View
177
Download
6
Category
Preview:
DESCRIPTION
pasa
Citation preview
Pasang Surut Islam Indonesia
Kaleidoskop seabad (1900-1999) dinamika umat Islam Indonesia. Ajang muhasabah
sekaligus pijakan menjayakan Islam di masa depan
17 Juli 1905 Al-Jamiat al-Khairiyah, yang lebih dikenal dengan nama Jamiat Khair,
didirikan di Jakarta. Organisasi ini terbuka untuk setiap Muslim tanpa diskriminasi asal-
usul, tetapi mayoritas anggota-anggotanya adalah orang keturunan Arab. Bidang yang
digarap pertama kali adalah mendirikan sekolah dasar dan mengirimkan anak-anak muda
ke Turki untuk melanjutkan pelajaran.
Menurut Deliar Noer, ketika itu Jamiat Khair telah menjadi sebuah organisasi modern
dalam masyarakat Islam. Organisasi mereka telah dilengkapi dengan anggaran dasar,
daftar anggota yang tercatat serta rapat-rapat berkala. Sekolah yang mereka dirikan pun
sudah menggunakan kelas-kelas, bangku, papan tulis serta dilengkapi dengan kurikulum.
Pelajaran yang disampaikan pun tidak melulu ilmu agama, tetapi juga meliputi berhitung,
sejarah dan ilmu bumi.
Yang menarik, bahasa perantara di antara mereka adalah bahasa Indonesia atau bahasa
Melayu, karena lingua franca di kalangan anak-anak Arab di Indonesia adalah bahasa
Melayu atau bahasa daerah tempat mereka tinggal. Apalagi di sekolah itu juga ada murid-
murid anak pribumi Indonesia. Bahasa Belanda tidak diajarkan, sebagai gantinya bahasa
Inggris merupakan bahasa wajib.
16 Oktober 1905 berdiri Serikat Dagang Islam (SDI) yang diprakarsai oleh KH
Samanhoeddi. Didirikan oleh para pedagang batik pribumi di Solo sebagai reaksi dari
ulah para pedagang Tionghoa yang memandang rendah pedagang pribumi.
11 November 1912 SDI berubah menjadi Serikat Islam (SI) setelah Haji Oemar Said
Tjokroaminoto, seorang berpendidikan pada jaman itu ikut bergabung dengan SDI atas
ajakan H Samanhudi. Dalam kongresnya di Surabaya bulan Januari 1913 ditetapkan
bahwa kegiatan SI bersifat menyeluruh untuk segenap pelosok tanah air.
Perubahan nama itu juga berimplikasi pada perubahan titik tekan pada aktivitas SDI/SI
dari ekonomi ke politik. Pada tahun itu juga Sarekat Islam adalah satu-satunya gerakan
politik nasionalis Indonesia. Boedi Oetomo yang lahir tahun 1908 bukanlah gerakan
politik dan bukan Indonesia melainkan hanya priyayi Jawa saja. Dalam waktu singkat SI
menjadi gerakan politik terbesar di Indonesia dan menjadi sumber inspirasi buat gerakan-
gerakan nasionalisme Indonesia sesudahnya.
18 November 1912 di Yogyakarta berdirilah salah satu organisasi sosial Islam yang
terpenting di Indonesia hingga saat ini, yakni Muhammadiyah. Didirikan oleh KH
Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan murid-muridnya dan beberapa anggota Boedi
Oetomo.
Organisasi ini mempunyai maksud “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad
saw kepada penduduk bumiputera” dan “memajukan hal agama Islam kepada anggota-
anggotanya”. Muhammadiyah sangat gencar melakukan amar ma'ruf nahi munkar
terutama memberantas praktek-praktek keagamaan masyarakat saat itu yang menurut
Muhammadiyah penuh penyimpangan. Slogan mereka yang terkenal yaitu memberantas
TBC (tachayul, bid'ah, churafat).
Muhammadiyah juga lahir sebagai reaksi terhadap missi dan zending yang semakin
gencar setelah politik etis. Muhammadiyah lahir sebagai saingan missi dan zending
dengan menggunakan sarana-sarana yang sama seperti sekolah dan balai-balai kesehatan
yang kemudian menjadi rumah sakit Muhammadiyah.
11 Agustus 1915 di Jakarta berdiri organisasi Al Irsyad. Organisasi ini muncul karena
pada tahun-tahun sebelumnya sering terjadi pertentangan antara golongan sayid
(mengklaim sebagai keturunan Ali ra) dan bukan sayid antar sesama keturunan Arab
dalam tubuh Jamiat Khair. Mereka yang bukan sayid kemudian mendirikan Jam'iyat al-
Islam wal-Ersyad al-Arabia yang disingkat Al-Irsyad.
Para pendiri Al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang. Tokoh yang sangat dihormati di
kalangan pendiri dan kerap dimintakan fatwanya adalah Syaikh Ahmad Soorkatti, ulama
asal Sudan yang datang ke Jakarta tahun 1911.
Al-Irsyad menekankan perhatian pada bidang pendidikan, terutama pada masyarakat
keturunan Arab, meski masyarakat pribumi Indonesia ada juga yang menjadi anggotanya.
Kemudian Al-Irsyad meluaskan perhatian mereka pada persoalan-persoalan komplek,
yang mencakup persoalan ummat Islam umumnya di Indonesia.
12 September 1923 di Bandung berdirilah organisasi modernis Islam Persatuan Islam
(Persis). Organisasi ini berdiri dalam sebuah kenduri pengajian tiga keluarga keturunan
Palembang yang sudah lama menetap di Bandung. Pelopornya adalah Haji Zamzam
(1894-1952) dan Haji Muhammad Yunus. Dalam Anggaran Dasarnya disebutkan,
bertujuan berusaha menyempurnakan kehidupan keagamaan berdasarkan ajaran agama
Islam dalam arti yang seluas-luasnya.
Kini seiring dengan waktu organisasi ini tidak lagi melakukan gebrakan yang bersifat
shock therapy tetapi cenderung ke arah low profile yang bersifat persuasif edukatif. Dua
orang anggotanya yang sangat terkenal adalah Ahmad Hasan —yang lebih dikenal
sebagai Hasan Bandung— dan Mohammad Natsir.
23 September 1925 berdiri Jong Islamieten Bond (JIB) di Jakarta. Sjamsuridjal
bersama Mohammad Roem dan Kasman Singodimedjo adalah pengurus dan aktivis Jong
Java. Tapi lantaran di organisasi itu aspirasi keislaman mereka tidak dikehendaki
sebagian anggota lain non-Muslim dan sekuler, maka Ketua Jong Java Sjamsuridjal
meletakkan jabatan, lalu bersama sahabatnya mendirikan JIB.
JIB memiliki divisi perempuan yang bernama Jong Islamieten Bond Dames (JIBDA)
serta organisasi kepanduan bernama Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij) yang
dikomandani oleh Kasman Singodimedjo. JIB juga membentuk sebuah Lembaga Inti
(Kern Lichaam) yang anggotanya terdiri dari mereka yang telah banyak mengetahui
tentang Islam. Di antaranya yang menonjol adalah pemuda Mohammad Natsir. Dalam hal
publikasi JIB memiliki majalah organisasi bernama Het Lich (An Nuur).
Bersama sejumlah organisasi kepemudaan lain JIB berpartisipasi dalam penyelenggaraan
Kongres Pemuda II 27-28 Oktober 1928 di Jakarta yang menghasilkan Poetoesan
Congres Pemoeda-Pemoedi Indonesia atau terkenal kemudian dengan nama Sumpah
Pemuda.
31 Januari 1926 di Surabaya, didirikanlah organisasi keislaman yang berbasis massa
pesantren dengan pemikiran yang tradisionalis, yaitu Nahdlatul Ulama (kebangkitan
ulama).
Pada masa itu perkembangan paham keagamaan di dalam negeri sering timbul
pertentangan pendapat antara kaum tradisionalis dengan kaum modernis Islam. Pada saat
kongres Al Islam (IV dan V), yang diselenggarakan di Yogyakarta dan Bandung untuk
mencari input dalam menghadapi kongres Islam di Makkah, aspirasi kalangan pesantren
sama sekali tidak tertampung. Karena materi usulan yang disampaikan KHA Wahab
Hasbullah itu tidak masuk dalam agenda kongres Al-Islam di Indonesia, akhirnya atas
prakarsa beliau pula para ulama pesantren mendirikan “Komite Hijaz”. Komite ini
dibentuk bertujuan untuk menyampaikan aspirasi ulama pesantren kepada penguasa Arab
Saudi agar tradisi bermadzhab tetap diberi kebebasan. Misi komite ini berhasil dan diterima oleh penguasa Arab Saudi, Ibnu Saud. Setelah berhasil misinya, komite ini
hendak membubarkan diri, namun KH Hasyim Asy'ari mencegahnya, justru
menyarankan momentum ini dijadikan sebagai awal kebangkitan ulama. Maka, atas saran
beliaulah pada tanggal 31 Januari 1926, di Surabaya didirikanlah organisasi Nahdlatul
Ulama (NU).
21 September 1937 berdiri Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI), yang merupakan
federasi organisasi sosial Islam se-Indonesia. Para tokoh gerakan Islam ini adalah KH
Mas Mansur dari Muhammadiyah, KH Muhammad Dahlan dan KHA Wahab Hasbullah
dari NU serta Wondoamiseno dari SI. Tujuan utama organisasi ini adalah sebagai tempat
bermusyawarah dan saling mengenal yang diharapkan dapat mewujudkan pergerakan
Islam lahir maupun batin, mempererat persatuan kaum muslimin di dunia dan khususnya
di Indonesia.
Umumnya pembentukan MIAI ini disambut dengan baik oleh organisasi-organisasi Islam
di Indonesia. Jumlah anggotanya pun bertambah, dari 7 organisasi pada tahun 1937
menjadi 21 organisasi pada tahun 1941. Kongres Al-Islam pertama yang diadakan oleh
MIAI diselenggarakan di Surabaya tanggal 26 Feburari sampai 1 Maret 1938.
Pada bulan Oktober 1943, MIAI berganti nama menjadi Majelis Sjuro Muslimin
Indonesia (Masjumi).
9 April 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai realisasi janji Jepang untuk memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia. Dari 68 anggota, hanya 15 orang saja yang benar-benar
mewakili aspirasi politik golongan Islam, seperti KH Mas Masjkur, KH Wachid Hasjim,
Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Mudzakkir dan H Agus Salim. Dalam kelompok ini
pihak Islam modernis dan Islam konservatif bersatu memperjuangkan dasar negara Islam.
Sebagian besar anggota BPUPKI adalah dari kalangan nasionalis sekuler yang tegas-
tegas menolak Islam sebagai dasar negara. Mereka terdiri dari antara lain Radjiman
Wediodiningrat, Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin serta Prof Supomo.
Terjadi perdebatan seru antara kedua kelompok ini. Tetapi akhirnya kelompok Islam
mengalah setelah dicapai kompromi dalam bentuk Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni
1945.
17 Agustus 1945 Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Keesokan harinya Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai
Presiden dan Wakil Presiden RI pertama serta mengesahkan Undang-undang Dasar
Negara RI.
14 November 1945 Presiden Soekarno mengangkat Sjahrir sebagai Perdana Menteri
(PM) pertama kabinet parlementer. Meski bertentangan dengan UUD yang hanya
memuat aturan kabinet presidensiil, praktek tersebut dijalankan dengan alasan untuk
memudahkan perundingan dengan Belanda.
3 November 1945 atas saran Badan Pekerja KNIP, Wakil Presiden Mohammad Hatta
mengeluarkan Maklumat Pemerintah No X yang mengijinkan dan mendorong rakyat
mendirikan partai-partai politik. Maklumat ini disambut banyak pihak, termasuk
kalangan Islam.
8 November 1945 menyambut Maklumat Wakil Presiden, para tokoh Madjelis Sjuro
Muslimin Indonesia (Masjumi) di Yogyakarta bersepakat mendirikan sebuah partai yang
mewadahi segenap kekuatan Islam, bernama Partai Politik Islam Indonesia Masjumi yang
selanjutnya populer dengan nama Partai Masjumi.
7-8 November 1945 berlangsung Kongres Ummat Islam I di Yogyakarta yang
menghasilkan kesepakatan pembentukan satu-satunya partai politik Islam di Indonesia,
bernama Partai Masjumi. Ketua pertamanya Dr Soekiman. Dalam anggaran dasarnya
tertulis jelas tujuan partai ini: “terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan
orang seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi.”
Status sebagai satu-satunya partai politik Islam di Indonesia mulai rontok ketika pada
bulan Juli 1945 unsur PSII meninggalkan Masjumi dan menyatakan dirinya kembali
sebagai partai politik independen, kemudian disusul oleh Nahdhatul Ulama yang melalui
kongresnya di Palembang tahun 1952 mengubah dirinya dari sebuah gerakan sosial
keagamaan menjadi partai politik yang berdiri sendiri.
5 Februari 1947 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) didirikan di Yogyakarta, oleh
beberapa tokoh Islam yang diprakasai oleh Lafran Pane. Lafran dan kawan-kawannya
melihat betapa perlunya memberi nafas keislaman bagi mahasiswa-mahasiswa Muslim,
agar mahasiswa kelak tidak menjadi intelektual yang jauh dari agama. Sejak itu HMI
menyebar di berbagai kampus di tanah air. HMI sempat menjadi organisasi pemuda
sangat berpengaruh ketika bersama organisasi mahasiswa dan pelajar lain berperan
sebagai gerakan oposisi terhadap pemerintahan Soekarno yang saat itu sangat dekat
dengan PKI.
19 Desember 1948 Atas amanat Presiden dan Wakil Presiden dari Yogyakarta,
Sjafrudin Prawiranegara membentuk pemerintah darurat yang kemudian disebut
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, serta membentuk
kabinet sementara. Tokoh Partai Masjumi ini sendiri menjabat sebagai ketua kabinet
merangkap sebagai Menteri Pertahanan, Penerangan dan Urusan Luar Negeri. Sjafrudin
Prawiranegara dibantu oleh enam orang anggota kabinet dari berbagai partai.
Pemerintahannya ini berakhir tanggal 13 Juli 1949 setelah Soekarno dan Hatta
dibebaskan Belanda.
14 Desember 1949 dilakukan pertemuan untuk permusyawaratan federal di Jalan
Pegangsaan 56 Jakarta yang dihadiri perwakilan Pemerintah RI dan Pemerintah Negara-
negara atau Daerah untuk menandatangani Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).
Keesokan harinya dilakukan pemilihan Presiden RIS yang kembali memilih Soekarno
serta Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta. RIS hanya berusia beberapa bulan. RIS
bubar dan Indonesia kembali kepada bentuk negara kesatuan setelah tercapai Piagam
Persetujuan tanggal 19 Mei 1950 setelah sebelumnya Natsir mengajukan mosi integral di
parlemen.
7 Agustus 1949 di Malangbong, Tasikmalaya, sekali lagi secara resmi Sekarmaji
Marijan Kartosuwirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII).
Gerakan ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia, terutama Aceh,
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Oktober 1950 terjadi pemberontakan di Kalimantan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar
alias Haderi bin Umar, seorang bekas Letda TNI, yang menyatakan sebagai bagian dari
DI di bawah pimpinan Kartosuwirjo. Gerakan ini berhasil dipadamkan pada akhir tahun
1959 dengan ditangkapnya Ibnu Hadjar.
Januari 1952 Abdul Qahar Muzakkar juga menyatakan daerah Sulawesi Selatan
merupakan bagian dari NII yang dipimpin SM Kartosuwirjo. Sebelumnya, pada bulan
Agustus 1951 ia dan pasukannya telah lari ke wilayah pegunungan untuk melancarkan
perlawanan terbuka kepada TNI dan pemerintah Soekarno. Gerakan perlawanan ini baru
terhenti setelah Qahar diberitakan telah mati ditembak TNI pada bulan Februari 1965.
April l952 NU menyatakan keluar dari Partai Masyumi dan menjadi parpol tersendiri.
Keluarnya NU ini karena perebutan kursi Menteri Agama antara kelompok
Muhammadiyah dan NU. Adanya pelbagai kritik terhadap kebijaksanaan Wahid Hasyim
menyebabkan terpilihnya pemimpin Muhammadiyah Faqih Usman sebagai Menteri
Agama, sedangkan kalangan NU tetap menuntut jabatan ini untuk Wahid Hasyim.
20 September 1953 juga terjadi perlawanan DI/TII di Aceh, di bawah pimpinan
Tengku Daud Beureueh. Perlawanan ini diawali dengan pernyataan Daud Beureueh
bahwa Aceh merupakan bagian dari NII di bawah pimpinan SM Kartosuwirjo.
Perlawanan ini baru dapat dipadamkan dengan dilakukannya Musyawarah Kerukunan
Rakyat Aceh pada bulan Desember 1962.
29 September 1955 sebanyak 39 juta rakyat Indonesia datang ke tempat pemungutan
suara untuk memilih anggota DPR dalam pemilihan umum multipartai pertama di
Indonesia. Disusul pada tanggal 15 Desember 1955 dilakukan pemilihan umum untuk
memilih anggota-anggota Konstituante (lembaga pembuat konstitusi).
Pemilu saat itu dimenangkan empat partai besar PNI (20%), Partai Masyumi (20,9%),
Partai NU (18,4 %) dan PKI (16,4%). Hasil bersihnya, partai-partai Islam memperoleh
kurang dari 45% suara.
Pelantikan anggota DPR dilakukan pada tanggal 20 Maret 1956 sedangkan pelantikan
anggota Konstituante pada tanggal 10 November 1956. Persidangan dalam Konstituante
berjalan sangat alot, terutama berkaitan dengan dasar negara. Dari beberapa kali
pemungutan suara dalam sidang Konstituante 52% menghendaki dasar negara Pancasila
dan 48% menghendaki negara Islam. Karena kedua belah pihak tidak dapat mencapai 2/3
suara sidang tidak berhasil mencapai kata putus hingga Soekarno mengumumkan Dekrit
Presiden tiga tahun kemudian (5 Juli 1959).
15 Februari 1958 Letnan Kolonel Achmad Husein memaklumkan berdirinya
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berikut pembentukan kabinetnya
dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Pemerintahan baru ini
mendapat dukungan dari tokoh kharismatis Partai Masjumi Mohammad Natsir dan
Burhanuddin Harahap serta tokoh PSI Sumitro Djojohadikusumo. Berdirinya
pemerintahan tandingan ini didorong oleh masalah otonomi dan serta perimbangan
keuangan antara Pusat dan Daerah yang dinilai tidak adil.
Dua hari kemudian Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah Letnan
Kolonel DJ Somba menyatakan putus hubungan dengan Pemerintah Pusat dan
mendukung sepenuhnya PRRI. Gerakan ini dikenal dengan nama Piagam Perjuangan
Semesta (Permesta). Dan Permesta pun menyerah pada pemerintah pusat pada 29 Mei
1961.
5 Juli 1959 atas desakan Pangab Jenderal AH Nasution, Presiden Soekarno
mencetuskan Dekrit Presiden. Isi dekrit itu adalah membubarkan Konstituante, kembali
ke UUD 1945 dan pembentukan MPRS.
Dekrit tersebut diterima kalangan Islam, karena pemerintah Soekarno menyatakan
kembali ke UUD 1945 yang menggunakan semangat Piagam Jakarta.
17 Agustus 1960 Partai Masjumi terpaksa membubarkan diri setelah mendapat tekanan
dari pemerintahan Soekarno, Soekarno kemudian mengeluarkan Kepres No 200/1960
yang meresmikan pembubaran itu. Pembubaran ini dilatarbelakangi penolakan partai ini
terhadap konsep kabinet berkaki empat (PNI, Masjumi, NU dan PKI) serta menentang
ajaran Soekarno tentang Nasakom.
Pertentangan itu juga diperparah oleh penolakan tokoh-tokoh Partai Masjumi terhadap
kebijakan politik Soekarno memberlakukan Demokrasi Terpimpin serta ketidaksukaan
Soekarno terhadap sejumlah pimpinan Partai Masjumi yang terlibat PRRI. Menyusul
pembubaran Partai Masjumi banyak tokoh Islam yang ditangkap dan dipenjara oleh
rezim Soekarno. Di antara mereka adalah M Natsir, Sjafruddin Prawiranegara,
Burhanuddin Harahap, As'at, Prawoto Mangkusasmito, Muhammad Roem, Isa Anshary,
EZ Muttaqien, Junan Nasution, Kasman Singodimedjo serta Hamka. Sebagian
dijebloskan ke penjara karena fitnah PKI.
30 September 1965 terjadi peristiwa dramatis pembunuhan dan penculikan sejumlah
perwira tinggi TNI AD yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan dirinya Gerakan
30 September (G3OS). Belakangan diketahui G30S didalangi oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI). Aksi itu mendapat kecaman dan kutukan dari banyak kalangan. Tangal
8 Oktober 1965 sebanyak 500 ribu massa bersama 46 orpol dan ormas mengadakan demo
besar di Taman Suropati Jakarta, menuntut pembubaran PKI. Tercatat di antara yang
demo PII, HMI, Pemuda Ansor, NU, Muhammadiyah, Perti, Pemuda Muslim, Front
Katolik serta GMKI.
25 Oktober 1965 berbagai organisasi mahasiswa anti PKI membentuk wadah
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Kemudian diikuti kalangan pelajar dengan
membentuk Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), kalangan pemuda dengan Kesatuan
Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan sejumlah kesatuan aksi lainnya.
10 Januari 1966 dengan dipelopori KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang
tergabung dalam Front Pancasila memenuhi halaman gedung DPR-GR, mengajukan tiga
tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang isinya:
pembubaran PKI, retool kabinet dan penurunan harga.
12 Maret 1966, dengan berbekal Surat Perintah 11 Maret, Pangkopkamtib Letjend
Soeharto menetapkan pembubaran dan pelarangan PKI serta berbagai underbouwnya.
20 Juli - 5 Juli 1966 berlangsung SU MPRS IV. Di antara ketetapannya menegaskan
pembubaran PKI serta meminta kepada Presiden Soekarno melengkapi laporan
pertanggungjawabannya yang berjudul Nawaksara yang dipandang tidak memenuhi
harapan rakyat karena tidak memuat secara jelas kebijakan Presiden mengenai peristiwa
G30S beserta epilognya.
7 - 12 Maret 1967 MPRS mengadakan Sidang Istimewa di Jakarta. Salah satu
keputusannya adalah mencabut kekuasaan Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal
Soeharto sebagai Pejabat Presiden hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan
umum. Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden pada SU MPR ke-V tanggal 21-30 Maret
1968 di Jakarta.
20 Februari 1967 berdiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) di Jakarta.
Organisasi ini didirikan oleh para mantan aktivis Partai Masyumi seperti Moh Natsir,
Anwar Harjono, Mohammad Roem dan Prawoto Mangkusasmito, dengan tujuan
menggiatkan dan meningkatkan mutu dakwah Islamiyah di Indonesia. Dalam
merealisasikan tujuannya, organisasi ini banyak mengirimkan dai ke berbagai pelosok
tanah air, hingga ke daerah terpencil seperti Mentawai dan Irian Jaya. Belakangan juga
turut mengirimkan da'i ke daerah transmigrasi untuk mengimbangi gerakan kristenisasi.
2 Januari 1974 UU No 1/1974 tentang Perkawinan disahkan Presiden RI setelah
disetujui oleh DPR. Sebelumnya RUU yang diajukan sejak bulan Juli 1973 ini sempat
ditolak oleh kalangan Islam, karena dinilai sebagian isinya bertentangan dengan syariat
agama. Dalam RUU itu tercantum pasal yang mensahkan perkawinan melalui kantor
catatan sipil, meski tidak berlandaskan syariat agama. RUU itu juga membolehkan
perkawinan pasangan yang berbeda agama. RUU kontan ditolak oleh berbagai ormas
Islam, berupa demonstrasi penolakan RUU yang konsepnya dirancang CSIS itu.
Puncaknya adalah pendudukan ruang sidang DPR oleh sekitar 500 orang pemuda Muslim
yang terdiri dari GPI, IPM, IPNU, PII, dan lain-lain yang tergabung dalam wadah Badan
Kontak Generasi Pelajar Islam. Menghadapi tolakan keras dari ummat Islam itu akhirnya
dalam sidang DPR, wakil pemerintah bersedia menghapus pasal-pasal yang dianggap
kontroversial.
15 Januari 1974 di Jakarta terjadi demonstrasi besar pertama kali yang dilakukan
mahasiswa terhadap pemerintahan Soeharto. Bermula dari demonstrasi yang menuntut
dominasi Jepang, berbuntut pada kerusuhan massal di ibukota negara yang dikenal
dengan nama Peristiwa Lima Belas Januari (Malari).
26 Juli 1975 Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan di Jakarta oleh 53 orang ulama
dan aktivis dari berbagai ormas Islam, seperti antara lain Muhammadiyah, NU, Al Irsyad
Al Washilyah dan Al-Ittihadiyah. Terpilih sebagai Ketua Umum pertama Prof HAMKA.
Salah satu fungsi penting yang diemban organisasi ini adalah memberi fatwa dan nasihat
mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan ummat Islam
sebagai amar ma'ruf nahi munkar.
Di awal berdirinya, saat dipimpin ulama kharismatik Buya Hamka, MUI bisa
menempatkan diri sebagai organisasi independen dan berwibawa serta menjadi alat
kontrol efektif terhadap pemerintah. Hingga sempat menimbulkan hubungan tak
harmonis dengan pemerintah Soeharto, terutama berkaitan dengan dikeluarkannya fatwa
larangan mengikuti perayaan Natal bagi umat Islam. Buntutnya, Buya Hamka terpaksa
mundur dari jabatannya.
Era sesudah itu, MUI relatif dekat dengan pemerintah. Bahkan terkesan menjadi corong
pemerintah dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakan nasional seperti kebijakan
keluarga berencana (KB) dan ekspor kodok.
Setelah kasus isu lemak babi di tahun 1988 yang meresahkan masyarakat, MUI pada 6
Januari 1989 mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik
(LPPOM). MUI juga kemudian memprakarsai berdirinya Bank Muamalat Indonesia
(BMI) yang diresmikan di Istana Bogor pada tanggal 30 Oktober 1991.
22 Maret 1978 MPR mensahkan Tap MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), meski Fraksi Persatuan Pembangun (FPP)
sangat berkeberatan dan sempat melakukan walk out saat dilakukan voting. Sikap PPP ini
membuat berang Pemerintah, sehingga Presiden Soeharto menuduh aksi itu sebagai bukti
keraguan PPP terhadap kebenaran Pancasila. Selanjutnya Soeharto menginstruksikan
ABRI agar waspada kepada pihak-pihak yang meragukan kebenaran Pancasila. Sejak itu
Pemerintah gencar mensosialisasikan P4 melalui pelajaran PMP dan penataran-penataran.
Reaksi keras terhadap P4 dan PMP datang dari tokoh-tokoh Muslim, karena dalam
implementasinya mengarah pada gagasan sinkretis yang bertentangan dengan aqidah
Islam. Buahnya, sejumlah tokoh Islam seperti Abdul Qadir Djaelani dan Tony Ardi
dipenjara dengan tuduhan subversif/makar.
27 Maret 1980 dalam Pembukaan Rapim ABRI di Pakanbaru serta dalam Perayaan
HUT Kopassandha di Jakarta tanggal 16 April 1980, mulai mengeluarkan gagasan
perlunya pemberlakukan asas tunggal Pancasila bagi seluruh kekuatan sosial politik,
sekaligus mengajak ABRI meningkatkan kewaspadaan terhadap para pemimpin PPP.
17 Maret 1982 Dirjen Dikdasmen Prof Soedardji Darmoyuwono mengeluarkan Surat
Keputusan bernomor 052/C/Kep/D.82 tentang pakaian seragam sekolah, yang melarang
penggunan kerudung atau jilbab bagi siswi Muslimah. Akibatnya, tidak sedikit siswi
yang dikeluarkan dari sekolah karena aturan ini, hingga berbuntut gugatan siswa ke
pengadilan terhadap pemerintah.
12 September 1984 terjadi peristiwa berdarah yang kemudian disebut Peristiwa
Tanjung Priok, di bagian utara kota Jakarta. Peristiwa ini menelan korban jiwa sekitar
400 orang ummat Islam, termasuk pimpinannya bernama Amir Biki, yang dibantai secara
keji dengan menggunakan senjata otomatis oleh pihak militer. Peristiwa ini terjadi akibat
gejolak politik yang sengaja direkayasa oleh pemerintah untuk menyudutkan ummat
Islam dan membuat citra ummat Islam terkesan radikal. Bertindak sebagai
Pangab/Pangkopkamtib ketika itu Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani (Benny
Moerdani) dan sebagai Pangdam Jaya Mayjend Try Soetrisno. Kedua tokoh ini sampai
sekarang masih melenggang-kangkung, tak terjamah pengadilan.
Lanjutan dari peristiwa ini banyak tokoh Islam ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan
subversif, antara lain AM Fatwa, Ir Sanusi, Letjend HR Dharsono, Syarifin Maloko,
Abdul Qadir Djaelani, Abu Oesmany Al-Hamidy serta Rahmat Basuki.
8-12 Desember 1984 Nahdhatul Ulama (NU) menyelenggarakan Muktamar NU ke-27
di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Situbondo yang salah satu keputusan
pentingnya menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi tersebut. Abdurrahman
Wahid terpilih sebagai Ketua Umum PB NU yang baru pada muktamar kali itu.
Keputusan penting lainnya adalah pernyataan kembali ke Khitthah 1926, kembali sebagai
organisasi sosial keagamaan dan tidak terlibat politik praktis serta memutuskan hubungan
dengan semua partai politik. Yang terkena pukulan telak keputusan itu adalah PPP yang
kelahirannya merupakan fusi dari empat partai Islam termasuk Partai NU. Karena sejak
itu NU putus hubungan dengan PPP dan anggota NU bebas bergabung dengan partai
manapun. Dalam rapat komisi muktamar itu, dari 36 anggotanya hanya ada 2 orang yang
mendukung penerimaan asas tunggal Pancasila. Tetapi penolakan itu kandas dalam rapat
pleno muktamar. Demikian juga Muhammdiyah dalam Muktamar di Surakarta menerima
azas Pancasila.
24 Maret - 1 April 1986 berlangsung pembukaan Kongres HMI ke-16 di Padang.
Berbeda dengan saat Kongres HMI ke-15 di Medan yang berhasil menolak
pemberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi itu, pada kongres ini HMI
memilih Saleh Khalid sebagai ketua umun dan terpaksa menerima Pancasila sebagai asas
tunggal organisasinya demi menjaga kelangsungan hidupnya.
Sebelum kongres ke-16 berlangsung sudah ada lima cabang HMI yang menolak
pemberlakuan asas tunggal tersebut dengan membentuk Majelis Penyelamat Organisasi
(MPO) HMI pada tanggal 15 Maret 1986 di Jakarta. Tetapi kelompok ini tidak mendapat
ijin untuk turut serta dalam kongres di Padang. Menanggapi keputusan kongres tersebut,
MPO HMI membuat pengurus PB HMI tandingan di bawah kepemimpinan Eggy
Sudjana pada tanggal 17 April 1986 di Yogyakarta. Selanjutnya, HMI yang menerima
asas tunggal disebut HMI Dipo (diambil dari nama Jalan Diponegoro, tempat sekretariat
mereka) dan yang menolak asas tunggal disebut HMI MPO.
10 Desember 1987 keluar vonis dari Menteri Dalam Negeri berupa SK Mendagri No
120/1987 yang berisi pelarangan aktivitas Pelajar Islam Indonesia (PII) lantaran ormas
pelajar itu menolak mengganti asas organisasinya dari asas Islam menjadi asas tunggal
Pancasila sampai tenggat waktu 17 Juni 1987. Sejak itu PII menjadi organisasi terlarang
yang bergerak di bawah tanah.
23 Mei 1988 Pemerintah dalam hal ini Mendikbud Fuad Hasan mengajukan RUU
Pendidikan Nasional (RUU PN) yang pasal-pasalnya merugikan kepentingan pendidikan
Islam, antara lain karena RUU ini tidak mengakui dasar kebebasan untuk mendirikan dan
menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan swasta, termasuk lembaga pendidikan
keagamaan. Dalam RUU ini juga tidak diatur kewajiban penyelenggaraan pendidikan
agama di sekolah-sekolah, sesuai agama yang dianut anak didik.
Reaksi pertama disampaikan oleh Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa
Barat yang menolak RUU tersebut. Akhirnya RUU itu berhasil disetujui setelah
dilakukan koreksi sesuai aspirasi masyarakat.
1989 adalah tahun dimulainya Operasi Jaring Merah oleh di Aceh untuk menumpas aksi
pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sekaligus dimulainya Aceh sebagai
daerah operasi militer (DOM).
Sejak itu ribuan pasukan TNI tambahan diterjunkan di Bumi Rencong ini untuk
memerangi GAM. Aksi militer yang kejam dan melanggar HAM dari kedua belah pihak
telah menghasilkan banyak korban rakyat sipil yang tidak bersalah.
Upaya penyelidikan Komnas HAM yang dipimpin Baharuddin Lopa di tahun 1998
menghasilkan data temuan sementara 871 orang tewas di tempat kejadian perkara (TKP)
karena tindak kekerasan, 387 orang hilang kemudian ditemukan mati, 550 orang hilang
tak diketemukan lagi, 368 orang cedera karena penyiksaan, 120 korban dibakar rumahnya
serta 102 orang perempuan diperkosa akibat pelaksaan DOM selama sembilan tahun
(1989-1998). Banyak pihak percaya, korban sesungguhnya dua atau kali lipat dari temuan
itu.
7 Desember 1990 Sekitar 500 orang pakar dan cendekiawan berkumpul di Universitas
Brawijaya, Malang, menghadiri Simposium Nasional Cendekiawan Muslim dengan tema
“Membangun Masyarakat Indonesia Abad 21”. Puncak dari acara itu adalah terbentuk
Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dengan Menristek Prof BJ Habibie
sebagai Ketua Umumnya.
Kehadiran ormas ini yang menandakan berakhirnya rasa curiga dan permusuhan
pemerintah Soeharto kepada ummat Islam kemudian melahirkan pro dan kontra di tengah
masyarakat. Kalangan Islam yang selama ini dimusuhi oleh Pemerintah, tentu saja
mendukung berdirinya ICMI, karena dengan begitu usaha dakwah ummat Islam dapat
lebih leluasa bergerak. Dalam usaha mentransformasikan missinya, ICMI mendirikan
lembaga kajian bernama Center for Information and Development Studies (CIDES),
koran harian Republika, Yayasan Orbit, dan Pusat Inkubasi Usaha Kecil (Pinbuk).
29 Maret 1998 Sekitar 200 pimpinan lembaga dakwah kampus (LDK) se-Indoneia
seusai mengikuti acara forum silaturahmi LDK ke-10 di Universitas Muhammadiyah
Malang Jawa Timur mencetuskan Deklarasi Malang sebagai tanda kelahiran Kesatuan
Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Fahri Hamzah dari UI terpilih sebagai
ketua umumnya yang pertama.
Beberapa hari sesudahnya KAMMI melakukan gebrakan pertama dengan menggelar
Rapat Akbar Mahasiswa dan Rakyat di halaman Masjid Al Azhar Jakarta, menghadirkan
sekitar 20 ribu mahasiswa, pelajar, buruh, pedagang, dan ibu-ibu rumah tangga, menuntut
pemerintahan Soeharto segera melakukan reformasi sesuai tuntutan mahasiswa.
20 Mei 1998 bertepatan dengan hari kebangkitan nasional, di Istana Negara Presiden
Soeharto menyatakan mengundurkan diri dari jabatannya setelah berbulan-bulan didemo
mahasiswa dan diultimatum oleh Pimpinan MPR. Pada hari yang sama Wakil Presiden
BJ Habibie dilantik menjadi Presiden RI ke-3, menggantikan Soekarno.
Beberapa hari sebelumnya ribuan mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR.
26 Juni 1998 Prof Deliar Noer mendeklarasikan berdirinya Partai Ummat Islam (PUI)
sebagai partai pertama yang berasaskan Islam. Sesudah itu menyusul berdiri pula 12
partai Islam lainnya seperti Partai Bulan Bintang (PBB) tanggal 26 Juli 1998, Partai
Keadilan (PK) tanggal 9 Agustus 1998, Partai Nahdhatul Ummat (PNU) tanggal 16
Agustus 1998 dan Partai Kebangkitan Ummat (PKU) 25 Oktober 1998.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang di masa pemerintahan Soeharto dipaksa
berasastunggal Pancasila, pada muktamarnya yang terakhir kembali kepada asas Islam
dan kembali menggunakan lambang Ka'bah.
PB NU memilih tidak mendirikan partai Islam, tetapi mendeklarasikan partai berasaskan
Pancasila bernama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Begitu pula Muhammadiyah
memilih tidak mendirikan partai, tetapi mengijinkan ketua umum Dr Amien Rais sebagai
Ketua Umum partai berasaskan Pancasila bernama Partai Amanat Nasional (PAN).
10 November 1998 berlangsung Sidang Istimewa MPR. Salah satu putusan
terpentingnya adalah pencabutan Ketetapan MPR No II/MPR/1978 tentang P4 serta
pencabutan Pancasila sebagai asas tunggal orsospol dan ormas.
19 Januari 1999 tepat di hari raya Idul Fitri tahun lalu, di saat kaum Muslim Ambon
sedang beristirahat usai bersilaturahmi dengan sanak famili, mendadak warga Muslim di
daerah Batu Merah diserbu warga Nasrani bersenjata parang panjang dan panah berapi.
Ratusan rumah, pasar, pertokoan dan sarana pendidikan musnah terbakar. Ratusan nyawa
melayang, puluhan ribu penduduk mengungsi. Sejak itu kerusuhan menjalar ke seantero
pula Ambon. Bahkan kemudian menjalar pula ke pulau-pulau di sekitarnya. Senjata yang
digunakan pun sudah berupa senapan mesin dan bom rakitan. Meski Gus Dur dan
Megawati telah berkunjung ke sana bulan silam, kerusahan masih belum berhenti juga.
(Irfan S. Awwas )
Negara Islam Indonesia telah diproklamirkan oleh As-Syahid Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo pada tanggal 7 Agustus 1949. Dimana bunyi proklamasi Negara Islam
Indonesia adalah sebagai berikut :
PROKLAMASI
Berdirinya
Negara Islam Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih
Ashhadu alla ilaha illallah, wa ashhadu anna Muhammadarrasulullah
Kami, Ummat Islam Bangsa Indonesia
MENYATAKAN :
BERDIRINYA
NEGARA ISLAM INDONESIA
Maka Hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu, ialah : HUKUM
ISLAM.
Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar !
Atas nama Ummat Islam Bangsa Indonesia
IMAM NEGARA ISLAM INDONESIA
ttd
S.M. KARTOSOEWIRJO
Madinah - Indonesia,
12 Syawal 1368 / 7 Agustus 1949.
Tanggal 7 agustus 1949 adalah bertepatan dengan Bung Hatta pergi ke Belanda untuk
mengadakan perundingan Meja Bundar, yang berakhir dengan kekecewaan. Dimana hasil
perundingan tersebut adalah Irian Barat tidak dimasukkan kedalam penyerahan
kedaulatan Indonesia, lapangan ekonomi masih dipegang oleh kapitalis barat.
Negara Islam Indonesia diproklamirkan di daerah yang dikuasai oleh Tentara Belanda,
yaitu daerah Jawa Barat yang ditinggalkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke
Jogya. Sebab daerah de-facto R.I. pada saat itu hanya terdiri dari Yogyakarta dan kurang
lebih 7 Kabupaten saja ( menurut fakta-fakta perundingan/kompromis dengan Kerajaan
Belanda; perjanjian Linggarjati tahun 1947 hasilnya de-facto R.I. tinggal pulau Jawa dan
Madura, sedang perjanjian Renville pada tahun 1948, de-facto R.I. adalah hanya terdiri
dari Yogyakarta). Seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa Barat kesemuanya masih
dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa
Negara Islam Indonesia didirikan dan diproklamirkan didalam negara Republik Indonesia.
Negara Islam Indonesia didirikan di daerah yang masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda.
Negara Islam Indonesia dengan organisasinya Darul Islam dan tentaranya yang dikenal
dengan nama Tentara Islam Indonesia dihantam habis-habisan oleh Regim Soekarno
yang didukung oleh partai komunis Indonesia(PKI). Sedangkan Masyumi (Majelis syura
muslimin Indonesia) tidak ikut menghantam, hanya tidak mendukung, walaupun
organisasi Darul Islam yang pada mulanya bernama Majlis Islam adalah organisasi
dibawah Masyumi yang kemudian memisahkan diri. Seorang tokoh besar dari Masyumi
almarhum M Isa Anshary pada tahun 1951 menyatakan bahwa "Tidak ada seorang
muslimpun, bangsa apa dan dimana juga dia berada yang tidak bercita-cita Darul Islam.
Hanya orang yang sudah bejad moral, iman dan Islam-nya, yang tidak menyetujui
berdirinya Negara Islam Indonesia. Hanya jalan dan cara memperjuangkan idiologi itu
terdapat persimpangan dan perbedaan. Jalan bersimpang jauh. Yang satu berjuang dalam
batas-batas hukum, secara legal dan parlementer, itulah Masyumi. Yang lain berjuang
dengan alat senjata, mendirikan negara dalam negara, itulah Darul Islam" (majalah
Hikmah, 1951).
Ketika Masyumi memegang pemerintahan, M Natsir mengirimkan surat kepada SM
Kartosoewirjo untuk mengajak beliau dan kawan-kawan yang ada di gunung untuk
kembali berjuang dalam batas-batas hukum negara yang ada. Namun M Natsir mendapat
jawaban dari SM Kartosoewirjo "Barangkali saudara belum menerima proklamasi
kami"(majalah Hikmah, 1951).
Setelah Imam Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo tertangkap dan dijatuhi
hukuman mati pada tahun 1962 regim Soekarno dengan dibantu oleh PKI yang
diteruskan oleh regim Soeharto dengan ABRI-nya telah membungkam Negara Islam
Indonesia sampai sekarang dengan pola yang sama. Pola tersebut adalah dengan cara
menugaskan bawahannya untuk melakukan pengrusakan, setelah melakukan
pengrusakkan bawahan tersebut "bernyanyi" bahwa dia adalah anggota kelompok Islam
tertentu. Atau melakukan pengrusakan dengan menggunakan atribut Islam. Menurut
salah seorang kapten yang kini masih hidup, dan mungkin saksi hidup yang lainnya pun
masih banyak, bahwa ada perbedaan antara DI pengrusak dan DI Kartosuwiryo yakni
attribut yang dipergunakan oleh DI pengrusak (buatan Sukarno) berwarna merah
sedangkan DI Kartosuwiryo adalah hijau. Sebenarnya Negara Islam Indonesia masih ada
dan tetap ada, walaupun sebagian anggota-anggota Darul Islam sudah pada meninggal,
namun ide Negara Islam Indonesia masih tetap bersinar di muka bumi Indonesia*.*
Memahami kembali Sejarah Darul Islam di Indonesia
Mengungkapkan sejarah perjuangan Darul Islam di Indonesia, sama pentingnya dengan mengungkapkan kebenaran. Sebab perjalanan sejarah gerakan ini telah banyak dimanipulasi, bahkan berusaha ditutup-tutupi oleh penguasa. Rezim orde lama dan kemudian orde baru, mengalami sukses besar dalam membohongi serta menyesatkan kaum muslimin khususnya, dan bangsa Indonesia umumnya dalam memahami sejarah masa lalu negeri ini.
Selama ini kita telah tertipu membaca buku-buku sejarah serta berbagai publikasi sejarah perjuangan umat Islam diIndonesia.Sukses besar yang diperoleh dua rezim penguasa di Indonesia dalam mendistorsi sejarah Darul Islam, adalah munculnya trauma politik di kalangan umat Islam. Hampir seluruh kaum muslimin di negeri ini, memiliki semangat untuk memperjuangkan agamanya, bahkan seringkali terjadi hiruk pikuk di ruang diskusi maupun seminar untuk hal tersebut. Tetapi begitu tiba-tiba memasuki pembicaraan menyangkut perlunya mendirikan Negara Islam, kita akanmenyaksikan segera setelah itu mereka akan menghindar dan bungkam seribu bahasa.
Di masa akhir-akhir ini, bahkan semakin banyak tokoh-tokoh Islam yang menampakkan ketakutannya terhadap persoalan Negara Islam. Mantan Ketua Umum PBNU, K.H. Abdurrahman Wahid misalnya, secara terus terang bahkan mengatakan : "Musuh utama saya adalah Islam kanan, yaitu mereka yang menghendaki Indonesia berdasarkan Islam dan menginginkan berlakunya syari'at Islam". (Republika, 22 September 1998, hal. 2 kolom 5). Selanjutnya ia katakan : "Kita akan menerapkan sekularisme, tanpa mengatakan hal itu sekularisme".
Salah satu partai berasas Islam yang lahir di era reformasi ini, malah tidak bisa menyembunyikan ketakutannya sekalipun dibungkus dalam retorika melalui slogan gagah: "Kita tidak memerlukan negara Islam. Yang penting adalah negara yang Islami". Bahkan, dalam suatu pidato politik, presiden partai tersebut mengatakan: "Bagi kita tidak masalah, apakah pemimpin itu muslim atau bukan, yang penting dia mampu mengaplikasikan nilai-nilai universal seperti kejujuran dan keadilan".
Demikian besar ketakutan kaum muslimin terhadap issu negara Islam, melebihi ketakutan orang-orang kafir dan sekuler, sampai-sampai mereka tidak menyadari bahwa segala isme (faham) atau pun Ideologi di dunia ini berjuang meraih kekuasaan untuk mendirikan negara berdasarkan isme atau ideologi yang dianutnya.
Selama 32 tahun berkuasanya rezim Soeharto, sosialisasi tentang Negara Islam Indonesia seakan terhenti. Oleh karena itu adanya bedah buku atau pun terbitnya buku-buku yang mengungkapkan manipulasi sejarah ini, merupakan perbuatan luhur dalam meluruskan distorsi sejarah yang selama bertahun-tahun menjadi bagian dari khazanah sejarah bangsa.
Sejak berdirinya Republik Indonesia, rakyat negeri umumnya, telah ditipu oleh penguasa, hingga saat sekarang. Umat Islam yang menduduki jumlah mayoritas telah disesatkan pemahaman sejarah perjuangan Islam itu sendiri. Sudah seharusnya, di masa reformasi ini, umat Islam menyadari bahwa di Indonesia pernah ada suatu gerakan anak bangsa yang berusaha membangun supremasi Islam, yaitu Negara Islam Indonesia yang berhasil diproklamasikan, 7 Agustus 1949, dan berhasil mempertahankan eksistensinya hingga 13 tahun lamanya (1949-1962). Namun rezim yang berkuasa telah memanipulasi sejarah tersebut dengan seenaknya, sehingga umat Islam sendiri tidak mengenal dengan jelas sejarah masa lalunya.
Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, adalah sebuah nama yang cukup problematis dan kontroversial di negara Indonesia, dari dulu hingga saat ini. Bahwa dia dikenal sebagai pemberontak, harus kita luruskan.Bukan saja demi membetulkan fakta sejarah yang keliru atau sengaja dikelirukan, tetapi juga supaya kezaliman sejarah tidak terus berlanjut terhadap seorang tokoh yang seharusnya dihormati.
Semasa Orla berkuasa (1947-1949) yang merupakan puncaknya perjuangan Negara Islam Indonesia, SM. Kartosuwiryo memang dikenal sebagai pemberontak. Tetapi fakta yang sebenarnya adalah, Kartosuwiryo sesungguhnya tokoh penyelamat bagi bangsa Indonesia, lebih dari apa yang dilakukan oleh Soekarno dan tokoh tokoh nasionalis lainnya. Pada waktu Soekarno bersama tentara Republik pindah ke Yogyakarta sebagai akibat dari perjanjian Renville, yang menyebutkan bahwa wilayah Indonesia hanya tinggal Yogya dan sekitamya saja, dan wilayah yang masih tersisa itu pun, dipersengketakan antara Belanda dan Indonesia, sehingga pada waktu itu nyaris Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Dan yang ada hanyalah negara-negara serikat, baik yang sudah terbentuk, atau pun yang masih dalam proses melengkapi syarat-syarat kenegaraan. Seperti Jawa Barat, ketika itu dianjurkan oleh Belanda supaya membentuk Negara Pasundan, namun belum terbentuk sama sekali, karena belum adanya kelengkapan kenegaraan.
Ketika segala peristiwa yang telah disebutkan di atas, menggelayuti atmosfir politik Nusantara, pada saat itu Indonesia dalam keadaan vacuum of power. Pada saat itulah, Soekarno memerintahkan semua pasukan untuk pindah ke Yogyakarta berdasarkan perjanjian Renville. Guna memberi legitimasi Islami, dan untuk rnenipu umat Islam Indonesia dalam memindahkan pasukan ke Yogya, Soekarno telah memanipuiasi terminologi al-Qur'an dengan menggunakan
istilah "Hijrah" untuk menyebut pindahnya pasukan Republik, sehingga nampak Islami dan tidak terkesan melarikan diri. Namun S.M. Kartosuwiryo dengan pasukannya tidak mudah tertipu, dan menolak untuk pindah ke Yogya. Bahkan bersama pasukannya, ia berusaha mempertahankan wilayah jawa Barat, dan menamakan Soekarno dan pasukannya sebagai pasukan liar yang kabur dari medan perang.
Jauh sebelum kemerdekaan, yaitu pada tahun 1930-an, istilah"hijrah" sudah pernah diperkenalkan, dan dipergunakan.sebagai metode perjuangan modern yang brillian oleh S.M. Kartosuwiryo, berdasarkan tafsirnya terhadap sirah Nabawiyah. Ketika itu, pada tahun 1934 telah muncul dua metode perjuangan yaitu cooperatif dan non cooperatif. Metode non cooperatif, artinya tidak mau masuk ke dalam parlemen dan bekerja sama dengan pemerintah Belanda namun bersifat pasif, tidak berusaha menghadapi penguasa yang ada. Metode ini sebenamya dipengaruhi oleh politik SWADESI, politik Mahatma Gandhi dari India. Lalu muncullah S.M. Kartosuwiryo dengan metode Hijrah, sebuah metode yang berusaha membentuk komunitas sendiri, tanpa kerjasama dan aktif, berusaha untuk melawan kekuatan penjajah.
Akan tetapi, pada waktu itu, metode ini dikecam keras oleh Agus Salim, karena menganggap S.M. Kartosuwiryo menerapkan metode hijrah ini di dalam suatu masyarakat yang belum melek politik. Sehingga ia kemudian berusaha menanamkan politik dan metode hijrah itu kepada anggota PSII pada khususnya. Dengan harapan setelah memahami politik, mereka mau menggunakan metode ini, karena paham politik sangat penting. Namun, Agus Salim menolaknya, karena ia tidak setuju dengan politik tersebut. Menurutnya rakyat atau anggota partai hanyalah boleh mengetahui masalah mekanisme organisasi tanpa mengetahui konstelasi politik yang sedang berlangsung, dan hanya elit pemimpin saja yang boleh mengetahui. Sedangkan "hijrah" adalah berusaha menarik diri dari perdebatan politik, kemudian berusaha membentuk barisan tersendiri dan berusaha dengan kekuatansendiri untuk mengantisipasi sistem perjuangan yang tidak cukup progresif dan tidak Islami. Faktor inilah yang menjadi awal perpecahan PSII, yaitu melahirkan PSII Hijrah yang memakai metode hijrah dan PSII Penyadar yang dipimpin Agus Salim.
Walaupun metode Hijrah, bagi sebagian tokoh politik saat itu, terlihat mustahil untuk digunakan sebagai metode perjuangan, namun ternyata dapat berjalan efektif pada tahun 1949 dengan terbentuknya Negara Islam Indonesia yang diproklamasikan dibawah bendera Bismillahirrahmaniirrahim. Sehingga pantaslah, jika kita tidak memperhatikan rangkaian sejarah sebelumnya secara seksama, memunculkan anggapan bahwa berdirinya Negara Islam Indonesia berarti adanya negara di dalam negara, karena Proklamasi RI pada tahun 1945 telah lebih dahulu dilakukan.
Namun sebenamya jika kita memahami sejarah secara benar dan adil, maka kedudukan Negara Islam Indonesia dan RI adalah negara dengan negara. Karena negara RI hanya tinggal wilayah Yogyakarta waktu itu, sementara Negara Islam Indonesia berada di Jawa Barat dan mengalami ekspansi (pemekaran) wilayah. Daerah Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Aceh mendukung berdirinya Negara Islam Indonesia. Dan dukungan itu bukan hanya berupa pernyataan atau retorika belaka, tapi ikut bergabung secara revolusional. Barangkakali benar, bahwa Negara Islam Indonesia adalah satu-satunya gerakan rakyat yang disambut demikian meriah di beberapa daerah di indonesia.
Melihat sambutan yang gemilang hangat dari saudara muslim lainnya, maka rezim Soekarno berusaha untuk menghambat tegaknya Negara Islam Indonesia bersama A.H. Nasuion, seorang tokoh militer beragama Islam yang dibanggakan hingga sekarang, tetapi ternyata mempumyai kontribusi yang negatif dalam perkembangan Negara Islam Indonesia. Dia bersama Soekarno berusaha menutupi segala hal yang memungkinkan S.M. Kartosuwiryo dan Negara lslam Indonesia kembali
terangkat dalam masyarakat, seperti penyembunyian tempat eksekusi dan makam mujahid Islam tersebut.
Nampaklah sekarang bahwa sebenarnya penguasa Orla dan Orba, telah melakukan kejahatan politik dan sejarah sekaligus, yang dosanya sangat besar yang rasanya sulit untuk dimaafkan. Mungkin bisa diumpamakan, hampir sama dengan dosa syirik dalam pengertian agama, yang merupakan dosa terbesar dalam Islam. Karena prilaku politik yang mereka pertontonkan, telah menyesatkan masyarakat dalam memahami sejarah perjuangan Islam di Indonesia dengan sebenarnya. Berbagai rekayasa politik untuk memanipulasi sejarah telah dilakukan sampai hal yang sekecil-kecilnya mengenai perjuangan serta pribadi S.M. Kartosuwiryo. Seperti pengubahan data keluarganya, tanggal dan tahun lahirnya. Semua itu ditujukan agar SMK dan Negara Islam Indonesia jauh dari ingatan masyarakat.
Sekalipun demikian, S.M. Kartosuwiryo tidak berusaha membalas tindakan dzalim pemerintah RI. Pernah suatu ketika Mahkamah Agung (Mahadper) menawarkan untuk mengajukan permohonan grasi (pengampunan) kepada presiden Soekarno, supaya hukuman mati yang telah dijatuhkan kepadanya dibatalkan, namun dengan sikap ksatria ia menjawab," Saya tidak akan pernah meminta ampun kepada manusia yang bernama Soekarno".
Kenyataan ini pun telah dimanipulasi. Menurut Holk H. Dengel dalam bukunya berbahasa Jerman, dan dalam terjemahan Indonesia berjudul: "Darul Islam dan Kartosuwiryo, Angan-angan yang gagal", mengakui bahwa telah terjadi manipulasi data sejarah berkenaan dengan sikap Kartosuwiryo menghadapi tawaran grasi tersebut. Tokoh sekaliber Kartosuwiryo tidak mungkin minta maaf, namun ketika kita baca dalam terjemahannya yang diterbitkan oleh Sinar Harapan telah diubah sebaliknya, bahwa Kartosuwiryo meminta ampun kepada Soekamo, dan kita tahu Sinar Harapan adalah bagian dari kekuatan Kristen yang bahu -membahu dengan penguasa sekuler dalam mendistorsi sejarah Islam.
Dalam majalah Tempo 1983, pernah dimuat kisah seorang petugas eksekusi S.M. Kartosuwiryo, yang menggambarkan sikap ketidak pedulian Kartosuwiryo atas keputusan yang ditetapkan Mahadper RI kepadanya. Ia mengatakan bahwa 3 hari sebelum hukuman mati dilaksanakan, Kartosuwiryo tertidur nyenyak, padahal petugas eksekusinya tidak bisa tidur sejak 3 hari sebelum pelaksanaan hukuman mati. Dari sinilah akhimya diketahui kemudian dimana pusara Kartosuwiryo berada, yaitu di pulau Seribu.
Usaha untuk mengungkapkan manipulasi sejarah adalah sangat berat. Satu di antara fakta sejarah yang dimanipulasi, adalah untuk mengungkap kebenaran tuduhan teks proklamasi dan UUD Negara Islam Indonesia adalah jiplakan dari proklamasi Soekarno-Hatta. Yang sebenamya terjadi justru kebalikannya. Ketika Hiroshima dan Nagasaki di bom (6 - 9 Mei 1945) S.M. Kartosuwiryo sudah tahu melalui berita radio, sehingga ia berusaha memanfaatkan peluang ini untuk sosialisasi proklamasi Negara Islam Indonesia. Ia datang ke Jakarta bersama pasukan Hisbullah dan mengumpulkan massa guna mensosialisasikan kemungkinan berdirinya Negara Islam Indonesia, dan rancangan konsep proklamasi Negara Islam lndonesia kepada masyarakat. Sebagai seorang tokoh nasional yang pernah ditawari sebagai menteri pertahanan muda yang kemudian ditolaknya, melakukan hal ini tentu bukan perkara sulit. Salah satu di antara massa yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Sukarni dan Ahmad Subarjo.
Mengetahui banyaknya dukungan terhadap sosialisasi ini, mereka menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok agar mempercepat proklamasi RI sehingga Negara Islam Indonesia tidak jadi tegak. Bahkan dalam bukunya, Holk H. Dengel menyebutkan tanggal 14 Agustus 1945 Negara Islam Indonesia telah di proklamirkan, tetapi yang sebenarnya baru sosialisasi saja. Ketika di Rengasdengklok Soekamo menanyakan kepada Ahmad Soebardjo, sebagaimana ditulis Mr. Ahmad Soebardjo dalam bukunya "Lahirnya Republik Indonesia".
Pertanyaan Soekarno itu adalah: "Masih ingatkah saudara, teks dari bab Pembukaan Undang-Undang Dasar kita ?" "Ya saya ingat, saya menjawab,"Tetapi tidak lengkap seluruhnya". "Tidak mengapa," Soekarno bilang, "Kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut Proklamasi dan bukan seluruh teksnya". Soekarno kemudian mengambil secarik kertas dan menuliskan sesuai dengan apa yang saya ucapkan sebagai berikut : "Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan".
Jika kesaksian Ahmad Soebardjo ini benar, jelas tidak masuk akal, karena kita tahu bahwa UUD 1945 baru disahkan dan disetujui tanggal 18 Agustus 1945 setelah proklamasi. Sehingga pertanyaan yang benar semestinya adalah, "Masih ingatkah saudara akan sosialisasi proklamasi Negara Islam Indonesia?" Maka wajarlah jika naskah Proklamasi RI yang asli terdapat banyak coretan. Jelaslah bahwa ternyata Soekarno-Hatta yang menjiplak konsep naskah proklamasi Negara Islam Indonesia, dan bukan sebaliknya. Memang sedikit sejarawan yang mengetahui mengenai kebenaran sejarah ini. Di antara yang sedikit itu adalah Ahmad Mansyur Suryanegara, beliau pernah mengatakan bahwa S.M. Kartosuwiryo pernah datang ke Jakarta pada awal Agustus 1945 bersama pasukan Hizbullah dan Sabilillah.
"Sebenarnya, sebelum hari-hari menjelang proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945, Kartosuwiryo telah lebih dahulu menebar aroma deklarasi kemerdekaan Islam, ketika kedatangannya pada awal bulan Agustus setelah mengetahui bahwa perseteruan antara Jepang dan Amerika memuncak dan menjadi bumerang bagi Jepang. Ia datang ke Jakarta bersama dengan beberapa orang pasukan laskar Hisbullah, dan segera bertemu dengan beberapa elit pergerakan atau kaum nasionalis untuk memperbincangkan peluang yang mesti diambil guna mengakhiri dan sekaligus mengubah determinisme sejarah rakyat Indonesia. Untuk memahami mengapa pada tanggal 16 Agustus pagi Hatta dan Soekamo tidak dapat ditemukan di Jakarta, kiranya Historical enquiry berikut ini perlu diajukan : Mengapa Soekarno dan Hatta mesti menghindar begitu jauh ke Rengasdengklok padahal Jepang memang sangat menyetujui persiapan kemerdekaan Indonesia? Mengapa ketika Soebardjo ditanya Soekarno, apakah kamu ingat pembukaan Piagam Jakarta ? Mengapa jawaban yang diberikan dimulai dengan kami bangsa Indonesia ...? Bukankah itu sesungguhnya adalah rancangan Proklamasi yang sudah dipersiapkan Kartosuwiryo pada tanggal 13 dan 14 Agustus 1945 kepada mereka ? Pada malam harinya mereka telah dibawa oleh para pemimpin pemuda, yaitu Soekarni dan Ahmad Soebardjo, ke garnisun PETA di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak di sebelah barat kota Karawang, dengan dalih melindungi mereka bilamana meletus suatu pemberontakan PETA dan HEIHO. Ternyata tidak terjadi suatu pemberontakan pun, sehingga Soekamo dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan suatu usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang, tujuan ini mereka tolak. Laksamana Maida mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat maka dia dapat mengatur agar pihak Jepang tidak menghiraukan bilamana kemerdekaan dicanangkan. Mereka mempersiapkan naskah proklamasi hanya berdasarkan ingatan tentang konsep proklamasi Islam yang dipersiapkan SM. Kartosuwiryo pada awal bulan Agustus 1945. Maka, seingat Soekarni dan Ahmad Soebardjo, naskah itu didasarkan pada bayang-bayang konsep proklamasi dari S.M. Kartosuwiryo, bukan pada konsep pembukaan UUD 1945 yang dibuat oleh BPUPKI atau PPKI." (Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Isalam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, hal. 65, Pen. Darul Falah, Jakarta).
Demikianlah, berbagai manipulasi sejarah yang ditimpakan kepada Darul Islam dan pemimpinnya, sedikit demi sedikit mulai tersibak, sehingga dengan ini diharapkan dapat membuka cakrawala berfikir dan membangun kesadaran historis para pembaca. Lebih dari itu, upaya mengungkap manipulasi sejarah Negara Islam Indonesia yang dilakukan semasa orla dan orba oleh para sejarawan merupakan suatu keberanian yang patut didukung, supaya pembaca mendapatkan informasi yang berimbang dari apa yang selama ini berkembang luas.
Kami bersyukur kepada Allah Malikurrahman atas antusiame generasi muda Islam dalam menerima informasi yang benar dan obyektif mengenai sejarah perjuangan menegakkan Negara Islam dan berlakunya syari'at Islam di negeri ini. Semoga Allah memberi hidayah dan kekuatan kepada kita semua, sehingga perjuangan menjadikan hukum Allah sebagai satu-satunya sumber dari segala sumber hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara segera terwujud di Indonesia yang, menurut sensus adalah negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Amin, Ya Arhamar Rahimin !
Simak Pula Sekilas tentang Darul
Kartosoewirjo ?
Tokoh yang satu ini, menurut berbagai pandangan masyarakat bangsa Indonesia saat ini adalah seorang pemberontak. Citranya sebagai "pemberontak", terlihat ketika dirinya berusaha menjadikan negara Indonesia menjadi sebuah Negara Islam. Namun sangatlah aneh, perjuangan yang dilakukannya itu justru mendapat sambutan yang luar biasa dari daerah-daerah lain di Indonesia, seperti di Jawa Tengah, di Sulawesi Selatan, di Kalimantan, dan di Aceh.
Timbul satu pertanyaan, benarkah dia itu penjahat perang sebagaimana yang dinyatakan oleh pemerintah? Atau mungkin ini sebuah penilaian yang sangat subjektif dari pemerintah yang ingin berusaha melanggengkan kekuasaan tiraninya terhadap rakyat Indonesia. Sehingga diketahui, pemerintah sendiri ketika selesai menjatuhkan vonis hukuman mati terhadapnya, tidak memberitahukan sedikit pun keterangan kepada pihak keluarganya di mana pusaranya berada.
Siapa S.M. Kartosoewirjo?
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo demikian nama lengkap dari Kartosoewirjo, dilahirkan 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Kota Cepu ini menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah bertemu dalam suatu garis budaya yang unik.
Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang. Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewirjo mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.
Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya "gerakan pencerahan Indonesia" ketika itu, Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.
Pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosoewirjo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau Sekolah "kelas dua" untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan
sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra "pribumi", HIS dan ELS merupakan sekolah elite. Hanya dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi "guru" agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosoewirjo. Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.
Selama kuliah Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai "mengaji" secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu "terasuki" oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena "terasuki" ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh "komunis" karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
Aktivitas Kartosoewirjo
Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java. Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond (JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua organisasi inilah kemudian membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat terkenal, "Sumpah Pemuda".
Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia Timur), Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif
muda sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia menerbitkan berbagai artikel yang isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Ketika dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam 'Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Dalam masa pendudukan Jepang ini, dia pun memfungsikan kembali lembaga Suffah yang pernah dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah itu akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat.
Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus 1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar "sekuler"-nya.
Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
Situasi yang kacau akibat agresi militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. Di mana pada perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik. Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus ditarik mundur --atau "kabur" dalam istilah orang-orang DI-- ke Jawa Tengah. Karena persetujuan ini, Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat, Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut "kaburnya" TNI ini dengan memakai istilah Islam, "hijrah". Dengan sebutan ini dia menipu jutaan rakyat Muslim. Namun berbeda dengan pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian yang cukup besar dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya. Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu apa makna "hijrah" itu.
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara
Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat yang fobi dengan Negara Islam sebagai "Islam muncul dalam wajah yang tegang." Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah "pemberontakan". Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah "pemberontakan", maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan suci anti-kezhaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini. "Pemberontakan" bersenjata yang sempat menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula pemberontakan yang bersifat regional, bukan "pemberontakan" yang muncul karena sakit hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan karena sebuah "cita-cita", sebuah "mimpi" yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.
Akhirnya, perjuangan panjang Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri tertangkap. Pengadilan Mahadper, 16 Agustur l962, menyatakan bahwa perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia itu adalah sebuah "pemberontakan". Hukuman mati kemudian diberikan kepada mujahid Kartosoewirjo.
Tentang kisah wafatnya Kartosoewirjo, ternyata Soekarno dan A.H. Nasution cukup menyadari bahwa Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus dirindukan umat. Maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung Umar Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika mengeksekusi Imam Negara Islam ini.
Sekalipun jasad beliau telah tiada dan tidak diketahui di mana pusaranya berada karena alasan-alasan tertentu dari pemerintahan Soekarno, tapi jiwa dan perjuangannya akan tetap hidup sepanjang masa. Sejarah Indonesia telah mencatat walaupun dimanipulasi dan sekarang bertambah lagi dengan darah mujahid Asy-syahid S.M. Kartosoewirjo. HARI INI KAMI MENGHORMATIMU, BESOK KAMI BERSAMAMU! Insya Allah. Itulah makna dari firman Allah: "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (bahwa mereka itu mati); bahkan sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya". (QS. 2:154).
(Al Chaidar, penulis buku Kartosoewirjo)
Recommended