View
11
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
ORANG KUAT DALAM DINAMIKA POLITIK LOKAL
STUDI KASUS: KEKUASAAN POLITIK FUAD AMIN DI
BANGKALAN
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Ahmad Nurcholis
1111112000006
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
2016
v
ABSTRAK
Nama : Ahmad Nurcholis
Prodi : Ilmu Politik
Judul : Orang Kuat Dalam Dinamika Politik Lokal Studi Kasus: Kekuasaan
Politik Fuad Amin Di Bangkalan
Penelitian ini menitikberatkan pada analisa monopoli kekuasaan politik
sebagai impak keberadaan orang kuat lokal, bos lokal, dan oligark lokal.
Monopoli kekuasaan politik ini setidaknya melahirkan berbagai bentuk
penyimpangan, yang juga melahirkan bentuk pemerintahan model dinasti yang
merupakan upaya elit untuk menempatkan beberapa kroni dan keluarganya di
beberapa pos strategis pemerintahan (Leo Agustino). Model pemerintahan dengan
kekuasaan yang absolut serta dinasti seperti ini kerapkali mengarah pada
perampokan sistemik anggaran negara dan monopoli berbagai sumber ekonomi
strategis. Dalam kasus Fuad Amin, penulis juga menemukan relevansi antara
aspek orang kuat lokal dengan pondasi awal lahirnya kekuasaan politik yang
berdampak pada konstruksi pemerintahan dinasti. Lahirnya dominasi serta
kekuasaan politik Fuad Amin, pertama-tama diuntungkan dengan posisinya yang
mewarisi modal kultural sebagai elit keturunan kiai terkemuka di satu sisi, serta
kedekatannya dengan dunia blater di sisi lain. Selain itu, Fuad juga diuntungkan
karena posisinya sebagai pengusaha/oligark lokal dengan kepemilikan harta yang
melimpah. Tiga modal kekuatan awal ini tak pelak mempermudah dirinya untuk
melenggang maju ke sektor politik formal. Keberhasilan ini juga ditopang oleh
kultur masyarakat yang masih memegang teguh budaya patrimornial, sehingga
ketergantungan masyarakat kepada kekuatan patron (Fuad Amin) masih sangat
kental.
Metode penelitian yang penulis gunakan adalah dengan metode kualitatif
melalui wawancara mendalam dan telaah tambahan pada beberapa literatur yang
penulis anggap penting. Hasilnya adalah bahwa kekuasaan politik Fuad Amin
menjadi dominan karena tidak adanya lembaga hukum setempat yang independen,
yang berani menindak segala penyimpangan yang dilakukan Fuad. Adanya
laporan penyelewengan yang dilakukan oleh Fuad Amin, semisal kasus kekerasan
terhadap para aktivis dan berbagai kasus korupsi, selalu mentah di meja polisi dan
kejaksaan setempat. Kekuasaan politik Fuad semakin bertambah tatkala dirinya
berhasil menjadi bupati Bangkalan pada tahun 2003 dan tahun 2008. Dengan
mengenyam dua kekuatan, baik formal maupun informal, tampuk dominasi Fuad
semakin tak terbendung. Fuad Amin bak raja yang bebas berbuat sekehendak hati
dan tanpa kontrol yang tak terbatas. Gambaran ini tercermin dari kekuatan
politiknya yang bukan sebatas ada di jejaring internal pemerintahan dan partai
politik, tetapi menyebar ke setiap penjuru ormas, institusi pendidikan, dan
kelompok-kelompok informal.
Kata Kunci: Orang Kuat Lokal, Bos Lokal, Oligark Lokal, Kekuasaan
Politik, Fuad Amin.
vi
KATA PENGANTAR
Proses penyusunan skripsi yang memakan waktu berbulan-bulan ini
penulis akui adalah berkat bantuan yang diberikan oleh banyak pihak. Baik
bantuan berupa saran maupun materil. Untuk itu, penulis patut mengucapkan rasa
terima kasihnya pertama-tama kepada:
1. Prof. Dr. Zulkifli, MA selaku Dekan Fisip UIN Jakarta.
2. Dr. Iding R. Hasan M.si selaku kepala jurusan Ilmu politik.
3. Dr. Chaider S. Bamualim M.A selaku dosen pembimbing.
4. Orang tua yang selalu memotivasi penulis untuk sesegera mungkin
menyelesaikan tugas akhir ini.
5. Seluruh jajaran dosen ilmu politik FISIP UIN Jakarta.
6. Ela, Ima, Ali, Ikbal, Ilham, kawan-kawan angkatan, kawan-kawan
kampung, kawan-kawan pondok, kawan-kawan PMII, dan kawan-
kawan diskusi, yang namanya tidak bisa penulis sebut satu persatu.
Terima kasih banyak atas motivasinya, mengutip puisi Sutan Takdir:
“segala kulihat segala membayang, segala kupegang segala
mengenang,” kalian merupakan bagian sejarah kenangan yang tak
terlupakan.
7. Lembaga TII (Transparancy International Indonesia) yang karenanya
penulis mendapatkan beasiswa penelitian dan masukan berharga di
beberapa panel diskusi yang diadakan.
vii
8. Dan terakhir, rasa terima kasih ini khususnya penulis tujukan kepada
seluruh narasumber di Bangkalan. Yang demi keselamatan mereka
tidak bisa penulis sebutkan namanya dengan terang. Narasumber amat
terbuka memberikan informasinya atas data-data yang penulis perlukan
selama berlangsungnya wawancara. Seanjang menetap di Bangkalan,
banyak sekali pengalaman berharga yang penulis dapatkan.
Pengalaman itu kiranya akan selalu penulis ingat dan menjadi
pelajaran bagi perjuangan hidup ke depan. Semoga segala pengorbanan
demi mewujudkan Bangkalan menuju arah yang lebih baik tidak
berakhir sia-sia. Terima kasih untuk semuanya.
Depok, 26 Maret 2016
Ahmad Nurcholis
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar III.1 Peta Madura................................................................................ 58
Gambar III.2 Peta Bangkalan ........................................................................... 65
ix
DAFTAR BAGAN
Bagan IV.1 Bangunan Dinasti Politik Fuad Amin Periode 2003-2008 ......... 100
Bagan IV.2 Bangunan Dinasti Politik Fuad Amin Periode 2008-2013 ......... 101
Bagan IV.3 Garis Keturunan Syaikhona Kholil ............................................. 146
Bagan IV.4 Stratifikasi Sosial Kiai Di Bangkalan ......................................... 210
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ........................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... viii
DAFTAR BAGAN ................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian ..................................................................... 14
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 14
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 14
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 15
F. Metodelogi Penelitian ..................................................................... 22
G. Teknik Pengumpulan Data ............................................................. 23
H. Sistematika Penulisan ..................................................................... 23
BAB II KERANGKA TEORI
A. Teori Local Strongmen/Orang Kuat Lokal..................................... 25
B. Teori Local Boss/Bos Lokal ........................................................... 35
C. Teori Oligarki ................................................................................. 45
BAB III PROFIL BANGKALAN
A. Geografi dan Demografi Pulau Madura ......................................... 57
B. Tinjauan Singkat Kabupaten Bangkalan ........................................ 64
C. Islamisasi dan Simbol Kiai dalam Perspektif Masyarakat
Madura .......................................................................................... 67
D. Blater Sebagai Orang Kuat Lokal Madura ..................................... 80
BAB IV DINAMIKA KEKUASAAN POLITIK FUAD AMIN DI
BANGKALAN
A. Terbentuknya Kekuasaan Politik Fuad Amin................................. 89
B. Fuad Amin dan Lanskap Orang Kuat Lokal di Bangkalan .......... 107
C. Keterlibatan Fuad Amin dalam Politik Lokal Bangkalan ............ 129
xi
D. Friksi Bani Kholil ......................................................................... 143
E. Kondisi Civil Society Selama Kepemimpinan Fuad Amin .......... 148
F. Kemenangan Fuad Amin di Pilbup 2003 ..................................... 175
G. Kemenangan Fuad Amin di Pilbup 2008 ..................................... 190
H. Jaringan Kiai Fuad Amin.............................................................. 209
I. Pencalonan Putranya, Makmun Ibnu Fuad ................................... 218
J. Penjegalan Imam Bukhori Kholil ................................................. 223
K. Oligark Lokal................................................................................ 243
L. Stagnasi Demokratisasi Parpol di Bangkalan ............................... 248
M. Intimidasi dan Strategi Ketergantungan Kepala Desa .................. 259
N. Modus Korupsi Fuad Amin .......................................................... 270
O. Sumber Kekuasaan Fuad Amin .................................................... 277
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 283
B. Saran ............................................................................................. 288
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 290
LAMPIRAN ........................................................................................................ 297
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1998 merupakan tonggak awal proses perubahan sistem politik di Indonesia.
Jika di tahun sebelumnya Indonesia mengalami depolitisasi, maka di tahun
tersebut Indonesia mengalami masa transisi menuju reformasi. Reformasi, dalam
Kamus Merriam Webster didefinisikan sebagai “the act or process of
improving something or someone by removing or correcting faults,
problems, etc.” (Sebuah tindakan atau proses untuk meningkatkan
sesuatu/seseorang dengan menghapus atau memperbaiki kesalahan, masalah, dll).1
Secara kontekstual, perubahan dan perbaikan yang dituntutkan saat itu
adalah terkait dua isu penting, pertama menyangkut soal ekonomi, kedua
menyangkut soal politik. Dalam ekonomi, masyarakat mengharapkan adanya
perbaikan perekonomian; turunnya harga barang pokok, berkurangnya
pengangguran, dan adanya peningkatan kualitas standar hidup mereka. Sedangkan
dalam politik masyarakat mengharapkan Soeharto turun dari jabatannya sebagai
presiden.
Pada dasarnya, reformasi sedikitnya telah membawa angin segar bagi
kerangka kehidupan baru masyarakat dalam berbangsa dan bernegara. Harapan-
harapan akan adanya Indonesia yang lebih baik dan lebih terbuka serta anggapan
bahwa reformasi merupakan simbol era pencerahan, setidaknya telah memberikan
1 Merriam-Webster, “Simple Definition of Reformation,” artikel diakses pada tanggal 23
Februari 2016 dari http://www.merriam-webster.com/dictionary/reformation
2
sinyal optimisme dan dianggap akan mampu membawa banyak dampak
perubahan. Dua diantara beberapa perubahan yang paling fundamental dari
implikasi lahirnya reformasi ini adalah mulai terbukanya ruang ekspresi publik,
dan tuntutan daerah untuk andil bagian dalam pengelolaan wilayahnya sendiri.
Ikhwal terakhir ini, kita biasa menyebutnya dengan istilah desentralisasi, atau
pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah.
Desentralisasi, di era reformasi, tentu merupakan wacana dan terobosan
baru bagi sistem politik kita. Sekalipun undang-undang yang mengatur jalannya
pemerintahan daerah sebetulnya juga pernah mewarnai lanskap perjalanan sejarah
bangsa Indonesia sejak jaman penjajahan. Terhitung semenjak kolonialisme
sampai berakhirnya rezim orba, setidaknya ada 7 undang-undang yang mengatur
tentang pemerintahan daerah di dalamnya: Decentralisatiewet 1903, Wet op de
Bestuurshervorning (stb 1922/216), Osamuseirei No. 27 tahun 1942, UU No.
1/1945, UU No. 22/1948, UU No. 1/1957, UU No. 18/1965, UU No. 5/1974.2
Namun, undang-undang tentang pemerintahan daerah yang terbit pada era
reformasi, lewat implementasi desentralisasi dan otonomi daerah, memiliki esensi
yang berbeda dari era-era sebelumnya tersebut. Apalagi bila dibandingkan dengan
undang-undang pemerintah daerah pada era Orde Baru (1966-1998), yang
dicitrakan sebagai rezim diktatorial yang sentralistis yang keberadaannya justru
mengkooptasi ruang kebebasan bagi masyarakat untuk turut serta mengelola
negara.3
2 Wasisto Raharjo Jati, “Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah di Indonesia: Dilema
Sentralisasi atau Desentralisasi,” Jurnal Konstitusi, Volume 9 Nomor 4, (Desember 2012).
3 Tim Lipi, Membangun Format Baru Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2006), h. 5.
3
Kehadiran desentralisasi pasca meletusnya gelombang aksi dan demonstrasi,
merupakan fakta penting yang mesti tidak ditunda lagi saat itu. Setidaknya ia telah
menjadi salah satu kebutuhan mendesak yang amat urgen. Hal ini mengingat
banyaknya daerah yang mengancam untuk keluar dari barisan NKRI jika hak-hak
politiknya tidak terpenuhi. Sebab, selama berpuluh-puluh tahun, daerah
termarjinalkan. Mereka hanya menjadi penonton bagi kekayaannya sendiri yang
dirampas, dikeruk, dan dieksploitasi oleh pusat. Artinya, pola sentralistik adalah
paradigma satu-satunya yang membingkai hubungan pusat-daerah yang
diaplikasikan secara otoritatif oleh pemerintahan era Soeharto waktu itu.
Di tengah gejolak tuntutan itu, akhirnya UUD No. 22 tahun 1999 mengenai
pemerintahan daerah dirumuskan dan disetujui oleh eksekutif dan legislatif di
bawah kendali pemerintahan Habibie. Hal ini sedikitnya mampu meredam
instabilitas disintegrasi bangsa kala itu. Di antara beberapa daerah yang menuntut
memisahkan diri waktu itu antara lain: Aceh, Papua, Timor Timur dan Riau –
sekadar menyebutkan.4
Di samping melahirkan konsep desentralisasi – sebagai media antisipasi
gejolak yang terjadi di daerah, reformasi juga telah mencetuskan apa yang kita
kenal dengan kebijakan pemekaran daerah (redistricting)5 dan juga melahirkan
sistem turunannya berupa pilkada langsung. Sekalipun kemunculan sistem pilkada
langsung ini datang agak belakangan.
4 Ibid, h. 7.
5 Istilah redistricting digunakan oleh Leo Agustino untuk membedakan pemahaman terhadap
“pemekeran wilayah” dalam arti yang sebenarnya. Pemekaran wilayah secara denotasi adalah
bertambah luasnya suatu wilayah, tetapi maksud yang dituju bukanlah itu. Yang dimaksudkan
adalah bertambahnya jumlah wilayah baru. Maka untuk meminimalisir kerancuan tersebut, Leo
menggunakan istilah redistricting yang artinya pemekaran jabatan.
4
Menurut Leo Agustino, kebijakan redistricting merupakan sebuah upaya
dan usaha dari pemerintah untuk menciptakan tranformasi pelayanan publik yang
lebih komperehensif di masyarakat, agar keberadaan negara benar-benar dirasakan
dan sampai menyentuh masyarakat lapisan bawah – yakni sampai kepada
masyarakat di pelosok daerah terpencil sekalipun. Intinya adalah agar distribusi
kesejahteraan merata. Tidak hanya sebatas dirasakan oleh masyarakat kota.6
Sedangkan adanya mekanisme pilkada langsung merupakan sebuah manifestasi
yang menggambarkan terwujudnya masyarakat merdeka. Masyarakat yang bebas
menentukan siapa saja pemimpin yang pantas bagi mereka.7 Upaya ini dilakukan
dan ada sebagai wahana pengikutsertaan masyarakat dalam pengelolaan urusan-
urusan negara, pembalikan logika orde baru yang bertubi-tubi mengalienasi
masyarakat dari negara.
Secara diametral, tambah Leo, ada dua faktor; dampak positif dan negatif
yang saling berhadap-hadapan sewaktu munculnya konsep otonomi daerah
(desentraliasasi) di satu sisi dan redistricting (pemekaran jabatan ke daerah) di sisi
lain.8 Dan penulis yakin, bahwa konsep turunannya, seperti lahirnya pilkada
langsung - yang juga tidak disertai pendidikan politik yang memadai - juga
menambah daftar kompleksitas serta kesemrawutan di dalam kehidupan politik
kita era reformasi ini. Selain faktor positif yang telah disebutkan di awal tulisan,
seperti hadirnya kebebasan, keadilan yang merata, dan efisiensi pelayanan publik,
konsep sistem politik baru pasca reformasi seperti ini juga setidaknya menyimpan
6 Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia
Berbanding Era Sentralisasi (Widya Padjadjaran, 2011), h. 31.
7 Ibid, h. 31.
8 Ibid, h. 51.
5
banyak cacat, ambivalen secara bersamaan.9 Maraknya praktik KKN dan
tumbuhnya pemerintahan model dinasti merupakan contoh kecil dari berbagai
dampak negatif yang dihasilkan sistem desentralisasi. Ekses negatif yang paling
menonjol dari proses transisi ini adalah meruaknya praktek oligarki yang
menggurita ke tingkatan lokal. Reformasi nyatanya telah melahirkan “Soeharto”
baru dalam alam yang berbeda. Hal ini terlihat paradoks, karena di satu sisi
reformasi menumbuhkan harapan, tapi di sisi lain ternyata reformasi adalah
bagian penerusan warisan praktek oligarki yang tak kunjung selesai. Tetapi harus
digarisbawahi, bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, menurut
Syarif Hidayat, tidak melulu merupakan faktor utama maraknya penyelewengan
kekuasaan di tingkat lokal, perubahan paradigma relasi state-society di jaman orba
dan reformasi, juga turut berperan sebagai unsur penyumbang berkembangnya
kekuatan-kekuatan dominan yang menghambat laju perkembangan sosial,
ekonomi, politik, di masyarakat lokal.10
“...............bahwa secara substansial, tidak semua permasalahan sosial,
ekonomi, dan politik yang terjadi di daerah saat ini merupakan implikasi
langsung dari implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Tetapi lebih sebagai akibat dari adanya pergeseran pola interaksi antara state
dan society pada periode pemerintahan pasca Soeharto”11
Hal ini juga sepadan dengan komentar Rahadi T Wiratama dalam
catatannya selaku editor dalam buku Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan:
Ekonomi Politik Indonesia Pasca Soeharto, menurutnya, Vedi R Hadiz telah
berhasil memberikan gambaran umum bahwa demokrasi pasca Soeharto
9 Ibid, h. 51.
10
Syarif Hidayat, “Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten,” dalam Henk
Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed., Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia dan KITLV, 2014), h. 302.
11
Ibid, h. 302.
6
merupakan era di mana para oligark (kolega, kerabat pewaris orba) beradaptasi
dengan mekanisme prosedural formal baru – dengan memanfaatkan instrumen
politik yang tersedia, seperti partai politik, pemilu, parlemen, dan desentralisasi.12
Jadi, tumbangnya Soeharto bukan berarti menghilangkan tradisi oligarki yang
kadung mewabah di masa itu, melainkan meneruskan jenjang serta melahirkan
sistem oligarki dengan jenis yang baru.
Menggeliatnya sepak terjang para oligark yang bermain di wilayah lokal
pasca reformasi secara rasional memang terkesan wajar, karena hal itu menjadi
kesempatan langka bagi mereka (orang kuat lokal) untuk dapat menancapkan
cakarnya lebih dalam ke pusat arus kuasa lokal. Yang tidak mungkin mereka
lakukan saat Soeharto masih eksis berkuasa. Lantaran di zamannya, Soeharto
tidak memberikan celah sedikitpun bagi keberadaan para penentang dan
pesaingnya untuk berkembang. Di mana ia selalu berupaya mencengkeram
eksistensi mereka di berbagai sudut dimensi kehidupan ekonomi-politik. Maka tak
heran bila dalam hal ini Winters kemudian menyebut Soeharto sebagai oligarki
sultanistik.13
Kategoristik yang Winters sematkan kepada jenis kepemimpinan
Soeharto ini tidak terhindar dari eksistensi Soeharto yang menjadi satu-satunya
kekuatan tunggal dari pada oligark yang dominan.
12 Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES,
2005), h. xxii.
13
Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,” Majalah Prisma, Vol. 33
(2014): h. 15.
7
Dalam diskursus politik lokal, para oligark aras lokal ini sering diketemukan
dalam bentuknya sebagai “orang kuat lokal” (local strongmen)14
atau para “bos
lokal” (local bosses).15
Bertambah kuatnya eksistensi orang kuat lokal (local
strongmen, istilah Migdal) - karena pusat tak lagi mengontrol keberadaan mereka,
atau mengguritanya para bosisme (bossism, format baru local strongmen versi
Sidel) merupakan reduksi atas nilai-nilai demokrasi di sektor bawah tersebut. Dan
tak jarang, bahkan kebanyakan, antara “local strongmen, bangsawan, serta
birokrat/politisi lokal”16
pasca Soeharto, melakukan persekongkolan untuk
menghisap proyek-proyek negara yang dulu banyak dikerjakan oleh pusat.
Kendatipun untuk beberapa kasus, mereka pun acapkali terlibat sengit dalam
persaingan.17
Hanya saja, persaingan atau kerjasama yang mereka lakukan, tetap
dan tidak terlepas dari kepentingannya untuk mengumpulkan sebanyak-
banyaknya harta kekayaan bagi kemakmuran mereka sendiri, dari pada untuk
kepentingan rakyat.
Dengan bahasa yang lebih sederhana, desentralisasi, redistricting dan
pilkada langsung merupakan wahana peralihan paradigma dari stationary bandits
ke roving bandits.18
Penjelasan tentang stationary bandits dan roving bandits
14 Melvin Perjuangan Hutabarat. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era
Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi,” (Tesis S2
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 17.
15
Ibid, h. 20.
16
Klasifikasi kekuatan politik di tingkat lokal menurut Leo Agustino dibagi ke dalam tiga arus
utama: pertama adalah para birokrat yang berasal dari bangsawan, kedua birokrat yang berasal dari
masyarakat awam, ketiga adalah para orang kuat lokal (Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah,
2011, h. 64).
17
Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, h. 61-67.
18
Pembacaan penulis terhadap stationary bandits dan roving bandits merujuk pada bab yang
ditulis khusus oleh Leo soal Local Strongmen dan Roving Bandits. Stationary bandits merupakan
bandit kelas kakap yang memiliki bawahan orang-orang kuat lokal yang tersebar di seluruh
pelosok wilayah, dan mereka bertanggung jawab terhadapnya. Sedang roving bandits merupakan
8
seperti diungkapkan oleh McGuire dan Olson yang penulis kutip dari Leo
Agustino adalah sebagai berikut::
“Stationary Bandits are rulers without a long lasting base....., they also want
to maximize their own incomes. Sedangkan Roving Bandits are rulers
without a realm of their own who use their armies to maximize their own
incomes. In doing so, roving bandits are perpetually moving around, leaving
a place after is plundered. In this respect they are very similar to nomads.
The form of organization that result from this behavior is called anarchy
(McGuire & Olson 1996:63).”19
“Bandit Menetap adalah penguasa tanpa basis yang tahan lama ....., mereka
ingin memaksimalkan pendapatan mereka sendiri. Sedangkan Bandit
Pengembara adalah penguasa tanpa ranah yang menggunakan tentara untuk
memaksimalkan pendapatan mereka. Dalam praktiknya, Bandit
Pengembara- terus menerus bergerak, meninggalkan tempat setelah
menjarahnya. Dalam hal ini mereka sangat mirip dengan kaum nomaden.
Bentuk organisasi yang dihasilkan dari perilaku ini disebut anarki (McGuire
& Olson 1996:63).” (Terjemahan dari penulis)
Dari sudut pandang historis, keberadaan orang kuat lokal atau local strongmen 20
dan bosisme atau bossism21
di jaman orde baru dapat dikategorikan ke dalam dua
posisi yang berbeda. Jika bukan kepanjangan tangan orde baru, mereka adalah
kaum oposisi yang kontra terhadap orde baru. Selepas orba runtuh, dan reformasi
diaplikasikan dalam bentuk mekanisme otonomi daerah serta pilkada langsung,
kedua kelompok ini akhirnya berebut ambisi; saling berkompetisi untuk
bagaimana menguasai daerah yang tidak lagi dikontrol oleh pusat. Peralihan dari
sentralisme ke polisentrisme faktanya telah dijadikan ladang perebutan kekuasaan
oleh mereka. Kembalinya kaum oposisi yang selama zaman orba dibungkam dan
ditindas ke gelanggang politik lokal, memberikan dimensi ketegangan baru
orang kuat lokal, bawahan stionary bandits yang menancapkan pengaruhnya sebagai raja lokal
ketika stationary bandits runtuh (Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, 2011, h. 33).
19
Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, h. 33.
20
Melvin Perjuangan Hutabarat. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era
Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi,” (Tesis S2
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 17.
21
Ibid, h. 20.
9
dengan kelompok yang dulu menyokong orba di ranah politik lokal. Bahkan
kelompok-kelompok tersebut, baik yang pro maupun yang kontra terhadap orba,
menggunakan berbagai cara untuk menghantarkannya menjadi raja lokal
kedaerahan.22
Seluruh potensi sumber daya kekuasaan dipraktikkan, termasuk
suap dan kekerasan (koersif).
Fenomena bos ekonomi (bossism) dan orang kuat lokal (local strongmen)
dalam mobilitas sosial, ekonomi, dan politik di struktur lokal memberikan
sinyalemen kepada kita bahwa tidak selamanya reformasi selalu membawa
dampak yang baik. Bukti di lapangan menunjukan, tradisi orde baru yang sarat
dengan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) pun marak terjadi di daerah pasca
reformasi diimplementasikan. Para bosism dan local strongmen, pasca mereka
mencapai tampuk kekuasaan, dengan kewenangan yang mereka miliki, juga
melakukan hal yang serupa; represif, koruptif, kolutif, dan nepotistik. Sama seperti
yang dulu pernah dipraktikkan ketika Soeharto berkuasa. Adanya desentralisasi,
seolah-olah hanya mempolarisasikan praktek tersebut. Impaknya, kini KKN tidak
lagi terpusat, melainkan menyebar ke segala penjuru daerah. Bahkan mendagri di
kabinet Presiden SBY, Gamawan Fauji, mengatakan bahwa lebih 115 dari 524
kepala daerah menjalani proses hukum dan kebanyakan terjerat kasus korupsi.23
Kasus-kasus tersebut sampai sekarang masih banyak yang ditangani oleh KPK
dan selebihnya sudah mendekam dalam penjara.
22 Mohammad Agus Yusoff dan Leo Agustino, “Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi:
Politik Lokal di Indonesia Pasca Orde Baru,” Jebat: Malaysian Journal of History, Politics &
Strategic Studies, Vol. 39 (July 2012): h. 86.
23
Fitriyah, “Kekerasan, Korupsi dan Pemilukada,” artikel diakses pada tanggal 11 Maret 2015
dari http://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/3152/2829
10
Kinerja para kepala daerah, dalam pusara perubahan menjadi semacam
parasit di tengah asa yang baru pulih. Pengkorupsian aset dan sumber daya daerah
secara besar-besaran, jika bukan rampok, apalagi bahasa yang pantas untuk
mereka? Canggihnya, mereka melakukan berbagai penyimpangan itu melalui
mekanisme lain yang lebih ekslusif, yaitu melalui pembentukan sistem kerja
pemerintahan „dinasti politik‟, - sebuah konsep dan metode “KKN” yang
dilakukan secara sistemik dan tertutup. Lahirnya pemerintahan dinasti seperti itu
tidak terhindar dari kokohnya dominasi sang elit.
Larangan politik dinasti memang tidak tertuang dalam peraturan perundang-
undangan, sebab masing-masing warga negara memiliki hak yang setara dan
egaliter, untuk atau tidak berpolitik; untuk mencalonkan atau dicalonkan.
Kebebasan egaliter ini nyatanya telah dijamin dalam konstitusi kita. Di sinilah
dinasti politik menjadi semacam problem dilematis bangsa. Karena di satu sisi,
model pemerintahan dinasti lahir sebagai pengejewantahan hak politik bagi warga
negara. Tapi di sisi lain, model pemerintahan dinasti politik - dengan kewenangan
yang besar, dan dominasi yang tersebar - rentan menciptakan dan terjadinya
penyelewengan. Seperti apa yang diungkapkan oleh Lord Acton: “power tends to
corrupt and absolute power corrupts absolutelly.”24
Secara definitif, pengertian dinasti politik seperti yang penulis sadur dari
Leo Agustino adalah suatu “kerajaan politik di mana elit menempatkan
keluarganya, saudaranya, dan kerabatnya di beberapa pos penting pemerintahan
24 Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, h. 129.
11
baik lokal ataupun nasional.”25
Singkatnya, dengan dinasti politik, elit membentuk
strategi semacam jaringan kerajaan yang terstruktur dan sistematis, supaya
penyelewengan berbagai anggaran pemerintahan dapat diakal-akali secara efektif
dan terselubung. Pada prosesnya, dibutuhkan konsep matang untuk membangun
sebuah dinasti. Praktek kedinastian bukanlah usaha instan. Usaha ini memerlukan
strategi canggih dan konsep jitu. Penempatan satu persatu keluarga dan para
kerabat di berbagai pos jabatan penting bukanlah perkara mudah. Agar tidak
menuai protes dan kecaman, tak mungkin dilakukan tanpa melewati
penghegemonian dan dominasi di segala dimensi: baik sosial, ekonomi maupun
politik. Praksisnya, keterbentukannya dipersiapkan matang-matang agar permanen
dan kontinuistik.
Salah satu dinasti politik yang saat ini mendapatkan sorotan khusus di
antaranya adalah dinasti Fuad Amin di Bangkalan. Fuad adalah mantan Bupati
Bangkalan yang selama dua periode berturut-turut memenangkan kontestasi
pilkada. Setelah dua periode memimpin Bangkalan, di tahun berikutnya ia
mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, dan terpilih. Kemudian Fuad Amin
didaulat untuk menjadi ketua DPRD Bangkalan. Anaknya, di periode yang sama,
berhasil pula menjadi Bupati Bangkalan, meneruskan estafet kepemimpinannya.
Dalam satu periode tersebut, anak dan ayah sama-sama menguasai dua sektor
paling krusial, yakni eksekutif dan legislatif.
Bangkalan merupakan wilayah administratif (kabupaten) yang masuk ke
dalam bagian Provinsi Jawa Timur. Bangkalan bukanlah wilayah redistricting
25 Ibid, h. 130.
12
sebagaimana Banten dan beberapa daerah baru lainnya yang lahir pasca orde baru.
Dan sama halnya dengan beberapa daerah lainnya di Indonesia, sewaktu otonomi
daerah digulirkan, seluruh kekuatan sosial di Bangkalan berebut untuk saling adu
kuasa. Sejalan dengan apa yang Huntington katakan bahwa proses transisi yang
tanpa diikuti pranata politik yang mapan hanya akan menyebabkan perebutan
kekuasaan yang tidak sehat di antara kelompok-kelompok sosial masyarakat.26
Kondisi seperti ini lazim di negeri yang baru pertama mengalami demokratisasi,
sehingga mobilisasi lebih mungkin terjadi ketimbang partisipasi.
Asumsi awal terbentuknya dinasti politik di bawah kepemimpinan Fuad
Amin bisa dilihat dari beragam faktor, pertama dimungkinkan karena alam
reformasi tidak diimbangi oleh pranata hukum yang siap, baik dari segi yuridis
maupun manusianya. Artinya suprastruktur dan infrastruktur hukum belum teguh,
tegak, dan mapan. Kedua, civil society masih lemah, tidak terintegrasi dalam satu
kekuatan dominan. Ketiga, karena Fuad Amin merupakan salah satu cicit Kyai
Kholil Bangkalan yang merupakan ulama besar NU kharismatik yang banyak
dijadikan rujukan ilmu kegamaan. Di tengah masyarakat religius, penghormatan
khidmat kepada para kyai dan keturunannya merupakan sebuah tradisi lahiriah
yang wajib, ditambah, agama merupakan faktor pemersatu identitas masyarakat
Madura.27
Penghormatan masyarakat Bangkalan terhadap Fuad Amin salah
satunya bersumber dari faktor tersebut. Keempat, karena posisi Fuad sebagai
blater (baca: jawara), yang memudahkan dirinya menghegemoni kekuatan-
26 J.W. Schoorl, Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang
Berkembang (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), h. 186.
27
Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura,” dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto,
ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 216.
13
kekuatan sosial di Bangkalan. Menurut Abdur Rozaki, sebagaimana penulis kutip
langsung dari wawancaranya dengan majalah detik, ia mengatakan:
“Kelihaian bermain di dua basis masyarakat, blater dan pesantren, menurut
Abdur, melanggengkan kekuasaan Fuad. Mayoritas kepala desa (klebun) di
Bangkalan yang menjadi tangan kanan Fuad adalah blater itu. Supaya loyal,
para klebun itu disuruh membuat perusahaan lalu diberi proyek.”28
Bukti yang menggambarkan amat berpengaruhnya sepak terjang Fuad Amin di
Bangkalan adalah terlihat dalam sebuah pemberitaan yang dirilis oleh majalah
detik, bahwa menurut majalah tersebut, Fuad Amin digelari “Kanjeng atau Tuhan
Kedua” oleh sebagian masyarakatnya.29
Praktek kedinastian atau kekerabatan yang terjadi di Bangkalan, penulis rasa
sudah menembus batas etis dan moral. Dengan memanfaatkan wibawa dan nama
besar “Kyai Kholil Bangkalan” sebagai legitimasi atas kontrolnya pada
masyarakat, tentu ada sebuah pembodohan masif pada masyarakat yang mesti
segera dicerkaskan, agar masyarakat mulai rasional menanggapi dimensi
keagamaan dan politik praktis secara berbeda. Supaya eksistensi politik dinasti
bukan lagi dianggap sebagai hal mafhum dan wajar oleh sebagian masyarakat
awam, melainkan pengejewantahan oligarki baru era reformasi. Sebab itulah
dinasti politik di Bangkalan sebagai impak dari adanya dominasi yang kuat sangat
penting untuk diteliti, untuk melihat faktor-faktor penunjang keajegan dan
kekokohannya dalam masyarakat yang demokratis.
28 “Dinasti Tuhan Kedua di Bangkalan,” Majalah Detik, edisi 161 (29 Desember 2014 - 4
Januari 2015).
29
“Dinasti Tuhan Kedua di Bangkalan,” Majalah Detik, edisi 161 (29 Desember 2014 - 4
Januari 2015).
14
B. Pertanyaan Penelitian
Dalam merumuskan masalah pada penelitian ini, penulis mencoba
membatasinya dengan dua pertanyaan, yakni:
1. Bagaimana proses terbentuknya kekuasaan politik Fuad Amin di
Bangkalan?
2. Bagaimana dinamika kekuasaan politik Fuad Amin?
3. Bagaimana kondisi civil society selama kepemimpinan Fuad Amin?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok masalah tersebut diatas, penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui dan menganalisa pola terbentuknya kekuasaan politik
Fuad Amin di Bangkalan.
2. Untuk mengetahui dinamika politik Fuad Amin di Bangkalan.
3. Untuk mendalami kondisi civil society selama kepemimpinan Fuad Amin
di Bangkalan.
D. Manfaat Penelitian
Sebagai sebuah penelitian yang berorientasi atas asas manfaat, peneliti
membagi manfaat penelitian kedalam tiga aspek manfaat.
1. Manfaat Akademis
Secara akademis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai literatur tambahan,
referensi tambahan dan informasi bagi para peneliti yang tertarik pada isu-isu
politik lokal – sebagai bentuk ijtihad bagi kemajuan ilmu politik. Selain itu, hasil
penelitian pun dapat dijadikan bahan rekomendasi bagi masyarakat setempat
untuk membangun civil society yang kuat – yang sadar bahwa dominasi yang
15
berlebihan adalah buruk bagi masa depan demokrasi. Orientasi akademis lain dari
penelitian ini setidaknya memberikan gambaran bagaimana terciptanya Good
Governance di lingkungan pemerintahan lokal.
2. Manfaat Praktis
Hakikatnya, penelitian ini dilakukan atas dasar kegelisahan pribadi dalam
melihat fenomena mandegnya pembangunan di daerah-daerah yang memiliki pola
pemerintahan dominasi tunggal. Karena penulis sendiri merasakan betapa civil
society tidak berkembang sama sekali di daerah-daerah tersebut. Sekalipun ada itu
pun hanya suara-suara kecil saja. Karena kegelisahan tersebut akhirnya penulis
harapkan penelitian ini bukan hanya dijadikan sebagai hasil penelitian secara
tertulis, tetapi lebih dari itu dapat dijadikan solusi sekaligus aksiologi - mampu
diimplementasikan dalam kehidupan nyata.
E. Tinjauan Pustaka
Term dominasi dan munculnya dinasti politik di berbagai daerah pasca
reformasi khususnya, menjadi wacana serta diskursus menarik dalam kajian
politik kontemporer masa kini. Permasalahan utama kedinastian yang merebak
dan melanda beberapa segmentasi kehidupan politik di tanah air ditengarai telah
memunculkan rasa ketidakadilan dari segelintir elit yang turun temurun
mempertahankan status quo mereka. Apalagi kinerja elit yang duduk di jabatan
publik tidak mampu bekerja dengan maksimal, bahkan kinerja mereka terkesan
asal-asalan. Maindset yang tertanam dalam diri para birokrat kita bukan untuk
melayani, melainkan mencari keuntungan sebesar-besarnya dari posisi yang
mereka duduki. Mereka lebih mengedepankan ego sektoral ketimbang murni
16
mengurus rakyatnya sendiri. Tak ayal akhirnya rakyat kecewa dengan praktek
dominasi dan dinasti seperti ini.
Pemerintahan dengan model dinasti politik yang terjadi di alam demokrasi
memang tidak terlepas dan bersumber dari keterpilihan masing-masing individu
dalam setiap pemilihan, baik pileg, pilbup, pilgub, maupun pilpres. Pendeknya
dinasti politik adalah hak, dan demokrasi membuka ruang sebebas-bebasnya
kepada rakyat, kepada siapapun, untuk memilih atau tidak memilih, untuk
mencalonkan atau tidak mencalonkan, sesuai preferensi masing-masing. Hanya
saja, reformasi yang baru berlangsung, tidak secepat kilat memberikan pendidikan
politik kepada masyarakat, sehingga mobilisasi massa lebih menonjol ketimbang
partisipasi murni. Praktik patronase politik menjadi wacana substantif dalam
mobilisasi tersebut. Padahal syarat berkembangnya pembangunan politik
sebagaimana yang dikemukakan oleh Lucian Pye, bertalian erat dengan masalah
mobilisasi dan partisipasi seperti ini.30
Partisipasi bersumber dari kesadaran
masyarakat atas politik, sedangkan mobilisasi muncul lantaran masyarakat belum
mengerti arti penting politik dalam marwah kehidupan mereka sehari-hari.
Terbentuknya dinasti politik merupakan faktor dari latar belakang dan problem
seperti itu.
Karenanya, tema yang menyangkut dinasti politik banyak diminati. Di
antara mereka adalah Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusof (2012):
Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal Di Indonesia Pasca Orde
Baru. Di dalam artikel yang diterbitkan oleh Malaysian Journal of History,
30 Lucian Pye, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik (Jakarta: PT. Gramedia, 1985), h.
22.
17
Politics & Strategic Studies, Leo dan Yusof menitikberatkan penelitian mereka
pada politik lokal di Indonesia setelah 1998 dan sebelum tahun tersebut. Dari
penelitiannya didapatkan bahwa gelombang demokratisasi tidak selamanya
berakhir dengan hasil yang sempurna. Negara-negara seperti India, Brazil,
Filipina, Thailand, Nigeria dan Peru mengalami nasib yang kurang baik,
berkebalikan dari esensi demokrasi yang diharapkan pada umumnya. Fakta lain
pasca demokratisasi dikumandangkan malah memicu terbentuknya sistem
otokratik semi pada politik lokal di negara-negara tersebut. Kemunculan para
orang kuat lokal serta bos ekonomi di kancah politik lokal merupakan bukti
betapa demokratisasi pun nyatanya dapat lahir dengan wajah lain.31
Esensi demokratisasi sebenarnya adalah untuk membebaskan masyarakat
dari belenggu otoritarian, sebuah transformasi nilai dari masyarakat tertutup
kepada masyarakat yang lebih terbuka, sehingga masyarakat mendapatkan hak
politiknya secara proporsional, terbentuknya civil society yang mapan, dan adanya
check and balance yang konstruktif. Tapi di tengah proses pendemokratisasi-an
tersebut, nyatanya demokratisasi juga telah ditunggangi oleh para free rider yang
kurang lebih memanfaatkan momen untuk adu kuasa baru. Setelah bertahun-tahun
dibungkam hak politiknya oleh rezim otoriter, hasrat untuk menjadi raja kecil di
daerah mewabahi segenap elemen masyarakat di spektrum lokal. Begitupun
dengan demokratisasi di Indonesia, yang tak luput dari keberadaan para pembajak
demokrasi tersebut. Saat demokratisasi berlangsung, banyak di antara mereka,
khususnya para pemain politik lokal yang juga memanfaatkan momen reformasi
31 Mohammad Agus Yusoff dan Leo Agustino, “Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi:
Politik Lokal di Indonesia Pasca Orde Baru,” Jebat: Malaysian Journal of History, Politics &
Strategic Studies, Vol. 39 (July 2012): h. 78-82.
18
sebagai wadah arena persaingan untuk berkuasa. Mereka umumnya para elit lokal
yang dulu saat zaman orba adalah para penyokong, maupun kalangan yang
beroposisi terhadap Soeharto.
Padahal gambaran politik lokal sebelum orde reformasi lahir, berada dalam
posisi yang sangat monoton, sebab daerah tidak memiliki wewenang untuk
mengurus daerahnya secara mandiri. Daerah seolah-olah hanyalah wayang, dan
pusat adalah sebenar-benarnya dalang. Seluruh kebijakan serta wewenang daerah
dikendalikan oleh pusat sepenuhnya. Begitu kuatnya pusat, daerah seakan-akan
sekadar dijadikan sebagai lumbung kekayaan pusat semata; yang dikeruk
kekayaannya namun tidak diperhatikan keberadaannya.32
Tetapi setelah reformasi
1998 meletus, daerah seperti mendapatkan angin segar untuk bangkit. Hiruk pikuk
kehidupan politik yang pelik di masa orde baru seolah-olah sirna dengan
datangnya zaman reformasi. Harapan baru demi terwujudnya demokrasi yang
utuh-penuh, hinggap pada segenap masyarakat di daerah. Karena jika selama
masa orde baru mereka tidak bisa mendapatkan hak politiknya, maka di era
reformasi harapan akan mendapatkan hak politiknya datang kembali.
Tetapi, hasil penelitian Leo dan Yusof mendapatkan fakta lain. Politik lokal
mengalami “bulan madunya” (istilah Leo dan Yusof) sebagai daerah yang
didamba hanya beberapa tahun saja. Setelahnya, lanskap politik lokal di daerah
kembali ke wajah bopeng seperti zaman orba sedia kala. Kehidupan atau dinamika
politik yang berlangsung beberapa masa selanjutnya hampir serupa dengan zaman
32 Ibid, h. 82.
19
Soeharto.33
Tumpuan permasalahan dari ketidakberubahan politik lokal pasca
reformasi menurut mereka ada pada eksistensi “orang kuat lokal”. Orang kuat
lokal ini terbagi menjadi dua. Pertama adalah penyokong orba, dimana ketika
Soeharto masih berkuasa, Soeharto tempatkan orang-orangnya di daerah. Tugas
mereka di daerah adalah untuk menjaga stabilitas daerah dari berbagai macam
bentuk protes dan aksi. Orang-orang peliharaan ini merupakan orang kuat yang
disegani – jika bukan karena yang ditakuti. Dan yang kedua adalah orang-orang
yang kontra terhadap Soeharto. Dua kelompok inilah yang nantinya kebanyakan
saling berebut kuasa di arena politik lokal sewaktu pilkada langsung
diimplementasikan. Dan saat reformasi memberikan nuansa baru dengan harapan
adanya kemajuan daerah yang lebih konstruktif, lagi-lagi yang hadir malah
reduksi dari nilai tersebut. Daerah malah lahir dengan raja-raja kecil di dalamnya.
Mereka mulai membangun model dinasti politik yang hampir mirip dengan apa
yang telah dilakukan oleh Soeharto dulu. Transisi orba ke reformasi nyatanya
tidak serta merta membawa dampak perubahan ke daerah-daerah, malah zaman
reformasi seolah-olah merupakan pembabakan baru neo-Soehartois. Karena
sebagian penduduk masyarakat yang tergambarkan sebagai “orang kuat” di
kedaerahan masih banyak yang mengutamakan ego nepotistik dibandingkan
semangat kebersamaan untuk pembangunan.34
Selain tulisan Leo Agustino dan Mohammad Agus Yusof (2012) soal:
Daripada Orde Baru Ke Orde Reformasi: Politik Lokal Di Indonesia Pasca Orde
Baru. Ada juga hasil analisa Wasisto Raharjo Djati yang penulis jadikan rujukan
33 Ibid, h. 86.
34
Ibid, h. 90-91.
20
tinjauan pustaka. Tulisan tersebut diterbitkan oleh jurnal sosiologi masyarakat,
Pusat Kajian Sosiologi (Labsosio FISIP-UI), dengan judul Revivalisme Kekuatan
Familisme dalam Demokrasi: Dinasti Politik di Aras Lokal. Dalam tulisan
tersebut, Wasisto melihat pembentukan dinasti politik dari sudut pandang berbeda
pada umumnya. Jika kebanyakan ilmuwan melihat Dinasti Politik sebagai akibat
adanya campur tangan “elit yang membajak demokrasi,” Wasisto lebih
melihatnya dari proses internal familisme. Bahwa adanya elit kuat lokal hanyalah
merupakan bagian dari faktor eksternal pembentukan dinasti politik saja, tetapi di
sisi lain ada juga faktor internal yang melatarbelakanginya yakni bagaimana
keluarga saling memberikan pengaruh terhadap preferensi pembentukan “dinasti
politik”.
Dalam penelitiannya, disebutkan ada 3 unsur utama mengapa akhirnya
Dinasti Politik lahir. Pertama, karena kegagalan partai lokal melakukan
regenerasi politik. Kedua, biaya demokrasi partisipasi yang tinggi. Ketiga, adanya
kekuatan antar elit yang tidak seimbang.35
Dari ketiga unsur tersebut, Wasisto
melihat bahwa perumusan terbentuknya dinasti politik tidak hanya dapat
dilakukan melalui pendekatan Neopatrimornialisme sebagaimana Haris (2007)
dan Zuhro (2010), serta pendekatan Klan Politik sebagaimana Kreuzer (2005) dan
Cesar (2013), dan pendekatan Poltik Predator sebagaimana Asako (2010) dan Mc
Coy (1994) yang bertumpu pada tesis Migdal (1988) dan Sidel (2005), tetapi lebih
dari itu juga dapat dilihat dari perspektif familisme.36
35 Wasisto Raharjo Djati, “Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi: Dinasti
Politik di Aras Lokal,” Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol 18 No. 2 (Juli 2013: 203-231): h. 203.
36
Ibid, h. 204-206.
21
Perspektif familisme sebagaimana yang dikutip langsung dari penelitian
Wasisto memberikan gambaran semacam ini:
“Pertama, analisis dinasti politik tidak boleh terpaku pada hubungan
patronase keluarga secara umum, tetapi lebih terspesialisasikan menurut
preferensi politik keluarga yang terbagi dalam tiga hal, yakni familisme,
quasifamilisme, dan ego familisme. Kedua, pembentukan dinasti politik
dipahami dalam dua nalar besar yakni by design yang mengarah achieved
status atau by design yang mengarah pada by accident. Kedua nalar itu
penting untuk membantu kita agar tidak terjebak pada pemikiran elit. Ketiga,
sumber dinasti politik tidak hanya relasi keluarga intim atau demokrasi
pasutri yang selama ini selalu menjadi diskursus dominan, namun terdapat
empat aspek, seperti tribalisme, feodalisme, jaringan maupun populisme.”37
Dari pembacaan penulis terhadap analisis penelitian Wasisto, setidaknya dia
hendak mengemukakan bahwa pembentukan dinasti politik tidak hanya dapat
dilihat dari perspektif elit yang sudah menjadi semacam kaca mata umum bagi
para ilmuwan politik. Padahal melalui pendekatan familisme kita akan
mengetahui bagaimana proses pembentukan dinasti politik itu terjadi. Familisme
sendiri tidak terdeterminasi pada dorongan keluarga untuk membentuk atau tidak
membentuk kekuasaan secara dinasti, tetapi juga dilihatnya berdasarkan pada
dukungan dan dorongan dari masyarakat.38
Dengan penelitian yang sudah ada, seperti Leo Agustino dan Mohammad
Agus Yusof serta Wasisto Raharjo Djati, yang telah mengupas tuntas apa saja
faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya dinasti politik serta karakteristik
lingkungan sosio politiknya. Sekalipun penelitian di atas tidak terkait dengan tema
besar dominasi dan dinasti politik di Bangkalan, setidaknya penulis sudah
mendapatkan gambaran umum tentang bagaimana perkembangan dinamika
dinasti politik dari tahun ke tahun, baik itu sebelum era reformasi maupun
37 Ibid, h. 228-229.
38
Ibid, h. 229.
22
setelahnya. Ditambah referensi dari kedua tulisan tersebut setidaknya telah
memberikan masukan berarti bagi penggunaan teori serta pendekatan metodologi
sebagai “pisau analisis” pada tema yang akan penulis angkat. Karena penulis
sendiri sadari, bahwa topik dinasti politik di Bangkalan masih baru, sehingga
memerlukan literatur pendukung dari penelitian sejenis.
F. Metodelogi Penelitian
Metode yang akan digunakan pada penelitian ini adalah jenis penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif sendiri merupakan sebuah metodelogi penelitian
dengan ketajaman dan kedalaman peneliti atas konteks dan fenomena objek
penelitian. Bahwa objek penelitian memiliki makna yang mesti dipahami secara
mendalam, karena sifatnya interpretatif, maka peneliti mesti memahami dan
mendalami makna dari beragam pemahaman yang berbeda-beda tersebut.39
Penelitian yang akan dilakukan merupakan kajian secara mendalam mengenai
impak lahirnya dominasi Fuad Amin pada pembentukan dinasti politik. Mengapa
dinasti politik muncul, dan bagaimana ia muncul, merupakan dua pertanyaan
utama yang harus peneliti jawab. Selain itu, peneliti pun hendak mengkaji ulang
apakah betul bahwa praktek intimidatif di lingkungan pemerintahan lokal masih
berlangsung sehingga mobilisasi massa sangat mungkin dilakukan. Atau apakah
legitimasi masyarakat pada pemerintahan dinasti bukan bersumber dari praktik
intimidatif yang sebetulnya sudah terlalu kuno dipraktikkan, melainkan berasal
dari budaya irasionalitas yang masih mengungkungi kesadaran masyarakat. Untuk
itu, peneliti mesti menganalisa pola struktural masyarakat, baik itu dari
39 Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar, (Jakarta: PT. Indeks, 2012), h. 7-10.
23
peninggalan-peninggalan sejarah berupa karya tekstual, dokumen resmi, maupun
interaksi langsung dengan para ahli sejarah dan masyarakat Bangkalan.
G. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara
Wawancara dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai
prosesi tanya jawab dengan seseorang yang diperlukan untuk dimintai keterangan
atau pendapatnya mengenai suatu hal.40
Karenanya, tekhnik wawancara ini sangat
berguna untuk megelaborasi data serta pemantapan konteks mengenai wacana
yang akan didiskusikan. Oleh karenanya, proses wawancara atas kasus yang
hendak digarap akan dipusatkan terhadap beberapa nara sumber yang diantaranya
adalah para keluarga Bani Kholil, Madura Corruption Watch (MCW), masyarakat
dan pihak-pihak terkait.
2. Studi/Telaah Dokumentasi
Yang peneliti maksud dengan studi/telaah dokumentasi adalah pencarian
literatur yang berkaitan erat dengan topik penelitian. Studi/telaah dokumentasi
tersebut dapat berupa: artikel, jurnal, buku, catatan sejarah, koran, majalah, blog,
dll.41
H. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang komperehensif dan saling
berkorelasi antara bab yang satu dengan bab lainnya, maka penulis merunut topik
penelitian masing-masing ke dalam 5 bab. Bab pertama menerangkan latar
belakang penelitian, mengapa topik dominasi dan dinasti politik pada ranah
40 Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1127.
41
Samiaji, Penelitian Kualitatif, h. 61.
24
politik lokal dianggap muhim sehingga dipilih menjadi tema yang akan diteliti.
Bab kedua menjelaskan teori yang secara khusus digunakan sebagai pisau analisis
membedah tema yang diteliti, yang dalam hal ini penulis akan memaparkan apa
itu local strongmen dan apa itu bosisme dan apa itu oligarki, dan bagaimana
ketiga teori ini kompatibel untuk menerangkan munculnya dominasi dan dinasti
politik. Bab ketiga merupakan deskripsi wilayah yang hendak diteliti. Dalam bab
ini penulis menggambarkan bagaimana Bangkalan secara kultural, politik,
ekonomi dan agama. Selanjutnya adalah bab keempat, pada bagian ini penulis
menganalisa fenomena munculnya dominasi dan dinasti politik Fuad Amin di
Bangkalan melalui kaca mata teori yang sudah disediakan tadi. Apakah teori-teori
tersebut masih relevan untuk menjelaskan kedua fenomena itu atau tidak. Dan
kelima adalah penarikan kesimpulan dari hasil penelitian. Kesimpulan ini
membicarakan uraian singkat dari penyebab munculnya dominasi dan dinasti di
Bangkalan.
25
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Teori Local Strongmen/Orang Kuat Lokal
Perubahan sosial politik yang terjadi dan merubah warna masyarakat dunia
pada saat ini, dinilai sebagai dampak pergerakan negara-negara di dunia dan
masyarakat di masa lalu. Atau dalam terminologi Marx, dikenal dengan diskursus
materialisme histroris1. Di mana globalisasi, kolonialisasi, dan industrialisasi
melahirkan pengaruhnya yang begitu primer. Huntington menjelaskan, bahwa
perubahan yang terjadi atas negara dan masyarakat di dunia hingga memunculkan
dualisme potret antara negara kuat dan negara lemah bukanlah disebabkan karena
macam-macam jenis pemerintahan yang dianut, tetapi lebih pada efektifitas
kinerja sebuah pemerintahan itu berjalan.2
Negara, dalam masa tertentu, pernah menjadi simbol tunggal dalam
dinamika kehidupan masyarakat karena kapabilitas dan koersinya yang begitu
besar. Segala garis kebijakan tersentralisasi pada wujud negara sebagai satu-
satunya pemilik kekuatan otonom. Negara menjadi pusat kuasa yang tak
terbendung. Pengalaman ini dapat kita lihat semasa perang dunia I, II, perang
dingin, di masa kolonialisme global, dan sewaktu gelombang industrialisasi
mendera dunia modern. Sedangkan pasca itu, semua kritik, peran sentral dan
1 Materialisme Historis merupakan sebuah konsep dari filsafat Karl Marx yang berarti seluruh
peradaban manusia berasal dari kontinuum sejarah yang tak putus-putus. Pip Jone, Pengantar
Teori-Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 78.
2 Joel S. Migdal, State in Society: Studying How States And Societies Transform And
Constitute One Another (Cambridge, UK: The Press Syndicate of The University of Cambridge),
h. 59.
26
pengaruh negara lamat-lamat ditinggalkan oleh para pengkaji/ilmuwan sosial-
politik.3
Pasca kolonialisasi berakhir, kita pun disuguhkan dengan fenomena-
fenomena baru daripada dasawarsa sebelumnya, yakni munculnya beberapa
negara lemah, yang gagal menancapkan pengaruhnya di masyarakat, kesulitan
melakukan kontrol terhadap warganya, dan bersusah payah memaksakan aturan
konstitusi di wilayah teritorial mereka. Negara tidak dapat melakukan berbagai
inisiasi kebijakan di dalam perkembangan kehidupan sosial masyarakat
sebagaimana umumnya. Pada kasus ini, Joel S. Migdal mencoba menjelaskannya
dengan membawa kita pada pemahaman bahwa negara adalah bagian yang
terintegrasi dengan masyarakat. Sifat yang dimiliki negara tidak terlepas dari basis
sifat masyarakat di dalamnya.4 Migdal mendefinisikan negara sebagai organisasi
besar yang hidup berdampingan dengan organisasi-organisasi lainnya di luar
dirinya.5 Secara lengkapnya Joel S. Migdal mengatakan:
“The state is a sprawling organization within society that coexists with many
other formal and informal social organizations, from families to tribes to
large industrial enterprises. What distinguishes the state, at least in the
modern era, is that state officials seek predominance over those myriad
other organizations. That is, they aim for the state to make the binding rules
guiding people‟s behavior or, at the very least, to authorize particular other
organizations to make those rules in certain realms. By “rules” I mean the
laws, regulations, decrees, and the like that state officials indicate they are
willing to enforce through the coercive means at their disposal. Rules
include everything from living up to contractual commitments to driving on
the right side of the road to paying alimony on time. They involve the entire
3 Ibid, h. 58.
4 GSDRC (Governance and Social Development Resource Center) , “Document
Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State
Capabilities in the Third World – Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari
http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554
5 Joel S. Migdal, State in Society, h. 63.
27
array of property rights and any of the other countless definitions of the
boundaries delineating acceptable behavior for people.”6
“Negara adalah organisasi yang luas di dalam masyarakat yang
berdampingan dengan banyak organisasi sosial formal dan informal lainnya,
dari keluarga, suku, perusahaan industri besar. Yang membedakan negara, di
era modern setidaknya, adalah bahwa pejabat negara mencari dominasi atas
segudang organisasi lainnya. Artinya, tujuan mereka untuk negara adalah
untuk membuat aturan yang mengikat yang membimbing perilaku
masyarakat atau, setidaknya, untuk mengotorisasi/menguasai organisasi lain
khususnya untuk membuat aturan-aturan pada aspek tertentu. Dengan
"aturan" saya mengartikannya hukum, peraturan, keputusan, dan seperti
pejabat negara yang menunjukan kesediaan mereka untuk menegakkan
melalui pemaksaan yang mereka tetapkan. Aturan mencakup segala sesuatu
dari hidup, komitmen kontrak, mengemudi di sisi kanan jalan, membayar
tunjangan tepat waktu. Mereka melibatkan seluruh peranti hak milik dan
salah satu definisi yang tak terhitung lainnya dari batas-batas yang
menggambarkan perilaku yang dapat diterima oleh orang-orang.”
(Terjemahan dari penulis)
Eksistensi organisasi-organisasi di luar negara pada akhirnya menimbulkan
berbagai persoalan yang dapat mengurangi kapabilitas negara sebagai satu-
satunya alat pengontrol yang sah. Etnisitas, klan, bahkan kelompok-kelompok
macam sekte agama adalah macam-macam kekuatan yang bisa saja mengganggu
bahkan menghalang-halangi jalannya berbagai aturan serta rambu-rambu
pembangunan yang telah ditetapkan oleh negara. Hal seperti ini banyak kita
temukan pada kasus dan pengalaman negara-negara di dunia ketiga.
Di negara-negara yang baru merdeka, modernisasi aturan hukum bisa jadi
masih sering bertolak belakang dengan aturan-aturan tradisional yang secara
kultur masih kuat tertanam dalam kehidupan masyarakat. Hal ini diperparah lagi
dengan kompetisi antar kelompok kepentingan di antara mereka – untuk
mengambil alih kekuasaan yang diwariskan pasca bangsa penjajah hengkang.7
Maka akan terlihat maklum bila kondisi negara di dunia ketiga terbilang lemah.
6 Ibid, h. 63.
7 Ibid, h. 64.
28
Sebab infrastruktur negara, baik yang berupa sumber daya manusia maupun
fundamentalisme hukum, masih berada dalam tahap perkembangan. Sehingga
kontrol sosial sangat sulit diimplementasikan. Beda halnya pada kasus negara-
negara di eropa misalnya, di mana tentara, sistem peradilan hukum, dan
mekanisme penarikan pajak terorganisir secara baik, dan telah menjadi instrumen
pokok dalam wacana strategi dominasi kontrol negara terhadap masyarakat.8
Sedang pada kasus negara-negara baru di dunia ketiga, ikhwal itu belum tercipta
secara sempurna.
Beragam teori yang ada, seperti teori modernisasi, teori marxis, dan teori
ketergantungan, menurut Migdal, tidak mampu menjelaskan apa-apa terhadap
ketidakmampuan negara itu dalam mencapai legitimasi kontrol sosial mereka di
masyarakat. Teori modernisasi terlalu mengenyampingkan konflik yang lahir
dalam tubuh negara, teori marxis seringkali menjurus dan terlalu fokus pada
konflik antar kelas, dan teori ketergantungan, banyak mengabaikan peran
masyarakat. Ketiganya memiliki kelemahan saat dihadapkan pada pertanyaan:
mengapa negara A kuat sedang negara B lemah.9
Untuk itu, Migdal menyodorkan apa yang ia namakan dengan pendekatan
state in society, “yang menggambarkan masyarakat sebagai arena jejaring
organisasi-organisasi sosial daripada sebagai pendikotomian struktur.”10
“The model I am suggesting, what I call state-in-society, depicts society as a
mélange of social organizations rather than a dichotomous structure.
8 GSDRC (Governance and Social Development Resource Center) , “Document
Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State
Capabilities in the Third World – Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari
http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554
9 Joel S. Migdal, State in Society, h. 65.
10
Ibid, h. 49.
29
Various formations, including the idea of the state as well as many others
(which may or may not include parts of the state) singly or in tandem offer
individuals strategies of personal survival and, for some, strategies of
upward mobility. Individual choice among strategies is based on the
material incentives and coercion organizations can bring to bear and on the
organizations‟ use of symbols and values concerning how social life should
be ordered. These symbols and values either reinforce the forms of social
control in the society or propose new forms of social life. Indeed, this
struggle is ongoing in every society. Societies are not static formations but
are constantly becoming as a result of these struggles over social control.”11
“Model yang saya sarankan, apa yang saya sebut state-in-society, yang
menggambarkan masyarakat sebagai campuran berbagai macam organisasi
sosial daripada sekedar struktur dikotomis. Berbagai formasi, termasuk
gagasan negara serta banyak lagi yang lainnya (yang mungkin atau yang
tidak mungkin termasuk bagian dari negara) secara tunggal atau tandem
menawarkan individu-individu strategi bertahan hidup bagi pribadi dan,
untuk beberapa, strategi mobilitas ke atas. Pilihan individu di antara
beberapa strategi didasarkan pada insentif material dan lembaga paksaan
yang dapat membawa, menanggung dan atas penggunaan simbol dan nilai
organisasi tentang bagaimana kehidupan sosial harus diwujudkan. Simbol
dan nilai-nilai ini baik yang memperkuat bentuk kontrol sosial dalam
masyarakat atau yang mengusulkan bentuk-bentuk baru dari kehidupan
sosial. Memang, perjuangan ini sedang berlangsung di setiap masyarakat.
Masyarakat bukan merupakan bentuk statis tetapi terus menerus mecari
bentuk dari hasil lewat perjuangan kontrol sosial ini.” (Terjemahan dari
penulis)
“To be sure, in some instances, the idea-state may make and enforce many
rules in the society or may choose to delegate some of that authority to other
mechanisms, such as the church or market. There are other societies,
however, where social organizations actively vie with one another in
offering strategies and in proposing different rules of the game. Here, the
mélange of social organizations is marked by an environment of conflict, an
active struggle for social control of the population. The state is part of the
environment of conflict in which its own parts struggle with one another. The
battles may be with families over the rules of education and socialization;
they may be with ethnic groups over territoriality; they may be with religious
organizations over daily habits.”12
“Yang pasti, dalam beberapa kasus, gagasan-negara dapat membuat dan
menegakkan banyak aturan dalam masyarakat atau mungkin memilih
mendelegasikan beberapa kewenangan ke mekanisme yang lain, seperti
gereja atau pasar. Masih ada masyarakat lainnya, yang bagaimanapun, di
mana organisasi-organisasi sosial secara aktif bersaing satu sama lain dalam
menawarkan strategi dan mengusulkan aturan main yang berbeda. Di sini,
campuran dari berbagai macam organisasi sosial ditandai oleh lingkungan
11 Ibid, h. 49-50.
12
Ibid, h. 50.
30
konflik, perjuangan aktif bagi kontrol sosial penduduk. Negara adalah bagian
dari lingkungan konflik di mana negara merupakan bagian tersendiri yang
juga berjuang dengan yang lainnya. Pertempuran mungkin saja terjadi
dengan keluarga mengenai aturan pendidikan dan sosialisasi; mungkin
dengan kelompok etnis mengenai kewilayahan; mungkin dengan organisasi
keagamaan mengenai kebiasaan sehari-hari.” (Terjemahan dari penulis)
Dari paparan Migdal itu, kita dapat mengambil sebuah kesimpulan penting, selain
gambaran soal negara sebagai wahana konflik berbagai kepentingan organisasi
sosial yang saling berebut mendapatkan pencapaian mereka terhadap kontrol sosial
di masyarakat, namun juga soal kemunculan negara lemah (weak state) sebagai
impak kekalahan negara oleh kekuatan-kekuatan informal di luar institusi resmi.
Setidaknya, konsep Migdal mengenai negara lemah telah merejuvinasi kembali
asumsi-asumsi Weber yang terlalu idealistik dalam mendefinisikan negara sebagai
satu-satunya asosiasi politik dengan berbagai kekayaan haknya untuk memonopoli
kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat.13
“Migdal percaya bahwa negara bukanlah satu-satunya organisasi yang hidup
berdampingan dengan masyarakat. Di luar negara, bahkan lebih banyak lagi
dari macam-macam organisasi yang ada, yang juga mencoba untuk
memberikan dan menanamkan dominasi serta pengaruhnya seperti yang
dilakukan oleh negara. Cara mereka melakukan itu semua, selain dengan
memberikan insentif berupa bantuan dan keamanan, juga dengan
memberikan sanksi sosial kepada siapa saja yang tidak mematuhinya.
Sanksi sosial ini dapat berupa adanya tindakan kekerasan dan pengucilan.
Dengan banyaknya organisasi yang menjamur di luar negara, maka
masyarakat dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit untuk memilih satu di
antara mereka, mana saja yang benar-benar memanifestasikan diri sebagai
kelompok yang mampu menstimulus konstruksi „strategi bertahan hidup‟
bagi mereka. Masyarakat, dalam hal ini, bukan berarti hidup dalam
kebebasan tanpa adanya aturan yang mengikat dan mengatur mereka, tapi
faktanya mereka tetap hidup dalam aturan aturan, tetapi dalam alokasi yang
tidak terpusat. Karena berbagai sistem aturan dan peradilan mengatur
mereka dalam waktu dan secara bersamaan. Berhasil tidaknya sebuah
organisasi untuk melakukan kontrol sosial terhadap anggotanya tidak saja
13 Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for
presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism,
territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of
Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.
31
terlihat saat mereka mematuhi segala aspek dan aturan yang berlaku di
dalam organisasi tersebut, tetapi saat mereka juga meyakini dan sadar bahwa
nilai legitimasi yang mereka berikan adalah baik dan benar.”14
Harus digarisbawahi, bahwa kontrol sosial, dominasi, dan hegemoni merupakan
alat politik paling ampuh yang mesti dimiliki negara dalam rangka mengatur,
mengarahkan, memaksakan dan membatasi segala tindakan yang dilakukan oleh
masyarakat. Tanpa memegang kendali dominasi dan kontrol atas masyarakat,
negara akan menjadi lemah, dan masyarakat akan berpaling untuk mengikuti
aturan dan arahan yang berasal dari organisasi informal di luar negara. Sehingga
perebutan kontrol sosial di masyarakat mutlak menjadi penting sebab upaya
mobilisasi masyarakat hanya akan terjadi apabila tiga komponen ini terpenuhi:
partisipasi, kepatuhan, dan legitimasi.15
Kontrol sosial sendiri singkatnya diartikan
sebagai:
“The state‟s capacity to mobilise society rests on social control, defined as
the ability to make the operative rules of the game for people in society. The
major struggles in many societies are over who has the right and ability to
make the rules that guide people‟s social behaviour (the state or other
organisations).”16
“Kapasitas negara untuk memobilisasi masyarakat bertumpu pada kontrol
sosial, yang didefinisikan sebagai kemampuan untuk membuat aturan
operasi dari aturan main untuk orang-orang dalam masyarakat. Perjuangan
utama di banyak masyarakat adalah lebih kepada siapa yang benar dan
mampu membuat aturan yang membimbing perilaku masyarakat sosial
(negara atau organisasi lain).” (Terjemahan dari penulis)
14 Hasil terjemahan penulis dalam bagian tertentu pada artikel yang ditulis oleh Daniel
Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for presentation at
the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality,
democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen,
Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.
15
GSDRC (Governance and Social Development Resource Center) , “Document
Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State
Capabilities in the Third World – Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari
http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554
16
GSDRC (Governance and Social Development Resource Center) , “Document
Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State
Capabilities in the Third World – Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari
http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554
32
Ada banyak usaha yang dilakukan oleh negara maupun organisasi informal dalam
memaksakan aturan dan kehendak mereka. Ikhwal paling penting adalah dengan
adanya “proses pemberian sanksi dan hadiah lewat beragam bentuk: insentif
material, paksaan, dan manipulasi simbolik kehidupan sosial.”17
Adanya kelompok ataupun institusi informal di luar negara yang mengurangi
efektifitas dan kapabilitas negara, oleh Migdal ditengarai disebabkan oleh
kehadiran local strongmen (orang kuat lokal). Orang kuat lokal, secara konsep,
jelasnya didefinisikan sebagai kekuatan informal, baik yang berupa “tuan tanah,
tengkulak, pengusaha, kepala suku, panglima perang, bos, petani kaya, pemimpin
klan, .....dan sebagainya, yang berusaha memonopoli kontrol atas masyarakat
dalam cakupan wilayah tertentu lewat kerjasama jejaring yang mereka bangun.”18
Di banyak kasus, orang kuat lokal sering ditemukan di negara-negara Asia-Afrika.
Mereka umumnya adalah negara-negara yang baru merdeka dengan modal
infrastruktur hukum dan keinstitusian yang masih sedikit pengalaman. Infiltrasi
yang dilakukan oleh para orang kuat lokal di dalam negara, setidaknya
menghasilkan instabilitas politik yang mau tidak mau telah meningkatkan
eksistensi mereka di mata para politisi maupun implementors (sebutan Migdal
untuk para pelaksana tugas pemerintah pusat di daerah)19
untuk dijadikan partner
17 GSDRC (Governance and Social Development Resource Center) , “Document
Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State
Capabilities in the Third World – Summary,” artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari
http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554
18
Melvin Perjuangan Hutabarat. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era
Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi,” (Tesis S2
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 17.
19
Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for
presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism,
33
maupun jaringan patronase – atau agen kepentingan mereka dalam momen-momen
pemilu. Imbalnya, para orang kuat ini mendapatkan akses langsung pada
perolehan sumber daya ekonomi yang diberikan politisi atau para implementors
kepada mereka. Bahkan tak jarang, orang kuat ini berhasil melakukan lobi untuk
menaruh beberapa keluarganya di pos-pos pemerintahan supaya dapat memastikan
bahwa sumber proyek ekonomi yang diberikan tidak jatuh ke tangan pihak lain.
Persekongkolan antara pihak birokrat, politisi, dan orang kuat lokal ini biasa
disebut dengan istilah segitiga akomodasi.20
Kontan dengan adanya
persekongkolan antara para implementors dengan orang kuat lokal ini telah
menjadikan alokasi kepentingan pusat yang terangkum dalam segala kebijakan di
berbagai aspek yang sejatinya akan diterapkan untuk daerah menjadi terganggu.21
“Mereka berhasil menempatkan diri atau menaruh anggota keluarga mereka
pada sejumlah jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber daya
berjalan sesuai dengan aturan mereka sendiri ketimbang menurut aturan-
aturan yang dilontarkan dalam retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan
peraturan perundang-undangan yang dibuat di ibukota atau dikeluarkan oleh
pelaksana peraturan yang kuat (Migdal 1988:256).”22
Dalam dinamika politik lokal di Indonesia, eksistensi orang kuat lokal bisa
ditelusuri lewat beragam kultur dan budaya setempat. Penisbatan orang kuat lokal
di masing-masing wilayah mempunyai istilah yang beragam. Di Banten misalnya,
manifestasi orang kuat lokal digambarkan melalui julukan Jawara. Sedang istilah
territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of
Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.
20
Melvin. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia.” Ibid, h. 17-18.
21
Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for
presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism,
territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of
Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.
22
Menurut Migdal seperti dikutip John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina,
Thailand, dan Indonesia,” dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi
Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta: Demos, 2005), h. 73.
34
orang kuat lokal di Madura dikenal dengan sebutan Blater. Keberadaan dan posisi
mereka, bila dilihat dari aspek sejarah, merupakan aktor yang tumbuh dan
berkembang di dalam adat dan budaya masyarakat sejak era pra kolonial dan masa
kolonial. Mereka lahir dengan berbagai pengalaman kekerasan di sekeliling
mereka. Sikap, tindakan, serta cara pandang yang berlaku di masyarakat
merupakan benih internalisasi budaya kekerasan yang melekat dalam diri orang
kuat lokal. Bahkan rupa mereka di masa lalu tak jarang adalah para pemberontak,
pembela rakyat, penolong kaum papa – yang dengan kekuatan serta keberanian
yang dimiliki, bersama-sama melakukan perlawanan terhadap kesemena-menaan
para elit, baik elit penjajah maupun elit feodal lokal. Cerita rakyat ini turun
temurun diwariskan dalam beberapa kisah heroik semisal Ken Arok, Samin, dan
Pitung.23
Eksistensi mereka bila merunut pada kesimpulan Migdal, adalah imbas dari
pola adat yang sudah mengakar dalam kultur di masyarakat. Dan yang tak kalah
penting, keberadaan orang kuat lokal merupakan kiamat bagi jalannya efektifitas
dan dominasi negara atas masyarakat – sebab negara otomatis menjadi lemah dan
gagal untuk melakukan kontrol. Atau dengan bahasa yang lebih halus, akan sulit
untuk melakukan berbagai perubahan melalui program serta kebijakan yang
tengah dicanangkan.24
Faktor munculnya orang kuat lokal dan sepak terjang
mereka oleh migdal dijelaskan sebagai berikut.
“Pertama, local strongmen tumbuh subur dalam masyarakat yang mirip
dengan jejaringan. Berkat struktur yang mirip jejaringan inilah, para orang
kual lokal memperoleh pengaruh signifikan yang jauh melampaui pengaruh
23 Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di Indonesia
Berbanding Era Sentralisasi (Widya Padjadjaran, 2011), h. 57.
24
John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi,” h. 73-74.
35
para pemimpin dan para birokrat lokal formal. Kedua, orang kuat lokal
melakukan kontrol sosial dengan memanfaatkan komponen penting yang
diyakini masyarakat sebagai „strategi bertahan hidup‟. Logika bertahan
hidup, memberikan kesempatan bagi local strongmen bukan saja bagi
membangun legitimasinya di mata rakyat yang mengharapkan ibanya untuk
memenuhi kebutuhan pokok mereka, tetapi juga memperluas kekuasaannya.
Personalisme orang kuat lokal menempatkan mereka sebagai patron yang
memberi kebaikan personal bagi kliennya (baca:pengikutnya) yang (serba)
kekurangan – di daerah kekuasaan mereka. Ketiga, local strongmen secara
langsung ataupun tidak telah berhasil membatasi kapasitas lembaga dan
aparatur negara sehingga menyebabkan pemerintah lemah.”25
Merujuk pada kesimpulan akhir bahwa orang kuat lokal merupakan penghambat
laju pembangunan di negara dunia ketiga sebab keberadaannya telah membatasi
kapasitas negara, begitu menarik bila dianalisis ulang. Benarkah eksistensi mereka
adalah parasit yang selamanya mengganggu proyek pembangunan? Apakah orang
kuat lokal tidak dapat tumbuh di negara yang kuat? Pertanyaan-pertanyaan seperti
ini akan dibahas di kerangka teori lainnya oleh John T. Sidel. Dia menawarkan
kerangka teori alternatif bagi frame analisis orang kuat lokal yang
bertolakbelakang dengan tesis Migdal. Teorinya dikenal dengan istilah local
boss/bos lokal.
B. Teori Bos Lokal/Local Boss
Bagi siapapun yang memiliki minat pada pembahasan dinamika politik lokal
di dunia ketiga, tentu sulit untuk melepaskan diri dari konsep local strongmen
yang diilhami dari beberapa temuan Joel S. Migdal soal kapabilitas negara-negara
dunia ketiga dalam rangka mengontrol dan mengatur jalannya biro pemerintahan
di masyarakat. Dalam temuannya, Migdal membuat hipotesa penyelidikan pada
unsur-unsur penopang mengapa negara-negara di dunia ketiga praksis cenderung
25 Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah, h. 56-57.
36
menjadi negara yang lemah.26
Negara lemah adalah negara yang tidak mampu
menguasai dominasi dan kontrol atas masyarakatnya, sebab hal ini disebabkan
adanya tarikan kekuatan di luar negara yang lebih besar.
Pokok inti dari risetnya adalah bahwa negara bukanlah satu-satunya
organisasi yang memaksakan, mengatur, dan mendominasi kontrol sosial di dalam
masyarakat sebagaimana tercermin dalam pandangan Weber. Kendati keabsahan
tunggal mutlak hanya dimiliki negara, tetapi di luar negara, ternyata terdapat
banyak kekuatan informal dan aktor lainnya yang juga memiliki pengaruh dan
upaya yang sama besar dengan negara demi mendapatkan legitimasi kontrol sosial
tersebut. Secara hukum, dalam perspektif negara, mereka - para (kelompok
informal), bisa jadi adalah kelompok-kelompok yang inkonstitusional, karena sifat
dan eksistennya telah mengurangi legitimasi serta kepatuhan masyarakat kepada
negara. Bentuk rupa ini salah satunya tergambarkan lewat para jago atau orang
kuat yang secara simbolik memiliki modal kekuatan dan kekuasaan yang lebih
besar dalam lingkup kehidupan masyarakat sehari-hari, - hal inilah yang
membedakan mereka dengan masyarakat biasa.
Secara ringkas, keberhasilan local strongmen atau orang kuat lokal dalam
mencapai distribusi dan pengakuan kontrol sosial mereka di masyarakat menurut
Migdal, didasari atas tiga faktor utama. Pertama, karena sifat masyarakat yang
berbentuk jejaring, dimana klientisme tumbuh sumbur dan berkembang. Sehingga
kontrol sosial terfragmentasi pada kekuatan-kekuatan yang ada – karena tidak
mampu dimonopoli oleh negara. Kedua, karena proses akulturasi mitos “strategi
26 John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John
Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta:
Demos, 2005), h. 72-73.
37
bertahan hidup” yang ada dalam diri orang kuat lokal di masyarakat, dan sudah
menjadi simbol tersendiri di antara mereka. Di mana orang kuat menjadi satu-
satunya tumpuan hidup masyarakat. Dan ketiga, kemampuan orang kuat lokal
mengintervensi, menembus, dan menangkap lembaga-lembaga negara sehingga
menjadikan negara menjadi lemah – yakni melalui semacam gangguan lewat
berbagai tindakan koersif yang ditujukan pada birokrat-birokrat pemerintah.27
Selain Joel S. Migdal dengan teorinya soal local strongmen/orang kuat
lokal, teori tentang kebangkitan kekuatan informal di luar negara lainnya
ditengadahkan juga oleh John T. Sidel. Dalam teorinya Sidel memilih diksi yang
sedikit berbeda dari pendahulunya tersebut. Dia menyebut teorinya dengan istilah
local boss/bos lokal atau bossism/teori bosisme. Sebagaimana yang diakui oleh
John T. Sidel sendiri, teori ini merupakan kerangka analisis alternatif guna
menjelaskan fenomena orang kuat lokal akan kondisi yang lebih akurat serta
komperehensif saat dihadapkan pada kasus-kasus negara dunia ketiga di Asia
Tenggara. Teori ini merupakan pemutarbalikan fakta atas temuan-temuan Migdal
di negara dunia ketiga atau sebagai pelengkap dari kelemahan teori yang telah
ada. Bila dalam perspektif Migdal kemunculan orang kuat lokal diproduksi di luar
negara dan merupakan penyebab negara menjadi lemah, Sidel berpendapat
sebaliknya, bahwa bos lokal merupakan hasil dari perkawinan silang negara
dengan sistem pasar. Artinya, negara setidaknya memiliki peran dalam
mereproduksi, mengandung, serta melahirkan para bos lokal dalam dimensi
kehidupan sosial mereka. Sehingga argumen Migdal yang menyatakan bahwa
27 Ibid, h. 72-75.
38
orang kuat lokal hanyalah penghambat sistem kapital dan arus modal,
terbantahkan sama sekali. Faktanya, orang kuat lokal dengan globalisasi dan arus
modal internasional, mampu beradaptasi bahkan meraup untung dengan ikut serta
menjadi salah satu agen pemain di dalam sistem pasar tersebut.28
Mereka melihat
berbagai proyek pembangunan di negara-negara dunia ketiga sebagai peluang
untuk memperkaya diri dan menjaga jejaring mereka (melalui pemberian insentif),
dengan menguasai segala bentuk sumber daya ekonomi yang banyak dicairkan
oleh negara.
Perbedaan mencolok lainnya, di antara local strongmen dan local boss
terletak pada asumsi masing-masing teorisi mengenai historisitas dan impak dari
lahirnya kekuatan informal ini. Bila Joel S. Migdal datang dengan asumsi bahwa
kemunculan orang kuat lokal lebih disebabkan karena ketidakmampuan negara
dalam menguasai kontrol sosial di masyarakat – dalam artian negara telah menjadi
lemah akibat dampak aktivisme orang kuat lokal terlebih dulu. Sidel sebaliknya,
bahwa orang kuat/bos lokal hadir dari proses strukturasi yang sengaja digunakan
negara untuk meminimalisir kontradiksi program-program mereka di masyarakat
pada tingkat bawah, serta sengaja dipelihara untuk menopang kepentingan oknum
yang bersemayam dalam negara.29
Hal ini tercermin dalam bentuk negara
kapitalistik di kawasan Asia Tenggara, dimana arus modal banyak mewarnai
jalannya pembangunan pasca kolonialisme dan orang kuat lokal hidup harmonis
di dalam era baru tersebut.
28 Ibid, h. 74-75.
29
Melvin Perjuangan Hutabarat. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era
Desentralisasi Studi Kasus Tentang Dinamika Kekuasaan Zulkifli Nurdin Di Jambi,” (Tesis S2
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), h. 21.
39
Dengan demikian, gambaran Migdal mengenai kemunculan orang kuat yang
disebabkan karena kapabilitas negara yang tidak mampu menjadi satu-satunya
kekuatan tunggal pengontrol kehidupan sosial di masyarakat menjadi sedikit
terganggu. Dalam hal ini nyatanya negara telah dijadikan kendaraan yang
ditumpangi dan dibajak untuk meraup sebesar-besarnya keuntungan dan
kekayaan bagi para elit – termasuk pimpinannya sendiri. Alih-alih berupaya untuk
mensejahterakan rakyat, mereka terang-terangan menggunakan jargon rakyat
hanya sebagai kepentingan mereka sesaat. Kampanye dengan menggunakan
simbol rakyat merupakan bias paradoks demokrasi prosedural.
Mereka membentuk jejaring yang mengakar sampai tingkat regional paling
rendah. Mereka juga melakukan berbagai macam penyelewengan terhadap
kekuasaan yang mereka pegang: intimidasi, KKN, dan kekerasan fisik. Bila
pemimpin negara adalah simbol negara itu sendiri, maka hipotesis negara lemah
sebagai latar belakang munculnya orang kuat yang diutarakan Migdal tidak
relevan dalam kasus-kasus di negara tertentu. Sebab pemimpin negara telah
menjadi bagian yang terintegrasi dari jaringan patronase dan penyelewengan yang
mereka kerap pelihara.30
Pasca gelombang demokratisasi melanda negara-negara di dunia ketiga,
alih-alih menghasilkan demokrasi substansial ke arah kemakmuran masyarakat
sebagaimana pengalaman di barat, demokrasi di dunia ketiga nyatanya hanya
berhasil melaksanakan prasyarat negeri demokrasi prosedural versi
Schumpetarian. Demokrasi di lapangan realitanya banyak dimanfaatkan oleh
30 Ibid, h. 21.
40
sebagian kalangan untuk kepentingan personal. Monopoli kekuasaan menjadi ciri
transisi demokratisasi di negara-negara dunia ketiga. Hal ini tercermin dalam
beberapa lembaga pemerintahan yang banyak diisi dan dijadikan ajang rebut
kekuasaan antara pengusaha dan para preman, baik lokal maupun nasional.
Maka karena beragam alasan dan kondisi yang ada, khususnya fenomea
orang kuat lokal di Asia Tenggara, Sidel merevisi kembali definisi orang kuat
lokal yang diutarakan Migdal dalam perkembangan negara modern di dunia
ketiga. Menurutnya, orang kuat adalah para bos lokal yang berhasil memelihara
jejaring politik mereka dan mendapatkan akses terhadap monopoli kontrol sosial
di masyarakat melalui penguasaan pada sumber-sumber ekonomi dan penguasaan
pada tindak kekerasan dalam yurisdiksi teritori mereka.31
Atau jelasnya Sidel
mengatakan:
“The term “bosses” refers to predatory power brokers who achieve
monopolistic control over both coersive and economic resources within
given territorial jurisdictions or bailiwicks”32
“Istilah" bos "mengacu pada pialang kekuasaan predator yang mencapai
kontrol monopoli melalui pemaksaan dan sumber ekonomi dalam yurisdiksi
teritorial tertentu atau daerah kekuasaan” (Terjemahan dari penulis)
Para bos lokal ini, dalam fungsi dan praksisnya saling berkelindan satu sama lain.
saling bekerja sama, membentuk kelompok patronase yang saling memberi
keuntungan satu sama lain. Keberadaan mereka sangat dinamis di segala
tingkatan. Mereka adalah jejaring yang saling menempati posisi-posisi tertentu
mulai dari tingkatan kabupaten/kota, provinsi, dan sampai ke pusat.33
31 Ibid, h. 20.
32
John T. Sidel, Capital, Coercion, and Crime: Bossisme in the Phillipines (California:
Stanford University Pers, 1999), h. 19.
33
Ibid, h. 21.
41
Dengan memilih negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia, Filipina, dan
Thailand, Sidel hendak berusaha memperkuat argumennya bahwa orang kuat
lokal di negara-negara yang dimaksud bukan hanya berasal dari proses panjang
tradisional yang kuat mengakar melalui feodalisme dan kolonialisme, melainkan
ditopang pula oleh sifat negara di tengah keterbukaan kapitalisme pasar global - di
samping differensiasi varian orang kuat lokal di setiap negara adalah sangat
mencolok.34
Dalam kasus orang kuat lokal di Filipina misalnya, Sidel dengan tegas
menerangkan bahwa kemunculan orang kuat lokal di negara itu tidak hanya
berasal dari monopoli pemilikan tuan tanah atas tanah besar dan kekuatan patron-
klien yang menggurita. Kekekalan orang kuat lokal di Filipina lebih disebabkan
oleh subordinasi negara dan akumulasi primitif yang bermula semenjak era
penjajahan. Subordinasi yang dilakukan semenjak Spanyol berkuasa melalui
pemilihan aparatur negara di tiap tingkatan dengan mekanisme pengawalan yang
sangat ketat dengan melibatkan institusi gereja sebagai lembaga seleksi, berubah
drastis tatkala Amerika memegang alih kekuasaannya di Filipina. Subordinasi
negara tetap berjalan tetapi melalui mekanisme yang lebih independen – tidak
mengikutsertakan gereja dalam pemilihan. Pemilihan secara independen ini terjadi
pada tahun 1901. Akibatnya, penguasaan kontrol sosial terbuka bagi pihak swasta
di mana mereka tetap menggunakan diskresi politik mereka semasa penjajah
Spanyol, guna mendapatkan kekuatan penuh terhadap aturan-aturan yang
dikehendaki. Sampai Filipina merdeka pada tahun 1946, dan konstitusi
34 Sidel, “Bosisme dan Demokrasi,” h. 75.
42
direjuvinasi, para orang kuat lokal ini sudah terlanjur kuat mencengkeram alam
sadar masyarakat.35
Adapun pola variasi bos lokal dalam masyarakat Filipina,
digambarkan oleh Sidel sebagai berikut.
“Pertama, bos lokal berhasil berurat-akar bila dan di mana “puncak
komando” (commanding height) dari politik ekonomi lokal memberi kontrol
monopolistis, utamanya terhadap berbagai kegiatan ilegal, simpul
perniagaan/kemacetan transportasi, tanah-tanah pemerintah, pengaturan ketat
tanaman dagang dan industri. Kedua, dimana kontrol monopolistis terhadap
perekonomian lokal bergantung pada kekuasaan derivatif dan diskresi yang
didasarkan pada negara, maka satu generasi bos-bos dengan gaya preman
terpaksa harus bersandar pada pialang kekuasaan superordinat yang
dukungannya menjadi landasan kemunculan, berurat-akar, dan bertahan
hidupnya mereka. Mengambil sikap bermusuhan berarti kehancuran atau
kematian mereka. Ketiga, sebaliknya, dimana kontrol monopolistis terhadap
perekonomian lokal bersandar pada pembangunan basis kokoh pemilik
kekayaan di luar bidang campur tangan negara, para bos terpaksa melawan
kasak-kusuk permusuhan pialang-pialang kekuasaan superordinat dan
berhasil mewariskan daerah kekuasaan mereka kepada generasi penerus
dengan model dinasti klasik.”36
Kasus bos lokal di Filipina, dengan para bos memiliki jejaring patron mereka di
tingkat politik nasional dan memiliki klien jejaring mereka di struktur bawah,
menandaskan bahwa patron-klien sistem sangat terasa dalam praktek per-bos-an
di Filipina. Kompetisi yang mewarnai pemilu di Filipina biasanya dipertentangkan
oleh dualisme kekuatan bosisme. Mulai dari pemilihan walikota pada tingkat
daerah, sampai pemilihan presiden di tingkat nasional. Koalisi antar kekuatan para
bos ini sangatlah dinamis dari waktu ke waktu. Mereka dalam kurun waktu
tertentu bisa berpindah haluan dari jejaring mereka di tiap tingkatan dan afiliasi
mereka di tiap partai politik.37
Karena mereka tidak terikat oleh ideologi atau
prinsip tertentu. Mereka hanya terikat dalam jalinan pragmatik temporal.
35 Ibid, h. 75-80.
36
Ibid, h. 78-79.
37
Melvin, Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era Desentralisasi, h. 21.
43
Guna melanggengkan eksistensinya, para bos lokal ini melakukan berbagai
upaya, di antaranya:
“Melakukan intimidasi dan kekerasan politik, menempatkan kerabat dan
kroni di pos-pos pemerintahan, mengatur penempatan pejabat daerah,
mengatur pinjaman bank daerah, membangun mesin politik, mengatur
proyek pemerintah, mengatur peraturan daerah, mengatur keringanan pajak,
memberikan konsesi dan kontrak pertambangan, kehutanan, dan perkebunan,
menggunakan cara-cara radikal guna menghalau serikat buruh dan mengatasi
konflik tanah.”38
Adapun kasus bosisme yang terjadi di Thailand, hampir sama beriringan dengan
terjadinya reformasi birokrasi dan sistem modal yang marak mewarnai negara
tersebut pada era 1970-an. Reformasi yang dimaksud adalah tranfromasi birokrasi
yang menggabungkan dua kekuatan inti birokrasi sekaligus, yakni militer dan
sipil.39
Masalah yang muncul sewaktu digulirkannya reformasi birokratik adalah
persoalan kelembagaan yang masih kurang siap menghadapi perubahan yang
disertai ekonomi pasar yang lebih terbuka. “Korupsi Pasar,” sebagaimana yang
dikatakan oleh James C. Scott menggejala dengan para agen lokal yang perlahan-
lahan mulai mengakumulasi modal dari sistem kapitalisme. Gejolak bosisme
semakin melaju ketika pada tahun 1980-1990 para bos lokal atau para chao po ikut
serta dan menguasai setengah mayoritas jumlah anggota parlemen. Kendatipun
kekuasaan militer masih dominan.40
Ketenaran para chao po juga meningkat
karena dengan kekuasaan yang mereka miliki, mereka bukan hanya berlaga
sebagai broker ekonomi yang menguasai pasar, tetapi mereka juga bertindak
sebagai broker politik yang seringkali mengirim para pemilih untuk patron mereka
38 Ibid, h. 22.
39
Ghifary, Zikry Auliya, “Local Bossism: Indonesia dan Thailand dalam Perspektif
Komparatif,” artikel diakses pada 10 Maret 2015 https://www.academia.edu/2612170/
40
Sidel, “Bosisme dan Demokrasi,” h. 81-83.
44
di tingkat kota, provinsi, pusat atau untuk diri mereka sendiri. Hal ini mereka
lakukan melaui tindakan-tindakan koersif, manipulasi, dan pembelian suara.41
Perbedaan antara bosisme di Filipina dan Thailand menurut Sidel, terletak
pada dua hal. Pertama transisi pelimpahan wewenang kontrol sosial untuk kasus
Thailand dari pusat ke daerah yang berbarengan dengan pertumbuhan kapitalisme
cenderung lambat, kedua pola komunikasi antara pemerintahan pusat dan
parlemen dibalut melalui koalisi sistem multipartai yang didasarkan jaringan
patronase antar mereka.42
Lain halnya dengan Filipina dan Thailand, format bosisme lokal di Indonesia
lebih longgar dan tidak seketat dengan fenomena bosisme di dua negara tersebut.
Pertama, karena Indonesia selama kurun waktu 1966-1998 dijalankan dengan
skema pemerintahan otoritarianisme, dimana kekuatan di luar negara diberangus.
Diksresi dan segala keputusan apapun hanya berdasarkan instruksi pusat termasuk
di dalamnya penempatan dan rotasi pimpinan wilayah (walikota/bupati/gubernur),
wakil-wakil rakyat di parlemen, menteri, panglima TNI, dan ketua-ketua
organisasi maupun partai politik. Celah masuknya kekuatan informal untuk
mendikte kontrol sosial hampir tidak terlihat sama sekali. Soeharto menjadi satu-
satunya momok dengan kekuatan dan kekuasaan terbesar yang tersebar di berbagai
pelosok wilayah negara. Kedua, pasca Soeharto rampung dari jabatannya dan
desentralisasi diterapkan dalam arti yang sebenarnya-benarnya, sekalipun
kesempatan para elit lokal terdahulu memiliki peluang yang lebih besar untuk
tetap atau memperluas kuasanya ketimbang di waktu Soeharto berkuasa, tetap saja
41 Ibid, h. 83.
42
Ibid, h. 84.
45
mereka harus berlomba dan bersaing dengan kekuatan lainnya di parlemen – yang
juga memiliki kuasa untuk merancang konstitusi. Sebagaimana dikatakan oleh
Sidel, mereka kerap “dirintangi oleh kendala-kendala institusional.”43
Akan tetapi hal ini tidakah semata-mata penghambat laju ambisi para bos,
sebab sistem pemilihan secara langsung pada saat berlangsungnya pilkada menurut
Sidel bisa jadi merupakan jalan alternatif menuju pencapaian bosisme lokal dalam
membangun, memperluas, menjaga, dan memelihara kuasa mereka di aras lokal.44
Dengan pilkada langsung, mereka dapat memobilisasi rakyat dengan beragam
cara: intimidasi, suap, dan pengucilan. Inilah yang masih menjadi kelemahan
sistem demokrasi di negara dunia ketiga. Demokrasi masih dipahami sebagai ajang
prosedural semata – dan tidak substansial. Sehingga kebebasan partisipatif rentan
memuat praktek-praktek amoral yang berseberangan dengan nilai-nilai humanisme
dan emansipatoris warga. Kekerasan dan praktek uang masih menjadi gejala
umum praktek demokrasi di Indonesia dan negara dunia ketiga umumnya.45
C. Teori Oligarki
Penjelasan Aristoteles mengenai varian dan tipe pemerintahan berdasarkan
jumlah orang yang memerintah, dan motif elit yang duduk di struktur pemerintah,
yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat Yunani, merupakan salah satu
penjelasan awal yang membahas asal muasal pengetahuan pada terma oligarki, -
di samping penjelasan Aristoteles lainnya yang mengkaji soal demokrasi.
Perbedaan oligarki dan demokrasi menurut Aristoteles bertumpu pada dialektika
aktor dengan berdasarkan jumlah kekayaan yang dimiliki oleh masing-masing
43 Ibid, h. 99.
44
Ibid, h. 99.
45
Ibid, h. 71.
46
pihak, dan juga dengan motif politik yang dibawakan berdasarkan preferensi
masing-masing. Bila oligarki kental dengan aroma kekuasaan pada segelintir
minoritas kaya dengan motif untuk mempertahankannya, sedang demokrasi
merupakan kekuasaan oleh – kalangan marjinal46
– yang menyimpan motif untuk
bisa mensejajarkan diri bersama-sama secara egaliter, baik antara kalangan kaya
maupun miskin, baik keluarga sultan maupun rakyat biasa, baik masyarakat kota
maupun masyarakat pedalaman. Agar seluruhnya turut serta menggenggam hak-
hak politik, kebebasan berserikat, berpendapat, memilih dan dipilih, serta
mengajukan aspirasi perundang-undangan.
Sejarah oligarki merupakan sejarah yang identik dengan dua hal, pertama
oligarki menandaskan superioritas orang berpunya, kedua oligarki identik dengan
bagaimana sepak terjang mereka di dunia politik dalam posisinya sebagai elit.
Dalam perkembangannya, teorisasi soal oligarki dalam kacamata ekonomi politik
perlahan-lahan mulai bias dan bercampur aduk dengan teori elit yang banyak
diilhami lewat karya-karya Mosca, Pareto, Michels47
– sekadar menyebutkan.
Sulit untuk menspesifikasi elit dan oligark sekaligus. Padahal terdapat jurang
pembeda yang begitu ekstrem antara terma elit di satu sisi, dan oligarki di sisi
lain. Pembeda yang menggarisbawahi kedua bentuk pola – yang sama-sama
mengambil inti “segelintir orang memerintah yang banyak, atau minoritas
mendominasi mayoritas” – ini terletak pada basis sumber daya kekuasaan yang
menopang keduanya. Selama beberapa kurun masa, terjadi kesimpangsiuran serta
kerancuan antara kerangka konseptual yang melekat pada elit dan oligark.
46 Jeffrey A. Winters, Oligarki (Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2011), h. 40.
47
Ibid, h. 39.
47
Permasalahannya tak lain ditimbulkan oleh definisi yang banyak digunakan oleh
kedua term ini. Seringkali posisi elit memiliki makna dan arti ganda yang serupa
sebagaimana oligark. Padahal, dengan melihat asal mula sumber daya kekuasaan
yang diperoleh dan digunakan oleh masing-masing pihak, sangat kentara apa
pembeda di antara keduanya.
Barulah beberapa tahun kemudian, para ilmuwan politik berusaha dengan
keras untuk memodernisasi dan memisahkan garis pembatas yang jelas mengenai
pengertian apa itu elit, siapa itu elit, dan berlaku pula hal sebaliknya: apa itu
oligarki dan siapa itu oligark. Hal ini melaju berbarengan seiring pencapaian
kemajuan bentuk negara modern yang secara komposisi menyembunyikan
berbagai modus yang sarat kepentingan dari pihak-pihak tertentu. Hak milik
pribadi dan klaim harta menggema menjadi salah satu isu substansial yang tidak
hanya diatur oleh ketentuan ekonomi dan hukum, melainkan mengarah masuk
menjadi salah satu motif fundamental bagi sebagian kalangan – yang terselubung
dalam politik. Dan elit sebagai kerangka teoritis, tidak mampu membedah
fenomena ekonomi-politik secara lebih dalam.
Bila merunut pada pengertian awal oligarki, di mana para ilmuwan politik
bersandar pada definisi Aristoteles, ada poin-poin yang terabaikan saat mereka
memahami sekuel oligarki yang dimaksudkan oleh filsuf tersebut. Bagi Winters,
para ilmuwan politik hanya terfokus pada pengertian kuantitas aktor yang
berperan memerintah saja: “satu orang, sedikit orang, atau banyak orang.”48
“Tak ada maknanya mengecap tiap kelompok kecil orang yang berpengaruh
tak proporsional sebagai oligarki. Minoritas mendominasi mayoritas di
48 Ibid, h. 3.
48
banyak konteks. Yang penting adalah bagaimana minoritas melakukannya
dan melalui sumber daya kekuasaan apa.”49
“Oligarki tidak merujuk pada sistem kekuasaan oleh sekumpulan pelaku
tertentu. Oligarki menjabarkan proses dan tatanan politik terkait sejumlah
kecil individu kaya yang bukan hanya berkuasa karena sumber daya
material, melainkan juga terpisah karena berseteru dengan sebagian besar
komunitas (termasuk dengan sesamanya). Oligarki berpusat pada tantangan
politik pertahanan konsentrasi kekayaan. Oligarki yang telah ada sejak fajar
sejarah manusia menetap dan terus ada sampai sekarang berbeda-beda
bentuknya, tergantung bagaimana cara menghadapi tantangan politik itu
(Winters, oligarchy, h. 39).”50
Ikhwal ini selaras dengan inti konsep oligarki yang diterangkan Aristoteles,
bahwa tak lain dan tak bukan juga menyimpan kepentingan lain dari sekadar
kampanye formal sang aktor di masyarakat. Ibarat sistem demokrasi yang berisi
tumpah ruah segala retorika kalangan marjinal (terpingirkan) untuk dapat
mencapai universalitas hak dan emansipasi - sebab segala apapun jenis
pemerintahannya, manusia hidup dengan berbagai kepentingan.51
Maka
berdasarkan sejarah manusia dari masa ke masa, dan dari transformasi hak milik
dan klaim harta yang lebih canggih, oligarki merupakan sebuah usaha di mana
orang-orang kaya mengupayakan agar hak milik mereka tetap lestari dan
terlindungi dari pihak-pihak luar yang mencoba mengganggunya, dan klaim harta
mereka tetap sama besarnya atau jika bisa, dapat bertambah dan meningkat.52
Dari jalur inilah akhirnya Winters memulai kerangka konseptual oligarki
yang lebih rinci. Poin pokok lain dari kesimpulan kepemilikan material atas hak
milik adalah bahwa ketidaksetaraan material berdampak pada ketidaksetaraan
politik. Hal ini sepadan dengan apa yang dikatakan oleh De Laveleye: “para filsuf
49 Ibid, h. 4.
50
Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,” Majalah Prisma, Vol. 33
(2014): h. 15.
51
Jeffrey A. Winters, Oligarki, h. 41.
52
Ibid, h. 58.
49
dan pembuat hukum zaman dulu tahu benar, berdasarkan pengalaman, bahwa
kemerdekaan dan kesetaraan politik hanya bisa ada ketika didukung kesetaraan
kondisi”.53
Orang-orang kaya dengan harta yang melimpah bisa melakukan
apapun demi terwujudnya cita-cita dan tujuan politik mereka. Dengan bekal
material yang lebih besar dibandingkan yang lain, selain mendapatkan kedudukan
eksklusif di mata masyarakat, mereka pun memiliki wewenang yang besar karena
posisinya. Sulit untuk membayangkan bahwa orang-orang tidak menaruh hormat
pada macam orang jenis ini.54
Hal yang membedakan elit dan oligark berasal dari stimulus sumber daya
kekuasaan yang mereka miliki. Sumber daya kekuasaan sebagaimana yang
diklasifikasikan oleh Winters, memiliki relevansi kuat pada corak aktor yang
menggunakannya. Sumber daya kekuasaan ini terbagi ke dalam lima jenis.
Pertama adalah hak politik formal, kedua, jabatan resmi, ketiga adalah kekuasaan
koersi (pemaksaan), keempat adalah kekuasaan mobilisasi, dan terakhir adalah
basis kekuatan material. Empat sumber daya kekuasaan yang disebutkan di awal
merupakan kombinasi akumulasi yang membentuk kekuatan elit. Sedangkan
sumber yang terakhir merupakan basis terpenting eksistensi oligark.55
Hak politik formal dalam sejarahnya merupakan sumber daya kekuasaan
yang eksklusif. Tidak sembarang orang mendapatkan hak istimewa agar dapat
berpartisipasi; dipilih atau memilih. Sejarah bangsa Athena misalnya, melukiskan
bagaimana para budak dan perempuan menjadi kaum marjinal dalam urusan-
urusan politik. Atau orang kulit hitam dalam sejarah bangsa Amerika mengalami
53 Ibid, h. 7.
54
Ibid, h. 7.
55
Ibid, h. 17-19.
50
hal serupa. Usaha untuk mendapatkan hak politik formal tidak mudah oleh
sebagian kalangan. Dengan demikian, hak politik merupakan satu dari beberapa
sumber kekuasaan yang penting.56
Sama halnya dengan jabatan resmi, dengan
predikat sebagai seorang pejabat di dinas-dinas/lembaga tertentu, seseorang
mampu mengerahkan segala kekuasaannya berdasarkan kehendak yang
diingingkan. Rasa patuh dari bawahan, atau loyalitas orang-orang yang berada di
sekelilingnya, jika bukan karena simbol jabatan yang dipegang, maka sangat sulit
untuk mendapatkannya.57
Adapun kekuasaan pemaksaan, hal ini didasarkan pada keabsahan negara
dalam mensubordinasikan instrumen pemaksaannya terhadap warga negara.
Sebagai elemen resmi, negara sebagaimana perspektif Weber, memiliki hak dan
wewenang untuk memaksakan segala ketentuan hukum dan aturan kendatipun
menggunakan cara-cara fisik.58
Sedang kekuasaan mobilisasi muncul dari dalam
kharisma seseorang yang disandarkan pada “keberanian, status, gagasan, atau
kelihaian retorika, penulis, agitator, cendekia, dan lain-lain,”59
jika bukan karena
jabatan resmi yang dipegang.60
Sedangkan kekuasaan material/kekayaan sangat berbeda dari sumber daya
kekuasaan lainnya. Sumber daya kekuasaan terakhir hanya dimiliki oleh orang-
orang tertentu dengan kapasitas yang dinamis. Maklumlah bila kemudian oligark
berdiri lebih tinggi di atas semua golongan. Karena kapanpun, dengan modal yang
besar, sewaktu-waktu para oligark bisa merenkarnasikan diri atau mengenyam dua
56 Ibid, h. 19-20.
57
Ibid, h. 20-22.
58
Ibid, h. 22-23.
59
Ibid, h. 23.
60
Ibid, h. 23.
51
status sosial sekaligus, baik sebagai elit maupun oligark. Kendatipun kondisi
sebaliknya bisa saja terjadi.61
Dengan kekayaan material melimpah, ketimpangan politik sangat terasa.
Apalagi bila praktek ini dilihat di negara-negara yang belum mapan secara
demokrasi, di mana demokrasi masih berjalan dalam batasan-batasan prosedural
seperti yang dikatakan oleh Schumpeter. Ditambah penegakan hukum yang hanya
berupa semboyan semata. Maka sangat kentara sekali jurang pemisahnya. Oligark
– melaui arus finansial mereka – mampu membayar aparat hukum, menyewa
milisi, menyewa massa, memanipulasi hasil pemilu, dan menyuap masyarakat
untuk memilih mereka.62
Maka satu-satunya jalan menghilangkan ketimpangan
politik yang disebabkan oleh ketidaksetaraan material bagi Winters adalah dengan
melakukan pola redistribusi kekayaan atau dengan menghilangkan sekat
ketidakmerataan material.63
Keberadaan oligark begitu fleksibel dari zaman ke zaman. Dari beragam
sejarah sistem pemerintahan, mereka mampu beradaptasi dan memposisikan diri.
Mereka bukan hanya tumbuh dalam satu sistem tertentu, melainkan bisa
menerobos masuk ke semua sistem; termasuk demokrasi. Hal ini sedikit
mengejutkan memang, orang-orang yang menaruh harapan pada demokrasi
pluralis sekalipun,64
mau tidak mau harus menerima kenyataan bahwa faktanya
ketidakadilan material adalah momok menakutkan yang juga dapat tumbuh subur
61 Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,” Majalah Prisma, Vol. 33
(2014): h. 15.
62
Jeffrey A. Winters, Oligarki, h. 28.
63
Dicky Dwi Ananta, “Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Kontemporer,” artikel ini diakses
pada tanggal 23 Agustus 2015 dari http://indoprogress.com/2014/11/oligarki-tatanan-ekonomi-
politik-indonesia-kontemporer/
64
Jeffrey A. Winters, Oligarki, h. 2.
52
dalam sistem demokrasi. Di mana para oligark, dengan posisi politik yang dia
duduki, mencoba me-reka ulang aturan yang menguntungkannya secara ekonomi.
Atau berusaha untuk menghindari pajak yang banyak membebani klaim harta
mereka. Masalah ini relevan dengan konteks pengertian oligarki per definisi.
Diambil dari pengertian oligarki menurut Winters, ia adalah “pelaku yang
menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa
digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi
sosial eksklusifnya.”65
Singkatnya, oligarki “merujuk kepada politik pertahanan
kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material.”66
“Jika kekayaan pribadi ekstrem mustahil dimiliki atau tidak ada, maka
oligark juga tidak ada. Tiga perkara langsung bersangkut paut. Pertama,
kekayaan adalah bentuk kekuasaan material yang beda dari segala sumber
daya kekuasaan lain yang bisa terkonsentrasi di tangan minoritas. Kedua,
yang penting adalah bahwa penguasaan dan pengendalian sumber daya itu
dilakukan untuk kepentingan pribadi, bukan lembaga. Oligark selalu
individu, tak pernah berupa perusahaan atau kelompok lainnya. Ketiga,
definisi oligark tetap konstan di berbagai zaman dan kasus. Faktor-faktor
itulah yang membedakan mereka dengan elit, dan memisahkan oligark dari
bentuk dominasi minoritas lain.”67
Dengan adanya gambaran yang komperehensif tentang oligarki dan bagaimana
sepak terjang mereka dalam diskursus ekonomi-sosial ini, berarti kita bisa
mengetahui motif apa yang melatarbelakangi oligark saat terjun ke dunia politik.
Ancaman terhadap kekayaan material yang mereka timbun, akan semakin besar
tatkala jumlah kekayaan yang tersimpan juga sama besarnya. Atau semakin besar
harta seseorang, semakin besar pula ancaman yang akan dihadapi. Bila ketentuan
hak milik sudah diatur oleh undang-undang dalam konstitusi negara modern,
65 Ibid, h. 8.
66
Ibid, h. 10.
67
Ibid, h. 9.
53
sehingga seseorang tidak bisa secara sembarang melakukan tindakan kriminal
dengan mengambil hak milik orang lain, justeru kini yang dihindari oleh para
oligark adalah ketentuan-ketentuan pajak yang berasal dari negara itu sendiri.
Mereka berusaha untuk mengelak dari pajak negara semampu yang mereka bisa.
Dengan masuknya oligark ke dunia politik, maka dengan mudah mereka membuat
diskresi terhadap aturan yang mereka kehendaki.
Ada empat jenis oligarki berdasarkan tipologi yang dikeluarkan Winters,
mereka adalah: oligarki panglima, oligarki sultanistik, oligarki penguasa koletif,
oligarki sipil.68
Pembagian tipologi oligarki ini seperti yang Winters ungkapkan
ada pada:
“Kadar keterlibatan langsung oligark dalam melakukan pemaksaan yang
menyokong klaim atau hak milik atas harta kekayaan; keterlibatan oligark
dalam kekuasaan atau pemerintahan; sifat keterlibatan dalam pemaksan dan
kekuasaan itu; terpecah atau kolektif; dan terakhir apakah oligark bersifat
liar atau jinak (di mana penjinakan oleh pihak luar lebih umum serta lebih
stabil daripada penjinakan diri sendiri).”69
Oligarki panglima merupakan jenis paling ekstrem dibandingkan dengan yang
lain. Oligarki jenis ini menuntut keikutsertaan langsung oligark untuk terjun dan
berseteru melalui ragam persengketaan dengan para oligark lainnya dalam rangka
perjuangan mempertahankan sumber daya kekayaan/penghasilan.70
Oligarki
penguasa kolektif lebih bersifat kelembagaan,71
di mana para oligark berkumpul
sebagai “komisi mafia.”72
Adapun oligarki sultanistik lebih dekat kepada
pengertian dipegangnya kekuasaan oleh satu orang oligark saja. Untuk jenis ini
68 Ibid, h. 48-54.
69
Ibid, h. 48.
70
Ibid, h. 52.
71
Ibid, h. 52.
72
Istilah lain yang dinisbatkan oleh Winters untuk menyebut aktivitas oligarki model
penguasa kolektif.
54
bisa dilihat pengalaman Indonesia di bawah Soeharto.73
Dan oligarki sipil
cenderung diartikan sebagai usaha oligark untuk menjauhi bahkan jika bisa
menghindar ketentuan-ketentuan pajak negara. Atau seperti yang Winters
kemukakan: “upaya mengelak dari jangkauan tangan negara yang hendak
melakukan redistribusi kekayaan.”74
Di samping Winters, ilmuwan politik yang juga menaruh minat pada
persoalan oligarki lainnya adalah Vedi dan Robinson. Lokalitas penelitian Vedi
dan Robinson pada praktek dan historisitas kelahiran oligark di Indonesia,
setidaknya telah memberikan wawasan tambahan tentang bagaimana mereka
tumbuh dan tetap bertahan kendati demokrasi semu ala Soeharto telah berakhir.
Ikhwal penting dari sejarah oligarki di Indonesia terbentang semenjak kapitalisme
pasar dibuka sampai ketika Indonesia mengalami boom oil di era 1970-1980. Ini
merupakan masa-masa pembenihan sekaligus cikal bakal kemunculan oligarki dan
membenamkan pengaruhnya pada sistem ekonomi-politik nasional di belakang
bayang-bayang Soeharto. Dengan berada di belakang Soeharto, negara bukan
hanya telah menjadi salah satu aspek pelindung, bahkan penyuplai penting segala
bantuan, kredit pinjaman, kolusi tender, dan sebagainya, hingga mereka tetap bisa
survive sampai saat ini.
Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dulu dilakukan Soekarno dengan jargon
kemandirian dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan aset kolonial, mau tidak
mau dirubah haluannya oleh Soeharto dengan mengikuti model pasar global, di
mana saat itu laju inflasi telah mencapai “600 persen dengan kemampuan
73 Ibid, h. 53.
74
Ibid, h. 54.
55
produksi yang kecil (Chalmers,1997)”.75
Dengan dibukanya pasar dan arus
investasi modal, pada titik inilah korupsi kolusi nepotisme mengalir deras
berkesinambungan dengan penguasaan proyek-proyek negara dan pemberian
lisensi yang ditetapkan pada orang-orang pilihan. Apalagi geopolitik global di
tahun 1974 telah memaksa harga minyak naik drastis sebab perseteruan Arab-
Israel, yang memberi keuntungan tersendiri terhadap rezim borjuis kapitalis.
Mereka meraup banyak pemasukan dari penjualan minyak yang tengah meroket.
Namun kondisi ini tidak berlangsung lama karena harga minyak kembali normal
di pertengahan tahun 1980-an dan pada 1986 harga minyak kembali ke harga
sebelum tahun 1973. Kepanikan ini berdampak pada kebijakan deregulasi sektor-
sektor ekonomi. Namun faktanya liberalisasi pasar yang diambil tidak serta merta
merubah sifat korporatis predatoris yang lebih egaliter dan sehat. Kondisi ini
bahkan tetap mengekalkan praktek-praktek KKN yang sudah berakar-urat.76
Begitupun dengan kondisi saat terjadinya letusan demonstrasi besar-besaran di
tahun 1998, reformasi umumnya hanya menjadi jargon semata, nyatanya
kekuatan-kekuatan predator yang dulu dipelihara orba tetap eksis dan mampu
beradaptasi dengan sistem yang baru. Desentralisme merupakan bahasa lain dari
devolusi aktivitas KKN yang semakin terpolarisasi.
Dengan titik tolak persepektif neo-marxis,77
Vedi mengasumsikan
kemunculan oligarki sebagai dampak bangunan korporatisme negara, di mana
75 Menurut Chalmers seperti dikutip Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik
Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES, 2005), h. 180.
76
Ibid, h. 177-190.
77
Dicky Dwi Ananta, “Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Kontemporer,” artikel ini diakses
pada tanggal 23 Agustus 2015 dari http://indoprogress.com/2014/11/oligarki-tatanan-ekonomi-
politik-indonesia-kontemporer/
56
negara merupakan akumulasi para pemburu rente demi tercapainya kepentingan
personal.
“Saat oligarki ini terkonsolidasikan di pertengahan dan akir 1980-an –
dengan dasar patronase negara dan akses ke sumber daya negara – ia dengan
perlahan merampas kekuasaan negara itu sendiri dan mengubah aparatur
negara menjadi suatu „komite‟ yang mengelola perlindungan terhadap
berbagai kepentingannya. Berbeda dari negara-negara industri maju
sekarang ini, kecenderungan di Indonesia dewasa ini telah menggemakan
kembali rumusan Marx dan Engels yang terkenal tentang „eksekutif negara
modern‟ yang bertindak sebagai suatu „komite yang mengelola urusan
bersama‟ kaum borjuis (Marx dan Engels dalam Panitch dan Leys, 1998).
Dengan memanfaatkan kekuasaan dan lembaga-lembaga negara untuk
tujuan-tujuan mereka sendiri, keluarga birokratis dan korporatis yang
memiliki posisi kuat mampu mengendalikan kebijakan ekonomi, bahkan saat
Indonesia secara international dipuji karena suatu reorientasi ke arah
serangkaian kebijakan propasar.”78
Singkatnya negara menjadi arena yang melegalkan aktivitas borjuasi yang
berusaha memperkaya diri mereka sendiri melalui pelemahan-pelemahan
kelompok penentang, disorganisasi civil society dan kalangan buruh
revolusioner.79
Relasi yang terjalin antara negara dengan kekuatan-kekuatan sosial
lainnya mutlak mendudukan negara pada koersifitas kontrol yang tinggi. Di
samping lahirnya organisasi-organisasi bayangan pro pemerintah yang menambah
beban perjuangan kalangan-kalangan kontra untuk protes dan melawan
pemerintah. Seperti yang dikatakan oleh Vedi “kekuasaan atas negara dapat secara
instrumental – bukan hanya secara struktural – dapat dikendalikan oleh kekuatan-
kekuatan sosial yang dominan.”80
78 Vedi, Dinamika Kekuasaan, h. 170.
79
Ibid, h. 193-202.
80
Ibid, h. 172-173.
57
BAB III
PROFIL BANGKALAN
A. Geografi dan Demografi Pulau Madura
Madura merupakan salah satu pulau yang terletak di salah satu titik laut
Jawa. Keberadaannya dengan Jawa hanya dipisahkan oleh sebuah selat yang
dikenal dengan Selat Madura. Selat Madura, selain sebagai pemisah antara Pulau
Jawa dan Madura, juga merupakan penghubung pertemuan antara Laut Jawa dan
Laut Bali. Luas pulau ini adalah 5.304 km2.1 Menurut Mardiwarsito, nama
Madura berasal dari bahasa sanskerta yang artinya permai, indah, molek, cantik,
jelita, manis, ramah tamah, dan lembut. Nama pulau ini mirip dengan nama
sebuah prefektur di India selatan.2 Di ujung timur pulau ini, ada kepulauan
Kangean dan Sapudi yang terdiri dari 50 pulau, baik yang berpenghuni maupun
tidak berpenghuni.3
Dalam struktur geografis, Madura berada pada posisi 7 derajat selatan
khatulistiwa, dan 112 derajat serta 114 derajat bujur timur.4 Letaknya tepat
berdekatan dengan kota Surabaya di sebelah timur pulau Jawa. Kota Surabaya
sendiri banyak dihuni oleh orang-orang Madura. Tak heran di kota ini kemudian
lahir suporter ultras klub Persebaya yang dijuluki Bonek Mania (bocah nekat)
yang identik dengan kultur kekerasan carok di Madura.
1 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan
Islam (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), h. 3-5.
2 Muh. Syamsudin, ―Agama, Migrasi dan Orang Madura,‖ Aplikasia, Jurnal Aplikasi llmu-
Ilmu Agama, Vol. VIII, No. 2 (Desember 2007:150-182): h. 151.
3 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 5.
4 Ibid, h. 3.
58
Gambar III.1. Peta Madura
Sumber Gambar: Google Map 2016
Bila diperhatikan dengan seksama, secara geologis, Madura adalah bagian
dari embel-embel utara Jawa yang merupakan terusan dari pegunungan kapur
yang terletak di sebelah utara dan selatan lembah Solo. Bedanya bukit kapur di
Madura lebih rendah dan kasar ketimbang di Jawa. Begitu pun dengan beberapa
gunung di Madura, tinggi puncaknya relatif rendah bila dibandingkan dengan
gunung-gunung di Pulau Jawa. Bahkan gunung di Madura terkesan lebih tepat
jika disebut bukit. Gunung-gunung tertinggi di Madura antara lain: Gunung Gadu
341 m, Gunung Merangan 398 m, dan Gunung Tembuku 471 m.5
Secara administratif pulau ini masuk ke dalam wilayah politik provinsi Jawa
Timur yang terdiri atas 4 kabupaten di dalamnya, yaitu Bangkalan, Sampang,
Pamekasan, dan Sumenep.6 Pulau Madura, sebagaimana telah dijelaskan, adalah
5 Ibid, h. 5- 6.
6 Mutmainnah, ―Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura,‖ dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto,
ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 214.
59
lanjutan ekologis tekstur Jawa. Hanya saja sayangnya, Madura secara genealogis
didominasi oleh tanah regusol, grumusol, aluvial, dan tanah mediteran merah
kuning yang kurang baik dijadikan sebagai lahan pertanian. Iklim di pulau
Madura terbagi atas dua macam musim, musim pertama adalah musim hujan
dengan jumlah curah hujan yang sangat minim, musim kedua adalah musim
kemarau dengan suhu rata-rata tinggi.7
Sungai utama di pulau ini di antaranya adalah Sungai Bangkalan, Sungai
Balega, Sungai Sampang, dan Sungai Saroka.8 Dari beberapa sungai yang
disebutkan, hanya Sungai Sampang yang terhitung dapat diandalkan sebagai jalur
transportasi air yang dapat membawa perahu sampai ke pedalaman.9 Sepanjang
musim kemarau, masyarakat Madura mengandalkan kebutuhan airnya dari galian
di pinggiran palung-palung sungai tersebut. Selain diwarnai dengan geografis
sungai, Madura sebelum modernisasi merebak, sebetulnya juga banyak memiliki
hutan.10
Namun pasca modernisasi, hutan-hutan mulai tereduksi jumlahnya dan
kini luas areal hutan di Madura tidak lebih berkisar antara 47.487.30 Ha.11
Walau mata pencaharian masyarakat Madura mayoritas adalah masyarakat
agraris, tapi tidak sedikit pula dari mereka yang memilih profesi sebagai nelayan,
pedagang, dan peternak. Intensitas cuaca yang selalu tinggi antara 32-33 derajat
celcius, dengan curah hujan yang terbatas 1000-2000 mm, mengakibatkan tanah
di Madura kurang subur dan tidak cocok untuk bertanam padi. Alternatifnya,
7 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 8.
8 Ibid, h. 9.
9 Ibid, h. 9.
10
Ibid, h. 9.
11
BPS Provinsi Jawa Timur, ―Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi,‖ data ini diakses pada
tanggal 16 Februari 2016 dari http://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/80
60
masyarakat menggunakannya sebagai lahan tegal yang banyak ditanami umbi-
umbian seperti singkong dan jagung.12
Simbol tegal inilah yang membedakannya
dengan kultur Jawa yang khas dengan persawahan dan sistem irigasi yang
terintegrasi.13
Tapi dengan segala tingkat rendah kesuburan tanahnya, Madura
tetap merupakan pemasok garam penting bagi kebutuhan garam nasional.14
Tingkat kepadatan penduduk di Madura sangat tinggi. Paling kentara,
kepadatan penduduk di Madura terpaku di sekitar daerah aliran sungai dengan
daerah Bangkalan dan Pamekasan sebagai wilayah terpadat dibandingkan dua
daerah lainnya yakni Sampang dan Sumenep.15
Kebanyakan masyarakat Madura
tinggal di daerah-daerah terpencar dengan pola pemukiman yang unik. Hal ini
dikarenakan lahan tegalan yang ditanami Jagung, Singkong, dan beberapa umbi-
umbian lainnya tidak memungkinkan terjadinya konsentrasi penduduk di suatu
wilayah tertentu dalam skala besar. Beda halnya dengan pola pemukiman
masyarakat Jawa yang serentak yang banyak dipengaruhi oleh keberadaan sawah,
dengan penduduk terkonsentrasi dalam satu kesatuan wilayah dengan jumlah yang
tinggi.16
Pemukiman masyarakat Madura yang terpencar yang dipengaruhi oleh
ekologi tegal ini telah memberikan lanskap kultur tersendiri pada pola dan bentuk
kampung di wilayah Madura. Pola pemukiman tegal di Madura, biasa dinamakan
‗tanean lanjang‘ untuk daerah Sumenep, dan ‗kampong meji‘ di daerah
12 Ibid, h. 8.
13
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura, h. 215.
14
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 8.
15
Ibid, h. 23.
16
Ibid, h. 11-23.
61
Pamekasan. Unit sosial berdasarkan kelompok tegal ini biasanya hanya berlaku
atas dasar ikatan keluarga saja. Gambaran mengenai bentuk pemukiman ini adalah
deretan pemukiman yang memanjang dari barat ke timur dimulai berurutan dari
keluarga tertua sampai keluarga termuda dengan posisi rumah sama-sama
menghadap ke selatan dengan masing-masing rumah memiliki dapur sendiri.
Yang khas dari pola pemukiman seperti ini adalah bahwa musala, sumur, dan
lumbung padi dikelola secara bersama-sama. Menurut Kuntowijoyo, secara
filosofi hal tersebut menandakan bahwa masyarakat Madura mandiri secara
ekonomi namun tidak menafikan satu kesatuan dengan keluarga luas.17
Secara sosial, masyarakat Madura lebih individualistik ketimbang
masyarakat Jawa. Menurut Kuntowijoyo dan Abdurahman, hal ini merupakan
dampak ekologi Madura terhadap demografi masyarakatnya.18
Solidaritas antar
masyarakat di Madura hanya terjadi antar unit kelompok tegalan secara internal.
Berbeda dengan solidaritas desa di Jawa yang tumbuh karena maraknya gotong
royong semisal saat pembagian air untuk sawah, kerja bakti, ronda dan lain
sebagainya. Solidaritas desa di Madura tidak terbentuk dalam kerangka ekonomi,
melainkan agama. Agama menjadi satu-satunya simbol yang berperan menjaga
dan melestarikan solidaritas antar masyarakat. Ritual agama, upacara, dan ormas-
ormas agama memiliki kekuatan dalam mobilitas sosial. Sedang administrasi desa
hanya dianggap sebagai beban yang memberatkan, karena berkaitan dengan pajak
dan pemilu.19
17 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura, h. 215.
18
Ibid, h. 215.
19
Ibid, h. 216.
62
Pemerintahan desa di masyarakat Madura kurang diperhatikan,
kehadirannya tidak sekuat dan seoptimal dewan-dewan desa di Jawa. Bahkan
sebagai basis kekuatan formal, pamor desa dikesampingkan. Perkumpulan desa
secara administratif yang umumnya membicarakan kepentingan bersama hampir
tiada. Misalnya saja rapat-rapat mengenai lahan pertanian atau perkebunan yang
dikelola secara komunal seperti yang terjadi di desa-desa di pulau Jawa. Sebab
sebagian besar tanah produktif di Madura dikelola perorangan.20
Selain ekologi tegal yang sudah dijelaskan, ekologi masyarakat Madura juga
sedikit-banyak dipengaruhi oleh kelangkaan pangan, sekalipun sebagian besar
petani di Madura menanam Jagung dan Padi, tetapi hasilnya tetap tidak
mencukupi bagi kebutuhan masyarakat Madura secara keseluruhan.21
Menurut
Kuntowijoyo,22
ada dua musabab mengapa kelangkaan pangan mempengaruhi
faktor ekologi masyarakat. Pertama kelangkaan pangan berpengaruh pada
ketergantungan ekonomi masyarakat Madura, kedua, kelangkaan pangan pada
akhirnya menggerakan mobilitas sosial masyarakat itu sendiri.
Untuk mengatasi kelangkaan pangan, Madura mendatangkan bahan-bahan
pokok makanannya dari Bali dan beberapa kota di Jawa Timur. Ekspansi
mobilitas sosial pada masyarakat Madura biasanya terjadi ketika musim kemarau
melanda. Minimnya air dan lahan garapan, membuat masyarakat mau tidak mau
memilih untuk meninggalkan kampungnya dan mendatangi kota-kota lainnya di
Indonesia. Urbanisasi masyarakat Madura mayoritas didominasi oleh kaum pria.
20 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 17-18.
21
Ibid, h. 38.
22
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura, h. 216.
63
Mereka bermigrasi ke daerah-daerah sepanjang pantai utara timur jawa yang
searah dengan letak kabupaten mereka. Penduduk Bangkalan bermigrasi ke
daerah-daerah Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Bojonegoro. Penduduk
Sampang bermigrasi ke Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang. Penduduk
Sumenep dan Pamekasan ke arah Jember, Bondowoso, dan Banyuwangi.23
Kultur agama masyarakat Madura pada umumnya mirip dengan kultur yang
berlaku di kalangan masyarakat Jawa, penghayatan serta penghormatan pada Kyai
ditempatkan pada urutan paling tinggi. Di samping kepercayaan pada klenik,
mitos, serta adatisme agama masih menghiasi wajah dan corak religiusitas
masyarakat setempat. Hal ini terbilang wajar, mengingat dulu Madura merupakan
bekas teritorial kerajaan-kerajaan Hindu dan Islam Jawa.24
Sinkretisme Jawa merupakan akulturasi Hindu dan Islam. Soal ini mendapat
perhatian khusus dari banyak peneliti luar yang salah satunya adalah Snouck
Hurgonje, seorang sarjana Islam Belanda yang mengungkapkan bahwa islam
hanyalah formalitas agama dalam subkultur masyarakat Jawa.25
Selain Hurgonje,
antropolog besar yang berkontribusi dalam mendalami teologi Jawa adalah
Cliford Geertz dengan risetnya tentang islamisasi Jawa. Ia menemukan bahwa
islam dalam masyarakat Jawa terbagi kedalam beberapa subkelompok yang
dibedakan berdasarkan tingkat pemahaman dan penghayatan mereka terhadap
23 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 24.
24
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura, h. 216-217.
25
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 18.
64
islam sebagai agama. Subkelompok tersebut adalah Santri, Abangan,26
dan
Priyayi.27
Dari uraian di atas, bila dilakukan komparasi kultur antara Jawa dan
Madura, signifikansi pokok pembeda hanya terletak di persoalan demografi.
Persamaan dimensi keagamaan lebih mencolok, karena berdasarkan historisitas,
Madura adalah bagian dari kerajaan-kerajaan Jawa. Walau sebelum tahun 1800
dan sebelum menjadi bagian dari teritori Hindia-Belanda, di Madura banyak
berdiri kerajaan-kerajaan kecil, akan tetapi mereka terlalu sibuk dengan pertikaian
sehingga sulit untuk melakukan konsolidasi di antara mereka. Bahkan ketika VOC
muncul dan mulai melakukan eksplorasi perdagangan di seluruh wilayah
nusantara, Madura banyak bergantung pada kerajaan-kerajaan di Jawa. Kerajaan-
kerajaan di Madura antara lain pernah berada di bawah Kerajaan Hindu, Kerajaan
Islam Demak dan Surabaya, dan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah. 28
B. Tinjauan Singkat Kabupaten Bangkalan
Bangkalan adalah kabupaten paling barat pulau Madura dan merupakan
salah satu wilayah ekonomi khusus di provinsi Jawa Timur. Bangkalan masuk ke
dalam 7 wilayah prioritas pengembangan pembangunan beserta beberapa kota
lainnya yang biasa disebut dengan istilah ‗Gerbangkertosusilo‘ yang mencakup
Gresik, Bangkalan, Kediri, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan dengan
26 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya,
1983), h. 172-173.
27
Ibid, h. 341-315.
28
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 44.
65
Surabaya sebagai pusat pembangunan.29
Letak Bangkalan sangat strategis karena
menjadi gerbang masuk pulau Madura. Menurut Kuntowijoyo, dilihat dari segi
arsitektur bangunan di dalamnya, semenjak dulu Bangkalan memiliki hubungan
erat dengan morfologi kota-kota di Jawa. Hal ini dapat ditelusuri melalui beragam
bangunan seperti istana, alun-alun, masjid, dan kampung Cina yang menghiasi
wajah Kabupaten Bangkalan. 30
Gambar III.2. Peta Bangkalan
Sumber Gambar: Google Map 2016
Di Kabupaten Bangkalan terdapat jembatan Suramadu yang merupakan
akronim Surabaya-Madura yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura dengan
panjang jembatan mencapai 5,4 KM.31
Sebelum suramadu terbentuk, inter-relasi
antara Jawa dan Madura terhubung dengan menggunakan transportasi laut melalui
pelabuhan Ujung-Kamal. Tetapi setelah suramadu diresmikan, perlahan-lahan
29 Hari Poerwanto, Profile Bangkalan Dan Dinamika Komunitas Perkotaan Dalam Kaitannya
Dengan Pengembangan Kawasan Gerbangkertosusilo (Laporan Penelitian Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1992/1993), h 4-5.
30
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura, h. 224.
31
Tempo.co, ―Pukul 00.00 Jembatan Suramadu Tersambung,‖ artikel diakses pada 25 Agustus
2015 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2009/04/01/058167605/
66
orang-orang berpindah haluan dari yang sebelumnya menggunakan kapal Ferry,
kini menyeberang menggunakan transportasi darat melewati jembatan Suramadu.
Secara ekonomi, Jembatan Suramadu merupakan marwah perekonomian Madura,
karena barang dari dalam dan luar Madura dapat keluar-masuk lebih mudah pasca
suramadu dibangun ketimbang menggunakan transportasi air di Selat Madura.
Mobilitas sosial antar pulau pun meningkat pesat, terutama penduduk Bangkalan
yang mengambil banyak keuntungan dengan adanya jembatan ini.
Secara geografis, luas wilayah Bangkalan adalah sekitar 1.264, 05 km
persegi. Curah hujan yang terjadi di wilayah ini berkisar antara 1.347 mm – 2.175
mm. Bila dilihat dari ketinggiannya di atas permukaan laut, Bangkalan berada
pada ketinggian 0-250 meter. Struktur tanah di Bangkalan terdiri dari komposisi
batuan alluvium, plistosen, fasies sedimen, pliosen fasies batu gamping dan
miosen fasies sedimen.32
Jumlah kecamatan di Kabupaten Bangkalan adalah 18 kecamatan dengan 8
kelurahan dan 273 desa. Adapun wilayah-wilayah yang berbatasan langsung
dengan Kabupaten Bangkalan adalah Kabupaten Sampang di sebelah timur, laut
jawa sebelah utara, dan selat madura di sebelah selatan dan sebelah barat. Dari
beberapa kecamatan yang ada di Kabupaten Bangkalan, 10 di antaranya
merupakan daerah pesisir pantai yaitu: Kecamatan Sepulu, Bangkalan, Socah,
Kamal, Blega, Modung, Kwanyar, Arosbaya, Klampis, dan Tanjung Bumi.
Sedangkan 8 kecamatan lainnya adalah daerah-daerah berbukit, yaitu: Kecamatan
32 Hari Poerwanto, Profile Bangkalan Dan Dinamika Komunitas Perkotaan, h. 51.
67
Bumeh, Geger, Kokop, Tragah, Tanah Merah, Blega, Labang, Konang, dan
Galis.33
Berdasarkan data yang penulis himpun dari badan pusat statistik nasional,
kepadatan penduduk Bangkalan pada tahun 2013 mencapai 715,65 per kilo meter
persegi. Dengan dua kecamatan berpenduduk terbanyak yaitu Kecamatan Galis
dan Kecamatan Bangkalan. Jumlah ini masih berada jauh di bawah Kabupaten
Pamekasan yang rata-rata kepadatan penduduknya pada tahun yang sama
mencapai 1.031, 68 per kilo meter persegi.34
Rata-rata mata pencaharian
masyarakat Bangkalan ada pada sektor pertanian, yang lainnya di sektor
perdagangan dan jasa. Data ini dapat dilihat dari PDRB (Produk Domestik
Regional Bruto) Kabupaten Bangkalan yang hampir sepertiganya berasal dari
sektor pertanian dengan capaian 28,90 persen, perdagangan 27,62 persen, dan jasa
15,66 persen.35
C. Islamisasi dan Simbol Kiai dalam Perspektif Masyarakat Madura
Pengislaman Jawa menjalar pada pengislaman daerah-daerah lainnya di
nusantara. Fenomena islamisasi daerah-daerah di nusantara merupakan impak dari
adanya hubungan dagang yang saling terkait antara daerah satu dengan daerah
lainnya. Perdagangan dapat dikatakan sebagai pola ‗islamisasi nusantara‘ yang
berbeda bila dibandingkan pengislaman yang terjadi di antara kabilah-kabilah
33 Bappeda Jawa Timur, ―Kabupaten Bangkalan,‖ data ini diunduh pada tanggal 17 Juni 2015
dari http://bappeda.jatimprov.go.id/bappeda/wp-content/uploads/potensi-kab-kota-2013/kab-
bangkalan-2013.pdf
34
BPS Provinsi Jawa Timur, ―Kepadatan Penduduk Pertengahan Tahun Menurut
Kabupaten/Kota 2010-2013,‖ data ini diakses pada tanggal 18 juni 2015 dari
http://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/19
35
Biro Humas Dan Protokol Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, ―Gubernur Minta
Bupati Baru Prioritaskan Sektor Pertanian,‖ data ini diakses pada tanggal 18 Juni 2015 dari
http://birohumas.jatimprov.go.id/index.php?mod=watch&id=1868
68
timur tengah. Islamisasi di nusantara lebih permisif, sedangkan islamisasi di timur
tengah terkesan represif dan radikal karena melaui berbagai ekspansi dan agresi.
Tak terkecuali proses pengislaman Pulau Madura yang merupakan bagian
dari islamisasi lanjutan dari pengislaman Jawa oleh para pedagang luar. Beragam
teori tentang kedatangan islam di Jawa termasuk di Madura sangat bermacam-
macam. Adapun para ilmuwan yang meneliti teori soal kedatangan Islam di
nusantara antara lain: Pijnappel, Snouck Hurgonje, Moquette, Fatimi, Kern,
Winstedt, Bousquet, Vlekke, Gonda, Schrieke, dan Hall.36
Menurut Azzumardi
Azra, ada tiga aspek utama penyebaran islam yang hingga kini masih mengalami
perdebatan: tempat asal kedatangan islam, para pembawa, dan waktu
kedatangannya.37
Walau perdebatan teori soal kedatangan islam di nusantara masih menjadi
hidangan akademik, rasanya banyak ilmuwan setuju bahwa islamisasi jawa awal,
bermula dari proses perdagangan. Interaksi para pedagang luar dengan penduduk
setempat kemudian berubah menjadi hubungan sosio kultural yang lebih melekat
melalui proses silang perkawinan. Pada tahap inilah kemudian islam menjadi
bagian penting dari sejarah pembentukan budaya di nusantara. Adanya akulturasi
dan asimilasi budaya antara budaya lokal dan pendatang telah menempatkan islam
sebagai corak identitas baru dalam dimensi kehidupan masyarakat nusantara.
Islamisasi Madura bila mengacu pada sumber-sumber sejarah terjadi di
penghujung abad ke-16, beberapa tahun setelah Kerajaan Majapahit runtuh.
Setelah Majapahit runtuh, tepatnya pada tahun 1527, Madura menjadi rebutan
36 Azzumardi Azra, Jaringan Ulama (Bandung: Mizan, 1994), h. 24-25.
37
Ibid, h. 24.
69
kerajaan-kerajaan kecil Islam di Jawa. Demak, Banten, Cirebon, Tuban, Gresik
dan Jepara berusaha untuk menancapkan kuasanya di pulau tersebut.38
Menurut
Tjiptoatmodjo,39
Jawa bagian timur merupakan sentral penyebaran agama islam di
Jawa. Para pedagang dari Gujarat, India, dan Arab banyak berlabuh di daerah-
daerah Gresik dan Surabaya. Kota Gresik dan Surabaya adalah kota tertua bagi
pusat penyebaran islam di nusantara. Hal ini dikarenakan letaknya yang strategis
dalam jalur perdagangan internasional dan menjadi epicentrum hilir-mudik kapal-
kapal dagang dunia. Dari dua kota tersebut, ditambah dengan kota Jepara dan
Demak di Jawa Tengah, islam mula-mula mengalir ke jantung kota di sepanjang
pantai utara Jawa; Tuban, Probolinggo, Sedayu, Besuki, Pasuruan, lalu masuk ke
daerah-daerah pesisir di Madura. Proses penyebaran islam di Madura
digambarkan dengan teliti oleh De Jonge yang mengutip beberapa sumber sebagai
berikut:
―Penduduk pantai Sumenep mungkin sekali pada paroh kedua abad ke-15
mulai berkenalan dengan agama Islam. Keyakinan akan kepercayaan baru
mula-mula disebarluaskan di tempat-tempat seperti Parindu, tempat
perdagangan yang mempunyai hubungan dengan daerah-daerah seberang.
Penyebaran agama Islam berlangsung sejalan dengan perluasan
perdagangan. Penyebar yang petama ialah pedagang Islam dari India
(Gujarat), Malaka, dan Sumatra (Palembang) (Schrieke 1955-1957, II: 230-
232). Mereka disusul dengan pengikut Sunan Ampel dan Sunan Giri, para
wali suci Islam yang berkedudukan di dekat kerajaan-kerajaan dagang kecil
Surabaya dan Gresik (De Graaf dan Pigeaud 1974: 137-155 dan 159-160).
Menurut cerita turun temurun, seorang anak lelaki dari saudaranya Ampel
menetap di desa Pasudan dekat ibukota Sumenep (Abdurrachman 1971: 16-
17). Pengislaman penduduk Madura meluas lebih lanjut setelah raja-raja,
mungkin pada pertengahan abad ke-16, memeluk agama itu dan mendorong
penyebaran agama Nabi Mohammad. Terutama Sumenep, kawasan dengan
perdagangan paling ramai, tumbuh menjadi daerah Islam yang penting. Pada
pertengahan abad yang lalu, di Sumenep terdapat 2.130 ―Ulama Islam‖,
38 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura, h. 217.
39
Ibid, h. 217.
70
lebih banyak daripada Madura Barat dan Pamekasan (Hageman Czn 1858:
335 dan 351).‖40
Dari penjelasan di atas, dapat diuraikan bahwa Madura mengalami islamisasi
lewat 3 jalur. Pertama, melalui para pedagang sebagaimana dijelaskan oeh
Schrieke, kedua, lewat para wali, sebagaimana penjelasan De Graaf dan Pigeaud,
dan ketiga, dengan perantara para raja seperti yang diterangkan Hageman.
Sebagaimana De Jonge, banyak pula orang yang meyakini bahwa islam di
Madura pertama kali disebarkan di daerah Madura Timur (Sumenep). Ada dua
sebab mengapa Sumenep menjadi basis Islam di Madura, pertama karena
Sumenep merupakan penghasil garam terbesar di pulau tersebut yang
memungkinkan terjadinya interaksi perdagangan yang sangat ramai, kedua,
Sumenep dulu merupakan vasal dari Kerajaan Majapahit saat Joko Tole (1415M)
berkuasa. Sedangkan Madura Barat baru diislamkan setelah anak perempuan
Lembu Peteng, penguasa Madura Barat kala itu, dinikahkan dengan anak laki-laki
Maulana Ishak. Lembu Peteng sendiri merupakan anak Raja Majapahit terakhir,
hasil pernikahan antara Brawijaya dan Putri Campa. Lembu Peteng masuk islam
setelah pergi berguru ke Sunan Ampel.41
Pada abad ke-17, kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan
Agung memiliki misi besar yaitu keinginan untuk menyatukan seluruh kerajaan-
kerajaan yang ada di Jawa dan Madura dalam wilayah kekuasaan Raja Mataram.
Hal ini diambil untuk dapat menahan dan menghentikan segala agresi dan
ekspansi yang kerap dilakukan oleh VOC. Dan berturut-turt pada tahun 1614
40 Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 240-241.
41
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura, h. 217-218.
71
kemudian tagun 1624, Mataram akhirnya dapat menguasai dan menaklukan
Surabaya serta Madura. Setelah Madura resmi ditaklukan, Raden Praseno (putra
mahkota Bangkalan, cucu Raden Pratanu, Raja Bangkalan Islam Pertama),
diambil mantu oleh Sultan Agung untuk dinikahkan dengan putrinya di Mataram.
Melalui pernikahan ini, secara aklamasi Raden Praseno diangkat menjadi Raja
Madura Barat dengan gelar ‗Cakraningrat I‘. Dari sini secara yuridis, Madura
menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram. Turun temurun raja-
raja di Madura Barat diperintah oleh para keturunan Cakraningrat. Sepeninggal
Cakraningrat I, tahta Madura Barat turun kepada anaknya Cakraningrat II yang
merupakan anak dari hasil pernikahannya dengan Syarifah Ambami, putri Sunan
Giri.42
Di sisi lain, Madura Timur pada tahun 1671 dikuasai oleh raja nan arif dan
bijaksana, Yudanegara namanya. Konon ia merupakan keturunan Cakranegara,
Raja Madura Timur sebelum mereka ditaklukan oleh Sultan Agung. Menurut
beberapa kabar yang didapat, Yudanegara adalah seorang sahabat Trunojoyo
sewaktu mereka menyantri kepada Sunan Giri. Sepeninggal Yudanegara, suksesi
raja di Madura Timur jatuh ke tangan para menantunya lantaran tak satu pun dari
garis keturunannya dikaruniai anak laki-laki. Silsilah Dinasti Yudanegara berakhir
ketika kekuasaan kerajaan dipimpin oleh Pangeran Adikara III. Pangeran Adikara
III akhirnya dikudeta oleh Ki Lesap karena ia bersekongkol dengan VOC.
Seterusnya kerajaan dipegang oleh Raden Ayu Tirtanegara dengan Bindara Saod
sebagai suaminya. Bindara Saod sendiri merupakan putra dari Bindara Bungso
42 Ibid, h. 218-219.
72
yang masyhur dengan ilmu agamanya. Ia adalah seorang kyai terkenal di Batu
Ampar Sumenep.43
Madura masuk menjadi bagian teritori Hindia-Belanda setelah VOC bubar
pada tahun 1799. Selama mengawasi Madura, Hindia-Belanda menerapkan sistem
pemerintahan tidak langsung.44
Kondisi penduduk Madura selama berada
langsung di bawah kekuasaan Hindia-Belanda maupun VOC hampir serupa
dengan keadaan penduduk Indonesia pada umumnya, mereka berada dalam
kondisi yang mengenaskan. Kelaparan dan kemiskinan adalah fenomena yang
lumrah. Hanya sebagian saja di antara mereka yang turut serta menikmati hasil
jerih payah para petani dan penduduk setempat. Mereka adalah terutama para raja,
penguasa dan orang-orang pilihan bangsa kolonial.45
Tindak pidana kriminal di Madura, dari hari ke hari, selama kolonialisasi
berlanjut, selalu semakin bertambah jumlahnya. Fakta di lapangan menunjukan
bahwa kasus tindakan kriminal di Madura lebih banyak ketimbang di Jawa.
Banyak di antara para penduduk yang mati terbunuh sia-sia. Satu kasus
pembunuhan pada tahun 1871 pernah terjadi di daerah Sumenep. Sebanyak 2.342
penduduk meninggal dunia.46
Penyebab utama maraknya tindakan kriminal ini
disebabkan oleh berbagai macam pajak dan kewajiban yang dibebankan kepada
penduduk. Selain kriminalitas, wabah penyakit, telah menambah kesengsaraan
43 Ibid, h. 219-220.
44
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 54-55.
45
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura, h. 221.
46
Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 76-77.
73
penduduk semakin menjadi-jadi. Suatu waktu di daerah Pamekasan pernah terjadi
wabah penyakit yang sangat ganas.47
―Banyak penderita berbulan-bulan lamanya tidak makan nasi dan hidup
dengan memakan kulit katjang dan djagoeng, kulit-kulit kayu, akar-akaran,
dan bedogol makanan lunak, seperti bedogol pisang. Pencurian tanaman
tegalan yang ‗dimakan mentah‘ adalah begitu banyak, sehingga keadaan itu
dianggap normal, (Nota 1904:57).‖48
Kelaparan, kesengsaraan, penindasan, serta ketimpangan yang terjadi di
masyarakat inilah yang pada akhirnya menciptakan ketidakpercayaan penduduk
kepada para penguasa setempat.
―Dalam masa hampir dua abad penjajahan Belanda di Madura, terdapat
beberapa realitas sosial sebagai akibat kolonialisasi itu. Pertama, Madura
menjadi terisolasi dari dunia luar karena hubungan dari dan keluar Madura
diatur dengan sangat ketat. Kedua, Madura mengalami defisit. Kemiskinan
massal yang berujung pada pencurian pangan dan ternak serta migrasi besar-
besaran adalah fenomena yang amat mudah dijumpai. Ketiga, terjadi
kemunduran kaum ningrat. Mereka miskin dan terpuruk dalam utang piutang
serta terlibat dalam kejahatan. Mereka menjadi lemah dan bergantung pada
Belanda. Sebagai akibatnya, rakyat tak lagi memercayai mereka dan mencari
sosok pemimpin lain yang dinilai lebih mampu mewakili aspirasinya.
Fenomena ketiga inilah yang pada akhirnya memicu munculnya golongan
lain untuk tampil sebagai pemimpin masyarakat Madura: kyai.‖ 49
Dengan demikian, satu-satunya tumpuan masyarakat waktu itu persis berada di
bawah bimbingan para kyai. Kyai adalah aktor moral sekaligus sosial. Ia
merupakan stimulus bagi asa para penduduk yang hampir pupus. Kharisma
keilmuan agama yang besar yang dimiliki oleh peran kyai mencitrakan bahwa
―merekalah‖ agen pembaharu satu-satunya yang dapat dipercaya.
Dalam strata sosial masyarakat Madura, posisi kyai ditempatkan pada posisi
yang tinggi. Fakta ini sebenarnya tidak berbeda jauh dengan kondisi yang ada di
47 Ibid, h. 76.
48
Menurut Nota dalam Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, h. 76.
49
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura, h. 222.
74
berbagai wilayah lain di Indonesia pada umumnya. Kyai adalah aktor penting
dalam sejarah pergerakan nasional, sehingga secara otomatis keberadaannya dalam
hirarki sosial begitu tinggi. Kyai merupakan salah satu aktor penggerak basis
massa. Perannya di masa awal pra-kemerdekaan telah membuktikan hal tersebut.
Keikutsertaan kyai dalam pelbagai perlawanan memperjuangkan kemerdekaan,
dan keikutsertaan mereka memimpin pemberontakan kepada para penguasa yang
lalim, tidak sulit untuk menjadikan para kyai sebagai panutan rakyat yang sangat
dihormati. Rakyat dari zaman ke zaman, menganggap kyai adalah guru mereka
sekaligus orang tua mereka. Segala perkataan dan nasihatnya dianggap karomah
dan berkah yang wajib diamini.
Munculnya berbagai organisasi pergerakan nasional pun, faktanya, juga
tidak terlepas dari campur tangan para kyai. Sebagai salah satu agen sosial, kyai
adalah orang-orang terdidik yang hidup bersama keluh kesah dan berbaur
langsung dengan rakyat. Inilah yang membedakan kyai dengan agen sosial lainnya
yang terkesan menjaga jarak dan jauh dengan rakyat. Tidak sulit kiranya bagi
mereka menaruh tempat di hati rakyat.
Sejarah perjuangan bangsa indonesia, yang terfragmentasi semenjak
kolonialisasi, mampu diintegrasikan atas inisiatif para kyai - selain oleh orang-
orang terdidik (kaum intelektual) lainnya. Berdirinya Sarekat Islam,
Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, tidak lain merupakan inisiasi para kyai.
Nama-nama seperti KH. Samanhoedhi, KH. Ahmad Dahlan, dan KH. Hasyim
Asy‘ari, mereka adalah agen tonggak permulaan berkembangnya suatu identitas
75
kebangsaan.50
Identitas berdasarkan keagamaan ini kemudian membentuk
semacam ikatan kebersamaan yang termanifestasikan lewat ragam aksi perjuangan
dan perlawanan. Maka wajar jika akhirnya kyai menempati posisi struktur dan
peran penting dalam diskursus sosial kemasyarakatan di Indonesia.
Sepang terjang kyai dalam hubungannya dengan fungsi sosial di masyarakat,
tidak hanya terjadi saat indonesia dijajah, setelah indonesia mengalami
kemerdekaan sekalipun, kyai tetap dianggap sebagai aktor utama penggerak umat.
Berbeda dengan pemimpin formal pada umumnya yang mendapatkan legitimasi
formal dari rakyat, kyai mendapatkan otoritasnya di masyarakat sebagai pemimpin
informal melalui legitimasi sosio-kultural.51
Pada kasus Madura, dengan mayoritas penduduknya beragama islam,
sebagaimana telah digambarkan secara ringkas di atas, kyai memiliki fungsi sosial
strategis dalam kehidupan di dalamnya. Mereka sering dimintai pendapat untuk
berbagai macam persoalan. Bukan saja persoalan yang berkaitan dengan aspek
agama, bahkan untuk masalah-masalah remeh temeh sekalipun, kyai tidak absen
dimintai masukan. Saat musim pemilu tiba misalnya, banyak orang-orang dari elit
pemerintah yang datang untuk sekadar mohon restu dan minta didoakan supaya
menang dalam pemilihan. Atau para pedagang yang mohon dimudahkan mencari
rezeki saat berdagang. Sebenarnya masih banyak tradisi umum lainnya, yang bisa
dibilang kurang afdol tanpa melibatkan kyai.
50 Untuk lebih jelasnya mengenai sejarah gerakan modern islam bisa dilihat dalam buku Deliar
Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1980).
51
Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura, h. 223.
76
Image yang tertanam dalam benak masyarakat tentang kyai, menyimpan
keutamaan penting bahwa ia adalah pusat pemecah setiap masalah. Saluran bagi
tercapainya setiap cita dan impian mereka. Kontribusi kyai yang besar dalam
bidang pendidikan agama, etika moral, dan peran sosial di dalam masyarakat
Madura, pada akhirnya sulit untuk tidak melibatkan kyai di berbagai sudut
dimensi kehidupan mereka. Sebagaima dikatakan oleh Muhammad Kosim dalam
sebuah tulisannya di Jurnal Karsa:
―Pengaruh kyai melampaui batas pengaruh institusi-institusi kepemimpinan
lainnya. Dalam berbagai urusan umat, kyai menjadi tempat mengadu. Seperti
urusan agama, pengobatan, rizki, jodoh, membangun rumah, bercocok
tanam, konflik sosial, karier, politik, dan sejumlah problema hidup lainnya.
Belum mantap rasanya apabila segala urusan tidak dikonsultasikan kepada
kyai dan belum mendapat restu darinya. Kyai melayani kebutuhan umat
dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, umatpun merasa puas. Dan
sebagai ―imbalannya‖ umat akan patuh, tunduk, dan siap mengabdi kepada
kyai. Hubungan antara kyai dan umatnya— sebagaimana digam-barkan di
atas—dikenal dengan pola hubungan paternalisme, di mana hubungan antara
pemimpin dan yang dipimpin (atasan-bawahan) seperti hubungan antara
ayah dan anak.‖52
Hubungan yang terjalin antara masyarakat dengan kyai di Madura menyiratkan
adanya hubungan timbal balik yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme)
di antara mereka . Di satu sisi masyarakat mendapatkan kepuasan batin dengan
wejangan, nasihat, yang diberikan oleh kyai, di sisi lain kyai meneguhkan
fungsinya sebagai aktor penting di masyarakat. Rasa hormat, manut, dan loyalitas
kepada kyai disajikan oleh masyarakat dalam bentuk penghormatan yang sama
besarnya dengan apa yang mereka lakukan kepada para pemimpin mereka. Malah
sebagian di antara mereka lebih menghormati kyai dibandingkan pejabat
52 Muhammad Kosim, ―Kyai Dan Blater: Elit Lokal Dalam Masyarakat Madura,‖ Jurnal
Karsa, Vol. XII No. 2 (Oktober, 2007): h. 162.
77
pemerintahan. Saking besarnya peran kyai dalam masyarakat, sampai-sampai ada
peribahasa lokal di Madura yang terkenal “buppa’-babu’guruh-ratoh.”53
Menurut Kuntowijoyo seperti yang penulis kutip dari Muhammad Kosim,
Madura adalah ‗pulau seribu pesantren‘.54
Beragam model kyai, hidup dan
berkembang sesuai vak serta bidangnya masing-masing. Mulai dari kyai langgar,
kyai pesantren, kyai tarekat, dan kyai dukun, menghiasai bentuk-bentuk profesi
kyai dalam masyarakat Madura.55
Otoritas kyai yang besar dilihat dari sudut
pandang kehidupan masyarakat Madura, membentuk citra tersendiri bahwa kyai
adalah manusia yang berbeda dari manusia pada umumnya. Persepsi masyarakat
yang memercayai bahwa kyai jauh dari tindak tanduk profan, telah mempertebal
perannya sebagai sebuah institusi baru di masyarakat. Dan sebagai cikal bakal
sebuah institusi, kyai sepertinya memiliki imunitas sosial moral di masyarakat.
Secara eksplisit, masyarakat yakin, barang siapa yang melawan kyai maka orang
itu akan mendatangkan bencana bagi dirinya sendiri (kualat).56
Peranan kyai dan otoritasnya yang besar dalam kaca mata orang Madura,
dapat ditelusuri dengan menggunakan dua parameter.57
Parameter pertama
menyangkut islamisasi yang terjadi di Madura, dan kedua, faktor ekologis Madura.
Penyebaran Islam di Madura secara historis salah satunya dilakukan oleh wali
songo. Pembauran wali songo dengan masyarakat sekitar, dalam hal ini Sunan
53 Peribahasa ini konon mempertegas posisi kyai/guru dengan peranan Bapak, Ibu, dan Pejabat
Pemerintah. Dalam keluarga, orang Madura menghormati Bapak-Ibu, dan dalam unit sosial di
masyarakat, orang Madura menghormati Kyai dulu baru Pemerintah. (Muhammad Kosim dalam
Jurnal Karsa. Kyai dan Blater: Elit Lokal Dalam Masyarakat Madura, h. 162).
54
Kosim, Kyai Dan Blater, h. 162.
55
Ibid, h. 162.
56
Ibid, h. 162-163.
57
Ibid, h. 163-164.
78
Ampel dan Sunan Giri, menandaskan kontribusi besar kyai sepanjang sejarah
islam di Madura. Mereka dalam hitungan matematis jumlah penganut islam di
Madura, telah berhasil menyebarkan agama ini di bumi Madura. Bahkan di banyak
kesempatan, para wali ini turut dalam berbagai pemberontakan bersama para
penduduk. Mereka adalah mobilitator perjuangan melawan kolonialisme. Maka
tak heran, jika saat ini banyak pesantren bermunculan di tanah Madura. Itu adalah
bukti kontinuitas sejarah yang berkelindan dari masa ke masa. Pesantren
merupakan lembaga pendidikan formal pertama dalam sejarah bangsa Indonesia.58
Sedangkan faktor lain, penguat peran kyai di Madura, adalah bersumber dari
dimensi ekologi. Ekologi yang dimaksud di sini adalah ekologi tegalan.
Sebagaimana sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa ekologi tegalan
merupakan impak dari tanah di Madura yang tidak cocok untuk ditanami padi.
Curah hujan yang kurang, iklim yang gersang, dan tanah yang kurang subur
menyebabkan masyarakat harus mencari alternatif tanaman lain yang cocok
dengan tipologi tanah di Madura. Adapun tanaman alternatif tersebut yakni jagung
dan singkong. Ekologi tegalan pada akhirnya berpengaruh pada pola pemukiman
dengan rata-rata banyak rumah yang minimun di setiap desa. Hal ini membawa
spirit yang terbangun antar warga bukan berasal dari unsur gotong royong serta
kebersamaan sebagaimana desa-desa di Jawa pada umumnya. Solidaritas warga di
perkampungan di Madura diikat oleh ritual-ritual agama dengan masjid sebagai
pusat pertemuan dan kyai sebagai pusat panutan (central of man). Agama menjadi
satu-satunya perekat silaturahmi antar warga sekaligus pembentuk rasa
58 Ibid, h. 163-164.
79
kepemilikan bersama.59
Tak heran bila agama dan orang Madura menjadi identitas
yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Agama adalah bagian dari harga diri
orang Madura. Menghina agama berarti sama saja merendahkan harga diri dan
martabat orang Madura. Beberapa kasus konflik agama yang terjadi di Madura
kurang lebih muncul karena paradigma tersebut.60
Dari waktu ke waktu, dengan semakin besarnya pengaruh dan peran kyai di
Madura, banyak di antara mereka, untuk kemudian hari terjun ke dunia politik.
Keterlibatan para kyai dalam politik prosedural ini, adalah sarana memanfaatkan
modal sosial yang sudah mereka miliki. Kepercayaan dan rasa hormat masyarakat
yang sudah mereka genggam, digunakan sebaik-baiknya oleh para kyai dalam
melihat peluang mereka yang sangat strategis untuk menjadi pemimpin formal.
Transformasi kyai, dari pemimpin informal menjadi pemimpin formal, setidaknya
telah mengkristalkan kekuatan dan kekuasaan mereka menjadi semakin luas.
Karena kekuasaan legal-formal yang mereka dapat dari panggung demokrasi
prosedural, ditambah kharisma yang mereka miliki di mata masyarakat, yang
didapat melalui perannya sebagai agen sosio kultural, menjadikan kekuatan para
kyai berlipat-lipat besarnya. Kini mereka bukan hanya dinisbatkan sebagai
pemimpin informal saja, melainkan sebagai pemimpin formal sekaligus. Untuk itu,
sisi negatif dari keikutsertaan kyai dalam persoalan politis adalah melemahnya
civil society dalam rangka mengawasi peran serta kinerja pemerintah. Ada rasa
tidak enak yang menjangkiti masyarakat untuk melakukan protes tatkala mereka
(para kyai) melakukan kesewenang-wenangan dalam tugas mereka sebagai
59 Ibid, h. 163-164.
60
Abdur Rozaki, ―Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,‖ Kyoto Review of
Southeast Asia Issue 11 (December 2009): h. 2.
80
pemimpin formal baru. Sehingga situasi seperti ini mirip dengan sejarah eropa
zaman pertengahan, dimana agama memainkan peran sebagai otoritas absolut
yang jauh dari kritikan.
D. Blater Sebagai Orang Kuat Lokal Madura
Kekerasan tidak luput dalam dinamika sosial kehidupan manusia. Sebab
kekerasan merupakan bagian dari dalam diri manusia yang secara psikologi
diliputi perasaan dan emosi. Peperangan yang mewarnai perjalanan sejarah umat
manusia, adalah ekspresi dari nilai-nilai kekerasan yang dimilikinya. Sepanjang
umat manusia masih mendiami bumi, selama itu pula internalisasi kekerasan
menjadi hal yang akan menemani perjalanan kita sepanjang masa. Sebagaimana
kalimat satir yang dikatakan oleh George Orwel: ―perang ialah damai, kebebasan
ialah perbudakan, kebodohan ialah kekuatan.”61
Dalam studi yang dilakukan oleh Johan Galtung, pada prakteknya,
kekerasan dapat dikategorikan menjadi tiga divertifikasi, pertama adalalah
kekerasan secara fisik, kedua, kekerasan struktural, dan ketiga adalah kekerasan
kultural. Pada jenis yang pertama, kekerasan fisik digambarkan dengan adanya
proses konflik/interaksi yang dilakukan secara langsung, misalkan melalui
pemukulan, tamparan ataupun yang memungkinkan terjadinya kontak langsung
secara fisik. Sedangkan kekerasan jenis kedua, yakni kekerasan struktural,
merupakan jenis kekerasan yang dilakukan melalui kebijakan-kebijakan dan
aturan-aturan yang memberatkan. Sehingga munculnya objek sebagai korban
yang dirugikan. Salah satu contoh kekerasan yang termasuk kategori ini adalah
61 George Orwel, 1984 (Yogyakarta: Bentang, 2014), h. 19.
81
praktek korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan pemerintahan.
Adapun kekerasan jenis terakhir, kekerasan kultural, adalah jenis kekerasan yang
dilakukan melalui propaganda dan kampanye melalui berbagai produk
kebudayaan. Misalnya, propaganda yang dipraktekkan rezim Soeharto dengan
memasifkan kampanye anti-PKI lewat pemutaran film G-30-S-PKI setiap
tahunnya.62
Melalui kaca mata kekerasan yang diuraikan Johan Galtung, kita dapat
melihat bagaimana fenomena Blater (orang kuat lokal di Madura) didefinisikan.
Blater adalah gambaran praktek kekerasan yang terjadi di tingkat lokal – dalam
hal ini terjadi di Madura. Kondisi ini sama halnya dengan fenomena jawara yang
terjadi di Banten. Baik blater maupun jawara, merupakan lokalitas praktek
kekerasan yang marak terjadi di belahan wilayah Indonesia. Ragam kekerasan
yang mewarnai dinamika sosial masyarakat daerah, identik dengan eksistensi
preman lokal. Kewenangan yang mereka punyai kurang lebih berasal dari
berbagai intimidasi, pemalakan, kerusuhan, dan pembunuhan yang kerapkali
mereka lakukan.
Dalam diskursus orang kuat lokal Madura, Blater merupakan salah satu elit
yang memiliki strata sosial yang prestisius yang serupa dengan kyai. Bila kyai
dihormati karena kedudukan ilmu agamanya yang tinggi, Blater disegani karena
kekuatan dalam dirinya yang besar. Dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat
Madura, Blater dideskripsikan sebagai orang yang suka membunuh dan membuat
62 Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi
Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film (Serpong: Marjin Kiri, 2013), h. 35-57.
82
onar. Kehadirannya adalah bagian yang tak terpisahkan dari budaya carok yang
terkenal di masyarakat setempat.
Penisbatan Blater pada diri seseorang dinilai dari seberapa berani ia
melakukan upaya carok. Meskipun carok bukanlah satu-satunya arena legitimasi
keblateran bisa didapatkan. Ada arena-arena lainnya dimana pelegitimasian
keblateran muncul seperti: ―kedekatan seseorang dengan tradisi kerapan sapi,
sabung ayam, jaringan kriminalitas dan remoh blater.‖63
Tetapi tetap budaya carok
merupakan budaya yang menyangkut erat soal harga diri dan prinsip orang
Madura. Sedikit saja harga diri orang Madura ternodai, maka tak segan orang-
orang ini untuk melakukan upaya carok. Bahkan tendensi adanya paradigma
semacam ini tergambar jelas dalam peribahasa setempat yang penulis kutip
langsung dari Abdur Rozaki: ―ango‘an pote tolang etembang pote matah, artinya
lebih baik putih tulang dibandingkan putih mata. ‗Hidup itu tidak ada maknanya
kalau kehilangan harga diri‘.‖64
Ada banyak kasus yang seringkali menimbulkan praktek carok di
masyarakat. Prinsip masyarakat lokal yang teguh soal harga diri, dan merasa
maloh65
bila harga diri mereka dinjak-injak, seringkali menimbulkan resistensi
antar warga. Pertikaian-pertikain antar warga, bahkan antar sekte agama semisal
kasus Syiah di Sampang, beberapa kali mencuat menjadi pemberitaan nasional.
Kasus pertikaian dan perkelahian antar warga, menurut Wijayata, yang penulis
kutip langsung dari Abdur Rozaki, adalah bisa disebabkan sebagai berikut:
63 Abdur Rozaki, ―Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,‖ h. 2.
64
Ibid, h. 1.
65
Maloh adalah perasaan malu
83
―Pertama, gangguan atas istri. Orang Madura akan mudah terpancing dan
melakukan pembelaan dalam bentuk carok kalau istrinya diganggu. Begitu
juga dengan adanya sikap cemburu, kalau kemudian terjadi perselingkuhan
sang istri dengan orang lain. Lelaki yang berselingkuh dengan istri orang
itulah yang akan menjadi sasaran dari sang suami. Kedua, balas dendam.
Upaya melakukan pembalasan bila terdapat diantara salah satu anggota
keluaraga yang terbunuh. Ketiga, mempertahankan martabat dan keempat,
mempertahankan harta warisan. (Wiyata, 2002; 89-159).‖66
Pengidentikan Blater hanya dengan kekerasan di satu titik tidak selamanya
menjadi dominasi wacana orang kuat lokal di Madura. Kultur Madura yang
agamis, nyatanya juga telah menuntut reproduksi Blater dengan ciri khas tertentu.
Adanya hubungan yang saling mengisi antara kekerasan di satu sisi, dan
religiusitas di sisi yang lain.67
Maka, dalam kasus Madura, Blater dapat tumbuh
dan muncul dari segala aspek strata sosial, baik dari kalangan masyarakat sipil
biasa maupun santri.68
Sebuah diametral yang saling berbeda tentunya, tapi dalam
realita sosial di lapangan, tak jarang peristiwa ini terjadi: jiwa blater dan santri
hadir pada diri seseorang sekaligus. Dan tak jarang antara Blater dan Kyai terjalin
relasi ekonomi-politik bersama yang saling menguntungkan satu sama lain.69
Sebagaimana yang ditulis oleh Abdur Rozaki:
―Kedua aktor ini dalam praktek sosialnya, terkadang saling berseberangan
paham dan visi. Namun dalam konteks tertentu tak jarang pula saling
menjalin relasi kultural, ekonomi dan politik kuasa. (Rozaki; 2004). Dalam
konteks inilah citra simbolik kekerasan dan religiusitas saling berkelindan
dan berdialektika dalam ruang-ruang sosial masyarakat Madura.‖70
Berdasarkan pengamatan penulis, faktor kemunculan Blater di Madura
dapat ditelusuri lewat 3 jalur utama. Pertama, dari sudut pandang kesejarahan,
kedua, dari sudut pandang sosiologis-ekologis, dan ketiga dari perspektif
66 Abdur Rozaki, ―Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,‖ h. 1.
67
Ibid, h. 1.
68
Ibid, h. 2.
69
Ibid, h. 3.
70
Ibid, h. 3.
84
institusi.71
Secara historis, sepak terjang dunia Blater yang mewarnai kehidupan
masyarakat Madura, tidak terlepas dari eksistensi mereka di masa lalu.
Kemunculan mereka di masa lalu merupakan buah dari ragam kompleksitas hidup
semasa jaman kerajaan dan kolonialisme. Di saat era kerajaan berlangsung, selain
yang menjadi raja adalah orang-orang istimewa yang memiliki nasab kerajaan,
tidak sedikit dari para raja adalah mereka yang berasal dari para jagoan desa.
Mereka mempunyai pengikut yang banyak dan memiliki ilmu bela diri yang
hebat. Cerita-cerita rakyat yang berseliweran mengisahkan bahwa para jago ini
tidak mempan ditembak, anti-bacok, dan sulit ditangkap. Maka tak heran,
sebagian dari mereka mampu mengambil alih kekuasaan dari para raja dan duduk
sebagai raja baru. Cerita ini dapat ditemukan pada kisah Ki Lesap dan Ken Arok
Dedes misalnya. Berbagai pemberontakan dan perlawanan yang dilakukan para
jago desa ini umumnya karena merasa gerah dan muak dengan sikap dan perilaku
raja yang sewenang-wenang.
Begitupun saat bercokolnya negara kolonial, ada banyak ceritera tentang
jago desa yang ikut terlibat dalam beragam perlawanan. Dalam konteks Madura,
ada cerita tentang Kutil, yang terkenal dalam peritiwa tiga daerah. Sebuah revolusi
yang terjadi di sekitar daerah Pekalongan. Nama asli Kutil adalah Sakhyani. Ia
merupakan seorang keturunan Madura yang hidup di Dukuh Pesayangan, daerah
Talang. Selama masa revolusi di daerah tersebut, ia mendirikan sebuah organisasi,
AMRI namanya, dengan pengikut yang beragam, mulai dari pedagang, penjahit,
71 Ibid, h. 3-7.
85
petani miskin, tukang besi, dan tukang jamu.72
Tugas dan misi berdirinya
organisasi ini adalah untuk menumpas keberadaan sisa-sisa NICA dan orang-
orang yang disinyalir bersekongkol dengan NICA.73
Lain lagi cerita soal Sakera, seorang Madura yang melakukan perlawanan di
salah satu daerah tapal kuda, Pasuruan. Ia adalah seorang jago yang anti-
penjajahan. Kelihaiannya melakukan manuver pemberontakan membuat negara
kolonial Belanda hampir kehilangan akal untuk menghabisinya. Sakera
merupakan sosok jago yang terkenal di kalangan rakyat bukan saja karena
keberaniannya melakukan perlawanan semata, tetapi juga karena kemampuan
tubuhnya yang anti ditembaki beberapa selongsong peluru. Ia konon memiliki
ilmu kebal sehingga sulit untuk dimatikan. Ringkas cerita, akhirnya Belanda
melakukan upaya muslihat dalam sebuah pentas seni yang bernama Sadur. Dalam
pentas itu, Sakera diperbolehkan menari dengan perempuan asalkan seluruh jimat
yang dia pakai dilepas saat menari. Sewaktu Sakera menari, Belanda
menembakinya dan dia pun mati terkapar.74
Tetapi, di samping banyaknya para jago yang melawan ketidakadilan dari
para raja, dan penindasan yang dilakukan oleh bangsa penjajah, ada pula dari
mereka yang dimanfaatkan oleh dua elemen tersebut. Dalam internal kerajaan,
para jago diangkat dan dipekerjakan sebagai pelindung tahta dan keselamatan raja
dari marabahaya. Tugasnya tak lain adalah untuk menjaga status quo eksistensi
para raja. Sedangkan dalam konteks kolonialisme, para jago direkrut oleh para
72 Anton E. Lukas, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Dalam Revolusi (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1989), h. 146-147.
73
Ibid, h. 147-148.
74
Abdur Rozaki, ―Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,‖ h. 4.
86
Gubernur Jenderal untuk menumpas beragam pemberontakan yang terjadi di
sekitar wilayah kekuasaan mereka. Para jago ini mendapatkan keuntungan yang
sesuai dengan kesepakan bersama di antara mereka. Secara tidak langsung, bangsa
penjajah melakukan strategi devide at impera antara rakyat yang mau berkhianat
dengan rakyat yang teguh untuk melawan.75
Pada konteks masyarakat Madura,
pemanfaatan rakyat sebagai pasukan penyokong negara kolonial dapat dilihat dari
sejarah berdirinya organisasi militer Barisan. Oranisasi militer ini merupakan
kesepakatan bersama antara pihak Belanda dengan kerajaan-kerajaan Madura
yang saat itu tengah berusaha untuk melepaskan diri dari hegemoni kerajaan
Mataram. Dengan melindungi kerajaan Madura dari penguasaan kerajaan
Mataram, Belanda mendapatkan privelse untuk mendapatkan jasa militer dari para
penduduk Madura yang bebas mereka gunakan untuk berbagai kepentingan
kolonialisme.76
Dari sudut pandang sosiologis, kemunculan Blater merupakan imbas dari
faktor ekologis Madura - yang disebabkan karena tipologi geografis wilayah yang
tidak memungkinkan terjadinya penggarapan tanah secara intensif. Impak dari
ketidaksuburan tanah ini kemudian menjalar pada problem unsur kesejahteraan
rakyat yang sangat minimalis. Rakyat tidak mampu hidup dari segala keterbatasan
yang diakibatkan beragam persoalan fisikawi. Curah hujan yang kurang, iklim
yang gersang, dan laju pertumbuhan penduduk yang massif dari tahun ke tahun,
menambah perkara hidup menjadi semakin kompleks. Migrasi faktanya bukan
merupakan satu-satunya solusi yang dijalankan oleh rata-rata penduduk Madura
75 Ibid, h. 3-6.
76
Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940
(Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002), h. 145-146.
87
dalam menjauhi segala permasalahan hidupnya. Menjadi Blater, nyatanya menjadi
cara lain guna mengatasi segala problema hidup. Paradigma seperti ini lambat
laun mengalami ideologisasi di masyarakat.77
Walau cara menuju keblateran
penuh resiko bahkan bisa berujung pada kematian. Tetapi dengan menjadi Blater,
mereka memiliki posisi untuk melakukan daya tawar dalam hal apapun, dia akan
merasa disegani dan dihormati. Sehingga kekuasaan Blater dalam personalisasi
diri, mengukuhkan karakteristiknya sebagai orang kuat lokal.78
Faktor lain yang memicu kelahiran Blater di Madura adalah masalah
institusi/kelembagaan. Faktor kelembagaan merupakan hal penting dalam wacana
negara modern. Institusi adalah arena legal-formal dimana setiap kepentingan
diagregasi, dan setiap konflik dipecahkan melalui mekanisme prosedural.
Sehingga adanya institusi dimaksudkan untuk dapat menghilangkan perilaku dan
sikap main hakim sendiri. Tetapi dalam kasus Madura, cara kerja ini belum
sepenuhnya berhasil. Begitupun di banyak wilayah di Indonesia yang lain.
Intoleransi dan aksi-aksi kekerasan yang mewarnai gerak-gerik masyarakat yang
disebabkan oleh tidak adanya institusi yang kuat, adalah celah bagi terbentuknya
premanisme. Kekacauan yang menimpa lembaga/institusi, khsususnya dalam
kasus Madura, dapat ditarik jauh ke alur sejarah perjalanan bangsa Madura.
Secara historis, bangsa Madura selalu berada di bawah hegemoni kerajaan-
kerajaan Jawa dan negara kolonial, hal ini mengakibatkan tidak adanya upaya
untuk melakukan intensifitas dan signifikansi institusi di kalangan masyarakat
77 Abdur Rozaki, ―Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,‖ h. 5.
78
Ibid, h. 5.
88
Madura. Negara tidak hadir di tengah-tengah mereka.79
Masyarakat tidak dilatih
untuk melakukan pemecahan masalah secara institusionalis. Mereka dibiarkan
begitu saja untuk mengelola persoalannya sendiri-sendiri. Institusi hukum absen
dalam kehidupan mereka. Hal ini menurut Abdur Rozaki berimbas pada strategi
pemecahan masalah di antara mereka (problem solving), kekerasan menjadi
pilihan utama masyarakat dalam rangka membela diri mereka.80
79 Ibid, h. 6.
80
Ibid, h. 6.
89
BAB IV
DINAMIKA KEKUASAAN POLITIK FUAD AMIN DI BANGKALAN
A. Terbentuknya Kekuasaan Politik Fuad Amin
Sebagaimana telah penulis uraikan di bab-bab sebelumnya, bahwa terdapat
dua entitas kelas masyarakat yang memiliki peranan penting dalam lanskap sosio
kultur politik di Madura. Yang pertama adalah kiai, dan yang kedua blater. Kedua
entitas informal ini faktanya memiliki pengaruh yang kurang lebih sama, bahkan
kadangkala melebihi segala bentuk legitimasi atas kontrol yang dimiliki oleh
negara pada masyarakat. Keberadaan kiai dan blater sebagai kekuatan informal di
Madura, kerapkali menjadi simbol yang dalam bahasa Migdal disebut sebagai
“Strategies of Survival”.1 Simbol ini kelak telah menghantarkan keduanya ke
tempat istimewa di antara kalangan orang-orang berpengaruh dan terhormat.
Kehadiran mereka di antara masyarakat Madura, jika ditilik kembali ke
sejarah masa silam, sangat begitu besar impresinya. Mereka bukan hanya tinggal
dan menetap sebagaimana masyarakat biasa, lebih dari itu, keberadaan mereka
ditujukan pula untuk turut serta dalam membina dan mengintervensi masyarakat
di berbagai aspek: baik agama, sosial maupun politik. Keterlibatan ini telah
membentuk ikatan emosi yang kuat, yang mengikis batas impersonal masyarakat
dengan kelompok-kelompok informal.
1 Strategies of Survival merupakan strategi bertahan hidup dengan mendekatkan diri kepada
kekuatan patron, yang dalam hal ini adalah para jago yang berkuasa pada teritori tertentu, Daniel
Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for presentation at
the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism, territoriality,
democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of Copenhagen,
Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.
90
Munculnya kiai sebagai orang lokal berpengaruh, dalam penjelasan
Kuntowijoyo,2 tidak terlepas dari konsekuensi logis yang diakibatkan oleh faktor
ekologi tegalan. Madura yang didominasi oleh ekologi tegal sebagai impak dari
iklim yang kering dan dengan curah hujan yang begitu minim, (pada akhirnya
memberikan dampak lain pada kehidupan bercocok tanam masyarakat). Mereka
tidak sama dengan masyarakat jawa yang umumnya berococok tanam dengan
menanam padi di sawah. Mereka, masyarakat Madura, harus berjibaku dengan
cuaca ekstrem yang tidak cocok untuk menanam tanaman sejenis. Karenanya,
mereka lebih banyak menanam umbi-umbian yang memerlukan pasokan air lebih
sedikit. Tegal menjadi pilihan corak bercocok tanam masyarakat.
Kondisi ekologi yang seperti ini pada akhirnya mau tidak mau juga
berpengaruh besar pada konsepsi pemukiman penduduk di sekitarnya. Masyarakat
Madura memiliki model pemukiman yang lebih terpencar-pencar dari pada jenis
pemukiman di pulau Jawa yang rapat dan terintegrasi di satu desa.3 Makanya
hidup masyarakat Jawa cenderung berkelompok, karena dalam sistem tani yang
menjadi ciri khas masyarakat Jawa, teknis irigasi perlu diatur sesuai dan biasanya
terjadi atas asas gotong royong. Dengan demikian, wajar bila solidaritas antar
masyarakat Jawa terbentuk dalam kerangka ekonomi.
Sedang corak ekologi tegalan dengan pemukiman penduduk terpencar-
pencar yang dominan pada masyarakat Madura, juga akhirnya berpengaruh pada
minimnya solidaritas antar mereka. Hal ini belakangan tergambarkan melalui
2 Lihat Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940
(Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002).
3 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 (Jogjakarta:
Mata Bangsa, 2002), h. 60.
91
sikap individualistik masyarakat Madura. Mereka tidak terikat dengan rasa
tanggung jawab dengan sesama dan antar masyarakat desa sebagaimana yang
terjadi pada masyarakat Jawa dan Sumatra. Tanggung jawab yang menonjol di
dalam kultur Madura lebih bersifat eksklusif antar keluarga saja.4 Adapun satu-
satunya simbol pengerat solidaritas atau yang oleh Durkheim disebut dengan
„jaringan sentimen kolektif‟ di antara masyarakat Madura adalah melalui ritus-
ritus agama.5 Dengan menunaikan ritual ibadah, dan upacara-upacara keagamaan
secara bersama-sama, lambat laun rasa solidaritas ini muncul dan terpupuk ke
permukaan. Kiai menjadi entitas penting dalam simbol solidaritas tersebut.6
Sama halnya dengan kiai, eksistensi dan munculnya pengaruh blater juga
tidak bisa terlepaskan dari faktor ekologi tegalan yang tidak mampu memberikan
pasokan kebutuhan secara maksimal, sehingga keadaan masyarakat menjadi serba
kekurangan.7 Walaupun, kemunculannya sebagai orang kuat lokal juga
merupakan buntut dari beragam penindasan yang seringkali dilakukan oleh elit
semasa raja-raja dulu berkuasa dan semasa penjajahan, serta sebagai impak
hadirnya institusi Barisan di bawah kendali kolonialisme Hindia-Belanda.8
Hasil cocok tanam tegalan yang masyarakat Madura kerjakan, faktanya
tidak banyak membantu dan memberikan keuntungan bagi kebutuhan hidup
4 Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura,” dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto,
ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 215.
5 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial, h. 450.
6 Muthmainnah, Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura, h. 216.
7 Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of
Southeast Asia Issue 11 (December 2009).
8 Barisan merupakan satuan korps militer yang beranggotakan para sipil dan digunakan untuk
kepentingan Belanda. A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
(Yogyakarta: LkiS, 2002), h. 68.
92
mereka sehari-hari. Bahkan untuk memenuhi pasokan kebutuhan yang serba
kekurangan tersebut, masyarakat Madura mesti mendatangkan sebagian
logistiknya dari Pulau Jawa. Hal tersebut cukup untuk menjadi alasan mengapa
akhirnya banyak di antara masyarakat Madura yang lebih memilih hidup
bermigrasi ke Jawa atau ke beberapa tempat lainnya di Indonesia ketimbang tetap
menetap di daerah. Atau, meskipun menetap, sebagian di antara mereka lebih
memilih hidup untuk menjadi bandit-bandit desa (blater).9 Berprofesi sebagai
bandit desa atau blater setidaknya telah memberikan jaminan bagi kepastian hidup
mereka sehari-hari. Corak hidup blater yang lekat dengan alam kekerasan,
menjadikan mereka sebagai aktor yang ditakuti. Mereka kerap terlibat dalam
perampokan serta pencurian.10
Sikap ini telah meningkatkan daya tawarnya selaku
kelompok penting pada strata sosial di masyarakat. Namun harus digarisbawahi,
bahwa tidak selamanya keberadaan para blater di Madura hanya sebatas
diilustrasikan sebagai para bandit atau kriminil lokal. Sebab tak jarang dari
mereka pun turut serta, malah menjadi bagian dari garda terdepan masyarakat
dalam rangka melawan kolonialisme dan despotisme para raja.
Dengan sejarah sosial yang berpengaruh di masyarakat, maka tak aneh bila
kemudian, di era-era selanjutnya, dua kelompok ini memegang peranan penting,
bukan saja dalam konteks kehidupan sosial, melainkan juga dalam wacana politik
lokal di Bangkalan. Penjelasan mengenai lahirnya kekuasaan politik Fuad Amin
era kontemporer saat ini, tidak bisa dilepas begitu saja dari sejarah panjang
9 Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of
Southeast Asia Issue 11 (December 2009).
10
Abdur Rozaki, “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto Review of
Southeast Asia Issue 11 (December 2009).
93
eksistensi blater dan kiai di masa lalu. Fuad Amin merupakan manifestasi
kalangan kiai-blater yang tetap bertahan meskipun di era demokrasi yang lebih
modern. Sebagai elit yang mewakili tahta waris trah kiai di satu sisi, dan
keterlibatannya secara langsung dengan alam pergaulan blater di pihak lain, telah
tampak menegaskan eksistensi Fuad Amin sebagai satu-satunya orang kuat lokal
berpengaruh yang paling disegani, dihormati, sekaligus ditakuti oleh masyarakat.
Dengan bersandar pada argumen Joe S. Migdal bahwa orang kuat lokal
merupakan ‘melange’ yang berada di luar organisasi negara yang keberadaannya
terbentuk karena relasi sosial masyarakat yang masih bersifat patron-klien,11
benar-benar merupakan realita empirik bila merujuk pada kasus lokalitas Fuad
Amin di Bangkalan. Kemunculan orang kuat lokal yang tergambarkan lewat
pribadi Fuad Amin di aras Bangkalan tidak dapat dihindari dan juga merupakan
akibat langsung dari kondisi umum pola jejaring yang terwarisi turun temurun
yang menginternalisasi corak masyarakat Bangkalan yang hingga sekarang tetap
lestari memegang teguh budaya patrimornialistik. Dimana kiai dan blater kokoh
berada di strata paling atas sebagai patron dalam relasi kelas sosial setempat.
Apalagi keberadaannya telah menstimulus pandangan masyarakat bahwa mereka
adalah satu-dua aktor yang sanggup menawarkan „strategi bertahan hidup‟.
Masyarakat menjadi ketergantungan pada dua kelompok ini. Menjauhi keduanya
sama saja menolak aspek penghidupan yang ditawarkan oleh dua kelompok
informal ini, lebih-lebih menentang atau melawan keberadaannya.
11 John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John
Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta:
Demos, 2005), h. 73.
94
Terbentang sejak pra kolonialisme sampai era demokrasi liberal, kiai dan
blater terbilang masih menjadi aktor yang mendominasi unsur kekuatan sosial
politik masyarakat Bangkalan. Terkecuali di era orde baru, dimana kekuatan dan
dominasinya sedikit mengecil lantaran represifitas Soeharto. Memang harus
diakui, bahwa ketidakhadiran kekuatan dominan baik dalam bentuk orang kuat
lokal, elit lokal, maupun oligark skala lokal saat Soeharto masih berkuasa dengan
kondisi sekarang tentu berbeda. Jika di masa-masa sebelumnya, semasa rezim
Soeharto berkuasa, kekuatan-kekuatan informal relatif bisa diredam dengan segala
bentuk pengekangan lewat klaim legalitas konstitusional mengatasnamakan
pancasila, beda halnya Indonesia pasca Soeharto, dimana negara lebih membuka
ruang bagi munculnya kekuatan civil yang lebih masif. Termasuk mulai
terlibatnya orang kuat lokal dan aktor-aktor lainnya dalam politik praktis.
Menjamurnya oligark dan orang kuat lokal dalam politik praktis era
reformasi, tidak terhindar dari adanya implementasi desentralisasi serta
keterbukaan civil yang minus proses transisi ideal yang mengabaikan logika
penataan serta penguatan lembaga hukum untuk menciptakan asas-asas keadilan
dan kesejahteraan pada masyarakat. Asumsi yang terburu-buru lewat proses
strukturasi dengan seolah-olah menganggap bahwa bila desentralisasi dan
demokrasi di tingkat lokal diterapkan maka kemakmuran masyarakat dengan
sendirinya akan terwujudkan,12
tidak sepenuhnya benar. Padahal pasca reformasi
meletus, praktik penegakan hukum di Indonesia masih kacau balau.13
Distorsi
lembaga hukum di Indonesia pasca reformasi tentu telah menjadikan kesempatan
12 Tim Lipi, Membangun Format Baru Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2006), h. 11-12.
13
Jeffrey A. Winters, Oligarki (Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2011), h. 267.
95
ini hanya menjadi arena adu kepentingan semata oleh para oligark, orang kuat
lokal, dan para elit politisi, baik lokal maupun nasional sebagai ajang pengerukan
dan penghisapan sumber-sumber ekonomi penting yang jarang bahkan tidak
mungkin mereka lakukan saat Soeharto masih bertahan. Dan perlu diketahui,
bahwa reorganisasi administratif pada masa transisi ini hanya memerlukan waktu
selama 18 bulan.14
Padahal, ada seribu peraturan yang kurang lebih mesti
direstrukturisasi (Amzulian Rifai, 2002:23).15
Bahkan karena alasan tanggung
jawab yang terlampau besar ini, Ryaas Rashid, selaku pengemban tanggung jawab
tersebut, akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
menteri negara.16
Pasca Soeharto tumbang, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh banyak
kelompok kepentingan itu untuk mengisi kekosongan kekuasaan yang
ditinggalkan oleh rezim. Seluruh elemen sosial turut larut dalam perlombaan.
Mereka berupaya sekuat tenaga untuk menjadi raja-raja baru penerus estafet
kekuasaan orba. Praktik suap, jual beli suara, dan unsur kekerasan, menjadi isu
penting yang mewarnai momen-momen politik era reformasi. Secara garis besar,
kelompok kepentingan yang memperebutkan kekuasaan di segala tingkatan dan
ranah, terbelah menjadi dua. Kelompok pertama diwakili oleh mantan gerbong
pengikut orba, dan kelompok lainnya diwakili oleh kelompok pembaharu yang
tidak terkait dengan orba. Namun motif logika kekuasaannya tetap sama: mereka
14 Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, “Pendahuluan,” dalam Henk Schulte
Nordholt dan Gerry van Klinken, ed., Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia dan KITLV, 2014), h.17.
15
Menurut Amzulian Rifai seperti dikutip Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed.,
Politik Lokal di Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2014), h. 17.
16
Ibid, h. 17.
96
hanya berlomba-lomba untuk menguasai aset-aset ekonomi yang ditinggalkan
Soeharto. Berakhirnya kapitalisme semu ala Soeharto (meminjam istilah
Yoshihara Kunio)17
, telah merubah peta persaingan ekonomi-politik para elit
menjadi semakin sengit. Era reformasi telah menjamin setiap warga negara untuk
turut berkompetisi secara aktif baik dalam ekonomi maupun politik.
Dinamika politik lokal di Bangkalan era reformasi juga tidak jauh berbeda
dengan wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Bangkalan menjadi salah satu
contoh tempat kebermunculan kelompok-kelompok kepentingan yang dulu
dikekang oleh orba. Reformasi, jika divisualisasikan, adalah pondasi awal
konsolidasi kekuatan-kekuatan lama. Fuad Amin yang direpresentasikan sebagai
bagian yang tak terpisah dari golongan kiai, dianggap sebagai mesin awal bagi
perubahan menuju Bangkalan ke arah yang lebih baik. Fuad adalah tumpuan
masyarakat kebanyakan yang mendamba adanya perbaikan di segala sektor.
Apalagi posisinya yang dianggap kiai, telah menambah rasa percaya diri
masyarakat, bahwa mereka sudah berada di trek yang benar dengan pemimpin
yang ideal. Tapi apa nyana, impian serta harapan tersebut pupus tidak lama
setelah Fuad Amin sah menjadi pemimpin. Berbagai tindakan inkonstitusional,
korupsi, serta tindakan kriminal menghiasi seluk beluk kepemimpinan Fuad.
Anggapan bahwa Fuadlah sang pemimpin ideal ternyata bertolakbelakang 100
persen dengan realita yang belakangan baru saja terjadi. Fuad Amin justru
menjadi pesakitan di tangan KPK.
17 wacanakiri-blogspot, “Memahami Erzat Kapitalisme bersama Yoshihara Kunio,” artikel
diakses pada tanggal 12 Maret 2016 dari http://wacanakiri.blogspot.co.id/2011/07/memahami-
erzat-kapitalisme-bersama.html
97
Hal lainnya, yang harus digarisbawahi, bahwa kemunculan orang kuat lokal
yang terkejewantahkan pada diri Fuad Amin yang dimulai semenjak liberalisasi
ekonomi-politik diterapkan, termasuk di Bangkalan, sekaligus juga mengandaskan
logika Migdal yang berpandangan bahwa keberadaannya hanya menjadi faktor
penghalang bagi kapitalisme serta pembangunan di daerah - lewat gangguan yang
kerapkali ditujukan terhadap para implementors (wakil pusat di daerah) untuk
menguasai dan menghalang-halangi berbagai kebijakan yang akan dialokasikan
untuk beragam kepentingan masyarakat di tingkat lokal.18
Alih-alih menghalangi
jalannya kapitalisme pasar serta mengganggu berbagai proyek pembangunan di
Bangkalan, Fuad Amin justru meraup banyak keuntungan dari sistem globalisme
pasar seperti ini. Sistem kapitalisme terbuka malah merupakan sumber basis bagi
ladang kekayaan yang Fuad pupuk dan didistribusikan untuk kepentingan
pribadinya semata. Iklim investasi dimonopoli, yang seakan-akan menjadi mainan
pribadinya yang Fuad kelola berdasarkan aturan serta kehendak yang Fuad
inginkan. Praktik ini hampir mirip dengan kondisi orba di masa lalu.
Sebetulnya impak kemunculan orang kuat lokal yang mengarah pada
penghambatan ataukah merupakan bagian elemen pendukung sistem kapitalisme
pasar mendapat respon balik dan kembali diperdebatkan oleh John T. Sidel. Sidel
lebih percaya, bahwa keberadaan orang kuat lokal malah membantu sekaligus
memanfaatkan jalannya kapitalisme tersebut. Terakhir, Sidel menyebut orang kuat
lokal sebagai bos lokal. Kondisi ini salah satunya Sidel gambarkan dalam
fenomena transformasi bos lokal di Provinsi Cavite dan Cebu di Filipina, yang
18 John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John
Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta:
Demos, 2005), h.73-74
98
tumbuh menjadi kawasan metropolis berkat keterlibatan bos lokal. Di mana para
bos lokal menjadi fasilitator yang mengundang sekaligus meyakinkan para
pemodal untuk berinvestasi di kawasan tersebut, dengan menikmati manfaat dari
keterlibatannya itu.19
Persoalan menghambat atau tidak menghambat jalannya pembangunan
lewat perlakuan orang kuat lokal terbilang masih relatif apabila merujuk ke
beberapa kasus. Bolehlah dikatakan bahwa keberadaan orang kuat lokal di daerah
bermanfaat dalam menjaga stabilitas politik di aras bawah. Gejolak dari berbagai
kelompok kepentingan yang terfragmentasi relatif bisa dilembagakan melalui
eksistensi orang kuat lokal selaku penguasa utama pada teritorial di dalamnya,
sehingga logika pembangunan yang mengutamakan stabilitas politik, dapat
direalisasikan. Atau para orang kuat lokal kerap menjadi bagian marketing dari
beragam modal investasi yang ditujukan pada para investor. Tapi persoalannya,
keberadaan mereka tetap saja mereduksi benefit ekonomi negara dari berbagai
praktik suap, ilegalitas hukum, koersifitas yang mereka lakukan, dan rongrongan
pengkorupsian aset belanja negara di sektor kapital pembangunan.
Pada kasus Fuad Amin, penjelasan soal ini rincinya lebih disebabkan karena
posisi Fuad Amin sendiri merupakan bagian yang tak terpisah dari keadaan dan
status dirinya sebagai implementors atau wakil pusat yang bercokol di daerah.
Pada konteks ini adalah dalam kapasitasnya selaku bupati, sehingga
rasionalisasinya adalah bahwa tidak mungkin Fuad Amin secara pribadi
mengganggu jalannya pemerintahan yang sedang Fuad lakukan, atau bahkan,
19 Ibid, h. 79-80.
99
tidak mungkin bagi dirinya membiarkan adanya kelompok penentang lain dari
para seterunya (orang kuat lokal di luar dirinya) yang mencoba mengusik
pemerintahan yang sedang berjalan.
Harus diketahui, bahwa Fuad Amin merupakan satu-satunya raja lokal
dengan kekuatan besar yang nyaris tidak satupun aktor lokal yang berani untuk
melakukan konfrontasi terhadap kekuasaannya. Modal sosial selaku orang kuat
lokal yang terlebih dulu Fuad pegang, yang kemudian Fuad manfaatkan sebesar-
besarnya untuk masuk ke arena politik formal, telah membangun aspek kekuatan
politiknya semakin berlipat-lipat.
Dengan demikian, dengan kepemilikan lewat dua kekuatan ganda, baik
formal maupun informal, kontan telah memberikan peluang dan kesempatan bagi
dirinya untuk memperluas dominasinya di masyarakat, di samping upaya yang
sama yang juga Fuad lakukan untuk memperkecil kesempatan politik kepada
pihak lain di luar dirinya. Setelah akumulasi dari modal kekuatan politik Fuad
Amin semakin mantap, meluap di segala sektor, baik yang berasal dari elemen-
elemen kultural di satu sisi, maupun elemen struktural formal di sisi lain, tentu
bukanlah hal yang sulit bagi Fuad untuk membangun otoritas serta dominasinya
ke dalam segala bentuk formula yang menyangkut bagi-bagi posisi struktural
politik lokal di Bangkalan. Politik seakan-akan menjadi arena monopolistik
kekuasaan yang bisa dibentuk sesuka hatinya.
Fuad Amin dikelilingi oleh orang-orang loyal, sekaligus ditakuti oleh para
kelompok penentang. Tak jarang unsur-unsur kekerasan, intimidasi, praktik suap,
dan sabotase politik mewarnai jalannya pemerintahan selama kepemimpinannya.
100
Ketakutan kolektif telah menjadi gejala umum masyarakat Bangkalan. Kondisi
tersebut telah mempermudah Fuad Amin dalam membangun serta membentuk
dinastinya tanpa hambatan yang komplesk. Keajegan dinasti politik Fuad Amin
yang hingga saat ini masih terlihat jelas di arena politik lokal Bangkalan, tidak
bisa dilepaskan begitu saja dari manajerial bangunan praktik-praktik kriminal
yang Fuad lakukan. Permasalahan inti ini bukan hanya tiadanya kelompok oposisi
yang setara yang mampu mengimbangi segala bentuk kapasitasnya menguasai
kelompok-kelompok civil yang ada, melainkan juga disebabkan tiadanya lembaga
hukum independen yang berani mengusik sikap-sikap inkonstitusional yang kerap
dilakukan oleh Fuad. Semenjak pertama kali Fuad Amin menjabat sebagai bupati,
para kroni dan keluarga yang berjasa kepada proses pemenangannya, perlahan-
lahan Fuad masukan ke dalam struktur pemerintahan. Sebagian yang lainnya Fuad
bantu dalam penguasaaan ormas-ormas di Bangkalan. Gambaran dinasti politik
Fuad dapat dilihat seperti dalam bagan IV.1 dan bagan IV.2.
Bagan IV.1. Bangunan Dinasti Politik Fuad Amin Periode 2003-2008
Sumber Gambar: Diolah dari hasil wawancara
Fuad Amin (Bupati)
Syafii Rofii (Ketua DPRD, Sepupu Fuad)
Imam Bukhori Kholil (DPR RI, Keponakan Fuad)
101
Bagan IV.2. Bangunan Dinasti Politik Fuad Amin Periode 2008-2013
Sumber Gambar: Diolah dari hasil wawancara
Wacana serta diskursus local strongmen Migdal memang dibungkus dalam
kerangka kausalitas antara reduksifitas peran negara dengan dampak keberadaan
kelompok-kelompok informal. Memang tak jarang dari para pemimpin negara
atau implementors yang ditemukan di negara-negara dunia ketiga pada akhirnya
lebih memilih bekerjasama dengan menempatkan orang kuat lokal sebagai klien
mereka di tingkat daerah ketimbang melakukan perlawanan terhadapnya,20
masalahnya tetap saja bahwa orang kuat lokal, memiliki daya tawar yang tinggi
untuk menukar kepentingan pusat di daerahnya dengan berbagai macam
pertukaran, misalnya saja lewat penempatan orang-orang mereka di institusi resmi
pemerintahan, atau lewat monopoli proyek yang akan digulirkan oleh negara.
Dengan demikian, logika dan premis yang diajukan oleh Migdal bahwa orang
20 Daniel Lambach, “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.” Paper for
presentation at the conference “Political Concepts Beyond the Nation State: Cosmopolitanism,
territoriality, democracy”, Danish Political Theory Network Conference, University of
Copenhagen, Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.
Fuad Amin (Bupati)
Syafii Rofii (Wakil Bupati, Sepupu Fuad)
Ali Wahdin (Ketua DPRD, Kroni Fuad)
102
kuat lokal merupakan pembatas kapasitas negara yang menyebabkannya menjadi
lemah, tidak sepenuhnya salah atau menjadi benar adanya jika dirujuk pada
beberapa kasus tertentu. Tetapi jika hal ini kembali dihadapkan pada kasus Fuad
Amin di Bangkalan, dengan menjadikan negara sebagai subyek yang seolah-olah
dikorbankan atas implikasi kemunculan orang kuat lokal, patut kembali
dipertanyakan: Benarkah negara melemah akibat kemunculan orang kuat lokal?
Apakah strukturisasi yang diinisiasi oleh negara tidak memiliki kontribusi sama
sekali dalam mengangkat eksistensi Fuad Amin ke permukaan politik lokal di
Bangkalan? Bukankah orang kuat lokal menangkap era keterbukaan sebagai
peluang bagi penggapaian dominasi dan kekuasaan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, temuan penulis di
lapangan justru mengarah linear dengan ide-ide John T. Sidel mengenai
reproduksi orang kuat lokal di alam demokrasi. Artinya keberadaan Fuad Amin
sebagai orang kuat lokal di Bangkalan faktanya tidak dapat dilepaskan dari
hadirnya kelonggaran kekuasaan sehingga menyemai pembibitan dan reproduksi
kekuatan-kekuatan informal lama ke alam yang lebih baru. Orang kuat lokal
bukan hanya muncul dari dalam masyarakat, tetapi juga dari dalam negara secara
bersamaan. Demokrasi memberi peluang bagi siapapun untuk dipilih dan
memilih, sehinggga peran negara dalam mengkonstruk serta
menumbuhkembangkan kelompok-kelompok lain di luar dirinya, termasuk Fuad
Amin tidak bisa dielakkan.
Histrorisitas munculnya Fuad Amin sebagai orang kuat lokal di Bangkalan
faktanya lagi-lagi bersumber dari diskursus politik yang berasal dari beberapa
103
produk restrukturisasi yang terjadi di Indonesia pasca 1998. Khususnya peraturan
perundang-undangan yang menitikberatkan polisentrisme ke jenjang
pemerintahan lokal. Fakta ini bukan maksud mengarahkan bahwa demokrasi
seakan-akan hanya menjadi biang dari kemunculan rezim predator baru pasca
Soeharto. Hanya saja masalahnya, transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia
tidak berjalan seiringan dengan penguatan lembaga hukum independen. Lembaga
hukum dan peradilan di Indonesia era reformasi tetap memburuk akibat intervensi
yang terlanjur mendalam yang kerap dimanfaatkan Soeharto di masa lalu, bahkan
temuan Daniel S. Lev dan Pompe, kekacauan lembaga hukum ini lebih jauh lagi
sudah terjadi di masa sebelum orba, yakni ketika Indonesia menerapkan sistem
demokrasi terpimpin era Soekarno.21
Fenomena Fuad Amin di Bangkalan, juga sekaligus memperlengkap
argumen Sidel yang yakin bahwa kapitalisme pasar yang terjadi pada masa-masa
orba telah sedikit membantu pembibitan orang kuat lokal untuk menjadi bos lokal
yang dulu ditempatkan oleh Soeharto di berbagai daerah lewat berbagai
keuntungan dari diskresi aturan dan proyek yang mereka dapatkan.22
Mereka ada
dalam berbagai bentuk, bisa purnawiran militer, bupati, sekda, dan anggota
DPRD. Banyak di antaranya yang memiliki perkebunan, konsesi kehutanan,
pabrik semen, bank swasta, perusahaan konstruksi, hotel, dan lain sebagainya
(Ichlasul Amal 1992:179).23
Sehingga sewaktu Soeharto tumbang, mereka
21 Winters, Oligarki, h. 227-229.
22
John T. Sidel, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia,” dalam John
Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru (Jakarta:
Demos, 2005), h. 89-90.
23
Menurut Ichlasul Amal seperti dikutip oleh Leo Agustino, Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi
Gelap Desentralisasi di Indonesia Berbanding Era Sentralisasi (Widya Padjadjaran, 2011), h. 60.
104
memiliki modal sosial-politik awal sebagai orang berpengaruh untuk dapat
menjadi penguasa lokal. Untuk kasus tersebut, bisa dilihat dari beberapa
pengalaman dinasti politik seperti dinasti Atut di Banten.
Namun, kemunculan Fuad Amin sebagai bos lokal tidak berasal dari modal
eksistensinya sebagai kaki tangan orba melalui berbagai keuntungan dari
kapitalisme pasar waktu itu, malah di masa orba, ayah Fuad Amin, Amin Imron,
merupakan elit lokal yang memilih untuk berlawanan dengan pihak penguasa
ketimbang melakukan kerja sama, sehingga kemunculan Fuad Amin sebagai
kekuatan politik di era demokrasi sekarang ini tentu bukan dikarenakan posisinya
yang lebih dulu diuntungkan lewat hubungan dekatnya dengan lingkaran Soeharto
dari beragam privelse ekonomi dan politik, sampai memudahkannya untuk turut
menguasai jalannya politik pasca Soeharto tumbang. Melainkan lebih disebabkan
karena basis sosial kekiaian dan keblateran yang masih menjadi elemen penting
nan berharga di sekitar masyarakat Bangkalan. Meskipun, walau tak terhitung
besar, Fuad Amin juga sedikit mencicipi manfaat stabilitas ekonomi di masa orba
dengan menjadi pengusaha lokal yang bergerak di bidang pelayanan haji dan
sebagai penyalur tenaga TKI.
Masalahnya, sekalipun Fuad Amin tidak berasal dari kekuatan lama yang
dipelihara oleh Soeharto yang meraup banyak keuntungan dari kebijakan pasar
yang sudah mulai terasa di zamannya, terutama setelah fenomena boom oil yang
terjadi sekitar tahun 70-an, yang tak sedikit dari para kaki tangan orba, khususnya
mereka-mereka yang berasal dari kalangan militer, pengusaha, politisi Golkar, dan
105
beragam afiliasi Soeharto di berbagai gerakan ormas24
di daerah yang akhirnya
berevolusi menjadi bos lokal dengan modal besar untuk menguasai politik lokal
pasca lengsernya Soeharto, tapi tetap saja, kekuatan besar Fuad Amin muncul
berkat restrukturisasi negara lewat implementasi pemilihan umum ke daerah-
daerah. Setidaknya hal ini menggambarkan bahwa kemunculan orang kuat lokal
bukanlah sesuatu yang terpisah dari campur tangan negara dan
mensimplifikasikan ketidakterkaitan negara sebagai pemegang otoritas resmi yang
sah. Adanya alokasi berbagai kebijakan, khususnya yang berpretensi pada
persoalan ekonomi politik ke daerah-daerah bukan malah mengkooptasi peran bos
lokal di masyarakat, melainkan berkontribusi dalam membangun kekuatan tiran
menjadi semakin besar, sehingga kontrol sosial masyarakat atas negara menjadi
semakin sempit. Kapitalisme pasar yang lebih terbuka dengan banyaknya program
dan proyek pembangunan, dimanfatkan sebesar-besarnya untuk menambah pundi-
pundi modal untuk berbagai kepentingan yang menyangkut eksploitasi sumber-
sumber ekonomi strategis dan pemeliharaan berbagai basis massa sosial
pendukung kekuasaan.
Yang terpenting, selain dari dua sumber kekuatan modal politik Fuad Amin
yang telah dipaparkan, adalah basis kekayaan Fuad Amin yang memang telah
terlebih dulu terjamin sebelum keterlibatan dirinya di ranah politik praktis.
Sebagaimana dikatakan Winters, bahwa ketidaksetaraan material berpengaruh
penting kepada ketidaksetaraan politik. Premis ini sekiranya ingin
menggambarkan bahwa upaya gerakan penyadaran akan pentingnya partisipasi
24
Lihat Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta:
LP3ES, 2005).
106
politik bagi setiap warga negara saja tidak cukup untuk menghilangkan realisme
ketidakadilan politik di masyarakat.25
Orang-orang kaya dengan harta melimpah
cenderung memiliki kesempatan lebih besar menguasai politik kekuasan
dibandingkan orang-orang miskin yang tidak memiliki harta sama sekali,
meskipun kedua kelompok ini sama-sama berpartisipasi.
Sehingga dengan memakai logika oligarki seperti ini, wajar bila Fuad Amin
berhasil menduduki posisi strategis politik di aras lokal. Bahkan jika beranjak
lebih jauh ke teori sumber daya kekuasaan, yang mendiversifikasi modal kekuatan
politik ke dalam lima bentuk penting: hak politik formal, jabatan resmi, kekuatan
pemaksaan, kekuataan mobilisasi, dan material kekayaan,26
seluruh kelima
sumber daya kekuasaan tersebut dimiliki oleh Fuad Amin sepenuhnya. Maka
memasukan Fuad Amin ke dalam bagian oligark-oligark kecil yang ada di
Indonesia pasca reformasi bukan merupakan sesuatu yang melenceng jika ditinjau
dari beragam sudut teoritis. Oligark menurut Winters, secara definisi diartikan
sebagai:
“pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya
material yang biasa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan
kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya.”27
Pokok praktik oligarki adalah adanya upaya dari individu tertentu untuk
mempertahankan atau menambah basis kekayaan materialnya. Mengacu pada
pemahaman ini, indikasi yang mengkategorikan Fuad Amin sebagai oligark lokal
25 Winters, Oligarki, h. xv-xvii dalam sebuah kata pengantar.
26
Kelima sumber daya kekuasaan ini merupakan garis pembeda yang menegasikan konsep elit
di satu sisi, dan oligark di sisi lain. Sumber daya kekuasaan elit terdiri dari: hak politik formal,
jabatan resmi, kekuatan pemaksa, dan kekuatan mobilisasi. Sedang sumber daya kekuasaan para
oligark yakni basis material kekayaan yang terkonsentrasi. Lihat Jeffrey A. Winters, Oligarki
(Jakarta: Gramedia Pustakan Utama, 2011), h. 18-19.
27
Winters, Oligarki, h. 8.
107
terbilang lebih dari cukup. Apalagi semasa kepemimpinannya, Fuad Amin selalu
berusaha menumpuk harta kekayaannya lewat beragam praktik korupsi,
pemerasan, dan kontrol terhadap badan usaha daerah. Fakta ini searah dengan
pemikiran Winters yang secara eksplisit mengatakan:
“Namun, jika pejabat itu korup dan mengumpulkan kekayaan pribadi (dengan
cara apa pun), maka kiranya dia menjadi elit pemerintahan sekaligus oligark
yang mampu melibatkan diri dalam politik pertahanan kekayaan”28
B. Fuad Amin dan Lanskap Orang Kuat Lokal di Bangkalan
Kekuasaan yang dipegang oleh mantan bupati Bangkalan, Fuad Amin,
selama dua periode berturut-turut amat begitu besar dan tak terbendung. Apalagi
karir politiknya tidak hanya berhenti sebagai bupati saja, melainkan terus
berlanjut hingga sukses menjabat sebagai ketua dewan DPRD Bangkalan dari
fraksi partai Gerindra. Maka tak aneh jika kemudian masyarakat Bangkalan
menjuluki Fuad Amin dengan gelar kanjeng. Gelar ini secara tidak langsung
menyiratkan bahwa Fuad Amin bukanlah orang sembarangan.
Antara Fuad Amin, kekiaian, dan keblateran di Bangkalan, merupakan tiga
rupa yang tak terpisahkan. Lahir dari seorang ayah keturunan kiai besar, Fuad
Amin dididik dalam lingkungan keluarga yang religius. Norma-norma agama
menjadi sesuatu yang sublim dalam praktik hidup Fuad semasa kecil. Bahkan
dalam masa-masa tertentu, sebagaimana keluarga kiai khususnya, dan kultur
masyarakat Bangkalan pada umumnya, pesantren menjadi pelabuhan terakhir bagi
pendidikan Fuad kelak. Sekalipun masa belajarnya di dunia pesantren itu tidak
28 Ibid, h. 14.
108
berlangsung lama.29
Menurut penuturan IMM, salah satu keponakannya, Fuad
Amin sempat belajar di Pondok Pesantren Sidogiri selama kurun waktu 3 bulan.30
Secara genealogi, Fuad Amin memang tidak mewarisi darah keturunan
seorang blater. Bapaknya, Ki Amin, selain sebagai seorang Kiai, Ki Amin pun
aktif sebagai politisi. Kiai Amin merupakan elit PPP yang paling lantang di
Bangkalan.31
Begitu juga dengan keluarga besar Fuad lainnya. Mereka adalah
orang-orang yang mewarisi darah keturunan seorang wali, khususnya yang berasal
dari Kiai Khos almarhum Syaikhona Kholil. Kedekatan Fuad Amin dengan dunia
blater, tentu menjadi sebuah pertanyaan besar: bukankah dunia blater adalah
bagian yang sama sekali bertolakbelakang dengan alam kekiaian.
Berawal dari pertanyaan tersebut, penulis akan berusaha untuk menjelaskan
ketiga aspek penting di Bangkalan tersebut pada sub-bab ini. Pertama soal Fuad
Amin, kedua Kiai, dan terakhir, Blater. Aspek ini merupakan kata kunci bagi
fenomena politik lokal di Bangkalan yang nantinya akan membawa kita pada
pemahaman bersama bahwa konsep Migdal dan Sidel mengenai orang kuat lokal
dan bos lokal benar-benar menjadi realita empirik sosial politik yang khas, dan
terjadi di negara dunia ketiga, termasuk di Indonesia.
Secara sosiologis, seperti yang telah penulis jelaskan di muka, di Bangkalan
terdapat dua kelompok yang dominan. Pertama kalangan kiai dan yang kedua
kalangan blater. Demikian juga halnya dalam dunia politik. Kedua kelompok ini
menjadi kelompok penentu dan elit penting dalam mengarahkan arus politik yang
29
Wawancara Pribadi dengan AAR, Bangkalan, 22 September 2015.
30
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM, Bangkalan, 23 September 2015.
31
Wawancara Pribadi dengan FHR, Bangkalan, 18 September 2015.
109
terjadi di Bangkalan.32
Sejarah masuknya blater ke lingkaran kuasa politik lokal di
Bangkalan dapat dilihat dari dua periodisasi waktu yang berbeda. Pertama adalah
periode raja-raja jaman dulu saat masih berkuasa. Dan periode kedua yaitu saat
terbentuknya institusi “Barisan” di bawah kendali bangsa kolonial. Paparan detail
mengenai sejarah blater telah penulis terangkan di bab-bab sebelumnya.
Dalam dinamika sosial di Bangkalan, keberadaan kalangan kiai dan blater
nyatanya telah membentuk semacam kohesi sosial di antara keduanya. Maka tidak
sedikit bila di kemudian hari, dari anak-anak keturunan kiai, yang juga menjalin
hubungan yang erat dengan kalangan blater, khususnya mereka-mereka yang tidak
mendapatkan pendidikan langsung di dunia pesantren.33
Keadaan serupa juga terjadi dan sangat relevan dengan kondisi Fuad Amin.
Fuad adalah salah satu keluarga kiai yang dekat dengan kalangan blater. Hal ini
sesuai juga dengan kondisi masa pendidikannya di pesantren yang terhitung
sangat begitu singkat. Fuad Amin tidak pernah menyelesaikan pendidikannya di
pesantren sampai jenjang yang utuh. Maka tak aneh bila hubungannya dengan
kalangan blater terbilang bukan hanya sekadar dekat, tapi juga menginternalisasi
perilaku serta bahkan menjiwai sikap-sikap blater tersebut.34
“.............Nah, seorang Blater sehebat apapun itu pasti dekat dengan kiai dan
tunduk sama kiai. Itu sejarah dari awalnya ya selalu begitu. Tidak ada
seorang blater itu berani sama kiai. Nah, karena kedekatan-kedekatan seperti
ini, anak-anak kiai ini ada juga yang pergaulannya dengan blater. Khususnya
yang tidak mondok di pesantren. Sehingga kedekatan-kedekatan dengan
blater ini, itu tentu menjadi sebuah sikap keseharian, dari, walaupun itu
keluarga pesantren tapi karena kedekatannya dengan blater, jiwanya itu
paham gitu. Bahkan tidak hanya jiwanya yang paham, sikapnya juga lebih
dari sikap blater yang dominan. Nah, Fuad Amin ini masuk yang kelompok
32 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM, Bangkalan, 23 September 2015.
33
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
34
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
110
itu. Salah satunya dari keluarga pesantren yang dekat dengan blater.
Sebenarnya kalau urusan blater di Bangkalan ini kita tidak perlu dekat atau
punya jiwa blater juga. Karena walaupun bagaimana, kalau sama keluarga
kiai, blater itu tidak akan berani. Tidak akan berani. Seperti misalnya,
perseteruan saya dengan fuad amin, si fuad amin inikan dekat sekali dengan
blater di Bangkalan. Tapi untuk hal-hal politik, ketika berseberangan dengan
saya, blater ini pun juga mundur enggak berani berhadapan dengan saya.
Misalnya, untuk melakukan kekerasan, kalau blater itukan ya itu memang
dunianya hitam. Jadi kalau jika berhadapan dengan saya, mereka mundur,
ndak berani. Karena saya masih keluarga dalam juga. Demikian juga blater-
blater yang dukung saya, ketika awalnya pun saya suruh perintahkan
gimanapun, enggak akan berani untuk melawan si Fuad. Ya itu sudah,
trahnya blater begitu. Nah, Fuad masuk dalam kelompok yang dekat sekali
dengan blater”.35
Persepsi soal dunia keblateran di Bangkalan memang terbelah menjadi dua.
Pada konteks ini, blater mempunyai dua makna stereotip sekaligus, yakni makna
positif di satu sisi, dan makna negatif di sisi lain. Di satu pihak ada yang
beranggapan bahwa blater adalah para jago yang selalu ada di belakang rakyat.
Tapi di pihak lain ada juga yang berangapan bahwa blater merupakan dunia yang
hitam kelam nan profan. Pembelahan ini merupakan buntut dari sejarah eksistensi
mereka di masa lalu. Dari berbagai literatur yeng membahas soal blater, memang
alam keblateran tidak bisa dilepaskan dari dua sudut pandang ini.
Dalam sejarah pra-kemerdekaan misalnya, diceritakan, bahwa kaum blater
adalah kalangan para jago yang turut terlibat dalam berbagai usaha-usaha
kemerdekaan. Mereka seringkali terlibat perlawanan dengan para raja lalim dan
bangsa kolonial. Tapi di sisi lain, keberadaan para blater juga tidak terpisahkan
dari berbagai praktek kriminal yang terjadi di masa itu. Dengan kondisi sosial-
ekonomi-politik yang tidak menentu, dan dengan keadaan serba kekurangan dan
kemelaratan yang banyak menimpa masyarakat, orang kuat lokal lebih memilih
35 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
111
jalan pintas sebagai para kriminil lokal untuk dapat tetap hidup, atau dengan
bersekongkol menjadi kaki tangan para raja dan bangsa kolonial untuk melayani
berbagai kepentingan mereka dengan mendapatkan imbalan tertentu.
Pada masa rezim Soeharto masih berkuasa, para blater dan kiai tidak
memiliki hak politik yang luas lagi leluasa. Keberadaan mereka sebagai tokoh
sentral yang hidup berdampingan dengan rakyat - yang dapat dilihat dari
pengalaman sepak terjangnya dalam sejarah silam - telah dulu dikebiri dari pentas
politik lokal akibat cengkeraman rezim yang nyatanya sudah semakin mengakar
sampai ke tingkat bawah. Pada masa-masa orba, blater dan kiai hanya sebatas
tinggal di pinggiran, mereka hidup di desa-desa, dengan tidak ikut andil bagian
dalam berbagai proses dan urusan politik apapun yang terjadi di Bangkalan.36
Sekalipun perlawanan-perlawanan terhadap kebijakan orba yang dianggap
merugikan pernah terjadi atas inisiasi para kiai, tetapi hal itu tidak lantas
kemudian menjadi sinyalemen keberadaan partisipasi politik yang lebih massif di
masa orba, sebab perlawanan tersebut masih bersifat temporal dan tidak
memberikan dampak reduktif atas dominasi struktural politik orba di masyarakat.
Perlawanan-perlawanan itu dapat dilihat dari protes-protes yang kerap dilancarkan
oleh para kiai yang tergabung dalam BASRA (Badan Silaturahmi Ulama Madura).
Saat itu mereka menolak wacana pembangunan dan industrialisasi yang
diprakarsai orba di kawasan Madura.37
36 Wawancara Pribadi dengan AHS, Bangkalan, 20 September 2015.
37
Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki
Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” (Disertasi Program Studi Islam, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015), h. 99-100.
112
Mengenai konstruk dan tipologi blater sewaktu Soeharto masih berkuasa
adalah terbangunnya ketundukan dan kepatuhan yang mereka tunjukan kepada
rezim. Ketika Soeharto masih berkuasa, Bangkalan berada di bawah
kepemimpinan Mohammad Fatah. Fatah sendiri berasal dari unsur TNI dari matra
angkatan laut.38
Fatah merupakan kaki tangan orba di Bangkalan. Konstruksi
blater di Bangkalan kala itu yakni akan merasa ciut serta takut apabila berhadapan
langsung dengan unsur pemerintahan, termasuk kepada pemerintahan Fatah yang
merupakan kepanjangan tangan bagi pusat di Bangkalan. Bahkan sampai ada
istilah populer yang terkenal di kalangan blater setempat waktu itu: deki keteme
beki ke negere (nanti dikasih ke negara).39
“............Seblater-blaternya orang Madura, kalau berhadapan dengan orang
yang berbaju dinas atau negara, dia takut. Itu blater Madura. Jadi kalau pak
Fatah waktu itu, ya iya, wong orde baru. Blater itu pasti tunduk. Tapi model
bagaimana pak Fatah mengkoordinir dan mengendalikan blater, saya gak
tahu. Bagaimananya saya gak tahu. Tapi tipologi blater Madura kalau sudah
berhadapan dengan negara dia takut. Ini anunya mas, apa namanya, apa
namanya, kalau dibikin guyonan orang blater: (deki keteme beki ke negere),
nanti dikasih ke negara, kalau begini mas, blater. Jadi dia takut”.40
Masuknya blater dan kiai ke dalam urusan politik praktis di Bangkalan, paling
tidak dimulai semenjak era Fuad Amin menjabat sebagai Bupati. Masa-masa
kepemimpinan Fuad Amin ini merupakan awal eskalasi besar-besaran yang
menandai masuknya kedua elemen masyarakat itu ke ranah politik lokal di
Bangkalan.41
Masuknya dua elemen masyarakat ini, ke pusaran politik lokal di
Bangkalan, tidak terhindar karena sosok Fuad Amin yang merepresentasikan diri
sebagai kiai dan blater sekaligus. Gambaran Fuad sebagai kiai tidak terlepas dari
38 Wawancara Pribadi dengan MH, Bangkalan, 18 September 2015.
39
Wawancara Pribadi dengan AHS.
40
Wawancara Pribadi dengan AHS.
41
Wawancara Pribadi dengan AHS.
113
garis keturunannya dan basis darah yang diwarisinya. Sedang gambaran Fuad
sebagai sosok blater juga tidak terhindar dari pergaulannya yang erat dengan alam
serta dunia blater di Bangkalan. Hubungan ini sudah dirajutnya semenjak Fuad
masih muda.42
“Mulai dari muda. Jadi beliau itu kan sudah saya bilang pergaulannya
memang dengan para blater, mulai dari muda. Mulai dari masa kanak-kanak.
Sehingga tidak masuk di pergaulan pesantren memang beliau itu”.43
Ada banyak faktor yang menjadikan seseorang dapat dikatakan sebagai
blater, beberapa di antaranya adalah: pernah membunuh, pernah dipenjara,
menang dalam pertarungan, karena faktor kesaktian dan keilmuan, dan masih
banyak lagi faktor-faktor lainnya - yang mampu mengangkat derajat serta
martabat seseorang sampai dapat diakui sebagai bagian dari kelompok blater.
Pengakuan masyarakat terhadap keblateran seseoran pun dapat berbeda satu sama
lain. Kadang di desa A orang tersebut diakui sebagai blater, tapi di desa lain bisa
jadi tidak. Blater madura biasanya mengenakan peci dengan tinggi rata-rata di atas
10 cm.44
Meskipun praktik-praktik yang telah disebutkan tadi tidak secara terang-
terangan dilakukan oleh Fuad Amin, bukan berarti Fuad terbebas dari stigma serta
streotipnya sebagai bagian inheren dari alam blater. Karena faktanya, Fuad Amin
kerapkali merupakan aktor intelektual dari beberapa aksi kekerasan yang biasa
dilakukan oleh kalangan blater suruhannya yang sering Fuad tujukan terhadap
para aktivis lokal dan penentangnya.
42 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
43
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
44
Wawancara Pribadi dengan MH.
114
Sebetulnya, setelah tahun 1990-an, sangat sedikit sekali blater yang
diidentikkan dengan praktik carok dan praktik-praktik kekerasan lainnya. Pasca
tahun tersebut, hanya terhitung ada dua hal yang masih melekat dalam tradisi
blater di Bangkalan, di antaranya adalah hanya sebatas Judi dan Sabung Ayam.45
Tapi dengan keberadaan dan munculnya kekuasaan dan dominasi Fuad, seolah-
olah telah menghidupkan kembali praktik-praktik usang dalam alam blater
tersebut.
Meskipun Fuad hidup dan besar di lingkungan kiai, namun hal tersebut
tidak simultan mewarisi sikap dan laku kiai yang ada di keluarganya. Bahkan,
perilaku keseharian Fuad terbilang jauh dari perilaku asketis para kiai pada
umumnya.46
Jika legitimasi yang merujuk pada sebutan „kiai‟ biasanya datang
dari masyarakat sebagai penghormatan atas sikap religius yang diteladankan.
Beda hal-nya dengan Fuad Amin. Satu-satunya alasan yang dapat menjelaskan
mengapa akhirnya Fuad disebut sebagai kiai hanyalah karena posisinya yang
diuntungkan lantaran memilki silsilah keturunan langsung dari keluarga para kiai.
Sedang, barometer yang menjadi alasan subtantif mengapa seseorang dapat
disebut sebagai kiai dengan ukuran paling minimalis saja, Fuad Amin tidak bisa
memenuhinya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh AHS, yang merupakan
salah satu mantan orang dekatnya:
“.........Salat jarang. Selama saya bersama beliau ya pernah saya lihat salat
tapi enggak aktif sebagaimana muslim taat yang lain.........”47
45 Wawancara Pribadi dengan MH.
46
Wawancara Pribadi dengan AAR.
47
Wawancara Pribadi dengan AHS.
115
Karenanya, meskipun Fuad Amin berada di lingkungan keluarga yang
mendidiknya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai agama, Fuad tidak menutup diri
untuk pula masuk terlibat ke alam pergaulan blater. Komunitas blater menjadi
dunia kesehariannya yang tak terbantahkan.48
Intensitas hubungan antara Fuad Amin dengan para blater dapat dilihat dari
pergaulannya yang acapkali mengikuti beberapa tradisi dalam alam blater.
Kendatipun hal tersebut tidak sepenuhnya Fuad ikuti, - karena untuk beberapa
tradisi yang erat hubungannya dengan dunia blater, seperti sabung ayam misalnya,
Fuad tidak turut serta, tapi segala bentuk tradisi dan kebiasaan blater lain pada
umumnya, Fuad Amin tidak pernah melarangnya.49
Bahkan, untuk tradisi-tradisi
tertentu, tidak jarang pula Fuad Amin ikut terlibat menceburkan diri bersama di
dalamnya. Hal inilah yang menjadikan Fuad Amin mudah diterima oleh kalangan
blater. Sebab kendatipun dunia blater berseberangan dengan dunia kiai yang
menjadi latar keluarga Fuad, tetapi Fuad Amin mampu beradaptasi dengan
kehidupan mereka. Sikap Fuad Amin yang supel adalah kunci keberhasilan dia
memasuki dunia ini.
Keterlibatan Fuad di dunia blater memang tidak mencolok. Di masyarakat
umum, kesan yang timbul saat seseorang disebut sebagai blater adalah mereka-
mereka yang lekat dengan dunia sabung ayam, judi, minum dan lain sebagainya.
Untuk hal-hal seperti itu memang Fuad terbilang menjaga jarak. Tetapi pergaulan
Fuad yang elastis dengan elit-elit blater adalah fakta yang tidak bisa dibantah.
Fuad pintar, dan dia tahu di mana titik-titik kelemahan para blater. Fuad tahu
48 Wawancara Pribadi dengan AHS.
49
Wawancara Pribadi dengan AHS.
116
bahwa kelemahan blater itu adalah uang. Maka bukan perkara yang sulit bagi
dirinya untuk menjadikan mereka sebagai kroni yang bisa dia kendalikan sesuka
hati, semaunya, dan untuk kepentingannya.50
Bukan cara yang sulit pula bila kemudian Fuad Amin mampu memobilisasi
dan memanfaatkan kalangan blater sebagai beking kekuatan di balik
kesuksesannya memonopoli dominasi dan hegemoni dalam segmentasi politik
lokal di Bangkalan. Selain karena keintiman hubungan tersebut, garis
keturunannya yang berasal dari keluarga kiai terpandang di Bangkalan pun turut
memberikan akses bagi dirinya untuk menjadi orang nomor satu dan terhormat
dalam strata kelas di kalangan blater yang lain. Sebab, sehebat dan sekuat apapun
kalangan blater, mereka akan tetap lekat, tunduk, dan menaruh rasa hormat serta
taat pada kalangan kiai.51
Faktor rasa hormat, khidmat, serta kepatuhan blater kepada kiai inilah yang
pada akhirnya menjawab mengapa kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh Fuad
Amin tidak terjadi pada seterunya, lawan politiknya, khususnya Imam Bukhori
Kholil. Di samping Imam Bukhori Kholil masih termasuk ke dalam salah satu
keponakannya sendiri, Imam Bukhori pun sama posisnya dengan Fuad, yang juga
turut mewarisi darah seorang kiai, sehingga penghormatan dan ketakdziman para
blater, mau tidak mau mesti mereka tunjukan juga kepada Imam Bukhori Kholil.52
Penghargaan blater kepada Fuad, juga tidak terlepas dari faktor silsilah
kekiaian ini. Dengan merepsentasikan anak dari keturunan seorang Kiai besar,
otomatis kepatuhan dan ketundukan yang ditujukan para blater, akan mereka
50 Wawancara Pribadi dengan MH.
51
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
52
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
117
nyatakan dengan kesiapannya untuk selalu berada di belakang barisan Fuad Amin.
Di bangkalan sendiri pernah ada sebuah yayasan yang menaungi kalangan blater.
Nama yayasan tersebut adalah Yayasan Blater Madura. Yang menjadi ketua dari
yayasan tersebut adalah orang dan kroni Fuad Amin. Tapi organisasi tersebut
tidak berjalan. Kemudian ada pula Dewan Adat Madura. Tetapi nasibnya sama
serupa dengan Yayasan Blater Madura, organisasi tersebut tidak berjalan juga.53
Adapun unsur lain yang juga menyebabkan Fuad pada akhirnya masuk ke
dunia blater, menurut AAR, salah satu keponakan Fuad, adalah karena dua faktor
penting lainnya: pertama kondisi masa kecil Fuad yang sudah mengalami broken
home, sebagaimana hal ini pernah diakui oleh Fuad sendiri dalam penuturannya di
persidangan, kedua, karena keberadaan keluarga inti Fuad yang jauh dari tempat
tinggal keluarga besar Syaikhona Kholil lainnya. Bila rata-rata keluarga besar
Syaikhona Kholil tinggal menetap di Bangkalan kota dengan kultur kepesantrenan
yang masih kuat, beda halnya dengan Fuad Amin yang tinggal di pedalaman
desa. Fuad tinggal di desa Cempu, Kecamatan Burneh, yang notabenenya
memiliki corak alam masyarakat blater yang masih kental.54
Bukti lain yang mengarah bahwa Fuad layak dimasukan ke dalam bagian
kelompok blater adalah kebiasannya mengikuti tradisi remoh.55
Di samping itu
Fuad juga pernah bergabung dengan kelompok musik tradisional Sandur Madura,
bahkan Fuad merupakan salah satu pemain di dalamnya.56
Dua tradisi ini
merupakan dua tradisi yang lekat dengan alam blater.
53 Wawancara Pribadi dengan MH.
54
Wawancara Pribadi dengan AAR.
55
Wawancara Pribadi dengan NNH, Bangkalan, 20 September 2015.
56
Wawancara Pribadi dengan MH.
118
Selain itu, dalam pilkada 2012, Fuad juga pernah dengan secara lisan
menantang carok kepada siapa saja yang hendak menggagalkan suksesi
kepemimpinan anaknya. Carok adalah praktik yang identik dengan perilaku
blater. Peristiwa ini bermula saat loyalis Imam Bukhori Kholil melakukan protes
di KPU lantaran pencalonannya didiskualifikasi oleh pihak KPU. Menanggapi
banyaknya gelombang protes yang diarahkan kepada persoalan netralitas KPU
pada pilkada 2012, akhirnya sewaktu Fuad berkampanye untuk anaknya di alun-
alun, Fuad terang-terangan menantang carok bagi siapa saja yang berniat
menggagalkan pilkada 2012.57
Karena pada pilkada 2012, Fuad turut bertanggung
jawab bagi pemenangan anaknya sendiri, Makmun Ibnu Fuad, untuk meneruskan
estafet dinasti kepemimpinan politik di Bangkalan.
“Dia tidak pernah turun langsung kecuali kemarin. Pilkada 2012. Pilkada
tahun 2012 itu, karena itu habis kiai imam itu dicoret kiai imam itu, KPU
kan dikepung oleh kelompok masyarakat, unsurnya loyalisnya Ki Imam gitu
kan, sampai dikepung , kota-kota tidak bisa dikeluahin, dia turun langsung
menemui masyarakat itu begini begitu dan bahkan dia di kampanye pun,
saya enggak ngedengar langsung tapi di media ramai, itu mengatakan
nantang carok, siapa yang mau melawan saya carok dengan saya. Kalau
sampai menggagalkan pemilihan bupati, tahun 2012 itu, carok dengan saya,
lawannya saya, begitu.”58
Pendaulatan Fuad Amin sebagai raja dari pada kaum blater di Bangkalan
dapat ditelisik dari dua unsur pendukung. Yang pertama adalah karena
kepeduliannya yang amat besar terhadap kalangan ini, kedua adalah kesediannya
untuk menjadi bagian yang inheren sebagai penjaga alam tradisi budaya blater itu
sendiri. Sikap yang pertama tentu Fuad tunjukan dengan loyalitasnya untuk selalu
terlibat dalam acara-acara yang menyangkut tradisi keblateran, sedang sikap yang
57 Wawancara Pribadi dengan FHR
58
Wawancara Pribadi dengan FHR.
119
kedua Fuad tunjukan dengan menjadi orang yang paling dominan dan tersohor
dalam tradisi tersebut.59
Misalkan dalam alam budaya lokal Madura, dikenal
tradisi Remoh dan To‟oto. Perbedaan Remoh dan To‟-oto‟ terletak pada dua hal,
pertama jumlah tamu yang diundang, dan kedua jenis hiburan yang disajikan.
Acara remoh bertujuan untuk “menyelamati badan sekeluarga” atau “menyelamati
badan sendiri”. Dalam acara remoh, seluruh kalangan blater berkumpul untuk
menikmati jenis hiburan Sandur, semacam kesenian tradisional yang dimeriahkan
oleh penari (tanda) yang diiringi oleh gamelan. Satu hal yang tidak bisa
dihilangkan dari tradisi ini adalah adanya saweran, artinya para tamu yang
diundang diharuskan memberikan uang kepada pihak penyelenggara remoh, dan
sebaliknya, pihak penyelenggara pun mesti melakukan hal yang sama, saat para
tamu yang lainnya mengadakan acara remoh di kemudian hari.60
Saat menghadiri
acara To‟oto bukan hal yang sulit bagi Fuad yang kapasitasnya sebagai bupati
untuk terlibat dalam proses saweran dan memberikan uang dengan nominal paling
tinggi dibandingkan para blater lainnya.61
“Gini, sebetulnya untuk masuk ke dunia blater itu perlu paling tidak dua
modal ya menurut saya. Pertama, modal sok peduli, nah ini dia tunjukan
misalnya ketika blater-blater itu ngadakan acara apa atau apa, dia selalu
hadir. Bahkan dia sering jadi tuan rumah untuk kegiatan-kegiatan yang biasa
terjadi di dunia blater itu. Itu satu. Kemudian yang kedua, tentu kesediaan
dia untuk ikut menjaga apa yang menjadi budaya di dunia blater. Misalnya
kalau di Madura ini terkenal dengan To‟oto misalnya. To‟oto itu misalnya
saya mempunyai hajatan, itu semua yang ikut di rombongan itu harus
(semacam) arisan gitu, naruh uang, nanti kalau sampean punya acara
misalnya sampean dulu naruh berapa ke saya, naruh satu juta, nanti ketika
sampean punya acara, saya datang ke sampean, nah yang satu juta itu
sebagai mengembalikan nanti saya naruh lagi misalnya menjadi satu juta
setengah, yang setengahnya sebagai terus seperti itu. Nah semakin besar
59 Wawancara Pribadi dengan AAR.
60
A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura (Yogyakarta:
LkiS, 2002), h. 71-72.
61
Wawancara Pribadi dengan AAR.
120
yang ditaruh, itu semakin menunjukkan rasa keinginan dia untuk menjadi
keluarga besar di dunia blater itu. Nah tentu sebagai seorang bupati, hadir ke
tempat-tempat seperti itu dengan menaruh (buwuh misalnya, buwuh itu ya
menaruh tadi itu, to‟oto tadi itu) dengan nominal yang lebih besar dari yang
lain misalnya, kan bukan suatu yang sulit. Apalagi pada saat dia punya acara,
kan akan kembali juga uangnya itu.”62
Secara kultur, blater merupakan kalangan yang identik dengan praktik carok
serta tindakan kekerasan lainnya. Cara-cara yang Fuad lakukan saat memimpin
Bangkalan pun tidak lepas dari sikap dan sifatnya yang memang dekat dan
mencercap nilai-nilai yang berkembang pada alam blater. Image blater yang tidak
terlepas dari laku kekerasan pun menjadi pemandangan umum dalam setiap
peredaman gejolak serta protes yang terjadi di Bangkalan. Meskipun secara kasat
mata Fuad tidak terlihat dalam berbagai praktik kekerasan yang terjadi, tapi dasar
naluriah masyarakat, khusunya para aktivis Bangkalan, sudah barang pasti akan
tertuju pada dirinya. Mereka sadar, karena sebelum mereka melakukan
perlawanan, baik lewat demo dan media kritisasi lainnya, mereka tidak
mengalami macam-macam tindakan kekerasan. Tapi setelah gelombang protes
tersebut mereka lancarkan, barulah rentetan macam-macam kekerasan terjadi dan
menimpa mereka. Biasanya kekerasan yang Fuad Amin lakukan dimaksudkan
supaya menjadi pembelajaran berharga bagi para kelompok penentang lainnya.63
Supaya mereka tidak berani macam-macam dengan aksi dan protes yang hendak
mereka lancarkan. Dan umumnya Fuad melakukan hal tersebut dengan
mengerahkan orang-orang suruhannya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan
oleh NNH dan SYK:
62 Wawancara Pribadi dengan AAR.
63
Wawancara Pribadi dengan FHR.
121
“Orang awam pun juga tahu, tapi toh pembuktiannya ya wallahu a‟lam
kebenarannya. Kalau memang dia katakan: oh saya, bukan saya yang
melakukan. Bukan memang dia yang melakukan. Tapikan, tapikan suruhan
mas, suruhannya dia, benar”.64
“Ya tidak usah kasih contoh pun semua orang sudah tahu. Kalau saya secara
pribadi, saya secara pribadi inikan orang yang mau dibunuh. Saya secara
pribadi orang yang mau dibunuh, salah satu target. Ya saya sampaikan, kalau
siapa yang narget, yang narget ya itu lah. Kenapa saya punyai, saya juga
punya dasar, dasar kenapa saya harus kesana menetapkan itu, gitu”.65
“Oh dia enggak terjun, dia gak terjun sendiri tapi kan pake tangan orang lain.
Pake tangan orang lain. Setiap melakukan kekerasan kita tidak bisa
menuduh, setiap ada kekerasan kita tidak bisa menuduh itu Fuad Amin, tapi
dari para blater ini, rumor yang beredar, yah dialah aktornya, tapi pelakunya
orang lain”.66
Banyak cara yang dilakukan oleh Fuad Amin guna meredam gejolak serta
resistansi yang berkembang di masyarakat. Biasanya hal yang pertama yang akan
Fuad lakukan untuk meredam gejolak dan kritik yang datang adalah dengan
ancaman verbal, baik yang dilakukan oleh dirinya secara langsung maupun
melalui kroni-kroni yang berada di bawah kendalinya. Bila upaya ini gagal, maka
Fuad akan beranjak dengan melakukan upaya lobi lewat uang dengan
menyodorkan nominal tertentu. Dan apabila upaya ini pun sama nihilnya atau
tidak menuai hasil sama sekali, maka Fuad Amin tidak akan segan-segan untuk
kemudian melakukan upaya serta tindakan ke arah yang lebih ekstrem dan
repsresif.67
Maka bukan perkara yang mengejutkan bila realita demokrasi di Bangkalan
banyak diwarnai huru hara praktik kekerasan terhadap para aktivis. Lewat jalur
eksekusi yang lebih frontal bahkan, semisal lewat pembacokan dan penembakan,
64 Wawancara Pribadi dengan NNH.
65
Wawancara Pribadi dengan NNH.
66
Wawancara Pribadi dengan SYK, Bangkalan, 17 September 2015.
67
Wawancara Pribadi dengan AAR.
122
maka secara sadar maupun tidak, hal ini akan memberikan dampak psikologi yang
cukup dalam di benak masyarakat. Masyarakat akan merasa ketakutan, dan wabah
ini perlahan-lahan menjalar serta membentuk ketakutan kolektif di antara mereka.
Sehingga ragam gejolak dan kecaman yang mengarah pada segala kebijakan
pemerintah, diharapkan akan padam dengan sendirinya. Karena masyarakat tahu,
betapa resiko yang akan diambilnya amat begitu berbahaya jika berhadapan
langsung dengan pihak penguasa.68
Simbol keblateran Fuad Amin dengan beragam kekerasan yang dilakukan,
pada akhirnya lambat laun telah menstimulus bertahannya ketakutan kolektif di
masyarakat. Bahwa Fuad merupakan ulama, kiai, sakti, wali, dan blater menjadi
sebutan yang sepertinya melekat begitu saja di masyarakat. Apalagi hal ini
diperparah lagi dengan tidak adanya kekuatan penyeimbang yang mampu
mensejajarkan diri dengan kekuatan politik Fuad Amin. Sebab Fuad menyadari,
setiap kali muncul orang-orang yang berusaha menggoyang status quo-nya,
dengan sigap Fuad akan langsung menghabisinya,69
sehingga kekuatan politik lain
di luar dirinya tidak akan berkembang.
Salah satu kelebihan Fuad lain dalam meredam protes yang datang adalah
kemampuannya untuk menerka reaksi lawan.70
Hal ini sangat penting untuk
mengukur seberapa besar dan strategi counter apa yang hendak Fuad berikan. Bila
lawan yang Fuad hadapi melakukan perlawanan sengit, maka opsi-opsi yang telah
Fuad persiapkan dapat diujicobakan setahap demi setahap. Jika opsi pertama
gagal, maka Fuad akan langsung beranjak ke tahap berikutnya.
68 Wawancara Pribadi dengan AAR.
69
Wawancara Pribadi dengan FHR.
70
Wawancara Pribadi dengan AAR.
123
Pengalaman atas tindakan kekerasan yang seringkali Fuad lakukan
sebetulnya dapat ditelusuri saat awal-awal Fuad hidup di Jakarta. Saat itu Fuad
pernah memukul salah seorang supir taxi lantaran Fuad tidak mempunyai uang
untuk membayar argo. Akhirnya dicarilah alasan-alasan untuk dapat memarahi
supir tersebut hingga Fuad Amin dapat memukulnya. Dengan begitu, Fuad bisa
dengan leluasa tidak membayar ongkos argo taxi tersebut lantaran sang supir
terlanjur merasa ketakutan.71
Perihal lain yang membuat tindakan Fuad seringkali tak terbendung adalah
kemampuannya dalam mengelabui orang atau dalam bahasa aktivis Bangkalan –
kelihaian Fuad dalam melakukan teatrekalisasi. Kemampuan ini sering Fuad
perlihatkan saat dia berada dalam situasi yang betul-betul terjepit. Dari cerita-
cerita aktivis di Bangkalan, sewaktu Fuad Amin memanggil mereka untuk
membicarakan soal protes dan aksi yang mereka lakukan, Fuad akan berusaha
sekuat-kuatnya untuk melakukan diplomasi sampai berurai airmata kepada para
penentangnya tersebut. Fuad, selanjutnya, akan menceritakan keluh kesahnya
selama hidup. Dari perlakuan ini, Fuad sepertinya ingin menyentuh dimensi
kemanusiaan dari pihak yang Fuad hadapi. Fuad ingin pihak yang sedang dihadapi
berbalik berempati dan mengasihaninya, sehingga tidak sedikit dari perlakuan
Fuad Amin yang seperti ini menjadikan sebagian para aktivis Bangkalan terenyuh
lalu terseret masuk ke pusat lingkarannya. Ikhwal yang hampir serupa pun pernah
Fuad tunjukan pula sewaktu di persidangan. Dalam persidangan di tipikor, Fuad
Amin tidak enggan-enggan untuk menangis dan menceritakan masa kecilnya.
71 Wawancara Pribadi dengan AAR.
124
Sikap ini Fuad perlihatkan untuk mempengaruhi putusan hakim atas kasus korupsi
yang tengah Fuad hadapi.72
Teror serta tindakan brutal yang Fuad lakukan pada akhirnya melahirkan
semacam pola pikir yang hampir sejenis di masyarakat. Pola pikir ini yaitu
munculnya keantisipasian dari masyarakat untuk tidak ikut terlibat dalam gerakan
bersama kelompok-kelompok penentang. Masyarakat lebih memilih diam
ketimbang menjadi korban keganasan Fuad Amin dalam menjalankan praktik
dominasi yang dilakukannya. Akhirnya, dengan segala bentuk kekhawatirannya
tersebut, masyarakat menjadi merasa tidak memiliki tanggung jawab juga untuk
turut aktif menciptakan good governance, membuka ruang publik yang sehat,
menuntut hak-hak politik mereka yang tercerabut, dan penegakan sendi-sendi
keadilan di Bangkalan. Hal ini terbukti dengan sedikitnya partisipasi masyarakat
dalam rangka mendukung kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh LSM setempat
yang faktanya menaruh perhatian kepada masalah-masalah tersebut. 73
Karenanya, gerakan penentangan yang diinisiasi oleh kelompok LSM-LSM
lokal pun akhirnya tidak mendapat sambutan yang berarti dari masyarakat
Bangkalan. Terlebih LSM, sebagian kalangan kiai yang ikut dalam kelompok
perlawanan saja kerapkali hanya dianggap sebagai protes parsial ketimbang
merepresentasikan kepentingan masyarakat pada umumnya. Komentar nyinyir
masyarakat seringkali terdengar dan tentu mereka tujukan kepada para pegiat
aktivis di Bangkalan. Bagi AAR, kondisi serta gambaran yang terjadi pada
masyarakat Bangkalan itu lazimnya peristiwa lampau yang juga pernah menimpa
72 Wawancara Pribadi dengan AAR.
73
Wawancara Pribadi dengan AAR.
125
kaum Bani Israil - dimana mereka membiarkan Nabi Musa berjuang memerangi
dominasi status quo sendirian. Jangankan tergerak untuk melakukan protes
terhadap segala sesuatu yang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan
kehidupan mereka, dengan adanya pemerasan yang dilakukan Fuad Amin kepada
para THL (Tenaga Harian Lepas) yang nyata-nyatanya bersentuhan langsung
dengan kepentingan mereka sendiri pun, masyarakat hanya diam.74
Berbagai macam teror yang Fuad lakukan itupun seringkali melibatkan
berbagai elemen pemerintahan sampai ke tingkat paling bawah, yang dalam hal
ini adalah camat dan kepala desa. Bahkan sampai institusi-institusi penegak
hukum yang independen sekalipun, seperti kepolisian dan kejaksaan, turut
memainkan perannya dalam persekutuannya di lingkaran kuasa Fuad Amin. Maka
tak aneh bila belakangan masyarakat menyebut kedua lembaga ini sebagai “dinas
kepolisian” dan “dinas kejaksaan”. Hal ini seolah-olah menggambarkan bahwa
mereka (polisi dan jaksa) berada di bawah koordinasi dan instruksi langsung Fuad
Amin.75
“...........Nah ada yang lebih aneh lagi, biasanya kan yang ikut itu hanya dari
jalur secara struktur pemerintahan ya, misalnya dari bupati, camat, klebun
misalnya, lah kalau di Bangkalan itu sampai ke aparat keamanannya ikut
terlibat di situ. Misalnya yang ikut nakut-nakuti itu polsek misalnya. Bahkan
kapolres. Sampai sekelas kapolres. Makanya di Bangkalan itu sampai
terkenal ada istilah kepala dinas kepolisian, kepala dinas kejaksaan, karena
begitu rupanya dua institusi penegak hukum ini seakan-akan ada di bawah
koordinasi eksekutif, bukan bergerak sendiri”.76
Kebanyakan kasus kekerasan yang kerapkali Fuad Amin lakukan bersama
kelompok blaternya terhadap para aktivis di Bangkalan terjadi di periode kedua
74 Wawancara Pribadi dengan AAR.
75
Wawancara Pribadi dengan AAR.
76
Wawancara Pribadi dengan AAR.
126
masa kepemimpinannya. Di periode ini, Fuad mulai arogan dan berani mengambil
tindakan-tindakan represif untuk menghentikan segala kritikan yang diarahkan
kepada dirinya.77
Sekalipun, pada masa-masa awal pencalonan Fuad sebagi bupati
Bangkalan, peran blater memang tidak bisa diabaikan begitu saja, walaupun
intensitasnya baru bisa terlihat di pencalonan Fuad yang kedua.
Pada masa-masa awal, Fuad Amin sebenarnya turut mempunyai baking
blater dan menjadi salah satu unsur kepercayaannya. Yang paling dekat di antara
mereka adalah Haji Ali yang berasal dari Kampung Ceddih, Kecamatan Socah.
Tapi menurut AAR, hubungan Fuad dengan Ali kemudian berakhir kandas.
Selanjutnya mereka bermusuhan. Tidak dijelaskan apa penyebab kandasnya
hubungan tersebut. Tapi yang pasti, perkara ini tidak terhindar dari kebiasaan
buruk Fuad yang suka menipu orang.78
“...........Haji Ali, rumahnya itu di Ceddih, Ceddih Kecamatan Socah sini. Itu
di antara dulu yang paling (katakan) blater yang paling – di antara yang
paling dekat. Tapi setelah itu ya musuhan untuk selanjutnya. Kan yang saya
katakan tadi itu, pak fuad ini hampir tidak ngumpul dengan orang kecuali
orang itu ditipu. Nah bagi orang yang sadar dia itu ditipu dan tidak ingin
ditipu untuk selanjutnya, baru dia akan lawan gitu. Tapi jarang yang sadar
kalau ditipu”.79
Di antara beberapa kalangan blater lainnya yang juga memiliki kedekatan
emosional lebih dengan Fuad Amin di antaranya adalah Modus (almarhum adalah
mantan kepala desa Taber), Hamdan, Haji Rawi, Haji Zaini, dan Bahar (penguasa
kapal di Jakarta, Tanjung Priok). Nama yang terakhir disebutkan konon pada
akhirnya seringkali berselisih pendapat juga dengan Fuad Amin. Rata-rata
kalangan blater yang masih berjejaring dengan Fuad adalah mereka yang
77 Wawancara Pribadi dengan MH.
78
Wawancara Pribadi dengan AAR.
79
Wawancara Pribadi dengan AAR.
127
diposisikan sebagai klebun (kepala desa). Mereka dipelihara dan ditempatkan di
berbagai desa di Bangkalan. Selain itu, banyak juga diantaranya adalah komplotan
orang-orang besi tua yang ada di Jakarta.80
“..........Bahar itu penguasa kapal di Jakarta. Tanjung Priok. Haji Rawi Haji
Zaini itu semuanya. Orang-orang besi tua di Jakarta itu semuanya itu
komplotannya Kiai Fuad itu”.81
Intensitas hubungan Fuad yang lebih gencar dengan para blater terjadi
menjelang tahun 2007. Sebab di tahun berikutnya, yakni pada tahun 2008,
Bangkalan akan menghadapi pemilihan kepala daerah melalui mekanisme yang
baru, yaitu pemilihan secara langsung untuk pertama kalinya. Hal ini tentu
menjadi pekerjaan tersendiri bagi Fuad Amin untuk bagaimana menggalang
kekuatan yang lebih massif dan besar dari masyarakat.82
Sebab di periode
sebelumnya, tepatnya pada tahun 2003, pemilihan kepala daerah masih dilakukan
melalui anggota dewan, sehingga domain pekerjaannya sedikit lebih mudah.
Sampai sekarang, belum ada kalangan blater yang berlawanan dengan Fuad
Amin.83
Sekalipun ada, itu hanya terjadi pada kalangan tertentu dan jumlahnya
sangat terbatas. Hal itu pun biasanya terjadi lantaran Fuad menipu mereka. Jadi
konflik ini sifatnya vertikal, hanya sebatas sikap dominan yang dilakukan oleh
Fuad Amin pada kroni-kroni blaternya. Tetapi pasca di tangkapnya Fuad oleh
KPK, hubungan Fuad dengan para blater atau klebun diperkirakan mulai regam.
Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan Ra Momon (Makmun Ibnu Fuad),
80 Wawancara Pribadi dengan AHS.
81
Wawancara Pribadi dengan AHS.
82
Wawancara Pribadi dengan AAR.
83
Wawancara Pribadi dengan BHR, Bangkalan, 17 September 2015.
128
anaknya, dalam mengakumulasi kekuatan berbasis massa dari para blater
tersebut.84
Perilaku menyimpang Fuad, berdasarkan cerita-cerita keluarga, menurut
AAR, memang sudah muncul sejak masa-masa remaja. Hanya saja, setiap
pelanggaran yang dia lakukan, lebih banyak selamat ketimbang berakhir di meja
hukum. Desas desus mengenai tanah kuburan yang dijadikan agunan oleh Fuad,
dan uang pinjaman berkedok sapi yang dikumpulkan olehnya dari masyarakat saat
dia hidup di Kalimantan, sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bagi sebagian
masyarakat. Bahkan menurut penuturan AAR, salah satu penyanyi fenomenal,
Elvi Sukaesih, pernah turut menjadi korban penipuan yang dilakukan oleh Fuad.85
Selain itu, kebiasaan yang sering diketemukan pada diri Fuad adalah
kebiasaannya yang selalu tertawa terbahak-bahak selepas menipu orang.86
“.......dulu pernah mendatangkan (dia itukan pernah hidup di kalimantan
juga), mendatangkan penyanyi waktu itu sangat kesohor - Elvi Sukaesih, dia
sebagai panitianya, dia jual tiketnya segala macam, setelah uang terkumpul,
uangnya dibawa lari dan enggak tahu penyelesaiannya seperti apa, tapi yang
jelas uangnya itu dibawa lari dia”.87
Anehnya, dari track record Fuad yang penuh diwarnai berbagai tindak
tanduk pelanggaran hukum, tidak lantas menghalanginya untuk memperoleh
penghargaan sebagai salah satu seratus tokoh berpengaruh di Jawa Timur - lewat
prestasi yang telah dibuat. Terlebih lagi, Fuad pun mendapatkan penghargaan
“Akhlak Mulia Awards” yang diberikan kepada lima tokoh nasional lainnya
84 Wawancara Pribadi dengan BHR.
85
Wawancara Pribadi dengan AAR.
86
Wawancara Pribadi dengan MH.
87
Wawancaar Pribadi dengan AAR.
129
secara bersamaan, dengan Soekarno, dan Hatta. Acara penghargaan ini
diselenggarakan oleh Irsyad Sudero.88
“.......... waktu itu ndak tahu apalah (latar belakangnya seperti apa) almarhum
bapak Irsyad Sudero itu ada semacam membikin lembaga memberi
penghargaan yang namanya itu kalau ndak salah “akhlak mulia awards”
kalau ndak salah. Akhlak mulia awards. Nah itu ada lima figur yang
kemudian mendapatkan akhlak mulia awards itu, Soekarno, kemudian kalau
ndak salah Bung Hatta atau siapa lagi, salah satunya pak fuad amin. Luar
biasa, jadi kalau saya gambarkan itu yang ditipu oleh dia itu bukan hanya
masyarakat Bangkalan, tapi orang sak-indonesia.”89
C. Keterlibatan Fuad Amin dalam Politik Lokal Bangkalan
Sebelum Fuad Amin benar-benar terjun ke dalam pusaran politik praktis di
Bangkalan, Fuad merupakan salah seorang pengusaha yang bergerak di bidang
penyedia layanan umroh dan juga sebagai salah satu unit penyalur tenaga kerja ke
luar negeri. Keterlibatannya dalam politik praktis, praksis dimulai semenjak
dirinya pertama kali didaulat untuk menggantikan ayahnya, almarhum Kiai Amin
Imron sebagai anggota DPR RI dari Fraksi Partai PPP. Keterlibatan ini terus
berlanjut sampai akhirnya Fuad kemudian terpilih kembali menjadi anggota DPR
RI dari Fraksi PKB untuk masa jabatan antara tahun 1999-2003. Bersama PKB,
Fuad Amin dipilih sebagai calon dewan DPR RI Dapil Madura dengan nomor urut
satu, karena memang sistematika nomor urut masih berlaku saat itu. Hal ini
dilakukan untuk mengangkat suara PKB di dapil Madura.90
Kepindahan Fuad Amin dari partai PPP ke partai PKB tersebut merupakan
fenomena umum yang juga banyak melanda kalangan kiai waktu itu. Terlebih,
Madura merupakan wilayah yang didominasi oleh kalangan kiai-kiai NU. Para
88 Wawancara Pribadi dengan AAR.
89
Wawancara Pribadi dengan AAR.
90 Wawancara Pribadi dengan MH.
130
kiai yang secara ideologi memiliki hubungan dekat dengan Nahdlatul Ulama akan
merasa bertanggung jawab untuk turut serta membesarkan dan mendukung
pendirian Partai PKB dengan cara ikut berbondong-bondong masuk ke
dalamnya.91
Magnet yang memicu ekspansi ini tidak lain adalah karena ketokohan
Gusdur yang sanggup merepresentasikan dirinya sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari ruh NU itu sendiri.
Begitu pula halnya dengan Fuad Amin. Sebagai salah seorang keturunan
kiai besar NU, Fuad pun merasa memiliki tanggung jawab atas keberlangsungan
partai yang baru terbentuk itu. Maka tak aneh bila akhirnya Fuad turut serta
berpindah partai, dari PPP ke PKB. Bermula dari partai PKB inilah kemudian
karir politik Fuad Amin terus menanjak sampai sukses menghantarkannya
menjadi Bupati Bangkalan selama dua periode berturut-turut, yaitu masa jabatan
tahun 2003-2008, dan masa jabatan tahun 2008-2013.
Sewaktu Fuad pertama kali memasuki arena politik lokal di Bangkalan,
kondisi dan keadaan politiknya hampir sama dengan daerah-daerah lainnya yang
ada di Indonesia. Masyarakat sedang gegap gempitanya merayakan euforia atas
runtuhnya rezim lama, orde baru. Sedang Fuad sendiri yang telah lama duduk di
kancah politik nasional, saat masuk ke arena politik lokal di Bangkalan, belum
banyak mendominasi elemen serta kekuatan politik yang ada di dalamnya.
Pengaruh waktu itu sepenuhnya masih dipegang oleh KH. Abdullah Schal, salah
satu sepupu Fuad Amin dari keluarga Bani Kholil.92
91 Wawancara Pribadi dengan AAR.
92
Wawancara Pribadi dengan AHS.
131
Memang sewaktu KH. Abdullah Schal masih hidup, Schal merupakan orang
tertua di antara keluarga Bani Kholil lainnya. Schal merupakan salah seorang kiai
besar yang juga berpengaruh. Bahkan untuk beberapa hal, KH. Abdullah Schal
selalu menjadi rujukan dalam berbagai persoalan masyarakat, baik yang
menyangkut persoalan-persoalan sosial maupun politik yang ada di Bangkalan.
Mohammad Fatah sendiri (mantan Bupati Bangkalan era orba) sejatinya masih
berada di bawah perlindungan Kiai Abdullah Sachal ini.93
Tapi hal ini tidak lantas
mengindikasikan bahwa KH. Abdullah Sachal termasuk ke dalam lingkaran orba.
Karena pasca Soeharto tumbang, Mohammad Fatah masih menjabat sebagai
Bupati Bangkalan. Kedekatan ini dapat diartikan hanya sebatas penghormatan
Mohammad Fatah kepada Kiai Abdullah Schal yang Fatah anggap sebagai guru
spiritualnya.94
Hampir mirip dengan pendapat yang dikemukakan MH, AAR
berpendapat bahwa:
“Dukungan KH. Abdullah Schal kepada Fatah tentu bukan karena K.
Abdullah bagian dari orba tapi salah satunya, 1). karena faktor menjaga
keharmonisan keluarga karena dengan mendukung Fatah maka ketiga orang
calon dari PKB yang kebetulan masih satu rumpun akan mudah diredam. 2).
Kepemimpinan Fatah masih dianggap bisa dikendalikan oleh kiai sehingga
meskipun dari Golkar tidak akan merugikan perjuangan PKB dalam
membangun Bangkalan. 3). Dukungan KH. Abdullah semakin besar kepada
Fatah mana kala yang memenangkan penjaringan adalah FA, mungkin
karena dalam pandangan kiai, FA tak akan bisa menjadikan Bangkalan lebih
baik”95
Dengan mulai diberlakukannya undang-undang otonomi daerah pada tahun
2001, otomatis wewenang dan kekuasaan daerah semakin besar. Berbeda halnya
sewaktu orde Soeharto masih berkuasa, dimana kewenangan dan otoritas
pemerintah lokal sangat begitu kecil. Bahkan, pemilihan kepala daerah di masa
93 Wawancara Pribadi dengan AHS.
94
Wawancara Pribadi dengan MH via telepon, 02 Maret 2016.
95
Wawancara Pribadi dengan AAR via SMS, 21 Maret 2016.
132
orba, seringkali diliputi berbagai macam intervensi yang Soeharto lakukan.
Orang-orang bayangan pusat ini sengaja ditaruh sebagai calon yang nantinya
dapat menjaga kepentingan pusat di daerah.
Kondisi masyarakat yang menaruh anti-pati pada rezim orba semenjak orba
runtuh, juga mereka tujukan kepada orang-orang yang berada di lingkaran
pemerintahan lama. Yang dalam hal ini adalah pejabat-pejabat pemerintahan
daerah dulu yang masih memiliki jejaring dengan Soeharto. Mereka turut menjadi
sasaran luapan kekecewaan masyarakat yang bertahun-tahun terbengkalai hak
politiknya, dan dinafikan keberadaannya. Maka bukan perkara mudah bagi orang-
orangan orba, khususnya mereka yang berada di daerah, untuk kembali
memenangkan kontestasi pemilu di aras lokal pasca desentralisasi diterapkan.
Walaupun sebagian dari mereka tetap ada bahkan melestarikan dominasi
politiknya hingga saat ini. Gambaran politik lokal pasca Soeharto di atas, juga
mendeskripsikan pengalaman yang terjadi di Bangkalan saat itu. Fuad Amin yang
tidak memiliki korelasi dengan rezim pemerintahan Soeharto, mempunyai modal
besar untuk memenangkan pemilihan kepala daerah di Bangkalan.
Runtuhnya dominasi orba faktanya dimanfaatkan secara maksimal oleh elit
Bangkalan untuk mengkonsep kembali struktur bangunan kepemimpinan yang
ada di Bangkalan pasca reformasi. Karena itu, munculnya sosok kiai pasca
reformasi diimplementasikan, merupakan konsep yang lahir dari pemikiran elit
lokal, khususnya mereka-mereka yang memiliki perhatian khusus di dunia
133
pesantren, bahwa peluang dari keruntuhan pemerintahan orba mesti dimanfaatkan
sebesar-besarnya.96
Pada pilkada 2003 di Bangkalan, sebenarnya ada dua pilihan kuat bakal
calon lainnya selain Fuad Amin. Bahkan kedua calon tersebut lebih kuat
ketimbang Fuad Amin itu sendiri. Kedua-duanya berasal dari keluarga yang sama:
yakni keluarga Bani Kholil. Pertama adalah Kiai Imam Bukhori Kholil, kedua
adalah Kiai Syafii Rofii. Kiai Imam Bukhori Kholil merupakan ketua PCNU
Bangkalan yang memprakarsai lahirnya PKB di Bangkalan. Sedangkan Kiai
Syafii Rofii merupakan ketua DPC PKB di Bangkalan. Terpilihnya Fuad Amin
dalam penjaringan di internal partai PKB tidak terlepas dari beberapa trik sabotase
yang Fuad Amin lakukan terhadap kedua pasangan ini.97
“Gini, karena waktu itukan kita sedang euforia ya, bagaimanapun
kesempatan pertama di era reformasi, dunia pesantrenlah paling tidak yang
sedang mengonsep parlemen ini, harus mengusung calonnya sendiri, nah
karena memang pak fuad ini secara trah itu nyambung dengan Kia Amin,
dimana sosok ki amin ini betul-betul menjadi sosok yang sangat kharismatik
pada masa hayatnya, jadi kemunculan pak fuad ini mudah diterima oleh
masyarakat walaupun sebetulnya pada saat itu kan yang paling kuat itu ada
pada dua figur yang lain, yaitu Kiai Imam Bukhori, sebagai ketua PCNU
waktu itu yang membidani lahirnya PKB di Bangkalan, kemudian yang
kedua Kiai Syafii Rofii sebagai ketua DPC waktu itu. DPC PKB. Tapi ya
semacam ada, ya biasalah ada semacam sabotase politik sehingga kemudian
kesempatan dari dua tokoh ini menjadi terpotong dan yang naik justeru pak
Fuad”.98
Awalnya, keikutsertaan Fuad Amin dalam pilkada di Bangkalan untuk
pertama kali banyak menuai penolakan dari sebagian keluarga besar Bani Kholil.
Sebagai keluarga kiai terkemuka seantero nusantara, mereka khawatir, apabila
nantinya Fuad Amin berhasil menduduki jabatan sebagai seorang bupati.
96 Wawancara Pribadi dengan AAR.
97
Wawancara Pribadi dengan AAR.
98
Wawancara Pribadi dengan AAR.
134
Kekhawatiran ini timbul karena dua faktor, pertama Fuad merupakan keturunan
paling sepuh di antara mereka sepeninggal KH. Abdullah Schal, kedua karena
Fuad adalah anggota keluarga yang dianggap memiliki intensitas hubungan yang
sangat intim dengan kalangan blater. Dengan dua alasan ini, sangat jelas apabila
kemudian Fuad dapat disimpulkan sebagai orang terkuat di antara Bani Kholil dan
juga orang terkuat di Bangkalan.99
Bahkan tak sedikit kemudian dari masyarakat
yang juga menyebutnya sebagai salah satu tokoh Kiai-Blater.
Tetapi kegelisahan akan besarnya dominasi yang nanti akan Fuad dapatkan
bila dia berhasil menjadi bupati bangkalan – sebagaimana yang juga dirasakan
oleh keluarga besar di masa-masa awal itu – pernah juga diutarakan oleh Ahmad
Ali Ridho selaku keponakan Fuad Amin kepada dirinya.100
Kekhawatiran ini tentu
tertuju pada satu hal: bagaimana cara mengontrol kekuasaan Fuad Amin nantinya.
Keberatan itu dia ceritakan dan dia pertanyakan kembali pada diri Fuad Amin
secara langsung. Tetapi tanggapan yang Fuad Amin berikan pada waktu itu hanya
sebatas bahwa pencalonan ini murni sebagai pengabdiannya terhadap masyarakat.
Di tengah usia yang semakin udzur, Fuad Amin ingin memberikan sesuatu yang
berarti di sisa hidupnya itu.
“.......Kenapa kemudian dari kami ini mendukung waktu itu ada pada
posisinya pak fuad ya, karena memang dari saya sendiri melihat bahwa
sosok pak fuad ini sosok yang bisa dibuat lokomotif pembaharuan. Nah saya
sendiri secara kepribadian kan tidak kenal pada dia ya, hanya kenal dari (apa
ya hanya dengar cerita-cerita sekilas saja) bahwa dia blater bahwa dia begini,
tapi tidak kenal sejauh mana sebetulnya pak fuad itu sendiri. Sehingga ketika
pak fuad mengajak saya untuk mendukung dia menuju jabatan bupati itu,
saya sendiri sebenarnya waktu itu nanya ke beliau: Man, apakah, apa
memang harus sampean? Apa tidak sebaiknya yang lain, saya sempat seperti
itu, kemudian, dianya bilang: loh, kalau bukan aku lalu siapa gitu? saya
99 Wawancara Pribadi dengan AAR.
100
Wawancara Pribadi dengan AAR.
135
bilang: man, untuk tokoh-tokoh, karena saya masih anak-anak, tentu lebih
kenal jenengan, kalau saya sendiri kan tidak tahu, siapa yang harus didukung
yang harus dimajukan, saya sendirikan kurang tahu, cuma kalau dalam
pemikiran saya, paman ini salah satu keluarga yang dituakan, kalau
kemudian paman ini nanti berhasil menjabat sebagai bupati, dan ternyata
misalnya paman itu melakukan kesalahan-kesalahan dalam memimpin, lalu
yang akan mengingatkan paman itu siapa, mengingat yang lain itu masih
bisa dikatakan semuanya di bawah pengaruh paman seperti itu. Akhirnya
beliau bilang gini ke saya: Mad, aku ini sekarang posisinya sudah menjadi
DPR RI, secara kedudukan, saya sudah punya jabatan, secara finansial
walaupun tidak kaya-kaya banget, tapi sudah bisa dikategorikan termasuk
yang terkaya di antara keluarga. Jadi saya ingin meraih jabatan bupati ini
bukan karena mengejar jabatan dan bukan karena mencari uang. Saya ingin
memulai pengabdian saya di tengah-tengah masyarakat Bangkalan. Karena
saya mulai dari kecil sampai muda, sampai sekarang saya ini selalu berada di
luar daerah. Nah, saya sekarang sudah tua, umur saya sudah menginjak 60,
ayolah bantu saya, bantu aku, untuk bisa jadi bupati, biar aku ini bisa
mengabdikan sisa hidupku untuk masyarakat. Makanya saya kemarin terus
terang terkejut, ketika dia di persidangan mengungkap (di tayangan metro tv
itu) dia sudah mengaku punya kekayaan yang ratusan miliar sebelum jadi
bupati. Itu saya bisa pastikan itu bohong besar itu. Karena waktu itu yang
diungkap (apa ya), yang saya tahu untuk biaya mencalonkan aja, dia itu
masih minta sana-sini”.101
Tetapi kekhawatiran keluarga terhadap kekuatan Fuad Amin yang berlebih itu
segera sirna setelah Fuad berhasil menduduki posisinya sebagai bupati. Respon
keluarga pun pada akhirnya berbalik arah, dari yang semula menolak, kini di
antara keluarga bani kholil, sebagian di antaranya bahkan serta merta melebur
menjadi unsur penunjang fondasi kekuatan dominasi Fuad Amin di Bangkalan.102
Walaupun memang sebagian yang lain tetap konsisten pada misi awal mereka
untuk tetap berupaya melakukan kontrol terhadap pemerintahan Fuad Amin.
“....... cuma sayangnya, ketika pak fuad ini sukses untuk meraih jabatan
bupati ini, lambat laun, sikap kritis dari keluarga terhadap Ra fuad ini
cenderung berkurang, dan bahkan akhirnya semuanya melebur menjadi satu
kekuatan untuk menopang kekuatan Pak Fuad itu sendiri”.103
101 Wawancara Pribadi dengan AAR.
102
Wawancara Pribadi dengan AAR.
103
Wawancara Pribadi dengan AAR.
136
Tapi halangan demi halangan silih berganti menerpa ambisi Fuad Amin
untuk menjadi bupati. Setelah sempat mendapatkan penolakan dari keluarga besar
di masa-masa awal pengusungannnya sebagai bupati, Fuad Amin kembali diterpa
masalah serius. Kendala Fuad Amin kali ini terkait dengan masalah ijazah palsu
yang ia pakai untuk melengkapi persyaratan dan ketentuan administrasi sebagai
kandidat calon bupati. Hal ini tentu inkonstitusional, bahkan kemungkinan KPU
mengeliminisir Fuad dari arena pilkada sangat besar. Untuk bisa lolos dari proses
verifikasi di KPU tersebut, pada akhirnya, dengan segala cara, Fuad Amin
mencari dukungan ke berbagai partai politik dan seluruh elemen masyarakat yang
ada di Bangkalan. Sebab dengan adanya dukungan solid yang diberikan oleh
partai politik serta masyarakat, maka bukan tidak mungkin hal ini secara tidak
langsung akan memberikan tekanan kepada pemerintah pusat, dengan seolah-olah
memberikan opini bahwa bila proses pencalonan ini gagal, apalagi setelah
pemilihan dan menang kemudian tidak dilantik, kemungkinan akan terjadinya
chaos serta kerusuhan di masyarakat akan sangat mungkin terjadi.104
Karena
faktanya, pada pemilihan yang masih dilakukan melalui voting di dewan tersebut,
Fuad Amin mampu meraih dukungan yang signifikan. Dari 45 anggota dewan,
Fuad Amin mampu meraih 42 suara.105
Setelah informasi tentang penggunaan ijazah palsu Fuad Amin ini merebak
ke ruang publik, banyak di antara dukungan kiai dan keluarga yang akhirnya
kembali antipati. Apalagi dukungan Kiai Abdullah Schal pada waktu itu
104 Wawancara Pribadi dengan AAR.
105
Wawancara Pribadi dengan AAR.
137
diarahkan kepada Mohammad Fatah, bupati incumbent sebelumnya,106
meskipun
pencalonan Fatah akhirnya telah terlebih dulu gagal sebelum dirinya benar-benar
turut dalam kompetisi.
Di masa-masa awal pencalonan Fuad Amin; Khozein Abdul Karim, Imron
Fatah, dan Ahmad Ali Ridho merupakan salah satu unsur dari kalangan keluarga
yang pertama-tama menunjukan sikap simpatinya atas pencalonan Fuad Amin.
Alasan yang terbesit yang menjadikannya mendukung pencalonan Fuad Amin
pada waktu itu menurut Ahmad Ali Ridho adalah bahwa Fuad Amin merupakan
sosok yang ideal bagi lokomotif pembaharuan di Bangkalan.107
Pada pilkada awal Bangkalan pasca reformasi itu, ada lima orang yang juga
terlibat menjadi tim inisiator awal pencalonan Fuad Amin di Bangkalan. Selain
Ahmad Ali Ridho dan Imron Fatah, mereka adalah: Aliman Haris, Syafiudin
Asmoro, dan Khosun Mizan. Salah satu pelecut semangat yang mendasari mereka
untuk terlibat aktivitas voluunter di lingkaran pencalonan Fuad Amin di masa
periode awal untuk pertama kalinya di Bangkalan itu adalah bagaimana agar
Bangkalan tidak lagi dikuasai oleh unsur-unsur rezim orde baru.108
Sebab salah
satu unsur orde baru yang ada di Bangkalan saat itu, yaitu Mohammad Fatah, pun
menunjukan niatannya untuk kembali bertarung dalam kontetasi di pilkada tahun
2003.109
Hal ini terekam dalam wawancara penulis kepada AHS, yang juga turut
menjadi salah satu inisiator di pencalonan Fuad. AHS mengungkapkan bahwa
keterlibatannya dalam tim sukses Fuad tidak bisa terlepaskan dari giroh untuk
106 Wawancara Pribadi dengan AAR.
107
Wawancara Pribadi dengan AAR.
108
Wawancara Pribadi dengan AHS.
109
Wawancara Pribadi dengan AHS.
138
merubah Bangkalan. Asumsi awalnya adalah bahwa dengan kalangan kiai yang
memimpin Bangkalan, bisa jadi Bangkalan akan menjadi lebih baik. Bahkan
semangat perubahan ini AHS tuangkan dalam buku yang membahas soal Fuad
Amin dan Civil Society di Bangkalan.
“.....karena saya menjadi bagian dari gerakan itu dulu. 98. Saya masuk
kampus 96-97, 98 itu gerakan, jadi ghiroh itu masih ada di saya untuk
merubah Bangkalan makanya kiai ini yang saya jadikan, karena kalau sudah
kiai insya allah akan lebih baik dari pada orde baru sebelumnya. Oh ternyata
bisa seperti sekarang ini ceritanya. Bahkan saya dulu sampai nulis buku itu,
gara-gara itu memang. Saya tuangkan harapan itu di situ, ada di sosok
beliau, memang lebay. Saya menulis narasinya lebay, mas. Kalau dibaca
sekarang ini, gimana gitu. Nyesal saya.”110
Kelima orang inilah yang terus menerus, secara berkala, mendorong agar Fuad
bersedia untuk dicalonkan sebagai kandidat bupati Bangkalan.111
Dari kelima tim
inisiator pencalonan Fuad Amin tersebut, Ahmad Ali Ridho merupakan orang
pertama yang pada akhirnya mendeklarasikan diri sebagai orang yang keluar dari
barisan Fuad. Hal ini diambilnya karena Ahmad Ali Ridho sudah merasa tidak
cocok lagi dengan lika-liku kepemimpinan Fuad Amin. Peristiwa itu terjadi pada
tahun 2005.112
Begitupun dengan tim sukses Fuad Amin lainnya. Satu persatu,
mereka mulai meninggalkan Fuad. AHS menurut pengakuannya sendiri keluar
dari barisan Fuad ketika tahun 2009, dan Imron sudah tidak harmonis lagi dengan
Fuad Amin di sekitar tahun 2007-2008.113
Mengenai Mohammad Fatah, mengapa kemudian gagal ikut dalam
kontestasi di pilkada Bangkalan tahun 2003, adalah lebih dikarenakan laporan
pertanggungjawabannya sebagai Bupati ditolak oleh anggota dewan. Alasan inilah
110 Wawancara Pribadi dengan AHS.
111
Wawancara Pribadi dengan AHS.
112
Wawancara Pribadi dengan AHS.
113
Wawancara Pribadi dengan AHS.
139
yang kemudian melandasi keengganannya untuk turun dalam kontestasi pilkada.
Sebab, dengan adanya penolakan LPJ, secara marwah konstitusi, hal ini akan
menjadi beban moril tersendiri bagi dirinya untuk melanggengkan kekuasaan. Di
samping hal ini pun mengindikasikan bahwa sudah tidak adanya kekuatan utuh
yang nantinya akan mendukungnya lewat pemilihan di dewan.114
Penolakan LPJ Fatah sebagai bupati Bangkalan sebenarnya tidak terlepas
dari permainan politik Fuad. Fuad Amin nyatanya mampu membangun emosi
keluarga fraksi PKB di Bangkalan untuk menolak LPJ yang Fatah ajukan.
Ditambah, afiliasi Fatah sendiri yang memang merupakan kepanjangan tangan
rezim orde baru, sehingga stigma sebagai orang-orangan orba kental melekat pada
dirinya. Menurut AAR, unsur bau politik orba Fatah inilah yang menjadi cikal
bakal badai penolakan yang Fuad Amin hembuskan, apalagi PKB yang secara
dominan menguasai dewan, sudah selayaknya mengusung calon sendiri.
Sedangkan kapasitas kepemimpinan dan segala pembangunan yang telah
dilakukan Fatah di Bangkalan tidak diperhitungkan.
“Ya kan gini, karena memang waktu itu antipati terhadap semua yang berbau
orde baru itu kan kental sekali. Itukan awal-awal reformasi ya. Nah Pak
Fatah ini kan kebetulan sosok yang secara afiliasi politiknya atau bau
politiknya itu lebih kental orde barunya lebih kental bau golkarnya seperti
itulah kasarannya. Sehingga PKB dan semua ulama waktu itu tidak melihat
Pak Fatah ini dari kapasitas yang lain, apakah kemampuan beliau dalam
memimpin, kemampuan beliau dalam memajukan Bangkalan misalnya itu
menjadi tidak dihitung. Yang dihitung adalah Pak Fatah bagian dari orde
baru. Karena Pak Fatah bagian dari orde baru dan waktu itu PKB ini menjadi
mayoritas di DPRD Bangkalan, maka sudah selayaknya PKB harus
mengusung calon sendiri. Nah, semangat seperti ini yang kemudian berhasil
dimasuki atau dimanfaatkan oleh Pak Fuad, bagaimana kemudian
mendorong PKB ini untuk menolak LPJ-nya pak fatah sebagai pintu masuk
bagi dia mulus untuk calon dan tidak ada tidak bertanding dengan Pak Fatah
seperti itu.”115
114 Wawancara Pribadi dengan AAR.
115
Wawancara Pribadi dengan AAR.
140
Menurut AHS, ada empat basis kekuatan yang menjadi modal penting Fuad dalam
pencalonannya pada masa itu. Selain karena keberadaannya yang tidak terkait
dengan rezim Soeharto, empat hal inilah yang kemudian mampu menunjang
keberhasilannya sebagai bupati. Pertama karena Fuad mewakili kharisma kiai –
dari keturunannya sebagai cucu Syaikhona Kholil, kedua, karena dirinya dikenal
sebagai salah satu tokoh blater, ketiga, karena kondisi finansial Fuad yang kaya,
dan keempat, karena Fuad termasuk ke dalam kalangan orang-orang terhormat.116
Keempat unsur inilah yang menjadi faktor kemenangan Fuad Amin dalam pilkada
2003. Di samping itu, dengan kebesaran PKB yang menguasai hampir setengah
dari jumlah kursi dewan di Bangkalan, dan solidnya kekuatan dukungan yang
diperlihatkan oleh keluarga besar bani kholil pada Fuad Amin, turut pula menjadi
faktor penentu kemenangan Fuad Amin di masa-masa awal pencalonannya itu.117
Mengenai penjelasan kronologi kemenangannya di periode pertama dan periode
kedua, akan penulis sajikan di sub-bab khusus tentang itu.
Adapun akumulasi modal yang diperuntukkan sebagai ongkos politik Fuad
waktu itu juga terbantu dari beberapa bantuan yang berasal dari santri Ki Amin,
(ayah Fuad), dan beberapa lainnya dari orang-orang yang pada waktu itu ingin
mendampingi Fuad sebagai calon wakilnya.118
Kenyataan bahwa demokrasi di Bangkalan yang dikuasai sepenuhnya oleh
Fuad memang tidak bisa ditampik. Setelah melenggang maju sebagai calon Bupati
dan menang, apa yang dikhawatirkan oleh pihak keluarga Bani Kholil benar-benar
116 Wawancara Pribadi dengan AHS.
117
Wawancara Pribadi dengan AAR.
118
Wawancara Pribadi dengan AAR.
141
menjadi kenyataan. Praktik penyimpangan birokratis mulai Fuad Amin tunjukan
pasca dua tahun kepemimpinannya.119
Menurut AAR, pelanggaran yang Fuad
lakukan sudah terasa setelah pertengahan tahun kedua di periode awal
kepemimpinannya menjabat sebagai bupati Bangkalan. Jadi hal tersebut tersebut
terjadi pada kurun waku di kisaran tahun 2004. Beberapa fakta yang mengarah
kepada hal tersebut salah satunya adalah saat Fuad meminta LSM-LSM setempat
untuk menyoroti kinerja instansi-instansi pemerintahan di Bangkalan. Tetapi
setelah hasil investigasi dan survei yang dilakukan oleh LSM-LSM itu dilaporkan
kepada Fuad Amin, Fuad malah justru tertawa. Seolah-olah hasil audit yang
dilakukan oleh LSM-LSM tersebut tidak penting dan tidak berarti apa-apa. Terus
selanjutnya adalah pemotongan-pemotongan terhadap anggaran pemerintah. Bila
di masa Fatah pemotongan anggaran hanya sekian persen, di masa kepemimpinan
Fuad jumlahnya semakin membengkak.120
“Yah banyak teman-teman gini ya, dari kan LSM-LSM itu waktu itu
banyak yang awalnya diminta oleh dia untuk (katakan) menyoroti instansi-
instansi ataupun kerja-kerja pemerintahan di bawah pak fuad ini yang tidak
menjalankan program sebagaimana mestinya, seperti itu. Tapi ketika
teman-teman LSM yang dia suruh ini menjalankan fungsinya seperti itu,
dan kemudian dilaporkan ke dia, dia justeru ketawa, kok wah kamu ini
kaya gitu aja diurus, misalnya seperti itu. Kamu kaya gitu aja diurus,
misalnya. Nah terus ya mulai kemudian pemotongan-pemotongan terhadap
anggaran-anggaran itu. Kalau di masa-masa pak fatah itu, ya mungkin
hanya antara, waktu itu antara 5 persenan kalau gak salahlah, itu sudah
mulai ada peningkatan”.121
Selain itu, setoran-setoran yang Fuad wajibkan pun merembet ke berbagai
program pemerintahan lainnya.122
119 Wawancara Pribadi dengan AAR.
120
Wawancara Pribadi dengan AAR.
121
Wawancara Pribadi dengan AAR.
122
Wawancara Pribadi dengan AAR.
142
“Oiya saya kira kalau untuk setoran seperti itu sudah menjadi hal yang
lumrah lah saya kira ya. Hanya kalau kemudian, nah terungkapkan di
persidangan itu bahwa sebetulnya pemotongan terhadap semua program itu,
itu terjadi sejak Pak fuad menjabat. Termasuk minta kepada rumah sakit, dan
lain-lain itu, dan SKPD juga seperti itu”.123
Penempatan kroni-kroni, keluarga dan orang-orang dekat Fuad di berbagai
pos penting dimulai sewaktu pertama Fuad memimpin. Setiap ada kesempatan,
Fuad akan menaruh orang-orang tersebut. Misalnya saja Fuad waktu itu
tempatkan Khosun dan Ya‟kub di dinas-dinas pemerintahan terkait.
“Ya saya kira sejak awal ya. Sejak awal. Ya mulai dari tahun pertama itu
setiap ada kesempatan untuk memasukan orang-orangnya itu ya dia
masukan”. 124
Tipikal yang erat dengan psikologi Fuad adalah sikapnya yang tidak mudah
percaya dengan orang. Makanya penempatan keluarga terdekatnya di beberapa
pos jabatan partai, ormas, dan lain sebagainya, sudah menjadi hal yang kaprah
mewarnai kehidupan politik Fuad Amin di masa-masa kepemimpinannya tersebut.
Pasalnya, kekuatan Fuad Amin di Bangkalan sudah terlalu amat mencengkeram,
jadi ketika Fuad menghendaki siapapun untuk duduk di posisi manapun, sekalipun
orang yang dimaksud secara kapabilitas tidak memiliki kriteria-kriteria yang
mumpuni, bila itu sudah kehendak Fuad, maka orang itu pasti berhasil
mendudukinya.125
“Ya Fuad Amin ini orangnya tidak percayaan sama orang, mas. Jadi kalau
tidak, ya pasti yang berhubungan dekat dengan keluarga lah. Pasti itu. Yang
masih dianggap famili-famili-famili-famili, naruh itu”.126
“Ya. Jadi Bangkalan ini begini, Bangkalan ini, sudah kamu harus jadi, kamu
harus jadi, kamu harus jadi sama Fuad, kamu harus jadi. Jadi meskipun dia
ini tidak punya basic apa-apa, mohon maaf, bacanya meskipun masih dieja,
123 Wawancara Pribadi dengan AAR.
124
Wawancara Pribadi dengan AAR
125
Wawancara Pribadi dengan NNH.
126
Wawancara Pribadi dengan NNH.
143
kalau kata fuad itu jadi, harus jadi itu. Jadi menganggap dirinya adalah raja,
tinggal kun fayakun saja, begitu”.127
Bahkan penempatan yang dilakukan oleh Fuad Amin bukan saja hanya berlaku di
pos struktur pemerintahan. Sampai ke seluruh internal partai politik dan organisasi
masyarakat yang ada di Bangkalan sekalipun, Fuad susupi. Intervensi Fuad ke
berbagai parpol dan ormas di Bangkalan ini dilakukan dengan cara terlibat
langsung dalam setiap momen-momen pemilihan ketua DPC atau pemilihan
ormas yang sedang dilangsungkan. Saking mengguritanya dominasi Fuad ke
tubuh parpol, maka di Bangkalan keluar istilah tidak ada partai kecuali PPP:
Partai Pendukung Pendopo
“Hampir semua partai, bahkan sampai waktu itu ada istilah di Bangkalan ini
enggak ada partai kecuali PPP, (partai pendukung pendopo). Hanya ada satu
yang enggak, yaitu PKNU waktu itu. Yang gak tersentuh, ya emang kan
PKNU dikontrol langsung oleh kiai imam kan seperti itu. Kalau yang lain-
lain itu ya PPP semua. Ya gimana enggak PPP, wong memang dari proses
pemilihannya sudah ditunggui seperti itu”.128
D. Friksi Bani Kholil
Pengaruh politik bani kholil di Bangkalan saat ini memang tidak terlepas
dari sejarah dan figur Kiai Syaikhona Kholil bin Abd‟ Latief itu sendiri. Nama
besarnya dan pengaruh kharismatik yang melekat pada diri Syaikhona Kholil di
masyarakat, tidak bisa ditinggalkan dari perannya yang besar dengan selalu turut
serta dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari masalah-masalah
keagamaaan, ekonomi, sosial, dan politik.
Dalam kancah sosial politik, hal ini dapat dilihat dari kelahiran NU,
Nahdlatul Ulama, sebagai ormas islam tebesar di Indonesia, yang juga tidak
127 Wawancara Pribadi dengan NNH.
128
Wawancara Pribadi dengan AAR.
144
terhindarkan dari sentuhan tangan Syaikhona Kholil Bangkalan melalui muridnya
KH. Hasyim Asy‟ari. Termasuk lainnya dalam bidang ekonomi, Syaikhona Kholil
pun turut serta dalam aktivitas perdagangan. Hal ini dapat dilihat dari sekali
pelayarannya ke Kalimantan menggunakan perahu miliknya yang bernama
Sarimuna. Selanjutnya perahu ini beliau hibahkan kepada masyarakat dengan
ketentuan bagi hasil. Keuntungannya kebanyakan beliau gunakan untuk
membangun masjid. Ini merupakan fakta nyata bahwa Syaikhona tidak sekadar
menaruh perhatiannya pada permasalahan-permasalahan agama saja, melainkan
juga menaruh perhatian yang besar kepada masalah-masalah sosial ekonomi dan
politik di masyarakat.129
Unsur ini, kelak, telah mewariskan satu dimensi kekuatan
modal sosial politik yang juga diturunkan pada keturunan-keturunannya.
Sehingga wajar bila sampai saat ini, penghormatan dan rasa takdzim
masyarakat kepada keluarga besar bani kholil tidak pernah ada habis-habisnya.
Masyarakat masih berpatron kepada keturunan-keturunan syaikhona kholil dalam
segala urusan. Maka tak heran bila di setiap momen pemilu yang ada di
Bangkalan, dominasi keluarga bani selalu mewarnai jalannya dinamika politik
yang berlangsung.
Secara genealogi, Syaikhona Kholil hanya memiliki dua orang anak. Satu
Kiai Imron dan satunya lagi Nyai Asma. Dari keturunan Kiai Imron ini banyak di
antara mereka yang terjun ke dunia politik. Sedangkan dari keturunan Nyai Asma,
mereka lebih terlibat di masalah-masalah kegamaaan, seperti pengajian, di masjid,
dan lain sebagainya. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga bahwa keturunan
129
Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki
Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” (Disertasi Program Studi Islam, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015), h. 89-90.
145
Kiai Imron pun ikut terlibat dalam masalah-masalah agama, walau untuk urusan
politik mereka terbilang lebih dominan.130
Di antara keturunan Kiai Imron itu di antaranya adalah Kiai Amin dan Kiai
Ma‟mun. Keduanya merupakan anggota DPR RI dari partai PPP. Selain Kiai
Amin dan Kiai Ma‟mun, Kiai Imron juga memiliki putri yang bernama Nyai
Romlah. Dari keturunan Nyai Romlah kelak lahirlah seorang putra, Kiai Kholil
AG. Dia merupakan ketua DPR pada tahun 1971 dari Partai Nahdlatul Ulama,
pemenang partai di Bangkalan. Dan dari Kiai Imron pula lahir Nyai Arfiah,
dimana dia memiliki putra yang bernama Syafii Rofii, mantan wakil bupati
Bangkalan 2008-2012 dan Mundzir Rofii, wakil bupati Bangkalan 2012-2016.
Dari Kiai Amin lahir Fuad Amin, dan dari Kiai Kholil AG lahir Imam Bukhori
Kholil. Sedangkan dari garis keturunan Syaikhona Kholil ke Nyai Asma jarang
sekali dari keturunannya yang tampil dalam pentas politik baik itu di Bangkalan
maupun di nasional.131
130 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
131
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
146
Bagan IV.3. Garis Keturunan Syaikhona Kholil
Sumber Gambar: Diolah dari hasil wawancara
Wajar bila akhirnya Fuad Amin memegang kendali di antara keluarga Bani
Kholil lainnya. Karena sampai saat ini, Fuad Amin merupakan keturunan tertua di
antara pihak keluarga yang lain. Banyak dari para pengasuh pesantren di
Bangkalan, dan para kiai-kiai setempat, yang masih takdzim dan hormat pada
Fuad Amin. Selain karena posisinya yang dianggap sebagai kiai sepuh, gaya
kepemimpinan Fuad Amin yang arogan dan otoriter berkontribusi meningkatkan
daya tawanya selaku orang berpengaruh di Bangkalan.132
Memang dalam perjalanannya, dinamika serta friksi di antara keluarga bani
kholil tidak terhindarkan. Munculnya dua tokoh berpengaruh dalam satu keluarga
132 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
Syaikhona Kholil Bin Abd’ Latief
Kiai Imron Nyai Asma
Kiai Amin
Kiai Ma’mun
Nyai Romlah
Nyai Arfiah
Fuad Amin
Kiai Kholil A.G
Mundzir Rofii Syafi Rofii
147
bani, mau tidak mau mengharuskan kedua kubu ini untuk saling berhadap-
hadapan. Sekalipun dalam dinamikanya, Fuad Amin lebih mendominasi - dengan
berbagai bentuk dominasi dan hegemoni yang telah dia lakukan – ketimbang
keponakannya sendiri, Imam Bukhori Kholil.
Kemunculan kubu baru dalam hal ini adalah Imam Bukhori Kholil dari
keluarga besar, menurut pengakuan Imam Bukhori Kholil sendiri, dimaksudkan
agar masyarakat lebih menganggap bahwa urusan politik bukan urusan yang
sakral. Karena fenomena pengkultusan masyarakat terhadap kiai yang selama ini
sering tergambarkan dalam sikap masyarakat yang mempercayai fatwa-fatwa
politik kiai, tentu berbahaya bagi kelangsungan demokrasi yang menghendaki
adanya check and recheck antara pihak penguasa dengan rakyat (yang dikuasai).
Selama ini masyarakat Bangkalan terlihat enggan, bahkan takut, untuk mengkritisi
segala kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyimpang. Maka kehadiran kubu
Imam Bukhori Kholil menurutnya juga untuk memberikan pendidikan politik
seperti itu. Bahkan tambahnya, adanya banyak kubu yang muncul dari keluarga
bani kholil malah membuat persaingan semakin sehat. Masyarakat akan semakin
tahu mana pemimpin yang benar-benar merepresentasikan kepentingan mereka
dan mana yang justeru sebaliknya. Dan sejarah di masa yang akan datang dapat
membaca bahwa tidak seluruhnya pemimpin yang berasal dari keturunan trah bani
kholil sama seperti dengan Fuad Amin.133
Dalam perkembangannya, untuk urusan politik di Bangkalan, yang pada
mulanya kiai selalu dijadikan kiblat politik bagi masyarakat, lambat laun hal ini
133 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
148
semakin berkurang. Masyarakat kini semakin terbuka terhadap parta-partai
sekuler non-kiai. Hal ini dapat dilihat dari perolehan suara partai-partai non kiai.
Keterbukaan ini merupakan satu indikasi kecil bahwa masyarakat semakin sadar
bahwa politik adalah arena lain yang berbeda dengan persoalan-persoalan agama.
Politk adalah wilayah abu-abu yang dinamis sedangkan agama adalah arena yang
memiliki aturan-aturan serta hukum yang tetap.134
“......Nah, di Bangkalan saya melihatnya juga seperti itu, bahwa dulu trah kiai
menjadi patron yang sangat mutlak, sekarang masyarakat ini sudah mulai
juga berfikir, tidak semua apa yang menjadi fatwanya kiai dalam politik itu
menjadi diikuti secara buta. Terbukti banyak partai-partai lain di Bangkalan
juga memperoleh suara. Partai-partai non kiai tetap mempunyai suara. Nah
inikan memperlihatkan bahwa masyarakat sudah mulai berfikir logis atau
berfikir realis dalam urusan politik. Walaupun dalam urusan keagamaan dan
sosial masih belum tergoyahkan, trah kiai masih menjadi panutan
masyarakat.”135
Munculnya kelompok oposisi di internal keluarga bani Kholil yang diwakili
oleh Imam Bukhori, tidak lantas memutus hubungan silaturahmi antara dia
dengan paman-paman dan keluarga besar lainnya, yang banyak mengkubu ke
pihak Fuad Amin. Menurutnya, dia tetap datang di acara silaturahmi keluarga dan
menjalin hubungan tersebut. Sikap Imam yang berseberangan dengan pihak
keluarga, dan kritik yang selalu ia tujukan pada pemerintahan Fuad Amin,
menjadikannya di antara trah keluarga bani dikenal sebagai kelompok
pemberontak.136
E. Kondisi Civil Society Selama Kepemimpinan Fuad Amin
Civil society, sebagaimana didefinisikan oleh Muhamad AS Hikam yang
menyitir ide-ide de‟ Tocqueville, diartikan sebagai:
134 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
135
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
136
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
149
“wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara
lain: kesukarelaaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan
keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan
negara, dan keterikatan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang
diikuti oleh warganya.”137
Bertolak dari definisi tersebut, kondisi civil society di Bangkalan masih belum
tercapai secara maksimal. Artinya, indikator-indikator yang diajukan untuk
mengukur suatu lingkup pada tatanan masyarakat yang dapat dikatakan berjalan
atau tidaknya civil society di dalamnya lebih menunjukkan hasil negatif. Baik
sebelum ataupun sesudah demokrasi diterapkan. Kondisi civil society sebelum
Fuad Amin duduk di kursi bupati untuk pertama kali di Bangkalan sebetulnya
masih sama rupa dengan kondisi sosial yang berlaku pada era sebelumnya, yakni
adanya semacam dominasi terhadap masyarakat oleh kalangan kiai, atau
masyarakat berada di bawah kendali alim-kiai secara langsung. Namun dengan
tokoh sentralnya waktu itu adalah Kiai Abdullah Sachal, salah satu Ketua Dewan
Syuro PKB.138
Dan sebelum Fuad Amin menjabat sebagai bupati definitif pada tahun 2003,
bupati Bangkalan sebelumnya adalah Mohammad Fatah. Dia berasal dari unsur
TNI dari matra angkatan laut. Seperti kondisi wilayah-wilayah lainnya di
Indonesia, Fatah juga merupakan bagian yang terintegrasi dari unsur orde baru.139
Fenomena transisi demokrasi dalam lanskap politik lokal di Bangkalan pasca
Soeharto runtuh, yang memunculkan Fuad Amin sebagai pemimpin baru
menggantikan Fatah, pada realitanya tidak menghasilkan sebuah tatanan yang
lebih terbuka dan transparan, melainkan menghasilkan rezim yang kurang lebih
137
Muhamad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 3.
138
Wawancara Pribadi dengan AHS.
139
Wawancara Pribadi dengan AHS.
150
mirip dengan pemerintahan orba. Sepadan dengan ide yang diungkapkan oleh
O‟Donnell dan Schmitter bahwa proses transisi hakikatnya dapat menghasilkan
beberapa bentuk: jika bukan keberhasilan ditegakkannya demokrasi politik, maka
bisa jadi yang muncul adalah rejuvinasi kekuatan otoritarian lama atau bahkan
lebih kejam dari pada yang sudah-sudah, atau transisi bisa pula hanya sebatas
rotasi kekuasaan tanpa memberikan solusi pada penyelesaian masalah
kelembagaan.140
Hasil transisi kekuasaan politik di Bangkalan yang terjadi pasca
Soeharto tumbang, justru mengarah pada pengekalan praktik hegemoni, meskipun
aktor yang muncul merupakan pemain baru. Hal ini seperti diungkapkan oleh
NNH:
“......Tahu bedanya Fuad Amin sama Soeharto, kalau Soeharto ini bisa
mengkondisikan TNI, politiknya dia punya Golkar, kekuatan blaternya
maupun penjaga dirinya dia punya TNI, satu. Dan dia juga punya kekuatan
finansial yang sangat biasa. Bagi para pejabat yang ingin, dia juga punya
kekuatan struktur. Ini kekuatannya Soeharto, kalau kultur saya kira ndak
punya. Tapi kalau Fuad Amin, untuk kekuatan hukum, dia itu kejaksaan
sama kepolisian, dia keok....”141
Di masa-masa awal kepemimpinan Fuad Amin di Bangkalan, eksistensinya
sebagai bupati memang harus diakui cukup baik, karena Fuad mampu
memberikan rasa nyaman kepada masyarakat. Lewat kharisma yang dia miliki,
konflik sosial yang terjadi di kalangan masyarakat relatif bisa diredam. Misal
salah satunya adalah konflik antar nelayan Koanyar dan Noreh yang terjadi akibat
perebutan tempat. Konflik yang mengarah pada kekerasan dan praktik saling
bunuh itu akhirnya bisa diselesaikan oleh Fuad. Contoh lainnya adalah saat akan
adanya pembakaran terhadap salah satu pondok di Serabi Barat oleh massa. Emosi
140 Vedi R Hadiz, Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto, (Jakarta: LP3ES,
2005), h. 236.
141
Wawancara Pribadi dengan NNH.
151
massa bisa diredam setelah Fuad datang. Menurut AHS, aura dan kharisma Fuad
Amin itu betul-betul ada. Sehingga gejolak yang terjadi di masyarakat dapat
diselesaikan dengan begitu mudah oleh Fuad. Terlepas entah apa itu sekadar
kontruksi sosial atau kesaktian, tapi hal itu memang betul-betul terjadi.142
Untuk memahami kondisi civil society di Bangkalan, ada beberapa hal yang
sebelumnya mesti kita ketahui lebih dulu. Pertama, secara kultur Bangkalan
merupakan kota agamis. Masyarakat Bangkalan menaruh perhatian yang tinggi
pada permasalahan-permasalahan seputar agama. Perhatian yang tinggi pada
aspek keagamaan ini pada akhirnya membawa masyarakat Bangkalan untuk
menghormati segala simbol agama, termasuk penghormatan kepada para kiai.
Kedua, tertanamnya kultur blater di lingkungan Bangkalan yang cenderung
mempersembahkan penyelesaian masalah melalui unsur kekerasan. Dan kultur
keblateran mau tidak mau dampaknya sangat terasa dalam setiap persoalan yang
muncul dan menyangkut masyarakat.
E.1). Gambaran Umum Masyarakat Bangkalan
Gambaran umum yang melekat pada kehidupan orang-orang Bangkalan
adalah kehidupan mereka yang dekat dengan dunia pesantren. Kultur religi
menjadi ikhwal yang penting dan inheren, dan tidak terpisahkan dari kehidupan
mereka sehari-hari. Hal ini bisa dilihat dari maraknya pesantren-pesantren yang
bermunculan di Bangkalan. Bahkan Kuntowijoyo menyebut kota ini sebagai kota
„seribu pesantren‟ yang tentunya banyak didiami oleh para santri.
142 Wawancara Pribadi dengan AHS.
152
Santri sebagaimana umumnya, adalah kalangan yang menaruh rasa hormat
dan takdzim yang besar kepada kiai mereka. Kiai adalah guru-guru mereka. Kiai
disimbolkan sebagai orang yang suci yang memiliki banyak mitos tentang
kekuatan gaib. Kiai mempunyai nilai baraqa yang hanya bisa didapatkan oleh
masyarakat melalui penghormatan kepadanya lewat ritual-ritual tertentu, misalnya
melalui mediasi cium tangan (salaman) atau dengan ziarah ke makam para leluhur
kiai yang telah dulu meninggal dunia. Kecintaan masyarakat yang besar kepada
para kiai secara tidak langsung, telah mengkontruksi sebuah tatanan masyarakat
yang memposisikan kiai di strata paling atas.143
Penghormatan masyarakat Bangkalan kepada kiai-kiai mereka, nyatanya
tetap terus berlanjut sampai kepada para keturunannya. Hal ini tidak terlepas dari
budaya masyarakat di Bangkalan yang mempercayai bahwa seorang anak kiai
sudah pasti akan menjadi kiai. Sebab sang anak mewarisi trah darah biru.144
Maka
tak aneh bila rata-rata keturunan keluarga besar Syaikhona Kholil menyandang
predikat sebagai kiai atau lora.145
Dengan kemuliaan yang dimiliki oleh
Syaikhona Kholil sebagai ulama besar dan guru bagi kebanyakan ulama di
nusantara, akhirnya, seluruh keturunannya ikut mewarisi kemuliaan beserta nama
besarnya.
“.....Kaya menjadi sebuah stigma positif bagi mereka bahwa anaknya kiai
pasti akan jadi kiai. Dan anaknya orang awam ndak bakalan jadi kiai. Kan
gitu. Karena ada trah darah biru itu, bahasa mereka.”146
143 Ahmad Nurcholis, “Mitos Kiai Suci,” artikel diakses pada tanggal 27 Maret 2016 dari
http://islamlib.com/gagasan/mitos-kiai-suci/
144
Wawancara Pribadi dengan MH.
145
Sebutan lora berlaku bagi anak keturunan kiai yang masih muda. Wawancara Pribadi
dengan NNH.
146
Wawancara Pribadi dengan MH.
153
Sayangnya, penghormatan ini semakin bias tatkala kiai terjun ke dunia
politik. Dunia politik yang cenderung dipenuhi oleh segala macam siasat dan
perilaku koruptif para aktornya, menyulitkan pembelahan sosiologis kiai sebagai
alim, ulama, dan guru di satu sisi, dengan kiai sebagai politisi murni di sisi yang
lain. Kesulitan memisahkan dua elemen yang berlainan dalam satu tubuh kiai ini
kemudian berdampak pada absennya kontrol masyarakat terhadap para kiai yang
terlanjur terjun ke dunia politik. Karena budaya kekiaian yang hierarkis dan
keberlakuan budaya tanpa kritik di dalamnya, telah mengkonstruksi pribadi kiai
dan masyarakat untuk bagaimana bersikap. Di satu sisi kiai merasa paling
superior, di sisi lain masyarakat merasa tidak pantas untuk menasehati kiai lewat
kritik yang mereka sampaikan. Sebab, sekalipun kalangan kiai terjun ke dunia
politik, embel-embel kekiaiannya akan tetap melekat dan tak akan pernah hilang.
“......Rupanya Bangkalan ini memang agak susah gitu kan, ya karena SDM,
kepala desa dan pejabatnya juga, yang mereka ini istilahnya punya bupati
yang tipikal kiai agak susah, karena kiai ini kan tahunya nyuruh, gitu.
Enggak bisa mau dikritisi, enggak boleh dikritisi kalau kiai, nah itu bedanya
dengan bupati dengan kiai.....”147
Secara kelembagaan, gelar kiai yang disandang oleh seseorang tentu
mencerminkan dalamnya sikap-asketis bagi diri yang bersangkutan. Kesucian, dan
terjaga dari sikap-sikap tercela merupakan pantulan laku kiai di masyarakat.
Sehingga anggapan bahwa kiai tidak mungkin melakukan kesalahan dan terbebas
dari segala dosa menjadi kondisi umum yang terjadi di masyarakat. Apalagi
kepatuhan yang ditunjukan oleh masyarakat kepada kiai dengan sendirinya akan
membentuk perasaan takut dan khawatir tertimpa tulah/kwalat bila berhadapan
dan berani melawan kalangan kiai. Maka menjadi kaprah bila impak dari adanya
147 Wawancara Pribadi dengan SYK.
154
anggapan ini adalah lahirnya rasa enggan untuk memberikan kritik terhadap para
kiai. Khususnya terhadap mereka-mereka yang menduduki jabatan publik.
Gambaran tersebut merupakan fenomena lumrah yang terjadi di Bangkalan
era reformasi. Representasi kiai yang terjun ke dunia politik era reformasi dapat
dilihat dari sepak terjang Fuad Amin. Fuad Amin yang mendapatkan gelar RKH
(Raden Kiai Haji) tidak terlepas dari posisinya sebagai keturunan Syaikhona
Kholil dan anak kandung Kiai Amin. Kharisma yang terpancar dari diri Fuad
Amin kurang lebih bersumber dari para leluhurnya ketimbang berasal dari
cerminan perilakunya. Faktanya, meskipun Fuad berasal dari latar keluarga kiai,
tidak mesti sikapnya mewarisi tindak-tanduk seorang alim kiai, bahkan
kenyataannya, perilakunya sangat jauh dari nilai-nilai substantif agama. Hal ini
dapat dilihat dari sepak terjangnya sebagai bupati yang dipenuhi oleh perilaku
KKN dan tindak kekerasan yang dia lakukan.
Meskipun kepemimpinan Fuad Amin banyak diwarnai penyimpangan dalam
berbagai sektor pemerintahan, faktanya tidak lantas menjadikannya sebagai objek
kritik masyarakat yang lebih masif. Masyarakat masih terbilang apatis. Kalaupun
ada, itupun hanya dilakukan oleh sebagian kalangan dan jumlahnya sangat begitu
kecil. Bahkan adanya kelompok penentang di Bangkalan, tidak sedikit yang
kemudian hanya menjadi bahan cibiran masyarakat. Pasalnya pola berpikir
masyarakat masih terkungkung dengan segala macam-macam mitos tadi: kwalat,
patrimornial dan budaya mengkritisi kiai belum begitu populer di masyarakat.
“.......pola pikir masyarakat yang masih terkontaminasi dengan patrialistik
ya. Jadi jangankan mendengar namanya fuad yang kita lawan, mau kita ajak
mereka untuk bergerak umpama, dengar kita ngotak-atik kekuasaannya fuad,
155
kritik demo segala macam, mereka udah antipati dengan kita. Karena
dianggap ini seorang kiai gitu loh yang gak pantas dilawan, gitu.”148
Tapi semenjak Fuad Amin ditangkap oleh KPK, mulai meruak kabar bahwa
masyarakat saat ini mulai sadar dan mereka tidak akan lagi mencari bupati dari
silsilah kiai. Pengalaman Fuad Amin sebagai Kiai-Bupati dengan berbagai
penyimpangan-penyimpangan yang dia lakukan sampai harus ditangkap oleh
KPK, setidaknya telah mencoreng kalangan kiai secara keseluruhan. Wacana ini
keluar sebagai bukti bahwa masyarakat Bangkalan masih mencintai kalangan
kiai.149
“Sangat. Karena apa sekarang ini, setelah kita (ini bahasa masyarakat)
mereka saking cintanya kepada kiai, takut nama kiai itu tercoreng kembali,
nah masyarakat sekarang ini yang sekarang ini tidak mau lagi, kayaknya
tidak mau lagi jadi (bahasa-bahasa masyarakat di bawah) kalau mencari
bupati jangan cari kiai. Kalau mau jadi bupati jangan mencari kiai, dari kiai.
Ini masyarakat yang bicara, ini jangan diartikan kami tidak suka pada kiai,
saking cintanya masyarakat pada kiai, takut tercoreng seperti kondisi
sekarang, akhirnya masyarakat punya inisiatif jangan mencari kiai, mencari
orang biasa saja yang mampu untuk membangun Bangkalan ke depan, ya
kalau kita dengar-dengar di lapangan seperti itu.”150
E.2). Dinamika Aktivis Bangkalan
Di kalangan para aktivis Bangkalan, adalah menjadi sesuatu yang lumrah
apabila Fuad Amin melakukan cengkeraman dan dominasinya dengan berbagai
upaya yang melampaui hukum. Fenomena dan dinamika aktivis Bangkalan
selama berada di bawah kepemimpinan Fuad Amin, berjalan sangat tragis. Aktivis
kerapkali menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh Fuad Amin beserta para
kroninya. Ada banyak contoh kekerasan yang dilakukan oleh Fuad Amin lewat
tangan suruhannya itu. Meskipun Fuad tidak terjun secara langsung untuk
148 Wawancara Pribadi dengan MH.
149
Wawancara Pribadi dengan MMD, Bangkalan, 19 September 2015.
150
Wawancara Pribadi dengan MMD.
156
melakukan kekerasan, tapi para aktivis di Bangkalan sangat mafhum bahwa otak
sebenarnya dari maraknya kasus kekerasan yang terjadi terhadap para aktivis
adalah Fuad Amin. Rasionalisasinya adalah karena kasus kekerasan yang
menimpa mereka biasanya terjadi setelah mereka melakukan aksi protes ataupun
melakukan kritik terhadap kepemimpinan Fuad Amin. Misalnya, pembacokan
yang menimpa saudara Fahrillah, peristiwa tersebut terjadi beberapa hari setelah
dia melakukan aksi protes mengenai perda kepala desa yang bermasalah, karena
wewenang Fuad Amin terkait perda ini begitu besar.
“Jadi begini, 1 minggu apa 10 hari kurang lebih begitu setelah saya
mengkritisi masalah perda itu. Dan saya memimpin beberapa demo di
Bangkalan. Akhirnya pada tanggal 6 hari sabtu, pada tanggal 6 hari sabtu,
november, tahun 2010 itu....”151
Atau seperti kasus yang menimpa Husni, yang dijebak oleh sabu-sabu oleh
orang-orangan Fuad, sehingga membuatnya sempat mendekam di penjara. Dan itu
terjadi beberapa hari setelah dia melakukan protes terhadap PPP yang waktu itu
dikekang oleh Fuad Amin untuk tidak mencalonkan Imam Bukhori Kholil
menjelang pencalonannya sebagai bupati. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun
2007.152
Hal yang sepadan juga diungkapkan oleh NNH, dia mengatakan bahwa
semua orang sudah mengerti betul bahwa aktor intelektual di balik peristiwa
kekerasan terhadap aktivis yang terjadi di Bangkalan adalah Fuad Amin.
“Ya tidak usah kasih contoh pun semua orang sudah tahu. Kalau saya secara
pribadi, saya secara pribadi inikan orang yang mau dibunuh. Saya secara
pribadi orang yang mau dibunuh, salah satu target. Ya saya sampaikan, kalau
siapa yang narget, yang narget ya itu lah. Kenapa saya punyai, saya juga
punya dasar, dasar kenapa saya harus kesana menetapkan itu, gitu.”153
151 Wawancara Pribadi dengan FHR.
152
Wawancara Pribadi dengan FHR.
153
Wawancara Pribadi dengan NNH.
157
Kasus kekerasan ini faktanya bukan hanya sekadar memberikan teror agar
menjadi pembelajaran bagi para penentang Fuad Amin yang lainnya: bahwa
orang-orang yang berlawanan dengan Fuad akan mengalami nasib yang serupa.
Tapi kasus kekerasan yang terjadi faktanya juga mengarah kepada pembunuhan
bagi target yang bersangkutan. Target „pembunuhan‟ pernah dialami oleh aktivis
CIDE, Mathur Khusairi. Dia adalah salah satu korban penembakan. Peristiwa itu
terjadi pada tanggal 20 Januari 2015. Mathur sendiri merupakan mantan asisten
pribadi Fuad Amin yang keluar dari lingkaran Fuad setelah mengetahui gelagat
sikap dan prilaku Fuad yang menyimpang. Peristiwa kekerasan terhadapnya
sebetulnya bukan kali itu saja, sebelumnya kaca jendela rumahnya pernah menjadi
objek pelemparan oknum Fuad, dan pada tahun 2011, mobilnya sempat dibakar.
Sebelumnya Mathur Husairi pernah beberapa kali melaporkan dugaan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh Fuad Amin pada proyek pembangunan
Pelabuhan Madura Industrial Seaport City di Kecamatan Socah dan proyek
pengaspalan Jalan Bujuk Sarah di Desa Martajesah kepada KPK. Selain itu
Mathur Husairi pun terlibat dalam protes aksi mengenai pungutan liar di dinas
pendidikan dan penyimpangan pada pengangkatan CPNS di Badan Kepegawaian
Daerah Bangkalan.154
Kasus kekerasan lainnya juga pernah menimpa beberapa aktivis Bangkalan.
Kebanyakan dari mereka rata-rata dibacok dan dijebak dengan sabu-sabu.
Sebagaimana diungkapkan oleh AHS, yang juga mantan orang dekat Fuad dan
pernah mengalami sendiri bagaimana dirinya diajak carok oleh Fuad Amin.
154 Tempo.co, “Polisi Usut Penembakan Aktivis di Bangkalan,” berita ini diakses pada tanggal
25 Februari 2016 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/20/058636213/polisi-usut-
penembakan-aktivis-di-bangkalan
158
Mereka antara lain: Fahrillah (dibacok), Husni (dijebak sabu-sabu), Muzakki
(dibacok), Nanang Hidayat (diancam dan menjadi salah satu target operasi Fuad),
Mahmudi (dibacok).
“Kalau fisik belum, tapi (oiya fisik ditelepon diajak carok saya, diajak
berantem) tahun 2010. Dia memang beda politik dengan saya. Mobil saya
dikepruk.”155
“Pokoknya awalnya saya ya, tapi saya itu kan tidak fisik. Tidak langsung
fisik saya, setelah itu Fahri, Fahrillah (dibacok), Muzakki (dibacok),
Mahmudi, Mathur (ditembak), Husni (dijebak narkoba), Nanang
(diancam).”156
Sebetulnya pasca reformasi digulirkan, keterbukaan untuk memberikan
kritik terhadap kinerja pemerintahan sangat terbuka lebar. Dan masyarakat
Bangkalan setidaknya juga sadar akan penyimpangan-penyimpang yang telah
Fuad Amin lakukan. Tapi lagi-lagi, dengan dominasi dan teror yang sering Fuad
lakukan, pada akhirnya hanya sedikit saja dari mereka yang masih tetap bertahan
untuk melakukan kontrol pada pemerintahan. Karena untuk menuangkan segala
kritikan tersebut, mereka takut. Kecuali mereka-mereka yang siap dengan segala
resiko yang akan mereka dihadapi.157
Kekerasan yang dilakukan oleh Fuad Amin tidak terlepas dari dominasinya
yang amat begitu besar di Bangkalan. Apalagi jaringan blater yang cenderung
lekat dengan dunia kekerasan dan carok, adalah jaringan yang juga dipelihara oleh
Fuad Amin. Segala krtitik yang mengarah pada Fuad Amin, akan dia redam
dengan banyak cara. Jika yang mengkritik adalah kalangan mahasiswa atau
pemuda, biasanya Fuad Amin akan memanggil orang-orang terdekat mereka
155 Wawancara Pribadi dengan AHS.
156
Wawancara Pribadi dengan AHS.
157
Wawancara Pribadi dengan AHS.
159
terlebih dulu, orang tua atau guru ngaji mereka. Dari orang dekat tersebut,
merekalah yang kemudian akan meneruskan pesan Fuad, agar mereka berhenti
melakukan aksi protes dan lain sebagainya.
Berbagai teror dan tindak kekerasan yang acapkali Fuad lakukan sangat
berpengaruh pada munculnya rasa takut dari masyarakat dan orang-orang yang
ada disekelilingnya. Ketakutan masyarakat kepada Fuad Amin juga terlihat dari
beberapa orang dekatnya yang lebih memilih untuk mengangkat telepon dari Fuad
Amin ketimbang menyelesaikan shalatnya lebih dulu. Peristiwa ini merupakan
fakta yang tidak bisa dipungkiri. Momok Fuad divisualisasikan sebagai orang kuat
tanpa batasan kekuasaan.
“.........Jadi orang-orangnya ini anak-anak ideologisnya ini, jadi seakan-akan
menuhankan, mas. Seandainya rukun iman itu bisa ditambah, ditambah satu
lagi itu. Iman kepada Fuad Amin. Bahkan mungkin pada urutan pertama itu.
Kenapa saya sampaikan seperti itu, karena adapun teman saya yang juga
senior saya pas lagi solat sudah baca fatihah pas ada telepon dari fuad amin,
salatnya dibatalin. Demi menerima telepon karena takut. Berartikan dia
lebih takut kepada Fuad Amin daripada kepada Allah. Jadi ini, rukun
imannya itu tujuh.”158
Selain itu, dominasi Fuad pun tidak terlepas dari dukungan para kepala desa
atau klebun yang ada di sekelilingnya. Keterlibatan mereka dibuktikan dengan
turut melakukan monitoring kepada warga yang kerap melancarkan aksi protes
terhadap pemerintahan Fuad. Sehingga tidak sulit bagi Fuad untuk melakukan
kontrol satu persatu terhadap masyarakat Bangkalan, lantaran jaringan kepala desa
pun sepenuhnya ada di bawah kendalinya.
“Yang kedua, cengkeraman blater itu tadi dan kepala desa. Ini akan ketahuan
siapa yang bergerak di desa itu akan ketahuan. Jadi kontrolnya di situ. Kalau
gak memang anak atau teman-teman ini yang benar-benar berani terhadap
resiko, gak mungkin akan bergerak bergabung dengan teman-teman di sini.
158 Wawancara Pribadi dengan NNH.
160
Karena kontrol itu kuat. Ketahuan nanti oh ini anaknya ini gitukan, di desa
ini, tinggal kepala desanya yang dipanggil. Nanti sampean yang aktivis
umpama, saya kepala desa, orang tuanya yang dipanggil. Kalau enggak
sampean dulu pernah belajar di mana, pesantrennya umpama, kiainya yang
dilobi. Kalau sampean udah lobinya lewat kiainya, siapa yang masih mau
melawan.”159
Kontrol Fuad kepada para penentangnya biasanya Fuad lakukan dengan cara
persuasif terlebih dulu. Cara persuasif ini tidak lepas dari dua hal, pertama iming-
iming materil atau bantuan, kedua, kemampuan Fuad dalam berteatrekalisasi di
depan penentangnya. Kehebatan Fuad dalam melakukan akting ini diakui sendiri
oleh beberapa aktivis di Bangkalan. Hal seperti ini pernah dialami sendiri oleh
AHS.
“.......orang dalam saya awalnya kan. Tek keluar. Tuh maukan letupan-
letupan, karena memang saya yang mengawali, enggak ada yang berani mas.
Saya yang mengawali, Saya awalnya digituin juga lagi: ayo perlu apa Liman
gini gini tapi bukan orangnya langsung. Karena saya sering tidak kuat ketika
orangnya sendiri yang bicara. Dipanggil, ditelepon saya gak pernah mau,
kalau sudah berhadapan saya sering kalah. Sudah berkali-kalikan saya
itu.”160
Bahkan dalam teatrekalnya, Fuad Amin acapkali menitikan air mata saat
memohon dan meminta kepada para penentangnya agar menghentikan protes
yang mereka lakukan. Pengalaman ini sebagaimana yang juga dia lakukan saat di
persidangan Tipikor. Alasannya tentu agar rasa iba dan kasihan timbul dari para
penentangnya. Sehingga tidak sedikit dari para aktivis di Bangkalan yang
akhirnya luluh karena terbuai dengan drama yang Fuad lakukan, dan kemudian
berada di barisan Fuad Amin. Para aktivis yang memilih bergabung dengan Fuad
Amin dikenal dengan istilah LSM plat merah.
159 Wawancara Pribadi dengan MH.
160
Wawancara Pribadi dengan AHS.
161
“.....karena memang berkali-kali saya itu melawan itu saya berkali-kali.
Setelah ketemu orangnya, ngedown dan disapahpakan nangis. Makanya
yang kemarin nagis, itu jurus pamungkas itu”.161
“......Saya kan gak tega. Terus saya kan terenyuh dan segala macamnya,
masuk lagikan saya”.162
Dengan berbagai pengekangan dan ancaman tindak kekerasan yang diarahkan ke
berbagai kalangan aktivis lokal, faktanya tidak serta merta membuat usaha untuk
tetap mengontrol dan menciptakan pemerintahan yang transparan berhenti
diupayakan. Para aktivis lokal - akhirnya tetap mencari jalan lain agar upaya ke
arah tersebut tetap ada. Salah satu di antaranya yaitu dengan mengupayakan
kritik-kritik kepada pemerintah lewat media sosial seperti facebook atau menakut-
nakuti para kepala desa melalui sms.163
Kampanye lewat Facebook terbilang sangat efisien dan efektif, karena
selain mendapatkan informasi tanpa harus mengeluarkan biaya besar seperti
koran, jangkauannya pun luas. Sehingga dengan adanya informasi yang ditulis
lewat status dengan berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta, dan adanya proses
dialektis dengan saling silih balas pada ruang komentar, setidaknya hal ini dapat
memantik kesadaran masyarakat bahwa ada banyak penyimpangan-penyimpangan
yang telah dilakukan oleh pemerintahan Fuad. Pemanfaatan media sosial pun
kemudian terbantu dengan budaya verbal yang masih dominan di kalangan
masyarakat, yang akhirnya saling menyebar informasi dari satu orang ke orang
yang lain.164
161 Wawancara Pribadi dengan AHS.
162
Wawancara Pribadi dengan AHS.
163
Wawancara Pribadi dengan SYK.
164
Wawancara Pribadi dengan SYK
162
“......facebook ini yang memiliki yang jelas orang yang bisa baca-tulis kan
gitu, sedangkan kalau koran orang tidak bisa baca tidak akan membeli kan.
Tapi kalau media sosial seperti Facebook, dia ngomong gitu loh
menyampaikan, karena dia bisa baca, gini loh aku baca di facebook. Habis
dilike katanyakan, ini istilahnya kaya MLM. Jadi dari mulut ke mulut. Dari
satu ke dua, dua dan seterusnya. Tapi kalau koran, orang gak mungkin baca
langsung disimpan. Akses untuk beli koran susah, nah jadi salah satu fungsi
media sosial itu, untuk itu sebenarnya.....” 165
Tapi kritik melalui media sosial sekalipun nyatanya juga tidak terlepas dari
monitoring yang Fuad Amin lakukan. Kontrol Fuad Amin terhadap masyarakat
juga dia lakukan melalui monitoring pada akun-akun di media sosial. Biasanya hal
ini dilakukan oleh orang-orangan Fuad dengan membuat akun palsu atau atas
nama perempuan dengan menyusup ke ruang-ruang komentar masyarakat
Bangkalan. Yang lebih menakjubkan dari sekadar adanya monitoring terhadap
akun medsos masyarakat setempat adalah yakni adanya monitoring yang
dilakukan oleh Fuad Amin terhadap dua tabulasi rekapitulasi suara setelah
pemilihan dalam momen politik usai dilaksanakan. Rekapitulasi resmi ada pada
KPU, dan rekapitulasi lainnya ada di pendopo. Dan di antara keduanya, hasil yang
dipakai adalah rekapitulasi pendopo.166
“Saya sendiri karena enggak terlalu aktif di medsos, kalau detailnya saya
enggak tahu, cuma jangankan seperti itu ya, wong sampai tabulasi
rekapitulasi suara ketika KPU melaksanakan rekapitulasi itu dua, yang
rekapitulasi resmi dilaksanakan di kantor KPU, sementara di pendopo itu ada
rekapitulasi sendiri. Dan yang berlaku itu yang rekapitulasi di pendopo.
Bukan yang.....”167
Hal lainnya yang seringkali diupayakan oleh kalangan aktivis, salah satunya
SYK, untuk meminimalisir kebiasaan Fuad Amin yang acapkali menggunakan
jaringan klebun untuk usaha-usaha pemenangan lewat manipulasi suara di saat
165 Wawancara Pribadi dengan SYK.
166
Wawancara Pribadi dengan AAR.
167
Wawancara Pribadi dengan AAR.
163
momem-momen politik adalah dengan menakut-nakuti para kepala desa yang ada
di bawah kendali Fuad Amin melalui pengiriman SMS bernada peringatan kepada
mereka. Karena seperti yang telah dijelaskan di muka, bahwa keberadaan kepala
desa di Bangkalan seringkali digunakan oleh Fuad Amin untuk memanipulasi
hasil perolehan suara melalui rekap yang dimainkan berdasarkan formulir C-1.
Dengan adanya peringatan sms yang dikirimkan, paling tidak para kepala desa
akan berpikir ribuan kali untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan - untuk
menuruti segala instruksi yang Fuad suruh kepadanya. Biasanya pengiriman sms
ini dilakukan di luar kota, misalnya Surabaya, agar sistem bts tidak mendeteksi
bahwa sang pengirim pesan berada di dalam kota Bangkalan.168
“Ada. 150-an. Lah ini wong sebelum pemilihan kita takut-takuti, ya kita
pura-pura dari Polda gitukan, kami sudah mengetahui bahwa akan ada
pencoblosan secara masal oleh kepala desa, besok kami dari Polda akan
turun ke setiap TPS. Lah dengan sms seperti itu kepala desa kan pasti
ketakutan. Setelah dua hari setelah itu baru kita buang kartunya. Dan cara
pengaktifannya pun enggak boleh kita di sini. Paling enggak di Surabaya
ataupun di luar”.169
Sedikitnya jumlah masyarakat yang melibatkan diri dalam gerakan-gerakan
oposisi dipahami betul oleh Imam Bukhori Kholil. Dominasi yang telah dilakukan
Fuad betul-betul terasa dalam segala bentuk kontrol kehidupan yang ada di
Bangkalan. Fuad tidak mau, ada riak-riak kecil yang mengganggu kekuasaanya.
Sehingga melaui kontrol yang dia lakukan terhadap berita-berita di media, atau
melalui jaringan kepala desa dan akun-akun di media sosial, dengan beberapa
ancaman bahkan tindak kekerasan, sangatlah wajar bila akhirnya masyarakat lebih
168 Wawancara Pribadi dengan SYK.
169
Wawancara Pribadi dengan SYK.
164
memilih untuk tidak terang-terangan mendukung kelompok oposisi.170
Bahkan
setelah Fuad ditangkap oleh KPK sekalipun, rasa khawatir di masyarakat masih
tetap bertahan. Karena dominasi Fuad faktanya belum sepenuhnya hilang. Sisa-
sisa kekuatan Fuad, lewat keberadaan orang-orang dekatnya masih tetap eksis.
Untuk partai Gerindra sendiri misalnya, saat ini masih dipimpin oleh adik
kandungnya sendiri, Imron Amin.171
E.3). Lemahnya Penegakan Hukum
Banyaknya kasus kekerasan yang menimpa para aktivis di Bangkalan tidak
lantas membuat kepolisian tergerak untuk mengungkapnya secara tuntas. Rata-
rata kasus kekerasan yang masuk pada laporan kepolisian berhenti di tengah jalan
atau bahkan mungkin tidak disentuh sama sekali. Hal yang sama pun terjadi
dalam berbagai kasus korupsi yang Fuad Amin lakukan.
“......Mana ada polres itu ngungkap kasus korupsi Bangkalan, selama Fuad
Amin menjabat. Mana ada itu kejaksaan, gak ada. Semuanya tidur.”172
Ini merupakan sebuah fakta, karena sampai saat ini, baik kasus korupsi maupun
kasus kekerasan yang terjadi tidak pernah terungkap siapa saja pelakunya dan apa
motif di belakangnya. Terungkapnya kasus korupsi Fuad belakangan ini, lebih
diinisiasi karena kinerja KPK dari pada lembaga hukum setempat.
Ada dua indikasi yang mengarah pada kinerja kepolisian dan kejaksaan di
Bangkalan yang terkesan monoton. Pertama, bisa jadi mereka masuk ke dalam
gerbong Fuad Amin, kedua mereka merasa ciut jika berhadapan dengan Fuad
Amin. Rasa takut ini dapat bermacam-macam bentuknya, bisa saja rasa takut ini
170 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
171
Wawancara Pribadi dengan AHS.
172
Wawancara Pribadi dengan NNH.
165
muncul akan adanya mutasi atau dipindah-tugaskan atau turun pangkat yang dapat
dilakukan kapan saja oleh atasan mereka yang memiliki kedekatan dengan Fuad
Amin. Bahkan beredar rumor, mereka adalah orang-orang belian Fuad Amin.
“Cuma gini, ada juga rasa ketakutan kepolisian, sama aja dengan kapolres
iya kan, kalau kemudian menjabat ke sini ada yang juga bahasanya orang-
orang (rumor ini), ini dibeli gitukan, diminta untuk menjadi kapolres sini,
ada juga kalau dia macam-macam nanti bakal dimutasi, rasa ketakutan itu
kan ada setiap pejabat itukan. Nah, mungkin itu bagi mereka.”173
Padahal laporan atas adanya tindakan penyelewengan wewenang Fuad
Amin berkali-kali sempat dilaporkan oleh masyarakat. Tapi lagi-lagi laporan
tersebut hanya mentok di kepolisian dan kejaksaan.
“........Nah, di dalam periode kedua ini saya melihatnya lebih parah lagi dari
periode pertama, tidak hanya kebijakan yang tidak pro rakyat, tapi
korupsinya ini sudah sedemikian rupa menggurita. Dan itu sudah kita tahu,
data itu kita punya. Kita sudah coba masukan ke laporkan ke pihak aparat
penegak hukum, mulai dari kepolisian dan kejaksaan, tapi itu selalu mentok
dan tidak, tidak ada ruang pintu untuk masuk. Entah bagaimana
caranya....”174
“........akhirnya kita dapatkanlah data terkait pengungsi, pengungsi Sambas,
dengan korupsi ijazah palsu kita dapatkan waktu itu, dan termasuk korupsi-
korupsi APBD. Banyak kita melaporkan di polres maupun kejaksaan tapi ini
tidak bisa terungkap, ada apa di balik ini, gitukan, sebelasan kasus itu.”175
Dengan kinerja kepolisian dan kejaksaan yang monoton, tidak berfungsi,
dan tidak berani mengungkap segala kasus yang berkaitan dengan Fuad Amin,
akhirnya membuat kedua intsansi tersebut oleh masyarakat disebut sebagai dinas
kepolisian dan dinas kejaksaan. Label ini secara eksplisit menggambarkan bahwa
keberadaan lembaga kepolisian dan kejaksaan tidak lebih hanya sekadar sebagai
fasilitator bagi munculnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh
Fuad Amin menjadi semakin luas. Mereka seolah-olah tidak memiliki tanggung
173 Wawancara Pribadi dengan SYK.
174
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
175
Wawancara Pribadi dengan SYK.
166
jawab atas penyimpangan yang dilakukan oleh Fuad, sehingga wajar bila ada
anggapan yang muncul di masyarakat seakan-akan mereka berada di bawah
koordinasi langsung Fuad Amin.176
Bukan malah sebaliknya, yang semestinya
mengontrol jalannya pemerintahan. Karena dengan tiadanya tindakan yang
dilakukan, segala bentuk laporan tersebut hanya sia-sia.
“.......Makanya di Bangkalan itu sampai terkenal ada istilah kepala dinas
kepolisian, kepala dinas kejaksaan, karena begitu rupanya dua institusi
penegak hukum ini seakan-akan ada di bawah koordinasi eksekutif, bukan
bergerak sendiri.”177
Bahkan suatu waktu Mathur Khusairi (korban penembakan) pernah
mengajukan usul kepada kasatreskim setempat agar segala kasus kekerasan yang
menimpa aktivis Bangkalan untuk di SP-3 kan saja. Tapi nyatanya hal tersebut
tetap urung dilakukan, karena menurut pihak kepolisian, bisa saja suatu hari
dominasi Fuad Amin akan hilang, dan mereka akhirnya dapat melakukan
tindakan.
“Semua kasus kekerasan terhadap aktivis di Bangkalan tak satupun yang
terungkap. Saya pernah ngomong ke kasatreskrim apa kasat intel ya dulu,
pak ini kasus kekerasan terhadap aktivis ini kenapa gak dihentikan saja di
sp-3kan saya bilang. Inikan menjadi tunggakan kepolisian, kalau di-sp3kan
kita juga, dan ini kami yang mohon gitu. Kenapa enggak di-sp3kan. Mereka
jawabnya: Gak bisa mas, siapa tahu nanti Fuad sudah gak ada, kita bisa
nindak lanjuti ini.”178
Tapi tidak semua penegak hukum di Bangkalan berpaling muka atas segala
tindakan penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh Fuad. Menurut
pengakuan beberapa aktivis, pernah ada juga kapolres Bangkalan di masanya
Sulistyono yang sangat apresiat dan mendukung gerakan-gerakan yang dilakukan
oleh para akivis dalam melakukan kontrol terhadap pemerintahan Fuad. Perhatian
176 Wawancara Pribadi dengan AAR.
177
Wawancara Pribadi dengan AAR.
178
Wawancara Pribadi dengan MH.
167
dia terhadap penanganan kasus korupsi pun begitu besar. Sayangnya, 4 bulan
setelah penangkapan Fuad oleh KPK, dia harus dipindahtugaskan ke Pasuruan.
“..........Kalau Pak Sulis inikan intens, kalau seminggu sekali, seminggu dua
kali, ngajak ketemu sama kita, ngajak bahas Bangkalan seperti apa. Jadi
keinginan untuk membongkar korupsi itu ada. Dan minimal punya rencana
gitulah.”179
E.4). Organisasi Keagamaan
Institusi-institusi keagamaan, baik yang berbentuk ormas maupun yang
berada di struktur pemerintahan juga menjadi ajang pemanfaatan Fuad untuk
menandaskan kekuasaannya di Bangkalan. Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama
Indonesia dan Basra adalah 3 instansi yang seringkali dimanfaatkan oleh Fuad
Amin. Tiga institusi keagamaan ini menjadi unsur elementer yang Fuad gunakan
untuk segala kepentingan pribadinya. PCNU Bangkalan misalnya, sebagai orang
yang memiliki latar keluarga NU, bahkan sebagai keluarga yang menelurkan
embrio berdirinya NU, tentu menjadi hal yang penting bagi Fuad untuk menguasai
ormas ini. Apalagi secara kultur, NU di Bangkalan sangat begitu kuat. Sedangkan
organisasi masyarakat lainnya seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam secara
itung-itungan massa masih kalah jauh dari massa NU di Bangkalan, makanya
keberadaannya tidak menjadi prioritas dominasi Fuad Amin. Basis massa
Muhammadiyah hanya terpusat di kecamatan Burneh, sedangkan SI hanya dapat
dijumpai di kecamatan Kamal.180
NU telah menjadi kultur serta ideologi yang mendarah daging dengan
masyarakat lokal Bangkalan. Dengan menguasai NU Bangkalan, setidaknya Fuad
179 Wawancara Pribadi dengan SYK.
180
Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura,” dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto,
ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 227.
168
telah berada di barisan paling depan untuk mendulang simpati dari masyarakat.
Melihat NU sebagai ormas potensial untuk segala kepentingannya, akhirnya Fuad
pun mengambil alih pucuk pimpinan PCNU Bangkalan yang sebelumnya diketuai
oleh Imam Bukhori Kholil, pesaingnya, - yang kemudian dia alihkan kepada
Fahrillah, yang kapasitasnya sebagai orang dekat sekaligus familinya.
Bahkan jauh-jauh hari sebelum Fuad Amin berkuasa, NU dan Bassra
merupakan dua organisasi masyarakat yang memang dalam realitanya banyak
didominasi oleh trah bani kholil. Pada periode 2001-2005, Ketua Syuriah NU
Bangkalan dijabat oleh KH. Abdullah Sachal dan Ketua Tanfidziyah NU
Bangkalan dijabat oleh Syafii Rofii. Sedang Ketua PCNU Bangkalan sendiri
dijabat oleh KH. Imam Bukhori Kholil. Adapun Bassra Bangkalan juga pernah di
bawah koordinator KH. Kholil A.G sebelum akhirnya beliau meninggal dunia
pada tahun 1995. Basra memiliki dua LSM , pertama LSM Madura Mandiri dan
kedua, LSM GMH (Gerakan Madura Hijau). Kedua LSM ini masing-masing
dipimpin dan dibina oleh KH. Mundzir Rofii dan KH. Imam Bukhori Kholil.181
Gambaran singkat tentang sejarah NU dan Basra yang memang sudah
semenjak dari dulu sudah didominasi oleh bani kholil setidaknya memberikan
penjelasan bahwa keeksistensian Fuad pada dua ormas tersebut terbilang tidak
mengejutkan, sebab Fuad sendiri merupakan orang tertua di antara pihak keluarga.
Sehingga kesanggupannya untuk menguasai dan menginfiltrasi kepentingan
pribadinya ke dalam kedua ormas bukan merupakan hal yang sulit Bahkan
banom-banom NU di Bangkalan pun tidak terlepas dari jeratan dominasi Fuad
181 Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan Sumenep,
Madura,” dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton Birowo, dan Bambang Purwanto,
ed., Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal (Jakarta: LP3ES, 2004), h. 226-228.
169
Amin. Banom NU yang tidak menjadi prioritas Fuad dalam kendalinya hanya
IPNU dan IPPNU. Di luar itu, seluruh banom NU yang berada di struktur lebih
atas dari pada IPNU dan IPPNU terhitung menjadi ladang pengendalian Fuad
Amin.
Ormas NU menjadi basis kekuatan Fuad Amin karena banyak di antara para
keluarganya yang menduduki posisi-posisi strategis.182
Selain PCNU Bangkalan
yang kini diketuai oleh KH. Fahrillah Ashori, seorang pimpinan Pondok
Syaikhona Kholil yang sekaligus keponakannya sendiri dan merupakan putra dari
KH. Abdullah Sachal, ada juga beberapa banom NU lainnya yang juga diduduki
oleh para kroni dan keluarganya. Antara lain: Ketua anshor yang pernah dijabat
oleh Maksum Yani, Abdul Kadir Rofii, Mustahal Rasyid, dan saat ini dijabat oleh
Haji Hasani Zubair, yang kesemuanya merupakan bagian dari salah satu keluarga
dan kroni Fuad Amin.183
Sedang Muslimat NU dipegang oleh saudaranya KH.
Fahrillah Ashori sendiri.
“Kalau PCNU-nya dulu dua periode dipegang oleh Imam Bukhori, ini yang
kontra dengan fuad. Keluar dari Imam ini ke Fahrillah, Fahrillah ini yang
orang dia (keponakannya), sama dengan Imam juga keponakannya, cuma
yang satu ini relatif tidak punya kemampuan untuk mimpin sebuah
organisasi-organisasi besar di Bangkalan. Jadi, dan dia ternyata ditaruh oleh
Fuad. Kalau Muslimatnya saudaranya Fahri, Fuad juga yang milih.
Pokoknya kalau yang levelnya Ansor pun ya, ini masih Fuad yang main
kendali. Kalau sekelas IPNU, IPPNU ini sudah bisa dijamah oleh siapapun.
Kalau Ansor ke atas, Ansor levelnya fatayat, kemudian ya NU-nya ini udah
itu Fuad punya kontrol.”184
Adapun sikap Muhammadiyah terhadap kepemimpinan Fuad Amin terkesan
pasif. Sekalipun ada letupan-letupan yang dimunculkan oleh Haji Yasin Marseli,
182 Wawancara Pribadi dengan MH.
183
Wawancara Pribadi dengan BHR, Bangkalan, 17 September 2015.
184
Wawancara Pribadi dengan MH.
170
selaku ketua Muhammadiyah Bangkalan, itu pun hanya sekadar perkara yang
sifatnya lebih privasi. Karena Fuad mencaplok tanahnya untuk keperluan
pembuatan jalan kembar ke arah makam.185
“Gak, enggak ada yang berani mas. Haji Yasin ini dulukan dia bisnis, dia
kan kontraktor developer gitu, selama itu sama-sama menguntungkan dia
gak akan berontak. Tapi ketika sudah aset pribadi diambil, nah baru dia
berontak itu. Kalau dulu aman-aman aja, ketika bisnis sama-sama bisa jalan,
is oke. Tapi kalau tanahnya yang dicaplok kemudian dibuat jalan umum ini,
ya dia ngamuk benar itu. Dia ngelawan benar, tapi gak pakai kekuatan
Muhammadiyahnya dia. Pribadi.”186
E.5). Gerakan LSM Bangkalan
Ada banyak LSM-LSM yang tumbuhkembang di Bangkalan sejak era
reformasi. Seperti Leksdam (lembaga kajian sosial demokrasi) yang diinisiasi oleh
Aliman Haris, CIDE (Crisis Islam of Democration) yang diinisiasi oleh Mathur
Khusairi.
Sama halnya dengan Leksdam yang fokus di kajian sosial dan demokrasi,
alasan dibentuknya CIDE tak lain juga sebagai wadah bagi kajian-kajian wacana
yang fokus di permasalahan pembangunan demokrasi di sekitar masyarakat
Bangkalan. Hal ini menurut pengakuan pendirinya, Mathur Khusairi, dilakukan
untuk membawa kesadaran masyarakat agar tidak terjebak dalam relasi sosial
yang cenderung patrimornial.187
Pada tahun 2009, CIDE pernah bekerjasama
dengan USAID untuk memberikan pendidikan bagi para pemilih (vooters
education) pada kelompok-kelompok marginal, perempuan, dan grup pengajian
yang ada di kampung dan juga melakukan penguatan komunitas dalam melakukan
upaya pendampingan terhadap kepala desa.
185 Wawancara Pribadi dengan MH.
186
Wawancara Pribadi dengan MH.
187
Wawancara Pribadi dengan MH via telepon, 02 Maret 2016.
171
“........kita sempat kerjasama dengan USAID kalau gak salah dulu, jadi
panitia lokal setdes punyanya bu lili zakia munir. Inikan aktivis perempuan
yang dikirim Indonesia untuk PBB, dan dia selalu hadir di area pemilu di
beberapa negara yang bergabung dengan PBB. Pernah kerjasama dengan itu
di pemilu 2009. Jadi kita ngadakan kegiatan kaya vooters education gitu, di
kelompok-kelompok marginal, kelompok-kelompok perempuan, kelompok
pengajian di kampung-kampung itu, terus setelah itu ya kita di penguatan-
penguatan komunitas masyarakat pendampingan terkait kepala desa, itu yang
kita lakukan”.188
Selain CIDE dan Leksdam, ada juga MCW (Madura Corruption Watch).
MCW adalah evolusi dari BCW (Bangkalan Corruption Watch) yang merupakan
gabungan dari beberapa LSM wilayah Madura lainnya yang tergabung menjadi
satu dan bernaung di satu nama. Lahirnya BCW tidak terlepas dari keinginan para
aktivis lokal supaya ada sebuah lembaga yang fokus di permasalahan
pemberantasan korupsi.189
Adapun MCW sendiri diketuai oleh Syukur, Mathur
Husairi (Sekjen) dan Fahrillah (Wakil Ketua).
Empat bulan setelah BCW berdiri, BCW menjadi lembaga yang disegani,
bahkan satu tahun setelahnya, bahasa yang muncul di masyarakat tentang satu-
satunya LSM yang fokus dalam pemberantasan korupsi di Bangkalan itu adalah
“hati-hati di BCW-kan”.190
Ungkapan ini mengindikasikan bahwa BCW memiliki
kontrol atas perilaku koruptif para pejabat lokal. Karena secara historis, nama
BCW sendiri terinspirasi dari ICW yang telah lahir lebih dulu.191
Keberadaan BCW di Bangkalan, dalam perjalanannya sangat terbantu
dengan adanya undang-undang nomor 14 tahun 2008 tentang keterbukaan
informasi publik yang disahkan pada tahun 2010. Karena untuk mendapatkan data
seputar APBD dan data-data lainnya dapat diakses dengan mudah. Sehingga
188 Wawancara Pribadi dengan MH, Bangkalan, 18 September 2015.
189
Wawancara Pribadi dengan MH.
190
Wawancara Pribadi dengan SYK.
191
Wawancara Pribadi dengan SYK.
172
BCW dapat melakukan perbandingan terhadap anggaran yang sekiranya menjadi
celah bagi terjadinya korupsi. Komisi informasi di Bangkalan sendiri dibentuk
pada tahun 2011. Dari situ akhirnya BCW banyak mendapatkan data terkait
pengungsi sambas, korupsi ijazah palsu, dan korupsi APBD. Sayangnya,
pelaporan terhadap kasus-kasus tersebut, hanya berhenti di meja kepolisian dan
kejasaan.192
Gerakan civil society lainnya yang ada di Bangkalan yaitu Formula, Forum
Pemuda Bangkalan. Forum ini lahir pada tahun 2010 sebagai wadah dan forum
bagi para pemuda Bangkalan untuk menuangkan ide dan gagasan kreatifnya
terhadap pembangunan di Bangkalan. Salah satu ketua dan insiator dari forum ini
adalah Nanang Hidayat. Kegiatan yang pernah dilakukan oleh formula salah
satunya adalah mencari figur pemimpin Bangkalan. Kegiatan ini diadakan saat
menjelang pilkada pada tahun 2012 agar masyarakat mengetahui calon pemimpin
mereka. Disamping itu, setelah tahu bahwa konstelasi politik Bangkalan tidak
terhindar dari jeratan Fuad Amin, merekapun membuat diskusi yang
menghasilkan sebuah petisi yang menolak partai politik di Bangkalan untuk
berpatron ke satu orang, dalam hal ini adalah Fuad Amin. Petisi tersebut keluar
pada saat menjelang pendaftaran di KPU, pada saat partai politik melakukan
penjaringan bakal calon. Petisi tersebut mereka serahkan kepada partai-partai
yang bersangkutan. Urusan akan diaplikasikannya rekomendasi petisi tersebut
atau tidak oleh partai politik, itu menjadi wewenang partai.193
E.6). Lembaga Pendidikan
192 Wawancara Pribadi dengan SYK.
193
Wawancara Pribadi dengan NNH.
173
Bahkan cengkeraman Fuad Amin sanggup menerobos masuk institusi-
institusi pendidikan. Kaum cendekia yang sepintas digambarkan sebagai para
intelek, kaum pembaharu, yang sadar akan hak-hak politiknya yang terbelenggu,
juga terkesan membiarkan penyimpangan-penyimpangan yang Fuad Amin
lakukan. Adanya lembaga pendidikan di Bangkalan tidak lebih sekadar
memapankan posisi status quo Fuad. Karena kontribusi nyata dari tri darma
pendidikan melalui aksiologinya di masyarakat hanya sebatas semboyan
belaka.194
“Saya pernah diundang oleh UTM dalam sebuah acara sarasehan mengenai
peran BPWS yang di situ evaluasi 7 tahun kinerja BPWS. Badan
pengembangan wilayah suramadu. Nah di situ saya sampaikan begini, saya
merasa berterima kasih kepada rektorat dan teman-teman panitia yang sudah
menyelenggarakan acara sarasehan dengan tema evaluasi kinerja BPWS, tapi
dalam pandangan saya, acara hari ini, ini adalah acara yang menggelitik dan
menggelikan. Mengapa seperti itu, karena begini, BPWS ini sebuah
terobosan badan atau lembaga yang dibuat sebagai terobosan untuk
memajukan madura. Tapi apapun yang namanya BPWS ini kan tetap
fungsinya hanya suplemen. Sementara makanan pokoknya adalah kebiijakan
pemerintah daerah. Nah yang kita ributkan mendorong suplemen. Sementara
makanan pokoknya tidak kita urus. Jadi untuk apa kita ini numpuk vitamin
berkardus-kardus, tapi makanan pokoknya tidak kita upayakan untuk
tersedia, tak gitukan. Salah satu contoh, ada dua contoh yang paling nyata
ada di depan kita, tak gitukan. Pertama, keberadaan ketua DPRD Bangkalan
yang sampai sekarang ini tidak upaya untuk pendefinitifan. Loh apakah ini
tidak merupakan sesuatu yang berpotensi terhadap kelancaran pembangunan,
tapi kenapa di wilayah kita hal seperti ini menjadi sesuatu yang haram untuk
dibicarakan, tak gitukan. Satu. Yang kedua, keberadaan bupati yang sering
ndak masuk kerja, diundang paripurna dewan pun sering ndak hadir, ini pak
kalau di kabupaten lain pak masalah serius pak, tak gitukan. Tapi di daerah
kita menjadi masalah ecek-ecek, yang enggak layak untuk dipermasalahkan.
Kita ini kok seakan-akan menjadi orang yang ingin berbuat baik tapi nunggu
setan taubat, tak gitukan. Loh wong setan kok ditunggu taubatnya kapan. Itu
ada pak rektor, ada dekan, ada pembantu rektor segala macam itu....”195
Bahkan adanya perlakuan berbeda dari pihak salah satu kampus di
Bangkalan kepada mahasiswanya yang menentang dominasi Fuad Amin seolah-
194 Wawancara Pribadi dengan AAR.
195
Wawancara Pribadi dengan AAR.
174
olah menggambarkan bahwa mereka benar berada dalam bagian yang inheren
dengan Status quo Fuad. Bagi AAR, terbangunnya dominasi Fuad Amin di
Bangkalan, tidak sepenuhnya menjadi kesalahan dunia pesantren yang menjadi
lanskap umum kehidupan sosial masyarakat di dalamnya. Bila orang-orang
terdidik yang mengenyam bangku kuliah saja tidak kritis dalam menghadapi
banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh Fuad Amin, apalagi dunia
pesantren yang dididik untuk sabar, berbaik sangka, takdzim kepada orang tua,
dan diajar untuk selalu mengalah.196
E.7). Gerakan Pendukung Fuad
Bahkan pembelaan yang dilakukan oleh masyarakat dan sebagian kiai yang
ada di bawah kendali Fuad terlihat jelas saat Fuad ditangkap oleh KPK. Aksi yang
membela Fuad massanya lebih besar daripada massa aksi perlawanan
terhadapnya. Front aksi pembela Fuad ketika dirinya diciduk oleh KPK tergambar
dalam kelompok aksi gempur: Gerakan Peduli Ra Fuad. Gerakan ini diketuai oleh
Kasmu ketua komisi A DPRD Bangkalan dari Fraksi Gerindra.197
Massa Gempur
diambil dari kalangan masyarakat lewat jaringan klebun dan kalangan pesantren.
Di samping gerakan pendukung Fuad, di sisi lain , ada juga front aksi penentang
Fuad, yang dapat dilihat dari kelompok aksi yang mengatasnamakan Gempar.
Kelompok ini adalah massa aksi tandingan bagi kelompok Gempur yang lahir
karena kegeraman mereka terhadap sikap masyarakat yang malah mendukung
koruptor. Massa Gempar kebanyakan dari kalangan mahasiswa.
196 Wawancara Pribadi dengan AAR.
197
Wawancara Pribadi dengan BHR.
175
“......... Karena sebelumnya teman-temankan memang banyak yang geram
dengan adanya Gempur itu. Masa kok koruptor mau dibela gitu kan.
Sehingga teman-teman melakukan gerakan itu”.198
Pembelaan-pembelaan ini tidak terlepas dari mitos yang diciptakan oleh
loyalis Fuad Amin bahwa dia merupakan seorang wali dengan berbagai macam
kesaktian yang dimiliki. Maka tidak pantas bila seorang wali menjadi pesakitan di
kursi hukum. Satu sikap masyarakat yang percaya adanya kesaktian dan mitos
tentang kewalian Fuad misalnya tercermin sewaktu peristiwa penonaktifan
Abraham Samad sebagai pimpinan KPK beberapa waktu setelah Fuad ditangkap
tangan oleh KPK. Masyarakat menganggap hal ini sebagai tulah (kwalat) akibat
KPK berani menangkap Fuad.199
“Ini mas, ada orang yang gini ke saya: uh gimana setelah kiai fuad
ditangkap, wong kiai fuad kok ditangkap, kwalat, abraham samad langsung
non-aktif. Ada aja masalah. Masa masalah KTP bisa jadi masalah, wong itu
kesalahan banyak orang, katanya”.200
“Ya saya kira bukan tertanam sendiri ya, adalah kelompok-kelompok
tertentu yang memang berusaha bagaimana kemudian superioritas pak fuad
ini betul-betul masih eksis di pola pikir masyarakat. Ya saya ginikan aja: gini
pak, abraham samad itu oleh allah diangkat menjadi ketua KPK, tugas
utamanya itu satu, nangkap kiai fuad. Nah karena tugas utamanya sudah
dilakukan, ya ditarik lagi oleh allah dijadikan orang biasa. Jadi bukan
kwalat, karena tugas utamanya sudah selesai.”201
F. Kemenangan Fuad Amin di Pilbup 2003
Sama halnya dengan kondisi masyarakat di daerah lain di Indonesia yang
menyambut momentum kejatuhan Soeharto pada umumnya, masyarakat
Bangkalan pun turut larut dalam suka cita ini. Harus diakui bahwa lengsernya
Soeharto dari jabatannya sebagai presiden merupakan salah satu jalan pembuka
198 Wawancara Pribadi dengan BHR.
199
Wawancara Pribadi dengan AAR.
200
Wawancara Pribadi dengan AAR.
201
Wawancara Pribadi dengan AAR.
176
bagi kebanyakan masyarakat di Indonesia untuk menyongsong kehidupan ke arah
yang lebih demokratis. Apalagi rongrongan terhadap implementasi undang-
undang otonomi daerah pasca Soeharto turun, menjadi wacana paling signifikan
yang terus-menerus mewabah di banyak daerah di Indonesia. Sehingga, dengan
alasan apapun, pemerintah pusat mau tak mau harus merealisasikan aspirasi yang
timbul dari bawah tersebut. Sebab, jika tidak, ancaman akan meluasnya
disintegrasi bangsa terlalu beresiko bila pemerintah pusat bersikap abai.
Maka untuk itu, selang beberapa waktu setelah Soeharto mengonfirmasi
pemunduran dirinya dari jabatannya selaku presiden, Habibie beserta elit
pemerintah lainnya mengambil inisiatif untuk sesegera mungkin memasukkan
undang-undang otonomi daerah sebagai program legislasi yang urgen supaya
dapat direalisasikan secepatnya. Barulah pada tahun 1999, undang-undang
mengenai otonomi daerah dapat disahkan. Ikhwal ini tercermin dalam mandat
konstitusi kita dalam undang-undang No.22 tahun1999.202
Meskipun di masa-masa awal pasca Soeharto turun sistematika pemilihan
kepala daerah masih berlangsung lewat mekanisme pemilihan di parlemen, tapi
ruh serta spirit membangun daerah untuk menjadi lebih baik banyak menjadi
latarbelakang pencalonan elit-elit lokal untuk maju ke gelanggang pemilihan, jika
tidak, justeru alasan yang muncul malah mengarah sebaliknya. Khusus di
Bangkalan, momen langka ini juga turut dimanfaatkan oleh para elit lokal dengan
sedikit demi sedikit membangun kekuatan politik guna mengambil alih sektor
202
Tim Lipi, Membangun Format Baru Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI Press, 2006), h .7.
177
pemerintahan Bangkalan yang banyak diisi oleh orang-orang lama yang berafiliasi
dengan pemerintahan rezim sebelumnya.
Untuk itu, selepas Soeharto menanggalkan kursi jabatannya sebagai
presiden, Bangkalan menjadi salah satu tempat yang subur bagi para elit lokal
untuk mencari peruntungan. Di bangkalan, pada masa yang sama, ada beberapa
kandidat yang turut ikut memeriahkan semarak pemilihan tersebut. Di antara para
calon itu, munculah nama-nama, diantaranya: Fuad Amin dan Sulaiman.
Sedangkan Muhammad Fatah, kandidat yang masih memiliki keterikatan emosi
dengan rezim orde sebelumnya, telah dulu gagal dalam pencalonan sebelum pluit
kontestasi ditiupkan.
Pada bagian ini, penulis akan mencoba menerangkan, faktor-faktor apa saja
yang kemudian memuluskan Fuad Amin untuk dapat menguasai kepemimpinan di
Bangkalan pada tahun 2003. Secara mekanisme pemilihan, pada tahun 2003
sistem pemilihan yang dipakai masih berlaku sistem pemilihan tidak langsung
atau pemilihan masih menggunakan jalur voting melalui dewan. Pada Pilkada
2003, lawan Fuad Amin dalam pemilihan adalah Ir. Sulaiman dengan
pasangannya, Sunarto. Sedangkan Fuad sendiri berpasangan dengan Muhamad
Dong.
F.1). Bukan Bagian Rezim Lama
Cap sebagai orang orba atau bukan orba turut menyumbang faktor penting
dalam kemenangan Fuad Amin di Bangkalan. Walaupun orang-orang orba banyak
yang masih bertahan sebagai kepala daerah dan pemimpin lokal di wilayah
lainnya di Indonesia, tapi tidak sedikit pula di antara mereka yang ikut tersingkir.
178
Sentimen anti-orba yang merebak pasca reformasi adalah luapan kekecewaan
yang masih menghinggapi perasaan masyarakat walau bahkan setelah Soeharto
mundur dari jabatannya sebagai presiden. Bagian rezim dan bukan bagian rezim
ini adalah sebuah konsep dimana elit dikategorikan termasuk atau tidak termasuk
ke dalam lingkaran Soeharto.
Sebab penjelasan teoritis tentang diskursus orang kuat lokal (elit daerah)
pasca reformasi di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian. Bagian
pertama adalah orang kuat lokal yang dirawat oleh pusat, dalam hal ini
pemerintahan Soeharto, dan yang lainnya adalah orang kuat lokal yang
berseberangan atau bahkan berlawanan dengan Soeharto. Banyaknya orang kuat
lokal yang menjamur di daerah sewaktu Soeharto masih berkuasa merupakan
salah satu strategi yang sengaja Soeharto gunakan untuk menjaga stabilitas politik
di tingkat bawah. Sedang sebaliknya, orang kuat lokal yang beroposisi dengan
Soeharto, sewaktu rezim masih memimpin, sama sekali tidak berani untuk
menunjukan eksistensinya ke gelanggang politik lokal. Maka adalah hal yang
kaprah apabila kemudian orang kuat lokal yang menempati posisi kepala daerah
di penjuru Indonesia, kebanyakan berasal dari unsur TNI. Atau jika tidak, mereka
adalah preman-preman lokal atau tokoh berpengaruh lokal yang dipelihara oleh
rezim.
Untuk kasus Bangkalan sendiri, Fuad Amin merupakan orang kuat lokal
yang murni dan tidak memiliki hubungan patronase dengan pemerintahan
Soeharto. Fuad Amin, bahkan secara familisme adalah berasal dari keluarga yang
menentang dominasi orde baru. Ayahnya, Kiai Haji Imron merupakan tokoh PPP
179
yang paling lantang menyuarakan penentangan-penentangan terhadap sistem orba
yang otoriter. Dan KH. Kholil AG, keluarga besar Fuad dari bani kholil lainnya,
juga memiliki sejarah perlawanan kepada Soeharto, – dia menolak wilayah
Suramadu yang hendak dijadikan proyek pembangunan. Fuad sendiri ketika orde
Soeharto masih berkuasa, dia masih belum terjun ke dunia politik. Saat itu Fuad
masih menjalankan bisnisnya sebagai penyalur TKI dan pengusaha travel umroh.
Keterlibatannya ke dunia politik baru dimulai setelah almarhum ayahnya
meninggal, menggantikannya untuk menjadi dewan di DPR RI. Saat itu barulah
Fuad mulai perlahan-lahan meniti karirnya sebagai politisi.
Dengan tidak adanya keterkaitan antara Fuad dan orde baru, tentu
menambah nilai plus tersendiri bagi dirinya untuk dapat diterima oleh masyarakat.
Sebab, kebencian yang masih dirasakan oleh masyarakat atas depotisme Soeharto
dengan berbagai praktek pengerdilan terhadap hak-hak politik warga, masih
kental sehingga memberikan stereotip buruk ke setiap hal-hal yang berbau orba.
Maka tak aneh bila tokoh-tokoh lokal yang masih memiliki kohesi sosial politik
dengan orde baru cenderung dicap sebagai „orang-orangan‟ Soeharto oleh
masyarakat. Konotasi ini sedemikian buruk di masa itu. Hal ini pula yang berlaku
pada Mohammad Fatah, mantan bupati incumbent Bangkalan di masa orba.
Dukungan yang ditujukan kepadanya tidak seluas dan sebesar dukungan
masyarakat kepada Fuad. Bahkan LPJ selama kepemimpinannya saja ditolak oleh
dewan.
Karena itu ketidakterkaitan Fuad dengan masa lalu orde baru memiliki andil
dalam kemenangannya di pilkada 2003. Nama Fuad yang bersih dari dosa-dosa
180
Soeharto dijadikan dasar bahwa Fuad merupakan sosok ideal yang akan
membawa angin perubahan bagi Bangkalan ke arah yang lebih baik. Apalagi di
masa-masa transisi dari pemerintahan Soeharto ke Habibie, Fuad seringkali
terlibat dalam berbagai penyelesaian sengketa konflik yang melibatkan etnik
Madura. Sehingga banyak masyarakat yang menaruh simpatik terhadapnya.
“.......... jadi Fuad ini dulukan selalu tampil menjadi pahlawan, dalam artian
ketika muncul meletus kerusuhan Sambas, dia tampil ibarat penolong, kaya
Robin Hood itu kan. Kemudian di kerusuhan Sampit dia juga tampil, karena
masih di era Gusdur, (Habibi-Gusdur) kan”203
F.2). Dominasi Partai PKB di Bangkalan
Faktor lainnya yang memperkuat kemenangan Fuad Amin di masa awal
pencalonannya ini adalah dominasi suara PKB di kursi parlemen DPRD
Bangkalan. Dari 45 kursi yang ada, 24 kursi di antaranya dikuasai oleh PKB.
Jumlah ini merupakan jumlah yang fantastis. Lantaran jika dipersentasikan, PKB
menguasasi sekitar hampir 50 persen lebih dari jumlah kursi yang tersedia. Tentu
secara itung-itungan politis, PKB memiliki peluang amat besar untuk mengusung
calon sendiri dan bahkan memenangkan kontestasi pilkada tahun 2003. Dengan
memegang suara mayoritas di dewan, dan dengan semangat perubahan serta
antipati terhadap orba yang masih kental, akhirnya PKB sepakat untuk
mengusung calon sendiri.
PKB Bangkalan sendiri merupakan partai yang banyak diisi oleh kalangan
kiai, khususnya kiai-kiai yang berasal dari keluarga bani kholil. Bahkan elit partai
PKB di Bangkalan banyak yang berasal dari trah keluarga tersebut. Fenomena ini
bisa dilihat dari penjaringan calon kandidat Bupati Bangkalan yang diadakan oleh
203 Wawancara Pribadi dengan MH.
181
partai PKB, dimana keseluruhan nama calon yang muncul semuanya berasal dari
keluarga yang sama, bani kholil. Nama-nama seperti Kiai Syafii Rofii, Kiai Imam
Bukhori, dan Kiai Fuad Amin adalah para kiai yang merepresentasikan kekuatan
bani kholil yang mengakar di PKB. Ketiganya masih memiliki hubungan darah
yang saling terkait.
Kemenangan Fuad sendiri dalam penjaringan di internal partai PKB tidak
terlepas dari kompromi politik yang ia lakukan. Padahal secara basis masa dan
nama, Fuad Amin masih kalah pamor dengan Kiai Imam Bukhori Kholil. Karena
posisi Imam Bukhori waktu itu diuntungkan dengan kedudukannnya sebagai
ketua PCNU Bangkalan sekaligus yang menginisiasi kelahiran PKB di Bangkalan.
Tapi setelah melakukan pendekatan kekeluargaan dan kesepakatan adanya rolling,
bahwa untuk tahun pertama Fuad Amin meminta untuk dipersilahkan lebih dulu
maju baru kemudian di periode berikutnya Imam Bukhori yang maju, akhirnya
kesepakatan tersebut pun terealisasi.
Alasannya: Fuad Amin ingin memulai pengabdiannya pada masyarakat
setelah bertahun-tahun hidup dalam perantauan di Kalimantan, dan apalagi kini
posisinya sebagai anggota DPR yang seakan-akan sengaja dibuat untuk
menjauhkan dirinya agar tidak memiliki kekuatan di basis masyarakat Bangkalan.
Dengan adanya dukungan dari PKB, maka bukan hal yang sulit bagi Fuad untuk
terus menggapai kursi bupati bangkalan. Friksi sempat terjadi karena saat itu
beredar isu bahwa Mohammad Fatah pun akan maju di pencalonan bupati
Bangkalan. Tapi hal ini segera dapat diatasi oleh Fuad Amin dengan
memprovokasi para anggota dewan, khususnya dewan dari PKB untuk menolak
182
LPJ Mohammad Fatah sehingga secara moril Fatah tidak bisa mencalonkan
dirinya sebagai bupati Bangkalan. Dan seperti telah disinggung di awal,
Mohammad Fatah sendiri adalah mantan bupati masa orba, sehingga provokasi
untuk menolak LPJ Fatah berhasil direalisasikan. Pada Pilkada 2003, PKB
berkoalisi dengan PPP dan beberapa partai gabungan. Dari koalisi ini akhirnya
Fuad Amin memenangkan kontestasi di dewan dengan selisih suara yang
signifikan yakni 42-3.
F.3). Politik Uang
Kendatipun masih berada dalam semangat reformasi, pada realitanya,
politik uang masih menjadi hal yang dianggap lumrah dalam fenomena politik di
Indonesia pasca 1998. Kalaupun semangat perubahan itu ada, tapi kebiasaan lama
akan perilaku koruptif masa lalu masih menjadi bayang-bayang yang tak dapat
terhindarkan. Politik uang masih mewarnai segala bentuk suksesi politik di
Indonesia. Jumlah praktik politik uang dalam patronase politik, menurut beberapa
pihak, bahkan kondisinya semakin mewabah dalam pileg yang diadakan pada
tahun 2014.204
Patronase politik melalui politik uang seperti ini semakin populer
di kalangan para politisi yang kadangkala mereka peragakan dalam berbagai
bentuk: pembelian suara, pemberian-pemberian pribadi, pelayanan dan aktivitas,
club goods, dan pork barrel projects.205
Pada awal pilkada pasca desentralisasi, fenomena politik lokal di Bangkalan
pun tidak luput dari jual-beli suara di dewan. Dengan mekanisme pemilihan yang
204 Edward Aspinall dan Mada Sukmajati “Patronase dan Klientisme dalam politik Elektoral di
Indonesia,” dalam Edward Aspinall dan Mada Sukmajati, ed., Politik Uang Di Indonesia:
Patronase dan Klientisme pada Pemilu Legislatif 2014 (Yogyakarta: PolGov, 2015), h. 2.
205
Ibid, h. 24-33
183
masih diadakan secara tertutup, maka elit lokal tidak segan-segan untuk
membayar anggota dewan supaya sanggup menghantarkannya menuju tampuk
kekuasaan. Karena memang, pada tahun 2003, sistem pemilihan di Indonesia
masih sepenuhnya dilakukan melalui sistem pemilihan tidak langsung. Sehingga
siklus uang masih menonjol dalam pesta demokrasi di parlemen.
Kemenangan Fuad Amin yang hampir mencapai 90 persen suara lebih dari
jumlah dewan pun menyajikan ilustrasi dari realita sesungguhnya adanya praktik
politik uang yang dia mainkan di masa transisi kepemimpinan di Bangkalan.
Karena nyatanya di balik supremasi suara yang diperoleh oleh Fuad Amin ini pun
terbantu dengan adanya deal-deal finansial yang dia sebarkan ke beberapa anggota
dewan. Dari penuturan mantan asisten pribadi Fuad Amin, dia mengatakan bahwa
saat itu Fuad Amin membagikan uang dengan batas maksimal 100 juta lewat deal-
deal politik dengan anggota dewan. Di antara mereka ada juga yang mendapat 35
juta atau 45 juta.
“PKB inikan sudah 24, sebenarnya dia ndak perlu nunggu banyak. Nah
waktu itu karena dia dengan partai lain ini sistemnya beli, jadi anggota
dewan ini deal dengan dia, mereka akan dikasih uang pesangon”.206
“Perorang. Ada yang dapat 35, ada yang 40, macam-macam. Hanya dealnya
ya itu aja. Karena waktu itu ada fraksi TNI-POLRI masih ada. Ada Golkar,
ada PPP, ada apalagi ya, di situkan masih belum banyak”.207
Sepertinya praktik suap merupakan hal lazim yang dapat diketemukan di
negara-negara yang baru mengalami transisi demokrasi, dimana uang menjadi
bagian elementer dari kehidupan politik di dalamnya. Penegakan hukum yang
masih lemah, dan pranata-pranata sosial politik yang amburadul, merupakan
206 Wawancara Pribadi dengan MH.
207
Wawancara Pribadi dengan MH.
184
cerminan dari ketidaksiapan seluruh elemen masyarakat, khususnya masyarakat
negara dunia ketiga, dalam mengartikulasikan demokrasi secara substansial.
Demokrasi pada masa transisi di negara dunia ketiga masih terlalu prematur untuk
dikatakan sebagai demokrasi yang sesungguhnya. Karena faktanya demokrasi
yang digadang-gadang oleh para penganut aliran klasik yang mendasarkan
demokrasi sebagai smber kehendak rakyat dan tujuan terciptanya kebaikan
bersama terlalu utopis dan terkesan idealistis.208
Adanya praktik politik uang di
masa transisi demokrasi yang terjadi di Bangkalan, malah mengukuhkan
anggapan Schumpeter bahwa demokrasi hanyalah merupakan media prosedural
pemilihan semata. Yang dalam hal ini Schumpeter menyebutnya sebagai “metode
demokratis”.209
Singkatnya metode demokratis ala Schumpeter dimaknai sebagai
berikut:
“prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik yang di dalamnya
individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui
perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.”210
F.4). Berpatron ke Elit Nasional
Faktor kemenangan Fuad Amin lainnya yaitu adanya politik patronase ke
tingkat elit nasional. Sebab dengan berpatron kepada elit nasional maka akses
untuk mendapatkan kemudahan serta urusan dalam beberapa hal dapat
terwujudkan. Dalam kasus Fuad sendiri, konteks persoalan yang bisa saja
menghadang bahkan mengeliminasi Fuad dari gelanggang persaingan kepala
208 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta:Pustaka Utama Grafiti,
1995), h. 4-5.
209
Ibid, h. 5.
210
Ibid, h. 5.
185
daerah adalah dalam kaitannya dengan ijazah palsu yang ia gunakan untuk
melengkapi persyaratan administratif pencalonan.
Agar bisa lolos pemberkasan dan dinyatakan layak mengikuti kontestasi
pilkada di Bangkalan, akhirnya Fuad menggandeng Muhammad Dong untuk
menjadi wakilnya. Alasan ini penuh kepentingan politik, lantaran Muhamad Dong
sendiri merupakan politisi dari partai PDI, dimana PDI pada waktu itu merupakan
partai yang memegang kekuasaan di tingkat nasional. Dalam hal ini Presiden
Megawati. Rasionalisasinya jelas, bahwa dengan menggandeng calon dari PDI,
maka urusan administratif terkait soal ijazah palsu dapat terselesaikan melalui
bantuan dan campur tangan dari pusat. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya
kompensasi politik di dalamnya.
“Gini, waktu itu kan yang menjadi kendala utama bagi pak fuad itu kan
ijazah ya, sementara presidennya waktu itu adalah ibu mega, nah mungkin
kenapa kemudian pilih pak madong, karena kalau kemudian pak madong ini
menjadi wakil dari dia sementara kekuasaan waktu itu di pusat dipegang
PDI-P, urusan ijazah bisa kemudian diabaikan dengan kompensasi politik,
bisa dijadikan jalan untuk kebesaran PDIP di bangkalan, mungkin seperti
itu”.211
Tetapi setelah Fuad berhasil dan sukses di bangku bupati, beberapa tahun
kemudian terjadilah konflik antara dirinya dengan Muhammad Dong. Gelagat
bahwa Dong hanya dijadikan alat kompromi politik Fuad semakin terang. Sebab
peristiwa ketidakharmonisan Dong dengan Fuad dimulai ketika Megawati tidak
lagi menjabat sebagai Presiden RI. Ketidakharmoniasan yang ditengarai
disebabkan karena masalah wewenang tersebut diakui sendiri oleh Dong. Bahwa
selama dua tahun mendampingi Fuad Amin sebagai wakil Bupati, dirinya seolah-
211 Wawancara Pribadi dengan AAR.
186
olah diabaikan. Sebab dirinya tidak pernah diberikan tugas dan wewenang.212
Bahkan ketidakharmonisan ini mengarah akan adanya impeachment kepada
Muhammad Dong.
“..........ketika madong wakilnya mungkin menjadi kompromistis politik
karena di pusat itu adalah pak bu mega gitu kan, untuk stabilitas Bangkalan
dan lain sebagainya. Yang terjadi apa ketika itu, ketika bu mega itu tidak lagi
lagi menjadi presiden pada tahun 2004, iya kan, kan 2004 sudah tidak lagi
presiden”.213
“SBY kan. Tahun 2005 apa yang terjadi, Madong digoyang mati-matian
untuk dijatuhkan”.214
“.....Coba sampean bayangkan ya waktu pertama dengan Madong ya
misalnya, padahal madong ini secara kepartaian sangat berjasa untuk
penyelamatan pak fuad sehingga akhirnya dilantik. Karena ada jaringan PDI
di situ. Tapi apa yang diterima oleh pak madong, sampai gambarnya itu
seakan-akan haram ditaruh di kantor.”215
F.5). Genealogi Trah Kiai
Dalam kultur masyarakat Madura, penghormatan kepada kiai diposisikan
pada tempat yang tinggi setelah penghormatan mereka kepada orang tua. Budaya
ini tampak pada istilah setempat “Buppa Bappu Guru Ratoh”. Artinya, pertama-
tama hormat dan patuh kepada ibu, kemudian kepada kiai, baru terakhir kepada
para pemimpin pemerintahan. Di samping itu, kultur masyarakat Madura yang
kental lainnya adalah, akan menganggap setiap keturunan dari - anak-anak kiai –
sebagai orang yang mewarisi segala laku kekiai-an dari ayahnya. Kultur ini pada
akhirnya membentuk pola aura kharisma yang tidak pernah putus. Sebab
masyarakat yakin, setiap keturunan yang berasal dari kiai, guru mereka, juga
meneruskan bentuk rupa karomah serta berkah orang tuanya kepadanya.
212 tempointeraktif, “DPRD Pecat Wakil Bupati Bangkalan,” berita ini diakses pada tanggal 25
Februari 2016 dari http://tempo.co.id/hg/nusa/jawamadura/2005/02/18/brk,20050218-45,id.html
213
Wawancara Pribadi dengan FHR.
214
Wawancara Pribadi dengan FHR.
215
Wawancara Pribadi dengan AAR.
187
“.......Kalau berguru kepada ini jangankan anaknya, ayamnya saja dianggap
guru, kan ada itu doktrin seperti itu, iya itu sangat tertanam sekali. Nah
dengan beberapa watak tadi itu tadi gak bisa kemudian mereka mau punya
nalar kritis apalagi mau bergerak, berpikir aja mereka dah gak berani
kritis.”216
Kharisma Fuad Amin sendiri tidak terlepas dari posisinya sebagai keturunan
kiai Besar. Fuad Amin adalah cucu dari Syaikhona Kholil dan anak dari Kiai
Amin Imron. Dengan modal Kharisma Syaikhona Kholil dan Kiai Amin (yang
merupakan elit penting di Bangkalan), juga dengan kultur masyarakat yang
hormat pada kiai serta keturunannya, maka sudah dipastikan bahwa hal tersebut
betul-betul dapat mempengaruhi kemenangan Fuad Amin dalam pilkada 2003.
Serta posisi Fuad yang sebelumnya duduk sebagai anggota DPR RI semakin
meningkatkan citra performanya di mata umum.
“Kekuatan politiknya kan waktu itu di dewan masih. 2003 itu di dewan,
DPRD. Jadi karena Fuad ini sudah kadung, apalagi dia sudah mantan DPR
RI ya, dia sudah mapan itu. Dalam artian mapan pengakuan orang-orang
terhadap dia sebagai Kiai-Blater itu sudah sangat kuatkan. Akhirnya anggota
DPR yang waktu itu mayoritas PKB, 24 kursi, dengan mudahnya
diambil”.217
Bahkan realitanya, keprofilan Fuad Amin adalah alasan utama bagi para
anggota dewan untuk memilihnya dibandingkan karena alasan partai yang ia
duduki. Secara sederhana, citra Fuad Amin sebagai Kiai-Blater mampu
mengesampingkan dominasi PKB yang sebetulnya sudah memiliki suara
mayoritas di parlemen. Seperti halnya yang diutarakan oleh Mahmudi, anggota
dewan yang menjadi saksi mata pada pemilihan di pilkada 2003.
“Di sini ini bukan ikatan politik itu, partai itu bisa – lebih ke orangnya, kalau
beliau itu mengatakan A, semuanya akan A, karena apa satu yang diamini
216 Wawancara Pribadi dengan MH.
217
Wawancara Pribadi dengan MH.
188
oleh masyarakat Bangkalan itu kalau beliau ini menjadi cucunya syaikhona
kholil, gurunya orang-orang madura.”218
Apalagi hal ini terbantu juga dengan kesolidan yang ditunjukan oleh pihak
keluarga bani kholil dalam mengukuhkan Fuad Amin sebagai kandidat bupati
Bangkalan, walau memang sempat ada kekhawatiran dari sebagian pihak keluarga
karena kedekatannya dengan kalangan blater, tapi kekhawatiran ini hanya muncul
sementara waktu.
Hal ini sebagaimana diakui juga oleh AAR, saat dirinya hendak ikut terlibat
dalam proses pencalonan Fuad Amin yang kemudian ditolak oleh kalangan
keluarga. Alasannya sederhana, karena Fuad memiliki hubungan yang intim
dengan dunia blater. Mereka khawatir, bahwa dengan hubungan dekat tersebut,
dan Fuad menjadi bupati, Bangkalan akan menghadapi nasib yang tidak menentu.
Bahkan di awal keterlibatnnya di pengusungan Fuad Amin, AAR sempat
mengajukan pertanyaan terkait alasan kengototan Fuad untuk mencalonkan
dirinya sebagai bupati. Pertanyaan itu adalah refleksi atas kegelisahan keluarga
besar bani kholil pada umumnya.
“...............Sehingga ketika pak Fuad mengajak saya untuk mendukung dia
menuju jabatan bupati itu, saya sendiri sebenarnya waktu itu nanya ke
beliau: Man, apakah, apa memang harus sampean? Apa tidak sebaiknya
yang lain, saya sempat seperti itu, kemudian, dianya bilang: loh, kalau bukan
aku lalu siapa gitu? saya bilang: man, untuk tokoh-tokoh, karena saya masih
anak-anak, tentu lebih kenal jenengan, kalau saya sendiri kan tidak tahu,
siapa yang harus didukung yang harus dimajukan, saya sendirikan kurang
tahu, cuma kalau dalam pemikiran saya, paman ini salah satu keluarga yang
dituakan, kalau kemudian paman ini nanti berhasil menjabat sebagai bupati,
dan ternyata misalnya paman itu melakukan kesalahan-kesalahan dalam
memimpin, lalu yang akan mengingatkan paman itu siapa, mengingat yang
lain itu masih bisa dikatakan semuanya di bawah pengaruh paman seperti
itu. Akhirnya beliau bilang gini ke saya: Mad, aku ini sekarang posisinya
sudah menjadi DPR RI, secara kedudukan, saya sudah punya jabatan, secara
finansial walaupun tidak kaya-kaya banget, tapi sudah bisa dikategorikan
218 Wawancara Pribadi dengan MMD.
189
termasuk yang terkaya di antara keluarga. Jadi saya ingin meraih jabatan
bupati ini bukan karena mengejar jabatan dan bukan karena mencari uang.
Saya ingin memulai pengabdian saya di tengah-tengah masyarakat
Bangkalan. Karena saya mulai dari kecil sampai muda, sampai sekarang
saya ini selalu berada di luar daerah. Nah, saya sekarang sudah tua, umur
saya sudah menginjak 60, ayolah bantu saya, bantu aku, untuk bisa jadi
bupati, biar aku ini bisa mengabdikan sisa hidupku untuk masyarakat.
Makanya saya kemarin terus terang terkejut, ketika dia di persidangan
mengungkap (di tayangan metro tv itu) dia sudah mengaku punya kekayaan
yang ratusan miliar sebelum jadi bupati. Itu saya bisa pastikan itu bohong
besar itu. Karena waktu itu yang diungkap (apa ya), yang saya tahu untuk
biaya mencalonkan aja, dia itu masih minta sana-sini”.219
F.6). Mobilisasi Jaringan Klebun dan Santri
Pemanfaatan jaringan klebun oleh Fuad Amin sudah dimulai sejak masa-
masa awal kepemimpinannya. Walau pada masa ini pemanfaatan klebun hanya
sebatas melakukan aksi dan demontrasi untuk mengamankan posisi Fuad yang
sudah menang dan sempat tertunda pelantikannya karena perkara ijazah palsu.
Tapi setidaknya kehadiran para blater melalui aksi kepada pemerintah ini, juga
ikut mempengaruhi keputusan pemerintah untuk sesegera mungkin melantik Fuad
Amin sebagai bupati definitif. Sebab selama satu bulan lamanya setelah
kemenangan Fuad Amin di dewan, Fuad tidak juga dilantik. Bahkan Hari
Sabarno, Menteri Dalam Negeri saat itu, malah mengangkat Achmad Ismail
sebagai pejabat sementara bupati.220
Dengan adanya aksi-aksi dari para klebun
simpatisan Fuad Amin, maksudnya adalah tak lain agar kesan yang diterima
pemerintah mengarah pada instabilitas dan chaos politik yang terlalu riskan jika
didiamkan atau bahkan diabaikan.
“Ya. Artinya kan gini, di tahun 2003 ini kan ada semacam penundaan yang
enggak jelas terhadap pelantikan pak fuad ini. nah ini jaringan klebun ini
219 Wawancara Pribadi dengan AAR.
220
Liputan 6, “Warga Bangkalan Menuntut Kembali Fuad Amin Dilantik,” berita ini diakses
pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://news.liputan6.com/read/49745/warga-bangkalan-
menuntut-kembali-fuad-amin-dilantik
190
digunakan sedemikian rupa seakan-akan klebun se-kabupaten Bangkalan ini
mendukung dan kalau pak fuad ini tidak dilantik, akan tejadi apalah seperti
itu. Jadi sudah digunakan sejak-sejak itu kalau yang namanya jaringan
klebun itu.”221
Selain memanfaatkan jaringan klebun, pada masa yang sama pula Fuad
mengerahkan ribuan santri untuk mendukungnya. Massa santri ini disinyalir
mencapai seribu orang yang berasal dari 15 pondok pesantren. Mereka tergabung
dalam massa aksi Forum Santri Bangkalan.222
G. Kemenangan Fuad Amin di Pilbup 2008
Pada pilkada 2008, Fuad Amin kembali mencalonkan dirinya sebagai
kandidat calon bupati di Bangkalan. Tapi kali ini dengan kekuasaan yang semakin
signifikan. Hal tersebut merupakan berkat kekuasaan yang dia pupuk di periode
pertama. Sebab pada masa awal kepemimpinannya, dominasi Fuad Amin telah
terpendam dan terpencar di segala sektor. Dominasi yang dimiliki oleh Fuad ini
akhirnya dia akumulasikan untuk menjadi investasi politik bagi kemenangannya
di pilkada 2008.
Pilkada 2008 di Bangkalan merupakan pilkada pertama kali yang
melibatkan seluruh partisipasi masyarakat setempat. Pilkada langsung ini adalah
hasil revisi UU pemerintahan daerah yang tertuang dalam Undang-undang nomor
32 tahun 2004.223
Dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam pemilihan, tentu
pilkada 2008 sedikit lebih berat dibandingkan pilkada-pilkada sebelumnya.
221 Wawancara Pribadi dengan AAR.
222
Liputan 6, “Warga Bangkalan Menuntut Kembali Fuad Amin Dilantik,” berita ini diakses
pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://news.liputan6.com/read/49745/warga-bangkalan-
menuntut-kembali-fuad-amin-dilantik
223 Ferry Kurnia Rizkiyansyah, “Menguatkan Penyelenggaraan Pilkada Langsung,” artikel
diakses dari http://www.rumahpemilu.org/in/read/7448/function.array-key-exists pada tanggal 25
Februari 2016.
191
Sebagai pengalaman pertama, maka keseriusan Fuad Amin dalam menghadapi
pilkada 2008 tampak dalam strategi yang lebih mapan dari pilkada sebelumnya di
tahun 2003 yang diadakan melalui dewan. Pilkada 2008 adalah barometer bagi
berhasil-tidaknya kinerja Fuad Amin menjalankan roda kepemimpinannya selama
satu periode terakhir.
Yang menjadi lawan Fuad Amin pada pilkada 2008 adalah mantan wakilnya
sendiri di periode awal, masa jabatan 2003-2008, Mohammad Dong. Majunya
Dong ke gelanggang kontestasi pilkada 2008 dan memilih bertarung dengan Fuad
Amin dibandingkan meneruskan hubungan yang pernah dia rajut sebelumnya,
tidak terlepas dari ketidakharmonisan yang menimpa jalannya kepemimpinan
mereka bedua. Ketidakharmonisan ini muncul karena persoalan wewenang yang
tidak seimbang. Bahkan oleh Fuad, Dong dianggap melakukan makar terhadap
kepemimpinannya.224
Padahal yang sebenarnya terjadi, Fuad masih merasa takut
dengan isu yang mengaitkan dirinya dengan ijazah palsu. Sehingga dia khawatir
karena bisa saja sewaktu-waktu, Dong yang juga memiliki basis masa yang
lumayan besar, akan menyingkirkannya dari kursi Bupati. Makanya selama
mendampingi Fuad Amin sebagai bupati, Dong tidak diberikan wewenang yang
cukup proporsional lazimnya wakil bupati.225
Dari beberapa strategi kemenangan yang Fuad lakukan di pilkada 2008,
sebagian di antaranya adalah model strategi pemenangan lama - yang pernah dia
lakukan di pilkada sebelumnya. Hanya saja, dengan model pemilihan yang baru,
224 Wawancara Pribadi dengan MH.
225
Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki
Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” (Disertasi Program Studi Islam, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015), h. 170.
192
karena mengikutsertakan partisipasi masyarakat, strategi pemenangan Fuad Amin
pada pilkada 2008 tidak hanya sekadar mengandalkan modal kultural saja,
melainkan juga memanfaatkan modal struktural yang telah ia dominasi selama
kepemimpinannya satu periode.
Pada pilkada 2008, ada 3 pasangan calon yang akhirnya disahkan oleh
KPUD Bangkalan untuk turut dalam pemilihan: “nomor urut satu disematkan
pada pasangan calon dr. Abdul Hamid Nawawi dan H. Hosyan Muhammad,
mereka diusung Partai PPP, nomor urut dua adalah pasangan calon Ir. Muhamad
Dong dan KH. Razak Hadi, keduanya diusung oleh koalisi Partai Demokrat dan
PDI Perjuangan, sedang nomor urut tiga jatuh pada pasangan calon bupati
incumbent, KH. Fuad Amin dan KH Syafik Rofii, mereka diusung oleh partai
PKB.”226
G.1). Menggagalkan Pesaing Potensial
Sikap yang seringkali menegaskan pribadi seorang pemimpin otoriter adalah
ketidakterimaannya bila muncul orang lain yang memiliki potensi untuk dapat
menyejajarkan diri atau bahkan menyaingi kapasitasnya sebagai satu-satunya
pemimpin dominan. Mungkin sikap ini bisa jadi telah menakhlikkan ciri umum
yang melekat pada diri setiap pemimpin diktator lainnya di dunia. Pengalaman
seperti itu pernah terjadi saat Stalin masih berkuasa, dimana dia akhirnya
melumpuhkan potensi lawan politiknya, termasuk Trotsky, yang dianggap
berbahaya dan mampu menggoyang kursi kekuasaannya.
226 ANTARANEWS.COM, “675.420 Pemilih Salurkan Hak Suara di Pilkada Bangkalan,”
berita diakses pada tanggal 27 Maret 2016 dari http://www.antaranews.com/berita/91038/675420-
pemilih-salurkan-hak-suara-di-pilkada-bangkalan
193
Begitupun dengan Fuad, Fuad menyadari bahwa kandidat terberat bagi
pesaing dirinya dalam pilkada 2008 adalah Imam Bukhori Kholil. Meskipun
masih memiliki ikatan keluarga dengan dirinya, tapi Imam Bukhori lebih memilih
untuk berseberangan ketimbang berada dalam lingkaran Fuad Amin. Impak dari
sikap Imam Bukhori yang tidak mau kooperatif maupun bekerjasama dan berada
di lingkaran Fuad ini tentu disadari oleh Fuad, bahwa Imam Bukhori tidak dapat
dia kendalikan. Hal ini menjadi alasan penting mengapa akhirnya Fuad Amin
lebih memilih untuk menghabisi kekuatan politik Imam Bukhori di masa-masa
awal. Karena dengan kehadiran Imam Bukhori yang sama-sama menyandang
predikat sebagai keturunan Syaikhona Kholil, tentu akan mengurangi tingkat
keterpilihan serta pamor Fuad di masyarakat. Apalagi sepak terjang Imam
Bukhori di panggung politik lokal terbilang setara dengan Fuad Amin.
Hal ini dapat dilihat dari sepak terjang Imam Bukhori yang pernah menjabat
sebagai ketua PCNU Bangkalan yang merupakan embrio bagi kelahiran Partai
PKB. Sehingga secara personal, nama Imam Bukhori sudah banyak dikenal oleh
masyarakat setempat. Untuk mencegah hal itu terjadi, maka semenjak jauh-jauh
hari, sebelum pilkada 2008 meruak, kekuatan politik Imam Bukhori Kholil di
pentas politik lokal Bangkalan sedikit demi sedikit direduksi oleh Fuad Amin.
Pertama-tama posisi Imam Bukhori Kholil selaku kader partai PKB
disingkirkan oleh Fuad. Penyingkiran ini dilakukan oleh Fuad Amin dengan
menduduki langsung posisi ketua DPC PKB. Dengan menjadi ketua DPC, Fuad
Amin berhak dan memiliki otoritas yang besar dalam mengendalikan jalannya
194
roda organisasi partai, termasuk untuk memecat dan mengeluarkan keanggotaan
Imam Bukhori Kholil dari PKB.227
Tidak hanya berhenti di pemecatan Imam Bukhori dari PKB saja. Modal
politik yang dimiliki oleh Imam Bukhori Kholil dalam kapasitasnya sebagai ketua
PCNU, akhirnya dipindahtangankan oleh Fuad Amin kepada orang lain melalui
siasat politiknya. Sewaktu PCNU mengadakan kongres pemilihan ketua baru,
Fuad Amin ikut mengatur jalannya arah politik. Dia mengintervensi dan menaruh
Ra Fahri sebagai kandidat pesaing Imam Bukhori Kholil dalam pemilihan. Dari
kongres tersebut akhirnya Imam Bukhori Kholil kalah. Campur tangan Fuad ini
dia lakukan dengan memanggil para pemilik hak suara kongres, dalam hal ini
MWC-MWC NU, agar pada saat pemilihan, memberikan hak suaranya untuk
memilih Ra Fahri. Tak aneh bila kemudian akhirnya Imam Bukhori Kholil kalah
dalam persaingan ini. Apalagi saat acara, Fuad Amin datang dan menyaksikan
sendiri secara langsung laju kontestasi di pemilihan. Hal ini dilakukan agar
kontrolnya terlaksanan sesuai rencana.228
Setelah kekuatan politik Imam Bukhori dari PKB dan PCNU dipereteli oleh
Fuad Amin. Peristiwa penjegalan ini terus berlanjut sampai mendekati deklarasi
dukungan politik kepada pencalonan Imam Bukhori sebagai bakal calon hampir
setengah terealisasi lewat beberapa partai. Partai PAN yang awalnya mendukung
pencalonan Imam Bukhori Kholil pada pilkada 2008, di tengah jalan ternyata
mendukung pasangan calon Bay Arifin dan Nurdin. Sehingga karena dualisme
dukungan PAN ini, pada akhirnya kedua pasangan kandidat yang diusung oleh
227 Wawancara Pribadi dengan AAR.
228
Wawancara Pribadi dengan AAR.
195
PAN didiskualifikasi oleh KPUD Bangkalan. Pada waktu itu yang menjadi ketua
komisioner KPUD Bangkalan adalah Kiai Haji Jazuli Nur.
“.....pak Fuad ini menguasasi segala lini dalam hal ini tokoh blater tokoh
masyarakat gitu kan, ulama sebagian gitu kan, dan yang paling terpenting
lagi pada waktu itu yang dikuasai adalah birokrasinya, KPU dan lain
sebagainya, dan yang lebih penting lagi pada waktu itu adalah partai dan
ketua partainya dikuasai oleh pak fuad. Bagaimana partai ini pada waktu itu
semuanya dipegang.”229
Dengan menyingkirkan Imam Bukhori dari kontestasi pilkada 2008, maka
hal ini memuluskan jalan Fuad untuk menguasai Bangkalan di periode untuk
yang kedua kalinya. Sebab di antara kandidat lain yang bersaing pada pilkada
2008, kontan tak ada satupun kandidat yang mampu menyaingi nama Fuad Amin
sebagai seorang pemimpin kharismatik dengan embel-embel modal kultural
selaku keturunan Syaikhona Kholil. Apalagi otoritas Fuad dalam mengelola para
aparat birokrat di bawah kendali bagi kepentingannya sudah semakin mapan dan
teruji.
G.2). Mengontrol Partai Politik
Faktor kemenangan Fuad Amin dalam pilkada 2008 lainnya adalah karena
kekuasaannya yang sudah mengakar di beberapa partai politik di Bangkalan.
Bahkan dominasi Fuad yang hampir menyentuh seluruh elemen partai politik
yang ada, sempat membuat Imam Bukhori Kholil ragu-ragu pada proses
pencalonan dirinya sebagai kandidat dalam pilkada 2008 saat masa-masa awal.
Hal ini terlihat dari komentar yang dia berikan saat Ahmad Ali Ridho datang
menemuinya.
“.........kak dengar-dengar jenengan dulu ada niatan untuk maju jadi bupati,
apakah sekarang niatan itu masih ada? Loh kalau niat si dek, ya ada, tapi
229 Wawancara Pribadi dengan FHR.
196
gimana mau nyalon wong sekarang partainya sudah dipegang oleh man Fuad
semua. Masa seperti itu sih kak? Ya iya, mana sekarang ada partai yang
bisa.....”230
Pada pilkada 2008, memang hampir seluruh partai politik di Bangkalan
berkoalisi dengan Fuad Amin, terkecuali tiga partai. Dua partai yang telah
dikuasai oleh Imam Bukhori Kholil, PKNU dan PNUI. Dan satu partai lagi, PDI
yang dikuasai oleh Muhamad Dong.231
Walau begitu adanya, kendatipun pada
pilkada 2008 Fuad Amin berangkat dari partai PKB, tapi para kroninya ada di
banyak partai lainnya. Di PPP ada Kiai Zaenal Abidin, sedangkan di Demokrat
ada Razak Hadi dan Muzakki. Muzakki sendiri adalah ketua DPC Demokrat
Bangkalan pada tahun 2008, menggantikan posisi yang dulunya diisi oleh Razak
Hadi.232
“Gini mas, Kiai Fuad ini walaupun orangnya PKB, tapi orang-orang yang
megang PPP, yang Demokrat, itu orangnya semua”.233
Banyaknya partai politik yang memilih berkoalisi dengan Fuad Amin tidak
terlepas dari kekangan yang Fuad Amin lakukan dalam mengendalikan partai
politik di Bangkalan. Kontrol ini dia lakukan dengan turut mencampuri urusan
internal partai lain. Hal ini terlihat jelas dari beberapa kongres partai politik yang
pernah diadakan, dimana Fuad Amin akan datang pada kongres-kongres partai
tersebut apabila sekiranya calon titipan yang dia usung memiliki peluang
kemenangan yang kecil. Apalagi bila peluang menang sangat riskan untuk jatuh
230 Wawancara Pribadi dengan AAR.
231
Wawancara Pribadi dengan UF, Bangkalan, 21 September 2015.
232
Wawancara Pribadi dengan AHS.
233
Wawancara Pribadi dengan AHS.
197
kepada orang yang tidak mampu dia kontrol. Jika hal itu yang terjadi, Fuad Amin
tidak segan akan datang dan mengontrol langsung jalannya pemilihan.234
“............ semua partai politik dalam setiap proses pemilihannya itu di bawah
kontrol penuh pak fuad. Pemilihan ketua DPC-nya. Jadi di Bangkalan ini
ndak ada partai yang berdiri sendiri. Kalau saya ingat itu ada pengalaman
yang paling lucu itu, waktu pemilihan ketua DPC Hanura. Kan normalnya
yang namanya bupati itu hadir pada saat seremoni pembukaan ya.
Pembukaan kongresnyalah katakanlah seperti itu, setelah itu pulang. Lah ini
ndak, waktu acara seremoni pembukaan itu ndak hadir, waktu acara
pemilihan hadir”.235
“Heeuh, Yang kira... Pokoknya misalnya ada rivalitas waktu pemilihan itu
antara si A dengan si B, sementara yang diplooting oleh pak fuad itu si A.
Dan si B ini punya posisi kekuatan yang bisa mengalahkan, nah ini biasanya
ya langsung didatangi untuk membunuh peluang si B ini.”236
Bahkan keterlibatan Fuad Amin dalam mengintervensi partai politik di
Bangkalan dapat dilihat juga dengan biaya yang dia keluarkan sebagai ongkos
pencalonan bagi ketua DPC yang akan dia usung.237
“.....Tapi gini mas semua parpol itu termasuk Hanura itu orangnya semua.
Dia yang membiayai, yang untuk menjadi ketua. Jadi walaupun orangnya
PKB, dia mempunyai banyak parpol, gitu. Ada di mana-mana. Termasuk
saya dulukan dari PKPI. Ya kan orangnya dia saya dulu. Jadi dia itu
walaupun orangnya partai itu dia itu mau semuanya semua partai itu
dikuasai.”238
Saking besarnya kekuasaan yang dimilikinya, sampai kepindahan Fuad Amin dari
PKB ke Gerindra ternyata membawa pengaruh yang siginifikan dalam perolehan
kursi kedua partai di kemudian hari di dewan DPRD Bangkalan. PKB yang
ditinggalkan oleh Fuad Amin memperoleh penurunan kursi yang drastis
dibandingkan ketika Fuad Amin masih bertahan di dalamnya. Dari 15 kursi di
234 Wawancara Pribadi dengan AAR.
235
Wawancara Pribadi dengan AAR.
236
Wawancara Pribadi dengan AAR.
237
Wawancara Pribadi dengan AHS.
238
Wawancara Pribadi dengan AHS.
198
masa Fuad memimpin pada periode 2008-2013,239
menjadi 6 kursi saat Fuad
Amin pindah.240
Sedang suara Gerindra pada pileg 2014 justru menjadi semakin
meningkat setelah Fuad Amin bernaung di dalamnya. Pada pileg 2014 tersebut
Gerindra meraih 10 Kursi.241
Menguasai partai politik berarti juga menguasai kader partai di dalamnya,
beberapa anggota dewan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Fuad
Amin, di antaranya: Ra Kholik (Partai PKB Komisi C, beliau adalah adik Fuad
tapi beda Ibu, menjadi anggota dewan saat periode kedua kepemimpinan Fuad
Amin). Sedangkan Abdul Latief (beliau adalah adik Fuad Amin sekaligus wakil
ketua DPRD Bangkalan saat ini), pada periode awal ada Ra Kadir (sepupu Fuad
duduk di partai PKB), Syafii Rofii (ketua DPRD periode kepemimpinan Fuad
yang pertama, dari partai PKB, posisinya adalah sebagai sepupu), Razak Hadi
(Demokrat, anggota dewan masa periode Fuad yang pertama), Muzakki
(Demokrat, anggota dewan masa periode Fuad yang kedua), Ra Momon (putra
sekaligus anggota dewan pada periode kedua Fuad, duduk di Partai PAN, dia
merupakan sekertaris komisi C), Imron Amin (Adik Fuad, Gerindra), Ra Latief
(Adik Fuad, PPP), sedang politisi-politisi lokal lainnya yang masih memiliki
ikatan darah tapi dalam kapasitasnya sebagai saudara jauh Fuad Amin antara lain:
Umar Farouq dari Hanura dan Muntofifi Kholil.242
Dan orang-orangan Fuad di
239 Wawancara Pribadi dengan UF.
240
Portal Kabupaten Bangkalan, “Partai Gerindra Raih Kursi Terbanyak di DPRD,” berita ini
diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari http://bangkalankab.go.id/index.php/80-template-
details/general/326-komposisi-anggotaan-dprd-hasil-pileg-2014-merata
241
Dody Wisnu Pribadi, “Cerita Miris dari Bangkalan,” artikel diakses pada 27 Maret 2016
dari http://regional.kompas.com/read/2014/08/02/08181631/Cerita.Miris.dari.Bangkalan
242
Wawancara Pribadi dengan UF
199
partai Golkar adalah Abdul Mufid Sobar,243
serta partai PKB ada Ali Wahdin
(ketua DPRD Bangkalan di periode kepemimpinan Fuad kedua).244
Sedangkan
Saudara Fuad Amin yang secara garis politik berseberangan dengan dirinya
adalah Imam Bukhori Kholil dan Ra Birali (ketua Nasdem periode sekarang), dan
Ahmad Ali Ridho.
Dengan beredarnya para kroni Fuad di berbagai penjuru partai, maka bukan
hal yang sulit bagi dirinya untuk menyeting peran partai bagi kemenangannya di
pilkada 2008. Bahkan jauh-jauh hari sebelum pilkada dimulai, Fuad Amin sudah
mulai merancang kemenangannya dengan menggalang dukungan ke berbagai
partai tersebut. Dari partai-partai yang ada, Fuad sendiri yang mengatur partai
mana yang bertugas untuk mendukungnya, partai mana yang mesti mencalonkan
calon bayangan, serta partai mana yang diperintah untuk menginfiltrasi kekuatan
lawan.245
“Makanya setiap partai dari awal itu sudah dikondisikan sedemikian rupa.
Dari jauh-jauh hari. Bagaimana sudah harus mendukung dia dan yang lain
dipersiapkan untuk mendukung bayangan, mendukung dayang.....”246
Timbal balik dari loyalitas kroni Fuad di berbagai partai politik di Bangkalan,
Fuad tunjukan dengan bagi-bagi proyek kepada mereka.247
“.......Konon katanya bahwa seluruh anggota DPRD Bangkalan pada waktu
itu gitu kan, yang loyalis ke dia gitu, kan dikasih satu proyek, gitu kan, tapi
bukan dia yang ngerjakan karena tidak boleh gitu kan, tapi dia mendapatkan
fee, gitu kan, seperti itu. Ngatur-ngaturnya seperti itu.”248
243 Wawancara Pribadi dengan MH via telepon, 02 Maret 2016.
244
Wawancara Pribadi dengan MH via Whatsapp, 31 Maret – 02 April 2016.
245
Wawancara Pribadi dengan AAR.
246
Wawancara Pribadi dengan AAR.
247
Wawancara Pribadi dengan FHR.
248
Wawancara Pribadi dengan FHR.
200
Karenanya, dengan adanya kontrol penuh Fuad di berbagai partai politik
yang ada, sehingga membuat parpol tidak memiliki kekuatan untuk mejalankan
fungsi-fungsinya secara maksimal. Bahkan ruang kebebasan bagi pengusungan
kader-kader terbaik sekalipun tidak dapat terealisasi karena kekuataan parpol
mutlak telah terkooptasi oleh eksistensi Fuad sebagai orang kuat lokal. Rencana
dan strategi partai menjadi kuasa Fuad sepenuhnya.
G.3). Maraknya Proyek Pembangunan Infrastruktur
Unsur kemenangan Fuad lainnya juga tidak terlepas dari kinerjanya sebagai
bupati selama satu periode. Pada periode pertama, Fuad Amin banyak
mengerjakan proyek-proyek infrastruktur pembangunan. Jalan-jalan ke desa
banyak yang diaspal, pembangunan stadion, pembangunan GOR, adanya jalan
kembar, pemindahan pasar, dan lain sebagainya.249
Sekalipun unsur ini sangat kecil dalam memberikan sumbangan pada
kemenangan Fuad, tapi perkara pembangunan infrastruktur merupakan hal yang
akan pertama kali dilihat oleh masyarakat. Sehingga timbul kesan bahwa seolah-
olah pemerintah Fuad bekerja, walau di program lainnya banyak yang tidak
berjalan.250
Rata-rata pembangunan infrastruktur yang diadakan oleh pemerintah
daerah yang ada di Indoneisa, biasanya semakin massif terjadi di akhir masa
kepemimpinan para pejabat setempat. Alasannya tak lain agar dapat menjadi
modal kampanye politik untuk pencalonan berikutnya.
“.......Jadi dia galakkan prioritaskan sedemikian rupa yang namanya
infrastruktur itu, sehingga bangunan-bangunan jalan ke desa yang awalnya
tidak teraspal, banyak yang teraspal, seperti itu. Nah ini yang kemudian bagi
masyarakat: wah aku belum pernah ngalami bupati sebaik ini, seperti itu.
249 Wawancara Pribadi dengan UF.
250
Wawancara Pribadi dengan AAR.
201
Nah masyarakat ndak tahu bahwa sebetulnya fungsi pemerintah itu bukan
hanya itu....”251
“.........Nah baru setelah masyarakat ini terbius dengan namanya
infrastruktur ini yang sedemikian maju, nah di kesempatan jadi bupati kedua
kalinya ini wah sudah gila-gilaan itu. Artinya kalau dulu ke infrastruktur ini
masih perhatian ya. Nah di periode kedua ini sudah banyak berkurang. Dia
lebih berfokus kepada pembangunan perkotaan yang sesungguhnya menurut
saya ndak terkonsep bagaimana memajukan kesejahteraan masyarakat.”252
Baru setelah pembangunan infrastruktur di periode pertama berhasil
menghipnotis masyarakat, perhatian Fuad Amin ke pembangunan infrastruktur
semakin berkurang pada periode berikutnya. Bahkan di periode kepemimpinannya
yang kedua, konsep pembangunan Fuad Amin terkesan bias. Seperti contoh,
adanya pembangunan gedung Raitopu - yang secara fungsi tidak terkait dengan
relevansi program pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Terus
adanya pembangunan pasar swalayan yang dibiayai oleh pemda sendiri – mulai
semenjak awal pengadaan tanahnya.253
“......Dan mungkin ini satu-satunya di indonesia ya, pemerintah daerah yang
membangun pasar swalayan dari anggaran pemda. Mulai dari pengadaan
tanahnya, sampai....”254
Di samping itu, kondisi investasi Bangkalan di bawah Fuad Amin pun tampak
statis. Para investor yang masuk seringkali menjadi korban pemalakan yang
dilakukan oleh Fuad Amin. Sehingga jarang sekali melihat para investor yang
betah untuk melakukan bisnisnya di Bangkalan.255
“...........Sulit, karena perijinan di sini ini sulit, sulit sulit gampang, mas.
Jadi kalau kita itu mau investor artinya kenapa pergi dari Bangkalan,
karena untuk dapatkan ijin ini, tidak usahlah pergi ke kantor perijinan,
langsung aja bawa duit ke FA, ditunggu satu jam selesai. Jadi kalau
251 Wawancara Pribadi dengan AAR.
252
Wawancara Pribadi dengan AAR.
253
Wawancara Pribadi dengan AAR.
254
Wawancara Pribadi dengan AAR.
255
Wawancara Pribadi dengan AAR.
202
pakai yang normatif ya, mungkin 3 tahun gak keluar itu, gak metu-
metu jereh wong jowo iki”.256
Sebab itu, pembangunan infrastruktur yang giat Fuad Amin lakukan di periode
awal, hanyalah pemantik untuk dapat mengambil hati rakyat dengan seolah-olah
memberikan kesan bahwa dia bekerja untuk kepentingan rakyat, sambil menutup-
nutupi segala praktek koruptif yang sebenarnya sudah tercium di pertengahan
kepemimpinannya pada periode pertama.
G.4). Memasang Calon Boneka dan Calon Titipan
Dengan kekuasaan dan kontrol penuh terhadap partai politik, Fuad akhirnya
dapat dengan leluasa untuk mengarahkan dan memainkan otoritasnya dalam
mengatur seluruh jalannya aktivitas politik, termasuk mengatur laju koalisi dan
strategi pemenangan dengan mengerahkan seluruh komponen kekuatan partai
yang berada di bawah naungannya. Banyaknya kader partai yang memiliki
hubungan famili dan kerabat dengan Fuad, tak ayal menambah peluang
kemenangan Fuad menjadi semakin besar. Keberadaan mereka yang tersebar di
berbagai partai, kerapkali dimanfaatkan oleh Fuad untuk menyeting orang per
orang di antara mereka agar mau dijadikan calon bayangan, dan lainnya dijadikan
agen titipan untuk menginfiltrasi kekuatan lawan. Dua strategi ini merupakan
kunci kemenangan Fuad pada pilkada di tahun 2008.
Pada pilkada 2008, akhirnya hanya ada 3 pasangan calon yang maju dalam
kompetisi, minus Imam Bukhori Kholil yang namanya terlanjur dicoret oleh KPU.
3 Pasangan calon ini adalah Fuad Amin-Syafii Rofii, Muhamad Dong-Razak
Hadi, dan Abdul Hamid Nawawi-Hosyan Muhammad. Di antara para kontestan
256 Wawancara Pribadi dengan NNH.
203
tersebut, satu pasangan calon di antaranya adalah calon bayangan dan satu orang
lagi, calon titipan yang dipasangkan ke pihak lawan. Pasangan Hamid-Hosyan
merupakan pasangan calon bayangan Fuad, sedangkan Razak Hadi adalah calon
yang dititipkan oleh Fuad untuk menginfiltrasi kekuatan politik Dong.257
Memang satu-satunya lawan Fuad yang murni pada pilkada 2008 adalah
Mohammad Dong. Dong sendiri merupakan wakil Fuad Amin di periode
sebelumnya. Majunya Dong pada pilkada 2008 dengan mengambil posisi yang
berlawanan dengan Fuad tidak terlepas dari konflik yang pernah terjadi di antara
keduanya. Bahkan ketidakcocokan antara Fuad Amin dan Dong harus membuat
menteri dalam negeri pada waktu itu turun tangan. Sampai akhirnya menteri
dalam negeri memutuskan agar keduanya tetap menjabat sampai akhir masa
jabatannya habis.258
“Ndak terjadi karena saya di paripurna itu menolak menentang tidak boleh
ada impeachment, akhirnya sesuai dengan keputusan menteri dalam negeri
tidak boleh ada impeachment, dan mereka berdua ini harus menjalankan
sisa-sisa tugasnya itu sampai masa akhir jabatan.”259
Dengan adanya konflik tersebut, maka pertarungan pada pilkada 2008
merupakan arena adu gengsi bagi kedua mantan pasangan bupati dan wakil bupati
incumbent ini. Tapi kekuatan sepenuhnya masih berada di tangan Fuad. Karena
Fuad Amin sendiri merasa bahwa Muhamad Dong bukanlah lawan yang sepadan
dengan dirinya. Lebih beresiko melawan Imam Bukhori daripada melawan
mantan wakilnya sendiri, Muhamad Dong. Hal ini dapat dilihat pada saat
berlangsungnya proses penjaringan di tubuh partai demokrat. Saat dukungan
257 Wawancara Pribadi dengan AAR.
258
Wawancara Pribadi dengan MMD.
259
Wawancara Pribadi dengan MMD.
204
partai politik yang mengarah kepada Fuad Amin sudah melebihi kapasitas dan
melampaui ambang batas persentase ketentuan pencalonan, hal ini tidak lantas
membuatnya berhenti untuk terus mencari dukungan dari partai-partai lainnya.
Sampai pada waktu Partai Demokrat mengadakan penjaringan bakal calon untuk
Bupati Bangkalan, Fuad Amin pun turut serta di dalamnya.
Dengan ikutnya Fuad Amin dalam penjaringan di Demokrat, maka ada 3
tokoh yang mendaftar dalam proses tersebut. Selain Fuad Amin, dua di antaranya
termasuk Muhamad Dong dan Imam Bukhori Kholil. Dari ketiga bakal calon
tersebut, Imam Bukhori menempati posisi pertama bakal calon potensial dari
Demokrat. Terus disusul oleh Muhamad Dong di peringkat kedua, dan Fuad di
peringkat terakhir. Menurut desas desus yang beredar, melihat peluang Imam
Bukhori Kholil yang begitu besar di partai demokrat, akhirnya Fuad Amin
melakukan lobi dengan petinggi partai agar bagaimana caranya tiket bakal calon
tidak menjadi hak milik Imam Bukhori. Kalaupun itu jatuh ke tangan Muhamad
Dong, maka hal itu tidak menjadi persoalan, asalkan jangan sampai jatuh kepada
Imam Bukhori Kholil.260
Sebab sekalipun keputusan pusat tidak memihak kepada
Fuad Amin, tapi kekuatan politik Demokrat di Bangkalan sudah sepenuhnya
berada dalam genggaman Fuad.
“.......Gini, orang yang di sini itu orangnya Yayi Fuad, tapi untuk
rekomendasi siapa calon itu pusat mas. Anunya, ini kalah, yang di pusat,
kalah dengan ..tok untuk rekomendasi.”261
Karena kekuatan Fuad di demokrat terwakilkan dengan adanya Razak Hadi.
Razak Hadi adalah ketua DPC Partai Demokrat yang juga merupakan famili Fuad
260 Wawancara Pribadi dengan AAR.
261
Wawancara Pribadi dengan AHS.
205
dan kroni dia di Demokrat.262
Makanya ketika keputusan demokrat memutuskan
untuk mengusung Muhamad Dong dan Razak Hadi tampil sebagai pasangan calon
bupati dan wakil bupati, tentu hal ini tampak lucu. Karena di satu sisi Muhamad
Dong serius untuk menggarap kemenangannya di pilkada, sedang di sisi lain
Razak Hadi bersikap sebaliknya.263
“Ya berpasangan dengan pak razak itu, karena pak razak itu waktu itu ketua
DPC demokrat kan seperti itu. Jadi mungkin komunikasinya dengan DPP itu
lobi-lobinya ya udahlah dikasih ke madong aja ketuanya nanti wakilnya dari
demokrat. Ya walaupun ndak menang tapi kan ada kompensasi, kan seperti
itu. Mungkin.”264
“..........Nah akhirnya yang si pak madongnya ini serius, dia benar-benar
kandidat dan serius menggarap dukungan, wakilnya ini dipasang dengan
orangnya pak fuad. Ra Razak. Pak kiai razak. Jadi yang calon bupatinya
kencang kampanye, ayo dukung aku, yang calon wakilnya jangan dukung
aku. Ya akhirnya wong gimana, misalkan ada karapan sapi, satunya ke
depan satunya ke belakang, gimana mau menang.”265
Di samping menginfiltrasi kekuatan politik Muhamad Dong lewat
penempatan Razak Hadi sebagai wakil pendampingnya dalam kontestasi pilkada
2008, Fuad pun memasang calon pasangan bupati - wakil bupati bayang-bayang
melalui pasangan calon Hamid dan Hosyan yang diusung oleh PPP. Sebab posisi
ketua DPC PPP waktu itu pun berada di bawah kendali kroni Fuad Amin yang
dalam hal ini adalah Zaenal Abidin. Seperti yng diungkapkan oleh NNH: “Loh
kalau dia nyalonnya sama boneka, tarungnya sama boneka”.266
Dengan dua siasat yang Fuad jalankan tersebut akhirnya bukan hal yang
sulit bagi dirinya untuk menang dalam kontestasi pilkada di 2008. Kekuatan
Muhamad Dong sendiri tidak sebesar kekuatan yang Fuad miliki. Hal ini terlihat
262 Wawancara Pribadi dengan UF.
263
Wawancara Pribadi dengan AAR.
264
Wawancara Pribadi dengan AAR.
265
Wawancara Pribadi dengan AAR.
266
Wawancara Pribadi dengan NNH.
206
dari hasil akhir perolehan suara pilkada dimana capaian suara Fuad Amin yang
hampir 90 persen,267
tepatnya yakni 80.79 persen.268
Sedangkan Dong-Razak
hanya memperoleh suara 15.49 persen, Hamid-Hosyan 3.72 persen.269
“Ya. Benar. Dan seorang Madong tidak cukup kuat untuk melawan itu,
kekuatan Fuad Amin yang sudah demikian mendominasi. Akhirnyakan dia
juga tidak seberapa perolehan suaranyakan. Hanya 10 persen Madong, si
Fuad 90 persen waktu itu”.270
Bahkan kekalahan Dong di pilkada 2008 tidak lantas membuat PDI menjadi
oposisi di parlemen. Karena perolehan kursinya pun sangat kecil, yaitu hanya dua
kursi. Bahkan PDI yang awalnya dikuasai oleh Muhamad Dong selaku ketua
DPC, di masa selanjutnya berhasil dikuasasi oleh Fuad Amin melalui kliennya
yang dalam hal ini adalah Faturahman.271
Faturahman adalah orang-orangan Fuad
Amin yang berhasil memenangkan pemilihan sebagai ketua DPC PDI-P. Sehingga
pada tahun 2009, Muhamad Dong akhirnya menggunakan partai PKNU sebagai
kendaraan politiknya untuk mencalonkan diri sebagai calon dewan pusat.272
Satu-satunya partai yang menjadi oposisi di parlemen setelah kemenangan
Fuad untuk yang kedua kalinya adalah PKNU. Dari beberapa pandangan fraksi
yang terjadi di parlemen, pada tahun 2009, PKNU adalah satu-satunya partai yang
sering melontarkan kritik pedas.273
“......Jadi ketika kita melihat bahwa pandangan-pandangan umum,
pandangan fraksi pada waktu itu gitu kan, pada tahun pasca 2009 itu,
hanyalah dari partai PKNU itu yang selalu melakukan kritisi pedas. Maka
267 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
268
Pelita, “Fuad-Syafik Menangi Pilbup Bangkalan,” berita diakses pada 02 April 2016 dari
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=43862
269
Pelita, “Fuad-Syafik Menangi Pilbup Bangkalan,” berita diakses pada 02 April 2016 dari
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=43862
270
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
271
Wawancara Pribadi dengan FHR.
272
Wawancara Pribadi dengan FHR.
273
Wawancara Pribadi dengan FHR.
207
kenapa akhirnya kita yang di luar parlemen ini yang lebih pedas mengkritisi
itu, gitu.”274
G.5). Memanfaatkan Jaringan Klebun
Di pilkada 2008, kekuatan Fuad Amin sudah semakin menggurita. Pada
periode tersebut, Fuad bukan hanya menguasai masyarakat melalui kekuatan-
kekuatan kultural lewat kharisma dan macam-macam mitos yang
mencerminkannya sebagai seorang jago, tetapi Fuad lebih jauh masuk ke dalam,
menguasai institusi-institusi politik dan birokrat pemerintahan. Termasuk di
antaranya menguasai para kepala desa (klebun).275
Bahkan penggunaan aparat
birokrasi, khususnya para kepala desa demi kepentingan politiknya ini tidak saja
dilakukan saat ada momen-momen pilkada yang menyangkut kepentingan dirinya,
tetapi seringkali juga Fuad pakai saat ada momen-momen pileg, dengan
memberikan prioritas pada kemenangan para kroninya di beberapa partai.
“Ya kalau pemilihan, pemilihan langsung kan 2008 jadi bupati gitu ya.
Pileg-pileg juga mulai sejak pileg-pilegkan juga memakai jaringan klebun
semua mas. Pokoknya setiap pemilihan itu ya jaringan klebun ini yang
dipakai.”276
Rasa hormat dan loyalitas yang ditunjukan oleh para kepala desa untuk turut
menjaga kepentingan politik Fuad ini didasarkan atas tiga faktor. Faktor pertama
karena intimidasi yang Fuad lakukan kepada mereka. Faktor kedua, karena insentif
materil lewat pengadaan dan proyek yang digelontorkan kepada para kepala desa,
dan faktor ketiga karena adanya SK perpanjangan masa PJS bagi mantan kepala
desa yang dikukuhkan lewat perda nomor 7 tahun 2006.
274 Wawancara Pribadi dengan FHR.
275
Wawancara Pribadi dengan MH.
276
Wawancara Pribadi dengan AHS.
208
Dari 281 kepala desa, 200-an di antaranya berada di bawah kendali Fuad
Amin. Pemanfaatan para kepala desa saat momen politik ini biasanya dilakukan
Fuad Amin dengan cara memanggil mereka untuk kemudian diarahkan agar turut
membantunya dalam proses suksesi politik. Pemanggilan ini biasanya diadakan 6
bulan sebelum waktu pemilihan dimulai. Mereka dikumpulkan di pendopo atau
tempat tertentu berdasarkan teritorial kecamatan masing-masing. Setelahnya,
pertiap bulan sekali akan diadakan pertemuan lanjutan. Pertemuan tersebut
memang sifatnya politis. Bila kedapatan ada satu pihak kepala desa yang memihak
ke pihak lain, maka Fuad Amin tidak segan-segan akan mencekal program-
program yang ditujukan kepada desa yang bersangkutan.277
Biasanya kepala desa dikerahkan untuk merekap hasil pemilihan lewat
formulir C-1 KPU. Mereka ditugaskan untuk memanipulasi hasil suara.
“Ya klebun inikan mainkan rekap aja. Jadi selesainya pemilu di Madura atau
di Bangkalan itu selesai direkap itu di C-1 itu.”278
“Kalau sistem pemilihan inikan pemilihkan pasti cerdas. Memilih si A,
memang karena memang dia visi dan misi. Kalau coblosan ini kartunya
diambil ataupun melalui siapa, ada pesanan suaralah, sengaja dicoblos
sendiri ataupun direkap saja sendiri.”279
Bahkan keberadaan panwas serta PPS meskipun ada, hanya sebagai bagian
formalitas prosedural pemilihan belaka, karena faktanya, mereka adalah orang-
orang yang diutus oleh Fuad Amin. PPS adalah orang-orang yang ditunjuk
langsung oleh para kepala desa berdasarkan instruksi tersirat dari Fuad Amin.
277 Wawancara Pribadi dengan FAU, Bangkalan, 21 September 2015.
278
Wawancara Pribadi dengan MH.
279
Wawancara Pribadi dengan NNH.
209
“Ya PPS itu, kepanjangan tangan dari KPU-kan. Tapikan sudah terkondisi
dengan baik. Karena PPS itu dibentuk oleh kepala desa, dan kepala desa
itupun mendukung. Ya siapa mas.”280
“Panwaslu kalau orangnya yang dipakai yang ditaruh siapa yang mau buka.
Andainya saya umpama jadi panwaslu akan saya bongkar, tapi ketika orang-
orang yang dia simpan ini adalah orang ini, orangnya dia, atau orang yang
minta dijadikan panwaslu kan akan ditutupi.”281
Meskipun pemilihan di TPS tetap berlangsung, itupun jumlah partisipasi
masyarakatnya kurang lebih dari 60 persen, bahkan temuan yang dilakukan oleh
kawan-kawan aktivis di Bangkalan jumlahnya lebih drastis, yakni hanya sekitar
4o persen dari jumlah pemegang hak suara.
“Ada. Ada. Ada, cuma kemudian tidak se-vulgar apa yang terjadi. Artinya,
partisipasi pemilih ke TPS itu tidak kemudian mencapai 90 persen koma,
yang ada paling banter itu ya 60 maksimal. Kehadiran itu. Itu sangat
maksimal sekali, bahkan analisa teman-teman itu sekitar 40-an kok antusias
masyarakat. Termasuk yang terakhir kemarin pas anaknya yang jadi itu.”282
H. Jaringan Kiai Fuad Amin
Secara garis besar, stratifikasi sosial kalangan kiai di Bangkalan ditempati
oleh 3 kelompok utama. Pada urutan pertama diisi oleh para kiai pesantren yang
berasal dari trah bani kholil, urutan kedua diisi oleh kiai pesantren non bani kholil,
dan urutan ketiga diisi oleh kiai kampung atau biasa disebut bidhereh.283
Perhatikan bagan IV.4.
280 Wawancara Pribadi dengan NNH.
281
Wawancara Pribadi dengan MH.
282
Wawancara Pribadi dengan MH.
283
Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki
Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” (Disertasi Program Studi Islam, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015), h. 98.
210
Bagan IV.4. Stratifikasi Sosial Kiai di Bangkalan
Sumber Gambar: Abdur Rozaki
Penempatan kalangan Kiai yang berasal dari trah bani Kholil di urutan
paling atas merupakan apresiasi yang diberikan oleh masyarakat kepada keluarga
Bani Kholil. Hal ini ditujukan untuk menghormati segala jasa leluhur Kiai Kholil
atas usahanya dalam mengajarkan ilmu agama dan segala ilmu lainnya di
masyarakat. Makanya keluarga besar bani kholil adalah keluarga terpandang
hingga saat ini. Segala upaya apapun yang berkaitan dengan dinamika kehidupan
masyarakat, baik itu kegiatan sosial maupun politik, pasti akan melibatkan
keluarga bani kholil di garda terdepan masyarakat.
Hal ini bukannya tanpa menimbulkan dampak negatif. Karena faktanya
dominasi keluarga bani kholil di Bangkalan sangat begitu besar. Sehingga benih-
benih fanatisme terhadap keluarga bani kholil dengan sendirinya muncul di
kalangan masyarakat. Fanatisme ini merupakan pangkal dari berbagai sikap apatis
yang pada akhirnya ditunjukan oleh masyarakat terhadap segala sesuatu yang
bersinggungan dengan dimensi sosial dan politik yang ada di Bangkalan. Karena
Kiai Pesantren Trah Bani
Kholil
Kiai Pesantren Non Bani Kholil
Kiai Bidhereh/Kiai Kampung
211
apapun yang berkaitan dengan kehidupan di Bangkalan, seolah-olah sudah
menjadi kewajiban dan tanggungan bagi bani kholil seluruhnya.
Apatisme masyarakat Bangkalan yang terekam dalam segala sesuatu yang
berbau aspek sosial maupun politik, dengan menyerahkan segala urusan-urusan
tersebut terhadap keluarga bani kholil, sebenarnya memiliki dampak signifikan
pada kehidupan sosial politik mereka di Bangkalan. Menurut AAR, dampak ini
adalah pengaruh negatif yang pada akhirnya mesti dibebankan dan menjadi
tanggungan bersama-sama. Pertama, karena anggapan dan rasa hormat
masyarakat Bangkalan terhadap keluarga bani kholil terlalu berlebihan, sehingga
apapun yang berkaitan dengan jabatan publik dan persoalan-persoalan yang ada
mesti dilimpahkan kepada bani kholil seutuhnya. Pelimpahan jabatan ketua di
ormas, di partai, dan di segala dimensi kehidupan masyarakat yang lain.
Semuanya seakan-akan mesti diberikan kepada keluarga bani kholil. Pasalnya
citra keluarga bani kholil seolah-olah sanggup untuk menerima tanggung jawab
tersebut. Karena adanya pelimpahan wewenang yang membabi buta tersebut
sehingga timbul dampak lainnya, yakni hilangnya motivasi untuk memacu
kapasitas dan integritas personal dari para keluarga bani kholil. Sehingga,
anggapan bahwa tanpa memiliki kemampuan pun pasti akan dianggap oleh
masyarakat, menjadi wabah bagi lahirnya benih superioritas diri yang melanda
keluarga bani kholil. Yang dirugikan pun masyarakat, sebab keberadaan para
tokoh masyarakat yang memiliki potensi untuk mengemban tanggung jawab
tersebut kemudian tidak terangkat ke permukaan.284
Makanya tak heran jika
284 Wawancara Pribadi dengan AAR.
212
seluruh jabatan ormas, partai politik, dan jabatan publik di Bangkalan banyak
ditempati oleh keluarga Bani Kholil.
Bahkan penempatan keluarga Syaikhona Kholil bukan saja terjadi di
internal pemerintahan atau ormas dan partai yang telah didominasi oleh Fuad
Amin. Nyatanya, di bagian-bagian kelompok penyeimbang sekalipun, atau
kelompok oposisi di luar jeratan Fuad Amin, hal tersebut masih tetap saja berlaku.
Misalnya pengangkatan Ahmad Ali Ridho sebagai ketua Forsis (Forum
silaturahmi Stake Holder Se-Kabupaten Bangkalan) oleh teman-teman aktivis, hal
ini tidak terlepas dari figur kekiaiannya sebagai salah satu keturunan Syaikhona
Kholil dan satu-satunya kiai di Bangkalan selain Imam Bukhori Kholil yang
berani vokal terhadap keluarganya sendiri, Fuad Amin. Selain itu, sedikitnya
jumlah kiai atau kalangan pesantren yang berani untuk melakukan konfrontasi
dengan Fuad, merupakan alasan lain dari pengangkatan Ahmad Ali Ridho sebagai
ketua Forsis.285
Karena dialah satu-satunya orang dari internal keluarga bersama
Imam Bukhori yang berani menentang dominasi Fuad.
Bukan hanya masyarakat biasa yang menaruh rasa takdzim kepada keluarga
bani, bahkan para kiai yang berasal dari non trah bani kholil yang ada di
Bangkalan pun akan tunduk serta takdzim kepada mereka. Alasan inilah yang
menjadikan kekuatan sosial dan politik Fuad Amin semakin menjadi-jadi. Karena
seluruh lini kehidupan masyarakat Bangkalan mampu dia kuasai. Banyaknya
famili yang menduduki posisi-posisi strategis, dan kondisi masyarakat yang
menaruh simpati kepada keluarga bani kholil, termasuk para kiai yang berasal dari
285 Wawancara Pribadi dengan AAR.
213
non bani kholil, dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh Fuad untuk mengekalkan
kekuasaannya tersebut.
Jalinan hubungan kedekatan antara para kiai dengan Fuad tidak terbatas
hanya di antara keluarga saja. Di luar keluarga pun, Fuad menjalin hubungan yang
erat dengan para kiai lainnya. Di antara beberapa kiai yang memiliki hubungan
spesial dengan Fuad Amin di luar keluarga bani kholil antara lain: Kiai Nurdin
(Ketua Basra Bangkalan), Kiai Muhaimin (Pengasuh Pondok Pesantren As-
Shamadiyah), dan Kiai Sarifudin Damanhuri (Ketua MUI Bangkalan).286
Kalangan kiai faktanya tidak terbebas dari pemanfaatan yang dilakukan oleh
Fuad kepada mereka. Pemanfaatan kalangan kiai oleh Fuad Amin terlihat dalam
kasus keluarnya fatwa sesat pelatihan shalat khusyu oleh MUI. Cerita ini berawal
dari kegiatan pelatihan shalat khusyu yang diadakan oleh Imam Bukhori Kholil.
Pelatihan shalat khusyu yang diselenggrakan oleh Imam Bukhori ini bekerjasama
dengan Ustadz Abu Sangkan selaku mentor dalam kegiatan tersebut. Ketika
kegiatan pelatihan shalat khusyu yang pertama kali diadakan berjalan dengan
sukses, akhirnya Imam Bukhori berniat untuk kembali menyelenggarakan acara
serupa dengan tempat di Masjid Agung. Mengingat antusias masyarakat untuk
mengikuti kegiatan pelatihan shalat khusyu ini sangat begitu besar. Kabar ini
sampai juga kepada Fuad Amin. Mendengar bahwa yang mengadakan acara ini
adalah Imam Bukhori, Fuad Amin bergegas mencari cara untuk
menggagalkannya. Panitia kegiatan dipanggil dan dilakukan pembicaraan untuk
tidak menghubung-hubungkan acara tersebut dengan nama Imam Bukhori. Agar
286 Wawancara Pribadi dengan AAR.
214
klaim adanya kegiatan tersebut adalah murni dari bupati. Tapi cara ini gagal. Lalu
dicarilah cara lain untuk menggagalkannya, akhirnya munculah ide untuk
mengumpulkan para kiai di Bangkalan dengan menyertakan MUI setempat untuk
mencari celah adanya unsur kesesatan pada kegiatan tersebut. Dengan keluarnya
fatwa sesat MUI Bangkalan mengenai pelatihan shalat khusyu tersebut, otomatis
ijin kegiatan dari pemda tidak keluar. Dan pemda melarang diadakannya kegiatan
yang diinisiasi oleh Imam Bukhori bersama Ustadz Abu Sangkan itu.287
“........Karena kemudian ini ndak berhasil, maka beliau ngundang MUI dan
kiai-kiai yang ada di Bangkalan, dicari apa yang kira-kira dalam pelatihan
sahalat khusyu ini yang kira-kira bisa dipelesetkan sebagai sesuatu yang
sesat. Nah akhirnya kiai-kiai dengan difasilitasi MUI itu melakukan rapat
dan menyatakan bahwa pelatihan yang dilaksanakan Ustadz Abu Sangkan
ini adalah pelatihan yang mengandung unsur kesesatan dan menyesatkan.
Dengan karena ada surat dari MUI itu kemudian pemda melarang kegiatan
Ustadz Abu Sangkan itu. Padahal intinya bukan di pelatihan shalat
khusyunya itu, bukan di penyesatannya itu, tapi lebih kepada karena ini
faktor Fuad tadi itu.” 288
Loyalitas kiai Bangkalan terhadap Fuad Amin bukan hanya lahir dari
anggapan bahwa Fuad adalah cucu kiai besar yang patut dihormati, tetapi juga
lahir dari rasa takut bila nantinya kalau ada intimidasi terhadap mereka. Intimidasi
ini tidak mesti berupa ancaman fisik saja, karena dalam kenyataannya intimidasi
ini pun dapat berupa pemboikotan rekomendasi oleh Fuad Amin terhadap
program-program pemerintah yang diajukan oleh kalangan kiai, baik kepada
pemerintah provinsi maupun pusat.
“........ketika orang ini memerlukan rekomendasi ke bupati untuk terkucurnya
dana itu, itu ndak dikasih. Padahal secara lembaga dia butuh bantuan. Baik
itu bantuan dari pemerintah provinsi, bantuan dari pemerintah pusat
misalnya. Nah dari pada aku enggak dukung pak fuad nanti ini dipersulit.
Jadi pengkondisian seperti itu yang dilakukan....”289
287 Wawancara Pribadi dengan AAR.
288
Wawancara Pribadi dengan AAR.
289
Wawancara Pribadi dengan AAR.
215
Di samping itu, pemanfaatan kalangan kiai oleh Fuad Amin juga telihat saat
ada aksi-aksi dukungan terhadap dirinya. Pengerahan massa baik itu dari kalangan
kepala desa maupun kalangan kiai tak lain agar seolah-olah pemerintahannya
mendapat dukungan dari rakyat. Pengerahan massa seperti ini salah satunya
pernah dilakukan oleh Fuad Amin saat dirinya didera persoalan ijazah palsu dan
sewaktu dirinya ditangkap oleh KPK. Sehingga kesan yang timbul dari adanya
dukungan masif seperti itu adalah akan riskan terjadinya kegaduhan di tingkat
bawah bila pemerintahan Fuad diusik oleh aparat penegak hukum.
“..........Misalnya ya, salah satu contoh, setiap ada permasalahan-
permasalahan, contoh misalnya dulu kasus ijazah ya, ketika kasus ijazah ini
mau berlanjut, pak fuad ini kemudian meminta - ada puluhan kiailah, untuk
datang ke polda. Pak polda, saya minta kasus ini jangan dilanjut misalnya
seperti itu, karena begini begini begini begini, nah inikan dalam rangka
membangun opini ke tingkat penegak hukumlah paling enggak bahwa
soliditas dukungan di bawah ini betul-betul luar biasa, sehingga kalau ini
dilanjut kasusnya akan terjadi sesuatu yang gerakan destruktif dan lain
sebagainya.....”290
Sebetulnya secara implisit, dengan tidak adanya penegakan hukum terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Fuad Amin, akhirnya,
masyarakat pun sama-sama tertipu. Karena dengan begitu, masyarakat merasa
bahwa semenyeleweng apapun pemerintahan Fuad, faktanya akan tetap mendapat
perlindungan dari para penegak hukum. Daripada memilih jalur konfrontasi
dengan Fuad Amin, maka lebih beruntung bila bersikap kooperatif terhadap
pemerintahannya, sehingga preseden buruk bagi demokrasi lokal Bangkalan
terlihat melalui pertukaran praktik yang saling menguntungkan atau adanya
290 Wawancara Pribadi dengan AAR.
216
simbiosis mutualisme antara Fuad dan para pendukungnya melalui manipulasi
suara dan pembagian proyek-proyek pemerintah.
“........Nah, di atas ketika permasalahan yang nyata seperti ijazah ini
kemudian tidak terungkap secara tuntas, inikan menyebabkan masyarakat di
bawah ini menjadi putus asa gitu. Wong kasus yang nyata seperti ini aja
ndak bisa, bagaimana dengan kasus yang lain. berarti kalau begini pak fuad
ini betul-betul sakti. Yah daripada aku ndak dapat apa-apa, mending ikut
dukunglah, walaupun..., seperti itu.”291
Di samping munculnya loyalitas kepada Fuad Amin karena adanya
intimidasi dan mistis seperti takut kwalat karena Fuad Amin adalah seorang kiai
dan cucu kiai besar, atau adanya prakttik-praktik kekerasan yang Fuad Amin
lakukan, ada juga unsur penopang loyalitas lainnya, yaitu melalui pemberian
bantuan-bantuan dan proyek-proyek yang Fuad berikan kepada orang-orangnya.
“.......Kalau tadi itu untuk jaringan formalnya itu dimudahkan untuk menjadi
eksekutor ya - pelaksana, sementara di jaringan informalnya ini dipermudah
untuk menjadi penerima. Misalnya: anu ini program ini taruh di situ, atau
kalau yang ngajukan itu orangku, yaudah kasih. Sementara nanti
pekerjaannya siapa – yang juga orang dia.”292
Sebetulnya tanpa adanya imbalan materiil yang diterima oleh para kalangan kiai
sekalipun, loyalitas mereka terhadap Fuad Amin tidak akan surut. Sebab, dalam
budaya para kiai di Bangkalan, mereka akan taat dan hormat pada kalangan kiai
yang lebih sepuh dari usia mereka. Fuad Amin termasuk ke dalam kalangan kiai
sepuh sepeninggal almarhum Kiai Abdullah Sachal. Terlebih Fuad berasal dari
strata sosial kalangan kiai keturunan Syaikhona Kholil.
“Gini, kalau urusan kiai-kiai itu beliau itu memang, pertama, ya kan ada dua
mas. Budaya yang ada di para kiai itu kalau kepada sesepuhnya yang lebih
sepuh itu sami‟na wa ato‟na. Itu kiai. Jadi sebetulnya tanpa harus dipelihara
pun gitukan, kiai-kiai itu sudah banyak yang tunduk. Karena kiai fuad ini
emang kalau setelah Kiai Abdullah almarhum, paling sepuh mas di
Bangkalan. Gitu. Terus yang kedua, memang tiada yang berani mas seperti
291 Wawancara Pribadi dengan AAR.
292
Wawancara Pribadi dengan AAR.
217
itu para kiai. Kalau ada kiai yang mau berbeda gitu ya, gak bisa berbeda kiai
dengan beliau.”293
“.....Kalau masalah kiai ini, kiai ini ada kompensasikah ada kontribusikah ke
pondok pesantrennya, mau pembangunan atau apa modelnya itu ada. Tidak
ada pun mereka tetap akan mendukung saudara fuad amin, karena dia itu ya
tadi seperti saya bilang tadi itu, kiai ini akan tunduk dan patuh kepada fuad
amin karena beliau adalah cucu dari syaikhona kholil.”294
Dengan dua baground yang melatarbelakangi fungsionalisme Fuad, sebagai bupati
dan sekaligus sebagai kiai, acapkali Fuad Amin menjadikannya sebagai alasan
untuk mengaburkan perilaku koruptif yang Fuad lakukan. Bahwa segala
sumbangan yang orang lain berikan kepada dirinya, ketika Fuad berada di
pendopo, itu dalam kapasitasnya sebagai kiai, bukan bupati. Sehingga uang yang
diberikan kepadanya adalah sebagai sodaqoh.
“Nah, apalagi yang ini, jadi pada waktu itu ada matin gitu kan, ada pondok
pesantren yang disumbang oleh partai politik, jadi pak fuad ini kalau urusan
keagamaan itu kan memang semua ini sumbangan gitu. Alasan-alasannya
apa yang disampaikan oleh dia, ini bukan uang korupsi ini bukan uang
negara, ini sodaqoh gitu kan. Kalau saya dikasih uang oleh orang di pendopo
itu kan saya bukan bupati, saya di rumah dinas, saya kiai, itu tempat saya.
Enggak ada orang yang ngasih uang itu ke kantor (pendo), kantor bupati itu
kan, yang datang enggak ada. Kan itu yang selalu disampaikan di media-
media di khalayak umum.”295
Kondisi yang menggambarkan adanya loyalitas mendalam yang ditunjukan oleh
kalangan kiai yang begitu dekat dengan Fuad Amin bahkan menjadi pertanyaan
besar bagi kelompok oposisi khususnya Imam Bukhori. Dia merasa heran dengan
sikap para loyalis Fuad Amin yang tetap membelanya meskipun nyata-nyata Fuad
telah melanggar aturan hukum negara, apalagi hukum agama. Jika Fuad Amin
masih menjadi penguasa, wajar jika loyalitas tersebut masih ada, karena mungkin
ada banyak kepentingan-kepentingan di dalamnya. Tapi setelah Fuad Amin tidak
293 Wawancara Pribadi dengan AHS.
294
Wawancara Pribadi dengan MMD.
295
Wawancara Pribadi dengan FHR.
218
berkuasa, ditambah hasil muktamar NU yang tegas menyatakan bahwa koruptor
tidak wajib dishalati dan dimandikan, nyatanya pembelaan tersebut masih tetap
bertahan.296
I. Pencalonan Putranya, Makmun Ibnu Fuad
Pasca kepemimpinan Fuad Amin selama dua periode, Fuad Amin tidak
lantas memberikan kursi Bupatinya kepada orang lain secara cuma-cuma. Fuad
Amin tetap menjaga kursi jabatannya untuk dapat diteruskan oleh putra
kandungnya sendiri, Makmun Ibnu Fuad. Fuad Amin menyadari bahwa dengan
menaruh anaknya di kursi bupati, maka dia masih tetap bisa mengendalikan roda
pemerintahan yang ada di Bangkalan. Awalnya di Bangkalan memang sempat
muncul rumor bahwa Fuad Amin akan mengusung istrinya. Tapi lantaran banyak
penolakan dari para kiai, akhirnya niatan ini diurungkan. Para kiai menolak
lantaran istrinya bukan berasal dari Madura. Maka pilihan alternatif lainnya jatuh
pada putranya. Meskipun usia anaknya masih relatif muda yakni 27 tahun dan
kapabilitas kepemimpinannya masih belum terlihat di masyarakat.
“Sebenarnya waktu anaknya mencalonkan diri itu, masyarakat sebenarnya
sudah tidak senang gitu kan - pencalonannya itu, karena anaknya ini tidak
punya kemampuan, dan orang-orang di Bangkalan ini tidak mengenal
anaknya ini, saudara momon ini, tidak mengenal. Ada rumor juga mau
mencalonkan istrinya, karena istrinya ini bukan orang Madura, sebagian kiai
menolak untuk dicalonkan istrinya. Akhirnya anaknya, walaupun tidak
punya kemampuan, akhirnya dengan terpaksa dicalonkanlah oleh Fuad
Amin, ya dengan cara menyingkirkan lawannya. Ya menyingkirkan
lawannya, bagaimana dia istilahnya membuat calon bupati bayangan. Yang
dari Imam Bukhori ini mencalonkan, momon juga mencalonkan, Fuad Amin
membuat satu batu - calon bayangan juga.”297
296 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
297 Wawancara Pribadi dengan SYK.
219
Kesungguhan Fuad untuk menjadikan anaknya sebagai bupati bagi
penggantinya dan memenangkan putranya, tergambarkan saat dia beberapa kali
melobi Imam Bukhori Kholil untuk tidak ikut dalam pilkada 2012. Karena Imam
Bukhori Kholil merupakan kandidat lainnnya yang berpotensi untuk bisa menjadi
Bupati bangkalan dari trah bani kholil selepas jabatan bupati Fuad Amin berakhir.
Awalnya memang Fuad menawarkan dua opsi kepada Imam Bukhori. Opsi
pertama Imam Bukhori dicalonkan tapi dalam kapasitasnya sebagai calon wakil
bupati pendamping putranya, Ra Momon. Opsi kedua, Imam diberikan uang,
awalnya 12 Miliar belakangan naik menjadi 25 Miliar, tapi dengan syarat tidak
jadi mencalonkan dirinya sebagai calon bupati. Tapi kedua opsi ini ditolak oleh
Imam Bukhori.298
Dengan melihat keseriusan Imam Bukhori untuk tetap mencalonkan dirinya,
akhirnya Fuad Amin mencari cara lain yaitu dengan membelah dualisme di tubuh
partai pengusung Imam Bukhori. Akhirnya usaha Fuad pun berhasil. Imam
Bukhori akhirnya didiskualifikasi oleh KPUD Bangkalan menjelang 5 hari
sebelum pencoblosan. Karena PAN yang awalnya mengusung Imam Bukhori
Kholil, membelokan dukungannya untuk mengusung pencalonan Bay Arifin
dengan Ki Nurdin. Jadi alasan dualisme ini yang menjadi poin mengapa KPUD
akhirnya mencoret Imam dari kontestasi. Bahkan keseriusan Fuad Amin untuk
menjaga dominasi inipun dia tunjukan pula dengan turun langsung dalam
kampanye-kampanye putranya tersebut. Bukan hanya itu, selebaran-selebaran
yang mengarah pada riwayat silsilah keluarga, mulai dari Nabi terus sampai
298 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
220
Syaikhona Kholil dan Fuad Amin, turut mewarnai kampanye-kampanye Makmun
Ibnu Fuad.299
“Heeuh, saya juga pernah nerima kemarin itu. Ada. Kalau yang paling, yang
paling mencengangkan itu dari silsilahnya nabi juga.”300
Bahkan pernah suatu ketika Fuad Amin sampai menantang carok bagi siapa
saja yang hendak menggagalkan pencalonan anaknya, Ra Momon. Hal tersebut
terjadi ketika beberapa loyalis pendukung Kiai Imam Bukhori melakukan aksi
protes terhadap netralitas KPU, lantaran KPU mendiskualifikasi Imam dari
kompetisi pilkada 2012.
“Dia tidak pernah turun langsung kecuali kemarin. Pilkada 2012. Pilkada
tahun 2012 itu, karena itu habis Kiai Imam itu dicoret Kiai Imam itu, KPU
kan dikepung oleh kelompok masyarakat, unsurnya loyalisnya Ki Imam gitu
kan, sampai dikepung , kota-kota tidak bisa dikeluahin, dia turun langsung
menemui masyarakat itu begini begitu dan bahkan dia di kampanye pun,
saya enggak ngedengar langsung tapi di media ramai, itu mengatakan
nantang carok, siapa yang mau melawan saya carok dengan saya. Kalau
sampai menggagalkan pemilihan bupati, tahun 2012 itu, carok dengan saya,
lawannya saya, begitu.”301
Dengan keberhasilan Fuad Amin menjegal Imam Bukhori Kholil dalam pilkada
2012, otomatis peluang Makmun Ibnu Fuad untuk meneruskan estafet
kepemimpinan ayahnya begitu mulus. Karena Fuad Amin pun turut menyetting
calon bayangan lainnya yang ikut dalam kontestasi pilkada 2012. Di pilkada 2012
akhirnya hanya ada dua pasangan kandidat yang disahkan untuk turut dalam
kompetisi. Pertama pasangan Makmun Ibnu Fuad dan Mundzir Rofii, dan kedua,
pasangan kandidat Nizar Zahro dan Zulkifli. Pasangan Makmun Ibnu Fuad –
Mundzir Rofii diusung oleh partai PAN, PKB, GOLKAR, PDI-P, Gerindra, dan
299 Wawancara Pribadi dengan BHR.
300
Wawancara Pribadi dengan BHR.
301
Wawancara Pribadi dengan FHR.
221
PPP. Sedang Nizar Zahro dan Zulkifli diusung oleh PBR dan Partai
Republikan.302
Adapun pasangan Nizah Zahro - Zulkifli merupakan calon bayangan yang
sengaja Fuad pasang untuk memberikan gambaran kepada masyarakat umum
bahwa seolah-olah demokrasi di Bangkalan tetap berjalan normal. Padahal
sejarahnya, Nizar Zahro dan Zulkifli sendiri merupakan orang yang secara track
record adalah orang dekatnya Fuad Amin. Peristiwa ini merupakan pengulangan
sejarah seperti yang telah dilakukan pada pilkada sebelumnya, dimana pada tahun
2008 Fuad Amin menempatkan calon bayangan di kompetisi pilkada untuk
periode keduanya sebagai bupati.
“Nizar Zahro dan Kikil, zukifli kan. Nah nizar zahro dan Zulkifli ini lagi lagi
ini adalah track recordnya dari bawah ini adalah orang dekatnya Pak
Fuad.”303
Dengan demikian, sangat wajar bila akhirnya pasangan Makmun Ibnu Fuad dan
Mundzir Rofii memenangkan pilkada 2012. Setelah melalui berbagai upaya
penjegalan terhadap calon lainnya, Imam Bukhori Kholil, dan adanya calon
boneka yang dipasangkan, maka perolehan suara sebesar 93 persen lebih pemilih
merupakan sesuatu yang tak mengherankan.304
Karena pada realitanya demokrasi
dan pemilu yang diadakan di Bangkalan tidak lebih dari sebuah kebohongan besar.
Sendi-sendi demokrasi mulai dari partai politik, panitia penyelenggara sampai
birokasi pemerintahan sepenuhnya berada di bawah kendali Fuad. Kekuatan Fuad
Amin yang begitu besarnya saat pemilihan putranya di pilkada 2012, tidak terlepas
302 Wawancara Pribadi dengan MMD dan NNH.
303
Wawancara Pribadi dengan FHR.
304
detiknews, “Ricuh Pilkada di Madura, Hasil Suara Diadili di MK,” berita ini diakses pada
tanggal 25 Februari 2016 dari http://news.detik.com/berita/2133135/ricuh-pilkada-di-madura-
hasil-suara-diadili-di-mk
222
dari basis kekuatan politik yang dia bangun lewat jejaringnya baik di institusi
formal maupun informal selama dia menjabat sebagai Bupati dua periode
sebelumnya.
Makmun Ibnu Fuad sendiri sebelum diproyeksikan sebagai kandidat calon
bupati Bangkalan, dia merupakan anggota dewan DPRD Bangkalan dari partai
PAN. Masuknya dia dalam bursa pemilihan calon bupati bangkalan dan
berpasangan dengan Mundzir Rofii memang memberikan pertanyaan besar
sekaligus mengamini indikasi yang mengarah bahwa Fuad Amin memang betul-
betul hendak meneruskan dominasi politiknya di Bangkalan. Yang aneh dari
pencalonan tersebut adalah soal porsi kursi partai di dewan. Biasanya besaran
perolehan kursi di dewan berpengaruh terhadap penempatan posisi seseorang
dalam melakukan bargain politik. Untuk kasus Makmun Ibnu Fuad, itu tidak
berlaku. PAN yang memiliki 3 kursi di dewan mampu mendudukan calonnya
sebagai Bupati dibandingakan PKB yang faktanya mendapatkan 15 kursi dan
hanya mampu mengusung Mundzir Rofii sebagai wakil.305
Sekalipun Mundzir Rofii masih memiliki ikatan keluarga dengan Makmun
Ibnu Fuad, karena wakil dari putra Fuad Amin sekarang adalah adik dari wakil
bupati sebelumnya, Syafii Rofii, tapi secara hitung-hitungan usia dan pengalaman,
Mundzir Rofii bisa dibilang lebih segala-galanya dibandingkan Makmun Ibnu
Fuad. Karena posisinya Mundzir Rofii adalah paman Makmun Ibnu Fuad
sendiri.306
Lagi-lagi memang hal ini tidak terhindar karena pengaruh Fuad yang
305 Wawancara Pribadi dengan AAR.
306
Wawancara Pribadi dengan AAR.
223
bukan hanya besar dan kuat di lingkungan masyarakat Bangkalan, melainkan juga
karena posisinya yang juga kuat di antara Bani Kholil yang lainnya.
Bahwa Makmun Ibnu Fuad hanyalah bayang-bayang Fuad di tataran
pemerintah terlihat jelas dari ramainya para tamu yang silih berdatangan ke rumah
dinas mantan Bupati ketimbang ke rumah dinas bupatinya sendiri. Dari gambaran
yang paling sederhana ini saja kita bisa melihat bahwa kontrol pemerintahan
memang tetap ada pada Fuad Amin ketimbang Bupati definitif. Dan pada masa
yang sama, selepas Fuad menanggalkan jabatannya sebagai bupati, Fuad Amin
tidak lalu benar-benar vakum sebagai politisi, di masa tersebut Fuad masih berada
di lingkaran politik Bangkalan sebagai ketua DPRD tingkat Kabupaten.
“Saya kira gini, pak fuad menaruh momon sebagai bupati itu sebetulnya dia
kan hanya ingin pinjam tangan, karena dia sendiri sudah tidak bisa maju lagi
menjadi bupati, sementara dari sisi fungsional dia tetap ingin sebagai bupati,
maka yang ditaruh anaknya. Walaupun semua kebijakan full di bawah
kontrol Fuad Amin. Bahkan dulu kan pernah, mungkin pernah ditayangkan
itu antara rumah dinas bupati dengan rumah dinas mantan bupati ini justeru
lebih ramai rumah dinas mantan bupati ini yang jadi dikerubungi oleh kepala
dinas – kepala dinas.”307
J. Penjegalan Imam Bukhori Kholil
Sebagaimana telah dijelaskan, pada akhirnya dalam keluarga Bani Kholil
sendiri ada dua kubu yang saling berseberangan. Kubu pertama diwakili oleh
Fuad Amin, kubu yang lain diwakili oleh Imam Bukhori Kholil. Pengkubuan ini
sebetulnya tidak muncul atas inisiatif pihak manapun. Perkara ini kemudian
akhirnya timbul karena dipicu oleh sikap dari Fuad Amin yang mengingkari
janjinya pada komitmen awal yang telah dia buat dengan Imam Bukhori
berdasarkan musyawarah keluarga mengenai persoalan adanya rolling
307 Wawancara Pribadi dengan AAR.
224
kepemimpinan atas posisi bupati. Apalagi hal ini kemudian diperparah dengan
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Fuad Amin saat memimpin
Bangkalan.
Memang di awal-awal pencalonannya sebagai bupati, Fuad sudah terlanjur
berjanji hanya akan menjadi bupati selama satu periode. Lalu memberikan
kesempatan tersebut kepada Imam Bukhori untuk periode selanjutnya. Tapi
faktanya perjanjian ini dikhianati oleh Fuad sendiri. Karena nyatanya di periode
kedua, Fuad Amin kembali mencalonkan dirinya untuk kontestasi pilkada
berikutnya di Bangkalan pada tahun 2008. Terus beranjak di tahun yang ketiga,
saat Fuad Amin tidak bisa mencalonkan diri lagi, sebab telah melampaui ambang
batas konstitusi – dimana jabatan eksekutif di berbagai tingkatan hanya dapat
dilakukan selama dua kali periode masa jabatan, lagi-lagi Fuad tidak
mengindahkan keberadan Imam Bukhori yang tetap kembali mencalonkan
dirinya. Karena di periode ketiga ini, Fuad Amin lebih memilih untuk menaikkan
anaknya, Makmun Ibnu Fuad (Ra Momon), dari pada mendukung Imam Bukhori
Kholil sebagai kandidat bagi penggantinya.
Dari segi usia, Fuad Amin memang lebih sepuh dibandingkan Imam
Bukhori. Dari aspek umur ini saja, dapat dijelaskan, bahwa secara sosiologis,
dalam tradisi keluarga kiai yang masih memegang norma kesopanan kepada orang
yang lebih tua, otomatis Fuad Amin memiliki dominasi yang kental di kalangan
keluarga. Tetapi hal ini tidak lantas menafikan kekuatan Imam Bukhori Kholil di
sisi lain. Sebab, Fuad Amin sendiri akan merasa ciut tatkala menghadapi
persaingannya dengan Imam Bukhori. Imam Bukhori merupakan Kiai yang juga
225
memiliki kekuatan sosio-politik kultural yang mengakar di masyarakat. Sebab,
selain karena kedudukannya yang sebagai kiai, dia pun pernah duduk di posisi
dewan syuro PKB dan PCNU Bangkalan.
Satu kondisi yang selalu menjadi ciri khas Fuad saat akan menghadapi
persaingan politik adalah, dia akan melemahkan lawan politiknya terlebih dulu
sebelum lawannya benar-benar maju dalam kontestasi. Artinya, segala sendi
kekuatan politik lawan, akan Fuad cari peluang yang dapat menggagalkan
pencalonannya sebelum ketuk palu pengesahan atas kandidat yang hendak maju
diresmikan oleh KPU. Jadi pertarungan yang sebenarnya Fuad mainkan adalah
bukan sewaktu masa kampanye sampai hari H pemilihan, tetapi dilakukan jauh-
jauh hari sebelum KPU membuka pendaftaran.
Pengalaman serupa pernah juga Fuad lakukan pada Mohammad Fatah.
Sebelum Mohammad Fatah disahkan sebagai kandidat calon Bupati pada pilkada
2003, kekuatan politik serta mental bertarungnya telah dieliminisir Fuad terlebih
dulu, yaitu dengan menggembosi anggota dewan untuk menolak LPJ Fatah
selama menjabat Bupati Bangkalan. Penjegalan-penjegalan yang hampir serupa
pun juga Fuad lakukan pada sosok Imam Bukhori Kholil. Sepertinya Fuad
menyadari betul bahwa Imam Bukhori merupakan satu-satunya lawan yang
mampu merebut kekuasaannya. Dibandingkan calon-calon lainnya yang pernah
bertarung dengan Fuad Amin di setiap momen pilkada, Fuad tidak menampakkan
perlawanan yang lebih sengit ketimbang perlawanannya kepada Imam Bukhori
Kholil. Pada bagian ini, penulis akan paparkan tiga periodisasi dimana Fuad
melakukan upaya penjegalan-penjegalannya kepada sosok Imam Bukhori Kholil.
226
J.1). Periode 2003
Pasca reformasi meletus, PKB merupakan partai dengan perolehan suara
paling signifikan di Bangkalan. Mayoritas suara PKB di dewan hampir menguasai
setengah dari jumlah kursi dewan yang ada di DPRD Kabupaten Bangkalan. Dari
45 kursi dewan yang ada, PKB menguasasi 24 kursi. Bahkan, dengan dominasi
kursi dewan tersebut, bukan tidak mungkin bagi PKB untuk mengusung calon
sendiri serta memenangkan kontestasi pilkada awal di Bangkalan pasca reformasi.
Dengan banyaknya keluarga bani kholil yang turut berada di tubuh PKB
waktu itu, tentu menambah kekuatan partai ini semakin besar di masyarakat.
Awalnya, dalam musyawarah yang dihelat oleh keluarga bani kholil, sosok yang
pantas untuk dicalonkan sebagai bupati tertuju pada diri Kiai Imam Bukhori
Kholil. Ia merupakan kandidat ideal yang diproyeksikan oleh keluarga untuk
menjadi pemimpin di Bangkalan. Karena posisinya yang juga menjabat sebagai
ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama di Bangkalan. Sedangkan Fuad Amin
posisinya sudah terlanjur duduk sebagai anggota DPR RI.308
“.....Nah, dari keluarga sendiri itu awalnya menginginkan saya duduk di
posisi itu. Sebagai ketua NU saat itu, saya diproyeksi untuk jadi Bupati.
Sementara Pak Fuad Amin inikan sudah posisinya di DPR RI waktu itu, dari
PKB. Namun, Pak Fuad ini mempunyai keinginan bahwa dia mau jadi
Bupati, saya jadi DPR dulu, (di apa istilahnya), roling gitu loh, roling. Dan
dimusyawarahkan oleh keluarga saat itu, ok, yasudah, saya bilang: monggo
jenengan bupati, saya DPR RI. Beliau (FA) bilang waktu itu: baru nanti
setelah kamu pengalaman di DPR, kamu boleh di Bupati, gitu. Itu sudah
kesepakatan keluarga, ok, monggo. Akhirnya 2003; parlemen dengan PKB
yang 24 dari 45 kursi, itukan sangat dominan, akhirnya beliau terpilih
menjadi bupati.”309
308 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
309
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
227
Cerita yang serupa juga diceritakan oleh AAR, yang turut langsung
menyaksikan detik-detik terakhir sampai akhirnya Fuad Amin berhasil dicalonkan
sebagai salah satu Bupati. Menjelang pemilihan kepala daerah kabupaten
Bangkalan tahun 2003, PKB mengadakan kongres untuk menjaring kandidat-
kandidat yang akan dicalonkan sebagai Bupati Bangkalan. Ketiga kandidat
tersebut kesemuanya merupakan anggota keluarga Bani Kholil: Fuad Amin, Imam
Bukhori Kholil, dan Syafii Rofii. Dalam penyampaian visi misi, Fuad Amin tidak
membicarakan soal konsep pemerintahannya ke depan. Dia lebih banyak
membicarakan permasalahan pribadinya dengan mengungkit-ungkit posisinya
sebagai anggota dewan yang dia rasakan sebagai salah satu upaya dari pihak
keluarga dan PKB untuk menjauhkan dirinya dari masyarakat. Sehingga dia tidak
memiliki kekuatan yang mengakar sebagaimana calon lainnya.310
“.......Karena waktu itu dia bilangnya gini: saya selama ini ada di posisi DPR
RI, merasa itu sebagai sebuah penghormatan yang diberikan oleh keluarga
saya dan keluarga besar PKB yang ada di Bangkalan kepada saya. Tapi
setelah tak pikir-pikir, ini kok kayanya bukan seperti itu, ini adalah cara
secara tidak langsung yang ingin memisahkan saya dari masyarakat. Biar
saya ini tidak punya akarlah di bawah seperti itu. Sehingga saya dilempar
menjadi anggota DPR RI. Nah jadi sekarang kalau memang saudara-saudara
dan kiai-kiai ini tidak (apa, katakan) memang menghargai dan (apa) memang
menghargai saya, tolonglah beri kesempatan saya untuk mencalonkan diri
sebagai bupati. Karena dalam sambutannya kurang lebih seperti itu,
kemudian saya di forum itu nyanggah: mohon maaf saya mau bicara,
kayanya apa yang disampaikan kiai fuad ini kok hanya unek-unek ya, kata
saya, tidak menggambarkan visi dan misi sebagai seseorang yang akan
mencalonkan diri sebagai bupati. Kalau seperti inikan hanya unek-unek kata
saya, lebih kepada persoalan pribadi.”311
Alasan tersebut Fuad Amin utarakan untuk mengharap belas kasih dan
simpati dari pihak keluarga dan anggota PKB agar memberikan restu kepada
dirinya untuk dapat maju sebagai calon bupati di Bangkalan saat itu. Peristiwa ini
310 Wawancara Pribadi dengan AAR.
311
Wawancara Pribadi dengan AAR.
228
terus berlanjut sampai kemudian AAR mendatangi kediaman Fuad. Kedatangan
ini merupakan tindak lanjut atas undangan yang Fuad berikan kepada AAR.
Karena sebelumnya, saat ia berada bersama-sama Fuad Amin di pertemuan para
kiai, AAR sempat mempertanyakan visi misi Fuad yang baginya hanya
menggambarkan keluh kesah personal – ketimbang menggambarkan kapabilitas
Fuad sebagai calon pemimpin Bangkalan. Karena sebab inilah kemudian Fuad
memanggilnya.312
Kesempatan bertemu Fuad ini, dimanfaatkan oleh AAR sebagai ruang
dialog sekaligus diskusi dengan menceritakan keadaan PKB Bangkalan yang
sesungguhnya. AAR menceritakan bahwa aplikasi politik PKB Bangkalan jauh
dari semangat pesantren dan DPC PKB Bangkalan yang berada di bawah
kepemimpinan Syafii Rofii kurang aspiratif. Karena saat itu ketua DPC masih
dipegang oleh Syafii Rofii yang juga berasal dari keluarga bani kholil. Bahkan
terkadang suara-suara PAC PKB di tingkat bawah tidak mendapatkan respon yang
berarti dari DPC. Alasan ini pula yang akhirnya membuat AAR untuk sekalian
pamit untuk mengundurkan diri dari PKB, menimbang posisi Fuad yang juga
duduk sebagai dewan pengurus pusat PKB saat itu. Hal ini akhirnya ditolak oleh
Fuad, bahkan dia menawarkan diri untuk bersama-sama membenahi PKB di
Bangkalan.313
Dari diskusi tersebut, munculah ide untuk membentuk sebuah Forum bagi
PAC-PAC PKB yang ada se-kabupaten Bangkalan. Pembentukan forum
kerjasama PAC ini tidak terlalu sulit. Dengan kewenangan Fuad Amin yang besar
312 Wawancara Pribadi dengan AAR.
313
Wawancara Pribadi dengan AAR.
229
selaku pengurus di DPP, PAC-PAC PKB Bangkalan akhirnya dikumpulkan.
Pengumpulan PAC-PAC ini dibuat seolah-olah Fuad Amin sedang turun ke
daerah dan ingin mengetahui kondisi seluk beluk partai yang ada di bawah. Dan
peristiwa ini terjadi menjelang momen-momen penjaringan calon bupati yang
diadakan partai PKB pada bulan-bulan awal tahun 2002.314
Adapun undangan yang ditujukan kepada PAC, sifatnya tidak terbatas
hanya di sekertaris dan ketua saja. Siapapun yang terdaftar dalam kepengurusan
PAC berhak untuk hadir ke forum tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya,
banyak dari anggota-anggota PAC yang mempertanyakan maksud dari kegiatan
ini kepada AAR. Mereka takut bila nantinya suara mereka yang tadinya ditujukan
kepada Imam Bukhori lantas kemudian akan dibelokan ke Fuad Amin. Pertanyaan
ini dijawab oleh AAR dengan mengatakan bahwa baiknya kita memikirkan
bagaimana penyelamatan partai terlebih dulu, dengan suara yang dominan, sudah
saatnya kita mengusung calon sendiri, urusan calonnya siapa, yang terpenting kita
telah lebih dulu satu dan solid.315
Setelah Forum PAC diresmikan, AAR menjadi koordinator di dalamnya.
Awalnya pembentukan forum ini memang dimaksudkan agar suara PAC memiliki
kekuatan yang setara atau paling tidak mampu untuk mempengaruhi keputusan
DPC. Mengingat suara Imam Bukhori di antara para PAC Bangkalan hampir
mencapai 60 persen, dan suara Syafi Rofii di kisaran 20-30 persen, dan sisanya
baru ditujukan ke Fuad. Dari hitungan matematis ini akhirnya Fuad mulai
mendekati Imam Bukhori Kholil dan merajuk kepadanya agar mau untuk
314 Wawancara Pribadi dengan AAR.
315
Wawancara Pribadi dengan AAR.
230
mengalah terlebih dulu lewat sebuah perjanjian tertulis. Imam Bukhori akhirnya
menyetujui kemauan Fuad itu tapi dengan kompensasi dia yang akan maju di
periode berikutnya. Fuad menyadari, dengan suara PKB yang begitu dominan di
parlemen, sangat akan mudah untuk melenggang maju sebagai bupati.
“......Nah, dari perkembangan berikutnya, inikan sebetulnya suara dari PAC-
PAC inikan ke kiai imam ini luar biasa besar. Nah, salah satu strategi pak
fuad waktu itu untuk memotong kiai imam itu, kiai imam itu disodori
pernyataan. Jadi pak fuad ini datang ke Ra Imam: Mam, aku minta kesediaan
kamu untuk ngalah. Nanti posisi aku di DPR RI kamu yang ganti. Sekarang
aku dulu yang maju, kamu gak usah majulah, seperti itu. Akhirnya Pak
Imam, (dengan kompensasi dia tu hanya ingin maju jadi bupati sekali satu
periode, untuk selanjutnya nanti Ra imam yang akan dikondisikan untuk bisa
jadi bupati di selanjutnya). Nah itu Ra Imamkan tanda tangan waktu itu
dengan pernyataan seperti itu. Nah pernyataan seperti ini yang kemudian
salah satunya digunakan untuk menggembosi dukungan PAC kepada kiai
Imam, seperti itu.”316
Tawaran-tawaran yang diajukan oleh Fuad saat membujuk Imam sebetulnya
tidak terhindar dari gelagat akan munculnya sebuah dinasti yang didominasi oleh
keluarga besar bani kholil. Sebagaimana hal ini tercermin dari ungkapan Fuad saat
mengatakan soal formasi kepemimpinan politik Bangkalan kepada Imam Bukhori:
“...........Waktu itukan memang yang diprioritaskan oleh DPP itu kiai imam,
cuma waktu itu diginikan sama Pak Fuad itu ke Ra Imamnya ini: Mam,
kamu tuhkan masih muda. Yang harusnya jadi DPR ini yah urutlah aku dulu,
gitu. Nanti aku yang di DPR RI, nanti Iman-Syafii-nya yang jadi ketua
DPRD, nanti kalau ada pencalonan bupati, kamu yang jadi bupati, kan enak
Mam. Aku di DPR pusat, kamu yang jadi bupati. Tapi setelah ada
pencalonan bupati, dirayu lagi Pak Imamnya itu: Mam, kamu ganti aku dulu
jadi DPR, aku sekarang yang maju jadi bupati, nanti aku satu periode,
setelah itu baru kamu lanjutkan jadi bupati, seperti itu.”317
Pada periode ini sebetulnya belum terlalu pantas bila kegagalan Imam
Bukhori di pencalonan dimasukan dalam kategori penjegalan. Sebab kegagalan
Imam Bukhori pada periode ini merupakan buntut dari perjanjian yang telah ia
316 Wawancara Pribadi dengan AAR.
317
Wawancara Pribadi dengan AAR.
231
buat sendiri dengan Fuad Amin untuk mempersilahkannya maju dalam kontestasi
di pilkada 2003 dengan kompensasi Fuad akan memberikan kesempatan bagi
dirinya untuk menjabat sebagai bupati di periode selanjutnya. Maka dengan
adanya legitimasi dari Imam Bukhori terhadap pencalonan Fuad sendiri di periode
awal ini, lebih tepat apabila dikategorikan sebagai sebuah adanya konsensus
bersama.
J.2). Periode 2008
Di periode kedua, Fuad Amin dipaksa menelan ludahnya sendiri untuk
memberikan kesempatan kepada Imam Bukhori untuk dapat mencalonkan diri
sebagai bupati masa jabatan 2008-2013. Faktanya pada periode ini Fuad Amin
tetap bersikukuh untuk menetapkan dirinya sebagai kandidat bupati untuk masa
bakti yang kedua. Tapi dengan kondisi modal dukungan yang berbeda dari
sebelumnya. Karena di masa kedua, jejaring politik dan basis sosial Fuad Amin
sudah semakin mengakar ketimbang masa-masa awalnya di pencalonan.
Adapun bagi Imam Bukhori, dengan diabaikannya hasil kesepakan awal
antara dirinya dengan Fuad, serta ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan Fuad
yang tidak sesuai dengan konsep pemikirannya dalam membangun Bangkalan,
karena selama kepemimpinan Fuad, dia lebih terfokus dengan pembangunan
masyarakat kota, akhirnya Imam Bukhori dengan tegas menyatakan dirinya untuk
konsisten di pencalonan. Sekalipun hal ini nantinya akan membawa dirinya untuk
berhadapan langsung dengan Fuad Amin dalam kontestasi.
“........Nah, saat 2003 saya melihat bahwa komitmen-komitmen terhadap apa
yang beliau janjikan, untuk baik itu kerakyatan maupun dalam hal kebijakan-
kebijakan pemerintah daerah, itu saya melihatnya kok tidak pas dengan apa
yang menjadi visi saya. Dan apalagi masyarakat Bangkalan yang nota bene
adalah masyarakat pedesaan yang masih lemah. Beliau ini lebih berfokus
232
pada di kota saja. Melupakan masyarakat yang di desa. Jadi kebijakan
pembangunannya itu lebih fokus pada perkotaan. Nah ini tentu berbeda
dengan saya yang tiap hari bergaulnya dengan masyarakat-masyarakat di
desa. Yang saya tahu bahwa mereka kebutuhan dasarnya aja masih belum
terpenuhi. Dan harusnya pemerintah daerah ini dengan kekuasaannya yang
mutlak, saya bilang mutlak kenapa ya, karena eksekutifnya PKB,
legislatifnya dikuasai PKB, kan ini mutlak harusnya. Sebesar-besar manfaat
harus untuk bagaimana masyarakat pedesaan itu bisa sejahtera. Paling tidak
ada upaya ke arah sana. Dan saya tidak melihat kebijakan itu. Sehingga saya
tegaskan, ya sudah kalau begitu untuk periode berikutnya saya harus masuk
di kontestasi.”318
Dengan melihat Imam Bukhori Kholil tetap maju di kontestasi, Fuad Amin
menyadari bahwa hal tersebut akan menjadi salah satu batu sandungannya untuk
sukses di periode itu. Makanya upaya-upaya penjegalan yang dilakukan oleh Fuad
terhadap Imam dipersiapkan semenjak jauh-jauh hari sebelum pemilihan
dilangsungkan. Karena ego yang melekat pada diri Fuad dan menjadi ciri khasnya
adalah bahwa dia tidak mau ada orang lain yang sejajar dengannya apalagi sampai
menyaingi dirinya. Dia akan menghabisi lawan-lawannya yang memiliki potensi
untuk mendapatkan hati dari masyarakat.319
Menyadari Imam sebagai pesaingnya,
Fuad akhirnya mengambil alih langsung kepengurusan ketua DPC PKB
Bangkalan. Dengan dirinya menakhodai PKB, maka ia memiliki kuasa untuk
memecat dan mengeluarkan Imam Bukhori dari keangotaan partai PKB. Karena
Imam telah dianggap akan mampu menghambat dirinya dalam pencalonan.
Hal itu pun tidak berhenti di pemecatan Imam dari PKB saja. Perkara
tersebut terus berlanjut sampai pergeseran kursi ketua PCNU dari Imam Bukhori
ke Ra Fahri, orang dekat Fuad dan masih keluarga besar bani kholil. Alasannya
tentu agar elemen NU bisa dikendalikan langsung oleh Fuad sendiri.320
Kesigapan
318 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
319
Wawancara Pribadi dengan AAR.
320
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
233
ini Fuad ambil guna mengantisipasi pilkada 2008 yang lebih terbuka. Sebab dalam
pemilihan di pilkada 2008, mekanisme yang diterapkan adalah melalui
mekanisme pemilihan secara langsung, berbeda dari pemilihan sebelumnya yang
berada di dewan.
Tentu dengan Imam Bukhori berada di PCNU, Fuad sadar, bahwa Imam
akan memiliki basis modal dan dukungan kuat di masyarakat.321
“......Nah, nampaknya si pak fuad ini melihat ancaman terbesar untuk lawan
politik itu memang dilihatnya saya yang dianggap ancaman terbesar. Karena
dengan polanya beliau yang sudah memiliki kekuasaan mutlak ini, semua
elemen-elemen masyarakat, beliau kuasai sedikit demi sedikit: ormas, seperti
NU yang asalnya posisi ketua itu saya, digeser pada yang lain. Yang bisa
beliau atur gitu, loh.”322
Upaya penjegalan Fuad terhadap Imam Bukhori di tubuh NU ini dimulai sedari
kongres yang dilakukan saat PCNU mengadakan pemilihan. Di bursa pemilihan
tersebut, Fuad taruh orang yang menjadi kroninya, Ra Fahri. Padahal saat itu Ra
Fahri sendiri merupakan ketua DPC FPI Bangkalan. Sebelum pemilihan dimulai,
Fuad telah lakukan pengkondisian terlebih dulu terhadap seluruh MWC-MWC
NU. Pengkondisian ini tidak lain untuk mengarahkan suara dari yang sebelumnya
kepada Imam Bukhori agar beralih ke Ra Fahri. Sampai di waktu pemilihan yang
telah ditentukan, Fuad pun datang dan menunggui jalannya pemilihan tersebut.
“Ya enggak tahulah caranya gimana kemudian Ra Fahri ini didorong dan
dimasukan ke dalam bursa PCNU dan suskses. Ya gimana enggak sukses
wong waktu pilihan itu di meja tempat pilihan, tempat pemungutan suara tu
ditunggu sendiri sama pak fuad gitu. Jadi siapa yang milih bukan dia (kan
dia sudah panggili semua ya MWC-MWC NU itu) dipanggili semua,
pokoknya harus milih ini, ya mungkin bisa aja dengan transportasinya segala
macam saya enggak tahu, cuma pengkondisian seperti itu tu ada.”323
321 Wawancara Pribadi dengan AAR.
322
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
323
Wawancara Pribadi dengan AAR.
234
Padahal saat berlangsungnya acara pemilihan, Imam Bukhori sendiri berada
di tempat kongres. Menurut AAR, mungkin Imam kepalang menaruh kepercayaan
pada anggota-anggota MWC NU yang pernah dinaunginya itu, bahwa sekalipun
Fuad mengintervensi mereka, ini tidak akan banyak mempengaruhi hasil. Sebab
mereka pasti akan ingat jasa-jasa Imam yang sudah banyak berbuat untuk NU di
Bangkalan. Tapi dugaan ini ternyata meleset. Nyatanya suara MWC berpaling dan
malah sejalan dengan instruksi Fuad. Dukungan yang diberikan MWC kepada Ra
Fahri ini tidak terlepas dari posisi Fuad yang selain menjabat sebagai bupati -
dengan nantinya akan ada anggaran-anggaran pemerintah untuk lembaga
pendidikan, juga posisi Fuad – yang memiliki status sebagai kiai. Sehingga rasa
berdosa mereka (MWC-MWC) untuk tidak memilih Imam Bukhori akan sedikit
terkurangi.324
“....... mungkin Ra Imam di satu sisi dia itu masih percaya, bahwa ranting-
ranting itu masih akan ingat kepada beliau bagaimana beliau membesarkan
NU artinya walaupun ditekan seperti apapun, aku masih bisa dapat suara
terbanyaklah, mungkin perasaannya seperti itu. Tapi kan karena pak fuad
sebagai bupati, yang otomatis semua pengurus-pengurus MWC ini di satu
sisi perlu program pemerintah dalam hal pengelolaan lembaga
pendidikannya ataupun lain-lain, sehingga mendukung orang yang memang
dititipkan oleh bupati, apalagi bupatinya dianggap kiailah seperti itu, itukan
lalu menjadi tidak merasa bersalah dengan Kiai Imam, kan seperti itu.
Apalagi kemudian ditunggoi (ditunggui) di tempat pemilihan itu.”325
Dengan berbagai pengkondisian yang telah Fuad lakukan di awal, yakni
dengan melucuti kekuatan politik Imam dari PKB dan PCNU, penjegalan
selanjutnya Fuad lakukan dengan sabotase di tubuh partai pendukung Imam
Bukhori Kholil. Karena kekuatan dan dominasi Fuad di periode pertama dia
manfaatkan sebesar-besarnya untuk mengelola jaringan kiai, klebun, dan tokoh-
324 Wawancara Pribadi dengan AAR.
325
Wawancara Pribadi dengan AAR.
235
tokoh politik setempat. Maka tak heran bila di masa-masa selanjutnya Fuad
dengan mudah untuk melakukan kontrol terhadap aspek civil society di
Bangkalan.
Setelah bertubu-tubi dilemahkan kekuatannya oleh Fuad, awalnya Imam
Bukhori merasa sangsi untuk terus maju sebagai bupati di periode 2008-2011.
Kesangsian ini lahir mengingat seluruh partai di Bangkalan telah dikuasai
sepenuhnya oleh Fuad Amin. Fuad Amin sudah sejak jauh-jauh hari telah
mengondisikan partai politik yang ada untuk masuk ke dalam bagian
pencalonannya, dan mengondisikan sebagian partai yang lainnya untuk
memunculkan calon bayangan yang ada di bawah kendalinya.326
“.......Makanya setiap partai dari awal itu sudah dikondisikan sedemikian
rupa. Dari jauh-jauh hari. Bagaimana sudah harus mendukung dia dan yang
lain dipersiapkan untuk mendukung bayangan, mendukung dayang....”327
Partai yang mendukung Imam Bukhori Kholil, hanyalah partai-partai kecil
yang persentase suaranya tidak mampu menembus batas minimal pencalonan.
Akhirnya, AAR yang di periode awal berpihak ke Fuad Amin, beralih pilihan
kepada Imam Bukhori untuk periode selanjutnya di 2008. AAR sendiri sudah
keluar dari barisan Fuad Amin semenjak tahun 2005. Dia hitung-hitung persentase
suara partai-partai yang ada di Bangkalan, lalu hasilnya dia sodorkan kepada
Imam Bukhori dengan kesimpulan bahwa dirinya (Imam Bukhori) tetap bisa
mencalonkan diri apabila tiga partai di Bangkalan, PBB, PAN dan PKS mau
diajak bergabung. Karena batas minimal pencalonan saat itu adalah 61 ribu suara
atau sebesar 15 persen dari suara partai. Setelah hubungan komunikasi dengan
326 Wawancara Pribadi dengan AAR.
327
Wawancara Pribadi dengan AAR.
236
partai-partai tersebut terjalin, mereka akhirnya sepakat untuk tergabung dalam
koalisi Imam Bukhori. Saat itu ketua DPC PBB dipimpin oleh Haji Husni, PAN
diketuai oleh Bay Arifin, dan PKS diketuai oleh Masduki. Adapun batas minimal
yang diperoleh dari koalisi Imam Bukhori dengan ketiga partai tersebut plus
partai-partai kecil lainnya seperti PMUI dan partai pelopor hampir mencapai
sekitar 65 ribuan suara. Dari jumlah suara ini, maka secara persyaratan KPU,
Imam Bukhori layak untuk mencalonkan diri.328
Penjegalan Imam Bukhori di periode ini terjadi tatkala PAN di bawah
naungan Bay Arifin disusupi oleh Fuad Amin. Ternyata Fuad Amin telah
menyiapkan Haji Nurdin, kerabat Fuad, aktivis Basra, untuk maju dalam
pencalonannya bersama PAN. Dengan posisinya sebagai calon wakil bupati yang
mendampingi Bay Arifin. Maka ketika berkas dukungan partai diajukan kepada
KPU, otomatis perkara ini menjadi semakin rancu. Karena ada dualisme
dukungan partai yang saling berlainan. Di satu sisi PAN ada di pihak Imam
Bukhori, di sisi lain PAN ada di pihak Haji Nurdin. Maka dengan alasan dualisme
ini, KPU di bawah kepemimpinan Jazuli Nur akhirnya menggugurkan pencalonan
kedua pasangan kandidat tersebut.329
“..........Nah begitu sepakat dukung kiai imam ini sudah mulai ini. sudah
mulai ketahuan bahwa kiai imam ini mau nyalon (mau, ada peluang punya
kendala untuk nyalon). Nah akhirnya dipecah sama pak fuad itu, dia minta
pak nurdin untuk maju dengan PAN yang awalnya ada di pihak Pak Imam
ini dirayu untuk bisa jadi calon wakilnya pak nurdin, gitu. Nah akhirnya
ketika daftar ke KPU, kita itukan ada di dualisme dukungan, itu yang
kemudian di permainkan. Dualisme dukungan dipermainkan, akhirnya gugur
Ra Imam.”330
328 Wawancara Pribadi dengan AAR.
329
Wawancara Pribadi dengan AAR.
330
Wawancara Pribadi dengan AAR.
237
Di samping itu, ada pula beberapa partai-partai lainnya yang juga menarik
dukungannya dari Imam Bukhori. Bahkan konon tim sukses Imam Bukhori yang
saat itu berpasangan dengan Saleh Farhat itu diberi imbalan oleh Fuad untuk
pergi umroh dengan imbalan sebesar 50 juta - yang membuatnya tidak hadir
dalam acara klarifikasi untuk memperjelas dukungan-dukungan partai politik
kepada pasangan calon Imam Bukhori dan Saleh Farhat.331
“..........Jadi pada waktu itu kurang lebihnya begini, KPU meminta kepada
timnya kiai haji imam bukhori kholil dengan saleh farhat pada waktu itu
meminta bahwa partai ini pendukung-nya ini ini ini ini ini ini untuk
memperjelas kembali karena ada begini begini, nah ketika itu diklarifikasi
lagi dia sudah tidak ada. Konon katanya dia pergi umroh dengan imbalan 50
juta gitu kan, sesumbarnya begitu, kita enggak tahu pasti. Jadi konon
dugaannya begitu sangat jelas. Lalu setelah itu saya pada waktu itu ada di
garda depan untuk memimpin demo-demo dengan Ki Imam juga tidak bisa,
karena apa yang terjadi, semua birokrasi pada waktu itu penggandeng KPU
pada waktu itu lebih condong lebih dekat ke pak fuad.”332
Usaha Fuad Amin dalam mengintervensi keputusan partai politik di
Bangkalan nyatanya bukan hanya dilakukan dalam pengertian intervensi yang
sempit – terbatas hanya di elit elit partai Bangkalan saja. Bahkan seringkali dia
juga melakukan berbagai upayanya untuk melobi DPW bahkan DPP partai yang
bersangkutan. Bahkan KPU sendiri pun tidak lepas dari dominasi dan permainan
Fuad Amin.333
J.3). Periode 2012
Penjegalan ataupun sabotase selanjutnya terjadi pada tahun 2012. Pada
periode ini Fuad tidak lagi maju sebagai kandidat calon Bupati Bangkalan. Hal
tersebut dikarenakan dirinya terbentur oleh undang-undang yang membatasi
331 Wawancara Pribadi dengan FHR.
332
Wawancara Pribadi dengan FHR.
333
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
238
seseorang hanya cukup menjabat sebagai Bupati selama dua periode. Peraturan ini
tertuang dalam undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah
pasal 58 huruf O.334
Sebab terkendala oleh peraturan itulah akhirnya Fuad mau
tidak mau mesti menyerahkan jabatan bupati kepada suksesor berikutnya.
Akhirnya pilihan siapa saja calon penggantinya tersebut dia limpahkan kepada
anak kandungnya sendiri, Makmun Ibnu Fuad (Ra Momon). Tentu alasan
pengangkatan anaknya sebagai calon kandidat yang hendak menggantikan kursi
kepemimpinannya itu dilandasi agar kontrol politik dan kekuasaan di Bangkalan
tetap masih berada di bawah kendalinya.
Dalam studi William Reno dikenal dengan istilah shadow state atau
pemerintah bayangan.335
Dimana kekuasaan politik mutlak sepenuhnya dipegang
oleh kekuatan informal di luar negara. Dalam hal ini, pemegang kontrol dan
segala kebijakan di Bangkalan tetap dimainkan oleh Fuad Amin. Sedang Bupati
definitif, Makmun Ibnu Fuad hanya sebagai wayang yang dipersekusi
kewenangannya oleh ayahnya sendiri. Selain faktor pengendalian kontrol agar
lebih mudah, pemilihan Makmun Ibnu Fuad pun tidak terlepas dari sikap Fuad
yang tidak mudah percaya kepada orang lain. Distrust personality Fuad sangat
tinggi.
Tetapi pencalonan Momon saat itu bukanlah perkara mudah. Selain
kapabilitas Momon yang belum teruji, dan banyaknya berita-berita miring yang
menimpa keluarga Fuad Amin sendiri, maka hal ini tentu membuat pekerjaan
334 Viva.co.id, “Larangan Jadi Bupati Tiga Periode Digugat,” berita ini diakses pada 25
Februari 2016 dari http://nasional.news.viva.co.id/news/read/89586-larangan-jadi-bupati-tiga-
periode-digugat
335
Syarif Hidayat, “Demokrasi Elitis? Relasi Kekuasaan Pasca Pilkada,” Masyarakat,
Kebudayaan dan Politik, Volume 23 No. 3 (Juli–September 2010).
239
Fuad bertambah semakin berat. Apalagi, Imam Bukhori pun telah menyatakan
kesigapannya untuk kembali maju pada pilkada 2012. Pada pilkada tersebut,
Imam Bukhori Kholil berpasangan dengan Zaenal Alim.336
Dengan demikian, hal
ini mesti diantisipasi oleh Fuad Amin dengan berbagai cara. Dia sendiri yang
menjadi tim sukses langsung bagi pencalonan anaknya.
Pada masa-masa awal penjegalan Imam Bukhori di periode 2012, cara yang
pertama kali dilakukan oleh Fuad Amin yaitu dengan melakukan diplomasi. Fuad
melakukan negosiasi dengan pihak Imam Bukhori lewat utusannya yang dia
perintahkan untuk mendatangi dan menyampaikan maksud kedatangan mereka
kepada Imam Bukhori kholil, bahwa dia (Fuad) menawarkan ajuan proposal
pencalonan dengan opsi bagaimana bila Imam Bukhori disandingkan dengan
Makmun Ibnu Fuad tapi dalam posisi sebagai calon wakil bupati. Usulan yang
ditawarkan pihak Fuad ini akhirnya ditolak oleh Imam Bukhori. Bahkan Imam
Bukhori pun kemudian mengajukan tawaran sebaliknya, yakni untuk merubah
posisi, dia sebagai kandidat calon Bupati dan Makmun Ibnu Fuad sebagai wakil
calon bupati. Proses negosiasi ini kembali buntu. Pasalnya Fuad pun tidak mau
bila anaknya hanya dijadikan sebagai calon wakil bupati.
Proses kompromi ini terus berlanjut sampai tiba di penawaran nominal, kali
ini Fuad mengiming-imingi Imam Bukhori dengan uang sebesar 12 Miliar rupiah,
lagi-lagi usulan ini pun ditolak oleh Imam Bukhori, lantas tawaran semakin
membengkak menjadi 25 Miliar, dan lagi-lagi tawaran ini pun akhirnya ditolak
336 Tempo.co, “Hasil Pilkada Bangkalan Digugat ke Mahkamah Konstitusi,” berita ini diakses
pada 25 Februari 2016 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2012/12/17/058448766/hasil-
pilkada-bangkalan-digugat-ke-mahkamah-konstitusi
240
kembali oleh Imam Bukhori. Bahkan sampai Imam Bukhori sendiri memarahi
utusan Fuad tersebut.337
“.............Nah, Fuad ini sudah demikian luar biasanya menghadang saya ini,
mungkin karena dianggap tidak bisa awal-awalnya. Jadi ada beberapa utusan
dari beliau itu datang ke saya untuk mengajak kompromi. Saya bilang
komprominya sederhana gitu, sudah Momon yang masih adik saya ini jadi
wakil saya, saya bupatinya, nanti berikutnya, sudah Momon, bilang gitu. Itu
tawaran dari saya begitu. Tapi Fuadnya bilang: gak bisa, Momon harus
bupati, Imam wakil (saya suruh jadi wakil), atau kalau gak, gak usah maju,
ini ada uang 25 miliar gitu. Oh asalnya 12 miliar, asalnya 12, tawarannya 12
miliar. Saya bilang, waduh, saya bukan urusan uang maju ini jadi Bupati ini,
saya ingin bagaimana Bangkalan ke depan ini lebih baik, khususnya di
pedesaan, saya bilang gitu. Bilang ke Man Fuad (saya bilang paman waktu
itu), udah saya tetap maju kalau begini. Terus besoknya datang lagi utusan,
naik jadi 25 miliar. 25 miliar, tawarannya. Saya bilang, malah saya marahi
utusannya. Masih gak ngerti juga itu Man Fuad, saya bukan urusan uang,
kalau urusan uang apa itu anunya. Ini bukan itu urusannya. Sudah kalau
memang mau kompromi ayok, Momon jadi wakil saya, berikutnya nanti
Momon. Yah akhirnya tetap, gak bisa begitu, deadlock, yaudah kita
maju.”338
Dengan segala macam bentuk negosiasi dan kompromi yang gagal, akhirnya
Fuad mencari cara lain. Karena pada prosesnya Imam Bukhori tetap mengajukan
dirinya sebagai calon Bupati Bangkalan untuk masa jabatan 2013-2018. Dengan
mengantongi dukungan dari partai PKNU yang memiliki 5 kursi di dewan, Imam
Bukhori tinggal mencari dukungan dari partai lainnya untuk melengkapi syarat
dan ketentuan pencalonan. Pilihan kemudian dijatuhkan kepada Partai PPN (Partai
Pembangunan Nasional) saat itu PPN memiliki dua kursi di dewan. Salah satu elit
pusat di partai PPN ini adalah Oesman Sapta. Partai ini merupakan evolusi dari
partai PPD (Partai persatuan Daerah) yang kemudian akhirnya berganti nama
337 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
338
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
241
menjadi PPN. Jatuhnya pilihan Imam Bukhori atas partai PPN ini tidak bisa
dilepaskan dari kedekatan mertua Imam Bukhori kepada Oesman Sapta.339
“.......Kemudian ada partai PPN, punyanya Oesman Sapta Odang, yang
awalnya PPD itu, berubah nama menjadi PPN, kebetulan Bang Oesman ini,
Bang Oso ini dengan mertua saya yang di Pontianak kan akrab, jadi saya
akrab dengan Bang Oso. Bang Oso bilang udah ini PKNU dengn PPN yang
dua kursi cukup, udah. Ya monggo Bang, bismillah gitu. Ya ok, kita
deklarasi.”340
Melihat kondisi kepartaian yang ada di Bangkalan seluruhnya telah dikuasai
oleh kroni-kroni Fuad, termasuk PPN ini, yang salah satu orangnya adalah Haji
Fatonah,341
akhirnya dengan wewenang DPP, susunan kepengurusan DPC PPN di
Bangkalan ini dirombak. Alasannya satu, agar kebijakan DPP yang telah
menjatuhkan pilihannya kepada pihak Imam Bukhori dapat direalisasikan dan
tidak tembus intervensi Fuad. Dengan adanya perombakan ini, awal mulanya
KPU Bangkalan turut mempermasalahkan. KPU mempertanyakan keabsahan PPN
yang baru terbentuk dan berubah nama. Sehingga kemudian KPU Bangkalan pun
meminta masukan serta rekomendasi ke KPU Pusat terkait legalitas PPN sebagai
partai pengusung Imam Bukhori. Jawaban yang diberikan oleh KPU Pusat adalah
sah karena PPD secara nasional telah berubah nama menjadi PPN. Sejalan dengan
keputusan KPU Pusat, maka hal senada pun diambil oleh KPU Bangkalan dengan
menyatakan bahwa pencalonan Imam Bukhori adalah sah.342
Dengan adanya polemik soal peralihan PPD ke PPN ini, dan keabsahan
perombakan struktur DPC PPN Bangkalan yang baru terbentuk, akhirnya oleh
Fuad dijadikan peluang agar kepengurusan PPD yang lama untuk mengajukan
339 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
340
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
341
Wawancara Pribadi dengan FHR.
342
Wawancara Pribadi dengan AAR.
242
gugatan mereka ke PTUN. Dalam sidang gugatan yang dilakukan di PTUN
tersebut, dua kali Imam Bukhori diberikan hak untuk intervensi tapi Imam
memilih untuk tidak datang.343
Bagi Imam, hal ini aneh, karena partai yang legal
standingnya sudah tidak ada dalam depkumham, bagaimana bisa gugatannya
diterima oleh pihak PTUN. Terlebih Oesman Sapta sendiri telah memberikan
keterangan bahwa yang sah adalah kepengurusan PPN bukan PPD.344
Tapi nyatanya PTUN akhirnya memenangkan gugatan pihak penuntut,
bahkan memutuskan bahwa pencalonan pasangan Imam Bukhori Kholil-Zainal
Alim tidak sah. Anehnya lagi, KPU Bangkalan tidak melakukan banding atas
hasil tersebut, malah keputusan PTUN ini dijadikan landasan pendiskualifikasian
pencalonan Imam Bukhori Kholil sebagai kandidat calon bupati oleh KPU
Bangkalan masa periode 2013-2018. KPU Kabupaten Bangkalan yang saat itu
diketuai oleh Fauzan Djakfar beralasan bahwa ketiadaan banding dilakukan
berdasarkan asas kepastian hukum. Karena apabila banding dilakukan, waktu
akan kepastian hukumnya semakin kabur. Fauzan mengatakan: "kapan
keputusannya, terus kalau tidak menerima lagi, kasasi lagi, bahkan bisa
mengajukan peninjauan kembali. Dari sisi ini kami menganggap tidak adanya
kepastian hukum,"345
Untuk menyikapi hasil PTUN tersebut, akhirnya Imam Bukhori bersama tim
mengajukan gugatan ke MK yang waktu itu sidang atas gugatan tersebut dipimpin
oleh Akil Mochtar, tapi lagi-lagi MK menolak gugatan Imam Bukhori dengan
343 Wawancara Pribadi dengan AAR.
344
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
345
ANTARAJATIM.COM, “KPU Bangkalan Tolak Banding Demi Kepastian Hukum,” berita
diakses pada 12 Maret 2016 dari http://jatim.antaranews.com/berita/100429/kpu-bangkalan-tolak-
banding-demi-kepastian-hukum?utm_source=fly&utm_medium=related&utm_campaign=news
243
alasan karena Imam Bukhori Kholil bukan calon lagi.346
Bahkan upaya pelaporan
ini juga sebetulnya sudah Imam Bukhori lakukan ke beberapa instansi lainnya. Ke
DKPP dan ke KY (yang terkait hakim PTUN yang memutus perkara ini), tapi
hasilnya sama nihilnya.
“Sudah. Semua jalur upaya hukum kita tempuh. Dan ini semuanya mentok.
Luar biasa. Bahkan ke komisi yudisial, PTUN, hakimnya yang memutus
perkara kita itu, kita sudah masuk. KY, DKPP, MK, semuanya mentok.
Subhanallah. Demikian luar biasanya itu pengaruhnya si Fuad Amin ini
sebagai trah dari bani kholil ini. Pak Mahfudz MD kan orang Bangkalan,
KY itu Imam Anshori Soleh itukan orang PKB, terus DKPP-nya Jimlie
Ash-shidkie waktu iu, yang juga ya masih berbau-bau NU-lah paling tidak.
Semua takut itu pada Fuad Amin, semua takut.”347
K. Oligark Lokal
Uang menjadi ikon primer dalam proses demokrasi di berbagai daerah di
Indonesia pasca diimplementasikannya kebijakan desentralisasi. Desentralisasi
bukan hanya menjadi simbol pelimpahan wewenang yang dulu dikooptasi pusat
ke berbagai daerah. Melainkan sebuah konsep yang juga turut serta menyumbang
polarisasi politik uang menjadi semakin lebih luas. Segala suksesi kepemimpinan
yang kini marak diselenggarakan di berbagai wilayah di Indonesia era reformasi,
tidak urung menyecapkan jejak-jejak koruptif masa lalu. Korupsi menjadi gejala
umum yang kini kembali menggurita dan uang menjadi modal penting yang
mewarnai segala macam atribut demokrasi. Berbagai praktik KKN pun tak luput
mewarnai jalannya demokrasi di Bangkalan.
Sebagai orang yang dulu bergelut di bidang bisnis umroh dan
pemberangkatan TKW ke luar negeri, bukan hal yang sulit bagi Fuad untuk
346 Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
347
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
244
membiayai ongkos politiknya secara mandiri. Termasuk ongkos politik melalui
praktik politik uang yang dia mainkan untuk membayar para anggota dewan saat
pemilihannya pertamakali di periode pertama. Walaupun dalam realitanya, dalam
hal ini Fuad Amin masih banyak terbantu oleh kalangan pengusaha, khususnya
para pengusaha besi tua yang masih memiliki ikatan emosi dengan keluarga Kiai
Amin, ayahnya Fuad.
Ada beberapa nama pengusaha yang berada di belakang pencalonan Fuad
Amin untuk pertama kali. Seperti misalnya, Haji Rawi, Haji Hayyi, dan lain
sebagainya. Kebanyakan di antara mereka adalah para pengusaha besi tua Madura
yang tinggal di Jakarta. Mereka adalah orang-orang yang dulu memiliki hubungan
dekat dengan ayah Fuad. Ki Amin merupakan orang yang dituakan oleh mereka,
yang mendidik dan memberikan nasihat moril sebagai orang Madura yang sedang
hidup dirantau. Jadi sewaktu Fuad Amin memiliki hajat untuk mencalonkan diri
sebagai Bupati dan memohon bantuan finansial dari mereka, otomatis mereka
akan ikut membantu.348
Dari beberapa narasumber, terdapat dua perspektif yang saling berlainan
pandangan tentang kekayaan yang dimiliki oleh Fuad Amin. Ada yang menolak
Fuad sebagai orang terkaya, ada juga yang menganggapnya sebagai orang terkaya
di Bangkalan. Untuk memfasilitasi kedua pendapat tersebut, akhirnya penulis
lebih memilih untuk berdiri di tengah-tengah di antara kedua pendapat tersebut:
bahwa Fuad Amin adalah orang kaya. Sehingga untuk memasukkannya ke dalam
kategori sebagai oligark lokal bukan sebuah perkara yang rumit, karena nyatanya
348
Wawancara Pribadi dengan AAR.
245
Fuad Amin sudah memiliki basis material sebelum dia terjun ke dunia politik.
Perdebatan soal kekayaan yang dimiliki oleh Fuad Amin terlihat dari komentar
yang diberikan oleh mantan asisten pribadi Fuad:
“Oh enggaklah. Kalau hanya hasil itu gak mungkin dia mau dibilang kaya.
Tapi kalau dia memang kaya, iya. Tapi kalau dengan hasil dia usaha mau
dibilang orang terkaya di Bangkalan atau se-Madura, itu hanya ngada-ngada.
Kalau dia kaya, iya. Dia punya lempengan itu sebelum jadi bupati iya.
Karena saya tahu sendiri. Tapi kalau dibilang dia terkaya ini karena
perusahaan dia, saya gak punya alasan untuk menerima itu.”349
Kepemilikan PT. Amondaraya sebelum Fuad Amin terjun ke dunia politik
merupakan sebuah fakta yang mengindikasikan bahwa Fuad memang memiliki
basis material sebagai calon oligark lokal. Meskipun dalam kenyataannya
perusahan tersebut ditinggalkannya setelah dia sukses merengkuh kursi Bupati,
tapi penumpukan hasil kekayaan tetap dia jalankan melalui praktik-praktik
oligarki. Bukti yang mengarah pada adanya praktik oligarki adalah banyaknya
penyelewengan yang dilakukan oleh Fuad dengan menggunakan BUMD pemda
Bangkalan sebagai ajang akumulasi harta kekayaannya.
Kendati banyaknya harta kekayaan yang Fuad Amin miliki dapat
memasukkannya ke dalam status orang-orang kaya. Tetapi bila disejajarkan
dengan konglomerat tingkat nasional hal tersebut masih sangatlah jauh.350
Sebagaimana yang diutarakan oleh AHS: “kalau sampai segitu seperti kayanya
Tomi dan segala macamnya, gak lah.”351
Tapi konsep Winters soal oligarki tidak
terbatas pada jumlah nominal yang dimiliki. Menurut Winters, seorang pengusaha
lokal tidak bisa disejajarkan dengan pengusaha di tingkat nasional atau bahkan
349 Wawancara Pribadi dengan MH.
350
Wawancara Pribadi dengan AHS.
351
Wawancara Pribadi dengan AHS.
246
global.352
Dengan demikian, dengan basis kekayaan material yang cukup
mumpuni dalam kapasitasnya sebagai calon bupati lokal, maka konsep tentang
oligark lokal sudah pantas bila disandangkan kepada Fuad Amin. Bahkan alasan
finansial adalah alasan yang juga Fuad lontarkan untuk mendapatkan restu dari
pihak keluarga agar bisa maju di gelanggang pilkada untuk pertama kali-nya. Hal
ini dia ungkapkan kepada salah satu keluarganya, AAR. Dalam perbincangannya
dengan AAR, Fuad mengatakan, bahwa dibandingkan dengan keluarga bani kholil
lainnya, dia adalah orang yang paling kaya. Sehingga - dengan mental yang
menggambarkan bahwa demokrasi tidak luput dari keberadaan uang – dialah yang
paling pantas untuk didukung oleh pihak keluarga dibandingkan anggota keluarga
lainnya.
“....... Akhirnya beliau bilang gini ke saya: Mad, aku ini sekarang posisinya
sudah menjadi DPR RI, secara kedudukan, saya sudah punya jabatan, secara
finansial walaupun tidak kaya-kaya banget, tapi sudah bisa dikategorikan
termasuk yang terkaya di antara keluarga. Jadi saya ingin meraih jabatan
bupati ini bukan karena mengejar jabatan dan bukan karena mencari
uang....”353
Praktik oligarki Fuad lainnya tercermin saat Fuad Amin pindah dari PKB ke
Gerindra. Kepindahannya pun sebetulnya hanya sekadar alasan pragmatis semata
dari pada alasan ideologis. Alasan ini sebetulnya tidak dapat terhindari dari
ketokohan Prabowo dengan pundi harta kekayaan yang besar. Dengan menguasai
Gerindra, maka kucuran dana dari tingkat atas akan sayang bila tidak segera dia
352 Dalam sebuah diskusi dengan Jeffrey Winters di UI pada 10 Desember 2015. Setelah
menghadiri acara seminar Benedict Anderson “Anarkisme Dan Nasionalisme”
353
Wawancara Pribadi dengan AAR.
247
gapai.354
Atau, dengan kemenangan Prabowo sebagai Presiden misalnya, maka
hal ini dapat membantu mengamankan posisi Fuad di Bangkalan.355
“......Nah, ketika 2012 ini karena memang dianggapnya Gerindra ini luar
biasakan, Prabowonya ini luar biasa secara materi istilahnya, ya si Fuad ini
malah membuang PKB-nya, Gerindra dipegang. Dengan harapan Prabowo
bisa jadi presdiden. Jadi itu, tujuannya hanya untuk mengamankan posisinya
itu aja. Sangat pragmatis, dan itu kasat mata sekali.”356
“Ya karena dia melihat uangnya Prabowo banyak. Dia gak ada istilah mikir
partai itu. Yang mikir itu dia mikir pribadi. Jadi apa yang saya dapat dari
langkah saya, saya akan pergi.”357
Di samping itu, untuk memelihara jaringannya, Fuad tidak urung untuk
memberikan insentif material berupa proyek-proyek pembangunan dan lain
sebagainya. Pokoknya Fuad akan membagi-bagikan proyek kepada para orang
dekatnya supaya loyalitas mereka tetap terjaga. Anehnya, meskipun proyek-
proyek tersebut Fuad Amin berikan kepada para klien, kroni, dan kerabatnya, tapi
Fuad akan tetap memberlakukan pajak setoran atas proyek yang didapat. Jadi
sekalipun adanya insentif timbal balik yang sama-sama saling mereka berikan;
Fuad untuk kepentingan politiknya, dan kroninya mendapatkan imbalan materil,
tidak lantas menjadikan kroni Fuad menikmati jatah tersebut secara full, karena
mereka pun masih tetap harus membayar setoran dan potongan-potongan lainnya
yang diwajibkan oleh Fuad Amin kepada diri mereka.358
“Contoh misalnya ketika saya sebagai seorang dekat bupati, kalau di
kabupaten lain, mendapatkan proyek, mungkin seandainya harus ngasih
uang terimakasih kan ndak besar, kalau di sini, bisa berkali-kali. Sebelum
dapat dia sudah harus ngasih, setelah dapat proyek ngasih lagi, setelah
selesai masih dimintai lagi. Nah tapikan gini, untuk orang lain yang tidak
354 Wawancara Pribadi dengan AAR.
355
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
356
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
357
Wawancara Pribadi dengan MH.
358
Wawancara Pribadi dengan AAR.
248
terbangun koneksinya itu begitu sulitnya untuk mendapatkan itu, tapi untuk
yang lingkaran ini mudah untuk mendapatkan itu.”359
Selain itu, keserakahan Fuad dalam mengekploitasi segala sumber daya ekonomi
yang ada di Bangkalan tergambarkan lewat beragamnya setoran yang mesti ia
dapat. Salah satunya misalnya lewat pengerjaan proyek-proyek pembangunan dan
fee-fee dari hasi penjualan tanah di sekitaran Suramadu. Karena kebengisannya
itu, tak ayal jika FHR, aktivis di Bangkalan menyebutnya sebagai perampok darah
dingin.360
Bahkan berdasarkan JPU KPK, Pulung Rinandoro, harta kekayaan yang
dimiliki oleh Fuad Amin tidak sesuai dengan gaji dan penghasilan resmi yang
diterimanya selaku pejabat daerah, baik dalam kapasitasnya sebagai bupati mapun
ketua DPRD.361
Harta kekayaan Fuad tersebar dan disimpan dalam berbagai
bentuk, misalnya saja “harta kekayaannya di penyedia jasa keuangan yang
mencapai Rp 139,73 miliar dan 326,091 dollar AS, yang berupa pembayaran
asuransi sebesar Rp 4,23 miliar, pembelian kendaraan bermotor Rp 7,177 miliar,
dan pembelian tanah serta bangunan sebesar Rp 94,9 miliar.”362
L. Stagnasi Demokratisasi Parpol di Bangkalan
Impak yang timbul dari adanya kekuasaan tunggal Fuad Amin di Bangkalan
adalah hampir sama rupa dengan gambaran demokrasi di masa rezim orde baru.
Dengan tindakan-tindakan koersif yang dilakukan, serta rasa takut yang ditebar
359 Wawancara Pribadi dengan AAR.
360
Wawancara Pribadi dengan FHR.
361
Kompas.com, “Harta Kekayaan Fuad Amin Dianggap Tak Sebanding dengan
Penghasilannya,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/07/15511691/Harta.Kekayaan.Fuad.Amin.Dianggap.Tak
.Sebanding.dengan.Penghasilannya
362
Kompas.com, “Harta Kekayaan Fuad Amin Dianggap Tak Sebanding dengan
Penghasilannya,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/07/15511691/Harta.Kekayaan.Fuad.Amin.Dianggap.Tak
.Sebanding.dengan.Penghasilannya
249
oleh Fuad Amin, demokrasi seolah-olah hanya menjadi simbolisme prosedural
belaka. Ketiadaannya jaminan kebebasan berpendapat, dan ancaman kekerasan
yang selalu membayangi masyarakat, mengisyarakatkan paradoks rezim yang
nyatanya lahir dari rahim demokrasi. Orde baru dan Fuad tentu berbeda, tapi
segala macam bentuk praktek yang terjadi di dalamnya, seperti tindakan
kekerasan, pembungkaman terhadap media, dan otoritas politik yang dimonopoli,
cukup mengilustrasikan bahwa Fuad Amin adalah bagian dari Soeharto-soeharto
baru di era yang juga baru. Pada masa kepemimpinannya di Bangkalan,
demokrasi bukan malah diaplikasikan sebagai arena kompetisi yang terbuka – di
mana setiap orang memiliki hak yang sama untuk memilih atau dipilih, dan
menjamin ruang publik yang sehat, tapi nyatanya demokrasi menjadi ajang
pembajakan elit yang diam-diam bersembunyi di balik jubah demokrasi itu
sendiri. Tak terbantahkan, salah satu pilar demokrasi, partai politik, juga turut
menjadi korban pembajakan serta desposifitas Fuad Amin beserta kroninya
Ada dua kondisi yang erat dengan eksistensi dan tipologi partai politik di
Bangkalan. pertama, partai politik mengarah semakin pragmatis, kedua partai
politik menjadi ladang dominasi Fuad Amin. Bagaimana tidak, partai-partai
politik yang ada di Bangkalan faktanya lamat-lamat disusupi dan akhirnya hanya
berpatron kepada Fuad Amin. Fuad Amin bak seorang raja dengan kekuasaan
yang tersebar di setiap partai politik. Tidak adanya kelompok oposisi dominan
yang mengontrol jalannya pemerintahan selama kepemimpinan Fuad Amin
selama dua periode berturut-turut, adalah bukti, fakta bahwa fungsi-fungsi partai
tidak berjalan.
250
Penempatan orang-orang Fuad Amin di partai tertentu, dan sering
berpindahnya Fuad Amin dari satu partai ke partai lain tentu merupakan bajakisasi
atas nilai-nilai demokrasi yang semestinya ada pada tubuh partai politik di
Bangkalan. Apalagi dominasi keluarga bani kholil, keluarga Fuad, banyak
mendiami dan bahkan tak jarang, mereka adalah elit, para petinggi dari tubuh
partai politik yang bermacam-macam. Kontan hal ini telah menjadikan fungsi
partai sebagaimana yang disebut oleh Roy C. Macridis, seperti fungsi
“representasi, konversi dan agregasi, integrasi (partisipasi, sosialisasi, mobilisasi),
persuasi, represi, rekrutmen, pemilihan kebijaksanaan dan kontrol terhadap
pemerintah”363
tidak berjalan.
Dalam realitanya, perpindahan Fuad Amin ke beberapa partai politik telah
terjadi selama dua kali, atau dia pernah duduk di tiga partai politik yang berbeda-
beda. Adanya perpindahan-perpindahan itu juga tidak pernah menghentikannya
untuk selalu mendapatkan posisi tertinggi atau tempat paling istimewa di tubuh
partai yang bersangkutan, yakni dalam kapasitasnya sebagai ketua DPC. Partai-
partai tersebut di antaranya PPP, PKB, dan yang terakhir adalah partai Gerindra.
Perpindahan pertamanya dari PPP ke PKB masih dalam kerangka alasan yang
logis, karena embel-embel ideologi masih menjadi alasan yang melatarbelakangi
kepindahan tersebut. Dipilihnya PKB tidak terlepas dari spirit partai yang
merepresentasikan ideologi NU. Dan Fuad Amin merupakan orang yang juga
dibesarkan dalam keluarga yang secara kultur memegang tradisi ke-NU-an yang
amat kental.
363 Roy C. Maridis, “Sejarah, Fungsi, Dan Tipologi Partai Politik: Suatu Pengantar,” dalam
Ichlasul Amal, ed., Teori-teori Mutakhir Partai Politik (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2012), h. 29.
251
Perpindahan Fuad Amin dari PPP ke PKB sebetulnya tidak terhindar dari
kebijakan NU secara nasional. Karena partai NU yang dulu pernah eksis, sempat
menjadi korban kebijakan fusi partai yang diinisiasi oleh Soeharto. Partai NU dan
partai-partai politik lainnya yang secara garis kepartaian berasaskan ideologi
keislaman, digabung ke dalam PPP. Sedang partai-partai nasionalis digabung ke
dalam partai PDI. Setelah Soeharto tumbang, dan Habibie membuka kebijakan
bagi pendirian partai yang lebih terbuka, NU akhirnya menjadi embrio bagi
kelahiran partai-partai politik yang baru, salah satu yang paling dominan di
antaranya adalah PKB. Karena alasan inilah akhirnya Fuad Amin pun turut dalam
perpindahan ke PKB tersebut. Sebab sewaktu Fuad duduk sebagai anggota partai
PPP, posisi Fuad di dalam hanya sekadar menggantikan posisi ayahnya, Kiai
Imron, yang lebih dulu meninggal dunia.364
Sementara perpindahan Fuad Amin dari PKB ke Gerindra tidak lebih
dilatarbelakangi dua alasan pragmatisme semata. Pertama Fuad sudah merasa
yakin bahwa tanpa PKB, tanpa embel-embel partai yang membawa pengaruh
nama kiai sekalipun, Fuad sudah merasa mampu menguasai Bangkalan dan
mendulang simpati masyarakat. Apalagi dalam internal tubuh PKB Bangkalan
sendiri terdapat kader partai yang berasal dari satu keluarga bersama Fuad,
sehingga mudah bagi dirinya untuk mentransmisikan segala kepentingannya di
partai tersebut. Faktor yang kedua, adalah karena ketokohan Prabowo yang
terkenal sebagai oligark tingkat nasional, dengan kepemilikan dana yang
melimpah.
364 Wawancara Pribadi dengan AAR.
252
“............. kan prabowo itu dari awal menjanjikan bahwa partai gerindra ini
partai dengan pendanaan yang sedemikian besar sehingga siapapun yang
mencalonkan akan dapat suplay dana sekian, sekian, sekian, nah dia dengar
uang yang sekian banyak itu loh ngunyah wah ini kalau enggak dijemput
kalau bukan aku ketuanya nanti malah lari ke yang lain. Wah ini kesempatan
ini, mungkin.”365
Fenomena pragmatisme partai politik di Bangkalan faktanya memang sudah
terjadi di masa-masa awal pasca reformasi. Kondisi ini tergambar jelas saat partai
PDI mengusung dua calon di pilkada tahun 2003. Saat itu PDI mendudukan dua
kadernya di kandidat pasangan yang saling berlawanan. Satu kadernya
disandingkan sebagai wakil Fuad Amin, Yakni Mohammad Dong, dan satu kader
lainnya dipasangkan dengan Ir. Sulaiman, yakni Sunarto.366
Selain pragmatisme
politik seperti yang dipaparkan sebelumnya, kondisi stagnasi demokratisasi parpol
di Bangkalan juga disebabkan karena dominasi Fuad yang terlanjur merangsek ke
setiap penjuru tubuh partai. Yang akhirnya menyebabkan kaderisasi tidak berjalan
dengan sehat. Sebab Fuad menjadi satu-satunya simbol kekuatan yang bebas
menentukan siapa saja orang-orang yang layak untuk dijadikan ketua partai.
Gambaran bahwa kaderisasi partai politik di Bangkalan menjadi stagnan terlihat
jelas dengan keterlibatan Fuad Amin dalam setiap momen pemilihan ketua DPC
Partai Politik. Fleksibilitas dan dinamika partai menjadi semakin restriktif.
Hal ini dapat dilihat dari keaktifan Fuad untuk mengawal jalannya kongres
di tiap-tiap partai. Kedatangan Fuad Amin ke beberapa acara kongres DPC partai
politik biasanya dilakukan apabila peluang bagi kemenangan klien politiknya di
tubuh partai yang dimaksud sangat resisten untuk jatuh ke tangan orang-orang
yang tidak bisa dia kendalikan. Karenanya, dia terjun langsung untuk ikut
365 Wawancara Pribadi dengan AAR.
366
Wawancara Pribadi dengan AAR.
253
mengontrol kelangsungan dinamika partai politik tersebut. Satu kasus ini pernah
terjadi saat DPC Hanura mengadakan kongres pemilihan bagi ketua DPC yang
baru. Idealnya seorang Bupati yang diundang untuk menghadiri kongres hanya
hadir untuk membuka jalannya acara, tapi Fuad Amin malah sebaliknya, dia justru
hadir di waktu berlangsungnya acara pemilihan.367
Dalam hal tersebut amat jelas,
bahwa Fuad Amin memiliki kepentingan untuk memenangkan dan menaruh
orang-orangnya agar berhasil di pencalonan ketua DPC.
“Heeuh, Yang kira... Pokoknya misalnya ada rivalitas waktu pemilihan itu
antara si A dengan si B, sementara yang diplooting oleh pak Fuad itu si A.
Dan si B ini punya posisi kekuatan yang bisa mengalahkan, nah ini biasanya
ya langsung didatangi untuk membunuh peluang si B ini.”368
Maka tak heran bila kebanyakan ketua DPC partai politik yang ada di
Bangkalan diketuai oleh orang-orang yang secara politik berafiliasi kepada Fuad
Amin. Sampai kemudian ada istilah yang menyebut bahwa seluruh partai politik
yang ada di Bangkalan adalah partai PPP, Partai Pendukung Pendopo. Yang
mengkonotasikan bahwa seluruh partai politik di Bangkalan sudah berada di
bawah genggamannya Fuad.369
Sistem patronase kepartaian di Bangkalan
faktanya memang ditujukan kepada sosok Fuad seorang. Dengan menguasai
seluruh partai politik yang ada di Bangkalan, hal ini pada akhirnya menjadikan
Fuad Amin sebagai broker politik berpengaruh di tingkat lokal. Pengaruh ini
setidaknya menstimulus para elit bahwa kesuksesan bagi kepentingan politik
apapun di Bangkalan, harus melewati dan mendapat restu dari Fuad Amin, selaku
pemegang otoritas tunggal di dalamnya. Maka tak heran bila kemudian banyak
367 Wawancara Pribadi dengan AAR.
368
Wawancara Pribadi dengan AAR.
369
Wawancara Pribadi dengan AAR.
254
dari para elit nasional atau provinsi yang memilih untuk merekatkan hubungannya
dengan Fuad Amin.
Dengan menjalin hubungan bersama Fuad Amin, mereka dapat menjaga
kepentingan politiknya di Bangkalan. Fakta bahwa Fuad Amin seringkali terlibat
sebagai broker politik tergambarkan dari keberadaan statusnya sebagai tim sukses
kemenangan bagi pasangan karsa di pilgub jatim dan pasangan presiden-wakil
presiden prabowo-hatta saat pilpres.370
Proses pemenangan yang dilakukan oleh
Fuad pada pilgub jatim dengan dukungan yang dia berikan kepada pasangan calon
Karsa (Soekarwo – Saifullah Yusuf) ataupun saat pilpres pada pasangan calon
Prabowo - Hatta pun faktanya tidak menghilangkan tindak tanduk kecurangan
yang sudah sering dia lakukan sebelumnya. Bahkan pada pilgub jatim yang
dihelat tahun 2008 itu mengharuskan diadakannya pencoblosan ulang di
Bangkalan karena diindikasikan banyak terjadi pelanggaran dan kecurangan.371
Kejadian yang lebih mengejutkan lagi mengenai campur tangan Fuad sebagai
broker politik lokal adalah saat pasangan Jokowi-JK, yang hanya mendapatakan
nol persen suara di 20 TPS yang ada di Bangkalan.372
Penggembosan suara ini
tidak terlepas dari jaringan kepala desa yang Fuad kerahkan untuk memenangkan
pasangan calon Prabowo-Hatta.373
Menurut AAR, yang lebih aneh lagi adalah
370 Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki
Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” (Disertasi Program Studi Islam, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015), h.163.
371
suaramerdeka.com, “Karsa Konsolidasi, Kaji Ubah Tim Sukses,” berita ini diakses dari
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/12/04/42211/Karsa-Konsolidasi-
Kaji-Ubah-Tim-Sukses pada tanggal 26 Februari 2016.
372
Tempo.co, “Nol Suara 20 TPS, Tjahjo Kumolo Turun ke Bangkalan,” berita diakses dari
https://www.tempo.co/read/news/2014/07/16/269593520/nol-suara-20-tps-tjahjo-kumolo-turun-
ke-bangkalan pada tanggal 26 Februari 2016.
373
Tribunnews.com, “Boni Hargens: Kepala Desa Diancam Bikin Suara Jokowi-JK di
Bangkalan Nol,” berita ini diakses dari http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/07/16/boni-
255
keberadaan PDI sebagai partai pengusung pasangan Jokowi-JK yang ada di
Bangkalan, di mana mereka tidak mempersiapkan kegiatan apapun untuk
memenangkan calon yang diusung oleh partainya sendiri. Sehingga memberikan
kesan bahwa mereka ikut terlibat dalam penggelembungan suara pasangan
Prabowo-Hatta yang dilakukan oleh Fuad Amin.374
“Ada sekitar 20 TPS yang seperti itu. Ya jelaslah itu campur tangan. Karena
jangankan di Bangkalan ini (katakan) jokowi, itu diusung oleh PDIP, tapi
PDIP sendiri sama sekali tidak mempersiapkan acara apapun untuk
kemenangan jokowi di sini. Bahkan PDIP ini terkesan membantu
penggelembungan suara prabowo.”375
Nyatanya Fuad Amin adalah orang yang pandai untuk memberikan
pengaruhnya bukan saja kepada elit, tapi juga kepada masyarakat. Kepada elit,
Fuad Amin seolah-olah mengklaim bahwa seluruh masyarakat Bangkalan berada
di bawah dominasinya, sehingga apabila ada tindakan-tindakan Fuad Amin yang
dipermasalahkan oleh elit dan aparat hukum misalnya, hal ini tentu akan
berbahaya, karena akan memancing kemarahan serta emosi masyarakat yang
berada di bawah pengaruhnya. Begitu pun sebaliknya, kepada masyarakat, Fuad
Amin seolah-olah ingin menggambarkan bahwa dirinya adalah orang yang
memiliki jaringan elit yang luas, sehingga kesewenang-wenangan dan
penyimpangan apapun yang dia lakukan tidak akan pernah tersentuh hukum sama
sekali. Maka segala pelaporan tentang penyimpangan-penyimpangan yang dia
lakukan oleh masyarakat hanya akan berakhir sia-sia. Dengan tidak adanya aturan
hukum yang sanggup menghentikan tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh
hargens-kepala-desa-diancam-bikin-suara-jokowi-jk-di-bangkalan-nol pada tanggal 26 Februari
2016.
374
Wawancara Pribadi dengan AAR.
375
Wawancara Pribadi dengan AAR.
256
Fuad Amin, maka akhirnya berkembang mitos di masyarakat bahwa Fuad Amin
adalah orang yang sakti dan tidak sembarangan.376
Mitos-mitos ini kemudian
direproduksi secara massal dan menjadi hidangan mencekam di masyarakat.
Secara institusi, partai politik di Bangkalan kadung tidak berdaya dalam
menghadapi segala cengkeraman Fuad Amin. Partai dan kader di dalamnya
memang sudah berada dalam dominasi Fuad seluruhnya. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh MMD yang mengatakan:
“Enggak ngerti itu. Dia itu langsung bisa nyetir begini begitu, partai ini bisa
disetir sama dia, orangya bisa disetir sama dia.”377
Cengkeraman inipun tidak terhindar dari rata-rata kader partai yang ada di
Bangkalan yang diisi oleh keluarga besar bani kholil dan Fuad Amin. Banyaknya
dari pihak keluarga yang terjun ke dunia politik, menurut Syukur, kira-kira
jumlahnya hampir mencapai 10 orang. Mereka duduk dan tersebar di beberapa
partai. Salah satu diantaranya ada di partai PAN (Makmun Ibnu Fuad), PKB
(Syafi Rofii dan Mundzir Rofii), Gerindra (Fuad Amin sendiri), PPP (Ra Latief),
adapun partai yang masih keluarga besar tapi bertentangan dengan Fuad Amin
adalah Nasdem (Imam Bukhori Kholil). Partai yang tidak memiliki ikatan
keluarga sama sekali dengan Fuad Amin adalah PDI-P.378
Tapi belakangan Partai
PDI pun disusupi oleh Fuad Amin lewat orangnya, yakni Faturahman.
Perjalanan geo politik di Bangkalan yang tidak terlepas dari pengaruh
keluarga bani kholil sudah dimulai pada tahun 2003. Dengan sosok awal yakni
Fuad Amin sendiri. Terus di pilkada kedua tahun 2008, lagi-lagi Fuad Amin, tapi
376 Wawancara Pribadi dengan AAR.
377
Wawancara Pribadi dengan MMD.
378
Wawancara Pribadi dengan SYK.
257
kali ini dengan wakilnya Syafii Rofii yang juga berasal dari keluarga bani kholil.
Terus pada pilkada 2012, muncul Bupati baru Makmun ibnu Fuad, dia adalah
putra Fuad Amin, yang meneruskan jenjang kekuasaan ayahnya. Pada masa yang
sama pula, wakil dari Makmun Ibnu Fuad adalah Mundzir Rofii, yang juga masih
dari keluarga bani kholil. Dia dalah adik wakil bupati sebelumnya, Syafii Rofii.
Jadi, dari ketiga pilkada yang dihelat, kesemuanya dikuasai oleh keluarga
bani Kholil, dengan Fuad Amin sebagai corong utama. Bagaimana kemudian
partai akan melahirkan kader-kader potensial berintegritas tinggi jika seluruh
kekuasaan politik didominasi oleh satu penguasa tunggal dari keluarga yang sama.
Karena keputusan apapun yang menyangkut soal politik, ada di bawah kuasa dan
kendali Fuad Amin sepenuhnya. Tidak ada satu pun keputusan politik yang berada
di luar intervensinya. Sebab demokrasi sudah lebih dulu disusupi oleh praktik-
praktik KKN Fuad beserta para kroninya.
Dengan melihat sejarah kepartaian di Bangkalan selama 3 periode berturut-
turut kepemimpinan pasca desentralisasi, sebetulnya eksistensi partai penentang
dominasi Fuad pernah hadir pada tahun 2009 dan tahun 2014. Tapi itu pun
jumlahnya tidak banyak, karena seluruh partai memang dibuat tidak berkutik oleh
dominasi Fuad Amin. Adanya partai penentang tersebut pun tidak terlepas dari
keberadaan Imam Bukhori Kholil sebagai tokoh kunci di dalamnya, politisi yang
konsisten melawan dominasi Fuad mulai dari pertengahan kepemimpinan Fuad di
periode pertama sampai sekarang. Pada 2009, yang menjadi partai oposisi adalah
PKNU, sedangkan di tahun 2014 adalah Nasdem. Karena pada tahun 2014, Imam
Bukhori Kholil pindah dari PKNU ke Partai Nasdem.
258
“........Ternyata pada tahun 2009 masih ada PKNU yang, yang lepas dari dia
gitu kan. Ada yang lepas yang dari dia. Dan ketika 2014 kemarin, ada yang
lepas dari dia itu suara suaranya partai nasdem gitu kan......”379
Selain itu, maraknya calon boneka dalam setiap pemilu yang dihelat di
Bangkalan, juga mendeskripsikan betapa ideologi partai politik memang sudah
sangat cair. Penuh kebohongan. Dan yang terpenting, loyalitas para kader partai
politik, nyatanya lebih besar kepada Fuad Amin, ketimbang kepada ideologi
partainya sendiri. Munculnya calon boneka ini sudah terendus pada pilkada 2008
dan pilkada 2012. Di pilkada 2008, bahkan ada dua calon boneka yang muncul.
Pertama pasangan Hamid-Hosyan, terus yang kedua, Razak Hadi. Razak Hadi
sendiri adalah calon wakil bupati yang dipasang dengan Muhamad Dong.
Meskipun Muhamad Dong bukan calon boneka, tapi pendamping bagi wakilnya
(Razak Hadi) adalah orang-orangan yang sekaligus keluarganya Fuad Amin dan
bayang-bayang yang sengaja ditaruh oleh Fuad Amin. Bahkan, anehnya,
kekalahan Muhamad Dong pada pilkada 2008, yang waktu itu didukung oleh PDI,
pun tidak serta merta lalu menjadikan PDI menjadi partai oposisi di parlemen.
Fenomena ini juga sedikit menggambarkan bahwa konsistensi kepartaian dalam
mendukung calon dan atau menjadi oposisi pemerintahan itu tidak terjadi. Bahkan
saat pencalonan Madong di pilkada 2008 ada indikasi yang mengarah pada
ketidaksolidan PDI sebagai partai pengusung untuk memenangkan saudara
Madong itu sendiri.380
379 Wawancara Pribadi dengan FHR.
380
Wawancara Pribadi dengan AAR.
259
M. Intimidasi dan Strategi Ketergantungan Kepala Desa
Blater dan kepala desa ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan.
Mayoritas kepala desa yang ada di Bangkalan dijabat oleh orang-orang yang
berasal dari kalangan blater. Penjelasan ini sesuai dengan apa yang telah
diterangkan oleh Migdal, bahwa orang kuat lokal merupakan elemen kunci yang
memberikan kesan bahwa merekalah tumpuan hidup bagi masyarakat setempat.
Orang kuat lokal menjadi semacam ikon bagi keberlangsungan hidup masyarakat
yang sudah bertahun-tahun berada di bawah dominasinya. Karena terlanjur amat
mengakarnya kekuatan informal ini, pada akhirnya, setelah demokrasi pemilihan
secara terbuka dilangsungkan pada sektor desa sekalipun, mau tidak mau,
masyarakat akan lebih memilih mereka ketimbang calon-calon lainnya. Menurut
FHR, usaha untuk membawa calon alternatif dari kalangan intelektual terdidik ke
tingkat desa pun selalu gagal. Mereka selalu kandas di pemilihan, sebab basis
sosial para blater sudah begitu kuat di internal desa.381
Sumber kekuasaan yang Fuad Amin miliki, selaku kapasitasnya sebagai
kepala daerah, pada kenyataannya tidak hanya dijadikan alat untuk menguasai
sumber-sumber ekonomi strategis, tetapi kerapkali juga dia gunakan untuk segala
kepentingan-kepentingannya yang berbasis politik. Sebagai kepala daerah,
otomatis Fuad Amin memiliki wewenang dan otoritas dalam mengelola aparat
birokrasi di sekitarnya, seperti untuk melanggengkan kekuasaan politik misalnya,
baik untuk dirinya maupun kroni-kroni pilihannya, Fuad kerapkali melibatkan
jaringan kepala desa di lingkungannya untuk memonopoli dukungan bahkan
381
Wawancara Pribadi dengan FHR.
260
memainkan formulir C-1 KPU dalam setiap momen-momen politik di Bangkalan.
Dari 281 jumlah kepala desa yang ada, terhitung hanya 80 di antaranya yang
merupakan para kepala desa yang berani vokal kepada Fuad Amin
“.............Iya memang ya, setelah saya selidiki, memang iya itu, 80 cuma itu
aja yang memang yang bisa vokal dan bisa katakanlah bebas, gak mesti
punya beban kaya kita ini.”382
Loyalitas yang datang dari kepala desa ini muncul dengan dua cara
sekaligus. Cara pertama yaitu dengan adanya strategi bagi pelanggengan masa
jabatan kepala desa melalui SK PJS yang dikeluarkan, cara kedua yaitu dengan
mengintimidasi kepala desa itu sendiri.383
Mengenai cara pertama, yaitu dengan
melakukan perpanjangan-perpanjangan masa PJS kepala desa ini bahkan tertuang
dalam perda pemerintah daerah Bangkalan nomor 7 tahun 2006. Adapun inti dari
perda tahun 2006 ini adalah bahwa pengaturan bagi setiap proses pengangkatan,
pemberhentian, dan pemilihan kepala desa bukan berada di bawah naungan dan
tanggung jawab BPD, melainkan di bawah kendali Fuad Amin sepenuhnya.
Bahkan soal penentuan hari pemilihan dan pembukaan pendaftaran bagi
pencalonan kepala desa juga berada di bawah kontrol Fuad Amin.384
Otoritas Fuad Amin yang dominan dalam mengendalikan jalannya perda
tentu berdampak pada netralitasnya selaku seorang Bupati. Karena dengan
kekuasaan sepenuhnya di bawah kendali Fuad, maka bisa saja sewaktu-waktu
Fuad mengadakan pemilihan di desa tertentu apabila kepala desanya bukan bagian
dari klien yang mendukungnya. Atau dengan adanya kekuasaan penuh atas diri
382 Wawancara Pribadi dengan FAU.
383
Abdur Rozaki, “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan Oligarki
Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura,” (Disertasi Program Studi Islam, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015), h. 153-156.
384
Wawancara Pribadi dengan FHR.
261
Fuad Amin tersebut, bisa saja kepala desa yang bersangkutan meminta untuk
selalu diperpanjang masa PJS-nya dengan kompensasi politik yang
menguntungkan bagi Fuad Amin. Sebab dalam peraturan yang mengatur
sistematika PJS, PJS masih belum diambil dari PNS, melainkan masih diambil
dari kepala desa lama.385
“.........Karena pada waktu itu masih belum ada aturan pjs itu pns. Ketika ini
adalah pjs, maka otomatis menjadi bahan gali dekat kira-kira seperti itu
dengan pak fuad atau sistem pemerintahan kabupaten Bangkalan, dan ini
menghadang dan melakukan lobi-lobi dan lain sebagainya dengan kepada
pak fuad. Dengan faktor x dan lain sebagainya, sehingga apa, proses
pelaksanaan pilkades ini akan sampai dua tahun tiga tahun tidak pernah
selesai.”386
Adanya perpanjangan masa PJS melalui SK bupati ini tak lain dimaksudkan
agar ketergantungan mantan kepala desa kepada bupati bersifat tetap dan akan
terus ada. Dalam perda ini, wewenang Fuad Amin sebagai bupati sangat besar.
BPD (Badan Permusyawaratan Desa) tidak memilik hak politik untuk mengatur
seluruh kebijakan terkait pemilihan kepala desa. Kewenangan BPD dan fungsinya
sebagai institusi pemerintah di tingkat bawah nyatanya telah dikooptasi
sedemikian rupa oleh Fuad Amin.
“........ Nah kalau perda yang nomor 7 ini adalah mengatur tentang proses
pengangkatan, pemberhentian dan pemilihan kepala desa. Di dalam perda itu
tentang pemilihan kepala desa ini pada waktu itu itu ya, wong yang
membentuk panitia itu adalah kan BPD, maka menjadi keharusan pula
bahwa yang memberikan SK tentang kepanitiaan pemilihan kepala desa itu
kan seharusnya BPD juga, kalau dalam hal ini bukan, malah yang
memberikan SK ke perda tentang panitia pemilihan kepala desa ini adalah
pak bupati pada waktu itu, dalam hal ini fuad amin gitu kan........”387
Sebagaimana yang diakui oleh Fahrillah, selaku ketua panitia pelaksana pemilihan
kepala desa di desa Sasad pada tahun 2008, pada dasarnya perda nomor 7 tahun
385 Wawancara Pribadi dengan FHR.
386
Wawancara Pribadi dengan FHR.
387
Wawancara Pribadi dengan FHR.
262
2006 sarat dengan kepentingan politik Fuad Amin. Karena seluruh kegiatan yang
berkaitan dengan pemilihan kepala desa telah dikooptasi sepenuhnya di bawah
kendali Fuad.
“.....Karena tahun 2008 kan saya euh..salah satu panitia pelaksana mas,
panitia, ketua panitia pelaksana pemilihan kepala desa di desa Sasad, jadi
saya tahu betul gitu loh prosesnya itu kaya apa bahwa di dalam perda itu ini
hanyalah memang dipasang pasalnya begini untuk kepentingan siapa, itu
saya tahu betul. Jadi pada tahun 2010 itu ya, iya 2010, ada high itu saya
mengatakan pada waktu itu ini perlu direvisi gitu kan. Ini yang perlu digini-
ginikan, ini kalau dipasang tetap ini maka euh..proses pelaksaan pilkada
tidak akan pernah lancar karena segala sesuatunya ini semuanya tergantung
pada pak fuad pada waktu itu selaku bupati.”388
Faktanya Fuad Amin tidak akan memberikan SK pemilihan untuk memilih
kepala desa baru di desa tertentu apabila kepala desa yang bersangkutan
menunjukan loyalitas kepada dirinya. Fuad Amin cukup mengeluarkan SK PJS
atas kepemimpinan kepala desa lama sampai batas waktu yang tidak menentu.
Tetapi apabila yang terjadi justru sebaliknya, loyalitas kepala desa lama kepada
Fuad Amin itu menurun atau bahkan hilang, maka Fuad Amin akan sesegera
mungkin mengeluarkan SK untuk diadakannya pemilihan kepala desa baru di desa
tersebut.
Dengan ketentuan waktu yang tidak terbatas, wajar bila masa jabatan kepala
desa bahkan ada yang sampai mencapai puluhan tahun. Karena jika di jaman
sebelum Fuad Amin menjabat dilakukan pemilihan kepala desa dengan batas
masa jabatan waktu per satu periode itu 8 tahun, otomatis masa jabatannya akan
menjadi 16 tahun jika dia terpilih kembali untuk periode selanjutnya. Tapi setelah
Fuad Amin membuat aturan tentang pemilihan kepala desa baru dengan adanya
388 Wawancara Pribadi dengan FHR.
263
pemanfaatan kepala desa melalui mekanisme SK PJS yang tak menentu, maka
masa jabatan mereka akan terus bertambah sampai puluhan tahun.
“Dan juga selain itu apa namanya adalah ada di Bangkalan itu pemilihan ada
kepala desa yang menjabat berulang-ulang kali tapi tanpa pemilihan dalam
hal ini pjs, ada yang 30 tahun, ada yang 20 tahun, ada yang 50 tahun, kepala
desa-nya ya ya itu aja.”389
Karena aturan perpanjangan kepala desa yang tertera dalam perda adalah setiap
enam bulan sekali, maka SK-SK perpanjangan bagi masa kepemimpinan PJS akan
selalu diperbaharui dalam kurun waktu itu. Biasanya perpanjangan SK ini
dikoordinir oleh KASI Pemerintahan, dalam hal ini BAPEMAS, lewat
pemberitahuan terlebih dulu dari pihak kecamatan.390
Karena posisi PJS sendiri
dipegang oleh kepala desa sebelumnya, maka hal ini seringkali menjadi
kepentingan dari kepala desa yang bersangkutan. Sebagaimana sudah dijelaskan
sebelumnya, terkadang mereka sendiri yang menghadap kepada Fuad Amin,
meminta agar diperpanjang masa PJS-nya. Dengan imbalan kesiapannya untuk
menjadi klien bagi kepentingan politik Fuad Amin di tingkat desa.
Sebagaimana diungkapkan oleh salah satu kepala desa di Bangkalan, FAU,
bahwa keberadaan PJS Kepala Desa itu sangat berpengaruh. Dan adanya PJ rata-
rata dipegang oleh kepala desa sendiri.
“PJ kalau di Bangkalan, saya bicara Bangkalan ya, saya bicara Bangkalan
memang sangat berpengaruh. Artinya begini, PJ kebanyakan dipegang oleh
kepala desa sendiri kebanyakan, yang sudah menuturkan menjadi kepala
desa tetap menjadi kepala desa, akhirnya dijabat oleh kepala desa itu sendiri,
kebanyakan seperti itu.”391
389 Wawancara Pribadi dengan FHR.
390
Wawancara Pribadi dengan FAU.
391
Wawancara Pribadi dengan FAU.
264
Proses PJ dengan dipegang langsung oleh mantan kepala desa inipun memiliki
syarat-syarat tertentu, satu syarat yang terpenting adalah apbila keadaan di desa
yang bersangkutan itu kondusif. Kondusif sendiri memiliki pengertian yang luas.
Pengertiannya tidak hanya sebatas di permasalahan stabilitas keamanan dan
pembangunan, tetapi juga dapat diartikan sebagai konstannya stabilitas kepatuhan
yang ditunjukan oleh para kepala desa lama untuk mengikuti arul perintah Fuad
Amin.
“........kebanyakan PJ itu dipegang kepala desa sendiri. Tapi kalau di desa itu
kondusif, dengan catatan kalau di desa itu kondusif, kalau di desa itu tidak
kondusif, ya tetap PJ itu dipilih. Bukan ditentukan tapi dipilih oleh BPD,
BPP, perangkat desa, dan tokoh masyarakat. Jadi proses PJ itu, yang PJ-nya
tetap kepala desa itu kalau keadaan desa itu kondusif.”392
Menurut pengakuannya pula, seluruh kepala desa yang ada di Bangkalan
pasti akan tunduk dan patuh kepada Fuad Amin. Jika ada kepala desa yang tidak
patuh dan tidak tunduk dengan perintah Fuad, maka Fuad akan menggantinya
dengan mengadakan pemilihan kepala desa baru di desanya.
“...............Kepala desa itu kebanyakan kalau pas (masih) kepemimpinannya
Fuad Amin, memang (sedikotawu) jadi apa kata kanjeng gitukan seperti itu.
Jadi kalau kepala desa yang sampai melanggar atau tidak memenuhi aturan
yang ditentukan oleh kanjeng waktu itu, katakan saya bilang kanjeng ya, itu
kebanyakan ya (bukan dipermasalahkan) tapi kebanyakan diganti atau cepat
dipilih. Kalau memang kepala desa itu kondusif dan mengikuti (dalam artian
bukan saya mengikuti), cuma dilihat dari situasinya, kalau kondusif tidak
diapa-apain, tetaplah seperti itu, karena dia kondusif. Kalau tidak kondusif,
fifty-fifty, separuh ke dia separuh ke orang itu dipilih.”393
Kebanyakan keberadaan antar kepala desa di Bangkalan berasal dari satu keluarga
dekat. Dalam satu wilayah kecamatan misalnya, antar desa di dalamnya,
mayoritas diisi oleh para kepala desa yang masih memiliki satu ikatan keluarga.
392 Wawancara Pribadi dengan FAU.
393
Wawancara Pribadi dengan FAU.
265
Dengan adanya ikatan famili di antara mereka, maka kondusifitas di banyak desa
dapat dengan mudah diwujudkan .
“Saya kira. Kalau di kecamatan saya rata-rata kondusif. Karena klebunnya
familiar memang, ada hubungan familiar. Maksudnya begini, di antara
kepala desa itu ada hubungan famili, baik yang satu dengan yang lain. kalau
tidak famili kadang besan seperti itu. Ya jadi kondusif. Kalau di desa lain di
tempat lain banyak itu seperti halnya di tanjung bumi, atau kecamatan yang
lain sepulu, klampes, kobonyar, tanean sebagainya itu pasti ada famili yang
kalau memang tidak kondusif dirasa tidak menguntungkan terhadap
kepemimpinan beliau, ya sudah.”394
Dengan demikian, kemunculan perda nomor 7 tahun 2006, merupakan ajang bagi-
bagi insentif baik untuk kepentingan politik Fuad Amin maupun untuk
kelanggengan masa jabatan PJS mantan kepala desa itu sendiri. Ketertarikan para
kepala desa untuk terus menerus menjabat sebagai PJS ini tentu tidak terhindar
dari imbalan materil melalui pengerjaan proyek-proyek pemerintahan di tingkat
desa.
“......... maka jika orang yang salah satu incumbent semisalnya, yang tidak
ingin kepala desanya, desanya dipilih dalam pilihan kepala desa, nah itu
satu, maka incumbent ini kan pada waktu itu sebagai pjs. Karena pada waktu
itu masih belum ada aturan pjs itu pns. Ketika ini adalah pjs, maka otomatis
menjadi bahan gali dekat kira-kira seperti itu dengan pak fuad atau sistem
pemerintahan kabupaten Bangkalan, dan ini menghadang dan melakukan
lobi-lobi dan lain sebagainya dengan kepada pak fuad. Dengan faktor x dan
lain sebagainya, sehingga apa, proses pelaksanaan pilkades ini akan sampai
dua tahun tiga tahun tidak pernah selesai.”395
Bahkan untuk mengkoordinir kepala desa di bawah kontrolnya, Fuad Amin
membentuk AKD (Aliansi Kepala Desa).
“Jadi pada waktu itu AKD ini kan memang dibangun kenapa ada AKD ini
kan memang dibangun untuk kepentingan fuad. Dibentuk fuad amin. Yang
dibentuk fuad amin gitu kan. Memang sengaja begitu......”396
394 Wawancara Pribadi dengan FAU.
395
Wawancara Pribadi dengan FHR.
396
Wawancara Pribadi dengan FHR.
266
Meski di jaman Fuad Amin dilakukan pemilihan kepala desa sebagaimana
umumnya, hanya saja hal itu tidak terlepas dari adanya intervensi yang dilakukan
oleh Fuad Amin itu sendiri. Fuad Amin akan melakukan pemilihan kepala desa di
desa tertentu apabila kepala desa di desa yang bersangkutan melakukan
konfrontasi dengannya, tetapi jika tidak, maka yang akan dilakukan oleh Fuad
Amin justru sebaliknya, Fuad Amin akan memberi reward dengan
memperpanjang masa jabatan kepala desa dengan SK PJS yang dia keluarkan.397
Bahkan sampai dengan adanya pemilihan para kepala desa secara serentak
di Bangkalan tahun 2015, yang pada gelombang pertama diadakan pada tanggal
15 Bulan Juni 2015, dari 120 sekian pemilihan kepala desa yang ada, 50 persen
pemilihannya hanya bersifat formalitas belaka.
“.......... Di gelombang pertama kemarin itu kan pada tanggal 15 bulan juni
gitu kan. Ada 120 sekian, lupa saya, di Bangkalan itu kan. Cuma itu pun dari
120 sekian ini kan tidak semuanya mas, maksudnya dari 120 sekian
pemilihan kepala desa ini yang benar-benar menjadi pertarungan pemilihan
kepala desa tidak lebih dari 50 persen, tapi yang 50 persen adalah hanya
formalitas saja bahwa di desa itu semisalnya tidak ada orang yang ingin,
yang ingin mencalonkan kepala desa gitu kan, hanya kepala desa lama. Jadi
untuk ininya –”398
Adanya perda nomor 6 tahun 2007 yang banyak menguntungkan Fuad Amin itu
bukan tidak menuai protes dari masyarakat. Penentangan-penentangan muncul
dari kalangan aktivis setempat. Tapi lagi-lagi, adanya massa aksi demo yang
menentang jalannya perda, dibalas oleh Fuad Amin dengan demo balasan yang
lebih masif. Sementara demonstran yang menentang perda hanya berjumlah
kurang lebih 30 orang, demo balasan Fuad Amin jumlahnya lebih besar. Hampir
setiap kepala desa diperintahkan oleh Fuad Amin untuk mengutus 50 orang
397 Wawancara Pribadi dengan FHR.
398
Wawancara Pribadi dengan FHR.
267
masyarakat sebagai aksi massa. Massa utusan Fuad Amin itu dimanfaatkan untuk
menghadang para demonstran penentang yang akan melakukan protes.
“........Yang 2010, akhirnya sampai, sampai melakukan demontrasi kan di
Bangkalan dengan teman-teman dan kita demontrasi hanya 30 orang sekian
gitukan, ternyata dari pihak pendopo pada waktu itu dengan kepala desa itu
diperintahkan oleh fuad ini untuk membawa masyarakat paling sedikit 50
orang dari tiap-tiap desa.”399
Bahkan adanya aksi yang menentang keberadaan perda itu sampai harus
memakan korban. Fahrillah selaku relawan aksi mengalami musibah pembacokan
beberapa hari setelah menjalankan aksi protes.
“........karena 10 hari atau bahkan 15 hari maksimal setelah itu, saya terjadi
musibah yang dibacok itu.”400
Lahirnya loyalitas kepala desa kepada Fuad Amin selain dengan adanya
ketergantungan SK PJS yang dia keluarkan, cara lainnya yaitu dengan
mengintimidasi para kepala desa. Cara ini pun tidak terbebas dari permasalahan
yang menyangkut pembagian proyek yang dikerjakan oleh Fuad Amin dan para
klebun tersebut. Dari pembagian-pembagian proyek, Fuad Amin akan mencari-
cari letak kesalahan yang pernah dilakukan oleh kepala desa melalui adanya
indikasi penyimpangan dan lain sebagainya. Dari kesalahan akan adanya
penyimpangan yang dilakukan oleh kepala desa tersebut, tentu Fuad Amin akan
menjadikannya sebagai pijakan untuk melakukan ancaman atas - tindakan
melanggar hukum yang – disinyalir telah dilakukan oleh kepala desa yang
bersangkutan. Karena Fuad Amin menyadari bahwa dengan menakut-nakuti dan
melakukan ancaman-ancaman seperti itu otomatis para kepala desa akan merasa
tak berkutik dan akan selalu melakukan apapun yang diperintahkan oleh Fuad.
399 Wawancara Pribadi dengan FHR.
400
Wawancara Pribadi dengan FHR.
268
“Blaternya juga begitu, komunikasi dengan ini ini ini ini ini ini ini ini ini gitu
kan, begitu. Dan kepala desa itu begitu juga. Misal proyeknya sekian gitu
kan, euh SPJ-nya SPJ rapuh gitu kan, lah akhirnya dia digantung, kamu
macam-macam, sistemnya fuad gitu. Misalnya mas, ini adalah kepala desa
dikasih perhatian besar gitu kan, yang pertama dan yang kedua, kamu
macam-macam, benar pertama kedua dikasihkan benaran semua, dengan
prosedural. Tapi ketiga ke-empat sudah beda itu, kamu macam-macam, ini
pelanggaran kamu, jadi apa yang terjadi, karena digantung dengan
masalahnya sendiri akhirnya dia tunduk sama dia.”401
Dalam memanfaatkan jaringan kepala desa untuk kepentingan politiknya,
biasanya Fuad Amin telah mempersiapkan segala sesuatunya jauh-jauh hari. Fuad
Amin akan memanggil seluruh kepala desa enam bulan menjelang waktu
pemilihan tiba. Jumlahnya 277 desa dan 4 kelurahan. Pemanggilan tiap-tiap
kepala desa dilakukan dengan cara bergiliran berdasarkan teritorial kecamatan. Di
pertemuan tersebut para kepala desa didoktrin dan diarahkan untuk dapat
memenuhi segala ambisi politik Fuad Amin. Pertemuan biasanya dilakukan di
pendopo atau di tempat khusus. Selanjutnya, pertiap bulan sekali akan diadakan
pertemuan. Pertemuan tersebut memang sifatnya politis. Bila kedapatan ada satu
kepala desa yang memihak ke pihak lain, maka Fuad Amin tidak segan-segan
akan mencekal program-program yang ditujukan kepada desa yang
bersangkutan.402
“Begini, ya memang kalau waktu pemilihan itu kita kepala desa ini tidak
bohong. Karena ini maaf ya. Jadi kepala desa itu kaya memang seperti
didoktrinlah, harus. Jadi tidak boleh tidak. Sebelum pemilihan, enam bulan
sebelumnya sudah dipanggil. Per tiap bulan diadakan pertemuan. Pertemuan
itu ya sifatnya memang politis. Jadi kalau sampai ada satu kepala desa yang
ketahuan memihak ke yang lain itu atau apa itu memang dicekal. Bahasa
cekalnya itu ya programnya tidak dilancarkan atau ada program apa di sana
tidak dikasih, karena dia sudah dianggap mbalelo atau apa seperti apa gitu,
seperti itu.”403
401 Wawancara Pribadi dengan FHR.
402
Wawancara Pribadi dengan FAU.
403
Wawancara Pribadi dengan FAU.
269
Selain untuk kepentingan dirinya, pemanfaatan para klebun biasanya Fuad
pergunakan juga untuk kepentingan para koleganya. Dalam memainkan formulir
C-1 KPU biasanya yang dikendalikan oleh para klebun adalah partai-partai
tertentu saja. Dalam hal ini adalah partai-partai oposisi yang berseberangan
dengan Fuad Amin. Tapi jumlah ini tidak terlalu banyak, karena partai politik
yang beroposisi dengan Fuad Amin persentasenya hanya sekitar 20 persen.
Sedang 80 persen partai politik lainnya telah sepenuhnya dikendalikan oleh Fuad
Amin. Dan manipulasi formulir C-1 yang dimainkan oleh Fuad Amin dengan
jaringannya hanya dilakukan di wilayah basis massa Fuad Amin, sedangkan di
luar wilayah basis massanya, biasanya Fuad Amin tidak bisa bergerak banyak.404
Salah satu kelebihan yang dimiliki oleh Fuad Amin adalah kepintarannya
dalam merangkul kepala desa yang berseberangan dengannya. bila ada kepala
desa yang berseberangan dengan Fuad Amin, asalkan kondisi keamanan dan
pembangunan di dalamnya tetap berjalan, maka Fuad Amin tidak akan berani
untuk mengutak atik wilayah desa tersebut. Fuad Amin menyadari, dengan
memantik perselisihan dengan kepala desa yang bersangkutan, hal ini akan
berdampak pada pamor dan elektabilitas Fuad Amin di desa tersebut akan
menjadi menurun. Dari pada melahirkan konflik baru, Fuad Amin lebih memilih
untuk tidak mengintervensi sama sekali. Tetapi bila yang terjadi adalah hal yang
sebaliknya, yakni keamanannya tidak kondusif dan pembangunannya tidak
404 Wawancara Pribadi dengan FAU.
270
berjalan, serta dia berkonfrontasi dengan Fuad Amin, dengan sendirinya Fuad
akan menggantikannya dengan calon yang lebih kuat.405
Terkait soal setoran SKPD 10 persen, (FAU) sendiri mengakuinya. Bahwa
hal itu memang betul-betul ada. Bahkan bukan hanya Fuad Amin, para camat,
puspika dan lain sebagainya, juga melakukan praktek yang sama. Sayangnya
ketika Fuad Amin ditangkap oleh penegak hukum terkait kasus setoran ini,
seluruh elemen pemerintahan di Bangkalan seolah-olah lempar tangan, bahwa
seluruh praktik setoran yang berlangsung di Bangkalan itu atas arahan dan
perintah Fuad Amin.406
N. Modus Korupsi Fuad Amin
Dominasi Fuad Amin yang tumbuh dan marak Fuad praktikan dalam lini
kehidupan politik di aras Bangkalan nyatanya bukan hanya memberikan rasa takut
kepada masyarakat biasa. Tetapi dampaknya pun terasa sampai mempengaruhi
para pejabat hukum yang berada di wilayah kekuasaannya. Minimnya penegakan
hukum terhadap segala pelanggaran yang dilakukan oleh Fuad Amin sangat
terlihat jelas dari tidak adanya penindakan-penindakan yang dilakukan oleh
penegak hukum di Bangkalan, meskipun bukti dan fakta atas pelanggaran tersebut
sudah banyak dilaporkan oleh para LSM setempat. Dengan kondisi seperti ini,
tentu Fuad Amin merasa nyaman dan tetap melanggengkan berbagai perilakunya
yang menyimpang. Ini bukan saja soal penindakan kriminalitas yang dilakukan
Fuad Amin lewat berbagai kekerasan terhadap para aktivis, melainkan juga soal
langgengnya praktik korupsi yang sudah beberapa kali dilakukan oleh dirinya.
405 Wawancara Pribadi dengan FAU.
406
Wawancara Pribadi dengan FAU.
271
Pada praktiknya, kasus korupsi yang menimpa Fuad Amin bukan saja soal
kasus suap PT. MKS yang kaitannya dengan migas di Bangkalan. Lebih dari itu,
berbagai praktik pemalakan dan setoran-setoran ilegal mewarnai jalannya
pemerintahan selama Fuad Amin menjabat. Praktik-praktik KKN yang dilakukan
oleh Fuad Amin ini misalnya dapat dilihat dari adanya setoran 10 persen tiap
kepala dinas dari tiap anggaran di biro pemerintahannya kepada Fuad.407
Hebatnya, setoran-setoran yang diberikan kepala dinas kepada Fuad Amin
dilakukan tanpa adanya alat bukti apapun, semisal adanya kwitansi ataupun bukti
fisik lain sebagainya. Mekanisme setoran ini dikirimkan langsung secara cash
kepada Fuad Amin di kediamannya di pendopo.408
Selain itu, ada juga fee dari
pengerjaan tiap-tiap proyek yang mencapai 25 persen, dan ada juga permainan
mutasi pejabat SKPD yang dilakukan oleh Fuad Amin setiap hampir 3 bulan
sekali. Mutasi pejabat ini biayanya berkisar antara 150-200 juta, termasuk camat
100 juta. Hal ini Fuad berlakukan sampai tingkat kelurahan.409
Bahkan sampai urusan perpindahan guru untuk mengajar, Fuad Amin
mematok biaya sebesar 5 sampai 10 juta. Dan lainnya, biaya menjadi kepala
sekolah sebesar 15 sampai 25 juta. Bahkan adanya BPWS (Badan Pengembangan
Wilayah Suramadu) yang dibentuk di masa pemerintahan SBY turut dibebani
biaya 50 ribu permeter dari pembebasan tanah warga oleh Fuad.410
“.....Miris mas kalau dengar ceritanya bupati yang lain itu, bagaimana Fuad
ketika diajak bahas BPWS -(badan pengembangan wilayah suramadu) aja.
407
Wawancara Pribadi dengan MH.
408
Wawancara Pribadi dengan SYK.
409
Wawancara Pribadi dengan MH.
410
Wawancara Pribadi dengan MH.
272
Dia kan gak mau diatur orang. Wong BPWS ini diminta 50 ribu permeter
dari pembebasan lahan warga. Rumus dari mana itu. Inikan uang negara.”411
Selain itu, ada juga biaya perekrutan THL sebesar 15-20 juta perorang. Semua
biaya ini dilakukan melalui sistem cash. Makanya untuk melakukan pendaftaran
calon pegawai negeri sipil misalnya, harus dilakukan semenjak jauh-jauh hari.
Karena jumlah kuota bagi penerimaan PNS baru, seyogianya sudah terisi oleh
para pendaftar tertentu yang sudah membayar uang pelicin kepada Fuad Amin.
Yang aneh, meskipun nama-nama PNS sudah diplot oleh Fuad Amin sejak jauh-
jauh hari, masyarakat masih tetap saja ada yang mau membayar mahal kepada
Fuad Amin ataupun lewat orang-orangnya dan mereka rela mengantri menunggu
giliran sambil berharap mereka adalah salah satu orang di dalamnya. Padahal
kuota PNS di Bangkalan jumlahnya sangat kecil.412
Banyaknya kasus korupsi Fuad Amin yang tidak pernah terungkap, menurut
AAR disebabkan karena banyak juga dari kalangan elit-elit nasional yang turut
memback-up di belakangnya. Akhirnya kemauan untuk membersihkan Bangkalan
dari berbagai praktek korupsi sejak jauh-jauh hari itu tidak pernah terwujud. Fuad
Amin seolah-olah menjadi magnet pemanfaatan elit-elit provinsi dan pusat untuk
menjaga kepentingan mereka di Bangkalan. Timbal balik yang didapat adalah
dengan melindungi berbagai pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh
dirinya.
“.......Artinya banyak kemudian dari elit-elit politik nasional ini yang merasa
bisa mempergunakan kenakalan pak fuad ini untuk kepentingan politik dia.
Nah ini yang saya kira menjadikan dia ini sebagai sosok yang sulit disentuh
secara hukum.”413
411 Wawancara Pribadi dengan MH.
412
Wawancara Pribadi dengan MH.
413
Wawancara Pribadi dengan AAR.
273
Fakta nyata di balik itu semua yaitu misalnya kasus kecurangannya saat pilgub
jatim antara Khofifah-Karwo pada tahun 2008 muncul ke permukaan. Di mana
terjadi penggelembungan suara dan berbagai kecurangan yang dilakukan terhadap
pasangan Khofifah Indar Prawansa – Mudjiono. Fuad Amin sendiri waktu itu
menjadi tim pemenangan Karwo. Dan itu tidak ada penindakan, bahkan seolah-
olah dibiarkan. Sampai Kapolda yang akan mengusut kasus itu pun, akhirnya
ditarik.414
“.........kasus kecurangan pilgub, pada saat khofifah dengan karwo ini suatu
fakta yang tidak bisa ditutupi oleh apapun, tapi kenapa kemudian itu di PTS-
kan *(peti-eskan), sampai kapoldanya waktu itu yang mau mengusut itu
kemudian langsung ditarik.”415
Jadi menurut AAR, absennya pemberantasan korupsi di Bangkalan sederhananya
hanya terkait persoalan „good will‟, mau atau tidaknya para penegak hukum untuk
menindak penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh Fuad Amin.
“Kalau saya, lebih kepada good will ya, artinya saya melihatnya sepertinya
pak fuad ini memang sebagai sosok yang dimanfaatkan oleh elit-elit politik
nasional dari sisi kenakalannya itu. Jadi karena dia itu dimanfaatkan dari
posisi kenakalannya, nakal seperti apapun masih ada aja yang memback-up.
Jadi bukan karena tidak ada - tidak terendus atau apa, tidak. Sebenarnya
terendus....”416
Sinyalemen adanya perilaku koruptif pada pemerintahan Fuad Amin sebetulnya
sudah terasa di tahun 2006-2007.417
Dan sementara kasus yang melibatkan antara
Fuad dan MKS sudah terjadi antara tahun tersebut. Tapi memang untuk periode
awal kepemimpinannya, Fuad Amin masih belum mengerti betul mengenai bisnis
perminyakan dan gas. Fuad Amin sadar bahwa itu adalah sebuah sumber ekonomi
414 Wawancara Pribadi dengan AAR.
415
Wawancara Pribadi dengan AAR.
416
Wawancara Pribadi dengan AAR.
417
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
274
strategis terjadi setelah ada masukan dari orang luar. Disinyalir ada juga
keterlibatan anggota DPRD Jawa Timur di belakangnya.418
Tetapi di periode
selanjutnya, di periode kedua dia menjabat sebagai Bupati, masyarakat bawah
sekalipun, sudah mengetahui bahwa korupsi yang dilakukan oleh Fuad Amin
sangat begitu sistemik. Faktor yang menyebabkan sulitnya untuk menangkap dan
menindak KKN yang Fuad Amin lakukan, selain soal tiadanya kemauan dari para
penegak hukum, adalah cengkeraman Fuad yang sudah menembus lini kehidupan
civil society masyarakat Bangkalan, termasuk kemampuannya menguasai media
massa. Di samping itu, cengkeraman ini tidak terlepas dari posisinya yang juga
sebagai pewaris trah bani kholil, oligark dengan tumpukan uang yang melimpah,
dan secara politik, Fuad menguasai seluruh jajaran eksekutif dan legislatif yang
ada di Bangkalan. Sehingga dengan kekuasaan Fuad Amin yang mutlak, ditambah
berbagai upaya lobi yang dia lakukan, segala bentuk laporan terkait
penyimpangan dirinya pun selalu kandas. Meskipun data-data penyimpangan
yang dilaporkan baik oleh LSM dan kelompok oposisi menyangkut persoalan
Fuad Amin sudah sangat kasat mata. Tapi usaha tersebut hanya berakhir sia-sia.
Karena pihak kepolisian dan kejaksaan tidak benar-benar menjalankan fungsi
sebagaimana mestinya. Bahkan lobi-lobi kepada para penegak hukum, seringkali
Fuad juga lakukan untuk menutup-nutupi bopeng atas tindak tanduknya.419
Bahkan menariknya, sampai penyidik KPK pun tidak luput menjadi sasaran lobi
Fuad Amin untuk bisa keluar dari jeratan hukum yang menimpanya. Peristiwa ini
terjadi setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Fuad Amin.
418 Wawancara Pribadi dengan MH.
419
Wawancara Bersama Muhamad Ruji dengan IMM.
275
Sewaktu penyidik mengumpulkan barang bukti berupa uang di kediamannya,
Fuad Amin bertanya kepada penyidik: "Ini ada 'obatnya' enggak, Mas?”
Pertanyaan ini mengandung maksud, apakah kasus ini bisa diselesaikan dengan
uang.420
Sebetulnya kekuatan politik Fuad Amin bersama dengan kroni-kroninya itu
sudah terlihat melemah selepas Fuad Amin ditangkap oleh KPK. Hanya saja,
karena tidak adanya kekuatan politik lain yang muncul untuk memanfaatkan
peluang ini, lambat laun, kekuatan politik Fuad yang berada di tangan para
kroninya tersebut akhirnya bangkit kembali. Setoran setotran SKPD, dan
pungutan-pungutan tenaga honorer mulai berjalan kembali seperti biasanya.421
Bahkan ada kabar beredar bahwa meskipun Fuad Amin sudah mendekam dalam
penjara di Salemba, tetapi praktik setoran 10 persen kepala dinas kepadanya
masih langgas dimainkan oleh dirinya. Polanya yaitu dengan menakut-nakuti para
kepala dinas bahwa jika setoran itu berhenti, maka nama mereka akan ikut diseret
ke meja hukum. Hal ini wajar, karena dengan berbagai penyimpangan di tiap
dinas, sebetulnya hak penuh terhadap KPA (kuasa pengguna anggaran) berada
langsung di bawah tangung jawab mereka. Dengan begitu, otomatis
penyimpangan lewat setoran-setoran tersebut pun menjadi beban para kepala
dinas. Alasan ini menjadi semacam teror yang terus menerus menghantui para
kepala dinas untuk mengikat mereka agar tidak berhenti memberikan setoran-
420 Tempo.co, “Obat, Kode Fuad Amin Rayu Penyidik KPK,” berita ini diakses pada 27
Februari 2016 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/22/063630182/obat-kode-fuad-
amin-rayu-penyidik-kpk
421
Wawancara Pribadi dengan AAR.
276
setoran tersebut.422
Perilaku Fuad Amin ini sebetulnya diketahui juga oleh KPK,
dan KPK membiarkannya untuk dijadikan alat pembuktian tambahan yang
menguatkan bahwa Fuad Amin masih tetap mengontrol setoran-setoran yang
diberikan kepadanya.423
Modus korupsi yang dilakukan oleh Fuad Amin terbilang sistemik. Karena
dalam hal ini, Fuad turut mensertakan seluruh komponen kepala dinas yang ada di
bawah pemerintahannya. Bahkan KPA yang menjadi tanggungan masing-masing
kepala dinas, akhirnya seringkali dijadikan sebagai alasan oleh Fuad Amin bahwa
dirinya bukan pelaku dari korupsi di tiap-tiap dinas pemerintahan Bangkalan.
Alasan ini terlihat lucu, sebab, dalam realitanya, para kepala dinas diperintahkan
oleh Fuad Amin sendiri.424
Seperti yang diungkapkan oleh Nur Aida Rahmawati
selaku Kepala Dinas Kesehatan Bangkalan sebelum dirinya dilantik, bahwa Fuad
Amin menyuruh dirinya untuk mengikuti kewajiban setor yang pernah dilakukan
pada masa-masa sebelumnya. Padahal pada saat Fuad Amin menyuruh Nur Aida
Rahmawati untuk melakukan setoran wajib, dirinya tidak lagi menjabat sebagai
Bupati Bangkalan,425
karena sudah digantikan oleh anaknya, Makmun Ibnu Fuad.
Sehingga dengan kebiasaan yang terus menerus dilakukan, praktek ini seakan-
akan dianggap lumrah.
422 Wawancara Pribadi dengan MH.
423
Wawancara Pribadi dengan MH.
424
Wawancara Pribadi dengan FHR.
425
detiknews, “Tak Lagi Jabat Bupati Bangkalan, Fuad Amin Terima Duit Setoran Dinkes,”
berita ini diakses pada 04 Maret 2016 dari http://news.detik.com/berita/2981955/tak-lagi-jabat-
bupati-bangkalan-fuad-amin-terima-duit-setoran-dinkes
277
O. Sumber Kekuasaan Fuad Amin
Paling tidak ada tiga sumber kekuasaan dan dominasi yang dimiliki oleh
Fuad Amin sehingga dapat dengan mudah dan leluasa memonopoli segala aspek
kehidupan, baik sosial, politik, maupun ekonomi masyarakat di Bangkalan.
Kekuasaan sendiri diartikan Weber sebagai “kemungkinan bahwa seorang pelaku
akan mampu untuk mewujudkan gagasan-gagasannya sekalipun ditentang oleh
orang-orang lain, dengan siapa dia berada dalam hubungan sosial.”426
Sedang
pengertian dominasi, lebih jauh lagi dari sebatas kekuasaan biasa, karena
mengikutsertakan unsur-unsur pemaksaan di dalamnya.427
Sumber kekuasaan
yang dimiliki oleh Fuad Amin, pertama adalah kemampuannya memonopoli
instrumen-instrumen keagamaan, baik yang sifatnya materi dan imateri, yakni
lewat institusi keagamaan maupun lewat reproduksi kharisma428
dari ketakdziman
dan mitos-mitos kesaktian yang ia miliki. Kedua, monopoli kekerasan lewat dua
jalur, baik formal maupun informal. Jalur formal adalah dalam kapasitasnya
sebagai Bupati, sedang jalur informal adalah dalam kapasitasnya sebagai kiai-
blater. Sedang sumber kekuasaannya yang ketiga, yakni dalam statusnya sebagai
oligark lokal dengan basis kekayaan yang terbilang mapan serta melimpah jika
diukur berdasarkan per/teritorial wilayah di Bangkalan.
Dalam kapasitasnya sebagai bagian dari trah dan keturunan kiai kholil,
kharisma yang terpancar pada diri Fuad Amin sebetulnya juga tidak terlepas dari
426
Anthony Giddens, Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya tulis Marx,
Durkehim, dan Max Weber (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 192.
427
Ibid, h. 192.
428
Oleh Weber, kharisma didefinisikan sebagai „suatu sifat tertentu dari suatu kepribadian
seorang individu berdasarkan mana orang itu dianggap luar biasa dan diperlakukan sebagai
seorang yang mempunyai sifat-sifat gaib sifat unggul atau paling sedikit dengan kekuatan-
kekuatan yang khas dan luar biasa.‟(Anthony Giddens, 1986, 197).
278
budaya masyarakat setempat yang memegang teguh adat dan penghormatan
mereka kepada kalangan kiai. Bukan hanya itu, bahkan sepak terjang kiai di
masyarakat sekitar, juga selalu dianggap sebagai aktor yang memiliki banyak
kelebihan mistis. Kiai sebagaimana telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,
merupakan elit lokal yang banyak memberikan kontribusi bagi kehidupan
masyarakat, bukan saja semenjak era reformasi bergulir, tetapi sudah jauh hari
ketika era kerajaan dan kolonialisme berlangsung. Dalam sejarahnya, Kiai
seringkali terlibat dalam gerakan-gerakan perlawanan terhadap elit, baik raja
maupun pejabat-pejabat kolonial yang acapkali menyengsarakan rakyat dengan
berbagai kewajiban membayar upeti dan kerjapaksa. Bahkan di masa orde baru,
perlawanan-perlawanan para kiai terhadap rezim masih terlihat jelas. Misalnya
dalam perlawanan yang diinisiasi oleh para kiai yang tergabung dalam BASSRA.
Selain itu, kiai merupakan satu-satunya simbol yang mampu memperat jalinan
kohesi sosial antar kelompok masyarakat lewat acara-acara ritual keagamaan.
Syaikhona Kholil, merupakan satu di antara kiai lainnya yang memiliki
pengaruh besar di masanya. Dia merupakan elit lokal Bangkalan dengan banyak
murid yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara. Kiai Hasyim Asy‟ari (pendiri
NU) pernah berguru ilmu agama kepadanya. Dengan tingkat kelimuan yang tinggi
dalam bidang agama, seluruh masyarakat Bangkalan menaruh rasa simpati dan
takdzim yang mendalam terhadap kepribadian Syaikhona Kholil. Juga kepada
keturunan-keturunannya kelak, termasuk Fuad Amin yang kini mewarisi simbol-
simbol penghormatan tersebut. Apalagi Fuad Amin merupakan keturunan tertua di
antara keluarga bani kholil yang lainnya. Kharisma yang dimiliki oleh Fuad Amin
279
pada akhirnya menciptakan mitos-mitos tersendiri tentang kesaktian yang
dintrodusir terhadap dirinya, apalagi Fuad begitu luwes untuk bersosialisasi
dengan kalangan blater. Kalangan blater yang identik dengan dunia carok dan
kekerasan, faktanya telah meningkatkan pamor Fuad Amin di masyarakat. Isu-isu
yang berkembang terhadap pengkutusan pada diri Fuad Amin salah satunya
tercermin dalam komentar (MH), mantan aspri Fuad Amin, sebelum dirinya
menerima tawaran pekerjaan untuk menjadi stafnya:
“Saya waktu itu memang berdoa mudah-mudahan saya dipertemukan dengan
orang ini. karena selama ini apa yang saya dapat informasinya, Pak Fuad
inikan wali, kiai gitukan dan segala macamlah saktilah macam-macam, saya
tertarik untuk itu. Karena banyak mitos-mitos yang saya dengar waktu saya
di pesantren itu menggugah saya untuk ketemu orang ini. Dia sakti kalau di
penjara langsung bisa keluar, dengan ini segala macamlah.”429
Di samping itu, dengan posisi Fuad yang mapan, maka tak sulit pula bagi
dirinya untuk memelihara jaringan blater. Fuad Amin sadar, bahwa blater adalah
kalangan yang mudah ditaklukan dengan uang.430
Maka tak aneh jika kemudian di
antara masyarakat Bangkalan, Fuad Amin dikenal dengan istilah kiai-blater.
Karena di satu sisi dia besar di lingkungan kiai, sedang di sisi lain Fuad Amin
hidup dengan kalangan blater. Dua rupa kekuatan yang direproduksi pada diri
Fuad sekaligus ini dalam perjalanannya turut memudahkan dirinya untuk menjadi
orang yang dihormati dalam tatanan kelas sosial di masyarakat. Dengan statusnya
sebagai kiai, dia mendapatkan legitimasi masyarakat lewat pengakuan rasa
takdzim dan mitos etik yang sifatnya transendental, sedang dengan statusnya
sebagai blater, Fuad Amin mendapatkan legitimasi lewat monopoli kekerasan
yang kerap Fuad praktikan. Dengan karakteristik alam blater yang identik dengan
429 Wawancara Pribadi dengan MH.
430
Wawancara Pribadi dengan MH.
280
tindakan-tindakan koersif tersebut, nyatanya telah mempolarisasikan internalisasi
ketakutan menjadi semakin mewabah di segenap masyarakat Bangkalan. Dua
modal tersebut, ditambah posisi Fuad yang mapan, menjadi elemen penting bagi
keberhasilan dirinya menduduki posisi jabatan struktural sebagai bupati
Bangkalan.
Setelah dirinya berhasil menduduki jabatan formal dalam struktur
pemerintahan, sumber kekuasaan Fuad Amin semakin bertambah. Dia bukan
hanya mengakumulasikan sumber kekuasaannya dari macam-macam otoritas
informalnya selaku kiai dan blater, tetapi juga otoritas legal-formalnya selaku
Bupati. Di masa kepemimpinannya sebagai Bupati, Fuad Amin perlahan-lahan
mulai membangun jaringannya, baik itu jaringan politik maupun jaringan sosial
kemasyarakatan. Dalam jaringan politik, Fuad Amin menguasai elit-elit birokrat
dan partai politik melalui cengkeramannya pada aparat kepala desa dan politisi-
politisi lokal. Kondisi ini dapat dilihat dengan begitu jelas dari loyalitas yang
ditunjukan oleh para kepala desa dengan seringnya mereka membantu Fuad Amin
dalam setiap proses seleksi politik di Bangkalan, dan banyaknya ketua partai
politik yang berafiliasi dengan Fuad Amin.
Dalam organisasi sosial, Fuad menguasai unsur-unsur ormas, terutama NU,
MUI dan BASSRA. Banyaknya para elit dan anggota ormas keagamaan yang
menunjukan loyalitas mereka kepada Fuad Amin timbul dari rasa solidaritas serta
anggapan bahwa Fuad Amin merupakan kiai sepuh. Kiai sepuh, dan lebih lagi
berasal dari trah bani kholil, tentu menjadi sumber legitimasi utama dan terpenting
281
bagi personaliti Fuad untuk dapat disegani oleh kalangan kiai lainnya, terutama
para kiai yang berasal dari non bani kholil.
Kekuasaan yang demikian dominan yang Fuad Amin pegang telah
memberikan ruang cukup bebas bagi dirinya untuk bertindak semau hati.
Wewenang yang dimilikinya kerap dia gunakan untuk melakukan kontrol
terhadap masyarakat sipil yang mencoba-coba untuk mengusik kepemimpinanya.
Bahkan dengan otoritas yang tinggi, banyak sekali berbagai penyimpangan dan
pelanggaran hukum yang dia lakukan. Penggunaan ijazah palsu, manipulasi
perolehan suara dalam pemilihan, korupsi, dan berbagai tindakan kriminil lewat
aksi kekerasan terhadap para penentangnya, menjadi gambaran lumrah selama
periode eksistensi Fuad Amin dalam ruang lingkup politik Bangkalan. Sayangnya,
berbagai pelanggaran hukum yang dia lakukan tidak pernah sedikit pun tersentuh
oleh hukum. Maka dengan absennya sikap tegas dan profesionalitas dari para
penegak hukum setempat, perilaku Fuad Amin semakin menjadi-menjadi dalam
melakukan penyimpangan dan pelanggaran hukum lainnya. Sehingga ketiadaan
penindakan pada setiap pelanggaran yang dilakukan oleh Fuad Amin, telah
mereproduksi mitos-mitos baru atau meneguhkan eksistensi Fuad Amin sebagai
simbol orang kuat lokal yang memang tidak bisa dilawan oleh dan dalam bentuk
apapun. Stigma seperti itu terus menerus diproduksi oleh masyarakat, seperti
bahwa tanpa memiliki ijazah sekalipun Fuad Amin masih bisa jadi bupati, atau
Fuad Amin adalah wali karena keturunan kiai, dan lain sebagainya.431
Anggapan-
431 Wawancara Pribadi dengan FHR.
282
anggapan tersebut masuk dan melekat begitu saja di bawah alam sadar
masyarakat. Sebagaimana yang diungkapkan langsung oleh FHR:
“Jadi begini, konon ceritanya bahwa di masyarakat sana itu ya di
masyarakat.-------------. Konon ceritanya bahwa ada yang mengatakan pak
Fuad ini karena sering sekali walaupun sejajar setmata dia melakukan hal
pelanggaran hukum tapi tidak bisa tersentuh hukum. Konon ceritanya ada
yang mengatakan pak Fuad ini sakti, pak Fuad ini wali dan lain sebagainya.
Apalagi di kelompok-kelompok bawah itu. Cuma setelah kita analisa itu
bukan hal yang seperti itu yang sebenarnya, tapi karena di bawah itu ada
ketakutan dan tidak tahu, terkait apa yang sebenarnya terjadi gitu kan. Karena
di sisi lain pak fuad itu kepada DPR itu memberikan sesuatu gitu. Kepada
pesantrennya memberikan sumbangan bangunan memberikan ini gitu kan,
akhirnya dianggap bahwa pak Fuad ini baik gitu kan, gitu. Akhirnya ketika
pada waktu itu pak fuad tidak pernah tersandung kasus korupsi, kasus
hukum, mengatakan pak Fuad ini sakti dan lain sebagainya. Apalagi konon
ceritanya pak Fuad ini tidak pernah sekolah, tak tahu punya ijazah gitu kan.
Pak fuad itu kan selalu waktu di rapat-rapat surabaya itu kan pernah
mengatakan saya kalau ijazah saya asli maka saya jadi gubernur, gitu kan.
Kan bukan jadi bupati gitu kan. Akhirnya orang kan pada tahu gitu loh pak
fuad ini sakti, ndak punya ijazah jadi bupati gitu kan. Ini wali karena ke-anak
keturunan ini ini itu ini gitu, nah itu yang terjadi. Stigma-stigma yang
dibangun itu begitu gitu loh masyarakat, akhirnya banyak masyarakat yang
begitu dicoba lagi di kalangan Bangkalan ini kan orangnya sami‟na wa ato‟na
kepada kiai gitu kan, mm kiai-nya aja begitu, ya repot gitu kan. Hanya ada
sebagian orang kaum intelektual yang selalu menentang itu gitu mas,
menentang itu. akhirnya apa yang terjadi, kemarin pun, pak fuad ditanggeng
ditangkap pada tanggal 2 Desember itu, euh 2000 berapa...”432
432 Wawancara Pribadi dengan FHR.
283
284
283
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Munculnya beragam tindak kekerasan, penyimpangan, dan pembiaran
hukum yang dilakukan oleh Fuad Amin merupakan impak dari kekuasaan serta
dominasi politiknya yang besar. Bahkan kekuasaan politik ini telah terinternalisasi
pada diri Fuad Amin jauh sebelum dirinya terjun ke dunia politik. Jauh sebelum
keterlibatannya dalam politik formal, Fuad Amin dikenal sebagai sosok kiai di
satu sisi, dan sebagai blater di sisi lain. Simbol kekiaian yang melekat pada Fuad,
tidak terlepas dari silsilah yang Fuad sandang, yakni selaku keturunan dari trah
bani kholil. Sedang identitas keblaterannya, muncul dari sepak terjangnya di alam
blater itu sendiri. Dua identitas informal yang tersemat pada diri Fuad Amin ini
faktanya telah memudahkan dirinya menjadi orang paling berpengaruh di
Bangkalan. Pengaruh ini kontan dimanfaatkan Fuad untuk masuk arena politik
formal di Bangkalan.
Peluang Fuad untuk ikut dalam kontestasi pemilihan umum kepala daerah di
Bangkalan adalah berkah dari tumbangnya pemerintahan Soeharto. Pada tahun
1998, Soeharto tidak lagi menjabat sebagai Presiden, hal ini terjadi lantaran
desakan dan tuntutan dari beragam elemen masyarakat yang menginginkan
Soeharto melepas jabatannya selaku kepala negara. Peristiwa ini lahir dari
rentetan instabilitas ekonomi yang melanda masyarakat. Ketiadaan Soeharto di
pucuk pimipinan negara telah merubah paradigma relasi antara pusat dan daerah
menjadi lebih longgar. Jika semasa Soeharto paradigma yang berlaku adalah
sentralisme politik, sedang di masa sesudahnya, paradigma yang berkembang
284
adalah polisentrisme politik. Indikator kemunculan polisentrisme pasca Soeharto
adalah mulai diimplementasikannya undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang
otonomi daerah atau desentralisasi.
Undang-undang desentralisasi yang kemudian terjewantahkan dalam
pemilihan kepala daerah secara mandiri, (karena tidak lagi diintervensi oleh pusat
sebagaimana terjadi di masa Soeharto), telah membuka kesempatan bagi orang
berpengaruh di tingkat lokal untuk memenangkan kontestasi yang diadakan di
wilayahnya masing-masing. Orang berpengaruh di tingkat lokal biasanya berasal
dari orang-orang yang dulu memiliki hubungan dengan orba, atau bisa juga
berasal dari orang-orang yang berseberangan dengan orba. Fuad Amin merupakan
elit lokal tipe kedua.
Ketidakterlibatan Fuad Amin dengan Soeharto justru merupakan salah satu
faktor yang membantunya menguasai hampir seluruh suara dewan pada pilkada
pertama yang diadakan di Bangkalan era reformasi pada tahun 2003. Selisih
suaranya sangat timpang. Fuad Amin memperoleh 42 suara dari 45 suara yang
diperebutkan. Hasil ini telah mengikrarkan Fuad Amin sebagai bupati baru
pertama Bangkalan era reformasi. Kemenangan ini banyak disambut oleh
masyarakat sebagai langkah awal menuju Bangkalan ke arah yang lebih baik.
Namun, harapan tersebut hanya bertahan beberapa tahun saja. Di
pertengahan masa kepemimpinannya, gelagat bahwa Fuad Amin sudah mulai
melenceng dari prinsip serta nilai-nilai yang diharapkan masyarakat sedikit
perlahan muncul ke permukaan. Kemunculan Fuad Amin yang awalnya didapuk
sebagai aktor perubahan, malah lebih mencerminkan neo-Soehartois di alam
demokrasi yang baru. Apalagi di periode kepemimpinan Fuad Amin yang kedua,
285
segala penyimpangan dan pelanggaran hukum yang dilakukannya sudah menjadi
hidangan umum masyarakat. Kemenangan Fuad Amin di periode kedua, tidak
terlepas dari beberapa akumulasi modal kulturalnya selaku kiai dan blater, yang
ditambah dengan modal strukturalnya selaku kandidat incumbent bupati periode
sebelumnya.
Kekuatan politik Fuad sebagai bupati dua periode ini semakin memantapkan
posisinya sebagai raja lokal yang mengantongi unsur kekuasaan informal dan
formal sekaligus. Maka tak aneh jika akhirnya Fuad Amin begitu leluasa untuk
menaruh dan menempatkan para kroni dan keluarganya di berbagai struktur
pemerintahan dan ormas. Yang mesti digarisbawahi dari fenomena munculnya
kekuasaan tunggal yang berdampak pada lahirnya dinasti politik Fuad Amin di
Bangkalan jika didasarkan pada kerangka teoritis local strongmen Joe S. Migdal,
bossism John T. Sidel, dan Oligarki Jeffrey Winters adalah:
Pertama, kemunculan Fuad Amin sebagai orang kuat lokal tidak terlepas
dari sifat masyarakat yang patrimornial. Artinya, masyarakat masih
memegang teguh budaya lama yang menempatkan kiai dan blater pada
struktur atas kelas sosial masyarakat setempat, meskipun mereka telah
hidup di era demokrasi modern - yang menjamin hak warga negaranya
secara egaliter.
Kedua, kekuasaan tunggal Fuad Amin sebagai orang kuat lokal juga tidak
bisa dinafikkan dari stigma yang berkembang di masyarakat bahwa orang
kuat lokal merupakan elit lokal dengan pengaruh serta simbol ‘strategies
of survival’, sehingga wajar bila masyarakat menaruh rasa segan dan takut
kepada Fuad Amin.
286
Ketiga, keyakinan Migdal yang menganggap bahwa orang kuat lokal
hanyalah penghambat laju pembangunan yang akan diinisiasi oleh negara
tidak relevan bila merujuk pada kasus Fuad Amin. Fuad Amin justru
sangat terbuka dengan maraknya pembangunan di Bangkalan, sambil
dirinya meraup banyak untung dari berbagai proyek yang dikerjakan.
Kondisi ini justru lebih sejalan dengan temuan Sidel pada kasus orang kuat
lokal di Asia Tenggara.
Keempat, alasan Sidel yang percaya bahwa kemunculan orang kuat lokal
bukan hanya disebabkan oleh sifat masyarakat, tetapi juga ditentukan oleh
proses strukturasi yang terjadi dalam negara, merupakan realita empirik
yang terjadi di Bangkalan. Bahwa peluang dan kemunculan Fuad Amin di
aras politik lokal tidak akan terjadi bila Soeharto tidak tumbang, dan
undang-undang desentralisasi tidak benar-benar diterapkan.
Kelima, argumen Migdal sedikitnya diperlengkap dengan dinamika
kekuasaan politik Fuad Amin, bahwa orang kuat lokal tidak hanya
menempatkan kroni dan keluarganya di struktur pemerintahan, melainkan
juga memposisikan dirinya sebagai elit yang terlibat untuk mengisi pos
posisi tertinggi pemerintahan.
Keenam, Fuad Amin dalam praktiknya juga merupakan seorang broker
politik tingkat lokal, yang banyak dimanfaatkan oleh elit pusat dan
provinsi. Sebagai broker politik bagi elit pusat, termanifestasikan dalam
kapasitasnya selaku pengusung dan tim sukses kemenangan Prabowo-
Hatta pada pilpres 2014, sedang dalam statusnya sebagai broker politik
bagi elit provinsi, dapat dilihat dalam kapasitasnya selaku timses pasangan
287
Soekarwo-Syaifulah Yusuf. Artinya, fakta ini selaras dengan pemikiran
Sidel bahwa bos lokal adalah broker politik yang saling berjenjang di
semua tingkatan. Mereka memberikan keuntungan satu sama lain.
Ketujuh, proses tranformasi orang kuat lokal menjadi bos lokal untuk
beberapa kasus, terbantu oleh sistem kapitalisme. Misalnya saja dalam
kasus orang kuat lokal era Soeharto, di mana orang kuat lokal banyak
diuntungkan oleh dampak ledakan ekonomi yang terjadi di Indonesia pada
waktu boom oil tahun 70-an. Mereka menikmati berbagai privelse
ekonomi, hukum, dan politik atas kedekatannya dengan Soeharto. Basis
kekayaan mereka menjadi semakin besar, tersebar dalam berbagai bentuk
usaha. Adapun Fuad Amin sendiri tidak masuk dalam kategori ini, basis
kekayaan yang dimiliki oleh Fuad Amin, selain berasal dari keluarga
besarnya, juga berasal dari hasil usahanya sebagai pengusaha travel haji
dan umroh. Dan juga dalam kapasitasnya sebagai penyalur tenaga kerja
Indonesia ke luar negeri. Tapi meskipun Fuad Amin tidak menikmati
berbagai privelse dari Soeharto sebagaimana kroni dan orang kuat lokal
lainnya, tapi Fuad Amin setidaknya turut menikmati stabilitas politik di
masa Soeharto itu.
Kedelapan, Fuad Amin juga dapat dikatakan sebagai oligark lokal. Karena
sebelum Fuad masuk ke arena politik formal di Bangkalan, Fuad Amin
telah lebih dulu memiliki basis kekayaan yang lumayan besar dalam
kapasitasnya selaku pengusaha, sehingga pra-kondisi oligark yang
mengarah pada kepemilikan sumber basis material kekayaan, telah dulu
dipegang sebelumnya. Adapaun politik pertahanan kekayaan atau adanya
288
upaya meningkatkan basis kekayaan yang menjadi karakter seorang
oligark, tercermin dalam sikap Fuad yang melakukan berbagai tindakan
korupsi, pemerasan, dan monopoli badan usaha milik daerah guna
kepentingan pribadinya semata.
Kesembilan, jika yang dimaksud orang kuat lokal oleh Migdal adalah
kelompok informal yang bisa berbentuk tuan tanah, tengkulak, pengusaha,
kepala suku, panglima perang, bos, petani kaya, pemimpin klan, za’im,
effendi, agha, cacique dan kulaks (Melvin, 2012, 17), sedang yang
dimaksud bos lokal oleh Sidel bisa berbentuk Walikota, Gubernur,
Anggota Kongres dan Anggota Senat (Melvin, 2012, 20), maka Fuad
Amin merupakan perpaduan dua unsur tersebut. Karena sebelum Fuad
Amin terjun ke dunia politik, Fuad merupakan salah satu bagian dari
kelompok informal berpengaruh.
B. Saran
Penelitian mengenai kekuasaan politik, terutama yang membahas soal
dinamika politik Fuad Amin di Bangkalan, memuat beberapa hal yang belum
terurai. Karena terbatasnya waktu, penulis hanya melihat aspek-aspek pendukung
kemunculan dan kebertahanan kekuasaan politik Fuad. Terhitung sejak tahun
2003, di mana Fuad pertama kali mencalonkan diri sebagai bupati, sampai tahun
2012, di mana Fuad mencoba sekuat tenaga membantu anaknya menjadi
suksesornya. Untuk itu, penulis menyarankan agar penelitian selanjutnya
menjelaskan bagaimana Fuad Amin ikut mempengaruhi segala kebijakan
pemerintah Bangkalan di bawah kepemimpinan anaknya. Sebab, dalam tinjauan
289
singkat penulis di Bangkalan, Fuad kerapkali ikut campur dalam urusan-urusan
pemerintah daerah yang kini dipimpin oleh anaknya.
290
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Paper
Agus Yusoff, Mohammad dan Leo Agustino. “Daripada Orde Baru Ke Orde
Reformasi: Politik Lokal di Indonesia Pasca Orde Baru.” Jebat: Malaysian
Journal of History, Politics & Strategic Studies. Vol. 39.
Agustino, Leo dan Mohammad Agus Yusoff. “Politik Lokal di Indonesia:
dari Otokratik ke Reformasi Politik.” Jurnal Ilmu Politik, Edisi 21,
2010.
Agustino, Leo. Sisi Gelap Otonomi Daerah: Sisi Gelap Desentralisasi di
Indonesia Berbanding Era Sentralisasi. Widya Padjadjaran, 2011.
Aspinall, Edward dan Mada Sukmajati, ed., Politik Uang Di Indonesia: Patronase
dan Klientisme pada Pemilu Legislatif 2014. Yogyakarta: PolGov, 2015.
Azra, Azzumardi. Jaringan Ulama. Bandung: Mizan, 1994.
de Jonge, Huub. Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan
Ekonomi, dan Islam. Jakarta: PT. Gramedia, 1989.
Djati, Wasisto Raharjo. “Revivalisme Kekuatan Familisme dalam Demokrasi:
Dinasti Politik di Aras Lokal.” Jurnal Sosiologi Masyarakat, Vol 18, No.
2, Juli 2013: 203-231.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta:
Pustaka Jaya, 1983.
Giddens, Anthony. Kapitalisme dan teori sosial modern: suatu analisis karya tulis
Marx, Durkehim, dan Max Weber. Jakarta: UI-Press, 1986.
Herlambang, Wijaya. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru
Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Sastra dan Film. Serpong: Marjin
Kiri, 2013.
Hidayat, Syarif. “Demokrasi Elitis? Relasi Kekuasaan Pasca Pilkada,”
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 23 No. 3 (Juli–September
2010).
Hikam, Muhamad AS. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, 1996.
Huntington, Samuel P. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta:Pustaka Utama
Grafiti, 1995.
291
Hutabarat, Melvin Perjuangan. “Fenomena „Orang Kuat Lokal‟ Di Indonesia Era
Desentralisasi.” Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Indonesia 2012.
Jati, Wasisto Raharjo. “Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah di Indonesia:
Dilema Sentralisasi atau Desentralisasi,” Jurnal Konstitusi, Volume 9
Nomor 4, (Desember 2012).
Jeffrey A Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia,” Majalah Prisma, Vol.
33, 2014: 11-34.
Jone, Pip. Pengantar Teori-Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kosim, Muhammad. “Kyai Dan Blater: Elit Lokal Dalam Masyarakat Madura,”
Jurnal Karsa, Vol. XII No. 2 (Oktober, 2007): h. 162.
Kuntowijoyo. Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940.
Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002.
Lambach, Daniel. “State in Society: Joel Migdal and the limit of state authority.”
Paper for presentation at the conference “Political Concepts Beyond the
Nation State: Cosmopolitanism, territoriality, democracy”, Danish
Political Theory Network Conference, University of Copenhagen,
Department of Political Science Copenhagen, 27-30 October 2004.
Lukas, Anton E. Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Dalam Revolusi. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1989.
Maridis, Roy C. “Sejarah, Fungsi, Dan Tipologi Partai Politik: Suatu Pengantar,”
dalam Ichlasul Amal, ed., Teori-teori Mutakhir Partai Politik. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2012.
Migdal, Joel S. State in Society: Studying How States And Societies Transform
And Constitute One Another. Cambridge, UK: The Press Syndicate of The
University of Cambridge.
Mutmainnah, “Kiai dan Dinamika Politik Lokal di Kabupaten Bangkalan dan
Sumenep, Madura.” Dalam Jamil Gunawan, Sutoro Eko Yunanto, Anton
Birowo, dan Bambang Purwanto, ed. Desentralisasi Globalisasi dan
Demokrasi Lokal. Jakarta: LP3ES, 2004.
Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1980.
Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken ed., Politik Lokal di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2014.
292
Orwel, George. 1984. Yogyakarta: Bentang, 2014.
Poerwanto, Hari. Profile Bangkalan Dan Dinamika Komunitas Perkotaan Dalam
Kaitannya Dengan Pengembangan Kawasan Gerbangkertosusilo. Laporan
Penelitian Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
1992/1993.
Pye, Lucian. Pembangunan Politik dan Perubahan Politik. Jakarta: PT. Gramedia,
1985.
R Hadiz, Vedi. Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Pasca-Soeharto. Jakarta:
LP3ES, 2005.
Rozaki, Abdur. “Islam, Demokrasi Dan Orang Kuat Lokal: Studi Kemunculan
Oligarki Politik dan Perlawanan Sosial Di Bangkalan Madura.” Disertasi
Program Studi Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015.
Rozaki, Abdur. “Social Origin dan Politik Kuasa Blater di Madura,” Kyoto
Review of Southeast Asia Issue 11 (December 2009): h. 2.
Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta: PT. Indeks, 2012.
Schoorl, J.W. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara
Sedang Berkembang. Jakarta: PT. Gramedia, 1981.
Sidel, John T. Capital, Coercion, and Crime: Bossisme in the Phillipines.
California: Stanford University Pers, 1999.
Suminto, H. Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES, 1985
Syamsudin, Muh. “Agama, Migrasi dan Orang Madura,” Aplikasia, Jurnal
Aplikasi llmu-Ilmu Agama, Vol. VIII, No. 2 (Desember 2007:150-182): h.
151.
Hidayat, Syarif. “Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten,” dalam
Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, ed., Politik Lokal di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2014.
Hidayat, Syarif. “Demokrasi Elitis? Relasi Kekuasaan Pasca Pilkada,”
Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Volume 23 No. 3 (Juli–September
2010).
T. Sidel, John, “Bosisme dan Demokrasi di Filipina, Thailand, dan Indonesia.”
Dalam John Harris, Kristian Stokke, dan Olle Tornquist. Ed., Politisasi
Demokrasi Politik Lokal Baru. Jakarta: Demos, 2005.
Tim Lipi. Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta: LIPI Press, 2006.
293
Wiyata, A. Latief. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.
Yogyakarta: LkiS, 2002.
Surat Kabar dan Artikel Online
Ananta, Dicky Dwi. “Oligarki: Tatanan Ekonomi Politik Kontemporer.” Artikel
ini diakses pada tanggal 23 Agustus 2015 dari
http://indoprogress.com/2014/11/oligarki-tatanan-ekonomi-politik-
indonesia kontemporer/
Ahmad Nurcholis, “Mitos Kiai Suci,” artikel diakses pada tanggal 27 Maret 2016
dari http://islamlib.com/gagasan/mitos-kiai-suci/
ANTARANEWS.COM, “675.420 Pemilih Salurkan Hak Suara di Pilkada
Bangkalan,” berita diakses pada tanggal 27 Maret 2016 dari
http://www.antaranews.com/berita/91038/675420-pemilih-salurkan-hak-
suara-di-pilkada-bangkalan
Bappeda Jawa Timur, “Kabupaten Bangkalan,” data ini diunduh pada tanggal 17
Juni 2015 dari
http://bappeda.jatimprov.go.id/bappeda/wp-content/uploads/potensi-kab-
kota-2013/kab-bangkalan-2013.pdf
Biro Humas Dan Protokol Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur, “Gubernur
Minta Bupati Baru Prioritaskan Sektor Pertanian,” data ini diakses pada
tanggal 18 Juni 2015 dari
http://birohumas.jatimprov.go.id/index.php?mod=watch&id=1868
BPS Provinsi Jawa Timur, “Kepadatan Penduduk Pertengahan Tahun Menurut
Kabupaten/Kota 2010-2013,” data ini diakses pada tanggal 18 juni 2015
dari http://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/19
BPS Provinsi Jawa Timur, “Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi,” data ini
diakses pada tanggal 16 Februari 2016
dari http://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/80
detiknews, “Ricuh Pilkada di Madura, Hasil Suara Diadili di MK,” berita ini
diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari
http://news.detik.com/berita/2133135/ricuh-pilkada-di-madura-hasil-suara-
diadili-di-mk
“Dinasti Tuhan Kedua di Bangkalan.” Majalah Detik Edisi 161, 29 Desember
2014 - 4 Januari 2015.
294
Dody Wisnu Pribadi, “Cerita Miris dari Bangkalan,” artikel diakses pada 27
Maret 2016 dari
http://regional.kompas.com/read/2014/08/02/08181631/Cerita.Miris.dari.B
angkalan
Ferry Kurnia Rizkiyansyah, “Menguatkan Penyelenggaraan Pilkada Langsung,”
artikel diakses dari
http://www.rumahpemilu.org/in/read/7448/function.array-key-exists pada
tanggal 25 Februari 2016.
GSDRC (Governance and Social Development Resource Center) ,
“Document Library, Summary: Strong Societies and Weak States: State-
Society Relations and State Capabilities in the Third World – Summary,”
artikel ini diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 dari
http://www.gsdrc.org/go/display&type=Document&id=3554
Fitriyah.“Kekerasan, Korupsi dan Pemilukada.” Artikel diakses pada 11 Maret
2015 dari
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/3152/2829
Ghifary, Zikry Auliya. “Local Bossism : Indonesia dan Thailand dalam Perspektif
Komparatif.” Artikel diakses pada 10 Maret 2015 dari
https://www.academia.edu/2612170/Local_Bossism_Indonesia_dan_Thail
and_dalam_Perspektif_Komparatif
Kompas.com, “Harta Kekayaan Fuad Amin Dianggap Tak Sebanding dengan
Penghasilannya,” berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/07/15511691/Harta.Kekayaan.F
uad.Amin.Dianggap.Tak.Sebanding.dengan.Penghasilannya
Liputan 6, “Warga Bangkalan Menuntut Kembali Fuad Amin Dilantik,” berita ini
diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari
http://news.liputan6.com/read/49745/warga-bangkalan-menuntut-kembali-
fuad-amin-dilantik
Merriam-Webster, “Simple Definition of Reformation,” artikel diakses pada
tanggal 23 Februari 2016 dari
http://www.merriam-webster.com/dictionary/reformation
Portal Kabupaten Bangkalan, “Partai Gerindra Raih Kursi Terbanyak di DPRD,”
berita ini diakses pada tanggal 25 Februari 2016 dari
http://bangkalankab.go.id/index.php/80-template-details/general/326-
komposisi-anggotaan-dprd-hasil-pileg-2014-merata
295
suaramerdeka.com, “Karsa Konsolidasi, Kaji Ubah Tim Sukses,” berita ini
diakses dari
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/12/04/42211
/Karsa-Konsolidasi-Kaji-Ubah-Tim-Sukses pada tanggal 26 Februari
2016.
Tempo.co, “Nol Suara 20 TPS, Tjahjo Kumolo Turun ke Bangkalan,” berita
diakses dari https://www.tempo.co/read/news/2014/07/16/269593520/nol-
suara-20-tps-tjahjo-kumolo-turun-ke-bangkalan pada tanggal 26 Februari
2016.
Tempo.co, “Polisi Usut Penembakan Aktivis di Bangkalan,” berita ini diakses
pada tanggal 25 Februari 2016 dari
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/20/058636213/polisi-usut-
penembakan-aktivis-di-bangkalan
Tempo.co, “Pukul 00.00 Jembatan Suramadu Tersambung,” artikel diakses pada
25 Agustus 2015 dari
http://nasional.tempo.co/read/news/2009/04/01/058167605/
tempointeraktif, “DPRD Pecat Wakil Bupati Bangkalan,” berita ini diakses pada
tanggal 25 Februari 2016 dari
http://tempo.co.id/hg/nusa/jawamadura/2005/02/18/brk,20050218-
45,id.html
Tribunnews.com, “Boni Hargens: Kepala Desa Diancam Bikin Suara Jokowi-JK
di Bangkalan Nol,” berita ini diakses dari
http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/07/16/boni-hargens-
kepala-desa-diancam-bikin-suara-jokowi-jk-di-bangkalan-nol pada tanggal
26 Februari 2016.
wacanakiri-blogspot, “Memahami Erzat Kapitalisme bersama Yoshihara Kunio,”
artikel diakses pada tanggal 12 Maret 2016 dari
http://wacanakiri.blogspot.co.id/2011/07/memahami-erzat-kapitalisme-
bersama.html
Wawancara
Wawancara dengan Syukur, Ketua MCW (Madura Corruption Watch),
Bangkalan, 17 September 2015.
Wawancara dengan Bahiruddin, Koordinator Gempar (Gelora Mahasiswa
Penyelamat Rakyat), Bangkalan, 17 September 2015.
Wawancara dengan Mathur Husairi, mantan asisten pribadi Fuad Amin, sekaligus
Ketua CIDE (Center Islam for Democration). Mathur adalah korban
penembakan Fuad Amin. Bangkalan, 18 September 2015.
296
Wawancara dengan Fahrillah, Wakil Ketua MCW dan LIRA. Fahrillah adalah
korban pembacokan Fuad Amin. Bangkalan, 18 September 2015.
Wawancara dengan Mahmudi, Anggota Dewan DPRD Bangkalan Partai Hanura
Komisi A. Bangkalan, 19 September 2015.
Wawancara dengan Nanang Hidayat, Ketua Formula (Forum Pemuda Bangkalan).
Bangkalan, 20 September 2015.
Wawancara dengan Aliman Haris, salah satu tim inisiator pencalonan Fuad Amin
di Pilkada 2003, ketua Leksdam (Lembaga Kajian Sosial Demokrasi) dan
mantan anggota partai PKPI. Bangkalan 20 September 2015.
Wawancara dengan H. Umar Farouq Al-Komi, Ketua DPC Hanura Bangkalan.
Bangkalan, 21 September 2015.
Wawancara dengan Fauzi, Klebun/Kepala Desa Kokop, Bangkalan 21 September
2015.
Wawancara dengan Ahmad Ali Ridho, keponakan Fuad Amin, tim inisiator
pencalonan Fuad Amin pada pilkada 2003. Bangkalan, 22 September
2015.
Wawancara dengan Imam Bukhori Kholil, keponakan Fuad Amin. Pesaing
potensial Fuad. Mantan ketua PCNU Bangkalan. Partai PKNU
dan Nasdem. Bangkalan, 23 September 2015.
Diskusi dengan Jeffrey Winters di UI pada 10 Desember 2015. Setelah
menghadiri acara seminar Benedict Anderson “Anarkisme Dan
Nasionalisme”
DAFTAR TERPILIH
JAWA TIMUR:
BANGKALAN
PROVINSI
ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN/KOTA
PEMILIHAN UMUM TAHUN 2009
:KABUPATEN
PARTAI POLITIK SUARA SAH
1 2 3 6
NONO.
URUT
DCT
4
NAMA CALON TERPILIH DAPIL
5
1 Partai Hati Nurani Rakyat 4,3861 H. UMAR FAROUQ ALKOMY, SH 02
2 Partai Hati Nurani Rakyat 4,0931 MUHAMMAD SYAHRUM DAHRIYADI 05
3 Partai Hati Nurani Rakyat 5,3691 H. SUMAMBRI, ST 06
4 Partai Gerakan Indonesia Raya 3,5011 IMRON ROSYADI, SE. Msi 02
5 Partai Keadilan Sejahtera 5,3742 MUJIBURAHMAN, SH 05
6 Partai Amanat Nasional 3,5643 H. MUHAMMAD SUDARMO, S.Th.1 01
7 Partai Amanat Nasional 8,0831 MOH. MAKMUN IBNU FUAD 05
8 Partai Amanat Nasional 5,3072 SOLIHIN, SE 06
9 Partai Persatuan Daerah 4,4051 ROKIB, SE 01
10 Partai Persatuan Daerah 5,9561 Hj. SITI FATHONAH RACHMANIYAH, ST 04
11 Partai Kebangkitan Bangsa 2,6871 HUMRON MAULA MUHAMMAD,S.HI. 01
12 Partai Kebangkitan Bangsa 3,5112 HOTIB MARZUKI, SE 02
13 Partai Kebangkitan Bangsa 7,6811 ABDUL KHALIK AMIN 03
14 Partai Kebangkitan Bangsa 11,3192 H. SYAFIUDDIN ASMORO 03
15 Partai Kebangkitan Bangsa 3,7867 AHSAN 03
16 Partai Kebangkitan Bangsa 4,6621 H. ALI WAHDIN 04
17 Partai Kebangkitan Bangsa 5,4102 HM. NASIR MUNIR ROWI 04
18 Partai Kebangkitan Bangsa 9,0213 MOHAMAD IMAM SUPARDI,S.Ag 05
19 Partai Kebangkitan Bangsa 6,3271 ABD. ROFIK 06
20 Partai Kebangkitan Bangsa 4,9305 AHMAD HARIYANTO, S.Sos 06
21 Partai Demokrasi Pembaruan 5,8061 NUR HASAN, S.Pd,M.Si 03
22 Partai Republika Nusantara 4,1981 R.H. ZULKIFLI, S.E. 01
23 Partai Republika Nusantara 3,8041 MAHMUDI 06
24 Partai Golongan Karya 1,8691 A. MUFID SOBAR 01
25 Partai Persatuan Pembangunan 3,4144 Drs.Ec. MUNAWAR CHOLIL 01
26 Partai Persatuan Pembangunan 3,4451 SYAIFULLAH, S.Ag. 02
27 Partai Persatuan Pembangunan 3,8414 MUSADDAT 04
28 Partai Persatuan Pembangunan 3,4892 H. MAHMUD , SE. 05
29 Partai Persatuan Pembangunan 3,3981 Drs. HOSYAN, SH. 06
30 Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia 6,4221 KH. MUKAFFI, SH.,Msi. 02
31 Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia 6,4371 SYAIFUL RIZAL FAKHAL, SH. 03
32 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 1,9731 MOHAMMAD IDRIS, SE 01
33 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 4,2151 FATKUR RAHMAN 06
34 Partai Bintang Reformasi 4,4941 H. MUKAFFI 02
35 Partai Bintang Reformasi 4,7281 Ir. H. EKA HADI PRIYANTO 04
36 Partai Bintang Reformasi 2,5041 AKHMAD SAFRUDIN 05
37 Partai Demokrat 2,6902 H.ISMAIL HASAN, BA 01
PARTAI POLITIK SUARA SAH
1 2 3 6
NONO.
URUT
DCT
4
NAMA CALON TERPILIH DAPIL
5
38 Partai Demokrat 2,7085 MOCHDOR, S.Si 02
39 Partai Demokrat 4,5882 H.ABDURRAHMAN 03
40 Partai Demokrat 3,1091 Ir. RISKI 04
41 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 1,6718 MATWAR, S.Pd 02
42 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 2,7001 H. MUSAWWIR,SH 03
43 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 2,5191 H. NURHASAN 04
44 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 3,4471 SOFIULLOH SYARIP, S.PdI 05
45 Partai Kebangkitan Nasional Ulama 3,4325 USRO' UDIN, S.IP 06
No.
Hasil Pemilu/
Pembaharuan
Jumlah/ Total Result of ABRI PPP Golkar PDI-P PAU PKB Demokrat P2N PKNU RPR
General Election
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14)
1. Bangkalan 1982 8 23 11 3 - - - - - - - 45
2. Bangkalan 1987 9 17 18 1 - - - - - - - 45
3. Bangkalan 1992 9 13 22 1 - - - - - - - 45
4. Bangkalan 1997 9 15 21 - - - - - - - - 45
5. Bangkalan 1999 5 - 3 7 5 25 - - - - - 45
6. Bangkalan 2004 - 9 - - - 25 - 11 - - - 45
7. Revisi 2006 - 9 - - - 25 - 11 - - - 45
8. Revisi 2007 - 9 - - - 25 - 11 - - - 45
9. Revisi 2008 - 9 - - - 25 - 11 - - - 45
10. Bangkalan 2009 - 5 - - - 15 4 - 7 5 9 45
Sumber Data : Sekretariat DPRD Kabupaten Bangkalan
Data Source : DPRD Secretariat of Bangkalan Regency
Recommended