View
254
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
STUDI PEMIKIRAN IGNAZ GOLDZIHER TENTANG
PERKEMBANGAN TAFSĪR BI AL–MA’TSŪR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Siti Ana Mariyam
NIM: 1112034000102
PROGRAM STUDI ULUMUL QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H/2016 M
v
ABSTRAK
Siti Ana Mariyam
STUDI PEMIKIRAN IGNAZ GOLDZIHER TENTANG PERKEMBANGAN
TAFSĪR BI AL-MA’TSŪR
Tafsīr bi al -ma’tsūr merupakan afsir yang dinggap valid karena bersumber
dari para perawi yakni Rasulullah SAW, para Sahabat, dan Tabi’in. Tafsīr al-ma’tsūr
dianggap valid apabila diriwayatkan langsung dari Rasulullah SAW kepada para
sahabat melalui jalur Talaqqi, problematika yang terjad pada Tafsīr bi al ma’tsur
disebabkan oleh beragamnya para perawi dalam menafsirkan al-Quran. Goldziher
merupakan seorang orientalis yang sangat concern dalam mengkaji Islam Goldziher
merupakan orang Yahudi yang mempunyai ketertarikan mengkaji Islam secara
mendalam melebihi keikutsertaannya dibidang politik, hasil karyanya begitu
memberikan manfaat besar khususnya untuk kemajuan perkembangan ilmu
perkembangan sejarah tafsir.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan sejarahTafsīr al-
ma’tsūrmenurut Ignaz Goldziher, yang melihatnya sebagai Tafsir yang sangat penting
bagi pemaknaan ayat-ayat al-Qur’an karena berasal dari Nabi SAW langsung, namun
dalam perkembangannya mengalami problem reliabilitas terkait dengan nilai-nilai
periwayatannya yang tidak lagi dianggap ṣahīh, terutama tentang isinya yang banyak
memuat pandangan para sahabat sendiri, ataupun juga pengaruh Israilliyat dan
kontroversi makna dalam berbagai riwayat yang saling bertentangan. Pandangan
Goldziher ini secara langsung atau tidak langsung memberi pengaruh bagi kajian al-
Qur’an di masa selanjutnya.
Tafsir al-Qur’an yang menjadi pondasidan sumber utama kajian Islam,
menemukan titik tolak pandangan baru melalui Goldziher, dimana sumber-sumber
Barat mulai dijadikan sebagai rujukan, terutama untuk mengkritik pandangan ulama
tradisional Islam. Meskipun begitu, dalam beberapa sisi Goldziher dan ulama islam
mempunyai kesamaan dalam memaknai apa itu Tafsīr al-ma’tsūr, meski sedikit
berbeda dalam menandai sejarah perkembangannya. Baginya, Tafsīr bi al-ma’tsūr
menjadi sesuatu yang sulit dicapai, bukan saja kebanyakan riwayat tidak sampai ke
tangan kita sekarang, tetapi isinya juga menjadi sesuatu yang problematik karenanya.
Banyak riwayat palsu, pengaruh buruk Israilliyat, dan kontroversi yang tidak bisa
disatukan menyebabkan penilaian orang terhadap riwayat-riwayat Tafsīr al- ma’tsūr
menjadi kurang reliable. Semua ini tidaklah mengherankan, karena Goldziher
disimbolkan sebagai bapak orientalisme yang ahli dalam melakukan kritik
sejarahdalam kajian Islam, terutama sejarah tafsir.
vi
KATA PENGANTAR
AlhamdulillahirrabilA’lamin
Segala puji penulis samapaikan kehadirat Allah Pencipta Alam Semesta yang
telah memberikan berjuta-juta Nikmat, Shalawat Ma’a Sallam penulis haturkan
kepada Manusia Sempurna Muhammad SAW. Sang pencerah ilmu pengetahuan,
sehingga penulisan skripsi ini rampung dengan hasil yang diinginkan.
Beribu kata terima kasih penulis Persembahkan kepada berbagai pihak yang
telah memberikan pengarahan dan bantuan yang sangat berarti, terutama kepada
Laki-laki terhebat sepanjang masa, inspirasi hidup yakni Ayahanda Sumarta terima
kasih atas bimbingan kehidupan yang Engkau berikan hingga saat ini. Perempuan
tercinta dalam hidup setelah Allah dan Rasulnya waktu luangmu adalah sebuah detak
meniti jarum jam, mengingatkan akan semua saat. Ibunda tercinta Ruqiyah Wati.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulisan sampaikan kepada:
1. Masyri Mansur M.A, selaku Ketua Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Lilik Ummi Kaltsum M.A, selaku ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Banun Binaningrum M.pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
4. Mohammad Anwar Syarifuddin M.A telahmemberikanbimbingan yang luarbiasa,
terimakasihatassemuainspirasipemikiransehinggapenulisbisamengkajipemikiran
Orientalissecaramendalamdalampenulisanskripsiini.
5. Kusmana MA,selakudosenpembimbingAkademikterimakasih atasdiskusi yang
menyenangkansertaberbagaipemikiranserta saran-saran
sehinggatercetuslahsebuah ide judulskripsi. Para
DosenFakultasUshuluddinJurusanUlumul Qur’an danTafsir, terimakasihatasilmu
yang telahdiberikansemogabermanfaat, PegawaiPerpustakaanFakultas,
PegawaiPerpustakaanUtama yang telahmemberikanwaktudanbuku-bukunya.
6. Eva Nugraha M.A
selakudosenpengujiskripsiterimakasihatasbimbingansertanasihat yang diberikan.
7. KeluargaBesarPERMASI, terimakasihataspemikirandiskusiKOPDAR
diSenjaHari.
8. KeluargaBesarMuslimahTafsirHadits, terimakasihatasbimbingan, ilmu,
sertainformasi-informasiterkaitperkuliahan.
9. KeluargaBesar Guru MTS serta Siswa-SiswiMTS Bait Qur’any,
yangselalumemotivasipenulisuntukselaluberkarya serta menyelesaikan tugas
akhir skripsi ini,. TerimakasihatasdukungansertaDo’a yang selaludipanjatkan. .
10. M.A.G (Muslimah anti Galau)HafidzohHanifiah, NiaHidayati, LeniNuraeni,
DesyNurzannahArsyad, IthaMaftuhatuRahmah, ZulfaAsyura,
NurAshlihahMansyur, UmmiHasanah, LiaOktavia Sasmitha, Ningrum Lestari,
Yuli Elisah terimakasihataspelukanhangatdanobrolansantai yang
mengandungmakna.
viii
11. KeluargaBesarPergerakanMahasiswa Islam Indonesia
KomisariatFakultasUshuluddin (PMII KOMFUSPERTUM).
12. KeluargaBesar FKMB (Forum KomunikasiMahasiwaBetawi) Bang Asnawi,
HelmiSuhaimi, Hisyam Rafsanjani, Fathur, Lia, NiaHidayati, Muhammad Rifa’i,
Aida Nuraidadanlainnyaterimakasihataskehangatan yang terjalinsemuawaktu
yang kalian berikandalamsetiapobrolanyang selaludirindukan.
13. MahasiswaUshuluddinJurusanUlumul Qur’an danTafsirangkatan2012, kelas TH
“C” terimakasihataskehangatan yang terciptaselama 4 tahun, kalian merupakan
keluarga super. Kekompakan yang terjalin di
antarakitamerupakanjalinanpenyambungtali silaturahmi.
14. KKN JARIYAH2015, terimakasihteruntuksatubulanyangluarbiasa.
15. Para penulisbuku, penerbit, penjualbuku, admin jual-beli buku on-line, peminjam
buku, sertapengirimbukusehinggabuku-
bukutersebutberpindahtangankepadapenulisuntukdinikmati.
Bekasi, 26 Oktober 2016
Penulis,
Siti Ana Mariyam
NIM. 1112034000102
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ................................................................................................................ i LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................................ iv
ABSTRAK .................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix
PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakangMasalah .................................................................... 1
B. PembatasandanPerumusanMasalah................................................. 6
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 8
F. Metode Penelitian............................................................................ 8
G. SistematikaPenulisan ...................................................................... 9
BAB II TINJAUAN UMUM TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA
A. PengertianTafsirdanRuanglingkup .................................................... 14
B. PerbedaanTafsirdanTa’wil ................................................................. 16
C. PenyempitanMaknaTafsir ................................................................... 18
D. ProblematikaPenafsiran ...................................................................... 22
E. Perkembangan SejarahTafsīr al- Ma’tsūr ........................................ 26
1. Masa Rasulullah SAW .................................................................. 26
2. Masa Sahabat ................................................................................... 27
3. Masa Ta’biin ..................................................................................... 29
BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IGNAZ GOLDZIHER
A. BiografiIgnazGoldziher ...................................................................... 31
1. Pendidikan ...................................................................................... 31
2. Karya-karyaIlmiah ........................................................................ 34
B. PemikirantentangKeislaman .............................................................. .39
C. PemikiranIgnazGoldzihertentang al-Qur’an danTafsir .................. 42
D. Kajian Buku Mazhab Tafsir dalam Literatur .................................. 44
x
BAB IV PERKEMBANGAN TAFSĪR BI AL-MA’TSŪR MENURUT
IGNAZ GOLDZIHER
A. Pengertian Tafsīr al- Ma’tsūr menurut Ignaz Goldziher .............. .46
B. Reliabilitas Tafsīr al- Ma’tsūr............................................................ 49
1. Nilai Riwayat ................................................................................. 49
2. Israilliyat ........................................................................................ .53
C. Para Tokoh Tafsīr al- Ma’tsūr ........................................................... 54
1. Ibn ‘Abbās ...................................................................................... 54
2. Ikrimah............................................................................................ 56
3. Ali Ibn Abī Ṭalḥah ....................................................................... .57
4. Al-Ṭabarī ........................................................................................ 58
D. Signifikasi Ignaz Goldziher bagi Tipologi Perkembangan
Penafsiran selanjutnya ......................................................................... 60
1. Muhammad Husein al-Dzahabī ................................................... 60
2. Mannā Khalīl al-Qaṭṭān ............................................................... .65
3. Ṣubḥial-Ṣāliḥ .................................................................................. 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 71
B. Saran - Saran ........................................................................................ 72
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 73
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris
ṭ ṭ ط A A ا
ẓ ẓ ظ B B ب
‘ ‘ ع T T ت
gh Gh غ Ts Ts ث
f F ف J J ج
q Q ق ḥ Ḥ ح
k K ك Kh Kh خ
l L ل D D د
m M م Dz Dh ذ
n N ن R R ر
w W و Z Z ز
h H ہ S S س
’ ’ ء Sy Sy ش
y y ي ṣ ṣ ص
h h ة ḍ ḍ ض
Vokal Panjang
Arab Indonesia Inggris
Ā Ā آ
Ī Ī ٳى
Ū Ū أو
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islamadalahagama yang lurus,sejak zaman dahulu diyakini kebenarannya,
para pemeluknya tersebar di Timur maupun di Barat. Sepanjang sejarah manusia,
semenjak Allah mengutusRasul pilihan-Nya, mereka yakin bahwa di dalam agama
Allah terdapat unsur ajaran yang mendatangkan kebahagiaan hidup di dunia dan
di akhirat. Kitabullah al-Qur‟an yang penuh dengan petunjuk, selalu membekali
manusia dengan berbagai prinsip dan bermacam kaidah umum serta ajaran-ajaran
Islam yang menyeluruh. Allah menuntut hamba-Nya agar memperhatikan al-
Qur‟an dan mentadaburi ayat-ayatnya.Dalam surah al-Qamar ayat 17 yang
berbunyi :
رنا كر ٱلقرءان ولقد يس د كر فهل من م ٧١للذ
Artinya:.“Dan Sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran,
Maka Adakah orang yang mengambil pelajaran ?”
Kunci untuk memahami atau membuka pengertiantentang seruan, risalah
dan Syari‟at Islam tiada lain kecuali dengan jalan menafsirkansecara benar dan
tepat. Sejarah tafsir sama sekalitidak dapat dipisahkan darisejarah Islam secara
keseluruhan. Karena itu, sejarah tafsir perlu diketengahkan. Sejarah tafsiramat
perlu diketahui, perlu dipikirkan dan direnungkan sampai kelubuk jiwa yang
palingdalam, sebabmerupakan sejarahkitab suci yang dapat menyelamatkan
membahagiakan dan menjanjikan keberuntungan di dunia dan di akhirat bagi
2
manusia yang beriman dan berbuat kebajikan.1
Ketikaal-Qur‟an diturunkan,
kemudian Rasulullah SAW memberikan penjelasan kepada parasahabat tentang
arti dan kandungannya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami
atau ayat yang samar-samar artinya. Hal ini berlangsung sampai wafatnya
Rasulullah SAW. Setelah wafat Rasulullah SAW dan para sahabat mereka
terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan
seperti „Alī bin Abī Ṭālib,Ibn Abbās, Ubay bin Ka‟ab, dan IbnMas'ūd. Sementara
sahabat lain ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi
atau kisah-kisah yang tercantum ke dalam al-Qur‟an, kepada tokoh-tokoh ahlul
kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti „Abdullah bin Salām, Ka‟ab al-
Akhbar, dan lain-lain. Di samping itu para tokoh tafsirdari golongan sahabat
yang disebutkan, mempunyai murid-murid dari para tabi‟in, khususnya di kota-
kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir barudari
kalangan tabi‟in di kota-kota tersebut. Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu
penafsiran Rasulullah SAW, penafsiran sahabat-sahabat sertapenafsirantabi‟in,
dikelompokkan menjadisatu kelompok yang dinamai Tafsīr bi al-Ma’tsūr.
Mengingat pada zaman modern ini perkembangan IPTEK semakin pesat dan
globalisasi tidak dapat dihindarkan, berbagai penafsiran tentang al-Qur‟an
sudah banyak sekali, maka sangat perlu adanya berbagai macam metode
penafsiran yang bisa dijadikan alternatif untuk memahami al-
Qur‟ansecarakontekstualyakniTafsīrbi al-Ma’tsūr.
1Ahmad as-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an(Jakarta: Pustaka Firdaus,1994), h. 3.
3
Di kalangan Orientalis tidak ada yang membahas kajian tentang sejarah
perkembangan tafsiral-Qur‟ansecara mendetailseperti Ignaz Goldziher, hanya
Goldziher yang membahas sejarah perkembangan tafsir klasik (bi al-
Ma’tsūr)hingga kontemporer secara jelas. Sebagai orientalis Goldziher
mempunyai peran penting dalam teks perkembangan kajian al-Qur‟an di Barat,
sementara di dunia Islam pemikiran dari Goldziher banyak dikritisi oleh ulama-
ulama kontemporer. Oleh karena itu, kajian pembahasan mengenai pemikiran
kajian Ignaz Goldziher sangat penting untuk dikaji, permasalahan terpenting
ialah? apakah ada beberapa dari ulama-ulama kontemporerIslam, telah mengkaji
ulang hasil pemikiran karya Goldziher tentang perkembangan tafsīr bi al-
Ma’tsūr.Kajiantafsir sangat penting untuk dikaji karena peristiwa berkembangnya
tafsīr bi al-Ma’tsūr mengalami sedikit pergeseran makna, dimulai dari generasi
pada masa Rasulullah SAWsalafhingga muta’akhirin.Kajian ini perlu diteliti
karenasebagai umat Nabi Muhammad SAWseyogianya mengetahui seluk beluk
perkembangan tafsīr bi al-Ma’tsūrsehingga dapat mengetahui sejarah peradaban
tafsir yang telah terjadi dan dijadikan sebagai pembelajarandimasa yang akan
datang.
Dalam hal ini, Prof. Dr. M. Alī Aṣ-Ṣabūnī memberikan pengertian, bahwa
tafsīr riwayat(ma’tsūr) adalah rangkaian keterangan yang terdapat dalam al-
Qur‟an, Sunnah atau kata-kata sahabat sebagai penjelasan maksud dari firman
Allah, yaitu penafsiran al-Qur‟an dengan Sunnah Nabawiyyah. Dengan kata lain,
maka tafsīr bi al-Ma’tsūradalahtafsīr al-Qur’ān dengan al-Qur’ān, penafsiran al-
Qur’ān dengan as-Sunnah atau penafsiran al-Qur‟an menurut atsar yang timbul
4
dari kalangan sahabat.2Definisi yang lain diberikan oleh Syeikh Mannā„ Khalīl
al-Qaṭṭān, beliau mendefinisikan tafsīr bi al-Ma’tsūr adalah tafsir yang
berdasarkan pada kutipan-kutipan yang ṣāḥīḥ menurut urutan yang telah
disebutkan dalam syarat-syarat mufassir. Yaitu menafsirkan al-Qur‟an dengan al-
Qur‟an, dengan sunnah, karena dia menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan
sahabat karena mereka yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa
yang dikatakan oleh para tokoh besar tabi‟in, karena pada umumnya mereka
menerimanya dari sahabat.3M. Quraish Shihab berpendapat mengenai tafsīr bi al-
Ma’tsūr. Menurutnya penafsiran ini hanya sesuai dipakai pada zaman
klasik.Karena mereka mengandalkan kekuatan yang dapat membuktikan
kemukjizatan al-Qur‟an. Tetapi tidak sesuai jika dipakai pada zaman modern ini,
karena orang Arab pun sekarang sudah mulai kehilangan rasa bahasanya, apalagi
kita yang di Indonesia ini. Metode riwayat ini istimewa jika ditinjau dari sudut
informasi kesejarahannya yang luas, serta objektifitas mereka dalam menguraika
riwayat itu, sampai-sampai ada yang menyampaikan riwayat–riwayat tanpa
melakukan penyeleksian yang ketat. Kadang sebagian ditemui tanpa sanad yang
ditemui,sanadnya pun membutuhkan penelitian yang cukup panjang untuk
menunjukkan kelemahan dankeṣaḥīḥannya.4
Kajian orientalisme di Barat, khususnya di Eropa, menurut Syamsuddin
Arif, adalah kajian terhadapkebudayaan peradaban Timur. Hal ini bermula sejak
ribuan tahun yang lalu berawal dari kontak dan interaksi antara orang Yunani
dan Mesir Kuno, Babylonia dan Persia. Seiring dengan waktu arti dan makna
`
2Muhammad Alī Aṣ-Ṣabūnī,Studi Ilmu al-Qur’an, terj. Aminuddin ( Bandung: Pustaka
Setia, 1998), h. 248. 3Mannā Khalīl al-Qaṭṭān,Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’ān, terj. Mudzakir AS ( Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2013) , h. 482. 4Quraish Shihab,Membumikan al-Qur’an(Bandung: Mizan, 1999), h. 83.
5
orientalis pun mulai meluas. Kalau pada abad pertengahan seorang orientalis
berartiyang mempelajari karya-karya ilmuwan Islam. Kemudian pada abad
berikutnya, arti dan motif orientalis kian membengkak dan berbeda dengan tujuan
awal. pada zaman Renaissance, tegas Syamsuddin Arif, orientalisme tidak hanya
mempelajari bahasa, Agama, dan peradaban Mesir Kuno, Persia, Zoroaster, Arab,
dan Budha. Tidak hanya itu,orientalisme memiliki kepentingan terselubung
sebagai alat dan senjata untuk menjajah, menguasai, dan mempengaruhi. Tujuan
ini sesuai dengan slogan yang mereka usung yakni:Gold, God,
andGospel5Sebagaimana diketahui pada masa pertengahan Islam, di mana saat
itu peradaban Islam merupakan abad pencerahan, dan sebaliknya di Eropa
adalah masa kegelapan (the dark ages) sesungguhnya telah menyulut para
pelajar dari Barat untuk belajar di dunia Islam, seperti diwilayah Andalusia yang
ketika itu merupakan pusat Intelektualisme Islam.Studi-studi yang dilakukan
akademisiBarat dalam rangkamengetahui sejauh mana perkembangan
pengetahuan struktur budaya, ekonomi, dan politik, dalam kebudayaan Islam
kontekstual. Salah satu dari kalangan orientalis yang dikritik oleh al-Syibā‟i ialah
Ignaz Goldziher, menurut al-Syibā‟i biang orientalis ialah Ignaz Goldziher, yang
karya-karyanyadapat menggantikan wilayah hitam putih ajaran Islam hingga
menjadi wilayah abu-abu. Goldziher merupakan Orientalis ilmiah yang mendapat
sumber dana untuk melakukan infiltrasi negatif dalam doktrin ajaran Islam untuk
tujuan-tujuan tertentu.6Ignaz Goldziher merupakan seorang orientalis Yahudi
Hungaria.Ia adalah sarjana Barat terkemuka dan disegani. Berbagai aspek
5Syamsudin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran(Jakarta: Gema Insani, 2008),h.
282. 6Mustofa Hassan al-Syiba‟i, Membongkar kepalsuan Orientalisme, terj. Ibnu Burdah,
(Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka, 1997), h.27.
6
doktrin Islam secara merata telah ia kuasai. Tak hanya masalah sejarah tafsir yang
menjadi semacam konsentrasi dalam berbagai penelitiannya terhadap doktrin
Islam melainkan juga masalah kritik hadis, Teologi, pembangunan Hukum
(syari’ah),Sejarah Perkembangan Islam, hingga masalah Mistisisme
(tasawuf).7
Dalam buku Madzāhibal-tafsīr al-Islamī,argumen Goldziherdalam
karya itumenguraitentangsejarah penafsiran al-Qur‟an. Penafsiran tersebut bukan
semata-mata menafsirkan dari makna klasik ke makna kontemporer. Namun di
dalamkaryanya, Goldziher membedah pertumbuhan kajian tafsir semenjak
kontroversi mushaf Utsmani hingga pertumbuhan kontemporer. Goldziher
menjelaskan berbagaikelompok-kelompokkeagamaan atau individu menafsirkan
al-Qur‟an, serta berhasilmembongkar motif-motif kepentingan yang berkelindan
dalam penafsiran mereka. Goldziher mengatakan bahwa tafsir sebagai salah satu
pemicu munculnyaperbedaan ragam bacaan al-Qur‟an.
Peradaban Islam adalah peradaban teks. Menurut Ignaz Goldziher
munculnya perdebatan seputar bacaan al-Qur‟an dalam generasi awal tidak lain
merupakan usaha untuk menjaga, melestarikan, dan menegakan kitab suci al-
Qur‟an, ragam bacaan mencerminkanusaha untuk menafsirkan firman Tuhan.
Dunia tafsir menafsir merupakan wilayah yang paling “bertanggung jawab” atas
terbentuknya peradaban itu. Oleh karena itu, kajian kritis yang dilakukan oleh
Ignaz Goldziher merupakan bagian dari kajian mengenai peradaban Islam itu
sendiri. Kajian Ignaz Goldziher mengajak untuk menyebrangi kenyataan sejarah,
sosial dan budayadengan mencermati berbagai tabir pengetahuan dan skema-
skema keyakinan yang digunakan untuk menyerangantar musuh, khususnya
7
Wisnual-Farisy, “Biografi Ignaz Goldziher,” Data artikel diakses20 Februari
2016www.google.com/Ignaz-
Goldziher.biografyhttp://wisnualfarisy28.blogspot.co.id/2012/03/biografi-ignaz-goldziher.html
7
musuh seagama, baik secara individu maupun kelompok, melalui penafsiran
terhadap kitab suci al-Qur‟an.8 Pada masa awal Islam hingga abad ke-2 H, sahabat
enggan menyibukkan diri mereka dengan (tafsīr bi ad-dirayah). Diriwayatkan
bahwa Qāsim ibn Muhammad ibn Abū Bakar dan Sālim ibn Abdillah ibn Umar
enggan menafsirkan al-Qur‟an, tafsīr bi al-ra’yi dianggap tabu oleh para sahabat,
karena mereka berprinsip bahwa penafsiran al-Qur‟an harus didasarkan pada al-
ilmu, bukan Dzann (tidak pasti). Kecenderungan sahabat dan tabi‟in yang
berpegang teguh pada otentisitas riwayat merupakan suatu hal yang sangat
berperan dalam usaha “memelihara al-Qur‟an” yang dikemudian hari riwayat
dilegitimasi dengan jalur Isnad, penafsiran kecenderungan inilah yang dimaksud
dengan tafsīr bi al-ma’tsūr. Namun bukan berarti tafsīr bi al-ma’tsūrtidak
mengalami kendala, justru dalam pandangan Ignaz Goldziher kendala penafsiran
yang bertitik tolak dari riwayat semakin besar. Maka kemudian muncul istilah
Israilliyat dan Nasraniyat dalam studi tafsir, yaitu riwayat yang merujuk kepada
Israil dan Nasrani, dengan tokoh sentralnya Ka‟ab al-Akhbar,9Di samping kendala
lain yaitu, belum terkodifikasinyatafsir. Tafsir memasuki babak baru, masa
kodifikasi, pada abad ke-2 H, namun manuskrip-manuskrip tafsir tersebut tidak
bisa di jumpai hingga saat ini. Baru pada abad ke-3 H, mulai bermunculan
kitab-kitab tafsir yang dikodifikasi dan bisa dinikmati sampai saat ini, semisal al-
Ṭabarī (251-310 H).
Terlepas dari sikap yang kurang apresiatif tersebut, dapatmengakui bahwa
orientalis memiliki kontribusi yang tidak sedikit terhadap keilmuan Islam. Selain
Ignaz Goldziher, terdapat seorang orientalis yang concern dalam sejarah al-Qur‟an
8 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir (Yogyakarta: Elsaq Press Sleman,1997),h. 2.
9 Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, h. 101.
8
yakni Theodor Noldeke dengan karya yang berjudul “Geschichte des Qurāns”,
nampaknya Goldziher masih terbilang baru dalam khazanah ilmu tafsir.Sebuah
istilahyang berusaha memotret kecenderungan dan model pendekatan para
mufassir dalam menulis kitab tafsir.10
Oleh karena itu, tercetuslah sebuah judul
dengan tema“Studi Pemikiran Ignaz Goldziher tentang PerkembanganTafsīr
bi al-Ma’tsūr”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Sebagai seorang orientalis, Ignaz Goldziher banyak sekali membahas
tentang kajian-kajian Islam, diantaranya soal kritik beberapa hadits, masalah
mistisisme Islam (Tasawuf), sejarah Islam, dan persoalan-persoalan Teologi.
Sebagaimana yang telah di jelaskan di atas, maka penulis mempunyai keinginan
untuk membahas pemikiran sejarah tafsir menurut Ignaz Goldziher, karena
dari beberapa jenis penelitian yang penulis lihat selama ini, banyak dari para
peneliti, mengkaji tentang otentisitas hadits menurut ignaz Goldziher,alasan
penulis menulis skripsi ini ialah karena ingin mengetahui apakah ada beberapa
dari ulama Islam kontemporer yang mengikuti hasil kajian perkembangan tafsīr
ma’tsūr seperti Goldziher, maka rumusan masalahnya adalahbagaimana Ignaz
Goldziher menjelaskan Perkembangan tafsīr bi al-ma’tsūrdan Apakah Goldziher
memberikan pengaruh bagi ulama tafsir selanjutnya ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian skripsi ini untuk :
1. Menjelaskan pengertian tafsīr bi al-Ma’tsūryang telah mengalami
perubahan makna dari masa ke masa.
10
Abdurahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Terjemahan oleh Amroni Drajat
(Yogyakarta: lkis,2003), h.128.
9
2. Menguraikan perkembangan tafsir secara mendalam agar
meningkatkanlagi gairah keilmuan sehingga diharapkan mampu
mengetahui, memahami, menganalisa serta mengkritisi secara akademis
perkembangan tafsīr bi al-Ma’tsūr.
3. Menggali pemikiran ulama Muslim mengenai kajian tentang tafsīr bi al-
Ma’tsūr sehingga dapat diketahui apakah Ignaz Goldzihermemberikan
pengaruh bagi ulama Muslim sesudahnya.
4. Memberikan Substansi perkembangan tafsīr bi al-Ma’tsūr serta dapat
mengetahui pandangan Ignaz Goldziher terhadap tafsīr bi al-Ma’tsūr.
D. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai berikut :
1. Secara Teoritis,dapat memberikan sumbanganpenelitian kajian
perkembangan tafsir.
2. Secara Praktis, sebagai bahan ajar pada mata kuliahKajian Barat terhadap
al-Qur‟an dan Hadits serta Pendekatan Modern terhadap al-Qur‟an dan
Hadits.
E. Tinjauan Pustaka
Sepanjang pengetahuan penulis, ada banyak skripsi mahasiswa
Ushuluddin yang membahas masalah tentang orientalis yang bernama Ignaz
Goldziher akan tetapi pembahasannya hanya seputar hadis saja dengan judul
“Kredibilitas sunah (analisis atas pemikiran hadis Ignaz Goldziher)” yang
ditulis oleh Baihaqi, pembahasannya hanya seputar kontribusi Ignaz Goldziher
dalam bidang hadits, dalam hal itu, menurut penulis skripsi ini. Ignaz Goldziher
telah menyumbangkan kerangka metodologis dalam mendekati kajian-kajian
10
hadits.kemudian yang kedua tentang skripsi “Orientalis menggugat otentisitas
studi pemikiran Ignaz Goldziher dan Joseph schacht“ yang ditulis
olehEngkus Kusnandar pembahasan skripsinya membahas seputar
keontetisitasan hadis menurut pandangan Ignaz dan Joseph kemudian penulis
skripsi menela‟ah pemikiran 2 orientalis ini, dalam memperdebatkan
keontesitasan hadis. Dan ketiga, yakni skripsi tentang ”pandangan Ignaz
Goldziher tentang relasi etis antara Tuhan dan Manusia yang ditulis oleh
Ade Ismatillah, adapun tela‟ah hasil skripsinya mengacu pada pandangan ignaz
Goldziher tentang teologi Mu‟tazilah yang dianutnya serta tentang bagaimana
pandangan Ignaz Goldziher tentang relasi tuhan terhadap manusia. Adapun
posisi kajian skripsi ini lebih menganalisa tentang pemikiiran Ignaz Goldziher
tentang sejarah perkembangan tafsīr bi al-Ma’tsūr dan serta ulama Islamyang
mengkaji kembali pemikiran tafsīr bi al-Ma’tsūr setelah Goldziher.
F. Metode Penelitian
Pembahasan dalam penelitiantersebut`penyusun skripsi ini menggunakan
rangkaian metode analisis deskriptif untuk menganalisis pemikiran Ignaz
Goldziher dalam perkembangantafsīr bi al-Ma’tsūr serta menggambarkan
pengaruhnya bagi ulama tafsir selanjutnya. Penelitian ini menggunakan model
penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
yang berupa kata-kata tertulis atau lisan dari suatu objek yang dapat diamati
dan diteliti.11
Kemudian menggunakananalisis data merupakan salah satu yang
digunakan dalam penelitian, mempelajari serta mengolah data-data sehingga dapat
diambil suatu kesimpulan yang konkrit tentang permasalahan yang diteliti dan
11
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif( Bandung: Remaja Rosda Karya,
2002), h.3.
11
dibahas. Jenis penelitian ini memusatkan pada koridor penelitian kepustakaan
(Library Research) artinya, sumber data terdiri dari bahan-bahan yang telah
dipublikasikan, baik berupa buku, kitab-kitab, jurnal, maupun literatur yang
berbahasa Arab, Inggris dan Indonesia yang dianggap representatif dan
memiliki relevansi dengan objek yang sedang diteliti.
Sedangkan pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah pendekatan
historis, yaitu sebuah pendekatan untuk mengidentifikasi waktu dan tempat
denganpendekatan historis, diharapkan dapat melacak segala peristiwa dengan
melihat dimana, apa sebabnya dan siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut.
Pendekatan historis sangat berperan penting dalam penelitian ini, karena
penelitian yang diangkat adalah peristiwa serta catatan sejarah yang membutuhkan
upaya pengujian data-datanya.
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah sumber
primer yaitu karya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia maupun yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sedangkanbuku yang dijadikan referensi
adalah karya Muhammad Husein al-Dzahabī“Tafsīr wa al Mufassirūn”sumber
sekunder yaitu karya-karya atau literatur orang lain yang memiliki relevansi
dengan Ignaz Goldziher yang berkaitan dengan tafsīr bi al-Ma’tsūr,sumber-
sumber sekunder inilah yang digunakan penulis untuk menganalisis pemikiran
Ignaz Goldziher tentang tafsir.Kemudian menggunakan Sumber tersier adalah
sumber data yang berasal dari internet, karya ilmiah, dan diktat kuliah.
G. Sistematika Penulisan
Adapunsistematika penulisanskripsi ini ialah sebagai berikut:
12
Bab IPendahuluan meliputi, latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, metode penelitian, tinjauan pustaka, tujuan penelitian, dan
sistematika penulisan. Bab satu menjelaskan alasan utama penulis mengkaji
tokoh orientalis Goldziher dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
serta data analisis deskriptif dan menggunakan koridor pendekatan sejarah dalam
meneliti penelitian skripsi ini.
Bab II membahastinjuan umum tentang tafsir dan problematika
penafsiran. Definisi tafsir secara umum yang meliputi pengertian dan ruang
lingkup, perbedaantafsir dan ta‟wil, penyempitan makna tafsir, problematika
penafsiran, dan sejarah perkembangantafsīrbi al-Ma’tsūr. Bab dua menjelaskan
secara khusus tentang perkembangan tafsīr ma’tsur dan ta‟wil secara menyeluruh
disertai dengan berbagai problematika tafsiryang terjadi pada abad 2 H, dan
penjelasan mengenai awal permulaan tafsīr bi al-Ma’tsūr berkembang.
Bab IIImembahas biografi dan pemikiran Ignaz Goldziher yang
meliputibiografiIgnaz Goldziher, karya-karya ilmiah, pemikiran tentang
keislaman, dan pemikiran Ignaz Goldziher tentang al-Qur‟an dan tafsir. Bab tiga
menjelaskan tentang kehidupan Goldziher sejak kecil menimba ilmu, karir serta
perjalanan intelektual Goldziher dari masa ke masa, hasil pemikiran karya-
karyanya, serta pandangan Goldziher tentang Islam, al-Qur‟an dan tafsir
danKajian Buku Mazhab Tafsir dalam Literatur, pembahasan ini mengulas sedikit
buku mazhab tafsir serta literatur kitab Madzāhīb al-Tafsīr al-Islamīyang
diterjemahkan ke dalam bahasa arab.
Bab IV membahas penulisan sejarah tafsīr bi al-Ma’tsūr menurut Ignaz
Goldziher yang meliputi sejarah perkembangan Tafsīr bi al-Ma’tsūr, Reliabilitas
13
tafsīr bi al-Ma’tsūr tentang nilai riwayat dan Israiliyyat, para tokoh tafsīr bi al-
Ma’tsūr dan Signifikasi Ignaz Goldziher bagi perkembangan tipologi penafsiran
selanjutnya. Bab Empat menjelaskan tentang pengertian tafsīr bi al-
Ma’tsūrmenurut Ignaz Goldziher dilanjutkan dengan reliabilitas tafsīr bi al-
Ma’tsūrserta nilai riwayat dan Israilliyat. Kemudian penjelasan tafsīr bi al-
Ma’tsūr menurut 3 ulama Muhammad Husein al-Dzahabī, Mannā Khalīl al-
Qaṭṭān, dan Ṣubḥi al-Ṣāliḥ. Pembahasan dalam subbab ini memberikan titik
temu, yakni Goldziher memberikan dampak pengaruh bagi ulama muslim
yaitu al-Dzahabī dalam perkembangan tafsir selanjutnya.
Bab V Penutup skripsi ini ada di bab V yang memuat kesimpulan, saran-
saran serta daftar pustaka.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TAFSIR DAN PERKEMBANGANNYA
A. Pengertian Tafsir dan Ruang lingkupnya
Dalam bahasaArab kata tafsir berasal dari akar kata al-fasr yang berarti:
penjelasan atau keterangan, yakni mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas.
Keterangan yang memberikan pengertian tentang sesuatu disebut Tafsir.Kata
Tafsirsebagai istilah, dikalangan para ulama mempunyai 2 makna. Makna yang
pertama \sebagaimana dengan yang telah dijelaskan diatas. Sedangkan kedua
mengandung pengertian bahwatafsir mengandung pengertian ilmu badi‟ yaitu
salah satu cabang ilmu sastra Arab yangmengutamakan keindahan makna dalam
penyusunan kalimat.1Kata tafsirpada mulanya berarti penjelasan atau penampakan
makna.Aḥmad Ibn Fais (w. 395 H), pakar ilmu bahasa menjelaskan dalam
bukunya al-Maqāyis fi al-Lughah bahwa kata-kata yang terdiri dari ketiga huruf
fa-sin-ra‟ mengandung makna keterbukaan dan kejelasan. Dari sini kata fasara
serupa dengan kata safara, hanya saja yang pertama mengandung arti
menampakan makna yang dapat terjangkau oleh akal, sedangkan yang kedua,
yakni safara, menampakkan hal-hal yang bersifat material dan indrawi. Kata
Tafsiryang terambil dari kata fasara mengandung makna kesungguhan membuka
atau keberulang-ulangan melakukan upaya untuk membuka, sehingga itu berarti
kesungguhan dan berulang-ulangnya upayauntuk membuka
yangtertutup/menjelaskan apa yang musykil/sulit dari makna sesuatu, antara lain
kosa-kata. Salah satu definisi yang singkat
1Ahmad as-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur‟an(Jakarta: Pustaka Firdaus,1994), h. 5.
15
mencakupmenjelaskantafsirsebagaipenjelasan tentang maksud firman-firman
Allah sesuai dengan kemampuan manusia.2
Kataat-Tafsīr danal-Fasrmempunyai artimenjelaskan dan menyingkap
yang tertutup. Dalam kitabLisānul „Arab dinyatakan kata “al-fasr” berarti
menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata “at-tafsīr” mempunyai arti
menyingkapkan maksud sesuatulafaẓyang muskil. Maksudnya ialah diantara 2
bentuk kata “al-fasr” dan “at-tafsīr” makatafsirlah yang paling banyak
dipergunakan.3Ada juga yang menyatakan bahwa penggunaan kata tafsir merujuk
kepada “al-fasr“ digunakan sebagai sarana untuk penafsiran, sehingga kata Arab
Tafsīra digunakan sebagai “aktivitas untuk mencari tahu suatu penyakit”
digunakan oleh para dokter untuk mendiagnosa suatu penyakit pasien. Maka
dengan tafsir, seorang mufasirmampu menyibak isi kandungan ayat-ayat al-
Qur‟an dari berbagai aspeknya.4
Kemudian ada beberapa pendapat tentang tafsir menurut para
ulama.Menurut Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī bahwa tafsir adalah ilmu mengenai turunnya
ayat-ayat al-Qur‟an dan hal ihwalnya, cerita-cerita, serta sebab turunnya,
makkiyah dan madaniyyah, muḥkam, dan mutasyabbih, nāsikh mansūkh, amm,
khass, mutlaq muqayyad, mujmal dan mufassarnya, halal dan haram, janji
ancaman, perintah dan larangan,dan mengenai ungkapan perumpamaan
perumpamaannya.5Kemudianmenurut al-Ẓarkasyi bahwa tafsirialah menerangkan
makna-makna al-Qur‟an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan juga hikmah-
2M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir(Tangerang: Lentera Hati, 2013),h.9.
3Mannā Khalīl al-Qaṭṭān,Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟ān (Jakarta:Pustaka Litera Antar Nusa),
h. 456. 4Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an(Jakarta: Rajawali Press Raja Grafindo
Persada, 2013), h. 309.
5Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī,Samudra Ilmu-Ilmu al-Qur‟ān terj. Muhammad Ibn Alawi‟al-
Maliki(Bandung: Arasy Mizan Pustaka, 2003), h.50.
16
hikmahnya.6
Tujuan mempelajaritafsir ialah memahamkan makna al-Qur‟an,
hukum-hukumnya, akhlak-akhlaknya, serta petunjuk-petunjuknya untuk
memperoleh kebahagiaaan dunia maupun akhirat.Maka faedah mempelajari tafsir
ialah terpelihara dari kesalahan memahamial-Qur‟an. Kedudukan tafsir
tergantung pada materi masalah yang ditafsirkan sebab ia adalah kitabullah Azza
Wajalla.
B. Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang beda makna tafsir dan
ta‟wil, bahkan ada pula yang menyamakannya. Pebandingan makna antara dua
istilah ini banyak mendapat perhatian ulama Ulūmul al-Qur‟ān, Tafsir berasal dari
kata /fa-sa-ra/ secara etimologis dapat diartikan sebagai keterangan atau
penjelasan yangmenerangkan suatu lafaẓ.Pengertian ini diambil dari firman Allah
SWT dalam surah al-Furqān ayat 33:
كابااولااجئى ٣٣وأحسهاتفسيراااٱلحق ايأتىوكابمثلاإلا
Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya.”
Kalimat wa ahsana tafsīra yang ada diakhir ayat tersebut bermakna: pasti
kami datangkan kepadamu suatu kebenaran dengan lafaẓ (kata-kata) yang lebih
baik dan lebih jelas dari pada yang mereka datangkan kepadamu.Ta‟wil
berasaldari kata /a-wwa-la/ dan dapat diartikan sebagai penjelasan dan penafsiran
yang menjelaskan hakikat dari pada makna yang sebenarnnya. Atas dasar
itumakata‟wilmempunyai makna yang sama dengantafsir. Tetapi, menurut
peristilahan syara‟ yang dikemukakan oleh ulama uṣūl fiqh, kata
ta‟wilmempunyai makna berbeda dengan katatafsir, hanya berkisar pada
6Al-Ẓarkasyi, Al-Burhān fi Ulūmul al-Qur‟ān(Beirut: Isa al-Bab al-Halabi ), h. 216.
17
maknasuatu lafaẓ, bukan makna lafaẓ itu sendiri. Artinya, apabila terdapat
beberapa kemungkinan makna dalam suatu lafaẓmaka yang diambil adalah makna
yang tersembunyi, bukan makna yang ẓāhir (yang bisa langsung ditangkap dari
lafaẓ tersebut).7
Maka atas dasar itulah perbedaan antara tafsirdanta‟wilialah
bahwa tafsir menerangkanmaksud yang ada pada suatu lafaẓ yang menghilangkan
kesamaran arti pada lafaẓtersebut, sedangkan ta‟wil menerangkan maksud yang
ada pada makna yang tidak ditunjukan secara ẓāhir, tetapi dikandung oleh lafaẓ
tersebut berdasarkan dalil yang mendukungnya.
Quraish Shihab menjelaskan mengenai persamaanyang mempersamakan
antara Tafsir dan Ta‟wil, ada juga yang membedakannya dengan menyatakan
tafsiryang berkaitan dengan lafaẓ/kosakata, sedang ta‟wil berkaitan dengan
kalimat/susunan kata. Ada beberapa ulama yang menyatakan bahwa tafsir
berkaitan dengan riwayat, sedangkanta‟wil berkaitan dengan dirayat, yakni
pengetahuan, nalar, dan analisis. Tafsiradalahmendengar dan mengikuti, sedang
ta‟wil adalah beristinbath, yakni menggunakan nalar untuk mencapai
kesimpulan.8Ta‟wil sebenarnya telah dikenal oleh sementara sahabat Nabi SAW,
karena memang bahasa Arab sejak dahulu kala, tidak jarang menggunakannya
tetapi penggunaanya terhadap ayat-ayatal-Qur‟an secara berlebihan menjadikan
ta‟wil tidak berkenan dihati dan pikiran ulama, khususnya para ulama yang hidup
pada abad ke-3 H. Satu susunan kata, atau katakanlah ayat al-Qur‟an, bisa jadi
kabur maknanya kendati sudah jelas makna kosakatanya, lalu kendati telah
diusahakan menemukan pengertiannya–tanpa menggunakan ta‟wil tetap saja
7Adian Husaini dan Abdurrahman al-Baghdadi, Hermeneutika Tafsir al-Qur‟an (Jakarta:
Gema Insani, 2007), h. 45. 8QuraishShihab, Kaidah Tafsir,h. 220.
18
makna/pesannyatidak jelas atau bahkan bertentangan dengan akidah/kepercayaan
maupun logika yang lurus.9
Lepas dari perbedaan antara tafsir dan ta‟wil, yang pasti dari sisi sasaran
dan tujuan ada persamaan diantara keduanya, sama-sama menjelaskan ayat al-
Qur‟an.Kecuali, dalam istilah teknis sehari-hari hampir tidak pernah dipersoalkan
untuk menyamakan atau membedakan istilah tafsir dan ta‟wil.Sebagai contoh
ialah ada beberapa kitabtafsir yang menggunakan kata ta‟wil untuk maksud tafsir,
dan juga menggunakan kata tafsir untuk maksud ta‟wil sekaligus.Perhatikan
misalnya kitab Jamī‟ Al-Bayān fi Ta‟wil al-Qur‟ān(Himpunan Keterangan dalam
menakwilkan ayatal-Qur‟ān) karya al-ṭabarī (310 H/922 M). Ada kitab Mahasīn
al-Ta‟wil (Kebaikan-Kebaikan Penakwilan) buah pena dari Muhammad Jamāl al-
Dīn al-Qāsimi.10
Keduanya lebih banyak menggunakan kata ta‟wildari pada
katatafsir. Perlu diingat, kata ta‟wilyang mereka gunakan tidak semata-mata
dalam konteks ta‟wil itu sendiri, akan tetapi juga sekaligus dalam pengertian
tafsir.
C. Penyempitan Makna Tafsir
Tafsirmenurut istilah, sebagaimana menurut pendapat Abū Hayyan adalah
“ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaẓ–lafaẓal-Qur‟an, petunjuk-
petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika
tersusun dan makna–makna yang dimungkinkan.”11
Dari pendapatnya tersebut
Abū Hayyan menjelaskan secara rinci unsur-unsur definisi tersebut. Kata-kata
ilmu adalah jenis yang meliputi segala macam ilmu, membahas cara
9Mohammad Anwar Syarifuddin, “Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan Al-
Qur‟ān” http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/diakses pada 18 Agustus 2016. 10
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, h. 315.
11 Mannā Khalīl al-Qaṭṭān mengambil salah satu definisi tafsir menurut Abū Hayyan,
h. 456.
19
mengucapkan lafaẓ-lafaẓal-Qur‟an yang mengacu kepada ilmu Qira‟at. Petunjuk-
petunjuknya adalahpengertian yang ditunjukanoleh lafaẓ-lafaẓ itu.Ini mengacu
kepada ilmu bahasa yang diperlukan dalam ilmu Tafsir ini.Kata hukumnya, baik
ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun. Meliputi ilmu ṣāraf, ilmu I‟rab,
ilmu Badi‟ dan ilmu Bayān. Kata-kata “makna-makna” yang dimungkinkan
baginya ketika tersusun, meliputi pengertiannya yang hakiki dan majazi,
sebabsuatu susunan yang (tarkib) terkadang menurut lahirnya menghendaki
sesuatu makna tetapi untuk membawanya ke makna lahir itu terdapat penghalang
sehingga tarkib tersebut mesti dibawa ke makna yang bukan lahir, yaitu majaz.
Kemudian kata-kata yang melengkapinya, mencakup tentang naskh, sebab nuzul,
kisah-kisah yang dapat menjelaskan sesuatu yang kurang jelas dalam al-Qur‟an .12
Ta‟wil secara bahasa diartikan secara bahasa berasal dari kata “aul” yang
artinya memikirkan, menafsirkan, dan memperkirakan.Atas dasar ini maka ta‟wil
secara istilah telah mempunyai dua makna.Pertama ialah ta‟wil kalam dengan
pengertian sesuatu makna yang kepadanya seorang mutakallim (pembicara
pertama) mengembalikan perkataanya atau sesuatu makna yang kepadanya suatu
perkataan dikembalikan, untuk menuju makna hakiki yang merupakan esensi
sebenarnya yang dimaksud. Kedua ialahta‟wil kalam dalam arti menjelaskan dan
menafsirkan makna al-Qur‟an. Adapun pengertian ta‟wil yang dimaksud oleh al-
ṭabarī dalamtafsirnya, menurut para ahli ta‟wil itu bukanlah ta‟wil tetapi tafsir,
jadi yang dimaksud dengan kata ta‟wil di sini adalah tafsir. Makna ta‟wil menurut
golongansalaf.Ta‟wildalam tradisi ulamamuta‟akhirin adalah: “memalingkan
makna lafaẓ yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh)karena ada dalil
12
Mannā Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur‟ān , terj. Mudzakir AS(Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2013), h.457.
20
yang menyertainya.” Maka definisi ini tidak sesuai dengan makna ta‟wil dalam al-
Qur‟anmenurut versi salaf.13
Adapun di antara para ulama ada yang membedakanantaraMakna, tafsir,
danta‟wilmengingatketiga kata ini, sekalipun berbeda tetapi mempunyai makna
yang sama/berdekatan.Adapun kata makna terambil dari kata
iẓḥar(menampakkan) arti “makna” adalah sesuatu yang dimaksud dan dituju,
contoh: yang aku maksud dengan perkataan ini adalah begini. Sedangkan Tafsir
menurut bahasa mengacu kepada arti “menampakkan dan menyingkap” Ibn al-
Anbāri menjelaskan, aku memacu binatang itu dalam keadaan terikat agar lepas
ikatannya, kata “at-Tafsīr” ini mengacu juga kepada arti menyingkap, dengan
demikian maka tafsir berarti menyingkap apa yang dimaksudkan oleh lafaẓ dan
melepaskan apa yang tertahan dari pemahaman. Adapun “ta‟wil” menurut bahasa
berasal dari kata “aul” yang mempunyai arti kembaliadapun dalam pengertian
lain ta‟wil berasal dari kata “ma‟al” yaitu akibat dan kesudahan. Kata ta‟wil
dibentuk dengan pola “taf‟il“untuk menunjukan arti banyak. Maksudnya aku
palingkan ia maka ia pun berpaling. Dengan demikian, ta‟wilseakan akan
memalingkan ayat kepada makna-makna yang dapat diterimanya.
Ada sebuah fatwa yang dikeluarkan pada abad ke-13 M oleh seorang
Muhaddits terkenal Ibn Ṣalāh (w.1245 H), Ibn Ṣalāh menyitir pernyataan Abū al-
Ḥasan al-Wāhidi (w.1075 H) bahwa al-Wāhidi mendengar Abū „Abd al-Rahman
al-Sulami telah menyusun sebuah Tafsiryang diberi namaḤaqā‟iq al-Tafsīr. Al-
Wāhidi menegaskan bahwa jika al-Sulami meyakini apa yang ditulisnya sebagai
“Tafsir” maka ia telah kufur. Pernyataan al-Wāhidi dapat terlihat bahwa kata
13
Mannā Khalīl al-Qaṭṭān, Studi ilmu-ilmu al-Qur‟ān, h. 458.
21
Tafsir yang dipahami pada masa al-Wāhidi, terjadi pada Abad ke -11 M, dan telah
mengalami perubahan makna dari apa yang dipersepsikan sebelumnya.14
Oleh
para ulama sebagai bagian dari penjelasan terhadap ayat-ayat al-Qur‟an. Terlihat
jelas bahwa tafsir yang dipahami oleh al-Wāhidi pada abad ke-11 M jauh sangat
berbeda atau bisa disebut telah terjadinya pergeseran makna dengan tafsir yang
disusun oleh Abū Abdurrahman Al-Sulami pada abad ke-13 M. Sudah sangat jelas
bahwasanya tafsirmengalami penyempitan makna,penafsiran al-Qur‟andianggap
sah/valid apabila penafsiran bersumber dari Al-Qur‟anitu sendiri dan hadits Nabi
SAW. Tampaknya al-Wāhidi menganggap tafsir selain tafsīr bi al-
Ma‟tsūrbukanlahtafsir, seolah-olah tafsiryang tak bersumber dari al-Qur‟andan
hadits, maka tafsir yang tercela. Kemudian metodetafsirbi ra‟yi/ijtihadsejak awal
Islam sudah diperingatkan keburukannya karena dianggap telah keluar dari syarat
tafsīrbi al-ma‟tsūr. Walhasil, Tafsir dipagari dari dominan akal. Kritikan yang
dilontarkan oleh al-Wāhidi bukanlah untuk menghakimi al-Sulami, melainkan
untuk memperingatkan kepada kawan sebaya khususnya yang bermadzab Syafi‟i
untuk tidak memasukan hasil pemikiran karya mereka lalu dijadikan sebagai
Tafsir.15
Pembahasan mengenai penyempitan makna tafsir dapat dipahami bahwa
tafsir mengalami perubahan makna sejak awal Islam. Berawal dari pengertian
Tafsir dalamversi ulamaSalafhingga ulama Mutaakhirin. Tentunya pergeseran
makna tafsir yangterjadi sebab akibat adanya perubahan sosial culture serta
perbedaan paradigma ulama-ulama dalam memahami tafsir, begitu pula dengan
14
Mohammad Anwar Syarifuddin, “Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan Al-
Qur‟ān ”http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/diakses pada 18 Agustus 2016. 15
Mohammad Anwar Syarifuddin, dengan judul artikel “Menimbang Otoritas Sufi dalam
menafsirkan Al-Qur‟ān”http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/28257diakses pada
18 Agustus 2016.
22
kritik al-Wāhidi terhadap al-Sulami yang menyatakan bahwa hasil karya
pemikiran al-Sulami bukanlah tafsir, jika al-Sulami menganggap karyanya
sebagai tafsir maka ia kafir. Demikianlah maksud dari penyempitan makna tafsir
itu ialah tafsir yang bersumber dari al-Qur‟an dan hadits (bi al-ma‟tsūr) yang
paling valid dianggap sebagai tafsir terpuji sedangkan ta‟wil dan tafsir bi al-ra‟yi
sebagai tafsir yang tercela.
D. Problematika Penafsiran
Salah satu problematika yang terjadi pada penafsiran al-Qur‟an , sudah
tidak dapat dipungkiri problematikapenafsiranal-Qur‟anterjadi pasca wafatnya
Rasulullah SAW, adapun yang dimaksud menjelaskan makna yang terkandung
dalam ayat al-Qur‟anitulah yang dimaksud tafsir. Kemudian yang bertindak
menjelaskan ayat-ayat tersebut disebut “mufasir”. Berkembangnya ilmu
penafsiran, pasca Rasul wafat mulai daritafsīrma‟tsūr, ta‟wil, hingga ra‟yi
menjadikan tafsirsebagai alat pengakuan suatu kelompok, bahkan menganggap
tafsīr bi al-ma‟tsūrlah tafsir yang sudah terbukti akurat. Bahkan apabila
adaseseorang yang mencoba menafsirkan al-Qur‟anmelalui ra‟yi maka ia telah
kafir.Tafsīr bi riwayah/tafsīr bi al-Ma‟tsūrdianggap sebagai tafsir yang paling
berkualitas dan tinggi kedudukannya. Berkenaan dengan keistimewaan Tafsīral-
Qur‟āndenganal-Qur‟ānkemudian Tafsīral-Qur‟ānbi al-hadits, Para sahabat
menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi secara musyafahat(dari mulut ke
mulut) demikian dengan generasi berikutnya, sampai datang masa tadwin
(pembukuan) ilmu-ilmu Islam. Penafsiran inilah yang disebut sebagai cikal bakal
tafsir bi al-Ma‟tsūratauTafsir bi al-riwayah.Adapun contoh mengenai tafsir dalam
kata Ẓulm (aniaya) di dalam surah al-An‟ām ayat 82:
23
ئكالهمااٱلاذيها ىهمابظلماأول هتدونااٱلمهاءامىىااولمايلبسىااإيم ااا٢٨وهمام
Artinya: “Mereka yang telah beriman dan tidak mencampurradukan iman mereka
dengan kezaliman, merekalah yang berhak memperoleh keimanan dan mereka
pulalah yang senantiasa mendapat petunjuk.”
Lafal dari Ẓulmdi dalam ayat itu ditafsirkan oleh Rasulullah SAW dengan
syirik (menyekutukan Allah) di samping tafsiran Nabi itu adapula yang ditunjukan
oleh ulama berdasarkan ijtihad, ini termasuk kategori bi al-ra‟yi.Kenyataannya
bahwa ma‟tsūr terbagi menjadi 2 bagian.Pertama, ma‟tsūrmenjadi sifat bagi
tafsir, kedua ma‟tsūrmenjadi sifat bagi sumber-sumber yang digunakan di dalam
penafsiran. Jika ma‟tsūr yang pertama diterima makabi al-ma‟tsūr adalah sesuatu
yang baku dan tidak dapat dikembangkan lagi.Dalam hal ini tugas mufasir hanya
meneliti sanadnya: apakah ṣahīh atau tidak? Jika ternyataṣahīh, maka penafsiran
tersebut diterima, sedangkan ma‟tsūr dalam pengertian kedua adalah dapat
dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman, karena dalam pengertian yang
kedua ini masih terbuka bagi ulama untuk mengembangkan pemikiran dalam
memahami ayat al-Qur‟an.16
Kedua pemahaman itutidak bertentangan, karena
yang pertama merupakan pengertian sempit tafsīr bi al-Ma‟tsūrsementara yang
kedua pengertian yang luas.Walaupun pengertian kedua memberikan peluang bagi
ulama untuk berijtihad dalam penafsiran, namun tidak sampai pada ranah wilayah
Tafsīr bi al-ra‟yi.Tetapitafsir dalam bentuk seperti ini diperselisihkan oleh para
ulama, maka ulama menganggap bagian pertamatafsīr bi al-Ma‟tsūrditerima,
karenatafsirnya merupakan dari sahabat.Meskipun terdapat beberapa kelemahan
dari tafsir para sahabat.Sedangkan bagian yang kedua ditolak, karena sudah
16
Nashruddin Baidan, Rekontruksi Ilmu Tafsir (Jakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 2000),
h. 53.
24
masuk ke wilayah Tafsīr bi al-Ra‟yi.17
Awalnya tafsīr bi al-Ma‟tsūrditulis lengkap
dengan sanadnya, namun sanad tafsirdihilangkan sehingga tidakdiketahui
perbedaan tafsirdari Nabi, sahabat, dan Israiliyyat, dari sinilah terlihat kelemahan
dari Tafsīrbi al-ma‟tsūr, akan tetapi tafsīr bi al-Ma‟tsūrdiakui keṣahīhan
sanadnya, tafsir berdasarkan riwayat/ ma‟tsūr dijadikan sebagai pedoman yang
paling akurat dalam penafsiran al-Qur‟anoleh para mufasir yang datang kemudian.
Setelah berakhirnya masa Salaf sekitar abad ke 3 H, peradaban Islam
semakin maju dan berkembang, maka lahirlah mazhab serta aliran dalam umat
Islam. Masing masing golongan berusaha meyakinkan pengikutnya dalam
mengembangkan pemahaman mereka.Lalu mereka tafsirkan apa yang mereka
anut. Dari sinilah awal mula Tafsīr bial-ra‟yi.Muncul di kalangan ulama ulama
muta‟akhirin.Perkembangan Tafsīrbi al-ra‟yi begitu pesat sehingga mengalahkan
Tafsīrbi al-ma‟tsūr.Meskipun Tafsīr bi al-ra‟yi berkembang pesat namun dalam
menerimanya para ulama terbagi menjadi 2: ada yang membolehkan dan ada juga
yang melarang. Tetapi setelah diteliti ternyata kedua pendapat yang bertentangan
itu hanya bersifat lafẓi (redaksional).Artinya kedua belah pihak sama-sama
mencela tafsīr bi al-ra‟yi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah yang
berlaku.Sebaliknya tafsīr bi al ma‟tsūr lah yang dianggapmu‟tabarah
(diterima/diakui sah secara bersama).18
Adapun hadits-hadits yang menyatakan
bahwa para ulama salaflebih suka diam ketimbang menafsirkanal-Qur‟an, dapat
dipahami bahwa bukan berarti ulama salaf melarang Tafsīr bi al ra‟yi, sebab
mereka membicarakan apa yang mereka ketahui dan diam ketika mereka tidak
mengetahui. Jadi diamnya ulama salaftentang penafsiran ayat al-Qur‟anbukan
17
Alimin Mesra, dkk.,Ulumul Qur‟an ( Jakarta: Pusat Studi Wanita, 2005) , h.223. 18
Nashruddin Baidan, Rekontruksi Ilmu Tafsir, h.58.
25
karena tidak ingin menafsirkan al-Qur‟anbukan pula karena dilarang
menafsirkannya, melainkan karena kesangat hati-hatian mereka supaya tidak
masuk ke dalam takhmin (spekulasi,terkaan)apabila spekulasi terjadi spekulasi
dalam penafsiran ancamannya sangat berat yakni masuk neraka. Dalam penafsiran
bi al-ra‟yi perlu ditegaskan bahwa bukan berarti penafsiran al-Qur‟ansecara
bebas, apalagi untuk melegitimasi kecendrungan individu/kelompok
tertentu.Tetapi kebolehan penafsiranbi al-ra‟yi tetap dibatasi dengan syarat yang
sangat ketat.Penafsiran dengan nalar tidak berarti seluruh penjelasan dengan
menggunakan nalar. Sebagaimana tafsīr bi al-Ma‟tsūryang tidak sepenuhnya
lepas dari nalar, begitupun dengan tafsīr bi al-ra‟yi tidak terlepas dari
riwayat.Jadi jelas perkembangan tafsir secara garis besar dari dulu hingga
sekarang melalui 2 bentuk yakni tafsīr bi al-Ma‟tsūrdan Tafsīr bi al ra‟yi. Kedua
bentuk penafsiran yang telah diuraikan menggambarkan kepada kita bahwa al-
Qur‟anyang menjadi kitab suci umat Islam, sejak 4 abad silam telah dibuktikan
oleh sejarah.Kitab al-Qur‟antelah membimbing kehidupan di muka bumi
sebagaimana dapat diamati dalam bentuk 2 penafsiran yang berkembang. Lepas
dari tafsir manakah yang paling akurat, dapat dipastikan kedua bentuk penafsiran
bi al-ma‟tsūr danbi al-ra‟yi sudah pasti sangat dibutuhkan oleh umat Islam, sebab
perkembangan zaman serta berbagai problematika yang timbul di
masyarakat.Membuat para Ulama untuk terus mengembangkan penafsiran yang
sesuai dengan tuntunan zaman.
E. Sejarah Perkembangan Tafsīr bi al-Ma’tsūr
1) Masa Rasulullah SAW
26
Tafsiral-Qur‟an memiliki sejarah dengan melibatkan serangkaian
tokoh-tokoh tafsir di dalamnya. Boleh dikatakan bahwa sejarah tafsir dimulai
dari penafsiran yang ditetapkan oleh Allah sendiri melalui Rasul-Nya,
kemudian secara berturut-turut beralih kepada para sahabat Nabi, Tabi‟in, dan
Tābi‟ut Tābi‟in, lalu berlanjut kepada kaum Salaf, kepada perguruan
selanjutnya yakni generasikhalaf kemudian dilanjutkan oleh ahli pikir pada
zaman setelah itu, dan sampailah kepada tafsir yang ditulis kaumMujaddid
(kaum pembaharuan) pada zaman kita sekarang ini.19
Allah SWT
adalahpenafsir pertamaal-Qur‟ankarena Allah sajalah yang maha mengetahui
apa yang dikehendaki-Nya. Aisyah berkata : Rasulullah SAW tidak
menafsirkan ayat-ayatal-Qur‟ankecuali apa saja yang diajarkan oleh Jibril
kepada beliau, malaikatJibril adalah “duta” yang menyampaikan wahyu ilahi,
oleh karenanya tidak dapat diragukan bahwa tafsirberasal dari Allah SWT,
Allahlah pihak pertama yang menafsirkan makna Al-Qur‟an.20
Setelah Allah
SWTmenurunkan tafsirbarulah Rasulullah menafsirkan al-Qur‟an, karena
beliau yang menerima wahyu dari Allah lalu menyampaikan kepada umat
manusia. Oleh karena itu wajarlah apabila para sahabat Nabi bertanya kepada
Muhammad tentang makna ayat-ayat Qur‟an, tafsiral-Qur‟anpada zaman
Rasulullah SAW pada masa pertumbuhanIslam disusun pendek dan tampak
ringkas karena penguasaan bahasa Arab yang murni pada saat itu cukup untuk
memahami gaya dan susunan kalimat al-Qur‟an, pada masa setelah itu
penguasaan bahasa Arab mengalami kerusakan akibat percampuran
19
Hamdani Anwar, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), h. 20. 20
Adian Husaini danAbdurrahman Al-baghdadi. Hermeneutika tafsir Al-Qur‟an,h. 69.
27
masyarakat arab dengan bangsa-bangsa lain, yakni ketika pemeluk Islam
mulai berkembang ke berbagai negeri. Maka untuk memelihara keutuhan
bahasanya, orang-orang arab mulai meletakan kaidah-kaidah bahasa Arab
sepertiilmu Nahwu (gramatika), Balaghah (retorika) dan lain-lain. Di samping
itu mereka juga mulai menulis tafsiral-Qur‟anuntuk dijadikan pedoman bagi
kaum muslimin. Adapun langkah awal dalam menafsirkan al-Qur‟anialah
wajib mengambil tafsirdari RasululllahSAW, melalui riwayat-riwayat hadits
yang tidak ada keraguan atas kebenarannya. Ini sangat perlu ditekankan,
banyak hadits maudhu‟ atau hadits-hadits palsu, setelah kita pegang tafsir asal
dari Nabi barulah mencari tafsir para sahabat Nabi, setelah tafsir dari semua
sumber tersebut maka barulah ditakwilkan ayat-ayatal-Qur‟anmelalui
pemahaman kata-katanya dan ijtihad. Itu diperbolehkan. Karena
RasulullahSAWpernah mendoakan Ibn Abbassebagai berikut :“Ya Allah
perdalamlah Ilmu agamanya dan ajarkanlah ilmu takwil kepadanya.”
2) Masa Sahabat
Tafsir para sahabatNabi menempati urutan kedua setelah Tafsir Rasulullah
SAW. Seorang sahabat yang bernama Abdullah Ibn Abbas wafat pada tahun
68 H, beliau adalah orang pertama yang menafsirkan al-Qur‟an sesudah
Rasulullah SAW, ia dikenal dengan julukan Bahrul Ilm (lautan Ilmu),Habrul
Ummah (ulama umat)Tarjumānul Qur‟ān (Juru Tafsiral-Qur‟an ). Sudah
sangat jelas, sejak zaman Nabi, zaman sahabat dan zaman Tabi‟in, Tafsiritu
dipindahkan dari seseorang ke seseorang, atau diriwayatkan sebagai umum
hadits yang lain dari mulut kemulut dan belum dibukukan. Pada permulaan
abad ke-1 H, telah banyak pemeluk Islam bukan dari kalangan bangsa Arab
28
dipengaruhi bahasa ajam, barulah para ulama merasa memerlukan untuk
membukukan tafsir agar dapat dipahamkan maknanya oleh merekayang tidak
mempunyai saliqah bahasa Arab lagi.Pada permulaan zaman abad Abbasiyah
barulah ulama-ulama mengumpulkan hadits-hadits yang diterima oleh sahabat
dan tabi‟in, mereka menyusun tafsir dengan cara menyebut sesuatu ayat, lalu
menyebut nukilan-nukilan mengenai tafsir ayat itu dari sahabat dan tabi‟in.
Pada waktu itu, belum juga tafsir mempunyai bentuk tertentu dalam satu
Mushaf, hadits-hadits tafsir disusun secara berserak dan masih bercampur
dengan hadits lain. Demikian keadaaan Tafsir pada tingkat pertama abad ke- 1
Hijriah.21
Pada umumnya perbedaan hanya mengenai cara dan sifat
penafsiran, dan bukan perbedaan yang saling bertentangan.22
Dari generasi
Tabi‟in muncul beberapa ulama tafsiryang banyak menyajikan riwayat-
riwayat hadits untuk menerangkan penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an, seperti:
Al-Ḍaḥākbin Muzahim al-Hilāli (wafat tahun 120 H) Athiyyah bin Sa‟ad Al-
Aufi (wafat tahun 111 H), Ismail bin Abdurahman as-sidi al-Kabīr (wafat
tahun 146 H) Muhamaad bin Marwan as-sidi As-Shaghīr, Muqātil bin
Sulaiman Al-Azdi Al-Khurasani (wafat tahun 150 H) dan lain. Dikalangan
para sahabat Abdullah Ibn abbas menempati kedudukan kedua dibidang tafsir
setelah Ali bin Abī Ṭālib, karena merupakan seorang ahli tafsiral-Qur‟anyang
paling banyak mengetengahkan hadits-hadits Nabi SAW.Sedangkan tingkatan
ketiga ditempati oleh Ibn Mas‟ūd, ulama yang memiliki kedudukan tinggi di
kalangan para ahli tafsir. Kemudian menyusul Ubay bin Ka‟ab, salah satu
orang yang menghimpun ayat-ayatal-Qur‟anpada zaman RasulullahSAW,
21
TeungkuAsh-shiddieqy.Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟ān dan Tafsir,h.213. 22
Ali Hasan Al-Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, h. 49.
29
masih banyak sahabat yang ahli dalam bidang tafsiral-Qur‟an, akan tetapi
data-data mereka sangat sedikit.
3) Masa Tabi’in
Pada zaman Tabi‟in, orang mulai menghimpun catatan Tafsir al-
Qur‟ankemudian membukukanya. Kitab Tafsir yang pertamamuncul ialah
tulisan Sa‟īd bin Ẓubair ( 94 H/712M ), para penulis sejarah ilmu pengetahuan
mempunyai keyakinan bahwa orang yang pertama meletakan dasar-dasar ilmu
Tafsir ialah Imam Malik bin Anas (imam penduduk Mekah pada zamannya),
kemudian ada beberapa versi mengenai siapa penulis al-Qur‟an yang pertama
ada yang mengatakan pertama kali menulis tafsir ialah Mujāhid (104 H/722
M) namun sebagian sumber mengatakan Ibn Juraij (150 H/767M). Perlu
dicatat bahwa Tafsir al-Qur‟anmula-mula ditulis masih berupa bagian yang
terpisah, yakni ditulis bersama dengan berbagai riwayat hadits-hadits Nabi dan
bukannya Tafsiral-Qur‟anyang merupakan suatu disiplin ilmu tersendiri.
Sehingga seorang ulama tafsir pada masa itu sekaligus merupakan ulama hadits
seperti Ibn Majah (272 H/885 M), Ibn Mundzir (318 H/930 M), dan Ibn Jarīr
al-Ṭabarī (310 H/922 M).
Mulai pada masa Ibn Jarīr al-Ṭabarīinilah, Tafsiral-Qur‟anmenjelma
menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri yang berkembang dengan pesatnya.
Kitab Tafsir “Jamī‟ul Bayān” yang disusun oleh Ibn Jarīr al-Ṭabarīmerupakan
kitab induk berbagai macam kitab tafsir sesudahnya. tafsir ini termasuk “ tafsīr
bi al-ma‟tsūr” karena penafsirannya didasarkan pada berbagai atsaryang ada,
maksudnya penafsiran al-Qur‟andalam kitab tersebut didasarkan pada ayat al-
Qur‟an, hadits, serta berbagai riwayat sahabat dan Tabi-in. Sedangkan tafsīr bi
30
al-Ma‟tsūryang ditulis pada masanya Ibn Jarīr al-Ṭabarī, sudah sangat sulit
ditemukan. Hanya ada di beberapa museum saja.23
Dari madrasah-madrasah
sahabat dan tābiut tābi‟in itu terhimpunlah sebuah himpunantafsīr bi al-
Ma‟tsūryang sebagian disandarkan kepada sahabat, Ibn Mas‟ūd dan Ibn Abbas,
dan sebagian besar disandarkan kepada tabi‟in, seperti Mujāhid, Qatādah,
Masrūq, Ḥasan al-Bashri,Al-Ḍaḥāk, dan Ikrimah. Akan tetapi himpunan
tersebut banyak bercampur dengan Israilliyat yang dapat merusakkan tafsir
yang benar, atau memalingkan ayat dari maksud aslinya, Sikap dari sebagian
tabi‟in yang sangat besar perhatiannya kepada Israilliyat dan Nashraniyyat,
mereka menerima berita-berita dari orang Yahudi dan Nashrani yang masuk
Islam, lalu memasukannya kepada tafsir tanpa mengoreksinya terlebih dahulu.
Para mufasir pada saat itu sangat berbaik sangka kepada segala seseorang yang
menyampaikan berita kabar. Mereka beranggapan bahwa orang yang sudah
masuk Islam tidak akan berdusta, sebab inilah yang menyebabkan para mufasir
tidak mengoreksi berita yang telah diterima.24
23
Imam Muchlas, Al-Qur‟ān Berbicara Kajian Kontekstual berbagai Persoalan (Jakarta:
Pustaka Progressif, 1996), h. 49. 24
Teungku Ash-shiddieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir,h. 211.
31
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IGNAZ GOLDZIHER
A. Biografi Ignaz Goldziher
1) Pendidikan
Ignaz Goldziher adalah seorang Yahudi yang lahir di Hungaria 22 Juni
1850. Goldziher terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia 5 tahun, Goldziher
mampu membaca teks Bibel “asli” dalam bahasa Ibrani. Pendidikan S1-nya
bermula pada usia 15 tahun di Universitas Budapest, Hungaria. Goldziher sangat
terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery1 (1832-1913),
seorang pengembara dan juga pakar tentang Turki. Arminius Vambery banyak
mewarnai kehidupan intelektual awal Goldziher. Perjalanan intelektual Goldziher
sangat bermutu tinggi. Setelah menyelesaikan studinya di Budapest.2
Pada tahun 1871, Goldziher masih berusia 16 tahun Goldziher sukses
mempelajari manuskrip-manuskrip Arab di Leiden dan Wiena. Goldziher juga
terpilih sebagai anggota pertukaran pelajar dengan melakukan ekspedisi di
kawasan Timur Tengah dan menetap di Kairo. Selama di Kairo Goldziher sempat
bertukar kajian di Universitas al-Azhar, kemudian pergi ke Palestina dan Suriah.3
Salah satu upaya untuk mengetahui Islam, banyak orientalis yang mengunjungi
negara-negara muslim agar mereka bisa langsung bertemu serta berinteraksi
dengan para ulama, Goldziher juga berkunjung ke Syria dan Mesir pada tahun
1873-1874. Kemudian Goldziher juga dikenalkan oleh Dor Bey (Edouard
1Arminius Vambery,”TheodorHerz“, diakses 16Agustus 2016
.http://www.oaseimani.com/mengenal-ignaz-goldziher.html 2 A. Muin, Orientalisme dan Studi tentang Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) h. 46.
3 Mohammad Anwar Syarifuddin , ed., Kajian Orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadis
(Ciputat: Sekata Cendikia, 2015), h. 65.
32
Dor)merupakan seorang pejabat Inspektur Jendral Madrasah pada masa Khedive
Ismail di Mesir.4 Selanjutnya Dor Bey memperkenalkan Goldziher kepada Riyad
Pasha, Menteri Pendidikan Mesir. Ketika itu Goldziher mengaku bahwa ia
bernama Ignaz al-Maghyar (Ignaz dari Hungaria) dan mengaku dirinya “Muslim”
usaha ini dilakukan Goldziher dengan maksud dan tujuan agar bisa belajar di
Universitas al-Azhar.5 kegigihan serta semangat Akhirnya Goldziher menjadi
murid beberapa masyayikh al-Azhar, seperti Syaikh al-Asmāwi, Syaikh Mahfūdz
al-Maghribi, Syaikh Sakka dan beberapa Syaikh al-Azhar lainnya.
Pada tahun 1874, Goldziher melanjutkan studinya di Universitas Leipzig,
Jerman. Kemudian Goldziher meraih gelar doktor dari Universitas tersebut ketika
berusia 19 tahun. Karena intelektual Goldziher yang sangat luar biasa, maka tak
heran ia mendapatkan beasiswa setelah dari Leipzig. Pada tahun 1875 usia 20
tahun, Goldziher melanjutkan penelitiannya di Universitas Leiden, (Belanda)
selama 1 tahun. Selanjutnya, pada usianya yang ke-21, Goldziher pulang ke
kampung halamannya dan menjadi dosen privat (Privatdozent) di Universitas
Budapest, Hungaria. Goldziher juga dipilih sebagai anggota ”Akademi Sains
Hungaria,” sebuah penghargaan yang diberikan pada dirinya. Selanjutnya
Goldziher menjadi calon pengajar bahasa Semit di Universitas Budapest.
menjabat sebagai Sekretaris Zionis Hungaria.6 Salah satu karirnya di luar negeri
adalah ia pernah menjadi anggota akademi perkumpulan orientalis dan aktif
sebagai anggota di Royal Asiatic Society,Asiatic Society of Bengal, the British
4Muhammad Rif’an, ”Orientalis Ignaz Goldziher” data diakses pada 11 September 2016.
https://books.google.co.id/books?iddor-bey.html 5Muhammad Ali, “Orientalis Ignaz Goldziher penolak kebenaran hadits”, diakses pada
hariselasatgl16Agustus2016http://muhali.blogspot.com/2009/04/ignazGoldziherorientalispenolakh
adishtml 6Muhammad Ali, “Orientalis Ignaz Goldziher penolak kebenaran hadis”, diakses pada 16
April 2016 http://muh-ali.blogspot.com/2009/04/ignaz-goldziher-orientalis-penolak.html
33
Academy and The American Oriental Society.Pada tahun 1904, Goldziher pun
menjadi rektor pada mata kuliah bahasa Hebrew atau Ibrani. Pengalaman paling
berharga selama perjalanan intelektualnya adalah ketika Goldziher mendapat
beasiswa dari pemerintah Hungaria untuk belajar di Universitas al-Azhar, Kairo.
Kemudian 10 tahun kemudian, Goldziher tetap meneruskan karirnya menjadi guru
besar bahasa Semit di Universitas Budapest hingga akhir hayatnya, dan Ignaz
Goldziher meninggal dunia pada 13 November 1921, pada usia 66 tahun.
Tabel 3.1: Perjalanan Intelektual Ignaz Goldziher
Tahun Usia Keterangan
1850 0 Thn Lahir di Hungaria.
1855 5 Thn Mampu membaca teks Bibel “asli” dalam bahasa Ibrani.
1870 15 Thn Menyelesaikan Pendidikan S1 di Universitas Budapest,
Hungaria.
1871 16 Thn Sukses mempelajari manuskrip-manuskrip Arab di Leiden dan
Wiena. Goldziher juga terpilih sebagai anggota pertukaranpelajar
Maghyar dengan melakukan ekspedisi di kawasan Timur Tengah
dan menetap di Kairo.
1873 18 Thn Goldziher juga berkunjung ke Syria dan Mesir pada tahun 1873,
Goldziher dikenalkan oleh Dor Bey, seorang pejabatseorang
pejabat Inspektur Jendral Madrasah pada masa Khedive Ismail di
Mesir. Melalui Dor Bey, maka Goldziher diperkenalkan kepada
Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir. Setelah berkenalan
beberapa lama dengan menteri pendidikan Mesir, Goldziher
mengemukakan hasratnya untuk belajar di Universitas al-Azhar.
1874 19 Thn Kemudianmelanjutkan studinya di Universitas Leipzig, Jerman.
Kemudian atas bimbingan Heinrich Fleisher, Goldziher
mendapatkan gelar Doktor.
1875 20 Thn Goldziher melanjutkan penelitiannya di Universitas Leiden,
(Belanda) selama 1 tahun.
1876 21 Thn
Selanjutnya, Goldziher pulang ke kampung halamannya
danmenjadi dosen privat (Privatdozent) di Universitas Budapest.
1894 39 Thn Setelah berhasil mengkaji ilmu di Mesir, Kairo. Goldziher
kembali ke Budapest untuk menjadi calon pengajar bahasa
Semit.
1904 49 Thn Universitas Cambridge memberikan gelar doktor kepada
Goldziher dalam bidang kesusastraan serta mendapat gelar LL.L
dari Universitas Aberden, Skotlandia.
1914 56 Thn 10 tahun kemudian, Goldziher menjadi guru besar bahasa Semit
di universitas Budapest, Hungaria.
34
1921 66 Thn Tetap menjadi guru besar bahasa Semit hingga Menghembuskan
napas terakhir, pada tanggal 30 November 1921.
2) Karya-karya Ilmiah
Karya Ignaz Goldziher banyak dipublikasikan dalam bentuk artikel jurnal,
kemudian ada dari beberapa naskahnya yang disunting hingga dipublikasikan
menjadi karya buku yang disumbangkan sebagai koleksi di akademi Hungaria.
Kebanyakan naskah itu ia tulis dalam bahasa Jerman, antara lain seperti judul:
1. Beitrage zur Literaturgeschichte der Shi’a (1874).
2. Beitrage zur Geschichte der Sprachgelehrsamkeit bei den Arabern (Vienna,
1871-1873).
3. Der Mythos bei den Hebyhern und seine geschichtliche Entwickelung
(Leipzig, 1876 Eng.Trans, R Martineau, London,1877).
4. Muhammedanische Studien (Halle, 1889-1890, 2 vols).
5. Abhandlungen zur arabischen Philologie (Leiden, 1896-1899, 2 vols).
6. Buch v, Wesen d.Seele ( ed. 1907).7
Selain itu masih banyak karya Ignaz Goldziher yang diterjemahkan dari
bahasa Jerman ke bahasa Inggris maupun ke bahasa Arab dan ke bahasa lainnya.
Baik dalam bentuk makalah yang berserakan, dan buku-buku karyanya yang lain.
Kebanyakan buku-buku hasil karyanya yang berbahasa Jerman, ketika
diterjemahkan sudah diedit dan dibubuhi komentar-komentar oleh penerjemahnya.
Untuk karyanya yang merupakan magnum-opus antara lain berjudul :
1) Vorlesungen uber den Islam (1906), diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris
pada dekade 80 an menjadi Introduction to Islamic Theology and Law, dan
selanjutnya dalam bahasa Indonesia diterbitkan oleh Indonesia-Netherlands
Cooperation in Islamic Studies (INIS) pada tahun 1991. Garis besar buku ini
mengungkap 6 dimensi dalam sejarah dan doktrin Islam, antara lain 1.
Tentang Nabi Muhammad SAW dan Islam, 2. Tentang pembangunan hukum
7Thomson Gale, ” Ignaz Golziher bibloigraphy ”, Terj. Inggris- Indonesia, sumber ,
diakses pada 21 April 2016.www.google.com/ignazGoldziher.bibliography.html
35
syari’ah, 3.Perkembangan dan Pertumbuhan Teologi Dogmatik, di dalamnya
Goldziher sangat apresiatif tentang Mu’tazilah, 4.Permasalahan Asketisme
dan Sufisme 5. Sekte-sekte dalam Islam, 6. Dan terakhir, mengenai
perkembangan selanjutnya, di mana di dalam diungkapkan masalah
perkembangan Islam Kontemporer hingga tahun 1906, di mana dalam
perkembangan dunia Islam telah terdengar isu-isu modernisasi.
2) Studies in the history of the Language Sciences (1994), karya Goldziher di edit
oleh 2 pengedit, bernama Kinga Devenyi dan Tamas Ivanyi yang rupanya
translasi dari bahasa Jerman. Penerbit buku Benjamin’s book yang
menerbitkan karya ini tahun 1994 lalu membuat resensinya, dalam
komentarnya berbahasa Inggris terungkap demikian:
“Goldziher, who considered one of the founders and the greatest
master of Islamic studies in Europe, He Examines the origin and Early
history of Arabic grammar and some features of its later development
with special regard to the cultural historical aspects of the question. In
the Arabic linguistics of the Middle Ages. The Author’s comprehensive
historical approach enables him to integrated small, seemingly
unconnected pieces into a whole system, fitting into our knowledge of
other fields of Islamic culture and science. That is why his work may
interest not only specialists of Arab Linguistics but also history of
general linguistics and historian of Islam. Although a century and a
quarter elapsed since its publication in Hungarian Goldziher Essay still
has not become outdated, since no similar work has been published. The
original text has been supplemented with amendments and explanations,
a comprehensive and updated bibliography has also been added,
together with an appendix ( the original texts of the citations).”8
“Goldziher adalah salah satu pendiri dan ilmuwan besar dalam
mengkaji ajaran Islam di daratan Eropa, ia selalu menguji sejarah awal
Islam dan gramatika bahasa Arab serta dampak-dampak dalam
kebudayaan sejarah selanjutnya. Goldziherberhasil menggambarkan
tren terpenting dalam linguistik Arab dari zaman pertengahan,
Goldziher sebagai penulis berhasil secara komprehensif melakukan
pendekatan sejarah yang diintegrasikan dengan pandangan-pandangan
8Ignaz Goldziher. Introduction to Islamic Theology and Law“Pengantar Teologi dan
Hukum Islam”Terj. Hersri Setiawan (Jakarta: Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic
Studies (INIS), 1991) , h.36.
36
yang mungkin tidak tersentuh oleh banyak penulis, sehingga hasil
pemikirannya memiliki pengetahuan baru dalam studi kajian dan
kebudayaan Islam. Walaupun sudah dipublikasikan pertama kali di
Hungaria, namun karyanya tidak pernah lekang (out of date), dalam
pengertian masih relevan dalam konteks zaman sekarang. Naskah-
naskah aslinya disisipkan juga dalam karya ini sebagai suplemen, tetapi
diberi penjelasan dan perbaikan, sumber-sumber yang dimasukan oleh
Ignaz Goldziher juga mendapat tambahan dalam karya ini dari karya
Ignaz Goldziher yang lainnya).”9
3) Muslim Studies (1967-1977), Karya ini boleh dibilang ismologinya versi
Goldziher, karya ini terdiri dari beberapa volume, karya ini ditulis dalam
bahasa Jerman. Untuk edisi Inggris diterbitkan oleh SUNY-Albany University
Press pada tahun 1977 dan sebelumnya juga dipublikasikan oleh penerbit
George Allen dan Unwin di London tahun 1967. Volume I tentang
Muhammedanisme Studien, Dalam Muhammedanisme, Goldziher membuat
satu kesimpulan kontroversial, bahwa karya-karya klasik Islam dalam literatur
hadis kurang memadai untuk bisa dikategorikan memiliki nilai otentisitas
yang kuat. Karya ini dikritik oleh para pembaca di Arab, mereka
mengkonfirmasi bahwa penelitian Goldziher keliru. Volume II karya ini ada
bahasan tentang Women in the Hadits Literature, Goldziher ternyata juga
seorang yang sangat familiar dalam merespon isu-isu gender, dalam karyanya
Goldziher sangat menghargai peranan perempuan. Dalam pandangan sejarah
Islam, soal transmisi (sanad hadits) perempuan juga banyak dilibatkan dalam
periwayan hadis. Menurutnya, dalam studi hadis tidak dibenarkan penggunaan
istilah Rijalul hadis, yang seolah-olah hanya laki-laki yang berjasa. Dalam
penelitiannya yang berjudul lyberclassium virorum qui karani et traditionum
cognitione excellerunt yang diedit oleh Wustenfeld, paling tidak ada 7
9Ignaz Goldziher. Introduction to Islamic Theology and Law, h.37.
37
perempuan yang terdaftar dalam soal periwayatan hadits, dan itu hanya bagian
kecil saja yang disebutkan perempuan para transmiter hadis itu antara lain
misalnya, Salam al-Fazariyya wanita dari Kufah. Kemudian 2 perempuan
yaitu Abida al-Madaniyyah, seorang istri dari sarjana Andalus (Habib
Dzahnun) yang mentranmisikan Hadits ke Malik Ibn Anas. Saudara wanita
dari Abida al-Madaniyyah yaitu Abda Ibn Bisyin seorang perempuan yang
berjasa dalam khazanah transmisi ke teks-teks Shahih Bukhari. Ada juga
Karima Ibn Ahmad dari Marwa (w.462 di Mekah) dan juga masih banyak
yang lainnya.10
4) “DieRichtungen der Islamischen Koranaus legung (1983)”11
yang
diterjemahkan ke Bahasa Arab dengan judul Madzāhīb al-Tafsīr al-Islamī
oleh Alī Ḥasān Abdul Qādir (1955), kemudian di tahqiq (diedit) oleh Abdul
Halīm Najjar diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh sebuah penerbit di
Lebanon, dan dalam bahasa Indonesia juga sudah diterjemahkan oleh penerbit
Elsaq Press pada tahun 2003, garis besar Goldziher dalam karyanya mengurai
tentang sejarah tafsir al-Qur’an. Penafsiran bukan hanya semata-mata
menafsirkan dari makna literal ke makna kontemporer. Namun dalam
karyanya, Goldziher membedah dan menelusuri tentang pertumbuhan al-
Qur’an dari semenjak kontroversi di seputar ke Mushaf Utsmani hingga
pertumbuhan kontemporer. Menurutnya fase penafsiran telah melewati
berbagai fase yang sangat panjang dan kompleks. Pada tahap awal penafsiran
10
Data ini diperoleh dari naskah berbahasa Inggris yang ditulis Ignaz Goldziher yang
berjudul Women in the Literature Hadith. Diakses pada Jum’at, 21 April
2016,www.Muhajabah.com/docstorage/Goldziher.Menurut catatan di situs ini naskah diambil dari
bagian buku dalam volume II karya ignaz Goldziher yang berjudul Muslim Studies. 11
Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, Terj. Amroni Drajat (Yogyakarta:
LKiS, 2003), h. 128.
38
hanya menjaga keutuhan teks. Tetapi seiring dengan waktu, kerja penafsiran
ternyata bercampur dengan usaha menundukkan al-Qur’andemi kepentingan
kelompok keagamaan dan individu. Teks suci bukan hanya sebagai sumber
sumber agama bahkan lebih dari itu, ia menjadi sebuah taruhan, senjata perang
yang ampuh.
5) The Zahiri’s their Doctrine and their History, A Contribution to the Islamic
Theology, diterbitkan oleh Leiden E.J. Brill Press pada tahun 1971. Di
dalamnya Goldziher menjelaskan Imam Fiqh, Dawud al-Ẓahiri, dia adalah
salah satu pendiri madzhab ortodoks di bidang Fiqh karena pendekatannya
yang literal (Ẓahiri). Sebagai contoh betapa ortodoksnya madzhab ini, salah
satu pendirian fiqihnya melarang (forbidden) jika pengikutnya minum dari
bahan gelasnya yang terbuat dari emas dan perak.12
Dalam karya ini Goldziher
juga mengungkapkan bahwa terdapat 4 madzhab ortodoks selain fraksi Ẓahiri,
namun intens dalam hal penggunaan akal (ahl al-Ra’yi). Maksudnya ortodoks
tetapi juga sekaligus ahl al-ra’yi. Godziher juga mengungkap betapa kontras
perbedaan madzhab ahl al- Hadits dan ahl al-Ra’yi. Dalam soal penafsiran
terhadap al-Qur’an.
6) Muhadharat fi al-Islam (Heidelberg, 1910). Buku ini membahas Muhammad
dan Islam, Perkembangan Syariat, Perkembangan Ilmu Kalam, Zuhud dan
Tasawuf yang menguraikan sejarah timbulnya mistisime dalam Islam dan
perkembangannya, yaitu sejak peradaban Islam berkenalan dengan Hellenis
dan Hindu hingga timbulnya paham wahdat al-wujud pada abad ke-7 Hijriyah.
Dalam bagian akhir karya ini dibahas juga berbagai aliran yang terdapat dalam
12
Ignaz Goldziher , The Zahiri’s their Doctrine and their History A Contribution to the
Islamic Theology, (Leiden: E.J. Brill, 1971), h. 42.
39
Islam, seperti Khawarij, Syi’ah, dan aliran-aliran yang muncul pada masa
kontemporer, seperti Wahabiyah, Bahaiyah, Babiyah, dan Ahmadiyah.13
B. Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Islam
Goldziher padalah seorang pakar yang telah jauh menela’ah tradisi
keilmuan Islam, khususnya ilmu al-Qur’an, tafsir, dan hadits Nabi. Kontribusi
yang telah diberikan oleh Goldziher untuk khazanah keilmuan dunia Islam juga
begitu besar. Walaupun Goldziher seorang orientalis tetapi sumbangsih karya
pemikiran yang diberikannya memberi warna tersendiri bagi Islam, adapun
pandangan Goldziher tentang Islam bahwa Islam lahir di Madinah, mulai
terbentuk di kota madinah,14
menurutnya agama Islam adalah kepasrahan seorang
hamba kepada Tuhannya (Allah), dan ini merupakan salah satu ajaran dari nabi
Muhammad untuk menyatukan Tuhan dengan hambanya, kepasrahan seorang
hamba kepada Tuhan merupakan salah satu pendidikan istimewa dalam ajaran
agama Islam.15
Kemudian menurutnya Islam hanya sebagai agama yang hanya
bisa menyerap unsur-unsur dari agama lain dengan membungkusnya secara rapih
melalui cerita sejarah sehingga seolah-olah Islam adalah agama yang sangat
murni. Padahal Islam telah mengambil ajaran dari Judaisme.16
Dunia Islam tanpa
ilmu, tidak akan mengenal pengetahuan pemikiran yang spesifik. Artinya agama
Islam dalam menyebarkan agama selalu berlandaskan pada ilmu. Ketika Islam
13
Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis, h.133. 14
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, h. 24. 15
Ignaz Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, h. 2. 16
Mohammad Anwar Syarifuddin, ed., Kajian Orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadis
(Ciputat: Sekata Cendikia, 2015), h. 66.
40
menyebarkan ajarannya tanpa ilmu, maka akan dipertanyakan identitas utusan
Allah, Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa risalah.17
Adapun pandangan Goldziher tentang Nabi Muhammad sebagai seorang
pelopor pembawa Islam, Goldziher mengira bahwa Nabi Muhammad SAW telah
menerima ajaran dari unsur agama Kristen umumnya melalui jalan tradisi serta
bid’ah yang bertebaran di dalam Gereja Timur. Dengan jalan bid’ah dalam Gereja
Timur maka Nabi Muhammad mendapatkan pemberitaan suci. Dalam pandangan
Goldziher, Nabi Muhammad memperoleh hubungan-hubungan lahiriah dalam
urusan perdagangan ketika ia masih belum diangkat sebagai Rasul. Untuk
memperkuat argumentasinya tersebut, Agama Yahudi dan Kristen menyediakan
unsur-unsur pokok dan takaran yang sama. Lima unsur pokok yang dikenal
dengan Rukun Islam sudah diperkenalkan oleh Nabi pada periode Makkah
memperoleh bentuknya yang pasti pada periode Madinah. Jadi, menurut
Goldziher, unsur-unsur ajaran dalam al-Quran sebenarnya banyak menyerap unsur
atau tradisi agama sebelumnya. Ditambah lagi dengan meluasnya ekspansi
perluasan umat Islam, ini mengindikasikan bahwa hadirnya Islam ternyata belum
mampu menjawab segala problematika yang ada karena penyempurnaan baru ada
setelah diperoleh hasil ijtihad generasi selanjutnya.18
Goldziher menyebut 5 rukun
sebagai penyangga perkembangan agama Islam atau biasa disebut dengan rukun
Islam. Rukun itu mulai tampak pada periode Mekah namun hanya di Madinah lah
5 rukun tersebut terbentuk secara pasti. Adapun rukun yang dimaksud oleh
Goldziher ialah asas rukun Islam umat muslim:
17
Shofhi Amhar, “Review Buku Madzahibut Tafsir”, diakses pada tanggal 25 Oktober
2016.https://amhari.wordpress.com/2008/05/27/review-buku-%E2%80%9Cmadzahibut-
tafsir%E2%80%html 18
Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, Hersri Setiawan, h. 4.
41
1. Pernyataan beriman terhadap Allah SWT yang tunggal dan pengakuan atas
Muhammad utusan Allah.
2. Menegakan salat (dimulai dengan pengajian sebagai petunjuk adanya
hubungan dengan tradisi agama Kristen timur serta Fi’il yang
menyertainya seperti sujud, membasuh diri, dan bersimpuh).
3. Membayar zakat, (awalnya ialah sukarela tetapi kemudian menjadi
sumbangan yang dibayarkan dalam jumlah tertentu diperuntukkan untuk
kaum komunitas miskin).
4. Berpuasa, (penebusan terhadap agama yahudi, asyura. Kemudian
dilakukan selama Ramadan).
5. Ziarah ke Ka’bah tempat suci bangsa Arab Mekah19
(al-Qur’an ,
melestarikannya dari pemujaan kafir, tetapi mengisinya dengan gaya
monoteis dan menafsirkan dengan legenda cerita Ibrahim ).
Pandangan Goldziher dipengaruhi oleh pendekatan Historical Criticism
yang dilakukannya dalam mengkaji Islam, sehingga ajaran agama selalu dilihat
hubungan historis, sehingga adanya kemiripan dalam ajaran agama Islam dengan
ritual agama-agama selain Islam yang terekam dalam Al-Qur’an dianggap sebuah
upaya (plagiasi) terhadap ajaran sebelumnya. Agama Muhammad disebut sebagai
agama yang Orisinal, Menurut pendapat Goldziher, Islam telah menilai agama
19
Untuk ikthisar pernyataan tentang rukun Islam ini, bandingkan dengan hadits Imam
bukhari, no. 37 tafsir no.208. Memuat formulasi tua tentang syahadat orang Islam. Akan
memperkaya kita tentang perkembangan mas paling awal doktrin mengenai kewajiban-kewajiban
Islamini.bila kita mengkaji kewajiban mana yang terdapat dalam dokumen kuno, dari masa ke
masa. Sebagai rukun iman dan praktik agama. Dan di sini kita akan mengemukakan sebuah
contoh. Dalam sebuah kalimat yang konon dari muhammad, butir keenam ditambahkan pada 5
kewajiban satu demi satu dalam satu naskah , dan diakui berasal dari masa awal sebagai akar-akar
Islam.: lakukanlah terhadap orang lain seperti apa yang kau inginkan dari mereka terhadap
dirimu”doktrin tersebut sering diucapkan sana sini tanpa dihubungkan dengan tema-tema
lain.Sebagai ucapan nabi yang berdiri sendiri. No.13 dalam forty tradition (Al-ar’ba’un hadi’san)
dikarang oleh an-Nawawi (dalam hadis bukhari muslim “seseorang tidak beriman kecuali jika ia
memandang saudaranya seperti terhadap dirinya sendiri.”
42
lain dengan mengikuti tolak ukur nilai subjektifnya sendiri. Sudah terlihat jelas
dari beberapa kritik nya tentang Islam. Dapat dilihat bahwa pendekatan yang
dipakai oleh Goldziher dalam mengkritik agama Islam dengan mengunakan
metode pendekatan sejarah oleh karena itulah Goldziher selalu mengaitkan ajaran
Islam dengan agama terdahulu. Goldziher menganggap Nabi Muhammad SAW
telah mengkaji ulang ajaran Yahudi dan Nashrani yang ditempatkan pada agama
Islam.20
Padahal semua tuduhan yang dilontarkan Goldziher kepada Nabi
Muhammad SAW tidaklah benar.
C. Pemikiran Ignaz Goldziher tentang Al-Qur’an dan Tafsir
Goldziher mempunyai pandangan yang buruk terhadap al-Qur’an.
menurutnya, al-Qur’an hanyalah sebagai alat bagi umat Islam untuk dijadikan
senjata ampuh dalam melawan musuh-musuh, isi dari kandungan al-Qur’an
bukanlah petunjuk yang benar, demikian Goldziher mempuunyai strategi yang
baik disertai semangat yang besar untuk menghancurkan umat islam. Dengan
beragumen bahwa al-Qur’an telah mengcopi paste ajaran samawi.21
Kemudian
Goldziher juga mengemukakan bahwa al-Qur’an merupakan hasil cipta karya
Nabi Muhammad SAW. Strategi Goldziher untuk meragukan otentisitas al-Qur’an
dengan menggunakan pendekatan sejarah (historical critism), dengan demikian
Goldziher bisa mengomentari banyak tentang sejarah bahkan kisah-kisah dalam
al-Qur’an. Menurutnya, khalifah Utsman dalam menjadikan al-Qur’an menjadi
kesatuan mushaf yang tidak ada keraguan yakni mushaf Utsmani, dengan
menggunakan selektifitas yang ketat. Perdebatan yang terjadi seputar bacaan al-
20
Mohammad Anwar Syarifuddin , ed., Kajian Orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadis
(Ciputat: Sekata Cendikia, 2015),h.67. 21
Akhmad Supriadi,” Studi al-Qur’an dan hadis Orientalis,”data diakses pada tanggal
23 Oktober 2016.http://ponda-samarkand.blogspot.co.id/2013/04/studi-al-quran-dan-
hadisorientalis.html
43
Qur’an yang terjadi pada generasi awal Islam merupakan proses untuk
memelihara, menjaga, serta melestarikan kitab suci al-Qur’an.
Hasil pemikiran karya Goldziher dalam buku Mazhab Tafsir, dalam
bukunya tersebut Goldziher berusaha untuk menjelaskan sekte-sekte keagamaan
dalam menafsirkan al-Qur’an. Tak lain motif utamanya ialah mengkaji penafsiran
beberapa sekte aliran dalam penafsiran al-Qur’an. Perbedaan yang terjadi dalam
pemikiran Islam, baik fiqh, ilmu Kalam, Tasawuf, maupun Tafsir, diperuntukan
untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Dalam karyanya Goldziher telah
mengklasifikasikan serta menyeleksi berbagai sekte aliran secara ringkas.
Terdapat 5 sekte aliran tafsir dalam Islam: Tradisionalis, dogmatis, mistik,
sekretarian, dan modernis. Tiga aliran pertama merupakan tipologi kesarjanaan
muslim, yakni tafsīr bi-l-dirayah wa tafsīr bi-l-isyarah. Sementara dua aliran
lainnya, sektarian dan modernis, merupakan kategori tambahan dari tipologi
kesarjanaan muslim.22
Perbedaan itu jadi sebuah keniscaayaan, tinggal bagaimana
menyingkapi perbedaan tersebut dan penulis mengutip apa yang disampaikan al-
Qur’an “jika kalian berselisih kembalikan kepada Allah dan Rasul” Dalam arti
dikembalikan kepada substansi manusia diciptakan yaitu sebagai hamba yang
patuh, dan disisi lain sebagai khalifah yang dituntut harus kreatif-inovatif. dan
untuk sempurna hal tersebut al-Qur’an lah sebagai petunjuk yang benar. Dalam
melihat fenomena yang terjadi, bahwa tafsir dalam khazanah dunia Islam
memiliki kepentingan serta tujuan tertentu. Walaupun kenyataannya umat Islam
percaya akan 1 mushaf yakni mushaf Utsmani tetapi pemahaman mereka terhadap
22
Akhmad Supriadi,” Studi al-Qur’an dan hadis Orientalis,”data diakses pada tanggal
25 Oktober 2016.http://ponda-samarkand.blogspot.co.id/2013/04/studi-al-quran-dan-
hadisorientalis.html
44
penafsiran al-Qur’an sangatlah beragam. Begitu puladengan pandangan Goldziher
mengenai tafsir, Goldziher memandang bahwa tafsir memiliki bias kepentingan
teks suci al-Qur’an bukan lagi sebagai sumber agama tetapi lebih dari itu, al-
Qur’an menjadi salah satu aliran keagamaan tertinggi bagi suatu kelompok ajaran
tertentu.23
Bahkan dari beberapagolongan aliran madzhab Islam mengklaim
bahwa kebenaran Allah adalah suatu bukti yang tidak bisa diganggu gugat.24
Adapun tafsir memang sangat beragam corak serta mengalami perkembangan dan
bahkan perubahan. Sebab hal itu merupakan konsekuensi logis dari yang dianut
oleh umat Islam bahwa al-Qur’an. ṣālihun li kulli ẓaman wa makān.
D. Kajian Buku Mazhab Tafsir dalam Literatur
Buku “Die Richtungen der Islamischen Koranaus legung” merupakan
karya asli Goldziher belum diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa diterbitkan
pada tahun (1983) karya ini dibuat menggunakan bahasa Jerman dan murni hasil
pemikiran Goldziher yang dituangkan langsung dengan menggunakan bahasa
Jerman tanpa diedit kembali oleh penerjemah. Namun buku ini sangat sulit
ditemukan, selain itu buku “Die Richtungen der Islamischen Koranaus legung”
sangat jarang ada yang bisa membacanya kecuali yang benar faham betul tentang
bahasa Jerman.
Madzāhīb al-tafsīr al Islāmī merupakan karya Goldziher diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh Alī Ḥasān Abdul Qādir terbit pada tahun (1955),
kemudian di tahqiq (diedit) oleh Abdul Halīm Najjar diterbitkan oleh sebuah
penerbit di Lebanon. Adapun pembahasan mengenai tafsīr bi al ma’tsūr dalam
kitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab ada dalam bab 2 yakni fase awal
23
Ignaz Goldziher, MazhabTafsir, h. ii. 24
Ignaz Goldziher, MazhabTafsir, h. ix.
45
penafsiran dan pembahasan mengenai tafsīr bi al ma’tsūr mencakup tentang
Israilliyat dalam tafsir, dikarang oleh Ibn Abbas, Ikrimah, Mujāhid, perbedaan
dalam riwayat tafsīr bi al ma’tsūr. Kemudian penafsiran al-Ṭabarī yang sangat
berperan penting pada tahap perkembangan kedua tafsīr bi al ma’tsūr setelah
generasi para sahabat.25
Adapun buku terakhir ialah “Mazhab Tafsir” telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, buku ini diterjemahkan oleh 3 orang penerjemah,
Saifuddin Zuhri Qudsy, Badrus Syamsul Fata dan Alaika Salamullah kemudian
diedit oleh Faisal Fatowi adapun buku ini merupakan referensi utama penulis
dalam mengkaji persoalan mengenai tafsīr bi al ma’tsūr diterbitkan oleh penerbit
Elsaq Press pada tahun 2003, garis besar Goldziher dalam karyanya mengurai
tentang sejarah tafsir al-Qur’an dari makna klasik hingga kontemporer.26
Adapun
terkait pembahasan tentang tafsīr bi al ma’tsūr berada pada bagian 2 dimulai dari
halaman 80-112 mengulas serta menjelaskan mengenai Israilliyat dalam tafsir,
Definisi tafsīr bi al ma’tsūr perbedaan riwayat dalam tafsīr bi al ma’tsūr, tafsir
kalangan ulama klasik dan Syair-syair Arab.
25
Alī Ḥasān Abdul Qādir, Madzāhīb al-tafsīr al Islāmī (Lebanon : Maktabah Misna
Baghdad, 1955), h. 73. 26
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir, h. iii.
46
BAB IV
PERKEMBANGAN TAFSĪR BI AL-MA’TSŪR MENURUT IGNAZ
GOLDZIHER
A. Pengertian Tafsīr bi al-Ma’tsūr Menurut Ignaz Goldziher
Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis yang sangat paham betul ilmu
tentang Islam. Tidak hanya itu, Goldziher bahkan meneliti secara mendetail
tentang sejarah perkembangan Islam.Contohnya saja tentang sejarah
perkembangan tafsir. Goldziher mempelajari sejarah tafsir dari berbagai ulama-
ulama terkemuka Islam serta literatur-literatur sejarah yang sudah ada.
Menurutnya, tafsir hanya sebagai senjata ampuh bagi sekte-sekte pengikut aliran
dalam Islam. Pada abad ke-2 hijriah masih terlihat pandangan ulama salaf yang
masih skeptis. Bahkan kesadaran untuk melakukan penafsiran menurun drastis
karena disertai dengan rasa takut dan selalu menghindar.
Adapun pengertiantafsīr bi al ma’tsūr menurut Goldziher adalah tafsir
yang dapat disaksikan keṣahīhannya, yakni yang bersandar pada “Ilmu”
periwayatnya adalah Rasulullah SAW, kemudian sahabat langsung mendapatkan
pengajaran langsung dari Rasulullah SAW tanpa ada pemikiran ra’yi, artinya
murni dari Rasulullah SAW.1 Definisi ini memiliki kesamaan dengan paparan
Muhammad Husein al-Dzahabī dalam kitab tafsīr wa al-mufassirūn bahwa
pengertian tafsīr bi-al-ma’tsūr ialah penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur‟an, yang
diriwayatkan dari Rasulullah, Sahabat, dan juga Tabi‟in, adanya penafsiran al-
1 Ignaz Goldziher. Madzhab Tafsir (Yogyakarta: Elsaq Press, 2006), h.87.
47
Qur‟an merupakan maksud Allah SWT dalam menjelaskan kalam-Nya.2
Penafsiran yang berasal dari Rasulullah menjadi penting, sebab seperti pernyataan
yang disampaikan oleh Ali bin Thalib: “Tanpa manusia maka al-Qur‟an tidak
bisa berbicara apa-apa”. Hampir seluruh himpunan hadits yang banyak sekali
jumlahnya, tersusun secara rapih kemudian hadits tersebut, dimasukkan kedalam
bab tafsīral-Qur’ān.3Perkembangan riwayat-riwayat seperti inilah yang menandai
perkembangan penafsiran ma’tsūr. Namun demikian, pasca kematian Rasulullah,
terdapatkekhawatiran tentang keberadaan tafsīr bil ma’tsūr ini. Diriwayatkan oleh
seorang ahli bahasa, Al-Asmū’i (wafat 216 H/831 M), persoalan ini dikhawatirkan
akan sangat menjauhkan seseorang dari al-Qur‟an dikarenakan ketakwaan dan
kewara‟annya. Kemudian hadits yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW beliau
mengkhawatirkan masa depan umatnya dari 2 hal yang terjadi, diantaranya ialah
munculnya orang-orang yang menafsirkan al-Qur‟an tidak sesuai dengan riwayat
yang ṣahīh. Yang kedua orang-orang yang menta‟wilkan al-Qur‟an tidak
berdasarkan pada ta‟wil yang sebenarnya. Penafsiran dengan ra’yi adalah keliru
meskipun itu benar, maka hakikatnya adalah salah. Ilmu yang benar dalam
disiplin ilmu-ilmu agama Islam adalah ilmu yang merujuk kepada generasi salaf
yang sangat terdahulu. Demikian pada cabang-cabang ilmu lain, pada awal Islam.
Ditekankan dengan mengunakan riwayat yang dapat dipegang dengan penuh
keyakinan.
Seperti sudah dijelaskan sebelumya, tentang agama Islam tidak akan
mengenal produk pemikiran secara spesifik tanpa ilmu, dengan demikian yang
2 Muhammad Husein Al-Dzahabī. Tafsīr wa al-mufassirūn, ( Beirut Libanon: Da‟arul
Arkom, 1961 ), h. 105. 3 Ignaz Goldziher. Madzhab Tafsir, h. 115.
48
dimaksud dengan ilmu yang benar dalam disiplin agama Islam ialah ilmu yang
merujuk kepada generasi salaf (terdahulu) yang sangat terpecaya. Sebab mereka
para sahabat hanya mengambil riwayat yang ṣahīh saja. Demikian halnya dengan
ilmu cabang lain, ditekankan dengan menggunakan riwayat yang dapat diyakini
keorisinalannya. Goldziher sangat setuju dengan pemikiran bahwa tafsir dapat
terlihat reliable (terpercaya) apabila sebuah tafsir disandarkan kepada riwayat
generasi ulama salaf (terdahulu). Yakni penafsiran Rasulullah SAW yang
diriwayatkan kepada para sahabat melalui jalur talaqqi kemudian dilanjutkan
dengan para tabi‟in yang mendapatkan riwayat dari para sahabat. Dalam
pandangan Goldziher, banyak sekali para sahabat yang menyandarkan riwayatnya
pada (al-Ilmu) dalam menafsirkan al-Qur‟an, hampir tidak terhitung jumlahnya.4
Para mufassir dari kalangan para sahabat tidak ada yang menyandarkan
riwayat melalui hasil pemikiran ijtihadnya. Karena kewara‟an dan ketaqwaannya
kepada Allah SWT. Namun para tabi‟in berijtihad untuk dapat menghasilkan
tafsīr bi al-Ma’tsūr, maka akan menerima jalur-jalur riwayat yang dapat diterima
oleh kritik Islam dan tafsir tersebut dapat dipercaya sebagai tafsir yang dinukil
bersambung kepada sanad yang ṣahīh yaitu sanad yang bersambung kepada
sahabat. Dengan demikian jelaslah, yang dapat dipandang sebagai ilmu dalam
lingkungan agama Islam hanyalah berita-berita dalam riwayat para ahli ilmu yang
diperolehnya secara lisan berdasarkan sanad yang benar. Pada zaman dahulu,
riwayat–riwayat hadits yang diperoleh melalui cara tersebut diatas. Itulah yang
dipandang sebagai petunjuk bukti yang dapat diyakini kebenarannya.
4Ignaz Goldziher. Madzhab Tafsir, h. 88.
49
Goldziher sangat takjub dengan sumber riwayat penafsiran bi al-Ma’tsūr
karena tafsir telah menghilangkan kebingungan bagi umat Islam serta
memberikan pencerahan,5 tafsir bagaikan pancuran air yang tidak akan kering
airnya. Goldziher juga sangat kagum dengan tokoh mesir, yakni Jalāl al-Dīn as-
Suyūṭī (wafat 911 H/1505 M) menurut Goldziher umat muslim telah berhutang
budi dengan kepadanya dalam bidang Ulūmul Qur’ān, beliau berhasil
mengumpulkan lebih dari sepuluh ribu hadits dari penafsiran Rasulullah SAW
dan sahabat-sahabatnya. Terangkum dalam kitab “Tarjumān al-Qur’ān”. Sejak
abad ke 2 H, para ulama berusaha memenuhi kebutuhan akan dengan menulis
karya yang sambung menyambung dalam bidang tafsir. Namun usaha-usaha besar
pada fase awal ini tidak ada yang tersisa dan sampai kepada kita. Semua itu akan
terpenuhi dengan adanya sebuah karya agung, yang disatu sisi mempresentasikan
kekayaan tafsīr bi al-Ma’tsūr yang merupakan peletakan batu pertama literatur
tafsir al-Qur‟an. Terkadang diantara lembaran-lembarannya terhimpun isi kitab
tersebut dengan sangat sempurna, munculnya penafsiran lebih sekedar hanya
mengumpulkan dan mencatat. Penafsiran tumbuh subur pada masa ulama salaf,
dan ulama melihat ini semua sebagai keistimewaan khas al-Qur‟an sebagai kitab
yang kandungannya memiliki keindahan dan kesempurnaan tersendiri.6Al-Qur‟an
mempunyai bentuk banyak rupa yang mempunyai kaya serta luas akan cakrawala
sebagai aspek pengetahuan bagi umat manusia.7
B. Reliabilitas Tafsīr bi al-Ma’tsūr
1) Nilai Riwayat
5Ignaz Goldziher.Madzhab Tafsir, h. 89.
7Ignaz Goldziher.Madzhab Tafsir, h. 78.
50
Ketika menilik sejarah tafsir Islam, dalam membahas persoalan tentang
realibitas tafsir, Goldziher mengambil kutipan dari seorang ahli hadits Aḥmad ibn
Ḥanbal bahwa: 3 hal yang tidak mempunyai asalserta tidak mempunyai dalil,
yaitu tafsir, cerita heroik (al-malhamah), dan cerita tentang peperangan (al-
maghazi).8 Pembagian 3 hal ini, tafsir merupakan salah satu point yang harus
dihindari. Goldziher berpendapat bahwaAḥmad ibn Ḥanbal menjelaskan kepada
umat muslim khususnya para mufassir untuk menjauhkan diri dari menafsirkan al-
Qur‟an danTafsir yang harus dijauhi oleh umat muslim menurut Aḥmad ibn
Ḥanbal karena tafsir yang terhimpun menjadi suatu mitologi atau sesuatu cerita
yang mengandung unsur kemisteriusan, suatu ranah yang mengandung imajinasi
unsur pemikiran yang bebas, sehingga dikhawatirkan akan bercampurnya antara
tafsir dan pemikiran ijtihad. Karena tafsir merupakan sesuatu yang sulit dihindari
oleh sanad yang kuat, yang dituntut sejak awal munculnya Islam sebagai salah
satu syarat untuk ilmu pengetahuan yang layak untuk dipercaya. Goldziher
beranggapan bahwa ini semua mufasir lakukan karena kurangnya hafalan mereka
sehingga hasilnya merupakan imajinasi serta inspirasi para mufasir. Akhirnya
mufasir mengklaim bahwa semua hasil karya mereka adalahtafsir al-Qur‟an.9
Berhadapan dengan tafsir yang bersandar pada mitologi-mitologi,
„Abdullāh Ibn Mas‟ȗd menyatakan penentangan kepada para mufasir yang
mengeluarkan penafsiran dengan rasio/bi al-ra’yi dan orang yang tidak bisa
rendah hati, sehingga menjawab atas segala pertanyaan yang tidak diketahui
hakikatnya dengan mengatakan: “Allah lebih mengetahui” akhirnya, tafsir yang
berani masuk ke dalam wilayah produk wilayah keyakinan ditolak. Goldziher
8Ignaz Goldziher.Madzhab Tafsir, h. 79.
9Ignaz Goldziher. Madzhab Tafsir, h. 80.
51
berpendapat bahwa memang al-Qur‟an bukanlah teori filsafat, yang menghantam
satu sama lainnya.10 Tetapi perlu dicermati bahwa dalam surah al-An‟ām 68:
Artinya:“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat
Kami, Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan
yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka
janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat
(akan larangan itu).”
Cikal bakal penyimpangan dalam tafsir yang diklaim sebagai riwayat
ma’tsūr yang sudah kehilangan reliabilitasnya, menurut Goldziher, disebabkan
oleh karena para mufassir mempunyai kebebasan dalam pemikiran mutlak dan
tidak terikat dengan tatanan dari hasil riwayat yang ṣahīh. Sehingga memperluas
jangkauan tentang kisah peperangan (al-maghazi)11
Akhirnya terbayanglah sebuah
angan-angan dan mulai menyisipkan penta‟wilan terhadap al-Qur‟an dan
menyebutnya sebagai kabar dari alam gaib. Ketika kita merujuk pada pengertian
makna Ta‟wil ialah ta‟wil terbagi menjadi 2 bagian: pertama, menurut para ulama
salaf bahwa ta‟wil adalah seorang mutakallim mengembalikan makna kalamnya
kepada hakikat sebenarnya kalam tersebut, sedangkan makna ta‟wil menurut
ulama muta’akhirin ialah mengembalikan makna yang (rajih) kemakna dalil
lebih (marjuh) karena ada dalil yang menyertainya. Secara khusus hal ini berlaku
dalam disiplin sejarah, di mana validitas data sejarah sebagai pengetahuan tentang
peristiwa sejarah hanya mungkin dapat dibenarkan apabila saat dikuatkan dengan
10
Ignaz Goldziher.Madzhab Tafsir, h. 84. 11
Al-Maghzi mempunyai arti ganda. Dapat berarti “tempat-tempat terjadinya suatu
pertempuran “ dan bisa juga berarti puji-pujian atas perbuatan tauladan seorang tokoh.”
52
silsilah sanad yang bersambung sampai kepada pihak yang langsung menyaksikan
kejadian tersebut yang layak dipercaya, hanya dengan metode inilah dapat diklaim
sebuah kebenaran yang dapat dipercaya.12
Begitu pula dalam hal sejarah, suatu
peristiwa sejarah dipercaya kebenarannya kalau dapat dibuktikan dengan
serangkaian sanad (perawi) yang didukung atas saksi orang-orang tertentu yang
patut dipercaya.13
Diantara beberapa fenomena tentang perkembangan penafsiran
tafsīr bi al-Ma’tsūr, pandangan Goldziher tentang tafsīr bi al-Ma’tsūr adalah
tafsir yang tidak utuh secara keseluruhan, dilihat dari sisi bahwa banyaknya
periwayat penafsiran yang memiliki beragam versi pendapat, bahkan kebanyakan
saling bertentangan dalam menafsirkan sejumlah ayat al-Qur‟an. Kemudian di sisi
lain tafsīr bi al-Ma’tsūr mempunyai pendapat berbeda-beda dalam memaknai
sebagian kosakata susunan kalimat al-Qur‟an yang dinisbatkan kepada satu orang
sahabat. Dapat disimpulkantafsīr bi al-Ma’tsūr berbeda-beda antara satu dengan
yang lainnya, saling kontradiksi secara internal, sebagai tafsir yang menggunakan
ilmu,14
umat Islam sejak awal Islam telah mengakui bahwa ilmu yang valid
tentang al-Qur‟an telah hilang dari generasi yang datang setelah Rasulullah SAW,
di dalam al-Qur‟an terdapat sejumlah ayat tidak akan dipahami oleh manusia,
karena Allah SWT telah menutupi pengetahuan tentangnya. bahwa ada orang-
orang yang diberikan ilmu oleh Allah untuk mengetahui makna dan ta‟wil yang
tertutupi karena menjadi rahasia Allah itu. Di sini, ada beberapa orang sahabat
yang diberikan kemampuan untuk memahami maknanya. Selain bagi para
sahabat, ilmu ini juga diberikan oleh Allah kepada pada wali, sufi, yang memiliki
kedekatan hati dengan Allah dan kedekatan maqamnya dengan Allah telah
12
Ignaz Goldziher. Madzhab Tafsir, h.86. 13
Ignaz Goldziher, Aliran-aliran Tafsir Islam, h. 81. 14
Ignaz Goldziher, Aliran-aliran Tafsir Islam, h. 82.
53
menyebabkan mereka mendapatkan petunjuknya secara langsung (baca ilmu
ladunni).
Sejak abad ke 2 H, ulama berusaha memenuhi kebutuhan akan adanya
tafsīr bi al-Ma’tsūr dengan mmenulis karya-karya lalu sambung menyambung
dalam bidang tafsir. Namun usaha ulama tersebut sangat disayangkan karena
karya mereka tidak ada yang sampai kepada kita. Namun disatu sisi lain
Goldziher mempunyai argumen tersendiri bahwa ada yang bisa mempresentasikan
kekayaan tafsir secara sistematis, Goldziher sangat mengapresiasi tafsīr bi al-
Ma’tsūr yang dikarang oleh al-Ṭabarī, walaupun Goldziher mempunyai statement
bahwa tafsīr bi al-Ma’tsūr mengalami kekacauan atau bisa disebut sebagai tafsir
yang tidak utuh namun di sisi lain ia sangat menyukai hasil karya Muhammmad
al-Ṭabarī di bidang tafsir. Himpunan tafsir inilah yang dikarang oleh Muhammad
Ibn Jarir al-Ṭabarī. Goldziher mengambil kutipan dalam kitab al-Ṭabarī:
“Engkau tidak akan menjadi seorang yang fāqih kecuali jika engkau sudah
melihat dalam al-Qur‟an adanya banyak sisi beberapa penafsiran.”15
2) Israilliyat
Tafsīr bi al-Ma’tsūr mempunyai beberapa kelemahan salah satunya ialah
Israilliyat. Banyak dari mufasir atau generasi salaf memasukan kisah-kisah
Israilliyat ke dalam sebuah tafsir, tanpa meneliti kembali cerita yang mereka dapat
dari orang Yahudi dan Nashrani berdasarkan berita-berita yang dinukilkan dari
kitab-kitab terdahulu. Salah satunya adalah Ibn Abbas Menurut Goldziher dalam
kitab terdahulu terdapat berbagai macam kisah yang sistematika ceritanya campur
aduk tidak teratur, sehingga membuat kaum muslim ingin mengetahui cerita-cerita
15
Ignaz Goldziher.Madzhab Tafsir, h. 111.
54
tersebut secara dekat. Dalam menyikapi kisah-kisah Israilliyat dalam tafsir, maka
Goldziher berpendapat bahwa dalam kitab-kitab terdahulu memiliki berbagai
macam versi kitab, dan ada pula yang bercampur aduk, salah satu ahli tafsir yang
mengambil cerita Israilliyat dan Nashraniyyat ialah Ibn Abbas. Ibn Abbas telah
mengambil cerita-cerita terdahulu dari Ka‟ab al-Akhbar dan Abdullah ibn Salam.
Memang benar keadaan mereka ketika itu sudah masuk Islam sehingga dianggap
telah dapat meloloskan mereka dari perasaan dusta. Ibn Abbas menjadikan
ceritaIsrailiyyat serta Nashraniyyat sebagai Hujjah, yang telah banyak sekali
memberikan informasi tentang yang begitu bermanfaat dan berguna. Bahkan
Ka‟ab al-Akhbar dijadikan sebagai rujukan utama dalam penafsiran yang benar
mengenai 2 ungkapan al-Qur‟an, yakni Umm al-Kitāb dan al-Marjan. Goldziher
menganggap kelemahan tafsīr bi al-Ma’tsūr terdapat pada perawi yang sangat
mempercayai cerita mitologi Israilliyat sehingga membuat keraguan atas
otentisitas penafsiran bi al-Ma’tsūr. Semua itu dilakukan oleh seorang yang
dianggap sebagai pemilik julukan samudra lautan ilmu yakni Ibn Abbas tanpa ada
proses penyeleksian secara ketat.16
C. Para Tokoh Tafsīr bi al-Ma’tsūr
1) Ibn ‘Abbās
Diantara sekian banyak sahabat, Khulafar Rasyidin, Aisyah, dan istri-istri
NSabi yang lain. Namun dalam penilaian kaum muslimin hujjah alasan sanad
yang paling kuat ialah Ibn „Abbās. Yang merupakan putra dari paman Rasulullah
SAW, Ibn „Abbās merupakan mukjizat tafsir dan lautan Ilmu. Karena interaksinya
dengan Nabi, maka sejumlah tafsir dengan sendirinya dipercaya oleh seluruh
16
Goldziher. Madzhab Tafsir, h.93.
55
ulama.17
Informasi tentang tafsir yang berasal dari Ibn Abbas selalu dijadikan
sebagai hujjah dan bahkan mendapat pujian dalam hal uraian memahami al-
Qur‟an. Banyak sekali pujian yang di dapat oleh Ibn „Abbās, pujian tersebut
datang dari generasi sesudahnya. Ibn „Abbās menerima riwayat langsung dari
Rasulullah SAW, sebuah tafsir yang dengan sendirinya dapat diakui
reliabilitasnya. Namun ada titik kelemahan dari tafsir Ibn „Abbās. Yakni dengan
mengutip cerita-cerita Israilliyat. Beliau sangat mengagungkan 2 orang Yahudi
yang telah masuk Islam, yakni Ka‟ab al-Akhbar dan „Abdullah bin Salam.
Memang benar kedua ahli kitab tersebut masuk Islam sehingga hilanglah dusta
yang dituduhkan kepada mereka. Namun tetap saja semua cerita yang disandarkan
kepada orang Yahudi dan Nashrani harus diseleksi secara ketat bahkan dengan
menggunakan pembuktian secara akurat. Meskipun diketahui bahwa Ibn „Abbās
adalah seorang yang terjaga dari tetesan samudra ilmunya. Informasi-informasi
yang diriwayatkan olehnya dalam bidang tafsir, selalu saja Ibn Abbās yang
menemukan jawabannya karena dia mengetahui segala sesuatu. Dalam pandangan
Goldziher ulama mutaqaddimin telah menyanjung Ibn „Abbās. Ilmu kritik Islam
meletakan klasifikasi di berbagai tingkatan keṣaḥīhan sanad yang mempunyai
banyak cabang, dan semuanya bermuara pada Ibn Abbās. Namun kritik Islam juga
tidak dapat memungkiri adanya pihak-pihak dikemudian hari yang berusaha
melakukan pemalsuan terhadap penafsiran Ibn Abbās dengan dikemas melalui
bagan yang valid.18
2) Ikrimah
17
Pada masa-masa belakangan diletakan kaidah berikut ini: “apabila tafsir sahabat
diturunkan melaui ayat,maka secara teminologi menjadi marfu.” 18
Goldziher. Madzhab Tafsir, h.99.
56
Di dalam karya buku Ignaz Goldziher Mujāhid ibn Ikrimah merupakan
sorang budak dari Ibn Abbās dia adalah manusia yang paling mengetahui tafsir
karena Ibn Abbās telah memetakan seutas tali pada dirinya dan sudah sangat jelas
sekali dia adalah seorang kepercayaan Ibn Abbas kemudian para orientalis
menduga bahwa ikrimah telah menyebarkan ilmu dengan menggunakan nama Ibn
Abbas padahal Ikrimah tidak pernah mendengar ilmu tersebut dari Ibn Abbās, ini
merupakan kritik Goldziher terhadap Ikrimah kemudian Goldziher mengutip
pernyataan dari Sa‟īd al-Musayyab bahwa Ikrimah telah dipukul oleh Sa‟īd al-
Musayyab dengan hukuman yang hina, itu semua dilakukan oleh al-Musayyab
karena Ikrimah tidak mau mendengar peringatannya.19
Pandangan Goldziher
bahwa ketika Ikrimah wafat, jenazah dimakamkan, tidak mencapai jumlah yang
cukup untuk mengusung jenazahnya sedangkan di saat bersamaan, ada seorang
penyair yang wafat, bernama Kutsayyar maka jenazah tersebut banyak sekali
jumlah anggota yang mengusungnya. Memang benar ini merupakan salah satu
penghinaan terhadap budak Ikrimah atas penyebaran ilmu tanpa di dapat langsung
dari Ibn Abbas. Selain itu Ikrimah dituduh sebagai seorang yang menganut
madzhab khawarij, yang telah menyebabkan terhalangnya jenazah Ikrimah ke
pemakaman.20
Akan tetapi walaupun Ibn Sa‟id al-Musayyab telah menghukum
serta memukul Ikrimah namun, Ibn Sa‟ad menyebutkan bahwa dirinya telah
menghantarkan jenazah budak Ikrimah dimasjid-masjid dalam jumlah anggota
yang mengusungnya begitu besar. Tuduhan Goldziher terhadap Ikrimah tidak
benar karena Ikrimah mempunyai kedudukan yang sangat mulia.21
Kemudian
Goldziher beragumen bahwa Ikrimah telah menisbatkan nama Ibn Abbas terhadap
19
Ignaz Goldziher.Madzhab Tafsir, h. 100. 20
Ignaz Goldziher.Madzhab Tafsir, h. 101.
57
karangan kitab miliknya, yakni sebuah kitab tafsir yang sanadnya bersambung
secara sistematis atau bisa disebut sebagai tafsīr bi al-Ma’tsūr .
3) Ali Ibn Abī Ṭalḥah
Diantara sekian banyak tafsir, Goldziher menyebutkan bahwa tafsir yang
paling layak dipercaya adalah tafsir yang berasal dari tafsir Ibn Abī Ṭalḥah
merupakan produk langsung dari Ibn Abbas22
namun tidak banyak orang tahu
akan tafsir tersebut. Tetapi pujian atas terwujudnya kompilasi tafsir patut
diapresiasi, salah satu sekretaris alim Mesir, al-Laits bin Sa‟ad (94-175H /712-791
H) atas naskah yang telah ditulisnya sendiri, dari kompilasi inilah, kemudian
lahirlah orang seperti Bukhari, al-Ṭabarī dan para periwayat lainnya yang
mengambil pelajaran dari kompilasi tersebut terutama tafsīr dari Ibn Abbas.
Pandangan Goldziher para kritikus menetapkan, Ibn Abī Ṭalḥah tidak mengambil
pelajaran tafsir dari Ibn Abbas sebagaimana yang telah disajikan dalam kitabnya,
bahwa dia tidak mengambil sumber dari Ibn Abbas. Namun celaan ini dibantah
oleh as-Suyūṭī karena Ibn Abī Ṭalḥah memang benar telah mengutip dari Ibn
Abbas23
ini merupakan celaan yang tidak benar, menurut as-Suyūṭī. Demikian apa
yang telah ditetapkan oleh kritikus Islam, seharusnya mempunyai dasar yang
dapat diterima, khususnya produk-produk tafsir yang sangat kaya yang
dinisbatkan kepada Ibn Abbas yang agung. Himpunan besar yang berisi tafsīr
bial-Ma’tsūrkarya Ibn Abī Ṭalḥah mempermudah ulama memunculkan sikap
kritis kepadanya. Contohnya soal isu perdebatan klasik yang terjadi antara putra
Ibrahim yang dijadikan sebagai manifestasi untuk dikurbankan? Nah,disini
Goldziher mengemukakan bahwa ada 2 kubu yang berbeda pendapat mengenai
22
Ignaz Goldziher. Madzhab Tafsir, h.105. 23
Ignaz Goldziher.Madzhab Tafsir, h. 107..
58
putra Nabi Ibrahim yang dikurbankan antar Ishaq dan Ismail. Menurut pendapat
Goldziher, seorang ulama Muhammad mempunyai argumen bahwa Ishaq adalah
putra Nabi Ibrahim yang dikurbankan, sedangkan dalam karangan kitab al-Ṭabarī
mengenai isu klasik ini ialah karena kedengkian Yahudi kepada nenek moyang
Bangsa Arab, nenek moyang Bangsa Yahudi dari Ishāq sedangkan nenek moyang
dari Bangsa Arab adalah Ismail. Dan ini merupakan penyimpangan oleh penganut
Yahudi dalam Taurat.24
Adapun perbedaan kontradiktif yang terjadi merupakan
salah satu upaya untuk memalsukan sebuah teks. Namun kaum muslimin
mempercayai bahwa Ismail adalah putra yang dikurbankan oleh Ibrahim dan
mendapatkan julukan sebagai kurban yang agung. Demikianlah kedua pendapat
`yang berseberangan antara satu dengan yang lainnya.pandangan Goldziher, kubu
pertama ialah kubu Ishāq yang merujuk pada jalur periwayat Abu Hurairah dan
seorang sarjana Yahudi, Ka‟ab al-Akhbar. Kemudian kubu yang kedua ialah
Ismāīl yang merujuk pada Ibn Abbas. Hanya saja hujjah yang paling otentik
dalam persoalan tafsir al-Qur‟an tetap dipegang oleh Ibnu Abbas. Karena jalur
periwayatannya dapat kita temukan dalam tafsīr bi al-Ma‟tsūrdisepanjang tulisan
karyanya.
4) Al-Ṭabarī
Al-Ṭabarī merupakan ulama yang menulis kitab tafsīr bi al-Ma’tsūr,
Menurut Goldziher al-Ṭabarī merupakan satu diantara sekian banyak cendikiawan
Islam disepanjang masa. Dunia Barat juga sangat menghargai prestasi al-Ṭabarī
yang sangat cemerlang. Bahkan al-Ṭabarī dijuluki sebagai bapak sejarah Islam.
bahkan para sarjana Barat menukil karya al-Ṭabarī lalu mereka terbitkan di
24
Ignaz Goldziher.Madzhab Tafsir, h. 108..
59
Leiden. Sebagaimana kitab yang telah dianggap hilang, bahkan sampai saat ini
yang tidak ternilai harganya ialah (kitab tafsir al-Qur‟an). Para cendikiawan dari
Timur dan sarjana Barat sudah membuat kesepakatan akan akan memberikan nilai
tertinggi pada kitab ini.25
Kitab yang dikarang al-Ṭabarī menurut Goldziher
merupakan ensiklopedi pengetahuan kitab yang sangat kaya akan khazanah ilmu
dalam bidang tafsīr bi al-ma’tsūr. Selain itu menurut Goldziher al-Ṭabarī telah
melatekan konsesus ijma‟ umat dalam tafsir pada tingkatan tertinggi. Al-Ṭabarī
juga telah menukil dari para periwayat yang terpercaya, kemudian menyusunnya
ayat demi ayat lalu mensistematikannya antara satu ayat dengan yang lainnya.
Bahkan telah menggunakan metode kritik pada silsilah rijal sanad. Ketika suatu
riwayat tidak terpecaya maka al-Ṭabarī menjelaskan dalam kitabnya sesuai
dengan adanya tanpa ada pengurangan atau penambahan.
Sejarah perkembangan tafsīr bi al-Ma’tsūr mengharuskan keṣahīhan hadits
yang kemudian menyebabkan terjadinya beberapa problem terkait dengan
reliabilitasnya, dimana Goldziher menganggap para perawi kurang menguasai
hafalan hadits dan kemudian berupaya memalsukan tafsir agar pendapatnya
diakui. Masalah reliabilitas juga dikaitkan dengan keberadaan riwayat-riwayat
Israilliyat, terakhir beberapa para figur terkemuka dalam periwayatan tafsīr bi al-
Ma’tsūr juga turut berperan dalam menciptakan rendahnya nilai riwayat tafsīr bi
al-Ma’tsūr akibat dari kontroversi pandangan yang tidak bisa disatukan. Sehingga
akhirnya Goldziher sangat mengapresiasi pandangan yang lahir dari kajian Barat
atas beragamnya aspek sejarah penafsiran masa awal Islam terkait penafsiran
tafsīr bi al-Ma’tsūr Goldziher juga memuji lantaran toleransi terhadap perbedaan
25
Ignaz Goldziher. Madzhab Tafsir, h.113.
60
Qira‟at. Sebuah dukungan Goldziher atas al-Ṭabarī kritik keras Barat terhadap
proses kodifikasi al-Qur‟an pada masa khalifah Utsman yang telah menyatukan
ragam bacaan hanya dengan dialek Quraisy. Meskipun sangat terlihat sekali, apa
yang telah dilakukan oleh Goldziher bagi kajian al-Qur‟an yang dilakukan oleh
Barat. Namun Goldziher juga memiliki dampak yang cukup besar bagi
perkembangan kajian metode penafsiran al-Qur‟an. Khususnya seperti dapat
dilihat dari beberapa karya penulis Timur tengah di bawah ini.
D. Signifikasi Ignaz Goldziher bagi Perkembangan Tipologi Penafsiran
Selanjutnya
1) Muhammad Husain Al-Dzahabī
Dalam memahami Kitabullah, para mufasir dari kalangan sahabat
berpegang pada apa yang ada dalam al-Qur‟an itu sendiri, keterangan yang
mereka riwayatkan berasal dari Rasulullah SAW, penafsiran yang mereka terima
berupa penafsiran mereka sendiri, yang didapat melalui Rasulullah. Menurut al-
Dzahabī tafsīr bi al-Ma’tsūr adalah tafsir yang bersumber dari kitab al-Qur‟an
sendiri secara terinci disetiap bagian ayat-ayatnya dan dinukilkan langsung oleh
Rasulullah SAW serta para Sahabat, dan juga para Tabi‟in.26
Setiap penjelasan
tafsir yang dijelaskan sumber utamanya ialah nash-nash al-Qur‟an. Dan
sesungguhnya kita semua menyadari bahwa tafsīr bi al-Ma’tsūr diriwayatkan
oleh tabi‟in, dan dari sinilah terjadinya perbedaan metode dalam menafsirkan al-
Qur‟an. Kita semua sudah mengetahui kitab tafsīr ma’tsūr yang dikarang oleh al-
Ṭabarī, dalam menulis karyanya al-Ṭabarī mengambil rujukan riwayat yang
berasal dari apa yang telah diriwayatkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat,
`
26Muhammad Husain Al-Dzahabī, at Tafsir Wa al Mufassirūn ( Beirut Libanon: Da‟arul
Arqam, 1961 ), h. 112.
61
termasuk generasi para tabi‟in sesudahnya dalam menafsirkan tafsir. Menurut al-
Hakim dalam kitab Al-Mustadrak “sesungguhnya tafsir sahabatlah yang
kualitasnya marfu’ karena dari Rasulullah SAW dan menurut Ibn ṣalāh dalam
mukaddimahnya: penulisan tafsir para sahabat selalu melihat sisi Asbab Nuzul
dan tidak mungkin para sahabat menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yi. Tafsir yang
dinukil oleh Rasulullah SAW dan para sahabat tidak semua mencakup ayat al-
Qur‟an. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi
orang-orang yang semasa dengan mereka. Jabir mengutip sebuah hadits dalam
kisah yahudi bahwa: tafsir yang dimaksud pada sahabat yang berisi hadits
Mauqufitu, bukanlah sebuah hadis yang Mauquf tetapi Musnad. Sama seperti
pembahasan sebelumnya al-Dzahabī berpendapat tafsīr bi a-ma’tsūr diterima
sedangkan tafsīr bi al-ra’yi ditolak.27
Perbedaan para ulama mengenai
problematika tafsir sudah muncul sejak 4 H, Imam Aḥmad r.a. menukil bahwa
tafsir terbagi menjadi 2 bagian: riwayat diterima dan riwayat yang tidak diterima,
dan para ulama salaf mulai menjauhkan diri dari keterikatan dengan tafsir yang
diriwayatkan Tabi‟in. karena menurut ulama, tabi‟in tidak mendapat pengajaran
serta mendengar langsung dari Rasulullah SAW, berbeda dengan para sahabat
yang secara langsung mendapatkan riwayat dari Rasulullah SAW. Dan penafsiran
para tabi‟in adalah bid‟ah.Bahkan banyak dari para ulama yang meninggalkan
tafsir tabi‟in.28
Muhammad Husein Al-Dzahabī, menjelaskan tentang perbedaan
ulama salaf dalam menafsirkan tafsir al-Qur‟an, menurutnya para sahabat
menjelaskan al-Qur‟an dengan menggunakan bahasa Arab. Sahabat menafsirkan
al-Qur‟an sesuai dengan yang mereka ketahui serta mereka dapat dari Rasulullah
`
27Muhammad Husein Al-Dzahabī, Tafsīr Wa al Mufassirūn,h. 71.
28Muhammad Husein Al-Dzahabī, Tafsīr Wa al Mufassirūn, h. 86.
62
SAW. Namun jika kita lihat para Tabi‟in dalam menafsirkan al-Qur‟an mereka
bersandar atas riwayat para sahabat, kemudian menafsirkan al-Qur‟an dengan
menggunakan Ijtihad pemikiran rasio sendiri. Perbedaan yang terjadi antara 2
penafsiran: Ma’tsūr dan Ra’yi/ tafsir sahabat dan tabi‟in. perbedaan yang terjadi
terletak bukan pada masalah hukum-hukum dalam ayat al-Qur‟an melainkan
perbedaan tentang metode dalam menafsirkan al-Qur‟an.29
Sebenarnya, al-Dzahabī
meninjau bahwa perbedaan metode dalam menafsirkan al-Qur‟an yang terjadi ada
pada 1 titik, yakni tingkat metode dalam menafsirkan al-Qur‟an. Perbedaan
menjadi suatu masalah besar dalam menafsirkan al-Qur‟an. Perbedaan tersebut
akhirnya membuat kaum salaf enggan mempercayai tafsir yang dikarang oleh
tabi‟in apalagi generasi sesudahnya. Menurut ulama salaf, tafsir tabi‟in ditolak
karena mereka tidak langsung bertemu dengan Rasulullah SAW dan para sahabat.
Sahabat merupakan thabaqah atau golongan atau generasi pertama mufasir,
sedangkan generasi selanjutnya merupakan thabaqah kedua dan ketiga.30
Dalam
perkembangannya tafsir mengalami beberapa periode, disinilah terlihat
perkembangan tafsir dari awal periode pembukuan (tadwīn), kemudian
dilanjutkan dengan pemisahan antara tafsir dan hadits, sehingga tafsir menjadi
suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Beberap fase tahapan dalam membukukan
tafsir, dengan menggunakan metode pengumpulan hadits-hadits yang tersebar
diberbagai daerah, lalu dikumpulkan menjadi satu sehingga terjadilah proses
pembukuan buku tafsir yang bercampur dengan hadits-hadits. Kemudian periode
setelahnya melakukan usaha memisahkan antara penafsiran tafsir dengan hadits,
sehingga tafsir menjadi ilmu yang berdiri sendiri sesuai dengan tartib mushafi.
29
Muhammad Husein Al-Dzahabī, Tafsīr Wa al Mufassirūn, h. 98. 30
Muhammad Husein Al-Dzahabī, Tafsīr Wa al Mufassirūn, h. 63.
63
Mulai berlaku dari akhir abad III Hijriyah dan berakhir pada awal abad V
Hijriyah.31
Adapun tokoh-tokohnya adalah Ibn Majah (w. 273 H), Ibn Jarīr al-
Ṭabarī (w. 310 H), Abū Bakr bin al-Munẓir an-Naisaburī (w. 318 H), Ibn
AbīHatim (w. 327 H), Abū Syaikh Ibn Hibban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405 H),
dan Abū Bakar bin Mardawaih (w. 410 H), dan yang lain-lainnya.
Muhammad Husain Al-Dzahabī beliau lahir pada tahun 1915 sedangkan
Ignaz Goldziher lahir pada tahun 1850. Perbedaan yang sangat signifikan, terlihat
dari umur mereka. Dilihat dari literatur hasil pemikiran al-Dzahabī dan beberapa
literatur hasil karyanya telah mengcopi ulang bahan kajian hasil karya Goldziher
tentang tafsir, salah satunya kritik al- Dzahabī mengenai buku yang dikarang
oleh Goldziher“madzāhib al-tafsīr al-Islamī” terlihat jelas, al-Dzahabī mengkritik
seluruh aspek bagian hasil karya Goldziher dalam memaparkan perkembangan
tafsir dari klasik hingga modern. Kemudian al-Dzahabī mencoba mengulang
kembali pemikiran dari Goldziher, kemudian dituangkan dalam bentuk
tulisan.Dalam pandangan al-Dzahabī, penafsiran al-Qur‟an mempunyai berbagai
penyimpangan, contoh konkritnya ialah problematika penafsiran setiap aliran,
yang menganggap bahwa aliran mereka paling tepat sehingga patut untuk diikuti,
adanya unsur melegitimasi.32
Hal ini memperlihatkan bahwa adanya
kecendrungan al-Dzahabī mengikuti model pemikiran Goldziher. Namun
Muhammad Husein al-Dzahabī telah membagi perkembangan tafsir menjadi tiga
periode: Pertama, tafsir pada masa Nabi dan sahabat. Kedua, tafsir pada masa
31
Mohammad Nor Ichwan, “Sejarah dan perkembangan Tafsir: Tela‟ah atas pandangan
pandangan Ulama dalam bidang sejarah dan perkembangan tafsir,” diakses pada 21 September
2106.http://ichwanzt.blogspot.co.id/html 32
Fikri Noor al-Mubarok, “ Tinjauan Umum Madzahibut Tafsir “diakses pada 17
September 2016.http://yudhistirasenangberkarya.blogspot.co.id/2013/07/tinjauan-umum-
madzahibut-tafsir_5241.html
64
tabi‟in. Dan yang ketiga, tafsir pada masa pembukuan.33
Sementara itu Goldziher
telah mengklasifikasikan perkembangan tafsir menjadi 3 pula, terdiri dari
madzhab tafsīr bi al-Ma’tsūr, madzhabahli ra’yi, kemudian terakhir
ialahtimbulnya madzhabpada masa perkembangan kebudayaan atau keilmuan
Islam yang ditandai dengan timbulnya pemikirandalam keislaman, tujuan
utamanya ialah untuk memudahkan membahas tentang sejarah dan
perkembangan tafsir.34
Menurut hemat penulis, pencetus pertama karya realita umat Islam dalam
pemahaman tafsir sehingga diklasifikasikan menjadi beberapa sekte adalah Ignaz
Goldziher. Lalu dilanjutkan oleh beberapa ulama terkemuka Islam salah satunya
ialah Muhammad Husein al-Dzahabī. Nilai penting Ignaz Goldziher bagi
perkembangan ilmu tafsir sangatlah berdampak positif bagi al-Dzahabī.
Walaupun banyak kritik yang dilakukan al-Dzahabī terhadap Goldziher. Justru
kontribusi Goldziher dalam tafsīr membuat sejarah baru serta menambah warna
dalam tafsir. Sehingga ulama-ulama muslim khususnya al-Dzahabī bisa mengkaji
ulang tentang perkembangan tafsīr bi al-Ma’tsūr berasal dari hasil pemikiran
karya Ignaz Goldziher.
2) Mannā Khalīl al-Qaṭṭān
Para sahabat Rasululullah SAW memahami al-Qur‟an karena al-Qur‟an
diturunkan dengan bahasa mereka, meskipun mereka tidak memahami secara
detail. Ibn Khaldun berpendapat bahwa al-Qur‟an diturunkan dalam bahasa Arab
dan menurut uslub-uslub balaghahnya. Karena itu semua orang Arab memahami
33
Muhammad Husein Al-Dzahabī, Tafsīr Wa al Mufassirūn, h. 5. 34
El-Fath Nae, “ Konsepsi Keilmuan Madzhahibut Tafsir “ diakses pada 20 September
2016http://el-fathne.blogspot.co.id/2010/05/konsepsi-keilmuan-madzahibut-tafsir.html
65
makna dan kosa katanya maupun susunan kalimatnya, namun mereka berbeda
tingkat pemahamannya sehingga apa yang tidak yang diketahui oleh seseorang
diantara mereka boleh jadi diketahui oleh yang lain. Dalam perspektif al-Qaṭṭān
tentang tafsīr bi al-Ma’tsūr ialah berdasarkan kutipan ṣahīh yang disebutkan di
dalam syarat-syarat mufasir. Yaitu menafsirkan al-Qur’ān dengan al-Qur’ān,
kemudian dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan
perkataan sahabat karena merekalah yang mengetahui kitabullah, atau apa-apa
yang dikatakan oleh para tabi‟in karena mereka menerimanya dari para sahabat.
Adapun sejarah tafsīr bi al-Ma’tsūr terjadi di masa para sahabat, kemudian al-
Qaṭṭān menjelaskan bahwa tafsīr yang dijadikan pedoman utama dalam hidup
ialah tafsīr bi al-Ma’tsūr , karena dalam tafsīr ma’tsūr tidak terdapat ijtihad dan
mustahil sekali para sahabat sepakat untuk berdusta dalam memahami ayat al-
Qur‟an. Dalam menafsirkan al-Qur‟an para sahabat berpegang pada: 1) Al-Qur‟an
al-Karim, sebab apa yang diungkapkan secara global. Terkadang suatu ayat
datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusun dengan ayat
lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan “tafsīr al-
Qur’āndengan al-Qur’ān” contohnya: kisah-kisah dalam al-Qur‟an yang
ditampilkan secara ringkas (mujaz) dibeberapa tempat, kemudian dibeberapa
tempat lain datang uraiannya panjang lebar (mushab) contoh lainnya ialah, firman
Allah: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan,,,,”(al-An‟ām 6:103) ditafsirkan
oleh ayat: “kepada tuhannyalah mereka melihat,,,” (al-Qiyamah75:23).35
2) Nabi SAW, mengingat bahwa beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan
Qur‟an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya ketika kesulitan dalam
35
Mannā Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’ān, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2013), h. 470.
66
memahami suatu ayat. Diantara kandungan al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang
tidak dapat diketahui takwilnya selain melalui penjelasan dari Rasulullah SAW.
Contohnya: rincian tentang perintah dan larangan-Nya serta ketentuan mengenai
hukum-hukum yang difardhukan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan dengan
perkataan Rasululah SAW.36
3) Pemahaman dan Ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran
dalam al-Qur‟an dan tidak mendapatkan penjelasan dari Rasulullah SAW, mereka
melakukan ijtihad dengan menggunakan nalar. Diantara para sahabat yang
terkenal menafsirkan al-Qur‟an ialah Ibn „Abbās, Ibn Mas‟ṻd, Ẓaid Ibn Tsabit,
Ubay Ibn Ka‟ab, Anas Ibn Malik, „Abdullah Ibn Ẓubair, Amr Ibn Ash, dan
Aisyah. Dengan perbedaan sedikit penafsiran mereka. Cukup banyak riwayat
yang dinisbahkan kepada mereka dan kepada sahabat yang lain diberbagai tempat
tafsir bi al-Ma’tsūr yang tentu saja berbeda-beda derajat keṣahīhan dan
kedhaifannya dilihat dari sudut sanad.37
Tidak diragukan lagi bahwa tafsīr bi al-
Ma’tsūr yang berasal dari sahabat mempunyai nilai tersendiri. Jumhur ulama
berpendapat bahwa tafsir sahabat mempunyai status hukum marfu’(disandarkan
kepada Rasulullah SAW). Berkata al-Hāfiẓ Ibn Katsir dalam Muqaddimahnya:
“Dengan demikian jika kita tidak mendapatkan tafsiran dalam al-Qur’an
dan tidak pula dalam sunnah, hendaknya kita kembali, dalam hal ini,
kepada pendapat para sahabat, sebab mereka lebih mengetahui mengenai
tafsir al-Qur’an. Hal ini karena merekalah yang menyaksikan konteks dan
situasi serta kondisi yang hanya diketahui mereka sendiri. Juga karena
mereka mempunyai pemahaman sempurna, ilmu yang ṣahīh serta amal
yang saleh, terutama para ulama dan tokoh besarnya, seperti empat
36
Mannā Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’ān, h. 471. 37
Mannā Khalīl al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’ān, h. 475.
67
Khulafa’ur Rasyidin, para imam yang mendapat petunjuk serta Ibn
Mas’ud”38
Pada masa sahabat tafsir belum dibukukan, sebab pembukuan tafsir baru
dilakukan pada abad kedua, di samping itu tafsir hanya sebagai cabang dari hadits,
dan belum mempunyai bentuk yang teratur. Ia diriwayatkan secara bertebaran
mengikuti ayat-ayat yang berserakan, tidak tertib atau berurutan sesuai sistematika
ayat-ayat al-Qur‟an dan surah-surahnya di samping tidak mencakup
keseluruhannya. Tafsīr bi al-ma’tsūr berkisar pada riwayat-riwayat yang dinukil
dari umat pendahulu. Perbedaan pendapat yang terjadi sangat sedikit
dibandingkan dengan umat sesudahnya.Itupun sebagian besar perbedaan tersebut
hanya berupa penafsiran kata-kata umum dengan salah satu makna yang
dicakupnya sebagai contoh. Tidak dapat diragukan lagi, tafsīr al-ma’tsūr berasal
dari sahabat mempunyai nilai tersendiri, jumhur ulama berpendapat status
hukum ini adalah marfu’(disandarkan kepada Rasulullah SAW) namun bila
berkenaan dengan ra’yi maka statusnya adalah mauquf (terhenti) pada masa
sahabat selama tidak disandarkan kepada Rasulullah SAW dan sebagian ulama
mewajibkan untuk mengambil tafsir yang mauquf pada sahabat, maka pendapat
dari al-Qaṭṭān sama dengan ulama ulama salafpada umumnya yang mencoba
untuk menghindari tafsir menggunakan rasio. Karena mereka para sahabat yang
ahli bahasa Arab dan menyaksikan langsung konteks dan situasi serta kondisi
yang hanya diketahui mereka, di samping itu mereka mempunyai daya
pemahaman yang ṣahīh. Masa pembukuan tafsir dimulai pada awal dinasti
Abbasiyah dan akhir dinasti bani Umayyah, dalam hal pembukuan hadits
mendapat prioritas utama yang berbagai dari beberapa bab, sedangkan tafsir hanya
38
Ibn Katsir al-Qusyairi al-Dimasyqi. Tafsīr al-Qur’ān al-Adẓīm( Beirut: Dar al-Fikr,
1994 ), h. 3.
68
merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya. Pada masa ini
tafsir belum dipisahkan secara khusus yang hanya memuat tafsir Qur‟an, surah
demi surah dan ayat demi ayat dari awal hingga akhir.
Penulis mencoba mencari berbagai literatur berbagai bacaan apakah ada
kecendrungan antara orientalis Goldziher dan Mannā al-Qaṭṭān. Setelah membaca
beberapa literatur bacaan mengenai tafsir yang dikarang Mannā al-
Qaṭṭān.Ternyata Mannā Khalīl al-Qaṭṭān tidak memberikan respon terhadap
kalangan orientalis, al-Qaṭṭan hanya memfokuskan pada hasil buah karyanya
untuk memberikan dampak kontribusi terbesar bagi peradaban ilmu al-Qur‟an.
Nilai penting Goldziher bagi perkembangan tafsir tampaknya tidak menjadi suatu
masalah.
3) Ṣubḥi al-Ṣāliḥ
Rasulullah SAW seorang yang pertama menguraikan tafsir al-Qur‟an.
Beliau telah mengajarkan kepada para sahabat tentang tafsir al-Qur‟an, para
sahabatpun menerima ilmu pengetahuan tentang tafsir al-Qur‟an yang diberikan
oleh Rasulullah SAW melalui jalur Talaqqi. Setelah Rasulullah SAW wafat,
maka para sahabat mendalami Kitabullah untuk mengetahui berbagai rahasia
yangtersirat di dalamnya. Ahli tafsir dikalangan para sahabat banyak jumlahnya,
tetapi yang terkenal hanyalah 10 orang, 4 diantaranya Khulafar Rasyidun selain
mereka ada juga ada Abdullah ibn Mas‟ud, Ibn Abbas, Ubay ibn Ka‟ab, Ẓaid ibn
Tsabit, Abū Musa Al-As‟āri dan Abdullah ibn Ẓubair. Khulafar Rasyidun yang
terkenal dan disebut sebagai ahli adalah Ali bin Abi Thalib, adapun antara para
sahabat Nabi yang paling tepat mendapat gelar lautan ilmu ialah Ibn Abbas
69
39Menurut Ṣubḥi al-Ṣāliḥtafsīr bi al-Ma’tsūr ialah tafsīr yang riwayatnya dari al-
Qur‟an dengan al-Qur‟an, hadits-hadits ṣahīḥ, dan tidak menggunakan hasil
pemikiran. Artinya mereka mendengar langsung dari Rasulullah SAW kemudian
apa yang mereka dengar dijadikan sebagai sebuah rujukan lalu para sahabat
menulisnya dengan menggunakan gaya bahasa para sahabat dalam menulis
sebuah tafsir.Dalam buku Ṣubḥi al-Ṣāliḥ penafsiran para sahabat dari para sahabat
nabi diterimabaik oleh ulama dari kaum Tabi‟in. Pada akhirnya muncullah
kelompok ahli dalam tafsir di Mekah, Madinah, dan Iraq. Kemudian kaum Tābiut
Tābi’in (generasi ketiga kaum muslimin) meneruskan ilmu yang mereka terima
dari kaum tabi‟‟in. Mereka mengemukakan pendapat para ulama (ulama Salaf dan
Tabi‟in), kemudian dituangkan ke dalam kitab-kitab tafsir, seperti yang dilakukan
Uyainah, Waki‟ bin Jarrah, Syu‟bah bin Hallaj dll. Mereka semua merupakan
pembuka jalan bagi Ibn Jarīr al-Ṭabarī yang metodenya diikuti oleh semua ahli
tafsir.Kemudian zaman berikutnya para ulama mulai mempunyai arah sendiri
dalam menafsirkan al-Qur‟an, ada tafsīr bi al-Ma’tsūr (terpuji) dan tafsīr bi al-
ra’yi (tercela). Mengenai tafsir yang didasarkan pada pendapat dan akal, sekalipun
diperlukan dapat dinilai baik dan terpuji. Tetapi tidak dapat dibenarkan jika
bertentangan dengan tafsīr bi al-Ma’tsūr. Karena tafsīr bi al-Ma’tsūr tafsir terpuji
dan memakai nash-nash yang ṣahīh. Sedangkan tafsīr bi al-ra’yi menggunakan
pemikiran Ijtihad sendiri.40
Sedangkan Ijtihad tidak boleh disejajarkan oleh
dengan nash-nash hadits. Lain halnya kalau tafsir bi al-ra’yi tidak bertentangan
dengan tafsīr bi al-Ma’tsūr.Maka, dalam hal demikian itu keduanya saling
mendukung dan memperkuat.Itulah yang kita temukan dalam kitab-kitab
39
Ṣubḥi al-Ṣāliḥ,Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’ān, Terj. Tim Pustaka Firdaus
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 412. 40
Ṣubḥi al-Ṣāliḥ, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’ān, h.417.
70
tafsir.Namun tafsīr bi al-Ma’tsūr mendapat kritikan keras, sebab banyak dari
riwayat-riwayat hadis shahih bercampur dengan hadis tidak shahih. Selain itu ada
perbuatan yang tidak asing lagi bagi orang-orang ẓindiq dari kaum yahudi dan
persia yang berusaha menghancurkan agama Islam dan mengacaukan ajaran-
ajarannya. Adapula para pengaruh tokoh berbagai madzhab dan golongan yang
mempunyai kegemaran aneh, menafsirkan al-Qur‟an dan menceritakan asbab
nuzul sesuka hatinya. Oleh karena itu seorang mufasir haruslah cermat dalam
memilah milih ketepatan hadits riwayat hadits. Tafsīr bi al-Ma’tsūrjika
penulisannya disertai dengan kemampuan yang menarik dan juga baik, maka
keluasaan pengetahuan dan kesanggupan memilih hadits-hadits Ṣahīh, meskinya
dapat dipandang sebagai kitab yang paling terbaik. Karena untuk menta‟wilkan
ayat-ayat al-Qur‟an haruslah meneliti serta menela‟ah kembali berbagai kitab
tafsir. Tetapi jika ditemukan adanya hadits-hadits ṣahīh yang dapat dipastikan
kebenarannya, maka haruslah berpegang ada nash-nash hadits itu.Sebab, tidak ada
alasan untuk menggantikan nash-nash hadits dengan hasil Ijtihad.41
41
Ṣubḥi al-Ṣāliḥ, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’ān, h. 424.
71
71
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Tafsīr bi al-ma’tsūr merupakan tafsir yang dianggap memiliki peran
penting, namun memiliki problematika serius terkait dengan reliabilitas riwayat-
riwayat yang dibawakannya. Dari sini, pandangan Goldziher dianggap penting
untuk diketahui. Goldziher memberikan pendapatnya bahwa Tafsīr bi al-ma’tsūr
secara keseluruhan tidak ada yang utuh, Goldziher menjelaskan dalam kitab hasil
karyanya bahwa perkembangan Tafsīr ma’tsūr tidak orisinal dan tidak utuh
karena banyaknya problematika bahkan sudah tidak ditemukan lagi teks-teks
Tafsīr bi al-ma’tsūr. Dan hasil karya ulama terdahulu dalam menulis Tafsīr bi al-
ma’tsūr seperti tafsir hasil karya Ibn Abbas r.a telah hilang sehingga tidak bisa
dinikmati oleh para pembelajar hingga saat ini. Namun Goldziher sangat kagum
serta menyukai hasil karya ulama tafsir yakni al-Ṭabarī, menurutnya, tidak ada
tafsir yang susunannya sistematis serta mudah dipahami oleh pembaca selain
tafsir al-Ṭabarī. Adapun signifikansi Goldziher terhadap 3 ulama terkemuka
seperti Muhammad Husain Al-Dzahabī, Mannā Khalīl al-Qaṭṭān, serta Ṣubḥi al-
Ṣāliḥ, salah satu dari mereka yang diyakini memiliki kecenderungan mengikuti
hasil pemikiran Goldziher ialah Muḥammad Ḥusain Al-Dzahabī karena sudah
terbukti bahwa Al-Dzahabī telah mengambil kutipan hasil pemikiran Goldziher
untuk dijadikan referensi dalam menulis perkembangan tafsir khususnya tafsīr bi
al-ma’tsūr. Demikianlah kesimpulan dari pembahasan tentang perkembangan
tafsīr bi al-ma’tsūr menurut Ignaz Goldziher.
72
B.SARAN-SARAN
Setelahpenulismenyelesaikanskripsiini, makaadahal-hal yang
inginpenulissampaikanterkaitskripsi, sebagaiberikut:
1. Penulisberharapkepadaparapembacauntukmemberikannasihatsertakritikterhad
apskripsiini.
Semogaskripsiinimemberikankontribusibesarbagiparapembacadalammenamba
hkhazanahintelektualpengetahuan ilmudalambidangtafsir.
2. Penulis ingin menyampaikan agar para pembaca dapat mengkritisi serta
menindaklanjuti hasil temuan penelitian Ignaz Goldziher mengenai masalah
penafsiran. penulis sadar skripsi ini mengandung segala kelemahan serta
keterbatasan.
3. PenulissadarSkripsiinisangatjauhdarikesempurnaansertamempunyaibanyakkek
uranganolehkarenanyapenulisberharapkritiksertakomentaratasskripsiini.
73
DAFTAR PUSTAKA
Abū Zayd, Nasr Hāmid Hakadhā Takallam Ibn Arabī. Kairo: al-Hai’ah al-
misriyya al-amma li al-kitāb, 2002.
Adz Dzahabi, Muhammad Husain. at-Tafsīr wa al-mufassirūn. Beirut Lebanon:
Da’arul Arkom, 1961.
Ahmad, as-Syirbashi. Sejarah Tafsir al-Qur’ān. Jakarta: Firdaus cet. Ke-3,1994.
Al-Aridl, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: Grafindo Persada,
1994.
Ali, Muhammad Ash-Shabunniy. Studi Ilmu al-Qur’ān, terj.Aminuddin, Bandung:
Pustaka Setia, 1998.
Alimin Mesra, Mu’min Rauf, Wiwi Ma’sum, Ulumul Qur’ān. Jakarta: Pusat
Studi Wanita, 2005.
Al-Qurthubi,Al-Jami’ Li Ahkami al- Qur’ān,Jilid IV.
Al-Dimasyqi, Ibn Katsir al-Qusyairi. Tafsir al-Qur’ān al-Adzīm, Beirut: Dar al-
Fikr, 1994.
Al-Ṣuyuṭī, Jalāl Al-Dīn ”Samudra Ilmu-Ilmu al-Qur’ān.´ Bandung: Arasy Mizan
Pustaka, 2003.
Anwar, Hamdani. Pengantar Ilmu Tafsīr. Jakarta: Fika hati Aneska, 1995.
Arif, Syamsudin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani,
2008.
Ash-shiddieqy, Muhammad Hasbi, Teungku. Sejarah dan pengantar ilmu al-
Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki Putra, September 2000.
Ali, Muhammad “Orientalis Ignaz Goldziher penolak kebenaran hadis”, diakses
pada16Agustus2016http://muhali.blogspot.com/2009/04/ignazGoldziherori
entalispenolakhadishtml
Amhar, Shofhi.“Review Buku Madzahibut Tafsir”, diaksespada 25
Oktober2016.https://amhari.wordpress.com/2008/05/27/reviewbuku%E2%
80%9Cmadzahibut-tafsir%E2%80%html
Baidan, Nashruddin. Rekontruksi Ilmu Tafsīr. Jakarta: Dana Bakti Prima Yasa,
2000.
Baihaqi, “Kredibilitas sunah analisis atas pemikiran hadis Ignaz
Goldziher”.Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta fakultas
Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis Tahun 1995.
74
Darmalaksana,Wahyudin.Hadis dimata Orientalis Telaah atas pandangan Ignaz
Goldziher dan Joseph Schact. Bandung: Benang Merah Press, 2004.
Darmalaksana,Wahyudin.Hadits dimata Orientalis Telaah atas pandangan Ignaz
Goldziher dan Joseph Schact. Bandung: Benang Merah Press, 2004.
Farisy, Wisnu.“Biografi Ignaz Goldziher,” Data artikel diakses 20 Februari 2016
www.google.com/IgnazGoldziher.biografyhttp://wisnualfarisy28.blogspot.
co.id/2012/03/biografi-ignaz-goldziher.html
Goldziher, Ignaz. Muslim Studies Volume I ,Muhammedanisme Studies. London,
George Allen And Unwin Ltd, 1967.
Goldziher, Ignaz. The zahiri’s their Doctrine and their History A Contribution to
the Islamic Theology, Leiden: E.J. Brill, 1971.
Goldziher, Ignaz. Introduction to Islamic Theology (Published by Princeton
University Press, New Jersey, 1910).
Goldziher, Ignaz. MazhabTafsīr/ madzahib al-tafsīr al-Islami. Beirut Lebanon:
Elsaq Press, Dar Iqra 1983.
Gale, Thomson. ” Ignaz Golziher bibloigraphy ”, Terj. Inggris- Indonesia,
sumberinternetdiaksespada21April2016www.google.com/ignazGoldziher.
bibliography.html
Hassan Mustofa al-Syiba’i. Membongkar Kepalsuan Orientalisme, terj. Ibn
Burdah, Yogyakarta: Penerbit Mitra Pustaka, 1997.
Husaini, Adiandan Al-Baghdadi, Abdurrahman. Hermeneutika tafsīr Al-Qur’ān.
Penerbit: Gema Insani, Jakarta Cet. Ke-1 ,2007.
Ismatillah,Ade.“Pandangan Ignaz Goldziher tentang relasi etis antara Tuhan dan
Manusia”, Skripsi S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas
Ushuluddin Jurusan Aqidah Filsafat Tahun 2007.
Khalīl, Mannā al-Qaṭṭān.StudiIlmu-Ilmu al-Qur’ān,terj. Mudzakir AS, Bogor:
Pustaka Litera Antar Nusa, 2013.
Kusnandar, Engkus. “ Orientalis menggugat otentisitas studi pemikiran Ignaz
Goldziher dan Joseph schacht “ Skipsi S1 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis tahun 2009.
M. Abu Fadl, Melawan tentara Tuhan: yang berwenang dan yang sewenang-
wenang dalam Islam. Terj Tim penerjemah Serambi. Jakarta: Penerbit
Serambi, 2004.
Muchlas, Imam M.A., Al-Qur’an Berbicara kajian kontekstual berbagai
Persoalan. Jakarta: Pustaka Progressif, cet ke-1, April, 1996.
75
Muin, Ahmad. Orientalis medan Studi tentang Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1978.
Mubarok, Fikri Noor “ Tinjauan Umum Madzahibut Tafsīr “ diakses pada
17September2016.http://yudhistirasenangberkarya.blogspot.co.id/2013/07/
tinjauan-umum-madzahibut-tafsir_5241.html
Moleong, J Lexy . Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2002.
Nor Ichwan, Mohammad . “Sejarah dan perkembangan Tafsir: Tela’ah atas
Pandangan pandangan Ulama dalam bidang sejarah dan perkembangan
tafsir,”diakses pada 21 September2106.http://ichwanzt.blogspot.co.id/html
Nae, el-Fath “ Konsepsi Keilmuan Madzhahibut Tafsir “ diakses pada 20
September 2016http://el-fathne.blogspot.co.id/2010/05/konsepsi-keilmuan-
madzahibut-tafsir.html
Quraish, Muhammad Shihab, Kaidah Tafsir: Tangerang: Lentera Hati cet.ke-1
2013).
Quraish, Muhammad Shihab. Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1999.
Rif’an, Muhammad.”Orientalis Ignaz Goldziher” data diakses pada 11 September
2016.https://books.google.co.id/books?dor-bey.html
Shabuni, Ali Muhammad. Maktabah al-Ghazali.Damaskus:1401 H..
Suma, Muhammad Amin “Ulumul Qur’an”. Jakarta: Rajawali Press Raja
GrafindoPersada, 2013.
Syarifuddin, Muhammad Anwar. “Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan
Al-Qur’an”Mohammad Anwar Syarifuddin, dengan judul artikel
“Menimbang Otoritas Sufi dalam menafsirkan Al-Qur’an”
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/28257diakses pada
18 Agustus 2016.
Syarifuddin, Muhammad Anwar ed., KajianOrientalisterhadap al-Qur’an dan
Hadis Ciputat: Sekata Cendikia, 2015,hal. 66.
Supriadi, Akhmad.” Studi al-Qur’an dan hadis Orientalis,”data diakses pada
23 Oktober2016.http://pondasamarkand.blogspot.co.id/2013/04/studi-
alquran-dan-hadisorientalis.html
Thantawi, Muhammad Sayyid “Ulumul Qur’an Teori dan Metodologi” Jakarta:
IRGisod, 2013 .
Umar, Orientalis medan Studi tentang Islam.
76
Ushama Thameem, Metodologi Tafsir al-Qur’an kajian Kritis, Objektif, dan
Komprehensif penerbit Riora Cipta, Jakarta cet ke-1 juli, 2000 M.
Vambery, Arminius. ”Theodor Herz pendiri Zionisme“, diakses 16Agustus
2016http://www.oaseimani.com/mengenal-ignaz-goldziher.html
Women in the Literature Hadith.Diaksespada 21 April 2016,
www.Muhajabah.com/docstorage/Goldziher.Menurut catatan
disitusininaskahdiambildaribagianbukudalam volume II
karyaignazGoldziher yang berjudul Muslim Studies.
Windasari, Ain Nur “ Kelemahan Tafsir Orientalis,” data inidiaksesmelalui
internetpadatanggal19Agustus2016.http://ainnurwindasari.blogspot.co.id/2
012/10/makalahtafsirorientaliskelemahan.html
Recommended