View
1.554
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Salah satu penyakit yang umum kita jumpai terutama pada saat musim
penghujan tiba adalah demam Dengue (DF) dan Demam berdarah Dengue (DHF)
atau bahkan Syndrom syok Dengue (DSS). Penyakit ini disebabkan oleh virus
Dengue melalui vektor atau pembawa yaitu nyamuk Aedes betina, misalnya Aedes
albopictus dan Aedes aegypti. Namun paling sering disebabkan oleh nyamuk Ae.
aegypti.
Penyakit DBD pertama kali dikenal di Filiphina pada 1953. Gejala klinis
yang muncul diketahui akibat infeksi virus DEN-2 dan DEN-4, yang berhasil
diisolasi di Filiphina pada tahun 1956. Selang tiga dekade berikutnya, data WHO
menunjukkan bahwa penyakit ini ditemukan di Kamboja, Cina, Indonesia, Laos,
Malaysia, Maldives, Myanmar, Singapura, Sri Lanka, Vietnam, dan beberapa
wilayah di kepulauan Pasifik (Ginanjar, 2008).
Indonesia merupakan negara yang pada musim hujan, hampir tidak ada
daerah yang terbebas dari serangan penyakit ini. Penyakit ini pertama kali dicurigai
di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi pasti melalui isolasi virus baru dapat
dilakukan pada tahun 1970. pada tahun 1980, seluruh propinsi di Indonesia
dinyatakan telah terjangkit penyakit DBD. Angka kematian yang ditimbulkan oleh
penyakit DBD sejak 1968 mencapai 41,3% dari jumlah keseluruhan penderita. Sejak
1
tahun 1991 angka kematian ini stabil di bawah 3%. Menurut data Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, pada awal 2007 jumlah penderita DBD telah
mencapai 16.803 orang dan 267 orang diantaranya meninggal dunia. Jumlah orang
yang meninggal tersebut jauh lebih banyak dibandingkan kasus kematian manusia
karena flu burung (Avian Influenza) (Ginanjar, 2008).
Banyak faktor yang menyebabkan tingginya kasus DBD terutama di
Indonesia. Pendidikan yang rendah menyebabkan kurangnya kesadaran dan
pengetahuan masyarakat tentang bahaya DBD. Selain itu, faktor gizi yang minim
telah menurunkan kemampuan sistem imun (kekebalan) tubuh terhadap serangan
virus Dengue. DBD semakin tersebar luas seiring dengan pengaruh transportasi dan
kepadatan penduduk yang semakin tinggi. Hal ini turut mempermudah penyebaran
penyakit DBD dan semakin sulitnya menghindari penyakit tersebut.
Obat maupun vaksin untuk pengobatan DBD sampai saat ini belum
ditemukan. Pemberantasan penyakit tersebut hingga saat ini diupayakan dengan
memodifikasi lingkungan melalui pengendalian vektor, penyemprotan dan sanitasi
lingkungan (Blondine, Retno, 2005). Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas
bagaimana mencegah penyakit ini dengan memodifikasi faktor lingkungan yang
berkaitan dengan rantai perpindahan penyakit tersebut.
I.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui tentang penyakit
yang diseabkan oleh virus Dengue di lingkungan sekitar dan upaya pemberantasan.
2
BAB II
ISI
II.1 VIRUS DENGUE
Demam Dengue dan Demam berdarah Dengue disebabkan oleh virus
Dengue. Virus Dengue merupakan virus RNA untai tunggal, genus flavivirus, terdiri
dari 4 serotipe yaitu Den-1, 2, 3 dan 4. Struktur antigen ke-4 serotipe ini sangat mirip
satu dengan yang lain, namun antibodi terhadap masing-masing serotipe tidak dapat
saling memberikan perlindungan silang.. Fu et al (1992) dalam WHO (2002)
mengatakan bahwa variasi genetik yang berbeda pada ke-4 serotipe ini tidak hanya
menyangkut antar serotipe, tetapi juga didalam serotipe itu sendiri tergantung waktu
dan daerah penyebarannya. Pada masing-masing segmen codon, variasi diantara
serotipe dapat mencapai 2,6-11,0 % pada tingkat nukleotida dan 1,3-7,7 % untuk
tingkat protein. Perbedaan urutan nukleotida ini ternyata menyebabkan variasi dalam
sifat biologis dan antigenitasnya.
3
Gambar : Virus Dengue
Penyakit demam Dengue dan demam berdarah Dengue (DBD) merupakan
penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus DEN-1, DEN-2, DEN-3 atau DEN-4
(baca: virus denggi tipe 1-4) yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti
yang sebelumnya telah terinfeksi oleh virus dengue dari penderita DBD lainnya
(Ginanjar, 2008).
Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe menghasilkan imunitas
sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi hanya
menjadi perlindungan sementara atau parsial terhadap serotipe yang lain (WHO,
2002)
Virus Dengue yang genomnya mempunyai berat molekul 11 Kb tersusun dari
protein struktural dan non-struktural. Protein struktural yang terdiri dari protein
envelope (E), protein pre-membran (prM) dan protein core (C) merupakan 25% dari
4
total protein, sedangkan protein non-struktural merupakan bagian yang terbesar
(75%) terdiri dari NS-1 sampai NS-5. Dalam merangsang pembentukan antibodi
diantara protein struktural, urutan imunogenitas tertinggi adalah protein E, kemudian
diikuti protein prM dan C. Sedangkan pada protein non-struktural yang paling
berperan adalah protein NS-1.
II.2 SIKLUS PENULARAN
Nyamuk mendapatkan virus Dengue pada saat melakukan gigitan pada
manusia (makhluk vertebrata) yang pada saat itu sedang mengandung virus Dengue
di dalam darahnya (viraemia). Virus yang sampai ke dalam lambung nyamuk akan
mengalami replikasi (memecah diri/berkembangbiak), kemudian akan migrasi yang
akhirnya akan sampai di kelenjar ludah. Virus yang berada di lokasi ini setiap saat
siap untuk dimasukkan ke dalam kulit tubuh manusia melalui gigitan nyamuk, yang
kemudian dapat menembus kulit. Setelah itu disusul oleh periode tenang selama
kurang lebih 4 hari, dimana virus melakukan replikasi secara cepat dalam tubuh
5
manusia. Apabila jumlah virus sudah cukup maka virus akan memasuki sirkulasi
darah (viraemia), dan pada saat ini manusia yang terinfeksi akan mengalami gejala
panas. Dengan adanya virus dengue dalam tubuh manusia, maka tubuh akan memberi
reaksi. Bentuk reaksi tubuh terhadap virus ini antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain dapat berbeda, dimana perbedaan reaksi ini akan
memanifestasikan perbedaan penampilan gejala klinis dan perjalanan penyakit
(Darmowandowo, 2004)
(1) (2)
Gambar: 1. Transmisi vertical (nyamuk yang mendapatkan virus Dengue pada
telurnya)
2. Nyamuk mendapatan virus Dengue melalui gigitan pada manusia
6
Gambar transmisi Virus
1.Virus yang ada dalam saliva nyamuk ditransmisikan ke manusia melalui gigitan
2.Virus bereplikasi di dalam organ target
3.Virus menginfeksi sel darah putih dan jaringan limpaticus
4.Virus dibebaskan dan beredar di dalam darah
5.yamuk yang menggigit berikutnya mencerna virus yang ada dalam darah
6.Virus bereplikasi da dalam usus nyamuk dan orgtan lain dan menginfeksi
kelenjar saliva
7.Virus memperbanyak diri di dalam kelenjar saliva
7
II.3 GEJALA DEMAM DENGUE DAN DEMAM BERDARAH DENGUE
Manifestasi klinis infeksi virus Dengue pada manusia sangat bervariasi. Spektrum
variasinya begitu luas, mulai dari asimtomatik, demam ringan yang tidak spesifik,
Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue, hingga yang paling berat yaitu Dengue
Shock Syndrome (DSS). Diagnosis Demam Dengue dan demam Berdarah Dengue
ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997, terdiri dari
kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan kriteria ini dimaksudkan untuk
mengurangi diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis) (Ginanjar, 2008) :
1. DemamDengue
Demam yang terjadi pada infeksi virus dengue ini timbulnya mendadak,
tinggi (dapat mencapai 39-40 derajat celcius) dan dapat disertai dengan
menggigil.. Demam ini hanya berlangsung untuk 5-7 hari. Pada saat
demamnya berakhir, sering kali dalam bentuk turun mendadak (lysis), dan
disertai dengan berkeringat banyak, dimana anak tampak agak loyo. Kadang-
kadang dikenal istilah demam biphasik, yaitu demam yang berlangsung
selama beberapa hari itu sempat turun ditengahnya menjadi normal
kemudian naik lagi dan baru turun lagi saat penderita sembuh
2. Demam Berdarah Dengue
1. Kriteria Klinis
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus
selama 1-7 hari. Penyakit ini ditunjukkan melalui munculnya demam secara
tiba-tiba, disertai sakit kepala berat, sakit pada sendi dan otot (myalgia dan
8
arthralgia) dan ruam, ruam demam berdarah mempunyai ciri-ciri merah
terang, petekial dan biasanya mucul dulu pada bagian bawah badan pada
beberapa pasien, ia menyebar hingga menyelimuti hampir seluruh tubuh.
Selain itu, radang perut bisa juga muncul dengan kombinasi sakit di perut,
rasa mual, muntah-muntah atau diare, pilek ringan disertai batuk-batuk
2. Kriteria Laboratoris
1 Trombositopeni (trombosit < 100.000/ml)
2 Hemokonsentrasi (kenaikan Ht > 20%)
3 Manifestasi klinis DBD sangat bervariasi, WHO (1997) membagi
menjadi 4 derajat :
Derajat I:
Demam disertai gejala-gejala umum yang tidak khas dan manifestasi
perdarahan spontan satu-satunya adalah uji tourniquet positif.
Derajat II :
Gejala-gejala derajat I, disertai gejala-gejala perdarahan kulit spontan
atau manifestasi perdarahan yang lebih berat.
Derajat III:
Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi
menyempit (< 20 mmHg), hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit
dingin dan lembab, gelisah.
Derajat IV :
9
Syok berat (profound shock), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur.
II.4 PENGOBATAN DAN PENCEGAHAN DEMAM DENGUE DAN
DEMAM BERDARAH DENGUE
PENGOBATAN
Obat maupun vaksin untuk penyakit ini belum ditemukan, sehingga
pengobatan untuk penyakit ini hanyalah pengobatan dalam menghilangkan gejala
klinis yang ditimbulkan dari penyakit (simtomatis) saja dan yang bersifat suportif
yaitu dengan cara mengganti kehilangan cairan tubuh. Selain itu pengobatan
alternatif yang umum dikenal adalah dengan meminum jus jambu biji bangkok,
namun khasiatnya belum pernah dibuktikan secara medik, akan tetapi jambu biji
kenyataannya dapat mengembalikan cairan intravena.
1. Pemberian cairan per oral mencegah haus dan dehidrasi akibat demam
2. Pemberian jus buah untuk mengganti larutan elektrolit yang hilang
3. Pemberian parasetamol untuk menurunkan demam
4. Terapi sedatif untuk merestrai agitasi akibat adanya gagal hepatik
5. Transfusi darah bila telah terjadi pendarahan
PENCEGAHAN
Upaya pencegahan telah banyak dilakukan demi menekan jumlah kasus
DBD. Hal ini dipicu oleh realita di mana obat maupun vaksin untuk pengobatan
DBD sampai saat ini belum ditemukan ini. Beberapa usaha yang berhubungan
dengan pengembangan obat telah dan tengah dilakukan. Crance et al (2003) dalam
10
Utama (2005) mengatakan bahwa dalam satu penelitian dikatakan bahwa interferon,
ribavirin, 6-azauridine, and glycyrrhizin menghambat perkembangbiakan flavivirus
termasuk virus dengue secara in vitro, tetapi belum dibuktikan secara in vivo. Begitu
juga dengan usaha pengembangan antivirus melalui penemuan inhibitor enzim yang
diperlukan untuk perkembangbiakan virus seperti protease, helikase, RNA
polimerase, dan lain-lain. Semua percobaan baru pada tahap pengujian aktivitas
secara in vitro, yang masih jauh dari pengembangan menjadi obat yang bisa
digunakan untuk pasien
Demikian juga halnya dengan pengembangan vaksin. Ada beberapa kesulitan
untuk pengembangan vaksin Dengue ini. Di antaranya adalah kompleksnya virus
dengue ini. Virus dengue terdiri dari 4 serotipe (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-
4), sehingga vaksin yang dikembangkan harus mengandung antigen dari ke-4 jenis
serotipe ini. Artinya, agar bisa memproteksi tubuh dari serangan virus dengue, vaksin
yang dipakai harus bisa menginduksi antibodi terhadap ke-4 jenis serotipe ini di
dalam tubuh (Utama, 2005).
Kesulitan yang kedua adalah infeksi virus Dengue ini tidak mengiduksi
antibody yang biasa menahan tubuh dari seragan. Pada kebanyakan virus, infeksi
akan menginduksi pembentukan antibodiyang bisa menahan tubuh terhadap seragan
virus berikutnya. Tapi hal ini berbeda dengan virus Dengue. Infeksi pertama (primary
infection) malah mempermudah tubuh untuk mendapatkan serangan berikutnya
(secondary infection). Begitu juga gejala yang diakibatkan. Seragan berikutnya
11
menimbulkan gejala yang lebih berat dan fatal. Jika pada serangan pertama hanya
menyebabkan panas (dengue fever/DF), serangan berikutnya bisa menyebabkan
panas beserta pendarahan (dengue hemmorhagic fever/DHF) atau bahkan disertai
shock (dengue shock syndrome/DSS) (Utama, 2005)
Karena itu, pengembangan vaksin harus disertai dengan pertimbangan
kemungkinan ini. Artinya, kita harus menemukan kondisi yang optimal agar
pemberian vaksin tidak membuat tubuh lebih sensitive terhadap serangan virus
Dengue. Diantara kondisi yang harus dipertimbangkan bias berupa jumlah dosis,
jumlah vaksin itu sendiri, komposisi masing-masing serotype.
Walaupun demikian, karena adanya urgensi pengembangan vaksin ini,
beberapa institusi tanpa putus asa tetap melakukan usaha pengembangan vaksin
Dengue ini, diantaranya adalah Pusat Peyakit Infeksi FK Unair Surabaya, Mahidol
University Bangkok dan Walter Reed Army Institute Amerika Serikat. Namun,
kandidat vaksin masih tahap clinical trial (utama, 2005).
Cara yang paling efektif untuk mencegah penularan DBD adalah
pengendalian vektor DBD yaitu dengan penatalaksanaan lingkungan yang dikenal
dengan gerakan pemberantasan sarang nyamuk (Gertak PSN), penggunaan larvasida
(kimia/abatisasi dan biologi/Bti) dan penggunakan insektisida
kimia/Fogging/Pengasapan (untuk Aedes dewasa). Hal ini berfungsi untuk
mengurangi kontak vektor dengan manusia (WHO, 2002).
12
a) Penatalaksanaan lingkungan
1. Perbaikan Suplai dan Penyimpanan Air
Pengiriman air yang dapat diminum untuk rumah tangga tidak cukup
untuk mengurangi penggunaan wadah penyimpanan air yang memainkan
peran dominan dalam perkembangan Ae. Aegypti. Banyak orang tidak
menutup wadah airnya karena penutupnya tidak didesain dengan tepat
sehingga menyulitkan pengguna untuk mengambil air dari wadah tersebut.
Namun, penyimpanan air dapat didesain untuk mencegah penyimpanan telur
atau timbulnya nyamuk dewasa, yaitu menggunakan wadah tertutup harus
secara rutin dilihat karena meskipun penutup didesain paling baik, layar dapat
robek atau rusak pada penggunaan jangka panjang serta selalu mengganti air
yang ada dalam kontainer
(a) (b) (c)
a. Mengganti air dalam vas setiap haria. Menghilangkan air dari lempeng pot bunga setiap harib. Membalik ember dan semua kontainer air
2. Penanganan Sampah padat
13
Upaya pengendalian vektor harus mendorong penganganan sampah
yang efektif dan memperhatikan lingkungan dengan meningkatkan aturan
dasar ” mengurangi, menggunakan ulang, dan daur ulang”, misalnya gelas
dan botol karena hal tersebut dapat menyimpan air hujan sehingga
memperbanyak atau menternakkan nyamuk. Selain itu, ban bekas adalah
bentuk lain dari sampah padat yang sangat penting untuk pengendalian Aedes
perkotaan, sehingga ban bekas ini harus didaur ulang.
3. Modifikasi Habitat Larva (3M)
Pendekatan yang paling umum harus digunakan untuk mengurangi
potensial perkembangan nyamuk Aedes di dalam dan sekitar habitat manusia,
misalnya ban bekas dan wadah yang yang disimpan diluar harus tertutup atau
posisinya dibaik.
Modifikasi habitat larva biasa juga dikenal sebagai gerakan 3 M (Menutup,
Menguras dan Mengubur barang bekas yang bisa menampung air bersih, bak
mandi,vas bunga dan tempat penampungan air lainnya)
14
b). Penggunaan Larvasida Kimia (Abatisasi) dan Biologi (B.t.i)
1. Abatisasi (Penaburan Bubuk Abate)
Salah satu kegiatan pokok dalam program pemberantasan DBD adalah upaya
abatisasi. Yang dimaksud dengan abatesasi adalah penaburan larvasida insektisida
bubuk ABATE pada sarang-sarang nyamuk. ABATE (Temephos) merupakan
golongan organophosphat yang sekarang digunakan secara meluas terutama untuk
pengendalian jentik Ae. Aegypty, Cx. quinquefasciatus. Bubuk Abate mempunyai
toksisitas yang tinggi pada larva nyamuk tapi sangat rendah terhadap manusia.
Bubuk ABATE biasanya dijual dalam bentuk sand granuler yang dilapisi dengan 1%
larutan insektisida yang toksik terhadap larva nyamuk, tidak toksik terhadap manusia
sekalipun terdapat dalam air minum (Canyon, Deon, 2001).
Gambar : Bubuk ABATE (Temephos 1%) (Anonim, 2005)
15
Biasanya untuk bak air yang besar dan susah dikuras, penggunaan bubuk
ABATE diberikan satu persen SG (sand granule) dengan takaran satu gram per 10
liter air. Dalam aplikasinya, untuk air 50 liter ke bawah diberikan 1/2 sendok makan
ABATE, sedangkan untuk 50 hingga 100 liter air diberikan satu sendok makan.
Apabila air tersebut digunakan sebagai keperluan air minum, hendaknya dibiarkan
dulu selama 24 jam sebelum air dimanfaatkan (Nuidja, 2005).
Abatisasi diulang setiap 2-3 bulan dan keampuhan bubuk ABATE bisa efektif
sampai dua bulan dalam bak yang tidak dikuras. Abatesasi perlu dilakukan hanya
pada tempat-tempat air tergenang, seperti bak mandi, jambangan bunga, dan selokan
kecil yang airnya tergenang. Yang perlu diketahui pula, bubuk ABATE tidak cocok
digunakan untuk sumur. Bubuk ABATE hanya efektif digunakan untuk wadah-
wadah air yang lebih kecil volumenya, seperti bak mandi dan tempat penampungan
air lainnya. Bubuk ABATE juga baik untuk ditaburkan pada tempat-tempat air yang
sulit dikuras atau dibersihkan. Pengertian bahwa bubuk abate dapat membunuh virus
penyakit demam berdarah adalah salah. Bubuk ABATE hanya membunuh jentik
16
nyamuk, bukan virus penyebab penyakit demam berdarah. Tindakan abatesasi yang
sebenarnya juga bukan ditujukan untuk membunuh nyamuk dewasa tetapi
membunuh jentik-jentiknya. Tindakan ini dilakukan untuk memutuskan mata rantai
perkembangbiakan nyamuk tersebut. Usaha ini hanya dapat mencapai tujuan bila
dilakukan secara serempak oleh warga dari suatu wilayah atau beberapa wilayah
yang luas. Oleh sebab itu sangat baik jika dilakukan secara terkoordinasi dalam suatu
wilayah tertentu (Rozanah, 2003).
Bubuk ABATE tidak terlalu beracun terhadap binatang seperti burung, ikan
atau binatang ternak lainnya, tetapi sangat toksik terhadap jentik. Larvasida golongan
organophosphat yang bersifat toksik insektisida, residunya dalam air dapat
menembus kulit larva sehingga akan terjadi gangguan mekanis transmisi impuls saraf
pada larva tersebut. Seperti terjadi impulsive, maka akan dibebaskan acetyl cholyne
(CH3-(O)-OCH2-CH2N+-(CH3)3) yang dapat menimbulkan respon kontraksi otot
saraf, maka acetyl cholyne terhidrolisa menjadi asam asetat dan cholyne, sehingga
respon dari otot dan kelenjar terhenti akhirnya jentik akan mati. Temephos/abate
mempunyai formula empiris C16H20O6P2S3 dengan berat molekul 466,5.
17
H H H H
H3CO S C C C C S OCH3
P O C C S C C O P
H3CO C C C C OCH3
H H H H
Gambar : Struktur kimia Abate : 0,0,0’,0’ – tetramecthyl 0,0’ – thiody
phenylenephosphorathioate (Rukta, 1987)
2. Penggunaan Agen Biologi (B.t.i)
Saat ini, telah dikenal organisme yang digunakan sebagai pemangsa larva
nyamuk (larvasida). Beberapa diantaranya adalah ikan-ikan pemakan larva seperti
ikan kepala timah dan ikan cupang. Penemuan terbaru larvasida biologis jatuh pada
bakteri Bacillus thuringensis strain israilensis yang dianggap mampu mematikan
larva nyamuk. Keuntungan menggunakan larvasida biologis adalah sifatnya yang
spesifik mematikan target dan ramah lingkungan.
Bacillus thuringiensis strain israilensis adalah bakteri gram positif yang
berbentuk batang, aerobik dan membentuk spora. Banyak strain dari bakteri ini yang
menghasilkan protein yang beracun bagi serangga. Sejak diketahuinya potensi dari
protein kristal Bacillus thuringiensis sabagai agen pengendali serangga, berbagai
isolat Bacillus thuringiensis dengan berbagai jenis protein kristal yang dikandungnya
telah teridentifikasi. Sampai saat ini telah teridentifikasi protein kristal yang beracun
terhadap larva dari berbagai ordo serangga seperti Diptera (contoh nyamuk).
Kebanyakan dari protein kristal tersebut lebih ramah lingkungan karena mempunyai
18
target yang spesifik sehingga tidak mematikan serangga bukan sasaran dan mudah
terurai sehingga tidak menumpuk dan mencemari lingkungan (Anonim, 1999).
Gambar : Bakteri Bacillus thuringiensis (Deacon, 2000)
Bacillus thuringiensis strain israilensis merupakan salah satu bakteri
pathogen pada serangga. Bacillus thuringiensis strain israilensis adalah bakteri yang
mempunyai sel vegetatif berbentuk batang dengan ukuran panjan 3-5 mm dan lebar
1,0-1,2 mm, mempunyai flagella dan membentuk spora. Sel-sel vegetatif dapat
membentuk suatu rantai yang terdiri dari lima sampai enam sel. Sifat-sifat bakteri ini
adalah gram positif, aerob tetapi umumnya anaerob fakultatif, dapat tumbuh pada
media buatan dan suhu untuk pertumbuhan berkisar antara 15-40C ( Trizelia, 2001).
Bacillus thuringiensis strain israilensis ditemukan pertama kali pada tahun
1911 sebagai patogen terhadap ngengat tepung dari provinsi Thuringia, Jerman. Kini
telah dikomersilkan dengan berbagai macam nama dagang dan formulasi yang
beraneka ragam (Vectobac G formulasi granuler yang diproduksi oleh Abbott
Laboratories, ASA). Produk tersebut merupakan salah satu contoh larvasida biologis
berisi kristal delta endotoksin dan spora Bacillus thuringiensis strain israilensis (H-
19
14) yang dapat menyebabkan paralisis usus dan mengakibatkan kematian jentik
nyamuk dalam waktu 2-12 jam. Kristal protein toksik (delta endotoksin) ini
merupakan racun perut bagi serangga sasaran, namun toksin ini tidak menyebabkan
timbulnya penyakit pada manusia (Blondine, et.al., 2005).
Canyon, Deon (2001) membuat suatu model dari B.t.i. berupa endotoksin. B.
thuringensis menghasilkan suatu protein kristal selama proses sporulasi. Ketika itu
protein tersebut dicernakan oleh suatu larva serangga, kemudian solubilisasi (larut) di
dalam sel-sel usus tengah (midgut) pada saluran pencernaan dari larva dan
melepaskan protein yang disebut dengan d-endotoxins. Protein ini diubah menjadi
senyawa protein yang lebih kecil dan larut dalam kondisi alkali dalam usus larva dan
sebagian terhidrolisis. Perubahan protein tersebut menyerang dinding usus akibatnya
usus terdifusi dan masuk ke dalam haemolimfa dan akan menyebabkan paralysis,
akhirnya jaringan tidak berfungsi dalam 24 jam dan mengakibatkan kematian pada
serangga.
20
Kristal protein yang termakan oleh larva akan larut dalam lingkungan basa
pada usus larva, kemudian protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna
protein larva. Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang
berada pada permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan
terbentuknya pori atau lubang pada sel sehingga sel mengalami lysis. Pada akhirnya
larva akan mengalami gangguan pencernaan dan mati.
c). Penggunakan insektisida kimia/Fogging/Pengasapan (untuk Aedes dewasa).
Upaya untuk menekan penularan DBD salah satunya adalah pengendalian
secara kimiawi melalui pengasapan (fogging). Selama 40 tahun terakhir, banyak
produk kimiawi yang digunakan untuk mengendalikan nyamuk. Hal itu
menyebabkan banyak bermunculan fenomena resistensi terhadap bahan-bahan
insektisida tersebut. Bahan-bahan tersebut antara lain, malathion, temephos, fention,
permetthrin, profoxur dan fenithrothion.
21
Catatan penting yang harus diketahui adalah pengasapan hanya membasmi
nyamuk dewasa saja, efeknya hanya bertahan 2 hari dan insektisida yang digunakan
harus diganti secara periodik untuk menghindari resistensi nyamuk Aedes (Ginanjar,
2008).
22
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan:
1. Demam Dengue dan Deman Berdarah Dengue di sebabkan oleh infeksi Virus
Dengue di mana nyamuk Aedes aegypti betina sebagai vektornya.
2. Upaya terapi dan pengobatan Df dan DBD saat ini hanya bersifat suportif
(mengganti cairan tubuh yang hilang) dan simptomatis (menghilangkan gejala
kinis yang ditimbulkan) karena belum ditemukan obat yang spesifik untuk
mengobati penyakit tersebut.
3. Upaya pencegahan penularan penyakit DF dan DBD adalah dengan cara
pengendalian vektor yaitu memanipulasi lingkungan, penggunaan larvasida,
dan penggunaan insektisida.
4. Penggunaan larvasida yaitu secara kimia (abatisasi) dan biolog (Bacillus
thuringiensis strain israilensis) sedangkan penggunakan insektisida yaitu
melakukan Fogging atau pengasapan (untuk Aedes dewasa).
5. Upaya penatalaksanaan lingkungan dapat dilakukan dengan cara : perbaikan
suplai dan penyimpanan air, penanganan sampah padat, dan modifikasi
habitat larva yang dibuat manusia.
23
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999. Enviromental Health Criteria 217 Microbial Pest Control Agent
Bacillus thuring, WHO.
Anonim, 2005, Pedoman Ekologi Dan Aspek Perlaku Vektor. Departeman Kesehatan RI, Jakarta.
Blondine, Retno A. Y., 2005. The Efectivity of Vectobac and Mesocyclops asperacornis Predator as a Biological Control Agent of Aedes aegypti Larvae in Waterjars, Jurnal Kedokteran Yarsi (13).
Canyon, Deon. 2001. A Review Of The Dengue Mosquito, Aedes aegypti (Diptera: culicidae), In Australia. James cook University. Australia.
Darmowandowo, 2004. Demam Berdarah Dengue, Universitas Airlangga, Surabaya, (www.pediatrik.com/ilmiah_populer/demam_berdarah.htm www.pediatrik.co m/ilmiah_populer/demam_berdarah.htm,, diakses 27 Sepetember 2006).
Ginanjar, 2008, Demam Berdarah, Mizan Media Utama, Bandung
Nuidja, IN., 2005. Air Tergenang, Aedes Aegypty Berkembang. (http://www.balipost.com/index.php?action=show&type=news&id=13200&eventid=20051203, diakses 3 April 2006).
Rukta, I. M., 1987. Perbandingan Efektivitas Abatisasi Yang Dibungkus Dengan Ditaburkan Terhadap Kematian Jentik Ae. Aegypti. Makassar
Rozanah, A., 2003. Abate Mencegah Demam Berdarah.
(http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=2&id=120800&kat_id=105&kat_id1=150&kat_id2=204, diakses 8 April 2006).
Trizelia, 2001. pemanfaatan Bacillus thuringiensis untuk pengendalian hama,
Institut Pertaian Bogor, Bogor
24
Utama, A., 2005. Demam Berdarah Dengue Dan Permasalahannya, Peneliti Puslit Bioteknologi-LIPI; Postdoctoral Fellow of Japan Society for Promotion of Science, National Institute of Infectious Disease
25
Recommended