View
79
Download
21
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Zakat yang berarti tumbuh berkembang dan sebagai suatu kesucian terhadap diri atau harta,
merupakan kewajiban Islam yang banyak tercantum dalam al-quran dan hadist. Zakat adalah
rukun Islam yang kelima, dan orang yang tidak mengeluarkan sebagian hartanya untuk zakat,
maka akan dicela dan mendapat siksa yang keras di akhirat.
Masalah zakat dan hukumnya secara syari dan perundang-undangan sudah sangat jelas,
pelaksanaan kewajiban zakat tak hanya mengacu pada tuntunan Alquran dan sunah, tetapi
juga Undang-Undang No 23 Tahun 2011, dan Fatwa MUI 03 Tahun 2003, sehingga
memudahkan umat untuk melaksanakan kewajiban ini secara benar, konsisten, dan sesuai
dengan hukum yang berlaku.
Di Indonesia sendiri mengenal adanya pajak sebagai salah satu kebijakan fiskal serta sumber
pendapatan negara. Banyak perbedaan antara pajak dan zakat. Pajak dan zakat merupakan
dua istilah yang berbeda dari segi sumber atau dasar pemungutannya, namun sama dalam hal
sifatnya sebagai upaya mengambil atau memungut kekayaan dari masyarakat untuk
kepentingan sosial, zakat untuk kepentingan yang diatur oleh Allah SWT sedangkan Pajak
digunakan untuk kepentingan yang diatur Negara. Pajak dipaksa hukum Negara.
Kewajiban pajak bagi penduduk adalah bagian dari maslahah mursalah dalam konteks fikih
Islam asal tidak ada kezaliman dan mencekik para wajib pajak. Artinya, negara boleh
menariknya terhadap umat Islam asalkan diterapkan prinsip-prisnsip syariah, yaitu amanah
(kejujuran), ‘adalah (keadilan), musawah (kesamaan), tasamuh (toleransi), ta’awun (saling
membantu), takaful ijtima (tanggung jawab bersama), dan ‘adamul masyaqqah (tidak
memberatkan).
Bila pajak dinilai memberatkan wajib pajak bahkan kezaliman, maka agama melarang
kezaliman itu, yang ada harus adil. Prinsip-prinsip yang dimaksud dalam konteks pajak di
atas ialah sebagai berikut: Amanah yang dimaksud dalam konteks pajak tentu saja berkaitan
dengan para penarik dan pengelolanya. Adalah merupakan kewajiban para penarik pajak
menyetorkan kepada negara sesuai dengan yang dihasilkannya.
Demikian pula pengelolaannya harus jelas ke mana, berapa besaranya, dan untuk apa. Bila
tidak, kasus perpajakan sebagaimana terjadi akhir-akhir ini akan terus terjadi. Kasus mafia
pajak yang selama ini menggerogoti uang negara, uang rakyat pembayar pajak, diakibatkan
oleh para pelaksananya bukan orang yang jujur (amanah), bahkan dari sini muncul para mafia
hukum yang berkaitan dengan pembebasan para narapidana pajak.
Prinsip keadilan merupakan sisi lain yang perlu diperhatikan negara dalam penarikan pajak.
Bukan hanya keadilan dalam menetapkan besarnya pajak, melainkan adil dalam distribusi
dan menetapkan para pelanggar pajak. Di sinilah tanggung jawab negara dalam mengelola
keuangan pajak yang semula rakyat, walaupun berat dan telat, tetap pajak itu dibayar sesuai
dengan perundangan yang berlaku.
Namun, bila dalam perpajakan ada kezaliman terhadap wajib pajak atau pajak digunakan
terhadap sesuatu yang diharamkan agama, itu adalah suatu bentuk kezaliman. Pajak harus
digunakan untuk kemaslahatan negara, umat, dan bangsa. Sehubungan dengan kezaliman,
Rasul pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga pengambil usyr (sepersepuluh) penghasilan
dengan khianat”. (HR Ahmad). Bila kezaliman terjadi dalam pajak, bahkan zakat sekalipun,
maka hukumnya haram. Dan bahkan Imam az-Zahabi menyatakan bahwa itu dosa besar.
Dalam konteks perundangan di Indonesia, diwacanakan bahwa zakat akan mengurangi
pembayaran pajak. Hal ini dapat dibenarkan dan patut disambut dengan hati terbuka dan
disyukuri agar tidak memberatkan kaum Muslim yang sudah wajib zakat dan pajak.
Sebagaimana di negara Muslim lain, ada yang sudah menerapkan model pajak dan zakat,
sehingga zakat sudah dipisahkan langsung oleh negara.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pajak dan zakat sama-sama merupakan kewajiban dalam bidang harta, namun keduanya
mempunyai karakteristik yang berbeda. Ada beberapa persamaan antar zakat dan pajak,
namun juga banyak perbedaan di dalamnya. Ada sebagian pendapat dari umat Islam yang
beranggapan bahwa kalau sudah mengeluarkan pajak tidak usah bayar zakat, padahal dalam
Alquran jelas syariat tentang zakat dan diulang berkali-kali dalam Alquran.
Menurut definisi ahli keuangan, pajak adalah kewajiban yang ditetapkan terhadap wajib
pajak, yang harus disetorkan kepada Negara sesuai dengan ketentuan, tanpa mendapat
prestasi kembali dari Negara, dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
di satu pihak dan untuk merealisir sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan
lain yang ingin dicapai oleh Negara. Adapun zakat menurut para ahli fikih, ialah hak tertentu
yang diperuntukan bagi mereka, yang dalam Alquran disebut kalangan fakir miskin, dan
mustahik lainnya sebagai tanda syukur kepada Allah dan untuk mendekaatkan diri
kepadaNya.
Dari definisi di atas kita mendapatkan beberapa persamaan dan perbedaan dalam pajak dan
zakat. Adapun titik persamaan tersebut diantaranya; Pertama, adanya unsur paksaan dalam
pajak dan zakat dalam pengumpulannya. Kedua, Bila pajak harus disetor kepada lembaga
Negara, yaitu kantor pajak di bawah departemen keuangan, maka zakatpun sama dipungut
oleh Negara lewat Badan Amil Zakat. Ketiga, bagi pembayar baik pajak maupun zakat tidak
mendapatkan imbalan tertenu dari harta yang dikeluarkannya, melainkan hanya berupa
fasiitas umum dan perlindungan dari Negara dan pemerintahan, sama halnya dengan zakat,
seseorang berzakat dikarenakan ingin mendapat ridho Allah dan mendapatkan keamanan dan
solidaritas dari saudaranya sesama muslim, keempat, pajak memiliki tujuan kemasyarakatan,
ekonomi dan politik disamping tujuan keuangan, maka zakat pun memiliki tujuan lebih luas
dari pajak, yang mana tujuan zakat berpengaruh terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat.
Adapun beberapa perbedaan zakat dengan pajak adalah sebagai berikut:
Dari namanya
Adapun makna zakat, artinya suci, tumbuh dan berkah. Dengan zakat harta menjadi bersih,
tumbuh dan berkah, juga jiwanya menjadi suci dan tenang. Seperti firmanNya, “Allah
memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah (zakat)”. Juga dalam firmanNya “Ambilah
sedekah dari sebahagian harta mereka, dengan harta itu kamu membersihkan dan
mensucikannya”.
Sedangkan pajak dalam bahasa Arab dari kata dharibah dari kata dharaba yang artinya utang,
pajak tanah atau upeti juga berarti memukul dan sebagainya. Jadi pajak adalah sesuatu yang
menjadi beban, termasuk dalam pengeritan tersebut apa yang dikatakan Alquran “dhuribat
alaihim adzillatu wal maskanatu”. Artinya “Dan ditimpakan kepada mereka kehinaan dan
kemiskinan”. Dimana makna dhuribat artinya beban yang ditimpakan. Biasanya orang
membayar pajak itu menjadi beban yang harus dikeluarkan, adapun zakat biasanya
dikeluarkan karena keikhlasan.
Zakat merupakan ibadah yang diwajibkan kepada orang Islam dan merupakan rukun Islam
yang ketiga, dan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah dan manifestasi dari keimanan
seseorang. Adapun pajak semata-mata hanya kewajiban Negara dan tidak ada hubungannya
dengan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Karena zakat adalah ibadah umat Islam
maka tidak diwajibkan kepada umaat selain Islam, tetapi pajak adalah kewajiban seluruh
warga Negara. Batas nisab dan ketentuannya
Dari hakekat dan tujuannya
Zakat adalah hak yang ditentukan Allah sebagai pembuat syariat, maka nisabnya pun sudah
ditentukan lewat RasulNya, tergantung objek zakatnya ada yang 20%, 10%, 5%, 2.5% dan
sebaginya sesuai dengan objek zakatnya, dan tidak ada seorang pun boleh merubah ketentuan
tersebut. Adapun pajak tergantung kepada kebijakan dan ketentuan pemerintah dan bisa
berubah-ubah setiap saat, bahkan Negara atas kesepakatan bersama bisa menghapus pajak.
Mengenai kelestarian dan kelangsungannya
Zakat akan terus ada kewajibannya sampai akhir zaman, bersifat tetap dan terus-menerus,
tidak ada seorangpun yang boleh menghapus kewajiban zakat. Adapun pajak tidak memiliki
sifat yang tetap dan terus-menerus, baik mengenai macamnya, prosentasenya dan kadarnya.
Tiap pemerintah dapat mengurangi, menambah dan bahkan menghapuskanya.
Mengenai Sasarannya
Zakat mempunyai sasaran khusus yang ditetapkan oleh Allah dalam Alquran dan dijelaskan
oleh Rasulullah yaitu untuk fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya, orang yang berhutang,
fii sabilillah dan ibnu sabil. Adapun pajak dikeluarkan untuk membiayai pengeluaran umum
Negara, yang sudah ditetapkan oleh Negara.
Maksud dan tujuan
Zakat memiliki tujuan spiritual dan moral lebih tinggi dari pajak, oleh sebab itu banyak kita
temukan orang lebih jujur membayar zakat daripada membayar pajak, karena mereka
beranggapan akan berdosa jika curang membayar zakat, beda halnya dengan pajak, mereka
jika tidak membayar pajak takut atas ketentuan Negara. Biasanya para pengusaha dan wajib
pajak dengan jumlah besar melakukan berbagai cara untuk mengecilkan pajak seperti yang
terjadi di Indonesia saat ini dengan terkuaknya berbagai skandal pajak akhir-akhir ini.
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam setiap agama yang ada di Indonesia memang berlaku berbagai ketentuan berbeda
terkait kewajiban keagamaan. Dalam agama Islam misalnya, ada kewajiban mengeluarkan
zakat sebesar 2,5%, dan dalam agama Kristen ada kewajiban pembayaran persepuluhan
sebesar 10%.
Kewajiban mengeluarkan zakat ini didasarkan pada Al-Quran surat Al Baqarah: 267 yang
menentukan bahwa setiap pekerjaan yang halal yang mendatangkan penghasilan, setelah
dihitung selama satu tahun hasilnya mencapai nisab (senilai 85 gram emas) maka wajib
dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5% (sumber: Badan Amil Zakat Nasional).
Mengenai proses hingga zakat mengurangi pembayaran pajak (dalam hal ini pajak
penghasilan), hal ini sudah diatur sejak adanya UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat (“UU 38/1999”), dan kemudian lebih dipertegas oleh UU Zakat yang terbaru yang
menggantikan UU 38/1999 yaitu UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (“UU
23/2011”).
Latar belakang dari pengurangan ini dijelaskan dalam penjelasan Pasal 14 ayat (3) UU
38/1999 bahwa pengurangan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak adalah dimaksudkan
agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak.
Ketentuan ini masih diatur dalam UU yang terbaru yakni dalam Pasal 22 UU 23/2011:
“Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari
penghasilan kena pajak.”
Hal ini ditegaskan pula dalam ketentuan perpajakan sejak adanya UU No. 17 Tahun 2000
tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yakni diatur
dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a nomor 1 yang berbunyi:
“Yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak adalah: bantuan sumbangan, termasuk zakat yang
diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.”
Dalam ketentuan pasal tersebut baru diatur secara eksplisit bahwa yang tidak termasuk objek
pajak adalah zakat. Sedangkan, pengurangan pajak atas kewajiban pembayaran sumbangan
untuk agama lain belum diatur ketika itu. Hal ini memang berpotensi menimbulkan
kecemburuan dari agama lain yang juga diakui di Indonesia.
Dengan dikeluarkannya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU Pajak Penghasilan”) pasal tersebut mengalami
perubahan sehingga berbunyi:
“Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:
bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan
oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.”
Ketentuan serupa ditegaskan pula dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan.
Selain itu, Pasal 1 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan
yang Sifatnya Wajib yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto juga menentukan:
“Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto meliputi:
a. Zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk
agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh
pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; atau
b. Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi Wajib Pajak orang pribadi pemeluk
agama selain agama Islam dan/atau oleh Wajib Pajak badan dalam negeri yang
dimiliki oleh pemeluk agama selain agama Islam, yang diakui di Indonesia yang
dibayarkan kepada lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah.”
Sedangkan, badan/Lembaga yang ditetapkan sebagai penerima zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 yang berlaku sejak tanggal 11
Juni 2012 yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-
33/PJ/2011, yang di antaranya adalah: Badan Amil Zakat Nasional, LAZ Dompet Dhuafa
Republika, LAZ Yayasan Rumah Zakat Indonesia, Lembaga Sumbangan Agama Kristen
Indonesia (LEMSAKTI), dan Badan Dharma Dana Nasional Yayasan Adikara Dharma
Parisad (BDDN YADP) - yang keseluruhannya saat ini berjumlah 21 badan/lembaga.
Karena semua peraturan yang telah disebutkan di atas telah berlaku efektif, maka ketentuan
pengecualian zakat atau sumbangan wajib keagamaan dari objek pajak sudah berlaku efektif
di Indonesia.
Mekanisme pengurangan zakat dari penghasilan bruto ini dapat kita temui dalam Peraturan
Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan
Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib
yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto sebagai berikut:
Pasal 2
(1). Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, wajib melampirkan fotokopi bukti
pembayaran pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak
dilakukannya pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib.
(2). Bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) :
a. dapat berupa bukti pembayaran secara langsung atau melalui transfer rekening bank,
atau pembayaran melalui Anjungan Tunai Mandiri (ATM), dan
b. paling sedikit memuat:
1) Nama lengkap Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
pembayar;
2) Jumlah pembayaran;
3) Tanggal pembayaran;
4) Nama badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan
5) Tanda tangan petugas badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau lembaga
keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah, di bukti pembayaran,
apabila pembayaran secara langsung; atau
6) Validasi petugas bank pada bukti pembayaran apabila pembayaran melalui
transfer rekening bank.
Pasal 3
Zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto apabila :
a. tidak dibayarkan oleh Wajib Pajak kepada badan amil zakat; lembaga amil zakat; atau
lembaga keagamaan, yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; dan/atau
b. bukti pembayarannya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (2).
Pasal 4
(1). Pengurangan zakat atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan dalam Tahun Pajak dibayarkan zakat atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib tersebut.
(2). Dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan, zakat atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib sebagaimana ayat (1) dilaporkan untuk menentukan
penghasilan neto.
BAB IV
KESIMPULAN
Jadi, sesuai uraian di atas, pemberian zakat memang dapat mengurangi pajak, karena zakat
dikecualikan dari objek pajak. Pengurangan pajak ini juga berlaku atas sumbangan wajib
keagamaan bagi pemeluk agama lain yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga
keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah. Dan peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas telah berlaku
efektif di Indonesia, demikian pula dengan mekanisme yang telah diaturnya.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;
2. Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan;
3. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan;
4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat;
5. Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang
Sifatnya Wajib yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
6. Peraturan Dirjen Pajak No. PER-6/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Pembayaran dan
Pembuatan Bukti Pembayaran atas Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib
yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto;
7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER- 33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang
Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau
Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan
Bruto;
8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2012 tentang Perubahan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak No. PER-33/PJ/2011 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau
Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan
Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Menurut pengalaman di Malaysia, dengan perlakuan zakat sebagai bagian dari setoran pajak
ternyata jumlah penerimaan pajak meningkat dan penerimaan zakat juga. Fakta ini
merupakan bukti bahwa ketentuan agama Islam itu adalah rahmatan lil alamiin, yang kadang
tidak mengikuti rasionalitas manusia yang terbatas.
DAFTAR PUSTAKA
Zakhiyah Solikhah., Kolaborasi Pajak dan Zakat Sejahterakan Umat.
http://www.pajak.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=10198:pajak-dan-zakat&catid=87:Berita
%20Perpajakan&Itemid=123. Diakses pada tanggal 20 Oktober 2012.
Mas’udi, Masdar F.., 2010. Pajak Itu Zakat, Uang Allah Untuk Rakyat.
Bandung: Mizan
Muktiyanto, Ali & Hendrian. Zakat sebagai Pengurang Pajak.
http://www.lppm.ut.ac.id/htmpublikasi/04-ali.pdf. Diakses pada tanggal 20 Oktober
2012.
Djuanda, Gustian., 2006. Pelaporan Zakat Pengurang Pajak Penghasilan. Jakarta:
Rajawali Press.
Qardhawi, Yusuf. 2009. Hukum Zakat. Jakarta: Litera Antar Nusa.
Seminar Ekonomi Islam
ZAKAT SEBAGAI PENGURANGAN PAJAK
Oleh :
ELSHA SOPHIA 041014150
Ekonomi Islam
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga
2013
Recommended