View
236
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
Universitas Indonesia
PERBEDAAN KONSENTRASI C-TELOPEPTIDA SALIVA
PADA ANAK SINDROMA DOWN DAN ANAK NORMAL
DENGAN PENYAKIT PERIODONTAL
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Spesialis Kedokteran Gigi Anak
Andita Tissalia
(0906600693)
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN GIGI ANAK
JAKARTA
JULI 2013
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang teramat sangat penulis panjatkan pada Allah SWT atas
berkah dan karunia yang dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
ini. Penelitian dan penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah
satu syarat untuk mendapatkan gelar Spesialis dalam bidang Ilmu Kedokteran
Gigi Anak di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
Selama masa pendidikan, penelitian, dan penulisan tesis ini, penulis tidak
lepas dari bantuan, bimbingan, arahan, koreksi, nasihat serta dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
rasa terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Dr.Sarworini Bagio Budiardjo,drg, Sp.KGA(K), sebagai pembimbing
pertama tesis dan pengajar yang dengan penuh perhatian dan kesabaran
membimbing, mendukung, dan membantu sejak awal penelitian hingga
selesainya penulisan penelitian ini. Terima kasih atas jasa-jasa beliau,
ilmu yang dibagikan, dorongan dan kepercayaan yang telah diberikan
selama ini.
2. Dr.Mochamad Fahlevi Rizal, drg, Sp.KGA(K), sebagai pembimbing
kedua tesis yang dengan sabar dan penuh perhatian telah memberikan
dorongan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Terima
kasih karena sudah memberikan kepercayaan dan semangat dalam
penulisan tesis ini.
3. Drg.Hendrarlin Soenawan, Sp.KGA(K), selaku Koordinator
Pendidikan Spesialis IKGA FKG UI, atas kesabarannya membimbing
dan memberikan motivasi bagi penulis hingga menyelesaikan
pendidikan ini.
4. drg. Ike Siti Indiarti, PhD, Sp.KGA(K), selaku Ketua Departemen Ilmu
Kedokteran Gigi Anak FKG UI, atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Ilmu
Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Indonesia.
5. Prof. Heriandi Sutadi, drg, Sp.KGA (K) PhD, selaku pembimbing
akademis, terimakasih atas segala bimbingan, dukungan, nasihat dan
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
semangat yang tak henti diberikan selama penulis mengikuti Program
Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Kedokteran Gigi Anak FKG UI.
6. Seluruh staf pengajar IKGA FKG UI: Prof. Retno Hayati,drg,
Sp.KGA(K), Prof. Dr. Margaretha Suharsini,drg, Sp.KGA(K), Dr.Eva
Fauziah, drg, Sp.KGA, serta drg. Nieka Adhara, Sp.KGA, atas
bimbingan, pengajaran, motivasi dan nasehat selama penulis menjadi
PPDGS IKGA FKG UI.
7. Staf dan pegawai Laboratorium Biologi Oral, atas bantuan dan
kerjasama yang telah diberikan selama proses penelitian ini
berlangsung hingga penelitian ini dapat terselesaikan dengan baik.
8. Kepala Sekolah SLB C Dian Grahita Kemayoran, SLB Negeri 3
Kemayoran, SLB C Asih Budi II, SMPN 216 dan SMAN 68 atas
kerjasama dan bantuannya untuk meluangkan waktu untuk
berpartisipasi dalam penelitian penulis.
9. Putra/putri beserta orang tua/ wali/ pengasuh SLB C Dian Grahita
Kemayoran, SLB Negeri 3 Kemayoran, SLB C Asih Budi II, SMPN
216 dan SMAN 68 atas kesediaannya berperan serta dalam penelitian
ini.
10. Kedua orang tua tersayang Papa Prof.dr.H.Khalilul Rahman, Sp.M (K)
dan Mama Mayanti Maciska, tidak ada kata yang dapat
menggambarkan besarnya terima kasih atas dukungan, perhatian dan
doa yang tidak putus-putusnya selama penulis menjalani pendidikan
ini. Tesis ini khusus penulis persembahkan untuk keduanya yang selalu
mengajarkan bahwa belajar merupakan hal yang tak akan pernah boleh
berhenti dilakukan.
11. Kepada seluruh keluarga besar Djaloes Hakim – Syaiful Jazan atas
segala dukungan, semangat dan doa selama penulis menjalani
pendidikan ini.
12. Kakak-kakak tercinta Endhy Yogaswara dan Audrey Yakanita, Gita
Dwiyana dan Fahmy Shyhab, Seivilia Artanti terima kasih atas segala
doa dan semangat dalam menghadapi segala ujian menyelesaikan
pendidikan ini.
13. Peri-peri kecilku Jasmeen Myanna Karima dan Janeeta Myanna
Azzahra, terimakasih atas segala kebahagiaan dan keceriaan yang
kalian berikan untuk Ucu dalam setiap hari-hari yang dijalani. Semoga
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
kalian bisa menempuh pendidikan yang lebih baik dan lebih tinggi dari
ini.
14. Teman- teman PPDGS 2009 tersayang drg.Andria Diarti, Sp.KGA,
drg.Febrina Tri Wardhani, Sp.KGA, drg.Gina Vanessa Achmad,
Sp.KGA, drg. Rahmita Nuraini, Sp.KGA, drg.Ratna Permatasari,
Sp.KGA, drg.Sella, Sp.KGA, drg. Widyaningrum Dwi Hadiputro,
Sp.KGA dan drg. Yuke Rustan, Sp.KGA. Terima kasih atas segala
kebersamaan yang dilalui baik suka maupun duka selama menjalani
pendidikan ini. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah berakhir.
15. Kepada sahabat-sahabat terbaikku Andi Ayu, Ariani Risandi, Ariefah
Chieko, Astri Kamalia, Diah Kurnia dan Driya Rossi terimakasih atas
doa, bantuan, semangat dan persahabatan yang yang telah diberikan,
semuanya sungguh berarti bagi penulis.
16. Seluruh karyawan Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas
Kedokteran Gigi Anak Universitas Indonesia, mba Tuti, Mas Adde,
Mas Sule dan Bu Nah, terima kasih atas segala bantuan yang
diberikan kepada penulis selama menjalankan pendidikan di FKG UI.
17. Seluruh staf Perpustakaan FKG UI, terima kasih atas segala bantuan
dalam mengumpulkan berbagai sumber pengetahuan yang membantu
penulis selama menjalani pendidikan di FKG UI.
18. Seluruh teman PPDGS IKGA FKG UI, serta semua pihak yang telah
berjasa dan tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Akhir kata penulis ingin menyampaikan maaf yang sebesar- besarnya bila
ada kesalahan dan kekurangan pada penelitian ini. Kiranya penelitian ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
Jakarta, Juni 2013
Penulis
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... iv
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ....................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. xi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPERLUAN KEPENTINGAN AKADEMIS ...................................... xii
ABSTRAK ................................................................................................................ xiii
ABSTRACT ............................................................................................................. xiii
BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar belakang masalah ............................................................................... 1
1.2. Pertanyaan Penelitian ................................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 2
1.3.1. Tujuan Umum ....................................................................................... 2
1.3.2. Tujuan Khusus ...................................................................................... 2
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 3
1.4.1. Manfaat penelitian bagi bidang IKGA ................................................ 3
1.4.2. Manfaat bagi masyarakat ..................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 4
2.1. Sindroma Down............................................................................................ 4
2.2. Keadaan rongga mulut dan penyakit periodontal pada anak sindroma
Down ............................................................................................................ 5
2.3. C-Telopeptida sebagai biomarker resorpsi tulang ................................... 10
2.4. Kerangka Teori Penelitian ......................................................................... 12
BAB 3 METODE PENELITIAN .......................................................................... 13
3.1. Kerangka Konsep ....................................................................................... 13
3.2. Variabel Penelitian ..................................................................................... 13
3.3. Hipotesis ..................................................................................................... 13
3.3.1. Hipotesis Mayor ................................................................................. 13
3.3.2. Hipotesis Minor .................................................................................. 13
3.4. Definisi Operasional .................................................................................. 13
3.4.1. Papilla Bleeding Index (PBI) anak sindroma Down dan anak normal
............................................................................................................. 13
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
3.4.2. Konsentrasi C-telopeptida anak sindroma Down dan anak normal 14
3.5. Disain Penelitian ........................................................................................ 14
3.6. Sampel Penelitian ....................................................................................... 14
3.7. Kriteria Subyek Penelitian ......................................................................... 14
3.7.1. Kelompok Anak Sindroma Down ..................................................... 14
3.7.2. Kelompok Anak Normal .................................................................... 15
3.8. Lokasi Penelitian ........................................................................................ 15
3.9. Jumlah Subyek Penelitian .......................................................................... 15
3.10. Bahan dan Alat ........................................................................................... 16
3.11. Alur Tatalaksana Penelitian ....................................................................... 17
3.12. Cara Kerja ................................................................................................... 17
3.13. Analisis Data .............................................................................................. 19
BAB 4 HASIL PENELITIAN ............................................................................... 21
BAB 5 PEMBAHASAN ........................................................................................ 24
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 29
6.1. Kesimpulan ................................................................................................. 29
6.2. Saran ........................................................................................................... 29
DAFTAR REFERENSI ............................................................................................ 30
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambaran klinis rongga mulut anak sindroma Down…………….5
Gambar 2.2 Gambaran klinis gingivitis pada penderita sindroma Down………6
Gambar 2.3 Gambaran dari proses patogenesis pada penyakit periodontal……9
Gambar 2.4 Biomarker dari regenerasi tulang………………………………...10
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Mediator pada kelenjar saliva mayor yang berkaitan dengan
penyakit periodontal. …………………………………….………. 8
Tabel 4.1. Perbedaan Papilla Bleeding Index anak sindroma Down dan anak
Normal………………………………………………………........21
Tabel 4.2 Perbedaan Konsentrasi C-telopeptida anak sindroma Down dan
anak Normal ……...…………………………………………...... 22
Tabel 4.3 Hubungan antara Papila Bleeding Index dan konsentrasi
C-Telopeptida saliva pada anak sindroma Down………………...23
Tabel 4.4 Hubungan antara Papila Bleeding Index dan konsentrasi
C-telopeptida saliva pada anak normal………………………….. 23
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat permohonan menjadi subyek
Lampiran 2 Surat pernyataan kesediaan menjadi subyek
Lampiran 3 Informasi kepada subyek penelitian
Lampiran 4 Data konsentrasi C-telopeptida dan PBI setiap subyek
Lampiran 5 Surat keterangan lolos etik
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
ABSTRAK
Nama : Andita Tissalia
Program Studi : Ilmu Kedokteran Gigi Anak
Judul : Perbedaan Konsentrasi C-Telopeptida Saliva pada Anak
Sindroma Down dan Anak Normal dengan Penyakit Periodontal
Down Syndrome (Sindroma Down) merupakan suatu kelainan autosom
kongenital akibat disjungsi kromosom 21 yang ditandai dengan keterbelakangan
perkembangan fisik, mental serta intelektual. Penelitian menunjukkan prevalensi
penyakit periodontal yang tinggi pada anak sindroma Down. 1
C-telopeptida
merupakan penanda biologis yang ditemukan meningkat pada kerusakan tulang
alveolar. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui perbedaan konsentrasi C-
telopeptida saliva pada anak sindroma Down dan anak normal dengan penyakit
periodontal. Seluruh subyek dinilai tingkat keparahan penyakit periodontal (PBI=
Papilla Bleeding Index) dan konsentrasi C-telopeptida pada salivanya. Hasil
penelitian menunjukkan nilai PBI yang lebih tinggi pada kelompok sindroma
Down dibandingkan dengan kelompok normal (p= 0.061). Konsentrasi C-
telopeptida pada kelompok sindroma Down lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok normal (p=0.101). Penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan
antara konsentrasi C-telopeptida dan keparahan penyakit periodontal pada anak
sindroma Down.
Kata kunci: C-telopeptida, sindroma Down, penyakit periodontal
ABSTRACT
Name : Andita Tissalia
Study Program : Pediatric Dentistry
Title : Consentration differences of Salivary C-telopeptide in
Down Syndrome Children and Healthy Children with
Periodontal Disease
Down Syndrome is an autosome congenital disorder caused by disjunction
of chromosome 21, which is characterized by growth retardation of physical,
mental and intellectual. Research shows a high prevalence of periodontal disease
in Down syndrome children. 1
C-telopeptide were a biological marker that found
increased in alveolar bone resorption. This study aimed to determine differences
in the concentration of salivary C-telopeptide in Down syndrome children and
normal children with periodontal disease. All subjects assessed for the severity of
periodontal disease (PBI = Papilla Bleeding Index) and the concentration of
salivary C-telopeptide. The results showed a higher value of PBI in the Down
syndrome group compared with the normal group (p = 0.061). Concentration of
salivary C-telopeptide on child with Down syndrome was higher than the normal
group (p = 0.101). This study shows there is a relationship between the
concentration of C-telopeptide and severity of periodontal disease in Down
syndrome children.
Keywords: C-telopeptide, Down syndrome, Periodontal disease
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang masalah
Down Syndrome (Sindroma Down) pertama kali diperkenalkan oleh John
Langdon Down (1886) merupakan suatu kelainan autosom kongenital yang
ditandai dengan keterbelakangan perkembangan fisik, mental serta intelektual. 2, 3
Sindroma Down dikenal dengan nama lain trisomi 21, trisomi G dan mongolism. 2
Sindroma Down merupakan kelainan genetik yang dapat meningkatkan resiko
untuk menderita penyakit sistemik lainnya. Prevalensi sindroma Down di
Amerika Serikat mencapai 1 dalam 732 kelahiran. 3
Penderita sindroma Down memiliki kebersihan rongga mulut kurang baik
yang kemudian bermanifestasi menjadi penyakit periodontal. Penyakit periodontal
dialami penderita sindroma Down pada usia lebih dini dan berkembang lebih
cepat yang ditandai dengan inflamasi gingiva, kehilangan dukungan jaringan
periodontal dan kerusakan tulang alveolar. Beberapa penelitian menunjukkan
penderita sindroma Down memiliki tingkat keparahan penyakit periodontal yang
lebih tinggi dibandingkan penderita keterbelakangan mental lainnya. 3
Tingginya
prevalensi dan tingkat keparahan penyakit periodontal pada penderita sindroma
Down dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang ada di dalam rongga mulut dan
kelainan sistemik yang berkaitan dengan gangguan imunitas pada anak sindroma
Down.4 Tingkat keparahan penyakit periodontal dapat ditentukan berdasarkan
beberapa jenis pemeriksaan antara lain Papilla Bleeding Index (PBI) yang dapat
menunjukkan inflamasi jaringan periodontal berdasarkan kondisi perdarahan. 5
Perkembangan penyakit periodontal disebabkan berbagai faktor yang
dapat mempengaruhi interaksi host dan bakteri. Bakteri dalam rongga mulut dapat
menyebabkan inflamasi dengan adanya aktivasi sel host yang menghasilkan
mediator pro-inflamasi mengakibatkan degradasi kolagen dan resorpsi tulang.
Degradasi kolagen dan resorpsi tulang ini menghasilkan crosslink collagen yang
tidak dapat digunakan untuk sintesis kolagen lagi dan dibuang dari tubuh.
Beberapa penelitian sebelumnya telah menyatakan crosslink collagen telah
menjadi penanda yang baik untuk menilai regenerasi tulang dalam beberapa
penyakit dan kelainan metabolisme yang mengakibatkan resorpsi tulang.
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
2
Universitas Indonesia
Pyridinoline crosslink merupakan penanda potensial bagi resorpsi tulang
karena spesifik pada tulang, sedangkan histidine crosslink spesifik pada jaringan
lunak dan kulit. 5
Pyridinoline crosslink terdiri dari piridinolin, deoksipiridinolin,
N-telopeptida dan C-telopeptida. 6
Peran carboxyterminal telopeptida kolagen tipe
1 sebagai penanda diagnostik penyakit periodontal telah memberikan hasil yang
sangat menjanjikan. Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa
Carboxyterminal telopeptida kolagen tipe 1 dapat memprediksi terjadinya
attachment loss dan kerusakan tulang alveolar. 7
Penelitian terdahulu
menunjukkan adanya perubahan konsentrasi C-telopeptida pada penderita
gingivitis dan periodontitis. 8 Penelitian lain juga menunjukkan adanya perbedaan
konsentrasi C-telopeptida pada saliva kelompok kontrol dan kelompok penderita
penyakit periodontal. 9
Berdasarkan penelitian sebelumnya ditemukan bahwa anak sindroma
Down memiliki kecenderungan kerusakan tulang alveolar lebih tinggi daripada
orang normal. 1
Kerusakan tulang alveolar ditandai dengan tingginya konsentrasi
C-telopeptida yang menunjukkan adanya resorpsi tulang. Hingga saat ini belum
ada penelitian mengenai konsentrasi C-telopeptida sebagai penanda biokimia
resorpsi tulang pada anak sindroma Down dengan penyakit periodontal. Dengan
mempertimbangkan hal tersebut, maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk melihat konsentrasi C-telopeptida saliva pada anak sindroma Down dengan
penyakit periodontal.
1.2. Pertanyaan Penelitian
Apakah terdapat perbedaan konsentrasi antara C-telopeptida saliva pada
anak sindroma Down dan anak normal dengan penyakit periodontal.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Menganalisa perbedaan konsentrasi C-telopeptida saliva pada anak
sindroma Down dan anak normal dengan penyakit periodontal.
1.3.2. Tujuan Khusus
Mengetahui perbedaan PBI antara anak sindroma Down dan anak
normal dengan penyakit periodontal
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
3
Universitas Indonesia
Mengetahui korelasi antara konsentrasi C-telopeptida saliva dengan
PBI pada anak sindroma Down dengan penyakit periodontal.
Mengetahui korelasi antara konsentrasi C-telopeptida saliva dengan
PBI pada anak normal dengan penyakit periodontal
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat penelitian bagi bidang IKGA
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk
mengidentifikasi dan mencegah penyakit periodontal lebih lanjut pada anak
sindroma Down. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan C-
telopeptida sebagai indikator penyakit periodontal bagi anak.
1.4.2. Manfaat bagi masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
konsentrasi C-telopeptida saliva sebagai biomarker penyakit periodontal pada
anak sindroma Down guna melakukan tindakan pemeliharaan jaringan periodontal
dan pencegahan penyakit periodontal lebih lanjut.
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
4 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sindroma Down
Down Syndrome (DS) pertama kali digambarkan secara klinis oleh John
Langdon Down pada pertengahan abad kesembilan belas dan satu abad kemudian
yaitu pada tahun 1959 Lejeune dkk menemukan adanya hubungan antara
sindroma Down dan kromosom ketiga 21. 2
Hingga saat ini etiologi pasti dari
sindroma Down masih belum diketahui. Penyebab sindroma Down didominasi
oleh non-disjungsi kromosom 21, sisanya disebabkan karena translokasi tambahan
salinan kromosom yang sama. Sindroma Down mosaik terjadi bila adanya
kromosom ekstra 21. Pada dasarnya sekuensi terakhir dari kromosom 21 berfungsi
untuk mengidentifikasi setiap gen yang ada pada kromosom 21 dimana kromosom
ini terlibat dalam sistem biologi dan jalur metabolisme. Setidaknya diprediksikan
ada 16 gen yang berperan dalam aktifitas mitokondria dan metabolisme oksigen
reaktif. 3, 10
Sindroma Down merupakan kelainan kromosom yang paling umum
yang terkait dengan gangguan intelektual. Prevalensi sindroma Down di Amerika
Serikat adalah 1 diantara 732 kelahiran, sedangkan di Indonesia tercatat 1 diantara
700 kelahiran dan jumlahnya hingga saat ini diperkirakan ada sekitar 300 ribu
kasus di seluruh Indonesia. 11, 12
Anak dengan sindroma Down memiliki berbagai macam malformasi
kongenital dan gangguan medik, termasuk diantaranya adalah lahir dengan
penyakit jantung bawaan (yang paling umum yaitu atrioventrikular septum defek),
kelainan pada mata, gangguan pendengaran, otitis media, obstructive sleeping
apnea, gangguan tiroid, gangguan gastrointestinal, leukemia. 2, 13
Anak sindroma
Down memiliki karakteristik defisiensi pertumbuhan baik fisik, intelektual
maupun mental yang terbagi atas berbagai tingkatan yaitu mild, moderate, severe.
Wajah anak dengan sindroma Down unik terlepas dari etnis dan rasnya.
Umumnya anak dengan sindroma Down memiliki leher yang pendek, defisiensi
perkembangan tengah wajah dan kantus lateral mata yang berada lebih tinggi dari
kantus medial. Fisur palpebra luas dan terkadang terdapat lipatan epichantus
medial. Selain itu kemungkinan terdapat spot Brushfield pada iris, katarak, infeksi
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
5
Universitas Indonesia
mata, dan strabismus unilateral maupun bilateral. Adanya defisiensi
perkembangan tengah wajah sering diikuti dengan defisiensi perkembangan sinus
paranasal dan flat face. Ciri khas penderita sindroma Down adalah adanya
maloklusi kelas III dengan tulang mandibula prognatik. 3
2.2. Keadaan rongga mulut dan penyakit periodontal pada anak sindroma
Down
Gambar 1 - Gambaran klinis rongga mulut anak sindroma Down: insisif lateral peg shaped,
maloklusi kelas III disertai open bite anterior 3
Manifestasi jaringan lunak rongga mulut yang paling mudah terlihat
adalah fissure tongue dan ukurannya yang agak besar, bibir kering dikarenakan
kontrol otot rendah. 2, 3
Defisiensi perkembangan kraniofasial dengan profil wajah
yang umumnya cekung dikarenakan kurang maksimalnya pertumbuhan tulang
maksila dan pertumbuhan tulang mandibula yang normal atau cenderung
berlebihan. 2
Gangguan pertumbuhan tulang rahang ini mengakibatkan gigi berjejal
yang melibatkan gigi insisif sentral, insisif lateral dan kaninus. Crowding dapat
terjadi juga di daerah posterior, hal ini lebih sering terjadi pada rahang atas
dikarenakan kurang berkembangnya tulang maksila. 15
Frekuensi agenesis pada
sindroma Down sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi normal
dimana penderita pria lebih banyak mengalami agenesis daripada penderita
wanita. Agenesis lebih banyak terjadi pada rahang bawah kiri, dengan urutan gigi
yang hilang paling banyak adalah dari insisif lateral bawah, premolar dua atas,
insisif lateral atas, premolar dua bawah, molar dua atas, insisif sentral bawah dan
kaninus. 3
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
6
Universitas Indonesia
Gambar 2 - Gambaran klinis gingivitis pada penderita sindroma Down 16
Penyakit periodontal terjadi akibat adanya reaksi inflamasi pada jaringan
periodontal yang disebabkan oleh bakteri periodontopatik, pada penderita
sindroma Down penyebab utamanya adalah adanya gangguan imunitas yang
menyebabkan mereka lebih rentan terhadap bakteri. Spesies mikrobiotik
periodontopatik lebih mudah berkoloni pada plak subgingiva penderita sindroma
Down yang tidak melakukan pembersihan dan pemeriksaan secara berkala
sehingga dapat memudahkan timbulnya reaksi inflamasi pada jaringan gingiva.
Hal ini kemudian diikuti dengan degradasi enzim dan terganggunya remodeling
tulang. Apabila reaksi ini terus berlanjut maka dapat terjadi kerusakan jaringan
periodonsium dan diikuti dengan hilangnya gigi. 17
Telah terdapat beberapa
penelitian yang dilakukan baik dari segi mikrobiologi, imunitas maupun inflamasi
untuk menyelidiki hipotesa penyakit periodontal pada penderita sindroma Down.
Literatur menyatakan bahwa hampir tidak ada penderita sindroma Down
yang memiliki gingiva yang sehat. 1, 3, 18
Hasil penelitian terdahulu menunjukkan
persentasi subyek dengan poket periodontal yang dalam terdapat lebih banyak
pada penderita sindroma Down dibanding subyek normal. Persentasi analisa
CIPTN yang lebih rendah juga diikuti dengan tingginya persentasi perdarahan,
kalkulus, kedalaman poket pada penderita sindroma Down yang merupakan
parameter dari penyakit periodontal. 18
Penelitian lain menunjukkan adanya insidensi plak yang tinggi pada
penderita sindroma Down, dengan 68% populasi menunjukkan oral hygiene yang
buruk dan 91% sampel menderita gingivitis. Pada 30% sampel yang diperiksa
bahkan ditemukan adanya kerusakan tulang alveolar. Hal ini menunjukkan bahwa
penyakit periodontal memiliki prevalensi yang sangat tinggi pada penderita
sindroma Down dan mempengaruhi kualitas hidup mereka dengan keparahan
penyakitnya. 19
Penelitian lain menemukan bahwa early onset gingivitis terjadi
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
7
Universitas Indonesia
pada penderita sindroma Down dengan kondisi yang lebih buruk dibandingkan
dengan anak normal. Kedalaman probing akan bertambah dengan seiring
pertambahan usia. 20
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya diketahui bahwa
rendahnya produksi antibodi saliva dan defek neutrofil memfasilitasi koloni awal
mikroba pada gigi dan jaringan periodontal sehingga mendukung bakteri pathogen
periodontal untuk berkembang biak. Banyaknya bakteri ini menimbulkan reaksi
inflamasi pada gingiva yang ditandai dengan meningkatnya sel makrofag dan
limfosit pada jaringan gingiva. Antigen sel bekerja aktif untuk beradaptasi
(adanya ekspresi meningkat dari antigen HLA pada sel inflamasi) yang
menghasilkan respon antibodi humoral yang kuat. Adanya sel makrofag dan
fibroblas berkaitan dengan tingginya produksi degradasi enzim. Sel neutrofil
melepaskan degradasi enzim ini ke jaringan gingiva. Kerusakan pada jaringan
melepaskan metabolik asam arakhidonik (prostaglandin). Prostaglandin dan
degradasi enzim ini berperan dalam kerusakan jaringan periodontal. 17
Keparahan penyakit periodontal dapat ditentukan berdasarkan beberapa
jenis pemeriksaan, salah satunya adalah Papilla Bleeding Index (PBI). Metode
pemeriksaan PBI pertama kali diperkenalkan oleh Saxer dan Muhlemman.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan secara langsung keadaan inflamasi pada
jaringan periodontal berdasarkan kondisi perdarahan pada daerah interdental.
Pemeriksaan ini juga dapat memberikan motivasi kepada pasien dengan
menunjukkan dimana daerah inflamasi dan bagaimana keparahan penyakit
periodontal yang dialami. 5
Seiring dengan tingginya tingkat hidup penderita sindroma Down maka
insidensi penyakit periodontal pada penderita Sindroma Down juga meningkat. 21
Adanya kendala fisik dan kondisi medis membatasi penderita sindroma Down
untuk menjalani perawatan dengan baik sehingga dengan tingkat kebersihan mulut
yang buruk, disfungsi sel neutrofil, bakteri-bakteri spesifik dan infeksi virus
berperan dalam menambah keparahan penyakit periodontal yang diderita.
Kecenderungan tingginya tingkat kejadian penyakit periodontal pada anak
sindroma Down sangat berpengaruh pada kualitas hidup anak sindroma Down.
Keadaan ini dipengaruhi oleh kelanjutan penyakit periodontal yang dapat
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
8
Universitas Indonesia
mengakibatkan kerusakan tulang alveolar, sehingga dibutuhkan rencana
perawatan secara menyeluruh untuk mencegah meningkatnya keparahan penyakit
periodontal pada anak sindroma Down
1.1. Saliva sebagai biomarker
Saliva merupakan salah satu cairan dalam rongga mulut yang dapat
memberikan gambaran relevan tentang kondisi rongga mulut dan kondisi sistemik
karena mengandung biomarker spesifik. Biomarker spesifik tersebut berupa
sejumlah protein dan peptida yang bertanggung jawab untuk menjaga
keseimbangan rongga mulut (Tabel 1). Peranan saliva dalam pembentukan
biofilm dan pertahanan host menyebabkan saliva juga berperan dalam proses
perkembangan penyakit periodontal.
Marker Hubungan dengan Penyakit Periodontal Jenis penyakit
periodontal
Spesifik
Immunoglobulin
( IgA, IgG, IgM)
mempengaruhi siklus metabolisme
bakteri dan peningkatan konsentrasi
pada saliva penderita penyakit
periodontal
Kronik dan agresif
Non Spesifik
Mucin keterlibatan pada kolonisasi
Agregatibacter actinomycetemcomitans agresif
Lisozim Mengatur akumulasi plak kronik
Laktoferin
Menghambat pertumbuhan mikrobial/
meningkatkan korelasi
A.actinomycetemcomitans
agresif
Histatin
Menetralisir lipopolisakarida dan enzim
yang berpengaruh pada jaringan
periodonsium
kronik dan agresif
Peroxidase
Mempengaruhi akumulasi plak/
peningkatan konsentrasi pada penderita
penyakit periodontal
kronik
Sistemik
Protein C-reaktif
Peningkatan konsentrasi pada serum
dan saliva penderita penyakit
periodontal
kronik dan agresif
Tabel 1 – Mediator pada kelenjar saliva mayor yang berkaitan dengan penyakit periodontal. 23
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
9
Universitas Indonesia
Biomarker merupakan sesuatu yang telah dievaluasi dan diakui sebagai
alat ukur, baik sebagai indikator sehat fisiologis, keadaan patologis maupun
sebagai penilai suatu tindakan terapeutik yang diberikan/dilakukan. 24
Biomarker,
baik yang dihasilkan oleh individu yang sehat atau individu yang terkena oleh
penyakit sistemik tertentu, merupakan molekul yang dapat digunakan untuk
memonitor status kesehatan, perjalanan penyakit, respon pengobatan dan hasil
pengobatan. Biomarker yang informatif dapat membantu untuk deteksi awal
penyakit dan menjadi penemuan yang menjanjikan terutama bagi penyakit
epidemiologi klasik. 24
Saliva merupakan biomarker yang informatif dan mudah
karena proses pengambilannya yang tidak invasif. 7
Gambar 3 - Gambaran dari proses patogenesis pada penyakit periodontal 25
Peristiwa awal patogenesis penyakit periodontal dipicu oleh
lipopolisakarida (LPS) dari bakteri gram negatif pada permukaan akar gigi.
Sebagai garis pertahanan pertama, sel PMN diangkut ke lokasi peradangan. Sel
monosit dan makrofag aktif merespon endotoksin dengan melepaskan
sitokinTNF-α (Tumor Necrosis Factor-α) dan interleukin-1 beta (IL-1β),
merangsang kerusakan jaringan lebih lanjut. Sel fibroblas dan sel PMN
memproduksi MMP (Matrix Metalloproteinase) enzim penghancur kolagen yang
kuat. TNF-α, IL-1β dan reseptor NF-kB ligan (RANKL) meningkat pada lokasi
peradangan yang aktif dan memediasi osteoklastogenesis dan kerusakan tulang.
Biomarker tulang seperti Carboxyterminal telopeptida dari kolagen tipe I
dilepaskan dan diangkut keluar melalui gingiva crevicular fluid (GCF) sehingga
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
10
Universitas Indonesia
dapat berfungsi sebagai biomarker potensial untuk pendeteksian penyakit
periodontal. 17
Ada berbagai macam biomarker yang berkaitan dengan pembentukan
tulang serta resorpsi tulang. Biomarker pembentukan tulang adalah alkalin
fosfatase, osteocalcin, osteonectin dan procollagen tipe 1 propeptida. Biomarker
resorpsi tulang adalah hidroksiprolin, collagen crosslinks (Pyridinoline,
deoxypyridinoline, N-telopeptida, C-telopeptida) yang telah dievaluasi dalam
GCF dan saliva. 25
Biomarker proses regenerasi tulang. 26
2.3. C-Telopeptida sebagai biomarker resorpsi tulang
C-telopeptida merupakan salah satu bagian dari Pyridinoline crosslink
yang telah menjadi biomarker sangat relevan pada proses resorpsi tulang penyakit
osteolitik. 26
Beberapa penelitian telah menunjukkan C-telopeptida, N-
telopeptida, Pyridinoline (hydroxylysl pyridinoline atau Pyr) dan
deoxypyridinoline (lysyl pyridinoline atau Dpy) merupakan komponen yang
terbaik untuk dipelajari dari kelompok molekul degradasi kolagen sebagai
biomarker resorpsi tulang pada tulang yang mengalami proses inflamasi. 27, 28
Penelitian terdahulu menyatakan biomarker tersebut diatas dapat ditemukan pada
darah, urin dan saliva. Hingga saat ini referensi nilai biomarker pada urin dan
darah sudah ada namun referensi nilai biomarker untuk saliva belum dilaporkan. 27
Pada penelitian yang dilakukan terhadap hewan (anjing) dan pada manusia
ditemukan adanya hubungan antara kehilangan tulang yang jelas dilihat dari
gambaran radiografis dan perubahan konsentrasi C-telopeptida pada GCF. 28
Metode lain untuk mengevaluasi aktivitas penyakit periodontal adalah dengan
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
11
Universitas Indonesia
mendeteksi perubahan metabolisme jaringan ikat. Metode ini mempelajari sintesis
dan kehancuran jaringan kolagen, meliputi radioimmunologi kolagen propeptida
dan analisa telopeptida. Kolagen tipe I dan III adalah protein yang paling banyak
ditemukan dalam jaringan ikat gingiva dan ligamen periodontal. Kolagen tipe I
adalah komponen organik utama tulang alveolar.
Kolagen tipe I dan III disintesis dan disekresikan sebagai prokolagen yang
mengandung aminoterminal dan carboxyterminal propeptida yang membelah
sebelum molekul triplehelical dirakit menjadi serat kolagen. Non-triplehelical
telopeptida di kedua ujung molekul kolagen tidak dibelah sebelum pembentukan
serat kolagen ini. Telopeptida yang crosslink dengan jaringan kolagen yang
terdekat, mampu bertahan terhadap enzim yang menyerang selama degradasi
kolagen dewasa dan dapat dideteksi dalam cairan tubuh. 29, 30
Kolagen tipe I Carboxyterminal telopeptida dapat dipakai sebagai penanda
kerusakan jaringan ikat. Penelitian yang dilakukan adalah dengan mengukur
kolagen tipe I Carboxyterminal telopeptida pada GCF dalam tingkat kondisi klinis
yang berbeda dan setelah perawatan periodontal untuk mempelajari apakah
konsentrasi kolagen fragmen ini terkait dengan kondisi klinis penyakit yang
diidentifikasi. Tehnik pemeriksaan yang digunakan adalah radioimmunoassay
didasarkan pada antigen telopeptida dari tulang. 30
Pada penemuan klinis sebelumnya menunjukkan bahwa antigen yang
beredar dalam darah pada prinsipnya berasal dari resorpsi tulang. Akan tetapi
kolagen tipe 1 merupakan kolagen utama pada jaringan ikat gingiva dan ligamen
periodontal dan hasil penelitian menunjukkan bahwa radioimmunoassay juga
mendeteksi telopeptida yang berasal dari jaringan lunak gingiva. Dengan
demikian disimpulkan bahwa kolagen tipe I Carboxyterminal telopeptida yang
ditemukan di GCF, bisa berasal dari tiga sumber yang berbeda, yaitu dari jaringan
lunak, ligamen periodontal dan tulang alveolar. 30
Berdasarkan penelitian
sebelumnya, ditemukan adanya perbedaaan yang signifikan antara jumlah C-
telopeptida pada kelompok normal (1.1±0.6 pg/site), kelompok dengan gingivitis
(14.8 ± 6.6pg/site) dan kelompok dengan periodontitis (30.3 ± 5.7 pg/site). 9
Kolagen tipe I Carboxyterminal telopeptida dilepaskan setelah terjadinya
proses resorpsi tulang. Meningkatnya konsentrasi kolagen tipe I Carboxyterminal
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
12
Universitas Indonesia
telopeptida menunjukkan adanya penyakit periodontal dan degradasi tulang
alveolar. 27
Hal ini diperkuat dengan adanya hasil penelitian yang menunjukkan
konsentrasi kolagen tipe I Carboxyterminal telopeptida yang lebih tinggi pada
subyek penderita penyakit periodontal dibandingkan dengan subyek normal. 31
Penelitian mengenai kolagen tipe I Carboxyterminal telopeptida berkaitan
dengan peri-implanitis antara lain menemukan konsentrasi kolagen tipe I
Carboxyterminal telopeptida yang secara signifikan meningkat pada kelompok
yang menderita peri-implanitis dibandingkan dengan kelompok normal. 32
Peneliti
lain juga mengemukakan adanya peningkatan kolagen tipe I Carboxyterminal
telopeptida pada kasus peri-implanitis dibandingkan dengan kelompok normal,
walaupun secara statistik tidak signifikan. 33
2.4. Kerangka Teori Penelitian
Sindroma Down + Penyakit Periodontal
Normal + Penyakit Periodontal
1. C-telopeptida
2. N- telopeptida
3. Pyridinoline
4. Deoxypyridinoline
Pyridinoline Crosslink
(Biomarker resorpsi tulang)
Saliva
GCF
Urin
Darah
?
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
13 Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Konsep
PBI
anak sindroma DownC-telopeptida Saliva
PBI
anak NormalC-telopeptida Saliva
3.2. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini adalah konsentrasi C-telopeptida saliva anak
sindroma Down, konsentrasi C-telopeptida saliva anak normal, Papilla Bleeding
Index (PBI) anak sindroma Down dan Papilla Bleeding Index (PBI) anak normal.
3.3. Hipotesis
3.3.1. Hipotesis Mayor
Terdapat perbedaan konsentrasi C-telopeptida saliva pada kelompok anak
sindroma Down dengan kelompok anak normal.
3.3.2. Hipotesis Minor
Terdapat perbedaan PBI pada kelompok anak sindroma Down dengan
kelompok anak normal.
Terdapat hubungan antara PBI dengan konsentrasi C-telopeptida saliva
pada kelompok anak sindroma Down dengan penyakit periodontal
Terdapat hubungan antara PBI dengan konsentrasi C-telopeptida saliva
pada kelompok anak normal dengan penyakit periodontal
3.4. Definisi Operasional
3.4.1. Papilla Bleeding Index (PBI) anak sindroma Down dan anak normal
Papilla Bleeding Index (PBI) adalah skala peradangan gingiva sebagai
penanda adanya aktifitas penyakit periodontal. 35
Pemeriksaan dilakukan
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
14
Universitas Indonesia
dengan menggunakan probe WHO yang dilakukan pada gigi molar satu
tetap kanan dan kiri rahang atas dan bawah bagian mesiobukal dan
distobukal serta gigi insisif satu kanan atas dan bawah bagian mesiolabial
dan distolabial. Hasil perhitungan skor masing-masing gigi didapatkan dari
penjumlahan skor dua daerah gingiva dan dibagi dua. Papilla bleeding
index merupakan jumlah skor perdarahan gingiva gigi yang diperiksa
dibagi dengan jumlah gigi yang diperiksa. Hasil pemeriksaan terbagi atas
empat kategori yaitu 0 bila tidak ada perdarahan, 1 bila ada satu titik
perdarahan, 2 bila ada beberapa titik perdarahan, 3 bila terdapat
perdarahan interdental beberapa saat setelah probing. Skala pengukuran
PBI menggunakan skala numerik.
3.4.2. Konsentrasi C-telopeptida anak sindroma Down dan anak normal
Konsentrasi C-telopeptida adalah jumlah C-telopeptida yang disekresi oleh
kelenjar saliva yang tidak terstimulasi. Pengambilan saliva dilakukan
dengan menggunakan pipet dari bawah lidah sebanyak 2 ml. Konsentrasi
C-telopeptida kemudian dinilai dengan menggunakan ELISA Kit yang
hasilnya dinyatakan dalam satuan ng/mL dan diukur dengan skala numerik
3.5. Disain Penelitian
Jenis penelitian observasional laboratorik dengan metode potong lintang.
3.6. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah saliva yang dikumpulkan dari subyek penelitian
sesuai kriteria.
3.7. Kriteria Subyek Penelitian
3.7.1. Kelompok Anak Sindroma Down
Kriteria subyek kelompok anak sindroma Down sebagai berikut:
1. Anak sindroma Down yang diagnosisnya telah ditetapkan oleh dokter
anak.
2. Berusia 14-17 tahun
3. Tidak mengkonsumsi obat-obatan menahun
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
15
Universitas Indonesia
4. Kooperatif untuk menjalani pemeriksaan klinis dan pengambilan
sampel saliva
5. Skor PBI 1 hingga 3
3.7.2. Kelompok Anak Normal
Kriteria subyek kelompok anak normal sebagai berikut:
1. Anak tanpa sindroma maupun keadaan medis apapun yang disangkal
oleh orangtua
2. Berusia 14-17 tahun
3. Tidak mengkonsumsi obat-obatan menahun.
4. Kooperatif untuk menjalani pemeriksaan klinis dan pengambilan
sampel saliva
5. Skor PBI 1 hingga 3
3.8. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah:
1. SLB C Dian Grahita Kemayoran, Jakarta Pusat
2. SLB Negeri 3 Kemayoran, Jakarta Pusat
3. SLB C Asih Budi II, Jakarta Timur
4. SMPN 216 dan SMAN 68, Jl. Salemba Raya, Jakarta Pusat
5. Laboratorium Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi
UniversitasIndonesia, Kampus Salemba, Jakarta Pusat
3.9. Jumlah Subyek Penelitian
Jumlah subyek penelitian dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
𝒏𝟏 = 𝒏𝟐 = 𝟐 𝒁 ∝ +𝒁𝜷 𝑺
𝑿𝟏 − 𝑿𝟐
𝟐
n = jumlah subyek
Zα = kesalahan tipe I. Tingkat kemaknaan ditetapkan
= 0,05 sehingga Zα= 1,96
Zβ = kesalahan tipe II = 0,84
S = simpang baku kedua kelompok = 3.35 (merupakan simpang
baku gabungan yang berasal dari penelitian terdahulu) 9
X1-X2 = selisih minimal rerata yang dianggap bermakna= 3.74
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
16
Universitas Indonesia
𝑛1 = 𝑛2 = 2 1,96 + 0,84 3,35
3,74
2
Jadi jumlah subyek penelitian :
n = 12,4
n = dibulatkan menjadi 12
Jadi, jumlah subyek penelitian untuk masing-masing kelompok adalah 12
orang, dan besar subyek keseluruhan adalah 24 orang.
3.10. Bahan dan Alat
Adapun alat dan bahan yang digunakan selama proses pengambilan data
hingga proses laboratorium adalah:
1. Alat tulis
2. Lembar formulir
3. Lembar tabel untuk penilaian papilla bleeding index
4. WHO Periodontal Probe
5. Instrumen dental (kaca mulut,sonde, pinset)
6. Povidon Iodine (merk Betadine)
7. Separator Sample Tube (SST)
8. Pipet plastik (satu kali guna)
9. Eppis steril
10. Senter diagnostik
11. Sarung tangan sekali pakai
12. Masker
13. CTX-1 Elisa Kit merk Mybiosource,USA
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
17
Universitas Indonesia
3.11. Alur Tatalaksana Penelitian
Lolos Komisi Etik FKG UI
Izin Kepala Sekolah
Seleksi Subjek Penelitian
Informed Consent
Pengukuran papilla bleeding index
dan Pengambilan sampel Saliva
Pengukuran konsentrasi C-Telopeptida
dengan Metode ELISA
Tabulasi, pengolahan data dan analisa
statistik data
Laporan hasil penelitian
3.12. Cara Kerja
1. Sebelum memulai peneliti harus mendapatkan persetujuan dari komisi
etik FKG UI dan izin dari kepala sekolah SLB C Dian Grahita, SLB C
Negeri 3 Kemayoran, SLB C Asih Budi II Jakarta Timur, SMPN 216
dan SMAN 68, Jl. Salemba Raya, Jakarta Pusat
2. Melakukan seleksi subyek penelitian berdasarkan kriteria inklusi pada
tiap-tiap kelas.
3. Memberikan informasi secara lisan maupun tulisan mengenai
penelitian yang akan dilakukan kepada orangtua anak. Apabila
bersedia menjadi subyek penelitian maka dibagikan lembaran
persetujuan (informed consent) yang harus diisi dan ditandatangani
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
18
Universitas Indonesia
oleh orangtua subyek penelitian. Informed consent berisikan
persetujuan anaknya menjadi subyek penelitian.
4. Melakukan pemeriksaan papilla bleeding index pada subyek penelitian
berdasarkan pemeriksaan klinis
5. Pengambilan sampel saliva dilakukan pada subyek yang sesuai dengan
kriteria. Waktu pengambilan saliva dilakukan antara pukul 8.00-11.00
WIB. Pengambilan saliva tanpa stimulasi menggunakan pipet plastik
panjang dan ditampung didalam eppis steril, ditutup serta diberi label
nama dan kode. Untuk meminimalisasi penurunan pH saliva dan
pengaruh pertumbuhan bakteri maka subyek diinstruksikan berkumur
dengan air.
6. Tehnik pengambilan saliva adalah sebagai berikut:
(1) Subyek duduk di kursi dengan santai
(2) Subyek diminta berkumur dengan air matang kemudian menelan.
(3) Saliva dikumpulkan hingga mencapai volume 2 ml yang diambil di
bawah lidah pasien dengan menggunakan pipet plastik panjang
7. Cara penanganan sampel saliva:
Saliva yang sudah terkumpul ditampung didalam eppis steril langsung
dimasukkan ke dalam sampel separator tube (SST) dan didinginkan
selama 30 menit, kemudian disimpan di lemari pendingin (freezer)
dengan suhu -20̊ C di Laboratorium Oral Biologi FKG UI Salemba.
Selanjutnya dilakukan perhitungan konsentrasi C-telopeptida saliva
menggunakan ELISA kit di Laboratorium Oral Biologi FKG UI.
8. Tahap pengolahan sampel di laboratorium :
Sampel yang semula disimpan dalam keadaan beku kemudian
dicairkan pada suhu ruang.
Semua sampel disentrifugasi pada suhu 37C̊ dengan kecepatan
3000 rpm selama 20 menit.
supernatan dari saliva diambil lalu dimasukkan ke dalam
polypropylene tubes.
9. Tahap pengukuran konsentrasi C-telopeptida saliva dengan
menggunakan ELISA KIT (myBiosource, USA)
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
19
Universitas Indonesia
Mempersiapkan microplate, sampel dan seluruh reagen, yang
terdiri dari: Standart solution, Standart Dilluent, Str-HRP-
Conjugate Reagent, 30x wash solution, Biotin-CTX-1-Ab,
Chromogen Solution A, Chromogen Solution B, Stop Solution.
Pada blank well: masukkan Chromogen Solution A dan
Chromogen Solution B pada blankwell.
Pada wellstandar: masukkan larutan standar 50 µ𝑙 , Streptavidin-
HRP 50 µ𝑙.
Pada well sampel: masukkan sampel saliva sebanyak 40 µ𝑙 ,
tambahkan antibodi CTX-1 sebanyak 10 µ𝑙 dan Streptavidin-HRP
sebanyak 50 µ𝑙.
Tutup menggunakan sealing membrance kemudian inkubasi pada
suhu 37̊ selama 60 menit disertai dengan shaking.
Setelah selesai inkubasi, bilas dengan wash buffer (telah dicairkan
terlebih dahulu sebanyak 30 kali menggunakan distilled water)
pada setiap well.
Tambahkan Chromogen Solution A sebanyak 50 µ𝑙 dan
Chromogen Solution B sebanyak 50 µ𝑙 pada masing -masing well ,
kemudian diinkubasi kembali selama 10 menit pada suhu 37̊ dan
tidak boleh terkena cahaya.
Setelah selesai inkubasi tambahkan stop solution sebanyak 50µ𝑙
pada masing-masing well. Penambahan larutan tersebut akan
menghentikan reaksi substrat yang akan memperlihatkan
perubahan warna menjadi kuning.
Perubahan warna ini diukur dengan menggunakan Microplate
Reader / ELISA reader dengan panjang gelombang 450nm.
3.13. Analisis Data
Data dianalisa dengan uji t-test tidak berpasangan dengan batas
kemaknaan p ≤ 0,05 untuk melihat perbedaan Papilla Bleeding Index serta
perbedaan konsentrasi C-telopeptida saliva anak sindroma Down dengan anak
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
20
Universitas Indonesia
normal. Analisis data kemudian dilanjutkan dengan uji Pearson untuk mengetahui
arah, kekuatan dan kemaknaan korelasi (nilai r). Arah korelasi diklasifikasikan
menjadi : (+) positif = searah, semakin besar nilai suatu variabel semakin besar
pula nilai variabel lainnya; (-) negatif = berlawanan arah, semakin besar nilai satu
variabel, semakin kecil nilai variabel lainnya. Kekuatan korelasi (r) yang
diklasifikasikan menjadi : 0.000-0.1999 = sangat lemah, 0.200-0.399 = Lemah;
0.400-0.599 = Sedang, 0.600-0.799 = Kuat, 0.800-1.000 = Sangat Kuat. Nilai p
diklasifikasikan menjadi : p <0.05 = terdapat korelasi yang bermakna antar dua
variabel yang diuji dan p >0.05 = tidak terdapat korelasi yang bermakna antara
dua variabel yang diuji. 36
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
21 Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di beberapa sekolah yaitu SLB C Dian Grahita
Kemayoran, SLB Negeri 3 Kemayoran, SLB C Asih Budi II, SMPN 216 dan
SMAN 68. Pemeriksaan awal dilakukan untuk seleksi anak sindroma Down
dengan penyakit periodontal dan anak normal dengan penyakit periodontal yang
berusia 14-17 tahun. Dari 44 orang subyek sindroma Down yang diperiksa
didapatkan 13 orang subyek penelitian sesuai dengan kriteria penelitian. Total
subyek penelitian adalah 24 orang yang sesuai kriteria penelitian terdiri dari 12
anak sindroma Down dengan penyakit periodontal dan 12 orang anak normal
dengan penyakit periodontal.
Penyakit periodontal ditentukan dari skor Papilla Bleeding Index yang
didapat pada saat pemeriksaan seleksi subyek. Pengambilan saliva pada subyek
penelitian dilakukan setelah informed consent disetujui orang tua. Pengambilan
saliva dilakukan untuk menghitung konsentrasi C-telopeptida yang terdapat pada
saliva anak dengan menggunakan C-telopeptida ELISA kit.
Sebelum analisa statistik dilakukan, terlebih dahulu data yang diperoleh
dilakukan uji varians. Hasil uji varians menggunakan Saphirro-Wilk terhadap skor
Papilla Bleeding Index (PBI) pada anak sindroma Down dan anak normal dengan
penyakit periodontal menunjukkan data terdistribusi normal, sehingga untuk
menganalisa data digunakan uji statistik t- tidak berpasangan.
Tabel 4.1. Perbedaan Papilla Bleeding Index anak sindroma Down dan anak
Normal
PBI χ ± SD p
sindroma Down 2.00 0.603 0.162
Normal 1.58 0.793
Keterangan : *p < 0.05
Tabel 4.1. menunjukkan nilai rerata PBI pada anak sindroma Down
dengan penyakit periodontal adalah 2.00 ± 0.603 dan nilai rerata PBI anak normal
dengan penyakit periodontal adalah 1.58 ± 0.793. Rerata nilai PBI pada anak
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
22
Universitas Indonesia
sindroma Down dengan penyakit periodontal lebih tinggi daripada nilai PBI pada
kelompok anak normal dengan penyakit periodontal.
Untuk menguji hipotesis dilakukan uji t-test tidak berpasangan, diperoleh
nilai p > 0.05. Hasil ini menunjukkan terdapat perbedaan tidak bermakna antara
nilai PBI pada anak sindroma Down dengan penyakit periodontal dan nilai PBI
pada anak normal dengan penyakit periodontal.
Analisa statistik terhadap konsentrasi C-telopeptida dilakukan setelah uji
varian terlebih dahulu. Uji varians (Sapphiro Wilk) terhadap konsentrasi C-
telopeptida saliva pada anak sindroma Down dengan penyakit periodontal dan
anak normal dengan penyakit periodontal menunjukkan data terdistribusi normal,
sehingga untuk menganalisa data digunakan uji statistik t- tidak berpasangan.
Tabel 4.2. Perbedaan Konsentrasi C-telopeptida anak sindroma Down dan
anak Normal
C-telopeptida χ ± SD p
sindroma Down 40.589 9.1723 0.168
Normal 32.654 16.730
Keterangan : *p < 0.05
Tabel 4.2. menunjukkan nilai rerata konsentrasi C-telopeptida saliva pada
anak sindroma Down dengan penyakit periodontal adalah 40.589 ± 9.1723 dan
nilai rerata anak normal dengan penyakit periodontal adalah 32.654 ± 16.730.
Rerata konsentrasi C-telopeptida saliva pada anak sindroma Down dengan
penyakit periodontal lebih tinggi daripada C-telopeptida saliva pada kelompok
anak normal dengan penyakit periodontal.
Untuk menguji hipotesis dilakukan uji t-test tidak berpasangan, diperoleh
nilai p > 0.05. Hasil ini menunjukkan terdapat perbedaan tidak bermakna antara
konsentrasi C-telopeptidasaliva pada anak sindroma Down dengan penyakit
periodontal dan konsentrasi C-telopeptida saliva pada anak normal dengan
penyakit periodontal.
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
23
Universitas Indonesia
Tabel 4.3 Hubungan antara Papila Bleeding Index
dan Konsentrasi C-telopeptida saliva pada anak sindroma Down
Variabel Koefisien Relasi
(r) Nilai p
PBI
C-Telopeptida
0,105
0,745
Uji Pearson dilakukan untuk mengetahui kekuatan korelasi hubungan
konsentrasi C-telopeptida saliva dengan Papila Bleeding Index yang dijabarkan
pada tabel 4.3. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat hubungan positif sangat lemah
tidak bermakna antara C-telopeptida saliva dengan Papilla Bleeding Index
(r=0.105, p=0.745)
Tabel 4.4 Hubungan antara Papila Bleeding Index dan
Konsentrasi C-telopeptida saliva pada anak normal
Variabel Koefisien Relasi
(r) Nilai p
PBI
C-Telopeptida
0.175
0,587
Uji Pearson dilakukan untuk mengetahui kekuatan korelasi hubungan
konsentrasi C-telopeptida saliva dengan Papila Bleeding Index pada anak normal
yang dijabarkan pada tabel 4.4. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat hubungan
positif dengan kekuatan sangat lemah tidak bermakna antara C-telopeptida saliva
dengan Papilla Bleeding Index (r=0.175, p=0.587)
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
24 Universitas Indonesia
BAB 5
PEMBAHASAN
Jumlah penderita sindroma Down hingga saat ini diperkirakan mencapai
sekitar 235 ribu di seluruh Indonesia, namun yang terdeteksi dan diketahui secara
resmi hingga saat ini tidaklah sebanyak itu baik dikarenakan banyaknya penderita
sindroma Down yang berada di daerah terpencil maupun dikarenakan orang tua
yang malu atau tidak mengakui anaknya mengalami sindroma Down. 12, 37
Oleh
karena itu pencarian sampel hanya dapat dilakukan dengan mengumpulkan
sampel anak sindroma Down yang bersekolah di SLB setempat.
Penelitian dilakukan di beberapa sekolah yaitu SLB C Dian Grahita
Kemayoran, SLB Negeri 3 Kemayoran, SLB C Asih Budi II, SMPN 216 dan
SMAN 68. Lokasi penelitian dipilih berdasarkan lokasi yang mudah dijangkau
dan tidak jauh dari laboratorium Biologi Oral FKG UI dengan pertimbangan
waktu penyimpanan sementara saliva sebelum dilakukan uji ELISA. Literatur
menyatakan bahwa saliva harus disimpan dan dibekukan sesegera mungkin untuk
menjaga kualitas komposisi pada saliva dan mencegah adanya komposisi yang
rusak. 38
Penelitian ini dilakukan pada anak sindroma Down karena adanya
kecenderungan prevalensi penyakit periodontal yang lebih tinggi pada anak
sindroma Down dibandingkan dengan anak normal. 1
Penyakit periodontal sangat
sering ditemukan pada anak sindroma Down, hal ini dikaitkan dengan
keterbelakangan mental dan kondisi sistemik yang mereka miliki.
Keterbelakangan mental menyebabkan keterbatasan fisik untuk menjaga
kebersihan gigi dan mulut. 39
Kondisi sistemik dan gangguan sistem imun
menyebabkan terjadinya proses inflamasi yang lebih cepat dibandingkan anak
normal sehingga menyebabkan tingginya tingkat penyakit periodontal pada anak
sindroma Down. Batasan usia subyek penelitian ditentukan usia 14 hingga 17
tahun karena berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan terdapat 8% anak
sindroma Down yang mengalami penyakit periodontal pada usia remaja
dibandingkan dengan 0,5% anak normal yang mengalami penyakit periodontal
pada periode usia yang sama. 40
Pembatasan kriteria ini juga dengan pertimbangan
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
25
Universitas Indonesia
bahwa pada usia 14-17 tahun proses pergantian geligi dari periode gigi sulung ke
gigi tetap telah selesai sehingga tidak akan terdapat proses resorpsi tulang yang
diakibatkan proses pergantian gigi geligi. 41
Kriteria subyek penelitian berikutnya
adalah tidak meminum obat-obatan karena beberapa jenis obat-obatan tertentu
dapat menyebabkan penyakit periodontal.
Diagnosa penyakit periodontal dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan
CPITN, GI, IC, PBI. Penelitian terdahulu menyatakan pemeriksaan perdarahan
pada gingival merupakan pemeriksaan klinis yang tepat untuk mengetahui adanya
aktifitas penyakit periodontal. 41
Berdasarkan hal ini maka pemeriksaan Papilla
Bleeding Index dianggap dapat dijadikan penentu ada atau tidaknya aktifitas
penyakit periodontal pada sampel penelitian. Pada penelitian ini subyek penelitian
yang dipilih adalah subyek penelitian dengan skor PBI1 hingga 3 agar didapatkan
subyek penelitian dengan penyakit periodontal pada tahap awal.
Pada keadaan fisiologis normal terdapat keseimbangan antara proses
pembentukan tulang dan resorpsi tulang, namun ketika terjadi reaksi inflamasi
seperti penyakit periodontal, rheumatoid arthritis dan osteoporosis maka akan
terjadi gangguan metabolisme jaringan yang menyebabkan meningkatnya
pembentukan tulang ataupun resorpsi tulang. 41
Penelitian sebelumnya
menyatakan produk aktifitas osteoblas yaitu osteocalcin, alkalin fosfatase
merupakan penanda formasi tulang dan C-telopeptida sebagai penanda resorpsi
tulang sangat berguna untuk klinis. 42
Penelitian terhadap konsentrasi C-
telopeptida pada penderita Diabetes Mellitus menunjukkan adanya peningkatan
konsentrasi C-telopeptida sesuai dengan keadaan klinis penyakit periodontal yang
dialami pasien. 41
C-telopeptida dilepaskan pada jaringan periodontal sebagai
produk degradasi kolagen dan resorpsi tulang alveolar. Beberapa penelitian
menunjukkan C-telopeptida yang ditemukan pada GCF sangat menjanjikan
sebagai parameter klinik untuk memprediksi terjadinya kerusakan tulang alveolar
pada penyakit periodontal sehingga dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
penyakit periodontal lebih lanjut. 27, 41
Saliva dapat memberikan gambaran yang baik untuk mengetahui kondisi
kesehatan mulut maupun kondisi sistemik seseorang. Saliva terdiri atas berbagai
komposisi yang berasal dari kelenjar eksokrin yang disekresikan kedalam rongga
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
26
Universitas Indonesia
mulut, GCF dan plak. Penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa beberapa
mediator inflamasi kronis dan kerusakan jaringan dapat terdeteksi pada saliva
penderita penyakit periodontal. 23, 24, 43
Saliva terdiri atas berbagai komponen yang
didistribusikan dari berbagai site periodontal sehingga dapat memberikan hasil
pemeriksaan yang lebih maksimal mengenai penyakit jika dibandingkan dengan
GCF. Enzim saliva berasal dari tiga sumber mayor yaitu kelenjar saliva, sel host
pada GCF serta sel bakteri pada plak dan permukaan mukosa mulut. 41
Pengambilan saliva merupakan pilihan pemeriksaan yang baik karena tidak
mahal, sangat mudah, tidak invasif dan tidak membutuhkan tehnik yang lebih sulit
seperti pengambilan GCF. Pemeriksaan biomarker saliva untuk mendiagnosa
penyakit periodontal dapat mengatasi kekurangan pada pemeriksaan GCF yang
membutuhkan waktu lebih lama baik dari proses pengambilan dan analisanya. 43,
44 Berdasarkan pertimbangan tersebut maka dilakukan pemeriksaan C-telopeptida
pada saliva anak sindroma Down dengan penyakit periodontal.
Berdasarkan instruksi ELISA kit merk Biosource, USA, batas minimum
konsentrasi C-telopeptida yang mampu dideteksi adalah 2,21 ng/mL. Mengingat
tidak adanya nilai rujukan konsentrasi C-telopeptida saliva anak, batas minimal
nilai deteksi ini menjadi hal yang sangat penting. Untuk mengantisipasi
konsentrasi C-telopeptida saliva yang lebih rendah dari batas minimal tersebut,
maka kontrol standar harus ditambahkan hingga mencapai nilai 0.9375 ng/mL.
Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai yang lebih rendah dari 2.21 ng/mL dapat
terbaca pada ELISA reader. Adanya penambahan kontrol standar ini
mempengaruhi ketersediaan well, sehingga tidak memungkinkan adanya
penambahan jumlah sampel dalam satu set ELISA kit tersebut.
Hasil penelitian tabel 4.1 menunjukkan bahwa nilai PBI anak sindroma
Down dengan penyakit periodontal lebih tinggi dibandingkan dengan anak normal
dengan penyakit periodontal dengan nilai p > 0.05 (tidak bermakna). Hasil ini
sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa penyakit periodontal
terjadi lebih awal dan lebih parah pada anak sindroma Down dibandingkan
dengan anak normal pada rentang usia yang sama. 1
Faktor etiologi penyakit
periodontal ada berbagai macam, namun yang paling utama adalah plak dan
kalkulus sehingga memungkinkan hasil penelitian menunjukkan adanya
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
27
Universitas Indonesia
perbedaan yang tidak bermakna secara statistik antara tingkat keparahan penyakit
periodontal anak sindroma Down dengan anak normal. 39
Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kerusakan tulang alveolar
sebagai penanda adanya penyakit periodontal lebih sering ditemukan pada anak
sindroma Down usia 10 hingga 19 tahun dibandingkan dengan anak normal.
Penelitian tersebut juga menyatakan kerusakan tulang alveolar muncul lebih awal
pada anak sindroma Down dibandingkan dengan anak normal. 1
Hasil dalam
penelitian ini (tabel 4.2) menunjukkan konsentrasi C-telopeptida pada anak
sindroma Down dengan penyakit periodontal lebih tinggi dari anak normal. Hal
ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa anak sindroma
Down memiliki kecenderungan tingkat kerusakan tulang alveolar lebih tinggi jika
dibandingkan anak normal. 1
Kedua kelompok pada penelitian ini adalah
kelompok dengan penyakit periodontal dengan hasil penelitian yang menunjukkan
adanya peningkatan konsentrasi C-telopeptida, hal ini sesuai dengan penelitian
sebelumnya yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan konsentrasi C-
telopeptida pada penderita penyakit periodontal. 8, 27
Sampel pada kedua kelompok
penelitian kebanyakan memiliki penyakit periodontal tahap awal sehingga belum
memasuki tahap kerusakan tulang, hal ini tentu berpengaruh pada hasil
konsentrasi C-telopeptida saliva yang didapat.
Hasil pengujian korelasi statistik antara kedua variabel penelitian PBI dan
konsentrasi C-telopeptida pada kelompok anak sindroma Down menunjukkan
nilai r=0.105 dan nilai p=0.745. Berdasarkan hasil tersebut nilai significancy
p=0.745 menunjukkan bahwa korelasi konsentrasi C-telopeptida saliva dengan
kejadian penyakit periodontal tidak bermakna. Nilai korelasi Pearson sebesar
0.105 menunjukkan bahwa arah korelasi yang positif dengan kekuatan korelasi
yang sangat lemah. Hasil pengujian korelasi statistik antara kedua variabel
penelitian PBI dan konsentrasi C-telopeptida pada kelompok anak normal
menunjukkan nilai r=0.175 dan nilai p=0.587. Berdasarkan hasil tersebut nilai
significancy p=0.175 menunjukkan bahwa korelasi konsentrasi C-telopeptida
saliva dengan kejadian penyakit periodontal tidak bermakna. Nilai korelasi
Pearson sebesar 0.587 menunjukkan bahwa arah korelasi yang positif dengan
kekuatan korelasi yang sangat lemah.
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
28
Universitas Indonesia
Kesimpulan hasil penelitian ini semakin tinggi keparahan penyakit
periodontal maka akan semakin tinggi konsentrasi C-telopeptida dengan kaitan
keduanya lemah (kelompok anak sindroma Down dan kelompok kontrol) namun
tidak bermakna. Hal ini tidak sesuai dengan beberapa penelitian terdahulu yang
menyatakan bahwa semakin buruk penyakit periodontal maka semakin tinggi
konsentrasi C-telopeptidanya. 27, 31
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
29 Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Pemeriksaan konsentrasi C-telopeptida yang dilakukan pada saliva bila
dibandingkan dengan pemeriksaan pada GCF, darah dan urin sangat mudah
dilakukan dan tidak invasif. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan
konsentrasi C-telopeptida pada penderita penyakit periodontal sejak tahap awal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PBI dan konsentrasi C- telopeptida pada
kelompok sindroma Down lebih tinggi dari kelompok normal dan membuktikan
penelitian terdahulu dengan hubungan variabel satu sama lain searah namun tidak
signifikan.
6.2. Saran
Kemungkinan ada beberapa hal yang menyebabkan hasil penelitian ini
berbeda dengan penelitian terdahulu yaitu keterbatasan sampel dikarenakan
jumlah antibodi pada ELISA kit yang terbatas, rentang usia yang kurang luas dan
tingkat keparahan penyakit periodontal yang tidak sama. Untuk dapat dibuat
sebuah acuan nilai standar bagi sebuah biomarker maka dibutuhkan penelitian
lebih lanjut dengan populasi yang lebih spesifik, rentang usia lebih luas serta
tingkat penyakit periodontal populasi agar nilai diaplikasikan sesuai dengan baik
menurut populasi tersebut. Nilai acuan tersebut nantinya diharapkan dapat
menggambarkan keparahan penyakit periodontal berdasarkan nilai konsentrasi C-
telopeptida saliva pada anak.
Untuk mendapatkan lebih banyak manfaat bagi pencegahan penyakit
periodontal pada anak sindroma Down perlu dilakukan penelitian mengenai
hubungan konsentrasi C-telopeptida saliva anak sindroma Down dengan penyakit
periodontal dan tanpa penyakit periodontal. Selain itu juga perlu dilakukan
penelitian lanjutan dengan penanda biologis keradangan lain sebagai pelengkap
penanda C-telopeptida.
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
30 Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
1. Barr-Agholme M, Dahllof G, Linderr L, Modeer T. Actinobacillus
actinomycetemcomitans, Capnocytophaga and Porphyromonas gingivalis in subgingival plaque of adolescents with Down's syndrome. Oral Microbiol Immunol.
;7(4):244-8. February 1992;7:244-8.
2. Desai SS. Down Syndrome: A Review of the Literature. Oral Surgery, Oral
Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology, and Endodontics. September
1997;87(3):279-85.
3. Cheng RHW, Yiu CKY, L WK. Oral Health in Individuals with Down
Syndrome.Prof. Subrata Dey (Ed.), ISBN: 978-953-307-355-2, InTech, DOI: 10.5772/17973. 2011. Available at: http://www.intechopen.com/books/prenatal-
diagnosis-and-screening-for-down-syndrome/oral-health-in-individuals-with-down-
syndrome. Accessed January 23, 2013.
4. Morgan J. Why is periodontal disease more prevalent and more severe in people with
Down syndrome? Spec Care Dentist. September 2007;27(5):196-201.
5. Wolf HM, Hassel TM. Indices. Color Atlas of Dental Hygiene - Periodontology. New
York: Thieme Pub.; 2005:70.
6. Taba Jr M, Kinney J, Kim AS, Giannobile WV. Diagnostic Biomarkers for Oral and Periodontal Diseases. Dent Clin North Am. July 2005 ;49(3):551–vi.
7. Calvo MS, Eyre DR, Gundbergs CM. Molecular basis and clinical application of biological markers of bone turnover. Endocrine Reviews. August 1996;Vol.
17(4):333-68.
8. Khashu H, Baiju C, Bansal SR, Chhillar A. Salivary Biomarkers: A Periodontal
Overview. J Oral Health Comm Dent. 2012;6(1):28-33.
9. Palys MD, Haffajee AD, Socransky SS, Giannobile WV. Relationship between C-
telopeptide pyridinoline cross-links (ICTP) and putative periodontal pathogens in
periodontitis. J Clin Periodontol. November 1998;25:865–871.
10. Baker S, Rayburn L, Ramseier C, et al. Saliva-derived Bone Collagen Degradative Fragments in Periodontitis. Paper presented at: IADR/AADR/CADR 85th General
Session and Exhibition, 2007; Dallas.
11. Roizen NJ, Patterson D. Down’s syndrome. The Lancet. April 2003;361.
12. Parker SE, Mai CT, Canfield MA, et al. Updated national birth prevalence estimates for selected birth defects in the United States, 2004–2006. Birth Defects Research
Part A: Clinical and Molecular Teratology. December 2010;88(12):1008-16.
13. Persatuan Orangtua Down Syndrome. POTADS. 2003. Available at:
http://www.potads.com/downsyndrome.php. Accessed January 28, 2013.
14. Abanto J, Ciamponi AL, Francischini E, Murakami C, Rezende NPMd, Gallottini M.
Medical problems and oral care of patients with Down syndrome: a literature review.
Spec Care Dentist. 2011;31(6):197-203.
15. Reuland-Bosma W, Van Dijk J. Periodontal disease in Down's Syndrome: A review. J Clin Pertodontol. 1986;13:64-73.
16. Reddy S. Necrotizing Ulcerative Periodontitis, Refractory Periodontitis and Periodontitis as a Manifestation of Systemic Disease. Essentials of Clinical
Periodontology and Periodontics. New Delhi: Jaypee Brothers Publishers; 2008:221.
17. Khocht A. Down Syndrome and Periodontal Disease, Prof. Subrata Dey (Ed.), ISBN:
978-953-307-631-7, InTech, DOI: 10.5772/17371. Intech. 2011. Available at:
http://www.intechopen.com/books/genetics-and-etiology-of-down-syndrome/down-syndrome-and-periodontal-disease.
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
31
Universitas Indonesia
18. Bagic I, Verzak Z, Cukovic-Cavk S, Brkic H, Susic M. Periodontal Conditions in Individuals with Down's Syndrome. Coll. Antropol. 2003;27(2):75-82.
19. Loureiro ACA, Costa FO, da Costa JE. The impact of periodontal disease on the quality of life of individuals with Down syndrome. Down Syndrome Research and
Practice. July 2007;12(1).
20. Morinushi T, Lopatin DE, Nakao R, Kinjyo S. A Comparison of the Gingival Health
of Children with Down Syndrome to Healthy Children Residing in an Institution.
Spec. Care Dentist. 2006;26(11):13-9.
21. Frydman A, Nowzari H. Down Syndrome-Associated Periodontitis: A Critical Review of the Literature. Compendium. May 2012;33(5).
22. Giannobile WV, Beikler T, Kinney JS, Ramseier CA, Morelli T, Wong DT. Saliva as a diagnostic tool for periodontal disease: current state and future direction.
Periodontology 2000. 2009;50:52-64.
23. Khiste SV, V R, Nichani AC, V R. Critical analysis of biomarkers in the periodontal
practice. J of Ind Society of Periodontology. April-June 2011;15(2).
24. Kinney JS, Ramseier CA, Giannobile WG. Oral Fluid-Based Biomarkers of Alveolar
Bone Loss in Periodontitis. Ann.N.Y.Acad.Sci. 2007;1098:230-51.
25. Singer F, D.R. E. Using biochemical markers of bone turnover in clinical practice.
Cleveland Clinic J of Medicine. 2008;75:739-50.
26. Pettifor JM. Nutritional Rickets. In: Glorieux FH, Pettifor JM, Juppner H, eds.
Pediatric Bones. 2nd ed. New York: Elsevier Pub.; 2012:638.
27. Shaw N, Hogler W. Biochemical Markers of Bone Metabolism. In: Glorieux FH,
Pettifor JM, Jupner H, eds. Pediatric Bone. 2nd ed. New York: Elsevier Pub.; 2012:362,366.
28. Giannobile WV. C-Telopeptide Pyridinoline Cross-Links: Sensitive Indicators of Periodontal Tissue Destruction. Ann N Y Acad Sci. June 1999;878:404–412.
29. Giannobile WV, Lynch SE, Denmark RG, Paquette DW, Fiorellini JP, Williams RC.
Crevicular fluid osteocalcin and pyridinoline cross-linked carboxyterminal
telopeptide of type I collagen (ICTP) as markers of rapid bone turnover in
periodontitis. J.Clin.Periodontol. 1995;22:903-910.
30. Risteli J, Elomaa I, Niemi S, Novamo A, Risteli L. Risteli - Radioimmunoassay for the pyridinoline cross-linked carboxy-terminal telopeptide of type I collagen a new
serum marker of bone collagen degradation. CLINICAL CHEMISTRY. 1993;39(4).
31. Talonpoika JT, Hamaiainen MM. Type I collagen carboxyterminal telopeptide in
human gingival crevicular fluid in different clinical conditions and after periodontal
treatment. J Clin Periodontol. 1994;21:320-6.
32. Gursoy U, Kononen E, Palikhe PP, et al. Salivary MMP-8, TIMP-1, and ICTP as
markers of advanced periodontitis. J Clin Periodontol. 2010;37:487-493.
33. Arıkan F, Buduneli N, Lappin DF. C-Telopeptide Pyridinoline Crosslinks of Type I
Collagen, Soluble RANKL, and Osteoprotegerin Levels in Crevicular Fluid of Dental Implants with Peri-implantitis: A Case-Control Study. Int J Oral Maxillofac Implants.
2011;26:282-9.
34. Tumer C, Aksoy Y, Gunchu GN, Nohutcu RM, Kilinc K, Tozum TF. Possible impact
of inflammatory status on C-telopeptide pyridinoline cross-links of Type I collagen
and osteocalcin levels around oral implants with peri-implantitis: a controlled clinical trial. J of Oral Rehabilitation. 2008(35):934-9.
35. Reddy S. Epidemiology of Gingival and Periodontal Disease. Essentials of Clinical Periodontology and Periodontics. New Delhi: Jaypee Brothers Publishers; 2008:45.
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
32
Universitas Indonesia
36. Dahlan M. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. 4 ed. ed. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2009; 1-75,155-66.
37. Kawanto FH, Soedjatmiko, Hendarto A. Factors associated with intelligence in young children with Down syndrome. Paediatrica Indonesiana. July 2012;52(4):194-9.
38. Chiappin S, Antonelli G, Gatti R, De Palo EF. Saliva specimen: A new laboratory
tool for diagnostic and basic investigation. Clinica Chimica Acta. 2007;383:30-40.
39. Amano A, Murakami J, Akiy S. Etiologic factors of early-onset periodontal disease in
Down Syndrome. Japanese Dent Sci Rev. 2008;44:118-27.
40. Nualart-Grollmus ZC, Morales-Chavez MC, Silvestre-Donat F. Periodontal disease
associated to systemic genetic disorders. Med Oral Patol Oral Cir Bucal.
2007;12:E211-5.
41. Slayton R, Hughes-Brickhouse T, Adair S. Dental Development, Morphology,
Eruption and Related Pathologies. In: Nowak AJ, Camissimo PS, eds. The Handbook of Pediatric Dentistry. 3rd ed; 25.
42. Buduneli N, Kinane D. Host-derived diagnostic markers related to soft tissue
destruction and bone degradation in periodontitis. J Clin Periodontol. 2011;38(1):85-
105.
43. Eapen E, Grey V, Don-Wauchope A, Atkinson SA. Bone Health In Childhood:
Usefulness Of Biochemical Biomarkers. eJIFCC. 2008;19(2):1-14.
44. Vasluianu RI, Ungureanu D, Jitaru D, Ioanid AD, Forna NC. Crevicular C-telopeptide
and C-propeptide of type I collagen are markers of parodontal disease evolution indiabetic and non-diabetic patients. Revista Română de Medicină de Laborator.
Iunie 2012;20(2/4).
45. Patil PB, Patil BR. Saliva: A Diagnostic Biomarker for Periodontal Diseases. J of Ind
Soc of Perio. Oct-Dec 2011;15(4):310-17.
46. Priyanka N, Kalra N, Namitha S, et al. Recent Approaches in Saliva as A Credible
Periodontal Diagnostic and Prognostic Marker. AOSR. 2012;2(1):40-46.
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 1: Surat permohonan menjadi subyek
Kepada Yth.
Orang tua/wali dari anak ………………
Dengan ini kami memohon kesediaan Bapak/Ibu/Sdr dapat mengizinkan
putra/putri Bapak/Ibu untuk ikut berpartisipasi dalam rangkaian kegiatan
pemeriksaan lanjutan berupa pengambilan sampel saliva (air liur) untuk penelitian
kami yang berjudul:
Konsentrasi C-Telopeptida Saliva pada Anak Sindroma Down dengan
Penyakit Periodontal
Dalam observasi tersebut kepada anak Bapak/ Ibu akan dilakukan:
1. Pemeriksaan gigi dan rongga mulut
2. Pengumpulan saliva (air liur) ± 2 ml
Ketidaknyamanan yang akan dialami adalah:
1. Saat anak akan diambil air liurnya dengan menggunakan pipet plastik
sebanyak 2 ml
2. Saat pemeriksaan gingival (gusi)
Keuntungan yang diperoleh dalam keikutsertaan pemeriksaan ini adalah
mendapatkan pengetahuan mengenai konsentrasi C-telopeptida saliva dengan
penyakit periodontal pada anak sindroma Down.
Jika Bapak/ Ibu/ Sdr bersedia, surat pernyataan kesediaan menjadi subyek
penelitian yang terlampir harap ditandatangani dan dikirim kembali kepada:
drg. Andita Tissalia
Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak
Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Indonesia
Jl. Salemba Raya No.4 Jakarta 10430
atau kepada pihak sekolah
Demikian surat ini, semoga keterangan kami dapat dimengerti. Atas kesediaan
putra/ putri dari Bapak/ Ibu/ Sdr untuk berpartisipasi kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, …………..2013
Mengetahui, Hormat Kami
Pihak Sekolah drg. Andita Tissalia
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 2: Surat pernyataan kesediaan menjadi subyek
SURAT PERSETUJUAN UNTUK MENGIKUTI PENELITIAN
Saya orangtua / wali dari anak :
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Alamat :
Telepon / Hp :
Setelah membacadan mendengar semua keterangan lengkap tentang apa
yang akan dilakukan, diperiksa serta keuntungan pada penelitian yang berjudul
Perbedaan Konsentrasi C-Telopeptida Saliva pada Anak Sindroma Down
dan Anak Normal dengan Penyakit Periodontal
maka saya dengan sadar dan tanpa paksaan bersedia mengizinkan anak saya
berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan drg. Andita Tissalia (0811165765)
Jakarta, ………….. 2013
Yang menyetujui,
Orang tua/wali
( )
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 3: Informasi kepada subyek penelitian
PENJELASAN UNTUK SUBYEK PENELITIAN
Penelitian : Perbedaan Konsentrasi C-Telopeptida Saliva pada
Anak SindromaDown dan Anak Normal dengan
Penyakit Periodontal
Peneliti : drg. Andita Tissalia
Kami berterimakasih atas kesediaan orang tua/ wali untuk memberikan
izin kepada putra/ putri untuk ikut serta sebagai subyek penelitian ini. Pada
kesempatan inikami berharap agar dapat memahami tujuan serta manfaat
penelitian, sehingga apa yang akan dilakukan,diperiksa dan didapatkan ssebagai
hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya dan studi profesi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia pada
khususnya.
Apa yang dimaksud dengan Saliva?
Saliva atau lebih dikenalair liur merupakan cairan yang diproduksi dalam
ronggamulut yang berfungsi melindungi rongga mulut terhadap iritasi, membantu
pembicaraan, penelanan makan. Air liur mengandung ion elektrolit, protein,
immunoglobulin dan komponen lain yang saling bekerjasama untuk menjaga
rongga mulut besertaisinya meliputi gigi, gusi, lidah dan langit-langit.
Apa yang dimaksud dengan penyakit periodontal?
Penyakit periodontal (jaringan pendukung gigi) timbul akibat adanya
infeksi bakteri, pada anak sindroma Down penyebab utamanya adalah adanya
gangguan imunitas yang menyebabkan lebih rentan terhadap bakteri dan kuman.
Bakteri lebih mudah berkoloni pada plak (kotoran) anak sindroma Down yang
tidak melakukan pembersihan dan pemeriksaan secara berkala sehingga dapat
memudahkan timbulnya reaksi inflamasi pada jaringan periodontal.
Bagaimana hubungan konsentrasi C-telopeptida dengan penyakit
periodontal pada anak sindroma Down?
Anak sindroma Down cenderung memiliki prevalensi penyakit periodontal yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak normal. Penelitian menunjukkan
konsentrasi C-telopeptida dapat dijadikan penanda biologis dari keparahan
penyakit periodontal.
Berapa lama penelitian akan dilakukan?
Penelitian akan dilakukan dalam waktu 20 menit.
Bagaimana mengenai biaya?
Pada penelitian ini tidak akan dikenakan biaya apapun atau gratis.
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 4: Data konsentrasi C-telopeptida dan PBI setiap subyek
Sampel Usia PBI C-telopeptida
Down
Syndrome
U 1 13 2 50,176
U 2 15 3 42,507
U 3 15 2 21,418
U 4 15 3 53,371
U 5 15 2 43,146
U 6 15 2 44,424
U 7 15 2 39,951
U 8 16 1 41,229
U 9 17 1 48,259
U 10 17 2 39,951
U 11 17 2 36,116
U 12 17 2 26,530
Normal
U 13 13 1 26,530
U 14 15 2 37,395
U 15 15 1 41,229
U 16 15 3 70,626
U 17 15 2 15,666
U 18 15 1 41,229
U 19 16 1 27,169
U 20 17 1 44,424
U 21 17 3 27,169
U 22 17 1 36,116
U 23 17 2 5,441
U 24 17 1 18,862
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
Universitas Indonesia
Lampiran 5 : Surat keterangan lolos etik
Perbedaan konsentrasi.., Andita Tissalia, FK UI, 2013
Recommended