View
258
Download
7
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Media massa menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan
sehari-hari masyarakat. Kelekatan masyarakat dengan media massa itu terkait
dengan beragamnya fungsi yang bisa dijalankannya. Enam fungsi yang paling
penting adalah menghibur, meyakinkan atau persuasi, menginformasikan,
menganugerahkan status, membius, dan menciptakan rasa kebersamaan
(DeVito,1997: 515). Salah satu media massa yang cukup jamak digunakan adalah
surat kabar selain televisi, radio, dan majalah. Sebagai salah satu bentuk media
massa, tentu saja surat kabar juga menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
Surat kabar pada umumnya dimanfaatkan untuk memperoleh berbagai
informasi yang disajikan dalam wacana berita. Dalam kajian media, berita
mendapatkan perhatian yang besar karena merupakan sumber utama informasi.
Berita sering dianggap memiliki berbagai kualitas netralitas dan otoritas yang
pada kenyataannya tidak dimilikinya dan tidak dapat diharapkan secara logis
untuk dimilikinya (Burton, 2008:153). Menurut Prisgunanto (2004: 48),
mewujudkan pemberitaan yang objektif adalah sesuatu yang sulit bagi media
massa. Wartawan media massa cenderung memilih perangkat asumsi tertentu
yang berimplikasi pada pemilihan judul berita, struktur berita, dan keberpihakan
kepada seseorang atau sekelompok orang meskipun keberpihakan tersebut sering
bersifat subtil dan tidak sepenuhnya disadari (Mulyana dalam Eriyanto, 2002).
1
2
Hal yang sama juga disampaikan van Dijk (1988a:7) bahwa ”News is not
characterized as a picture of reality, which may be correct or biased but as a
frame through which the social world is routinely constructed.” Jadi, berita
bukanlah gambaran atas realitas, melainkan pengonstruksian realitas yang
mengandung ketidaknetralan. Ketidaknetralan berita tersebut tidak lepas dari
peran subjektivitas wartawan dalam memandang objek yang diberitakan.
Piliang (2009: 133) menyampaikan bahwa perbincangan mengenai media
tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada di balik media tersebut,
khusunya kepentingan terhadap informasi yang disampaikan. Lebih lanjut, Piliang
(2009) mengidentifikasi dua kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan
ekonomi dan kepentingan kekuasaan yang membentuk isi media, informasi yang
disajikan, dan makna yang ditawarkannya. Dominasi kedua kepentingan tersebut
dalam media membuat kepentingan yang lebih mendasar justru terabaikan, yakni
kepentingan publik. Kepentingan publik dikatakan terabaikan karena publik tidak
lagi disuguhi informasi yang netral, objektif, jujur, adil, dan terbuka, tetapi
informasi yang sudah sarat dengan kepentingan sehingga menjadi tidak netral dan
tidak objektif. Karena ketidaknetralan media, sering kali suara pihak-pihak
dengan kekuatan yang lebih kecil atau oposisi mendapat perhatian yang kurang,
bahkan memiliki kemungkinan besar untuk dihapus atau diabaikan (van Dijk,
1988: 136).
Perbincangan mengenai media sebagai sebuah discourse (wacana) tidak
dapat dipisahkan dari kesalingterkaitan antara bahasa yang digunakan di
dalamnya, pengetahuan (knowledge) yang melandasinya, serta bentuk-bentuk
3
kepentingan dan kekuasaan (power) yang beroperasi di balik bahasa dan
pengetahuan tersebut (Piliang, 2009: 134). van Dijk (1988b: 11) menegaskan
bahwa “The media are not a neutral, common-sense, or rational mediator of
social events, but essentially help reproduce preformulated ideologies.” Dengan
demikian, perbincangan mengenai media termasuk wacana berita yang merupakan
bagian darinya tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang membentuknya.
Untuk dapat memahami wacana berita yang disajikan media secara
komprehensif, diperlukan perspektif kritis sehingga bahasa dan praktik
kebahasaan tidak lagi dipahami sebagai alat atau medium yang netral. Hikam
(1996: 77-93) menguraikan tiga perspektif mengenai bahasa dalam wacana, yaitu
empirisme-positivisme, fenomenologi, dan discursive-practice. Dalam perspektif
pertama, empirisme-positivisme, terjadi pemisahan yang tegas antara pemikiran
dan realitas. Yang dipentingkan adalah apakah suatu pernyataan dilontarkan
secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Dengan kata lain, gramatikal
menjadi fokus kajian empirisme-positivisme. Perspektif kedua, fenomenologi
sangat keberatan dengan pemisahan subjek dan objek pada perspektif empirisme-
positivisme karena fenomenologi menganggap peran subjek sangat sentral dalam
kegiatan wacana dan hubungan-hubungan sosialnya. Bahasa, di tangan
fenomenologi, tidak hanya diterima secara apa adanya, tetapi ditanggapi sebagai
perantara bagi pengungkapan maksud dan makna tertentu (Hikam, 1996: 81).
Perspektif ketiga, discursive-practice, beranggapan bahwa perspektif
fenomenologi masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang
terdapat dalam setiap wacana. Bahasa masih dilihat sebagai suatu benda yang
4
terletak di luar atau sebagai medium antara subjek dan objek meskipun dalam hal
ini subjek telah dilibatkan karena posisinya sebagai pencipta. Perspektif ketiga ini
lebih menekankan konstelasi kekuatan apa yang ada dalam proses pembentukan
dan reproduksi makna. Bahasa sebagai representasi berperan pula dalam
membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, dan strategi-strategi di
dalamnya. Perspektif ketiga ini disebut perspektif kritis oleh Eriyanto (2006: 6).
Karena menggunakan perspektif kritis, analisis wacana kategori yang ketiga ini
juga disebut sebagai analisis wacana kritis. Wodak (2001: 2) menyebutkan bahwa
analisis wacana kritis secara khusus mengkaji hubungan antara bahasa dan
kekuasaan. Meyer (2001: 15) menyatakan bahwa dalam pandangan analisis
wacana kritis, hubungan antara bahasa dan masyarakat tidak bersifat sederhana,
tetapi melibatkan gagasan mengenai penghubung di antara keduanya.
Salah satu model analisis wacana kritis ini adalah model kognisi sosial
yang ditawarkan oleh Teun A. van Djik. van Dijk memperkenalkan analisis
kognisi sosial, yang menjadi penghubung antara wacana dan masyarakat (Meyer,
2001: 15). Model ini menarik sebab mengelaborasi elemen-elemen wacana
sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis (Eriyanto, 2000).
Pendekatan van Dijk ini juga menganalisis aspek kebahasaan secara terperinci,
paling detail jika dibandingkan dengan pendekatan yang lain. Hal ini sangat
relevan dengan bidang yang peneliti pelajari. Seperti ditulis Thornborrow (2007:
80) bahwa satu hal yang penting untuk ditelaah ahli linguistik adalah institusi
media bisa memengaruhi cara menyajikan berita dan kerangka yang digunakan
untuk menampilkan orang-orang yang berbicara dalam media.
5
van Dijk (1988b: 18) menyatakan ketika wacana didefinisikan sebagai
interaksi verbal atau peristiwa komunikasi, proses dan konteks sosial komunikasi
harus dilibatkan dalam pendekatan yang integratif. Oleh karena itu, pendekatan
kognisi sosial menyajikan penghubung yang unik dan diperlukan di antara aspek
makro masyarakat dan aspek mikro wacana dan interaksi (van Dijk, 2005: 87).
Pendekatan yang interdisipliner dalam mengkaji wacana tidak dibatasi hanya pada
analisis struktur wacana, tetapi juga dibutuhkan analisis proses kognitif dan
representasi memori dalam wacana (van Dijk, 1985g: 5). van Dijk (2008: ix)
memfokuskan tiga dimensi wacana untuk menganalisis wacana secara
komprehensif, yaitu wacana, kognisi, dan masyarakat. Namun, fokus asumsi
teoretis pada kajian yang rumit ini adalah partisipan komunikasi berita (jurnalis
dan pengguna media massa) sebagai aktor sosial dan anggota kelompok (van Dijk,
1988b: 19).
Analisis dilakukan pada berita-berita mengenai Rancangan Tata Ruang
Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali dalam harian Bali Post yang terbit sejak
pertengahan April hingga Juni 2009. Dalam jangka waktu itu berita-berita
mengenai RTRWP menjadi berita utama harian Bali Post. Pemerintah berada pada
posisi mendukung keberadaan RTRWP, sedangkan tokoh-tokoh masyarakat Bali
cenderung menolak (beberapa substansi) keberadaan RTRWP. Berita-berita yang
dimuat harian Bali Post cenderung menolak keberadaan RTRWP ini sehingga dari
segi kuantitas, jumlah berita yang mendukung dan menolak keberadaan RTRWP
ini menjadi tidak seimbang.
6
Berita RTRWP mengandung nilai berita, yaitu nilai berita
deviansi/kenegatifan dan nilai berita kedekatan. Disebut memiliki nilai berita
kenegatifan karena berita-berita tersebut sempat menimbulkan konfik. Konflik
dalam hal ini bukanlah konflik fisik, melainkan konflik pemikiran (Ishwara,
2005). Nilai kedekatan berarti bahwa masalah RTRWP ini, baik secara geografis
maupun psikologis, memiliki kedekatan dengan masyarakat Bali. Berita-berita ini
menjadi penting artinya bagi masyarakat Bali sehingga mendapat sorotan dan
perhatian karena adat, budaya, dan agama merupakan elemen utama dalam
pembentukan identitas budaya Bali. Namun, ketika masyarakat Bali sampai pada
wacana identitas dan modernitas, persoalan selalu muncul mengenai adat dan
tradisi yang manakah yang harus dipertahankan dan mana yang mesti
ditransformasi (Putra, 2004: xi). Beberapa substansi RTRWP dinilai para
tokoh masyarakat mencoba menggeser nilai-nilai yang mengorbankan budaya
masyarakat Bali. Dalam konteks ini, harian Bali Post sebagai media nasional yang
ada di Bali memegang peranan penting dalam mengendalikan wacana dan
memengaruhi paradigma pembacanya. Untuk itulah, dipandang sangat perlu
dilakukan analisis wacana dengan paradigma kritis terhadap berita-berita tentang
RTRWP Bali.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah struktur teks berita-berita RTRWP dalam harian Bali Post?
7
2. Kognisi sosial apakah yang dicerminkan oleh wartawan penulis berita-
berita tentang RTRWP dalam harian Bali Post?
3. Konteks sosial apakah yang digambarkan dalam berita-berita tentang
RTRWP dalam harian Bali Post?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi
pemberitaan mengenai RTRWP Bali pada harian Bali Post. Gambaran mengenai
strategi pemberitaan akan menunjukkan kecenderungan keberpihakan media
dalam pemberitaan mengenai RTRWP Bali pada harian Bali Post.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini dirumuskan sesuai dengan rumusan masalah
penelitian yaitu sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan struktur teks berita-berita tentang RTRWP dalam harian
Bali Post. Struktur teks berita yang dimaksud meliputi tiga struktur, yakni
struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro.
2) Mendeskripsikan kognisi sosial wartawan penulis berita-berita tentang
RTRWP dalam harian Bali Post.
3) Mendeskripsikan konteks sosial berita-berita tentang RTRWP dalam
harian Bali Post.
8
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun
secara praktis. Adapun kedua manfaat tersebut diuraikan sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain,
khususnya dalam bidang wacana. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam
melakukan penelitian lain yang sejenis sehingga dapat dihasilkan kajian wacana
yang lebih komprehensif.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi pekerja
media. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan refleksi atau evaluasi bagi para
pekerja media, baik wartawan maupun redaktur untuk lebih netral dan objektif
dalam memproduksi berita. Tidak tertutup kemungkinan bahwa ketidaknetralan
atau ketidakobjektifan wartawan dilakukan secara tidak sengaja karena telah
terbiasa dengan cara berpikir yang digunakan selama ini. Setiap wartawan
kemungkinan besar memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berbeda tentang
sebuah perisitiwa, dan hal ini sangat memengaruhi pemberitaannya. Dengan
adanya hasil penelitian ini, wartawan akan lebih berhati-hati dalam memproduksi
sebuah teks.
Penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi masyarakat. Hasil penelitian
ini bermanfaat untuk memberikan gambaran posisi media, khususnya Bali Post
dalam berita tentang RTRWP kepada masyarakat. Hasil penelitian ini sekaligus
bermanfaat untuk menyadarkan masyarakat bahwa dalam membaca berita-berita
9
dalam media cetak, khususnya surat kabar, sangat diperlukan sikap yang kritis,
sehingga masyarakat tidak terlalu mudah terpengaruh oleh pemberitaan-
pemberitaan di media.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Salah satu aspek penting yang perlu diupayakan dalam sebuah penelitian
adalah originalitas. Untuk mengetahui tingkat originalitas sebuah penelitian,
diperlukan tinjauan terhadap penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan.
Berikut ini disajikan tinjauan singkat terhadap penelitian-penelitian sejenis di
bidang analisis wacana.
Analisis terhadap wacana dalam media cetak dilakukan oleh Mulyawan
(2005) dalam tesisnya “Wacana Iklan Komersial Media Cetak: Kajian
Hipersemiotika”. Penelitian yang memanfaatkan teori struktur wacana van Dijk
dan teori hipersemiotika oleh Yasraf Amir Piliang ini bertujuan untuk (1)
mengetahui komposisi struktur iklan komersial media cetak, (2) struktur
gramatika dan leksikalnya, (3) makna dan pesan iklan, serta (4) ideologi yang
melatarbelakangi pembuatan iklan tersebut.
Kesamaan penelitian Mulyawan dengan penelitian ini adalah
menggunakan teori analisis wacana van Dijk, tetapi terdapat beberapa perbedaan
mendasar. Pertama, subjek penelitian Mulyawan adalah iklan komersial pada
media cetak sementara penelitian peneliti menggunakan berita pada harian Bali
Post khususnya mengenai Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Bali
(RTRWP Bali) sebagai subjek. Kedua, objek penelitian Mulyawan adalah struktur
10
11
iklan, struktur gramatikal dan leksikal, serta makna dan ideologi yang melatari
iklan. Sementara, objek penelitian ini adalah struktur teks, kognisi wartawan, dan
konteks sosial yang melatari pemberitaan mengenai RTRWP di Bali Post.
Perbedaan lainnya adalah terdapat perbedaan penerapan teori van Dijk.
Mulyawan menerapkan teori van Dijk hanya pada tataran struktur teks yang
diajukan van Dijk yang terdiri atas tiga elemen yaitu struktur makro,
superstruktur/skema, dan struktur mikro. Pada tahap analisis, tiap-tiap struktur
dianalisis dengan teori lain. Struktur makro dianalisis dengan teori hipersemiotika
yang diajukan oleh Yasraf Amir Piliang; superstruktur dianalisis dengan teori
struktur iklan. Sementara, penelitian ini dirancang untuk meneliti ketiga elemen
analisis wacana yang disampaikan van Dijk, yaitu analisis teks, kognisi sosial, dan
konteks sosial. Dengan demikian, penelitian ini dirancang untuk menerapkan
analisis wacana van Dijk secara lebih menyeluruh. Hal ini sejalan dengan yang
disampaikan van Dijk (2006) “… none of these approaches can be reduced to the
other and all three of them are needed in an integrated theory that also
establishes explicit links between the defferent dimensions of manipulation.”
Lebih lanjut, van Dijk (2008: 16) menyatakan bahwa tidak satu pun dari ketiga
dimensi wacana ini benar-benar dapat dipahami tanpa yang lain. Jadi, sangat
penting untuk menerapkan ketiga dimensi analisis wacana ini secara bersama agar
analisis wacana dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan baik.
Wacana iklan juga menjadi topik tesis berjudul “Wacana Iklan Komersial
Kecantikan Wanita” oleh Astini (2008). Astini khusus membahas iklan kecantikan
wanita dengan teori struktur wacana van Dijk dan teori semiotika sebagaimana
12
yang digunakan oleh Mulyawan. Masalah penelitian ini pun sama dengan
penelitian Mulyawan, yaitu (1) bagaimanakah komposisi struktur iklan komersial
kecantikan wanita, (2) bagaimanakah struktur gramatikal dan leksikalnya, (3)
makna dan pesan apakah yang ingin disampaikan, dan (4) ideologi apakah yang
melatarbelakanginya.
Penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut. Pertama, iklan komersial
kecantikan wanita terdiri atas iklan untuk rambut, mata, pipi, wajah, bibir, kuku,
kaki, tubuh secara keseluruhan, dan wewangian. Iklan rambut, mata, bibir, wajah,
kaki, dan tubuh secara keseluruhan memiliki struktur yang lengkap yaitu
illustration, body copy, signature line, dan standing details. Di pihak lain, struktur
iklan untuk pipi, kuku, dan wewangian terdiri atas tiga struktur yaitu headline,
body copy dan signature line. Kedua, secara gramatikal setiap iklan
mengoptimalkan penggunaan semua bentuk kaidah gramatikal yang ada, seperti
referensi, substitusi, elipsis, dan perangkaian. Ketiga, makna dan pesan dalam
iklan terdiri atas unsur verbal dan unsur nonverbal. Kedua unsur ini saling
mendukung sehingga mudah diingat oleh konsumen. Keempat, ideologi setiap
iklan kecantikan pada umumnya bersifat konsumerisme karena wanita cenderung
lebih konsumtif soal kecantikan.
Penelitian Astini (2008) mengkaji iklan dengan menggunakan analisis
wacana yang dikemukanan van Dijk. Namun, sama halnya dengan penelitian
Mulyawan, analisis wacana yang diterapkan hanya pada tataran analisis teks yang
meliputi tiga struktur, yakni struktur mikro, superstruktur, dan struktur makro.
Sementara, analisis kognisi dan konteks sosial tidak dilakukan, padahal dalam
13
pandangan van Dijk, ketiga level ini (analisis teks, kognisi, dan konteks sosial)
mesti dilaksanakan secara komprehensif sebagai tahapan yang terintegrasi dalam
analisis wacana agar analisis lebih komprehensif dan bersifat kritis.
Selain penelitian terhadap wacana iklan, juga ditemukan penelitian
terhadap wacana berita media cetak, yaitu majalah Sabili oleh Khotimah (2004)
yang berjudul “Analisis Wacana Ideologi Tandingan (Wacana Terorisme dalam
Media-Analisis Kritis Pemberitaan Abu Bakar Ba’asyir)”. Penelitian ini
menggunakan analisis wacana kritis khususnya yang dikemukakan oleh van Dijk.
Penelitian yang berdasar pada teori analisis wacana van Dijk ini menemukan
beberapa hal. Pertama, struktur dan skema strategi wacana secara tekstual yang
ditulis wartawan Sabili dalam pemberitaan Ba’asyir secara keseluruhan
mendukung argumen pembelaan atas Ba’asyir sebagai representasi umat Islam;
Strategi wacana secara ideologis juga mewarnai struktur wacana teks yang
ditampilkan Sabili. Teks-teks yang menggunakan argumen melalui data-data,
fakta yang ditampilkan Sabili pun menampakkan sikap Sabili baik secara
ideologis maupun psikologis penulisnya.
Kedua, kognisi sosial wartawan Sabili sebagai representasi mentalnya
terekspresikan dalam struktur teks yang ditampilkan. Lebih dari itu, struktur
wacana bahasa ini juga mengekspresikan sikap, keyakinan, pandangan, norma,
nilai, aturan, dan pengetahuan yang dimiliki wartawan Sabili. Islam sebagai
ideologi religius tampak baik pada teks, struktur kognisi, maupun aspek-aspek
behavioral yang ditunjukkan oleh wartawan Sabili. Sikap-sikap kontra Amerika
Serikat dan sekutunya yang ditunjukkan secara tegas dalam teks berita juga
14
menjadi skema mental para wartawan Sabili dalam hal memandang kebijakan-
kebijakan AS, sekutunya, dan pemerintah Indonesia yang kerap memarginalkan
umat Islam khususnya dalam wacana terorisme.
Ketiga, media massa pada penelitian Khotimah ini terbukti menjadi
wilayah yang dipertarungkan oleh berbagai kalangan, baik untuk mengukuhkan
hegemoni maupun pihak yang ingin mendobrak atau menumbangkan hegemoni
sebagaimana wacana yang ditampilkan Sabili. Wacana hegemonik tentang
terorisme juga telah menyebabkan media massa cenderung melakukan trial by the
press terhadap Abubakar Ba’asyir dan Jamaah Islamiyah. Di samping itu, Islam
dan kelompok Islam dimarjinalkan dalam konteks perpolitikan di Indonesia juga
pada wacana politik global. Hal lainnya yaitu bias ideologis (anti-Islam lebih
spesifik anti-Islam radikal) dalam wacana terorisme terbukti ‘powerful’ dalam
membangun sentimen anti-Islam pada satu sisi. Namun, pada sisi lain telah
menjadi salah satu bentuk publisitas yang ‘powerful’ juga bagi Islam sebagai
ideologi dominan politik internasional.
Selain penelitian terhadap wacana tertulis, juga ditemukan penelitian
sejenis terhadap wacana lisan sebagai berikut. “Wacana Kantola di Kabupaten
Muna dalam Perspektif Linguistik Kebudayaan” oleh La Ode Bardia (2006) yang
mendeskripsikan struktur linguistik, struktur tematik, struktur skematik, makna
lingual-kultural, dan nilai budaya Kantola yang berdasar pada teori wacana Van
Dijk dan teori semiotik Saussure.
Penelitian ini merumuskan beberapa simpulan. Pertama, dilihat dari segi
bentuknya, kontola terdiri atas beberapa lirik/bait. Setiap lirik/bait terdiri atas
15
beberapa baris yang jumlahnya tidak tentu. Lirik yang panjang terdiri atas empat
belas baris, sementara yang pendek terdiri atas tiga baris. Setiap baris terdiri atas
tiga sampai sepuluh kata. Dari segi intonasi, setiap baris selalu diakhiri dengan
nada naik kemudian turun.
Dari struktur skematik, penelitian ini menyimpulkan bahwa wacana
Kontola di Kabupaten Muna (WKM) terdiri atas prapendahuluan, pendahuluan,
isi, pra-penutup, dan penutup. Prapendahuluan ditandai dengan menyuarakan
bunyi vokal [a, e, o] yang dipanjangkan selama kurang lebih lima belas menit. Hal
ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana. Selanjutnya, tema yang terdapat
dalam WKM, yakni kritik sosial, kritik moral, pelipur lara, nasihat, cinta,
kekecewaan, dan kebencian, dan dendam.
Dari segi makna lingual-kultural terkandung nilai-nilai budaya, seperti
solidaritas, keadilan, pendidikan, etika, kewaspadaan, kearifan, keagamaan,
kesabaran, kesetaraan, dan ketangguhan.
Penelitian Bardia (2006) memang menerapkan analisis wacana yang
disampaikan van Dijk, tetapi pada pelaksanaannya tidak terlalu terperinci
menerapkan analisis terhadap kognisi sosial. Padahal, kognisi sosial justru
menjadi fokus analisis wacana ini, sebagaimana disampaikan van Dijk (1988a: 20)
“….our cognitive approach focus on social cognition”. Kognisi ini dibutuhkan
untuk menghubungkan situasi sosial dengan wacana (van Dijk, 2005: 75).
Analisis wacana lisan lain dilakukan terhadap ritual Sua Songga
masyarakat Ende oleh Antonius Kato (2007) dengan judul “ Wacana Ritual
Songga Masyaraat Ende di Kecamatan Ende: Kajian Linguistik Kebudayaan”.
16
Dengan teori analisis wacana van Dijk, Fairclough, dan teori semiotik sosial
M.A.K. Halliday, penelitian ini mengungkapkan struktur tematik, struktur
skematik, serta makna dan nilai yang terkandung dalam wacana ritual Sua Songga
masyarakat Ende.
Penelitian ini merumuskan beberapa simpulan sebagai berikut. Pertama,
dari segi fonologis, semua bunyi vokal dapat direalisasikan sebagai bunyi rendah,
kecuali vokal /θ/. Dari aspek morfologi, terdapat empat bentuk kata yang
didayagunakan, yakni nomina, verba, adjektiva, dan adverbia seperti pada bahasa
Indonesia ataupun bahasa daerah lainnya. Dari aspek sintaksis, terdapat nilai
eksperiensial yang ditunjukkan proses dan partisipan. Partisipan yang berperan
sebagai aktor atau agen hanya muncul pada bagian awal dan akhir, sedangkan
pada bagian tengah (isi permohonan), peran partisipan sebagai aktor dan agen
selalu dilesapkan. Aspek leksikalisasi dalam teks wacana ritual sua songga ‘doa
adat’ tergolong unik karena memanfaatkan bentuk-bentuk yang bersinonim,
berantonim, dan berhiponim. Dari aspek gaya bahasa, pararelisme dan repetisi
merupakan gaya yang paling menonjol dan unik dengan ungkapan-ungkapan yang
mengandung makna hiperbola, aliterasi, asonansi, metafora, persamaan atau
simile dan personifikasi.
Pada struktur makro, teks wacana ritual sua songga ‘doa adat’ memiliki
struktur tematik yang menunjukkan hal, antara lain kepercayaan/keyakinan
kepada wujud tertinggi, kebersamaan dan kekeluargaan, sejarah, kesehatan dan
keselamatan, dan kesuksesan/keberhasilan dalam usaha dan kehidupan keluarga.
17
Strutur skematik terdiri atas tiga bagian. Ketiga bagian tersebut adalah (a)
pendahuluan/pembukaan, dengan langkah-langkah: salam/sapaan; pemberitahuan;
dan transisi; (b) batang tubuh/isi permohonan-permohonan; dan (c) penutup, yaitu
pemberitahuan/pamitan.
Teks wacana ritual sua songga ‘doa adat’ memiliki makna yang terdiri atas
(a) makna religius yaitu makna yang menyatakan hubungan dengan kekuasaan
Wujud Tertinggi; (b) makna sosiologis yaitu makna kebersamaan dan
kekeluargaan, penghargaan akan kesehatan dan keselamatan, penghargaan akan
keberhasilan dalam keluarga; dan (c) makna sejarah (historis). Sementara, nilai
sosiokultural, yakni (a) nilai religi, kesadaran diri, keyakinan akan peran leluhur,
dan kebenaran sejarah; (b) nilai sosiologis, persaudaraan, kesadaran akan adanya
herarki sosial, kesadaran akan peran pelayanan dan perjuangan.
Penelitian Kato (2007) menerapkan analisis wacana yang disampaikan van
Dijk untuk menganalisis wacana dalam ritual kebudayaan. Hal ini tentu berbeda
dengan penelitian yang peneliti lakukan yang menganalisis teks berita pada harian
Bali Post. Selain itu, penelitian ini juga berbeda dengan yang peneliti lakukan
karena penelitian Kato (2007) hanya menerapkan teori yang disampaikan van Dijk
pada level analisis teks, yakni pada level struktur mikro, superstruktur, dan
struktur makro. Sementara, dua dimensi analisis, yakni kognisi dan konteks sosial
tidak dianalisis. Dalam penelitian ini, dianalisis ketiga dimensi wacana tersebut
yaitu analisis teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Ketiga dimensi analisis
meliputi analisis teks/wacana, kognisi sosial, dan konteks sosial merupakan satu
kesatuan yang seharusnya diterapkan secara bersama-sama untuk menganalisis
18
sebuah wacana. van Dijk (2001) menyampaikan “I thus limit my own endeavours
to the domain, defined by the theoritical discourse-cognition-society triangle.”
Dengan demikian, ketiga dimensi analisis ini tidak terpisahkan. Mengabaikan
analisis terhadap kognisi, justru mengabaikan bagian terpenting dalam analisis
wacana kritis, khususnya yang disampaikan van Dijk. Meyer (2001) menyebutkan
“CDA (Critical Discourse Analysis) does not take this relationship - between
language and society - to be simply deterministic involves an idea of mediation.”
Jadi, karakteristik utama analisis wacana kritis yang dikemukakan van Dijk justru
pada kognisi yang merupakan penghubung antara wacana dan masyarakat.
Haryanto (1999) dalam tesisnya menganalisis kolom “Pojok” dalam surat
kabar Republika periode Januari sampai dengan April 1999 dengan menggunakan
kajian gramatikal dan pragmatik. Judul penelitian Haryanto adalah “Wacana
Kolom Pojok Rehat Dalam Surat Kabar Republika: Kajian Gramatikal dan
Pragmatik”. Dalam penelitian itu, Haryanto mengkaji aspek gramatikal dan
pragmatik kolom tersebut untuk (1) mengetahui bentuk-bentuk kebahasaan yang
digunakan, (2) menjelaskan variasi bahasa yang digunakan, (3) memerikan cara-
cara menemukan maksud, dan (4) menganalisis maksud penulis kolom tersebut.
Kajian ini merumuskan simpulan sebagai berikut. Pertama, bentuk
kebahasaan yang digunakan dalam Wacana Kolom Pojok Rehat (WKPR) untuk
menyampaikan maksudnya meliputi (1) kalimat berklausa dan tak berklausa, (2)
kalimat tunggal dan kalimat majemuk, (3) kalimat deklaratif, interogatif, dan
imperatif. Kedua, variasi bahasa yang digunakan oleh penulis WKPR untuk
menjadikan wacana ini menarik dan mengena sasaran, antara lain (1) pemakaian
19
campur kode (campur kode ke dalam dan campur kode ke luar), (2) pemakaian
bahasa ringkas (tingkat kata, frasa, dan klausa), (3) pemakaian bahasa sebagai
hasil kreativitas penulis, dan (4) pemakaian ungkapan-ungkapan. Ketiga, maksud
penulis yang diungkapkan dalam WKPR ini dapat dipahami dengan mudah berkat
hadirnya alat-alat analisis wacana, antara lain (1) kohesi (referensi, substitusi,
elipsis, konjungsi, dan kohesi leksikal, (2) koherensi, (3) konteks situasi, (4)
prinsip analogi, dan (5) latar belakang pengetahuan. Keempat, munculnya
berbagai bentuk kebahasan dan berbagai macam variasi bahasa dalam KPR ini
dimaksudkan oleh penulis WKPR dapat menjadi sarana untuk mengomunikasikan
maksud hatinya. Maksud yang disampaikan antara lain: sindiran, kritikan, saran,
keluhan, dan perintah.
Meskipun sama-sama merupakan kajian wacana, kajian Haryanto berbeda
dengan dengan penelitian ini, baik dari segi subjek, objek analisis maupun teori
yang digunakan dalam menganalisis. Perbedaan ini menciptakaan keunikan pada
tiap-tiap penelitian. Dalam penelitian itu, Haryanto menganalisis wacana “Kolom
Pojok” dengan menggunakan analisis gramatikal dan pragmatik, sedangkan
peneliti menganalisis wacana berita dengan menggunakan teori analisis wacana
yang disampaikan van Dijk. Jadi, meskipun sama-sama merupakan analisis
wacana, kedua penelitian ini sangat berbeda.
Penelitian-penelitian sejenis tersebut dapat digolongkan, yaitu (1) analisis
terhadap wacana tertulis berupa “kolom pojok” berjumlah satu buah penelitian (2)
analisis terhadap wacana tertulis berupa iklan yang berjumlah dua buah penelitian,
(3) analisis wacana tertulis berupa berita berjumlah satu buah penelitian, dan (4)
20
analisis wacana lisan tradisi masyarakat berjumlah dua buah penelitian. Setelah
dilakukan tinjauan terhadap penelitian-penelitian tersebut, diketahui bahwa
penelitian ini paling menyerupai penelitian yang tergolong pada jenis ketiga, yaitu
penelitian yang dilakukan oleh Ema Khotimah (2004). Penelitian ini sama dengan
penelitian tersebut dalam hal jenis wacana yang dianalisis, yakni berita dan dari
segi teori analisis wacana yang digunakan, yaitu analisis wacana van Dijk.
Perbedaannya adalah pada sumber data penelitian. Sumber data penelitian Ema
Khotimah adalah majalah Sabili yang sudah jelas menganut ideologi tertentu,
yaitu ideologi Islam. Hal ini tampak pada latar belakang penelitiannya yang
mengutip pandangan Agus Sudibyo (2004: 9) tentang Sabili sebagai media
partisan karena keberpihakannya yang transparan dan tegas membela umat Islam,
sedangkan sumber data penelitian ini adalah koran harian Bali Post yang
memegang semboyan “Pengemban, Pengamal Pancasila”. Semboyan ini
merepresentasikan ideologi yang idealnya dianut dan diterapkan oleh media Bali
Post.
Wibowo (2009: 196) menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila dalam kode
etik jurnalistik, yakni (1) wartawan Indonesia beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa; (2) menghormati kebebasan orang lain; (3) tidak bekerja
untuk kepentingan sendiri atau kelompok, tidak memfitnah, tidak sadis, tidak
cabul, tidak memutarbalikkan fakta; (4) demokrasi substantif, menghargai off the
record, mengakui kesalahan, menghargai ketentuan embargo, memberi informasi
yang benar; (5) berita selaras-seimbang, check and recheck, hak jawab, dan hak
koreksi. Dengan demikian, secara ideal Bali Post tidak memihak kepada
21
golongan atau pihak tertentu dalam produksi berita-beritanya karena menganut
ideologi Pancasila, yang menjunjung tinggi kepentingan umum di atas
kepentingan golongan. Hal ini membuktikan bahwa sumber data yang digunakan
oleh Ema Khotimah dan peneliti memang memiliki perbedaan yang mendasar.
Jadi, penelitian ini memiliki originalitas.
2.2 Konsep
2.2.1 Wacana dan Teks
Pada awalnya, kata wacana dalam bahasa Indonesia digunakan untuk
mengacu pada bahan bacaan, percakapan, dan tuturan. Dalam konteks ini, wacana
yang digunakan merupakan kata wacana sebagai padanan dari istilah discourse
dalam bahasa Inggris. Kata discourse berasal dari bahasa Latin discursus yang
berarti ’lari ke sana kemari’, ’lari bolak-balik’.
Tarigan (1993: 27) mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa yang
terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi
dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang
nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Wacana didefinisikan oleh Zaimar
dan Harahap (2009: 12) wacana didefinisikan sebagai bahasa yang komunikatif,
yaitu yang sedang menjalankan fungsinya.
Gee membedakan ”discourse” dengan ”Discourse”. Such language-in-
use I will call ”discourse” with a ”little d” (Gee, 2005: 7). Jadi, ”discourse”
didefinisikan sebagai bahasa dalam penggunaannya. Sementara ”Discourse”
22
digunakan untuk mengacu kepada bahasa dalam pengunaannya dengan
melibatkan pula atribut yang bersifat nonbahasa.
Pandangan selanjutnya disampaikan oleh van Dijk (1985c: 108):
”Discourse is not just a set of sentence but an ordered sequence, with
conventional constraints on the possible orderings if it is to be meaningful and if
it is to represent certain fact structures, for example, episode”. Wacana bukan
hanya kumpulan kalimat, melainkan rangkaian pesan dengan ketentuan
konvensional dalam susunan yang mungkin jika itu menjadikannya bermakna dan
jika itu merepresentasikan struktur fakta tertentu, seperti peristiwa. van Dijk
(1992: 3) juga menyebutkan bahwa wacana secara sistematis berhubungan dengan
tindakan komunikatif. van Dijk (1984: 53) menggambarkan kehadiran wacana
sebagai salah satu media terpenting yang menghubungkan individu dengan
masyarakat, pengetahuan dengan dimensi interaksional. Wacana menjadi sarana
untuk menyampaikan kognisi sosial. Pandangan mengenai kognisi sosial
merupakan fokus perhatian van Dijk karena kognisi memiliki peran penting dalam
produksi dan pemahaman wacana. Kognisi menjadi penghubung antara situasi
sosial dan wacana.
Fairclough (1994: 43) mengemukakan ”Discourse as a place where
relations of power are actually exercised an enacted”. Fairclough (1994: 22)
juga mengemukakan bahwa wacana merupakan penggunaan bahasa yang
ditentukan secara sosial. Lebih lanjut, Fairclough (1995: 63) menyampaikan ”In
using the term ’discourse’ I’am proposing to regard language use as a form of
social practice, rather than a purely individual activity or a reflex of situasional
23
varieables.” Pandangan ini menyiratkan bahwa dalam pandangan Fairclough,
wacana merupakan bentuk tindakan yang bersifat sosial dan melibatkan
kekuasaan. Kedua, wacana menunjukkan hubungan dialektik antara wacana dan
struktur sosial. Wacana berfungsi mengonstruksi struktur sosial tertentu.
Sebaliknya, struktur sosial akan memengaruhi produksi wacana.
Brown dan Yule (1996: 1) menggunakan istilah wacana untuk mengacu
pada bahasa yang sedang digunakan. Sejalan dengan itu, Zaimar dan Harahap
(2009: 12) menggunakan istilah wacana untuk mengacu pada satuan bahasa yang
komunikatif, yaitu yang sedang menjalankan fungsinya. Dengan demikian,
wacana harus mempunyai pesan yang jelas dan otonom, dapat berdiri sendiri.
Pemahaman terhadap wacana hendaknya memerhatikan konteks situasinya karena
hal tersebut memengaruhi makna wacana. Bentuk wacana tidak dapat dipastikan
karena bisa berupa kata saja, kalimat, paragraf, artikel, bahkan buku. Wacana bisa
juga dipahami sebagai rangkaian kalimat yang serasi, yang menghubungkan
proposisi satu dengan proposisi lain, kalimat satu dengan kalimat lain yang
membentuk satu kesatuan (Eriyanto, 2006: 3). Selanjutnya, Jorgensen dan Phillips
(2007: 2) mendefinisikan wacana dengan agak berbeda, yakni sebagai cara
tertentu untuk membicarakan dan memahami dunia (atau aspek dunia) ini.
Halliday dan Hasan (1976: 1) menyatakan bahwa ”a text is a unit of
language in use”. Teks yang dimaksud dalam hal ini meliputi bentuk lisan
maupun tulis penggunaan bahasa. Selanjutnya, Halliday dan hasan (1976: 2)
menjelas bahwa teks merupakan unit semantik; bukan sekadar bentuk melainkan
makna. Teks menurut Halliday (1988: i) adalah sebagai segala sesuatu yang
24
diucapkan atau ditulis dalam konteks. Halliday (1988: xi) menjelaskan “A Text
can be highly complex phenomenon, the product of a highly ideational and
interpersonal environment”.” Beaugrande (dalam van Dijk (ed), 1985b: 48-49)
menjelaskan bahwa memahami teks sebagai susunan frasa dan klausa yang
kohesif dan secara konseptual umumnya koheren tidaklah cukup. Sebuah teks
tidak hanya detentukan berdasarkan kohesi dan koherensi, melainkan juga
intensionalitas, keberterimaan, situasi, intertekstualitas, dan keinformatifannya.
Berdasarkan beberapa pemaparan tersebut, wacana dan teks agak sulit
untuk dibedakan. Wacana secara umum didefinisikan sebagai bahasa baik lisan
maupun tulis yang sedang digunakan, menjalankan fungsi, serta berada dalam
konteks tertentu. Teks juga digambarkan sebagai bentuk penggunaan bahasa yang
tidak hanya cukup dipahami berdasarkan kohesi dan koherensi saja, melainkan
melibatkan juga intensionalitas, keberterimaan, situasi, intertekstualitas, dan
muatan infirmasinya yang terdapat di dalamnya.
van Dijk (1988a: 24) tidak membedakan istilah wacana dengan teks, dan
menggunakan istilah teks dan wacana sebagai istilah yang dapat dipertukarkan.
Dalam penelitian ini, istilah teks dan wacana akan digunakan dengan mengikuti
pandan van Dijk, yakni sebagai istilah yang tidak dibedakan dan dapat
dipertukarkan. Kress (dalam van Dijk (ed), 1985e: 27) mengemukakan juga
bahwa istilah “wacana” dan “teks” cenderung digunakan tanpa perbedaan yang
tajam. Jika pembahasan didasarkan atau bertujuan sosiologis, maka istilah
“wacana” yang digunakan, namun jika pembahasan didasarkan pada linguistik,
maka istilah “teks” yang digunakan.
25
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa wacana atau teks
dapat didefinisikan sebagai bahasa dalam penggunaannya yang memiliki struktur
gramatikal tertentu yang kohesif serta koheren. Dengan menekankan wacana atau
teks sebagai bahasa dalam penggunaan, wacana atau teks menjadi bentuk bahasa
yang kompleks karena tidak saja berhubungan dengan bentuk kebahasaan, tetapi
juga berhubungan dengan konteks, baik yang bersifat sosial maupun kognitif.
2.2.2 Berita
Berita lebih mudah dikenali daripada didefinisikan. Meskipun demikian,
terdapat beberapa definisi berita yang dapat memperkuat pemahaman mengenai
berita. Berita adalah laporan atau pemberitahuan tentang segala peristiwa aktual
yang menarik perhatian orang banyak (Suhandang, 2004: 103). Sejalan dengan
konsep tersebut, Kusumaningrat dan Kusumaningrat (2007: 40) merumuskan
berita sebagai informasi aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik
perhatian orang. Iswa (2005) memaparkan pandangan mengenai berita yang
bersifat objektif sekaligus subjektif. Berita bersifat objektif karena terkait dengan
objek tertentu dan bersifat subjektif karena disampaikan oleh subjek. Iswara tidak
menyampaikan definisi berita secara eksplisit, tetapi menggambarkan berita
dengan menguraikan sifat berita bahwa objektivitas tidak cukup dalam
menyampaikan berita. Selain objektif, berita juga harus adil. Berdasarkan standar
sikap adil Washington Post, Iswara memaparkan bahwa berita yang adil harus
mengandung fakta yang lengkap, mengandung informasi yang relevan,
membimbing pembaca ke arah yang benar dan bersikap jujur; wartawan berterus
26
terang dan tidak menyembunyikan prasangka atau emosi di balik kata-kata halus
yang merendahkan.
Pan dan Kosicki (1993: 58) menyebutkan “News text as consisting of
organized symbolic devices that will interact with individual agents memory for
meaning construction.” Pandangan ini merupakan bentuk ketidaksetujuan
terhadap anggapan yang meyakini berita sebagai bentuk wacana yang bersifat
objektif.
van Dijk (1988a: 4) menyebutkan tiga makna berita pada media massa
yang umum digunakan. Pertama, informasi baru tentang peristiwa, sesuatu atau
seseorang. Kedua, tipe program (TV atau radio) di mana berita disajikan. Ketiga,
berita atau laporan peristiwa, teks atau wacana di radio, TV atau surat kabar, yang
menyajikan informasi baru mengenai peristiwa terbaru.
Berdasarkan beberapa difinisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa berita
merupakan laporan mengenai peristiwa aktual yang berhubungan dengan
kepentingan khalayak yang disampaikan melalui media massa. Kepentingan
khalayak, bukanlah konsep yang bisa digambarkan secara sederhana. Kepentingan
khalayak ini ditentukan berdasarkan nilai berita yang dimiliki oleh suatu peristiwa
atau hal yang akan diinformasikan.
Konsep yang diacu dalam penelitian ini adalah nilai berita yang
dikemukakan oleh van Dijk (1988a: 121). Pertama, novelty (kebaruan). Kebaruan
menyangkut perihal kebaruan informasi dalam berita. Berita yang diterima oleh
pembaca hendaknya merupakan berita yang belum pernah dibaca atau diketahui
sebelumnya. Kedua, recency (kekinian). Recency (kekinian) tidak jauh berbeda
27
dengan novelty. Jika novelty menyangkut kebaruan berita, recency menyangkut
keaktualan atau kekinian berita (berhubungan dengan waktu terjadinya peristiwa
dengan waktu diterimanya berita tersebut oleh pembaca). Ketiga, presupposition
(pengetahuan awal, skemata). Wartawan harus memiliki asumsi bahwa pembaca
mungkin belum membaca atau sudah lupa terhadap informasi sebelumnya.
Dengan demikian, dibutuhkan informasi awal sebagai latar belakang atau konteks
peristiwa aktual yang sedang diberitakan. Informasi ini bertujuan untuk
memperbarui model dan skemata pembaca. Tanpa model dan skemata
sebelumnya, pembaca tidak mampu memahami teks berita tersebut.
Keempat, consonance (kecocokan). Sebuah berita hendaknya cocok secara
sosial dengan norma-norma dan sikap yang berlaku di masyarakat, seperti
skemata, kepercayaan, opini yang sudah ada di tengah masyarakat, dan sikap-
sikap sosial. Pembaca akan lebih mudah memahami dan menerima sebuah berita
jika norma-norma jurnalis juga sama dengan pembaca. Kelima, relevance atau
hubungan atau keterkaitan. Secara umum, berita tentang peristiwa atau tindakan
yang berhubungan atau memiliki keterkaitan dengan pembaca lebih disukai
pembaca. Hal ini terjadi sebab informasi ini menyediakan model yang dapat
digunakan sebagai interpretasi terhadap wacana lain atau untuk merencanakan dan
mengeksekusi tindakan dan interaksi sosial.
Keenam, deviance and negativity (penyimpangan dan kenegatifan). Secara
umum, wacana berita adalah tentang peristiwa-peristiwa negatif, seperti masalah,
skandal, konflik, kriminalitas, perang, dan bencana. Secara psikoanalitis, berbagai
bentuk kenegatifan dalam berita merupakan ekspresi ketakutan kita sendiri.
28
Selanjutnya, model kenegatifan tersebut secara langsung dihubungkan dengan
sistem emosi pertahanan diri yaitu daya tarik terhadap sesuatu yang berjalan
dengan tidak semestinya menjadi sebuah persiapan yang efektif untuk tindakan
penghindaran. Ketujuh, proximity atau kedekatan. Pesan yang disampaikan media
tentang peristiwa yang dekat dengan masyarakat akan dipahami dengan lebih baik
karena berdasarkan model yang lebih utuh dan tersedia. Selain itu, berita juga
menjadi lebih relevan untuk interaksi langsung atau aktivitas kognitif dan sosial.
2.2.3 Ideologi
Ideologi merupakan konsep yang tidak mudah dijelaskan. Fiske (2006:
228) menguraikan konsep ideologi yang dikemukakan oleh Raymond Williams
tentang tiga penggunaan utama konsep ideologi. Pertama, suatu sistem keyakinan
yang menandai kelompok atau kelas tertentu. Kedua, suatu sistem keyakinan
ilusioner – gagasan palsu atau kesadaran palsu – yang bisa dikontraskan dengan
pengetahuan sejati atau pengetahuan ilmiah. Ketiga, proses umum produksi
makna dan gagasan.
Wodak (2001) mengemukakan ideologi sebagai aspek penting dalam
menciptakan dan mempertahankan hubungan kekuasaan yang tidak setara. Hal ini
sejalan dengan konsep yang disampaikan Fairclough (1994: 2) bahwa ideologi
berhubungan sangat erat dengan kekuasaan dan bahasa. Hal ini juga sejalan
dengan konsep yang disampaikan Kress (2010) bahwa sistem ideologis eksis
dalam dan diartikulasikan melalui bahasa. Dengan demikian, sistem ideologis itu
sendiri bisa dijangkau melalui analisis bahasa. Hamad (2010: 60) menjelaskan
29
ideologi dalam konteks semiotika sebagai titik tolak orang (term of refence) untuk
melakukan produksi dan interpretasi pesan. Thompson (2007: 18)
menggambarkan ideologi dalam konteks ilmu sosial sebagai perekat hubungan
sosial yang mengikat anggota masyarakat secara bersama dengan menetapkan
nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati secara kolektif.
van Dijk (2001a: 115) menjelaskan ideologi sebagai representasi sosial
dasar kelompok sosial. Ideologi juga dijelaskan sebagai kerangka dasar untuk
mengorganisasi kognisi sosial yang disebarkan oleh anggota kelompok sosial,
organisasi, atau institusi (van Dijk. 1995a: 18). Ideologi digambarkan bersifat
kognitif sekaligus sosial. Ideologi secara keseluruhan merupakan sistem mental
yang abstrak yang mengorganisasi sikap-sikap yang disebarkan secara sosial.
Ideologi diperoleh secara bertahap oleh anggota kelompok atau kebudayaan (van
Dijk. 1995a: 18). Selanjutnya, van Dijk (1998a) menggambarkan ideologi sebagai
representasi sosial yang lain bersifat kognitif seperti halnya konstruksi sosial yang
tidak hanya disebarkan secara mental dengan orang lain sebagai bentuk kognisi
sosial, tetapi juga diproduksi secara sosial dengan orang lain sebagai anggota
kelompok.
van Dijk (2006b: 117) menguraikan fungsi kognitif dan sosial ideologi.
Pertama, mengorganisasi dan dasar representasi sosial yang disebarkan oleh
anggota (ideologis) kelompok. Kedua, ideologi merupakan dasar wacana dan
tindakan sosial yang lain anggota kelompok sosial sebagai bagian dari kelompok
tersebut. Ketiga, ideologi memungkinkan anggota kelompok untuk
mengorganisasi dan menyelaraskan tindakan dan interaksi mengenai pandangan,
30
tujuan, dan minat kelompok secara keseluruhan. Keempat, ideologi berfungsi
sebagai penghubung sosiokognitif struktur sosial kelompok dengan wacana dan
tindakan sosial lainnya. Beberapa ideologi berfungsi untuk mengesahkan
dominasi, tetapi juga untuk melakukan perlawanan dalam hubungannya dengan
kekuasaan. Fungsi ideologi yang lain adalah dasar pedoman dalam bertindak bagi
bidang pekerjaan atau keahlian tertentu.
Teori tentang ideologi bersifat multidispliner. Teori ini diartikulasikan
dalam sebuah segi tiga konseptual yang berhubungan dengan masyarakat, wacana,
dan kognisi sosial dalam kerangka kerja analisis wacana kritis (van Dijk, 1995a:
17). Dalam pendekatan ini, ideologi merupakan kerangka kerja dasar untuk
mengorganisasi kognisi sosial yang dimiliki oleh anggota sebuah kelompok sosial.
Dengan demikian, ideologi bersifat kognitif dan sosial. Secara mendasar,
keduanya berfungsi sebagai penghubung antara representasi kognitif dan proses
yang mendasari wacana dan tindakan di satu sisi, posisi kemasyarakatan dan
minat kelompok sosial di sisi lain. Konsep ideologi ini juga memungkinkan kita
menetapkan hubungan yang penting antara analisis makro terhadap kelompok
sosial, formasi sosial, dan struktur sosial dengan bidang mikro, yaitu situasi,
interaksi individu, dan wacana.
Ideologi merupakan sistem mental yang abstrak dan mengorganisasi sikap
secara sosial. Sikap-sikap feminis, misalnya, secara internal telah terstruktur dan
berhubungan dengan prinsip-prinsip umum yang telah dipahami bersama sebagai
sebuah ideologi “feminis”. Contoh lain adalah rasis, antirasis, sikap-sikap
ekologis prolingkungan dengan sistem ideologis yang dimiliki.
31
Melalui proses panjang dan kompleks terhadap proses pembentukan
informasi sosial, ideologi secara berangsur-angsur diperoleh oleh anggota sebuah
kelompok atau budaya. Sebagai sistem prinsip yang mengorganisasi kognisi
sosial, ideologi diasumsikan mengontrol sikap anggota kelompok melalui pikiran
dan reproduksi sosial anggota. Ideologi secara mental merepresentasikan
karakteristik sosial yang mendasar yang dimiliki oleh sebuah kelompok, seperti
identitas, tujuan-tujuan, norma-norma, dan nilai-nilai. Ideologi diorganisasikan
oleh skemata kelompok (group-schemata). Rasis kulit putih, misalnya,
merepresentasikan masyarakat secara mendasar dalam hal konflik antara kulit
putih dan nonkulit putih, yaitu identitas, tujuan, nilai, posisi, dan sumber
penghasilan orang kulit putih diancam oleh yang lain. Mereka merepresentasikan
hubungan ini sebagai ‘kami’ versus ‘mereka’, yaitu ‘kami’ diasosiasikan dengan
perangkat positif dan ‘mereka’ diasiosiasikan dengan perangkat negatif.
Ideologi ada di antara struktur sosial dan struktur pikiran anggota sosial.
Kedua struktur ini memungkinkan aktor sosial ‘menerjemahkan’ perangkat sosial
(identitas, tujuan, dan posisi) ke dalam pengetahuan dan kepercayaan yang
melatarbelakangi model konkret pengalaman hidup mereka sehari-hari. Secara
tidak langsung, ideologi mengontrol bagaimana merencanakan dan memahami
praktik sosial, termasuk di dalamnya struktur teks dan percakapan mereka sehari-
hari.
van Dijk (1998b: 21-22) menggambarkan bahwa opini dan ideologi
melibatkan keyakinan dan representasi mental, dan karena itu dibutuhakn
perspektif yang bersifat kognitif. Pada sisi lain, ideologi dan opini di media massa
32
pada umumnya tidak bersifat personal, namun sosial, institusional, atau politis.
Dengan demikin, hubungan antara ideologi, media massa atau surat kabar, serta
opini yang terepresentasi dalam pemberitaan bersifat kompleks.
Dalam konteks pers Indonesia, Sudibyo (1999: 55-57) mengemukakan tiga
pandangan mengenai ideologi pers. Pertama, pers perjuangan. Ideologi pers
perjuangan ini berkembang pada masa kolonial. Tujuan utama pers saat itu adalah
untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan. Berseberangan dengan pers
perjuangan, terdapat pers kolonial, yang tentu saja memperjuangkan kepentingan
kolonial. Pers perjuangan mengusung ideologi kemerdekaan dan nasionalisme
kebangsaan. Pada masa perjuangan berkembang pandangan bahwa pers dianggap
lebih memiliki kekuatan daripada perang bersenjata (Triharyanto, 2009: 13).
Orientasi pers perjuangan tersebut membuat paradigma yang dikembangkan lebih
bersifat kritis terhadap negara (state) dan afirmatif terhadap masyarakat (society).
Kedua, ideologi industrial. Ideologi ini lahir ketika pers menjadi industri
yang melibatkan modal dan berkembang berdasarkan standar-standar profesional.
Kekritisan terhadap negara dan keberpihakan kepada masyarakat semakin
berkurang dengan masuknya, bahkan mendominasinya modal ke dalam institusi
pers. Akibat yang lebih jauh dari kondisi ini adalah kecenderungan pers yang
berpihak kepada pasar. Dengan kata lain, pers lebih berorientasi kepada
keuntungan daripada kepentingan masyarakat.
Ketiga, ideologi Pancasila atau pers pembangunan. Pers Pancasila adalah
pers yang orientasi sikap dan perilakunya bersumber pada ajaran dan doktrin
Pancasila. Pers dengan ideologi ini cenderung kondusif dan partisipatoris terhadap
33
gerak langkah pembangunan. Dalam konteks ini pers nasional harus pers yang
sehat, bebas, bertanggung jawab, dan berfungsi sebagai penyebar informasi yang
konstruktif dan edukatif. Pers boleh melakukan kontrol sosial asalkan tetap dalam
term konstruktif dan bertanggung jawab.
2.2.4 Surat Kabar Bali Post
Bali Post dirintis oleh seorang wartawan Bali bernama K. Nadha. Sejarah
pers di Bali berhubungan erat dengan perjalanan K. Nadha muda yang baru tamat
Taman Dewasa di Denpasar pada sekitar 1942 - 1943. Ketika itu, usianya sekitar
17 tahun dan mulai bekerja sebagai wartawan Bali Shimbun yang dipimpin oleh
orang Jepang. Jepang memang melakukan pendudukan militer di Indonesia sejak
1942. Pada saat itu, undang-undang pemerintah no 16 tentang ”Pengawasan
Badan-badan Pengumuman dan Penerangan” dikendalikan oleh Jepang. Oleh
karena itu, koran-koran pergerakan yang ada sebelum Jepang diubah namanya. Di
Bali sendiri, saat itu belum muncul koran pergerakan. Barulah ketika Jepang
secara serentak di daerah mendirikan penerbitan, di Bali muncul Bali Shimbun, di
Sumatera bernama Kita Sumatera Shimbun, di Palembang terbit Palembang
Shimbun, di Kota Tanjung Karang terbit Lampung Shimbun, di Ambon terbit
Sinar Matahari, dan kantor berita Antara diubah menjadi Yashima dan kemudian
menjadi kantor berita Domei. Selanjutnya diganti menjadi Domei Bagian
Indonesia oleh Adam Malik.
Bali Shimbun tidak berlangsung lama. Pada 1945, ketika Jepang kalah
melawan Sekutu, Bali Shimbun mulai dipersiapkan untuk tidak terbit. K. Nadha
34
sebelumnya secara diam-diam telah mencetuskan gagasan untuk meneruskan
perjuangan menerbitkan koran pergerakan. Rencana ini kemudian didukung oleh
kawan-kawannya, seperti I Gusti Putu Arka yang pulang ke Bali dari Yogyakarta
dan bekerja di Bali Shimbun pada 1944 karena sekolah Taman Siswa ditutup oleh
Jepang. Cita-cita ini ternyata memerlukan persiapan dua tahun (1946 - 1947). K.
Nadha mendirikan perpustakaan merangkap penjualan buku yang bergabung
dengan usaha tukang jahit milik saudaranya di Jl. Gajah Mada, Denpasar.
Baru pada 1948 K. Nadha berhasil menerbitkan penerbitan dengan cetak
handset. Namanya Suara Indonesia (yang kemudian menjadi Bali Post) dan
diterbitkan pertama kali dalam bentuk majalah. Menurut I Gusti Putu Arka, yang
kemudian memilih berjuang sebagai guru di Perguruan Rakyat Saraswati, Suara
Indonesia terbitnya tidak tentu, sesuai dengan situasi keamanan saat itu. Namun,
K. Nadha secara konsisten berjuang di bidang pers dan melahirkan wartawan-
wartawan muda lainnya.
Harian Bali Post yang berkembang pesat seperti sekarang serta melahirkan
”anak-anak” seperti mingguan Prima, tabloid Tokoh, harian Denpost, Bali Travel
News (tabloid pariwisata berbahasa Inggris), tabloid dwi mingguan Wiyata
Mandala. Di samping itu juga ”lahir” Radio Global FM Bali, Radio Singaraja FM
dan Radio Swara Widya Besakih, memang berkat kerja keras dan pandangan jauh
K. Nadha.
Bali Post yang kini berkantor pusat di Jalan Kepundung No. 67 A,
Denpasar semula bernama ”Suara Indoneia” dan terbit perdana pada 16 Agustus
1948. Koran ini diterbitkan oleh Penerbit Suara Indonesia dengan perintis K.
35
Nadha dibantu Made Surya Udaya dan I Gusti Putu Arka – keduanya teman
seperjuangan K. Nadha.
Pada 2 Mei 1965, Badan Penerbitan Suara Indonesia diubah menjadi
Yayasan Genta Suara Revolusi Indonesia disingkat Gesuri berkedudukan di
Denpasar dengan akta No. 104, notaris Ida Bagus Ketut Rurus. Sejarah mencatat
pada 1966, berdasarkan ketentuan pemerintah bahwa semua penerbitan harus
berafiliasi kepada organisasi parpol dan instansi yang ada. Sehubungan dengan
itu, nama Suara Indonesia diubah menjadi Suluh Indonesia edisi Bali. Pada Juni
1966 sampai dengan Mei 1971, nama tersebut diganti kembali menjadi Suluh
Marhaen edisi Bali.
Pada tahun 1972, setelah terbentuk demokrasi terpimpin terjadi perubahan
iklim politik yang juga berpengaruh terhadap iklim penerbitan (pers). Sejak itu,
penerbitan pers dibebaskan dari keharusan berafiliasi sehingga dipakai kembali
nama Suara Indonesia. Namun, Departemen Penerangan tidak menyetujui karena
di Malang sudah ada surat kabar dengan nama yang sama. Dengan demikian,
dipakai nama Bali Post sampai sekarang.
Sebagai media yang terbit di Bali, Bali Post secara khusus memiliki
perhatian terhadap budaya dan kepentingan Bali. Pascabom yang meledak di
Legian, Kuta pada Oktober 2002 muncul slogan ajeg Bali. Ajeg Bali terasa
simpang siur yaitu mulai dari pencalonan gubernur, penguatan kebudayaan
manusia Bali versus globalisasi, agenda setting Bali ke depan, dan penguatan
basis ekonomi manusia Bali. Hal itu terjadi hingga 16 Agustus 2003 setelah
36
harian Bali Post menerbitkan edisi khusus ulang tahun yang kemudian diterbitkan
menjadi buku berjudul Ajeg Bali Sebuah Cita-cita (Atmadja, 2010: ix)
Dalam buku Ajeg Bali, Sebuah Cita-cita (Bali Post, 2004), Ajeg Bali
dimaknai dalam tiga tataran. Pertama, tataran individu, yakni sebagai kemampuan
manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri kultural. Kepercayaan diri tersebut
bersifat kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisik semata. Kedua, tataran
lingkungan kultural. Ajeg Bali dimaknai sebagai terciptanya ruang hidup budaya
Bali yang bersifat inklusif, multikultural dan selektif terhadap pengaruh-pengaruh
luar. Ketiga, tataran proses kultural. Ajeg Bali adalah interaksi manusia Bali
dengan ruang hidup budaya Bali untuk melahirkan produk-produk atau penanda-
penanda budaya baru melalui proses yang berdasarkan nilai-nilai moderat,
nondikotomis, berbasis pada nilai-nilai kultural dan kearifan lokal, serta memiliki
kesadaran ruang (spasial) dan waktu yang mendalam.
Dwipayana (2005: 46-49) menguraikan pertarungan wacana dalam
gagasan ajeg Bali yang melibatkan tiga aktor utama. Pertama, kelompok dengan
perspektif konservatisme romantik. Dalam pandangan kelompok ini, satu-satunya
jalan dalam menghadapi transformasi sosial adalah dengan kembali pada
pengaturan tertib sosial yang sudah ada (tradisi-dresta). Kedua, kelompok yang
memperjuangkan tafsir ketertiban terhadap ajeg Bali yang merupakan turunan dari
mazhab fungsionalisme-struktural. Mazhab ini memandang masyarakat dan
pranata sosial sebagai sistem yang seluruh bagiannya saling bergantung dan
bekerja sama untuk menciptakan keseimbangan. Konsekuensi logis dari tafsir
ketertiban adalah penekanan yang berlebihan pada harmoni sosial. Ketiga,
37
kelompok invensi kapitalisme pasar. Bagi kelompok ini, ajeg Bali dimaknai
sebagai invensi dari modernitas dalam memanfaatkan tradisi. Sebagai invensi
modernitas, makna ajeg Bali muncul sebagai kreativitas dari aktor-aktor modern,
baik industri media, maupun biro perjalanan untuk menggunakan simbol ajeg Bali
dalam kerangka kepentingan akumulasi kapital.
2.3 Landasan Teori
Metode analisis wacana yang dikemukakan van Dijk meliputi tiga level
analisis, yaitu analisis wacana atau teks, analisis kognisi sosial, dan analisis
konteks sosial. Analisis terhadap wacana atau teks dipilah lagi menjadi tiga level
analisis yang meliputi analisis struktur makro, analisis superstruktur dan analisis
struktur mikro. Tiap-tiap level analisis tersebut akan peneliti paparkan sebagai
berikut.
2.3.1 Analisis Struktur Teks
2.3.1.1 Struktur Makro (Thematic Structure)
Struktur makro merupakan makna global sebuah teks yang dapat dipahami
melalui topiknya. Topik direpresentasikan ke dalam satu atau beberapa kalimat
yang merupakan gagasan utama/ide pokok wacana. Tema atau topik merupakan
perangkat untuk memahami makna atau isi suatu teks. Sehingga, tema dan topik
memiliki peran yang penting dalam sebuah wacana, termasuk berita. Tema dan
topik secara sederhana dapat diketahui dengan menjawab pertanyaan tentang apa
wacana tersebut. Sebagai level analisis yang mengkaji makna teks secara
keseluruhan, analisis struktur makro ini tergolong dalam analisis semantik.
38
van Dijk (1988: 31) menyatakan “Topics belong to the global, macrolevel of
discourse description”. Analisis terhadap makna teks secara keseluruhan melalui
deskripsi tema atau topik ini disebut analisis struktur makro teks
(macrostructure).
van Dijk (1980) mengemukakan bahwa “Macrostructures are higher-level
semantic or conceptual structures that organize the ‘local’ microstructures of
discourse, interaction, and their cognitive processing.” Analisis pada level makro
memberikan gambaran tentang makna teks secara keseluruhan. van Dijk (1983b:
149) menyebutkan bahwa analisis pada tataran struktur makro berfungsi untuk
menggambarkan koherensi global wacana yang meliputi topik, tema, intisari, dan
maksud.
Tema atau topik dalam teks memiliki peran yang penting karena
memengaruhi dan mempermudah pemahaman terhadap pesan yang disampaikan
dalam teks. Dengan mengetahui tema atau topik, pemroduksi teks akan mudah
mengarahkan pesan selanjutnya yang akan disampaikan. Bagi penerima teks, tema
dan topik akan mempermudah dalam memahami teks secara keseluruhan hingga
bagian-bagian yang lebih khusus.
Tema atau topik pada umumnya ditentukan berdasarkan tingkat
kepentingan makna informasi yang akan disajikan. van Dijk (1988: 34)
menyatakan seperti di bawah seperti di bawah ini.
“A topic of a text is a strategically derived subjectivemacroproposition, which is assigned to sequences of propositions bymacroprocesses (rules, strategies) on the basis of general worldknowledge and personal beliefs and interests.”
39
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pemilihan tema dan
topik dalam suatu teks melibatkan proses yang kompleks. Proses tersebut
ditentukan oleh pengetahuan, persepsi, keyakinan, tujuan, sikap, nilai, dan minat
pemroduksi teks mengenai hal yang disampaikan.
Pada berita media massa, topik dapat dikenali melalui judul berita. Hal ini
disampaikan van Dijk (1988: 35) bahwa “Topics may be expressed and signaled
by headlines, which apparently act as summaries of the news text.” Proposisi yang
mengandung tema atau topik dibuat dengan mengurangi detail dan menggunakan
pengetahuan umum tertentu.
Sebuah teks memiliki proposisi-proposisi yang mengandung tema atau
topik, tetapi dalam level yang berbeda-beda. Suatu proposisi memayungi
proposisi yang lain sehingga membentuk kesatuan tema atau topik. Pola penataan
gagasan ini disebut sebagai macrorule. Meskipun terdiri atas beberapa proposisi
dan beberapa tema serta topik, sebuah wacana tetap memiliki kesatuan makna
yang dengan kata lain disebut koherensi global (global coherence). Koherensi
global mengacu pada kesalingterkaitan gagasan dan proposisi dalam suatu wacana
di samping mendukung suatu gagasan utama yang menjadi tema atau topik utama
dalam wacana. Topik utama dalam kalimat didukung oleh topik dan subtopik
sehingga membentuk makna yang utuh dan koheren. Hubungan antartema, topik,
kalimat, dan proposisi yang disajikan dalam wacana yang saling berkaitan dan
membentuk kesatuan makna yang disebut juga sebagai semantic macrostructures
(struktur makro semantik).
40
Pengorganisasian tema, topik, dan proposisi dalam berita ditentukan oleh
pandangan dan pengetahuan wartawan tentang hal yang diberitakan. van Dijk
(1983: 29) mengatakan “The organization of news discourse is both a result of
and a condition for the cognitive operations of journalists and readers,
respectively, in the production, reproduction, or understanding of the news
‘data’.” Dengan demikian, upaya wartawan dalam menginterpretasi dan
memproduksi wacana tidak akan lepas dari pengaruh kognisi yang dimiliki
wartawan. Analisis wacana van Dijk, tidak menganalisis struktur wacana saja,
tetapi juga melibatkan analisis kognitif.
Pemilihan topik yang akan ditonjolkan diletakkan pada bagian awal berita,
yang disamarkan, bahkan yang dihilangkan dari wacana berita didasari oleh peran
kognisi wartawan. Pemilihan topik awal dalam wacana akan membantu dan
mengarahkan penerima wacana dalam memaknai dan memahami wacana. van
Dijk (1988a: 34) menyatakan “The topic acts as major control instance on the
further interpretation of the rest of the text.” Dengan kata lain, pemilihan topik
tertentu oleh wartawan atau pemroduksi wacana juga mencerminkan pandangan
subjektif, pengetahuan, keyakinan, dan ketertarikan pribadinya.
Analisis struktur makro dalam wacana berita dilakukan dengan mengamati
bagian judul (headline) dan teras berita (lead). Berikut adalah bagan struktur
makro berita.
41
Tabel 2.1 Level Analisis Struktur Makro Wacana Berita
Level Analisis Hal yang Diamati Elemen AnalisisStruktur makro Tematik Tema
TopikSubtopik
(Dirumuskan berdasarkan van Dijk, 1988a)
2.3.1.2 Superstruktur (Superstructure)
Superstruktur (superstructure) merupakan struktur wacana secara
keseluruhan. Struktur wacana ini terhubung secara semantik melalui tema atau
topik. Struktur wacana secara keseluruhan disebut skema (schema). Skema
wacana ditentukan oleh jenis wacana dan maksud yang hendak disampaikan
melalui wacana tersebut. van Dijk ( 1988b: 14) menyatakan bahwa “Such a
schema can be defined by a set of characteristic categories and by a set of rules
or strategies that specify the ordering of these categories.”
Lebih lanjut, van Dijk (1988a: 51) menyatakan “This also means that the
schema determines how the topics of a text could or should be ordered and,
hence, how sequences and sentences should appear in the text.” Jadi,
superstruktur berhubungan dengan cara penyusunan tema, topik, proposisi, dan
kalimat dalam wacana sehingga membentuk struktur global wacana yang
mencerminkan pengetahuan, tujuan, nilai, keyakinan, dan minat pemroduksi
wacana. Skema wacana juga menunjukkan jenis wacana, yang kemudian
membedakannya dengan jenis wacana yang lain.
Superstruktur atau skema wacana berita pada media massa tidak memiliki
bentuk yang baku dan pasti. Namun, dapat digambarkan secara umum
berdasarkan unsur-unsur pembentuk dan struktur yang umum digunakan dalam
penyajian berita.
42
Bell (1998: 67) mengutip pemaparan Labov mengenai unsur berita yang
pada umumnya terdiri atas enam elemen, yaitu abstrak, orientasi, tindakan,
evaluasi, resolusi, dan coda. Bell (1998: 68) sendiri mengajukan skema umum
berita yang terdiri atas tiga unsur utama, yaitu : attribution (pembuka atau
pengenalan), abstract (abstrak), dan story (cerita). Attribution dikhususkan
menjadi elemen-elemen sumber, tempat, dan waktu. Selanjutnya, abstrak di bagi
menjadi dua elemen lagi, yakni judul dan teras berita. Yang terakhir adalah story
(cerita) yang dapat dikhususkan menjadi episode-episode tertentu, yang masing-
masing memiliki elemen pembentuk, antara lain sumber, pelaku, tindakan, waktu,
tempat, dampak, reaksi, konteks, evaluasi, ekspektasi, episode sebelumnya, dan
sejarah atau peristiwa sebelumnya.
Pada penelitian ini, diterapkan skema berita yang diajukan oleh van Dijk
(1983a, 1985a, 1988a, 1988b, 1993a, 1995, 2006). Untuk mempermudah
penyajian, peneliti akan sajikan dalam bentuk bagan sebagai berikut.
Tabel 2.2 Level Analisis Superstruktur Wacana Berita
Level Analisis Yang Diamati Elemen AnalisisStruktursuper/Skema
Summary (ringkasan) JudulTeras berita
Story (kisah) situasi episode Peristiwa utamaKonsekwensi
latar KonteksHistoris
komentar Kesimpulan HarapanEvaluasi
Reaksiverbal
Reaksi verbal
(Dirumuskan berdasarkan van Dijk, 1983a; 1985a; 1988a; 1988b; 1993a; 1995;2006)
43
van Dijk merumuskan skema berita menjadi dua elemen utama, yaitu
summary (ringkasan) dan story (kisah). Tiap-tiap elemen kemudian dijabarkan
menjadi emelen-elemen yang lebih khusus.
(1) Summary (Ringkasan)
Summary (ringkasan) terdiri atas judul (headline) dan teras berita (lead)
(van Dijk, 1988b: 15). Suatu ringkasan harus mengandung struktur makro
wacana (van Dijk, 1988a: 49). Struktur makro yang mengandung tema atau topik
ini pertama-tama dapat diidentifikasi dalam judul berita. Judul berita secara
sederhana dapat dikenali dari posisinya dalam berita dan bentuk tulisan yang lebih
besar daripada bagian lain dan warna yang lebih tebal.
Sementara itu, teras berita (lead) pada umumnya ditulis secara terpisah
dari bagian berita lain dan ditulis dengan huruf yang lebih tebal atau lebih besar
daripada bagian berita, tetapi lebih kecil daripada judul. Teras berita juga
mengandung topik utama wacana berita. Artinya, teras berita juga mengandung
kalimat yang mengandung tema atau topik.
(2) Story
Story merupakan bagian berita yang memaparkan secara lebih terperinci
rangkaian peristiwa atau hal yang diberitakan. Penyusunan rangkaian peristiwa
atau hal yang diberitakan di dalam wacana berita tentu berbeda dengan rangkaian
peristiwa yang sebenarnya. Pada wacana berita, misalnya, wacana tersebut dapat
dimulai dengan ringkasan atas peristiwa. Namun, pada peristiwa yang sebenarnya
ringkasan tersebut tidak mungkin ada. Oleh karena itu, story penting diamati
sebagai salah satu bentuk strategi wacana yang menunjukkan pandangan, nilai,
44
tujuan, dan sikap pemroduksi wacana. Selain itu, story juga memengaruhi cara
pembaca memahami wacana tersebut.
Secara umum, story dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, situasi.
Menurut van Dijk (1988b: 22), situasi sebagai “…situation is represented in terms
of a subjective model.” Situasi yang merupakan pemaparan peristiwa dan bersifat
subjektif dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu episode dan latar. Episode
secara lebih terperinci lagi dapat diklasifikasi menjadi peristiwa utama dan
konsekuensi. Peristiwa utama merupakan kejadian atau hal yang menjadi fokus
pemberitaan. Sementara konsekuensi berhubungan dengan dampak yang mungkin
ditimbulkan oleh suatu peristiwa utama yang diberitakan. Nilai berita suatu
peristiwa sering kali ditentukan juga oleh konsekuensi yang mungkin ditimbulkan
oleh suatu peristiwa. Konsekuensi bisa memiliki posisi yang sejajar dengan
peristiwa utama, bahkan bisa menduduki posisi yang lebih tinggi daripada
peristiwa utama. Hal tersebut tampak pada berita yang menjadikan konsekuensi
sebagai judul atau teras berita.
Selanjutnya adalah latar. Latar merupakan bagian dari situasi yang dapat
dibedakan menjadi konteks dan historis. Konteks dalam hal ini merupakan
peristiwa lain yang dihubungkan dengan peristiwa utama yang sedang diberitakan.
van Dijk (1992: 192) menyatakan bahwa “A context is a course of events.”
Konteks (van Dijk, 2006: 163) tidak bersifat objektif atau pasti, tetapi bersifat
interpretasi subjektif yang merupakan konstruksi lingkungan sosial. Peristiwa
yang menjadi konteks sering kali merupakan peristiwa utama pada berita
sebelumnya. Secara eksplisit, konteks bisa ditandai dengan penanda “saat”,
45
“selama”, “pada waktu”, dan kata lain sejenis dengan itu. Dalam memilih konteks,
pemroduksi wacana, khususnya wartawan melibatkan pengetahuan, opini, nilai,
maksud, dan tujuan subjektif untuk menyampaikan pesan dan akhirnya
memengaruhi pembaca. Berikutnya adalah historis. van Dijk (1988a: 54)
menyebutkan historis sebagai situasi pada peristiwa yang telah diberitakan atau
terjadi sebelumnya. Berbeda dengan konteks yang dapat menjadi peristiwa utama
atau judul dan teras berita, historis tidak dapat menjadi peristiwa utama pada
berita. Historis merupakan peristiwa yang telah terjadi dalam waktu yang cukup
lama, seperti beberapa minggu, bulan, bahkan beberapa tahun sebelumnya.
Yang kedua adalah komentar. Komentar dapat dibedakan menjadi dua
bagian lagi, yakni kesimpulan dan reaksi verbal. Simpulan mengacu pada
pandangan, opini, dan evaluasi jurnalis di samping media mengenai peristiwa atau
hal yang diberitakan. Kesimpulan dapat dikhususkan lagi menjadi dua bagian,
yakni harapan dan evaluasi. van Dijk (1988a: 56) menjelaskan harapan sebagai
hal yang mungkin ditimbulkan atau menjadi akibat dari peristiwa yang
diberitakan. Dengan kata lain, harapan mengandung prediksi atau hal yang
diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Evaluasi merupakan pandangan
atau pendapat wartawan mengenai peristiwa yang sedang diberitakan. Komentar
dalam berita pada umumnya disampaikan secara samar atau implisit sehingga
pembaca tidak selalu menyadarinya. Sementara itu, reaksi verbal merupakan
pernyataan narasumber terkait dengan topik dan menjadi bagian berita. Penyataan
narasumber di dalam berita bisa disampaikan baik dalam kalimat langsung
maupun tidak langsung.
46
2.1.1.3 Struktur Mikro (Microstructures)
Struktur mikro merupakan analisis wacana pada level yang paling konkret
dan spesifik karena pada level ini yang dianalisis adalah kata dan kalimat. Pada
dua level sebelumnya, analisis terhadap wacana bersifat global. Struktur makro
mengkaji makna secara global, sementara superstruktur mengkaji skema wacana.
Struktur mikro wacana dapat diklasifikasi menjadi beberapa elemen, yaitu
sintaksis, leksikon, koherensi lokal, dan retorik. Tiap-tiap elemen memiliki
bagian-bagian yang lebih khusus. Untuk mempermudah pemahaman terhadap
struktur mikro, disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.
Tabel 2.3 Level Analisis Struktur Mikro Wacana Berita
LevelAnalisis
Yang Diamati Elemen Analisis
Strukturmikro Sintaksis Kalimat aktif/pasif;Nominalisasi
Leksikon Kata positif/negatifKoherensilokal
Distribusi informasi Topik/penjelasSusunan dan koherensi Koherensi
Kondisional/temporalKoherensi fungsional
Praanggapan PraanggapanRetorik Deskripsi langsung
dan laporan saksimataSumber dan kutipanNomorGaya bahasa
(Dirumuskan berdasarkan van Dijk 1983; 1985; 1988a; 1988b; 1993; 1995; 2006,
2008)
47
(1) Struktur Sintaksis
Sintaksis digunakan oleh van Dijk dengan makna yang agak luas.
Mengacu pada kalimat dan pembentuknya sekaligus mengacu kepada struktur
wacana secara umum atau secara makro. van Dijk menjelaskan sebagai berikut.
“In general, syntax describes which syntactic categories (such asnoun or noun phrase) may occur in sentences and in which possiblecombinations. Thus, syntactic rules specify which sentence forms,consisting of syntactic categories, are well-formed. We also use thisnotion of syntax in a wider, non grammatical sense, for instance whenwe want to describe the overall forms of discourse” (van Dijk, 1988a:25).
Struktur sintaksis yang bersifat makro mengacu kepada struktur wacana
secara keseluruhan yang disebut sebagai superstruktur atau skema. Karena
struktur sintaksis makro telah dianalisis pada level skema atau superstruktur,
analisis sintaksis pada tahap ini lebih difokuskan pada sintaksis mikro yang
menganalisis kata, frasa, klausa, proposisi, dan struktur kalimat.
Struktur sintaksis merupakan struktur permukaan wacana yang dapat
diamati secara jelas melalui susunan kata, hubungan fungsi yang membentuknya
(subjek-objek), dan penggunaan bentuk aktif dan pasif pada kalimat (van Dijk,
1988b: 11). Pandangan, nilai, opini, ideologi, maksud, dan tujuan yang ingin
disampaikan oleh pemroduksi teks akan terealisasi dan dapat diamati melalui
analisis struktur sintaksis. Penempatan subjek dan objek, misalnya, tidak hanya
dipandang sebagai sebuah struktur dan fungsi kalimat. Penentuan subjek juga
menunjukkan hal yang ingin ditonjolkan, ditekankan, dan dijadikan fokus oleh
pemroduksi teks atau wartawan. van Dijk (1985a: 73) menyatakan seperti berikut.
“That news bias can even be expressed in syntactic structures ofsentences, such as the use of active or passive constructions,
48
which allow the journalist to express or suppress the agent ofnews acts from subject positions.”
Dalam menyampaikan pesan, wartawan memiliki kebebasan untuk
menyampaikan dalam bentuk kalimat aktif ataupun kalimat pasif. Tiap-tiap
bentuk kalimat mengimplikasikan hal lain selain struktur dan pesan leksikal yang
dibawanya. Bentuk penyampaian dalam struktur kalimat aktif, mensyaratkan
adanya subjek dan objek yang jelas. Subjek ditempatkan sebelum predikat dan
objek setelah predikat. Penempatan suatu kata sebagai subjek akan berimplikasi
pada penonjolan, penekanan, dan perhatian lebih kepadanya. Sebaliknya, bentuk
kalimat pasif akan menyamarkan, bahkan meniadakan pelaku tindakan. Bentuk
kalimat pasif memungkinkan wartawan untuk tidak menyebut pelaku atau
memberikan peluang menyebut di bagian lain atau akhir berita sehingga
menimbulkan kesan tidak terlalu mendapatkan perhatian dari pembaca.
Analisis mengenai subjek, predikat, objek, pelengekap, dan keterangan
pada kalimat merupakan analisis berdasarkan fungsi sintaksis unsur-unsur
kalimat. Pada analisis kalimat, predikat merupakan konstituen pokok yang disertai
konstituen subjek di sebelah kiri dan, jika ada, konstituen objek, pelengkap,
dan/atau keterangan wajib di sebelah kanan (Alwi, dkk., 1999: 326). Predikat pada
kalimat menjadi penentu konstituen lain dalam kalimat.
Selain berdasarkan fungsi, kalimat jiga dapat dianalisis berdasarkan peran.
Verhaar (2004: 167) menyebutkan bahwa peran sintaksis adalah segi semantis
dari peserta-peserta verba. Dengan kata lain, kalimat yang menyampaikan
peristiwa atau suatu keadaan selalu melibatkan satu atau lebih peserta dengan
peran semantis yang berbeda-beda. Lebih lanjut, Alwi, dkk. (1999: 34-36)
49
menyebutkan beberapa peran semantis, antara lain pelaku, sasaran, pengalam,
peruntung, dan atribut. Pelaku merupakan peserta yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan oleh verba predikat. Peran pelaku merupakan peran semantis utama
subjek kalimat aktif dan pelengkap kalimat pasif.
Sasaran adalah peserta yang dikenai perbuatan yang dinyatakan oleh verba
predikat. Peran sasaran adalah peran utama objek atau pelengkap dalam kalimat.
Peruntung adalah perserta yang beruntung dan memperoleh manfaat dari keadaan,
peristiwa atau perbuatan yang dinyatakan oleh predikat. Peserta peruntung pada
umumnya berfungsi sebagai objek atau pelengkap, atau subjek verba jenis
menerima atau mempunyai. Yang terakhir adalah atribut yang merupakan peran
yang mengisi predikat berupa nomina. Selain peran-peran tersebut, Alwi, dkk.
(1999: 335) juga menambahkan bahwa terdapat semantis lain yang terdapat pada
fungsi keterangan, seperti keterangan waktu, keterangan tempat, keterangan alat,
dan keterangan sumber. Peran semantis tersebut pada dasarnya sesuai dengan
sifat kodrati nomina yang terdapat pada keterangan tersebut.
Struktur sintaksis juga melibatkan aspek nominalisasi. Nominalisasi
merupakan pembentukan nomina dari kelas kata lain dengan menggunakan afiks
tertentu. Nominalisasi berimplikasi pada tidak wajibnya pelaku hadir dalam
peristiwa. Andai pelaku ingin dihadirkan dalam peristiwa, hal tersebut bisa
dilakukan dengan menghadirkannya pada proposisi yang lain, sehingga kehadiran
pelaku dalam wacana tidak terlalu menonjol.
50
(2) Koherensi Lokal
Koherensi merupakan aspek penting dalam wacana. Koherensi
berhubungan dengan kesatuan makna dalam wacana, termasuk kesatuan makna
unsur-unsur pembentuk wacana tersebut yang meliputi antarparagraf, kalimat,
proposisi, klausa, frasa, hingga kata. Meskipun menganalisis bentuk penggunaan
bahasa, yang menjadi fokus perhatian koherensi adalah makna yang merupakan
inti dari penggunaan bahasa atau teks. Hal ini disampaikan Halliday (1976: 2)
bahwa teks merupakan unit semantik. Unit ini bukanlah bentuk, melainkan
makna.
van Dijk (1988a: 26) menyatakan koherensi sebagai “….not only how
meanings of subsequent sentences are related but also how the facts these
sentences refer to are related.” Jadi, menurut van Dijk, koherensi tidak saja
berhubungan dengan hubungan makna antarparagraf, kalimat, atau proposisi,
tetapi juga berhubungan dengan fakta yang diacunya. Untuk dapat menganalisis
koherensi dengan baik, penganalisis membutuhkan berbagai pengetahuan atau
wawasan yang direpresentasikan dalam wacana.
“Many aspects of discourse meaning, such as macrostructures andcoherence, can be fully understood only if we know which cognitiverepresentations of discourse and knowledge are involved dininginterpretation” (van Dijk, 1988a: 30).
Pada koherensi lokal, analisis koherensi akan lebih berfokus pada struktur
mikro, yaitu hubungan antarparagraf, kalimat, proposisi, dan unsur
pembentuknya. Koherensi lokal mengacu pada hubungan makna antarkalimat
secara terperinci (van Dijk, 1988a: 51).
51
Koherensi lokal wacana dikhususkan lagi menjadi tiga elemen analisis,
yaitu distribusi informasi, susunan dan koherensi, serta pranggapan. Elemen
pertama, yaitu distribusi informasi merupakan strategi wartawan dalam
menyampaikan informasi dalam wacana.
Dalam struktur makro terdapat tema dan topik yang menjadikan
keseluruhan wacana koheren. Topik akan menjadi topik apabila dijabarkan
menjadi bagian-bagian yang lebih terperinci dalam bentuk paragraf, kalimat,
proposisi yang mengandung informasi yang lebih detail.
Berita, khususnya berita langsung, pada umumnya menggunakan pola
pengembangan umum-khusus. Informasi yang bersifat umum disajikan terlebih
dahulu, kemudian diikuti informasi yang lebih detail dengan semakin terperinci
hingga akhir berita. Topik dalam berita sering memiliki subtopik untuk membuat
berita lebih detail. Pilihan topik, subtopik, dan akhirnya informasi yang akan
disampaikan dengan terperinci dan kurang terperinci menjadi strategi wacana
yang penting untuk diamati dalam melakukan analisis wacana.
Informasi yang terperinci tentang hal positif diri dan kelompok akan
menimbulkan kesan positif atas kelompok tertentu. Sebaliknya, informasi
terperinci mengenai hal buruk mengenai pihak tertentu akan menimbulkan kesan
negatif atas kelompok tersebut. Penjabaran atau perincian topik ini disebut sebagai
specification rules. van Dijk (1988a: 44) menyatakan “In formal terms, the
realization of topics in news discourse takes place by the application of inverse
macrorules, which we may call specification rules”.
52
Elemen kedua adalah koherensi. Sebagai penjabaran atas koherensi yang
sebelumnya telah dibahas, pada tahap ini koherensi secara umum dibedakan
menjadi dua bagian, yakni koherensi kondisional yang juga meliputi temporal dan
koherensi fungsional. Koherensi kondisional dimaksudkan sebagai bentuk
koherensi yang menunjukkan hubungan kondisional, yaitu proposisi satu menjadi
kondisi, penyebab atau akibat atas kondisi lain. Penanda koherensi ini yang secara
eksplisit bisa diamati adalah kata “akibat”, “sebab”, “maka”, “oleh karena itu”,
“karena”, “untuk”, dan “jadi” (van Dijk, 1988a: 61; 1985b; 1988b: 274).
Koherensi temporal tergolong dalam koherensi kondisi dan ditandai secara
eksplisit dengan “sebelum” atau “setelah”.
Selanjutnya, koherensi fungsional mengacu pada koherensi yang memiliki
hubungan semantik dengan proposisi yang lain. Jika dibandingkan dengan
koherensi kondisional, koherensi fungsional memiliki bentuk yang lebih beragam,
yaitu meliputi penjelasan, perincian, penjumlahan, koreksi, pertentangan,
perbandingan, alternatif kalimat pertama atau topik, contoh, dan generalisasi (van
Dijk, 1985b: 110; 1988a: 61; 1988b: 104).
Elemen ketiga adalah praanggapan. Pranggapan merupakan informasi
yang tidak disampaikan dalam wacana, tetapi dibutuhkan untuk dapat memahami
wacana dengan baik. Pranggapan tidak disampaikan secara eksplisit karena pada
umumnya dianggap sudah diketahui oleh penerima wacana. Dengan cara lain,
praanggapan dapat digambarkan sebagai berikut.
“In cognitive terms, the definition of presupposition the set ofpropositions assumed by the speaker to be known to the listener—iseasier but more general—this may include all relevant knowledge(scripts, etc.) necessary to understand a text but also, more
53
specifically, the few propositions necessary to interpret one sentenceor to establish one coherence relation”. (van Dijk, 1988a: 63).
Dengan mengikuti uraian tersebut, dapat diketahui bahwa praanggapan
merupakan salah satu fungsi kognitif yang diperlukan dalam memahami wacana.
Pranggapan merupakan seperangkat proposisi atau pengetahuan yang oleh
pembuat teks diasumsikan telah diketahui oleh penerima teks sehingga proposisi
tersebut tidak perlu disampaikan di dalam teks. Fungsi kognitif ini sekaligus
memiliki peran penting dalam memengaruhi penerima wacana sehingga tujuan
wacana dapat diraih dan berpengaruh bagi penerimanya.
(3) Leksikon
Leksikon merupakan unsur mikro wacana yang memiliki penanda kohesi
sekaligus koherensi wacana. van Dijk (1988a: 81) menjelaskan “Lexical stylistics
is not only central to a stylistic inquiry, but it also forms the link with semantic
content analysis”. Yang dimaksud leksikon pada konteks ini, bukan hanya kata,
pilihan kata atau frasa, melainkan juga kata ganti atau pronomina. Leksikon ini
oleh van Dijk disebut juga “….lexical choice as a component of style.” (1985a:
71).
Pemilihan leksikon atau kata ganti pada wacana tidak sekadar untuk
menyampaikan makna leksikal, makna yang sebenarnya kepada pembaca. Akan
tetapi, pemilihan leksikon dalam wacana juga mengandung maksud dan
kepentingan tertentu yang merepresentasikan pemosisian pembaca dan subjek
yang diberitakan, nilai, tujuan, dan ideologi pihak yang memproduksi wacana. van
Dijk menggambarkan leksikon sebagai berikut.
54
“The essential constraints on lexical selection involve stylisticfactors, which depend on both cognitive and social criteria: state ofmind of speaker and the characteristics of the social frame of thespeech act” (1980: 283)
van Dijk dan Kintsch (1983a: 132) menyatakan bahwa objek, orang,
benda, peristiwa mungkin digambarkan melalui leksikon (stilistik) dengan cara
berbeda berdasarkan pengetahuan dan sikapnya. Dengan kata lain, leksikon dapat
difungsikan untuk membentuk kesan positif pihak tertentu dan kesan negatif pihak
lain. Leksikon juga dapat menggambarkan, bahkan membentuk kelompok
tertentu, seperti dalam penggunaan kata ganti “kita”, dan “mereka”. Dengan
demikan, leksikon memiliki peran yang penting dalam membentuk dan
mengarahkan persepsi pembaca atau penerima wacana.
(4) Retorik
Retorik berhubungan dengan cara penyajian informasi tertentu sehingga
menjadi lebih efektif. Retorik digunakan dalam upaya memengaruhi atau
mempersuasi pembaca atau penerima wacana. van Dijk (1998a: 208) menyatakan
bahwa berbeda dengan struktur wacana yang lain, struktur wacana ini bersifat
opsional dan disajikan terutama dalam konteks upaya mempersuasi dan secara
umum untuk menarik atau mengatur perhatian penerima. Penentuan bentuk
struktur retorik ini dilakukan dengan memperhatikan cara penerima menerima dan
memahami wacana yang disajikan. Dengan kata lain, penentuan struktur retorik
bersifat subjektif dan mengandung muatan ideologi tertentu. van Dijk menyatakan
bahwa struktur retorik memiliki peran yang penting dalam manipulasi secara
ideologis (1998a: 208).
55
van Dijk membagi level retorik menjadi beberapa elemen yang lebih
khusus, yaitu deskripsi langsung dan laporan saksi mata, sumber dan kutipan,
nomor, serta gaya bahasa. Elemen pertama adalah pengamatan langsung.
Kebenaran informasi yang disajikan dalam wacana akan meyakinkan jika
informasinya disajikan berdasarkan pengamatan secara langsung. van Dijk
(1988a: 86) menyatakan “The immediacy of the description and the closeness of
the reporter to the events is a rhetorical guarantee for the truthfulness of the
description and, hence, the plausibility of the news”.
Saksi mata memiliki sifat yang sejenis dengan pengamatan langsung
karena melibatkan narasumber yang menyaksikan secara langsung hal atau
peristiwa yang diberitakan. “Eyewitness reports given in interviews may be used
as necessary substitutes of the reproter’s own observations (van Dijk, 1988a:
86)”. Deskripsi mengenai saksi mata peristiwa dan konsekuensinya merupakan
strategi retorik jurnalistik yang umum untuk menunjukkan kebenaran (van Dijk,
1988b: 130). Jadi, penggunaan stategi pengungkapan informasi, baik dengan
pengamatan langsung maupun dengan menggunakan saksi mata, merupakan
upaya wartawan untuk menyampaikan pesan dengan lebih efektif dan
mengupayakannya lebih berpengaruh bagi pembaca. Strategi wacana ini
merupakan salah satu unsur retorik.
Elemen kedua adalah sumber dan kutipan. Dalam situasi tertentu,
wartawan tidak dimungkinkan untuk memaparkan peristiwa dengan menggunakan
observasi langsung atau saksi mata. Dalam kondisi ini, wartawan mendapatkan
informasi tersebut dari media yang lain, misalnya agen berita atau sumber berita
56
yang lain. Untuk menguji kebenaran sumber berita tersebut, perlu dilakukan
dengan cara lain, yakni penajaman informasi dan kutipan sumber. Sumber utama
adalah partisipan yang dekat dengan peristiwa yang diberitakan untuk
mendeskripsikan fakta (seperti saksi mata) dan menyampaikan opini. Terdapat
tingkatan terkait dengan sumber dan tingkatan keterpercayaannya. Narasumber
yang memiliki kedudukan atau jabatan tidak saja memiliki nilai berita (seperti
pelaku dalam berita), tetapi juga lebih dapat dipercaya sebagai pengamat atau
pencipta opini. van Dijk (1988a: 87) menyatakan “The social hierarchy seems to
be reproduced in the rhetorical hierarchy of credibility and reliability”.
Elemen ketiga adalah nomor. Dengan menggunakan nomor pada berita,
wartawan menciptakan kebenaran yang lebih meyakinkan, lebih dapat dipercaya,
dan akhirnya lebih memengaruhi pembaca (van Dijk, 1988a: 87). Oleh karena itu,
berita sering mengandung nomor, seperti jumlah peserta, usia, tanggal atau waktu
peristiwa, deskripsi lokasi, berat, ukuran, dan yang lain.
Elemen keempat adalah gaya bahasa. Gaya bahasa digunakan untuk
menyampaikan pesan tertentu dengan tidak menggunakan makna denotatif, tetapi
memakai makna konotatif. Dengan menggunakan gaya bahasa, pesan akan lebih
efektif dan lebih mewadahi pesan yang ingin disampaikan. Secara umum terdapat
berbagai gaya bahasa. Beberapa di antaranya yang paling umum dikenal adalah
repetisi, paralelisme, metafora, ironi, litotes, dan, personifikasi.
57
2.3.2 Kognisi Sosial
Kognisi sosial merupakan gagasan utama dalam analisis wacana yang
dikemukakan van Dijk. Sehubungan dengan itu, analisis wacana ini sering disebut
sebagai analisis wacana model kognisi sosial. Gagasan ini menekankan pada
analisis wacana yang meliputi tiga tahap analisis yang meliputi analisis wacana
atau teks, analisis kognisi, dan analisis situasi masyarakat.
van Dijk (1993b: 107) menjelaskan bahwa hubungan antara wacana dan
masyarakat tidak bersifat langsung, tetapi melalui perantara yang disebut kognisi
sosial. Hal ini sekaligus menyempurnakan analisis wacana yang diterapkan linguis
yang berfokus pada gramatikal dan struktur teks berita. Di samping itu, juga
melengkapi kajian dari perspektif psikologis yang menegaskan bahwa produksi
dan pemahaman wacana ditentukan oleh representasi kognitif. Oleh karena itu,
lebih lanjut van Dijk (1993b: 122) menyatakan ”Analysis, therefore, must always
be that of discourse-cognition-society. In such a triangle of relations, both
discourse and cognition are not merely linguistic or psychological objects, but
also inherently social.”
Condor dan Antaki (1991: 320) menguraikan kognisi sosial sebagai cara
memahami dan mendeskripsikan dunia sosial oleh seseorang sebagai anggota
budaya atau kelompok tertentu dan dunia sosial berpikir mengenai atau deskripsi
tentang interaksi sosial. van Dijk (1995: 18) menyebutkan ”Social cognition is,
here, defined as the system of mental representations and processes of group
members.”
58
Gagasan mengenai kognisi sosial ini juga yang membuat analisis wacana
van Dijk tergolong dalam analisis wacana kritis. Sebagai pengembangan dari
metode analisis sebelumnya, analisis wacana kritis mengajukan penghubung di
antara wacana atau teks dan masyarakat berupa kognisi sosial. ”Within the socio-
cognitive framework presented here, no such direct relation exists” (van Dijk,
1998: 212). Bardasarkan pemahaman ini, wacana bersifat subjektif sekaligus
sosial. Kondisi sosial memengaruhi wacana melalui kognisi sosial. Sebaliknya,
wacana memengaruhi kondisi sosial melalui kognisi.
Pandangan mengenai kognisi sosial (social coognition) dilandasi oleh
tiga alasan teoretis yang penting, yaitu (1) wacana sesungguhnya diproduksi atau
diinterpretasikan oleh individu dengan memanfaatkan pengetahuan dan
kepercayaan yang diperoleh melalui kehidupan sosial, (2) wacana hanya akan
memengaruhi struktur sosial melalui kesadaran sosial para anggota kelompok
sosial, dan (3) struktur sosial hanya akan memengaruhi struktur wacana melalui
kognisi sosial atau kesadaran mental para pemroduksi wacana tersebut (van Djik,
1993b: 110).
Semua persepsi dan tindakan serta pada akhirnya produksi dan
interpretasi wacana didasarkan pada representasi mental atas setiap peristiwa,
yang oleh van Dijk disebut sebagai model. Model merupakan representasi mental
yang bersifat personal atas peristiwa, tindakan, atau situasi (van Dijk, 1995a: 19).
van Dijk (1995b:14) menyebutkan ”A model is a mental representation of an
experience that is, an event people witness, participate in, or read about”. Jadi, model
merupakan representasi mental atas pengalaman yang bisa diperoleh melalui
menyaksikan secara langsung, berpastisipasi, atau membaca.
59
Sebuah model adalah sesuatu yang subjektif dan unik sebagaimana
dikemukakan van Dijk (1993b: 111): ”These event or situation models are
subjective and unique; they represent the current knowledge and opinions of
social actors or individual language users about an episode”. Di samping
pengalaman dan opini pribadi, model juga bersifat sosial karena berhubungan
dengan pengetahuan, sikap, dan ideologi yang diperoleh secara sosial. Sikap dan
pengetahuan sosial memungkinkan adanya kesepahaman dan komunikasi. Dalam
konteks ini, model menjadi kognisi penting yang menghubungkan antara dimensi
personal dan dimensi sosial dari sebuah wacana. Model termasuk pengetahuan,
sikap, dan ideologi tersimpan dalam memori jangka panjang. Selanjutnya, upaya
mempersepsi, memproduksi, dan memahami wacana berlangsung dalam memori
jangka pendek.
Hubungan antara wacana, kognisi sosial, dan masyarakat sangat lekat.
“Social cognition is acquired, used and changed in social situations, and
discourse is one of the major sources of its development and change” (van Dijk,
1993b: 122). Lebih lanjut, van Dijk (1988a: 111) menyatakan bahwa kerangka
kognitif memengaruhi cara informasi teks atau peristiwa dianalisis, diinterpretasi,
dan diwujudkan dalam memori. Dengan kata lain, hubungan wacana dan kognisi
sosial bersifat resiprokal, yaitu pada satu sisi kognisi sosial memengaruhi
produksi wacana, tetapi di sisi lain wacana membentuk kognisi sosial.
Selain kognisi sosial atau model mental (mental models), van Dijk (1993b:
111) juga memperkenalkan konsep context models. Konsep ini merupakan bagian
dari mental models, khususnya mengacu kepada mental model yang relevan
60
dengan situasi peristiwa komunikasi. Context models sering juga disebut sebagai
context (konteks) saja. “Context models monitor discourse, telling language users
what relevant information in their event models should be expressed in their
discourse, and how such discourse should be tailored to the properties of the
communicative context”.
Analisis wacana kritis menganalisis bentuk-bentuk kognisi sosial yang
tersebar secara sosial, antara lain pengetahuan, sikap, ideologi, norma, dan nilai
(van Dijk, 2001b: 113). Salah satu kategori yang penting dalam konteks model
adalah pengetahuan (knowledge). Karena merupakan komponen penting context
models, pengetahuan memiliki kedudukan yang khusus dalam kognisi. Context
model disebut sebagai K-device. van Dijk (2005: 76) menggambarkan K-device
sebagai “The K-device of their context model tells participants which of such
event knowledge must be asserted, which knowledge should be reminded and
which knowledge can be presupposed because it is irrelevant or can be inferred
by the recipients themselves”. K-device merupakan strategi pengelolaan
pengetahuan dalam interaksi (van Dijk, 2008: 255). Jadi, penggunaan istilah
“konteks” oleh Van Dijk tidak sepenuhnya sama dengan yang digunakan secara
umum sebagai situasi, partisipan, tujuan, saluran, atau suasana saat
berlangsungnya peristiwa komunikasi. Istilah konteks yang disampaikan Van Dijk
mengacu pada konteks yang tidak saja bersifat bisa diamati sebagaimana
disebutkan sebelumnya, tetapi juga konteks yang bersifat mental.
Dalam produksi wacana, pengguna bahasa tidak hanya membutuhkan
pengetahuan umum tentang dunia dan pengetahuan mengenai situasi komunikasi
61
saat itu, tetapi juga membutuhkan pengetahuan mengenai pengetahuan bersama
yang sama dengan penerima (van Dijk, 2005: 72). Pengetahuan tersebut diperoleh,
dibagi, dan digunakan dalam interaksi yakni dalam kelompok, institusi, dan
organisasi. Penggunaan pengetahuan tersebut memungkinkan dipahaminya
wacana tanpa menyampaikan semua hal secara eksplisit dalam wacana (van Dijk,
2003: 86).
Istilah “pengetahuan tentang dunia” masih bersifat umum. Terkait dengan
itu, van Dijk (2004: 12) membagi pengetahuan menjadi beberapa jenis yang lebih
khusus. Hal ini perlu dilakukan karena jenis pengetahuan yang berbeda memiliki
pengaruh yang berbeda pada proses pembentukan, pemahaman, dan struktur
wacana. van Dijk (2004: 13) membagi pengetahuan menjadi beberapa jenis.
Pertama, kind (jenis): mengetahui itu (representasi) dan mengetahui “bagaimana”
(prosedur). Kedua, (social scope) jangkauan sosial: personal, interpersonal, sosial
(kelompok), kultural. Ketiga, level: spesifik/khusus, peristiwa umum/besar.
Keempat, ontology (ontologi): nyata, konkret, abstrak, khayalan, sejarah, masa
depan. Kelima, strength (kekuatan) : yakin sekali atau agak yakin.
Secara lebih terperinci, K-device atau pengetahuan dapat dikhususkan
menjadi jenis-jenis berikut (van Dijk, 2005: 77-81). Pertama, personal knowledge
(pengetahuan personal). Pengetahuan personal adalah pengetahuan yang bersifat
pribadi sehingga tidak dimiliki oleh pihak yang tidak terlibat dalam pengalaman
yang relevan, kecuali dikomunikasikan. Oleh karena itu, pemroduksi wacana
perlu mempertimbangkan pengetahuan penerima mengenai hal yang akan
disampaikan agar komunikasi berlangsung dengan baik. Kedua, interpersonal
62
knowledge (pengetahuan interpersonal). Pengetahuan interpersonal merupakan
pengetahuan personal yang telah dibagikan dan diketahui oleh dua individu atau
lebih pada komunikasi interpersonal sebelumnya atau hal tersebut merupakan
pengalaman yang biasa. Ketiga, group knowledge (pengetahuan kelompok).
Pengetahuan kelompok dapat dipahami sebagai pengetahuan yang dimiliki
bersama, salah satu dari pengalaman bersama kelompok, atau umum, pengetahuan
abstrak yang diperoleh anggota kelompok, seperti kelompok profesional,
pergerakan sosial, atau aliran tertentu.
Keempat, institutional or organization knowledge (pengetahuan
intitusional atau organisasional). Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang
dimiliki oleh anggota suatu institusi atau organisasi dan secara umum memenuhi
kriteria pengetahuan kelompok dan wacana. Kelima, national knowledge
(pengetahuan nasional). Pengetahuan nasional diketahui oleh masyarakat suatu
negara. Pengetahuan ini diperoleh melalui sekolah, media massa, dan digunakan
secara luas oleh masyarakat dalam komunikasi. Keenam, cultural knowledge
(pengetahuan kebudayaan). Pengetahuan ini dimiliki anggota suatu kebudayaan.
Istilah “kebudayaan” dalam konteks ini dipahami secara sederhana sebagai
bahasa, agama, sejarah, kebiasaan, asal-usul, atau penampilan karena dengan
mengindentifikasi itu kebudayaan pada umumnya diidentifikasi. Pengetahuan
kultural merupakan dasar yang sangat penting bagi wacana yang lain dan bagi
seluruh jenis pengetahuan. Oleh karena itu, disyaratkan oleh seluruh bentuk
wacana kebudayaan, kecuali wacana pendidikan.
63
2.3.3 Konteks Sosial
Wacana sering didefinisikan sebagai peristiwa komunikatif, dan terjadi
dalam situasi sosial, menggambarkan setting, pelibat dengan peran yang berbeda-
beda, tindakan, dan sebagainya. Namun, gambaran mengenai situasi komunikasi
tertentu hanya relevan dan bermakna apabila terdapat secara mental dalam
context models (van Dijk, 2001b: 116). ”Such context models feature
representations of the participants themselves, their ongoing actions and speech
acts, their goals, plans, the setting (time, place, circumstances) or other relative
properties of the context” (van Dijk, 1993b: 111). Jadi, meskipun wacana bersifat
sosial, kognisi tetap dibutuhkan untuk membuat kondisi sosial tersebut relevan
dengan pemahaman yang telah ada atau disebut sebagai konteks yang bersifat
mental.
Sama halnya dengan pengetahuan, ideologi yang menjadi unsur kognisi
sosial juga bersifat sosial. van Dijk (2001c: 12) menjelaskan ideologi sebagai
“….not personal beliefs, but beliefs shared by groups, as is also the case for
grammars, socioculturally shared knowledge, group attitudes or norms and
values”. Pengetahuan dan ideologi bersama-sama membentuk kognisi sosial yang
akan direpresentasikan dalam berbagai bentuk wacana dan menjadi dasar bagi
pemahaman terhadap wacana.
Untuk melakukan analisis wacana secara komprehensif, konteks sosial
juga tidak boleh diabaikan. Konteks sosial memengaruhi bentuk wacana yang ada
dan memengaruhi kognisi sosial pemroduksi wacana. Untuk menganalisis situasi
64
sosial, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. van Dijk (2006a: 362)
menyatakan seperti di bawah ini.
“Social conditions of manipulative control hence need to beformulated – at least at the macro level of analysis – in terms ofgroup membership, institutional position, profession, material orsymbolic resources and other factors that define the power ofgroups and their members”.
Analisis wacana kritis tidak menyediakan pendekatan yang bisa langsung
diterapkan, tetapi menekankan bahwa analisis isu sosial yang bersifat teoretis
harus diciptakan. Dengan demikian, dapat dipilih struktur wacana dan sosial yang
akan dianalisis dan yang akan dihubungkan (van Dijk, 2001b: 95).
Pada kesempatan ini, analisis konteks sosial dibatasi hanya pada kelompok
sosial yang meliputi beberapa hal yang merupakan dasar pembentukan ideologi
dan kognisi sosial (van Dijk, 1995a; 2001b: 115; 2001c: 14, 2006c: 163).
Pertama, struktur masyarakat secara keseluruhan. Yang menjadi fokus bagian ini
adalah sistem keyakinan, prinsip, norma yang berlaku di masyarakat seperti
demokrasi, kapitalisme, pancasila, atau bentuk-bentuk keyakinan yang lebih lokal.
Kedua, struktur institusi atau organisasi. Prinsip ini menganalisis struktur
kelembagaan yang terdapat dalam masyakarat meliputi lembaga keagamaan, adat,
pemerintahan, termasuk lembaga pers.
Ketiga, hubungan antarkelompok. Hubungan antarkelompok menarik dan
penting dianalisis dalam analisis wacana karena berhubungan dengan keyakinan,
nilai, dan tujuan yang diperjuangkan kelompok yang mungkin sejalan dan
mungkin bertentangan. Hal ini akan memengaruhi kognisi sosial dan akhirnya
juga produksi wacana. Keempat, struktur kelompok. Pada bagian ini, terdapat
65
beberapa hal yang lebih khusus yang dianalisis meliputi identitas kelompok,
tugas, tujuan, norma, posisi, dan sumber daya yang dimiliki. Identitas kelompok
meliputi penanda keanggotaan, seperti gender, etnik, penampilan, asal, dan lain-
lain. Tugas adalah deskripsi mengenai tindakan berhubungan dengan hal yang
dilakukan. Tujuan mengandung informasi mengenai alasan melakukan suatu
tindakan atau mengandung informasi mengenai apa yang hendak diraih. Norma
berhubungan dengan apa yang dianggap sebagai hal baik atau sebaliknya, yaitu
hal buruk. Posisi menggambarkan posisi dalam masyarakat dan hubungan dengan
kelompok lain. Sumber daya merupakan hal yang menggambarkan kepemilikan
atas sesuatu, baik berupa materi maupun nonmateri dan yang ingin dimiliki atau
dipertahankan.
Gambaran mengenai konteks sosial ini akan memberikan pemahaman
yang lebih komprehensif mengenai produksi wacana dan pemahaman wacana
yang terdapat dalam masyarakat. Wacana merupakan hasil produksi kognisi sosial
atau mental models. Kognisi sosial dipengaruhi oleh pengalaman dan nilai yang
dianut pemroduksi wacana yang diperolehnya dalam kehidupan sosial secara
bertahap dan tidak selalu disadari (van Dijk, 1995a: 19).
66
2.4 Model Penelitian
Model analisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial dalam penelitian ini
dapat digambarkan sebagai berikut.
Bagan 2.1 Model Penelitian
Keterangan : merupakandianalisis dengansaling memengaruhi
Wacana
Analisis WacanaKognisi Sosial
(Teun A. van Dijk)
Analisis Teks:Struktur Mikro,Superstruktur,Struktur Makro
Kognisi sosialwartawan
Konteks sosial
Berita-beritaRTRWP Bali diHarian Bali Post
Temuan Penelitian
67
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan deskriptif dengan metode kualitatif. Sebagaimana disampaikan
Arikunto (1998: 310) bahwa penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk
menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan ”apa adanya” tentang
suatu variabel, gejala atau keadaan. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian
ini karena masalah-masalah yang disajikan dianalisis secara induktif. Selain itu,
metode kualitatif juga digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk memahami
makna di balik yang tampak dan memahami interaksi sosial (Sugiyono, 2013: 46).
3.2 Jenis dan Sumber Data
Berdasarkan rancangan penelitian tersebut, jenis data dalam penelitian ini
adalah data kualitatif berupa teks berita mengenai RTRWP Bali yang dimuat pada
harian Bali Post. Sumber data dalam penelitian ini adalah harian Bali Post periode
pertengahan April hingga Juni 2009. Subjek dalam penelitian ini adalah berita-
berita tentang RTRWP Bali dalam harian Bali Post sejak pertengahan April
hingga Juni 2009 yang berjumlah 84 buah berita.
Sugiyono (2013:298) menyatakan bahwa penelitian kualitatif tidak
menggunakan populasi karena kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada
pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke
67
68
populasi. Pada penelitian ini digunakan teknik purposive sampling. Purposive
sampling merupakan teknik pengambilan sampel data dengan pertimbangan
tertentu (Sugiyono, 2013: 301; Arikunto, 1989: 113). Secara lebih terperinci,
Arikunto (1989) menguraikan bahwa penentuan sampel berdasarkan tujuan
tertentu yang harus memenuhi beberapa syarat yaitu pengambilan sampel harus
didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat, atau karakteristik tertentu yang merupakan
ciri-ciri pokok populasi; subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar
merupakan subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada
populasi; dan penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam
studi pendahuluan.
Pada penelitian ini, data yang akan dianalisis ditentukan berdasarkan
beberapa kriteria. Adapun kriteria yang dimaksud, yaitu merupakan berita utama
yang terletak pada halaman pertama; berhubungan langsung dengan tema yang
dibahas (RTRWP Bali); bukan berita iklan; dan mengandung strategi wacana
yang menyiratkan keberpihakan.
Objek dalam penelitian ini adalah struktur teks berita tentang RTRWP Bali
dalam harian Bali Post, kognisi sosial wartawan, dan konteks sosial berita tentang
RTRWP Bali dalam harian Bali Post. Objek penelitian ini akan dijabarkan lebih
rinci pada bagian selanjutnya.
69
3.3 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, digunakan tiga jenis instrumen penelitian. Tiap-tiap
instrumen penelitian digunakan untuk mengumpulkan data sesuai dengan masalah
yang berbeda. Pengumpulan data yang dilakukan untuk menjawab masalah
pertama menggunakan instrumen berupa tabel. Tabel tersebut dibuat berdasarkan
komponen analisis wacana van Dijk sebagaimana yang tersaji pada tabel berikut.
Tabel 3.1 Struktur dan Elemen Analisis Teks
Judul berita :Tanggal berita :Nomor berita :
LevelAnalisis
Yang Diamati Elemen Analisis Keterangan
Strukturmakro Tematik Tema/topikStruktursuper Summary Judul
Teras beritaStory situasi episode Peristiwa utama
Konsekuensilatar Konteks
Historiskomentar Kesimpulan Harapan
EvaluasiReaksi verbal Reaksi verbal
Strukturmikro Sintaksis Kalimat aktif/pasif;Nominalisasi
Leksikon Kata positif/negatifKoherensilokal
Distribusi informasi Topik/penjelasSusunan dan koherensi Koherensi
Kondisional/temporalKoherensi fungsional
Praanggapan PraanggapanRetorik Deskripsi langsung
dan laporan saksimataSumber dan kutipanNomorGaya bahasa
(Sumber : van Dijk, 2006a; 1995a; 1993; 1988a; 1988b; 1985b; 1983)
70
Pengumpulan data untuk menjawab masalah kedua menggunakan
instrumen berupa tabel yang dibuat berdasarkan kriteria pengetahuan yang
digunakan sebagai dasar produksi dan pemahaan wacana. Pengumpulan data
untuk menjawab masalah kedua menggunakan instrumen berupa tabel sebagai
berikut.
Tabel 3.2. Kognisi dalam Wacana
Judul berita :Tanggal berita :Nomor berita :No Kriteria Pengetahuan Proposisi Keterangan
1 Pengetahuan personal
2 Pengetahuan interpersonal
3 Pengetahuan kelompok
4 Pengetahuan institusional
atau organisasional
5 Pengetahuan nasional
6 Pengetahuan kebudayaan
(Sumber: van Dijk, 2005; van Dijk, 2003: 90)
Rumusan masalah yang ketiga dijawab dengan pedoman pengumpulan
data berupa tabel. Tabel tersebut mengandung elemen-elemen analisis konteks
sosial sebagai berikut.
71
Tabel 3.3 Konteks Sosial
Judul berita :Tanggal berita :Nomor berita :No Konteks Sosial Keterangan
1 Struktur masyarakat (sistem
keyakinan, prinsip, norma)
2 Struktur institusi dan organisasi
3 Hubungan antarkelompok
4 Struktur kelompok
(Dirumuskan berdasarkan van Dijk 1995a; 2001b: 115; 2001c: 14)
3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis metode pengumpulan data.
Pertama, metode pencatatan dokumen atau metode dokumentasi untuk
mengumpulkan data dan menjawab masalah pertama, yakni struktur teks berita
tentang RTRWP dalam harian Bali Post. Dalam penelitian ini, diteliti berita-berita
tentang RTRWP yang dimuat surat kabar Bali Post. Berita-berita tersebut dibaca
dan dikaji secara cermat untuk memperoleh data yang diperlukan. Data-data
tersebut kemudian dicatat untuk dianalisis. Metode dokumentasi juga digunakan
untuk mengumpulkan data dan menjawab masalah kedua, yaitu kognisi sosial
wartawan Bali Post dalam memproduksi berita-berita tentang RTRWP.
Masalah ketiga, yaitu konteks sosial dijawab dengan teknik dokumentasi
dan studi pustaka. Menurut Arikunto (Arikunto, 2002:135), di dalam melakukan
pengumpulan data melalui metode ini, diselidiki benda-benda tertulis, seperti
72
buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian,
dan sebagainya. Dalam penelitian ini diselidiki konteks sosial yang terkait dengan
berita-berita RTRWP yang dimuat di surat kabar Bali Post.
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini dianalisis dengan
metode deskriptif kualitatif. Analisis data menggambarkan suatu keadaan dengan
kata-kata sesuai dengan kategori. Hasil analisis data kemudian disimpulkan.
Prosedur yang ditempuh dalam analisis data adalah sebagai berikut. Pertama,
mengidentifikasi dan mendeskripsikan data, yaitu menetapkan data. Pada tahap ini
dikumpulkan berita-berita terkait dengan RTRWP di harian Bali Post. Kedua,
mengklasifikasi data, yaitu mengelompokkan data menurut permasalahan atau
sesuai dengan batas kajian. Berita-berita yang ditemukan dibedakan atas berita
yang menjadi berita utama (halaman pertama), bukan berita utama, dan berita
iklan. Berita yang dianalisis adalah berita yang merupakan berita utama yang
terletak di halaman pertama. Ketiga, menganalisis data berdasarkan teori yang
telah dirumuskan. Di sini, diterapkan teknik analisis yang dikemukakan oleh Van
Dijk, yaitu terfokus pada analisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.
Keempat, ditarik simpulan sesuai dengan yang disarankan oleh seluruh data.
3.6 Metode Penyajian Hasil Analisis
Cara penyajian analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode
deskriptif kualitatif khususnya dengan metode penyajian informal. Sudaryanto
73
(1993: 145) menyebutkan bahwa metode penyajian informal merupakan metode
analisis dengan menggunakan kata-kata biasa – walau dengan terminologi yang
teknis sifatnya tanpa menggunakan kaidah formal berupa rumus, tanda, dan
lambang, atau diagram. Dengan demikian, hasil analisis terhadap berita tentang
RTRWP Bali dalam harian Bali Post adalah pemaparan mengenai struktur teks
berita, kognisi sosial, serta konteks sosial yang terdapat dalam berita tersebut.
74
BAB IV
STRUKTUR TEKS BERITA RTRWP BALI
Analisis berita mengenai RTRWP yang dimuat di harian Bali Post
dilakukan dengan menganalisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Pada bab
ini, kajian difokuskan untuk memaparkan struktur teks berita RTRWP Bali.
Analisis teks merupakan analisis terhadap berita-berita mengenai RTRWP
yang meliputi analisis terhadap struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro
teks yang keseluruhannya meliputi dua puluh elemen strategi wacana. Analisis
teks secara detail diuraikan berikut ini.
4.1 Struktur Makro Berita RTRWP Bali
Tema/topik merupakan gagasan utama yang ditonjolkan dalam sebuah
berita. Tema atau topik berita dapat diketahui melalui judul berita. Selain
menyampaikan informasi utama yang hendak dipaparkan dalam berita, judul juga
menjadi landasan awal pembaca dalam memahami keseluruhan wacana. Judul
berita “Terkait Pasal ‘Bisnis’ dalam Ranperda RTRWP, Krama Bali Harus
Bersikap” mengandung tema RTRWP Bali dan topik yang merupakan
pengkhususan tema, yakni terkait pasal bisnis dalam Ranperda RTRWP, krama
Bali harus bersikap.
Kalimat pada judul menjadikan frasa Terkait Pasal ‘Bisnis’ RTRWP
sebagai keterangan yang diletakkan sebelum subjek, Krama Bali sebagai subjek,
dan harus bersikap sebagai predikat. Struktur kalimat demikian memungkinkan
74
75
pesan yang terkandung pada frasa keterangan mendapatkan penekanan dalam
pemahaman pembaca. Dengan demikian, yang memperoleh penekanan pada judul
adalah frasa pasal bisnis mengandung strategi wacana yang menggiring
pemahaman pembaca untuk memahami RTRWP sebagai bentuk kebijakan yang
memiliki kepentingan bisnis atau motif finansial yang menguntungkan kelompok
tertentu.
Klausa Krama Bali Harus Bersikap menggiring pemahaman pembaca
mengenai hal yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi atau menyikapi
RTRWP tersebut. Dalam berita tidak dijabarkan mengenai bentuk sikap terhadap
RTRWP yang mesti dilakukan oleh masyarakat. Namun, berita ini mengandung
beberapa subtopik yang mendukung topik RTRWP mengandung pasal ‘bisnis’
dan Krama Bali harus bersikap.
Subtopik yang mendukung tema tersebut, antara lain (1) aspek ekonomi
dan penyelamatan alam Bali harus balance (par.1, kal.4), (2) RTRWP Bali
mestinya juga mengatur sanksi secara khusus bagi pemimpin daerah yang salah
merekomendasikan perizinan (par.2, kal.1), (3) krama Bali harus berani
mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak
aturan main (par.2, kal.3), (4) ada kecenderungan kepentingan ekonomi
mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali (par.4, kal.2), (5) perlu adanya
evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan implementasinya di
lapangan (par.5, kal.1).
Pada berita kedua (2) yang berjudul “Revisi terhadap Perda RTRW
Inisiatif Eksekutif”, tema RTRWP Bali dikhususkan pada topik revisi terhadap
76
RTRW inisiatif eksekutif. Judul yang mengandung tema dan topik berita
berfungsi untuk mengarahkan dan memengaruhi pemahaman pembaca terhadap
berita.
Pada berita ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa eksekutif atau
pemerintah Provinsi Bali merupakan pihak yang memiliki inisiatif untuk merevisi
RTRW yang telah ada. Pemunculan topik ini menimbulkan kesan yang tidak baik
kepada eksekutif. Meskipun revisi RTRW diawali dengan alasan perbaikan agar
RTRW lebih kuat mangatur penataan wilayah dan sanksi kepada para pelanggar,
dalam berita disampaikan bahwa kenyataannya justru sebaliknya. RTRW
dipandang lebih lemah daripada yang telah ada sebelumnya. Hal ini dapat
diketahui dengan melihat subtopik yang terdapat dalam berita, antara lain
(1) RTRWP banyak disorot karena banyak “pasal bisnis” di dalamnya (parg.1),
(2) tata cara penyusunan RTRWP (parg.3 dan parg.4), (3) latar belakang yang
membuat munculnya gagasan revisi RTRWP (parg.5), (4) RTRWP yang sedang
dibahas tidak lebih baik daripada perda sebelumnya (parg.6 dan parg.7).
Judul berita ketiga (3) yang dianalisis adalah “Ranperda RTRWP Bali,
ODTWK Ciptakan Peluang Langgar Tata Ruang”. Judul ini sekaligus
menunjukkan tema dan topik berita ini. Dengan kata lain, yang menjadi fokus atau
topik pemberitaan pada berita ini adalah OTDWK menciptakan peluang
pelanggaran terhadap tata ruang. Tema ini dijabarkan lagi ke dalam subtopik
yang lebih khusus, antara lain (1) pembangunan akomodasi pariwisata di dua
wilayah OTDWK Buleleng (Air Sanih, Kubutambahan dan Kawasan Buyan –
Tamblingan) terkesan tidak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan mudah
77
disiasati (par.1,kal.2); (2) syarat pembangunan di daerah OTDWK (par.3); (3)
pelanggaran ketentuan pembangunan di daerah OTDWK di Air Sanih dan Bukti
hingga Desa Tembok Tejakula (par.5); (4) pelanggaran ketentuan pembangunan
di daerah OTDWK di Pancasari (par.6).
Judul berita keempat (4) yang dianalisis adalah “Ranperda RTRWP:
Sedikitnya Ada 133 Kata ‘arahan’, 100 Poin Diatur Gubernur.” Judul tersebut
mengandung tema dan topik yng disampaikan dengan jelas. Tema berita tersebut
adalah RTRWP (Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi) Bali. Tema tersebut
dijabarkan ke dalam topik adanya 133 kata “Arahan” dan 10 poin diatur gubernur.
Topik ini menonjolkan informasi mengenai besarnya kewenangan yang dimiliki
oleh gubernur terkait dengan penataan tata ruang wilayah Bali. Topik tersebut,
dikhususnya lagi menjadi subtopik, yaitu (1) Makin banyak saja terkuak
kelemahan ranpeda RTRWP Bali 2009, dan (2) banyak hal menarik yang
terungkap yang selama ini belum banyak diketahui masyarakat.
Dalam bentuk tabel, tataran makro berita dengan tema RTRWP Bali
adalah sebagai berikut.
Tabel 4.1 Tema, Topik, dan Subtopik Wacana Berita Mengenai RTRWP Bali
Tema : RTRWP (Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi) BaliNo Topik Subtopik Keterangan1 Terkait Pasal ‘Bisnis’
dalam RanperdaRTRWP, Krama BaliHarus Bersikap
1) Aspek ekonomi danpenyelamatan alam Baliharus balance
par.1, kal.4
2) RTRWP Bali mestinyajuga mengatur sanksi secarakhusus bagi pemimpindaerah yang salahmerekomendasikanperizinan
par.2, kal.1
3) Krama Bali harus berani par.2, kal.3
78
mengambil sikap jikapemimpinnyamengakomodasi investasidengan melabrak aturanmain
4) Ada kecenderungankepentingan ekonomimengalahkan agendapenyelamatan bumi Bali
par.4, kal.2
(5) Perlu adanya evaluasi yangutuh atas pengelolaan Balidari sisi aturan danimplementasinya dilapangan
par.5, kal.1
2 Revisi terhadap PerdaRTRW InisiatifEksekutif
1) RTRWP banyak disorotkarena banyak “pasalbisnis” di dalamnya
par.1
2) Tata cara atau alurpenyusunan RTRWP
par.3 dan par.4
3) Latar belakang yangmembuat munculnyagagasan revisi RTRWP
par.5
4) RTRWP yang sedangdibahas tidak lebih baikdaripada perda sebelumnya
par.6 dan par.7
3 OTDWK menciptakanpeluang pelanggaranterhadap tata ruang
1) Pembangunan akomodasipariwisata di dua wilayahOTDWK Buleleng (AirSanih, Kubutambahan danKawasan Buyan –Tamblingan) terkesan tidakterkontrol akibat ketentuanyang terkesan mudahdisiasati
par.1,kal.2
2) Syarat pembangunan didaerah OTDWK
par.3
3) Pelanggaran ketentuanpembangunan di daerahOTDWK di Air Sanih danBukti hingga Desa TembokTejakula
par.5
4) Pelanggaran ketentuanpembangunan di daerahOTDWK di Pancasari
par.6
79
4 Ranperda RTRWP,Sedikitnya ada 133 kataarahan, 10 poin diaturGubernur
1) Makin banyak saja terkuakkelemahan ranpedaRTRWP Bali 2009.
2) Banyak hal menarik yangterungkap yang selama inibelum banyak diketahuimasyarakat.
par. 1
par.4
4.2 Superstruktur Berita RTRWP Bali
4.2.1 Judul
Judul berita pertama adalah “Terkait Pasal Bisnis, Krama Bali Harus
Bersikap” (17 April 2009 – 044). Judul berita ini menggunakan struktur
keterangan – subjek – predikat. Frasa keterangan diletakkan mendahului subjek
sehingga memperoleh penekanan atau ditonjolkan. Ungkapan “pasal bisnis”
menggiring pemahaman pembaca untuk memahami bahwa beberapa pasal dalam
RTRWP mengandung kepentingan yang bertujuan untuk menguntungkan pihak-
pihak tertentu secara finansial.
Judul berita kedua adalah “Revisi Perda RTRW Inisiatif Eksekutif”. Judul
berita ini menggunakan struktur kalimat subjek – predikat. Yang menjadi frasa
subjek adalah revisi perda RTRW, sedangkan yang menjadi frasa predikat adalah
inisiatif eksekutif.
Melalui judul ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa eksekutif
yang dalam hal ini adalah pemerintah Provinsi Bali merupakan pihak yang
memiliki gagasan awal untuk merevisi perda RTRWP. Judul yang sekaligus
menjadi tema berita mencitrakan eksekutif secara negatif karena topik-topik yang
muncul dalam tubuh berita adalah hal-hal yang negatif terkait dengan ranperda
RTRW, antara lain (1) adanya “pasal bisnis”, pasal pesanan dalam perda yang
80
tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali, (2) gagasan Gubernur Mangku
Pastika untuk merevisi perda karena sanksi dalam perda dianggap lemah, (3)
ranperda RTRWP yang sedang dibahas lebih lemah dari yang telah ada
sebelumnya.
Dengan judul dan topik-topik yang dimunculkan dalam tubuh berita, berita
ini dikonstruksi oleh wartawan atau media untuk mencitrakan eksekutif,
khususnya Gubernur Mangku Pastika secara negatif. Gubernur Mangku Pastika
digambarkan sebagai pihak yang memiliki inisiatif untuk merevisi perda karena
dianggap tidak memiliki sanksi yang memadai untuk menindak pelanggaran.
Kenyataannya, pada berita disebutkan bahwa sanksi pada ranperda yang sedang
dibahas malah lebih lemah dibandingkan dengan sebelumnya. Hal lain yang tidak
kalah penting adalah ranperda RTRWP yang sedang dibahas memunculkan pasal-
pasal yang mengandung muatan “bisnis” yang memberikan peluang kepada
investor untuk merambah kawasan yang selama ini disakralkan. Jadi, hal yang
menjadi alasan Gubenur Mangku Pastika untuk merevisi perda sama sekali tidak
terwujud dalam ranperda yang baru. Sebaliknya, yang muncul dalam ranperda
adalah pasal yang berpotensi merusak Bali dan sanksi yang lebih lemah.
Judul berita ketiga adalah “Ranperda RTRWP Bali, OTDWK Ciptakan
Peluang Langgar Tata Ruang”. Frasa ranperda RTRWP Bali ditulis pada baris
teratas, dengan huruf berwarna merah, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan
bagian lain judul. Frasa itu menjadi semacam tema berita. Topik berita yang
menjadi inti berita ketiga adalah ODTWK Ciptakan Peluang Langgar Tata Ruang.
81
Judul berita ketiga mengarahkan persepsi pembaca untuk memahami bahwa
OTDWK menciptakan peluang pelanggaran terhadap tata ruang.
Judul berita keempat adalah “Ranperda RTRWP; Sedikitnya ada 133 kata
arahan, 10 poin diatur Gubernur.” Judul berita keempat ini mengarahkan persepsi
pembaca untuk memahami bahwa ranperda RTRWP 2009 memberikan kekuasaan
atau wewenang yang cukup besar kepada gubernur untuk membuat keputusan
serta kebijakan terkait dengan pengelolaan tata ruang wilayah Provinsi Bali.
4.2.2 Teras berita
Yang menjadi teras berita dalam berita pertama adalah “Munculnya pasal-
pasal “bisnis” pada Ranperda RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala
Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra, Ir. R. Sudirman, M.M. Dihubungi Kamis,
(16/4) kemarin, ia mengaku sudah mendengar paparan masalah RTRWP di
Gedung DPRD Bali. “Saya berharap jangan sampai perda ini disusun hanya
mempertimbangkan kepentingan ekonomi yang pada akhirnya merugikan
kepentingan penyelamatan alam. “Antara aspek ekonomi dan penyelamatan alam
Bali harus balance,” tegasnya.
Teras berita pada berita pertama merupakan kutipan pernyataan Kepala
Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra. Kutipan tersebut mengandung imbauan
agar ranperda ini disusun dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan
penyelamatan alam Bali secara berimbang. Namun, oleh wartawan, imbauan itu
diawali dengan kalimat “Munculnya pasal-pasal ‘bisnis’ pada Ranperda RTRWP
Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra, Ir.
82
R. Sudirman, M.M.” Kata “dikritisi” menimbulkan kesan bahwa imbauan itu
sebagai kritik atas RTRWP. Dengan demikian, hal tersebut juga menggiring
pemahaman pembaca bahwa RTRWP memang mengandung hal-hal yang
menyimpang dari kepentingan penyelamatan alam Bali karena mengandung
kepentingan bisnis yang menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
Teras pada berita kedua adalah “Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak
disorot sebab dinilai banyak pasal “bisnis”, pasal pesanan, dan ranperda yang
tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali. Sorotan ini tak hanya datang dari
pemerhati. Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila revisi Ranperda
RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak
napas” karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW
No.3/2005 maupun Bhisama PHDI.”
Teras berita pada berita kedua didominasi oleh evaluasi wartawan terhadap
topik yang diberitakan. Meskipun terdapat pernyataan yang berhubungan dengan
pandangan anggota DPRD Bali, namun pada berita sama sekali tidak tertulis nama
atau narasumber yang mengemukakan pandangan tersebut. Dengan demikian,
pernyataan yang terkesan disampaikan oleh anggota DPRD tersebut hanya
memperkuat evaluasi yang disampaikan oleh wartawan.
Teras berita pada berita kedua menggiring pandangan pembaca untuk
memahami bahwa banyak pihak yang memperhatikan revisi perda RTRWP
karena terdapat hal yang keliru, seperti adanya pasal bisnis, pasal pesanan, dan
ranperda tersebut tidak mengakomodasi kearifan lokal. Pihak yang
memperhatikan masalah Perda RTRWP ini bukan hanya pemerhati, melainkan
83
juga anggota DPRD Bali. Dengan proposisi ini, pembaca diarahkan untuk
memahami bahwa masalah ini sangat serius. Bukan hanya pemerhati yang pada
umumnya fokus hanya pada bidang tertentu yang memperhatikan dan
mempermasalahkan hal ini, melainkan pihak yang merupakan wakil rakyat dan
memiliki kapasitas sebagai anggota DPRD Provinsi Bali juga memperhatikan
penyusunan perda RTRWP ini. Perhatian tersebut diberikan karena jika revisi
ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang saat ini memang
telah mulai rusak.
Teras berita pada berita ketiga adalah “Dua objek wisata di Kabupaten
Buleleng, yakni sepanjang Pantai Air Sanih, Kubutambahan hingga Tejakula dan
kawasan Buyan-Tamblingan Desa Pancasari tampaknya sedang laris-larisnya
didatangi investor. Akibatnya, pembangunan akomodasi pariwisata di dua wilayah
itu seakan tak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan mudah disiasati.”
Teras berita dibuat berdasarkan evaluasi wartawan terhadap topik.
Subtopik yang dibahas dalam teras berita, yakni pembangunan akomodasi
parawisata di dua objek wisata (Air Sanih dan Buyan-Tamblingan) tidak
terkontrol secara langsung mendukung atau menunjang topik pada judul.
Teras berita keempat adalah “Makin banyak saja terkuak kelemahan
Ranperda RTRWP Bali 2009. Selain tak tercantumnya falsafah tri hita karana,
Bhisama PHDI, dicantumkannya kewenangan gubernur mengatur status pura dan
menetapkan ODTW di luar perda, kini para ahli Unud mengkritisi bahwa
Ranperda RTRWP sebagian masih menggunakan data kedaluwarsa”. Teras berita
ketiga merupakan evaluasi wartawan terhadap topik yang sedang diberitakan,
84
sehingga frasa makin banyak saja pada teras mengandung maksud menggiring
pemahaman pembaca bahwa kelemahan RTRWP Bali sebenarnya sudah banyak,
dan menjadi semakin banyak. Pada bagian selanjutnya, sebagai pengembangan
teras berita ini, wartawan menyampaikan secara lebih datail hal-hal yang menjadi
kelemahan RTRWP Bali.
4.2.3 Peristiwa utama
Peristiwa utama dalam berita pertama adalah kritik terhadap RTRWP.
Terdapat dua orang yang menjadi narasumber yang pernyataannya dikutip dalam
berita dan menjadi peristiwa utama dalam berita. Narasumber yang pernyataannya
dikutip sebagai teras berita adalah Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra
Ir. R. Sudirman, M.M. yang menyatakan bahwa aspek ekonomi dan penyelamatan
alam Bali harus balance. Narasumber yang kedua adalah ahli geomorfologi Unud
R. Suyarto mengemukakan beberapa pandangan, antara lain: komponen
masyarakat Bali harus diberikan ruang yang terbuka untuk memberikan sumbang
saran dalam membuat aturan, ada kesan tak ada pertimbangan ilmiah dalam
penentuan kelayakan sebuah investasi, dan perlu adanya evaluasi yang utuh atas
pengelolaan alam Bali dari sisi aturan dan implementasinya.
Pada berita kedua, peristiwa atau hal yang menjadi peristiwa utama adalah
revisi Ranperda RTRWP merupakan inisiatif eksekutif. Hal ini dapat diketahui
dari judul berita kedua yakni “Revisi Perda RTRW Inisiatif Eksekutif”. Meskipun
teras berita tidak berhubungan langsung dengan judul, teras sebagai paragraf
pertama berita hingga paragraf keempat menyajikan informasi yang negatif
85
tentang Ranperda RTRWP. Paragraf pertama mengenai banyak pihak yang
menyoroti revisi ranperda karena dianggap bermasalah dan merugikan
keselamatan Bali. Paragraf yang kedua mengenai bantahan Ketua Bappeda Bali
Nengah Suarca mengenai adanya pasal “bisnis” dalam Ranperda. Paragraf ketiga
mengenai alur teknis penyusunan Ranperda RTRWP. Paragraf kelima mengenai
tidak adanya keterangan terperinci saat Kepala Bappeda ditanya mengenai alasan
adanya pasal-pasal “bisnis”.
Bagian yang berhubungan langsung atau menerangkan judul muncul pada
paragraf kelima hingga ketujuh atau akhir berita. Paragraf itu secara umum
mengandung informasi mengenai latar belakang munculnya gagasan revisi
Ranperda RTRWP dan pandangan mengenai hasil revisi ranperda tersebut.
Peristiwa utama dalam berita ketiga adalah pembangunan akomodasi
pariwisata di dua wilayah objek wisata (Air Sanih dan Buyan-Tamblingan) seakan
tak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan mudah disiasati. Hal ini terdapat
pada teras berita atau paragraf pertama berita.
Peristiwa utama berita keempat adalah ranperda dengan XVIII bab itu
memunculkan banyak hal menarik yang terungkap yang selama ini belum banyak
diketahui masyarakat. Informasi ini terdapat pada judul berita dan lebih khusus
lagi pada paragraf keempat.
4.2.4 Konsekuensi
Konsekuensi dalam berita pertama terdapat pada paragraf ke-2, kalimat
ke-3 yaitu “Krama Bali harus berani mengambil sikap jika pemimpin
86
mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan main. Proposisi ini merupakan
konsekuensi atas adanya “pasal bisnis” dalam RTRWP. Proposisi ini juga
menjadi judul berita.
Kata krama merupakan bahasa Bali yang berpadanan dengan kata warga
dalam bahasa Indonesia. Istilah krama sering digunakan untuk mengacu kepada
warga adat (krama adat), warga banjar (krama banjar), dan warga desa (krama
desa). Penggunaan kata krama menimbulkan kesan bahwa masalah ini
merupakan masalah masyarakat lokal Bali yang kepentingannya untuk menjadi
dan menyelamatkan alam Bali terganggu karena pihak-pihak yang ingin
mengambil keuntungan melalui pasal-pasal tertentu dalam RTRWP. Meskipun
konsekuensi dinyatakan pada judul dengan proposisi “Krama Bali harus
Bersikap”, pada bagian isi berita hingga penutup tidak terdapat pemaparan secara
eksplisit mengenai sikap yang harus dilakukan oleh masyarakat Bali.
Dalam berita kedua juga terdapat elemen konsekuensi yaitu sebagaimana
yang termuat dalam paragraf 1, kalimat 3 “Anggota DPRD Bali pun
mengkhawatirkan bila Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan mendesak Bali
yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena kehadiran investasi yang tak lagi
mengindahkan Perda RTRW tahun 2005 dan Bhisama PHDI”. Konsekuensi
dalam proposisi tersebut adalah diyakini akan merusak Bali yang kini telah
bopeng dan “sesak napas. Bali yang saat ini telah “bopeng” sebagai akibat dari
investasi yang mengeksploitasi alam Bali diyakini akan semakin “sesak napas”
apabila Ranperda RTRWP ini lolos.
87
Konsekuensi ini muncul berhubungan dengan berita pertama yang
menggambarkan bahwa Ranperda RTRWP sarat dengan pasal-pasal “bisnis” yang
dianggap lebih mengakomodasi kepentingan investor dibandingkan dengan
mengakomodasi kepentingan penyelamatan alam Bali. Dengan demikian, alam
Bali yang sudah tidak indah lagi (diwakili dengan kata “bopeng”) akan lebih
parah kondisinya, seperti semakin tidak indah karena proses pembangunan di
sana-sini yang kurang mengindahkan keseimbangan alam Bali (diwakili dengan
kata “sesak napas”).
Pada berita ketiga, terdapat gambaran mengenai konsekuensi. Pertama,
terdapat pada paragraf 4 yakni “Namun, dalam kenyataannya ketentuan itu masih
bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tak memiliki alat kontrol yang tegas.
Sehubungan dengan itu, ODTWK yang dulunya menarik sebagai objek wisata,
pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan pondok wisata atau vila”
(par.4) Paragraf ini menggambarkan bahwa konsekuensi dari tidak tertatanya
OTDWK akan berdampak pada berkurangnya daya tarik objek tersebut bagi
wisatawan karena dipenuhi vila. Penikmat objek tersebut pun akhirnya hanya
terbatas pada pihak-pihak yang mengelola vila.
Konsekuensi yang kedua adalah “Akibat ODTWK yang mudah disiasati,
maka pembangunan hotel melati dan pondok wisata di kawasan pesisir Air Sanih,
Desa Bukti hingga sepanjang pantai di Kecamatan Tejakula mulai dijamuri
pondok wisata” (par.5, kal.5). Dengan proposisi ini, pembaca diarahkan untuk
memahami bahwa siasat investor dalam pengelola akomodasi pariwisata di daerah
88
ODTWK berdampak pada tidak terkendalinya jumlah pondok wisata. Secara tidak
langsung, hal tersebut juga akan mengurangi daya tarik objek wisata.
Pada bagian lain, konsekuensi yang ketiga tidak disampaikan secara
ekplisit, tetapi melalui pertanyaan retoris “Jika itu yang terjadi, apakah ODTWK
masih bisa dikatakan sebagai objek daya tarik wisata khusus?” Kata itu mengacu
kepada pada kalimat sebelumnya, yakni “Belakangan, daerah itu terus didatangi
investor sehingga dikhawatirkan lereng-lereng bukit di daerah itu nantinya akan
dipenuhi vila.” Jawab atas pertanyaan retoris tersebut tentu sudah pasti bahwa jika
lereng bukit dipenuhi vila, objek wisata tak akan menjadi objek wisata yang baik
lagi. Pertanyaan retoris tersebut sekaligus memberikan gambaran atas konsekuensi
yang mungkin ditimbulkan oleh pembangunan vasilitas pariwisata yang tidak
terkontrol. Jawaban atas pertanyaan retoris tersebut dapat dijawab dengan
mangacu paragraf 4 sebagaimana telah dibahas sebelumnya.
Konsekuensi yang keempat adalah “Akibatnya, pembangunan akomodasi
pariwisata di dua wilayah itu seakan tak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan
mudah disiasati” (par. 1). Proposisi ini menyampaikan bahwa konsekuensi atas
penetapan OTDWK yang tidak diimbangi dengan penerapan atau pengawasan
terhadap penerapan aturan. Pada dua kawasan yang dimaksud (Air Sanih dan
Buyan-Tamblingan) akhirnya terdapat jumlah akomodasi pariwisata yang tidak
terkendali sehingga dapat merugikan lingkungan dan daya tarik pariwisata lokasi
ODTWK tersebut.
Konsekuensi yang kelima adalah “Belakangan, daerah itu terus didatangi
investor sehingga dikhawatirkan lereng-lereng bukit di daerah itu nantinya akan
89
dipenuhi vila” (par. 6, kal. 2). Proposisi ini menyajikan informasi mengenai
kemungkinan konsekuensi yang terjadi apabila kawasan Danau Buyan tidak
segera ditata dan penerapan aturan ODTWK perlu mendapatkan pengawasan yang
baik dari pemerintah.
Berita keempat yang dianalisis memiliki strategi wacana berupa
konsekuensi, yaitu dua pasal ini, 161 dan 162 akan membuat kerancuan dalam
penentuan ODTW tersebut. Mereka akan berlomba-lomba menentukan ODTW
(berita 4, par. 12, kal. 1-2). Strategi wacana ini mengarahkan pemahaman
pembaca mengenai konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh adanya
kewenangan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, untuk
menentukan ODTW. Pada strategi wacana ini, Bali Post menggambarkan bahwa
penentuan ODTW akan menjadi rancu karena terdistribusinya kewenangan
penentuannya pada gubernur, bupati/walikota. Konsekuensi selanjutnya adalah
para kepala daerah digambarkan akan berlomba-lomba dalam menetapkan ODTW
untuk memenuhi kepentingan pemodal. Dengan penggambaran seperti ini,
pemimpin daerah yang memiliki kewenangan dalam menetapkan ODTW
dicitrakan secara negatif karena kewenangan yang dimiliki akan digunakan untuk
memenuhi kepentingan pemodal yang belum tentu, bahkan sering bertentangan
dengan kepentingan masyarakat pada umumnya.
90
4.2.5 Konteks
Pada berita pertama terdapat konteks yang disampaikan melalui kutipan
pernyataan seorang narasumber. Kutipan yang memberikan konteks atas topik
yang sedang diberitakan terdapat pada paragraf ketiga, sebagai berikut.
“Selama ini ada kesan tak ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan
kelayakan sebuah investasi. Ada kecenderungan kepentingan ekonomi
mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali,” ujarnya (par.4, kal.1).
Konteks pada berita ini dapat diketahui melalui frasa selama ini. Frasa
tersebut menunjukkan bahwa dalam kurun waktu sebelumnya, tetapi tidak
dijelaskan secara eksplisit kurun waktu tersebut, telah terjadi kekeliruan dalam
pengelolaan investasi dan alam Bali. Kekeliruan tersebut disebabkan oleh terlalu
diutamakannya kepentingan ekonomi, sementara kepentingan penyelamatan Bali
diabaikan. Pemberian konteks ini mengarahkan persepsi pembaca untuk
memahami bahwa RTRWP juga dibuat dengan motivasi yang tidak jauh dengan
yang terjadi selama ini, yaitu menciptakan peluang diperolehnya keuntungan
ekonomi sebanyak-banyaknya dan mengabaikan kepentingan penyelamatan Bali.
Konteks dalam hal ini dipahami sebagai peristiwa lain yang berhubungan
dengan peristiwa utama yang sedang diberitakan. Dalam berita kedua terdapat
konteks yang memberikan gambaran mengenai tanggapan dan pandangan
terhadap revisi Perda RTRWP, yakni pada paragraf 6, kalimat 2. Dalam kalimat
tersebut dinyatakan Namun, dari dua kali sosialisasi, sebagaian besar yang
diundang menyatakan revisi ini tidak lebih baik dari perda sebelumnya. Bahkan,
ada yang menyebutkan sebuah kemunduran. Sebab, sejumlah pasal yang sering
91
disebut pasal “bisnis” malah memberikan peluang kepada investor untuk
merambah kawasan yang selama ini disakralkan.
Konteks yang diberikan pada berita kedua menggiring pemahaman
pembaca bahwa revisi Perda RTRWP memang tidak lebih baik daripada Perda
RTRWP yang telah ada sebelumnya. Dengan konteks ini, pembaca juga digiring
bahwa munculnya pasal-pasal bisnis dan diabaikan kepentingan penyelamatan
Bali pada Ranperda RTRWP berhubungan dengan inisiatif Gubernur Mangku
Pastika.
Pada berita ketiga, konteks dapat ditemukan pada paragraf 5, yakni “Pada
kawasan pantai dari Air Sanih dan Bukti hingga Desa Tembok di Tejakula
terdapat ratusan vila atau pondok wisata. Anehnya di dalamnya terdapat sejumlah
hotel yang memiliki kamar lebih dari ketentuan maksimal 25 kamar. Namun
investornya tak bisa disalahkan karena hotel tersebut dipayungi dua perusahaan,
padahal manajemennya berada dalam satu atap. Akibat ODTWK yang mudah
disiasati, maka pembangunan hotel melati dan pondok wisata di kawasan pesisir
Air Sanih, Desa Bukti hingga sepanjang pantai di Kecamatan Tejakula mulai
dijamuri pondok wisata.” Pada berita, konteks tidak disajikan dengan penanda
eksplisit, tetapi dipaparkan dalam bentuk sebuah paragraf yang pada intinya
menyampaikan cara investor menyiasati aturan agar bisa membangun kamar lebih
dari ketentuan, yakni 25 kamar. Investor yang membangun akomodasi pariwisata
lebih dari 25 kamar menggunakan dua perusahaan, padahal sejatinya berada
dalam satu atap.
92
Konteks yang lain terdapat pada paragraf 6 yakni “Di Desa Pancasari juga
terjadi hal yang mirip. Di lereng sebelah selatan Danau Buyan juga terdapat hotel
dengan kapasitas lebih dari 25 kamar. Belakangan daerah itu terus didatangi
investor sehingga dikhawatirkan lereng-lereng bukit di daerah itu nantinya akan
dipenuhi vila. Jika itu yang terjadi, apakah ODTWK masih bisa dikatakan sebagai
objek daya tarik wisata khusus?” Pemaparan konteks ini menggiring pemahaman
pambaca bahwa pelanggaran atau siasat investor dalam menyikapi aturan
pembangunan akomodasi di daerah ODTWK akan berdampak tidak baik bagi
daerah ODTWK. Penetapan suatu kawasan menjadi ODTWK akhirnya hanya
akan berdampak negatif karena hanya akan mempermudah investor untuk
membangun vasilitas pariwisata tanpa disertai dengan pengawasan oleh
pemerintah. Akibat selanjutnya dari kondisi ini adalah rusaknya atau
berkurangnya daya tarik kawasan tersebut sebagai ODTWK.
Strategi wacana berupa konteks pada berita keempat ditemukan pada
paragraf kedua, yakni “Tim perumus kajian akademis Unud (BP, 10/5)
menyatakan bahwa dokumen RTRWP kedaluwarsa karena memakai Renstra
(Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” (berita 4, par.2). Informasi atau proposisi
ini meruapakan bagian dari berita yang sebelumnya telah dipublikasikan Bali Post
oleh karena itu, proposisi ini menjadi konteks dalam berita ini.
4.2.6 Historis
Berita pertama tidak mengandung historis yang memberikan gambaran
mengenai peristiwa atau kejadian yang telah terjadi jauh hari sebelumnya. Pada
93
berita pertama, berita dibuat hanya berdasarkan kutipan wawancara terhadap dua
orang narasumber dan beberapa bagian yang merupakan komentar wartawan
terhadap topik.
Elemen historis muncul dalam berita kedua, yaitu “Revisi Perda RTRW ini
mencuat ke permukaan ketika muncul kasus panggung terapung di Danau Buyan.
Ketika itu, Gubernur Mangku Pastika menyatakan sanksi yang diatur dalam perda
itu sangat lemah sehingga tak mampu menjangkau kasus pelanggaran di Uluwatu
maupun Bukit Mimba, Karangasem” (par. 4). Dalam kutipan tersebut, jelas
tersurat bahwa Gubernur Mangku Pastika memunculkan gagasan revisi terhadap
Perda RTRWP setelah kasus panggung terapung di Danau Buyan yang terjadi
akibat sanksi yang diatur dalam perda tersebut sangat lemah sehingga tidak
mampu menjangkau kasus pelanggaran di beberapa tempat, seperti Uluwatu dan
Bukit Mimba Karangasem. Proposisi tersebut juga menyiratkan adanya keyakinan
terhadap Perda RTRWP yang telah direvisi akan mampu mengatasi masalah-
masalah pelanggaran wilayah. Hal ini menjadi paradoks dengan proposisi-
proposisi sebelumnya, yang mengkhawatirkan lolosnya Ranperda RTRWP ini
menjadi perda justru akan membuat Bali “sesak napas”. Dikuatkan lagi dengan
proposisi berikutnya “Namun, dari dua kali sosialisasi, sebagian besar yang
diundang menyatakan revisi ini tidak lebih baik dari perda sebelumnya. Bahkan,
ada yang menyebutkan kemunduran, sebab sejumlah pasal yang sering disebut
“pasal bisnis” malah memberikan peluang kepada investor untuk merambah
kawasan yang selama ini disakralkan” (par. 6). Dengan demikian, wartawan ingin
mengarahkan pandangan publik bahwa latar belakang munculnya gagasan revisi
94
terhadap RTRW ini masih kurang pengkajian atau hanya karena gagasan pihak
tertentu (Gubernur Bali sebagai eksekutif), padahal pihak lain, seperti para ahli,
para tokoh masyarakat, justru memiliki pandangan yang sebaliknya, yaitu revisi
terhadap RTRW merupakan suatu kemunduran. Pada berita ketiga dan keempat,
tidak terdapat adanya historis dalam berita.
4.2.7 Harapan
Harapan merupakan hal yang mungkin ditimbulkan atau menjadi akibat
peristiwa yang diberitakan. Pada berita pertama, terdapat harapan pada paragraf 1,
kalimat ke-3. “Oleh karena itu, krama Bali harus berani mengambil sikap jika
pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan” (par. 1, kal. 3).
Sumber proposisi yang mengandung harapan ini tidak secara jelas
ditampilkan dalam berita. Selain itu, proposisi ini terletak terpisah dari kalimat
dan paragraf yang mengandung kutipan pernyataan narasumber. Oleh karena itu,
dianggap bahwa proposisi ini merupakan pandangan wartawan mengenai
peristiwa yang sedang diberitakan. Artinya, tergolong sebagai harapan dalam
analisis wacana ini.
Harapan yang disajikan dalam berita mengandung ajakan bagi masyarakat
Bali untuk terlibat secara aktif menolak tindakan pemimpin Bali yang melanggar
aturan demi keuntungan finansial. Penggunaan kata krama dalam proposisi ini
menegaskan bahwa yang dimaksud bukanlah seluruh masyarakat yang tinggal di
Bali, melainkan warga Bali yang tergabung dalam masyarakat adat yang
beragama Hindu yang merupakan anggota perkumpulan masyarakat Bali yakni
95
banjar dan desa adat. Jika dihubungkan dengan proposisi lain dalam judul “Tekait
Pasal “Bisnis” RTRWP, Krama Bali Harus Bertindak”, proposisi yang
mengandung harapan ini berisi ajakan wartawan atau media Bali Post kepada
masyarakat Bali untuk bersama-sama menolak “pasal-pasal bisnis” dalam
RTRWP.
Pada berita kedua ditemukan harapan yang menjadi bagian berita. Pada
berita ketiga, juga tidak ditemukan adanya harapan dalam berita.
Pada berita keempat ditemukan penggunaan strategi wacana berupa
harapan pada paragraf ketiga belas “Semestinya, Perda yang dibuat mengatur atau
membuat secara detail ruang yang boleh dimanfaatkan. Sehingga pejabat yang ada
tidak bisa main-main lagi di luar ketentuan perda tersebut.” Harapan pada
proposisi ini mengisyaratkan pandangan wartawan mengenai topik yang
disampaikan, sekaligus menggiring pemahaman pembaca untuk memahami hal
tersebut dengan cara yang sama seperti yang disampaikan oleh wartawan. Pada
proposisi harapan ini, wartawan menyampaikan pandangannya bahwa semestinya
perda telah mengatur secara detail wilayah yang bisa digunakan sebagai ODTW,
tidak memberikan kewenangan kepada kepala daerah. Pada proposisi selanjutnya
wartawan menyampaikan bahwa dengan adanya ketentuan pasti mengenai
wilayah ODTW, pemerintah tidak akan bisa melakukan penyimpangan untuk
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu saja. Dengan kata lagi, ada kesan
yang secara implisit disampaikan bahwa penyimpangan merupakan suatu hal yang
telah biasa terjadi. Demikian melalui strategi wacana berupa harapan, wartawan
menyampaikan pandangan subjektifnya mengenai topik kepada khalayak.
96
4.2.8 Evaluasi
Evaluasi merupakan pandangan atau pendapat wartawan mengenai
peristiwa yang sedang diberitakan. Pada berita pertama terdapat beberapa evaluasi
yang disampaikan dalam beberapa proposisi.
Pertama, proposisi “Untuk mencegah praktik membijaksanai aturan,
RTRWP Bali mestinya juga mengatur sanksi secara khusus bagi pimpinan daerah
yang salah merekomendasikan perizinan” (par. 2, kal. 1). Proposisi ini
mengandung pandangan mengenai perlunya aturan mengenai sanksi kepada
pemimpin daerah yang keliru dalam merekomendasikan izin. Pandangan ini,
ditulis dalam kalimat yang tidak menyampaikan sumber sehingga dapat
disimpulkan bahwa proposisi ini merupakan evaluasi.
Kedua, proposisi “Hal ini jarang kita dengar karena kerap kali keputusan
pimpinan daerah dianggap benar, padahal mungkin saja keputusan itu didasari
kebijakan menyimpang” (par. 2, kal. 2). Yang dimaksud “hal ini” dalam proposisi
tersebut adalah perlunya sanksi bagi pemimpin daerah yang salah
merekomendasikan perizinan. Proposisi ini secara implisit menyampaikan kepada
pembaca bahwa sangat kecil kemungkinan seorang pemimpin mendapatkan
sanksi atas keputusannya yang keliru karena keputusan tersebut didasari oleh
kebijakan atau aturan tertentu. Padahal, anturan tersebut mungkin saja sengaja
dibuat untuk kepentingan tertentu yang menguntungkan kepentingan pemimpin
sehingga keputusan yang dibuat berdasarkan aturan tersebut terkesan benar.
Ketiga, proposisi “Oleh karena itu, krama Bali harus berani mengambil
sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan” (par.
97
2, kal. 3). Proposisi ini menunjukkan sikap wartawan yang mengajak krama Bali
untuk terlibat aktif dan mengambil sikap dalam penyusunan RTRWP. Yang
dimaksud mengambil sikap dalam konteks ini adalah menolak “pasal bisnis”
dalam RTRWP karena pasal-pasal tersebut sengaja dibuat untuk menguntungkan
pihak-pihak tertentu, termasuk pemimpin dan mengabaikan kepentingan
penyelamatan alam Bali.
Wartawan menyampaikan beberapa proposisi evaluasi dalam berita kedua,
yaitu (1) Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak disorot (par.1, kal.1). Dengan
proposisi ini, wartawan menyampaikan kepada pambaca bahwa Ranperda
RTRWP banyak disorot dan wartawan mengajak pembaca untuk ikut menyoroti
revisi perda RTRWP Bali. Hal yang disoroti tentu saja masalah-masalah yang
terungkap dalam proses revisi Perda RTRWP Bali sebab dalam berita-berita
tentang Perda RTRWP ini yang lebih banyak diberitakan adalah tanggapan negatif
terhadap revisi perda RTRWP Bali atau pandangan yang bertentangan dengan
pihak eksekutif sebagai penggagas revisi terhadap Perda RTRWP Bali. Masalah
pada ranperda RTRWP muncul dalam proposisi evaluasi (2) Sebab, di dalamnya
banyak pasal “bisnis”, pasal pesanan, dan ranperda yang tidak lagi
mengakomodasi kearifan lokal Bali (par.1, kal.2). Proposisi ini paling dominan
dimunculkan sebagai alasan penolakan banyak pihak terhadap RTRWP.
Semakin banyak pembaca atau pihak yang menyoroti masalah ini
menyebabkan wartawan memiliki semakin banyak kesempatan untuk
mengarahkan pikiran lebih banyak pembaca. Terlebih lagi, pihak-pihak yang
menyoroti masalah ini adalah para ahli dan tokoh masyarakat yang merupakan
98
anggota DPRD Bali, sebagimana yang tampak dalam proposisi evaluasi (3)
Sorotan ini tak hanya datang dari pemerhati (Par.1,kal.3) dan proposisi evaluasi
(4) Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila Ranperda RTRWP ini lolos,
diyakini akan mendesak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena
kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW tahun 2005
maupun Bhisama PHDI (par.1, kal.4). Berdasarkan evaluasi yang disampaikan
tersebut, pembaca diarahkan untuk menanggapi revisi terhadap Perda RTRWP
secara negatif karena mengandung “pasal bisnis”, pasal pesanan, dan tidak
mengakomodasi kearifan lokal sehingga berdampak tidak baik bagi Bali.
Berita ketiga, mengandung evaluasi sebagai berikut. Pertama, terdapat
pada frasa “….tampaknya sedang laris-larisnya didatangi investor” (par.1, kal.1).
Frasa pada kalimat ini mengandung evaluasi atau pandangan wartawan mengenai
topik yang sedang diberitakan. Pada berita tidak terdapat jumlah investor yang
telah atau akan menanamkan modal di lokasi ODTWK yang sedang diberitakan.
Dengan menyampaikan tampaknya, pemahaman pembaca digiring untuk
memahami bahwa memang benar ada banyak investor yang berminat untuk
menanamkan modal dan melakukan usaha di kawasan tersebut. Padahal,
tampaknya merupakan kata modalitas yang mengandung makna ketidakpastian,
kesan, atau pandangan yang belum cukup kuat kebenarannya.
Evaluasi yang kedua adalah “Sebagai ODTWK, pemegang kebijakan
dengan mudah menyatakan welcome kepada investor yang ingin membangun di
daerah itu” (par.2, kal.2). Proposisi ini merupakan pandangan wartawan yang
disampaikan secara tersamar. Hal ini dapat diperhatikan dengan ada atau tidaknya
99
narasumber yang menyampaikan hal tersebut. Pada berita ketiga, tidak terdapat
narasumber yang menyampaikan proposisi tersebut sehingga wartawanlah yang
membuat simpulan itu. Dengan proposisi tersebut, penguasa dianggap bisa dengan
mudah memberikan izin karena memang boleh membuat akomodasi pariwisata di
daerah ODTWK. Lebih lanjut, penguasa terkesan tidak cukup selektif atau
mengkaji dengan baik sebelum memberikan izin kepada investor.
Evaluasi yang ketiga adalah “Memang, membangun di daerah ODTWK
ada syaratnya, antara lain tidak boleh dibangun hotel berbintang dan hanya
diizinkan untuk pondok wisata dengan jumlah kamar maksimal 25 kamar. Namun
dalam kenyataannya ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan
juga tak memiliki alat kontrol yang tegas sehingga ODTWK yang dulunya
menarik sebagai objek wisata, pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan
pondok wisata atau vila” (par. 3, kal.4). Pada paragraf ini evaluasi tampak jelas
pada kalimat terakhir “Sehingga ODTWK yang dulunya menarik sebagai objek
wisata, pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan pondok wisata atau
vila”. Pandangan ini bukan hasil pengamatan atau hasil wawancara dengan
narasumber tertentu. Dengan demikian, proposisi ini merupakan pandangan
wartawan untuk menggiring pandangan pembaca bahwa yang akhirnya
diuntungkan dengan penetapan status ODTWK suatu kawasan adalah investor
apabila pengawasan dan penataan yang memadai tidak dilakukan.
Pada berita keempat ditemukan strategi wacana berupa evaluasi pada
proposisi “Makin banyak saja terkuak kelemahan Ranperda RTRWP Bali 2009.
Selain tak tercantumnya falsafah tri hita karana, bhisama PHDI, dicantumkannya
100
kewenangan gubernur mengatur status pura dan menetapkan ODTW di luar perda,
kini para ahli Unud mengkritisi bahwa Ranperda RTRWP sebagian masing
menggunakan data kadaluwarsa (berita 4, par.1)”. Proposisi makin banyak saja
terkuak kelemahan ranperda bukan hasil wawancara atau kutipan pernyataan
narasumber, melainkan merupakan evaluasi atau pandangan wartawan mengenai
topik yang sedang diberitakan. Dengan proposisi tersebut, pembaca diarahkan
memahami bahwa ranperda bukanlah rancangan peraturan daerah yang baik.
Ketidakbaikan atau kelemahan ranperda tersebut bertambah lagi dengan hal yang
akan dipaparkan pada bagian selanjutnya, yakni terlalu besarnya kewenangan
kepala daerah, gubernur dan bupati/wali kota dalam menentukan wilayah yang
menjadi ODTW. Evaluasi yang dilakukan wartawan dalam berita ini menggiring
agar pembaca memiliki persepsi yang kurang baik terhadap ranperda. Di samping
itu, memiliki pemahaman yang sama dengan wartawan untuk menolak adanya
RTRWP tersebut.
4.2.9 Reaksi verbal
Reaksi verbal merupakan pernyataan narasumber terkait dengan topik dan
menjadi bagian berita. Dalam berita pertama, terdapat beberapa reaksi verbal yang
disajikan dalam berita.
Pertama “Saya berharap jangan sampai perda ini disusun hanya
mempertimbangkan kepentingan ekonomi yang pada akhirnya merugikan
kepentingan penyelamatan alam. Antara aspek ekonomi dan penyelamatan alam
Bali harus balance,” tegasnya (par.1, kal.2). Kutipan pernyataan ini menjadi teras
101
dalam berita 1. Hal ini berarti bahwa kutipan ini dianggap penting oleh wartawan
dan media serta akan memengaruhi keseluruhan arah dan isi berita. Pada dasarnya
kutipan pernyataan tersebut bersifat netral dan tidak menyalahkan pihak tertentu
karena hanya mengandung harapan dan saran agar penyusunan perda tidak hanya
mempertimbangkan kepentingan ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan
penyelamatan alam Bali. Namun, kalimat yang ditulis sebelum kutipan ini
membuat pemaknaan atas kutipan mungkin berbeda. Kalimat yang terletak
sebelum kutipan ini adalah “Munculnya pasal-pasal “bisnis” pada Ranperda
RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali
Nusra Ir. R. Sudirman, M.M.” Penyebutan frasa “pasal bisnis yang dikritisi”
membentuk persepsi pembaca bahwa memang benar terdapat pasal bisnis dalam
ranperda tersebut dan Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra tidak
menyetujui hal tersebut. Kemungkinan pemaknaan seperti ini tentu berbeda
dengan makna kutipan tersebut.
Kedua, kutipan tak langsung dari pernyataan ahli geomorfologi Unud R.
Suyarto dalam kalimat “Ahli Geomorfologi Unud R. Suyarto juga mengingatkan
agar komponen masyarakat di Bali diberi ruang yang terbuka untuk memberikan
sumbang saran dalam membuat aturan terhadap wilayahnya. Bali sebagai pulau
kecil memiliki kandungan risiko yang tinggi dari segi geografis sehingga
pemetaan fungsi tanah di Bali harus jelas” (par.3). Pernyataan ini menyarankan
kepada pihak yang memiliki peluang untuk membuat kebijakan agar melibatkan
komponen masyarakat Bali dalam membuat kebijakan. Secara implisit, persepsi
yang dapat dibentuk oleh pernyataan ini adalah anggapan bahwa selama ini
102
memang belum ada upaya pembuat kebijakan untuk melibatkan atau menerima
saran komponen masyarakat.
Ketiga, kutipan langsung dari narasumber yang sama dengan kutipan yang
kedua, ahli geomorfologi Unud R. Suyarto “Selama ini ada kesan tak ada
pertimbangan ilmiah dalam menentukan kelayakan sebuah investasi. Ada
kecenderungan kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi
Bali,” ujarnya (par.4). Kutipan pernyataan ini berhubungan dengan judul berita
dan menjadi semacam argumen atas proposi pada judul berita sehingga pembaca
lebih teryakinkan bahwa RTRWP memang mengandung pasal-pasal yang dibuat
untuk kepentingan pihak tertentu dan mengabaikan penyelamatan alam Bali.
Dalam berita kedua, wartawan mencantumkan sejumlah reaksi verbal
dalam bentuk kalimat langsung pernyataan narasumber dan kalimat tak langsung
yang disimpulkan wartawan dari pendapat para narasumber. Reaksi verbal dalam
bentuk kalimat langsung yang pertama adalah sebagai berikut. Ketua Bappeda
Bali, Nengah Suarca, Kamis (16/4) menampik adanya pasal pesanan dalam
ranperda tersebut. “Tidak ada pasal pesanan,” katanya ditemui di sela-sela rapat
evaluasi APBD Bali 2009 di Ruang Wiswa Sabha. (par. 2, kal. 1). Kutipan
langsung ini hanya mengandung informasi mengenai bantahan Ketua Bappeda
bahwa ada pasal pesanan dalam revisi Ranperda RTRWP.
Kutipan langsung yang kedua adalah “Segala rumusan berkaitan dengan
pasal-pasal tersebut digodok di Biro Hukum dan HAM Provinsi Bali,” katanya
tergesa-gesa (par.4, kal.2). Kutipan langsung ini mengandung informasi mengenai
alur teknis penyusunan revisi Perda RTRWP.
103
Dalam berita kedua juga terdapat beberapa kutipan tak langsung. Pertama,
terdapat pada kalimat Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila revisi
Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng
dan “sesak napas” karena kahadiran investasi yang tak lagi mengindahkan
Perda RTRW No.3/2005 maupun Bhisama PHDI (par.1, kal.3). Dalam pernyataan
tak langsung ini, narasumber tidak disampaikan dengan jelas, tetapi hanya dengan
menggunakan frasa anggota DPRD Bali. Kutipan tak langsung ini mengarahkan
persepsi pembaca untuk memahami bahwa Ranperda RTRWP yang sedang
dibahas hanya akan semakin merusak Bali apabila berhasil disahkan.
Kutipan tidak langsung yang kedua juga tidak menyampaikan narasumber
secara jelas tetapi hanya menyebut narasumber dengan ada yang menyebut
sebagai pengganti nama atau identitas subjek. Kalimat yang mengandung
pernyataan tidak langsung itu adalah Bahkan, ada yang menyebut sebuah
kemunduran. Sebab, sejumlah pasal yang sering disebut “pasal bisnis” malah
memberikan peluang kepada investor untuk merambah yang selama ini
disakralkan. Kutipan kalimat tak langsung ini mengarahkan pandangan pembaca
bahwa Ranperda RTRWP yang sedang dibahas tidak lebih baik daripada yang
telah ada sebelumnya. Bahkan, Rapeda ini cenderung tidak lebih baik karena
mengandung pasal-pasal yang menguntungkan pihak tertentu dari segi ekonomi
tetapi akan merugikan keselamatan alam Bali.
Pada berita ketiga, ditemukan beberapa reaksi verbal. Reaksi verbal yang
pertama adalah kalimat tak langsung sebagai berikut. “Kepala Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata (Kadisbudpar) Buleleng I Putu Tastra Wijaya didampingi Kabid
104
Pengembangan Pariwisata Nyoman Dodi Irianto membenarkan adanya hotel
berbintang atau hotel yang memiliki kamar lebih dari 25 buah dalam ODTWK di
Tejakula dan Pancasari” (par. 7). Melalui kutipan tak langsung ini, wartawan
menyampaikan bahwa memang benar terdapat pelanggaran atau upaya investor
menyiasati aturan sebagaimana yang sebelumnya telah dipaparkan dalam berita.
Kedua, kutipan tak langsung dari narasumber yang sama, yakni “Tastra
mengatakan pihaknya kini sedang melakukan penataan terhadap pondok wisata
atau vila di daerah yang masuk ODTWK. Karena, diakui memang terdapat
investor yang mencoba menyiasati peraturan agar bisa membangun sesuai dengan
keinginannya” (par. 8, kal. 1, 2). Pernyataan yang dikutip pada kalimat ini, juga
membenarkan apa yang telah dipaparkan wartawan pada bagian sebelumnya pada
berita ini. Dengan demikian, kutipan dari narasumber bersifat memperkuat atau
membenarkan adanya upaya menyiasati atau melanggar aturan oleh investor.
Ketiga, reaksi verbal dalam bentuk kalimat langsung sebagai berikut.
“Kami sedang melakukan kontrol sekaligus penataan, khususnya di daerah
ODTWK,” katanya. (par. 8, kal. 3). Kalimat ini mengandung informasi bahwa
pemerintah melalui pihak terkait sedang melakukan kontrol sekaligus penataan
kawasan ODTWK. Berita atau wawancara tidak menampilkan lebih jauh,
misalnya tindakan yang akan dilakukan kepada para investor yang bermaksud
atau telah melanggar aturan. Namun, pada dasarnya, reaksi verbal baik
disampaikan dalam kalimat langsung maupun tak langsung, dimuat sesuai dengan
topik utama berita, yakni ODTWK menciptakan peluang pelanggaran tata ruang.
105
Berita keempat mengandung sebuah reaksi verbal yang ditulis dalam
bentuk kalimat tidak langsung. Namun, dengan narasumber yang tidak spesifik
karena menyebut narasumber dengan frasa Tim perumus kajian akademis Unud.
Akan tetapi, siapa yang mengatakan hal tersebut dalam kapasitas sebagai bagian
dari tim akademis tidak disebutkan oleh wartawan pada kalimat: “Tim perumus
kajian akademis Unud menyatakan bahwa dokumen RTRWP kadaluwarsa karena
masih memakai Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” (berita 4, par.2,
kal. 1).
4.3 Struktur Mikro Berita RTRWP Bali
4.3.1 Sintaksis
Pada tataran sintaksis, ditemukan beberapa strategi wacana yang
digunakan dalam berita 1. Pertama, nominalisasi pada kalimat “Munculnya pasal-
pasal “bisnis” pada Ranperda RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala
Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra, Ir. R. Sudirman, M.M.” (Par.1, kal.1). Pada
kalimat tersebut, frasa Munculnya pasal-pasal ‘bisnis’ pada Reperda RTRWP Bali
menjadi nomina dan menjadi subjek dalam berita. Perubahan verba muncul
menjadi nomina munculnya memungkinkan frasa tersebut menjadi subjek dalam
kalimat dan diletakkan di bagian awal kalimat sehingga memperoleh perhatian
lebih dari pembaca.
Kedua, penggunaan bentuk aktif pada kalimat “Ahli geomorfologi Unud,
R. Suyarto juga mengingatkan agar komponen masyarakat di Bali diberikan ruang
yang terbuka untuk memberikan sumbang saran dalam membuat aturan terhadap
106
wilayahnya (par. 2, kal. 1). Bentuk aktif pada kalimat ini memungkinkan
ditonjolkannya subjek. Dalam konteks ini, subjek kalimat Ahli geomorfologi
Unud, R. Suyarto mendapatkan penonjolan dalam kalimat karena diletakkan pada
awal kalimat. Hal tersebut bukan tanpa tujuan, melainkan untuk mengemukakan
bahwa yang menyampaikan pandangan adalah pihak yang memiliki kompetensi di
bidang tersebut sehingga kebenaran pandangannya dapat dipercaya dan bersifat
netral.
Ketiga, kalimat aktif “R. Suyarto juga mengatakan perlu adanya sebuah
evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan implementasinya di
lapangan” (par. 4, kal. 1). Dengan menggunakan kalimat aktif, subjek, R. Suyarto
mendapatkan penonjolan. Sama halnya dengan kalimat sebelumnya, disampaikan
bahwa subjek merupakan orang yang memiliki kompetensi pada bidangnya
sehingga pandangannya dapat dipercaya. Dengan demikian, pandangan bahwa
perlu ada evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan
implementasi di lapangan memang benar. Secara implisit, pandangan ini juga
menyiratkan bahwa selama ini ada masalah dalam pengelolaan alam Bali karena
aturan dan implementasinya tidak sesuai.
Dalam berita kedua juga ditemukan beberapa strategi wacana pada tataran
sintaksis yang terdapat dalam berita 2. Pertama, Revisi Perda RTRWP Bali kini
banyak disorot (par. 1, kal. 1). Kalimat ini merupakan kalimat pasif dengan pola
subjek – keterangan – predikat. Subjek kalimat tersebut Revisi Perda RTRWP
Bali. Keterangan kalimat tersebut adalah kini. Predikat kalimat tersebut adalah
banyak disorot. Dengan kontruksi kalimat tersebut, frasa Revisi Perda RTRWP
107
Bali menjadi topik kalimat. Dengan menggunakan bentuk kalimat pasif, objek
yang dalam hal ini pihak-pihak yang menyoroti Revisi Perda RTRWP tidak harus
dihadirkan. Namun, dengan menyatakan banyak, dapat menimbulkan persepsi
pembaca mengenai jumlah yang bisa saja lebih banyak daripada yang
sebenarnya. Jadi, dengan konstruksi kalimat tersebut, wartawan atau media
berupaya untuk menimbulkan kesan bahwa banyak pihak yang menyoroti masalah
tersebut. Selain itu, konstruksi kalimat tersebut kesan yang ditimbulkan dapat
lebih banyak daripada yang sebenarnya.
Kedua, kalimat Ketua Bappeda Bali, Nengah Suarca, Kamis (16/4)
kemarin menampik adanya pasal pesanan dalam ranperda tersebut. (par. 2, kal.
1). Struktur kalimat ini adalah subjek – keterangan – predikat – objek. Subjek
dalam kalimat adalah Ketua Bappeda Bali, Nengah Suarca. Keterangan dalam
kalimat adalah Kamis (16/4) kemarin. Predikat adalam kalimat adalah menampik.
Objek dalam kalimat adalah adanya pasal pesanan dalam ranperda tersebut.
Dengan struktur kalimat ini, yang mendapat penekanan dalam kalimat adalah
subjek yang menyampaikan bantahan mengenai pasal pesanan dalam ranperda.
Ketiga, kalimat Ketika ditanya kenapa muncul pasal-pasal berbau bisnis
dalam RTRWP Bali, Suarca tak memberikan keterangan terperinci. (par. 3, kal.
1). Struktur kalimat ini adalah keterangan – subjek – predikat – objek. Keterangan
pada kalimat tersebut adalah Ketika ditanya kenapa muncul pasal-pasal berbau
bisnis dalam RTRWP Bali. Subjek dalam kalimat adalah Suarca. Predikat dalam
kalimat adalah tak memberikan. Objek dalam kalimat adalah keterangan
terperinci. Dengan meletakkan keterangan sebelum subjek, keterangan menjadi
108
menonjol dalam kalimat dan lebih diperhatikan oleh pembaca. Pembaca akan
lebih fokus pada informasi yang disampaikan dalam frasa keterangan. Setelah
membaca bagian berikutnya yang mengandung tanggapan subjek atas keterangan,
yakni Suarca tak memberikan keterangan terperinci, subjek digambarkan secara
negatif karena tidak memberikan keterangan secara terperinci mengesankan
ketertutupan informasi terhadap khalayak atau ada yang hendak disembunyikan.
Pada berita ketiga ditemukan beberapa strategi wacana pada tataran
sintaksis yang digunakan pada berita. Pertama, pada kalimat judul “ODTWK
Ciptakan Peluang Langgar Tata Ruang.” Struktur kalimat judul tersebut adalah
subjek – predikat – objek. Dengan struktur semacam ini, subjek yaitu ODTWK
memperoleh perhatian lebih bagi pembaca karena mendapat penonjolan sebagai
subjek dan di awal kalimat. Dengan penonjolan ini, pembaca akan fokus pada
ODTWK. Predikat kalimat tersebut adalah ciptakan. Bentuk lengkap kata
ciptakan adalah menciptakan, tetapi karena pada judul, previks dihilangkan.
Objek kalimat tersebut adalah peluang langgar tata ruang.
Kedua, bentuk kalimat aktif “Sebagai ODTWK, pemegang kebijakan
dengan mudah menyatakan welcome kepada investor yang ingin membangun di
daerah itu” (par.2, kal.2). Struktur kalimat tersebut adalah keterangan – subjek –
keterangan – predikat – objek – keterangan. Dengan struktur tersebut, keterangan
sebagai ODTWK ditonjolkan dalam kalimat. Selain itu, subjek pemegang
kebijakan juga diposisikan pada bagian awal kalimat sehingga mendapat
penekanan juga sebagai pelaku yang melaksanaan tindakan menyatakan selamat
datang kepada investor. Jadi, dengan konstruksi kalimat ini, ODTWK seolah
109
dimanfaatkan pihak penguasa untuk mendapatkan investor sebanyak mungkin
tanpa terlalu memedulikan, baik kelestarian ODTWK, lingkungan, maupun
masyarakat secara umum.
Pada berita keempat dianalisis empat strategi wacana pada tataran
sintaksis. Pertama, kalimat aktif “Tim perumus kajian akademis Unud
menyatakan bahwa dokumen RTRWP kedaluwarsa karena masih memakai
Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” (berita 4, par. 2, kal. 1).
Penggunakaan bentuk kalimat aktif pada proposisi ini memungkinkan
diletakkannya subjek Tim perumus akademis Unud sebagai subjek dan diletakkan
di awal kalimat sehingga menjadi bagian yang ditonjolkan dalam kalimat.
Penonjolan frasa subjek tersebut memiliki tujuan untuk menekankan bahwa
pernyataan yang disampaikan memiliki tingkat kebenaran tinggi, netralitas,
sekaligus objektif. Dengan demikian, masyarakat digiring untuk memercayai hal
yang disampaikan dalam proposisi tersebut dan proposisi selanjutnya.
Kedua, “Mereka (akedemisi) mencontohkan data dan peta yang sudah
tidak akurat lagi, baik nominal serta tahunnya” (berita 4, par. 3, kal.1). Kata ganti
mereka pada kalimat ini mengacu pada tim perumus kajian akademis Unud. Sama
halnya dengan kalimat pertama yang dianalisis, penggunaan kalimat aktif pada
kalimat ini berpotensi untuk membuat subjek mendapatkan perhatian lebih dari
pembaca sehingga pembaca lebih memercayai kebenaran pernyataan dan
penilaian yang disampaikan.
Ketiga, strategi sintaksis pada kalimat “Dari isi, Ranperda dengan XVIII
bab itu banyak hal yang menarik yang terungkap yang selama ini belum banyak
110
diketahui masyarakat” (berita 4, par. 4, kal.1). Kalimat ini merupakan kalimat
pasif yang predikatnya menggunakan prefiks ter-. Dengan menggunakan struktur
kalimat ini, wartawan dimungkinkan untuk tidak mencantumkan subjek atau
pelaku dalam kalimat. Dengan kata lain, penggunaan kalimat ini bukan tanpa
tujuan, melainkan untuk mengaburkan subjek atau pihak mengungkap hal menarik
yang terdapat pada ranperda. Dengan penghilangan subjek ini dan tidak
terdapatnya informasi mengenai pihak yang telah mengungkap hal menarik yang
terdapat pada ranperda diasumsikan bahwa yang mengungkapkan itu adalah
wartawan. Dengan penggunaan kalimat pasif ini, pihak yang menyampaikan
pandangannya dapat dikaburkan, bahkan dihilangkan dari wacana berita.
Keempat, pada kalimat “Bila dicermati, dalam RTRWP ini banyak kata
“arahan” yang muncul dari bab VII” (berita 4, par. 5, kal. 1). Kalimat ini
merupakan bentuk kalimat pasif yang menggunakan prefiks di-. Sifat dan fungsi
penggunaan struktur ini sama dengan yang sebelumnya telah dipaparkan pada
kalimat ketiga di atas. Struktur kalimat pasif ini memungkinkan wartawan untuk
mengaburkan keberadaan subjek, bahkan menghilangkannya sama sekali dari
berita.
4.3.2 Koherensi
Analisis pada tataran koherensi lokal merupakan analisis hubungan
antarparagraf, kalimat, proposisi, dan unsur pembentuknya. Pada tataran
koherensi lokal, ditemukan beberapa strategi wacana yang tergolong dalam
koherensi kondisional, koherensi fungsional, dan praanggapan.
111
Pada berita pertama ditemukan beberapa strategi wacana yang
menggunakan koherensi kondisional, koherensi fungsional dan praanggapan.
Pertama, koherensi kondisional yang terdapat pada kalimat “Untuk mencegah
praktik membijaksanai aturan, RTRWP Bali mestinya juga mengatur sanksi
secara khusus bagi pimpinan daerah yang salah merekomendasikan perizinan.”
Koherensi kondisional pada kalimat tersebut dapat diketahui dari penggunaan kata
untuk yang menandakan hubungan kondisional dengan proposisi berikutnya.
Dalam kalimat tersebut frasa untuk mencegah praktik membijaksanai aturan
disusun mendahului subjek sehingga tujuan atau alasan memperoleh penekanan
dalam kalimat. Dalam konteks ini, membijaksanai aturan bermakna negatif
sebagai upaya akal-akalan yang bermaksud negatif untuk keuntungan pihak
tertentu saja. Hal ini tentu akan berakibat buruk bagi keselamatan alam Bali. Oleh
karena itu, proposisi selanjutnya RTRWP Bali mestinya juga mengatur sanksi
secara khusus bagi pimpinan daerah yang salah merekomendasikan perizinan
sulit untuk ditolak kebenarannya oleh khalayak pembaca. Dengan kata lain,
pembaca dikondisikan untuk memiliki pemahaman yang sama bahwa RTRWP
Bali memang perlu mengatur sanksi bagi pimpinan daerah. Jika tidak ada aturan,
seolah praktik menyiasati aturan untuk kepentingan pihak tertentu oleh pimpinan
daerah akan terus terjadi.
Kedua, koherensi kondisional pada kalimat “Hal ini jarang kita dengar,
karena kerap kali keputusan pimpinan daerah dianggap benar, padahal mungkin
saja keputusan itu didasari kebijakan menyimpang.” Frasa hal ini pada kalimat di
atas mengacu pada sanksi secara khusus bagi pemimpin daerah yang salah
112
merekomendasikan perizinan. Koherensi penghubung kondisional pada kalimat
tersebut ditunjukkan dengan kata karena. Frasa karena kerap kali keputusan
pimpinan daerah dianggap benar, padahal mungkin saja keputusan itu didasari
kebijakan menyimpang mengemukakan alasan yang membuat pemimpin daerah
tampak selalu benar dalam membuat keputusan. Padahal, keputusan tersebut
didasari oleh aturan yang keliru yang dalam penyusunannya telah
mempertimbangkan kepentingan-kepentingan terutama ekonomi yang merugikan
penyelamatan alam Bali. Kalimat ini mengondisikan pembaca untuk memahami
bahwa meskipun pimpinan daerah telah membuat kebijakan yang sesuai dengan
aturan, hal tersebut belum tentu baik dan benar karena aturan tersebut memang
telah dibuat untuk kepentingan pihak tertentu. Untuk menghindari hal tersebut,
aturan yang mendasari setiap kebijakan harus dipastikan bebas dari kepentingan
yang merugikan Bali.
Ketiga, koherensi kondisional pada kalimat “Oleh karena itu, krama Bali
harus berani mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi
dengan melabrak aturan main” (par.2, kal.3). Koherensi kondisional pada kalimat
tersebut ditandai dengan frasa oleh karena itu. Kata itu mengacu pada proposisi
sebelumnya, yaitu karena kerap kali keputusan pimpinan daerah dianggap benar,
padahal mungkin saja keputusan itu didasari kebijakan menyimpang. Hal ini
menjadi sebab atas gagasan pada proposisi selanjutnya yakni krama Bali harus
berani mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan
melabrak aturan main. Kata krama menunjukkan bahwa yang dimaksud bukanlah
seluruh masyarakat Bali dalam pengertian masyarakat yang tinggal di Bali,
113
melainkan secara khusus masyarakat Bali yang menjadi bagian dari organisasi
adat Bali yang bersifat homogen yakni beragama Hindu. Meskipun tidak
digambarkan secara lebih terperinci tindakan yang seharusnya dilaksanakan
masyarakat, dapat disimpulkan bahwa tindakan tersebut tentu menolak adanya
pasal-pasal yang dianggap memiliki kepentingan ekonomi tertentu dan
menguntungkan pihak tertentu.
Keempat, koherensi kondisional pada kalimat “Bali sebagai pulau kecil
memiliki kandungan risiko yang tinggi dari segi geografis sehingga pemetaan
fungsi tanah di Bali haruslah jelas” (par. 3, kal. 2). Kalimat tersebut memiliki
koherensi kondisional ditandai dengan adanya kata hubung sehingga yang
menunjukkan bahwa proposisi satu merupakan penyebab, sementara proposisi
yang lain adalah akibat. Dalam kalimat ini proposisi sebab adalah Bali sebagai
pulau kecil memiliki kandungan risiko yang tinggi dari segi geografis. Proposisi
akibat dalam kalimat tersebut adalah sehingga pemetaan fungsi tanah di Bali
haruslah jelas. Dengan proposisi sebab tersebut pembaca dituntun untuk
memahami bahwa Bali adalah pulau yang kecil sehingga kekeliruan dalam
pengelolaan wilayah akan sangat mudah berdampak bagi kondisi alam Bali.
Untuk itu, dalam proposisi akibat dinyatakan bahwa pemetaan fungsi tanah di Bali
harus jelas. Dengan proposisi ini, secara implisit, pembaca diarahkan untuk
memahami bahwa selama ini pemetaan tanah di Bali belum jelas. Dalam RTRWP
yang sedang menjadi pembahasan, pemetaan tanah tersebut juga belum jelas
sehingga sangat mungkin disalahgunakan berdasarkan kebijakan pimpinan daerah.
114
Jadi, penyimpangan penggunaan fungsi tanah Bali untuk kepentingan pihak-pihak
tertentu sangat mungkin terjadi.
Kelima, koherensi fungsional yang terdapat pada kalimat “Sangat
mungkin terjadi aturan main sudah ideal, namun konsistensi pejabat publik dalam
menegakkan aturan tak terbangun” (par. 4, kal. 2). Koherensi fungsional tersebut
dapat diketahui dari penggunaan kata hubung namun dalam kalimat. Kata hubung
namun menunjukkan adanya hubungan pertentangan antara proposisi dalam
kalimat. Pada kalimat ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa, aturan
yang telah ditetapkan, baik dalam peraturan daerah maupun aturan lainnya,
sebanarnya sangat mungkin sudah memadai dan telah mengatur dengan baik
penggunaan wilayah daerah. Namun, yang menjadi penekanan dalam kalimat ini
adalah bahwa konsistensi pejabat publik dalam menegakkan aturan tidak
terbangun. Dengan kata lain, pejabat publik atau pimpinan daerah memiliki
kecenderungan untuk mengingkari aturan yang telah ada atau dengan menciptakan
celah bagi penafsiran lain terhadap aturan yang hanya akan menguntungkan
kepentingan pihak tertentu, tetapi mengabaikan penyelamatan alam Bali.
Praanggapan merupakan informasi yang tidak disampaikan dalam wacana
karena pemroduksi wacana beranggapan bahwa penerima wacana telah
mengetahui hal tersebut. Informasi yang tidak disampaikan ini memiliki peran
penting agar penerima wacana dapat memahami wacana dengan baik. Pada berita
pertama ditemukan penggunaan pranggapan. Pertama, pada judul berita Terkait
Pasal “Bisnis” RTRWP, Krama Bali Harus Bersikap. Dengan proposisi terkait
pasal bisnis, pembaca diasumsikan telah mengetahui bahwa di dalam RTRWP
115
terdapat pasal yang bermotif bisnis atau keuntungan pihak tertentu dan berpotensi
merugikan Bali. Praanggapan atas judul tersebut adalah bahwa di dalam RTRWP
memang terdapat pasal “bisnis” yang merupakan cara pemerintah membantu
pihak tertentu untuk mendapat keuntungan ekonomi, tetapi akan merugikan alam
Bali. Oleh karena itu, krama Bali diharapkan menyikapi hal tersebut.
Praanggapan kedua yang terdapat dalam berita tersebut adalah penggunaan
istilah “krama” dalam berita. Kata krama bukanlah kata bahasa Indonesia. Dalam
berita, kata ini ditulis dengan huruf miring untuk menunjukkan bahwa kata ini
tidak berasal dari bahasa Indonesia. Istilah krama mengacu kepada anggota
komunitas adat lokal di Bali yang beranggotakan masyarakat di wilayah tertentu
dan bersifat homogen dari segi agama, yakni agama Hindu. Dengan
menggunakan kata krama dalam berita, yang diacu tentu saja bukan seluruh
masyarakat yang tinggal di Bali, melainkan secara khusus masyarakat yang bisa
disebuat sebagai krama yang merupakan penduduk asli Bali dan bukan pendatang.
Dengan penggunaan istilah ini, secara implisit pembaca diajak untuk memahami
bahwa yang harus peduli terhadap keselamatan Bali adalah krama Bali. Lebih
jauh, terdapat kemungkinan masyarakat pembaca dikondisikan untuk memahamai
bahwa selain krama Bali tidak akan ada yang memiliki kepedulian atas
keselamatan alam Bali.
Praanggapan yang ketiga terletak pada paragraf 4, khususnya pada kalimat
“Selama ini ada kesan tak ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan kelayakan
sebuah investasi”. Kutipan pernyataan yang disampaikan narasumber ahli
geomorfologi Unud R. Suyarto ini mengandung praanggapan khususnya pada
116
bagian “pertimbangan ilmiah”. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal
yang dimaksud dengan “pertimbangan ilmiah”, tetapi pembaca dipersepsikan oleh
wartawan telah mengetahui maksud frasa tersebut. “Pertimbangan ilmiah” dalam
konteks ini dapat berupa hasil pengakajian secara ilmiah atau penelitian, sehingga
tingkat kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan dan terbebas dari kepentingan
apa pun. Dengan tidak melibatkan pertimbangan ilmiah, secara implisit, pembaca
digiring untuk memahami bahwa kelayakan investasi selama ini cenderung tidak
benar dan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi tanpa
memperhatikan keselamatan alam Bali.
Pada berita kedua, terdapat beberapa koherensi lokal. Pertama, koherensi
kondisional yang terdapat pada kalimat Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak
disorot. Sebab, di dalamnya banyak pasal “bisnis”, pasal pesanan dan ranperda
yang tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali (par. 1, kal. 1, 2). Kata sebab
menjadi penanda bahwa kalimat tersebut mengandung koherensi kondisional.
Proposisi Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak disorot menjadi akibat atas
proposisi Sebab, di dalamnya banyak pasal “bisnis”, pasal pesanan dan ranperda
yang tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali. Dengan proposisi ini,
pembaca diarahkan untuk memahami bahwa banyaknya perhatian yang tertuju
pada Ranperda RTRWP yang sedang dibahas karena dalam ranperda tersebut
terkandung banyak “pasal bisnis”, pasal pesanan, dan tidak mengakomodasi
kearifan lokal. Dengan menggunakan kata hubung sebab, proposisi yang berbeda
menjadi berhubungan dan memiliki hubungan sebab-akibat sehingga akhirnya
juga mengarahkan pembaca untuk memahami proposisi dengan cara tersebut.
117
Kedua, koherensi kondisional yang terdapat pada kalimat Anggota DPRD
Bali pun mengkhawatirkan bila Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan
merusak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena kehadiran
investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW tahun 2005 maupun Bhisama
PHDI (par.1, kal.3). Koherensi kondisional pada kalimat tersebut ditunjukkan
dengan adanya kata karena pada kalimat tersebut. Proposisi Anggota DPRD Bali
pun mengkhawatirkan bila Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak
Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” menjadi situasi, sementara
proposisi selanjutnya karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan
Perda RTRW tahun 2005 maupun Bhisama PHDI menjadi proposisi penyebab.
Yang ditonjolkan dalam proposisi tersebut adalah subjek yakni Anggota DPRD
Bali. Penekanan Anggota DPRD Bali sebagai subjek menunjukkan bahwa yang
tidak setuju dengan pengesahan RTRWP merupakan pihak yang memiliki
kapasitas dan legitimasi mewakili masyarakat Bali. Dengan kata lain, suara
anggota DPRD Bali manjadi representasi suara masyarakat Bali.
Proposisi penyebab menunjukkan alasan kekhawatiran anggota DPRD
Bali, yakni karena ranperda yang sedang dibahas memungkinkan masuknya
investasi yang tidak mengindahkan, baik Perda RTRWP tahun 2005, maupun
Bhisama PHDI. Kalau ranperda yang sedang dibahas disetujui dan disahkan,
Perda RTRWP Tahun 2005 secara otomatis telah digantikan dengan perda yang
baru. Sementara, yang dimaksud Bhisama PHDI adalah keputusan bersama yang
memiliki kekuatan mengikat yang mengacu kepada hukum-hukum agama dalam
ajaran Hindu. Proposisi ini mengarahkan pandangan pembaca untuk memahami
118
bahwa ranperda RTRWP yang sedang dibahas tidak saja mengandung pasal yang
menguntungkan pihak tertentu saja, tetapi juga bertentangan dengan ajaran agama
Hindu dan Bhisama yang telah diputuskan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI). Sebagai provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan
memiliki budaya yang dijiwai oleh nilai Hindu, proposisi yang menyatakan
ranperda bertentangan dengan bhisama akan memiliki dampak yang kuat bagi
pembentukan persepsi pembaca bahwa ranperda RTRWP yang sedang dibahas
memang seharusnya tidak disahkan.
Ketiga, koherensi kondisional pada kalimat Bahkan, ada yang menyebut
sebuah kemunduran. Sebab, sejumlah pasal yang sering disebut “pasal bisnis”
malah memberikan peluang kepada investor untuk merambah kawasan yang
selama ini disakralkan (par.6, kal.3). Penanda koherensi kondisional pada
proposisi tersebut adalah kata hubung sebab. Dengan kata hubung sebab pembaca
diarahkan untuk memahami alasan pandangan bahwa ranperda yang sedang
dibahas tidak lebih baik daripada perda sebelumnya atau merupakan kemunduran.
Dengan proposisi yang mengandung alasan, yakni Sebab, sejumlah pasal yang
sering disebut “pasal bisnis” malah memberikan peluang kepada investor untuk
merambah kawasan yang selama ini disakralkan pembaca diarahkan untuk
memahami bahwa pasal-pasal tertentu pada ranperda memang merupakan pasal
bisnis yang menguntungkan investor pada satu sisi, tetapi akan merugikan
penyelamatan alam Bali pada sisi lain.
Keempat, koherensi kondisional yang terdapat pada kalimat Selain itu,
sanksi yang sebelumnya dinyatakan lemah, malah dalam ranperda ini makin
119
lemah karena ada kompromi-kompromi dengan pelanggar (par.7). Koherensi
kondisional pada kalimat ini dapat diketahui dengan adanya kata penghubung
karena. Dengan kalimat-kalimat tersebut, pembaca diarahkan untuk memahami
bahwa sanksi yang sebelumnya dinyatakan lemah oleh Gubernur Bali, kemudian
direvisi menjadi ranperda yang sedang dibahas malah lebih lemah dibandingkan
dengan sebelum perda yang direvisi. Alasan anggapan melemahnya sanksi
terdapat pada proposisi karena ada kompromi-kompromi dengan pelanggar.
Dengan proposisi kompromi pembaca digiring bahwa tidak akan ada sanksi tegas
kepada pelanggar karena masih ada peluang kompromi. Dalam hal ini adalah
kompromi antara investor yang melanggar dengan pihak penguasa atau
pemerintah. Sebagaimana umumnya kompromi, tentu harus ada keuntungan atau
pengurangan kerugian pada tiap-tiap pihak. Oleh karena itu, kompromi terhadap
aturan cenderung akan menguntungkan pihak yang berkompromi, tetapi
merugikan kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan alam Bali.
Kelima, koherensi fungsional khususnya pertentangan yang terdapat pada
kalimat atas dasar itu, ada inisiatif dari eksekutif untuk merevisinya. Namun, dari
dua kali sosialisasi, sebagian besar yang diundang menyatakan revisi ini tidak
lebih baik dari perda sebelumnya (par.6, kal. 1 dan 2). Pada proposisi pertama itu
mengacu pada pandangan Gubernur Bali Mangku Pastika yang menyatakan sanksi
yang diatur pada perda sangat lemah. Pandangan inilah yang menjadi dasar
pengajuan revisi perda RTRWP. Dengan kata hubung namun, wartawan atau
media Bali Post menyanggah pandangan tersebut dengan proposisi kedua namun
dari dua kali sosialisasi, sebagian besar yang diundang menyatakan revisi ini
120
tidak lebih baik dari perda sebelumnya. Dengan demikian, maksud Gubernur Bali
untuk merevisi perda dan memperkuat aturan dengan sanksi yang lebih kuat
dianggap tidak terwujud. Lebih lanjut, tidak hanya tidak ada sanksi yang lebih,
juga muncul “pasal bisnis”. “Pasal bisnis” itu menguntungkan investor, tetapi
merugikan kepentingan Bali.
Keenam, koherensi fungsional khususnya penjumlahan pada kalimat
Selain itu, sanksi yang sebelumnya dinyatakan lemah, malah dalam ranperda ini
makin lemah karena ada kompromi-kompromi dengan pelanggar (par.7). Penanda
koherensi fungsional penjumlahan adalah frasa selain itu. Koherensi fungsional
penjumlahan ini berfungsi untuk memperkuat alasan menolak atau tidak
menyetujui ranperda yang sedang dibahas. Proposisi ini mengandung informasi
bahwa sanksi yang pada perda sebelumnya dinyatakan lemah oleh Gubernur Bali,
malah menjadi lebih lemah pada ranperda revisi yang sedang dibahas.
Praanggapan adalah pengetahuan bersama yang dimiliki, baik oleh
penyampai pesan maupun penerima agar wacana dapat dipahami dengan baik.
Dalam berita, praanggapan tidak disampaikan karena wartawan berasumsi bahwa
pembaca telah mengetahui hal tersebut. Dalam berita kedua, ditemukan beberapa
praanggapan. Pertama, praanggapan yang terdapat pada judul berita, yakni Revisi
Perda RTRW Inisiatif Eksekutif. Pranggapan yang ada dalam proposisi judul
adalah bahwa perda merupakan kependekan dari peraturan daerah dan RTRW
merupakan kependekan dari rancangan tata ruang wilayah.
Pranggapan kedua dalam judul adalah ada rencana merevisi Perda RTRW
yang telah ada. Revisi dapat dipahami sebagai kegiatan meninjau kembali atau
121
memeriksa kembali untuk perbaikan. Oleh karena itu, ketika judul berita
menyatakan revisi secara tidak langsung ada praanggapan bahwa sebelumnya
telah terdapat perda.
Praanggapan ketiga adalah mengenai hal yang dimaksud eksekutif pada
judul merupakan Pemerintah Provinsi Bali. Oleh karena itu, perda yang dimaksud
juga merupakan perda Provinsi Bali.
Keempat, praanggapan mengenai kearifan lokal Bali. Dengan frasa
tersebut, pembaca dipersepsi tentang mengetahui bahwa Bali adalah wilayah
provinsi yang terletak di satu pulau, bernama Pulau Bali yang sebagian
masyarakatnya beragama Hindu dan memiliki sistem kebudayaan lokal tertentu
yang berlandaskan nilai-nilai agama.
Kelima, praanggapan mengenai bhisama PHDI. Pembaca dipersepsi oleh
wartawan dan media Bali Post mengetahui bahwa bhisama merupakan keputusan
bersama yang memiliki kekuatan mengikat yang mengacu kepada hukum-hukum
agama Hindu yang diputuskan oleh anggota Parisada Hindu Dharma Indonesia
(PHDI).
Keenam, pranggapan mengenai bappeda yang terdapat pada paragraf 2
berita 2. Bappeda merupakan singkatan dari Badan Perencanaan dan
Pembangunan Daerah.
Praanggapan yang ketujuh adalah mengenai ranperda yang merupakan
singkatan dari rancangan peraturan daerah. Apabila telah disahkan akan menjadi
perda atau peraturan daerah.
122
Kedelapan, praanggapan mengenai pasal bisnis. Pembaca dipersepsikan
oleh wartawan telah mengetahui bahwa di dalam peraturan daerah terdapat bagian
bab berupa pasal-pasal yang mengandung penjelasan atau ketentuan yang khusus.
“Pasal bisnis” merupakan pasal-pasal yang mengandung kepentingan ekonomi
tertentu untuk kepentingan piha-pihak tertentu. Idealnya, hal semacam itu tidak
terjadi karena aturan yang dibuat semestinya untuk kepentingan dan kebaikan
bersama.
Pada tataran koherensi lokal ditemukan beberapa strategi wacana pada
berita ketiga. Pertama, koherensi kondisional yang terdapat pada kalimat
“Akibatnya pembangunan akomodasi di dua wilayah itu seakan tak terkontrol
akibat ketentuan yang terkesan mudah disiasati” (par.1, kal.2). Kalimat ini
berhubungan dengan kalimat sebelumnya yang menyatakan bahwa dua objek
wisata di Kabupaten Buleleng tampaknya sedang laris-larisnya didatangi investor.
Dengan menggunakan kata akibatnya pada awal kalimat, hubungan tersebut
menjadi sangat jelas dan mengandung koherensi kondisional. Di dalam kalimat
juga terdapat hubungan kondisional antara proposisi satu dan yang kedua.
Proposisi pembangunan akomodasi pariwisata di dua wilayah itu seakan tak
terkontrol sebagai akibat atas proposisi (aturan) terkesan bisa disiasati.
Kedua, koherensi kondisional pada kalimat “Karena sesuai ketentuan,
akomodasi pariwisata seperti hotel dan restoran memang dibolehkan dibangun
dalam radius OTDWK.” Kata hubung karena menjadi penanda koherensi
kondisional pada kalimat ini. Kalimat ini berhubungan dengan kalimat
sebelumnya, yakni “Sebagai ODTWK pemegang kebijakan dengan mudah
123
menyatakan welcome kepada investor yang ingin membangun di daerah itu.”
Jadi, dengan koherensi kondisional wartawan memberikan penjelasan kepada
pembaca bahwa pemegang kebijakan bisa terbuka terhadap investor karena aturan
ODTWK memang memungkinkan hal tersebut.
Ketiga, koherensi kondisional sebagai berikut. “Namun dalam
kenyataannya ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tak
memiliki alat kontrol yang tegas. Sehingga ODTWK yang dulunya menarik
sebagai objek wisata, pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan pondok
wisata atau vila (par. 4). Penanda adanya hubungan kondisional di antara kalimat
tersebut adalah kata hubung sehingga. Dengan kata hubung tersebut, proposisi
yang menyatakan aturan bisa disiasati dan tak adanya alat kontrol yang tegas
menjadi penyebab atas besarnya jumlah vila di kawasan ODTWK.
Keempat, koherensi kondisional pada kalimat “Mudahnya investor masuk
kedua daerah wisata itu karena memang Desa Pancasari dan Tejakula ditetapkan
sebagai objek daya tarik wisata khusus (ODTWK)” (par. 2, kal. 1). Penanda
koherensi kondisional pada kalimat tersebut adalah kata hubung karena. Dengan
kata hubung karena kedua proposisi tersebut menjadi memiliki hubungan sebab-
akibat. Penetapan Desa Pancasari dan Tejakula sebagai ODTWK menimbulkan
akibat mudahnya investor menanamkan modal di tempat tersebut dan akhirnya
mendapatkan keuntungan dari usaha itu.
Kelima, koherensi kondisional pada kalimat “Tastra mengatakan pihaknya
kini sedang melakukan penataan terhadap pondok wisata atau vila di daerah yang
masuk ODTWK. Karena, diakui memang terdapat investor yang mencoba
124
menyiasati peraturan agar bisa membangun sesuai dengan keinginannya” (par. 8,
kal 1, 2). Penanda koherensi kondisional pada kalimat tersebut adalah kata hubung
karena. Dengan kata hubung karena kalimat “Tastra mengatakan pihaknya kini
sedang melakukan penataan terhadap pondok wisata atau vila di daerah yang
masuk ODTWK” merupakan akibat atas situasi yang digambarkan pada kalimat
“diakui memang terdapat investor yang mencoba menyiasati peraturan agar bisa
membangun sesuai dengan keinginannya”. Dengan kata lain, penggunaan kata
hubung karena membuat kedua kalimat tersebut memiliki hubungan sebab-akibat.
Keenam, koherensi fungsional. Koherensi fungsional terdapat pada
kalimat “Memang, membangun di daerah ODTWK ada syaratnya. Antara lain,
tidak boleh dibangun hotel berbintang dan hanya diizinkan untuk pondok wisata
dengan jumlah kamar maksimal 25 kamar. Namun, dalam kenyataannya,
ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tak memiliki alat
kontrol yang tegas . Sehingga ODTWK yang dulunya menarik sebagai objek
wisata, pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan pondok wisata atau
vila” (par.3, kal.4). Kalimat-kalimat tersebut memiliki koherensi fungsional dan
ditandai dengan adanya kata hubung namun. Kata hubung namun menunjukkan
pertentangan. Dalam konteks ini, yang dipertentangkan adalah aturan yang
melarang dibangunnya hotel berbintang dan jumlah kamar yang melebihi 25
kamar dengan kenyataan adanya pelanggaran terhadap aturan dan tidak adanya
alat kontrol yang tegas.
Ketujuh, koherensi fungsional yang terdapat pada kalimat “Terdapat juga
hotel yang memiliki kamar lebih dari ketentuan maksimal 25 kamar. Namun,
125
investornya tak bisa disalahkan karena hotel tersebut dipayungi dua perusahaan,
padahal manajemennya berada dalam satu atap” (par.5, kal.3 – 4 ). Koherensi
fungsional pada kalimat tersebut ditunjukkan dengan kata hubung namun yang
menunjukkan adanya pertentangan. Dalam kalimat-kalimat ini, yang
dipertentangkan adalah adanya pelanggaran hotel yang memiliki kamar lebih dari
25. Namun, hal itu tidak bisa disalahkan karena perusahaan tersebut berada di
bawah dua berusahaan yang berbeda sehingga secara prosedur tidak melanggar
aturan.
Kedelapan, koherensi fungsional khususnya perbandingan yang dapat
dilihat pada kalimat “Di Desa Pancasari juga terjadi hal yang mirip” (par. 6, kal.
1). Kalimat ini berhubungan dengan paragraf sebelumnya yang membahas
kawasan wisata Air Sanih hingga Tejakula yang dipadati vila yang melanggar
ketentuan. Dengan kalimat ini, wartawan mengajak pembaca untuk
membandingkan kondisi Air Sanih dan Pancasari yang mengalami masalah yang
sama. Dengan perbandingan semacam ini, pembaca digiring untuk memahami
bahwa masalah ini merupakan masalah yang serius karena tidak saja terjadi di
satu tempat, tetapi terjadi beberapa tempat.
Pada berita keempat, ditemukan tiga buah proposisi yang mengandung
koherensi kondisional. Ketiga proposisi tersebut, yaitu “Tim perumus kajian
akademis Unud menyatakan bahwa dokumen RTRWP kadaluwarsa karena masih
memakai Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” (berita 4, par.2, kal. 1);
“Dua pasal ini, 161 dan 162 akan membuat kerancuan dalam penentuan ODTW
126
tersebut. Mereka (bupati/wali kota) akan berlomba-lomba menentukan ODTW”
(berita 4, par.12, kal. 1 dan 2).
Keherensi kondisional pertama menggunakan penanda keherensi karena
untuk menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antar proposisi. Klausa
“karena masih memakai Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” menjadi
sebab, sementara klausa “tim perumus kajian akademis Unud menyatakan bahwa
dokumen RTRWP kadaluwarsa” menjadi klausa yang menggambarkan situasi
yang menjadi akibatnya. Dengan proposisi ini, pembaca diarahkan untuk
memahami bahwa RTRWP Bali tidak cukup baik karena pembuatannya
didasarkan pada data yang kedaluwarsa dan tidak relevan lagi. Dengan data yang
keliru, tentu rancangan tata ruang yang dihasilkan pun keliru.
Koherensi kondisional yang kedua terdapat pada kalimat “Dua pasal ini,
161 dan 162 akan membuat kerancuan dalam penentuan ODTW tersebut” (berita
4, par.12, kal. 1). Proposisi ini menggambarkan hal yang diakibatkan oleh adanya
pasal tertentu dalam RTRWP yakni kerancuan dalam pelaksanaan perda tersebut.
Di samping itu, dampak ikutannya adalah penetapan ODTW oleh pemerintah
daerah, baik gubernur, maupun bupati/wali kota. Penetapan itu digambarkan
untuk mewadahi kepentingan pemodal. Dengan kata lain, pemimpin daerah hanya
akan memanfaatkan pasal tersebut untuk kepentingan pemodal dan kepentingan
kelompok tertentu yang sering kali bertentangan dengan kepentingan masyarakat.
Dalam berita keempat ditemukan beberapa kalimat yang mengandung
koherensi fungsional. Pertama, “Makin banyak saja terkuak kelemahan Ranperda
127
RTRWP Bali 2009. Selain tak tercantumnya falsafah tri hita karana, Bhisama
PHDI, dicantumkannya kewenangan gubernur mengatur status pura dan
menetapkan ODTW di luar perda, kini para ahli Unud mengkritisi bahwa
Ranperda RTRWP sebagian masih menggunakan data kedaluwarsa” (berita 4,
Par.1). Paragraf ini, mengandung koherensi fungsional khususnya peterperincian.
Gagasan utama praragraf ini adalah makin banyak saja terkuak kelemahan
Ranperda RTRWP Bali 2009. Gagasan tersebut kemudian dikembangkan dalam
bentuk perincian dan penjabaran yang lebih terperinci mengenai kelemahan-
kelemahan Ranperda RTRWP tersebut, antara lain tak tercantumnya falsafah tri
hita karana, tak sesuai dengan Bhisama PHDI, kewenangan gubernur
menetapkan ODTW, dan yang terbaru adalah digunakannya data kedaluwarsa
dalam perancangan ranperda tersebut.
Koherensi fungsional kedua pada berita keempat terdapat pada paragraf 3,
“Mereka mencontohkan data dan peta yang tidak akurat lagi, baik nominal serta
tahunnya. Luas wilayah Kota Denpasar disebut 12.398 ha, seharusnya saat ini
12.778 ha karena sejak 1998 Pulau Serangan sudah direklamasi sehingga luas
wilayahnya bertambah. Jumlah penduduk Kota Denpasar tahun 2028
diproyeksikan 570.339 jiwa. Sedangkan Denpasar dalam angka tahun 2008 saja
sudah mencapai 608.595 juga. Begitu pula peta-peta yang disajikan tak jelas
sumber dan tahun pembuatannya. Banyak yang kedaluwarsa terutama peta
penggunaan tanah eksisting dan peta-peta lahan. Karena itu, perlu menggunakan
data satelit untuk akurasi dan pemutakhiran data” (berita 4, par. 3). Paragraf ini
mengandung koherensi fungsional khususnya berupa pengembangan contoh.
128
Kalimat topik paragraf ini mengandung gagasan data dan peta yang tida akurat
yang dijadikan dasar dalam penyusunan RTRWP. Pada bagian selanjutnya,
disajikan contoh data-data yang tidak akurat tersebut hingga bagian akhir
paragraf. Dengan strategi wacana ini, pembaca diarahkan untuk meyakini bahwa
data-data yang dijadikan dasar dalam penyusunan RTRWP memang tidak akurat
atau keliru sehingga RTRWP tidak benar-benar dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan Bali dan masyarakatnya. Data-data yang tidak akurat tersebut juga
mengimplikasikan bahwa penyusun RTRWP tidak bersungguh-sungguh dalam
menyusun RTRWP atau sengaja melakukan hal tersebut untuk kepentingan
kelompok tertentu.
Kehorensi fungsional ketiga yang terdapat pada berita keempat ditemukan
pada paragraf kelima, “Bila dicermati, dalam RTRWP ini banyak kata “arahan”
yang muncul dalam bab VII – arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan
bab VIII tentang arahan pengendalian pemanfaatan ruang. Kata-kata ini terkesan
mendominasi dimana tercatat ada 133 kata “arahan”. Makna kata arahan ada
beberapa penafsiran di antaranya cenderung maksudnya arah bahasan
permasalahan. Di sisi lain maknanya berupa arahan yang mengarahkan dan atau
mengatur hal-hal yang dilakukan orang/lembaga.” Paragraf ini mengandung
gagasan utama yang terdapat pada kalimat pertama, yakni RTRWP mengandung
banyak kata “arahan” yang terdapat pada bab VII dan bab VIII. Pada bagian
selanjutnya wartawan menguraikan kemungkinan pemaknaan atas kata árahan
”tersebut”.
129
4.3.3 Leksikon
Leksikon meliputi penggunaan kata, frasa dan kata ganti yang berfungsi
tidak saja untuk menyampaikan makna leksikal, tetapi juga mengandung maksud
dan kepentingan tertentu yang merepresentasikan kepentingan tertentu. Pada
berita pertama ditemukan beberapa penggunaan leksikon sebagai sebuah strategi
wacana untuk mencapai tujuan wacana yang dapat dipaparkan sebagai berikut.
Penggunaan leksikon yang pertama terdapat pada kalimat “Munculnya
pasal-pasal “bisnis” pada Ranperda RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh
Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra, Ir. R. Sudirman, M.M.” (par.1,
kal.1). Frasa “pasal-pasal bisnis” terdapat pada judul berita dan teras berita. Pasal
merupakan istilah yang mengacu pada bagian dari bab atau bagian di dalam
undang-undang. Sementara bisnis merupakan usaha komersial dalam dunia
perdagangan. Kedua kata ini digabung menjadi sebuah frasa dengan maksud
bahwa peraturan yang dibuat dalam peraturan daerah, dalam hal ini RTRWP,
dibuat dengan maksud untuk memudahkan atau memberikan jalan kepada pihak-
pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dengan memanfaatkan
alam Bali. Namun akan menimbulkan akibat yang merugikan keselamatan alam
Bali. Penggunaan kata ulang “pasal-pasal” menunjukkan bahwa peraturan yang
dirumuskan dalam butir-butir aturan dalam RTRWP tersebut berjumlah lebih dari
satu. Bahkan, dengan menggunakan kata ulang pasal-pasal, kesan jumlah yang
ditimbulkan bisa jadi melebihi jumlah sebenarnya. Jadi, dengan menggunakan
leksikon tersebut, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa terdapat cukup
banyak pasal yang dibuat untuk kepentingan bisnis sebagai upaya pihak tertentu
130
mendapatkan keuntungan, sementara itu di sisi lain kepentingan penyelamatan
alam Bali terabaikan.
Kedua, terdapat pada kalimat “Hal ini jarang kita dengar, karena kerap kali
keputusan pimpinan daerah dianggap benar, padahal mungkin saja keputusan itu
didasari kebijakan menyimpang” (par. 2, kal. 2). Penggunaan frasa kerap kali
merupakan strategi wacana pada tataran leksikon yang berfungsi untuk
membentuk pemahaman pembaca bahwa keputusan pimpinan dianggap benar
karena dibuat berdasarkan kebijakan atau aturan yang menyimpang merupakan
hal yang sering terjadi atau berkali-kali terjadi. Dengan menggunakan frasa kerap
kali, jumlah penyimpangan yang sebenarnya tidak dapat diketahui oleh pembaca.
Frasa ini sangat mungkin menimbulkan kesan mengenai jumlah penyimpangan
yang lebih besar daripada yang sebenarnya.
Ketiga, terdapat pada kalimat “Oleh karena itu, krama Bali harus berani
mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak
aturan main” (par. 2, kal. 3). Penggunaan kata krama merupakan strategi wacana
wartawan untuk membentuk kelompok tertentu dan menjadikan pihak lain sebagai
lawan kelompok tersebut. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa
kata krama bukanlah kata bahasa Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan
penggunaan huruf miring dalam penulisan kata ini. Istilah krama mengacu kepada
anggota komunitas adat lokal Bali yang beranggotakan masyarakat di wilayah
desa tertentu dan bersifat homogen dari segi agama, yakni agama Hindu. Dengan
menggunakan kata krama dalam berita yang diacu tentu saja bukan seluruh
masyarakat yang tinggal di Bali, melainkan secara khusus masyarakat yang bisa
131
disebuat sebagai krama yang merupakan penduduk asli Bali, bukan pendatang.
Dengan penggunaan istilah ini, secara implisit pembaca diajak untuk memahami
bahwa yang harus peduli terhadap keselamatan Bali adalah krama Bali. Artinya,
masyarakat pembaca dikondisikan untuk memahami bahwa pendatang yang
bukan merupakan krama Bali bisa jadi tidak memiliki kepedulian terhadap
keselamatan Bali. Oleh karena itu, dengan penggunaan kata krama, media atau
wartawan membentuk kelompok tertentu yang seharusnya mengambil sikap
dengan menolak pasal-pasal “bisnis” dalam RTRWP.
Keempat, penggunaan kata melabrak pada kalimat yang sama dengan
sebelumnya, yakni “Oleh karena itu, krama Bali harus berani mengambil sikap
jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan main” (par.
2, kal. 3). Kata melabrak memiliki makna yang negatif karena merupakan
tindakan memukuli, mengata-ngatai (mencelai dan sebagainya) yang dilakukan
dengan kekerasan atau menyerang. Dengan menggunakan kata melabrak,
pemimpin yang mengakomodasi investasi di Bali dicitrakan secara negatif oleh
media karena dianggap sebagai tindakan yang melanggar aturan, bahkan dengan
cara kekerasan dan cara tidak baik.
Kelima, kata mengalahkan yang terdapat pada kalimat
“Ada kecenderungan kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan
bumi Bali” (par. 4, kal. 2). Dengan kata mengalahan, wartawan menggambarkan
bahwa terdapat pertarungan antara kepentingan ekonomi dan agenda
penyelamatan bumi Bali. Pertarungan tentu bukan hal yang baik, apalagi jika
ternyata yang kalah dalam pertarungan tersebut adalah hal yang semestinya
132
diutamakan atau dimenangkan. Dalam konteks ini, proposisi tersebut
mengemukakan bahwa kepentingan ekonomi telah mengalahkan agenda
penyelamatan alam Bali.
Keenam, kata modalitas yang berfungsi untuk memberikan nuansa tertentu
pada wacana seperti yang tampak pada kalimat “Selama ini ada kesan tak ada
pertimbangan ilmiah dalam penentuan kelayakan sebuah investasi” (par.4, kal.1).
Hal serupa juga terdapat pada kalimat selanjutnya “Ada kecenderungan
kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali” (par.4,
kal.2). Selanjutnya juga terdapat penggunaan kata modalitas pada paragraf
terakhir, khususnya pada kalimat terakhir “Sangat mungkin terjadi aturan main
sudah ideal, namun konsistensi pejabat publik dalam menegakkan aturan tak
terbangun”. Ketiga kata tersebut, yaitu “ada kesan”, “ada kecederungan” dan
“sangat mungkin” menunjukkan sesuatu yang pada dasarnya tidak pasti, tetapi
mengarahkan pemahaman pembaca bahwa hal tersebut mungkin benar. Dengan
mengetahui pihak yang menyampaikan pandangan, khalayak pembaca digiring
untuk menerima penyataan tersebut sebagai kebenaran karena yang
menyampaikannya merupakan orang yang memiliki keahlian pada bidangnya dan
memiliki kapasitas untuk menyampaikan penilaiannya.
Beberapa penggunaan strategi wacana pada tataran leksikal ditemukan
pada berita kedua. Pertama, pasal bisnis. Pasal bisnis dalam konteks ini
merupakan pasal-pasal yang dianggap dibuat berdasaran kepentingan ekonomi
tertentu sehingga akhirnya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Pihak
yang diuntungkan adalah investor yang telah atau akan menanamkan modal dan
133
usahanya di Bali. Namun, pasal-pasal tersebut berpotensi untuk merugikan
masyarakat Bali dan alam Bali.
Kedua, pasal pesanan. Dengan frasa pasal pesanan ini pembaca diarahkan
untuk memahami bahwa penyusunan aturan yang tertuang dalam-pasal-pasal
tersebut tidak sepenuhnya dibuat secara netral dan berdasarkan maksud untuk
mengatur wilayah Bali demi kepentingan dan kebaikan bersama, tetapi telah
dipesan oleh pihak tertentu agar memenuhi kehendaknya. Pihak yang
menyampaikan permintaan agar pasal-pasal dalam perda diatur sesuai dengan
keinginnannya tentu merupakan pihak yang memiliki kekuasaan atau akses
kepada kekuasaan. Jika aturan yang tertuang dalam pasal-pasal dibuat berdasarkan
keinginan pihak tertentu, dapat dipastikan bahwa aturan tersebut tidak akan
berdampak baik bagi kepentingan alam Bali, tetapi hanya baik bagi pihak tertentu
saja.
Ketiga, frasa sebagian besar yang diundang pada kalimat Namun, dari dua
kali sosialisasi, sebagian besar yang diundang menyatakan revisi ini tidak lebih
baik dari perda sebelumnya. Frasa sebagian besar yang diundang merupakan
upaya abstraksi atau pengaburan subjek yang dilakukan oleh wartawan sehingga
tidak perlu menyebutkan jumlah pihak yang berpandangan bahwa revisi perda
tidak lebih baik daripada sebelumnya. Dengan menggunakan frasa sebagian besar
yang diundang sebagai pengganti subjek, kesan jumlah yang ditimbulkan akan
lebih banyak daripada jumlah yang semestinya. Hal itu akhirnya menggiring
pembaca untuk memiliki pandangan yang sama, yakni beranggapan bahwa revisi
perda tidak lebih baik daripada perda yang telah ada.
134
Keempat, ada yang menyebut pada kalimat bahkan ada yang menyebut
sebuah kemunduran. Sama halnya dengan frasa sebagian besar yang diundang,
frasa ini juga merupakan bentuk pengaburan subjek oleh wartawan. Pembaca
tidak diinformasikan tentang subjek yang sebenarnya menyampaikan pernyataan
tersebut. Dengan bentuk frasa ini pembaca hanya diarahkan untuk memahami
bahwa perda yang merupakan hasil revisi merupakan sebuah kemunduran
dibandingkan dengan perda sebelumnya.
Dalam berita ketiga ditemukan beberapa strategi wacana pada tataran
leksikon. Pertama, tampaknya pada kalimat “Dua objek wisata di Kabupaten
Buleleng, yakni sepanjang pantai Air Sanih Kubutambahan hingga Tejakula dan
Kawasan Buyan – Tamblingan Desa Pancasari tampaknya sedang laris-larisnya
didatangi investor” (par.1, kal.1). Kata tampaknya merupakan adverbia yang
memberikan keterangan pada kata setelahnya. Penggunaan kata tampaknya, pada
berita ini menandakan bahwa informasi yang disampaikan setelahnya tidak
bersifat objektif atau kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara pasti.
Kedua, laris-larisnya pada kalimat yang sama dengan sebelumnya (par.1,
kal.1). Kata ulang ini menunjukkan bahwa wartawan menganalogikan objek
wisaja khususnya dua objek wisata di Kabupaten Buleleng (Air Saning dan
kawasan Buyan – Tamblingan) sebagai hal yang dijualbelikan atau barang yang
diperdagangkan karena kata laris merupakan istilah perdagangan yang mengacu
pada cepat laku atau sangat laku. Dengan leksikon ini, wartawan menggiring
pandangan pembaca untuk memahami bahwa pemerintah atau pihak yang
135
membiarkan investor masuk dan menanam modal di objek wisata tersebut
menganggap alam dan objek wisata hanya sebagai barang dagangan.
Ketiga, disiasati pada kalimat “Namun kenyataannya ketentuan itu masih
bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tidak memiliki alat kontrol yang
tegas” (par.4, kal.1). Kata itu dalam kalimat ini mengacu kepada aturan bahwa
pada kawasan ODTWK tidak diizinkan dibangun hotel berbintang dan hanya
diizinkan untuk pondok wisata dengan jumlah kamar maksimal 25 kamar.
Leksikon disiasati dalam konteks ini mengacu kepada mengadakan muslihat atau
taktik yang negatif. Dengan menggunakan leksikon disiasati, pembaca diarahkan
untuk memahami bahwa aturan sering dilanggar oleh pihak pengelola penginapan
atau investor dengan cara-cara tertentu yang dengan sengaja memanfaatkan
kelemahan aturan yang berlaku.
Keempat, sejumlah pada kalimat “Anehnya di dalamnya terdapat sejumlah
hotel dengan kategori berbintang” (par.5, kal.2). Kata sejumlah dalam konteks ini
menggambarkan jumlah atau kuantitas yang tidak pasti. Kata sejumlah dapat
berarti hanya dua atau lebih hingga jumlah yang tak terbatas. Dengan demikian,
penggunaan kata sejumlah dapat menimbulkan kesan jumlah yang lebih banyak
daripada yang semestinya selain untuk menyamarkan bahwa wartawan tidak
memiliki data atau informasi yang memadai dan pasti mengenai hal tersebut.
Kelima, leksikon ratusan pada kalimat “Pada kawasan pantai dari Air
Sanih dan Bukti hingga Desa Tembok di Tejakula terdapat ratusan vila atau
pondok wisata.” Kata ratusan merupakan strategi wacana yang bertujuan untuk
mengabstraksi atau menyamarkan jumlah yang pasti dan menimbulkan kesan
136
jumlah yang melebihi jumlah yang sebenarnya. Ratusan bisa bermakna seratus
atau sembilan ratus, bahkan lebih. Dengan menggunakan kata ratusan pada
kalimat ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa sangat banyak vila dan
pondok wisata yang terdapat di kawasan tersebut.
Pada berita keempat ditemukan beberapa leksikon menarik yang belum
ditemukan pada berita sebelumnya. Pertama, kedaluarsa. Kata kedaluwarsa
digunakan untuk menggambarkan data yang digunakan sebagai dasar penyusunan
ranperda RTRWP. Kedaluwarsa secara leksikal bermakna sudah lewat (habis)
jangka waktu; habis tempo; atau terlewat dari batas waktu berlakunya
sebagaimana ditetapkan. Dalam konteks ini, kata kedaluwarsa mengarahkan
pandangan pembaca untuk memahami bahwa data-data yang digunakan sebagai
dasar penyusunan RTRWP tidak layak dan tidak relevan sehingga RTRWP
tersebut pun diragukan kualitasnya. Interpretasi selanjutnya, penyusun RTRWP
memang sengaja menggunakan data yang kedaluwarsa agar RTRWP tersebut
sesuai dengan yang diharapkan kelompok tertentu dan untuk kepentingan
kelompok tertentu.
Strategi wacana selanjutnya adalah berupa frasa Tim yang terdiri atas guru
besar Unud. Frasa ini tidak sekadar berfungsi sebagai subjek, tetapi
menggambarkan siapa subjek dan kapasitas subjek sehingga meningkatkan
kepercayaan publik terhadap pernyataan atau hal yang disampaikan. Frasa ini
terdapat pada kalimat “Tim perumus kajian akademik Unud (BP, 10/5)
menyatakan bahwa dokumen RTRWP kedaluwarsa arena masih memakai Renstra
(Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008).” Guru besar diketahui sebagai jabatan
137
akademik tertinggi di universitas. Dengan jenjang tersebut, guru besar memiliki
kapasitas akademi yang tinggi dan netralitas yang dapat dipercaya. Jika tim yang
beranggotakan guru besar tersebut menyampaikan suatu penilaian, tentu
masyarakat digiring untuk meyakini dan memercayai kebenaran penilaian
tersebut.
4.3.4 Retorik
Retorik berhubungan dengan cara penyajian informasi tertentu sehingga
menjadi lebih efektif dalam memengaruhi atau mempersuasi persepsi pembaca.
Strategi wacana pada tataran retorik dibagi menjadi empat bagian yang lebih
khusus, yaitu deskripsi langsung dan laporan saksi mata, sumber dan kutipan,
nomor, dan gaya bahasa. Pada berita pertama, tidak ditemukan adanya strategi
wacana dengan menggunakan deskripsi langsung dan laporan saksi mata serta
nomor.
Berita pertama menggunakan strategi wacana pada tataran retorik berupa
kutipan langsung sumber seperti yang terpada paragraf 1, kalimat 2, atau pada
teras berita yang merupakan kutipan pernyataan Kepala Pusreg Lingkungan Hidup
Bali Nusra Ir. R. Sudirman, M.M. Kalimat yang dimaksud adalah “Saya berharap
jangan sampai perda ini disusun hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi
yang pada akhirnya merugikan kepentingan penyelamatan alam. Antara aspek
ekonomi dan penyelamatan alam Bali harus balance,” tegasnya. Selain itu, juga
terdapat kutipan langsung pada paragraf 4 berita pertama yang merupakan kutipan
pernyataan ahli geomorfologi Unud R. Suryanto, yakni “Selama ini ada kesan tak
138
ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan kelayakan sebuah investasi. Ada
kecenderungan kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi
Bali,” ujarnya.
Kedua kutipan langsung tersebut merupakan petikan pernyataan pihak
yang memiliki kapasitas dan kualifikasi untuk menyampaikan pandangan. Dengan
kapasitas tersebut, wartawan atau media berupaya menyampaikan bahwa
kebenaran pandangan yang disampaikan dapat dipercaya. Selain itu, pandangan
tersebut juga bersifat netral. Dengan strategi wacana ini, pembaca diarahkan untuk
memahami bahwa penyusunan ranperda RTRWP hanya didominasi oleh
kepentingan ekonomi dan mengabaikan aspek penyelamatan alam Bali. Di
samping itu, pembaca juga diarahkan untuk berpersepsi bahwa selama ini tidak
ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan kebijakan atau khususnya kelayakan
investasi. Pertimbangan ilmiah merupakan hal yang dianggap memiliki tingkat
kebenaran yang tinggi dan bersifat netral. Dengan tidak adanya pertimbangan
ilmiah, besar kemungkinan kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang keliru
dan hanya memperjuangkan kepentingan tertentu yang dalam hal ini adalah
kepentingan ekonomi pihak tertentu dan mengabaikan keselamatan Bali.
Selain kutipan langsung, juga terdapat kutipan tidak langsung di dalam
berita pertama, yakni “Ahli geomorfologi Unud, R. Suyarto juga mengingatkan
agar komponen masyarakat di Bali diberi ruang yang terbuka untuk memberikan
sumbang saran dalam membuat aturan terhadap wilayahnya. Bali sebagai pulau
kecil memiliki kandungan risiko yang tinggi dari segi geografis sehingga
pemetaan fungsi tanah di Bali haruslah jelas” (par. 3). Kutipan tak langsung juga
139
terdapat pada paragraf terakhir berita pertama yang juga berasal dari narasumber
yang sama, yakni “R. Suyarto juga mengatakan perlu adanya sebuah evaluasi
yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan implementasinya di lapangan.
Sangat mungkin terjadi aturan main sudah ideal, namun konsistensi pejabat publik
dalam menegakkan aturan tak terbangun” (par.5).
Berdasarkan dua kutipan tidak langsung ini, wartawan atau media
menyampaikan bahwa pandangan yang disampaikan melalui kutipan tidak
langsung merupakan pandangan yang kebenarannya dapat dipercaya. Dikatakan
demikian karena disampaikan oleh orang yang memiliki keahlian dalam bidang
geomorfologi dan berasal dari perguruan tinggi yang ternama di Bali. Isi
pernyataan yang dikutip juga mengandung beberapa pesan yang mengarahkan
pandangan masyarakat tentang masalah tersebut. Pertama, dimunculkan kesan
bahwa selama ini masyarakat Bali tidak diberikan kesempatan untuk
menyampaikan pandangan atau pendapatnya dalam pembuatan aturan tentang
pemanfaatan wilayah di Bali. Padahal, Bali merupakan pulai kecil yang rawan
terhadap permasalahan lingkungan jika lingkungan tidak dikelola dengan baik.
Kecilnya pelibatan masyarakat dalam membuat aturan penataan lingkungan
membuat peluang terciptanya aturan yang tidak berpihak kepada penyelamat alam
Bali menjadi besar. Selain memuat kritik terhadap kurangnya pelibatan
masyarakat, kutipan tak langsung tersebut juga menggiring pemahaman pembaca
bahwa selama ini, sangat besar kemungkin terjadinya ketidakkonsistenan pejabat
publik dalam menegakkan aturan, padahal bisa saja aturan tersebut sebenarnya
sudah baik. Dengan pandangan ini, masyarakat pembaca digiring untuk cenderung
140
menyalahkan pimpinan daerah sebagai pihak yang menjalankan aturan dan
mengeluarkan kebijakan.
Dalam berita pertama ditemukan beberapa gaya bahasa yang digunakan.
Pertama, gaya bahasa ironi, yaitu dalam penyebutan “pasal bisnis” pada judul dan
teras berita. Gaya bahasa ini tergolong dalam gaya bahasa ironi karena istilah
pasal mengacu pada bagian dari undang-undang atau peraturan yang idealnya
mengatur kepentingan bersama dan kebaikan seluruh pihak. Namun, frasa “pasal
bisnis” bermakna sebaliknya, yakni aturan yang dibuat untuk kepentingan bisnis
yang menguntungkan pihak tertentu semata dan mengabaikan kepentingan lain
termasuk penyelamatan alam Bali.
Gaya bahasa lain adalah “aturan main” yang tergolong dalam gaya
bahasa metafora dan terdapat pada kalimat “Sangat mungkin aturan main sudah
ideal, namun konsistensi pejabat publik dalam menegakkan aturan tak terbangun”.
“Aturan main” yang dimaksud dalam konteks ini adalah peraturan pemerintah,
khususnya peraturan daerah yang mengatur pengelolaan alam dan lingkungan
Bali. Untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan, aturan tersebut yang
semestinya dijadikan dasar dalam membuat keputusan. Pelanggaran terhadap
aturan akan membuat “permainan” (pelaksanaan kebijakan) tidak dapat berjalan
dengan baik sehingga dampaknya bagi Bali pun tidak akan baik.
Pada berita kedua ditemukan beberapa strategi wacana pada level retorik.
Berita kedua menggunakan strategi wacana pada tataran retorik berupa sumber
dan kutipan langsung yang dapat ditemukan pada paragraf kedua, kalimat kedua,
yaitu “Tidak ada pasal pesanan”, katanya ditemui di sela-sela rapat penutupan
141
evaluasi APBD Bali 2009 di Ruang Wisma Sabha. Yang dimaksud –nya pada
kalimat itu adalah Ketua Bappeda Bali Nengah Suarca. Kutipan langsung itu
ditulis untuk menyampaikan kepada pembaca bahwa telah ada wawancara
langsung dengan narasumber yang memiliki kapasitas untuk berbicara mengenai
topik yang sedang dibicarakan. Narasumber membantah anggapan bahwa dalam
ranperda RTRWP terdapat pasal pesanan.
Strategi wacana yang kedua adalah dengan kutipan langsung juga yang
terdapat pada paragraf keempat, kalimat kedua, yakni “Segala rumusan berkaitan
dengan pasal-pasal tersebut digodok di Biro Hukum dan HAM Provinsi Bali,
katanya tergesa-gesa. Pada kutipan langsung ini, narasumber Ketua Bappeda Bali
Nengah Suarca menjelaskan proses penyusunan ranperda RTRWP yang sedang
dibahas. Penjelasan yang dibuat wartawan setelah mengutip secara langsung
pernyataan narasumber dengan proposisi katanya tergesa-gesa menggiring
pemahaman pembaca bahwa narasumber terburu-buru, bahkan terkesan
menghindar dari wartawan.
Strategi wacana yang ketiga adalah kutipan tak langsung yang terdapat
pada paragraf ketiga, yakni Suarca menyatakan Ranperda RTRWP Bali merujuk
UU 26/2007 tentang penataan ruang. Rujukan itu dijadikan pedoman dalam
merevisi Perda 2/2005 tentang RTRWP Bali. Selanjutnya perumusannya
diserahkan ke Badan Koordinasi Penataan Ruang Provinsi Bali. Hasil
perumusannya digodok oleh sebuah tim bersama kelompok ahli. Kutipan tak
langsung ini memaparkan dasar dan tata cara perumusan ranperda RTRWP yang
sedang dibahas. Namun, penjelasan yang cukup terperinci dan prosedural ini
142
terkesan menjadi pernyataan normatif setelah wartawan menyampaikan kutipan
langsung yang diikuti proposisi katanya tergesa-gesa pada paragraf setelahnya,
yaitu paragraf empat kalimat terakhir. Dengan proposisi katanya tergesa-gesa,
wartawan menggiring pemahaman pembaca bahwa narasumber tidak bersedia
merespon lebih terperinci pertanyaan-pertanyaan terkait dengan pasal pesanan
dan yang sejenis dengan itu.
Strategi wacana yang keempat adalah strategi pada tataran retorik dengan
menggunakan gaya bahasa yang dapat ditemukan pada teras berita pada kalimat
Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak disorot (par.1, kal.1). Kata disorot
merupakan metafora yang makna sebenarnya adalah disinari atau diberikan
cahaya. Dalam konteks ini, disorot dimaksudkan sebagai pusat perhatian atau
menjadi fokus pembicaraan.
Strategi wacana retorik yang kelima adalah penggunaan gaya bahasa pada
kalimat Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila revisi Ranperda RTRWP
ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng dan ‘sesak napas’
karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW No. 3/2005
maupun Bhisama PHDI (par.1, kal.3). Kata bopeng merupakan metafora yang
digunakan untuk memberikan gambaran kepada pembaca bahwa saat ini Bali
telah mengalami masalah. Bopeng secara leksikal berarti cacat yang berupa
lubang-lubang (lekuk-lekuk) kecil pada kulit atau burik. Dengan menyebut bahwa
Bali bopeng, wartawan mengarahkan pemahaman pembaca bahwa Bali telah cacat
dan memiliki masalah. Dengan adanya revisi perda RTRWP, masalah alam Bali
tersebut akan bertambah lagi karena aturan yang baik dan keputusan bersama
143
umat Hindu melalui PHDI yang didasari oleh ajaran nilai-nilai Hindu juga tidak
dilaksanakan.
Strategi wacana yang keenam juga merupakan gaya bahasa yang terdapat
pada kalimat yang sama dengan sebelumnya, yakni Anggota DPRD Bali pun
mengkhawatirkan bila revisi Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak
Bali yang kini telah bopeng dan ‘sesak napas’ karena kehadiran investasi yang
tak lagi mengindahkan Perda RTRW No. 3/2005 maupun Bhisama PHDI
(Par.1,kal.3). Pada kalimat tersebut, ungkapan sesak napas merupakan metafora.
Frasa sesak napas secara harfiah bermaksa sulit bernapas. Pada konteks ini, sesak
napas mengacu pada masalah yang sedang dialami Bali yang membuat Bali
berada dalam kesulitan.
Retorik berhubungan dengan cara penyajian informasi tertentu sehingga
menjadi lebih efektif. Retorik digunakan dalam upaya memengaruhi pembaca atau
penerima wacana. Dalam berita ketiga ditemukan beberapa strategi wacana pada
tataran retorik sebagai berikut.
Pada berita ketiga, wartawan menggunakan deskripsi langsung untuk
menyampaikan kondisi kawasan ODTWK, khususnya akomodasi pada kawasan
tersebut. Deskripsi langsung terdapat pada paragraf kelima dan keenam yang
memaparkan adanya ratusan vila dan pondok wisata di kawasan tersebut
khususnya kawasan Air Sanih dan Bukti hingga Desa Tembok. Wartawan juga
menggambarkan adanya sejumlah hotel yang menyediakan kamar melebihi
ketentuan maksimal yakni 25 kamar.
144
Dalam berita ketiga terdapat dua buah kutipan tidak langsung pada dua
paragraf terakhir berita, yakni paragraf tujuh dan delapan. Kutipan tidak langsung
yang pertama adalah “Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar)
Buleleng I Putu Tastra Wijaya didampingi Kabid Pengembangan Pariwisata
Nyoman Dodi Irianto membenarkan adanya hotel berbintang atau hotel yang
memiliki kamar lebih dari 25 buah dalam ODTWK di Tejakula dan Pancasari”
(par.7). Kutipan ini menunjukkan bahwa paparan wartawan mengenai kondisi
akomodasi dan upaya menyiasati aturan oleh investor memang benar. Pernyataan
ini ditulis pada bagian akhir berita sebagai upaya wartawan meyakinkan bahwa
berita yang ditulis memang benar dan objektif karena mengutip narasumber yang
memiliki kapasitas untuk menyampaikan hal tersebut. Namun, pengutipan
narasumber di bagian akhir berita sekaligus menunjukkan bahwa bagian awal
hingga pertengahan berita dikonstruksi dengan pengetahuan dan pandangan
wartawan.
Kutipan tidak langsung yang kedua adalah “Tastra mengatakan pihaknya
kini sedang melakukan penataan terhadap pondok wisata atau vila di daerah yang
masuk ODTWK. Karena diakui memang terdapat investor yang mencoba
menyiasati peraturan agar bisa membangun sesuai dengan keinginannya.” Kutipan
tak langsung ini juga memperkuat informasi yang sebelumnya telah disajikan
dalam berita mengenai adanya upaya investor untuk menyiasati aturan demi
keuntungan usahanya.
Ketiga, kutipan langsung yang terdapat pada bagian paling akhir berita,
yakni “Kami sedang melakukan kontrol sekaligus penataan, khususnya di daerah
145
ODTWK”, katanya. Kutipan langsung ini memiliki fungsi yang sama dengan dua
kutipan tidak langsung sebelumnya yakni memperkuat keyakinan pembaca bahwa
berita ini disusun dengan objektif dan dengan melakukan wawancara kepada
narasumber yang memiliki kapasitas dalam topik tersebut. Dengan akan
dilakukannya penataan sekaligus kontrol, secara implisit terdapat informasi bahwa
saat ini ada pelanggaran dan tidak tertatanya kawasan ODTWK.
Penggunaan nomor sebagai strategi wacana pada tataran retorik juga
terdapat pada berita ketiga. Penggunaan nomor muncul sebanyak tiga kali di
dalam berita, yakni pada paragraf 5, paragraf 6, dan paragraf 7. Nomor yang
muncul pada paragraf tersebut sama, yakni nomor 25 yang disampaikan untuk
menginformasikan jumlah kamar maksimal yang semestinya boleh dimiliki
investor atau pengusaha akomodasi pariwisata.
Pada berita empat ditemukan strategi wacana pada tataran retorik yang
menggunakan kutipan tidak langsung, yakni “Tim perumusan kajian akademis
Unud menyatakan bahwa dokumen RTRWP kedaluwarsa karena masih memakai
Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008.” Pada kalimat ini, tidak
disebutkan subjek secara spesifik, tetapi yang disebutkan hanyalah tim perumusan
kajian akademis Unud. Dengan penyebutan subjek seperti itu, pihak yang
menyatakan pernyataan tersebut juga tidak terlalu jelas. Bentuk penyampaikan
dalam kutipan tidak langsung juga memungkinkan adanya perubahan struktur dan
makna pesan. Dengan kalimat tersebut, pembaca digiring untuk memahami
bahwa dokumen RTRWP memang kedaluwarsa dan tidak relevan lagi.
146
Pada tataran gaya bahasa, ditemukan gaya bahasa yang mengandung
maksud tertentu, yakni menggambarkan secara negatif kepala daerah jiga RTRWP
ini diterapkan. Gaya bahasa tersebut terdapat pada kalimat “Mereka akan
berlomba-lomba menentukan ODTW.” Yang dimaksud mereka dalam konteks ini
adalah para kepala daerah di Bali. Berlomba-lomba menggambarkan bahwa para
kepala daerah akan berkompetisi dalam hal jumlah untuk menentukan ODTW di
wilayahnya masing-masing. Dengan demikian, semakin banyak investor yang
masuk ke wilayah tersebut.
147
BAB V
KOGNISI SOSIAL WARTAWAN DALAM BERITA TENTANG RTRWP
BALI DALAM HARIAN BALI POST
Analisis kognisi sosial merupakan analisis penggunaan pengetahuan yang
dimiliki pemroduksi wacana, dalam konteks ini wartawan dalam memproduksi
berita. Analisis kognisi sosial merupakan gagasan utama dalam analisis wacana
yang dikemukanan van Dijk. van Dijk (1993b) mengemukakan bahwa hubungan
antara wacana dan masyarakat tidak bersifat langsung, tetapi melalui perantara
yang disebut kognisi sosial.
Dalam analisis kognisi sosial, analisis difokuskan kepada analisis terhadap
enam jenis pengetahuan yang mungkin dilibatkan dalam pemroduksian wacana
berita. Keenam jenis pengetahuan tersebut, yaitu pengetahuan personal,
pengetahuan interpersonal, pengetahuan kelompok, pengetahuan institusional atau
organisasional, pengetahuan nasional, dan pengetahuan kebudayaan.
Dalam penelitian ini, tidak ditemukan keseluruhan bentuk penggunaan
pengetahuan. Jenis-jenis pengetahuan yang digunakan dalam berita-berita tentang
rancangan tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Bali meliputi pengetahuan
nasional, pengetahuan kebudayaan, dan pengetahuan kelompok. Selanjutnya akan
dibahas jenis-jenis pengetahuan yang ditemukan dalam berita RTRWP Bali dalam
harian Bali Post.
147
148
5.1 Pengetahuan Nasional
Dalam berita pertama, ditemukan penggunaan pengetahuan sebagai
berikut. Pertama, pengetahuan nasional yang merupakan pengetahuan yang
diketahui oleh masyarakat suatu negara dan diperoleh melalui sekolah, media
massa, dan digunakan secara luas dalam komunikasi oleh masyarakat. Bagian
wacana yang pemahamannya membutuhkan pengetahuan nasional adalah sebagai
berikut. (1) Pasal. Pasal merupakan istilah yang digunakan dalam undang-undang
atau peraturan resmi pemerintah. Setiap undang-undang atau aturan pemerintah
mengandung sejumlah pasal. Setiap pasal mengandung suatu aturan atau
informasi khusus yang terkait dengan aturan. Penyusunan undang-undang atau
peraturan yang mengandung pasal-pasal dibuat dengan mekanisme tertentu.
Undang-undang diputuskan pada tingkat nasional. Sementara peraturan
pemerintah untuk tingkat daerah disusun berdasarkan aturan pada tingkat
nasional. Penyusunan aturan pada umumnya melibatkan lembaga negara, baik
eksekutif maupun legislatif. (2) RTRWP. RTRWP merupakan singkatan dari
Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi. RTRWP merupakan produk aturan
yang dibuat pada level provinsi dan disusun berdasarkan aturan yang berada pada
tingkat nasional.
Selanjutnya, (3) Bali. Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia
yang secara geografis berada di satu pulau bernama Pulau Bali. (4) Ranperda.
Ranperda merupakan singkatan dari Rancangan Peraturan Daerah. Disebut
sebagai rancangan karena peraturan ini masih dalam proses penyusunan dan
pembahasan. Ranperda akan menjadi perda (peraturan daerah) apabila telah
149
selesai dibahas dan disahkan. (5) DPRD Bali. DPRD Bali perupakan singkatan
dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali. DPRD Bali merupakan DPR pada
tingkat provinsi. Terdapat DPR pada tingkat nasional yang disebut dengan DPR
RI, dan terdapat DPRD pada tingkat kabupaten yang disebut DPRD kabupaten.
(7) Sanksi. Pada berita yang dimaksud sanksi adalah bagian dari peraturan daerah
tentang RTRWP yang mengatur hukuman atas pelanggaran aturan yang telah
ditetapkan.
Pada berita kedua, ditemukan beberapa jenis pengetahuan nasional yang
digunakan wartawan atau media dalam menyampaikan informasi dalam topik dan
sekaligus menggiring pemahaman pembaca agar memahami informasi seperti
yang diharapkan media yang akan disajikan sebagai berikut. (1) Perda. Perda
merupakan singkatan dari peraturan daerah. Perda merupakan peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dengan persetujuan bersama kepala daerah, baik gubernur maupun bupati atau
wali kota. Ranperda merupakan rancangan peraturan daerah yang dapat berasal
dari DPRD atau kepala daerah (gubenur, bupati, wali kota). (2) RTRW. RTRW
merupakan singkatan dari Rancangan Tata Ruang Wilayah. RTRW mengandung
tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah, rencana struktur ruang
wilayah, rencana pola ruang wilayah, penetapan kawasan strategis, arahan
pemanfaatan ruang wilayah, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah. RTRWP merupakan RTRW Provinsi yang mengatur tata ruang wilayah
provinsi tertentu.
150
Selanjutnya, (3) Bali. Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia
yang secara geografis berada di suatu pulau bernama Pulau Bali. (4) Pasal. Pasal
merupakan istilah yang digunakan dalam perundang-undangan dan peraturan
resmi pemerintah. Setiap perundang-undangan atau peraturan resmi pemerintah
mengandung pasal-pasal yang menjadi bagian bab tertentu dan mangandung
penjelasan atau aturan khusus. (5) Eksekutif. Eksekutif dapat dipahami sebagai
salah satu pemerintah yang memiliki kekuasaan dan bertanggung jawab untuk
menerapkan hukum dan menjalankan sistem pemerintah. Dalam konteks berita 2,
yang dimaksud eksekutif adalah pemerintah Provinsi Bali, khususnya Gubernur
Bali, Mangku Pastika.
Selanjutnya, (6) UU. UU merupakan singkatan dari undang-undang yang
merupakan hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur
pemerintahan yang lainnya. Undang-undang berfungsi sebagai otoritas untuk
mengatur, menganjurkan, menyediakan (dana), menghukum, memberikan,
mendeklarasikan, atau membatasi sesuatu. Karena terdapat banyak undang-
undang, penyebutan undang-undang pada umumnya disertai dengan nomor dan
tahun seperti yang terdapat pada berita, yakni UU 26/2007. Hal yang sama juga
terjadi pada perda. (7) Biro. Istilah biro yang terdapat pada frasa Biro Hukum dan
HAM Provinsi Bali mengacu kepada bagian dari instansi yang mengurusi urusan
atau bidang tertentu. (8) HAM. HAM merupakan kependekan dari hak asasi
manusia yang merupakan hak yang dimiliki seseorang sejak dalam kandungan dan
berlaku secara universal. (9) Sanksi. Sanksi merupakan tindakan atau hukuman
untuk memaksa orang menepati perjanjiaan atau menaati ketentuan tertentu.
151
Pada berita ketiga (3), ditemukan beberapa penggunaan pengetahuan
nasional. (1) ODTWK. ODTWK merupakan singkatan dari objek daya tarik
wisata khusus. ODTWK merupakan segala sesuatu yang memiliki daya tarik
tertentu yang lokasinya berada pada kawasan yang memerlukan pertimbangan dan
perlakuan khusus dari sudut pelestarian lingkungan dan sangat potensial menjadi
tujuan wisata. (2) Ketentuan pembangunan di kawasan ODTWK. Ketentuan
pembangunan fasilitas atau akomodasi pariwisata di kawasan ODTWK
semestinya mengikuti ketentuan tertentu. Meskipun tidak disebut secara jelas
ketentuan yang dimaksud, pembaca diberikan informasi bahwa terdapat ketentuan
tertentu dalam pembangunan akomodasi pariwisata di kawasan ODTWK. (3)
Ranperda. Kata ranperda terdapat pada judul berita. Sebagaimana telah
dipaparkan sebelumnya, ranperda merupakan rancangan peraturan daerah yang
dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (gubenur, bupati, wali kota) yang
setelah disahkan akan menjadi perda.
Pada berita keempat (4) terkandung pengetahuan nasional, seperti
RTRWP, pasal, ODTWK, RTRW, dan Bali sebagaimana yang juga digunakan
pada beberapa berita lain. Namun, terdapat satu buah pengetahuan nasioanl yang
belum terdapat pada berita lain, yakni gubernur, bupati/walikota. Pada berita
empat gubernur, bupati/wali kota digambarkan akan memiliki wewenang untuk
menentukan ODTW di wilayah masing-masing sehingga tiap kepala daerah
tersebut akan menetapkan ODTW secara leluasa untuk mempermudah investor.
Gubernur merupakan kepala daerah wilayah provinsi. Gubernur bersama wakilnya
dipilih secara langsung oleh masyarakat di provinsi tersebut. Masa jabatan
152
Gubernur adalah lima tahun. Sementara itu, bupati adalah kepala daerah tingkat
kabupaten. Jabatan bupati sejajar dengan wali kota yang merupakan kepala daerah
untuk daerah kota. Bupati memiliki tugas dan wewenang memimpin
penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD
kabupaten. Bupati dipilih dengan cara yang sama dengan gubernur, yakni dipilih
bersama dengan wakilnya serta oleh rakyat di wilayah tersebut. Gubernur,
bupati/wali kota merupakan jabatan politis, dan bukan pegawai negeri sipil.
5.2 Pengetahuan Kebudayaan
Pengetahuan kebudayaan merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh
anggota suatu kebudayaan. Dalam konteks ini istilah kebudayaan dipahami secara
sederhana sebagai bahasa, agama, sejarah, kebiasaan, asal usul, atau penampilan
karena melalui hal tersebut kebudayaan pada umumnya diidentifikasi.
Dalam penelitian ini, ditemukan beberapa pengetahuan kebudayaan.
Pengetahuan kebudayaan yang terdapat dalam berita pertama dapat disampaikan
sebagai berikut. (1) Praktik membijaksanai aturan. Khalayak pembaca
diasumsikan telah mengetahui bahwa sering terjadi aturan tidak dilaksanakan
dengan dalih-dalih tertentu yang terkesan rasional dan benar, padahal sebenarnya
hanya untuk kepentingan tertentu yang bersifat sempit. (2) Pertimbangan ilmiah.
Pertimbangan ilmiah pada umumnya digunakan sebagai dasar dalam menentukan
kebijakan publik. Pertimbangan ilmiah tersebut merupakan hasil penelitian yang
dilakukan oleh badan atau pihak tertentu yang memiliki kualifikasi dan kapasitas
pada bidang tersebut.
153
Pengetahuan kebudayaan yang terdapat dalam berita kedua dapat dilihat
pada beberapa bagian. (1) Pengetahuan kebudayaan terdapat pada frasa kearifan
lokal Bali. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai kebudayaan lokal yang menjadi
pandangan hidup yang dianut oleh komunitas masyarakat atau etnik tertentu.
Meskipun bersifat lokal, tidak tertutup kemungkinan terdapat kearifan lokal yang
sejalan dengan komunitas masyarakat lain di Indonesia sehingga nilai tersebut
menjadi nilai budaya yang bersifat nasional. Di Bali, kearifan lokal Bali dijiwai
oleh nilai-nilai agama Hindu dan kebudayaan lokal yang telah dimiliki oleh
masyarakat Bali. (2) Danau Buyan. Pada konteks ini, danau Buyan bukan semata-
mata sebuah danau, namun bagi masyarakat Bali, danau merupakan tempat yang
harus dijaga kelestarian dan kesuciannya. Danau sering menjadi salah satu tempat
umat Hindu untuk melaksanakan ritual keagamaan khususnya yang berhubungan
dengan kesuburan selain berfungsi sebagai sumber air dalam irigasi pertanian.
Selain danau, gunung, hutan, dan laut juga memiliki nilai religius dan budaya bagi
masyarakat Hindu di Bali sehingga kelestarian dan kesuciannya harus dijaga.
Pengetahuan kebudayaan dan kelompok yang terdapat dalam berita 3
adalah sebagai berikut. Yang pertama adalah pada paragraf 6, khususnya pada
kalimat “Belakangan, daerah itu terus didatangi investor sehingga dikhawatirkan
lereng-lereng bukit di daerah itu nantinya akan dipenuhi vila” (par.6, kal.2). Frasa
lereng-lereng bukit akan menjadi bermakna apabila pembaca memiliki
seperangkat pemahaman kebudayaan sekaligus kelompok. Bukit bagi masyarakat
Hindu dan Bali merupakan kawasan yang disucikan atau disakralkan. Terlebih
lagi bukit di kawasan Danau Buyan yang di areal tersebut terdapat tempat suci dan
154
danaunya merupakan danau yang disucikan. Selain itu, juga menjadi sumber air
bagi masyarakat khususnya untuk irigasi pertanian. Dengan menggunakan frasa
lereng-lereng bukit wartawan membangun kesadaran orang Bali mengenai hal
yang mungkin ditimbulkan apabila tidak dilakukan upaya pencegahan
pembangunan akomodasi pariwisata oleh investor secara bebas tanpa pengawasan
dan ketaatan terhadap aturan yang berlaku.
Pengetahuan kebudayaan yang lain adalah mengenai adanya kebiasaan
perilaku menyiasati aturan atau ketentuan agar terhindar dari beban yang lebih
berat atau sanksi tertentu. Hal ini terdapat pada paragraf 4 “Namun dalam
kenyataannya ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga
tidak memiliki alat kontrol yang tegas” (par.4, kal.1). Adanya kebiasaan
menyiasati aturan ini telah menjadi perilaku atau pengetahuan bersama
masyarakat. Dengan demikian, oleh van Dijk, kebiasaan ini pun digolongkan ke
dalam pengetahuan kebudayaan.
5.3 Pengetahuan Kelompok
Pengetahuan kelompok dapat dipahami sebagai pengetahuan yang dimiliki
bersama antaranggota kelompok, pengetahuan abstrak yang diperoleh anggota
kelompok, seperti kelompok profesional, pergerakan sosial, atau aliran tertentu.
Pengetahuan kelompok yang terdapat dalam berita satu dapat disampaikan
sebagai berikut. (1) Krama merupakan istilah bahasa Bali yang mengacu pada
anggota komunitas atau organisasi adat lokal Bali yang keanggotaannya pada
umumnya didasarkan pada wilayah. Organisasi adat ini bersifat homogen dari segi
155
agama, yakni Hindu. (2). Keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan
keselamatan alam merupakan hal yang harus dilakukan. Hal ini sesuai dengan
konsep tri hita karana yang menjadi pegangan hidup masyarakat Bali yang
beragama Hindu, yakni menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan,
manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan sesamanya.
Pengetahuan kelompok juga terdapat dalam berita 2 yang berjudul Revisi
Perda RTRW Inisiatif Eksekutif antara lain sebagai berikut. (1) Bhisama. Bhisama
merupakan istilah yang dikenal dalam komunitas masyarakat yang beragama
Hindu. Bhisama mengacu pada keputusan bersama yang memiliki kekuatan
mengikat yang dibuat berdasarkan nilai dan ajaran agama Hindu. (2) PHDI. PHDI
merupakan singkatan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia. PHDI merupakan
organisasi umat Hindu Indonesia yang menangani, baik kepentingan keagamaan
maupun sosial umat Hindu. Kepengurusan PHDI berjenjang, yaitu mulai dari
kepengurusan nasional, provinsi, hingga kabupaten.
Pengetahuan kelompok juga terdapat pada berita keempat, yakni pura
khayangan jagat. Secara umum, pura dikenal sebagai tempat suci umat Hindu.
Namun, jenis pura khayangan jagat belum banyak dikenal, kecuali oleh
kelompok umat Hindu. Pura khayangan jagat merupakan pura yang bersifat
universal atau umum. Dengan kata lain, siapa pun boleh bersembahyang ke pura
tersebut.
156
BAB VI
KONTEKS SOSIAL BERITA TENTANG RTRWP BALI DALAM
HARIAN BALI POST
Pada bab ini akan dipaparkan mengenai konteks sosial wacana berita
tentang rancangan tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Bali. Dalam analisis
konteks sosial ini, dipaparkan beberapa aspek konteks sosial yang meliputi
struktur sosial, struktur institusi atau organisasi, hubungan antar kelompok, dan
struktur kelompok.
6.1 Struktur Masyarakat
Pada bagian ini yang dimaksud struktur masyarakat adalah sistem
keyakinan, prinsip, norma yang berlaku di masyarakat, seperti demokrasi,
kapitalisme, pancasila, atau bentuk-bentuk keyakinan yang lebih lokal. Pada
penelitian ini peneliti, pemaparan mengenai struktur masyarakat dibatasi hanya
pada aspek yang memiliki hubungan langsung dengan penelitian ini yang meliputi
nilai masyarakat secara nasional yang didasari oleh nilai-nilai Pancasila. Di
samping itu, juga keyakinan masyarakat yang bersifat lokal, khususnya nilai-nilai
lokal masyarakat Bali.
6.1.1 Pancasila
Kata pancasila berasal dari bahasa Sanskerta yaitu panca yang berarti lima
dan sila yang berarti prinsip atau asas. Pancasila berkedudukan sebagai ideologi
156
157
bangsa dan negara Indonesia dan sekaligus sebagai asas persatuan dan kesatuan
bangsa dan negara Indonesia (Kaelan, 2004: 96).
Secara historis, nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila
sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara objektif
historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia (Kaelan, 2014: 3). Terbentuknya
Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia.
Pancasila dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia dengan menggali nilai-
nilai yang dimiliki bangsa Indonesia dan disintesiskan dengan pemikiran-
pemikiran besar dunia.
Nilai-nilai yang dirumuskan menjadi Pancasila merupakan nilai-nilai yang
memang telah ada dalam budaya bangsa Indonesia sebelum negara terbentuk.
Kebudayaan yang dimaksud dalam konteks ini dalam wujud kompleksitas
gagasan, ide, dan pemikiran manusia, yang dalam hal ini bersifat abstrak.
Dari berbagai macam kedudukan dan fungsi Pancasila sebenarnya dapat
dikembalikan pada dua macam kedudukan dan fungsi Pancasila yang pokok.
Kedua kedudukan dan fungsi itu adalah sebagai dasar filsafat negara Republik
Indonesia dan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia (Kaelan, 2014: 102).
Sebelum Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai dasar filsafat negara,
nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia yang merupakan pandangan hidup,
yaitu berupa nilai-nilai adat istiadat dan kebudayaan serta sebagai causa
materialis Pancasila. Pancasila disahkan sebagai dasar negara Republik Indonesia
setelah bangsa Indonesia mendirikan negara. Kaelan (2014:108) menyebutkan
bahwa dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik
158
Indonesia dapat ditemukan pada pembukaan UUD 1945 alenia IV yang berbunyi
“maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-
undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan utama dirumuskannya Pancasila adalah
sebagai dasar negara.
Pancasila sebagai pandangan hidup berfungsi sebagi kerangka, baik untuk
menata kehidupan diri pribadi maupun dalam interaksi antarmanusia dalam
masyarakat serta alam sekitar (Kaelan, 2014 103). Sebelum Pancasila dirumuskan
sebagai dasar negara serta ideologi negara, nilai-nilainya telah terdapat pada
bangsa Indonesia dalam adat istiadat, budaya, dan agama-agama sebagai
pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pandangan-pandangan yang telah ada
dalam masyarakat Indonesia tersebut kemudian menjelma menjadi pandangan
hidup bangsa.
Pancasila sebagai pendangan hidup bangsa mengandung konsepsi dasar
mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Selain itu, juga terkandung dasar pikiran
terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Dengan
kata lain, Pancasila merupakan cita-cita moral yang memberikan pedoman dan
kekuatan bagi bangsa untuk berperilaku luhur dalam kehidupan sehari-hari dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
159
6.1.2 Nilai-nilai Lokal Masyarakat Bali
Bali merupakan sebuah nama wilayah yang juga mengacu kepada
komunitas masyarakat dengan budaya tertentu. Putu Wijaya (1999: 64)
menyatakan bahwa Bali atau kebalian bukanlah kesukuan, melainkan konsep
hidup, sesuatu yang sangat khas Bali.
Sujana (dalam Pitana (ed.), 1994: 48) menyampaikan bahwa masyarakat
Bali memiliki kesadaran yang kuat mengenai (1) adanya kesatuan budaya Bali, (2)
bahasa Bali, dan (3) kesatuan agama Hindu. Di samping itu, masyarakat Bali juga
dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kesadaran mengenai sejarah, memiliki
ikatan sosial dan solidaritas yang kuat yang berpusat pada pura, organisasi sosial,
dan sistem komunal. Perkembangan industri pariwisata kemudian menimbulkan
perubahan pada beberapa aspek kehidupan masyarakat Bali. Bali yang semula
dikenal sebagai komunitas masyarakat yang homogen, agraris, tradisional, dan
memegang teguh tradisi dihadapkan pada godaan perubahan. Namun, apa pun
bentuk perubahan tersebut, masyarakat Bali memiliki nilai-nilai dasar yang
menjadi pedoman dan pandangan hidup masyarakat.
Dharmayuna (1995:12) mengutip pandangan Redfield menyatakan bahwa
tradisi dapat dipilah menjadi tradisi besar dan tradisi kecil. Tradisi besar
bersumber dari pemikiran reflektif yang diperoleh di sekolah-sekolah, tempat
ibadah. Sementara, tradisi kecil merupakan tradisi yang bersumber dari pemikiran
yang tidak reflektif dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Redfield juga
membedakan antara peradaban kelas satu dan peradaban kelas dua. Suatu
kebudayaan disebut peradaban kelas satu apabila terjadi proses kesinambungan
160
peradabannya sendiri meskipun telah terjadi kontak dengan peradaban lain.
Peradaban kelas dua mengacu pada peradaban pribumi atau lokal yang digantikan
oleh peradaban lain (asing) atau saat tradisi besar tertanam secara tidak lengkap.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali
merupakan peradaban kelas satu. Kebudayaan Hindu sebagai tradisi besar tidak
menekan atau menghilangkan peradaban pribumi atau kebudayaan petani. Budaya
asli masyarakat Bali saling mendukung dengan budaya Hindu sehingga
memunculkan budaya baru yang tidak saling mendominasi satu sama lain.
Berdasarkan perpaduan tradisi besar dan tradisi kecil, Dharmayuda
(1995:12) menyebutkan bahwa peradaban Bali dapat dibagi menjadi tradisi
pertanian (tradisi kecil), tradisi Hindu (tradisi besar), dan tradisi global (tradisi
besar). Tiap-tiap peradaban memiliki karakteristik tertentu. Tradisi kecil (petani)
memiliki ciri-ciri, antara lain ada ikatan pribadi dengan tanah, keterikatan pada
desa dan komunitas lokal, pentingnya keluarga secara sentral, perkawinan sebagai
persiapan bagi kemakmuran ekonomis, keharusan untuk menghasilkan tanaman
penghasil uang, dan sebagainya.
Tradisi besar (Hindu) secara prinsip tidak bertentangan dengan ciri budaya
petani karena tradisi Hindu lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat
petani (India). Secara umum, ciri-ciri tradisi Hindu tersebut adalah sebagai
berikut. Pertama, mengupayakan keharmonisan dengan alam. Kedua, keturunan
murupakan pusat dan tujuan keluarga. Ketiga, menekankan pentingnya
persembahan (yadnya) yang ditujukan kepada Tuhan, Dewa, leluhur, orang suci,
dan bhutakala dengan perantara para pendeta yang mempunyai kedudukan
161
terhormat. Keempat, tujuan kehidupan manusia adalah mencapai kesejahteraan di
dunia dan bersatu dengan Tuhan (Brahman) melalui konsepsi dharma (kebajikan),
artha (materi), kama (kesenangan), dan moksa (kebebasan tertinggi/menyatu
dengan Tuhan). Kelima, membagi tingkat kehidupan dalam masyarakat menjadi
empat asrama (tingkat), yakni kehidupan berguru (brahmacari), hidup
berkeluarga (grihasta), hidup mengasingkan diri (vanaprastha), dan hidup
berkelana (samnyasa). Keenam, menyelenggarakan upacara kematian merupakan
satu hal yang sangat sakral dan ini merupakan proses penyucian roh manusia.
Dalam konteks penjaga keharmonisan, Hindu menganal tri hita karana.
Tri hita karana berasal dari kata tri yang berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, dan
karana yang berarti penyebab. Tri hita karana dapat dipahami sebagai tiga
penyebab kebahagiaan. Ketiga penyebab kebahagiaan atau kesejahteraan tersebut
terletak pada keharmonisan hubungan manusia dengan tiga aspek, yakni
hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan dengan alam dan lingkungan, serta
hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Tri hita karana menjadi
filosofi dalam menata Bali ke depan dan harus di implementasikan (Bali Post,
2004: 17).
Tradisi besar global dalam konteks ini dipahami sebagai peradaban dunia
modern yang telah merambah kehidupan masyarakat di seluruh dunia termasuk
Indonesia dan khususnya masyarakat Bali. Kehadiran teknologi dan media massa
memungkinkan arus pertukaran informasi terjadi dalam waktu cepat dan mencapai
jumlah massa yang tidak terbatas, sehingga interaksi kebudayaan pun menjadi hal
yang tidak dapat dihindarkan. Selain itu, sebagai destinasi pariwisata, Bali akan
162
berinteraksi dengan wisatawan yang berasal dari berbagai latar budaya yang
berbeda. Perkenalan masyarakat Bali dengan budaya luar, baik melalui media
massa maupun interaksi dengan wisatawan, akan mendorong terjadinya perubahan
kebudayaan pada masyarakat Bali. Dhamayuda (1995: 15) menyebutkan bahwa
unsur-unsur yang menjadi karakter peradaban global adalah teknologi, sistem
pendidikan formal, sains (ilmu pengetahuan), pranata-pranata ekonomi
antarbangsa, sistem administrasi dan organisasi dengan birokrasi, dan media
massa. Keseluruhan unsur peradaban global tersebut mendorong dan
mempercepat terjadinya perubahan pada tatanan kebudayaan masyarakat Bali.
Sujana (dalam Pitana (ed.), 1994: 49) menggambarkan beberapa sifat dan
karakter masyarakat Bali yang dianggap dominan selama ini dalam perspektif
manusia yang bermakna individual atau kolektif. Pertama, terbuka. Seiring
dengan perkembangan sejarah, masyarakat Bali terbiasa menghadapi pergaulan
dan interaksi dengan suku bangsa, bahkan bangsa lain. Hal inilah yang
menumbuhkan sikap keterbukaan orang Bali dalam menghadapi masyarakat luar
termasuk budaya luar. Hal yang sama juga dikemukakan Mantra (1990: 11)
bahwa kebudayaan Bali, sejak masa lampau hingga kini, senantiasa menunjukkan
dirinya sebagai kebudayaan yang terbuka. Kedua, ramah dan luwes. Masyarakat
Bali digambarkan telah terbiasa menghadapi perbedaan, baik antar kelompok
masyarakat Bali maupun dengan kelompok masyarakat lain. Hal inilah yang
menumbuhkan sifat luwes dan fleksibel masyarakat Bali.
Ketiga, jujur. Kejujuran masyarakat Bali berhubungan erat dengan nilai
keyakinan terhadap salah satu nilai agama Hindu, yakni hukum karma. Meskipun
163
saat ini nilai kejujuran ini tengah memudar seiring dengan timbuhnya
penyimpangan yang dilakukan masyarakat Bali, nilai-nilai tersebut masih berlaku
dan diyakini oleh masyarakt Bali. Keempat, kreatif dan estetis. Masyarakat Bali
memiliki sifat kreatif dalam penciptaan budaya dan seni. Hasil kreasi berkesenian
masyarakat Bali yang menjadi daya tarik wisatawan sekaligus menjadikan Bali
semakin dikenal.
Kelima, kolektif. Masyarakat Bali memiliki sifat kolektif yang kuat karena
dilahirkan dan tumbuh dalam sistem sosial yang menekankan kebersamaan dan
sistem interaksi primer dalam adat, kekerabatan, dan sistem kelompok (kasta).
Keenam, kosmologis. Masyarakat Bali sangat memperhatikan keseimbangan,
meliputi keseimbangan antara material dan spiritual, manusia dengan Tuhan,
alam, dan masyarakat sebagaimana tercermin dalam konsep tri hita karana.
Ketujuh, masyarakat Bali digambarkan sebagai masyarakat yang
berbudaya dan religius. Masyarakat Bali sering disibukkan dengan ritual agama
(panca yadnya) yang sangat kompleks. Kedelapan, manusia Bali dianggap
memiliki sifat moderat, yakni sifat yang tidak radikal, tetapi tidak lembek.
Yang paling menonjol di antara beberapa karakteristik masyarakat Bali
adalah kebudayaannya. Selain menjadi sifat dan perilaku hidup masyarakt Bali,
kebudayaan juga menjadi daya tarik wisata yang menjadikan Bali berbeda dengan
destinasi wisata lainnya. Sehubungan dengan itu, sejak 1974, pemerintah daerah
Bali melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 3 memperkenalkan konsep pariwisata
budaya. Dengan konsep pariwisata budaya diharapkan perkembangan pariwisata
Bali akan mengutamakan pengembangan objek wisata yang sebesar-besarnya
164
mendukung nilai-nilai budaya masyarakat (Parimartha, 2013: 103).
Pengembangan pariwisata budaya tersebut memiliki tujuan, yakni menciptakan
iklim dan kondisi yang sehat bagi pembangunan kepariwisataan Bali. Di samping
itu, mempertahankan nilai-nilai dan ciri khas kebudayaan, kesucian agama, dan
keindahan alam Bali, mencegah pengaruh-pengaruh buruk yang mungkin
ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan kepariwisataan.
Selain nilai-nilai yang telah dipaparkan, akhir-akhir ini terdapat ungkapan
yang sangat dikenal di Bali, yakni “Ajeg Bali”. Ungkapan ini digunakan secara
luas dalam berbagai pemaknaan. Namun, secara umum, “Ajeg Bali” merupakan
strategi wacana dan strategi kebudayaan yang digunakan masyarakat Bali untuk
menghadapi berbagai tantangan yang merupakan akibat ikutan dari interaksi
dengan budaya luar melalui pariwisata, media massa, termasuk arus manusia.
Atmaja (2010) menyebutkan bahwa slogan ajeg Bali mulai riak-riak
terdengar setelah bom Bali Oktober 2002 yang berdentum di Kuta. Pemahaman
mengenai konsep ajeg Bali pada awalnya tidak begitu jelas, bahkan cenderung
dipahami dengan berbeda-beda. Bali Post kemudian menerbitkan edisi khusus
yang terkait dengan ini pada 16 Agustus 2003 yang sekaligus dikaitkan dengan
edisi khusus ulang tahunnya. Edisi khusus ini kemudian diterbitkan dalam bentuk
buku yang berjudul Ajeg Bali Sebuah Cita-cita (2004).
Ajeg Bali dapat dipamahi dalam tiga tataran. Pertama, tataran individu,
yakni kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri kultural. Kedua,
pada tataran lingkungan kultural. Konsep ajeg Bali diharapkan mampu
mendorong terciptanya lingkungan budaya Bali yang bersifat inklusif,
165
multikultural, dan selektif terhadap pengaruh luar. Ketiga, pada tataran proses
kultural. Ajeg Bali dipahami sebagai interaksi manusia Bali dengan lingkungan
budaya Bali untuk menciptakan produk-produk atau penanda budaya baru melalui
suatu proses tertentu dengan mempertimbangkan kearifan lokal, nilai budaya,
serta ruang dan waktu (Atmaja, 2012: ix – x).
Dwipayana (2005: 47 – 48) menguraikan bahwa konsep ajeg Bali
didukung dan diperkuat oleh tiga aktor utama yang masing-masing memiliki
silsilah pengetahuan dan basis sosial ekonomi yang berbeda-beda. Pertama adalah
kelompok dengan perspektif konservatisme-romantik. Ciri terpenting pandangan
ini adalah konservatisme dan romantik. Konservatisme mengacu kepada adanya
harapan Bali yang tidak berubah (statis). Perubahan, dalam konteks ini akan
dianggap sebagai gangguan. Di pihak lain, romantik dapat dilihat dari solusi yang
diutamakan dalam menghadapi perubahan, yakni dengan kembali pada pengaturan
tertib sosial yang sudah ada (tradisi-dresta). Sebagai implikasi dari pandangan ini,
ajeg Bali diarahkan untuk menumbuhkan kembali politik kebangsawanan yang
ahir-akhir ini mulai memudar.
Kedua, tafsir ketertiban yang merupakan turunan gagasan fungsionalisme-
struktural. Dalam hubungan ini, masyarakat dan pranata sosial dipandang sebagai
sistem yang seluruh bagiannya saling bergantung dan bekerja sama untuk
menciptakan keseimbangan. Dengan demikian, ketegangan, perbedaan, dan
konflik yang dapat menimbulkan gangguan atas keseimbangan harus dihindari.
Ketiga, kelompok invensi kapitalisme pasar. Dalam konteks ini, konsep
ajeg Bali dianggap sebagai penciptaan pihak tertentu untuk kepentingan ekonomi.
166
Ajeg Bali dipandangan sebagai kreativitas aktor modern, baik industri media,
maupun biro perjalanan menggunakan simbol ajeg Bali untuk meraih keuntungan.
Beberapa pandangan mengenai ajeg Bali tersebut hidup dalam masyarakat
Bali dan dimaknai sesuai dengan kapasitas dan kepentingannya. Namun, yang
tidak kalah penting dari konsep tersebut adalah munculnya kesadaran kolektif
masyarakat Bali untuk menghadapi tantangan budaya luar. Naradha (dalam Bali
Post, 2004) mengemukakan: “Konsep ajeg Bali Kami terus wacanakan.
Sasarannya, agar tumbuh kesadaran di kalangan masyarakat Bali untuk senantiasa
menjaga Bali dan membangunnya dalam konteks negara kesatuan republik
Indonesia.”
Naradha (dalam Bali Post, 204: iii) juga menyampaikan bahwa untuk
mencapai ajeg Bali pemerintah daerah Bali, legislatif, yudikatif, pemerintah
daerah kabupaten dan kota harus memiliki kebijakan yang memihak kepada
budaya, lingkungan, dan masyarakat Bali. Selain itu, masyarakat dan pengusaha
bersinergi untuk mendukung hal tersebut.
6.2 Struktur Institusi atau Organisasi
6.2.1 Struktur Organisasi Pers Bali Post
Institusi atau organisasi dapat dipahami sebagai sekumpulan orang yang
memiliki suatu cita-cita atau tujuan usaha bersama, dan upaya pencapaiannya
dilakukan melalui kerja sama struktural (Suhandang, 2004: 43). Organisasi juga
dapat dipahami sebagai hal pembentukan manusia dalam upaya melaksanakan
167
atau mencapai hal-hal tertentu yang tidak mungkin dilaksanakan secara individual
(Winardi, 2003: 1).
Dalam rangka mencapai tujuan organisasi diperlukan adanya pengelolaan
atau manajemen organisasi. Berdasarkan beberapa pandangan, Suhandang (2004:
44 – 45) menyampaikan bahwa fungsi-fungsi manajemen yang menjadi aktivitas
organisasiu. Pertama, perencanaan. Perencanaan merupakan pemikiran dan
pertimbangan yang dilakukan berdasarkan fakta dalam merangka mencapai tujuan
organisasi. Kedua, pengorganisasian. Pengorganisasian merupakan penyusunan
struktur, pembangunan fungsi dan posisi bagi orang-orang yang terlibat dalam
pelaksanaan pencapaian tujuan, serta pembagian tugas dan jabatan sesuai dengan
formasi yang tersusun dalam strukturnya. Ketiga, penggerakan. Penggerakan
merupakan kegiatan yang menggerakkan orang beserta fasilitas penunjang agar
penyelenggaraan pencapaian tujuan itu berjalan dengan lancar sesuai dengan yang
telah direncanakan. Keempat, pengawasan atau pengendalian. Pengawasan
merupakan kegiatan untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan
rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu, pengawasan juga berfungsi
untuk menjaga kelancaran kerja dari penyimpangan yang mungkin terjadi.
Organisasi termasuk pers akan membentuk struktur organisasi tertentu
untuk mencapai tujuannya. Struktur dalam organisasi tersebut ditandai dengan
adanya beberapa hal. Satu, herarki yang merupakan susunan tingkatan kewajiban
dan wewenang. Dua, posisi, yakni tempat atau kedudukan untuk melaksanakan
kewajiban dan wewenang. Tiga, fungsi. Fungsi merupakan tugas yang
berhubungan dengan pelaksanaan kewajiban terkait dengan tugas pada bidang
168
tertentu. Keempat, peran sosial. Peran sosial merupakan kegiatan yang didasarkan
pada tugas-tugas tertentu. Kelima, norma atau budaya yang merupakaan aturan
pelaksanaan tugas-tugas (Suhandang, 2004: 47).
Pers merupakan organisasi yang melaksanakan kegiatan jurnalistik.
Jurnalistik dalam konteks ini dipahami sebagai kegiatan pelaporan peristiwa atau
hal kepada khalayak dengan menggunakan media massa sebagai salurannya.
Untuk mencapai tujuan ini, pers, khususnya dalam hal ini surat kabar Bali Post
juga memanfaatkan sistem organisasi. Bali Post juga memiliki struktur organisasi
tertentu yang disertai pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang dalam
pelaksanaan tugas masing-masing. Keseluruhan bagian organisasi ini menjalankan
fungsi dan perannya masing-masing dalam upaya mencapai tujuan bersama
organisasi.
Selaku produsen, layaknya pers umumnya, Bali Post juga melakukan
kegiatan industri berupa pencarian, pengumpulan, pengolahan, dan penyajian
informasi dalam bentuk produk jurnalistik yang terdiri atas berita, komentar atau
pandangan, dan iklan (Suhandang, 2004: 51). Berdasarkan sifat dan bentuk
produk jurnalistik, terdapat tiga macam informasi, yaitu bersifat visual, seperti
yang terdapat pada surat kabar dan media cetak lain; auditif, seperti informasi
yang disampaikan melalui radio; dan audio visual, seperti yang ditayangkan
melalui televisi. Berdasarkan jenis sifat dan produk jurnalistik ini, Bali Post
merupakan media yang bersifat visual.
Bali Post merupakan surat kabar harian ibu kota Provinsi Bali. Harian Bali
Post merupakan harian terbesar di Kota Denpasar dan merupakan salah satu
169
harian terbesar di Bali. Slogan yang diusung oleh Bali Post adalah “Pengemban
Pengamal Pancasila”.
Pemilik surat kabar Bali Post adalah Kelompok Media Bali Post. Koran ini
didirikan oleh Ketut Nadha pada 16 Agustus 1948. Namun, saat itu, nama harian
ini adalah Suara Indonesia yang merupakan cikal bakal adanya Bali Post. Media
ini sempat harus berganti nama menjadi Suluh Indonesia pada tahun 1966 dan
menjadi Suluh Marhaen pada 1 Juni 1966 sampai dengan 1 Mei 1971. Kemudian,
sejak 1 September 1971, Ketut Nadha mendirikan PT Bali Press dan menerbitkan
harian umum Bali Post. Sejak diterbitkan pertama kali, Bali Post menggunakan
slogan dan motto tagline “Pengemban Pengamal Pancasila”.
Sepeninggal Ketut Nadha, kepemimpinan Kelompok Media Bali Post
ditangani oleh putranya, yakni Satria Naradha yang mengembangkan Kelompok
Media Bali Post (KMB) menjadi lebih luas mencapai berbagai segmen, yaitu
mulai dari anak hingga dewasa.
Monopoli kepemilikan sebuah media, seperti yang terjadi pada Bali Post
bukan hal yang asing di Indonesia. Beberapa media nasional, misalnya,
kepemilikannya juga didominasi oleh pihak tertentu. Monopoli kepemilikan ini
tidak selalu berimplikasi negatif bagi pemberitaan media tersebut. Kusumaningrat
(2007: 96 – 97) menyatakan bahwa surat kabar yang kepemilikannya dimonopoli
oleh pihak tertentu hampir selalu kuat secara finansial. Dengan demikian, media
tersebut memiliki sarana untuk mengembangkan dan memelihara standar
pemberitaan dan redaksional secara ideal.
170
Di sisi lain, terdapat juga kesadaran bahwa modal akan sangat kuat
memengaruhi arah dan cara pemberitaan. Pada bagian yang berbeda, khususnya
berbicara mengenai pengaruh pemasang iklan terhadap pemberitaan,
Kusumaningrat (2007: 98) menyebutkan bahwa pemasang iklan memiliki peluang
untuk memengaruhi arah pemberitaan. berdasarkan hal tersebut, disarankan agar
media lebih kuat menghadapi pengaruh tersebut karena dengan semakin baiknya
sebuah media massa akhirnya bukan media massa yang membutuhkan iklan,
melainkan iklan yang membutuhkan media massa.
Pandangan mengenai monopoli kepemilikan modal media massa juga
disampaikan oleh Sudibyo (2009: 53). Sudibyo menyatakan bahwa sulit
menjadikan ranah penyiaran sebagai arena pembentukan public civility ketika
pemerintah kembali menjadi penjamin establishment kepentingan modal, ketika
hampir tidak ada kekuatan yang mampu menghambat transformasi ranah
penyiaran sebagai sepenuhnya ranah komersial. Piliang (2009: 133) juga
menyatakan bahwa terdapat dua kepentingan utama di balik media massa, yaitu
kepentingan ekonomi dan kepentingan kekuasaan. Kepentingan ekonomi dan
kekuasaan ini yang akan menjadikan sulit untuk menjalankan fungsinya sebagai
ruang publik yang netral, jujur, dan berimbang.
Ketika media dimonopoli oleh pihak tertentu, wartawan juga akan
mengalami dilema tertentu saat idealisme sebagai wartawan bertentangan dengan
kepentingan pemilik modal. Wibowo (2009: 4) menyebutkan bahwa selalu terjadi
dialektika yang dikotomis antara idealisme wartawan dan institusionalsme pers,
yang sering kali justru mengabaikan idealisme wartawan. Dengan demikian,
171
sebagai media yang kepemilikannya didominasi oleh pihak tertentu, Bali Post
cukup potensial untuk dimonopoli oleh pihak tertentu dalam menyampaikan
pandangan dan kepentingannya. Monopoli ini akan berimplikasi pada topik, cara,
serta arah pemberitaan dan isi media secara keseluruhan.
6.2.2 Struktur Pemerintahan Daerah
Indonesia merupakan negara yang terbagi menjadi beberapa provinsi.
Dalam sebuah provinsi terdapat beberapa daerah kabupaten dan kota. Setiap
daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki pemerintahan daerah yang diatur
berdasarkan undang-undang. Pemerintah daerah merupakan penyelenggara urusan
pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemerintah daerah provinsi terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan
DPRD provinsi. Sementara pemerintah daerah kabupaten terdiri atas pemerintah
daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.
Pemerintah daerah, sebagai bagian dari pemerintah pusat, memiliki
kewenangan tertentu yang diatur dalam undang-undang. Urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala
yang meliputi (1) perencanaan dan pengendalian pembangunan; (2) perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; (3) penyelenggaraan ketertiban umum
dan ketenteraman masyarakat; (4) penyediaan sarana dan prasarana umum; (5)
172
penanganan bidang kesehatan; (6) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi
sumber daya manusia potensial; (7) penanggulangan masalah sosial lintas
kabupaten/kota; (8) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; (9)
fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota; (10) pengendalian lingkungan hidup; (11) pelayanan pertanahan
termasuk lintas kabupaten/kota; (12) pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
(13) pelayanan administrasi umum pemerintah; (14) pelayanan administrasi
penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; (15) penyelenggaraan layanan
dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan (16)
urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Selain hal wajib tersebut terdapat pula urusan yang bersifat pilihan. Urusan
pemerintah provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi kekhasan dan potensi keunggulan daerah yang
bersangkutan.
Sementara itu, pasal 22 Undang-Undang Nomor 32, Tahun 2004 tentang
pemerintahan daerah menyebutkan dalam penyelenggaraan otonomi, daerah
mempunyai sejumlah kewajiban. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah (1)
melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional,
serta keutuhan negara Republik Indonesia; (2) meningkatkan kualitas kehidupan,
masyarakat; (3) mengembangkan kehidupan demokrasi; (4) mewujudkan keadilan
dan pemerataan; (5) meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; (6) menyediakan
fasilitas layanan kesehatan; (7) menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum
173
yang layak; (8) mengembangkan sistem jaminan sosial; (9) menyusun
perencanaan dan tata ruang daerah; (10) mengembangkan sumber daya produkktif
daerah; (11) melestarikan lingkungan hidup; (12) mengelola administrasi
kependudukan; (13) melestarikan nilai sosial budaya; (14) membentuk dan
menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan
(15) kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
6.2.3 Struktur Desa Adat
Parimartha (2013:24) menyatakan bahwa ada dua klasifikasi pokok yang
menjadikan munculnya kelompok masyaraat desa, yakni (1) prinsip hubungan
kekerabatan atau genealogis dan (2) prinsip hubungan tinggal dekat atau terirotial.
Namun, ahli antropologi Koentjaraningrat menambahkan bahwa masih ada dua
prinsip hubungan yang lain, yakni (3) prinsip tujuan khusus, yang tidak
disebabkan oleh hubungan kekerabatan atau tinggal dekat, tetapi karena
kebutuhan lain dan (4) adalah prinsip hubungan yang datang dari atas
(pemerintah) atau raja.
Prinsip hubungan yang keempat merupakan prinsip hubungan yang
menyebabkan adanya desa dinas di Bali. Desa dinas merupakan bagian terkecil
pemerintah negara Indonesia yang dibentuk untuk kepentingan pemerintah.
Sementara itu, desa adat yang dikenal di Bali didasari oleh prinsip hubungan
kekerabatan dan prinsip hubungan tinggal dekat.
Di Bali terdapat dua organisasi desa yang berbeda secara substansial dan
fungsional, yaitu desa adat dan desa dinas. Masing-masing mempunyai struktur
174
dan fungsi sendiri, sehingga sifat keterikatan anggota masyarakat terhadap
organisasi itu berbeda pula. Gorda (1999: 2) menyatakan bahwa fungsi utama
desa adat adalah mengonsepsikan dan mengaktifkan upacara keagamaan untuk
memelihara kesucian desa. Pura khayangan tiga merupakan salah satu unsur yang
mengikat rasa kesatuan warga desa adat. Orang Bali yang tidak beragama Hindu
meskipun bertempat tinggal di wilayah teritorial sebuah desa adat, tidak bisa
menjadi anggota desa adat. Warga tersebut hanya dapat menjadi anggota dari
desa dinas.
Setiap desa adat memiliki awig-awig desa adat yang merupakan
peraturan dan ketentuan dasar yang menjadi pedoman perilaku seluruh krama
desa adat di dalam kehidupan bersama (Gorda, 1999: 2). Dalam penyusunan
awig-awig desa adat, sangkep krama desa adat harus berpedoman pada catur
dresta (empat ketentuan). Pertama, sastra dresta yang merupakan ketentuan-
ketentuan yang bersumber dari ajaran agama Hindu. Kedua, purwa dresta, yaitu
ketentuan-ketentuan yang bersumber dari tradisi atau kebiasaan yang masih
berlaku; Ketiga, loka dresta merupakan ketentuan-ketentuan yang bersumber dari
pandangan-pandangan atau saran-saran krama desa adat. Keempat, desa dresta
merupakan ketentuan-ketentuan yang bersumber dari pandangan yang berlaku
khusus di lingkungan desa adat yang bersangkutan.
Gorda (1999: 3) menyampaikan bahwa tugas desa adat meliputi hal-hal
berikut. Pertama, mengatur hubungan antara krama desa adat dan pura
khayangan tiga milik desa adat. Kedua, mengatur pelaksanaan upacara
keagamaan (panca yadnya) termasuk mengatur pernggunaan kuburan. Ketiga,
175
menanamkan nilai-nilai agama Hindu dan budaya melalui sangkep desa adat.
Keempat, mengorganisasikan krama desa adat dalam pembangunan desa adat
termasuk pemeliharaan tempat suci milik desa adat, dan mendamaikan
perselisihan di antara sesama krama desa adat. Kelima, mengurus tanah dan
memelihara barang milik desa adat. Keenam sekaligus yang terakhir adalah
menetapkan hukuman bagi krama desa adat yang melanggar awig-awig desa adat
beserta pasuaran (peraturan pelaksanaannya).
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa desa adat
khususnya di Bali memiliki wewenang yang cukup besar di wilayahnya dan atas
wilayah yang menjadi bagiannya. Dengan demikian, pemanfaat kawasan desa
untuk hal tertentu oleh pemerintah, baik tingkat kabupaten maupuan provinsi
memerlukan koordinasi dengan pihak desa adat.
6.3 Hubungan Antarkelompok
Pada bagian ini, diuraikan hubungan antarkelompok yang menjadi subjek
atau terlibat dalam berita RTRWP dianalisis. Kelompok-kelompok diuraikan
adalah Bali Post, pemerintah provinsi Bali yang dikepalai oleh Gubernur Mangku
Pastika, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali, dan akademisi.
Bali Post merupakan salah satu lembaga pers terbesar di Bali. Bali Post
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk persepsi masyarakat Bali
dalam memahami sesuatu, termasuk RTRWP Bali. Sebagai surat kabar yang lahir
dan tumbuh di Bali, Bali Post sangat fokus memberitakan hal yang menyangkut
kepentingan Bali dan masyarakatnya dengan perspektif menjaga Bali dengan
176
slogan yang dikenal sebagai ajeg Bali. Sebagai bentuk nyata perhatian Bali Post
terhadap prinsip ini, diterbitkan buku yang berjudul Ajeg Bali oleh Bali Post pada
2004.
Buku lain yang juga diterbitkan Bali Post adalah Bali Menuju Jagaditha:
Aneka Perspektif pada tahun yang sama, yaitu 2004. Dalam pengantar buku yang
mengatasnamakan penerbit Pustaka Bali Post disebutkan sebagai berikut.
“Hal dominan yang dominan kami (Bali Post) sejak dua tahun terakhiradalah memperkenalkan strategi kultural Ájeg Bali untuk memancing kesadaranmasyarakat untuk membawa Bali menuju gerak harmonis ke depan tanpakehilangan jati diri berdasarkan nilai agama, adat, dan budaya” (Putra (ed), 2004:v – vi).
Melalui pengantar ini, Bali Post secara terbuka menyampaikan tujuan atau
prinsip dalam melaksanakan kegiatan pers. Tujuannya adalah Bali yang jagadhita.
Jagadhitha merupakan bagian dari tujuan agama Hindu, yakni Moksartham
Jagadhita Ya Ca Iti Dharmah yang berarti tujuan agama adalah untuk mencapai
jagadhita dan moksa. Moksa merupakan kebebasan jiwatman atau disebut juga
mencapai kebahagiaan rohani yang langgeng setelah meninggal. Sementara,
jagadhita merupakan kemakmuran dan kebahagiaan, baik setiap orang,
masyarakat, maupun negara.
Dengan pandangan seperti itu, Bali Post mendasarkan perspektif
pemberitaannya pada pandangan ajeg Bali, agama Hindu, tetapi tetap dalam
bingkai Pancasila yang menjadi motonya, Pengemban Pengamal Pancasila.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Bali Post memberitakan dan
mencitrakan secara negatif pihak yang dianggap akan mengancam keajegan Bali,
termasuk pemerintah, khususnya pemerintah Provinsi Bali.
177
Berdasarkan empat berita yang dianalisis dalam penelitian ini, dapat
disimpulkan bahwa Bali Post memiliki posisi yang berseberangan dengan
Gubernur Bali, Mangku Pastika. Dalam empat berita tersebut, Gubernur Bali atau
hal yang terkait dengan Gubernur Bali hanya muncul sekali dalam pemberitaan,
yakni hanya pada berita kedua, paragraf 5. Dalam berita yang berjudul “Revisi
Perda RTRW Inisiatif Eksekutif” tersebut, gubernur dicitrakan secara negatif.
Pencitraan negatif gubernur pada berita kedua dilakukan dengan menggambarkan
gubernur sebagai inisiator RTRW dengan dalih sanksi yang diatur dalam perda
sangat lemah. Namun, pada bagian berikutnya diberitakan bahwa berdasarkan dua
kali sosialisasi yang dilakukan pemerintah provinsi, sebagian besar yang diundang
menyatakan revisi ini tidak lebih baik daripada perda sebelumnya. Ada pula yang
menyebutkan bahwa revisi yang diajukan eksekutif merupakan suatu kemunduran
karena mengandung “pasal bisnis” yang memberikan peluang kepada investor
untuk merambah kawasan yang selama ini disakralkan. Selain itu, pemerintah
juga digambarkan secara negatif, khususnya terhadap Ketua Bappeda Bali Nengah
Suarca yang memberikan jawaban normatif mengenai prosedur penyusunan
RTRWP. Namun, ketika ditanya mengenai adanya “pasal bisnis” dalam RTRWP
tidak menjawab secara terperinci.
Pada berita ketiga juga terdapat penggambaran secara negatif terhadap
pemerintah, khususnya Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar)
Buleleng, I Putu Tastra Wijaya, yang membenarkan adanya penyimpangan
penerapan perda RTRW di wilayah Air Sanih, Tejakula, Buleleng. Dengan
demikian, masyarakat digiring untuk memahami bahwa RTRWP yang ada
178
memang tidak baik untuk kepentingan Bali dan pemerintah belum mampu
merealisasikannya dengan baik.
Secara konsisten dalam setiap berita, Bali Post menggambarkan RTRW
yang diajukan eksekutif secara negatif. Selain menggunakan strategi bahasa, dapat
juga diamati berdasarkan pihak yang dihadirkan dalam teks berita. Pihak yang
dihadirkan secara positif dan ditonjolkan adalah pihak-pihak yang menentang atau
tidak setuju dengan RTRW yang diajukan eksekutif serta paparan mengenai
penerapan RTRW yang tidak maksimal.
Pihak-pihak yang dihadirkan dalam berita dan dicitrakan secara positif
adalah Kepala Pusat Lingkungan Hidup Bali Nusra, DPRD Provinsi Bali, dan
akademisi. Kepala Pusat Lingkungan Hidup Bali Nusra hadir pada berita pertama,
bahkan dalam teras berita, yakni “Munculnya pasal-pasal “bisnis” pada Ranperda
RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali
Nusra, Ir. R. Sudirman, M.M. Dihubungi Kamis (16/4) kemarin, ia mengaku
sudah mendengar paparan masalah RTRWP di Gedung DPRD Bali. ‘Saya
berharap jangan sampai perda ini disusun hanya mempertimbangkan kepentingan
ekonomi yang pada akhirnya merugikan kepentingan penyelamatan alam. Antara
aspek ekonomi dan penyelamatan alam Bali harus balance,’ tegasnya.” Penyataan
ini dikutip, bahkan digunakan sebagai teras berita karena menentang kebijakan
yang diajukan oleh pemerintah Provinsi Bali.
DPRD dihadirkan secara positif di dalam berita juga karena mendukung
opini bahwa RTRW bukanlah perda yang baik untuk kepentingan Bali. DPRD
muncul pada berita kedua, bahkan dalam teras berita, yakni “Revisi Perda
179
RTRWP Bali kini banyak disorot, sebab, dinilai banyak pasal “bisnis”, pasal
pesanan, dan ranperda yang tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali.
Sorotan ini tak hanya datang dari pemerhati. Anggota DPRD Bali pun
mengkhawatirkan. Bila revisi Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak
Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena kehadiran investasi yang
tak lagi mengindahkan, baik Perda RTRW No.3/2005 maupun Bhisama PHDI.”
Dengan kutipan tersebut, DPRD dicitrakan secara positif karena menentang
RTRWP dengan alasan RTRWP mengandung pasal-pasal yang sengaja dibuat
untuk kepentingan kelompok tertentu, tidak mengakomodasi kearifan lokal, dan
bisa merusak Bali.
Pihak yang juga dihadirkan secara positif dalam berita adalah akademisi.
Akademisi hadir pada berita pertama dan keempat. Pada berita pertama akademisi
yang dihadirkan adalah ahli geomorfologi Unud, R. Suyarto, yang menyarankan
agar masyarakat dilibatkan dalam membuat aturan terhadap wilayah. Terdapat dua
kutipan pernyataan Suyarto yang menunjukkan bahwa tidak ada pertimbangan
ilmiah dalam menentukan kelayakan investasi. Ada kecenderungan kepentingan
ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali. Di samping itu, perlu
adanya sebuah evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan
implementasi.
180
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan yang telah disampaikan
pada bab sebelumnya, pada bab ini disampaikan simpulan yang berkaitan dengan
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dan saran yang berhubungan
dengan penelitian ini. Adapun simpulan dan saran yang dimaksud adalah sebagai
berikut.
7.1 Simpulan
Pertama, berita-berita tentang Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi
(RTRWP) Bali dalam harian Bali Post dibuat dengan struktur yang mencitrakan
secara negatif RTRWP dan yang mengusulkannya, yakni pemerintah Provinsi
Bali, khususnya Gubernur Bali I Made Mangku Pastika. Sebaliknya, yang
menentang RTRWP dihadirkan secara positif di dalam berita, bahkan menjadi
fokus pemberitaan dengan dijadikan teras berita atau mendapat porsi besar dalam
berita. Struktur teks yang mengandung keberpihakan tersebut berada pada tatara
struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro.
Pada sruktur makro, pemilihan tema dan topik yang menggiring
pemahaman pembaca untuk memahami informasi dengan cara tertentu sudah
tampak pada judul berita. Subtopik yang tersaji pada bagian story atau tubuh
berita mengandung informasi yang menjadi rincian serta argumen atas informasi
yang disampaikan dalam judul yang menjadi topik.
180
181
Superstruktur berita-berita RTRWP Bali merepresentasikan arah
pemberitaan yang telah tersirat pada struktur makro. Pemilihan summary yang
meliputi judul dan teras berita, serta story yang meliputi penyampaian peristiwa
utama, konsekuensi, konteks, historis, harapan, evaluasi, dan evaluasi verbal
disesuaikan dengan pilihan struktur makro atau makna global berita tersebut.
Dengan demikian, berita-berita tentang RTRWP Bali pada harian Bali Post
memiliki supertruktur yang mencitrakan RTRWP Bali serta pemerintah provinsi
Bali secara negatif.
Struktur mikro yang meliputi sintaksis, leksikon, koherensi, dan retorik
juga merepresentasikan makna global berita. Pemilihan bentuk sintaksis
merupakan cara wartawan dalam menonjolkan serta menyembunyikan pelaku,
atau merupakan strategi untuk menekankan dan menyamarkan informasi tertentu.
Pemilihan leksikon, bentuk koherensi, dan praanggapan juga merupakan strategi
wartawan untuk membentuk dan mengarahkan persepsi pembaca sehingga
pembaca memiliki persepsi negatif tentang RTRWP Bali dan pemerintah provinsi
Bali.
Kedua, kognisi sosial yang dicerminkan dalam berita RTRWP dalam
harian Bali Post meliputi pengetahuan kelompok, pengetahuan nasional, dan
pengetahuan kebudayaan. Yang tergolong pengetahuan kelompok, seperti krama,
keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keselamatan alam Bali, bhisama,
PHDI, dan Pura khayangan jagat.
Yang tergolong pengetahuan nasional, antara lain pasal, RTRWP, Bali,
ranperda, DPRD Bali, sanksi, perda, RTRW, Bali, eksekutif, UU, biro, HAM,
182
ODTWK, ketentuan pembangunan di kawasan ODTWK, gubernur, bupati/wali
kota. Sementara itu, pengetahuan kebudayaan yang terdapat dalam berita-berita
tentang RTRWP di harian Bali Post, antara lain praktik membijaksanai aturan,
pertimbangan ilmiah, kearifan lokal Bali, Danau Buyan, bukit/lereng bukit,
menyiasati aturan dan ketentuan.
Penggunaan jenis-jenis pengetahuan dalam berita mengenai RTRWP Bali
pada harian Bali Post menggambarakan kognisi sosial yang tersirat dalam berita.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa harian Bali Post merupakan surat
kabar yang menganut ideologi Pancasila dalam pemberitaannya, namun tidak
terlepas dari ideologi kelompok tempat surat kabar tersebut diproduksi dan
dikonsumsi, yakni budaya Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu.
Ketiga, konteks sosial yang digambarkan berita-berita tentang RTRWP
Bali di harian Bali Post, meliputi Pancasila, nilai lokal masyakarat Bali, struktur
organisasi Bali Post, struktur organisasi pemerintah daerah Provinsi Bali, struktur
desa adat, serta hubungan antara Bali Post, gubernur, DPRD Provinsi Bali, dan
akademisi. Pancasila relevan sebagai konteks sosial mengingat negara Indonesia
menganut ideologi Pancasila dan dasar negara. Di samping itu, Bali Post juga
menggunakan Pancasila sebagai moto “Pengemban Pengamal Pancasila”. Hal ini
dapat diamati dengan adanya argumen-argumen berdasarkan undang-undang,
perda, gubernur, bupati/wali kota yang menjadi ciri nilai-nilai Pancasila dan nilai
demokrasi yang menjadi bagiannya. Nilai lokal masyarakat Bali sangat tampak
dalam pemberitaan, yaitu dengan munculnya berita tentang konsep tri hita
karana, ajeg Bali, krama, PHDI, desa adat, bhisama, dan kearifan lokal Bali.
183
Berdasarkan pengamatan terhadap berita-berita tersebut, diketahui
hubungan antara Bali Post, Gubernur Bali, DPRD, dan akademisi yang tampak
melalui strategi wacana yang terdapat dalam berita. Bali Post sebagai media yang
independen dan mengusung ideologi Pancasila pada satu sisi, dan prinsip ajeg
Bali pada sisi lain menggunakan kedua hal tersebut untuk mencitrakan secara
negatif pemerintah Provinsi Bali, khususnya Gubernur Bali, baik dari sisi hukum
yang berdasarkan Pancasila dan undang-undang maupun dari segi nilai lokal dan
keyakinan masyarakat Bali. Dalam berita dihadirkan pula pernyataan yang dikutip
secara langsung ataupun tidak langsung anggota DPRD dan akademisi mengenai
topik yang diberitakan. Keseluruhan pernyataan DPRD dan akademisi tersebut
mendukung pandangan bahwa RTRWP yang diajukan Gubernur Bali tidak baik
untuk kepentingan Bali.
7.2 Saran
Analisis wacana kritis dengan menggunakan teori analisis wacana kognisi
sosial yang dikemukakan van Dijk yang dilaksanakan masih perlu
disempurnakan. Pada kesempatan ini, ada beberapa saran yang dapat
dikemukakan.
Pertama, pengetahuan yang utuh mengenai teori yang diterapkan menjadi
hal yang mendasar. Upaya memisahkan atau menerapkan sebagian saja dari teori
ini akan mengurangi esensi teori ini. Selain itu, pengetahuan mengenai konteks
sosial tempat teks itu dibuat dan dibaca juga penting untuk dianalisis dengan lebih
baik.
184
Kedua, untuk melakukan analisis secara lebih komprehensif, jumlah teks
yang dianalisis perlu ditingkatkan lagi. Tujuannya adalah agar simpulan
penelitian lebih reliabel dan valid.
Ketiga, jika dimungkinkan akan baik juga dilakukan metode pengumpulan
data melalui wawancara dengan pemroduksi teks. Tujuannya adalah untuk
mengetahui kognisi sosial yang terdapat pada kesadaran pemroduksi teks
meskipun hal ini tidak mutlak dilakukan. Hasil wawancara tersebut dapat menjadi
informasi tambahan mengenai kognisi sosial pemroduksi teks selain yang
diperoleh dari analisis terhadap teks.
Recommended