View
0
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Bagian Pertama
KONSEP-KONSEP KECANTIKAN : Dari Tradisi ke Globalisasi
A. Beberapa Catatan Konsep Cantik
Pengaruh globalisasi yang melanda duia sejak akhir abad ke 20, telah
menciptakan suatu fenomena baru yang pada gilirannya juga akhirnya melahirkan
ideologi baru pula dengan cirri-ciri yang berbeda sebelumnya. Dunia seakan tanpa batas
rang dan waktu. Globalisasi menjadi suatu penanda era baru bahwa “demam” baru telah
muncul. Tak seorangpun mampu memebendung ataupun menolak “demama” baru itu.
Dunia yang benar-benar baru, atau sekedar rekayasa baru tidaklah terlalu penting, karena
diksi “baru” menjadi ideology yang diusung globalisasi. Ini berarti banyak tatanan social
budaya dalam kehidupan masyarakat yang mengalami perubahan, dari yang bersifat
radikal, cepat, instant, maupun yang bersifat evaluative, lamban dan penuh
pertimbangan.Secara ironi, Barker (2005:: 133) member pejlsan dan sekaligus mengakui
bahwa wacana globalisasi turut memberikan kekacauan baru dalam konteks perubahan
budaya yang secara multidimensional saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi,
agama, gender dan identitas. Lebih lanjut, dikatakan bahwa proses globalisasi yang
berciri ekonomi banyak mengacu pada sekumpulan aktivitas ekonomi sebagai praktik-
praktikkapitalisme dalam hal ini terkait dengan isu-isu makna cultural dan proses-proses
cultural global (Barker, 2005: 150).
Begitu menjelajah pengaruh globalisasi hingga hampir menyentuh pada semua
aspek kehidupan manusia. Termasuk di dalamnya tubuh (body) juga mengalmi
transplantasi globalisasi. Kaum perempuan mengalami estetisasi melalui proses
konstruksi. Laki-laki juga tidak ketinggalan dengan gaya yang semakin sulit dibedakan
antara tempat yang satu dengan lainnya. Globalisasi adalah kekuasaan media massa,
karena kehadiran media tidak bisa diabaikan dalam mengkonstruksi kecantikan tubuh
perempuan. Konstruksi kecantikan yang dibangun oleh media adalah kecantikan dengan
criteria universal, seperti kulit putih, tinggi, wajah simetris, pinggul ramping dan
payudara peuh berisi. Idealisme kulit putih ini misalnya, dapat dilihat dari berbagai iklan
produk pemutih di majalah, televisi, mulai dari pemain sinetorn, model, penyanyi dan
artis-artis lain yang mayorotas berkulit putih.
Pada dasarnya kecantikan bukan merupakan entitas yang berdiri sendiri. Dia
memiliki akar dalam budaya suatu masyarakat. Kebudayaan suatu masyarakat sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat komunitas itu berada. Keadaan geografis,
iklim, potensi dan tantangan-tantangan alam juga sangat menentukan wujud kebudayaan.
Keragaman mata pencaharian, pola hidup dan aspek-aspek kebudayaan yang dilahirkan
berikutnya, mulai dari budaya fisik, sampai ke idelogi masyarakat sangat dipengaruhi
oleh factor alam. Karenanya kebudayaan dikatakan sebagai strategi manusia dalam
melakukan adaptasi terhadap lingkungan mereka, sebab kondisi lingkungan yang
berbeda-beda sangat potensial bagi terbentuknya keragaman budaya masyarakat yang
menempatinya (Purwanto, 2000:v). Paka lain juga menyatakan bahwa system budaya
juga berfungsi sebagai resep untuk bertindak atau model tentang (model of) dan model
untuk (model for), sehingga dalam kecantikan tubuh juga ada nlai yang mengatur
(Geertz, 1999; Atmadja, 2007:13).
Berkaitan dengan hal tersebut, knsep-konep tentang keindahan yang dianut, tentu
berbeda antara satu masyarakat yang mendiami suatu daerah dengan masyarakat lain
yang juga berada di daerah lain.Dalam konteks budaya Bali, konsep tentang kecantikan
tubuh perempuan banyak ditemukan pada ungkapan-ungkapan sastra, lontar atau yang
hidup dalam tradisi lisan. Sumber-sumber lain seperti lontar(Rukmini Tatwa), ceritera-
ceritera rakyat (mitos) juga berperan dalam pembentukan kesan melalui karakter tokoh
utama perempuan yang mempunyai citra cantik.
Uraian di atas telah menggambarkan bahwa sejak dahulu di dalam kebudayaan Bali terdapat
berbagai aspek antara lain sastra dan upacara keagamaan yang mencerminkan konsepsi tentang
kecantikan, dan dapat diacu dalam mengkonstruksikan kecantikan kaum perempuan Bali. Akan
tetapi konstruksi kecantikan tubuh perempuan Bali pada era globalisasi dewasa ini tidak hanya
mengacu pada aspek sosial budaya masyarakat Bali (budaya lokal) tetapi lebih banyak
berorientasi pada pasar yang berpengaruh kuat melalui berbagai media. Ini berarti bahwa ada
aspek sosial budaya Bali yang merupakan acuan bagi konsepsi tentang kecantikan telah
terdesak oleh budaya global dalam proses konstruksi kecantikan tubuh perempuan. Padahal
menurut teori akulturasi, unsur-unsur sosial budaya yang telah lama mengakar dalam kehidupan
masyarakat, apalagi unsur-unsur sosial budaya tersebut menyangkut aspek keagamaan biasanya
sangat sulit berubah walaupun bersentuhan secara intensif dengan budaya asing
(Koentjaraningrat, 1990).
Dalam konteks di atas, maka ada tiga hal yang menarik untuk dikaji melalui penelitian
secara mendalam, yaitu (1) konsepsi kecantikan yang menjadi acuan dalam konstruksi
kecantikan tubuh perempuan pada masyarakat dan budaya Bali masa kini, (2) mekanisme kerja
unsur-unsur budaya global dan budaya lokal dalam proses konstruksi kecantikan tubuh
perempuan Bali, dan (3) praktik-praktik pemaknaan yang dilakukan oleh kaum perempuan Bali
terhadap konstruksi kecantikan tersebut.
B. Rekonseptualisasi Citra Perempuan Bali
Riset-riset tentang kecantikan perempuan Bali telah banyak dilakukan, terutama yang
berkaitan dengan persoalan konstruksi kecantikan. Sudiarta (2006), mengungkapkan bahwa,
konsep-konsep kecantikan tradisional yang ada di Bali, hidup di tengah masyarakat dalam
bentuk ungkapan yang menjadikan benda alam sebagai anasir dan asosiasi untuk menyatakan
keindahan dan kecantikan wajah dan tubuh seorang wanita. Pencitraan sebagai konsep
kecantikan yang melampaui bentuk, digunakan wanita-wanita cantik dalam mitologi sebagai
pengibaratan.
Hasil penelitian Aquarini Priyatna Prabasmoro (2003) dalam tulisannya dengan judul
Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Femininitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun,
memfokuskan penelitiannya pada selebritis perempuan Indo yang direpresentasikan dalam iklan
sabun dan budaya perempuan dalam hubungannya dengan gagasan keputihan, dengan fokus
perhatian pada dua selebritis papan atas Indonesia, yaitu Tamara dan Latjuba. Substansi buku ini
menjelaskan bahwa, kulit putih dianggap sebagai ras superior, karena itu dinormalkan dan
diidealkan. Bahkan putih dan keputih-putihan adalah hal yang signifikan, bukan saja dalam
katagori sebagai ras, melainkan juga dalam definisi dan konstruksi kecantikan femininitas,
seksualitas, dan domestisitas perempuan. Persepsi kecantikan dan keterkaitannya dengan kulit
putih adalah sesuatu yang mempunyai sejarah cukup lama, dan iklan sabun itu menjadi agen
rasisme, kolonialisme, dan imperialisme. Dijelaskan lagi, bahwa iklan dan konstruksi kecantikan
tergantung pada kebudayaan yang menjajah (imperial culture) dan alam yang terjajah (colonized
nature) sebagai dikotomi hitam/putih. Kulit hitam dianggap sebagai “alam”, yang dalam konteks
ini mengimplikasikan seseorang yang tidak berbudaya, tidak beradab, liar, dan juga orang kotor
dan tercemar yang perlu dipurifikasi. Kajian ini kiranya dapat diduga sepenuhnya berada dalam
ranah globalisasi, tanpa melirik unsur-unsur lokal (kearifan lokal), yang sampai saat ini masih
cukup berperan dalam mengkonstruksi kecantikan perempuan, di samping juga budaya modern
dan populer. Berdasarkan dugaan tersebut, maka hal-hal yang belum disoroti, dikaji dalam
penelitian ini. Dengan demikian, pentingnya kajian tersebut penting untuk membangun dugaan
sekaligus membuktikannya, sehingga diperoleh hasil yang menunjukkan originalitas penelitian.
Selanjutnya, kajian Melliana (2006), tentang “Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos
Kecantikan”, menjelaskan bahwa perempuan metropolis dari golongan menengah ke atas, lebih
banyak terpengaruh oleh iklan dan media massa, serta strategi kapitalisme yang memang lebih
ditujukan bagi mereka. Karena itu, perempuan ini lebih mudah mengalami citra tubuh negatif
karena adanya kesenjangan antara citra tubuh ideal dan citra tubuh nyata. Sebaliknya, bagi kaum
perempuan dari kalangan sosial-ekonomi bawah, tidak begitu terpengaruh oleh kapitalisme dan
konsumerisme, di samping karena daya belinya rendah, juga waktu yang dimiliki sangat terbatas.
Hasil kajian Melliana ini jelas memfokuskan perhatian pada kecantikan perempuan dalam
konteks globalisasi, namun tidak sampai pada pergulatan globalisasi, negara dan unsur budaya
lokal dalam mengkonstruksi kecantikan perempuan. Karena itu, pemikirannya dapat dijadikan
pedoman dalam menentukan arah penelitian ini, agar dapat memperlihatkan originalitas.
C. Pendekatan-pendekatan Konstruksi Kecantikan
Konstruksi diartikan sebagai suatu proses untuk membentuk atau membangun
sesuatu hal tertentu. Konstruksi kecantikan diartikan sebagai proses pembentukan tubuh
perempuan supaya menjadi cantik. Konstruksi yang dimaksud dalam hal ini adalah
konstruksi sosial, yaitu suatu cara untuk membentuk realitas sosial tertentu. Dalam hal
ini konstruksionisme sosial menekankan bagaimana realitas keadaan dan pengalaman
tentang sesuatu diketahui dan diinterpretasi melalui aktivitas sosial (Lupton, 1994.;
Berger, 1991: 3, dan Abdullah, 1995: 23). Dalam konteks ini Berger (1994: 23) juga
menyatakan bahwa konstruksi sosial sebagai suatu cara, yang meliputi tiga tiga hal, yaitu
(1) eksternalisasi, merupakan proses kreatif atau ekspresi diri manusia di dalam
membangun tatanan kehidupan, atau biasa juga diartikan sebagai proses penyesuaian diri
manusia dengan lingkungannya; (2) objektivasi, adalah proses menjadikan tatanan
kehidupan yang dibangun oleh manusia sebagai suatu realitas objektif yang terpisah
dengan subjektivitas; .dan (3) internalisasi, merupakan proses yang mana nilai-nilai
general atau realitas obyektif dipelajari kembali oleh individu dan dijadikan sebagai
bagian dari hidupnya. Hal ini menyangkut identifikasi individu ke dalam realitas
obyektif.
Dalam konstruksi, terdapat stimulus lingkungan sosial budaya yang dilihat,
didengar, dan dialami sendiri oleh manusia, kemudian diinterpretasi dan dipersepsi oleh
mereka sesuai dengan pengalaman masing-masing. Selanjutnya, terinternalisasi,
menghasilkan respons-respons dalam menghayati citra diri, serta berpengaruh dalam
proses sosial. Dalam konstruksi ini akan terjadi pengurangan atau penghilangan gagasan-
gagasan atau nilai-nilai tertentu (dekonstruksi), karena dianggap sudah tidak sesuai
dengan perkembangan zaman sebaliknya penghidupan kembali unsur-unsur yang dulunya
hampir hilang (reproduksi), karena mampu memenuhi kepentingan (Abdullah, 2006: 41).
Berdasarkan paparan tersebut, tampaknya konsep kecantikan, perlu dibedakan antara
yang klasik, modern, dan postmodern. Kecantikan klasik lebih mengarah pada ukuran-ukuran
tubuh yang proporsional sesuai dengan konsepsi ideal yang digariskan oleh budaya, dan
perpaduan antara kecantikan fisik dan mental (inner buauty), serta menekankan pada keselarasan
hubungan dengan alam. Kecantikan tradisional banyak mengambil perumpamaan dari keindahan
alam. Kecantikan modern, lebih mengarah pada keseragaman atau universalitas, seperti kulit
putih, dan ukuran-ukuran tubuh yang proporsional, dan semuanya mengarah pada hal-hal yang
modern. Sedangkan kecantikan postmodern, adalah kecantikan yang mengacu pada makna
pluralitas, heterogenitas dan bersifat sangat subyektif. Dalam penelitian ini, yang dimaksud
adalah ketiga konsepsi tersebut (klasik, moderen dan posmodern). Ketiganya masih
memperlihatkan saling keterkaitan, yakni unsur-unsur atau ide-ide kecantikan klasik (tradisional)
yang masih ada dan diacu dalam mengkonstruksi kecantikan tubuh perempuan, baik modern
maupun posmodern.
D. Beberapa Pandangan Teoritik
Berger menjelaskan ada keterlibatan individu dalam proses konstruksi sosial. Realitas
sosial terbentuk melalui proses dialektika antara diri (the self) dengan dunia sosiokultural.
Manusia sebagai pencipta realitas sosial, sebaliknya realitas sosial membentuk manusia.
Realitas sosial mengandung skema-skema tifikasi atas mana orang lain dipahami dan
diperlukan (Berger dan Luckmann, 1990: 44). Kesadaran individu akan lingkungan sosial
dan budayanaya akan membentuk masyarakat, dan bersamaan dengan itu “dunia” yang
dibentik individu dengan masyarakat pada gilirannya akan mempengaruhi pula ke dalam
kesadaran seseorang.
Pada intinya teori konstruksi sosial menekankan pada sistem pengetahuan individu
dalam suatu kebudayaan. Setiap tindakan atau interaksi sosial selalu dibimbing oleh suatu
sistem pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat. Pengetahuan ini menyediakan
petunjuk-petunjuk praktis untuk interaksi para individu dalam masyarakat. Individu-individu
secara intersubyektif berbagi pengetahuan satu dengan yang lainnya dan secara kontinyu
memodifikasi pengetahuan tersebut (Nugroho, 2001; Atmadja, 2007: 2). Sedangkan menurut
Geertz (1973; Keesing, 1992; Atmadja, 2007), bahwa pengetahuan berfungsi sebagai sistem
bertindak dan atau sarana untuk menginterpretasi maupun memberikan makna terhadap suatu
kondisi, sebagaimana tercermin pada tindakan mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Sistem pengetahuan dalam konstruksi sosial diperoleh melalui dialektika individu dengan
kebudayaannya yang terjadi dalam tiga proses yang berlangsung simultan, yakni
internalisasi, objektivasi dan eksternalisasi (Berger dan Lucmann, 1990; Berger, 1994;
Abdullah, 2006a; Koeswinanrno, 2007). Eksternalisasi merupakan proses ekspresi diri
manusia secara kreatif dalam membangun tatanan kehidupan untuk mengimbangi dirinya
dengan cara membangun suatu dunia. Hanya dalam suatu dunia yang dihasilkan oleh dirinya
sendiri manusia bisa menempatkan dan merealisasikan diri. Dengan demikian eksternalisasi
merupakan proses penyesuaian diri manusia dengan lingkungannya (Berger, 1994: 5).
Dengan demikian eksternalisasi merupakan proses penyesuaian diri manusia dengan
lingkungannya (Berger, 1994: 5). Objektivasi adalah proses menjadikan tatanan kehidupan
yang dibangun oleh manusia sebagai suatu realitas objektif yang terpisah dengan
subjektivitas. Berdasarkan kemampuan mengekspresikan diri, manusia dapat mengadakan
objektivasi. Artinya ia memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang
tersedia, baik bagi penciptanya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari hidup bersama.
Objektivasi menyangkut pemberian makna-makna oleh manusia kepada kegiatan dan
kebiasaan-kebiasaan, sehingga tidak diperlukan pendefinisian kembali pada setiap situasi.
Proses-proses pembiasaan merupakan langkah awal dari pelembagaan atau proses
pembudayaan. Tindakan-tindakan berpola yang sudah dijadikan kebiasaan, membentuk
lembaga-lembaga yang merupakan milik bersama. Lembaga-lembaga ini mengendalikan atau
mengatur perilaku individu (Berger, 1990: 75).
Bagian Kedua
Ruang-Ruang Kcantikan di Kota Denpasar
A. Denpasar Yang Berubah
Kota Denpasar adalah salah satu kota di antara sembilan kabupaten/kota yang ada
di Provinsi Bali. Secara historis Denpasar pada awalnya adalah pusat kerajaan Badung.
Oleh karena itu, Kota Denpasar merupakan perkembangan dari ruang kota kerajaan, dan
Puri Denpasar sebagai pusat pemerintahan ketika itu. Secara etimologis, Denpasar berasal
dari dua kata yaitu kata den dan pasar. Kata den berarti utara, sedangkan kata pasar
berarti pasar atau peken. Denpasar berarti di utara pasar, yang sekaligus juga
menunjukkan lokasi puri saat itu berada di sebelah utara pasar (Salain, 2005: 143). Selain
menunjukkan lokasi puri, kehadiran pasar bisa juga diartikan sebagai tanda dari
perkembangan perekonomian suatu masyarakat.
Pada perkembangan selanjutnya, Denpasar kemudian menjadi pusat pemerintahan
Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, berikut tahun 1958 Denpasar juga menjadi pusat
pemerintahan Provinsi Tingkat I Bali. Sebagai pusat pemerintahan Daerah Tingkat II
Badung dan Tingkat I Provinsi Bali, Denpasar mengalami perkembangan sangat pesat
baik secara fisik, demografi, ekonomi maupun sosial budaya. Kondisi fisik dan perilaku
masyarakat yang sedemikian maju saat itu menunjukkan ciri-ciri dan sifat-sifat
perkotaan.
Sebagai Ibukota Daerah Tingkat II Badung, sekaligus Ibukota Provinsi Bali,
Denpasar dengan status sebagai Kota Administratif, sama juga dengan kota-kota lain di
Indonesia terus mengalami pertumbuhan penduduk serta laju pembangunan di segala
bidang. Pertumbuhan penduduk yang mencapai 4,05 persen per tahun, dibarengi oleh laju
pembangunan di berbagai sektor misalnya, tentu membawa dampak besar terhadap
kondisi kota Denpasar. Kenyataan ini pada akhirnya memunculkan berbagai
permasalahan perkotaan, baik secara fisik maupun sosial budaya, yang harus diselesaikan
oleh pemerintah kota administratif, baik dalam memenuhi kebutuhan maupun tuntutan
masyarakat perkotaan yang terus meningkat.
Denpasar dengan empat wilayah kecamatan yakni Kecamatan Denpasar Barat,
Denpasar Timur, Denpasar Selatan, dan Denpasar Utara serta berdasarkan kondisi
obyektif yang telah dipaparkan di atas, tampaknya sudah tidak representatif dengan status
sebagai kota administratif. Berdasarkan atas berbagai pertimbangan antara daerah
Tingkat I, daerah Tingkat II, dan pemerintah pusat, akhirnya dicapai kesepakatan untuk
meningkatkan status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar.
B. Dinamika Sosial Budaya Denpasar
Secara historis penduduk Pulau Bali memeluk Agama Hindu dan sampai saat ini
masih dipegang teguh. Penduduk Kota Denpasar dengan derajat heterogenitas yang
cukup tinggi, dapat dilihat dari keberagaman warganya yang menyangkut asal-muasal,
agama, suku bangsa, dan ras. Dari segi agama, tampak pemeluk agama Hindu adalah
yang tertinggi.
Dalam kehidupan beragama yang berlandaskan filsafat Hindu (tatwa, etika, dan
ritual), orang Bali memiliki tujuan hidup seperti yang digariskan dalam kitab suci Veda,
yaitu mokshartam jagatdhita ya ca iti dharma yaitu tujuan agama adalah untuk mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan jasmani dan rohani, baik di dunia maupun di akhirat.
Untuk mencapai tujuan hidup ini, orang Bali memiliki lima keyakinan yang terakumulasi
dalam ajaran Hindu yang disebut panca crada, yang mencakup (a) percaya kepada Tuhan
Yang Mahaesa (widhi crada); (b) percaya dengan adanya atman (jiwa) pada setiap
makhluk, atman (jiwa) yang terdapat pada manusia disebut jiwatma (yang berasal dari
parama atma, atau Tuhan) (atma cradha); (c) percaya dengan hukum sebab dan akibat,
yang intinya bahwa setiap tindakan atau perbuatan seseorang akan mendapatkan hasil
sesuai dengan perbuatannya (karmaphala cradha); (d) percaya dengan reinkarnasi atau
kelahiran setelah meninggal dunia (punarbawa crada); dan (e) percaya dengan adanya
moksa, yaitu kebahagiaan yang kekal abadi (moksha crada). Dengan adanya kepercayaan
tersebut, orang Bali menghindari diri untuk berbuat yang dapat menimbulkan dosa, dan
sebaliknya berusaha berbuat kebajikan. Baik dalam bersikap, berprilaku maupun
bertindak, orang Bali pada umumnya teringat pada makna hukum karmaphala dan
reinkarnasi seperti di atas.
Orientasi nilai budaya orang Bali yang beragama Hindu lebih mengutamakan
keharmonisan atau keselarasan. Nilai-nilai filosofis tri hita karana misalnya,
memberikan suatu konsep keharmonisan atau keselarasan dalam hubungan dengan
Tuhan, sesama, dan lingkungan alam dan fisik sekitarnya. Dijiwai oleh nilai-nilai
filosofis konsep desa-kala-patra yang mencakup pandangan tentang dimensi ruang,
waktu, dan keadaan, orang Bali beradaptasi dan menerima keberagaman dalam suatu
kesatuan. Nilai-nilai konsep desa-kala-patra ini memberikan fleksibelitas kepada orang
Bali dalam berkomunikasi dan berinteraksi, baik dengan orang-orang yang berasal dari
Bali sendiri maupun dari luar Bali.
Selain itu, perkembangan pariwisata yang semakin pesat di Kota Denpasar,
dibarengi pula oleh munculnya berbagai jenis usaha yang bergerak di bidang jasa dan
industri. Usaha-usaha jasa ini, di samping bergerak langsung di bidang pariwisata,
seperti hotel, tour guide, travel agent, art shop, restoran atau café, juga sebagai
penunjang untuk kepentingan pariwisata, seperti (mal, super market, mini market).
Berbagai jenis industri kerajinan baik berskala eksport maupun untuk pemenuhan
wisatawan domestik juga tumbuh subur di Kota Denpasar.
Kemunculan berbagai jenis usaha yang telah disebutkan di atas, berdampak
positif terhadap penyerapan tenaga kerja. Ketiga sektor ini, yakni sektor perdagangan,
hotel, dan restoran, sektor jasa, serta sektor industri, telah mampu memberikan
penghidupan yang lebih menjanjikan bagi warga Kota Denpasar. Tingginya tenaga kerja
yang terserap, merupakan tanda bahwa sektor ini cukup fleksibel dan mampu
memposisikan pekerja sesuai kualifikasi yang dimiliki. Mereka yang terlibat dalam
bidang ini berasal dari semua golongan, tua-muda, laki-perempuan, berpendidikan
rendah-tinggi, semuanya mendapat tempat di sini. Tingginya aktivitas warga dalam
bidang ini, menjadikan Denpasar sebagai kota yang tidak pernah tidur. Dalam
keseharian, lalu lalang kendaraan dimulai sejak pagi, hingga pagi hari lagi oleh laki-laki
dan perempuan untuk pergi ke tempat kerja. Di tempat-tempat hiburan para wisatawan,
seperti di Sanur, atau di pasar-pasar tradisional, seperti pasar Badung, pasar Kreneng,
tampak aktivitas berlangsung selama 24 jam.
Bagi kaum perempuan, keterlibatannya di sektor publik (lapangan kerja),
memberi dampak positif karena secara ekonomis mereka menjadi lebih mandiri. Di sisi
lain, mereka juga dituntut untuk dapat menampilkan diri sesuai dengan aturan yang
berlaku di tempat kerja. Untuk itu, tempat-tempat perawatan kecantikan tubuh menjadi
pilihan mereka. Tidak dipungkiri memang profesi seseorang dapat mempengaruhinya
dalam mengambil keputusan untuk pemilihan jenis perawatan tubuh dan kecantikan,
seperti juga yang terjadi pada warga masyarakat Kota Denpasar.
C. Ruang an Praktik Kecantikan
Struktur masyarakat Bali yang terbentuk atas dasar sistem wangsa/warna
berdasarkan atas faktor kelahiran, ternyata berpengaruh besar dalam aspek kehidupan,
karena mengelompokkan masyarakat ke dalam kelas-kelas tertentu. Begitu juga halnya
yang terjadi di Kota Denpasar, sebagai bekas kerajaan besar yang pernah memerintah,
yakni yang berstana di Puri Denpasar, Puri Pemecutan, Puri Stria, dan Puri Kesiman,
sangat merasakan penggolongan masyarakat berdasarkan wangsa/warna ini. Pencitraan
seperti itu juga terkait dengan cara-cara, dan tempat-tempat perawatan tubuh. Bisa
dipastikan bahwa cara-cara dan tempat-tempat perawatan kecantikan tubuh, lebih
dikenal oleh kalangan triwangsa ini yang berada di kalangan puri.
pada jaman dahulu istri-istri raja beserta putri-putrinya secara rutin memang
melakukan perawatan tubuh, seperti maboreh (luluran) untuk membersihkan kulit,
mambuh (keramas), masiram (mandi menggunakan ramuan tertentu), maurut melakukan
pemijatan-pemijatan dari kaki sampai kepala supaya kulit menjadi lembut sekaligus
melemaskan otot. Perawatan yang tidak kalah penting juga dilakukan adalah maloloh.
(minum jamu) agar tubuh menjadi lebih segar dan cantik.
Sementara itu, untuk golongan jaba (orang kebanyakan), juga dikenal cara-cara
perawatan tubuh, serta bahan-bahan yang digunakan seperti yang dilakukan oleh
golongan triwangsa ini. Yang membedakannya adalah waktu atau frekuensi untuk
melakukan perawatan. Golongan jaba wangsa, dalam kesehariannya melakukan jenis
perawatan terbatas pada hal-hal yang sangat vital, seperti mandi dan keramas saja.
Hanya pada momen-momen tertentu, misalnya saat melakukan ritual keagamaan mereka
berpenampilan sedikit berlebihan, dan itu pun hanya dilakukan oleh perempuan yang
masih muda, sedangkan yang sudah tergolong tua tidak ada dandanan dalam tubuh, hanya
rambut dipusung (digelung) supaya tampak rapi dan yang terpenting adalah penggunaan
busana adat, yakni kebaya, kain panjang dan selendang yang diikatkan di pinggang.
D. Produk-Produk Kecantikan
Kehadiran perempuan dengan berbagai bentuk penampilan atau dandanan saat ini
mudah dijumpai di Kota Denpasar. Pemandangan semacam ini dapat disaksikan bukan
hanya pada momen-momen tertentu, bahkan hampir setiap hari. Variasi kecantikan ini
merupakan produk-produk kecantikan yang dihasilkan oleh jasa pelayanan yang tumbuh
subur di Kota Denpasar.
Pada awalnya bentuk-bentuk penampilan perempuan atau produk-produk
kecantikan dikenali melalui pakaian atau busana yang dikenakan. Pakaian atau busana
(fashion), merupakan salah satu indikator dari produk kecantikan. Pakaian/busana
sebagai manifestasi budaya, bukan hanya berfungsi biologis yang memberi pelindungan
dan rasa aman terhadap tubuh, tetapi secara sosial memiliki nilai estetis dan etis.
Sentuhan seni yang tampil dalam jenis dan ragam pakaian, tentu dapat pula melahirkan
nilai-nilai lain yang terkandung dalam benda material tersebut. Nilai-nilai ini pada
prosesnya memberikan ciri dan identitas pada pemakainya. Menurut Anak Agung Ketut
Agung, dalam tulisannya berjudul “Busana Adat Bali” (2004), pengertian busana
mencakup hiasan bagian kepala dan hiasan bagian badan. Berdasarkan hal tersebut,
muncul dan berkembang beragam busana yang dapat dipakai untuk keperluan sehari-
hari dan busana yang patut dikenakan pada momen-momen tertentu.
Saat ini, perempuan Bali mempunyai cukup keberanian untuk berpenampilan
ekspresif dalam keseharian. Kondisi fisik bagi sebagian orang dianggap kurang menarik,
tampaknya kini tidak terlalu menjadi hambatan bagi mereka dalam mengekspresikan
dirinya. Seorang perempuan dengan bibir tebal misalnya, tidak perlu merasa risih
memakai lipstick warna merah cerah, “justru itu membuat bibir tebal menjadi kelihatan
lebih seksi”, begitu kata Ibu Dayu, seorang PNS di Denpasar. Ibu Made seorang
pedagang daging ayam di sebuah pasar tradisional, dengan perut dan pinggul besar
penuh lemak, juga tidak merasa canggung menggunakan celana lagging dan T-shirt jenis
straight mengikuti lekuk tubuh dan tonjolan paha, meski semua mata melirik dengan
pandangan geli kepadanya.
Kehadiran pasar dalam berbagai manifestasinya, seperti iklan, salon dan klinik
kecantikan, pusat-pusat kebugaran serta produk-produk mempercantik diri yang dijual
bebas, tidak dapat dipandang sebelah mata dalam memproduksi kecantikan perempuan.
Praktik-praktik budaya Bali, menuntut penampilan perempuan yang selalu berbeda,
tetapi kontekstual turut pula mewarnai produk-produk kecantikan perempuan. Agama
dan adat sebagai faktor dominan, selain tuntutan pekerjaan, kesenangan dan hasrat serta
kepentingan lain juga sangat berperan dalam mengkonstruksi kecantikan perempuan.
Produk-produk perawatan tubuh dan kecantikan, saat ini dapat diakses dengan cara amat
mudah, baik melalui yang ditawarkan oleh pihak salon dan klinik kecantikan, atau oleh
produsen penghasil produk-produk mempercantik diri kepada para konsumen. Hal ini
kemudian melahirkan bentuk-bentuk penampilan perempuan atau produk-produk
kecantikan yang sangat bervariasi. Hampir setiap bagian tubuh perempuan, mulai ujung
rambut sampai ujung kaki kini bisa dibentuk untuk memperoleh kesan cantik.
E. Modal Pelayanan Kecantikan
Di Kota Denpasar, fasilitas pelayanan kecantikan, seperti salon, klinik kecantikan,
fitness centre, dan tempat-tempat perawatan tubuh lainnya terus menerus mengalami
peningkatan, baik dari segi jumlah maupun variasi pelayanan yang disediakan. Lokasi
tempat usaha jasa pelayanan perawatan tubuh dan kecantikan itu, bukan saja terfokus di
pusat Kota Denpasar tetapi menyebar di kelurahan/desa di empat kecamatan di seputar
wilayah Kota Denpasar.
Usaha salon kecantikan yang terdapat di Kota Denpasar dapat dibedakan menjadi
tiga level, yaitu usaha salon kecil, salon sedang, dan salon besar. Lokasi usaha salon-
salon ini, bukan saja terdapat di ruko (rumah dan toko) di pinggir-pinggir jalan
besar/protokol, tetapi juga di jalan-jalan kecil dan di pinggir-pinggir gang. Saat ini, salon
kecantikan juga terdapat di beberapa mal dan walayan di Denpasar. Fenomena ini
menunjukkan bahwa tujuan pengunjung mal atau swalayan, di samping untuk refresing
(bersantai) dan atau shopping (berbelanja) tetapi juga bertujuan untuk mempercantik diri
di salon kecantikan yang terdapat di mal atau swalayan bersangkutan. Selain itu, ada juga
yang membuka salon kecantikan panggilan. Salon kecantikan panggilan ini tidak
memerlukan tempat usaha karena pelayanannya dilakukan di tempat kediaman konsumen
atau pelanggannya, dengan menawarkan pelayanan dan perawatan tubuh dan kecantikan
yang biasanya spesifik, antara lain facial, potong rambut, pewarnaan, pelurusan,
creambath, luluran, dan perawatan tradisional lainnya.
Salon kecantikan yang tergolong kecil, biasanya menempati satu bilik kecil, yang
terdiri dari tempat perawatan dan satu set kursi tamu, semuanya berada dalam satu
ruangan. Fasilitas pelayanan yang disediakan sangat standar, meliputi perawatan rambut
dan perawatan wajah. Jeni-jenis perawatan rambut, seperti cuci, gunting, blow, tonik,
pewarnaan rambut, berbagai jenis pengeritingan rambut, dan pelurusan rambut
(rebonding, smoothing). Sedangkan untuk perawatan kulit, meliputi cuci muka (facial),
make up, yang biasanya disertai dengan pemasangan sanggul Bali atau sanggul modern.
Salon ini biasanya ditangani oleh satu orang pemiliknya saja atau bisa juga ditambah satu
orang karyawati, dan konsumennya adalah ibu-ibu kelas bawah dan pelajar.
Kelompok kedua adalah salon kecantikan golongan sedang atau menengah, yang
tentu saja mempunyai fasilitas dan variasi pelayanan yang lebih daripada yang disebutkan
sebelumnya. Salon jenis ini biasanya berlokasi di pinggir jalan besar, menempati satu
sampai dua bilik dengan ruang pelayanan yang lebih mengkhusus, dengan merk salon &
spa.
Kelompok ketiga adalah salon besar dan klinik-klinik kecantikan. Jenis ini selain
menempati gedung yang lebih megah dan menyediakan fasilitas pelayanan yang lebih
kompleks dan special, juga menggunakan teknologi canggih lengkap dengan dokter
konsultan dan ahli gizi. Altara Klinik & Spa yang beralamat di Jl. Nangka Denpasar,
adalah salah satu tempat perawatan kecantikan tubuh yang mewakili kelompok ini.
Bagian Ketiga
KONSTRUKSI KECATIKAN: TUBUH PEREMPUAN YANG TERJERAT
A. Tipologi Kecantikan
Memberi makna tentang kecantikan bukanlah perkara mudah, karena menurut
Ashad Kusuma Djaya, (2007: x), bahwa kecantikan adalah total, mencakup ukuran-
ukuran tubuh (fisik), dan mental atau kepribadian (inner beauty) dengan ukuran yang
standar pula, sehingga secara keseluruhan melahirkan kecantikan sejati. Kondisi ini
sudah menyangkut estetika yang mengandung unsur obyektif dan subyektif. Kecantikan
juga merupakan bagian dari sistem budaya yang direpresentasikan melalui simbol.
Simbol dalam tubuh adalah sesuatu yang disampaikan, sekaligus yang disembunyikan.
Karena itu dikatakan bahwa tubuh manusia yang awalnya adalah tubuh alami (natural
body), kemudian dibentuk menjadi tubuh sosial atau fakta sosial (Abdullah, 2006: 138).
Namun demikian, masing-masing budaya memiliki kekhasan (tipikal) kecantikan yang
ditunjukkan melalui unsur-unsur fisik dan nonfisik, yang bersifat komulatif, mencakup
ukuran-ukuran tubuh tertentu yang ideal.
Tampil cantik secara fisik menjadi bagian paling penting bagi kaum perempuan.
Pernyataan itu sering kali didengar dalam berbagai tempat dan kesempatan, oleh
perempuan dan laki-laki. Bagi perempuan, kecantikan merupakan anugerah terindah yang
dipercaya bisa menambah keyakinan, percaya diri, dan energi kehidupan.
Pengalaman Bu Jero misalnya, seorang pengelola salon dan klinik kecantikan
yang memiliki masa kecil tomboy, lebih suka bergaul dengan anak laki-laki. Teknik
merawat tubuh yang paling dia ingat hanya keramas dengan menggunakan sampo merek
Sunsilk yang biasanya dijual di desanya, dan hand body dengan merek Viva. Keadaan
mulai berubah semenjak dia menikah dengan Gung Agus suaminya, yang berasal dari
Puri Ubud, Gianyar Bali. Setelah menikah dia tinggal di tempat kediaman suami sesuai
garis keturunan patrilinial (purusa), yakni garis keturunan dihitung berdasarkan pihak
laki-laki, dan Bu Jero pun naik tingkat, ke golongan tri wangsa atau menak. Karena
tuntutan status dan pekerjaan, yakni sebagai pengelola salon kecantikan, akhirnya Bu Jero
harus berpenampilan cantik dengan menggunakan peralatan make up yang lebih bermerk.
Sampo sunsilk dan hand body Viva yang pernah dipakai pada masa-masa di kampung,
digantikan dengan pantene dan pond’s.
Bukan hanya Bu Jero yang berpenampilan cantik, banyak perempuan lain yang
harus tampil cantik secara habis-habisan. Beberapa lembar uang ratusan ribu rupiah
dikeluarkan hanya untuk membeli fatloose, obat herbal yang dipercaya mampu
melangsingkan tubuh, membuat seksi, membuat mata orang lain menengok.
Seorang ibu paruh baya yang ditemui di sebuah tempat spa, mengaku secara rutin
merampingkan tubuhnya dengan spa dan obat herbal. Tidak peduli harus keluar uang
berapa, yang penting mampu berpenampilan cantik di mata orang lain, termasuk
suaminya. Seorang distributor Tje Fuk di Denpasar mengaku mampu meraup untung
lebih dari 10 juta rupiah per bulan. Padahal ia menjadi agen Tje Fuk, bahan kecantikan
dari Korea, baru kurang lebih 2 tahun. Perempuan dengan penghasilan pas-pasan cukup
meminum vegeta atau jamu tradisional yang mudah diperoleh di warung-warung kecil
atau pasar tradisional. Dalam konteks ini pengakuan Ibu Sri seorang pemilik salon
sekaligus agen Tje Fuk menjelaskan, “saya perlu penampilan, karena pekerjaan saya
menuntut harus tampil cantik, kantong boleh kosong, tapi penampilan harus cantik”.
Seorang gadis tengah baya, bekerja sebagai front office hotel menjelaskan pula, bahwa
perusahaan tempatnya bekerja mewajibkan harus tampil cantik. Apalagi ketika
pendaftaran pegawai, penampilan menarik termasuk salah satu persyaratan.
Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa kecantikan memang bukan semata-
mata berlaku umum. Secara individu atau kelompok, perempuan mengartikan kecantikan
sesuai ruang, waktu dan kepentingan, dengan model kecantikan yang bervariasi. Banyak
tekanan yang mengharuskan perempuan tampil cantik. Bukan hanya tuntutan pekerjaan,
tetapi seringkali tuntutan dari suami, atau bahkan motivasi perempuan sendiri yang
memang ingin tampil cantik. Kecantikan perempuan dalam konteks ini adalah yang
diformat oleh pasar. Perempuan dengan segala penampilannya dituntut untuk dapat
merepresentasikan produk yang dijual.
B. Konstruksi Kecantikan Tubuh Yang Berubah
Berkenaan dengan dinamikanya konstruksi kecantikan tubuh perempuan Bali
mencakup kecantikan tradisional, modern, posmodern, dan kecantikan sebagai pencitraan
dan gaya hidup. Istilah dinamika yang dipakai dalam hal ini mengacu pada pengertian
tentang perkembangan konsepsi kecantikan yang bersifat kontekstual sesuai ruang dan
waktu. Sesuai dengan pengertian ini, dinamika konsepsii kecantikan perempuan Bali
dapat dilihat sebagai konstruksi kecantikan tradisional, modern, dan postmodern. Namun
demikian, dalam pembabakan atau periodisasi ini tidak menekankan pada masalah waktu
(time), tetapi lebih kepada karakteristik dari kontruksi kecantikan tubuh perempuan.
Untuk lebih jelasnya, maka diuraikan sebagai berikut.
Kecantikan sebenarnya merupakan sebuah konsep, karenanya cantik menjadi
bahan diskusi yang tidak pernah usai untuk diperbincangkan. Seperti seksualitas yang
terus-menerus direproduksi dari masa ke masa, dan dari sebuah ruang kebudayaan ke
ruang kebudayaan lain. Oleh sebab itu, cantik memiliki dimensi individu, lokal, nasional,
dan bahkan standar-standar internasional. Tidak hanya itu, cantik bisa berarti biologis,
psikis, dan bahkan spiritual. Pemilihan Miss Universe yang dimulai dari tahapan lokal,
nasional, dan berakhir di ajang internasional adalah salah satu contoh bagaimana
kecantikan diangkat menjadi nilai universal dan multi dimensional, meskipun di
Indonesia keikutsertaannya masih dipertentangkan oleh beberapa kalangan Muslim.
Jika mau menengok pada sejarah, konsepsi cantik ternyata terus bergerak dan tak
pernah pasti. Bahkan konsep cantik selalu kontekstual dengan kultur yang tengah
berkembang. Untuk itu, konsepsi kecantikan perempuan Bali dibahas sesuai dengan
perkembangannya yakni kecantikan tradisional/tempo dulu, serta kecantikan modern dan
kontemporer.
Dalam tataran praksis kecantikan ideal dengan tubuh penuh berisi (tidak terlalu
gemuk) perempuan diperkirakan hidup pada zaman kerajaan, terutama perempuan yang
hidup di puri, seperti istri-istri dan para selir raja, serta putri-putrinya. Kaum perempuan,
saat itu perempuan keraton tidak terlalu disibukkan dengan urusan domestik, karena
semuanya sudah dikerjakan oleh pelayan, dan juga tidak perlu tersiksa oleh diet ketat,
serta bebas memamerkan “daging” mereka tanpa khawatir komentar orang. Kenyataan
tersebut juga dianggap mencerminkan keberhasilan seorang raja sebagai simbol
pengayom rakyat terbuktikan.
Selanjutnya pergeseran makna cantik adalah kuning langsat menjadi cantik itu
putih telah dimulai saat itu. Mustika ratu dan sari ayu tidak lagi memamerkan kuning
langsat-nya, melainkan berubah haluan memproduksi kosmetik yang ada whitening-nya.
Kedua raksasa ini diversifikasi usaha dengan membuat produk anakan perusahaan di
bawah lisensi mereka. Mustika ratu memproduksi biocell yang lebih beraroma modern
dan barat, sementara sari ayu memproduksi biokos dan caring. Produk-produk terakhir
ini tidak lagi menawarkan kuning langsat sebagai trade mark dan image seperti
dilakukan induknya selama ini, tetapi menawarkan pemutih dan aman untuk kulit
Indonesia. Akan tetapi hal ini belum terlalu menghegemoni perempuan seperti saat ini.
Jika dicermati, konstruksi kecantikan pada eramodern ini dapat dikatakan lebih
menekankan pada latar belakang etnis dan pada aspek femininitas. Di samping itu
kecantikan juga masih sangat terkait dengan fungsi, baik secara adat, agama, karir, dan
aktivitas sosial lain.
C. Bagaimana Posmodern Kecantikan dan Tubuh Perempuan
Posmodern diartikan sebagai suatu keadaan yang dicirikan oleh pertentangan
terhadap rasionalisme, totalitarianisme, dan universalisme, serta kecenderungan ke arah
penghargaan akan keanekaragaman, pluralitas, kelimpahruahan dengan menerima
berbagai kontradiksi dan ironi di dalamnya (Pilliang, 2004). Lebih lanjut dikatakan
bahwa realitas budaya berpaling pada wilayah-wilayah masa lalu untuk mengambil
kembali warisan bentuk, simbol dan makna. Dalam konteks gaya hidup termasuk
konstruksi kecantikan perempuan Bali juga menunjukkan tanda-tanda semacam itu.
Di era ini ide tentang kecantikan semakin beragam dengan semakin kuatnya
pengaruh wacana kecantikan dari berbagai media dalam mengonstruksi cantik. Saat ini,
kaum perempuan juga bebas merekonstruksi fisiknya, akibat adanya berbagai penemuan
baru di bidang teknologi kosmetika mulai bermunculan dan memberikan angin segar bagi
mereka yang merasa tubuhnya kurang sempurna. Pengelupasan kulit (acid peels), sedot
lemak (liposuction), injeksi kolagen dan penanaman payudara (breast implant) adalah
beberapa contoh keberhasilan teknologi kosmetika mengubah tubuh perempuan dari
alamiah menjadi buatan .
Di Bali, tren ini mulai banyak direspons akhir tahun 1900-an, terbatas pada
kalangan tertentu, misalnya para ahli kecantikan, karyawan cafe, dan perempuan yang
bergerak di bidang jasa dan pariwisata,
Mereka sudah tidak canggung lagi untuk berganti-ganti warna rambut sesuai
pakaian yang digunakan, bahkan untuk kegiatan adat pun sanggul yang dipakai sesuai
dengan warna rambut aslinya. Motivasi mereka umumnya lebih pada kompetisi kerja dan
menarik pasangannya. Ayuk misalnya, seorang karyawati di bagian front Office di
sebuah travel di daerah Kuta mengaku lupa entah berapa kali sudah mengganti cat
rambutnya, dan warna yang disuka pirang dan coklat. Selain itu, dia juga pernah
melakukan operasi plastik sampai dua kali untuk memancungkan hidungnya. Meski ada
perasaan takut akan dampak buruk, juga keluar biaya banyak, tetapi tetap dilakukan.
Memang benar, hal itu membuatnya merasa puas, karena menambah rasa percaya diri dan
merasa lebih cantik serta kelihatan lebih muda dari usia sebenarnya.
Memasuki eramilenium, atau tahun 2000-an, pribadi yang penuh percaya diri,
aktif dan bugar, serta sentuhan feminin yang kental menjadi gambaran ideal sosok
perempuan masa kini. Kaum hawa juga lebih perduli dengan kesehatan, sehingga diet
ketat membabi buta mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, mereka rajin pergi ke gym atau
pusat-pusat kebugaran untuk mengencangkan tubuh. Penampilan ini memberikan sebuah
kesan baru mengenai sesuatu yang halus, rapi yang semuanya bergeser ke arah segar
Dokter spesialis antiaging pun menjadi pilihan penting di jenjang pendidikan
kedokteran selama sepuluh tahun terakhir. Bahkan karena masih relatif jarang, dokter
spesialis ini mematok tarif sedikit di atas standar dokter spesialis lain. Di sebuah salon
cukup elit di daerah Renon, yang mendatangkan dokter spesialis antiaging, dari
Surabaya, saya ketemu dengan Ibu Iluh seorang PNS, Ibu Sri istri pemilik show room
mobil, serta banyak lagi ibu-ibu lain telah melakukakan perawatan anti aging,
pelangsingan dan whitening, bahkan laki-laki juga banyak melakukan treatmen
pelangsingan. Rata-rata usia mereka 25 – 50 tahun, dengan motivasi kompetisi kerja dan
karena dorongan suami.
D. Kecantikan Tubuh Perempuan Bali Sebagai Pencitraan Dan Gaya Hidup
Budaya tubuh atau budaya cita rasa yang merupakan ciri gaya hidup posmodern
itu dapat diamati dari sudut pandang penampakan luar (surfaces). Warna dan gaya
rambut, cara berpakaian, kendaraan yang dipakai atau makanan yang dikonsumsi dapat
mengidentifikasikan seseorang dengan suatu ikon budaya cita rasa tertentu. Demikian
pula citraan-citraan luar telah menjadi sumber daya dalam mengkomunikasikan dan
mengangkat makna, menata dan memanipulasi identitas sosial sehingga gaya hidup
terartikulasi melalui perubahan secara konstan tontonan dari penampilan-penampilan
tampakan luar (Chaney, 2004: 167). Baudrillard (Featherstone, 2001: 162) melihat bahwa
taraf produksi image tersebut telah membawa perubahan masyarakat secara kualitatif
yang di dalamnya perbedaan antara realitas dan image menjadi kabur, kehidupan sehari-
hari mengalami estetisikasi. Begitu pula kecantikan tubuh perempauan Bali dapat dilihat
sebagai suatu pencitraan dan gaya hidup.
Pencitraan berkaitan dengan tubuh (body image), menurut Hurlock, (1992), dalam
Melliana (2006: 63), secara umum dibentuk dari perbandingan yang dilakukan seseorang
atas fisiknya sendiri dengan standar kecantikan yang dikenal oleh lingkungan sosial
budayanya. Kondisi semacam ini kemudian memunculkan kesenjangan antara citra tubuh
ideal dengan tubuh nyata. Salah satu penyebab kesenjangan antara citra tubuh ideal
dengan tubuh nyata seringkali dipicu oleh media massa, yang banyak menampilkan fitur
tubuh perempuan ideal atau nyaris ideal.
Melalui iklan, kecantikan dimunculkan dalam citra-citra kecantikan, seperti kulit
putih, badan langsing, dan rambut lurus. Citra ini dikembangkan habis-habisan seperti
layaknya sebuah proyek, untuk selalu dikonstruksi ulang dan terus menerus oleh
pengusaha-pengusaha penghasil produk kecantikan. Pengusaha berusaha menciptakan
relasi antara produk kosmetik dan media melalui iklan sebagai pemikat konsumen atas
produk tersebut melalui penciptaan simbol status sosial kelas menengah-atas yang lekat
dengan keharusan untuk selalu tampil cantik sebagai bagian dari gaya hidup.
Keterlibatan perempuan Bali dalam berbagai lapangan pekerjaan menuntut
mereka untuk selalu tampil cantik. Tidak sedikit jenis pekerjaan bahkan secara mutlak
menentukan keindahan penampilan fisik sebagai suatu persyaratan. Jenis-jenis pekerjaan
yang banyak digeluti perempuan Bali, seperti pramuniaga di counter-counter berbagai
produk di super market dan mal yang bertebaran di Kota Denpasar, sales promotion girl,
marketing bank dan berbagai perusahaan asuransi atau waitres di restoran. Pekerjaan-
pekerjaan tersebut selain menuntut skill sesuai bidang pekerjaan, juga menentukan
penampilan fisik sebagai bagian kompetisi kerja. Beberapa iklan dalam harian lokal
bahkan secara eksplisit menyebutkan “penampilan menarik” sebagai salah satu
persyaratan bagi pelamar kerja.
Perusahaan-perusahaan tertentu, terutama yang menjual produk atau jasa, seperti
bank misalnya, biasanya sejak awal sudah menetapkan model pengetesan yang bukan
saja menyangkut standar pendidikan tertentu, tetapi juga menyangkut keindahan pisik,
seperti tinggi dan berat badan, penampilan menarik, dan belum menikah. Setelah lulus
tes dan diterima di bagian pemasaran (marketing), mereka diwajibkan mematuhi aturan
terkait penampilan, mulai dari seragam, sepatu, tata rias wajah dan rambut, sampai
parfum menjadi bagian yang mendapat penilaian dari atasannya. Ini dilakukan untuk
menjaring karyawan dengan penampilan yang sempurna. Selain kemampuan intelektual,
kecantikan tubuh merupakan modal utama dalam menarik konsumen, untuk membeli
atau menggunakan produknya, karenanya tubuh harus dijaga, dirawat. agar tetap standar,
dan enak dilihat.
Seperti yang dituturkan oleh Putu Ayu, seorang karyawati sebuah bank berikut ini:
“meski saya memiliki pengalaman yang cukup karena memulai karir dari bawah,
namun ketika diberikan jabatan sebagai kepala cabang, tak urung ada rasa ketakutan
dalam hati. Untuk itu, saya berusaha keras menambah pengetahuannya, antara lain
dengan menempuh studi Magister Manajemen di di sebuah perguruan tinggi swasta di
Denpasar. Selain itu, masalah penampilan juga masih menjadi aspek penting yang
menjadi beban pikiran saya. Tuntutan pekerjaan yang begitu tinggi terhadap
kesempurnaan penampilan, membuat saya begitu intensif melakukan perawatan
wajah dan tubuh. Meski selama ini saya sudah rutin melakukan perawatan tubuh
untuk menjaga kecantikan dan kebugarannya, tetapi saya merasa masih belum puas.
Bentuk hidungnya yang kurang bagus (mancung ke dalam), seringkali membuat saya
tidak percaya diri, terutama ketika berhubungan dengan customer. Untuk itu,
kemudian saya melakukan operasi plastik agar hidung menjadi mancung. Hasilnya
memang memuaskan, bentuk hidung menjadi lebih mancung, dan kata teman-teman
saya kelihatan bertambah cantik, sehingga membuat saya lebih percaya diri dalam
melakukan pekerjaan.
Ungkapan tersebut jelas menunjukkan bahwa karyawati sebuah bank ditentukan
bukan saja oleh intelektualitas, tetapi juga kesempurnaan dalam penampilan.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana kapitalisme yang merupakan wujud dari
globalisasi membangun masyarakat global di atas iklim persaingan yang tinggi
(Pilliang, 2004: 274-275). Persaingan yang ketat antar perusahaan mendorong strategi
untuk menciptakan persaingan dalam gaya hidup antarkelas, antar golongan,
antartetangga, antarumur. Muncul sikap mental berorientasi ke atas dalam gaya hidup
yang tampak dalam penampakan.
Kehidupan sosial dikonstruksi atas dasar budaya perubahan dengan penampilan,
gaya hidup yang selalu dapat berubah dengan tempo yang semakin tinggi. Diciptakan
kegandrungan terhadap citra (image) ketimbang fungsi dan substansi. Begitu pula
konsumsi yang tidak berkaitan dengan kebutuhan fungsional dalam pengertian yang
sempit, kini adalah pemenuhan material sekaligus simbolik. Tubuh tampaknya dijadikan
citraan-citraan dalam rangka menjual komoditas, seperti model, cover girl, atau artis.
Tubuh juga dijadikan komoditas untuk membujuk konsumen supaya tertarik membeli
produknya. Produsen menggunakan sisi kelemahan perempuan tersebut untuk
memasarkan dan meningkatkan nilai penjualan produknya. Dalam masyarakat mutakhir,
berbagai perusahaan (korporasi), para politisi, individu-individu, semua terobsesi dengan
citra. Pada saat kecenderungan ini terjadi esensi kehidupan menjadi tidak penting karena
sebagai sebuah seni, kehidupan ini memiliki makna keindahan, sehingga yang dihayati
dari hidup itu adalah citra (Simmel, 1991 dalam Abdullah, 2008: 6).
PENUTUP
Cantik bagi perempuan bukan merupakan persoalan privat semata, karena apa
yang ditampilkan perempuan dengan tubuhnya menjadi knsumsi public. Proses-proses
dan identifikasi yang semula merupakan produk tradisi, telah menjadi komodifikasi.
Cantik bagi setiap perempuan, barangkali hasrat di zaman ini. Setiap saat, televise, radio,
papan reklame, omongan dari mulut ke mulut, terus-menerus mempropagandakan
pentingnya cantik. Ratusan variasi produk kecantikan, dari berbahan alami, berbahan
kimia, sampai yang bersifat teknologis, dan dari yang legal sampai yang illegal, terus
diproduksi dan diserbu, diburu oleh para perempuan. Puluhan salon, klinik kecantikan
dan pusat-pusat kebugaran dibuka hamper di setiap titik kota di Denpasar. Setiap
perempuan tampak saling berlomba-lomba mengejar kecantikan dan untu menjadi cantik.
Dalam peenuhan hasrat cantik ini, tubuh perempuan menjadi titik sentral, menjadi
pusat kebudayaan kapitalisme. Tubuh menjadi titik sentral dari mesin produksi, distribusi
dan konsumsi mesin kapitalisme. Tubuh diproduksi sebagai komoditi dengan
mengeksplorasi hasrat cantik. Tuuh juga dijadikan sebagai metakomoditi yaitu komoditi
untuk menjual komoditi yang lain (cover girl). Tubuh juga mempunyai peran sentral
dalam system distribusi, yaitu sebagai pendamping komoditi (promo girl).
Suatu hal yang trjadi dalam derasnya proses produksi, distibusi dan konsumsi
tersebut adalah fantasmoria kecantikan. Yaitu permainan citra, citra yang mendekat dan
membesar kea rah perempuan dengan kecepatan tinggi, dan dalam sekejap menjauh dan
menghilang, kemudian muncul lagi, menghilang, muncul lagi, begitu seterusnya. Hal ini
tampak dalam ideal atau model-model yang dijadikan kiblat atau ikon kecantikan ( dalam
rentang yang pendek). Kalau dilihat dalam era sejarah mulai dari masa kerajaan
nusantara, kolonialisme, kemerdekaan, sampai era globalisasiini, terjadi perubahan terus
menerus.
Kecantikan perempuan pada masa kerajaan nusantara dikonstruksi dan dikuasai
kerajaan dan bentuknya atau ikonnya kecantikannya adalah adalah putri kerajaan yang
memiliki postur tubuh padat berisi, kulit kuning langsat, rambut hitam nan panjang. Pada
masa colonial, konstruksi kecantikan mulai bergeser menjadi cantik yang kebarat-baratan
terutama perempuan Indo yang berkulit putih, berambut pirang, berpostur tubuh tinggi
semampai. Namun ada era globalisasi sekarang, permainan citra menjadi titik pusat
kecantikan dan sepertinya “diterima” dengan kegembiraan yang penuh.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, 2001. Seks Gender & kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang.
_____________ 2006a. Studi Tubuh, Nalar dan Masyarakat: Perspektif Antropologi.
Yogyakarta: Tici Press.
______________ 2006b. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
______________ 2008. “Titik Balik Peradaban dan Kebangkitan Budaya Baru”, Makalah
disampaikan pada Sarasehan Pesta Kesenian Bali (PKB) XXX Denpasar, 2 Juli 2008.
Adian, Donny Gabral, 2005. “Gaya Hidup, Resistensi, dan Hasrat Menjadi”, dalam Alfathri
Adlin (ed.) Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. Yogyakarta:
Jalasutra.Halaman 23-34..
Adlin, Alfathri & Kurniasih, 2006. “Hasrat Tubuh, Kosmetik, Kecantikan: Perempuan Sebagai
Kosmos dan Konsumen Ctraan”, dalam Alfathri Adlin (Ed.), Menggeledah Hasrat:
Sebuah Pendekatan Multiperspektif. Yogyakarta: Jalasutra. Halaman 215-242.
Agger, Ben, 2006. Teori Sosial Kritis: Penerapan dan Implikasinya, terjemahan Critical Social
Theoritis: An Introduction. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Alimi, Moh. Yasir, 2005. “Tidak Hanya Gender, Seks juga Konstruksi Sosial: Kritik terhadap
Heteroseksualalitas”, dalam Jurnal Perempuan. No. 41, halaman 53-69.
Althusser, Louis, 2008. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural
Studies (Olsy Vinoli Arnof, penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra.
Aminuddin, 2002. “Pendekatan Linguistik Kritis: Roger Flower”, dalam Analisis Wacana dari
Linguistik sampai Dekonstruksi (Kris Budiman Penyunting). Yogyakarta: Penerbit
Kanal. Halaman 1-53.
Antlov, H. 2002. Negara dalam Desa Patronase Kepemimpinan Lokal (Pujo Semadi,
penerjemah). Yogyakarta : Lappera Pustaka Utama.
Ardika, I Wayan, 2007. Pusaka Budaya & Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan.
Arivia, Gadis, 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Atmadja, Nengah Bawa, 2004. “Pelabelan Seks dan Gender: Dekonstruksi Proses Menjadi
Wanita melalui Pendidikan Keluarga pada Masyarakat Bali.”, dalam Jurnal Kajian
Budaya. Volume 1 No. 2 hal. 63-82.
Atmadja, Nengah Bawa, dkk. 2005. Joged Bumbung Porno: Industri Seks Berbentuk Hiburan
Seks melalui Rangsangan Mata (Studi Kasus di Buleleng Bali. Laporan Pelitian
Dasar, Dikti. Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Negeri Singaraja.
----------------- 2010. Komodifikasi Tubuh Joged Ngebor Bali. Denpasar: Program Studi
Magister dan Doktor Kajian Budaya bekerja sama dengan Pustaka Larasan.
Azis, Asmaeny, 2007. Feminisme Profetik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bagus Takwin, 2003. Akar-akar Ideologi: Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato Hingga
Bourdieu. Yogyakarta: Jala Sutra. Halaman 163-175.
Baha Lajar, Aloysius, 2005. “Jacques Derrida dan “perayaan” Kemajemukan”, dalam Mudji
Sutrisno & Hendar Putranto (Ed.) Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Halaman 163-176.
Bappeda Kota Denpasar, 2008. “Denpasar dalam Angka (Denpasar in Figures) 2008”. Badan
Pusat Statistik Kota Denpasar.
Barker, Chris, 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik, terjemahan, Cultural Studies: Theory
and Practice. Yogyakarta:. PT Bentang Pustaka.
Barnard, Malcolm, 1996. Fashion sebagai Komunikasi: Cara Mengomunikasikan Identitas
Sosial, Seksual, Kelas dan Gender. Yogyakarta: Jalasutra.
Beauvoir, Simone de, 1953, The Second Sex, London: The Alden Press.
Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Jakarta: LP3ES.
Berger, Peter L., Brigitte Berger, dan Hafred Kellner, 1992. Pikiran Kembara: Modernisasi dan
Kesadaran Manusia. Yogyakarta: Kanisius.
Berger, Peter L., 1994. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta: Pustaka LP3ES.
Berger, Arthur Asa, 2005. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer: Suatu Pengantar
Semiotika (M. Dwi Marianto Penerjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Bocock, Robert, t.t.,. Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni. Yogyakarta:
Jalasutra.
Bourdieu, Pierre, 1986. Distinction. A Social Critique of the Judgement of Taste. Translated by
Richard Nice. Routledge.
Bourdieu, Pierre, 1984. Distinction: A Social Critique of The Judgement of Taste, Cambridge:
Harvard University Press.
________ 1994. Language an Symbolic Power, Cambridge: Harvard University Press.
________ 1995. Outline of A Theory of Practice, Cambridge: Cambridge University Press.
Boserup, E, 1970. Women’s Role in Economic Development, London: George Allen and Unwin.
Budianta, Melani, 2002. “Pendekatan Feminis terhadap Wacana”, dalam Kris Budiman (ed.)
Analisis Wacana: Dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal. Halaman 199-230.
Bungin, B., 2001. Imaji Media Massa Konstrkuksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi
dalam Masyarakat Kapitalis.Yogyakarta: Jendela.
Brooks, Ann, 1997. Posfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif.
Yogyakarta: Jalasutra.
Chamim, Mardiyah, 2004. “Bertemu Pria-Pria Venus,” Tempo 01/XXXIII, 2004. Halaman 30-7.
Chaney, David, 1996. Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Damsar, 2006. Sosiologi Uang. Padang: Andalas University Press.
Darma Putra, I Nyoman, 2007. Wanita Bali Tempoe Doeloe: Perspektif Masa Kini. Denpasar:
Pustaka Larasan.
Darwin, Muhadjir M., 2005. Negara dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Media Wacana.
Dibia, I Wayan, 2003. “Nilai-nilai Estetika Hindu dalam Kesenian Bali”, dalam I.B.G Yudha Tri
Guna (ed.) Estetika Hindu dan Pembangungan Bali. Denpasar: Program Magister
Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia bekeja sama dengan
Penerbit Widya Dharma. Halaman 91-110.
Dharmanto, Sthepanus M., 1994. “Kehidupan Lintas Budaya”, dalam Johanes Mardimin (Ed.)
Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia
Moderen. Yogyakarta: Kanisius.Lafad Pustaka. Halaman 106-112.
Djelantik, A.A.M, 1990. Ilmu Estetika Jilid I (Estetika Instrumental). Denpasar: STSI.
Endarswara, Suwardi, 2003. Metodelogi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Eriyanto, 2006. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: Lkis.
Fachrizal A. Halim, 2002). Beragama dalam Belenggu Kapitalisme. Magelang: Indonesia Tera.
Fashri, Fausi, 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol: Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre
Bourdieu. Yogyakarta: Juxtapose.
Faruk HT., 2002. “Konsep Analisis Wacana Althusserean”, dalam Analisis Wacana dari
Linguistik sampai Dekonstruksi (Kris Budiman, penyunting). Yogyakarta: Kanal.
Halaman 135-153.
Featherstone, Mike, 2001. Posmodernisme dan Budaya Konsumen (Misbah Zulfa Elisabeth
Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Foucault, Michel, 2000. Seks dan Kekuasaan (Sejarah Seksualitas). Bandung. PT. Gramedia
Pustaka Utama.
____________ 2002 c. Menggugat Sejarah Ide. Yogyakarta: Ircisod..
Fromm, Erich, 1997. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki: Kajian Komprehensif tentang Gender.
Yogyakarta: Jalasutra.
Gardiner, Myling Oey, dkk., 1996. Perempuan Indonesia Dulu dan Kini. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Geertz, Hildred dan Clifford Geertz, 1975. Kinship in Bali. Chicago dan London: The University
of Chicago Press.
Giddens, Anthony, 2004. Transfomation of Intimacy: Sekssualitas, Cinta dan Erotisme dalam
Masyarakat Moderen (Riwan Nugroho Penerjemah). Jakarta: Fresh Book.
Hamad, Ibnu, 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical
Discourse Analysis terhadap Berita-berita Politik. Jakarta: Granit.
Hardiman, 2007. “Tubuh Perempuan: Repesentasi Gender Perempuan Perupa Bali”. Tesis S-2,
Kajian Budaya, Universitas Udayana. Tidak diterbitkan.
Harker, Richard, et.al., 1990. Habitus X Modal + Ranah = Praktik: Pengantar Paling
Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu (Pipit Maizer Penerjemah).
Yogyakarta: Jala Sutra.
Haryanto Cahyadi & Bima Saptawasana, 2005. “Kebudayaan Sebagai Kritik Ideologi:
Diteropong dari Perspektif Para Eksponen Neo-Marxisme”, dalam Mudji Sutrisno &
Hendar Putranto (Ed.) Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Halaman 19-
50.
Haryatmoko, 2002. “Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan: Menelanjangi Mekanisme dan
Teknik Kekuasaan Bersama Foucault”. Basis: Menembus Fakta. Edisi 01-02,
Tahunke-51, Januari-Februari. Yogyakarta: Yayasa BP Basis. Halaman 8-12.
Hidajadi, Miranti. “Tubuh, Sejarah Perkembangan dan Berbagai Masalahnya”, dalam Jurnal
Perempuan No. 15. Halaman 7-15.
Hoed, Benny H., 2008. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Hsiu Chen, Chao, 2001. Terapi Kecantikan: Teknik Cinta Untuk Membangun Inner Beauty
Anda. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Ibrahim, Idi Subandy, Ed., 1997. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat
Komoditas Indonesia. Yogyakarta: Jalasutra. Halaman xiii.
Ibrahim, Idi Subandi, 2006. “Imaji Perempuan di Media: Representasi dan Idealisasi di Balik
Wacana Tubuh”, dalam Alfathri Adlin (Ed.) Menggeledah Hasrat: Sebuah
Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta: Jalasutra.Halaman 265-280.
Ismiani, Nanik, 1998. “Iklan Tempoe Doeloe Potret Sebuah Zaman”, majalah Cakram
Komunikasi. Pebruari 1998.
James, Scott, 2000. Senjatanya Orang-orang yang Kalah (A. Rahman Zainuddin Penerjemah).
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Jenkins, Richard, 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta:
Kreasi Wacana.
Kasiyan, 2008. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan dalam Iklan. Yogyakarta: Ombak.
Kirtiningrat, Putu Adi, 2003. “Rukmini Tatwa: Kajian Struktur dan Fungsi”. Skripsi S1 Fak.
Sastra Universitas Udayana.
Koentjaraningrat, 1989. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia.
Koeswinarno, 2007. “Kehidupan Waria Muslim Di Yogyakarta”. Disertasi S3 Program Studi
Antropologi, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Kusuma Djaya, Ashad, 2007. Natural Beauty Inner Beauty: Manajemen Diri Meraih Kecantikan
Sejati dari Khazanah Tradisional. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Kusujiarti, S., 1997. “Antara Ideologi dan Transkrip Tersembunyi: Dinamika Hubungan Gender
dalam Masyarakat Jawa”, dalam Irwan Abdullah (ed.), Sangkan Paran Gender.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 82-100.
Kuta Ratna, I Nyoman, 2003. Pemahaman Budaya di Tengah Perubahan: Sebuah Cindramata
untuk Prof. Dr. I Gst. Ngurah Bagus, dalam I Made Suastika dan I Gede Mudana
(ed) . Denpasar: Program S2 dan S3 Kajian Budaya Univ. Udayana.
_____________ 2008. Poskolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pejalar.
Kertajaya, Hermawan, et al 2003., Marketing in Venus,(Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.
Kroeber, A.L and Clyde Kluckhon, 1952. Culture a Critical Review of Concepts and Definitions.
New York: Vintage Books A Division of Random House.
Lie, Shirley, 2005. Pembebasan Tubuh Perempuan. Jakarta: Grasindo.
Lubis, Akhyar Yusuf, 2004. Setelah Kebenaran & Kepastian Dihancurkan: Masih Adakah
Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Bogor: Akademia.
Lury, C. 1998. Budaya Konsumen (Hasti T. Champion Penerjemah). Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Lyotard, Jean-Francois, 2004. Posmodernisme: Krisis dan Masa Depan Pengetahuan. Jakarta:
Teraju.
Mantra, I B., 1993. Bali Masalah Sosial Budaya dan Modernisasi. Denpasar: PT. Upada Sastra.
Mariyah, Emiliana, 2004. Hambatan Budaya dalam Kesehatan Reproduksi: Studi Interaksi
Bidan-Ibu Hamil di Kalikotes, Jawa Tengah. Denpasar: Program S2 dan S3 Kajian
Budaya Univ. Udayana.
Melliana, Annastasia, 2006. Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta:
LKIS.
Mohammad, Goenawan, 2000. “Tubuh, Melankoli, Proyek”, Jurnal kebudayaan Kalam, edisi
15 tahun 2000, hal 5-25.
Moleong, I J, 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rodakarya.
Munawaroh, ASM & Floriberta Aning S., 2004. Inner Beauty, Wonderful Woman. Yogyakarta:
Enigma Publishing.
Musman, Asti. 2009. Cantik Itu Putih dan Berwajah Indo?. http://www.balipost.co.id/
balipostcetak/2007/4/8/kel2.html, diakses 4 Juni 2009.
Nasaruddin, Umar, 1995. Teologi Menstruasi: Antara Mitologi dan Kitab Suci, dalam Ulumul
Qur’an, No. 2, Vol. VI, Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat.
Noviranti, Dewi.”Negara dan Tubuh Perempuan”, dalam Jurnal Perempuan No. 15. Halaman
85-94.
Parrinder, Geoffrey. 2004. Teologi Seksual. Yogyakarta: LKiS.
Paramitha, Diandra, 2007. “Beauty Industrial Compleks: Sebuah Analisis Sosio Filosofis”.
Skripsi S1 Jurusan Filsatat FIB UI.
Parimartha, I Gede, 2006. “Sistem Pemerintahan Desa di Daerah Bali”, makalah disampaikan
dalam seminar Bali Bangkit Bali Kembali, tanggal 12 Agustus 2006 di Denpasar.
Pilliang, Amir Yasraf, 1999. Hiper – Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS
__________ 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta:
Jalasutra.
__________ 2004. Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
Poloma, Margaret M., 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: P.T. Rajawali Grafindo Persada.
Purwadi dan Rahmat Fajri, 2005. Mistik dan Kosmologi Serat Centhini. Yogyakarta: Media
Abadi.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna, 2004. Becoming White: Reperesentasi Ras, Klas, Femininitas
dan Globalitas dalam Iklan Sabun. Bandung: Jala Sutra.
Prabasmoro, Aquarini Priyatna, 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop.
Yogyakarta: Jalasutra.
Prasetyo, Eko, 1996. “Nasionalisme dalam Perdebatan”, dalam Eko Prasetyo (ed) Nasionalisme
Refeleksi Kritis Kaum Ilmuwan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Halaman viii-xii.
Ratih, In Bene, 2005. “Perempuan dalam Teater” dalam Muji Sutrisno & Hendar Putranto (Ed.)
Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 313-353.
Ritzer, George, 2002. Ketika Kapitalisme Berjingkrang: Telaah Kritis Terhadap Gelombang
McDonaldisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rogers, Mary F., 2009. Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme (Medhy Aginta Hidayat
Penerjemah). Yogyakarta: Relief.
Saputra, Dianthus. “Perjalanan Payudara dalam Catatan Sejarah”, dalam Jurnal Perempuan No.
15. Halaman 37-47.
Sarup, Madan. 2003. Postrukturalisme dan Posmedernisme: Sebuah Pengantar Kritis.
Yogyakarta: Jendela.
Santoso, Benny. 2004. “Pria Metroseksual,” dalam Get Life edisi vol .06.
Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner, 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah
Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
Sobur, Alex, 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Soetjipto, Ani Widyani, 2005. Politik Perempuan Bukan Gerhana. Jakarta: Kompas.
Spivak, Gayatri Chkravorty, 2003. Membaca Pemikiran Jacques Derrida: Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: AR-RUZZ.
Spradley, James P., 1997. Metode Etnografi (Misbah Zulfa Elisabeth Penerjemah). Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Story, J., 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop Memetakan Lanskap Konseptual Cultural
Studies. Yogyakarta: CV Qalam.
Steger, M B., 2006. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar. Huru Prasetia (Penerjemah).
Yogyakarta: Lafad Pustaka.
Subali P., Ida Bagus, 2008. Wanita Mulia Istana Dewa. Surabaya: Paramita.
Sudiarta, I Wayan, 2006. “Rekonstruksi Visual Konsep-konsep Kecantikan Tradisional Wanita
Bali dan Manifestasinya di dalam Kehidupan Masyarakat Bali Masa Kini”. Tesis S2,
Program Studi Kajian Budaya, Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Suparlan, Parsudi, 1985. “Kebudayaan dan Pembangunan, makalah dalam seminar
Kependudukan dan Pembangunan”. Jakarta: KLH, tgl. 12-14 Oktober 1985.
Sullivan, N, 1991. “Gender and Politics in Indonesia”, dalam Maila Stivens. Why Gender
Matters in Southeast Asian Politics. Australia: Aristoc Press.
Suryani, Luh Ketut, 2003. Perempuan Bali Kini. Denpasar: Bali Post.
Suyono, Senjoko, 2002. Tubuh yang Rasis: Telaah Kritis Michel Foucault atas Dasar-dasar
Pembentukan Diri Kelas Menengah Eropa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Synnot, Anthony, 2002. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Yogyakarta: Jala
Sutra.
Takwin, Bagus, 2006. “Habitus: Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup”, dalam
Alfathri Adlin (ed.) Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. Yogyakarta:
Jalasutra. Halaman 35-54.
Tinggen, I Nengah, 1995. Aneka Rupa Pribahasa. Singaraja: Rika Dewata.
Vondracek, Fred W., 2000. ”Vocational and Career Development (Pilihan Kerja dan
Pengembangan Karir)”, dalam Adam Kuper dan Jesica Kuper (ed) Ensklopedi Ilmu-
ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Wainwright, Gordon R., 2006. Membaca Bahasa Tubuh (terjemahan). Yogyakarta: BACA.
Waspodo, TS, 2004. Modernisasi dan Globalisasi: Studi Pembangunan dalam Perspektif
Global. Malang: Insan Cendekia.
Wiasti, Ni Made, 1998. “Konstruksi Gender pada Mayarakat Bali: Kasus Wanita Pekerja
Kerajinan Bambu di Desa Blahbatuh, Gianyar”. Tesis S2, Program Studi Antropologi
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Wirata, I Wayan, 2010. “Hegemmoni Pemerintah dan Resistensi Wetu Telu Suku Sasak di
kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Disertasi Program Studi Kajian Budaya
program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar.
Yulianto, Vissa Ita, 2007. Pesona Barat: Analisa Kritis-Historis tentang Kesadaran. Warna
Kulit Indonesia. Yogyakarta: Jala Sutra.
Yunus, Umar, 1981. Mitos dan Komunikasi, Jakarta: Sinar Harapan.
Dokumen
Bali Post, 22 Nopember 2009.
Bisnis Bali, No. 133 Th.Ke 6 Desember 2007 .
Cantiq, Edisi III Juni 2009.
Denpost, 6 September 2009.
Rias, No.321, Juli 2008.
Tata Rias , No. 321 Juli 2008.
Tokoh, No. 56/Tahun X, 19-25 April 2009.
http://www.pom.go.id/nonpublic/kosmetik
http://www.denpasarkota.go.id.
http://www.google.com
Recommended