View
31
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
PEMBERHENTIAN DAN PENGANGKATAN DEWAN PERWAKILAN
DAERAH DALAM PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN (STUDI KASUS IRMAN GUSMAN)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh :
KHAIDIR MUSA
1113048000034
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439H/2018M
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
iv
LEMBAR PERNYATAAN
ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti hasil saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 6 April 2018
Khaidir Musa
v
ABSTRAK
KHAIDIR MUSA. NIM 1113048000034. PEMBERHENTIAN DAN
PENGANGKATAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM
PERSPEKTIF PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (STUDI KASUS
IRMAN GUSMAN). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Kelembagaan
Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/
2018 M. x halaman + 77 halaman + Daftar Pustaka+ Lampiran.
Penelitian dalam skripsi ini memperlihatkan pelaksanaan suatu sistem
bikameral dalam tatanan kenegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia
sehingga menimbulkan pertanyaan akan peran dan wewenang alat kelengkapan
DPD RI yaitu Badan Kehormatan, keabsahan suatu putusan dalam pengangkatan
dan pemberhentian ketua DPD RI yang terkena kasus tindak pidana korupsi.
Kewenangan Badan Kehormatan DPD RI berwenang untuk melakukan
pengawasan internal DPD RI melalui penyelidikan dan verifikasi suatu aduan
serta menetapkan suatu keputusan dalam musyawarah pengambilan keputusan,
harus didasari aturan yang berlaku dan sistem yang sesuai, tetapi dari dua hal
tersebut Badan Kehormatan masih banyak memiliki kelemahan sehingga
menimbulkan pro dan kontra hasil pemberhentian dan pengangkatan ketua DPD
RI yang secara kenyataan adanya “cacat” putusan Badan Kehormatan yang tidak
sah dalam perannya untuk menegakan kode etik.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah Normatif
Empiris, Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan adalah dengan cara
content analysis dengan mengidentifikasi dan menginventarisasi ketentuan-
ketentuan normatif dan pelaksanaan dilapangan secara empiris. Serta penelitian
ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data melalui studi dokumen atau
kepustakaan (library research) dan wawancara.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwasannya kewenangan Badan
Kehormatan DPD RI dalam pemberhentian dan pengangkatan ketua DPD RI
Periode 2014-2017 Irman Gusman yang terkena kasus Tindak Pidana Korupsi
adalah tidak sah. Demikian pula, dengan Muhammad Saleh (ketua DPD RI
periode 2017-2018) yang menggantikannya. Kewenangan Badan Kehormatan
DPD RI sebagai alat kelengkapan yang belum maksimal dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya.
Kata Kunci : DPD RI, Badan Kehormata, Pengangkatan Dan Pemberhentian.
Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H, M.H
Daftar Pustaka : Tahun 1942 Sampai Tahun 2017
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahiim
Puja dan puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat
dan hidayat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan sahabatnya.
Selanjutnya, penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang membantu kelancaran penulisan skripsi ini,
baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena penulis yakin tanpa bantuan
dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
Disamping itu, izinkan penulis untuk menyampaikan ucapan terimakasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Bapak Dr. Asep Saepudin
Jahar, M.A., Beserta para pembantu dekan Fakultas Syariah dan Hukum
(FSH) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Bapak Dr. H. Asep Syarifudin Hidayat,
S.H., M.H., Serta Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Bapak Drs. Abu
Tamrin, S.H., M. Hum., beserta seluruh staffnya.
3. Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H, M.H., selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini selesai. Beliau juga senantiasa
memberikan banyak ide, gagasan dan keritikan yang membangun dalam
penulisan sekripsi ini. Semoga ilmu yang beliau curahkan menjadi amal
jariyah serta pahala yang berlimpah disisi Allah SWT.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu dalam rahmat
dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat
bermantaaf dikemudian hari.
vii
5. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sangat spesial penulis
haturkan dengan rendah hati dan rasa hormat kepada kedua orang tua
penulis yang tercinta, Almarhum Ayahanda Mat Sodik dan Ibunda terkasih
Nong Sulhiyah dengan segala pengorbananya tak akan pernah penulis
lupakan atas jasa-jasa mereka. Do’a restu, nasihat dan petunjuk dari
mereka kiranya merupakan dorongan moril yang paling efektif bagi studi
penulis hingga saat ini.
6. Ungkapan terima kasih kepada saudara penulis, kakak tercinta yang selalu
mendorong penulis untuk menyelesaikan pendidikan Pada jenjang
perguruan Tinggi S1 Ainullulu’ah, S.Pd., Ahmad Yazid Bustomi, Maya
Mariatul Qibtiah, S. Pd., dan Yani Afriyan Umami, Am.Keb., Serta para
keponakan tersayang Sabillarosyad, Elsya Fairuz, Barra Sayidil Absor,
Drisana Falgouri dan Mikail Azla Rafeva
7. Bapak JM. Muslimin P.hD., sebagai orang tua yang selalu memberikan
nasehat dan masukan untuk penulis lebih maju.
8. Seseorang terdekat dan terkasih Mentari Kurnia Utami yang telah
membantu, meberikan semangat, mendorong serta menemani penulis di
setiap waktu baik suka maupun duka. Terimakasi untuk segalanya yang
telah kau curahkan untuk penulis semoga kebersamaan kita selalu di ridhai
Allah SWT.
9. Kawan-kawan yang selalu menemani penulis bagai keluarga dengan
hadirnya mereka sebagai Stimulus untuk menyelesaikan S1 M. Zulfikar
Rhomi Prayoga, Ahmad Kandiaz, M. Nasrulloh, Mizana Rhamadan.
10. Kakak-kakak Terbaik dalam membimbing penulis M. Caesal Regia,
Mustafa AB, Fanny Fatwati P, Sri Andreani, Lisanul Fikri, Waldan
Mufatir, Yuli Andreansyah, Muhammad Yusuf, M. Raziv Barokah,
Khairul Atma, Muchtar Ramadhan, dan M. Murtadlo.
11. Teman Seperjuangan di Himpunan Mahasiswa Islam dan Ilmu Hukum
yang ingin selalu berproses Ryan Adhitama, Khairul Falah, Raden
Ramandha, Wulida Misdilah Almatin dan Bella Octavia.
viii
12. Adik-adik tercinta, Purba Indah, Agung Laksono Wibowo, M Eddy
Kurniawan, Ksatria Imam Nugraha, Dalillah Hazimah, M. Faiz Putra
Syanel, Nila Tari, Nur Rahmi, Nur Wasiah A, Aulia Permana, Amri
Rahman, Jamsari, M. Arif, Bening Setara Bulan, Fauzi Bowo, M. Riyadh,
Rasyid Rahmat, dan Ilham Ulin yang selalu memberikan motivasi untuk
segera terselesaikannyas kripsi ini.
13. Kawan-kawan HMPS Ilmu Hukum Periode 2016, dan Senat Mahasiswa
Universitas Periode 2017 serta kanda dan yunda Himpunan Mahasiswa
Islam
Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala
dari rahmat Allah SWT. Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak. Amin ya Rabbala’lamin.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan
rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.
Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Jakarta, 6 April 2018
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah .......... 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ........................................................... 7
E. Metode Penelitian............................................................. 8
F. Tinjauan (Review) kajian terdahulu ............................... 10
G. Kerangka Teori dan Konseptual.................................... 12
H. Sistematika Penulisan .................................................... 25
BAB II TINJAUAN UMUM DEWAN PERWAKILAN DAERAH
REPUBLIK INDONESIA
A. Profil Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia .. 27
B. Badan Kehormatan DPD RI .......................................... 36
C. Pemberhentian dan pengangkatan ketua DPD RI .......... 39
BAB III KEWENANGAN BADAN KEHORMATAN DPD RI
A. Kewenangan Badan Kehormatan DPD RI ..................... 46
B. Peran Pengawasan Badan Kehormatan DPD RI dalam
pemberhentian dan pengangkatan ketua DPD RI ......... 48
x
C. Kewenangan Badan Kehormatan DPD RI dalam
pemberhentian dan pengangkatan ketua DPD RI
dalam kasus Irman Gusman .......................................... 50
BAB IV KEABSAHAN PEMBERHENTIAN DAN PENGANGKATAN
KETUA DPD RI DALAM KASUS TINDAK PIDANA
KORUPSI IRAMAN GUSMAN
A. Pemberhentian Irman Gusman dalam kasus tindak
pidana korupsi ................................................................. 57
B. Posisi Irman Gusman sebagai ketua DPD RI dalam
kasus tindak pidana korupsi ............................................. 63
C. Analisis Keabsahan Pemberhentian Dan Pengangkatan
Ketua DPD RI .................................................................. 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... 77
B. Saran ............................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lembaga Parlemen seperti MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang di bidang
legislatif yang hampir anggota di lembaga ini secara keseluruhan yaitu kurang
lebih 1.223 anggota yang rinciannya yaitu 550 orang dari MPR dan DPR, 128
orang DPD, sementara itu, di tingkat Provinsi terdapat 33 anggota, dan ditingkat
kabupaten/kota 440 anggota. Yang masing-masing ada ketua dan Dewan
Kehormatan di dalamnya.1
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) adalah salah satu
lembaga tinggi Negara hasil dari perubahan ke-tiga UUD 1945. Disahkan pada
tanggal 9 November 2001. Lembaga ini dimaksudkan agar mekanisme checks and
balances dapat berjalan relatif seimbang, khususnya mengenai kebijakan pusat
dan daerah. Karena itu, lembaga baru ini memiliki arti yang sangat strategis dalam
perkembangan ketatanegaraan indonesia sebagai kamar kedua sistem parlemen,
sebagai upaya membangun prinsip saling mengawasi dan mengimbangi antara
legislatif dan eksekutif.2 Hadirnya DPD RI dalam struktur ketatanegaraan
Indonesia diatur dalam Pasal 22C dan 22D.3 Selanjutnya dalam Pasal 22D ayat (4)
berbunyi bahwa “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari
jabatannya, yang syarat-syarat serta tata caranya diatur dalam undang-undang” di
sini perlu kita telaah bahwa tugas dan wewenang DPD RI sebagai lembaga
legislatif yang yang menjalani fungsi check and balances merupakan tujuan utama
Amandemen UUD 1945 yang ke-tiga.
1Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2013. h.
260-261. 2 Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
Bekasi: Gramata Publishing, 2016. h. v. 3Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Edisi revisi), Jakarta:Rajawali
Pers,2015. h. 181.
2
Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah dimaksudkan agar mekanisme
check and balances dapat berjalan relatif seimbang, terutama yang berkaitan
dengan kebijakan pusat maupun daerah dan sudah di atur dengan jelas dan
sistemantis di UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Menurut Ramlan Subakti, beberapa alasan atau pertimbangan Indonesia
membentuk DPD RI:
1. Distribusi penduduk indonesia menurut wilayah sangatlah timpang dan
terlampau besar dan terkonsentrasi di pulau Jawa.
2. Sejarah Indonesia menunjukan aspirasi kedaerahan sangat nyata dan
mempunyai basis materiil yang sangat kuat, yaitu adanya pluralisme
daerah otonom seperti daerah istimewa dan daerah khusus.4
Pada masa Orde Baru utusan daerah dalam MPR tidak dipilih langsung
oleh rakyat, tetapi diangkat oleh Presiden, Sedangkan dalam masa reformasi
utusan daerah dipilih langsung oleh rakyat berdasarkan UU Nomor 4 tahun 1999
tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD utusan daerah
ditetapkan 135 orang, yaitu 5 orang dari daerah tingkat I, juga tidak dipilih
langsung oleh rakyat, tetapi pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Tata Tertib
DPRD I.5
Struktur keangotaan DPD RI terdapat Dewan Kehormatan atau Badan
Kehormatan sebagai alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap dengan tugas
dan fungsinya yaitu:
1. Melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota
DPD karena:
a. Tidak melaksanakan kewajiban.
b. Tidak melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
sebagai anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan
apapun.
4Ramlan Subekti, Pilkada adalah Pemilu, Harian Kompas, 30 Maret 2005.
5Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Jakarta:Kencan,.2011. h. 197.
3
c. Tidak menghadiri sidang Paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan
DPD yang menjadi tugas dan kewajibanya sebanyak 6 (enam) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah.
d. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota sesuai dengan
peraturan Perundang-Undangan mengenai pemilihan umum.
e. Melanggar ketentuan larangan anggota.
2. Menetapkan keputusan atas hasil penyelidikan dan verifikasi atas
pengaduan terhadap anggota.
3. Menyampaikan keputusan sebagaimana atas penyelidikan dan verifikasi
atas pengaduan terhadap anggota pada sidang paripurna untuk ditetapkan.
4. Selain tugas-tugas sebagaimana diatas BK juga melakukan evaluasi dan
penyempurnaan peraturan DPD tentang Tata Tertib dan Kode Etik DPD.
Melihat tugas dan fungsinya terdapat di poin ke 4 Badan Kehormatan
DPD RI juga berperan dalam Tata Tertib dan Kode Etik DPD RI terdapat pada
Pasal 211, 212, 213 dan 214 di Peraturan Dewan Perwakilan Daerah mengenai
Tata Tertib No.1 Tahun 2014.6
Badan Kehormatan atau Dewan Kehormatan DPD mempunyai tugas
pengawasan yang terdapat di Tata Tertib dan lebih khususnya Kode Etik
penyelidikan yang mana ketika ketua atau keanggotaan DPD RI tersangkut kasus
Pidana seperti pada Pasal 211 ayat 3 dimana berbunyi “Penanganan atas dugaan
Kode Etik menjadi wewenang Badan Kehormatan” serta pada Pasal 212 ayat (1)
dan (3) dimana berbunyi “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk
penyidikan terhadap anggota yang diduga melakukan tindak pidana harus
mendapat persetujuan tertulis dari presiden.” Tetapi pada ayat (3) berbunyi
“Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota:
a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
b. Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
mati atau pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap
6http://www.dpd.go.id/alatkelengkapan/badankehormatandpd diakses pada tanggal 13
januari 2016.
4
kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang
cukup; atau
c. Disangka melakukan tindak pidana khusus.
Dilihat dari pasal-pasal mengenai larangan dan sanksi yang ada dalam
Tata Tertib dan Kode Etik dalam keanggotaan DPD RI bahwa setiap anggota
DPD RI yang terkena kasus pidana dan kasus korupsi, kolusi dan nepotisme di
kenakan sanksi pemberhentian sementara sebagai anggota DPD RI.
Begitu pula dalam Tata Tertib dan Kode Etik DPD RI Nomor 1 Tahun
2014 yaitu terdapat pada Pasal 27 dan Pasal 28 mengenai penggantian antar
waktu dan Pasal 29 mengenai pemberhentian sementara dan rehabilitasi yang
berbunyi:
1. Anggota diberhentikan sementara karena.
a. Menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum dengan diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
b. Menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
2. Dalam hal anggota dinyatakan terbukti bersalah karena tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kekuatan putusan
pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota bersangkutan
diberhentikan sebagai anggota.
3. Dalam hal anggota dinyatakan tidak terbukti bersalah karena tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kekuatan putusan
pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota bersangkutan
diaktifkan.
4. Anggota yang diberhentikan sementara, tetap diberikan hak keuangan
tertentu.
Sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 pada pasal 313
tentang pemberhentian sementara jika memang statusnya dalam kasus pidana
belum jelas atau belum (ingkrah).
Menurut Azis Syamsudin bahwa hukum pidana khusus adalah perundang-
undangan di bidang tertentu yang bersanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur
dalam undang-undang khusus. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam
5
hukum pidana khusus antara lain polisi, jaksa, PPNS, dan KPK. Pemeriksaan
perkara hukum pidana khusus dapat dilakukan di pengadilan tipikor, pengadilan
pajak, pengadilan hubungan industrial, pengadilan anak, pengadilan HAM,
pengadilan niaga dan pengadilan perikanan.7
Selanjutnya, tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khsusus
yang diatur dalam undang-undang hukum pidana yang khusus, yaitu undang-
undang No. 31 tahun 1999 kemudian diubah menjadi Undang-undang Nomor 20
tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 20 Tahun 2001).8
Irman Gusman adalah politisi non-partisian yang merintis karier dari
daerah dan dalam waktu cepat menjadi tokoh yang menonjol di tingkat nasional.
Memulai kiprah politik sebagai anggota MPR utusan daerah Sumatera Barat dan
Terpilih menjadi ketua DPD RI dalam usia 47 tahun.9 Dan Dr. (HC) A.M. Fatwa,
politisi senior yang pernah menjadi Wakil Ketua DPR RI perode 1999-2004 dan
sekarang menjadi ketua Dewan Kehormatan DPD RI.10
Kasus yang dihadapi Irman Gusman mantan ketua Dewan Perwakilan
Daerah RI 2 periode yaitu 2009-2014 dan 2014-2016, yang mana KPK telah
menetapkan sebagai Tersangka, akan tetapi kasus ini masih sedang dalam proses
praperadilan sehingga belum diputuskan setatus Irman Gusman yang memang
secara hukum tetap (ingkrah). Dalam kasus ini, Irman Gusman tertangkap dalam
Oprasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK di kediamannya pada 16
September 2016. Ketika menerima uang dari Direktur CV Semesta Berjaya
Xaveriandy Susanto sebesar 100 juta untuk dijadikan pengurusan kuota gula
impor yang diberikan Bulog.
7 Azis Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, h. 9.
8 Mahkamah Konstitusi melalui putusannya nomor 003/Peraturan Perundang-undangan-
IV/2006, 24 Juli 2006 telah membatalkan Pasal 2 ayat (1) dan penjelasannya, Pasal 3 ayat (1) dan
penjelasannya serta Pasal 15 (sepanjang mengenai kata percobaan) UU nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001. Pembatalan dikarenakan Pasal-
Pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. 9Irman Gusman, Daerah Maju Indonesia Satu, Jakarta: Anugrah Tri Lestari, 2014. h. 31.
10Katalog dalam Terbitan (KDT), Senator Bertanya: Catatan Penggunaan Hak Bertanya
Anggota DPD RI kepada Presiden RI. Jakarta: DPD, 2015.
6
Terkait dengan kasus di atas, Badan Kehormatan DPD RI memberhentikan
Irman Gusman sebagai ketua DPD RI dan memilih Mohammad Saleh sebagai
ketua DPD RI yang baru. Pergantian ketua baru tersebut menimbulkan pro dan
kontra, ketua Badan Kehormatan DPD RI AM Fatwa mengatakan bahwa, Pasal
52 ayat (3) huruf C “Ketua dan/atau Wakil Ketua DPD RI diberhentikan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) satu huruf D apabila bersetatus
tersangka dalam perkara pidana”. Disini menimbulkan beberapa poin yang
menjadi permasalahan yang diangkat, dimana Kode Etik atau Tata Tertib DPD RI
yang menjadi landasan Badan Kehormatan dalam mengawasi keanggotaan DPD
RI masih belum begitu kuat, masih terjadinya pro dan kontra mengenai pemilihan
ketua baru DPD RI yang mana masih adanya proses praperadilan dalam status
ketua lama yang belum kuat. Selanjutnya, peran Badan Kehormatan di sini
menimbulkan suatu permasalahan yang mana alat kelengkapan DPD RI
mempunyai begitu besar kewenanganya dalam memberhentikan serta mengganti
ketua DPD RI.
Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti tertarik untuk meneliti dalam
bentuk skripsi dengan judul Pemberhentian dan Pengangkatan Dewan
Perwakilan Daerah dalam Perspektif Peraturan Perundang- Undangan
(Studi Kasus Irman Gusman).
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Pengawasan yang dilakukan Badan Kehormatan DPD RI.
b. Kewenangan yang dimiliki Badan Kehormatan DPD RI.
c. Peran Badan Kehormatan DPD RI dalam pemberhentian dan
pengangkatan ketua DPD RI.
d. Keabsahan pemberhentian ketua DPD RI yang sedang menjalani
proses Hukum.
e. Keabsahan pengangkatan/pergantian Muhammad Saleh (dalam kasus
Irman Gusman) sebagai ketua DPD RI.
2. Pembatasan Masalah
7
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka peneliti
membatasi masalah yang akan diteliti dalam skripsi ini, yaitu hanya terfokus pada
keabsahan pemberhentian dan pengangkatan ketua DPD RI yang di lakukan oleh
Badan Kehormatan DPD RI yang terkena kasus pidana.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan batasan masalah yang telah
disebutkan di atas, maka peneliti merumuskan masalah tersebut:
a. Bagaimana kewenangan Badan Kehormatan DPD RI dalam
pemberhentian ketua DPD RI yang terkena kasus pidana?
b. Bagaimana keabsahan pemberhentian dan pergantian Irman Gusman
sebagai ketua DPD RI?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah dijelaskan, maka tujuan
penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk menjelaskan dan mendeskripsikan peran Badan Kehormatan
DPD dalam pemberhentian ketua DPD RI yang terkena kasus pidana.
b. Untuk mengetahui keabsahan pemberhentian Irman Gusman sebagai
ketua DPD RI yang dilakukan oleh Badan Kehormatan DPD RI.
c. Untuk mengetahui keabsahan pergantian Irman Gusman sebagai ketua
DPD RI.
D. Manfaat Penelitian
Berawal dari rumusan masalah penelitian yang telah dijelaskan di atas, ada
beberapa manfaat yang ingin penulis peroleh, yaitu:
1. Manfaat Akademisi
a. Memberikan sumbangan khazanah ilmu pengetahuan bagi
perkembangan keilmuan Hukum, khususnya pada ranah Hukum
Kelembagaan Negara.
8
b. Menjadi sumber referensi baik bagi mahasiswa, akademisi dan peneliti
yang berniat melakukan penelitian selanjutnya yang terkait dengan
kasus pidana pada Lembaga Negara
2. Manfaat Praktis
a. Memberi masukan kepada seluruh DPD RI, badan Kehormatan DPD RI
dan Instansi lain untuk kasus yang sama.
b. Menjadi bahan pertimbangan kepada Badan Kehormatan dalam
merumuskan peraturan, Tata Tertib yang berkaitan Kode Etik DPD RI.
E. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis
dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.
Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada
metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang
timbul dalam gejala yang bersangkutan.11
Metode penelitian yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah
penelitian normatif dan empiris. Penelitian hukum normatif mencakup, penelitian
terhadap azas-azas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian
terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian terhadap sejarah hukum, dan
perbandingan hukum dan empiris yaitu menelaah terhadap objek penelitian
sebagai objek prilaku yang nyata terhadap masyarakat yang ditunjukan terhadap
penegakan Hukum.
2. Pendekatan Masalah
Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan adalah dengan
caracontent analyze dengan mengidentifikasi dan menginventarisasi ketentuan-
ketentuan normatif dan pelaksanaan dilapangan secara empiris.yaitu penelitian
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), 1986. h. 2.
9
yang menggunakan studi hukum (normatif) dan empiris. Dalam studi hukum,
pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan Perundang-Undangan (statute
approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach).
Pendekatan Perundang-Undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan
yang mengatur mekanisme pemberhentian dan pengangkatan ketua DPD RI yang
terkena kasus pidana.
Pendekatan konsep dilakukan untuk memahami konsep-konsep hak asasi
manusia dan asas praduga tak bersalah dalam kasus Irman Gusman.
Pendekatan empiris, yang memang terjun langsung ke lapangan untuk
mencari tahu kebenaran suatu kasus permasalahan yang sedang diteliti.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primerdan
data sekunder. Data primer dapat diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni
peraturan perundang-undangan, wawancara dengan pihak yang terlibat secara
langsung dan buku referensi yang relevan dengan penelitian penulis dan sesuai
dengan bahan Hukum yang dapat dibagi menjadi:12
a. Bahan Hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat otoritatif
atau yang berarti memiliki otoritas. Bahan-bahan Hukum primer terdiri
dari perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan dan putusan Hakim.
b. Bahan Hukum sekunder, merupakan bahan hukum yang terdiri dari buku-
buku Hukum, termasuk didalamnya skripsi, tesis, dan disertasi Hukum
serta jurnal Hukum. Bahan Hukum sekunder yang digunakan adalah
berupa buku referensi yang terkait dengan Hukum Tata Negara.
c. Bahan Hukum tersier berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang
sumber Hukum primer dan sekunder seperti ensiklopedia, kamus bahasa
dan artikel dalam internet.
4. Prosedur Pengumpulan Sumber Data13
12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2005. h: 141.
13
Suratman dan Phiips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: ALFABETA, 2014.
h.122.
10
Penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan data melalui
studi dokumen atau kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan
penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan
dengan DPD RI, Dewan Kehormatan DPD RI, dan Tata Tertib atau Kode Etik
Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014,
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, pendapat sarjana, surat
kabar, artikel, jurnal, kamus, dan juga berita dari internet.14
Penelitian secara
empiris mencari data yang terjun langsung ke masayrakat, melalui wawancara,
melalui identifikasi dan hal- hal nyata.
5. Pengolahan dan Analisis data Bahan Hukum
Adapun bahan Hukum yang telah diperoleh melalui studi pustaka akan
dikorelasikan dan dianalisis dengan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan judul penelitian penulis guna disajikan dalam penulisan yang telah
dirumuskan. Cara pengolahan bahan Hukum dilakukan secara deduktif.
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, peneliti menyertakan
beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi
yang akan dibahas, sebagai berikut:
1. Skripsi yang berjudul : Implikasi Hukum Terhadap Kewenangan Dan
Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/Puu/X/2012
Skripsi disusun Oleh : Arfandy Ranriady mahasiswa Universitas
Hasanudin Makassar.
Isi Skripsi : Mengetahui Implikasi Hukum Mahkamah
Konstitusi terhadap kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia, serta untuk mengetahui implikasi hukum Mahkamah Konstitusi
terhadap kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.
14
Sri Mamuji, dkk.,Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. h. 4.
11
2. Skripsi yang berjudul : Eksistensi Dewan Perwakilan Daerah Dalam
Sistem Bikameral di Indonesia
Skripsi di susun oleh : Miki Pirmansyah Mahasiswa Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Isi Skripsi : Untuk mengetahui eksistensi Dewan Perwakilan
Daerah republik Indonesia dalam sistem bikameral yang mana sistem
perwakilan dua kamar ini menjadikan lembaga legislatif sebagai unsur
terciptanya good governance, serta terciptanya check and balances antar
lembaga negara dan khususnya lembaga legislatif.
3. Jurnal yang berjudul : Tinjauan Yuridis Kedudukan Dan
Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia
Jurnal di susun oleh : Adrian Fiski Oday, tahun 2013
Isi Jurnal : Untuk mengetahui bagaimana kedudukan Dewan
Perwakilan Daerah dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia dan
bagaimana kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia.
4. Jurnal yang berjudul : Fungsi Legislasi DPD Dalam Sistem
Ketatanegaran Indonesia Jurnal disusun oleh : Stevanus Evan Setio
Mahasiswa Universitas Udayana Denpasar
Isi Jurnal : Sistem perwakilan bikameral yang dianut pada
lembaga perwakilan Indonesia sebagai sistem bikameral lunak. Dengan
kewenangan yang begitu terbatas, ketentuan yang terdapat dalam Pasa1
22D UUD 1945 tidak dikatakan DPD mempunyai fungsi legislasi. Fungsi
legislasi harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan
sampai menyetujui sebuah rancangan undangundang menjadi undang-
undang. Ketimpangan fungsi legislasi menjadi semakin nyata dengan
adanya penegasan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 bahwa kekuasaan
membentuk undang-undang berada di tangan DPR.
12
Perbedaan skripsi peneliti dengan jurnal dan skripsi terdahulu yaitu
peneliti menjelaskan secara detail peran dan wewenang Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia yang secara khusus yaitu Badan Kehormatan DPD RI,
serta untuk mengetahui keabsahan pengangkatan dan pergantian ketua Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia dalam kasus pidana.
Dari tinjauan terdahulu yang peneliti tulis memang belum ada skripsi dan
jurnal yang membahas tentang masalah Badan Kehormatan DPD RI ini, tapi
sudah ada beberapa skripsi dan jurnal yang membahas tentang kewenangan serta
tipoksi lembaga negara, sehingga skripsi ini menjadi tolak ukur skripsi pertama
yang masih adanya kesimpangsiuran penegakan hukum atau aturan yang jelas
dalam lembaga negara dan khususnya Badan Kehormatan DPD RI dalam kasus
pidana.
G. Kerangka Teori dan Koseptual
1. Kerangka Teori
a. Asas Negara Hukum
Asas yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer dalam bukunya yang
terkenal The Limits of the Criminal Sanction bahwa ada dua model dalam Sistem
Peradilan Pidana, yaitu Crime Control Model (CCM), dan Due Process Model
(DPM).15
Kemudian Menurut Herbert model kedua yakni due process
model dengan ciri-ciri selalu menganggap penting adanya refresif kejahatan, yaitu
tahap ajudicatif (dalam sidang pengadilan harus ditentukan salah tidaknya
tersangka), atas dasar legal guilt. Dan kemudian selalu mengadakan chek and
recheck (obstacle couse) dan hal ini harus diuji menurut peraturan yang berlaku.
Ciri Selanjutnya adalah menghormati undang-undang. Kemudian menempatkan
kedudukan yang sama bagi setiap orang di depan hukum (quality control).
Sehingga model ini dikatakan orang lebih manusiawi dan menghormati Hak Asasi
Manusia.16
15
Herbert L.Packer, The Limits of Criminal Sanction, Stanford University. Press,
California, 1968, h. 197. 16
Herbert L.Packer, The Limits of Criminal Sanction, h. 197.
13
Kepustakaan Indonesia dalam istilah negara hukum merupakan terjemahan
langsung dari rechsstaat.17
Istilah rechsstaat mulai populer sejak abad ke XIX
meskipun pemikirannya sudah ada sejak lama. Demikian juga ditemukan hasil
survei yang sama dengan yang dilakukan oleh Fakultas Hukum UI pada tahun
1975. Respondennya dari kalangan Praktisi dan Teoretisi.18
Hal sama juga
dikemukakan oleh Djokosoetono yang banyak diikuti oleh banyak praktisi
“Negara Hukum yang demokratis sesungguhnya istilah ini adalah salah, sebab
kalau kita bilangkan Democratische Rechtsstaat, yang penting dan primair adalah
Rechtsstat.” Yang mana ini adalah type Rechtsstaat dalam tiga tingkatan: Formrle
rechtsstaat, liberale rechtsstaat, dan Materiele rechtsstaat.”19
Ungkapan-ungkapan di atas, dapat di tarik beberapa ciri-ciri rechtsstaat
sebagai berikut:
a. Adanya Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang memuat ketentuan
tertulis antara hubungan penguasa dan rakyat.
b. Adanya pembagian kekuasaan negara.
c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.
Ciri-ciri di atas menunjukan bahwa ide sentral rechtsstaat adalah
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu atas
prinsip kebebasan dan persamaan.20
Menurut Wirjono Prodjodikoro, Negara hukum yang berarti suatu negara
yang didalam wilayahnya adalah:
1. Semua alat-alat perlengkapan dari negara khususnya alat-alat perlengkapan
dari pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun
17
Padomo Wahjono, Ilmu Negara Suatu Sistematik Dan Penjelasan 14 Teori Ilmu
Negara dari Jellinek , Jakarta: Melati Study Grup, 1977, h. 30. 18
Padomo Wahjono, Pembakuan Istilah Hukum ,Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1975, h.193. 19
Azhary, Negara Hukum Indonesia-analisis yuridis normatif tentang unsur-unsurnya,
Jakarta: UI-Press, 1995, h. 30-31. 20
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2010. h. 72.
14
dalam saling berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang,
melainkan harus memperhatikan peraturan hukum yang berlaku.
2. Semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada
peraturan-peraturan yang berlaku.21
Salah satu asas penting negara hukum adalah asas legalitas. Substansi dari
asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap badan/ pejabat administrasi
berdasarkan undang-undang. Tanpa dasar Undang-undang, badan/pejabat
administrasi negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat
merubah atau mempengaruhi keadaan hukum warga masyarakat.
Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan, dan ditegakan dengan
tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka. Prinsip negara hukum tidak boleh
ditegakan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu perlu ditegaskan pula bahwa kedaulatan
ditangan rakyat yang diberlakukan menurut Undang-undang Dasar yang di
imbangi dengan penegasan bahwa negara indonesia adalah negara hukum yang
berkedaulatan rakyat atau demokratis.22
Dari segi Ilmu Hukum, negara merupakan
sistem kaidah yang menata kehidupan masyarakat untuk mencapai suatu tujuan.
Hukum yang khusus mengenai keorganisasian negara, baik keadaan diam maupun
keadaan bergerak, baik hal-hal pokok maupun perinciannya, baik mengenai hal-
hal yang nampak di atas permukaan maupun di bawah permukaan, dipelajari oleh
ilmu hukum tata negara dan ilmu hukum tata usaha negara atau hukum
pemerintah.23
b. Teori Perwakilan
Di setiap Negara dan setiap pemerintahan yang modern pada akhirnya
akan berbicara tentang rakyat. Dalam proses bernegara rakyat sering dianggap
hulu sekaligus muaranya. Rakyatlah titik sentralnya, dan rakyat di suatu Negara
21
Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung: Eresco, 1971, h.
38. 22
Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, h. 80. 23
Usep Ranawijaya, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1999. h. 181.
15
adalah pemegang kedaulatan. Manakala kata kedaulatan itu diartikan sebagai
“kekuasaan yang tertinggi yang menentukan segala kekuasaan yang ada, atau
sering diucapkan orang rakyatlah sumber kekuasaan itu, maka pertanyaan yang
muncul adalah kapan kekuasaan yang tertinggi itu dapat dilihat dan bagaimana
caranya rakyat melaksanakan kekuasaan tersebut.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah tidak mungkin rakyat memerintah
dirinya. Pada masyarakat yang bagaimanapun sifatnya, mulai yang sederhana
sampai yang modern, akan terdapat dua pihak, yaitu pihak yang memerintah dan
yang diperintah, pihak pertama yang memerintah selalu berjumlah kecil, dan
yang berjumlah banyak adalah pihak yang diperintah.
Seperti yang dijelaskan sebelumya, saat ini dan pada masa yang akan
datang, seperti juga pada masa yang lalu, sekelompok kecil orang tersebut adalah
mereka yang mempunyai kelebihan dibandingkan dengan banyak orang.
Kelebihan itu pada dewasa ini, mungkin karena faktor pendidikan, dimana
mereka itu mempunyai pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan banyak orang
atau karena faktor pekerjaan, dimana mereka itu mempunyai pekerjaan yang
lebih baik dibandingkan dengan banyak orang.24
Namun timbulnya lembaga perwakilan ini atau dengan sebutan yang
bermacam-macam seperti “parlemen Legislatif”, “Dewan Perwakilan ” atau
apapun sebutannya, ternyata lahirnya bukan karena sistem demokrasi itu sendiri,
melainkan karena kelicikan sistem feudal, seperti dikatakan oleh A.F. Polllard
dalam bukunya berjudul “The Evolution of Parliament” yang menyatakan
“Representation was not the off spring of democratic theory, but an incident of
the feudal system.”25
Pada awalnya penentuan siapa yang akan duduk di lembaga perwakilan
tersebut dilakukan dengan cara pengangkatan. Sejarah telah mencatat bahwa
24
David N. Obson, The Legislative Process, New York: A Comparative Approach.,
Harper & Raw Publication, 1980, h.99. 25
Bintan R. Saragih. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Di Indonesia, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1987, h. 79
16
awalnya, House of Commons yang sering dianggap sebagai parlemen pertama di
dunia (Inggris) anggotanya diangkat.26
Walaupun diakui secara konstitusional bahwa rakyatlah yang berdaulat,
tetapi sekaligus disadari bahwa rakyat tidak mungkin melaksanakan sendiri
kedaulatannya, seperti dikatakan oleh Mohammad Hatta : “Kedaulatan rakyat
adalah kekuasaan yang dijalankan oleh rakyat atau atas nama rakyat di atas dasar
permusyawaratannya.”27
Ketidak mampuan rakyat melaksanakan sendiri kedaulatannya tidak hanya
karena jumlahnya yang relatif banyak dan tersebar di wilayah yang relatif cukup
luas. Juga karena tingkat kehidupan yang semakin kompleks.28
Kehidupan yang
semakin kompleks itu melahirkan spesialisasi yang pada gilirannya menuju
profesionalisme. Akibatnya orang tidak akan lagi mampu mengerjakan beberapa
jenis pekerjaan yang sifatnya berbeda pada waktu yang relatif sama. Orang sudah
terbiasa berpendapat, urusan-urusan yang ia pandang bukan bidangnya akan
diserahkan pada orang lain untuk mengerjakannya. Demikian pula dalam masalah
kenegaraan, rakyat akan menyerahkannya pada ahlinya.29
d. Hak Pergantian Antar Waktu
Dalam bahasa sehari-hari, Penggantian antar waktu anggota DPD RI
diasosiasikan sebagai recall. Secara etimologis, kata recall dalam bahasa Inggris
mengandung beberapa pengertian. Setidaknya menurut Peter Salim (dalam The
Contemporary English-Indonesia), yakni mengingat, memanggil kembali,
menarik kembali atau membatalkan. Penggantian antar waktu diartikan sebagai
proses penarikan kembali atau penggantian kembali anggota DPR oleh induk
organisasinya yang tentu saja partai politik.30
Recall yang terdiri kata “re” yang
artinya kembali, dan “call” yang artinya panggil atau memanggil. Jika kata ini
26
Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Di Indonesia, h. 79. 27
Mohammad Hatta, Kedaulatan Rakyat, Surabaya: Usaha Nasional, 1980, h. 11. 28
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta: Liberty, 1997, hlm. 132 29
Hanna Fenichel Pettkin, The Concept of Representation, California: University of
California Press,1980, hlm. 169 30
BN. Marbun, Kamus Hukum Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006, h.417.
17
disatukan maka kata recall ini akan berarti dipanggil atau memanggil kembali.
Kata recall ini merupakan suatu istilah yang ditemukan dalam kamus ilmu politik
yang digunakan untuk menerangkan suatu peristiwa penarikan seorang atau
beberapa orang wakil yang duduk dalam lembaga perwakilan (melalui proses
pemilu), oleh rakyat pemilihnya. Jadi dalam konteks ini recall merupakan suatu
hak yang dimiliki pemilih terhadap orang yang dipilihnya.31
Penggantian antar waktu atau recall adalah istilah pinjaman yang belum
ada padanya di Indonesia. Pengertian recall di Indonesia berbeda dengan
pengertian recall di Amerika Serikat. Di Amerika serikat istilah recall, lengkapnya
Recall Election yang digunakan untuk menyatakan hak rakyat pemilih
(konstituen) untuk melengserkan wakil rakyat sebelum masa jabatannya
berakhir.32
Penggantian antar waktu juga diartikan sebagai proses penarikan
kembali anggota lembaga perwakilan rakyat untuk diberhentikan dan digantikan
dengan anggota lainnya sebelum berakhir masa jabatan anggota yang ditarik
tersebut33
Adapun Moh. Mahfud MD, mengartikan Penggantian antar waktu adalah
hak untuk mengganti anggota lembaga permusyawaratan/ perwakilan dari
kedudukannya sehingga tidak lagi memiliki status keanggotaan di lembaga
tersebut.34
Menurut penulis, Penggantian antar waktu juga dapat diartikan hak
suatu organisasi sosial politik yang mempunyai wakil di MPR, DPR , DPD dan
DPRD untuk mengganti wakil-wakilnya di lembaga perwakilan sebelum yang
bersangkutan habis keanggotaannya, dengan terlebih dahulu bermusyawarah
dengan pimpinan lembaga perwakilan tersebut dengan alasan tertentu.
31
Haris Munandar, Pembangunan Politik, Situasi Global dan Hak Asasi Manusia,
Jakarta: Gramedia, 1994. h.128. 32
Ananda B. Kusuma, Jurnal Konstitusi Volume 3 Nomor 4 Tentang Recall, Jakarta:MK
RI, 2006. h.156. 33
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. h.318. 34
Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi
Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, Yogyakarta: FH UGM Press, 1993, h.324.
18
e. Asas Praduga Tak Bersalah
Istilah "Presumption of Innocence" atau praduga tak bersalah adalah asas
di mana seseorang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakannya
bersalah. Asas ini sangat penting pada demokrasi modern dengan banyak negara
memasukannya kedalam sebuah konstitusi. Dalam koridor ilmu hukum sendiri
terdapat beragam pengembangan penafsiran yang lugas sehingga akan mudah
ditangkap maknanya oleh masyarakat awam sekalipun dalam menafsirkan.
Pemahaman asas ini sangat penting agar dalam peristiwa hukum apapun, semua
persoalan hendaknya diletakkan secara teratur dan terukur atau proporsional.
Kecenderungan yang terjadi khususnya di masayarakat kita dewasa ini adalah
kerap terjadi pengadilan opini bahkan pengadilan media (trial by the press) ketika
seorang tersangka, bahkan terperiksa hingga saksi, seolah-olah sudah berada pada
posisi bersalah.
Asas praduga tak bersalah oleh berbagai penulis seperti Harahap
mencantumkan serta menguraikan prinsip-prinsip KUHAP sebagai salah satu
penghormatan hak asasi, mesti ada prinsip praduga tak bersalah pada orang yang
diduga sebagai pelaku tindak pidana. Menurutnya bahwa:35
“Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki
hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa
bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang
menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan
pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan
asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah
berkekuatan tetap.”
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) berdasarkan sistem
hukum Common Law, asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk
menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak
35
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan
Dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika,2006. h.34.
19
memihak (due process of law). Pemahaman ini sangat penting untuk
disosialisasikan secara luas dan menyeluruh kepada seluruh elmen masyarakat,
sebagai bentuk kesadaran hukum sekaligus kedewasaan dalam berpolitik.
Mengapa dikaitkan dengan politik?. Ya memang kecenderungan permainan
politik praktis kerapkali ditunggangi kepentingan subyektif yang mendorong
pembelokan opini hingga intervensi di ranah hukum, sehingga asas-asas hukum
diabaikan. Situasi tersebut merupakan preseden buruk bagi pendidikan karakter
bangsa. Boleh saja membenci seseorang ketika padanya disangkakan suatu tindak
pidana tertentu, namun kebencian tidak boleh menjadikan kita berlaku tidak adil.
Didalam kitab suci Al-Qur‟an. Allah SWT dalam firmannya:36
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang kamu kerjakan”. Dengan Ini menegaskan bahwa betapa Agama Islam
sangat menjunjung tinggi asas keadilan atas manusia, tanpa membeda-bedakan
unsur SARA, menegakkan hukum dan keadilan harus berdasarkan fakta atau
argumen, bukan kebencian atau sentimen.
Kedewasaan dalam berpolitik harus seiring sejalan dengan kesadaran
hukum. Kesatuan dan persatuan bangsa ini harus tetap dijaga betul agar jangan
sampai rentan menjadi konflik. Marilah kita memberikan kesadaran seluas-
luasnya kepada masyarakat atas asas hukum “praduga tidak bersalah
„ (presumption of innocence) ini, guna menghindarkan diri dari pengadilan sesat
dan menyesatkan. Kepada semua pihak yang berwenang juga hendaknya tetap
berfikir utuh, bertindak rasional dan proporsional serta melaksanakan standar
yang tinggi dalam penanganan dan penerapan hukum di negara ini.
36
Quraish Shihab, Tafsir jalalayn diskusi , Surah Al-Ma‟idah ayat 8.
https://tafsirq.com/5-Al-Ma'idah/ayat-8 di akses pada 15 maret 2018
20
c. Teori Pemisahan Kekuasaan
Teori pemisahan kekuasaan (separation of power), oleh Immanuel Kant
disebut sebagai doktrin Trias Politica yang berarti “Politik Tiga Serangkai”,
doktrin ini mulai terkenal setelah pecahnya Revolusi Prancis pada tahun 1789, tak
lama kemudian orang paham tentang kekuasaan yang tertumpuk ditangan raja
menjadi lenyap.37
Ketika itu timbul gagasan baru mengenai pemisahan kekuasaan
oleh Montesquieu dalam bukunya L’esprit Des Lois. Dasar pemikiran Trias
Politika sudah pernah dikemukakan oleh Aristoteles dan kemudian juga pernah
dikembangkan oleh Jhon Locke.38
Ciri khas teori pemisahan kekuasaan
(separation of power) dalam era modern saat ini ialah bersifat demokratis,
pemerintah yang terbatas kekuasaannya tidak dibenarkan bertindak sewenang-
wenang terhadap hukum, dan warganya.
Teori ini mengandung beberapa istilah yang menjadi perdebatan para
ilmuan, yang berhubungan erat dengan pemisahan kekuasaan (separation of
power) adalah distribusi kekuasaan (distribution of power) dan penempatan
(division of power) yang dalam arti sekilas tampak mirip, Soepomo misalnya
menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias politica dalam arti
paham pemisahan kekuasaan (separation of power), ala Montesquieu, melainkan
menganut sistim pembagian kekuasaan (distribution of power).39
Separation of
power oleh O. Hood Phillips dan yang lainnya diartikan sebagai the distribution of
the various power of government among different organs. Dengan kata lain
separation of power diidentikkan dengan distribution of power, oleh karena itu,
istilah tersebut dapat dipertukarkan maknanya satu sama lain. Misalnya Arthur
Mass, menggunakan istilah division of power sebagai genus yang terbagi menjadi
capital division of power dan territorial division of power.40
37
C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Cet.
I, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008. h. 74-75. 38
Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Cet. Ke-2, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Nusantara, 2004,
h. 200-203. 39
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Seketariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, h. 23. 40
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Jilid II, h. 19-20.
21
Menurut C. F.Strong, fenomena pembagian kekuasaan seperti itu
dikarenakan adanya proses normal dari spesialisasi fungsi. Fenomena ini bisa
diamati pada semua bidang pemikiran dan tindakan yang disebabkan peradaban
bergerak semakin maju, bertambahnya bidang aktifitas, dan karena organ-organ
pemerintahan menjadi semakin kompleks.41
Strong melihat pada mulanya raja
adalah pembuat dan pelaksana undang-undang, disamping ia juga bertidak sebagai
hakim. Namun dalam perkembangannya tidak dapat dihindari tumbuhnya
tendensi untuk mendelegasikan kekuasaan-kekuasaan tesebut sehingga
menghasilkan adanya pembagian kekuasaan.42
Benang merah dari teori di atas, lebih tepat untuk memakai pendekatan G.
Marshall, yang membedakan ciri-ciri doktrin pemisahan kekuasaan (separation of
power) kedalam lima aspek,43
yaitu :
1. Differentiation
2. Legal incompatibility of office holding
3. Isolation, imunity, independence
4. Check and balances
5. Co-ordinate status and lack of accountability.
Pertama, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) itu bersifat
membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Legislator membuat aturan, eksekutor melaksanakannya, sedangkan pengadilan
menilai konflik yang terjadi dalam pelaksanaan aturan itu dan menerapkan norma
aturan itu untuk menyelesaikan konflik atau perselisihan.
Kedua, doktrin pemisahan kekuasaan menghendaki orang yang menduduki
lembaga legislatif tidak boleh merangkap jabatan diluar cabang legislatif.
Meskipun demikian dalam praktek sistem pemerintahan parlemen, hal ini tidak
41
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 dengan Delapan Negara Maju, Cet ke-1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, h.
12. 42
Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD
1945 dengan Delapan Negara Maju, Cet ke-1, h. 13. 43
John Alder and Peter English, Constitutional and Administrative Law, London:
Macmillan 1989, h. 57-59.
22
diterapkan secara konsisten. Para menteri pemerintahan cabinet di Inggris justru
dipersyaratkan harus berasal dari mereka yang duduk sebagai anggota parlemen.
Ketiga, doktrin pemisahan kekuasaan juga menentukan bahwa masing-
masing organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap organ
yang lain dengan demikian independensi masing-masing cabang dapat terjamin
dengan sebaik-baiknya.
Keempat, dalam doktrin pemisahan kekuasaan itu, juga paling penting
adalah adanya prinsip check and balances, dimana setiap cabang mengendalikan
dan mengimbangi kekuatan cabang-cabang kekuasaan lain. Dengan adanya
perimbangan yang saling mengendalikan tersebut, diharapkan agar tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan dimasing-masing organ yang bersifat independen itu.
Kelima, adalah prinsip ko-ordinasi dan kesederajatan, yaitu semua (organ)
atau lembaga tinggi negara yang menjalankan fingsi legislatif, eksekutif dan
yudisial mempunya kedudukan sederajat dan mempunya hubungan yang bersifat
co-ordinatif, tidak bersifat sub-ordinatif satu dengan yang lainnya.44
Tiap-tiap
pembagian kekuasaan tersebut harus ada hukum yang mengatur secara detil agar
kedudukan dan kekuasaannya tidak tumpang-tindih dan tidak saling
mengintervensi antara satu dengan yang lain.
2. Kerangka Konseptual
a. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) adalah salah satu
lembaga negara yang muncul dari perubahan ke-tiga UUD 1945.45
Sebagai
lembaga negara, yaitu suatu istitusi negara yang menjalankan kewenangan, peran,
fungsi, dan jabatan tertentu dalam hubungannya dengan kegiatan negara atau
44
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Jilid II, h. 21-22. 45
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945.
h: 196.
23
pemerintah46
yang diwakilkan oleh wakil daerah yang berfungsi untuk
menyalurkan kepentingan daerah sebagai keseluruhan, terlepas dari kepentingan
individu-individu rakyat yang kepentingannya yang seharusnya kepentingannya di
salurkan melalui dewan perwakilan rakyat.47
Dewan Perwakilan Daerah itu sendiri suatu lembaga legislatif yang juga
mempunya alat kelengkapan di dalamya untuk menyangga dan membantu
memaksimalkan tugas dan fungsinya.
b. Dewan/ Badan Kehormatan DPD RI
Dewan/Badan Kehormatan DPD RI adalah alat kelengkapan DPD RI yang
bersifat tetap yang bertugas untuk melakukan pengawasan. Badan Kehormatan
dibentuk oleh DPD RI Tata cara pelaksanaan tugas Badan Kehormatan diatur
dengan peraturan DPD RI tentang tata beracara Badan Kehormatan. Pembentukan
BK di DPD RI merupakan respon atas sorotan publik terhadap kinerja sebagian
anggota dewan yang buruk, misalnya dalam hal rendahnya tingkat kehadiran dan
konflik kepentingan. BK DPD RI melakukan penelitian dan pemeriksaan terhadap
dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR, dan pada akhirnya
memberikan laporan akhir berupa rekomendasi kepada Pimpinan DPD RI sebagai
bahan pertimbangan untuk menjatuhkan sanksi atau merehabilitasi nama baik
Anggota. Rapat-rapat Badan Kehormatan bersifat tertutup. Tugas Badan
Kehormatan dianggap selesai setelah menyampaikan rekomendasi kepada
Pimpinan DPD RI.48
Seperti yang dijelaskan, Badan Kehormatan ini alat
kelengkapan yang mengawasi secara intern DPD RI dalam menjalankan Kode
Etiknya
c. Kode Etik DPD RI
46
Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
h. 24. 47
Jilmly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitualisme Indonesia Ed.1. Cet. 2, Jakarta:
Sinar Grafika, 2011. h. 153. 48
Marulak Pardede dan Tim, Penelitian Tentang Efektivitas Putusan Badan Kehormatan,
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementian Hukum dan Ham,2011. h. 88.
24
Kode Etik adalah suatu sistem norma, nilai dan juga aturan profesional
tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak
benar dan tidak baik bagi profesional. Kode etik menyatakan perbuatan apa saja
yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus dilakukan dan perbuatan apa
yang harus dihindari.49
Sedangkan Kode Etik DPD RI adalah suatu peraturan yang
dibuat oleh DPD RI sebagai panduan prilaku dalam upaya menertibkan secara
tertulis.50
Sebagai suatu organisasi pemerintahan DPD RI mempunyai “Cara”
yang tertulis untuk seluruh keanggotaanya dalam menjalankan tugas dan
sebagainya.
d. Peraturan Perundang-Undangan
Dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan. Tapi dalam skripsi ini yang menjadi peraturan
perundang-undangan yang di maksud yaitu peraturan mengenai DPD RI dan alat
kelengkapannya serta semua aturan yang berkaitan dengan pemberhentian dan
pergantian ketua yang terkena kasus pidana.
e. Irman Gusman
Irman Gusman adalah ketua Dewan Perwakilan Daerah 2 periode yaitu
2009-2014 dan 2014-2016 yang ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan
(OTT) dikediamannya 16 September 2016. Irman sudah cukup lama berkarier di
bidang politik hingga membawanya menjadi pimpinan DPD tiga kali berturut-
turut.
Pria kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat ini memulai karier
politiknya sejak tahun 1999 dengan menjadi anggota MPR. Di MPR, Irman
dipercaya oleh Fraksi TNI/Polri DPRD Sumatera Barat.
49
http://www.pengertianku.net/2015/02/pengertian-kode-etik-dan-tujuannya-lengkap.html
diakses pada tanggal 6 maret 2018. 50
Ni‟matul Huda, Hukum Tata negara Indonesia. h. 193.
25
H. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2017, yang terbagi dalam lima Bab. Pada setiap bab terdiri dari sub
bab yang digunakan untuk memperjelas ruang lingkup dan inti permasalahan yang
diteliti.
Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta inti permasalahan
adalah sebagai berikut:
BAB I. Pendahuluan
Merupakan pendahuluan yang bermuatkan: Latar belakang Masalah,
Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual, Tinjauan (Review) Kajian
Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II. Tinjauan Umum Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia
Bab ini Berisi tentang Tinjauan Umum yang bermuatkan: Profil Dewan
Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Profil Badan Kehormatan DPD
RI, Pengertian Tindak Pidana Korupsi, dan Pemberhentian dan
Pengangkatan DPD RI
BAB III. Kewenangan Badan Kehormatan DPD RI
Bab ini Menjelaskan tentang perihal: Peran serta Kewenangan Badan
Kehormatan DPD RI dalam hal Pengawasan, Kedudukan, dan Keputusan
yang dilakukan Badan Kehormatan DPD RI
BAB IV. Keabsahan Pemberhentian Dan Pengangakatan Ketua DPD RI
Yang Terkena Pidana (Kasus Irman Gusman)
Bab ini menganalisis permasalahan keabsahan putusan Badan
Kehormatan DPD RI dalam pemberhentian dan pengangkatan ketua
DPD RI Yang Tersangkut Kasus Pidana.
26
BAB V. Penutup
Bab ini berisi mengenai kesimpulan yang dapat ditarik yang mengacu
pada hasil penelitian sesuai dengan perumusan masalah yang telah
ditetapkan dan saran-saran yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian
dan pengulasannya dalam skripsi.
27
BAB II
TINJAUAN UMUM DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK
INDONESIA
A. Profil Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) lahir pada
tanggal 9 November 2001, saat 128 anggota DPD RI yang terpilih untuk pertama
kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. DPD RI lahir dalam tuntutan demokrasi,
guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas serta
meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan
nasional, serta untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka
dalam rangka perubahan konstitusi, MPR RI membentuk sebuah lembaga
perwakilan baru, yakni DPD RI.1 DPD RI adalah lembaga tinggi negara yang
dibentuk untuk memenuhi sistem bikameral yang ada di indonesia melalui
pembagian kekuasan pusat dan daerah, dengan batasan-batasan kekuasaan
regional itu sendiri, atau dengan ranah wewenang dan tugas lembaga negara
legislatif, eksekutif dan yudikatif. Tetapi Pendapat Jhon Locke yang memasukan
kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif. Dan federatif sebagai
kekuasaan luar negeri yang berdiri sendiri sesuai pemikiran seperti itu, yang
timbul dari pengalamannya menjadi hakim, dimana kekuasaan yudikatif sangat
berbeda dengan kekuasaan eksekutif. Sebaliknya oleh Montesquieu, kekuasaan
hubungan luar negeri yang disebut oleh Jhon Locke federatif dimasukkannya
kedalam kekuasaan eksekutif.2 Di Indonesia Legislatif membedakan kekuasaan di
sistem bikameralnya dari daerah dan pusat.
Mengapa kekuasaan itu harus dipisahkan satu sama lain agar tidak tercipta
pemerintahan sewenang-wenang, hal ini juga dikatakan oleh sejarawan inggris,
1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. h.
298. 2 Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cet. Ke-2, Jakarta: Aksara Baru, 1978, h.
6.
28
Lord Acton dengan dalilnya “Power tends corrupt, but absolute power corrupt
absolutly”.3 Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-
misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’
dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan
satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi
kekuasaan ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertikal. Dengan begitu,
kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu
tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.4
Ajaran tersebut bukan lagi ajaran yang baru, bagi Montesquieu secara
garis besar pemisahan kekuasaan sebagai berikut : Pertama, terciptanya
masyarakat yang bebas. Keinginan seperti ini muncul karena Montesquieu hidup
dalam kondisi sosial dan politik yang tertekan dibawah kekuasaan Raja Lodewijk
XIV yang memerintah secara absolut. Kedua, jalan untuk mencapai masyarakat
yang bebas adalah pemisahan antara kekuasaan legislatif dengan kekuasaan
eksekutif. Montesquieu tidak membenarkan jika kedua fungsi berada di satu orang
atau badan karena dikhawatirkan akan melaksanakan pemerintahan tirani. Ketiga,
kekuasaan yudisial harus dipisah dengan fungsi legislatif. Hal ini dimaksudkan
agar hakim dapat bertindak secara bebas dalam memeriksa dan memutus perkara.5
Ketiga kekuasaan tersebut di atas, menurut Monstesquieu, harus terpisah
satu sama lain, mulai dari fungsi maupun mengenai alat perlengkapannya.
Montesquieu memandang kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri karena
kekuasaan tersebut dianggapnya sangat penting.
Pada awal-awal pembentukan, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh
DPD RI antara lain. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap
jauh dari kata memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah
3 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. Ke-6, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2013, h. 107. 4 Jimly Asshiddiqie, Konsep Negara Hukum, dalam (Artikel Hukum) “Gagasan Hukum
Indonesia”, www.docudesk.com, h. 10. 5 Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia
(Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridik Pertanggung Jawaban Kekuasaan), Surabaya:
Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga, 1990, h. 58-59.
29
parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh
dari kata memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak
banyak dukungan dalam segi politik yang diberikan kepada lembaga baru ini6.
Pada saat itu berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya lembaga yang
dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta untuk menjaga
keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan
serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih
mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar
kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk hal-hal
terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut
berangkat dari indikasi yang nyata bahwa pengambilan keputusan yang bersifat
sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa
ketidakadilan, dan diantaranya juga memberi indikasi ancaman keutuhan wilayah
negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam
keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-
Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-
tantangan tersebut.
Dalam perjalanannya, gagasan tentang parlemen bikameral yang baik itu
ternyata kemudian hilang karena kompromi-kompromi dan menonjolkan
kepentingan politik selama proses amandemen. Meskipun kedudukannya
merupakan salah satu lembaga negara yang sejajar dengan DPR, MPR, Presiden,
MA, MK, dan BPK. DPD RI yang anggotanya dipilih langsung melalui pemilu
ternyata didalam konstitusi hanya memiliki fungsi yang sangat sumir dan sama
sekali tak berarti jika dibandingkan dengan biaya politik dan proses perekrutannya
yang demokratis. Berbeda dengan DPR RI yang diatur dalam tujuh pasal (Pasal
19 sampai dengan Pasal 22B), DPD RI hanya diatur dalam 2 pasal (Pasal 22C dan
Pasal 22D).7
6 Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:Rajawali Pers,2009. h. 173.
7 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2011. h.
68.
30
Lembaga baru yang muncul melalui perubahan ke-tiga UUD 1945 ini yang
dilihat dalam struktur ketatanegaraan Indonesia diatur dalam pasal 22C dan 22D
dan 22E mengenai pemilihan umum.8 Dalam perubahan itu sistem perwakilan
dan parlemen di Indonesia berubah dari sistem unikameral menjadi sistem
bikameral dengan kaitan checks and balances yang diajukan dari supermasi MPR
RI. Perubahan tersebut tidak terjadi otomatis dan seketika, tetapi melalui tahap
pembahasan yang panjang baik di masyarakat maupun di MPR RI, khususnya di
Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR RI selain memperhatikan tuntutan
politik dan pandangan-pandangan yang berkembang bersama reformasi, juga
melibatkan pembahasan yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem
pemerintahan yang berlaku di negara-negara lain khususnya di negara yang
menganut paham demokrasi.9
Jika dibandingkan dari segi dibentuk lembaganya, DPD RI memang
sangatlah jauh lebih muda dari DPR RI, karena DPR RI lahir sejak tahun 1918
(dulu bernama Volksraad). Namun, apabila dilihat dari segi gagasannya pemikiran
pembentukannya, keberadaan lembaga seperti DPD RI, yang mewakili daerah di
dalam parlemen nasional, sesungguhnya sudah terpikirkan dan dapat dilacak sejak
sebelum masa kemerdekaan. Dicatat oleh Indra J. Piliang dalam sebuah buku
yang diterbitkan DPD RI, bahwa pemikiran ini lahir pertama kali dalam
konferensi GAPI pada 31 Januari 1941.10
Sampai gagasan pemikiran
pembentukan itu terus bergulir, dan pada masa pendirian Republik Indonesia ini
pun, gagasan untuk membentuk lembaga perwakilan daerah di dalam parlemen
nasional ikut dibahas. Gagsan pemikiran tersebut dikemukakan oleh Moh. Yamin
dalam rapat perumusan UUD 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dikatakannya:
Kekuasaan yang dipegang oleh permusyawaratan oleh seluruh rakyat
Indonesia diduduki, tidak saja oleh wakil daerah-daerah Indonesia, tetapi
8 Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 ayat 1 Perubahan keempat.
9 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, h. 69.
10 Kelompok DPD RI, Mengenal DPD RI, Jakarta:Kelompok DPD RI di MPR, 2006. h.
15.
31
semata-mata pula oleh wakil golongan atau rakyat Indonesia seluruhnya, yang
dipilih dengan bebas dan merdeka oleh rakyat dengan suara terbanyak. Majelis
Permusyawaratan juga meliputi segala anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Kepada Majelis Presiden bertanggung jawab. Jadi ada dua syaratnya, yaitu wakil
daerah dan wakil golongan langsung daripada rakyat Indonesia.11
Gagasan-gagasan Pemikiran akan pentingnya keberadaan perwakilan
daerah di dalam parlemen nasional pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi
pertama Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), yang bersanding dengan
“utusan golongan” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa
“MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-
daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-
undang.”12
Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur
lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS),
gagsan pemikiran tersebut terwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia
Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian disamping dengan
DPR-RIS. Sehingga dalam kandungan UUD Sementara (UUDS) 195013
tetap
mengakomodasi Senat yang sudah ada sebelumnya, selama masa transisi
berlangsung. Masa transisi ini ada karena UUDS 1950, yang dibuat untuk
menghentikan federalisme ini, secara khusus mengamanatkan adanya pemilihan
umum (Pemilu) dan pemilihan anggota Konstituante untuk membuat UUD yang
definitif yang akan menjadi landasan bentuk dan pola baru pemerintahan
Indonesia. Karena itulah, penting untuk dicatat, adanya Senat dalam UUDS 1950
hanya diberlakukan selagi Pemilu yang direncanakan belum terlaksana (kemudian
terlaksana pada tahun 1955). Dalam sistem perwakilan UUDS itu sendiri, Senat
ditiadakan karena bentuk negara tidak lagi federal.
11
Sekertariat Negara Republik Indonesia, Jakarta: Sekertariat Negara RI,1995. 12
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 2 Belum Ada Perubahan. 13
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950. Tentang Perubahan Konstitusi Sementara
Republik Indonesia Serikat Mendjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia
Pasal.
32
Setelah UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, Indonesia kembali ke UUD 1945
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konsekuensinya, “utusan daerah” kembali
hadir. Dekrit ini lantas diikuti dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2
Tahun 1959 tentang Pembentukan MPR Sementara (MPRS) dan Penetapan
Presiden No. 12 Tahun 1959 tentang Susunan MPRS. Penetapan Presiden No.
12/1959 ini menetapkan bahwa MPRS terdiri dari anggota DPRS (hasil Pemilu
1955) ditambah utusan daerah dan golongan karya. Anggota MPRS tidak dipilih
melalui Pemilu, melainkan melalui penunjukan oleh Soekarno.14
Kemudian
Soekarno memangkas fungsi, kedudukan, dan wewenang MPRS melalui
Ketetapan MPRS No. 1 Tahun 1960 sehingga MPRS hanya bisa menetapkan
GBHN, tanpa bisa mengubah UUD.
Pada masa pemerintahan Soeharto, skema ini tidak berubah. Utusan
daerah sebagai anggota MPR hanya bekerja sekali dalam lima tahun, untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan GBHN. Tidak ada hal
lainnya yang dapat dilakukan oleh utusan daerah selama lima tahun masa
jabatannya. Akibatnya, efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengambilan
keputusan tingkat nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan
konsep parlemen dua kamar (bikameral) yang menjadi rujukan perwakilan daerah,
keberadaan utusan daerah ini berada di luar konteks.
Perkembangan pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada
pembahasan amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Perubahan pertama UUD
1945 disahkan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 yang berlangsung pada
tanggal 14-21 Oktober 1999 dan perubahan kedua dilakukan pada Sidang
Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 7-18 Agustus 2000. Setelah
perubahan kedua tersebut, MPR masih memandang perlu untuk melanjutkan ke
perubahan ketiga UUD 1945. Dalam perubahan ketiga inilah muncul gagasan
untuk membentuk parlemen yang menganut sistem bikameral, yang kemudian
melahirkan secara legal formal DPD RI yang ada sekarang.
14
Robert Endi Jaweng, Mengenal DPD RI: Sebuah Gambaran Awal. Institut For local
Development : Jakarta, 2005, h. 10.
33
Perlu diketahui, menurut MH. M Syaiful Rahman yang di kutip Salman
Maggalatung bahwa ada lima asumsi yang melatar belakangi lahirnya DPD RI
dalam struktur ketatanegaraan RI sebagai kamar kedua dalam lembaga legislatif,
yaitu pertama, sistem perwakilan setidaknya harus mencerminkan keterwakilan
penduduk, keterwakilan ruang (daerah), dan keterwakilan deskriptif. Kedua, ada
keterkaitan budaya, sejarah, ekonomi, dan politik antara penduduk dengan ruang
(daerah) dan penyebaran penduduk indonesia yang tidak merata disetiap daerah.
Ketiga, kondisi geopolitik Indonesia yang terdiri daerah kepulauan yang
terbingkai dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan
masyarakatnya yang plural dengan keragaman suku, adat, bahasa, budaya, dan
lain sebagainya, tertampung dalam otonomi yang lebih luas. Keempat,
menghindari monopoli dalam pembuatan Undang-Undang. Kelima,mewujudkan
mekanisme checks and balances dalam lembaga legislatif dan menghindari
kesewenang-wenangan oleh salah satu lembaga negara . hadirnya lembaga baru
ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas keterwakilan rakyat, lebih responsif
pada pluralisme dalam rangka memperkuat NKRI serta memperkokoh mekanisme
demokrasi dalam sistem pemerintahan negara.15
Pengusulan DPD RI dalam perubahan kelima UUD NRI Tahun 1945
dimaksudkan agar eksistensi dan keberadaan DPD RI dapat menyetujui atau
menolak rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat-daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lain, serta pertimbangan keuangan
pusat-daerah yang tidak disetujui oleh DPR RI. Kewenangan DPD RI
sebagaimana yang telah termaktub dalam konstitusi, terlihat sangat lemah dan
tidak menentukan.16
Sedangkan kecendrungan DPD RI membangun checks and
balances dengan DPR RI dalam penggunaan fungsi legislasi, adalah sebuah
keniscayaan.
15
Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945, h.
69. 16
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan ketiga Pasal
22D
34
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, DPD dan DPRD pada saat sekarang sudah diganti dan diatur dalam
pasal 256 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD. Sebagaimana DPR, DPD juga mempunyai hak sebagai anggota yang
mempunyai kewajiban.
a. Mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah.
b. Ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi
daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
c. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pembahasan rancangan
undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama.
d. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang- undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah,
hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
17
Sesuai dengan ketentuan Pasal 257 dan 258 Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD
bahwa Anggota DPD mempunyai hak dan kewajiban sebagai berikut:
1. Hak
a. Bertanya
17
Abu Tamrin dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, Ciputat: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010. h. 131.
35
b. Menyampaikan usul dan pendapat
c. Memilih dan dipilih
d. Membela diri
e. Imunitas
f. Protokoler
g. Keuangan dan administratif
2. Kewajiban
a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila
b. Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan
c. Mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
d. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi,
kelompok, golongan, dan daerah
e. Menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara
f. Menaati tata tertib dan kode etik
g. Menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain
h. Menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat
i. Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada
masyarakat di daerah yang diwakilinya.
Kinerja DPD RI di era reformasi kurang optimal karena pengaturan di
dalam UUD 1945 setelah perubahan dan peraturan perundang-undangan lainnya,
kekuasaan DPD RI tidak seimbang dengan kekuasaan DPR. Hal ini disebabkan
karena yang berwenang membentuk Undang-Undang di era reformasi adalah
DPR. Di dalam pembahasan perubahan pasal UUD 1945 peranan DPR sebagai
anggota MPR juga dominan khususnya dalam membahas kewenangan dalam
membahas pasal-pasal perubahan UUD 1945 tentang DPR. DPD RI hanya dapat
mengajukan rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan
daerah, karena DPD RI mewakili daerah provinsinya. Tidak semua rancangan
36
Undang-Undang DPD RI dapat terlibat tetapi hanya rancangan Undang-Undang
yang berkaitan dengan kepentingan daerah dan beberapa rancangan Undang-
Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
DPD RI juga tidak bisa melakukan pengawasan terhadap pemerintah
terhadap semua tindakan Pemerintah berdasarkan peraturan Perundang-undangan
tetapi hanya tindakan pemerintah berdasarkan Undang-Undang yang berkaitan
dengan kepentingan daerah dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN), pajak, pendidikan dan agama.18
Anggota DPD RI dari setiap provinsi adalah 4 orang dengan demikian
jumlah anggota DPD RI saat ini adalah 136 Orang. Didalam keanggotaan DPD RI
terdapat pula alat kelengkapan yang terdiri dari Komite, Badan Kehormatan, dan
panita-panitia lain yang diperlukan.
B. Badan Kehormatan DPD RI
Badan Kehormatan DPD RI merupakan alat kelengkapan DPD RI yang
baru, sebagaimana termaktub dalam Pasal 270 ayat (1) Undang Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Badan Kehormatan DPR
RI dibentuk oleh DPD RI sebagai alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap.
Berbeda halnya dengan periode 1999 – 2004 yang menyebut: ”Dewan
Kehormatan” sebagai kelembagaan yang tidak bersifat tetap (ad hoc) karena
lembaga ini dapat dibentuk oleh DPD RI bila terdapat kasus terkait dengan
perilaku anggota DPD RI. Hingga periode 1999 – 2004 berakhir, tidak ada kasus
yang berhasil diproses oleh ”Dewan Kehormatan”, sehingga dalam periode
tersebut ”Dewan kehormatan” belum pernah terbentuk guna menjalankan tugas
dan fungsinya dalam penegakan Kode Etik DPD RI. Di sisi lain pembentukan
Badan Kehormatan di Indonesia, baik badan kehormatan DPD RI, dan dewan
kehormatan legislatif lainnya merupakan efek dari munculnya gagasan Reformasi,
Etik, Rezim Etik, Kode Etik dan Kode Perilaku pada sejumlah parlemen di
18
Abu Tamrin dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, h. 132-133.
37
daerah. Keempat gagasan ini awalnya dikembangkan oleh sektor swasta (private
sector). Di tengah sistem ekonomi – pasar global,negara tidak lagi mampu
mengontrol, mengakses dan memberikan sanksi terhadap permasalahan yang ada.
Sebagai contoh, pelanggaran seringkali melakukan boikot produk dan perusahaan
yang dicurigai tidak menghargai standar etika bisnis. Akhirnya perusahaan
menyusun instrumen Reformasi Etik dan Rezim.19
Badan kehormatan DPD RI adalah salah satu alat kelengkapan parlemen
yang penting. Tugasnya dalam menegakan kode etik anggota, membuat alat
kelengkapan ini di satu sisi sangat berguna dan di sisi lain memiliki tantangan
yang sangat berat. Maraknya kasus indikasi pelanggaran kode etik yang
kongkuren dan berjalan paralel dengan skandal kasus publik seperti korupsi juga
membuat alat kelengkapan ini tugasnya semakin berat. Ada persoalan kewajiban
melaksanakan fungsi alat kelengkapan sesuai dengan amanat Undang Undang,
Tata Tertib dan Kode Etik di satu sisi. Di sisi lain, BK juga harus berada di dalam
dilema antara membela kepentingan publik dan menjaga citra, baik citra
kelembagaan DPD RI maupun citra Partai Politik serta anggota DPD RI. Beratnya
tugas dan tanggung jawab Badan Kehormatan memerlukan penguatan
kewenangan yang dapat menunjang pelaksanaan fungsinya menegakan Citra DPD
RI. Pengaturan terkait Badan Kehormatan DPD RI harus juga mampu
memperkuat dari sisi kelembagaan sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan.
Menurut Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwkilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MPR, DPR, DPD, dan
DPRD). Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, akan meninjau
kembali fungsi kewenangan dari lembaga perwakilan. Proses ini sangat penting
untuk memastikan perubahan yang berarti dari pelaksanaan kewenangan beberapa
perwakilan sekaligus alat kelengkapan yang ada di dalamnya, termasuk Badan
Kehormatan DPD RI.
19
Marulak Pardede dan Tim, Penelitian Tentang Efektivitas Putusan Badan Kehormatan,
h.16.
38
Ketentuan tentang Badan Kehormatan DPD diatur di dalam Peraturan
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib DPD, Badan Kehormatan yang merupakan lembaga baru di parlemen di
Indonesia, awalnya Badan Kehormatan di DPD pada periode sebelumnya diberi
nama ”Dewan Kehormatan” yang tidak bersifat tetap dan hanya dibentuk bila
terdapat kasus dan disepakati untuk menuntaskan suatu kasus yang menimpa
anggota DPR dan DPRD. Tepat pada Periode 2004-2009, Badan Kehormatan di
Indonesia didisain sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap, artinya Badan
Kehormatan merupakan suatu keharusan untuk segera dibentuk di seluruh
parlemen di Indonesia, Argumentasi ini didapatkan bila kita menafsirkan pasal
271 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.20
Alat Kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap dan mempunyai
tugas sebagai berikut:21
1. melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota
DPD RI karena :
a. tidak melaksanakan kewajiban;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangantetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut
tanpa keterangan apapun;
c. tidak menghadiri Sidang Paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan
DPD RI yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam )
kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
e. melanggar ketentuan larangan Anggota.
20
Ni‟matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah dan Perkembangan dan
Problamatika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, h. 123. 21
Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Tata Tertib. Pasal 271.
39
2. menetapkan keputusan atas hasil penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan
terhadap Anggota.
3. menyampaikan keputusan sebagaimana atas penyelidikan dan verifikasi atas
pengaduan teradap Anggota pada Sidang Paripurna untu ditetapkan.
4. selain tugas-tugas sebagaimana di atas BK juga melakukan evaluasi dan
penyempurnaan peraturan DPD tentang Tata Tertib dan Kode Etik DPD.
C. Pemberhentian dan Pengangkatan Ketua DPD RI
Aturan di dalam Tata Tertib Nomor 1 tahun 2014 mengenai
pemberhentian antarwaktu, penggantian antarwaktu, dan pemberhentian
sementara Dewan Perwakilan Daerah mengenai pemberhentian dan pengangkatan
DPD Ini juga perlunya mengapa DPD di berhentiakn atau di ganti oleh yang baru.
Pada paragraf pertama yaitu mengenai pemberhentian antar waktu diatur dalam
pasal 23 yaitu:
1. Anggota berhenti antarwaktu karena
a. Meninggal dunia
b. Mengundurkan diri
c. Diberhentikan.
2. Anggota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, apabila:
3. Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap
sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa
pun.
a. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik.
b. Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
40
c. Tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat Alat Kelengkapan
DPD yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah.
d. Tidak memenuhi syarat sebagai calon Anggota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum.
e. Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam peraturan
ini.
Pemberhentian antar waktu pada Pasal 24 memiliki tata cara yang harus di
ikuti menurut kode etik dan Tata Tertib DPD RI yaitu:
a. Pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf
a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c diusulkan oleh Pimpinan DPD yang
diumumkan dalam Sidang paripurna.
b. Paling lama 7 (tujuh) hari sejak usul pimpinan DPD diumumkan dalam
Sidang paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPD
menyampaikan usul pemberhentian anggota kepada Presiden untuk
memperoleh peresmian pemberhentian.
c. Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul pemberhentian
anggota dari pimpinan DPD.
d. Apabila Presiden belum meresmikan pemberhentian anggota setelah 14
(empat belas hari) sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengikuti kegiatan DPD
tanpa mengurangi hak-hak administratifnya.
Di jelaskan pasal 25 lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian antar
waktu sebagai berikut yaitu:
1. Pemberhentian anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf
a, huruf b, huruf d, sampai dengan huruf f, dilakukan setelah adanya hasil
penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan
41
Kehormatan atas pengaduan dari Pimpinan DPD, masyarakat dan/atau
pemilih.
2. Keputusan Badan Kehormatan mengenai pemberhentian Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan
kepada Sidang paripurna.
3. Paling lama 7 (tujuh) hari sejak keputusan Badan Kehormatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPD menyampaikan keputusan Badan
Kehormatan kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
4. Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usulan pemberhentian
Anggota dari Pimpinan DPD.
5. Apabila Presiden belum meresmikan pemberhentian Anggota setelah 14
(empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengikuti kegiatan DPD
tanpa mengurangi hak-hak administratifnya.
Di Pasal selanjutnya yaitu pasal 26 juga dijelaskan lebih lanjut:
1. Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1), Badan Kehormatan dapat meminta bantuan dari ahli
independen.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan
pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan diatur dengan Peraturan
DPD tentang Tata Beracara Badan Kehormatan.
Pada pasal selanjutnya mengenai Penggantian Antarwaktu di Pasal 27 di
dalam Tata Tertib DPD RI yaitu:
1. Anggota yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) digantikan oleh calon Anggota yang memperoleh suara terbanyak
urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon Anggota dari
provinsi yang sama.
42
2. Dalam hal calon Anggota yang memperoleh suara terbanyak urutan
berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara calon Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri,
atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota, Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon Anggota yang
memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya.
3. Masa jabatan Anggota pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan
Anggota yang digantikannya.
Penggantian antar waktu adalah suatu proses penarikan kembali atau
pergantian DPD RI oleh induk organisasinya. Hak Penggantian antar waktu diatur
dalam Pasal 213 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD. Penggantian antar waktu berfungsi sebagai mechanism control
dari partai politik yang memiliki wakilnya yang duduk sebagai anggota parlemen.
Hak Penggantian antar waktu didefinisikan oleh sejumlah ahli, salah
satunya oleh M. Isnaeni mengatakan: Hak Penggantian antar waktu pada
umumnya merupakan suatu „pedang Democles‟ bagi tiap-tiap anggota DPD RI.
Dengan adanya hak recall maka anggota DPR akan lebih banyak menunggu
petunjuk dan pedoman pimpinan fraksinya dari pada ber-oto-aktivitas. Melakukan
oto-aktivitas yang tinggi tanpa restu pimpinan fraksi kemungkinan besar
melakukan kesalahan fatal yang dapat berakibat recalling. Karena itu untuk
keamanan keanggotaannya lebih baik menunggu apa yang diinstruksikan oleh
pimpinan fraksinya.22
Moh. Hatta juga pernah mengatakan: Hak Penggantian antar waktu
bertentangan dengan demokrasi apalagi dengan demokrasi Pancasila. Pimpinan
partai tidak berhak membatalkan anggotanya sebagai hasil dari pemilu. Rupanya
dalam kenyataannya pimpinan partai merasa lebih berkuasa dari rakyat
pemilihnya. Kalau demikian adanya ia menganjurkan agar pemilu ditiadakan saja.
22
M. Isnaeni, MPR-DPR sebagai Wahana Mewujudkan Demokrasi Pancasila, Jakarta:
Yayasan Idayu, 1982, h.57-58.
43
Pada dasarnya hak Pergantian antar waktu ini hanya ada pada negara komunis dan
fasis yang bersifat otoriter.23
Selanjutnya Pada Pasal 28 menerangkan yaitu:
1. Pimpinan DPD menyampaikan nama Anggota yang diberhentikan
antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU
paling lambat 14 (empat belas) hari sejak Anggota berhenti.
2. KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2)
kepada Pimpinan DPD paling lambat 5 (lima) hari sejak diterimanya surat
Pimpinan DPD.
3. Paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima nama calon pengganti
antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPD
menyampaikan nama Anggota yang diberhentikan dan nama calon
pengganti antarwaktu kepada Presiden.
4. Paling lambat 14 (empat belas) hari sejak menerima nama Anggota yang
diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari Pimpinan DPD
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden meresmikan pemberhentian
dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden.
5. Sebelum memangku jabatannya, Anggota pengganti antarwaktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengucapkan sumpah/janji yang
pengucapannya dipandu oleh Pimpinan DPD, dengan tata cara dan teks
sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan pasal 9.
6. Setelah pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Anggota menandatangani Pakta Integritas sebagaimana diatur dalam Pasal
10.
7. Penggantian antarwaktu Anggota tidak dilaksanakan apabila sisa masa
jabatan Anggota yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.
23
Deliar Noer, Mohammad Hatta Suatu Biografi Politik, Jakarta: LP3ES, 1989, h.305-
306
44
Pasal 29 menyebutkan tentang pemberhentian sementara dan rehabilitasi
yaitu:
1. Anggota diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
2. Dalam hal Anggota dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Anggota yang bersangkutan
diberhentikan sebagai Anggota.
3. Dalam hal Anggota dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Anggota yang bersangkutan
diaktifkan.
4. Anggota yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan
tertentu.
5. Hak keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi gaji pokok,
tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan, dan uang paket.
Pasal 30 (1) Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3)
dapat direhabilitasi nama baiknya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPD
tentang Kode Etik, yaitu Pasal 31 tentang tata cara pemberhentian sementara dan
rehabilitasi yaitu:
1. Tata cara pemberhentian sementara Anggota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29 adalah:
a. Pimpinan DPD setelah menerima surat pemberitahuan mengenai status
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) meneruskan kepada
Badan Kehormatan;
45
b. Badan Kehormatan melakukan verifikasi mengenai status Anggota yang
hasilnya dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan
c. Keputusan sebagaimana dimaksud pada huruf b dilaporkan oleh Badan
Kehormatan kepada Sidang paripurna dan disampaikan kepada Anggota
yang bersangkutan.
2. Dalam hal Pimpinan DPD belum menerima surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pimpinan DPD dapat menugasi Badan
Kehormatan untuk melakukan klarifikasi terhadap Anggota terkait dengan
kasus tersebut.
3. Badan Kehormatan dapat mencari informasi terkait proses penegakan hukum.
46
BAB III
KEWENANGAN BADAN KEHORMATAN DPD RI
A. Kewenangan Badan Kehormatan DPD RI
Badan kehormatan DPD RI adalah salah satu alat kelengkapan parlemen
yang penting. Tugasnya dalam menegakan kode etik anggota, membuat alat
kelengkapan ini di satu sisi sangat berguna dan di sisi lain memiliki tantangan
yang sangat berat. Maraknya kasus indikasi pelanggaran kode etik yang
kongkuren dan berjalan paralel dengan skandal kasus publik seperti korupsi juga
membuat alat kelengkapan ini tugasnya semakin berat. Ada persoalan kewajiban
melaksanakan fungsi alat kelengkapan sesuai dengan amanat Undang - Undang,
Tata Tertib dan Kode Etik di satu sisi. Di sisi lain, Badan Kehormatan juga harus
berada di dalam dilema antara membela kepentingan publik dan menjaga citra,
baik citra kelembagaan DPD RI maupun citra partai politik dan daerah anggota
DPD RI. Beratnya tugas dan tanggung jawab Badan Kehormatan memerlukan
penguatan kewenangan yang dapat menunjang pelaksanaan fungsinya menegakan
Citra DPD RI. Pengaturan terkait Badan Kehormatan DPD RI harus juga mampu
memperkuat dari sisi kelembagaan sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan.
Di sisi lain pembentukan Badan Kehormatan di Indonesia, baik Badan
Kehormatan DPD RI, dan dewan kehormatan legislatif lainnya merupakan efek
dari munculnya gagasan Reformasi, Etik, Rezim Etik, Kode Etik dan Kode
Perilaku pada sejumlah parlemen di daerah. Keempat gagasan ini awalnya
dikembangkan oleh sektor swasta (private sector). Di tengah sistem ekonomi –
pasar global,negara tidak lagi mampu mengontrol, mengakses dan memberikan
sanksi terhadap permasalahan yang ada. Sebagai contoh, pelanggaran seringkali
melakukan boikot produk dan perusahaan yang dicurigai tidak menghargai
standar etika bisnis. Akhirnya perusahaan menyusun instrumen Reformasi Etik
dan Rezim.1
1 Marulak Pardede dan Tim, Penelitian Tentang Efektivitas Putusan Badan Kehormatan,
h.16.
47
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwkilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MPR, DPR, DPD, dan DPRD).
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, meninjau kembali fungsi
kewenangan dari lembaga perwakilan. Proses ini sangat penting untuk
memastikan perubahan yang berarti dari pelaksanaan kewenangan beberapa
perwakilan sekaligus alat kelengkapan yang ada di dalamnya, termasuk Badan
Kehormatan DPD RI.
Ketentuan tentang Badan Kehormatan DPD RI diatur di dalam Peraturan
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata
Tertib DPD, Badan Kehormatan yang merupakan lembaga baru di parlemen di
Indonesia, awalnya Badan Kehormatan di DPD RI pada periode sebelumnya
diberi nama ”Dewan Kehormatan” yang tidak bersifat tetap dan hanya dibentuk
bila terdapat kasus dan disepakati untuk menuntaskan suatu kasus yang menimpa
anggota DPD RI saja. Tepat pada Periode 2004-2009, Badan Kehormatan di
Indonesia didisain sebagai alat kelengkapan yang bersifat tetap, artinya Badan
Kehormatan merupakan suatu keharusan untuk segera dibentuk di seluruh
parlemen di Indonesia, Argumentasi ini didapatkan bila kita menafsirkan Undang-
Undang RI Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD jo.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.2 Selain
alat kelengkapan DPD RI yang bersifat tetap dan mempunyai tugas3:
1. melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota
DPD RI karena :
a. tidak melaksanakan kewajiban;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
keterangan apapun;
2 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah dan Perkembangan dan
Problamatika, h. 123. 3 Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Tata Tertib. Pasal 271.
48
c. tidak menghadiri Sidang Paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan
DPD RI yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam ) kali
berturut-turut tanpa alasan yang sah;
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
e. melanggar ketentuan larangan Anggota.
2. menetapkan keputusan atas hasil penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan
terhadap Anggota.
3. menyampaikan keputusan sebagaimana atas penyelidikan dan verifikasi atas
pengaduan teradap Anggota pada Sidang Paripurna untu ditetapkan.
4. selain tugas-tugas sebagaimana di atas BK juga melakukan evaluasi dan
penyempurnaan peraturan DPD tentang Tata Tertib dan Kode Etik DPD.
Pengawasan internal DPD RI untuk menegakkan kode etik serta Badan
kehormatan ini punyai peran memutuskan hasil dari setiap putusan mengenai kode
eik internal sendiri.
B. Peran Pengawasan Badan Kehormatan DPD RI dalam Pemberhentian dan
Pengangkatan Ketua DPD RI
Secara jujur harus dikatakan, keberhasilan membentuk kamar kedua di
lembaga perwakilan rakyat dengan sebutan DPD RI dalam sidang tahun MPR
2001 tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan. Dalam pembahasan penuh
kontroversi yaitu adanya kekhawatiran bahwa eksistensi DPD RI akan
memporakporandakan atau meluluhlantakan bangunan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Disinyalir, keberadaan DPD RI akan mengurangi efektifitas
kebijakan pusat terhadap daerah. Ujung-ujungnya, DPD RI dituding mengusung
semangat federasi yang sangat bertentangan dengan negara kesatuan.4
4 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara. h. 68.
49
Meskipun mengundang kontroversi, kehadiran DPD RI sudah tidak
terhindari lagi. Bahkan lembaga baru ini diatur dalam ketentuan Bab VIIA tentang
DPD RI. Eksistensi DPD RI dinyatakan dalam Pasal 22C UUD 1945. DPD RI
mempunyai alat kelengkapan DPD RI dan salah satunya yaitu Badan Kehormatan
yang di sini mempunyai peranan dalam mengawasi kenerja keanggotaan DPD RI.
Pengawasan yang dilakukan Badan Kehormatan DPD RI untuk
pengangkatan anggota atau ketua DPD RI tidak ada keterkaitannya baik dari tugas
maupun wewenang dalam hal tersebut, karena untuk mengangkat Keanggotaan
dan ketua DPD RI sudah jelas di tuangkan dalam Peraturan Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib yang di mana
Pasal 49 untuk pemilihan Pimpinan DPD RI dan untuk keanggotaan tertuang pada
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017. Tetapi pengawasan mengeni
pemberhentian yang dilakukan oleh Badan Kehormatan DPD RI untuk anggotaan
dan ketua yang sudah tertuang dalam Pasal 92 pada Peraturan Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib dan Pada
Pasal 271 pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD melalui tugasnya yang berbunyi:
1. melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap Anggota
DPD RI karena :
a. tidak melaksanakan kewajiban;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau
berhalangantetap sebagai Anggota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut
tanpa keterangan apapun;
c. tidak menghadiri Sidang Paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD
yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam ) kali berturut-
turut tanpa alasan yang sah;
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Anggota sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
e. melanggar ketentuan larangan Anggota.
50
2. menetapkan keputusan atas hasil penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan
terhadap Anggota.
3. menyampaikan keputusan sebagaimana atas penyelidikan dan verifikasi atas
pengaduan teradap Anggota pada Sidang Paripurna untu ditetapkan.
4. selain tugas-tugas sebagaimana di atas BK juga melakukan evaluasi dan
penyempurnaan peraturan DPD tentang Tata Tertib dan Kode Etik DPD.
Di aturan ini terlihat bahwa badan kehormatan mempunyai kewenangan
menyelidiki dan verifikasi, serta menetapkan hasil dan menyampaikan hasil suatu
penyelidikan dan verifikasi tersebut untuk di tindaklanjuti dalam proses
selanjutrnya terlihat bahwa Badan kehormatan mempunyai peran pengawasan
dalam memberhentikan anggota DPD RI yang menyalahi aturan perundang-
undangan. Serta pemilihan kembali ketua DPD RI di aturan tersebut sesuai
dengan pemilihan ketua atau pimpinan yang dilakukan awal periode.
C. Kewenangan Badan Kehormatan DPD RI dalam Pemberhentian dan
Pengangkatan Ketua DPD RI Dalam Kasus Irman Gusman
Seperti di jelaskan pada bab sebelumnya bahwasanya keanggotaan DPD
RI adanya suatu Badan Kehormatan yang mempunyai tugas pengawasan internal
keanggotaan DPD RI dalam kaitannya untuk melaksanakan tata tertib ataupun
kode etik DPD RI. Dalam pelaksanaannya tugas dan wewenang Badan
Kehormatan DPD RI yang termaktub dalam Pasal 270 dan 271 dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yaitu:
1. Badan Kehormatan dibentuk oleh DPD dan merupakan alat kelengkapan
DPD yang bersifat tetap.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Badan Kehormatan
diatur dalam peraturan DPD tentang tata tertib.
Dan tugas dan wewenang DPD RI termaktub pada Pasal 271 yaitu:
1. Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas
pengaduan terhadap anggota karena:
51
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258.
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan
tetap sebagai anggota DPD selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa
keterangan apa pun.
c. tidak menghadiri sidang paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPD
yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-
turut tanpa alasan yang sah.
d. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPD sesuai dengan
peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
e. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
2. Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Kehormatan
melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD tentang tata tertib
dan kode etik DPD.
3. Badan Kehormatan berwenang memanggil pihak terkait dan melakukan kerja
sama dengan lembaga lain.
4. Badan Kehormatan membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan.
Serta lebih jelas lagi di atur dalam Peraturan Dewan Perwakilan Daerah
Nomor 1 Tahun 2014 yang menjadi aturan fudamental untuk mengetahui
kewenangan putusan yang di jatuhkan Badan Kehormatan untuk ketua DPD RI
yang melanggar kode etik, termaktub pada pasal 93 dan 94 dalam pelaksanaan
tugas dan wewenang yaitu: “memanggil anggota yang bersangkutan untuk
memberikan penjelasan dan pembelaan terhadap dugaan pelanggaran yang
dilakukan dan memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait
untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain.”
Dan pelaksanaanya yaitu:
1. Dalam penanganan kasus tertentu Badan Kehormatan dapat membentuk
Komisi Kode Etik.
52
2. Komisi Kode Etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Anggota
Badan kehormatan dan 3 (tiga) orang unsur masyarakat.
3. Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari mantan
Anggota, Akademisi, dan tokoh masyarakat.
4. Dalam hal ditemukan terdapat indikasi pelanggaran dan atau diperoleh
informasi tentang penyelidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum,
Badan Kehormatan menyampaikan keputusan tentang penonaktifan pimpinan
dimaksud.
5. Dalam hal terbukti bahwa pimpinan dimaksud melakukan pelanggaran
dan/atau dinyatakan sebagai tersangka oleh pejabat penegak hukum,
pimpinan dimaksud diberhentikan dari jabatannya.
Pada pasal 94 ayat (4) sudah sangat jelas, bahwa dalam memutuskan suatu
kasus mengenai keanggotaan maupun pimpinan DPD RI yang berindikasi
melanggar Kode Etik dan larangan yang sudah di selidiki oleh penegak hukum
yang mana Dewan Kehormatan DPD RI menyampaikan penon-aktifan pimpinan
dan anggota yang di maksud dengan pertimbangan yang di kemukakan oleh
penegak hukum, Selanjutnya di pertegas di ayat (5) bahwa: “Dalam hal terbukti
bahwa pimpinan dimaksud melakukan pelanggaran dan/atau dinyatakan sebagai
tersangka oleh pejabat penegak hukum, pimpinan dimaksud diberhentikan dari
jabatannya” di sini dinyatakan menjadi tersangka otomatis harus mempunyai
putusan yang tetap (Ingkrah) bukan hanya satu pernyataan yang sifatnya masih
bisa di bawa ke arah putusan persidangan yang tetap yang berupa dakwaan. Oleh
karena itu, pada kasus Irman Gusman menurut peneliti di “paksa” untuk turun dari
jabatannya dengan posisi masih bisa proses hukum selanjutnya dengan hanya
dakwaan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Belakangan ini, berbagai pelanggaran kode etik oleh anggota legislatif
semakin banyak terungkap mulai dari percaloan, pemerasan, penyalah gunaan
wewenang, sampai permesuman. Untuk menyikapi hal tersebut, tindakan
kewenangan Badan Kehormatan DPD RI perlu diperbesar dan diperjelas. Badan
Kehormatan DPD RI perlu mengubah mekanisme yang selama ini dilakukan
53
dalam menanggapi dugaan penyimpangan etika anggota DPD RI dengan tidak
lagi bersifat pasif tapi lebih pro-aktif. Di sisi lain Badan Kehormatan DPD RI
belum berfungsi secara optimal dan maksimal, sehingga makin menambah beban
citra DPD RI. Padahal Badan Kehormatan diharapkan berperan tidak hanya
sekedar menjadi penjaga moral dan integritas anggota DPD RI, melainkan juga
menjadi mekanisme internal untuk menegakkan kode etik DPD RI secara
menyeluruh ke semua anggotanya.
Biasanya hasil yang tidak memuaskan terhadap kinerja Badan Kehormatan
ini disebabkan gagalnya Badan Kehormatan dalam mencegah dan memperbaiki
citra anggota DPD RI yang terpuruk karena berbagai skandal yang mereka
lakukan, baik dalam kaitannya dengan indikasi perbuatan pidana (korupsi)
maupun pelanggaran nilai-nilai moral publik lainnya. Terungkapnya beberapa
kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang melibatkan
anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesian secara khusus. Oleh
karena itu, anggota Dewan yang memang melanggar kode etik DPD RI masih
mempunyai hak pembelaan untuk memperjelas dan mempertegas bahwa aturan
yang tertulis sudah dijalankan dengan efektif.
Termaktub pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 di Pasal 289
yang mana berbunyi:
”Anggota DPD yang diduga melakukan pelanggaran sumpah atau janji,
kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota diberi
kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada Badan
Kehormatan. Dan ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau
memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
peraturan DPD tentang tata beracara Badan Kehormatan.”
Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada
putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah)
sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun
sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk non-derogable rights seperti halnya
54
hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku
surut (non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak
memuat hak, praduga tak bersalah. Asas praduga tak bersalah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman).
Asas praduga tak bersalah dalam KUHP di jelaskan dalam Penjelasan
Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu: “Setiap orang yang disangka, ditangkap,
ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib
dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.” Sedangkan dalam UU
Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8 ayat (1), yang
berbunyi,“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.”5
Terlepas dari asas praduga tak bersalah yang terkesan individualis, hanya
mengutamakan hak tersangka, lalu melupakan hak atas kepentingan umum (public
interest). Tidaklah menjadi alasan, oleh karena KUHAP juga menganut prinsip
kebenaran sejati alias materil. Bahkan dalam penekanan hak asasi yang lebih jauh,
sudah mejadi kewajiban untuk mengutamakan hak-hak seorang tersangka sebelum
pemeriksaan dengan penerapan prinsip Miranda Rule (a right to remaint silent, a
right to the presence of an attorney or the right counsil).
Pandangan demikian sangat tidak dewasa di alam demokrasi. Orang boleh
saja memiliki banyak argumen hukum atas disangkakannya seseorang. Akan
tetapi sebelum pengadilan memutuskannya bersalah, tidak ada alasan untuk
“mengadili”nya sebelum mengadili. Bahkan sekalipun palu hakim sudah diketok
alias vonis sudah jatuh, masih ada hak-hak si terdakwa untuk naik banding, yang
membuat putusan tersebut belum memiliki keputusan hukum tetap (“in
5 Undang-Undang Nomor Tahun 2009, Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 8 ayat 1.
55
kracht”). Presumption of innocence adalah salah satu unsur dari "Rule of Law"
seperti terdapat didalam : Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 66
:"Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian". Penjelasan
Pasal 66 dikatakan bahwa ketentuan ini adalah penjelmaan dari asas praduga tak
bersalah. Hal ini di perkuat Pasal 158 KUHAP yang berbunyi, " Hakim dilarang
menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan
mengenai salah atau tidaknya terdakwa".6
Perlu di definisikan bahwa tindakan atau putusan Dewan Kehormatan
mempunyai peran vital dalam menjunjung dan melaksanakan sebuah kebijakan
kode etik ataupun tata tertib yang ada di Dewan Perwakilan Daerah dengan segala
hal mengenai keanggotaan DPD RI. Oleh karena itu, hak dalam membela diri di
berikan kepada anggota yang kedapatan melanggar sumpah atau janji, kode etik
ataupun kewajibannya atau juga bisa memberikan keterangan kepada Badan
Kehormatan mengenai pembelaanya.
Pembuktian menjadi dasar pengambilan keputusan dalam sidang
verifikasi. Proses pengambilan keputusan adalah verifikasi terhadap risalah atau
transkrip rekaman rapat atau sidang verifikasi, pendapat etik seluruh pimpinan
dan anggota Badan Kehormatan. Badan Kehormatan menetapkan keputusan hasil
penyelidikan dan verifikasi. Sebelum mengambil keputusan, seluruh hasil sidang
rapat Badan Kehormatan diverifikasi dan hasilnya ditulis dalam lembar
keputusan. Rapat pengambilan keputusan Badan Kehormatan didasarkan atas:
1. Asas kepatutan.
2. Fakta-fakta dalam hasil sidang verifikasi.
3. Fakta-fakta dalam pembuktian.
4. Fakta-fakta dalam pembelaan; dan
5. Tata tertib dan kode etik.
6 KUHAP, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 66 dan Pasal 158.
56
Isi putusan terkait dengan terbukti atau tidaknya suatu pelanggaran,
disertai pemberian sanksi atau rehabilitasi. Selanjutnya hasil keputusan Badan
Kehormatan disampaikan kepada pimpinan DPD RI. Keputusan Badan
Kehormatan bersifat final dan mengikat.7
7 Marulak Pardede dan Tim, Penelitian Tentang Efektivitas Putusan Badan Kehormatan,
h.36.
57
BAB IV
KEABSAHAN PEMBERHENTIAN DAN PENGANGKATAN KETUA DPD
RI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI IRAMAN GUSMAN
A. Irman Gusman dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian
dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam
memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana
mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam
lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang
bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan
istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.1
Tindak pidana biasanya disamakan dengan delik, yang berasal dari bahasa
latin yakni kata delictum. Delik tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
sebagai berikut : “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena
merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”.2 Seperti yang
diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Moeljatno yang berpendapat
bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan
pidana adalah: ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
melanggar larangan tersebut.” 3
Bambang Poernomo berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan
pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan
1 Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, h. 62.
2 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2 , Jakarta, Balai Pustaka, 1989. h.
219. 3 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, h. 54.
58
pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.” 4
Tindak pidana dibedakan dalam tindak pidana umum dan khusus yang
mana tindak pidana khusus adalah suatu tindak pidana yang mana jenis
perbuatannya ataupun sanksi hukumannya diatur tersendiri di luar KUHP. Hukum
Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang
tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh
karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku
kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu. Sehingga dapat dikatakan bahwa
Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur
dalam UU Pidana tersendiri.5 Termasuk tindak pidana korupsi.
Istilah korupsi berasal dari kata Latin corruptio artinya penyuapan,
dan corrumpere diartikan merusak. Gejala dimana para pejabat badan-badan
negara menyalahgunakan jabatan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya
penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan lainnya.6 Pengertian korupsi
menurut pendapat para ahli: (1) Andi Hamzah: “Korupsi berasal dari kata
corruption atau corruptus yang secara harfiah berarti kebusukan, keburukan,
ketidakjujuran, dan tidak bermoral”7 (2) Robert Klitgaard: “Korupsi ada apabila
seseorang secara tidak sah meletakkan kepentingan pribadi diatas kepentingan
masyarakat dan sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk
dilaksanakan”.8 Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut diatas dapat diketahui
bahwa pengertian korupsi adalah penyalahgunaan wewenang demi
4 Bambang Poernomo. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, h.130.
5 Andi Hamzah, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, h. 2.
6 Hassan Shadily. dkk., Ensiklopedi Indonesia 4, Edisi Khusus, Ichtiar Baru-Van Hoeve,
Jakarta, h. 876. 7 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, 1999, Strategi Pemberantasan
Korupsi Nasional, Edisi Maret 1999, BPKP, 1996, h. 267. 8 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, 1999, Strategi Pemberantasan
Korupsi Nasional , h. 274.
59
kepentingannya sendiri. Dalam konteks kriminologi atau ilmu tentang kejahatan
ada delapan tipe korupsi9 yaitu:
1. Political bribery adalah termasuk kekuasaan dibidang legislatif sebagai badan
pembentuk undang-undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh
suatu kepentingan karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum
sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha
berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang
menguntungkan mereka.
2. Political kickbacks, yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem
kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang
memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang
bersangkutan.
3. Election fraud adalah korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan
pemilihan umum.
4. Corrupt campaign practice adalah praktek kampanye dengan menggunakan
fasilitas Negara maupun uang Negara oleh calon yang sedang memegang
kekuasaan Negara.
5. Discretionary corruption yaitu korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan
dalam menentukan kebijakan.
6. Illegal corruption ialah korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa
hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat
penegak hukum, baik itu polisi, jaksa, pengacara, maupun hakim.
7. Ideological corruption ialah perpaduan antara discretionary
corruption dan illegal corruptionyang dilakukan untuk tujuan kelompok.
8. Mercenary corruption yaitu menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk
kepentingan pribadi.
Didalam hukum pidana, tidak semua tipe korupsi yang kita kenal diatas
dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Oleh Karena itu, perbuatan apa saja
9 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi). Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2009.
60
yang dinyatakan sebagai korupsi, kita harus merujuk pada undang-undang
pemberantasan korupsi.10
Pengertian korupsi diatur juga dalam Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001, yaitu:
1. Pasal 2 ayat (1): “Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana …”
2. Pasal 3: “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana ….”.
3. Barangsiapa melakukan tindak pidana tersebut dalam KUHP yang ditarik
sebagai tindak pidana korupsi, yang berdasarkan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam
KUHP tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam
masing-masing Pasal KUHP.
4. Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pada Pasal 1
butir 3, dimuat pengertian korupsi sebagai berikut: “korupsi adalah tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”.
Korupsi bukan merupakan hal yang baru di Indonesia. Sebagai salah satu
penyalahgunaan kekuasaan yang popular, korupsi telah menyebar dalam berbagai
aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia telah menganggap
bahwa korupsi adalah suatu perbuatan yang wajar dilakukan dalam kehidupan
berbisnis, bermasyarakat, dan bernegara.
10
Zamrony, dkk., Buku Panduan Kuliah Kerja Nyata Pemberdayaan Hukum
Masayarakat Pengguna Pengadilan, Cetakan II, Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi: Fakultas
Hukum, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2009, h. 5-7.
61
Salah satu bentuk korupsi yang telah begitu mendarah-daging di negara
kita adalah korupsi dalam lembaga peradilan atau dikenal dengan istilah judicial
corruption. Praktek-praktek judicial corruptionini dilakukan oleh para aparat
penegak hukum itu sendiri (law enforcement agencies) den secara kolektif
mereka dikenal dengan sebutan mafia peradilan.11
Sebelumnya kasus yang menimpa Irman Gusman yang sudah di
berhentikan di Keputusan Presiden RI Nomor 64/P Tahun 2017. yaitu politisi
non-partisian yang merintis karier dari daerah dan dalam waktu cepat menjadi
tokoh nasional. Memulai kiprah politik sebagai anggota MPR utusan daerah
Sumatera Barat dan Terpilih menjadi ketua DPD RI dalam usia 47 tahun.12
Dan
Dr. (HC) A.M. Fatwa, politisi senior yang pernah menjadi Wakil Ketua DPR RI
perode 1999-2004 dan sekarang menjadi ketua Dewan Kehormatan DPD RI.13
Ketua Badan Kehormatan DPD RI AM Fatwa seusai Sidang Paripurna
DPD RI Nusantara 5 Gedung DPD RI Senayan Jakarta Selasa, tanggal 20
September 2016 menjelaskan, keputusan BK secara tegas memberhentikan
sebagai Ketua DPD RI. Hal itu menurut Fatwa bersifat final dan mengikat.
"Keputusan BK itu adalah final dan mengikat. Tidak ada lagi di BK
tentang hal ini. Kalau dikembalikan, kami tidak bersedia membahas soal itu,
kecuali kalau ada perkembangan dari kelanjutan pengadilan, kalau dia jadi
terdakwa. Kalau untuk yang tersangka ini keputusan BK bagi kami adalah final
dan mengikat, diberhentikan sebagai Ketua DPD RI. Bukan non aktif !
Diberhentikan sebagai Ketua DPD RI. Titik !," kata AM Fatwa.14
Sementara itu, Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhamad menjelaskan,
keputusan pemberhentian Irman dari jabatannya sebagai Ketua DPD RI merujuk
11
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP: Korupsi, Money
Laundring,dan Trafficking, Jakarta:Penebar Suwadaya Grup,2014. h. 29. 12
Irman Gusman, Daerah Maju Indonesia Satu, Jakarta: Anugrah Tri Lestari, 2014. H.
31. 13
Katalog dalam Terbitan (KDT), Senator Bertanya: Catatan Penggunaan Hak Bertanya
Anggota DPD RI kepada Presiden RI. Jakarta: DPD, 2015. 14
Andylala Waluyo “Paripurna DPD RI Resmi Berhentikan Irman Gusman Sebagai
Ketua DPD” VOAINDONESIA.com, 20 September 2016.
62
pada hasil keputusan Badan Kehormatan DPD RI setelah dilakukan persidangan
etika.15
Kasus yang dihadapi mantan ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Irman
Gusman, KPK telah menetapkan sebagai tersangka, akan tetapi kasus ini masih di
proses praperadilan sehingga belum di putuskan setatus Irman Gusman yang
memang secara hukum tetap (ingkrah). Dalam kasus ini Irman Gusman
tertangkap dalam Oprasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK di
kediamannya. Ketika menerima uang dari Direktur CV Semesta Berjaya
Xaveriandy Susanto sebesar 100 juta untuk dijadikan pengurusan kuota gula
impor yang diberikan Bulog.16
Terkait dengan kasus di atas yang sudah di tetapkan di Keputusan Nomor
11 Tahun 2016, Badan Kehormatan DPD RI memberhentikan Irman Gusman
sebagai ketua DPD RI atau memecat dan mengangkat ketua baru DPD RI terpilih
yaitu Mohammad Saleh sebagai ketua DPD RI. Di sini bisa dilihat bahwa
permasalahan yang timbul sehingga terjadinya pro dan kontra dalam putusan
Badan Kehormatan yang mana Badan Kehormatan DPD RI diketuai AM Fatwa
mengatakan bahwa Pasal 52 ayat (3) huruf C “Ketua dan/atau Wakil Ketua DPD
diberhentikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) huruf D, apabila
bersetatus tersangka dalam perkara pidana”. Ya memang ketika langsung
merujuk pasal tersebut, tetapi disini poin yang menjadi permasalahan yang di
angkat, dimana Kode Etik atau Tata Tertib DPD RI yang menjadi landasan
Dewan Kehormatan dalam mengawasi keanggotaan DPD RI masih belum begitu
kuat, masih terjadinya kontroversi mengenai pemilihan ketua baru DPD RI yang
mana masih adanya proses praperadilan dalam status ketua lama yang belum
kuat.
15
Andylala Waluyo “Paripurna DPD RI Resmi Berhentikan Irman Gusman Sebagai
Ketua DPD” 16
Ambaranie Nadia Kemala Movanita,”Kronologi Oprasi Tangkap Tangan terhadap
Irman Gusman oleh KPK” Kompas.com, 17 September 2016.
63
Mencermati kasus dalam pengawasan yang dilakukan oleh Badan
Kehormatan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai salah satu
lembaga atau alat kelengkapan DPD RI tidak sesuai apa yang dijalankan dan di
ajukan, status Irman Gusman ini masih dalam penetapan oleh KPK yang mana
Irman Gusman belum ditetapkan secara tetap (ingkrah) bersalah oleh pengadilan
karena masih ada praperadilan dikarenakan belum adanya putusan.
Perlu diketahui pula badan kehormatan hanya mempunayi wewenang
untuk menyelidiki dan memverifikasi, serta menentapkan dan mengumumkan
hasil dari penyelidikan dan verifikasi tersebut untuk dikenakan sanksi kode etik.
Dalam Kasus ini Irman Gusman langsung digantikan oleh Muhammad Saleh
yang Padahal, putusan kasus pidana Irman Gusman masih belum ditetapkan.
B. Posisi Irman Gusman Sebagai Ketua DPD RI dalam Kasus Tindak Pidana
Korupsi
Kasus Pidana korupsi dalam penjelasan UU No 7 Tahun 2006, adalah
ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang menjunjung tinggi transparansi,
integritas dan akuntabilitas, serta keamanan dan strabilitas bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, maka korupsi merupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan
merugikan langkah-langkah pencegahan tingkat nasional maupun tingkat
internasional. Dalam pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi yang efisien dan efektif diperlukan dukungan manajemen tata
pemerintahan yang baik dan kerja sama internasional, termasuk di dalamnya
pengembalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi tersebut.17
Tindak
pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana
korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan negara dalam
masyarakatnya, membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat,
17
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang PENGESAHAN UNITED NATIONS
CONVETIONS AGAINST CORRUPTION, 2OO3 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi, 2003) pada penjelasan umum
64
politik, bahkan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa
karena dapat berdampak membudayannya tindak pidana korupsi tersebut. Hal
tersebut sebagaimana tercantum dalam Preambul Ke-4 United Nation Convention
Against Corruption, 2003 yang berbunyi sebagai berikut yaitu, “Meyakini bahwa
korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, melainkan suatu fenomena
transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi yang
mendorong kerja sama Internasional unruk mencegah dan mengontrollnya
esensial”. 18
Kegiatan pemberantasan korupsi akan selalu tetap menjadi bahan yang
aktual untuk disajikan sebagai persoalan jenis kejahatan yang rumit
penanggulangannya, karena korupsi mengandung aspek yang majemuk dalam
kaitannya dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Perbuatan korupsi
membentuk aneka ragam pola perilaku dalam suatu siklus pertumbuhan negara,
perkembangan sistem sosial dan keserasian struktur pemerintahan. Bentuk
perbuata korupsi yang beraneka ragam dan berbagai faktor penyebab timbulnya
korupsi itu dalam pertumbuhannya makin meluas, sehingga batasan dari ciri
perbuatan korupsi dan ciri perbuatan yang tidak korupsi tetapi berciri sangat
merugikan negara atau masyarakat menjadi sukar dibedakan, serta mengakibatkan
ketidakpastian cara memformulasikan kelompok kejahatannya, korupsi dewasa ini
selain menggerogoti keuangan (kekayaan negara), juga sekaligus dapat merusak
sendi-sendi kepribadian bangsa.
Sangat mengherankan kalau korupsi dimasa kini dapat menghancurkan
negara, menjatuhkan pemerintah atau minimal menghambat pembangunan untuk
kesejahteraan rakyat. Asumsi bahwa korupsi merupkan sumber penyebab
kemiskinan bangsa-bangsa sebagaimana di tegaskan pada konvensi PBB Anti
Korupsi 2003 yang berdasarkan data-data mengenai jumlah perkara tindak pidana
korupsi selama 2009-2014.19
Baru baru ini di awal tahun 2017 Pimpinan lembaga
18
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi) di Indonesia. h.3. 19
Romli Atmasasmita, Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2017. h. 50.
65
negara terjerat kasus korupsi yang mana menimbulkan suatu permasalahan di
mata hukum kelembagaan negara.
Kasus yang dialami Irman Gusman pimpinan DPD RI yang terjerat pidana
akibat Oprasi Tangkap Tangan (OTT) tentang impor gula tanpa standar Nasional
Indonesia (SNI) dan sudah diputuskan Keputusan Presiden RI Nomor 64/P Tahun
2017. Peneliti menjadikan referensi kasus yang dianalisis dalam penulisan ini,
yang mana kasus dalam kronologinya berawal dari penangkapan yang terjadi di
sekitar rumah Irman Gusman. Pada awalnya dari mengusut dugaan suap kepada
jaksa di Kejati Sumatra Barat Farizal oleh Direktur Utama CV Semesta Berjaya,
Xaveriandy Sutanto dan istrinya Memi.20
Ketua KPK Agus Rahardjo lalu menuturkan kronologi operasi tangkap
tangan keempat orang ini di rumah milik IG. "Pada tanggal 16 September 2016,
sekitar pukul 22.15, XSS, MMI, dan WS mendatangi rumah bapak IG di Jakarta.
Pada pukul 00.30, ketiganya keluar dari rumah dan tim KPK menghampiri
ketiganya di dalam mobil di halaman rumah bapak IG," kata Agus. "Tim KPK
lalu minta tolong masuk ke rumah bapak IG dan di dalam rumah, penyidik KPK
meminta bapak IG untuk menyerahkan bungkusan yang diduga merupakan
pemberian dari saudara XSS dan MMI. Kemudian sekitar pukul 01.00, tim
membawa saudara XSS, MMI WS dan IG ke gedung KPK," tambahnya
kemudian.21
Dari operasi tangkap tangan ini, KPK mengamankan uang Rp 100 juta.
Diduga, uang itu merupakan pemberian kepada IG terkait pengurusan kuota gula
impor yang diberikan oleh Bulog kepada CVSB pada tahun 2016 untuk Provinsi
Sumatera Barat. Setelah melakukan pemeriksaan 1x24 jam, KPK lalu menetapkan
XSS, MMI dan IG sebagai tersangka.22
20
Abba Gabrillin, “Irman Gusman Divonis 4,5 Tahun Penjara” Kompas.com, 22
Februari2017. 21
Abba Gabrillin, “Irman Gusman Divonis 4,5 Tahun Penjara” 22 Abba Gabrillin, “Irman Gusman Divonis 4,5 Tahun Penjara”
66
Menurut majelis hakim, Irman Gusman terbukti melanggar Pasal 12 huruf
b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam
pertimbangannya, majelis hakim berpendapat bahwa Irman Gusman telah
mencederai amanat sebagai Ketua DPD RI. Irman tidak mendukung pemerintah
dalam pemberantasan korupsi. Selain itu, Irman Gusman tidak berterus terang
dalam persidangan. Irman terbukti menggunakan pengaruhnya sebagai Ketua
DPD RI untuk mengatur pemberian kuota gula impor dari Perum Bulog kepada
perusahaan milik Xaveriandy.23
Majelis hakim dalam persidangan Irman terbukti bersedia membantu
Memi dengan meminta keuntungan sebesar Rp 300 dari setiap kilogram gula yang
diberikan Perum Bulog. Irman menghubungi Direktur Utama Perum Bulog Djarot
Kusumayakti agar Bulog mendistribusikan gula ke Sumatera Barat. Irman juga
merekomendasikan Memi sebagai distributor gula Bulog. "Karena terdakwa
sebagai Ketua DPD RI, Djarot bersedia membantu," kata Hakim Anshori
Saifuddin.24
Kejahatan korupsi makin marak terjadi di masyarakat Indonesia,
kecanggihan teknologi dan modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku
kejahatan ini memang tak bisa dipisahkan. Artinya, kejahatan ini tidak berdiri
sendiri, memerlukan pelaku lain dan bahkan jaringan besar (networking), yang
terorganisir dan memiliki pola sendiri.25
Berbagai tindakan korupsi ini diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Secara umum peraturan
perundang-undangan ini dapat dikatagorikan menjadi dua, yaitu tindak pidana
korupsi dalam KUHP dan di luar KUHP. Yang meliputi, tindak pidana suap,
tindak pidana penggelapan, tindak pidana pemerasan, tindak pidana berkenaan
dengan pemborongan atau rekanan, tindak pidana yang berkaitan dengan
23
Umar Mukhtar “Irman Gusman Divonis 4,6 Tahun Penjara” Republika.co.id, 20
Februari 2017. 24
Umar Mukhtar “Irman Gusman Divonis 4,6 Tahun Penjara” 25
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP: Korupsi, Money
Laundring,dan Trafficking, h. 3.
67
peradilan, tindak pidana melampaui batas kekuasaan, dan tindak pidana
pemberatan saksi. Hal-hal ini diatur dalam KUHP dan peraturan perundang-
undangan.26
Kronologis di atas dapat di lihat benang merahnya bahwa, Irman Gusman
terbukti melakukan tindak pidana korupsi yang berupa suap dalam hal ini OTT
Impor Gula yang tak berstandar SNI. Walau memang hanya dari pernyataan KPK
belum secara putusan pengadilan yang tetap (Ingkrah) yang mana masih ada
proses hukum selanjutnya. Akan tetapi, untuk putusan yang di lakukan Badan
Kehormatan yang memberhrntikan Irman Gusman sebagai ketua DPD RI tidaklah
sah. Menurut Muhammad Syafii “ Kewenangan KPK seakan kecil dalam
menangani kasus Irman, yang mana SOP KPK kasus suap Rp. 1 Milyar ke atas,
kalau Rp 100 juta itu bukan suap!” dan menurut beliau dalam kasus ini tidak ada
penyalahgunaan jabatan yang tidak terkait. Untuk masalah mekanisme
pemberhentian beliau tidak banyak berkomentar.27
Pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD,
Dan DPRD di Keanggotaan DPD RI dilarang keras untuk melakukan suatu tindak
pidana yang termaktub di Pasal 302 mengenai larangan yaitu :
1. Anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya.
b. hakim pada badan peradilan.
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber
dari APBN/APBD.
2. Anggota DPD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada
lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau
26
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP: Korupsi, Money
Laundring,dan Trafficking, h. 29. 27
H.R. Muhammad Syafi’i, Anggota Komisi III DPR-RI Periode 2014-2019 dari partai
Gerindra Dapil Sumatra Utara, Interview Pribadi, Jakarta, 19 Maret 2018.
68
pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan
wewenang dan tugas DPD serta hak sebagai anggota DPD.
3. Anggota DPD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Prihal larangan dalam aturan di atas, dilihat bagaimana profesionalitas dan
larangan keras suatu lembaga pemerintahan, mengapa larangan itu harus
dipisahkan di suatu pasal lain agar tercipta sistem aturan pemerintahan lembaga
DPD RI. Hal ini juga dikatakan oleh sejarawan inggris, Lord Acton dengan
dalilnya “Power tends corrupt, but absolute power corrupt absolutly”.28
Karena
itu, larangan aturan selalu harus tercantum jelas di dalam suatu peraturan yang
berlaku untuk terciptanya „checks and balances‟ dalam kehidupan pemerintahan
yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain.
Ajaran tersebut bukan lagi ajaran yang baru bagi DPD RI Dan lembaga
tinggi lainnya, menurut Montesquieu secara garis besar pemisahan kekuasaan
dalam artian larangan bagi suatu lembaga tinggi sebagai berikut : Pertama,
terciptanya masyarakat yang bebas. Keinginan seperti ini muncul karena
Montesquieu hidup dalam kondisi sosial dan politik yang tertekan dibawah
kekuasaan Raja Lodewijk XIV yang memerintah secara absolut. Kedua, jalan
untuk mencapai masyarakat yang bebas adalah pemisahan antara kekuasaan
legislatif dengan kekuasaan eksekutif. Montesquieu tidak membenarkan jika
kedua fungsi berada di satu orang atau badan karena dikhawatirkan akan
melaksanakan pemerintahan tirani. Ketiga, kekuasaan yudisial harus dipisah
dengan fungsi legislatif. Hal ini dimaksudkan agar hakim dapat bertindak secara
bebas dalam memeriksa dan memutus perkara.29
Selanjutnya dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
mengenai sanksi yang termaktub pada pasal 303 yaitu:
28
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cet. Ke-6, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2013, h. 107. 29
Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia
(Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridik Pertanggung Jawaban Kekuasaan), Surabaya:
Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga, 1990, h. 58-59.
69
1. Anggota DPD yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 258 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
2. Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 302 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian
sebagai anggota DPD.
3. Anggota DPD yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 302 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai
anggota DPD.
Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2014 tentang Tata Tertib di Pasal 213 yang tak jauh berbeda bunyinya dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1014 yaitu:
1. Anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya.
b. hakim pada badan peradilan.
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber
dari APBN/APBD.
2. Anggota DPD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada
lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau
pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan
wewenang dan tugas DPD serta hak sebagai anggota DPD.
3. Anggota DPD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta
dilarang menerima gratifikasi.
4. Anggota yang menerima gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
70
5. Penerimaan oleh Anggota karena pemikiran dan tenaganya, antara lain berupa
honor undangan diskusi/seminar, tidak termasuk gratifikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Bagi anggota DPD RI yang tak mematuhinya akan mendapatkan ganjaran
berupa sanksi yang termaktub di pasal selanjutnya yaitu Pasal 214 yang
termaktub:
1. Anggota yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
2. Jenis sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. teguran lisan.
b. teguran tertulis, dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada Alat Kelengkapan.
3. Anggota yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 213 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai
Anggota.
4. Anggota yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 213 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai Anggota.
Posisi kasus di atas dalam Perspektif perundang-undangan yang mengatur
tentang pimpinan suatu lembaga negara yang terjerat kasus pidana sudah di atur
dengan jelas dengan larangan dan sanksi yang termaktub di dalamnya. Pada Pasal
302 ayat (3) di UU Nomor 17 Tahun 2014 dan Pasal 213 ayat (3) Peraturan DPD
RI Nomor 1 Tahun 2014 bahwa “Anggota DPD dilarang melakukan korupsi,
kolusi dan nepotisme.” Dan di beri ganjaran berupa sanksi pada pasal 303 ayat (3)
di UU Nomor 17 Tahun 2014 dan Pasal 214 ayat (3) Peraturan DPD RI Nomor 1
Tahun 2014 “Anggota yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 213 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap (Ingkrah) dikenai sanksi pemberhentian sebagai Anggota”.
71
Ada kejanggalan yang mana kasus Irman Gusman ketika diputuskan oleh
Badan Kehormatan DPD RI Nomor 11 Tahun 2016 sebenarnya belum
memperoleh kekuatan hukum tetap (Ingkrah) seperti di jelaskan terdahulu. Oleh
karena itu, jika dilihat dari perspektif perundang-undangan kasus ini murni akan
tindak pidana korupsi dan diganjar dengan larangan dan sanksi yang berlaku. Tapi
prosedural pemberhentian dan pengangkatan pimpinan DPD RI yang dilakukan
Badan Kehormatan pada kali ini memunculkan suatu permaslahan di dalam
kebijakan putusan kewenangan Badan Kehormatan. Oleh karena itu,
pemberhentian dan pergantian Irman Gusman tidaklah sah dan cacat secara
prosedural.
C. Analisis Keabsahan Pemberhentian Dan Pengangkatan Ketua DPD RI
Jika didasarkan kepada peraturan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 1
Tahun 2014 tentang Tata Tertib pada Pasal 67 bahwa:
1. Pimpinan DPD berhenti dari jabatannya karena:
a. mengundurkan diri atas permintaan sendiri secara tertulis.
b. berhenti sebagai Anggota; dan
c. diberhentikan.
2. Pimpinan DPD diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
karena:
a. meninggal dunia.
b. tidak dapat melaksanakan tugas sebagai Pimpinan DPD karena
menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental
tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter yang berwenang, tidak diketahui keberadaannya,
dan/atau tidak hadir dalam sidang tanpa keterangan apapun selama
3 (tiga) bulan berturut-turut; atau
c. melanggar sumpah/janji jabatan dan Kode Etik DPD berdasarkan
Keputusan Sidang paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh
Badan Kehormatan DPD.
72
Pada pasal ini pimpinan bisa diberhentikan yang tertuang pada pasal di
atas ayat 1 huruf c dengan jelas dan pada ayat 2 huruf c bahwa melanggar
sumpah atau janji jabatan dan Kode Etik DPD berdasarkan Keputusan Sidang
paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Badan Kehormatan DPD RI. Dan
pada Pasal 68 tertuang:
1. Dalam hal Pimpinaan diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1), Pimpinan DPD yang bersangkutan tidak
diperbolehkan melaksanakan tugas memimpin sidang dan berbicara atas
nama DPD.
2. Pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan
kembali tugasnya dan dapat direhabilitasi nama baiknya oleh Badan
Kehormatan apabila yang bersangkutan dinyatakan tidak terbukti
melakukan tindak pidana dimaksud berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pimpinan diberhentikan sementara dalam Pasal 29 dengan mengikuti aturan
kode etik DPD yang mana Pimpinan dan keanggotaan di atur dalam satu pasal
yang sama yaitu:
1. Anggota diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
2. Dalam hal Anggota dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Anggota yang bersangkutan
diberhentikan sebagai Anggota.
3. Dalam hal Anggota dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Anggota yang bersangkutan
diaktifkan.
73
4. Anggota yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan
tertentu.
5. Hak keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi gaji pokok,
tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan, dan uang paket.
Seperti yang yang dijelaskan diatas bahwa Dewan Kehormatan DPD RI
seharusnya memberhentikan Iman Gusman sebagai pimpinan DPD RI hanya
pemberhentian sementara yang sudah jelas tertuang pada pasal 29 karena posisi
Irman Gusman pada waktu itu masih belum memiliki kekuatan hukum tetap, bisa
dilihat pada pasal 29 ayat (2) Bahwa : “Dalam hal Anggota dinyatakan terbukti
bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
Anggota yang bersangkutan diberhentikan sebagai Anggota begitupun sebaliknya
sebelum adanya putusan yang sudah tetap (Ingkrah) kasus ini diganjar dengan
pemberhentian sementara. Tetapi secara kenyataanya Badan Kehormatan DPD RI
memberhentikan Irman Gusman sebagai pimpinan pada tanggal 19 September
2016 dengan keputusan Badan Kehormatan Nomor 11 Tahun 2016 sebelum Irman
Gusman mengajukan gugatan praperadilan pada hari kamis, 29 September 2016
dengan nomor perkara 129/Pid.Prap/2016/PN.Jkt.Sel. Dengan kata lain ini masih
belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Lalu, Irman Gusman diberhentikan
sebagai anggota DPD RI melalui keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
64/P Tahun 2017 pada tanggal 19 Mei 2017. Selanjutnya menurut Abdul Azis
Khafia “Dalam pemberhentian dan pergantian pimpinan DPD RI harus melalui
mekanisme sesuai dengan tatib DPD RI yang di sepakati bersama.”30
Karenanya dalam penerapan hukum dikenal "rule of law" bukan "law of
the ruler". Jangan sampai “pengadilan opini’, trial By Press atau peradilan dengan
penggunaan media yang bersifat publikasi massa menjadi “pengadilan di luar
pengadilan” yang bersifat menekan hingga mempengaruhi putusan pengadilan.
Tindakan kebablasan dalam menyikapi peristiwa hukum, hanya akan
30
Abdul Azis Khafia, Anggota DPD RI DKI Jakarta, Interview Pribadi, Jakarta, 20 Maret
2018
74
memercikkan potensi konflik yang lebih besar yang dapat mengancam keutuhan
bangsa. The last but not least, mari kita sama-sama hormati hukum dan hak-hak
asasi manusia, utamanya dari sisi asas praduga tak bersalah ini. Ingatlah
bahwa menuntut seseorang yang tidak bersalah sangat buruk dampaknya
dibandingkan dengan kegagalan menuntut seseorang yang bersalah.31
Pada Pasal 67 Sendiri Selain Kode Etik Bisa diberhentikan melalui
sumpah janji jabatan yaitu pada Pasal 54 yang mana berbunyi:
1. Sebelum memangku jabatannya, ketua dan wakil ketua DPD
mengucapkan sumpah/janji dalam Sidang paripurna yang dipandu oleh
Ketua Mahkamah Agung.
2. Bunyi sumpah/janji ketua/wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat
(1): “Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan
memenuhi kewajiban saya sebagai ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan
Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; bahwa saya akan
memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 serta peraturan perundang-undangan;
bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada
bangsa dan negara; bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi daerah
untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.
Dalam UU Nomor 17 tahun 2014 pada pasal 254 yang juga berbunyi:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan
memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan
Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; bahwa saya dalam menjalankan
kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan
31
Nur Rohim Yunus, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, Jakarta:
Jurispudence Press, 2012. h. 94.
75
demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan daerah daripada
kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan, bahwa saya akan memperjuangkan
aspirasi daerah yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi
kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari analisis ini perlu di tegaskan bahwa pencopotan Irman Gusman harus
mengikuti aturan yang sesuai dengan aturan yang berlaku sedangkan dalam hal
pemilihan Pimpinan DPD RI yang baru, Dewan Kehormatan mempunyai peranan
yang cukup penting yaitu yang termaktub pada Pasal 57 di peraturan Dewan
Perwakilan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 yang Berbunyi:
1. Pejabat sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 bertugas sampai
ditetapkannya Pimpinan DPD baru.
2. Pemilihan pimpinan DPD baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. pemilihan 1 (satu) orang calon untuk mengisi kekosongan jabatan
Pimpinan DPD yang mewakili wilayah yang sama.
b. proses pemilihan calon Pimpinan DPD sebagaimana dimaksud pada
huruf a dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 50 ayat (2) sampai dengan
ayat (7) sampai ditetapkannya Pimpinan DPD terpilih dari wilayah yang
bersangkutan.
3. Proses pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dipimpin oleh
Ketua Badan Kehormatan.
4. Proses pemilihan ketua dilakukan terhadap Pimpinan DPD terpilih dan kedua
orang wakil ketua dengan mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
sampai dengan Pasal 53 sampai dihasilkannya ketua terpilih.
Disini bisa kita analisis pada ayat (3) ketika pengangkatan pimpinan baru
melalui pemilihan yang termaktub pada pasal 50 ayat (2) sampai dengan ayat (7)
mengenai tata cara pemilihan dengan Badan Kehormatan sebagai pimpinan
musyawarah dalam masa pemilihan pimpinan DPD RI yang baru, tapi haruslah
sesuai dengan aturan dan prosedural yang berlaku jika memang Pimpinan DPD RI
76
kosong secara sah sesuai Pasal 56 Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Nomor 1
Tahun 2014. Dan perlu di garis bawahi bahwa Dewan Kehormatan hanya
memimpin proses musyawarah untuk pimpinan DPD RI yang baru, tetap
keputusan semua anggota sebagai putusan yang bersifat tetap. Tetapi tetap saja,
ketika pemberhentiannya “Cacat” prosedural, pergantiannyapun “Cacat” dan tidak
sah.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam penelitian ini, maka
dapat di kemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1. Kewenangan Badan Kehormatan DPD RI dalam mengawasi pelanggaran
kode etik DPD RI begitu signifikan karena tugas dan wewenangnya adalah
melakukan penyelidikan dan verifikasi pengaduan, menetapkan putusan,
menyampaikan hasil, pengawasan internal, dan evaluasi dan penyempurnaan
tatib.
2. Pemberhentian Irman Gusman yang dilakukan Badan Kehormatan DPD RI
sebagai pimpinan DPD RI seharusnya hanya pemberhentian sementara yang
sudah jelas tertuang pada pasal 29 karena posisi Irman Gusman pada waktu
itu masih belum memiliki kekuatan hukum tetap. Tetapi secara kenyataanya
Badan Kehormatan DPD RI memberhentikan Irman Gusman sebagai
pimpinan pada tanggal 19 September 2016 sebelum Irman Gusman
mengajukan gugatan praperadilan pada Kamis, 29 September 2016. Dengan
kata lain ini masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga
pemberhentiannya menyalahi aturan. Demikian pula pergantiannya sebagai
ketua DPD RI, juga tidak sesuai aturan karena pergantiannya tidak sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Saran
Badan Kehormatan DPD RI dalam pemberhentian dan pengangkatan ketua
DPD RI yang tersangkut tindak pidana korupsi harus menghayati, memahami, dan
mempelajari peraturan yang berlaku, sehingga dalam memutuskan suatu putusan
tidak gegabah dan tidak sewenang-wenang. Karena itu, Badan Kehormatan DPD
RI sebelum melakukan tindakan sebaiknya mengundang atau mendengarkan
pendapat pakar hukum tata negara, selain itu, Badan Kehormatan DPD RI
menghindari dari unsur politisasi dalam pengangkatan dan pemberhentian ketua
DPD RI.
DAFTAR PUSTAKA
Abba Gabrillin, “Irman Gusman Divonis 4,5 Tahun Penjara” Kompas.com, 22
Februari2017.
Alder, John, and Peter English. Constitutional and Administrative Law, London:
Macmillan, 1989.
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP: Korupsi, Money
Laundring,dan Trafficking, Jakarta:Penebar Suwadaya Grup, 2014.
Ali, Zaenuddin. Metode Penelittian Hukum. Cetakan ke-I. Jakarta: Sinar Grafika.
2009.
Ambaranie Nadia Kemala Movanita,”Kronologi Oprasi Tangkap Tangan
terhadap Irman Gusman oleh KPK” Kompas.com, 17 September 2016.
Andylala Waluyo “Paripurna DPD RI Resmi Berhentikan Irman Gusman
Sebagai Ketua DPD” VOAINDONESIA.com, 20 September 2016.
Asshiddiqie, Jimly, Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Seketariat Jendral dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
______, Konstitusi Dan Konstitualisme Indonesia Ed.1. Cet. 2, Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
______, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
______, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
______, “Gagasan Hukum Indonesia”, Konsep Negara Hukum, dalam (Artikel
Hukum), di akses pada 13 Desember 2017 di www.docudesk.com.
Atmasasmita, Romli, Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2017.
Azhary, Negara Hukum Indonesia-analisis yuridis normatif tentang unsur-
unsurnya, Jakarta: UI-Press, 1995.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, “Strategi Pemberantasan
Korupsi Nasional”, BPKP Edisi Maret 1999, (1996): 267.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1989.
Djaja, Ermansjah, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi). Jakarta : Penerbit Sinar Grafika, 2009.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. ke-2 , Jakarta, Balai Pustaka,
1989.
Ghoffar, Abdul, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan
UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, Cet ke-1, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2009.
Gusman, Irman, Daerah Maju Indonesia Satu, Jakarta: Anugrah Tri Lestari, 2014.
Hamzah, Andi, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta,
1991.
Harahap, M. Yahya Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Penyidikan Dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika,2006.
Hatta, Mohammad, Kedaulatan Rakyat, Surabaya: Usaha Nasional, 1980.
Huda, Ni’matul , Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2010.
______, Hukum Tata Negara Indonesia (Edisi revisi), Jakarta: Rajawali Pers,
2015.
______, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
______, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah dan Perkembangan dan
Problamatika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Interview Pribadi dengan H.R. Muhammad Syafi’i, Anggota Komisi III DPR-RI
Periode 2014-2019 dari partai Gerindra Dapil Sumatra Utara, Jakarta, 19
Maret 2018.
Interview Pribadi dengan Abdul Azis Khafia, Anggota DPD RI DKI Jakarta,
Jakarta, 20 Maret 2018.
Isnaeni, MH, MPR-DPR sebagai Wahana Mewujudkan Demokrasi Pancasila,
Jakarta: Yayasan Idayu, 1982.
Jaweng, Robert Endi, Mengenal DPD RI: Sebuah Gambaran Awal. Jakarta:
Institut For local Development, 2005.
Kansil, C.S.T., dan Christine S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia,
Cet. I, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008.
Kartonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa.
Katalog Dalam Terbitan (KDT), Senator Bertanya: Catatan Penggunaan Hak
Bertanya Anggota DPD RI kepada Presiden RI. Jakarta: DPD,2015.
Kelompok DPD RI, Mengenal DPD RI, Jakarta: Kelompok DPD RI di MPR,
2006.
Kusuma, Ananda B, “Recall”, Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta: Jurnal Konstitusi
Volume 3 Nomor 4 (2006): 156.
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta: Liberty, 1997.
Mahfud MD, Moh., Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
______, Perkembangan Politik Hukum, Studi tentang Pengaruh Konfigurasi
Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, Yogyakarta: FH UGM
Press, 1993.
______, Perdebatan Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Maggalatung, Salman, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD
1945, Bekasi: Gramata Publishing, 2016.
Mamuji, Sri, et.al.,Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Marbun, BN, Kamus Hukum Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005.
Mulyosudarmo, Suwoto, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik
Indonesia (Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridik Pertanggung
Jawaban Kekuasaan), Surabaya: Disertasi Doktor Pascasarjana
Universitas Airlangga, 1990.
Munandar, Haris, Pembangunan Politik, Situasi Global dan Hak Asasi Manusia,
Jakarta: Gramedia, 1994.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Noer, Deliar, Mohammad Hatta Suatu Biografi Politik, Jakarta: LP3ES, 1989.
Obson, David N, The Legislative Process, New York: A Comparative Approach.,
Harper & Raw Publication, 1980.
Packer, Herbert L, The Limits of Criminal Sanction, California:Stanford
University. Press,1968.
Pardede, Marulak, dan Tim, Penelitian Tentang Efektivitas Putusan Badan
Kehormatan, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementian
Hukum dan Ham, 2011.
Prodjodikoro, Wiryono, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, Bandung: Eresco,
1971.
Poernomo, Bambang, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni, 1996.
Ramlan Subekti, “Pilkada Adalah Pemilu”, Harian Kompas, 30 Maret 2005.
Ranawijaya, Usep, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1999.
Saragih, Bintan R, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Di Indonesia,
Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987.
Sekertariat Negara Republik Indonesia, Jakarta: Sekertariat Negara RI,1995.
Syamsuddin, Azis, Tindak Pidana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Shadily, Hassan, dkk., Ensiklopedi Indonesia 4, Edisi Khusus, Jakarta: Ichtiar
Baru-Van Hoeve, Jakarta, h. 876.
Shihab, Quraish,”Tafsir Jalalayn Diskusi” , Surah Al-Ma’idah ayat 8. Di akses
pada 15 Maret 2018 https://tafsirq.com/5-Al-Ma'idah/ayat-8
Sirait, Hasudungan. Politik Pemilu Pilkada. Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen
(AJI). 2006.
Soekanto,Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press), 1986.
Suhelmi, Ahmad, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Cet. Ke-2, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Nusantara, 2004.
Suny, Ismail, Pembagian Kekuasaan Negara, Cet. Ke-2, Jakarta: Aksara Baru,
1978.
Suratman dan Phiips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: ALFABETA,
2014.
Tamrin, Abu, dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, Ciputat: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2010.
Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Jakarta:Kencan, 2011.
Ubaedillah, A dan Abdul Rozak . Pendidikan Kewarganegaraan (Civic
Education) Edisi Ketiga: Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani. Jakarta: Kencana. ICCE UIN Jakarta. 2008.
Umar Mukhtar “Irman Gusman Divonis 4,6 Tahun Penjara” Republika.co.id, 20
Februari 2017.
Pettkin, Hanna Fenichel, The Concept of Representation, California: University of
California Press,1980.
Wahjono, Padomo, Ilmu Negara Suatu Sistematik Dan Penjelasan 14 Teori Ilmu
Negara dari Jellinek, Jakarta: Melati Study Grup, 1977.
______, Pembakuan Istilah Hukum, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1975.
Yunus, Nur Rohim, Restorasi Budaya Hukum Masyarakat Indonesia, Jakarta:
Jurispudence Press, 2012.
Zamrony, dkk., Buku Panduan Kuliah Kerja Nyata Pemberdayaan Hukum
Masayarakat Pengguna Pengadilan, Cetakan II, Pusat Kajian Anti
(PUKAT) Korupsi: Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 2009.
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Scanned with CamScanner
Recommended