View
219
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA MELALUI
JEJARING SOSIAL DITINJAU DALAM HUKUM PIDANA
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
(Analisis Putusan No: 434/Pid.Sus/2016/PN Byw)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
OLEH :
M. FAWWAZUL HAQIE
NIM: 1112045100012
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H / 2017 M
ABSTRAK
i
M. Fawwazul Haqie. NIM : 1112045100012. TINDAK PIDANA PENODAAN
AGAMA MELALUI JEJARING SOSIAL DITINJAU DALAM HUKUM POSITIF
DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Analisis Putusan No: 434/Pid.Sus/2016/PN Byw),
Skripsi. Konsentrasi Jinayah, Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/2017 M.
Penodaan agama melalui jejaring sosial merupakan suatu tindakan yang
dilakukan oleh individu menggunakan media jejaring sosial berupa postingan yang
bermuatan konten pelecehan, penistaan, atau penghinaa di muka publik terhadap
suatu agama tertentu yang menimbulkan kebencian. Tindak pidana penodaan agama
diatur dalam UU No 1/PNPS/1965 tentang pencegahan serta pelecehan terhadap
agama, kemudian dimuat juga dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal
156 dan 156a. Namun kedua pasal tersebut belum mengakomodir apabila perbuatan
tersebut dilakukan melalui jejaring sosial. Maka untuk menjerat perbuatannya, pasal
yang dikenakan bagi pelaku tindak pidana penodaan agama melalui jejaring sosial
adalah Undang-undang No 11 tahun 2008 Pasal 28 (e) ayat 2 tentang tindakan atau
perbuatan yang dilarang berkaitan dengan informasi teknologi dan internet.
Sedangkan menurut hukum pidana Islam, pelaku tindak pidana penodaan agama
dikenakan jarimah ta’zir yang jenis hukumannya sepenuhnya diberikan oleh
hakim/penguasa. Karena tidak ada satupun nash yang membahas terkait perbuatan
tersebut dan pada masa Rasululullah SAW masih hidup, dapat dipastikan tidak
adanya informasi teknologi dan elektronik yang berkembang seperti saat ini.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif
analisis, dengan pendekatan normatif empiris dan library research dengan pengkajian
terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan kitab fikih yang berkaitan
dengan judul skripsi, serta pelaksanaannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan antara hukum pidana
positif dengan hukum pidana Islam dalam penerapan sanksi bagi pelaku tindak
pidana penodaan agama, ini dapat dilihat dari analisis kasus penodaan agama melalui
jejaring sosial dalam putusan No: 434/Pid.Sus/2016/PN Byw. Atas perbuatannya,
pelaku divonis hukuman 4 tahun kurungan penjara dan denda sebesar Rp. 10.000.000
(Sepuluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar,
maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.
Kata kunci : Tindak Pidana, Penodaan Agama, Jejaring Sosial,
Pembimbing : Ali Mansur, MA
Daftar Pustaka : 1982 s.d 2017
KATA PENGANTAR
ii
الرحيمالرحناللهبسم
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
nikmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Sholawat beriring salam penulis persembahkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman terang
benderang.
Skripsi ini berjudul “TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA
MELALUI JEJARING SOSIAL DITINJAU DALAM HUKUM PIDANA
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Analisis Putusan No:
434/Pid.Sus/2016/PN Byw)”. disusun sebagai salah satu syarat akademis untuk
menyelesaikan program studi sarjana di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
sebesar-besarnya kepada :
1. Bpk Prof. Dede Rosyada, M.A, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bpk Dr. Asep Saepudin Djahar, M.A,Ph.D, Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bpk Dr. M. Nurul Irfan, M.A, Ketua Program Studi Hukum Pidana
Islam dan Bpk Nur Rohim Yunus, LLM, Sekretaris Program Studi
iii
Hukum Pidana Islam, yang telah memberikan arahan, bimbingan dan
dorongan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Ali Mansur, MA, sebagai dosen pembimbing yang rela
meluangkan waktunya dan selalu memberikan masukan, arahan dan
kritikan yang konstruktif pada Penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
5. Pimpinan Perpustakaan Pusat dan Perpustakaan Fakultas yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku
dan literatur lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang
dibutuhkan.
6. Semua Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, atas semua pengetahuan
yang telah diberikan kepada Penulis selama masa pendidikan
berlangsung.
7. Terimakasih Ayahanda Taufik Asyari dan Ibunda Cucu Musyarofah,
yang tidak pernah lelah mendidik dan selalu menjaga setiap ahrinya,
terlebih dengan do’a. Serta kedua adik terkasih, Afwa Nur Mujahidah
dan Ibnu Afkar Ashidiqie yang terus menerus menemani dan
memberikan semangat hingga selesainya skripsi ini.
8. Terimakasih untuk Andini Ismayani Putri tersayang yang terus
menemani dan memberikan semangat selama pengerjaan skripsi ini
berlangsung.
9. Diana Oktavia Saftri yang sudah menemani sebagian besar waktu
iv
Penulis di jenjang waktu kuliah.
10. Rekan-rekan seperjuangan Hukum Pidana Islam dan Tatanegara Islam
angkatan 2012, yang telah sudi berbagi peran untuk saling membantu
baik di dalam maupun di luar kelas. Terlebih untuk Irfan Hielmy, Arief
Setiawan Onira, dan Ela Lazim Arifah.
11. Terimakasih untuk keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Jinayah
Siyasah yang sudah mengijinkan saya berjuang dan menikmati
manisnya hasil dari pahitnya proses, teruntuk seluruh abang-abang
yang berperan mebimbing saya. Dan untuk adik-adik yang merangkap
peran pemberi motivasi, Risyad, Ncek, Dimas, Azmi, Ihsan, Agsel,
Rere, Sofi, Dani, Kibo, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu
persatu pastinya.
12. HMI Komfaksy, yang lebih dari banyak memberikan pembelajaran.
Baik senior maupun rekan seperjuangan, Naufal Aslam Ramadhan dan
Ricki Ahmad Faisal.
13. Keluarga besar Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan saya
kesempatan lebih untuk berproses di Dewan Eksekutif Mahasiswa
(DEMA) FSH dan HMPS Jinayah Siyasah.
v
Semoga segala do’a, dukungan, dan bantuan yang telah diberikan menjadi
ladang pahala kelak di yaumul akhir, dan skrispi ini dapat bermanfaat bagi penulis
pribadi serta kita semua. Amin Ya Robbal Aalamin.
Jakarta, 13 Juni 2017 M
17 Ramadhan 1438 H
(M. FAWWAZUL HAQIE)
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK .......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 10
D. Review Pustaka Terdahulu ..................................................... 11
E. Metode Penelitian .................................................................. 13
F. Sistematika Penulisan ............................................................ 15
BAB II TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA
DALAM HUKUM PIDANA POSITIF ........................................ 17
A. Pengertian Tindak Pidana Penodaan Agama ......................... 17
B. Delik Penodaan Agama ......................................................... 21
C. Pengertian Jejaring Sosial ..................................................... 25
D. Landasan Hukum Tindak Pidana Penodaan Agama Melalui
Jejaring Sosial ........................................................................ 30
E. Tindak Pidana Penodaan Agama Melalui Jejaring Sosial ..... 33
BAB III TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA DITINJAU DALAM
HUKUM PIDANA ISLAM ......................................................... 36
A. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Islam ...................... 36
B. Sejarah Penodaan Agama dalam Islam ................................. 46
vii
C. Landasan Hukum dan Sanksi Penodaan Agama ................... 48
D. Tindak Pidana Penodaan Agama Melalui Jejaring Sosial dalam
Hukum Pidana Islam ............................................................. 54
BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA
PENODAAN AGAMA MELALUI JEJARING SOSIAL (Putusan
No: 434/Pid.Sus/2016/PN Byw) ................................................... 60
A. Duduk Perkara ....................................................................... 60
B. Pertimbangan Majelis Hakim ................................................ 66
C. Putusan Majelis Hakim ......................................................... 70
D. Analisis Putusan Pengadilan Ditinjau dalam Hukum Pidana
Positif dan Hukum Pidana Islam ........................................... 71
BAB V PENUTUP .................................................................................... 80
A. Kesimpulan ............................................................................ 80
B. Saran-saran ............................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang menjamin setiap individu warga
negaranya dalam hal kebebasan beragama, jaminan konstitusional ini dapat dilihat
dalam pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wiliayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali dan setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya”.1
Kebijakan tentang jaminan kebebasan beragama juga terdapat dalam UU No.
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil
Politik Pasal 182
Tidak diragukan lagi bahwa kebebasan berpikir, nurani, beragama, dan
berkeyakinan merupakan bagian dari hak asasi yang paling penting, yang bahkan
mempunyai status sebagai hak yang tidak boleh diderogasi (dikurangi dan dilanggar
dalam kondisi apa pun/non derogble rights). Pada sisi lain, kebebasan beragama atau
berkeyakinan melindungi fenomena yang dapat menjadi kontroversial dan berbahaya
1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28E
2 Rohidin, Kontruksi Baru Kebabasan Beragama (Yogyakarta: FH UII Press, 2015), Cet. 1, h.
36.
2
dalam keberadaan manusia, karena agama dan sistem-sistem berkeyakinan ideologis
bisa dan bahkan sangat sering telah disalahgunakan untuk memicu ketidaktoleransian,
diskriminasi, prasangka, kebencian, dan kekerasan.3
Aturan mengenai hak-hak beragama diatur bukan hanya untuk setiap individu
warga negara penganutnya saja, namun pemerintah juga telah mengatur persoalan
tentang perlindungan untuk agama-agama yang telah diakui keberadaanya dan dianut
oleh penduduk Indonesia. Menurut UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan,
Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama menyatakan bahwa terdapat 6 (enam)
agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Budha, dan Konghucu (Confucius). Hal ini berdasarkan banyaknya jumlah penduduk
Indonesia yang memeluk agama-agama tersebut. Maka selain mendapatkan jaminan
seperti yang tertuang dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, mereka juga mendapatkan
bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yuang diberikan oleh pasal ini.4
Latar belakang pembentukan UU No. 1/PNPS/1965 tidak terlepas dari
suasana politik hukum pada tahun 1950-1966. Pada saat itu merupakan fase
pembangunan hukum nasional yang berada dalam dua pilihan kebijakan, yaitu tetap
memberlakukan realism pluralisme (kebijakan dominan sejak zaman Kolonial) dan
cita-cita Unifikasi (Soetandyo, 1994: 200). Soetandyo menegaskan pertimbangan
kebijakan hukum yang ada pada kurun waktu tersebut didasarkan oleh pertimbangan
3 Tor Lindholm dkk. Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?. Penerjemah
Rafael Edy Bosko dan Rifa‟i Abduh (Jakarta: Kanisius, 2004)
4 Rohidin, Kontruksi Baru Kebabasan Beragama, h. 37.
3
sosio-yuridis sekaligus politik-ideologik. Akibatnya setiap perUndang-Undangan
yang terbentuk di masa itu lebih mencerminkan perjuangan untuk membentuk
pembangunan hukum nasional. Hal tersebut terlihat dengan adanya 2 (dua) sub
periode dengan dasar konstitusi berbeda, yaitu Sub periode 1950-1959 di bawah
arahan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dan sub periode 1959-1966 di bawah
arahan Undang-Undang Dasar 1945. UU No.1/PNPS/1965 sendiri lahir dalam sub
periode 1959-1966 yang berada dibawah arahan UUDN RI1945.5
Lahirnya UU No. 1/PNPS/1965 didasari dari Penetapan Presiden Nomor 1
Tahun 1965 guna mencapai ketentraman kehidupan beragama dengan melakukan
pencegahan terhadap dua hal utama, yaitu: pertama, berupa tindakan pencegahan
agar tidak terjadi penyelewengan-penyelewengan atas ajaran-ajaran pokok agama.
Dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa bukan hanya terjaminnya kebebasan
untuk memeluk agama saja yang menjadi tanggung jawab oleh negara, namun negara
juga mempunyai kewajiban untuk melindungi agamanya. Kedua, dengan mencegah
agar tidak terjadi penodaan/penghinaan terhadap agama serta mencegah adanya
ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan pada sila pertama, yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Larangan terhadap kedua penyelewengan tersebut tidak ditunjukan untuk
menganggu hak hidup dari agama-agama yang telah ada dan diakui oleh pemerintah.
5 Hwian Cristianto, “Arti Penting UU No. 1/PNPS/1965 Bagi Kebebasan Beragama Kajian
Putusan Mahkamah Konstitusi 140/Puu-Vii/2009”, Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Suarabaya,
Surabaya, 2016.
4
Akan tetapi seperti telah dikemukakan diatas, yaitu untuk menjamin terciptanya
ketentraman kehidupan beragama bagi masayarakat di Indonesia.6
Pembahasan mengenai kebebasan hak-hak beragama dan penodaan/penistaan
agama pada Oktober 2016 kembali mengemuka ke publik, salah satu yang begitu
menyita perhatian adalah kasus penodaan agama dilakukan oleh salah satu calon
gubernur Provinsi DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).7 Kasus tersebut
bermula saat Ahok melakukan kunjungan kerja di Kepulauan Seribu (27 September
2016) kemudian dalam sambutannya mengutip Surat Al-Maidah yang dianggap
melakukan penodaan agama Islam, video sambutan Ahok tersebut menjadi viral dan
tersebar di media sosial kemudian memicu reaksi keras berbagai pihak. Setelah
melewati proses 23 kali persidangan, akhirnya Ahok dinyatakan bersalah dengan
dakwaan pasal 156a tentang penodaan agama dan pasal 156 KUHP sebagai alternatif
dengan vonis hukuman 2 tahun kurungan penjara.
Namun sebelum kasus tersebut mengemuka, terdapat beberapa kasus
penodaan agama yang pernah terjadi di Indonesia yang diselesaikan secara hukum,
antara lain: (1) Gerakan Fajar Nusantara tahun 2016, (2) Penodaan agama Arswendo
Atmowiloto melalui Tabloid Monitor pada tahun 1990, (3) Penodaan Agama oleh
Nando Irawansyah M‟ali terhadap Agama Hindu tahun 2015, (4) Penodaan Agama
6 Adam Muhshi, Teologi Konstitusi; Hukum Hak Asasi Manusia atas Kebebasan Beragama
di Indonesia (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2015), Cet. 1, h. 103-104.
7 http://news.detik.com/berita/d-3369506/ini-pernyataan-ahok-yang-dianggap-jaksa-nodai-
agama, berita diakses tanggal 01 Maret 2017, pukul 07.54.
5
oleh Rusgiani tahun 2012, (5) Penodaan Agama oleh Heidi Euginie terhadap Agama
Kristen tahun 2012, dan beberapa kasus lainnya.8
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam pasal 156 dan 156a telah
mengatur mengenai masalah penodaan agama. Artinya, bahwa setiap orang yang
melakukan perbuatan yang menimbulkan permusuhan dan kebenciaan dan
penodaan terhadap suatu agama tertentu dapat dipidana.
Delik agama dalam hukum pidana di Indonesia ialah suatu penyelidikan
tentang bagaimana sebab-sebab latar belakang peristiwa, serta adakah unsur pidana
yang terkandung di dalam pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut dalam kemungkinan-
kemungkinan terciptanya delik agama di dalamnya.9
Seiring berkembangnya teknologi dan informasi, maka berkembang pulalah
jenis temuan kasus-kasus baru dalam penodaan agama. Ruang lingkupnya meluas,
kasus penodaan agama juga dapat dilakukan melalui jejaring sosial. Namun, apakah
Undang-Undang Hukum Pidana pasal 156 dan 156a juga dapat menjerat tidak pidana
melalui jejaring sosial?
Jejaring sosial seyogyanya dapat menjadi sarana untuk meningkatkan
pengetahuan, memperluas jaringan pertemanan dan interaksi antar sesama
8 http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/10/18/of81e3330-ini-kasus-
penistaan-agama-di-indonesia-yang-diproses-hukum-part1, berita diakses tanggal 28 Febuari 2017,
pukul 12.32.
9 Juhaya S. Praja, dkk, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia (Bandung:
Angkasa, 1982) h. 10.
6
penggunanya jika digunakan dengan baik dan benar.10
Akan tetapi, belakangan ini
kasus kejahatan atau pelanggaran pidana yang berasal dari jejaring sosial kerap
ditemukan, seperti melalui facebook, twitter, path, instagram, atau jejaring sosial
lainnya.
Seperti apa yang terjadi pada Juni tahun 2016, masyarakat Banyuwangi
sempat diramaikan dengan salah satu kasus penodaan agama melalui jejaring sosial
facebook, salah satu warga berinisial BP yang terbukti melakukan tindak pidana
penodaan agama Islam melalui jejaring sosial. Setelah melalui beberapa proses
tahapan persidangan, pelaku dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri
Banyuwangi karena terbukti dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian terhadap agama Islam.11
Kasus penodaan agama melalui jejaring sosial merupakan salah satu dampak
negatif dari perkembangan teknologi informasi, karena setiap individu dapat dengan
mudahnya mengakses internet dan memiliki akun jejaring sosial. Fenomena seperti
ini haruslah dapat disikapi dengan baik oleh semua pihak, agar nantinya tidak terjadi
lagi kasus-kasus tindak pidana penodaan agama melalui jejaring sosial. Kebebasan
untuk mengemukakan pikiran dan pendapat (Freedom of Thought) yang merupakan
10
Arifianto. S, Dinamika Perkembangan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi
Serta Implikasinya di Masyarakat (Jakarta: Media Bangsa, 2013) h. 364.
11 Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi, No Perkara: 434/Pid.Sus/2016/PN Byw
7
bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM)12
merupakan salah satu faktor munculnya
kasus penodaan agama melalui jejaring sosial.
Pemerintah selaku bagian yang memiliki peranan penting dalam penegakan
hukum di Indonesia, sebenarnya sudah mengatur tentang kejatahatan yang terjadi di
dunia maya melalui Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) dalam Pasal 28 ayat 1 dan 2.13
Hukum positif dan hukum Islam memiliki kesamaan dalam tujuan, yaitu
untuk menjaga kepentingan dan ketentraman masyarakat serta menjamin
kelangsungan hidup bagi seluruh masyarakatnya.14
Dalam Islam, penodaan terhadap
agama dianggap sama halnya dengan penghinaan terhadap agama. Istilah yang biasa
digunakan disebut sabb ad-diin. Penghinaan itu meliputi penghinaan terhadap sumber
hukum Islam, baik terhadap Al-Quran, maupun Hadits, serta berpaling atau tidak
mempercayai dari ketentuan yang ada pada keduanya. Perbutan ini bagi seorang
muslim merupakan bagian dari perilaku yang mendekatkan diri kepada perbuatan
murtad.15
12
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi (Jakarta: Sinar
Grafika, 2013) Cet. 1, h. 97.
13 Fauzan Lubis, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penistaan
Agama Melalui Jejaring Sosial dikaitkan dengan Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik”, Jurnal, Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara Medan, 2013.
14 A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004) Cet. 1, h. 15.
15 http://www.masjidagungtransstudiobandung.com/2016/10/20/pandangan-Islam-penodaan-
agama/, artikel diakses pada tanggal 01 Maret 2017, pukul 11.04.
8
Sejak awal kemunculannya, Islam telah menjamin hak-hak bagi setiap
manusia (human rights), walaupun tidak menempati posisi utama secara khusus. Hak-
hak seperti hak hidup, hak mendapatkan keamanan diri, perlakuan yang sama (non
diskriminasi), kemerdekaan hukum, kebebasan berserikat dan berkumpul, termasuk
kemerdekaan berfikir, berekspresi, berkeyakinan dan beribadah merupakan bagian
yang telah lama dijamin oleh agama Islam.16
Dalam konsep kebebasan beragama,
Islam sudah jelas mengaturnya. Ini seperti yang terdapat dalam Q.s. Al Baqarah (2):
256:
الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت وي ؤمن باهلل ف قد ين قد ت ب ي آلإكراه ف الد
)البقرة/٦ : ٦٥٦( يع عليم استمسك بالعروة الوثقى ل انفصام لا واهلل س
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar
kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.”
Secara spesifik, dalam hukum Islam tidak terdapat kajian mengenai aturan dan
hukuman yang berkaitan dengan tindak pidana penodaan penodaan agama, kemudian
untuk mengurainya perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dan unsur-unsur
perbuatan tersebuat. Tindak pidana (jarimah) menurut hukum pidana Islam terbagi
16
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam (Bandung: Asy Syaamil Press & Grafika,
2000) Cet. 2, h. 95-96.
9
menjadi tiga bagian, yaitu Hudud, Qishash,, dan Ta‟zir17
. Lalu bagaimana jika
seseorang melakukan tindak pidana penodaan agama dilakukan melalui jejaring
sosial? Apa hukuman yang tepat dalam perspektif hukum pidana Islam bagi pelaku
tindak pidana kejahatan internet?
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan analisis
lebih mendalam mengenai tindak pidana penodaan agama melalui jejaring sosial,
untuk diangkat sebagai sebuah skripsi dengan judul Tindak Pidana Penodaan
Agama Melalui Jejaring Sosial Ditinjau dalam Hukum Pidana Positif dan
Hukum Pidana Islam (Analisis Putusan No: 434/Pid.Sus/2016/PN Byw).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berangkat dari luasnya permasalahan yang ada tentang penodaan agama,
terlebih melalui media jejaring sosial, agar tidak melebar dan keluar dari
pokok pembahasan, maka penulis membatasi ruang lingkup penulisan skripsi
ini, penulis merasa perlu membuat pembatasan masalah sebagai berikut :
a. Skripsi ini hanya membahas pada kasus penodaan agama yang
dilakukan melalui jejaring sosial menurut hukum pidana positif
maupun hukum pidana Islam.
b. Hukum pidana positif yang penulis maksud adalah KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana) yang diatur di dalam Pasal 156 dan
17
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, h. 185.
10
156a, PNPS/Nomor 1 Tahun 1965 tentang penodaan agama, dan
pasal Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
c. Hukum Pidana Islam yang penulis maksud adalah Fiqh Jinayah
tentang penodaan agama dan cyber crime.
2. Rumusan Masalah
Dari masalah pokok diatas dapat diuraiakan menjadi 3 (tiga) Sub masalah
yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian (research questions), yaitu :
a. Apa yang dimaksud dengan tindak pidana penodaan agama melalui
jejaring sosial dalam kajian hukum pidana positif dan hukum pidana
Islam?
b. Apa landasan hukum dan sanksi terhadap pelaku tindak pidana
penodaan agama melalui jejaring sosial?
c. Bagaiamana penyelesaian kasus tindak pidana penodaan agama
melalui jejaring sosial (Analisis Putusan No: 434/Pid.Sus/2016/PN
Byw)?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini sebagaimana berikut:
1. Untuk menjelaskan pengertian tindak pidana penodaan agama melalui
jejaring sosial dalam kajian hukum pidana positif dan hukum pidana
Islam.
11
2. Untuk mengetahui landasan hukum dan sanksi terhadap pelaku tindak
pidana penodaan agama melalui jejaring sosial.
3. Untuk mengetahui penyelesaian kasus tindak pidana penodaan agama
melalui jejaring sosial.
Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis adalah dapat menambah khazanah keilmuan dalam
mengetahui pengertia Penodaan Agama melelui jejaring sosial, hasil
penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan pelajar, mahasiswa, dan
akademisi lainnya.
2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kalangan
pelajar, mahasiswa, dan akademisi lainnya. Manfaat kebijakan, hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada penegak hukum
dalam penerapan hukum tentang Penodaan Agama melalui jejaring sosial.
D. Review Pustaka Terdahulu
Mendukung penelaahan yang lebih komprehensif penulis berusaha untuk
melakukan kajian awal terhadap literatur pustaka atau karya-karya yang mempunyai
relevansi terhadap topik yang akan diteliti. Telaah pustaka yang telah dilakukan oleh
penulis adalah dari berbagai karya ilmiah selain berbentuk buku juga berbentuk
jurnal, dan skripsi-skripsi yang sudah ada.
12
No Nama Judul Hasil
1. Mohammad Amin,
Skripsi, Fakultas
Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, tahun
2016.
Analisis Terhadap
Tindak Pidana
Penodaan Agama
dalam Putusan
Mahkamah Agung
No. 1787
k/pid/2012 (2016)
Menguraiakan tindak pidana
penodaan agama perspektif
hukum Pidana Positif secara
khusus dalam putusan hakim
No. 1787 K/PID/2012
terhadap konflik
keberagamaan di sampang,
Madura. Namun tidak
membahas kasus penodaan
agama melalaui Jejaring
sosial dalam perspektif
hukum Pidana Positif dan
Pidana Islam.
2. M. Andri Fauzan,
Jurnal, Fakultas
Hukum Universitas
Sumatera Utara,
Medan, tahun 2013.
Pertanggungjawaba
n Pidana Terhadap
Pelaku Tindak
Pidana Penistaan
Agama Melalui
Jejaring Sosial
Dikaitkan dengan
Undang-Undang
No 11 Tahun 2008
Tentang Informasi
dan Transaksi
Elektronik (2013)
menguraiakan tindak pidana
penodaan agama melalui
jejaring sosial perspektif
hukum Pidana Positif secara
sempit yang dikaitkan
dengan Undang-Undang no
11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi
Elektronik. Namun tidak
membahas kasus penodaan
agama melalaui jejaring
sosial secara luas dalam
perspektif hukum Pidana
Positif dan Hukum Pidana
Islam.
3. Ahmad Rizal, Skripsi,
Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
tahun 2009.
Sanksi Pidana
Terhadap Pelaku
Penistaan Agama
Menurut Hukum
Islam dan Hukum
Positif (Analisis
Yurispudensi
Terhadap Perkara
yang Bermuatan
Penistaan Agama)
Sanksi pidana bagi pelaku
tindak pidana penistaan
agama perspektif hukum
pidana Islam dan hukum
pidana positif. Namun tidak
menguraikan terkait unsur-
unsur tindak pidananya, dan
tindak membahas terkait
penggunaan jejaring sosial.
13
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian hukum di bagi menjadi dua, yaitu penelitian kualitatif
dan kuantitatif.18
Penelitian kualitatif berarti tidak membutuhkan populasi dan
sampel, penelitian kuantitatif berarti menggunakan populasi dan sampel dalam
mengumpulkan data.19
Dalam skripsi ini, metode yang digunakan adalah
metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analisis, dengan
pendekatan normatif empiris. Dengan objek penelitian peraturan perundang-
undangan yang dikaitkan dengan teori-teori hukum. Demikian juga hukum
dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat, yang berkenaan dengan objek
penelitian.20
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Studi Dokumentasi/pustaka library research, dan putusan Pengadilan Negeri
Banyuwangi alat ini dipergunakan untuk melengkapi data yang penulis
perlukan, yaitu dengan cara melihat buku-buku dan Undang-Undang yang
terkait dengan pokok masalah yang akan diteliti.
18
Soejono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1999) Cet.
1, h. 56.
19 Zainudin Alli, Metode Penelitian Hukum (Jakarta : Sinar Grafika, 2009) h. 98.
20 Ibid, h. 105.
14
3. Sumber Data
Data primer, yaitu sumber data utama yang dapat dijadikan jawaban
terhadap masalah penelitian.21
Buku-buku yang berkaitan dengan bahan
penulisan antara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam hal ini
pasal 156 dan 156a, UU PNPS Nomor 1 tahun 1965 tentang penodaan agama,
dan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE), Al Qur‟an, Hadits, Putusan Pengadilan
Negeri Banyuwangi No: 434/Pid.Sus/2016/PN Byw, serta buku-buku lain
yang berkaitan dengan pembahasan penulisan.
Data sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu,
artikel-artikel, jurnal, dan makalah-makalah yang berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Teknik Analisis
Adapun cara yang digunakan penulis dalam menganalisa datanya adalah
analisis kualitatif yaitu penelitian yang menggambarkan secermat mungkin
tentang hal yang diteliti dengan jalan mengumpulkan data-data atau informasi
berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Dalam hal ini materi pokoknya
adalah tindak pidana penodaan agama melalui jejaring sosial ditinjau hukum
pidana positif dan hukum pidana Islam.
21
Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 158.
15
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”
Contoh kerangka acuan penyusunan Skripsi dari Akademik Fakultas
Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2011.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab, masing-masing bab terdiri dari sub bahasan,
ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam penulisan dan untuk mendapatkan
gambaran yang jelas mengenai materi pokok penulisan serta memudahkan para
pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun
sistematika penulisan ini secara sistematis sebagai berikut :
Bab I menguraikan latar belakang dan alasan ketertarikan penulis dalam
meneliti masalah ini gambaran secara keseluruhan skripsi, seperti yang terdapat di
dalam latar belakang masalah agar skripsi ini dapat tertuju pada masalah pokoknya
maka perlu dibuat pembatasan dan perumusan masalah, serta tujuan dan manfaat
penelitian, review pustaka terdahulu, dan supaya penulisan skripsi ini lebih terarah
maka penulis menggunakan metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II penulis menyuguhkan tinjauan umum tentang penodaan agama melalui
jejaring sosial dalam Hukum Pidana Positif. Dalam bab ini mengkaji tentang
16
pengertian penodaan agama, delik penodaan agama, pengertian jejaring sosial,
landasan hukum, serta sanksi tindak pidana penodaan agama melalui jejaring sosial.
Bab III membahas tentang tindak pidana penodaan agama dalam Hukum
Pidana Islam. Bab ini mengkaji tentang penodaan agama dalam Islam, termasuk
sejarah penodaan agama dalam Islam, landasan hukum dan sanksi bagi pelaku tindak
pidana penodaan agama yang dikaitkan dengan jejaring sosial.
Bab IV merupakan analisis penyelesaian kasus tindak pidana penodaan
agama melalui jejaring sosial dengan contoh kasus putusan di Pengadilan Negeri
Banyuwangi dengan nomor putusan No: 434/Pid.Sus/2016/PN Byw ditinjau dalam
hukum pidana Positif dan hukum pidan Islam.
Bab V bab terakhir yang memuat penutup, dalam bab ini mencakup
kesimpulan dan saran dari penulis atas permasalahan yang diteliti sehingga tercapai
upaya untuk mencapai tujuan dari yang dilakukan.
17
BAB II
TINJAUAN UMUM TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA
DALAM HUKUM PIDANA POSITIF
A. Pengertian tindak Pidana Penodaan Agama
Tindak pidana penodaan agama dari segi bahasa merupakan susunan dari dua
kalimat yang saling berhubungan, yaitu tindak pidana dan penodaan agama. Untuk
memahami pengertian tindak pidana penodaan agama, maka sebelumnya kita
terlebih dahulu harus mengetahui apa yang dimaksud dengan tindak pidana.
Tidak pidana bila dirujuk ke dalam bahasa Belanda yaitu strafbaar feit
(perbuatan pidana, delik, peristiwa pidana, maupun perbuatan yang dapat dipidana)
menurut Moeljatno, berarti perbuatan pidana. Sementara menurut Wirjono
Prodjodikoro, adalah pelanggaran terhadap norma-norma. Sifat-sifat yang ada dalam
suatu tindak pidana adalah sifat melanggar hukum, karena tidak ada suatu tindak
pidana tanpa sifat melanggar hukum.1 Tindak pidana menurut Wirjono ini memang
sangat terkait dengan asas hukum pidana yaitu, Nullum delictum sine praevia lege
poenali yang artinya, peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam
undang-undang tidak ada terlebih dahulu.2 Asas ini teraktualisasi pada bab 1 pasal 1
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, atau lebih dikenal dengan asas legalitas.
1 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia (Bandung: Refika
Aditama, 2003), h. 1.
2 R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Politea, 1995), h. 27.
18
Penekanan pada sifat melanggar hukum, dapat diartikan bahwa penindak,
dalam tindakannya tersebut terdapat pelanggaran hukum. Sebaliknya, penindak boleh
melakukan perbuatan apa saja, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum. Oleh
banyak pakar, hal ini biasa disebut dengan perbuatan melawan hukum atau biasa
disingkat dengan PMH. Setiap tindakan, akan dikontrol sedemikian rupa oleh
penguasa atau yang berwenang, agar terciptanya kondisi yang sesuai dengan apa
yang diinginkan oleh penguasa. Hal ini mengandaikan hukum sebagai instrumen
penguasa, yang dibentuk dengan cara seragam dan berlaku kepada siapapun tanpa
memandang golongan tertentu, sesuai dengan logika hukum modern.3
Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana jika memenuhi
unsur-unsur tindak pidana, antara lain: Pertama Subyek. Kedua, Kesalahan. Ketiga,
bersikap melawan hukum. Keempat, suatu tindakan aktif/pasif yang dilarang oleh
undang-undang dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana. Kelima,
waktu, tempat dan keadaan.4 Dengan demikian, dapatlah dikatakan, bahwa tindak
pidana adalah perbuatan yang melawan hukum atau undang-undang yang berlaku
atau yang telah ditetapkan sehingga dapat menimbulkan kerugian terhadap seseorang
atau kelompok baik berupa materil maupun imateril.
Secara umum penodaan agama diartikan sebagai penentangan hal-hal yang
dianggap suci atau yang tidak boleh diserang (tabu) yaitu, simbol-simbol
3 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler; Studi Tentang Konflik Dan Resolusi
Dalam Sistem Hukum Indonesia (Ciputat: Pustaka Alvabet, 2008), h. 6-7.
4 S.R Sianutri, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (Jakarta:
Percetakan BPK Gunung Mulia, 1996), h. 215.
19
agama/pemimpin agama/kitab suci agama. Bentuk penodaan agama pada umumnya
adalah perkataan atau tulisan yang menentang ketuhanan terhadap agama-agama
yang mapan.
Secara hukum, tidak ada definisi atau pengertian yang jelas mengenai
penodaan agama. Baik Pasal 1 UU PNPS maupun Pasal 156a KUHAP (pasal
penodaan agama) juga tidak memberikan definisi ataupun penjelasan yang jelas soal
penodaan agama.
Tidak adanya pengertian yang jelas mengenai penodaan agama merupakan
masalah yang sudah lama terjadi dan sudah diakui oleh mantan Menteri Agama,
Suryadharma Ali.5
Dalam kaitannya dengan penodaan agama, dapat dirujuk beberapa ketentuan
yang mengatur hal tersebut. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam pasal 156a
mengatur tentang pelarangan penodaan agama. Pasal inilah yang sering dijadikan
rujukan hakim dalam kasus penodaan agama,6 meskipun pada prakteknya, sebagian
kasus penodaan agama, hakim tidak menjadikannya rujukan awal, seperti putusan
Pengadilan Negeri Sampang Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg.7 Salah satu contoh kasus
yang menyita perhatian publik adalah kasus penistaan agama yang dilakukan oleh
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada tahun 2016, Pengadilan Negeri Jakarta Utara
5 https://konsultanhukum.web.id/penodaan-agama-menurut-konstitusi-dan-hak-asasi-
manusia/, diakses pada tanggal 07 Mei 2017, pukul 10.27
6 Randy A Adare, “Delik Penodaan Agama Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Pidana di
Indonesia” Jurnal Lex Et Societis, Vol. I/No. 1/Jan-Mrt/2013, h. 94.
7 Tajus Subki, dkk, “Analisis Yuridis Tindakan Pidana Penodaan Agama; (Putusan
Pengadilan Negeri Sampang Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg)”, E-Juornal Lentera Hukum, Vol. I/No.
1/ April 2014, h. 1.
20
menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
penodaan agama, dengan Nomor Putusan 1537/Pid.B/2016/PN JKT.UTR. terdakwa
dijerat dengan pasal 156a tentang penodaan agama dan pasal 156 KUHP sebagai
alternatif dengan vonis hukuman 2 tahun kurungan penjara.
Bunyi Pasal 156a KUHP yaitu: “Dipidana dengan pidana penjara selama-
lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b.
Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Unsur-unsur dalam Pasal 156a menurut Adami Chazawi terdapat dua
kejahatan:
1. Kejahatan yang pertama unsur-unsurnya terdapat objektif dan subjektif.
Dari sudut objektif: “mengeluarkan perasaan, melakukan perbuatan yang
bersifat permusuhan terhadap penyalahgunaan penodaan agama, objeknya
adalah suatu agama yang dianut di Indonesia, dan dilakukan di muka
umum. Sementara dari sisi subjektifnya adalah kesalahan yang dilakukan
dengan sengaja”.
2. Kejahatan yang kedua, terdapat unsur-unsur objektif dan subjektif. Unsur
objektifnya, “perbuatannya mengeluarkan perasaan dalam artian
melakukan perbuatan, dilakukan di muka umum”. Unsur subjektifnya,
21
adalah dengan maksud agar orang tidak menganut agama apapun juga
yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bila telah terpenuhi unsur-unsur ini, maka dianggap telah melakukan tindak
pidana penodaan agama, dan kemudian diancam dengan sanksi pidana. Dengan
demikian, dapatlah dikatakan, dengan menggambungkan tindak pidana dan penodaan
agama, maka yang dimaksud dalam pengertian ini adalah tindakan yang mana
mencakupi seluruh unsur-unsur penodaan agama. Untuk hal ini, akan dijelaskan pada
pembahasan selanjutnya.
B. Delik Penodaan Agama
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelasan berkaitan tentang unsur-unsur
yang terdapat dalam Pasal 156a. Apabila terdapat tindakan yang mencakupi seluruh
unsur-unsur tersebut, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai penodaan
agama. Tentu, apabila unsur-unsurnya telah tercukupi, maka sanksi pidana akan
dibebankan kepada pelaku perbuatan tersebut. Namun perlulah diketahui, delik
agama sebenarnya mempunyai beberapa klasifikasi: Pertama, delik menurut agama.
Kedua, delik terhadap agama. Ketiga, delik yang berhubungan dengan agama. Delik
menurut agama, sebenarnya sangat minim tercantum dalam KUHP dibanding delik
pembunuhan, pencurian, penipuan atau perbuatan curang, penghinaan, fitnah, delik-
delik kesusilaan seperti zina, perkosaan dan sebagainya.8 Hal ini mengingat bahwa
KUHP bukanlah sebuah produk agama atau tradisi yang berkembang di Indonesia,
8 Randy A Adare, “Delik Penodaan Agama Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum Pidana di
Indonesia”, Jurnal Lex Et Societis, Vol. I/No. 1/Jan-Mrt/2013, h. 93-94.
22
sehingga tidak mencakup delik menurut perspektif agama tertentu. Sementara delik
yang berhubungan dengan agama, tersebar dalam beberapa perbuatan seperti
merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (Pasal 175);
mengganggu pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (Pasal
176); menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan dan
sebagainya.
Klasifikasi terakhir, yaitu mengenai delik terhadap agama, terdapat dalam
Pasal 156a KUHP. Yang perlu digaris bawahi, bahwa sebenarnya pasal ini pada
awalnya bukan langsung dari KUHP (wetboek van Strafrecht), melainkan dari
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 (LN 1965 No. 3), dan ditempatkan pada Pasal
156a. Rumusan lengkapnya adalah:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
pertama, yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; Kedua, dengan maksud agar supaya
orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendirikan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam KUHP
adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa dasar negara Pancasila. 9
Adapun rumusan delik yang terkandung dalam Pasal 156a tersebut adalah10
:
1. Setiap orang
2. Di muka umum
3. Menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum
9 Randy A Adare, “Delik Penodaan Agama Ditinjau Dari Sudut Pandang Hukum Pidana Di
Indonesia”, ” Jurnal Lex Et Societis, Vol. I/No. 1/Jan-Mrt/2013, h. 94.
10 Ismahudi, “Analisa Pidana Hukum dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Penistaan
Agama Di Indonesia”, Skripsi, (Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Pidana Universitas
Sumatera Utara Medan, 2008), h. 65.
23
4. Untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu,
penfasiran atau kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama itu.
Alasan mengapa dalam klasifikasi penodaan terhadap agama, seringkali
memasukkan Pasal 156a sebagai bahan rujukan utama, sebab dengan pasal tersebut,
menjadi umum digunakan oleh para hakim sebagai rujukan pada kasus penodaan
terhadap agama. Di samping itu, meskipun oleh sebagian pihak Pasal ini dianggap
multitafsir, namun dari sudut pandang lain, bahwa penodaan terhadap agama harus
tetap ada di dalam KUHP demi mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan
dan menjaga kesucian agama, melindungi umat dari kesesatan dan untuk melindungi
ketentraman beragama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.11
Selain itu, sebenarnya masih terdapat klasifikasi penodaan terhadap agama,
yaitu pada Pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965. Hanya saja, Undang-Undang
ini tidak diintegrasikan ke dalam KUHP. Adapun jenis perbuatan yang dilarang
dalam Pasal ini yaitu:
Dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, atau
mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama
yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana yang
menyimpang dari pokok ajaran agama itu. Hanya saja, berebeda dengan Pasal 156a,
ketentuan dalam Pasal 1 tersebut barulah dapat dipidana, menurut Pasal 3 Undang-
Undang No. 1/NPS/1965 apabila telah mendapat perintah dan peringatan keras untuk
11
Ibnu Tulaji Ahmad Al Mughoffary, “Analisis Muatan Materi Pasal Penodaan Agama
Dalam Kajian Politik Hukum Pidana”, Jurnal, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sunan Giri Malang, h. 1.
24
menghentikan perbuatan itu melalui SK menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri
Dalam Negeri.
Masih mengenai Pasal 156a ini, menurut Mudzakkir: Pertama, 156a KUHP
adalah delik yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada norma hukum
administrasi atau pengenaan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2
dan meskipun pemberlakukan Pasal 156a berasal dari Pasal 4 yang dekat dengan
norma hukum pasal 3 keduanya memiliki kedudukan yang berbeda. Pasal 3 sebagai
sanksi pidana bidang hukum administrasi yang dipergunakan sebagai senjata
pamungkas ultimum remediu, sedangkan Pasal 4 yang mengatur amandemen KUHP
yaitu Pasal 156a KUHP dan setelah undang-undang dinyatakan berlaku maka
keberadaan Pasal 156a KUHP berdiri sendiri tidak diikat dengan ketentuan Pasal 2
Undang-Undang 1 PNPS Tahun 1964.
Kedua, persoalan yang terkait dengan interpretasi Pasal 156a KUHP
mengenai tahapan pengenaan sanksi pidananya harus didahului pengenaan sanksi
administratif, dari sanksi administratif yang paling ringan sampai kepada yang berat.
Kemudian wilayah kewenangannya diberikan kepada aparat penegak hukum dan
berada dalam tataran praktik penegakkan hukum pidana yang tidak atau bukan
menjadi kompetensi uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi. Rumusan Pasal 156a
KUHP telah memiliki rumusan hukum pidana untuk menyampaikan maksud dan
tujuan dilarangnya suatu perbuatan dan pemahaman norma hukum pidana dalam
Pasal 156a KUHP dilakukan secara komperhensif, sistematik, atau tidak parsial
25
dalam hubungannya dengan penjelasan umum dan penjelasan Pasal 4 atau 156a
KUHP.12
Pasal ini mencakup pengertian bahwa seorang yang melakukan delik sesuai
dengan unsur-unsur dalam Pasal 156a, bisa saja dari kalangan agama itu sendiri, atau
dari eksternal agama yang melakukan penodaan. Misalnya untuk dari kalangan
internal, seorang yang beragama Islam menodai agama Islam itu sendiri, sementara
ekternal, seorang penganut agama Hindu menodai agama Kristen dimana tindakan
tersebut mencakupi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 156a.
C. Pengertian Jejaring Sosial
Manusia merupakan makhluk sosial yang kehidupan sehari-harinya hidup
bersama dengan orang lain. Bertatap-muka satu dengan yang lainnya merupakan
kasus prototipikal dari interaksi sosial.13
Terdapat berbagai macam jenis pola
interaksi sosial, selain bertatap-muka secara langsung, kebutuhan manusia untuk
berinteraksi sosial dengan sesamanya kini dapat dipenuhi dengan berbagai macam
cara, salah satunya melalui jejaring sosial.
Jejaring sosial sendiri memiliki artian suatu struktur sosial yang dibentuk dari
simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang dijalin dengan
12
Muhammad Fadlan Asif, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 156a (KUHP) Tentang
Tindak Pidana Penodaan Agama”, (Skripsi S-1 Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, 2015),
h. 52-54.
13 Peter L Berger dan Thomas Luckmann. 1966. Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Risalah
Tentang Sosiologi Pengethauan. Penerjemah Hasan Basri. (Jakarta: LP3S, 2012) Cet. 9, hlm. 39-40.
26
satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dll.14
Sebenarnya istilah jejaring sosial pertama kali diperkenalkan oleh Profesor J.A
Barnes pada tahun 1954, yang mengartikan jejaring sosial sebagai sebuah sistem
struktur sosial yang terdiri dari elemen-elemen individu atau organisasi. Jejaring
sosial merupakan sebuah struktur sosial atau tatanan sosial di mana individu ataupun
organisasi yang terlibat di dalamnya memiliki hubungan yang spesifik.15
Pengertian jejaring sosial sedikit bergeser dari makna sebenarnya.
Jejaring/jaringan (network) dalam bidang teknologi seperti ilmu komputer
merupakan infrastruktur yang menghubungkan antara komputer maupun perangkat
keras (hardwere) lainnya. Akan tetapi kata ini semakin berkembang dari sekedar
istilah yang digunakan dalam teknologi komputer menjadi istilah yang akrab
digunakan dalam kajian budaya maupun sosial.16
Istilah jejaring sosial kini lebih akrab dengan media sosial, bahkan tidak
sedikit yang belum bisa membedakan antar keduanya. Dalam penelitian ini jejaring
sosial yang penulis maksud merupakan bagian dari karakterisitik media sosial yang
berkembang di masyarakat dewasa ini. Kemudian yang dimaksud dengan media
sosial adalah medium internet yang memungkinkan pengguna merepresentasikan
14
https://id.wikipedia.org/wiki/Jejaring_sosial, diakses pada tanggal 13 Maret 2017, pukul
10.50
15 https://www.idjoel.com/pengertian-jejaring-sosial-dan-macam-macam-jejaring-sosial/,
diakses pada tanggal 13 Maret 2017, pukul 10.55
16 Rulli Nasrullah, Media Sosial Persfektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015) hlm. 16.
27
dirinya maupun berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi dengan pengguna
lain, dan membentuk ikatan sosial secara virtual (online)17
Media jejaring sosial dapat digunakan oleh siapa saja, kapan saja, dan dimana
saja, sehingga dapat menjadi mediator agar bisa berinteraksi dengan pengguna
lainnya, serta menjadikan jejaring sosial sebagai media komunikasi yang efektif dan
efisien.18
Mengenai proses atau cara penggunaannyapun sangatlah mudah, pengguna
dapat mengaksesnya melalui perangkat elektronik yang sudah terhubung dengan
jaringan internet, baik melalui media komputer, handphone, gadget, atau perangkat
lainnya.
Social networking atau jejaring sosial merupakan bagian yang paling populer
dalam kategori media sosial. Jejaring sosial merupakan sarana yang bisa digunakan
pengguna untuk melakukan hubungan sosial, termasuk konsekuensi atau efek dari
hubungan sosial tersebut, di dunia virtual.
Karakter utama dari jejaring sosial adalah setiap pengguna membentuk
jaringan pertemanan, baik terhadap pengguna yang sudah diketahuinya dan
kemungkinan sering bertemu di dunia nyata (offline) mapun membentuk jaringan
pertemanan baru yang belum diketahuinya. Dalam banyak kasus, pembentukan
17
Rulli Nasrullah, Media Sosial Persfektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015) hlm. 11.
18 Komang Sri Widiantari dan Yohanes Kartika Herdiyanto, “Perbedaan Intensitas
Komunikasi Melalui Jejaring Sosial antara Tipe Kepribadian Ekstrovert dan Introvert pada Remaja”,
Jurnal, Fakultas Psikologi Universitas Udayana, 2013.
28
pertemanan baru ini berdasarkan pada sesuatu yang sama, misalnya hobi atau
kegemaran, sudut pandang politik, asal sekolah/universitas, atau profesi pekerjaan.19
Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk terbanyak di
dunia, tidak salah jika termasuk pasar potensial digital tentunya. Terbukti
berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII),
sampai saat ini pengguna internet di Indonesia telah mencapai 88,1 juta pengguna,
dengan 48 persen di antaranya merupakan pengguna internet harian. Kemudian
menurut data dari We Are Sosial, setidaknya pengguna internet di Indonesia
menghabiskan rata-rata sekitar 4 jam 42 menit untuk mengakses internet baik
menggunakan perangkat komputer, handphone, atau perangkat lainnya. Dipaparkan
juga bahwa ada sekitar 79 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia, berarti bisa
dikatakan setidaknya 30% penduduk Indonesia menggunakan media sosial.
Sementara untuk layanan atau jenis media sosial yang digunakan, Facebook masih
menempati peringkat pertama yang memiliki pengguna paling aktif di Indonesia
mengalahkan Google Plus dan Twitter.20
Ada banyak sistus jejaring sosial yang berkembang saat ini, namun hanya
beberapa situs jejaring sosial yang notabennya sudah sangat populer di kalangan
masyarakat Indonesia, baik berbentuk situs/web maupun berbentuk aplikasi seperti
Facebook, Twitter, Google Plus, Instagram, Path, dan beberapa aplikasi jejaring
19
Rulli Nasrullah, Media Sosial Persfektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015) hlm. 40.
20 http://tekno.liputan6.com/read/2435997/3-fakta-mengejutkan-pengguna-internet-di-
indonesia, diakses pada tanggal 17 Maret 2017 pukul 12.06.
29
sosial lainnya. Adapula beberapa jejaring sosial yang memiliki fungsi lebih untuk
mengirim pesan teks sesama penggunanya (chatting) saja, seprti Blackberry
Massanger, Whatsapp, Telegram, Line dan jejaring sosial lainnya.
Penulis tidak akan menjelaskan fungsi dan kegunaan jejaring sosial tersebut
secara satu persatu, namun secara garis besar jika digunakan dengan positif tentunya
jejaring sosial memiliki banyak manfaat bagi siapa saja penggunanya. Seperti
Facebook, media sosial yang digunakan untuk mempublikasikan konten, seperti
profil, aktivitas, atau bahkan pendapat pengguna; juga sebagai media yang
memberikan ruang bagi komunikasi dan interaksi dalam jejaring sosial di ruang
siber. Fasilitas di Facebook seperti “wall” bisa dimanfaatkan pengguna untuk
mengungkapkan apa yang sedang disaksikan/dialami, bercerita tentang keadaan di
sekitar dirinya, hingga bagaimana tanggapannya terhadap situasi, misalnya, politik
pada saat ini.21
Selain memiliki fungsi untuk berinteraksi sesama penggunanya, sebenarnya
ada beberapa fungsi lain yang bisa dimanfaatkan dari jejaring sosial, diantaranya :
1. Network Jurnalism merupakan cara bagaimana setiap individu
masyarakat dapat berkontribusi dalam menyebarkan informasi satu sama
lain.
2. Friendvertising merupakan konsep yang tidak hanya menunjukkan dan
terbatas pada pengguna yang dimanfaatkan dengan kompensasi tertentu
21
Rulli Nasrullah, Media Sosial Persfektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015) hlm. 40.
30
untuk menceritakan sebuah produk atau jasa kepada pengguna lain.
Konsep ini juga menunjukkan bagaimana kekuatan pengguna media
sosial untuk menjangkau konsumen dalam jaringan pertemanan di media
sosial.
3. Public Relation (PR) atau Hubungan Masyarakat (Humas) merupakan
salah satu manfaat yang dapat menghubungkan satu dengan yang
lainnya, termasuk dalam hal pengiklanan atau pelayanan perusahaan.22
D. Landasan Hukum Tindak Pidana Penodaan Agama Melalui Jejaring
Sosial
Perkembangan teknologi menunjukkan arah yang tidak terprediksi. Di satu
sisi memudahkan kerja-kerja manusia, namun di sisi lain dapat dengan mudahnya
dimanfaatkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan suatu
kejahatan, seperti penipuan, cyber crime, atau bahkan melakukan tindak pidana
penodaan agama melalui jejaring sosial. Jejaring sosial seperti facebook, twitter,
path, instagram dan lain sebagainya, acap kali menjadi instrumen penodaan terhadap
agama akhir-akhir ini.
Jawaban yang pasti adalah menghadapi perkembangan teknologi ini dari
segala sisinya, baik dengan memperbaiki mental, menata politik yang lebih etis,
22
Rulli Nasrullah, Media Sosial Persfektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi
(Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015) hlm. 169 dan 178
31
hingga membuat regulasi atau hukum yang mampu menangkal dan meminta
pertanggungjawaban dari orang yang melakukan tindakan penodaan terhadap agama.
Di Indonesia, kebebasan beragama telah dijamin dalam Undang-Undang
Dasar 1945, Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 yaitu: “Pertama, setiap orang bebas memeluk
agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran,
memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah
negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Kedua, setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati
nuraninya”.23
Meski kebebasan beragama telah dijamin, perlu instrumen untuk melindungi
kebebasan tersebut. Dalam hal ini implementasi jaminan tersebut tertuang pada Pasal
156 dan 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-Undang No.
1/PNPS/1965. Hanya saja, kedua aturan tersebut belum mencakup perbuatan yang
dilarang apabila dilakukan melalui media jejaring sosial, atau berkaitan dengan
informasi dan transkasi elektronik, maka diperlukan lebih lanjut regulasi yang
mengatur kejahatan tersebut. Aturan tersebut terdapat pada Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai jawaban akan
tuntutan perkembangan teknologi dan informasi.
Undang-Undang ini kemudian menjadi rujukan dan dasar dalam tindak
pidana penodaan agama yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik,
23
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2.
32
yang mana dapat digunakan oleh Aparat Penegak Hukum untuk menjerat pelakunya.
Dalam Pasal 28 (e) ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik menyebutkan tindakan apa saja yang dilarang. Rumusan
lengkapnya yaitu: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan
antar golongan (SARA)”.24
Tujuan pasal ini adalah mencegah terjadinya
permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat
informasi negatif yang bersifat provokatif. Sebagai contoh, apabila seorang
menuliskan status dalam jejaring sosial informasi yang berisi provokasi terhadap
suku/agama tertentu dengan maksud untuk menghasut masyarakat untuk membenci
atau melakukan anarkisme terhadap kelompok tertentu.25
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 28 (e) ayat 2 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan
melihat putusan Nomor 45/Pid.B/2012/PN.MR terkait kasus penyebaran informasi
yang menimbulkan kebencian, yaitu:
1. Setiap orang
2. Dengan sengaja dan tanpa hak
24
Pasal 28 (e) ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
25 Muhammad Andri Fauzan Lubis, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Penistaan Agama Melalui Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang No 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Jurnal, Medan: Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 2013, h. 10.
33
3. Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok tertentu
berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA)26
Secara singkat, dasar hukum dalam tindakaan penodaan terhadap agama,
tercantum dalam KUHP Pasal 156 dan 156a, serta Undang-Undang No. 1/NPS/1965.
Kedua regulasi tersebut dapat dijadikan salah satu rujukan dasar aparat penegak
hukum untuk menjerat dan meminta pertanggungjawaban kepada pelaku yang
melakukan penodaan terhadap agama. Kemudian apabila perbuatan tersebut
dilakukan melalui jejaring sosial, maka dasar hukumnya adalah Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
E. Tindak Pidana Penodaan Agama Melalui Jejaring Sosial
Dasar hukum bagi tindak pidana penodaan terhadap agama, adalah Pasal 156
dan 156a KUHP, serta Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Tindak Pidana
Penodaan Agama. Yang terakhir disebutkan adalah pelengkap dari yang pertama,
adapun jika tindakan tersebut dilakukan melalui jejaring sosial maka landasan
hukumnya adalah Undang-undang No 11 Tahun 2008 Pasal 28 (e) ayat 2, yaitu
mencakup tindakan atau perbuatan yang dilarang berkaitan dengan informasi dan
transaksi elektronik.
26
Muhammad Andri Fauzan Lubis, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Penistaan Agama Melalui Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang No 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Jurnal, Medan: Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, 2013, h. 11.
34
Pasal 28 (e) ayat 2 UU ITE tidak secara langsung mengatur mengenai tindak
pidana penodaan agama secara konvensional maupun tindak pidana penodaan agama
melalui jejaring sosial, tetapi unsur-unsur di dalam pasal 28 (e) ayat 2 UU ITE
identik dan memiliki beberapa kesamaan pada tindak pidana penodaan agama
konvensional yang diatur dalam UU No 1 PNPS/1965 dan pasal 156a KUHP dan
memiliki karakteristik khusus yaitu telah diakuinya bukti, media elektronik, dan
adanya perluasan yurisdiksi dalam UU ITE.
Oleh sebab itu, karena adanya dua aturan dimana terdapat dua pasal dalam
Undang-Undang mengatur hal yang identik yaitu tindak pidana penodaan agama
antara UU No 1 PNPS/1965 dan 156a KUHP dengan Pasal 28 (e) ayat 2 UU ITE
serta terdapat penafsiran yang hamper sama dalam kedua pasal tersebut.
Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan cara menerapkan asas atau
doktrin lex specialis derogate legi generalis. Dengan simpulan, Pasal 28 (e) ayat 2
UU ITE memiliki unsur yang lebih spesifik dibandingkan dengan UU No 1
PNPS/1965 atau 156a KUHP.
Selain karena memiliki karakteristik unsur yang lebih spesifik dalam konteks
pemidanaan pada tindak pidana penipuan online, pasal 28 (e) ayat 2 UU ITE telah
memenuhi beberapa prinsip dalam asas lex specialis derogat legi generalis yaitu: 27
1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap
berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.
27 Rizki Dwi Prasetyo, “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penipuan Online
Dalam Hukum Pidana Positif di Indonesia”, Jurnal, Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
2014, h. 9.
35
2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-
ketentuan lex generalis (Undang-undang dengan Undang-undang).
3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum
(rezim) yang sama dengan lex generalis.
Pelarangan tindakan tersebut, tentu menimbulkan sanksi bagi pelaku bila
unsur-unsurnya terpenuhi. Mengenai sanksi ini dapat kita lihat pada Pasal 45 ayat 2
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
dengan rumusan: “setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.28
Dengan demikian, apabila terpenuhi unsur-unsur yang terkandung pada Pasal
28 (e) ayat 2, maka sanksi pidananya adalah enam tahun penjara atau denda
sebanyak satu miliar rupiah. Perlu ditegaskan, kata-kata dalam pasal ini berarti dalam
penjatuhan hukumannya oleh hakim dapat bersifat alternatif (memilih) atau dapat
bersifat kumulatif (menggabungkan). Itu berarti, seorang yang melanggar pasal ini,
bisa saja akan dijatuhi hukuman penjara dan denda sekaligus.29
28
Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Tindak Pidana Penodaan
Agama Melalui Jejaring Sosial.
29 Muhammad Andri Fauzan Lubis, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Penistaan Agama Melalui Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang No 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Jurnal, h. 10-11.
36
BAB III
TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA
DITINJAU DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
A. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Islam
Setiap manusia yang terlahir ke dunia pasti memiliki hak-hak yang sama,
karena tanggung jawab yang merupakan kewajiban-kewajiban mesti dilaksanakan
sebagai bentuk salah satu konsekuensi dalam hidup. Allah sebagai khaaliq
menginginkan agar manusia dapat mencapai titik kesempurnaan dalam kehidupannya.
Islam yang diturunkan langsung kepada Nabi Muhammad SAW menawarkan suatu
konsep ajaran yang menghendaki umatnya agar mencapai kesuksesan, baik di
kehidupan dunia, maupun akhirat.
Rahmatan lil „alamin, yaitu rahmat bagi seluruh alam merupakan acuan bagi
seluruh umat Islam agar senantiasa dapat mengasihi satu sama lain terhadap
sesamanya. Lahir pada awal abad ke 6 masehi, secara perlahan Islam dapat diterima
dengan baik pada masanya. Muncul dengan misi penghapusan perbudakan pada
masanya, merupakan salah satu sendi menculnya hak asasi manusia. Secara bertahap
(tadarruj) Islam mengajarkan manusia untuk menghargai hak-hak hidup seseorang,
dan meyakini bahwa kehidupan serta kematian itu merupakan hak mutlak milik Allah
SWT sebagai pencipta. Yang perlu digaris bawahi, saat itu Islam juga mengajarkan
kepada manusia suatu konsep hak asasi yang penting, yaitu hendaklah hak orang
banyak (publik) diutamakan dibanding hak perseorangan (individu).
37
Sejak awal Islam datang membawa ajaran tentang hak asasi manusi (HAM),
bahkan menurut Al-Maududi pun Piagam Magna Charta baru muncul 600 tahun
setelah kedatangan Islam. Diperkuat lagi oleh pandangan Weeramantry bahwa
pemikiran Islam mengenai hak-hak di bidang sosial, ekonomi dan budaya telah jauh
mendahului pemikiran Barat.1 Sejarah Islam mencatat dalam butiran Piagam Madinah
pasal 23 dan 42 dijelaskan bahwa Nabi adalah pemimpin bersama warga Madinah
yang bertugas menyelesaikan masalah duniawi bagi kaum non-Muslim. Sedangkan
pasal 25 menyatakan tersedianya kebebasan beragama dan mengamalkan agamanya.2
Ini membuktikan bahwa Islam membawa konsep mengenai kebebasan dalam
beragama atau berkeyakinan yang keberadaanya tidak lagi terbantahkan posisinya. Ini
sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.s. Al Baqarah (2): 256:
الرشد من الغي فمن يكفر بالطاغوت وي ؤمن باهلل ف قد آلإكراه ف ين قد ت ب ي الد
)البقرة/٦ : ٦٥٦( يع عليم استمسك بالعروة الوثقى ل انفصام لا واهلل س
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar
kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.”
1 Ahmad Mukri Aji, “Hak dan Kewajiban Asasi dalam Perspektif Islam”, Jurnal, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015, h.1-2.
2 Syukron Kamil, Andy Agung Prihatna, dkk, Syariah Islam dan HAM, (Jakarta: CSRC,
2007) h. 17.
38
Kajian hukum pidana Islam dikenal dalam ilmu syariah disebut dengan istilah
jinayah atau jarimah. Sebagian fuqaha (ahli syariah) membedakan antara jarimah
dan jinayah. Jarimah diartikan pada semua jenis pelanggaran pidana Islam.
Sedangkan jinayah hanya untuk pelanggaran atau pidana yang menyangkut jiwa atau
anggota badan saja.3
Jarimah mengklasifiaksikan tindak pidama dilihat dari berat ringannya
hukuman menjadi tiga jenis, yaitu hudud, qishas diyat, dan ta‟zir.
Jarimah hudud merupakan perbuatan yang melanggar hukum, namun jenis
dan ancamannya telah ditentukan oleh nash, yang diberlakukan hukuman had (hak
Allah). Contohnya kejahatan seperti pencurian, perampokan, murtad (keluar dari
agama Islam), dan lain-lain. Selanjutnya Jarimah qishash diyat adalah perbuatan
yang hukumannya berupa balasan setimpal. Sedangkan diyat merupakan hukuman
ganti rugi yang telah ditentukan batasnya, tidak ada batas terendah dan tertinggi,
tetapi menjadi hak perseorangan (si korban dan walinya), contohnya seperti
pembunuhan.
Sedangkan yang dimaksud dengan jarimah ta‟zir menurut etimologis yaitu
menolak atau mencegah, sementara secara terminologis adalah hukuman yang kadar
ukurannya tidak disebutkan oleh syara‟ (hukum Islam) dan sepenuhnya dibebankan
kepada penguasa/hakim. Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
(jarimah) jika perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur jarimah, menurut
3 Syukron Kamil, Andy Agung Prihatna, dkk, Syariah Islam dan HAM (Jakarta: CSRC, 2007)
hlm. 89-90
39
Wardi Muslich dalam bukunya, yang dikutip dari pendapat Abdul Qadir Audah yang
dimaksud unsur-unsur jarimah terbagi menjadi tiga jenis4 :
1. Unsur Formal, secara jelas adanya larangan perbuatan tersebut untuk
tidak dilakukan dan disertai dengan adanya hukuman atas perbuatan
tersebut yang bersumber dari nash (ketentuan), baik dari al Qur‟an
maupun Hadist. Dalam hukum positif unsur ini dikenal dengan istilah
asas legalitas.
2. Unsur Material, yaitu adanya unsur tindakan yang terbentuk baik kerena
melakukan perbuatan yang dilarang, maupun karena meninggalkan
perbuatan yang diharuskan, sehingga terbentuklah jarimah.
3. Unsur Moral, maksudnya pelaku yang melakukan perbuatan jarimah
haruslah paham dan mengerti betul dampak serta konsekuensi dari apa
yang diperbuat, dan sudah termasuk dalam kategori mukallaf (yang sudah
dibebani).
Aturan dalam hukum pidana Islam membuktikan bahwa antara hukum pidana
positif yang berlaku di Indonesia dengan hukum Islam memiliki kesamaan tujuan,
yaitu untuk memelihara ketentraman serta menjaga kelangsungan hidup bagi seluruh
masyarakat.5 Ini sejalan dengan tujuan ditetapkan hukum syara‟ yang dikenal dengan
4 A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah (Jakarta: Sinar
Grafika, 2004) Cet. 1, h. 13.
5 Ibid, hlm. 15.
40
istilah maqashid al syariah yaitu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan baik di
dunia maupun di akhirat.
Pada prinsipnya maqashid al syariah merupakan mengambil manfaat dan
menolak kemudharatan.6 Maqashid al syariah terdiri dari dua kata, maqashid dan
al-syariah. Kata maqashid adalah jamak dari kata maqshad yang berarti maksud dan
tujuan, sedangkan syariah mempunyai pengertian hukum-hukum Allah yang
ditetapkan untuk manusia yang menjadi pedoman untuk mencapai kebahagiaan hidup
di dunia maupun di akhirat. Maka yang dimaksud dengan maqashid al syariah berarti
nilai-nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum dan merupakan tujuan-tujuan
yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum.7
Dalam tahap realisasinya, al Shaitibhi menunjukkan maqashid al syariah itu
kepada lima bidang8 :
1. Memelihara agama (hifdz al-Din)
Hifdz al-Din merupakan elemen penting dalam terbentuknya maqashid al
syariah, seseorang diperintahkan untuk senantiasa menjaga keutuhan
agamanya. Ini juga ada kaitan erat dengan larangan untuk melakukan
perbuatan penodaan agama, setiap kita dianjurkan agar senantiasa menjaga
keutuhan agamanya dengan menjalankan semua aturan yang telah
6 Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2006) h. 80.
7 Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syariah dalam Islam, Jurnal, Fakultas Agama Islam,
Univ. Islam Sultan Agung
8 Jaenal Aripin dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam, hlm. 80
41
diperintahkannya, dan menjauhi segala larangannya. Bahkan tidak sedikit
ulama mengkategorikan siapa saja yang tidak mentaati aturan agama, maka
dia dianggap sudah keluar dari agamanya (murtad).
2. Memelihara jiwa (hifdz al-Nafs)
Konsep ini sejalan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam perspektif
Islam, sejak dari pertama kemunculannya peranan hifdz al-Nafs berkembang
menjadi suatu kajian fikih jinayah yang mengatur tentang tindak pidana,
seperti aturan bagi pelaku tindak pidana pembunuhan, hal ini merupakan bukti
bahwa Islam memberikan perhatian lebih terhadap umatnya dalam menjaga
atau memelihara jiwa/nyawa.
3. Memelihara akal (hifdz al „aql)
Konsep hifdz al „aql tidak jauh berbeda dengan hifdz al-Nafs, ini tertuang
dalam aturan fikih jinayah yang melarang untuk meminum minuman keras,
karena dapat memabukan dan merusak akal atau pikiran.
4. Memelihara keturunan (hifdz al Nasl)
Konsep Hukum Keluarga (Ahwalu Syahsiah) merupakan bagian yang
lahir untuk mecapai hifdz al Nasl, Islam mengatur hal-hal secara detail dalam
semua aspek kehidupan, termasuk dalam berkeluarga. Konsep ini
memaparkan bagaimana aturan dalam perkawinan, anak, waris, dan
sebagainya.
42
5. Memelihara harta (hifdz al-Mal)
Muamalah atau aturan untuk berinteraksi sosial yang mencakup aturan
terkait menjaga harta, baik dalam bentuk jual beli, pinjam meminjam, atau
yang lainnya. Ini sejalan dengan tujuan dari disyariatkannya hukum itu
sendiri, yaitu memelihara harta atau hifdz al-Mal.
Tindak pidana penodaan agama dalam Islam, secara spesifik penulis tidak
menemukan kajian khusus yang membahasnya. Namun sebagian besar ulama
berpendapat bahwa tindakan penodaan agama dapat dikategorikan sebagai tindakan
yang mendekatkan kepada perilaku murtad bagi seorang muslim. Pengkategorian
tersebut dapat didasari dari bentuk atau jenis perbuatan penodaan agamanya, karena
perbuatan penodaan agama berkembang menjadi berbagai macam jenisnya, yang
perlu diperhatikan adalah apakah perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur dari
perilaku murtad (riddah) atau tidak.
Secara etimologis, kata riddah merupakan isim mashdar dari (ارتداد) yang
berarti mundur, atau kembali ke belakang.9 Ibrahim Unais dan kawan-kawan dalam
kamus Al-Mu‟jam Al-Wasith jilid I mengemukakan bahwa riddah berasal dari kata:
عو وصرفو .yang artinya menolak dan memalingkannya ,رده ردا وردة : من 10
Seorang
9 M. Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) hlm. 63.
10 A. Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) cet. 2, hlm.119.
43
pakar Arab, Raghib Ishafani, menyatakan: Irtidad dan Riddah berarti kembali dari
satu jalan yang sebelumnya dilewati.11
Sementara secara terminologis, Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan sebagai
berikut12
:
كفر بالقول امل لفعل با أو أو الرجوع عن دين اإلسالم إل الكفر سواء بالن ية
Artinya: “Keluar dari agama Islam menjadi kafir, baik dengan niat, perkataan,
maupun perbuatan yang menyebabkan orang yang bersangkutan dikategorikan
kafir/kufur”.
Sedangkan menurut Abdul Qodir Audah berpendapat sebagai berikut:
الرجوع عن اإلسالم اوقطع اإلسالم
“Kembali (keluar) dari agama Islam atau memutuskan (keluar) dari agama
Islam ”
Dengan demikian yang dimaksud dengan murtad adalah keluarnya seorang
muslim dari agama yang dianutnya (Islam) kepada kekafiran baik bersifat melalui
perkataan maupun perbuatan. Yang dimaksud dengan murtad disini, jika seseorang
tersebut (telah) menjadi seorang muslim sejak lahir lalu menjadi kafir (murtadd fitri),
atau sebelumnya kafir, kemudian memeluk Islam dan kembali kafir (murtadd milli).
Allamah Hilli, salah satu fakih terkemuka Syiah, memberikan definisi murtad
secara lebih cermat dan spesifik, sekaligus menyebutkan beberapa pola tindakannya:
11
Sayyid Husain Hasyimi, Hukum Murtad Hak Allah atau Manusia, Penerjemah: Nasir
Dimyati (Jakarta: Sadra International Institute, 2005), hlm. 1.
12 M. Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) hlm. 64.
44
“Murtad berarti telah menjadi muslim, seseorang kemudian menjadi kafir.
Murtad dapat terjadi dengan salah satu tindakan berikut: bersujud di hadapan
berhala, menyembah matahari, membuang Al Qur‟an ke tempat sampah, serta
tindakan lainnya yang jelas-jelas bernuansa pelecehan atau penodaan. Atau
lewat ucapan, misalnya mengatakan kalimat yang jelas-jelas mengingkari
suatu kewajiban atau keharaman sesuatu yang merupakan ihwal penting
dalam agama, terlepas apakah ucapan itu didasari kebencian atau bertolak dari
keyakinan tertentu atau bermaksud melecehkan.”13
Keyakinan merupakan hal yang sakral bagi seorang muslim, oleh karenanya
seorang muslim tidak serta merta dianggap murtad atau keluar dari Islam kecuali jika
terbukti yang bersangkutan benar-benar menyatakan atau melakukan sesuatu yang
menyebabkan dia kufur serta diiringi dengan keyakinan di dalam hatinya.
Sayyid Sabiq mengkategorikan penyebab kufurnya seorang muslim baik
dengan perkataan maupun perbuatan antara lain:14
1. Mengingkari keesaan Allah SWT, ingkar akan adanya malaikat, Nabi,
tidak percaya akan datangnya hari kiamat, serta mengingkari apa-apa
yang sudah diwajibkan oleh Islam bagi umatnya, seperti shalat, zakat, haji
dan lain sebagainya.
2. Menghalalkan yang haram, seperti minum khamr (minuman yang
memabukan), zina, riba, dan makan daging babi.
3. Mengharamkan yang halal, contohnya jenis makanan yang halal dirubah
menjadi haram hukumnya.
13
Hasimi, Sayyid Husain, Hukum Murtad Hak Allah atau Manusia, Terjemahan, Nasir
Dimyati, hlm. 2.
14 M. Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) hlm. 65.
45
4. Mencaci atau menghina Nabi Muhammad SAW, dan nabi-nabi yang
lainya.
5. Mencaci dan menghina Al Qur‟an dan sunnah Nabi.
6. Mengaku bahwa dirinya telah menerima wahyu dari Allah SWT.
7. Melemparkan Al Qur‟an atau Kitab Hadist ke dalam kotoran, dengan
maksud untuk menghinakan dan meremahkan ajaran-ajaran yang
terkandung di dalam Al Qur‟an.
8. Meremahkan salah satu nama dari nama-nama Allah SWT, begitupun
meremehkan perintah-perintah maupun larangannya.
Dari definisi yang sudah dipaparkan diatas, dapat diketahuai bahwa unsur-
unsur jarimah bagi pelaku murtad ada dua macam, yaitu15
:
1. Kembali (keluar) dari Islam
Maksudnya, keluar dari Islam itu adalah meninggalkan agama Islam
setelah tadinya mempercayai dan meyakininya. Unsur ini terpenuhi baik
dengan cara perbuatan, ucapan, atau dengan itikad atau keyakinan. Contohnya
seperti enggan melaksanakan salah satu dari rukun Islam, menyatakan bahwa
dirinya sebagai Nabi, menghina Allah SWT, menolak meyakini akan
keberadaannya rukun Iman, dan sebagainya. Yang perlu dicatat adalah,
seseorang dapat diakategorikan murtad apabila ia berakal sehat, maka orang
yang tidak berakal pernyataan murtadnya dianggap tidak sah. Bagi seorang
15
A. Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) cet. 2, hlm.126.
46
anak kecil yang belum tamyiz, fuqaha berbeda pendapat, sebagian
mengatakan baligh atau dewasa bukan merupakan sahnya murtad, sedangkan
sebagian yang lain berpendapat bahwa seorang anak mumayiz apabila ia
menyatakan murtad, maka sah secara hukum.
2. Niat Melawan Hukum
Tindakan seseorang dapat dikategorikan sebagai murtad apabila
perbuatan atau ucapannya yang menunjukan kepada ke kafiran secara utuh dia
sadari dan ketahui konsekuensinya. Namun apabila seseorang tidak menyadari
dan mengetahui baik perkataan maupun perbuatannya menunjukan kekafiran,
maka dia tidak termasuk murtad.
B. Sejarah Penodaan Agama dalam Islam
Dalam beberapa hadist disebutkan bahwa setelah wafatnya Rasulullah banyak
sahabat yang murtad, walau sebagian pakar beranggapan yang dimaksud murtad
disini adalah bukan secara terminologis, melainkan masyarakat yang mengingkari
ikrar wilayah dan kepemimpinan mereka, sekalipun secara lahiriah dan atas dasar
taqiyah.
Sejarah Islam mencantat tentang kemurtadan yang dilakukan oleh ashab al-
riddah terjadi pada periode khalifah pertama Abu Bakar Shidiq, diantaranya dipimpin
oleh Musailamah al-Kadzab, Thulaihah, dan Isa yang benar-benar keluar dari Islam
dan memusuhi Islam.
47
Pada masa pemerintahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, perselisihan
dan kerancuan intelektual telah mencapai klimaksnya. Ali bin Abi Thalib menyikapi
kaum Khawarij dengan metode yang begitu mengagumkan. Walaupun mereka telah
melakukan kekerasan menggunakan senjata, Ali bin Abi Thalib menganggap dan
memerangi mereka sebagai kelompok al-baghyu „pemberontak‟. Namun sebelum
memulai perang, beliau terlebih dahulu mengirim Abdullah bin Abbas untuk
berdialog dengan mereka guna menangani kerancuan pemahaman mereka.16
Penodaan agama terhadap agama Islam berkembang menjadi berbagai macam
jenisnya di dunia, baik yang bersifat menyimpang dari ajaran Islam, maupun yang
secara utuh benar-benar memusuhi Islam. Indonesia sebagai Negara dengan
penduduk muslim terbanyak di dunia, memiliki peluang besar untuk timbulnya
ajaran-ajaran yang keluar dari syariat Islam yang bersumber dari Al Qur‟an dan
Hadist. Contoh kasus yang dianggap sebagai penodaan agama adalah keberadaannya
Ahmadiyah, yang mengubah pokok ajarannya yaitu meyakini bahwa Mirza Ghulam
Ahmad merupakan Nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Padahal dalam Islam sudah
jelas menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan khatamul anbiya (Nabi
terakhir). Keyakinan inilah yang dianggap menyimpang dan dikategorikan sebagai
bentuk penodaan agama terhadap Islam, dan masih banyak kajian mengenai penodaan
agama dalam Islam.
16
Hasimi, Sayyid Husain, Hukum Murtad Hak Allah atau Manusia, Terjemahan, Nasir
Dimyati, hlm. 85.
48
C. Landasan Hukum dan Sanksi Penodaan Agama
Penetapan suatu hukum tidak bisa secara sembarangan dilakukan, penetapan
hukum haruslah didasari dengan sumber-sumber yang jelas. Begitupun halnya
penetapan hukum Islam, harus didasari dengan pijakan atau alasan yang disebut
dengan sumber hukum. Seiring berkembanganya zaman, maka berkembang pulalah
permasalahan-permasalahan baru yang bersifat kontemporer yang belum pernah
terjadi sebelumnya pada masa Rasulullah SAW. Pada masa Rasulullah masih hidup,
semua persoalan dapat ditanyakan langsung kepada Rasul, namun setelah Nabi wafat,
kepada siapa lagi dapat menanyakan permasalahan yang terjadi? Oleh karena itu,
untuk menjawab semua permasalahan yang terjadi, baik dalam bidang ekonomi,
sosial politik, budaya, hingga teknologi informasi maka sepatutnya kita bersumber
kepada apa yang telah diwariskan oleh Rasul, yaitu Al Qur‟an dan Hadist.
Hukum pidana Islam merupakan bagian dari serangkaian risalah Islam. Ia
memiliki sumber hukum utama, seperti halnya sumber dari agama Islam, yaitu Al
Qura‟an dan Hadist.17
Dalam kajian penodaan agama yang dilakukan oleh seorang
muslim, perbuatannya dapat dikategorikan sebagai perbuatan murtad apabila telah
memenuhi unsur-unsur murtad seperti yang dipaparkan penulis sebelumnya.
Mengenai landasan bagi pelaku tindak pidana murtad, nash sudah membahasnya
dalam Al Qur‟an dan Hadist
1. Al Qur‟an
17
Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam (Bogor: Ghali Indonesia,
2009) hlm. 12.
49
Allah berfirman dalam Q.s. Al-Baqarah (2): 217:
ن يا واآلخرة ر فأولئك حبطت أعمال ف يمت وىو كاف دينو عن منكم ي رتدد ومن م ف الد
)البقرة/٦ : ٦٧٧( وأولئك أصحاب النار ىم فيها خالدون
Artinya: “Barang siapa yang murtad di aantara kamu dari agamanya, lalu
dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di
dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya”.
Taubat dari seorang yang murtad bisa diterima manakala ia tidak
mengulangi lagi kemurtadannya. Jika ternyata ia mengulangi lagi perbutan
tersebut, maka taubatnya tidak diterima. Mengenai hal ini, Allah berfirman
dalam Q.s. An-Nisa (4): 137:
ول لي غفر لم و اللو يكن ل كفر ا ازدادوا ث كفروا ث آمنوا ث كفروا ث آمنوا الذين إن
(٧٣٧: ٤)النساء/ سبيال لي هدي هم
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang beriman kemudian kafir, kemudian
beriman (pula), kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka
sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak
(pula) menunjuki mereka kepada jalan yang lurus”.
Ayat lain menjelaskan dalam Q.s. Ali „Imran (3): 85:
ر سالم ومن ي بتغ غي دين ا ف لن ي قبل منو وىو ف اآلخرة من الاسرين اإل
(٧٣٧: ٤)النساء/
50
Artinya: “Barangsiapa mencari agama selain agam Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi”
2. Hadist
Selain dalil yang bersumber dari Al Qur‟an, hadist merupakan sumber
hukum selanjutnya yang menjadi rujukan. Rasulullah menjelaskan dalam
sebuah hadist dari Abdullah bin Mas‟ud RA, Rasulullah bersabda:
التارك اللو إل ثالثة ن فر سلم يشهد أن ل إلو إل اهلل وأن رسول ل يل دم رجل م
فارق لللجماعة والث يب الزان والن فس بالن فس )رواه مسلم(سالم امل اإل
Artinya: Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tidak
ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah,
kecuali dari tiga orang berikut ini; seseorang yang murtad dari Islam dan
meninggalkan jama'ah, orang yang telah menikah tapi berzina dan seseorang
yang membunuh orang lain." (H.r. Muslim).
Ikrimah memperkuat lagi mengenai hukuman bagi pelaku murtad,
Rasulullah bersabda :
أنا كنت لو ف قال عباس ابن ذلك ف ب لغ فأحرق هم بزنادقة عنو اللو رضي ت أ علي
بوا ل وسلم عليو اللو صلى اللو رسول لن هي أحرق هم اللو ولقت لت هم بعذاب ت عذ ل
ت لوه دينو بدل من وسلم عليو اللو صلى (البخارى رواه) فاق لقول رسول اللو
51
Artinya: Beberapa orang Zindiq diringkus dan dihadapkan kepada Ali ra, lalu
Ali membakar mereka. Kasus ini terdengar oleh Ibnu Abbas, sehingga ia
berkata : Kalau aku, tak akan membakar mereka karena ada larangan
Rasulullah saw yang bersabda: "Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan
Allah, " dan aku tetap akan membunuh mereka sesuai sabda Rasulullah saw :
"Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah!" (H.r. Bukhari)
Sanksi bagi pelaku tindak pidana riddah, terbagi menjadi tiga macam
sanksi, yaitu sanksi utama, sanksi pengganti, dan sanksi tambahan.
Sanksi utama bagi pelaku murtad para ulama sepakat dikenakan hukuman
had yaitu hukuman bunuh, ini berdasarkan dari hadist Nabi diatas. Sementara
itu, para ulama berbeda pendapat apabila pelaku murtad itu seorang wanita.
Abu Hanifah berpendapat, tidak dikenakan hukuman bunuh apabila pelaku
murtad seorang wanita, dia hanya wajib dikurung dan disuruh bertaubat
sampai dia kembali beragama Islam.18
Sanksi pengganti berlaku hanya dalam dua keadaan saja, yaitu19
:
a. Taubatnya pelaku, maka gugurlah sanksi utama, kemudian hakim
memiliki wewenang untuk mengganti dengan hukuman ta‟zir yang
sesuai dengan keadaan pelaku perbuatan tersebut.
b. Karena syubhat yang mengakibatkan gugurnya sanksi utama, seperti
pandangan Imam Abu Hanifah yang menggugurkan hukuman mati
bagi pelaku wanita dan anak-anak, maka dalam kondisi ini pelaku
perbuatan itu (wanita dan anak-anak) dipenjara dengan masa tahanan
18
M. Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) hlm. 68.
19 A. Wardi Muslich,, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) cet. 2, hlm. 130.
52
yang tidak terbatas, kemudian dipaksa untuk kembali ke agama
Islam.
Sanksi tambahan terhadap pelaku murtad adalah hilangnya kepemilikan
terhadap hartanya (al-mushadarah). Para ulama sepakat bahwa status harta
pelaku murtad akan kembali seperti semula, apabila pelaku kembali memeluk
Islam. Demikian pula para ulama sepakat bahwa apabila pelaku murtad
meninggal dunia atau telah dihukum bunuh, atau bergabung dengan pihak
musuh (orang-orang kafir), hilanglah hak kepemilikan atas hartanya.20
Lalu bagaimana sikap seorang muslim terhadap pelaku jarimah murtad?
Ulama Hanafiyah berpendapat, sebelum dilakukan hukuman bunuh, pelaku
murtad dianjurkan untuk diberi kesempatan bertaubat terlebih dahulu
(pembahasan lebih jelasnya, akan dibahas pada bagian selanjutnya).
Sementara jumhur ulama menyatakan, memberikan kesempatan untuk
bertaubat bagi pelaku murtad merupakan suatu kewajiban.
Mengenai tenggang waktunya, sebagian ulama memberi tempo selama
tiga hari. Sementara sebagian ulama yang lainnya tidak memberikan batas
tenggang waktu, namun secara berulang-ulang menyuruh pelaku murtad untuk
bertaubat sampai ada dugaan kuat bahwa pelaku tetap teguh terhadap
20
M. Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) hlm. 70-
71.
53
pilihannya untuk keluar dari Islam; dan pada saat itulah hukuman bunuh
dilaksanakan.21
Pelaku murtad yang telah dikenakan hukuman (bunuh), maka ia tidak
dimandikan, tidak juga dishalati, serta tidak dimakamkan di pemakaman kaum
muslim. Harta orang murtad tidak boleh diwariskan, tetapi menjadi fay‟i kaum
muslimin yang dapat dipergunakan untuk kemaslahatan-kemaslahatan umum
umat.22
Hal ini tercantum dalam Q.s. At-Taubah (9): 84:
ا ول ت قم على ق به إن هم كفروا باللو ورسولو هم مات أبد ول تصل على أحد من
)التوبة/٩ : ٨٤( وماتوا وىم فاسقون Artinya: “Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah)
seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan)
di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya
dan mereka mati dalam keadaan fasik.”
Perlu digaris bawahi dalam penerapan jarimah riddah ulama berbeda
pendapat, apakah semua pelaku murtad dikenakan jarimah had atau tidak?
Ulama yang menganggap tidak semua pelaku murtad itu dikenakan hukuman
mati beralasan karena Islam memberikan kebebasan dalam berkeyakinan bagi
seluruh umatnya, bahkan sudah jelas terdapat banyak ayat dalam Al Qur‟an
yang menyatakan tidak ada paksaan dalam beragama. Kemudian keabsahan Al
Qur‟an tidak diragukan lagi sebagai sumber utama dalam hukum Islam. Hadist
21
Ibid, hlm. 63.
22 Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam (Bogor: Ghali Indonesia,
2009) hlm. 67.
54
Nabi yang memerintahkan untuk membunuh orang-orang murtadpun dianggap
masih belum jelas kondisi keluarnya hadist tersebut, sebagian yang lain
berpendapat bahwa penerapan hadist tersebut hanya berlaku bagi pelaku
murtad yang setelah keluarnya dari Islam memilih untuk memerangi atau
memusuhi Islam.
Adapun hukuman bagi pelaku tindak pidana penodaan agama dari
golongan kafir dzimmi (orang kafir yang tinggal di negeri Islam dan
mendapatkan perlindungan karena tidak memusuhi Islam) menurut pendapat
banyak fuqaha dari berbagai mazhab Islam, maka hukumannya bukan
hukuman mati, melainkan ta‟zair yang diserahkan jenis hukumannya secara
penuh kepada penguasa.23
D. Tindak Pidana Penodaan Agama Melalui Jejaring Sosial dalam Hukum
Pidana Islam
Tindak pidana penodaan agama melalui jejaring sosial merupakan salah satu
bentuk kejahatan yang di dunia maya dengan menggunakan perangkat komputer,
laptop, handphone, atau perangkat lainnya yang terhubung dengan jaringan internet.
Kejatahan yang terjadi di dunia maya atau internet dikenal dengan cyber crime.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin cepat,
haruslah dibarengi juga dengan adanya aturan dalam penggunaan internet, istilah ini
disebut dengan Cyber Law, yaitu hukum yang digunakan di dunia maya (Cyber
23
Sayyid Husain Hasyimi, Hukum Murtad Hak Allah atau Manusia, Penerjemah: Nasir
Dimyati, hlm. 97.
55
space). Dalam penerapannya, cyber law akan memiliki peran yang sangat penting
dalam penggunaan internet di masa yang akan datang, karena nyaris tidak mungkin
kehidupan tidak tersentuh lagi oleh perkembangan teknologi. Ruang lingkup
perannya mencakup aspek yang berkaitan dengan perseorangan atau subjek hukum
yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai saat online
dan memasuki dunia cyber atau dunia maya.
Tindak pidana penodaan agama melalui jejaring sosial dikategorikan sebagai
kejahatan cyber crime karena perbuatan tersebut dilakukan menggunakan media
internet. Dengan pertimbangan adanya pemanfaatan teknologi informasi untuk
melakukan kejahatan penodaan agama.24
Sebelum memahami kejahatan cyber crime dalam perspektif hukum pidana
Islam, konsep kriminologi syariah (studi tentang kejahatan berdasarkan prinsip-
prinsip syariah) mempunyai kewenangan untuk membedakan mana kejahatan dan
bukan kejahatan, apakah perbuatan tersebut termasuk kriminal atau non-kriminal.
Bahkan kriminologi syariah memandang dari berbagai aspek, bukan hanya sebatas
pelaku kejahatan (offender) saja, kriminologi syariah memperhatikan juga terhadap
korban (victim), kejahatan (crime), masyarakat (society), system peradilan pidana
(criminal justice system), dan negara (state).25
24
M. Nurul Irfan, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: AMZAH, 2013) cet. 2, hlm. 185-
186.
25 Chairil A. Adjis dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah, (Jakarta: ICRI, 2004) cet. 2, hlm.
287.
56
Dari pengklasifikasian berat ringannya suatu tindak pidana sebagai mana yang
dijelaskan diatas, maka tindak pidana penodaan agama melalui jejaring sosial
termasuk dalam ranah jarimah ta‟zir. Menurut Abdul Qadir Audah dan Wahbah
zuhaili ta‟zir diartikan mencegah dan menolak ( المنع والرد) karena ia dapat mencegah
pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya. Ta‟zir diartikan mendidik ( التأديب),
karena ta‟zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia
menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya.
Sedangkan menurut Al-Mawardi ta‟zir didefinisikan sebagaimana berikut :
والت عزير تأديب على ذنوب ل تشرع فيها الدود
Artinya: Ta‟zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa
(maksiat) yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara.
Sedangkan menurut Ibrahim Unais dan kawan-kawan memberikan definisi
ta‟zir menurut syara‟ sebagai berikut :
لغ الد الشرعي التأزير شرع ا : تأديب ل ي ب
Artinya: Ta‟zir menurut syara‟ adalah hukuman pendidikan yang tidak
mencapai hukuman had syar‟i.
57
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa ta‟zir adalah
suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara‟ serta tidak dikenakan hukuman had dan kifarat.26
Hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim
merupakan salah satu landasan/dasar disyariatkannya jarimah ta‟zir, yang isinya
sebagaimana berikut:
ه، عن أبيو عن حكيم ف حبس وسلم عليو اهلل صلى النب أن جد عن ب هز ابن
(الاكم وصححو والبيهقى والنسائى و الرتمذى داود الت همة (رواه ابو
Artinya: Dari Bahz ibn Hakim dan ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW
menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (Hadis
diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Nasa‟I, dan Baihaqi, serta
disahihkan oleh Hakim)27
Hukuman dalam jarimah ta‟zir tidak ditentukan ukuran dan kadarnya, oleh
sebabnya penguasa/hakim sepenuhnya diberikan kewenangan untuk menentukan
batas teerndah dan tertinggi hukuman tersebut. Abdul Qodir Audah menyatakan,
sebagaimana dikutip oleh Makhrus Munajat, bahwa jarimah terbagi menjadi tiga
bagian, sebagai mana berikut:
26
A. Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) cet. 2, hlm. 249.
27 A. Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) cet. 2, hlm. 252.
58
1. Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur subhat atau
tidak memenuhi syarat, namun dapat dianggap sebagai perbuatan tindak
pidana (jarimah), seperti pencurian harta syirkah.
2. Jarimah ta‟zir yang jenis jarimahnya sudah ditentukan oleh nash, tetapi
sanksinya oleh syar‟i diserahkan kepada hakim (penguasa), contohnya
sumpah atau janji palsu, pengurangan timbangan, menipu, menghina
agama dan lainnya.
3. Jarimah ta‟zir dan jenis sanksinya secara utuh menjadi wewenang
penguasa/hakim demi terwujudnya kemaslahatan umat. Dalam hal ini
unsur akhlak menjadi pertimbangan yang paling utama. Misalnya
pelanggaran terhadap peraturan lalu lintas.28
Untuk melengkapi uraian diatas, terkait hukuman bagi pelaku jarimah ta‟zir
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu:
1. Hukuman ta‟zir yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid
(dera).
2. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti
hukuman penjara dan pengansingan.
3. Hukuman ta‟zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda,
penyitaan/perampasan harta, dan penghancuran barang.
28
M. Nurul Irfan, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: AMZAH, 2013) cet. 2, hlm. 188.
59
4. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi
kemaslahatan umum.29
Dengan demikian, karena bisa dipastikan pada masa Rasulullah SAW hidup
belum ditemukan teknologi komputer dan internet seperti sekarang ini, dan tidak ada
satupun ayat atau hadist yang membahas baik secara langsung maupun secara tidak
langsung berkaitan dengan kejahatan melalui jejaring sosial atau dunia maya,30
maka
kejahatan tindak pidana penodaan agama melalui jejaring sosial termasuk dalam
kategori jarimah ta‟zir. Yang sepenuhnya wewenang untuk memberikan hukuman
dibebankan kepada hakim (penguasa) agar mendapatkan hukuman yang setimpal atas
apa yang telah diberbuatnya..
Walaupun sebelumnya penulis sudah menguraikan mengenai sanksi atau
hukuman bagi pelaku tindak pidana penodaan agama yang termasuk kategori murtad
(riddah) yaitu jarimah hudud, namun dalam penerapan kasus tindak pidana penodaan
agama melalui jejaring sosial disini termasuk jarimah ta‟zir, mengingat media yang
digunakan oleh pelaku adalah jejaring sosial yang tidak dibahas sebelumnya oleh
syara‟. Ini berlaku bagi siapa saja yang tinggal di wilayah teritorial suatu negara yang
menerapkan konsep hukum pidana Islam, baik muslim maupun non-muslim
sekalipun.
29
A. Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) cet. 2, hlm.252.
30 M. Nurul Irfan, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet. 2, hlm. 189.
60
BAB IV
ANALISIS PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA PENODAAN
AGAMA MELALUI JEJARING SOSIAL
(Putusan No: 434/Pid.Sus/2016/PN Byw)
A. Duduk Perkara
Dalam sistem beracara pidana, yang dikedepankan saat ini adalah adversary
system yaitu sistem berhadapan atau biasa juga disebut accusatoir. Sistem ini sebagai
lawan dari inquisitoir yang mana terdakwa menjadi objek pemeriksaan, sedangkan
hakim dan penuntut umum berada di pihak yang sama. Dengan mengedepankan
sistem saling berhadapan, maka diandaikan ada pihak terdakwa yang di belakangnya
terdapat penasihat hukumnya, sedangkan di pihak lain terdapat penuntut umum yang
atas nama negara menuntut pidana. Hakim berada di tengah pihak-pihak yang
berperkara dan tidak memihak.1
Maka dari itu, untuk mendeskripsikan kasus ini, perlu dipilah-pilah agar
menjadi objektif. Sebab bila hanya merujuk pada dakwaan penuntut umum, akan
cenderung tidak berimbang bahkan lebih memberatkan terdakwa. Oleh karena itu,
pada bab ini, penulis juga akan mencantumkan apa yang oleh Majelis Hakim diyakini
sebagai fakta.
Dalam putusan Nomor 434/Pid.Sus/PN Byw, menyebutkan terdakwa bernama
Bangus Panji, tempat dan tanggal lahir Banyuwangi 3 Juni 1993, berjenis kelamin
1 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015, Cetakan
Kedua), h. 64.
61
laki-laki, beragama Islam, bertempat tinggal di Dusun Krajan RT.04 RW.02 Desa
Benelan, Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, dan bekerja sebagai karyawan
Kapal KMP Rucitra III.
Dalam dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara: PDM-
112/O.5.21/Ep.3/08/2016 tertanggal 15 Agustus 2016 menyebutkan: Terdakwa
memiliki akun media sosial Facebook dengan nama Bagus Panji yang mana
tergabung dalam Grup bernama Banyuwangi Bersatu. Grup tersebut beranggotakan
sekitar 3000 orang sejak tahun 2015. Salahsatu anggota grup Banyuwangi bersatu
kemudian memposting cerita tentang Satpol PP Kota Serang yang merazia warung
nasi milik ibu-ibu tua. Karena postingan itu, terdakwa kemudian menulis di akunnya
yaitu: Ramadhan asu ajarane Nabi Muhammad iki ayo tuntut Nabi Muhammad
ajarane malah nyusahno wong kate golek rijki ae, Nabi Muhammad asu. Dalam
bahasa Indonesianya yaitu: Ramadan anjing ajaran Nabi Muhammad ini mari tuntut
Nabi Muhammad ajaran malah menyusahkan orang yang akan mencari rezeki saja,
Nabi Muhammad anjing.
Terdakwa setelah postingan di akunnya, juga menulis di kolom komentar
yaitu: mane wes pokoke ag gk trimo Bulan Ramadan kudu dihapus ben ibu iku tenang
iso bakulan golek rijki. Dalam bahasa Indonesianya: “biar sudah pokoknya saya tidak
terima dengan Bulan Ramadhan, dihapus saja biar ibu itu tenang dan bisa jualan
mencari rezeki”. Terdakwa menggunakan handphone merek Oppo warna putih type
R821 Nomor Ime: 861158021667450 ketika memposting tulisan itu.
62
Postingan tersebut mendapat reaksi keras dari pengguna media sosial dan para
pengurus PCNU Banyuwangi serta Kyai dan para ulama di Banyuwangi. Mereka
kemudian melaporkan perbuatan terdakwa pada Polres Banyuwangi untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut.
Atas perbuatan terdakwa ini, dalam proses persidangan, Penuntut Umum pada
pokoknya menuntut:
1. Menyatakan terdakwa Bagus Panji bersalah melakukan Tindak Pidana
Penistaan Agama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) jo Pasal
45 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik dalam dakwaan pertama;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Bagus Panji dengan pidana
penjara selama lima tahun enam bulan dikurangi selama terdakwa ditahan,
dengan perintah terdakwa tetap ditahan, dan membayar denda sebesar Rp.
10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah) Subsidair selama enam bulan kurungan;
3. Menyatakan barang bukti berupa: satu buah HP merk Oppo warna putih
type R821 Nomor Ime 861158021667450 dan dua lembar Print Out dari
Facebook akun Bagus Panji dengan tulisan: “Ramadhan asu ajarane Nabi
Muhammad iki ayo tuntut Nabi Muhammad ajarane malah nyusahno
wong kate golek rijki ae, Nabi Muhammad asu.” Dan komentar “mane
wes pokoke ag gk trimo Bulan Ramadan kudu dihapus ben ibu iku tenang
iso bakulan golek rijki” dirampas untuk dimusnahkan;
63
4. Menetapkan agar terdakwa, jika ternyata dipersalahkan dan dijatuhi
pidana, supaya ia dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000
(Dua Ribu Rupiah)
Penuntut Umum setelah tuntutan ini menyertakan bukti antara lain: pertama,
Satu buah HP merk Oppo warna putih Type R821 No. Ime 861158021667450 serta
dua lembar print out dari Facebook akun Bagus Panji dengan tulisan: “Ramadhan
asu ajarane Nabi Muhammad iki ayo tuntut Nabi Muhammad ajarane malah
nyusahno wong kate golek rijki ae, Nabi Muhammad asu.” Dan komentar “mane wes
pokoke aq gk trimo Bulan Ramadan kudu dihapus ben ibu iku tenang iso bakulan
golek rijki”. Kedua, saksi-saksi antara lain: Misnadi, SH. MH, Denny Sun‟anuddin,
SH, Noviansyah Sumbawanto, Arif Fauzi (saksi ahli), Imam Muklis S.Ag, MHI
(Saksi ahli), dan Dr. Jusak (saksi ahli).
Saksi-saksi ini membenarkan melihat postingan terdakwa pada akun
Facebook-nya yang bernada permusuhan. Bahkan para saksi ahli sepakat bahwa
terdakwa melakukan penghinaan terhadap Bulan Ramadhan dan Nabi Muhammad
SAW. Perbuatan terdakwa dianggap merusak aqidah sebab Nabi Muhammad dan
Bulan Ramadhan adalah bulan suci yang sangat dihormati dan dinanti-nanti
kedatangannya oleh seluruh Umat Islam khususnya Umat Islam seluruh Indonesia.
Postingan terdakwa menyebabkan anggota Grup Banyuwangi bersatu semakin
bertambah menjadi 69.770 orang sehingga jumlah anggota grup tersebut dapat
melihat tindakan dari terdakwa. Karena itu, tindakan terdakwa jelas melanggar Pasal
64
28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) UURI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE).
Di samping Penuntut Umum dengan tuntutan pidananya serta bukti-bukti
yang dihadirkan, terdakwa juga memberikan keterangannya yang pada pokoknya
yaitu: pertama, bahwa terdakwa mempunyai akun Facebook sejak tahun 2013 sampai
dengan sekarang; kedua, terdakwa mengikuti Grup yang bernama Banyuwangi
Bersatu sejak tahun 2015 dan grup tersebut beranggotakan 3000 orang; ketiga, bahwa
salahsatu anggota grup memposting cerita tentang Satpol PP Kota Serang yang
merazia warung nasi milik ibu tua tidak manusiawi sehingga terdakwa berdebat di
komentar postingan tersebut; keempat, bahwa kejadiannya pada hari Minggu tanggal
12 Juli 2016 pada saat terdakwa bekerja di atas kapal penyeberangan Lombok-Bali;
kelima, bahwa terdakwa menggunakan HP milik sendiri; keenam, bahwa terdakwa
telah meminta maaf kepada masyarakat luas khususnya Umat Islam melalui Youtube;
ketujuh, bahwa terdakwa merasa bersalah, berjanji tidak akan mengulangi
perbuatannya lagi dan memohon keringanan hukuman; kedelapan, bahwa benar
terdakwa belum pernah dihukum.
Apa yang diajukan oleh para pihak yang terlibat dalam persidangan, baik
Penuntut Umum dan Terdakwa, menjadi bahan pertimbangan Majelis Hakim. Bahan
pertimbangan tersebut yang kemudian menghasilkan suatu putusan. Namun sebelum
putusan itu, Majelis Hakim pada mulanya akan mempertimbangkan keselarasan
antara fakta yang sebenarnya terjadi sehingga bisa dikategorikan memenuhi unsur-
unsur tindak pidana. Adapun fakta menurut Majelis Hakim yaitu:
65
Pertama, bahwa terdakwa adalah anggota Grup Banyuwangi Bersatu sejak
tahun 2015, anggota masyarakat Banyuwangi Bersatu berjumlah sekitar 69.770
orang; kedua, bahwa salahsatu Anggota Grup Banyuwangi Bersatu memposting
tentang cerita Satpol PP Kota Serang yang merazia warung nasi milik ibu-ibu Tua
tidak manusiawi; ketiga, bahwa terdakwa pada hari Minggu tanggal 12 Juni 2016
pada jam 19.00 WIB menulis komentar di akun Facebooknya, yaitu: Ramadhan asu
ajarane Nabi Muhammad iki ayo tuntut Nabi Muhammad ajarane malah nyusahno
wong kate golek rijki ae, Nabi Muhammad asu. Dalam bahasa Indonesianya yaitu:
Ramadan anjing ajaran Nabi Muhammad ini mari tuntut Nabi Muhammad ajaran
malah menyusahkan orang yang akan mencari rezeki saja, Nabi Muhammad anjing.
Dan komentar, mane wes pokoke ag gk trimo Bulan Ramadan kudu dihapus ben ibu
iku tenang iso bakulan golek rijki. Dalam bahasa Indonesianya: biar sudah pokoknya
saya tidak terima dengan Bulan Ramadhan, dihapus saja biar ibu itu tenang dan bisa
jualan mencari rezeki, dengan menggunakan Hand Phone milik terdakwa merk Oppo
warna putih Type R821 No. Ime, 861158021667450;
Keempat, bahwa tulisan dan komentar terdakwa dalam akun miliknya tersebut
dibaca selain anggota grup Banyuwangi Bersatu yang berjumlah sekitar tiga ribu
orang, juga dibaca oleh saksi I; kelima, bahwa bulan Ramdhan adalah bulan suci
Umat Islam dan Nabi Muhammad adalah Rasul yang menjadi panutan Umat Islam
seluruh dunia, maka komentar-komentar terdakwa tersebut mendapat reaksi keras
Kyai dan para ulama di Banyuwangi, Umat Islam Indonesia khususnya Umat Islam di
Banyuwangi tersinggung dan terhina; keenam, bahwa terdakwa sudah meminta maaf
66
kepada masyarakat luas khususnya umat Islam lewat Youtube; ketujuh, bahwa
selanjutnya pada tanggal 15 Juni 2016 perbuatan terdakwa tersebut dilaporkan oleh
saksi I ke Polres Banyuwangi untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Fakta-fakta inilah yang menurut hakim adalah kejadian yang sebenarnya. Dari
fakta-fakta ini Majelis Hakim dapat membandingkan dan meneliti, apakah terdakwa
telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan Penuntut Umum.
B. Pertimbangan Majelis Hakim
Melihat sebelumnya bahwa Penuntut Umum memberikan dakwaan alternatif,
yaitu terdakwa melanggar pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (2) UU RI No. 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau terdakwa melanggar Pasal
156a KUHP, maka Majelis Hakim dengan berbagai pertimbangan memilih dakwaan
alternatif pertama. Bunyi lengkap Pasal 28 ayat (2) jp. Pasal 45 ayat (2) UU RI No.
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah: “Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA)”.
Unsur-unsur pasal tersebut yaitu: Pertama, Setiap orang; Maksud dari setiap orang
adalah barang siapa atau siapa saja sebagai subjek hukum yang dalam KUHP diduga
telah melakukan perbuatan pidana dan diajukan sebagai terdakwa. Dalam perkara ini,
yang diajukan Penuntut Umum sebagai terdakwa bernama Bagus Panji dimana
setelah Majelis menanyakan identitas terdakwa di persidangan ternyata cocok dengan
67
identitas terdakwa dalam surat dakwaan Penuntut Umum, karenanya unsur setiap
orang telah terpenuhi.
Kedua, dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan
untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA).
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini, bila dihubungkan dengan fakta hukum,
Majelis Hakim mempertimbangkan:
1. Menimbang bahwa kata “dengan sengaja” artinya ada kemauan dari
pelaku (culpa) tanpa ada unsur terpaksa/paksaan dan pelaku akan
mengetahui akibat dari perbuatannya tersebut yang dalam hal ini dapat
dibaca oleh seluruh anggota Grup Banyuwangi Bersatu sebagai pengguna
Sosial Media (Facebook);
2. Menimbang bahwa yang ditulis terdakwa dalam akun Facebook-nya
tersebut adalah mengenai agama Islam yang berakibat tidak saja bagi
seluruh anggota Grup Banyuwangi Bersatu yang beragama Islam tetapi
juga umat Islam Indonesia, khususnya umat Islam di Banyuwangi yang
merasa tersinggung dan terhina;
3. Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut Majelis
berkeyakinan perbuatan terdakwa tersebut dapat dikategorikan sebagai
perbuatan “yang dapat menimbulkan rasa kebencian atau permasalahan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA”,
sehingga unsur ini telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa;
68
4. Menimbang bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 28 Ayat (2) jo.
Pasal 45 ayat (2) UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik telah terpenuhi, maka terdakwa haruslah dinyatakan
telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan pertama;
5. Menimbang bahwa dalam persidangan Majelis tidak menemukan hal-hal
yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik alasan
pembenar dan/atau alasan pemaaf, maka terdakwa harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya;
6. Menimbang bahwa karena terdakwa mampu bertanggungjawab atas
perbuatan yang telah dilakukannya maka terdakwa harus dinyatakan
bersalah atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya dan berdasarkan
ketentuan Pasal 193 ayat (1) KUHAP terhadap terdakwa haruslah dijatuhi
pidana;
7. Menimbang bahwa tentang permohonan keringanan hukuman yang
disampaikan secara lisan oleh terdakwa, Majelis tidak mempertimbangkan
secara khusus tetapi secara mutatis-mutandis telah dipertimbangkan dalam
putusan ini, khususnya hal-hal yang meringankan terdakwa;
8. Menimbang bahwa dalam perkara ini terhadap terdakwa telah dikenakan
penangkapan dan penahanan yang sah maka masa penahanan tersebut
harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
69
9. Menimbang bahwa karena terdakwa ditahan dan penahanan terhadap
terdakwa dilandasi alasan yang cukup maka perlu ditetapkan agar
terdakwa tetap berada dalam tahanan;
10. Menimbang bahwa terhadap barang bukti yang diajukan di persidangan,
Majelis sependapat dengan permintaan Penuntut Umum dalam surat
tuntutannya dan statusnya akan ditetapkan dalam amar putusan perkara
ini;
11. Menimbang bahwa karena Pasal yang dilanggar terdakwa ialah dalam
ruang lingkup No. 11 Tahun 2008 yang menyatakan selain hukuman
penjara juga pidana denda, dimana dalam Undang-Undang tersebut tidak
mengatur pidana pengganti jika terdakwa tidak mampu membayar pidana
denda tersebut, akan tetapi berdasarkan Pasal 30 ayat (2) KUHP sebagai
aturan yang sifatnya umum menyatakan jika dijatuhkan pidana denda dan
tidak dibayar, maka dapat diganti dengan pidana kurungan;
12. Menimbang bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa maka
perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan
yang meringankan terdakwa. Hal-hal yang memberatkan adalah bahwa
perbuatan terdakwa menyebabkan Umat Islam merasa terhina. Sementara
hal-hal yang meringkankan adalah, terdakwa bersikap sopan mengaku
bersalah dan menyesal, terdakwa belum pernah dihukum, dan terdakwa
sudah meminta maaf;
70
Menimbang bahwa karena terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana
maka harus pula dibebani membayar biaya perkara sebesar yang akan disebutkan
dalam putusan ini.
C. Putusan Majelis Hakim
Setelah menimbang dan memperhatikan Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (2)
UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal-
Pasal dalam KUHAP serta ketentuan perundang-undangan lainnya yang
bersangkutan, Majelis Hakim kemudian mengeluarkan putusan, yaitu:
1. Menyatakan terdakwa: Bagus Panji telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana: Dengan Sengaja dan
tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan
rasa kebencian terhadap agama;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu pidana penjara
selama: empat tahun dan denda sebesar Rp. 10.000.000 (Sepuluh Juta
Rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar,
maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Menetapkan barang bukti berupa satu buka HP merk Oppo warna putih
type R821 No. Ime, 861158021667450 dan dua lembar Print Out dari
71
Facebook akun Bagus Panji dengan tulisan: “Ramadhan asu ajarane Nabi
Muhammad iki ayo tuntut Nabi Muhammad ajarane malah nyusahno
wong kate golek rijki ae, Nabi Muhammad asu. Dan komentar, mane wes
pokoke ag gk trimo Bulan Ramadan kudu dihapus ben ibu iku tenang iso
bakulan golek rijki,” dirampas untuk dimusnahkan;
6. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 2.000 (Dua Ribu rupiah).
Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Banyuwangi pada hari, Kamis tanggal 29 September 2016 oleh
kami: Sigid Triyono, SH.MH sebagai Hakim Ketua Majelis, Wahyu Widodo, SH.MH
dan I Wayan Suarta, SH.MH, masing-masing sebagai Hakim Anggota dan pada hari
itu juga putusan tersebut diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum
oleh Hakim Ketua Majelis dengan didampingi Hakim-Hakim Anggota tersebut
dengan dibantu oleh Poniyah, SH sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Hari
Utomo NS, SH sebagai Penuntut Umum dan terdakwa.
D. Analisa Putusan Pengadilan Ditinjau dalam Hukum Pidana Postif dan
Hukum Pidana Islam
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri ini berpijak pada hukum formal
sekaligus materil. Dalam artian, aturan berupa Undang-Undang tersebut merupakan
produk dari badan legislatif bersama eksekutif, dan isi dari undang-undang tersebut
mengikat bagi pelaku tindak pidana apabila unsur-unsurnya terpenuhi. Pijakan
72
Mejelis Hakim dalam putusan Nomor 434/ Pid.Sus/ PN Byw, adalah Pasal 28 ayat (2)
jo. Pasal 45 ayat (2) UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Bunyi lengkap Pasal tersebut yaitu: “Setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian
atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas
suku, agama, ras dan antar golongan (SARA)”.2
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik ini, pada dasarnya sebagai pelengkap dari Pasal 156 dan 156a Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, serta Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965. Kedua
Undang-Undang tersebut belum mencakupi perbuatan tindak pidana yang dilakukan
di media sosial seperti Facebook, Instagram dan lain sebagainya. Karena itu, Majelis
Hakim memilih Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik sebagai dasar hukumnya untuk menjatuhkan sanksi pidana,
sebab pelaku melakukan tindak pidana melalui media sosial, yaitu Facebook.
Untuk sampai kepada putusan, Majelis Hakim terlebih dahulu
mempertimbangkan antara fakta hukum dan unsur-unsur yang dilanggar oleh pelaku.
Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini antara lain:
1. Setiap orang
2. Dengan sengaja dan tanpa hak
2 Pasal 28 (e) ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
73
3. Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok tertentu
berdasarkan Suku, Agama, Rasa dan Antar Golongan (sara).3
Unsur-unsur ini, bila terpenuhi maka bagi pelaku patut dimintakan
pertanggungjawabannya.4 Menurut pertimbangan Majelis Hakim tindakan pelaku
tersebut telah terpenuhi sehingga bagi pelaku/pelanggar patut untuk dimintakan
pertanggung jawabannya berupa sanksi pidana. Sanksi bagi pelaku yang memenuhi
unsur-unsur Pasal 28 ayat (2), dijelaskan pada Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Infomrasi dan Transaksi elektronik. Rumusan lengkap
Pasal tersebut adalah: “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)”.
Pada Pasal ini, perlu ditegaskan bahwa penjatuhan sanksi oleh hakim dapat
bersifat alternatif, dapat pula bersifat kumulatif. Itu berarti, Majelis Hakim dapat
memilih atau menggabungkan sanksi bagi pelaku tindak pidana. 5
Hal ini jelas
tergambar pada Putusan Nomor 434/ Pid.Sus/ PN Byw, bahwa Majelis Hakim hanya
3 Muhammad Andri Fauzan Lubis, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Penistaan Agama Melalui Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang No 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Jurnal, h. 11.
4 Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), h. 17.
5 Muhammad Andri Fauzan Lubis, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak
Pidana Penistaan Agama Melalui Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan Undang-Undang No 11 Tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Jurnal, h. 10-11.
74
menjatuhkan sanksi penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp. 10.000.000
(Sepuluh Juta Rupiah). Tentu, penjatuhan sanksi oleh Majelis Hakim, tidak lepas dari
pertimbang-pertimbangan yang meringankan terdakwa: Selama jalannya persidangan,
terdakwa bersikap sopan, mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya, terdakwa
sebelumnya belum pernah terlibat dengan masalah hukum, dan terdakwa telah
meminta maaf pada Umat Islam melalui Youtube. Demikianlah analisis tentang
Putusan Nomor 434/ Pid.Sus/ PN Byw melalui kacamata hukum positif.
Adapun bila ditinjau dari hukum Islam, menurut mayoritas ulama tindakan
pelaku penodaan agama Islam tersebut mendekatkan dirinya pada kemurtadan bila
pelaku sendiri adalah seorang muslim. Menurut Abdul Qadir Audah6, murtad berarti
keluar dari agama Islam atau memutuskan keluar dari agama Islam. Pengertian yang
diberikan oleh Audah kemudian dipertegas oleh Wahbah al-Zuhaili dengan
pernyataan, keluar dari agama Islam menjadi kafir, baik dengan niat, perkataan,
maupun perbuatan yang menyebabkan orang yang bersangkutan dikategorikan kafir.
Hal ini mengandaikan bahwa seorang muslim dinggap keluar dari Islam karena
adanya niat, tindakan dan ucapannya.
Sayid Sabiq memberi kategorisasi pada bentuk tindak dan ucapan yang dapat
menyebabkan seorang muslim menjadi kafir antara lain7: pertama, mengingkari
keesaan Allah SWT, ingkar akan adanya malaikat, nabi, tidak percaya datangnya hari
kiamat, serta mengingkari apa-apa yang sudah diwajibkan oleh Islam bagi umatnya,
6 M. Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) hlm. 64.
7 Ibid, hlm. 65.
75
seperti salat, zakat, haji dan lain sebagainya. Kedua, menghalalkan yang haram,
seperti minum minuman yang memabukkan, zina, riba, dan makan daging babi.
Ketiga, mengharamkan yang halal, seperti jenis makanan yang halal dirubah menjadi
haram.
Keempat, mencaci atau menghina Nabi Muhammad SAW, dan Nabi-Nabi yang lain.
Kelima, mencaci dan menghina Al Qur‟an dan Sunnah Nabi. Keenam, mengaku
bahwa dirinya telah menerima wahyu dari Allah SWT. Ketujuh, melemparkan Al
Qur‟an atau kitab hadits ke dalam kotoran, dengan maksud menghinakan dan
meremehkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalamnya. Kedelapan, meremehkan
salah satu nama dari nama-nama Allah SWT, begitupun perintah-perintah maupun
larangannya.
Perbuatan dan ucapan ini merupakan unsur yang menyebabkan seorang
menjadi kafir, dengan catatan bahwa tindakan tersebut dilakukan oleh orang yang
berakal. Bila yang melakukan tindakan tersebut telah tertutup akalnya, maka segala
ucapan dan perbuatannya tidak dapat diterima.
Sanksi bagi tindak pidana riddah dapat dibagi menjadi tiga kategori: pertama
adalah sanksi utama atau sanksi pokok. Mengenai sanksi utama ini, ulama sepakat
bahwa pelakunya dikenakkan had yaitu sanksi dibunuh.8 Hal ini didasarkan pada apa
yang diriwayatkan Ikrimah:
أنا كنت لو ف قال عباس ابن ذلك ف ب لغ فأحرق هم بزنادقة عنو اللو رضي ت أ علي
8 M Amin Suma, dkk., Pidana Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) h. 68.
76
بوا ل وسلم عليو اللو صلى اللو رسول لن هي أحرق هم اللو ولقت لت هم بعذاب ت عذ ل
ت لوه دينو بدل من وسلم عليو اللو صلى (البخارى رواه) فاق لقول رسول اللو
Beberapa orang Zindiq diringkus dan dihadapkan kepada Ali R.a., lalu Ali
membakar mereka. Kasus ini terdengar oleh Ibnu Abbas, sehingga ia berkata:
Kalau aku, tak akan membakar mereka karena ada larangan Rasulullah Saw
yang bersabda, “Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah,” dan aku
akan tetap akan membunuh mereka sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:
“Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah!” (H.r. Bukhari).
Sanksi bagi pelaku Had (murtad) berupa dibunuh, merupakan sanksi yang
telah ditentukan ancamannya oleh Nash. Karena itu, sanksi tersebut tidak dapat
ditambah atau dikurangi, sebab merupakan aturan yang datang dari Allah SWT.9
Sanksi had berupa dibunuh ini dapat turun derajatnya menjadi sanksi kategori kedua
yaitu ta‟zir apabila terjadinya dua keadaan: pertama, bila pelaku bertaubat, maka
hakim mengganti sanksi had menjadi ta‟zir sesuai dengan keadaan pelaku. Kedua,
bila sanksi utama atau pokok tadi terjadi syubhat, seperti pandangan Imam Abu
Hanifah yang menggugurkan hukuman mati dari pelaku wanita dan anak-anak maka
dalam kondisi demikian pelaku perbuatan itu dipenjara dengan masa hukuman yang
tidak terbatas dan keduanya dipaksa untuk kembali memeluk agama Islam.10
Dalam
kajian pidana Islam, jarimah ta‟zir ini sanksinya tergantung pada ketentuan penguasa
9 M Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: AMZAH, 2013) cet. 2, h. 187.
10 A. Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h. 130.
77
atau hakim, sebab memang dalam syara‟ tidak disebutkan ketentuan kadar
hukumnya.11
Sementara kategori ketiga adalah sanksi tambahan. Sanksi ini berupa
hilangnya kepemilikan terhadap hartanya (al-mushdarah). Hal ini berlaku bila pelaku
tidak melakukan taubat yang sunguh-sungguh. Sebaliknya, Ulama sepakat apabila
pelaku murtad yang kembali memeluk Islam, status kepemilikan hartanya kembali
seperti semula ketika masih memeluk agama Islam.12
Ulama Hanafiyah dan jumhur ulama sangat menekankan memberikan
kesempatan bagi pelaku untuk bertaubat. Namun mengenai tenggang waktunya,
sebahagian ulama memberi tempo/waktu selama tiga hari, sementara yang lainnya
tidak membatasi, dalam artian selalu meminta kepada pelaku untuk bertaubat sampai
ditemukan indikasi bahwa pelaku memang teguh pendirian memilih untuk keluar dari
Islam, maka pada saat itulah sanksi had berupa dibunuh, dapat dilaksanakan. Setelah
diberikan sanksi had berupa dibunuh, jasad pelaku tidak dimandikan, tidak dishalati,
dan tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslim. Adapun harta yang ditinggalkan
pelaku, tidak boleh diwariskan, melaikan menjadi fa‟i kaum muslimin dan dapat
digunakan untuk kemaslahatan umat.13
Demikianlah sanksi penodaan agama bila
ditinjau dari hukum Islam.
11
M Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet. 2, h. 187.
12 M Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001) h. 70-71.
13Asadulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam (Bogor: Ghali Indonesia,
2009) h. 67.
78
Bila dihubungkan dengan penodaan agama yang dilakukan oleh Bagus Panji
sebagai pelaku penodaan agama pada putusan Nomor 434/Pid.Sus/2016/PN Byw,
maka perlu diurai penjelasannya. Pelaku pada faktanya melakukan penodaan agama
melalui jejaring sosial. Apa yang dituliskannya menjurus pada keinginnya untuk
menafikan bulan Ramadhan. Ditambah lagi, pelaku mencaci Nabi Muhammad SAW,
dengan kata-kata kasar. Bagi umat Muslim di Banyuwangi pada khususnya, dan umat
Muslim Indonesia pada umumnya, sangat merasa tersakiti dengan tulisan pelaku.
Sehingga boleh dikategorikan, tindakan pelaku tersebut merupakan tindakan
penodaan agama sebagaimana yang dikategorisasikan dalam hukum Islam.
Hukum Islam yang pada dasarnya tidak hanya mengatur hal vertikal, tapi juga
horizontal, sebenarnya tidak banyak membahas mengenai penodaan agama melalui
jejaring sosial, karena bukan termasuk permasalahan klasikal.
Pada tataran penodaan agama yang dilakukan melalui jejaring sosial, dalam
hukum Islam, pelaku tersebut dikategorikan dalam jarimah ta‟zir. Hal ini mengingat
pengertian ta‟zir yang mana pelarangan perbuatannya telah digariskan oleh Nash
namun tidak merinci sanksi dari perbuatan. Karena itu sanksinya sepenuhnya
diberikan kepada penguasa atau hakim.14
Hakim sepenuhnya dipercayakan untuk
menentukan kadar tinggi atau rendah sanksinya.
Mengenai sanksi Jarimah ta‟zir ini meskipun dipercayakan kepada hakim
untuk menentukan sanksinya, namun pada umumnya, sanksi tersebut dapat
14
A Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h.249.
79
dikelompokkan menjadi empat bagian: pertama, hukuman mati dan jilid atau dera.
Kedua, hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti hukuman
penjara dan pengasingan. Ketiga, hukuman ta‟zir yang berkaitan dengan harta seperti
denda, penyitaan atau perampasan harta, dan penghancuran barang. Keempat,
hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi kemaslahatan umum.15
Demikian gambaran pada umumnya sanksi yang diberikan. Terlepas dari itu,
sanksinya tetap pada kewenangan hakim atau penguasa. Sanksi penodaan agama ini
dapat dikenakkan kepada pelaku penodaan agama bila locus atau wilayah teritorial
negara yang menerapkan konsep hukum pidana Islam, baik terhadap seorang muslim,
ataupun non-muslim sekalipun.
15
M Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2013) cet. 2, h. 189.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis mengamati dengan cermat uraian diatas, maka penulis
mengambil kesimpulan sebagaimana berikut :
1. Tindak pidana adalah perbuatan melawan hukum atau undang-undang
yang berlaku yang telah ditetapkan sehingga dapat menimbulkan kerugian
terhadap seseorang atau kelompok baik berupa materil maupun imateril.
Sedangkan penodaan agama diartikan sebagai penentangan hal-hal yang
dianggap suci atau yang tidak boleh diserang (tabu) yaitu, simbol-simbol
agama/pemimpin agama/kitab suci agama. Bentuk penodaan agama pada
umumnya adalah perkataan atau tulisan yang menentang ketuhanan
terhadap agama-agama yang mapan.
Suatu tindakan dapat termasuk dalam tindak pidana penodaan
penodaan agama melalui jejaring sosial apabila seseorang melakukan
kejahatan yang melawan hukum yang dapat menimbulkan kerugian bagi
individu atau kelompok dengan menentang segala hal yang dianggap suci
atau sejenisnya. Perbuatan tersebut dilakukan berupa tulisan (postingan)
melalui media jejaring sosial seperti facebook, twitter, dll.
Dalam hukum Postif pengertian penodaan agama tidak dijabarkan
secara jelas, begitupun dengan hukum pidana Islam, penulis tidak
81
menemukan satu pun kajian mengenai penodaan agama, namun perbuatan
tersebut lebih dekat perbuatan murtad.
2. Tindak pidana penodaan agama dalam hukum pidana positif diatur pada
Pasal 156 dan 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan Undang-
Undang No. 1/PNPS/1965. Dalam penerapannya, Pasal 156a lebih sering
digunakan oleh hakim dalam kasus penodaan agama.
Bunyi Pasal 156a KUHP yaitu: “Dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. Yang pokoknya
bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia; b. Dengan maksud agar supaya orang
tidak menganut agama apapun juga, yang bersendirikan Ketuhanan Yang
Maha Esa.”
Berbeda halnya jika perbuatan penodaan agama tersebut dilakukan
melalui jejaring sosial, karena pasal tersebut tidak memuat aturan apabila
perbuatan tersebut dan diberlakukannya asas lex specialis derogate legi
generalis, maka pasal yang dikenakan bagi pelaku tindak pidana penodaan
agama melalui jejaring sosial adalah Undang-undang No 11 Tahun 2008
Pasal 28 (e) ayat 2, yaitu mencakup tindakan atau perbuatan yang dilarang
berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik dengan ancaman
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
82
Sedangkan dalam hukum pidana Islam, tindak pidana penodaan
agama dikenakan jarimah ta‟zir, yang hukumannya sepenuhnya
diserahkan kepada hakum/penguasa.
3. Dalam contoh kasus putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan
Banyuwangi terkait penodaan agama yang dilakukan oleh seorang muslim
melalui jejaring sosial, sehingga dikenakan hukuman pidana penjara
selama: empat tahun dan denda sebesar Rp. 10.000.000 (Sepuluh Juta
Rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar,
maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan, tidak relevan
dengan hukum pidana Islam. Dalam hukum pidana Islam, pelaku
dikenakan jarimah ta‟zir yang seutuhnya hakim diberikan wewenang
memberikan hukuman terhadap pelaku, baik berupa hukuman mati,
penjara, ataupun denda.
B. Saran
1. Kepada pemerintah agar bisa memberikan hukuman yang setimpal bagi
pelaku tindak pidana penodaan agama, baik secara langsung maupun
melalui media jejaring sosial. Kemudian harus juga memperhatikan
langkah-langkah preventif untuk kedepannya, sehingga tidak aka nada lagi
pelaku tindak pidana penodaan agama. Karena bukan tidak mungkin,
kejahatan melalui jejaring sosial akan semakin berkembang jenisnya
dikemudian hari, aturan untuk menggunakan jejaring sosial/internet
83
haruslah sesegara mungkin dibuat, atau setidaknya diperhatikan kembali,
karena aturan yang ada saat ini terlalu bersifat general bagi beberapa
tindak pidana melalui internet.
2. Kepada masyarakat luas, agar lebih hati-hati dalam menggunakan jejaring
sosial, serta senantiasa bisa menjaga nilai-nilai toleransi antar umat
beragama. Banyak hikmah yang dapat diambil dari beberapa kasus yang
sudah terjadi, setidaknya penting untuk saling menghargai keyakinan
orang lain, dan menjaga baik berupa perkataan, perbuatan, atau berupa
postingan di jejaring sosialnya masing-masing.
84
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur‟anul Karim
Hadits Rasulullah SAW
Buku:
Adjis, Chairil A., dan Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah. Cet. 2, Jakarta: ICRI,
2004.
Alli, Zainudin, Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
Al Faruq, Asadulloh, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam. Bogor: Ghali
Indonesia, 2009.
Aripin, Jaenal, dan Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam. Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2006.
Berger, Peter L dan Thomas Luckmann. 1966. Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Risalah
Tentang Sosiologi Pengethauan. Penerjemah Hasan Basri. Jakarta: LP3S,
2012, Cet. 9.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia. Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
Hasyimi, Sayyid Husain, Hukum Murtad Hak Allah atau Manusia, Penerjemah: Nasir
Dimyati. Jakarta: Sadra International Institute, 2005.
Irfan, M Nurul, dan Masyrofah, Fiqh Jinayah. Cet. 2, Jakarta: AMZAH, 2013.
Kamil, Syukron, dkk, Syariah Islam dan HAM. Jakarta: CSRC, 2007.
Lindholm, Tor dkk. Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?.
Penerjemah Rafael Edy Bosko dan Rifa‟i Abduh. Jakarta: Kanisius, 2004.
Lukito, Ratno, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler; Studi Tentang Konflik Dan
Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia. Ciputat: Pustaka Alvabet, 2008.
Muhshi, Adam, Teologi Konstitusi; Hukum Hak Asasi Manusia atas Kebebasan
Beragama di Indonesia. Cet. 1, Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2015.
Muslich, A. Wardi, Hukum Pidana Islam. Cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
85
Muslich, A. Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah. Cet. 1,
Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Nasrullah, Rulli, Media Sosial Persfektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi.
Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2015.
Praja, S Juhaya, dkk, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia. Bandung:
Angkasa, 1982.
Prodjodikoro, Wirjono Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Refika
Aditama, 2003.
Qamar, Nurul, Hak Asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Cet. 1, Jakarta:
Sinar Grafika, 2013.
Rohidin, Kontruksi Baru Kebabasan Beragama. Cet. 1. Yogyakarta: FH UII Press,
2015.
S, Arifianto, Dinamika Perkembangan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan
Komunikasi Serta Implikasinya di Masyarakat. Jakarta: Media Bangsa,
2013.
Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam. Cet. 2, Bandung: Asy Syaamil
Press & Grafika, 2000.
Saebani, Beni Ahmad, Metode Penelitian Hukum. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Sianutri, S.R, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:
Percetakan BPK Gunung Mulia, 1996.
Soejono dan Abdurahman, Metode Penelitian Hukum. Cet. 1, Jakarta : PT Rineka
Cipta, 1999.
Soesilo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, 1995.
Suma, M. Amin, dkk, Pidana Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Syamsu, Muhammad Ainul, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum
Pidana. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016.
86
Undang-undang:
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28 E
Pasal 28 (e) ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Tindak Pidana Penodaan
Agama Melalui Jejaring Sosial.
Putusan:
Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi, No Perkara: 434/Pid.Sus/2016/PN Byw.
Jurnal dan Skripsi:
Adare, Randy A, “Delik Penodaan Agama Ditinjau dari Sudut Pandang Hukum
Pidana di Indonesia” Jurnal Lex Et Societis, Vol. I/No. 1/Jan-Mrt/2013.
Aji, Ahmad Mukri, “Hak dan Kewajiban Asasi dalam Perspektif Islam”, Jurnal, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015.
Al Mughoffary, Ibnu Tulaji Ahmad, “Analisis Muatan Materi Pasal Penodaan Agama
Dalam Kajian Politik Hukum Pidana”, Jurnal, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum
Sunan Giri Malang.
Cristianto, Hwian. “Arti Penting UU No. 1/PNPS/1965 Bagi Kebebasan Beragama
Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi 140/Puu-Vii/2009”, Jurnal, Fakultas
Hukum Universitas Suarabaya, Surabaya, 2016.
Ismahudi, “Analisa Pidana Hukum dan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana
Penistaan Agama Di Indonesia”, Skripsi S1, Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara Medan, 2008.
Lubis, Fauzan, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Penistaan Agama Melalui Jejaring Sosial dikaitkan dengan Undang-Undang
No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”, Jurnal,
Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara Medan, 2013.
Lubis, Muhammad Andri Fauzan, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku
Tindak Pidana Penistaan Agama Melalui Jejaring Sosial Dikaitkan Dengan
Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik”, Jurnal, Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
2013.
87
Muhammad Fadlan Asif, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 156a (KUHP)
Tentang Tindak Pidana Penodaan Agama”, Skripsi S1 Universitas Islam
Negeri Walisongo Semarang, 2015.
Rizki Dwi Prasetyo, “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Penipuan
Online Dalam Hukum Pidana Positif di Indonesia”, Jurnal, Malang: Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya, 2014.
Subki, Tajus, dkk, “Analisis Yuridis Tindakan Pidana Penodaan Agama; (Putusan
Pengadilan Negeri Sampang Nomor 69/Pid.B/2012/PN.Spg)”, E-Juornal
Lentera Hukum, Vol. I/No. 1/ April 2014.
Shidiq, Ghofar, Teori Maqashid Al-Syariah dalam Islam, Jurnal, Fakultas Agama
Islam, Univ. Islam Sultan Agung.
Widiantari, Komang Sri, dan Yohanes Kartika Herdiyanto, “Perbedaan Intensitas
Komunikasi Melalui Jejaring Sosial antara Tipe Kepribadian Ekstrovert dan
Introvert pada Remaja”, Jurnal, Fakultas Psikologi Universitas Udayana,
2013.
Internet:
https://id.wikipedia.org/wiki/Jejaring_sosial, diakses pada tanggal 13 Maret 2017,
pukul 10.50
https://konsultanhukum.web.id/penodaan-agama-menurut-konstitusi-dan-hak-asasi-
manusia/, diakses pada tanggal 07 Mei 2017, pukul 10.27
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/10/18/of81e3330-ini-kasus-
penistaan-agama-di-indonesia-yang-diproses-hukum-part1, berita diakses
tanggal 28 Febuari 2017, pukul 12.32.
http://news.detik.com/berita/d-3369506/ini-pernyataan-ahok-yang-dianggap-jaksa-
nodai-agama, berita diakses tanggal 01 Maret 2017, pukul 07.54.
http://tekno.liputan6.com/read/2435997/3-fakta-mengejutkan-pengguna-internet-di-
indonesia, diakses pada tanggal 17 Maret 2017 pukul 12.06.
https://www.idjoel.com/pengertian-jejaring-sosial-dan-macam-macam-jejaring-
sosial/, diakses pada tanggal 13 Maret 2017, pukul 10.55
http://www.masjidagungtransstudiobandung.com/2016/10/20/pandangan-Islam-
penodaan-agama/, artikel diakses pada tanggal 01 Maret 2017, pukul 11.04.
Recommended