View
9
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
• 571
. .
KEJAHATAN KEKERASAN DI PERKOTAAN DAN DINAMIKA PEMBANGUNAN*)
___ --:-. ----Oleh: Prija Djatmika, S.H.
PendahuJlIsn Kejahatan merupakan gejala so sial
yang selalu dihadapi oleh setiap rnasyarakat di dunia ini. Apa pun usaha manusia untuk menghapuskan tuntas kejahatan tidak akan berhasil , sebab kejahatan sesungguhnya adalah suatu hasil interaksi karena adanya interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi (Arif Gosita, 1982: 31). Dengan demikian selama masih ada masyarakat, maka kejahatan tetap ada. Usaha yang bisa dilakukan rnanusia hanyalah menekan laju terjadinya kejahatan, baik aspek kualitas maupun aspek kuantitasnya.
Kejahatan dalam hal ini tidak terbatas pada apa yang terformulasikan dalam aturan hukum saja, tetapi termasuk peristiwa penyelewengan terhadap norma-norma atau perilaku teratur yang menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketentraman manusia (Soekanto, 1982: 11).
Tulisan ini mengkhususkan pada pembahasan kejahatan kekerasan di perkotaan. Kejahatan kekerasan menu-
*) Artikel ini adalah hasil dad 'Lokakarya Penulisan dan Penerbitan Artikel' yang diadakan oleh Pusat Pengembangan flmu-flmu Sosial (PPlIS) Universitas Brawijaya. Agustus 1987. Untuk itu tedmakasih penulis sampaikan atas saran rekan peserta dan bimbingan Dr. A. Ron Witton.
rut pengertian kepolisian Indonesia meliputi pencurian dengan kekerasan (perampokan, pembegalan, penodongan, ptmjambretan, perampasan), pembunuhan, penganiayaan berat, pemerasan, perkosaan dan penculikan (Sahetapy, 1983: 13).
Akar Kejahatan Kekerasan
Kejahatan kekerasan yang dibahas di sini ialah pencurian dengan kekerasan dengan semua jenisnya, pembunuhari yang berlatar-belakang penguasaan harta korban, pemerasan dan penculikan. Jems-jenis kejahatan ini dipilih oleh pelaku kejahatan sebagai modus operandi untuk menguasai harta korban, atau dengan kata lain motivasi dilakukannya kejahatan-kejahatan ini adalah untuk memperoleh keuntungan ekonomi pelaku atas korban.
Untuk memahami akar kejahatankejahatan ini, sebagaimana yang sudah banyak dikatakan oleh para sarjana kriminologi, teru tama yang beraliran kriminologi kritis, tidak cuktip hanya dengan mempelajari latar-belakang ekonomi pelaku, tetapi juga pe
mahaman terhadap struktur-struk tur kesempatan yang dirumuskan secara melembaga di mana anggota-anggota ekonomi tertentu terkungkung. Oleh karena bisa jadi kejahatan yang dilakukannya adalah jawaban-jawaban rasional dirinya, terhadap bekerjanya
•
Desember 1987
•
•
•
sistem ekonomi dominan yang ditandai oleh persaingan serta pelbagai bentuk ketidakmerataan.
Namun tidak juga menutup kemungkinan sebab dilakukannya oleh karena faktor internal pribadi pelaku, seperti kelainan psikis, kesalahan dalam sosialisasi di keluarga dan lingkungan pergaulannya, dan sebagainya.
Oleh karena itu pemahaman latarbelakang kejahatan kekerasan di Indonesia, khususnya yang diorientasikan oleh pelaku untuk memperoleh keuntungan ekonomi, tidak bisa lepas dad analisis kritis terhadap model pembangunan yang diterapkan, serta iden tifikasi terhadap implikasi-implikasi yang mengikutinya, khususnya yang berpotensi pendorong dilakukannya kejahatan oleh korban-korban dari model pembangunan yang dipilih ini, teru tarna di perkotaan.
Prioritas Pembangunan Ekonomi
Trilogi pembangunan kita meliputi pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Masing-masing tidak merupakan uru tan prioritas pelaksanaan tetapi secara simultan diupayakan keterwujudannya dalam dinamika pembangunan kita. Namun walaupun demikian nampak bahwa aspek pemerataan tidak seiring jalan dengan aspek-aspek lainnya. Secara terinci Sumitro Dj ojohadikusumo menunjukkan realita aspek pemerataan di tahun 1976 sebagai beriku t (Lubis, 1986: 45):
. Sekalipun data di atas adalah data tahun 1976, dan kemudian pada tahun 1978 keluar kebijaksanaan tentang 'delapan jalur pemerataan' yang di dalamnya tennasuk pemerataan
•
pembagian pendapatan, namun per-•
•
Hukum dan Pembangunan
ubahan persentase pada tahun-tahun terakhir ini tidaklah berkisar jauh di sepu taran angka-angka tetsebut, dan oleh sebab itu masih cukup representatif data di atas untuk dipakai acuan. Apalagi kalau mengingat kekhawatiran Mubyarto akan bahaya delapan jalur pemerataan ini akan menjelma menjadi semacam politik etis yang dijalankan oleh pemerintah Belanda dari tahun 1870 sampai tahun 1901. (Prism a, 5, 1979: 42-48).
Kenyataan ini memang sebagai konsekuensi logis dari implementasi pembangunan yang kita lakukan selama ini, di mana pembangunan bidang ekonomi kit a prioritaskan, sedangkan pembangunan di bidang lainnya bersifat menunjang dan melengkapi bidang ekonomi, sebagaimana yang tennuat dalam GBHN kit a selama ini.
Dengan pembangunan sektor ekonomi sebagai prioritas ini diharapkan terjadinya pertumbuhan ekonomi, dan hasil dari pertumbuhan itu akan dinikmati secara bersama melalui metode lelehan ke bawah, atau yang dikenal dalam term ekonomi sebagai trickle down effect. Namun sudah diketahui umum bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi tidak selalu menjamin kesejahteraan ekonomi bagi seluruh penduduk, dan ada kesadaran bahwa yang dinarnakan trickle down sebetulnya tidak mengubah keadaan perbedaan yang berdasarkan atas kelas (Witton, 1987: 3) .
Di dalam kondisi ketidakmerataan alokasi sumberdaya-sumberdaya ekonomi, maka laiidasan interaksi so sial dan ekonomi antarindividu dalam masyarakat adalah kompetisi atau persaingan. Dalam kaitan ini Kusumah (1982: 29) mengatakan bahwa keta-
•
,
Kejahatan Kekerasan Perkotaan
Pe nduduk j\ 20%
40% .
40%
kutan atas ketidakamanan ekonorrii serta dorongan memperoleh harta yang didistribusikan secara tidak merata, menghasilkan kejahatan yang merupakan respon-respon rasional atas struktur yang melandasi masyarakat tersebut.
Dari hal-hal yang terurai di atas dapatlah dikatakan bahwa walaupun kemakmuran meningkat karena pembangunan, tetapi frekuensi dan situasi kejahatan tidak otomatis berkurang.
•
Selama empat tahun sebelum tahun 1980, kejahatan bertambah dari 641. 866 menjadi 789.426. Peningkatan kejahatan antara tahun 1976 sampai 1980 mencapai 20 persen, sedangkan pertumbuhan penduduk hanya 10 persen (Nasution, 1982 : 19).
Dalam konteks ini kesimpulariny~ adalah bahwa pembangunan yang menciptakan kemakmuran yang secara simultan tidak disertai tindakan pemerataan ke semua lapisan m~syarakat ,
adalah konstelasi pendorong potensial dilakukannya kejahatan, khususnya kejahatan yang dilakukan oleh anggota masyarakat lapisan bawah yang diorientasikar. untuk hegemoni harta korban, atau dengan kata lain konstelasi semacam ini adalah suatu akar kejahatan.
Ketidakmerataan ekonomi serta dorongan memperoleh harta yang didistribusikan secara tidak merata ini, lebih banyak terjadi dalam kehidupan di perkotaan, daripada kehidupan di
573
•
'\ 7
56,7% Pendapatan
-\ 32,12% • 11,15% , /
pedesaan. Hal illi juga merupakan konsekuensi logis dari ' pilihan konsentrasi orientasi dinamika pembangunan kita selama ini, di mana lebih berorientasi ke kota daripada ke desa. Industri-industri barang dan jasa dibangun di kota, bukan di desa. Perihal ini memang berkaitan dengan kepentingan ekonomi, seperti tersedianya pasar yang akan menyerap hasil produksinya, kemudahan transportasi yang menekan biaya produksi, sehingga memperbanyak laba, serta kelancaran komunikasi dengan kolega dan masyarakat konsumen, yang pada gilirannya semuanya ini memperlancar usahanya.
•
Industri-industri yang dibangun di kota ini menyediakan bermacam-macam kesempatan kerja , di mana gaji akan lebih baik daripada menjadi buruh desa, apalagi bagi yang memiliki bekal pendidikan, sehingga banyak orang desa berduyun ke kola. Dalam menentukan sebab dari keadaan demikian , maka harus diperhatikan faktor suatu ' tekanan' (push) ekonomi dari pedalaman (pedesaan) dan faktor 'tarikan' (pull) kehidupan perkotaan.
Tarikan oleh kehidupan pelKotaan yang memancing kaum urban ini, menyebabkan beberapa kota besar oi Indonesia umumnya sudah tidak mampu menampung arus urbanisasi. Dengan kata lain beberapa kota besar di Indonesia sebagai suatu sistem sudah ber--ada pada keadaan menanggung beban di luar batas kemampuannya atau su-
Desember 1987 •
574
dah bennuatan 1ebih (Markum, 1979: 17).
Urbanisasi yang berlebihan (over. urbanization) ini merupakan problema yang mencakup segala aspek, perumahan atau penampungan, lapangan pekerjaan yang tersedia, pendidikan, dan sebagainya. Akibatnya terlihat suatu gejala stereotype kota besar, yaitu pengangguran, beIIIluncu1annya perumahan-perumahan atau gubug-gubug liat, pengemis di mana-mana, yang secara potensial masing-masing ini mengandung dan mengundang kriminalitas dalam .arti luas (Nasution, 1982: 22).
Ikhwal urbanisasi dalam relevansi. nya dengan kejahatan (kekerasan) di perkotaan diuraikan menarik oleh Mardjono Reksodiputro sebagai berikut:
". . . . Kesengsaraan di daerah·daerah pedesaan yang disertai frustrated expectation tenJtama di ka/angan pemuda. mungkin akan membawa· mereka berimigrasi ke daerah.daerah perk@taan secara besor-besarall. Ketidaksiapall . kota-kota menampung mereka (tidak tersediallya pekerjaan. hilallgnya primaty social control, s~rta kebillgullgall nonna da/am urban way of life) akan m emudahkall para pendatang ini memiIih cara.cara yang tidak soh (illegitimate means) dalam kehidupan mereka di k@ta. Daerahdaerah slums merupakan tempat y ang baik bagi para pendatang ini untuk mempelajari nilai dan n@rma y ang mendukung cara- cara tidak soh di atas cara.cara yang sah" (Kusumah . 1981 : 62).
Uraian di atas akhirnya memberikan kesimpulan bahwa dinamika pembangunan yang terkonsentir orientasinya ke kota, yang pada gilirannya mengkondisikan suatu 'tarikan' atas ' tekanan' ekonomi di pedesaan bagi kaum urban, adalah merupakan suatu akar kejahatan (kekerasan) di perkotaan
Hukum dan Pembangunan
Pemberantasan dan Peocegahan Kej~batao
Pencegahan kejahatan tidak identik dengan pemberantasan kejahatan. Pemberantasan kejahatan mencakup seluruh pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal justice system) meliputi penyidikan, penuntutan, dan penghukuman (pemasyarakatan?). Sedangkan pencegahan kejahatan bersifat lebih luas, yang bukan hanya merupakan tind3.kan pemberantasan kejahatan dalam sistem kriminal, tetapi juga mengenai segala tindakan pemerintah atau masyarakat dalam pembangunan ekonomi, politik, so sial dan budaya, yang langsung atau tidak langsung ditujukan untuk mencegah maupun mengurangi kejahatan (Nasution, 1982 : 20).
Strategi pemberantasan kejahatan biasanya dipercayakan kepada a, sistern organisasi kepolisian yang baik; b, pelaksanaan peradilan yang efektif; c, hUkumyang berwibawa; d, pengawasan dan pencegahan yang terkoordinasi; e, partisipasi masyarakat dalam usaha penanggulangan kejah,, ~an (Sahetapy, 1983: 82). Sedangkan strategi pencegahan kejahatan bisa dilakukan dengan dua cara yaitu dengan sistem abosionistik, yakni pencegahan kejahatan dengan menghilangkan faktorfaktor yang menjadi sebab-musababnya, dan kedua dengan sistem motalistik yaitu pencegahan kejahatanmelalu i sosialisasi-sosialisasi nilai yang tidak membenarkan kejahatan.
Dengan menggunakan pencegahan kejahatan bersistem abosionistik , maka distribusi sumberdaya-sumberdaya ekanomi dan hasilnya yang tidak merata, serta konsentrasi orientasi dari dina-
•
mika pembangunan di kota, adalah faktor-faktor yang menjadi sebab-mu-
•
•
Kejahatan Kekerosan Perkotaan
sabab kejahatan (kekerasan) di perkotaan, sehingga faktor-faktor ini hamslah dihilangkan. Artinya harus ada redistribusi yang lebih menjamin pemerataan, terutama pemerataan pembagian pendapatan .
Apabila redistribusi tidak dilakukan, maka pembangunan ekonomi yang dilakukan akan menimbulkan sistern ekonomi yang tidak memungkinkan suatu golongan sosial dalam masyarakat tertentu memenuhi aspirasi dan keperluan fisik mental dan sosial secara tidak bertentangan dengan undang-undang yang berlaku,dan hal ini membuka kemungkinan besar yang bersangku tan dari golongan tersebut, melakukan tindak~n kriminal demi pemenuhan kepentingannya dengan menanggung segala akibatnya (Gosita, 1979: 33). Salah satunya termanifestasikan di dalam kejahatan kekerasan dalam konteks ini.
Dalam keadaan semacam ini, maka seefektif apa pun strategi pemberantasan kejahatan yang teraplikasi, akan tidak membawa hasil optimal seperti yang diharapkan, sekalipun itu dengan menggunakan modus operandi petrus (penembak misterius) ataupun matius (mati misterius). Oleh karena tidak terbarengi oleh strategi pencegahan yang efektif pula, atau dengan kata lain tidak terjadi sinkronisasi antara strategi pemberantasan dengan strategi pencegahan kejahatan;
Upaya sinkronisasi ini paling tidak bisa merujuk pada hasil kongres PBB ten tang Pelanggar Hukum di Caracas, Venezuela, 25 Agustus - 5 September 1980, yang deklarasinya berbunyi (Nasution, 1982: 29):
1. Bahwa sukses dari suatu peradilan kriminal dan strategi tentang pencegahan kejahatan khusus dalam hu-
•
- 575 •
bungan pertumbulUln dari bentukbentuk kejahatan balU, adalah tergantung pada kemajuan yang dicapai di selUlUh dunia dalam peningkatan sosilll mutu kehidupan. OIeh sebab itu adalah sangat penting untuk meninjau kembali strategi pencegahan kejahatan secara tradisional yang hanya didaS4rkan pada kriteria pelUndangan, yaitu pemberantasan ke/ahatan me14lui pengadilan ;
2. Pencegahan kejahatan harus dipandang da14m hubungan pembangunan ekonemi. sistem politik, nillli-nillli sosilll-budaya, dan perubahan-perubahan sesilll, dan juga da14m ke ter' . tiban ekonomi intemasional yang balU.
3 . . Adalall sangat penting agar program pencegahan kejahatan dan perlalatan terhadap pelanggar hukum, seharusnya didasarkan pada keadaan-keadaan sosilll, budaya politik, dan ekonomi suatu negara, daillm suasana kemerdekaan dan ho/mat kepada hak asasi manusill,_ dan agar negara-negara anggota meningkatkan keahlilln secara efektif untuk merumuskan dan ~rencanakan politik kriminal, dan agar semua politik pencegahan kejahawn harus dikoordinasikan dengan strategi ten tang pembangunan sosilll, ekonomi, politik dan budaya.
Upaya sinkronisasi selanjutnya adalah dengan memikirkan kern bali orientasi dinamika pembangunim kita. Rendra (I 983: 40) dengan bahasa populer mengatakan pembangunan yang kita cita-citakan adalah pembangunan yang menitikberatkan pedesaan. Bukan dari perkotaan lalu merambat ke pedesaan, tetapi dimulai dengan membangun kekuatan di pedesaan terlebih dahuJu, setelah itu perkotaan mendapatkan gilirannya untuk dikembangkan. Secara mutatis-mutandis demikian pula Nasution (1982: 27)_
Hal itu mungkin adalah sesuatu yang sulit, sebitb dari kepentingan-
Desember 1987
•
•
576
kepentingan ekonorni akan rnerugikan, '.
tetapi bukan berarti sesuatu yang tidak teratasi. Sarana untuk kelancaran transportasi dan kornunikasi bisa dibangun, sedangkan tenaga kerja lebih rnudah dan rnurah untukdidapatkan, yang sekaligus rnencegah urbanisasi dan secara simultan rnenekan laju kejahatan (kekerasan) di perkotaan.
Pennasalahan-pennasalahan yang terjadi di kota yang rnenjadi kausa kejahatan (kekerasan) di atas, tidak teIjadi di pedesaan, sepanjang faktor penyebabnya tidak teIjadi atau tidak ikut dipindahkan ke pedesaan.Artinya diupayakan untuk tidak teIjadi kesen-
Hukum dan PembtJnguntJn
jangan sebagairnana kota rnengalatrii.
Penutup Strategi pencegahan kejahatan (ke
kerasan) agar sink ron dengan strategi pernberantasan kejahatan dan sarnasarna efektif, khususnya yang teIja'tli di perkotaan, paling tidak bertumpu pada dua hal, pertama konsistensi terhadap komitmen pemerataan, terutarna pernerataan pernbagian pendapatan, bukan sekedar kornitrnen tanpa pelaksanaan (commitment non-enforcement), dan mem.ikirkan kern bali konsentrasi orientasi dinarnika pembangunan kita yang mengkota, selama ini.
DAFTAR PUS TAKA
Gosita, Arief, "Peranan Kurban dalam Interaksi Sosial Mempengaruhi Terjadinya Kejahatan",Prisma, 5, 1982.
Kusumah, Mulyana, W., Aneka Pennasalahan dalam Ruang Lingkup Kriminologi (Ban dung: Alumni, 1982). .
------, Analisis Kriminologi tentang Kejahatan-kejahatan Kekerasan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982).
Lubis, Mulya, Hantllan Hukum dan Kemiskinall Struktllral (Jakarta: LP3ES , 1986) •
Markum, Enoch, "Kriminalitas di Kota Besar", Widyapura, 3, tho II, 1979. Nasution, A. Karim,' 'Kriminalitas dan Pembangunan, Pencegahan dan Pengendaliannya" ,
Prisma, 5,1982. Rendra, W.S., "Rasionalisasi Pedesaan", daJam Celah-celah Pembangullan (Jakarta: LSP,
1983). Sahetapy, J.E., Kejahatan Kekerasan, Suatu Pendekatan Interdisipliller (Surabaya: SinaI
Wijaya, 1983). Soekanto, Soerjono, "Kejahatan dan Sistem Peradilan Pidana", Prisma, 5, 1982. Witton, Ron, Perubahan Sosia/ dan Penelitian Pembanglman: Pengalaman yang Hennan
faat dari Suatu Proyek Ilmu-ilmu Sosial Australia-Indonesia, Makalah, PPIIS llni-. . braw,1987.
•
Recommended