View
59
Download
9
Category
Preview:
DESCRIPTION
Referat Ileus Mekanik Et Causa Adhesi. Revisi 1 New New - Print
Citation preview
Laboratorium/SMF Ilmu Bedah Referat RSUD Abdul Wahab SjahranieFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman
ILEUS OBSTRUKSI ET CAUSA ADHESI
Disusun oleh
RABIATUL ADAWIAH
05.48846.00247.09
Pembimbing
dr. Bambang Suprapto, Sp.B
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan KlinikLaboratorium/SMF Ilmu BedahRSUD Abdul Wahab Sjahranie
Fakultas KedokteranUniversitas Mulawarman
Samarinda2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Intestinal obstruction merupakan kegawatan dalam bedah
abdominalis yang sering dijumpai, merupakan 60-70% dari seluruh kasus
akut abdomen yang bukan appendicitis akut. Penyebab yang paling sering
dari ileus obstruksi adalah adhesi, sedangkan diketahui bahwa operasi
abdominalis dan operasi obstetri ginekologik makin sering dilaksanakan
yang terutama didukung oleh kemajuan di bidang diagnostik kelainan
abdominalis.(1)
Intestinal obstruction meliputi sumbatan sebagian (partial) atau
seluruh (complete) lumen usus sehingga mengakibatkan isi usus tak dapat
melewati lumen usus. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai macam
kondisi, yang paling sering menyebabkannya adalah jaringan usus itu sendiri
karena adhesi, hernia, atau tumor. (1)
Tidak hanya intestinal obstruction saja yang dapat menghasilkan
perasaan yang tidak nyaman, kram perut, nyeri perut, kembung, mual, dan
muntah, bila tak diobati dengan benar, intestinal obstruction dapat
menyebabkan sumbatan bagian usus dan menyebabkan kematian usus.
Kematian jaringan ini dapat ditunjukkan dengan perforasi usus, infeksi
berat, dan syok. (1,2)
Adhesi merupakan suatu jaringan parut yang sering menyebabkan
organ dalam dan atau jaringan tetap melekat setelah pembedahan. Adhesi
dapat membelit dan menarik organ dari tempatnya dan merupakan penyebab
utama dari obstruksi usus, infertilitas (bedah ginekologik), dan nyeri kronis
pelvis. (3)
Terapi terbaik adhesi adalah pencegahan atau meminimalkan
pembentukan adhesi. Pada pembedahan, usaha yang dilakukan untuk
pencegahan antara lain dengan hemostatis yang baik, penggunaan cairan
irigasi, menjaga vaskularisasi, mencegah penggunaan kasa kering,
meminimalkan manipulasi jaringan, penggunaan benang nonreaktif.(3) Selain
1
dari teknik operasi tersebut, juga terdapat cara lain dengan menggunakan
bahan tertentu misalnya dextran, anti inflamasi non steroid, antibiotik dan
barier mekanik.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui definisi,
etiologi, patofisiologi, diagnosis ileus obstruktif, penyebab adhesi,
patofisiologi adhesi, penatalaksanaan ileus mekanik et causa adhesi
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Usus halus terbentang dari pylorum sampai caecum dengan panjang
270 cm sampai 290 cm. Usus halus dibagi menjadi duodenum, jejenum dan
ileum. Duodenum panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai
jejenum. Panjang jejenum 100 – 110 cm dan panjang ileum 150 -160 cm.
Pemisahan duodenum dan jejenum ditandai oleh Ligamentum Treitz.
Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum suspensorium. Kira – kira dua
per lima dari sisa usus halus adalah jejenum, dan tiga per lima bagian
terminalnya adalah ileum. Jejenum mempunyai vaskularisasi yang besar
dimana lebih tebal dari ileum. Apendiks vermiformis merupakan tabung
buntu berukuran sekitar jari kelingking yang terletak pada daerah ileosekal,
yaitu pada apeks sekum.
Secara mikroskopik, dinding usus halus dibagi atas empat lapisan
yaitu lapisan serosa, muskularis propria, lapisan submukosa dan lapisan
mukosa. Lapisan serosa merupakan lapisan terluar yang terdiri dari
peritoneum visceralis dan parietal dan ruang yang terletak antara lapisan
visceral dan parietal dinamakan rongga peritoneum. Lapisan muscularis
propria terdiri dari dua lapisan otot yaitu lapisan otot longitudinal yang tipis
dan lapisan otot sirkular yang tebal. Ganglion sel berasal dari pleksus
Myenterica (Auerbach) yang berada di antara lapisan otot dan mengirimkan
rangsangan pada kedua lapisan tersebut. Lapisan submucosa terdiri dari
lapisan jaringan konektif fibroelastis yang berisi pembuluh darah dan saraf.
Lapisan mukosa dibagi menjadi 3 lapisan yaitu mukosa muscularis, lamina
propria dan lapisan epitel. Lapisan mukosa dan submukosa membentuk
lapisan sirkular yang dinamakan valvula koniventes (Lig.Kerckringi) yang
menonjol ke dalam sekitar 3 mm.
Mesenterium merupakan lipatan peritoneum yang lebar, menyerupai
kipas yang menggantung jejenum dan ileum dari dinding posterior abdomen.
Omentum mayus merupakan lapisan ganda peritoneum yang mengantung
3
dari curvatura mayor lambung dan berjalan turun di depan visera abdomen.
Omentum biasanya mengandung banyak lemak dan kelenjar limfe yang
membantu melindungi rongga peritoneum terhadap infeksi. Omentum minus
merupakan lipatan peritoneum yang terbentang dari curvatura minor
lambung dan bagian atas duodenum menuju ke hati, membentuk
Ligamentum Hepatogastrikum dan Ligamentum hepatoduodenale.
Arteri mesenterika superior dicabangkan dari aorta tepat di bawah
arteri celiaca. Arteri ini mendarahi seluruh usus halus kecuali duodenum
yang diperdarahi oleh arteri gastroduodenalis dan cabangnya arteri
pankreatikoduodenalis superior. Darah dikembalikan lewat vena
mesenterika superior yang menyatu dengan vena lienalis membentuk vena
porta.
Usus halus dipersarafi cabang-cabang kedua sistem saraf otonom.
Rangsangan parasimpatis merangsang aktivitas sekresi dan pergerakan,
sedangkan rangsangan simpatis menghambat pergerakan usus. Serabut saraf
sensorik sistem simpatis menghantarkan nyeri, sedangkan serabut saraf
parasimpatis mengatur refleks usus.
Usus besar dibagi menjadi caecum, colon dan rectum. Pada caecum
terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung caecum.
Caecum menempati sekitar dua atau tiga inchi pertama dari usus besar.
Colon dibagi lagi menjadi colon ascenden, colon transversum, descenden
dan sigmoid. Tempat dimana colon membentuk belokan tajam yaitu pada
abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan
fleksura lienalis. Colon sigmoid mulai setinggi krista iliaca dan berbentuk
suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu
colon sigmoid bersatu dengan rektum. Usus besar memiliki empat lapisan
morfologik seperti bagian usus lainnya.
caecum, colon ascenden dan bagian kanan colon transversum
diperdarahi oleh cabang a.mesenterika superior yaitu a.ileocolica, a.colica
dekstra dan a.colica media. Colon transversum bagian kiri, colon
descendens, colon sigmoid dan sebagian besar rectum perdarahi oleh
a.mesenterika inferior melalui a.colica sinistra, a.sigmoid dan a.hemoroidalis
4
superior. Pembuluh vena colon berjalan paralel dengan arterinya. Colon
dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari N.splanknikus dan
pleksus presacralis serta serabut parasimpatis yang berasal dari N.vagus. (1)
2.2 Fisiologi(1,2)
Usus halus mempunyai dua fungsi utama yaitu pencernaan dan
absorbsi bahan-bahan nutrisi, air, elektrolit dan mineral. Proses pencernaan
dimulai dalam mulut dan lambung oleh kerja ptialin, asam klorida dan
pepsin terhadap makanan yang masuk. Proses dilanjutkan di dalam
duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas yang menghidrolisis
karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana.
Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu menetralkan asam dan
memberikan pH optimal untuk kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati
membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga
memberikan permukaan yang lebih luas bagi kerja lipase pankreas.
Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah
usus (sukus enterikus). Banyak di antara enzim – enzim ini terdapat pada
brush border vili dan mencernakan zat – zat makanan sambil diabsorbsi.
Pergerakan segmental usus halus akan mencampur zat –zat yang dimakan
dengan sekret pankreas, hepatobiliar dan sekresi usus dan pergerakan
peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lainnya dengan
kecepatan yang sesuai untuk absorbsi optimal dan suplai kontinu isi
lambung. Absorbsi adalah pemindahan hasil akhir pencernaan karbohidrat,
lemak dan protein melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk
digunakan oleh sel – sel tubuh. Selain itu, air, elektrolit dan vitamin juga
diabsorbsi.
Pergerakan usus halus berfungsi agar proses digesti dan absorbsi
bahan – bahan makanan dapat berlangsung secara maksimal. Pergerakan
usus halus terdiri dari :
1. Pergerakan mencampur (mixing) atau pergerakan segmentasi yang
mencampur makanan dengan enzim – enzim pencernaan agar mudah
untuk dicerna dan diabsorbsi
5
2. Pergerakan propulsif atau gerakan peristaltik yang mendorong makanan
ke arah usus besar.
Kontraksi usus halus disebabkan oleh aktifitas otot polos usus halus
yang terdiri dari 2 lapis yaitu lapisan otot longitudinal dan lapisan otot
sirkuler. Otot yang terutama berperan pada kontraksi segmentasi untuk
mencampur makanan adalah otot longitudinal. Bila bagian mengalami
distensi oleh makanan, dinding usus halus akan berkontraksi secara lokal.
Tiap kontraksi ini melibatkan segmen usus halus sekitar 1 – 4 cm. Pada saat
satu segmen usus halus yang berkontraksi mengalami relaksasi, segmen
lainnya segera akan memulai kontraksi, demikian seterusnya. Bila usus
halus berelaksasi, makanan akan kembali ke posisinya semula. Gerakan ini
berulang terus sehingga makanan akan bercampur dengan enzim pencernaan
dan mengadakan hubungan dengan mukosa usus halus dan selanjutnya
terjadi absorbsi.
Kontraksi segmentasi berlangsung oleh karena adanya gelombang
lambat yang merupakan basic electric rhytm (BER) dari otot polos saluran
cerna. Proses kontraksi segmentasi berlangsung 8 sampai 12 kali/menit pada
duodenum dan sekitar 7 kali/menit pada ileum. Gerakan peristaltik pada
usus halus mendorong makanan menuju ke arah colon dengan kecepatan 0,5
sampai 2 cm/detik, dimana pada bagian proksimal lebih cepat daripada
bagian distal. Gerakan peristaltik ini sangat lemah dan biasanya menghilang
setelah berlangsung sekitar 3 sampai 5 cm
Pengaturan frekuensi dan kekuatan gerakan segmentasi terutama
diatur oleh adanya gelombang lambat yang menghasilkan potensial aksi
yang disebabkan oleh adanya sel – sel pace maker yang terdapat pada
dinding usus halus, dimana aktifitas dari sel – sel ini dipengaruhi oleh sistem
saraf dan hormonal.
Aktifitas gerakan peristaltik akan meningkat setelah makan. Hal ini
sebagian besar disebabkan oleh masuknya makanan ke duodenum sehingga
menimbulkan refleks peristaltik yang akan menyebar ke dinding usus halus.
Selain itu, hormon gastrin, CCK, serotonin, dan insulin juga meningkatkan
6
pergerakan usus halus. Sebaliknya sekretin dan glukagon menghambat
pergerakan usus halus.
Setelah mencapai katup ileocaecal, makanan kadang – kadang
terhambat selama beberapa jam sampai seseorang makan lagi. Pada saat
tersebut, refleks gastrileal meningkatkan aktifitas peristaltik dan mendorong
makanan melewati katup ileocaecal menuju ke colon. Makanan yang
menetap untuk beberapa lama pada daerah ileum oleh adanya sfingter
ileocaecal berfungsi agar makanan dapat diabsorbsi pada daerah ini. Katup
ileocaecal berfungsi untuk mencegah makanan kembali dari caecum masuk
ke ileum.
Fungsi sfingter ileocaecal diatur oleh mekanisme umpan balik. Bila
tekanan di dalam caecum meningkat sehingga terjadi dilatasi, maka
kontraksi sfingter ileocaecal akan meningkat dan gerakan peristaltik ileum
akan berkurang sehingga memperlambat pengosongan ileum. Bila terjadi
peradangan pada caecum atau pada appendiks maka sfingter ileocaecal akan
mengalami spasme, dan ileum akan mengalami paralisis sehingga
pengosongan ileum sangat terhambat.(4)
2.3 Ileus Obstruktif
A. Definisi
Ileus obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang
disebabkan oleh sumbatan mekanik. Rintangan pada jalan isi usus akan
menyebabkan isi usus terhalang dan tertimbun di bagian proksimal dari
sumbatan, sehingga pada daerah proksimal tersebut akan terjadi distensi atau
dilatasi usus.(3)
Obstruksi usus juga disebut obstruksi mekanik misalnya oleh
strangulasi, invaginasi, atau sumbatan di dalam lumen usus. Pada obstruksi
harus dibedakan lagi obstruksi sederhana dari obstruksi strangulasi. Obstruksi
sederhana ialah obstruksi yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah. Pada
strangulasi ada pembuluh darah yang terjepit sehingga terjadi iskemia yang
akan berakhir dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala
umum berat, yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren. Jadi
7
strangulasi memperlihatkan kombinasi gejala obstruksi dengan gejala sistemik
akibat adanya toksin dan sepsis. Obstruksi usus yang disebabkan oleh hernia,
invaginasi, adhesi, dan volvulus mungkin sekali disertai strangulasi.
Sedangkan obstruksi oleh tumor atau obstruksi oleh cacing askaris adalah
obstruksi sederhana yang jarang menyebabkan strangulasi. (3,5,6)
a. Lokasi Obstruksi
Letak Tinggi : Duodenum-Jejunum
Letak Tengah : Ileum Terminal
Letak Rendah : Colon-Sigmoid-Rectum
b. Stadium
Parsial : Menyumbat lumen sebagian
Simple/Komplit : Menyumbat lumen total
Strangulasi : Simple dengan jepitan vasa
B. Etiologi
Penyebab obstruksi pada usus halus dapat dibagi menjadi 3 yaitu
obstruksi pada ekstraluminal, obstruksi intrinsik dan obstruksi intraluminal.
Obstruksi ekstraluminal misalnya adhesi, hernia, karsinoma dan abses.
Obstruksi intrinsik pada dinding usus seperti tumor primer. Dan obstruksi
intraluminal seperti enteroliths, gallstones dan adanya benda asing. Penyebab
tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Lesi ekstraluminal (ekstrinsik) pada dinding usus
Adhesi (postoperative)
Hernia (inguinal, femoral, umbilical)
Neoplasma
Abses intraabdominal
Lesi intrinsic
Kongenital (Malrotasi, kista)
Inflamasi (Chron’s Disease, Divertikulitis)
8
Neoplasma
Traumatik
Intususepsi
Obstruksi intraluminal
Gallstone
Enterolith
Tabel 1 Penyebab Ileus Obstruksi
Adhesi, hernia inkarserata dan keganasan usus besar paling sering
menyebabkan obstruksi.4 Pada adhesi, onsetnya terjadi secara tiba – tiba
dengan keluhan perut membesar dan nyeri perut.10 Dari 60% kasus ileus
obstruksi di USA, penyebab terbanyak adhesi yaitu pada operasi ginekologik,
appendektomi dan reseksi kolorektal.
Ileus karena adhesi umumnya tidak disertai strangulasi. Adhesi
umumnya berasal dari rongga peritoneum akibat peritonitis setempat atau
umum atau pasca operasi. Adhesi dapat berupa perlengketan mungkin dalam
bentuk tunggal atau multipel.
C. Patofisiologi Ileus Obstruksi(7)
Peristiwa patofisiologi yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama,
tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab
mekanik maupun fungsional. Perbedaan utama adalah pada obstruksi mekanik
(ileus obstruksi) yaitu peristaltik mula – mula kuat kemudian intermittent dan
kemudian menghilang. Sedangkan pada ileus paralitik, peristaltik dari awal
sudah tidak ada.
Patofisiologi obstruksi mekanik pada usus berhubungan dengan
perubahan fungsi dari usus, dimana terjadi peningkatan tekanan intraluminal.
Bila terjadi obstruksi maka bagian proksimal dari usus mengalami distensi dan
berisi gas, cairan dan elektrolit. Bila terjadi peningkatan tekanan intraluminal,
hipersekresi akan meningkat pada saat kemampuan absorbsi usus menurun,
9
sehingga terjadi kehilangan volume sistemik yang besar dan progresif.
Awalnya, peristaltik pada bagian proksimal usus meningkat untuk melawan
adanya hambatan. Peristaltik yang terus berlanjut menyebabkan aktivitasnya
pecah, dimana frekuensinya tergantung pada lokasi obstruksi. Bila obstruksi
terus berlanjut dan terjadi peningkatan tekanan intraluminal, maka bagian
proksimal dari usus tidak akan berkontraksi dengan baik dan bising usus
menjadi tidak teratur dan hilang. Peningkatan tekanan intraluminal dan adanya
distensi menyebabkan gangguan vaskuler terutama stasis vena. Dinding usus
menjadi edema dan terjadi translokasi bakteri ke pembuluh darah. Produksi
toksin yang disebabkan oleh adanya translokasi bakteri menyebabkan
timbulnya gejala sistemik. Efek lokal peregangan usus adalah iskemik akibat
nekrosis disertai absorpsi toksin – toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum
dan sirkulasi sistemik.
Pada obstruksi mekanik sederhana, hambatan pasase muncul tanpa
disertai gangguan vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan yang tertelan,
sekresi usus dan udara akan berkumpul dalam jumlah yang banyak jika
obstruksinya komplit. Bagian proksimal dari usus mengalami distensi dan
bagian distalnya kolaps. Fungsi sekresi dan absorpsi membran mukosa usus
menurun dan dinding usus menjadi edema dan kongesti. Distensi intestinal
yang berat dengan sendirinya secara terus – menerus dan progresif akan
mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa serta meningkatkan risiko
terjadinya dehidrasi, iskemik, nekrosis, perforasi, peritonitis dan kematian.
Pada obstruksi strangulata, biasanya berawal dari obstruksi vena, yang
kemudian diikuti oleh oklusi arteri, menyebabkan iskemik yang cepat pada
dinding usus. Usus menjadi edema dan nekrosis, memacu usus menjadi
gangrene dan perforasi. 2
D. Diagnosis(8,9)
1. Gejala Klinis
Obstruksi usus halus sering menimbulkan nyeri kolik dengan muntah
hebat. Juga didapatkan distensi perut dan bising usus meningkat.
10
Pada anamnesis intususepsi, didapatkan bayi tampak gelisah dan tidak
dapat ditenangkan, sedangkan diantara serangan biasanya anak tidur tenang
karena sudah capai sekali. Serangan klasik terdiri atas nyeri perut, gelisah
sewaktu kolik, biasanya keluar lendir campur darah (red currant jelly) per
anum, yang berasal dari intususeptum yang tertekan, terbendung, atau
mungkin sudah mengalami strangulasi. Anak biasanya muntah sewaktu
serangan dan pada pemeriksaan perut dapat diraba massa yang biasanya
memanjang dengan batas jelas seperti sosis. Bila invaginasi disertai
strangulasi, harus diingat kemungkinan terjadinya peritonitis setelah perforasi.
Pada volvulus didapatkan nyeri yang bermula akut, tidak berlangsung
lama, menetap, disertai muntah hebat. Biasanya penderita jatuh dalam keadaan
syok.
Ileus obstruksi usus besar agak sering menyebabkan serangan kolik
yang tidak terlalu hebat. Muntah tidak menonjol, tetapi distensi tampak jelas.
Penderita tidak dapat defekasi atau flatus. Bila penyebabnya adalah volvulus
sigmoid maka perut dapat besar sekali.
Strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis seperti takikardia,
pireksia (demam), lokal tenderness dan guarding, rebound tenderness, nyeri
lokal, hilangnya suara usus lokal, untuk mengetahui secara pasti hanya dengan
laparotomi.
2. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Perut distensi, dapat ditemukan darm kontur dan darm steifung.
Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu
hernia inkarserata. Pada Intususepsi dapat terlihat massa abdomen
berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi
sebelumnya.
Palpasi
Kadang teraba massa seperti pada tumor (pada colok dubur teraba
massa di rektum atau terdapat darah dan lendir), invaginasi, hernia. Adanya
darah dapat menyokong adanya strangulasi, neoplasma. Pada volvulus
11
teraba massa yang nyeri dan bertambah besar. Bila didapatkan feses yang
mengeras: skibala, bila feses negatif: obstruksi usus letak tinggi. Ampula
rekti yang kolaps: curiga obstruksi. Bila ada nyeri tekan: lokal atau general
peritonitis.
Perkusi
Hipertimpani
Auskultasi
Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi (bunyi borborigmi).
Pada fase lanjut bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang.
Rectal Toucher
Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease
Adanya darah dapat menyokong adanya strangulasi, neoplasma
Feses yang mengeras : skibala
Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi
Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi
Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis
3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium(8,9)
Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan
diagnosis, tetapi sangat membantu memberikan penilaian berat ringannya
dan membantu dalam resusitasi. Pada tahap awal, ditemukan hasil
laboratorium yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya
hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai elektrolit yang abnormal.
Peningkatan serum amilase sering didapatkan. Leukositosis menunjukkan
adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38% - 50%
obstruksi strangulasi dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi non
strangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain
itu dapat ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin
terganggu, dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan metabolik
asidosis bila ada tanda – tanda syok, dehidrasi dan ketosis.
12
Radiologis(8,9)
Pada foto polos pasien dengan obstruksi yang komplit akan tampak
terjadi dilatasi dari usus bagian proksimal sampai ke tempat obstruksi
dalam 3–5 jam. Usus yang diameternya lebih dari 3 cm sering dikaitkan
dengan obstruksi.
Usus bagian proksimal yang terdistensi oleh gas dan cairan, akan
tampak berdilatasi oleh timbunan udara intraluminer. Sebaliknya, pada usus
bagian distal dari obstruksi tidak tampak bayangan gas, atau bila
sumbatannya terjadi belum lama maka tampak bayangan gas yang sangat
sedikit di bagian distal obstruksi. Pada daerah rektum tidak tampak
bayangan gas atau udara.
Pada foto posisi tegak akan tampak bayangan air fluid level yang
banyak dibeberapa tempat (multiple fluid levels) yang tampak terdistribusi
dalam susunan tangga (step ladder appearance), sedangkan usus sebelah
distal dari obstruksi akan tampak kosong. Jumlah loop dari usus halus yang
berdilatasi secara umum menunjukkan tingkat obstruksi. Bila jumlah loop
sedikit berarti obstruksi usus halus letaknya tinggi, sedangkan bila jumlah
loop lebih banyak maka obstruksi usus halus letaknya rendah. Semakin
distal letak obstruksi, jumlah air fluid level akan semakin banyak, dengan
tinggi yang berbeda-beda sehingga berbentuk step ladder appearance.
Jarak valvula conniventes satu sama lain yang normal adalah 1–4
mm. Jarak ini akan melebar pada keadaan distensi usus halus. Akibat
distensi usus halus, maka valvula conniventes agak teregang dan bersama-
sama dengan valvula conniventes dari loop yang bertetangga, akan tampak
di foto sebagai gambaran sirip ikan yang disebut herringbone appearance.
Obstruksi colon ditandai dengan dilatasi proksimal colon sampai ke
tempat obstruksi, dengan dekompresi dari colon bagian distal. Colon bagian
proksimal sampai letak obstruksi akan lebih banyak berisi cairan daripada
feses. Usus halus bagian proksimal mungkin berdilatasi, mungkin juga
tidak.
CT scan kadang – kadang digunakan untuk menegakkan diagnosa
pada obstruksi usus halus untuk mengidentifikasi pasien dengan obstruksi
13
yang komplit dan pada obstruksi usus besar yang dicurigai adanya abses
maupun keganasan.
Namun dari semua gejala klinik di atas, kita mempunyai pedoman
Essential of Diagnosis yaitu:
a. Complete Proximal Obstruction:
Vomiting
Abdominal discomfort
Abnormal oral contrast x-rays
b. Complete Mid or Distal Obstruction:
Nyeri kolik abdomen
Vomiting
Abdominal distention
Constipation-obstipation
Peristaltic rushes
Usus yang berdilatasi pada pemeriksaan rontgen.
E. Komplikasi(2,8,9)
Komplikasi yang dapat timbul antara lain dehidrasi, perforasi usus,
sepsis, syok, abses, pneumonia aspirasi dari proses muntah dan meninggal.
F. Diagnosis Banding(8,9)
Intestinal obstruction dapat dikacaukan dengan :
Acute Gastroenteritis
Demam dengue
Limfadenitis mesenterika
Adnexitis
Infeksi Panggul
Kehamilan Ektopik
Kista ovarium torsi
Endometriosis
Urolithiasis
Demam tifoid
14
Pankreatitis akut
Proses inflamasi akut antraperitoneal (Acute Appendicitis)
Kolesistitis
Perforasi Ulkus Duodeni
G. Penatalaksanaan Ileus Obstruksi(9,10,11)
Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan
elektrolit dan cairan, menghilangkan peregangan dan muntah dengan
dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok bila ada, dan menghilangkan
obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.
1. Resusitasi
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda –
tanda vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi
mengalami dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu
diberikan cairan intravena seperti kristaloid. Respon terhadap terapi dapat
dilihat dengan memonitor tanda – tanda vital dan jumlah urin yang keluar.
Selain pemberian cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric
tube (NGT). NGT digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah
aspirasi pneumonia bila muntah dan mengurangi distensi abdomen,
pemasangan kateter untuk mengukur urine output.
2. Konservatif
Pemberian obat – obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan
sebagai profilaksis. Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala
mual muntah.
3. Operatif
Tindakan operatif untuk membebaskan obstruksi dibutuhkan bila
dekompresi dengan NGT tidak memberikan perbaikan atau diduga adanya
kematian jaringan.
Bila telah diputuskan untuk tindakan operasi, ada 3 hal yang perlu
perhatikan :
Berapa lama obstruksinya sudah berlangsung.
15
Bagaimana keadaan/fungsi organ vital lainnya, baik sebagai akibat
obstruksinya maupun kondisi sebelum sakit.
Apakah ada risiko strangulasi.
Situations necessitating emergent operation
Incarcerated, strangulated herniasPeritonitisPneumatosis cystoides intestinalisPneumoperitoneumSuspected or proven intestinal strangulationClosed-loop obstructionNonsigmoid colonic volvulusSigmoid volvulus associated with toxicity or peritoneal signsComplete bowel obstruction
Situations necessitating urgent operation
Progressive bowel obstruction at any time after nonoperative measures are startedFailure to improve with conservative therapy within 24-48 hoursEarly postoperative technical complications
Situations in which delayed operation is usually safe
Immediate postoperative obstruction
Jika obstruksinya berhubungan dengan suatu simple obstruksi atau
adhesi, maka tindakan lisis yang dianjurkan. Jika terjadi obstruksi stangulasi
maka reseksi intestinal sangat diperlukan.(8,9)
Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang
dikerjakan pada ileus obstruksi:
a. Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah
sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia
incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus
ringan.
b. Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang melewati
bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn
disease, dan sebagainya.
16
c. Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat
obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.
d. Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-
ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada
carcinoma colon, invaginasi, strangulata, dan sebagainya. Pada beberapa
obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif bertahap, baik
oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya,
misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja,
kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis.
H. Prognosis(11)
Mortalitas obstruksi tanpa strangulata adalah 5% sampai 8% asalkan
operasi dapat segera dilakukan. Keterlambatan dalam melakukan pembedahan
atau jika terjadi strangulasi atau komplikasi lainnya akan meningkatkan
mortalitas sampai sekitar 35% atau 40%. Prognosisnya baik bila diagnosis dan
tindakan dilakukan dengan cepat.(11)
I. Penyebab Adhesi Intraperitoneal Pasca Bedah(5,6)
Adhesi intraperitoneal merupakan suatu perlengketan fibrosa yang
abnormal di antara permukaan peritoneum yang berdekatan, baik antara
peritoneum visceral maupun antara peritoneum visceral dengan parietal.
Adhesi intraperitoneal pasca operasi merupakan kejadian yang sering
dijumpai dan menjadi morbiditas serta mortalitas bagi pasien. Kebanyakan
kejadian adhesi intraperitoneal disebabkan oleh operasi sebelumnya,
didapatkan proses adhesi yang meningkat satu sampai sepuluh kali pada
pasien pasca operasi intraabdomen.
Adhesi intraperitoneal merupakan penyebab terbanyak infertilitas
sekunder pada wanita. Penelitian di Swedia, obstruksi usus karena adhesi
meningkatkan biaya kesehatan yang dibayarkan oleh pemerintah, di negara
Eropa lainnya dan Amerika kejadian adhesi ini juga menjadi masalah utama
dalam pembiayaan kesehatan. Di Indonesia berdasarkan penelitian oleh
Sutjipto indikasi relaparotomi karena obstruksi akibat adhesi berkisar 17,7 %.
17
Masalah yang ditimbulkan akibat adhesi intraperitoneal berefek pada
pasien, dokter bedah, dan sistem pelayanan kesehatan. Pada pasien terjadi
ileus obstruksi, ileus obstruksi rekuren, infertilitas pada wanita, chronic
abdominal dan pelvic pain, hilangnya hari kerja dan menurunnya produktivitas
kerja pasien, serta mengurangi kualitas hidup pasien. Efek terhadap dokter
bedah dimana kejadian adhesi ini meningkatkan risiko kemungkinan
replarotomi, meningkatkan waktu reoperasi / relaparotomi, meningkatnya
intensitas dan risiko pembedahan.
Efek terhadap sistem pelayanan kesehatan berupa peningkatan biaya
perawatan di rumah sakit, secara rata-rata, adhesiolysis pada prosedur bedah
akan menambah 1 – 2 hari perawatan di rumah sakit.
Adhesi intraperitoneal dapat terjadi akibat adanya trauma pada
peritoneum. Pada operasi trauma pada peritoneum dan stimulasi respon
inflamasi dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
1) Trauma operasi, merupakan hal terpenting di dalam proses pemhentukan
adhesi yang permanen. Adanya trauma akan merangsang
pembentukan eksudat inflamasi yang pada akhirnya akan berlanjut
pada proses pernbentukan adhesi temporer dan permanen. Selain oleh
akibat instrumen bedah, pada saat operasi trauma permukaan peritoneum
dapat terjadi pula akibat abrasi, kekeringan, iritasi kimiawi dan perubahan
temperatur, misalnya pada penggunaan kauter.
2) Iskemia jaringan, adanya iskemia akan merangsang
pembentukan neovaskularisasi, termasuk adhesi di dalamnya. Keadaan
ini bisa terjadi pada penjahitan, atau ligasi peritoneum, serta
devaskularisasi sepanjang anastomosis usus.
3) Infeksi dan darah juga merupakan stimulus inflamasi yang poten
sehingga akan terbentuk adhesi permanen yang lebih banyak, jika
proses-proses tersebut berlangsung setelah pembedahan, Pada
pembedahan, infeksi dapat terjadi karena penyakit yang rnenjadi indikasi
pembedahannya sendiri, maupun sebagai akibat komplikasi operasi.
Darah yang tersisa dan tidak dibersihkan setelah suatu laparotomi akan
menimbulkan stimulasi pembentukan adhesi.
18
4) Benda asing iritatif. Talk, benang kain laparotomi dan benang jahit
banyak dilaporkan berperan dalam proses adhesi intraperitoneal.
J. Patofisiologi Adhesi Intraperitoneal(5,6)
Peritoneum terdiri dari dua lapisan, parietal dan visceral. Lapisan
parietal melapisi dinding anterior dan posterior rongga abdomen sedangkan
lapisan visceral melapisi organ-organ visceral.
Total luas peritoneum 1.8 m² yang terdiri dari sel mesotelial
mikroviili 1.5 – 3.0 mm, sel kuboid, sel datar, dan membran basalis berupa
kolagen, protein, serat elastik, fibroblas, sel adiposa, sel endotelial, sel mast,
eosinofil.
Proses penyembuhan peritoneum, menurut Hertzler, seluruh
permukaan dilapisi endotel secara simultan dan sembuh dalam 5-6 hari
dimana jumlah makrofag mengalami peningkatan dan perubahan fungsi,
metabolit siklooksigenase, lipooksigenase, elastase, plasminogen activator,
PAI, kolagenase, IL 1 & 6, TNF, leukotrin B4, prostaglandin E2 juga
mengalami peningkatan. Terjadi perekrutan sel mesotelial dan membentuk
pulau-pulau kecil mesotel yang akan melapisi daerah cedera.
Gambar 1. proses awal penyembuhan dari peritoneum yang mengalami trauma
19
Gambar 2. Proses terbentuknya adhesi peritoneal
Terdapat dua proses pada penyembuhan luka dari peritoneum: Fase
inisial dengan munculnya sel-sel fagositik dan proliferasi sel-sel jaringan
perivaskular subperitoneal.
20
Skema Proses Penyembuhan Peritoneum dan terbentuknya adhesi
K. Penatalaksanaan Adhesi Intraperitoneal(5,6)
Usaha pencegahan terjadinya adhesi intraperitoneal menurut Ellis:
1. Pencegahan deposisi dari fibrin dengan pemberian antikoagulan (heparin,
aprotinin dan lain- lain).
2. Menghilangkan eksudat fibrin dari rongga peritoneum dengan agen-agen
fibrinolitik : fibrinolisin, streptokinase, urokinase, hyaluronidase,
kimotripsin, tripsin, pepsin dan plasminogen activator
3 Pencegahan proliferasi fibroblas dengan pemberian anti inlamasi :
kortikosteroid, NSAID, antihistamin, progesteron, Ca blocker dan
kolkisin.
4. Pemisahan mekanik dengan pemakaian larutan makromolekul : Dextran
70, asam hyaluronat, karboksimetilselulosa, sarung tangan bebas bedak,
lavase peritoneum, penempatan omentum di bawah penutupan luka,
eksprimen menunjukkan bahwa penjahitan peritoneum akan memacu
timbulnya adhesi.
Pemakaian laparoskopi dalam penatalasanaan pembedahan intra
abdoman mengurangi kejadian ahesi intraperitoneal, nyeri abdomen kronik,
cedera peritoneum dan jaringan minimal, pemakaian CO2 pada laparoscopi
menekan respon metabolik sel peritoneum. Menurut Sato (2001), keberhasilan
adhesiolisis dengan laporoskopi sebesar 82,4 % dan rekurensi gejala yang
lebih jarang.
Teknik pembedahan yang harus diperhatikan untuk mencegah adhesi
adalah sebagai berikut :
Hemostasis yang baik. Dengan melakukan hemostasis yang baik
akan mengurangi jumlah darah intraperitoneal sehingga tidak terdapat
rangsangan bagi proses pro-inflamasi yang akan menyebabkan
terbentuknya adhesi permanen.
Pertahankan suplai aliran darah. Suplai darah yang adekuat di daerah
peritoneum akan menghindari terjadinya iskemia jaringan peritoneum.
Hindari iskemia jaringan. Dengan menghindari iskemia, rangsangan
bagi terbentuknya proses inflamasi yang berlanjut dapat dihilangkan dan
proses fibrinolisis dapat dirangsang.
21
Pertahankan kelembaban jaringan. Dalam keadaan normal, secara
fisiologis lapisan sel-sel mesotel peritoneum dalam keadaan basah
karena adanya cairan peritoneum yang melumasi permukaan tersebut.
Adanya kekeringan akan menyebabkan kemungkinan mudahnya terjadi
trauma peritoneum.
Hindari kasa kering. Kasa kering akan menyebabkan mudahnya terjadi
aberasi pada peritoneum.
Manipulasi jaringan secara halus. Dengan demikian, akan mengurangi
trauma pada peritoneum.
Pilih benang yang halus dan non-reaktif. Benang yang demikian akan
mengurangi efek benda asing pada peritoneum.
Hindari jahitan peritoneum yang ketat. Jahitan yang ketat akan
menyebabkan efek iskemia pada peritoneum.
Hindari grafi peritoneum. Adanya graft peritoneum akan merangsang
intensitas proses inflamasi.
Hindari benda asing. Adanya benda asing akan meningkatkan reaksi
inflamasi yang bertambah sehingga terbentuk suatu granuloma dan
terjadinya adhesi bertambah tebal.
Hindari ileus paralitik berlarut pasca bedah. Usahakan peristaltik usus
cepat kembali, karena dengan bergeraknya usus melalui proses
peristaltik dan aktifitas fibrinolisis, adhesi yang temporer akan segera
mengalami lisis karena kontak antara permukaan serosa tidak terlalu
lama.
Mencegah timbulnya infeksi tindakan asepsis dan antiseptik, serta
antibiotika profilaksis. Adanya proses infeksi yang berlanjut pada
peritoneum akan terus merangsang proses inflamasi dan sintesis
kolagen, dan aktifitas fibrinolisis akan dihambat, sehingga terjadi adhesi
yang permanen.
Jangan tinggalkan jaringan nekrotik. Jaringan nekrotik akan merangsang
proses migrasi sel-sel netrofil dan pelepasan mediator lainnya, dan pada
akhirnya proses inflamasi akan berlanjut dan aktifitas fibrinolisis
dihambat.
22
BAB III
KESIMPULAN
Ileus obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang
disebabkan oleh sumbatan mekanik. Rintangan pada jalan isi usus akan
menyebabkan isi usus terhalang dan tertimbun di bagian proksimal dari
sumbatan, sehingga pada daerah proksimal tersebut akan terjadi distensi atau
dilatasi usus.
Penyebab obstruksi pada usus halus dapat dibagi menjadi 3 yaitu obstruksi
pada ekstraluminal, obstruksi intrinsik dan obstruksi intraluminal. Obstruksi
ekstraluminal misalnya adhesi, hernia, karsinoma dan abses. Obstruksi
intrinsik pada dinding usus seperti tumor primer. Dan obstruksi intraluminal
seperti enteroliths, gallstones dan adanya benda asing.
Patofisiologi ileus obstruksi berhubungan dengan perubahan fungsi dari usus,
dimana terjadi peningkatan tekanan intraluminal. Bila terjadi obstruksi maka
bagian proksimal dari usus mengalami distensi dan berisi gas, cairan dan
elektrolit. Bila terjadi peningkatan tekanan intraluminal, hipersekresi akan
meningkat pada saat kemampuan absorbsi usus menurun, sehingga terjadi
kehilangan volume sistemik yang besar dan progresif.
Diagnosis ileus obstruksi ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang.
Kebanyakan kejadian adhesi intraperitoneal disebabkan oleh trauma operasi,
iskemia jaringan, infeksi dan darah, benda asing iritatif, didapatkan proses
adhesi yang meningkat satu sampai sepuluh kali pada pasien pasca operasi
intraabdomen.
Penatalaksanaan ileus obstruksi meliputi resusitasi, konservatif, operatif.
Pencegahan adhesi yaitu dengan pemberian antikoagulan, agen fibrinolitik,
anti inflamasi, barier mekanik serta melakukan teknik operasi pembedahan
yang baik.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R.; Dahlan, Murnizat; Jusi, Djang. Gawat Abdomen. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor: Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC, 2003. Hal: 181-192.
2. Fiedberg, B. and Antillon, M.: Small-Bowel Obstruction. Editor: Vargas, J., Windle, W.L., Li, B.U.K., Schwarz, S., and Altschuler, S. Available from: http://www.emedicine.com.
3. Basson, M.D.: Colonic Obstruction. Editor: Ochoa, J.B., Talavera, F., Mechaber, A.J., and Katz, J. Available from: http://www.emedicine.com
4. Leaper, D.J., Peel, A.L.G., McLatchie, G.R., and Kurup, V.: Gastrointestinal disease. In Oxford handbook of clinical surgery. Editor by McLatchie, G.R., and Leape, D. 2nd Edition. London: Oxford University Press, 2002. p: 214-296.
5. Levine, B.A., and Aust, J.B. Kelainan Bedah Usus Halus. Dalam Buku Ajar Bedah Sabiston’s essentials surgery. Editor: Sabiston, D.C. Alih bahasa: Andrianto, P., dan I.S., Timan. Editor bahasa: Oswari, J. Jakarta: EGC, 1992.
6. Price, S.A. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit. Editor: Price, S.A., McCarty, L., Wilson. Editor terjemahan: Wijaya, Caroline. Jakarta: EGC, 1994.
7. Browse, Norman, L. An Introduction to the Symptoms and Signs of Surgical Disease. 3rd Edition. London: Arnold, 1997.
8. Hamami, AH., Pieter, J., Riwanto, I., Tjambolang, T., dan Ahmadsyah, I. Usus Halus, apendiks, kolon, dan anorektum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor: Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC, 2003. Hal: 615-681.
9. Beauchamp, Evers, Mattox, Sabiston, Textbook of Surgery, 16th edition, W.B.Saunders, Philadelphia, 2001, hal 887-888
10. Brunicardi, F.C., et all, Schwartz’s Principles of Surgery, volume II, 8th
edition, McGraw-Hill, New York, 2005, hal 1031-1032
11. Nobie BA. Obstruction, small bowel. Available from: http://www.emedicine.com
24
Recommended