View
15
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA
PENETAPAN PASANGAN CALON OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM
DAERAH DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
THE ADMINISTRATIVE LAW ENFORCEMENT ON THE DECISION OF
THE CANDIDATES BY THE REGIONAL ELECTION COMMISSION IN
THE LOCAL ELECTIONS
IRVAN MAWARDI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
2
PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA
PENETAPAN PASANGAN CALON OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM
DAERAH DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Tata Negara
disusun dan diajukan oleh
IRVAN MAWARDI
kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
TESIS
3
PENEGAKAN HUKUM ADMINISTRASI TERHADAP SENGKETA
PENETAPAN PASANGAN CALON OLEH KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH
DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
yang disusun dan diajukan oleh
IRVAN MAWARDINomor Pokok P0904211003
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
Pada tanggal 29 Juli 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasihat,
________________________________ ____________________________
Prof.Dr.Syamsul Bachri, S.H.,M.S. Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H.Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur Program PascasarjanaMagister Ilmu Hukum, Universitas Hasanuddin.
_________________________ _______________Prof. Dr.Marthen Arie, S.H.,M.H. Prof.Dr.Ir. Mursalim
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
4
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Irvan Mawardi
Nomor Mahasiswa : P0904211003
Program Studi : Ilmu Hukum
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar
merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau
pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa
sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima
sanksi atas perbuatan tersebut.
Makassar, 29 Juli 2013
Yang Menyatakan
Irvan Mawardi
PRAKATA
5
Puji syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT, atas karunia dan
petunjukNya sehingga penulisan tesis ini bisa selesai dengan segala keterbatasan dan
kelemahan penulis.
Ide yang melatarbelakangi tema permasalahan dalam tesis ini muncul dari hasil
pengamatan penulis terhadap proses berlangsungnya pemilihan kepala daerah di
Indonesia yang dimulai sejak tahun 2005. Salah satu persoalan yang pada umumnya
muncul dalam setiap pelaksanaan pilkada adalah adanya gugatan sengketa
penetapan pasangan calon yang telah disahkan oleh KPUD oleh kandidat yang tidak
lolos di PTUN yang penyelesaiannya berlarut-larut dan tidak melahirkan penyelesaian
hukum dan kepastian hukum. Hal ini melahirkan ketidakadilan dalam pelaksanaan
pemilukada. Penulis bermaksud menyumbangkan beberapa solusi agar persoalan
tersebut dapat diselesaikan dalam bingkai prinsip hukum administrasi agar semua
pemangku kepentingan dalam pemilukada dapat merasakan keadilan dan kepastian
hukum.
Banyak masalah dan kendala yang dihadapi Penulis dalam menyelesaikan tesis
ini, sehingga hanya berkat bantuan berbagai pihak penulisan tesis ini dapat selesai.
Pada kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan ucapan terima kasih yang
setingi-tingginya kepada :
Prof. Dr. Syamsul Bachri, SH.,M.S dan Dr. Hamzah Halim, S.H.,M.H sebagai
Ketua Komisi Penasehat dan Anggota Komisi Penasehat ini atas arahan, bimbingan
dan pencerahan yang diberikan kepada penulis baik dalam hal pengembangan ide
6
atas permasalahan penelitian ini sampai pada proses dan penyelesaian penulisan
tesis ini.
Terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Abdul
Razak, S.H.,M.H dan Prof. Achmad Ruslan,S.H.,M.H selaku Tim Penguji atas arahan,
kritikan dan masukan beliau dalam proses penulisan tesis ini
Rektor Universitas Hasanuddin Makassar, Prof. Dr. dr. A. Idrus Puturusi,
Sp.B.,Sp.BO atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga Penulis dapat
menyelesaikan program magister Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin
Direktur Program Pascasarjana Universitas Hanasanuddin, Prof. Dr. Ir Mursalim
atas kesempatan dan fasilitas yang representatif yang diberikan kepada penulis
sehingga Penulis dapat menyelesaikan program magister Ilmu Hukum pada Program
Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Ketua Program Studi Magsiter Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Makassar, Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H, atas fasilitas, arahan dan
kebijakannya sehingga dapat memicu Penulis dalam menyelesaikan Magister Ilmu
Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Para responden yang menjadi narasumber dalam penelitian ini; Anggota
Bawaslu Pusat, Daniel Zuchron, Anggota Bawaslu DKI Jakarta, M. Jufri, Anggota KPU
Gowa, Fatmawati Rachim, Anggota KPU Toraja Utara, Aloysius, Ketua KPU Lombok
Utara, Agus, Ketua KPU Lombok Barat, Tuan Guru Hasanain dan para Hakim di
7
PTUN Makassar dan PTUN Jayapura dan responden lainnya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu pada kesempatan ini.
Kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar, Priyatmanto
Abdoellah, S.H,M.H beserta segenap jajaran Hakim di PTUN Makassar atas
dukungan, arahan dan kebijakan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan
dan menyelesaikan studi Magister Ilmu Hukum pada program pascasarjana
Universitas Hasanuddin Makassar.
Kepada teman-teman seangkatan pada program Pascasarjana Ilmu Hukum
tahun 2011: Wiwin, Ray Pratama, Irsan, Sholihin, Irsan, Tegar, Ikram, Zulkifli, Rulof,
Nirwan, Fitri, Herlinah, Zasimah, Atriani, terima kasih atas dukungan dan
kebersamaannya.
Kepada kedua Orang Tua Penulis yang termulia, Ayahanda H. Mawardi
Mannungke dan Ibunda, Hj. Munawarah Mannaga yang selalu memberikan motivasi
doa dan ridho atas usaha dan ikhtiar penulis dalam menyelesaikan tesis ini
Kepada Istri tercinta Penulis, Dewi Nadhipah serta anak-anak Penyejuk Hati,
Ismena Adaliyah Mawardi dan Rafif Muyassar Mawardi atas dukungan dan inspirasi
yang diberikan kepada penulis.
Terakhir, Terima kasih penulis sampaikan kepada mereka yang namanya tidak
tercantum tetapi telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini
Makassar, 29 Juli 2013
8
Irvan Mawardi
ABSTRAK
IRVAN MAWARDI. Penegakan Hukum Administrasi terhadap Sengketa Penetapan
Pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam Pemilihan Kepala
Daerah (dibimbing oleh Syamsul Bachri dan Hamzah Halim)
Penelitian bertujuan mengetahui (1) tentang penegakan Hukum Administrasi
terhadap penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah oleh
KPUD dan pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemilukada (2) efektifitas
pelaksanaan putusan Peratun terhadap sengketa penetapan pasangan calon kepala
daerah.
Penelitian ini dilaksnakan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.
Penelitian ini bersifat sosioyuridis yang menggambarkan gejala realitas sosial yang
terjadi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data
dilakukan melalui pengamatan secara langsung proses persidangan, wawancara dan
studi pustaka. Data dianalisi dengan analisis komponensial. Data yang terkumpul
diproses melalui proses editing dan pemilahan yang dituangkan dalam bentuk teks
naratif.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa terdapat ketidaksinkronan undang-
undang yang mengatur pilkada dan undang-undang peratun. Tidak ada kejelasan
antara konsep sengketa administrasi dan pelanggaran administrasi. Penyelesaian
sengketa pilkada di Peratun membutuhkan waktu lama. Fungsi Bawaslu sebagai
pengawas pilkada tidak efektif. Selain itu, tidak ada mekanisme sengketa yang jelas
dan komprehensif. Serta tidak efektifnya putusan Peratun dalam sengketa pilkada.
Perlu ada perbaikan Undang-Undang yang mengatur sengketa pilkada dan perlu diberi
sanksi yang tegas bagi KPUD yang tidak melaksanakan putusan Peratun.
Kata kunci: pemilihan kepala daerah, KPU, Peratun
9
ABSTRACT
IRVAN MAWARDI The Administrative Law Enforcement on the Decision of theCandidates by the Regional Election Commission in Local Elections (supervised bySyamsul Bachri and Hamzah Halim)
This research aimed (1) to identify and explain the Administrative Law
enforcement on the of dispute solution on the candidate decision by the Regional
Election Commission and the parties related to the implementation of the election (2)
to explain the effectiveness of the implementation of the Administrative Decision to
dispute caused by the determination of the candidates.
The research was conducted in Makassar State Administrative Tribunal
(Makassar Administrative Court). The research was a social-legal research using a
qualitative approach. The method of collecting the data was observation, literature
reviews, and interviews. The data analysis used the componential analusis technique.
The data were then edited and sorted and written down in the form of a narrative text
The research result revealed a discrepancy between the law regulating the
regional election and the Administrative Law. There was no clear concept between the
administrative disputes and the administrative violations. An administrative dispute
took along time to solve. The functions of General Eelection Control Agency were not
effective. Moreover, there hed been no clear and comprehensive mechanism to solve
the election disputes. Also, the decision made by the Administrative court on the local
elections disputes was not effective.
Keyword: Local election, Regional Election Commission, Administrative Court
DAFTAR ISI
10
Halaman
PRAKATA………………………………………………………………………………………
….v
ABSTRAK………………………………………………………………………………………
….viii
ABSTRACT………………………………………………………………………………………
..ix
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………………..x
DAFTAR
TABEL…………………………………………………………………………………..xiv
DAFTAR
SINGKATAN…………………………………………………………………………...xv
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………………………….1
A. Latar Belakang
Masalah……………………………………………………………..1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………28
C. Tujuan
Penelitian……………………………………………………………………..28
D. Kegunaan
Penelitian………………………………………………………………....29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………………
30
11
A. Negara Hukum
Demokrasi…………………………………………………………..30
B. Nomokrasi………………………………………………………………………. …..
39
C. Hukum Administrasi……………………………………………………………..
…..43
1. Definisi Hukum Administrasi……………………………………… ….
….43
2. Fungsi Hukum Administrasi……………………………………….. … ….
48
3. Tujuan Hukum Administrasi………………………………………….
…….49
D. Relevansi Hukum Administrasi Dalam Pelaksanaan Pemilukada…………
…..50
E. Landasan Hukum dan Teoritis Penegakan Hukum Administrasi………….
…,.53
1. Landasan Hukum…………………………………………………….. ……
..53
2. Landasan Teori………………………………………………………..
………55
a. Teori Sistem
Hukum………………………,…………………............55
b. Teori Penegakan Hukum dan Sanksi Hukum Administrasi.......
57 c. Teori Sanksi Regresif ………………………….……….
……………64
d. Teori Sanksi Reparatoir………………………………….. ……
…..65
e. Teori
Eksekusi…………………………………………………………66
12
f. Teori
Wewenang………………………………….……………………70
h. Teori Donald Black……………………………………….. ……..
…72
F. Periodeisasi Sistem Pemilihan Kepala
Daerah……………………………………..74
1. Zaman Orde
Lama…………………………………………………….74
2. Zaman Orde Baru………………………………………………….
…76
3. Zaman Orde
Reformasi……………………………………………….78
G. Sengketa Pemilukada……………………………………………………. ….
……85
H. Sengketa Administrasi di Peradilan Tata Usaha Negara……………… ..
………87
1. Pengertian Sengketa Tata Usaha negara………………… …
…..87
2. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara……………….
……...89
3. Upaya Administratif di
PTUN………………………………….……….91
4. Tenggang Waktu mengajukan Gugatan….………………. ..
…….93
I. Kerangka Pikir………………………………………………………………
…………95
13
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………………………..
………....96
A. Lokasi Penelitian……………………………………………………………
………..96
B. Jenis Penelitian…………………………………………………………….
………..96
C. Jenis dan Sumber Data………………………………………………..
…………97
D. Tekhnik Pengumpulan Data………………………………………………
…………98
E. Tekhnik Analisis Data………………………………………………………
…………98
BAB IV. PEMBAHASAN DAN HASIL
PENELITIAN………………………………………...100
A. Penegakan Hukum Administrasi dalam sengketa penetapan pasangan
calon dalam pemilihan kepala
daerah…………………………………………………...100
1. Sinkronisasi Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dengan
Undang-Undang yang mengatur Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada)………………………………………………………....................
.101
a. Pengaturan Sengketa
Adminsitrasi……………………………………...107
b. Analisa Yuridis Kewenangan
PTUN………………….…......................115
14
c. Substansi Perbaikan Ketentuan Perundang-
Undangan……………....120
a). Tenggang waktu mengajukan
Gugatan……………………...........121
b). Efektifitas Putusan
Penundaan……………………………….........132
2. Refungsionalisasi Lembaga Penegak Hukum
Pemilukada…………..……...145
a. Kewenangan eksekutorial terhadap laporan pelanggaran dan
sengketa
administrasi………………………………………………………..……
….146
b. BAWASLU sebagai Lembaga Banding
Administratif…………………..150
c. Menghapus kewenangan PTUN
………………………………..………..166
d. Pengadilan ad hoc
Pemilukada…………………………………………....171
3. Pelaksanaan Asas Peradilan yang Cepat, Sederhana dan Biaya
Ringan………………………………………………………………….............
.182
15
B. Efektifitas pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilihan kepala
daerah……………………………………………………………………..…….
.184
1. Kewenangan eksekutorial kepada
PTUN…………………………………....189
2. Sistem Pengawasan dan
Sanksi……………………………………………...192
3. Budaya Hukum Pejabat
TUN……………………………………………........199
BAB V
PENUTUP………………………………………………………………………………..202
A. Kesimpulan
…………………………………………………………………............202
B.
Saran……………………………………………………………………………........203
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………............204
DAFTAR TABEL
Nomor halaman
16
1. Perbandingan kewenangan PTUN, PU dan MK dalam 117
penanganan sengketa pemilukada
2. Perbedaan Posisi Panwaslu dan Bawaslu periode Pemilukada 154
2005-sekarang
3. Perbandingan Jumlah Perkara Sengketa Pemilukada dengan 167
perkara lainnya di PTUN Makassar yang masuk pada tahun
2009-2012
4. Penyelesaian Sengketa Pemilukada di PTUN Makassar 170
DAFTAR SINGKATAN
Bawaslu : Badan Pengawas Pemilihan Umum
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
17
KPU : Komisi Pemilihan Umum
KPUD : Komisi Pemilihan Umum Daerah
MA : Mahkamah Agung
MK : Mahkamah Konstitusi
Panwaslu : Panitia Pengawas Pemilihan Umum
Peratun : Peradilan Tata Usaha Negara
Perludem : Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
Pemilu : Pemilihan Umum
Pemilukada : Pemilihan Umum Kepala Daerah
PTUN : Pengadilan Tata Usaha Negara
PTTUN : Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung
UUD NRI 1945: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
18
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu ciri dari negara hukum demokrasi adalah adanya pergantian
kepemimpinan pemerintahan secara tertib lewat mekanisme pemilihan umum
(Pemilu). Pemilu merupakan suatu instrumen dalam pelaksanaan nilai-nilai hukum dan
demokrasi. Oleh karenanya penyelenggaraan pemilu harus senantiasa didasarkan
pada asas langsung, umum, rahasia, jujur dan adil1 sebagai konsekuensi atas
terwujudnya suatu negara yang demokratis.
Pemilu sebagai mekanisme pokok prosedur demokrasi mendapatkan jaminan
konstitusional sebagai hasil dari perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), yang diatur dalam satu bab tersendiri.
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 itu memberikan
pedoman dasar baik yang bersifat prosedural maupun substansial. Dari sisi
prosedural, pemilu harus dilakukan lima tahun sekali, secara langsung, umum, dan
rahasia. Dari sisi substansial pemilu harus dilakukan secara bebas, jujur, dan adil.
1Lihat Pasal 22E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
19
Oleh karena itu dalam konteks negara hukum demokratis diperlukan landasan hukum
yang kuat agar proses demokrasi prosedural lewat pemilihan umum dapat melahirkan
wajah demokrasi yang substantif, yakni pemilu demokratis, transparan dan
dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang independen.
Reformasi konstitusi yang merupakan bagian dari law reform, dengan
perubahan UUD NRI 1945 telah merubah sistem ketatanegaraan di Indonesia secara
mendasar2, termasuk dalam bidang penyelenggaraan pemilu. Adanya ketentuan
mengenai pemilihan umum dan penyelenggara pemilihan umum dalam Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimaksudkan untuk memberi
landasan hukum yang lebih kuat bahwa pemilihan umum sebagai salah satu wahana
pelaksanaan kedaulatan rakyat dan penyelenggara pemilihan umum yang mandiri dan
independen. Dengan adanya ketentuan itu, maka lebih menjamin kepastian waktu
penyelenggaraan pemilihan umum secara teratur reguler per lima tahun dan menjamin
proses, mekanisme, serta kualitas penyelenggaraan pemilihan umum secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang dilakukan oleh penyelenggara
pemilihan umum.
Perubahan ketiga UUD NRI 1945, Pasal 22E ayat 5 menyebutkan bahwa
pemilihan umum diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat
nasional, tetap dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi tuntutan
perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat dan perkembangan demokrasi
yang sejalan dengan pertumbuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping
2 M.Laica Marzuki, 2008, Dari timur ke Barat Memandu Hukum: Pemikiran Hukum Wakil Ketua Mahamah
Konstitusi Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., (Jakarta, Sekjen dan Kepaniteraan MK:), Hal. 73
20
itu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat luas terdiri dari beribu-ribu
pulau, dengan jumlah penduduk yang banyak dan menyebar di seluruh Nusantara
serta memiliki kompleksitas nasional menuntut keberadaan penyelenggara pemilihan
umum yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Jimly Assidiqie, dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 sendiri, nama
lembaga penyelenggara pemilu itu tidak diharuskan bernama Komisi Pemilihan
Umum, Itu sebabnya dalam rumusan Pasal 22E UUD NRI 1945 itu, perkataan komisi
pemilihan umum ditulis huruf kecil. Artinya, KPU yang disebut dalam Pasal 22E itu
bukanlah nama, melainkan perkataan umum untuk menyebut lembaga penyelenggara
pemilu itu. Dengan demikian, sebenarnya, undang-undang dapat saja memberi nama
kepada lembaga penyelenggara pemilu itu, misalnya, dengan sebutan Badan
Pemilihan Umum atau Komisi Pemilihan Pusat dan Komisi Pemilihan Daerah, dan
sebagainya3. Meskipun istilah lembaga penyelenggara pemilu tidak didefinitifkan oleh
UUD NRI 1945, namun karakter atau sifat dari penyelenggara pemilu tersebut sudah
jelas, yakni penyelenggara pemilu harus nasional, tetap dan mandiri.
Bersifat nasional artinya KPU memiliki wilayah kerja seluruh wilayah negara
Indonesia. Sifat “nasional” dimaksudkan bahwa KPU sebagai penyelenggara
mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni seluruh
kabupaten /kota dan Provinsi yang ada di dalam negara kesatuan republik Indonesia.4
Sifat “tetap” dimaksudkan bahwa KPU sebagai lembaga menjalankan tugasnya secara
3Jimly Ashiddiqie, 2006,Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. hal 237
4Penjelasan undang-undang republik indonesia Nomor 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan umum anggota dewan
perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, dan dewan perwakilan rakyat daerah
21
berkesinambungan, meskipun keanggotaannya dibatasi oleh masa jabatan tertentu5.
Argumentasi sifat “nasional” dan “tetap” ini agar KPU yang permanen dari pusat
sampai daerah menjalankan tugasnya secara berkesinambungan. Di lain pihak,
keanggotaannnya dapat diganti sesuai dengan masa jabatan tertentu. Dengan
kesinambungan inilah diharapkan tidak ada tumpang-tindih dalam pembuatan dan
pengambilan keputusan terkait persoalan-persoalan pemilu. Makna “tetap” juga dapat
dijelaskan bahwa KPU sebagai penyelenggara pemilu tetap melaksanakan tugasnya
dibatasi oleh waktu yang menurut Undang-undang adalah 5 (lima) tahun, artinya tidak
serta merta setelah proses pemilu selesai kemudian penyelenggara pemilu selesai.
Sifat mandiri menegaskan bahwa KPU harus bebas dari pengaruh dan tekanan
dari pihak manapun dalam menyelenggarakan pemilu. Sifat “mandiri” dimaksudkan
bahwa dalam menyelenggarakan dan melaksanakan pemilu, KPU bersikap mandiri
dan bebas dari pengaruh pihak mana pun, disertai dengan transparansi dan
pertanggungjawaban yang jelas sesuai dengan peraturan perundang-undangan6. Hal
tersebut menyiratkan bahwa penyelenggara pemilu tidak boleh tunduk pada
kepentingan orang-perorang, golongan dan partai politik tertentu. Organisasi ini
bekerja menurut aturan perundang-undangan yang berlaku serta mengikuti kaidah
manajemen yang normal dalam menyelenggarakan pemilu. Sifat mandiri juga sering
disebut dengan sifat independen.
5Ibid
6Ibid
22
Arti penting prinsip independensi menurut Ramlan Surbakti7 didasarkan kepada
tiga hal, Pertama, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme
pendelegasian sebagian kedaulatan rakyat kepada penyelenggara negara, baik yang
akan duduk dalam lembaga legislative maupun dalam lembaga eksekutif di pusat dan
daerah, untuk bertindak atas nama rakyat dan mempertanggungjawabkannya kepada
rakyat. Kedua, pemilihan umum merupakan prosedur dan mekanisme pemindahan
perbedaan aspirasi dan pertentangan kepentingan dari masyarakat ke dalam lembaga
penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah, untuk kemudian dibicarakan
dan diputuskan secara beradab. Ketiga, pemilihan umum merupakan prosedur dan
mekanisme perubahan politik secara teratur/tertib dan periodik baik perubahan berupa
sirkulasi elit politik maupun perubahan arah dan pola kebijakan publik.
Konstitusionalitas penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri dapat juga dilihat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan
Nomor Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004. Pada saat itu pemilihan kepala daerah
masih berlangsung berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (UU.No.32 tahun 2004) dan berada dalam wilayah rezim
hukum Pemerintahan Daerah. Walupun demikian MK menyatakan bahwa Pemilukada
langsung harus berdasarkan asas-asas Pemilu, yakni langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil serta diselenggarakan oleh penyelenggara yang independen
(mandiri). UUD NRI 1945 yang mensyaratkan kemandirian KPU tidak mungkin terjadi
apabila Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara pemilihan
langsung harus bertanggungjawab kepada DPRD. Sebab, DPRD sebagai lembaga
7 Ramlan Surbakti, 2003, “Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru”, Jurnal Ilmu Pemerintahan, edisi
19 Tahun, hlm.4-5
23
perwakilan rakyat di daerah terdiri atas unsur-unsur partai politik yang menjadi pelaku
dalam kompetisi Pemilukada langsung tersebut.
Oleh karena itu KPUD harus bertanggungjawab kepada publik bukan kepada
DPRD sedangkan kepada DPRD hanya menyampaikan laporan pelaksanaan
tugasnya, seperti yang ditentukan dalam Pasal 57 ayat (2) UU Pemda. Oleh karena itu
MK membatalkan Pasal 57 ayat (1) UU Pemda yang menyatakan “Pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh KPUD yang bertanggungjawab
kepada DPRD”, sepanjang frase “yang bertanggungjawab kepada DPRD”. Dalam
perkembangan hukum selanjutnya, berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu dan UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
UU Nomor 32 Tahun 2004, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi
bagian dari pemilu, yang dengan sendirinya menjadi tanggungjawab penyelenggara
pemilu yang mandiri.
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa UUD NRI 1945 menyatakan bahwa
pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri. Amanat konstitusi tersebut untuk memenuhi tuntutan
perkembangan kehidupan politik, dinamika masyarakat, dan perkembangan demokrasi
yang sejalan dengan pertumbuhankehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping
itu, wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar dan
menyebar di seluruh Nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut
penyelenggara pemilihan umum yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, diperlukan satu undang-undang yang
mengatur penyelenggara pemilihan umum.
24
Maka pada tahun 2007 disahkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007
tentang Penyelenggara Pemilu8. Undang-Undang ini merupakan UU pertama kali yang
mengatur secara khusus tentang Penyelenggara Pemilu karena selama ini pengaturan
tentang Penyelenggara Pemilu diatur di dalam UU Pemilu dan UU Pemerintahan
Daerah. Pada perkembangannya, pada tahun 2011, UU. Nomor 22 Tahun 2007
diubah menjadi UU. No. 15 Tahun 20119 tentang Penyelenggara Pemilu.
Sebagai konsekuensi ketentuan konstitusional bahwa penyelenggara Pemilu
bersifat nasional, tetap, dan mandiri, Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2007 juncto
UU. No. 15 tahun 2011 menyatakan bahwa KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota bersifat hierarkis. Oleh karena itu KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota adalah satu kesatuan organisasi berjenjang walaupun telah ditentukan
pembagian tugas dan tanggungjawab masing-masing oleh undang-undang. KPU
provinsi adalah organ dari KPU yang harus melaksanakan dan mengikuti arahan,
pedoman, dan program dari KPU, terutama dalam hal pelaksanaan Pemilu DPR, DPD,
DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden. Di sisi lain, KPU provinsi harus
mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan tugas KPU kabupaten/kota.
Keberadaan KPU di daerah juga tidak bisa dilepaskan dari kebijakan
desentralisasi sebagai prasyarat negara demokratis. Sementara dalam konsepsi
Negara Hukum Indonesia, ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi:
“Negara Indonesia adalah Negara hukum” yang menganut desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana diisyaratkan dalam Pasal 18 ayat (1)
8Lihat -Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
9Lihat UU. No. 15 Tahun 2011 tentang Perubahan UU. Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
25
NRI 1945 yang berbunyi: “ Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah provinsi dan daerah provinsi itu itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-
tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintah daerah, yang diatur dengan
Undang-Undang”.
Bagian penting dari demokratisasi dari suatu bangsa adalah adanya praktek
desentralisasi sebagai bagian dari memperkuat partisipasi masyarakat pada
pembangunan di level daerah. Pandangan bahwa desentralisasi itu memiliki relasi
kuat dengan demokratisasi didasarkan pada asumsi bahwa desentralisasi dapat
membuka ruang yang lebih besar kepada masyarakat untuk terlibat di dalam proses
pembuatan keputusan-keputusan politik di daerah. Hal ini berkaitan dengan realitas
bahwa setelah ada desentralisasi, lembaga-lembaga yang memiliki otoritas di dalam
proses pembuatan dan implementasi kebijakan publik itu lebih dekat dengan rakyat.
Kedekatan itu juga yang memungkinkan rakyat melakukan kontrol terhadap
pemerintah daerah. Dengan demikian pemerintah daerah diharapkan memiliki
akuntabilitas yang lebih besar lagi. Tanpa adanya akuntabilitas, rakyat di daerah bisa
menarik mandat yang telah diberikan melalui pemilihan. Pemilihan dalam konteks
desentralisasi kekinian terwujud dalam pemilihan umum kepala daerah secara
langsung yang sudah berlangsung sejak tahun 2005.
Pemilukada sebagai bagian dari proses desentralisasi itu, kekuasaan
pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan. Pergeseran kekuasaan
dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi
semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat maka
26
diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika
kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah10
Menurut Smith sebagaimana dikutip Lili Romli, ada 2 definisi desentralisasi,
yaitu definisi dari perspektif administratif dan definisi dari perspektif politik11. Dalam
persepktif, politik desentralisasi adalah the transfer of power from top level to lower
level, in a territorial hierarchy, which could be one of government within state , or
offices within a large organization12. Sementara perspektif desentralisasi administrasi
didefinisikan sebagai delegasi wewenang administratif, administrative authority dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah13. Tujuan desentralisasi menurut Smith
adalah (1) Pendidikan Politik, (2), Latihan kepemimpinan politik (3) memelihara
stabilitas (4) mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat (5) memperkuat akuntabilitas
publik dan (6) meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat.
Konteks desentralisasi itulah KPUD sebagai pelaksana pemilihan kepala
daerah langsung selain bertugas mendesentralisasikan tugas dan kewenangan KPU
pusat juga bertanggung jawab dalam memperkuat akuntabilitas publik terhadap
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung. Landasan hukum tentang tugas
dan wewenang KPU dalam menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah pada
awalnya diatur dalam Undang-Undang No. 32 tahun 200414. Namun ketentuan dalam
10Jimly Assidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Jakarta. 2006. Hlm. 218
11 Lili Romli, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Pustaka Pelajar.Yogyakarta. 2007. hlm.
328
12Ibid
13Ibid. Hlm. 329
14Lihat beberapa ketentuan pilkada di Undang-Undang No. 32 tahun 2004
27
UU 32 tahun 2004 secara hukum tidak berlaku lagi sejak disahkannya Undang-
Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
Pada perkembangan selanjutnya, meskipun UU. No. 22 Tahun 2007 telah
direvisi menjadi UU.No. 15 tahun 2011 namun semua substansi yang terkait dengan
Tugas dan Wewenang KPU di daerah masih tetap sama dengan pengaturan
sebagaimana yang tercantum dalam UU. Nomor .22 tahun 2007. Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2007 junto Undang-Undang No 15 tahun 2011 juga merubah
nomenklatur Komisi Pemilihan Daerah (KPUD) menjadi lebih spesifik, yakni Komisi
Pemilihan Umum Provinsi (KPU Provinsi) dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten
(KPU Kabupaten). Dalam penelitian ini, KPUD yang dimaksud adalah Komisi
Pemilihan Umum Kabupaten (KPU Kabupaten)
Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 telah mengatur tugas KPU, KPUD
Provinsi/Kabupaten pada Pemilukada;
Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 berbunyi:
(3) Tugas dan wewenang KPU Provinsi dalam penyelenggaraanPemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah meliputi;
a. merencanakan program, anggaran, dan jadwal Pemilu KepalaDaerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi
b. menyusun dan menetapkan tata kerja KPU Provinsi, KPUKabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS dalam Pemilu KepalaDaerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi dengan memperhatikanpedoman dari KPU;
c. menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuktiap-tiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah Provinsi berdasarkan peraturan perundang-undangan;
28
d. mengoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikansemua tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah Provinsi berdasarkan peraturanperundangundangan dengan memperhatikan pedoman dari KPU;
e. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data kependudukandan menetapkannya sebagai daftar pemilih;
f. menerima daftar pemilih dari KPU Kabupaten/Kota dalampenyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala DaerahProvinsi;
g. menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepaladaerah provinsi yang telah memenuhi persyaratan;
h. menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasipenghitungan suara Pemilu Kepala Daerah dan Wakil KepalaDaerah Provinsi berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungansuara di KPU Kabupaten/Kota dalam wilayah provinsi yangbersangkutan dengan membuat berita acara penghitungan suaradan sertifikat hasil penghitungan suara;
i. membuat berita acara penghitungan suara serta membuatsertifikat hasil penghitungan suara dan wajib menyerahkannyakepada saksi peserta Pemilu, Panwaslu Provinsi, dan KPU”
Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, selain diperlukan pihak yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan, diperlukan adanya suatu pengawasan untuk
menjamin agar pemilihan umum tersebut bena-benar dilaksanakan berdasarkan asas
pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan. Untuk mengawasi
penyelenggaraan pemilihan umum, Undang-Undang ini nomor 15 tahun 2011 juga
mengatur mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap. Fungsi
pengawasan intern oleh KPU dilengkapi dengan fungsi pengawasan ekstern yang
dilakukan oleh Bawaslu serta Pengawas Pemili (Panwaslu) Provinsi, Panwaslu
Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas
Pemilu Luar Negeri.
29
Setelah berlaku selama 4 (empat) tahun, UU. Nomor 22 tahun 2007 kemudian
direvisi menjadi UU. Nomor 15 tahun 2011. Salah satu point yang penting dari revisi
tersebut adalah keberadaan Bawaslu menjadi permanen sampai di tingkat provinsi.
Hal yang berbeda dengan UU. Nomor 22 tahun 2007 yang mengatur bahwa Bawaslu
hanya permanen di tingkat pusat, sementara UU. No 11 tahun 2011
mempermanenkan organisasi Bawaslu sampai level Provinisi. Selain itu , UU. Nomor
15 tahun 2011 juga mengatur tentang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP) yang secara substansi memiliki otoritas yang lebih kuat dalam mengawasi
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh KPU maupun BAWASLU.
Baik Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 maupun Undang-Undang Nomor
15 tahun 2011 mengatur dan mendorong adanya peningkatan kualitas penyelenggara
pemilu dalam menyelenggarakan pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah.
Dalam konteks pemilihan kepala daerah, salah satu indikator kualitas penyelenggara
Pemilukada adalah kemampuan dalam menegakkan aturan yang menjadi aturan
normatif dalam pelaksanaan Pemilukada, baik aturan yang dibuat oleh penyelenggara
sendiri maupun aturan yang menjadi acuannya.
KPUD dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara tekhnis dapat
dilihat dalam beberapa peraturan teknis antara lain Peraturan Pemerintah dan
Keputusan KPU. Khusus KPUD yang terkait dengan penetapan pasangan calon, maka
Keputusan KPU nomor 1 tahun 2007 Pasal 6 ayat 2 huruf b menyebutkan bahwa;
“Pencalonan mengacu pada ketentuan Pasal 9 ayat (3) huruf g dan hurufl serta Pasal 10 ayat (3) huruf i dan huruf m Undang-Undang Nomor 22 Tahun2007 yang mengatur mengenai penetapan pasangan calon dan penetapanpasangan calon terpilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta
30
ketentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2005dan ketentuan Pasal 36 sampai dengan Pasal 53 Peraturan Pemerintah Nomor6 Tahun 2005 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 dan PeraturanPemerintah Nomor 25 Tahun 2007 yang mengatur mengenai pendaftaran danpenetapan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Salah satu tugas KPUD adalah melaksanakan pemilihan kepala daerah
langsung yang salah satu tahapannya adalah penetapan pasangan calon kepala
daerah. Pasal 9 ayat 3 Undang-Undang nomor 15 tahun 2011 berbunyi:
Huruf g. menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakilkepala daerah provinsi yang telah memenuhi persyaratan;
Kewenangan KPUD dalam menetapkan bakal calon menjadi pasangan
pasangan dalam pemilukada juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 tentang revisi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Perubahan ini terkait dengan dibolehkannya calon independen untuk maju
dalam Pemilukada sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ketentuan
Pasal 59A Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 menyatakan:
(2) verifikasi dan rekapitulasi dukungan calon perseoranganuntuk pemilihan bupati / wakil bupati dan walikota/ wakil walikotadilakukan oleh KPU Kabupaten/ Kota yang dibantu oleh PPK danPPS ;
(3) bakal pasangan calon perseorangan untuk pemilihan bupati/ wakil bupati dan walikota/ wakil walikota menyerahkan daftardukungan kepada PPS untuk dilakukan verifikasi paling lambat 28(dua puluh delapan) hari sebelum waktu pendaftaran pasangancalon dimulai
(5) verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat(4) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sejak dokumendukungan bakal pasangan calon perseorangan diserahkan ;
(6) Hasil verifikasi dukungan calon perseorangansebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan dalam berita
31
acara, yang selanjutnya diteruskan kepada PPK dan salinan hasilverifikasi disampaikan kepada akal pasangan calon ;
(7) PPK melakukan verifikasi dan rekapitulasi jumlah dukunganbakal pasangan calon untuk menghindari adanya seseorang yangmemberikan dukungan kepada lebih dari satu bakal pasangancalon dan adanya informasi manipulasi dukungan yangdilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari ;
(8) hasil verifikasi dan rekapitulasi dukungan calonperseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dituangkandalam berita acara yang selanjutnya diteruskan kepada KPUkabupaten/ kota dan salinan hasil verifikasi dan rekapitulasi disampaikan kepada bakal pasangan calon ;
(10) KPU kabupaten/ kota melakukan verifikasi dan rekapitulasijumlah dukungan bakal pasangan calon untuk menghindari adanyaseseorang yang memberikan dukungan kepada lebih dari satubakal pasangan calon dan adanya informasi manipulasi dukunganyang dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) hari ;
Selanjutnya ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
mengatur sebagai berikut :
(3a) Apabila belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksuddalam pasal 58 dan Pasal 59 ayat (5a) huruf b, huruf c, huruf d,huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i, calon perseorangandiberi kesempatan untuk melengkapi dan / atau memperbaikisurat pencalonan beserta persyaratan pasangan calon palinglama 7 (tujuh) hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitianpersyaratan oleh KPU provinsi dan/ atau Kpu kabupaten/ kota ;
(3b) Apabila belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksuddalam Pasal 59 ayat (5a) huruf a, calon perseorangan diberikesempatan untuk melengkapi dan / atau memperbaiki suratpencalonan beserta persyaratan pasangan calon paling lama 14(empat belas) hari sejak saat pemberitahuan hasil penelitianpersyaratan oleh KPU provinsi dan/ atau KPU kabupaten/ kota ;
(4) KPU provinsi dan/ atau KPU kabupaten / kota melakukanpenelitian ulang tentang kelengkapan dan/ atau perbaikanpersyaratan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (3a)dan ayat (3b) sekaligus memberitahukan hasil penelitian tersebutpaling lambat 14 (empat belas) hari kepada pimpinan partai politikatau gabungan partai politik yang mengusulkannya atau calonperseorangan
32
(5) Apabila hasil penelitian berkas calon sebagaimanadimaksud pada ayat (4) tidak memenuhi syarat dan ditolak olehKPU Provinsi dan / atau KPU Kabupaten / Kota, partai politik ataugabungan partai politik atau calon perseorangan tidak dapat lagimengajukan calon
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penelitianpersyaratan administrasi pasangan calon sebagaimana dimaksudpada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU
Namun pada kenyataannya, dalam beberapa pelaksanaan pemilukada, KPUD
dalam hal ini KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten justru tidak menetapkan
pasangan calon yang secara normatif telah memenuhi persyaratan, sebaliknya KPUD
menetapkan pasangan calon yang belum memenuhi persyaratan. Beberapa contoh
dari penyimpangan ketentuan normatif itu adalah, pertama KPUD tidak melakukan
verifikasi secara faktual dan prodesur terkait dengan dukungan bakal calon, baik yang
didukung oleh Partai Politik, maupun yang maju pada jalur perseorangan. Kedua, hasil
verifikasi tidak disampaikan kepada bakal pasangan calon, jadi hanya disampaikan
pada pasangan bakal calon tertentu. Ketiga, rapat pleno penetapan bakal calon tidak
kuorum, sehingga proses penetapannya cacat prosedur.
Akibat proses penetapan yang tidak prosedur tersebut, pada faktanya KPUD
akhirnya digugat di Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun). Keputusan KPUD tentang
penetapan pasangan calon kepala daerah dapat digugat ke Peratun karena jenis
keputusan tersebut merupakan jenis keputusan yang dapat digugat di Peratun. Dalam
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peratun Pasal 2 huruf g diatur bahwa
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-
undang ini:
Pasal 2 huruf g ; Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun didaerah, mengenai hasil pemilihan umum.
33
Ketentuan dalam Pasal 2 huruf g tersebut secara limitatif membatasi bahwa
yang masuk kategori keputusan yang tidak dapat digugat di Peratun diantaranya
adalah keputusan mengenai hasil pemilihan umum. Sedangkan keputusan mengenai
penetapan pasangan bakal calon menjadi calon oleh KPUD adalah bukan keputusan
tentang hasil pemilihan umum, sehingga masih termasuk kewenangan Peratun untuk
memeriksa, mengadili dan memutuskan apabila terjadi sengketa akibat terbitnya
keputusan seperti itu. Pasal 2 huruf g tersebut dipertegas oleh terbitnya Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 tahun 2010 yang secara pokok mengatur bahwa
Keputusan-keputusan tersebut yang belum atau tidak merupakan “hasilpemilihan umum” dapat digolongkan sebagai keputusan di bidang urusanpemerintahan, dan oleh karenanya sepanjang keputusan tersebut memenuhi kriteriaPasal 1 butir 3 Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka tetapmenjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memeriksa danmengadilinya. Hal ini disebabkan karena keputusan tersebut berada di luar jangkauanperkecualian sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 2 huruf g Undang-Undangtentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam konteks penegakan hukum administrasi di Pemilukada, secara normatif
selain Peratun, menurut UU Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu,
BAWASLU juga memiliki kewenangan dalam hal terjadi pelanggaran administrasi
dalam pemilukada. Kewenangan yang dimaksud adalah apabila terjadi pelanggaran
administrasi bukan pada kewenangan apabila terjadi sengketa administrasi. Dalam
pelanggaran administrasi, kewenangan Bawaslu adalah merekomendasikan
pelanggaran administrasi tersebut kepada KPUD, selanjutnya KPUD yang
menindaklanjuti pelanggaran tersebut. Dalam hal sengketa administrasi, Bawaslu tidak
memiliki kewenangan sehingga apabila terjadi sengketa administrasi dalam
34
pemilukada seperti halnya sengketa penetapan pasangan calon oleh KPUD, maka
calon pasangan yang dirugikan oleh KPUD mengajukan gugatan ke Peratun
Ada beberapa perkara permohonan pembatalan Surat Keputusan KPU daerah
tentang penetapan pasangan calon kepala daerah yang yang sudah diputus oleh
Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar (PTUN Makassar). Beberapa perkara
tersebut antara lain, Pertama, adalah perkara nomor 51/G.TUN/2010/P.TUN.Mks.
antara Ir. Agustinus La’lang, M.Si. sebagai Penggugat melawan KETUA dan / atau
Anggota KPUD Kabupaten Toraja Utara sebagai Tergugat15 yang dimohonkan batal ke
PTUN Makassar. Dalam perkara ini, Penggugat menggugat dan memohon dibatalkan
Surat Keputusan Ketua dan/atau Anggota KPU Kabupaten Toraja Utara (Tergugat)
Nomor : 013/KPU-TU.2/VIII/2010, tanggal 21 Agustus 2010 Tentang Penetapan
Nomor Urut Pasangan Calon Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten
Toraja Utara Pemilihan Umum Tahun 2010;
Dalam gugatannya, Penggugat mendalilkan alasan menggugat KPUD adalah
karena pada tanggal 13 Juli 2010 telah mendaftarkan diri sebagai Bakal Pasangan
Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Toraja Utara Tahun 2010, yang
didukung resmi oleh gabungan partai politik yakni Partai Hati Nurani Rakyat
(HANURA) dengan perolehan kursi parlemen 1 kursi, Partai Keadilan & Persatuan
Indonesia dengan Perolehan kursi parlemen 3 kursi, Partai Barisan Nasional dengan
perolehan kursi parlemen 1 kursi dan beberapa partai non parlemen termasuk Partai
PKPI dan Partai Barnas. Namun pada akhirnya KPUD Toraja Utara lewat
penetapannya menetapkan bahwa hanya satu partai politik yang sah mendukung
15Data Perkara di Bagian Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar
35
Penggugat yaitu Partai HANURA dan KPUD dalam hal ini Tergugat ‘
menghilangkan/mendiskualifikasi ‘ kebenaran dukungan Partai PKPI dan Partai
Barnas yang mendukung Penggugat dan tindakan KPUD Tanah Toraja inilah yang
dianggap Penggugat merupakan tindakan melawan hukum yang dilakukan Tergugat,
melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik dan seterusnya.
Dalam gugatannya, selain memohon pembatalan Surat Keputusan Penetapan
KPUD, Penggugat juga memohon Penundaan Pelaksanaan Surat Keputusan
Penetapan KPUD tersebut karena berpotensi merugikan penggugat. Terhadap dua
permohonan tersebut, Majelis Hakim yang mengadili perkara tersebut dalam amar
putusannya menyebutkan ;Memerintahkan Tergugat untuk menunda Pelaksanaan
dan tindak lanjut terhadap Surat Keputusan Ketua dan/atau Anggota KPU Kabupaten
Tana Toraja Utara Nomor : 013/KPU-TU.2/VIII/2010, tanggal 21 Agustus 2010
Tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Kepala Daerah Dan Wakil Kepala
Daerah Kabupaten Toraja Utara Pemilihan Umum Tahun 2010 Sampai adanya
putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ( in kracht van gewijsde) ;
Dalam putusan akhir, Majelis Hakim mengabulkan seluruh gugatan penggugat
dan Menyatakan batal atau tidak sah Surat Keputusan Ketua dan/atau Anggota KPU
Kabupaten Toraja Utara (Tergugat) Nomor : 013/KPU-TU.2/VIII/2010, tanggal 21
Agustus 2010 Tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Kepala Daerah Dan
Wakil Kepala Daerah Kabupaten Toraja Utara Pemilihan Umum Tahun 2010 serta
Mewajibkan Ketua dan/atau KPU Kabupaten Toraja Utara (Tergugat) untuk
menerbitkan surat keputusan yang baru yang berisi menetapkan menerima,
menyatakan serta mencantumkan nama dan memasukkan dalam daftar urut
36
Penggugat sebagai Pasangan Calon yang sah dan memenuhi syarat ketentuan
perundang-undangan sebagai Bakal Pasangan Calon dan/atau Pasangan Calon
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada Pemilukada Toraja Utara Tahun
2010 .
Ditinjau dari penegakan hukum administrasi, persoalan yang muncul dari
perkara ini adalah dalam hal pelaksanaan eksekusi putusan hakim Peratun, baik yang
terkait dengan putusan penundaan (schoorsing) maupun pelaksanaan putusan akhir.
Di tengah proses persidangan perkara, ketika Majelis Hakim mengabulkan
permohonan Penundaan (schoorsing) dari Penggugat, maka secara hukum
Tergugat/KPUD semestinya menunda tahapan Pemilukada. Namun dalam prakteknya,
KPUD mengabaikan putusan Majelis Hakim Peratun dan tetap melanjutkan tahapan
pemilukada yakni pengundian nomor urut, kampanye dan seterusnya dan
mengabaikan status Penggugat.
Tidak dipatuhinya putusan schoorsing Peratun oleh KPUD maka tahapan
pemilukada terus berlanjut, sementara penggugat yang secara hukum masih
berpeluang untuk bisa menjadi calon kepala daerah akhirnya mengalami kerugian.
Dalam putusan akhir perkara ini, gugatan penggugat juga dikabulkan oleh hakim
secara keseluruhan, namun lagi-lagi Tergugat/KPUD tidak melaksanakan putusan
Majelis Hakim PTUN Makassar dan memilih untuk melakukan upaya hukum Banding
sementara tahapan pemilukada tetap berlanjut sehingga nasib Penggugat sebagai
calon peserta Pemilukada semakin mengalami kerugian yang nyata.
Perkara kedua, Keputusan KPU Kabupaten Gowa Nomor : 05 Tahun 2010
tertanggal 19 April 2010 Tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan
37
Wakil Kepala Daerah Menjadi Peserta Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2010 oleh PTUN Makassar dalam perkara
Nomor: 50/G.TUN/ 2010/PTUN.Mks. antara DRS. ANDI MADDUSILA ANDI IDJO
sebagai Penggugat melawan KPU KABUPATEN GOWA sebagai Tergugat16.
Dalam gugatannya, Penggugat pada intinya menolak Surat Keputusan
Tergugat tersebut karena Surat Keputusan Tata Usaha Negara aquo disamping
mengalami cacat hukum, melanggar kepentingan hukum Penggugat, juga merupakan
pembohongan publik khususnya pembohongan kepada masyarakat Kabupaten Gowa,
dengan alasan-alasan penolakan sebagai antara lain bahwa Tergugat telah secara
sengaja/sadar dan melawan hukum telah membiarkan dan meloloskan pasangan
calon Kepala Daerah Kabupaten Gowa pasangan nomor urut 4 (empat) atas nama H.
Ichsan Yasin Limpo, SH. MH sebagai Calon Bupati Gowa sementara yang
bersangkutan tidak memenuhi persyaratan tehnis administratif yaitu tidak memiliki dan
melampirkan foto copy ijazah SD yang dilegalisir
Menyikapi adanya gugatan tersebut, Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara
menetapkan bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima, karena gugatan diajukan
telah lewat waktu. Dalam pertimbangan penetapan tersebut, Ketua PTUN Makassar
menerangkan bahwa gugatan Penggugat telah melampaui tenggang waktu 90 (hari)
terhitung sejak saat diterbitkannya atau diumumkannya keputusan yang digugat, maka
sesuai ketentuan Pasal 55 juncto Pasal 62 ayat (1) huruf (e), gugatan Penggugat
harus dinyatakan tidak dapat diterima (dismissal procedure).
16Data Perkara di Bagian Perkara Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar
38
Dalam konteks penegakan hukum administrasi di ranah pengadilan
administrasi, meskipun gugatan tersebut tidak diterima karena soal tenggang waktu
menggugat yang telah kadaluarsa (verjaring), namun yang menjadi permasalahan
adalah substansi alasan Penggugat yang dijadikan dalil pokok Penggugat dalam
menguji penetapan KPUD. Dalam perkara tersebut alasan Penggugat memohon
pembatalan penetapan KPUD adalah didasarkan atas alasan bahwa obyek sengketa a
quo dianggap cacat hukum yaitu adanya dugaan ketidakbenaran ijazah dari seorang
Calon Kepala Daerah dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2010.
Alasan Penggugat tersebut , dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan
tentang penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada), adalah
termasuk ranah pelanggaran pidana (pemalsuan surat) sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang No.12 Tahun 2008 Pasal 115 ayat (6) yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benaratau menggunakan surat palsu seolah-olah sebagai surat yang sah tentangsuatu hal yang diperlukan bagi persyaratan untuk menjadi pasangan calonKepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, diancam dengan pidana penjarapaling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan, dan paling lama 72 (tujuh puluhdua) bulan, dan denda paling sedikit Rp.36.000.000,- (tiga puluh enam jutarupiah) dan paling banyak Rp.72.000.000,- (tujuh puluh dua juta rupiah)” ;
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa prosedur penyelesaian atas
pelanggaran pidana dalam pemilukada tersebut di atas, telah diatur oleh peraturan
perundang-undangan pemilukada, antara lain :
a. Peraturan KPU No.68 Tahun 2009 Pasal 9 ayat (2) huruf f, jo
Surat Keputusan KPU Kabupaten Gowa No.2 Tahun 2010 tentang
Pedoman Tehnis Tata Cara Pencalonan Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Gowa Tahun 2010,
Bab III Pasal 9 ayat (2) huruf c point f yang berbunyi :
“Apabila terdapat pengaduan atau laporan tentang ketidakbenaranijazah bakal pasangan calon di semua jenjang pendidikan,kewenangan atas laporan tersebut diserahkan kepada pihak
39
Pengawas Pemilu dan Kepolisian, sampai dengan terbitnyaputusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap” ;
b. Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan,
Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah, antara lain :
Pasal 111 :
Ayat (5) : “Dalam hal laporan yang bersifat sengketamengandung unsur tindak pidana, penyelesaiannya diteruskankepada aparat penyidik” ;
Ayat (7) : “Laporan yang mengandung unsur tindak pidanasebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah memperolehputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap,yang berakibat calon terpilih tidak memenuhi persyaratan,ditindaklanjuti dengan pembatalan pasangan calon oleh DPRD” ;
Pasal 114 : “Pemeriksaan atas tindak pidana dalam Peraturan Pemerin-tah ini dilakukan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, oleh karena alasan gugatan
Penggugat didasarkan atas dugaan tindak-pidana yang prosedur penyelesaiannya
telah diatur secara khusus di dalam peraturan pemilukada dan menjadi wewenang
pengadilan di lingkungan Peradilan Umum, maka gugatan Penggugat dengan alasan
tersebut adalah tidak tepat untuk diajukan ke Peratun. Argumentasinya adalah apabila
gugatan Penggugat dapat diterima dan diperiksa pokok perkaranya, berlaku ketentuan
Pasal 85 ayat (4) UU No.5/1986 yang berbunyi sebagai berikut :
“Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan persangkaanterhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu dipalsukan olehnya,Hakim Ketua Sidang dapat mengirimkan surat yang bersangkutan kepadapenyidik yang berwenang, dan pemeriksaan sengketa tata usaha negaradapat ditunda sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan” ;
40
Berdasarkan ketentuan Hukum Acara Peratun di atas, proses pemeriksaan
perkara di Peratun yang mengandung unsur tindak pidana harus ditunda (tootnader)
dalam waktu yang cukup lama karena menunggu putusan pidananya memperoleh
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Dengan demikian terjadi persoalan
hukum apabila di satu sisi substansi pidana yang dijadikan alasan utama dalam
pengujian penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPUD ke Peratun belum
memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) sementara Peratun harus
segera mengeluarkan putusan terkait dengan penetapan tersebut untuk memberikan
kepastian hukum kepada KPUD untuk melanjutkan tahapan pemilukada selanjutnya
Baik perkara pertama maupun perkara kedua diatas pada kenyataannya
melahirkan persoalan dalam konteks pelaksanaan putusannya ketika telah diputus
oleh Majelis Hakim. Selain kedua perkara tersebut, banyak perkara sengketa
pemilukada yang diuji oleh PTUN lain selain di PTUN Makassar menimbulkan
persoalan hukum akibat putusan PTUN tidak dilaksanakan oleh KPUD sebagai pihak
Tergugat. Seperti kasus pemilukada Toraja Utara di atas di mana KPUD Toraja Utara
tidak melaksanakan putusan schoorsing yang diputus oleh PTUN Makassar.
Pada perkara lain di PTUN Mataram, yakni perkara dengan nomor putusan
PTUN Mataram Nomor 31/G/2010/PTUN.MTR jo putusan PTTUN Surabaya Nomor
180/B/2010/PT.TUN.SBY tergugat dalam hal ini KPUD Lombok Tengah tidak
melaksanakan putusan PTUN Mataram yakni menerbitkan SK Penetapan Pasangan
yang baru yang mengikutsertakan nama penggugat sebagai calon bupati Lombok
Tengah. Pada perkara lain di PTUN Kupang, dengan nomor perkara 14/g/2010/ptun-
kpg, KPUD Kabupaten Timur Tengah Utara juga tidak melaksanakan putusan PTUN
41
Kupang yang memerintahkan untuk menerbitkan SK Penetapan untuk mengganti SK
Penetapan yang sudah dibatalkan oleh PTUN Kupang.
Terkait dengan pentingnya penegakan hukum administrasi dalam Pemilukada
khususnya dalam pengujian penetapan pasangan calon kepala daerah tergambar dari
kondisi pemilukada Sulawesi Selatan yang memunculkan beberapa persoalan antara
lain:171. Adanya parpol/gabungan parpol yang mengusung lebih dari satu pasangan
calon, 2. Penarikan dukungan dari parpol pengusung terhadap calon yang telah
dinyatakan lolos verifikasi oleh KPUD.3. Ketidakpuasan sebagian komunitas
pendukung pasangan calon yang tidak puas terhadap beberapa keputusan KPUD.
Ketiga kasus sebagaimana dalam laporan KPUD Provinisi Sulawesi Selatan tersebut
sangat erat kaitannya dengan pengujian penetapan KPUD tentang Penetapan
Pasangan calon kepala daerah yang diuji oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dengan
menggunakan Hukum Administrasi sebagai alat pengujian.
Secara filosofis konstitusional, sebagai negara hukum, maka setiap dimensi
kehidupan berbangsa dan bernegara harus diatur dan berlandaskan hukum, bukan
berdasarkan kekuasaan. Dalam perspektif hukum administrasi, proses pengelolaan
kekuasaan pemerintahan diperlukan sebuah tatanan dan hukum untuk menghindari
terjadinya kesewenang-wenangan (willkeur) oleh negara atau penyalahgunaan
wewenang (detournament de pouvouir). Menurut H.D. Van wijk18, secara global,
hukum administrasi negara merupakan instrument yuridis pemerintah untuk secara
17Dikutip dari Laporan Pilkada KPUD Sulawesi Selatan, 2006
18 Irfan Fachrudin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap tindakan Pemerintah. Alumni. Bandung. 2004.
hal.133-134
42
aktif terlibat dalam kehidupan bersama masyarakat dan merupakan hukum yang dapat
digunkan oleh masyarakat untuk mempengaruhi dan mendapat perlindungan dari
pemerintah. Beberapa konflik yang terjadi dalam pemilukada mengandung aspek-
aspek yang berhubungan dengan penegakan hukum administrasi, Misalnya dalam hal
KPUD mengeluarkan Keputusan penetapan pasangan calon yang lolos verifikasi
untuk menjadi pasangan resmi. Karena sifatnya dalam bentuk Surat Keputusan
(beschikking), maka memiliki peluang untuk digugat di Peratun. Persoalan yang
muncul adalah pengelolaan penyelesaian sengketa administrasi dalam konteks
pemilukada belum berjalan secara sistematis dan komprehensif. Hal ini disebabkan
beberapa hal;
Pertama, masih terbatasnya pemahaman pemangku kepentingan
(stakeholeders) pemilukada tentang sengketa administrasi, contoh paling nyata adalah
dalam RUU Pemilukada yang saat ini dibahas oleh DPR yang drafnya disusun oleh
Pemerintah menyebutkan bahwa penolakan terhadap keputusan KPUD tentang
penetapan bakal calon menjadi calon maka dapat diajukan sengketa di Pengadilan
Negeri. Dalam Pasal 76 ayat 2-5 RUU Pemilukada19 (revisi UU.32 Tahun 2004)
disebutkan bahwa:
(1)Calon yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)diumumkan secara luas paling lambat 7 (tujuh) hari sejak selesainyapenelitian.
(2)Terhadap penetapan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calonyang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan hasil penetapan calonkepada Pengadilan Negeri paling lambat 3 (tiga) hari setelah pengumumansebagaimana dimaksud pada ayat (2).
19Naskah RUU Pemilukada bulan Februari 2012
43
(3)Pengadilan Negeri memutus sengketa hasil penetapan calon palinglambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonankeberatan dari Calon.
(4)Putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifatfinal dan tidak dapat diajukan upaya hukum lainnya
Hal ini menunjukkan betapa pemerintah pun tidak memahami bahwa sengketa
terhadap keputusan KPUD adalah sengketa administrasi yang menjadi wewenang
Peratun, bukan kompetensi pengadilan umum.
Kedua, proses penyelesaian sengketa administrasi pemilukada tidak diatur
secara komprehensif agar mendapatkan kepastian hukum dalam waktu relatif singkat
supaya tidak menganggu jalannya persiapan pemilukada. Selain itu banyak tindakan-
tindakan penyelenggara pemilukada yang mengakibatkan kerugian bagi publik namun
tidak diselesaikan melalui penegakan hukum administrasi negara dalam hal ini
Peratun.
Ketiga, politik hukum peraturan perundang-undangan tentang pemilukada
belum memberi ruang yang siginifikan terhadap penegakan hukum administrasi
negara ketika terjadi sengketa pemilukada. Dalam hal ini banyak sekali aturan yang
menjadi pedoman pelaksanaan pemilukada tidak selaras atau tidak kompatibel
dengan mekanisme penegakan hukum administrasi dalam hal ini hukum acara di
peradilan tata usaha negara. Keempat, pelembagaan hukum dalam pemilukada juga
gagal karena secara substansi UU. 32 tahun 2004 - maupun Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah20 - tidak secara jelas mengatur proses hukum, -
20Lihat selengkapnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
44
baik materi maupun formil- yang bisa ditempuh ketika berhadapan dengan
pelanggaran atau persoalan hukum dalam pemilukada.
Misalnya dalam persoalan Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah, UU.
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pada Pasal 61 yang mengatur
penetapan pasangan calon kepala daerah, tidak mengatur mekanisme hukum apabila
ada pasangan yang keberatan tentang keputusan KPUD tentang penetapan pasangan
calon. Begitu juga dengan tahapan lainnya. Karena tidak jelasnya mekanisme hukum
yang mengatur, maka formula penyelesaian sengketa akibat keputusan KPUD sering
berakhir kepada bentrokan dan anarkhisme seperti yang terjadi di Pemilukada
Mojokerto, Pemilukada di Papua, Pemilukada di Kabupaten Gowa, Pemilukada di
Kabupaten Tanah Toraja Utara dan lain-lain. Bahkan ketentuan yang mendefinisikan
tentang Sengketa Pemilukada sampai saat ini belum diatur dalam ketentuan
perundang-undangan manapun yang terkait dengan pemilihan kepala daerah. Kelima,
sanksi hukum administrasi atas terjadinya pelanggaran baik yang dilakukan oleh
peserta pemilukada maupun penyelenggara pemilukada tidak memiliki efek jera,
sehingga muncul ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan terhadap sengketa
administrasi.
Adanya pengujian penetapan KPUD tentang pasangan calon kepala daerah
oleh Peratun serta persoalan yang muncul dalam proses pengujian tersebut
sebagaimana tergambar dalam perkara di atas menunjukkan ada beberapa persoalan
penegakan hukum administrasi dalam proses penetapan pasangan calon kepala
daerah oleh KPUD. Sehingga berdasarkan uraian di atas, maka isu penelitian ini
adalah bagaimana penegakan hukum hukum administrasi terhadap sengketa
45
penetapan pasangan calon oleh KPUD dan sejauhmana mana efektifitas pelaksanaan
putusan Peratun terhadap sengketa tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah penegakan Hukum Administrasi terhadap penyelesaian
sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPUD ?
2. Sejauhmana efektifitas pelaksanaan Peratun terhadap sengketa
penetapan pasangan calon kepala daerah?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang penegakan Hukum
Administrasi terhadap penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon
kepala daerah oleh KPUD dan pihak yang terkait dengan pelaksanaan
pemilukada.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan efektifitas pelaksanaan putusan
Peratun terhadap sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah
46
D. Kegunaan Penelitian
1. Memberikan masukan dan informasi untuk KPUD tentang penegakan
Hukum Administrasi terhadap penyelesaian sengketa penetapan
pasangan calon kepala daerah oleh KPUD
2. Untuk memberikan masukan, saran dan informasi kepada KPUD dan
seluruh pemangku kepentingan dalam pemilihan kepala daerah tentang
efektifitas pelaksanaan putusan Peratun terhadap sengketa penetapan
pasangan calon kepala daerah
47
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Negara Hukum Demokrasi
Hukum merupakan instrumen berjalannya negara melalui kekuasaan yang
dimilikinya. Menurut Mahfud MD, demokrasi sebagai suatu sistem politik sangat erat
sekali hubungannya dengan hukum. Demokrasi tanpa hukum tidak akan terbangun
dengan baik, bahkan mungkin menimbulkan anarki, sebaliknya hukum tanpa sistem
politik yang demokratis hanya akan menjadi hukum yang elitis dan represif21
Kaitan hubungan hukum dengan rakyat maka disadari bahwa sebagai salah
satu unsur negara selain wilayah dan pemerintah, rakyat harus dihubungkan dengan
ikatannya dengan negara. Ikatan seseorang yang menjadi warga negara itu
menimbulkan suatu hak dan kewajiban baginya. Karena hak dan kewajiban itu, maka
kedudukan seseorang warga negara dapat disimpulkan dalam empat hal yang disebut
sebagai berikut;22 1) Status Positif, yakni seorang warga negara ialah memberi hak
kepadanya untuk menuntut tindakan positif daripada negara mengenai perlindungan
atas jiwa, raga, milik, kemerdekaan dan sebagainya. 2) Status Negatif, yakni seorang
warga Negara akan memberi jaminan kepadanya bahwa negara tidak boleh campur
tangan terhadap hak-hak asasi warga negaranya. Campur tangan negara terhadap
21Moh. Mahfud M.D. . Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogjakarta: Gama Media Offset. 1991. Hlm. 1
22Moh. Kusnadi & Bintan R. Saragih. k“ Ilmu Negara”. Gaya Media Pratama. Jakarta .cet-4. 2000. Hlm. 109
48
hak-hak asasi warga negaranya terbatas untuk mencegah timbulnya tindakan yang
sewenang-wenang daripada Negara.3). Status Aktif, yakni memberi hak kepada
setiap warga negaranya untuk ikut serta dalam pemerintahan. 4). Status Positif, yakni
merupakan kewajiban bagi setiap warga negara untuk mentaati dan tunduk kepada
segala perintah negaranya. Keempat hal tersebut menunjukkan bahwa rakyat dalam
hal ini warga Negara tidak adapat dipisahkan dari negara , tanpa warga negara, maka
warga Negara akan merupakan suatu fiksi besar23.
Sebaliknya di antara keduanya, yakni relasi warga negara dengan negara harus
memiliki hukum sebagai norma penertib di antara keduanya. Hukumlah yang dijadikan
rakyat untuk melakukan “negosiasi’ dan agregasi kepentingan. Hukum menjadi piranti
untuk mengontrol dan membatasi kekuasaan. Untuk menjamin kekuasaan yang
dimiliki oleh setiap penyelenggara negara akan dilaksanakan sesuai dengan alasan
pemberian kekuasaan itu sendiri serta mencegah tidak terjadinya penyalahgunaan
kekuasaan, maka pemberian dan penyelenggaraan kekuasaan itu harus berdasarkan
hukum. Inilah makna prinsip negara hukum baik dalam konteks rechtsstaats maupun
rule of law. Hukum menjadi piranti lunak (software) yang mengarahkan, membatasi,
serta mengontrol penyelenggaraan negara24
Tanpa hukum, negara bisa sewenang-wenang sehingga hukum dalam konteks
ini adalah batas-batas kebebaskan antara individu dan penguasa dalam setiap
interaksi hingga hukum menjadi perlindungan dan jaminan tercapainya kesejahteraan
23 Juniarso Ridwan & Achmad Sodik S, “ Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Publik”. Nuansa. Bandung.
2010.hlm.47
24 Mahfud MD, Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP
Partai HANURA. Jakarta, 8 Januari 2009. Hlm. 2
49
umum. Konsep kesejahteraan negara tidak hanya mencakup deskripsi mengenai
sebuah cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan social.
Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang
menekankan setiap orang harus memperoleh pelayanan social sebagai haknya25.
Akses untuk memperoleh pelayanan sosial, politik dan ekonomi tersebut memerlukan
konsepsi hubungan warga negara dan warga negara yang lebih demokratis, akuntabel
dan partipasipatif.
Demokratisasi hubungan warga negara dengan negara cukup penting untuk
menjaga filosofi bahwa kedaulatan rakyat merupakan sumber utama dari kekuasaan
yang dimiliki negara. Sehingga hukum yang digunakan negara dalam berkuasa harus
juga memiliki karakter hukum yang demokratis. Dengan demikian diperlukan konsep
negara demokratis untuk menjaga hubungan negara dan warga negara.
Konsep negara hukum demokratis inilah yang saat ini banyak dijadikan rujukan
dalam mengimplementasikan praktik negara hukum di tengah gelombang
demokratisasi. Beberapa literatur dan pendapat pakar hukum berpendapat bahwa
sesungguhnya tidak ada ruang yang bisa memberi celah berpisahnya konsep negara
hukum dan demokratisasi. Sehingga konsep negara hukum selalu identik dengan
demokratisasi. Para ahli hukum pasca abad 21 lebih cenderung menggunakan istilah
Negara hukum yang demokratis. Alasannya sederhana bahwa hukum ketika menjadi
instrument negara dalam menata kekuasaan tidak bisa bekerja tanpa prinsip-prinsip
demokrasi seperti keterbukaan, persamaan hak, partisipasi, akuntabilitas. Sebaliknya
25Edy Suharto, Peta dan Dinamika Welfare State…sebagaimana dikutip Riawan Tjandra, Peradilan Tata Usaha
Negara;mendorong terwujudnya Pemerintahan yang bersih dan Berwibawa, Universitas Atmajaya Yogyakarta.
2009. Hlm. 2
50
praktek demokrasi yang mengedepankan kesetaraan, keterbukaan, partisipasi akan
mengalamai euphoria tak terbatas dan melahirkan liberalisme demokrasi apabila tanpa
disertai oleh tatanan hukum yang beradab.
Konsep negara hukum memiliki akar historis dalam memperjuangkan nilai-nilai
demokratis26. Konsepsi tentang negara hukum secara garis besar terdiri dari 2 konsep,
yakni aliran the rule of law dan rechtstaat. Istilah rechtstaat mulai popular di Eropa
sejak abad XIX meskipun pemikiran itu sudah lama adanya. Sedangkan istilah the rule
of law mulai popular dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885
dengan judul, “Introduction to the study of the law of the constitution”. Pada abad 19,
Freidich Julius Stahl memunculkan konsep Negara hukum rechstaat yang diilhami
oleh Immanuel Kant. Dalam suasana alam pikiran negara hukum liberal, Friederich
Julius Stahl dalam karya ilmiahnya yang berjudul Philosophie des Rechts yang terbit
tahun 1878 berusaha menyempurnakan konsep negara hukum liberal dari Immanuel
Kant, namun masih tetap memperhatikan aspek formalnya saja. Friederich Julius Stahl
menyusun unsur-unsur utama dari negara hukum formal sebagai berikut :
a) Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;b) Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan
negara harus berdasarkan teori trias politica Pemerintahmenjalankan tugasnya berdasarkan atas undang-undang(wetmatigheid van bestuur);
c) Apabila pemerintah dalam menjalankan tugasnya berdasarkanundang-undang masih melanggar hak asasi (campur tanganpemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka adapengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya. 27
26A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan; Mahkamah Agung di bawah Soeharto,.Elsam. Jakarta. , 2004. Hlm.42
27 Padmo Wahjono, , Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind. Hill Co., Jakarta, 1989. hlm. 151
51
Agak berbeda dengan konsepsi negara hukum di Eropa Konteninetal, Pada
wilayah anglosaxon muncul pula konsep negara hukum (rule of law) dari AV Dicey,
dengan unsur-unsur sebagai berikut:
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy if the law); tidak adanyakekuasaan sewenang-wenang (abcence of arbitrary power) dalam artibahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law).Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa muapun pejabat; dan
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain olehUndang-undang dasar) serta keputusan-keputusan Pengadilan28
Perbedaan yang menonjol dari konsep rechtsstaat dengan rule of law adalah
bahwa konsep rule of law tidak mengenal badan peradilan khusus bagi pejabat publik,
sedangkan pada sistem rechtsstaat mengenal badan peradilan khusus bagi pejabat
negara dalam mengisi tindakannya melaksanakan tugas kenegaraan berupa badan
peradilan administrasi tersendiri dan merupakan suatu ciri spesifik penting yang
menonjol. Philipus M. Hadjon mengakui adanya perbedaan dan persamaan antara
konsep rechtsstaat dan the rule of law. Kedua konsep itu ditopang oleh sistem hukum
yang berbeda. Konsep rechtsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutisme
sehingga bersifat revolusioner, bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut
“civil law” atau “modern Roman Law”, dengan karakteristik administratif. Sebaliknya
konsep the rule of law berkembang secara evolusioner, bertumpu pada sistem hukum
“common law”, dengan karakteristik judicial29.
Dengan demikian, perbedaan keduanya ada pada titik itu, yakni Rechtsstaat
menekankan pada pembatasan kekuasaan sementara Rule of Law menekankan pada
28 Miriam Budiardjo, ,Dasar-dasar ilmu Politik, , Gramedia, Jakarta. 1982.hlm, 58
29Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya, , 1987.hlm. 71-74.
52
Perlindungan hak warga. Namun apabila dicermati secara mendalam, keduanya
memiliki persamaan yakni dalam konteks perlindungan hukum terhadap warga. Sebab
pembatasan kekuasaan oleh Rechtsstaat pun juga bertujuan untuk melindungi rakyat.
Rechstaat adalah konsep negara hukum yang mendekati konsep demokrasi.
Menurut catatan Padmo Wahjono, sejalan dengan perkembangan teori
ketatanegaraan konsep rechtstaat sering dikaitkan dengan pengertian demokratis30.
Atas dasar demokratis, rechtstaat dikatakan sebagai “Negara kepercayaan timbal
balik” (de staat van het weder zidjs vertrouwen) yaitu kepercayaan dari rakyat
pendukungnya bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan disalahgunakan dan
kepercayaan dari penguasa bahwa dalam batas kekuasaannya dia mengharapkan
kepatuhan dari rakyat pendukungnya31. Karena Negara hukum identik dengan
indikator-indikator demokratisasi, maka konsep relasi warga Negara dan Negara
dalam konteks Negara hukum secara substansi memiliki kandungan dengan asas-
asas demokrasi.
Dalam konsep rechtstaat misalnya asas-asas demokratis yang melandasi
rechstaat menurut S.W. Couwenberg meliputi 5 asas32, yaitu asas hak-hak politik (het
beginsel dan de politieke grondrechten), asas mayoritas, asas perwakilan, asas
pertanggung jawaban dan asas public (openbaarheidbeginsel). Asas
pertanggungjawaban Negara atas warga Negara selaras dengan prasyarat Negara
hukum rechtstaat menurut Stahl, yakni apabila dalam menjalankan tugasnya
30Padmo Wahjono, , Indonesia Negara berdasarkan atas Hukum. Gahlia Indonesia, cetakan kedua. Jakarta. 1986.
Hlm. 8
31C.W. Van der Port dalam Hadjon, Op. cit. hlm.76
32S.W.Couwenberg, dalam Hadjon. Ibid
53
berdasarkan undang-undang pemerintah masih melanggar hak asasi karena campur
tangan pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang, maka ada pengadilan
administrasi yang akan menyelesaikan33.
Negara hukum Rechstaat yang digagas oleh Julius Stahl di atas
menitikberatkan pada kekuasaan Negara yang harus dibatasi dan dikontrol ketika
negara melaksanakan kewajibannya. H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt menyebutkan
prinsip-prinsip rechtstaat dan prinsip-prinsip demokrasi berikut ini:
a. Prinisip-prinsip rechtstaat:
1. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; pemerintah hanya memiliki
kewenangan yang secara tegas diberikan oleh
2. Hak-hak asasi; terdapat hak-hak asasi manusia yang sangat
fundamental yang harus dihormati oleh pemerintah
3. Pembagian kekuasaan; kewenangan pemerintah tidak boleh dipusatkan
pada satu lembaga, tetapi harus dibagi-bagi pada organ-organ yang
berbeda agar saling mengawasi yang dimaksudkan untuk menjaga
keseimbangan
4. Pengawasan lembaga kehakiman; pelaksanaan kekuasaan
pemerintahan harus dapat dinilai aspek hukumnya oleh hakim yang
merdeka34
b. Prinsip-prinsip Demokrasi:
33 Stahl dalam Azhary, Negara Hukum Indonesia-analisis yuridis normative tentang unsur-unsurnya. UI Press.
1995. Jakarta. Hlm. 46
34 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van administratief Recht, (Utrecht;Uitgeverij lemma BV.,
1995) dalam Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Rajawali Press. Jakarta. 2006. hlm 4
55
sehingga secara adil tiap manusia memperoleh kesempatan secara luas dan sama
untuk mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh36 . Pengaturan
yang menyebutkan Indonesia sebagai Negara Hukum tidak diatur dalam batang tubuh
UUD NRI 1945 melainkan diatur dalam penjelasan UUD NRI 1945. Di dalam
penjelasan umum UUD NRI 1945 mengenai Sistem pemerintahan Negara disebutkan
bahwa: “sistem pemerintahan negara yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar
ialah bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat). Negara
Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka
(machtsstaat).
Penyertaan kata rechtsstaat di belakang kata negara hukum menyiratkan
makna bahwa prinsip negara hukum yang dianut oleh UUD NRI 1945 tidak
menyimpang dari negara hukum pada umumnya genus begrip37. Sekarang, dalam
pasca perubahan UUD NRI 1945, ketentuan mengenai hal itu juga sudah diadopsikan,
yaitu dalam rumusan pasal 1 ayat (3) hasil Perubahan Ketiga UUD NRI 1945, yaitu:
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”38. Selain penegasan bahwa negara
indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
NRI 1945.
36 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan
dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar
Maju, Bandung, 2000, hlm. 190
37Bambang Arumanadi dan Sunarto, Konsepsi Negara Hukum Menurut UUD 1945, IKIP Semarang Press,
Semarang, 1990 hlm 49
38 Jimly Assidiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
RI Jakarta, 2006. hlm. 145
56
Sejak Amandemen II UUD NRI 1945, negara kita adalah negara hukum dan
sekaligus juga mengakui bahwa yang berkuasa adalah rakyat (demokrasi). Hal ini
dapat dibaca dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi
“Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan menurut UUD” dan “Negara Indonesia
adalah negara hukum”. Berdasar pasal tersebut, maka jelas Negara Indonesia adalah
negara hukum yang mengakui bahwa rakyat yang berkuasa. Ciri-ciri atau prinsip-
prinsip suatu negara hukum yang juga tercantum di dalam UUD NRI 1945 adalah
adanya perlindungan HAM, adanya pembagian kekuasaan, pemerintahan
berdasarkan atas hukum, persamaan hak di depan hukum dan pemerintahan dan
kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
B. Nomokrasi
Dalam paham negara hukum versi UUD NRI 1945 pasca amandemen,
dikonsepsikan bahwa hukum yang memegang komando tertinggi dalam
penyelenggaraan negara. Artinya yang memimpin dalam penyelenggaraan negara itu
adalah hukum itu sendiri sesuai dengan prinsip ‘the Rule of Law, and not of Man’, yang
sejalan dengan pengertian ‘nomocratie’, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum,
‘nomos’.39.
Dalam paham negara hukum yang demikian harus diadakan jaminan bahwa
hukum itu sendiri dibangun dan ditegakkan menurut.prinsip-prinsip demokrasi. Karena
prinsip supremasi hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal
dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara hukum hendaklah dibangun dan
39Ibid Hlm. 55
57
dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat
(democratische rechtsstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan
ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat). Prinsip
Negara Hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi
yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Karena itu perlu ditegaskan pula bahwa
kedaulatan berada di tangan rakyat yang dilakukan menurut Undang-Undang Dasar
(constitutional democracy) yang diimbangi dengan penegasan bahwa negara
Indonesia adalah negara hukum yang berkedaulatan rakyat atau demokratis
(democratische rechtsstaat)40
Perpaduan antara negara hukum dan demokrasi yang saat ini banyak diadopsi
oleh negara-negara demokratis inilah yang dikenal dengan Nomokrasi. Ide Negara
Hukum, selain terkait dengan konsep ‘rechtsstaat’ dan ‘the rule of law’, juga berkaitan
dengan konsep ‘nomocracy’ yang berasal dari perkataan ‘nomos’ dan ‘cratos’.
Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan ‘demos’ dan ‘cratos’ atau ‘kratien’
dalam demokrasi. ‘Nomos’ berarti norma, sedangkan ‘cratos’ adalah kekuasaan. Yang
dibayangkan sebagai faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah
norma atau hukum. Karena itu, istilah nomokrasi itu berkaitan erat dengan ide
kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi41 .
Negara hukum demokrasi dan nomokrasi, jika dianut bersama-sama dalam
sebuah negara akan melahirkan konsep negara hukum yang demokratis. Dari sisi
pemahaman kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara berada di
40Ibid
41Ibid. hlm. 121
58
tangan rakyat. Kekuasaan tertinggi di tangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang
mereka tentukan sendiri secara bersama-sama yang dituangkan dalam aturan hukum
yang berpuncak pada rumusan konstitusi sebagai produk kesepakatan tertinggi dari
seluruh rakyat. Indonesia sebagai Negara Hukum yang Demokratis. Sehingga
kedaulatan yang dianut dalam UUD NRI 1945 adalah kedaulatan rakyat sekaligus
kedaulatan hukum.
Sebagai negara hukum, segala tindakan penyelenggara negara dan warga
negara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Hukum dalam hal ini adalah
hirarki tatanan norma yang berpuncak pada konstitusi, yaitu UUD NRI 1945. Dengan
demikian, pelaksanaan demokrasi juga harus berdasarkan pada aturan hukum yang
berpuncak pada UUD NRI 1945. Sebagai pelaksanaan dari konsepsi negara hukum
yang demokratis, diterapkan prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antara
lembaga negara (check and balances system)42
Meskipun dalam konstitusi yakin pada pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945 telah jelas
diatur bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, namun prinsip negara hukum
belum sepenuhnya dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.
Kenyataan menunjukkan bahwa hukum terkadang justru “dikalahkan” oleh kekuatan-
kekuatan lain, misalnya kekuatan politik. Anarkisme massa di berbagai daerah,
oligarkhi kekuasaan dan munculnya para demagog menjadi catatan kelam perjalanan
demokrasi yang abai terhadap aturan, khususnya terhadap norma-norma konstitusi. 43
42Janedjri M. Gaffar, Demokrasi dan Nomokrasi, Harian Seputar Indonesia, edisi 19 Desember 2006
43Mahfud MD, dalam orasi ilmiah berjudul Demokrasi dan Nomokrasi sebagai Pilar Penyangga Konstitusi, pada
wisuda Universitas Nasional (UNAS) periode I tahun akademik 2010/2011, di Jakarta Convention Center (JCC). 3
Maret 2011
59
Untuk itu, Mahfud menekankan pentingnya keseimbangan antara demokrasi
(kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum). Kedaulatan rakyat tanpa
dikawal oleh hukum sudah dapat dipastikan akan mengarah pada kondisi tidak
seimbang. Tanpa upaya penyeimbangan, terutama di masa transisi ini, demokrasi
berpeluang menjadi liar dan justru akan membenamkan hukum44. Relasi antara
kedaulatan rakyat yang terimplementasi dalam nilai-nilai demokrasi dengan
kedaulatan hukum (nomokrasi) yang terimplementasi dalam nilai-nilai negara hukum
harus diselenggarakan secara beriringan dengan prinsip keseimbangan.
Konsepsi yang sama dengan Nomokrasi, Jimly Assidiqie mengenalkan konsep
istilah “democratische rechtsstaat” atau constitutional democracy”, yang
mempersyaratkan bahwa prinsip negara hukum itu sendiri haruslah dijalankan
menurut prosedur demokrasi yang disepakati bersama atau dengan konsepsi lain
bahwa demokrasi harus berdasar hukum. Menurut Jimly45, gagasan demokrasi
berdasar hukum yang berdasar atas hukum (”constitutional democracy”) mengandung
empat prinsip pokok, yaitu: (i) adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam
kehidupan bersama, (ii) pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau
pluralitas, (iii) adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama,
dan (iv) adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan
yang ditaati bersama itu.
Dalam konteks kehidupan bernegara, di mana terkait pula dimensi-dimensi
kekuasaan yang bersifat vertikal antara institusi negara dengan warga negara,
44Ibid
45Jimly Assidiqie, Pilar Demokrasi,Kontitusi Press. Jakarta. 2005. hlm. 246
60
keempat prinsip pokok tersebut lazimnya dilembagakan dengan menambahkan
prinsip-prinsip negara hukum (nomokrasi): (v) pengakuan dan penghormatan terhadap
hak asasi manusia, (vi) pembatasan kekuasaan melalui mekanisme pemisahan dan
pembagian kekuasaan disertai mekanisme penyelesaian sengketa ketatanegaraan
antar lembaga negara, baik secara vertikal maupun horizontal, (vii) adanya peradilan
yang bersifat independen dan tidak memihak (independent and impartial) dengan
kewibawaan putusan yang tertinggi atas dasar keadilan dan kebenaran, (viii)
dibentuknya lembaga peradilan yang khusus untuk menjamin keadilan bagi warga
negara yang dirugikan akibat putusan atau kebijakan pemerintahan (pejabat
administrasi negara), (ix) adanya mekanisme “judicial review” oleh lembaga peradilan
terhadap norma-norma ketentuan legislatif, baik yang ditetapkan oleh lembaga
legislatif maupun oleh lembaga eksekutif, dan (x) dibuatnya konstitusi dan peraturan
perundang- undangan yang mengatur jaminan-jaminan pelaksanaan prinsip-prinsip
tersebut di atas, disertai (xi) pengakuan terhadap asas legalitas atau due process of
law dalam keseluruhan sistem penyelenggaraan negara46.
C. Hukum Administrasi
1. Definisi Hukum Administrasi
Banyak pemikir dan tokoh hukum yang telah mengemukakan arti hukum
administrasi. Sebelum membahas beberapa pendapat tentang definisi Hukum
46Ibid
61
Administrasi, terlebih dahulu dibahas tentang perbedaan konsepsi “administrasi” di
lingkungan Hukum Administrasi Negara dengan “administrasi” pada disiplin ilmu
lainnya, termasuk dalam hal ini Ilmu Administrasi Negara.
Istilah administrasi berasal dari kata latin “ad+ministrare” yang mempunyai
pengertian dalam bahasa Indonesia; membantu, melayani dan atau memenuhi. (Kata
sifatnya administrativus, dan kata bendanya administratio). Kata latin administrare ini
dalam bahasa Inggrisnya ialah Administration. Di Indonesia Istilah Inggris tersebut
diterjemahkan menjadi Administrasi.47
Istilah Administrasi juga dikenal dalam warisan zaman jajahan Penjajahan
Belanda, Administratie, yang berarti; elke stelselamtige ordening en schriftelijke
vastlegging van gegevens, samen gesteld met het doel een overzicht van deze
gegevens te verkrijgen in hun gehel en hun oderling verband ( Setiap penyusunan
keterangan-keterangan secara sistematis dan pencatatannya secara tertulis dengan
maksud untuk memperoleh suatu ikhtisar mengenai keterangan-keterangan itu dalam
keseluruhannya dan dalam hubungannya satu sama lain)48. Pengertian ini menurut
Miftah Thoha hakekatnya sama dengan “tata usaha” dalam bahasa Indonesia, oleh
sebab itu untuk menghindari kesalahpahaman istilahnya, dianjurkan apabila yang
dimaksud itu kegiatan tata usaha janganlah dipergunakan istilah “administrasi”
melainkan tata usaha saja49
47 Miftha Thoha, , Aspek-Aspek Pokok Ilmu Administrasi;suatu bunga rampai bacaan,Balai Aksara,. 1990. Hlm.10
48Ibid
49Ibid
62
Sementara dalam konteks administrasi negara, penggunaan istilah
“administrasi” dan “tata usaha” cenderung memiliki makna yang sama. Hal ini dapat
dilihat dari istilah yang digunakan dalam UU Peradilan Administrasi di Indonesia
menggunakan istilah Undang-Undang Tentang Peradilan Tata usaha Negara nomor 5
tahun 1986 . Terhadap penggunaan “tata usaha” dalam UU ini, S.F. Marbun
mengemukakan bahwa istilah “tata usaha” lebih sesuai digunakan untuk pengertian
“administrasi dalam arti sempit”, yaitu kegiatan tulis-memulis, surat-menyurat, catat-
mencatat, ketik mengetik serta penyimpanan naskah-naskah yang hanya bersifat
teknis ketatausahaan belaka50. Sementara administrasi dalam arti luas yang
disimpulkan Rochmat Soemitro sebagai administrasi sebagai terjemahan
“administration” dari pengertian :
“…bestuur van de staat, de provincien, de waterschappen, degemeenten en grote maatschappijen. In de V.S. verstaat men onder ‘theadministration’ het gehele staatsbestuur, de president daaronder begrepen”. 51
(…pemerintah suatu negara, propinsi, subak, kota-kota, dan maskape-maskapebesar.)
Pendapat Miftah Thoha yang tetap membedakan secara tegas istilah
“administrasi” dengan “tata usaha” berbeda dengan Rochmat Soemitro dan S.F.
Marbun yang keduanya sepakat bahwa di dalam kegiatan “administrasi” telah
termasuk kegiatan “tata usaha”, dengan kata lain “tata usaha” sebagian dari kegiatan
“administrasi’. Penulis berpendapat bahwa dalam konteks “administrasi” di bidang
hukum pemerintahan, meskipun istilah “administrasi” cenderung sama dengan “tata
50 Marbun, S.F., , Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
1997,hlm 42-43.
51 Rochmat Soemitro, Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak di Indonesia, Eresco, Bandung, 1991, hlm. 5.
63
usaha” maka penggunaan administrasi lebih tepat karena memiliki akar istilah yang
jauh lebih luas dan otentik dibanding dengan “tata usaha”.
Sementara dikaitkan dengan istilah Ilmu Administrasi Negara dengan Hukum
Administrasi Negara, beberapa ahli hukum mengemukakan pendapatnya. Menurut
Philpus.Hadjon dkk52, istilah administrasi negara dalam Ilmu Administrasi Negara
meliputi seluruh kegiatan negara (legislatif, eksekutif dan yudisial); sedangkan
administrasi dalam hukum Administrasi Negara meliputi lapangan bestuur (lapangan
kegiatan negara di luar wetgeving dan rechtspraak) sehingga menurut Hadjon,
cakupan Ilmu administrasi negara lebih luas daripada Hukum Administrasi Negara.
Dalam penyebutan istilah Hukum Administrasi Negara, Hadjon berpendapat bahwa
dalam hukum administrasi, istilah “Negara” tidak perlu dan berlebihan karena dalam
istilah administrasi sudah mengandung konotasi pemerintahan/negara.
Kaitannya dengan HAN yang fokus di lapangan bestuur, N.E. Algra et al.
mengemukakan pengertian “pemerintah” dalam “arti sempit” yaitu “bestuur”, yang
meliputi bagian tugas pemerintah yang tidak termasuk tugas pembuatan undang-
undang (legislatif) atau tugas peradilan (yudikatif).53 Dalam pengertian ini
pemerintahan merupakan bagian dari badan perlengkapan dan fungsi pemerintahan,
yang bukan merupakan badan perlengkapan atau fungsi pembuat undang-undang dan
52Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta,
1999, hlm. 4
53 Algra, N.E., et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda - Indonesia, Binacipta, Jakarta, 1983, hlm.
50.
64
badan perlengkapan atau fungsi peradilan.54. Sementara Utrecht memberikan definisi
tentang administrasi Negara sebagai complex ambten/apparaat atau gabungan
jabatan-jabatan administrasi yang berada di bawah pimpinan Pemerintah
melaksanakan tugas yang tidak ditugaskan kepada badan-badan Pengadilan
Legislatif55
Terkait dengan perdebatan kata “administrasi”, penulis sependapat dengan
Hadjon dkk bahwa inti kajian dari Hukum Administrasi sudah mencakup dan memiliki
makna pemerintahan yang di dalamnya merupakan bagian dari negara, sehingga tidak
diperlukan lagi kata” negara” dalam nomenklatur Hukum Administrasi Negara, cukup
dengan hukum administrasi saja. Kata “administrasi” menurut penulis juga sudah
mewakil aktifitas-aktifitas ketatausahaan yang berlangsung dalam penyelenggaraan
pemerintahaan.
Sementara menurut menurut Logemann pengertian administratief recht adalah
: “de bijzondere regels, die naast het voor allen geldende burgerlijk recht beheersen de
wijze waarop de staatsorganisatie aan het maatschappelijk verkeer deelneemt”.56
(peraturan-peraturan khusus yang memberi wewenang kepada organisasi pemerintah
untuk turut mengambil bagian dalam pergaulan masyarakat, disamping peraturan
perdata yang berlaku). Selanjutnya secara konsepsional melihat perkembangan dan
54Belinfante, A.D., Kort begrip van het administratief recht, Terjemahan Boerhanoeddin Soetan Batoeah, Pokok-
pokok Hukum Tata Usaha Negara, Binacipta, Jakarta, 1983, hlm. 1 dan Philipus M. Hadjon, et al., Pengantar
Hukum Op. Cit. , hlm. 309.
55E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat -
Universitas Padjadjaran Bandung, 1960. Hal. 16
56Logemann, J.A.H., Het Staatsrecht van Indonesiae, van Hoeve S`Sravenhage, Bandung, 1954, hlm. 19.
65
dinamika hukum administrasi saat ini, maka Penulis sependapat dengan pengertian
hukum administrasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Sjachran Basah bahwa
Hukum Administrasi adalah “seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi
negara menjalankan fungsinya, yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap
tindak administrasi negara, dan melindungi administrasi negara itu sendiri.”57.
2. Fungsi Hukum Administrasi
Menurut Sjachran Basah, ada lima fungsi hukum dalam kaitannya dengan
kehidupan masyarakat,58 yaitu sebagai berikut :
a. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun suatu negara untuk
membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan
bernegara.
b. Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa.
c. Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk di dalamnya hasil-hasil
pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
d. Perfektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi
negara, maupun sikap tindak warga negara dalam kehidupan bernegara
dan bermasyarakat.
57Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1992,
hlm. 4
58 Sjachran Basah, , Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung,
1985.hlm. 23
66
e. Korektif, baik terhadap warga negara maupun administrasi negara dalam
mendapatkan keadilan.
Secara spesifik, yang terkait dengan fungsi Hukum Administrasi, menurut
Philipus M. Hadjon, ada tiga macam fungsi Hukum Administrasi, yakni fungsi normatif,
fungsi instrumental, dan fungsi jaminan.59 Ketiga fungsi ini saling berkaitan satu sama
lain. Fungsi normatif yang menyangkut penormaan kekuasaan memerintah jelas
berkaitan erat dengan fungsi instrumental yang menetapkan instrumen yang
digunakan oleh pemerintah untuk menggunakan kekuasaan memerintah dan pada
akhirnya norma pemerintahan dan instrumen pemerintahan yang digunakan harus
menjamin perlindungan hukum bagi rakyat
3. Tujuan Hukum Administrasi
Hukum administrasi merupakan instrument dari alat administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya selaku pelayan publik untuk mensejahterakan warga negara di
dalam negara yang menganut paham welfare state. Di dalam negara yang bertipe ini
tujuan hukum administrasi adalah sebagai dasar dalam pelaksanaan tugas alat
administrasi negara agar bekerja dengan benar dan adil.
Pada prinsipnya hukum administrasi bertujuan untuk mencapai berbagai tujuan
negara karena pada hakikatnya hukum administrasi merupakan seperangkat norma
yang mengatur dan memungkinkan alat administrasi negara dalam menjalankan
fungsinya. Beberapa tujuan hukum administrasi negara adalah60;
59Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar …op.cit. Hlm. 56
60Eni Kusdarini, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-asas umum Pemerintahan yang baik, UNY
Press. Yogyakarta 2011. Hlm. 17
67
a. Untuk melindungi warga negara terhadap sikap tindak alat administrasi
negara itu sendiri
b. Untuk melakukan kontrol terhadap alat administrasi negara agar mampu
mengetahui batas-batas dan hakikat kekuasaannya, tujuan dan sifat-sifat
dari kewajiban-kewajibannya, serta bentuk-bentuk sansi apabila
melanggar hukum.
c. Untuk mengendalikan dan mendisiplinkan proses operasionalisasi
pelaksanaan tugas dan fungsi keadministrasinegaraan oleh pihak alat
administrasi negara
Selain itu menurut Sjahran Basah perlindungan hukum administrasi terhadap
kepada warga negara ditujukan mengingat adanya kemungkinan-kemungkinan
terjadinya kerugian, akibat sikap tindak dari berbagai perbuatan melanggar hukum
yang dilakukan oleh administrasi negara61
D. Relevansi Hukum Administrasi Dalam Pelaksanaan Pemilukada
Sebagaimana diurai dalam pembahasan terdahulu bahwa esensi dari Hukum
Administrasi adalah untuk mengatur dan mengontrol kekuasaan dalam melaksanakan
urusan pemerintahan. Salah satu aspek pelaksanaan pemerintahan adalah
penyelenggaraan pemerintah di daerah yang dalam kajian negara demokratis biasa
disebut bagian dari desentralisasi. Desentralisasi akan didapat apabila kewenangan
61Ibid. Hlm. 18
68
mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan
oleh Pemerintah Pusat (central government), melainkan juga oleh kesatuan-kesatuan
pemerintah yang lebih rendah yang mandiri (zelftanding), bersifat otonomi (territorial
ataupun fungsional)62. Jadi desentarlisasi bukan sekedar pemencaran kewenangan,
tetapi juga pembagian kekuasaan untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan
pemerintah negara antara pemerintah pusat dan satuan-satuan pemerintah tingkat
lebih rendah63 Menurut Smith, sebagaimana dikutip Lili Romli, desentralisasi
diterapkan dengan beberapa tujuan. Pertama, desentralisasi diterapkan dalam upaya
untuk pendidikan politik. Kedua, untuk latihan kepemimpinan politik. Ketiga, untuk
memelihara stabilitas politik. Keempat, untuk mencegah konsentrasi kekuasaan di
Pusat. Kelima, untuk memperkuat akuntabilitas publik. Keenam, untuk meningkatkan
kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat64.
Sementara ada 3 alasan mengapa menerapkan kebijakan desentralisasi.
Pertama, untuk menciptakan efesiensi penyelenggaraan administrasi pemerintahan.
Kedua, untuk memperluas otonomi daerah. Ketiga, untuk beberapa kasus sebagai
strategi untuk mengatasi instabilitas politik65. Pemilihan Kepala daerah adalah
manifestasi dari desentralisasi politik yakni terjadinya distribusi kekuasaan dari pusat
ke daerah.
62 C.W. Van Der Pot, sebagaimana dikutip Ni’matul Huda, Otonomi Daerah;Filosofi, Sejarah Perkembangan dan
Problematikanya, Pustaka Pelajar. Yogyakarta.Cetakan ke-II. 2009. Hlm.85.
63Ibid .hlm. 86
64Lili Romli, Potret Otonomi.. Op. Cit.. hlm. 8
65Ibid.
69
Melalui Pemilukada kepala daerah terpilih mendapat legitimasi untuk mengelola
pemerintahan, sehingga salah satu fungsi dari Pemilukada adalah menjadi sarana
legitimasi. Pemilukada sebagai sarana legitimasi politik dengan alasan: pertama,
melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya bisa
memperbaharui kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemerintah dapat
pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warganya. Ketiga, dalam dunia modern para
penguasa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang
pemaksaan untuk mempertahankan legitimasi.66
Salah satu tugas pemerintah yang menjadi fokus kajian Hukum Administrasi
adalah pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Pemilukada
merupakan manifestasi pelaksanaan undang-undang adalah salah satu obyek Hukum
Administrsi karena dalam pelaksanaan Pemilukada terdapat aktivitas-aktivitas
administrasi yang dilakukan oleh aparatur pemerintah, dalam hal ini penyelenggara
Pemilukada sebagai pejabat tata usaha negara. Selain itu dalam Pemilukada juga
senantiasa muncul perbuatan tata usaha negara berupa keputusan dan kebijakan oleh
penyelenggara pemilu. Selanjutnya Pemilukada juga berpotensi melahirkan sengketa
administrasi negara akibat keputusan yang dilahirkan penyelenggara pemilu selaku
aparatur negara yang merugikan masyarakat.
Memelihara stabilitas dan memperkuat akuntabilitas publik adalah beberapa
relevansi hadirnya Hukum Administrasi dalam proses pelaksanaan pemilihan kepala
daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan pemilukada selama ini tidak luput
dari sengketa dan konflik yang mempengaruhi stabilitas social politik dan menganggu
66 Syamsuddin Haris, “ Strukutur, proses dan fungsi pemilihan umum: catatan pendahuluan dalam pemilihan
umum di Indonesia. PPW-LIPI, 1997. Hlm. 6-7
70
pelayanan kepada masyarakat. Beberapa konflik yang terjadi dalam pemilukada
mengandung aspek-aspek yang berhubungan dengan penegakan hukum administrasi.
Menurut Syamsuddin Haris, bahwa ada 5 (lima) sumber konflik potensial, baik
menjelang, saat peneylenggaraan, maupun pengumuman hasil pemilukada, yaitu67,
Pertama, konflik yang bersumber dari mobilisasi politik atas nama etnik, agama,
daerah dan darah. Kedua, konflik yang bersumber dari kampanye negative
antarpasangan calon kepala daerah. Ketiga, konflik yang bersumber dari premanisme
politik dan pemaksaan kehendak. Keempat, konflik yang muncul dari manipulasi dan
kecurangan penghitungan suara hasil pemilukada. Kelima, konflik yang bersumber
dari perbedaan penafsiran terhadap aturan main penyelenggara Pemilukada.
Sedangkan menurut A. Zaini Basri bahwa pada umumnya ragam konflik Pemilukada
bersumber pada tiga penyebab, yakni masalah politik uang, persoalan administrasi
pencalonan dan sengketa penghitungan suara68.
E. Landasan Hukum dan Teoritis Penegakan Hukum Administrasi
1. Landasan Hukum
Konstitusi dalam hal ini UUD NRI 1945 baik dalam pembukaan maupun batang
tubuh secara substansi telah mengatur adanya kewajiban negara dalam melindungi
warga negara dan segenap tumpah darah Indonesia. Negara Republik Indonesia
67Syamsuddin Haris, “ Mengelola Potensi Konflik Pilkada”. Kompas, 10 Mei 2005
68A. Zaini Bisri, “Tragedi Pilkada Depok”, Suara Merdeka, 8 Agustus 2005
71
sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 bertujuan
mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram,
serta tertib, yang menjamin persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum,
dan yang menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras
antara aparatur di bidang Tata Usaha Negara dengan para warga masyarakat
Secara umum landasan hukum penegakan Hukum Administrasi dapat dilihat
dari ketentuan perundang-undangan yang mengatur setiap kebijakan di masing-
masing bidang administrasi pemerintahan. Di dalam setiap pengaturan kebijakan, baik
yang bersifat sosial, politik, hukum, keamanan, ekonomi dan budaya semuanya
menghendaki pengaturan administrasi. Norma penegakan hukum administrasi
terhadap pelaksanaan administrasi di berbagai kebijakan bersumber pada Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
telah diubah dengan UU. No 9 tahun 2004 dan perubahan yang kedua dengan UU. No
51 tahun 200969. Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara menjadi rujukan
utama dalam upaya penegakan hukum administrasi.
Berikut beberapa pasal dalam UU. No 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara yang menjadi landasan dalam upaya penegakan hukum administrasi
negara khususnya dalam pasal 1 ayat 7 sampai dengan 11:
7. Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yangmelaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahanbaik di pusat maupun di daerah.
69 Selengkapnya Lihat Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
telah diubah dengan UU. No 9 tahun 2004 dan perubahan yang kedua dengan UU. No 51 tahun 2009
72
8. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan ataupejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkanperaturan perundang-undangan yang berlaku.9. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulisyang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisitindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturanperundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, danfinal, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badanhukum perdata.10. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalambidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdatadengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.11. Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badanatau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untukmendapatkan putusan
2. Landasan Teori
a. Teori Sistem Hukum
Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu
menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Selanjutnya, menurut
Lawrence M Friedman sistem hukum mempunyai tiga unsur, yaitu (1) struktur, (2)
subtansi, dan (3) budaya hukum70. Menurut Friedman struktur adalah kerangka atau
rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan
batasan terhadap keseluruhan. Struktur hukum mengacu pada bentuk dan kedudukan
pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum. Hubungan antar lembaga tinggi
negara, contohnya, suatu penggambaran dari struktur hukum. Friedman merumuskan
aspek struktur hukum sebagai berikut:
“The structure of legal system consists of elements of this kind: the number andsize of courts; their yurisdiction (that is, what kind of cases they hear, and how
70Lawrence Friedman, “American Law”, (London: W.W. Norton & Company, 1984), hal. 6
73
and why), and modes of appeal from one court to another. Structure alsomeans how the legislature is organized, how many members sit on the FederalTrade Commission, what a president can (legally) do or not do, whatprocedures the police departement follows, and so on.”71
Sementara substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia
yang berada dalam sistem itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh
orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka
keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup living law
(hukum yang hidup),dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang undang
atau law books. Dalam pandangan Friedmen, Substansi hukum (legal substance)
merupakan aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-
lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem72
Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan,
sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.73
Tanpa budaya hukum sistem hukum itu sendiri tidak akan berdaya, seperti ikan mati
yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya
(without legal culture, the legal system is inert, a dead fish lying in a basket, not a living
fish swimming in its sea).74. Singkatnya, bagi Friedmen, budaya hukum (legal culture)
didefinisikan sebagai sejumlah gagasan, nilai, harapan dan sikap terhadap hukum dan
institusi hukum yang sebagian bersifat publik atau beberapa bagian berada di wilayah
71Ibid
72Ibid
73Lawrence M, Friedman, 1977, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, hal. 6-7
74Lawrence, America…Op. Cit , hal. 7.
74
publik75. Selanjutnya menurut Friedmen, hukum harus dipelajari sebagai sebuah
budaya bukan sebuah ‘koleksi doktrin, peraturan, istilah dan frase’76.
Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell,
konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada
dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini
menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan
kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum
yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik
dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian,
variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-
perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada
masyarakat yang berbeda77
b. Teori Penegakan Hukum dan Sanksi Hukum Administrasi
Menurut Mahfud MD, Secara teoretis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan
hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk
nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap
suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan78. Penegakan hukum,
75 Lawrence Friedmen sebagaian dikutip Peter de Cruz dalam, Perbandingan Sistem Hukum; Common Law, Civil
Law dan Socialist Law. Diterbitkan oleh Nusa Media. Jakarta. Hlm. 7
76Dikutip Peter de Cruz.. Ibid. hlm. 338
77Roger Cotterrell, 1984, The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths, hal. 25
78Mahfud MD, Bahan…Op. Cit. hlm. 2-3
75
sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Rahardjo, merupakan suatu
proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.79.
Keinginan – keinginan yang dimaksud dalam hal ini adalah keinginan atau politik
hukum pembuat perundang-undangan sebagai perumus peraturan perundang-
undangan.
Terkait dengan hal-hal yang mempengaruhi Proses penegakan hukum, dalam
pandangan Soerjono Soekanto, setidaknya ada 5 faktor yang mempengaruhi proses
penegakan hukum . Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan.
Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam
peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah
mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan
hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan social di mana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang
merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya,
cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.80
Berbeda dengan pandangan Satjipto Rahardjo yang membedakan berbagai
unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum dengan melihat derajat
kedekatannya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan
kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo81 membedakan tiga unsur utama
yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-
79Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hal. 24
80Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, hal. 15
81Satjipto Rahardjo,1983, Masalah Penegakan Hukum,Bandung: Sinar Baru, hal. 23,24.
76
undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan
hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial
Kajian tentang penegakan hukum, khususnya penegakan hukum administrasi
dalam sebuah kasus inconcreto belum banyak dilakukan oleh para peneliti di
Indonesia. Termasuk halnya kajian tentang Penegakan Hukum Administrasi dalam
sengketa Pemilukada. Penelitian yang pernah ada adalah Penegakan Hukum Pidana
dalam Pemilukada Provinsi Jawa Timur oleh MURIDAH ISNAWATI yang ditulis dalam
bentuk tesis di Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Surakarta Tahun 2011.
Salah satu bagian dari sistem penegakan hukum adalah penerapan sanksi
hukum. Sanksi Hukum pada dasarnya merupakan implementasi atau bagian dari
pertanggungjawaban hukum. Seseorang yang bertanggungjawab secara hukum atas
perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus
perbuatannya bertentangan/berlawanan hukum. Dalam hukum administrasi,
penggunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan pemerintahan,
di mana kewenangan ini berasal dari aturan hukum tertulis dan tidak tertulis. Pada
umumnya, memberikan kewenangan untuk menegakkan norma-norma itu melalui
penerapan sanksi bagi mereka yang melanggar norma-norma Hukum Administrasi.82
Dalam konteks penegakan hukum publik, menurut J.B.J.M. ten Berge bahwa
pihak pemerintah yang paling bertanggung jawab dalam proses penegakan hukum
publik, ‘de overheid is primair verant woordelijk voor de handhaving van publiekrecht”.
J.B.J.M ten Berge menyebutkan dalam konteks penegakan hukum publik, beberapa
82Ridwan HR. Op. Cit. Hlm. 298
77
aspek yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam rangka penegakan
hukum, yaitu;
a. Een regel moet zo weining riumte laten voorinterpretatiegeschilien;
b. Uitzonderingsbepaligen moeten tot een minimum wordenbeperkt;
c. Regels moeten zo veel mogelijk zijn gericht op zichtbare danwel onjectief constateerbare feiten;
d. Regel moeten werkbaar zijn voor tot wie de regels zijn gerichten voor de personen die methandhaving zijn belast83.
Terjemahannya;
a. Suatu peraturan harus sedikit mungkin membiarkan ruang
bagi perbedaan interpretasi
b. Ketentuan perkecualian harus dibatasi secara minimal
c. Peraturan harus sebanyak mungkin diarahkan pada
kenyataan yang secara objektif dapat ditentukan
d. Peraturan harus dapat dilaksanakan oleh mereka yang
terkena peraturan itu dan mereka yang dibebani dengan
tugas penegakan hukum
Penegakan Hukum Administrasi Negara menurut P. Nicola dan kawan-kawan:
De Bestuursrechtelijke handhavings middelen omvatten (1)het toezich dat bestuursorganen kunnen uitoefenen op denaleving vande biji of krachtens de wet gestelde voorschriftenen van de bij besluit individueel opgeledge verplichtingen, en (2)de toepassing van bestuursrechtelijk sanctie bevoegdheden84
83J.B.J.M. ten Berge, Beschermin Tegen Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1995, hlm. 94
84P. Nicolai dkk, Bestuursrecht . Amsterdam, 1994. hlm. 469
78
Terjemahannya: (sarana penegakan Hukum Administrasi Negara berisi; (1)
pengawasan bahwa organ pemerintahan dapat melaksanakan ketaatan pada atau
berdasarkan undang undang yang ditetapkan secara tertulis dan pengawasan
terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban kepada individu, dan (2), penerapan
kewenangan sanksi pemerintahan.
Substansi dari Nicola ini mempertegas gagasan ten Berge sebagaimana dikutip
Philipus. M. Hadjon,bahwa instrument penegakan Hukum Administrasi Negara meliputi
pengawasan dan penegakan sanksi. Pengawasan merupakan langkah preventif untuk
memaksakan kepatuhan, sedangkan penerapan sanksi merupakan langkah represif
untuk memaksakan kepatuhan85. Menurut Philipus Hadjon, terdapat perbedaan antara
sanksi Administrasi dengan Sanksi Pidana, yaitu dilihat dari tujuan pengenaan sanksi
itu. Sanksi administrasi dutujukan kepada perbuatan pelanggarannya, sedangkan
sanksi pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan memberikan hukuman berupa
nestapa. Selain itu sanksi administrasi ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara
tanpa harus melalui prosedur pengadilan sedangkan sanksi pidana hanya dapat
dijatuhkan oleh hakim pidana melalui proses peradilan86.
Perbedaan selanjutnya menurut Ridwan HR adalah sifat sanksi administrasi
adalah reparatoir-comdemnatoir yaitu pemulihan kembali pada keadaan semula dan
memberikan hukuman sedangkan sanksi pidana bersifat comdemnatoir. Menurut H.D.
van Wijk/Konijnenbelt, Sanksi dalam Hukum Administrasi adalah;
85Philipus M. Hadjon, 1996,Penegakan Hukum Administrasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Tulisan dalam ,
Butir-butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum dan Pemerintahan yang Layak, B. Arief Sidarta, dkk
(editors). Bandung; Citra Aditya Bakti,). Hlm. 337
86Philipis M. Hadjon dkk, Pengantar..Op. Cit. hlm.247
79
“De Publiekrechttelijke matchsmiddelen die de overhead kanaanwenden als reactive op niet-naleving van verplichtingen dievoortvloein uit administratiefrechtelijke normen87
(artinya; yaitu alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yangdapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atasketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam normahukum administrasi).
Berdasarkan definisi ini, setidaknya ada empat unsur sanksi dalam Hukum
Administrasi, yaitu alat kekuasaan (machtmiddelen), bersifat hukum publik
(publiekrechtelijke), digunakan oleh pemerintah (overheid), sebagai reaksi atas
ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving). Jenis-jenis sanksi yang umumnya dikenal
dalam hukum administrasi antara lain88 :
a. Bestuursdwang (paksaan pemerintah). Bestuursdwang dapat
diuraikan sebagai tindakan-tindakanyang nyata (feitelijke handeling)
dari penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh
suatu kaedah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa
yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan
dengan undang-undang. Penerapan sanksi ini jelas harus atas
peraturan perundang-undangan yang tegas;
b. Penarikan kembali keputusan atau ketetapan yang menguntungkan
(izin, pembayaran, subsidi). Penarikan kembali suatu keputusan
atau ketetapan yang menguntungkan tidak terlalu perlu pada suatu
peraturan perundang-undangan. Hal itu tidak termasuk apabila
87H.D. van Wijk/Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht. Vuga, s’Gravenhage, 1995. hlm . 327
88Ridwan HR. Op. Cit hlm. 301
80
keputusan atau ketetapan tersebut berlaku untuk waktu yang tidak
tertentu dan menurut sifatnya “dapat di akhiri” atau ditarik kembali
(izin, subsidi berskala). Tanpa suatu dasar hukum yang tegas untuk
itu penarikan kembali tidak dapat diadakan secara berlaku surut.
Karena bertentangan dengan azas hukum, tapi kebanyakan undang-
undang modern, kewenangan penarikan kembali sebagai sanksi
diatur dengan tegas.
c. Penggenaan denda administratif. Penggenaan sanksi administratif,
terutama terkenal di dalam hukum pajak yang menyerupai
penggunaan suatu sanksi pidana (juga harus atas landasan
peraturan perundang-undangan yang berlaku)
d. Penggenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom). Pengenaan
uang paksa merupakan alternatif untuk tindakan nyata, yang berarti
sebagai sanksi ‘subsidiare’ dan dianggap sebagai sanksi reparatoir.
Dalam konteks penegakan hukum administrasi konstruksi teori penegakan
sanksi hukum administrasi dapat digunakan terhadap Penetapan Pasangan calon
Kepala daerah oleh KPUD, khususnya apabila terdapat penyimpangan dan kesalahan
dalam proses penetapan tersebut dan sudah diajukan keberatan oleh pemohon
(masyarakat) namun tetap dilanjutkan proses pencalonan tersebut, .
c. Teori Sanksi Regresif
81
J.B.J.M. ten Berge menyebutkan bahwa sanksi merupakan inti dari kelancaran
atau penegakan Hukum Administrasi Negara89. Sanksi akan menjamin penegakan
Hukum Administrasi karena sanksi salah satu intsrumen untuk memaksakan tingkah
laku para warga negara pada umumnya dan khususnya instansi pemerintah. Oleh
sebab itulah sanksi sering merupakan bagian yang melekat pada nama hukum
tertentu. J.J.Oosternbrink sebagaimana dikutip Ridwan HR mendefinisikan Sanksi
Administrasi adalah
“ Administratief sancties zijn dus sancties, die voortspruiten iut de relatieoverheid-onderdaan en die zonder tussenkomst van derden en met namezonder rechterlijke machtiging rechtstreeks door de administratie zelf kunnenworden opgelegd”
(sanksi administrasi adalah sanksi yang muncul dari hubungan atara pemerintah dan
warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantaram pihak ketiga, yaitu tanpa
perantara kekuasaan peradilan, tetapi dapat secara langsung dilaksanakan oleh
sendiri)90.
Selanjutnya J.J. Oosternbrink menambahkan bahwa jenis sanksi administrasi
dapat juga dibebankan oleh hakim administrasi,
“ Niet alleen sanctie, die door het bestuur zelf worden toegepast, gehanteerd,maar eveneens sancties, die bijvoorbeeld door aministratieve rechters ofadministratieve beroepsinstanties worden opgelegd “
( tidak hanya sanksi yang diterapkan oleh pemerintah sendiri, tetapi juga sanksi yang
dibebankan oleh hakim administrasi atau instansi banding administrasi)91.
89J.B.J.M. ten Berge, Op. Cit. Hlm. 390
90Ridwan HR . Op. Cit .hlm. 289
91Ibid. hlm 299
82
Ten Berge kemudian mengenalkan teori Sanksi Regresif (regressieve sancties)
yaitu sanksi yang diterapkan sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap ketentuan-
ketentuan yang terdapat pada keputusan yang diterbitkan. Sanksi ini ditujukan pada
keadaan hukum semula, sebelum diterbitkannya keputusan. Beberapa contoh dari
sanksi regresif ini adalah penarikan, perubahan dan penundaan suatu keputusan (de
intrekking, de wijziging, of de schorsing van een beschikking)92. Sanksi Regresif ini
hanya dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
keputusan.
d. Teori Sanksi Reparatoir (P. Nicolai)
Sanksi Reparatoir menurut P. Nicolai:
“Onder reparatoire sanctie worden dan verstaan de reacties op normovertreding, diestrekken to the (zo goed mogelijk) herstellen of bewerkstellingen van de legale situatie,dat wil zeggen van de toestand die zou zijn ontstaan of was blijven bestaaan, wannerde overtrading niet was gepleegd;93 “
Sanksi Reparatoir diartikan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang
ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atau menempatkan pada situasi
yang sesuai dengan hukum (legale situatie), dengan kata lain, mengembalikan pada
keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran. Contoh sanksi Reparatoir adalah
paksaan pemerintahan (bestuursdwang) dan pengenaan uang paksa (dwangsom).
Sanksi Reparatoir pada umumnya dikenakan pada pelanggaran norma hukum
administrasi negara secara umum. Sanksi Reparatoir ini yang sering membedakan
karakter sanksi hukum administrasi dengan sanksi pidana.
92J.B.J.M. ten Berge. Hlm. 391
93P. Nicolai dalam Ridwan HR. Ibid. 301
83
e. Teori Eksekusi
Secara etimologis, eksekusi berasal dari bahasa Belanda, executie, yang
berarti pelaksanaan putusan pengadilan94. Eksekusi atau pelaksanaan putusan ialah
tindakan yang dilakukan secara paksa terhadap pihak yang kalah dalam perkara95.
Eksekusi padaha hakikatnya tidak lain adalah realisasi dari pada kewajiban pihak yang
bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.96
Putusan yang dapat dieksekusi pada dasarnya hanya putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap karena dalam putusan tersebut telah terkandung wujud hubungan hukum
yang tetap (res judicata) dan pasti antara pihak yang berperkara97. Akibat wujud
hubungan hukum tersebut sudah tetap dan pasti sehingga hubungan hukum tersebut
harus ditaati dan mesti dipenuhi oleh pihak yang dihukum98. Dengan demikian salah
satu konstruksi teori Eksekusi berawal dari tahapan pelaksanaan putusan yang sudah
diputus oleh Pengadilan dan sudah berkekuatan hukum tetap.
Menurut Yahya Harahap, Asas-asas eksekusi terdiri atas :99
1. Putusan yang dapat dijalankan adalah putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Dalam hal ini, Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) yang dapat
94Retno Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Bandung, 1997, hlm. 111.
95M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata., Jakarta. Sinar Grafika. 2007. hal. 6 –
28.
96Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1998, hlm. 209
97M. Yahya. Op. Cit. hlm. 8
98R. Subekti, Hukum Acara Perdata,cet.3, Bandung: Bina Cipta, 1989, hal. 8.
99Yahya Harahap. Op. Cit. Hlm 6-28
84
dijalankan100. Adapun keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap
tersebut dapat berupa :101
a. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak dimintakan
pemeriksaan ulang (banding) atau kasasi102 karena telah diterima oleh
kedua belah pihak
b. Putusan pengadilan tingkat banding yang telah tidak dimintakan
kasasi ke Mahkamah Agung
c. Putusan pengadilan tingkat kasasi dari Mahkamah Agung atau
putusan peninjauan kembali dari Mahkamah Agung
d. Putusan verstekdari pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan
upaya hukumnya
e. Putusan hasil perdamaian dari dua pihak yang berperkara
2. Putusan tidak dijalankan secara sukarela
Ada 2 cara menjalankan isi putusan :103
a. Dengan jalan sukarela
b. Dengan jalan eksekusi
Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan
100Ibid. Hlm. 7
101Wildan Suyuthi, op. cit., hal. 61.
102R. Subekti, Op. Cit hal. 161
103M. Yahya Harahap, op.cit., hal. 11.
85
apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan
secara sukarela.104
3. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat condemnatoir
Hanya putusan yang bersifat condemnatoir saja yang bisa dijalankan
eksekusi yaitu putusan yang amar atau diktumnya mengandung unsur
“penghukuman”. Putusan yang bersifat constitutif dan declaratoir tidak
memerlukan pelaksanaan/tidak memerlukan perbuatan dari salah satu pihak
dan upaya paksa, karena sudah mempunyai akibat hukum tanpa bantuan
pihak yang kalah untuk melaksanakannya105
4. Eksekusi atas perintah dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri
Asas ini diatur dalam Pasal 195 ayat (1) HIR yang berbunyi:
“Hal menjalankan keputusan pengadilan negeri, dalam perkara yang
pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, adalah atas perintah
dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama
memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam Pasal-Pasal berikut ini”
Jika ada putusan yang dalam tingkat pertama diperiksa dan diputus oleh satu
Pengadilan Negeri dan sudah berkekuatan hukum tetap, maka eksekusi atas
putusan tersebut berada di bawah perintah dan pimpinan Ketua Pengadilan
Negeri yang bersangkutan.
Asas-asas tersebut pada umumnya berlaku dalam praktek di hukum acara
Perdata yang dalam beberapa hal berbeda dengan eksekusi dalam hukum acara di
104Ibid
105Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet.1, (Jakarta: PT Rineka Raya, 2004), hal. 130.
86
Peradilan Tata Usaha Negara. Menurut Lintong Siahaan106 Eksekusi putusan Peratun
berbeda dengan eksekusi putusan perdata, karena Peratun adalah pengadilan yang
mengadili sengketa-sengketa administrasi, jadi tidak mempunyai wewenang dalam
bidang fisik (factual). Eksekusi Peratun hanya dilaksanakan secara administratif
(abstrak) tidak secara fisik seperti dalam perkara perdata. Dalam hal ini yang perlu
diperhatikan adalah bunyi dari pasal 115 UU. No. 5 tahun 1986 yang mengatakan
bahwa: “ Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
yang dapat dilaksanakan”.
Putusan Peratun yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pada dasarnya
merupakan keputusan hukum yang bersifat hukum publik dan karena itu berlaku juga
pihak-pihak di luar yang bersengketa (erga omnes). Berbeda dengan putusan hukum
perdata, yang pada umumnya hanya berlaku pada pihak-pihak yang bersengketa saja,
meskipun ada juga putusan perdata yang bersifat hukum publik.107 Dengan demikian
menurut Lintong, kekuatan eksekutorial dari putusan Peratun adalah juga berbeda
dengan kekuatan eksekutorial dari putusan perdata.108. Salah satu perbedaan model
eksekusi putusan perdata dan Peratun adalah soal adanya bantuan pihak dari para
pihak dalam pelaksanaan putusan Peratun itu. Menurut Indroharto, bantuan pihak luar
dalam pelaksanaan putusan yang dalam hukum perdata lebih dikenal dengan istilah
106Lintong Siahaan, Teori Hukum dan Wajah PTUN setelah Amandemen UU. No. 5 tahun 1986.jo. UU. No.9 tahun
2004. Jakarta. Perum percetakanNegara RI. Hlm. 123
107Indroharto, Upaya Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Cet.1.Pustaka Sinar
Harapan, 1991. Hlm. 368
108Lintong. Op. Cit. hlm. 123
87
eksekusi riel109, yang mana dalam hukum acara di PTUN tidak dikenal karena hanya
sekedar pengadilan administrasi yang tidak memliki kewenangan dalam arti fisik,
melainkan hanya kewenangan yang abstrak dalam bidang administrasi110
Bunyi pasal 97 ayat (7) UU. No. 5 tahun 1986 menyebutkan bahwa, putusan
pengadilan dapat berupa: a. gugatan ditolak, b. gugatan dikabulkan;c.Gugatan tidak
dapat diterima;gugatan gugur. Menurut Lintong, dari keempat butir jenis putusan di
atas, hanya satu butir yang memerlukan tindak lanjut (follow up) berupa eksekusi,
yaitu butir (2) “Gugatan dikabulkan”, sedangkan butir-butir : (1) gugatan ditolak; (3);
Gugatan tidak dapat diterima; dan (4) Gugatan gugur tidak memerlukan tindak lanjut
(Follow Up)111
f. Teori Wewenang
Dalam kajian hukum administrasi, dikenal jenis kewenangan yang bersifat
Atribusi, Delegasi dan Mandat. H.D. Van Wijk/Willem Konijnenbelt sebagaimana
dikutip oleh Ridwan HR112 mendefinisikan sebagai berikut: a. Atribusi adalah
pemberian wewenang pemerintahan oleh Pembuat undang-undang kepada organ
pemerintahan. B, delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu
organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. C, Mandat terjadi ketika
109Indroharto Op. Cit. Hlm. 369
110Lintong Op. Cit. hlm. 124
111Lintong Ibid. Hlm. 126
112Ridwan HR. Op. Cit. Hlm. 102
88
organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas
namanya.
Dalam pandangan yang hampir sama, Indroharto menyebut bahwa Untuk
kepentingan pengurusan negara dan masyarakat, kepada pemerintah diberi
kekuasaan oleh negara melalui undang-undang dasar dan undang-undang, yang
dikenal dengan “atribusi” (attributie)113. Untuk badan pemerintahan pada tingkat yang
lebih rendah kekuasaan dapat diperoleh dengan “delegasi” (delegatie), yaitu
penyerahan wewenang pemerintah kepada badan lain114. Selain itu, wewenang
diperoleh juga dengan cara “mandat” (mandaat), yaitu badan pemerintahan
mengizinkan wewenang yang ada pada mereka untuk digunakan oleh badan lain atas
namanya115. Sementara Menurut Philipus M. Hadjon mendefinisikan perbedaan
Mandat dan Delegasi dalam hal tanggung jawab dan tanggung gugat; dalam hal ini
dalam wewenang yang bersifat Mandat, maka tanggung jawab dan tanggung gugat
tetap pada pemberi Mandat sedangkan wewenang yang bersifat delegasi tanggung
jawab dan tanggung gugat beralih kepada delegataris.
113Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta,
1991., hlm. 64.
114Ibid.
115Idem., hlm. 65.
89
Berbeda dengan Van Wijk, F.A.M Stroink dan J.G Steenbeek116 menyebutkan
bahwa hanya ada 2 cara organ pemerintahan memperoleh wewenang, yaitu atribusi
dan delegasi. Mengenai atribusi dan delegasi, disebutkan bahwa bij attributie gaat he
tom het toekennen van een nieuwe bevogheid; bij delegatie gaat he tom het
overdragen van een reeds bestaande bevogheid (door het organ dat die bevogheid
geattributie heft gekregen, aan een ander organ; aan delegatie gat dus altijd
logischewijs vooraf).
Terjemahannya: Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru,
sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada oleh organ
yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi
secara logis selalui didahului oleh atribusi. Kewenangan KPUD dalam menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara dapat diteropong dan dianalisis melalui ketiga
konstruksi kewenangan tersebut.
g. Teori Donald Black
Donald Black dalam bukunya The Behavioral of Law mengemukan teori bahwa
ada beberapa faktor yang memengaruhi perilaku hukum. Seseorang, organisasi atau
institusi dalam melakukan tindakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni.
Stratifikasi, Morfologi, Kultur, Organisasi, dan Pengendalian Sosial. Black menyebut
bahwa faktor pertama yang memengaruhi perilaku hukum, termasuk ketaatan hukum
116Mustafa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia; Gagasan Perluasan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi. UII Press. Yogyakarta. 2010. Hlm. 92
90
adalah stratifikasi, khususnya dalam hal hubungan vertikal, aspek ekonomi dan
kehidupan sosial (social life) “distribution of material conditions of existence” 117.
Kedua, Morfologi. Menurut Black, Morphology explains the use of law in terms
of one’s social relation, or distance, to others. This is the horizontal facet of social life,
the “interaction, intimacy, and integration” people have in relation to one another118.
Faktor ketiga adalah kultur, di sini kultur didefinisikan atau diistilahkan sebagai
keyakinan masyarakat, tradisi dan persepsi atas moralitas. Dalam bahasa Black, ,
“culture is the symbolic aspect of social life that includes expressions of what is true,
good, and beautiful”119. Faktor keempat adalah organisasi. Ilustrasi Black tentang
organisasi dalam konteks ini adalah “the corporate aspect of social life, the capacity for
collective action”120. Dalam hal ini termasuk organisasi adalah adanya dua orang atau
lebih yang berkumpul untuk membentuk sebuah kelompok, bisa dalam bentuk genk,
keluarga, perusahaan atau partai politik.
Menurut Black, people engaged in organizations are more likely to rely on the
power of the law. level of organization may include the presence and number of
administrative officers and centralization of decision making, but also the quantity of
collective action itself by an individual. Faktor kelima menurut Black adalah
Pengendalian sosial (social control). Variable akhir yang menjadi mempengaruhi
seseorang dalam melakukan tindakan hukum adalah aspek normatif dari
keberagaman dalam setting sosial . Seperti yang dikatakan Black bahwa , law serves
117Donald Black, 1976, The Behavior Of Law,. the University of Michigan.hlm.11
118Ibid, Hlm. 37
119Ibid. Hlm. 76
120Ibid. Hlm. 85
91
as a means of controlling the populous, but in different settings, other factors serve as
a informal social control, such as “etiquette, custom, ethics, bureaucracy, and the
treatment of mental illness”121.
Aspek normatif yang dimaksud di sini adalah yang terkait dengan kehidupan
sosial yang didalamnya terkandung adanya respon terhadap perilaku yang
menyimpang seperti adanya larangan, dakwaan, pemidanaan dan kompensasi..
Penerbitan Surat Keputusan tentang penetapan pasangan calon kepala daerah oleh
KPUD dapat dianalisa dan dikaji dengan pendekatan Teori Donald Black yang fokus
pada faktor-faktor yang mempengaruhi penerbitan Surat Keputusan tersebut.
F. Periodeisasi Sistem Pemilihan Kepala Daerah
Sebelum pemilihan kepala daerah menggunakan mekanisme Pemilihan
Langsung yang yang berlangsung saat ini, sejarah pemilihan kepala daerah di
Indonesia telah mengalami berbagai macam sistem dan bentuk sesuai dengan periode
kepemimpinan politik, yakni pada era Orde Lama, orde Baru dan Orde Reformasi.
1. Zaman Orde Lama
Menurut Sarundajang122, pada fase ini pilkada menggunakan dua sistem.
Pertama, pada awalnya pemilihan kepala daerah menggunakan sistem penunjukan
atau pengangkatan oleh pusat (masa pemerintahan kolonial Belanda, penjajahan
121Ibid. Hlm. 105
122 Sarundajang, 2005, Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Problem dan Prospek. Kata Hasta Pustaka. Jakarta..
Hlm.33
92
Jepang dengan UU No. 27 tahun 1902). Kemudian UU. No. 22 tahun 1948 dan UU
No. 1 tahun 1957, ketika berlakunya sistem parlementer yang liberal. Pada masa itu,
baik sebelum dan sesudah pemilihan umum 1955 tidak ada partai politik yang
mayoritas tunggal. Akibatnya pemerintah pusat yang dipimpin oleh Perdana Menteri
sebagai hasil koalisi partai, mendapat biasanya sampai ke bawah.
Kedua, yang digunakan adalah sistem penunjukan (Penetapan Presiden No. 6
tahun 1959 jo. Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960; UU No. 6 dan UU. No. 18
tahun 1965) yang lebih dikenal dengan era Dekrit Presiden ketika diterapkannya
demokrasi terpimpin. Penerapan Penetapan Presiden No, 6 tahun 1959 jo. Penetapan
Presiden No. 5 tahun 1960 disertai alasan “situasi yang memaksa”. Sistem
penunjukan atau pengangkatan mengandung subjektivitas dan diskriminasi yang
kental dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)123. Para kepala daerah terpilih
sangat tunduk pada pusat, dan sebagian besar kepala daerah terpilih teridentifikasi
sebagai kepala keluarga terdahulu.
Penelitian Sutherland menunjukkan, pada tahun 1930, dari 75 orang bupati, 30
orang menggantikan ayahnya, 3 orang menggantikan mertuanya, 24 orang berasal
dari kabupaten lain dan hanya 18 orang yang tidak mempunya pertalian kekeluargaan
dengan seorang bupati dari garis kakek atau ayah mertua124
2. Zaman Orde Baru
123Joko. J. Prihatmoko, Mendemokratiskan Pemilu. Pustaka Pelajar. 2008.hlm. 158
124Ibid.
93
Dalam konteks pemilukada sebagai bagian dari desentralisasi dan otonomi
daerah, maka periode Orde Baru dapat disebut sebagai masa kelam desentralisasi
termasuk pemilihan kepala daerah. Pada masa ini pemerintah daerah tidak memiliki
kekuasaan dan kewenangan apapun. Mereka dalam melaksanakan pemerintahannya
harus berdasarkan petunjuk dari pemerintah pusat melalui menteri dalam negeri. Oleh
karena itu setiap kepala daerah yang akan dipilih oleh DPRD melalui mekanisme
pemilihan perwakilan harus terlebih dahulu dikonsultasikan dengan pemerintah pusat.
Dalam UU No. 5 tahun 1974 disebutkan bahwa kepala daerah dipilih dan dicalonkan
oleh DPRD. Hasil pemilihan lalu diajukan kepada pemerintah pusat untuk diangkat
tanpa terikat dengan hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPRD125
Namun menurut Sarundajang, meskipun juga mengatur sistem pemilihan
perwakilan, UU. No 18 tahun 1965 dan UU. No. 22 tahun 1999 berbeda dengan
paradigma UU. No. 5 tahun 1974, sebab kedua UU itu mengatur kepala daerah dipilih
secara murni oleh lembaga DPRD tanpa intervensi pemerintah pusat, sementara
pemilihan kepala daerah yang tercantum dalam UU. No 5 tahun 1974 dikenal dengan
sistem pemilihan perwakilan semua. Dalam sistem ini menurut Syaukani HR, Afan
Gaffar dan M. Ryas Rasyid ditemukan penyimpangan yang cukup menarik.
Penyimpangan itu karena rekruitmen politik lokal ditentukan sepenuhnya orang
Jakarta, khususnya pejabat Departemen Dalam Negeri (Depdagri) untuk pengisian
jabatan bupati, walikota, sekretaris daerah, dan kepala dinas di Provinsi. Sementara
125Lili Romli , Op. Cit .hlm. 321
94
untuk jabatan gubernur ditentukan oleh Depdagri, Markas Besar TNI, dan Sekretariat
Negara126.
Data Depdagri tahun 1994 menunjukkan 127 orang (42, 61 persen) dari seluruh
bupati/walikota yang berasal dari ABRI, sedangkan yang berasal dari sipil berjumlah
171 orang (57,39 persen). Komposisi jumlah bupati/walikota dari ABRI semakin besar
pada tahun-tahun berikutnya dan mencapai puncak menjelang kejatuhan rezim
Soeharto, di mana jumlahnya lebih besar dari jumlah sipil.
Data itu mengindikasikan bahwa pengisian kepala daerah dengan sistem
penunjukan/pengangkatan dan sistem perwakilan semu mengandung kelemahan yang
dalam konteks demokrasi termasuk ketegori substansial, yakni127;
a. Tiadanya mekanisme pemilihan yang teratur dengan tenggang waktu
yang jelas, kompetitif, jujur dan adil
b. Sempitnya rotasi kekuasaan sehingga kepala daerah dipegang terus
menerus oleh seseorang atau keluarganya atau dari partai tertentu
c. Tiadanya rekruitmen secara terbuka yang menutup ruang kompetisi
sehingga tak semua orang atau kelompok mempunyai hak dan peluang
yang sama; dan Lemahnya akuntabilitas publik sehingga apa yang
dilakukan sebagai pribadi dan pejabat publik tidak jelas
126Syaukani HR dkk, 2001,Otonomi Daerah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.. Hlm. 38
127Joko.P..Mendekmokratiskan Pemilu..Op. Cit. hlm. 160
95
3. Zaman Orde Reformasi
a. Pilkada Menurut UU. Nomor 22 tahun 1999
Seiring jatuhnya pemerintahan Soeharto, yang ingin mewujudkan suatu tatanan
Indonesia Baru maka ditetapkanlah undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang
otonomi daerah pada tanggal 7 Mei 1999. Undang-undang ini menimbulkan
perubahan pada penyelengaraan pemerintahan di daerah. Perubahannya tidak hanya
mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi juga hubungan antara
pemerintah pusat dengan daerah. Sebelumnya hubungan antara pemerintah pusat
dan daerah bersifat sentralistis, namun setelah undang - undang ini diberlakukan,
hubungannya bersifat desentralistis. Menurut undang - undang nomor 22 tahun 1999,
pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan perangkat daerah lainnya, dimana
DPRD diluar pemerintah daerah yang berfungsi sebagai badan legislatif pemerintah
daerah untuk mengawasi jalannya pemerintahan128
Dibanding dengan UU pemerintahan daerah sebelumnya yang mengatur
tentang pemilihan kepala daerah, pengisian kepala daerah yang layak disebut
pemilihan adalah berdasarkan UU. 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah (PP) No.
151 tahun 2000. Sistem perwakilan DPRD memungkinkan terwujudnya mekanisme
pemilihan teratur, rotasi kekuasaan, keterbukaan rekruitmen dan akuntabilitas publik.
Artinya secara substansi demokrasi konsep pilkada yang tercantum dalam UU. Nomor
22 tahun 1999 tidak terlalu bermasalah, namun aturan normatif prosedural yang tidak
terlaksana secara baik, sehingga pilkada mengalami banyak penyimpangan.
128 Koirudin, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia; Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian
Daerah, Averroes Press, Malang, 2005., hal 75
96
Undang - undang nomor 22 tahun 1999 memang disusun dalam tempo singkat
dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas. Karena itu, tidaklah mengejutkan bila
UU No. 22/1999 tidak sepenuhnya aspiratif sehingga menimbulkan banyak kritik dan
tuntutan revisi.129 Praktik selama berlakunya UU. No. 22 tahun 1999 menunjukkan
bahwa pilihan DPRD seringkali berseberangan dengan kehendak mayoritas rakyat di
daerah. DPRD punya tafsir sendiri terhadap aspirasi masyarakat, bahkan
penyelewengan pun tidak jarang terjadi, dan berbagai cara “terlarang” pun ditempuh
(misalnya; pemalusan identitas calon, money politik, mark up suara dan seterusnya).
Penyimpangan yang harus digarisbawahi adalah maraknya dugaan kasus money
politik dan intervensi pengurus partai baik di level local maupun pusat dalam pilkada
seperti pada kasus Pilkada Gubernur Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta,
Lampung, Kalimantan Timur, Bupati Painai di Papua dll130.
Persoalan lain yang sering muncul adalah ketegangan antara Kepala Daerah
dengan DPRD setempat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sepanjang
pemberlakuan UU. No 22 tahun 1999 cerita tentang penjatuhan (pemberhentian)
Kepala Daerah oleh DPRD berkali-kali terjadi di berbagai tempat131. Dengan kondisi
seperti itu, sistem pemerintahan daerah mirip dengan sistem pemerintahan
parlementer karena setiap saat mendapat serangan dari DPRD sehingga eksekutif
tidak memiliki kepastian masa jabatan.
b. Pilkada Menurut UU. Nomor 32 tahun 2004
129Ibid., hal 97 - 98.
130Tri Ratnawati dkk…Op. Cit. 2003. Hlm.; 79
131Ni’matul Huda, Otonomi Daerah.. Op. Cit. hlm. 205
97
Kekurangan dalam UU. Nomor 22 tahun 1999 telah disadari oleh para wakil
rakyat yang duduk di MPR RI yang mengagendakan perubahan UUD NRI 1945.
Perubahan UUD NRI 1945 berimplikasi luas terhadap sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia. Salah satunya adalah terkait dengan ketentuan yang terkait dengan
pemerintahan daerah. Amandemen kedua UUD NRI 1945 (tahun 2000) menghasilkan
rumusan baru pasal-pasal yang mengatur pemerintahan di daerah, yakni pasal 18,
pasal 18 A dan Pasal 18 B. Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa
Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah
provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis
Berdasarkan rumusan pasal ini dapat ditarik beberapa persoalan penting132;
Pertama, UUD NRI 1945 tidak mengharuskan kepala daerah terpilih secara langsung
dan calon kepala daerah tidak harus berasal dari partai politik atau gabungan partai
politik. Kedua, frasa “dipilih secara demokratis” tidaklah dapat ditafsirkan bahwa
rekruitmen pasangan calon menjadi kewenangan mutlak partai politik sebagai salah
satu lembaga yang berfungsi melakukan rekruitmen politik dalam pengisian jabatan
publik melalui mekanisme yang demokratis sebagaiman diatur dalam UU Partai Politik.
Ketiga, rumusan pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 yang merupakan hasil amandemen
kedua (tahun 2000) dapat ditafsirkan sama dengan tata cara dan prosedural pemilu
sebagaimana dinyatakan dalam beberapa pasal amandemen ketiga (tahun 2001).
Artinya Pemilukada langsung khususnya lembaga yang memiliki kewenangan
melakukan rekruitmen calon kepala daerah adalah lembaga yang juga menjadi
penanggungjawab pelaksanaan pemilu (Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta
132 Suharizal, Pemilukada; Regulasi. Dinamika, dan Konsep Mendatang. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2006. hlm.
26
98
Pemilu Legislatif) yaitu KPUD. Keempat, Pasal 18 ayat (4) tersebut hanya
mengharuskan yang dipilih secara demokratis adalah kepala daerah (Gubernur,
Bupati, Walikota). Dengan kata lain Wakil Kepala Daerah (Wakil Gubernur, Wakil
Bupati dan Wakil Walikota) tidak diharuskan dipilih satu paket dengan kepala daerah.
Untuk menggantikan undang-undang nomor 22 tahun 1999, ditetapkanlah
undang - undang nomor 32 tahun 2004. Undang-undang ini mengatur tentang
pemilihan kepala daerah secara langsung, hal ini dibuktikan dari 240 pasal yang ada,
sebanyak 63 pasal berbicara tentang Pemilukada langsung. Tepatnya mulai pasal 56
hingga pasal 119, secara khusus berbicara tentang Pemilukada langsung. Landasan
konstitusional pemilihan kepala daerah secara langsung sebagaimana yang tercantum
dalam UU. 32 tahun 2004 bersumber dari perubahan kedua UUD NRI 1945 pasal 18
ayat (4) yang menyatakan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
Penggunaan kata dipilih secara demokratis tersebut bersifat luwes dan memiliki
dua makna yaitu baik pemilihan langsung maupun tidak langsung melalui DPRD
kedua-duanya demokratis. Untuk itu keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) dalam proses menetapkan Kepala Daerah dipilih secara demokratis dapat
digali secara mendalam melalui risalah siding Panitia Ad Hoc I badan pekerja MPR RI.
133 Kata “demokratis” kemudian oleh pembuat undang-undang No 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah diterjemahkan menjadi Pemilihan Langsung. Sehingga
rakyat Indonesia sejak pemilu 2004 telah memilih langsung kepala eksekutif, dalam
hal ini presiden/wakil Presiden serta Kepala daerah dan wakail kepala daerah.
133 Buku kedua jilid II C. Risalah Sidang PAH I. Sekjen MPR RI Jakarta. 2000. Hlm. 248-249.
99
Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung
dimana calon kontestannya adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik yang memperoleh 15 persen kursi DPRD atau dari
akumulasi perolehan suara sah pada pemilihan legislatif sebelumnya. Pemilu kepada
daerah langsung sesuai dengan Undang - undang ini terlaksana pertama kali pada
tanggal 1 Juni 2005. Pemilihan kepala daerah langsung yang termaktub dalam
undang - undang nomor 32 tahun 2004 adalah sebuah proses demokratisasi di
Indonesia.
Perjalanan pembelajaran demokrasi di Indonesia sebelum masa kemerdekaan
sampai dengan saat ini. Perjalanan demokrasi selanjutnya melahirkan sistem yang
baru, ketidakpuasan (kekurangan) undang - undang nomor 32 tahun 2004 mengenai
otonomi daerah ini melahirkan sebuah konsepsi undang - undang yang baru demi
menciptakan sebuah tatanan yang lebih demokratis lagi. Salah seorang Anggota
DPRD kabupaten lombok yang bernama Lalu Ranggawale mengajukan permohonan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan uji materil pada UU No.32 tahun
2004. akhirnya keluarlah Keputusan MK No 5/PUU-V/2007 yang menganulir UU
32/2004 pasal 56, 59 dan 60 tentang persyaratan pencalonan kepala daerah
memberikan peluang kepada calon independen untuk maju dalam Pemilukada.
Sejak UU. Nomor 32 tahun 2004 ditetapkan dan diberlakukan pada saat
pemerintahan Megawati yakni pada bulan Oktober 2004, perdebatan terhadap isi
undang-undang ini khususnya yang terkait dengan Pemilukada senantiasa muncul dan
selalu melahirkan polemik publik. Beberapa topik perdebatan adalah pasal-pasal yang
100
mengatur tentang peran KPU dan KPUD serta peranan partai-partai politik sebagai
lembaga yang memiliki hak untuk mencalonkan kandidat kepala daerah ke KPUD.
Dalam Undang-Undang pemilu, baik pemilu legislative maupun pemilihan
presiden, posisi KPU Pusat selaku pelaku sentral dalam penyelenggara pemilu
sementara KPUD merupakan lembaga pelaksana pemilu di masing-masing
wilayahnya. Sementara dalam UU. 32 tahun 2004, KPUD ditempatkan sebagai
penyelenggara Pemilukada. Sehingga posisi KPU dan KPUD memiliki kewenangan
terpisah dan kondisi ini juga sekaligus menghadikan kewenangan otonom kepada
masing-masing KPUD di berbagai daerah sehingga berpotensi melahirkan
ketidakkonsistenan kebijakan penyelenggaraan Pemilukada.
Pada perkembangannya, UU no. 32 tahun 2004 beberapa pasalnya diubah
dengan Perpu nomor 3 tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian ditetaapkan menjadi UU
nomor 8 tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-
Undang Nomor 3 tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomro 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-undang. Dalam
konsideran Perpu Nomor 3 tahun 2005 dijelaskan 3 alasan penerbitan Perpu. Yakni
(a), bahwa untuk mengantisipasi keadaan genting yang disebabkan oleh bencana
alam, kerusuhan, gangguan keamanan dan/atau gangguan lainnya di seluruh atau
sebagian wilayah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berakibat
pemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal, perlu dilakukan pengaturan
tentang penundaan penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(b), bahwa pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a belum diatur dalam
101
UU. Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. (c), bahwa dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah perlu menerapkan
prinsip efisiensi dan efektivitas berkaitan dengan pemanfaatan dana, perlengakapan,
personel, dan keadaan wilayah pemilihan.
UU. nomor 8 tahun 2005 mengatur tentang beberapa perubahan yang terdapat
dalam ketentuan UU. 32 tahun 2004 antara lain, perubahan pada pasal 90 ayat (1)
yang berbunyi ; jumlah pemilih di setiap TPS sebanyak-banyaknya 300 orang diubah
menjadi paling banyak 600 orang. Kemudian ada penyisipan pasal baru yaitu pasal
236A dan pasal 236B. Pasal 236A menyebutkan bahwa dalam hal suatu daerah
pemilihan terjadi bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan atau gangguan
lainnya di seluruh atau sebagain wilayah pemilihan kepala daerah wakil kepala daerah
yang berakibat pemilihan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan jadwal, pemilihan
ditunda yang ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Revisi undang - undang nomor 32 tahun 2004 melahirkan undang - undang
nomor 12 tahun 2008. Undang-undang nomor 12 tahun 2008 ini tentang perubahan
terhadap undang - undang nomor 32 tahun 2004 mengenai pelaksanaan otonomi
daerah. Hal yang paling berbeda dari Undang-undang ini mengenai pemilihan kepala
daerah. dimana di dalam undang undang sebelumnya, kepala daerah dipilih langsung
dari usulan partai politik atau gabungan partai politik, sedangkan dalam Undang-
undang ini, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat mencalonkan pasangan
calon tanpa didukung oleh partai politik, melainkan calon perseorangan yang
dicalonkan melalui dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan dukungan
tertulis dan fotokopi KTP. Pada tanggal 19 April 2007 terbitlah Undang - undang No.
102
22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilihan umum. Di Undang-undang ini
Pemilihan kepala daerah dimasukkan pada rezim pemilu. maka kemudian masyarakat
mulai mengenal pemilihan kepala daerah dengan sebutan Pemilukada.
G. Sengketa Pemilukada
Dalam pembahasan tentang perselisihan yang muncul dalam pemilukada, UU.
Nomor 32 tahun 2004 maupun UU. Nomor 12 tahun 2008 menggunakan istilah
Sengketa, bukan Konflik. Menurut kamus bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh
kementerian pendidikan nasional, Sengketa adalah sesuatu yg menyebabkan
perbedaan pendapat; pertengkaran; perbantahan. Sementara, Konflik adalah
percekcokan perselisihan; pertentangan134. Namun dalam konteks pembahasan dan
kajian non hukum, para pakar politik atau sosiolog sering menggunakan istilah konflik
Pemilukada. Dalam penelitian ini, istilah yang digunakan adalah Sengketa Pemilukada
karena secara hukum, pembuat Undang-undang menggunakan istilah Sengketa.
Pemilukada sebagai peristiwa atau arena konstetasi politik tentunya membuka
peluang terjadinya benturan kepentingan. Sejatinya, benturan kepentingan antara
seorang dengan orang lain atau suatu kelompok dengan kelompok lain tidak bisa
terhindarkan dalam kehidupan social. Sehingga diperlukan norma dan hukum dalam
melakukan penataan terhadap berbagai kepentingan yang ada mengingat perbedaan
kepentingan seringkali menjadi pemicu awal munculnya konflik atau sengketa.
134 www. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php. diakses pada hari Jumat, 25 Januari 2013. Pukul 20.24
WITA
103
Menurut Van Kan135, kepentingan-kepentingan manusia bisa saling
bertumbukan kalau tidak dikendalikan oleh kaidah, sehingga lahirlah kaidah agama,
kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan sebagai usaha manusia untuk
menyelaraskan kepentingan kepentingan itu. Tetapi, ketiga kaidah di atas ternyata
mempunyai kelemahan yakni beberapa sudut pandang :
a. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum
cukup melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam
masyarakat sebab ketiga kaidah ini tidak mempunyai sanksi yang
tegas dan dapat dipaksakan.
b. Kaidah agama, kaidah kesusilaan dan kaidah kesopanan belum
mengatur secara keseluruhan kepentingan-kepentingan manusia
seperti kepentingan manusia dalam bidang pertanahan, kehutanan,
kelautan, udara dan lain-lain.
Oleh karena itu diperlukan hukum yang dapat mengatur tatanan dan irama
kehidupan social yang terdiri dari berbagai macam kepentingan tersebut. Dengan
sifatnya yang memaksa, Hukum dapat memberi saksi kepada pihak yang berusaha
tidak mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. 136 Menurut Nandang Alamsah
Deliarnoor 137, Sengketa Pilkada” dapat diartikan sebagai suatu benturan kepentingan
yang terjadi antara calon kepala daerah yang satu dengan yang lainnya dalam
peristiwa hukum yang namanya ”Pemilihan Kepala Daerah”.
135J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum ( Jakarta : PT Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982) hlm.
7-17.136 Soerjono Soekanto, 1986, Mengenal Sosiologi Hukum ( Bandung : Alumni,) hlm. 9
137Makalah yang Disampaikan dalam acara “SOSIALISASI PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL
GUBERNUR JAWA BARAT 2008” bertempat di Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB) pada hari Rabu, 26 Maret2008, atas kerjasama KPUD Provinsi Jabar dengan Lemlit UNPAD
104
Sedangkan dalam pasal 66 ayat 4 huruf c UU. 32 tahun 2004 menyebutkan
bahwa Panitia pengawas pernilihan mempunyai tugas dan wewenang: c.
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah; UU. 12 Tahun 2008 pasal 236 huruf C menyebutkan
bahwa Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi
paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Sementara UU. Nomor 22 tahun 2007 Pasal 69 ayat 1 huruf f menyebutkan bahwa
Sekretariat KPU Kabupaten/Kota bertugas memfasilitasi penyelesaian masalah dan
sengketa Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten/Kota. Dari
ketiga UU tersebut, tidak ada satupun yang mengatur secara konsepsional apa yang
dimaksud dengan Sengketa Pemilukada. Sehingga sampai saat ini belum ada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengantur definisi tentang Sengketa
Pemilukada
H. Sengketa Administrasi Di Peradilan Tata Usaha Negara
1. Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara
Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk
menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan
rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa tata
usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Di dalam UU No.
105
51 tahun 2009 tentang Perubahan kedua UU. No. 5 tahun 1986 tentang Pengadilan
Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 10 berbunyi:
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalambidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata denganbadan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagaiakibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketakepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Berdasarkan konsepsi itu dapat ditemukan bahwa sumber awal dari adanya
sengketa di Pengadilan tata Usaha Negara adalah adanya Surat Keputusan yang
dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Tanpa adanya Surat Keputusan,
mustahil ada sengketa Tata usaha negara. Menurut Philipus M. Hadjon dasar lahrnya
sebuah sengketa tata usaha negara adalah adanya Keputusan Tata Usaha Negara138,
sebagai konsekuensi logis dari sengketa tata usaha negara adalah keputusan atau
ketetapan (beschikking).
Secara teoritis, realisasi Perbuatan Tata Usaha Negara (perbuatan administrasi
negara) dapat digolongkan dalam tiga hal, yaitu : mengeluarkan keputusan
(beschikking), mengeluarkan peraturan (regeling) dan melakukan perbuatan materiil
(materiele daad). Adanya suatu sengketa dalam bidang administrasi negara (secara
umum) tentu saja akan muncul akibat dari pelaksanaan tugas dan kewenangan
Pejabat Administrasi Negara (Pejabat TUN) yang terdiri dari tiga hal di atas. Artinya
tanpa adanya perbuatan administrasi (termasuk didalamnya tindakan pasif), tentu saja
tidak akan mungkin terjadi sengketa administrasi.
138Philipus M. Hadjon, Peradilan Tata Usaha Negara Tantangan Awal di Awal Penerapan Undang-Undang Nomor
5 tahun 1986, Yuridika, majalah Fakultas Hukum Universitas Airlangga.No.2-3 Tahun VI Maret –Juni 1991
Surabaya. 1991. Hlm. 114
106
Berdasarkan rumusan pasal 1 ayat 10 tersebut di atas, terdapat unsur-unsur
sengketa tata Usaha Negara, meliputi;
a. Subyek yang bersengketa, yaitu orang atau badan hukum perdata di
satu pihak dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di pihak lain
dan
b. Objek sengketa, yaitu keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara139
2. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
a. Pengertian Keputusan
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) pertama kali diperkenlkan oleh seorang
sarjana Jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsakt140. Di Indonesia, istilah
keputusan tata usaha negara disebut Beschikking. Istilah Beschikking oleh pada ahli
hukum diartikan dengan Keputusan dan Ketetapan. Menurut ketentuan Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 51
Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 ayat 9 menyebutkan bahwa
Keputusan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
139M. Nasir, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Djambatan, Jakarta. 2003. Hlm. 27
140Ridwan HR. Op. Cit. Hlm. 139
107
b. Unsur-unsur Keputusan
Unsur-unsur keputusan dalam hal ini adalah unsur atau kriteria keputusan yang
dapat diugat di Pengadilan tata usaha negara . KTUN yang dapat digugat di Peratun
harus memenuhi syarat syarat :
a). Bersifat tertulis, tertulis disini bukanlah dalam arti bentuk
formalnya, melainkan cukup tertulis asal saja jelas Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan, jelas isinya dan
jelas ditujukan untuk siapa. Syarat tertulis ini masih dikecualikan
adanya KTUN fiktif negative (berisi penolakan) sebagaimana diatur
dalam Pasal 3 UU Peratun. Syarat tertulis juga tidak mengharuskan
bahwa suatu KTUN harus berbentuk baku, suatu memo juga dapat
dikategorikan KTUN jika memo tersebut memenuhi tiga unsure,
yaitu:1. memo tersebut jelas ditujukan untuk siapa, 2. isinya jelas
memuat tindakan hukum TUN yang memiliki akibat hukum, dan 3.
jelas siapa badan/pejabat TUN yang membuatnya;
b). Bersifat konkrit, artinya KTUN. Artinya keputusan tersebut
merupakan norma hukum yang mengkonkritkan norma hukum
abstrak, yaitu norma hukum dalam peraturan perundangundangan,
misalnya Keputusan tentang Pemberhentian PNS karena melanggar
Peraturan Disiplin PNS;
c). Bersifat individual, artinya tertentu dan tidak ditujukan untuk
umum, berapapun jumlahnya, keputusan TUN harus membuat
batasan, ditujukan untuk siapa atau apa saja. Jika KTUN tersebut
108
merupakan KTUN perorangan, maka harus jelas siapa orang yang
dituju atau dikenakan keputusan. Begitu juga, jika KTUN tersebut
adalah KTUN kebendaan, maka harusjelas apakah itu dan sampai
dimanakah batas-batasnya;
d). Bersifat final, artinya sudah definitif karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum atau tidak membutuhkan persetujuan
instansi atasan Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
KTUN.
3. Upaya Administratif di Peradilan Tata Usaha Negara
Rochmat Soemitro membagi peradilan administrasi menjadi 2, yakni
mencakup (1) peradilan administrasi murni atau peradilan administrasi dalam arti
sempit dan (2) peradilan administrasi tidak murni. 141 Sjachran Basah sependapat
dengan pendapat Rochmat Soemitro dengan istilah yang berbeda. Sjachran Basah
menyebut peradilan administrasi dalam arti luas pada dasarnya mencakup dua
golongan, yaitu (1) peradilan administrasi murni yang sesungguhnya, atau peradilan
administrasi dalam arti sempit dan (2) peradilan administrasi yang tidak
sesungguhnya, atau peradilan administrasi semu.” 142.
Terkait kedua jenis peradilan administrasi tersebut, Ada perbedaan penting
yang dapat memberikan pemahaman yang lebih utuh tentang peradilan administrasi,
yaitu ciri-ciri yang melekat pada kedua macam peradilan administrasi, yaitu “peradilan
administrasi murni” dan “peradilan administrasi semu”. Hal ini pertama dikemukakan
141Rochmat Soemitro, Peradilan Administrasi ...Op.Cit., hlm. 49.
142Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur…Op.Cit., hlm. 37.
109
Rochmat Soemitro 143 yang kemudian dilengkapi oleh Sjachran Basah sebagai berikut
: Ciri-ciri peradilan administrasi murni adalah : (1) yang memutus adalah hakim; (2)
penelitian terbatas pada "rechtsmatigheid" keputusan administrasi; (3) hanya dapat
meniadakan keputusan administrasi, atau bila perlu memberikan hukuman berupa
uang (ganti rugi) tetapi tidak membuat putusan lain yang menggantikan keputusan
administrasi yang pertama; (4) terikat pada mempertimbangkan fakta-fakta dan
keadaan pada saat diambilnya keputusan administrasi dan atas itu dipertimbangkan
“rechtsmatigheid” nya ; (5) badan yang memutus itu tidak tergantung, atau bebas dari
pengaruh badan-badan lain apapun juga.
Sedangkan menurut Irfan Fachrudin, Ciri-ciri peradilan administrasi “semu”
adalah (1) yang memutus perkara biasanya instansi yang hierarkis lebih tinggi (dalam
satu jenjang secara vertikal) atau lain dari pada yang memberikan putusan pertama;
(2) meneliti ”doelmatigheid” dan “rechtsmatigheid” dari keputusan administrasi; (3)
dapat mengganti, mengubah atau meniadakan keputusan administrasi yang pertama;
(4) dapat memperhatikan perubahan-perubahan keadaan sejak saat diambilnya
keputusan, bahkan juga dapat memperhatikan perubahan yang terjadi dalam prosedur
berjalan ; (5) badan yang memutus dapat di bawah pengaruh badan lain, walaupun
merupakan badan di luar hierarkhi144
Penggunaan istilah “peradilan administrasi tidak murni” oleh Rochmat Soemitro;
istilah “peradilan administrasi yang tidak sesungguhnya” dan “peradilan administrasi
semu” dari Sjachran Basah relevan dengan sebutan dengan “upaya administratif”,
143Ibid., hlm.64.
144Irfan Fachrudin. Op. Cit. hlm. 169
110
yang menurut Pasal 48 Undang-Undang Peradilan Administrasi No 5 tahun 1986,
meliputi “banding administratif ” dan “keberatan”. Penjelasan Pasal 48 Undang-
Undang Peradilan Administrasi Negara menjelaskan : “upaya administratif” adalah
suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila
ia tidak puas terhadap keputusan tata usaha negara.
Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri dan terdiri
atas dua bentuk : Pertama; “banding administratif”, dalam hal penyelesaian sengketa
dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan
yang bersangkutan. Kedua; “keberatan”, dalam hal penyelesaian sengketa tata usaha
negara dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat administrasi yang mengeluarkan
keputusan itu.
4. Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan
Tenggang waktu mengajukan gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara diatur
dalam Pasal 55 UU. Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor : 9 Tahun 2004 dan terakhir telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor : 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor : 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi: Gugatan dapat
diajukan hanya dalam Tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat
diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Eksistensi tenggang waktu dalam sebuah gugatan termasuk dalam gugatan di
Peratun menjadi penting untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap proses
beracara. Tenggang waktu lazim juga disebut bezwaartermijin atau klaagtermijin. Ini
111
merupakan batas waktu yang diberikan kepada seseorang atau badan hukum perdata
untuk memperjuangkan hanya dengan cara mengajukan gugatan melalui peradilan
tata usaha negara145. Dibanding dengan proses beracara di peradilan perdata,
ketentuan tenggang waktu dalam hukum acara Peratun termasuk singkat, yakni 90
hari. Sementara ketentuan dalam pasal 835, 1963 dan 1967 KUH Perdata, tenggang
waktu menurut ketentuan tersebut adalah selama 30 tahun. Dalam hukum adat lewat
waktu untuk hak milik atas tanah bahkan tidak dikenal, sebagaimana putusan
Mahkamah Agung No. 916 K/Sip/1973 tanggal 19 Desember 1973146.
Dalam rangka mengantisipasi masuknya pihak ke II (Intervensi) dalam gugatan
Peratun, maka tenggang waktu bagi pihak ke II tersebut dianggap mulai mengetahui
obyek Keputusan sejak keputusan tersebut diumumkan. Namun selama ini tidak
semua pihak dapat mengetahui pengumuman dari pemerintah, maka Mahkamah
Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 2 tahun 1991 untuk mengatur soal tenggang
waktu. Inti dari sema no 2 tahun 1991 tersebut adalah bahwa pihak ketiga yang tidak
dituju secara langsung terhadap terbitnya sebuah Keputusan Tata usaha Negara
(KTUN), penghitungan 90 hari untuk menggugat adalah sejak bersangkutan
mengetahui KTUN tersebut dan merasa kepentingannya dirugikan atas KTUN
tersebut.
145Marbun, Upaya…Op. cit. Hlm. 189
146Ibid. hlm 171
113
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Penelitian ini bertempat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar.
Alasan memilih lokasi tersebut karena PTUN Makassar beberapa tahun terakhir
pernah memeriksa dan menyelesaikan beberapa perkara pemilukada di Sulawesi
Selatan . Penentuan lokasi berdasarkan purposive sampling (sampel bertujuan) dari
beberapa PTUN yang pernah menangani sengketa pemilukada dalam hal ini yaitu
penentuan lokasi berdasarkan tujuan karena PTUN Makassar telah menangani
perkara penyelesaian Pemilukada yang status hukumnya sudah berkekuatan hukum
tetap (inkracht van gewisde)
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian sosio yuridis yang menggambarkan dan
menganalisis suatu gejala realitas sosial yang terjadi dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Penelitian akan mendiskripsikan Hukum Administrasi Negara
dan Penyelesaian sengketa Penetapan pasangan calon kepala daerah dalam
Pemilukada dengan menggunakan 3 pendekatan:
114
a. Pendekatan perundangan-undangan (statute approach) terhadap
aturan-aturan yang berkenaan dengan pemilukada dan hukum
administrasi Negara dan bagaimana relevansi dan penerapannya (in
concrete);
b. Pendekatan implementasi dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku
c. Pendekatan perbandingan (comparative approach) terhadap
pelaksanaan penyelesaian sengketa pemilukada dengan pendekatan
hukum administrasi Negara di Peradilan Tata Usaha Negara,
khususnya di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar
C. Jenis dan Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data hukum primer yang diperoleh dari aturan-aturan hukum dalam
produk perundangan-undangan meliputi dokumentasi (UUD NRI
1945, UU/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan
Putusan Pengadilan) serta data yang diperoleh melalui hasil
wawancara
b. Data hukum sekunder yang diperoleh dari teori-teori pendapat para
ahli dan sarjana, literature ilmiah, internet dan media cetak.
115
D. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah;
a. Pengamatan, dengan melihat secara langsung proses persidangan
penyelesaian sengketa pemilukada di lokasi dalam penelitian ini
b. Studi pustakan dan literatur hukum dan studi perundang-undangan
yang dibutuhkan
c. Wawancara dilakukan dengan dengan mewawancarai responden
untuk mendapatkan informasi dan data tambahan yang diperlukan.
Responden akan dibagi menjadi beberapa unsur yang terkait dengan
penegakan hukum administrasi dalam penyelesaian sengketa
pemilukada, yaitu Hakim-hakim Peratun yang pernah memutus
perkara pemilukada, unsur KPUD, Akademisi, Biro Hukum,Unsur
Bawaslu/Panwaslu Kandidat dan Pimpinan Partai Politik peserta
pemilukada. Penentuan sumber wawancara dilakukan dengan
tekhnis sampling.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan teknik analisis komponensial (componential
analysis) yaitu teknik analisa data kualitatif meliputi pengumpulan data secara
keseluruhan . data yang ada melalui proses editing dan pemilahan dituangkan dalam
116
bentuk teks naratif dikorelasikan dengan konsep dan teori yang relevan untuk
memperoleh kesimpulan, data yang diperoleh di lokasi diambil melalui tiga tahap yaitu,
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Dan atau menggunakan
metode triangulasi, dengan membandingkan semua sumber data, baik dari hasil
pengamatan, kajian pustaka, wawancara maupun dokumentasi peraturan perundang-
undangan agar diperoleh informasi yang lebih akurat
117
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penegakan Hukum Administrasi terhadap Penetapan Pasangan Calon
dalam Pemilihan Kepala Daerah.
Mengutip pendapat Sudikno Mertokusumo147 bahwa ada 3 dimensi yang
hendak diwujudkan dalam sebuah proses penegakan hukum yakni Kepastian Hukum,
Kemanfaatan Hukum dan Keadilan. Analisa tentang penegakan hukum administrasi
dalam sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah juga
berdasarkan indikator tercapainya Kepastian hukum, Kemanfaatan hukum dan
Keadilan. Ketiga indikator tersebut berproses dalam sebuah sistem penegakan hukum
yang dalam teori sistem hukum sebagaimana digagas oleh Lawrence Friedmen
dipengaruhi 3 faktor penting, yakni Substansi hukum, Struktur hukum dan Kultur
Hukum.
Substansi Hukum adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang
berada dalam sistem itu. Struktur hukum mengacu pada bentuk dan kedudukan
pranata hukum yang terdapat dalam sistem hukum. Adapun kultur atau budaya
hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-
keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.
147Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta.2002 . Hlm. 145-147
118
Berdasarkan teori sistem hukum tersebut, maka penegakan hukum
administrasi dalam sengketa penetapan pasangan calon kepala daerah meliputi 3
unsur penting, yakni Peraturan perundang-undangan yang mengatur soal penegakan
administrasi dalam pemilukada, Penegak hukum dalam hal ini penyelenggara
pemilukada, dan budaya hukum yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum
administrasi dalam pemilukada. Salah satu aspek penting dari peraturan perundang-
undangan adalah adanya sinkronisasi berbagai aturan perundang-undangan yang
terkait dengan penegakan hukum, termasuk dalam hal ini penegakan hukum
administrasi di bidang Pemilukada.
1. Sinkronisasi Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dengan Undang-Undang yang mengatur Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) .
Secara umum penegakan hukum administrasi terhadap sengketa penetapan
pasangan calon dalam pemilihan kepala daerah selama ini mengacu pada ketentuan
perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008. Dalam
ketentuan tersebut disebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan dengan
melalui berbagai macam tahapan yang dijadwal secara sistematis dan terukur,
termasuk dalam hal ini adalah jadwal penetapan pasangan calon.
Dalam konteks penegakan hukum administrasi setidaknya terdapat dua aspek
yang menjadi sasaran atau obyek dalam penegakan hukum administrasi dalam proses
tahapan pemilukada, yakni pelanggaran administrasi dan sengketa administrasi.
Artinya dari segi substansi penegakan hukum administrasi, maka indikator adanya
119
atau berjalannya proses penegakan hukum administrasi yakni apabila ketentuan
perundang-undangan secara jelas mengatur tentang pelanggaran administrasi dan
sengketa administrasi
Dalam Undang-undang Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengatur tentang
Pemilukada maupun Undang- maupun Undang-undang tentang penyelenggara
pemilu, semuanya tidak mengatur secara spesifik dan konseptual tentang pelanggaran
administrasi dan sengketa administrasi. Undang-undang Pemda dan Undang-undang
Penyelenggara Pemilu hanya mengistilahkan pelanggaran pemilukada dengan kalimat
“pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah;” sebagaimana dalam Pasal 66 ayat 4 UU. No. 32 tahun 2004 yang
menyebutkan:
Panitia pengawas pemilihan mempunyai tugas dan wewenang:
a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepaladaerah dan wakil kepala daerah;b. menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undanganpemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraanpemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah;d. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikankepada instansi yang berwenang; dane. mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan padasemua tingkatan
sebagaimana juga diatur dalam Pasal 77 UU. No. 22 tahun 2007 yang berbunyi;
Pasal 77
Panwaslu Provinsi berkewajiban:
a. bersikap tidak diskriminatif dalam menjalankan tugas danwewenangnya;b. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaantugas pengawas Pemilu pada tingkatan di bawahnya;
120
c. menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengandugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturanperundangundangan mengenai Pemilu;d. menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Bawaslu sesuaidengan tahapan Pemilu secara periodik dan/atau berdasarkankebutuhan;e. menyampaikan temuan dan laporan kepada Bawaslu berkaitandengan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh KPUProvinsi yang mengakibatkanterganggunya penyelenggaraan tahapan Pemilu di tingkat provinsi;danf. melaksanakan kewajiban lain yang diberikan oleh peraturanperundang-undangan.
Sebagaimana juga diatur dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 15
tahun 2011 yang berbunyi;
Pasal 75
(1) Tugas dan wewenang Bawaslu Provinsi adalah ….antara lainc. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaanperaturan perundang-undangan mengenai Pemilu;d. menyampaikan temuan dan laporan kepada KPU Provinsiuntuk ditindaklanjuti;e. meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadikewenangannya kepada instansi yang berwenang;f. menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untukmengeluarkan rekomendasi Bawaslu yang berkaitan denganadanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunyatahapan penyelenggaraan Pemilu oleh Penyelenggara Pemilu ditingkat provinsi.
Berdasarkan bunyi ketiga Undang-Undang tersebut, istilah pelanggaran dalam
pemilukada masih sangat umum, yakni pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan
perundang-undangan mengenai pemilu. Menurut Penulis, ketentuan ini masih cukup
luas karena terbuka kemungkinan bahwa pelanggaran tersebut masuk dalam
ketentuan pidana atau ketentuan administrasi pemilu.
121
Definisi tentang Pelanggaran Administrasi pemilu justru bisa ditemukan dalam
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan MPR, DPR,DPD dan DPRD.
Pelanggaran administrasi menurut undang-undang ini adalah pelanggaran terhadap
persyaratan dan tata cara yang ditetapkan undang-undang. Tidak jauh berbeda
dengan definisi yang dikonsepsikan oleh beberapa Undang-undang kepemiluan yang
muncul setelahnya.
Pengertian ini sangat luas sehingga seakan bisa memasukkan semua pelaku
pelanggaran, seperti seorang mendaftar sebagai kandidat tetapi kurang syarat ijazah.
Calon bersangkutan memang kurang persyaratan, namun orang tersebut tidak perlu
dipandang melakukan pelanggaran. Cukup dianggap bahwa pencalonannya tidak
diterima. Kasus itu baru menjadi pelanggaran apabila si petugas tetap menerima
pencalonan orang tersebut, padahal persyaratannya tidak terpenuhi. Bahkan, hal itu
bisa menjadi perkara pidana pemilu apabila si calon itu menggunakan ijazah palsu.
Singkatnya, pengertian pelanggaran di sini harus dibatasi sebagai pelanggaran
terhadap peraturan pemilu yang diancam sanksi administrasi pemilu148
Secara umum UU No. 12/2003 dan UU No. 23/2003, mempertegas masalah
hukum pemilu menjadi empat, yakni pelanggaran pidana pemilu, pelanggaran
administrasi pemilu, sengketa dalam penyelenggaraan pemilu, dan perselisihan hasil
pemilu. Dari empat masalah hukum pemilu tersebut, tiga di antaranya, yaitu
pelanggaran pidana pemilu, sengketa dalam penyelenggaraan pemilu, dan
perselisihan hasil pemilu, dimasukkan pada pasal-pasal yang mengatur pemilihan
148 Topo Santoso dkk, Penegakan Hukum Pemilu; Praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014. Perludem.
Jakarta 2006. Hlm 102
122
kepala daerah (pilkada) sebagaimana diatur dalam UU No. 32/2004, sedangkan soal
pelanggaran administrasi tidak disebut-sebut dalam undang-undang tersebut.
Sementara ketentuan pidana diatur pada Bab IV, Bagian Kedelapan, Paragraf
Tujuh, Pasal 115-119 Undang-undang Pemda; tentang sengketa disebut pada Pasal
66 ayat (4) Undang-undang Pemda; tentang perselisihan hasil Pemilukada diatur pada
Pasal 106, sedang tentang pelanggaran administrasi, baik Undang-undang Pemda
maupun Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah (PP No. 6/2006), tidak menyebut-
nyebut adanya pelanggaran adminisitrasi
Pada perkembangan selanjutnya, pengaturan dalam UU. 10 tahun 2008
tentang Pemilu justru terdapat pengertian pelanggaran administrasi khususnya yang
tercantum dalam Pasal 248 yang berbunyi:
“ Pelanggaran Administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuanUndang-Undang Pemilu yang bukan merupakan ketentuan pidana pemilu danterhadap ketentuan lain yang diatur dalam peraturan KPU”
Ketentuan di atas tentang definisi Pelanggaran Administrasi dalam pemilu
tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam Undang-Undang
Pemilu sebelumnya, yakni memiliki makna dan pengertian yang sangat luas. Sehingga
menyulitkan para pemangku kepentingan termasuk penegakan hukum administrasi
yang mesti ditegakkan. Menurut penulis, dengan pengertian yang cukup luas itu akan
menyulitkan dalam proses penegakan hukum administrasi karena menimbulkan
ketidakjelasan dalam hal;
a. Perihal tentang jenis dan batasan sanksi administrasi
mengingat dalam hukum administrasi dikenal istilah saksi
123
dalam bentuk peringatan lisan, tertulis dan pemberian tindakan
hukum yang kongkrit. Batasan sanksi juga penting untuk
memperjelas sebuah pelanggaran administrasi dikategorikan
sebagai pelanggaran ringan, sedang dan berat;
b. Perihal tentang struktur atau pihak yang berwenang dalam
melakukan penindakan terhadap terjadinya pelanggaran
administrasi. Sebagaimana diketahui bahwa selama ini yang
berperan dalam penegakan hukum administrasi adalah
Panwaslu/Bawaslu, KPU dan Pengadilan. Dengan pengertian
tersebut, tidak jelas pembagian kewenangan masing-masing
institusi terhadap jenis dan batasan pelanggaran yang
ditanganinya
c. Perihal tentang pihak-pihak yang dikategorikan sebagai pelaku
pelanggaran administrasi pemilukada. Hal ini penting
mengingat dalam proses pemilukada terdapat peserta,
penyelenggara, pemantau dan masyarakat yang kesemuanya
terbuka peluang melakukan pelanggaran administrasi dan
tentunya memerlukan kejelasan pihak yang mengadu dan
teradu ketika terjadi pelanggaran administrasi.
Ketiadaan konsepsi tentang pelanggaran administrasi ini khususnya dalam
ketentuan tentang pemilukada menjadi salah satu persoalan utama dalam proses
penegakan hukum administrasi dalam pemilukada. Ketiadaan konsepsi inilah yang
kemudian menyebabkan munculnya multitafsir terhadap jenis-jenis pelanggaran
124
administrasi, para pihak yang terkait (subyek), batas waktu penyelesaian dan
penanggung jawab penegakan hukumnya.
a. Pengaturan tentang Sengketa Adminsitrasi
Istilah atau konsep Sengketa Administrasi dalam Pemilihan Kepala daerah
belum sepenuhnya dibahas dan diatur secara utuh dan sistematis baik dalam Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 junto Undang-Undang nomor 12 tahun 2008 tentang
Pemilihan Kepala Daerah, Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 junto Undang-
Undang nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Bahkan apabila ditarik
lebih jauh bahwa ketentuan perundang-undangan tentang Pemilu selama ini
khususnya dalam pemilukada, perumus perundang-undangan belum pernah
merumuskan definisi tentang sengketa pemilu atau pemilukada. Panitia Pengawas
Pemilu yang dibentuk menjelang pemilu 2004 mendefinisikan sengketa pemilu sebagai
berikut:
“perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul karena adanyaperbedaan penafsiran antara para pihak, atau suatu ketidaksepakatan tertentu,yang berhubungan dengan fakta kegiatan dan peristiwa, hukum atau kebijakan,di mana suatu pengakuan atau pendapat dari salah satu pihak mendapatkanpenolakan, pengakuan yang berbeda, atau penghindaran dari pihak lain, yangterjadi dalam penyelenggaraan pemilu”149
Namun undang-undang tentang Pemilukada tidak mengatur hal tersebut.
Bahkan sejak awal paradigma penegakan hukum administrasi yang terkandung dalam
Undang-Undang 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang
149Topo Santoso dkk ibid. hlm 54
125
penyelenggara pemilu adalah berbasis pada paradigma pelanggaran administrasi,
bukan sengketa administrasi. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa hukum dan
penyelesaiannya yang hanya melibatkan antara Pelaku (dalam hal ini peserta
pemilukada) yang melanggar aturan perundang-undangan dan kemudian diperiksa
oleh Panwaslu dan direkomendasikan ke KPUD untuk ditindaklanjuti mengenai benar
salahnya pelanggaran tersebut.
Dalam kasus Pemilukada Kabupaten Gowa tahun 2010 yang menjadi obyek
kajian dalam penelitian ini terdapat laporan dari masyarakat kepada panwaslu
kabupaten Gowa tentang dugaan pemalsuan ijazah sebagai syarat administrasi
pencalonan oleh salah satu kandidat. Mengingat UU 32 tahun 2004 junto Undang-
Undang 22 tahun 2007 hanya menempatkan Panwaslu untuk memeriksa tapi tidak
mengeksekusi berupa keputusan terhadap pelanggaran administrasi, maka Panwaslu
sesuai dengan tugasnya hanya merekomendasikan dugaan pelanggaran tersebut ke
Polres Sungguhminasa dan KPUD Kabupaten Gowa.
Menurut mantan anggota Panwaslu Kabupaten Gowa, Fatmawati Rahim150,
ketika itu karena laporan tersebut dilaporkan masuk ke Panwaslu maka setelah
diperiksa dan diteliti, maka dugaan yang bersifat pidana direkomendasikan ke pihak
kepolisian sedangkan untuk memastikan hal tersebut sebagai pelanggaran
administrasi, maka Panwaslu Kabupaten Gowa merekomendasikan ke KPUD
Kabupaten Gowa. Panwaslu hanya memberi rekomendasi karena sebatas itulah
wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang. Dalam konteks ini, karena ijazah
adalah salah satu syarat formil dalam proses kandidasi dalam Pemilukada, maka
150Ketika diwawancarai oleh penulis di kantor KPU Gowa pada tanggal 17 Februari 2013
126
proses administrasi dukungan memiliki pengaruh dalam proses penetapan pasangan
bakal calon menjadi calon dalam pemilukada.
Undang-undang 32 tahun 2004 tidak mengatur soal kepastian hukum
pelanggaran administrasi yang direkomendasikan penyelesaiannya oleh Panwaslu ke
KPUD. Penyelesaian pelanggaran administrasi yang ditangani oleh KPUD yang
selama ini memicu persoalan adalah sengketa pada tahapan penetapan pasangan
calon oleh KPUD. Dalam kasus Pemilukada Kabupaten Gowa yang menjadi salah
satu obyek penelitian ini menunjukkan bahwa , akibat tidak jelasnya penyelesaian soal
pelanggaran administrasi persyaratan formil oleh kandidat Bupati Ichsan Yasin Limpo
oleh KPUD Gowa sehingga menjadi dalil gugatan kandidat Andi Maddusila ketika
menggugat KPUD Gowa ke PTUN Makassar. Dalam dalil gugatannya, Andi Maddusila
selaku pasangan bakal calon menggugat Surat Keputusan Penetapan pasangan calon
oleh KPUD Gowa yang meloloskan pasangan Ichsan Yasin Limpo yang oleh
Panwaslu Gowa telah direkomendasikan melakukan pelanggaran administrasi karena
diduga cacat administrasi dalam kelengkapan dukungan pencalonan.
Temuan penulis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa akibat tidak
terselesaikannya secara baik rekomendasi Panwaslu tentang pelanggaran
administrasi yang terkait dengan dukungan atau syarat administratif pasangan calon
oleh KPUD melahirkan persoalan dalam penetapan pasangan bakal calon menjadi
calon. Pada akhirnya karena persoalan penetapan pasangan calon tersebut kemudian
digugat ke Peratun maka Majelis Hakim di Peratun akan menguji kembali secara
materiil dugaan pelanggaran administrasi yang terkait dengan dukungan atau syarat
127
administratif pasangan calon. Kenyataan ini menurut penulis tidak menunjukkan
penyelesaian hukum yang terintegratif dan efisien.
Dalam kasus Pemilukada Kabupaten Gowa tahun 2010, terungkap bahwa pihak
KPUD Gowa ketika mendapat rekomendasi dari Panwaslu Gowa tidak mau membuka
kembali dokumen kelengkapan administrasi calon Ichan Yasin Limpo untuk
menganalisis dan mengkonfirmasi laporan dari masyarakat melalui Panwaslu perihal
adanya pelanggaran terhadap pasangan tersebut. Akibat ketetertupan pihak KPUD
Gowa menurut Fatmawati Rachim151 selaku mantan Panwaslu Gowa proses
penyelesaian laporan tersebut tidak jelas sampai pada akhirnya KPUD Gowa
mengeluarkan SK Penetapan Pasangan Calon.
Setelah KPUD Gowa menetapkan pasangan bakal calon menjadi calon dan
sampai pada tahapan pemilihan, sesungguhnya tidak ada pihak yang menggugat dan
merasa dirugikan oleh Surat Keputusan Penetapan Pasangan calon yang diterbitkan
oleh KPUD. Namun pada saat setelah pemilihan serta penghitungan suara dan telah
diperoleh pasangan pemenang yakni pasangan Ihsan Yasin Limpo, maka pasangan
Andi Maddusila mengajukan gugatan ke PTUN Makassar dengan obyek gugatan
adalah Surat Keputusan KPUD tentang penetapan pasangan bakal calon menjadi
calon.
Dalam materi Undang-Undang 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 22
tahun 2007, kedua Undang-undang ini belum mengenal sengketa yang
menghadapkan antara peserta pemilukada dengan peserta pemilukada atau peserta
151Ketika diwawancarai oleh penulis di kantor KPU Gowa pada tanggal 17 Februari 2013
128
pemilukada dengan dengan penyelenggara pemilukada152. Ketika KPUD
mengeluarkan SK Penetapan Pasangan Calon dalam Pemilukada maka keputusan
KPUD tersebut sesungguhnya bersifat final dan mengikat sebagaimana tercantum
dalam Pasal 61 ayat 4 yang mengatur;
(4) Penetapan dan pengumuman pasangan calon sebagaimanadimaksud pada ayat (3) bersifat final dan mengikat.
Menurut Penulis, bunyi Pasal 61 ayat 4 tersebut menunjukkan bahwa UU 32
tahun 2004 pada dasarnya tidak menganut sengketa administrasi karena pihak
peserta dalam hal ini calon kandidat yang merasa dirugikan dengan terbitnya SK
Penetapan Pasangan oleh KPUD tidak diberikan peluang hukum untuk mengoreksi SK
tersebut. Artinya secara lex specialist, UU Nomor 32 tahun 2004 yang mengatur
tentang Pemilihan Kepala daerah sejak awal tidak mengatur atau tidak memberi
peluang adanya sengketa antara kandidat dengan penyelenggara pemilukada, dalam
hal ini KPUD, karena setiap keputusan KPUD selalu bersifat final dan mengikat kecuali
SK tentang Penghitungan Hasil akhir yang dapat disengketakan ke Mahkamah
Konstitusi berdasarkan UU nomor 10 tahun 2008.
Sengketa mengenai hasil pemilukada, menjadi wewenang Mahkamah
Konstitusi, berdasarkan ketentuan Pasal 236-c UU No.12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Wewenang
Mahkamah Konstitusi ini merupakan pengalihan dari wewenang Mahkamah Agung
152Namun Kasus pilkada DKI tahun 2012 menunjukkan bahwa ada sengketa antara peserta dengan peserta yang
ditangani oleh Panwaslu DKI, yakni antara pendukung pasangan Jokowi-Basuki dengan Pasangan Fauzi Bowo-
Nachrowi . Hal ini memungkinkan dilakukan Panwaslu berdasarkan ketentuan dalam uu. No. 15 tahun 2011.
Namun UU. Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu tetap tidak memberi kewenangan Panwaslu
menyelesaikan sengketa antara peserta dengan penyelenggara pemilukada
129
(cq. Pengadilan Tinggi) yang semula diatur dalam Pasal 89 dan Pasal 94 PP No.6
Tahun 2005
Persoalannya adalah UU. No. 32 tahun 2004 jo. UU. No. 12 tahun 2008 tidak
menyatakan secara jelas upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak yang
merasa dirugikan atas terbitnya keputusan/penetapan KPUD ketika menjalankan
tahapan pemilukada, termasuk dalam tahapan penetapan pasangan calon. Padahal
upaya hukum tersebut diperlukan untuk memastikan proses pemilu berjalan dengan
demokratis, jujur dan adil bagi setiap pihak yang terlibat di dalam penyelenggaraan
pemilu153.
Adanya ketentuan dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerinrah Daerah yang di dalamnya mengatur pelaksanaan pemilukada khusus
dalam Pasal 61 ayat 4 yakni (4) Penetapan dan pengumuman pasangan calon
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat final dan mengikat menunjukkan adanya
ketidaksinkronan dengan hukum acara dalam peradilan tata usaha negara. Dalam
hukum acara Peratun yang menjadi obyek sengketa adalah penetapan atau keputusan
(Beschikking) yang dikeluarkan oleh pajabat tata usaha negara yang merugikan orang
atau badan hukum perdata.
Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 ayat 9 dan 10
berbunyi:
Ayat 9: Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulisyang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi
153Titi Anggaraini dkk, Menata kembali Pengaturan Pemilukada, Perludem. 2011. Hlm. 86
130
tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturanperundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
Ayat 10: Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbuldalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdatadengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah,sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuksengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yangberlaku;
Berdasarkan konsepsi itu dapat ditemukan bahwa sumber awal dari adanya
sengketa di Pengadilan tata Usaha Negara adalah adanya Surat Keputusan yang
dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Tanpa adanya Surat Keputusan,
mustahil ada sengketa Tata usaha negara. Menurut Philipus M. Hadjon dasar lahrnya
sebuah sengketa tata usaha negara adalah adanya Keputusan Tata Usaha Negara,
sebagai konsekuensi logis dari sengketa tata usaha negara adalah keputusan atau
ketetapan (beschikking). Dalam konteks Pasal 61 ayat 4 dalam Undang-Undang
Pemilukada sebagaimana di atas, maka menurut penulis pencantuman kalimat
“bersifat final dan mengikat” terhadap keputusan atau ketetapan yang diterbitkan
KPUD menunjukkan bahwa penegakan hukum administrasi dalam proses penetapan
tersebut tidak akan berjalan maksimal karena tidak adanya proses pengujian terhadap
produk administrasi yang diterbitkan oleh KPUD selaku pejabat tata usaha negara.
Sementara Hukum acara Peratun sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 9 dan 10
setiap saat memberikan peluang kepada masyarakat atau badan hukum perdata untuk
bersengketa atau menguji setiap keputusan pejabat tata usaha negara yang
merugikan orang atau badan hukum perdata. Dalam hal ini termasuk halnya
keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Namun
pada kenyataannya, Pasal 61 ayat 4 tidak mengatur ketentuan pengujian administrasi
131
terhadap keputusan KPUD tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah ke
Peradilan Tata Usaha Negara. Tidak adanya pengaturan tersebut terlihat pada pasal-
pasal dalam Undang-Undang Pemilukada yang tidak mencantumkan kewenangan
Peratun dalam menguji dan menyelesaikan sengketa terhadap terbitnya keputusan
KPUD tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah.
Meskipun kewenangan Peratun tidak diatur dalam Undang-Undang
Pemilukada, namun pada kenyataannya, masyarakat dalam hal ini pasangan bakal
calon pada umumnya sebagian mengajukan gugatan ke Peratun terhadap terbitnya
SK KPUD tersebut. Akibat dari tidak sinkronnya ketentuan dalam Pemilukada dengan
hukum acara di Peratun mengakibatkan munculnya berbagai macam persoalan dan
ketidakpastian hukum dalam proses penyelesaian sengketa administrasi dalam
penetapan pasangan calon oleh KPUD. Persoalan tersebut antara lain soal tenggang
waktu mengajukan gugatan, pelaksanaan putusan penundaan, ketidakjelasan subyek
dan obyek sengketa dan upaya pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
Sehingga menurut penulis, definisi atau konsep tentang sengketa administrasi
dalam pemilukada harus jelas dan terukur agar para pihak yang berselisih memiliki
perangkat dan aturan yang jelas sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Definisi
sengketa pemilukada menurut penulis adalah sengketa yang terjadi antarpeserta
Pemilukada dan sengketa Peserta Pemilukada dengan penyelenggara Pemilukada
sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPUD Provinsi, dan KPUD Kabupaten/Kota.
Sedangkan sengketa administrasi dalam pemilukada dapat didefinisikan sebagai
sengketa yang timbul dalam bidang adminsitrasi Pemilu antara masyarakat, bakal
132
calon dan atau calon dengan KPUD Provinsi, dan KPUD Kabupaten/Kota sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPUD Provinsi, dan KPUD Kabupaten/Kota.
Salah satu contoh kongkret dari sengketa administrasi dalam pemilukada adalah
sengketa yang timbul akibat keputusan KPUD yang tidak meloloskan bakal calon
kepala daerah menjadi calon tetap kepala daerah.
b. Analisa Yuridis Kewenangan Peratun
Sinkronisasi perundang-undangan juga tekait dengan kewenangan Peratun
dalam menguji sengketa administrasi yang muncul dalam Pemilukada. Meskipun pada
kenyataannya SK Penetapan Pasangan calon yang diterbitkan oleh KPUD digugat
oleh kandidat atau pihak yang merasa dirugikan dengan terbitnya SK tersebut ke
Peratun, maka tindakan hukum tersebut berdasarkan prinsip lex generalis semata. Hal
tersebut mengingat SK Penetapan Pasangan calon yang diterbitkan oleh KPUD
merupakan Surat Ketetapan (Beschikking) yang dapat digugat di Peratun
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undangan Peradilan Tata usaha
Negara nomor 51 tahun 2009 yang berbunyi:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yangdikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakanhukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundanganyang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkanakibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”
Konsekuensi dari penerapan lex generalis dalam penyelesaian sengketa
penetapan pasangan calon oleh KPUD di Peratun, maka proses beracara dalam
penyelesaian sengketa tersebut diselesaikan secara lex generalis dengan mengikuti
hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun pelanggaran (sengketa) yang
bersifat administratif yang bukan mengenai hasil pemilukada, menjadi wewenang
133
Pengadilan di lingkungan Peratun berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 2
huruf (g) Undang-Undang (UU) No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, jo Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) No.7 Tahun 2010 tanggal 11
Mei 2010.
Wewenang Peratun dalam memeriksa dan memutus sengketa pemilukada,
sebenarnya relatif paling sedikit dibandingkan dengan Peradilan Umum maupun
Mahkamah Konstitusi. Adanya faktor wewenang Peratun yang relatif kecil tersebut di
dalam UU maupun PP tentang Pemilukada sama sekali tidak disebut adanya
kewenangan Peratun, melainkan yang disebut hanyalah kewenangan Peradilan
Umum (Pengadilan Negeri) untuk menangani pelanggaran pidana pemilu dan
Mahkamah Konstitusi (dulu Mahkamah Agung cq. Pengadilan Tinggi) menangani
sengketa hasil pemilukada. Bahkan sebelum terbitnya SEMA No.7 Tahun 2010,
menurut SEMA No.8 Tahun 2006 ditentukan bahwa Peratun sama sekali tidak
berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa yang menyangkut pemilukada,
baik yang berupa sengketa administratif maupun sengketa mengenai hasil
pemilukada.
Setelah lima tahun berlakunya SEMA No.8 Tahun 2005, kemudian terbit SEMA
No.7 Tahun 2010 tanggal 11 Mei 2010 yang intinya membedakan sengketa
pemilukada dalam dua jenis, yaitu yang bersifat administratif menjadi wewenang
Peratun, sedangkan yang mengenai hasil pemilukada bukan wewenang Peratun.
Ketentuan SEMA No.7 Tahun 2010 ini sebenarnya bukan hal baru, melainkan
menegaskan kembali penafsiran Pasal 2 huruf (g) UU No.5/1986 jo UU No.9/2004.
134
Untuk lebih jelasnya, disini dikutip sebagian isi pokok dari SEMA No.7/2010 antara lain
sebagai berikut :
“bahwa keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan yangditerbitkan oleh Komisi Pemilihan Umum baik di tingkat Pusatmaupun di tingkat Daerah mengenai hasil Pemilihan Umum, tidakdapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan mengacu pada SEMA No.7/2010 tersebut di atas, maka ruang lingkup
kewenangan Peratun terhadap sengketa administratif yang berkaitan dengan
pemilukada tersebut pada hakekatnya hanya mencakup proses administratif sebelum
(pra) pelaksanaan pemilukada (vide Bab V, PP No.6/2005) , antara lain keputusan
TUN mengenai proses pendaftaran dan verifikasi bakal calon peserta (kontestan)
pemilukada, termasuk keputusan mengenai penerimaan atau penolakan bakal
calonserta keputusan TUN mengenai penetapan/pengumuman calon yang dapat
mengikuti pemilukada.
Berikut skema perbedaan penanganan sengketa tahapan pemilukada oleh tiga
lembaga peradilan, yakni Peratun, Peradilan Umum (PU) dan MK;
Tabel 1. Perbandingan kewenangan Peratun, PU dan MK dalam penanganan
sengketa pemilukada
TAHAPAN PENGADILAN YANG
BERWENANG
LANDASAN
HUKUM
JENIS KASUS DURASI WAKTU
PENYELESAIAN
SENGKETA
PRA HARI H
PENCOBLOSAN
Peratun UU No.5/1986 jo
SEMA No.7/2010
Sengketa
Administratif, a.l.
:Pendaftaran
Bakal
Calon,Penetapan
Calon,
Jangka Waktu
mengajukan
Gugatan paling
lambat 90 hari
setelah
ditetapkannya atau
135
Penetapan
Daftar Pemilih
Tetap dsb
diterimanya
Keputusan KPU
SETELAH HARI
H
MAHKAMAH
KONSTITUSI
UU No.12/2008
Pasal 236-C
Sengketa Hasil
Pemilukada :
Penetapan
Penghitungan
Suara,
Penetapan Calon
Terpilih, dsb.
Jangka Waktu
mengajukan
Gugatan 3 hari
setelah KPU
menetapkan
pasangan terpilih
SEPANJANG
TAHAPAN
PEMILUKADA
PERADILAN UMUM PP No.6/2005
Pasal 114 jo PP
No.17/2005 jo
No. PP. 49/2008
Kasus
Pemilukada yang
diduga
mengandung
unsur tindak
pidana
Jangka Waktu
Laporan/Pengaduan
7 hari
Sumber: diolah dari UU.32 tahun 2004, UU.No.12 tahun 2008, UU.No. 5 tahun 1986
Khusus dalam hal terjadi tindak pidana yang terkait dengan urusan administrasi,
maka Pasal 114 PP No.6/2005 mengatur bahwa Pemeriksaan atas tindak pidana
dalam peraturan pemerintah ini dilakukan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum.Contoh : Pasal 9 ayat (2) huruf f Peraturan KPU No.68/2009 :
“Apabila terdapat pengaduan atau laporan tentang ketidakbenaran ijazahbakal pasangan calon di semua jenjang pendidikan, kewenangan atas laporantersebut diserahkan kepada pihak Pengawas Pemilu dan Kepolisian, sampaidengan terbitnya Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukumtetap”
Skema tersebut menggambarkan perbedaan yang signifikan terhadap pola
penyelesaian sengketa pemilukada di Peratun dengan di Mahkamah Konstitusi dan
Peradilan Umum. Perbedaan tersebut khususnya dalam waktu atau durasi
136
penyelesaian sengketa. Untuk Mahkamah Konstitusi, tenggang waktu mengajukan
gugatan apabila kandidat merasa dirugikan dengan keputusan KPUD tentang
penetapan pemenang pemilukada adalah 3 hari. Artinya ketika melewati 3 hari setelah
KPU mengeluarkan Keputusan, maka gugatan yang diajukan ke MK dinyatakan tidak
diterima karena kadaluarsa (Verjaring).
Begitupun dengan adanya dugaan pelanggaran pidana pemilukada. Tenggang
waktu untuk mengajukan laporan ke pihak kepolisian adalah 7 hari setelah terjadinya
dugaan tindak pidana. Apabila laporan melewati 7 hari maka laporan tersebut
dinyatakan kadaluwarsa. Baik mekanisme di MK maupun di kepolisian telah
menggunakan mekanisme cepat dalam penyelesaian perkara pemilu. Hal yang
berbeda dengan penanganan sengketa di Peratun. Karena UU tentang Pemilukada
termasuk UU. 32 tahun 2004 tidak mengatur soal jangka waktu khusus penyelesaian
sengketa di Peratun, maka yang berlaku adalah mekanisme biasa, yakni gugatan
dapat diajukan paling lambat 90 hari setelah Keputusan pejabat tata usaha negara
diterima atau diumumkan.
Dalam kasus Pemilukada, para kandidat atau pihak yang merasa dirugikan
masih memiliki waktu yang cukup lama untuk menggugat keputusan KPUD yang
merasa merugikan kepentingan mereka. Dengan menggunakan atau mengikuti
hukum acara peradilan tata usaha negara dalam penyelesaian sengketa penetapan
pasangan calon dalam Pemilukada maka pada prakteknya penyelesaian sengketa
tersebut menjadi lama. Hal inilah yang memicu persoalan mengingat sengketa
penetapan pasangan adalah merupakan ranah atau peristiwa politik yang harus
memiliki sistem penyelesaian yang cepat dan efektif.
137
c. Substansi Perbaikan Ketentuan Perundang-Undangan
Sebagaimana teori Lawrence Friedmen tentang sistem hukum yang
menerangkan bahwa salah satu pilar penting dari terbentuknya sistem hukum adalah
adanya subtansi perundang-undangan yang baik dan integratif. Dalam konteks
perbaikan sistem penegakan hukum administrasi dalam pemilukada khususnya dalam
penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon, maka menurut penulis diperlukan
perbaikan substansi perundang-undangan. Revisi perundang-undangan yang
dimaksud khususnya yang mengatur tentang hukum acara Peradilan Tata Usaha
Negara, perundang-undangan yang mengatur tentang pemilukada dan penyelenggara
pemilu, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 junto Undang-undang
Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemilukada serta Undang-Undang Nomor 22 tahun
2007 sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-undang Nomor 15 tahun
2011 tentang penyelenggara Pemilu.
Perbaikan ketentuan perundang-undangan berdasarkan pembahasan yang
terkait dengan ketentuan pelanggaran dan sengketa dalam pemilukada yang terdapat
dalam perundang-undangan Pemilukada serta dikaitkan dengan kewenangan Peratun
dalam menyelesaikan sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada.
Beberapa pemikiran tentang perbaikan undang-undang terangkum dalam hasil
penelitian di lapangan dengan beberapa responden yang kemudian dianalisis oleh
penulis sehingga melahirkan beberapa pokok pikiran berupa indikator yang dapat
dijadikan tolak dalam perbaikan peraturan perundang-undangan, yakni persoalan
138
tentang Tenggang Waktu Mengajukan Gugatan dan Mekanisme pelaksanaan putusan
Penundaan (Schoorsing)
a). Tenggang waktu mengajukan Gugatan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 yang disahkan pada tahun 1986
dirumuskan pada saat kehidupan politik dan demokrasi masih cenderung tertutup. Hal
ini ditandai dengan pola pemilihan kepala daerah baik di kabupaten maupun Provinsi
yang menggunakan mekanisme penunjukan dan pemiluhan yang dilakukan oleh
DPRD. Mekanisme pemilihan kepala daerah yang dipilih oleh DPRD mengakibatkan
tidak terjadi proses pemilihan yang seperti saat ini. Sehingga KPU tidak memiliki
agenda dan kegiatan electoral dan tidak melakukan tindakan-tindakan administratif
yang sifatnya kebijakan administratif.
Dengan kondisi demikian tidak banyak muncul keputusan-keputusan yang
diterbitkan oleh KPUD. Kenyataan yang demikian itu tergambar dari materi Undang-
Undang Nomor 5 tahun 1986 yang tidak banyak mengatur dan mengantisipasi
ketentuan hukum administratif dalam hal pelaksanaan pemilu atau pemilukada. Hal ini
ditunjukkan oleh UU ini bahwa kegiatan pemilu hanya disinggung pada Pasal 2 huruf g
yang mengatur:
Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenaihasil pemilihan umum.
Pasal ini tidak mengatur tentang Keputusan Panitia Pemilihan mengenai hal-hal
yang tidak terkait dengan hasil pemilihan umum. Hal ini mudah dapat dipahami
mengingat ketika itu belum ada tindakan-tindakan administratif berupa Keputusan KPU
139
dalam bentuk beshickking yang mengatur tahapan pemilu sebelum pencoblosan.
Berbeda dengan saat ini, dengan mekanisme pemilihan langsung, maka fokus KPU
tidak hanya pada hasil pemilihan, tetapi juga pada tahapan sebelumnya, misalnya
tahapan pemeriksaan bakal calon, penetapan daftar pemilih, tahapan kampanye,
tahapan penetapan pasangan calon dll.
Adanya perbedaan sistem pemilihan kepala daerah pada saat tahun 1980-an
yakni sebelum berlangsungnya masa reformasi dengan sistem pemilihan kepala
daerah saat ini sebagaimana disinggung dalam Tinjauan Pustaka di atas
mengakibatkan beberapa substansi UU. Nomor 5 tahun 1986 tidak relevan lagi dalam
menyelesaikan sengketa administrasi pada pelaksanaan pemilukada saat ini. Salah
satu substansi yang tidak diantisipasi dalam UU tersebut adalah soal waktu
penyelesaian sengketa dalam pemilukada.
Dalam tenggang waktu menggugat, Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 tahun
1986 tidak merancang khusus soal tenggang waktu menggugat dalam sengketa
pemilukada, namun ketentuan tenggang waktu menggugat masih bersifat umum.
Sehingga saat ini Penggugat yang dirugikan dalam penerbitan obyek sengketa yang
diterbitkan KPUD seperti penetapan pasangan calon dapat diajukan ke Peratun
selama masih 90 hari waktu Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu
sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Jadi meskipun hari pencoblosan telah
dilaksanakan, namun apabila 90 hari belum melewati masa tenggang menggugat,
maka Pengadilan Tata Usaha Negara wajib mengadili, memutus dan menyelesaikan
gugatan tersebut.
140
Pada penjelasan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 disebutkan
bahwa
“bagi pihak yang namanya tersebut dalam Keputusan Tata UsahaNegara yang digugat, maka tenggang waktu Sembilan puluh hari dihitung sejakhari diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat”
Penjelasan pasal ini membuka kesempatan bagi pihak siapapun yang merasa
dirugikan dengan Keputusan KPUD yang mengakibatkan proses penyelesaian
perkara pemilukada menjadi lambat dan menjadi alasan KPUD tidak mengeksekusi
putusan Peratun.
Dalam konteks pelaksanaan ius constitutum (pelaksanaan hukum sekarang)
maka menurut Penulis, ketentuan tentang tenggang waktu menggugat dalam UU. No.
5 Tahun 1986 sudah semestinya direvisi agar dapat menyesuaikan dengan kegiatan-
kegiatan pemerintahan yang sifatnya temporal insidentil, seperti penyelenggaraan
pemilu atau Pemilukada yang berlangsung sesaat dan selesai dalam kurung waktu
tertentu yang relatif cepat. Artinya tenggang waktu menggugat dalam kegiatan
pemerintahan yang sifatnya temporal pengaturannya lebih pendek agar ketentuan
hukum acara peradilan tata usaha negara tidak berbenturan dengan ketentuan
perundang-undangan pemilu atau pemilukada. Sehingga redaksi Pasal 55 UU. Nomor
5 tahun 1986 berubah menjadi:
Ayat 1: Gugatan diajukan selama Sembilan Puluh hari sejak diterimaatau diumumkannya KTUNAyat 2: Ketentuan tenggang waktu sebagaimana disebutkan pada ayat 2tidak berlaku selama ketentuan tentang tenggang waktu menggugatdiatur secara khusus oleh ketentuan pelaksanaan KTUN tersebut .
141
Dengan adanya perubahan tersebut, maka diharapkan pengaturan soal
tenggang waktu dalam ketentuan pemilukada memiliki kesesuaian dengan hukum
acara peradilan tata usaha negara. Pasal 55 UU no 5 tahun 1986 tentang Peratun
menerangkan bahwa;
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hariterhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau PejabatTata Usaha Negara.
Dalam penjelasan Pasal 55 ini sebagaimana di dalam surat Edaran Mahkamah
Agung no 2 tahun 1991 disebutkan bahwa bagi pihak yang tidak dituju langsung oleh
terbitnya Keputusan tata usaha negara, maka penghitungan tenggang waktu dihitung
secara kasuistis sejak kepentingan pihak tersebut merasa dirugikan dengan terbitnya
keputusan tersebut.
Dalam kasus perkara no 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi
Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa terlihat adanya problem penerapan
tenggang waktu Pasal 55 UU Peratun dalam perkara Pemilukada. Pada kasus ini,
Penggugat merasa kepentingannya dirugikan oleh terbitnya SK KPUD tentang
Penetapan Calon Bupati Gowa karena proses penerbitan SK tersebut tidak dilalui oleh
proses verifikasi yang cermat dan valid. Penggugat mengajukan gugatan pada saat
tahapan Pemilukada sudah selesai, yakni setelah pelantikan calon terpilih. Penggugat
mengklaim, gugatannya masih dalam tenggang waktu mengingat Penggugat baru
sadar dan tahu kepentingannya dirugikan dengan keluarnya SK itu setelah Pelantikan
berlangsung dan masih dalam tenggang waktu 90 hari.
142
Meskipun pada akhirnya Gugatan 51/G.TUN/2010/PTUN Makassar antara Andi
Maddusila melawan KPUD Kabupaten Gowa tidak lolos dismissal oleh Ketua PTUN
Makassar, namun Gugatan ini menyisakan persoalan pokok. Yakni gugatan perkara
Pemilukada yang diajukan masih dalam tenggang waktu namun di sisi lain tahapan
Pemilukada sudah memasuki tahapan pemilihan suara bahkan penetapan pasangan
yang berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum terhadap tahapan pemilukada.
Selain itu, gugatan yang muncul pada tahapan akhir Pemilukada atau bahkan
selesainya semua tahapan Pemilukada akan memicu gejolak sosial di tengah
masyarakat.
Sehingga persoalannya adalah bagaimana mencari titik temu atau solusi antara
tahapan Pemilukada yang telah terjadwal dan terus berjalan dengan adanya gugatan
ke Peratun yang muncul setiap saat mengingat durasi tenggang waktu dalam gugatan
Peratun cukup lama, yakni 90 hari. Merunut pola jadwal tahapan pemilukada yang
sering digunakan oleh KPUD dalam Pemilukada, maka pada umumnya jangka waktu
90 hari bagi pelaksanaan Pemilukada dapat mencakup lima tahapan, yakni
Pendaftaran dan Penetapan Calon Pasangan, Kampanye, Pemungutan Suara,
Penghitungan Suara dan Penetapan Pasangan Pemenang.
Seperti dalam kasus Pemilukada Gowa Sulawesi Selatan, KPUD melalui Surat
KPUD Gowa ; Kep. KPU Kab. Gowa No. 01/SK/KPUGW/ PKWK/ X/2009 Tanggal 21
Oktober 2009 menetapkan jadwal tahapan Pemilukada, yakni tahapan Pendaftaran
dan Penetapan Calon berakhir tanggal 21 April 2010 dan Penetapan Pasangan
Pemenang pada tanggal 02 Juli 2010. Dalam kasus ini misalnya , tenggang 90 hari
menjadi persoalan ketika pihak pertama atau pihak ketiga baru merasakan
143
kepentingannya dirugikan pada awal bulan Juli atau tepatnya memasuki Tahapan
Penetapan Pasangan Pemenang. Hal itulah yang terjadi ketika kandidat Andi
Maddusila mengajukan gugatan di PTUN Makassar.
Dengan berdasarkan prinsip merasa kepentingannya dirugikan, pihak ke- 3
dapat saja mengajukan gugatan selama 90 hari atau lebih sejak kepentingannya
dirugikan meskipun pada faktanya tahapan Pemilukada sudah akan berakhir atau
sudah selesai. Dalam kasus Pemilukada Gowa tersebut di atas, partai-partai
pengusung Andi Maddusila baru merasa kepentingannya dirugikan ketika Badan
Kehormatan KPUD Provinsi Sulawesi Selatan memeriksa anggota KPUD Gowa. Hasil
pemeriksaan tersebut menunjukkan bahwa ada kesalahan yang dilakukan KPUD
Gowa dalam melakukan verifikasi bakal calon kandidat pemilukada Gowa. Kesalahan
tersebut berupa diloloskannya bakal calon yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat
secara formal. Kesalahan yang dilakukan KPUD tersebut menjadi titik awal bahwa
ada kepentingan para partai pengusung Andi Maddusila yang dirugikan. Padahal
informasi bahwa KPUD melakukan kesalahan tersebut muncul ketika tahapan
Pemilukada sudah selesai.
Menurut Penulis, modus tentang kepentingan pihak ke-3 yang merasa dirugikan
yang muncul dalam rentang waktu yang cukup lama sejak lewatnya masa tenggang
waktu 90 hari karena terpenuhinya unsur “Kasuistis” nampaknya akan semakin banyak
ditemui dalam kasus pemilukada. Penyebabnya adalah karena pemilukada adalah
peristiwa politik maka factor kekecewaan dari pihak yang kalah cukup besar. Kondisi
ini kemudian berhadapan dengan kinerja KPUD dalam mengelola penerbitan KTUN
terkadang lalai dan kurang cermat. Dalam kondisi inilah pihak-pihak yang terkait
144
dengan pelaksanaan pemilukada berusaha menggugat KTUN yang merugikan
tersebut.
Sepertinya halnya dalam Pemilukada Bulukumba tahun 2010. Pasangan Bupati
terpilih saat ini, yakni Zainuddin ketika proses pengajuan syarat dukungan dilaporkan
oleh masyarakat menggunakan dokumen palsu dukungan parpol tertentu. Kepolisian
kemudian menindaklanjuti laporan tersebut sampai akhirnya memiliki kekuatan hukum
tetap yang intinya menegaskan bahwa Pasangan Zainuddin terbukti secara hukum
melakukan pemalsuan dokumen dukungan parpol. Putusan pidana tersebut baru
berkekuatan hukum tetap setelah bupati terpilih dan telah bekerja selama 2 tahun.
Atas putusan pidana tersebut melahirkan situasi kepentingan yang dirugikan bagi
pihak pasangan yang kalah oleh pasangan Bupati Zainuddin yang saat ini memimpin
Bulukumba. Sehingga pada faktanya, Andi Syukri yang pada saat pilkada dikalahkan
oleh Zainuddin merasa memiliki kepentingan yang dirugikan atas keputusan KPUD
yang meloloskan Zainudin dan akhirnya Andi Syukri mengajukan gugatan ke PTUN
Makassar pada tahun 2012, yakni 2 tahun setelah pasangan Bupati Terpilih. Meskipun
pada akhirnya Majelis Hakim PTUN Makassar menjatuhkan putusan Niet Onvaklijk
verklard (Gugatan Tidak diterima) karena gugatan telah melewati tenggang waktu
menggugat.
Namun menurut penulis, apabila konsisten dengan frasa “merasa
kepentingannya dirugikan” maka gugatan Andi Syukri tersebut semestinya masih bisa
diterima oleh PTUN Makassar dengan alasan kepentingannya yang merasa dirugikan
baru muncul ketika tahun 2012 ketika putusan pidana atas dugaan pemalsuan
dokumen dukungan baru memiliki kepastian hukum pada tahun 2012. Pada waktu
145
sebelum itu belum ada kepentingan yang dirugikan sebab tidak ada kepastian hukum
terhadap dugaan tindak pidana oleh pasangan bupati Bulukumba yang terpilih.
Sesungguhnya proses gugatan tersebut menjadi sesuatu yang normatif dan
biasa-biasa saja. Namun yang menjadi persoalan adalah dalam peristiwa politik
seperti pemilukada, masa tenggang waktu menggugat seperti yang diatur dalam Pasal
55 Undang-Undang Peratun adalah merupakan rentang waktu yang cukup lama.
Sehingga memicu ketidakpastian hukum bagi KTUN yang diterbitkan KPUD serta
mengganggu proses berjalannya pemilihan. Selain itu putusan Peratun yang pada
akhirnya menganulir Keputusan KPUD dengan perintah meloloskan atau
menggugurkan pasangan calon adalah sebuah masalah tersendiri. Sebab perintah
putusan Peratun tersebut tidak mudah dilaksanakan karena pada umumnya pasangan
calon sudah terpilih, artinya pemulikada sudah selesai. Hal tersebut terjadi karena
putusan Peratun di tingkat pertama tidak serta merta berstatus hukum final, karena
biasanya para pihak yang kalah masih mengajukan banding atau kasasi, sehingga
proses hukumnya berlangsung lama sementara pemilukada sudah selesai.
Dalam penelitian ini, beberapa responden menyebut durasi waktu yang lama
dalam penanganan sengketa di Peratun merupakan salah satu persoalan dalam
penegakan hukum administrasi dalam pemilukada. Tuan Guru Hasanain, mantan
ketua KPUD Lombok Barat menyebut bahwa salah satu sumber kekacauan dalam
pemilukada adalah berlarut-larutnya penyelesaian sengketa pemilukada di Peratun 154.
Menurut Tuan Guru Hasanain, adanya putusan Peratun yang diputus jauh hari setelah
154Sebagaimana wawancara penulis dengan Tuan Guru Hasanain pada tanggal 22 Februari 2012
146
selesainya Pemilukada yang ditandai dengan ditetapkannya pemenang pemilukada
adalah merupakan pelanggaran prinsip hukum karena putusan tersebut datang
belakangan ketika peristiwa hukum sudah terjadi. Kondisi putusan Peratun yang
berkekuatan hukum tetap setelah pemilukada selesai menurut Agus, Ketua KPUD
Lombok Tengah155 merupakan bentuk putusan hukum yang tidak memiliki nilai
kemanfaataan. Sehingga Agus mengharapkan putusan Peratun dalam Pemilukada
memiliki nilai kemanfaatan hukum.
Idealnya, penyelesaian hukum dalam peristiwa politik seperti pemilihan umum
tersebut diatur proses hukum yang berjalan dan selesai dalam waktu relatif singkat.
Jangka waktu pengajuan gugatan di Peratun menurut Pasal 55 adalah 90 (sembilan
puluh) hari. Jangka waktu ini jauh lebih lama dibandingkan dengan jangka waktu
pengajuan sengketa pemilukada ke Mahkamah Konstitusi yang sangat pendek, yaitu
dibatasi hanya 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan (vide Pasal 94 PP
No.6/2005 jo UU No.12/2008), sedangkan untuk kasus pidana pemilukada harus
dilaporkan paling lambat 7 (tujuh) hari (vide Pasal 110 PP No.6/2005). Pembatasan
jangka waktu gugatan sengketa pemilukada tersebut dimaksudkan agar proses
pemilukada tidak terkatung-katung atau terjadi kevakuman, ketidakpastian hukum dan
pengeluaran anggaran yang sangat besar, maka batasan tenggang waktu gugatan
tersebut baik di Peratun, di MK maupun di PN bersifat mutlak, sehingga pengajuan
gugatan yang lewat waktu dinyatakan tidak dapat diterima
155Sebagaimana wawancara penulis dengan Bapak Agus pada tanggal 18 Februari 2012
147
Diperlukan upaya sistematis dan konseptual untuk mendudukkan aturan
tenggang waktu yang proporsional dalam perkara Pemilukada. Dalam pandangan
penulis, tenggang waktu yang diatur dalam Pasal 55 UU Peratun harus diterapkan
Asas lex specialis derogat legi generali pada kasus sengketa Pemilukada. Asas ini
diterapkan apabila terjadi konflik/pertentangan antara undang-undang yang khusus
dengan yang umum maka yang khusus yang berlaku. Dalam konteks ini, ketentuan
tenggang waktu pasal 55 dalam UU Peratun harus dimaknai secara hukum berlaku
pada tataran ketentuan hukum acara peradilan tata usaha negara secara umum.
Namun ketika ketentuan hukum acara Peratun tersebut berhadapan dengan
kasus khusus, seperti halnya kasus sengketa Pemilukada yang mana tahapan
Pemilukada menghendaki proses penyelesaian hukum yang cepat, maka ketentuan
tenggang waktu UU Peratun harus ditentukan secara khusus dalam sengketa
pemilukada. Formula hukum yang paling proporsional adalah, UU Peratun harus
mencantumkan materi eksepsional dalam ketentuan Pasal 55 UU nomor 5 tahun 1986
tentang Peratun , bahwa dalam hal penyelesaian sengketa Pemilu atau Pemilukada,
maka Tenggang waktu dalam mengajukan gugatan adalah 7 (tujuh) hari sejak
keputusan KPU/KPUD dan atau Bawaslu/Panwaslu diterbitkan atau diumumkan.
Hal ini juga diakui oleh Erick Sihombing, Hakim PTUN Jayapura bahwa perlu
penyesuaian antara hukum acara Peratun dengan ketentuan Perundang-undangan
Pemilu. Erick Sihombing menambahkan bahwa selain merevisi bunyi Pasal 55 UU.
No. 5 tahun 1986, perlu juga Mahkamah Agung secara khusus menerbitkan Peraturan
148
Mahkamah Agung atau Surat Edaran Mahkamah Agung yang khusus mengatur
konsep beracara dalam menyeleseaikan sengketa dalam pemilukada156.
Pilihan eksepsional dalam Pasal 55 UU Peratun adalah salah satu upaya untuk
tetap memberikan hak hukum bagi para pencari keadilan dan di sisi lain tetap menjaga
agar proses pelaksanaan pemilu atau pemilukada yang merupakan agenda politik
untuk kepentingan umum tetap terjaga. Secara rasio dalam kasus pemilukada,
penerapan Pasal 55 UU Peratun amat sulit dieksekusi. Seperti dalam kasus gugatan
Pemilukada Gowa di PTUN Makassar yang mana Penggugat menggugat Keputusan
KPUD tentang penetapan calon Bupati Gowa yang pada pokoknya menyoal adanya
calon yang semestinya tidak lolos namun tetap diloloskan oleh KPUD.
Argumentasinya kondisi itu adalah, jika gugatan itu menyangkut calon yang
dianggap tidak sah, maka obyek gugatan dapat segera diputus atau ditunda
(schorsing) sebelum tahap pelaksanaan pemilukada. Sedangkan apabila gugatan itu
baru diajukan setelah tahap pelaksanaan pemungutan suara, berarti obyek gugatan
sudah “terlanjur” dilaksanakan oleh Tergugat (KPU/KPUD) dalam tahap pelaksanaan
pemilukada (pemungutan suara) sehingga apabila ada penundaan (schorsing) sudah
tidak efektif lagi. Di samping itu, telah muncul obyek gugatan baru berupa penetapan
hasil pemilukada yang bukan menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara untuk
memutus dan menyelesaikannya, karena hal itu merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi.
156Sebagaimana wawancara Penulis dengan Erick Sihombing pada tanggal 9 Maret 2012
149
Seharusnya dengan mengacu pada ketentuan SEMA No.07 Tahun 2010 di
atas, maka dalam hal ada sengketa tata usaha negara yang terjadi pada tahap
persiapan pemilukada, seharusnya segera diajukan dalam tahap persiapan atau
sebelum lewat tahap pelaksanaan pemilukada (pemungutan suara : pencontrengan
atau pencoblosan), tahap penghitungan suara dan tahap penetapan calon terpilih
berdasarkan hasil penghitungan suara. Namun logika rasionalitas seperti itu akan
tetap menjadi dilemma dan problem yang tak berkesudahan apabila Pasal 55 UU
Peratun masih tetap memberikan waktu 90 hari untuk tenggang waktu menggugat
tanpa memberikan pilihak specialis atau eksepsional dalam kasus Pemilukada.
Dengan tetap adanya peluang menggugat, maka secara hukum para pencari
keadilan juga tetap melekat hak untuk menggugat. Dalam posisi itu secara hukum juga
terbuka kemungkinan terbitnya keputusan-keputusan hukum yang mungkin juga keluar
dari rasionalitas yang dipahami secara umum. Dengan demikian, apabila Pasal 55 UU
Peratun tidak memberikan pilihan eksepsional, maka ketentuan tersebut memberi
dampak adanya Ketidakpastian Hukum terhadap tahapan-tahapan pilkada yang
belum terkait dengan Hasil pemilihan umum
b). Efektifitas Putusan Penundaan
Salah satu bagian yang perlu pengaturan sinkronisasi antara UU Peratun dan
UU Pemilukada adalah dalam hal Penundaan pelaksanaan tahapan pemilukada akibat
adanya sengketa administrasi. Dalam mengantisipasi begitu lamanya proses
penyelesaian berperkara di Peratun khususnya dalam penyelesaian sengketa
penetapan pasangan calon pilkada, beberapa responden dalam penelitian ini juga
150
merekomendasikan agar seluruh tahapan Pemilukada berhenti ketika terdapat
gugatan sengketa pemilukada di Peratun. Pilihan menunda proses pemilukada
disampaikan oleh Fatmawati Rachim, anggota KPUD Kabupaten Gowa. Menurut
Fatmawati untuk menghindari persoalan yang lebih ruwet dan kompleks di kemudian
hari, maka sebaiknya tahapan pemilukada diberhentikan sampai ada putusan hukum
yang final.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Masdin, salah seorang Hakim di
Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar. Menurutnya tahapan pilkada semestinya
berhenti ketika ada gugatan masuk. Menurut Masdin, menjadi sebuah persoalan
bahkan merupakan tindakan sia-sia apabila tahapan pilkada tidak dihentikan ketika
terdapat gugatan pemilukada mengingat hukum acara Peratun maupun SEMA 07
tahun 2012 tidak mengatur ketentuan hukum acara cepat dalam mengadili sengketa
pemilukada157. Sehingga dengan kondisi aturan yang masih berlaku saat ini, maka
menurut Masdin untuk mengefektifkan pelaksanaan putusan Peratun tentang pilkada
maka selayaknya tahapan pilkada harus berhenti sementara sampai Peratun
memutuskan perkara tersebut yang berkekuatan final dan mengikat. Penundaan
tahapan pilkada dapat dilakukan dengan adanya perintah oleh Hakim Peratun agar
Keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon ditunda pelaksanaannya.
Secara tekhnis hukum acara di Peratun mengenal mekanisme penundaan
pelaksanaan putusan Keputusan tata usaha Negara yang sedang digugat. Ketentuan
157Wawancara Penulis dengan Masdin pada tanggal 18 Maret 2013
151
tentang penundaan Keputusan tersebut diatur dalam Pasal 67 (1) Undang-undang
nomor 5 tahun 1986 yang mengatur:
(1)Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannyaKeputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakanBadan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaanKeputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaansengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusanPengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukansekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokoksengketanya.(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) : a.dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangatmendesakyang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jikaKeputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan;b. tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalamrangkacpembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusantersebut.
Meskipun secara prosedur terbuka peluang untuk penundaan sebuah
keputusan, namun dalam konteks hukum administrasi berlaku prinsip umum bahwa
gugatan terhadap sebuah KTUN tidak menunda pemberlakuan KTUN tersebut atau
tidak gugatan tersebut tidak dapat menghalangi pelaksanaannya. Asas ini dikenal
dengan Praesumptio iustae causa. Mengenai asas ini Indroharto berpendapat bahwa
suatu keputusan atau tindakan administrasi itu selalu diduga sah menurut hukum
karenanya selalu dapat dilaksanakan dengan seketika. Jadi suatu keputusan
administrasi itu dianggap berdiri segaris dengan suatu putusan pengadilan atau suatu
akte otentik158
158Indroharto, Upaya Memahami…Op. Cit. hlm.333
152
Menurut Lintong Siahaan, syarat-syarat untuk menjatuhkan putusan penundaan
di dalam ketentuan perundang-undangan diatur sangat minim sekali. Seolah-olah hal
ini diserahkan ke dalam perkembangan praktik sendiri syarat-syarat tersebut yang
dalam banyak hal justru membingungkan hakim atau sebaliknya memberikan peluang
baginya untuk menyalahgunakannya apabila tidak tahan terhadap godaan-godaan159.
Dalam pandangan Lintong, arti segi hukum kata” kepentingan” dalam Pasal 67
tersebut adalah menyangkut hak milik, hak pakai, hak sewa dan sebagainya. Apabila
hak tersebut dilanggar, maka orang yang dirugikan berhak untuk menuntut hukum.
Prinsip perlindungan hukum harus dipegang teguh160.
Menilai objektifitas antara unsur kepentingan pribadi Penggugat yang
mendesak yang harus dilindungi dengan kepentingan umum yang tidak terganggung
atas dilindunginya kepentingan penggugat adalah sebuah persoalan yang tidak
mudah. Dalam penjelasan Pasal 67 UU. Nomor 5 tahun 1986 diatur bahwa:
….” Pengadilan akan mengabulkan permohonan penundaanpelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut hanya apabila:a. Terdapat keadaan yang sangat mendesak, yaitu jika kerugianyang akan diderita penggugat akan sangat tidak seimbang dibandingdengan manfaat bagi kepentingan yang akan dilindungi olehpelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut; ataub. Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itutidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan umum dalam rangkapembangunan
Dalam mengkonstruksi makna “keadaan sangat mendesak” tersebut Hakim
Peratun betul-betul harus cermat, bijaksana dengan penuh kehati-hatian mengingat
159Lintong Siahaaan. Teori Hukum dan Wajah PTUN setelah amandemen 2004 . Perum Percetakan Negera RI.
Jakarta. 2009.Hlm. 94
160Lintong Siahaan, Ibid.hlm. 97
153
arti mendesak tersebut tidak bisa diartikan secara sempit. Kata-kata mendesak harus
diartikan secara luas, yaitu “ adanya suatu keadaan yang memaksa, keadaan darurat
yang genting apabila KTUN dilaksanakan” sehingga keadaan tersebut benar-benar
mendesak dari segi mental psikologis dan juga dari segi kebutuhan dan ekonomi161
Sementara dikaitkan dengan frasa “Kepentingan Umum”, sebuah kajian oleh
Ibrahim R yang membahas tentang definisi Kepentingan Umum yang terkandung
dalam Pasal 33 UUD NRI 1945 menarik untuk dipertimbangkan dalam pembahasan
ini. Ibrahim R mengatakan bahwa tolak ukur kepentingan umum yang dimaksud
dengan Pasal 33 UUD NRI 1945 adalah kepentingan pemerintah, kepentingan
masyarakat dan kepentingan antar bangsa atau identik dengan kepentingan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan tolak ukur untuk hajat hidup orang banyak
ialah terpenuhinya kebutuhan fisik minimum masyarakat162. Variabel kepentingan
umum dalam penjelasan pasal 67 selalu dikaitkan dengan Pembangunan. Sehingga
kepentingan umum yang dimaksud adalah kepentingan umum dalam rangka
pembangunan.
Menurut Djumialdi Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus
dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan bathin
secara adil dan merata, sebaliknya berhasil tidaknya pembangunan harus
dilaksanakan merata oleh segenap lapisan masyarakat163
161Lintong Siahaan. Ibid
162Ibrahim R, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, cet I. Bandung ; PT. Citra Aditya Bakti, 1997. Hlm. 187
163Djumialdi, Hukum Bangunan, Cet.1 Rineka Cipta. Jakarta. 1996. Hlm.1
154
Dalam konteks penelitian ini, pokok pembahasannya adalah mengkaji
permohonan Penggugat dalam hal ini kandidat yang tidak lolos dalam penetapan
pasangan calon KPUD apakah telah memenuhi unsur keadaan mendesak sehingga
memiliki dalil hukum untuk memohon penundaan pelaksanaan KTUN dan sebaliknya
apakah proses pemilukada yang sedang berlangsung merepresentasikan makna
kepentingan umum dalam rangka pembangunan
Dalam perkara Nomor 51 tahun 2010. PTUN.Mks yang menjadi obyek dalam
penelitian ini, yakni perkara Pilkada Tanah Toraja Utara di mana pasangan Agustinus
La’lang dan Benyamin Patondok, selain mengajukan pembatalan SK Penetapan
pasangan calon oleh KPUD Tanah Toraja Utara juga dalam gugatannya mengajukan
permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan kepada Majelis Hakim. Atas
permohonan tersebut, pada tanggal 7 Oktober 2010 Majelis Hakim mengabulkan
permohonan penggugat tersebut dalam bentuk Penetapan yang dalam pertimbangan
hukumnya yang pada pokoknya mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan
KTUN dalam hal ini Surat KPUD tentang Penetapan Pasangan Calon Bupati Toraja
Utara karena tahapan pencetakan dan pendistribusian surat suara belum dilakukan
oleh pihak KPUD Toraja Utara.
Majelis hakim berpendapat bahwa dengan ditundanya SK tersebut maka secara
hukum tahapan pemilukada juga terhenti. Konstruksi hukumnya apabila dikaitkan
dengan Pasal 67 UU Peratun maka Majelis Hakim berpendapat bahwa tertundanya
tahapan pemilukada menyimpulkan bahwa tidak ada kondisi yang merugikan
kepentingan umum dalam rangka pembangunan. Penulis berpendapat ada
155
ketidakjelasan konsepsional yang dihadapi majelis hakim dalam mendefinisikan
tentang Kepentingan Umum dalam rangka pembangunan
Dalam literatur-literatur tentang Pembangunan, definisi pembangunan selalu
diorietasikan pada hal-hal yang bersifat fisik. Misalnya pendapat Koesnadi
Harjasoemantri bahwa setiap pembangunan yang dilakukan di dalam suatu negara
harus terarah, supaya terjadi keseimbangan, keserasian (keselarasan), berdaya guna,
berhasil guna, berbudaya dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Untuk itu perlu disusun suatu rencana yang
disebut rencana tata ruang164.
Konsepsi ini kemudian mengarahkan pembangunan diimplementasikan dengan
hukum rencana tata ruang (RUTR) dengan berbagai indikator seperti adanya
perizinan, berorientasi pada pemeliharaan lingkungan hidup, pengembangan kawasan
terpadu dll. Persepsi pembangunan yang berorientasi pada indikator-indikator fisik
yang diatur dalam ketentuan perundangan-undangan kemudian memengaruhi
pendapat Majelis Hakim di Peratun dalam mengeluarkan putusan penundaan. Terlebih
lagi pada awal-awal berdirinya dan sampai saat ini perkara di Peratun yang
dimohonkan penundaan memang pada umumnya bersifat kepentingan fisik, misalnya
tentang izin IMB, izin pertambangan atai izin hak guna usaha dll.
Setelah muncul perkara-perkara pemilukada yang juga harus diselesaikan oleh
Peratun, maka persepsi atau definisi tentang kepentingan umum untuk pembangunan
harus mengalami pemaknaan baru. Di sinilah posisi hakim cukup penting dalam
memberikan makna baru tentang kepentingan umum yang beorientasi pada
164Sebagaimana dikutip Liontong. Ibid. hlm. 102
156
pembangunan non fisik. Apabila memperhatikan pertimbangan Majelis hakim tersebut
di atas, tersimpulkan bahwa tidak ada kepentingan umum yang terganggu apabila
pilkada ditunda. Justru yang muncul menurut Majelis hakim adalah kepentingan
penggugat yang mendesak yang harus dilindungi.
Soal tidak adanya kepentingan umum yang dirugikan atas ditundanya
pemilukada Tanah Toraja juga diakui oleh anggota KPUD Tanah Torja Utara, Aloysius
Lande. Menurutnya sesungguhnya tidak ada yang rugikan dengan ditundanya tahapan
pemilukada Tanah Toraja Utara ketika PTUN Makassar memutuskan adanya
penundaan, meskipun pada saat itu KPUD Toraja Utara tetap melanjutkan tahapan
pemiluda dan mengabaikan putusan sela PTUN Makassar165.
Menurut Aloysius keputusan KPUD Tanah Toraja untuk tidak melaksanakan
putusan Penundaan yang dikeluarkan oleh KPUD bukan karena adanya kepentingan
umum yang harus dilindungi sehingga tidak menunda tahapan pilkada. Penolakan
tersebut dilakukan oleh KPUD Toraja Utara karena menurut hasil keputusan Pleno
KPUD Toraja Utara secara normatif perundang-undangan perundang-undangan
mengatur bahwa penundaan pemilukada hanya dapat dilakukan apabila terjadi
bencana alam dan kerusuhan yang memicu gangguan keamanan. Dalam Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2004 Pasal 236A diatur bahwa:
“Pemilihan dapat ditunda karena alasan adanya Bencana Alam danKerusuhan yang memicu gangguan keamanan”
Menurut Aloysius, pihak KPUD Toraja Utara selaku Tergugat menolak
penundaan tersebut karena berpijak pada argumentasi hukum sebagaimana dalam
165 Sebagaimana wawancara penulis dengan Aloysius Lande salah seorang Anggota KPU Tanah Toraja Utara pada
tanggal 2 Maret 2013
157
pasal 236A, bukan karena faktor tekhnis pelaksanaan pemilukada. Menurutnya ketika
itu secara tekhnis, pelaksanaan pemilukada masih bisa ditunda, sehingga soal
percetakan logistin dan lain-lain masih bisa diatur untuk menyesuaikan agenda
penundaan. Bahkan menurutnya, ketika putusan akhir PTUN Makassar yang
mengabulkan gugatan penggugat agar diikutsertakan sebagai pasangan calon, maka
oleh itu KPUD pasangan tersebut secara tekhnis juga masih bisa diakomodir, namun
KPUD memilih banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Makassar.
Penulis berpendapat bahwa dalam konteks pelaksanaan pemilukada yang
memiliki tahapan yang sudah tersistem, teratur dan pasti, maka secara sederhana
dapat dilihat bahwa substansi kepentingan umumnya cukup mendalam. Mengingat
pemilukada merupakan proses pergantian kepemimpinan yang daerah yang
melibatkan berbagai pihak dan biaya yang besar, maka pilihan menunda pemilukada
adalah persoalan yang tidak sederhana. Namun apakah dengan meneruskan tahapan
pemilukada dan mengabaikan proses hukum yang sedang berlangsung di Pengadilan
yang mana proses tersebut masih membuka kemungkinan Penggugat bisa menang
dan KPUD kalah atau sebaliknya?
Apabila di kemudian hari KPUD kalah sementara secara hukum KPUD
diwajibkan melaksanakan putusan Pengadilan untuk mengakomodir pasangan yang
menggugat sebagai calon kepala daerah namun di sisi lain karena sejak awal tidak
ditunda, maka pemilukada sudah selesai dan telah menghasilkan kepala daerah
terpilih maka apakah bukan resiko yang juga tidak kalah besarnya apabila pemilukada
harus diulang?
158
Hipotesa penulis tersebut sedikitnya mendapat gambaran setelah penulis
mengkaji kasus sengketa Penetapan pasangan calon Bupati Lombok Tengah (Loteng)
yang diuji di PTUN Mataram pada tahun 2010 dengan nomor perkara
31/G/2010/PTUN.MTR. gugatan dalam perkara tersebut diajukan oleh pasangan calon
HL Wiratmadja - M Bajuri (Jari) yang diajukan usai pilkada Lombok Tengah Gugatan
tersebut diajukan terkait SK KPU Lombok Tengah Nomor 27 tahun 2010, tentang
penetapan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah atas nama H M
Suhaili FT – H L Normal Suzana yang dinilai melanggar peratuan KPU. KPUD
Kabupaten Lombok Tengah saat itu menetapkan RSUD Praya sebagai tempat
pemeriksaan kesehatan bagi para bakal calon peserta Pilkada Loteng. Namun pada
kenyataan, pasangan H.Moh. Suhaili, FT selaku bakal calon Bupati Lombok Tengah,
justru melakukan pemeriksaan kesehatan di salah satu klinik di Mataram.
Kendati demikian, KPUD Lombok Tengah menyatakan menerima dan
mengesahkan hasil tes kesehatan yang dilakukan diluar ketentuan itu, kemudian
menetapkan H M Suhaili FT bersama H L Normal Suzana, sebagai peserta Pilkada
Lombok Tengah hingga mengungguli pasangan calon lainnya. Pasangan H M Suhaili
FT – H L Normal Suzana, terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Lombok Tengah
periode 2010-2015, hingga dilantik Gubernur NTB TGH. M. Zainul Majdi, atas nama
Mendagri. Pasangan Jari bersama-sama dengan pasangan lainnya, kemudian
melayangkan gugatan ke PTUN Mataram.
Dalam kasus tersebut, pada putusan tingkat pertama yakni di PTUN Mataram,
KPUD Lombok Tengah (Loteng kalah dan diperintahkan untuk mengakomodir
Penggugat sebagai calon resmi bupati Lombok Tengah (Loteng). Namun KPU Loteng
159
justru mengajukan banding ke PT TUN Surabaya. Selanjutnya Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (PTTUN) Surabaya, mengeluarkan putusan Nomor
180/B/2010/PT/SBY, tertanggal 1 Maret 2011, menguatkan putusan PTUN Mataram
Nomor 31/G/2010/PTUN.MTR, tertanggal 21 September 2010. Putusan PTUN
Mataram itu menyatakan SK. No. 27 tahun 2010 yang diterbitkan KPUD Loteng
dinyatakan batal dan memerintahkan KPUD Lombok Tengah mencabut SK tentang
penetapan pasangan calon kepala daerah menjadi peserta Pilkada Lombok Tengah,
atas nama H M Suhaili FT dan H L Normal Suzana (Maiq Meres).
Setelah ada putusan PTTUN Surabaya, PTUN Mataram kemudian
mengeluarkan keputusan bahwa putusan hukum atas gugatan pasangan Jari
dinyatanya "inkracht" (berkekuatan hukum tetap). Apalagi, upaya kasasi yang
dilakukan KPUD Lombok Tengah ditolak MA karena tidak memenuhi syarat formal
untuk mengajukan kasasi ke MA, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) MA RI No. 11 tahun 2010, tentang penjelasan pasal 45A
UU No. 3 tahun 2009, tentang MA. SEMA itu menegaskan bahwa permohonan kasasi
kasus gugatan yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang
jangkauan keputusannya berlaku di daerah bersangkutan, tidak dapat diterima oleh
MA .
Mengingat sudah memiliki putusan yang final dan mengikat, akhirnya KPUD
Lombok Tengah mengubah keputusannya yang digugat dengan membuat SK baru
pada tahun 2012 yang mengakomodir pasangan baru. KPUD Lombok Tengah secara
resmi telah mencabut SK No. 27 tahun 2010, tentang penetapan H.Moh. Suhaili, FT –
Drs.H.L. Normal Suzana, sebagai pasangan calon Bupati dan Wabup Loteng, pada
160
Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Loteng tahun 2010. Langkah tersebut
sesuai dengan putusan PTUN Mataram, terkait gugatan Pilkada Loteng yang
dimenangkan oleh pasangan H.L. Wiratmaja – M. Bajuri. Namun demikian, KPUD
Lombok Tengah sampai saat ini belum bisa memastikan apakah pilkada ulang bisa
dilaksanakan atau tidak.
Demikian disampaikan Ketua KPUD Loteng, Agus, S.Sos. M.Si., 166saat
dikonfirmasi terkait kelanjutan pelaksaaan Pilkada Loteng pascapencabutan SK No. 27
tahun 2010 .Menurutnya, kewenangan KPUD Lombok Tengah dalam persoalan itu
hanya sebatas mencabut SK dimaksud sesuai perintah PTUN Mataram. Sedangkan
kalau menyinggung pelaksaaan pilkada ulang, menjadi tanggung jawab dari pihak
pemerintah. Dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Namun persoalannya, pihak siapa yang bisa mengeksekusi secara riil
konsekuensi dengan ditetapkannya nama penggugat sebagai pasangan calon baru
sementara tahapan pemilukada sudah selesai? Konsekuensi hukum sebenarnya
adalah pemilukada harus diulang. Namun ketika telah menerbitkan SK KPUD yang
baru, KPU Lombok Tengah merasa tidak memiliki kewenangan untuk mengeksekusi
ketetapan baru tersebut dalam bentuk pilkada ulang, namun kewenangan pilkada
ulang tersebut justru dikembalikan ke Kementerian Dalam Negeri. Namun sampai saat
ini kemendagri tidak dapat melaksanakan pemilihan ulang tersebut dengan
pertimbangan resiko situasi sosial politik dan juga soal anggaran.
Kasus dalam pemilukada Lombok Tengah tersebut menunjukkan bahwa tidak
menunda tahapan pemilukada ketika terjadi gugatan di Peratun adalah memicu
166Wawancara Penulis dengan Agus, Ketua KPU Lombok Tengah pada tanggal 18 Februari 2013
161
persoalan baru dan resiko baru di kemudian hari yang berdampak pada
tergangggunya kepentingan umum dan pembangunan yang sudah berjalan pasca
terpilihnya kepala daerah terpilih. Sehingga dalam menjatuhkan Putusan penundaan
dalam konteks menimbang kepentingan umum dan pembangunan, maka setidaknya
ada 2 hal yang diperhatikan. Pertama, kemungkinan adanya kepentingan yang
terganggu akibat ditundanya pemilukada di tengah jalan atau Kedua, kepentingan
umum juga berpotensi terganggu untuk melakukan pemilihan ulang akibat KPUD
kalah dan diwajibkan melaksanakan putusan pengadilan di saat pemilukada sudah
selesai.
Mengingat negara kita adalah negara hukum dan putusan pengadilan wajib
dilaksanakan maka menurut Penulis apabila dikemudian hari Peratun mengabulkan
gugatan penggugat dan KPUD wajib melaksanakan putusan berupa pilkada ulang,
maka dipastikan muncul kepentingan masyarakat yang terganggu. Sehingga menurut
hemat penulis pilihan yang paling rasional adalah menunda tahapan pemilukada sejak
awal apabila terdapat putusan penundaan dan menghindari pemilukada ulang yang
masih terbuka kemungkinan terjadi karena proses hukum masih berlangsung.
Menurut penulis apabila dikaitkan dengan alasan KPUD Tanah Toraja di atas
serta adanya SK baru KPUD Lombok Tengah yang tidak bisa dieksekusi dalam bentuk
pilkada ulang, maka yang diperlukan dalam konteks perbaikan substansi perundang-
undangan adalah memperbaiki atau merevisi ketentuan perundang-undangan yang
mengatur tentang Pemilukada khususnya yang mengatur tentang alasan penundaan
tahapan pemilukada. Menurut Penulis, sebaiknya Pasal 236 A sebagaimana
disebutkan di atas ditambahkan satu klausul bahwa alasan lain yang dapat digunakan
162
KPUD dalam melakukan penundaan pemilukada adalah karena adanya putusan
Pengadilan yang memerintahkan untuk melakukan penundaan.
Hal ini untuk mensinkronkan dengan substansi yang terkandung dalam pasal 67
UU Peratun. Dalam konteks penegakan hukum administrasi dalam pemilukada
termasuk halnya dalam penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon dalam
pemilukada maka agenda yang paling adalah adanya harmonisasi atau sinkronisasi
pasal-pasal yang mengatur hukum acara di Peradilan Tata Usaha Negara dengan
ketentuan perundang-undangan yang sifatnya lex specialis dalam pelaksanaan
sebuah keputusan pejabat tata usaha negara, seperti halnya dalam pemilukada.
2. Refungsionalisasi Lembaga Penegak Hukum Pemilukada
Dalam teori Lawrence Friedmen, penegak hukum merupakan bagian struktur
yang penting dalam pembentukan sistem hukum. Penelitian ini memasukkan varibel
penegak hukum sebagai salah unsur penting dalam proses penegakan hukum
administrasi pada sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Menurut
Penulis, penegak hukum dalam proses ini adalah institusi yang bertanggung jawab
dalam penegakan hukum pemilukada. Berdasarkan UU. 32 tahun 2004 junto UU. 12
tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya pelaksanaan pemilukada,
maka elemen yang dikategorikan sebagai penegak hukum adalah KPU,
Bawaslu/Pawaslu, Kepolisian, Kejaksaaan, Pengadilan dan Mahkamah Konstitusi.
Namun dalam penelitian ini karena tema utamanya adalah tentang penegakan
hukum administrasi, maka pembahasan tentang penegakan hukum administrasi
163
pemilukada hanya terfokus pada penegak hukum yang terkait dengan terbitnya Surat
Keputusan KPUD soal penetapan pasangan calon serta implikasinya. Dalam hal ini,
maka penulis akan menganalisis posisi, tugas dan wewenang KPUD,
Bawaslu/Panwaslu dan Pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara.
Adapun kepolisian dan kejaksaan serta Pengadilan Umum adalah penegak hukum
yang terlibat dalam penanganan tindak pidana pemilu. Sedangkan Mahkamah
Konstitusi sebagai penegak hukum dalam melindungi hak-hak konstitusional warga
atau kandidat akibat penetapan hasil pemilukada oleh KPUD.
Refungsionalisasi secara etimologis bersumber dari kata fungsionalisasi.
Menurut kamus bahasa Indonesia, fungsionalisasi adalah hal menjadikan berfungsi;
pemfungsionalan167. Sehingga pencantuman kata Re yang berarti Kembali bermakna
refungsionalisasi adalah upaya mengembalikan fungsi atau menjadikan berfungsi
kembali. Dalam kajian refungsionalisasi lembaga penegak hukum Pemilukada, maka
yang menjadi fokus kajian adalah upaya memfungsikan kembali atau memaksimalkan
fungsi-fungsi penegakan hukum administrasi yang menjadi tanggung jawab penegak
hukum dalam proses pemilihan umum kepala daerah.
a. Kewenangan eksekutorial terhadap laporan pelanggaran dan
sengketa administrasi
KPUD dalam Pemilukada, selain sebagai penyelenggara perundang-undangan
yang melaksanakan proses pemilu berdasarkan ketentuan perundang-undangan,
maka KPUD juga berfungsi sebagai penegak hukum. Posisi KPUD sebagai penegak
hukum dapat dilihat dalam pasal yang mengatur tentang pelanggaran administrasi
167http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php diakses pada tanggal 5 Juni 2013 pukul 15.33 WITA
164
yang dilakukan oleh peserta pemilukada maupun penyelenggara pemilukada lainnya
di internal organisasi KPU. Dalam Pasal 9 ayat 3 huruf n dan huruf o junto Pasal 10
ayat 3 huruf l dan m Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilu
Tugas dan wewenang KPU Provinsi dalam penyelenggaraan pemilihangubernur, bupati, dan walikota meliputi:
Huruf n: “ menindaklanjuti dengan segera rekomendasi Bawaslu Provinsiatas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran pemilihan”
Huruf o :” mengenakan sanksi administratif dan/atau menonaktifkansementara anggota KPU Kabupaten/Kota, sekretaris KPU Provinsi, danpegawai sekretariat KPU Provinsi yang terbukti melakukan tindakan yangmengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilihanberdasarkan rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau ketentuan peraturanperundang-undangan; “
Ketentuan pada huruf n di atas menunjukkan apabila Panwaslu/Bawaslu telah
menerima dan memeriksa sebuah dugaan pelanggaran administrasi, maka tahapan
selanjutnya adalah merekomendasikan laporan dugaan pelanggaran tersebut kepada
KPU untuk ditindaklanjuti dan diputus; apakah dinyatakan bersalah atau tidak. Adanya
kewenangan dalam melaksanakan atau mengeksekusi sebuah laporan pelanggaran
administrasi dalam pemilukada tersebut sehingga KPU diposisikan sebagai salah satu
pilar penegak hukum dalam pemilukada.
Posisi KPUD yang bertugas untuk mengeksekusi laporan yang ditemukan oleh
Panwaslu/Bawaslu dikritik oleh berbagai pihak yang menjadi responden penelitian ini.
Menurut Andi Maddusila168, dirinya sangat dirugikan dalam kasus Pilkada Gowa tahun
2010 karena pihak KPUD Gowa jelas-jelas mengabaikan rekomendasi Panwaslu
168Yang diwawancara penulis pada tanggal 21 Maret 2013 di Makassar
165
Kabupaten Gowa yang sudah menyimpulkan bahwa ada dugaan pelanggaran
administrasi yang dilakukan oleh kandidat Ichsan Yasin Limpo. Namun sampai pada
keluarnya SK KPUD tentang penetapan pasangan calon, KPUD tidak mengeluarkan
sikap atau putusan terhadap laporan Panwaslu Gowa tersebut. Tanggapan Fatmawati
Rachim169 terhadap kondisi tersebut mengkonfirmasi pernyataan Andi Maddusila.
Menurut Fatmawati ketika itu KPUD Gowa berusaha melokalisir persoalan dan
tidak bersedia menerima Panwaslu Gowa untuk hearing dalam rangka menyelesaikan
persoalan tersebut. Kenyataan yang sama disampaikan oleh M. Jufri, bahwa banyak
pelanggaran yang terjadi dalam pemilihan DKI yang sudah diperiksa oleh Panwaslu
DKI namun tidak direspon oleh KPUD DKI meskipun Panwaslu sudah menyampaikan
rekomendasi agar laporan tersebut segera ditindaklanjuti.170
Dalam konteks refungsionalisasi maka kewenangan eksekusi terhadap laporan
adanya pelanggaran administrasi dari Bawaslu/Panwaslu perlu diefektifkan dan
difungsikan secara baik. Efektifitas dalam konteks ini adalah adanya kepastian hukum
terhadap adanya dugaan pelanggaran administrasi yang dilaporkan oleh bakal calon
pasangan kepada KPUD melalui Bawaslu/Panwaslu. Selama ini potensi sengketa
penetapan pasangan calon sebenarnya sudah terdeteksi sejak awal proses
pendaftaran dan verifikasi kelengkapan administrasi pasangan calon, baik dari
pasangan perseorangan maupun pasangan partai politik. Dalam tahapan verifikasi
pada umumnya terdapat pelanggaran administrasi yang ditemukan oleh Bawaslu atau
169Anggota Panwaslu Kabupaten Gowa saat Pemilukada tahun 2010 yang saat penelitian ini dilakukan duduk
sebagai anggota KPU kabupaten Gowa
170Sebagaimana wawancara penulis dengan Jufri, anggota Panwaslu DKI pada tanggal 9 Maret 2013 di Jakarta
166
Panwaslu seperti dugaan pemalsuan ijazah atau pemalsuan dokumen lainnya, dugaan
dukungan ganda atau kekurangan administrasi lainnya.
Namun pada kenyataannya, meskipun Bawaslu atau Panwaslu sudah
melaporkan dugaan pelanggaran dalam proses verifikasi tersebut, namun pada
umumnya KPUD tidak menindaklanjuti atau tidak mengeksekusi dugaan laporan
tersebut. Akibat KPUD mengabaikan atau tidak menggunakan kewenangan dalam
menindaklanjuti laporan Bawaslu tersebut, pada akhirnya persoalan pelanggaran
administrasi tersebut menjadi alasan dan fakta hukum dalam sengketa penetapan
pasangan calon di Peratun.
Upaya mengefektifkan eksekusi adanya temuan laporan Bawaslu atau
Panwaslu terhadap adanya pelanggaran administrasi bertujuan untuk meminimalisir
potensi sengketa hukum yang berlanjut di Pengadilan serta memberikan kepastian
dan keadilan hukum pemilu (electoral election) bagi para pihak yang merasa dirugikan
akibat adanya pelanggaran administrasi. Oleh karena itu agar laporan terhadap
adanya pelanggaran administrasi dapat ditangani dan diselesaikan secara cepat,
maka sudah saatnya kewenangan penyelesaian dan tindaklanjut laporan pelanggaran
administrasi tersebut ditangani dan dieksekusi langsung oleh Bawaslu atau Panwaslu.
KPUD tidak lagi memiliki kewenangan dalam menindaklanjuti dan atau
memutus adanya laporan dari Bawaslu/Panwaslu. Dalam hal ini Bawaslu dan
Panwaslu yang memiliki kewenangan dalam memutus dan menyelesaikan adanya
laporan pelanggaran atau sengketa administrasi dalam pelaksanaan pemilukada dan
keputusan Bawaslu terhadap proses penyelesaian sengketa dan atau pelanggaran
administrasi pemilukada tersebut bersifat final. Pelanggaran administrasi yang menjadi
167
obyek kewenangan Bawaslu dalam hal ini setiap tindakan administrasi yang dilakukan
oleh peserta pemilukada serta penyelenggara pemilukada yang menyimpang dari
ketentuan penyelenggaraan pemilukada. Sedangkan Sengketa administrasi adalah
sengketa yang terjadi antarpeserta Pemilukada dan sengketa Peserta Pemilukada
dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPUD dalam
hal ini KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota
Namun menurut Penulis kewenangan Bawaslu dalam menerima dan
menyelesaikan sengketa dan atau pelanggaran administrasi yang bersifat final harus
dibatasi dalam hal-hal yang proses hukumnya masih dapat berlanjut di lembaga
Peradilan Tata Usaha Negara. Keputusan Bawaslu mengenai penyelesaian sengketa
Pemilukada merupakan keputusan terakhir dan mengikat, kecuali keputusan terhadap
sengketa Pemilukada yang berkaitan dengan Surat Keputusan KPUD yang terkait
dengan Penetapan pasangan bakal calon menjadi calon pasangan resmi.
b. Bawaslu sebagai Lembaga Banding Administratif
Dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 2007 sebagaimana telah diubah
dengan UU. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, BAWASLU atau Panitia
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu/Panwaslu) adalah salah lembaga
penyelenggara pemilu bersama dengan KPU. Secara normatif, fungsi dan wewenang
panwaslu sudah diatur dalam UU nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan umum dan
pemilihan Presiden, serta UU nomor 32 tahun 2004 (PP nomor 6 tahun 2005) yang
mengatur soal Pilkada.
Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, eksistensi dan pengaturan
Panwaslu dan BAWASLU telah mengalami berbagai dinamika dan perubahan. Jauh
168
sebelum berlakunya Undang-Undang nomor 22 tahun 2007 sebagaimana telah diubah
dengan UU. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, Pengaturan tentang
Panwaslu mulai tercantum pada ketentuan yang mengatur tentang pemilihan kepala
daerah, khususnya sejak diatur mekanisme pemilihan langsung kepala daerah yakni
dalam UU. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini, Pengawas
Pemilu dikenal dengan istilah Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang dibentuk
oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD (vide Pasal 42 ayat 1 huruf I jo Pasal 57
ayat 7).
Dalam Pasal 57 ayat 3 disebutkan bahwa panitia pengawas pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah keanggotaannya terdiri atas unsur kepolisian,
kejaksaan, perguruan tinggi, pers, dan tokoh masyarakat. Anggota panitia pengawas
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah 5 (lima) orang untuk provinsi, 5 (lima)
orang untuk kabupaten/kota dan 3 (tiga) orang untuk kecamatan.
Selanjutnya Pasal 66 ayat 4 UU. 32 tahun 2004 menyebutkan secara
lengkap fungsi dan wewenang Panitia Pengawas Pemilihan yaitu:
(4) Panitia pengawas pemilihan mempunyai tugas dan wewenang:a. mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerahdan wakil kepala daerah;b. menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan pemilihankepala daerah dan wakil kepala daerah;c. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihankepala daerah dan wakil kepala daerah;d. meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepadainstansi yang berwenang; dane. mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawasan pada semuatingkatan
Ketentuan dalam Pasal 66 tersebut adalah acuan utama Panwaslu ketika
melaksanakan fungsinya sebagai Penegak Hukum dalam proses pemilihan kepala
169
daerah. Dengan ketentuan tersebut di atas, fungsi dan kewenangan Panwaslu
sesungguhnya penuh persoalan, baik dari segi eksistensinya maupun terkait dengan
efektifitas fungsi dan kewenangannya. Keberadaan panwaslu dipersoalkan karena
lembaga ini diragukan independensinya karena dibentuk dan bertanggung jawab
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sebagaimana diketahui bahwa
DPRD adalah representasi partai politik yang pada faktanya adalah juga bagian dari
peserta pemilukada. Dengan posisi bertugas mengawasi pihak yang bertarung
sementara pihak tersebut merupakan lembaga yang memilihnya, maka Panwaslu
mengalami persoalan netralitas dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Merepson kondisi inilah kemudian pada tahun 2007, ketentuan tentang
penyelenggara pemilu termasuk pemilukada diatur secara terpisah dengan UU
Pilkada. Maka DPR dan Pemerintah kemudian sepakat menyusun dan mengesahkan
Undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Pasca
disahkannya Undang-undang nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu,
dimensi pengawasan pemilu mengalami perubahan. Setidaknya dalam konteks
eksistensi, institusi pengawas pemilu mengalami peningkatan. Dalam UU nomor 12
tahun 2003 maupun UU 32 tahun 2004 (PP nomor 6 tahun 2005) memposisikan
Panwaslu hanya sebatas instrumen yang bersifat ad hoc. Sedangkan dalam UU
nomor 22 tahun 2007, selain istilah Panwaslu diganti menjadi Bawaslu maka institusi
pengawas ini berstatus sebagai instrumen yang bersifat permanen. Selain itu proses
pemilihan anggota Bawaslu atau Panwaslu tidak lagi melalui pemilihan di DPRD tapi
hanya Bawaslu tingkat Pusat yang dipilih DPR yang kemudian Bawaslu Pusat yang
170
menyeleksi dan memilih Bawaslu Provinsi, Kabupaten dan seterusnya. Sehingga
problem netralitas sudah bisa diminimalisir.
Lahirnya Undang-Undang nomor 22 tahun 2007 juga belum bisa memperkuat
fungsi dan wewenang Bawaslu/Panwaslu. Bahkan pasca pengesahan UU nomor 22
tahun 2007 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 belum
mengubah secara paradigmatik persoalan akuntabilitas dan efektifitas pengawasan
dan penyelesaian sengketa pemilukada. Salah satu persoalan Bawaslu atau Panwaslu
yang tidak berubah meskipun telah terjadi perubahan undang-undang adalah terletak
pada ketidakmampuan menindaklanjuti pelanggaran yang dilaporkan masyarakat.
Terlihat bahwa panwaslu tidak memiliki daya eksekusi yang kuat dalam menangani
laporan pelanggaran. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, panwaslu masih tersandera pada posisi pemihakan untuk salah satu
pasangan calon/partai politik. Kedua, panwaslu selalu berdalih bahwa salah satu
tugasnya adalah;” meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan
kepada instansi yang berwenang; klausul ini sering sekali dijadikan dalih ketika
panwaslu dihadapkan pada pelanggaran pilkada/pemilu. Ketiga, kurangnya koordinasi
dengan instansi yang terkait dalam penyelesaian pelanggaran. Bagi panwaslu, urusan
mereka sudah selesai ketika laporan pelanggaran sudah mereka serahkan kepada
kepolisian atau KPUD. Lemahnya daya eksekusi langsung oleh Bawaslu juga terlihat
pada UU 22 tahun 2007 yang mengatur tentang tugas dan wewenang Bawaslu.
Dijelaskan pada Pasal 73 huruf b, c dan d;
b. menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaanperaturan perundang-undangan mengenai Pemilu; c. menyampaikantemuan dan laporan kepada KPU untuk ditindaklanjuti; d. meneruskan
171
temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansiyang berwenang;.
Pasal ini menujukkan bahwa Bawaslu sesungguhnya sekedar mengumpulkan
laporan pelanggaran yang terjadi pada semua tahapan pemilu. Berikut tabel yang
menunjukkan perbedaan Posisi Panwaslu dan Bawaslu periode Pilkada 2005 sampai
dengan sekarang atau sebelum dan sesudah disahkannya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu
Pilkada Posisi Organisasi Fungsi
Pilkada
2005-
2007
Lembaga pengawas
pemilu adalah bagian dari
penyelenggara pemilu
dengan ketentuan;
1. Panwas Pilkada
Provinsi dibentuk dan
bertanggung jawab
kepada DPRD Provinsi;
2.Panwas Pilkada
Kabupaten/Kota dibentuk
dan bertanggung jawab
kepada DPRD
Kabupaten/Kota;seterusny
a masing-masing
membentuk panwas
dibawahannya
Panwas Pilkada dipimpin
oleh seorang ketua yang
dipilih oleh anggota; sedang
anggota panwas pilkada
terdiri dari unsur tokoh
masyarakat, perguruan
tinggi, pers, kepolisian dan
kejaksanaan
1.Hubungan Panwas
Pilkada Provinsi atau
Panwas Pilkada
Kabupaten/Kota dengan
panwas pilkada di
bawahnya bersifat hierarkis;
2.Sekretariat Panwas
Pilkada mencantol pada
kantor pemerintah daerah
Tugas dan wewenang
Panwas pilkada ialah
1. Mengawasi semua
tahapan
penyelenggaraan pemilu
2. Menerima laporan
pelanggaran peraturan
perundang-undangan
pemilu
3. Menyelesaiakn sengketa
dalam penyelenggaraan
pemilu
4. Meneruskan temuan dan
laporan yang tidak dapat
diselesaikan kepada
instansi berwenang
173
tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam UU. No.
8 tahun 2012 ini terjadi penambahan wewenang Bawaslu untuk menyelesaikan
sengketa pemilu. Sengketa yang diselesaikannya bukan Tsekedar sengketa
antarpeserta pemilu sebagaimana terjadi pada pemilu sebelumnya, tetapi juga
sengketa antara peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu. UU. No 8 tahun 2012
juga memperjelas pengertian , ruang lingkup dan proses penyelesaian sengketa.
Pasal 257 mengatur: Sengketa Pemilu adalah sengketa yang terjadiantarpeserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan penyelenggaraPemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, danKPU Kabupaten/Kota.
Pasal 258 mengatur: (1) Bawaslu berwenang menyelesaikan sengketaPemilu. (2) Bawaslu dalam melaksanakan kewenangannya dapatmendelegasikan kepada Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota,Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas PemiluLuar Negeri
Pasal 268 (1) mengatur: Sengketa tata usaha negara Pemilu adalahsengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calonanggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partaipolitik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPUKabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPUProvinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
(2) Sengketa tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang timbulantara:a. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasisebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan PartaiPolitik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; dan
Pasal 269 mengatur: (1) Pengajuan gugatan atas sengketa tata usahanegara Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 ke pengadilantinggi tata usaha negara dilakukan setelah seluruh upaya administratif diBawaslu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) telah digunakan.
174
(2) Pengajuan gugatan atas sengketa tata usaha negara Pemilusebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) harikerja setelah dikeluarkannya Keputusan Bawaslu.
Pasal 258 ayat 4 : (4) Bawaslu melakukan penyelesaian sengketa Pemilumelalui tahapan:a. menerima dan mengkaji laporan atau temuan; danb. mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencapaikesepakatan melalui musyawarah dan mufakat
Ketentuan undang-undang tersebut memberikan semangat revitalisasi pada
lembaga Bawaslu sebagai lembaga Pengawas Pemilu. Revitalisasi peran itu dapat
dilihat dari adanya kewenangan Bawaslu untuk menyelesaikan sengketa administrasi
baik sengketa antara para peserta pemilu maupun sengketa antara peserta pemilu
dan penyelenggara pemilu. Selain itu untuk meningkatkan kewibawaan Bawaslu,
maka UU.8 tahun 2012 mengatur bahwa keputusan Bawaslu dalam menyelesaikan
sengketa pemilu bersifat final dan mengikat kecuali dalam 2 sengketa, yakni sengketa
ynag muncul dalam proses verifisikasi partai politik menjadi peserta pemilu akibat
dikeluarkannya SK KPU tentang penetapan peserta partai politik dan verifikasi calon
legislatif oleh KPU.
Undang-Undang ini menjelaskan bahwa dalam dua perkara tersebut, keputusan
Bawaslu tidak final dan mengikat sehingga bagi para pihak yang tidak puas dengan
keputusan Bawaslu atau tetap masih dirugikan dengan keputusan KPU, maka diberi
hak untuk mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Dalam
kajian hukum administrasi, posisi Bawaslu dalam perkara verifikasi parpol dan
verifikasi calon legislative adalah sebagai Banding Administrasi (Administratif Beroef).
Artinya apabila partai politik tertentu atau calon legislative tertentu yang merasa
175
dirugikan dengan terbitnya SK KPU tentang dua verifikasi tersebut, maka terlebih
dahulu mengajukan penyeleseian sengketa di Bawaslu. Apabila keputusan Bawaslu
tersebut tidak diterima, maka para pihak tersebut dapat mengajukan Banding ke PT
TUN.
Konstruksi posisi, tugas dan wewenang Bawaslu seperti dalam Undang-Undang
Pemilu tersebut di atas belum diatur dalam ketentuan yang mengatur tentang
Pemilukada. Posisi Bawaslu dalam pemilukada belum memiliki fungsi yang jelas dan
sistematis dalam menyelesaikan sengketa pemilukada, termasuk juga posisi dan tugas
Bawaslu yang tidak tegas dan kuat dalam penyeleseian sengketa penetapan
pasangan calon antara pasangan kandidat dan KPU selaku pihak yang menerbitkan
Surat Keputusan. Selama ini Bawaslu atau Panwaslu hanya menyatakan sikap
menerima atau tidak menerima Keputusan KPU tentang penetapan pasangan calon,
namun tanpa didahului oleh tindakan atau proses pengawasan terhadap proses
keluarnya SK tersebut.
Ketiadaan konsepsi posisi dan kewenangan Bawaslu dalam pemilukada
tersebut menjadi kajian dalam penelitian ini. Beberapa responden dalam penelitian ini
merasa dirugikan dengan posisi Bawaslu atau Panwaslu di daerah yang tidak
berperan secara aktif dan maksimal dalam penyelesaian sengketa dalam pemilukada
terutama dalam sengketa penetapan pasangan calon. Andi Maddusila misalnya,
mantan kandidat Bupati Gowa yang maju pada pemilukada tahun 2010 menyatakan
kekecewaannya karena pengaduan atau laporannya dalam sengketa penetapan
pasangan calon ketika itu tidak mampu diselesaikan secara maksimal oleh Panwaslu
kabupaten Gowa.
176
Oleh karena itu diperlukan perbaikan Undang-Undang Pemilukada yang
mengatur secara jelas posisi dan wewenang Bawaslu dalam proses penyelesaian
sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Jufri, anggota Bawaslu DKI
dan Daniel Zuchron anggota Bawaslu Pusat172 mengatakan bahwa sudah saatnya
Bawaslu daerah memiliki peran dan tugas yang sama dengan Bawaslu Pusat dalam
penanganan sengketa pemilukada. Menurut Jufri, terlebih lagi saat ini secara
organisasi, Bawaslu tingkat provinsi tidak bersifat ad hoc, namun sudah
dipermanenkan selama lima tahun sehingga masih cukup waktu dan keberlanjutan
dan penanganan sengketa pemilukada. Dalam konteks sengketa penetapan pasangan
calon dalam pemilukada, maka posisi Bawaslu adalah menyelesaikan sengketa
administrasi yang muncul akibat keluarnya SK Penetapan Pasangan calon oleh KPUD
yang mengakibatkan kerugian bagi pasangan calon yang tidak diloloskan. Dalam
menangani sengketa tersebut, Bawaslu berwenang untuk a. menerima dan mengkaji
laporan atau temuan; dan b. mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa untuk
mencapai kesepakatan melalui musyawarah dan mufakat.
Memfungsikan Bawaslu dalam penyelesaian sengketa penetapan pasangan
calon adalah ketika Bawaslu terlebih dahulu menangani keberatan atau laporan
pasangan calon yang dirugikan atas terbitnya SK Penetapan oleh KPUD. Apabila
pasangan yang mengajukan sengketa ke Bawaslu tersebut tidak puas dengan proses
pemeriksaan dan keputusan Bawaslu, maka pasangan tersebut dapat mengajukan
Banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Skema penyelesaian sengketa
172Wawancara dengan Daniel Zuchron pada tanggal 8 Maret 2013 di kantor Bawaslu Pusat, Jakarta
177
penetapan pasangan calon ini menempatkan Bawaslu sebagai Banding Administratif
(Administratif Beroef).
Untuk menjaga prinsip penyelesaian sengketa secara efisien dan efektif, maka
maka keputusan terhadap proses Banding Administratif sengketa penetapan
pasangan calon harus diterbitkan Bawaslu paling lambat selama 7 hari sejak
masuknya laporan ke Bawaslu. Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dengan
Keputusan Bawaslu tersebut, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara. PT TUN menyelesaikan sengketa penetapan pasangan calon
pemilukada tersebut paling lambat 21 hari. Apabila sengketa penetapan pasangan
calon pemilukada tersebut adalah sengketa pemilukada Kabupaten Kota, maka
putusan PT TUN bersifat final dan mengikat atau tidak bisa diajukan kasasi lagi.
Sementara apabila sengketa penetapan pasangan calon tersebut adalah
sengketa pemilukada di tingkat provinsi, maka putusan PT TUN dapat diajukan upaya
hukum kasasi dan Mahkamah Agung harus menyelesaikan dan memutus sengketa
penetapan pasangan calon pilkada tersebut paling lambat 30 hari terhitung sejak
perkara tersebut didaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.
Menurut Penulis penempatan Bawaslu sebagai salah satu institusi penting
dalam proses penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon dilatarbelakangi oleh
beberapa pemikiran. Pertama, sudah saatnya Bawaslu diperkuat fungsinya dalam
kapasitasnya sebagai salah satu penyelenggara pemilu, selain KPUD.
Refungsionalisasi Bawaslu penting untuk menghapus kesan masyarakat selama ini
bahwa Bawaslu dan Panwaslu hanya merupakan lembaga “cap stempel” yang adanya
sama dengan tidak adanya. Dengan menempatkan Bawaslu sebagai Banding
178
Administratif, maka Bawaslu memiliki daya taring atau kewibawaan sebagai institusi
dalam proses penyelesaian sengketa khususnya penetapan pasangan calom
pemilukada, mengingat keputusan Bawaslu dengan kewenangan memeriksa pokok
sengketa dapat mengetahui, memeriksa dan mengambil sikap atas posisi atau status
calon pasangan yang dirugikan atas terbitnya SK KPUD.
Kedua, dengan kewenangan memeriksa sengketa terlebih dahulu dengan
mengedepankan musyawarah dan mufakat, maka diharapkan ada titik temu antara
pihak yang bersengketa sehingga sengketa penetapan pasangan calon tidak
berkepanjangan. Kalau pun akhirnya berlanjut dan berposes Banding ke PT TUN,
maka proses pembuktian atau validasi dokumen pemeriksaan di tingkat PT TUN akan
semakin mudah karena sesungguhnya sejak awal telah dilakukan pemeriksaan di
Bawaslu
Ketiga, masyarakat yang berstatus sebagai pemilih atau yang berstatus sebagai
pasangan kandidat memiliki hak untuk mendapat perlindungan dan penyelesaian
hukum dalam pemilu secara cepat dan efektif. Pada umumnya bersengketa di
Pengadilan masih dianggap sebagai sesuatu yang mahal dan sulit. Dengan adanya
Bawaslu sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa, minimal dapat
mempermudah pasangan kandidat dalam memperoleh keadilan (electoral justice)
Secara teoritis, penempatan Bawaslu sebagai banding administratif adalah
untuk mempermudah akses warga mendapatkan keadilan hukum dalam sengketa
hukum administrasi. Penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara sebagai akibat
terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan
seseorang/ Badan Hukum Perdata tersebut, ada kalanya dapat diselesaikan secara
179
damai melalui musyawarah dan mufakat, akan tetapi ada kalanya pula berkembang
menjadi sengketa hukum yang memerlukan penyelesaian lewat pengadilan.
Sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), maka timbulnya
suatu sengketa Tata Usaha Negara tersebut, bukanlah hal yang harus dianggap
sebagai hambatan pmerintah (Badan/Pejabat TUN) dalam melaksanakan tugas di
bidang urusan pemerintah, melainkan harus dipandang sebagai : Pertama, sudut
pandang warga masyarakat, adalah merupakan pengejawantahan asas Negara
hukum bahwa setiap warga Negara dijamin hak-haknya menurut hukum, dan segala
penyelesaian sengketa harus dapat diselesaikan secara hukum pula; kedua, Dari
sudut pandang Badan/Pejabat TUN, adalah sarana atau forum untuk menguji apakah
Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkannya telah memenuhi asas-asas hukum
dan keadilan melalui sarana hukum menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, khususnya Pasal 48 diterangkan bahwa Pasal 48 yang mengatur:
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberiwewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untukmenyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu,maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugidan/administratif yang tersedia. (2) Pengadilan baru berwenang memeriksa,memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimanadimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutantelah digunakan.
Penjelasan Pasal 48 ini disebutkan bahwa, upaya administratif adalah
merupakan prosedur yang ditentukan dalam suatu peraturan perundang-undangan
untuk menyelesaikan suatu sengketa Tata Usaha Negara yang dilaksanakan
180
dilingkungan pemerintah sendiri (bukan oleh badan peradilan yang bebas), yang terdiri
dari Prosedur keberatan dan Prosedur banding administratif;
Banding Administratif adalah Banding administrasi yaitu apabila penyelesaian
sengketa Tata Usaha Negara tersebut dilakukan oleh instasi lain dari Badan/Pejabat
Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keptusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan. Contoh praktek Banding Administrasi yang selama ini sudah berjalan
adalah Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) berdasarkan No. 30
Tahun 1980 tentang Disiplin PNS, Komisi Banding Paten berdasarkan PP No. 31
Tahun 1995, sehubungan dengan adanya Undang-Undang No. 6 Tahun 1989 tentang
Paten, Komisi Banding Merek berdasarkan PP No. 32 Tahun 1995, sehubungan
dengan adanya Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek, Majelis
Pertimbangan Pajak sebagai banding administrasi perpajakan dan lain-lain;
Pengujian (Toetsing) dalam upaya administrasi berbeda dengan pengujian di
Peradilan Tata Usaha Negara. Di Peradilan Tata Usaha Negara pengujiannya hanya
dari segi penerapan hukum sebagaimana ditentukan Pasal 53 ayat (2) huruf (a) dan
(b) Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu apakah keputusan Tata
Usaha Negara tersebut diterbitkan dengan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan melanggar Asas-Asas Umum Pemerintah
Yang Baik (AAUPB), sedangkan pada prosedur upaya administrasi, pengujiannya
dilakukan baik dari segi penerapan hukum maupun dari segi kebijaksanaan oleh
instansi yang memutus, sehingga pengujiannya dilakukan secara lengkap.
181
Sisi positif upaya administrasi yang melakukan penilaian secara lengkap suatu
Keputusan Tata Usaha Negara baik dari segi Legalitas (Rechtmatigheid) maupun
aspek Opportunitas (Doelmatigheid), para pihak tidak dihadapkan pada hasil
keputusan menang atau kalah (Win or Loose) seperti halnya di lembaga peradilan, tapi
dengan pendekatan musyawarah. Sedangkan sisi negatifnya dapat terjadi pada
tingkat obyektifitas penilaian karena Badan/Pejabat tata Usaha Negara yang
menerbitkan Surat Keputusan kadang-kadang terkait kepentingannya secara langsung
ataupun tidak langsung sehingga mengurangi penilaian maksimal yang seharusnya
ditempuh. Berdasarkan rumusan penjelasan Pasal 48 tersebut maka upaya
administratif merupakan sarana perlindungan hukum bagi warga masyarakat (orang
perorangan/badan hukum perdata) yang terkena Keputusan Tata Usaha Negara
(Beschikking) yang merugikannya melalui Badan/Pejabat Tata Usaha Negara di
lingkungan pemerintah itu sendiri sebelum diajukan ke badan peradilan
Dalam konteks pemilukada, maka dengan berfungsinya Bawaslu sebagai
Banding Administratif diharapkan ada mediasi dan kemufakatan di antara para pihak
yang bersengketa. Salah satu responden dalam penelitian ini, Titi Anggaraini173,
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan
persetujuannya apabila Bawaslu ditempatkan sebagai Banding Administratif dalam
penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon di pemilukada karena hal tersebut
merupakan bagian dari Penguatan Bawaslu dalam pemilukada. Namun Titi Anggaraini
memberi catatan bahwa, apabila Bawaslu ditempatkan sebagai Quasi Peradilan dalam
konteks Banding Administratif, maka dari segi sumber daya manusia, personalia
173Wawancara dengan Titi Anggaraini dilakukan pada tanggal 20 Februari 2013
182
Bawaslu harus orang-orang yang memiliki integritas dan kapasitas keilmuan,
khususnya kecakapan dalam pengetahuan yudisial.
Sementara itu Erick Sihombing, Hakim PTUN Jayapura setuju dengan posisi
Bawaslu sebagai banding administratif dalam penyelesaian sengketa penetapan
pasangan calon karena akan mempermudah penyelesaian di PT TUN apabila terjadi
sengketa lanjutan. Menurut Erick Sihombing, selama ini pengujian sengketa
penetapan pasangan calon pemilukada di Jayapura sering terkendala dengan
mobilisasi atau dukungan bukti dari para pihak akibat terbatasnya jangkauan
geografis. Apabila sengketa tersebut sejak awal sudah memvalidasi bukti-bukti awal di
Bawaslu, maka persoalan pembuktian di PT TUN akan mudah, apalagi kalau kasus
tersebut di Jayapuran dan PT TUN berada di Makassar, maka hal tersebut dapat
mempermudah para pihak yang bersengketa.
Namun anggota KPUD Tanah Toraja, Aloysius Lande menyatakan tidak setuju
apabila Bawaslu ditempatkan sebagai banding administratif dengan alasan bahwa
kondisi itu akan melahirkan tumpang tindih dengan pengadilan. Selain itu menurutnya,
dengan pola seperti itu akan melahirkan birokratisasi dalam penyelesaian sengketa
pemilukada. Namun menurut penulis, kehadiran Bawaslu sebagai banding
administrasi dalam sengketa penetapan pasangan calon pemilukda justru mendorong
percepatan penyelesaian sengketa karena sejak awal diatur jangka penyelesaian yang
singkat.
Lebih dari itu penempatan Bawaslu sebagai bagian dari penyelesaian sengketa
merupakan upaya mendorong kerangka hukum yang integrative dengan
melembagakan fungsi penyelenggara pemilu sebagai pihak yang menyelesaikan
183
sengketa. Kerangka Hukum harus mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum
yang efektif untuk penegakan hak pilih karena hak memberikan suara merupakan hak
asasi manusia (Electoral Right). Karena itu, penyelesaian hukum terhadap
pelanggaran hak memberikan suara juga merupakan bagian hak asasi manusia174.
c. Menghapus kewenangan PTUN
Secara normatif sebagaimana telah diurai pada bagian Tinjauan Pustaka
bahwa Surat Keputusan tentang Penetapan Pasangan Calon Pemilukada yang
diterbitkan oleh KPUD adalah sebuah ketetapan (beschikking) yang dalam teori
hukum administrasi pengujiannya dilakukan di Peradilan Administrasi. Menurut Pasal
53 ayat 2 Undang-Undang no 9 tahun 2004 tentang Perubahan kedua UU. Nomor 5
tahun 1986 tentang Peratun menegaskan bahwa ada 2 alat uji yang digunakan Majelis
Hakim di Peratun untuk menguji sah tidaknya sebuah Keputusan yang diterbitkan oleh
Pejabat tata usaha negara dalam hal ini KPUD. Dua alat uji yakni berdasarkan
Ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku dan Asas-asas umum Pemerintahan
yang baik.
Dalam penelitian ini, SK KPUD tentang tentang Penetapan Pasangan Calon
Pemilukada dapat diuji atau digugat oleh pihak-pihak yang merasa kepentingannya
dirugikan atas terbitnya SK tersebut. Saat ini atau sejak Pemilukada di gelar 2005
Pengadilan Tata Usaha Negara di tingkat pertama telah banyak menerima, memutus
dan menyelesaikan perkara yang terkait dengan Surat Keputusan KPUD tentang
174Titi Anggraini dkk, Menata Kembali..Op. Cit. hlm. 74
184
tentang Penetapan Pasangan Calon Pemilukada. Di PTUN Makassar sendiri,
sepanjang tahun 2009 sampai dengan tahun 2012 tercatat telah menerima dan
memutus perkara yang terkait pemilu dan pemilukada termasuk halnya dengan
Penetapan Pasangan Calon dalam Pemilukada sebanyak 27 Perkara dengan rincian
sebagai berikut:
Tabel 3. Perbandingan Jumlah Perkara Sengketa Pemilukada dengan Perkara lainnyadi PTUN Makassar yang masuk pada periode 2009-2012
NO JENIS PERKARA TAHUN
2009 2010 2011 2012
1 Catatan Sipil - 1 - -
2 Kepegawaian 21 12 7 5
3 Lelang 3 3 3 2
4 Lurah/Kades 1 - 1 -
5 Orsospol: DPRD,Pilkada, Pemilu, Parpol 5 8 3 2
6 Pembangunan/Sarana Perhubungan - 1 2 -
7 Pendidikan - 4 - -
8 Perizinan (IMB) 1 1 2 2
9 Pertambangan - 1 1 -
10 Pertanahan 59 50 53 66
11 Lain-lain - - - 7
SUB TOTAL 90 82 72 84
TOTAL PERIODE 2009-2012 SEBANYAK 328 PERKARA
Sumber Data: Dokumentasi Kepaniteraan PTUN Makassar tahun 2013
Dalam table 3 tersebut, sesuai dengan nomenklatur yang digunakan oleh
Direktur Jenderal Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung (Dirjen
185
Dilmiltun MA) kategori sengketa pemilukada termasuk dalam kategori perkara sosial
politik yang di dalamnya termasuk sengketa pemilu, sengketa partai politik, pergantian
antar waktu (PAW) dan sengketa pemilukada. Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa
secara kuantitas, jumlah perkara yang diproses di PTUN Makassar yang terkait
dengan perkara politik hanya 18 perkara. Sedangkan khusus untuk perkara sengketa
pemilukada, sepanjang tahun 2009-2012 hanya terdapat 4 perkara. Dibandingkan
dengan wilayah hukum PTUN Makassar yang meliputi seluruh kabupaten/kota di
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat sebanyak 30 Kabupaten/Kota, maka jumlah
perkara pemilu dan pemilukada setiap tahun yang tidak mencapai 10 perkara
merupakan angka yang cukup sedikit. Oleh karena itu mengingat penyelesaian
perkara di Peratun cukup lama, namun jumlah perkara yang masuk tidak terlalu
banyak, maka menurut Penulis, untuk mengefektifkan penyelesaian perkara
pemilukada, maka sebaiknya kewenangan menyelesaikannya terlebih didahulu
dilakukan di Bawaslu Penyelesaian sengketa diharapkan selesai di tingkat Bawaslu.
Namun apabila ada pihak yang tidak puas dengan penyelesaian di Bawaslu maka
dapat langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT
TUN), sehingga kewenangan Peratun tingkat pertama dihapus.
Sampai saat ini pengujian pertama kali SK KPUD tentang Penetapan
Pasangan Calon Pemilukada di lakukan di PTUN bukan PT TUN di tingkat Banding.
Dalam ketentuan hukum acara Peratun ada beberapa jenis SK yang pengujiannya
menempatkan PT TUN sebagai Pengadilan Tingkat Pertama. Menurut Pasal 48 UU.
Nomor 5 tahun 1986, perkara tata usaha negara yang pengujiannya menempatkan PT
TUN sebagai pengadilan tingkat pertama adalah perkara yang menguji Surat
186
Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang diterbitkan setelah melalui proses
Banding Administrasi oleh instansi internal atau instansi lain di luar lembaga atau
institusi yang menerbitkan SK tersebut.
Pada proses penyelesaian sengketa akibat terbitnya SK KPUD tentang
Penetapan Pasangan Calon Pemilukada tidak diatur penyelesaian bandingnya di
KPUD atau Bawaslu apabila ada pasangan calon yang merasa dirugikan terhadap
terbitnya SK tersebut. Sehingga pasangan calon ketika merasa dirugikan dengan SK
tersebut secara serta merta langsung mengajukan gugatan ke PTUN. Menurut penulis
sebagaimana dibahas pada bagian terdahulu, mekanisme penyeleseian sengketa di
Peratun tanpa melalui pemeriksaan, mediasi dan upaya penyelesaian lainnya oleh
Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu tidak menghadirkan upaya penyelesaian
hukum yang efektif dan akuntabel, sebab Bawaslu sejak awal ditugaskan untuk
mengawasi pelaksanaan pemilukada termasuk mengawasi kinerja KPU.
Oleh karena itu salah satu fokus kajian penelitian ini adalah mereformulasi
struktur penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada dengan
menempatkan Bawaslu sebagai Quasi Peradilan yang berfungsi sebagai Banding
Administratif. Artinya pasangan calon atau siapapun yang merasa dirugikan dengan
terbitnya SK KPUD tentang Penetapan Pasangan Calon Pemilukada maka apabila
diajukan sebagai sengketa, terlebih dahulu melaporkan ke Bawaslu Provinsi untuk
dikaji, dimediasi, diperiksa, dimusyawarahkan dan diselesaikan.
Penyelesaian akhir tugas Bawaslu nantinya dalam bentuk Keputusan. Bagi
pihak yang tetap merasa dirugikan dengan Keputusan Bawaslu terhadap keluarnya SK
KPUD tersebut maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
187
Negara (PT TUN). Pengadilan berwenang mengoreksi keputusan KPUD maupun
Bawaslu. Sebagai konsekuensi dijadikannya PT TUN sebagai pengadilan tingkat
pertama dalam pengujian SK KPUD tentang Penetapan Pasangan Calon Pemilukada,
maka seuai dengan Pasal 48 UU nomor 5 tahun 1986, Peratun tingkat pertama tidak
memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa tersebut.
Selain menghapus kewenangan Peratun tingkat pertama maka upaya lainnya
untuk mengefektifkan penyelesaian sengketa penetapan pasangan calon dalam
pemilukada adalah dengan memperpendek atau membatasi tahapan upaya
hukumnya. Dalam hal ini untuk mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap
(inkracht), para pihak tidak harus menempuh upaya hukum sampai pada tingkat
Kasasi di Mahkamah Agung. Perlu desain ulang agar upaya hukum terakhir dalam
sengketa pemilukada di tingkat kabupaten kota cukup sampai di PT TUN. Hal ini
mengingat fakta selama ini pada umumnya perkara pemilukada di PTUN Makassar
sudah diputus inkracht di PT TUN Makassar sebagaimana tergambar dalam Tabel 4
berikut:
Tabel 4. Penyelesaian Sengketa Pemilukada di PTUN Makassar
NO TAHUN JUMLAH
PERKARA
TAHAPAN INKRACHT
PTUN PT.TUN KASASI
1 2009 5 1 3 1
2 2010 8 6 2
3 2011 3 1 2
4 2012 2 1 1
TOTAL 18 3 10 5
Sumber Data: Dokumentasi Kepaniteraan PTUN Makassar tahun 2013
188
Data di atas menunjukkan dari total 27 perkara pemilu dan Pemilukada yang
ditangani oleh PTUN Makassar sepanjang tahun 2007-2012 ada 16 perkara (60%)
perkara-perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap di PT.TUN Makassar.
Sehingga menurut penulis, upaya hukum terakhir pada sengketa pemilukada
kabupaten/kota cukup sampai di tingkat Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Adapun sengketa pemilukada yang muncul pada pelaksanaan pemilukada Provinsi
maka upaya hukum terakhirnya tetap sampai di tahapan Kasasi di Mahkamah Agung
d. Pengadilan Ad Hoc Pemilukada
Salah satu desain struktur pelaksanaan pemilukada yang dapat mendorong
penegakan hukum administrasi pemilukada yang efektif dan efisien adalah adanya
Pengadilan khusus yang menangani, memutus dan menyelesaikan sengketa dan
pelanggaran dalam pemilukada. Secara filosofis keberadaan Pengadilan khusus
pemilu dimaksudkan untuk memastikan proses pilkada berlangsung sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum dan keadilan pemilu. Sebagai kegiatan politik yang diatur dalam
konstitusi dan berlangsung secara regular dan menjadi penentu dalam proses
pergantian kepemimpinan bangsa, maka pemilu maupun pilkada harus mampu
berlangsung secara fair, jujur dan berkeadilan.
Mengingat sifatnya yang urgen dan melibatkan seluruh warga yang memiliki
hak pilih dan menggunakan anggaran negara yang berjumlah trilyunan, maka
penyelenggaraan pemilu ataupun pilkada harus dapat diawasi agar berjalan secara
transparan dan akuntabel. Salah satu aspek yang diperlukan dalam mencapai tujuan
pemilu yang jujur dan berkeadilan adalah dengan adanya penegakan hukum yang
189
konsisten, tersistem dan terbuka. Dalam konteks pilkada, maka kehadiran Pengadilan
ad hoc khusus Pilkada menjadi salah satu usaha untuk memastikan agar proses
penegakan hukum yang berlangsung selama pilkada dapat terlesaikan secara baik
dan dapat memberikan nilai keadilan bagi pemilih dan penyelenggara pilkada.
Kehadiran Pengadilan ad hoc Pilkada memiliki landasan sosiologis mengingat
pelaksanaan pilkada setiap tahun begitu massif. Bahkan menurut Jusuf Kalla dengan
jumlah kabupaten kota di seluruh Indonesia sebanyak 456 daerah otonom serta 34
Provinsi, maka setiap 2 hari terdapat pemilihan di daerah. Frekuensi memilih ini adalah
yang paling sering di seluruh dunia. Urgensi Pengadilan ad hoc khusus pilkada
semakin penting apabila desain pelaksanaan pilkada secara serentak menjadi
kebijakan resmi pemerintah dan DPR. Dengan pilkada serentak, maka potensi
munculnya pelanggaran dan sengketa pilkada akan berlangsung secara sporadic dan
massif. Sehingga diperlukan penanganan hukum secara cepat.
Pengadilan regular saat ini menurut penulis kurang mampu merespon dan
menyelesaikan secara cepat sengketa dan pelanggaran pemilu yang terjadi.
Pengadilan Umum untuk pelanggaran pidana dan Peratun untuk pelanggaran
administrasi dalam pilkada belum banyak berkontribusi dalam mendorong penegakan
hukum pemilu yang konsisten, teritegratif dan akuntabel.
Menurut penulis, beberapa kelemahan dengan model pengadilan saat ini
adalah pertama, persoalan kecepatan dalam menyelesaikan dan memberikan
kepastikan hukum terhadap perkara pilkada yang sedang berlangsung. Seperti yang
diurai di atas, proses penyelesaian sengketa pilkada saat ini memerlukan waktu yang
cukup lama. Kedua, belum terintegrasinya proses penyelesaian hukum, yakni dalam
190
hal pelanggaran hukum pidana dan pelanggaran hukum administrasi. Pada setiap
pelaksanaan pilkada, selalu muncul pelanggaran pidana seperti politik uang dan
pelanggaran administrasi. Kedua pelanggaran tersebut belum dapat diselesaiakn
secara baik oleh mekanisme peradilan saat ini. Ketiga, persoalan kualitas hakim yang
menangani sengketa pilkada. Diperlukan hakim-hakim yang memiliki kapasitas dan
keahlian dalam bidang ilmu hukum dan politik, khususnya yang terkait dengan pemilu.
Menurut Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jerry Sumampow,
Pengadilan Ad Hoc Pemilukada menjadi penting untuk menegakkan asas kepastian
hukum dalam pemilukada175. Jerry Sumampow mengemukakan 3 alasan urgensi
Pengadilan Ad Hoc dalam pilkada. Pertama, Pengadilan ad hoc akan memberikan
jaminan kepastian hukum pemilu/pilkada. Dengan adanya pengawasan secara ad hoc,
maka semua persoalan hukum yang terjadi dalam pemilu/pilkada bisa tertangani atau
ditangani secara lebih baik dan adil. Kedua, kualitas proses-proses pengadilan dalam
kasus-kasus pemilu/pilkada akan lebih baik dan terjamin karena akan ditangani oleh
orang-orang yang jauh lebih kompeten. Dengan demikian hasil pengadilan pemilu
akan lebih baik dan berkualitas dibanding jika ditangani oleh Peratun, sebab hakim-
hakim yang bertugas bisa dipastikan memahami persoalan yang akan diadili. Ketiga,
Pengadilan ad hoc juga akan membuat waktu tahapan pemilu takan akan terganggu,
sebab proses pengadilannya bisa dibuat lebih cepat dari proses pengadilan di
Peratun.
Menurut Jerry Sumampow, dengan banyaknya pemilu yang berlangsung di
setiap level pemerintahan, maka Pengadilan ad hoc pemilu/pilkada menjadi penting
175Sebagaimana wawancara tertulis dengan Jerry Sumampow pada tanggal 5 Juli 2013
191
untuk dihadirkan. Bahkan dalam pandangan Jerry Sumampow, kehadiran Pengadilan
ad hoc tidak harus menunggu adanya kebijakan pemilu dan pilkada dilaksanakan
secara serentak. Pengadilan ad hoc tersebut hanya bekerja dan menangani sengketa
apabila dalam pemilu atau pilkada di suatu daerah terdapat sengketa yang harus
diputus. Selama tidak ada sengketa, maka hakim yang bersidang di pengadilan ad hoc
pemilu/pilkada dapat kembali bekerja dengan tugasnya masing-masing.
Namun pendapat berbeda dikemukakan oleh Koordinator Nasional Jaringan
Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), M. Afifuddin176 bahwa kehadiran
Pengadilan ad hoc khusus Pemilu/Pilkada belum diperlukan kehadirannya saat ini.
Menurutnya untuk mengefektifkan dan mengefisienkan proses penyelesaian sengketa
pemilu dan pilkada cukup dengan memberdayakan atau melatih secara khusus hakim-
hakim yang ada di Pengadilan Negeri (PN) atau Peratun. Sebagai perbandingan
dalam konteks sengketa informasi publik, maka Komite Informasi Publik (KIP)
bekerjasama dengan Mahkamah Agung melakukan berbagai training dan pelatihan
bagi hakim untuk mengantisipasi adanya sengketa informasi, baik di PN maupun di
Peratun.
Menurut penulis Pengadilan ad hoc pemilu/pilkada saat ini cukup penting
mendesak mengingat adanya potensi hak asasi pemilih yang hilang akibat sengketa
pemilu dan pilkada yang tidak diselesaikan secara baik dan mendapat kepastian
hukum. Keberadaan Pengadilan ad hoc pemilu/pilkada memiliki formulasi yang sama
dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), baik dari segi filosofis, sosiologi
dan teknis pelaksanaannya. Pengadilan ad hoc Tipikor hadir karena korupsi sudah
176Wawancara tertulis Penulis dengan Afif Afifuddin pada tanggal 8 Juli 2013
192
menjadi Kejahatan Luar Biasa (Extradionary Crime) yang penyelesaian hukumnya
harus secara spesifik, tegas dan cepat. Secara tekhnis keberadaan Pengadilan ad hoc
khusus pemilu/pilkada sama dengan Pengadilan khusus Tipikor yakni ditempatkan di
setiap ibukota provinsi. Kewenangan Pengadilan ad hoc khusus pemilu/pilkada adalah
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara sengketa pemilu/pilkada baik
perkara administrasi maupun perkara pidana.
3. Pelaksanaan Asas Peradilan yang Cepat, Sederhana Dan Biaya Ringan
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai salah satu pelaksana unsur kekuasaan
kehakiman memiliki kewajiban dalam melaksanakan asas-asas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman. Dalam Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman khususnya pada Bab II tentang asas Penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 ayat 4 yang bunyi:
(4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
dan pasal 4 ayat 2 mengatur:
(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segalahambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,cepat, dan biaya ringan.
Penjelasan dari Pasal 2 ayat 4 tersebut yang dimaksud dengan “sederhana”
adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan
efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat
dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya
ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak
193
mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan
keadilan177
Dalam perkembangan kehidupan demokrasi seperti saat ini, tuntutan adanya
pelayanan publik yang prima dan cepat termasuk halnya pelayanan dunia peradilan
adalah menjadi sebuah keniscayaan. Pelayanan Publik yang cepat dan tidak bertele-
tele menjadi salah satu indikator pelaksanaan pemerintahan yang baik. Dalam dunia
peradilan, maka pemeriksaan dan penyelesaian perkara sudah saatnya juga
berorientasi pada penyelesaian yang cepat, sederhana dan berbiaya ringan.
Namun pada kenyataannya, pelaksanaan asas cepat dan sederhana serta
biaya ringan belum dapat dijalankan secara maksimal dalam pengujian sengketa
penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Sengketa penetapan pasangan calon
dalam pemilukada masih bagian dari proses pelaksanaan pemilukada sehingga
proses penyelesaian sengketa di Peratun semestinya berjalan cepat dan sederhana.
Namun selama ini pengujian sengketa penetapan pasangan calon pemilukada di
Peratun termasuk lambat, tidak efisien sehingga terkadang putusan Peratun tentang
sengketa tersebut baru muncul ketika telah terdapat keadaan hukum baru. Seperti
halnya putusan Peratun tentang penetapan pasangan calon baru berkekuatan hukum
tetap setelah calon bupati/gubernur sudah terpilih secara definitif.
Asas peradilan yang cepat dan sederhana dalam penyelesaian sengketa
penetapan pasangan calon menjadi penting untuk diimplementasikan agar proses
hukum terhadap sengketa tersebut memiliki kekuatan hukum dalam waktu relative
177Penjelasan Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 49 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
194
cepat. Tanpa adanya kepastian hukum terhadap sengketa yang sedang berlangsung
memiliki implikasi pada proses atau tahapan pemilukada yang sedang berlangsung.
Dalam penelitian ini, semua responden memiliki pandangan dan pokok pikiran
yang sama terhadap solusi utama penyelesaian sengketa, yakni proses penyelesaian
sengketa penetapan pasangan calon pemilukada harus berjalan secara cepat
sehingga penyelesaian sengketa tersebut memiliki kepastian waktu dalam waktu yang
tidak lama. Kecepatan penyelesaian sengketa yang cepat untuk memenuhi
kepentingan masyarakat dalam proses pemilukada yang telah memiliki jadwal dan
tahapan tertentu. Desain efesiensi waktu dalam konteks penempatan Bawaslu sebagai
banding administrasi berbeda dengan model efesiensi waktu dengan menggunakan
kerangka yang lama, yakni penyelesaian sengketa tanpa Bawaslu.
Dalam kerangka efesiensi penyelesaian waktu sengketa dengan skema posisi
Bawaslu sebagai Banding Administrasi, maka pengaturan waktu tersebut dapat
dicantumkan dalam Undang-Undang yang mengatur secara khusus ketentuan
Pemilukada. Sementara efesiensi pengaturan waktu di luar desain Bawaslu sebagai
Banding Administrasi sebagaimana dibahas pada bagian di atas dapat diatur langsung
dalam Undang-Undang yang mengatur hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara,
yakni revisi Pasal 55 UU. No. 5 Tahun 1986. Namun esensi atau substansi revisi
pengaturan tersebut memiliki kesamaan, yakni mempercepat waktu penyelesaian
sengketa pemilukada dengan menerapkan asas peradilan yang cepat, sederhana dan
biaya ringan;
Bawaslu sebagai banding administrasi dapat mendorong percepatan
penyelesaian sengketa dengan ketentuan bahwa Bawaslu harus memberikan
195
keputusan terhadap penyelesaian sengketa penetapan pasangan yang dilaporkan
oleh Terlapor (Pasangan Calon) selama 7 hari kerja. Setelah Bawaslu mengeluarkan
keputusan, maka para pihak diberi waktu 3 hari untuk mengajukan gugatan banding ke
PT TUN apabila tidak menerima hasil pemeriksaan Bawaslu. Sementara PT TUN
dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan gugatan penetapan pasangan calon
dalam pilkada dalan jangka 14 hari kerja harus mengeluarkan putusannya. Apabila
sengketa tersebut muncul dalam ranah pemilukada Bupati/Walikota, maka putusan
tersebut bersifat Final dan mengikat. Apabila sengketa tersebut dalam ranah
pemilukada Provinsi, maka pihak yang tidak menerima atas putusa PT TUN maka
dapat mengajukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung
dalam jangka 21 hari kerja harus memutus dan memberi kepastian hukum atas
sengketa tersebut.
Dengan ketentuan waktu tersebut, maka apabila terjadi sengketa penetapan
pasangan calon pemilukada Gubenur, maka waktu penyelesaian yang diperlukan
maksimal 42 hari kerja atau Pemilukada Bupati/Walikota selama 21 hari kerja. Jumlah
hari tersebut merupakan perubahan yang siginifikan atau efesiensi dari jangka waktu
penyelesaian pemilukada yang selama ini masih memberlakukan praktek hukum acara
Peradilan Tata Usaha Negara khususnya dalam Pasal 55 UU. 5 tahun 1986 dan proses
penyelesaiannya dalam waktu yang cukup lama karena tenggang waktunya selama 90
hari.
Dalam konteks pelaksanaan hukum saat ini dimana belum terdapat revisi
perubahan undang-undang, maka upaya yang dapat dilakukan oleh Hakim Peratun
untuk menerapkan asas peradilan yang cepat dan sederhana adalah dengan
196
menerapakn sistem kelender peradilan (Court Calender) pada persidangan yang terkait
dengan penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Menurut Erick Sihombing, salah
seorang Hakim PTUN Jayapura menyebutkan bahwa Court Calender adalah salah satu
solusi untuk mempercepat persidangan sengketa penetapan pasangan calon. Adanya
Court Calender yang ditetapkan sejak persidangan hari pertama dapat mengikat semua
pihak yang berperkara agar konsisten dan wajib menghadiri setiap sidang yang telah
diagendakan sehingga dapat terhindari dari waktu yang terbuang akibat salah satu
pihak yang tidak datang pada setiap sidang.
Adanya Court Calender menjadi pilihan alternatif yang dapat digunakan saat ini
untuk melaksanakan asas peradilan yang cepat dan sederhana dalam pengujian
sengketa penetapan pasangan calon mengingat ketentuan hukum acara Peratun
maupun Ketetuan hukum pemilukada tidak menunjuk secara khusus bahwa sengketa
penetapan pasangan calon di Peratun harus dilaksanakan dengan pemeriksaan acara
cepat, namun tetap menggunakan mekanisme pemeriksaan acara biasa. Menurut
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 06 tahun 1992 bahwa pemeriksaan acara
biasa di pengadilan tingkat pertama harus selesai paling lambat 6 (enam) bulan
terhitung sejak diterimanya perkara. SEMA nomor 6 tahun 1996 tersebut antara lain
mengaturi:
“Pada dasarnya jumlah Hakim baik di Pengadilan Negeri maupun diPengadilan Tinggi sudah mencukupi kebutuhan untuk penyelesaian perkara-perkara yang diterima di Pengadilan yang bersangkutan, sehingga karenanyaperkara-perkara di Pengadilan Negeri ataupun di Pengadilan Tinggi sudahdapat diselesaikan dalam waktu 6 (enam) bulan”
Rentang waktu penyelesaian perkara di Pengadilan Negeri tersebut kemudian
diadopsi selama ini dalam praktek beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara.
197
Substansi waktu 6 (enam) bulan tersebut kemudian dipertegas oleh Surat Keputusan
Ketua Mahkmah Agung Nomor 026/KMA/SKII/ 2012 tentang Standar Pelayanan
Peradilan. Surat Keputusan ini diterbitkan Mahkmah Agung untuk merespon
disahkannya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam
point II huruf A angka 5 diatur bahwa :
“Pengadilan wajib memutus dan termasuk melakukan pemberkasan(minutasi) perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama dalam jangka waktumaksimal 6 (enam) bulan terhitung sejak perkara didaftarkan.”
Dalam SEMA Nomor 7 tahun 2010 tentang Pemilukada juga tidak ditemukan
petunjuk bahwa pemeriksaan atas sengketa pemilukada dilaksanakan dengan acara
cepat. Namun substansi dari SEMA nomro 7 tahun 2010 adalah pemeriksaan atas
sengketa pemilukada dilakukan dengan pemeriksaan acara biasa namun dipercepat.
Bunyi SEMA nomor 7 tahun 2010 antara lain:
“Pemeriksaan terhadap sengketanya oleh Pengadilan Tata UsahaNegaraagar dilakukan secara prioritas dengan mempercepat prosespenyelesaian sengketanya.”
Artinya Mahkamah Agung tidak menghendaki adanya persidangan yang molor
dan banyaknya waktu terbuang. Oleh karena itu pada prakteknya untuk mempercepat
proses persidangan pada prakteknya beberapa pihak tidak menggunakan haknya
untuk menyampaikan Replik atau Duplik di Persidangan mengingat adanya Replik
tidak menjadi kewajiban bagi Penggugat sebagaimana Duplik juga tidak menjadi
kewajiban bagi Tergugat.
Kecepatan waktu penyelesaian sengketa penetapan pasangan calaon dalam
pemilukada harus dipandang sebagai bagian upaya mewujudkan asas efesiensi,
198
efektifitas dan kepastian hukum. Selain itu sengketa pemilukada yang cepat selesai
dapat membantu atau menghindari terjadinya potensi konflik yang berkepanjangan.
Sebagaimana dikutip Titi Anggraini dkk178 yang menyebut bahwa Internationa IDEA
dalam memastikan terjaminnya prinisip-prinsip penegakan hukum Internasioanal
mengajukan empat daftar periksa terhadap materi kerangka hukum yang akan
mengatur penyelenggaraan pemilu berupa. (1) Apakah peraturan perundang-
undangan pemilu mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif untuk
keperluan penegakan hukum pemilu? (2) Apakah peraturan perundang-undangan
secara jelas menyatakan siapa yang dapat mengajukan pengaduan pelanggaran atas
peratauran perundang-undangan pemilu? (3) apakah juga dijelaskan proses untuk
pengajuan pengaduan tersebut?apakah peraturan perundang-undangan Pemilu
mengatur hak pengajuan banding atas keputusan lembaga penyelenggara pemilu ke
pengadilan yang berwenang?(4) Apakah peraturan perundang-undangan Pemilu
mengatur batas waktu pengajuan, pemeriksaan, dan penentuan penyelesaian hukum
atas pengaduan.
Dengan demikian adanya ketentuan pembatasan waktu penyelesaian sengketa
pemilukada merupakan bagian dari pelaksanaan asas peradilan yang cepat,
sederhana dan biaya ringan. Implementasi asas peradilan cepat dan sederhana dalam
penyelesaian sengketa pemilukada menjadi salah satu indikator indikator penegakan
hukum administrasi dalam penetapan calon kepala daerah dalam pemilukada.
178Titi Anggraini dkk. Ibid.
199
B. Efektifitas Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negaradalam Sengketa Penetapan Pasangan calon dalam Pemilihan Kepala
Daerah
Pelaksanaan putusan sebuah perkara yang telah diputus inkracht oleh
Pengadilan adalah akhir dalam proses penyelesaian sengketa di Pengadilan.
Begitupun halnya dengan penyeleseian sengketa administrasi melalui Pengadilan Tata
Usaha Negara. Pelaksanaan putusan oleh Pejabat Tata Usaha Negara adalah sebuah
bukti hukum bahwa putusan Peratun telah dilaksanakan oleh Tergugat dalam hal ini
pejabat Tata Usaha Negara.
Berbeda dengan pelaksanaan putusan dalam perkara pidana dan perdata yang
eksekusi atau pelaksanaan putusannya berbentuk fisik yang nyata seperti
pembongkaran, penyitaan, penjara dll. Namun eksekusi putusan dalam perkara
administrasi adalah pelaksanaan sebuah kebijakan baru atau adanya perubahan
kebijakan yang dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Negara akibat perintah Majelis
Hakim di Peratun melalui putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, final dan
mengikat. Wujud dari perubahan kebijakan itu adalah dengan terbitnya sebuah
Keputusan baru dari Pejabat Tata Usaha Negara tersebut untuk melaksanakan
putusan akhir dari Peratun.
Namun pada prakteknya, eksekusi atau pelaksanaan putusan PERATUN
selama ini belum berjalan secara efektif atau setidaknya-tidaknya sering diabaikan
oleh Pejabat Tata Usaha Negara selaku eksekutor. Dalam praktik putusan PERATUN
baru dipatuhi setelah ada paksaan-paksaaan secara tidak langsung melalui
200
pemberitaan-pemberitaan di media massa (pers)179. Selama ini normatifitas
pelaksanaan putusan sesungguhnya telah diatur secara tegas dan sistematis dalam
Undang-undang nomor 5 tahun 1986 khususnya Pasal 116 yang pelaksanaannya
dilakukan secara berjenjang. Namun eksekusi yang lebih menyadarkan kepada
Pejabat Tata Usaha Negara atau dengan peneguran secara berjenjang secara hirarki
(floating norm) sebagaimana diatur dalam pasal 116 UU. Nomo r tahun 1986 ternyata
tidak cukup efektif dapat memaksa pejabat TUN untuk melaksanakan putusan Hakim
Peratun 180
Salah satu ciri khas Peratun dibanding dengan Pengadilan Perdata di Peradilan
Umum adalah dalam hal eksekusi putusan. Eksekusi putusan di Peratun tidak dikenal
dengan model eksekusi putusan secara riil, namun eksekusi putusan dilaksanakan
secara administratif, dalam hal ini sebagai Tergugat sekaligus Pejabat Tata Usaha
Negara dibebani kewajiban untuk melaksanakan putusan yang sudah berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Dalam konteks kajian penegakan hukum administrasi dalam sengketa
penetapan pasangan calon dalam Pemilukada, salah aspek yang memiliki pengaruh
dalam penyelesaian sengketa tersebut adalah dalam hal pelaksanaan putusan
Peratun yang mengadili sengketa tersebut. Banyak putusan Peratun, baik yang
bersifat Penetapan dalam hal penundaan maupun Putusan akhir yang sudah Inkracht
tidak dilaksanakan oleh KPUD selaku Tergugat. Fatmawati Rachim, anggota KPUD
179Liontong Siahaan, Prospek PTUN sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi di Indonesia; Studi
tentang keberadaan PTUN selama Satau Dasawarsa 1991-2001 Disertasi, Universitas Indonesia Fakultas Hukum
Pascasarjana, Jakarta, 2004. Hlm.291
180 H. Supandi, Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (Kepatuhan Hukum Pejabat dalam Mentaati Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara). Pustaka Bangsa Press. Meda. Cetakan Pertama, 2011 hal. 3
201
Kabupaten Gowa menyatakan bahwa Peratun harus diposisikan sebagai subsistem
dalam hal pelaksanaan pemilukada karena bertugas menyelesaikan sengketa
administrasi. Namun pada prakteknya keberadaan Peratun dalam pemilukada masih
kurang diperhitungkan hal ini terlihat dari beberapa putusan Peratun yang diabaikan
oleh KPUD.
Pada kasus perkara No. 51 tahun 2010 di Pengadilan Tata Usaha Negara
Makassar yang menempatkan KPUD Toraja Utara sebagai Tergugat, PTUN Makassar
mengeluarkan Penetapan tentang Penundaan tahapan Pemilukada untuk menghindari
kerugian Penggugat dan tahapan tidak terlanjur berjalan. Namun pada saat itu pihak
KPUD Toraja Utara bergeming dan tidak melaksanakan Penetapan tersebut. Menurut
Aloysius, salah anggota KPUD Toraja Utara, sikap menolak pelaksanakan Penetapan
tersebut diambil dalam Pleno Ketua dan Anggota KPUD Toraja Utara dengan alasan
KPUD sudah benar dalam mengeluarkan keputusan Penetapan Pasangan Calon
Toraja Utara yang tidak mengakomodir Penggugat.
Alasan yang hampir sama dikemukakan oleh Agus, Ketua KPUD Lombok
Tengah. Menurut Agus, pihak KPUD Lombok Tengah tidak melaksanakan putusan
PTUN Mataram Nomor: 31/G/2010/PTUN.Mtr yang sudah inkracht di tingkat kasasi
karena memang secara hukum menurut KPUD Lombok Tengah Penggugat tidak bisa
diakomodir karena Partai Politik (PKPB) sejak awal sudah mengalihkan dukungan ke
pasangan lain. Selain itu menurut Agus, putusan Inkracht dari Mahkamah Agung baru
diputus jauh hari setelah pilkada, yakni 2 tahun setelah terpilihnya pasangan
pemenang. Jadi menurut Agus, pihak KPUD tidak bisa mengeksekusi putusan
tersebut karena berimplikasi pada pelaksanaan pemilukada ulang.
202
Namun dalam perkara lainnya yang diputus oleh PTUN Mataram yakni nomor
14/G/2010 PTUN.Mtrm akibat adanya SK yang diterbitkan oleh KPUD Lombok Tengah
tentang penetapan pasangan calon dalam pemilukada 2010. Keputusan KPUD
tersebut meloloskan pasangan .Moh. Suhaili, FT – Drs.H.L. Normal Suzana yang
diduga melanggar syarat administrasi pencalonan. Pasangan tersebut memenangkan
pemilukada 2010 dan terpilih sebagai Bupati dan wakil Bupati Lombok Tengah, namun
pasangan lainnya menggugat pencalonannya ke PTUN Mataram. Pada
perkembangannya PTUN Mataram memutus bahwa mengabulkan gugatan Penggugat
untuk mendiskualifikasi pasangan H.Moh. Suhaili, FT – Drs.H.L. Normal Suzana
sebagai calon pasangan resmi.
Pada tahun 2012 akhirnya KPUD Lombok melaksanakan putusan PTUN
Mataram tersebut dengan menerbitkan SK baru yang intinya mendiskulifikasi
pasangan H.Moh. Suhaili, FT – Drs.H.L. Normal Suzana. Menurut Agus, pihak KPUD
Lombok Tengah sudah melaksanakan putusan PTUN Mataram, namun permasalahan
konkretisasi akibat munculnya SK KPUD yang baru merupakan bukan kewenangan
KPUD Lombok Tengah, melainkan pihak kementerian dalam negeri. Konkretisasi SK
KPUD Lombok tengah yang baru tersebut adalah pemilukada ulang, tidak sekedar
pencoblosan ulang.
Beberapa contoh kasus di atas menunjukkan bahwa salah satu faktor bagi
KPUD sebagai Tergugat dalam melaksanakan putusan Peratun pada kasus sengketa
Penetapan pasangan calon adalah akibat lamanya proses penyeleseian sengketa di
Peratun. Agus menyatakan bahwa salah satu alasan KPUD Lombok Tengah tidak
melaksanakan putusan PTUN Mataram adalah karena putusan tersebut berkekuatan
203
hukum tetap ketika tahapan pemilukada sudah selesai, sehingga mustahil untuk
dilaksanakan. Dalam mengeksekusi putusan PTUN Mataram Nomor:
31/G/2010/PTUN.Mtr, secara prinsip KPUD Lombok Tengah menolak melaksanakan
putusan setelah mendapatkan arahan dan petunjuk dari KPU Pusat. Petunjuk KPU
Pusat tersebut antara lain; Pertama, Hukum atau putusan harus memiliki nilai
kemanfaatan, Kedua, Pemilukada tidak mungkin diulang, Ketiga bahwa tidak ada
dalam ketentuan UU. 32 tahun 2004 yang memberikan celah yuridis bahwa pilkada
ulang dapat dilakukan setelah pemilu selesai.
Petunjuk atau arahan KPU Pusat untuk KPUD Lombok Tengah dalam
menyikapi putusan PTUN Mataram tersebut merepresentasikan sikap KPUD yang
selama ini menolak melaksanakan putusan Peratun dalam penetapan pasangan
calon pemilukada. Penelitian ini kemudian menunjukkan bahwa putusan Peratun
tentang Sengketa Penetapan Pasangan Calon dalam Pemilukada baik yang inkracht
di tingkat Pertama, maupun di tingkat banding atau kasasi tidak efektif dalam
menyelesaikan sengketa tersebut. Definisi penyelesaian sengketa dalam hal ini ketika
putusan Peratun yang telah inkracht tersebut dapat dilaksanakan oleh KPUD sebagai
Tergugat dan sekaligus eksekutor. Pelaksanaan putusan Peratun adalah dalam
bentuk menerbitkan kembali SK KPUD yang baru yang mengakomodir Penggugat
sebagai pasangan resmi. KPUD selalu berdalil bahwa putusan Peratun tersebut tidak
dapat dilaksanakan dengan berbagai alasan seperti persoalan waktu pelaksanaan
pemilukada yang sudah lewat dan tidak adanya ketentuan yang mengatur pemilukada
ulang.
204
Sikap KPUD yang tidak melaksanakan atau menolak mengeksekusi putusan
Peratun tersebut yang kemudian memposisikan putusan Peratun dalam sengketa
Pemilukada menjadi tidak efektif. Erick Sihombing, Hakim PTUN Jayapura
menuturkan bahwa dari 20 perkara pemilukada sepanjang tahun 2010 sampai dengan
2013 yang ditanganinya, hanya sekitar 5 perkara yang dilaksanakan oleh KPUD
selaku Tergugat181. Hal ini menurut Erick Sihombing menunjukkan bahwa Putusan
Peratun dalam sengketa Pemilukada tidak efektif dalam menyelesaikan sengketa
administrasi dalam rangka melindungi kepentingan Penggugat.
Secara umum, pelaksanaan putusan Peratun yang telah berkekuatan hukum
tetap masih sering diabaikan oleh Tergugat. Dalam laporan tahun Mahkamah Agung
tahun 2012 disebutkan bahwa sekitar 80%182 putusan peratun yang telah Inkracht
tidak dilaksanakan oleh Pejabat Tata Usaha Negara selaku Tergugat. Secara khusus
data perkara di PTUN Makassar periode 2009 hingga 2012, sebagaimana yang
ditunjukkan dalam tabel 3 di atas bahwa sebanyak 18 Perkara yang terkait dengan
Pemilu dan politik dan 4 di antaranya adalah perkara yang terkait dengan sengketa
penetapan pasangan calon. Amar putusan hakim terhadap seluruh perkara sengketa
penetapan pasangan calon tersebut adalah mengabulkan gugatan penggugat, artinya
memerintahkan KPUD menerbitkan SK penatapan baru
Namun pada kenyataannya seluruh perkara (empat perkara) yang terkait
dengan sengketa penetapan pasangan tersebut tidak ada yang dipatuhi oleh KPUD.
181Wawancara dengan Erick Sihombing pada tanggal 12 April 2013
182 Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2012 sebagaimana disampaikan Disiplin Manao (Hakim Tinggi PTUN
Medan) sebagai Narasumber dalam Pelatihan Hakim Berkelanjutan , Bogor 8-14 April 2013 di Megamendung
205
Data ketidakpatuhan KPU terhadap putusan Peratun yang terkait dengan sengketa
penetapan pasangan juga penulis dapat pada pada perkara lain di PTUN Mataram,
yakni perkara dengan nomor putusan PTUN Mataram Nomor 31/G/2010/PTUN.MTR
jo putusan PTTUN Surabaya Nomor 180/B/2010/PT.TUN.SBY tergugat dalam hal ini
KPUD Lombok Tengah tidak melaksanakan putusan PTUN Mataram yakni
menerbitkan SK Penetapan Pasangan yang baru yang mengikutsertakan nama
penggugat sebagai calon bupati Lombok Tengah. Pada perkara lain di PTUN Kupang,
dengan nomor perkara 14/g/2010/ptun-kpg, KPUD Kabupaten Timur Tengah Utara
juga tidak melaksanakan putusan PTUN Kupang yang memerintahkan untuk
menerbitkan SK Penetapan untuk mengganti SK Penetapan yang sudah dibatalkan
oleh PTUN Kupang serta Putusan PTUN Jayapura Nomor perkara
16/G.TUN/2012/PTUN.JPR.
Meskipun secara nasional Penulis belum meneliti data secara keseluruhan atas
seluruh perkara sengketa penetapan pasangan calon yang tidak dipatuhi oleh KPUD,
namun menurut penulis fakta yang terjadi pada beberapa perkara di PTUN Makassar,
PTUN Mataram, PTUN Kupang dan PTUN Jayapura sebagaimana disebut di atas
menunjukkan bahwa putusan Peratun dalam sengketa penetapan pasangan calon
pemilukada tidak efektif karena putusan tersebut tidak dipatuhi oleh KPUD.
Sebagai bagian dari produk hukum publik, maka pelaksanaan putusan
pengadilan tata Usaha Negara juga mengikat pada publik, tidak hanya dengan para
pihak yang bersengketa. Daya ikat putusan tersebut akan efektif berlaku apabila
putusan Peratun dilaksanakan atau dieksekusi. Artinya selama putusan Peratun tidak
206
dilaksanakan atau tidak dieksekusi oleh Tergugat, maka selama itu pula putusan
Peratun tidak efektif. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk mendorong agar
Tergugat atau KPUD segera dan mau melaksanakan putusan Peratun terhadap
sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Menurut penulis, ada
beberapa indikator yang dapat mendorong efektivitas pelaksanaan putusan Peratun
yang telah berkekuatan hukum tetap dalam konteks sengketa penetapan pasangan
calon.
1. Kewenangan eksekutorial Peratun
Salah satu faktor yang menyebabkan ketidakefektifan putusan Peratun dalam
sengketa penetapan pasangan calon pada Pemilukada adalah karena lembatnya
eksekusi putusan Peratun, baik yang bersifat Penetapan Penundaan maupun putusan
akhir yang telah inkracht. Sebagian besar responden dari kalangan KPUD dan
kandidat (Penggugat) dalam penelitian ini menyampaikan bahwa faktor lambatnya
putusan Peratun memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat yang menjadikan
KPUD tidak bisa melaksanakan putusan Peratun. Artinya efektifitas terhadap
pelaksanaan putusan Peratun terkait dengan jangka waktu penyelesaian sengketa
hukum yang berkekuatan hukum tetap. Semakin cepat putusan Peratun memiliki
kekuatan hukum tetap, maka semakin mempermudah KPUD dalam melaksanakan
putusan Peratun. Indikator penyelesaian sengketa yang cepat dalam konteks ini
adalah bahwa keseluruhan tahapan penyelesaian sengketa penetapan pasangan
pemilukada sudah selesai dan telah berkekuatan hukum tetap selama tahapan
Pemilukada belum selesai.
207
Menurut Penulis, kecepatan eksekusi putusan Peratun dalam perkara
pemilukada sangat bergantung pada keinginan dan sikap kepatuhan KPUD dalam
melaksanakan putusan Peratun. Ketergantungan terhadap sikap KPUD dalam
mengeksekusi putusan Peratun yang menyebabkan pelaksanaan putusan Peratun
menjadi tidak efektif. Pada umumnya KPUD yang memiliki kewenangan
melaksanakan/mengeksekusi putusan Peratun tidak patuh dan tidak mau
melaksanakan putusan tersebut sampai akhirnya pelaksanaan Pemilukada sudah
berakhir. Untuk mengakhiri pola ketergantungan terhadap kemauan atau kehendak
Tergugat tersebut, maka sudah saatnya Peratun diberikan kewenangan sendiri untuk
mengeksekusi putusannya sendiri.
Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan Peratun adalah
karena tidak terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam
pelaksanaan putusan Peratun sehingga pelaksanaan putusan Peratun tergantung dari
kesadaran dan inisiatif dari pejabat TUN. Dengan peneguran dan pengawasan sistem
hirarki seperti diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 terbukti tidak efektif dalam pelaksaan
putusan Peratun
Menurut Paulus.E.Lotulung, hambatan pelaksanaan putusan Peratun juga
disebabkan oleh beberapa faktor, Pertama terkait dengan asas-asas hukum. Kesulitan
eksekusi juga tidak terlepas dari pengarus prinsip pelaksanaan eksekusi yang dianut
secara universal oleh berbagai negara, di mana pencabutan atau perubahan suatu
keputusan hanya dapat dilakukan oleh pejabat itu sendiri (asas contrarius actus).183
Berdasarkan asas ini tidak ada pihak lain atu pejabat lain yang berwenang melakukan
183 Paulus Effendi Lotulung, Lintasan Sejarah dan Gerak Dinamika Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN).
Salemba Humanika. Jakarta .2013. hlm.78-79
208
pencabutan kecuali pejabat itu sendiri. Faktor kedua, Paulus E.Lotulung mengutip
pendapat Yos Johan Utama, bahwa secara teoritis sistem eksekusi dengan cara
hierarki juga dihambat oleh berlakunya asas rech-matigheid van bestuur (RVB). Asas
ini menghendaki untuk tidak member kesempatan dan hak kepada atasan untuk
menerbitkan keputusan yang menjadi wewenang bawahannya.184
Kewenangan perintah eksekusi putusan Peratun oleh Peratun sendiri diberikan
apabila pada waktu tertentu setelah diperintahkan oleh Ketua PTUN, Tergugat dalam
hal ini KPUD tidak melaksanakan putusan tersebut. Berbeda dengan pola
pelaksanaan putusan di Pengadilan Umum (Negeri) yang memiliki Juru Sita sebagai
lembaga eksekutorial, pola pelaksanaan Putusan di Peratun tidak memiliki lembaga
yang memiliki kewenangan mengeksekusi putusan PERATUN yang telah inkracht.
Meskipun dalam Undang-Undang Nomor no 9 tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diatur
juga adanya Juru Sita, dalam Undang-Undang tersebut tidak dijelaskan secara spesifik
tentang tugas dan kewenangan Juru Sita. Namun pada prakteknya, Juru Sita di
Peratun hanya melaksanakan tugas administrasi persuratan dan pengamanan sidang,
bukan dalam rangka mengeksekusi Putusan Peratun.
Menurut Penulis khusus dalam sengketa penetapan pasangan calon dalam
pemilukada, maka kewenangan eksekutorial Peratun menjadi urgen untuk
mempercepat penyelesaian sengketa pemilukada. Kewenangan eksekutorial yang
dimiliki Peratun dalam sengketa pemilukada disebabkan oleh 2 hal, Pertama, sengketa
pemilukada memerlukan waktu penyelesaian yang cepat dan singkat mengingat
184Paulus.E.Lotulung. Ibid
209
pemilukada adalah peristiwa politik yang memerlukan kepastian hukum yang cepat.
Apabila KPUD/Tergugat menunda atau menolak mengeksekusi putusan Peratun,
maka hal tersebut memicu ketidakpastian hukum sengketa pilkada. Kedua, dalam
kondisi kesadaran dan ketaatan hukum pejabat tata usaha negara dalam hal ini KPUD
masih cukup rendah dalam mentaati putusan atau hukum, maka untuk
menyelematkan kewibawaan Peradilan, maka sudah selayaknya Peratun diberi
kewenangan eksekutorial terhadap putusan yang tidak dieksekusi oleh Pejabat TUN
yang berwenang. Adanya kewenangan eksekutorial yang dimiliki oleh Peratun dapat
mengefektifkan pelaksanaan putusan Peratun yang telah inkracht mengingat Peratun
dapat segera melakasanakan putusan tersebut sehingga dapat mempercepat adanya
kepastian hukum terhadap proses tahapan pelaksanaan pemilukada. Kewenangan
eksekutorial yang dimiliki Peratun bertujuan untuk meningkatkan penghargaan
pemerintah terhadap hukum. Selain itu putusan-putusan Peratun diharapkan lebih
berdaya guna, sehingga tidak ada alasan untuk menjalankan atau memaksa.
Secara tekhnis, kewenangan eksekutorial Peratun dalam sengketa penetapan
pasangan calon digunakan oleh Ketua PTUN apabila dalam jangka 7 hari setelah
putusan dinyatakan berkekuatan hukum namun KPUD tidak melaksanakan atau
mengeksekusi putusan Peratun tersebut. Kewenangan eksekusi oleh Ketua PTUN
berupa penerbitan Surat Keputusan tentang Penetapan Pasangan Baru atau
Pencoretan nama Pasangan tertentu sebagaimana dalam amar putusan yang telah
Inkracht.
2. Sistem Pengawasan dan Sanksi
210
Secara normatif Pasal 116 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 Peradilan Tata
Usaha Negara dan perubahannya yakni Undang-Undang No 9 tahun 2004 dan
Undang-Undang No 51 tahun 2009 menekankan pada pola pengawasan pelaksanaan
eksekusi putusan Peratun secara hierarki. Yakni pengawasan yang dilakukan oleh
atasan pejabat yang berwenang sampai dengan atasan tertinggi eksekutif yakni
Presiden. Bahkan Pengawasan juga melibatkan pihak luar dalam hal media massa.
Namun pola pengawasan selama ini juga belum efektif untuk mendorong agar pejabat
tata usaha negara segera mengeksekusi putusan Peratun yang telah berkekuatan
hukum tetap. Oleh karena itu menurut Penulis, pengawasan hierarki yang selama ini
sudah diatur dalam Pasal 116 harus dilengkapi dengan sistem sanksi, baik sanksi
Administratif maupun sanksi Pidana.
a. Sanksi Administratif.
Proses sengketa penetapan pasangan calon dalam pemilukada merupakan
sengketa administrasi karena melibatkan KPUD selaku Pejabat Tata Usaha Negara
dan obyek yang menjadi sengketa adalah produk administratif KPUD berupa Surat
Keputusan KPUD tentang penetapan pasangan calon pemilukada. Tindakan KPUD
dalam menerbitkan SK penetapan pasangan calon pemilukada adalah tindakan
administratif. Lembaga peradilan yang memiliki wewenang mengadilinya adalah
Peradilan Administrasi.
Secara teoritis Peratun sebagai Peradilan Administrasi dalam memutus
sengketa administrasi memiliki beberapa ragam jenis putusan. Menurut sifatnya
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat berupa putusan Deklaratoir, Konstitutif
211
dan Comdenatoir185. Putusan yang bersifat deklaratoir yaitu yang bersifat
menerangkan saja. Putusan konstitutif yaitu yang bersifat meniadakan atau
menimbulkan keadaan hukum yang baru dan putusan condemnatoir yaitu bersifat
penghukuman atau berisi kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu terhadap yang
kalah. Sedangkan menurut isi putusan berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat (7) UU
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dapat berupa : Gugatan
ditolak, Gugatan dikabulkan, Gugatan tidak diterima dan Gugatan gugur.
Sifat Putusan Peratun dalam sengketa penetapan pasangan calon kepala
adalah putusan yang bersifat Condemnatoir. Putusan bersifat condemnatoir, yaitu
putusan yang sifatnya memberikan beban atau kewajiban untuk melakukan tindakan
tertentu kepada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara seperti, Kewajiban mencabut
Keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan batal/tidak sah, Kewajiban
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara badan/pengganti, Kewajiban mencabut
dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, Kewajiban membayar
ganti rugi, Kewajiban melaksanakan rehabilitasi dalam sengketa kepegawaian.
Dalam sengketa penetepan pasangan calon putusan Peratun adalah
memerintahkan KPU untuk mencabut SK Penetapan Pasangan Calon sekaligus
memerintahkan KPUD untuk menerbitkan SK Penetapan baru yang mengakomodir
Penggugat. Karena sifat putusannya Condemntoir yang mewajibkan untuk
melaksanakan isi putusan, maka tidak ada jalan lain bagi KPUD untuk tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dalam amar putusan. Persoalan yang sering
muncul adalah sikap Tergugat dalam hal ini KPUD yang tidak mau melaksanakan
185Marbun SF, Peradilan Administrasi…Op.Cit.hlm. 354
212
putusan Peratun yang telah memerintahkan KPU untuk melaksanakan tindakan
administratif berupa penerbitan SK baru yang secara substansi memerintahkan
mengakomodir kepentingan Penggugat.
Menurut Erick Sihombing (Hakim PTUN Jayapura), sikap Ketua dan anggota
KPU yang tidak bersedia melaksanakan putusan Peratun yang telah berkekuatan
hukum tetap, semestinya mendapat hukuman sanksi administratif, berupa pemecatan
dari jabatan mereka sebagai anggota KPUD. Pendapat yang sama disampaikan oleh
Andi Maddusila (Mantan Calon Bupati Gowa) yang menyampaikan bahwa KPUD
sangat rentan dengan intervensi kepentingan politik, sehingga sering tidak bertindak
independen termasuk ketika tidak bersedia mematuhi putusan Peratun. Dengan
tindakan KPUD tersebut, menurut Maddusila sebaiknya anggota mendapat sanksi
pemecatan dari jabatannya.
Dalam teori hukum administrasi sebagaimana dibahas pada Bab Tinjauan
Pustaka di atas, penolakan KPUD dalam melaksanakan putusan Peratun adalah
bentuk tindakan ketidakpatuhan hukum administrasi. Sanksi Administratif menjadi
salah satu bentuk pertanggungjawaban bagi KPUD yang tidak mematuhi putusan
Pengadilan. Sanksi administrasi adalah sanksi yang muncul dari hubungan atara
pemerintah dan warga negara dan yang dilaksanakan tanpa perantaram pihak ketiga,
yaitu tanpa perantara kekuasaan peradilan, tetapi dapat secara langsung dilaksanakan
oleh sendiri. Ketidakpatuhan Pejabat Tata Usaha Negara terhadap putusan
Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap juga dapat dibebankan sanksi
administratif. Salah satu jenis sanksi administratif yang tepat bagi pejabat tata usaha
negara yang menolak melaksanakan putusan Pengadilan adalah Sanksi Reparatoir.
213
Sanksi Reparatoir diartikan sebagai reaksi atas pelanggaran norma, yang
ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atau menempatkan pada situasi
yang sesuai dengan hukum (legale situatie), dengan kata lain, mengembalikan pada
keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran. Contoh sanksi Reparatoir adalah
paksaan pemerintahan (bestuursdwang) dan pengenaan uang paksa (dwangsom).
Sanksi Reparatoir pada umumnya dikenakan pada pelanggaran norma hukum
administrasi negara secara umum. Sanksi Reparatoir ini yang sering membedakan
karakter sanksi hukum administrasi dengan sanksi pidana.
Dalam konteks pelaksanaan putusan Peratun oleh KPUD dalam sengketa
Pemilukada, maka model sanksi Reparatoir yang efektif adalah pemberhentian
anggota KPUD sebagai komisoner KPUD. Mekanisme sanksi administratif bagi
anggota KPUD yang melanggar aturan penyelenggara pemilu sebenarnya sudah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 sebagaimana telah diubah
dengan UU. 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Dalam Pasal 27 ayat 1
Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa:
(1) Anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berhentiantarwaktu karena:a. meninggal dunia;b. mengundurkan diri; atauc. diberhentikan.(2) Diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:a. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota KPU, KPU Provinsi, danKPU Kabupaten/Kota;b. melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau kode etik;c. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan secara berturut-turut selama 3 (tiga) bulan atau berhalangan tetap.d. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telahmemperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yangdiancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
214
e. dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperolehkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana Pemilu.f. tidak menghadiri rapat pleno yang menjadi tugas dan kewajibannyaselama 3 (tiga) kali berturut turut tanpa alasan yang jelas; ataug. melakukan perbuatan yang terbukti menghambat KPU, KPU Provinsi,dan KPU Kabupaten/Kota dalam mengambil keputusan dan penetapansebagaimana ketentuan peraturan perundangundangan186.
Menurut penulis, ketidakpatuhan KPUD dalam melaksanakan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dikategorikan sebagai
perbuatan atau tindakan yang melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau kode etik. Hal
ini mengingat bahwa putusan Pengadilan adalah sebuah hukum dan salah satu
kewajiban dari anggota KPUD adalah taat dan patuh kepada ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Menurut UU No 22 tahun 2007 pemberhentian anggota
KPUD karena alasan melanggar sumpah/janji jabatan dan/atau kode etik dilakukan
setelah diperiksa oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagaimana diatur
dalam Pasal 28 ayat 1, 2 dan 3
Pasal 28
(1) Pemberhentian anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kotayang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf f, dan/atau huruf g didahului denganverifikasi oleh DKPP atas:a. pengaduan secara tertulis dari Penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu,tim kampanye, masyarakat, dan pemilih; dan/ataub. rekomendasi dari DPR.(2) Dalam proses pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),anggota KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota harus diberikesempatan untuk membela diri di hadapan DKPP. (3) Dalam hal rapatpleno DKPP memutuskan pemberhentian anggota sebagaimana dimaksudpada ayat (1), anggota yang bersangkutan diberhentikan sementarasebagai anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota sampaidengan diterbitkannya keputusan pemberhentian.
186Lihat UU. Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
215
Secara substansi mekanisme pemberhentian yang dimaksud dalam Pasal 28
tersebut adalah karena adanya pelanggaran administratif dan pelanggaran kode etik.
Pada perkembangannya kondisi faktual sejak berdirinya DKPP, banyak anggota
KPUD diberhentikan oleh DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik dalam
melaksanakan urusan-urusan administrasi pemilukada, termasuk dalam hal penerbitan
SK KPU dalam penetapan pasangan calon dalam pemilukada. Dalam kasus
Pemilukada Sulawesi Tenggara, seluruh komisioner KPUD Provinsi Sulawesi
Tenggara dipecat oleh DKPP karena dianggap melanggar kode etik dalam penerbitan
SK Penetapan pasangan calon Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2012-2016.
Menurut penulis ketentuan UU. Nomor 15 tahun 2011 dapat dijadikan
instrument yang efektif untuk pelaksanaan sanksi reparatoir yakni berupa sanksi
pemberhentian kepada anggota KPUD yang tidak melaksanakan putusan pengadilan.
Sampai saat ini belum ditemukan data bahwa DKPP telah memberhentikan anggota
KPUD karena tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap. Meskipun demikian, tetap terbuka kemungkinan anggota KPUD yang tidak
patuh terhadap putusan Pengadilan dapat dilaporkan kepada DKPP. Putusan DKPP
dapat mendorong efektifitas pelaksanaan putusan Peratun dalam sengketa
pemilukada dengan memberikan sanksi pemberhentian terhadap KPUD yang menolak
melaksanakan putusan Peratun.
Untuk mempermudah pelaksanaan UU. Nomor 15 tahun 2011 yang mengatur
soal proses pemberhentian anggota KPUD, maka prosedur pemberhentian oleh DKPP
harus diselaraskan dengan pelaksanaan Pasal 116 Undang-Undang nomor 51 tahun
2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang mengatur soal eksekusi putusan
216
Peratun. Seperti yang penulis usulkan di atas, bahwa konsekuensi perubahan Pasal
116 ayat 3 tersebut adalah KPUD harus segera menerbitkan SK baru apabila putusan
Peratun telah berkekuatan hukum tetap tanpa menunggu 90 hari setelah terbitnya
putusan. Dikaitkan dengan kewenangan DKPP dalam melaksanakan sanksi reparatoir,
maka apabila KPUD tidak segera melaksanakan kewajibannya melaksanakan putusan
Peratun, maka Bawaslu atau Masyarakat yang dirugikan dapat melaporkan tindakan
KPUD tersebut ke DKPP untuk diberhentikan sebagai anggota KPUD.
Menurut penulis, apabila substansi laporan Bawaslu atau Masyarakat ke DKPP
terkait dengan ketidakpatuhan KPUD dalam melaksanakan putusan Pengadilan yang
tekah berkekuatan hukum tetap, maka posisi DKPP dalam mengambil Keputusan
Pemberhentian anggota KPU lebih bersifat hanya bersifat prosedur semata. DKPP
tidak dalam posisi menilai alasan-alasan tidak dilaksanakannya putusan Pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap karena secara hukum perintah putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan.
Diharapakan dengan adanya institusi DKPP dalam penyelenggaraan pemilu,
mekanisme pelaksanaan sanksi reparatoir berupa pemberhentian KPUD dari
jabatannya sebagai komisioner lebih cepat dan efektif. Pemberian sanksi administratif
bagi anggota KPUD yang tidak melaksanakan putusan Peratun adalah salah satu cara
mendorong efektivitas pelaksanaan putusan PERATUN dalam sengketa pemilukada.
3. Budaya Hukum Pejabata Tata usaha Negara (KPU)
Menurut Lawrence Friedman, budaya hukum (legal culture) didefinisikan
sebagai sejumlah gagasan, nilai, harapan dan sikap terhadap hukum dan institusi
hukum yang sebagian bersifat publik atau beberapa bagian berada di wilayah publik.
217
Sedangkan Satjpto Rahardjo memasukkan variabel unsur lingkungan yang meliputi
pribadi warga negara dan sosial dalam penegakan hukum. Menurut Penulis, selain
faktor substansi perundang-undangan yang belum maksimal dalam mengatur tentang
eksekusi putusan Peratun, maka faktor budaya hukum atau cara pandang masyarakat
termasuk pejabat tata usaha negara terhadap hukum cukup banyak mempengaruhi
rendahnya kepatuhan terhadap putusan Peratun. Budaya hukum dalam konteks ini
dapat juga dipahami sebagai sikap menghargai dan mematuhi hukum yang telah
diputus melalui Peradilan. Budaya hukum tidak saja melekat dan penting bagi
masyarakat, namun juga bagi penyelenggara pemilukada.
Faktor Budaya Hukum juga menentukan dalam pelaksanaan putusan Peratun.
Dari suatu penelitian yang pernah dilakukan Supandi pada tahun 2005 dengan sampel
PTUN Medan sebagai objek penelitiannya, bahwa putusan Peratun yang dilaksanakan
oleh Tergugat di wilayah hukum itu hanya sekitar 30%187. Menurutnya kualitas sadar
hukum aparatur negara masih rendah. Supandi mengusulkan agar pemerintah
langsung memecat pejabat yang tidak patuh hukum. Menurutnya pembiaran akan
memperburuk lembaga peradilan. Menurut Supandi yang salah bukan pengadilan dan
bukan undang-undangnya. Tapi yang salah adalah kualitas budaya hukum aparatur
negara kita yang sangat memprihatinkan. Oleh karena itu kedepan kita membutuhkan
hukum yang kita cita-citakan. Supaya dalam rancangan undang-undang administrasi
pemerintahan kita harus dicantumkan, pejabat yang tidak melaksanakan putusan
pengadilan dikualifisir melawan perintah jabatannya
187Supandi, Disertasi pada Program Pasca sarjana Universitas Sumutara Utara, 2005
218
Faktor kurangnya budaya hukum merupakan fenomena yang muncul di
kalangan KPUD ketika tidak bersedia melaksanakan putusan Peratun yang terkait
dengan penetapan pasangan calon. Secara teoritis sikap KPU yang tidak mau
melaksanakan putusan Peratun dapat dijelaskan oleh teori Donald Black tentang
beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku hukum. Beberapa faktor yang
melatarbelakangi perilaku hukum seseorang atau kelompok adalah faktor stratifikasi
dan pengendalian sosial. Menurut Black, stratifikasi atau level atau derajat sosial
seseorang dapat mempengaruhi dorongan dalam berbuat hukum, termasuk dalam hal
menolak atau melaksanakan hukum. Faktor pengendalian sosial atau setting social
juga memiliki pengaruh terhadap tindakan hukum seseorang atau kelompok.
Dalam hal ini KPUD dalam menetapkan pasangan memiliki posisi atau derajat
KPUD yang secara normatif sejak awal tidak bisa diintervensi oleh pihak manapun,
termasuk KPU Pusat sebagai atasan. Menurut mantan Ketua KPUD Lombok Barat,
Tuan Guru Hasanain bahwa posisi KPU Daerah sesungguhnya bersifat super body
dan tidak tersentuh karena tidak bisa dipengaruhi dan didesak oleh kekuatan apapun,
termasuk KPU Pusat.188 Namun di sisi lain menurut penulis dengan posisi kelas atau
stratifikasi yang seperti itu, KPUD gampang bermain mata atau tidak netral dalam
menentukan sikap karena lemahnya kontrol dan pengawasan dari pusat. Dalam
konteks budaya hukum, maka diperlukan kesadaran dari KPUD untuk menghormati
dan menjaga kewibawaan hukum dengan mematuhi putusan Peratun, sehingga
sengketa administrasi dalam penetapan pasangan calon tersebut dapat memenuhi
nilai kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum.
188Sebagaimana wawancara penulis dengan Tuan Guru Hasanain pada tanggal 22 Februari 2012
219
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Penegakan Hukum Administrasi terhadap sengketa penetapan pasangan calon
kepala daerah oleh KPUD belum terlaksana secara optimal sesuai dengan
prinsip dan tujuan hukum administrasi. Hal tersebut disebabkan oleh lembaga
yang terkait dengan penyelesaian sengketa pemilukada seperti KPUD, Bawaslu
dan PTUN belum memiliki konsep dan pola penyelesaian sengketa
pemilukada secara komprehensif khususnya yang terkait mengenai definisi
sengketa administrasi dan pelanggaran administrasi, Subyek dan Obyek
sengketa, model penyelesaian serta waktu penyelesaian sengketa dan institusi
yang berwenang menyelesaikan sengketa dan pelanggaran administrasi.
Penyebab lainnya adalah belum terwujudnya budaya hukum yang taat pada
hukum baik di kalangan kandidat, masyarakat maupun KPUD.
2. Pelaksanaan Putusan Peratun terhadap sengketa penetapan pasangan calon
kepala daerah belum efektif. Hal ini disebabkan karena belum tumbuhnya
kesadaran hukum di kalangan KPUD untuk mematuhi dan melaksanakan
Putusan Peratun. Di samping itu, kelemahan substansi perundang-undangan
yang tidak memberi kewenangan eksekutorial kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara.
220
B. SARAN
1. Hendaknya mengedepankan dan mengoptimalkan Penegakan Hukum
Administrasi terhadap setiap sengketa penetapan pasangan calon
kepala daerah yang diajukan oleh kandidat yang merasa dirugikan atas
terbitnya SK KPUD tentang Penetapan Pasangan Calon. Dalam konteks
ini, perlu penguatan kewenangan Bawaslu dalam rangka
mengefesienkan waktu penyelesaian sengketa dengan menyusun
secara khusus Undang-undang Pemilukada dan pembentukan
Pengadilan ad hoc khusus pemilu/pemilukda. Selain itu diperlukan
penguatan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara khususnya
mengefektifkan Putusan Penundaan dan mendorong agar putusan
Peratun dapat dieksekusi secara efektif dengan merevisi pasal 116
Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 tahun 2006
dan selanjutnya sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No
51 tahun 2009.
2. Hendaknya putusan Peratun yang sudah berkekuatan hukum tetap
(inkracht) juga memperoleh dukungan legalitas untuk dieksekusi melalui
revisi Undang-Undang Peratun. Bagi KPUD yang tidak mematuhi
putusan Peratun yang berkekuatan hukum tetap tersebut, maka perlu
diatur agar tindakan penolakan tersebut dikenakan sanksi administratif
melalui putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
221
DAFTAR PUSTAKA
Algra, N.E., et al., 1983, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Belanda -
Indonesia, Binacipta, Jakarta.
Anggaraini, Titi dkk. 2011, Menata Kembali Pengaturan Pemilukada, Perludem.
Jakarta.
Arief Sidharta, Bernard. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum Sebuah
Penelitian Tentang Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum
Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional Indonesia, Mandar
Maju, Bandung
Arumanadi, Bambang dan Sunarto. 1990, Konsepsi Negara Hukum Menurut UUD
1945, IKIP Semarang Press, Semarang
Assidiqie, Jimly. 2005, Pilar Demokrasi,Kontitusi Press. Jakarta
----------------, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme, , Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
---------------, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Jakarta
Asrun, Muhammad. 2004. Krisis Peradilan; Mahkamah Agung di bawah
Soeharto,.Elsam. Jakarta.
Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia-analisis yuridis normative tentang unsur-
unsurnya. UI Press.. Jakarta
Basah, Sjachran. 1992. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi
Negara, Alumni, Bandung,
------------------------, 1985. Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi
di Indonesia, Alumni, Bandung
222
Black Campbell, Henry. 1979, Black’s Law Dictionary, St. Paul. MINN West Publising
Co.
Black, Donald. 1976, The Behavior Of Law, Academic Press, the University of
Michigan.
Budiardjo, Miriam. 1982. Dasar-dasar ilmu Politik, Gramedia. Jakarta
Cotterrell, Roger. 1984, The Sociology of Law An Introduction,: Butterworths . London
Djumialdi, 1996, Hukum Bangunan, Cet.1 Rineka Cipta. Jakarta.
E. Utrecht, 1960. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum
dan Pengetahuan Masyarakat - Universitas Padjadjaran Bandung
Fachrudin, Irfan. 2004. Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap tindakan
Pemerintah. Alumni. Bandung
Friedman, Lawrence. 1984 “American Law”,: W.W. Norton & Company, London
________________, 1977, Law and Society An Introduction,: Prentice Hall Inc . New
Jersey
Hadjon, Philipus M. 1999. et al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta
--------------------------, 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT.Bina
Ilmu, Surabaya
Hamzah, Andi. 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, (, Pradnya Paramita.
Jakarta
Harahap, M. Yahya. 2007, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata.,.
Sinar Grafika. Jakarta
Huda, Ni’matul. 2009. Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan
Problematikanya, Pustaka Pelajar. Yogyakarta.Cetakan ke-II.
H.D. van Wijk/Konijnenbelt, 1995., Hoofdstukken van Administratief Recht. Vuga,
s’Gravenhage
223
HR Syaukani dkk. 2001. Otonomi Daerah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
HR. Ridwan. 2006. Hukum Administrasi Negara. Rajawali Press. Jakarta.
Ibrahim R, 1997, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, cet I.; PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung
Indroharto, 1991. Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Sinar Harapan, Jakarta
J.B.J.M. ten Berge, 1995, Beschermin Tegen Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle,
J. Van Kan dan J.H. Beekhuis, 1982. Pengantar Ilmu Hukum: PT Pembangunan
Ghalia Indonesia,Jakarta
.
Koirudin, 2005, Sketsa Kebijakan Desentralisasi di Indonesia; Format Masa Depan
Otonomi Menuju Kemandirian Daerah, Averroes Press, Malang
Kusdarini, Eni. 2011. Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara dan Asas-asas umum
Pemerintahan yang baik, UNY Press. Yogyakarta.
Kusnadi, Moh. &. Saragih. Bintan R. 2000. Ilmu Negara . Gaya Media Pratama.
Jakarta .cet-4.
Logemann, J.A.H., 1954. Het Staatsrecht van Indonesiae, van Hoeve S`Sravenhage,
Bandung
Lutfi, Mustafa 2010. Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia; Gagasan Perluasan
Kewenangan Mahkamah Konstitusi. UII Press. Yogyakarta..
Marzuki, M.Laica. 2008, Dari timur ke Barat Memandu Hukum: Pemikiran Hukum
Wakil Ketua Mahamah Konstitusi Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Sejten
dan Kepaniteraan MK: Jakarta
Mertokusumo, Sudikno. 2002. Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta.
--------------------------------------. 1998, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
224
M.D. Mahfud. 1991. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. : Gama Media Offset.
Yogyakarta
Muladi dan Nawawi Arief, Barda. 1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung,.
Nasir, M.2003, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Djambatan, Jakarta..
Peter de Cruz dalam, Perbandingan Sistem Hukum; Common Law, Civil Law dan
Socialist Law. Diterbitkan oleh Nusa Media. Jakarta
Prihatmoko, Joko. J. 2008. Mendemokratiskan Pemilu. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Rahardjo, Satjipto. 1983, Masalah Penegakan Hukum,: Sinar Baru. Bandung
Ridwan, Juniarso & Sodik S, Achmad. 2010. Hukum Administrasi Negara dan
Kebijakan Publik. Nuansa. Bandung
Romli, Lili. 2007, Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, Pustaka
Pelajar.Yogyakarta.
Santoso, Topo dkk. 2006, Penegakan Hukum Pemilu; Praktik Pemilu 2004, Kajian
Pemilu 2009-2014. Perludem. Jakarta
Sarundajang, 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung; Problem dan Prospek. Kata
Hasta Pustaka. Jakarta.
Sekjen MPR RI, . Risalah Sidang PAH I, 2000, Sekjen MPR RI Jakarta.
Sholehuddin, M .2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double
Track System dan Implementasinya, , PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
S.F., Marbun. 1997. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta
Siahaan, Lintong. 2009, Teori Hukum; Wajah PTUN setelah Amandemen tahun
2004. Perum Percetakan Negara. Jakarta.
Sidarta, dkk (editors). 1996, Butir-butir Gagasan tentang Penyelenggaraan Hukum
dan Pemerintahan yang Layak,; Citra Aditya Bakti. Bandung
225
Soekanto, Soerjono. 1986. Mengenal Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung
Soemitro, Rochmat. 1991. Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak di Indonesia,
Eresco, Bandung,
Soetan Batoeah, Boerhanoeddin. 1983. Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara,
Binacipta, Jakarta.
Subekti, R. 1989, Hukum Acara Perdata,cet.3,: Bina Cipta, Bandung .
Suharizal, 2006. Pemilukada; Regulasi. Dinamika, dan Konsep Mendatang. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Supandi, Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (Kepatuhan Hukum Pejabat dalam
Mentaati Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara). Pustaka Bangsa Press.
Meda. Cetakan Pertama, 2011
Supriyanto, Didik. dkk, 2012, Penguatan Bawaslu; optimalisasi posisi, organisasi dan
fungsi dalam Pemilu 2014. Perludem. Jakarta.
Suyuthi, Wildan. 2004, Sita Dan Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan. Tatanusa.
Jakarta.
Taufik Makarao, Moh.2004, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, cet.1,: PT Rineka
Raya Jakarta,
Thoha, Miftha. 1990. Aspek-Aspek Pokok Ilmu Administrasi;suatu bunga rampai
bacaan,Balai Aksara,. Jakarta
Tjandra, Riawan. 2009. Peradilan Tata Usaha Negara; mendorong terwujudnya
Pemerintahan yang bersih dan Berwibawa, Universitas Atmajaya Yogyakarta
Wahjono, Padmo. 1989. Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind. Hill Co., Jakarta,
______________, 1986. Indonesia Negara berdasarkan atas Hukum. Gahlia
Indonesia, cetakan kedua. Jakarta
226
JURNAL, MAKALAH, DISERTASI
Marpaung, Arifin. 2005, Implementasi Teknis Pelaksanaan Lembaga-lembaga Baru
dalam UU Nomor , 9 Tahun 2004 dan Solusi Pemecahannya. Makalah
Rakernas MA, 18-22 September . Denpasar
Siahaan, Liontong. 2004, Prospek PTUN sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa
Administrasi di Indonesia; Studi tentang keberadaan PTUN selama Satau
Dasawarsa 1991-2001, Disertasi, Universitas Indonesia Fakultas Hukum
Pascasarjana, Jakarta.
MD, Mahfud. Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang
diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA. Jakarta, 8 Januari 2009.
__________, dalam orasi ilmiah berjudul Demokrasi dan Nomokrasi sebagai Pilar
Penyangga Konstitusi, pada wisuda Universitas Nasional (UNAS) periode I
tahun akademik 2010/2011, di Jakarta Convention Center (JCC). 3 Maret 2011
Alamsah Deliarnoor , Nandang. Makalah yang Disampaikan dalam acara
“SOSIALISASI PEMILIHAN UMUM GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR
JAWA BARAT 2008” bertempat di Pusat Pengembangan Islam Bogor (PPIB)
pada hari Rabu, 26 Maret 2008, atas kerjasama KPUD Provinsi Jabar dengan
Lemlit UNPAD.
Surbakti, Ramlan. 2003, “Demokrasi Menurut Pendekatan Kelembagaan Baru”,
Jurnal Ilmu Pemerintahan, edisi 19
Syamsuddin Haris, “ Strukutur, proses dan fungsi pemilihan umum: catatan
pendahuluan dalam pemilihan umum di Indonesia. PPW-LIPI, 1997.
Supandi, 2004, Problematika Penerapan Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha
Negara terhadap Pejabat Tata Usaha Negara Daerah. Makalah Workshop, , 28
Agustus, Jakarta
_______ 2005. Disertasi pada Program Pasca sarjana Universitas Sumatera Utara,
INTERNET
www. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
227
KORAN, MAJALAH
Bisri, A.Zaini, “Tragedi Pilkada Depok”, Suara Merdeka, 8 Agustus 2005
Harian Kompas, Kamis, 24 Februari 2011
Haris, Syamsuddin, “ Mengelola Potensi Konflik Pilkada”. Kompas, 10 Mei 2005
Hadjon, Philipus M., Peradilan Tata Usaha Negara Tantangan Awal di Awal
Penerapan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986, Yuridika, majalah Fakultas
Hukum Universitas Airlangga.No.2-3 Tahun VI Maret –Juni 1991 Surabaya.
1991.
M. Gaffar, Janedjri. Demokrasi dan Nomokrasi, Harian Seputar Indonesia, edisi 19
Desember 2006
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar. 1945
Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
UU. No. 15 Tahun 2011 tentang Perubahan UU. Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu
UU. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah diubah dengan UU. No 9 tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara UU. No 51 tahun 2009 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
228
Recommended