View
221
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sejarah adalah akumulasi rekaman pengalaman manusia. Mempelajari
sejarah mempelajari segala bentuk puncak pengalaman dan perubahan yang telah
dicapai manusia sepanjang abad. Dari sejarah masa lampau manusia memperoleh
bekal dan titik pijak untuk membangun sejarah baru. Kehidup manusia selalu
harus berdialog dengan sejarah masa lalu untuk dapat membangun sejarah di masa
sekarang, serta memproyeksikan pandangan ke dalam sejarahnya di masa
mendatang. Dimensi kesejarahan menuntut manusia untuk selalu melakukan
pembaharuan dan berupaya mencapai kemajuan,tak terkecuali sejarah bangsa
Indonesia.
Sejarah bangsa Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat
panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah berdasarkan penemuan "Manusia
Jawa" yang berusia 1,7 juta tahun yang lalu. Periode sejarah Indonesia dapat
dibagi menjadi lima era: Era Prakolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-
Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan
perdagangan; Era Kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda)
yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda
selama sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20;
Era Kemerdekaan Awal, pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945)
sampai jatuhnya Soekarno (1966); Era Orde Baru, 32 tahun masa pemerintahan
Soeharto (1966–1998); serta Era Reformasi yang berlangsung sampai sekarang.
Salah satu bagian dari sejarah bangsa Indonesia yang tidak boleh
dilupakan dan patut untuk dikaji lebih jauh,yaitu sejarah bangsa Indonesia pada
rentan waktu 1965 – 1977.Pada rentan waktu ini yang perlu dikaji
meliputi,keadaan politik,ekonomi,budaya dan pertahanan-keamanan. Suatu
masyarakat atau bangsa tak mungkin akan mengenal siapa diri mereka dan
bagaimana mereka menjadi seperti sekarang ini tanpa mengenal sejarah. Sejarah
dengan identitas bangsa memiliki hubungan timbal-balik. Akar sejarah yang
dalam dan panjang akan memperkokoh eksistensi dan identitas serta kepribadi
1
suatu bangsa.Dari hal ini lah,pengkajian yang lebih mendalam tentang sejarah
bangsa Indonesia periode 1965-1977 perlu dilakukan untuk juga menjadi bekal
menapaki kesejahteraan bangsa untuk visi yang lebih kedepan.
I.2 Rumusan Masalah
Pada pembahasan makalah ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kondisi politik bangsa Indonesia pada periode tahun 1965 –
1977 ?
2. Bagaimanakah kondisi ekonomi bangsa Indonesia pada periode tahun
1965 – 1977 ?
3. Bagaimanakah kondisi sosial-budaya bangsa Indonesia pada periode tahun
1965 – 1977 ?
4. Bagaimanakah kondisi pertahanan-keamanan bangsa Indonesia pada tahun
19655 -1977 ?
I.3 Tujuan
Pembuatan makalah ini mengenai sejarah bangsa Indonesia tahun 1965 – 1977
dimaksudkan untuk mencapai beberapa tujuan anatara lain :
1. Sebagai salah satu prasyarat tugas mata kuliah pendidikan
kewarganegaraan
2. Sebagai salah satu refrensi untuk mengkaji lebih jauh mengenai sejarah
bangsa Indonesia periode tahun 1965 – 1977
I.4 Manfaat
1. Rekreatif, artinya dengan membaca atau mempelajari sejarah, kita seolah-
olah dibawa berpetualang menembus dimensi ruang dan waktu bangsa
Indonesia tahun 1965 – 1977.
2. Inspiratif, yaitu memberikan sumber inspirasi untuk bangsa Indonesia
melangkah kedepan
3. Instruktif, bermaksud memberikan pelajaran mengenai sejarah bangsa
Indonesia tahun 1965 – 1977.
2
4. Edukatif, berguna untuk mendapatkan kearifan dari sejarah bangsa
Indonesia tahun 1965 - 1977 untuk melangkah ke masa depan.
3
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Ketahanan Nasional dan Konsep Ketahanan Nasional
Dalam perjuangan mencapai cita-cita/tujuan nasionalnya bangsa Indonesia
tidak terhindar dari berbagai ancaman-ancaman yang kadang-kadang
membahayakan keselamatannya. Cara agar dapat menghadapi ancaman-ancaman
tersebut, bangsa Indonesia harus memiliki kemampuan, keuletan, dan daya tahan
yang dinamakan ketahanan nasional.
Kondisi atau situasi dan juga bisa dikatakan sikon bangsa kita ini selalu
berubah-ubah tidak statik. Ancaman yang dihadapi juga tidak sama, baik jenisnya
maupun besarnya. Karena itu ketahanan nasional harus selalu dibina dan
ditingkatkan, sesuai dengan kondisi serta ancaman yang akan dihadapi. Dan inilah
yang disebut dengan sifat dinamika pada ketahanan nasional.
Kata ketahanan nasional telah sering kita dengar disurat kabar atau sumber-
sumber lainnya. Mungkin juga kita sudah memperoleh gambarannya.
Untuk mengetahui ketahanan nasional, sebelumnya kita sudah tau arti dari
wawasan nusantara. Ketahanan nasional merupakan kondisi dinamik yang
dimiliki suatu bangsa, yang didalamnya terkandung keuletan dan ketangguhan
yang mampu mengembangkan kekuatan nasional.
Kekuatan ini diperlukan untuk mengatasi segala macam ancaman,
tantangan, hambatan dan gangguan yang langsung atau tidak langsung akan
membahayakan kesatuan, keberadaan, serta kelangsungan hidup bangsa dan
negara. Bisa jadi ancaman-ancaman tersebut dari dalam ataupun dari luar.
II.1.A. Hakekat Ketahanan Nasional dan Konsep Ketahanan Nasional Indonesia
Hakikat Ketahanan Nasional Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan
bangsa yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional untuk
dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan
nasional. Hakikat konsepsi nasional Indonesia adalah pengaturan dan
penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi dan, selaras
4
dalam, seluruh aspek,kehidupan Nasional berlandaskan UUD’45 dan Wawasan
Nusantara
II.1.B. Asas-asas Ketahanan Nasional Indonesia
1. Asas kesejahteraan dan keamanan. Kebutuhan yang sangat mendasar
dan wajib dipenuhi bagi individu maupun masyarakat atau kelompok.
2. . Asas komprehensif integral/menyeluruh terpadu Artinya, ketahanan
nasional mencakup seluruh aspek kehidupan.
3. Asas mawas ke dalam dan mawas ke luar. Dalam hal mawas ke dalam
bertujuan menumbuhkan sifat dan kondisi kehidupan nasional
berdasarkan nilai-nilai kemandirian dan dalam rangka meningkatkan
kualitas kemandirian bangsa. Dalam hal mawas ke luar dilakukan
dalam rangka mengantisipasi, menghadapi dan mengatasi dampak
lingkungan strategis luar negeri.
4. Asas kekeluargaan. Asas ini berisi sikap-sikap hidup yang diliputi
keadilan kebersamaan, kesamaan, gotong-royong, tenggang rasa dan
tanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara.
II.1.C. Sifat-sifat Ketahanan Nasional Indonesia
1. Mandiri Maksudnya adalah percaya pads kemampuan dan kekuatan
sendiri dan tidak mudah menyerahkan.
2. Dinamis, artinya tidak tetap, naik turun, tergantung situasi dan kondisi
bangsa dan negara serta lingkungan strategisnya.
3. Wibawa. Semakin tinggi tingkat Ketahanan Nasional maka akan semakin
tinggi wibawa negara dan pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan
nasional.
4. Konsultasi dan Kerjasama. Dimaksudkan adanya saling menghargai
dengan mengandalkan kekuatan moral dan kepribadian bangsa.
II. 2. KETAHANAN EKONOMI DAN SISTEM EKONOMI
5
II.2.A. Ketahanan Ekonomi
Ketahanan Ekonomi diartikan sebagai kondisi dinamis kehidupan
perekonomian bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan kekuatan nasional
dalam menghadapi serta mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan
gangguan yang datang dari luar maupun dari dalam secara langsung maupun tidak
langsung untuk menjamin kelangsu-ngan perekonomian bangsa dan negara
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
II.2.B. Konsep Ekonomi
Konsep Ekonomi berdasarkan azas ekonomi sebagai petunjuk ekonomi
hanya ada pada setiap statistik ekonomi, seperti angka pengangguran, GDP atau
angka inflasi yang mengindikasikan seberapa baik kondisi ekonomi dimasa yang
akan datang. Seperti yang ditunjukkan dalam artikel “Bagaimana pasar
memanfatkan informasi untuk menentukan harga” penanam modal menggunakan
semua informasi yang bisa mereka gunakan untuk mengambil keputusan. Jika
satu aturan petunjuk ekonomi menyarankan bahwa ekonomi akan menjadi lebih
baik atau lebih buruk dimasa yang akan datang maka kondisi tersebut benar-benar
yang diharapkan, mereka mungkin memutuskan untuk merubah strategi investasi
mereka.
II.2.C. Ciri-Ciri Ekonomi
Dua Sistem Ekonomi Ekstrim (berlawanan)
1.Sistem ekonomi liberal /kapasitas /pasar bebas.
Ciri-cirinya :
a. Bebas berusaha dalam kegiatan produksi dan distribusi .
b. Bebas memiliki alat- alat produksi.
c. Bebas dalam menetapkan harga jual.
d. Bebas dalam melakukan persaingan.
e. Pemerintah tidak ikut campur tangan dalam perekonomian
f. Mengutamakan besarnya modal.
6
Kebaikannya:
a. Mendorong kemajuan berusaha.
b. Adanya pengakuan hak milik perseorangan.
c. Bagi pemilik modal besar akan cepat berkambang.
d. Dalam mengembangkan usaha hambatannya relative kecil.
Kelemahan:
a. Bagi pemodal kecil akan tersisih.
b. Pendatan masyarakat tidak merata.
c. Mementingkan kepentingan pribadi.
d. Munculnya penindasan bagi golongan ekonomi lemah.
e. Timbulnya kesenjangan social
2.Sistem ekonomi sosialis / komando/ perecanaan sentral/ etatisme
Ciri-cirinya:
a. Produksi disediakan dengan kebutuhan dan daya beli masyarakat.
b. Perekonomian dikuasai pemerintah
c. Pemerintah memegang hak monopoli untuk bidang yang menguasai hajat
hidup orang banyak.
d. Hak milik perseorangan masih diakui da penggunaannya dibatasi agar
tidak merugikan kepentigan umum.
Kebaikannya:
a. Kemakmuran masyarakat dapat merata.
b. Tidak adanya kelompok masyarakat kaya dan miskan.
c. Semua kebutuhan pokok masyarakat dihasilkan pemerintah.
d. Pemerintahan bertanggung jawab terhadap kemakmuran masyarakat .
e. Seluruh kegiatan ekonomi diatur dan dijendalikan dari pusat.
Kelemahannya:
a. Masyarakat kurang berpartisipasi.
7
b. Tidak semua kebutuhan mampu dipenuhi pemerintahan.
c. Maju mudurnya perekonomian sangat tergantung pemerintah.
d. Mengurangi hasrat masyarakat dalam mengembangkan usaha.
II.3. KETAHANAN POLITIK DAN KONSEP SISTEM POLITIK
II.3.A. Ketahanan Politik
Kondisi Ketahanan nasional pada aspek politik diartikan sebagai kondisi
dinamik kehidupan politik bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang
mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi
dan mengatasi tantangan, gangguan, ancaman dan hambatan yang datang dari luar
maupun dari dalam negeri yang Iangsung maupun tidak Iangsung untuk menjamin
kelangsungan hidup politik bangsa dan negara Republik Indonesia.
II.3.B. Ciri-Ciri Sistem Politik
Ciri-ciri sistem politik menurut Gabriel A. Almond adalah:
1. Semua sistem politik pasti mempunyai struktur politik.
Dalam pengertian bahwa di dalam masyarakat yang paling sederhanapun,
sistem politik dari masyarakat tersebut mempunyai tipe struktur politik
yang terdapat di dalam masyarakat yang paling kompleks. Tipe-tipe
tersebut dapat diperbandingkan satu sama lain sesuai dengan tingkatan dan
bentuk strukturnya.
2. Semua sistem politik menjalankan fungsi politik yang sama, walaupun
tingkatannya berbeda-beda karena adanya perbedaan struktur. Demikian
pula dapat diperbandingkan bagaimanakah fungsi-fungsi dari sistem-
sistem politik itu dijalankan dan bagaimana pula cara/gaya
melaksanakannya.
3. Semua struktur politik mempunyai sifat multi fungsional (menjalankan
banyak fungsi). Sistem politik dapat dibandingkan menurut tingkat
kekhususan fungsi di dalam struktur itu.
4. Semua sistem politik adalah sistem campuran.
Secara rasional tidak ada struktur dan kebudayaan yang semuanya modern
atau semuanya primitif dalam pengertian tradisional. Perbedaan yang ada
8
hanya bersifat relatif saja, dan keduanya bercampur satu dengan yang
lainnya.
II.4. KETAHANAN SOSIAL BUDAYA DAN PENGARUH ASPEK SOSIAL
BUDAYA PADA KETAHANAN NASIONAL
II.4.A Ketahanan Sosial Budaya
Ketahanan sosial budaya diartikan sebagai kondisi dinamis budaya
Indonesia yang berisi keuletan dan ketangguhan kekuatan nasional dalam
menghadapi serta mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan
yang datang dari luar maupun dari dalam secara langsung maupun tidak langsung
membahayakan kelangsungan kehidupan sosial budaya. Kondisi sosial budaya
bangsa yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan pancasila yang
mengandung kemampuan membentuk dan mengembangkan kehidupan
sosialbudaya manusia an masyarakat Indonesia.
II.4.B. Pengaruh Aspek Sosial Budaya pada Kertahanan Nasional
Kebudayaan diciptakan oleh faktor organobiologis manusia, lingkungan
alam, lingkungan psikologis, dan lingkungan sejarah. Dalam setiap kebudayaan
daerah terdapat nilai budaya yang tidak dapat dipengaruhi oleh budaya asing
(local genuis). Local genuis itulah pangkal segala kemampuan budaya daerah
untuk menetralisir pengaruh negatif budaya asing.
Kebuadayaan nasional merupakan hasil (resultante) interaksi dari budaya-
budaya suku bangsa (daerah) atau budaya asing (luar) yang kemudian diterima
sebagai nilai bersama seluruh bangsa. Interaksi budaya harus berjalan secara wajar
dan alamiah tanpa unsur paksaan dan dominasi budaya terhadap budaya lainnya.
Kebudayaan nasional merupakan identitas dan menjadi kebanggaan
Indonesia. Identitas bangsa Indonesia adalah manusia dan masyarakat yang
memiliki sifat-sifat dasar:
- Religius
- Kekeluargaan
- Hidup seba selaras
- Kerakyatan
9
Wujud ketahanan sosial budaya tercermin dalam kondisi kehidupan sosial
budaya bangsa yang dijiwai kepribadian nasional, yang mengandung kemampuan
membentuk dan mengembangkan kehidupan sosial budaya manusia dan
masyarakat Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa,
bersatu, cinta tanah air, berkualitas, maju dan sejahtera dalam kehidupan yang
serba selaras, serasi dan seimbang serta kemampuan menangkal penetrasi budaya
asing yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.
10
BAB III
KONDISI DAN ANALISIS
III. 1. a Kondisi Politik
Tahun 1965-1966 merupakan tahun yang kelam bagi masyarakat
Indonesia, karena pada tahun itu Peristiwa Gerakan 30 September terjadi, para
petinggi militer Indonesia ditangkap dan dibunuh oleh kelompok orang yang ingin
mengkudeta pemerintahan saat itu. Beberapa kantor pemerintahan (diantaranya
kantor RRI) juga berhasil diduduki oleh kelompok yang mengatasnamakan PKI
(Partai Komunis Indonesia). Situasi tersebut mengakibatkan kondisi politik,
militer, sosial dan ekonomi menjadi sangat kacau. Situasi politik yang dimaksud
ialah perubahan pemerintahan secara drastis dari pemerintahan sipil ke
pemerintahan di bawah kekuasaan militer. Keadaan ini terjadi sejak sekitar kuartal
pertama tahun 1966, yang diawali dengan apa yang dinamakan ‘Peristiwa G30S’
tahun 1965. Terhambatnya warga Indonesia tidak bisa kembali ke tanah air, dan
harus hidup dari satu negeri ke negeri lain, oleh mantan Presiden Abdurrahman
Wahid alias Gus Dur menamai orang-orang eksil Indonesia sebagai ‘orang-orang
yang terhalang pulang’ atau ‘orang-orang klayaban’.
Periode Orde Baru (1966 – 1998) Pemerintah didukung kuat Militer dan
kemudian mencari dukungan dari kelompok borjuasi (elit politik kelas menengah
ke atas). Prioritas yang dilakukan adalah pengendalian inflasi dan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Dukungan dari Barat dan Jepang juga mengalir melalui
bantuan/pinjaman. Modal asing mulai masuk sehingga industrialisasi mulai
dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang pertama
dibuat tahun 1968. Pada tahun 1970-an dan awal 1980-an harga minyak bumi
melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde Baru mampu membangun dan
mengendalikan inflasi serta membuat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Stabilitas politik dilakukan kaum militer dengan membuat “Golongan Karya”
(Golkar) yang tidak berkoalisi dengan partai politik yang ada dan memaksa parpol
bergabung hingga hanya ada dua yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Partai Demokrasi Indonesia.
11
Pada tahun 1970-an, negara Orde Baru Rente terbentuk sehingga negara
menduduki posisi investor terbesar, disusul pengusaha non pribumi (Cina) dan
pengusaha pribumi di posisi ketiga. Perusahaan negara banyak yang merugi
namun pengelolanya bertambah kaya. Pengusaha Cina terus berkembang melalui
koneksi dengan pejabat tinggi negara. Pengusaha pribumi berkembang melalui
fasilitas negara karena hubungan kekeluargaan dengan petinggi negara.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuat rakyatnya bebas dari
kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir
orang saja. Dampak negatif kondisi ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru
antara lain, ketergantungan terhadap Minyak dan Gas Bumi (Migas) dan
ketergantungan terhadap Bantuan Luar Negeri.
Akhir 1970-an, proses pembangunan di Indonesia mengalami “non market
failure” sehingga banyak kerepotan dalam proses pembangunan, misalnya
merebaknya kemiskinan dan meluasnya kesenjangan pendapatan, terutama
disebabkan oleh “market failure”. Mendekati pertengahan 1980-an, terjadi
kegagalan pemerintah (lembaga non pasar) dalam menyesuaikan mekanisme
kinerjanya terhadap dinamika pasar. Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan
berat akibat kemerosotan penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi pada awal
1980-an. Kebijakan pembangunan Indonesia yang diambil dikenal dengan sebutan
“structural adjustment” dimana ada 4 jenis kebijakan penyesuaian sebagai berikut:
1. Program stabilisasi jangka pendek atau kebijakan manajemen
permintaan dalam bentuk kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar
mata uang dengan tujuan menurunkan tingkat permintaan agregat.
2. Kebijakan struktural demi peningkatan output melalui peningkatan
efisiensi dan alokasi sumber daya dengan cara mengurangi distorsi
akibat pengendalian harga, pajak, subsidi dan berbagai hambatan
perdagangan, tarif maupun non tarif.
3. Kebijakan peningkatan kapasitas produktif ekonomi melalui
penggalakan tabungan dan investasi.
4. Kebijakan menciptakan lingkungan legal dan institusional yang bisa
mendorong agar mekanisme pasar beroperasi efektif termasuk jaminan
hak milik dan berbagai tindakan pendukungnya seperti reformasi
12
hukum dan peraturan, aturan main yang menjamin kompetisi bebas
dan berbagai program yang memungkinkan lingkungan seperti itu.
Pemberlakuan Undang – Undang Hak Cipta dan Hak Milik Intelektual
juga merupakan bagian dari berbagai paket di atas.
- Pelaksanaan Fungsi DPR-GR Masa Orde Baru 1966-1971
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian
dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, DPR-GR masa “Orde Baru” memulai
kerjanya dengan menyesuaikan diri dari “Orde Lama” ke “Orde Baru.”
Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 adalah sebagai berikut:
1. Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan Pasal 23
ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasann
2. Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan Pasal 5 ayat
(1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya
3. Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD
1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7.
- DPR Hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997
Setelah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan “Orde
Baru” akhirnya berhasil menyelenggarakan Pemilu yang pertama dalam masa
pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan Ketetapan MPRS No.
XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah
pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan
Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada
tahun 1971.
Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU
No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang
digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971,
yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi
habis di setiap daerah pemilihan (sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu
13
menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih
kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Sistem yang sama masih terus
digunakan dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
dan 1997.
Sejak Pemilu 1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai menunjukkan
penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi menjadi
dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-
partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua partai
tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru” tergabung dalam Golkar.
Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan
Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus dalam lima kali Pemilu, yaitu
Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar
selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak.
Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan
presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam
bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan
fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya sebagai
pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk
memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.
- Peristiwa Jatuhnya Presiden Soekarno
Pada tanggal 7 Maret 1967 MPRS mengadakan sidang istimewa dengan
menghasilkan 26 Ketetapan. Ketika sidang MPRS itu dilakukan, Mandataris
duduk di barisan pimpinan MPRS yakni di sebelah kanan Ketua MPRS, tidak
seperti biasanya duduk berhadapan dengan MPRS. Hasilnya, antara lain (seperti
dituangkan dalam TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yakni Mencabut
Kekuasaan Pemerintah dari Presiden Soekarno, dan mengangkat Soeharto
sebagai Pejabat Presiden hingga dilaksanakannya Pemilu.
- Peristiwa Malari
Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa
demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.
Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang
14
berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan
menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil
menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM
Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden
Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P.
Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya,
kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan. Usai
terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta
berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib,
langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden
dibubarkan. Kepala Bakin, Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga Soegomo.
Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks
Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah
para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak
bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks
Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari
Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib
Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru
malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa
Malari
Pada pertengahan Januari 1974, ketika hari masih sangat pagi, Hariman
Siregar dibangunkan dari selnya di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta
Pusat. Sudah dua hari ia ditahan di sana karena dituduh terlibat dalam peristiwa
Malapetaka 15 Januari 1974, yang dikenal dengan sebutan Peristiwa Malari.
III. 1. b Analisis Kondisi Politik
Kondisi politekl di era tahun 1966 – 1977 ini menglami masa krisis, pada
era ini perangkat pemerintah tidak bisa berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan
pasa saat itu pemerintahan dan hampir seluruh perangkat negara dikuasai oleh
militer. Pada saat itu Militer berkuasa pada era orde baru dibawah Presiden
15
Soeharto yang hampir menguasai semua elemen pemerintahan di eksekutif dari
pemerintahan pusat hingga ke kabupaten. Ironisnya Militer juga menguasai
pemerintahan yudikatif maupun legislative
Kondisi seperti ini dikarenakan pada tahun 1965 – 1966 Militer berhasil
mengatasi gerakan G30S PKI yang ingin mengkudeta pemerintahan. Pada saat itu
Militer yang dipimpin oleh Soharto berhasil mengatasi pemberontakan tersebut
dan kemudia militer menguasai pemerintahan satu tahun setelahnya yang
dipimpin oleh Presiden Soeharto. Kekurang cakapan pemerintah pada saat itu
dalam mengendalikan perekonomian dan inflasi mendorong pemerintah yang
kebanyakan berasal dari militer menggandeng dan bermitra dengan kelompok
borjuasi (elit politik kelas menengah ke atas). Hal itu dilakukan untuk
pengendalian inflasi dan melakukan penumbuhan ekonomi di Indonesia.
Untuk proses pengamanan kekuasaan yang dilakukan pemerintah pada
saat itu, pemerintah mendirikan partai “Golongan Karya” yang dimana partai
tersebut sudah menguasai sendi-sendi pemerintahan. Para perangkat pemerintahan
pada saat itu dipaksa untuk masuk kedalam partai ini yang mengakibatkan partai
ini menjadi “partai tunggal” di Indonesia. Hal ini dikhwatirkan dapat
memunculkan pemerintahan yang bersifat diktaktor yang kurang disukai
masyarakat. Dan ini terbukti benar dan berhasil, system yang seperti ini berhasil
mengantar Soeharto menjadi penguasa tunggal Indonesia hingga 32 tahun
lamanya sebelum digulingkan oleh para mahasiswa di tahun 1998.
III.2.a Kondisi Ekonomi
Tahun 1965-1966 Indonesia mengalami krisis ekonomi yang begitu hebat
karena pemerintah dibawah pemerintahan Soekarno tidak berhasil mengendalikan
laju perekonomian saat itu, kondisi politik yang terus mengalami perubahan juga
berdampak akan hal itu sehingga kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
mulai berkurang. Keadaan ekonomi saat itu mengalami stagflasi (stagnasi dan
inflasi). Stagnasi merupakan keadaan terhenti (tidak bergerak, tidak aktif, tidak
jalan); kemacetan. Sedangkan inflasi ialah kemerosotan nilai uang (kertas) krn
banyaknya dan cepatnya uang (kertas) beredar sehingga menyebabkan naiknya
harga barang-barang.
16
Pada bulan Agustus 1965 Soekarno menarik Indonesia dari hubungan-
hubungan yang masih tersisa dengan dunia kapitalis (Dana Moneter
Internasional/IMF, Interpol, Bank Dunia). Kini struktur sosial, politik, dan
ekonomi bangsa Indonesia hampir runtuh. Inflasi sangat tinggi, dengan harga-
harga barang naik sekitar 500 persen selama setahun itu. Diduga harga beras pada
akhir tahun 1965 sedang naik sebesar 900 persen setiap tahun. Kurs pasar gelap
untuk rupiah terhadap dolar Amerika jatuh dari Rp 5.100,00 pada awal tahun 1965
menjadi Rp 17.500,00 pada kuartal ketiga tahun itu dan Rp 50.000,00 pada kuartal
keempat.
Rakyat kesulitan mendapat kebutuhan pokok. Defisit saldo neraca
pembayaran dan defisit keuangan pemerintah sangat besar (1965 : defisit 200%
APBN). Jumlah pendapatan pemerintah rata-rata Rp 151 juta (’55-65), sedangkan
pengeluaran rata-rata 359 juta atau lebih dari 100% pendapatan. Kegiatan sektor
pertanian dan sektor industri manufaktur relatif terhenti karena keterbatasan
kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung. Tingkat inflasi sangat tinggi,
mencapai lebih dari 300 - 500% per tahun.
Periode Orde Baru (1966 – 1998), pemerintah didukung kuat Militer dan
kemudian mencari dukungan dari kelompok borjuasi (elit politk kelas menengah
ke atas). Prioritas yang dilakukan adalah pengendalian inflasi dan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Dukungan dari Barat dan Jepang juga mengalir melalui
bantuan/pinjaman. Modal asing mulai masuk sehingga industrialisasi mulai
dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang pertama
dibuat tahun 1968. Pada tahun 1970-an dan awal 1980-an harga minyak bumi
melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde Baru mampu membangun dan
mengendalikan inflasi serta membuat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Stabilitas politik dilakukan kaum militer dengan membuat “Golongan Karya”
(Golkar) yang tidak berkoalisi dengan partai politik yang ada dan memaksa parpol
bergabung hingga hanya ada dua yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pada tahun 1970-an, negara Orde Baru Rente
terbentuk sehingga negara menduduki posisi investor terbesar, disusul pengusaha
non pribumi (Cina) dan pengusaha pribumi di posisi ketiga. Perusahaan negara
banyak yang merugi namun pengelolanya bertambah kaya. Pengusaha Cina terus
17
berkembang melalui koneksi dengan pejabat tinggi negara. Pengusaha pribumi
berkembang melalui fasilitas negara karena hubungan kekeluargaan dengan
petinggi negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuat rakyatnya
bebas dari kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati
segelintir orang saja.
III.2.b.Analisis Kondisi Ekonomi
Melihat dari kondisi ekonomi di atas, tampak bahwa Negara Indonesia
perlu adanya perubahan. Dengan defisit hingga 200% APBN, pendapatan per
kapita rakyat menjadi tak terpenuhi. Bagaimana Indonesia dapat melakukan
pembangunan bila rakyatnya belum mencapai kesejahteraan? Pemanfaatan SDM
dari sisi internal juga belum dimanfaatkan dengan baik seperti dari bidang
pertanian. Kebutuhan pokok Indonesia yang tak lain beras menjadi pondasi bagi
kehidupan Indonesia. Bila beras saja impor, untuk apa lahan pertanian yang luas
di Indonesia? Apa gunanya mata pencaharian Indonesia, yaitu petani di
Indonesia? Para petani juga butuh namanya kesejahteraan. Dengan memanfaatkan
produk Indonesia otomatis hal itu merupakan satu sisi munculnya pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Salah satu upaya yang seharusnya dilakukan pemerintah ialah
mengembangkan infrastrukutur yang ada dan memberikan suatu inventif kepada
para petani.
Bila dianalisis, dampak negatif kondisi ekonomi Indonesia pada masa
Orde Baru adalah ketergantungan terhadap Minyak dan Gas Bumi (Migas).
Migas merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi anggaran belanja
negara. Jadi harga Migas sangat berpengaruh bagi pendapatan negara sehingga
turunnya harga minyak mengakibatkan menurunnya pendapatan negara. Bila
pendapatan Negara menurun, banyak rakyat golongan ke bawah yang menjadi
korbannya. Di sisi lain, rakyat golongan ke atas memanfaatkan kondisi tersebut
untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya dengan membeli suplai Migas
sebanyak mungkin yang dapat dijual ke luar negeri dengan harga yang lebih
mahal. Sedangkan, rakyat golongan ke bawah, hanya merasakan sedikit manfaat
dari Migas. Sehingga masyarakat Indonesia saat itu ialah yang kaya makin kaya,
18
yang miskin makin miskin. Hal itu dikarenakan belum adanya subsidi yang
dilakukan pemerintah saat itu.
Soeharto hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi tanpa
memperhatikan pemerataan hasil pembangunan dan mengendalikan inflasi tanpa
memperhatikan kemampuan daya beli rakyat Indonesia. Soeharto bisa dibilang
tidak membangun meskipun dikenal sebagai ”Bapak Pembangunan” karena
proses pembangunan yang terjadi lebih banyak dibantu dari harga minyak bumi
yang tinggi. Migas merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi anggaran
belanja negara. Di akhir masa jabatannya, Soeharto hanya membuat hutang
Indonesia semakin besar. Negara Indonesia semakin miskin sehingga masih
termasuk dalam Negara Dunia Ketiga namun Soeharto dan kroni – kroninya
semakin kaya dan makmur.
III. 3.a Kondisi Sosial Budaya
Masa Orde Baru diakui telah banyak mencapai kemajuan dalam proses
untuk mewujudkan cita-cita nasional. Dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat
dapat digambarkan dari berbagai sisi. Selama dasawarsa 1970-an laju
pertumbuhan penduduk mencapai 2,3% setiap tahun. Dalam tahun tahun awal
1990-an angka tadi dapat diturunkan menjadi sekitar 1,6% setiap tahun. Jika awal
tahun 1970-an penduduk Indonesia mempunyai harapan hidup rata-rata sekitar 50
tahun maka pada tahun 1990-an harapan hidup lebih dari 61 tahun. Dalam kurun
waktu yang sama angka kematian bayi menurun dari 142 untuk setiap 1000
kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1000 kelahiran hidup. Hal ini antara lain
dimungkinkan makin meningkatnya pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Sebagai contoh adanya Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos
Pelayanan Terpadu sampai di tingkat desa atau RT.
Dalam himpunan Tap MPR Tahun 1993 di bidang pendidikan, fasilitas
pendidikan dasar sudah makin merata. Pada tahun 1968 fasilitas sekolah dasar
yang ada hanya dapat menampung sekitar 41% dari seluruh anak yang berumur
sekolah dasar. Fasilitas sekolah dasar yang telah dibangun di pelosok tanah air
praktis mampu menampung anak Indonesia yang berusia sekolah dasar.
19
Sementara itu, jumlah rakyat yang masih buta huruf telah menurun dari 39%
dalam tahun 1971 menjadi sekitar 17% di tahuan1990-an.
Dampak dari pemerataan pendidikan juga terlihat dari meningkatnya
tingkat pendidikan angkatan kerja. Dalam tahun 1971 hampir 43% dari seluruh
angkatan kerja tidak atau belum pernah sekolah. Pada tahun 1990-an jumlah yang
tidak atau belum pernah sekolah menurun menjadi sekitar 17%. Dalam kurun
waktu yang sama angkatan kerja yang berpendidikan SMTA ke atas adalah
meningkat dari 2,8% dari seluruh angkatan kerja menjadi hampir 15%.
Peningkatan mutu angkatan kerja akan mempunyai dampak yang luas bagi laju
pembangunan di waktui-waktu yang akan datang.
Kebinekaan Indonesia dari berbagai hal (suku, agama, ras, budaya, antar
golongan dsb.) yang mempunyai peluang yang tinggi akan terjadinya konflik,
maka masa Orde Baru memunculkan kebijakan yang terkait dengan pemahaman
dan pengamalan terhadap dasar negara Pancasila. Berdasarkan Ketetapan MPR
No.II/MPR/1978 ditetapkan tentang P-4 yaitu Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Eka Parasetia Pancakarsa).
III.3.b Analisis Kondisi Sosial Budaya
Dalam kondisi tersebut, tampak bahwa kematian tidak sepadan terhadap
kelahiran di Indonesia. Memang sudah dilakukan upaya yang bagus dengan
membuka puskesmas sehingga angka kematian dapat diturunkan, namun bila
jumlah penduduk melebihi kuota akan terjadi kepadatan penduduk. Maka dari itu,
sudah seharusnya Indonesia mencanangkan KB (Keluraga Berencana) sejak saat
itu. Sehingga masalah kependudukan di Indonesia dapat diatasi. Di sisi lain
mengenai budaya, Indonesia perlu lebih banyak lagi mensosialisasikan budaya
masing-masing daerah ke seluruh penjuru agar masyarakat Indonesia bangga.
Dengan begitu memungkinkan tidak adanya perpecahan SARA (Suku, ras, agama,
antar golongan). Selain itu, dengan Pancasila akan dapat memberikan kekuatan,
jiwa kepada bangsa Indonesia serta membimbing dalam mengejar kehidupan lahir
dan batin yang makin baik menuju masyarakat yang adil dan makmur. Dengan
penghayatan terhadap Pancasila oleh manusia Indonesia akan terasa dan
terwujudlah Pancasila dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Karena
20
itulah diperlukan suatu pedoman yang dapat menjadi penuntun dan pegangan
hidup bagi sikap dan tingkah laku setiap orang Indonesia. Untuk melaksanakan
semua ini dilakukanlah penataran-penataran baik melalui cara-cara formal,
maupun non-formal sehingga di tradisikan sebagai gerakan Budaya.
Perkembangan Orde Baru di dunia pendidikan, pada tahun 1968 fasilitas
sekolah dasar yang ada hanya dapat menampung sekitar 41% dari seluruh anak
yang berumur sekolah dasar. Saat itu memang lagi gencar-gencarnya
pembangunan infrastruktur bagi pelajar yang ingin menjalani jenjang Sekolah
Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Lanjutan. Fasilitas sekolah dasar yang telah
dibangun di pelosok tanah air praktis mampu menampung anak Indonesia yang
berusia sekolah dasar. Kondisi ini merupakan landasan kuat menuju pelaksanan
wajib belajar 9 tahun di tahun-tahun yang akan datang. Akibatnya jumlah rakyat
yang masih buta huruf telah menurun dari 39% dalam tahun 1971 menjadi sekitar
17% di tahuan1990-an.
III.4.a Kondisi Pertahanan Keamanan
Indonesia sekitar akhir tahun 1965 sedang mengalami pembenahan secara
menyeluruh. Krisis politik yang selama berbulan – bulan dialami sebagai akibat
lebih lanjut dari meletusnya peristiwa G30S/PKI. Berdasarkan Surat Perintah
Menteri Panglima Angkatan Darat Nomor PRIN.75/III/1966 tanggal 23 Maret
1966 yang berisi tentang perintah kepada Direktur Polisi Militer Angkatan Darat
(Brigjen TNI Sudirgo) untuk melaksanakan serah terima penugasan dari Resimen
Tjakrabirawa kepada Polis Militer Angkatan Darat. Tidak lebih dari tiga hari
setelah serah terima pelaksanaan tugas pengawalan terhadap Kepala Negara
berlangsung, Direktur Polisi Militer langsung mengeluarkan Surat Keputusan
dengan Nomor : Kep-011/AIII/1966 tanggal 25 Maret 1966 yang berisi tentang
pembentukan Satuan Tugas Polisi Militer Angkatan Darat (Satgas POMAD)
dimana ditunjuk Letkol Cpm Norman Sasono sebagai Komandan Satgas Pomad
Para. Satgas Pomad Para yang berkedudukan dibawah Direktorat Polisi Militer
yang terdiri dari Batalyon Pomad Para sebagai inti, dibantu Denkav Serbu,
Denzipur dan Korps Musikdari Kodam V Jakarta Raya, Batalyon II PGT
(Pasukan Gerak Tjepat) Angkatan Udara, Batalyon Brimob Polisi Negara, serta
21
batalyon Infanteri 531/Para Raiders yang kemudian diganti oleh Batalyon
Infanteri 519/Raider Para keduanya dari Kodam VIII Brawijaya. Dengan tugas
mengawal Kepala Negara RI dan Istana Negara, serta melaksanakan tugas – tugas
protokoler kenegaraan, Satgas Pomad Para berkedudukan dibawah Direktorat
Polisi Militer dengan unsur – unsurnya antara lain terdiri dari 2 Batalyon Pomad,
1 Batalyon Infanteri Para Raider, serta 1 Detasemen Kaveleri Panser. Batalyon I
Pomad Para berkedudukan di Jalan Tanah Abang II Jakarta Pusat yang dulunya
bekas Markas Serta Asrama Resimen Tjakrabirawa, dengan tugas pokok
“Melaksanakan pengawalan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya,
serta Tamu Asing setingkat Kepala Negara, melaksankan pengawalan Istana
Merdeka Utara, Istana Merdeka Selatan serta kediaman resmi Presiden dan Wakil
Presiden”. Batalyon II Pomad Para berkedudukan di Ciluer – Bogor yang
merupakan bekas asrama Batalyon I Pomad Para dengan tugas melaksankan
pengawalan Istana Bogor, Istana Cipanas, serta membantu Batalyon I Pomad Para
dalam melaksanakan tugas pokoknya. Batalyon Kaveleri Serbu Kodam V Jaya
tetap di BP kan ke Satgas Pomad, sedangkan Batalyon 531/Para Raiders
selanjutnya ditarik kembali ke Kodam Brawijaya untuk bertugas dilingkungan
angkatan Darat.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang
pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama
"kabinet 100 menteri". Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai
panglima pasukan pengawal presiden' Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak
"pasukan liar" atau "pasukan tak dikenal" yang belakangan diketahui adalah
Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas
menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di
antaranya adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil perdana Menteri I
Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh berangkat ke Bogor
dengan helikopter yang sudah disiapkan. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh
Wakil Perdana Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto (yang kemudian
menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu selaku Panglima
22
Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat
peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak
menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai
ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario
Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke
Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni Brigadir Jendral
M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat.
Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga
perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan
ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu
menendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau
surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan.
Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga
pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang
dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai
Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan
Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966
pukul pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD
Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana saat
itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966
sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI
disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah
Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat
berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai surat
Supersemar itu tiba.
Sesuai dengan perkembangan organisasi di lingkungan TNI-AD Batalyon
II Pomad akhirnya dilikuidasi. Kemudian pada tanggal 10 Juni 1967 dikeluarkan
Surat Keputusan Menteri/Panglima Angkatan Darat (Jenderal TNI Soeharto)
23
dengan Nomor : KEP-681/VI/1967 yang berisi penetapan pembebasan Direktur
Polisi Militer Angkatan Darat dari tugas pengkomandoan terhadap Satgas Pomad.
Untuk pembinaan selanjutnya kesatuan khusus tersebut ditetapkan secara
langsung berada di bawah kendali Menteri /Panglima Angkatan Darat.
Pada tahun 1970 membentuk PASWALPRES (Pasukan Pengawal
Presiden). Presiden RI Jenderal TNI Soeharto selaku Panglima tertinggi ABRI
sejak awal tahun 1970 turun langsung membenahi organisasi ABRI hingga tertata
dan terintegrasi di bawah satu komando Panglima ABRI. Satgas Pomad Para yang
dibawak kendali Markas Besar ABRI ikut dibenahi dengan dikeluarkannya Surat
Perintah Menhankam Pangab Nomor Sprin/54/I/1976 tanggal 13 Januari 1976
yang berisi pokok – pokok organisasi dan prosedur Pasukan Pengawal Presiden
(PASWALPRES). Melalui surat perintah tersebut ditentukan tugas pokok
Paswalpres yaitu “Menyelenggarakan pengamanan fisik secara langsung bagi
Presiden Republik Indonesia serta menyelenggarakan juga tugas – tugas
protokoler khusus pada upacara – upacara kenegaraan”. Untuk organisasi
Paswalpres diatur secara rinci dalam surat perintah Menhankam Pangab Nomor
Sprin/54/I/1976 antara lain :
• Unsur Pimpinan
• Unsur Pembantu Pimpinan
• Unsur Pelayan Staf
• Unsur Pelaksanan, yang terdiri dari:
• Detasemen Pengamanan Khusus (Denpamsus) yang bertugas sehari–hari
melakukan pengamanan fisik secara langsung terhadap Presiden dan Wakil
Presiden beserta keluarganya. Detasemen Pengamanan Khusus terdiri dari:
• Kelompok Komando (Pokko)
• Kompi Kawal Pribadi (Ki Walpri)
• Kompi Pengamanan Khusus (Ki Pam Sus)
• Peleton Penyingkiran (Ton Kiran)
• Batalyon Pengawal Protokoler Kenegaraan (Yonwalprotneg) dimana
Yonwalprotneg adalah satuan Polisi Militer yang langsung di Bawah
Perintahkan kepada Paswalpres.
24
Senin, 03 Maret 1969, dengan mencabut Keppres RI No. 179/KOTI/1965,
hari ini Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres RI No. 19/1969 tentang Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Presiden, selaku Panglima Kopkamtib,
memegang pimpinan dan pengendalian Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban. Tugas pokok Kopkamtib adalah: pertama, memulihkan keamanan dan
ketertiban dari akibat-akibat peristiwa pemberontakan G.30.S/PKI serta kegiatan-
kegiatan ekstrim dan subversi lainnya. Kedua, ikut mengamankan kewibawaan
pemerintah beserta alat-alatnya dari pusat sampai ke daerah-daerah demi
kelangsungan hidup Pancasila dan UUD 1945. Untuk melaksanakan kedua tugas
tersebut, Pangkobkamtib dapat mempergunakan semua alat dan aparatur
pemerintah yang ada serta mengambil tindakan-tindakan lainnya sesuai ketentuan-
ketentuan yang berlaku.
Jenderal Soeharto selaku Menhankam/Pangab pagi ini juga menyampaikan
amanatnya pada Commander’s Call ABRI di Istana Negara. Commander’s Call
ini diikuti oleh para penglima tingkat pusat dan daerah dari keempat angkatan
bersenjata serta pejabat-pejabat ABRI dalam berbagai bidang pemerintahan.
Berlangsung hingga besok, Commander’s Call diadakan dalam rangka penentuan
tugas ABRI dalam menghadapi pelaksanaan Repelita. Dalam amanatnya, Jenderal
Soeharto antara lain membahas masalah kekaryaan ABRI. Dikatakan bahwa
kekaryaan ABRI sama sekali tidak untuk mendesak tenaga-tenaga sipil, dan tidak
pula berarti penyaluran berlebihan tenaga dalam tubuh ABRI atau mereka yang
dipensiunkan. Tenaga-tenaga yang diberi tugas karya harus benar-benar
memenuhi syarat teknis dalam bidang tugasnya dan memiliki loyalitas tinggi
kepada mission kekaryaan ABRI itu. Dalam hubungan ini Jenderal Soeharto
mengharapkan agar ABRI dapat menempatkan dirinya sederajad dengan
kekuatan-kekuatan sosial-politik yang lain.
Sebelum memberi amanat kepada para perwira yang mengikuti
Commander’s Call, Presiden Soeharto menerima sejumlah kurang lebih 30
pengusaha terkemuka Amerika Serikat, yang di organisasikan oleh Time
Incorporated dan didampingi oleh James Linnen. Dalam pertemuan tersebut
Presiden yang didampingi oleh Sri Sultan Hamengku Buwoo IX, Prof. Widjoyo
Nitisastro, dan Prof. M. Sadli, memberikan penjelasan tantang Repelita yang
25
segera dilaksanakan di Indonesia. Disamping itu Presiden juga menjawab
pertanyaan yang diajukan oleh tamunya, antara lain mengenai mantan Presiden
Soekarno, kebijaksanaan Indonesia tentang Vietnam, pangkalan militer asing di
Asia Tenggara, dan lain sebagainya.
Hari ini juga Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres RI No. 20/1969
tentang pembentukan Team Kerja Rescheduling Utang dan Kredit Luar Negeri
yang dipimpin oleh Prof. Dr. Widjoyo Nitisastro, dengan anggota-anggota dari
Departemen Luar Negeri, Keuangan, Perdagangan, Bappenas dan Bank Indoensia.
Adapun tugas team kerja ini adalah menyelesaikan masalahrescheduling utang-
utang RI dengan negara-negara kreditor baik yang tergabung dalam IGGI maupun
negara-negara lainnya. Dalam rangka itu team kerja tersebut ditugaskan untuk
mengadakan perundingan dengan dengara-negara kreditor, baik menyangkut
masalahrescheduling utang maupun mengenai pemberian bantuan (kredit) dari
negara-negara tersebut kepada RI.
Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari)
Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa
demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.
Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang
berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan
menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil
menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM
Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden
Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.
Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P.
Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya,
kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan. Usai
terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta
berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib,
langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden
dibubarkan. Kepala Bakin, Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga Soegomo.
26
Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks
Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para
tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa
dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi
yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal
Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral
Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali
Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari.
Operasi Seroja
Operasi Seroja adalah sandi untuk invasi Indonesia ke Timor Timur yang
dimulai pada tanggal 7 Desember 1975. Pihak Indonesia menyerbu Timor Timur
karena adanya desakan Amerika Serikat dan Australia yang menginginkan agar
Fretilin yang berpaham komunisme tidak berkuasa di Timor Timur. Selain itu,
serbuan Indonesia ke Timor Timur juga karena adanya kehendak dari sebagian
rakyat Timor Timur yang ingin bersatu dengan Indonesia atas alasan etnik dan
sejarah.
Angkatan Darat Indonesia mulai menyebrangi perbatasan dekat Atambua
tanggal 17 Desember 1975 yang menandai awal Operasi Seroja. Sebelumnya,
pesawat-pesawat Angkatan Udara RI sudah kerap menyatroni wilayah Timor
Timur dan artileri Indonesia sudah sering menyapu wilayah Timor Timur. Kontak
langsung pasukan Infantri dengan Fretilin pertama kali terjadi di Suai, 27
Desember 1975. Pertempuran terdahsyat terjadi di Baucau pada 18-29 September
1976. Walaupun TNI telah berhasil memasuki Dili pada awal Februari 1976,
namun banyak pertempuran-pertempuran kecil maupun besar yang terjadi di
seluruh pelosok Timor Timur antara Fretilin melawan pasukan TNI. Dalam
pertempuran terakhir di Lospalos 1978, Fretilin mengalami kekalahan telak dan
3.000 pasukannya menyerah setelah dikepung oleh TNI berhari-hari. Operasi
Seroja berakhir sepenuhnya pada tahun 1978 dengan hasil kekalahan Fretilin dan
pengintegrasian Timor Timur ke dalam wilayah NKRI. Selama operasi ini
berlangsung, arus pengungsian warga Timor Timur ke wilayah Indonesia
mencapai angka 100.000 orang. Korban berjatuhan dari pihak militer dan sipil.
27
Warga sipil banyak digunakan sebagai tameng hidup oleh Fretilin sehingga
korban yang berjatuhan dari sipil pun cukup banyak. Pihak Indonesia juga
dituding sering melakukan pembantaian pada anggota Fretilin yang tertangkap
selama Operasi Seroja berlangsung.
Pembajakan Pesawat Woyla
Garuda Indonesia Penerbangan 206 atau juga dikenal dengan sebutan
Peristiwa Woyla adalah sebuah penerbangan maskapai Garuda Indonesia dari
pelabuhan udara sipil Talangbetutu, Palembang ke Bandara Polonia, Medan yang
mengalami insiden pembajakan pesawat pada 28 Maret 1981 oleh lima orang
teroris yang dipimpin Imran bin Muhammad Zein, dan mengidentifikasi diri
sebagai anggota kelompok Islam ekstremis "Komando Jihad". Penerbangan
dengan pesawat DC-9 Woyla tersebut berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00
pagi, transit di Palembang, dan akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai
pada pukul 10.55. Dalam penerbangan, pesawat tersebut tiba-tiba dibajak oleh
lima orang teroris Komando Jihad yang menyamar sebagai penumpang. Setelah
mendarat sementara untuk mengisi bahan bakar di Bandara Penang, Malaysia,
akhirnya pesawat tersebut terbang dan mengalami drama puncaknya di Bandara
Don Mueang di Bangkok, Muang Thai tanggal 31 Maret.
Imran bin Muhammad Zein, pemimpin sel kelompok Komando Jihad yang
melakukan peristiwa teror ini menuntut agar para rekannya yang ditahan pasca
Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, supaya dibebaskan. Dalam Peristiwa
Cicendo, 14 anggota Komando Jihad membunuh empat anggota polisi di Kosekta
65 pada 11 Maret 1981 dini hari. Usai peristiwa itu, sejumlah anggota Komando
Jihad ditahan dan terancam hukuman mati. Peristiwa pembajakan pesawat Garuda
DC-9 Woyla ini menjadi peristiwa terorisme bermotif "jihad" pertama yang
menimpa Indonesia dan satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan
Indonesia.
III.4.b Analisis Kondisi Pertahanan Keamanan
Kondisi politik pada era tahun 1966 – 1977 memang mengalami masa
yang kelam, karena hampir semua perangkat Negara dikuasai oleh pemerintah
28
dibawah naungan militer. Militer berkuasa pada era orde baru dibawah Presiden
Soeharto ,yang menguasai hampir semua elemen pemerintahan eksekutif dari
pemerintahan Pusat sampai dengan daerah kabupaten. Militer juga menguasai
yudikatif maupun legislatif. Dengan adanya militer di setiap sudut pemerintahan,
terjadi suatu kebisuan masyarakat Indonesia dalam hal menyampaikan pendapat.
Rakyat segan menyampaikan pendapat kepada pemerintah. Karena bila
berpendapat mengenai pemerintahan, rakyat takut bila nantinya berurusan dengan
yang berkaitan militer. Akibatnya, pemerintah yang seharusnya mensejahterakan
rakyat justru tidak berfungsi. Bagaimana pemerintah dapat memakmurkan bangsa
bila pemerintahnya tidak mengetahui masalah yang ada pada rakyatnya?
Kebebasan berpendapat pun tidak ada saat itu.
Militer yang menempati banyak posisi di pemerintahan juga mempunyai
dampak baik bagi ketahanan Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan cepat
tanggapnya militer Indonesia terhadap kasus-kasus pergejolakan Indonesia yang
membutuhkan bantuan militer, diantaranya adalah kasus timur-timur dan juga
kasus Pembajakan Pesawat yang semuanya dapat diredam oleh militer Indonesia
29
BAB IV
KESIMPULAN
1. Tahun 1965-1966 merupakan tahun yang kelam bagi masyarakat Indonesia,
karena pada tahun itu Peristiwa Gerakan 30 September terjadi yang diduduki
oleh kelompok yang mengatasnamakan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Situasi tersebut mengakibatkan kondisi politik, militer, sosial dan ekonomi
menjadi sangat kacau.
2. Pemerintahan Soeharto yang berjalan lebih dari tiga puluh tahun membuat
Negara Indonesia semakin miskin. Soeharto hanya mementingkan
pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan pemerataan hasil pembangunan
dan mengendalikan inflasi tanpa memperhatikan kemampuan daya beli rakyat
Indonesia. Soeharto bisa dibilang tidak membangun meskipun dikenal
sebagai ”Bapak Pembangunan” karena proses pembangunan yang terjadi
lebih banyak dibantu dari harga minyak bumi yang tinggi.
3. Kebinekaan Indonesia dari berbagai hal (suku, agama, ras, budaya, antar
golongan dsb.) yang mempunyai peluang yang tinggi akan terjadinya konflik,
maka masa Orde Baru memunculkan kebijakan yang terkait dengan
pemahaman dan pengamalan terhadap dasar negara Pancasila.
4. Militer berkuasa pada era orde baru dibawah Presiden Soeharto ,yang
menguasai hampir semua elemen pemerintahan eksekutif dari pemerintahan
Pusat sampai dengan daerah kabupaten.
30
Recommended