View
245
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Morfologi dan Kandungan Tanaman Gembili (Dioscorea esculenta
L.Burkill)
Gembili merupakan jenis tumbuhan yang berbuah di bawah tanah. Jenis umbi
ini tumbuh merambat dan dapat mencapai tinggi antara 3-5 m dengan daun
berwarna hijau dan batang berduri di sekitar umbi serta terdapat duri berwarna
hitam. Umbi gembili menyerupai ubi jalar dengan ukuran sebesar kepalan tangan
orang dewasa, berwarna coklat muda dan berkulit tipis. Umbi tersebut berwarna
putih bersih dengan tekstur menyerupai ubi jalar dan rasa yang khas (Richana
dkk, 2004). Gembili (Dioscorea esculenta L.Burkill) merupakan umbi dari
keluarga Dioscoreacea. Kelompok Dioscoreaceae yang ada di Indonesia meliputi
Dioscorea alata, Dioscorea hispida, Dioscorea pentaphylla, dan Dioscorea
bulbilfera. Keluarga Dioscoreacea mempunyai keunggulan dapat tumbuh di
bawah tegakan hutan tetapi sampai saat ini masih merupakan tanaman subsiten,
yaitu bukan tanaman pokok yang dibudidayakan, karena pemanfaatannya masih
terbatas. Keunggulan dari kelompok dioscorea adalah mengandung senyawa
bioaktif atau senyawa fungsional, selain komponen yang berperan sebagai bahan
pangan (Harijono,et a.l, 2010).
Gambar 1. Gembili (Dioscorea esculenta L.Burkill)
5
Gembili (Discorea esculenta L.Burkill ) mempunyai beberapa nama daerah,
di antaranya gembili, sudo, ubi aung, ubijahe, huwi butul, dan lain-lain. Jenis
ubiubian ini berasal dari Indo China, kemudian menyebar ke Asia Tenggara,
Madagaskar, India Utara, dan Papua. Jenis tersebut dapat tumbuh di dataran
rendah hingga ketinggian 700 m dpl. Di Afrika Barat ubinya dipakai sebagai
industri pati dan alkohol. Umbi yang kecil disebut gembili, sedangkan umbi yang
besar disebut gembolo. Daging umbinya berwarna putih sampai kekuningan. Pada
umumnya dibudidayakan sebagai usaha sambilan saja. Pada musim kemarau
mengalami masa istirahat selama 1-6 bulan. Menjelang musim hujan umbi ini
akan bertunas dan dipergunakan sebagai bibit. Perbanyakan dapat dilakukan
selain dengan umbinya, juga dapat dilakukan dengan stek batang. Umbi gembili
dapat mulai dipanen pada umur 8-9 bulan setelah masa tanam (Hanarida
dkk,2005).
Gembili cocok ditanam di daerah tropis dengan tanah yang gembur, tekstur
dan mengandung tanah ringan, drainase yang baik dan mengandung banyak bahan
organik, sehingga gembili memiliki prospek yang baik untuk di tanam di beberapa
daerah di Indonesia seperti daerah Jawa, Madura, Bali dan juga Sulawesi bagian
Selatan (Flach dan Rumawas, 1996).Umbi merupakan bagian utama gembili yang
sering digunakan dan karbohidrat merupakan komponen utamanya, terutama
amilopektin (Kumar, 2007).Gembili dimanfaatkan sebagai subsitusi dalam
pembuatan produk olahan dengan cara dikeringkan menjadi tepung atau diekstrak
patinya Putera (2013).
Gembili telah menjadi sumber bahan pangan sekunder yang penting di
beberapa negara tropis. Gembili mempunyai rendemen tepung umbi dan tepung
6
pati tertinggi (24,28% dan 21,4%) dibanding umbi-umbi lain. Ditinjau dari hasil
rendemennnya, gembili sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi tepung
maupun pati. Gembili dapat dipakai sebagai makanan tambahan atau makanan
pengganti untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras (Suhardi, 2002). Pada
kelompok Dioscorea mengandung polisakarida utama yaitu glukomanan.
Glukomanan memiliki beberapa sifat fisik yang istimewa, antara lain
pengembangan glukomanan di dalam air mencapai 138-200% dan terjadi secara
cepat (pati hanya mengembang 25%) (Glicksman, 1982). Dioscorin merupakan
protein simpanan pada umbi-umbian keluarga Dioscorea. Dioscorin dan hidrolisat
peptic dalam gembili menunjukkan penghambatan enzim pengubah angiotensin
dan juga aktivitas antihipertensi secara in vivo dan invitro (Chuang, 2007).
Tabel 1. Kandungan gizi gembili
Komposisi gizi Satuan Kandungan gizi
Kadar air % b/b 11,01
Kadar abu % b/b 2,75
Kadar lemak % b/b 2,69
Kadar protein % b/b 11,36
Kadar karbohidrat % b/b 74,16
Serat kasar % b/b 1,36
Vitamin A IU/ 100 g 600
Vitamin B1 mg/kg 9,67
Vitamin C mg/kg 6,01
Vitamin D mg/kg 5,40
2.2 Pati
Pati merupakan salah satu jenis polisakarida terpenting dan tersebar luas di
alam selain selulosa, lignin, pektin, khitin, dan lain-lain. Pati berfungsi sebagai
cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan yang terdapat di berbagai bagian
antara lain di dalam biji buah (padi, jagung, gandum), di dalam umbi (ubi kayu,
ubi jalar, talas, ganyong, kentang), dan pada batang (aren dan sagu). Bentuk pati
digunakan untuk menyimpan glukosa dalam proses metabolisme
7
(Tjokroadikoesoemo, 1986). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan
α-glikosidik. Tiap jenis pati mempunyai sifat yang tidak sama. Hal ini dipengaruhi
oleh panjang rantai karbonnya serta perbandingan antara molekul yang lurus dan
bercabang. Pati mengandung fraksi linier dan bercabang dalam jumlah tertentu.
Fraksi linier berupa amilosa, sedangkan sisanya amilopektin. Hasil pengamatan
amilosa untuk tepung umbi berkisar 6.01-11.90%, sedangkan amilosa pada pati
8.38-14.10%. Kadar amilosa dan amilopektin sangat berperan pada saat proses
gelatinisasi, retrogradasi dan lebih menentukan karakteristik pasta pati (Jane et al,
1999). Pati yang berkadar amilosa tinggi mempunyai kekuatan ikatan hidrogen
yang lebih besar karena jumlah rantai lurus yang besar dalam granula, sehingga
membutuhkan energi yang lebih besar untuk gelatinisasi (Smith, 1982). Granula
pati umbi gembili sebesar 0.75 µm. Ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan
umbi ganyong, suweg, dan ubi kelapa.
Komponen penyusun pati ada tiga, yaitu : amilosa, amilopektin dan bahan
antara (seperti protein dan lemak). Bahan antara tersebut biasanya terdapat dalam
jumlah 5-10% dari berat total (Banks dan Greenwood, 1975). Berat molekul pati
bervariasi tergantung pada kelarutan dan sumber patinya (Hart, 1990). Pati terdiri
dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi yang relatif larut
dalam air disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut air disebut amilopektin.
Struktur kimia amilopektin pada dasarnya sama seperti amilosa yang
terdiri dari rantai pendek α-(1,4)-glikosidik dalam jumlah besar. Perbedaannya,
amilopektin mempunyai tingkat percabangan yang tinggi dan bobot molekul yang
besar dengan ikatan α-(1,6)-glikosidik pada percabangannya. Tiap cabang
mengandung 20-25 unit D-glukosa. Adanya rantai cabang membuat amilopektin
8
memiliki ikatan yang lebih kuat daripada amilosa sehingga struktur molekulnya
lebih stabil. Karena itu amilopektin kurang larut dalam air dan cenderung bersifat
lengket (Winarno, 1995).
Tabel 2. Perbandingan Sifat Amilosa dan Amilopektin
Karakteristik Amilosa Amilopektin
Struktur umum Linear Bercabang
Ikatan α-1,4 α-1,4 dan α-1,6
Panjang rantai ~103
20 – 25
Derajat polimerisasi ~103
104-10
5
Kompleks dengan iod Biru (λ=650 nm) Ungu-coklat (λ=550 nm)
Produk hidrolisis dengan
α-amilase
Maltotriosa, glukosa,
maltosa, oligosakarida
Gula pereduksi (sedikit),
oligosakarida (dominan)
Pembentukan lapisan
film
Kuat Rapuh
Sumber : Pomeranz (1991)
Granula pati dapat menyerap air dan membengkak. Pembengkakan dan
penyerapan air oleh granula pati dapat mencapai kadar 30%. Peningkatan volume
granula pada selang suhu 55°C - 65°C masih memungkinkan granula kembali
pada kondisi semula. Apabila terjadi pembengkakan luar biasa dan granula pati
tidak dapat kembali ke keadaan semula, maka perubahan ini disebut gelatinisasi.
Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi dan besarnya
berbedabeda tergantung pada jenis pati dan konsentrasinya (Winarno, 1995).
Menurut Flach (1996) amilopektin mempunyai ukuran yang lebih besar daripada
amilosa karena bentuknya lebih rapat dan padat, tetapi mempunyai kekentalan
yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa struktur amilopektin lebih
kompak bila terdapat dalam larutan.
2.2.1 Amilosa
Amilosa merupakan homogililikan D-glukos dengan ikatan α-(1,4) dari
struktur cincin piranca, yang membentuk rantai lurus umumnya dikatakan sebagai
linier dari pati. Meskipun sebenarnya amilase dihidrolisa dengan β-amilase pada
9
beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna, β- amilase
menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutus ikatan
α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa.
Banyak satuan glukosa dalam setiap rantai tergantung pada sumbernya.
Biasanya setiap rantai mengandung 850 atau lebih unit glukosa dan dari setiap
rantai lurus tersebut terdapat satu titik cabang ikatan α-(1,6) glikosida. Berat
molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metoda ekstraksi yang
digunakan.Suatu karakteristik dari amilosa dalam suatu larutan adalah
kecendrungan membentuk koil yang sangat panjang dan fleksibel yang selalu
bergerak melingkar. Struktur ini mendasari terjadinya interaksi iodamilosa
membentuk warna biru.
Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-glikosidik, seperti
terlihat pada Gambar 1. Panjang rantai lurus tersebut berkisar antara 250- 2000
unit D-glukosa. Molekul amilosa tidak semua sama ukurannya, tergantung pada
sumber pati dan tingkat kematangannya. Berat molekul amilosa dipengaruhi oleh
panjang rantai polimer, sedangkan panjang rantai polimer dipengaruhi oleh
sumber pati (Fennema, 1976). Secara umum molekul amilosa dari umbi akar
mempunyai rantai yang lebih panjang dan berat molekul yang lebih tinggi
dibandingkan molekul amilosa yang berasal dari serealia.
Gambar 2. Struktur rantai molekul amilosa (Fennema, 1976).
10
2.2.2 Amilopektin
Struktur kimia amilopektin pada dasarnya sama seperti amilosa yang terdiri
dari rantai pendek α-(1,4)-glikosidik dalam jumlah besar. Perbedaannya,
amilopektin mempunyai tingkat percabangan yang tinggi dan bobot molekul yang
besar dengan ikatan α-(1,6)-glikosidik pada percabangannya (dapat dilihat pada
Gambar 2). Tiap cabang mengandung 20-25 unit D-glukosa. Adanya rantai
cabang membuat amilopektin memiliki ikatan yang lebih kuat daripada amilosa
sehingga struktur molekulnya lebih stabil. Karena itu amilopektin kurang larut
dalam air dan cenderung bersifat lengket (Winarno, 1995).Menurut Flach (1993)
amilopektin mempunyai ukuran yang lebih besar daripada amilosa karena
bentuknya lebih rapat dan padat, tetapi mempunyai kekentalan yang lebih rendah.
Hal ini menunjukkan bahwa struktur amilopektin lebih kompak bila terdapat
dalam larutan.
Amilopektin dan amilosa mempunyai sifat fisik yang berbeda. Amilosa
lebih mudah larut dalam air dibandingkan amilopektin. Bila amilosa direaksikan
dengan larutan iod akan membentuk warna biru tua, sedangkan amilopektin akan
membentuk warna merah. Dalam produk makanan amilopektin bersifat
merangsang terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makan yang berasal
dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, porus,
garing dan renyah. Kebalikannya pati dengan kandungan amilosa tinggi,
cenderung menghasilkan produk yang keras, pejal, karena proses mekarnya terjadi
secara terbatas.
Biasanya amilopektin mengandung 1000 atau lebih unit molekul glukosa
untuk setiap rantai. Berat molekul amilopektin glukosa untuk setiap rantai. Berat
11
molekul amilopektin bervariasi tergantung pada sumbernya. Amilopektin pada
pati umbi-umbian mengandung sejumlah kecil ester fosfat yang terikat pada atom
karbon ke 6 dari cincin glukosa (Greenwood dan Munro, 1976).
Gambar 3. Struktur rantai molekul amilopektin(Winarno, 1995)
2.3 Modifikasi Pati
Modifikasi adalah pati yang gagus hidroksinya telah mengalami perubahan
dengan reaksi kimia yang dapat berupa esterifikasi, eterifikasi, atau oksidasi
(Flenche, 1985). Pati yang telah termodifikasi akan mengalami perubahan sifat
yang dapat disesuaikan untuk keperluan-keperluan tertentu. Sifat-sifat yang
diinginkan adalah pati yang memiliki viskositas yang stabil pada suhu tinggi dan
rendah, daya tahan terhadap “sharing” mekanis yang baik serta daya pengental
yang tahan terhadap kondisi asam dan suhu sterilisasi (Wirakartakusuma, et al.,
1989). Teknik modifikasi dapat dibagi dalam tiga tipe yaitu modifikasi sifat
rheologi, modifikasi dengan stabilisasi, dan modifikasi spesifik. Termasuk dalam
modifikasi sifat rheologi adalah depolimerisasi dan ikatan silang. Proses
depolimerasi akan menurunkan viskositas dan karena itu dapat digunakan pada
tingkat total padatan yang lebih tinggi. Cara yang dapat dilakukan meliputi
dekstrinisasi, konversi asam, dan konversi basa dan oksidasi
12
Teknik modifikasi dapat dibagi dalam tiga tipe yaitu modifikasi sifat
rheologi, modifikasi dengan stabilisasi, dan modifikasi spesifik. Termasuk dalam
modifikasi sifat rheologi adalah depolimerisasi dan ikatan silang. Proses
depolimerasi akanmenurunkan viskositas dan karena itu dapat digunakan pada
tingkat total padatan yang lebih tinggi. Cara yang dapat dilakukan meliputi
dekstrinisasi, konversi asam, dan konversi basa dan oksidasi. Penelitian Fleche,
(1985) memperlihatkan bahwa modifikasi asam dan oksidan dapat menurunkan
viskositas pati jagung. Sifat pati termodifikasi yang dihasilkan dipengaruhi oleh
pH, suhu inkubasi dan konsentrasi pati yang digunakan selama proses modifikasi.
Sedangkan teknik ikatan silang akan membentuk jembatan antara rantai molekul
sehingga didapatkan jaringan makro molekul yang kaku. Cara ini akan merubah
sifat rheologi dari pati dan sifat resistensinya terhadap asam.
Sifat pati termodifikasi yang dihasilkan dipengaruhi oleh pH, suhu
inkubasi dan konsentrasi pati yang digunakan selama proses modifikasi.
Sedangkan teknik ikatan silang akan membentuk jembatan antara rantai molekul
sehingga didapatkan jaringan makro molekul yang kaku. Cara ini akan merubah
sifat rheologi dari pati dan sifat resistensinya terhadap asam. Modifikasi dengan
stabilitasi dilakukan melalui reaksi esterifikasi dan eterifikasi. Sebagai hasilnya
akan didapatkan pati dengan singkat retrogradasi yang lebih rendah dan stabilitas
yang meningkat. Pati termodifikasi komersil dihasilkan dari kombinasi cara
stabilisasi dan ikatan silang. Modifikasi spesifik didapat dari reaksi-reaksi yang
khas seperti kationisasi, karboksimetilasi, grafting dan oksidasi asam secara
periodik (Wirakartakusuma et al., 1989)
13
2.3.1 Modifikasi Kimia
Modifikasi kimia melibatkan penambahan gugus fungsi ke dalam molekul
pati yang menghasilkan perubahan sifat-sifat fisik-kimia. Modifikasi pati
semacam ini mengubah sifat-sifat gelatinisasi, pengeleman, dan retrogradasi
secara mendalam. Perubahan sifat-sifat pati yang didapat tergantung dari sumber
pati, kondisi reaksi (konsentrasi pereaksi, waktu reaksi, pH, dan katalis), tipe
subtituen, tingkatan subtitusi (Derajat subtitusi; DS1; atau subtitusi molar, MS2),
dan distribusi molekul pati. Modifikasi biasanya dilakukan dengan pembuatan
produk turunan secara eterifikasi, esterifikasi, cross-linking dan grafting pati;
dekomposisi (hidrolisis asam atau enzimatik dan oksidasi pati). Namun teknik-
teknik ini terbatas akibat masalah yang terkait lingkungan dan konsumen.
Selain dengan proses fisik, juga dapat dilakukan melalui modifikasi kimia,
antara lain pati hidroksipropil, pati adipat, pati asetilat, dan pati fosforilat.
Modifikasi lainnya yaitu pati ikatan silang, pati esterifikasi, pati hidroksietilat,
pati hidroksipropilat, pati kationik, pati anionik, pati nonionik, pati zwitterions,
dan pati suksinat (Wurzburg 1989).Modifikasi Pati secara kimia melibatkan
sejumlah bahan kimia ke dalam pati. Bahan kimia yang ditambahkan dapat berupa
asam, basa, garam, maupun unsur halogen. Berikut ini adalah beberapa modifikasi
yang banyak dijumpai di industri.
Degradasi dengan asam atau basa. Merupakan reaksi pemecahan pati
menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana seperti glukosa, maltosa dan
dextrin. Bahan kimia yang ditambahan berupa asam karboksilat, garam dari asam
kuat maupun Reduksi dan Oksidasi merupakan proses modifikasi pati menjadi
alkohol, pemanis untuk pengidap diabetes. Hasil dari modifikasi ini adalah
14
sorbitol dan maltitol. Reaksi reduksi biasanya melibatkan hidrogen dari katalis
Raney-Nickel.
Proses modifikasi yang lainnya adalah esterifikasi dengan menggunakan
asam organik maupun anorganik, asam anorganik yang boleh dalam industri
makanan asam fosfat. Pati termodifikasi tersebut dikenal dengan gelating agents.
Proses modifikasi selanjutnya adalah asetilasi yaitu pati termodifikasi yang
diperoleh dari mereaksikan pati dengan gugus hidroksil sehingga menghasilkan
hemiacetal dan aldehid. Pati cross-linking terbentuk dengan dialdehid. Reaksi
asetilasi merupakan reaksi reversible, karena itu gugus asetal tidak stabil selama
penyimpanan dan membebaskan asetil aldehid yang tidak diperbolehkan di
industri makanan. Namun, asetal aldehid seperti vanilin, eugenol dan aldehid
aromatik lainnya masih boleh digunakan untuk pembuatan kapsul semimicro.
Metode lainnya adalah halogenasi. Unsur halogen yang ditambahkan biasanya
klorin. Klorinasi bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat fisik tepung. Klorinasi
dilakukan dengan mereaksikan pati dengan PCl3, PCl5, POCl3 atau SOCl2
dimana gugus hidroksi pada glukosa disubstitusi dengan klorin. Selain itu
halogenasi juga sering digunakan untuk pemutihan terpung. (Lidiasari, 2006)
2.4 Cross-Linking
Modifikasi cross-linking memperkuat ikatan hidrogen antara granula pati
dengan ikatan kimia yang bertindak sebagai jembatan antara molekul pati. Faktor-
faktor yang penting dalam modifikasi cross-linking adalah komposisi kimia
pereaksi, konsentrasi pereaksi, pH, suhu, dan waktu reaksi. Karena derajat cross-
linking pada pati makanan sangatlah rendah, tingkatan reaksi dan hasil pati hasil
modifikasi sulit diukur secara kimiawi; sehingga diperlukan pengukuran secara
15
fisik. Ketika fosforil klorida (POCl3) ditambahkan ke slurry pati dengan kondisi
basa (pH 8-12), gugus hidrofilik fosfor langsung bereaksi dengan hidroksil pati,
membentuk dipati fosfat (distarch phospate).
Cross-linking tidak hanya mengubah sifat-sifat fisik namun juga sifat-sifat
transisi suhu pati, walaupun efek cross-linking bergantung pada sumber pati dan
jenis pereaksi cross-linking. Penurunan laju retrogradasi dan peningkatan suhu
gelatinisasi telah ditinjau dalam pati hasil cross-linking, dan fenomena ini 10
berkaitan dengan penurunan kemampuan gerak rantai amorf dalam granula pati
akibat jembatan antar molekul (Singh dkk., 2007).
Pati hasil cross-linking digunakan secara luas sebagai pengental makanan,
khususnya dimana kekentalan yang tinggi dan stabil diperlukan. Cross-linking
memperkecil pecahnya granula, hilangnya kekentalan, dan pembentukan pasta
yang lengket dalam pemasakan. Cross-linking dilakukan dengan mereaksikan
granula pati dengan pereaksi multifungsi yang mampu membentuk ikatan eter
atau ester dengan gugus hidroksil dalam pati. Ketika pereaksi spesifik
mengandung dua atau lebih bagian yang mampu beraksi dengan gugus hidroksil,
ada kemungkinan reaksi terjadi antara dua gugus hidroksil yang berbeda
menghasilkan cross-linking antara gugus hidroksil pada molekul yang sama atau
antara gugus hidroksil pada molekul yang berbeda (Gambar 4) (Miyazaki dkk.,
2006).
Cross-linking memperkuat ikatan hidrogen dalam granula dengan ikatan
kimia yang bertindak sebagai jembatan antara molekul. Sehingga, ketika pati hasil
11 cross-linking dipanaskan dalam air, granula dapat membengkak dan ikatan
hidrogen melemah; namun, pati hasil cross-linking dapat memberikan integritas
16
pati yang cukup untuk menjaga granula bengkak tetap utuh dan memperkecil atau
mencegah hilangnya kekentalan. Natrium asetat (SOP), Natrium trimetafosfat
(STMP), natrium tripolisfosfat, epiklorohidrin , fosforil klorida campuran
anhidridat adipat dan asetat, dan campuran anhidridat susinat dan vinil asetat
adalah pereaksi-pereaksi yang dapat digunakan secara legal untuk cross-linking
pati. Cross-linking pati meningkatkan kestabilan pati dalam proses pemasakan,
khususnya dalam kondisi asam. Namun, cross-linking juga mengurangi kejernihan
pasta dan kestabilan dalam pendinginan. Sehingga, modifikasi lebih lanjut seperti
hidroksipropilasi dan asetilasi digunakan untuk menghilangkan karakteristik pati
hasil cross-linking yang tidak diharapkan (Miyazaki dkk., 2006).
Gambar 4. Skema cross-linking pati (Miyazaki dkk., 2006)
2.5Edible Film
Edible film adalah pengemas organik yang terbuat dari senyawa
hidrokoloid, lemak atau kombinasi keduanya. Edible film (packaging) merupakan
suatu lapisan tipis yang terbuat dari bahan-bahan yang dapat dikonsumsi dan
digunakan sebagai pengemas (Krochta dan Johnston, 1997). Film sebagai
17
pengemas (edible packaging) menurut Baldwin dan Wong, et al., (1994) pada
dasarnya dibagi atas tiga bentuk pengemasan yaitu:
1. Edible film dibentuk berupa lapisan tipis (film) sebelum digunakan
untuk mengemas produk pangan.
2. Edible coating (pencelupan) berupa pengemas yang dibentuk langsung
pada produk.
3. Enkapsulasi yaitu suatu proses, dimana material inti dikemas dalam
suatu dinding untuk membentuk kapsul.
Bahan baku edible film dari protein contohnya yaitu protein jagung (Corn
Zein), protein gandum (wheat gluten), kolagen, protein kedelai (soy protein) dan
protein whey. Bahan baku edible film dari lemak contohnya yaitu gelatin.
Sedangkan bahan baku pembuatan edible film dari komposit yaitu gabungan
antara hidrokoloid dan lemak.Edible film yang berasal dari hidrokoloid misalnya
pati digunakan pada produk pangan yang memiliki kadar air rendah. Hal ini
karena pati bersifat hidrofilik, jika digunakan pada produk yang memiliki kadar
air tinggi dapat menyebabkan produk yang dikemas menjadi cepat membusuk.
Edible film dari pati dapat digunakan pada produk semi basah misalnya dodol atau
produk yang mengandung lemak seperti sosis (Krochta, et al., 1994).
Kelebihan edible film yang terbuat dari hidrokoloid yaitu dapat melindungi
produk terhadap oksigen, karbondioksida dan lipid. Kelemahan film dari
karbohidrat adalah tingkat ketahanan terhadap uap air rendah. Sedangkan film dari
protein sangat sensitif terhadap perubahan pH. Edible film dari lipid baik
digunakan untuk melindungi penguapan air pada produk. Namun kegunaan dalam
bentuk murni sebagai film terbatas karena kekurangan integritas dan
18
ketahanannya. Edible film dari komposit dapat meningkatkan kelebihan dari film
hidrokoloid dan lemak serta mengurangi kelemahannya. Akan tetapi penggunaan
komposit sebagai bahan dasar pembuatan edible film membutuhkan biaya yang
cukup tinggi (Danhowe dan Fennema, 1994).
Edible film paling tidak harus mengandung satu komponen yaitu berat
molekul tinggi, terutama bila diharapkan akan membentuk film yang relatif kuat.
Struktur polimer rantai panjang diperlukan untuk menghasilkan materials film
dengan kekuatan kohesif yang tepat. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam
pembentukan edible film adalah:
1. Suhu
2. Keasaman (Ph)
3. Konsentrasi pati
4. Plasticizer dan bahan aditif lain
(Banker, 1996 dalam kester dan fennema, 1986).
2.6Pembuatan Edible film
Langkah-langkah Pembuatan edible film atau biofilm seperti dilakukan
Wafiroh, dkk (2010) dimulai dengan proses pembuatan dope yaitu larutan pati
dengan konsentrasi (1, 2, 3, 4, 5)% akan diberi kode (larutan 1, 2, 3, 4, 5) dengan
masing-masing larutan pati sebanyak 3 buah dengan kode (larutan A, B, C).
Setiap kode dari larutan pati akan ditambah larutan kitosan 2% dan untuk setiap
konsentrasi larutan pati-kitosan akan ditambahkan polivinil alkohol bervariasi 1, 2
dan 3 gram kemudian semua campuran tersebut diaduk selama 15 menit
menggunakan magnetic stirrer dengan cara dipanaskan diatas hot plate pada suhu
70-80 ◦C sampai homogen. Setelah itu campuran tadi akan di tuang dalam cetakan
19
biofilm (nampan) yang sudah di sterilisasi terlebih dahulu, biofilm berbentuk
lembaran dengan kadar air cukup tinggi dan terdapat gelembunggelembung udara
sehingga biofilm harus didiamkan sampai gelembung tersebut hilang selama 24
jam di udara bebas, lalu dikeringkan dalam oven dengan suhu 60◦C selama 12
jam. Kemudian biofilm tersebut dilepaskan
dari cetakannya dengan cara mengangkat lembaran tipis (biofilm) dari salah satu
sisi kearah horisontal secara pelan-pelan hingga seluruh permukaan biofilm
terlepas dari cetakannya. Setelah itu biofilm tersebut siap untuk diuji karakteristik
dan sifat mekaniknya.
Pembuatan film plastik ini dilakukan dengan memasukkan air sebanyak
100 ml ke dalam Beaker gelas dan ditambahkan pati sebanyak 10 g, asam asetat 3
ml, dan gliserol 0 ml. Campuran pati tersebut dipanaskan dengan menggunakan
magnetic stirrer hotplate selama 1 jam pada temperatur 72-74 ◦C hingga
terbentuk gelatin. Kemudian diukur pH pada larutan, tambahkan NaOH 0,1 M
sampai pH pada larutan netral. Setelah terbentuk gelatin, ditambahkan kitosan 1
% sebanyak 100 ml kedalam larutan pati kentang. Panaskan hingga terjadi
gelatinisasi kembali. Larutan yang telah tergelatinisasi dituang ke dalam cetakan
akrilik untuk proses pencetakan, lalu didiamkan selama 2x24 jam di ruangan
bertemperatur normal. Kemudian proses tersebut diulang untuk variasi yang lain
(Darni, 2010).
Pada umumnya pembuatan edible film dari satu bahan memiliki sifat
sebagai barrier atau mekanik yang baik, tetapi tidak untuk keduanya. Interaksi
antara dua jenis polimer sakarida membentuk jaringan yang kuat dengan sifat
mekanis yang baik, tetapi tidakefisien sebagai penahan uap air karena bersifat
20
hidrofil. Film darilemak memiliki sifat penghambatan yang baik, tetapi mudah
patah. Oleh karena itu, dalam pembuatan edible film sering ditambahkan bahan
yang bersifat hidrofob untuk memperbaiki sifat penghambatan (barrier properties)
edible film (Callegarin,et al., 1997).
Menurut Bureau dan Minton (1996), pembentukan edible film memerlukan
sedikitnya satu komponen yang dapat membentuk sebuah matriks dengan
kontinyuitas yang cukup dan kohesi yang cukup. Derajat atau tingkat kohesi akan
menghasilkan sifat mekanik dan penghambatan film; sedangkan menurut Fenema
(1976), umumnya komponen yang digunakan berupa polimer dengan berat
molekul yangtinggi. Struktur polimer rantai panjang diperlukan untuk
menghasilkan matriks film dengan kekuatan kohesif yang tepat. Kekuatan kohesif
film terkait dengan struktur dan kimia polimer, selain itu juga dipengaruhi oleh
terdapatnya bahan aditif seperti bahan pembentuk ikatan silang.
2.7 Bahan Tambahan Edible
2.7.1 Gliserol
Gliserol merupakan senyawa yang diperlukan untuk mensintesa lemak
melalui reaksi esterifikasi dengan asam lemak. Sintesis gliserol dalam tanaman
terjadi melalui serangkaian reaksi biokimia. Pada reaksi esterifikasi dengan asam
lemak fruktosa difosfat diuraikan oleh enzim aldosa menjadi dihidroksi aseton
fosfat, yang kemudian direduksi menjadi alphagliserolfosfat. Gugus fosfat
dihilangkan melalui proses fosforilasi sehingga akan terbentuk molekul gliserol
(Winarno, 1992). Gliserol adalah senyawa golongan alkohol polihidrat dengan
tiga buah gugus hidroksil dalam satu molekul (alkohol trivalen). Rumus kimia
21
gliserol adalah C3H8O3. Berat molekul gliserol 92,1 dan titik didihnya 204° C
(Winarno, 2002).
Gliserol memiliki sifat mudah larut dalam air, meningkatkan viskositas
larutan, mengikat air, dan menurunkan aktivitas air (Fennema, 1994). Gliserol
efektif digunakan sebagai plasticizer pada film hidrofilik, seperti pektin, pati,
gelatin, dan modifikasi pati, maupun pada pembuatan biodegradable film berbasis
protein. Gliserol merupakan suatu molekul hidrofilik yang relatif kecil dan mudah
disisipkan di antara rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus
amida pada proteim gluten. Hal itu berakibat pada penurunan interaksi langsung
dan kedekatan antar rantai protein. Selain itu, laju transmisi uap air yang melewati
film gluten juga dilaporkan meningkat seiring dengan peningkatan kadar gliserol
dalam film akibat dari penurunan kerapatan jaringan protein (Gontard, 1993).
Menurut Liu dan Han (2005), tanpa plasticiser amilosa dan amilopektin
akan membentuk suatu film dan suatu struktur yang bifasik dengan satu daerah
kaya amilosa dan amilopektin. Interaksi-interaksi antara molekul-molekul amilosa
dan amilopektin mendukung formasi film, menjadikan film pati jadi rapuh dan
kaku. Keberadaan dari plasticizer di dalam film pati bisa menyela pembentukan
double helices dari amilosa dengan cabang amilopektin, lalu mengurangi interaksi
antara molekul-molekul amilosa dan amilopektin, sehingga meningkatkan
fleksibilitas film pati.
Gliserol efektif digunakan sebagai plasticizer pada film hidrofilik, seperti
pektin, pati, gel, dan modifikasi pati, maupun pembuatan edible film berbasis
protein. Gliserol merupakan suatu molekul hidrofilik yang relatif kecil dan mudah
disisipkan diantara rantai protein dan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus
22
amida dan protein gluten. Hal ini berakibat pada penurunan interaksi langsung dan
kedekatan antar rantai protein. Selain itu, laju transmisi uap air yang melewati
film gluten yang dilaporkan meningkat seiring dengan peningkatan kadar gliserol
dalam film akibat dari penurunan kerapatan jenis protein (Gontard, 1993).
Menurut Winarno (1997) Gliserol adalah senyawa alkohol polihidrat
(poliol) dengan 3 buah gugus hidroksil dalam satu molekul atau disebut alkohol
trivalent. Nama lain gliserol adalah gliserin. Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3.
Gliserol bersifat higroskopis, tidak berwarna, tidak berbau, rasanya manis,
bentuknya liquid sirup, mudah larut dalam air dan dapat meningkatkan viskositas
larutan. Berat molekul gliserol 92,10 g/mol, massa jenisnya 1,23 g/cm3, titik
didihnya 204oC dan meleleh pada suhu 17,8
oC. Struktur gliserol dapat dilihat pada
Gambar 5.
Gambar 5. Struktur Molekul Gliserol
2.7.2Cross-Linking Agent
2.7.2.1 STPP (Sodium tripolyphosphate)
Dalam pembuatan edible film, perlu dilakukan penambahan bahan – bahan
lain, selain bahan utama. Diantaranya adalah STPP. Keterangan tentang STPP
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sodium tripolyphosphate (STPP)
23
Natrium tripolifosfat atau sodium tripolifosfat (STPP) adalah bahan kimia
berbentuk serbuk dan atau butir - butir halus berwarna putih yang terdiri dari
Na5P3O,0. Pemberian STPPmaksimal 0,4% (b/v) sebagai bahan tambahan
makanan, sedangkan syarat mutu meliputi susutpengeringan kadar Na5P3O, 0
( dihitung sebagai P2O5 ) (Deptan,2006). Selain itu, penambahangaram alkali juga
dapat memberikan karakter aroma dan flavor yang khas, memberikan warna
kuning, serta tekstur yang kuat dan elastis pada adonan mie (Kruger,et al., 1996)
Pembentukan pati monophosphate merupakan salah satu cara untuk memperbaiki
sifatalami pati. Pembentukan pati monophosphate ini dapat dilakukan dengan
penambahan garamseperti ortho-, pyro-, atau tripolyphosphate. Penambahan
garam akan menghasilkan pati yangmemiliki viskositas tinggi, kenampakan cerah
dan gel yang kompak (Whistler, 1967).Polyphosphate adalah komponen kimia
yang berfungsi sebagai buffer dan poliamin yangberperan untuk meningkatkan
kuat ionik (Sofos, 1986). Starch monophosphate sebagai patitermodifikasi dapat
dibuat dengan mereaksikan pati dengan mono atau orthophosphate atauSTPP
dengan kadar yang dinyatakan tidak lebih dari 0,4% . Model reaksi pati dengan
STPPdapat dilihat pada Gambar 6. (Stephen, 1995).
Gambar 6.Model Reaksi Pati dengan STPP
Recommended