View
10
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
DISERTASI DIAJUKAN UNTUK
UJIAN TERBUKA
PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI
TERHADAP INTERLEUKIN-2 (IL-2)
DAN INTERFERON GAMMA (IFN γ)
PLASMA DAN SUPERNATAN KULTUR LIMFOSIT
PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI :
KAITANNYA DENGAN INFEKSI
KETUT SUEGA
NIM. 0490271003
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2009
i
DISERTASI DIAJUKAN UNTUK
UJIAN TERBUKA
PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI
TERHADAP INTERLEUKIN-2 (IL-2)
DAN INTERFERON GAMMA (IFN γ)
PLASMA DAN SUPERNATAN KULTUR LIMFOSIT
PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI :
KAITANNYA DENGAN INFEKSI
KETUT SUEGA
NIM. 0490271003
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2009
ii
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama saya panjatkan puji dan syukur ke hadapan Ida Hyang Widi
Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada saya
sekeluarga sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi ini.
Banyak pihak telah ikut membantu terwujudnya disertasi ini sehingga saya
sangat berhutang budi. Ungkapan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya, sungguh
sulit untuk saya sampaikan dengan kata-kata dan semua bantuan dan budi baik
tersebut akan tetap saya kenang selama hidup saya.
Kepada Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM, Guru Besar dan Kepala
Divisi Hematologi-Onkologi Medik Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK
Unud/RSUP Sanglah Denpasar, Pembimbing Utama saya, penghargaan yang tulus
saya sampaikan atas kesediaan Bapak menjadi pembimbing saya. Izinkanlah saya
menyatakan terima kasih serta kebanggaan saya menjadi promovendus Bapak.
Kejelian Bapak dalam mengatur waktu dan cara mengatur strategi untuk
memecahkan masalah akan selalu menjadi panutan bagi saya pada masa yang akan
datang.
Kepada Prof. Dr. A.A.Gde Sudewa Djelantik, SpPK, Guru Besar Patologi
Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Pembimbing saya, saya ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan dorongan yang telah Bapak
berikan dengan tekun dan tanpa pamrih kepada saya.
iii
Kepada Prof. dr. Ketut Suata, SpMK, Ph.D, Guru Besar Mikrobiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Pembimbing saya, saya sampaikan terima
kasih atas petunjuk serta dorongan sejak awal masa studi ini dan juga pada saat-saat
sulit yang saya hadapi.
Kepada Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM , Rektor Universitas
Udayana, saya menghaturkan terima kasih atas izin yang diberikan pada saya untuk
mengikuti program S3 di Universitas Udayana.
Kepada Prof. Dr. dr. I Made Bakta, SpPD-KHOM, mantan Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana, dan Prof. Dr. Ir. Dewa Ngurah Suprapta, Msc,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana saat ini, saya sampaikan terima
kasih atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan selama saya menempuh
pendidikan ini.
Kepada Prof. dr. D.P. Widjana, SpPar., mantan Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, dan Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD Dekan fakultas
Kedokteran saat ini, saya sampaikan terima kasih atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program doktor.
Kepada dr. I G. Lanang Rudiartha, MHA, Direktur Utama RSUP Sanglah
Denpasar, serta Prof. Dr. dr. Ketut Suwitra SpPD-KGH Kepala Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, saya sampaikan terima
kasih atas kesempatan yang diberikan kepada penulis unutk mengikuti pendidikan
program doktor.
iv
Kepada para promotor, ko-promotor dan tim penguji Prof. Dr. dr. I Made
Bakta, SpPD-KHOM, Prof. Dr. dr. A.A.Gde Sudewa Djelantik, SpPK, Prof. dr.
Ketut Suata, SpMK, Ph.D, Prof. Dr. dr. I Wayan Wita, SpJP, FIHA, Prof. Dr. dr.
Ketut Suastika, SpPD-KEMD, Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D, Prof. dr. N.
Agus Bagiada, SpBiok., Prof. dr. I Gusti Made Aman, SpFK, Dr. dr. Djumhana
Atmakusumah, SpPD-KHOM, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya atas segala masukan dan bimbingannya yang sangat berharga.
Kepada segenap Staf Pengajar Program Studi Doktor, Program Pascasarjana
Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu-ilmu dasar yang sangat
berharga bagi penulis.
Kepada Prof. Dr. dr. Nyoman Adiputra, MOH, Ketua Program Studi Doktor,
Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah banyak memberikan
kemudahan sehingga disertasi bisa selesai.
Kepada Kepala Balai Besar Veteriner Bali di Denpasar, penulis ucapkan
banyak terima kasih atas semua bantuan dan ijinnya sehingga penulis dapat
melakukan penelitian kultur sel dan dapat menyelesaikan tugas disertasi ini.
Kepada Prof. Drh. N Mantik Astawa, Ph.D, Bapak W. Ekaana, Bapak I G.
Mayun, Drh. Putu Agustini, dan petugas lainnya pada Lab. Penyelidikan Penyakit
Hewan, Balai Besar Veteriner Bali, penulis berterimakasih atas segala bantuannya
yang diberikan dengan tulus.
v
Kepada sejawat Dr. dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH yang telah banyak
membantu dengan segala masukannya yang sangat bermanfaat dan setia mendorong
penulis untuk bisa menyelesaikan disertasi ini.
Kepada sejawat dr. Made Suma Wirawan, SpPD, dr. I G. Ommy Agustriadi,
SpPD, dr. I Wayan Darya, SpPD, dr. Ni Made Renny Anggraeni Rena, dan para
residen Ilmu Penyakit Dalam yang telah banyak membantu penulis untuk
menyesaikan tugas ini.
Kepada Sdr. Ni Wayan Yoni Astarini, Ni Kadek Sri yang membantu
menyiapkan semua bahan logistik dan pengambilan bahan darah serta semua bantuan
berharga lainnya, penulis mengucapkan seribu terimakasih atas semuanya.
Kepada sejawat para Staf di Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana khususnya kepada dr. Tjok Gde Darmayudha,
SpPD-KHOM, dr. I Wayan Losen Adnyana, SpPD, yang telah rela mengambil tugas-
tugas penulis selama menjalani pendidikan Program Pascasarjana, penulis
menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya.
Kepada semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan di sini yang telah
memberikan bantuan sehingga disertasi ini dapat terwujud, penulis sampaikan
penghargaan dan terima kasih.
Kepada almarhum Ayah tercinta, terimalah penghargaan ananda karena ajaran
yang Ayah berikan sangat membantu menghadapi masa-masa sulit dalam studi ini.
Kepada almarhumah Ibu tercinta, saya sampaikan terima kasih, karena dalam
kesederhanaan telah memberikan dorongan untuk menghadapi kehidupan ini dengan
vi
tabah. Kepada Ibu dan Bapak Mertua, saya sampaikan terima kasih dan penghargaan
atas nasehat, dorongan dan bantuan yang diberikan.
Akhirnya kepada anak tercinta: Putu Imayati, serta isteri tercinta dr. Putu
Sunadiyati, M Kes., yang dengan penuh pengertian serta pengorbanan telah
memberikan saya kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan disertasi ini,
saya sampaikan terima kasih dan rasa hormat yang tertinggi.
Semoga Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan
kurnia dan rahmat-Nya kepada semua yang telah membantu dalam pelaksanaan dan
penyelesaian disertasi saya.
vii
ABSTRAK
PENGARUH PENINGKATAN CADANGAN BESI
TERHADAP INTERLEUKIN-2 (IL-2) DAN INTERFERON GAMMA (IFN γ)
PLASMA DAN SUPERNATAN KULTUR LIMFOSIT
PADA PENDERITA ANEMIA DEFISIENSI BESI :
KAITANNYA DENGAN INFEKSI
Besi merupakan kebutuhan tubuh yang esensial untuk proses metabolisme,
antara lain berperan mengangkut oksigen ke jaringan, untuk sintesis deoxyribo
nucleic acid (DNA) dan lainnya. Defisiensi besi dapat menimbulkan morbiditas dan
mortalitas terutama pada anak dan wanita hamil, disamping itu defisiensi besi juga
menimbulkan gangguan respon tubuh terhadap infeksi karena terjadi penurunan
fungsi netrofil dan gangguan proliferasi sel T. Penelitian-penelitian juga
menunjukkan bahwa anemia defisiensi besi dapat menurunkan kapasitas kerja dan
menyebabkan prestasi kerja yang buruk. Mekanisme gangguan fungsi imunitas pada
defisiensi besi belum diketahui dengan pasti. Mekanismenya diduga bersifat
multifaktorial antara lain gangguan sintesis DNA (deoxy ribonucleic acid) akibat
gangguan aktivitas enzim ribonucleotide reductase, penurunan produksi interleukin
seperti IL-2 dan IFN γ, gangguan aktivasi dan proliferasi sel T. Dan sitokin tersebut
merupakan sitokin yang penting untuk komunikasi antara subset limfosit dan sel NK.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kaitan antara IL-2 dan IFN γ
dengan infeksi pada ADB dan pengaruh pemberian besi terhadap IL-2 dan IFN γ
viii
plasma dan supernatan kultur limfosit penderita ADB. Secara umum tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui hubungan antara cadangan besi dan imunitas seluler
pada ADB. Penelitian ini terdiri dari dari dua fase dimana fase I menggunakan
rancangan studi potong lintang dan fase II menggunakan rancangan pra-
eksperimental untuk melihat pengaruh besi terhadap peningkatan kadar IL-2 dan IFN
γ. Sampel penelitian ini adalah penderita ADB yang berobat di RSUP Sanglah
Denpasar, terdiri dari 64 orang penderita dimana 31 orang (48,4%) diantaranya laki-
laki, sisanya 33 orang (51,6%) perempuan yang masuk pada penelitian fase I dan 26
orang penderita ADB (16 laki-laki dan 10 perempuan) pada penelitian fase II. Pada
penelitian fase I ditemukan 17 penderita ADB dengan infeksi (26,7%) dengan umur
rerata 38 ± 14,48 tahun dan 47 penderita ADB tanpa infeksi (73,3%) dengan umur
rerata 41 ± 14,54 tahun. Ditemukan perbedaan yang bermakna dimana IL-2 dan IFNγ
baik dari plasma maupun supernatan kultur limfosit lebih rendah pada ADB dengan
infeksi dibandingkan dengan kadar plasma IL-2 dan IFN γ (Z= -2,174; p= 0,030
untuk IL-2 dan Z= -2,639; p= 0,008 untuk IFNγ) maupun supernatan kultur limfosit
(Z= - 2,509; p= 0,012 untuk IL-2 dan Z= -2,569; p= 0,010 untuk IFNγ) penderita
ADB tanpa infeksi. Pada penelitian fase II dengan pemberian tablet besi selama 8
minggu pada 26 penderita ADB ditemukan peningkatan yang bermakna dari kadar
hemoglobin ( Z= -4,561; p= 0,000 ), kadar MCV (Z= - 4,279; p= 0,000), kadar MCH
(Z= -3,616; p= 0,000) dan kadar serum feritin (Z= -3,556; p= 0,000). Terhadap
produksi sitokin akibat pemberian tablet besi selama 8 minggu juga dijumpai adanya
peningkatan yang bermakna. IL-2 plasma sebelum terapi 7,65 pg/l menjadi 29,3 pg/l
ix
setelah terapi dengan Z=- 3,508; p= 0,000 dan IFN γ yang diperiksa dari plasma
sebelum terapi 10,15 pg/l menjadi 46,7 pg/l setelah terapi dengan Z= -4,241;
p= 0,000. Akan tetapi pada pemeriksaan IL-2 dan IFN γ dari supernatan kultur
limfosit tidak ditemukan peningkatan yang bermakna. Hal ini diduga karena adanya
proses apoptosis akibat rangsangan in vitro dengan mitogen pada sel yang sudah
mengalami stimulasi in vivo sebelumnya. Disamping itu peran dari mitogen (antigen)
spesifik dan feeder cells juga berpengaruh terhadap aktivitas dan produksi sitokin.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan kadar IL-2 dan IFNγ pada
penderita ADB dengan infeksi lebih rendah dibandingkan dengan IL-2 dan IFNγ pada
ADB tanpa infeksi. Dengan pemberian tablet besi selama 8 minggu terjadi
peningkatan kadar plasma IL-2 dan IFNγ akan tetapi tidak terjadi peningkatan yang
sama pada IL-2 dan IFNγ yang diperiksa dari supernatan kultur limfosit. Oleh
karenanya dapat dibuat suatu rangkuman yaitu penurunan kadar IL-2 dan IFNγ pada
penderita ADB akan memudahkan timbulnya infeksi.
Kata kunci : ADB dengan infeksi, plasma IL-2 dan IFNγ, supernatan IL-2 dan IFNγ ,
tablet besi.
x
ABSTRACT
INFLUENCE OF IRON STORE INCREMENT
ON PLASMA AND LYMPHOCYTE CULTURE SUPERNATANT
OF INTERLEUKIN -2 ( IL-2 ) AND GAMMA INTERFERON ( IFN γ )
IN PATIENTS WITH IRON DEFICIENCY ANEMIA :
RELATIONSHIP WITH INFECTION
Iron is an essensial nutrient for every living cells because of it role as
molecule for transport of oxygen, as well as DNA synthesis through synthesis of
ribonucleotide reductase. Iron deficiency anemia patients, especially pregnant women
and children are more susceptible to infection because of deteoritation of their
immune respons. This was supported by findings of decreased in phagocytic activities
of white blood cells and T-cell lymphocyt proliferation impairment. Iron deficiency
anemia (IDA) patients also affect working capacities hence diminishing working
outcomes. Although the underlyng mechanism of immune defect in iron deficiency
anemia is not clearly understood, multifactorial events considered play their
contributing roles such as abnormality of ribonucleotide reductase enzym ,
impairment of T-cell proliferation and activities, altered cytokine production of IL-2
and IFNγ.
The study was done to discover the relationship of IL-2 and gamma IFN with
infection in IDA patients and also effect of iron tablets on plasma IL-2 and IFNγ as
well as on lymphocyte culture supernatant of IDA patients. Phase I study was
conducted on cross-sectional analytic design while phase II study was using pra-
xi
experimental (before and after) design. Sixty-four iron defiency anemia patients
treated in Sanglah General Teaching Hospital were recruited, and 31 (48.4%) out of
64 IDA patients were man and 33 (51.6%) women, have been selected for phase I
study. This study found 17 (26.7%) IDA patients with infection , aged 38 ± 14.48
years and 47 (73.3%) IDA patients without infection, aged 41± 14.54 years.
Significant differences were noted between plasma and supernatant of IL-2 and
IFNγ in IDA patients with infection when compared to IDA patients without infection
(Z= -2.174, p= 0.030 for plasma IL-2 ; Z= - 2.639, p= 0.008 for plasma IFNγ;
Z= - 2.509, p= 0.012 for supernatant IL-2 ; and Z= -2.569, p= 0.010 for supernatant
IFNγ ). After 8 weeks of iron tablets, phase II study revealed significant increament
of hemoglobin ( Z= -4.561, p= 0.000 ), MCV ( Z= - 4.279, p= 0.000), MCH (Z=
-3.616, p= 0.000) and serum feritin (Z= -3.556, p= 0.000). Also noted, increasing of
plasma IL-2 and IFNγ. Before treatment level of plasma IL-2 was 7.65 pg/l become
29.3 pg/l after treatment ( Z=- 3.508, p= 0.000 ) and plasma IFNγ before treatment
was 10.15 pg/l become 46.7 pg/l after treatment ( Z= -4.241, p= 0.000 ). In contrary,
supernatant IL-2 and IFNγ failed to show significant increament after 8 weeks of oral
iron tablets. This was partly explained due to apoptosis process. Theoriticaly if cells
have been stimulated by in vivo antigen exposures, secondary in vitro induction with
certain mitogen could lead to in vitro apoptosis. Meanwhile specific mitogen or
antigen stimulations also required for optimal activation of cells to produces certain
cytokines.
xii
The study conclusion is that plasma and supernatant IL-2 and IFNγ in patient
suffered from IDA with infection is significantly lower when compared to IDA
patient without infection. Iron treatment for 8 weeks increased plasma IL-2 and IFNγ
significantly but failed to show increament of supernatant IL-2 and IFNγ. It
therefore summarized that lower level of IL-2 and gamma IFN in patients suffered
from iron deficiency can lead to increased morbidity.
Key words : IDA with infection, Plasma IL-2 and IFNγ, Supernatant IL-2 and
IFNγ, oral iron tablet.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
menurunnya jumlah besi total dalam tubuh sehingga cadangan besi menjadi
kosong dan penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang. Penyebab utama yang
paling sering adalah defisiensi asupan besi dan atau kehilangan besi akibat
perdarahan kronis.
Penelitian selama dua tahun di RSUP Sanglah Denpasar mendapatkan
kasus-kasus ADB sebanyak 78 orang dan merupakan 25,8% dari total penderita
anemia yang dirawat di RSUP Sanglah (Somayana et al., 2002). Penelitian
etiologi ADB selama 3,5 tahun pada 122 kasus ADB mendapatkan penyebab
paling sering adalah ankilostomiasis, hemoroid, ulkus peptikum dan keganasan
saluran cerna. Kejadian infeksi yang bersamaan dengan ADB didapatkan
sebanyak 14% (Suega et al., 2003).
Besi merupakan kebutuhan tubuh yang esensial untuk proses metabolisme,
antara lain berperan mengangkut oksigen ke jaringan untuk produksi energi di
tingkat sel dan penting dalam transport elektron di mitokondria dalam proses
respirasi sel, untuk sintesis deoxyribo nucleic acid (DNA) dan lainnya (Conrad,
2002). Defisiensi besi dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas terutama
pada anak dan wanita hamil, disamping itu defisiensi besi juga menimbulkan
gangguan respon tubuh terhadap infeksi karena terjadi penurunan fungsi netrofil
dan gangguan proliferasi sel T. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa anemia
2
defisiensi besi bisa menurunkan kapasitas kerja dan menyebabkan prestasi kerja
yang buruk .
Hubungan antara infeksi dengan defisiensi zat besi masih belum jelas
diketahui. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa defisiensi besi yang ringan
dapat memberikan perlindungan tubuh terhadap infeksi. Sedangkan penelitian lain
mendapatkan sebaliknya (Walter et al., 1997).
Sebuah telaah dari 11 penelitian tentang pengaruh pemberian zat besi
terhadap kejadian infeksi menemukan bahwa insiden malaria, pnemonia dan
beberapa penyakit infeksi non-malaria cenderung meningkat pada penderita
dengan defisiensi besi. Peningkatan ini juga terjadi pada wanita yang hamil.
Namun kesimpulan-kesimpulan penelitian tersebut masih diragukan, karena
banyak kelemahan dan tidak konsisten (Oppenheimer, 2001). Sebuah systematic
review tentang pengaruh suplementasi besi terhadap insiden infeksi pada anak-
anak menemukan bahwa pemberian besi tidak meningkatkan terjadinya insiden
infeksi pada anak-anak (Gera et al., 2002). Penelitian tentang pengaruh
suplementasi besi terhadap anak-anak yang terinfeksi dan tidak terinfeksi di Sri
Lanka menemukan bahwa terjadi penurunan morbiditas dari infeksi saluran nafas
pada anak-anak yang diberikan suplemen besi. Peneliti menduga bahwa imunitas
pada anak-anak yang mengalami defisiensi besi menurun sehingga morbiditasnya
lebih tinggi (De Silva et al., 2003).
Cell-mediated immunity (CMI) adalah suatu respon imun yang tidak
melibatkan antibodi akan tetapi lebih banyak melibatkan proses aktivasi sel T
menjadi sel T efektor, aktivasi sel makrofag dan sel NK (natural killer), serta
stimulasi produksi interleukin sebagai respon terhadap antigen. Mekanisme ini
3
ditujukan terhadap mikroba yang berhasil lolos dari proses fagositosis dan
terhadap mikroba yang menginfeksi sel non-fagositik. Cadangan besi yang
berkurang akan menurunkan fungsi cell-mediated immunity (CMI) seperti delayed
hipersensitivity, proliferasi limfosit akibat rangsangan antigen, natural killer
cytotoxicity dan lain-lain (Walter et al., 1997).
Penelitian pada tikus mendapatkan bahwa defisiensi besi menyebabkan
penurunan fungsi sistem imunitas melalui penurunan fungsi timus, gangguan
proliferasi sel T dan timosit (Kuvibidila et al., 1990). Penelitian pada manusia
mendapatkan hasil yang bervariasi. Sel T menurun pada defisiensi besi yang
murni dan kelainan ini dapat dikoreksi dengan pemberian besi (Krantman et al.,
1982). Moraes-de-Sousa et al. mendapatkan adanya peningkatan limfosit T dari
55,1% menjadi 66,0% pada ADB sebelum dan setelah diberikan besi (Moraes-de-
Sousa et al., 1984).
Interleukin-2 (IL-2) yang diproduksi oleh sel T merupakan faktor
pertumbuhan (growth factor) untuk semua subpopulasi sel limfosit T dan
bertanggung jawab terhadap ekspansi klonal limfosit T, setelah limfosit T
mengenal antigen ( Jacques et al.,1999, Kaiser 2003). Oleh karena fungsi itu maka
IL-2 dikenal sebagai faktor pertumbuhan sel T.
IFN γ juga merupakan modulator pertumbuhan dan diferensiasi fungsi sel
T, dan memperkuat respon sel ini terhadap mitogen dan faktor pertumbuhan.
Selain itu, IFN γ memiliki kemampuan mengatur ekspresi MHC kelas II,
menginduksi ekspresi CD-4 pada sel Th1. Sel Th1 memproduksi IL-2 dan IFN γ,
dimana IFN γ bekerja sinergis dengan IL-1 dan IL-2 yang dibutuhkan untuk
4
ekspresi reseptor IL-2 pada permukaan sel limfosit T. Adanya blokade terhadap
reseptor IL-2 oleh antibodi spesifik juga menghambat sintesis IFN γ.
Pengetahuan tentang pengaruh defisiensi besi terhadap sitokin belum
banyak berkembang. Dilaporkan adanya penurunan IL-2 pada anak-anak dengan
defisiensi besi. Lainnya mendapatkan terjadinya peningkatan ekspresi IL-6, IL-4
pada ADB (Jason et al., 2001). Penelitian pada 81 anak-anak yang mengalami
defisiensi besi, menemukan produksi IL-2 akibat rangsangan PHA
(phytohaemagglutinin) lebih rendah pada defisiensi besi dibandingkan tanpa
defisiensi besi, tetapi kadar IL-2 tidak berbeda apabila tidak dirangsang dengan
PHA. Penurunan produksi IL-2 menyebabkan gangguan sistem imun melalui
gangguan pada CMI (Galan et al., 1992).
Suatu studi binatang percobaan di New York menyebutkan IFN γ bersama
TNF α dan NOS secara signifikan merupakan kunci utama dalam meningkatkan
pertahanan hidup pada tikus percobaan yang terinfeksi Yersenia pestis.
Kuvibidilla et al., melakukan penelitian pada tikus dengan ADB mendapatkan
adanya penurunan kadar IFN γ dan IL-12 sebesar 64% dan 66% dimana kadar
sitokin ini berkorelasi positif dengan indikator status besi (r=0,68) (Kuvibidilla et
al., 2004). Sarjana lain membuktikan adanya penekanan produksi IFN γ pada
tikus dengan toleransi lipopolisakarida dapat mengakibatkan disfungsi makrofag
dan selanjutnya akan mengakibatkan gangguan imunitas selular (Varma et al.,
2001).
Mekanisme gangguan fungsi imunitas pada defisiensi besi belum jelas
diketahui. Diduga bersifat multifaktorial antara lain akibat gangguan sintesis DNA
(deoxy ribonucleic acid) karena fungsi enzim ribonucleotide reductase yang
5
terganggu, penurunan produksi interleukin seperti IL-2 dan IFN γ, gangguan
aktivasi dan proliferasi sel T (Walter, 1997; Beard, 2001; Kuvibidilla et al., 2004).
Terjadi kegagalan aktivitas bakterisidal intraseluler, depresi jumlah limfosit T dan
thymic atrophy, defek limfosit T-induced proliferative response, kegagalan
aktifitas sel natural killer, kegagalan produksi IL-2 oleh limfosit, penurunan
produksi macrophages migration inhibition factor, kegagalan delayed cutaneus
hypersensitivity termasuk reaktivitas tuberkulin, meskipun tidak semua penelitian
mendapatkan hasil yang sama (Oppenheimer, 2001).
Berdasarkan temuan di atas, dapat dipahami bahwa hubungan antara
interleukin proinflamasi dengan defisiensi besi masih belum jelas. IL-2 dan IFN γ
sebagai interleukin proinflamasi dan parameter dari CMI diduga produksinya
menurun pada ADB. Penelitian-penelitian terhadap interleukin ini lebih banyak
dilakukan pada binatang percobaan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
untuk mengetahui kadar IL-2 dan IFN γ penderita ADB pada manusia. IL-2 dan
IFN γ dipilih pada penelitian ini oleh karena IL-2 adalah satu-satunya growth
factor untuk aktivasi sel T menjadi sel T efektor antara lain sel Th1 yang
memproduksi IL-2 dan IFN γ. Sel Th1 diketahui lebih sensitif terhadap gangguan
akibat defisiensi besi kalau dibandingkan dengan sel Th2 yang memproduksi IL-
4, IL-5, IL-10, IL-13.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian singkat dalam latar belakang penelitian maka dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimanakah profil IL-2 dan IFNγ pada penderita ADB ?
6
2. Apakah kadar IL-2 pada ADB dengan infeksi lebih rendah dibandingkan
dengan kadar IL-2 pada ADB tanpa infeksi
3. Apakah kadar IFNγ pada ADB dengan infeksi lebih rendah dibandingkan
dengan kadar IFNγ pada ADB tanpa infeksi
4. Apakah peningkatan cadangan besi dapat meningkatkan kadar IL-2 penderita
ADB?
5. Apakah peningkatan cadangan besi dapat meningkatkan kadar IFNγ penderita
ADB?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui bagaimana gambaran hubungan cadangan besi dengan
fungsi imunitas seluler pada penderita ADB.
1.3.2 Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui profil IL-2 dan IFNγ pada penderita ADB
2. Untuk mengetahui bahwa kadar IL-2 lebih rendah pada ADB dengan
infeksi dibandingkan dengan kadar IL-2 pada ADB tanpa infeksi
3. Untuk mengetahui bahwa kadar IFN γ lebih rendah pada ADB dengan infeksi
dibandingkan dengan kadar IFNγ pada ADB tanpa infeksi
4. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan cadangan besi terhadap peningkatan
kadar IL-2
5. Untuk mengetahui pengaruh peningkatan cadangan besi terhadap peningkatan
kadar IFNγ
7
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat ilmiah
Jika terbukti kadar IL-2 dan IFN γ berbeda antara penderita ADB dengan
infeksi dan ADB tanpa infeksi serta yang mendapatkan tablet besi dengan
yang tidak mendapatkan tablet besi maka akan memberikan pengetahuan
tambahan bahwa salah satu mekanisme infeksi pada penderita ADB
adalah melalui penurunan kadar IL-2 dan IFN γ .
1.4.2 Manfaat praktis klinis
Jika terbukti kadar IL-2 dan IFN γ ikut berperan pada mekanisme infeksi
pada penderita ADB maka dapat dipakai sebagai strategi jangka panjang
untuk kemungkinan tambahan pengobatan dikemudian hari khususnya pada
penderita ADB dengan infeksi berat dengan memperhatikan kadar IL-2 dan
IFN γ- nya.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendahuluan
2.1.1 Anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi (ADB) atau iron deficiency anemia (IDA) adalah
anemia yang timbul akibat menurunnya jumlah besi total dalam tubuh (total iron
content) sehingga cadangan besi (iron store) menjadi kosong dan penyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang (Lee et al., 1999; Hoffman et al., 2000).
ADB merupakan jenis anemia yang paling sering dijumpai baik di negara
maju maupun negara berkembang (Conrad et al., 2002). Di dunia diperkirakan
2,15 juta individu menderita ADB dan lebih sering terjadi pada wanita dan anak-
anak (Khusun et al., 1999). Data dari The Third National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES III; 1988 –1994) di Amerika Serikat menyatakan
bahwa ADB terjadi pada 1-2% orang dewasa. Defisiensi besi tanpa anemia lebih
sering terjadi mencapai 11% pada wanita (lebih sering pada premenopausa) dan
4% pada laki-laki (Stanley, 2000). Di Indonesia seperti halnya di negara
berkembang prevalensi ADB jauh lebih tinggi. Diperkirakan 20% wanita
Indonesia menderita defisiensi besi dan rata-rata hemoglobinnya 2 g/dL lebih
rendah daripada populasi penduduk Amerika (Khusun et al., 1999). Bakta (1993)
mendapatkan prevalensi anemia defisiensi besi di Desa Jagapati sebesar 27%,
pada laki-laki 12% dan pada wanita 43,2%. Prevalensi anemia pada ibu hamil di
Bali didapatkan dengan prevalensi sebesar 46,2%. Prevalensi anemia pada
penderita rawat inap di Divisi Hematologi-Onkologi Medik RS Sanglah tahun
1997 ditemukan 76,7% (Suega et al., 1999).
8
9
2.1.2 Klasifikasi anemia defisiensi besi
Defisiensi besi dapat dibagi menjadi tiga tingkat (Bakta, 2000; Hilman et
al., 2002):
a. Deplesi besi (iron depletion atau prelatent iron deficiency)
Pada keadaan ini cadangan besi menurun tetapi kompartemen besi
transpor dan fungsional masih normal. Disini kadar feritin serum menurun,
hemosiderin sumsum tulang menurun dan absorpsi besi meningkat, tetapi
parameter status besi lain masih normal.
b. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoesis atau latent iron
deficiency)
Disini cadangan besi sudah kosong, besi transportasi menurun, tetapi
belum dijumpai anemia secara klinis. Pada keadaan ini dijumpai perubahan
seperti pada deplesi besi ditambah dengan menurunnya besi serum dan saturasi
transferin, protoforfirin eritrosit meningkat tetapi kadar hemoglobin dan
hematokrit masih normal.
c. Anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia)
Merupakan tingkat yang paling lanjut dari defisiensi besi. Selain kelainan
di atas, di sini sudah dijumpai anemia hipokromik mikrositer.
10
2.1.3 Prevalensi anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai
baik dalam praktek klinik maupun dalam studi lapangan (Lee, 1999). Di seluruh
dunia didapatkan sekitar 2 juta penderita ADB (Viteri, 1998).
Prevalensi ADB bervariasi tergantung geografis, status sosial ekonomi dan
umur. Prevalensi di negara maju jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara
berkembang, seperti terlihat pada tabel 1 di bawah ini (Baker, 2000).
Tabel 2.1 Prevalensi Anemia Defisiensi Besi (Baker, 2000)
Prevalensi Defisiensi Besi: National Helth and Nutrition Examination Survey
(NHANES) III (Amerika Serikat)
DEFISIENSI BESI
Wanita berusia 20-49 tahun
Wanita berusia 50-69 tahun
Wanita berusia lebih dari 70 tahun
Pria berusia 20-49 tahun
Pria berusia 50-69 tahun
Pria berusia lebih dari 70 tahun
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Wanita tidak hamil berusia 20-49 tahun
Wanita berusia 50 tahun atau lebih Pria berusia 20-49 tahun
Pria berusia 50 tahun atau lebih
Wanita hamil
Trimester pertama
Trimester kedua
Trimester ketiga
United Nations Study of Developing Countries
(estimasi)
ANEMIA DEFISIENSI BESI
Wanita dewasa Pria dewasa
Wanita hamil
11 %
5 %
7 %
< 1 %
2 %
4 %
5 %
2 % < 1 %
≤ 2 %
9 %
14 %
37 %
18 % 10 %
18 % -38 %
Laporan dari Indonesia menunjukkan angka yang cukup tinggi. Martoatmojo et
al., (1973) pada penelitian di Jawa Barat, Yogya dan Bali mendapatkan
prevalensi 16-50% pada laki-laki dewasa, 25-84% pada wanita tidak hamil.
Muhilal et al., dalam survei yang berkaitan dengan Survei Kesehatan Rumah
Tangga 1992 mendapatkan prevalensi anemia pada wanita hamil sebesar 55%.
11
Prevalensi anemia di Bali tidak jauh berbeda dengan angka-angka di
Indonesia umumnya. Di Desa Pejaten didapatkan prevalensi 48% pada laki-laki
dan 54% pada wanita (Bakta et al., 1983). Prevalensi anemia 36% pada laki-laki
dan 37% pada wanita dijumpai pada pensiunan pegawai negeri di Kabupaten
Jembrana dengan 61% kasus anemia disebabkan oleh defisiensi besi (Bakta et al.,
1989). Bakta (1993) mendapatkan prevalensi anemia defisiensi besi di Desa
Jagapati sebesar 27%, pada laki-laki 12% dan pada wanita 43,2%. Prevalensi
anemia pada penderita rawat inap di Divisi Hematologi-Onkologi Medik RS
Sanglah tahun 1997 ditemukan 76,7% (Suega et al.,1999). Penelitian anemia ibu
hamil di Bali dengan total sampel sebesar 1684 orang di seluruh Bali medapatkan
prevalensi anemia sebesar 46,2%.
2.1.4 Etiologi anemia defisiensi besi
Penyebab ADB adalah adanya ketidakseimbangan antara masukan besi
melalui absorpsi usus dengan jumlah besi yang dibutuhkan oleh tubuh yang
mengimbangi kehilangan besi fisiologik atau patologik dan kebutuhan akibat
pembentukan jaringan. Secara garis besar penyebab ADB adalah ( Lee, 1999;
Bakta, 2000):
1. Kehilangan besi akibat perdarahan menahun, yang dapat berasal dari:
a. Saluran cerna: akibat tukak peptik, karsinoma lambung, karsinoma kolon,
divertikulitis, hemoroid dan infeksi cacing.
b. Saluran genetalia wanita: menorhagia, metrorhagia.
c. Saluran kemih: hematuria.
d. Saluran nafas: hemoptoe ;
12
2. Faktor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau
kualitas besi (bioavaibilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat,
rendah vitamin C dan rendah daging) ;
3. Kebutuhan besi meningkat seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan ;
4. Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronis.
Pada penelitian retrospektif di RS Sanglah Denpasar penyebab ADB
tersering yang ditemukan adalah perdarahan kronis gastrointestinal dan
ankilostomiasis (Kandarini et al., 2001).
2.1.5 Gejala klinik anemia defisiensi besi
Gejala klinik anemia defisiensi dapat dibagi menjadi (Lee, 1999; Bakta,
2000):
1. Gejala umum anemia (sindrom anemia): lemah, mata berkunang, telinga
mendenging, dan lain-lain, yang timbul secara perlahan-lahan.
2. Gejala khas akibat defisiensi besi : disfagia, stomatitis angularis, dan kuku
sendok (koilonychia). Kumpulan gejala: anemia hipokromik mikrositer,
disfagia, atrofi papil lidah disebut sebagai Plumer-Vincent syndrome atau
Patterson Kelly syndrome.
3. Gejala penyakit dasar yang menyebabkan anemia defisiensi besi: gejala
penyakit cacing tambang, gejala kanker kolon dan lain-lain.
13
Tabel 2.2 Pemeriksaan Laboratorium pada Anemia Defisiensi Besi (Hilman et al.,
2000)
Deplesi Cadangan
Besi
Eritropoesis
kurang besi
Anemia defisiensi besi
Hemoglobin Normal Penurunan
ringan
Penurunan bermakna
(mikrositik/hipokromik)
Cadangan besi
S I (µg/dL)
TIBC (µg/dL)
Persentase saturasi
Feritin (µg/L)
Persentase sideroblas
Protoporfirin
Sel darah merah
(µg/dL RBC)
<100 mg (0-1 + )
Normal
360 –390
20-30
<20
40-60
30
0
<60
>390
<15
<12
<10
>100
0
<40
>410
<10
<12
<10
>200
2.1.6 Diagnosis anemia defisiensi besi
Pada dasarnya diagnosis anemia defisiensi besi terdiri dari 3 komponen
yaitu: (1) usaha untuk membuktikan adanya anemia ; (2) usaha untuk
membuktikan adanya defisiensi besi ; dan (3) usaha untuk mencari faktor-faktor
etiologi defisiensi besi (Bakta, 1993; Lee, 1999).
Sampai saat ini belum ada pemeriksaan ideal yang dapat memantau semua
spektrum defisiensi besi yang dapat digunakan untuk studi lapangan. Oleh karena
itu dianjurkan pemakaian kombinasi beberapa cara pemeriksaan. Kombinasi lebih
dari dua pemeriksaan jelas akan meningkatkan akurasi, tetapi kombinasi mana
yang paling tepat tergantung dari fasilitas yang tersedia, tujuan penelitian,
prevalensi defisiensi besi pada populasi dan pola penyebab anemia di luar
defisiensi besi (Cook, 1982; Bakta, 1993).
Sebagian besar peneliti memakai kriteria defisiensi besi jika dua atau lebih
parameter abnormal. Parameter yang dipakai umumnya adalah feritin serum,
14
saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, MCV, dan RDW (Cook ,1986 ; Skikne,
1988; Hercberg, 1991).
Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi ( yang merupakan modifikasi dari
kriteria Kerlin et al., 1979 ) adalah (Bakta, 2000):
Anemia hipokromik mikrositer pada hapusan darah tepi, atau MCV < 80 fL dan
MCHC < 31 % , dengan
a. Dua dari tiga parameter di bawah ini:
1. Besi serum < 50 ug/dL
2. TIBC > 350 ug/dL
3. Saturasi transferin < 15%, atau
b. Feritin serum < 20 ug/L, atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan
butir-butir hemosiderin negatif, atau
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang
setara) selama empat minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2
g/dL.
Di klinik baku emas (gold standard) untuk diagnosis anemia defisiensi
besi adalah pengecatan besi pada sumsum tulang (Perl’s stain).
2.1.7 Diagnosis banding anemia defisiensi besi
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dari anemia hipokromik mikrositer
lain, serta anemia yang disertai gangguan metabolisme besi (Frewin et al., 1997;
Lee, 1999; Hoffman, 2000):
1. Anemia akibat penyakit kronik
2. Thalasemia mayor atau intermedia
15
3. Anemia sideroblastik
Untuk lebih jelasnya diagnosis banding anemia defisiensi besi dapat
dilihat pada tabel 3 di bawah ini.
Tabel 2.3 Diagnosis diferensial anemia defisiensi besi (Bakta, 2000).
Parameter ADB ACD Thalasemia A. sideroblastik
Anemia
Morfologi
Retikulosit
Anisositosis
Besi serum
TIBC
Feritin serum
Besi sumsum tulang
Ring sideroblast
Elektroforesis Hb
Bisa berat
Hipo-mikro
Normal
Berat
Menurun
Meningkat
Menurun
Negatif
Negatif
Normal
Ringan-sedang
Normo-normo
Normal
Ringan
Menurun
Menurun
Normal
N/meningkat
Negatif
Normal
Bisa berat
Hipo-mikro
Meningkat
Berat
Meningkat
Menurun
Meningkat
Meningkat
Negatif
Abnormal
Bisa berat
Populasi ganda
N/menurun
Sedang
N/meningkat
N/menurun
Meningkat
Normal
Positif
Normal
2.1.8 ADB menimbulkan berbagai kelainan
Berbagai kelainan yang ditimbulkan oleh ADB (Conrad,2002):
1. ADB akan menurunkan kemampuan kerja karena otot mudah lelah akibat
kekurangan ensim yang mengandung besi yang diperlukan untuk metabolisme
otot ;
2. Anemia yang berat akan menyebabkan hipoksia sehingga akan menimbulkan
insufisiensi koroner dan miokardial iskemia serta dapat memperburuk
penyakit paru kronis ;
3. Kerusakan dari epitel dan mukosa dapat dijumpai pada penderita ADB.
adanya kuku yang abnormal, atropi papil lidah serta stomatitis angularis. Juga
dapat ditemukan adanya disfagia, gastritis atrofikan dan gangguan vili-vili
usus halus ;
16
4. Intoleransi terhadap udara dingin dapat dijumpai pada penderita ADB dan
ditandai dengan adanya gangguan vasomotor, nyeri saraf, kesemutan dan rasa
tebal di kulit ;
5. Kadang-kadang ADB disertai dengan edema papil, peningkatan tekanan intra
kranial dan gejala seperti pseudo tumor serebri ;
6. Adanya gangguan fungsi imunitas sehingga penderita sangat rentan terhadap
infeksi, namun bukti untuk ini belum begitu kuat ;
7. Anak-anak dengan ADB sering menunjukkan gejala kelainan tingkah laku.
Bayi sering dengan gangguan pertumbuhan dan gangguan proses belajar pada
anak-anak usia sekolah. Dilaporkan IQ anak dengan ADB secara signifikan
lebih rendah dibandingkan dengan anak lainnya yang tidak menderita ADB.
Semua gejala ini akan menghilang apabila dilakukan koreksi dengan tablet
besi.
2.1.9 Terapi anemia defisiensi besi
Pada dasarnya pengelolaan ADB terdiri dari (Bakta, 2000):
a. Pemberian besi untuk mengisi kekurangan besi ;
b. Pengobatan terhadap penyakit dasar ;
c. Tindakan untuk mengatasi keadaan darurat.
Berat dan penyebab ADB merupakan faktor yang menentukan dalam
memilih cara terapi yang tepat pada ADB. ADB yang simtomatik atau dengan
gangguan hemodinamik memerlukan transfusi sel darah merah. Sedangkan pada
penderita yang lebih muda, memiliki daya adaptasi yang cukup baik terhadap
keadaan anemia tersebut, sehingga dapat diterapi dengan lebih konservatif .
Sebagian besar penderita ADB dapat diobati dengan besi oral saja. Penderita
17
diberikan transfusi darah merah apabila (Bakta, 2000; Adamson, 2001; Beutler,
2003):
1. Gejala anemia yang sangat simtomatik ;
2. Anemia dengan kelainan hemodinamik ;
3. Jika direncanakan operasi segera.
4. Ibu hamil dengan kadar Hb < 7 g/dL pada dua minggu terakhir masa
kehamilannya.
2.1.9.1 Terapi besi oral
Hampir sebagian besar penderita ADB, memberikan respon dalam bentuk
perbaikan klinik dan laboratorik dengan preparat besi oral. Bermacam-macam
sediaan besi yang beredar dari mulai garam besi yang sederhana sampai sediaan
besi yang komplek. Pada umumnya semua sediaan besi dapat diabsorpsi dengan
baik di saluran cerna (Adamson, 2001; Beutler, 2003).
Untuk tujuan replacement therapy dosis besi diberikan adalah dosis 300
mg per hari dibagi dalam 3 atau 4 dosis. Besi sebaiknya diberikan dalam keadaan
lambung kosong, karena beberapa bahan makanan dapat menghambat
absorpsinya. Pemberian besi 200-300 mg perhari akan menyebabkan terjadinya
absorpsi besi sebanyak 50 mg per hari. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya
peningkatan produksi eritrosit 2-3 kali lipat bila sumsum tulang dan rangsangan
eritropoitin dalam keadaan normal. Target terapi ADB adalah tidak hanya
memperbaiki anemianya, tetapi juga meningkatkan cadangan besi tubuh paling
sedikit mencapai ½-1 g. Untuk mencapai hal ini penderita ADB perlu diberikan
besi 6-12 bulan (Adamson, 2001).
18
Diperkirakan sebanyak 10-20% pemberian besi oral akan disertai dengan
ganggan nyeri perut, mual, muntah, diare atau konstipasi. Gejala ini biasanya
timbul 30-60 menit setelah terapi, kadang-kadang bisa timbul dalam 2-3 hari
setelah terapi. Efek samping ini berhubungan dengan dosis, makin tinggi dosis
kemungkinan terjadinya keluhan di atas makin besar (Adamson, 2001; Beutler,
2003).
Respon pengobatan tergantung dari absorpsi besi dan rangsangan
eritropoitin. Retikulosit umumnya mulai meningkat pada hari keempat sampai
ketujuh setelah terapi besi. Tidak adanya respon menunjukkan adanya beberapa
kemungkinan seperti diagnosis salah, dosis besi yang kurang, kepatuhan penderita
kurang, masih ada perdarahan yang cukup banyak atau adanya penyakit lain
bersama-sama ADB (Andrews, 1999; Bakta, 2000).
2.1.9.2 Terapi besi parenteral
Indikasi utama pemberian besi parenteral adalah perdarahan yang tidak
terkontrol, intoleransi, malabsorpsi dan kepatuhan terhadap besi oral yang rendah.
Apabila satu atau dua jam setelah pemberian sulfas ferosus 60 mg, terjadi
peningkatan besi serum kurang dari 100 μg% dari besi sebelumnya pada saat
puasa maka secara sederhana dapat disimpulkan terjadi malabsorpsi besi (Beutler,
2003).
Pemberian besi secara parenteral dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
pemberian besi sekaligus dengan menghitung kebutuhan besi dan cadangan besi
dan yang lainnya adalah pemberian besi dalam dosis kecil dan berulang-ulang.
Jumlah besi yang dibutuhkan adalah BB (kg) X 2,3 X [15 – Hb penderita (g/dL)]
+ 500 atau 1000 mg untuk cadangan besi (Beutler, 2003).
19
2.2 Metabolisme Besi
2.2.1 Metabolisme besi pada manusia
Orang dewasa laki-laki dalam keadaan normal mengandung besi 35-45
mg/kgBB, sedangkan wanita premenopause mempunyai kandungan besi yang
lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kehilangan darah yang berulang
akibat menstruasi. Lebih dari dua pertiga besi tubuh berada dalam hemoglobin.
Masing-masing eritrosit mengandung jutaan atom besi, dan dalam keadaan normal
terjadi pertukaran besi sebanyak 2 X 1020 atom perhari. Oleh karena itu anemia
merupakan gejala utama defisiensi besi (Andrews, 1999).
Besi merupakan nutrisi esensial untuk berlangsungnya beberapa fungsi
metabolisme tubuh untuk semua organisme hidup. Pada manusia besi adalah
komponen penting dari ratusan protein dan enzim penting yang berperan dalam
setiap proses biologik tubuh. Beberapa senyawa penting yang mengandung besi
antara lain heme untuk pembentukan hemoglobin dan transport oksigen, sitokrom
diperlukan untuk produksi energi di tingkat sel dan penting dalam transport
elektron di mitokondria dalam proses respirasi sel. Seperti diketahui respirasi sel
merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup setiap mahluk di
dunia ini. Pada proses ini bahan makanan akan dimetabolisme menjadi molekul
energi dalam bentuk ATP dan panas. Ada tiga fase utama dari proses respirasi sel
yaitu glikolisis, siklus Kreb dan electron transport chain (rantai respirasi). Pada
proses oksidasi fosforilasi ini diperlukan enzim penting seperti sitokrom dan
NADPH dehydrogenase yang mengandung besi agar metabolisme berfungsi baik.
Enzim lain yang penting yang mengandung besi adalah katalase, DNA
ribonuklease dan mieloperoksidase. Disamping itu beberapa fungsi metabolisme
20
yang membutuhkan besi adalah fungsi dan perkembangan otak, aktivitas otot dan
sintesis neurotransmiter, fungsi imunitas tubuh, fungsi detoksifikasi hepar dan
fungsi sintesis DNA.
Tempat-tempat besi tubuh selain hemoglobin antara lain hepatosit,
makrofag retikuloendotelial dan otot. Sel hepatosit dapat mengikat besi yang
diabsorpsi dari usus atau kelebihan besi serum akibat kelebihan kapasitas daya
ikat transferin. Makrofag retikuloendotelial mengambil besi dari eritrosit yang
sudah tua dan mengembalikan lagi ke transferin untuk dipergunakan lagi
(Andrews, 1999; Fairbank et al., 2001).
Siklus metabolisme besi merupakan sistem yang tertutup. Masing-masing
atom besi mengalami resirkulasi dari plasma dan cairan ekstraseluler ke sumsum
tulang dan berikatan di dalam hemoglobin. Selanjutnya eritrosit akan beredar di
dalam sirkulasi kurang lebih selama empat bulan. Eritrosit yang sudah tua akan
difagositosis dalam sistem retikuloendotelial dan besi yang berada dalam eritrosit
tersebut akan dilepaskan kembali ke dalam plasma (Andrews, 1999; Pietrangalo,
2002).
Setiap siklus tersebut, sebagian kecil besi akan disimpan dalam bentuk
feritin atau hemosiderin. Sebagian kecil besi tubuh akan hilang, antara lain
melalui urin, feses, keringat, kerusakan epitel atau perdarahan. Jumlah yang
hilang ini diperkirakan 1-2 mg per hari dan setara dengan jumlah yang diabsorpsi
(Andrews, 1999; Fairbank et al., 2001; Pietrangalo, 2002).
Walaupun absorpsi besi dari saluran cerna sedikit, tetapi harus terdapat
pengaturan yang sempurna agar tidak terjadi kelebihan besi dalam tubuh.
Absorpsi besi merupakan salah satu mekanisme pengaturan besi dalam tubuh. Hal
21
ini disebabkan karena tidak ada mekanisme fisiologis yang mengatur pengeluaran
kelebihan besi tubuh. Besi diabsorpsi di duodenum dan bagian proksimal jejenum
(Andrews, 1999; Fairbank et al., 2001).
Besi yang berasal dari makanan tidak terikat dengan transferin di dalam
lumen intestinal. Mekanisme transportasi ion besi dari saluran cerna ke dalam
plasma tidak sepenuhnya diketahui. Proses ini melibatkan enzim ferrireductase,
divalent metal transporter (DMT1), hephaestin dan integrin. Absorpsi besi
meningkat bila terjadi defisiensi besi dan menurun bila terjadi kelebihan besi
(Andrews, 1999; Beutler et al., 2003, Fairbank et al., 2001).
Besi di dalam plasma akan diikat oleh transferin dan mengangkut besi ini
menuju reseptor transferin. Ikatan antara besi-transferin akan berikatan dengan
reseptor transferin pada permukaan prekursor eritroid. Komplek ini selanjutnya
mengalami endositosis dan membentuk endosom. Pompa proton akan
menyebabkan pH di dalam endosom rendah sehingga terjadi pelepasan ion besi
dari transferin menuju ke sitoplasma melalui DMT1. Selanjutnya reseptor
transferin dan DMT1 akan kembali ke permukaan sel untuk proses yang sama
berikutnya (Andrews, 1999; Fairbank et al., 2001).
2.2.2 Metabolisme besi pada kuman
Besi merupakan faktor pertumbuhan yang penting bagi bakteri patogen.
Besi diperlukan oleh hampir sebagian besar mikroorganisme untuk beberapa
proses metabolisme yang penting seperti replikasi kuman, transport elektron,
glikolisis, sintesis DNA dan pertahanan terhadap reactive oxygen intermediates
(ROI). Sistem pengambilan besi pada kuman, memungkinkan kuman tersebut
22
untuk berkompetisi mendapat elemen penting seperti besi dari lingkungan
(Schaible et al., 2004).
Pada tubuh manusia banyak sel dan organ yang memiliki mekanisme
spesifik untuk transport besi melalui membran sel. Sumber besi yang utama untuk
produksi haem dan proliferasi sel adalah transferin. Protein transferin ini dapat
membawa dua atom besi. Besi ini akan dihantarkan kepada sel yang
membutuhkan besi secara fisiologis melalui reseptor transferin. Pada umumnya
reseptor ini ditemukan pada permukaan eritroblas, yang bertanggung jawab atas
terbentuknya hemoglobin. Sekarang telah diketahui variasi-variasi molekul besi di
dalam tubuh (Marx, 2002).
Gambar 2.1 Akses mikroorganisme terhadap cadangan besi tubuh (Marx 2002)
Sumber-sumber besi tubuh yang dapat diperoleh oleh mikroorganisme adalah di
dalam plasma, sel, saluran cerna dan permukaan tubuh.
Tf: transferrin; NTBI: non-transferrin-bound iron; BM: bone marrow; Hb:
hemoglobin; RBC: red blood cells; MPS: momonuclear phagocyte system
23
Mikroorganisme mempunyai beberapa cara untuk mengambil besi dari
sekitarnya baik dari cairan tubuh fisiologis, saluran intestinal, saluran nafas,
urogenital, kulit dan permukaan tubuh. Molekul yang berperan terhadap
pengambilan besi tersebut dapat berupa reseptor, kanal yang lokasinya di bagian
luar atau dalam membran sel mikroba dan siderophores yang memiliki afinitas
yang tinggi terhadap molekul pengikat besi. Mekanisme kuman untuk
memperoleh besi sangat komplek. Beberapa kuman menunjukkan adanya
mekanisme pengambilan besi lebih dari satu dan pada saat yang sama.
Gambar 1 menunjukkan kompleksitas dari sumber-sumber besi, sistem
transport pada bakteri gram negatif. Membran luar dari bakteri ini tersusun oleh
lipid bilayer, tempat dari insersi protein. Molekul hidrofilik yang lebih kecil dari
700 Da dapat melewati pori-pori air pada priotein terinsersi. Komplek besi pada
umumnya berukuran lebih dari 700 Da sehingga memerlukan reseptor spesifik
untuk dapat melewati membran tersebut (Weinberg, 1984; Marx , 2002).
2.2.2.1 Transferin dan laktoferin sebagai sumber besi
Mikroorganisme yang menggunakan sistem transport transferin maupun
laktoferin dapat mengambil besi secara langsung dari plasma, seperti pada
Haemophillus influenzae, Neisseria meningitidis dan Neisseria gonorrhoeae.
Mekanisme internalisasi dari transferin-besi pada mikroba berbeda dengan proses
pada mamalia (Weinberg, 1984; Marx , 2002).
Diduga ada dua macam transferrin-binding protein pada mikroba, yaitu
Tbp1 dan Tbp2. Transferrin-binding protein ini dapat mengikat molekul
transferin-Fe(III). Tbp1 merupakan bagian dari protein lapisan membran luar dan
Tbp2 merupakan lipoprotein pada lapisan membran dalam. Berbeda halnya
24
dengan transferin reseptor pada mamalia, reseptor tansferrin pada mikroba tidak
mengalami proses internalisasi. Setelah terjadinya ikatan antara transferin dengan
Tbp1 maupun Tbp2, besi akan dilepaskan dan masuk kedalam periplasmic space
melalui lubang (gate pore). Selanjutnya besi akan diikat oleh ferric-binding
protein dan dibawa masuk kedalam sitoplasma (Weinberg, 1984; Marx , 2002).
Sistem transport untuk transferin maupun laktoferrin sangat spesifik dan
sangat tergantung dari host. Lapisan membran luar N meningitidis dapat berikatan
dengan transferin manusia tetapi tidak dapat berikatan dengan transferin kerbau
atau sapi. Mikroba tetap dapat hidup di dalam host apabila memiliki reseptor
spesifik terhadap transferin. Transferin atau lactoferrin binding system akan
menentukan lokasi dari infeksi. Kuman yang menggunakan transferin binding
system untuk mengambil besi biasanya dijumpai di dalam plasma atau cairan
serebrospinal. Sedangkan kuman yang menggunakan lactoferrin binding system
biasanya terdapat pada permukaan mukosa seperti mukosa saluran nafas,
gastrointestinal dan urogenital (Weinberg, 1984; Marx , 2002).
2.2.2.2 Haem dan hemoglobin sebagai sumber besi
Dalam tubuh manusia, hemoglobin yang berada di dalam eritrosit
mengandung besi paling banyak dibandingkan sumber besi lainnya di dalam
tubuh dan berbagai kuman patogen mempunyai berbagai macam cara untuk
mendapat besi dari eritrosit ini. Beberapa kuman dapat mengambil besi dari haem.
Haem ini akan ditransportasikan menuju ke periplasma melalui haem-specific
outer membrane receptor selanjutnya ke dalam sitoplasma. Beberapa bakteri
dapat mengambil besi dari hemoglobin atau dari haem dan hemoglobin. Afinitas
terhadap hemoglobin manusia lebih tinggi dibandingkan terhadap mamalia yang
25
lainnya. Haptoglobulin dan haemopexin dapat bersifat bakteriostatik apabila tidak
mempunyai besi (Marx, 2002).
Strategi yang paling efektif dari kuman untuk mendapatkan besi adalah
dengan merusak eritrosit dan mengambil besi dari hemoglobin. Cara ini terjadi
pada Plasmodium sp dan beberapa bakteri seperti Bartonella spp.
2.2.2.3 Siderophores
Bakteri dan jamur dapat memproduksi molekul yang disebut siderophores.
Molekul ini merupakan molekul dengan berat molekul rendah dan dapat
mengadakan ikatan dengan besi. Disekresi oleh kuman di lingkungannya dan
dapat mengambil besi dari ligan, kemudian komplek besi-siderophore kembali ke
kuman. Siderophore merupakan substrat yang spesifik bagi outer dan inner
membrane receptor. Beberapa contoh siderophore adalah ferrichrome,
enterobactin atau enterochelin, staphyloferrin A, ferrioxamine (Marx, 2002).
Pada bakteri gram negatif ferrichrome dapat berikatan dengan membran
transporter yang disebut FhuA. Selanjutnya ferrichrome akan dihantarkan menuju
ke sitoplasma. Pada keadaan besi host yang sangat rendah, sintesis FhuA
meningkat ratusan sampai ribuan kali. Sebaliknya pada jumlah besi yang
berlebihan akan terjadi penurunan jumlah FhuA. Hal ini merupakan mekanisme
pertahanan kuman untuk mencegah terjadinya kelebihan besi yang dapat merusak
sel dan DNA. Secara skematis transpor besi melalui siderophore dapat
digambarkan pada gambar 2 (Marx, 2002).
26
Gambar 2.2 Gambar skematik mekanisme pengambilan Fe(II) dan Fe(III) pada
bakteri gram negatif (Marx 2002)
2.2.2.4 Pengurangan penyediaan besi sebagai mekanisme pertahanan host
Adanya invasi kuman akan menyebabkan host mengurangi ketersediaan
besi yang dibutuhkan oleh kuman. Beberapa mekanisme pengurangan tersebut
adalah (Weinberg, 1978; Weinberg, 1984):
1. Peningkatan ekskresi besi endogen di urine, keringat, feses dan empedu.
2. Penurunan absorpsi besi eksogen di saluran cerna.
3. Penurunan besi plasma akibat perpindahan besi dari plasma ke dalam
cadangan besi.
4. Adanya protein pengikat besi di tempat masuknya kuman.
5. Peningkatan sintesis host iron-binding protein.
6. Penekanan sintesis siderophore mikroba.
27
2.3 Sistem Imunitas Manusia
Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan badan untuk
mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang
timbul baik dari luar maupun dari dalam tubuh sendiri. Mekanisme ini diperlukan
untuk tiga hal utama yaitu: pertahanan, homeostasis dan pengawasan. Fungsi
pertahanan ditujukan terhadap invasi kuman mikroorganisme, homeostasis untuk
mengeliminasi komponen tubuh yang sudah tua dan tidak berguna bagi tubuh
sedang fungsi pengawasan diperlukan untuk menghancurkan sel-sel yang
bermutasi ganas.
Ada dua mekanisme utama tubuh dalam rangka mempertahan diri dari
serangan kuman yaitu respon imun yang alami (innate) dan respon yang didapat
(adaptive). Respon alami timbul dengan intensitas yang hampir sama pada setiap
paparan, oleh karena sistem imun alami tidak mempunyai mekanisme memori.
Respon ini timbul lebih dulu dari respon adaptif. Komponen seluler dari sistem ini
adalah makrofag, granulosit dan sel NK (Natural Keller) yang dengan sistem
reseptor (toll-like) dapat membedakan antara benda asing dengan sel sendiri
(Sabroe et al., 2003). Respon imun adaptif adalah antigen-specific dimana respon
yang didapat akan meningkat sesuai dengan jumlah paparan yang terjadi sehingga
respon adaptif akan makin efisien dan makin cepat pada paparan ulang. Ada
berbagai antigen yang dapat memicu respon adaptif dan imunitas ini dapat
berlangsung lama tapi tidak permanen (Deckera, 2004). Sistem ini dapat
membedakan antara self dan non-self dengan menghancurkan yang non-self dan
membiarkan yang self. Respon imun adaptif meliputi proses proliferasi dari sel B
dan T yang antigen-spesific, yang akan terjadi apabila ada ikatan antara reseptor
28
permukaan sel ini dengan antigen. Sel tertentu yang dikenal sebagai APC (antigen
presenting cell) akan membawakan antigen kepada sel limfosit dan akan terjadi
kolaborasi diantara mereka sebagai respon terhadap antigen tersebut. Sel limfosit
B akan memproduksi imunoglobulin yang dapat mengikat antigen sehingga dapat
mengeliminasi mikroorganisme ekstraseluler. Sel T akan membantu sel B untuk
membuat antibodi dan juga dapat membunuh patogen intra seluler dengan
mengaktifkan makrofag serta membunuh sel yang terinfeksi oleh virus. Respon
imun baik alami maupun yang adaptif diperlukan untuk bekerjasama dalam
rangka mengeliminasi patogen (Delves et al.b, 2000; Decker a, 2004).
Semua komponen seluler dari sistem imun berkembang dari sel induk
pluri-potent di sumsum tulang dan akan bersirkulasi ke jaringan ekstraseluler. Sel
B akan mengalami pematangan di sumsum tulang sedangkan sel T harus masuk
ke kelenjar timus untuk menjalani proses pematangan sehingga dapat menjalani
fungsinya dengan baik. Respon adaptif akan mengalami proses pematangan pada
kelenjar limfe, lien dan jaringan limfe di mukosa (MALT = mucosal associated
lymphoid tissue), yang disebut sebagai jaringan limfoid sekunder, dimana proses
aktivasi sel B dan sel T dilakukan pada kompartemen yang berbeda. Sel B akan
mengalami aktivasi pada germinal center sedangkan sel T lebih banyak
didapatkan di daerah parafolikuler.
29
2.3.1 Pengenalan dalam proses imun
Untuk dapat menimbulkan infeksi, bahan patogen harus berhasil melalui 3
tingkatan pertahanan tubuh yaitu adanya barier permukaan seperti ensim dan
mukus baik yang langsung bersifat antimikrobial maupun dengan menghambat
perlengketan dari mikroba tersebut. Setelah mampu melawati barier ini maka
patogen tersebut akan berhadapan dengan 2 jenis pertahanan yaitu respon imun
yang alami (innate immune responses) dan respon imun yang didapat (acquired
immune responses). Tubuh secara potensial dapat bereaksi hampir pada semua hal
yang dapat berikatan dengan reseptor sistem imun. Molekul antigen ini bisa
merupakan molekul kecil yang simpel sampai pada molekul sangat kompleks.
Baik reseptor sel T maupun reseptor sel B dapat mengikat bagian dari antigen
yang dikenal dengan epitop sehingga membentuk komplek ikatan antigen reseptor
yang selanjutnya akan mestimulasi respon tubuh yang sesuai. Antigen yang dapat
memicu respon imun disebut sebagai imunogenik, dan tidak semua antigen secara
alami imunogenik. Antigen dengan molekul kecil yang non-imunogenik disebut
sebagai hapten dan harus berikatan dengan molekul yang lebih besar yang
imunogenik yang disebut dengan carriers, untuk dapat menimbulkan respon
imun. Sedang karbohidrat harus berikatan dengan protein agar dapat merangsang
respon imun seperti pada kasus antigen polisakarida pada vaksin Haemophilus
influenzae. Banyak mikroorganisme secara alami mempunyai apa yang disebut
adjuvant immunostimulatory molecules seperti lipopolysaccharide dan muramyl
dipeptide sehingga dapat menambah respon imunitas (Delves et al., 2000).
30
2.3.2 Perkembangan sel T dan sel B
Perkembangan sel limfosit dan mieloid dari sel induk di hati (pada infant)
dan sumsum tulang dituntun olah adanya interaksi antara sel stromal (sel
fibroblas) dan interleukin. Pada fase awal dari perkembangan sel limfosit tidak
diperlukan adanya stimulasi antigen akan tetapi begitu sel ini mengekspresikan
reseptor pada permukaannya maka akan diperlukan stimulasi antigen yang sesuai
untuk dapatnya sel yang bersangkutan berkembang lebih jauh dan survive.
Sel B yang berkembang pada fase awal dari kehidupan dikenal sebagai sel
B1. Hampir semua sel B1 mempunyai CD5, suatu molekul adesi dan molekul
sinyal. Mereka ini merupakan sumber dari antibodi natural yaitu suatu antibodi
IgM yang polireaktif (molekul ini dapat mengenal beberapa antigen yang berbeda
bahkan juga patogen yang komensal serta autoantigen). Secara umum antibodi ini
mempunyai afinitas yang rendah. Sebaliknya sel B yang tidak mempunyai
molekul CD5 yang biasanya berkembang belakangan dikenal sebagai sel B2.
Sebelum bertemu dengan antigen sel ini mengekspresikan bersama-sama molekul
IgM dan IgD pada permukaannya dan pada saat sel akan menjadi sel memori, sel
ini akan melakukan class-switching dan mengekspresikan IgA, IgG atau IgE
sebagai reseptor permukaannya. Komplek antibodi-antigen dan komplemen yang
terbentuk pada jaringan limfoid sekunder berdekatan dengan lokasi sel dendritik
sehingga hal ini akan menginisiasi pembentukan area yang disebut sebagai
germinal center yaitu suatu area dimana sel B akan teraktivasi sehingga
menimbulkan respon imun. Di sini sel B2 yang bertemu dengan antigen akan
melakukan immunoglobulin class switching dan akan memproduksi IgA, IgG atau
IgE. Sel plasma dan sel memori juga terbentuk di germinal center. Akan tetapi
31
fase akhir dari diferensiasi sel B2 menjadi sel plasma terjadi pada jaringan limfoid
sekunder di luar germinal center. Meskipun umumnya berumur pendek, kadang-
kadang sel plasma dapat survive sampai berminggu-minggu pada sumsum tulang
(Delves et al., 2000).
Sel T berkembang di dalam kelenjar timus, dimana lingkungan mikro dari
timus akan mengarahkan diferensiasi sel T termasuk juga seleksi positif dan
negatif dari perkembangan sel T. Sel progenitor limfoid yang berasal dari sumsum
tulang akan bermigrasi ke timus untuk melengkapi perkembangannya sehingga
menjadi sel matang dan menjadi sel T yang berfungsi. Disini sel T akan
mendapatkan Marxer-nya yang spesifik seperti TCR (T Cell Receptor), CD3, CD4
atau CD8 dan CD2. Sel T juga akan menjalani apa yang disebut thymic education
yaitu proses seleksi positif dan negatif.
Sel induk secara terus menerus akan bermigrasi dari sumsum tulang ke
timus, dimana sel ini akan berkembang menjadi sel T. Bukti terakhir
menunjukkan bahwa walaupun terjadi degenerasi parsial pada timus orang dewasa
namun sel T tetap berkembang pada timus sepanjang hidupnya. Sel T dengan α/β
TCR akan tetap di sini sambil terus mengalami prosedur seleksi. Tidak seperti
molekul antibodi yang juga merupakan BCR (B Cell Receptor), dapat mengenal
antigen dalam bentuk utuh (native/natural), TCR hanya dapat mengenal fragmen
peptida dari intraseluler antigen yang sebelumnya telah diproses oleh sel
makrofag dan dipresentasi oleh molekul MHC yang sesuai. Susunan asam amino
baik yang berasal dari MHC maupun dari peptida antigen dapat dikenal oleh TCR.
Jadi TCR dapat mengenal molekul MHC yang berasal dari tubuh sendiri (self)
bersama dengan peptida yang berasal dari antigen asing. Oleh karena itu untuk
32
dapat mengenal antigen asing yang dipresentasikan oleh molekul MHC maka sel
T harus mengenal self MHC. Molekul MHC adalah molekul yang sangat
polimorfik. Dan untuk mengenalnya tanpa menimbulkan autoreactive diperlukan
suatu mekanisme kontrol yang disebut dengan thymic education, yaitu suatu
proses seleksi termasuk yang dikenal dengan positive selection dan negative
selection (Sprent et al., 1989; Delves et al a., 2000; Poulin et al., 2003).
Sel yang lolos positive selection adalah sel T yang mengekspresikan TCR
yang mampu berinteraksi dengan MHC-selfpeptide complexes yang terbentuk
pada sel epitel korteks timus. Positive selection akan mematikan tombol apoptosis
yang sebelumnya terjadi pada perkembangan alami dari sel T. Lebih dari 95%
dari sel T tidak akan terseleksi pada fase ini sehingga akan mati di dalam timus.
Sebaliknya pada negative selection adalah mekanisme yang dapat menginduksi
apoptosis pada sel T yang mengekspresikan TCR yang bereaksi dengan afinitas
tinggi dengan kompleks self MHC-self peptide pada permukaan sel dendritik dan
makrofag yang berasal dari sumsum tulang pada daerah medula dari timus
(MacLelan et al., 2002; Decker c, 2004).
33
Gambar 2.3 Pematangan sel T pada timus (Delves et al.a, 2000; Krishnan et al.,
2003) Sebagian dari TCR sel T mengenal peptida yang berasal dari antigen asing
dan bagian lain TCR mengenal self MHC. Akibat proses alami dari gene
rearrangement dari pembentukan TCR yang bersifat random maka hanya
sebagian kecil dari sel T saja akan diseleksi positif pada korteks timus. Namun
beberapa dari sel ini cukup berbahaya karena kemampuan TCR nya bereaksi kuat
dengan self peptide dan self MHC (atau bahkan dengan hanya molekul MHC
saja). Kelompok sel autoimun ini akan dieliminasi dengan menginduksi apoptosis
apabila mereka berinteraksi dengan sel dendritik dan makrofag pada daerah
medula dari timus (negative selection). Seleksi ini akhirnya hanya menyisakan
sebagian kecil sel T yang hanya mempunyai afinitas yang rendah terhadap self
MHC
34
2.3.3 Imunitas seluler
CMI adalah suatu respon imun yang tidak melibatkan antibodi akan tetapi
lebih banyak melibatkan proses aktivasi sel T menjadi sel T sitotoksik, aktivasi sel
makrofag dan sel NK, serta stimulasi produksi interleukin sebagai respon terhadap
antigen. Mekanisme ini ditujukan terhadap mikroba yang berhasil lolos dari
proses fagositosis dan terhadap mikroba yang menginfeksi sel non-fagositik.
Mekanisme ini sangat efektif untuk menghilangkan sel yang terinfeksi oleh virus.
Namun demikian sel ini juga berperan terhadap infeksi jamur, protozoa, sel
kanker dan bakteri intraseluler. CMI juga memegang peran yang penting pada
proses transplantasi.
Seperti diketahui, sistem imun kita tak dapat meramalkan jenis antigen apa
yang akhirnya akan ditemukan. Oleh karena itu tubuh kita mengembangkan suatu
sistem yang mampu bereaksi dengan segala macam antigen. Hal ini dapat
dikerjakan oleh karena sel B dan sel T mempunyai sistem yang unik yang disebut
gene translocation, suatu proses perpindahan suatu gen tertentu dari suatu
kromosom ke gen lainnya pada kromosom lainnya. Oleh karena itu akan dapat
dibuat suatu reseptor permukaan yang dapat bereaksi dengan suatu peptida
tertentu yang berikatan dengan molekul MHC. CMI merupakan mekanisme yang
mendasari proses hipersensitivitas tipe lambat yaitu suatu respon imun yang
berefek merugikan seperti reaksi penolakan jaringan, dermatitis kontak, tes PPD
(purified protein derivative) untuk tuberkulosa dan lainnya (Kaiser, 2003).
35
Ada 5 langkah penting dalam timbulnya respon cell-mediated immunity, yaitu:
1. Antigen yang masuk harus dikenali oleh APC. Sel limfosit T4 dan T8
diperlukan untuk melaksanakan tugas selanjutnya. Apabila antigen ini masuk
lewat darah maka pertemuan antara APC, sel T4 dan T8 terjadi di lien, di
BALT (bronchial-associated lymphoid tissue) dan MALT apabila antigennya
melalui saluran nafas, di Peyer’s patches apabila antigen masuk melalui
saluran cerna.
2. Sel T4 dan T8 naïve harus mengenali epitop peptida dari antigen yang
bersangkutan, yang selanjutnya akan mengaktifkan sel T4 dan sel T8. Hal ini
disebut sebagai clonal selection.
3. Setelah terjadi aktivasi, sel T4 dan sel T8 akan berproliferasi menjadi klon sel
yang spesifik terhadap antigen yang bersangkutan di dalam usaha tubuh untuk
menyediakan sel yang cukup untuk menimbulkan respon imun yang memadai
melawan antigen tersebut. Hal ini dikenal sebagai clonal expansion.
4. Klon dari sel T4 dan sel T8 ini akan berdiferensiasi menjadi sel efektor yang
mampu mengarahkan respon tubuh melawan antigen yang masuk dan akan
menghancurkannya atau menghilangkan.
5. Beberapa dari sel limfosit tadi berdiferensiasi menjadi sel memori T4, sel
memori T8 dan sel T supresor.
Dengan adanya sel memori ini akan memungkinkan reaksi imun menjadi lebih
cepat dan produksi interleukin yang lebih banyak. Sel T8 supresor membantu
untuk mengontrol respon imun dengan menghentikan respon tubuh baik seluler
maupun humoral (Kaiser, 2003). Sel T yang telah teraktivasi sempurna akan
mulai memproduksi rantai α dari IL-2R . IL-2R (Tac) akan meningkatkan afinitas
36
dari IL-2R sehingga kadar yang rendah dari IL-2 dapat mengaktivasi sel T untuk
memulai proliferasi konal dan berdiferensiasi menjadi sel efektor. Sel T naïve
hanya mengekspresikan rantai β dan γ dari IL-2R dan mempunyai afinitas yang
lemah terhadap IL-2. Ekspresi dari reseptor yang mempunyai afinitas tinggi
terhadap spesifik antigen oleh sel T yang teraktivasi membuat respon imun yang
terjadi tetap antigen-spesific, oleh karena interleukin yang sama dapat dibuat
terhadap beberapa antigen yang berbeda.
Gambar 2.4 Aktivasi sel T (Delves et al.a, 2000)
Aktivasi sel T melibatkan proses integratif dimulai dengan ikatan antara antigen
dan reseptor pada permukaan sel. Diikuti dengan ikatan dengan CD3 dan rantai γ
ITAMs (immunoreceptor tyrosine-base activating motifs), dan p 56ick, p59fyn
dan ZAP-70. Rangkaian ini akan menyebabkan downstream sinyal melalui
beberapa sinyal transduction pathways sampai akhirnya mengaktifkan protein
transcription factor untuk gen yang terlibat pada proses proliferasi dan
diferensiasi. Sinyal dari co-reseptor seperti misalnya CD28 juga diperlukan untuk
mengaktifkan sel T, sebaliknya kalau tidak ada costimulator maka sel akan
menjadi anergi atau apoptosis.
37
2.3.4 Sel T efektor
Setelah 4-5 hari mengalami clonal expansion, sel T akan berdiferensiasi
menjadi sel efektor yang tidak lagi memerlukan co-stimulator untuk melakukan
fungsinya yaitu sitotoksisitas dan sekresi interleukin. Sel T akan tetap berikatan
dengan komplek peptida MHC untuk dapat membunuh atau mengaktifkan sel
target. Ada 3 klas sel efektor yang spesifik untuk 3 jenis patogen. CD8 CTL akan
membunuh sel yang mempresentasikan peptida sitosolik pada molekul MHC klas
I. CD4 Th1 akan mengaktifkan makrofag yang mengandung patogen vesikuler
yang persisten yang dipresentasikan pada molekul MHC klas II. Efektor klas ini
juga mengaktifkan sel B untuk memproduksi antibodi (opsonizing antibody). CD4
Th2 berfungsi untuk mengaktifkan sel B untuk memproduksi antibodi
(neutralizing antibody).
Sel efektor Th dibedakan atas jenis interleukin yang dikeluarkannya. Th1
CD4 akan mmemproduksi IL-2, IFN (interferon) γ, dan TNF (tumor necrosis
factor) β yang akan mengaktifkan CD8 Tc dan makrofag untuk menginduksi
respon inflamasi dan imunitas seluler. Th1 juga mengeluarkan IL-3 dan GM-CSF
yang akan memicu sel induk pada sumsum tulang untuk membuat lebih banyak
leukosit dan sel B untuk membuat antibodi opsonisasi (IgG1 dan IgG3). Sedang
Th2 akan memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 yang akan merangsang sel B
untuk membuat antibodi netralisasi. Disamping itu interleukin yang diproduksi
oleh sel Th1 dan Th2 mempunyai efek yang berlawanan pada sel Th. IFN γ yang
diproduksi oleh Th1 akan menghambat proliferasi sel Th2, sebaliknya IL-10 yang
dikeluarkan oleh Th2 akan menghambat produksi IL-2 dan IFN γ oleh Th1.
38
Keseimbangan antara Th1 dan Th2 akan menentukan respon imun humoral
ataukah seluler yang lebih berperan (Kaiser, 2003).
2.3.5 Kerjasama antar sel
Kerjasama antar sel merupakan interaksi beberapa mekanisme efektor
dimana akan terjadi kerjasama antara sel T dan sel makrofag. Untuk memulai
suatu respon imun sebagian besar antigen harus diproses dan dipresentasikan oleh
sel aksesoris (APC). Sel dendritik, sel makrofag dan sel limfosit B dapat
mempresentasikan antigen dengan efisien. Sel Th (helper) mengenal antigen
hanya apabila dipresentasikan oleh APC bersama dengan molekul MHC klas II
yaitu: HLA-DR, HLA-DP, HLA-DQ. Untuk terjadinya aktivasi dan proliferasi sel
T diperlukan beberapa molekul lain seperti molekul adesi (LFA-1, ICAM) dan
beberapa costimulator lainnya (CD40, B7, Fas dll). Makrofag yang sudah
terstimulasi akan mengeluarkan IL-12 dan IL6, yang akan memulai proses
aktivasi dan proliferasi sel T. Selanjutnya, sel T yang telah terstimulasi akan
memproduksi IL-2 dan akan menginduksi clonal expansion dari sel T yang telah
mengenal antigen tertentu (Decker c, 2004).
Sel T dapat dibagi menjadi sel T efektor dan sel T regulator. Sel efektor
yang telah dikenal adalah sel T sitotoksik, yang dapat membunuh sel yang
terinfeksi virus dan sel tumor walaupun tidak ada antibodi. Untuk dapat dikenal
oleh sel T jenis ini antigen yang bersangkutan harus dipresentasikan oleh molekul
MHC klas I (HLA-A, HLA-B, HLA-C). Oleh karena molekul MHC klas I
didapatkan pada semua jenis sel maka sel T ini akan bekerja pada semua jenis sel
yang mengandung virus. Sel T regulator dapat dibagi menjadi Th (helper) dan Ts
(suppressor). Sel Th mengatur proliferasi dan diferensiasi tidak hanya sel efektor
39
tapi juga sel B. Selama aktivasi sel T akan mengekspresikan antigen yang dapat
dikenal dengan antibody monoclonal komersial. Namun harus diingat bahwa
gambaran penotipe ini tidak secara langsung menggambarkan fungsi dari sel yang
bersangkutan. Sebagai contoh, sel CD4+ tidak hanya terdiri dari sel Th tapi juga
bisa sel Tc dan sel Ts (Sprent et al., 1998; Van Der Meer et al., 2002).
Sel makrofag tidak akan dapat membunuh semua mikroorganisme tanpa
bantuan stimulasi sel imun lainnya. Beberapa mikroorganisme antara lain:
protozoa (toxoplasma gondii, trypanosoma spp), jamur (histoplasma capsulatum,
pneumocystis carinii), bakteri (mikobakteria, salmonella spp) dan virus dapat
hidup dan bahkan bereplikasi dalam sel makrofag pada penderita non-imun. Tapi
dengan adanya stimulasi dari sel Th dan interleukinnya seperti IL-2, IFN γ yang
akan mengaktifkan makrofag menjadi lebih aktif. Pada proses aktivasi ini akan
terjadi beberapa kejadian peningkatan aktifitas mikrobisidal seperti oxygen-
dependent dan oxygen-independent microbicidal mechanism sehingga dapat
membunuh patogen intraseluler (Greenwald et al., 1989; Van Der Meer et al.,
2002).
40
Gambar 2.5 Kerjasama antar sel. Sel T dengan TCR akan mengenal antigen yang
dipresentasikan dengan molekul MHC. Sel Tc adalah CD8 akan mengenal antigen
yang dipresentasikan molekul MHC I Sedang sel Th (CD4) mengenal antigen
yang dipresentasikan MHC II dan terdiri dari dua populasi Th1 dan Th2. Th1
mengeluarkan IL-2 dan IFN γ yang mengaktivasi makrofag dan sel Tc untuk
membunuh patogen intraseluler. Sel Th2 mengeluarkan IL-4,IL-5, IL-6 yang
mengaktifkan sel B untuk memproduksi antibodi. Sel B juga dapat mengenal
antigen secara langsung ataupun melalui kompleks antigen – antibodi pada sel
dendritik di germinal senter jaringan limfoid sekunder (Delves et al.b, 2000).
2.3.6 Kelainan imunitas seluler
Semua komponen dari imunitas seluler mempunyai fungsi yang penting
untuk dapatnya sistem berfungsi optimal. Oleh karena itu kelainan atau bahkan
ketidakseimbangan fungsi antara sel T regulator, defisiensi sel T efektor, adanya
gangguan sinyal antar sel dan gangguan fungsi sel makrofag akan menyebabkan
41
gangguan fungsi imunitas seluler. Akhir-akhir ini banyak ditemukan kerusakan
molekuler sebagai penyebab gangguan imunitas seluler. Seperti misalnya
gangguan proses jalur sinyal intra seluler sel T, dan molekul yang berfungsi
sebagai sinyal interseluler seperti CD40/CD40 ligand, Fas/Fas ligand, atau
gangguan reseptor IL-12 dan IFN γ. Akan tetapi perlu untuk mendapatkan
perhatian bahwa tidak semua gangguan molekul yang komplek ini akan
meyebabkan gangguan dari fungsi imunitas seluler (Van der Meer et al., 2002).
Suatu contoh kelainan imunitas seluler adalah pada kasus AIDS, dimana
virus HIV akan menyerang dan menghancurkan sel T. Pada kasus dengan
inflamasi kronis seperti sarcoidosis, suatu ketidak seimbangan antara sel T
regulator diketahui sebagai dasar patomekanismenya. Pada kasus lainya tidak
jarang dijumpai kelainan baik pada imunitas seluler maupun imunitas humoral.
Kualitas dari fungsi imunitas seluler dalam batas tertentu dapat diketahui dengan
pemeriksaan in vitro dan in vivo. Tes in vitro yang penting antara lain tes
transformasi limfosit dengan menggunakan mitogen sel T seperti anti-CD3,
phytohaemaggultination, concanavalin A. Tes lainnya adalah leucocyte migration
inhibition test (LMI), tes proliferasi, tes sitotoksisitas dan pemeriksaan produksi
interleukin . Untuk mengetahui jenis kelainannya diperlukan tes yang lebih
canggih seperti penilaian jalur sinyal intra dan interseluler sebagai work-up
kelainan dari imunitas seluler. Sedang tes in vivo adalah tes kulit yaitu tes
hipersensitivitas tipe lambat untuk mengetahui jenis antigen seperti tuberkulin,
antigen trikopiton. Penderita yang tidak berespon terhadap antigen disebut sebagai
anergi (Baratawijaya,2000).
42
Pada kasus dengan defisiensi imunitas seluler maka dapat diharapkan
infeksi oleh virus dan patogen intraseluler akan makin meningkat. Beberapa
penyakit kongenital akibat defisiensi imunitas seluler adalah celluler
immunodeficiency with immunoglobulins, DiGeorge’s Syndrome, chronic
mucocutaneous candidiasis, SCID (severe combined immunodeficiency disease),
Wiskott-Aldrich. Sedangkan gangguan imunitas seluler yang acquired (didapat)
diakibatkan oleh (1) proses keganasan yang melibatkan jaringan limfoid atau
sistem fagosit mononuklear seperti misalnya: penyakit Hodgkin, limfoma non-
Hodgkin; (2) terapi dengan obat imunosupresif seperti steroid, azathioprine,
siklofosfamid dan siklosporin A; (3) infeksi virus seperti: CMV
(cytomegalovirus), Epstein-Barr Virus (EBV), virus HIV dan mungkin hepatitis
C; (4) kehamilan; (5) pemakaian estrogen; (6) malnutrisi; (7) proses ketuaan.
Mekanisme yang mendasari gangguan imunitas seluler pada kondisi tersebut
adalah sangat kompleks dan agak berbeda pada masing-masing kondisi, oleh
karena dapat melibatkan hanya sel T regulator, sel T efektor, sel makrofag , faktor
lainnya seperti interleukin baik respon maupun produksinya atau bahkan
merupakan kombinasi dari semua komponen seluler (Van der Meer et al., 2002).
2.3.7 Pemeriksaan sistem imun seluler
2.3.7.1 Pemeriksaan in vitro
Respon imunitas seluler sangat ditentukan oleh fungsi dan aktivitas sel
limfosit. Ada 2 cara untuk menilai limfosit, yaitu dengan memeriksa kuantitas dan
fungsi sel (Baratawijaya, 2000).
43
2.3.7.1.1 Kuantitas sel limfosit
Neutropenia atau limfositopenia yang berat dapat diketahui dengan mudah
melalui pemeriksaan jumlah dan hitung jenis leukosit. Tujuh puluh lima sampai
delapan puluh persen limfosit dalam sirkulasi perifer adalah sel T, oleh karena itu
bila jumlah limfosit perifer ditemukan normal kemungkinan adanya defisiensi
limfosit T tidak besar.
2.3.7.1.1.1 Isolasi sel
Ficoll digunakan untuk mengisolasi limfosit dari darah. Darah
didefibrinasi dengan butiran-butiran gelas, bekuan kemudian disingkirkan.
Selanjutnya darah diencerkan dengan medium biakan jaringan dan dimasukkan
dengan hati-hati ke dalam tabung reaksi di atas larutan ficoll yang sudah mengisi
setengah tabung. Ficoll mempunyai berat jenis lebih besar dibanding dengan
limfosit, tetapi lebih kecil dibanding dengan sel darah merah. Sesudah darah
dengan ficoll disentrifus, sel darah merah dan sel leukosit polimorfonuklear akan
turun membentuk endapan di dasar tabung, sedang limfosit mengendap pada
perbatasan medium dan ficoll. Selanjutnya lapisan limfosit dapat dibersihkan dari
fagosit dengan jalan menambahkan butir – butir besi, fagosit akan memakan butir
besi dan kemudian diturunkan dengan besi berani kelapisan yang lebih bawah.
Cara lain untuk memisahkan fagosit ialah dengan menempatkan campuran
limfosit-fagosit dalam sumur plastik. Fagosit kemudian akan menempel pada
dasar sumur, sedang limfosit tetap berada dalam larutan.
2.3.7.1.1.2 E Rosette
Sel T manusia memiliki reseptor untuk sel darah merah biri-biri. Bila
kedua sel tersebut dicampur, maka akan terbentuk rosette.
44
2.3.7.1.1.3 EA Rosette
Sel T dapat dibedakan dari sel B yang tidak membentuk rosette pada
gradien Ficoll. Cara lain untuk menunjukkan rosette yaitu dengan menggunakan
reseptor lain yang ada pada permukaan sel T, misalnya reseptor untuk Fc dari IgG
(Fc gamma). Sel – sel tersebut dapat diidentifikasi dan diisolasi, karena akan
membentuk rosette dengan sel darah merah yang sudah disensitasi dengan
antieritrosit .
2.3.7.1.1.4 Antibodi monoklonal
Antibodi monoklonal adalah antibodi homogen yang dihasilkan dari single
clone. Antibodi tersebut dapat disintesis di laboratorium dari hibridoma, yaitu sel
yang dihasilkan dengan menyatukan dua sel yang berlainan. Dengan teknik
imunofluoresensi yang menggunakan antibodi monoklonal, jumlah sel B, sel T
dan subset sel T, dapat dibedakan satu dari yang lainnya dan dihitung di bawah
mikroskop fluoresen atau cell sorter.
2.3.7.1.1.5 Flow Cytometry
Flow Cytometry adalah alat yang dapat menghitung serta membedakan sel
satu dari yang lain. Sel diperiksa dalam larutan yang bergerak melewati sinar dan
dihitung berdasarkan sedikit banyaknya sinar yang dihambat atau dipancarkan
kembali.
2.3.7.1.1.6 Fluorescence Activated Cell Sorter (FACS)
FACS adalah alat yang dapat menghitung subpopulasi sel sekaligus dalam
larutan. Sel dilabel dengan 2-3 bahan fluoresen yang berbeda sehingga kadar
bahan pada permukan (sesuai dengan jumlah sel limfosit dan granulosit) secara
simultan dapat diukur/dihitung.
45
2.3.7.1.2 Pemeriksaan fungsi limfosit
Pemeriksaan fungsi limfosit hendaknya hanya dilakukan bila uji kulit in
vivo yang lebih sederhana menunjukkan tanda adanya gangguan imunitas seluler
oleh karena pemeriksaan fungsi in vitro lama, mahal, tidak mudah dan
memerlukan biaya yang tinggi. Pemeriksaan fungsi limfosit in vitro hanya mutlak
pada penderita yang diduga menderita defisiensi imun dan dalam penggunaan
imunomodulator untuk memantau sistem imun.
2.3.7.1.2.1 Produksi sitokin
Sedian komersial telah tersedia untuk memeriksa berbagai jenis sitokin
yang diproduksi sel limfoid dan lebih diutamakan dalam menilai fungsi sel dan
respons sel terhadap berbagai stimulus. Yang banyak digunakan ialah ELISA.
2.3.7.1.2.2 Transformasi limfosit
Tes yang banyak digunakan untuk mengukur fungsi limfosit adalah tes
transformasi limfosit. Bila limfosit bertemu dengan antigen, dalam beberapa hari
saja limfosit kecil yang berada dalam keadaan istirahat atas pengaruh APC akan
berubah menjadi sel blas. Proses tersebut disebut tranformasi.
Hal ini biasanya dilakukan dengan phytohemaglutinin (PHA) sebagai
stimulan. Transformasi dapat juga dilakukan dengan antigen spesifik yang diduga
mensensitasi pasien (misalnya tuberkulin). PHA merangsang sebagian besar sel T,
sedang antigen hanya akan mensensitasi limfosit yang sudah tersensitisasi
terhadap antigen tertentu dan biasanya hanya mengenai sebagian kecil limfosit.
Transformasi derajat rendah (dibandingkan dengan kontrol) menunjukkan adanya
sistem imun seluler yang terganggu, sedang peningkatan transformasi dengan
adanya antigen spesifik dapat terjadi pada keadaan hipersensitivitas tertentu
46
(misalnya alergi obat). Respons proliferatif tersebut dapat diukur dengan
menginkorporasikan timidin radioaktif.
2.3.7.1.2.3 Leucocyte migration inhibition test (LMI)
Leucocyte migration inhibition test atau LMI lebih mudah dikerjakan
dibanding dengan pemeriksaan transformasi sel. Limfosit akan melepaskan
berbagai limfokin bila dicampur dengan antigen yang sudah mensensitasikannya.
Salah satu limfokin yang disebut faktor LMI, akan menghambat gerakan neutrofil
dan derajat hambatannya dapat diukur in vitro sesuai dengan produksi limfokin.
LMI menggunakan leukosit perifer manusia. Pencegahan migrasi disebabkan oleh
limfokin yang diproduksi limfosit yang disensitasi antigen. Nilai tes ini sama
dengan tes transformasi.
2.3.7.1.2.4 Pemeriksaan sitotoksisitas
Aktivitas sitotoksik limfosit dapat diukur dengan membiakkannya bersama
sel sasaran yang sudah dilabel misalnya 51Cr. Bila limfosit membunuh sel
tersebut, kromium akan dilepas. Radioaktif yang dilepas dapat diukur yang
sederajat dengan aktivitas sitotoksisitas sel. Sitotoksisitas yang antibodi dan
komplemen dependen juga dapat diukur seperti di atas. Dapat pula digunakan zat
warna seperti tripan blue dan ethidium bromide yang lebih sederhana yang dilepas
sel yang mati. Sel hidup diukur secara kuantitatif dengan mikroskop.
2.3.7.1.2.5 Uji proliferasi
Uji proliferasi dilakukan untuk mengetahui apakah sel T dapat
memberikan respon terhadap antigen. Sel T yang akan diperiksa dibiakkan
dengan antigen dan kehadiran APC yang syngeneic. Setelah 3 hari, prekursor
47
asam nukleik yang dilabel radioaktif (misalnya 3H timidin) ditambahkan ke
biakan.
Bila ada sel yang berproliferasi, prekursor akan diambil sel dan sel dalam
biakan kemudian diperiksa. Jumlah bahan radioaktif yang diikat dapat diukur.
Inkorporasi yang tinggi menunjukkan adanya sel yang bereaksi/memberikan
respon terhadap antigen.
2.3.7.1.2.6 Mixed Lymphocyte Culture (Reaction) (MLC/MLCR)
MLC/MLCR adalah uji proliferasi untuk mengetahui adanya sel T yang
memberikan respon terhadap sel yang allogeneic. Hal tersebut dilakukan untuk
memberikan kelengkapan informasi pada tissue typing, yaitu untuk mengetahui
apakah sel dari resipien akan bereaksi dengan molekul HLA kelas 2 donor. Dalam
hal ini antigennya dapat berupa limfosit dari donor yang sudah diradiasi agar tidak
dapat berproliferasi. Selain sebagai antigen, limfosit di sini juga berfungsi sebagai
APC.
2.3.7.1.2.7 Plaque forming cell (PFC)
PFC dilakukan untuk mengetahui sel B yang membentuk antibodi. Sel
yang akan diperiksa, dibiarkan bersama sel darah merah yang sudah disensitasi
dengan antigen (misalnya hemaglutinin). Antigen spesifik akan diikat sel darah
merah yang mengitari sel B yang akan hancur dan meninggalkam daerah yang
terang (plaque) sekitar setiap sel B .
2.3.7.2. Pemeriksaan in vivo
Pemeriksaan sistem imunitas seluler secara in vivo dapat dilakukan dengan
beberapa jenis pemeriksaan. Delayed Type Hypersensitivity (DTH) merupakan
salah satu bentuk reaksi imunitas seluler melalui sel T. DTH disebut juga reaksi
48
hipersensitifitas tipe lambat adalah suatu bentuk reaksi cell-mediated immunity
(CMI) dimana efektornya adalah sel fagosit mononuklear (makrofag). Merupakan
bagian dari sistim pertahanan tubuh primer terhadap infeksi bakteri intrasel,
seperti Listeria monositogenes, mikobakteria dan infeksi virus, dimana tidak ada
peranan antibodi dalam reaksi ini. Ada tiga macam reaksi hipersensitivitas tipe IV
ini yaitu: hipersensitivitas kontak, reaksi tuberkulin dan granulomatous.
Hipersensitivitas kontak dan reaksi tuberkulin terjadi dalam 72 jam sejak paparan
antigen. Hipersensitivitas granulomatous terjadi dalam 21-28 hari (Abbas, 2005).
Reaksi DTH dapat dilihat dengan melakukan sensitisasi kontak dengan
antigen atau bahan kimia, atau memberikan suntikan intradermal antigen mikroba
pada orang yang pernah terinfeksi, misalnya pemberian purified protein derivative
(PPD), suatu protein yang dibuat dari Micobacterium tuberkulosis, akan
menunjukkan reaksi DTH bila diberikan pada seseorang yang pernah menderita
tuberkulosis primer atau mendapat vaksinasi tuberkulosis. Respons yang khas
pada kulit akan terjadi dalam 24-48 jam, berupa pembengkakan dan indurasi.
Dalam 4 jam setelah suntikan intradermal diberikan, akan terjadi akumulasi sel
neutrofil di sekitar venule-post kapiler di tempat suntikan. Infiltrasi neutrofil akan
berakhir kurang lebih 12 jam setelah pemberian suntikan, menyusul infiltrasi sel
limfosit T dan monosit di tempat yang sama. Dalam praktek, hilangnya respon
terhadap antigen universal, misalnya sering dipakai antigen candida, merupakan
indikasi penurunan fungsi sel Th dan disebut anergi. Seseorang yang anergi sangat
mudah terinfeksi oleh kuman yang biasanya dapat ditahan dengan imunitas
seluler, seperti fungi dan mikobakteria (Abbas, 2005)
49
Reaksi DTH juga dapat dikerjakan dengan senyawa kimia yang disebut
DNCB (dinitrochlorobenzene) yang merupakan antigen universal untuk
mengetahui status imun seluler penderita yang belum pernah terpapar dengan
antigen. Hampir semua individu dapat tersensitasi dengan DNCB. DTH yang
terjadi pada reaksi DNCB adalah hipersensitivitas kontak dengan timbulnya rasa
gatal, kemerahan dan indurasi pada kulit tempat suntikan.
2.4 Sitokin
Seperti diketahui hampir semua sistem biologi memerlukan komunikasi
antar sel untuk pertumbuhan dan pengaturannya. Pada sistem imun komunikasi
antar sel umumnya melibatkan interleukin. Mediator ini diperlukan untuk
proliferasi dan diferensiasi sel-sel hematopoitik dan untuk mengatur dan
menentukan respon imun (Dy et al., 1999; Abbas et al., 2005). Interleukin dalam
menjalankan fungsinya sebagai mediator saling berinteraksi antara interleukin
sendiri dan interaksi ini dapat berjalan sinergis atau antagonis. Oleh karena
interaksi tersebut, konsep kerja interleukin sebagai suatu “network” (Dy et al.,
1999). Ada tiga sifat dari interleukin yaitu: pleiomorphic artinya interleukin
tertentu dapat bekerja pada beberapa sel yang berbeda, redundant (berlebihan)
sejumlah interleukin mempunyai fungsi yang sama, multifungsi artinya
interleukin yang sama dapat mengatur beberapa fungsi yang berbeda ( Dy et al .,
1999; Abbas et al., 2005).
Interleukin bisa berefek lokal atau sistemik, lokal bekerja pada sel yang
memproduksinya (autocrine action) atau bekerja pada sel sekelilingnya
(paracrine action). Bila diproduksi dalam jumlah banyak, interleukin dapat masuk
kedalam sirkulasi dan bekerja jauh dari sel yang memproduksinya (endocrine
action) (Dy et al., 1999; Abbas et al., 2005; Kaiser, 2003). Oleh karena
50
interleukin sebagai mediator atau pembawa pesan maka membran sel mempunyai
reseptor untuk menerima pesan tersebut, dan klasifikasi interleukin didasarkan
dari reseptornya pada membran sel.
2.4.1 Fungsi interleukin dalam sistem imun
Ada dua macam respon imun yang terjadi apabila ada mikroba yang
masuk ke dalam tubuh, yaitu innate dan adaptive responses. Sel yang berperan
dalam innate response adalah sel fagosit (netrofil, monosit dan makrofag), sel
yang melepaskan mediator inflamasi (basofil, sel mast dan eosinofil) serta sel
natural killer. Komponen lain dalam innate response ini adalah komplemen,
acute-phase protein dan interleukin seperti interferon (Medzhitov et al., 2000;
Delves et al., 2000).
Adaptive response meliputi proliferasi antigen-specific sel T dan sel B,
yang terjadi apabila reseptor permukaan sel ini berikatan dengan antigen. Sel
khusus yang disebut dengan antigen-presenting cells (APC) mempresentasikan
antigen pada MHC dan berikatan dengan reseptor limfosit. Sel B akan
memproduksi imunoglobulin, yang merupakan antibodi yang spesifik terhadap
antigen yang dipresentasikan oleh sel APC. Sedangkan sel T dapat melakukan
eradikasi mikroba intraseluler dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi .
Sel T CD4 merupakan cytokine-secreting helper cells, sedangkan sel T
CD8 merupakan cytotoxic killer cells. Sel T CD4 secaca umum dibagi menjadi
dua golongan yaitu T helper tipe 1 (Th1) dan T helper tipe 2 (Th2). Interleukin
yang disekresi oleh Th1 adalah IL-2 dan IFN-γ sedangkan interleukin yang
disekresi Th2 adalah IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Interleukin-interleukin ini juga
51
mempunyai peranan dalam sistem kontrol. Sekresi IFN-γ akan menghambat sel
Th2 sedangkan sekresi IL-10 akan menghambat sel Th1 (Asadullah et al., 2003).
Interleukin mempunyai peranan yang penting untuk menentukan tipe
respon imunitas tubuh yang efektif untuk melawan agent infeksius. Sekresi IL-12
oleh APC akan menyebabkan sekresi IFN-γ dari Th1. Interleukin akan
mengaktivasi makrofag dengan efisien untuk membunuh kuman intraseluler.
Secara sederhana digambarkan bahwa produksi interleukin oleh Th1 memfasilitasi
CMI termasuk aktivasi makrofag dan T-cell-mediated cytotoxicity (Delves et al.,
2000).
Ada tiga kategori fungsi interleukin dalam sistem imun yaitu (Kaiser,
2003; Abbas et al., 2005) : a) interleukin sebagai mediator dan regulator respon
imun alami, b) interleukin sebagai mediator dan regulator respon imun didapat, c)
interleukin sebagai stimulator hematopoiesis. Interleukin yang berperan sebagai
mediator dan regulator respon imun alami dihasilkan terutama oleh fagosit
mononuklear seperti makrofag dan sel dendritik dan sebagian kecil oleh limfosit T
dan sel NK (Kaiser, 2003). Interleukin-interleukin tersebut diproduksi sebagai
respon terhadap agen molekul tertentu seperti LPS (lipopolysaccharide),
peptidoglycan monomers, teicoid acid dan DNA double stranded.
Interleukin-interleukin yang berfungsi sebagai mediator dan regulator
respon imun didapat terutama diproduksi oleh limfosit T yang telah mengenal
suatu antigen spesifik untuk sel tersebut. Interleukin ini mengatur proliferasi dan
diferensiasi limfosit pada fase pengenalan antigen dan mengaktifkan sel efektor.
Bakteri atau antigen yang berbeda akan merangsang sel T helper CD4+ untuk
berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2 yang menghasilkan interleukin yang berbeda
52
pula. Beberapa diantaranya yang penting adalah : IL-2, IL-4, IL-5, TGF
(Tranforming Growth Factor), IFN γ, IL-13. Sedangkan interleukin yang
merangsang hematopoiesis yaitu interleukin diperlukan untuk mengatur
hematopoiesis dalam sumsum tulang. Beberapa interleukin yang diproduksi
selama respon imunitas alami dan didapat, merangsang pertumbuhan dan
diferensiasi sel-sel progenitor sumsum tulang. CSF, IL-3, GM-CSF, G-CSF
merupakan beberapa interleukin yang penting untuk proses hemopoiesis.
2.4.2 Interleukin-2 (IL-2)
Beberapa sinonim dari IL-2 adalah Blastogenic factor (BF), TMF (T cell
maturation factor, T cell mitogenic factor, Thymocyte mitogenic factor ), TCGF
(Tcell growth factor), LPF (Lymphocyte proliferating factor), dan lainnya. Dalam
kondisi normal IL-2 diproduksi oleh sel T CD4 akibat aktivasi oleh antigen atau
mitogen. Untuk produksi maksimal maka dibutuhkan secondary signals. Dalam
keadaan istirahat sel T CD4 tidak memproduksi IL-2.
Struktur IL-2 terdiri dari protein dengan 133 asam amino (15,4 KDa) yang
disintesis sebagai protein prekursor dengan 153 asam amino dan dengan 20 asam
amino terminal sebagai sinyal sekuennya. Sedangkan gen yang mengkode IL-2
terletak pada kromosom 4q26-28, dimana regulasi dari sintesisnya terjadi pada
level transcription. Pada sel T dijumpai suatu molekul yang dapat menekan proses
paska transkripsional dari IL-2 mRNA sehingga hanya sekitar 2% dari prekursor
IL-2 yang diproses menjadi IL-2 (Ibelgaufts H, 2003).
Aktivitas biologis dari IL-2 dilakukan melalui ikatan dengan reseptor
membran yang hanya diekspresikan pada sel yang aktif saja sedangkan pada sel
yang tidak aktif, tidak didapatkan reseptor IL-2 yang lengkap. Beberapa sel lain
53
seperti sel B dan lekosit mononuklear juga mempunyai reseptor untuk IL-2.
Ekspresi dari reseptor ini dimodulasi oleh IL-5 dan IL-6. Ditemukan 3 jenis
reseptor yaitu reseptor dengan afinitas yang kuat yang terdiri dari 3 subunit (2
subunit membran reseptor: IL-2R α dan IL-2R β sebagai ligan dan satu unit IL-
2Rγ sebagai komponen signaling-nya). Reseptor dengan afinitas intermediet
terdiri dari 2 subunit saja yaitu rantai β dan γ sedang reseptor yang ketiga dengan
afinitas lemah hanya terdiri dari subunit α saja. Subunit γ diperlukan untuk
terbentuknya reseptor dengan afinitas kuat dan intermediet walaupun dia sendiri
tidak berikatan dengan IL-2. Subunit IL-2R α disebut juga TAC antigen (T cell
activation antigen) sedang IL-2R β dikenal sebagai CD122. Gen yang mengkode
masing-masing subunit reseptor ditemukan pada kromosom 10p-p15 untuk TAC,
kromosom 22q11.2-q12 untuk CD122 dan untuk γ subunit di kromosom Xq13.
Limfosit yang teraktivasi akan mensekresi fragmen dari TAC antigen dan akan
bersirkulasi dalam serum sebagai soluble IL-2 receptor (sIL-2R) dan kadarnya
dalam plasma sangat bervariasi antara satu penyakit dengan penyakit lainnya.
IL-2 merupakan faktor pertumbuhan (growth factor) untuk semua
subpopulasi sel limfosit T dan bertanggung jawab terhadap ekspansi klonal
limfosit T, setelah limfosit T mengenal antigen ( Jacques Y et al., 1999; Kaiser,
2003). Oleh karena fungsi diatas maka IL-2 dikenal sebagai faktor pertumbuhan
sel T. Fungsi lain dari IL-2 adalah merangsang proliferasi dan diferensiasi sel NK
dan meningkatkan daya bunuh sel NK. IL-2 juga merangsang proliferasi limfosit
B dan merangsangnya untuk menghasilkan antibodi. Selain fungsi di atas IL-2
juga berfungsi mengatur keseimbangan limfosit yang telah aktif. Limfosit yang
telah aktif lebih sensitif terhadap apoptosis dengan keberadaan IL-2 melalui Fas.
54
Memang ini fungsi IL-2 yang agak beda, di satu sisi IL-2 merupakan faktor
pertumbuhan untuk limfosit T, disisi lain IL-2 memudahkan limfosit T yang sudah
diaktifkan untuk apoptosis.
Seperti telah disebutkan, salah satu fungsi dari interleukin adalah mengatur
sistem imun. Bila limfosit T dibiarkan terus aktif maka akan terjadi ketidak
keseimbangan sehingga menyebabkan penyakit. Oleh karena itu keberadaan
limfosit T yang aktif harus segera diakhiri/terminasi dengan apoptosis (Abbas et
al., 2005). Dalam klinik IL-2 dipakai sebagai antitumor (imunoterapi), oleh
karena kemampuannya untuk merangsang pertumbuhan dan meningkatkan daya
sititoksik limfosit T (CD8+) dan merangsang proliferasi serta meningkatkan
kemampuan daya bunuh sel NK (Glick et al .,2002).
IL-2 dapat diperiksa dengan beberapa metode pemeriksaan baik secara
kuantitatif dengan mengukur kadarnya dalam plasma maupun dengan mendeteksi
sel yang memproduksinya. Metoda pemeriksaan yang sensitif dan akurat sangat
dibutuhkan dalam rangka penggunaan interleukin ini dalam klinis praktis.
Pemeriksaan immunoassay seperti RIA (radio immunoassays), IRMA (immuno
radiometric assays) dan ELISA (enzyme-linked immunosorbent assays)
memerlukan cytokine-specific antibodies dan atau interleukin/reseptor interleukin
yang dilabel atau antibodi yang berlabel. Prinsip pemeriksaan ini adalah
mengukur imunoreaktivitas dengan suatu reaksi dengan antibodi sehingga ia juga
mengukur fragmen interleukin yang tidak aktif. Hal ini menyebabkan hasil
pemeriksaan dengan alat ELISA yang berbeda akan menghasilkan hasil yang
berbeda pula, sehingga diperlukan suatu standarisasi. Juga pemeriksaan dengan
menggunakan antibodi bisa mendapatkan hasil yang berbeda walaupun dengan
55
menggunakan standar yang baku dari interleukin. Hal ini mungkin disebabkan
oleh adanya perbedaan dari spesifitas ekspresi epitop antibodi monoklonal yang
dipakai. Pemeriksaan yang lain yaitu dengan CBA (cytometric bead array) suatu
pemeriksaan dengan metode immunoassays yang dikombinasikan dengan
flowcytometry. RHPA (reverse hemolytic plaque assay) dan Cell blot assay
digunakan untuk mengidentifikasi sel yang memproduksi interleukin. Suatu
teknik lain dengan mengukur protein mRNA yang mengkode interleukin yang
bersangkutan dapat dilakukan dengan RT-PCR (Reverse Transcriptase
Polymerase Chain Reaction). Dengan teknik ini dapat diketahui profil dari
berbagai interleukin karena dapat menggunakan berbagai macam primer. Akan
tetapi perlu diingat bahwa hasil dari PCR akan memberikan hasil yang sedikit
berbeda dengan pemeriksaan immunoasssays atau assay lainnya (Ibelgaufts H,
2003).
2.4.3 Interferon γ
IFN γ saat ini dikenal dengan banyak sinonim, diantaranya antigen
induced interferon, immune interferon, T interferon, mitogen induced interferon
dan pH2-labile interferon. Biosintesis IFN γ bersifat lebih spesifik jika
dibandingkan dengan IFN α dan β. Sebagian besar sel mampu memproduksi IFN
α dan β dengan rangsang infeksi virus, atau rangsang lain yang jarang seperti
proses inflamasi (endotoksin bakteri) , IL-1, dan TNF. Sedangkan IFN γ terutama
dihasilkan oleh sel T ( melalui subset CD4 dan CD8 ) dan sel NK melalui
perangsangan mitogen, antigen atau aloantigen. Produksi IFN γ juga diinduksi
oleh IL-2, bFGF dan EGH. Beberapa hal yang menghambat yaitu vitamin D3,
dexametason dan cyclosporin A ( Ibelgaufts H, 2003).
56
In vivo, interaksi reseptor sel T (TCR) dengan antigen yang sesuai melalui
MHC yang sesuai dimana sel T CD4 melalui MHC kelas II dan CD8 melalui
MHC kelas I akan merangsang terbentuknya IFN γ. Proses serupa in vitro yang
mengakibatkan aktivasi sel T akan memproduksi IFN γ. Antibodi terhadap CD3,
mitogen atau rangsangan farmakologis dapat meningkatkan produksi IFN γ.
Gen IFN γ tidak aktif dalam sel T yang istirahat. Setelah perangsangan
terhadap sel T, IFN γ dapat dideteksi dalam waktu 6-8 jam, dan kadarnya
mencapai puncak dalam 12-24 jam. Protein IFNγ tidak disimpan secara
intraseluler namun kebanyakan akan disekresikan ke lingkungan ekstraseluler,
oleh karena itu dapat mencapai kadar maksimal dalam waktu 12-24 jam setelah
rangsangan terhadap sel T (Kaplan et al.,1999)..
Penghasil IFN γ lainnya adalah sel NK yang termasuk komponen penting
sistem imun innate. Sebagai manifestasi reaksi pertahanan tubuh lini pertama
terhadap agen infeksius, sementara menunggu sistem imun spesifik bekerja. Studi
pada tikus dengan infeksi Listeria monocytogens , pada proses awal, produk
bakteri memicu makrofag untuk menghasilkan TNF α dan IL-12 dalam jumlah
kecil. Selanjutnya akan merangsang sel NK menghasilkan IFN γ. Pada tahap
selanjutnya terjadi proses amplifikasi, dimana IFN γ yang dihasilkan oleh sel NK
akan menarik dan mengaktifkan makrofag-makrofag lain untuk selanjutnya
memproduksi TNF α dan IL-12 sehingga IFN γ yang dihasilkan akan lebih
banyak. Sebagai regulator negatif terhadap IFN γ, tubuh mengeluarkan IL-10
sebagai kompensasi untuk mencegah terjadinya respon inflamasi yang berlebihan
(Ibelgaufts, 2003).
57
Struktur IFN γ terdiri dari protein dimerik dengan subunit 146 asam
amino. Protein-proteinnya mengalami glikosilasi pada 2 sisi. Gen yang mengkode
IFN γ terletak pada kromosom 12q24.1 . Terdapat dua jenis reseptor IFN γ, yaitu
reseptor rantai α 90kDa atau yang lebih sering dikenal dengan IFNγR1 atau
CDw119. Gen pengkode terletak pada kromosom 6. Reseptor jenis kedua
merupakan rantai β 62kDa lebih dikenal dengan IFNγR2 atau accesory factor 1
(AF-1). Gen pengkode pada kromosom 21 (;Ibelgaufts, 2003). Suatu studi
imunologi menunjukkan bahwa IGF-1 memegang peranan penting dalam ekspresi
IFNγR2 ( Balick, et al., 1991)
IFN γ memiliki aktivitas biologis sebagai anti virus dan anti parasit, serta
memiliki kemampuan menghambat proliferasi dan transformasi beberapa sel
normal maupun sel neoplastik. IFN γ bekerja secara sinergis dengan TNF α dan
TNF β dalam menghambat proliferasi sel. Aktivitas biologis IFN γ tampaknya
lebih banyak sebagai imunomodulator jika dibandingkan dengan IFN lain yang
dominan bekerja sebagai anti virus ( Ibelgaufts, 2003)
Sel T helper-1 memproduksi IL-2 dan IFN γ, dimana IFN γ bekerja
sinergis dengan IL-1 dan IL-2 yang dibutuhkan untuk ekspresi reseptor IL-2 pada
permukaan sel limfosit T. Adanya blokade terhadap reseptor IL-2 oleh antibodi
spesifik juga menghambat sintesis IFN γ.
IFN γ juga merupakan modulator pertumbuhan dan diferensiasi fungsi
polarisasi sel T kearah Th1, dan memperkuat respon sel ini terhadap mitogen-
mitogen dan faktor pertumbuhan. IFN γ juga merangsang proliferasi sel B. Selain
itu, IFN γ mengatur ekspresi MHC kelas II dan mengaktivasi sel makrofag dan
IFN γ disini dikenal sebagai MAF ( Macrofag Activating Factor ). Aktivitas
58
biologis lain dari IFN γ disebutkan bahwa IFN γ menginduksi pelepasan TNF α
dan transkripsi gen pengkode G-CSF dan M-CSF, serta merangsang pelepasan
ROS ( Kaplan et al.,1999).
IFN γ dapat dideteksi secara sensitif dengan immunoassay. Suatu
pemeriksaan spesifik dari ELISA dapat mendeteksi sel penghasil IFN γ. Kadarnya
permenit dapat dideteksi secara tidak langsung dengan mengukur protein yang
dihasilkannya seperti Mix proteins. Selain itu sintesis IP-10 umumnya digunakan
untuk mengukur konsentrasi IFN γ. Suatu pemeriksaan radioreseptor yang sensitif
juga dapat digunakan. Lewis menjelaskan adanya pemeriksaan bioassay
berdasarkan pada hubungan gen dan elemen yang mendukung respon terhadap
IFN γ. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah mengukur produksi NO
pada sel RAW 264.7 akibat responnya terhadap IFN γ pada tikus percobaan.
Sedangkan menurut Schein pemeriksaan IFN γ dapat dilakukan dengan
pemeriksaan cepat yang bersifat kuantitatif berdasar pada kemampuan
merangsang ds-RNAse, misalnya RNAse A ( Smith , 2001).
2.4.4 Sitokin pada penyakit infeksi
Peran utama dari sistem imun kita adalah untuk melindungi kita dari
ancaman kuman infeksi. Dari perspektif ini hampir semua sitokin yang diproduksi
sebagai bagian dari respon imun alami atau adaptif akan terlibat baik secara
langsung ataupun tak langsung. Ada sebagian dari sitokin dengan mudah dapat
diketahui dengan percobaan binatang sedangkan lainnya masih perlu dipelajari
lebih mendalam.
59
Respon imun yang alami dimediasi juga oleh sel yang sama yang berperan
pada respon imun adaptif seperti sel makrofag, granulosit dan lainnya. Salah satu
sel yang unik pada respon imun alami adalah sel NK yang dalam melakukan
fungsinya hampir menyerupai sel T yaitu dengan perantaraan sitokin atau
sitotoksik langsung, walupun dengan cara yang relatif beda dalam hal pengenalan
antigen dan proses aktivasinya. Respon imun alami merupakan pertahanan lini
pertama terhadap mikroorganisme akan tetapi respon ini hanya sementara dan
agak terbatas reaksinya. Berbeda dengan respon adaptif yang biasanya muncul
setelah 3-4 hari setelah infeksi dan dilakukan oleh sel efektor seperti sel T dan
imunoglobulin. Respon spesifik ini biasanya lebih persisten dan lebih cepat
bereaksi pada paparan ulang (Kresno, 2001).
Respon terhadap beberapa tipe bakteri ekstraseluler memerlukan antibodi
yang spesifik yang diproduksi oleh sel limfosit B baik dengan bantuan sel T
(helper T cell) maupun tanpa bantuan sel T. Akan tetapi untuk kebanyakan kuman
intraseluler seperti virus, bakteri, protozoa dan jamur maka peran sel T sangat
diperlukan. Diferensiasi dari respon sel T menjadi sel CD4 dan CD8 didasarkan
pada aspek pengenalan terhadap antigen yang dipresentasikan oleh molekul MHC
yang berbeda. Molekul MHC klas I akan dikenal oleh sel CD8 dan molekul MHC
klas II akan dikenal oleh sel CD4. Sel CD4 dan CD8 mempunyai fungsi sebagai
mekanisme efektor yang sangat berbeda.
Sel CD4 dikenal sebagai sel T helper yang mempunyai kemampuan untuk
merangsang pertumbuhan banyak sel hemopoeitik dengan memproduksi sitokin
antara lain IL-2 sebagai growth factors sel T yang sangat diperlukan perannya
pada kasus dengan infeksi kuman intraseluler. Sedang sel CD8 melaksanakan
60
fungsinya sebagai sitotoksik sel yang tidak memerlukan sitokin tapi kontak sel
satu dengan lainnya. Perlu diketahui perbedaan kedua hal ini tidaklah sesederhana
itu. Masih banyak studi in vitro mendapatkan sel CD4 juga mempunyai
kemampuan untuk melakukan fungsi sitotoksik demikian pula sel CD8 juga
memproduksi sitokin seperti IFN γ dan TNF α dan β. Namun demikian masih
cukup bermanfaat secara ilmiah untuk mengatakan bahwa fungsi CD4 sebagai
cytokine-mediated sedang CD8 sebagai cell-mediated (Kresno, 2001; Abbas,
2005).
Sel CD4 mempunyai peran sentral pada hampir semua mikororganisme
patogen. Dan CD4 dibedakan menjadi dua sub-divisi yaitu Th1 dan Th2
berdasarkan atas produksi sitokinnya dimana Th1 memproduksi IL-2, IFN γ
sedang Th2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-13 dan IL-10. Sitokin ini sangat penting
perannya pada proses infeksi dari kuman yang melibatkan fungsi sel CD4. Akan
tetapi kedua jenis sitokin ini (Th1 dan Th2) mempunyai fungsi yang berbeda dan
mempunyai implikasi patologik yang berbeda pula dalam hal respon terhadap
bahan patogen. Th2 menstimuli 3 jenis reaksi alergi seperti reaksi oleh sel mast,
sel eosinofil dan reaksi berdasarkan IgE pada kedua sel tersebut. Sitokin Th2 yang
bertanggung jawab pada respon tersebut adalah IL-4 untuk produksi IgE, IL-5
untuk eosinofilia, dan kombinasi IL-3, IL-4 dan IL -10 untuk produksi sel mast.
Sitokin yang diproduksi oleh sel Th1 memicu respon imun yang berbeda. IL-2
merupakan sitokin Th1 yang dikenal sebagai growth factor untuk sel T disamping
IFN γ. Yang penting pada respon ini adalah aktivasi makrofag oleh IFN γ
sehingga makrofag menjadi lebih aktif dalam hal presentasi antigen, proses
fagositosis, ekspresi reseptor Fc dan produksi NO serta superoksida. Kesemua hal
61
ini tentunya akan meningkatkan kemampuan makrofag untuk membunuh kuman
intraseluler. Th1 juga menyebabkan reaksi inflamasi seluler yang kompleks
seperti DTH. Oleh karena itu masing-masing subset dari sel Th akan memulai dan
mengatur suatu rangkaian mekanisme yang coherent pada target dengan antigen
atau patogen yang spesifik. Ada banyak bukti yang menyatakan ada subset ketiga
dari Th yaitu Th 0 yaitu subset yang dapat memproduksi sitokin baik sitokin Th1
maupun Th2 dan subset ini mendominasi reaksi awal dari suatu reaksi imun. Pada
manusia dan binatang populasi sel T CD8 umumnya mempunyai profil sitokin
seperti sel Th1, namun juga dapat menunjukan profil sitokin Th2 (Coffman, 1989;
Van der Meer, 2002).
Disamping kemampuan untuk merangsang subset spesifik dari respon sel
efektor, sel Th1 dan sel Th2 juga menunjukkan fungsi yang saling menghambat
antara masing-masing subset yang berlawanan dan mekanisme ini dikenal sebagai
cross-regulation. Mekanisme ini dapat terjadi pada 2 tingkatan yang berbeda yaitu
pada tingkat sel Th nya dan pada subset fungsi efektor spesifiknya. IFN γ yang
merupakan produk utama dari Th1 merupakan inhibitor yang poten untuk sel Th2
(tapi bukan growth factor untuk Th1 seperti IL-2, karena hilangnya β chain dari
reseptor IFN γ). Sebaliknya, sel Th2 memproduksi IL-4 dan IL-10 yang keduanya
merupakan inhibitor poten terhadap produksi sitokin oleh sel Th1. Oleh karenanya
IFN γ adalah inhibitor yang poten terhadap produksi IgE (IL-4-mediated IgE),
eosinofil (IL-5-mediated eosinophil production) dan pembentukan granuloma,
dimana IL-4 dan IL-10 merupakan inhibitor reaksi DTH dan reaksi aktivasi
makrofag oleh IFN γ. Mekanisme cross-regulation ini memegang peran sentral
untuk memahami akibat yang terjadi akibat respon yang tidak adekuat dari sel T
62
terhadap suatu patogen. Hal ini dapat dilihat pada ilustrasi akibat infeksi dengan
kuman leishmania, dimana kuman ini umumnya hidup dan bereplikasi intra
seluler terutama pada sel makrofag dan monosit. Ada dua jenis panyakit ini pada
manusia yaitu cutaneous leishmaniasis, berupa lesi kulit dengan sedikit parasit
hanya pada lokasi infeksi dan yang kedua adalah visceral leishmaniasis, berupa
infeksi dengan jumlah parasit yang banyak pada organ visceral seperti liver dan
lien dan penyakit ini fatal apabila tak mendapat pengobatan yang baik. Respon
yang dominan pada cutaneous leishmaniasis adalah sel Th1 dengan sitokinnya
sedangkan pada visceral leishmaniasis respon yang dominan adalah gambaran
akibat produksi sitokin sel Th2. Gambaran dikotomi dari satu patogen dengan dua
jenis patologik ini juga dapat dilihat pada studi binatang tikus, dimana tikus
tersebut dibuat dengan teknik rekayasa sehingga masing jenis tikus tersebut
berrespon berbeda terhadap leishmania mayor. Pada salah satu jenis tikus timbul
reaksi dengan gambaran khas suatu reaksi DTH dengan produksi antibodi yang
rendah dan tanpa IgE. Sedang pada jenis lainnya terjadi reaksi lokal yang tidak
efektif dan terjadi penyebaran ke organ visceral dan bahkan kematian dari
binatang coba. Pada binatang ini terdeteksi antibodi yang tinggi termasuk IgE dan
tidak menunjukan reaksi DTH. Hal ini menggambarkan perbedaan respon sel T
akan menyebabkan perbedaan dari fungsi mekanisme efektor yang ditimbulkan
oleh baik sel Th1 maupun sel Th2, sehingga sebagai konsekuensinya akan timbul
penyakit dengan patologik yang berbeda. Keseimbangan efek protektif dari sel
Th1 khususnya IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag sehingga menjadi lebih
sakti dan efek kontra protektif dari sitokin sel Th2 seperti IL-4 , IL-10 dan IL 13
63
merupakan gambaran umum dari respon tubuh terhadap banyak infeksi intra
seluler termasuk bakteri, protozoa dan jamur (Coffman, 1999; Kresno, 2001).
2.4.5 Sitokin dan cellular mediated immunity
Sitokin adalah mediator komunikasi seluler yang memberikan sinyal kritis
untuk imunitas humoral dan respon CMI yang efektif. Sel T memiliki
kemampuan untuk berproliferasi, fungsi pengaturan yang sangat penting untuk
memelihara hemostasis imunologi yang sangat tergantung dari aktivasi antigen
yang spesifik. Sel T dibagi menjadi subset sel Th 1 dan Th 2 berdasarkan
produksi sitokinnya dan respon terhadap sitokin spesifik, bukan berdasarkan
perbedaan fenotip standar.
Sel T matur dari timus mempunyai reseptor spesifik antigen (TCRs) tetapi
belum ada komitmen apakah akan menjadi subset Th1 atau Th2. Precursor atau
limfosit CD4+ sederhana ini disebut sel Th0. Mereka memiliki gen untuk
produksi sitokin spektrum luas yang meliputi IL- 2, IL -3, IL- 4, IL -5, IL -6, IL-9,
IL -10, IL-13, IFN γ, TNF β, dan granulosit atau makrofag growthfactors. Sel ini
dapat diprovokasi untuk berdiferensiasi selanjutnya oleh profil sitokin spesifik
yang sudah terbentuk akibat rangsangan organisme yang menginfeksi atau
stimulus keradangan.
Sitokin terpenting pada lingkungan mikrolokal dari reaksi inflamasi yang
akan memulai pembentukan sel Th1 dari precursor Th 0 adalah IL-12 dan IL-12
adalah aktivator awal reaksi DTH. Sitokin makrofag-monosit ini juga stimulator
yang baik untuk proliferasi sel natural killer yang selanjutnya memproduksi IFN
γ. Sitokin ini akan menguatkan reaksi imun dan keradangan dengan aktifnya NK
dan makrofag, yang kemudian akan memproduksi IL 12 lebih banyak lagi. Hasil
64
akhirnya adalah sel Th 0 yang bertanggung jawab menjadi subset Th1. IFN γ,
adalah promotor kuat dari pembentukan sel Th1, juga merupakan inhibitor utama
dari sel Th 0 menjadi sel Th 2 (Clancy, 2000).
Interferon γ memiliki peranan sentral dan sangat penting dari seluruh fase
respon imun dan inflamasi. Diproduksi hanya oleh limfosit sub set Th1 dan sel
NK. Sel Th 1 yang sudah committed dapat diidentifikasi dari produksi IL-2 nya,
IFN γ, dan TNF β (juga dikenal dengan limfotoxin/LT α). Sebaliknya, jika sitokin
disekitarnya yang dijumpai oleh precursor Th 0 adalah oleh IL-4 dan IL-13, maka
sel Th 0 berkomitmen menjadi sel Th2. IL-4 adalah agonis utama (major/growth
factors) subset limfosit Th2 dan promoter utama terhadap respon antibodi
humoral dan antagonis utama dari pembentukan subset Th1. IL-4 memiliki efek
yang poten terhadap karakteristik pertumbuhan dan diferensiasi limfosit B dan
isotype switch promoter yang menginduksi diferensiasi selanjutnya dari sel B
yang menproduksi Ig M untuk selanjutnya mensintesis IgG. IL- 4 juga dibutuhkan
oleh respon IgE terhadap parasit dan IgE antigen spesifik (alergi) atau immediate
hyersensitivity (IH). IL-4 dan IL-13 memiliki asal keturunan dan homologi
struktur yang sama yang terlihat dari redundansi dan aktifitas biologisnya yang
saling tumpang tindih. Disamping itu IL-10 adalah juga sitokin counterregulation
yang sangat penting, merupakan famili sitokin 4- α -helix dan 18-kD polipeptida
yang diproduksi pada saat respon imun sedang berlangsung oleh sel Th2 dan
makrofag monosit yang aktif. Seperti IL-4, IL-10 merupakan antagonis penting
lainnya dari respon DTH yang dibangun oleh Th1, NK dan makrofag monosit. Sel
Th2 selanjutnya dapat dikenali dari reaksinya dan produksinya terhadap beberapa
produk sitokin seperti IL-4,-5,-10 dan -13. Fungsi dari kedua subset Th dan dan
65
pasangan sitokinnya terpolarisasi dan dapat dilihat sebagai hubungan fungsi
kontraregulasi. Respon Th1, memiliki efektivitas yang tinggi dalam sekejap
melawan berbagai bentuk infeksi intraseluler, yang dapat menyebabkan kerusakan
jaringan yang sangat luas jika dibiarkan berlangsung merajalela. Respon Th2
memiliki strategi melemahkan reaksi DTH yang sedang berlangsung dan secara
simultan membuat respon antibodi spesifik untuk mencegah penyebaran infeksi.
Kerjasama counterregulatory ini sangat penting, oleh karena infeksi-infeksi
tertentu memerlukan sitokin Th 1 untuk penyembuhan (tuberkulosis, lepra), tetapi
infeksi yang lain (infeksi parasit) membutuhkan sitokin Th2 untuk terjadinya
resolusi dan adanya sitokin Th 1 dengan level yang ekstrem akan merugikan.
Defek dalam keseimbangan antara Th1 dan Th2 atau produksi sitokinnya dan
tampilan reseptornya memiliki implikasi yang sangat penting terhadap manifestasi
berbagai penyakit (Clancy, 2000; Kresno, 2001).
2.5 Besi dan Respon Imun
2.5.1 Peranan besi pada aktivasi sel T
Meskipun peranan besi dalam proliferasi sel telah diketahui sejak lama,
efek besi dalam respon imun pertama kali dijelaskan 25 tahun yang lalu.
Walaupun tidak semuanya, banyak respon imun membutuhkan aktivasi dan
proliferasi sel limfosit. Kejadian awal jalur aktivasi sel T yang dipengaruhi besi
dimulai dari hidrolisis membran sel PIP2 (phosphatidylinositol 4,5-
bisphosphate) oleh fosfolipase C segera setelah interaksi sel T dengan APC
melalui reseptor spesifik. Reaksi enzimatis ini menghasilkan 2 produk akhir yaitu
DAG (diacylglycerol) dan IP3 (inositol 1,3,5-triphophate) keduanya disebut
‘second messenger’ yang berperanan dalam proses proliferasi sel T dan respon
66
imun. Mekanisme yang pasti penurunan hidrolisis PIP2 oleh defisiensi besi belum
dapat dijelaskan, karena phospholipase C lebih merupakan zinc-dependent enzim.
Diduga efek besi pada hidrolisis PIP2 secara tidak langsung , dimana defisiensi
besi mengubah komposisi pospolipid membran sel dan atau menurunkan
konsentrasi protein phospholipase C. Reduksi hidrolisis PIP2 secara pasti
mempengaruhi kejadian yang dimodulasi oleh DAG dan IP3 (Kuvibidila et al.,
2003).
PKC (protein kinase C) suatu enzim yang juga terdapat pada limfosit,
yang berperan secara esensial pada pertumbuhan dan diferensiasi sel. Pada sel
nonproliferasi, kurang lebih 2/3 dari PKC berada bebas dalam sitosol dan inaktif,
sedang sisanya 1/3 terikat pada membran dan dalam bentuk aktif. Aktivasi PKC
diregulasi oleh DAG, salah satu produk akhir dari hidrolisis PIP2 dan kalsium
(bebas) sitosol. Konsentrasi kalsium sitosol diregulasi oleh IP3, produk akhir
kedua hidrolisis PIP2. Perubahan hidrolisis PIP2 akibat defisiensi besi akan
mempengaruhi translokasi PKC dari sitosol ke membran sel mengikuti aktivasi sel
T. Menurunnya aktivitas PKC dan atau translokasinya merupakan salah satu
mekanisme akibat defisiensi besi pada proses fungsi dan aktivasi sel T. Penurunan
aktivasi PKC juga mengurangi laju phosphorilasi berbagai macam growth factor,
termasuk reseptor IL-2 (Alcatara et al., 1994).
Karena besi diperlukan untuk biosintesis deoxyribonucleotides oleh
ribonukleotide reduktase, maka in vivo defisiensi besi, in vitro kelasi besi dan
removal transferin dari medium kultur akan menghasilkan penurunan sintesis
DNA. Kuvibidila et al., pada studi binatang menduga bahwa prosentase lebih
tinggi anti-CD3 ± anti-CD28 antibody-treated spleen cell dari tikus defisiensi besi
67
dibandingkan dengan tikus normal tetap pada fase G0/G1. Sebaliknya, prosentase
lebih rendah ditemukan pada sel yang mengalami progresi masuk ke fase S (DNA
synthesis) dan M (Mitosis) dibandingkan dengan kontrol. Hal ini juga
menunjukkan bahwa besi diperlukan untuk biosintesis dan aktivasi dari certain
cyclin-dependent kinase (cyclin A dan E) suatu faktor yang diperlukan untuk
perkembangan sel melalui siklus sel. Kadar kinase seluler meningkat selama fase
lanjut dari G1 dan sebelum mulai fase S. Ini menunjukkan bahwa besi mengatur
sintesis DNA pada sel T teraktivasi, tidak hanya pada level fase S tetapi juga pada
fase awal dari siklus sel (Kuvibidila et al., 2002).
Oleh karenanya diduga besi diperlukan pada beberapa tingkatan proses
jalur aktivasi sel T sebelum sintesis DNA yaitu mulai hidrolisis PIP2, aktivasi
PKC, transduksi sinyal melalui jalur costimulatory (reseptor CD28) dan aktivasi
dari cyclin-dependent kinases. Semua ini diperlukan untuk proliferasi dan fungsi
sel limfosit T. Akan tetapi implikasi perubahan ini pada respon terhadap infeksi
masih perlu dipelajari lebih jauh (Kuvibidila et al., 2003).
2.5.2 Mekanisme gangguan imun pada defisiensi besi
Mekanisme bagaimana defisiensi besi menggangu respon imun seluler dan
non-spesifik adalah belum seluruhnya diketahui, akan tetapi diduga bersifat
multifaktorial. Termasuk antara lain : berkurangnya aktivitas enzim yang
mengandung besi seperti enzim ribonukleotide reduktase, mieloperoksidase,
berkurangnya produksi sitokin, berkurangnya jumlah sel T yang kompeten, dan
kemungkinan adanya gangguan transduksi sinyal. Tahapan dari transduksi sinyal
yang dipengaruhi oleh besi masih perlu diteliti, akan tetapi aktivitas protein kinase
C dan translokasinya pada membran plasma sel limfosit dan sel T lien diketahui
68
terganggu. Hal ini ditemukan pada studi binatang maupun pada manusia.
Demikian pula, pengikatan besi akan menurunkan produksi mRNA untuk protein
kinase C (Alcantara et al., 1994). Pada awal proses aktivasi sel T, akan terjadi
gangguan hidrolisis phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate (PIP2) oleh
pospolipase C (suatu enzim yang mengandung seng), dimana hasil akhir dari
enzim ini adalah inositol 1,3,5-triphophate (IP3) dan diacylglycerol (DAG ) yang
akan meregulasi aktivitas protein kinase C. Baik aktivasi PKC dan hidrolisis
membran fosfolipid sangat penting sebagai proses awal dari suatu sinyal
transduksi yang akan menyebabkan terjadinya proses proliferasi sel T dan
beberapa fungsi penting lainnya. Adanya gangguan aktivasi PKC dan hidrolisis
membran fosfolipid akan menyebabkan gangguan respon imun pada mereka yang
dengan defisiensi besi. Namun demikian defek pada protein kinase lainnya yang
ikut terlibat pada proses pengaturan siklus mitosis sel belum sepenuhnya bisa
diabaikan (Kuvibidila et al., 2002).
Besi mempunyai peranan penting dalam sistem imunitas, terutama dalam
hal proliferasi dan aktivasi sel imun host seperti sel T, B, sel natural killer dan
interaksi antara cell-mediated immunity dengan interleukin. Tikus dengan
kelebihan besi akan terjadi peningkatan relatif dari CD8+. Th2 diduga memiliki
cadangan besi yang lebih besar dari Th1, oleh karena itu Th1 lebih sensitif
terhadap penurunan kadar besi host. Sehingga pada defisiensi besi akan terjadi
penurunan produksi interferon-γ (IFN- γ), interleukin-2 (IL-2), tumour necrosis
factor-α (TNF α) dan TNF β (Weiss, 2002).
Interaksi antara host dengan agent infeksius merupakan fenomena yang
komplek. Yang paling penting dari interaksi itu adalah proses respon imunitas
69
host serta virulensi kuman. Penelitian-penelitian tentang hubungan antara
defisiensi besi dengan infeksi mendapatkan hasil yang bervariasi dan saling
bertentangan. Defisiensi besi dapat menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi
karena keterbatasan besi tubuh yang diperlukan untuk pertumbuhan kuman.
Penelitian-penelitian lain justru mendapatkan sebaliknya, karena defisiensi besi
dapat menurunkan innate maupun adaptive immunity. Disamping hal itu infeksi
atau inflamasi bisa juga menyebabkan terjadinya anemia dan mengganggu
metabolisme besi melalui peran interleukin (Walter et al., 1997).
Sebuah telaah penelitian dari sebelas penelitian tentang pengaruh
pemberian besi terhadap infeksi menemukan bahwa insiden malaria, pneumonia
dan beberapa penyakit infeksi non-malaria cenderung meningkat pada defisiensi
besi. Peningkatan ini juga terjadi pada wanita yang hamil. Namun kesimpulan-
kesimpulan penelitian tersebut masih diragukan, karena banyak kelemahan dan
tidak konsisten (Oppenheimer, 2001). Sebuah systematic review tentang pengaruh
suplementasi besi terhadap insiden infeksi pada anak-anak menemukan bahwa
pemberian besi tidak meyebabkan peningkatan insiden infeksi pada anak-anak
(Gera et al., 2002).
Penelitian eksperimental ensefalitis autoimun pada tikus menemukan
kecenderungan terjadinya ensefalitis autoimun pada tikus yang mengalami
defisiensi besi lebih rendah dibandingkan dari tikus tanpa defisiensi besi (0%
berbanding 72%). Gejala klinik ensefalitis autoimun juga lebih berat pada tikus
dengan kadar besi yang normal dibandingkan tikus dengan kadar besi yang
rendah. Hal ini diduga karena terjadi gangguan perkembangan sel CD4+ pada
defisiensi besi. Semua sel yang berhubungan dengan CD4+ akan berkurang
70
akibat defisiensi besi tersebut. Keadaan tersebut akan membaik apabila kadar
besinya dinaikkan (Grant et al., 2003).
Penelitian tentang pengaruh suplementasi besi pada anak-anak yang
terinfeksi dan tidak terinfeksi di Sri Langka menemukan bahwa terjadi penurunan
morbiditas dari upper respratory tract infection pada anak-anak yang diberikan
suplemen besi. Peneliti menduga bahwa imunitas pada anak-anak yang
mengalami defisiensi besi menurun sehingga morbidititasnya lebih tinggi (De
Silva et al., 2003).
Telaah terhadap penelitian-penelitian pada manusia maupun binatang
tentang pengaruh defisiensi besi terhadap fungsi imunitas in vivo belum
menghasilkan konsesus atau kesamaan pendapat. Masalahnya adalah hampir
semua penelitian tidak dapat mengontrol secara baik defisiensi makronutrien dan
mikronutrien yang ada bersama-sama dengan defisiensi besi dan nutrien-nutrien
tersebut belum jelas pengaruhnya terhadap gangguan imunitas tubuh (Farthing,
1989).
2.5.3 Regulasi fungsi imunitas oleh besi
Sel T yang tidak aktif tidak mengekspresikan reseptor transferin pada
permukaannya dan oleh karenanya tidak mengambil besi dari lingkungannya atau
mengambil hanya sedikit. Pada saat sel T teraktivasi, sel akan mengekspresikan
reseptor transferin pada fase G0/G1 sebelum inisiasi sintesis DNA, akan tetapi
setelah induksi sekresi IL-2. Peningkatan reseptor ini diperlukan untuk
pengambilan besi untuk mendukung aktivitas ribonucleotide reductase pada saat
sintesis DNA. Sudah banyak respon imun seluler yang telah diteliti baik pada
manusia maupun pada binatang. Pada anak dan dewasa, defisiensi besi karena
71
masukan yang kurang akan menurunkan proporsi sel T dalam darah, meskipun
jumlah total sel T bisa tetap ataupun berubah. Namun demikian berdasarkan
laporan Santos dan Falcao (1990), nampaknya kekurangan besi akibat perdarahan
tidak menurunkan proporsi sel T tapi menurunkan sel T total. Hal ini mungkin
disebabkan oleh periode waktu yang dibutuhkan untuk timbulnya defisiensi besi
pada perdarahan lebih cepat bila dibandingkan dengan hanya dari restriksi diet
saja. Angka absolut dan proporsi CD4 dan CD8 dapat menurun atau tetap tidak
berubah pada defisiensi besi.
Pada tikus, defisiensi besi menurunkan sel T total, sel T helper dan
sitotoksik/supresor pada limpa (Kuvibidila et al., 1990; Helyar dan Sherman,
1987), tetapi tidak mengubah rasio sel T helper dan sitotoksik, seperti yang
terlihat pada manusia. Defisiensi besi pada tikus akan menyebabkan kelenjar
timus atropi, tetapi tidak mempengaruhi proporsi sel T total, helper dan
sitotoksik/supresor sel T pada timus. Mekanisme atropi timus masih belum jelas
akan tetapi diduga multifaktorial. Diduga defisiensi besi menurunkan proliferasi
sel timosit in vivo tapi tidak terjadi peningkatan apoptosis. Gangguan fungsi
endokrin juga bukan sebagai penyebab atropi ini mengingat kadar timulin plasma
masih dalam batas normal (Kuvibidila et al., 2003).
2.5.3.1 Respon imun in vitro
Dua kelainan sistem imunitas akibat defisiensi besi pada manusia adalah
gangguan respon sel T akibat rangsangan mitogen dan penurunan kemampuan
bakterisidal dari netrofil. Sintesis DNA limfosit T sebagai respon terhadap
mitogen dan produksi limfokin sangat penting dalam regulasi sistem imun. Enzim
72
ribonucleotide reductase secara terus-menerus memerlukan ketersediaan besi agar
dapat berfungsi dengan baik (Walter, 1997).
Proliferasi limfosit akibat rangsangan phytohemagglutinin dan
conconavalin A mengalami penurunan pada defisiensi besi. Respon anak-anak
terhadap antigen candida 6,8% pada defisiensi besi dan meningkat menjadi 17,9%
setelah diberikan besi. Demikian juga respon terhadap antigen tetanus meningkat
dari 19,5% pada defisiensi besi menjadi 31,7% setelah diberikan besi (Walter,
1997).
2.5.3.2 Proliferasi sel
Sintesis DNA dan metabolime host lainnya memerlukan besi. Kekurangan
besi akan menyebabkan terjadinya gangguan proliferasi, oleh karena zat ini
diperlukan oleh enzim ribonucleotide reductase dan enzim-enzim lain untuk
pembelahan sel. Umumnya terjadi peningkatan reseptor transferin pada sel yang
aktif membelah (Walter, 1997).
Penelitian tentang proliferasi limfosit T menunjukkan adanya hubungan
antara ekspresi reseptor transferin dengan proliferasi limfosit ini. Reseptor ini
tidak ditemukan pada sel yang tidak membelah, sehingga reseptor ini sering
sebagai pertanda pembelahan sel. Inisiasi pembelahan sel oleh mitogen seperti
phytohemagglutinin secara cepat akan meningkatkan reseptor transferin di
permukaan sel dan terjadi peningkatan ambilan besi. Hal ini juga terjadi pada sel
tumor yang aktif membelah (Weiss, 2002).
Mekanisme peningkatan ekspresi reseptor ini pada limfosit T yang
membelah tidak diketahui. Beberapa peneliti menduga bahwa transferin memiliki
73
fungsi autokrin. Tetapi data yang mendukung teori ini sangat jarang (Weiss,
2002).
Hambatan terhadap fungsi reseptor transferin akan menghentikan
pembelahan sel. Antibodi monoklonal tertentu diduga dapat menurunkan
perkembangan sel tumor in vitro maupun in vivo. Ada temuan yang mendapatkan
bahwa pemberian anti-transferrin receptor monoclonal antibodies akan
menyebabkan terjadinya aktifasi sel T dan sekresi IL-2. Antibodi ini diduga
mengaktifkan signal tranduction yang dimulai dari reseptor transferin, tetapi tidak
melalui iron trafficking (Walter, 1997).
Peranan besi dalam proliferasi juga ditunjukkan oleh pemberian chelator
seperti desferrioxamine atau desferrithiocin akan menghambat pertumbuhan sel
tumor di kultur media dan proliferasi sel T. Hal ini disebabkan oleh penurunan
aktifitas enzim ribonucleotide reductase sehingga kadar deoxyribonucleotide
menurun. Akibatnya fase proliferasi akan berhenti pada fase S (Marx, 2002).
2.5.3.3 Besi dan fungsi fagosit
Besi sangat penting untuk proliferasi kuman tetapi sebaliknya besi juga
mempunyai peranan yang penting dalam membunuh mikroorganisme ini. Hal ini
berkaitan dengan fungsi fagositosis. Proses fagositosis melibatkan beberapa
sistem antimikrobial dan satu diantaranya adalah oxygen-dependent dan
menghasilkan oksigen radikal yang toksik. Segera setelah aktivasi, fagositosis
dimulai dengan oksidasi glukosa melalui hexose monophosphate shunt. Akibat
oksidasi ini akan menyebabkan terjadinya aktivasi transmembrane electron
transport system yaitu NADPH oxidase enzyme. Sistem ini sangat kompleks.
Aktivasi dari NADPH oxidase enzyme akan menyebabkan terjadinya transport
74
elektron melewati membran plasma dan menghasilkan sejumlah superoxide (O2-)
dan H2O2 (Marx, 2002).
Superoxide dan hidrogen peroxide, memiliki aktivitas antimikrobial yang
sedang. Adanya komponen logam khususnya besi diperlukan dalam katalisasi
untuk membentuk radikal hydroxyl (OH*). Hasil akhir dari pembentukan hampir
sebagian besar toxic oxygen metabolite disebut dengan Fenton reaction (Marx,
2002): Fe2+ + H2O2 Fe3+ + OH- + OH*
Besi yang dibutuhkan pada reaksi ini, mungkin berasal dari plasma atau
sel yang rusak bahkan berasal dari mikroorganisme. Pembentukan radikal oksigen
pada akhirnya dapat membunuh mikroorgamisme maupun sel fagositositnya.
Pembentukan radikal bebas tersebut dapat juga menyebabkan peroksidasi lipid
pada membran monosit dan granulosit serta sel-sel disekitarnya. Jumlah besi yang
berlebihan akan mengganggu fungsi granulosit (Marx, 2002; Beutler et al., 2003).
Monosit atau makrofag menggunakan beberapa macam cara untuk
mendapatkan besi. Cara tersebut antara lain transferrin mediated iron uptake,
transmembrane uptake ferrous atau ferric iron, melalui reseptor laktoferrin,
reseptor ferritin atau melalui proses eritrofagositosis. Pada defisiensi besi,
proliferasi dan deferensiasi dari monosit atau makrofag tidak banyak terpengaruh
(Marx, 2002).
Fungsi polymorphonuclear granulocyte (PMN) terganggu akibat defisiensi
besi terutama untuk membunuh kuman. Penurunan fungsi ini dapat diketahui dari
penurunan aktivitas enzim mieloperoksidase dan penurunan konsumsi oksigen.
Penurunan ini akan kembali normal setelah diberikan pengobatan besi (Murakawa
et al,. 1987)
75
Kelebihan besi dapat menyebabkan gangguan fagositosis dan respon
imunitas. Aktivitas netrofil berkurang, gangguan kemotaksis, gangguan
fagositosis terhadap bakteri. Opsonisasi terhadap bakteri dan aktifitas komplemen
juga berkurang (Beutler et al., 2003).
Interleukin mempengaruhi homeostasis besi, sebaliknya besi
mempengaruhi interleukin dan makrofag dalam proses CMI. Kelebihan besi pada
makrofag akan menyebabkan terjadinya hambatan terhadap proses yang
melibatkan IFN-γ, seperti gangguan terhadap pembentukan interleukin
proinflamasi TNFα, gangguan ekspresi dari MHC class II. Akibatnya akan terjadi
penurunan kemampuan makrofag dalam proses fagositosis kuman intraseluler
yang diperantarai oleh IFN-γ (Weinberg, 1978; Beutler et al., 2003).
Besi akan mengganggu pembetukan inducible-NO syntethase, sehingga
jumlah NO menurun pada keadaan besi yang berlebihan. NO merupakan molekul
yang penting bagi makrofag untuk melawan infeksi maupun tumor, sehingga
proses fagositosisnya juga akan menurun pada keadaan kelebihan besi. Bila ada
infeksi atau tumor maka akan terjadi peningkatan produksi IFN-γ akibat respon
tubuh , selanjutnya akan terjadinya aktivasi makrofag untuk melawan kuman atau
tumor tersebut. Tetapi jika kadar besi tinggi maka efek dari IFN-γ menurun akibat
penurunan sintesis dari H2O2 dan NO. Akan tetapi karena efek sitokin
proinflamasi yang disekresi akan meyebabkan molekul besi akan masuk kedalam
sel dan terjadi proses penyimpanan serta pembentukan feritin. Oleh karenanya
kadar besi ekstra seluler akan menurun dan pada akhirnya akan meyebabkan
aktivitas IFN-γ akan membaik kembali, sehingga tubuh bisa mengatasi infeksi
76
yang ada. Berikut ini adalah gambar hubungan antara besi dengan makrofag
(Weiss, 2002).
Gambar 2.6 Gambar skematik hubungan antara besi dengan sel imunitas
makrofag (Weiss, 2002)
2.5.3.4. Respon imun in vivo
Dua kelainan sistem imunitas akibat defisiensi besi pada manusia adalah
gangguan respon sel T akibat rangsangan mitogen dan penurunan kemampuan
bakterisidal dari netrofil. Sintesis DNA limfosit T sebagai respon terhadap
mitogen dan produksi limfokin sangat penting dalam regulasi sistem imun. Enzim
ribonucleotide reductase secara terus-menerus memerlukan ketersediaan besi agar
dapat berfungsi dengan baik (Walter, 1997). Terjadi kegagalan aktifitas
bakterisidal intraseluler, depresi jumlah limfosit T dan thymic atrophy, defek
limfosit T-induced proliferative response, kegagalan aktifitas sel natural killer,
kegagalan produksi IL-2 oleh limfosit, penurunan produksi macrophages
migration inhibition factor, kegagalan delayed cutaneus hypersensitivity termasuk
reaktifitas tuberkulin, meskipun tidak semua penelitian mendapatkan hasil yang
sama (Oppenheimer, 2001). Informasi mengenai hubungan derajat anemia
defisiensi besi dengan penurunan sistem imun masih sedikit. Penurunan sistem
77
imun dapat menurun sebelum terjadi penurunan hemoglobin (Fairbanks et
al.,2001).
Proliferasi limfosit akibat rangsangan phytohemagglutinin dan concovalin
A mengalami penurunan pada defisiensi besi. Respon anak-anak terhadap antigen
candida 6,8% pada defesiensi besi dan meningkat menjadi 17,9% setelah
diberikan besi. Demikian juga respon terhadap antigen tetanus meningkat dari
19,5% pada defesiensi besi menjadi 31,7% setelah diberikan besi (Walter, 1997).
Suatu penelitian terhadap 31 orang pasien candidiasis mukokutaneus
kronis, 23 diantaranya defisiensi besi dan 9 dari 11 orang membaik setelah
diberikan terapi besi oral dan parenteral saja, terjadi regresi lesi oral dan muncul
reaksi DTH terhadap candida (Higgs dan Wells, 1973).
Suatu penelitian yang melibatkan 12 orang wanita dengan anemia
defisiensi besi yang disebabkan oleh kehilangan darah secara kronis, tetapi bebas
dari kondisi patologis lainnya yang dapat menimbulkan perubahan respon imun.
Penderita-penderita tersebut dilakukan tes untuk melihat imunitas seluler secara in
vitro, kuantitas sel limfosit T dan B nya dihitung dengan blastic transformation
limfosit dengan memakai phytohemagglutinin (PHA), dan secara in vivo, dengan
dinitrochlorobenzene (DNCB), tuberkulin, trychophytine dan tes kulit varidase.
Tes yang sama diulang setelah diberikan terapi besi. Tes ini juga dikerjakan pada
kelompok kontrol yang sehat. Setelah terapi persentase sel limfosit T meningkat
dari 55,1% menjadi 66,0%. Tujuh wanita yang DNBC nya negatif sebelum terapi
menjadi DNBC positip setelah terapi besi. Lima penderita yang hasil tes
tuberkulinnya negatip sebelum terapi, ditemukan 2 orang diantaranya menjadi
78
positip setelah terapi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa defisiensi besi adalah
faktor penting yang mempengaruhi terjadinya perubahan imunologis (Moraes,
1984).
2.5.4 Produksi sitokin
Mekanisme gangguan fungsi imunitas pada defisiensi besi belum
diketahui. Mekanismenya diduga bersifat multifaktorial antara lain gangguan
sintesis DNA akibat gangguan aktivitas enzim ribonucleotide reductase,
penurunan produksi interleukin seperti IL-2. IL-2 merupakan interleukin yang
penting untuk komunikasi antara subset limfosit dan sel natural killer (Beard,
2001; Walter, 1997). Th1 lebih sensitif terhadap pemberian antibodi antitransferin
reseptor dibandingkan dengan Th2. Sehingga diduga bahwa fungsi Th1-mediated
lebih sensitif terhadap hemostasis besi di tubuh (Weiss, 2002).
Proliferasi limfosit T menurun pada tikus dengan defisiensi besi. Produksi
IL-2 dari proliferasi sel limfosit T juga menurun. Stimulasi proliferasi tersebut
dilakukan secara in vitro dengan menggunakan concovalin A (Latunde-Dada et
al., 1992).
Penelitian kasus kontrol pada anak-anak tentang IL-2 dan IL-6 pada ADB
memukan bahwa sekresi IL-2 lebih rendah pada anak-anak dengan defisiensi besi
dibandingkan dengan kontrol dan kadar IL-2 menjadi normal setelah diberikan
suplementasi besi (p < 0,001). Kadar IL-6 tidak mengalami perubahan sebelum
dan setelah suplementasi (p > 0,05) (Sipahi et al., 1998).
Penelitian lain pada 81 anak-anak yang mengalami defisiensi besi,
menemukan. produksi IL-2 akibat rangsangan PHA lebih rendah pada defisiensi
besi dibandingkan tanpa defisiensi besi, tetapi kadar IL-2 tidak berbeda apabila
79
tidak dirangsang dengan PHA. Penurunan produksi IL-2 menyebabkan gangguan
sistem imun melalui gangguan pada CMI (Galan et al., 1992).
Studi pada tikus percobaan dengan ADB untuk menentukan kadar IFN γ,
IL-10 dan IL-12 mendapatkan bahwa pada ADB diikuti dengan penurunan kadar
IL-12 dan IFN γ masing-masing sebesar 64 % dan 66 %. Kadar sitokin ini
berkorelasi positif dengan indikator status besi (r=0,68; p<0,05). Dari data ini
diduga kekurangan besi akan menyebabkan perubahan keseimbangan antara
sitokin pro inflamasi dan anti inflamasi sehingga mempengaruhi respon imun baik
respon alami maupun CMI (Kuvibidilla et al., 2004)
IL-10 mempunyai peranan yang penting dalam regulasi sistem imun
dengan menghambat sekresi beberapa interleukin proinflamsi seperti IL-2, IFN-γ
dan IL-12 serta menghambat proliferasi limfosit (Asadullah et al., 2003; Delves,
2000). Sekresi IL-10 ditemukan menurun pada ADB dan meningkat setelah
defisiensi besinya dikoreksi. Hal ini juga terjadi pada proliferasi limfosit,
ditemukan lebih rendah pada defisiensi besi dan meningkat setelah dilakukan
koreksi dengan besi. Hal ini menunjukan bahwa penurunan IL-10 pada ADB tidak
mampu mengatasi penurunan proliferasi limfosit (Kuvibidila et al., 2003;
Kuvibidila et al., 2004).
Gangguan proliferasi limfosit pada defisiensi besi diduga disebabkan oleh
berkurangnya aktivasi protein kinase C (PKC). Semakin rendah kadar besi tubuh
menyebabkan aktivitas PKC semakin menurun. Diduga terjadi gangguan signal
tranduction akibat penurunan aktivitas PKC, sehingga terjadi gangguan proliferasi
limfosit pada defisiensi besi. Gangguan PKC akan menyebabkan gangguan signal
tranduction sehingga terjadi penurunan proliferasi limfosit T. Produksi TNFα juga
80
berkurang pada ADB akibat gangguan pada PKC (Kuvibidila et al., 1998;
Kuvibidila et al., 1999).
2.5.5 Status besi dan infeksi
Peran dari besi pada proses mitosis sel dan seluler imunitas sudah cukup
jelas diketahui. Semua sel hidup termasuk bakteri, jamur, protozoa, sel mamalia
dari berbagai jaringan (termasuk dari sistem imun) memerlukan besi untuk
sintesis DNA dan banyak fungsi seluler lainnya. Disamping diperlukan pada
aktivitas enzim ribonukleotide reduktase, besi juga dibutuhkan sebagai ko-faktor
pada beberapa enzim yang terlibat pada proses respirasi seluler, antioksidan, dan
aktivitas bakterisidal dari sel netrofil (mieloperoksidase).
Mikroorganisme memerlukan besi dalam konsentrasi sekitar 22-220 ug/L
(Payne dan Finkelstein, 1978). Meskipun suplai yang tidak mencukupi akan
menghambat pertumbuhan dari mikroorganisme tersebut, akan tetapi besi dalam
tubuh manusia kadarnya baik pada darah maupun jaringan lebih dari cukup untuk
mempertahankan pertumbuhan optimal dari mikroorganisme. Akan tetapi besi
tubuh berada dalam ikatan yang kuat dengan berbagai protein seperti hemoglobin,
myoglobin, ferritin, laktoferin, transferin dan berbagai enzim, sehingga secara
umum sangat sulit untuk digunakan oleh mikroorganisme. Besi yang terlalu
sedikit akan menurunkan respon imun khususnya sel yang perlu berproliferasi dan
aktivitas bakterisidal, sebaliknya besi yang terlalu banyak juga toksik terhadap
tubuh yaitu akan dapat menginduksi peroksidasi makromolekul intra dan ekstra
seluler dan sekaligus juga mengganggu fungsi imun. Oleh karena itu diperlukan
suatu sistem yang dapat mengatur kecukupan besi bagi berlangsungnya fungsi
imun dan seluler lainnya, selain untuk menghindari pemanfaatan besi oleh kuman
81
untuk pertumbuhannya. Perbedaan keseimbangan yang delicate ini antara satu
organisme satu dengan lainnya yang mungkin menyebabkan adanya perbedaan
hasil studi observasi tentang pengaruh besi terhadap suseptibilitas infeksi.
Penelitian satu mendapatkan besi yang berkurang akan menguntungkan
karena akan mengurangi pertumbuhan kuman dan dengan sendirinya angka
infeksi sebaliknya pada studi lain didapatkan defisiensi besi akan meningkatkan
kejadian infeksi karena adanya gangguan respon imun karena besi diperlukan oleh
sel imun untuk berproliferasi dan aktivitas bakterisidalnya. Bahkan studi lainnya
berpendapat besi sendiri tidak cukup kuat sebagai faktor penentu suseptibilitas
terhadap kejadian infeksi (Walter et al., 1997; Kuvibidila et al., 2003).
2.5.5.1 Bukti bahwa besi meningkatkan infeksi
Beberapa studi yang dipublikasi menyatakan besi dapat meningkatkan
angka infeksi. Sebagai contoh, pemberian besi pada neonatus dan anak usia
sekolah meningkatkan beberapa jenis infeksi dan dalam beberapa studi disertai
dengan peningkatan angka kematian dengan signifikan (Brock, 1993; Smith et al.,
1989). Hal ini didukung oleh adanya temuan observasi yaitu selama infeksi tubuh
akan memberi respon dengan menurunkan kadar besi serum dan menahan besi
dalam sel retikuloendotelial sehingga dapat menghambat pertumbuhan kuman,
sehingga diduga ini merupakan usaha tubuh untuk menghambat ketersediaan besi
bagi kuman.
Situasi pada kasus infeksi malaria dan status besi sedikit agak berbeda
mengingat parasit malaria akan menyerang sel darah merah untuk melengkapi
siklus hidupnya. Oleh karena itu infeksi malaria lebih banyak dijumpai pada
82
mereka yang mendapatkan terapi besi dibandingkan dengan mereka yang
menderita defisiensi besi (Oppenheimer et al., 1986).
2.5.5.2 Bukti bahwa besi menghambat infeksi dan defisiensi besi akan
meningkatkan infeksi
Beberapa studi dapat menunjukkan bahwa tindakan pencegahan dan
pengobatan defisiensi besi dengan tablet besi dan fortifikasi makanan akan
menurunkan angka infeksi saluran napas maupun infeksi lainnya ( Dallman
,1987).
2.5.5.3 Bukti bahwa hanya status besi saja tidak cukup kuat untuk menentukan
suseptibilitas terhadap infeksi
Beberapa studi mendapat besi tidak mempengaruhi suseptibilitas terhadap
infeksi. Penelitian di Tanzania, dari 800 bayi yang mendapat suplemen besi
selama 24 minggu tidak ditemukan adanya peningkatan infeksi malaria, walaupun
angka infeksi lainnya tidak dilaporkan. Penelitian di Chili juga mendapatkan hasil
yang hampir sama dimana pemberian fortifikasi besi pada bayi tahun pertama
tidak disertai dengan peningkatan angka diare dan infeksi saluran napas. Namun
demikian infeksi didapatkan lebih tinggi pada bayi dengan defisiensi besi bila
dibandingkan dengan bayi dengan kadar besi normal (Heresi et al., 1995).
Banyak studi binatang dan manusia yang menunjukkan adanya gangguan
imunitas seluler dan imunitas non-pesifik lainnya pada defisiensi besi.Akan tetapi
hubungan antara defisiensi besi dan infeksi masih belum jelas diketahui.
Suseptibilitas terhadap infeksi adalah sangat kompleks dan tergantung tidak saja
pada kadar besi, tapi juga pada faktor tubuh, parasit dan lingkungan. Termasuk
antara lain paparan mikroorganisme, adanya faktor defisiensi nutrisi lainnya, tipe
83
populasi (bayi, anak-anak, wanita, laki dan orang tua), beratnya dan lamanya
defisiensi, tipe dan dosis dari serta lamanya terapi besi dan adanya prakondisi
lainnya. Tidak diragukan lagi bahwa faktor-faktor ini akan mempengaruhi
suseptibilitas dan beratnya infeksi tanpa melihat kadar besinya. Defisiensi besi
akan mempengaruhi kerentanan terhadap beberapa jenis infeksi, dan beratnya
serta lamanya infeksi akan tergantung pada tubuh dan parasitnya (baik
mikroorganisme intra maupun ekstraseluler) (Kuvibidila et al., 2002).
84
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antar variabel yang berlaku
dalam konteks penelitian ini. Hubungan ini mencerminkan hal yang akan dicari
jawabannya melalui penelitian. Manifestasi konsep adalah variabel, sehingga
konsep menjadi lebih kongkrit dan dapat diukur. Tanda panah menunjukkan
hubungan antar variabel yang akan dibuktikan dengan uji hipotesis, sedangkan
tanda panah terputus menunjukan hubungan beberapa faktor variabel luar dengan
variabel tergantung yang dieksklusi dari penelitian. Penelitian ini hanya
difokuskan pada peran IL-2 dan IFN γ sebagai variabel dari imunitas seluler yang
mengalami penurunan aktivitas fungsionalnya.
ADB
Serum Feritin
CMI terganggu
Infeksi meningkat
Gangguan aktivasi & proliferasi Sel T
IL-2
IFN-γ
CMI membaikPemberian besi
Studi Potong Lintang
Studi Pra Eksperimental
(Before and After Test)
Gambar 7. Kerangka konsep penelitian
Genetik
Keganasan
InfeksiUmur
Malnutrisi
Obat Imunosupresif
IL-2
IFN-γ
84
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian
85
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian dibuat sebagai jawaban sementara terhadap masalah-
masalah penelitian dan dirumuskan sebagai berikut:
Kadar IL-2 pada penderita ADB dengan infeksi lebih rendah dibandingkan
dengan kadar IL-2 penderita ADB tanpa infeksi
Kadar IFN γ pada penderita ADB dengan infeksi lebih rendah
dibandingkan dengan kadar IFN γ penderita ADB tanpa infeksi
Peningkatan cadangan besi akan meningkatkan kadar IL-2 pada penderita
ADB.
Peningkatan cadangan besi akan meningkatkan kadar IFN γ pada
penderita ADB.
86
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam 2 fase dimana fase I dengan menggunakan
rancangan deskriptif analitik potong lintang untuk mencari beda rerata kadar IL-2
dan IFN gamma antara penderita ADB dengan infeksi dan tanpa infeksi, sedang
fase II menggunakan rancangan pra eksperimental untuk melihat pengaruh besi
terhadap kadar IL-2 dan IFN gamma (before and after design) .
ADB
Infeksi (-)
Infeksi (+) Rerata
Rerata
IL-2
IFN-γ
IL-2IFN-γ
Gambar 8. Penelitian fase I Studi Potong Lintang Analitik
86
Gambar 4.1 Penelitian fase I Rancangan Potong Lintang Analitik
87
Gambar 9. Penelitian fase II Studi Pra Eksperimental
ADBIL-2
IFN-γ
IL-2
IFN-γ
Pemberian
tablet besi
(8 minggu)
Hb
FeritinHb
Feritin
4.2 Penentuan Sumber Data
Populasi target penelitian ini adalah penderita anemia defisiensi besi.
Populasi terjangkau (accessible population) ini adalah semua penderita anemia
defisiensi besi yang berobat ke Rumah Sakit Sanglah dan praktek dokter lainnya
di Denpasar. Sampel penelitian (intended sampling) adalah sampel yang dipilih
dengan tehnik consecutive sampling dari populasi terjangkau penelitian setelah
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi (baik untuk penelitian fase I maupun fase
II ). Subyek yang benar-benar diteliti (actual study sampling) adalah subyek yang
benar-benar mau ikut penelitian dan mengisi formulir informed consent.
4.2.1 Kriteria inklusi untuk penelitian fase I (penelitian potong lintang)
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
1. Penderita ADB dangan HB < 10 gr/dl yang berobat dan dirawat di Divisi
Hematologi-Onkologi Medik RS Sanglah dan praktek dokter swasta lainnya di
Denpasar dan sekitarnya.
Gambar 4.2 Penelitian fase II Rancangan pra Eksperimental
88
2. Penderita ADB baik laki maupun wanita dengan umur 13-65 tahun.
4.2.2 Kriteria eksklusi penelitian fase I (penelitian potong lintang)
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:
1. Penderita yang menderita malnutrisi (Protein Energy Malnutrition).
2. Penderita yang mendapatkan obat imunosupresif seperti misalnya steroid,
kemoterapi, minimal dalam waktu sebulan terakhir.
3. Penderita dengan gangguan fungsi ginjal, kelainan genetik, dan keganasan.
4. Penderita yang tidak bersedia ikut dalam penelitian.
4.2.3 Kriteria inklusi untuk penelitian fase II (penelitian pra ekspremental)
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:
1. Penderita ADB dengan Hb< 10 gr/dl yang dirawat di Divisi Hematologi-
Onkologi Medik RS Sanglah dan praktek dokter swasta lainnya di Denpasar
dan sekitarnya.
2. Penderita ADB baik laki maupun wanita dengan umur 13-65 tahun.
4.2.4 Kriteria eksklusi untuk penelitian fase II (penelitian pra eksperimental)
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:
1. Penderita yang sedang menderita penyakit infeksi misalnya infeksi saluran
nafas, saluran cerna, saluran urogenital yang ditegakkan dengan gejala klinis
dan laboratorium.
2. Penderita yang menderita malnutrisi (Protein Energy Malnutrition).
3. Penderita yang mendapatkan obat imunosupresif seperti misalnya steroid,
kemoterapi, minimal dalam waktu sebulan terakhir.
4. Penderita dengan gangguan fungsi ginjal, kelainan genetik, dan keganasan.
5. Penderita yang tidak bersedia ikut dalam penelitian.
89
4.2.5 Teknik pengambilan sampel
Sampel diambil dengan dengan teknik consecutive sampling dari populasi
terjangkau penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi. Populasi terjangkau
penderita ADB yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi baik untuk penelitian
fase I maupun II, dipilih sebagai sampel penelitian sampai jumlah sampel minimal
yang dikehendaki terpenuhi. Dari sampel yang dikehendaki disaring lagi penderita
yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan menandatangani
informed consent sehingga diperoleh subyek yang benar- benar diteliti (actual
study subyects).
4.2.6 Besar sampel
Perhitungan besar sampel pada penelitian ini menggunakan perlakuan
dengan outcome berskala numerik baik pada penelitian fase I maupun fase II.Pada
penelitian fase I dengan menggunakan rumus uji hipotesis terhadap rerata
populasi dimana SD kedua kelompok 15,6 dan perbedaan klinis yang diinginkan
antara ADB dengan infeksi dengan ADB tanpa infeksi adalah sebesar 11,1
pg/ml.Dengan kesalahan tipe 1 (α) ditetapkan sebesar 5%, dengan demikian z α =
1,96; dan kesalahan tipe 2 (β) ditetapkan sebesar 20% dengan demikian z β =
0,842, maka dengan rumus n1 = n2 = 2[SD (z α + z β)] 2 : (μ1-μ2) 2 maka
besarnya n1 dan n2 ditemukan sebesar 31,2 sehingga jumlah sampel seluruhnya
yang dibutuhkan adalah sebesar 64 orang penderita ADB.
Pada penelitian fase II angka yang diperlukan untuk menghitung besarnya
sampel adalah besarnya rerata outcome pada kelompok kontrol (μ2) dan
simpangan baku (SD) dari data kelompok kontrol, ini ditentukan dengan melihat
penelitian serupa. Disini berlaku asumsi simpangan baku (SD) antara kedua
90
kelompok sama. Besarnya efek perlakuan antara kelompok kontrol dan intervensi
dinyatakan dengan simbol (μ1-μ2), yang dapat ditentukan dengan asumsi (clinical
jugdement), pilot study atau dari data penelitian serupa yang dilakukan peneliti
lain. Kesalahan tipe 1 (α) ditetapkan sebesar 5%, dengan demikian z α = 1,96; dan
kesalahan tipe 2 (β) ditetapkan sebesar 20% dengan demikian z β = 0,842. Dengan
prinsip diatas penelitian ini mengutip data dari penelitian serupa (Kubividila et al.,
2003): SD = 9,9 pg/ml dan besarnya efek perlakuan 5,75 pg/ml
maka formula : n = [SD (z α + z β)] 2 : (μ1-μ2) 2 , maka didapatkan n sebesar 24
orang.
4.3 Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah karakteristik sampel penelitian yang ditentukan
dan disusun menurut rancangan penelitian yang direncanakan.
4.3.1 Klasifikasi variabel untuk penelitian fase I
Variabel bebas adalah ADB dengan infeksi .
Variabel tergantung adalah kadar IL-2 dan IFN γ
Variabel kendali adalah umur, jenis kelamin, penggunaan obat-obatan
imunosupresif, kelainan genetik, malnutrisi, keganasan
Variabel rambang adalah penduduk suku bangsa Indonesia asli.
4.3.2 Klasifikasi variabel untuk penelitian fase II
Variabel bebas adalah kadar feritin.
Variabel tergantung adalah kadar IL-2 dan IFN γ.
Variabel kendali adalah umur, jenis kelamin, penyakit infeksi, penggunaan obat-
obatan imunosupresif, kelainan genetik, malnutrisi, keganasan
Variabel rambang adalah penduduk suku bangsa Indonesia asli.
91
4.3.3 Definisi operasional variabel penelitian
Definisi operasional yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia hipokromik mikrositer pada
hapusan darah tepi, atau MCV < 80 fl dan MCHC < 31% dan serum feritin <
20 ug/l.
2. Kadar IL-2 dan IFN γ adalah nilai kadar yang bersangkutan yang diperiksa
dari plasma dan supernatan kultur sel limfosit dengan ELISA dalam satuan
pg/ml.
3. Umur ditentukan dari tanggal kelahiran sampai saat masuk rumah sakit atau
berobat berdasarkan KTP atau kartu keluarga dengan satuan tahun
4. Jenis kelamin ditentukan berdasarkan KTP atau kartu keluarga dan kalau perlu
dengan pemeriksaan badan.
5. Penggunaan obat-obatan imunosupresif ditentukan berdasarkan anamnesis
pada penderita apabila ditemukan penderita dengan obat-obatan seperti steroid
dan kemoterapi dalam waktu sebulan terakhir.
6. Penyakit infeksi ditentukan berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium
seperti infeksi saluran nafas, infeksi saluran cerna ,infeksi saluran urogenital
dan infeksi kulit serta penyakit autoimun dengan memakai buku standar
diagnosis dan terapi Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar.
7. Malnutrisi adalah penderita dengan berat badan rendah dengan BMI < 18
kg/m2 (Halsted, 2001).
8. Penyakit genetik dan keganasan ditentukan secara klinis dengan anamnesis
adanya penyakit seperti leukemia, limfoma, penyakit keganasan lainnya
92
berdasarkan buku standar diagnosis dan terapi Ilmu Penyakit Dalam FK
Unud/RSUP Sanglah Denpasar.
4.4 Bahan Penelitian
Bahan atau materi penelitian yang dipakai adalah darah dan supernatan
dari kultur sel limfosit untuk pemeriksaan kadar IL-2 dan IFN γ serta daftar
pertanyaan untuk mendapatkan data mengenai umur, jenis kelamin, berat badan,
penyakit infeksi, penggunaan obat-obatan imunosupresif, malnutrisi, penyakit
keganasan dan kelainan genetik serta diagnosis ADB.
4.5 Instrumentasi dan Prosedur Pengambilan Bahan Penelitian
4.5.1 Pemeriksaan darah lengkap
Semua penderita yang memenuhi syarat penelitian ini yang rawat inap di
SMF Ilmu Penyakit Dalam, RS Sanglah Denpasar atau rawat jalan di poliklinik
hematologi SMF Ilmu Penyakit Dalam, RS Sanglah Denpasar atau di praktek
swasta di Denpasar, diberikan penjelasan tentang penelitian ini. Jika bersedia
diikutkan pada penelitian diminta untuk menandatangani Informed Consent. Pada
sampel penelitian diambil contoh darah untuk pemeriksaan darah lengkap atau
complete blood count (CBC) dan ferittin serum. Darah lengkap (hemoglobin dan
indeks eritrosit) diukur dengan alat hitung elektronik Sysmex SF-3000 no. Seri
A2325, suatu automatic hematology analyzer dibuat oleh pabrik Sysmex Kobe
Jepang. Alat ini bekerja menggunakan metode flow cytometry. Kadar Hb diperiksa
dengan prinsip Scan-met. Kalibrasi alat menggunakan kalibrator dan kontrol
dilakukan setiap pagi, sore/malam. Sistem pelaporan hasil pemeriksaan terlihat
pada monitor dan dapat dicetak oleh printer.
93
4.5.2 Pemeriksaan serum feritin
Serum feritin diperiksa dengan alat Immulite 2000. Prinsip pemeriksaan
yaitu sampel serum (pasien) & poliklonal antibodi yang dikonyugasi dengan alkali
fosfatase diinkubasi bersama-sama dalam set unit berisi manik-manik berlapis
antibody monoclonal spesifik terhadap feritin suhu 370 C selama 30 menit dengan
pengguncangan berkala. Feritin dalam sampel diikat untuk membentuk kompleks
Sandwich Antibody. Konjugat yang tidak berikatan disingkirkan dengan
pencucian secara pemusingan.Setelah itu ditambahkan substrat dan tes unit
diinkubasi lagi selama 10 menit. Substrat Chemilinescent PPD mengalami
hidrolisis dengan adanya alkali fosfatase membentuk senyawa antara yang tidak
stabil.Terbentuknya senyawa ini secara terus menerus menghasilkan emisi sinar
yang cukup lama. Komplek yang terikat, dengan demikian juga photon yang
dipancarkan seperti terukur oleh luminometer berbanding lurus dengan
konsentrasi feritin dalam sampel.
4.5.3 Pemeriksaan interleukin 2 dan interferon γ
Pemeriksaan IL-2 dan interferon γ dilakukan dengan alat yang sama yang
disebut Quantikine yang dikeluarkan oleh R&D system, yaitu suatu immunoassay
solid phase ELISA.
4.5.3.1 Prinsip pemeriksaan interleukin dan interferon
Alat ukur ini menggunakan teknik quantitative sandwich enzyme
immunoassay. Suatu antibodi monoklonal yang spesifik terhadap IL-2 atau
interferon γ pada microplate (wells) akan berikatan dengan IL-2 atau interferon γ
yang ada pada sampel atau larutan standar. Ikatan ini kemudian ditambahkan
suatu enzym-linked antibodi poliklonal terhadap IL-2 atau interferon γ dan akan
94
ditambahkan suatu substrat pewarna kedalam sumur tadi sehingga akan ada
perubahan warna apabila ada ikatan dengan IL-2 atau interferon γ dan intensitas
warna ini diukur dengan alat microplate reader.
4.5.3.2 Kultur sel limfosit
Sebanyak 5 ml darah tepi diambil dari vena cubiti menggunakan
vacumtainer 5 ml yang mengandung antikoagulan EDTA. Darah kemudian
disentrifus pada kecepatan 3000 rpm selama 10 menit. Plasma diambil,
dimasukkan ke dalam ampul 2 ml dan disimpan pada suhu -20oC. Lapisan putih
(buffy coat) di antara plasma dan sel darah merah diambil dan dimasukkan ke
dalam tabung steril 10 ml. Ke dalam tabung kemudian ditambahkan 10 ml larutan
Amonium Klorida NH4Cl 0,85% dan dibiarkan selama beberapa detik sampai
semua sel darah merah mengalami lisis. Tabung kemudian disentrifus dengan
kecepatan 1000 rpm selama 5 menit. Cairan supernatan dibuang dan ke dalam
tabung ditambahkan 10 ml media tanpa serum, dicampur secara merata dan
disentrifus seperti di atas. Langkah pencucian ini diulang 2 kali sampai diperoleh
limfosit yang bersih dari larutan NH4Cl. Limfosit kemudian disuspensikan dalam
media dulbeco’s modified essential medium (DMEM) yang disuplementasi
dengan 20% fetal calf serum (FCS), 20 unit Concanavalin A (Con A), 10 unit
pythohemagglutinin (PHA), glutamin dan sodium piruvat. Limfosit kemudian
dikultur pada plat mikro 24 sumuran selama 3 hari pada suhu 37oC. Cairan
supernatan diambil, dimasukkan ke dalam ampul 2 ml dan disimpan pada suhu -
20oC.
95
4.5.3.3 Prosedur pemeriksaan
Kadar interleukin-2 dan interferon gamma dalam plasma dan cairan
supernatan kultur limfosit ditentukan dengan Sandwich ELISA menggunakan Il-
2/IFN ELISA development kit (R&D system, USA) sesuai dengan prosedur yang
dijabarkan oleh pembuat kit. Ke dalam setiap sumuran plat mikro ELISA
ditambahkan 100 μl suspensi mouse anti-human IL-2/IFN γ monoclonal
antibodies dalam PBS dan dibiarkan selama 18 jam pada suhu kamar. Setelah
dicuci 3 kali dengan PBS, setiap sumuran diblok dengan larutan bovine serum
albumin 1% dalam PBS dan dibiarkan pada suhu kamar selama 1 jam. Setelah
dicuci 3 kali dengan PBS, kedalam setiap sumuran ditambahkan 100 ul plasma/
cairan supenatan kultur limfosit. Sebagai acuan, ditambahkan pula protein IL-
2/IFNγ yang konsentasinya telah diketahui dan diencerkan berkelipatan 2 mulai
dari konsentrasi 600 pg per 100 ul sampai dengan konsentrasi 4 pg per 100 ul.
Setelah penambahan sampel dan protein standar, plat mikro dieramkan selama 2
jam pada suhu kamar dan kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3 kali seperti di
atas. Ke dalam setiap sumuran lalu ditambahkan 100 ul rabbit anti-human IL-
2/IFNγ yang dilabel dengan biotin dan dinkubasikan selama 2 jam pada suhu
kamar. Sebanyak 100 ul avidin-horse radish peroxidase (Avidin-HRP) dalam
0.1% BSA dalam PBS ditambahkan ke dalam setiap sumuran, dieramkan selama
20 menit pada suhu kamar, dan dicuci degan PBS seperti di atas. Sebanyak 100 ul
substrat TMB kemudian ditambahkan ke setiap sumuran plat mikro dan dibiarkan
pada suhu kamar selama 20 menit. Tingkat kepekatan substrat kemudian dibaca
dengan spectrophotometer dengan panjang gelombang 405 nm.
96
Kadar IL-2/IFNγ ditentukan dengan memplot tingkat kepekatan warna (nilai
absorban) protein standar terhadap konsentrasinya diplot pada kertas grafik log 3.
Konsentrasi IL-2/IFN γ pada setiap sampel kemudian ditentukan dengan regresi
logistik dengan 4 parameter logistik dengan mengacu pada grafik protein standar.
4.5.3.4 Validitas dan reliabilitas pemeriksaan
Reliabilitas alat ini cukup baik, yaitu berupa intra-assay variance < 5%
dan inter-assay < 5%. Validitasnya juga cukup baik karena alat ini hanya
mengenal IL-2 dan rekombinan saja. Tidak ditemukan reaksi silang dengan
banyak molekul lain baik related-IL 2 (rh IL-2 sRα) maupun yang non related
seperti rekombinan interleukin lainnya. Demikian pula tidak ditemukannya reaksi
silang dengan molekul baik related-IFN maupun non-related. Sensitivitas amat
baik karena dapat mendeteksi kadar interleukin dan interferon sampai dibawah 7
ng/ml suatu kadar yang lebih rendah dari kadar fisiologis (10-100 ng/ml).
4.6 Alur Penelitian dan prosedur untuk mendapatkan informed consent
Semua penderita yang diikutkan dalam penelitian akan diberikan
penjelasan dengan rinci tentang maksud dan tujuan penelitian dan kemudian
menandatangani informed consent, kemudian diambil darahnya. Penderita juga
ditanyakan tentang riwayat penyakit terdahulu dan penggunaan obat-obatan
seperti steroid dan obat kemoterapi. Darah penderita diperiksa darah tepi lengkap
(indeks eritrosit, Hb) dan diperiksakan serum feritin penderita. Dari darah tepi
diisolasi sel limfositnya untuk dilakukan kultur dan setelah sel limfosit tumbuh
diperiksa supernatannya untuk menentukan kadar IL-2, kadar interferon γ.
Sebagian penderita ADB yang tidak disertai dengan infeksi diberi tablet besi.
Pada masing-masing penderita akan diberikan tablet besi selama 8 minggu.
97
Setiap 2 minggu semua penderita akan dilakukan pemeriksaan klinis untuk
menilai kondisi penderita. Termasuk kepatuhan akan jumlah obat yang diminum.
Hal ini dapat dilihat dari sisa obat/ tablet yang diberi dan jumlah hari yang telah
dilewati sejak obat tersebut diberikan. Demikian pula efek samping obat seperti
rasa mual dan rasa tidak enak dilambung serta keluhan lainnya dicatat. Apabila
ada keluhan karena pemberian tablet besi maka pada penderita akan dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut dan diberikan pengobatan yang semestinya. Pada akhir
studi (dalam waktu 8 minggu) akan dilakukan pemeriksaan ulang kadar Hb dan
serum feritin. Juga dilakukan kultur sel limfosit dan diperiksa juga kadar IL-2,
IFN γ . Semua penderita akan dicatat alamatnya dan nomer telepon yang bisa
dihubungi untuk memudahkan komunikasi antara peneliti dan penderita yang
akan diteliti sehingga diketahui lebih awal perubahan yang ada seperti misalnya
adanya efek samping obat dan lain sebagainya. Secara skematik alur penelitian
dapat dilihat dibawah ini.
Sebelum penelitian ini dilaksanakan dikonsultasikan lebih dahulu dengan
Komisi Etika Penelitian Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RS Sanglah untuk mendapatkan surat keterangan kelaikan
etika.
98
Semua pasien ADB
yang berobat di RSUP Sanglah
dan praktek swasta di Denpasar
Populasi terjangkau
Kriteria Inklusi
Kriteria Eksklusi
Intended sample phase I (cross sectional)
Eksklusi ADB dengan Infeksi
Intended sample phase II (Before and After)
Tablet besi 8 minggu
Data Penelitian
Hasil Penelitian
Analisa Statistik
Umur,Jenis Kelamin,
Hb, Feritin ( pre, post tablet besi)
Kultur Sel Limfosit (IL-2, IFN-γ)
( pre, post tablet besi)
consecutive control sampling
Gambar 10. Alur penelitian
Gambar 4.3 Alur Penelitian
99
4.7 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di poliklinik dan ruang perawatan penyakit dalam
RS Sanglah dan di praktek swasta dokter spesialis penyakit dalam sampai jumlah
sampel terpenuhi. Pemeriksaan bahan darah dilaksanakan laboratorium Prodia
kecuali untuk pemeriksaan IL-2, interferon γ dan kultur sel limfosit dilakukan di
BBVet. Bali Pegok Denpasar.
4.8 Analisis Data
Setelah data terkumpul, lebih dahulu dilakukan pemeriksaan data,
kemudian dianalisis sebagai berikut:
1. Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov (Shapiro-Wilk untuk sampel kecil ),
digunakan untuk menguji apakah data hasil penelitian berdistribusi normal
ataukah tidak.
2. Uji homogenitas varians antar kelompok dengan uji Levene, untuk melihat
homogenitas varians.
3. Uji statistik deskriptif untuk menggambarkan karakteristik penderita dan
distribusi frekuensi berbagai variabel.
4. Uji t-student untuk menguji perbedaan rata-rata kadar IL-2, IFN γ, antara
ADB dengan infeksi dengan ADB tanpa infeksi serta perbedaan rata-rata
kadar IL-2, IFN γ, pre dengan post pemberian tablet besi pada penderita ADB
tanpa infeksi dengan Uji t berpasangan..
5. Analisis statistik tersebut diatas menggunakan nilai p < 0,05 sebagai batas
kemaknaan dan memakai perangkat lunak statistika untuk komputer yaitu
SPSS for window version 13.0 Prosedur analisis statistik tersebut diolah di
Pusat Komputer Universitas Udayana.
100
HASIL PENELITIAN
5.1. Penelitian fase I
Pada penelitian ini didapatkan 64 penderita ADB, 31 (48,4%) orang laki-
laki dan 33 (51,6%) orang perempuan, dengan rerata umur 40,5 ± 14.4 tahun.
Terdapat 17 (26,7%) penderita ADB disertai infeksi, dan sisanya sebanyak 47
(73,3%) penderita ADB tanpa infeksi. Semua variabel data karakteristik yang
diperiksa tidak didapatkan adanya perbedaan yang signifikan secara statistik
antara kelompok penderita ADB dengan dan penderita ADB tanpa infeksi.
Walaupun kejadian infeksi biasanya mempunyai kadar leukosit yang lebih tinggi
tapi pada kelompok ADB dengan infeksi dan ADB tanpa infeksi ditemukan kadar
lekosit tidak berbeda bermakna secara statistik. Demikian juga dapat dilihat pada
kadar feritin dimana diketahui bahwa kadar feritin dipengaruhi oleh salah satunya
adalah infeksi. Pada penelitian ini kadar rerata feritin antara kelompok ADB
dengan infeksi dan ADB tanpa infeksi secara statistik tidak berbeda bermakna.
Kadar hemoglobin rerata antara kelompok ADB dengan infeksi dan ADB
tanpa infeksi didapatkan tidak berbeda secara statistik, demikian pula apabila
dibedakan antara anemia berat (Hb< 7g/dl) dan anemia tidak berat tidak juga
didapatkan perbedaan antara kelompok ADB dengan infeksi dan ADB tanpa
infeksi. Karakterisitik dasar penderita ADB berdasarkan ada tidaknya infeksi
dapat dilihat pada tabel 5.1.
100
101
Tabel 5.1
Karakteristik dasar penderita Anemia Defisiensi Besi
Karakteristik
ADB dengan
infeksi
Rerata±SB
Frekuensi
ADB tanpa
infeksi
Rerata±SB
Frekuensi
Nilai-P
Umur (tahun) 38±14,48 41±14,54 0,59
Jenis Kelamin (L/P) 8/9 23/24 0,89
Leukosit (K/µl) 9,7±3,91 8,0±3,66 0,17
Hemoglobin (g/dl) 6,5±1,82 6,6±1,91 0,81
MCV (fl) 65,8±7,81 81,9±8,65 0,95
MCH (pg) 19,3±2,57 19,2±4,06 0,88
MCHC (%) 29,1±1,78 28,0±4,10 0,58
Trombosit (K/µl) 400,7±132,40 418,5±178,6 0,73
SI (µg/l) 12,1±3,95 13,5±7,18 0,34
Saturasi Transferin
(%) 4,28±1,90 3,51±2,03 0,22
Feritin (µg/l) 10,5±8,26 8,6±7,50 0,39
AST (IU/l) 22,2±10,10 23,14±8,23 0,81
ALT (IU/l) 16,0±11,10 18,6±10,3 0,59
BUN (mg/dl) 10,7±4,84 16,2±6,46 0,05
SC (mg/dl) 0,99±0,20 0,78±0,31 0,07
102
Profil sitokin penderita ADB berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada
tabel 5.2, dimana kadar sitokin baik dalam plasma maupun dari supernatan kultur
limfosit tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara penderita ADB laki-
laki dan penderita ADB perempuan. Namun demikian kadar sitokin yang didapat
dari pemeriksaan plasma dan supernatan jaringan terlihat kecenderungan adanya
kadar sitokin lebih tinggi pada pemeriksaan supernatan kultur dibandingkan
dengan kadar sitokin yang sama pada pemeriksaan plasma.
Tabel 5.2
Profil sitokin penderita Anemia Defisiensi Besi berdasarkan jenis kelamin
Sitokin
Anemia Defisiensi Besi
Nilai-Z Nilai-P Laki-Laki
(n=31)
Median
(Interkuartil)
Perempuan
(n=33)
Median
(Interkuartil)
IL-2 plasma (pg/l) 7,6
(6,10 – 10,60)
7,7
(5,75 – 17,50) -0,114 0,909
IL-2 supernatan
(pg/l)
10,9
(8,60 – 12,65)
10,6
(7,50 – 13,43) -0,490 0,624
IFNγ plasma (pg/l) 9,2
(8,50 -27,50)
11,9
(9,20 – 83,60) -1,834 0,067
IFNγ supernatan
(pg/l)
26,3
(14,50 –43,00)
31,3
(17,50 –43,50) -0,336 0,707
Seperti diketahui usia tua mempengaruhi respon imun tubuh manusia,
termasuk produksi sitokin. Pada tabel 5.3 terlihat tidak terdapat perbedaan yang
103
bermakna secara statistik antara dua kelompok usia yang terbagi berdasarkan
median usia (di bawah dan di atas 44,5 tahun).
Tabel 5.3
Profil sitokin plasma dan supernatan penderita ADB bedasarkan median usia
Sitokin
Anemia Defisiensi Besi
Nilai-Z Nilai-P Usia < 44.5
tahun (n=39)
Median
Interkuartil
Usia > 44.5
tahun (n=25)
Median
Interkuartil
IL-2 Plasma 8,2
(6,2-19,5)
6,8
(5,4-8,2) -1,941 0,52
IL-2 Supernatan 10,5
(9,5-13,4)
11,2
(7,9-13,1) -0,186 0,85
IFNγ Plasma 11,9
(9,1-77,2)
9,2
(8,5-23,6) -1,597 0,11
IFNγ
Supernatan
39,0
(21,3-48,3)
19,8
(2,2-40,3) -2,408 0,06
Perbedaan kadar sitokin plasma pada penderita ADB dengan infeksi dan
penderita ADB tanpa infeksi terlihat dalam tabel 5.4. Uji statistik yang digunakan
adalah uji non parametrik oleh karena distribusi kadar IL-2 dan IFNγ plasma
tidak normal, dimana uji KS (Kolmogorov Smirnov) mendapatkan angka yang
tidak signifikan ( IL-2 Z= 3,320; p=0,000 dan IFNγ Z= 2,857; p= 0,000 ) dan
tetap tidak berdistribusi normal walaupun telah dilakukan transformasi logaritma
untuk kedua variabel tadi. Oleh karena itu uji non parametrik Mann Whitney U
digunakan. Tes ini digunakan karena merupakan uji non parametrik yang sangat
baik sebagai pengganti untuk uji parametrik yang tidak layak digunakan karena
104
tidak memenuhi persyaratan analisis karena uji ini memiliki kekuatan efisiensi
mendekati 95% dengan peningkatan jumlah n (Siegel S, 1985). Baik IL-2 maupun
IFNγ lebih rendah kadarnya pada kelompok penderita ADB dengan infeksi
dibandingkan dengan kelompok penderita ADB tanpa infeksi, dan hal ini secara
statistik menunjukkan perbedaan yang bermakna. Perbedaan kadar IL-2 plasma
pada kelompok penderita ADB dengan infeksi dibandingkan dengan kelompok
penderita ADB tanpa infeksi didapatkan signifikan (Z= -2,174 ; p= 0,03).
Sedangkan IFNγ plasma juga berbeda secara signifikan (Z =-2,638 ; p= 0,008).
Tabel 5.4
Perbedaan Median Interkuartil Sitokin Plasma antara penderita ADB dengan
infeksi dan penderita ADB tanpa infeksi
Sitokin Plasma
Anemia Defisiensi Besi
Nilai - Z Nilai -P Dengan Infeksi
(n=17)
Median
Interkuartil
Tanpa Infeksi
(n=47)
Median
Interkuartil
Interleukin 2
(pg/l)
6,8
(6,10 – 7,70)
8,2
(5,60 – 19,50) - 2,174 0,030
IFNγ (pg/l) 9,1
(7,65-11,60)
14,5
(9,00 – 6,20) - 2,638 0,008
Pada analisis perbedaan kadar sitokin yang diperiksa dari supernatan
kultur limfosit (uji Mann Whitney U) pada kelompok ADB dengan dan tanpa
infeksi dapat dilihat pada tabel 5.5. Di sini terlihat baik IL-2 maupun IFNγ
kadarnya berbeda secara bermakna jika dibandingkan antara kelompok penderita
ADB dengan infeksi dibandingkan dengan kelompok penderita ADB tanpa
105
infeksi. Pada IL-2 didapatkan perbedaan yang cukup signifikan (Z= -2,509 ; p=
0,012) dan IFNγ bermakna dengan perbedaan sebesar Z= -2,569 dan p= 0,010.
Tabel 5.5
Perbedaan Median Interkuartil Sitokin dari Supernatan antara penderita ADB
dengan infeksi dan penderita ADB tanpa infeksi
Sitokin
Supernatan
Anemia Defisiensi Besi
Nilai–Z Nilai–P Dengan Infeksi
(n=17)
Median
Interkuartil
Tanpa Infeksi
(n=47)
Median
Interkuartil
Interleukin 2
(pg/l)
9,7
(7,90–11,10)
11,4
(9,80–14,30) - 2,509 0,012
IFNγ (pg/l) 20,4
(11,20–30,45)
39,2
(18,80–48,30) - 2,569 0,010
5.1. Penelitian fase II
Pada penelitian fase II, dari 64 penderita ADB dipilih sebanyak 26
penderita ADB tanpa infeksi dan diberikan tablet besi selama 8 minggu . Pada
akhir penelitian diperiksakan darah lengkap, feritin serum dan sitokin baik plasma
maupun supernatan dari kultur limfosit. Rerata umur penderita ADB pada fase II
adalah 43,65 ± 14,5 tahun, terdiri dari 16 (61,5%) penderita laki-laki dan 10
(38,5%) penderita perempuan.
Pada tabel 5.6 terlihat perbedaan median interkuartil hemoglobin, MCV,
MCH dan feritin sebelum dan setelah pemberian tablet besi. Uji Saphiro Wilk
dilakukan untuk melihat normalitas distribusi data dan ternyata variabel tersebut
di atas sebagian tidak berdistribusi normal.
106
Tabel 5.6
Perbedaan Median Interkuartil Hemoglobin, MCV, MCH dan Feritin setelah
pemberian tablet besi
Sebelum terapi
Median
(Interkuartil)
Setelah terapi
Median
(Interkuartil)
Selisih
Median Nilai-Z
Nilai-P
Hemoglobin
(g/dl)
6,3
(5,2–8,3)
10,8
(9,0–13,0) 4,5 - 4,561
0,000
MCV (fl) 68
(63,8-72,4)
84,2
(78,2–88,6) 16,2 - 4,276
0,000
MCH (pg) 18,7
(17,7–22,2)
27,2
(20,0–28,3) 8,5 - 3,616
0,000
Feritin
(ug/l)
5,9
(2,59–10,8)
12,6
(6,6-17,9) 6,5 - 3,556
0,000
Uji ranking bertanda Wilcoxon digunakan untuk mengetahui arah dan
besarnya perbedaan antara dua kelompok berpasangan. Terlihat adanya perbedaan
yang signifikan antara kadar hemoglobin sebelum dan setelah pemberian tablet
besi (Z= -4,561 ; p= 0,000), MCV (Z= -4,276 ; p= 0,000), MCH (Z= -3,616 ; p=
0,000) dan feritin (Z= -3,556 ; p= 0,000). Pada sebagian data di atas yang
berdistribusi normal dengan uji Saphiro Wilk , yaitu hemoglobin (p= 0,447) dan
MCV (p= 0,084) dilakukan uji t berpasangan mendapatkan hasil yang signifikan
dimana didapatkan juga nilai signifikansi yang sama dengan uji non parametrik
ranking bertanda Wilcoxon (p= 0,000).
Pada studi fase II, pemeriksaan IL-2 dan IFNγ dikerjakan dengan dua
bahan pemeriksaan yaitu plasma dan supernatan kultur jaringan untuk melihat
perbedaan kadar sitokin dalam plasma dan supernatan beserta responnya terhadap
107
pemberian tablet besi selama 8 minggu. Pada tabel 5.7 perbedaan IL-2 dan IFNγ
plasma sebelum dan setelah pemberian tablet besi terjadi peningkatan kadar
masing-masing sitokin yang signifikan (p= 0,000). Uji yang dilakukan adalah uji
ranking bertanda Wilcoxon, karena data berdistribusi tidak normal.
Tabel 5.7
Perbedaan Median Interkuartil IL-2 dan IFNγ Plasma setelah
pemberian tablet besi
Sebelum terapi
Median
(Interkuartil)
Setelah terapi
Median
(Interkuartil)
Selisih
Median Nilai-Z
Nilai-P
IL-2 (pg/l)
Plasma
7,65
(5,95-11,05)
29,3
(15,2-175,3)
21,65 - 3,508 0,000
IFNγ(pg/l)
Plasma
10,15
(8,82-33,5)
46,7
(37,8-79,3)
36,55 - 4,241 0,000
Perbedaan median interkuartil IL-2 dan IFNγ plasma sebelum dan setelah
pemberian tablet besi juga dapat dilihat garis peningkatan pada gambar di bawah
ini. Pada gambar 5.1 terlihat jelas peningkatan dari kadar IL-2 sebelum
pemberian tablet besi ke kadar setelah pemberian tablet besi. Demikian juga
terlihat peningkatan yang tajam dari kadar IFNγ sebelum pemberian tablet besi
menuju kadar setelah pemberian tablet besi.
108
Gambar 5.1 Perubahan kadar plasma IL-2 dan IFNγ setelah pemberian tablet besi
Pada pemeriksaan IL-2 dan IFNγ dari supernatan kultur limfosit, ternyata
kadar masing-masing sitokin didapatkan penurunan dari kadar sebelum diberikan
terapi dengan median selisih – 0,55 pg/l untuk IL-2 dan – 26,4 pg/l untuk IFNγ .
Hal ini dapat dilihat pada tabel 5.8 di bawah ini, di mana penurunan kadar IL-2
ditemukan tidak bermakna akan tetapi, IFNγ menunjukkan penurunan yang
bermakna antara sebelum dan setelah pemberian tablet besi.
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
(pg/l)
IL-2 PLASMA IFNγ PLASMA
SEBELUM TERAPI
SESUDAH TERAPI
109
Tabel 5.8
Perbedaan Median Interkuartil IL-2 dan IFNγ supernatan
setelah pemberian tablet besi
Sebelum terapi
Median
(Interkuartil)
Setelah terapi
Median
(Interkuartil)
Selisih
Median Nilai-Z
Nilai-P
IL-2 (pg/l)
Supernatan
10,75
(9,3-13,2)
10,2
(7,5-19,9)
-0,55 -0,969 0,333
IFNγ(pg/l)
Supernatan
31,3
(15,2-43,2)
17,7
(15,6-18,7)
-26,4 -2,248 0,025
Pada supernatan kultur limfosit, tidak ditemukan peningkatan IL-2 dan
IFNγ. Hal tersebut dapat lebih jelas dilihat pada gambar 5.2 yang menunjukkan
penurunan IL-2 dan IFNγ setelah pemberian tablet besi.
Gambar 5.2 Perubahan kadar supernatan IL-2 dan IFNγ setelah pemberian tablet
besi
0
5
10
15
20
25
30
35
(pg/l)
IL-2 SUPERNATAN IFNγ SUPERNATAN
SEBELUM TERAPI
SESUDAH TERAPI
110
BAB VI
PEMBAHASAN
Selama kurun waktu hampir setahun didapatkan sebanyak 64 orang
penderita ADB yang berumur berkisar antara 13- 65 tahun dan 1/3 diantaranya
didapatkan bersama-sama dengan berbagai jenis infeksi antara lain infeksi saluran
nafas seperti tuberkulosis paru, pnemonia, dan infeksi lainnya seperti demam
berdarah dengue, demam tifoid, infeksi saluran kemih serta infeksi genitalia.
Semua data karakteristik dasar antara kelompok ADB dengan infeksi dan
kelompok ADB yang tidak disertai infeksi seperti misalnya umur, jumlah lekosit,
kadar hemoglobin, transaminase hati tidak berbeda secara bermakna. Hal ini akan
memungkinkan bobot variabel yang akan diteliti pada kedua kelompok tersebut
akan lebih besar dalam rangka mencari kaitan antara variabel-variabel yang
diteliti pada kedua kelompok tersebut.
6.1 Diagnosis Anemia Defisiensi Besi
Pada dasarnya diagnosis anemia defisiensi besi terdiri dari 3 komponen yaitu:
(1) usaha untuk membuktikan adanya anemia ; (2) usaha untuk membuktikan
adanya defisiensi besi, dan; (3) usaha untuk mencari faktor-faktor etiologi
defisiensi besi (Bakta, 1993; Lee, 1999). Pengecatan besi dari aspirasi sumsum
tulang dengan pengecatan Prussian blue atau Pearls’ stain merupakan langkah
diagnostik untuk memastikan cadangan besi tubuh. Tidak ditemukannya besi yang
tercat berupa butir-butir hemosiderin di sitoplasma sel-sel retikuloendotelial
memastikan diagnosis defisiensi besi tanpa memerlukan tes laboratorium yang
110
111
lain (Conrad, 2002). Tetapi pemeriksaan besi sumsum tulang sangat tidak praktis
dan kurang diterima penderita karena bersifat invasive. Untuk menegakkan
diagnosis anemia defisiensi besi dapat juga dipakai modifikasi dari kriteria Kerlin
et al, yaitu (Bakta, 2001) : Anemia hipokromik mikrositer dari hapusan darah tepi
atau MCV < 80 fl dan MCHC < 31%, dengan 2 dari 3 parameter di bawah ini
(besi serum < 50 ug/dl , TIBC > 350 ug/dl, saturasi transferin < 15%) atau feritin
serum < 20 ug/l, atau pengecatan sumsum tulang dengan Prussian blue (Perls’
stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif , atau dengan
pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg / hari (atau preparat besi lain yang setara)
selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin > 2 gr/dl.
Karena pemeriksaan kadar besi sumsum tulang merupakan tindakan yang
invasif maka diagnosis ADB pada penelitian ini hanya memakai kombinasi dari
anemia hipokromik mikrositer dan kadar serum feritin < 20 ug/l. Menurut
National Health and Nutrition Evaluation Survey II penggunaan 2 atau lebih
indikator status besi lebih meyakinkan untuk mendiagnosis adanya ADB dan
didapatkan kadar serum feritin yang rendah merupakan suatu tes tunggal yang
sangat berguna untuk diagnosis anemia defisiensi besi dan iron depleted state
(Herbert et al.,1997).
Serum feritin telah terbukti mempunyai korelasi dengan cadangan besi
tubuh. Defisiensi besi merupakan satu-satunya penyebab dari serum feritin
rendah (Skikne, 1988; Frewin, 1997; Bakta, 2000). Kadar serum feritin < 12 ug/l
dianggap sebagai titik pemilah (cut off point) diagnosis defisiensi besi. Sedangkan
peneliti lain memakai kadar serum feritin < 15 ug/l (Guyatt et al., 1992). Di
Indonesia memakai serum feritin < 20 ug/l sebagai titik pemilah dalam diagnosis
112
ADB (Bakta, 2000). Pemakaian titik pemilah serum feritin < 12 ug/l kurang
optimal terutama di daerah tropik karena akan memberikan hasil yang under
estimate oleh karena banyaknya faktor pengganggu seperti penyakit-penyakit
infeksi dan inflamasi yang dapat menaikkan kadar serum feritin (Guyatt et al.,
1992 ; Bakta, 2000). Kelemahan pemeriksaan serum feritin ini adalah bahwa
kadar serum feritin pada penyakit infeksi, radang kronis, keganasan dan penyakit
hati meningkat. Asal diinterpretasikan secara khusus, serum feritin masih tetap
mempunyai nilai diagnostik yang kuat pada keadaan tersebut. Namun demikian
pemakaian serum feritin sebagai kriteria tunggal untuk diagnostik defisiensi besi
di daerah tropik akan memberikan hasil yang under estimate oleh karena
banyaknya faktor pengganggu. Oleh karena itu dianjurkan untuk memakai
kombinasi beberapa parameter (Guyatt et al., 1992).
Feritin adalah protein acute phase reactant yang mengikat besi yang
kadarnya dapat meningkat tidak saja pada kelebihan besi tapi juga pada proses
inflamasi dari infeksi sampai penyakit kronik. Perlu diketahui feritin sebenarnya
bukanlah molekul transport untuk besi akan tetapi lebih sebagai senyawa yang
berperan mengatur besi intraseluler. Kadarnya di dalam plasma ditentukan oleh
keseimbangan antara tissue leakage yang dipengaruhi oleh proses metabolisme
besi intraseluler dan faktor lainnya seperti inflamasi dengan proses clearance nya
oleh organ hati dan RES. Oleh karenanya gangguan fungsi hati dan gagal ginjal
kronik akan menggangu proses pembersihannya dan juga sintesis nya di hati
sehingga peningkatan kadarnya tidak berhubungan dengan kadar besi dan
metabolisme besi (Kalantar-Zadeh et al., 2006).
113
Untuk mengetahui apakah peningkatan kadar serum feritin disebabkan
oleh kelebihan besi atau inflamasi maka pemeriksaan saturasi transferin juga perlu
diketahui. Transferin sebaliknya adalah protein fase akut yang jumlah menurun
pada proses inflamasi sehingga peningkatan kadar serum feritin yang diikuti oleh
peningkatan saturasi transferin mencerminkan adanya proses inflamasi sedangkan
apabila peningkatan serum feritin disertai penurunan kadar saturasi transferin
maka dapat dipastikan bahwa peningkatan tersebut disebabkan oleh adanya
kelebihan besi. Pemeriksaan yang lain yaitu pemeriksaan kadar besi yang
terkandung dalam protein feritin merupakan pemeriksaan yang lebih
mencerminkan hubungan dengan jumlah besi simpanan. Dengan pemeriksaan ini
dapat dibedakan apakah peningkatan feritin ini akibat proses inflamasi ataukah
oleh karena kelebihan besi dalam tubuh. Kadar besi feritin normal adalah antara
10-35 ug/ml (Herbert et al., 1997). Disamping itu dengan menghitung rasio antara
reseptor transferin dan serum feritin (R/F index) juga dapat membedakan apakah
peningkatan serum feritin tersebut akibat kelebihan besi ataukah karena proses
inflamasi. Pada ADB rasio antara reseptor transferin dan serum feritin adalah 1,5
sedang apabila ADB disertai dengan inflamasi rasio nya 0,8 ( Brugnara, 2003).
Pada penelitian ini dengan pemberian terapi besi (IPC) selama 8 minggu,
didapatkan adanya peningkatan hemoglobin secara signifikan dengan nilai
p<0,05. Demikian juga halnya MCV, MCH dan serum feritin didapatkan
meningkat secara bermakna setelah pemberian tablet besi selama 8 minggu (p<
0,05). Hasil ini dapat menunjukkan bahwa diagnosis ADB pada penelitian ini
dapat lebih dipastikan oleh karena terbukti dengan pemberian tablet besi terjadi
peningkatan yang bermakna dari kadar hemoglobin dan indeks eritrosit serta
114
kadar serum feritin. Peningkatan kadar hemoglobin > 2 gr/dl dalam waktu 4-8
minggu dapat membantu memastikan diagnosis ADB (Bakta, 2000). Disamping
itu hasil ini juga menunjukkan tingkat kepatuhan penderita dalam mengkonsumsi
tablet besi yang diberikan selama penelitian ini dilakukan.
6.2 Anemia Defisiensi Besi dan Infeksi
Pada penelitian ini ditemukan penderita ADB dengan infeksi sebanyak 17
orang (25,6%) diantara 64 penderita ADB. Dari buku registrasi pasien di Divisi
Hematologi-Onkologi Medik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam didapatkan penderita
ADB dengan infeksi sebanyak 21 orang dari 78 penderita pada tahun 2006.
Penelitian sebelumnya di RS Sanglah/ Bagian Ilmu Penyakit Dalam tahun 2003
mendapatkan angka 14% untuk ADB dengan infeksi (Suega et al., 2003). Di
Malawi Afrika didapatkan angka kejadian infeksi pada ADB yaitu 26% untuk
infeksi HIV, 24% untuk infeksi bakterial dan 20% untuk infeksi malaria Jason et
al., 2001). Studi lain di Israel pada 680 orang menemukan 5644 episode serangan
radang telinga akut dengan rerata serangan 8,3 per penderita. Total dari 528
pasien ADB 77,6% mendapatkan infeksi pada kedua telinga mereka pada saat
yang bersamaan (Golz et al., 2001).
Kekurangan besi dan efeknya pada kejadian infeksi sangat sulit untuk
dipelajari pada manusia dengan hanya studi observasional atau studi non-
intervensional. Hal ini oleh karena kekurangan besi merupakan sebagian dari
suatu kelompok kekurangan nutrisi dan kemiskinan serta masalah sosial higienis
lainnya yang merupakan akibat kemiskinan sehingga semua hal tersebut saling
terkait satu sama lainnya. Disamping itu masalah etis pada studi penderita ADB
115
dengan penundaan pemberian besi yang dapat memperburuk kondisi penderita.
Oleh karenanya penelitian yang mencari hubungan antara infeksi dan defisiensi
besi sering memberikan hasil yang tidak konsisten (Oppeheimer, 2001).
Beberapa studi observasional pada manusia menunjukkan adanya
peningkatan kejadian infeksi pada kondisi terjadinya defisiensi besi. Suatu studi
yang merupakan pioner dari studi terhadap efek dari kekurangan besi terhadap
kejadian infeksi dilakukan di London tahun 1928. Dari 541 penderita yang diteliti
hampir setengahnya ditemukan dengan angka kejadian infeksi yang lebih rendah
pada kelompok yang mendapatkan tablet besi untuk terapi defisiensi besinya.
Studi lainnya yang melibatkan banyak sampel adalah studi tahun 1966 di Chicago,
dimana sebanyak > 1000 bayi yang menderita ADB diteliti dan didapatkan
penurunan angka kesakitan akibat infeksi saluran nafas atas yang sangat
signifikan setelah diberikan tablet besi (Dallman, 1987). Higgs dan Wells (1973)
melaporkan 31 pasien dengan mukokutaneus kandidiasis kronik dimana 23
diantaranya adalah penderita ADB dan 9 diantara 11 penderita membaik dengan
pemberian besi. Penelitian klinis prospektif menemukan angka infeksi pasca
operasi lebih tinggi secara bermakna pada 228 penderita dengan kadar erum
feritin yang rendah dibandingkan dengan 220 penderita dengan kadar serum
feritin normal (Oppenheimer, 2001). Pada penelitian lapangan di Chili dengan
melibatkan 100 bayi yang sebagian diberi formula makanan yang mengandung
besi dan sebagian lagi tanpa besi. Data morbiditasnya dikumpulkan dengan
kunjungan rumah setiap minggu. Ditemukan adanya anemia pada 30% bayi yang
tidak diberi formula yang mengandung besi dibandingkan hanya 5% pada bayi
yang diberi makanan formula yang mengandung besi. Tidak ditemukan adanya
116
perbedaan angka kejadian infeksi saluran nafas dan infeksi gastrointestinal pada
kedua kelompok tersebut, akan tetapi kemungkinan ada perbedaan yang kecil
mengingat jumlah bayi yang anemia pada kelompok makanan formula besi hanya
2 diantara 53 bayi sedang pada kelompok mendapat makanan non formula
ditemukan anemia sebesar 14 diantara 47 bayi yang diteliti (Heresi et al., 1995).
Di sisi lain ternyata banyak penelitian yang juga mendapatkan hasil yang
agak berbeda dimana defisiensi besi justru bersifat protektif untuk mencegah
terjadinya infeksi. Studi yang dilakukan di Somali merupakan salah satu yang
banyak dikutip yang menunjukkan kekurangan besi justru menguntungkan.
Dengan desain prospektif randomisasi 137 penderita ADB dewasa diberi tablet
besi dan pasebo selama 1 bulan. Pada kelompok yang mendapat besi (N= 66)
ditemukan adanya 36 episode infeksi dibandingkan dengan hanya 3 episode
infeksi pada kelompok plasebo (N=71). Walaupun studi ini banyak dikritik karena
waktu follow-up yang pendek dan tidak double blinded akan tetapi studi ini
menunjukkan bukti yang cukup meyakinkan bahwa pemberian besi dapat
meningkatkan kejadian infeksi tertentu (Walter et al., 1997). Peneliti lain
mendapatkan juga bahwa kadar besi yang rendah melindungi bayi dari infeksi
malaria seperti yang dilaporkan oleh Oppenheimer pada studinya di Papua New
Guinea. Kadar hemoglobin yang rendah pada bayi-bayi mengurangi kemungkinan
infeksi malaria karena parasit malaria sangat membutuhkan sel darah merah untuk
melengkapi siklus hidupnya (Oppenheimer, 2001).
Berbeda dengan kedua kelompok tadi beberapa studi bahkan mendapatkan
bahwa besi tidak mempengaruhi suseptibilitas terhadap infeksi. Penelitian di
Tanzania, dari 800 bayi yang mendapat suplemen besi selama 24 minggu tidak
117
ditemukan adanya peningkatan infeksi malaria, walaupun angka infeksi lainnya
tidak dilaporkan. Penelitian di Chili juga mendapatkan hasil yang hampir sama
dimana pemberian fortifikasi besi pada bayi tahun pertama tidak disertai dengan
peningkatan angka diare dan infeksi saluran napas. Namun demikian infeksi
didapatkan lebih tinggi pada bayi dengan defisiensi besi bila dibandingkan dengan
bayi dengan kadar besi normal (Heresi et al., 1995).
Banyak studi pada binatang dan manusia yang menunjukkan adanya
gangguan imunitas seluler dan imunitas non-spesifik lainnya pada defisiensi besi,
namun hubungan antara defisiensi besi dan infeksi masih belum jelas sekali.
Suseptibilitas terhadap infeksi adalah sangat kompleks dan tergantung tidak saja
pada kadar besi, tapi juga pada faktor tubuh, parasit dan lingkungan. Termasuk
antara lain paparan mikroorganisme, adanya faktor defisiensi nutrisi lainnya, tipe
populasi (bayi, anak-anak, wanita, laki dan orang tua), beratnya dan lamanya
defisiensi, tipe dan dosis dari serta lamanya terapi besi dan adanya prakondisi
lainnya. Tidak diragukan lagi bahwa faktor-faktor ini akan mempengaruhi
suseptibilitas dan beratnya infeksi tanpa melihat kadar besinya. Defisiensi besi
akan mempengaruhi kerentanan terhadap beberapa jenis infeksi, dan beratnya
serta lamanya infeksi akan tergantung pada tubuh dan parasitnya (baik
mikroorganisme intra maupun ekstraseluler) (Kuvibidila et al., 2002).
Hasil penelitian ini nampaknya mendukung teori bahwa pada penderita
ADB akan lebih mudah terkena infeksi oleh karena pada penelitian ini didapatkan
kadar IL-2 baik plasma maupun supernatan serta IFNγ plasma dan supernatan
lebih rendah pada ADB dengan infeksi dibandingkan dengan ADB tanpa infeksi
dan perbedaan ini secara statistik bermakna (p < 0,05). Seperti diketahui respon
118
tubuh untuk mengatasi infeksi antara lain dengan memunculkan respon imun yang
memadai baik respon imun alami maupun yang adaptif. Dan untuk efektifnya
respon imun terutama respon imun seluler sangat dibutuhkan aktivitas dan
produksi sitokin tertentu seperti IL-2 dan IFN γ .
Penelitian ini didukung oleh penelitian di China dimana 63 penderita ADB
anak dengan infeksi saluran nafas atas berulang diperiksa kadar IL-2 dan sIL-2R
serta subset limfosit T. Didapatkan aktivitas IL-2, persentase CD3 dan CD4
secara signifikan lebih rendah pada anak yang menderita ADB dengan infeksi
saluran nafas berulang dibandingkan dengan kontrol orang sehat (Liu et al.,
1997).
Banyak penelitian lainnya yang dilakukan baik pada binatang coba
maupun pada manusia yang mendapatkan rendahnya kadar sitokin tertentu pada
keadaan defiseinsi besi. Studi oleh Bergman et al. pada penderita ADB dewasa
mendapatkan kadar IL-2 yang lebih rendah kalau dibandingkan dengan orang
normal sedang kadar sitokin lainnya seperti IL-6, IL-10, TNF alfa tidak berbeda
bermakna dengan sitokin orang normal (Bergman et al., 2004). Penelitian di
Malawi Afrika mendapatkan bahwa ADB berkaitan dengan produksi IFNγ yang
lebih rendah. Juga ditemukan kadar IL-8 yang lebih rendah pada penderita ADB
dibandingkan dengan penderita yang kadar besinya normal. Pada studi ini juga
didapatkan adanya hubungan yang kuat antara ADB dan sel limfosit yang
memproduksi IL-6 (Jason et al., 2001). Penelitian di Paris yang dikerjakan pada
53 penderita ADB dan 28 penderita dengan kadar besi normal sebagai
kontrol,menemukan adanya perbedaan kadar IL-2 yang bermakna antara penderita
ADB dan non-ADB (Galan et al., 1992). Penelitian pada binatang coba yang
119
dibuat kekurangan besi juga mendapatkan kadar IL-2 yang lebih rendah
(Latunde-Dada et al., 1992). Kuvibidila pada penelitian dengan tikus
mendapatkan kadar IL-12p40 dan IFN-γ yang lebih rendah pada tikus yang dibuat
kekurangan besi dibandingkan dengan yang mendapat diet cukup besi dengan
penurunan masing-masing 64% dan 66% serta p= < 0,05. Didapatkan juga
korelasi yang positif antara kadar sitokin dengan indikator dari status besi (r
0,688, p= <0,05), (Kuvibidila et al., 2004). Penelitian kasus kontrol pada anak-
anak juga menemukan sekresi IL-2 lebih rendah pada anak-anak dengan defisiensi
besi dibandingkan dengan kontrol (Sipahi et al., 1998).
Mekanisme bagaimana defisiensi besi mengganggu respon imun seluler
dan non-spesifik belum seluruhnya diketahui, akan tetapi diduga bersifat
multifaktorial. Termasuk antara lain: berkurangnya aktivitas enzim yang
mengandung besi seperti enzim ribonukleotide reduktase, mieloperoksidase,
berkurangnya produksi sitokin, berkurangnya jumlah sel T yang kompeten, dan
kemungkinan adanya gangguan transduksi sinyal. Tahapan dari transduksi sinyal
yang dipengaruhi oleh besi masih perlu diteliti, akan tetapi aktivitas protein kinase
C dan translokasinya pada membran plasma sel limfosit dan sel T lien diketahui
terganggu. Hal ini ditemukan pada studi binatang maupun pada manusia.
Demikian pula, pengikatan besi akan menurunkan produksi mRNA untuk protein
kinase C (Alcantara et al., 1994). Pada awal proses aktivasi sel T, akan terjadi
gangguan hidrolisis phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate (PIP2) oleh
pospolipase C (suatu enzim yang mengandung seng), dimana hasil akhir dari
enzim ini adalah inositol 1,3,5-triphophate (IP3) dan diacylglycerol (DAG) yang
akan meregulasi aktivitas protein kinase C. Baik aktivasi PKC dan hidrolisis
120
membran fosfolipid adalah sangat penting sebagai proses awal dari suatu signal
transduksi yang akan menyebabkan terjadinya proses proliferasi sel T dan
beberapa fungsi penting lainnya. Adanya gangguan aktivasi PKC dan hidrolisis
membran fosfolipid akan menyebabkan gangguan respon imun pada mereka yang
dengan defisiensi besi (Kuvibidila et al., 2002).
Penelitian mengenai efek dari anemia defisiensi besi pada fungsi imun
dilakukan pada 32 orang penderita ADB dan 29 orang sehat sebagai kontrol.
Dipelajari beda antara subset sel limfosit, aktivitas bakteriosidal dari netrofil,
kadar IL-6 plasma, kadar dari imunoglobulin. Studi menyimpulkan bahwa baik
respon humoral yang diwakili dengan pemeriksaan kadar IgG4, respon imun
seluler dan juga respon imun non-spesifik serta aktivitas sitokin mengalami
gangguan pada penderita ADB (Ekiz et al., 2005). Peneliti lain mendapatkan pada
pasien dengan ADB terjadi penurunan kapasitas pagositosisnya sehingga diduga
hal ini menyebabkan penderita ADB rentan terhadap timbulnya infeksi (Bergman
et al., 2005). Pada anak dan dewasa, defisiensi besi akan menurunkan proporsi sel
T dalam darah, meskipun jumlah total sel T bisa tetap ataupun berubah. Namun
demikian, berdasarkan laporan Santos dan Falcao, angka absolut dan proporsi
CD4+ dan CD8+ dapat menurun atau tetap tidak berubah pada defisiensi besi
(Kuvibidila et al., 2002). Penelitian lainnya pada tikus, defisiensi besi
menurunkan sel T total, sel T helper dan sitotoksik/ supresor pada limpa.Tapi
tidak merubah rasio sel T helper dan sitotoksik, seperti yang terlihat pada
manusia. (Kuvibidila et al., 1990; Kuvibidila et al., 2001).
Disamping aktivasi dan proliferasi sel T yang terganggu pada defisiensi
besi seperti yang dilaporkan pada penelitian-penelitian diatas, gangguan produksi
121
sitokin juga merupakan salah satu mekanisme yang mendasari adanya gangguan
respon imun pada penderita ADB dan hal ini diduga berperan sehingga penderita
ADB mudah terjangkit suatu penyakit infeksi. Seperti pada penelitian ini dijumpai
gangguan respon imun berupa penurunan kadar sitokin pada penderita ADB yang
disertai infeksi. IL-2 baik plasma maupun supernatan didapatkan dengan kadar
lebih rendah secara bermakna pada ADB dengan infeksi dibandingkan dengan
kadar IL-2 plasma dan supernatan penderita ADB tanpa infeksi (p<0,05).
Demikian pula halnya untuk IFNγ plasma maupun supernatan didapatkan lebih
rendah secara bermakna pada ADB dengan infeksi dibandingkan dengan kadar
IFNγ plasma dan supernatan penderita ADB tanpa infeksi (p< 0,05).
Pada umumnya sitokin bekerja pada lingkungan mikro sel akan tetapi
pengukuran kadar sitokin sering dan umumnya dilakukan ditingkat makro yaitu
dengan mengukur kadar sitokin pada plasma (serum) dan pada cairan supernatan
kultur jaringan sel darah tepi. Sebenarnya ada tiga tempat darimana pemeriksaan
sitokin bisa dikerjakan yaitu dari serum (plasma), pada jaringan atau sel yang
terkena dan pada supernatan dari kultur sel darah perifer. Masing-masing ketiga
cara tersebut mempunyai keunggulan dan sekaligus kekurangannya. Sementara
pengambilan dan penyimpanan serum relatif mudah dilakukan akan tetapi teknik
ini mempunyai beberapa kelemahan. Sitokin umumnya berikatan dengan berbagai
macam protein di dalam plasma sehingga menghalangi pemeriksaannya. Banyak
sitokin tidak terdeteksi di serum karena umumnya mereka diproduksi lokal dan
mempunyai half-life pendek. Untuk mengatasi hal ini pengukuran ditingkat sel
yang bersangkutan (intraseluler) merupakan jawaban untuk hal tersebut akan
122
tetapi hal ini memerlukan laboratorium dan peralatan serta tingkat kesulitan yang
rumit (Sullivan et al., 2000; Jason et al., 2001).
Pada penelitian ini pengukuran sitokin dilakukan dengan 2 cara yaitu
mengukur kadar IL-2 dan IFNγ dalam plasma dan IL-2, IFNγ dalam cairan
supernatan kultur limfosit yang distimulasi dengan mitogen (Con A dan PHA).
Terlihat disini bahwa hasil pemeriksaan dari plasma dan supernatan mendapatkan
kadar yang berbeda dimana kadar pada supernatan didapatkan lebih tinggi baik
untuk IL-2 maupun untuk IFNγ. Seperti diketahui sifat alami dari sitokin pada
umumnya bekerja lokal (autocrine dan paracrine) dan dalam waktu yang sangat
singkat sehingga sangat sedikit ditemukan dalam sirkulasi sistemik. Hal ini yang
diduga menyebabkan kadar sistemik dari kebanyakan sitokin sangat kecil. Namun
demikian dalam penelitian ini tidak didapatkan korelasi yang signifikan antara
kedua jenis pengukuran ini (p=0,367).
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa kadar sitokin dalam
plasma tidak sepenuhnya mencerminkan tingkat produksi sitokin yang
bersangkutan oleh sel yang berkompeten. Hal ini disebabkan oleh karena
pengaturan ekspresi dari berbagai jenis sitokin tergantung pada lajunya proses
transkripsi, pemotongan, turn over dari sinyal yang masuk, proses translasi, proses
pembentukan protein serta proses degradasi dari protein sebelum dikeluarkan dari
dalam sel. Masing masing dari langkah ini pada prinsipnya diregulasi oleh
bermacam dan berbagai stimuli yang berbeda atau oleh inhibitor yang berbeda
pula. Walaupun beberapa sitokin mempunyai jalur regulasi yang sama akan tetapi
rangsang maksimal yang menginduksi masing-masing sitokin berbeda untuk
setiap sitokin (Dy et al., 1999; Sullivan et al., 2001).
123
Temuan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di rumah sakit di
Malawi Afrika. Dibandingkan antara sitokin dari plasma dengan sitokin
intraseluler (cytometrically assessed cell-specific cytokine) IL-2, IL-4, IL-6, IL-8,
IL-10, IFNγ dan TNF alpha dengan menggunakan analisis Wilcoxon rank sum
test, Pearson's dan Spearman' rank. Dijumpai bahwa kekuatan hubungan antara
sitokin serum dan intraseluler bervariasi tergantung dari ada dan tidaknya infeksi
bakterial, HIV dan beberapa faktor yang belum diketahui. Studi ini
menyimpulkan bahwa kadar sitokin dalam plasma hanya sedikit atau sebagaian
kecil saja mewakili sitokin intraseluler tersebut (Jason et al., 2001). Bradenburg
melakukan pemeriksaan sitokin dengan ketiga cara yaitu dari plasma, supernatan
kultur dan pmeriksaan sitokin intraseluler. Ternyata pemeriksaan sitokin
intraseluler tidak terlalu sensitif untuk dapat mendeteksi kadar sitokin tertentu
yang kadarnya rendah pada pemeriksaan sitokin dari supernatan (Bradenburg et
al., 2000).
Pada penelitian ini (kadar) produksi sitokin (IL-2 dan IFNγ) juga terlihat
tidak dipengaruhi oleh umur (umur lebih muda vs umur lebih tua) maupun jenis
kelamin (p > 0,05). Penelitian lain dengan 41 penderita ADB menemukan juga
kadar plasma IL-2 tidak dipengaruhi oleh umur maupun jenis kelamin dengan
masing-masing p= 0,26 dan p= 0,78 (Losen , 2005). Sedang penelitian yang
hampir sama pada 25 penderita Anemia Penyakit Kronik menemukan kadar IL-6
juga tidak berbeda berdasarkan jenis kelamin dan median umur penderita
(Wibawa B, 2008).
124
6.3 Pengaruh pemberian tablet besi
Terapi pada ADB masih sangat tergantung pada ketersediaan tablet besi,
karena hanya dengan pemberian diet yang mengandung zat besi tidak mencukupi
terutama pada penderita anemia yang sudah dengan manifestasi klinis. Pada
penelitian ini penderita diberikan tablet besi berupa Iron Hydroxyde Polymaltose
Complex (IPC) dimana senyawa ini mempunyai keuntungan yaitu stabil, rasa
lebih enak, tidak menimbulkan perubahan warna gigi, toleransi lambung, dan bisa
dimakan bersama makanan. Preparat ini juga diyakini tidak menimbulkan
kelebihan besi dan profil keamanannya baik (Baltter et al., 2003)
Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang penderita dinyatakan
memberikan respon baik bila retikulosit naik pada minggu pertama dan menjadi
normal setelah hari ke-10 sampai dengan hari ke-14. Respon baik juga dapat
dilihat dari peningkatan kadar hemoglobin 0,15 g/dl perhari atau 2 g/dl setelah 3-4
minggu. Hemoglobin menjadi normal setelah 4-10 minggu. Jika respon terhadap
terapi tidak baik perlu dipikirkan kemungkinan pasien tidak patuh sehingga obat
tidak diminum, dosis tablet besi yang kurang, masih terjadi perdarahan yang
cukup banyak, adanya penyakit lain yang menyertai seperti penyakit kronik,
keradangan menahun atau pada saat yang sama penderita juga ada defisiensi asam
folat, atau diagnosis yang salah. Jika ditemukan keadaan di atas maka perlu
dilakukan evaluasi kembali dan diambil tindakan yang tepat. Perlu diketahui
bahwa absorbsi besi tergantung pada jumlah kandungan besi dalam makanan, ada
tidaknya bahan penghambat atau pemacu absorbsi dalam makanan, dan jumlah
cadangan besi dalam tubuh (Bakta, 2003).
125
Pada penelitan ini pemberian terapi besi (IPC) selama 8 minggu,
didapatkan adanya peningkatan hemoglobin secara signifikan dengan nilai
p<0,05. Demikian juga halnya MCV, MCH dan serum feritin didapatkan
meningkat secara bermakna setelah pemberian tablet besi selama 8 minggu (p<
0,05). Hasil ini dapat menunjukan bahwa diagnosis ADB pada penelitian ini dapat
lebih dipastikan oleh karena terbukti dengan pemberian tablet besi terjadi
peningkatan yang bermakna dari kadar hemoglobin dan indeks eritrosit serta
kadar serum feritin.
Penelitian lain yang juga mendapatkan peningkatan signifikan dari
hemoglobin (p= 0,001) setelah mendapatkan terapi IPC selama 3 minggu. Di sini
juga didapatkan peningkatan yang siginifikan dari MCV dan MCH setelah
pemberian selama 3 minggu. Studi lain pada 46 sukarelawan sehat yang diambil
dari 717 orang pendonor, 4 kantong darah atau lebih pertahun dan diterapi
dengan tablet IPC selama 56 hari. Studi ini mendapatkan bahwa terapi besi
meningkatkan secara signifikan kadar hemoglobin (p= 0,003) dan serum feritin
(p= 0,002) tanpa adanya efek samping. Dengan kata lain, suplementasi oral
dengan IPC memungkinkan untuk mempertahankan keseimbangan besi yang
adekuat pada pendonor darah yang reguler (Blatter et al., 2003). Pengaruh
pemberian besi juga diteliti pada pemain sepak bola wanita di Korea. Diberikan
suplementasi besi selama 4 minggu pada 25 wanita usia 20 – 28 tahun yang
dirandomisasi jadi dua kelompok yaitu kelompok terapi dan plasebo. Serum
feritin didapatkan meningkat signifikan pada kelompok terapi (p < 0,005), kadar
hemoglobin tidak berubah, sedangkan kadar MCV, MCH dan TIBC menurun
signifikan pada kedua kelompok. Disimpulkan bahwa pemberian tablet besi
126
selama 4 minggu secara signifikan meningkatkan cadangan besi dan menghambat
penurunan kadar hemoglobin yang disebabkan oleh latihan (Kang et al., 2005).
De Silva, et al. melaporkan dari Kolombo Srilanka dalam suatu studi randomisasi
terkontrol, pengaruh pemberian tablet besi selama 8 minggu terhadap status besi
dan mortalitas akibat infeksi saluran nafas akut. Didapatkan peningkatan kadar
hemoglobin setelah pemberian tablet besi secara bermkna (p < 0,001).
Peningkatan kadar feritin setelah pemberian tablet besi sebesar 6,6 ± 3,9 g/dl (p <
0,001)(De Silva et al., 2003). Laporan dari Togo, Afrika juga mendapatkan hasil
yang sama setelah pemberian besi pada peningkatan status besi anak-anak usia 3
– 36 bulan. Peningkatan hemoglobin ditemukan signifikan setelah 3 bulan dengan
nilai p < 0,02. Serum feritin juga meningkat secara signifikan dengan p < 0,005
(Berger et al., 2000).
Seperti diketahui sitokin akan mempengaruhi homeostasis besi dan
sebaliknya besi akan mempengaruhi aktivitas sitokin dan mekanisme imun efektor
dari makrofag sehingga mempengaruhi respon imun terhadap patogen yang
menginvasi. Salah satu mekanisme sentral yang berperan adalah efek inhibisi
langsung dari besi terhadap aktivitas IFNγ. Kadar besi yang berlebihan pada sel
makrofag akan mengakibatkan penghambatan pembentukan sitokin proinflamasi
TNF alpha, ekspresi MHC class II, pembentukan Neopterin dan ekspresi ICAM-1,
melalui hambatan terhadap IFN gamma- mediated pathways. Sebagai akibatnya
makrofag yang kelebihan besi akan kehilangan kemampuannya untuk membunuh
bakteri intraseluler seperti bakteri Leggionela, Listeria, dan juga virus baik in
vitro maupun in vivo. Sebagian dari efek ini berhubungan dengan produksi NO
akibat kelebihan besi. Hal ini penting karena NO adalah molekul efektor yang
127
esensial dari makrofag untuk membunuh patogen dan tumor sel (Weiss G, 2002).
Studi pada sel turunan monosit manusia (THP-1) dapat mendemonstrasikan besi
mampu mempengaruhi aktivitas sitokin. Besi berat molekul rendah seperti besi
transferin dan besi heme menurunkan efek IFNγ pada sel THP-1 sekitar 70%.
Sedangkan kekurangan besi akibat pemberian pengikat besi desferoxamin akan
meningkatkan aktivitas IFNγ dibandingkan pada kontrol sel yang hanya
mendapatkan sitokin saja. Pengaruh dari besi pada imunitas seluler lebih
diperjelas dari laporan yang menunjukkan bahwa makrofag yang kelebihan besi
kehilangan kemampuannya untuk membunuh patogen intraseluler akibat
menurunnya IFN gamma-mediated pathways. Disimpulkan bahwa pengalihan
besi yang masuk karena peningkatan asupan dan pembentukan feritin oleh
makrofag, tidak saja menyebabkan penghambatan tumbuhnya mikroorganisme
dan sel tumor karena tidak tersedianya besi akan tetapi pada saat yang sama
secara efektif meningkatkan aktivitas dari sitokin yaitu IFNγ dan TNFα. Hal ini
akan meningkatkan efek sitotoksik yang diinduksi oleh makrofag sehingga
memberikan perlindungan pada tubuh. Di samping itu, makrofag yang teraktivasi
juga mampu mensintesis transferin yang kemudian akan meningkatkan proliferasi
limfosit secara parakrin sehingga hal ini dapat mengatasi efek penekanan oleh
hipoferemia pada sistem imun (Weiss G, 1995).
Pada penelitian ini didapatkan adanya peningkatan produksi sitokin akibat
pemberian tablet besi. Peningkatan plasma IL-2 setelah pemberian tablet besi
selama 8 minggu sebesar 21,65 pg/l dan peningkatan ini secara statistik bermakna
( p<0,05). Sedangkan IFNγ plasma meningkat sebesar 36,6 pg/l dan peningkatan
ini bermakna secara statistik (p<0,05). Penelitian ini menguatkan temuan yang ada
128
dimana ketersediaan besi ditingkat seluler sangat penting bagi kelangsungan
proses aktivasi dan proliferasi serta diferensiasi sel T. Gangguan proses ini akan
menyebabkan sel T tidak mampu berdiferensiasi menjadi sel T efektor baik Th1,
Th2 maupun Tc serta gangguan dalam produksi sitokin (IL-2 dan IFNγ).
Penurunan kadar IL-2 dan IFNγ ini disebabkan oleh karena sel limfosit T
kekurangan besi dan sel T yang mengalami deplesi besi tidak akan mampu
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel efektor yang efektif serta tidak
mampu memproduksi sitokin (IL-2,IFNγ) yang dibutuhkan untuk berlangsungnya
respon imun yang sempurna. Pada penelitian ini peran dari besi ini terbukti,
dimana dengan pemberian besi dan peningkatan cadangan basi diikuti dengan
peningkatan produksi IL-2 dan IFNγ yang bermakna oleh sel T.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian pada anak-anak penderita
ADB, dimana disini ditemukan sekresi IL-2 lebih rendah pada anak-anak dengan
defisiensi besi dan kadar IL-2 menjadi normal setelah diberikan suplementasi besi
(p<0,001). Kadar IL-6 tidak mengalami perubahan sebelum dan setelah
suplementasi (p > 0,05) (Sipahi et al., 1998).
Pada penelitian pada binatang pengaruh pemberian besi dilaporkan oleh
Kuvibidila et al., dimana kadar sitokin diperiksa pada tikus dengan defisiensi besi,
kontrol dan tikus dengan makanan yang cukup besi. Pemeriksaan yang sama
dilakukan setelah penambahan besi selama 3 hari dan 14 hari. Pada tikus ADB
terjadi penurunan kadar IL-12p40 dan IFNγ yang bermakna (p < 0,05) dan dengan
pemberian besi akan meningkatkan kadar sitokin yang bersangkutan. Kadar
sitokin berkorelasi positif dengan indikator besi dan berat dari kelenjar timus (r =
0,68, p < 0,05) (Kuvibidila et al., 2004). Studi binatang lainnya yang juga
129
menggunakan tikus yang dibuat defisiensi besi, kontrol dan diet yang cukup besi
mendapatkan bahwa pengaruh pemberian besi dapat mengkoreksi respon
proliferasi limfosit terhadap anti-CD3 dan dapat meningkatkan kadar IL-10 secara
bermakna (p < 0,05).
Walaupun terapi besi diketahui bermanfaat khususnya pada bayi dan anak
yang menderita ADB yang harus dikoreksi dengan segera, akan tetapi banyak
laporan yang mendapatkan defisiensi besi justru melindungi tubuh dari invasi
kuman dan sebaliknya penambahan besi akan meningkatkan kejadian infeksi
(Oppenheimer et al., 1986), dan studi tentang ADB dengan pemberian tablet besi
mendapatkan hasil inkonklusif dan kontroversial dalam hal peningkatan kejadian
infeksi. Berger melaporkan pemberian tablet besi tidak mempengaruhi kejadian
infeksi selama 3 bulan pemberian besi pada 84 anak dan 6 bulan setelahnya
(Berger et al., 2000). Demikian pula laporan dari Kolombo mendapatkan tidak
adanya pengaruh pemberian besi selama 8 minggu terhadap angka kejadian
infeksi saluran nafas atas (De Silva et al., 2003). Sebuah telaah sistematik pada
28 studi kontrol terrandomisasi yang melibatkan 7892 anak untuk mengetahui
efek dari pemberian besi terhadap insiden infeksi pada anak-anak. Hasil dari meta
analisis ini menunjukkan bahwa pemberian besi tidak meningkatkan risiko
terhadap infeksi secara keseluruhan (Gera et al., 2002).
Pengaruh pemberian besi pada penelitian ini sebenarnya menunjukkan
hasil yang konsisten dengan penelitian lainnya yaitu terjadi peningkatan produksi
sitokin setelah pemberian tablet besi selama 8 minggu dimana IL-2 dan IFNγ
dalam plasma meningkat secara bermakna ( p<0,05) akan tetapi pengukuran pada
supernatan kultur limfosit tidak mendapatkan peningkatan kadar sitokin yang
130
bermakna. Penelitian yang hampir mirip dilaporkan oleh Thibault et al. dimana
diteliti pengaruh pemberian besi terhadap status imun 81 anak dengan
menggunakan penelitian longitudinal buta-ganda terrandomisasi dengan plasebo
dan kontrol. Produksi IL-2 pada penderita ADB lebih rendah dibandingkan
kontrol. Pemberian tablet besi selama 2 bulan meningkatkan MCV, serum feritin
dan serum transferin tapi tidak meningkatkan kadar IL-2 (Thibault et al., 1992).
Produksi sitokin oleh sel mononuklear darah tepi pada 20 penderita ADB
dibandingkan dengan kontrol orang normal sebelum dan setelah pemberian besi
diteliti. Penurunan yang bermakna dari IL-2 penderita ADB (p < 0,01) sedangkan
sitokin lainnya tak didapatkan perbedaan yang bermakna. Penambahan besi pada
media kultur tidak mempengaruhi sekresi IL-2 dan IL-1ß, akan tetapi dapat
meningkatkan kadar IL-6, IL-10 dan TNF alpha (Bergman et al., 2004).
Dari kajian teoritis dan didukung oleh hasil-hasil penelitian, beberapa
keadaan diduga dapat menyebabkan tidak meningkatnya kadar sitokin yang
diperiksa dari supernatan kultur sel setelah dilakukan aktivasi dengan mitogen
atau antigen in vitro antara lain : (1) adanya proses apoptosis akibat stimulasi
yang berulang ( in vivo dan in vitro ) (Martin – Malo et al., 2000; Walker et al.,
2002); (2) tidak tersedianya antigen spesifik atau mitogen spesifik untuk jenis sel
tertentu akan mengurangi optimalisasi rangsangan untuk produksi sitokin yang
bersangkutan (Fulya et al., 2006); (3) pertumbuhan sel yang tidak spesifik seperti
yang diharapkan dapat menyebabkan gangguan produksi sitokin yang diperiksa
(Jason et al., 2001). Tidak bisa dipungkiri bahwa masalah tehnik pelaksanaan
kultur juga ikut mempengaruhi hasil, mulai dari tehnik isolasi sel yang diinginkan
sampai pertumbuhan sel dalam media kultur yang dipakai. Untuk dapat
131
mendukung terjadinya pertumbuhan diperlukan persyaratan dari media kultur
yang disesuaikan dengan media kehidupan sel secara in vivo atau setidaknya
mendekati. Faktor-faktor yang mempengaruhi agar tercapai substrat yang ideal
adalah tonisitas, suhu, pH, garam anorganik,asam amino, karbohidrat dan protein
(Maat ,1999).
Secara teoritis apabila sel telah terstimulasi oleh antigen in vivo kemudian
diekspose lagi secara sekunder dengan mitogen atau antigen spesifik lainnya ex
vivo atau in vitro maka sel yang bersangkutan akan mengalami apoptosis sehingga
akan mengaburkan peran spesifik dari sitokin bersangkutan pada proses fisiologik
tubuh (Abbas et al.,2005; Walker et al.,2002). Walker et al. melaporkan adanya
produksi sitokin dari sel darah tepi tanpa dilakukan stimulasi dengan mitogen atau
antigen spesifik pada penelitiannya di Afrika terhadap penderita yang di rawat
inap maupun sukarelawan sehat. Hal ini jarang didapatkan pada populasi sehat
lainnya di Amerika Serikat maupun di Eropa. Akan tetapi pada populasi
penelitian ini kejadian HIV, malaria dan beberapa infeksi parasit perut serta
infeksi mikobakterium merupakan kejadian endemik di wilayah ini, sehingga
subyek yang diteliti sebagian besar sedang dalam kondisi sakit. Disini dilaporkan
sitokin yang sering diproduksi secara spontan adalah sitokin proinflamasi (IFNγ
dan TNFα) yang diproduksi oleh sel NK yang merupakan komponen utama dari
sistem imun non-spesifik. Walaupun pada studi ini tidak didapatkan korelasi
negatif antara sitokin yang diproduksi spontan dengan sitokin yang distimulasi,
seperti yang diharapkan apabila apoptosis memang terjadi akan tetapi analisis
lebih lanjut dapat memberikan gambaran lebih jelas adanya peran apoptosis.
Disini dicatat terjadi penurunan jumlah sel CD3+ CD8+ yang memproduksi
132
sitokin IL-6 dari saat memproduksi sitokin secara spontan dibandingkan dengan
jumlah sel yang sama yang memproduksi sitokin yang sama (IL-6) setelah
dilakukan stimulasi dengan mitogen in vitro yaitu sebesar 32,2% (85,9% vs
53,7%). Hal ini menunjukkan bahwa ada peran dari proses apoptosis akibat
aktivasi in vivo sebelumnya. Dilaporkan juga pada studi ini ternyata IL-6
mendapatkan stimulasi yang lebih kuat in vivo (misalnya adanya ADB seperti
yang dilaporkan oleh Jason et al. 2001) dibanding dengan stimulasi yang
diberikan secara in vitro (Walker et al., 2002).
Kejadian yang hampir mirip juga dilaporkan oleh Martin-Malo et al. yang
mempelajari efek uremia dan dialisis terhadap apoptosis sel mononuklear. Dari 4
kelompok pasien yang dipelajari yaitu kelompok Non-dialisis, CAPD, HD dan
kelompok kontrol sehat. Di sini terlihat adanya proses apoptosis yang meningkat
pada kelompok non-dialisis (p < 0,05) dan lebih tinggi lagi pada kelompok HD.
Juga didapatkan korelasi negatif antara apoptosis dan kliren kreatinin (r= -0,62,
p= 0,003). Dari studi ini dilaporkan bahwa kondisi uremia dan hemodialisis
merupakan dua stimulasi yang terjadi sehingga meningkatkan adanya proses
apoptosis (Martin – Malo et al., 2000).
Pada banyak infeksi kronik seperti infeksi HIV dan infeksi virus lainnya
sel spesifik yang membunuh virus yaitu sel CD8 akan kehilangan kemampuannya
untuk berproliferasi (apoptosis), untuk memproduksi sitokin, dan membunuh sel
yang terinfeksi apabila infeksi pada penderita mengalami progresi menjadi infeksi
yang berjalan lama (kronik). Sel ini secara gradual kehilangan efektivitasnya dan
secara fungsinal menjadi sel yang impaired dan exhaustion (Rowland-Jones et al.,
2008; Brumme et al., 2008). Penderita gagal ginjal kronik mempunyai risiko yang
133
tinggi untuk mendapatkan infeksi seperti pada penderita dengan gangguan imun
atau yang mendapat terapi imunsupresif. Penyebab terjadinya kegagalan fungsi
imun pada diduga multifaktorial sperti kondisi uremianya sendiri, metabolisme
protein imun yang terganggu dan akibat terapi pengganti yang diberikan (renal
replacement therapy). Untuk mengurangi hal ini dilakukan peningkatan dosis
hemodialisis untuk mengurangi senyawa uremia yang beredar dan menggunakan
membran biokompatibel untuk mengurangi stimulasi inflamasi sel sehingga sel
tidak mengalami kelelahan (exhaustion) dan apoptosis (Grindt et al.,1999).
Disamping dugaan adanya proses apoptosis dan kelelahan sel imun yang
menyebabkan tidak meningkatnya kadar IL-2 dan IFNγ pada supernatan, juga
tidak adanya antigen yang spesifik pada kultur dan feeder cells sehingga sel
limfosit tak terstimulasi dengan sempurna, tidak seperti kondisi in vivo sehingga
sel limfosit memproduksi sitokin dengan baik setelah diberi besi. Fulya et al.
melaporkan perlunya antigen dan feeder cells dengan spesifikasi tertentu untuk
merangsang pertumbuhan sel in vitro sehingga dapat memproduksi sitokin yang
sesuai. Hal ini didapatkan dari penelitian yang dilakukan untuk melihat adanya
perbedaan profil produksi sitokin olel sel mononuklear darah tepi apabila
dirangsang dengan mitogen yang berbeda dimana kadar IL-2 didapatkan lebih
tinggi apabila dirangsang dengan PMA sedang IL-6, IL-8, TNFα lebih tinggi
kadarnya apabila dirangsang dengan MLS (mycobacterium leprae sonicated).
Kadar IL-4 tidak didapat berbeda pada kedua jenis stimulan tadi (Fulya et al.,
2006).
Dugaan penyebab yang ketiga adalah diperlukannya tehnik isolasi sel yang
baik yang akan ditanam atau dikultur dan tehnik penghitungan serta identifikasi
134
jenis sel yang tumbuh pada kultur juga harus diperhatikan untuk mendapatkan
hasil yang diinginkan. Identifikasi dan penghitungan jenis sel perlu dilakukan
untuk mengetahui apakah sel yang tumbuh hanya sel yang memang diinginkan.
Pertumbuhan jenis sel yang bermacam-macam pada satu medium kultur akan
menyebabkan terjadi persaingan diantara sel tersebut dan juga diantara jenis-jenis
sitokin tertentu yang tidak jarang saling bertentangan satu dengan lainnya dan hal
ini akan menyebabkan gangguan produksi dari sitokin yang diharapkan. Dengan
tehnik multiprameter flow cytometry dapat dikenali populasi sel yang spesifik
melalui pewarnaan antigen permukaan sehingga produksi masing-masing sitokin
oleh sel yang bersangkutan dapat diketahui (Jason et al., 2001)
6.4 Perumusan temuan baru (noveltis) berupa kerangka teoritis
patomekanisme infeksi pada ADB
Berdasarkan data yang dihasilkan dari penelitian ini yang mendukung teori
bahwa defisiensi besi akan meningkatkan kejadian infeksi dan didukung oleh data
penelitian lainnya maka dapat dibuat suatu model kerangka teoritis
patomekanisme terjadinya peningkatan kejadian infeksi pada penderita ADB
dimana penurunan produksi IL-2 dan IFNγ (kadar IL-2 dan IFNγ yang rendah)
akan menyebabkan penderita ADB menjadi lebih rentan terhadap timbulnya
infeksi. Penurunan kadar IL-2 dan IFNγ ini disebabkan oleh karena sel T
kekurangan besi dan sel T yang mengalami deplesi besi tidak akan mampu
berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel efektor Th1, Th2 maupun sel Tc.
Seperti diketahui sel Th1 lebih sensitif terhadap defisiensi besi oleh karena
cadangan besinya lebih rendah dibandingkan cadangan besi sel Th2 (Weis,2002).
Sehingga sel Th1 yang tidak efektif karena kekurangan besi tidak mampu
135
memproduksi sitokin (IL-2,IFNγ) yang dibutuhkan untuk berlangsungnya respon
imun yang sempurna. Peran dari besi ini untuk kelangsungan proses aktivasi dan
diferensiasi sel T terbukti, dimana dengan pemberian besi dan peningkatan
cadangan basi ternyata diikuti dengan peningkatan produksi IL-2 dan IFNγ oleh
sel limfosit T.
Seperti dapat dilihat pada gambar dibawah ini bahwa :
1. Pada penelitian fase I yang bertujuan untuk mencari kaitan antara produksi IL-
2 dan IFNγ dengan kejadian infeksi pada penderita ADB, ternyata
mendapatkan hasil bahwa produksi IL-2 dan IFNγ pada penderita ADB yang
disertai dengan infeksi mempunyai kadar IL-2 dan IFNγ yang lebih rendah
secara bermakna jika dibandingkan dengan kadar IL-2 dan IFNγ penderita
ADB yang tidak disertai dengan infeksi dimana perbedaan ini secara statistik
bermakna . Hasil ini didukung oleh penelitian di China juga mendapatkan hal
yang sama, dimana 63 penderita ADB anak dengan infeksi saluran nafas atas
berulang diperiksa kadar IL-2 dan sIL-2R serta subset limfosit T. Didapatkan
aktivitas IL-2, persentase CD3 dan CD4 secara signifikan lebih rendah pada
anak yang menderita ADB dengan infeksi yang berulang, dibandingkan
dengan kontrol orang sehat (Liu et al., 1997) .Penelitian ini didukung studi di
Israel pada 680 orang menemukan 5644 episode serangan radang telinga akut
dengan rerata serangan 8,3 per penderita. Total dari 528 pasien ADB 77,6%
mendapatkan infeksi pada kedua telinga mereka pada saat yang bersamaan
(Golz et al., 2001). Juga penelitian di London tahun 1928. Dari 541 penderita
yang diteliti hampir setengahnya ditemukan dengan infeksi yang lebih rendah
pada kelompok yang mendapatkan tablet besi untuk terapi defisiensi besinya.
136
Studi lainnya tahun 1966 di Chicago, dimana sebanyak > 1000 bayi yang
menderita ADB diteliti dan didapatkan penurunan angka kesakitan akibat
infeksi saluran nafas atas yang sangat signifikan setelah diberikan tablet besi
(Dallman,1987). Higgs dan Wells (1973) melaporkan 31 pasien dengan
mukokutaneus kandidiasis kronik dimana 23 diantaranya adalah penderita
ADB dan 9 diantara 11 penderita membaik dengan pemberian besi. Suatu
studi prospektif menemukan angka infeksi pasca operasi lebih tinggi secara
bermakna pada 228 penderita dengan kadar serum feritin yang rendah
dibandingkan dengan 220 penderita dengan kadar serum feritin normal
(Oppenheimer, 2001).
2. Untuk membuktikan bahwa memang peran besi juga sangat diperlukan agar
produksi IL-2 dan IFNγ oleh sel limfosit T lebih optimal sehingga respon
tubuh terhadap kuman yang masuk kedalam tubuh menjadi lebih baik maka
penelitian fase II ini dikerjakan. Pada penelitian ini didapatkan adanya
peningkatan produksi sitokin akibat pemberian tablet besi. Peningkatan IL-2
plasma setelah pemberian tablet besi selama 8 minggu sebesar 21,65 pg/l dan
peningkatan ini secara statistik bermakna ( p< 0,05). Sedangkan IFNγ plasma
meningkat sebesar 36,5 pg/l dan peningkatan ini bermakna secara statistik
(p< 0,05). Hal ini juga didukung oleh penelitian pada anak-anak dengan
ADB. Didapatkan bahwa sekresi IL-2 lebih rendah pada anak-anak dengan
defisiensi besi dibandingkan dengan kontrol dan kadar IL-2 menjadi normal
setelah diberikan suplementasi besi (p < 0,001)(Sipahi et al., 1998). Pada
penelitian yang dilaporkan oleh Kuvibidila et al., pada tikus dengan ADB
terjadi penurunan kadar IL12p40 dan IFNγ yang bermakna (p < 0,05) dan
137
dengan pemberian besi akan meningkatkan kadar sitokin yang bersangkutan.
Kadar sitokin berkorelasi positif dengan indikator besi dan berat dari kelenjar
timus (r = 0,68, p < 0,05 ) (Kuvibidila et al., 2004). Bukti bahwa memang
besi yang berperan pada peningkatan produksi IL-2 dan IFNγ pada penelitian
ini, didukung oleh adanya peningkatan status besi pada penderita ADB setelah
diberi tablet besi. Kadar hemoglobin meningkat dengan selisih median sebesar
4,5 g/dl dan nilai p <0,05. Demikian juga halnya dengan peningkatan MCV,
MCH dan feritin akibat pemberian tablet besi selama 8 minggu dengan p<
0,05.
Gambar 6.1. Kerangka teoritis patomekanisme infeksi pada Anemia Defisiensi
Besi
ADB
FERITIN RENDAH
BESI RENDAH
GANGGUAN PROLIFERASI SEL T
IL-2 RENDAH
IFN γ RENDAH
KEJADIAN INFEKSI
MENINGKAT
IL-2 MENINGKAT
IFN γ MENINGKAT
Pemberian Tablet Besi
Selama 8 Minggu
138
6.5 Keterbatasan Penelitian
1. Penelitian ini dilakukan di ruang-ruang perawatan pasien di Rumah Sakit
Umum Pusat Sanglah Denpasar dengan merekrut pasien secara konsekutif
( non probability sampling ), dengan demikian keterwakilan populasi oleh
sampel tidak sebaik bila dilakukan dengan probability sampling.
Probability sampling sulit dilakukan untuk pasien yang dirawat di rumah
sakit bukan di masyarakat, karena pasien datang tidak dalam waktu yang
bersamaan melainkan datang dengan cara berurutan.
2. Walaupun penelitian ini bersifat intervensional yaitu dengan pemberian
tablet besi selama 8 minggu, namun tidak dilakukan randomisasi sehingga
komparabilitas subyek sulit didapat. Secara etis pasien-pasien anemia
defisiensi besi tidak bisa dirandomisasi untuk kemudian dikelompok
dalam kelompok plasebo yang tidak mendapatkan terapi tablet besi. Hal
ini tidak memungkinkan karena tidaklah etis karena semua pasien dengan
anemia defisiensi besi harus mendapatkan terapi besi sesuai dengan
standar pengobatan untuk penderita dengan anemia defisiensi besi. Hal ini
menyebabkan kekuatan rancangan ini lebih lemah dalam mencari
hubungan kausa efek.
3. Beberapa kesulitan yang dijumpai dalam pelaksaan penelitian ini antara
lain tidak bisa dilakukan penghitungan jumlah dan jenis sel yang tumbuh
setelah dilakukan kultur pada media yang telah disediakan. Hal ini
disebabkan adanya hambatan fasilitas yang tersedia sehingga tidak
memungkinkannya kita mengetahui jenis sel yang tumbuh serta kuantitas
tumbuhnya sel dalam media kultur.
139
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan Penelitian
Dari hasil-hasil yang ditemukan pada penelitian ini dan pembahasannya diajukan
simpulan sebagai berikut :
Kadar IL-2 yang diukur dari plasma dan supernatan kultur limfosit
lebih rendah secara bermakna pada penderita ADB yang disertai
infeksi dibandingkan dengan penderita ADB yang tidak disertai
infeksi.
Kadar IFN γ yang diukur dari plasma dan supernatan kultur
jaringan limfosit lebih rendah secara bermakna pada penderita
ADB yang disertai infeksi dibandingkan dengan penderita ADB
yang tidak disertai infeksi.
Kadar IL-2 dan IFN γ yang diukur dari plasma meningkat secara
bermakna setelah pemberian tablet besi selama 8 minggu
dibandingkan dengan kadar IL-2 dan IFN γ plasma sebelum terapi
tablet besi.
Kadar IL-2 dan IFN γ yang diukur dari supernatan kultur limfosit
menurun setelah pemberian tablet besi selama 8 minggu
dibandingkan dengan kadar IL-2 dan IFN γ supernatan sebelum
terapi tablet besi.
139
46
140
Dari semua simpulan di atas dapat dibuat suatu rangkuman umum dimana
penurunan produksi IL-2 dan IFN γ oleh sel limfosit T penderita ADB
merupakan salah satu faktor yang berperan dalam mekanisme mudahnya timbul
infeksi pada penderita anemia defiiensi besi.
7.2 Saran-saran
Dari hasil-hasil penelitian ini dapat diajukan beberapa saran-saran , sebagai
berikut :
Perlu kiranya dilakukan studi eksperimental yang lebih kuat (true
experimental) dengan melibatkan kontrol dan proses randomisasi
untuk melihat secara lebih jelas peranan besi sebagai penyebab
timbulnya gangguan respon imun seluler dengan pemeriksaan kadar
sitokin IL-2 dan IFN γ.
Diperlukan pemeriksaan kadar sitokin intraseluler dan identifikasi sel
darah tepi yang dikultur dan tumbuh pada media yang memproduksi
sitokin yang bersangkutan sehingga lebih jelas diketahui ditingkat
seluler etiomekanisme terjadinya gangguan imun pada penderita
dengan defisiensi besi.
141
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., Lichtman, A.H. 2005. Effector mechanisms of immune responses.
In: Cellular and molecular immunology. 5th ed ( updated ). Philadelphia, Elsevier
Saunders : p. 298-317.
Abbas, A.K., Lichtman, A.H. 2005. General properties of immune responses. In:
Cellular and molecular immunology. 5th ed ( updated ). Philadelphia, Elsevier
Saunders : p. 3- 15
Adamson, J.W. 2001. Iron deficiency and other hypoproliferative anemias. In:
Braunwald E, Fauci As, Kasper DL, Hauser SL, Longo Dl, Jameson Jl, editors.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 15th ed. New York: McGraw-Hill;
660-5.
Alcantara, O., Obeid, L., Hannu, Y., Ponka, P., Boldt, D.H. 1994. Regulation of
protein kinase C (PKC) expression by iron: Effect of different iron compounds on
PKC-gene expression and the role of the 5´ flanking region of the PKC-gene in
the response to ferric transferrin. Blood; 84: 3510-17.
Andrews, N.C. 1999. Disorder of iron metabolisme. N Eng J Med; 341:1986-95.
Andrews, N.C. 2005. Molecular control of iron metabolism. Best Practice &
Research Clinical Hematology; 18 : 159- 69.
Asadullah, K., Sterry, W., Volk, H.D. 2003. Interleukin-10 Therapy-Review of
new approach. Pharmacol Rev; 55:241-69.
Baker, W.F. 2000. Iron deficiency in pregnancy, obstetrics and gynecology.
Hematology / Oncology Clinics of North America; 14:1-20.
Bakta, I.M. 1989. Anemia Kekurangan Besi pada Usia Lanjut: Suatu Survei pada
Anggota PWRI Kabupaten Jembrana Bali. Majalah Kedikteran Indonesia 39: 267-
72.
Bakta, I.M. 1993. Infeksi Cacing Tambang pada Orang Dewasa dan Perannya
sebagai salah satu penyebab Anemia Defisiensi Besi. Disertasi. Universitas
Airlangga, Surabaya.
Bakta, I.M. 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi 2000. Divisi
Hematologi dan Onkologi Medik Bag./SMF Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP
Denpasar : 1-4.
Bakta, I.M., Sutjana, D.P., Andewi, J.P. 1983. Prevalensi Anemia dan Infeksi
Cacing Tambang di Desa Pejaten Bali. Kumpulan Naskah Kongres National V
Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia. Yogyakarta, 22-24
September 1983.
142
Balick SE et al. (1991) Three dimensional structure of recombinant human
Interferon gamma. Science 252: 698-702.
Baratawijaya K.G. 2000. Pemeriksaan Sistem Imun. Dalam : Imunologi Dasar.
Edisi ke 4. Balai Penerbit FK Universitas Indonesia ; p : 275-301
Beard, J.L. 2001. Iron biology in immune function, muscle metabolism and
neuronal functioning. J Nutr; 131:568S-80S.
Berger, J., Dyck, J.L., Galan, P., Aplogan, A., Schneider, D., Traissac, P. 2000.
Effect of daily iron supplementation on iron status, cell-mediated immunity, and
incidence of infections in 6-36 month old Togolese children. European Journal of
Clinical Nutrition;54:29-35.
Bergman, M., Bessler H., Salman, H., Siomin, D., Straussberg, R., Djaldetti, M.
2004. In vitro cytokine production in patients with iron deficiency anemia.
Clinical Immunology 113: 340-344.
Bergman, M., Salman, H., Pinchasi, R., Straussberg, R., Djaldetti, M., Bessler, H.
2005. Phagocytic capacity and apoptosis of peripheral blood cells from patients
with iron deficiency anemia. Biomedicine & Pharmacotherapy ,59: 307-311.
Beutler, E., Hoffbrand, V., Cook, J.D. 2003. Iron deficiency and overload.
Hematology : 40-61.
Blatter, C., Nouroozian, M., 2003. Maltofer Product Monograph. Second edition.
Switzerland : Vifor Intl. inc.
Bowlus CL, 2002. The role of iron in T cell development and autoimmunity.
Autoimmunity Reviews, 2:73-8.
Brandenburg, A.H., Kleinjan, A., Land, B., Moll, H.A., Timmerman, H.H., Swart,
R.L. 2000. Type 1-Like Immune Response is Found in Children With Respiratory
Syncytial Virus Infection Regardless of Clinical Severity. J. Med. Virol, 62:267-
277.
Brock, J.H. (1993) Iron and immunity. Journal of Nutritional Immunology, 2: 47-
106.
Brugnara, C. 2003. Iron Deficiency and erythropoisis: New diagnostic
approaches. Clin Chem; 49:1573-8.
Brumme, Z.L.,Streeck, H., Anastario, M., Cohen, K.W., Jolin, J.S. 2008. Antigen
load and viral sequence diversification determine the functional profile of HIV-
1specific CD8p T cells. PLoS Med 5(5):e100.
Bullen, J.J., Rogers, H.J., Spalding, P.B., Ward, C.G. 2004. Iron and infection: the
heart of the matter. FEMS Immunology and Medical Microbiology ; 43 : 325- 30.
143
Clancy J, 2000. Delayed type hypersensitivity ( DTH ). In: Gilbert HF, ed. Basic
concepts in immunology. Intl ed. Singapore: McGraw-Hill .p.125-37
Coffman, R.L.1999 . Cytokine in infectious diseases. In Theze J editor. The
citokine network and immune functions. New York: Oxford University Press. p
285 – 92
Conrad, M.E. 2002. Iron Deficiency Anemia. Medicine Journal ; 3: 114-24.
Cook, J.D. 1982. Clinical Evaluation of Iron Deficiency. Semin Hematol; 19: 6-
18.
Cook, J.D. 1990. Adaptation in iron metabolism. AM J Clin Nutr; 51: 301-8.
Dallman, P.R. 1987. Iron deficiency and the immune response. Am J Clin Nutr;
46 :329-34.
De Maeyer. 2003. Interferon γ. Current Opinion in Immunology 4:321-326.
De Silva, A., Atukorola, S., Weerasinghe, I., Ahluwalia, N. 2003. Iron
supplementation improve iron status and reduces morbidity in children with or
without upper respitratory tract infection: a randomized controlled study in
Colombo, Sri Langka. Am J Clin Nutr; 77:234-41.
Decker, J.M.2004. (a). Immunity rules. Overview of The Immune
System.Immunology Tutorials. Available from:
//F:\T20%CELL\Immunity%20Rules.htm. Last modified Jan.19,2004.
Decker, J.M. 2004. (b). T Cell-Mediated Immunity. . Immunology Tutorials.
Available from: //F:\T20%CELL\Immunity%20Rules.htm. Last modified August
26,2004.
Decker, J.M.2004. (c). T Cell Development. Immunology Tutorials. Available
from: //F:\T20%CELL\Immunity%20Rules.htm. Last modified August 26,2003.
Delves, P.J., Roit, I.M. 2000.(a) The Immune system, first of two part. N Engl J
Med; 343(1):37-49.
Delves, P.J. Roit IM, 2000.(b) The Immune system, second of two part. N Engl J
Med; 343(1):108-17.
Dunn, L.L., Rahmanto, Y.S., Richardson, D.R. 2006. Iron uptake and metabolism
in the new millennium. Trends in Cell Biology : 17 : 93-100.
Dy, M., Vasquez, A., Bertolglio, J., Theze J. 1999. General aspect of cytokine
properties and functions. In Theze J editor. The citokine network and immune
functions. New York: Oxford University Press. p 1-13.
144
Ekiz, C., Agaoglu, L., Karakas, Z., Gurel, N., Yalcin, I. 2005. The effect of iron
deficiency anemia on the function of the immune system. The Hematology
Journal;5:579-583.
Fairbanks, V.F., Beutler, E., 2001. Iron metabolism. In: Beutler E, Coller B,
Lichtman M, Kipps T, editors. Williams Hematology. Sixth ed. New York:
McGraw-Hill; 295-304.
Farthing, M.J. 1989. Iron and immunity. Abstract. Acta Paeduatr Scand Suppl;
361:44-52.
Frewin R, Henson A, Provan D, 1997. ABC of Clinical Haematology: Iron
Deficiency Anemia. BMJ 2: 314-60.
Fulya I, Mehmet O, Handan A, Vedat B, 2006. Cytokine measurement in
lymphocyte culture supernatant of inactive lepromatous leprosy patients. Indian J
Med Microbiol; 24:121-123.
Galan P, Thibault H, Preziosi P, Hercberg S, 1992. Interleukin 2 production in
iron-deficiency children. Biol Trace Elem Res; 32:421-6.
Ganz T, Nemeth E, 2006. Regulation of iron acquisition in mammals. Biochemica
et Biophysica Acta ; 1763: 690- 99.
Gera T, Sachdev HPS, 2002. Effect of iron supplementasi on incidence of
infectious illness in children: sytematic review. BMJ; 325:1-10.
Girndt M, Sester U, Sester M, Kaul H, Kohler H, 1999. Impaired celluler immune
function in patients with end-stage renal failure. Nephrol Dial Transplant; 14:
2807- 810.
Glick PR. Lichtor T, Cohen ED, 2002. Cytokine immnunotherapy. Neurosurg
Focus ; 9: 1-13.
Golz A, Netzer A, Goldenberg D, Westerman ST, Westerman LM, Joachims HZ,
2001. Am J Otolaryngol; 22:391-394.
Grant SM, Wiesinger JA, Beard JL, Cantorna MT, 2003. Iron-deficienct mice fail
to develop autoimmune encephalomyelitis. J Nutr ; 133: 2635-8.
Greenwald RJ, Sharpe AH, Abbas AK.1989. T- Lymphocyte Activation,
Costimulation, and Tolerance : Signals, Mechanisms, and Clinical Applications.
In : Austen KF, Frank MM, Atkinson JP, Cantor H, editors. Samster’s
Immunologic Diseases. Sixth edit. Lippincott Williams & Wilkins ;p: 94-101.
Helyar L, Sherman AR, 1987. Iron deficiency and interleukin 1 production by rat
leukocytes. Am J Clin Nutr ; 46 : 346-52.
145
Herber S, Galan P, 1992. Nutritional Anemias. Bailliere`s Clin Haematol 5: 143-
68.
Herberg S, 1991. Iron and Folate Deficiency Anemia. International Child Health
II: 44-60.
Herbert V, Jayatilleke E, Shaw S, Rosman AS, Giardina P, Grady RW, 1997.
Stem Cells;15: 291-296.
Heresi, G., Pizarro, F., Olivares, M., Cayazzo, M., Hertampg, E., Walter, T.,
Murphy, R.J. and Stekel, A. 1995. Effect of supplementation with iron-fortified
milk on incidence of diarrhea and respiratory infection in urban-resident infants.
Scandinavian Journal of Infectious Disease 27, 385-389.
Higgs, J.M. and Wells, R.S. 1973. Chronic muco-cutaneus candidiasis: new
approaches to treatment. Br. J. dermatol. 89: 179-190.
Hilman, R.S. and Ault, K.A. 2002. Hematology in Clinical Practce. A Guide to
Diagnosis and Management. New York: Mc Graw-Hill: 51-61
Hoffman, R., Benz, E.J., Shattil, S.J., Furie, B., Cohen, H.J. 2000. Hematology:
Basic Principle and Practices, 3 th ed. New York: Churchill Livingstone: 498-523.
Hofmann, S.R., Ettiger, R., Xhuo, Y.J. 2002. Cytokines and their role in lymphoid
development, differentiation and homeostasis. Curr Opi Allergy Clin Immunol,
2:6:495-506.
Ibelgaufts (2003) Interferon γ. Available from:
http://www.copewithcytokines.de/cope.cgi?key=IFN%2dgamma
Jacques, Y., Minty, A., Fradelizi, D., Theze, J. 1999. Interleukin 2,4,7,9,13,15. In
Theze J editor. The citokine network and immune functions. New York: Oford
University Press. p 17-30.
Jason, J., Archibald, L.K., Nwanyanwu, O.C., Bell, M., Jensen, J., Gunter, E..
2001. The effect of iron defeciency on lymphocyte cytokine production and
activation: preservation of hepatic iron but not all cost. Clin Exp Immunol;
126:466-73.
Jones, S.R., De Silve, T. 2008. Resisting Immune Exhaustion in HIV-1 Infection.
PLos Med vol 5;Issue 5: e103.
Jonuleit, H., Schmitt, E. The Regulatory T Cell Family : Distinct Subsets and their
Interrlations. J. Immunol.2003 : 6324- 27.
Kaiser, G.E. (2003). III. The adaptive immune system. A.Ways that cell-mediated
immunity helps to depend the body. 3. Stimulating cells to secrete cytokines
(CME). www. Medscape.com\cytokine.htm.
146
Kandarini, Y., Suega, K., Dharmayuda, T.G., Bakta, I.M. 2001. Karakteristik
Penderita Anemia Kurang Besi di RS Sanglah Denpasar. Kumpulan Abstrak
Kongres National IX Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia.
Semarang, 7-9 September 2001:93.
Kang, H.S., Matsuo, T. 2004. Effects of 4 weeks iron supplementation on
haematological and immunological status in elite female soccer players. Asia Pac
J Clin Nutr; 15(4) : 553-558.
Kaplan, D.H., Schreiber, R.D. 1999. The interferons: biochemistry and biology. In
Theze J editor. The citokine network and immune functions. New York: Oford
University Press. p 111-124.
Khusus, H., Yip, R., Schultink, W., Dillon, D.H.S. 1999. World Health
Organization Hemoglobin Cut off Points for Detection of Anemia Are Valid for
an Indonesian Population. J of Nutrition:129:1669-74.
Krantman, H.J., Young, S.R., Ank, B.J., O’Donnell, C.M., Rachelefsky, G.S.,,
Stiehm, E.R. 1982. Immune function in pure iron deficiency. Abstract. Am J Dis
Child; 136(9):840-4.
Kresno, S.B., 2001. Respon imun pada infeksi. In: Imunologi, Diagnosis dan
Prosedur Laboratorium. 4th ed. Balai Penerbit FKUI Jakarta, hal 161- 86
Krishnan, S., Farber, D.L., Tsoko, G.C. T Cell Rewiring in Differentiation and
Disease. J.Immunol.2003:3325-31.
Kuvibidila, S., Baliga, B.S., Warrier, R.P., Suskind, R.M. 1998. Iron deficiency
reduces the hydrolysis of cell membrane phosphatidyl inositol-4,5-biphosphate
during splenic lymphocyte activation in C57BL/6 mice. J Nutr; 128: 1077-1083.
Kuvibidila, S., Baliga, B.S. 2002. Role of Iron in Immunity and Infection. CAB
International : Nutrition and Immune Function : p. 209-28
Kuvibidila, S., Dardenne, M., Savino, W., Lepault, F., 1990. Influence of iron-
deficiency anemia on selected thymus function in mice: thymulin biological
activity, T-cell subsets and thymocyte proliferation. Abstract. Am J Clin Nutr;
51:228-32.
Kuvibidila, S., Kitchen, D., Baliga, B.S. 1999. In vivo and in vitro iron deficiency
reduces protein kinase C activity and translocation in murine splenic and purified
T cells. J Cell Biochem; 74: 468-78.
Kuvibidila, S., Porretta, C. 2003. Iron deficiency and in vitro iron chelation reduce
the expression of cluster of differentiation molecule (CD) 28 but not CD3
receptors on murine thymocytes and spleen cells. British Journal of Nutrit ion 90:
179-89
147
Kuvibidila, S., Warrier, R.P. 2004. Differential effect of iron deficiency and
underfeeding on serum levels of interleukin-10, interleukin-12p40, and interferon-
γ in mice. Cytokine; 26(2):73-81.
Kuvibidila, S., Warrier, R.P., Baliga, B.S. 2003. An Overview of the Role of Iron
in T cell Activation. The Journal of Trace Elements in Experimental Medicine 16
: 219-25
Kuvibidila, S., Yu, L., Ode, D., Valez, M., Gardner, R., Warrier, R.P. 2003. Effect
of iron deficiency on the secretion of interleukin-10 by mitogen-activated and
non-activated murine spleen cells. Abstract. J Cell Biochem; 90(2):278-86.
Kuvibidila, S., Yu, L., Ode, D., Velez, M., Gardner, R., Warrier, R.P. 2003.
Effects of iron deficiency on the secretion of interleukine -10 by mitogen
activated and non-activated murine spleen cells. Journal of Cellular Biochemistry
90: 278-86
Kuvibidila, S.R., Velez, M., Yu, L., Warrier, R.P., Baliga, B.S. 2002. Differences
in iron requirements by concanavalin A-treated and anti-CD3-treated murine
splenic lymphocytes. Br J Nutr; 88: 67-72.
Latunde-Dada, G.O., Young, S.P. 1992. Iron deficiency and immune responses.
Abstract Scand J Imunol Suppl; 11:207-9.
Lee, G.R. 1999. Iron Deficiency and Iron Deficiency Anemia. In; Lee GR, Bithell
TC, Foester J, Athen JW (eds). Wintrobe`s Clinical Hematology, 10th ed.
Philadelphia: Lea & Febiber: 808-39.
Losen, A.W. 2005. Perbandingan Interleukin-2 dan Serum Feritin pada Penderita
ADB. (tesis). Denpasar, Universitas Udayana.
Maat, S. 1999. Kultur Jaringan. Program Pasca Sarjana Unair Surabaya.
Malo, A.M., Carracedo, J., Ramirez, R., Rodriguez-Benot, A., Soriano, S.,
Rodriguez, M. 2000. Effect of Uremia and Dialysis Modality on Mononuclear
Cell. J Am Soc Nephrol 11: 936-942.
Marx, J.J.M. 2002. Iron and infection: competition between host and microbes for
a precious element. Best Practice & Research Clinical Haematology; 15(2):411-
26.
McLelan, A.D., Kapp, M., Eggert, A., Linden, C. Anatomic location and T-cell
stimulatory function of mouse dendritic cell subsets defined by CD4 and CD8
expression. Blood 2002; 99: 2084-93.
Medzhitop, R., Janeway, C. 2000. Innate immunity. N Eng J Med; 343(5):338-44.
148
Moraes-de-Sousa, H., Kerbauy, J., Yamamoyo, M., da-Silva, M.P,, dos-Santos,
M.R. 1984. Depressed cell-mediated immunity in iron-deficiency anemia due to
chronic loss of blood. Braz J Med Biol Res; 17(2):143-50.
Mullick, S., Rusia, U., Sikka, M., Faridi, M.A. 2006. Impact of iron deficiency
anaemia on T lymphocytes & their subsets in children. Indian J Med Res; 124:
647- 54.
Murakawa, H., Bland, C.E., Willis, W.T., Dallman, P.R. 1987. Iron deficiency
and neutrophil function: different rates of correction of the depressions in
oxidative burst and myeloperoxidase activity after treatment. Blood; 69:1464-8
Ong TS, Shan Ho JZ, Ding JL, 2006. Iron-withholding strategy in innate
immunity. Immunobiology; 211: .295-314.
Oppenheimer, S.J. 2001. Iron and its relation to immunity and infectious disease.
J Nutr; 131: 616S-35S.
Oppenheimer, S.J., Gibson, F.D., MacFarlane, S.B., Moody, J.B., Harrison, C.,
Spencer, A. and Bunari, O. 1986. Iron Supplementation increases prevalence and
effects of malaria: report on clinical studies in Papua New Guinea. Transactions
of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene ;80 : 603-612.
Payne, S.M. and Finkelstein, R.A. 1978. The critical role of iron in host-bacterial
interaction. Journal of Clinical Investigation ; 61: 1428- 40.
Pietrangalo, A. 2002. Physiology of iron transport and the hemochromatosis gene.
AJP-Gastrointest Liver Physiol; 282:G403-G14.
Poulin, J.F., Sylvestre, M., Champagne, P., Dion, M.L. 2003. Evidence for
adequate thymic function but impaired naïve T-cell survival following HSCT.
Blood; 102: 4600-07.
Roper, D., Stein, S., Payne, M., Coleman, M. 1995. Anemias Cause by Impaired
Production of Erythrocytes. In: Rodak BF (ed). Diagnostic Hematology.
Philadelphia: W.B. Saunders Company: 180-3.
Sabroe, I., Read, R.C., Whyte, M.K.B., Dockrell, D.H. Toll-Like Receptors in
Health and Disease : Complex Questions Remain. J.Immunol.2003: 1630-35.
Schaible, U.E., Kaufmann, S.H. 2004. Iron and Microbial Infection. Nature ; 2:
946- 53.
Sipahi, T., Akar, N., Egin, Y., Cin, S. 1998. Serum interleukin-2 and interleukin-6
levels in iron deficiency anemia. Pediatr hematol Oncol; 15(1):69-73.
Skikne, B.S.1988. Current Concepts in Iron Deficiency Anemia. Food Rev Int 4:
137-73.
149
Smith, A.W., Hendrickse, R.G., Harrison, C., Hayes, R.J. and Greenwood, B.M..
1989. The effects on malaria of treatment of iron-deficiency anaemia with oral
iron in Gambian children. Annals of tropical Paediatrics; 9: 17-23.
Smith , J.G. 2001. Development and validation of Gamma Interferon ELISPOT
Assay for Quantitation of Cellular Immune Response to Varicella-Zoster Virus.
Clinical And Diagnostic Laboratory Immunology.p 871-879.
Somayana, G., Suega, K., Dharmayuda, T.G., Bakta, I.M. 2002. Pola penderita
Anemia di Divisi Hematologi-Onkologi Medik di bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD/RS Sanglah Denpasar. Majalah Penyakit Dalam Udayana; 3(2):85-9.
Sprent, J., Surh, C.D. 1989. T Cell Biology and The Thymus. In : Austen KF,
Frank MM, Atkinson JP, Cantor H, editors. Samster’s Immunologic Diseases.
Sixth edit. Lippincott Williams & Wilkins, p: 43-53.
Stanley, L.S. 2000. Causes and Diagnosis of Anemia due to Iron Deficiency.
Available at.www.uptodate.com.(800)998-6374.(781)237-4788.
Strauss, R.G. 1978. Iron deficiency, infections, and immune function: a
reassessment. The American Journal of Clinical Nutrition ; 31: 660- 66.
Suega, K., Bakta, I.M. 1999. Pola Anemia pada Penderita Rawat Inap di Divisi
Hematologi-Onkologi Medik RSUP Sanglah Tahun 1997. Buletin PHTDI; 2: 89-
97.
Suega, K., Sajinadiyasa., Dharmayuda, T.G., Bakta, I.M. 2003. Gambaran etiologi
anemia defisiensi besi di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Sanglah
Denpasar. Majalah Penyakit Dalam Udayana; 3(1):51-55.
Suega, K., Bakta, I.M., Dharmayuda, T.G. 2005. Perbandingan beberapa metode
dianosis anemia defisiensi besi. Laporan hasil hibah penelitian proyek Due-Like
Batch III tahun anggaran 2005.
Sullivan, K.E., Cutilli, J., Piliero, L.M., Alagha, D.G., Starr, S.E., Campbell, D.E.
2000. Measurement of Cytokine Secretion, Intracelluler Protein Expression, and
mRNA in Resting and Stimulated Peripheral Blood Mononuclear Cells. Clinical
and Diagnostic Laboratory Immunology; Nov: 920-924.
Van der Meer, J.W.M., JanKulberg, B. 2002. Defectss in Host Defense
Mechanism. In : Rubin RH Young LS, editors. Clinincal Approach to Infection in
the Compromised Host. Fourth ed. Kluwer Academic/ Plenum Publishers New
York, p: 5-47.
150
Varma, T.K. 2001. Cellular Mechanism That Cause Suppresed Gamma Interferon
Secretion in Endotoxin-Tolerant Mice. Infection And Immunity; 6: 5249- 63.
Viteri, F.E. 1998. A New Concept in the Control of Iron Deficiency: Community-
based Preventive Supplementation of at-Risk Groups by the Weekly Intake of
Iron Supplements. Biomed Environ Sci; 11: 46-60.
Walker, D., Jason, J., Wallace, K., Slaughter, J., Whatley, V., Han, A. 2002.
Spontaneous Cytokine Production and Its Effect on Induced Production. Clinical
Diagnostic Laboratory Immunology; 9 :1049- 56.
Walter, T., Olivares ,M., Pizarro, F., Munos, C. 1997. Iron, Anemia, and
infection. Nutritional review; 55(4): 111-24.
Ward, C., Salman, P., Ripley, L., Ostrup, R., Hegenauer, J., Hatlen L. 1977.
Correlation of serum ferritin and liver ferritin iron in the anemic, normal, and
iron-loaded rat. Am J Clin Nutr; 30: 1054- 63.
Weinberg, E.D. 1977. Infection and iron metabolism. The American Journal of
Clinical Nutrition; 30: 1485-90.
Weinberg, E.D. 1978. Iron and infection. Microbiological Reviews; 42(1):45-66.
Weinberg, E.D. 1984. Iron withholding: a defense against infection and neoplasia.
Physiological Reviews; 64:65-102.
Weinberg, E.D. 2004. Iron loading and disease surveillance. Available from:
www.gordonresearch.com.
Weiss, G. 2002. Iron and immunity: a double-edged sword. Eur J Clin Invest;
32(1): 70-8.
Weiss, G. 2005. Modification of iron regulation by the inflammatory response.
Best Practice & Research Clinical Haematology; 18 : 182-210.
Weiss, G., Wachter, H., Fuchs, D. 1995. Linkage of cell-mediated immunity to
iron metabolism. Immunology today: 16: 495-51.
WHO. 1968. Technical Report Series No. 405. Nutritional Anaemias.
Genewa:WHO: 9.
Zadeh, K.K., Zadeh, K.K., Lee, G.H. 2006. The Fascinating but Deceptive
Ferritin: To Measure it or Not to Measure It in Chronic Kidney Disease? Clin J
Am Soc Nephrol; 1: S9-S18.
151
Lampiran 1. INFORMASI PASIEN DAN FORMULIR PERSETUJUAN
INFORMASI PASIEN DAN FORMULIR PERSETUJUAN
Kami mengharapkan partisipasi anda dalam penelitian ilmiah yang
dilaksanakan oleh: Dr. Ketut Suega
Secara keseluruhan sebanyak sekian orang termasuk anda akan berperan
serta dalam penelitian ini. Bacalah informasi ini sebelum anda memutuskan
apakah anda akan turut berpartisipasi atau tidak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran interleukin dalam
mekanisme infeksi pada anemia defisiensi besi.
Besi merupakan kebutuhan yang esensial untuk proses metabolisme tubuh
seperti mengangkut oksigen ke jaringan dan untuk mengangkut elektron-elektron
yang dibutuhkan sel-sel tubuh. Kekurangan besi pada anak-anak dapat
menyebabkan pertumbuhan kurang optimal, kemampuan relajar jadi menurun dan
dihubungkan dengan IQ yang rendah. Kekurangan besi pada ibu-ibu hamil dapat
menimbulkan defisiensi besi yang berisiko untuk melahirkan bayi prematur atau
bayi dengan berat badan lahir rendah. Sedangkan kekurangan zat besi pada orang
dewasa dapat menurunkan kapasitas kerja dan menyebabkan prestasi kerja yang
buruk dan mempermudah timbulnya infeksi.
Sehubungan dengan hal tersebut sangat penting untuk mengetahui faktor
yang ikut berperan dalam infeksi yang timbul pada penderita yang kekurangan zat
besi sedini mungkin sehingga peran serta anda dalam penelitian ini sangatlah
besar artinya untuk mencegah akibat yang ditimbulkan oleh anemia karena
kekurangan zat besi tersebut.
152
Bila anda ikut serta dalam penelitian ini maka anda akan ditanya dengan
sejumlah pertanyaan yang menyangkut data-data pribadi serta keluarga anda serta
akan dilakukan pemeriksaan serum yang bahan pemeriksaannya diambil dari
darah anda sebanyak kurang lebih 10 cc dengan menggunakan jarum suntik steril
sekali pakai. Bila anda memutuskan untuk berpartisipasi anda harus menjawab
semua pertanyaan yang kami ajukan dengan sejujurnya dan bersedia secara
sukarela untuk diambil contoh darahnya. Janganlah ragu untuk bertanya apabila
ada hal-hal yang belum anda mengerti. Pada sebagian mereka yang memutuskan
ikut penelitian fase 2 juga akan diberikan tablet besi 3 kali sehari selama 8
minggu. Dan apabila selama mengkonsumsi tablet besi ini anda mengalami
keluhan seperti perut kembung, mual, nyeri lambung dan perasaan tidak enak
lainnya di lambung agar segera menghubungi dokter untuk mendapatkan
penanganan sebagai mana mestinya
Keikutsertaan anda dalam penelitian ini adalah sukarela, anda dapat
menolak untuk berperan serta. Data-data yang dikumpulkan selama penelitian
akan disimpan di komputer. Hasil dari penelitian ini mungkin akan dipublikasikan
di majalah kesehatan tanpa ada identitas anda.
Peneliti dan atau petugas yang ditunjuk dari lembaga pemerintahan tanpa
melanggar kerahasiaannya akan menjaga data-data pribadi anda dan memeriksa
apakah peneliti berjalan dengan baik dan benar. Hal ini hanya dapat dilaksanakan
dengan seijin anda, dan bahwa dengan menandatangani formulir persetujuan ini
berarti anda telah mengerti dan memberikan ijin tersebut.
153
Apabila dengan partisipasi anda di penelitian ini dirasakan terdapat hal-hal
yang merugikan dan terbukti, maka ganti rugi/kompensasi diberikan sesuai
dengan aturan yang berlaku.
Sehubungan dengan penelitian ini, pada kasus dimana terjadi efek samping
pada lokasi suntikan tempat pegambilan bahan penelitian, atau timbul pertanyaan
mengenai penelitian ini harap hubungi : Dr. Ketut Suega (No HP. 081338728421).
154
Lampiran 2. FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS
FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS
Saya, (nama, huruf cetak) ........................................................................................
Telah membaca keterangan terlampir, dan telah berdiskusi mengenai penelitian ini
dengan Dr. (nama, huruf cetak) ...................................................... dan mengerti
hal-hal yang menyangkut penelitian ini.
PASIEN Saya bersedia untuk ikut serta dalam penelitian
..................................... ....................................
tanggal tandatangan
INVESTIGATOR saya telah menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian
ini kepada pasien dengan nama tersebut di atas.
........................................... ....................................
tanggal tandatangan
155
Lampiran 3.
FORMULIR PENELITIAN PEMERIKSAAN INTERLEUKIN-2 DAN
IFN γ PADA ANEMIA DEFISIENSI BESI
Formulir penelitian
Pemeriksaan Interleukin 2 pada Anemia defisiensi besi
1. Identitas
a. Nama penderita : _______________________________
b. Umur / jenis kelamin : ______________th ( laki / perempuan)
c. Pekerjaan : _______________________________
d. Alamat : _______________________________
_______________________________
2. Anamnesis
a. Keluhan utama :___________________________________
b. Riwayat penyakit :___________________________________
__________________________________________________
__________________________________________________
__________________________________________________
3. Hasil laboratorium
a. Darah lengkap :_____________________________________
b. Feritin serum :_____________________________________
c. Lain-lain : _________________________________________
__________________________________________________
4. Diagnosis : ________________________________________________________
5. Kadar interleukin 2 , interferon γ serta kadar feritin :
a. sebelum perlakuan : _________________________
b. setelah perlakuan : __________________________
156
Lampiran 4: PEMERIKSAAN SERUM FERITIN
Serum feritin diperiksa dengan alat Immulite 2000.
Prosedur pemeriksaan feritin serum:
A. Alat : Immulite 2000
B. Prinsip : Sampel serum (pasien) & Poliklonal Antibodi yang dikonyugasi
dengan alkali fosfatase diinkubasi bersama-sama dalam set unit berisi manik-
manik berlapis antibody monoclonal spesifik terhadap feritin suhu 370 C selama
30 menit dengan pengguncangan berkala. Feritin dalam sampel diikat untuk
membentuk kompleks Sandwich Antibody. Konjugat yang tidak berikatan
disingkirkan dengan pencucian secara pemusingan.Setelah itu ditambahkan
substrat dan tes unit diinkubasi lagi selama 10 menit. Substrat Chemilinescent
PPD mengalami hidrolisis dengan adanya alkali fosfatase membentuk senyawa
antara yang tidak stabil.Terbentuknya senyawa ini secara terus menerus
menghasilkan emisi sinar yang cukup lama. Komplek yang terikat, dengan
demikian juga photon yang dipancarkan seperti terukur oleh luminometer
berbanding lurus dengan konsentrasi feritin dalam sampel.
Metode : Immunochemilunescent
C. Teknis kerja :
1. Pengambilan sampel, pemisahan dan syarat sampel :
Ambil darah vena sebanyak 10 cc secara aseptis, setelah darah membeku
disentrifius 3000 RPM / 10 menit. Kemudian pisahkan semuanya untuk
diperiksa. (Jumlah : yang dibutuhkan oleh alat 1 kali run =500 μL,
stabilitas : 2-80C : 2 minggu. Syarat sampel : tidak boleh lisis, sampel
limpemik harus diultrasentrifius.
157
2. Reagen
Jenis :
a. Reagen Feritin Bead Pack, siap digunakan, stabilitas 2 – 80C
b. Reagen Wedge Feritin, siap pakai, stabilitas 2 – 80C
c. Substrat Chemiluminescent, siap pakai ( sebelum digunakan
biarkan mencapai temperatur ruangan. Stabilitas : sebelum dipakai
2 – 80C sampai tanggal kadaluarsa, setelah dibuka suhu kamar
stabil 30 hari. Tidak boleh kena sinar matahari langsung.
d. Probe Wash Model : direncanakan dengan aquabides 10 kali,
stabilitas
e. Suhu kamar.
3. Kalibrator
a. Jenis : Feritin Adjustors, terdiri dari kalibrator low & high
b. Penanganan : Siap pakai, sebelum digunakan biarkan mencapai
kadaluarsa. Setelah pelarutan pada suhu 2 – 80C 30 hari.
c. Interval kalibrasi : setiap 2 minggu, setiap buka kit reagen baru,
bila kontrol tidak sesuai dengan Westgrad Multi Rule diluar range.
4. Kontrol
a. Jenis : Con 6, terdiri dari 3 level (level 4,5,6)
b. Penanganan : masing-masing kontrol dilarutkan dengan 6 ml
aquabides, kemudian didiamkan selama 30 menit, campur,
dialiquot @ 500 μL.
c. Stabilitas : disimpan pada suhu 200 C stabil 6 bulan.
158
5. Langkah kerja: dilakukan sesuai dengan intruksi kerja operasional alat
immulite 2000.
159
Lampiran 5 : Pemeriksaan IL-2 dan IFN γ
Pemeriksaan Interleukin ( IL-2 dan IFN γ )
Pemeriksaan interleukin dilakukan dengan alat yang disebut Quantikine yang
dikeluarkan oleh R&D system, yaitu suatu immunoassay solid phase ELISA.
Prinsip pemeriksaan interleukin
Alat ukur ini menggunakan teknik quantitative sandwich enzyme
immunoassay. Suatu antibodi monoklonal yang spesifik terhadap interleukin (IL-2
dan IFN γ ) pada microplate (wells) akan berikatan dengan interleukin yang ada
pada sampel atau larutan standar. Ikatan ini kemudian ditambahkan suatu enzym-
linked antibodi poliklonal terhadap interleukin dan akan ditambahkan suatu
substrat pewarna kedalm sumur tadi sehingga akan ada perubahan warna apabila
ada ikatan dengan interleukin dan intensitas warna ini diukur dengan alat
microplate reader.
Prosedur pemeriksaan
Alat ini dapat dipakai untuk mengukur kadar interleukin pada plasma,
serum dan supernatan kultur sel. Setelah semua reagen dan larutan standar
disiapkan, dimasukkan 100 ul assay diluent RD1A kedalam masing-masing sumur
( microplate), dan kemudian ditambahkan masing dengan 100 ul larutan standar
atau sampel dan dilakukan inkubasi selama 2 jam. Setelah itu dilakukan aspirasi
dan pencucian dengan wash buffer sebanyak 3 kali. Untuk mendapatkan hasil
yang baik harus dilakukan pembersihan dengan sempurna sampai cairan liquid
secara komplit dikeluarkan. Masukkan larutan conyugate ( larutan polyclonal
160
antibody against Cytokine 2 ) kedalam masing sumur dan diinkubasi selama 2
jam. Kemudian dilakukan hal yang sama yaitu aspirasi ciran dan pencucian
sebnyak 3 kali. Setelah itu ditambahkan 200 ul larutan substrate ( pewarna )
kedalam masing-masing sumur dan diinkubasi selama 20 menit. Pada tahap ini
dihindari pengaruh dari sinar matahari. Yang terakhir dengan menambahkan
larutan stop untuk setiap sumur dan warna yang terjadi dibaca pada 450 nm dalam
30 menit dengan microplate reader.
Validitas dan reliabilitas pemeriksaan
Reliabilitas alat ini cukup baik, yaitu berupa intra-assay variance < 5% dan inter-
assay < 5%. Validitasnya juga cukup baik karena alat ini hanya mengenal
interleukin dan rekombinan saja. Tidak ditemukan reaksi silang dengan banyak
molekul lain baik related-IL 2 ( rh IL-2 sRalpha ) maupun yang non related
seperti rekombinan interleukin lainnya. sensitivitas amat baik karena dapat
mendeteksi kadar interleukin dibawah 7 ng/ml suatu kadar yang lebih rendah dari
kadar fisiologis ( 10-100 ng/ml ).
161
Lampiran 6 Data Statistik
FREQUENCIES
VARIABLES=IL2_PLpre IL2_TCpre IFNg_PLpre IFNg_TCpre
/NTILES= 4
/STATISTICS=MINIMUM MAXIMUM MEDIAN
/ORDER= ANALYSIS .
Frekuensi Sitokin pada ADB tanpa Infeksi dan ADB dengan Infeksi
infeksi = infeksi
Statisticsa
17 17 17 17
0 0 0 0
6.8000 9.7000 9.1000 20.4000
4.50 1.30 2.70 4.10
8.60 16.30 28.20 65.20
6.1000 7.9000 7.6500 11.2000
6.8000 9.7000 9.1000 20.4000
7.7000 11.0750 11.6000 30.4500
Valid
Missing
N
Median
Minimum
Maximum
25
50
75
Percentiles
IL2 PL pre IL2 TC pre IFN g PLpre IFNg TCpre
infeksi = infeks ia.
infeksi = tidak infeksi
Statisticsa
47 47 47 47
0 0 0 0
8.2000 11.4000 14.5000 39.2000
4.50 5.10 3.00 5.10
605.00 802.30 850.00 756.30
5.6000 9.8000 9.0000 18.8000
8.2000 11.4000 14.5000 39.2000
19.5000 14.3000 76.2000 48.3000
Valid
Missing
N
Median
Minimum
Maximum
25
50
75
Percentiles
IL2 PL pre IL2 TC pre IFN g PLpre IFNg TCpre
infeksi = tidak infeksia.
162
NPar Tests untuk komparasi sitokin dan infeksi pada ADB
Mann-Whitney Test
Test Statisticsa
256.500 234.500 226.000 230.500
409.500 387.500 379.000 383.500
-2.174 -2.509 -2.638 -2.569
.030 .012 .008 .010
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
IL2 PL pre IL2 TC pre IFN g PLpre IFNg TCpre
Grouping Variable: infeksia.
Ranks
17 24.09 409.50
47 35.54 1670.50
64
17 22.79 387.50
47 36.01 1692.50
64 17 22.29 379.00
47 36.19 1701.00
64
17 22.56 383.50
47 36.10 1696.50
64
infeksi infeksi
tidak infeksi
Total
infeksi
tidak infeksi Total
infeksi tidak infeksi
Total
infeksi
tidak infeksi
Total
IL2 PL pre
IL2 TC pre
IFN g PLpre
IFNg TCpre
N Mean Rank Sum of Ranks
163
NPAR TEST
/WILCOXON=IL2_PLpre IL2_TCpre IFNg_PLpre IFNg_TCpre WITH IL2_PLpos
IL2_TCpos IFNg_PLpos IFNg_TCpos (PAIRED)
/STATISTICS DESCRIPTIVES QUARTILES
/MISSING ANALYSIS.
NPar Tests untuk analisis sitokin pre dan pasca terapi besi
Descriptive Statistics
26 26.1154 63.76796 4.50 302.00 5.3500 7.2000 11.9750
26 52.5796 160.11042 5.10 802.30 10.6250 12.0300 14.2625
26 55.8615 164.52222 3.00 850.00 8.5000 9.4500 38.0000
26 64.7938 142.82848 8.50 756.30 14.9750 40.2000 52.4500
26 176.4462 338.56737 11.20 1254.00 15.2000 28.7500 102.5500
26 12.5315 7.00539 5.50 30.50 7.5000 10.2000 15.9250
26 156.8423 300.24330 21.30 1204.00 37.4500 45.9500 74.8750
26 61.8669 198.39841 9.23 1023.00 15.6250 17.7000 18.6750
IL2 PL pre
IL2 TC pre
IFN g PLpre
IFNg TCpre
IL2 PL pos
IL2 TC pos
IFNg PLpos
IFNg TCpos
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum 25th 50th (Median) 75th
Percentiles
164
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
1a 21.00 21.00
25b 13.20 330.00
0c
26
15d 13.23 198.50
10e 12.65 126.50
1f
26
3g 4.17 12.50
23h 14.72 338.50
0i
26
18 j 14.67 264.00
8k 10.88 87.00
0l
26
Negative Ranks
Positive Ranks
Ties
Total
Negative Ranks
Positive Ranks
Ties
Total
Negative Ranks
Positive Ranks
Ties
Total
Negative Ranks
Positive Ranks
Ties
Total
IL2 PL pos - IL2 PL pre
IL2 TC pos - IL2 TC pre
IFNg PLpos - IFN g PLpre
IFNg TCpos - IFNg TCpre
N Mean Rank Sum of Ranks
IL2 PL pos < IL2 PL prea.
IL2 PL pos > IL2 PL preb.
IL2 PL pos = IL2 PL prec.
IL2 TC pos < IL2 TC pred.
IL2 TC pos > IL2 TC pree.
IL2 TC pos = IL2 TC pref.
IFNg PLpos < IFN g PLpreg.
IFNg PLpos > IFN g PLpreh.
IFNg PLpos = IFN g PLprei.
IFNg TCpos < IFNg TCprej.
IFNg TCpos > IFNg TCprek.
IFNg TCpos = IFNg TCprel.
Test Statisticsc
-3.924a -.969b -4.140a -2.248b
.000 .333 .000 .025
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
IL2 PL pos -
IL2 PL pre
IL2 TC pos
- IL2 TC pre
IFNg PLpos -
IFN g PLpre
IFNg TCpos -
IFNg TCpre
Based on negative ranks.a.
Based on positive ranks.b.
Wilcoxon Signed Ranks Testc.
165
DATASET ACTIVATE DataSet1.
NPAR TESTS
/K-S(NORMAL)= IL2_PLpre IL2_TCpre IFNg_PLpre IFNg_TCpre /MISSING ANALYSIS.
NPar Tests untuk uji normalitas distribusi data sitokin pada penelitian fase I
DATASET ACTIVATE DataSet2.
EXAMINE
VARIABLES=IL2_PLpre IL2_TCpre IFNg_PLpre IFNg_TCpre
/PLOT NPPLOT
/STATISTICS NONE
/CINTERVAL 95
/MISSING LISTWISE
/NOTOTAL.
Explore untuk uji normalitas sitokin penelitian fase II dengan Shapiro-Wilk
Case Processing Summary
26 100.0% 0 .0% 26 100.0%
26 100.0% 0 .0% 26 100.0%
26 100.0% 0 .0% 26 100.0%
26 100.0% 0 .0% 26 100.0%
IL2 PL pre
IL2 TC pre
IFN g PLpre
IFNg TCpre
N Percent N Percent N Percent
Valid Missing Total
Cases
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
64 64 64 64
35.5656 33.3066 56.2614 43.8725
103.35477 109.68164 146.34791 92.72086
.415 .440 .357 .344
.415 .440 .330 .344
-.382 -.385 -.357 -.334
3.320 3.523 2.857 2.748
.000 .000 .000 .000
N
Mean
Std. Deviation
Normal Parameters a,b
Absolute
Positive
Negative
Most Extreme Differences
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
IL2 PL pre IL2 TC pre IFN g PLpre IFNg TCpre
Test distribution is Normal. a.
Calculated from data. b.
166
Tests of Normality
.429 26 .000 .367 26 .000
.466 26 .000 .302 26 .000
.374 26 .000 .313 26 .000
.386 26 .000 .327 26 .000
IL2 PL pre
IL2 TC pre
IFN g PLpre
IFNg TCpre
Statist ic df Sig. Statist ic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova
Shapiro-Wilk
Lil liefors Significance Correctiona.
167
NPAR TEST
/WILCOXON=HGB_1 MCV_1 MCH_1 Feritin_1 WITH HGB_2 MCV_2 MCH_2 Feritin_2
(PAIRED)
/MISSING ANALYSIS.
NPar Tests untuk analisis hemogram pre dan pasca terapi besi
Wilcoxon Signed Ranks Test
Ranks
0a .00 .00
26b 13.50 351.00
0c
26
1d 7.00 7.00
25e 13.76 344.00
0f
26
4g 5.13 20.50
22h 15.02 330.50
0i
26
3j 12.00 36.00
23k 13.70 315.00
0l
26
Negative Ranks
Positive Ranks
Ties
Total
Negative Ranks
Positive Ranks
Ties
Total
Negative Ranks
Positive Ranks
Ties
Total
Negative Ranks
Positive Ranks
Ties
Total
Hemoglobin pre test -
Hemoglobin pre test
MCV pre test - MCV pre
test
MCH pre test - MCH
pre tes t
Feritin post tes t -
Feritin pre test
N Mean Rank Sum of Ranks
Hemoglobin pre test < Hemoglobin pre testa.
Hemoglobin pre test > Hemoglobin pre testb.
Hemoglobin pre test = Hemoglobin pre testc.
MCV pre test < MCV pre tes td.
MCV pre test > MCV pre tes te.
MCV pre test = MCV pre tes tf.
MCH pre test < MCH pre tes tg.
MCH pre test > MCH pre tes th.
MCH pre test = MCH pre tes ti.
Feritin post tes t < Feritin pre tes tj.
Feritin post tes t > Feritin pre tes tk.
Feritin post tes t = Feritin pre tes tl.
168
Test Statisticsb
-4.458a -4.280a -3.937a -3.543a
.000 .000 .000 .000
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
Hemoglobin
pre test -
Hemoglobin
pre test
MCV pre test -
MCV pre test
MCH pre test -
MCH pre test
Feritin post
test - Feritin
pre test
Based on negative ranks.a.
Wilcoxon Signed Ranks Testb.
DATASET ACTIVATE DataSet1.
SORT CASES BY Sex .
SPLIT FILE
SEPARATE BY Sex .
FREQUENCIES
VARIABLES=IL2_PLpre IL2_TCpre IFNg_PLpre IFNg_TCpre
/NTILES= 4
/STATISTICS=MINIMUM MAXIMUM MEDIAN
/ORDER= ANALYSIS .
Frekuensi sitokin pada ADB berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin = Laki-laki
Statisticsa
31 31 31 31
0 0 0 0
7.6000 10.9000 9.2000 26.3000
4.50 1.30 2.70 5.10
501.00 802.30 92.50 92.04
6.1000 8.6000 8.5000 14.5000
7.6000 10.9000 9.2000 26.3000
10.6000 12.6500 27.5000 43.2000
Valid
Missing
N
Median
Minimum
Maximum
25
50
75
Percentiles
IL2 PL pre IL2 TC pre IFN g PLpre IFNg TCpre
Jenis Kelamin = Laki-lakia.
169
Jenis Kelamin = Perempuan
Statisticsa
33 33 33 33
0 0 0 0
7.7000 10.6000 11.9000 31.3000
4.50 6.00 3.00 4.10
605.00 330.20 850.00 756.30
5.7500 9.5500 9.2000 17.5000
7.7000 10.6000 11.9000 31.3000
17.5000 13.4300 83.6000 43.5000
Valid
Missing
N
Median
Minimum
Maximum
25
50
75
Percentiles
IL2 PL pre IL2 TC pre IFN g PLpre IFNg TCpre
Jenis Kelamin = Perempuana.
RECODE
Umur
(Lowest thru 44.5=1) (44.51 thru Highest=2) INTO median_umur .
EXECUTE .
SORT CASES BY median_umur .
SPLIT FILE SEPARATE BY median_umur .
FREQUENCIES
VARIABLES=IL2_PLpre IL2_TCpre IFNg_PLpre IFNg_TCpre
/NTILES= 4
/STATISTICS=MINIMUM MAXIMUM MEDIAN
/ORDER= ANALYSIS .
Frekuensi sitokin pada ADB berdasarkan median umur ( 44.5 tahun )
median_umur = 1.00
Statisticsa
39 39 39 39
0 0 0 0
8.2000 10.5000 11.9000 39.0000
4.50 6.25 2.70 4.10
605.00 802.30 850.00 756.30
6.2000 9.5000 9.1000 21.3000
8.2000 10.5000 11.9000 39.0000
19.5000 13.3600 77.2000 48.3000
Valid
Missing
N
Median
Minimum
Maximum
25
50
75
Percentiles
IL2 PL pre IL2 TC pre IFN g PLpre IFNg TCpre
median_umur = 1.00a.
170
median_umur = 2.00
Statisticsa
25 25 25 25
0 0 0 0
6.8000 11.2500 9.2000 19.8000
4.50 1.30 4.00 5.10
38.10 39.40 112.30 92.50
5.4500 7.9000 8.5500 12.2000
6.8000 11.2500 9.2000 19.8000
8.2500 13.0750 23.6500 40.3000
Valid
Missing
N
Median
Minimum
Maximum
25
50
75
Percentiles
IL2 PL pre IL2 TC pre IFN g PLpre IFNg TCpre
median_umur = 2.00a.
SPLIT FILE
OFF.
NPAR TESTS
/M-W= IL2_PLpre IL2_TCpre IFNg_PLpre IFNg_TCpre BY Sex(1 2)
/MISSING ANALYSIS.
NPar Tests uji komparasi sitokin pada ADB berdasarkan jenis kelamin
Mann-Whitney Test
Ranks
31 32.23 999.00
33 32.76 1081.00
64
31 31.32 971.00
33 33.61 1109.00
64
31 28.10 871.00
33 36.64 1209.00
64
31 31.60 979.50
33 33.35 1100.50
64
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Laki-laki
Perempuan
Total
Laki-laki
Perempuan
Total
Laki-laki
Perempuan
Total
IL2 PL pre
IL2 TC pre
IFN g PLpre
IFNg TCpre
N Mean Rank Sum of Ranks
171
Test Statisticsa
503.000 475.000 375.000 483.500
999.000 971.000 871.000 979.500
-.114 -.490 -1.834 -.376
.909 .624 .067 .707
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
IL2 PL pre IL2 TC pre IFN g PLpre IFNg TCpre
Grouping Variable: Jenis Kelamina.
NPAR TESTS
/M-W= IL2_PLpre IL2_TCpre IFNg_PLpre IFNg_TCpre BY median_umur(1 2)
/MISSING ANALYSIS.
NPar Tests uji komparasi sitokin pada ADB berdasarkan median umur
( 44.5 tahun )
Mann-Whitney Test
Ranks
39 36.12 1408.50
25 26.86 671.50
64
39 32.85 1281.00
25 31.96 799.00
64
39 35.47 1383.50
25 27.86 696.50
64
39 36.99 1442.50
25 25.50 637.50
64
median_umur
1.00
2.00
Total
1.00
2.00
Total
1.00
2.00
Total
1.00
2.00
Total
IL2 PL pre
IL2 TC pre
IFN g PLpre
IFNg TCpre
N Mean Rank Sum of Ranks
Test Statisticsa
346.500 474.000 371.500 312.500
671.500 799.000 696.500 637.500
-1.941 -.186 -1.597 -2.408
.052 .853 .110 .016
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
IL2 PL pre IL2 TC pre IFN g PLpre IFNg TCpre
Grouping Variable: median_umura.
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
188
189
190
191
192
193
194
POPULAS
I
TERJANG
KAU
HASIL
PENELITI
AN
Recommended