View
64
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Objek utama yang menjadi fokus dalam penulisan referat ini merupakan
reservoir aliran debris karbonat yang berada pada Formasi Berai, Ruby Field,
Cekungan Makasar Selatan. Kebanyakan dari reservoir batuan karbonat yang
efektif di Indonesia merupakan batuan karbonat laut dangkal, carbonate banks, dan
reefal built-ups. Pembentukan porositas pada batuan-batuan tersebut biasanya
dikontrol oleh fluktuasi air laut yang memicu terbentuknya porositas sekunder.
Tetapi, reservoir pada Ruby Field terbilang sangat unik dan terendapkan pada
kondisi yang sangat berbeda dengan batuan-batuan diatas. Reservoir pada Rubi
Field merupakan satu-satunya reservoir produktif yang berasal dari endapan debris
karbonat di Indonesia.
Batuan Karbonat pada Ruby Field telah terbukti sebagai reservoir dengan
kualitas yang baik pada MKS-1, MKS-3 dan MKS-4, namun dengan kualitas yang
buruk pada MKS-2. Sedangkan pada NW Ruby-1 yang berdasarkan studi-studi
yang telah dilakjukan diinterpretasikan akan menjadi sumur yang produktif, setelah
di bor menghasilkan dry hole.
Karena kualitasnya yang cukup baik, endapan debris karbonat ini sangat
menarik untuk dipelajari lebih lanjut sebagai salah satu alternatif baru dalam play
concept hidrokarbon suatu daerah, dan pemahaman lebih lanjut mengenai geometri
dan petrofisik dari endapan ini perlu lebih dipahami agar kesalahan-kesalahan
seperti yang terjadi pada NW Ruby-1 tidak terulang lagi.
I.2 Maksud dan Tujuan
Maksud dari referat ini adalah untuk memberikan pemahan yang lebih baik
mengenai endapan debris karbonat sebagai reservoir hidrokarbon, terutama pada
Ruby Field. Adapun tujuan dari tulisan ini antara lain:
2
1. Untuk memberikan gambaran mengenai kondisi reservoir pada Ruby Field
2. Untuk menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan dari porsitas dan permeabilitas pada endapan debris karbonat
3. Untuk memberikan gambaran mengenai karakteristik petrofisik reservoir
dari tiap sumur pada Ruby Field
4. Untuk memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan beberapa masalah
yang terjadi pada Blok Ruby
I.3 Batasan Masalah
Penyusunan karya referat ini didasarkan kepada data-data sekunder yang
didapatkan dari hasil studi pustaka yang antara lain bersumber kepada beberapa
buku, jurnal, paper dan artikel ilmiah. Adapun masalah yang akan dibahas dalam
karya referat ini dibatasi hanya kepada aspek-aspek karakteristik reservoir aliran
debris karbonat dan proses-proses yang mempengaruhi pembentukannya.
3
BAB II
ENDAPAN DEBRIS KARBONAT
Endapan debris karbonat atau biasa disebut dengan lapisan breksi atau
megabreksi, lembaran debris, lembaran rudit, jatuhan debris, dan olisostrom (dalam
artian non-tektonik) merupakan endapan klastika batugamping dengan ukuran dari
beberapa centimeter sampai beberapa ratus meter dengan matriks karbonat
berukuran lempung-pasir (Walker, 1984).
II.1. Aliran Debris
Aliran debris dapat didefinisikan sebagai aliran non-newtonian
berkonsentrasi tinggi. Aliran debris dapat terjadi pada berbagai macam
lingkungan, dari padang pasir sampai continental slope. (Coussot dan
Meunier, 1996 dalam Selley, 2000). Faktor yang sangat penting dari
pergerakan sedimen dengan aliran debris adalah keberadaan slope yang
memadai. Untuk tahapan selanjutnya, gempa bumi, ombak, atau badai
umumnya menjadi pemicu pergerakan aliran ini.
Endapan dari aliran debris ini bervariasi dalam ukurannya dari
bongkah, pasir, lanau sampai lempung. Karakteristik utama dari endapan ini
adalah sortasi yang buruk dan masif (Gambar 2.1)
Gambar 2.1. Model dari endapan debris beserta dengan sifat alirannya (Hauton et al,
2006)
4
II.2 Karakteristik Endapan Debris Karbonat
Lapisan dari endapan debris karbonat dapat memiliki pelamparan
dari beberapa meter sampai puluhan meter dari tepian cekungan. Sangat
sulit untuk merekonstruksi sudut pengendanpan dari endapan debris ini,
tetapi dari kebanyakan hasil pengamtan diperkirakan bahwa pengendapan
terjadi pada slope yang tidak lebih tinggi dari 1o (Cook, et al, 1972 dalam
Scholle, 1982).
Endapan debris karbonat dicirikan dengan keanekaragaman yang
tinggi dari tipe litologi dan ukuran dari fragmen yang angular dengan
orientasi perlapisan yang ganjil. (Chilingarian, 1993). Kebanyakan endapan
debris karbonat membentuk lapisan dalam bentuk tiga dimesional, namun
bentuk-bentuk menyeruai channel dan lentikular cukup sering ditemukan.
Endapan ini berasosiasi dengan relief yang tinggi, tektonik aktif, slope yang
curam, dan bioerosion serta submarine dissolution dari karbonat forereef
oleh mata air atau oversteepening platform margins. Batas bawah dari
endapan debris merupakan batas yang jelas dan umumnya planar (Gambar
2.2).
Gambar 2.2: bagian bawah dari lapisan breksi pada fasies lower slope, Canning basin,
Western Australia (Phillip E. Playford dalam Scholle, 1983)
5
Sortasi dari endapan ini sangat buruk dengan fragmen yang dapat
mencapai ukuran 200 meter, mengapung pada matriks berukuran lumpur
sampai pasir. Walaupun demikian, fosil-fosil berukuran mikro tetap
ditemukan terpreservasi dalam endapan ini (Scholle, 1982). Umumnya,
endapan debris karbonat tidak ditemukan bergradasi, walaupun di beberapa
tempat gradasi normal dan terbalik terkadang ditemukan. Partikel pada
endapan ini memiliki orientasi yang acak (Gambar 2.3 A), namun pada dasar
perlapisan, dapat ditemukan orientasi yang sejajar dengan bidang
perlapisan.
Kandungan matriks dari endapan debris karbonat umumnya sangat
tinggi sehingga fragmen batuan terlihat seperti mengapung diatas matriks.
Endapan tipe ini, dapat disebut sebagai floatstone (Gambar 2.3 B) jika
mengacu kepada Embry & Klovan (1973) (Gambar 2.4). Namun endapan
grain/clast supported juga cukup sering ditemukan dan dapat disebut
sebagai rudstone (Gambar 2.3 C). Endapan dengan clast supported seperti
ini tidak harus mencirikan mud support yang sedikit pada saat trransportasi
berlangsung karena volume matriks dapat berkurang secara signifikan pada
proses dewatering (Schole, 1983).
Gambar 2.3: Kenampakan inti dari breksi pada Formasi Tamabra, Poza Rica Field. (A)
kenampakan orientasi fragmen yang chaotic. (B) Floatstone. (C) Rudstone. (Schole,
1983)
6
Gambar 2.4: Klasifikasi batuan karbonat (Embry & Klovan, 1971)
Komposisi dari matriks tergantung dari besarnya slope dan
komposisi sedimen reefal. Tingginya kandungan fosil pelagik mencirikan
lingkungan slope yang lebih dalam. Komposisi dari fragmen dapat
mencirikan sumber dari endapan tersebut.
II.3 Lingkungan Pengendapan
Menurut Walker (1938), endapan karbonat aliran debris dapat
terbentuk pada lingkungan slope bagian atas di lingkungan laut dangkal atau
pada bagian bawah profil slope. Endapan debris karbonat yang terbentuk
pada laut dangkal dikarakteristikan dengan endapan breksi dengan sortasi
yang sangat buruk dan umumnya membentuk suatu channel. Sedangkan
endapan yang terbentuk pada bagian bawah slope biasanya membentuk
kipas bawah laut dengan litologi yang merupakan campuran dari batuan
sedimen berukuran halus dengna karbonat, serta seringkali ditemukanya
strukutur-struktur geologi yang mengindikasikan gerakan massa sedimen
post-deposition (Walker, 1983 dengan modifikasi)
Model fasies dari endapan debris yang berada pada bagian bawah
slope dibangung dengan menggunakan pendeketan fasies model kipas
bawah laut menurut Mutti dan Ricci Luchi, 1972 (Gambar 2.5).
7
Berdasarkan model fasies ini, (Gambar 2.5) endapan pada kipas bawah laut
dapat dikelompokan menjadi tiga bagian berdasarkan dari suksesi
stratigrafinya.Dimulai dari upper fan pada bagian atas yang dicirikan dengan
endapan kasar dengan kandungan mud yang kecil, serta terlihat memiliki ketebalan
yang tinggi disebabkan oleh morfologi kipas yang semakin menipis ke arah luar.
Pada bagian upper fan ini sering dijumpai struktur berupa slump. Lingkungan
middle fan merupakan lingkungan transisi antara upper fan dan lower fan. Pada
Gambar 2.5 Model fasies kipas bawah laut (Mutti dan Ricci Luchi, 1972 dengan modifikasi)
8
lingkungan ini terlihat tipikal endapan yang masih membentuk channel pada bagian
atas, kemudian perlapisan tabular pada bagian bawahnya (Walker, 1984).
Bagian paling bawah dari model ini merupakan lower fan yang
merupakan perlapisan antara endapan yang berukuran kasar dengan endapan yang
berukuran halus. Ketebalan lapisan pada bagian ini biasanya memiliki ketebalan
yang tipis karena terletak pada bagian paling luar dari kipas bawah laut.
9
BAB III
STUDI KASUS : FORMASI BERAI, CEKUNGAN MAKASSAR SELATAN
III.1 Geologi Regional Cekungan Makassar Selatan
Cekungan Makassar Selatan terletak pada bagian selatan dari Selat
Makassar yang menghubungkan Pulau Kalimantan dengan Pulau Sulawesi
(Gambar 3.1). Secara tektonik, cekungan ini menjadi batas bagian timur dari kraton
Sundaland dan juga terletak pada garis imajiner yang menjadi batas fisiografi antara
Kraton stabil pada Indonesia bagian barat dan kondisi tektonik yang kompleks pada
Indonesia bagian timur.
III.1.1 Tektonik
Cekungan Makasar Selatan dipisahkan dengan Cekungan Makassar
Utara dengan Sesar Adang-Paternoster dan dibatasi oleh lengan selatan
Sulawesi pada bagian timur, Peternoster Platform pada bagian barat dan
Spermonde Platfrom serta Tinggian Masalima pada bagian Selatan.
(Gambar 3.1)
Gambar 3.1 Lokasi Cekungan Makassar Selatan (Tanos, 2013)
10
Terdapat dua aktifitas lempeng tektonik besar yang mempengaruhi
sejarah geologi dari cekungan ini: subduksi dari Lempeng India terhadap
Lempeng Eurasia, dan subduksi dari Lempeng Australia dibawah Lempeng
Eurasia (Metcalfe, 1996; Hall, 2007 dalam Kupecz et al., 2013). Kedua
aktifitas tektonik tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
pola dari struktur geologi dan stratigrafi yang terbentuk.
Proses subduksi dari Lempeng India terhadap Lempeng Eurasia
menghasilkan rezim tektonik ekstensi di seluruh bagian Asia Tenggara,
yang pada daerah ini, diwakili oleh oleh pembentuk sesar-sesar turun
dengan orientasi BL-TG (Tapponier et al., 1982) yang menandai tahap awal
dari proses rifting. Berdasarkan studi biostratigrafi, proses pembentukan
sesar-sesar tersebut terjadi pada kala Eosen Tengah. Selanjutnya, proses
pendinginan kerak yang tua diduga meruapakan penyebab dari subsiden
cekungan dan marine incursion yang terjadi pada kala Oligosen Awal
(Kupecz et al., 2013).
Kemudian, proses subduksi Lempeng Australia terhadap Lempeng
Eurasia pada Miosen Tengah menghasilkan rezim tektonik kompresi yang
menyebabkan pembalikan struktur dan reaktifitasi sesar (Kupecz et al.,
2013). Struktur geologi regional yang terlihat pada saat ini menunjukkan
arah TL-BD yang tergambarkan oleh orientasi platform, punggungan, dan
pegunungan. (Gambar 3.2)
III.2 Stratigrafi
Dengan mengacu kepada data sumur dari beberapa publikasi,
formasi litologi pada Cekungan Makassar Selatan memiliki banyak
kesamaan dengan stratigrafi regional dari Cekungan Sebuku (Gambar 3.3).
Maka dari itu, stratigrafi dari Cekungan Sebuku beserta dengan tatanamanya
akan digunakan sebagai acuan utama dalam pembahasan yang lebih lanjut.
11
Gambar 3.2: Setting tektonik regional dari Cekungan Makasar Selatan dan sekitarnya (Kupecz et
al., 2013)
Gambar 3.3: Kolom stratigrafi Cekungan Sebuku (Pireno et al., 2012)
12
III.2.1 Formasi Tanjung Bawah
Sebelum Kala Eosen Tengah, Kalimantar bagian selatan dan
lengan Sulawesi bagian barat saling berimpitan. Kemudian proses
rifting yang terjadi pada Eosen Tengah memulai tahap awal dari
berpisahnya kedua daerah tersebut. Pada tahap awal dari proses rifting
ini, terendapkan Formasi Tanjung Bawah. (Hidayat et al., 2012)
Formasi ini tersusun atas endapan khas syn-rift yang di
dominasi oleh fasies kompleks dataran aluvial. Selain itu, pada daerah
sekitar sesar-sesar turun pembentuk graben, fasies kompleks kipas
aluvial dapat ditemukan dengan pola yang sejajar dengan pola struktur
rift utama, yaitu Sesar Taka-Tulu dengan arah TL-BD dan Sesar Adang-
Peternosfer dengan arah BL-TG. Endapan lacustrine dan perlapisan
batubara juga terdapat pada formasi ini, namun tidak terlalu melimpah.
III.2.2 Formasi Tanjung Atas
Proses rifting yang terus berlangsung menyebabkan terjadinya
transgresi sehingga terjadi perubahan fasies secara vertikal menuju
lingkungan shelf pada Eosen Akhir.
Formasi ini didominasi oleh perselingan dari calcareous shale
dan batugamping yang mencirikan fasies karbonat platform. Secara
batimetri fasies ini terendapakan pada zona neritik. ( Hidayat et al.,
2012)
Distribusi dan batas dari penyebaran platform karbonat ini
masih terlihat sangat dipengaruhi oleh struktur-struktur rift, sehingga
diperkirakan struktur tersebut masih aktif hingga kala Eosen Akhir.
III.2.3 Formasi Berai
Pada kala Oligosen, aktifitas tektonik rifting mulai berhenti
(Kupecz, 2013), sehingga secara tektonostratigrafi pengendapan
memasuki tahap post-rift. Proses regresi yang masih berlangsung
menyebabkan lingkungan terus mendalam hingga zona batial. Model
pengendapan pada formasi ini menunjukan perubahan fasies secara
13
lateral dari lingkungan platform, reef, slope, hingga basinal plain.
(Hidayat et al., 2012)
Endapan platform karbonat pada Platrofm Peternosfer
mengalami erosi dan terendapkan kembali di zona batial pada Pangkat
Graben sebagai endapan debris. (Ruby Field; Gambar 3.4)
Endapan debris karbonat pada formasi ini terbentuk pada masa
Chattian Aquitanian yang termasuk kedalam periode second-order
eustatic lowstand dan third-order eustatic lowstand (Kupecz et al.,
2013) dan sudah terbukti sebagai reservoir hidrokarbon yang ekonomis.
Gambar 3.4: Peta Gross Depositional Environment yang
menunjukan pembentukan dari Formasi Berai
14
A. Formasi Warukin Bawah & Warukin Atas
Formasi Warukin Bawah terbentuk pada kala Miosen Awal,
kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Formasi Warukin Atas
pada Miosen Akhir. Awal dari pembentukan Formasi Warukin Bawah
bersamaan dengan mulainya fase syn-orogenic kompleks vulkano-
plutonik di Sulawesi Barat (Coffield et al, 1993) dan bersamaan pula
dengan tahap awal progradasi Delta Mahakam (Moss & Chambers,
1999 dalama Hidayat et al., 2012).
Anggota dari kedua formasi ini tidak jauh berbeda dan
menunjukkan banyak kesamaan dengan anggota dari Formasi Berai,
dimana terdapat perubahan fasies lateral secara gradual dari platform
menuju slope kemudian menjadi basinal plain.
Dengan membandingkan rekonstruksi depositional model dari
Formasi Berai, Formasi Warukin Bawah, dan Formasi Warukin Atas
(Gambar 3.5), terlihat bahwa posisi relatif antara tiap fasies mengalami
progradasi ke arah tenggara. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa
Gambar 3.5: Depositional Model dari Formasi Berai (kiri), Formasi Warukin Bawah
(kanan atas) dan Formasi Warukin Atas pada bagian kanan bawah. (Hidayat et al., 2012
dengan modifikasi)
15
efek dari progradasi Delta Mahakam dan penurunan muka air laut
relatif mengakibatkan bertambahnya suplai sedimen kedalam cekungan
(Hidayat et al., 2012)
III.2. Evaluasi endapan debris karbonat pada formasi berai sebagai reservoar gas
Data yang digunakan dalam studi kasus ini merupakan data sumur MKS-1,
MKS-2, MKS-3, MKS-4 (Gambar 3.6), Sumur NW Ruby-1, Takatulu-1, Larilarian-
1 dan karakteristik batuan inti serta 3D Seismik yang banyak diambil dari publikasi
Pireno et al. (2009) dan Tanos et al. (2013).
Gambar 3.6: Lokasi dari sumur MKS-1, MKS-2, MKS-3 dan MKS-4 (Pireno, et al., 2012)
III.2.1 Litologi
Berdasarkan data batuan inti, diperkirakan terdapat paling tidak
tujuh litofasises yang berbeda Formasi Berai (Gambar 3.7). Litofasies
tersebut diantaranya adalah matrix dominated breccia, clast-dominated
breccia, reefal-boundstone-supported breccia, bioclastic wackestone-
packestone, foramalgal packestone-floatstone, dolomite & clay. Diantara
fasies-fasies tersebut, litofasies yang paling dominan merupakan matrix-
supported breccia & clast-supported breccia yang meliputi 90% dari
16
Formasi Berai pada lokasi ini. Maka dari itu pembahasan selanjutnya akan
lebih dikhususkan kepada kedua fasies ini.
Gambar 3.7: Fotografi dari batuan inti Berai Karbonat beserta deskripsi singkat pada
tabel. (Tanos, 2013)
Fasies C1 dan C2 merupakan breksi karbonat dengan fragmen
berukuran kerikil sampai bongkah dengan matriks berupa lumpur
karbonatan dan bioklastik. Fragmen didominasi oleh litik packestone &
wackestone yang mengandung alga merah, fragmen moluska,
echinodermata, miliolid, foraminifera besar, formainifera kecil dan fragmen
koral. Bioklastik pada matriks memiliki tingkat kesamaan yang tinggi
dengan bioklastik yang terdapat pada fragmen sehingga diperkirakan bahwa
matriks pada batuan ini berasal dari hancuran fragmen-fragmen yang belum
terlitifikasi sempurna saat transportasi terjadi. Sortasi dari batuan ini
tergolong buruk dan tidak ditemukan adanya gradasi. Struktur sedimen yang
dapat diamati dari sampel batuan inti hanyalah load cast dan slumping pada
sampel yang diambil dari MKS-4.
17
Sesuai dengan pendapat dari Walker (1984) dan Schole (1983) yang
sudah disampaikan pada dasar teori, kenampakan-kenampakan seperti
variasi ukuran butir yang tinggi, kandungan klastika yang beragam, sortsi
yang buruk, serta sedikitnya ditemukan struktur geologi pada sampel batuan
inti yang diambil dari sumur-sumur ini dapat mengindikasikan bahwa
batuan ini merupakan produk dari aliran debris.
III.2.2 Lingkungan Pengendapan
Interpretasi lingkungan pengendapan secara lebih lanjut dapat
dilakukan dengan membandingkan stratigrafi yang didapatkan dari data
log sumur dengan model fasies yang paling seusai. Dari hasi deskripsi
sampel batuan inti pada pembahasan sub-bab selanjutnya, diduga bahwa
proses utama yang berperan dalam pembentukan endapan ini merupakan
proses aliran debris yang terjadi pada lingkungan marine. Model fasies
yang digunakan dalam interpretasi daerah adalah model fasies menurut
Mutti dan Ricci Luchi (1972) (Gambar 3.8)
Secara umum, berdasarkan dari data batuan inti yang diambil pada
MKS-1, MKS-2, MKS-3 dan MKS-4, fragmen batugamping yang
menyusun batuan tersebut terlihat masih belum terlitifikasi sempurna
sebelum terendapkan kembali, terutama pada sumur MKS-1, MKS-3 dan
MKS-4. Hal tersebut mencirikan bahwa batuan pada sumur MKS-1, MKS-
3 dan MKS-4 belum tertransportasi begitu jauh dari sumbernya.
Selanjutnya, dengan mengamati log keempat sumur tersebut (Gambar 3.8),
terlihat bahwa pada MKS-1 terdapat bentukan menyerupai channel dengan
kandungan lumpur yang lebih rendah dibandingkan dengan sumur yang
lain yang mecirikan lingkungan yang lebih proksimal. Jika dibandingkan
dengan model Mutti dan Ricci Luchi (1972), diduga bahwa MKS-1
termasuk kedalam lingkungan upper fan.
Kemudian pada data log juga terlihat bahwa MKS-3 dan MKS-4
memiliki kandungan lumpur pengotor yang cukup tinggi sehingga
18
Gam
bar
3.8
Kole
rasi
lo
g s
um
ur
pad
a R
ub
y F
ield
(T
anos,
et
al
2013)
dib
andin
gkan
den
gan
model
fas
ies
kip
as b
awah
lau
t m
enuru
t
Mutt
i dan
Ric
ci L
uch
i (1
972)
den
gan
modif
ikas
i
19
diinterpretasikan terdapat pada lingkungan yang lebih distal yaitu pada
lingkungan middle fan. Hal ini didukung dengan keberadaan struktur
slump pada MKS-4. Walaupun MKS-3 dan MKS-4 diinterpretasikan
berada pada bagian kipas yang sama, diperkirakan MKS-4 terletak pada
suatu distributary channel pada bagian middle fan tersebut (Gambar 3.10),
dikarenakan karakter endapannya yang lebih masif dengan lumpur
pengotor yang tidak sebanyak MKS-3. Kemudian pada MKS-2 terlihat
ketebalan reservoar yang relatif tipis dibandingkan dengan reservoar lain,
dengan kandungan mud yang banyak pula, sehingga diinterpretasikan
bahwa reservoar pada MKS-2 diendapkan pada lingkungan lower fan.
Interpretasi lingkungan tersebut didukung dengan data seismik
pada gambar 3.9. Dari data seismik tersebut terlihat secara keseluruhan
reservoar pada Ruby Field membentuk bentukan gundukan yang
merupakan ciri endapan kipas. Dari data seismik tersebut juga terlihat
bahwa MKS-2 terletak pada bagian tepian gundukan sedangkan MKS-1,
MKS-3 dan MKS-4 cenderung terletak pada bagian tengah morfologi
gundukan tersebut.
Gambar 3.9: Penamapang Seismik Ruby Field dan NW Ruby-1 (Tanos, 2013 dengan
modifikasi). Pada penampang ini terlihat terdapat dua sesar turun pada Ruby Field,
sedangkan struktur serupa tidak dapat ditemukan pada NW Ruby-1.
20
Data biostratigrafi yang diambil dari sampel cutting dari sumur
MKS-4 dan NW Ruby-1 menunjukan bahwa endapan debris ini
terendapakan pada zona batial. Condensed secction terendapkan setelah
pengendapan endapan debris dan ditimpa oleh sedimen pro-delta pada
zona neritik dalam. Endapan delta ini mengalami progradasi ke arah
tenggara. Shale dari delta-front yang mengalami downlap kemudian
menjadi seal yang baik dan memisahkan NW Ruby dari Ruby Field
(Tanos, 2013).
Dari data seismik (Gambar 3.9) terlihat bahwa terdapat dua
kenampakan yang menyerupai gundukan, yaitu pada Ruby Field (MKS 01
sampai MKS 04) dan yang lebih kecil pada NW Ruby 1. Pada Ruby Field,
terlihat terdapat sesar yang terbentuk sebelum pembentukan seal, yang
sangat berkontribusi terhadap pengisian hidrokarbon reservoir endapan
debris karbonat. Di lain pihak, pada NW Ruby 1, struktur semacam ini
tidak ditemukan, sehingga hal tersebut bisa jadi menjadi penyebab
minimnya hidrokarbon pada sumur ini. Selain itu, berdasarkan data
seismik (Gambar 3.10) terlihat bahwa kedua gundukan tersebut
terpisahkan oleh seal yang menyebabkan NW Ruby 1 terisolasi dari
migrasi lateral hidrokarbon yang berasal dari Ruby Field.
Gambar 3.10 Rekonstruksi kipas bawah laut Ruby Field dan NW Ruby (Tanos,
2013 dengan modifikasi)
21
Pada gambar 3.10 terlihat bahwa endapan debris pada MKS-2 jauh
lebih tipis jika dibandingkan dengan endapan debris dari sumur lain karena
letaknya yang berada pada bagian tepian kipas (gambar). Hal tersebut
berimplikasi terhadap kualitas dari reservoir yang dalam kasus ini biasanya
akan berbading lurus dengan ketebalan reservoir. (lebih lengkapnya akan
dibahas di sub-bab selanjutnya)
III.2.3 Diagenesis
Proses diagenesa dapat dikelompokan menjadi proses-proses yang
terjadi sebelum dan sesudah transportasi dari fragmen-fragmen
batugamping pada endapan debris ini. Sebelum transportasi terjadi,
fragmen batugamping dapat mengalami proses diagensis yang terjadi pada
kondisi marine phreatic dan freshwater phreatic. Pada kondisi iini,
batugamping mengalami leaching & replacement dari biklastik-bioklastik
aragonit yang menyebabkan terbentuknya porositas mouldic dan vuggy
yang kemudian terisikan oleh presipitasi kalsit pada beberapa bagian dari
pori tersebut.
Setelah fragmen batugamping tersebut terendapkan kembali, terjadi
proses sedimentasi oleh kalsit yang bersifat fibrous. Kemudian, proses
subsequent leaching mulai terjadi, terutama pada bioklastik foraminifera
dan alga merah yang terdapat di matriks dan fragmen sehingga
menghasilkan porositas sekunder dengan tipe mouldic dan vuggy. (Gambar
3.8)
Porositas tersebut saling terhubung dengan baik, karena bioklastik
dari formanifera dan alga merah memang sangat melimpah pada batuan ini.
Selain itu, retakan-retakan yang cukup rapat (berkisar tiap 4 sampai 5 feet)
juga berperan dalam menambah tingkat hubungan antara pori tersebut.
22
III.2.4 Kualitas Reservoir
Sistem pori efektif yang berada endapan debris karbonat ini dapat
ditemukan pada matriks dan juga fragmen dari endapan ini. Aspek petrofisik
dari karakteristik reservoir debris karbonat pada tiap sumur dirangkum
dalam tabel 1.
No Well Efective
Porosity
Permeability
(mD)
Gross
Res (m)
Net Res
(m)
N/G
1 MKS-1 0.15 26.10 98.10 95.00 0.96
2 MKS-2 0.13 2.85 45.00 19.00 0.42
3 MKS-3 0.12 9.35 84.10 47.40 0.56
4 MKS-4 0.14 18.30 96.90 96.90 1.00
5 NW-Ruby-1 0.10 2.94 75.40 41.60 0.55
6 Takatulu-1 0.12 3.98 594.40 314.10 0.53
7 Larilarian-1 0.23 32.20 116.60 106.20 0.91
Tabel 1. Tabel petrofisik dari sumur-sumur di Ruby Field dan sekitarnya
Gambar 3.8: porositas sekunder tipe mouldic & vuggy pada sampel batuan inti
endapan debris karbonat dari Formasi Berai (Pireno et al., 2009)
23
Pada tabel 1 terlihat bahwa net to gross ratio bertambah seiring
dengan bertambahnya ketebalan reservoir. Hal ini mengindikasikan bahwa
material debris karbonat, khususnya foraminifera besar dan alga merah
memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap besarnya porositas dan
permeabilitas dari reservoir ini.
Berbeda dengan reef reservoir yang lebih sering ditemukan, endapan
debris karbonat memiliki keunggulan pada ketidakhadirannya penghalang-
penghalang impermeabel seperti yang berada pada reefal reservoir yang
berkaitan dengan proses karstifikasi. Pada endapan debris karbonat, nilai
porositas dan permeabilitas cenderung lebih homogen karena adanya
pencampuran sedimen akibat proses transportasi yang kemudian
terhubungkan oleh retakan-retakan sehingga, secara kualitas reservoir,
umumnya endapan debris karbonat lebih baik daripada batugamping reefal.
24
BAB IV
KESIMPULAN
Reservoar utama pada Blok Ruby merupakan endapan debris karbonat
dengan porositas efektif rata-rata 13%.
Porositas efektif yang cukup tinggi disebabkan oleh proses pelarutan
subsekeun pada kondisi freatik sehingga terbentuk porositas sekunder tipe
mouldic dan vuggy.
Lingkungan pengendapan sumur MKS-1 terletak pada submarine fan
bagian upper fan, MKS-2 terletak pada bagian lower fan, MKS-3 terletak
pada bagian middle fan, sedangkan MKS-4 terletak pada suatu distributary
channel pada bagian middle fan.
Kualitas Reservoar yang paling baik ditemukan pada sumur MKS-1 dan
MKS-4 karena porositas efektif yang tinggi dan ketebalan reservoar yang
relatif tinggi
Kualitas reservoar yang paling buruk ditemukan pada sumur MKS-2
karena porositas efektif yang relatif kecil dan ketebalan reservoar yang
kecil
Sumur NW Ruby-1 tidak mengandung hidrokarbon karena terletak pada
suatu tubuh kipas yang berbeda dengan Blok Ruby. Pada kipas NW Ruby-
1 tidak terbentuk struktur yang menjadi agen utama migrasi primer dan
NW Ruby-1 terpisahkan dengan Blok Ruby oleh suatu seal regional.
25
DAFTAR PUSTAKA
Chilingarian, G.V., Mazzulo, S.J., Rieke, H.H., 1996, Carbonate Reservoir
Characterization: a Geologic engineering analysis, part II. Elsevier
publisher, New York
Covault, J.A., 2011, Submarine Fans and Canyon-Channel Systems: A Review of
Process, Products, and Models. Geological Survey Eastern Energy
Resources Science Center, Reston, USA
Haughton, P., Davis, C., McCaffrey, W., Barker, S., 2009, Hybrid Sediment Gravity
Flow Deposits Classification, Origin and Significance. Marine and
Petroleum Geology Journal.
Hidayat, R., Hussein, S., Surjono, S.S., 2012, Regional Deposition Model Of South
Makassar Basin Depocenter, Makassar Strait, Based On Seismic Facies. J.
SE Asian Appl. Geol, pp 42-54
Kupecz, J., Syers, I., Tognini, P., Hilman, A., Tanos, C., Ariyono, D., 2013, New
Insights Into The Tectono- Stratigraphic Evolution Of The South
Makassar Basin. Proceeding, Indonesian Petroleum Association, 37th
Annual Convention & Exhibition, IPA 13 G- 158
Moore, C.H., 2001, Carbonate Reservoirs: Porosity and Diagenesis In a Sequence
Stratigraphic Framework. Colorado School of Mines, Golden, Co, and
Louisiana State University Baton Rouge, LA, USA
Pireno, GE., Darussalam, D.N., 2010, Petroleum System Overview Of The Sebuku
Block And The Surrounding Area: Potential As A New Oil And Gas
Province In South Makassar Basin, Makassar Straits. Proceeding,
Indonesian Petroleum Association, 34th Annual Convention & Exhibition,
IPA 10 G-169
Pireno, G.E., Yuliong, D., Lestari, S., dan Cook, C., 2009. Berai Carbonate Debris
Flow As Reservoir In The Ruby Field, Sbuku Block, Makassar Straits: A
New Exploration Play In Indonesia. Proceeding, Indonesian Petroleum
Association, 33rd Annual Convention & Exhibition, IPA G- 005
Scholle, P.A., Bebout, D.G., Moore, C.H., 1983, Carbonate Depositional
Environment. The American Association of Petroleum Geologist,
Oklahoma - USA
Selley, R.C., 2000, Applied Sedimentology Second Edition. Academic Press: A
Harcourt Science and Technology Company, United States of America
26
Tanos, C.A., Kupecz, J., Hilman, A.S., Ariyono, D., Sayers, I.L., 2013. Diagenesis
Of Carbonate Debris Deposits From The Sebuku Block, Makassar Strait,
Indonesia. Proceeding, Indonesian Petroleum Association, 37th Annual
Convention & Exhibition, IPA 13 G-159
Walker, R.G., 1984, Facies Models, Second Edition. Geological Association of
Canada
Recommended