196
Seri Penerbitan Lembaga Studi Islam dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK) AKHLAK BUKU PANDUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) (EDISI REVISI) Lembaga Studi Islam dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK-Unisba)

AKHLAK - Repository UNISBA

Embed Size (px)

Citation preview

Seri Penerbitan Lembaga Studi Islam

dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK)

AKHLAK BUKU PANDUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

(EDISI REVISI)

Lembaga Studi Islam

dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK-Unisba)

ii

iii

AKHLAK

BUKU PANDUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) (EDISI REVISI)

@ Tim Penyusun Buku Panduan PAI

Hak cipta dilindungi undang-undang

All rights reserved

Cetakan pertama 1 Dzulhijjah 1436 H / 15 September 2015 M

Cetakan Kedua Jumadil Awwal 1441 H / Januari 2020 M

Diterbitkan oleh:

Lembaga Studi Islam dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK) Universitas Islam Bandung Anggota IKAPI Nomor: 219/JBA/2012

Gedung Rektorat Unisba Jl. Tamansari No. 20 Lt. 4 Bandung 40116

Telp: 022-4203368; Fax: 022-4263895; e-mail: [email protected]

Desain Sampul dan Tata Letak: Dadi Ahmadi, S.Sos, M.Ikom

Ayip Saiful Bahri

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Tim Penyusun Buku Panduan Pendidikan Agama Islam (PAI)

Bandung; LSIPK Unisba, 2015

Diterbitkan LSIPK Unisba

Anggota IKAPI Nomor: 219/JBA/2012

ISBN 978-602-71823-4-9

I. Buku Panduan – PAI 1 Judul

II. Seri.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, Pasal 72

(1) : Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara

masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(2) : Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada

umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

iv

v

Seri Penerbitan Lembaga Studi Islam

dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK)

AKHLAK BUKU PANDUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) IV

(EDISI REVISI)

Lembaga Studi Islam

dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK-Unisba)

vi

vii

Tim Penyusun

AKHLAK

BUKU PANDUAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) IV

(EDISI REVISI)

Penanggung jawab: Rektor Universitas Islam Bandung

Prof. Dr. dr. M. Thaufiq S. Boesoirie, MS., Sp.THT., KL (K) (Ex Officio)

Anggota:

Wakil Rektor I (Ex Officio). Wakil Rektor II (Ex Officio).

Ketua Tim: Dr. H. Tata Fathurrohman, SH., MH. Wakil Ketua Pelaksana: Dr. H.M. Wildan Yahya, M.Pd.

Sekretaris: Dr. H. Tamyiez Dery, M.Ag.

Bendahara: Ayip Saiful Bahri

Penulis:

Koordinator Merangkap Penyunting: H. Agus Halimi, Drs, M.Ag, dan H. Aep Saepudin, Drs, M.Ag.

Anggota: Dr. H.M. Rachmat Effendi, Drs, M.Ag.

Nandang HMZ, Drs, M.Si. Parihat, Dra, M.Si.

Ikin Asikin, Drs, M.Ag.

Fitroh Hayati, Dra, M.Pd.I. Hj. Adliyah M. Ali Da‟i, Dra, M.Pd.I.

Sekretariat:

Endang Kadarusman U. Mulyana

Rahmadi Huda, A.Md

viii

Pedoman Transliterasi Arab-Latin 1. Konsonan

No Arab Latin No Arab Latin

th ط 16 ` ء 1

zh ظ b 17 ب 2

' ع t 18 ت 3

gh غ ts 19 ث 4

f ف j 20 ج 5

q ق h 21 ح 6

k ك kh 22 خ 7

l ل d 23 د 8

m م dz 24 ذ 9

n ن r 25 ر 10

w و z 26 ز 11

h ه s 27 س 12

y ي sy 28 ش 13

t ة sh 29 ص 14

h (waqaf) ة dh 30 ض 15

2. Vocal Pendek 3. Vocal Panjang 4. Diptong 5. Pembauran

Arab Latin Arab Latin Arab Latin Arab Latin

-l = ال ai = اي â = آ a = ـ

l-sysy = الش au = او î = اي i = ـ

i (nisbah) ي û = او u = ـ

Contoh:

Rasûlu mmina l-llâhi yatlû shuhufa mmuthahharah (QS Al-Bayyinah [98]: 2)

Wa hâdza l-baladi l-amîn (QS Al-Tîn [95]: 3)

ix

KATA PENGANTAR (EDISI PERTAMA)

Segala puji hanya milik Allah Swt, Dzat Yang Maha Kasih Sayang, Penabur rahmat - Pelimpah karunia kepada hamba-Nya. Setelah melalui pengerjaan yang tidak sebentar, kesulitan yang tidak sedikit dan pengorbanan yang

tidak kecil, pada akhirnya dengan ungkapan alhamdulillâh Buku Aqidah, Mu‟amalah dan Akhlak yang merupakan Panduan Pendidikan Agama Islam

PAI I, III dan IV Unisba pada akhirnya dapat diselesaikan penulisannya.

Salam serta shalawat dipanjatkan kepada junjungan Nabi Muhammad Saw yang telah berjuang penuh dengan pengorbanan mengantarkan ummatnya

kepada jalan hidup yang penuh hidayah dan taufiq Allah Swt. Hanya berkat perjuangan dan pengorbanannyalah Islam dapat kita nikmati hari ini dengan taburan rahmat-Nya.

Penulisan buku Aqidah, Mu‟amalah dan Akhlak sebagai Buku Panduan Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Bandung ini, di bidang Aqidah

bertujuan agar tertanam dasar-dasar Tuhidullah, nilai-nilai Sunnah Rasulullah Saw, dan terhindarnya diri dari parasit iman; di bidang Mu’amalah agar tertanam kemampuan untuk menangani ekonomi dan perdata Islam,

pernikahan dan warits dalam Islam; di bidang Akhlak agar tertanam kemampuan untuk berakhlak kepada Allah Swt, Rasulullah Saw, sesama

manusia dan lingkungan. Selain itu, supaya terbangun standar referensi yang sama pada seluruh dosen PAI Unisba. Kesamaan rujukan akan memudahkan proses evaluasi perkuliahan dalam keselarasannya dengan kurikulum dan

syllabi. Demikian juga, tatkala hendak dievaluasi capaian mahasiswa dalam proses perkuliahaannya mudah dilakukan.

Kehadiran buku PAI semacam ini sesungguhnya sudah lama diharapkan oleh

mahasiswa dan fakultas di lingkungan Unisba. Harapan tersebut terdorong oleh keinginan sebuah buku pedoman yang dapat dijadikan pegangan

bersama dan sesuai dengan bahan perkuliahan. Selain itu, sesuai dengan

x

Peraturan Presiden RI N0. 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang mengatur perlunya penyediaan materi

pembelajaran, maka kehadiran buku ini merupakan wujud konkrit untuk memenuhi target KKNI. Dalam kaitannya dengan pengabdian pada

masyarakat Tridharma Perguruan Tinggi, maka kami berharap agar buku ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas di dalam mendalami nilai-nilai ke-Islaman.

Seperti kata pepatah: „Tiada gading yang tidak retak‟, demikian juga buku ini tidak menutup kemungkinan masih perlu disempurnakan. Untuk itu, sumbang saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan buku ini kami buka

selebar-lebarnya.

Pada kesempatan yang baik ini, kami sampaikan ungkapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah ikut membantu dan mendorong terbitnya buku ini. Secara khusus ungkapan terimakasih dan penghargaan kami sampaikan kepada jajaran pimpinan Unisba dan Fakultas,

Ketua LSIPK dan jajarannya, serta para penulis Buku Panduan PAI yang dengan penuh ketekunannya dapat menerbitkan buku ini. Mudah-mudahan

dengan terbitnya buku ini menjadi “ilmun yuntafa’u bihi”, ilmu yang bermanfaat dan menjadi amal jariyyah.

Bi l-lâhi taufîq wa l-hidâyah

Bandung, 1 Dzulhijjah 1436 H / 15 September 2015 M

Rektor,

Prof. Dr. dr. M.Thaufiq S. Boesoirie, MS., Sp. THT-KL(K).

xi

KATA PENGANTAR

(EDISI REVISI)

Alhamdulillâh segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT. Rahmat dan salam senantiasa terlimpah kepada Nabi Muhammad Saw, seluruh

keluarga, para sahabat, dan segenap pengikutnya yang istiqamah mengikuti dengan sunnah-sunnahnya. Setelah melalui pengerjaan yang tidak sebentar, kesulitan yang tidak sedikit dan pengorbanan yang tidak kecil, pada akhirnya

dengan ungkapan alhamdulillâh Buku Muamalah Edisi Revisi yang merupakan Panduan Pendidikan Agama Islam PAI IV Unisba dapat diselesaikan penulisannya.

Penulisan buku Muamalah sebagai Buku Panduan Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Bandung, supaya terbangun standar referensi yang sama

pada seluruh dosen PAI IV Unisba. Kesamaan rujukan, akan memudahkan proses evaluasi perkuliahan dalam keselarasannya dengan kurikulum dan syllabi. Demikian juga, tatkala hendak dievaluasi capaian mahasiswa dalam

proses perkuliahannya mudah dilakukan.

Buku Muamalah, yang selama ini menjadi rujukan dalam perkuliahan PAI IV,

pertama kali terbit dan dicetak September tahun 2015, dan cetakan ke-2 pada Januari tahun 2020. Revisi terhadap Buku Akhlak ini tidak hanya pada penyelarasan Bahasa, tetapi juga pada isi. Dari sisi isi, terdapat pemaparan

materi Akhlak yang belum tersampaikan pada edisi sebelumnya.

Buku ini tidak menutup kemungkinan masih perlu disempurnakan. Untuk itu, sumbang saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan buku sangat

dinantikan.

Pada kesempatan yang baik ini, kami sampaikan ungkapan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah ikut membantu dan mendorong terbitnya buku Akhlak edisi Revisi ini. Secara khusus ungkapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada jajaran pimpinan

Unisba lainnya dan Fakultas, Ketua LSIPK, dan jajarannya, serta para penulis yang dengan tekun dapat menulis buku ini. Mudah-mudahan dengan

xii

terbitnya buku ini menjadi “ilmun yuntafa’u bihi”, ilmu yang bermanfaat dan menjadi amal jariyyah.

Bi l-lâhi taufîq wa l-hidâyah

Bandung, Jumadil Akhir 1441 H / Januari 2020 M

Rektor,

Prof. Dr. H. Edi Setiadi, S.H., M.H.

xiii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Edisi Pertama ..................................................... ix Kata Pengantar Edisi Revisi ......................................................... xi

Daftar Isi ................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................ 1 B. Tujuan Mempelajari Akhlak ............................................... 3 C. Apakah Akhlak dapat Diubah? ........................................... 6

BAB II ISLAM, IMAN, IHSAN .................................................. 9 A. Dasar Islam-Iman-Ihsan .................................................. 9

B. Hubungan Iman („Aqidah), Islam (Syari‟ah), dan Ihsan (Akhlak) ......................................................................... 11

BAB III AKHLAK DAN ILMU AKHLAK ..................................... 15

A. Pengertian Akhlak ............................................................ 15 B. Istilah-Istilah Lain yang Sering Digunakan dalam Akhlak ...... 20 C. Ciri-Ciri Kebaikan dalam Islam .......................................... 23

D. Aliran-Aliran Tentang Pembentukan Akhlak ........................ 23

BAB IV PEMBAGIAN AKHLAK ................................................. 29

A. Macam-Macam Akhlak ..................................................... 29 B. Pilar-Pilar Akhlak Terpuji .................................................. 45

BAB V AKHLAK KEPADA ALLAH SWT ...................................... 47

A. Mengapa kita berakhlak kepada Allah Swt? ........................ 48 B. Apa Saja Sasaran dalam Berakhlak kepada Allah? ............... 49

BAB VI AKHLAK TERHADAP RASULULLAH ............................. 57 A. Bentuk-Bentuk Akhlak Kepada Rasulullah Saw .................... 57 B. Motivasi Keteladanan Akhlak Rasulullah Saw ...................... 67

BAB VII AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI ................................ 71 A. Makna Akhlak Terhadap Diri Sendiri .......................................... 71

B. Membina dan Mengembangkan Kepribadian Unggul ............ 72 C. Mengembangkan Potensi Diri ............................................ 75

BAB VIII AKHLAK TERHADAP KELUARGA .............................. 89

A. Pengertian Akhlak terhadap Keluarga ................................ 89 B. Pembentukan Keluarga .................................................... 90 C. Akhlak Suami Istri ........................................................... 94

D. Akhlak Anak Terhadap Orangtua ....................................... 95

xiv

BAB IX AKHLAK DALAM BERTETANGGA ................................. 101 A. Kedudukan Tetangga bagi Seorang Muslim ........................ 101

B. Anjuran Berbuat Baik Kepada Tetangga ............................. 102 C. Etika Bertetangga yang Sehat ........................................... 104

D. Ancaman Atas Sikap Buruk Kepada Tetangga ..................... 109

BAB X AKHLAK DALAM MENUNTUT ILMU .............................. 113 A. Urgensi Menuntut Ilmu .................................................... 113

B. Pengertian Ilmu dan Keutamaan Menuntut Ilmu ................. 115 C. Etika dalam menuntut Ilmu .............................................. 119 D. Kriteria Orang Berilmu ..................................................... 123

BAB XI PRINSIP-PRINSIP BISNIS DALAM ISLAM ................. 127 A. Terminologi Bisnis dalam Al-Quran .................................... 127

B. Landasan Normatif .......................................................... 128 C. Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Islam ...................................... 128 D. Akhlak Rasulullah Saw. dalam Menjalankan Bisnis ............... 138

BAB XII AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN .......................... 149 A. Pengertian Akhlak Terhadap Lingkungan ............................ 149

B. Memelihara Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan ............ 152 C. Memanfaatkan SDA dan Lingkungan secara Proporsional ..... 154 D. Cara Menyikapi Bencana Alam .......................................... 157

BAB XIII DIRI YANG BERSIH ................................................. 163 A. Pembersihan Diri ............................................................. 163

B. Metode Pembersihan Diri ................................................. 174

Daftar Pustaka .......................................................................... 177

1

BAB I

PENDAHULUAN

TUJUAN:

Setelah mempelajari materi bab ini, mahasiswa diharapkan

mampu:

1. Mengetahui dan memahami eksistensi sebuah Bangsa

kaitannya dengan Akhlak.

2. Memahami tujuan mempelajari akhlak.

3. Memahami langkah-langkah cara membina akhlak.

A. Latar Belakang

Pendidikan Karakter (Akhlak) akhir-akhir ini menjadi tema yang

mencuat ke permukaan dan hangat diperbincangkan. Tidak kurang dari pejabat publik, seperti presiden dan para tokoh bangsa lainnya, mengeluhkan menurunnya nilai-nilai akhlak bangsa. Bahkan, Menteri Pendidikan Nasional

mencanangkan pendidikan karakter dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan nasional, mulai dari pendidikan tingkat dasar hingga tingkat

menengah.

Wacana pendidikan karakter ini mengingatkan masyarakat, baik sebagai pendidik maupun orangtua, dari keterlenaannya selama ini. Orangtua

cukup merasa bangga sekiranya sang anak dapat memeroleh nilai ”X” plus dalam bidang eksakta, meskipun nilai Pendidikan Agama Islam (PAI)-nya hanya mencapai ”X” minus. Ringkasnya, orangtua dan pendidik akan merasa

bahagia apabila anaknya mencapai prestasi akademik tertinggi dalam mata pelajaran tertentu, sedangkan akhlaknya kurang baik dan seterusnya.

Menurut Thomas Licona, seorang guru besar Cortland University di Amerika, mengatakan bahwa ada sepuluh faktor/tanda zaman yang dapat membawa kehancuran suatu bangsa: 1. Meningkatnya kekerasan di kalangan

remaja dan masyarakat; 2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang

Bab I - Pendahuluan

Buku Ajar PAI Akhlak

2

memburuk/tidak baku; 3. Pengaruh peer group (geng) dalam tindak kekerasan menguat; 4. Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti mengonsumsi narkoba dan pergaulan seks bebas; 5. Semakin kaburnya

pedoman moral, baik dan buruk; 6. Menurunnya ethos kerja; 7. Semakin rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru; 8. Rendahnya rasa

tanggung jawab individu dan kelompok; 9. Membudayanya kebohongan dan ketidakjujuran; dan 10. Adanya rasa saling curiga dan kebencian antar sesama.

Apabila kesepuluh faktor itu diamati di sekeliling kita, maka fenomena itu terlihat dan terjadi di berbagai lapisan masyarakat kita. Seorang anak mengusir ibunya dari rumahnya sendiri; perkelahian/tawuran massal antar

mahasiswa atau antarpelajar, bahkan antar aparat. Korupsi, kolusi, dan nepotisme masih mewarnai birokrasi kita, baik di instansi pemerintah maupun

swasta. Sebagian remaja menjadi konsumen narkoba dan/atau menjadi pengedarnya.

Berdasarkan kajian Alvin Toffler, seorang pakar masa depan, dalam

bukunya, Gelombang Ketiga (1988: 48-49), peradaban manusia dibagi kepada tiga era, yaitu: era agraris; era industri; dan era informasi. Setiap

pergeseran dari era yang satu ke era yang lain, akan menggerus nilai-nilai sebelumnya. Lebih lanjut, dia mengatakan:

“Ketika Gelombang Kedua (era industri) mulai melanda masyarakat

Gelombang Pertama (era agraris), maka keluarga itu merasakan tekanan perubahan. Pada setiap keluarga terjadi benturan permukaan gelombang berupa pertikaian, serangan terhadap kekuatan patriarkal, perubahan

hubungan antara anak dan orangtua, dan pikiran baru mengenai sopan santun. Ketika produksi ekonomi bergeser dari tanah garapan ke pabrik,

maka keluarga tidaklah lagi bekerja sebagai satu unit. Untuk membebaskan pekerja menjadi buruh pabrik, maka tugas penting keluarga dibagi-bagikan pada lembaga baru yang khusus. Pendidikan anak diserahkan kepada

sekolah. Tugas menjaga dan merawat orangtua lanjut usia diserahkan pada rumah miskin atau rumah jompo ...”.

Masyarakat Jepang, misalnya, terkenal sangat kuat menghormati orangtua. Namun, sejalan dengan kemajuan dan persaingan yang hebat di dunia bisnis, maka tugas pemeliharaan orangtua dan anak saat ini telah mulai

dialihkan ke lembaga-lembaga lain, seperti panti jompo dan tempat penitipan anak.

Bab I – Pendahuluan

Buku Ajar PAI Akhlak

3

Bercermin dari fenomena di atas, pendidikan akhlak menjadi sangat penting dan menjadi sebuah keniscayaan untuk membangun eksistensi bangsa. Seorang pujangga Mesir, Syauqi Bey, mengatakan:

“Eksistensi bangsa itu tergantung pada akhlaknya. Apabila akhlaknya hilang, maka hancurlah/hilanglah eksistensi bangsa itu”.

Sebuah bangsa terdiri atas masyarakat, sedangkan masyarakat

terdiri dari keluarga-keluarga. Apabila keluarga, sebagai miniatur masyarakat, berhasil mendidik anggotanya secara baik, maka ia akan menghasilkan masyarakat yang berakhlak. Ibu adalah madrasah pertama yang

menanamkan sistem nilai. Apabila Anda berhasil mempersiapkannya dengan baik, maka Anda berarti mempersiapkan generasi bangsa yang

baik, demikian sebuah ungkapan Arab. Apabila masyarakat menjadi baik dan berakhlak mulia, maka ia akan melahirkan bangsa yang baik dan berakhlak mulia.

B. Tujuan Mempelajari Akhlak

Selain ciri-ciri di atas, ajaran kebaikan dalam Islam memiliki fungsi

sebagai Tujuan Akhlak berikut:

1. Meningkatkan kemajuan diri, Allah berfirman dalam QS. Az-Zumar [39]: 9:

“Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang

yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui

dengan orang-orang yang tidak mengetahui?". Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”

Dalam ayat lain, QS. Al-Mujadilah [58]: 11, Allah berfirman:

ماإأل مم إألخالق مابقيت. هن إ

و ذىبت أخالقيم ذىبوإو إ ه

Bab I - Pendahuluan

Buku Ajar PAI Akhlak

4

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi

kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa

derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

2. Menjadi Penuntun Kebaikan. Rasulullah Saw, bersabda:

“Sesungguhnya yang paling baik di antara kamu ialah orang yang

paling baik akhlaknya “. (HR. Mutafaq „Alaih)

3. Indikasi dan Realisasi Kesempurnaan Iman. Rasulullah Saw, bersabda:

“Sebaik-baik iman seorang mukmin adalah orang yang terbaik akhlaknya”. (HR. Al-Tirmidzi)

4. Memperoleh Keutamaan di Hari Kiamat. Rasulullah Saw, bersabda:

“Sesuatu yang memberatkan seorang mukmin dalam mizan (timbangan amal) pada hari kiamat adalah orang yang terbaik akhlaknya”. (HR. At-Tirmidzi)

5. Kebutuhan Primer dalam Keluarga

Akhlak juga merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan

spiritual sebagaimana kebutuhan pokok yang lain, seperti kebutuhan makanan, minuman, tempat tinggal dan kebutuhan pokok yang lain.

نك أخالقا ن من خيارك أحس إ

ميان نم خلقاأكل إملؤمنني إ أحس

ء أثقل ف مزيإن إملؤمن يوم إمقيامة من خلق حسن ما ش

Bab I – Pendahuluan

Buku Ajar PAI Akhlak

5

Maka akhlak merupakan faktor yang penting dalam membina dan menegakkan kehidupan keluarga yang sejahtera lahir dan batin.

Sebuah keluarga yang tidak terbina dengan baik akhlaknya dengan

akhlak yang baik, maka tidak akan merasakan kehidupan yang bahagia, karena akan dijauhkan dari pengaruh atau pergaulan orang banyak.

Akhlak yang mulia dan baik itulah yang akan menjamin keharmonisan hidup dalam rumah tangga, menjalin cinta kasih semua pihak. Dan dengan akhlak yang mulia dapat dijadikan sebagai benteng apabila datang

malapetaka yang melanda kehidupan dalam rumah tangga.

6. Menumbuhkan Kerukunan Antar Tetangga

Dengan mempelajari akhlak mempunyai tujuan dan manfaat

dapat membina kerukunan hidup bertetangga. Dalam kehidupan bertetangga, diperlukan budi pekerti atau akhlak yang baik, mulia dan

luhur. Sebab kerukunan hidup antara tetangga itu hanya akan terjadi apabila setiap orang saling hormat-menghormati, tolong-menolong dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan tetangga,

sabda nabi Muhammad Saw:

“Tidak akan masuk surga, orang yang membuat tetangganya tidak

tentram karena kejahatannya.” (HR. Muslim)

7. Membina Pergaulan Umum

Tujuan dan manfaat ilmu akhlak adalah untuk membina

pergaulan umum. Akhlak menempati posisi dan peranan yang penting dalam kehidupan dan tata pergaulan umum. Salah satu contoh dapat

dikemukakan: setiap orang yang dapat diterima sebagai karyawan atau pekerja baik dalam perusahaan swasta ataupun pemerintah adalah mereka yang dapat menunjukkan surat keterangan yang menyatakan

bahwa mereka berkelakuan baik atau dalam istilah sekarang adalah SKCK (Surat keterangan cakap kelakuan).

Pada orang yang berakhlak rendah akan selalu dijauhkan dari pergaulan umum. Di manapun ia berada akan banyak orang yang tidak menyukainya.

ل يدخل إمجنة من ل يأمن جاره » قال عن أب ىريرة، أن رسول للا

بوإئقو

Bab I - Pendahuluan

Buku Ajar PAI Akhlak

6

Sebaliknya, apabila seseorang berakhlak yang baik, mulia dan luhur maka dimanapun ia berada akan banyak orang yang menyukainya sehingga ia mudah untuk berhubungan dengan siapapun. Biasanya

orang dengan sikap seperti ini akan mudah memeroleh rizki serta mudah dalam keberhasilan berusaha.

8. Menyukseskan Pembangunan Negara

Tujuan dan manfaat selanjutnya mempelajari ahklak adalah dapat menyukseskan pembangunan negara.

Akhlak merupakan salah satu faktor yang wajib ada atau mutlak dalam pembangunan bangsa dan karakter bangsa secara utuh. Oleh sebab itu hendaknya pembangunan akan lebih baik apabila pemimpin

dan warganya berakhlak mulia sehingga pembangunan negara akan sukses dan tercapai dengan baik.

Sebaliknya, apabila akhlak para pemimpin dan warganya rusak (misalnya korupsi, kolusi, nepotisme, keadilan tidak merata, dan lain-lain), maka niscaya pembangunan di suatu yang diharapkan sukses dan

berhasil baik tidak akan tercapai. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Syauqi Bey, dalam gubahan syairnya:

“Eksistensi suatu bangsa itu terletak pada akhlaknya. Apabila akhlaknya

hilang, maka hilang pula eksistensi bangsa itu”.

Dapat dikatakan bahwa kejayaan atau kehancuran suatu bangsa terletak pada akhlaknya. Apabila suatu bangsa berakhlak mulia, maka

tersohorlah bangsa itu. Namun apabila bangsa itu rusak akhlaknya maka rendahlah (hancurlah) nama suatu bangsa.

C. Apakah Akhlak Dapat Diubah?

Memang pernah terjadi perdebatan di kalangan ulama tentang mungkin atau tidaknya akhlak dapat diubah. Sebagian ulama berpendapat

bahwa apabila orang sudah berusia di atas empat puluh tahun, maka akhlaknya akan sulit diubah. Sementara Imam Al-Ghazali memandang

bahwa akhlak itu dapat diubah, seraya berargumen,”Jika akhlak tidak dapat diubah, maka buat apa ada nasehat, ceramah, dan pembinaan.” Di dalam konteks ini, hemat penulis bahwa akhlak dapat diubah, baik secara

bertahap maupun secara sekaligus. Yang dimaksud dengan “diubah

ماإأل مم إألخالق مابقيت. هو ذىبت أخالقيم ذىبوإ إ ن ه

و إ

Bab I – Pendahuluan

Buku Ajar PAI Akhlak

7

sekaligus” adalah pengubahan secara drastis lewat pintu tobat yang lahir dari sebuah kesadaran yang tinggi. Adapun pengubahan secara bertahap dilakukan dengan proses takhalli (mengikis sifat-sifat negatif), tahalli

(menghiasi diri dengan sifat-sifat yang positif), dan tajalli (menampilkan sosok pribadi yang berakhlak mulia).

Pendidikan Akhlak dalam Islam bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Al-Quran menggambarkan tentang keutamaan akhlak ini melalui pujian Allah Swt yang ditujukan kepada Nabi Muhammad Saw:

“Dan sesungguhnya engkau berada di atas pekerti yang agung”. (QS Al-

Qalam [68]: 4)

Bahkan, misi kehadirannya di dunia ini adalah guna menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabda Nabi Saw:

Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak”. (HR Al-Baihaqi)

Oleh karena itu, akhlak dalam Islam bersifat universal dan berlaku untuk sepanjang zaman serta cocok di setiap tempat. Bahkan, persoalan

akhlak ini mencakup, meliputi, dan merambah ke berbagai sektor kehidupan: ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Keterpurukan suatu negeri yang terjadi sekarang ini, diakibatkan oleh buruknya akhlak di dalam berbagai sektor

kehidupan. Tidak ada lagi, sekurang-kurangnya sudah jarang, ditemukan kejujuran dalam berpolitik, berbisnis, dan aspek-aspek lainnya. Sebaliknya, sinyalemen Rasul adalah benar, sebagaimana terungkap dalam hadits berikut

ini:

م مكرم إألخالق )سنن :قال عن أب ىريرة ما بعثت ألثم هقال رسول للا إ

)إمبهيقى

إعات، نوإت خد يأت عل إمناس س س عن أب ىريرة، قال قال رسول إلل

ن ادق، ويؤثمن فهيا إمخائن، ويو ب فهيا إمص ق فهيا إمكذب، ويكذ يصد

ويبضة ويبضة؟ قال « فهيا إألمني، وينطق فهيا إمر جل »، قيل وما إمر إمر

Bab I - Pendahuluan

Buku Ajar PAI Akhlak

8

Abu Hurairah ra. berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda: ”Akan datang

kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan kecurangan/tipuan: orang yang suka bohong dianggap jujur, sedangkan orang yang jujur

dianggap bohong. Orang yang berkhianat dianggap jujur, dan (sebaliknya) orang yang beramanat dianggap pengkhianat. Sementara itu, Ruwaibidhah ikut berbicara tentang hal itu. Ditanyakan kepada beliau,

”Siapa mereka?” Beliau menjawab,” dia adalah orang yang bodoh dan omong kosong berbicara tentang urusan umat”. (HR Ibnu Majah)

Para pendidik dan ulama menyadari bahwa pendidikan akhlak akan

berjalan efektif apabila didukung oleh berbagai hal, melalui cara-cara tertentu. Cara membina akhlak tersebut dapat dilakukan dengan langkah-

langkah berikut:

1. Pendidikan dan pembinaan: pendidikan akhlak diterapkan secara terencana dan terprogram, sehingga peserta didik mengetahui,

menghayati, dan mengamalkannya dalam kehidupan.

2. Pembiasaan: terjadi dan dilakukan secara berulang-ulang, sehingga

menjadi bagian dari diri peserta didik. Ini akan baik jika diterapkan pada anak sedini mungkin.

3. Keteladanan: pendidikan akhlak tidak dapat diberikan kepada peserta

didik begitu saja, melainkan memerlukan teladan (model) yang ditampilkan pendidik, tokoh masyarakat, atau sosok idolanya. Teladan atau uswah/qudwah adalah nasehat tanpa kata-kata, demikian ungkapan

seorang pendidik. Justru ini yang dianggap lebih efektif, karena Lisan al-hal anka min lisan al-maqal (bahasa perbuatan lebih tajam manfaatnya

daripada bahasa retorika saja).

---

Pertanyaan-pertanyaan:

1. Sebutkan 10 faktor/tanda zaman yang dapat menghancurkan suatu bangsa!

2. Akhlak menjadi sangat penting untuk eksistensi sebuah negara, sebutkan

ungkapan Syauqi Bey berkaitan dengan konteks ini!

3. Sebutkan 3 tujuan yang dapat diperoleh dari mempelajari akhlak!

4. Sebutkan 3 langkah cara membina akhlak!

ة )339/ 2 ,)سنن إبن ماجو إمتافو ف أمر إمعام

9

BAB II

ISLAM, IMAN, IHSAN

TUJUAN:

Setelah mempelajari materi bab ini, mahasiswa diharapkan

mampu:

1. Mengetahui dan memahami makna Iman-Aqidah,

Islam-Syari‟ah, dan Ihsan-Akhlak.

2. Dapat mendeskripsikan makna Iman-Aqidah, Islam- Syari‟ah, dan Ihsan-Akhlak.

3. Memahami hubungan antara Islam, Iman, dan Ihsan atau hubungan antara Aqidah, Syari‟ah, dan Akhlak

A. Dasar Islam-Iman-Ihsan

Ajaran Islam tersimpul dalam “trilogi ajaran”, yaitu: „aqidah, syari‟ah, dan akhlak. Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

dari sahabat Abdullah bin „Umar, diceritakan bahwa trilogi ajaran Islam itu meliputi Islam, Iman, dan Ihsan, sebagai berikut:

ن عند رسول للا اب كال: بينما ن ثن أب عر بن امخط ذ طلع حدذات يوم، ا

فر، علينا عر، ل يرى عليو أثر امس رجل شديد بياض امثياب، شديد سواد امش

ل رنبديو، ووضع ند رنبديو ا ل امنب ، فأس

ول يعرفو منا أحد، حت جلس ا

م، فلال رسول للا نفيو عل فخذيو، وكال: ي س عن ال د أ م : م

ة، » دا رسول للا ، وثلمي امص م ل للا وأن مل ا

م أن جشهد أن ل ا س

ال

Bab II - Iman, Islam, Ihsan

Buku Ajar PAI Akhlak

10

Abdullah Ibnu „Umar, berkata: Ayahku, Umar Ibnu Khattab, bercerita kepadaku: “Pada suatu hari ketika kami tengah berada di tengah-tengah majelis bersama Rasulullah Saw, tiba-tiba datang ke hadapan kami seorang

laki-laki berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam. Tidak terlihat padanya tanda-tanda habis melakukan perjalanan jauh. Di antara kami tidak

ada seorangpun yang mengenalinya. Lalu ia duduk di hadapan Nabi Saw dan menyandarkan lututnya pada lutut Rasulullah serta meletakkan kedua tangannya di atas paha Rasulullah.”

Kemudian orang itu berbicara kepada Nabi Saw: “Wahai Muhammad, beritahukanlah kepadaku tentang Islam!”

Rasulullah Saw menjawab: “Islam adalah engkau bersaksi bahwa

sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah; engkau mendirikan shalat; mengeluarkan zakat; berpuasa di

bulan Ramadhan; dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika mampu melakukannya. Orang itu berkata, Engkau benar!”

Kata ayahku: “Kami heran terhadap orang itu, ia yang bertanya lalu

ia pula yang mengatakan benar.”

، كال: وثؤت امزكة، وثصوم رمضان، ميو سبيخطعت ا ن اس

وتج امبيت ا

ميان، كال: أن عن ال كو، كال: فأ ، ويصد صدكت، كال: فعجبنا ل يسأل

ئكذو، ونخبو، ورسل، واميوم الخر، يه ثؤمن بهلل، وم وثؤمن بملدر

حسان، كال: عن ال ه، كال: صدكت، كال: فأ م »وش أن ثعبد للا كه

ئول اعة، كال: ما اممس عن امس و يراك، كال: فأ هن مم حكن حراه فا

حراه، فا

ائل ع عن أمارتا، كال: أن ثل المة ربتا، وأن « نا بأعل من امس كال: فأ

اء يخطاومون ف امبنيان، كال: ث اهطلق فلبثت فاة امعراة امعال رعاء امش حرى ام

، كال: مليا، ائل؟ كلت: للا ورسول أعل ث كال ل: ي عر أثدري من امس

مك دينك » يل أتك يعل و ج ه فا

Bab II - Iman, Islam, Ihsan

Buku Ajar PAI Akhlak

11

Selanjutnya orang itu berkata lagi: “Beritahukanlah kepadaku

tentang Iman.”

“Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, kepada

Kitab-kitab-Nya, kepada rasul-rasulNya, kepada Hari Akhirat, dan kepada Qadar (ketentuan Tuhan) yang baik dan yang buruk”, jawab Rasulullah Saw.

“Engkau benar!” Kata orang itu.

Orang itu berkata lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan!”

Jawab Rasulullah Saw: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan

engkau berhadapan melihat-Nya langsung. Tetapi jika engkau tidak melihat-Nya, maka yakinlah bahwa sesungguhnya Dia (Allah) pasti melihat engkau.”

Kemudian kata orang itu: “Beritahu aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)?”

Jawab Nabi Saw: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya.”

Jika begitu: “Beritahu aku tentang tanda-tandanya!” Kata orang itu.

Rasulullah Saw menjelaskan: “Jika seorang hamba melahirkan

tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba meninggikan bangunannya.”

Kata ayahku: “Tidak selang berapa lama orang itu berlalu.” Beberapa saat kemudian Rasulullah Saw bertanya kepadaku: “Tahukah engkau siapa orang yang bertanya tadi? “ Jawabku: “Allah dan Rasul-Nya-

lah yang lebih tahu.”

“Ia adalah Malaikat Jibril, dia datang untuk mengajarkan kepada

kalian tentang agama kalian”, jawab Rasulullah Saw. [HR. Muslim].

Hadis di atas menjelaskan semua fungsi perbuatan manusia, baik perbuatan lahir maupun perbuatan batin. Hadis ini mengandung aspek-

aspek ajaran Islam, yaitu: Iman, Islam, dan Ihsan, atau dengan istilah lain: „Aqidah, Syari‟ah, dan Akhlak.

B. Hubungan Iman (‘Aqidah), Islam (Syari’ah), dan Ihsan (Akhlak)

Ketiga aspek ajaran Islam (Iman, Islam, Ihsan atau „Aqidah, Syari‟ah, dan Akhlak) merupakan suatu totalitas yang tidak dapat dipisahkan antara

yang satu dengan yang lainnya.

Bab II - Iman, Islam, Ihsan

Buku Ajar PAI Akhlak

12

„Aqidah merupakan sistem keyakinan yang bersifat monotheistik

murni dalam Islam. Syari‟ah merupakan seperangkat kaidah yang mengatur perilaku manusia. Sedangkan Akhlak adalah seperangkat nilai etik

atau moral yang mengatur bagaimana manusia seharusnya berperilaku.

Dalam salah satu ayat, Allah Swt mengilustrasikan keterkaitan hubungan antara tiga aspek ajaran Islam tersebut dengan sebuah

pohon yang kokoh menjulang tinggi, tumbuh subur, dan berbuah lebat. Firman Allah:

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan

kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim

dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim [14]: 24-25)

Ayat di atas menganalogikan bahwa ajaran Islam bagaikan sebuah

pohon yang subur. „Aqidah dimisalkan akarnya, syari‟ah adalah cabangnya, sedangkan akhlak adalah buahnya. „Aqidah merupakan sistem keyakinan yang bersifat monotheistik murni dalam Islam. „Aqidah merupan fondasi

bagi tegaknya agama serta merupakan syarat syahnya amal. Segala amal tidak diterima jika tidak dilandasi „aqidah yang benar. Karena itulah

pelurusan „aqidah (menyembah Allah semata dan meninggalkan segala kemusyrikan) menjadi perhatian pertama dan utama dalam dakwah Nabi Saw, dan oleh para rasul terdahulu kepada umat mereka masing-masing.

Sedangkan Syari‟ah merupakan seperangkat kaidah yang mengatur perilaku manusia. Syari‟ah merupakan aturan atau undang-undang Allah tentang

pelaksanaan dari penyerahan diri secara total kepada Allah, melalui proses baik ibadah mahdhah maupun ibadah ghair mahdlah (mu‟amalah). Adapun Akhlak adalah seperangkat nilai etik atau moral yang mengatur bagaimana

seharusnya manusia berperilaku. Baik dalam perilaku ibadah mahdlah maupun perilaku ibadah ghair mahdlah.

Bab II - Iman, Islam, Ihsan

Buku Ajar PAI Akhlak

13

Jika diskemakan hubungan Iman/Aqidah, Islam/Syari‟ah, dan Ihsan/

Akhlak seperti berikut:

Dengan demikian, lebih jelas lagi bahwa agama Islam bukan sekedar agama yang hanya bersifat doktrin ritual, tetapi juga merupakan suatu

pandangan dunia holistik, menyeluruh dan sistematis, ajarannya meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Jika digambarkan dalam sebuah lingkaran konsentris tentang keterkaitan dan keterikatan aspek-

aspek ajaran Islam terlihat sebagai berikut:

Bab II - Iman, Islam, Ihsan

Buku Ajar PAI Akhlak

14

Gambar di atas menunjukkan bahwa aspek-aspek ajaran Islam

(„Aqidah dan Syari‟ah) berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak mulia (al-akhlak al-karimah). Artinya bahwa perwujudan akhlak akan

tergantung pada „aqidah/keyakinan yang tertanam dalam hati dan gambaran nyata dalam pelaksanaan. Dengan kata lain bahwa akhlak merupakan buah dari „Aqidah dan Syari‟ah. Jika keyakinannya benar/lurus,

dan amalnya cocok (saleh), maka akhlaknya akan baik pula, dan jika sebaliknya, maka akhlaknya pun akan menjadi buruk.

---

Pertanyaan-Pertanyaan:

1. Coba Saudara jelaskan makna Islam, Iman, Ihsan!

2. Jelaskan pula makna hubungan Islam, Iman, Ihsan!

3. Coba Saudara jelaskan kaitan (nisbah) antara Islam, Iman, dan Ihsan, sehingga jelas bahwa akhlak dibangun dengan „aqidah dan syari‟ah yang

benar!

15

BAB III

AKHLAK DAN ILMU AKHLAK

TUJUAN:

Setelah mempelajari materi bab ini, mahasiswa diharapkan

mampu:

1. Mengetahui dan memahami makna Akhlak dan berbagai

istilah lain yang digunakan dalam kajian Akhlak.

2. Dapat mendeskripsikan persamaan dan perbedaan antara Akhlak/Ilmu Akhlak, Moral, Etika dan Adat

Istiadat.

3. Mengetahui dan memahami aliran-aliran tentang

pembentukan Akhlak.

4. Mengetahui dan memahami kriteria perbuatan manusia dengan tolok ukur baik dan buruk.

5. Mengetahui dan memahami kedudukan Akhlak dalam ajaran Islam.

6. Mengetahui dan memahami tujuan pembentukan akhlak.

7. Mengetahui dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan akhlak.

A. Pengertian Akhlak

Kata “akhlak” sudah menjadi kata sehari-hari bagi bangsa Indonesia dan memiliki konotasi yang baik. Sehingga jika dikatakan “orang itu

berakhlak” berarti orang itu memiliki perilaku yang baik.

Bab III – Akhlak dan Ilmu Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

16

Dalam Al-Quran secara eksplisit kata “akhlak” tidak ditemukan, yang ada hanya bentuk tunggal dari kata akhlak yaitu “al-khuluq”. Kata “khuluq” dalam Al-Quran terdapat pada dua tempat, yaitu:

1. Dalam QS. Al-Qalam [68]: 4:

“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

2. Dalam QS. Al-Syu'ara [26]: 137:

“(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu.”

Kendatipun Al-Quran tidak menyebut kata akhlak (hanya kata "khuluq"), tetapi Al-Quran berkali-kali menyebutkan konsep yang berkaitan

dengan kualitas mental dan perilaku manusia, seperti kata-kata: al-khair, al-birr, al-shalih, al-ma'ruf, al-hasan, al-qist, al-sayyi‟ah, fasad, dan lain

sebagainya.

Al-Quran juga menjelaskan norma etik yang bersifat perintah dan larangan, seperti: keharusan berlaku adil dan larangan berbuat zhalim;

keharusan berbakti kepada orang tua dan larangan menyakiti mereka; serta keharusan saling tolong menolong dalam kebajikan dan larangan tolong

menolong dalam kejahatan (berbuat dosa).

Di dalam hadits Nabi Saw, kata akhlak dan khuluq banyak dikemukakan, salah satunya yang paling populer terdapat dalam Sunan Al-

Baihaqi (2: 472), yang berbunyi:

Abu Hurairah r.a berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku

diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak”. (HR. Al-Baihaqi)

Secara kebahasaan kata akhlak berasal dari Bahasa Arab, jamak dari kata “al-khuluq” atau “al-khulq”. Artinya: (1) tabiat (budi pekerti); (2)

al-„adah (kebiasaan atau adat); (3) Al-Muru‟ah (keperwiraan, kesatriaan,

م مكرم إألخالق )سنن :كال عن أب هريرة ما بعثت ألثم هكال رسول هللا : إ

) 2/472إمبهيلى،

Bab III – Akhlak dan Ilmu Akhlak

Bahan Ajar PAI Akhlak

17

atau kejantanan); (4) Al-Dîn (agama); dan (5) Al-Ghadlabu (kemarahan) (Kamus Al-Munawir: 1997: 364).

Di dalam bahasa Indonesia, kata akhlak sering diartikan dalam konotasi “baik” (perilaku baik). Seperti diungkapkan dalam Ensiklopedi

Pendidikan (1976: 9): “Akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan (kesadaran etik dan moral). Akhlak adalah kelakuan yang baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap khaliqnya dan

terhadap sesama manusia.”

Namun, secara terminologis, tidak semua kata akhlak mengandung

konotasi baik. Seperti diungkapkan oleh:

1. Imam al-Ghazali dalam Kitabnya Ihya Ulum Al-Dîn (III: 52):

“Akhlak adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa seseorang yang mendorong untuk melakukan sesuatu perbuatan (lahir) dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran (lagi).”

فامخلق عبارة عن هيئة ف إمنفس رإسة عنا ثصدر إألفعال بسهول

ل فكر ورؤية ويس من غي حاجة إ

Bab III – Akhlak dan Ilmu Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

18

2. Ibrahim Anis :

“Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah

macam-macam perbuatan baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”.

3. Abdul Karim Zaidan :

“(Akhlak) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa, yang

dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih melakukan atau

meninggalkannya”.

Jadi, secara terminologis, kata akhlak mengacu pada masalah tabi'at atau perbuatan batin manusia yang mempengaruhi dan mendorong lahirnya

perbuatan nyata. Atau dalam perkataan lain, akhlak merupakan sifat-sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang dibawa sejak lahir dan selalu ada

padanya. Sifat itu bisa lahir berupa perbuatan baik dan bisa juga berupa perbuatan buruk.

Dengan demikian, hakikat akhlak atau al-khulq adalah, suatu kondisi

atau sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian. Daripadanya timbul berbagai macam perbuatan dengan cara spontan, mudah, tanpa dibuat-buat, dan tanpa memerlukan pemikiran (lagi). Jika

kondisi atau sifat kejiwaan itu melahirkan perbuatan baik/terpuji menurut pandangan akal dan syara‟ (hukum Islam), maka disebut Akhlak Mahmudah

(akhlak terpuji). Tetapi jika sebaliknya, maka disebut Akhlak Mazmumah (akhlak tercela).

Anis Matta (2006: 14) menyebut akhlak adalah nilai dan pemikiran

yang telah menjadi sikap mental yang mengakar dalam jiwa, kemudian

ة ثصدر عناإألعال من خي أو ش من غي إمخلق حال نلنفس رإس

ل فكر ورؤية حاجة إ

ة ف إمنفس وف ضوئا تلر فات إممس مجموعة من إممعان وإمص

وسان أو يلبح ومن ث يلدم عليه أو سن إمفعل ف هظر إإل إناي ومي

جم عنه ي

Bab III – Akhlak dan Ilmu Akhlak

Bahan Ajar PAI Akhlak

19

tampak dalam bentuk tindakan dan perilaku yang bersifat tetap, natural atau alamiah tanpa dibuat-buat, serta refleks.

Makna akhlak di atas, secara substansial tampak saling melengkapi, dan

dari sini dapat dilihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu:

Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam

dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Jika kita mengatakan bahwa si A misalnya sebagai seorang yang berakhlak dermawan, maka sikap dermawan tersebut telah mendarah daging, kapan dan dimanapun

sikapnya itu dibawanya, sehingga menjadi identitas yang membedakan dirinya dengan orang lain. Jika kadang-kadang si A bakhil kadang dermawan, maka ia belum dikatakan sebagai orang dermawan.

Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pikiran. Ini tidak berarti bahwa pada saat melakukan sesuatu

perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Pada saat yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan ia tetap sehat akal pikirannya dan sadar. Oleh karena itu perbuatan refleks seperti

berkedip, tertawa dan sebagainya bukanlah perbuatan akhlak.

Ketiga, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri

orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Jadi perbuatan akhlak dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Oleh karena itu jika ada seseorang yang melakukan suatu

perbuatan, tetapi perbuatan tersebut dilakukan karena paksaan, tekanan atau ancaman dari luar, maka perbuatan tersebut tidak termasuk ke dalam akhlak dari orang yang melakukannya.

Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.

Berkenaan dengan ini maka sebaiknya seseorang tidak cepat-cepat menilai orang lain sebagai berakhlak baik atau berakhlak buruk, sebelum diketahui dengan sesungguhnya bahwa perbuatan tersebut memang dilakukan dengan

sebenarnya. Hal ini perlu dicatat, karena manusia termasuk makhluk yang pandai bersandiwara, atau berpura-pura. Untuk mengetahui perbuatan yang

sesungguhnya dapat dilakukan dengan cara yang kontinyu dan terus menerus.

Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat, perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas

semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan sesuatu pujian. Seseorang yang melakukan perbuatan bukan

Bab III – Akhlak dan Ilmu Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

20

atas dasar karena Allah tidak dapat dikatakan perbuatan akhlak.

Jadi akhlak adalah sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya, artinya sesuatu perbuatan atau sesuatu tindak tanduk manusia yang tidak

dibuat-buat, dan perbuatan yang dapat dilihat ialah gambaran dari sifat-sifatnya yang tertanam dalam jiwa, jahat atau baiknya.

Ringkasnya, perbuatan manusia yang masuk pada kategori akhlak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Bahwa perbuatan itu dilakukan dengan berulang-ulang.

2. Bahwa perbuatan itu timbul dengan mudah (menjadi suatu kebiasaan) tanpa memerlukan pemikiran.

3. Bahwa perbuatan itu dilakukan dengan sengaja (bukan kebetulan).

4. Bahwa perbuatan itu dilakukan dengan bebas / merdeka (tidak ada paksaan dari pihak lain).

B. Istilah-Istilah Lain yang Sering Digunakan dalam Akhlak/Ilmu Akhlak

1. Etika

Secara kebahasaan, kata “Etika” berasal dari bahasa Yunani “ethikos, ethos” yang berarti: adat, kebiasaan, praktik.” (Kamus Filsafat,

1996: 217). Etika merupakan bagian dari pembahasan filsafat. Sebagaimana disebutkan di dalam Kamus Istilah Pendidikan dan Umum (1981: 144) bahwa "etika adalah bagian dari filsafat yang mengajarkan

keluhuran budi (baik dan buruk)."

Di dalam Ensiklopedi Pendidikan diterangkan bahwa "etika adalah filsafat tentang nilai, kesusilaan tentang baik dan buruk. Etika mempelajari

nilai-nilai, ia juga merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri."

Di dalam Dictionary of Education (1973: 219) dikatakan: Ethics; the

study of human behavior not only to find the truth of things as they are but also to enquire into the worth or goodness of human actions (Etika adalah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan

kebenaran sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan dari seluruh tingkah laku manusia).

Sebagai salah satu cabang dari filsafat, etika menentukan ukuran baik dan buruk melalui pertimbangan akal pikiran. Dalam konteks ini,

Bab III – Akhlak dan Ilmu Akhlak

Bahan Ajar PAI Akhlak

21

Hamzah Ya’qub (1983: 13) merumuskan bahwa: “Etika ialah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.”

Perbedaan akhlak dengan etika:

Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika,

jika etika dibatasi pada sopan santun antarsesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah. Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu serta mencakup pula

beberapa hal yang tidak merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran (M. Quraish Shihab, 1996: 261). Sebagai ilustrasi: seorang kaya yang sebenarnya pelit atau kikir pada suatu

saat dapat memberikan hartanya kepada orang lain, karena ingin disebut dermawan atau demi popularitas. Sebaliknya, ada orang yang berjiwa

dermawan tetapi di satu saat tidak memberi apa-apa kepada orang lain, lantaran tidak memiliki harta lagi setelah ditimpa musibah.

Dari ilustrasi di atas dapat diketahui bahwa seseorang yang

menampakkan perilaku secara lahir belum tentu menggambarkan sisi batinnya. Orang kaya di atas mau memberi sumbangan, karena sedang

mencari popularitas. Sebaliknya, orang yang jatuh miskin di atas tidak memberi bukan lantaran tidak memiliki jiwa/hati kedermawanan, tetapi tidak ada yang dapat diberikannya.

2. Moral

Moral merupakan penjabaran dari nilai, tetapi tidak seoperasional etika. Secara etimologis, kata moral (Inggris) berasal dari bahasa Latin:

moralis, mos, atau mores (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan). (Kamus Filsafat, 1996: 672)

Dalam bahasa Indonesia, kata moral diartikan sebagai "ajaran tentang baik dan/atau buruk yang diterima umum, mengenai perbuatan, sikap, budi pekerti, dan susila". Atau disebut juga kondisi mental yang

membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin, dan sebagainya. Jika seseorang dikatakan bermoral, maka orang itu mempunyai

pertimbangan baik dan buruk. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 665)

Hamzah Ya’qub mengatakan, “yang disebut moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia yang baik

dan wajar”.

Bab III – Akhlak dan Ilmu Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

22

3. Adat Istiadat

Adat istiadat, merupakan konsep yang mencerminkan perilaku aktual dari anggota-anggota kelompok sosial yang besar atau kecil. Adat

istiadat juga merupakan konsep yang mencerminkan apa yang diizinkan atau dilarang untuk diperbuat oleh anggota-anggota itu sendiri. Konsep ini

merupakan model-model dan patokan-patokan kelakuan yang dianut orang. Adat-istiadat secara keseluruhan mengandung moralitas dari suatu komunitas sosial. Adat istiadat dapat berbeda karena perbedaan antara

kelas-kelas dan lapisan sosial, perbedaan tempat mereka dalam sistem sosial dan tingkat kebudayaannya (Kamus Filsafat, 1996: 673).

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa, antara moral, etika, adat

istiadat, dan Ilmu Akhlak memiliki persamaan dan sekaligus memiliki perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama menentukan hukum dan nilai

perbuatan manusia dengan keputusan baik atau buruk. Adapun perbedaannya terletak pada tolok ukur yang digunakan oleh masing-masingnya. Ilmu Akhlak menilai perbuatan manusia dengan tolok ukur Al-

Quran dan Al-Sunnah serta Ijtihad. Etika dengan pertimbangan akal pikiran. Sedangkan moral dengan adat kebiasaan yang umum berlaku pada

masyarakat.

Dilihat dari segi sumbernya, baik nilai maupun moral dapat diambil dari wahyu Ilahi ataupun dari budaya. Sementara etika lebih merupakan

kesepakatan masyarakat pada suatu waktu dan di tempat tertentu. Bila masyarakat bercorak religius, maka etika yang dikembangkan pada masyarakat akan bercorak religius. Akan tetapi, bila suatu masyarakat

bercorak sekuler, maka etika yang dikembangkannya adalah kongkritisasi dari jiwa sekuler.

TABEL 1.1 KHULASAH PERSAMAAN DAN PERBEDAAN

AKHLAK, MORAL, DAN ETIKA

Bab III – Akhlak dan Ilmu Akhlak

Bahan Ajar PAI Akhlak

23

C. Ciri-Ciri Kebaikan dalam Islam

Uraian tentang ukuran baik dan buruk menurut ajaran Islam, mengisyaratkan bahwa nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya memiliki

ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan akhlak wadh'iyah (akhlak ciptaan manusia). Ciri-ciri dimaksud antara lain:

1. Tidak menentang fitrah manusia.

2. Bersifat rasional. Tidak terdistorsi oleh perjalanan sejarah dan tidak teranomali oleh kehidupan modern.

3. Bersifat mutlak (al-khairiyah al-muthlaqah), yakni "kebaikan yang murni, baik untuk individu maupun untuk masyarakat (dalam lingkungan, keadaan, waktu, dan tempat apapun)".

4. Bersifat menyeluruh (as-shalahiyyah al-„ammah), yaitu "kebaikan yang terkandung di dalamnya merupakan kebaikan untuk seluruh ummat

manusia di segala zaman dan di semua tempat".

5. Bersifat tetap, langgeng, dan mantap. Kebaikan yang terkandung di dalamnya bersifat tetap, tidak berubah karena perubahan waktu, tempat,

dan kehidupan masyarakat/zaman.

6. Bersifat kewajiban yang harus dipatuhi (al-ilzam al-mustajab). Yaitu

kebaikan yang terkandung dalam akhlak Islam merupakan hukum yang harus dilaksanakan, sehingga ada sanksi hukum bagi orang yang tidak melaksanakannya;

7. Pengawasan yang menyeluruh dan melekat (al-Raqabah al-muhithah).

D. Aliran-Aliran Tentang Pembentukan Akhlak

Untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi pembentukan

akhlak ada tiga aliran yang sudah amat populer. Pertama, aliran nativisme. Kedua, aliran Empirisme. Dan ketiga aliran konvergensi (Abuddinata, 2002:

165).

Menurut aliran nativisme bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor pembawaan dari dalam

yang bentuknya dapat berupa kecenderungan, bakat akal, dan lain-lain. Jika seseorang sudah memiliki pembawaan atau kecenderungan kepada yang

baik maka dengan sendirinya orang tersebut menjadi baik.

Aliran ini tampaknya begitu yakin terhadap potensi batin yang ada

Bab III – Akhlak dan Ilmu Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

24

dalam diri manusia, dan hal ini kelihatannya terkait erat dengan pendapat aliran intuisisme dalam penentuan baik dan buruk sebagaimana telah diuraikan di atas. Aliran ini tampak kurang menghargai atau kurang

memperhitungkan peranan pembinaan atau pembentukan dan pendidikan.

Kemudian menurut aliran empirisme bahwa faktor yang sangat

berpengaruh terhadap pembentukan diri seseorang adalah faktor dari luar, yaitu lingkungan sosial, termasuk pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pembinaan dan pendidikan yang diberikan. Jika pendidikan

dan pembinaan yang diberikan kepada anak itu baik, maka baiklah anak itu.

Demikian juga sebaliknya. Aliran ini tampak begitu percaya kepada peranan yang dilakukan oleh dunia pendidikan dan pengajaran. Akan tetapi

berbeda dengan pandangan aliran konvergensi, aliran ini berpendapat pembentukan akhlak dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu pembawaan si

anak, dan faktor dari luar (eksternal) yaitu pendidikan atau pembentukan dan pembinaan yang dibuat secara khusus, atau melalui interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah atau kecenderungan ke arah yang baik yang ada di

dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai metode.

Aliran yang ketiga ini tampak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini

dapat dipahami dari QS. Al-Nahl [16]: 78:

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan

dan hati, agar kamu bersyukur”.

Ayat tersebut memberikan petunjuk bahwa manusia memiliki potensi

untuk dididik, yaitu penglihatan, pendengaran, dan hati sanubari. Potensi tersebut harus disyukuri dengan cara mengisinya dengan ajaran dan pendidikan.

Menurut Hamzah Ya’kub (1993: 57) faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya akhlak atau moral pada prinsipnya dipengaruhi dan ditentukan

oleh dua faktor utama yaitu faktor intern dan faktor ekstern.

Bab III – Akhlak dan Ilmu Akhlak

Bahan Ajar PAI Akhlak

25

1. Faktor Intern

Faktor intern adalah faktor yang datang dari diri sendiri yaitu fitrah yang suci yang merupakan bakat bawaan sejak manusia lahir dan

mengandung pengertian tentang kesucian anak yang lahir dari pengaruh-pengaruh luarnya.

Setiap anak yang lahir ke dunia ini telah memiliki naluri keagamaan yang nantinya akan memengaruhi dirinya seperti unsur-unsur yang ada dalam dirinya yang turut membentuk akhlak atau moral,

diantaranya adalah:

a. Instink adalah kesanggupan melakukan hal-hal yang kompleks tanpa latihan sebelumnya, terarah pada tujuan yang berarti bagi si subyek,

tidak disadari dan berlangsung secara mekanis (Kartini Kartono, 1996): 100). Ahli-ahli psikologi menerangkan berbagai naluri yang

ada pada manusia yang menjadi pendorong tingkah lakunya, diantaranya naluri makan, naluri berjodoh, naluri keibu-bapakan, naluri berjuang, naluri bertuhan dan sebagainya (Hamzah Ya’kub,

1993: 30).

b. Kebiasaan. Salah satu faktor penting dalam pembentukan akhlak

adalah kebiasaan atau adat istiadat. Yang dimaksud kebiasaan adalah perbuatan yang selalu diulang-ulang sehingga menjadi mudah dikerjakan (Hamzah Ya’kub, 1993: 31). Kebiasaan dipandang sebagai

fitrah yang kedua setelah nurani. Karena 99% perbuatan manusia terjadi karena kebiasaan. Misalnya makan, minum, mandi, cara berpakaian itu merupakan kebiasaan yang sering diulang-ulang.

c. Keturunan. Ahmad Amin mengatakan bahwa perpindahan sifat-sifat tertentu dari orang tua kepada keturunannya, maka disebut al-

Waratsah atau warisan sifat-sifat (Ahmad Amin, 1975: 35). Warisan sifat orang tua terhadap keturunanya, ada yang sifatnya langsung dan tidak langsung. Artinya, langsung terhadap anaknya dan tidak

langsung terhadap anaknya, misalnya terhadap cucunya. Sebagai contoh, ayahnya adalah seorang pahlawan, belum tentu anaknya

seorang pemberani bagaikan pahlawan, bisa saja sifat itu turun kepada cucunya.

d. Keinginan atau kemauan keras. Salah satu kekuatan yang berlindung

di balik tingkah laku manusia adalah kemauan keras atau kehendak. Kehendak ini adalah suatu fungsi jiwa untuk dapat mencapai

Bab III – Akhlak dan Ilmu Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

26

sesuatu. Kehendak ini merupakan kekuatan dari dalam (Agus Sujanto, 1985: 93). Itulah yang menggerakkan manusia berbuat dengan sungguh-sungguh. Seseorang dapat bekerja sampai larut

malam dan pergi menuntut ilmu di negeri yang jauh berkat kekuatan azam (kemauan keras).

Demikianlah seseorang dapat mengerjakan sesuatu yang berat dan hebat memuat pandangan orang lain karena digerakkan oleh kehendak. Dari kehendak itulah menjelma niat yang baik dan yang

buruk, sehingga perbuatan atau tingkah laku menjadi baik dan buruk karenanya.

e. Hati nurani. Pada diri manusia terdapat suatu kekuatan yang sewaktu-

waktu memberikan peringatan (isyarat) apabila tingkah laku manusia berada di ambang bahaya dan keburukan. Kekuatan tersebut adalah

“suara batin” atau “suara hati” yang dalam bahasa Arab disebut dengan “dhamir” (Basuni Imamuddin, 2001: 314). Dalam bahasa Inggris disebut “conscience” (John. M. Echol, 1987: 139). Sedangkan

“conscience” adalah sistem nilai moral seseorang, kesadaran akan benar dan salah dalam tingkah laku (C.P. Chaplin, 1989: 106).

Fungsi hati nurani adalah mengingatkan bahayanya perbuatan buruk dan berusaha mencegahnya. Jika seseorang terjerumus melakukan keburukan, maka batin merasa tidak senang (menyesal), dan selain

memberikan isyarat untuk mencegah dari keburukan, juga memberikan kekuatan yang mendorong manusia untuk melakukan perbuatan yang baik. Oleh karena itu, hati nurani termasuk salah satu

faktor yang ikut membentuk akhlak manusia.

2. Faktor ekstern

Adapun faktor ekstern adalah faktor yang diambil dari luar yang memengaruhi kelakuan atau perbuatan manusia, yaitu meliputi:

a. Lingkungan

Salah satu faktor yang turut menentukan kelakuan seseorang atau suatu masyarakat adalah lingkungan (milleu). Milleu adalah suatu yang

melingkupi suatu tubuh yang hidup (Hamzah Ya’kub, 1993: 31). Misalnya lingkungan alam mampu mematahkan/mematangkan pertumbuhan bakat yang dibawa oleh seseorang; lingkungan pergaulan

mampu mempengaruhi pikiran, sifat, dan tingkah laku.

Bab III – Akhlak dan Ilmu Akhlak

Bahan Ajar PAI Akhlak

27

b. Pengaruh keluarga

Setelah manusia lahir maka akan terlihat dengan jelas fungsi keluarga dalam pendidikan yaitu memberikan pengalaman kepada anak baik

melalui penglihatan atau pembinaan menuju terbentuknya tingkah laku yang diinginkan oleh orang tua. Dengan demikian orang tua

(keluarga) merupakan pusat kehidupan rohani sebagai penyebab perkenalan dengan alam luar tentang sikap, cara berbuat, serta pemikirannya di hari kemudian. Dengan kata lain, keluarga yang

melaksanakan pendidikan akan memberikan pengaruh yang besar dalam pembentukan akhlak.

c. Pengaruh sekolah

Sekolah adalah lingkungan pendidikan kedua setelah pendidikan keluarga dimana dapat mempengaruhi akhlak anak. Sebagaimana

dikatakan oleh Mahmud Yunus sebagai berikut: Kewajiban sekolah adalah melaksanakan pendidikan yang tidak dapat dilaksanakan di rumah tangga, pengalaman anak-anak dijadikan dasar pelajaran

sekolah, kelakuan anak-anak yang kurang baik diperbaiki, tabiat-tabiatnya yang salah dibetulkan, perangai yang kasar diperhalus,

tingkah laku yang tidak senonoh diperbaiki dan begitulah seterusnya. (Mahmud Yunus, 1978: 31)

Di dalam sekolah berlangsung beberapa bentuk dasar dari

kelangsungan pendidikan. Pada umumnya yaitu pembentukan sikap-sikap dan kebiasaan, dari kecakapan-kecakapan pada umumnya, belajar bekerja sama dengan kawan sekelompok melaksanakan

tuntunan-tuntunan dan contoh yang baik, dan belajar menahan diri dari kepentingan orang lain. (Abu Ahmadi, 1991: 269)

d. Pendidikan masyarakat

Masyarakat dalam pengertian yang sederhana adalah kumpulan individu dalam kelompok yang diikat oleh ketentuan negara,

kebudayaan, dan agama. Ahmad D. Marimba (tt.: 63) mengatakan: “Corak dan ragam pendidikan yang dialami seseorang dalam

masyarakat banyak sekali. Hal ini meliputi segala bidang baik pembentukan kebiasaan. Kebiasaan pengertian (pengetahuan), sikap dan minat maupun pembentukan kesusilaan dan keagamaan”.

---

Bab III – Akhlak dan Ilmu Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

28

Pertanyaan-Pertanyaan:

1. Jelaskan pengertian akhlak, etika, moral, dan adat istiadat!

2. Jelaskan persamaan dan perbedaan antara akhlak/ilmu akhlak, etika,

moral, dan adat istiadat!

3. Al-Quran menerangkan tentang sifat-sifat manusia. Sebutkan enam sifat

manusia yang ditunjukkan oleh Al-Quran!

4. Jelaskan kriteria perbuatan manusia yang termasuk perbuatan akhlak!

5. Jelaskan pengertian baik dan buruk!

6. Apa ciri-ciri dan fungsi kebaikan menurut ajaran Islam (tujuan akhlak)!

7. Faktor-faktor apa saja yang mempengarungi dalam pembentukan akhlak?

29

BAB IV

PEMBAGIAN AKHLAK

Tujuan:

Setelah mempelajari materi bab ini, mahasiswa diharapkan

mampu:

1. Mengetahui dan memahami makna akhlak terpuji dan

akhlak tercela

2. Mengetahui dan memahami sumber lahirnya akhlak terpuji dan akhlak tercela

3. Memahamai makna cabang-cabang akhlak terpuji dan akhlak tercela

4. Mengetahui dan memahami pilar-pilar akhlak terpuji

5. Dapat mengaplikasikan akhlak terpuji dalam kehidupan keseharian

A. Macam-Macam Akhlak

Pada garis besarnya Akhlak menurut ajaran Islam ada dua macam,

yaitu: (1) Akhlak Mahmudah (Akhlak Terpuji); dan (2) Akhlak Mazmumah (Akhlak Tercela).

1. Akhlak Mahmudah

Akhlak Mahmudah, akhlak yang terpuji, baik dan terhormat, atau sering disebut dengan akhlak karimah. Untuk dapat memiliki akhlak yang terpuji ini dengan cara meneladani perilaku Nabi Muhammad Saw yang

memiliki akhlak mulia, sehingga menjadi uswah hasanah, yakni sifat shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Yang dimaksud berakhlak baik

atau terpuji adalah menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah dijelaskan oleh agama Islam, serta menjauhkan diri

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

30

daripadanya, sebagaimana menjauhkan diri dari najis dan kotoran, dengan cara: (1) Membiasakan diri dengan adat kebiasaan yang baik; (2) Menggemarinya, melakukannya, dan mencintainya; (3) Setiap perbuatan,

sikap dan ucapan secara spontan merupakan perwujudan konkret dari ajaran Islam.

Imam Al-Ghazali menyabut akhlak terpuji dikategorikan dalam dua macam, yaitu: Terpuji lahir dan Terpuji batin.

a. Sifat terpuji lahir yang dilakukan oleh indera lahir, seperti:

1) Membaca syahadat, shalat, puasa, membayar zakat, dan menunaikan ibadah haji (kategori ibadah khusus);

2) Kegiatan-kegiatan yang masuk kategori ibadah umum, yakni

berbuat baik kepada sesama manusia, flora, dan fauna.

b. Sifat terpuji batin yakni keadaan batin yang selalu mendekatkan diri

kepada Allah dan menerima setiap pemberian dari Allah dengan sikap qana’ah dan ridla.

Antara yang lahir dan batin tidak dapat dipisahkan, keduanya

menjadi satu kesatuan yang integral. Perbuatan sikap dan ucapan-ucapan yang tulus tidak lepas dari keadaan batin. Semua tindak tanduk

manusia merupakan manifestasi dari gambaran atau kondisi batinnya.

Jadi, akhlak yang baik, terpuji, dilahirkan dari sifat kondisi batin yang terpuji pula. Akhlak yang jelek dilahirkan oleh sifat kondisi batin

yang tercela. Orang yang berakhlak mulia, berbudi pekerti utama berbahagia dan yang berakhlak buruk, berbudi pekerti rendah celaka (QS. Al-Infithar [82]: 13-14). Oleh sebab itu Rasulullah Saw berpesan

agar manusia untuk selalu menanamkan dalam dirinya akhlak mulia dalam salah satu sabdanya:

Dari Abi Dzar, berkata: Bersabda Rasulullah Saw kepadaku. Bertakwalah kepada Allah dimana saja engkau berada. Ikutilah suatu kejelekan, itu

dengan kebaikan, karena kebaikan itu dapat menghapus kejelekan tadi. Dan pergaulilah manusia dengan budi pekerti yang baik. (HR. At-Tirmidzi)

ة ع حيثما كنت، وأتبع امه : اتهق الله عن أب ذر قال: قال ل رسول الله

لق حن ن تمحها، وخامق امنهاس ب (]4/355[سنن امرتمذي (احل

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

31

Akhlak terpuji pada hakikatnya adalah ketaatan dalam menjalankan aturan agama atau syari‟at. Al-Fudlail Ibnu „Iyadl menyebut

bahwa sumber terbitnya akhlak terpuji sebagai berikut:

Sumber keta’atan (akhlak terpuji) ada tiga perkara, yaitu: (1) al-Khauf (rasa takut); (2) al-Rajâ` (penuh harap); dan (3) al-Hubb (rasa cinta).

a. Al-Khauf (Rasa Takut)

Al-Khauf artinya “takut”. Di dalam Al-Qur‟an kata khauf sering

dirangkaikan dengan kata “ju’ân” (lapar). Menunjukkan bahwa perasaan lapar dan takut memainkan peranan penting di dalam kehidupan manusia. Sebab, biasanya manusia mendapatkan banyak

kesulitan dalam upaya memperoleh penghidupan. Begitu pun perasaan takut menghadapi kematian, masa depan yang suram, musuh, atau

bencana-bencana lainnya yang menyebabkan penderitaan manusia. Oleh karena itu beberapa ayat menerangkan bahwa lapar dan takut merupakan dua faktor yang memiliki efek berbahaya dalam kehidupan

manusia. Ayat-ayat dimaksud antara lain sebagai berikut:

1) QS. Al-Baqarah [2]: 155,

“Dan sesungguhnya Kami akan memberi cobaan kepada kalian dengan sesuatu berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-

orang yang sabar.”

2) QS. An-Nahl [16]: 112,

ياء: اع ثالث أش ج أصل امطه ء، وامحب اامخوف، وامره

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

32

“Dan Allah membuat perumpamaan dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezekinya datang kepadanya berlimpah-limpah dari setiap tempat, tetapi (penduduknya) kafir

kepada nikmat-nikmat Allah. Oleh karena itu, Allah meresakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan apa

yang selalu mereka perbuat.”

3) QS. Quraisy [106]: 4,

“(Allah) yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”

Takut adalah salah satu bentuk emosi yang ada pada manusia. Manfaat takut tidak hanya terbatas pada menjaga manusia dari

bahaya yang mengancam pada kehidupan duniawi, tetapi juga manfaat yang paling penting yakni mendorong orang mukmin agar menjaga diri dari azab Allah Swt, pada kehidupan akhirat. Dengan

demikian, takut kepada siksaan Allah, akan mendorong orang mukmin tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan, lalu bertakwa dan teratur

dalam beribadah kepada Allah Swt serta mengerjakan amal shaleh.

Takut karena Allah merupakan takut yang penting dalam kehidupan orang mukmin. Sebab, itu senantiasa mendorong orang

mukmin pada ketakwaan, mencari ridla Allah, mengikuti manhaj-Nya, meninggalkan segala larangan-Nya dan mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya.

Takut karena Allah dipandang sebagai salah satu pilar dalam keimanan kepada-Nya dan sebagai pondasi yang penting dalam

pembentukan kepribadian seorang mukmin.

Takut karena Allah sangat bermanfaat dalam kehidupan seorang mukmin. Sebab, takut karena Allah Swt, akan membuatnya

menjauhi perbuatan maksiat, dan memeliharanya dari murka dan azab Allah. Takut karena Allah juga akan mendorong orang mukmin

menunaikan segala ibadah dan mengerjakan berbagai amal shaleh untuk mengharapkan keridloan Allah. Jadi, perasaan takut karena Allah pada akhirnya dapat memunculkan perasaan tentram dalam diri

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

33

sebab orang mukmin akan diliputi perasaan harap akan ampunan dan keridlaan Allah.

b. Al-Rajâ` (Penuh Harap)

Rajâ` berarti harapan. Maksudnya adalah mengharap Ridha

Allah Swt. Rajâ` termasuk akhlak yang terpuji yaitu suatu akhlak yang dapat berguna untuk mempertebal iman dan taqwa kepada Allah Swt.

Sebagai Muslim tentunya mengharapkan kebahagiaan dunia

dan akhirat. Supaya harapan tersebut dapat tercapai, maka ia harus menjalankan perintah Allah Swt dan menjauhi segala larangan-

larangan-Nya dan tidak lupa untuk berdo‟a. Dalam Surah Al-Mukmin [40]: 60 dikatakan, yang artinya

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan

Kuperkenankan bagimu” (QS. Al-Mukmin [40]: 60).

Seorang yang beriman kepada Allah Swt tentunya memiliki sifat Rajâ. Dengan sifat Rajâ` tersebut maka akan tercermin suatu

sikap yang khusnudzan, berhaluan maju, dan berpikir yang islami.

Khusnudzan adalah sifat yang terpuji yaitu sifat yang menunjukkan prasangka yang baik. Sifat kebalikannya adalah

su’udzan yaitu suatu prasangka buruk. Seseorang yang bersifat Rajâ’u akan selalu berprasangka baik terhadap Allah Swt, selalu optimis

dalam hidup guna meningkatkan kualitas hidup, berusaha sekuat tenaga untuk meraih yang diinginkan, masalah hasil diserahkan kepada Allah Swt (tawakkal).

Berhaluan maju, artinya dalam hidup dan kehidupan seorang muslim selalu dinamis, terus menerus dan sungguh-sungguh dalam

meningkatkan dan mengaktualkan kualitas diri. Kebalikan dari sifat berhaluan maju ialah berhaluan mundur yaitu suatu sifat yang tercela dan menghambat dalam kemajuan dan sangat merugikan. Seseorang

yang berhaluan mundur tidak akan bersifat kompetitif, sehingga yang ada adalah kemalasan yang menyebabkan tidak berkualitas.

...

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

34

c. Al-Hubb (Cinta)

Secara umum, cinta memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Cinta adalah pondasi kehidupan perkawinan,

pembentukan keluarga, dan pemeliharaan anak-anak. Cinta merupakan dasar kasih sayang di antara manusia dan pembentukan

hubungan persahabatan sesama manusia. Cinta merupakan pengikat yang erat yang menghubungkan manusia dengan Rabb-Nya serta membuatnya ikhlas dalam beribadah kepada-Nya, mengikuti manhaj-

Nya, dan berpegang pada syari‟at-Nya.

Cinta juga merupakan hubungan spiritual yang berakar dalam mengikat kaum muslimin dengan Rasulullah Saw. Cinta mendorong

kaum muslimin berpegang teguh pada sunahnya, mengikuti ajaran-ajarannya dan perintah-perintahnya, serta menjadikan beliau sebagai

anutan paling agung yang segala perilakunya diikuti.

Dalam kehidupan manusia, cinta tampak dalam beragam bentuk. Terkadang, manusia mencintai dirinya sendiri; mencintai

sesama manusia; mencintai isteri dan anak-anaknya; mencintai kekayaan; mencintai Allah dan Rasul-Nya; dan mencintai alam dengan

segala makhluk Allah yang ada di dalamnya.

Cinta kepada Allah merupakan puncak cinta manusia serta cinta yang paling luhur, suci dan bersifat spiritual. Cinta kepada Allah

menjadi tujuan setiap Mukmin. Cinta kepada Allah merupakan kekuatan pendorong untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Berkaitan dengan cinta kepada Allah Swt, Ibnu Taimiyah

mengemukakan:

Setiap qalbu bertambah cinta kepada Allah, bertambah pula

ubudiah qalbu kepada-Nya. Setiap kali ubudiah qalbu kepada-Nya bertambah, bertambah pula kecintaan qalbu kepada-Nya serta akan mengutamakan-Nya. Qalbu itu sendiri membutuhkan

Allah karena dua segi. Pertama, dari segi ibadah, dan ini merupakan alasan puncak. Kedua, dari segi permohonan

pertolongan dan tawakal, dan ini merupakan alasan aktif. Oleh karena itu, qalbu tidak akan menjadi baik, tidak akan berbahagia, tidak akan merasakan kenikmatan, kegembiraan,

kelezatan, kesenangan, ketenangan, dan ketentraman, kecuali dengan meng-ibadati dan mencintai Rabnya serta kembali

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

35

kepada-Nya. Seandainya qalbu memeroleh semua kenikmatan yang bisa dirasakan oleh seluruh makhluk, ia tetap tidak akan

merasakan ketentraman dan ketenangan, sebab qalbu memang membutuhkan Rabbnya sebagai Zat yang diibadahinya,

dicintainya, dan dicarinya. Dengan cara itulah, qalbu akan merasakan kegembiraan, kesenangan, kelezatan, kenikmatan, ketenangan, dan ketentraman.” (Utsman Najati, 137)

Adapun cinta kepada Rasulullah Saw, Al-Quran berwasiat kepada kita agar mencitai Rasulullah Saw, serta menyandingkan cinta

kepada Rasulullah dengan cinta kepada Allah. Hal ini terdapat dalam ayat ke-24 Surah Al-Taubah [9]:

Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal

yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah

mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Dari norma-norma induk akhlak mahmudah di atas lahir

norma-norma cabang yang sangat banyak, antara lain:

1) Qana’ah (Merasa cukup). Artinya suka menerima apa yang ada,

rela dengan pemberian yang telah dianugerahkan Allah kepada dirinya, merasa memang itulah yang sudah menjadi bagiannya.

2) Al-Amanah (Dapat dipercaya). Sesuatu yang dipercayakan kepada

seseorang, baik harta, ilmu pengetahuan dan hal-hal yang bersifat rahasia yang wajib dipelihara atau disampaikan kepada yang

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

36

berhak menerima, harus disampaikan apa adanya tidak dikurangi atau ditambah-tambahi.

3) Al-Afwu (Pemaaf). Al-Afwu berarti seseorang menghapuskan

kesalahan atau membatalkan melakukan pembalasan terhadap orang yang berbuat jahat atas dirinya. Dengan pemberian maaf

tersebut, seseorang berarti berbuat kebaikan kepada orang lain dan membersihkan dirinya dari sifat marah, dendam, dengki dan permusuhan.

4) Ikhlas. Ikhlas, berarti “murni, bersih, dan terbebas dari segala sesuatu yang mencampuri dan mengotorinya.” Artinya melakukan amal perbuatan semata-mata hanya karena Allah.

2. Akhlak Madzmumah

Akhlak Madzmumah adalah akhlak yang tercela atau buruk, baik

dilihat dari sikap, perilaku, atau ucapan bertentangan dengan ajaran Islam.

Sifat tercela atau maksiat ada yang lahir dan ada yang batin. Maksiat lahir akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat,

sedangkan maksiat batin jauh lebih berbahaya, karena tidak kelihatan tetapi ia memiliki daya dorong yang luar biasa dalam melahirkan maksiat

lahir, misalnya dengki (hasad).

Dampak perbuatan tercela membawa seseorang masuk ke neraka jahanam. “Sungguh seseorang akan sampai pada tingkatan yang paling

bawah dari neraka jahanam karena jahat budi pekertinya”, demikian salah satu sabda Rasulullah Saw dalam riwayat Ath-Thabrani.

Akhlak Madzmumah (maksiat lahir dan batin) dapat membawa

kerusakan dirinya maupun orang lain (masyarakat dan negara). Imam Ghazali menamakannya dengan muhlikat, yaitu sifat-sifat yang merusak

menghancurkan manusia.

Menurut Al-Fudlail ibnu „Iyadl, akhlak madzmumah (maksiat lahir dan batin) lahir karena tiga hal pula, yaitu:

“Sumber kemaksiatan (akhlak tercela) ada tiga perkara pula, yaitu: (1) al-Kibru (sombong); (2) al-Hirshu (rakus); dan (3) al-Hasadu (dengki)”.

ياء: ، وامحر أصل اممعصي ثالث أش ص، وامحد.امكب

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

37

a. Al-Kibru (Takabur). Allah berfirman:

“Dia-lah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Raja yang Mahasuci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Mahakuasa, yang memiliki

segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 23)

“Al-Mutakabbir” adalah sifat Allah. Sebagai sifat Allah, kata “Al-Mutakabbir” di dalam Al-Quran ditemukan hanya satu kali yaitu dalam ayat di atas. Kata ini terambil dari akar kata yang mengandung makna

kebesaran. Kata Mutakabbir secara bahasa bisa juga diartikan dengan angkuh.

Pakar kebahasaan berpendapat bahwa kata al-Mutakabbir berarti Yang Maha Besar, karena menurut mereka huruf ”ta” dalam bahasa Arab biasanya jika disisipkan pada suatu “kata”, berarti takalluf

(kesengajaan membuat-buat). Manusia berpotensi takabbur, karena ketika manusia angkuh dan menyombongkan dirinya, pada hakikatnya ia sedang membuat-buat kebesaran untuk dirinya. Padahal, manusia

tidak memiliki kebesaran.

Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang takabbur

adalah orang yang memiliki pandangan bahwa, orang lain hina dan rendah seperti pandangan seorang raja kepada hamba sahayanya, bahkan merasa keagungan hanya miliknya. Sifat ini tidak mungkin

dimiliki dan disandang kecuali oleh Allah Swt, sebab hanya Dia yang berhak dan wajar bersikap demikian. Setiap yang memandang

keagungan dan kebesaran hanya miliknya secara khusus tanpa selain-Nya, maka pandangan tersebut adalah salah, kecuali jika yang melakukannya adalah Allah Swt. Namun yang perlu dicatat, bahwa sifat

kibriya (angkuh) ini ditujukan oleh Allah Swt kepada mereka yang angkuh, yang memandang serta memerlakukan selain dirinya adalah hina dan rendah.

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

38

Istilah takabur mengisyaratkan bahwa keangkuhan merupakan upaya seseorang untuk melebihkan dirinya daripada pihak lain, kelebihan yang dibuat-buat, lagi tidak pernah wajar disandangnya.

Manusia sangat tercela bila memiliki sifat takabbur, padahal asalnya adalah dari nuthfah yang menjijikkan, akhirnya menjadi

bangkai yang membusuk, sedangkan masa antara awal dan akhir hidupnya membawa urine dan kotoran.

Manusia yang takabbur tergabung dalam dirinya kebodohan

dan kebohongan. Disebut kebodohan, karena dia tidak tahu bahwa kebesaran hanya milik Allah sehingga akibat kebodohannya dia menduga dirinya besar. Dia juga melakukan kebohongan. Dengan

takabbur-nya, dia membohongi dirinya sendiri karena sesungguhnya bahwa dirinya adalah lemah. Namun dia merasa hebat. Bukankah

takabbur membuat-buat pada diri yang besar padahal hakikatnya tidak pernah dapat terwujud.

Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam

Muslim, Allah Swt berfirman:

“Kemuliaan adalah pakaian-Ku, kebesaran adalah selendang-Ku.

Barangsiapa yang mencoba mengenakannya, akan Aku siksa”. (HR. Muslim)

Keangkuhan berbeda dengan kebanggaan atau membanggakan

diri. Sebab yang membanggakan diri belum tentu menganggap dirinya lebih dari orang lain. Bahkan, boleh jadi saat itu ia masih tetap

mengakui keunggulan pihak lain atau sama dengannya.

Adapun keangkuhan adalah dia membanggakan diri ditambah dengan merendahkan pihak lain, kemudian melecehkan dan

memandang orang lain itu lebih rendah daripadanya.

Selain kata takabbur di dalam Al-Quran ditemukan juga kata

istakbara. Kata ini berfungsi menggambarkan betapa mantap dan kukuhnya keangkuhan itu. Karena itu, kata istakbara menunjukkan

زار يء ردا امعز ا عص معي:م مع : ئ ى، وامكب ، معن ننعازعع عذه

4 /2023)

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

39

keangkuhan yang luar biasa. Beberapa ayat Al-Quran menjelaskan, antara lain (yang artinya):

“Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Al-Shaff [61]: 3)

“(yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman.

Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (QS. Ghafir [40]: 35)

“Sesungguhhnya orang-orang yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka tidak ada dalam

dada mereka melainkan hanyalah (keinginan akan) kebesaran yang mereka sekali-kali tiada akan mencapainya, Maka mintalah

perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya dia Maha mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Ghafir [40]: 56)

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

40

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", maka merekapun bersujud kecuali

iblis. dia tidak termasuk mereka yang bersujud (11). Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di

waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab Iblis, "Saya lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah"(12). Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga

itu, karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah. Sesungguhnya kamu termasuk golongan yang

hina"(13). Iblis menjawab: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibang-kitkan" (Maksudnya: janganlah saya dan anak cucu saya dimatikan sampai hari kiamat sehingga saya berkesempatan

menggoda Adam dan anak cucunya) (14). Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh"(15). Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum saya tersesat,

saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus (16). Kemudian saya akan mendatangi mereka dari

muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat) (17). "Keluar-lah kamu dari surga itu sebagai kelompok terhina lagi

terusir. Sesungguhnya barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahannam dengan kamu

semuanya"(18) (QS. Al-'Araf [7]: 11-18)

Oleh karena itu, di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dari Ibnu Mas‟ud (Risalah Al-Qusyairiyah I: 288),

Rasulullah Saw, mengingatkan kepada manusia:

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

41

“Hati-hati terhadap sikap takabur, karena Iblis dilaknat oleh Allah

akibat sikap takaburnya (tidak mau melaksanakan perintah Allah) untuk melakukan sujud kepada Adam a.s.”

Sombong (takabbur) adalah suatu perasaan yang terdapat di dalam hati seseorang bahwa dirinya hebat, mempunyai kelebihan dari orang lain. Misalnya, ia merasa lebih dalam ilmu pengetahuannya,

kekayaannya, kecantikannya, dan lain sebagainya. Perasaan lebih ini memantul dalam sikap dan tindak-tanduk sehari-hari, dan penampilan

di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.

Sifat sombong ini amat tercela, baik di sisi Tuhan maupun di sisi manusia, karena ia akan membawa kerugian dan bahaya yag

amat besar bagi orang yang memiliki sifat ini.

Bahaya-bahaya sombong antara lain:

1) Orang sombong pasti tidak dapat memberikan kebaikan orang lain, sebab tidak memiliki sifat tawadlu. Ia juga tidak dapat meninggalkan sifat dengki dan ucapannya banyak mengandung dusta. Tidak bisa

menahan hawa nafsunya, tidak mungkin memberikan nasihat kepada orang lain, suka menghina dan mencemoohkan, mencari-cari dan membongkar rasa malu orang lain, lebih-lebih terhadap orang

yang dipandang pesaingnya.

2) Sifat sombong sangat tidak pantas untuk siapa pun yang selain Allah

Swt.

3) Orang yang memiliki sifat sombong sama seperti sikap kafir dan munafik yang enggan menerima kebenaran dari Allah Swt.

4) Orang yang memiliki sifat sombong itu akhirnya akan tersesat jalan, karena meniru sifat syaitan.

Ringkasnya Islam sangat mencela manusia untuk bersombong.

b. Al-Hirshu (Tamak/Loba/Rakus)

Tamak/loba/rakus, merupakan sumber akhlak tercela. Manusia,

jika sudah terkena sifat ini pasti akan terseret kepada perilaku tercela dan cenderung kepada perbuatan keji dan munkar.

ل امكب عل أن ال يجد لدم لس حنه اك وامكب ا يه

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

42

Sifat rakus, timbul akibat dari ketidakmampuan manusia dalam mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu manusia cenderung untuk bersifat tamak/rakus. Menurut Al-Syarkawi (dalam Asmaran, 235). Sifat

ini sering membawa orang ke alam khayalan, karena terbawa oleh keinginan hawa nafsu, yang pada gilirannya mencelakakan dirinya.

Terhadap sifat ini, Rasulullah Saw mengingatkan kepada manusia sebagai berikut:

“Hati-hatilah dengan tamak/rakus, karena Adam a.s. terjebak dalam

sifat rakus ini dengan memakan buah-buahan yang dilarang.”

c. Al-Hasad (hasud, dengki)

Hasud (dengki) ada dua macam. Pertama, hasud yang tercela menurut syari‟at, yaitu tidak senang melihat kenikmatan pada orang lain, dan mengharapkan kenikmatan itu hilang dari orang tersebut.

Kedua, adalah hasud yang dikenal dengan istilah ghibthah (keinginan menjadi seperti orang lain). Pada ghibthah, manusia berkeinginan

memiliki kenikmatan seperti yang dimiliki orang lain, tanpa berusaha menghilangkan kenikmatan orang lain.

Jenis ghibthah tidak termasuk akhlak tercela, lebih-lebih kalau

kenikmatan yang ingin diperolehnya itu sesuatu yang terpuji dalam pandangan syari’at. Contoh: Seseorang yang ingin mempunyai harta yang banyak agar dapat menginfakkan hartanya di jalan Allah Swt,

seperti halnya dilakukan oleh orang lain.

Berkaitan dengan jenis ini, dalam hadits riwayat Al-Bukhari

dari Ibnu Mas‟ud, Rasulullah Saw:

“Tidak boleh hasud melainkan pada dua hal. Seseorang yang

dikaruniai harta oleh Allah serta menginfakkannya siang dan malam,

عرر امرسعا نه أدم حل امحرص عل أن أك معن امهك وامحرص ا يه

ا

(288/ 1امقرين

: رجل أ اله ف اثنتي ماال لط عل هلكتص ف ال حد ا ته الله

مهااحل احلك هو نقض با ونعل ، ورجل أته الله .ق

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

43

dan seseorang yang dikaruniai Al-Quran oleh Allah serta mengamalkannya siang malam”.

Jenis hasud yang pertama, Al-Quran menggambarkan ketika menerangkan Qarun yang keluar menemui kaumnya dengan

mengenakan segala perhiasannya. Sebagian orang merasa hasud serta berkeinginan memiliki harta kekayaan dan emas seperti yang dimiliki Qarun. Allah berfirman dalam Surah Al-Qashash [28] ayat 79:

“Kemudian dia (Qarun) keluar menemui kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menginginkan kehidupan

duniawi: Alangkah ingin kiranya kami mempunyai seperti apa yang telah dikaruniakan kepada Qarun. Sesungguhnya dia benar-benar

memiliki keberuntungan yang besar.”

Penyakit dengki ini sangat berbahaya dan sukar diobati dengan terapi biasa. Penyakit ini banyak merusak, mengganggu dan

menghilangkan kebahagiaan hidup. Lebih jauh lagi, ia dapat menyebabkan timbulnya perang dan malapetaka dalam masyarakat. Ringkasnya, bahwa selama rasa dengki ini bersarang di dalam hati

seseorang, selama itu pula ia tidak akan mendapatkan rasa bahagia dalam hidupnya.

Sebab-sebab yang menimbulkan hasud (dengki) ini antara lain adalah:

1) Adanya rasa permusuhan dan kebencian. Inilah yang merupakan

sebab yang utama.

2) Beratnya rasa di dalam hati apabila ada yang melebihi dirinya

dalam hal apa saja yang didengkikan, misalnya: keturunan, kekayaan, kepandaian, ketampanan, kecantikan, kemajuan, dan lain sebagainya. Ringkasnya, tidak senang kalau dirinya itu

dikalahkan, disaingi, atau dilebihi oleh orang lain.

3) Ingin jadi pemimpin/pemuka dan menduduki jabatan yang tinggi, sehingga tak ada orang lain yang melebihi kedudukkannya itu.

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

44

4) Hatinya memang buruk dan enggan melakukan kebaikan kepada sesama manusia.

Dalam hadits yang diterima dari Ibnu Asakir dalam Risalah Al-

Qusyairiyah, Rasulullah Saw mengingatkan:

“Hati-hati terhadap sikap hasud, karena celakanya dua anak Adam

dengan saling membunuh antar saudara, karena antara yang dari dari yang lainnya, memiliki sifat dengki.”

Ketiga sifat tersebut, yakni al-Kibru (takabur), al-Hirshu (tamak),

dan al-Hasad (dengki) oleh Rasulullah Saw, disebut sebagai ashlu kulli khathi’ah (sumber akhlak tercela). Dari asal akhlak mazmumah ini lahir

akhlak tercela cabang yang sangat banyak, antara lain:

1) Ananiyah (Egoistis). Ciri dari sifat ini adalah :

a) Merasa mampu hidup dengan dirinya sendiri, tidak membutuhkan

bantuan dan pertolongan orang lain.

b) Tidak memiliki rasa berterima kasih kepada orang lain, karena

memang tidak membutuhkan orang lain.

c) Tidak memiliki rasa empati kepada orang yang sedang kesusahan, fakir miskin yaitu yatim piatu, terkena bencana alam,

dan musibah lainnya.

d) Kikir merupakan sifat yang melekat dalam diri seseorang yang egoistis.

2) Al-Buhtan (Berdusta). Mengada-adakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada, dengan maksud untuk menjelekan dan mencelakakan

orang lain. Dengan kata lain memberitahukan sesuatu yang berlainan dengan kenyataan yang sebenarnya.

3) Al-Ghadlab (Marah). Menunjukkan gejala mendidihnya darah dalam

jantung yang didorong oleh motif ingin membinasakan. Begitu mendidih darahnya hingga kaki dan tangannya bergetar,

keseimbangan hilang, jiwanya tidak dapat dikendalikan yang

هما قتل أحدها صاحبص حدا. امرسا هنه اع أدم ا

ا ك وامحد يه

ا

(288/ 1امقرين :

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

45

akhirnya dorongannya disalurkan pada mangsanya yang menurut penglihatannya sangat kecil.

Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud dari „Aisyah, Rasulullah Saw mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya marah

itu berasal dari syetan dan syetan diciptakan dari api, dan api hanyalah dapat dipadamkan dengan air. Apabila di antara kalian marah hendaklah berwudlu.”

4) Al-Israf (Berlebih-lebihan). Al-Israf adalah perilaku yang menyia-nyiakan sesuatu, membiarkan karunia Allah, membelanjakan sesuatu

tanpa manfaat, melebihi batas dalam setiap perbuatan.

Al-Quran banyak menyinggung kemudharatan dari berlebih-lebihan dalam segala hal. Bahkan, dengan jelas melarang dan mencelanya,

antara lain dalam QS. Al-Zumar [39]: 53; QS. Thaha [20]: 127; QS. Al-An‟am [6]: 141; QS. Al-A‟raf [7]: 31; QS. Al-Isra [17]: 33.

B. Pilar-Pilar Akhlak Terpuji

Imam al-Ghazali, dalam Kitabnya Ihya „Ulumuddin, mengatakan bahwa akhlak Islam memiliki empat pilar atau induk, yaitu:

Pertama, Hikmah. Hikmah yang dimaksud di sini adalah "kondisi jiwa yang dapat membedakan mana yang benar dari mana yang salah." Kondisi jiwa seperti ini merupakan pilar utama. Sebagaimana firman Allah Swt

dalam Surah Al-Baqarah [2] ayat 269:

“Allah menganugerahkan Al-Hikmah (pemahaman mendalam tentang Al-

Quran dan Al-Sunnah) kepada siapa yang Ia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang

banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”

Islam menganjurkan umat manusia agar mencari ilmu setinggi-

tingginya. Berbagai ayat dan hadis Nabi yang mengungkapkan keutamaan ilmu dan orang berilmu sudah begitu dikenal. Di antara ayat tersebut

Bab IV - Pembagian Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak

46

adalah: “… Allah meninggikan derajat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah [58]: 11). Hadits Nabi yang cukup terkenal tentang mencari ilmu adalah: Mencari ilmu wajib bagi setiap

mukmin”. Sebaliknya Islam sangat mengecam tindakan bodoh dan jumud. Dalam salah satu ayat-Nya Allah berfirman dengan cara menyindir:

“Samakah orang-orang yang berilmu dengan orang yang bodoh?” (QS. Az-Zumar [39]: 9) dan “Samakah orang-orang yang melihat dengan orang yang buta?” Demikian pula, ajaran Islam mengecam orang-orang yang

mengagung-agungkan leluhur tanpa ilmu.

Kedua, Syaja’ah (keberanian). Syaja'ah adalah keadaan jiwa yang dapat menundukkan amarah untuk patuh kepada akal dan syari‟at. Berani

dalam segala hal yang positif dalam mengatakan dan membela kebenaran serta berani dalam menghadapi tantangan dan ancaman.

Berbeda dengan tindakan keberanian yang tanpa perhitungan atau keberanian untuk berbuat kesalahan. Syaja’ah adalah keberanian untuk menyampaikan yang hak, membela kebenaran, dan memberantas

kepalsuan. Tindakan gegabah, atau berani tanpa perhitungan atau untuk kesalahan, merupakan perbuatan negatif. Demikian pula sifat pengecut,

yaitu takut untuk menyampaikan yang hak, membela kebenaran, dan memberantas kebatilan merupakan perbuatan tercela.

Ketiga, Lapang dada adalah situasi jiwa yang mampu menertibkan

nafsu atas dasar pertimbangan akal dan syari‟at.

Keempat, „Adil dalam memutuskan sesuatu tanpa membedakan kedudukan, status sosial dan ekonomi, maupun hubungan kekerabatan.

---

Pertanyaan-Pertanyaan:

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Akhlak Terpuji (Mahmudah) dan Akhlak Tercela (Mazmumah)? Beri contoh masing-masing!

2. Sebutkan dan jelaskan sumber terbitnya Akhlak Terpuji?

3. Sebutkan dan jelaskan apa saja yang menjadi sumber terbitnya Akhlak Tercela?

4. Kemukakan pilar-pilar akhlak terpuji dan beri penjelasan secukupnya!

47

BAB V

AKHLAK KEPADA ALLAH SWT

TUJUAN:

Setelah mempelajari materi bab ini, mahasiswa diharapkan

mampu:

1. Memahami makna akhlak kepada Allah Swt.

2. Mengetahui dan memahami mengapa harus berakhlak kepada Allah.

3. Mengetahui dan memahami bentuk-bentuk akhlak

kepada Allah Swt.

4. Dapat mengaplikasikan ketaatan Kepada Allah dalam

kehidupan sehari-hari.

5. Mengetahui dan memahami taubat dengan berbagai persyaratannya.

Pengantar

Salah satu aspek pertama dan utama yang berkaitan dengan akhlak

diniyah (keagamaan) adalah akhlak kepada Allah Swt. Sebab, akhlak kepada Allah Swt menjadi pondasi dasar dalam berakhlak kepada siapa dan apa pun di muka bumi ini. Ia menjadi pintu gerbang dalam berakhlak karimah kepada

siapa dan apa saja dari ciptaan-Nya.

Akhlak kepada Allah diartikan sebagai adab dan sopan santun seorang hamba kepada-Nya, baik dalam ‟ubudiyah maupun dalam menjalankan amanah

yang diembankan-Nya. Atau adab dalam berhubungan dengan Allah, baik yang bersifat ‟ubudiyah (ritual) maupun mu’amalah.

Bab V – Akhlak Kepada Allah

Buku Ajar PAI Akhlak

48

A. Mengapa kita berakhlak kepada Allah Swt?

Alam ini mempunyai Pencipta dan Pemelihara yang diyakini ada-Nya, Dia-lah yang memberikan rahmat dan menurunkan azab kepada

siapa yang dikehendaki-Nya. Dia-lah yang wajib diibadahi dan ditaati oleh semua manusia. Kepada-Nya manusia berhutang budi yang besar, karena

berkat Rahman dan Rahim-Nya, Dia menganugerahkan nikmat yang dihajatkannya oleh manusia dengan tak terhitung jumlahnya. Maka wajiblah manusia mencintai-Nya dan mematuhi-Nya serta berterima kasih atas

segala pemberian-Nya itu. (Hamzah Ya‟kub, 1982: 140-141)

Demikian pula manusia wajib mencintai-Nya, menjunjung tinggi dan berterima kasih kepada-Nya, karena Dia adalah sumber kebaikan bagi

kita. Dia yang memberi dengan kodrat-Nya segala apa yang ada pada kita, berupa keberadaan dan kekuatan kita. Tiap-tiap manusia menurut

fitrahnya berasa rindu kepada Allah karena mengharap pertolongan waktu di dalam kesulitan dan kesusahan, serta berdoa kepada-Nya agar melepaskan keburukan. Manusia juga berlindung kepada-Nya mendapat

keringanan dari musibah yang datang, mendapat semangat kerja, dan sanggup berkorban bila diperlukan (Ahmad Amin, 1975: 198).

Di dalam sebuah hadis qudsi dari riwayat Ahmad (dalam Kitab Zuhud), sebagaimana yang dikutip oleh „Aidh al-Qarni (tt. 1: 134), Allah berfirman:

“Aku heran melihat (tingkah) kamu, hai anak Adam! Aku telah

menciptakan kamu, tetapi beribadah kepada selain Aku. Aku memberi kamu rezki, tetapi kamu bersyukur kepada selain Aku. Aku menyayangi kamu dengan memberikan berbagai nikmat, padahal Aku tidak membutuhkan

kamu. Sementara itu, kamu membuat Aku benci, padahal kamu membutuhkan Aku. Kebaikan-Ku selalu diturunkan kepada kamu,

sedangkan kamu balas (kebaikan-Ku itu) dengan kejahatan.”

جعبا كل اي ابو آدم! خلقذك وثعبد غريي، ورزقذك وجشكر سواي،

آحتبب اليك ابلعم وآان غين عك، وثدبغض ايل ابملعايص وآىت فقري

ك ايل صاعد ، خريي اليك انزل، ورش ايل

Bab V – Akhlak Kepada Allah

Buku Ajar PAI Akhlak

49

Berdasarkan hadist di atas, sungguh manusia tidak tahu diri, tidak tahu diuntung, dan tidak pandai bersyukur, jika manusia tidak berakhlak kepada Allah Swt dengan sebaik-baiknya.

B. Apa Saja Sasaran dalam Berakhlak kepada Allah?

Tentang persoalan ini, ulama memunculkan berbagai pandangan

yang berbeda-beda, baik bentuk, macam, maupun jumlahnya. Setiap orang mengajukan teori/pendapatnya sesuai dengan sudut pandang dan penegasan yang menjadi pusat perhatiannya.

Tabel 5.1 Tentang Perbedaan Sudut Pandang Mengenai Sasaran Akhlak.

No. Al-Jazairi Hamzah Ya’kub

(1982) Aceng Zakaria

(2003)

1 Syukur nikmat-Nya Beriman kepada-Nya Beribadah kepada Allah

2 Tawakkal Taat Bersyukur atas

nikmat-Nya

3 Husnuzzan Ikhlas Bertaubat dan

Istighfar

4 Rasa Malu (al-Haya’) Tadharru’ dan Khusyuk

5 Taubat Raja dan do‟a

6 Khauf dan Raja’ Husnuzzan

7 Tawakkal

8 Tasyakur dan Qana’ah

9 Malu

10 Taubat dan Istighfar

Bab V – Akhlak Kepada Allah

Buku Ajar PAI Akhlak

50

Namun demikian, pada umumnya para ahli menjelaskan beberapa sasaran akhlak manusia kepada Allah Swt sebagai berikut:

1. Bersyukur atas nikmat Allah Swt. Seorang Muslim hendaknya melihat

segala sesuatu yang telah diberikan Allah kepadanya, dengan tiada terhingga, yaitu berupa kenikmatan yang tidak terhitung, terlindungnya

dia pada saat menempel di dalam rahim ibunya ketika berupa nuthfah (air mani), menentukan perjalanan hidupnya hingga hari bertemunya dengan Allah. Maka, ia wajib bersyukur atas segala nikmat-Nya, karena

itu memang adab yang mesti dilakukan kepada-Nya. (Abu Bakar al-Jazairi, tt: 179)

Syukur ditinjau dari segi bahasa adalah menampakkan;

sedangkan kebalikannya adalah kufur yang artinya menutup-nutupi. Petani yang menutup benih yang ditanam di atas tanah disebut kuffar,

berasal dari kata dasar kafara-yakfuru-kufran. (lihat QS Al-Hadid [57]: 20)

Adapun pengertian syukur dari segi istilah adalah menerima

nikmat Allah dengan hati yang gembira, menyebut-nyebut pemberinya dengan lisan, dan memanfaatkan nikmat tersebut dengan anggota

badannya sesuai dengan kehendak pemberinya. (Al-Ghazali, tt: 209)

Berdasarkan definisi di atas, maka syukur kepada Allah terdiri dari tiga unsur, yaitu syukur dengan hati, syukur dengan lisan, dan syukur

dengan perbuatan (anggota badan).

a. Syukur dengan hati adalah menerima nikmat Allah tersebut dengan hati bahagia, sekecil apa pun nikmat tersebut.

Manusia biasa bersyukur dengan kuat manakala nikmat yang diterimanya besar. Akan tetapi, ia kurang bersyukur atas nikmat itu

apabila dirasakan kecil atau kurang. Padahal, sekecil apa pun nikmat itu sebenarnya bersumber dari Allah Swt sebagaimana firman-Nya:

“(53) Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. (54) Kemudian apabila

Bab V – Akhlak Kepada Allah

Buku Ajar PAI Akhlak

51

Dia telah menghilangkan kemudharatan itu dari pada kamu, tiba-tiba sebahagian dari pada kamu mempersekutukan Tuhannya dengan (yang lain)”. (QS. Al-Nahl [16]: 53-54)

Untuk memantapkan rasa syukur dan bahagia atas nikmat-nikmat-Nya, ulama menasehatkan: ”Tadzakkar ma’a kulli ni’matin

zawalaha” (Ingat-ingatlah, bersama dengan nikmat yang diterimanya itu, bagaimana kalau kamu kehilangannya). Manusia akan merasakan atau menyadari kehadiran dan pentingnya nikmat itu di saat

kehilangannya.

b. Syukur dengan lidah adalah memuji dan menyanjung-Nya.

Mengingat nikmat Allah itu sangat banyak, sehingga tidak

mungkin dapat dihitungnya secara cepat dan akurat, maka manusia sering kali kesulitan dalam mensyukurinya secara sempurna. Oleh

karena itu, Allah mengajarkan manusia bagaimana cara bersyukur dengan lisan melalui firman-Nya di bawah ini.

Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah, Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu

kerjakan". (QS. Al-Naml [27]: 93)

c. Syukur dengan perbuatan adalah memanfaatkan nikmat itu dengan anggota badannya secara optimal.

“Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (QS. Saba‟ [34]: 13)

Artinya, aspek bersyukur yang ketiga ini adalah memanfaatkan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak pemberinya secara optimal.

Apabila manusia tidak mensyukurinya dengan optimal atau bahkan menolak nikmat tersebut, maka Allah akan mencabut kembali nikmat

Bab V – Akhlak Kepada Allah

Buku Ajar PAI Akhlak

52

tersebut. Sebaliknya, apabila manusia pandai mensyukuri nikmat-Nya, maka Dia akan menambahnya, sebagaimana firman-Nya:

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka

Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim [14]: 7)

Dengan demikian, mensyukuri nikmat Allah dengan menerimanya secara ikhlas, memuji-muji pemberinya, dan

memanfaatkan secara optimal atas nikmat tersebut merupakan adab bersyukur kepada Allah.

Mengapa orang tidak pandai bersyukur atas nikmat Allah?

Manusia tidak pandai bersyukur atas nikmat itu karena berbagai alasan:

a. Nikmat Allah itu sangat banyak, sehingga tidak sanggup

mensyukurinya. Menghitung nikmat itu saja manusia sudah tidak sanggup, maka apalagi ia dapat mensyukurinya secara sempurna. Maka

ulama ushul fikih mengatakan, ”ma laa yudraku kulluh, la yutraku kulluh” (apa yang tidak sanggup diketahui/digapai seluruhnya, maka jangan tinggalkan seluruhnya). Artinya, secepat kita menemukan dan

merasakan nikmat itu, segeralah kita syukuri nikmat tersebut.

b. Manusia selalu melihat orang yang secara materi berada di atasnya. Oleh karena itu Nabi Saw menasihatkan dengan sabdanya di bawah ini.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda,”Lihatlah orang-orang yang berada di bawah kalian (segi materi), dan jangan selalu melihat orang-orang yang di atas kalian. Itu lebih layak bagi

، عو آب هريرة، قال: قال رسول للا ى نو آسل نكم: اىرروا ا

ى نو هو فوقم، فهو آجدر آن ل حزدروا ىعهة للا رروا ا ول ث

عليم

Bab V – Akhlak Kepada Allah

Buku Ajar PAI Akhlak

53

kamu, agar tidak meremehkan nikmat yang dianugerahkan kepada kamu.” (HR Muslim)

c. Setan berusaha keras untuk memalingkan manusia dari bersyukur

atas nikmat Allah.

2. Bertawakal kepada Allah. Tidak sedikit ayat Al-Quran yang

memerintahkan manusia untuk menjadikan Allah sebagai “wakil,” antara lain QS. Al-Muzzammil [73]: 9. Kata “wakil” bisa diterjemahkan sebagai “pelindung.” Kata tersebut pada hakekatnya terambil dari kata “wakala-

yakilu” yang berarti mewakilkan. Apabila seseorang mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan), maka ia telah menjadikan orang yang telah mewakili sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan

tersebut, sehingga sang wakil melaksanakan apa yang dikehendaki oleh orang yang menyerahkan perwakilan kepadanya. (M. Quraish Shihab, tt:

263)

Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna yang disebutkan di atas berarti menyerahkan segala urusan kepada-Nya.

Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai dengan kehendak manusia yang menyerahkan perwakilan itu kepada-Nya.

Dari uraian singkat di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa pengertian tawakal kepada Allah adalah menyerahkan segala keputusan dan tindakan yang diambil-Nya sesuai dengan kehendak manusia setelah

ia berusaha secara optimal.

Ada dua ilustrasi yang dapat dikemukakan untuk memerkuat pemahaman kita terhadap arti tawakkal kepada Allah sebagai berikut:

Dari Anas Ibnu Malik ra, ia berkata: ”Seorang laki-laki datang dengan mengendarai untanya, lalu bertanya kepada Rasulullah Saw: Ya Rasulullah,

apakah aku lepaskan unta ini (tanpa diikat), lalu bertawakal kepada Allah? Rasulullah Saw bersabda: ”Ikatlah (dahulu) unta itu, lalu bertawakkallah.”

(HR. Baihaqi)

، فقال: اي رسول الل عو آيس بو ناكل قال: جاء رج عل انقة ل

؟ فقال: »آدعها وآثوك (315/ 1 :)للبهيقي« اعقلها وثوك

Bab V – Akhlak Kepada Allah

Buku Ajar PAI Akhlak

54

Umar ra melewati suatu kaum yang tidak bekerja, lalu bertanya,”Siapa

kalian ini?” Mereka menjawab,”Kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah.” Kalian tidak bertawakal kepada Allah. Sebab, orang yang bertawakal kepada Allah itu adalah orang yang menanam benih di atas

tanah, lalu bertawakal kepada Rabb-nya mengenai hasilnya.” (Faidhul Qadir, 2: 290)

Manfaat Tawakal kepada Allah

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang benar tawakal kepada Allah dalam ayat berikut:

Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan

yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Al-Thalaq [65]: 3)

Ini dipertegas pula oleh Rasulullah Saw dalam sabdanya.

Dari Abu Tamim Al-Jaisyani, ia berkata: aku mendengar Umar ra

berkata bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda: ”Jika kalian benar-benar bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan rezeki

kepada kalian, sebagaimana Dia memberi rezki kepada burung yang keluar dari sarangnya di pagi hari dalam keadaan perut kosong, dan kembali di sore hari dalam keadaan perut kenyang (berisi).” (HR. Ibnu

Majah)

نر معر بقوم فقال نا آىمت قالوا نذولكون قال ل ب آىمت نذآلكون امنا املخوك

) 29/ 2فيض القدير (نو آلقى حبه يف الرض وثوك عل ربه

، عت رسول الل ر، قول: س عت مع ، قال: س عو آب ثهمي الجيشان

، »قول: ري ه، لرزقم مك يرزق الط حق ثولك مت عل الل لو آم ثولك

ه سنن ابو ناج« ثغدو خاصا، وحروح بطاان

Bab V – Akhlak Kepada Allah

Buku Ajar PAI Akhlak

55

Ini merupakan jaminan Allah dan diperkuat dengan pernyataan Rasulullah Saw bagi orang yang bertawakal kepada-Nya dengan sebenar-benarnya. Karena, tawakkal merupakan wujud dari keyakinan hamba

kepada Allah Yang Maha Pelindung, Pemberi Rezeki, dan Maha Bijaksana, serta sifat kesempurnaan lainnya. Apa yang diberikan Allah setelah

diusahakan manusia, maka itulah yang terbaik bagi hamba.

3. Taubat dan Istigfar kepada Allah Swt

Taubat Nasuha, menurut Ulama (dalam Al-Zuhaili, tt., 28: 315)

adalah melepaskan diri dan berhenti dari dosa, menyesal atas perbuatan dosa tersebut, dan berjanji dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi di masa yang akan datang.

Kata Nasuha memiliki makna: ikhlas atau memurnikan taubat kepada Allah, kosong dari hal-hal lain selain-Nya.

Sayyidina Ali ra ditanya orang tentang taubat. Dia menjawab, taubat itu di dalamnya harus mengandung 6 (enam) hal: (1) Menyesal atas dosanya yang telah dikerjakannya di masa lalu. (2) Mengulang

terhadap yang fardlu, (3) mengembalikan kezalimannya kepada orang yang menjadi sasaran kezalimannya. (4) Meminta dibebaskan dari dosa

terhadap teman/lawan atau musuhnya. (5) Berjanji untuk tidak mengulangi dosa tersebut. (6) Mendidik jiwanya dalam taat kepada Allah, yang selama ini terdidik dengan kemaksiatan.

Taubat, menurut Ulama lainnya (Al-Nawawi, tt.: 24-25), adalah wajib atau harus dilakukan atas setiap dosa yang dilakukannya. Jika kemaksiatan yang dilakukannya tidak berkaitan langsung dengan hak

manusia lain, maka taubatnya harus mencakup tiga hal:

a. Berhenti dari perbuatan maksiat.

b. Menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya.

c. Berniat dengan kuat untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat tersebut.

Jika ada salah satu dari ketiga syarat tadi tidak terpenuhi, maka taubatnya tidak sah.

Selanjutnya, jika kemaksiatan itu berkenaan dengan hak-hak manusia lain (hak Adami), maka syarat taubatnya ada 4 (empat) hal:

Bab V – Akhlak Kepada Allah

Buku Ajar PAI Akhlak

56

a. Berhenti dari perbuatan maksiat.

b. Menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya.

c. Berniat dengan kuat untuk tidak mengulangi perbuatan maksiat

tersebut.

d. Meminta dibebaskan dari hak orang lain (yang bukan materi/benda)

yang pernah dilakukannya, seperti permintaan maaf atas ghibah atau tuduhan/fitnah yang pernah dilancarkannya kepada seseorang; atau jika itu berupa barang atau benda, maka orang yang taubat itu harus

mengembalikannya kepada sang pemilik.

Setiap dosa yang dilakukan, mestinya ditaubati. Maka apabila seseorang bertaubat atas satu dosa saja, maka ia boleh jadi diampuni

atas dosa tersebut. Sedangkan sisa dosa-dosa selainnya belum selesai dan harus ditaubati.

---

Pertanyaan-Pertanyaan:

1. Coba Saudara jelaskan arti berakhlak kepada Allah Swt itu!

2. Jelaskan secara singkat bentuk-bentuk akhlak seorang hamba kepada Allah Swt!

3. Buatlah sebuah diagram tentang akhlak kepada Allah, sehingga tampak jelas kaitan antara bentuk-bentuk akhlak tersebut!

4. Coba ungkapkan ilustrasi dari akhlak kepada Allah yang berkaitan dengan:

a) Tawakal,

b) Taubat,

c) Syukur atas nikmat-Nya.

5. Ungkapkan pengertian taubat, dan rukun-rukun taubat. Lalu mengapa taubat harus disegerakan? Berikan jawaban Saudara dengan memadai!

57

BAB VI

AKHLAK TERHADAP RASULULLAH

TUJUAN:

Setelah mempelajari materi bab ini, mahasiswa diharapkan

mampu:

1. Mengetahui dan memahami bentuk-bentuk akhlak

terhadap Rasulullah Saw

2. Memotivasi keteladanan Akhlak Rasulullah Saw

A. Bentuk-Bentuk Akhlak kepada Rasulullah Saw

1. Meneladani Akhlak Nabi Muhammad Saw

Dalam rangka menyempurnakan martabat manusia dan

mengharmonis-kan tatanan kemasyarakatan, Nabi Muhammad Saw, menempatkan ajaran akhlak sebagai pokok kerasulannya. Sebagaimana sabda beliau: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk

menyempurnakan akhlak (manusia) menjadi akhlak yang mulia”. (HR. lmam Al-Baihaqi dari Abi Hurairah)

Nabi Muhammad Saw, adalah Rasul Allah yang terakhir (tidak ada lagi nabi dan rasul setelah beliau). Keseluruhan akhlak-nya menjadi modal dalam kepemimpinan beliau. Al-Quran menyatakan secara tegas

bahwa Nabi Muhammad Saw, memiliki akhlak yang sangat agung, bahkan dapat dikatakan bahwa konsideran pengangkatan beliau sebagai Nabi, adalah karena keluhuran budi pekertinya. Seperti diungkapkan

dalam firman-Nya (QS. Al-Qalam [54]: 4):

“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung."

Bab VI – Akhlak Terhadap Rasulullah

Buku Ajar PAI Akhlak

58

Di antara sifat-sifat Nabi Muhammad Saw, yang ditekankan Al-Quran adalah perhatian dan kasih-sayang beliau kepada seluruh umat manusia. Allah berfirman:

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan

dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS. At-Taubah [9]: 128)

Begitu besar perhatian Nabi Muhammad Saw, kepada umat

manusia hampir-hampir saja ia mencelakakan dirinya demi mengajak mereka untuk beriman kepada Allah. Sebgaimana firman-Nya:

“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena

bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini.” (QS. Al-Kahfi [18]: 6)

Rahmat dan kasih sayang yang ditampilkan oleh beliau tidak hanya menyentuh pada manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga pada benda-benda tak bernyawa. Seperti: sisir, gelas, cermin,

tikar, perisai, pedang, dan sebagainya, semuanya diberi nama seakan-akan benda-benda itu mempunyai kepribadian yang membutuhkan uluran tangan, rahmat, kasih-sayang, dan persahabatan dari manusia.

Atas dasar sifat-sifat yang agung ini, Allah Swt., menjadikan beliau sebagai teladan yang baik. Seperti diungkapkan dalam surah Al-Ahzab

[33]: 21:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang

baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat,dan dengan banyak menyebut nama Allah.”

Bab VI – Akhlak Terhadap Rasulullah

Buku Ajar PAI Akhlak

59

Abbas Al-„Aqad, seorang pakar Muslim kontemporer menguraikan, bahwa manusia dapat diklasifikasikan ke dalam empat tipe, yaitu: seniman, pemikir, pekerja, dan yang tekun beribadah. Sebagai teladan,

sejarah hidup Nabi Muhammad Saw, membuktikan bahwa beliau menghimpun dan mencapai puncak keempat tipe manusia tersebut.

Karyanya, ibadahnya, seni bahasa yang dikuasainya, serta pemikirannya sungguh mengagumkan setiap orang yang bersikap obyektif. Beliau adalah uswah hasanah (contoh yang baik bagi manusia). Beliau berperan

sebagai pemberi berita gembira dan ancaman, yang menyeru ke jalan Allah dengan izin-Nya. Beliau adalah penerang bagi seluruh manusia, menerangi manusia dari kegelapan (jahiliyah).Banyak fungsi yang

ditetapkan Allah bagi Nabi Muhammad Saw, yaitu sebagai: syâhidan (penyaksi); mubasysyiran (pembawa berita gembira); Nâdzîran (pemberi

peringatan); Dâ-‟iyan (penyeru)‟; dan Sirajan Munîran (penerang/pemberi cahaya). Seperti dinyatakan dalam QS. Al-Ahzab [33]: 45-46:

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan (45). Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya

yang menerangi (46).”

Kedudukan beliau sebagai “syahid = penyaksi” dalam ayat di atas, disebut paling awal dari kedudukan-kedudukan lainnya seperti:

mubasysyiran (pemberi berita gembira); nadzîran (pemberi peringatan); dâ‟iyan (penyeru); dan sirajan muniran (cahaya penerang). Hal ini

menunjukkan, bahwa beliau memiliki komitmen kemanusiaan yang sangat tinggi. Quraish Shihab dalam bukunya “Wawasan Islam” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kata “syahid” adalah sebagai berikut:

Kata syahid antara lain berarti “menyaksikan”, baik dengan pandangan mata maupun dengan pandangan hati (pengetahuan). Ayat itu

menjelaskan keberadaan umat Islam pada posisi tengah, agar mereka tidak hanyut pada pengaruh kebendaan, tidak pula mengantarkannya membumbung tinggi ke alam ruhani sehingga tidak berpijak lagi di bumi.

Mereka berada di antara keduanya (posisi tengah), sehingga mereka dapat menjadi “saksi” dalam arti patron/teladan dan skala kebenaran bagi umat-

Bab VI – Akhlak Terhadap Rasulullah

Buku Ajar PAI Akhlak

60

umat yang lain (syuhada „alan-nas). Rasulullah Saw, yang berkedudukan sebagai syahid (saksi) adalah patron dan teladan bagi umat Islam.”

Beliau dijadikan sebagai patron/teladan, karena beliau manusia

yang paling pemurah perasaannya, paling jujur ucapannya, paling lembut perangainya, dan paling mulia keturunannya. Dengan demikian,

keteladanan Nabi Muhammad Saw, menjadi sumber Akhlak terpuji yang harus diikuti oleh setiap Muslim. Umat Islam sebagai pewaris risalah seyogyanya dapat meneladani akhlak Rasulullah dalam praktik kehidupan

sehari-hari.

2. Mencintai Nabi Muhammad SAW

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Al-Dailami dan

Ibnu Najar dari Ali ra, diterangkan:

“Didiklah anak-anak kalian pada tiga perkara: (1) Mencintai Rasulullah Saw; (2) Mencintai keluarga Rasulullah Saw (Ahlul Bait); (3) Mencintai (membaca) Al-Quran, sebab orang-orang yang hapal Al-Quran akan

berada pada perlindungan Allah Ta'ala pada hari dimana tidak ada perlindungan kecuali perlindungan Allah bersama-sama dengan Nabi-nabi-Nya dan yang dicintai-Nya.”

Mencintai Nabi Muhammad Saw, berarti mengakui bahwa beliau adalah Nabi dan Rasul Allah sama seperti para nabi dan rasul Allah yang

lainnya. Yakni manusia pilihan yang menerima wahyu dari Allah Swt. Muhammad Saw adalah pembawa amanat Allah Swt untuk manusia sejagat. Muhammad Saw adalah tokoh yang agung dan tokoh dunia yang

paling berpengaruh di bumi ini. Muhammad Saw bukan tokoh mitologi tetapi pembawa agama yang sukses dalam menyampaikan dakwahnya ke

segenap umat manusia. Demikan pula, mencintai Nabi Muhammad Saw, adalah meyakini bahwa ajaran yang dibawanya adalah benar.

صال بوا أ والدمك عىل ثالث خ :أد مك وحب أ بي ب ب حب ك ب ب وقبااة

ال ظهل مب القاأ ن فا ن محةل القاأ ن ىف ظي هللا يوم القامة يوم ال ظي ا

أ بائ وأ صفائ )أ بو رص عبد الكبا نبدمحم ا الابىاىف ىف فوائبد

)وادليلمى واندمحم النجار ىف اترخي عدمحم عىل

Bab VI – Akhlak Terhadap Rasulullah

Buku Ajar PAI Akhlak

61

Menyepelekan, menolak, ingkar, membangkang kepadanya adalah kufur atau keluar dari Islam. Karena cinta kepada Rasululllah merupakan akar ketaatan kepada beliau. Dan ketaatan kepada beliau adalah buah dari

ketaatan kepada Allah Swt. Imam Al-Bukhari telah meriwayatkan sebuah hadis yang diterima dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda :

“Semua ummatku akan masuk surga kecuali yang tidak mau. Orang-orang bertanya: Siapa orang yang tidak mau itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: Yang taat kepadaku masuk surga, dan yang membangkang kepadaku,

itulah orang yang tidak mau”. (HR. Al-Bukhari dari Abi Hurairah)

3. Menghidupkan Sunah Rasulullah Saw

Kewajiban menaati Nabi Saw, berarti kewajiban mengikuti dan menghidupkan Sunnahnya. Yakni, melaksanakan, menyampaikan dan menyebar-luaskan Sunah Rasulullah Saw Beliau telah berpesan melalui

hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi, yang artinya: "Ku-tinggalkan kepadamu dua perkara, bila kalian berpegang teguh

kepada keduanya niscaya kalian tidak akan sesat selama-lamanya yaitu berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah-ku”.

Nabi Muhammad Saw adalah Rasul Allah yang diutus untuk

menyampaikan risalah-Nya kepada seluruh manusia, baik melalui perkataan, perbuatan dan ketetapan (taqrir) nya. Di dalam sunnah-nya terdapat cakrawala berfikir, dimana Rasulullah Saw, banyak berbicara

tentang pembinaan kemasyarakatan, tentang perbuatan yang konstruktif, kaidah-kaidah yang dapat mengangkat harkat dan derajat

ummat dan seterusnya. Atas dasar itulah Sunah harus ditegakkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud ketaatan kepada beliau. Dengan demikian Sunah dapat dijadikan sebagai pola dalam kehidupan. Karena

Allah telah menetapkan bagi seluruh manusia rasa butuh terhadap Rasul dalam agama mereka. Dan Dia telah menetapkan Sunah Rasul menjadi

dalil atau petunjuk untuk mereka, yang makna dan maksudnya sesuai menurut ketentuan-ketentuan dalam Kitab-Nya”. Di dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, dinyatakan yang artinya: ”...

Seorang hamba yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan

ال مبدمحمك أى قبالوا ومبدمحمك أى قبال مبدمحمك أنباع خلون الكجنة ا ك أمت يدك

دخي الكجنة ومدمحمك عصان فقدك أى

Bab VI – Akhlak Terhadap Rasulullah

Buku Ajar PAI Akhlak

62

melakukan ibadah Sunnah, Aku akan sangat mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, Aku akan mendengar apa yang didengarnya dan Aku akan melihat apa yang dilihatnya, Aku akan memelihara setiap gerak

tangannya dan setiap langkahnya, jika ia meminta perlindungan kepada-Ku Aku akan melindunginya”.

Ibadah-ibadah sunnah (nawafil) yang disinggung dalam hadits di atas, jika dilakukan manusia setelah mengerjakan ibadah-ibadah yang wajib, akan mengundang cinta Allah kepada mereka. Dalam hadis lain

ditegaskan bahwa setiap Muslim wajib menegakkan sunnahnya:

“Sesungguhnya barangsiapa diantara kalian masih hidup niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Karena itu berpegang teguhlah

kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah olehmu

hal-hal baru karena sesungguhnya semua bid'ah itu sesat." (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, Hadits Hasan Shahih)

Menghidupkan Sunnah Rasulullah Saw, merupakan sesuatu yang

sangat penting di dalam kehidupan sehari-hari. Karena Sunnah memberikan contoh-contoh kongkrit dan akses pada teladan Muhammad

Saw Hal ini telah diperintahkan oleh Al-Quran agar ditiru oleh orang-orang yang beriman. Sayyed Hossein Nasr (dalam Ensiklopedi Spiritualitas Islam: 2002: 132) mengatakan bahwa: “Sunnah sangat penting bagi seluruh

aspek spiritual Islam, karena melalui upaya untuk meniru Sunnah Nabi Saw, inilah kaum Muslimin mampu mencapai kebajikan-kebajikan tertentu yang sepenuhnya dimiliki oleh Nabi Saw Kaum Muslimin memandang Nabi

melalui Sunahnya bagaimana dia bertindak, berbicara, berjalan, makan, menilai, mencintai, dan bersembahyang. Karena itu Sunnah dalam suatu

pengertian berarti kelanjutan kehidupan Nabi bagi generasi-generasi berikutnya, dan melengkapi citra dirinya yang juga tercermin dalam nama-namanya dan dalam barakahnya yang mengalir melalui suatu kekuatan

Sunahnya yang terus hidup.

Berkaitan dengan kewajiban menghidupkan Sunnah Rasulullah

Saw, Ibnu Hamzah Al-Husaini, merumuskan antara lain sebagai berikut:

a. Mengajak manusia dengan cara yang sangat bijaksana menuju keluhuran budi pekerti.

Bab VI – Akhlak Terhadap Rasulullah

Buku Ajar PAI Akhlak

63

b. Mengajak kepada seorang pedagang agar ia menjadi pedagang yang jujur yang kelak dapat berkumpul bersama para nabi, Suhada, dan Sadiqin.

c. Menghimbau kepada para pekerja agar mereka meyakini dan mencintai tugas pekerjaannya, sebab Allah mencintai orang yang bekerja dengan

penuh keyakinan dan ketekunan.

d. Mengajak kepada buruh Industri agar mereka melakukan kewajibannya dengan baik sebab mereka telah memperoleh upah daripadanya dan

karena itulah Allah akan memeriksa pekerjaannya.

e. Menyeru kepada para bapak agar ia menyadari kebapakannya, dan menyeru kepada para Ibu agar Ibu menyadari akan keibuannya.

f. Menganjurkan kepada para kakak agar ia memperhatikan adik-adiknya.

g. Mengajak setiap pribadi yang menjadi anggota masyarakat agar ia

bertanggung jawab terhadap urusan yang diserahkan kepadanya sebab semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.

h. Mengajak kepada seluruh manusia agar menunaikan amanat dengan

sebaik-baiknya, sebab agama akan lenyap jika amanat telah hilang.

i. Mengajak kepada kebenaran sebab manakala seseorang berlaku benar,

Allah akan menetapkannya sebagai orang yang benar di sisi-Nya.

j. Mengajak manusia bernaung di bawah rahmat.

k. Mendidik orang-orang agar memiliki kejujuran.

Fenomena kekeliruan dalam memahami As-Sunnah:

a. Ada yang hanya berpegang teguh kepada Al-Quran saja, tetapi tidak kepada Sunah Nabi Saw akibatnya dikalangan mereka tidak ada syari'at

'aqiqah, shalat sunnat rawatib, 'iedul fitri, 'iedul adha, dan lain sebagainya, karena menurut mereka semua itu tidak ada di dalam Al-

Quran;

b. Ada yang berpedoman kepada Sunnah, tetapi tidak selektif terhadap kualitas hadits, apakah itu hadits dha'if atau hadits shahih.

c. Ada yang berpedoman kepada hadits dengan selektif, tetapi harus menurut guru atau amir-nya, seperti yang diterapkan oleh salah satu

aliran dengan metode manqul-nya". Apa yang diterangkan lewat gurunya itu pasti shahih dan yang belum lewat gurunya ditolak walau

Bab VI – Akhlak Terhadap Rasulullah

Buku Ajar PAI Akhlak

64

hadits itu riwayat Bukhari dan Muslim. Mereka menutup diri dan tidak mau menerima kritik dari golongan lain.

4. Berperilaku Sopan: Rasulullah Saw

Dari penelusuran ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw, telah diseru oleh Allah dengan

nama-nama mereka. Misalnya: Ya Adam..., Ya Musa..., Ya Isa..,. dan sebagainya. Tetapi terhadap Nabi Muhammad Saw Allah Swt sering memanggilnya dengan panggilan kemuliaan, seperti Ya Ayyuha al-

Nabi…, Ya ayyuha al-Rasûl..., atau dengan panggilan-panggilan mesra, seperti Ya ayyuha al-muddatstsir, atau ya ayyuha al-muzzammil, dan sebagainya. Kalaupun ada ayat yang menyebut namanya, nama

tersebut dibarengi dengan gelar kehormatan.

Dalam konteks ini, Allah berpesan kepada kaum mukminin

melalui firman-Nya (QS. An-Nur [24]: 63):

“Janganlah kamu menjadikan panggilan kepada Rasul di antara kamu, seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain...”

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan

suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.”

Keterangan di atas mengajarkan kepada kita agar kita dapat menampilkan akhlak yang mulia kepada Rasulullah Saw.

5. Ber-Salawat kepada Nabi Saw.

Allah Swt berfirman di dalam QS. Al-Ahzab [33]: 56,

لباوا النبال وال وك و صبوك بوارمك فبوك فوبوا أصك يبدمحم أ مبوا ال راك ا ال اي أي

بببمك جلكبببا بوك ل لكقبببوك بببواون ب ك ال اك كببب بببالمك وأ ببببم أكك لببببوكأ أنك بك

[2]احلجاا/

Bab VI – Akhlak Terhadap Rasulullah

Buku Ajar PAI Akhlak

65

“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Muhammad Saw, Hai orang-orang yang beriman, bershalawat-lah

kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepada-nya.”

Di dalam Musnad Imam Ahmad dari Abu Thalhah disebutkan bahwa:

”Aku telah menemui Nabi, tampak wajahnya berseri-seri. ”Ya Rasulullah, aku melihat wajahmu pada hari ini begitu berseri-seri, ada apa gerangan?” Jawab beliau: ”Bagaimana aku tidak bergembira, sebab malaikat telah

datang kepadaku menyampaikan berita gembira untuk ummatku yang bershalawat kepadaku." Sebagaimana bunyi hadis yang artinya sebagai berikut:

"Barangsiapa mengucapkan shalawat atasmu di antara ummatmu satu shalawat, Allah menetapkan baginya sepuluh kebaikan dan menghapuskan

sepuluh keburukan dan mengangkatnya sepuluh derajat." (HR Ahmad)

Dari Anas bin Malik, dari Nabi Saw bersabda,

“Barang siapa membaca shalawat kepadamu satu kali, maka Allah menyampaikan shalawat kepadanya sepuluh kali dan melebur darinya sepuluh kesalahannya." (Hadis Shahih, di dalam kitab Ash-Shahihah

(829)

Di dalam riwayat Ibnu an-Najjar dari Abdurrahman bin Auf diterangkan yang artinya: ”Sesungguhnya Allah Ta‟ala berfirman:

”Barangsiapa mengucapkan salam kepadamu (Muhammad), maka Aku mengucapkan salam (pula) kapadanya, dan barangsiapa yang bershalawat

kepadamu, maka Aku akan bershalawat pula kepadanya”.

Di dalam hadits hasan dari Ibnu Mas‟ud dikemukakan bahwa: “Sesungguhnya orang yang paling utama (dekat) denganku pada hari

صىل د صلوا وحم عنك "مدمحمك صىل عل واح هللا عليك عشك

" يئا خط عشك

Bab VI – Akhlak Terhadap Rasulullah

Buku Ajar PAI Akhlak

66

kiamat ialah orang yang paling banyak membaca salawat kepadaku”. (HR. Tirmidzi)

Berkaitan dengan kewajiban mengucapkan salawat kepada Nabi

saw, beliau mengatakan, bahwa “orang yang tidak mengucapkan salawat kepada ku adalah orang kikir”. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits

shahih yang diriwayatkan oleh Al-Nasa‟i yang artinya: “Orang yang kikir ialah orang yang tidak membaca shalawat kepadaku pada saat namaku disebut”. Bahkan dalam sebuah hadis yang diterima dari Jabir bin Abdullah

diterangkan bahwa terancam bagi orang yang tidak membaca Salawat ketika disebut nama Nabi Saw yang artinya sebagai berikut:

Suatu ketika Nabi Saw naik mimbar, tatkala menaiki tangga yang

pertama beliau berkata, "Âmîn". Kemudian ketika menaiki tangga yang kedua beliau berkata, "Âmîn". Lalu ketika menaiki tangga yang ketiga

beliau berkata, "Âmîn". Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah! Kami telah mendengar engkau berkata, "Âmîn, tiga kali." Nabi bersabda, Tatkala Saya menaiki tangga yang pertama maka datanglah Jibril lalu berkata,

Celakalah seorang hamba yang mendapatkan bulan Ramadhan lalu dia meninggalkannya sedangkan dia tidak memohon ampun”, lalu Saya

berkata, “Âmîn.” Kemudian (Jibril) berkata, “Celakalah seorang hamba yang mendapati orang tuanya atau salah satu dari nya (dalam keadaan tua), tapi tidak dapat masuk ke dalam surga (karena tidak berbakti)”, lalu

Saya berkata, “Âmîn.” Kemudian dia (Jibril) berkata, “Celakalah seorang hamba yang namamu disebut di sisinya tapi dia tidak membacakan shalawat kepadamu,” lalu saya berkata, 'Âmîn.'" (Hadis Shahih lighairihi)

Membaca salawat atas Nabi Saw, beserta keluarganya merupakan bagian dari ajaran Islam. Oleh karena itu, setiap kita melaksanakan shalat

kita diwajibkan membaca salawat yang berbunyi: “Allâhumma shalli „alâ Muhammad wa âli Muhammad... (Ya Allah mudah-mudahan salawat dan kesejahteraan dilimpahkan kepada Nabi muhammad Saw, dan kepada

keluarganya).

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka akhlak terhadap

Rasulullah Saw, menjadi kunci bagi setiap Muslim dalam mengaktualisasikan akhlak terpuji. Semakin kuat akhlak terhadap Rasulullah Saw, maka akan semakin kuat aktualisasi akhlak terpuji

terhadap diri sendiri, keluarga, sesama manusia, dan terhadap lingkungan alam.

Bab VI – Akhlak Terhadap Rasulullah

Buku Ajar PAI Akhlak

67

6. Menziarahi Makam Rasulullah Saw

Di antara akhlak terhadap Rasulullah Saw, adalah menziarahi makam beliau. Menziarahi makam Rasulullah Saw, biasa dilakukan sambil

melaksanakan ibadah Haji atau Umrah. Makam Nabi Saw, berada di dalam Mesjid Nabawi di Madinah. Dahulu Nabi Saw, dimakamkan di rumah Siti

„Aisyah, seiring dengan perluasan mesjid, sekarang makam Nabi Saw, berada di dalamnya bersama-sama dengan makam Abu Bakar Ash-Shiddiq dan makam Umar bin Khattab.

Di saat berziarah ke makam beliau Saw, hendaknya dilakukan dengan khusu‟ dan rendah diri. Tidak boleh mencium dindingnya sambil menangis dan tidak berdo‟a yang terlalu panjang/lama, cukup dengan

memberi salam kepada beliau, yaitu ucapan:

“Assalaamu „Alaika Ya Rasulullah = Semoga keselamatan selalu

dilimpahkan kepada-mu wahai Rasulullah.”

Karena makam Rasulullah Saw, berdekatan dengan kuburan Abu Bakar dan Umar, maka sekaligus kita berziarah juga ke kuburan mereka

dengan mengucapkan:

“Assalamu „Alaika Yaa Aba Bakri Ash-Shiddiq (kepada Abu bakar);

“Assalamu „Alaika Yaa Amiirul Mukminin „Umar Bin Al-Khatthab.” (kepada Umar bin Al-Khatthab).

Demikian pula kepada kuburan kaum Muslimin di Baqi dengan

mengucapkan:

„Assalaamu „Alaikum Ahladdiyaar, Minal Mukminina Wal Muslimin. Wainna Insya Allahu Bikum Laahikun Nasalullaha Lana Wa Lakum”.

B. Motivasi Keteladanan Akhlak Rasulullah Saw

Pada bab terdahulu (akhlak terhadap Allah) disebutkan, bahwa

salah satu ciri akhlak terhadap Allah adalah penyerahan diri secara total kepada-Nya. Karena diyakini bahwa segala sesuatu yang datang dari Allah Swt, adalah baik, benar, indah, dan sempurna. Kesadaran ini merupakan

wujud dari „aqidah tauhid (keyakinan terhadap Kemaha-Esaan dan Kemaha agungan Allah Swt). Akan tetapi, perlu disadari pula bahwa di samping

Islam mengajarkan „aqidah tauhid, juga mengajarkan keyakinan terhadap “kerasulan Muhammad Saw” Artinya, orang yang meyakini „aqidah tauhid (terhadap Allah) tetapi tidak meyakini kerasulan Muhammad Saw, tidak

Bab VI – Akhlak Terhadap Rasulullah

Buku Ajar PAI Akhlak

68

dapat dikategorikan sebagai seorang Muslim. Oleh karena itu, syarat pertama diakuinya keislaman seseorang adalah pengakuan kemaha-Esaan Allah Swt, sekaligus pengakuan terhadap kerasulan Muhammad Saw, yang

diucapkan dengan lisan. Pengakuan ini merupakan ajaran yang paling awal dalam Islam. Pengakuan ini dinukilkan dalam ikrar dua kalimat syahadat

(syahadatain) yang berbunyi: “Asyhadu an-lâ ilâha illallâh wa asyhadu anna Muhammadan Rasûlullâh (Aku bersaksi bahwa tidak ada ilâh (tuhan) selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah).

Dengan demikian, dua kalimat syahadat ini adalah gerbang bagi manusia yang ingin berada dalam agama Islam dan dapat menampilkan akhlak terpuji dalam kehidupan sehari-hari.

Muhammad Saw sebagai Rasul Allah, menempati posisi sangat penting sebagai pembawa amanat-Nya untuk manusia sejagat.

Muhammad Saw, adalah tokoh historis yang agung dan tokoh dunia yang paling berpengaruh di bumi ini. Muhammad Saw, bukan tokoh mitologis, tetapi pembawa agama yang sukses dalam menyampaikan dakwahnya ke

segenap umat manusia. Mengakui kerasulan Muhammad Saw, berarti mengakui bahwa dia seperti para rasul Tuhan yang lain, yaitu manusia

pilihan yang menerima wahyu dari Allah Swt. Argumen yang paling kuat untuk menunjukkan kerasulan Muhammad Saw, bukanlah perbuatannya yang luar biasa, tetapi keunggulan akhlak-nya dan keunggulan Kitab Suci

Al-Quran yang diajarkannya. Di kalangan masyarakat pra-Islam, nama Muhammad sudah demikian terkenal sebagai pribadi yang jujur, sehingga digelari al-Amin (orang yang sangat dipercaya karena kejujurannya).

Sebelum menjalankan tugasnya, Muhammad adalah orang yang tidak tahu apa itu kitab dan apa itu iman (QS. Asy-Syura [42]: 52).

“Dan Demikianlah Kami wahyukan kepada-mu wahyu (Al-Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah Al kitab (Al-Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al

Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di

Bab VI – Akhlak Terhadap Rasulullah

Buku Ajar PAI Akhlak

69

antara hamba-hamba kami, dan Sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”

Sebagai Rasulullah, Nabi Muhammad Saw, memiliki tugas pokok

untuk menyempurnakan akhlak manusia dari akhlak tercela menjadi akhlak terpuji melalui tiga misi utamanya. Ketiga misi utama itu diungkapkan dalam

Al-Quran surah Al-Jumu‟ah [62]: 2:

“Dia-lah (Allah) yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang

Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As-

Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”

Ayat di atas menginformasikan bahwa sebagai konsekuensi logis dari

tugas utama Rasulullah Saw, untuk mendidik manusia agar memiliki akhlak terpuji, Alah menugaskan beliau agar melaksanakan tiga misi utamanya,

yaitu:

(1) Membacakan, menjelaskan, memaparkan tanda-tanda Kebesaran Allah (ayat-ayat Allah) kepada semua manusia;

(2) Membersihkan jiwa manusia; dan

(3) Mengajarkan Al-kitab dan Al-Hikmah (Al-Quran dan As-Sunnah).

Sebagai akibat logis dari keutamaan-keutamaan yang telah diberikan

Allah kepada beliau, seyogyanya kita mampu memuliakan beliau sebagaimana Allah telah memberikan kemuliaan kepadanya. Persoalannya

adalah, meliputi bentuk-bentuk perilaku seperti apakah yang kita tampilkan kepada Rasulullah Saw? Pada tataran ini mengetahui dan memahami kemudian mengamalkan bentuk-bentuk akhlak terpuji terhadap Rasulullah

Saw, menjadi sangat penting secara signifikan.

---

Bab VI – Akhlak Terhadap Rasulullah

Buku Ajar PAI Akhlak

70

Pertanyaan-Pertanyaan:

1. Kemukakan manfaat berakhlak terhadap Rasulullah Saw!

2. Sebutkan bentuk-bentuk akhlak terhadap Rasulullah Saw kemudian

berikan penjelasan secukupnya!

3. Jelaskan bagaimana pentingnya meneladani Akhlak Rasulullah Saw!

4. Apa yang harus diucapkan pada saat menziarahi kuburan Rasulullah Saw, kuburan Abu Bakar Ash-Shiddiq, kuburan Umar bin Al-Khatthab di Mesjid Nabawi, dan kuburan Umat Islam di Baqi?

71

BAB VII

AKHLAK TERHADAP DIRI SENDIRI

TUJUAN:

Setelah mempelajari materi bab ini, mahasiswa diharapkan mampu:

1. Mengetahui dan memahami serta dapat menanamkan Akhlak terpuji terhadap diri sendiri

2. Mengetahui dan memahami pengembangan kepribadian Mukmin

3. Mampu mengembangkan potensi diri

4. Mampu mengaktualisasikan Akhlak Terpuji dalam kehidupan

A. Makna Akhlak terhadap Diri Sendiri

Puncak kemuliaan manusia di sisi Allah Swt adalah “Taqwa”. Sebagaimana Firman-Nya:

“...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah

orang yang paling bertaqwa di antara kamu...” (QS. Al-Hujarat [49]: 13)

Tangga utama yang paling dekat kepada taqwa adalah “adil”. Seperti diungkapkan dalam firman-Nya (QS. Al-Maidah [5]: 8):

“... Bersikap „adil-lah, karena „adil lebih dekat kepada taqwa....”

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

72

Kedua ayat di atas mengisyaratkan bahwa seseorang tidak

mungkin akan mencapai derajat taqwa tanpa terlebih dahulu berperilaku adil, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain. Karena keadilan

merupakan pusat gerak nilai-nilai moral. Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Quran surah An-Nahl [16] ayat 90:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan

(ihsan), memberi keadaan kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran

kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Perintah berperilaku adil dalam ayat di atas (surat An-Nahl [16] ayat 90) diikuti oleh perintah-perintah dan larangan-larangan lainnya. Hal ini

menunjukkan bahwa dengan sikap adil saja masih belum cukup untuk mencapai derajat taqwa, karena adil baru mencapai tingkat “moderasi”

(tidak kurang dan tidak lebih = pas-pasan). Oleh karena itu perlu ada suatu aktifitas yang memediasi (mengantarkan) perilaku adil kepada ketakwaan. Dengan demikian, perintah ihsan dan perintah-perintah lainnya serta

larangan-larangan yang ada dalam ayat di atas dapat dikatakan sebagai media untuk mengantarkan manusia yang telah berperilaku adil kepada derajat taqwa.

Sesuai dengan karakteristik ajaran Islam yang bersifat bidimensional, maka menanamkan nilai-nilai religius-spiritual (hubungan vertikal) dan nilai-

nilai sosial kemasyarakatan (hubungan horizontal) secara seimbang (adil) kepada masing-masing individu, kemudian diwujudkan secara nyata di dalam kehidupan sehari-hari merupakan sasaran utama dalam akhlak

terhadap diri sendiri. Pada tataran ini, pembinaan dan pengembangan kepribadian menjadi pribadi yang unggul menjadi langkah yang sangat

penting secara signifikan dalam pendidikan akhlak Islam.

B. Membina dan Mengembangkan Kepribadian Unggul

Ketika berbicara kepribadian, orang memandang bahwa kepribadian

itu sebagai “kesan” yang ditimbulkan oleh individu terhadap orang lain. Atau “kesan” yang paling penting yang ditinggalkan individu pada orang lain.

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

73

Misalnya, orang memandang bahwa individu sebagai orang yang agresif atau

orang yang kalem.

Para psikolog (M. Usman Najati: 2005), memandang bahwa

kepribadian sebagai “struktur dan proses psikologis yang tetap yang menyusun pengalaman-pengalaman individu serta membentuk berbagai tindakan dan respons individu terhadap lingkungan tempat ia hidup.” Dengan demikian,

kepribadianlah yang membedakan satu individu dari individu lainnya.

Di dalam Al-Quran dijelaskan, bahwa manusia diciptakan oleh Allah Swt dalam keadaan sempurna. Yakni diciptakan dari unsur materi dan unsur ruh.

Unsur ruh inilah yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lainnya dan yang membuat manusia dapat mencapai keluhuran melebihi makhluk-makhluk

lainnya. Manusia memiliki keunggulan dari binatang karena ruh-nya. Ruh memiliki kecenderungan untuk mengenal Allah Swt dan beribadah kepada-Nya, rindu kepada moralitas dan nilai-nilai luhur yang dapat mengangkat derajat

manusia ke taraf kesempurnaan insaniah. Karena ruh itulah manusia layak menjadi “Khalifah Allah di muka bumi (khalifatullâh fi al-ardli).”

Ruh dan materi pada diri manusia tidak dijadikan terpisah atau berdiri sendiri-sendiri. Tetapi keduanya (ruh dan materi) berpadu secara bersama-sama dalam satu kesatuan yang saling melengkapi dan harmonis. Dari

perpaduan inilah kemudian terbentuk diri manusia dan kepribadiannya. Dengan demikian, esensi manusia berada pada perpaduan di antara dua unsur (unsur materi dan unsur ruhani). Kedua unsur ini harus dipahami

secara seksama guna menanamkan nilai-nilai akhlak terpuji, sehingga manusia menjadi pribadi yang unggul.

Al-Quran menunjukkan, bahwa pola kepribadian manusia menurut pengklasifikasian‟aqidah (keyakinan) meliputi tiga pola kepribadian, yaitu: (1) Pola kepribadian mukmin; (2) Pola kepribadian kafir; dan (3) Pola kepribadian

munafiq. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas tentang pola kepribadian mukmin.

Berkenaan dengan pola kepribadian mu’min Al-Quran menunjukkan bahwa orang mukmin terbagi menjadi tiga peringkat. Seperti diungkapkan dalam surah Fathir [35] ayat ke 32 sebagai berikut:

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

74

“Kemudian Kami wariskan kitab (Al-Quran) itu kepada orang-orang yang

telah Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang "menganiaya dirinya", dan di antara mereka ada yang "pertengahan",

serta di antara mereka ada yang "mendahului dalam kebajikan" dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.”

Ayat di atas menunjukkan bahwa kepribadian Mukmin yang mewarisi

Al-Quran terbagi menjadi tiga peringkat. Masing-masing peringkat menurut istilah Al-Quran adalah: (1) Zhâlimun Linafsihi (orang Mukmin yang (masih) dhalim terhadap dirinya sendiri); (2) Muqtashid (orang Mukmin yang berada

pada posisi pertengahan); dan (3) Sâbiqun bi al-khairât (orang Mukmin yang senantiasa berlomba mengejar kebajikan).

Ciri masing-masing peringkat kepribadian Mukmin tersebut dijelaskan dalam beberapa tafsir antara lain dalam Tafsir Ibnu Kasir (XIV: 354-355), Tafsir Al-Qurtubi (XIV: 346), dan Tafsir Jalalain (267) sebagai berikut:

TABEL 7.1 CIRI-CIRI PERINGKAT KEPRIBADIAN MUSLIM

Peringkat Ibnu Katsir Al-Qurtubi Jalalain

(1) Zhâlimun linafsihi

(dhalim terhadap dirinya

sendiri)

Orang yang berlebihan dalam mengerjakan

beberapa yang wajiban dan bercampur-aduk

dengan keharaman.

Orang-orang yang melakukan

dosa kecil

orang-orang yang kurang dalam

mengamalkan Al-Quran

(2)

Muqtashid (pertengahan)

Orang yang menunaikan

kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang haram

Orang yang menunaikan

hak dunia dan hak akhirat

Orang yang mengamalkan

Al-Quran pada hampir semua waktunya

(3) Sâbiqun bil khairât

(selalu berlomba mengejar

kebaikan)

Orang yang

mengerjakan segala kewajiban dan hal-hal yang sunat serta

meninggalkan hal-hal yang haram, makruh, dan

beberapa hal yang mubah

Orang yang

mendahului semua manusia dalam kebaikan

Orang yang

memadukan pengajaran kepada ilmu dan

bimbingan kepada amal

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

75

Dari ketiga peringkat kepribadian Mukmin tersebut, golongan Mukmin

peringkat ketiga (sâbiqun bi al-khairât) merupakan golongan Mukmin yang berkepribadian unggul. Oleh karena itu, peringkat ke tiga ini harus menjadi

target dalam pendidikan akhlak terpuji. Berkaitan dengan usaha menjadikan pribadi yang unggul, maka mengetahui dan kemudian mengembangan potensi diri menjadi sangat penting.

C. Mengembangkan Potensi Diri

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, potensi diartikan sebagai kemampuan yang memungkinkan dapat dikembangkan ke arah positif. Di

dalam diri manusia sekurang-kurangnya ada tiga potensi, yaitu: (1) nafsu, (2) amarah (agresivitas), dan (3) kecerdasan. Ketiga potensi ini bila

dikembangkan kearah yang baik bisa menjadi positif (terpuji), sebaliknya jika diabaikan maka bisa menjadi negatif.

Jika potensi diri manusia berada pada kutub positif, maka nafsu

menjadi suci; amarah menjadi pemberani (syaja‟ah); dan kecerdasan menjadi bijak. Sedangkan jika ketiga potensi tersebut berada pada kutub

negatif, maka nafsu menjadi rakus; amarah menjadi gegabah; dan kecerdasan menjadi bodoh. Dengan demikian, mengarahkan ketiga potensi diri ke arah yang positif menjadi sangat penting dalam aktualisasi akhlak

terpuji.

1. Mengendalikan dan Mengarahkan Nafsu

Nafsu dalam konteks manusia dapat berpotensi baik dan atau

buruk. Dalam pandangan Al-Quran, nafsu diciptakan Tuhan dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong

manusia berbuat kebaikan dan atau keburukan. Sebagaimana firman Allah dalam surah Asy-Syams [91] ayat 7-8:

“Dan nafs (jiwa) dengan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan

kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya”.

Kalimat “mengilhamkan” dalam ayat ini (Quraish Shihab, 1996: 286) berarti “memberi potensi agar manusia melalui nafsu-nya dapat

menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorong kepada kebaikan dan keburukan.”

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

76

Sekalipun, Al-Quran menegaskan bahwa “nafs” dapat berpotensi

positif dan juga berpotensi negatif, pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dibanding potensi negatif-nya. Seperti diungkapkan

dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 286:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan

kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdo‟a): “Ya Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami jika kami lupa

atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-

orang yang sebelum kami. Janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Berilah kami maaf; ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkau Penolong kami, maka tolonglah kami

terhadap orang-orang yang kafir.”

Hanya saja, daya tarik keburukan lebih kuat dari pada daya tarik kebaikan. Karena itu, manusia dituntut agar memelihara kesucian “nafs”

(jiwa) dan tidak mengotorinya. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Asy-Syams [91] ayat 9-10:

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan (jiwa) itu; dan

sesungguhnya merugilah orang yang yang mengotorinya.”

Selanjutnya, Al-Quran menggambarkan tiga konsep tentang nafsu

(jiwa), yaitu: (1) Nafsu ammarah bis-su-i (manakala kepribadian manusia berada pada tingkat insaniah paling rendah) (2) Nafsu Lawwamah; yaitu kepribadian yang berada pada posisi pertengahan. Pada kondisi ini

seseorang akan melakukan introspeksi atas kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

77

perbuatan yang dimurkai Allah Swt, dan menimbulkan perasaan

menyesal dalam hati nuraninya, tetapi ia selalu gagal dalam usahanya. Kadang-kadang ia lemah dan terjebak ke dalam kesalahan; dan (3) Nafsu

muthmainnah (ketika keadaan kepribadian manusia dalam taraf kesempurnaan insaniah).

2. Mengolah Amarah (ghadhab)

Amarah merupakan gejala emosional yang muncul ke permukaan dengan berbagai wujud. Menurut Imam Al-Ghazali, amarah itu ialah:

“Nyala api yang bersumber dari api Allah, menyala berkobar menjulang

tinggi sampai naik ke ulu hati. Kemudian muncul dalam bentuk gejala-gejala fisik, perubahan warna muka (menjadi merah), mata, telinga,

sikap gugup, anggota badan gemetar, gigi gemeretak, jalan mondar-mandir, lubang hidung membesar dan mengecil, dan mulut mengeluarkan kata-kata yang tak terkendali. Kondisi semacam ini

sangat eksplosif, berbahaya dan dapat menimbulkan akibat buruk. Ketika marah menguasai manusia, kemampuan untuk berpikir jernih

tidak dapat bekerja dengan baik. Sahabat Ja‟far berkata bahwa: Marah adalah kunci dari segala keburukan. Demikian pula sahabat Anshar berkata bahwa: Pokok pangkal ketololan ialah bersikap kasar dan

pembimbingnya adalah kemarahan. Apabila kemarahan tersimpan dan terpendam di dalam hati karena tidak dapat dikeluarkan ketika marah, maka akan terus menyala membakar jiwa, akibatnya muncul sikap yang

disebut hiqdun (mendongkol). Hiqdun sebagai buah dari kemarahan yang tak tersalurkan dapat menyebabkan timbulnya kebencian dan

permusuhan.”

Amarah ada tiga tingkatan, yaitu: (1) Tafrith; (2) Ifrath; (3) I‟tidal. Tafrith ialah “sifat acuh tak acuh”, yakni sifat yang tidak memiliki

rasa marah. Pada tingkatan ini orang tidak ada keinginan untuk membela diri, tidak memiliki sikap pembelaan (hamiyyah) terhadap keluarga dan

masyarakat dari orang-orang yang berbuat jahat. Orang ini betul-betul kehilangan rasa amarah-nya. Sifat ini tentu tidak baik, karena sebagai Muslim harus bisa menempatkan marah (pembelaan) terhadap keluarga

dan atau orang lain jika memang perlu marah. Misalnya terhadap orang-orang kafir yang mengganggu Islam dan memerangi/mengusir umat Islam. Allah Swt mengizinkan untuk memerangi mereka seperti firman-

Nya dalam surah At-Tahrim [66] ayat 9:

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

78

“Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

Perlu ditegaskan bahwa memerangi orang-orang kafir/munafiq

bukan karena kekafiran atau kemunafikan mereka, tetapi memerangi mereka karena mereka memerangi dan mengusir ummat Islam. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Al-Quran surat Al-Baqarah [2]:

190 yang artinya:

“Dan berperanglah di jalan Allah (untuk memerangi) orang-orang yang

memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

Sekalipun memerangi orang-orang kafir/munafiq yang memerangi dan mengusir umat Islam diperbolehkan, tapi Allah Swt mengingatkan kepada ummat Islam yang berperang harus tetap memegang aturan-

aturan Islam dan tidak melampau batas. Inilah etika yang diajarkan Islam dalam berperang.

Ifrath, ialah kebalikan dari tafrith, yaitu sifat yang berlebihan

dalam marah, keterlaluan dan melampaui batas. Pada saat marah, ia tidak bisa lagi berpikir jernih, ia picik tidak dapat lagi membedakan mana

yang benar dan mana yang salah. Akibatnya ia tidak dapat mengendalikan diri. Jadi, kehilangan sifat marah adalah tidak baik, dan sebaliknya marah yang berlebihan tanpa kendali juga sangat tidak baik.

Yang terbaik adalah di antara keduanya, yaitu I‟tidal.

I‟tidal, adalah sifat mampu mengendalikan kemarahan dikala

marah, dan bisa marah bila diperlukan marah. Dengan sikap seperti ini, maka rasa hamiyyah (membela yang benar) tetap tumbuh, marah bila perlu dan reda atau dipadamkan di waktu kesabaran dianggap sebagai

suatu amalan suci.

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

79

Dengan demikian, jika emosi marah diarahkan kepada sesuatu

yang positif, maka ia dapat melaksanakan fungsi penting bagi manusia. Marah akan membantu manusia dalam menjaga dirinya. Karena ketika ia

marah kekuatannya menjadi bertambah sehingga dapat mempertahankan diri dan menguasai berbagai kendala yang menghalanginya. Oleh karena itu, seorang muslim perlu belajar/berlatih

mengendalikan dan mengolah amarah. Al-Quran dan Al-Hadits telah mengajarkan kepada kita agar dapat mengontrol dan mengendalikan emosi marah. Di antara ayat-ayat Al-Quran yang mengajarkan agar

mampu mengendalikan marah adalah sebagai berikut:

“Dan bagi orang yang bersabar dan (siap untuk) mengampuni (atas kesalahan orang) benar-benar termasuk perkara yang diutamakan.”

(QS. Asy-Syuura [42]: 43)

Pengajaran Al-Quran ini memiliki pengaruh penting terhadap

jiwa seorang mukmin dalam menyuburkan sikap tepo-seliro dan tenggang-rasa antar sesama manusia. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abi Hurairah diterangkan sebagai

berikut:

“(Suatu ketika) datang seorang laki-laki kepada Rasulullah Saw,

kemudian orang itu memohon kepada beliau: “Ya Rasulullah, berilah aku nasehat untuk mengerjakan suatu amalan yang baik, tetapi saya harap yang sedikit (ringan) saja.” Beliau bersabda: “Laa taghdhab” (Engkau

jangan marah). Orang itu mengulangi permintaannya, “barangkali ada lagi yang harus aku lakukan.” Rasulullah mengulangi lagi sabdanya: “Lâ

taghdhab” (Engkau jangan marah).”

Dalam hadits lain Rasulullah Saw mengajarkan bahwa, jika sedang marah, maka segeralah berwudlu bahkan kalau perlu mandi.

Sebagaimana sabda beliau yang artinya:

“Marah itu asalnya dari syaitan, dan Syaitan itu dibuat dari api; sedangkan air itu dapat memadamkan api. Maka apabila seseorang di

antara kalian marah, hendaklah mandi”.

ينم ر قينال " ت : أ ن رجال قال للنيب را أ وصين قينال " ت ضب"ينف دينم

ضب"ف

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

80

Demikian pula dalam kasus yang terjadi pada shahabat Umar Bin

Al-Khatthab diterangkan sebagai berikut: “Seseorang pernah berkata kepada Umar: “Tuan tidak membuat keputusan dengan adil, Tuan tidak

memberi kebijaksanaan!” Mendengar perkataan orang itu, wajah Umar menjadi berubah (karena marah). Lalu orang-orang yang hadir berkata kepada beliau. Wahai Amirul mukminin, tidaklah tuan mendengar firman

Allah Swt, yang berbunyi:

“Ambillah yang lebih dan suruhlah (orang-orang) kepada yang ma‟ruf, serta berpalinglah dari orang-orang jahil. Mendengar teguran itu, Umar

berkata: “Engkau benar! Seolah-olah ada api kemudian engkau memadamkannya”. (Utsman Najati, 2005: 189)

Pengendalian marah sangat berguna jika dilihat dari segi:

a. Menjaga kemampuan berpikir jernih dan menelurkan keputusan-keputusan yang benar.

b. Menjaga keseimbangan tubuh. Ia tidak akan mengalami ketegangan fisik yang timbul akibat marah.

c. Tidak akan melakukan penyerangan kepada orang lain dan karenanya interaksi dan komunikasi akan menjadi lancar serta akan memberikan ketenangan kepada orang lain.

d. Akan terhindar dari berbagai penyakit, baik penyakit fisik maupun penyakit psikis.

Jika terpaksa marah menimpa, maka sebagai seorang Muslim, segera:

a. Ber-Istighfar (meminta ampun kepada Allah) dengan mengucapkan “Astaghfirullahal „azhîm”.

b. Ber-ta‟awudz (memohon perlindungan kepada Allah) dengan mengucapkan: “A‟udzu billahi minasy-syaithanirrajiim”.

c. Apabila kita sedang berdiri, maka hendaklah segera duduk.

d. Jika kita sedang duduk, maka hendaklah segera berbaring.

e. Jika sudah sadar betul, maka hendaklah segera mengambil air wudhu.

3. Mengembangkan Kecerdasan

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa: “Kecerdasan merupakan kesempurnaan perkembangan akal budi.

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

81

Kecerdasan berkaitan erat dengan ketajaman pikiran.” Jika kecerdasan

berada pada kutub positif, maka kecerdasan akan menjadi bijak. Tapi jika kecerdasan berada pada kutub negatif, maka kecerdasan bisa

menjadi bodoh dan atau jumud.

Kecerdasan berkaitan erat dengan ketajaman pikiran, sedangkan

pikiran disamping memiliki peluang untuk benar, juga memiliki peluang untuk salah. Pikiran kadang-kadang menghadapi kendala dan dapat menyimpang dari jalan yang lurus. Dalam kondisi ini manusia tidak

sanggup lagi menerima ide-ide baru. Akhirnya manusia kehilangan nilai dalam kehidupannya. Ia tidak lagi bisa membedakan mana yang hak dan

mana yang bathil, mana yang baik dan mana yang buruk. Tidak bisa menyingkap berbagai hakikat, meraih ilmu untuk kemajuan dan kesempurnaan. Jika kecerdasan dan pikiran telah hilang, maka

keunggulan manusia menjadi sirna. Bahkan derajat manusia turun menjadi lebih rendah dan lebih sesat dari pada binatang. Sebagaimana

diisyaratkan oleh Al-Quran dalam surah Al-A’raf [7] ayat 179:

“Dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak

dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak

dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-

orang yang lalai.”

Pada tataran ini akhlak terpuji dimungkinkan akan dapat menjadi panglima dalam membimbing kebenaran, membebaskan

pikiran dari pengaruh emosi jahat, dan mengarahkannya ke arah yang positif. Tim penulis Buku Pendidikan Agama Islam yang berjudul: Moral dan Kognisi Islam (1995: 230), memvisualisasikan pengembangan

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

82

ketiga potensi diri manusia (Nafsu – Amarah – dan Kecerdasan) dengan

kedua kutub (positif dan negatif) sebagai berikut:

Gambar: Visualisasi Pengembangan tiga Potensi Manusia

4. Meningkatkan Etos Kerja

a. Prinsip-prinsip Kerja

1) Kerja adalah Rahmat = bekerja tulus penuh rasa syukur;

2) Kerja adalah amanah = bekerja benar penuh tanggung jawab;

3) Kerja adalah panggilan = bekerja tuntas penuh integritas;

4) Kerja adalah aktualisasi = bekerja keras penuh semangat;

5) Kerja adalah ibadah = bekerja serius penuh kecintaan;

6) Kerja adalah seni = bekerja cerdas penuh kreativitas;

7) Kerja adalah kehormatan = bekerja tekun penuh keunggulan;

8) Kerja adalah pelayanan = bekerja penuh kerendahan hati.

5. Kerja Keras dan Tekun

Kerja menurut ajaran Islam merupakan tindakan yang mulia. Ia merupakan dasar bagi setiap orang yang bersungguh-sungguh menuju

kesuksesan. Tanpa bekerja manusia tidak bisa maju dan tidk bisa merasakan nikmatnya hidup. Dengan bekerja manusia bisa hidup mulia.

R

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

83

Dengan bekerja harta seseorang bisa bertambah, pemasukan bisa

diprediksi. Karena itu Allah benci kepada pengangguran.

Tentunya bekerja yang dibenarkan syariat Islam. Kerja menurut

Al-Quran mempunyai objek ganda; kerja untuk dunia dan kerja unruk akhirat. Ibnu Umar berkata yang artinya: “Kerjakanlah urusan duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya, dan kerjakanlah urusan

akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”.

Menurut Islam, bekerja adalah amal saleh (ibadah). Al-Quran mensejajarkan antara amal saleh (bekerja) dengan iman dan dijadikan

keduanya sebagai argumentasi sekaligus tanda pembenaran. Iman merupakan pengakuan dalam hati dan pembenarannya adalah amal

(bekerja). Berulang kali ayat Al-Quran menyatakan atau setidaknya 41 (empat puluh satu surah) yang mensejajarkan antara iman dan amal saleh. Bahkan Al-Quran sangat menganjurkan beramal shaleh sebagai

syarat diterimanya amal di sisi Allah. Sebagaimana firman-Nya (QS. Fathir [35]: 10):

“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah

kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik (kalimat tauhid) dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (diberi pahala).

Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. dan rencana jahat mereka akan hancur.”

Dalam ayat lain QS. Al-Anbiya [21]: 105, Allah berfirman:

“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang

shaleh.”

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

84

Dalam kaitan ini Rasulullah Saw bersabda yang artinya: “Tidak

ada iman tanpa amal, dan tidak ada amal tanpa iman.”

Islam sangat menekankan dan mendorong kepada kegiatan

beramal dan berkarya. Segala tugas dan kewajiban Muslim sebagai hamba dan Khalifah Allah tidak akan dapat ditunaikan tanpa kerja yang giat dan sungguh-sungguh. Cita-cita, kejayaan, dan kemenangan

perjuangan kaum muslimin tidak akan tercapai tanpa amal dan usaha giat.

6. Berfikir Positif - Bekerja Produktif

Al-Quran mendorong manusia agar melakukan pekerjaan yang bisa memakmurkan manusia dan mempunyai usaha sebagai azas

pencapaian rezeki dan penghidupan. Rezeki yang diberikan kepada manusia tidak ditimbang, rezeki bisa didapat harus dengan bekerja keras, bersungguh-sungguh, penuh perjuangan dan maksimal. Bekerja harus

menggunakan pikiran yang positif dan kecanggihan ilmu pengetahuan agar bermanfaat bagi umat. Karena menegakkan kemaslahatan hidup,

membangun peradaban, menjunjung tinggi kemerdekaan bersama dan memenuhi kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat hukumnya fardu kifayah. Nabi Muhammad Saw, bersabda yang artinya: Seseorang makan

suatu makanan dari hasil (usaha) tangannya sendiri adalah yang terbaik.

Adalah merupakan kewajiban bagi pengusaha/penegak hukum untuk melakukan penataan berbagai lapangan kerja dan menghemat

subsidi. Sehingga tidak ditemukan penjajahan, penekanan dan mengambil-alihan urusan negara dalam bidang ekonomi, kebutuhan

hidup dan penghidupan.

Tindakan yang paling jelek dalam memenuhi kebutuhan menurut Islam adalah bersandar pada perjuangan orang lain dan meminta-minta.

Padahal keadaan dirinya mampu untuk bekerja dan tidak dililit oleh kebutuhan hidup yang mendesak. Tindakan semacam ini merupakan

kegiatan yang kosong dari semangat berjuang untuk bekerja. Padahal Allah sangat memuliakan seseorang yang memberi dibandingkan dengan peminta-minta, sabda Rasulullah yang artinya: Tangan yang di atas

(pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (peminta-minta). Dan mulailah dari anggota keluargamu.

Setiap orang yang punya kemampuan untuk bekerja dituntut agar

berjuang dan berusaha secara sungguh-sungguh. Berusaha di muka

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

85

bumi sama nilainya dengan beribadah, bahkan termasuk salah satu jihad

di jalan Allah, juga termasuk metode yang jitu dalam meninggikan agama dan pemeluknya. Berbeda dengan gambaran orang-orang yang

bodoh yang memutuskan aktifitas urusan dunia, mengosongkan ibadah dan ilmu pengetahuan tanpa dipikir dalam menentukan prospek kehidupan yang mulia.

Apabila usaha yang dilakukan menemui jalan buntu dan didesak oleh kebutuhan pokok, maka diperbolehkan meminta-minta sekedar memenuhi kebutuhan hidup. Manusia semacam ini adalah orang-orang

yang terpuji dan harus diberi santunan berupa pinjaman modal kerja agar dapat berusaha kembali sehingga selamat dari berbagai krisis dan

cobaan. Mereka ini orang-orang yang berhak menerima pemberian dari para ahli kebajikan dan dermawan. Allah berfirman (QS. Al-Baqarah [2]: 273):

“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu

menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, me-reka tidak

meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”

Rasulullah Saw membolehkan seseorang memberikan sekedarnya uang atau barang kebutuhan lainnya pada sekelompok orang yang tidak

meminta-minta namun punya semangat bekerja yang tinggi, sebagaimana sabda beliau yang artinya:

“Orang miskin bukan orang yang keliling meminta-minta sehingga

mendapatkan sesuap dan dua suap makanan atau satu biji dan dua biji kurma. Tetapi orang miskin yang sebenarnya yang harus dibantu dan

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

86

diberi adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan yang mencukupi,

dan tidak diingati orang untuk diberi sedekah, juga tidak suka pergi meminta-minta kepada orang lain.”

Sabdanya lagi:

“Andaikan salah seorang darimu membawa tali pergi ke bukit untuk mencari kayu dan diletakkan di atas punggungnya kemudian dipikul ke

pasar untuk dijual, maka Allah menjaga kehormatan orang tersebut berkah usahanya, dan yang demikian itu lebih baik daripada yang meminta-minta kepada manusia, baik mereka memberi atau

menolaknya.”

Bagi peminta-minta Rasulullah Saw bersabda yang artinya:

“Barangsiapa yang membuka pintu bagi dirinya untuk meminta-minta maka Allah membuka tujuh puluh pintu kefakiran kapadanya.”

Yang perlu diketahui oleh umat Islam bahwa Allah Swt

menanggung rezeki hamba-hamba-Nya, menjamin kehidupan di dunia pada saat lahir dan ketika diciptakan. Allah berfirman (QS. Adz-Dzariyat

[51]: 22-23):

“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rizkimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi,

sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.”

Adapun kaitan antara keberhasilan memperoleh rezeki dengan bekerja/berusaha disebutkan dalam Al-Quran Surah Al-Mulk ayat 15:

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rizki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

87

Perlu diketahui pula bahwa kematian pasti datang dan rezeki

juga sudah dibagi-bagi, maka berusaha adalah wajib bagi seorang Mukmin demi kejayaan dan kemuliaan diri. Karenanya, mencari rezeki

dengan baik dan berusaha dengan gigih serta berkomunikasi dengan lemah lembut dapat diketahu dalam Firman Allah Surah Al-Munafiqun [63] ayat 8:

Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah

dari padanya." Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.”

Nabi menegaskan dasar pemeliharaan kejayaan dan kemuliaan diri melalui sabdanya: “Ku-sampaikan sesuatu kepadamu yang

diperintahkan Allah, dan pastilah aku memerintahkan kerja kepadamu. Sebaliknya sesuatu yang kepadamu dilarang, pasti aku melarang juga. Sesungguhnya Ruh Al-Amin menyampaikan dihadapanku; bahwa

sesungguhnya seseorang tidak akan meninggal sebelum rezeki-nya disempurnakan. Oleh karena itu, berusahalah dengan baik”.

Sabdanya lagi: “Usahakanlah berbagai kebutuhan demi kemuliaan

diri karena suatu urusan berjalan sesuai dengan kadar (upayanya).”

Akhirnya dapat dikatakan bahwa menanamkan akhlak terpuji

terhadap diri sendiri merupakan suatu keniscayaan demi kejayaan diri dan orang lain.

---

Bab VII – Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Buku Ajar PAI Akhlak

88

Pertanyaan-Pertanyaan:

Berikan jawaban dengan jujur, apa adanya, dan berikan pula alasannya!

1. Sebagai seorang muslim kita telah menyatakan dua kalimah syahadat.

Apakah ucapan tersebut berpengaruh pada aktifitas keseharian anda?

2. Shalat dapat mencegah perilaku tercela. Apakah shalat yang anda lakukan selama ini ada pengaruhnya terhadap perilaku anda?

3. Shaum (Ramadlan) dapat mendekatkan diri kepada Allah. Setelah berulang kali melakukannya, sudahkah anda merasa dekat dengan Allah?

4. Setelah berulangkali ber-'Iedul Fithri, adakah peningkatan diri dalam

melakukan hubungan baik dengan orang tua, keluarga, tetangga dan dengan sesama manusia?

5. Apakah ada perasaan iba-kasihan jika melihat orang lain mengalami kesusahan?

6. Apakah anda suka meminta maaf, jika ada gerak-gerik, tutur kata, lirikan

mata, dan bisikan hati yang menyinggung persaan orang lain,?

7. Apakah dalam melakukan perbuatan sehari-hari selalu berusaha

mengikuti contoh Rasulullah Saw?

8. Bagaimana sikap anda jika mendapatkan kritik dari orang lain?

9. Apakah terasa ada perubahan positif pada diri anda setelah mengikuti

pelajaran ini?

89

BAB VIII

AKHLAK TERHADAP KELUARGA

TUJUAN:

Setelah mempelajari materi Akhlak Terhadap Keluarga,

mahasiswa diharapkan mampu:

1. Menjelaskan pengertian keluarga dan akhlak terhadap

keluarga

2. Menjelaskan landasan pembentukan keluarga serta tahapan-tahapannya

3. Mendeskripsikan perilaku/akhlak suami istri

4. Memahami bagaimana akhlak orang tua terhadap anak

5. Memahami bagaimana anak berakhlak terhadap orang tua

6. Menjelaskan akhlak seorang Muslim terhadap

pembantu

A. Pengertian Akhlak terhadap Keluarga

Menurut Zainuddin (2011), akhlak terhadap keluarga diartikan sebagai perilaku yang berhubungan dengan keluarga. Sebagaimana diketahui dan dipahami, ikatan hubungan keluarga di dalam ajaran agama

Islam diatur oleh Allah Swt dalam bentuk sistem kekerabatan dan perkawinan dalam hukum Islam. Untuk mewujudkan kebahagiaan keluarga, di dalam Islam terdapat seperangkat norma hukum yang mengatur hak dan

kewajiban pada setiap anggota keluarga.

Akhlak terhadap Keluarga dan Karib Kerabat, antara lain: (a) Saling

membina rasa cinta da kasih sayang dalam kehidupan keluarga; (b) Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak; (c) Berbakti kepada ibu-

Bab VIII – Akhlak Terhadap Keluarga

Buku Ajar PAI Akhlak

90

bapak; (d) Mendidik anak-anak dengan kasih sayang; (e) Memelihara hubungan silaturahmi dan melanjutkan silaturahmi yang dibina orang tua yang telah meninggal dunia. (Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama

Islam, 1998: 357-358)

Oleh karena itu, akhlak manusia yang baik terhadap keluarganya

adalah mematuhi norma hukum keluarga yang telah ditetapkan oleh Allah Swt di dalam Al-Quran. Perilaku (akhlak) yang berhubungan dengan keluarga meliputi:

1. Berbuat baik kepada kedua orang tua: QS. An-Nisâ‟ [4] ayat 36.

2. Adil terhadap saudara: QS. An-Nahl [16] ayat 90.

3. Membina dan mendidik keluarga: QS. At-Tahrim [66] ayat 6 dan QS. Asy-

Syu‟arâ [26] ayat 214.

4. Memelihara keturunan: QS. An-Nahl [16] ayat 58-59.

B. Pembentukan Keluarga

1. Tujuan Pembentukan Keluarga

Dalam perspektif Islam, ada beberapa tujuan penting tentang

pembentukan keluarga yakni di antaranya:

a. Sebagai penerus generasi

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas suami istri (ibu bapak) dan anak-anaknya yang tinggal pada suatu tempat dan saling ketergantungan. Islam sebagai agama yang

tujuan utamanya adalah tercapainya kebahagiaan di dunia dan akhirat, sehingga Islam sangat mementingkan pembinaan pribadi dan keluarga. Pribadi yang baik akan melahirkan keluarga yang baik,

sebaliknya pribadi yang rusak akan melahirkan keluarga yang rusak. Demikian seterusnya apabila keluarga baik, maka akan melahirkan

negara yang baik.

b. Mendapatkan ketenangan

Allah mendorong manusia agar melaksanakan pernikahan (Ar-

Rum [30]: 21). Untuk itu, Allah menciptakan potensi rasa cinta dalam diri manusia.

Atas dasar inilah manusia saling keterkaitan terhadap lawan jenis. Islam juga menganjurkan untuk memilih jodoh yang terbaik.

Bab VIII – Akhlak Terhadap Keluarga

Buku Ajar PAI Akhlak

91

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan

merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum [30]: 21)

Ayat ini menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan berasal dari diri yang satu dan pernikahan sebagai kunci ketenangan.

Pernikahan akan menghadirkan ketenangan, karena laki-laki dan perempuan adalah pelengkap dan pemberi rasa bahagia satu sama lain. Ia tidak akan sempurna tanpa kehadiran pasangannya dan

setiap kekurangan akan terdorong untuk mencari kesempurnaan. Dan begitu pula setiap yang membutuhkan akan memiliki kecenderungan

alamiah untuk memenuhinya. Oleh karena itu, wajar jika ada daya tarik yang kuat dan alamiah antara seseorang dengan pelengkapnya dan ia akan merasa damai jika sudah meraihnya.

c. Melaksanakan sunah Rasul

Menikah juga merupakan sunnah Rasulullah Saw dalam

kehidupan sebagai manusia. Sebagaimana ditegaskan dalam satu haditsnya: “Barang siapa yang dimudahkan baginya untuk menikah, lalu ia tidak menikah maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR. At-

Thabrani dan Imam Baihaqi). Oleh karena nikah merupakan sunnah rasul, maka sudah seharusnya proses menuju pernikahan, tata cara (prosesi) pernikahan dan bahkan kehidupan pasca pernikahan

tersebut harus meneladani Rasulullah Saw.

2. Tahapan Awal Pembentukan Keluarga

Tahapan pembentukan keluarga dimulai dengan adanya perkenalan satu sama lain. Proses perkenalan ini dalam agama Islam dikenal dengan istilah ta‟aruf. Ta‟aruf dalam Islam dilakukan dengan

cara-cara yang sesuai aturan dan syariat Islam. Dalam artian, hubungan dan muamalah antara laki-laki dan perempuan tetap terjaga, khususnya

yang akan mengarah kepada perbuatan zina. Dengan adanya ta‟aruf ini

Bab VIII – Akhlak Terhadap Keluarga

Buku Ajar PAI Akhlak

92

maka seseorang dapat memilih pasangannya dengan tepat. Diantaranya adalah beragam Islam dan shaleh maupun shalehah; berasal dari keturunan yang baik-baik; berakhlak mulia, sopan santun dan bertutur

kata yang baik; mempunyai kemampuan membiayai kehidupan rumah tangga (bagi suami).

Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah Saw bersabda:

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang

taat beragama, engkau akan berbahagia." (Muttafaq Alaihi dan Imam yang Tujuh).

Proses pembentukan keluarga pada umumnya dimulai melalui perkenalan dimana pasangan mencari kecocokan satu sama lain. Pasangan biasanya mengembangkan interaksi, berbagai minat. Pada

masyarakat yang memegang kuat nilai-nilai keislaman biasanya tidak memilih pasangan melalui pacaran. Nilai pernikahan dalam Islam

sebagai ibadah dan ikatan perjanjian yang kuat dimata Allah menjadikan Islam membatasi tata cara pergaulan antar laki-laki dan perempuan sebelum menikah. Islam melarang pacaran karena akan

mendekatkan seseorang kepada hal yang diharamkan Allah sebelum menikah seperti berduaan, melakukana kontak fisik, membutuhkan perasaan cinta atau emosional dengan yang bukan mahram, yang

semuanya dapat berakibat buruk kepada orang itu sendiri.

Pacaran tidak dilakukan, maka pencarian pasangan biasanya

dilakukan melalui ta‟aruf dimana seseorang dibantu oleh orang lain atau lembaga yang dapat dipercaya sebagai perantara untuk memilih pasangan sesuai dengan kriteria yang diinginkan sebagai proses awal

menuju pernikahan. Proses ini dilakukan tanpa berinteraksi yang intensif antara pasangan dan tidak mengembangkan kedekatan fisik

dan emosional sebelum benar-benar masuk kedalam ikatan pernikahan.

ربع اممرأة ثنكح : كال امنب عن هريرة أب عن با , ممامها : ل , ومحس

ينا , ومجمامها ين بذات فاظفر , ول بلية مع عليه متفق (يداك تربت ال

بعة )امس

Bab VIII – Akhlak Terhadap Keluarga

Buku Ajar PAI Akhlak

93

Proses ini cenderung berlangsung singkat dan dijalani tanpa diketahui banyak orang. (Abdullah Kusumastuti: 2006)

Pernikahan adalah langkah awal membangun keluarga. Al-Quran

memberikan dasar untuk terjadinya suatu pernikahan sebagaimana terungkap dalam QS. An-Nur [24]: 32,

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah

akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”

Nikah hukumnya wajib bagi orang yang mampu membiayainya serta merasa khawatir akan terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan. Dan nikah hukumnya sunah bagi orang yang mampu

membiayainya, tetapi ia tidak merasa khawatir akan terjerumus ke dalam perbuatan yang diharamkan, sebagaimana di dalam sabda Rasulullah

Saw.

“Hai para pemuda, barangsiapa dari kalian mampu memberi nafkah, maka menikahlah, karena nikah itu dapat menundukkan pandangan

serta lebih memelihara kemaluan, dan barangsiapa yang belum mampu maka shaumlah karena dengannnya menjadi penawar.” (HR. Al-Bukhari

dan Muslim)

Dalam Islam, ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi demi sahnya nikah yaitu sebagai berikut (Al-Ghazali, 2001):

a. Adanya izin dari wali calon istri;

b. Adanya kerelaan dari si wanita (calon istri);

« امباءة تطاع اس من باب، امش معش ي نلبص أغض ه هفا ج، و فليت

وجاء هل هومفا تطعفعليهبمص «وأحصننلفرج،ومنمميس

Bab VIII – Akhlak Terhadap Keluarga

Buku Ajar PAI Akhlak

94

c. Adanya dua orang saksi yang dikenal luas sebagai orang-orang baik-baik; dan

d. Adanya lafal ijab dan qabul yang bersambungan (tidak terputus antara

keduanya dengan ucapan-ucapan lain yang tidak ada hubungannya).

C. Akhlak Suami Istri

Pasangan berbeda jenis kelamin yang menikah secara agama dan hukum dikatakan pasangan suami istri. Setelah berlangsungnya pernikahan, disanalah babak baru kehidupan akan dimulai, yakni proses mengenal

pribadi dan karakter masing-masing yang selama proses ta‟aruf belum tampak atau sengaja tidak ditampakkan. Lebih dari itu, pernikahan juga bukan hanya sebatas menyatukan dua hati atas dasar cinta, tetapi juga

menyatukan dua keluarga atas dasar iman dan taqwa.

Pria yang sudah menikah disebut dengan istilah „suami‟ bagi

pasangan wanitanya. Begitu juga sebaliknya, pasangan wanitanya yang telah resmi dinikahinya disebut dengan panggilan „istri‟. Menjalani kehidupan dengan berstatus suami istri bukanlah perkara mudah, tetapi akan sangat

mudah jika dilandasi dengan ilmu agama.

Dengan ilmu agama, membina rumah tangga akan senantiasa

menjadi untaian ibadah yang tak ada batasnya. Bagaimana seorang istri bersikap kepada suaminya, dan bagaimana suami bersikap kepada istrinya, semuanya akan menjadi amal ibadah. Untuk mewujudkan sikap yang baik

adalah akhlak kepada pasangan perlu diketahui hak dan kewajiban suami istri, sehingga dengan begitu masing-masing individu akan menyadari dan melaksanakandengan ikhlas semua kewajibannya sebagai pasangan

sebelum meminta haknya.

Masing-masing suami-istri mempunyai hak atas yang lainnya. Hal ini

berarti, bila istri mempunyai hak dari suaminya, maka suami mempunyai kewajiban atas istrinya. Demikian juga sebaliknya suami mempunyai hak istrinya, dan istrinya mempunyai kewajiban atas suaminya. Hak tidak dapat

dipenuhi apabila tidak ada yang menunaikan kewajiban Dalam Al-Quran Allah berfirman:

Bab VIII – Akhlak Terhadap Keluarga

Buku Ajar PAI Akhlak

95

“Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 228)

Suami sebagai kepala keluarga mempunyai kelebihan dari istrinya

sebagai pemimpin rumah tangga dan masing-masing membangun tugas yang berbeda-beda membangun rumah tangganya itu, di samping ada yang sama pula.

Dalam berumah tangga diperlukan beberapa tuntunan:

pertama, hak bersama suami istri: saling memegang amanah, membangun cinta kasih dan kasih sayang, saling menghargai;

kedua, hak istri atas suami: menjaga pemimpin bagi istrinya, menafkahi istri, bergaul dengan istri secara baik, mendidik istri taat beragama,

mendidik istri sopan santun, suami dilarang membuka rahasia istrinya;

ketiga, hak suami atas istri: mematuhi suami, menjaga nama baik suami, keluar rumah seizin suami.

D. Akhlak Anak terhadap Orangtua

Adapun akhlak anak terhadap orang tua terungkap dalam firman

Allah Surat Al-Isra [17] ayat 23 dan 24 serta Surat Luqman [31] ayat 14:

”Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah

selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah

kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang

mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh

Bab VIII – Akhlak Terhadap Keluarga

Buku Ajar PAI Akhlak

96

kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (QS Al-Isra : 23-24)

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang

ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah

kembalimu.” (QS. Luqman [31]: 14)

Menurut Muhammad Daud Ali (1998), akhlak terhadap orang tua, antara lain:

(a) Mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya;

(b) Merendahkan diri kepada keduanya diiringi perasaan kasih sayang;

(c) Berkomunikasi dengan orang tua dengan khidmat, mempergunakan kata-kata lemah lembut;

(d) Berbuat baik kepada ibu-bapak dengan sebaik-baiknya; dan

(e) Mendo‟akan keselamatan dan keampunan bagi mereka kendatipun seorang atau kedua-duanya telat meninggal dunia.

Ada beberapa riwayat hadits yang mengatakan bahwa: Dari Abdullah Bin Mas‟ud berkata: “Aku bertanya kepada Rasulullah: “Amalan apakah yang dicintai oleh Allah” Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya.

Aku bertanya lagi: “Kemudian apa” Beliau menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua”. Aku bertanya lagi: “Kemudian apa” Beliau menjawab: “Jihad dijalan Allah”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Hal ini menunjukan

bahwa akhlak menghormati orang tua adalah suatu hal yang penting, dan kedudukannya di atas jihad dijalan Allah.

1. Akhlak Anak terhadap Kedua Orangtua yang Masih Hidup

Agama Islam mengajarkan dan mewajibkan kita sebagai anak untuk berbakti dan taat kepada ibu-bapak. Taat dan berbakti kepada

kedua orang tua adalah sikap dan perbuatan yang terpuji, ada banyak

Bab VIII – Akhlak Terhadap Keluarga

Buku Ajar PAI Akhlak

97

cara untuk berbakti dan bersikap sopan santun kepada orangtua, diantaranya adalah:

a. Berbakti dengan melaksanakan nasihat dan perintah yang baik dari

keduanya.

b. Memelihara dengan penuh keikhlasan dan kesabaran apalagi jika

keduanya sudah tua dan pikun.

c. Merendahkan diri, kasih sayang dan mendoakan kedua orang tua.

d. Anak harus berkorban untuk orang tuanya. Sesuai dengan sabda Nabi

yang artinya: “Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw dan bertanya “sesungguhnya aku mempunyai harta sedang orang tuaku membutuhkannya”. Nabi menjawab: “Engkau dan hartamu adalah

milik orang tuamu, karena sesungguhnya anak-anakmu adalah sebaik-baiknya usahamu, karena itulah makanlah dari usaha anak-anakmu

itu”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

e. Meminta kerelaan orang tua ketika akan berbuat sesuatu. Ada suatu hadis yang menceritakan bahwa ada seorang pemuda yang ingin turut

serta dalam perang yang dipimpin oleh Rasulullah, ketika pemuda itu meminta ijin dari Rasul, Rasul menyuruh pemuda itu untuk meminta

izin dari kedua orang tua pemuda tersebut, jika sudah di izinkan, barulah pemuda tersebut boleh mengikuti perang bersama Rasul.

f. Berbuat baik kepada ibu dan bapak

g. Sukamto (1981) menjelaskan bahwa kewajiban anak berbuat baik dan tidak durhaka kepada orang tua didasarkan kepada beberapa hal.

Nabi Saw bersabda yang artinya :

“Berkata (bertanya) seorang laki-laki ya Rasulullah siapakah manusia yang lebih berhak aku pergauli dengan baik? Berkata Rasulullah: “Ibu

mu, Ibumu, sekali lagi Ibumu, kemudian Bapakmu, kemudian lebih dekat lagi dan lebih dekat lagi kepada engkau”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Didalam hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa kita diperintahkan berbakti dan berbuat baik terhadap ibu bapak.

Kemudian terhadap ibu lebih ditekankan agar bergaul dengannya secara baik, tetapi bukan berarti pula bahwa kita harus mengurangkan penghormatan dan kecintaan terhadap bapak.

Bab VIII – Akhlak Terhadap Keluarga

Buku Ajar PAI Akhlak

98

Sabda Rasulullah Saw:

”Sesungguhnya kebijakan yang paling baik adalah silaturrahim seorang anak pada kerabat yang mencintai ayahnya.” (HR. Muslim)

Untuk itu kita hendaknya selalu mencari rida kedua orang tua, karena rida mereka merupakan keridaan Allah Swt. Sesuai hadits Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa sallam,

“Dari „Abdullah bin „Amr bin „Ash Radhiyallaahu „anhuma, bahwa Rasulullah Shallallaahu „alaihi wa sallam bersabda: “Rida Allah bergantung kepada keridaan orangtua dan murka Allah bergantung

kepada kemurkaan orang tua.” (HR. Bukhari, Ibnu Hibban, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim)

2. Akhlak Anak terhadap Orangtua yang Telah Meninggal Dunia

Berbakti kepada orangtua tidak hanya kita lakukan ketika orang tua masih hidup, berbakti kepada orang tua juga dapat kita lakukan

meski orang tua telah meninggal.

Sabda Nabi: ”kami pernah berada pada suatu majelis bersama Nabi Saw, seorang bertanya kepada Rasulullah: Wahai Rasulullah,

apakah ada sisa kebajikan setelah keduanya meninggal dunia yang aku untuk berbuat sesuatu kebaikan kepada kedua orang tuaku.“

Jawab Nabi Shalallahu „alaihi wa sallam,

“Ya, menshalatkan mereka, memohonkan ampunan untuk mereka,

memenuhi janji mereka setelah mereka meninggal, memuliakan rekan

يفاء

تغفارمهما،وا ما،والس لةعلي ما،هعم،امص بعهودهامنبعدموت

ما ب لتلثوصلا حمام امر كرامصديلهما،وصل

وا

أبيه أهلود امول صل امب أبر ن .ا

رسنولهللاعن هللاعنمناأن روبننامعنا ر عبدهللابنع

ب ن امنر ،وخ فرضاامنوال ب كال:رضاامر هللاعليهوسل صل

فخ اموال

Bab VIII – Akhlak Terhadap Keluarga

Buku Ajar PAI Akhlak

99

mereka, dan menyambung silaturahmi yang terjalin karena sebab keberadaan mereka.” (HR. Ahmad 16059, Abu Daud 5142, Ibn Majah 3664, dishahihkan oleh Al-Hakim 7260 dan disetujui Adz-Dzahabi).

Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk berbakti kepada orang tua yang telah meninggal adalah:

a. Merawat jenazahnya dengan memandikan, menshalatkan dan menguburkanya.

b. Melaksanakan wasiat dan menyelesaikan hak Adam yang

ditinggalkannya.

c. Menyambung tali silaturahmi kepada kerabat dan teman–teman dekatnya atau memuliakan teman-teman kedua orang tua. Diwaktu

hidupnya ibu atau ayah mempunyai teman akrab, ibu atau ayah saling tolong-menolong dengan temannya dalam bermasyarakat.

Maksudnya, untuk berbuat kebajikan kepada kedua orang tua kita yang telah tiada, selain tersebut di atas, kita harus memuliakan teman ayah dan ibu semasa ia masih hidup.

d. Melanjutkan cita-cita luhur yang dirintisnya atau menepati janji kedua ibu bapak. Kalau sewaktu hidup orang tua mempunyai janji kepada

seseorang, maka anaknya harus berusaha menunaikan menepati janji tersebut. Umpamanya beliau akan menaikan haji, yang belum sampai melaksanakannya. Maka kewajiban anaknya menaikan haji orang

tersebut.

e. Mendoakan ayah ibu yang telah tiada itu dan meminta ampun kepada Allah dari segala dosa orang tua kita.

---

Bab VIII – Akhlak Terhadap Keluarga

Buku Ajar PAI Akhlak

100

Pertanyaan-Pertanyaan:

1. a. Jelaskan pengertian istilah keluarga menurut para ahli!

b. Jelaskan pengertian akhlak terhadap keluarga!

2. a. Jelaskan tujuan pembentukan keluarga (Pernikahan)!

b. Sebutkan rukun pernikahan dan beri penjelasan dari masing masing!

c. Jelaskan bagaimana cara ta‟aruf yang dianjurkan Islam tulis hadits yang berkaitan dengan tema tersebut.

3. Setelah pernikahan maka ada kewajiban dan hak antara suami istri coba

saudara jelaskan hal berikut:

a. Hak dan kewajiban bersama antara suami dan istri

b. Hak istri atas suami

c. Hak suami atas istri

4. Jelaskan bagaimana akhlak anak terhadap orang tua. Beri argument

secukupnya!

101

BAB IX

AKHLAK DALAM BERTETANGGA

TUJUAN:

Setelah mempelajari materi bab ini, mahasiswa diharapkan mampu:

1. Mengetahui dan memahami makna dan batasan tetangga

2. Mengetahui dan memahami kedudukan tetangga bagi

seorang muslim

3. Mengetahui dan memahami tipe tetangga dan hak-

haknya masing-masing

4. Mengetahui, memahami, dan dapat mengaplikasikan etika bertetangga yang sehat

5. Mengetahui dan memahami ancaman jika tidak harmonis dengan tetangga

A. Kedudukan Tetangga bagi Seorang Muslim

Hak dan kedudukan tetangga bagi seorang Muslim sangatlah besar dan mulia. Sampai-sampai sikap terhadap tetangga dijadikan sebagai indikasi

keimanan seseorang. Rasulullah Saw bersabda:

ؼت امنب كال: ، كال: س يح امؼدوي »غن أب ش من كن يؤمن بلل

...واميوم الخر فليكرم جاره

Bab IX – Akhlak Dalam Bertetangga

Buku Ajar PAI Akhlak 102

Dari Abi Syuraih Al-„Adawiyyi berkata, aku mendengar Nabi Saw bersabda:

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan tetangganya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Bahkan besar dan pentingnya kedudukan tetangga bagi seorang Muslim sangatlah ditekankan, sebagaimana sabda Rasulullah Saw bersabda:

Dari Ibnu Umar, berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Jibril tidak henti-

hentinya menasihatiku agar berbuat baik kepada tetangga, sehingga aku mengira bahwa ia (tetangga itu) akan mewarisi”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan: “Bukan berarti dalam hadits ini Jibril mensyariatkan bagian harta waris untuk tetangga karena Jibril tidak memiliki hak dalam hal ini. Namun, maknanya adalah

beliau sampai mengira bahwa akan turun wahyu yang mensyariatkan tetangga mendapat bagian waris. Ini menunjukkan betapa ditekankannya

wasiat Jibril tersebut kepada Nabi Saw” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/177).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa bersikap baik kepada tetangga, akan menjadikan kita sebagai muslim sejati.

Dari Abu Hurairah ra, Nabi Saw berpesan,

“Jadilah orang yang wara‟, kamu akan menjadi manusia ahli ibadah. Jadilah

orang yang qanaah, kamu akan menjadi orang yang paling rajin bersyukur. Berikanlah yang terbaik untuk orang lain, sebagaimana kamu memberikan yang terbaik untuk dirimu, niscaya kamu menjadi mukmin sejati.

Bersikaplah yang baik kepada tetangga, kamu akan menjadi muslim sejati…” (HR. Ibn Majah dishahihkan Al-Albani)

B. Anjuran Berbuat Baik kepada Tetangga

Orang Muslim meyakini bahwa tetangga mempunyai hak-hak atas dirinya, dan etika-etika yang harus dijalankan seseorang terhadap

ر، يلول: كال رسول هللا: ما زال جبيل يوصين بمجار، حت غن ابن ع

جو يور و س ظننت أه

نن ورػا، حكن أغبد امناس، ونن كنؼا، حكن أشكر امناس، وأحب نلناس

ب منفسم، حكن مؤمنا، وأحسن جوار من جاورك، حكن مسلما …ما ت

Bab IX – Akhlak Dalam Bertetangga

Buku Ajar PAI Akhlak

103

tetangga mereka dengan sempurna, berdasarkan dalil. Karena demikian

penting dan besarnya kedudukan tetangga bagi seorang Muslim, Islam pun memerintahkan umatnya untuk berbuat baik terhadap tetangga.

Allah Swt berfirman:

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan

sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat, teman sejawat, ibnu sabil dan

hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Nisa [4]: 36)

Abdurrahman As-Sa‟di menjelaskan ayat ini: “Tetangga yang lebih dekat tempatnya, lebih besar haknya. Maka sudah semestinya seseorang mempererat hubungannya terhadap tetangganya, dengan memberinya

sebab-sebab hidayah, dengan sedekah, dakwah, lemah-lembut dalam perkataan dan perbuatan serta tidak memberikan gangguan baik berupa perkataan dan perbuatan” (Tafsir As Sa‟di, 1/177).

Rasulullah Saw juga bersabda:

Dari Abdullah bin Umar, berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Sahabat yang

paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik sikapnya terhadap sahabatnya. Tetangga yang paling baik di sisi Allah adalah yang paling baik

sikapnya terhadap tetangganya”. (HR. At Tirmidzi dinilai shahih oleh Al-Albani)

اب غند هللا رو كال: كال رسول هللا: خي الص غن غبد هللا بن ع

ه مجاره. ه مصاحبو، وخي اجليان غند هللا خي خي

Bab IX – Akhlak Dalam Bertetangga

Buku Ajar PAI Akhlak 104

Tetangga yang baik akan menjadi lambang kebahagiaan atau

kesengsaraan. Dari Sa‟d bin Abi Waqqash ra, Rasulullah Saw bersabda,

“Empat hal yang menjadi sumber kebahagiaan: Istri sholihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan tunggangan yang nyaman.

Empat hal sumber kesengsaraan: tetangga yang buruk, istri yang durhaka, tempat tinggal yang sempit, dan kendaraan yang tidak nyaman.” (HR. Ibn

Hibban dinilai sahih oleh Syuaib Al-Arnauth).

Tetangga menjadi saksi, merekalah manusia yang paling banyak menyaksikan aktivitas kita, sehingga penilaian mereka bisa mewakili

kepribadian dan perilaku kita. Dari Ibn Mas‟ud r.a, bahwa ada seorang yang bertanya kepada Nabi Saw, “Bagaimana saya bisa mengetahui, apakah saya

orang baik ataukah orang jahat?” Beliau menjawab,

“Jika tetanggamu berkomentar, kamu orang baik maka berarti engkau orang baik. Sementara jika mereka berkomentar, engkau orang tidak baik,

berarti kamu tidak baik.” (HR. Ahmad, Ibn Majah dan dishahihkan Al-Albani)

Komentar tetangga di sini, maksudnya adalah komentar dari

tetangga yang baik, saleh dan memerhatikan aturan syariat. (At-Taisir Syarh Jamius Shaghir, 1:211). Karena itu, jelas sekali bahwa berbuat baik terhadap tetangga adalah akhlak yang sangat mulia dan sangat ditekankan

penerapannya, karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Disinilah pentingnya seorang mengetahui kedudukan dirinya dan

tugasnya dalam hidup bermasyarakat dengan para tetangga, baik ia Muslim atau kafir. Dia berusaha berbuat baik kepada mereka sesuai dengan aturan dan batasan syariat.

امحة، واممسكن امواسع، ؼادة: اممرأة امص امح، أربع من امس وامجار امص

وء، واممرأة امسوء، لاوة: امجار امس واممرنب امينء، وأربع من امش

واملسكن امضيق، واملرهب امسوء

ذا كال جياهم: كد أ م كد أسأت، ا ه

ذا كاموا: ا

حسنت، فلد أحسنت، وا

فلد أسأت

Bab IX – Akhlak Dalam Bertetangga

Buku Ajar PAI Akhlak

105

C. Etika Bertetangga yang Sehat

Beberapa etika pergaulan dengan tetangga yang selayaknya kita perhatikan:

Pertama, Hendaknya kita mencintai kebaikan untuk tetangga kita sebagaimana kita menyukai kebaikan itu untuk diri kita. Bergembira jika tetangga kita mendapat kebaikan dan kebahagiaan, serta jauhi sikap dengki

ketika itu. Hal ini mencakup pula keharusan untuk menasehatinya ketika kita melihat tetangga kita melalaikan sebagian perintah Allah, serta mengajarinya perkara-perkara penting dalam agama yang belum ia ketahui

dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Nabi Saw bersabda,

Dari Anas, dari Nabi Saw bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam

genggaman-Nya, tidaklah seseorang dikatakan beriman hingga ia mencintai tetangganya, atau beliau berkata, untuk sudaranya apa yang ia cintai untuk

dirinya sendiri.” (HR. Muslim)

Kondisi tetangga berbeda-beda, ditinjau dari tingkat kesalehan mereka. (Prinsip) yang mencakup seluruhnya adalah keinginan kebaikan

untuk tetangga tersebut, dan nasehat kepadanya dengan cara yang baik, mendoakannya agar mendapatkan petunjuk, menjauhi sikap yang menyakitinya, dan mencegah tetangga yang tidak saleh dari perbuatan yang

menganggu atau dari kefasikan dengan cara yang bijak, sesuai dengan tahapan beramar ma'ruf nahi munkar. Serta mengenalkan kepada tetangga

yang kafir tentang Islam dan menjelaskan kepadanya kebaikan-kebaikan agama Islam dan memotivasinya untuk masuk Islam dengan cara yang baik pula. Jika hal itu bermanfaat maka (ajaklah ia dengan nasihat itu), dan bila

nasihat tidak mempan, maka boikotlah ia dengan tujuan untuk memberinya pelajaran. Karena dirinya telah mengetahui alasan kita memboikotnya, agar

ia berhenti dari keengganannya untuk masuk Islam, jika memang pemboikotan tersebut efektif diterapkan padanya.

Kedua, Saat musibah melanda tetangga kita dan dia dirundung

kesedihan dan terbelit kesulitan, sebisa mungkin kita membantunya, baik bantuan materi ataupun dukungan moril. Menghibur dan meringankan beban penderitaannya dengan nasihat, tidak menampakan wajah gembira

ب ي هفس بيده، ل يؤمن غبد حت ي غن أوس، غن امنب كال: وال

ب منفسو -أو كال: لخيو -مجاره ما ي

Bab IX – Akhlak Dalam Bertetangga

Buku Ajar PAI Akhlak 106

tatkala dia dirundung duka. Menjenguknya ketika sakit dan mendoakan

kesembuhan untuknya serta membantu pengobatannya bila memang dia membutuhkannya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

“Bukanlah seorang mukmin, orang yang kenyang sementara tetangganya

kelaparan di sampingnya.” (HR. Bukhari)

Ketiga, Hindari sejauh mungkin sikap yang dapat menyebabkan tetangga kita merasa tersakiti, baik berupa perbuatan ataupun perkataan.

Contohnya, mencela, membeberkan aibnya di muka umum, memusuhinya, atau melemparkan sampah di muka rumahnya sehingga menyebabkan ia

terpeleset ketika melewatinya, dan jenis gangguan lainnya. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya.” (HR. Bukhari)

Keempat, Kunjungilah tetangga pada hari raya dan sambutlah undangannya jika dia mengundang kita. Rasulullah Saw bersabda,

”Hak Muslim atas Muslim yang lain ada lima, menjawab ucapan salam, menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan dan mendoakan orang yang bersin.” (HR. Bukhari)

Kelima, Berikanlah toleransi kepada tetangga kita selama bukan dalam perkara maksiat. Didiklah keluarga kita untuk tidak berkata-kata keras

atau berteriak-teriak sehingga mengganggu tetangga. Janganlah kita mengeraskan suara radio kita hingga mengusik ketentraman tetangga, terutama pada malam hari. Sebab, mungkin diantara mereka ada yang

sedang sakit, atau lelah, atau tidur atau mungkin ada anak sekolah yang sedang belajar.

بع و جاره جائع اىل جنبو ي يش ميس املؤمن ال

من كن يؤمن بهلل و اميوم الخر فال يؤذي جاره

باع حق املسل ػىل املسل الم و غيادة املريض و اث س : رد امس خ

غوة و جشميت امؼاظس اجلنائز و اجابة ادل

Bab IX – Akhlak Dalam Bertetangga

Buku Ajar PAI Akhlak

107

Hendaklah kita tidak bersikap kikir terhadap tetangga yang

membutuhkan bentuan kita, selama kita bisa membantunya. Rasulullah Saw bersabda,

Dari Abu Hurairah berkata, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah seorang di antara kalian melarang tetangganya untuk

meletakkan kayu di tembok rumahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Berkenaan dengan hadis di atas, Salim bin Ied Al-Hilali

mengemukakan beberapa pelajaran yang berkaitan dengan hak tetangga yaitu: (1) Saling membantu dan bersikap toleran sesama tetangga merupakan hak-hak tetangga (yang wajib dipenuhi) sekaligus merupakan wujud

kekokohan bangunan masyarakat Islam. (2) Jika seseorang memiliki rumah, kemudian ia memiliki tetangga dan tetangganya itu ingin menyandarkan

sebatang kayu di temboknya tersebut, maka boleh hukumnya bagi si tetangga untuk meletakkannya dengan izin atau tanpa izin pemilik rumah, dengan syarat hal tersebut tidak menimbulkan mudarat bagi si empunya

rumah, karena Islam telah menetapkan satu kaidah umum:

Keenam, Berikanlah hadiah kepada tetangga, walau dengan

sesuatu yang mungkin kita anggap sepele. Karena saling memberi hadiah akan menumbuhkan rasa cinta dan ukhuwah yang lebih dalam. Rasulullah

Saw pernah menasehati Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu.

“Jika suatu kali engkau memasak sayur, maka perbanyaklah kuahnya,

kemudian perhatikanlah tetanggamu, dan berikanlah mereka sebagiannya dengan cara yang pantas.” (HR. Muslim).

Berkaitan makna berbuat ihsan (baik) kepada tetangga, Syaikh

Nazhim Sulthan menerangkan: "(Yaitu) dengan melakukan beragam perbuatan baik kepada tetangga, sesuai dengan kadar kemampuan. Misalnya berupa pemberian hadiah, mengucapkan salam, tersenyum ketika

بو ف غن أب ىريرة كال: ل يمنع جار جاره أن يغرز خش : أن رسول الل

جداره،

ار ( ر و ل ض )ل ض

اهم ، فأصبم منا اذا ظبخت مركا فأنث ماءه ، ث اهظر أىل بيت من جي

بمؼروف

Bab IX – Akhlak Dalam Bertetangga

Buku Ajar PAI Akhlak 108

bertemu dengannya, mengamati keadaannya, membantunya dalam perkara

yang ia butuhkan, serta menjauhi segala perkara yang menyebabkan ia merasa tersakiti, baik secara fisik atau moril. Tetangga yang paling berhak

mendapatkankan perlakuan baik dari kita adalah tetangga yang paling dekat rumahnya dengan kita, disusul tetangga selanjutnya yang lebih dekat.

Dari A‟isyah ra, ia bertanya kepada Nabi Saw: “Wahai Rasulullah,

saya memiliki dua tetangga dekat. Kemanakah saya akan memberikan hadiah?” beliau menjawab,

“Ke rumah yang paling dekat pintunya denganmu.” (HR. Bukhari)

Ketujuh, Tidak meremehkan pemberian/hadiah tetangga, meskipun kelihatannya kurang berarti. Pesan ini pernah disampaikan Nabi Saw kepada umatnya, terutama kaum perempuan. Mungkin, karena merekalah yang

umumnya memiliki sikap seperti itu. Dari Abu Hurairah ra, Nabi Saw bersabda,

“Wahai para wanita Muslimah, janganlah satu tetangga meremehkan

pemberian tetangga yang lainnya, meskipun hanya kikil yang tak berdaging.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedelapan, Tundukkanlah pandangan kita terhadap aurat tetangga,

jangan pula menguping pembicaraan mereka. Apalagi sampai mengintip ke dalam rumahnya tanpa seizinnya untuk mengetahui aib mereka. Allah

Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Dan katakanlah kepada laki-laki beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka.” (QS. An-Nur [24]: 30)

Kesembilan. Berusaha bersabar dengan gangguan tetangga. Dari Abu Dzar ra, Nabi Saw bersabda,

ما منم بب ىل أكرب ا

لرن جارة مجارتا، ومو فرسن شاة ي وساء املسلمات، ل ت

م هللا ب جل يكون ل امجار يؤذيو جواره، فيصب ػىل أذاه … جالجة ي وامر

ق بينما موت أو ظؼن حت يفر

Bab IX – Akhlak Dalam Bertetangga

Buku Ajar PAI Akhlak

109

“Tiga orang yang Allah cintai..., orang yang memiliki tetangga, dan

tetangganya suka menyakitinya. Diapun bersabar terhadap gangguannya sampai dipisahkan dengan kematian atau safar.” (HR. Ahmad dan dinilai

shahih oleh Syu‟aib al-Arnauth).

Kesepuluh, Memohon perlindungan kepada Allah dari tetangga yang buruk. Nabi Saw memerintahkan agar kita memohon perlindungan kepada

Allah dari tetangga yang buruk. Ini menunjukkan betapa bahayanya tetangga yang buruk, sampai manusia terbaik menyarankan doa ini dilantunkan. Dari Abu Hurairah ra, Nabi Saw berpesan,

“Mintalah perlindungan kepada Allah dari tetangga yang buruk di tempat tinggal menetap, karena tetangga yang tidak menetap akan berpindah dari kampungmu.” (HR. Nasa‟i)

D. Ancaman Atas Sikap Buruk kepada Tetangga

Di samping anjuran, syariat Islam juga mengabarkan kepada kita

ancaman terhadap orang yang enggan dan lalai dalam berbuat baik terhadap tetangganya. Ancaman bagi yang tidak baik atau kerap menyakiti kepada tetangga.

1. Tidak dikatakan orang beriman jika tetangganya tidak nyaman/resah.

Dari Abi Syuraih berkata, bahwasanya Nabi Saw bersabda: “Demi Allah,

tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman! Demi Allah, tidak beriman!” Sahabat ada yang bertanya: “Siapa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa‟iq-nya (kejahatannya).”

(HR. Bukhari)

2. Tidak dikatakan orang beriman jika tetangganya kelaparan, sementara

ia kenyang.

ل غنم ن جار امبادية يخحووء ف دار امملام، فا ، من جار امس ذوا بلل ثؼو

يح، أن غن أ ل »كال: امنب ب ش ل يؤمن، والل ل يؤمن، والل والل

ي ل يأمن جاره « يؤمن ؟ كال: ال بوائلوكيل: ومن ي رسول الل

بع، وجاره جائع ي يش : كال رسول هللا: ميس اممؤمن ال بي غن ابن امز

Bab IX – Akhlak Dalam Bertetangga

Buku Ajar PAI Akhlak 110

Dari Ibnu Zubair berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah dikatakan

mukmin orang yang kenyang, sementara tetangganya kelaparan.” (HR. Al-Thabrani)

3. Tidak akan masuk surga jika tetangganya sering terganggu.

Dari Abu Hurairah berkata, bahwasanya Nabi Saw bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari bawa‟iq-nya

(kejahatannya).” (HR. Muslim)

Ibnu Utsaimin menjelaskan: “Bawa‟iq maksudnya culas, khianat,

zhalim dan jahat. Barangsiapa yang tetangganya tidak aman dari sifat itu, maka ia bukanlah seorang mukmin. Jika itu juga dilakukan dalam perbuatan, maka lebih parah lagi. Hadits ini juga dalil larangan berbuat

jahat terhadap tetangga, baik dengan perkataan atau perbuatan. Dalam bentuk perkataan, yaitu tetangga mendengar hal-hal yang membuatnya

terganggu dan resah”. Beliau juga berkata: ”Jadi, haram hukumnya mengganggu tetangga dengan segala bentuk gangguan. Jika seseorang melakukannya, maka ia bukan seorang mukmin, dalam artian ia tidak

memiliki sifat sebagaimana sifat orang mukmin dalam masalah ini” (Syarh Riyadhis Shalihin, 3/178)

4. Mengganggu tetangga termasuk dosa besar pelakunya diancam dengan

neraka. Ada seorang sahabat berkata:

Hadis dari Abu Hurairah, ia berkata: “Seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya ada seorang perempuan

غن أب ىريرة، أن رسول هللا كال: ل يدخل امجنة من ل يأمن جاره

بوائلو

ن فالهة ة غن أب ىريرة كال: كال رجل ي رسول هللا ا يذنر من نث

انا بلسانا. كال ه ف ا ثؤذي جي صالتا وصياميا وصدكتا غي أن

صياميا وصدكتا ن فالهة يذنر من كلامنار. كال ي رسول هللا فا

ا ثصد ن

انا بلسانا كال وصالتا وا ق بلجوار من الكط ول ثؤذي جي

ه ف امجنة )رواه أمحد(

Bab IX – Akhlak Dalam Bertetangga

Buku Ajar PAI Akhlak

111

terkenal banyak melakukan shalat (sunat), shaum, dan sedekahnya,

tetapi selalu menyakiti tetangganya dengan lidahnya”. Rasul bersabda : “Dia (masuk) neraka”.

Sahabat (lain) berkata: “Ya Rasulullah, seorang perempuan dikenal sedikit shaum, sedekah, dan shalat (sunah)nya, bahkan dia bershadaqah dengan potongan-potongan keju, (tapi) ia tidak menyakiti tetangganya

dengan lidahnya”. Rasul menjawab, “Dia (masuk) surga”. (HR. Ahmad)

Berikan jaminan bahwa tetangga kita merasa nyaman dengan keberadaan kita sebagai tetangganya. Hati-hati, jangan sampai menjadi

tukang gosip tetangga, sehingga membuat tetangga kita selalu tidak nyaman ketika bertindak di hadapan kita, karena takut digosipi.

Al-Mula Ali Al-Qari menjelaskan mengapa wanita tersebut dikatakan masuk neraka? “Disebabkan ia mengamalkan amalan sunah yang boleh ditinggalkan. Namun ia malah memberikan gangguan yang hukumnya

haram dalam Islam” (Mirqatul Mafatih, 8/3126).

5. Orang yang mengganggu tetangga halal untuk dilaknat

Abu Hurairah radhiyallahu „anhu menceritakan: Ada seorang yang mengadu kepada Nabi Saw tentang kezaliman yang dilakukan tetangganya. Setiap kali orang ini mengadu, selalu dinasehatkan oleh

beliau untuk bersabar. Ini dilakukan sampai tiga kali. Sampai pengaduan yang keempat, Nabi Saw memberikan solusi,

“Letakkan semua isi rumahmu di pinggir jalan.”

Orang ini pun melakukannya.

Setiap ada orang yang melewati orang ini, mereka bertanya: “Apa yang terjadi denganmu. (sampai kamu keluarkan isi rumahmu).” Dia menjawab:

“Tetanggaku menggangguku.” Mendengar jawaban ini, setiap orang yang lewat pun mengucapkan: “Semoga Allah melaknatnya!” Sampai

akhirnya tetangga pengganggu itu datang, dia mengiba: “Masukkan kembali barangmu. Demi Allah, saya tidak akan mengganggumu selamanya.” (HR. Ibnu Hibban).

Tidak ada istilah sedikit dalam mengganggu tetangga. Dari Abdah bin Abi Lubabah, bahwa Rasulullah Saw bersabda,

ريق اظرح متاػم ف امع

Bab IX – Akhlak Dalam Bertetangga

Buku Ajar PAI Akhlak 112

“Tidak ada istilah sedikit dalam mengganggu tetangga.” (HR. Ibn Abi

Syaibah dan Ath-Thabrani).

6. Sengketa tetangga, sengketa pertama di akhirat

Dari Uqbah bin Amir ra, Nabi Saw bersabda,

“Sengketa pertama pada hari kiamat adalah sengketa antar tetangga.”

(HR. Ahmad)

Al-Munawi mengatakan,

“Maksud hadis, sengketa antara dua orang yang pertama diputuskan pada hari kiamat adalah sengketa dua orang bertetangga. Yang satu menyakiti lainnya. Sebagai bentuk perhatian besar tentang hak

tetangga, yang dimotivasi oleh syariat untuk diperhatikan.” (At-Taisir bi Syarh al-Jami‟ ash-Shaghir, 1:791)

---

Pertanyaan-Pertanyaan:

1. Coba Saudara jelaskan batasan tetangga!

2. Coba Saudara sebutkan tipe-tipe tetangga dan apa saja hak-haknya masing-masing?

3. Tuliskan dalil ayat Al-Quran dan hadits yang memerintahkan kita harus

berbuat bak kepada tetangga!

4. Sebutkan beberapa contoh etika yang sehat dalam bertetangga!

5. Sebutkan beberapa contoh ancaman yang jelek dengan tetangga lengkapi dengan dalil naqli (ayat Al-Quran atau hadits)!

ل كليل من أذى اجلار

ل خصمي يوم امليامة جاران أو

أي أول خصمي يلىض بينام يوم امليامة جاران أذى أحدىام صاحبو

اىامتما بشأن حق اجلوار الي حث امرشع ػىل رػايخو

113

BAB X

AKHLAK DALAM MENUNTUT ILMU

TUJUAN:

Setelah mengikuti pertemuan ini, mahasiswa diharapkan mampu :

1. Menguraikan definisi ilmu baik secara bahasa maupun istilah

2. Mendeskripsikan etika dalam menuntut ilmu

3. Menjabarkan etika dan tugas murid

4. Menjabarkan tugas pembimbing dan pengajar

A. Urgensi Menuntut Ilmu

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu, sehingga Islam menempatkan orang yang memiliki ilmu pada tempat yang istimewa

dan strategis. Sebaliknya Islam memberikan kecaman terhadap kebodohan dan orang-orang yang enggan untuk menuntut ilmu.

Allah berfirman dalam QS. Al-Mujadalah [58]: 11

Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi

ذا

مك وا حوا ف اممجامس فافسحوا يفسح اللذ ذا كيل مك تفسذين أمنوا ا ا الذ يأيه

ين أوتوا امؼل درجات واللذ ين أمنوا منك والذ الذ وا يرفع اللذ وا فاوش كيل اوش

.لون خبي بما تؼم

Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Buku Ajar PAI Akhlak

114

kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa

derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah memuliakan orang yang berilmu

dan tingginya derajat orang yang berilmu. Ilmu menempatkan kedudukan yang tinggi dan derajat orang yang memilikinya.

Seorang pujangga mengatakan: “Belajar diwaktu kecil bagai

mengukir di atas batu, belajar di waktu besar bagai mengukir di atas air”

Dalam Agama Islam, tidak ada batasan bagi seseorang dalam menimba ilmu. Abdul Hamid M. Djamil (2015) mengatakan: “Islam

menganjurkan pemeluknya untuk menyibukkan dirinya dengan ilmu. Dikarenakan hampir seluruh aktifitas yang dilalui manusia sehari-hari butuh

kepada ilmu.”

Ilmu bukan hanya bermanfaat di dunia bagi pemiliknya, melainkan pahalanya akan terus mengalir meskipun pemiliknya telah meninggal dunia.

Sabda Rasulullah Saw:

“Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya amalan

kebajikan yang pahalanya akan mengiringi seorang mukmin setelah meninggal dunia adalah ilmu yang ia ajarkan kepada orang lain, anak

shaleh yang ia tinggalkan, Al-Quran yang ia wakafkan, masjid yang ia dirikan, rumah yang ia bangun untuk sabilillah, sungai yang ia alirkan airnya, dan sedekah yang ia infaqkan ketika sehat dan sakitnya.

Kesemuanya itu mengiringinya ketika meninggal dunia.” (HR. Ibnu Majah)

Imam Ghazali dalam kitab Ihya „Ulumuddin Bab Ilmu mengatakan,

dunia adalah tanaman bagi akhirat. Orang yang mengamalkan ilmu, dia menanamkan kebahagiaan abadi bagi dirinya, yaitu dengan memperbaiki

ناتو ل وحس ا يلحق اممؤمن من ع نذ ممذأب ىريرة كال كال رسول هللا ا

ثو ا صامحا تركو ومصحفا ورذ ه وول ذمو ووش أو مسجدا بؼد موتو ػلما ػل

ا من مال ف بيل بناه أو نرا أجراه أو صدكة أخرج بناه أو بيتا البن امسذ

صذتو وحياتو يلحلو من بؼد موتو

Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Buku Ajar PAI Akhlak

115

jiwa dan akhlaknya sesuai dengan dengan apa yang diajarkan oleh ilmunya. Dan dia juga menanamkan kebahagiaan abadi bagi orang lain dengan mengajarkan ilmunya. Dia memperbaiki akhlak manusia dan menyeru

kepada mereka dengan ilmunya kepada segala sesuatu yang mendekatkan mereka kepada Allah Swt.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa orang yang berilmu lebih mulia dibandingkan dengan orang yang bodoh. Dengan ilmu, manusia dapat mengantarkan dirinya dan diri orang lain untuk mencapai derajat yang

tinggi.

B. Pengertian Ilmu dan Keutamaan Menuntut Ilmu

Secara bahasa, ilmu berasal dari bahasa Arab yaitu العلم yang berarti

pengetahuan. Kata ilmu, dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata al-„ilmu dalam bahasa Arab. Secara bahasa (etimologi) kata al-„ilmu adalah

bentuk masdar atau kata sifat dari kata `alima–ya`lamu-`ilman. Lawan kata dari al-„ilmu adalah al-jahl (bodoh/tidak tahu). Menurut Abdul Hamid (2015), secara istilah ilmu adalah usaha mempelajari alam semesta secara objektif

dengan mengerahkan pikiran yang menghasilkan kebenaran sesuai dengan kenyataan.

Imam Zamraji dalam makalahnya yang berjudul “Etika menuntut Ilmu dalam Islam” mengutip Tafsir Aisar at-Tafaasir yang menjelaskan tentang ilmu, yaitu:

“Ilmu itu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah, barang siapa yang tidak mengenal Allah, maka dia tidak mempunyai rasa takut pada-

Nya. Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.”

Hal tersebut senada dengan firman Allah dalam QS. Fathir [35]: 28:

ية سبيل امؼل ية فل بلل ل ػل ال فمن امخش ذما ل خش هش ا من هللا ي

امؼلماء غباده

من ش اللذ ذما ي ههؼام مختلف أمواهو كذل ا واب وال ومن امنذاس والذ

غزيز غفور نذ اللذ .غباده امؼلماء ا

Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Buku Ajar PAI Akhlak

116

“dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-

Nya, hanyalah ulama sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Ulama dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah. Menurut Quraish Syihab (1992), jika dikembalikan kepada Al-Quran, maka yang disebut orang „alim ialah orang yang

pengetahuannya menimbulkan sifat khasyyah (takut) kepada Allah. Ada korelasi antara ilmu dengan khasyyah, karena keberagamaan itu inheren dengan ilmu. Sehingga dapat dikatakan bahwa hanya orang berilmulah yang

dapat mencapai puncak khasyyah kepada Allah. Dengan demikian, jika ada orang berilmu namun tidak memiliki sikap keberagamaan yang kokoh,

berarti ilmunya tidak bermanfaat. Bahkan, orang yang berilmu namun melepaskan tanggungjawabnya karena mengikuti hawa nafsu, dalam Al-Quran diumpamakan seperti seekor anjing yang tetap menjulurkan lidahnya,

baik dihalau maupun dibiarkan. Allah berfirman surat Al-A‟raf [7]: 175-176:

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan

kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai

Dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa

nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia

mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.”

Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Buku Ajar PAI Akhlak

117

Menurut Quraish Shihab (1992), Al-Quran sebagai kitab petunjuk yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan di akhirat, dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, adalah

mendorong manusia seluruhnya untuk menggunakan akal pikirannya serta menambah ilmu pengetahuannya sebisa mungkin.

Ditinjau dari subjeknya, ilmu dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian: Pertama, ilmu yang diperoleh melalui usaha (al-muktasab), seperti ilmu yang dimiliki manusia. Untuk memeroleh sebuah ilmu, manusia harus

berusaha untuk menggalinya. Usaha dimaksud baik dengan cara berguru, membaca, ataupun melalui cara lain yang bersifat usaha. Kedua, ilmu yang diperoleh bukan dari usaha (ghairu al-muktasab), seperti ilmu Allah, ilmu

para Rasul, dan ilmu para Malaikat. Untuk memeroleh ilmu, mereka tidak perlu belajar, membaca atau menulis, seperti halnya manusia.

Sementara, dilihat dari segi objeknya, ilmu digolongkan ke dalam dua golongan. Pertama, ilmu nadzari adalah ilmu yang didapatkan seseorang melalui proses penelitian. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Thomas

Alva Edison dalam membuat bola lampu pijar. Kedua, ilmu zhahuri ialah ilmu yang diperoleh seseorang dengan tidak melakukan penelitian. Bahkan, ilmu

yang bersifat zhahuri ini akan secara otomatis diketahui manusia meskipun tidak belajar, seperti mengetahui bahwa api itu panas, es itu dingin, dan gula itu rasanya manis.

Allah menjelaskan dalam firman-Nya pada QS. Al-Mujadalah [58]: 11, bahwa sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu.

Rasulullah Saw bersabda :

”Manusia yang paling dekat dengan derajat kenabian adalah ahli ilmu dan

ahli jihad. Ahli ilmu menunjukkan manusia kepada sesuatu yang dibawa oleh para rasul, sementara ahli jihad dengan pedang mereka berdasarkan sesuatu (tuntunan) yang dibawa oleh para rasul.” (HR. Dzahabi)

اكرب امناس من درجة امنبوة اىل امؼل و اىل اجلياد, اما اىل امؼل فدموا

امناس ػىل جاءت بو امرسل, و اما اىل اجلياد جفاىدوا بأس يافيم ػىل ما

جاءت بو امرسل

Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Buku Ajar PAI Akhlak

118

Ilmu merupakan sarana utama menuju kebahagiaan abadi. Ilmu merupakan pondasi utama sebelum berkata-kata dan berbuat. Dengan ilmu, manusia dapat memiliki peradaban dan kebudayaan. Dengan ilmu, manusia

dapat memeroleh kehidupan dunia, dan dengan ilmu pula, manusia menggapai kehidupan akhirat.

Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Mukhtashar Ihya „Ulumuddin (2014), Ilmu merupakan kehidupan bagi hati yang mengalami kebutaan, cahaya bagi penglihatan dari kegelapan dan kekuatan bagi tubuh dari

kelemahan. Dari ilmu, seorang hamba akan mencapai kedudukan orang-orang yang taat dan mencapai derajat yang tinggi. Pahala memikirkan ilmu setara dengan pahala berpuasa, sedangkan pahala mempelajari ilmu

sepadan dengan pahala qiyamullail.

Untuk memeroleh ilmu manusia harus belajar atau dengan kata lain

menuntut ilmu.

Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda: “Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)

Menuntut ilmu tidaklah mudah, tetapi juga tidak sulit. Dalam

menuntut ilmu dibutuhkan keyakinan, kesabaran, kesungguhan, dan pengorbanan. Kita harus meyakini bahwa kita pasti bisa memahami suatu

ilmu/pelajaran. Kita harus bersabar, karena untuk memahami suatu ilmu sampai tuntas memerlukan waktu yang lama. Kita harus sungguh-sungguh, karena hanya dengan kesungguhan suatu ilmu dapat kita miliki. Kita harus

mempunyai jiwa berkorban, karena untuk meraih ilmu perlu tenaga dan biaya. Akan tetapi pengorbanan yang dilakukan untuk menuntut ilmu jaminannya adalah surga, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

Abi Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang berjalan di suatu jalan untuk menuntut ilmu pengetahuan, Allah akan memudahkan

baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)

Sabda Rasulullah tersebut di atas menjelaskan bahwa orang yang

: ظلب امؼل فريضة ػىل ك مسل …أوس بن مال كال: كال رسول اللذ

أب ىريرة، كال: كال رسول هللا: ومن سل ظريلا يلتمس فيو ػلما،

ل امجنذة، سيذل هللا ل بو ظريلا ا

Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Buku Ajar PAI Akhlak

119

menuntut ilmu akan mendapat jaminan surga dari Allah Swt. Hal tersebut akan didapatinya jika menuntut ilmu dengan tujuan mencari keridaan Allah.

C. Etika dalam menuntut Illmu

Seorang muslim mengharapkan dalam menuntut ilmu itu tidak mengalami kegagalan. Oleh karena itu, Islam telah membuat rambu-rambu

dalam menuntut ilmu. Jika penuntut ilmu itu mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam Islam, maka hal tersebut dapat meminimalisir kegagalan dalam menuntut ilmu.

Imam Zamraji (2015) dalam makalahnya yang berjudul “Etika Menuntut Ilmu Dalam Islam”, mengungkapkan ada beberapa kiat dan jalan menuju kesuksesan dalam menuntut ilmu berdasarkan nash-nash Al-Quran,

hadits, di samping penjelasan dan contoh dari para ulama, yaitu:

1. Ikhlas

Ikhlas merupakan kunci sukses yang pertama dan mendasar dalam upaya seseorang mewujudkan cita-citanya meraih ilmu yang bermanfaat. Karena hanya dengan dasar ikhlas, segala tindakan kebaikan yang

dilakukan akan menjadi amal shalih yang layak mendapatkan balasan kebaikan dari Allah, Tuhan semesta alam. Hal tersebut sesuai dengan

QS. Al-Bayyinah ayat 5 yang berbunyi :

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama

yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”

Abi Hurairah berkata, Rasulullah Saw bersabda:

”Barangsiapa yang mempelajari ilmu untuk membanggakan diri di

hadapan para ulama, mempermainkan diri orang-orang bodoh dan

فياء، ويصف بو امؼل ميباه بو امؼلماء، وياري بو امسه من تؼلذ

ميو، أدخل جنذ وجوه امنذاس ا اللذ

Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Buku Ajar PAI Akhlak

120

dengan itu wajah orang-orang berpaling kepadanya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka Jahannam.” (HR. Ibn Majah)

2. Berdoa

Dalam Islam, seorang penuntut ilmu disamping didorong untuk berusaha Allah Swt memerintahkan kepada penuntut ilmu untuk berdo‟a

dengan do‟a. Sebagaimana dalam firman Allah dalam QS. Thaha [20]: 114:

Maka Maha Tinggi Allah raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah

kamu tergesa-gesa membaca Al-Quran sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya Tuhanku,

tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan."

Rasulullah juga mengajarkan sebuah doa khusus bagi para penuntut ilmu.

Jabir Abdillah berkata, Rasulullah Saw bersabda: ”Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan aku berlindung

kepada Engkau dari (mendapatkan) ilmu yang tidak bermanfaat.” (HR. Al-Nasa‟i)

3. Bersungguh-Sungguh

Termasuk juga kunci sukses dalam menuntut ilmu adalah bersungguh-sungguh dan diniatkan untuk mencari keridhaan Allah. Hal

ini sebagaimana yang dijelaskan Allah Swt dalam QS. Al-Ankabut [29]: 69,

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-

: رسول كال كال: جابر سلوا اللذ ذوا نفؼا، ػلما اللذ وتؼوذ ػل من بللذ

ينفع ال

Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Buku Ajar PAI Akhlak

121

benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”

Seorang penuntut ilmu memerlukan kesungguhan. Tidak layak para penuntut ilmu bermalas-malasan dalam mencarinya. Kita akan

mendapatkan ilmu yang bermanfaat dengan izin Allah-apabila kita bersungguh-sungguh dalam menuntutnya. Sebab, jika seorang penuntut ilmu malas, maka ia tidak akan mendapatkan ilmu yang dicarinya.

Maka tak heran jika para ulama terdahulu selalu bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Dalam makalahnya, Zamrani mengangkat sebuah kisah Imam Syafi‟i rahimahullah dalam menuntut ilmu. Beliau

berasal dari keluarga yang fakir, namun hal itu tidak dianggap aib oleh beliau. Justru sebaliknya, itu dijadikan sebagai kekuatan yang dapat

mendorongnya untuk senantiasa menuntut ilmu. Imam Syafi‟i, sebagaimana yang dikisahkan Humaidi, pernah bercerita:

“Aku adalah seorang anak yatim yang berada dalam pengayoman ibu, ia

selalu mendorongku untuk hadir ke majelis ilmu. Guru sangat sayang pada aku, sampai-sampai aku menempati tempatnya ketika ia berdiri.

Tatkala aku sudah merapikan Al-Quran, kemudian aku masuk ke dalam masjid dan duduk bersama para ulama. Di sana aku mendengarkan hadits beserta rinciannya kemudian aku hafal semuanya. Ibuku tidak

dapat memberikan kepadaku sesuatu yang dengannya aku dapat belikan kertas. Aku melihat tulang maka aku ambil, kemudian aku menulisnya, tatkala sudah penuh, maka aku menghafalnya sekuat tenagaku”.

4. Menjauhi Kemaksiatan

Syarat lain bagi penuntut ilmu yang ingin sukses adalah menjauhi

kemaksiatan. Syarat ini merupakan syarat unik yang hanya dimiliki oleh agama Islam. Pengaruh kemaksiatan terhadap terhalangnya ilmu pernah terbukti menimpa Imam Syafi‟i. Hal ini terlihat dari pengaduan Imam

Syafi‟i kepada salah seorang gurunya yang bernama Waki‟. Kisah ini diceritakan Imam Syafi‟i dalam sebuah syair berikut:

ل شكوت ا ل ن فأرشـد حفظي سوء وكيـع

كال: املؼـاصيو تـرك ا

غـاص يؤاته ال هللا وفضل هـــــور امؼل بأنذ اػل

Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Buku Ajar PAI Akhlak

122

”Aku mengadu kepada guruku bernama Waqi‟, tentang jeleknya hafalanku, maka ia memberikan petunjuk kepadaku agar meninggalkan kemaksiatan. Karena sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya

Allah itu tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat”

5. Tidak Malu dan Tidak Sombong

Sombong dan malu menyebabkan pelakunya tidak akan mendapatkan ilmu selama kedua sifat itu masih ada dalam dalam dirinya. Ummul Mukminin „Aisyah ra. pernah berkata tentang sifat malu

para wanita Anshar:

“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu agama.” (HR. Bukhari)

Artinya sekalipun wanita Anshar merupakan sekelompok perempuan yang memiliki rasa malu yang tinggi sebagai cerminan keimanan mereka, namun itu tidak berlaku dalam menuntut ilmu. Sebab,

rasa malu dalam menuntut ilmu dapat menyebabkan kekeliruan atau ketidakjelasan. Seseorang yang malu bertanya dalam menuntut ilmu

akan menyebabkan ia tidak mendapatkan penjelasan dari hal-hal yang masih samar atau meragukan baginya. Karena itu agar seorang penuntut ilmu mendapatkan penjelasan yang terang dan ilmu yang pasti, maka ia

harus memberanikan diri bertanya mengenai permasalahan yang belum jelas ataupun belum meyakinkan bagi dirinya.

Sementara mengenai larangan sombong, Allah Swt jelaskan

dalam QS. Al-Baqarah [2]: 34, yang artinya:

Dan ingatlah ketika Kami berfirman kepada para malaikat: Sujudlah kamu

kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali Iblis, ia enggan dan takabbur dan adalah ia termasuk golongan orang–orang yang kafir.“

Kesombongan dalam menuntut ilmu dilarang, karena akan menyebabkan tertolaknya kebenaran. Seorang yang sombong akan

ساء هؼم ين ف يتفلذين أن احلياء يمنؼينذ مم الهصار وساء امن ال

Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Buku Ajar PAI Akhlak

123

cenderung merendahkan manusia lainnya dan menolak kebenaran, sehingga ia akan kesulitan untuk mendapatkan guru dan ilmu. Orang sombong akan merasa dirinya selalu lebih baik dari pada orang lain,

sehingga tidak lagi memerlukan tambahan ilmu. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah dalam salah satu sabdanya:

”Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”

(HR. Muslim dari sahabat Ibn Mas‟ud ra)

6. Mengamalkan dan Menyebarkan Ilmu

Di dalam ajaran Islam, ada tiga perintah yang saling bertautan

kepada para penuntut ilmu. Perintah itu adalah mencari ilmu, mengamalkan dan menyampaikannya kepada orang lain. Trilogi

menuntut ilmu ini tidak boleh lepas dari diri seseorang, sebab antara satu dengan yang lainnya mempunyai shilah (hubungan) yang erat. Islam mensyariatkan wajibnya menuntut ilmu atas setiap Muslim. Di sisi lain, ia

juga memerintahkan agar ilmu yang sudah diketahui harus diamalkan dan didakwahkan kepada orang lain. Banyak ayat dan hadits yang

menjelaskan keutamaan orang yang mengamalkan ilmu dan mendakwahkannya. Banyak pula nushûsh yang berbicara tentang ancaman orang yang tidak mau mengamalkan dan mendakwahkan

ilmunya. Mengenai keutamaan mendakwahkan ilmu, misalnya dapat disimak dari sabda Nabi Saw berikut ini:

”Siapa orang yang menunjukkan kebaikan, maka baginya pahala seperti

orang yang melakukkannya.” (HR. Tirmidzi dari sahabat Abi Mas‟ud ra)

Dalam hadits di atas, Rasulullah memberikan dorongan berupa

janji pahala bagi orang yang mengajarkan ilmunya. Pahala itu berupa kebaikan semisal kebaikan yang didapat oleh orang yang diajari ilmu

olehnya dari ilmunya itu.

ط احلق بعر امكب امنذاس وغ

فاػل أجر مثل فل خي ػىل دلذ من

Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Buku Ajar PAI Akhlak

124

D. Kriteria Orang Berilmu

Menurut Islam, seorang yang berilmu bukan hanya dilihat dari luasnya ilmu yang dimiliki, melainkan dilihat juga dari sifat atau tingkah

lakunya. Jika seseorang memiliki ilmu pengetahuan yang sangat luas, tetapi akhlak dan budi pekertinya masih seperti orang yang tidak berilmu, atau

bahkan lebih dari itu, maka orang seperti itu belum bisa dikategorikan sebagai orang yang berilmu.

Menurut Abdul Hamid M. Djamil (2015), sifat yang harus dimiliki oleh

orang yang berilmu adalah :

1. Bertanggung Jawab

Orang yang berilmu harus bertanggung jawab dalam menjaga

ilmu yang sudah dimilikinya sesuai dengan ketentuan syariat. Salah satu tanggung jawab yang dibebankan syariat ialah menjaga ilmu yng telah

dimiliki agar tidak hilang. Agar ilmu tidak mudah hilang, maka cara yang dapat ditempuh di antaranya adalah:

a. Sering diulang-ulang

Mengulang-ulang ilmu yang sudah dimiliki adalah bagian bentuk mensyukuri nikmat Allah. Dengan mengkaji ulang berarti

seseorang telah berusaha menjaga ilmu yang telah dipelajarinya. Ketika nikmat pengetahuan (ilmu) telah dilupakan, karena tidak pernah dikaji ulang, maka secara tidak langsung dia sudah mengkufuri

nikmat pengetahuan yang diberikan kepadanya.

b. Beramal dengan ilmu yang ada

Salah satu cara meraih keberkahan ilmu adalah dengan

beramal. Seseorang yang berbuat kebajikan dengan ilmunya, maka Allah akan mewariskan ilmu lain padanya yang tidak ia pelajari.

Beramal dengan ilmu yang sudah dimiliki ada banyak faedahnya. Beramal dengan ilmu yang sudah diketahui akan lebih membekas dalam otak sesorang ketimbang menghapalnya. Para ulama

memberikan gambaran tentang ciri-ciri orang yang beramal dengan ilmunya. Mereka adalah orang yang menjaga diri dari makanan

haram, menjauhkan perbuatan syubhat, bergaul dengan masyarakat dengan sikap yang santun, tutur katanya lembut, dan tidak mencerca orang lain ketika terdapat sebuah kesalahan.

Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Buku Ajar PAI Akhlak

125

2. Tidak menyembunyikan Ilmu

Menyembunyikan ilmu dengan arti tidak mau mentransferkan ilmu tersebut kepada orang yang membutuhkan. Menyembunyikan

sesuatu dengan menutup-nutupi, menghilangkannya atau meletakkan objek lain pada sesuatu yang dihilangkan itu. Menyembunyikan suatu

ilmu (Kitman al-ilm) merupakan sifat yang tercela. Sebuah sifat yang sangat dibenci oleh syariat. Sehingga pelakunya dijanjikan akan dicambuk pada hari kiamat. Pribadi yang menyembunyikan ilmu tidak

ingin orang lain mengetahui apa yang dia ketahui. Ilmunya merasa berkurang jika diberikan kepada orang lain. Orang-orang seperti ini adalah bagian dari manusia yang dilaknat Allah, sebagaimana firman

Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 159:

“Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah

Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al

Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati.”

3. Tawadlu (Rendah hati)

Tawadlu diartikan dengan rendah hati. Secara istilah tawadlu memiliki arti menerima kebenaran dari segala sisi. Sifat tawadlu ditinjau dari dua arah, yaitu hubungan manusia dengan Rabb-nya (vertical) dan

hubungan dengan sesamanya (horizontal). Syarat bertawadlu adalah ikhlas dan sanggup untuk bertawadlu. Tawadlu adalah sikap yang lahir

secara otomatis pada diri seseorang setelah segala syarat-syarat tawadlu terpenuhi.

Tawadlu terbagi menjadi dua, yaitu tawadlu yang sifatnya

terpuji dan tawadlu yang sifatnya tercela. Tawadlu terpuji adalah bertawadlu karena Allah, serta menghilangkan sifat sombong dan tidak

merendahkan orang lain. Sedangkan tawadlu tercela adalah bertawadlu kepada selain Allah. Seperti menghina diri di depan orang kaya agar mendapat harta, menghina diri di hadapan penguasa supaya diberi

jabatan, dan merendahkan hati di depan manusia agar dipuji-puji.

Bab X – Akhlak Dalam Menuntut Ilmu

Buku Ajar PAI Akhlak

126

Tawadlu hanya diperdapatkan pada empat hal: dalam mengerjakan perintah Allah, dalam berpakaian, tawadlu orang berilmu dengan ilmu yang dimilikinya, dan tawadlu seorang pelajar terhadap

ilmu yang digalinya.

---

Pertanyaan-Pertanyaan :

1. Allah telah berjanji akan mengangkat derajat orang yang berilmu, tuliskan

ayat Al-Quran tentang itu, lengkap dengan artinya !

2. Jelaskan pembagian ilmu ditinjau dari segi subyek dan objeknya, penjelasan agar dilengkapi dengan contoh!

3. Islam telah menetapkan rambu-rambu dalam menuntut ilmu yang jika rambu-rambu tersebut diikuti, maka kita tidak akan gagal dalam

menuntut ilmu. Coba Saudara jelaskan rambu-rambu tersebut!

4. Mengapa seorang murid harus menghormati dan memuliakan gurunya? Uraikan penjelasan Saudara!

5. Mengapa hak guru lebih besar terhadap muridnya daripada hak orangtua

kepada anaknya? Uraikan penjelasan Saudara!

127

BAB XI

PRINSIP-PRINSIP BISNIS DALAM ISLAM

A. Terminologi Bisnis dalam Al-Quran

Ada beberapa teminologi Al-Quran yang berkaitan dengan konsep

bisnis. Kata bisnis dalam Al-Quran biasanya digunakan: “Al Tijarah, Al Bai‟u, Tadayantum, Isytara”. Tijarah berawal dari kata dasar “Ta-Tim-Ra”, Tajara, Tajran wa Tijaratan, yang bermakna berdagang, berniaga. “Al Tijaratun wal

Mutjar”, perdagangan atau perniagaan. “Al Tijariyyu wal Mutjariyyu”, yang berarti mengenai perdagangan atau perniagaan (Kamus Al-Munawwir).

Dalam Al-Qur‟an terma “Tijarah” ditemukan delapan kali (QS. Al-Baqarah [2]: 282; QS. an-Nisa [4]: 29; QS. at-Taubah [9]: 24; QS. al-Nur [24]: 37; QS. Fatir [35]: 29; QS. al-Shaff [61]: 10; pada surat al-Jum‟ah

[62]: 11, disebut dua kali) dan “Tijaratuhum” sebanyak satu kali (QS. Al-Baqarah [2]: 16).

Penggunaan kata Tijarah pada ayat-ayat di atas terdapat dua macam pemahaman. Pertama, dipahami dengan perdagangan yaitu pada surat Al-Baqarah [2]: 282. Kedua, dipahami dengan perniagaan dalam

pengertian umum. Term bisnis dalam Al-Qur‟an dari Tijarah pada hakikatnya tidak semata-mata bersifat material dan hanya bertujuan mencari keuntungan material atau kuantitas semata tetapi bersifat material

sekaligus immaterial. Bahkan, lebih meliputi dan mengutamakan hal yang bersifat immaterial dan kualitas. Aktivitas bisnis tidak hanya dilakukan

semata manusia tetapi juga dilakukan antara manusia dengan Allah Swt. Bisnis harus dilakukan dengan ketelitian dan kecermatan dalam proses administrasi dan perjanjian-perjanjian, dan tidak boleh dilakukan dengan

cara penipuan, dan kebohongan hanya demi memperoleh keuntungan.

Dalam ekonomi kapitalis, dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh

pihak swasta, bisnis dibentuk untuk mendapatkan profit dan meningkatkan

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

128 Buku Ajar PAI Akhlak

kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan operator dari sebuah bisnis mendapatkan imbalan sesuai dengan waktu, usaha, atau kapital yang

mereka berikan. Namun tidak semua bisnis mengejar keuntungan seperti ini, misalnya bisnis koperatif yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya atau institusi pemerintah yang bertujuan meningkatkan

kesejahteraan rakyat. Model bisnis seperti ini kontras dengan sistem sosialistik, dimana bisnis besar kebanyakan dimiliki oleh pemerintah,

masyarakat umum, atau serikat pekerja.

B. Landasan Normatif

Berbagai penyimpangan dalam dunia bisnis banyak sekali terjadi

dewasa ini, seperti kecurangan, kejahatan, penipuan, dan berbagai macam lainnya. Kasus korupsi yang marak terjadi dan masih banyak

penyimpangan lainnya yang tidak sesuai dengan akhlak Islam dalam berbisnis, padahal mayoritas pelaku bisnisnya beragama Islam.

Secara umum permasalahan-permasalahan tersebut dapat

dikategorikan dalam:

1. Kurangnnya pengertian atas dasar hukum bisnis dalam Islam.

2. Tidak mengimplementasikan prinsip-prinsip akhlak Islam dalam bisnis.

3. Tidak mengetahui langkah secara islami yang benar dalam memeroleh kesuksesan dalam bisnis.

Yang menjadi dasar hukum bisnis dalam Islam adalah kewajiban seorang Muslim dalam berusaha, dituntut agar tidak mementingkan kehidupan akhirat saja, atau duniawi saja, tetapi ditengah-tengah antara

keduanya. Sebagai seorang Muslim kita tidak boleh berpangku tangan, bermalas-malasan dan tidak mau mencari rezeki, karena setiap muslim

tertanggung suatu beban terhadap orang-orang yang berada di bawahnya, sebagaimana Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 233, disebutkan:

“… kewajiban seorang ayah memberi makan dan pakaian kepada mereka

dengan cara yang ma‟ruf… “. (QS. Al-Baqarah [2]: 233)

C. Prinsip-Prinsip Bisnis Dalam Islam

1. Prinsip Ketuhanan/Tauhid

Bisnis dalam Islam adalah bisnis yang berdasarkan kebutuhan. Bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah dan menggunakan

sarana yang tidak lepas dari syari‟at Allah. Aktifitas seperti produksi,

… ...

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak 129

distribusi, konsumsi, tidak lepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir untuk Tuhan. Kalau seorang muslim bekerja dalam bidang produksi

maka itu tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah. (Al-Mulk [67]: 15).

Islam menggarisbawahi bahwa kebutuhan-kebutuhan pokok

manusia tidak boleh dimonopoli oleh seseorang atau satu kelompok. Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Manusia memiliki hak dalam air, api,

garam, dan rumput”

Uang dan harta benda yang dianugerahkan Allah merupakan cobaan, apakah manusia melaksanakan fungsi sosial dari harta tersebut

atau tidak. Uang atau harta dinilai oleh Allah sebagai “qiyaman” (sarana pokok kehidupan). Karenanya Islam tidak membenarkan adanya uang

atau harta yang tidak dimanfaatkan, tetapi harus digunakan pada tempatnya secara baik dan tidak boros.

Uang dan harta yang banyak oleh Al-Quran disebut “khair” (QS.

Al-Baqarah [2]: 180), yang artinya “kebaikan”. Artinya harta kekayaan adalah sesuatu yang dinilai baik, juga mengisyaratkan bahwa perolehan dan penggunaannya harus pula baik. Al-Quran tidak pernah

menggunakan kata “maluka” (hartamu), tetapi mengaitkannya dengan yang lain, misalnya ”mal Allah” (harta Allah), “amwal al-yatama” (harta

anak yatim), atau “amwalukum” (harta-harta kamu). Sebutan tersebut menunjukkan bahwa uang atau harta menjadi obyek kegiatan manusia. Uang atau harta harus memiliki fungsi sosial, yang harus dijalankan

sesuai dengan aturan-aturan Islam. Oleh karenanya, prinsip tauhid yang direfleksikan dalam kejujuran, ketelitian, dan “wara” menjadi kunci

utama dalam bisnis yang islami.

Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk meyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggaman

tangannya adalah milik Allah, yang antara lain dipertahankan oleh pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yang membutuhkannya. (QS. Al-Nur [24]: 33).

Dalam pandangan Islam, harta kekayaan bahkan segala sesuatu adalah milik Allah. Hasil-hasil produksi dapat menghasilkan uang dan

harta tidak lain adalah hasil rekayasa manusia dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Allah.

Keberhasilan para pengusaha bukan hanya disebabkan oleh hasil

usahanya sendiri, tetapi juga terdapat partisipasi orang lain. Para pengusaha membutuhkan pembeli agar hasil produksinya terjual, petani

membutuhkan irigasi demi kesuburan pertaniannya, dan masih banyak lagi. Sehingga wajar jika Allah memerintahkan manusia untuk

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

130 Buku Ajar PAI Akhlak

menyisihkan sebagian dari apa yang berada dalam genggamannya demi kepentingan masyarakat.

Tauhid yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia dan akhirat, mengantarkan seorang pengusaha untuk tidak hanya mengejar keuntungan material saja, tetapi keuntungan yang lebih kekal abadi.

Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuan umat manusia mengantarkan seorang pengusaha muslim untuk

menghindari segala bentuk eksplorasi terhadap sesama manusia. Islam bukan saja melarang praktik riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walau terselubung, bahkan sampai kepada larangan menawarkan

barang pada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain. (M. Quraish Shihab, 2005: 411)

2. Prinsip Etika

Yang membedakan Islam dengan materialisme adalah Islam tidak pernah memisahkan bisnis dengan etika, sebagaimana tidak

memisahkan ilmu dengan akhlak, politik dengan etika. Islam adalah risalah yang diturunkan Allah melalui Rasul untuk membenahi akhlak manusia.

Islam juga tidak memisahkan agama dengan negara dan materi dengan spiritual sebagaimana yang dilakukan Eropa dengan konsep

sekularismenya. Islam juga berbeda dengan konsep kapitalisme yang memisahkan akhlak dengan ekonomi.

Kebebasan dalam berbisnis mengantarkan manusia untuk mencari

keuntungan yang sebesar-besarnya bukanlah kebebasan mutlak dalam menginvestasikan modalnya atau membelanjakan hartanya. Kebebasan

bagi Muslim harus mengantarkan pada keyakinan bahwa Allah Swt. memiliki kebebasan mutlak. Namun Dia juga menganugerahkan kepada manusia kebebasan memilih dua jalan yang terbentang dihadapannya,

baik dan buruk. Masyarakat Muslim tidak bebas tanpa kendali dalam memproduksi segala sumber daya alam, mendistribusikannya, atau menkonsumsikannya. Ia terikat dengan buhul akidah dan etika mulia,

disamping dengan hukum-hukum Allah. Prinsip ini kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab, baik secara individu maupun kolektif. Dalam

konteks ini, Islam memperkenalkan konsep “fardlu „ain” dan “fardlu kifayah”.

Atas prinsip ini, para pakar ekonomi non-muslim mengakui

keunggulan sistem ekonomi Islam. Menurut mereka, Islam telah sukses menggabungkan etika dan ekonomi, sementara sistem kapitalis dan

sosialis memisahkan keduanya.

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak 131

J. Perth mengatakan bahwa kombinasi antara ekonomi dan etika ini bukanlah hal baru di dalam Islam. Sejak semula Islam tidak mengenal

pemisahan jasmani dengan rohani. Prinsip sekularisme yang dilahirkan kaum Protestan dengan renaisansnya di Eropa tidak dikenal dalam sejarah Islam. Sebab, keuniversalan syari‟at Islam melarang

berkembangnya ekonomi tanpa etika.

Beberapa etika bisnis yang mesti dimengerti dan diamalkan oleh

setiap Muslim, sebagaimana dikutip dari Muhammad Khair Fatimah, (2002: 315), sebagai berikut:

1) Membaguskan niat dalam berdagang. Jika berdagang itu diniati

untuk menyediakan kebutuhan orang-orang yang memerlukan, menafkahi keluarga dan sebagai sarana untuk dakwah, maka hal itu

tak ubahnya bagaikan berjihad di jalan Allah. Diriwayatkan dari Anas ra, dia berkata,:

Rasulullah, melihat para sahabat bekerja dengan

rajin dan giat. Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah ini termasuk bagian dari jihad?” Rasulullah menjawab, “Jika usaha itu untuk anaknya yang kecil,

orang tuanya, juga dirinya sendiri, maka itu termasuk jihad di jalan Allah. Namun jika dia berusaha karena

riya‟ dan kesombangan, itu adalah jihad di jalan setan.” (HR.Thabrani dan Baihaqi)

2) Hendaknya kerinduan terhadap dunia tidak mengalahkan kerinduan

akhirat. Keinduan akhirat ada di masjid-masjid, maka seyogyanya seorang Muslim menjadikan awal perjalanan harinya kepada waktu

untuk masuk kerinduan akhirat, membiasakan wirid-wirid, dzikir dan membaca salawat. Orang-orang sholeh terdahulu menjadikan awal dan akhir harinya untuk akhirat dan tengahnya untuk berdagang.

Ketika mendengar adzan dzuhur dan ashar, hendaknya meninggalkan perniagaan untuk melaksanakan kewajiban. Allah subhanahu wa ta‟ala berfirman:

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan

(dari) membayar zakat, mereka takut pada suatu hari yang (dihari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”.

3) Hendaknya membiasakan berdzikir, tidak terlalu rakus terhadap harta, tidak termasuk orang yang paling awal akhir masuk pasar,

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

132 Buku Ajar PAI Akhlak

4) Hendaknya mencari rezeki yang halal, diriwayatkan dari Nu‟man bin Bashir bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Halal itu sudah jelas dan haram itu sudah jelas, dan diantara keduanya adalah subhat”. (HR Bukhari dan Muslim).

Allah berfirman:

“Hai Rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-

baik dan kerjakanlah Amal sholeh”. (QS. Al-Mukminun: 51)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah Saw.:

“Hai sekalian manusia, Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik.”

5) Kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis

Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan

Bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta‟awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material

semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.

6) Tidak menimbun barang karena diharamkan, Diriwayatkan dari Umar ra.:

”Barang siapa menimbun barang (makanan) selama

40 hari dia telah berlepasdiri dari Allah dan Allah berlepas darinya”. (HR. Ahmad dan Hakim).

“Tidak ada orang yang menimbun barang kecuali orang yang berdosa” (HR. Muslim).

Ihtikar adalah menimbun barang dan menyimpannya yang sangat

dibutuhknan manusia agar dia bisa memainkan harga pada waktu itu.

7) Tidak curang dan berbohong dalam berdagang. Diriwayatkan bahwa

Rasulullah bersabda:

“Tidaklah halal bagi seseorang menjual sesuatu

kecuali menjelaskan apa yang dijual sebenarnya” (HR. Hakim dan Baihaqi).

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak 133

Al-Gisy adalah menampakkan sesuatu berlawanan dengan sebenarnya dengan tanpa memberitahu pembeli.

“Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (HR. Al-Quzwani).

“Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (HR. Muslim).

Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.

8) Tidak bersumpah hanya karena barangnya ingin laku. Diriwayatkan dari Qatadah ra. bahwa dia mendengar Rasul Saw. bersabda:

“Takutlah banyak bersumpah dalam berdagang karena itu akan membinasakan”. (HR. Muslim).

Yang bersumpah tentu sudah yakin dan tahu atas kebohongannya

dan ini termasuk sumpah palsu, yitu termasuk dosa besar yang mewajibkan pelakunya untuk bertaubat.

9) Tidak boleh mengurangi timbangan dan takaran. Allah berfirman

“Dan sempurnakalah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar, itulah

yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Isra [17]: 35)

10) Tidak boleh memuji berlebihan terhadap barang yang dijual dari apa

yang sebenarnya karena itu termasuk dosa dan bohong. Dari Abu Sa‟id ra., dia berkata, Rasulullah Saw. bersabda:

“Pedagang yang jujur dan terpercaya akan bersama dengan Nabi, Shiddiqin, dan Syuhada.” (HR. Tirmidzi).

11) Tidak boleh menipu dan mengelabui.

12) Tidak duduk dijalanan orang-orang Muslim, mempersempit jalan karena jual beli dan hendaknya tidak mengeraskan suara di jalanan.

13) Rela dengan laba yang sedikit, karena itu akan mengundang kepada kecintaan manusia dan menarik banyak pelanggan dan

mendapatkan berkah dalam rezeki.

14) Tidak boleh melakukan amaliyah riba. Allah SWT berfirman:

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

134 Buku Ajar PAI Akhlak

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)

Diriwayatkan bahwa Rasulullah melaknat pemakai riba, wakilnya, penulisnya, serta saksinya, kemudia bersabda: “Mereka itu sama”.

15) Tidak menjual barang-barang terlarang, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, dia juga mengharamkan harganya.” (HR. Ahmad dan

Abu Dawud).

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan

“patung-patung” (HR. Jabir).

Maka dari itu menjual minuman keras dan segala yang diharamkan

itu dilarang keras dalam Islam.

16) Menentukan harga dan proses jual beli yang baik. Allah SWT. berfirman:

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian/semua hutang) itu, lebih baik bagi

kalian, jika kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 280)

17) Tidak menjual barang yang baru atau sedang ditawar orang lain.

18) Bagi pegawai dan pekerja tidak boleh terlambat waktu.

19) Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan

Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman,

janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis

yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu” (QS. Al-Nisa [4]: 29).

20) Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya.

Rasulullah memuji seorang muslim yang memiliki perhatian serius dalam pelunasan hutangnya.

Sabda Nabi Saw, “Sebaik-baik kamu, adalah orang

yang paling segera membayar hutangnya” (HR. Hakim).

21) Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditor) yang belum mampu membayar.

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak 135

Sabda Nabi Saw, “Barang siapa yang menangguhkan orang yang kesulitan membayar hutang atau

membebaskannya, Allah akan memberinya naungan di bawah naunganNya pada hari yang tak ada naungan kecuali naungan-Nya” (HR. Muslim).

22) Bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba.

Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman,

tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman (QS. Al-Baqarah: 278). Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. Al-Baqarah

[2]: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.

23) Tidak Melakukan Sumpah Palsu.

Nabi Muhammad Saw sangat intens melarang para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis.

Nabi bersabda, “Dengan melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah” (HR. Bukhari)

Dalam hadis riwayat Abu Zar, Rasulullah Saw mengancam dengan azab yang pedih bagi orang

yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti di hari kiamat (HR. Muslim).

24) Ramah-tamah.

Nabi Muhammad Saw mengatakan, “Allah

merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis” (HR. Bukhari dan Tirmidzi).

25) Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi, agar orang

lain tertarik membeli dengan harga tersebut

Sabda Nabi Muhammad, “Janganlah kalian melakukan BISNIS NAJSYA (seorang pembeli

tertentu, berkolusi dengan penjual untuk menaikkan harga, bukan dengan niat untuk membeli, tetapi agar

menarik orang lain untuk membeli).

26) Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya.

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

136 Buku Ajar PAI Akhlak

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud

untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain” (HR. Muttafaq „alaih).

27) Bisnis tidak boleh menggangu kegiatan ibadah kepada Allah.

Firman Allah: Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan shalat

dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang.

28) Membayar upah sebelum kering keringat karyawan.

Nabi Muhammad Saw bersabda, “Berikanlah upah

kepada karyawan, sebelum kering keringatnya”.

Hadits ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang

dilakukan.

29) Tidak Monopoli.

Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah

melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial,

seperti air, udara, dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini

dilarang dalam Islam.

30) Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya

(mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial.

Misalnya, larangan melakukan bisnis senjata di saat

terjadi chaos (kekacauan) politik. Tidak boleh menjual barang halal, seperti anggur kepada produsen minuman keras, karena ia diduga keras mengolahnya menjadi miras. Semua bentuk bisnis tersebut

dilarang Islam karena dapat merusak esensi hubungan sosial yang justru harus dijaga dan diperhatikan secara cermat.

3. Prinsip Kemanusiaan

Selain bercirikan ketuhanan dan moral, sistem ekonomi Islam juga berkarakter kemanusiaan. Tujuan ekonomi Islam adalah menciptakan

kehidupan manusia yang aman dan sejahtera. Yang dimaksud manusia

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak 137

disini ialah semua golongan manusia, baik yang sehat atau sakit, kuat atau lemah, susah atau senang, sebagai individu atau sebagai anggota

masyarakat.

Jika sistem ekonomi Islam itu bersandarkan pada nash Al-Quran dan as-Sunnah, maka manusia berperan sebagai yang diserukan dalam

nash itu. Manusia yang memahami nash, menafsirkan, menyimpulkan, dan memindahkannya dari teori untuk diaplikasikan dalam praktek.

Dalam ekonomi manusia adalah tujuan dan sarana.

Manusia diwajibkan melaksanakan tugasnya terhadap Tuhannya, terhadap dirinya, keluarganya, umatnya dan seluruh umat manusia.

Dalam ekonomi Islam, manusia dan faktor kemanusiaan merupakan unsur utama. Faktor kemanusian dalam ekonomi Islam

terdapat dalam kumpulan etika yang terdapat dalam Al-Quran dan hadist serta tulisan di dalam buku-buku klasik yang mencakup etika, kebebasan, kemuliaan, keadilan, sikap moderat, dan persaudaraan

sesama manusia. Etika Islam mengajarkan manusia untuk menjalin kerjasama, tolong-menolong, dan menjauhkan sikap iri, dengki, dan dendam.

Islam juga menganjurkan kasih sayang sesama manusia terutama kaum lemah, anak yatim, miskin papa, dan yang terputus dalam

perjalanan. Islam mengajarkan sikap bertenggang rasa kepada janda, tua renta, dan orang yang tidak sanggup bekerja. Buah yang dipetik dari etik ini adalah diakuinya oleh Islam milik individu, dengan syarat barang

itu diperoleh dengan cara halal. Islam juga menjaga milik individu dengan segala undang-undang dan etika. Adalah hak manusia untuk

menjaga hak milik dan hartanya dari siapa saja yang ingin merusak.

4. Prinsip Keseimbangan (Keadilan)

Prinsip keseimbangan mengantarkan kepada pencegahan segala

bentuk monopoli dan pemusatan kekuasaan ekonomi pada satu tangan atau kelompok. Atas dasar ini pula Al Qur‟an menolak tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisar pada orang-orang atau

kelompok tertentu saja (QS. Al-Hasyr [59]: 7).

Dalam prinsip ini juga datang larangan penimbunan dan

pemborosan. Hal ini tercermin pada ayat 34 surat Al-Taubah yang memberikan ancaman sedemikian keras kepada para penimbun. Berkaitang dengan ini Rasul Saw. Bersabda:

Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan tujuan menaikan harganya, maka ia telah berlepas

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

138 Buku Ajar PAI Akhlak

diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya (HR. Abu Dawud)

Ayat dan hadist di atas oleh sebagian pakar dijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untuk mencabut hak milik perusahaan spekulatif yang melakukan penimbunan, penyelundupan,

dan yang mengambil keuntungan secara berlebihan, karena mengakibatkan kenaikan harga yang tidak semestinya. Disamping itu,

pemborosan dan sikap konsumtif pun dapat menimbulkan kelangkaan barang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbanagn akibat kenaikan harga.

Dalam rangka memeliharan keseimbangan itu, Islam menugaskan pemerintah untuk mengontrol harga, bahkan melakukan langkah-

langkah yang diperlukan untuk menjamin bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudah.

Karenanya seorang Muslim dilarang:

a. Menimbun barang untuk dijual pada saat harganya sudah tinggi. Ini merupakan perbuatan yang tercela dan terkutuk.

b. Mengedarkan uang palsu (penggandaan). Rasul Saw. bersabda:

”Menafkahkan satu dirham yang palsu, lebih besar dosanya daripada mencuri seratus dirham”

c. Memuja barang dengan sangat berlebihan agar barang dagangan cepat laku.

d. Menyembunyikan kecacatan barang. Rasul Saw. bersabda:

“Mengapa tidak kamu letakkan yang kebasahan itu di atas bahan makanan itu, sehingga manusia dapat

mengetahui keadaannya. Barang siapa menipu kita, maka bukanlah ia termasuk dalam golongan kita”. (HR. Muslim)

e. Curang dalam takaran dan timbangan (QS. Muthaffifin [83]: 1).

Menjelaskan harga pasar dengan tidak jujur.

D. Akhlak Rasulullah Saw. dalam Menjalankan Bisnis

Berbicara masalah bisnis tidak bisa lepas dari berbicara negosiasi.

Negosiasi merupakan proses tawar menawar dalam berbagai hal, salah satunya dalam bisnis. Kesuksesan bisnis Rasulullah tidak terlepas dari

bagaimana beliau melakukan negosiasi. Sifat-sifat yang dimiliki nabi dalam bernegosiasi/berbisnis bersumber langsung dari ajaran Al-Quran dan pribadi beliau sendiri, utamanya sifat-sifat kerasulan yang berjumlah 4 (empat),

yakni Shiddiq, Amanah, Tabligh, dan Fathanah (SATF). Akhlak Nabi

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak 139

Muhammad adalah Al-Quran dan tingkah laku Nabi Muhammad adalah resapan paling kongkret dari sari pati Al-Quran. Dan, jika kita semua ingin

melihat bagaimana kualitas Al-Quran yang termanifestasi dalam wujud seorang manusia, maka Nabi Muhammad adalah satu-satunya figur yang mewakili hal itu.

Kualitas akhlak, tingkah laku beliau adalah kualitas Al-Quran. Di dalamnya terpancar nilai-nilai kejujuran, penghormatan, kebijaksanaan, dan

niat baik yang selalu konsisten beliau pegang. Kawan dan lawan menghormatinya, bahkan mengakuinya secara terus terang bahwa memang tidak ada yang tercela dari beliau. Mereka yang memusuhinya,

sesungguhnya tidak mempunyai sesuatu yang benar-benar mereka yakini sebagai alasan yang valid untuk kebencian tersebut.Jika ada yang

membenci Rasulullah, itu bukan karena sikap hidup dan akhlak beliau, tetapi karena kesombongan dan rasa iri mereka sendiri. Sekali lagi, tidak ada alasan yang valid untuk membenci orang sebaik Rasulullah Saw.

Berkaitan dengan bisnis, formula yang Nabi Muhammad lakukan adalah SATF (Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathanah). Keempat formula ini sudah dilakukan Nabi Muhammad, baik ketika dia menjalankan

tugasnya sebagai Rasul selama kurang lebih 22 tahun masa kenabiannya, maupun periode awal kehidupan beliau saat menjadi seorang bisnisman.

Berdasarkan formula SATF di atas, maka kualitas pertama adalah kebenaran atau kejujuran. Kebenaran atau kejujuran merupakan sifat pertama para nabi, yakni as-shidqu. Sifat as-shidqu atau shiddiq adalah

sifat-sifat yang dimiliki para nabi, termasuk Rasulullah Saw. Sifat ini tidak hanya sebagai predikat beliau, tetapi benar-benar terimplementasikan

dalam tingkah laku dan sikap hidup keseharian beliau. Sifat shiddiq menjadi landasan tingkah laku beliau yang pertama, lalu amanah, tabligh dan fathanah.

1. Shiddiq dan Kejujuran dalam Berbisnis

As-Shidqu atau benar, berarti seuainya sesuatu dengan kenyataan, baik itu berupa perkataan, sikap ataupun perbuatan. Dalam bahasa kita,

istilah lain yang sama dengan shiddiq adalah jujur. Sikap ini memiliki kedudukan tinggi bagi setiap pribadi, keluarga, masyarakat, maupun

bangsa dan negara. Kejujuran merupakan pangkal kebaikan yang darinya setiap tindakan akan ditentukan baik-buruknya. Hal ini sesuai dengan hadist riwayat Al-Bukhari berikut:

“Hendaklah kalian bersikap jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan membawa

kepada surga.”

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

140 Buku Ajar PAI Akhlak

Pertama-tama yang mesti diproklamasikan dalam kaitannya dengan negosiasi/bisnis ini adalah kejujuran. Nabi Saw. tidak pernah

main-main jika menyangkut sikap yang satu ini. Karena itulah dia mendapat gelar Al-Amin, gelar yang beliau dapat bahkan sebelum diangkat menjadi Rasul. Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa

selama hidupnya Nabi Muhammad Saw. tidak pernah berdusta. Tidak sajanya kawan yang mengakuinya, bahkan Abu Jahal yang terkenal

sangat benci nabi mengakui.

Dalam sebuah riwayat, Abu Jahal pernah berkata, “Sesungguhnya aku tidak pernah mendustakan engkau, Muhammad.

Tetapi kami mendustakan apa-apa yang kamu bawa”.

Akhnas bin Suraiq pernah benjumpa dengan Abu Jahal pada

hari peperangan di Badar. Maka, dia berkata kepada Abu Jahal, “Ya Abal Hakam, disini tidak ada orang selain engkau dan aku, yang mendengan omongan kita berdua. Hendaklah engkau memberitahukan aku tentang

keadaan Muhammad yang sebenarnya, apakah dia seseorang yang benar dan jujur atau seorang pendusta?”.

Abu Jahal kemudian menyahut:”Sungguh, dia seorang yang

jujur dan tidak pernah berdusta sekalipun.”

Jadi, perkara mereka membenci Nabi Muhammad bukan karena

tidak mengerti etika, tetapi karena beliau membawa sesuatu yang membuat keadaan dan posisi mereka terancam. Para musuh Nabi Muhammad mengakui kejujuran beliau, meski mereka tetap membenci

beliau. Jelas, bukan karena kejujuran Muhammad yang membuat Abu Jahal dan musuh lainnya membenci beliau, namun karena kesombongan

dan sifat iri mereka sendiri.

Kejujuran tidak hanya penting untuk diri kita, tetapi juga bagi orang lain. Kejujuran adalah cara paling gampang agar kita dipercaya

orang, sekaligus cara paling mudah untuk dapat simpati dan menempatkan kita pada posisi yang aman dari potensi konflik ketika menjalin hubungan dengan orang lain.

Lalu, bagaimana kejujuran ditempatkan dalam sebuah konteks bisnis? Tidak bisa dipungkiri, kejujuran menjadi tantangan dalam proses

bisnis. Sudah maklum ketika negosiasi banyak orang yang sama sekali membuang sikap ini, demi tujuan keuntungan yang mereka terapkan. Jika bisa meraih keuntungan dengan berkata bohong, kenapa tidak?

Itulah motto yang tampaknya sekarang mendapat pakem dalam melakukan bisnis.

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak 141

Sangat banyak kita dengar dan saksikan bagaimana para pedagang di pasar berbicara berapi-api sambil mengumbar kebohongan

mereka. Motto lainnya adalah “ semua kecap nomor satu” Artinya, tidak ada penjual kecap yang tidak bilang kecapnya yang paling baik. Semua penjual pastilah milik mereka yang nomor satu. Hal ini membuat kita

semakin bingung, siapa sebenarnya yang berbohong. Tampaknya, dalam negosiasi, khususnya dalam negosiasi bisnis, kejujuran menjadi suatu

sikap yang tidak relevan untuk dibicarakan. Padahal, tidak seperti itu. Sebuah hadist riwayat Ahmad menegaskan:

“Empat perkara yang apabila ada padamu, tidak

akan merugikan lepasnya dunia daripadamu. Yaitu, memelihara amanah, tutur kata yang benar, akhlak

yang baik, bersih dari tamak” (HR. Ahmad)

Kualitas bisnis/negosiasi ala Nabi Muhammad yang pertama ialah orientasi pada kejujuran (honesty oriented), dan bukan semata-mata

keuntungan atau profit, sehingga dengan mudah mengesampingkan kejujuran. Kejujuran adalah hal pertama yang harus dimiliki jika kita semua ingin melakukan transformasi kualita hidup, termasuk

memperbaiki kualitas dalam praktik negosiasi bisnis. Sebagaimana hadits diatas, lepasnya harta, kerugian dalam berdagang, dan hilangnya

beberapa keuntungan dalam urusan duniawi, tidak akan benar-benar membuat kita bangkrut, selama kita memegang teguh nilai-nilai kejujuran, akhlak, dan amanah.

Karena bangunan kualitasn negosiasi bisnis dibangun dari kejujuran, maka hal yang perlu diingat adalah bagaimana kita

menggunakan nilai ini dalam setiap momentum negosiasi bisnis. Dalam berdagang dan memasarkan produknya, Nabi Muhammad Saw. terkenal sebagai orang yang sangat jujur. Beliau mengatakan keunggulan

sekaligus kelemahan produk yang beliau pasarkan. Tidak ada yang disembunyikan dari setiap produk yang beliau jual.

Hal ini membangkitkan kepuasan pada konsumen (costumer

satifaction) sebaagaimana yang sering diupayakan dalam bisnis modern saat ini. Sebab konsumen merasa yakin bahwa dirinya tidak akan tertipu

ketika bertransaksi dagang dengan Nabi Muhammad Saw. Pelanggan meras pasti bahwa mereka membeli produk yang tepat kepada orang yang tepat, terjamin kualitasnya, dan terjamin pula harganya, karena

Nabi Muhammad Saw. tidak pernah mengambil margin keuntungan yang sangat besar.

Dalam era bisnis modern, sifat kejujuran ini sering disebut orang transparansi. Transparansi amat penting artinya, khususnya dalam

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

142 Buku Ajar PAI Akhlak

bidang manajerial bisnis. Dan, hal itu baru kita sadari saat Peter Drucker, ahli manajemen dunia, mulai menganggap penting

transparansi, padahal Nabi Muhammad Saw. sudah melakukannya jauh sebelumnya. Karena itulah, kejujuran dan transparansi tetaplah harus diperhatikan jika kita ingin sukses dalam bisnis modern. Sebuah sikap

yang berakar langsung dari kualitas Nabi Muhammad yang pertama, yaitu as-shiddiq.

2. Amanah, Selalu Memenuhi Perjanjian

Kualitas kedua dari Nabi Muhammad Saw. adalah sifat amanah yang selalu beliau pegang teguh. Sifat amanah sudah melekat sebagai

citra paling kuat dalam diri Nabi Muhammad Saw., bukan hanya saat beliau diutus sebagai Rasul pada usia 40 tahun, tetapi juga semasa

beliau aktif sebagai seorang bisnisman. Jika saat sekarang kita tahu pentingnya brand image bagi suksesnya sebuah produk dalam merebut pasar, maka brand image tersebut diwakili sendiri dengan sempurna

oleh citra diri Nabi Muhammad, yakni sikap amanah dan memegang teguh perjanjian.

Nabi Muhammad tidak pernah bermain-main dalam memegang

amanah. Hal ini dapat dibuktikan dalam hadist yang diriwayatkan dari oleh Abu Dawud dan Imam Ahmad berikut ini:

Tunaikanlah amanah bagi orang-orang yang mengamatimu, dan janganlah berkhianat pada orang yang mengkhianatimu (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud).

Kepada orang yang memberi amanat, kita dituntut bersikap amanah. Tetapi, sekalipun demikian, kepada orang yang berkhianat, kita

tidak boleh membalas berkhianat. Sungguh luhur akhlak yang ditunjukkan Nabi Muhammad, dan inilah yang membuat Siti Khadijah, seorang konglomerat Arab waktu itu, merasa tenang ketika mengangkat

Nabi Muhammad sebagai manajer bisnis yang dikelolanya.

Sifat amanah ini tidak hanya dipegang saat beliau menjadi rasul dan mulai berhenti dari kegiatan bisnis, tetapi sudah tampak saat beliau

masih aktif sebagai bisnisman. Nabi Muhammad ingin menegaskan bahwa bukan hanya seorang nabi yang mesti bersifat amanah, tetapi

setiap muslim.

Dalam sebuah hadits riwayat Baihaqi, Rasulullah Saw. bersabda:

“Muslim itu bisa saja memiliki berbagai tabiat (karakter

atau watak), kecuali khianat dan dusta” (HR. Baihaqi)

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak 143

Sifat amanah terintegrasi secara konstan dengan sifat jujur. Orang yang jujur pasti amanah. Kedua sifat ini sama-sama melekat dalam diri

Nabi Muhammad dan menjadi brand image yang mampu mengangkat produk-produk yang beliau pasarkan, menciptakan loyalitas pada konsumen, kepuasan, dan rasa aman. Karena itu, selama berbisnis, Nabi

Muhammad tidak mengalamai kerugian sekalipun.

Ketika seorang dipercaya untuk menjalankan sesuatu atau

memimpin suatu ekspedisi dagang, sikap amanah menjadi hal paling signifikan yang mesti diperhatikan. Nabi Muhammad selalu menjaga dan memberikan hak milik atasannya saat beliau menjalankan bisnis milik

Khadijah, baik keuntungan maupun sisa barang dagangan. Sikap amanah ini beliu tunjukkan meskipun ada kesempatan bagi beliau untuk

berbuat curang dan mengeruk keuntungan besar untuk diri sendiri. Tetapi beliau tidak lakukan itu, karena beliau memegang kualitasi ini.

Sikap amanah berarti memeganag teguh kepercayaan orang yang

memberi kepercayaan. Memang benar, mendapat kepercayaan itu sulit, tetapi lebih sulit lagi menjaganya. Maka, sekali-kali jangan pernah menganggap remeh sifat ini. Sebagai bisnisman, sifat amanah adalah

cara untuk menjaga dan menjalankan dengan jujur isi negosiasi yang dilakukan. Dengan kata lain, kita bisa menyebut kualitas ini dengan

konsistensi. Konsistensi dalam menjalankan apa yang telah disepakati dalam sebuah negosiasi, sangat penting dilakukan demi citra diri sebagai individu, lebih-lebih bagi perusahaan atau organisasi yang kita wakili.

Mendapatkan kepercayaan dalam negosiasi bisa mudah dilakukan, tetapi melaksanakannya sesuai dengan apa yang disepakati adalah hal

yang lebih sulit, itulah konsistensi. Oleh karena itu, sikap konsistensi penting untuk dijaga.

Dengan demikian, kualitas nomor dua dari negosiasi bisnis ala

Nabi Muhammad adalah sikap amanah, yakni menjaga dan memegang teguh kesepakatan yang telah dilakukan kedua belah pihak dalam suatu negosiasi bisnis. Tidak peduli apakah itu sesuai dengan keinginan kita

atau tidak, jika itu sudah disepakati, maka ber-amanah-lah, karena hal itu adalah kewajiban yang harus dilakukan. Jika sudah dikukuhkan suatu

hasil dalam negosiasi, maka satu hal yang tidak boleh dilanggar adalah bahwa kita sudah menyepakatinya dan menjaganya, bukan merusak dan mengubahnya dengan tindakan-tindakan curang.

Negosiasi bisnis yang dilakukan tanpa kualitas ini tidak akan ada artinya. Bayangkan, saat sebuah kesepakatan yang sudah

ditandatangani bersama dan ada hitam di tas putih, tetapi tiba-tiba salah satu pihak keluar dari perjanjian itu serta melakukan penyelewengan,

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

144 Buku Ajar PAI Akhlak

maka yang terjadi adalah hilangnya kesepakatan dan putusnya hubungan. Pada akhirnya, hanya kerugian yang akan diderita oleh

masing-masing pihak tersebut.

Setiap bisnisman dan negosiator harus memiliki sifat amanah. Jika tidak, maka kehancuran dan kekacauan yang akan terjadi. Mudah sekali

kita memperoleh gambaran perusahaan yang didalamnya diisi oleh sumber daya manusia yang tidak memilik amanah, yakni praktik korupsi

dan tilap-menilap merajalela, kepercayaan dari pelanggan dan stakeholder menghilang, citra perusahaan bangkrut, hingga akhirnya perusahaan itu berhenti beroperasi sama sekali.

3. Tabligh, Membangun Persamaan Persepsi

Kualitas yang tidak kalah penting dari negosiasi kenabian yang

berakar dari sifat-sifat Nabi Muhammad adalah tabligh, yang artinya menyampaikan. Tabligh, tidak hanya mengandung makna menyampaikaan atau berdakwah, tetapi bisa diperluas konteksnya

dengan menyampaikan sesuatu (berkomunikasi) secara tepat dan benar. Apa yang dikatakan dan bagaimana mengatakannya menjadi titik yang penting disini.

Sifat tabligh sebagaimana dianugrahkan Allah kepada Rasul-Nya, berarti menyampaikan sesuatu yang mereka pahami secara tepat

sasaran dan jelas, yang bisa dipahami oleh pikiran dan bahasa mereka. Mereka yang memiliki sifat tabligh mampu membaca dan menerka suasana hati lawan komunikasinya, serta berbicara menurut kerangka

pengalaman (field of experience) dan kerangka rujukan (field of reference) serta tingkat pendidikan komunikasinya.

Karena negosiasi bisnis merupakan aktivitas komunikasi, memiliki kualitas ini amatlah penting. Sifat tabligh memiliki kesamaan dengan effective communication, yakni komunikasi efektif yang bertujuan

membangun kesamaan persepsi antara komunikator dan komunikan.

Jika seorang rasul tidak memiliki sifat tabligh kemungkinannya hanya satu, yaitu rasul tersebut berbicara tidak masuk akal dan tidak

satupun dari pembicaraannya dapat dipahami oleh umatnya. Jika seorang rasul berbicara tidak masuk akal, bagaimana mungkin akan

diterima oleh hati nurani umatnya? Sifat tabligh mengandaikan adanya kemampuan berdialog, menjelaskan, berargumentasi, dan memberi umpan balik dalam kegiatan komunikasi secara baik, demi membangun

sebuah kesepahaman, bukan kesalahpahaman.

Bagi seorang bisnisman, tabligh berarti adanya kemampuan

menyampaikan secara jelas, masuk akal, serta dapat dimengerti, sesuai

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak 145

dengan tingkat pemahaman dan tingkat pendidikan lawan bisnisnya. Bisnisman yang tidak memiliki kualitas ini dipastikan akan gagal dalam

praktik bisnis, sebab tidak tercapainya common ground diantara mereka. Sehingga, bisnis yang dilakukan selanjutnya tidak akan menghasilkan kesepakatan apapun.

Dalam dunia bisnis dan negosiasi, kemampuan melakukan komunikasi yang baik merupakan syarat yang tidak bisa ditawar-tawar.

Setiap orang yang ingin memperbaiki kualitas negosiasi bisnisnya, harus terlebih dahulu memperbaiki kualitas komunikasinya. Hal ini tidak bisa dibalik, karena kesepahaman adalah awal dari kesepakatan atau deal

dalam berbisnis. Orang tidak akan bisa sepakat kalau belum sepaham, yang berarti orang tidak bisa bernegosiasi/berbisnis sebelum bisa

berkomunikasi. Komunikasi yang baik dan benar (tabligh), output-nya adalah kesepahaman (common ground), dan negosiasi bisnis yang baik, output-nya ialah kesepakatan (deal).

Membangun komunikasi yang baik menuju kesepahaman tidak otomatis bisa dilakukan oleh semua orang. Kadang kala, terdapat beberapa hambatan yang menghalangi seseorang membangun

kesepahaman dalam komunikasi, yang biasanya berasal dari persoalan persepsi. Persepsi dalam teori komunikasi, diartikan sebagai kemampuan

seseorang dalam memaknai stimuli atau pesan. Kita tidak selalu benar dalam memberi persepsi.

Menurut Masfuk (2002), setidaknya ada 3 kondisi dimana kita

sering salah mempersepsi pesan dalam berkomunikasi. Pertama, kita sering menilai seseorang dengan tolok ukur kita, sekaligus tidak terbuka

atas gagasan lawan bicara. Kedua, kita tidak ingin berusaha membuka diri dan memahami keadaan orang lain. Ketiga, kita memang tidak menaruh kepercayaan pada lawan bicara, sehingga tidak mampu

menerima pesan secara utuh dan menyeluruh.

Ketika kesalahan persepsi terjadi, maka komunikasi menjadi tersendat. Komunikaasi tersendat berarti awal yang buruk bagi sebuah

negosiasi bisnis. Nabi Muhammad Saw. karena memiliki kualitas ini, beliau selalu bisa mencapai taraf komunikasi yang ideal ketika

menyampaikan sesuatu, baik itu untuk kepentingan negosiasi dakwah, negosiasi bisnis, maupun negosiasi yang lainnya.

Tidak hanya itu, para ahli manajemen modern sudah memasukkan

sifat tabligh ini sebagai salah satu key success factor (KSF) dalam perusahaan modern. Key success factor atau faktor kunci kesuksesan

merupakan beberapa elemen yang menentukan terhadap gerak laju kesuksesan.

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

146 Buku Ajar PAI Akhlak

Jadi, jelaslah bahwa tabligh dan negosiasi bisnis seperti dua sisi mata uang yang sama, tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Negosiasi

bisnis kenabian berbasis sifat tabligh, berarti seorang bisnisman /negosiator harus selalu memegang teguh dasar-dasar komunikasi yang baik dan efektif, dan komunikasi yang mampu diterima oleh logika

komunikan, sehingga diharapkan tujuan dari negosiasi bisnis bisa dicapai dengan lebih cepat.

4. Fathanah, Cerdas, dan Penuh Inovasi

Sifat keempat kenabian adalah fathanah, yang berarti cerdas, cermat, dan seksama. Fathanah bisa diartikan pula sebagai

intelektualitas, kecerdasan, dan kebijaksanaan. Bisnisman yang fathanah, berarti bisnisman yang mengerti, memahami, dan mampu

mengambil keputusan secara tepat. Selain itu, seorang bisnisman/negosiator juga harus mengerti strategi apa yang harus dilakukan dan paham betul bagaimana keluar dari situasi sulit.

Kualitas ini menjadi karakter yang wajib dimiliki setiap nabi. Sebab, tanpa kecerdasan dan intelektualitas serta pengetahuan dan kecakapan, misi kenabian tidak akan pernah berjalan. Begitupun dalam dunia bisnis,

politik, pendidikan, dan semua bidang kehidupan, tanpa kecerdasan dan kreativitas, tujuan yang ditetapkan tidak akan bisa diraih. Bisa dikatakan,

fathanah merupakan strategi hidup setiap umat muslim.

Dalam sejarahnya, sifat ini telah mengantarkan banyak sekali kesuksesan yang diraih para nabi di zaman dulu. Tidak hanya Nabi

Muhammad Saw., nabi-nabi yang lain pun juga mempunyai sifat ini, misalnya Nabi Yusuf As. Beliau memeroleh kesuksesan dalam

membangun kembali negeri Mesir, seperti yang terdapat dalam surat Yusuf ayat 55:

Berkata Yusuf: "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi

berpengetahuan". (QS Yusuf [12]: 55)

Kita tahu, Nabi Yusuf As. Membangun kembali kerajaan Mesir dengan keahlian dan kualitas ini, bukan semata-mata pemmberian dari

Tuhan. Dalam prosesnya, tidak mudah menerapkan kualitas ini, sekalipun beliau adalah seorang nabi. Bermodalkan kecerdasan,

kejujuran, amanah, dan komunikasi yang baik, beliau berhasil mencitrakan dirinya tidak saja sebagai seorang nabi yang melulu mengurusi hal-hal eskatologis, tetapi juga ikut bahu-membahu dalam

hal-hal duniawi.

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

Buku Ajar PAI Akhlak 147

Jadi, sifat shiddiq dan amanah termasuk dalam kualitas yang menjadi karakter, maka sifat tabligh (effective communication) dan

fathanah (managerial skill) lebih pada live skill. Karakter harus dimiliki, sementara skill harus dipelajari dan dikuasai.

Nabi Muhammad pun demikian. Beliau membangun kerajaan

bisnis dan meraih sukses dalam urusan duniawi (bisnis dan dagang) karena sifat dan kualitas ini. Sifat fathanah-lah yang membuat beliau

dipercaya oleh para investor waktu itu untuk menjalankan modalnya dan mengembangkan bisnisnya. Sifat ini pulalah yang membuat beliau tidak pernah merugi selama menggeluti dunia bisnis.

Menurut Ir. Syakir Sula (2004) dalam M. Sanusi (2011), dalam bisnis umumnya, implikasi sifat fathanah adalah bahwa segala aktivitas

dalam manajemen suatu perusahaan harus dengan kecerdasan, inovasi, dan kreativitas, dengan mengoptimalkan semua potensi akal yang ada untuk mencapai tujuan. Memiliki sifat jujur, kredibel, amanah, dan

bertanggung jawab saja tidak cukup dalam perekonomian dan bisnis. Selain hal itu, seorang bisnisman juga harus mempunyai sifat fathanah ini akan menumbuhkan kreativitas untuk melakukan berbagai macam

inovasi yang bermanfaat. Kreatif dan inovatif hanya mungkin dimiliki apabila seseorang selalu berusaha menambah dan meng-upgrade ilmu

pengetahuan, peraturan, informasi, dan wawasan, tidak saja yang berkaitan bidang pekerjaannya, tetapi juga perusahaan secara umum.

Sifat fathanah berarti kepekaan dan kecerdasan dalam

menggunakan taktik dan pilihan strategi yang cocok untuk masing-masing bisnis yang dilakukan. Jika sikap shiddiq dan amanah lebih pada

visi, maka fathanah dan juga tabligh lebih pada misi yang sifatnya taktis. Jika shiddiq dan amanah lebih pada nilai, maka fathanah dan tabligh lebih bersifat teknis.

Berkat dua sifat yang pertama, setiap bisnisman hendaknya menyelami dan menghargai nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab. Sedangkan, dengan dua sifat yang terakhir, setiap orang hendaknya

lebih giat belajar dan mencari pengetahuan baru yang inovatif. Itulah klasifikasi pembagian dua kualitas yang saling terkait; yang satu

berfungsi sebagai dasar, yang lain lebih pada pengembangan.

---

Bab XI – Prinsip-Prinsip Bisnis dalam Akhlak

148 Buku Ajar PAI Akhlak

Pertanyaan-Pertanyaan:

1. Ungkapan bisnis sudah sangat familiar di masyarakat. Dalam Al-Quran

kata bisnis disebut dengan istilah Tijarah. Ungkapkan istilah Tijarah dalam Al-Quran!

2. Sebagai seorang Muslim kita tidak boleh berpangku tangan, bermalas-

malasan dan tidak mau mencari rezeki, karena setiap muslim tertanggung sesuatu beban terhadap orang-orang yang berada di bawahnya.

Ungkapkan ayat al-Quran yang berkenaan dengan hal tersebut!

3. Seorang Muslim dalam berusaha dituntut agar tidak mementingkan dunia saja atau akhirat saja, tetapi di tengah-tengah antara keduanya. Sebutkan

prinsip-prinsip bisnis dalam Islam!

4. Islam sangat menjunjung tinggi nilai kejujuran. Bagaimana sikap saudara

apabila melihat ada pedagang yang berbuat curang, misalnya mengurangi timbangan!

5. Islam mengajarkan prinsip “rahmatan lil‟alamin”, yang konsekuensinya

sangat luas dan menyentuh berbagai lapisan, baik hablumminallah, hablumminannas, maupun hablum minal‟alam. Coba saudara jelaskan prinsip ajaran Islam tentang etika berbisnis sesuai dengan bidang yang

saudara tekuni!

6. Kesuksesan bisnis Rasulullah Saw tidak diragukan lagi karena

berlandaskan ajaran al-Quran & pribadi beliau sendiri, utamanya sifat-sifat kerasulannya. Sebutkan dan beri contoh!

149

BAB XII

AKHLAK TERHADAP LINGKUNGAN

TUJUAN:

Setelah mengikuti pertemuan ini, mahasiswa diharapkan

mampu :

1. Menjelaskan pengertian akhlak terhadap lingkungan

2. Mendeskripsikan pentingnya memlihara kebersihan dan kesehatan lingkungan

3. Menjelaskan manfaat SDA dan lingkungan secara

proporsional

4. Cara menyikapi bencana alam

A. Pengertian Akhlak terhadap Lingkungan

Berakhlak kepada lingkungan alam adaIah menyikapinya dengan cara memelihara kelangsungan hidup dan kelestariannya. Agama Islam

menekankan agar manusia mengendalikan dirinya dalam mengeksploitasi alam, sebab alam yang rusak akan dapat merugikan bahkan

menghancurkan kehidupan manusia sendiri. Seorang Muslim dituntut untuk menebarkan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin), yaitu memandang alam dan lingkungannya dengan rasa kasih sayang.

Seorang Muslim memandang alam sebagai milik Allah yang wajib disyukuri dengan cara mengelolanya dengan baik agar bermanfaat bagi manusia dan bagi alam itu sendiri. Pemanfaatan alam dan lingkungan

hidup bagi kepentingan manusia hendaknya disertai sikap tanggung jawab untuk menjaganya agar tetap utuh dan lestari.

Akhlak kepada lingkungan adalah perilaku atau perbuatan kita terhadap lingkungan, Akhlak terhadap lingkungan yaitu manusia tidak

Bab XII – Akhlak Terhadap Lingkungan

Buku Ajar PAI Akhlak

150

dibolehkan memanfaatkan sumber daya alam dengan jalan mengeksploitasi secara besar-besaran, sehingga timbul ketidakseimbangan alam dan kerusakan bumi.

Lingkungan harus diperlakukan dengan baik dengan selalu menjaga, merawat dan melestarikannya. Sebab secara etika, ini

merupakan hak dan kewajiban suatu masyarakat serta merupakan nilai yang mutlak adanya. Dengan kata lain bahwa berakhlak yang baik terhadap lingkungan merupakan salah satu manifestasi dari etika itu

sendiri.

Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan

menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia terhadap alam lingkungan. Kekhalifahan mengandung arti

pengayoman, pemeliharaan, dan pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptanya.

Dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan

mengambil buah sebelum matang atau memetik bunga sebelum mekar. Karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk

mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi, sehingga ia tidak melakukan pengrusakan

atau bahkan dengan kata lain, setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri.

Akhlak yang baik terhadap lingkungan adalah ditunjukkan kepada

penciptaan suasana yang baik, serta pemeliharaan lingkungan agar tetap membawa kesegaran, kenyamanan hidup, tanpa membuat kerusakan dan

polusi sehingga pada akhirnya akan berpengaruh terhadap manusia itu sendiri yang menciptanya.

Syaddad bin Aus pernah berkata, “Ada dua hal yang aku hapal dari

Rasulullah Saw. Beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku ihsan kepada segala sesuatu”.

Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan oleh Allah Swt. dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepada-Nya. Keyakinan ini mengantarkan sang Muslim

untuk menyadari bahwa semuanya adalah "umat" Tuhan yang harus diperlakukan secara wajar dan baik.

Bab XII – Akhlak Terhadap Lingkungan

Buku Ajar PAI Akhlak

151

Karena itu dalam Al-Quran surat Al-An'am [6]: 38 ditegaskan bahwa binatang melata dan burung-burung pun adalah umat seperti manusia juga, sehingga semuanya --seperti ditulis Al-Qurthubi (W. 671 H)

di dalam tafsirnya-- "Tidak boleh diperlakukan secara aniaya."

Tuhan ini mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya

memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melainkan juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Ia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku

sewenang-wenang terhadapnya. Memang, istilah penaklukan alam tidak dikenal dalam ajaran Islam. Istilah itu muncul dari pandangan mitos Yunani. Yang menundukkan alam menurut Al-Quran adalah Allah. Manusia

tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.

Mahasuci Allah yang menjadikan (binatang) ini mudah bagi kami,

sedangkan kami sendiri tidak mempunyai kemampuan untuk itu. (QS. Az-Zukhruf [43]: 13)

Jika demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus dapat bersahabat.

Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad saw yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Untuk menyebarkan rahmat itu, Nabi Muhammad saw bahkan

memberi nama semua yang menjadi milik pribadinya, sekalipun benda-benda itu tak bernyawa. "Nama" memberikan kesan adanya kepribadian,

sedangkan kesan itu mengantarkan kepada kesadaran untuk bersahabat dengan pemilik nama. Nabi Muhammad saw telah mengajarkan: "Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang,

kendarailah, dan beri makanlah dengan baik."

Alam sebagai rahmat dan karunia Allah dijelaskan dalam QS. Al-

Jatsiyah [45]: 13, yang berbunyi:

...

Bab XII – Akhlak Terhadap Lingkungan

Buku Ajar PAI Akhlak

152

“Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi

kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 13)

Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia.

Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya, berapa pun harga

benda-benda itu. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apa pun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya diridai Allah Swt,

sesuai dengan kaidah kebenaran dan keadilan. Akhirnya kita dapat mengakhiri uraian ini dengan menyatakan bahwa keberagamaan seseorang

diukur dari akhlaknya. Nabi bersabda: "Agama adalah hubungan interaksi yang baik."Beliau juga bersabda: "Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari kiamat, melebihi akhlak yang

luhur.” (HR. At-Tirmidzi)

B. Memelihara Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan

Kebersihan adalah keadaan bebas dari kotoran, termasuk di antaranya, debu, sampah, dan bau. Di zaman modern, setelah Louis Pasteur menemukan proses penularan penyakit atau infeksi disebabkan oleh

mikroba, kebersihan juga berarti bebas dari virus, bakteri patogen, dan bahan kimia berbahaya.

Kebersihan adalah salah satu tanda dari keadaan higienes yang baik.

Manusia perlu menjaga kebersihan lingkungan dan kebersihan diri agar sehat, tidak bau, tidak malu, tidak menyebarkan kotoran, atau menularkan

kuman penyakit bagi diri sendiri maupun orang lain. Kebersihan badan meliputi kebersihan diri sendiri, seperti mandi, menyikat gigi, mencuci tangan, dan memakai pakaian yang bersih, Mencuci adalah salah satu cara

menjaga kebersihan dengan memakai air dan sejenis sabun atau deterjen. Mencuci tangan dengan sabun atau menggunakan produk kebersihan

tangan merupakan cara terbaik dalam mencegah penularan influenza dan batuk-pilek.

Kebersihan lingkungan adalah kebersihan tempat tinggal, tempat

bekerja, dan berbagai sarana umum. Kebersihan tempat tinggal dilakukan dengan cara mengelap jendela dan perabot rumah tangga, menyapu dan

Bab XII – Akhlak Terhadap Lingkungan

Buku Ajar PAI Akhlak

153

mengepel lantai, mencuci peralatan masak dan peralatan makan (misalnya dengan abu gosok), membersihkan kamar mandi dan jamban, serta membuang sampah. Kebersihan lingkungan dimulai dari menjaga

kebersihan halaman dan selokan, dan membersihkan jalan di depan rumah dari sampah.

Tingkat kebersihan berbeda-beda menurut tempat dan kegiatan yang dilakukan manusia. Kebersihan di rumah berbeda dengan kebersihan kamar bedah di rumah sakit, sedangkan kebersihan di pabrik makanan berbeda

dengan kebersihan di pabrik semikonduktor yang bebas debu.

Kebersihan lingkungan merupakan keadaan bebas dari kotoran, termasuk di dalamnya, debu, sampah, dan bau. Di Indonesia, masalah

kebersihan lingkungan selalu menjadi perdebatan dan masalah yang berkembang. Kasus-kasus yang menyangkut masalah kebersihan

lingkungan setiap tahunnya terus meningkat.

Masalah tentang kebersihan lingkungan yang tidak kondusif dikarenakan masyarakat selalu tidak sadar akah hal kebersihan lingkungan.

Tempat pembuangan kotoran tidak dipergunakan dan dirawat dengan baik. Akibatnya masalah diare, penyakit kulit, penyakit usus, penyakit pernafasan

dan penyakit lain yang disebabkan air dan udara sering menyerang golongan keluarga ekonomi lemah. Berbagai upaya pengembangan kesehatan anak secara umum pun menjadi terhambat.

Bagaimana cara memelihara kebersihan lingkungan ?

1. Dimulai dari diri sendiri dengan cara memberi contoh kepada masyarakat bagaimana menjaga kebersihan lingkungan.

2. Keterlibatan tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk memberikan pengarahan kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan

lingkungan.

3. Sertakan para pemuda untuk ikut aktif menjaga kebersihan lingkungan.

4. Perbanyak tempat sampah di sekitar lingkungan anda.

5. Pekerjakan petugas kebersihan lingkungan dengan memberi imbalan yang sesuai setiap bulannya.

6. Sosialisakan kepada masyarakat untuk terbiasa memilah sampah rumah tangga menjadi sampah organik dan non organik.

Bab XII – Akhlak Terhadap Lingkungan

Buku Ajar PAI Akhlak

154

7. Pelajari teknologi pembuatan kompos dari sampah organik agar dapat dimanfaatkan kembali untuk pupuk.

8. Kreatif membuat souvenir atau kerajinan tangan dengan memanfaatkan

sampah.

9. Atur jadwal untuk kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan.

C. Memanfaatkan SDA dan Lingkungan secara Proporsional

Kehidupan manusia di muka bumi ini tidak terlepas dari peran serta lingkungan. Sebagaimana manusia merupakan bagian dari lingkungan,

bersama-sama dengan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme yang telah menjadi satu mata rantai yang tidak akan terpisah. Untuk itulah, manusia harus memanfaatkan sumber daya alam secara tepat, agar lingkungan tetap

lestari.

Pengelolaan lingkungan hidup merupakan pengelolaan terpadu

dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemuliaan, dan pengembangan lingkungan hidup. Agar tujuan tersebut dapat tercapai perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Mencapai kelestarian hubungan manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan pembangunan manusia seutuhnya.

2. Mengendalikan pemanfaatan sumber daya secara bijaksana agar seluruh sumber daya alam digunakan oleh kepentingan orang banyak seproduktif mungkin dan menekan pemborosan seminimal mungkin.

3. Mewujudkan manusia sebagai pembina lingkungan hidup, oleh sebab itu pengembangan sumber daya alam senantiasa harus disertai dengan usaha memelihara kelestarian tata lingkungan.

4. Melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang.

5. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 mengenai Analisis Dampak Lingkungan diantaranya, memberikan kewajiban kepada para pengelola dan pemilik pabrik untuk menyelenggarakan sebuah studi

kelayakan teknis dan ekonomis serta analisis dampak lingkungan yang dapat dipertanggungjawabkan.

6. Melindungi negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Bab XII – Akhlak Terhadap Lingkungan

Buku Ajar PAI Akhlak

155

Dengan menerapkan pengelolaan lingkungan hidup akan terwujud kedinamisan dan keharmonisan antara manusia dengan lingkungannya. Untuk mencegah dan menghindari tindakan manusia yang semena-mena

(eksploitasi) maka diterapkan kebijakan melalui undang-undang lingkungan hidup.

Di Indonesia hal ini dapat dikaji dalam pengelolaan lingkungan hidup dimana dikatakan bahwa dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 4

Tahun 1982 yang disempurnakan dan diganti dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, masalah lingkungan hidup telah menjadi faktor penentu dalam proses pengambilan keputusan pemanfaatan dan pengolahan sumber

daya alam. Pembangunan tidak lagi menempatkan sumber daya alam sebagai modal, tetapi sebagai satu kesatuan ekosistem yang di dalamnya

berisi manusia, lingkungan alam dan/atau lingkungan buatan yang membentuk kesatuan fungsional, saling terkait, dan saling tergantung dalam keteraturan yang bersifat spesifik, berbeda dari satu tipe ekosistem ke tipe

ekosistem yang lain. Oleh sebab itu, pengelolaan lingkungan hidup bersifat spesifik, terpadu, holistik dan berdimensi ruang.

Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 lingkungan hidup diartikan sebagai kesatuan ruang dengan kesemua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang

mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Pengelolaan lingkungan hidup didefinisikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang

meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan

hidup. Pada Bab II pasal 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 dikemukakan bahwa sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah sebagai berikut:

1. Tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup.

2. Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang mempunyai sikap dan tindak untuk melindungi serta membina lingkungan hidup.

3. Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa mendatang.

Bab XII – Akhlak Terhadap Lingkungan

Buku Ajar PAI Akhlak

156

4. Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup.

5. Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana.

6. Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari dampak

usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pasal 3 menyebutkan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi hal-hal

sebagai berikut:

1. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam.

2. Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tidak

terbaharui.

3. Proses dan kajian yang secara potensial dapat menimbulkan

pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya.

4. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan

alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sumber daya.

5. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian

kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya.

6. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik.

7. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non-hayati.

8. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.

9. Kegiatan yang mempunyai resiko tinggi dan dapat mempengaruhi pertahanan Negara.

Pengeksploitasian terhadap sumber daya alam harus dilakukan secara proporsional, tidak boleh berlebihan. Jika mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan maka ekosistem lingkungan bisa rusak

sehingga masyarakat setempat dan juga industri tersebut akan mendapatkan dampak buruknya. Jika misalnya harus menebang pohon,

maka dibarengi dengan usaha penanaman kembali (reboisasi).

Bab XII – Akhlak Terhadap Lingkungan

Buku Ajar PAI Akhlak

157

Setiap lingkungan hidup yang ada di sekitar kita semuanya bermanfaat bagi kehidupan manusia, mulai dari udara, air, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Udara sangat berguna bagi kehidupan manusia yakni

untuk bernafas, karena sedetik saja kita tidak bisa menghirup udara untuk bernafas, maka hidup akan berakhir. Air sangat berguna untuk minum,

tidak sedikit manusia yang mati karena kehausan, bahkan hewan dan tumbuh-tumbuhan pun akan mati bila tidak ada air. Hewan, terutama hewan ternak yang halal, ada yang berguna untuk dimakan, ada yang

bermanfaat untuk dipergunakan tenaganya, seperti kerbau untuk membajak sawah, kuda dan unta untuk kendaraan. Sedangkan tumbuh-tumbuhan berguna untuk dimakan, seperti buah-buahan dan sayuran. Ada

juga yang digunakan sebagai bahan bangunan dan kayu bakar dan lain sebagainya.

Manusia sebagai khalifah fil ardh telah diperintakan Allah Swt.untuk memelihara, melestarikan dan mempergunakan lingkungan hidup untuk kepentingan manusia. Alam ini diciptakan untuk kita dan kita diperintakan

untuk melestarikan, memakmurkan dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan diri kita sendiri. Namun harus diingat, bahwa

kita harus menjaga keseimbangan alam dan lingkungan hidup. Janganlah kita membuat kerusakan di muka bumi ini, tidak boleh mengeksploitasi alam hanya untuk kepentingan nafsu serakah. Misalnya menebang pohon

seenaknya tanpa menanam kembali pohon sebagai penggantinya. Karena itu akan mengakibatkan bencana bagi manusia itu sendiri.

D. Cara Menyikapi Bencana Alam

Pertama: kita maknai bahwa peristiwa ini semua adalah semata-mata ujian dari sang maha kuasa atas seluruh alam semesta ini, dan ketika

kita bisa melaluinya maka Allah akan menaikkan derajat keimanan kita.

Seperti sabda Rasulullah Saw, ''Siapa yang akan diberi limpahan kebaikan dari Allah, maka diberi ujian terlebih dahulu.'' (HR. Bukhari Muslim).

Kedua: Semua ujian haruslah kita hadapi dengan kesabaran, karena kesabaran adalah sebuah tanda lulusnya sebuah ujian, seperti pada sebuah

hadits: ''Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman seluruh perkaranya menjadi baik. Ketika ditimpa musibah dia bersabar, itu membawa kebaikan baginya, dan ketika mendapatkan nikmat dia bersyukur

dan itu membawa kebaikan baginya.'' (Al-Hadits)

Bab XII – Akhlak Terhadap Lingkungan

Buku Ajar PAI Akhlak

158

Ketiga: Bahwa seberat apapun ujian yang berupa musibah alam raya ini, kita yakin Allah pasti sudah proporsional dalam mengujinya dan tidak akan melebihi dari kesanggupan dalam menjalaninya bagi orang yang tertimpa.

''Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.'' (QS. Al-Baqarah [2]: 286)

Keempat : Apapun bentuk musibah yang di derita oleh seorang

Muslim, baik itu berupa kesususahan, penderitaan maupun penyakit, Allah akan menghapus sebagian kesalahan dan dosa, dengan demikian derajat para korban bencana akan mulia, bagi yang meninggal dunia dia akan mati

syahid dan bagi yang masih hidup tentunya dengan kesabaran atas penderitaan itu Allah akan hapus sebagian kesalahan dan dosa dosanya.

Kelima: bagi kita yang tidak secara langsung mengalami musibah itu, hendaknya kita jadi peristiwa itu sebagai momentum untuk menyaksikan kebesaran dan keagungan Allah, sehingga akan menguatkan iman kita pada

sang pencipta alam semesta.

Marilah kita bayangkan apabila musibah itu menimpa diri kita

sendiri, keluarga kita, atau teman-teman kita, tentunya kita akan menderita dan susah menjalani cobaan besar ini. Maka marilah kita bantu para korban bencana semaksimal mungkin karena sekecil apapun bantuan

itu akan sangat berharga sekali bagi kehidupan para korban yang masih hidup. Kita berharap musibah ini akan membawa kebaikan-kebaikan dalam ridlo Allah. Kita semua berduka atas musibah ini.Kita semua harus mohon

ampun atas semua dosa. Namun, kita tidak boleh mengeluh dan bersedih berkepanjangan serta kehilangan harapan pada Tuhan Sembari bertobat

dan mohon petunjuk Tuhan, mari kita baca hikmah dan pembelajaran dari musibah ini.

Jalan terbaik menyikapi musibah adalah kita pasrahkan diri kita

kepada Allah Swt dengan sikap tawakkal dan tawaddhu’ serta bersabar. Mudah-mudahan banyak hikmah yang bisa kita petik dan ambil pelajaran

dalam mengarungi kehidupan ini.

Islam tidak memandang musibah itu adalah bentuk murkanya Allah, tapi adalah teguran kepada umat-Nya, cobaan bagi orang-orang

yang beriman dan pelajaran buat orang-orang yang masih bergelimang

Bab XII – Akhlak Terhadap Lingkungan

Buku Ajar PAI Akhlak

159

dosa dan maksiat.Melalui musibah seyogianya dapat mempertebal keimanan kita karena begitu mudahnya Allah Swt menunjukkan keperkasaan-Nya kepada kita.

Allah Swt berfirman:

“Allah yang menjadikan kematian dan kehidupan, supaya Dia menguji kamu,

siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67]: 2).

Ayat ini mengajarkan kita bahwa Allah Swt akan menguji kesabaran

kita sebagai orang beriman, sama halnya dengan orang-orang yang menempuh pendidikan, ada ujian yang dilalui agar dapat lulus dengan hasil

yang memuaskan.

Rasulullah Saw bersabda: “Jika Allah berkehendak positif kepada hamba-Nya, maka Dia akan mendahulukan siksanya terhadap hamba-Nya,

dan jika Allah berkehendak negatif terhadap hamba-Nya, maka siksa akibat dosa-dosanya ditunda sampai ke akherat kelak.” (HR. Tirmidzi).

Sikap yang diajarkan Rasulullah Saw hendaknya senantiasa mampu kita terapkan karena lima belas abad yang lalu Nabi mengalami banyak serangkaian musibah dan cobaan ketika berupaya meyakinkan

orang-orang kafir tentang kebenaran Islam. Cobaan dan musibah datang silih berganti. Beliau dicela, dicaci maki dan hendak dibunuh. Tapi beliau tidak pernah berputus asa dan menyurutkan langkah serta menganggap

itu adalah “bencana” sebagai bentuk ujian yang harus ia lalui. Nabi akhirnya dapat memetik hasil sempurna dari perjuangannya: Islam dapat

diterima.

Selain meneladani perilaku yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw, kita harus menyikapi musibah yang terjadi dan menimpa kita dengan tetap

ber-husnuzzhan kepada Allah Swt, berbaik sangka kepada-Nya dengan memandang serba positif terhadap keputusan yang Dia ambil. Baik

terhadap diri kita, orang lain dan alam seluruhnya.

Orang yang ber-husnuzzhan terhadap Allah Swt memiliki pandangan yang luas yang didasari oleh keimanan yang tangguh. Ia

Bab XII – Akhlak Terhadap Lingkungan

Buku Ajar PAI Akhlak

160

meyakini bahwa segala keputusan atau takdir Allah baik berupa kesenangan maupun yang menyusahkan tidak mungkin ditujukan-Nya untuk menyengsarakan umat manusia. Keputusan Allah atas manusia tadi

adalah bentuk dari pendidikan, cobaan atau ujian untuk mengukur sejauhmana keimanan seseorang.

Bagi yang memiliki sifat husnuzzhan kepada Allah Swt, bila ia mendapat ujian kenikmatan tidak sombong tetapi tetap tawaddhu’ dan bila mendapat musibah di kala sulit tidak berkeluh kesah, tetap kukuh

berprasangka baik kepada-Nya. Karena Allah tidak akan memberikan beban kepada umat-Nya di luar kemampuan. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, bukan kesusahan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185).

Islam memberikan pedoman bagaimana menyikapi musibah sebagaimana ditulis Ibrahim Anis dalam bukunya Al-Mu’jam Al-Wasith:

1. Iman dan ridha terhadap ketentuan Allah Swt. Sebagai orang yang

beriman kita harus mempunyai keyakinan bahwa setiap bencana dan musibah adalah benar datangnya dari Allah, tidak mengaitkan dengan

hal-hal lain seperti murkanya makhluk halus yang menunggu tempat tersebut. Karena setiap musibah dan bencana yang menimpa kita adalah bentuk pelajaran yang harus kita ambil hikmahnya.

2. Sabar menghadapi musibah. Sabar adalah orang yang mampu menahan diri terhadap bentuk ujian yang menimpa kita dan menerimanya dengan lapang dada. Karena orang yang beriman itu bila dia ditimpa musibah

akan tetap sabar dan bila dia diberi nikmat akan tetap tawaddhu’ atau tidak sombong.

3. Ada hikmah dibalik musibah. Setiap musibah dan bencana yang datang pasti mengandung hikmah yang tersembunyi. Bagi orang yang beriman menganggap itu merupakan pelajaran atau mungkin Allah punya

rencana dan maksud lain yang kita tahu rahasia dibalik musibah tersebut.

4. Tetap berikhtiar. Maksudnya tetap berusaha untuk memperbaiki keadaan atau menghindarkan diri dari bencana yang menimpa tidak pasrah, menunggu dan diam saja. Kita harus punya inisiatif untuk

Bab XII – Akhlak Terhadap Lingkungan

Buku Ajar PAI Akhlak

161

berbuat dan bertindak agar kita dapat keluar dari kesulitan yang menghimpit.

5. Bertaubat. Taubat adalah kembali kepada Allah setelah kita melakukan

maksiat atau kita membersihkan semua kesalahan yang kita perbuat dengan jalan dekat kepada-Nya. Islam tidak memandang manusia itu

bagaikan malaikat tanpa berbuat dosa, tapi sebaik-baik manusia itu adalah segera berhenti dari perbuatan dosa dan bertaubat dari kesalahan yang diperbuat.

6. Perbanyak doa dan dzikir. Selagi sedang ditimpa musibah kita dianjurkan memperbanyak dzikir karena dengan jalan tersebut dapat menentramkan hati dan menghilangkan kegelisahan sambil berdoa supaya kita bisa

keluar dari masalah tersebut. Nabi Saw mengajarkan dalam doanya: “Allahumma jurnii khairan fii mushiibathii wa akhluf lii khairan minhaa.”

Artinya: “Ya Allah, berilah pahala dalam musibahku ini dan berilah ganti bagiku yang lebih baik daripadanya.” (HR Muslim).

7. Tetap Istiqamah. Seorang Muslim yang tangguh dalam menjalani cobaan

yang diberikan Allah, dia tetap konsisten dan teguh pendirian dalam menjalankan dan mengamalkan ajaran Islam. Tidak lantas dengan ujian

tersebut membuat ia semakin jauh dari ajaran agama bahkan timbul penyakit stres atau mengambil jalan pintas bunuh diri.

--

Pertanyaan-Pertanyaan:

1) Jelaskan pengertian akhlak terhadap lingkungan !

a. Pengertian akhlak terhadap lingkungan berikut dalil-dalinya ?

b. Jelaskan maksud dari dalil-dalil tersebut ?

2) Mengapa kebersihan dan kesehatan lingkungan itu penting ?

a. Berikan dalil-dalilnya ?

b. Jelaskan apa maksud dari dalil-dalil tersebut ?

3) Allah Swt Menjadikan alam dan lingkungan ini sebagai sumber kehidupan

bagi manusia;

a. Apa manfaat yang dapat saudara ambil dari lingkungan tersebut ?

b. Jelaskan manfaatnya dan berikan contohnya ?

Bab XII – Akhlak Terhadap Lingkungan

Buku Ajar PAI Akhlak

162

4) Sering kita menyaksikan beberapa bencana alam, seperti misalnya banjir, gempa bumi, longsor, atau tsunami dan lain-lain.

a. Coba Saudara jelaskan penyebab bencana-bencana tersebut ?

b. Ada bencana yang disebabkan oleh perbuatan tangan-tangan manusia, dan ada juga yang disebabkan oleh gejala-gejala alamiah, coba saudara

jelaskan perbedaan antara keduanya !

5) Ada ungkapan bahwa alam itu bersahabat dengan kita.

a. Apa maksud dari ungkapan tersebut !

b. Bagaimana kita seyogyanya memperlakukan alam ini !

163

BAB XIII

DIRI YANG BERSIH

TUJUAN:

Setelah mengikuti pertemuan ini, mahasiswa diharapkan

mampu :

1. Memahami Dosa dan Maksiat

2. Mengetahui dan memahami makna pembersihan diri

3. Mengetahui dan memahami cara pembersihan diri

4. Termotivasi untuk senantiasa membersihkan diri

A. Pembersihan Diri

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa yang dimaksud diri dalam

tulisan ini adalah diri manusia secara total atau ruhani dan jasmani beserta elemen-elemennya. Pembersihan diri berarti pembersihan jasmani dan rohani berikut elemen-elemennya secara total.

Perintah membersihkan diri secara total ditunjukkan oleh Allah Swt antara lain dalam Al-Qur‟an surah Al-Muddatstsir ayat ke 4 yang berbunyi:

“Dan bersihkanlah pakaianmu.”

Dalam Tafsir Fath Al-Qadir Juz 7, hal. 346, dan Tafsir Al-Qurtubi, kata “tsiyâbun” dalam ayat ini dimaknai pembersihan diri secara total, meliputi jasmani dan ruhani beserta elemen-elemennya. Terdapat delapan

makna pembersihan diri yang diuraikan dalam tafsir-tafsir tersebut, yaitu:

1. Kata Tsiyâbun diartikan Al-Malbûtsâtu „alâ al-zhahiri (pakaian yang

biasa dipakai oleh manusia secara zhahir atau pakaian sehari-hari)

Bab XIII – Pembersihan Diri

Buku Ajar PAI Akhlak

164

2. Kata Tsiyâbun diartikan „Amal (perbuatan)

3. Kata Tsiyâbun diartikan Qalbun (hati)

4. Kata Tsiyâbun diartikan Nafsu (jiwa)

5. Kata Tsiyâbun diartikan Jismun (fisik/jasmani)

6. Kata Tsiyâbun diartikan Akhlaq (perilaku)

7. Kata Tsiyâbun diartikan Ahlu (Keluarga)

8. Kata Tsiyâbun diartikan Dien/ad-Dien (agama Islam)

Jika ke delapan makna “tsiyâbun” di atas digabungkan dengan

kalimat perintah “fa-thahhir (bersihkanlah)”, maka makna ayat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Makna pertama (Al-Malbûtsâtu „alâ al-zhahiri fa thahhir). Artinya,

maka bersihkanlah pakaianmu yang biasa dipakai dalam kesehari.

Kata “tsiyabun” dalam makna pertama adalah pakaian yang

biasa dipakai oleh manusia dalam keseharian. Ar-Raghib Al-Isfahani mengatakan, bahwa pakaian dinamai “tsiyâb" atau “tsaub”, karena ide dasarnya adalah pakaian untuk dipakai. Yang paling utama dalam

“berpakaian” menurut ajaran Islam adalah menutup aurat dan tidak berlebihan, karena menutup aurat adalah fitrah dan kehormatan

manusia. Islam sangat menghargai kehormatan manusia.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa, Muawiyah pernah bertanya kepada Rasulullah Saw: “Ya Rasulullah, terhadap aurat kami,

apa yang dapat kami lakukan dan apa pula yang terlarang? Rasulullah Saw menjawab dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yang artinya: “Jagalah auratmu kecuali terhadap istrimu dan hamba

sahayamu.”

Kemudian seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw: Jika

sesama kaum itu sendiri? Beliau menjawab: Kamu dapat berusaha agar seorangpun jangan ada yang melihatnya. Beliau ditanya lagi: “Jika kami seorang diri? Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah lebih berhak

dimalui daripada manusia”.

Berkaitan dengan memelihara aurat, ayat suci Al-Qur‟an Surah

Al-Mu‟minun ayat 5-7 menunjukkan:

Bab XIII – Pembersihan Diri

Buku Ajar PAI Akhlak

165

“Dan mereka (orang-orang Mukmin) yang memelihara auratnya, kecuali terhadap istri-istri mereka dan budak sahaya mereka, maka

sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa yang mengharap lebih dari itu, merek itulah orang-orang yang melampaui batas.”

Dengan demikian, kalimat wa tsiyâbaka fa thahhir dalam makna pertama adalah:

a. Membersihkan dan memelihara pakaian dari najis dan kotoran.

b. Rapih dan menutupi aurat sesuai dengan aturan Islam.

c. Bersih dalam perolehannya, yakni diperoleh dengan usaha yang halal.

d. Bersih dari pengaruh kejiwaan yang negatif (tidak sombong). Karena pakain dapat mencerminkan jiwa seseorang dan menjadi petunjuk identitas, “al-libâsu mir‟atun nufusi (=Pakaian itu cerminan jiwa

pemakainya).”

2. Makna kedua (Wa ‟amalaka fa thahhir). Artinya, dan bersihkanlah amal/perbuatanmu.

Kata “tsiyâb” dalam makna yang kedua (menurut Mujahid dan Ibnu Zaid) adalah “‟amal-perbuatan”. Al-Mawardi mengatakan bahwa

menurut Rasulullah Saw, jika dilihat dari segi kualitasnya amal ada dua macam, yaitu: (1) „amal shaleh; dan (2) „amal thaleh (jelek). Sebagaimana sabda beliau yang artinya: “Seseorang akan dikumpulkan

pada salah satu dari dua bajunya. Sedang memakai baju apa pada saat dia meninggal dunia. Maksudnya apakah pada saat ia meninggal dunia,

sedang mengerjakan amal shaleh atau amal thaleh (amal jelek).”

Di dalam Ensiklopedi Islam (1993/I: 131) dijelaskan, bahwa Amal merupakan perwujudan dari sesuatu yang menjadi harapan jiwa,

baik berupa ucapan, perbuatan anggota badan dan atau sikap. Atau dengan perkataan lain bahwa amal merupakan perwujudan dari niat. Tidak ada amal tanpa niat. Oleh karena itu, setiap amal akan dinilai

Bab XIII – Pembersihan Diri

Buku Ajar PAI Akhlak

166

Tuhan berdasarkan niat-nya. Dengan demikian, azas penerimaan amal di sisi Allah adalah niat-nya, kemudian dipraktekkan dalam bentuk lahir yang disebut kaifiyat (tatacara pelaksanaannya).

Niat (keikhlasan) adalah suatu pertimbangan sebelum melakukan amal/perbuatan. Sebagaiamana sabda Nabi Saw yang artinya:

“Sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal tergantung pada niatnya. Dan setiap orang ingin sesuatu (tercapai) harus diniatkan, maka siapa yang berhijrah semata-mata karena (niat) taat kepada Allah dan

Rasulullah, maka hijrahnya itu diterima Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena untuk keuntungan dunia yang dikerjakannya atau karena perempuan yang akan dikawin, maka

hijrahnya tercapai pada yang ia niatkan dalam hijrahnya itu (kawin)”. (HR. Bukhari-Muslim dari Umar bin Khaththab)

Hadits ini merupakan salah satu dasar tentang diterimanya amal oleh Allah Swt. Upaya menetapkan dan meluruskan niat dalam amal merupakan sesuatu yang sangat penting agar tujuan tidak bergeser.

Segala amal muslim harus dilakukan dengan niat karena Allah, niat mengagungkan-Nya, dan niat menegakkan kalimah-Nya. Apabila niat

dan tujuan itu bergeser dari keikhlasan kepada kursi kekuasaan dan kemegahan diri atau kepada kehidupan dunia, maka dimungkinkan akan timbul pertentangan dan persaingan yang tidak sehat, perpecahan

dan permusuhan antar sesama umat.

Sedangkan kaifiyat (amal) sebagai buah dari niat harus sesuai dengan syari‟at yang disebut sebagai amal shaleh. Karena itu, Ibnu

Katsir (III: 108) mengartikan Amal Shaleh, sebagai “perbuatan yang cocok (muwaffiqun) dengan syari‟at Allah yang ditampilkan melalui

keteladanan Rasulullah Saw.

Dengan demikian, bersatunya niat yang ikhlash dengan amal shaleh laksana bangunan yang kokoh dan menjadi sebab diterimanya

amal di hadapan Allah Swt. Allah menjanjikan tiga macam kemenangan bagi umat Islam yang beriman dan beramal shaleh. Pertama, mereka

akan diberikan kedudukan sebagai pengatur dan penguasa di muka bumi (khalifah fil-ardli). Kedua, agama mereka akan dikukuhkan sehingga tidak akan tergoyahkan oleh urusan dunia yang menyesatkan.

Ketiga, bahwa mereka akan diberi kehidupan yang aman dan tentram, bebas dari segala ketakutan dan kekhawatiran.

Bab XIII – Pembersihan Diri

Buku Ajar PAI Akhlak

167

Dengan demikian, perintah membersihkan amal (wa amalaka fa thahhir) mengandung arti: (1) mendasari amal dengan niat karena

Allah; (2) mencocokkan amal perbuatan dengan Sunah Rasulullah Saw.

3. Makna ketiga (Wa qalbaka fa thahhir). Artinya bersihkanlah hatimu.

Ada dua penegasan yang dikemukakan oleh Al-Mawardi berkenaan dengan perintah membersihkan hati: Pertama, membersihkan hati dari dosa dan maksiat (wa qolbaka fa thahhir

minal-itsmi wal-ma‟ashî) (periksa, Ibnu Abbas dan Qatadah); (2) Membersihkan hati dari penipuan (wa qolbaka fa thahhir minl-ghadri)

(lihat: Ibnu „Abbas).

Hati, memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting dalam perbuatan manusia, hati bagaikan seorang raja yang mengatur anak

buahnya, dimana seluruh anggota bergerak dan bekerja sesuai dengan perintahnya. Rasulullah Saw bersabda, yang artinya: “Ingatlah! Bahwa

dalam tubuh itu ada segumpal daging. Bila ia baik, akan baiklah seluruh tubuh itu. Dan bila ia rusak, maka rusak pulalah seluruhnya. Itulah dia Qalbu (hati)”. (HR. Bukhari dalam Al-Iman I/126, dari Nu‟aim bin

Basyir)

Hati, baik dalam Al-Quran maupun dalam al-Hadis sering disebut qalbun yang terambil dari akar kata yang bermakna “taqallub

(membalik / berbolak-balik).” Diartikan demikian karena hati kadang-kadang senang kadang susah, kadang-kadang setuju kadang-kadang

menolak. Hati (Qalbun-taqallub), berpotensi tidak konsisten dan atau labil. Bahkan Al-Quran menggambarkan hati ada yang baik dan ada yang buruk. Seperti firman Allah surah Qaf [50] ayat 37:

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikan.”

Fungsi Hati, sebagaimana digambarkan oleh Al-Quran sebagai berikut:

a. Hati berfungsi sebagai wadah, seperti diungkapkan dalam QS. Al-

Hadid [57]: 27:

Bab XIII – Pembersihan Diri

Buku Ajar PAI Akhlak

168

“... Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa

santun dan kasih sayang...” (lihat juga QS. Ali Imran [3]: 151; QS. Al-Hujarat [49]: 71).

Ayat ayat tersebut menunjukkan bahwa “hati" (qalb) berfungsi sebagai wadah pengajaran; wadah kasih sayang; wadah rasa takut; wadah keimanan; dan lain sebagainya.

Karena hati berfungsi sebagai wadah, maka isi yang ada dalam hati (qalb) akan dituntut pertanggung-jawabannya. Sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 225:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu

disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Sebagai wadah, hati ada yang disegel, sebagaimana Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2]: 7).

“Allah mengunci mati hati mereka...”

Demikian pula sebagai wadah hati dapat diperbesar /diperluas,

sebagaimana Firman Allah Swt dalam QS. Al-Hujarat [49] ayat 3:

“... Mereka itulah yang diperluas qalbu-nya untuk menampung taqwa...”

“Bukankah kamu telah mempeluas dadamu?“ (QS. Al-Insyirah [94]: 1)

… …

Bab XIII – Pembersihan Diri

Buku Ajar PAI Akhlak

169

Hati bisa diperkecil atau dipersempit (QS. Al-An‟am [6]: 125)

“Maka barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, Dia menjadikan dada (qalbu) nya sempit lagi sesak.”

b. Hati berfungsi sebagai “alat”, seperti firman Allah (QS. Al-A‟raf [7]:

179:

“…Mereka mempunyai qalb (hati), tetapi tidak digunakan untuk memahami (kebenaran)…”

Ayat di atas menunjukkan bahwa hati berfungsi sebagai alat atau sarana untuk memahami kebenaran. Sebagai alat, hati

dilukiskan juga dengan kata “fu‟ad”, yakni alat untuk bersyukur kepada Allah Swt. Firman Allah dalam QS. An-Nahl [16] ayat 78,

“... Allah memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati (fu‟ad), agar kamu bersyukur.”

Baik sebagai wadah maupun sebagai alat, hati memiliki tiga bentuk, yaitu: (1) Hati yang sehat; (2) Hati yang mati; dan (3) Hati

yang berpenyakit. Sebagaimana digambarkan oleh Al-Quran sebagai berikut:

Pertama, Hati yang sehat, yakni hati bersih yang

mengantarkan manusia untuk menghadap Allah pada hari qiyamat. Firman Allah QS. Asy-Syu‟ara [26]: 88-89:

“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna; Kecuali

orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”

Hati yang sehat, adalah hati yang terhindar dari keinginan hawa nafsu, selamat dari subhat dan kesalahan. Sehingga ia selamat

… …

Bab XIII – Pembersihan Diri

Buku Ajar PAI Akhlak

170

dalam menghambakan diri kepada Allah Swt, ikhlas dalam beribadah, penuh mahabbah, tunduk, pasrah dan penuh harap. Bila ia mencintai sesuatu, ia akan mencintainya karena Allah. Bila ia

membenci sesuatu, ia pun akan membencinya karena Allah. Apabila ia memberi, semata-mata karena Allah. Jika ia melarang atau

mencegah sesuatu, juga karena Allah. Orang yang sehat hatinya senantiasa tunduk dan bertahkim kepada ajaran Rasulullah Saw.

Kedua, Hati yang mati, adalah hati yang tidak mengenal

Tuhannya, tidak beribadah kepada-Nya. Selalu berjalan bersama-sama keinginan hawa nafsu, walaupun hal itu dibenci dan dimurkai Allah Swt. Bila ia mencintai sesuatu, ia mencintainya karena hawa

nafsu. Bila ia membenci sesuatu, membencinya karena hawa nafsu. Hawa nafsu telah menguasainya, menjadi pemimpin dan pengendali

bagi dirinya. Ia diselimuti oleh kesenangan duniawi semata. Tidak lagi bisa membedakan mana yang haq dan mana yang bathil. Gagan Subhan (2014) mengemukakan 13 tanda-tanda hati yang mati:

1) Tarku l-shshalah: Berani meninggalkan shalat wajib.

2) Adzdzanbu bil farhi: Tenang tanpa merasa berdosa padahal

sedang melakukan dosa besar (lihat: QS. Al-A'raf: 3).

3) Karhu l-Quran: Tidak mau membaca Al-Quran.

4) Hubbu l-ma'âsyi: Terus menerus mengerjakan maksiat.

5) Asikhru: Sibuknya hanya mempergunjing dan buruk sangka, serta merasa dirinya selalu lebih suci.

6) Ghadbu l-ulama‟i: Sangat benci dengan nasehat baik dari ulama.

7) Qalbu l-hajari: Tidak ada rasa takut akan peringatan kematian, kuburan, dan akhirat.

8) Himmatuhul bathni: Gilanya pada dunia tanpa peduli halal atau haram, yang penting kaya.

9) Anâniyyun: Tidak mau tau, "cuek" atau masa bodoh keadaan

orang lain,bahkan pada keluarganya sendiri sekalipun menderita.

10) Al-intiqâôm: Pendendam hebat.

11) Al-bukhlu: Sangat kikir.

Bab XIII – Pembersihan Diri

Buku Ajar PAI Akhlak

171

12) Ghadhbânun: Cepat marah karena keangkuhan dan dengki.

13) Asysyirku: Syirik dan percaya sekali kepada praktek dukun.

Ketiga, Hati yang berpenyakit. Yakni hatinya hidup, tapi mengandung penyakit. Hati semacam ini sesekali mahabah kepada

Allah, Iman dan ikhlas serta ber-tawakkal. Tetapi ia juga, suka mengikuti hawa nafsu, sesekali tamak/rakus dalam meraih kesenangan, mementingkan kehidupan dunia, hasad, dan takabbur.

Hati yang berpenyakit ini, mungkin bisa kembali sembuh dan selamat, atau mungkin akan terus celaka dan bahkan mungkin terus menjadi

mati.

Penyakit yang menyerang hati ada dua macam; (a) penyakit tarikan hawa nafsu; (b) penyakit ragu-ragu dan salah memandang

agama. Penyakit pertama akan merusak niat dan tujuan; sedangkan penyakit yang kedua akan merusak ilmu dan i‟tikad (keyakinan).

Ketika hati terserang penyakit, maka:

1) Hati bisa menjadi Hitam dan tertelungkup (bagaikan gayung yang terbalik). Jika hati menjadi hitam dan tertelungkup, maka akan

terkena dua penyakit berikutnya yaitu: (a) mencampuradukan perkara haq dengan perkara bathil (b) menjadikan hawa nafsu sebagai kendali. Seperti diungkapkan dalam sebuah hadits yang

berbunyi:

“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, dimana pendusta dipercaya, orang jujur didustakan, pengkhianat diberi amanah dan orang amanah dikhianati, dan

Ruwaibidhah berbicara. (Orang bodoh berbicara tentang urusan umum/ masyarakat).” (HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah ra dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami‟)

ق فيها اعات ، يصد سيأت على الناس سن وات خدب فيها الصادق ، وي ؤتن فيها الائن الكاذب ،ويكذ

فيها الرويبضة ، قيل : ، ويون فيها األمني ، وي نطق ة. وما الرويبضة ؟ قال : الرجل التافه ف أمر العام

Bab XIII – Pembersihan Diri

Buku Ajar PAI Akhlak

172

2) Hati ada yang Tetap putih bersih, terpancar di dalamnya sebersih sinar keimanan, bagaikan pelita yang terang. Bila datang fitnah menyerang ia menolaknya dan berpaling.

Jika hati terserang penyakit, maka obat yang paling ampuh adalah berdzikir kepada Allah; dan membaca Al-Quran.

4. Makna keempat (Wa Nafsaka fa thahhir). Artinya bersihkanlah jiwamu.

Makna “Tsiyab” yang keempat adalah “Nafsun” (=jiwa). Dengan demikian makna wa tsiyabaka fathahhir adalah “bersihkanlah

jiwamu dari segala kotoran.”

5. Makna Kelima (Wa Jismaka fa thahhir). Artinya, bersihkanlah jasmanimu.

Membersihkan pakaian diartikan mebersihkan jasmani dari kotoran maksiat. Karena semua maksiat adalah racun, penyebab sakit

dan binasanya hati. Sesuai dengan uraian di atas tentang maksiat lahir, sekurang-kurangnya ada lima anggauta badan yang perlu dijaga dan dibersihkan dari kotoran maksiat, yaitu: lidah, mata, telinga, perut, dan

kemaluan.

6. Makna Keenam (Wa akhlaq-ka fa thahhir). Artinya, bersihkanlah

perilakumu.

Rasulullah Saw bersabda: Lâ dîna liman lâ khuluqu lahu (Tidak patut orang yang beragama kalau tidak baik perilakunya).

Ada ilustrasi berkaitan dengan perilaku, yakni: “Apabila anda ingin tahu apa yang ada dalam hati seseorang, perhatikanlah hal-hal yang dilakukan orang itu. Perhatikan perilaku orang bersangkutan”.

Ilustrasi ini memberi isyarat bahwa antara perilaku dan sikap merupakan dua istilah yang berbeda, namun memiliki hubungan yang

sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. “Perilaku anda sebagai seorang muslim haruslah konsisten dengan sikap anda”.

Islam sangat memerhatikan perilaku yang ditampilkan

seseorang agar tidak bertentangan dengan sikap mentalnya. Jujur dan benar (dapat dipercaya); „Iffâh (selalu menjaga diri dari sesuatu yang

merusak kehormatan dan kesucian); Adil dalam memutuskan sesuatu tanpa membedakan kedudukan, status sosial ekonomi, maupun hubungan kekerabatan. Jika terpaksa melakukan perbuatan yang

Bab XIII – Pembersihan Diri

Buku Ajar PAI Akhlak

173

bertentangan dengan ajaran Islam, maka Islam mengajarkan agar: cepat bertaubat dan meminta ampunan Allah Swt (maghfirah).

7. Makna ketujuh (Wa-ahlaka fa thahhir). Artinya, bersihkanlah keluargamu).

Kata tsiyab dalam makna ketujuh ini diartikan “ahla”. Ahla yang dimaksud dalam tulisan ini adalah keluarga. Membersihkan keluarga adalah menasehati dan mendidik keluarga dengan jalan menyelamatkan

keluarga dari dosa; membersihkan makanannya, membersihkan hati mereka dari kemusyrikan, membersihkan ibadah mereka dari perbuatan

bid‟ah. Dengan demikian, membersihkan keluarga adalah menyelamatkan keluarga dari penyakit hati sehingga menjadi mukmin yang paripurna.

8. Makna kedelapan (Wa dîena-ka fa thahhir). Artinya, bersihkanlah agamamu.

Kata “tsiyâb” dalam makna kedelapan ini diartikan “ad-Dîen (agama Islam). Sebagai ummat Islam kita telah meyakini bahwa agama yang diterima di sisi Allah Swt adalah Islam. Karena Allah telah

menunjukkan dalam firman-Nya surah Ali Imran ayat ke-16, yang berbunyi:

“Sesungguhnya agama yang diridlai di sisi Allah adalah Islam...”

Ayat ini mengandung pengertian bahwa agama Islam adalah:

a. Aturan dan ketentuan Allah Swt untuk manusia;

b. Sumber ajarannya adalah Al-Quran dan Sunah Rasulullah Saw;

c. Isi ajarannya adalah berupa nasihat, perintah, larangan, dan petunjuk;

d. Tujuannya untuk kebahagiaan manusia, baik di dunia maupun di

akhirat;

e. Jangkauannya adalah keselamatan dunia akhirat dan lepas dari siksa neraka.

Oleh karena itu, Allah telah menyatakan kesempurnaan agama Islam dan telah mencukupkannya sebagai petunjuk bagi manusia. Sebagaimana Firman-Nya dalam surah Al-Maidah ayat 3:

Bab XIII – Pembersihan Diri

Buku Ajar PAI Akhlak

174

“...Pada hari ini Aku telah sempurnakan untuk kamu agamamu, dan Aku cukupkan nikmat-Ku untukmu, serta telah Aku ridlai Islam sebagai agamamu...”

B. Metode Pembersihan Diri

Adalah menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk menciptakan lingkungan yang baik. Untuk itu diperlukan sosok Muslim yang memiliki

kebersihan jiwa. Karena, kebersihan jiwa akan mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan lingkungan yang terpelihara.

Abdullah bin Mas‟ud dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, yang artinya:

“Sesungguhnya kebenaran itu membawa kebaikan, dan kebaikan membawa ke surga. Seseorang yang membiasakan diri berbuat baik /benar, tercatat di

sisi Allah Swt sebagai orang yang baik/benar.” (HR. Bukhari-Muslim)

Kemudian Rasulullah Saw bersabda yang artinya:

“Sesungguhnya kekotoran jiwa (berdusta) akan membawa kepada

keburukan, dan keburukan akan membawa ke neraka. Dan sesungguhnya seseorang yang membiasakan berdusta akan tercatat di sisi Allah sebagai tukang dusta.” (HR. Mutafaq „alaihi)

Hadits di atas mengisyaratkan betapa pentingnya setiap individu manusia memiliki jiwa yang bersih. Muhammad Al-Ghazali (1970: 16)

mengatakan bahwa: “pengaruh yang baik hanya bisa diharapkan dari orang-orang yang berjiwa bersih. Sehingga orang-orang disekitarnya akan tertarik dan mengikutinya. Sebaliknya, jiwa yang kotor akan berakibat buruk

baik bagi pelaku itu sendiri maupun bagi keharmonisan hubungan dengan sesama manusia (termasuk dengan alam semesta).”

Persoalannya adalah bagaimana cara efektif untuk membersihkan diri?

Bab XIII – Pembersihan Diri

Buku Ajar PAI Akhlak

175

Para sufi (Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, 2003: 400) telah memberikan contoh dalam mengobati seseorang agar memiliki jiwa yang

bersih, yaitu melalui metode muroqobah yang dalam prakteknya meliputi dua cara, yaitu:

Cara pertama disebut Takhliyah, yakni meniadakan atau mengosongkan kotoran yang ada dalam jiwa secara total, kemudian mengisinya dengan kebaikan-kebaikan.

Cara kedua disebut Tahliyah, yakni menguatkan kebaikan yang sudah ada di dalam jiwa dan menanamkan kebaikan-kebaikan yang baru secera

rutin dengan tidak mengosongkan terlebih dahulu kotoran-kotoran yang sudah ada pada jiwa. Sehingga pada gilirannya kotoran-kotoran yang ada di dalam jiwa dengan sendirinya menjadi lemah dan musnah.

Cara kedua ini sejalan dengan sabda Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (hadis hasan sahih) dari Abi Dzar Jundub bin Junadah

dan Abu „Abdurrahman Mu‟adz bin Jabbal ra., yang berbunyi:

“Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah perbuatan dosa dengan kebaikan, karena kebaikan akan

menghapuskannya, dan pergaulilah sesama manusia dengan akhlaq yang baik” (HR. Tirmidzi (1987)).

Sebagaimana firman Allah yang diungkapkan dalam Al-Quran Surah Huud ayat 114:

“Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan buruk. (dosa). Itulah

peringatan bagi orang-orang yang berdzikir”.

لق نة ثمحها، وخالق الناس ب ئة احلس ي الس اثق هللا حيثما كنت، وأثبع

حسن.

Bab XIII – Pembersihan Diri

Buku Ajar PAI Akhlak

176

Ayat di atas, mengungkapkan bahwa segala amal kebajikan menghapus perbuatan dosa.

Pertanyaan-Pertanyaan

1. Apa makna dosa dan maksiat ?

2. Kemukakan tingkatan dosa beserta penjelasannya!

3. Berikan penjelasan tingkatan dan bentuk-bentuk maksiat !

4. Jelaskan makna pembersihan diri yang terkandung dalam Al-Quran surat Al-Muddatsir ayat 4!

5. Jelaskan bagaimana metode Pembersihan diri!

6. Jelaskan makna taubat dan jenis-jenisnya!

7. Bagaimana cara taubat yang benar!

177

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran:

Al-Quran dan Terjemahnya,

Departemen Agama. 1990. Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: Bumi Restu.

Buku:

Abdurrahman, M. 2011. Memelihara Lingkungan dalam Ajaran Islam.

Abu Ahmadi, et.al. 1991. Psikologi Sosial, Jakarta: Rineka Cipta.

Adliyah, Ali MD. 2002. Model Pendidikan dalam Keluarga Muslim, Bandung:

PPs Unisba.

Adliyah, Ali MD. Februari 2001: 89-97. ”Pendidikan Anak Usia Sekolah”, dalam

Ta‟dib Jurnal Pendidikan Islam Vol.1 No.1.

Ahmad, Imam. 1416 H/1995. Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Cairo: Dar Al-Hadits.

Al-Albany, Muhammad Nashiruddin. 1412 H/1992 M. Silsilat Ahadits al-Dha’ifat wa al-Maudhu’at, Riyadh: Maktabah Al-Ma‟arif, dalam Al- Al-Maktabat

Al-Syamilah V.361.

Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Dâr Thauqu Al-Najah, 1422 H dalam Al-Maktabah Al-Syamilah V.361.

Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihyâ `Ulûm al-Dîn, t.t., Beirut : Dâr al-Ma‟rifah,

Al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya Ulumuddin,

Al-Ghazali, Muhammad. 1970. Akhlak Seorang Muslim, Bandung: PT Al-Ma‟arif.

Al-Ghazali, Muhammad. 1970. Khuluqul Muslim, Kuwait: Darul Bayan.

Al-Ghazali, Muhammad. 1987. Karakter Muslim, Bandung: Risalah.

Al-Ghazali, Muhammad. 1993. Akhlak Seorang Muslim, penerj. Muhammad Rifa‟i, Semarang: Wicaksana.

Al-Ghazali. 2001. Menyingkap Hakikat Perkawinan: Adab, Tata-cara dan Hikmahnya. Bandung: Penerbit Karisma.

Al-Ghazali. tt. Ihya ‘Ulumuddin, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr.

178

Al-Hasyimy, Muhammad Ali. 1997. Jati Diri Wanita Muslimah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Ali, Zainuddin. 2011. Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara.

Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. 2014. Minhajul Muslim: Konsep Hidup Ideal dalam

Islam (terjemahan Musthofa Aini dkk) Cetakan ke-11, Jakarta: Darul Haq.

Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. 1986. Tafsir Al-Maraghi. X, Terj. M. Thalib,

Yogyakarta: Sumber Ilmu.

Al-Nasa`i, Imam. 1406 H/1986 M. Al-Sunan Al-Nasa`i, Halab: Maktabah Al-Mathbu‟ah Al-Islamiyah.

Al-Qarni, Aidh, La Tahzan,

Al-Rauf, Zainuddin Muhammad. 1408 H/1988 M. Al-Taisîr bi Syarh Al-Jâmi’u

Al-Shagîr, Riyadh: Maktabat Al-Imâm Al-Syâfi‟î, dalam Al-Maktabat Al-Syâmilah V.361.

Al-Sa‟di, Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah. 1420 H/ 2000 M. Tafsir Al-

Sa’di, Muasasat Al-Risalah, dalam Al- Al-Maktabat Al-Syâmilah V.361.

Al-Sakir, Ibnu. 1421 H/2000 M. Mu’jam Al-Syuyukh, Damaskus: Dar Al-

Basyair.

Al-Thabrani, Imam. 1405 H/ 1984 M. Musnad Al-Syamiyin, Beirut: Muasasat Al-Risalah.

Al-Tirmidzi, Imam, Sunan Al-Tirmidzi, Mesir: Syirkat Maktabat wa Mathb‟ah.

Amin, Ahmad, Kitab Al-Akhlak, tt, Kairo-Mesir: Darul Kutub Al-

Mishriyah.

Amin, Ahmad. 1955. Ethika (ilmu akhlak), Jakarta: Bulan Bintang.

Amin, Ahmad. 1975. Ethika (Ilmu Akhlak) terj. Farid Ma‟ruf, Jakarta: Bulan

Bintang.

Anis, Ibrahim. 1972. Al Mu’jam Al-Wasith, Mesir: Darul Ma‟arif.

Anwar, Rosihan. 2008. Akidah Akhlak, Bandung: Pustaka Setia.

Asmaran As. 2002. Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Asse, Ambo. 2003. Al-Akhlak al-Karimah Dar al-Hikmah wa al-Ulum.Makassar: Berkah Utami.

Asy-Syafi‟I, Muhyudin Abu Zakaria. 1991. Menuju Pribadi Yang Shaleh,

Surabaya: Media Idaman.

179

Bertens, K. 2007. Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bey Arifin dan H. Abdullah Said. 1980. Rahasia Ketahanan Mental dan Bina

Mental Dalam Islam, Surabaya: Al-Ikhlas.

Chaplin, C.P. 1989. Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: Rajawali Press.

Darajat, Zakiah. 1977. Membina Nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang,.

Djamil, Abdul Hamid M. 2015. Agar Menuntut Ilmu Jadi Mudah, Jakarta : PT

Alex Media Komputindo.

Fatimah, Muhammad Khair. 1999. Etika Muslim Sehari-hari, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Ghazali, Imam. 2014. Ihya `Ulumiddin,terj., Depok : Keira Publishing.

Hadhiri, Choiruddin. 2015. Akhlak dan Adab Islami,Menuju Pribadi Muslim

Ideal, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.

Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2011. Tasawuf Islam dan Akhlak, penerj. Kamran As‟at Irsyadi dan Ghazali, Jakarta: Amzah.

Hasan, A. 1986. Kesopanan Tinggi Secara Islam, Bandung: CV. Dipenogoro.

Hasyimi, Muhammad Ali. tt. Syahsiyyah Al-Muslimin, Beirut, Libanon: Darul-

Quran.

Hawwa, Sa`id. 2004. Mensucikan Jiwa, terj., Jakarta: Robbani Press.

Helmy, Masdar. 2012. Keteladan Akhlak Rasulullah, Tuntunan Moral Untuk

Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah.

Ilyas, H. Yunahar. 2007. Kuliah Akhlak, Yogyakarta: LPPI.

Ilyas, Yunahar. 2004. Kuliah Akhlak, Yogyakarta: Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam/LPPI.

Imamuddin, Basuni, et.al. 2001. Kamus Kontekstual Arab-Indonesia,

Depok: Ulinuha Press.

John. M. Echol, et.al. 1987. Kamus Bahasa Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia.

Kartono, Kartini. 1996. Psikologi Umum, Bandung: Mandar Maju.

Katsir, Ibnu, Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, Dar Thayibat, 1420 H/1999 M dalam

Al- Al-Maktabat Al-Syâmilah V.361.

Kementrian Lingkungan Hidup RI. 2002. “Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Lingkungan Hidup”. Jakarta.

180

Khair Fatimah, Muhammad. 2002. Etika Muslim Sehari-hari, Jakarta: Penerbit Al-Kautsar.

M. Abdul Qasim dan Kamil. 1988. Etika Al-Ghazali, Bandung: Pustaka.

M. Quraish Shihab. 1996. Wawasan Al-Quran, Jakarta: Mizan.

M. Quraish Shihab. 1992. Membumikan Al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung : Penerbit Mizan.

M. Rahmat Effendi, Komarudin Shaleh, Nandang HMZ. 2013. Memperbaiki

Gonjang Ganjing Akhlak Bangsa, Bandung: Pustaka Al-Fikris.

M. Sanusi. 2011. Negosiasi Cerdik Ala Nabi, Jogjakarta: Bening.

M. Yatimin Abdullah. 2007. Studi Akhlak dalam Perspektif Al-Quran, Jakarta:

Amzah.

Majah, Ibnu, Sunan Ibnu Majah, Dar Al-Risalah Al-„Alamiyah, 1430 H/2009 M

dalam Al-Maktabah Al-Syâmilah V.361.

Marimba, Ahmad D. 1980. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Ma‟arif.

Matta, Anis. 2006. Membentuk Karakter Cara Islam, Jakarta: Al-I‟tishom.

Muhammad bin Hiban. 1408 H/1988 M. Musnad Ibnu Hiban, Bairut: Muasasat

Al-Risalah.

Muhammad bin Shalih bin Muhammad Al-„Utsimin. 1426 H. Syarah Riyâdh Al-Shâlihîn, Riyadh: Dar Wathan, dalam Al-Maktabat Al-Syâmilah V.361.

Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir, Yogyakarta: Ponpes Al-Munawwir Krapyak.

Muslim Nurdin dkk. 1995. Moral dan Kognisi Islam, Bandung: CV Alfabeta.

Muslim, Imam, Shahih Muslim, Bairut: Dâr Ihya dalam Al-Maktabat Al-Syâmilah V.361.

Nas, Muammar. 2010. Kedahsyatan Marketing Muhammad, Bogor: Pustaka Iqro.

Nata, Abuddin. 2002. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Pamungkas, Imam, Akhlak Muslim Modern: Membangun Karakter Generasi Muda, Bandung: Penerbit MARJA, 2012.

Rasyid, Hamdan. 2007. Bimbingan Ulama’ Kepada Umara dan Umat. Pustaka Beta.

Rifa‟i, Muhammad. 1993. Pembina Pribadi Muslim, Semarang: Wicaksana.

181

Saliem bin Ied Al Hilali. th 1420 H. Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, cet VI, Dar Ibnul Jauzi.

Shihab, Quraish. 2000. Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, Quraish. 2007. Pengantin Al-Qur’an: Kalung Permata buat Anak-

anakku, Jakarta: Lentera Hati.

Sujanto, Agus. 1985. Psikologi Umum, Jakarta: Aksara Baru.

Sukamto. 1981. Petunjuk Membangun dan Membina Keluarga: Menurut

Ajaran Islam, Surabaya: Penerbit Al Ikhlas.

Sukanto. 1994. Paket Moral Islam Menahan Nafsu dari Hawa, Solo: Maulana Offset.

Syaibah, Abu Bakar bin Abi. 1997. Musnad Ibnu Abi Syaibah, Al-Riyadh: Dar Al-Wathan.

Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jaza‟iri. 2006. Minhajul Muslim, Konsep Hidup Ideal dalam Islam, Jakarta: Darul Haq.

Tatapangarsa, Humaidi. 1980. Akhlak Yang Mulia, Surabaya: Bina Ilmu.

Thabbarah, Afif Abdullah Fatah. 1986. Dosa Dalam Pandangan Islam, Bandung: Risalah.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdiknas. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Toffler, Alvin. 1988. Gelombang Ketiga (terjemahan Sri Koesdiantinah), Jakarta, PT Panca Simpati.

Umary, Barmawie. 1991. Materi Akhlak, Solo: Ramadhani.

Ya‟kub, Hamzah. 1982. Etika Islam: Pembinaan Akhlakul karimah, Bandung: CV Diponegoro.

Ya‟qub, Hamzah. 1993. Etika Islam, Bandung: Diponegoro.

Yunus, Mahmud. 1978. Pokok-Pokok Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta: Agung.

Zakaria, A. 2003. Etika Hidup Seorang Muslim, Cetakan ke-3., Garut: Ibn Aka Press

Zamroni, Imam. 2015. Makalah : Etika Menuntut Ilmu dalam Islam (Dosen STID M Natsir) : Jakarta.

182

Internet:

Abu Ismail Muslim Atsari, Hubungan Antara Aqidah dan Syari‟ah [online],

tersedia:http://almanhaj.or.id/content/2882/slash/0/hubungan- antara –aqidah-dan-syariat/diakses [08 Juni 2015]

Dayang HK, "Pentingnya Pembentukan Akhlak Mulia", http://www.brunet.bn/ news/pelita/25jan/teropong.htm, 4 Juni 2015,

Hadi, “Al-Quran Pembina Akhlak Mulia” http://geocites.com/pematra

/taz20.htm, senin, 8 Mei 2015.

http://ensiklopedi-alquran.com/index.php/index/1445-hak-dan-kewajiban-suami-istri (diakses tanggal 30 Maret 2015)

http://makalahmhs.blogspot.com/2012/12/akhlak-seorang-anak-kepada-orang-tua.html (diakses tanggal 26 Maret 2015)

http://muslim.or.id/manhaj/budak-dan-pembantu-rumah-tangga.html (diakses tanggal 30 Maret 2015)

Yulianti, Hubungan antara Aqidah dan Syari‟ah [online] tersedia: http://

yuliantihome.wordprees.com/2011/07/11/hubunganakhlak_dengan_iman_dan_ihsan [20 Maret 2014]