coding

for COXs and other inl ammatory enzymes

and factors.7 Add also that chamomile is taken

as a warm infusion, and that the trigeminal

stimulation of the thermo-sensors of the oral

cavity has an intrinsic mild anti-inl ammatory

action,8 and we arrive at a complex scenario

where activity is generated in a way that

substantially transcends the concept of active

principle.

The principle that “a rose is a rose is a rose”

does not apply to chamomile, since there

are several types of chamomile, containing

dif erent compounds and therefore endowed

with dif erent grades of activity. The

l owerheads of chamomile have two types

of l owers, the white and ligular peripheral

ones, and the central yellowish ones (Figure

2). The two types of l owers contain dif erent

compounds. The white peripheral ones

contain most of the l avonoids, while most

matricin is contained in the central yellowish

ones.5 Incidentally, we could note that

Nature is complicated, since l avonoids were

named in this way because many of them

are yellowish, but glycosidation, as occurs in

chamomile l avonoids, is detrimental for color.

To benei t from the activity of the plant, you

need both types of l owers, but most of the

chamomile of the commerce contains only

the central l owers, since the peripheral ones

are easily lost during drying.7 And this is only

the beginning of the complications!

The next one is the “expiring date”. Everything

that is natural degrades, since natural

products are, by principle, all biodegradable

(the alternative would be that they would

sequester all carbon on earth!). They have

been around for enough time to induce

their microbial degradation. Matricin is an

unstable compound, and its concentration in

chamomile decreases with time. Nothing is

immortal in Nature, and another of its law is

that nothing is exactly equal, with variability

being a sort of “insurance” for survival. Not

all chamomile samples contain the same

phytochemical proi le. In particular, some

of them are completely devoid of matricin,

others of bisabolol, and the composition

of the essential oil is also highly variable.5

The distribution of these chemical races is

essentially geographical, with most South-

American samples being devoid of matricin,

and most European ones containing this

Figure 1 The monument to Friedrich Sertürner (1783-1841) in Neuhaus, his native German town

Page 55: Cdk 204 Interna

390

OPINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Figure 2 The l owerheads of chamomile contain two dif erent types of l owers, the peripherals are white and contain most of

the l avonoids, while the central are yellow and contain most of sesquiterpene lactones

compound. If Nature secures variability,

humans can cause confusion, as exemplii ed

by the adulteration issues. Certain plants look

like chamomile, and are cheaper and easier

to grow than chamomile, raising the issue

of adulterated chamomile samples. Most of

the times the adulteration is harmless, but

sometimes can lead to toxicity. For instance,

Anthemis cotula L. looks very much like

chamomile, and is easy to grow. However,

it lacks the properties of chamomile, and

contains high concentrations of anthecotulin,

a powerful allergen.5 It is now believed that

the allergic reactions reported for chamomile

are actually related to the presence of this

adulterant, and not a property of the real

herb.5

Considerations like those we have described

for chamomille apply to many medicinal plants,

whose medicinal proi le is therefore complex.

In general, the rational basis for the use of

phytotherapy is synergy, namely the presence

of active constituents with complementary

activity that can mutually reinforce each

other.9 It is what is known in pharmacology

as the “entourage ef ect”. Medicinal plants

contain a cocktail of constituents that interact

in terms of both pharmacokinetic and

pharmacodynamic, and whose biological

proi le substantially transcend that of any of

its single constituent. This cocktail has been

named “phytocomplex”, a vague dei nition

that, nevertheless, made its way into the

research literature, and that needs discussion.

A phytocomplex is like a secondary color. If

we were looking for the essence of green with

an analytical and reductionistical strategy,

we will never end up in anything. “Greeness”

does not exist, but is, rather, the result of the

overlapping of two primary colors, yellow

and blue. In the same way, in most cases the

activity of medicinal plants cannot be traced

back to a simple and unique active principle,

a “quintessential” constituent. The complexity

of composition of many medicinal natural

products is impressive. Escin, a topical anti-

inl ammatory agent from chestnut fruits,

is a mixture of at least 50 closely related

saponins,10 and we are discussing only a

“single” constituent of the plant! Also bilberry

has a complex composition, with a bouquet

of 15 distinct anthocyanosides,11 while the

roots of ginseng contain at least 60 distinct

triterpene saponins known as ginsenosides.12

Medicinal plants are a complex matrix,

and trying to apply them simple criteria of

molecular validation, is somewhat like trying

to open the digital lock of a door with a key.

On the other hand, it is also important not

to coni ne medicinal plants into a limbo of

improvable generalities, or evaluate them

only on the basis of vague properties whose

only strength is the impossibility to prove

them. Tonic ef ect, depurative properties,

draining and purifying claims are popular

in folk medicine, but are substantially alien

to modern medicine. The translation of folk

medicine indications into therapeutical uses

is generally not straightforward, and gingko

(Gingko biloba L.) is an example. The leaves

of gingko contain a complex mixture of

l avonoids and terpenoids, to which various

properties related to memory and brain

circulation have been associated. These

properties underlie the use of gingko for the

prevention of senile dementia and Alzheimer’s

disease, but are scarcely documented in the

medicinal use of gingko in traditional Asian

medicine. It is, nevertheless, still unclear how

gingko work, if it works for everyone, or if its

activity can indeed be related to the molecular

targets so far identii ed for its constituents.

The leaves of gingko are not used for the

preparation of herbal teas, but only as a

source of standardized extracts. There are

two reasons for this. The i rst one is that the

concentration of the active ingredients are

too low in the leaves,13 and the second one

is that the leaves contain a series of potently

allergenic compounds, the gingkolic acids,

whose contents cannot be higher than 5 mg/

kg in gingko extracts.13

In some cases, skepticism on the clinical

properties of a medicinal plant is related to

the lack of understating on the molecular

mechanism(s) underlying activity, a reasoning

that would remove from our medicinal

portfolio important drugs, like metformin or

antidepressants, whose molecular targets are

still unclear. They work, and were approved

for this reason, and not for the subtleties

of the many mechanisms that have been

proposed for their activity. No one would

refuse a tasty meal only because he does not

understand digestion! On the other hand,

the mechanisms underlying the activity of

medicinal plants can be dif erent from those

identii ed for synthetic compounds used for

the treatment of a specii c disease. This is the

case of St. John’s worth (Hypericum perforatum

L.), and ant depressant plant. The potency of

St. John’s worth extracts is comparable, at

least for minor depression, to that of synthetic

anti-depressants, but none of its constituents

show a clear activity towards the various

molecular targets of antidepressants (MAO,

biogenic amine transporters). The mechanism

of action of St. John’s worth was clarii ed

only recently, identifying the phloroglucinol

derivative hyperforin as a critical constituent.14

Hyperforin binds to a novel anti-depressant

target, the ion channel TRPC6, a so far

overlooked anti-depressant target.14 In a drug-

discovery context, hyperforin qualii es as a i rst-

in-the-class agent, showing that sometimes

the failure to identify specii c targets for

the action of medicinal plants is due to our

limited knowledge in the mechanism of many

diseases. In this context, the case of Veregen

Page 56: Cdk 204 Interna

391

OPINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

is exemplii ciative.15 Veregen is a mixture

of green tea polyphenolics (kanucatechin)

approved by FDA for the topical treatment of

genital and perianal condiloma acuminata in

the almost complete lack of knowledge on its

mechanism of action.15 Veregen works, is not

toxic, and there are few alternative options for

the management of this disease.

Sometimes, complex extracts are better

tolerated than single active ingredients, as

Cannabis demonstrates. Cannabis and its

psychotropic principle tetrahydrocannabinol

(THC) are useful for the management

of weight loss (cachexia) associated to

the terminal stages of cancer and HIV

infection, and of vomit associated to cancer

chemotherapy.16 Both THC (produced semi-

synthetically from cannabidiol, CBD) and

its totally synthetic analogue dronabinol

are used in many countries, US included,

for these conditions. However, due to

their psychotropic and anxiogenic ef ects,

medicinal marijuana is preferred by patients,

since another cannabinoid (CBD) attenuates

these ef ects. Indeed a combination of extracts

from recreational hemp, rich of THC, and i ber

hemp, rich of CBD, has been developed as

a mainstream pharmaceutical under the

name of Sativex®, and is used in Canada and

the European Union for the symptomatic

management of multiple sclerosis.17

In general, three elements can be

identii ed in a phytocomplex, namely the

pharmacodynamic-, the pharmacokinetic-

and the modulatory components. The

pharmacodynamic component is represented

by constituents that act on specii c targets

of relevance for a disease, while the

pharmacodynamic element is represented

by compounds that can af ect, both

positively and negatively, the absorption of

the pharmacodynamic fraction. For instance,

tannins are well know to delay, and in many

cases decrease as well, the absorption of other

phytochemicals and especially alkaloids, while

piperine from black pepper has the capacity

to promote the absorption of phytochemicals,

rationalizing its universal inclusion in

the Indian medicinal formulations.18

The modulatory component af ects the

stability of the compounds endowed with

phamacodynamic and the pharmacokinetic

properties, and can minimize their toxicity. This

is an important issue, especially in the context

of liver toxicity. Many medicinal plants contain

compounds potentially poisonous for the

liver, but that can, however, be “neutralized”

by the presence of thiol derivatives in the

plant, or by that of compounds capable to

activate the cellular response to oxidants

and electrophilic compounds. For instance,

comfrey (Symphytum oi cinale L.) contains

hepatotoxic pyrrolizidine alkaloids, but their

activity is neutralized, so as to say, by the high

concentration of cystine derivatives present in

the plant.19

Nowadays phytotherapy rarely uses medicinal

plants, largely replaced by standardized

extracts. As exemplii ed by gingko, this

replacement makes it possible to use plants

having low concentration of active ingredients,

or containing toxic compounds that can

be removed by purii cation.13 Furthermore,

extracts are easier to standardized than whole

plants, and are also easier to store, securing

ei cacy and stability. Standardization is also

essential to identify dosages and safety of a

product. Plant extracts are somewhat similar

to multi-component preparations, and their

standardization is therefore more dii cult than

that of monomolecular drugs. Standardization

can refer to a single constituent (e.g. hypericin

or hyperforin for St. John’s wort) but most

often makes reference to a structurally

homogenous class of constituents, like

ginsenosides for ginseng or anthocyanines for

bilberry. In some cases, more than one class of

compounds is quantii ed, as in gingko, whose

extracts are standardized in l avonoids (24%)

and terpene lactones (6%).13 Many extracts

and compounds used in phytotherapy

come from food plants, as exemplii ed by

curcumin, silymarin, and grape seeds. Since

the absorption of natural products can be

very dif erent between a food matrix and a

pharmaceutical matrix (capsules, soft gels),

various promoters of absorption are used,

promoting absorption with a pharmacological

(piperine)- or formulative strategy. Within the

formulation strategies, lecithin formulations

have become increasingly popular in the

healthfood arena.20 Lecithin is a dietary

phospholipid endowed with “soap-like”

properties on compounds that do not dissolve

well into water. Lecithin formulations have

been developed for many herbal ingredients,

including curcumin,20 silibin, grape seeds

proanthocyanidins, and boswellic acids,

validating in terms of improved absorption

and ei cacy this important strategy.21

In the light of these considerations, it is clear

that the contrast between phototherapy

and pharmacology is not that between

modernity and obsolescence, but that

between the technology of Nature and that

of Man, or, better, between combinations of

active ingredients, like a plant extract can be

considered, and monomolecular drugs. Just

like modern medicines, also medicinal plants

and the extracts prepared from them act

because they contain specii c compounds

capable of modulating in a benei cial way

certain biological structures (enzymes,

transcription factors, receptors, nucleic

acids) whose malfunctioning underlie the

development of a disease. Phytotherapy

relies undoubtedly on tradition and the use

of plants in folk medicine, but there is ample

potential for innovating in the light of this

tradition.

Despite the poverty of the pharmaceutical

pipeline, three new drugs of plant origin were

approved by FDA in 2012.22 One of them

(Crophelemer) is a complex polyphenolic

extract from an Amazonian species (Croton

lechleri).22 Most plant diversity lies, indeed, in

the tropics, and is still substantially untapped

from a medicinal standpoint. Five centuries

ago, the search for tropical spices fostered

the Age of Exploration, and the study of

tropical medicinal plants has, undoubtedly,

the potential to help medicine to better

navigate the perilous seas of human diseases

and to discover access to new continents of

medicines.

DAFTAR PUSTAKA

1. M. A. Huf man, Animal self-medication and ethno-medicine: Exploration and exploitation of the medicinal properties of plants. Proc Nutrit Soc. 2003;62:371-3.

2. Haber B. The Mediterranean diet: a view from history. Am J Clin Nutr. 1997;66:1053-7S.

3. Lachance H, Wetzel S, Kumar K, Waldmann H. Charting, navigating, and populating natural product chemical space for drug discovery. J Med Chem. 2012;55:5989-6001.

4. Wang Y. Needs for new plant-derived pharmaceuticals in the post-genome era and industrial view in drug research and development. Phytochem Rev. 2008;7:395-406.

Page 57: Cdk 204 Interna

392

OPINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

5. McKay, DL, Blumberg JB. A review of the bioactivity and potential health benei ts of chamomile tea (Matricaria recutita L.). Phytother Res. 2006;20:519-30.

6. Ramadan M, Goeters S, Watzer B, Krause E, Lohmann K, Bauer R, Hempel B, Imming P. Chamazulene carboxylic acid and matricin: A natural profen and its natural prodrug, identii ed

through similarity to synthetic drug substances. J Nat Prod. 2006;69:1041-5.

7. Berene I, Daberte I, Zvirgzdina L, Iriste V. The complex technology on products of German chamomile. Medicina (Kaunas). 2003;39:127-31.

8. Nilius B, Appendino G. Tasty and healthy TR(i)Ps. The human quest for culinary pungengy. EMBO Reports. 2011;12:1094-101.

9. Wagner H, Ulrich-Merzenich G. Synergy research: Approaching a new generation of phytopharmaceuticals. Phytomedicine. 2009;16:97-110.

10. Luzzi MGR, Grossi MG, Belcaro G, Cesarone MR, Cornelli U, Dugall M, et al. Aescin: Microcirculatory activity: Ef ects of accessory components on clinical and microcirculatory ei cacy.

Panminerva Med. 2010;34:1-2.

11. Morazzoni P, Bombardelli E. Vaccinium myrtillus L. Fitoterapia. 67;1996:3-29.

12. Christensen LP. Ginsenosides: Chemistry, biosynthesis, analysis, and potential health ef ects. Food Nutr Res. 2009:55:1-99.

13. Fransen HP, Pelgrom SMGI, Steward-Knox B, de Kaste D, Verhagen H. Assessment of health claims, content, and safety of herbal supplemements containing ginkgo biloba. Food Nutr Res.

2010;54:5221-9.

14. Leuner K, Kazanski V, Muller M, Essin K, Henke B, Gollasch M, et al. Hyperforin–A key constituent of St. John’s wort- specii cally activates TRPC6 channels. FASEB J. 2007;21:4101-11.

15. ST, Dou J, Temple R, Agarwal R, Wu K-M, Walker S. New therapies from old medicines. Nature Biotechnol. 2008;26:1077-83.

16. Russo EB. Taming THC: potential cannabis synergy andd phytocannabinoid-terpenoid entourage ef ects. Br J Pharmacol. 2011;163:1344-64.

17. Appendino G, Chianese G, Taglialatela-Scafati O. Cannabinoids: Occurrence and medicinal chemistry. Curr Med Chem. 2011;18:1085-99.

18. Khajuria A, Thusu N, Zutshi U. Piperine modulates permeability characteristics of intestine by inducing alterations in membrane dynamics: Inl uence on brush border membrane l uidity,

ultrastructure and enzyme kinetics. Phytomedicine. 2002;9:224-31.

19. Gaillard Y, Pepin G. Poisoning by plant material: Review of human cases and analytical determination of main toxins by high-performance liquid chromatography-(tandem) mass spec-

trometry. J Chromatogr B. 1999;733:181-229.

20. Cuomo J, Appendino G, Adam S, Dern AS, Schneider E, McKinnon TP, et al. Comparative absorption of a standardized curcuminoid mixture and its lecithin formulation. J Nat Prod.

2011;74:664-9.

21. Semalty A, Semalty M, Rawat MSM, Franceschi F. Suparmolecular phospholipids-polyphenolics interactions: The phytosome strategy to improve the bioavailability of phytochemicals.

Fitoterapia. 2010;81:306-14.

22. Jarvis LM. A bountiful year. Chem & Eng News. 2013;4:15-7.

Page 58: Cdk 204 Interna

393

OPINI

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013 393

PROFIL

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Prof. dr. Zainal Muttaqin, SpBS(K), Ph.D.

Pakar Bedah Epilepsi Indonesia Bereputasi Internasional

Prof. dr. Zainal Muttaqin, SpBS(K), Ph.D. adalah pakar

bedah saraf pertama yang merintis metode bedah

untuk penderita epilepsi di Indonesia. Beliau lulusan

S3 sekaligus spesialis bedah saraf dari Universitas Hiroshima

Jepang.

Page 59: Cdk 204 Interna

394

PROFIL

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Cita-cita menjadi dokter baru muncul saat

SMA. Sedangkan obsesi untuk menjadi dokter

spesialis bedah saraf baru muncul mulai

semester delapan saat menjadi mahasiswa

kedokteran di Fakultas Kedokteran UNDIP

Semarang karena saat itu mulai ada mata

kuliah neurosurgery yang dibina oleh dr.

Amanullah.

Sejak SD, pria yang dikukuhkan sebagai

guru besar pada 1 Oktober 2007 ini sudah

membantu orangtua berdagang di pasar

Johar Semarang. Kalau Minggu, seharian

penuh membantu orangtua. Ia ke mana-

mana selalu membawa buku. Prestasi pria

kelahiran Semarang, 24 November 1957

ini dimulai saat kelas lima SD yang berhasil

menjadi juara II. Saat kelas enam SD menjadi

juara I. Saat SMP kelas dua dan tiga, menjadi

bintang kelas. Saat SMA, aktif berorganisasi di

OSIS, pramuka, drama, karate, Zainal terpilih

menjadi pelajar berprestasi se-SMA, dan

mengikuti pertukaran pelajar ke Plymouth-

Carver High School, USA dan Plymouth, Mass,

USA.

Aktivis – Organisatoris

Saat menjadi mahasiswa kedokteran, ia aktif di

organisasi HMI, Badan Perwakilan Mahasiswa

(mirip BEM), dan pengurus masjid. Literatur

medis dibacanya berulang-ulang agar paham.

Ke manapun pergi, ia membawa buku. Sambil

membaca, dibuat ringkasan. Uniknya, Zainal

biasa tidur 4-5 jam per hari. Kecintaannya pada

berorganisasi dibuktikannya dengan aktif

di berbagai organisasi profesi baik nasional

maupun Internasional, seperti: IDI (Ikatan

Dokter Indonesia), Perspebsi (Perhimpunan

Dokter Spesialis Bedah Saraf ), IKABI (Ikatan

Ahli Bedah Indonesia), Perhimpunan Dokter

Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI), PERPEI

(Perhimpunan Epilepsi Indonesia), ACNS

(ASEAN Conggress of Neurological Surgeons),

AOSBS (Asian Oceanian Skull Base Society).

Hingga kini, selain mengajar dan membimbing

mahasiswa S1, S2, PPDS, dan S3 di Fakultas

Kedokteran Universitas Diponegoro (FK

UNDIP), profesor yang memiliki ribuan jurnal

dan buku ini juga aktif sebagai pembina UKM

Rohani Islam (Rohis) UNDIP, pengurus Yayasan

Badan Wakaf Sultan Agung Semarang,

pengurus RS Roemani Semarang, anggota

komite medik RS Dr. Kariadi Semarang,

anggota komite medik dan panitia kredensial

RS Telogorejo Semarang.

Kecintaan pada neuroanatomi-neuroi siologi,

membuat suami Nadhira ini aktif mencari

kesempatan untuk mendapat beasiswa.

Sempat dua kali gagal menembus ujian

ECFMG (Education Commission for Foreign

Medical Graduate), ia berhasil meraih beasiswa

dari kedutaan besar Jepang. Di Jepang, beliau

belajar ilmu bedah saraf (neurosurgery) selama

5,5 tahun, dengan bimbingan Profesor Uozumi

di Universitas Hiroshima. Pendidikan di Jepang

tidak mengenal kelas akselerasi (percepatan)

karena pendidikan itu sebenarnya pematangan

jiwa dan pendewasaan pemikiran. Kurikulum

dan ilmu pengetahuan memang dapat

dipadatkan, namun kematangan pikiran

(termasuk metodologi berpikir) tidak

dapat dimampatkan, jadi memang perlu

berproses. Selain itu, juga ditekankan budaya

berkelompok dan kerjasama tim.

Ada hikmah yang mengesankan. Saat itu,

di Fukuoka akan diselenggarakan kongres

bedah saraf. Zainal mendengar kabar bahwa

salah satu tamu dari Indonesia adalah

dr. Iskarno dari Unpad, Bandung. Beliau

adalah ketua perhimpunan bedah saraf di

Indonesia. Zainal berhasil mengundang

beliau ke Hiroshima, dan diantar ke mana-

mana. Akhirnya Zainal menjadi akrab

dengan Iskarno. “Saya memang semaksimal

mungkin memanfaatkan setiap peluang dan

kesempatan untuk menjalin silaturahmi dan

networking dengan siapapun.” “Karena dapat

menjalin hubungan baik dengan siapapun,

banyak orang Jepang berkata bahwa saya

adalah investasinya yang terbesar. Mereka

bahkan mentargetkan bahwa dalam waktu

10 tahun, mereka harus mendengar nama

saya ada di Indonesia (reputasi baik di

bidang neurosurgery harus nyata terbukti).

Mereka juga siap membantu kapanpun saya

memerlukan mereka, termasuk saat saya

ingin mendirikan sentral epilepsi.” Saat balik

ke Indonesia, memang belum ada satupun

pusat epilepsi yang berdiri. Ia berupaya

membangun jejaring dengan semua ahli

di Indonesia dan Jepang. Terjadilah transfer

of skill, knowledge, dan konsep berpikir.

Alhamdulillah, akhirnya sentral epilepsi di

RS Kariadi dapat berdiri dan berkembang

hingga kini.

Jatuh cinta pada neuroanatomi-neuroi siologi

sama rasanya seperti jatuh cinta dengan

pujaan hatinya, Nadhira. Dengan tersenyum

beliau menuturkan, “Saya bertemu calon istri

(Nadhira) saat ada pertemuan organisasi di

HMI. Masa ta’aruf (perkenalan) saya tiga bulan,

setelah itu langsung menikah.”

Berprestasi Namun Rendah Hati

Tentang prestasi, profesor yang murah

senyum dan berbudi pekerti luhur ini dengan

rendah hati mengakui bahwa semua yang

diperolehnya adalah semata-mata karena

ridho Allah SWT dan restu kedua orang tua

(Bp. Yusuf Achmad dan Ibunda tercinta Siti

Muti’ah). Padahal beliau kaya prestasi, seperti:

dosen berprestasi baik di tingkat fakultas

maupun universitas (tahun 1998, 2000, 2005),

penerima excellent paper award pada 6th Asian-

Oceanian Skull Base Society (AOSBS) Congress di

Makuhari, Tokyo 2000 (Skullbase Meningioma

Operations in Indonesia), penerima excellent

paper award pada 4th Asian-Oceanian Epilepsy

Conggress (AOEC) di Karuizawa, Jepang,

2002 (Surgery for Temporal Lobe Epilepsy

in Indonesia), makalah terbaik ke-2 pada

PIT (pertemuan ilmiah tahunan) Perdici

(Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia)

2004 di Jakarta (Management of Subarachnoid

Hemorrhage in Indonesia: Present Status and

Future Direction), penerima Radiology Award

terbaik pada KONAS X Radiologi 2005 di

Yogyakarta (Neuroimaging in Epilepsy: MRI

evaluation in Intractable Temporal Lobe Epilepsy

patients). Selain itu karya ilmiah beliau lebih

dari 41 publikasi baik di tingkat nasional

hingga internasional, antara lain di: Hiroshima

J Med Sci, Neurosurgical Review, Neurologia

Medico Chirurgica, Surgical Neurology, Acta

Neurochirurgica, Springer – Verlag, World

Congress of Neurological Surgery Bologna

Medimond, Japanese Journal of Surgery for

Stroke, Japanese Journal of Clinical Monitoring,

Neurosonology, Elsevier Science Publishers New

York, Neurology Asia, Neuroradiology, National

Epilepsy Center Medical Institute of Neurological

Disorders Shizuoka.

Tentang rahasia sukses, Zainal mengaku

terinspirasi dari hadits riwayat Thabrani,

“Sesungguhnya yang paling baik di antara

manusia adalah mereka yang paling bisa

memberi manfaat bagi manusia lainnya.” Untuk

generasi muda yang berkeinginan menjadi

dokter, ia berpesan,”Jangan tergesa-gesa

untuk segera hidup enak atau terburu-buru

untuk cepat kaya. Perjalanan untuk aktualisasi

diri memerlukan waktu yang panjang.”

Dito Anurogo

Page 60: Cdk 204 Interna

395

PROFIL

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013 395

AGENDA

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

Current Concepts in Neonatal Care

Tanggal : 25-28 September 2013

Tempat : Napa Valley Marriott Hotel & Spa

Sekretariat : Symposia Medicus

Telp/Fax : (925) 969-1789

URL : www.symposiamedicus.org

PIT IKA VI 2013

Tanggal : 5-9 Oktober 2013

Tempat : The Sunan Hotel, Solo

Sekretariat : IDAI

Telp/Fax : 0812 2611 231 (dr. Septin)

Email : [email protected]

URL : www.pitika6solo.com

The 29th International Congress of “The Fetus as Patient”

Tanggal : 13-16 Oktober 2013

Tempat : Four Seasons Hotel, Jakarta

Sekretariat : Jl. Kimia no. 5, Jakarta Pusat

Telp/Fax : 021 3928721 / 021 3928721

URL : www.fetus2013.com

KONAS VIII Patologi Klinik

Tanggal : 23-25 Oktober 2013

Tempat : Sheraton Mustika Hotel, Jogjakarta

Sekretariat : Intalasi Lab Klinik RSUP Dr Sardjito

Telp/Fax : 0274 - 518687

13th PIT PERDOSKI XIII in Conjunction with 12th APEODS XII

Tanggal : 23-26 Oktober 2013

Tempat : Sahid Rich Jogja Hotel

Sekretariat : PERDOSKI cabang Jogjakarta

Telp/Fax : 0274 560700

Email : [email protected]

URL : apeods-pit2013.com

The 17th AFES Congress in Conjunction with The 22nd JDM

Tanggal : 13-16 November 2013

Tempat : Ritz Carlton Hotel, Jakarta

Sekretariat : Division of Endocrinology and Metabolism,

Departement of Internal Medicine, Faculty

of Medicine University of Indonesia/Cipto

Mangunkusumo National Hospital

Telp/Fax : 021-3907703, 3100075 / 021-3928658, 3928659

Email : [email protected]

URL : www.afes2013.org

The 5th International Conference on Fixed Combination in the Treatment of Hypertension,

Dyslipidemia and Diabetes Mellitus

Tanggal : 21-24 November 2013

Tempat : Bangkok, Thailand

Sekretariat : Noa Beer-Raveh, Conference Secretariat, Paragon

Conventions

Telp/Fax : 011-41-22-533-0948

Email : i xed2013@i xedcombination.com

URL : www.i xedcombination.com

The 5th Annual Conference on Emergencies in Pediatrics

Tanggal : 20-21 Desember 2013

Tempat : New York Hilton Midtown, New York City, New York

Sekretariat : Symposia Medicus

Telp/Fax : (925) 969-1789

URL : www.symposiamedicus.org

AGENDA KEGIATAN ILMIAH

Page 61: Cdk 204 Interna

397

INDEKS

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

INDEKS PENULIS

A

Azamris 357

D

Dimas Kusnugroho Bonardo Pardede 337

Dito Anurogo 352

G

Giovanni Appendino 388

H

Hendrawan Ariwibowo 348

M

M. Adi Firmansyah 342

N

Nata Pratama Hardjo Lugito 330

P

Prima Almazini 383

R

RHH Nelwan (Alm.) 327

Page 62: Cdk 204 Interna

398

INDEKS

CDK-204/ vol. 40 no. 5, th. 2013

INDEKS SUBJEK

A

ALS, 352-5

etiopatogenesis, 352-3

penatalaksanaan, 352, 355

biomarker, 353

kriteria diagnostik, 353-4

amyotrophic lateral sclerosis,

lihat ALS

anemia, 337-8, 340-1

Anopheles, 328-9

cracens, 328

maculatus, 328

D

diabetes melitus, 342, 343, 343g, 344,

344t, 345, 346, 346t

E

ekstrak tanaman terstandardisasi,

lihat standardized plant extracts

F

i toterapi,

lihat phytotherapy

G

gagal ginjal, 330

gout, 330-5

artritis, 330

primer, 332, 333g

juvenilis, 333

gouty nephropathy,

lihat nefropati urat kronik

H

hepsidin, 337-8, 339, 339g,

340, 340g, 341

hiperurisemia, 330-2, 333g, 334-5

K

kanker payudara, 357-8, 359, 359t,

360, 360t

pada kehamilan, 357-8, 359, 359t,

360, 360t

pada masa menyusui, 357-8

karsinoma nasofaring, 348-9, 350, 350t

klorokuin, 327, 329

M

Macaca fascicularis, 327

malaria, 327-9

mastektomi, 357

modii ed radical, 357-60

medicinal plants, 388-91

N

nefropati urat, 330, 332, 334-6

kronis, 334-6

P

penyakit ginjal kronis,

lihat PGK

PGK, 337-41

phytotherapy, 388, 390

Plasmodium, 327, 327g, 328,

328t, 329

knowlesi, 327, 327g, 328,

328t, 329

malariae, 327-9

falciparum, 327, 328t

vivax, 328t

cynomogli, 327

inui, 327

primakuin, 327, 330

puasa, 342, 343, 343g,

344, 344t, 345, 346,

346t

Ramadan, 342, 343, 344t,

345-6

Q

quotidian fever, 327, 329

S

standardized plant extracts, 388, 390-1

T

tanaman obat,

lihat medicinal plants

V

virus Epstein Barr, 348-9, 350, 350t