View
736
Download
42
Category
Preview:
DESCRIPTION
AAA
Citation preview
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM ANALISIS
FISIKOKIMIA II
PENGENALAN IDENTIFIKASI SENYAWA-SENYAWA
GOLONGAN ALKALOID DAN BASA NITROGEN,
SULFONAMIDA, BARBITURAT DAN ANTIBIOTIKA
Disusun Oleh :
Jimmy Chan Wei Kit
260110132003
LABORATORIUM ANALISIS FISIKOKIMIA II
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015
IDENTIFIKASI ALKALOID, BASA NITROGEN, SULFONAMIDA,
BARBITURAT dan ANTIBIOTIKA
I. TUJUAN
Mengetahui dan memahami cara identikasi alkaloid, basa nitrogen,
sulfonamida, barbiturat dan antibiotika
II. PRINSIP PERCOBAAN
1. Reaksi identifikasi golongan alkaloid dan basa nitrogen
Golongan alkaloid adalah senyawa yang mengandung amina dalam
struktur molekulnya sehingga bersifat basa. Dapat bereaksi dengan
pereaksi Dragendorf. Dapat diamati dari terbentuknya endapan
2. Reaksi identifikasi golongan sulfonamida
Pengkopelan dengan reagensia p-DAB menghasilkan endapan dengan
spectrum warna kuning hingga merah.
3. Reaksi identifikasi golongan barbiturat
Pembentukan kompleks dengan Parri. Caranya zat harus bebas air
diatas kertas saring, tambahkan pereaksi Parri, paparkan kertas saring
diatas uap ammonia.
4. Reaksi identifikasi golongan antibiotika
Reaksi dengan asam pekat atau basa pekat
III. REAKSI
I. Golongan Alkaloids
a. Kinin
(Svehla, 1989)
b. Papaverin HCl
\
(Svehla, 1989)
c. Efedrin HCl
(Svehla, 1989)
II. Golongan Sulfonamida
a. Sulfanilamid
(Svehla, 1989)
b. Sulfamerazin
III. Golongan Barbiturat
a. Luminal
(Fessenden, 1997)
b. Barbital
(Fessenden, 1997)
IV. Golongan Antibiotika
a. Amoksisilin
(Fessenden, 1997)
b. Kloramfenikol
(Fessenden, 1997)
c. Tetrasiklin
(Fessenden, 1997)
V. TEORI DASAR
Alkaloid merupakan suatu basa organik yang mengandung unsur
nitrogen (N) pada umumnya berasal dari tanaman, yang mempunyai efek
fisiologis kuat pada manusia. Kegunaan senyawa alkaloid dalam bidang
farmakologi adalah untuk memacu sistem saraf, menaikkan tekanan darah
dan melawan infeksi mikrobial (Clark, J, 2007)
Reaksi identifikasi alkaloid menggunakan metode yang tercantum
dalam Materia Medika Indonesia Edisi V. Identifikasi dengan kromatografi
lapis tipis menggunakan eluen etil asetat: metanol: air (16:1:2), noda
diamati menggunakan sinar UV 254nm kemudia dilakukan deteksi bercak
dengan menyemprotkan pereaksi dragendorf. Bercak yang menandakan
adanya alkaloid adalah warna jingga (Clarke, 1986).
Basa nitrogen terdiri dari dua jenis yaitu basa purin dan pirimidin.
Basa purin terdiri dari adenin (A) dan guanin (G) sedangkan pirimidin
terdiri dari sitokin (C) dan timin (T). Satu asam nukleat terdiri dari satu
molekul gula ribose, satu basa nitrogen dan adanya fosfat (Fessenden, R.J,
1997)
Kebanyakan alkaloid berbentuk kristal padat, beberapa bentuk
amorf. Ikatan N dalam alkaloid biasanya berada dalam bentuk amin primer,
amin sekunder , amin tersier, amin kuartener, ammonium hidroksida dan
semua ikatan N ini bersifat basa. Alkaloid umumnya memiliki sepasang
electron sunyi yang dapat mengikat proton secara kovalen sehingga
membentuk garamnya yang pada umumnya dapat larut dalam air (Zulfikar,
2011).
Barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat
(2,4,6 –trioksohesahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi
antara urea dengan asam melonat. Barbiturat digunakan secara ekstensif
sebagai hipnoptik sedatif . Namun sekarang kecuali untuk beberapa
penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan oleh
benzodiazepine yang bersifat lebih aman (Clark, J, 2007),
Sulfonamida adalah kemoterapeutik yang pertama digunakan
secara sistematik untuk pengobatan dan pencegahan penyakit infeksi pada
manusia. Sulfonamida merupakan kelompok obat penting pada penanganan
infeksi saluran kencing. Umumnya tidak larut dalam air, larut baik dalam
aseton biasa dengan gugus –SO2NHR akan terhidrolisis bila dimasak
dengan asam kuat HCl/HNO3 (Svehla, B, 1985).
Reagen Koppayi-Zwikker biasa digunakan untuk mengidentifikasi
barbiturat dengan reaksi warna plat tetes. Biasanya pada phenobarbital
menghasilkan warna hijau, tetapi kurangnya tes yang khusus dengan
kecenderungan untuk menghasilkan positif palsu sehingga tidak banyak
dilakukan pengujian dugaan obat (Fessenden, R.J, 1997)
Antibiotika merupakan senyawa khas yang dihasilkan atau
diturunkan oleh organisme hidup termasuk struktur analognya yang dibuat
sintetik yang dalam kadar rendah mampu menghambat atau membunuh
satu atau lebih spesies mikroorganisme (Katzung, B.G, 2002).
VI. ALAT dan BAHAN
5.1 Alat
a. Kaca arloji
b. Kaca objek
c. Pelat tetes
d. Pembakar Bunsen
e. Penangas air
f. Penjepit kayu
g. Pipet tetes
h. Spatel
i. Tabung reaksi
j. Tisu
5.2 Bahan
5.2.1 Reagensia
a. Asam salisilat
b. Asam sulfat
c. Aquabrom
d. Aquadest
e. Fujiwara
f. Koppayi-Zwikker
g. Larutan Br2 0,8 %
h. Larutan CuSO4
i. Larutan Kalium Ferisianida 5%
j. NaOH
k. Pereaksi Lieberman
l. Pereaksi Mandelin
m. Pereaksi Marquis
n. p-DAB
o. Vanillin
5.2.2 Sampel
a. Golongan alkaloid dan basa nitrogen
1. Efedrin
2. Heksamin
3. Kinin HCl
4. Papaverin HCl
b. Golongan barbiturat dan sulfonamide
1. Barbital
2. Luminal
3. Sulfamerazin
c. Golongan antibiotika
1. Amoksisilin
2. Kloramfenikol
3. Tetrasiklin
VII. PROSEDUR dan DATA PENGAMATAN
a. Golongan Alkaloid dan Basa Nitogen
a. Kinin HCl
No Perlakuan Hasil
1. Sampel dilarutkan dalam air/alkohol,
ditambahkan asam sulfat pekat. Dilihat
fluoresensi di bawah sinar ultraviolet.
Fluorosensi berwarna biru
muda pada UV 254 nm.
2. Reaksi kristalisasi dilakukan dengan cara
sejumlah sampel dilarutkan bersama
dengan padatan HgCl2 dan aquades,
kemudian diteteskan diatas kaca objek
sampai mengering lalu diamati dibawah
mikroskop.
Kristal panjang berbentuk
jarum.
b. Papaverin HCl
No. NoNo Perlakuan Hasil
1. Regensia Liebermann ditambahkan dan
perubahan warna yang terjadi diamati.
Terbentuk larutan coklat
kehitaman.
2. Sejumlah 10 mg zat ditambahkan tiga
tetes asam sulfat pekat, kemudian
dipanaskan. Fluoresensi yang terjadi
diamati di bawah sinar ultraviolet.
Zat berfluorosensi pada UV
254nm.
Setelah ditambahkan H2SO4,
dilihat pada UV 254 nm
tidak terdapat fluorosensi.
3. Reaksi dilakukan dengan cara sejumlah
sampel dilarutkan bersama dengan
padatan HgCl2 dan aquades, kemudian
diteteskan diatas kaca objek sampai
mengering lalu diamati dibawah
mikroskop.
Terbentuk berbebtuk bulat
dan tidak beraturan.
c. Efedrin
No. No Perlakuan Hasil
1. Regensia Liebermann ditambahkan dan
perubahan warna yang terjadi diamati.
Terjadi perubahan warna
coklat endapan putih
2. Diatas pelat tetes, sampel ditambahkan
larutan CuSO4 dan NaOH encer.
Perubahan yang terjadi di amati.
Terjadi perubahan warna
dari ungu menjadi biru dan
menjadi hijau tosca yang
mantap.
3. Reaksi kristalisasi dilakukan dengan
cara sejumlah sampel dilarutkan
bersama dengan padatan HgCl2 dan
aquades, kemudian diteteskan diatas
kaca objek sampai mengering lalu
diamati dibawah mikroskop.
Terbentuk kristal seperti
kotak.
b. Golongan Sulfonamida dan Barbiturat
a. Sulfanilamid
No. Perlakuan Hasil
1. Sejumlah sampel dilarutkan dalam HCl
encer kemudian diberi pereaksi p-DAB.
Perubahan warna yang terjadi diamati
Terbentuk warna jingga
yang pekat.
2. Sejumlah sampel dilarutkan dalam
NaOH encer kemudian diberi padatan
CuSO4. Perubahan warna yang terjadi
diamati
Larutan bening dan endapan
berwarna bitu tua.
3. Vanilin Sulfat dan H2SO4 ditambahkan
ke dalam sample pada plat tetes
Terbentuk warna kuning
4. Sejumlah sampel ditaruh pada plat tetes
kemudian diberi pereaksi Koppayi-
Zwikker. Perubahan warna yang terjadi
diamati.
Larutan merah muda pucat,
reagensia Koppayi-Zwikker
lama kelamaan menguap.
5. Sejumlah sampel ditempatkan di atas
kaca objek, teteskan dengan aseton,
ditunggu hingga aseton menguap.
Kemudian sampel tersebut ditambahkan
aquadest dan diperiksa di bawah
mikroskop.
Terbentuk kristal yang tidak
beraturan.
b. Sulfamerazin
No. Perlakuan Hasil
1. Sejumlah sampel dilarutkan dalam HCl
encer kemudian diberi pereaksi p-DAB.
Perubahan warna yang terjadi diamati
Terbentuk warna jingga
yang pekat.
2. Sejumlah sampel dilarutkan dalam
NaOH encer kemudian diberi padatan
CuSO4. Perubahan warna yang terjadi
diamati
Larutan bening dan endapan
berwarna bitu tua.
3. Vanilin Sulfat dan H2SO4 ditambahkan
ke dalam sample pada plat tetes
Terbentuk warna kuning
4. Sejumlah sampel ditaruh pada plat tetes
kemudian diberi pereaksi Koppayi-
Zwikker. Perubahan warna yang terjadi
diamati.
Larutan merah muda pucat,
reagensia Koppayi-Zwikker
lama kelamaan menguap.
5. Sejumlah sampel ditempatkan di atas
kaca objek, teteskan dengan aseton,
ditunggu hingga aseton menguap.
Kemudian sampel tersebut ditambahkan
aquadest dan diperiksa di bawah
mikroskop.
Terbentuk kristal yang tidak
beraturan.
c. Luminal
No. No Perlakuan Hasil
1. Sejumlah sampel ditempatkan ke dalam
pelat tetes, kemudian sampel tersebut di
teteskan reagensia Kopayyi-Zwikker.
Perubahan yang terjadi di amati.
Larutan berwarna pink dan
zat tidak larut, lama
kelamaan reagen nya akan
menguap, terbentuk kristal.
2. Regensia Liebermann ditambahkan dan
perubahan warna yang terjadi diamati.
Berubah warna menjadi
kuning jingga
3. Sejumlah sampel ditempatkan di atas Terbentuk kristal seperti
kaca objek, teteskan dengan aseton,
ditunggu hingga aseton menguap.
Kemudian sampel tersebut ditambahkan
aquadest dan diperiksa di bawah
mikroskop.
batang.
d. Barbital
No. Perlakuan Hasil
1. Sejumlah sampel ditempatkan ke dalam
pelat tetes, kemudian sampel tersebut di
teteskan reagensia Kopayyi-Zwikker.
Perubahan yang terjadi di amati.
Terbentuk warna merah
muda, lalu lama-kelamaan
reagen akan menguap dan
tidak terbentuk kristal.
2. Sejumlah sampel ditempatkan di atas
kaca objek, teteskan dengan aseton,
ditunggu hingga aseton menguap.
Kemudian sampel tersebut ditambahkan
aquadest dan diperiksa di bawah
mikroskop.
Terbentuk kristal persegi
panjang.
c. Golongan Antibiotika
a. Amoksisilin/Ampisilin
No. Perlakuan Hasil
1. Sampel diambil dengan menggunakan
kawat ni-krom, kemudian dipanaskan di
atas nyala api bunsen. Amati aroma
yang terbentuk.
Terdapat bau seperti
balerang dan warnanya
menjadi kemerahan.
2. Sampel ditempatkan di atas pelat tetes,
kemudian ditambahkan asam sulfat
pekat. Fluoresensi yang terbentuk
diamati di bawah sinar ultraviolet.
Di bawah sinar UV 254 nm,
berfluorosensi berwarna
hijau muda kekuningan.
3. Sejumlah sampel ditempatkan di atas
kaca objek, teteskan dengan aseton,
ditunggu hingga aseton menguap.
Kemudian sampel tersebut ditambahkan
aquadest dan diperiksa di bawah
mikroskop.
Tidak terbentuk kristal,
hanya terdapat bentuk
hablur.
b. Kloramfenikol
No. Perlakuan Hasil
1. Sejumlah sampel ditempatkan ke dalam
pelat tetes, kemudian sampel tersebut di
teteskan dengan reagensia Nessler.
Perubahan yang terjadi di amati.
Terbentuk larutan berwarna
kuning pucat.
2. Sejumlah sampel ditempatkan di atas
kaca objek, teteskan dengan aseton, dan
tunggu hingga aseton menguap.
Kemudian sampel tersebut ditambahkan
aquadest dan diperiksa di bawah
mikroskop.
Terdapat kristal berbentuk
jarum-jarum kecil.
c. Tertrasiklin
No. Perlakuan Hasil
1. Sejumlah sampel ditempatkan ke dalam
pelat tetes, kemudian sampel tersebut di
teteskan dengan reagensia Benedict.
Perubahan yang terjadi di amati.
Terbentuk larutan kental
berwarna hijau tua lumut
keruh.
2. Sejumlah sampel ditempatkan ke dalam
pelat tetes, kemudian sampel tersebut di
teteskan dengan pereaksi Marquis.
Perubahan yang terjadi di amati.
Terbentuk larutan berwarna
kuning dan endapan jingga
kecoklatan.
3. Sejumlah sampel ditempatkan ke dalam
pelat tetes, kemudian sampel tersebut di
teteskan dengan pereaksi Asam Sulfat.
Perubahan yang terjadi di amati.
Terbentuk larutan berwarna
coklat pekat dan kental.
VIII. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini telah dilakukan pengidentifikasian
beberapa senyawa yang termasuk dalam golongan alkaloid dan basa
nitrogen, sulfonamida, barbiturat dan antibiotika. Identifikasi senyawa
ini dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pereaksi yang dapat
memberikan perubahan warna dan dengan adanya perubahan warna ini
menjelaskan bahwa sampel dapat bereaksi dengan pereaksi yang
diberikan. Reaksi warna merupakan suatu bentuk pengidentifikasian
suatu zat secara kualitatif. Oleh karena itu, hasil yang didapat adalah
merupakan identifikasi senyawa yang merupakan sifat-sifat dari senyawa
yang diindetifikasi itu sendiri.
Pada percobaan pertama, dilakukan reaksi-reaksi pendahuluan
terhadap golongan alkaloid dan basa nitrogen, dimana alkaloid sendiri
merupakan suatu senyawa yang mengandung basa nitrogen dan
memiliki gugus heterosiklik. Senyawa alkaloid ini banyak terdapat
pada berbagai tumbuhan sebagai metaboli sekunder. Prinsip dari reaksi
identifikasi golongan alkaloid adalah dapat bereaksi dengan reagensia
Dragendorf yang dapat teramati dengan terbentuknya endapan. Adapun
sampel yang digunakan adalah kinin HCl, papaverin HCl, dan efedrin.
Identifikasi pertama yang dilakukan adalah reaksi penggolongan
alkaloid dengan sampel Kinin HCl. Senyawa ini merupakan alkaloid
golongan kuinolin. Secara organoleptik, kinin HCl merupakan hablur
jarum mengkilat, putih, tidak berbau, sangat pahit (Depkes RI, 1979).
Pengujian dilakukan dengan cara kinin HCl dilarutkan dengan air
karena sesuai kelarutannya. Kinin Hcl merupakan bentuk garam dari
senyawa kinin yang larut dalam air, yang mana ini sesuai dengan
literature bahwa Kinin HCl larut dalam air (Depkes RI, 1979).
Kemudian ditambahkan H2SO4 pekat didalam pelat tetes dan hasilnya
adalah terbentuk larutan yang semula menjadi bening kekuning-
kuningan dan berfluorosensi pada sinar UV 254nm. Penambahan asam
sulfat pekat bertujuan untuk menginduksi flouresensi dari senyawa
kinin HCl tersebut dan alkaloid yang bersifat basa lemah bila
direaksikan dengan asam maka akan terbentuk garam yang larut
sempurna dalam air sehingga dapat melepaskan gugus-gugusnya dan
menghasilkan fluoresensi dibawah sinar UV 254 nm. Kina adalah
senyawa yang sangat kuat fluoresensi, khususnya dalam larutan asam
encer, dan dengan demikian dapat terdeteksi dengan dua eksitasi
panjang gelombang (250 dan 350 nm). Kinin HCl larut dalam asam
dan tidak larut dalam basa. Reaksi ini menunjukkan bahwa kinin
merupakan golongan alkaloid karena suatu alkaloid jika ditambahkan
dengan asam sulfat akan memberikan warna kuning hingga merah.
Namun pada percobaan kali ini ketika ditambahkan asam sulfat menjadi
bening kekuning-kuningan, hal ini dimungkin pada penambahan asam
sulfat yang diberikan terlalu encer. Setelah itu, sampel tersebut diamati
fluoresensinya pada sinar UV panjang gelombang 254 nm. Hasil yang
didapat berupa fluoresensi warna biru langit. Dari hasil percobaan
menunjukkan hasil positif untuk kinina karena alkaloid kinina mampu
menyerap gelombang cahaya unutk membentuk flourosensi berwana
biru. Penyerapan ini disebabkan oleh proses reaksi yang menghasilkan
senyawa baru yang memiliki lebih banyak gugus kromofor dan
auxokrom sehingga mampu memberikan fluoresensi pada panjang
gelombang ultra. Fluoresensi ini diduga merupakan hasil reaksi antara
asam sulfat pekat dengan gugus kuinolin pada kinin.
Pada reaksi pembentukan kristal sublimat kinin HCl, kinin HCl
diletakkan di atas kaca objek, kemudian ditambahkan beberapa tetes
sublimat (Hg2Cl2) yang telah dilarutkan dalam air dengan
perbandingan 1:15, kemudian kristal yang terbentuk diamati di
bawah mikroskop, kristal kinin HCl yang diamati di bawah mikroskop
berbentuk jarum- jarum yang saling menumpuk. Kristal kinin yang
terbentuk ini disebabkan oleh terbentuknya ikatan antara logam
berat, yaitu merkuri (Hg) dengan gugus amina dimana gugus amina
memiliki pasangan elektron bebas sehingga dapat menempati orbital
kosong pada logam berat dan hal ini menyebabkan terbentuknya
endapan.
Gugus amina pada Kinin HCl
Endapan inilah yang akan berbentuk kristal jika diamati
menggunakan mikroskop. Hg2Cl2 merupakan reduktor kuat yang akan
mereduksi kinin HCl dan langsung menguap sehingga akan terbentuk
kristal khas dari kinin HCl. Hg2Cl2 juga merupakan katalisator pada
reaksi kristalisasi.
Percobaan kedua reaksi penggolongan alkaloid dengan sampel
papaverin HCl. Secara organoleptik, papaverin HCl merupakan hablur
putih; tidak berbau; rasa pahit kemudian pedas (Depkes RI, 1979). Pada
reaksi papaverin HCl dan reagensia Liebermann, sampel diletakkan
diatas pelat tetes. Pereaksi Liebermann terdiri dari NaNO2 yang
berbentuk kristal putih dan asam sulfat (H2SO4) .Asam sulfat pekat:
untuk membentuk ikatan rangkap terkonjungasi (warna hijau-biru intens)
yang terbentuk akibat polimerasi hidrokarbon tak jenuh .Kemudian
ditambahkan reaksi Lieberman. larutan sedikit berasap sehingga
diperlukan adanya pengadukan untuk menyerap asap yang dihasilkan.
Hasil yang didapatkan dari reaksi adalah perubahan warna menjadi
coklat kehitaman. Warna ini disebabkan karena adanya gugus hidroksi
(−OH) dari papaverin HCl bereaksi dengan pereaksi Lieberman dan
meningkatkan konjugasi dari ikatan tak jenuh dalam cincin yang
berdekatan. Beragam warna diberikan oleh senyawa yang mengandung
gugus hidroksil, O-alkil, atau O-CH2-O yang terikat pada cincin benzen
atau terikat pada struktur yang mengandung cincin benzen Hal ini
mengindikasikan hasil positif yaitu adanya gugus O-alkil, dimana
alkilnya adalah metil (CH3). yang terikat cincin aromatik atau terikat
pada struktur yang mengandung cincin benzena pada struktur papaverin
HCl dengan pemberian reagen p-Lieberman memberikan hasil yang
positif dengan adanya perubahan warna menjadicoklat kehitaman.
terbentuknya Pereaksi Liebermann akan bereaksi dengan cincin benzene
yang tersubstitusi tunggal yang tidak bergabung dengan gugus karbonil,
amida, atau C=N-O, seperti erinterlihat pada struktur di bawah ini:
(struktur papaverin)
Hasil yang didapatkan dengan penambahan reagen pereaksi
Lieberman telah memberikan hasil yang positif yaitu dengan adanya
perubahan warna coklat kehitamanan. Hal ini sesuai literature (Clark.J,
2007).
Identifikasi selanjutnya dilakukan dengan sejumlah sampel
papaverin HCl ditambahkan tiga tetes asam sulfat pekat sehingga
dihasilkan larutan berwarna kuning kehijauan, kemudian diamati
flouresensinya dibawah sinar UV 254 dan 366 nm. Menurut literature
flourosensi yang terlihat yaitu berwarna hijau kekuningan. Hal ini dapat
terjadi dikarenakan papaverin memiliki cincin aromatis yang dapat
berfluorosensi dibawah sinar ultraviolet. Fungsi anhidrida asam asetat
pada reaksi ini adalah untuk memberikan suasana asam, karena
sifat papaverin HCl yang stabil pada pH antara 3.0 - 4.5 dan
mempercepat reaksi agar reaksi berjalan ke arah produk. Anhidrida
asam asetat juga dapat melarutkan serbuk papaverin HCl agar lebih
mudah bereaksi dengan H2SO4 serta digunakan asam asetat anhidrida
karena pereaksi ini merupakan pendonor pasangan elektron bebas yang
baik dan reaksi dapat berjalan secara irreversibel. Penambahan H2SO4
bertujuan untuk membentuk kompleks berwarna kuning yang akan
terstabilkan dengan adanya pemanasan, dan endapan yang ada menjadi
larut. Menurut Auterhoff-Kovar (1987), reaksi identifikasi kualitatif
papaverin HCl ini disebut reaksi coralyn. Flouresensi ini terbentuk
karena terjadi reaksi antara anhidrid asam asetat beserta asam sulfat
pekat dengan gugus isokuinolin yang terdapat pada papaverin HCl
dengan bantuan pemanasan. Fluoresensi ini terjadi karena lepasnya
salah satu gugus O-CH3 dan atom O dari gugus O-CH3 yang lain
sehingga terbentuk senyawa papaverin baru yang dapat berflouresensi.
Pada percobaan yang dilakukan tidak sesuai dengan literature, warna
yang terbentuk adalah bening dan tidak menimbulkan flourosensi.
Alasannya adalah karena tidak dilakukan penambahan anhidrida asam
asetat serta pemanasan sehingga zat reagen yang ditambahkan tidak
bereaksi dengan baik dengan sampel.
Pada reaksi kristal sublimat papaverin HCl, papaverin HCl
diletakkan di atas kaca objek, kemudian ditambahkan beberapa
tetes sublimat (Hg2Cl2), kemudian kristal yang terbentuk diamati di
bawah mikroskop, kristal papaverin HCl yang dilihat di bawah
mikroskop berbentuk bongkahan dan butiran tidak beraturan. Menurut
Zulfikar (2011), kristal ini dapat terbentuk karena adanya keadaan atau
kondisi lewat jenuh (supersaturated) akibat penambahan senyawa lain.
Kondisi ini terjadi karena pelarut sudah tidak mampu melarutkan zat
terlarutnya, atau jumlah zat terlarut sudah melebihi kapasitas pelarut
sehingga kristal dapat terbentuk dengan cara mengurangi jumlah
pelarutnya. Hasil yang didapatkan adalah kristal yang berbentuk
Seterusnya dilakukan uji terhadap efedrin HCl. Secara
organoleptik, efedrin merupakan serbuk putih halus, tidak berbau, rasa
pahit (Depkes RI, 1979). Pada uji Liebermann, sampel diletakkan diatas
pelat tetes kemudian ditambahkan dengan pereaksi Lieberman. Pereaksi
Liebermann terdiri dari NaNO2 yang berbentuk kristal putih dan asam
sulfat (H2SO4) .Asam sulfat pekat: untuk membentuk ikatan rangkap
terkonjungasi (warna hijau-biru intens) yang terbentuk akibat polimerasi
hidrokarbon tak jenuh. Kemudian ditambahkan reaksi Lieberman. Dari
hasil pengamatan, sampel membentuk larutan berwarna yang terdapat 3
fase yaitu fase orange, kuning dan hitam. Warna kuning yang
diindikasikan ini diberikan oleh senyawa yang mengandung cincin
benzen tersubstitusi tunggal yang tidak bergabung dengan gugus
karbonit, amida atau C=N-O. Hal ini dapat terbentuk karena secara
struktural, efedrin memiliki cincin benzen tunggal dan gugus hidroksil
sehingga berbagai warna dapat dihasilkan. Hasil identifikasi ini yaitu
pembentukan warna kuning kecoklatan adalah sesuai literature (Clark.J,
200).
Pada reaksi efedrin, CuSO4 dan NaOH, efedrin diletakkan di atas
pelat tetes, kemudian ditambahkan beberapa tetes CuSO4 yang telah
dilarutkan di dalam air, ketika ditambahkan CuSO4 terbentuk larutan
berwarna biru muda. Kemudian ditambahkan beberapa tetes NaOH,
ketika ditambahkan NaOH, larutan berubah warna menjadi biru terang.
Penambahan larutan NaOH bertujuan untuk memberikan suasana basa,
agar nitrogen dapat terdeteksi oleh pereaksi dan membentuk senyawa
kompleks dengan Cu. Sehingga dapat bereaksi secara langsung.
(Struktur Efedrin)
Ion logam tembaga(II) memiliki elektron yang tidak berpasangan
pada orbital d dan diharapkan dapat membentuk kompleks spin tinggi.
Ligan efedrin memiliki gugus amina dimana terdapat atom nitrogen
dengan pasangan elektron bebas sehingga dapat mengisi orbital
kosong ion logam dan terjadi ikatan kovalen koordinasi (Martak,
2010). Dengan demikian, pembentukan senyawa kompleks [cu(II)-2
-]
diharapkan dapat meningkatkan interaksi sehingga diperoleh sifat
feromagnetik. Warna yang dihasilkan diduga karena adanya reaksi
pembentukan kompleks antara logam Cu dengan gugus amina dan
gugus hidroksi pada efedrin. CuSO4 akan memutuskan ikatan antara =O
dengan NH pada efedrin yang nantinya akan berikatan dengan NaOH
sehingga menghasilkan warna ungu pada larutan. Hal ini
mengindikasikan hasil positif yaitu adanya gugus amina yang terikat
pada struktur Efedrin memberikan hasil yang positif dengan adanya
perubahan warna biru terang.
Pada reaksi kristal sublimat efedrin, efedrin diletakkan di atas kaca
objek, kemudian ditambahkan beberapa tetes sublimat (Hg2Cl2),
kemudian kristal yang terbentuk diamati di bawah mikroskop, kristal
efedrin yang diamati di bawah mikroskop. Kristal yang terbentuk persegi
panjang. Kristal efedrin yang terbentuk ini disebabkan oleh
terbentuknya ikatan antara logam berat, yaitu merkuri (Hg) dengan
gugus amina dimana gugus amina memiliki pasangan elektron
bebas sehingga dapat menempati orbital kosong pada logam berat dan
hal ini menyebabkan terbentuknya endapan.
Golongan sulfonamida terdiri dari senyawa-senyawa yang memiliki
gugus fungsi sulfonamida -S(=O)2-NR2, sebuah gugus sulfonat yang
berikatan dengan amina. Beberapa sulfonamida diturunkan dari
asam sulfonat dengan menggantikan gugus hidroksil dengan gugus
amina.
Pada praktikum ini, senyawa-senyawa golongan sulfonamida yang
akan diidentifikasi adalah sulfanilamid dan sulfamerazin. Kedua-dua
senyawa ini diidentifikasi dengan beberapa reaksi, antara lain dengan
reaksi pDAB, reaksi dengan tembaga sulfat (CuSO4), reaksi dengan
reagen Koppayi Zwikker, dan reaksi pembentukkan kristal. Meskipun
demikian, senyawa-senyawa golongan sulfa ini tidak memiliki reaksi
yang spesifik dan cenderung menghasilkan hasil positif semu. Oleh
karena itu, untuk senyawa-senyawa golongan sulfa, harus dilakukan
reaksi kristal.
Prinsip utama yang dipakai dalam reaksi p-DAB pada golongan ini
adalah adanya pengkopelan dengan reagensia p-DAB yang
menghasilkan endapan dengan spektrum warna kuning sampai merah.
Untuk senyawa sulfanilamid, reaksi dengan pDAB-HCl akan
membentuk kuning kejinggaan, jika sampelnya berupa senyawa
sulfamerazin, pada akhir reaksi akan terbentuk warma jingga. Hal ini
dapat terjadi karena adanya reaksi yang terjadi pada cicin aromatik
primer yaitu memiliki gugus amin aromatik dengan p-DAB yang
menghasilkan warna-warna tertentu. Warna yang berbeda juga
dihasilkan karena adanya perbedaan struktur antara sulfanilamid dan
sulfamerazin. Hasil positif pada reaksi p-DAB ini juga menunjukkan
adanya gugus sulfa pada sulfanilamid dan sulfamerazin.
(struktur sulfanilamid)
(struktur sulfamerazin).
Selanjutnya, sulfanilamid dan sulfamerazin di identifikasi dengan
mereaksikannya dengan tembaga sulfat (CuSO4). Setelah reaksi, hasil
yang didapat dari reaksi antara sulfanilamid dengan tembaga sulfat
adalah sedikit larut dan menghasilkan warna larutan menjadi biru muda
sedangkan reaksi antara sulfamerazin dengan tembaga sulfat dalam
menghasilkan warna larutan menjadi biru muda terdapat sulfamerazin
yang tidak larut. Reagen tembaga sulfat merupakan reaksi yang spesifik
untuk senyawa yang memiliki cincin heterosiklik, dimana pada cincin
tersebut juga terdapat unsur-unsur selain unsur karbon (C) dan hidrogen
(H). Hal ini dimiliki oleh sulfanilamid dan sulfamerazin.
Selanjutnya, dilakukan reaksi dengan reagen Vanilin sulfat. Reagen
vanilin sulfat dibuat dengan mencampurkan 1 g vanilin dalam 20 ml
asam sulfat, dilarutkan dan panaskan jika diperlukan. Reaksi vanilin
sulfat akan memberikan hasil positif karena senyawa sulfa tersebut
mengalami reaksi oksidasi dan menimbulkan warna yang berbeda pada
senyawa tersebut. Hasil reaksi antara sulfanilamid dengan vanilin sulfat
adalah orange sedangkan reaksi antara sulfamerazin dengan vanilin
sulfat menghasilkan warna kuning cerah terdapat endapan. Fungsi asam
sulfat pada reaksi ini adalah sebagai katalis reaksi yang mempercepat
jalannya reaksi. Perubahan warna dapat terjadi pada reaksi antara
senyawa golongan sulfonamida dan vanilin sulfat akibat terjadinya
reaksi oksidasi pada senyawa golongan sulfonamida. Hal ini
mengindikasikan berbagai senyawa dengan struktur kimia berbeda yaitu
gugus sulfonat yang berikatan dengan amina.
Reaksi identifikasi untuk senyawa trisulfa yang selanjutnya adalah
dengan reagen Koppayi Zwikker. Reagen Koppayi Zwikker terdiri dari
larutan kobalt nitrat 1% dalam etanol. Sulfanilamid dan sulmerazin
bereaksi dengan reagen Koppayi Zwikker membentuk endapan berwarna
merah muda. Warna merah muda keunguan yang diberikan oleh
senyawa yang mengandung struktur Imida, gugus karbonil dan amina
pada karbon yang berdampingan, senyawa dengan gugus SO2NH.
Senyawa-senyawa sulfonamida memiliki gugus SO2NH, sehingga baik
sulfanilamid dan sulfamerazin ketika ditambahkan pereaksi Koppayi
Zwikker tidak menghasilkan perubahan warna yaitu merah muda. Hal ini
dimungkinkan kurangnya penambahan sampel atau pereaksi koppayi –
zwikker sehingga tidak menunjukkan sebarang perubahan warna yang
signifikan.
(Struktur sulfanilamid) (Struktur sulfamerazin)
Terakhir reaksi golongan sulfonamida yaitu reaksi identifikasi
pembentukkan kristal dengan aseton-air. Prinsip dari reaksi ini adalah
proses rekristalisasi. Proses pembentukkan kristal ini dilakukan dengan
cara melarutkan sampel dengan pelarut yang melarutkannya, yaitu
aseton. Setelah itu, aseton akan menguap dengan penambahan air.
Penambahan air akan menggeser sifat kepolaran dari aseton, sehingga
kepolaran aseton meningkat dan tidak dapat melarutkan sampel lagi.
Pada akhir dari proses ini, akan terbentuk kristal bening. Menurut
Zulfikar (2011), kristal ini dapat terbentuk karena adanya keadaan atau
kondisi lewat jenuh (supersaturated) akibat penambahan senyawa lain.
Kondisi ini terjadi karena pelarut sudah tidak mampu melarutkan zat
terlarutnya, atau jumlah zat terlarut sudah melebihi kapasitas pelarut
sehingga kristal dapat terbentuk dengan cara mengurangi jumlah
pelarutnya, sehingga kondisi lewat jenuh dapat dicapai.
Sampel yang digunakan pada identifikasi golongan barbiturate,
pada pereobaan kali ini adalah Luminal dan Barbital. Identifikasi
untuk sampel Luminal dengan tiga perlakuan, yaitu penambahan
pereaksi Koppayi-Zwikker dan reaksi kristal dengan aseton-air.
Sedangkan identifikasi untuk sampel Barbital dilakukan dengan dua
perlakuan, yaitu penambahan peraksi Koppayi-Zwikker dan reaksi
kristal dengan aseton air. Perlakuan pertama yaitu dengan penambahan
pereaksi Koppayi-Zwikker kepada sampel Luminal dan Barbital.
Peraksi Koppayi-Zwikker ini berisi kobalt nitrat 1% dalam etanol.
Hasil yang didapat pada sampel Luminal, larutan berubah warna
menjadi berwarna merah muda terdapat zat yang tidak larut begitupun
pada sampel Barbital, larutan berubah warna menjadi merah muda.
Menurut literatur indikasi dari peraksi Koppayi-Zwikker ini akan
memberikan warna akhir yang dihasilkan adalah berwarna ungu
jika bereaski dengan senyawa yang mengandung imida, yang gugus
karbonil, amina pada karbon yang berdampingan, senyawa dengan
gugus -S02NH. Struktur tersebut akan bereaksi dengan Koppayi-
Zwikker dan membentuk komplek larutan berwarna ungu. Namun
hasil pengamatan yang didapatkan tidak sesuai dengan literatur.
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti pengambilan
sampel yang telah tercampur dengan sampel yang lain karena
penggunaan spatel yang bersamaan dengan sampel lain, sehingga bukan
hanya satu sampel saja yang terdapat diatas pelat tetes.
Perlakuan kedua untuk kedua sampel adalah dengan reaksi aseton-
air. Sampel Luminal dan Barbital diletakkan diatas kaca objek yang
berbeda, kemudian masing-masing ditambahakan aseton. Diamkan
hingga aseton menguap, kemudian ditambahkan aquades untuk
mengumpulkan kristal yang terbentuk. Kemudian dilihat dibawah
mikroskop dan dibandingkan dengan literature yang ada. Kristal yang
dihasilkan untuk sampel Luminal berbentuk panjang-panjang seperti
batang. Namun hasil pengamatan tidak begitu bagus karena
menumpuknya hasil yang dilihat menggunakan mikroskop.
Seharusnya sampel yang diletakkan diatas kaca objek sesedikit mungkin
sehingga pada saat dilihat dibawah mikroskop tidak menumpuk dan
terlihat jelas bentuk dari krital tersebut. Untuk kristal yang dihasilkan
untuk sampel Barbiturat berbentuk panjang-panjang runcing berbentuk
prisma seperti pedang.
Identifikasi yang selanjutnya adalah untuk golongan antibiotika.
Antibiotika yang diidentifikasi adalah Amoksisilin, Kloramfenikol dan
Tetrasiklin. Identifikasi yang pertama dilakukan adalah untuk sampel
Amoxicilin. Identifikasi ini dilkukan dengan tiga perlakuan, yaitu
dengan uji organoleptis, penambahan asam sulfat, dan reaksi
kristal aseton-air. Amoksisilin merupakan antibiotik golongan penisilin
yang memiliki beta laktam. Perlakuan pertama yaitu uji organoleptis
dengan memaskan sampel diatas nyala api bunsen menggunakan ose
bulat, kemudian dicium aroma atau bau yang dihasilkan. Bau yang
dihasilkan seperti bau karet terbakar. Bau yang dihasilkan tersebut
adalah bau khas dari Amoxicilin. Perlakuan yang kedua adalah dengan
mereaksikan dengan asam sulfat pekat dan terbentuk larutan berwarna
kuning. Setelah itu, sampel yang telah dilarutkan dalam asam sulfat
difluoresensi di panjang gelombang 254 nm dan hasil menunjukkan
bahwa larutan menjadi berwarna kuning kehijauan. Adanya fluoresensi
adalah salah satu uji spesifik untuk Amoxicilin. Perlakuan yang
ketiga adalah dengan reaksi kristal aseton air. Prosedurnya aseton-
air ini sama dengan prosedur yang dilakukan pada sampel Luminal
dan Barbital yang telah dilakukan sebelumnya. Kemudian kristal
yang didapatkan dibandingkan dengan literature. Hasil pengamatan
dengan menggunakan mikroskop ini menghasilkan serbuk hablur.
Hasil tersebut sudah sesuai dengan literature.
Identifikasi yang kedua yaitu untuk sampel Kloramfenikol.
Identifikasi ini dilakukan dengan tiga perlakuan, antara lain pereaksi
Nessler, flame test dan kristal dengan aseton-air. Perlakuan pertama
untuk sampel Kloramfenikol adalah dengan penambahan pereaksi
Nessler. Pereaksi Nessler ini terdiri atas merkuri klorida jenuh yang
ditambhakan dengan kalium iodida padat kemudian ditambahkan
sejumlah NaOH 40% dan dipanaskan. Sampel Kloramfenikol
ditempatkan diatas pelat tetes kemudian ditetesi dengan pereaski
Nessler, menghasilkan larutan berwarna kuning dan terdapat endapan.
Pada reaksi ini gugus yang diidentifikasi adalah gugus amida
alifatik, kloramfenikol menghasilkan reaksi positif pada reaksi ini,
hal ini menunjukkan bahwa pada Kloramfenikol mengandung amida
alifatik.
Perlakuan kedua untuk sampel kloramfenikol adalah flame test. Zat
di ambil dengan menggunakan kawat yang bersih dan di lakukan flame
test. Hasil yang didapat adalah berwarna hijau. Warna hijau ini adalah
karena adanya gugus Cl yang bakal menghasilkan warna hijau apabila
tereksitasi dengan flame test.
Perlakuan yang terakhir untuk sampel Kloramfenikol adalah dengan
reaski aseton-air. Prosedur yang dilakukan sama seperti prosedur yang
dikerjakan pada sampel sebelumnya. Kemudian dibandingkan dengan
dengan literature yang ada. Hasil pengamatan dengan menggunakan
mikroskop adalah kristal berbentuk jarum-jarum seperti serabut.
Kemudian identifikasi dilanjutkan untuk sampel Tetrasiklin.
Identifikasi sampel Tetrasiklin ini dilakukan dengan tiga perlakuan, yaitu
dengan penambahan Benedict, Marquis, dan asam sulfat. Identifikasi
yang pertama yaitu penambahan sampel Tetrasiklin dengan pereaksi
Benedict. Sampel tetrasiklin ditempatkan diatas pelat tetes kemudian
ditambahkan pereaksi Benedict, menghasilkan larutan yang berwarna
hijau lumut dan terdapat endapan merah kecoklatan. Pembentukan
endapan merah kecoklatan Cu2O terjadi akibat reaksi dengan zat-zat
pereduksi, misalnya asam askorbat, ditionit, beberapa senyawa fenol
yang mengandung gugus hidroksil dalam posisi para- dan senyawa-
senyawa yang mengandung paling sedikit empat gugus hidroksil pada
rantai alifatik. Pada Tetrasiklin tersebut terdapat empat gugus hidroksil
pada rantai alifatik sehingga menghasilkan endapan merah kecoklatan.
Setelah itu, dilanjutkan dengan identifikasi dengan penambahan
pereaksi Marquis. Perekasi Marquis terdiri atas 1 bagian formaldehid
dan 9 bagian asam sulfat. Setelah penambahan pereaksi Marquis
tersebut larutan menjadi jingga dan ada coklat. Berbagai senyawa yang
cenderung mempertahankan respons terhadap reagensia pada ujung
spectrum ungu, dengan urutan yang menurun adalah cincin sulfur
(dengan atau tanpa cincin aromatic), einein oksigen (dengan cincin
aromatic), cincin oksigen atau sulfur luar (dengan einein aromatik);
senyawa aromatic yang seluruhnya terdiri dari C, H, dan N. Sehingga
terdapat keeenderungan respons terhadap reagensia marquis bergerak
seeara bertahap keaarah panjang gelombang yang lebih jauh yaitu
melalui warna hijau, jingga dan merah, karena rasio C,H dan N terhadap
gugus lain dalam molekul meningkat.
Cara identifikasi terakhir untuk sampel tetrasiklin adalah dengan
penambahan asam sulfat. Sampel yang ditempatkan diatas pelat
tetes kemudian ditambahkan asam sulfat menghasilkan larutan yang
berwarna kuning kecoklatan. Identifikasi terakhir yaitu dengan
penambahan asam sulfat pekat. air. Untuk uji menggunakan asam
sulfat (H2S04), langkah yang dilakukan yaitu serbuk tetrasiklin
diletakkan dalam pelat tetes, kemudian ditambahkan beberapa tetes
asam sulfat (H2S04),. Warna yang dihasilkan adalah coklat pekat.
Menurut literatur, apabila tetrasiklin direaksikan dengan asam sulfat
(H2S04), maka warna yang akan dihasilkan adalah merah ungu,
sedangkan dalam percobaan coklat pekat. Hal ini terjadi karena serbuk
tetrasiklin yang ditambahkan dengan asam sulfat (H2S04), bukan yang
pekat dan juga jumlahnya terlalu sedikit sehingga warna ungu yang
seharusnya terbentuk hanya sedikit. Warna yang dihasilkan ini
dikarenakan adanya pertukaran antara gugus hidrogen pada tetrasiklin
dengan gugus sulfat pada asam sulfat (H2S04), hal ini disebut pula
sebagai reaksi hidrolisis asam.
IX. KESIMPULAN
Identifikasi senyawa alkaloid, basa nitrogen, sulfonamida,
barbiturat dan antibiotika dapat dilakukan. Untuk alkaloid dan basa
nitrogen identifikasi dapat dilakukan dengan cara reaksi pembentukan
warna, reaksi pengendapan dengan reagensia khusus, reaksi fluorosensi,
sublimasi dan reaksi kristal. Sedangkan untuk senyawa golongan
sulfonilamid identifikasi dapat dilakukan dengan menggunakan
reagensia p-DAB, CuSO4, vanilin dan asam sulfat, kopayyi zwikker, dan
reaksi kristal. Golongan barbiturat dapat diidentifikasi dengan
menggunakan pereaksi asam sulfat+α-naftol, Kopayyi-Zwikker,
Lieberman, dan reaksi kristal aseton air. Sedangkan untuk golongan
antibiotik dapat diidentifikasi dengan menggunakan asam sulfat pekat
dan menghasilkan warna yang spesifik, kecuali pada kloramfenikol.
DAFTAR PUSTAKA
Clark, J. 2007. Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid. Tersedia online di :
http://chem-is-try/identifikasi-senyawa-golongan-alkaloid/html
(Diakses pada 04 Oktober 2015)
Clarke. 1986. Clarke’s Isolation and Identification of Drugs. London : He
Pharmacetical Drugs
Fessenden, R.J. 1997. Dasar-Dasar Kimia Organik. Bina Aksara. Jakarta
Katzung, B.G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi II. Salemba Medika.
Jakarta
Svehla, G. 1985. Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro. Jakarta :
PT.
Kalman Medika Pustaka
Zulfikar. 2011. Kristalisasi. Tersedia online di : http://chem-is-
try/materikimia/kimia-kesehatan/pemisahan-kimia/dan-analisis-
kristalisasi/.
(Diakses pada 04 Oktober 2015)
Recommended