View
484
Download
43
Category
Preview:
DESCRIPTION
Berisi tentang penjelasan NDT Ultrasonic Test, baik prinsip, langkah kerja dan bagaimana cara kalibrasi alat tersebut.
Citation preview
6. PESAWAT ULTRASONIK
6.1. Prinsip
Jenis pesawat ultrasonik tergantung pada teknik
yang digunakan. Peralatan untuk teknik resonansi
berbeda dengan peralatan untuk teknik gema/
transmisi. Dibawah ini digambarkan diagram blok
yang bisa digunakan dalam teknik gema.
Pesawat ini mirip osiloskop dimana pengukuran
yang dilakukan berdasar-kan pada pengukuran
waktu dan tegangan
Pengukuran waktu yang dilakukan melalui skala
horisontal dapat diterjemahkan menjadi pengukuran
jarak (s = vt) sedangkan pengukuran tegangan yang
dipresentasikan pada skala vertikal adalah untuk
mengetahui besarnya cacat. Skala horisontal dan
vertikal ini harus linier agar interpolasi dapat
dilakukan dan tidak mengurangi ketelitian
pembacaan.
6.2. Fungsi tombol
Fungsi tombol pada umumnya sama meskipun berbeda pembuatnya. Fungsi tombol yang penting adalah sebagai berikut :
1. Tombol ON/OFF, untuk menyalakan/mematikan pesawat.
2. Tombol gain :
2.1. Tombol gain kasar, untuk mengatur perubahan gain sebesar 20 dB.
2.2. Tombol gain halus, untuk mengatur perubahan gain sebesar 2 dB, 1 dB, ½ dB.
3. Tombol supresi, untuk membatasi atau menghikan gangguan derau (noise).Bila tombol ini dinyalakan penguatan menjadi tidak linier.
4. Tombol fungsi, untuk memilih jenis probe yang digunakan, tunggal atau kembar.
5. Tombol range (daerah ukur/time base) :
5.1. Tombol range kasar, untuk mengatur range de-ngan step besar
5.2. Tombol range halus, untuk mengatur range secara kontinu dari 1x sampai 5x range yang terbaca pada range kasar.
7. Tombol penggeser pulsa (delay line), untuk menggeser pulsa awal dan indikasi kekiri atau kekanan.
8. Tombol pulsa monitor, untuk memunculkan atau menghilangkan pulsa monitar pada/dari layar.
9. Tombol pengatur lebar/lokasi pulsa monitor.
10. Tombol pengatur fokus, untuk mempertajam garis/titik nyala.
6.3. Cara bekerja Pesawat
Perbedaan pesawat ultrasonik dan osiloskop
terletak pada unit pemancar, penerima dan
monitor. Secara singkat pesawat ultrasonik bekerja
sebagai berikut :
Layar merupakan bagian depan dari suatu tabung
hampa. Bagian dalam layar dilapisi zat fluresen
yang dapat menyala terang bila tertembak
elektron. Elektron berasal dari sumber yang
terletak di bagian belakang tabung hampa tersebut.
Antara sumber elektron dan layar terdapat
lempeng vertikal dan horisontal serta lempeng
pengatur fokus.
Lempeng vertikal mempengaruhi gerakan hori-
sontal sedangkan lempeng horisontal mempenga-
ruhi gerakan vertikal dari sinar elektron dalam per-
jalanannya menuju layar
Berkas elektron yang terfokus mengenai layar
sehingga menimbulkan bintik yang menyala. Bila
lempeng A, B, C dan D tidak diberi tegangan maka
sinar elektron akan jatuh ditengah layar dan terjadi
bintik nyala ditempat tersebut. Bila lempeng A
lebih positif dari pada B maka bintik nyala akan
berpindah kearah titik 1. Besarnya perpindahan
tergantung pada besarnya beda tegangan antara
lempeng A dan B. Sebaliknya bila lempeng B lebih
positif dari pada A. bintik nyala akan berpindah
kearah titik 2. Demikian pula dengan lempeng C
dan D bila C lebih positif bintik nyala akan
berpindah kearah titik 3 sedangkan bila D lebih
positif, bintik nyala akan berpindah kearah titik 4.
Bila lempeng C dan B diberi tegangan tertentu
maka bintik nyala akan berpindah ke skala 0.
Dalam keadaan ini bila lempeng D diberi tegangan
secara bertahap maka bintik nyala akan bergerak ke
arah skala 10 dan bila tegangan D dihilangkan
maka bintik nyala akan kembali ke 0.
Bila VD diberikan dalam waktu singkat maka
bintik nyala akan bergerak lebih cepat kearah skala
10. Dengan demikian kecepatan bergeraknya bintik
nyala dapat diatur dengan cara mengatur waktu
pencapaian VD. Pengaturan ini dilakukan oleh
tombol range/time base. Bila VD dinaikkan secara
linier, maka gerakan horisontal dari skala 0 kearah
skala 10 juga akan linier VD diberikan secara
kontinu dan periodik sehingga bintik nyala akan
selalu bergerak dari skala 0 keskala 10 secara terus
menerus. Sementara itu bila dalam perjalanan bintik
nyala dari skala 0 ke skala 10, kemudian lempeng A
diberi tegangan maka bintik nyala menyimpang
vertikal sambil tetap berjalan kearah skala 10.
Bila tegangan A dihilangkan maka bintik nyala
akan kembali berjalan pada lintasan basis semula
menuju ke skala 10.
Dengan mengatur tombol range kasar dan halus,
maka kecepatan gerakan bintik nyala dari skala 0 ke
skala 10 dapat disesuaikan dengan kecepatan
gerakan gelombang ultrasonik di dalam benda uji,
hal ini dilakukan pada kalibrasi range/jarak
Probe mempunyai hubungan langsung dengan
pemancar dan dihubungkan pula dengan lempeng A
melalui penguat. Pada saat pemancar memberikan
tegangan kepada kristal, kristal mulai bergetar dan
mengeluarkan gelombang ultrasonik, sementara itu
tegangan juga akan sampai pada lempengan A
sehinggga pada layar akan terjadi penyimpangan
bintik nyala ke arah vertikal dan menghasilkan
pulsa awal.
B C
A D
1
3 4
2
•
• • •
•
0 10
VD
0 t2 t1 2 t2 3 t2 2 t1 t3
Bila gelombang ultrasonik dipantulkan kembali dan ditangkap oleh probe maka pada saat penerimaan gelombang ini, bintik nyala juga akan menyimpang vertikal menghasilkan indikasi. Makin besar kekuatan gelombang pantulan, makin tinggi amplitudo yang terjadi pada layar. Dari lokasi indikasi yang terjadi, dapat diketahui lokasi dari permukaan pemantul/cacat.
Pulsa awal yang merupakan petunjuk bawa gelombang mulai dipancarkan, mempunyai lebar tertentu, dimana pada daerah selebar pulsa tersebut pengamatan pantulan gelombang tidak dapat dilakukan. Ketebalan pada benda uji yang ekivalen dengan lebar pulsa awal, dimana pengamatan pantulan gelombang tidak dapat dilakukan disebut daerah mati (dead zone).
6.4. Display hasil pengukuran
Diatas telah disebutkan bahwa salah satu jenis
pesawat ultrasonik menggunakan layar sebagai
display, dimana indikasi yang timbul akibat pantulan
gelombang dapat memberikan informasi tentang
jarak/ lokasi permukaan pemantul (skala
horisontal) dan amplitudo (skala vertikal).
Presentasi data semacam ini disebut scan A.
Dari prersentasi scan A dapat pula digabungkan dengan sistem lain sehingga dapat menggambarkan letak cacat pada suatu penampang lintang dari benda uji yang diperiksa.
Presentasi ini disebut scan B.
Bila scan A ini digabungkan dengan posisi probe diseluruh permukaan benda uji maka diperoleh lokasi cacat dilihat dari permukaan atas (plan view). Presentasi ini disebut scan C.
Display digital dapat pula dilakukan dengan mengambil dasar pengukuran seperti pada scan A, dalam hal ini hanya jarak yang dipresentasikan, sedangkan amplitudo tidak didisplaykan, misalnya thickness meter.
Scan A Jarak
Am
plit
udo
Scan B
Scan C
Panjang
Panjang
Te
bal
Lebar
0 2 4 6 8 10
7. SENSITIVITAS DAN RESOLUSI
Sensitivitas dan resolusi dari sistem pesawat
ultrasonik tergantung pada alat elektronik dan
probenya. Sensitivitas adalah kemampuan sistem
untuk mendeteksi pemantul kecil yang letaknya
jauh dari permukaan, sedangkan resolusi adalah
kemampuan sistem untuk membedakan dua
permukaan pemantul yang sangat berdekatan.
Sensitivitas dan resolusi merupakan dua faktor yang
saling mem-pengaruhi artinya bila sensitivitas baik,
akan menyebabkan resolusinya kurang mengun-
tungkan, sedangkan resolusi yang baik akan
mengurangi sensitivitas. Probe yang resolusinya
baik akan selalu diikuti dengan sensitivitas yang
kurang, demikian pula alat elektroniknya. Untuk
memperoleh sistem yang resolusinya baik
diperlukan probe dan alat elektronik yang baik pula.
Besaran sensitivitas biasanya dinyatakan secara
relatif, yang satu mungkin lebih baik dari yang lain.
Untuk mendeteksi cacat dari contoh uji yang sangat
jauh letaknya dari permukaan, sistem yang
sensitivitasnya lebih baik akan menghasilkan
pengukuran yang meyakinkan, sedangkan untuk
membedakan dua cacat yang berdekatan, resolusi
yang baik akan sangat memudahkan.
BAIK
0 2 4 6 8 10
KURANG
0 2 4 6 8 10
BAIK
0 2 4 6 8 10
KURANG
0 2 4 6 8 10
SENSITIVITAS RESOLUSI
8. KALIBRASI
Setiap kali akan digunakan, pesawat ultrasonik harus
dikalibrasi dengan bantuan blok kalibrasi, misal blok
kalibrasi V1. V2, step wedge dan sebagainya.
Sementara itu pesawat harus diperiksa linieritasnya
baik linieritas horisontal, linieritas vertikal maupun
tombol gain-nya
25
50
40 50 60
5
12,5
STANDARD BLOCK
V1 200
15
1,5
40 50 60 15
35
10
5
50
30
100
100
25 23
100
STANDARD BLOCK
V2
STANDARD BLOCK VW
8 7 6 5
4 3 2 1
15
20
8.1. Pemeriksaan linieritas horisontal
Pemeriksaan dimaksudkan untuk menyakinkan
bahwa skala horisontal/ jarak adalah linier.
Pemeriksaan dilakukan dengan cara meletakkan
probe pada ketebalan 25 mm dari blok kalibrasi,
dengan mengambil range 250 mm.
Bila setiap indikasi tepat terletak pada skala :
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 10 maka skala
horisontalnya masih linier. Apabila terjadi
penyimpangan amati pada skala berapa yang
terbesar terjadi penyimpangan.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
8.2. Pemeriksaan linieritas vertikal
8.2.1.Pemeriksaan linieritas layar skala vertikal
Pemeriksaan dimaksudkan untuk meyakinkan
bahwa skala vertikal layar adalah linier. Untuk
diusahakan pada layar dapat ditimbulkan dua buah
indikasi yang amplitudonya 2 : 1 pada saat
amplitudo indikasi pertama mencapai 80 % .
Indikasi tertinggi diatur agar amplitudonya
mencapai 100 %, kemudian diturunkan dengan
step 10 % sampai amplitudonya menjadi 20 %.
Skala vertikal layar disebut linier bila setiap kali
amplitudo indikasi ke dua tingginya 50 ± 5 % dari
amplitudo indikasi pertama.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
8.2.2. Pemeriksaan linieritas tombol gain
Pemeriksaan dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa
step tombol gain dari pesawat ultrosonik adalah linier.
Untuk itu amati amplitudo dari suatu reflektor.
Kemudian tombol gain diputar agar diperoleh
penambahan ± 6 dB dan ± 12 dB. Tombol gain
disebut linier bila dapat diperoleh data-data sebagai
berikut
POSISI
AWAL
PERUBAHA
N GAIN
HASIL
PEMBACAAN
TOLERANSI SESUAI
STD
80 % - 6 dB 40 % 32 – 48 %
80 % - 12 dB 20 % 16 – 24 %
40 % + 6 dB 40 % 64 – 96 %
20 % + 12 dB 80 % 64 – 96 %
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
. 40%
80%
8.3. Kalibrasi Probe Normal
Dalam butir 6.3 telah dijelaskan cara bekerja
pesawat ultrasonik. Kalibrasi dimaksudkan untuk
menyesuaiakan skala 0 – 10 pada layar dengan
jangkauan dari gelombang ultrasonik dalam benda
uji/blok kalibrasi. Perlu diperhatikan bahwa
gelombang yang merambat didalam uji/blok
kalibrasi adalah gelombang longitudinal.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
25
Jarak yang dikalibrasi adalah jarak tempuh yakni jarak yang dilalui oleh gelombang-gelombang dalam benda uji/blok kalibrasi. Untuk meng-kalibrasi range 100 mm maka mula-mula pulsa awal harus timbul pada skala 0. Tombol range diset pada 100 mm probe diletakkan pada ketebalan 25 mm dari blok kalibrasi VI. Indikasi yang timbul pada layar harus berjumlah 100/25 = 4 buah dan harus terletak pada skala :
25
indikasi I : x 10,0 = 2,5
100
2 x 25 indikasi II : x 10,0 = 5,0
100
3 x 25 indikasi III : x 10,0 = 7,5
100
4 x 25 indikasi IV : x 10,0 = 10,0
100
Agar indikasi dapat menempati skala yang
seharusnya, tobol range halus dan tombol
penggeser pulsa harus diputar secara bergantian.
Bila seluruh indikasi telah menempati skala–skala
tersebut secara tepat, maka kalibrasi telah selesai
dan pesawat siap digunakan untuk pengukuran.
Kalibrasi harus diulang bila terjadi penggantian
prabe, kabel probe maupun bila alat dinyalakan
kembali. Perlu diperhatikan bahwa untuk kalibrasi
jarak diperlukan timbulnya minimum 2 buah
indikasi tidak termasuk pulsa awal, karena jarak
yang sesuai dengan ketebalan bahan adalah jarak
antara dua buah indikasi, bukan jarak antara pulsa
awal dan indikasi pertama.
Untuk memeriksa apakah kalibrasi jarak telah tepat,
sebelum dipakai untuk mengukur jarak pada benda
uji, perlu dilakukan pengukuran terhadap ketebalan
yang telah diketahui misalnya ketebalan lain pada
blok kalibrasi VI atau V2.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
25
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
25
8.4. Kalibrasi probe normal kembar
Untuk range lebih dari 20 mm, kalibrasi jarak probe normal kembar dapat dilakukan seperti pada probe normal tunggal. Sedangkan untuk range kurang dari 20 mm, kalibrasi dilakukan sebagai berikut :
Misalnya range 10 mm (tombol range diset pada 10), pulsa awal mula-mula harus terletak pada skala 0. Probe diletakkan pada ketebalan 4,0 dari stepwedge (VW), kemudian indikasi yang timbul ditempatkan pada skala 4,0 dengan cara memutar tombol penggeser pulsa. Probe dipindahkan pada ketebalan 8,0 mm dan dengan memutar tombol range halus, indikasi yang timbul ditempatkan pada skala 8,0.
Lakukan langkah ini berulang-ulang hingga diperoleh keadaan dimana bila probe diletakkan pada tebal 4,0 mm, indikasi tepat pada skala 4,0 dan bila probe diletakkan pada tebal 8,0 mm indikasi tepat terletak pada skala 8,0. Untuk memeriksa ketepatan hasil kalibrasi, probe diletakkan pada ketebalan 6,0 mm, indikasi harus terletak pada skala 6,0.
Perlu diperhatikan bahwa pada kalibrasi dengan cara ini, pengukuran ketebalan di luar ketebalan kalibrasi tidak menghasilkan harga yang tepat, karena ketidak linieran skala yang disebabkan oleh lintasan gelombang yang berbentuk huruf V.
Keuntungan penggunaan probe kembar dibandingkan dengan probe normal tunggal adalah bahwa medan dekat probe normal kembar berada di dalam probe sehingga pada layar tidak terdapat daerah mati (dead zone).
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
STANDARD BLOCK VW
8 7 6
5 4 3
2 1
15
20
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
8.5. Kalibrasi probe sudut
Pelaksanaan kalibrasi probe sudut lebih sukar dibandingkan dengan kalibrasi probe normal.
Hal ini disebabkan karena posisi probe harus tepat yang dapat diketahui dari amplitudo indikasi yang timbul pada layar. Posisi probe yang tepat akan menghasilkan indikasi yang amplitudonya maksimum. Bila amplitudo belum maksimum maka posisi probe belum benar dan hasil kalibrasi maupun pengukurannya juga tidak benar. Titik indeks dan sudutnyapun perlu diperiksa karena kesalahan dalam menentukan titik indeks maupun sudut akan menyebabkan kesalahan hasil pengukuran.
V1
L
Persfek
Steel ( baja )
Transversal
T
L
ß T
V 2
Dalam butir 3.2.10.telah dijelaskan proses pantulan
dan pembiasan gelombang ultrasonik. Supaya
memudahkan interpretasi, gelombang yang masuk
kedalam benda uji harus satu mode saja, yaitu mode
transversal, karena mode longitudinal mudah
dihilangkan. Oleh karenanya sudut B terkecil
dipilih 35o. Umumnya dipilih sudut B yang berharga
45o, 60o, 70o dan 80o.
8.5.1. Pemeriksaan Titik Indeks
Titik indeks perlu diketahui lokasinya karena
titik ini merupakan titik nol dari setiap pengukuran
jarak. Penentuan titik indeks dilakukan sebagai
berikut :
max
Titik Indieks
Probe sudut diletakan pada blok kalibrasi V1 seperti pada gambar diatas. Probe digerakan maju mundur agar amplitudo indikasi akibat pantulan lengkungan R = 100 mm mencapai maksimum (sesuaikan range untuk memperoleh satu indikasi). Pada kondisi maksimum ini, skala pada probe yang berimpit dengan pusat lengkungan adalah titik indeks probe tersebut.
Kesalahan/ketidak telitian dalam menentukan letak titik indeks akan mengakibatkan kesalahan dalam menentukan letak cacat/reflektor. Kesalahan letak titik indeks terhadap spesifikasi pabrik maksimum ± 2 skala. Bila telah melebihi dua skala, probe harus diperbaiki atau sebaiknya tidak dipakai.
8.5.2. Pemeriksaan Sudut
Sudut bias gelombang yang masuk kedalam benda
uji dapat diukur dengan beberapa macam cara, tetapi
sebelumnya titik indeks harus diketahui lokasinya.
a. Pengukuran sudut dengan blok kalibrasi, dapat
dilakukan dengan cara meletakan probe pada V1
menghadap lengkungan 50 mm (berisi perspeks).
Probe digeser maju mundur disekitar skala yang
sesuai dengan sudut probe sehingga diperoleh
indikasi maksimum.
40 50 60
max
55 60
65
Harga–harga sudut dari probe sudut diperoleh
dengan menginterpolasikan letak titik indeks
terhadap skala yang ada pada blok kalibrasi tersebut
b. Cara lain untuk menentukan atau memeriksa sudut
dari probe sudut dapat dilakukan dengan perhitung-
an goneometri.
Probe diarahkan ke lubang bor sisi kemudian
diusahakan amplitudo maksimum dari indikasi
lubang tersebut. Dengan mengukur jarak x dan y,
sudut dapat dihitung dengan rumus :
x
tan =
y
x
ß y
Toleransi sudut yang masih diperkenankan adalah
sebesar ± 2o . Bila lebih besar dari toleransi tsb,
probe harus diperbaiki atau jangan dipergunakan
untuk pengukuran.
8.5.3. Kalibrasi jarak
Berbeda dengan probe normal, pengukuran dengan
probe sudut memungkinkan 3 macam jarak yakni :
a. Jarak tempuh (s)
b. Jarak proyeksi diukur dari titik indeks (p)
c. Jarak proyeksi diukur dari ujung probe (a)
d
P
Pc
Sc tc
Bila salah satu jarak telah diketahui maka jarak
yang lain dapat ditentukan melalui rumus berikut :
p
sin = p = 2d tg = s sin
s
2d 2d p
sin = s = =
s cos sin
p
tg =
2d
t1 = sc cos = pc / tg
t2 = 2d - sc cos = 2d - pc/tg
Untuk kalibrasi jarak digunakan lengkungan pada blok
kalibrasi V1, V2 dan sebagainya, harus selalu diingat
bahwa amplitudo indikasi harus maksimum agar
kalibrasinya benar dan teliti, sedang pada layar harus
timbul minimum dua indikasi.
8.5.3.1. Kalibrasi Jarak Tempuh
Bermacam-macam blok kalibrasi dapat digunakan
untuk mengkalibrasi jarak tempuh dimana sebagai
bidang pemantul biasanya bidang lengkung agar
diperoleh indikasi yang tajam dan tidak tergantung
pada sudut.
a. Kalibrasi dengan blok kalibrasi V1
Probe diletakan pada pusat lengkungan dari blok
kalibrasi V1 dan usahakan memperoleh indikasi
maksimum.
Karena lengkungan berjari-jari 100 mm maka range
yang diperoleh adalah kelipatan 100 mm. Misal
untuk range 200 mm, indikasi harus berjumlah 2
buah dan harus diletakan pada skala :
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
100
indikasi I x 10,0 = 5,0
200
2 x 100
indikasi II: x 10,0 = 10,0
200
Penempatan indikasi pada skala diatas dilakukan
dengan cara mengatur tombol range dan tombol
penggeser pulsa.
b. Kalibrasi dengan blok V2-
Blok V2 memiliki 2 lengkungan konsentris berjari-
jari 25 mm dan 50 mm. Untuk dapat memahami
terjadinya indikasi pada layar maka perlu diikuti
perambatan gelombang pada blok kalibrasi V2.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
25
50
40 50 60
5
Bila probe diletakan menghadap lengkungan 25 mm maka indikasi, yang timbul mewakili jarak-jarak : 25, 100, 175, 250 mm dan seterusnya. Bila probe menghadap lengkungan 50 mm maka indikasi yang timbul mewakili jarak-jarak 50, 125, 200, 275 mm dan seterusnya.
Secara umum bila lengkungan adalah r1 dan r2 maka indikasi akan mewakili jarak-jarak :
r1,r1 + (r1 + r2), r1 + 2 (r1 + r2),
dan seterusnya (probe menghadap r1)
r2,r2 + (r1 + r2), r2 + 2 (r1 + r2),
dan seterusnya (probe menghadap r2)
c. Kalibrasi jarak proyeksi
Misal kalibrasi probe 45o dengan V1 dan range 200 mm. Jarak tempuhnya 100 mm sehingga jarak proyeksinya 100 sin 45o = 70,7 mm. Indikasi harus diletakkan pada skala :
70,0
indikasi I x 10,0 = 3,5
200
2 x 70,7
indikasi II x 10,0 = 7,1
200
Dengan menempatkan indikasi pada skala 3,5 dan 7,1
diperoleh range 200 mm jarak proyeksi dari titik indeks.
9. P E M A K A I A N
Seperti telah dikemukakan pada butir sebelumnya, permukaan yang mudah dideteksi adalah permukaan yang tegak lurus terhadap arah rambatan gelombang. Perbedaan antara kecepatan gelombang ultrasonik dalam blok kalibrasi dan dalam benda uji akan menyebabkan ketidak tepatan hasil pengukuran.
Ketelitian juga dipengaruhi oleh ketepatan kalibrasi, pembacaan skala, pencapaian indikasi maksimum, kondisi permukaan benda uji, homoginitas bahan, tekanan probe pada benda uji dan sebagainya.
Penentuan jenis cacat lebih sukar dilakukan karena memerlukan pengalaman dan ketelitian dalam menginterpretasi bentuk indikasi yang timbul pada layar.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
9.1. Probe Normal
Probe Normal digunakan untuk mengukur tebal
bahan, menentukan lokasi cacat yang sejajar dengan
permukaan benda uji dan menentukan ukuran cacat
tersebut.
9.1.1. Pengukuran Tebal Bahan
Untuk mengukur tebal bahan, range harus dipilih
berdasarkan perkiraan tebal benda uji. Misal tebal
bahan kurang lebih 20 mm maka dipilih range 100
mm boleh lebih besar atau lebih kecil. Setelah
dikalibrasi dengan range yang sesuai, probe
diletakkan pada benda uji untuk memperoleh
indikasi. Tebal bahan ditentukan dari :
sk
d = —— x Range
10,0
atau
sk
d = ——— x Range
n x 10
Dari letak indikasi maka dapat ditentukan tebal bahan :
1,9
d = —— x 100 = 19 mm
10,0
atau
7,6
d = ——— x 100 = 19 mm
4 x 10
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
9.1.2. Penentuan Lokasi Cacat
Perhitungan jarak dapat dilakukan seperti
pada pengukuran tebal, misal pada layar timbul
indikasi sebagai berikut :
maka tebal bahan :
6,0
d = —— x 200 = 120 mm
10,0
lokasi cacat :
4,5
d = —— x 200 = 90 mm atau
10,0
9,0
d = ——— x 200 = 90 mm
2 x 10,0
Jadi pada bahan yang tebalnya 120 mm terdapat
cacat pada kedalaman 90 mm dari permukaan.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Bila indikasi yang terjadi jumlahnya cukup banyak maka indikasi harus dianalisa satu persatu, dimulai dari indikasi pertama.
Misal terdapat 7 buah indikasi pada layar :
Indikasi I lokasi 50 mm, cacat pertama
II lokasi 90 mm, cacat kedua
III lokasi 100 mm, pantulan II cacat I
IV lokasi 120 mm, back wall
V lokasi 150 mm, pantulan III cacat I
VI lokasi 180 mm, pantulan II cacat II
VII lokasi 200 mm, pantulan IV cacat I
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
I II III
IV
V
VII
VI
R = 200 mm
9.2. Probe Sudut
Probe sudut hanya digunakan untuk menentukan lokasi
dan besar cacat yang memiliki permukaan yang
membentuk sudut terhadap permukaan benda uji.
Probe sudut tidak biasa digunakan untuk mengukur
tebal benda uji. Hal yang memudahkan dalam
pengukuran dengan probe sudut adalah bahwa dari satu
cacat umumnya hanya menghasilakn satu indikasi
sehingga indikasi mudah dianalisa.
9.2.1. Penentuan Lokasi Cacat
Penentuan lokasi cacat dengan probe sudut
memerlukan ketelitian yang lebih baik
dibandingkan dengan probe normal karena dituntut
suatu kondisi dimana indikasi yang timbul pada
layar harus maksimum, agar dapat diyakini bahwa
cacat berada pada central beam.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sc d
SK1
ULTRASONIC
Probe Ultrasonic di bagi menjadi :
• Normal
• Sudut, probe sudut dibagi
menjadi : 30°
45 °
60 °
70 °
ULTRASONIC
Ultrasonic dengan probe sudut :
UT Set
Angle Probe
A Scan
Displa
y
0 10 20 30 40 50
initial pulse defect
echo
CRT Display
sound path
Angle Probe
defect
Surface distance
Oleh karenanya probe ini harus digerakan maju mundur sambil diputar kekiri dan kekanan agar diperoleh amplitudo maksimum. Setelah dapat dicapai amplitudo maksimum lokasi indikasi pada layar dibaca (misal skl ) dan lokasi cacat ditentukan dengan :
sk1 R = Range
sc = ——— x R sk1 = lokasi indikasi
10,0 sc = lokasi cacat
Jarak-jarak lainnya dapat dihitung berdasarkan
rumus :
pc = sc sin ; dc = sc cos
Sebagai contah misal digunakan probe 45o, tebal pelat 50 mm, dipilih range 100 mm, misal diperoleh indikasi pada skala 5,5 jadi :
5,5
sc = ——— x 100 mm = 55 mm
10,0
pc = sc Sin 45o = 0,707 x 55 = 38,9 mm
dc = sc Cos 45o = 0,707 x 55 = 38,9 mm
Perlu diingat bahwa lokasi cacat diukur dari titik
indeks jadi pada permukaan benda uji harus diberi
tanda lokasi dari titik indeks, sehingga lokasi cacat
dapat ditentukan.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
50
Pc=38.9
dc=38.9
Sc=55
R = 100 mm
10. PEMAKAIAN UNTUK PEMERIKSAAN LAS
Khusus untuk pemeriksaan cacat dalam lasan, digunakan probe
sudut, Probe normal hanya digunakan untuk mengetahui cacat
diluar lasan misal laminasi, karena adanya cacat diluar lasan
dapat mengganggu pendekteksian cacat didalam lasan.
Gelombang ultrasonic yang terhalang oleh laminasi atau cacat
lain diluar lasan tidak akan mencapai cacat yang harus dideteksi
karena dipantulkan kearah lain. Pemeriksaan pada las sederhana
dilakukan sebagai berikut :
Sebelum probe sudut digunakan untuk
pendekteksian cacat, periksa kemungkinan adanya
cacat diluar lasan dengan probe normal (tunggal
atau kembar). Pemeriksaan dengan probe sudut
dilakukan minimum dengan dua sudut misal 45o
dan 60o atau 70o dari dua arah yaitu dari sebelah
kiri dan kanan lasan. Agar effisien, posisi probe
paling jauh terhadap sumbu las dapat dibatasi yaitu
sebesar p = 2d tg B. Probe digerakkan secara zig
zag dengan tumpang tindih sebesar 10 % atau
sesuai prosedur agar seluruh volume lasan dapat
tercakup oleh gelombang yang dikeluarkan oleh
probe. Bilamana perlu, probe dapat diputar kekiri
dan kekanan untuk memeriksa cacat yang mungkin
arahnya tidak tepat dengan posisi probe, tetapi
harus dijaga agar posisi utama probe adalah tegak
lurus terhadap sumbu las.
Bila diperoleh indikasi cacat pada layar dan
kemudian dimaksimumkan, beri tanda lokasi titik
indeks, probe pada permukaan benda uji dan ukur
jarak proyeksi dari titik tersebut kearah lasan untuk
memperkirakan lokasi cacat, kemudian beri tanda.
Penentuan lokasi cacat dalam lasan dapat pula
dilaksanakan dengan cara sebagai berikut
Gambarkan penampang lasan berikut posisi probe
pada saat diperoleh amplitudo maksimum dan
central beam. Gambarkan pula jarak cacat pada
central beam sehingga lokasi cacat dapat ditentukan
terhadap lasan kemudian pindahkan lokasi tersebut
ke benda uji.
Interpretasi dari indikasi pada layar agak sukar
karena kemungkinan terjadi pantulan oleh akar las
dan rigi-rigi las. Oleh karenanya pantulan oleh akar
las dan rigi-rigi las harus diperiksa. Bila posisi
probe diluar dari posisi akar las dan rigi-rigi las
maka indikasi yang timbul dapat dicurigai sebagai
indikasi cacat, tetapi bila probe berada pada posisi
pemeriksaan akar las atau rigi-rigi las dianggap
bukan cacat. Sebagai contoh pemeriksaan las V
tebal 20 mm dengan probe MWB 60, range dipilih
100 mm (jarak tempuh). Bila pada layar diperoleh
indikasi maksimum pada skala 6,0 berarti lokasi
cacat sc = 60 mm dari titik indeks. Bila pada posisi
ini jarak probe ke sumbu las = 61 mm maka cacat
berada pada bevel, tetapi bila pada posisi tersebut
jarak probe ke sumbu las = 40 mm maka cacat
berada diluar lasan.
11. PEMERIKSAAN TEKNIK IMERSION (RENDAM)
Biasanya sistim rendam ini digunakan untuk
pengukuran secara otomatis dimana sistim Scan A
digabungkan dengan gerakan probe terhadap
permukaan benda uji dalam suatu sistim terpadu
hingga menghasilkan Scan dan Scan C.
Mengingat jarak probe ke permukaan benda uji
cukup jauh maka harus ditentukan jarak minimum
yang tidak akan mengganggu pengukuran.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
da
db
vLa
vLb
air
baja
Dari gambar terlihat bahwa waktu yang diperlukan
oleh gelombang untuk merambat dari probe ke
permukaan (I) benda uji adalah :
ta = da/Vla
Pantulan kedua terjadi dalam selang waktu ta.
Jadi supaya pantulan kedua dst dari permukaan I
tidak mengganggu pantulan dari permukaan
didalam benda uji (antara permukaan I dan
permukaan II) maka
db
tb = —— < ta
vLb
Karena Vb 4Va , maka
db < 4 da atau da > ¼ db
Jadi jarak probe permukaan I harus lebih besar dari
¼ tebal benda uji (baja).
Untuk dapat membaca skala dengan lebih teliti,
range dapat diperkecil dan indikasi permukaan I
dapat digeser ke skala 0 sehingga yang terlihat pada
layar adalah indikasi yang berasal dari dalam benda
uji.
12. PENENTUAN DIMENSI CACAT
Untuk cacat yang dimensinya lebih besar dari geometri gelombang, penentuan ukuran cacat dapat dilakukan dengan menentukan tepi atau batas pinggir dari cacat tersebut, sedangkan untuk cacat kecil, dimensi cacat ditentukan dengan cara membandingkan permukaan cacat dengan permukaan lubang bor datar atau permukaan lubang bor sisi. Oleh karenanya selalu harus diusahakan agar indikasi cacat yang diperoleh harus dimaksimumkan. Tekanan probe pada benda uji maupun pada blok referensi harus sama karena dasar penentuan dimensi cacat adalah amplitudo. Bila amplitudo tidak konsistem maka hasilnya tidak akan teliti, meskipun dimensi cacat sebenarnya tidak dapat dipastikan.
0 5 10 d air d baja
Pulsa awal
I II
cacat
12.1. Penentuan dimensi cacat dengan 6 dB drop
Untuk menentukan batas pinggiran cacat, posisi probe pada saat berada di batas pinggiran cacat harus dapat dipastikan.
Posisi Probe di pinggir cacat dapat ditentukan yakni apabila 50 % gelombang diteruskan sedangkan 50% lagi dipantulkan kembali ke probe. Dari definisi dB dapat dihitung bahwa bila intensitas berkurang dengan 50 %, maka amplitudo akan berkurang dengan 6 dB. Oleh karenanya bila amplitudo dari cacat maksimum berarti probe tepat berada pada posisi pinggiran cacat.
Scan B Panjang
Te
bal
Scan C Panjang
Lebar
Jadi apabila telah diperoleh amplitudo maksimum dari indikasi suatu cacat, maka pinggiran cacat dapat diketahui dari posisi-posisi probe dimana probe memberikan indikasi yang amplitudonya berselisih 6 db terhadap amplitudo maksimumnya. Dengan menggeser probe di seluruh permukaan benda uji, maka batas pinggiran dari cacat tersebut akan dapat ditentukan sehingga diperoleh dimensinya.
12.2. Distance Amplitudo Correction
(DAC)
DAC adalah salah satu cara menentukan dimensi
cacat relatif, artinya relatif terhadap suatu referensi
cacat tertentu. Untuk itu terlebih dahulu harus
dibuat kurva DAC dari cacat referensi berupa
lubang bor sisi atau berupa takikan segi empat
(notch) dari blok kalibrasi dasar.
Setelah kurva DAC diperoleh, amplitudo dari
indikasi cacat dibandingkan dengan kurva DAC
dan dapat dihitung berapa persen perbandingan
antara amplitudo dari indikasi cacat terhadap
amplitudo kurva DAC untuk jarak yang sama.
0 2 4 6 8 10
12.3. Pemakaian Skala DGS (Distance Gain Size)
Amplitudo suatu indikasi tergantung pada letak permukaan pemantul/cacat (distance), gain dan dimensi permukaan pemantul/cacat tersebut (size). Makin jauh letak cacat dan dengan gain yang kecil serta makin kecil dimensi cacat, maka makin kecil pula amplitudo indikasi dari cacat tersebut.
Krautkramer secara teoritis dan dengan percobaan telah membuktikan adanya hubungan antara besaran-besaran tersebut di atas dan berhasil membuat hubungan antara besaran tersebut dalam diagram dan skala DGS dengan syarat bahwa permukaan dianggap datar/rata dan berbentuk lingkaran dua dimensi.
Karena diagram dan skala ini dipengaruhi oleh probe dan pesawat yang digunakan, maka dibuatkan diagram dan skala untuk berbagai jenis probe, range dan pesawat ultrasonik. Untuk itu krautkramer membuat skala dengan kode-kode tertentu disesuaikan dengan faktor-faktor tersebut. Misal untuk pesawat USK, USL dan USM dibuatkan skala DGS dengan kode huruf MAN untuk probe normal dan kode huruf MA untuk probe sudut.
Untuk memasukkan faktor frekuensi probe, sudut probe dan
range dibuatkan kode angka misal skala DGS MAN 242
adalah untuk probe B.4 SN atau MB4SN dengan range 2 x
250 mm = 500 mm. Skala DGS MA 442 adalah untuk probe
MWB 45 dengan range 2 x 50 mm = 100 mm dan jarak dari
proyeksi dari ujung probe.
Untuk dapat menggunakan skala DGS langsung maka perlu
dilakukan kalibrasi, baik gain maupun jarak sehingga
amplitudo langsung menunjukkan dimensi cacat dalam
satuan mm DGS.
Distance : A
Gain : V
Size : G
1.5 2 3 4 5 7 mm n
MWB 45
R 2
0 100
1.5
2
3 4 6 mm n
MB 60
0 250
R 1
n : flat bottom hole
Recommended