105
KONSEP AKHLAK DALAM KITAB AYYUHAL WALAD DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER ANAK USIA DINI SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) Disusun Oleh: Leli Romdaniah (11160184000013) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1443 H / 2022 M

konsep akhlak dalam kitab ayyuhal walad dan relevansinya

Embed Size (px)

Citation preview

i

KONSEP AKHLAK DALAM KITAB AYYUHAL WALAD DAN

RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN

KARAKTER ANAK USIA DINI

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Disusun Oleh:

Leli Romdaniah (11160184000013)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1443 H / 2022 M

i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi berjudul KONSEP AKHLAK DALAM KITAB AYYUHAL WALAD DAN

RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER ANAK USIA DINI

disusun oleh Leli Romdaniah, NIM. 11160184000013, Program Studi Pendidikan Islam

Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang

berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.

Jakarta, 22 Desember 2021

Yang mengesahkan,

Dosen Pembimbing

Dr. Azkia Muharom Albantani, M.Pd.I

NIDN. 2025079101

iv

KEMENTERIAN AGAMA

FORM (FR)

No. Dokumen : FITK-FR-AKD-081

UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010

FITK No. Revisi: : 01

Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412

Indonesia Hal : 1/1

SURAT PERNYATAAN PROGRAM STUDI

Ketua/Sekretaris Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini

Menyatakan bahwa,

Nama : Leli Romdaniah

NIM : 11160184000013

Prodi : Pendidikan Islam Anak Usia Dini

Semester : XI (Sebelas)

Benar telah menyelesaikan semua Program Akademik sesuai ketentuan yang berlaku dan

berhak untuk menempuh Ujian Skripsi (Munaqasah).

Jakarta, 30 Maret 2022

Mengetahui,

Penasehat Akademik,

Dr. Azkia Muharom Albantani, M.Pd.I

NIDN. 2025079101

Ketua/Sekretaris Prodi

Dr. Siti Khodijah, MA

NIP. 19700727 199703 2 004

v

ABSTRAK

Leli Romdaniah. (1160184000013). Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia

Dini, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Konsep Moral dalam Kitab Ayyuhal

Walad dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter Anak Usia Dini.

Betapa pentingnya pendidikan moral terhadap anak usia dini. Ada kisah yang

menarik bagi saya ketika mendengarkan cerita seorang ibu yang setia mengantarkan

anaknya ke sekolah, beliau menceritakan bahwa anaknya semenjak sekolah mengalami

banyak perubahan terutama terhadap perilaku dirumahnya dan berteman dengan teman-

temannya. Saat kakanya marah pada adiknya, adiknya langsung berkata kaka “kata ibu

guruku La taghdob walakal Jannah, kalo kita marah kita harus baca taawudz”. Fokus

penelitian, dalam penulisan skripsi ini penulis memfokuskan kepada masalah Pendidikan

Moral Anak Dini menurut Imam Al-Ghazali, yang metodenya adalah penelitian

kepustakaan (Library Reseacrh). Subjek peneliti ini adalah Pendidikan Akhlak menurut

Imam al-Ghozali. Dalam menganalisa data yang telah terkumpul penulis menggunakan

teknik deskriptif analisis, yaitu teknik analisis data yang menggunakan menafsirkan serta

mengklasifikasikan dengan membandingkan fenomena-fenomena pada masalah yang

diteliti melalui langkah mengumpulkan data, menganalisa data dan menginterpretasi data

dengan metode berpikir deduktif dan induktif. Setelah dianalisis maka dipadukan kembali

unsur-unsur tersebut untuk mencapai suatu kesimpulan. Kitab Ayyuhal Walad ini ditulis

oleh Imam Al-Ghazali sebagai jawaban kepada sepucuk surat yang dikirim oleh seorang

murid beliau yang sangat mencintainya, dimana didalam surat itu murid beliu meminta

agar imam Al-Ghazali sudi menulis sepucuk surat yang merupakan suatu nasehat yang

ditujukan kepadanya secara khusus, walaupun ia yakin bahwa isi kandungan surat

tersebut telah ada termaktub dalam kitab-kitab lainnya. Pendidikan Akhlak menurut al-

Ghazali dalam kitab Ayyuhal walad yaitu: religius: mempunyai akhlak yang mulia, dan

mengendalikan hawa nafsu. Toleransi: saling menghargai, tidak saling mencela dan

menggunjing. Kerja keras: tidak gampang menyerah dan rajin belajar. Kreatif:

mempunyai ambisi yang kuat dan berkomitmen tinggi. Rasa ingin tahu: semangat belajar

yang tinggi dan selalu ingin tahu. Tanggung jawab: dapat dipercaya, peduli lingkungan,

dan selalu berkata jujur. Relevansi pendidikan moral menurut Al-Ghazali dalam kitab

Ayyuhal Walad terhadap pendidikan karakter bagi anak, yaitu: religius, toleransi, kerja

keras, kreatif, rasa ingin tahu, dan tanggung jawab.

Kata Kunci: Kitab Ayyuhal Walad, Pendidikan Karakter, Anak Usia Dini

vi

ABSTRACT

Leli Romdaniah. (1160184000013). Moral Concepts in the Ayyuhal Walad Book and

Its Relevance to Early Childhood Character Education. Early Childhood Islamic

Education Study Program, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training.

How important is moral education for early childhood. There is an interesting story for

me when I listen to the story of a mother who faithfully takes her child to school, she tells

that her child since school has experienced many changes, especially in his behavior at home

and making friends with his friends. When his brother was angry with his sister, his sister

immediately said, "My teacher said La taghdob walakal Jannah, if we are angry we have to

read taawudz". The focus of the research, in writing this thesis the author focuses on the issue

of Early Childhood Moral Education according to Imam al-Ghozali, whose method is library

research. The subject of this research is Moral Education according to Imam al-Ghozali. In

analyzing the data that has been collected, the writer uses descriptive analysis techniques,

namely data analysis techniques that use interpreting and classifying by comparing the

phenomena in the problems studied through the steps of collecting data, analyzing data and

interpreting data with deductive and inductive thinking methods. After being analyzed, the

elements are combined again to reach a conclusion. The book of Ayyuhal Walad was written

by Imam Al-Ghazali in response to a letter sent by a student of his who loved him very much,

in which his student asked Imam Al-Ghazali to write a letter which was an advice addressed

to him specifically , although he believes that the contents of the letter are already contained

in other books. Moral education studies the thoughts of Imam Al-Ghazali in the book

Ayyuhal Walad of 18 characters. The values of moral education according to al-Ghazali in the

book Ayyuha al-walad are: religious: having noble character, and controlling lust. Tolerance:

mutual respect, not criticizing and gossiping. Hard work: don't give up easily and study hard.

Creative: have strong ambitions and are highly committed. Curiosity: high enthusiasm for

learning and always curious. Responsibilities: trustworthy, care for the environment, and

always tell the truth. The relevance of moral education according to al-Ghazali in the book

Ayyuha Al-Walad to character education for children, namely: religious, tolerance, hard work,

creativity, curiosity, and responsibility.

Keywords: Ayyuhal Walad Book, Character Education, Early Childhood

vii

KATA PENGANTAR

Pertama dan yang paling utama, saya panjatkan puji dan syukur kepada Allah

Subhanahu wa Ta‟ala, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, serta kekuatan dari-Nya saya

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Juga tidak lupa shalawat serta salam

saya haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammmad Shallallah Alayhi wa Sallam beserta

keluarga dan para pengikutnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini begitu banyak hambatan dan

kesulitan sehingga tidak lepas dari bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena

itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Prof. Amany Lubis M.A Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Dr. Sururin, M.Ag. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

3. Dr. Siti Khadijah, M.A. Ketua Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Miratul Hayati, M.Pd. Sebagai Sekretaris Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia

Dini yang banyak memberikan dukungan dan motivasi selama ini.

5. Dr. Azkia Muharom Albantani M.Pd.I, selaku Dosen Bimbingan Akademik yang telah

meluangkan waktu, memberikan tenaga dan fikirannya untuk membimbing hingga

selesainya skripsi ini.

6. Kedua Orang tua yang tak pernah berhenti memberikan kasih sayang Bapa H. Rafiuddin

dan Mama Hj. Nunung Nuraeni semoga sehat selalu dan bahagia selalu.

7. Kaka-kaka dan Adik- Adik yang terkasih Ka Ade, Ka Arif, Ka Awang, Ka Ahmad, Teh

Adah, Teh Liah, Teh Piah, Ka Embub, Ka Nur, Ka Sholeh dan Adik- adik Ujib, Rijal,

Iffah yang selalu mendukung, memberi motivasi dan mendoakan, serta selalu memberi

bantuan baik moril maupun materil. Karena do‟a mereka saya dapat menyelesaikan

skripsi ini.

8. Kaka yang membantu keriwetan dan menyaksikan haru pada bimbingan hingga proses

menuju sidang sampai sekarang ada didepan saya Abdul Hafiz, dan kerabat dekat yang

pernah menjadi teman kamar selama diciputat dan suport saya Zulfi, Nafa, Anis, Shofi,

Nabila, Ella, Aisyah

9. Teman-teman seperjuangan Pendidikan Islam Anak Usia Dini kelas A dan B 2016 yang

telah menemani dan yang selalu memberikan dukungan kepada saya dari awal

viii

perkuliahan hingga saat ini. Terkhusus Dini dan Thorfi yang bareng bimbingan dengan

haru bersama.

10. Himpunan Qari‟-Qari‟ah Mahasiswa telah mengajarkan aku kehidupan dengan warna

yang indah kaka adik teman yang lebih menjadikanku keluarga.

11. Kanda dan Yunda Ikatan Remaja Masjid Fatullah yang memberikan singgah rasa- rasa

pada kehidupan perkuliahan ini.

Skripsi ini telah disusun secara maksimal. Terlepas dari itu, penulis menyadari bahwa

masih ada kekurangan baik itu dari sistematika penulisan maupun penggunaan bahasa. Oleh

karena itu, penulis sangat berharap adanya kritik dan saran dari semua pihak yang membaca,

untuk kebaikan di masa mendatang.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

pembuatan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga Allah membalas

semua kebaikan kalian. Akhir kata, semoga Skripsi ini dapat diterima dan memberikan

manfaat bagi penulis dan pembaca.

Jakarta, 30 Maret 2022

Penulis

Leli Romdaniah

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI i

LEMBAR PENGESAHAN ii

ABSTRAK v

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI ix

BAB I 1

PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Identifikasi Masalah 4

C. Pembatasan Masalah 5

D. Rumusan Masalah 5

E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 5

F. Metode Penelitian 6

BAB II 9

KAJIAN TEORI 9

A. Konsep Akhlak 9

B. Dasar, Tujuan, dan Ruang lingkup Akhlak 11

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akhlak 19

D. Konsep Karakter 20

E. Pengertian Pendidikan Karakter 21

F. Fungsi, Tujuan dan Urgensi Pendidikan Karakter 23

G. Hasil Penelitian Yang Relevan 25

BAB III 28

BIOGRAFI AL-GHAZALI 28

A. Riwayat Hidup Al-Ghazali 28

B. Riwayat Pendidikan Imam Al-Ghazali 39

C. Karya-karya 42

D. Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali 45

BAB IV 48

TEMUAN DAN PEMBAHASAN 48

A. Selayang Pandang Ayyuhal Walad 48

B. Latar belakang penulisan kitab Ayyuhal Walad 49

C. Pendidikan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Al-Ghazali 51

D. Konsep Akhlak Anak Dalam Kitab Ayyuhal Walad 56

E. Relevansi Kitab Ayyuhal Walad Terhadap Pendidikan Karakter Anak Usia Dini 59

BAB V 69

PENUTUP 69

A. Kesimpulan 69

B. Saran 69

DAFTAR PUSTAKA 71

Lampiran 90

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional pasal 28 yang menjelaskan bahwa :“Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

diselenggarakan melalui tiga jalur yaitu : Pertama, jalur pendidikan formal berbentuk

Taman Kanak- kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat;

Kedua, jalur pendidikan non formal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman

Pendidikan Anak (TPA) atau bentuk lain yang sederajat dan ketiga, jalur pendidikan

informal berbentuk keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Istilah Golden Age sering dimaknai dengan masa keemasan anak usia dini, dari

anak berusia 0-6 tahun. Merupakan masa dimana perkembangan dan pertumbuhan yang

sangat menentukan bagi anak di masa depannya.1 Priode ini juga yang menentukan tahap

perkembangan dan pertumbuhan anak pada tahap selanjutnya. Pertumbuhan dan

perkembangan merupakan proses alami yang terjadi dalam kehidupan manusia, dimulai

sejak dalam kandungan sampai akhir hayat. Pertumbuhan lebih menitikberatkan pada

perubahan fisik yang bersifat kuantitatif, sedangkan perkembangan yang bersifat

kualitatif berarti serangkaian perubahan progresif sebagai akibat dari proses kematangan

hingga ajal selalu terjadi perubahan, baik fisik maupun kemampuan psikologis.2

Pada masa ini anak mempunyai peluang dalam mengembangkan kemampuan

nilai agama dan akhlak, kognitif, bahasa, fisik motorik halus dan kasar, seni. Taman

pendidikan anak usia dini yang akan memperkenalkan kepada anak akan realitas

lingkungan hidup yang lebih luas dibandingkan lingkup keluarga. Disinilah nilai-nilai

akan diperkenalkan kepada anak-anak.

Usia 4-6 tahun merupakan masa peka bagi anak usia dini, pada masa ini anak

sensitif untuk menerima rangsangan dalam upaya mengembangakan seluruh potensi anak.

Masa peka anak adalah masa terjadinya pematangan fungsi fisik dan psikis yang siap

merespon stimulus yang diberikan oleh lingkungan. Oleh sebab itu dibutuhkan susana

belajar strategis dan stimulus yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan

perkembangan anak tercapai secara optimal3

1Suryadi dan Maulidya Ulfah, Konsep Dasar PAUD, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h.2

2Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1996), h.12

3Yamin, H. Martinis. Panduan Pendidikan Anak Usia Dini. (Jakarta: GP Press. 2010), h. 4

2

Pada Bab 1 pasal 1, butir 14 Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya

pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang

dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan

jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut.

Dalam buku karangan Dr. Nashih Ulwan ada lima perkara metode pendidikan

yaitu mendidik dengan keteladanan, mendidik dengan kebiasaan, mendidik dengan

nasihat, mendidik dengan perhatian dan mendidik dengan hukuman. Pada dasarnya islam

membawa misi yang penting dalam hal pendidikan. Jadi, perilaku manusia benar-benar

menjadi yang terdepan dalam agama, bahkan akhlak mulia adalah islam itu sendiri.

Betapa banyak yang mempengaruhi keberhasilan pendidik dalam

mengembangkan nilai agama dan akhlak diantaranya perencanaan yang baik, kegiatan

belajar mengajar dengan fasilitas yang baik juga proses kegiatan keislaman terkonsep

dengan baik. Mengingat pentingnya nilai agama dan akhlak anak untuk anak usia dini

khususnya anak yang berusia 4-6 tahun, maka salah cara yang ditempuh adalah melalui

kegiatan keislaman.

Sehingga dapat dikatakan bahwasanya perbuatan dan tindakan yang dilakukan

oleh seorang individu mampu mempengaruhi kebiasaan dan keberadaan dari seseorang.

Maka menanamkan kegiatan keislaman sejak dini kepada anak dapat memberikan

kebiasan yang mengarahkan anak pada akhlak mulia. Sisi akhlak yang menonjol dengan

keteladanan yang baik adalah faktor terbesar yang memberi pengaruh terhadap hati dan

jiwa. Hal ini juga menjadi sebab terbesar tersebarnya islam ke pelosok negeri yang jauh

dan masuknya banyak umat manusia ke jalan iman.4

Namun, apakah cukup bagi para pendidik untuk mengemban berbagai tanggung

jawab tersebut dan melaksanakan semua kewajibannya.5 Jawabannya sudah pasti bahwa

seorang pendidik yang baik akan selalu mencari sarana dan metode pendidikan yang

sangat berpengaruh dalam pembentukan akidah dan akhlak anak, dalam pembentukan

pengetahuan, mental dan sosialnya bahkan pengembangan lainnya.

Pada dasarnya seorang guru sangat memperhatikan dalam proses pembinaan dan

pendidikan kepada peserta didik, sebelum peserta didik melakukan segala hal pasti yang

dicontohkan adalah seorang guru terlebih dahulu, ketika dari guru telah menanamkan

kebiasaan baik pada dirinya maka akan lebih mudah lagi peserta didik hendak mengikuti

4Abdullah Nashih „Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Terj.Arif Rahman Hakim (Jawa Tengah:

Insan Kamil Solo, 2017, h.533. 5Suryadi dan Maulidya Ulfah, Konsep Dasar PAUD, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h.2

3

dan mengerjakan akhlak mulia yang dicontohkan oleh seorang guru yaitu melalui

kebiasaan akhlak mulia.

Bagi para pendidik untuk menerapkan pendidikan yang baik untuk anak seakan

terasa sangat mudah, akan tetapi sangat sulit bagi anak untuk mengikuti metode

pendidikan yang diberikan oleh pendidik, karena bagaimana pun besarnya pendidik

menerapkan metode untuk kebaikanya. Ia tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip

kebaikan tersebut jika anak tidak melihat sang pendidik sebagai teladan dan menjungjung

nilai-nilai Akhlak yang tinggi.6

Dalam Undang-Undang Nomor 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional salah satu tujuannya adalah mewujudkan akhlak yang mulia, akan tetapi fakta

yang menunjukkan banyak dijumpai generasi muda masa kini kurang sopan, bahkan lebih

ironisnya lagi banyak anak-anak yang sudah tidak menghormati orangtua serta guru-guru

di sekolahnya. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh ilmu dan teknologi informasi yang

sudah mengglobal, bahkan tidak bisa difilter kembali, oleh karena itu perlu adanya

penanaman akhlak yang baik sehingga membuat anak tersebut istimewa.7

Hal ini dikarenakan, pada usia anak-anak the golden age adalah waktu yang tepat

untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang nantinya diharapkan akan membentuk

kepribadiannya. Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan Gardner8 bahwa anak

usia dini mengalami perkembangan yang sangat pesat mecapai 80%, 50% dari dilahirkan

sampai usia 4 tahun, 30% lagi bertambah sampai anak berumur 8 tahun. Dan nantinya

selebihnya berkembang sampai 18 tahun. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada rentang

usia dini merupakan masa yang tepat untuk dilakukan pendidikan karakter dikarenakan

kemampuan otak dalam hal yang menyerap nilai-nilai berkembang dengan baik dan

menjadikan nilai-nilai tersebut dapat menjadi kebiasaan ketika dewasa. Pendidikan

karakter bagi anak usia dini sendiri mempunyai makna yang lebih tinggi dari pendidikan

moral dikarenakan tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah tetapi bagaimana

menanamkan kebiasaan tentang berbagai perilaku yang baik dalam kehidupan sehingga

anak memiliki kecerdasan dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan

sehari-hari.

6Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, Terj. Arif Rahman Hakim jilid 2.

(Pustaka Amani : Jakarta, 2007) h.142 7Sabar Budi Raharjo, “Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia” Jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16 No. 3. Mei 2010 8Mulyasa. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara, 2011. h.27

4

Sungguh sangat memilukan, bukan hanya anak remaja tetapi anak kecil dibawah

umur pun terjadi kasus pencabulan, tragedi ini termasuk permasalahan yang amat serius

dan sudah merusak masa depan anak-anak. Betapa pentingnya pendidikan akhlak

terhadap anak usia dini. Ada kisah yang menarik bagi saya ketika mendengarkan cerita

seorang ibu yang setia mengantarkan anaknya ke sekolah, beliau menceritakan bahwa

anaknya semenjak sekolah mengalami banyak perubahan terutama terhadap perilaku

dirumahnya dan berteman dengan teman-temannya. Saat kakanya marah pada adiknya,

adiknya langsung berkata kaka “kata ibu guruku La taghdob walaakal jannah, kalo kita

marah kita harus baca taawudz”. Dari sinilah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa

anak yang tertanam dilingkungan pendidikan akan memberi pengaruh yang baik, seperti

kisah tersebut.

Fenomena ini yang melatar belakangi penulis untuk mengetahui cara

menanamkan pendidikan akhlak pada anak usia dini dengan berbagai cara. Terlepas dari

perbedaan kata yang digunakan baik etika, akhlak dan budi pekerti mempunyai

penekanan yang sama, yaitu adanya kualitas-kualitas yang baik teraplikasikan dalam

perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari, baik sifat-sifatnya yang ada dalam

dirinya maupun dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat.9 Walau mempunyai

perbedaan, namun akhlak, etika dan akhlak dapat dianggap sama apabila sumber ataupun

produk budaya yang digunakan sesuai.10

Bahwasanya skripsi ini sangat berkaitan dengan pendidikan akhlak anak tentang

sikap dan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Seperti jujur, toleransi,

bertanggung jawab dan lainnya. Oleh karena itu, maka tentang konsep akhlak anak bukan

sekedar mengajarkan norma-norma tentang mana nilai-nilai diutamakan untuk mencapai

pribadi yang baik dalam situasi kehidupan, akan tetapi konsep akhlak anak juga

dipengaruhi oleh pendidikan karakter yang sesuai.

B. Identifikasi Masalah

1. Pendidikan akhlak anak usia dini di sekolah masih kurang maksimal

2. Minimnya literatur mengenai pendidikan anak usia dini tentang akhlak

9La Ode Aan Sanjaya, Jamaludin Hos, dan Ratna Supiyah, “Kontrol Sosial Masyarakat Terhadap

Maraknya Seks Bebas di Kalangan Pelajar”, Jurnal Pemkiran dan Penelitian Sosiologi.Vol. 16 2018 h, 441-

448. 10

Muslim Nurdin, Moral Dan Kognisi Islam: Buku Teks Agama Untuk Perguruan Tinggi Umum

(Bandung: Alfabeta,1993), h.209

5

3. Minimnya literatur dalam kitab Ayyuha alwalad tentang pendidikan akhlak anak

usia dini

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, penulis akan membatasi beberapa hal yang

berkaitan dengan masalah, yaitu diperlukannya sistem di sekolah yang mendukung

penanaman perkembangan nilai agama dan akhlak anak melalui kegiatan keislaman

berdasarkan pemikiran Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad.

D. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pendidikan Akhlak Anak Usia Dini menurut Imam Al-Ghazali?

2. Apa Relevansi Pendidikan Akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal

walad terhadap pendidikan karakter Anak?

E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian ini adalah:

a. Mengetahui pendidikan akhlak anak usia dini menurut Imam Al-Ghazali dalam

kitab Ayyuhal Walad

b. Mengetahui relevansi konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam

kitab Ayyuhal walad terhadap pendidikan karakter Anak

2. Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan khazanah bagi pendidikan

khususnya bagi pendidik dalam penanaman perkembangan akhlak anak di sekolah.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan memberikan ilmu pengetahuan yang baru kepada

peneliti, serta pengalaman mengenai penelitian baik dalam teoritis maupun

praktis

2) Bagi Lembaga Pendidikan

Penelitian ini dapat dijadikan rujukan sebagai informasi serta bahan masukan

dalam menerapkan penanaman perkembangan nilai dan Akhlak

3) Bagi Masyarakat

6

Penelitian ini memberikan wawasan serta pengalaman dalam penanaman

perkembangan nilai agama dan akhlak pada anak

4) Bagi penelitian lain

Dengan penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan dalam penelitian yang

akan dilakukan.

F. Metode Penelitian

1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian yang berjudul “Konsep Akhlak dalam Kitab Ayyuhal Walad dan

Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter Anak Usia Dini” ini dilaksanakan

dalam waktu beberapa bulan, dengan waktu sebagai berikut: September awal 2020

sampai bulan Desember 2021 digunakan untuk pengumpulan data mengenai

sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari buku-buku yang ada di perpustakaan,

serta sumber lain yang mendukung penelitian ini. Terutama yang berkaitan

dengan akhlak anak usia dini, metode dan materi dari berbagai sumber sebagai

sumber primer.

2. Jenis Penelitian

Menurut Bodgam & Taylor, penelitian kualitatif adalah penelitian yang

menghasilkan data deskriptif, yaitu ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat

menghasilkan data deskriptif, yaitu ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat

diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri.

Jenis penelitian ini adalah kajian pustaka yang bersifat analisis. Penelitian

pustaka yaitu peneliti berusaha untuk mengumpulkan dan menyusun data,

kemudian terdapat analisa dan interpretasi atau pengisian terhadap data tersebut.

Pembahasan ini merupakan pembahasan naskah, yang mana datanya diperoleh

melalui sumber literatur, yaitu melalui penelitian kepustakaan. Penelitian

kepustakaan bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dari buku-buku,

film, majalah, dokumen, catatan dan kisah-kisah sejarah lainnya. Serta deskripsi

analisis yaitu dengan memberi gambaran utuh dan sistematis serta mengalisisnya

secara mendalam mengungkap pendidikan akhlak menurut al-Ghazali dalam kitab

Ayyuhal Walad.

3. Fokus Penelitian

Fokus penelitian, dalam penulisan skripsi ini penulis memfokuskan kepada

masalah Pendidikan Akhlak Anak Usia Dini menurut Imam al-Ghazali dalam

kitab Ayyuhal walad, yang metodenya adalah penelitian kepustakaan (Library

7

Reseacrh). Subjek peneliti ini adalah Pendidikan Akhlak menurut Imam al-

Ghazali.

4. Prosedur penelitian

Prosedur penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

kepustakaan (Library Reseacrh) metode yang dilakukan adalah:

a. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada

hubungannya dengan masalah yang akan diteliti dengan mengumpulkan data-

data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan

sekunder yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.

b. Teknik Pengolahan Data

Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah

membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi dan mengklasifikasikan data-

data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya

penulis bandingkan, analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.

c. Analisis Data

Dalam menganalisa data yang telah terkumpul penulis menggunakan teknik

deskriptif analisis, yaitu teknik analisis data yang menggunakan menafsirkan

serta mengklasifikasikan dengan membandingkan fenomena-fenomena pada

masalah yang diteliti melalui langkah mengumpulkan data, menganalisa data

dan menginterpretasi data dengan metode berpikir deduktif dan induktif.

Setelah dianalisis maka dipadukan kembali unsur-unsur tersebut untuk

mencapai suatu kesimpulan.

Untuk melakukan analisis data penulis menggunakan beberapa metode yaitu :

1) Metode Deskriptif

Metode deskriptif yaitu pemaparan gambaran yang mengenai situasi yang

diteliti dalam bentuk uraian naratif11

2) Metode Content Analisys

Metode Content Analysis (Analisis Isi) Harold D. Lasswell mengatakan

bahawa analisis isi (Content Analysis) merupakan penelitian yang

11

Sudjana Nana dan Ibrahim. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru

Bandung. 1989,h. 189

8

mendalam untuk membahas tentang sesuatu informasi. Analisis data dalam

penelitian ini ialah analisis isi (content analysis).12

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan ini berpedoman pada buku pedoman penulisan Skripsi Fakultas

Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Unversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2013.

12

Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 104.

9

BAB II

KAJIAN TEORI

Pemikiran Imam al- Ghazali seorang ilmuan kontemporer yang sudah tidak asing

lagi para penuntut ilmu. Tidak sedikit kitab-kitab yang ditulis beliau digunakan dalam

dunia akademisi maupun di dunia pesantren. Kitab yang paling fenomenal adalah kitab

Ihya Ulumuddin yang dikatakan sebagai kitab penyempurna dari karya-karya imam al-

Ghazali. Dalam karya beliau ini, banyak pemikiran- pemikiran beliau tentang pendidikan

akhlak.13

Dari bab ini akan dibahas pemikiran Imam al-Ghazali terutama tentang

pendidikan akhlak.

Banyaknya kitab yang dikarang dalam dunia akademisi bahkan di dunia

pesantren. Imam al-Ghazali dikenal sebagai teolog muslim, ahli pendidikan dan sufi abad

pertengahan. Kitab Ayyuhal Walad merupakan kitab yang membahas tentang pendidikan

terhadap anak yang kental dengan nuansa islami. Dengan sebutan walad, yang berarti

“anak” dalam bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa keterangan-keterangan Imam al-

Ghazali dalam kitab ini memiliki visi dan misi mendekatkan anak sebagai subjek

pendidikan. Di dalam kitab ini dari segi isinya menggunakan metode mauizah atau

pemberian nasehat dengan memberikan arahan-arahan kepada anak meliputi teori-teori

yang disandarkan pada al-Qur‟an maupun hadist juga dengan menggunakan pemikiran-

pemikiran Imam al-Ghazali itu sendiri dengan pengalamannya sebagai profesional.14

Kitab ini muncul sebab dari salah satu siswa zaman dahulu, yang meminta kepada

Imam al-Ghazali untuk menulis kitab yang didalamnya memuat ilmu yang bermanfaat

dan yang tidak bermanfaat bagi dirinya di dunia maupun di akhirat.

A. Konsep Akhlak

1. Definisi Akhlak

Menurut istilah etimology (bahasa) perkataan akhlak berasal dari bahasa

Arab yaitu, الق yang mengandung arti “budi pekerti, tingkah laku, perangai, dan أخ

13

Abuddin Nata, Akhlak TaSawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.17 14

Saepudin,“Pendidikan Karakter Dalam Kitab Ayyuhal Walad Dalam Konsep Pendidikan Di

Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu, Vol.2 Desember 2019, h. 6.

10

tabiat” Di dalam bahasa Arab kata “akhlak” (الق adalah bentuk jamak dari kata (أخ

“khuluq” (لق لق) ”yang berakar dari kata kerja “khalaqa ,(خ yang berarti ,(خ

“menciptakan”. Kata “khuluq” diartikan dengan sikap, tindakan, dan kelakuan..

Sedangkan secara terminologi (istilah), makna akhlak adalah suatu sifat yang

melekat dalam jiwa dan menjadi kepribadian, dari situlah memunculkan perilaku

yang spontan, mudah, tanpa memerlukan pertimbangan.15

Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan keadaan jiwa seseorang yang

mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa melalui pertimbangan

pikiran dan perencanaan.16

Adapun menurut Zainuddin Ali berpendapat bahwa

akhlak adalah suatu kebiasaan, susila, adat mengenai baik buruk manusia.17

Menurut Rosihan Anwar, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang

mendorong manusia untuk berbuat tanpa melalui pertimbangan dan pilihan

terlebih dahulu.18

Secara terminologi, akhlak dapat didefinisikan berdasarkan

berbagai pendapat dari tokoh pemikiran akhlak. Seperti diungkapkan oleh Al-

Jahizh mengatakan bahwa akhlak adalah jiwa seseorang yang mewarnai setiap

tindakan dan perbuatannya, tanpa pertimbangan lama ataupun keinginan.19

Selanjutnya, secara terminologi ada beberapa definisi akhlak yang telah

dikemukakan oleh para ahli diantaranya: 1) Imam Al-Ghazali; akhlak adalah sifat

yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan dengan mudah tanpa

memerlukan pemikiran dan pertimbangan, 2) Ibnu Miskawaih; akhlak adalah sifat

yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa

melakukan pemikiran dan pertimbangan atau akhlak adalah suatu sikap yang

digerakkan oleh jiwa yang menimbulkan tindakan dan perbuatan manusia baik

terhadap Tuhan, sesama manusia atau diri sendiri.20

Hal ini menjadi akan menjadi

perkembangan bagi anak hingga dewasa yang siap melewati semenanjung

kehidupan.

15

Adjat Sudrajat dkk, Din Al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,

(Yogyakarta: UNY Perss, 2008), h.88. 16

Ibnu Miskawaih, Tahdzib Al-Akhlak wa Thathhir Al-A‟raq, (Beirut: Maktabah Al-Hayah li

Ath- Thiba‟ah wa Nasyr, cetakan k-2), h. 51. 17

Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 29 18

Rosihan Anwar, Asas Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 14. 19

Achmad Gholib, Akidah dan Akhlak dalam Perspektif Islam, (Ciputat: CV. Diaz Pratama Mulia,

2016), h.108. 20

Veithzal Rivai Zainal, Manajemen Akhlak, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2018), h.13.

11

2. Macam-macam akhlak

Berdasarkan sifatnya, akhlak dapat dibagi menjadi dua yaitu akhlak terpuji dan akhlak

tercela:

a. Akhlak terpuji merupakan salah tujuan dalam agama Islam, sehingga Allah

Swt berfirman dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 21 sebagaimana

disebutkan di atas, bahwa seseorang harus menjadikan Rasulullah Saw

sebagai panutan dalam berakhlak. Contoh berdoa kepada Allah Swt

dengan suara lembut, bersholawat ketika mendengar nama Rasulullah

Saw, bersikap ramah kepada orang tua dan guru, bergaul dengan teman

dengan baik, menjaga lingkungan dan alam di sekitar kita.

b. Akhlak tercela jauh dari ajaran Islam yang menyebabkan kebencian Allah

Swt sampai makhluk-Nya. Seperti bermaksiat kepada Allah Swt, berkata

kasar kepada orang tua, mengganggu tetangga atau teman, merusak

lingkungan dan alam sekitar.21

sama pada orang tersebut.

B. Dasar, Tujuan, dan Ruang lingkup Akhlak

1. Dasar Akhlak dalam surat Al-Baqarah ayat 83

ه وبالوالدين إحسانا وذي القربى واليتامى والمساكين وقولوا للنا ا حسنال تـعبدون إلا اللـا

Artinya: Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah

kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan

bertutur katalah yang baik kepada manusia. [al-Baqarah: 83]

Ayat di atas berbicara tentang akhlak kepada Allah dan juga akhlak kepada

manusia secara umum di antaranya kepada Orang tua, kerabat, anak yatim dan

orang miskin. Ayat ini secara urutan, pertama menjelaskan tentang tauhid, dan ini

adalah salah satu pokok aqidah akhlak berupa tauhid, ini juga dalil akan

pentingnya akhlak kepada Allah dibandingkan akhlak kepada manusia.

Karena setelah mengatakan terlarangnya penyembahan kepada selain

Allah, baru di ikuti dengan berbuat baik kepada manusia secara umum, di mulai

dari orang tua, kerabat, anak yatim dan orang yang fakir.

2. Tujuan mempelajari Akhlak

21

Ali Mustofa, “Konsep Akhlak Mahmudah Dan Madzmumah Perspektif Hafidz Hasan Al-

Mas‟Udi Dalam Kitab Taysir Al-Khallaq,” Jurnal Ilmuna 2, no. 1 (2020): 49–52.

12

Tujuan mempelajari akhlak adalah mencapai kebahagiaan hidup umat

manusia baik di dunia maupun akhirat jika seseorang dapat menjaga kualitas

mu‟amalah ma‟allah (hubungan dengan Allah) dan mu‟amalah ma‟annas

(hubungan dengan sesama manusia) maka akan memperoleh ridho-Nya.22

Orang yang mendapat ridho Allah Swt niscaya akan memperoleh jaminan

kebahagiaan hidup, baik duniawi maupun akhirat. Seseorang yang memiliki sifat

akhlakul karimah pantang berbohong sekaligus terhadap diri sendiri dan tidak

pernah menipu, apalagi menyesatkan orang lain. Orang seperti ini biasanya dapat

hidup dengan tenang dan damai, memiliki pergaulan luas dan banyak relasi,

dihargai kawan, dan disegani siapapun yang mengenalnya.23

Jika seorang anak pada masa Golden Age tumbuh atas keimanan pada Allah

Swt, terdidik rasa takut kepada-Nya maka akan terjaga dalam dirinya kefitrahan.

Pendidikan karakter haruslah diperhatikan, perlu adanya controlling dari pendidik

kepada peserta didik.24

Pertahanan agama yang mengakar dalam sanubarinya, rasa merasa diawasi

oleh Allah telah tertanam di lubuk hatinya yang terdalam. Semua itu akan menjadi

pemisah antara seorang anak dengan sifat- sifat yang tercela dan mengikuti

kebiasaan jahiliyah yang merusak.

3. Ruang Lingkup

Ruang lingkup akhlak adalah pembahasannya tentang perbuatan-perbuatan

manusia,25

kemudian menentukan perbuatan itu tergolong perbuatan baik atau

perbuatan buruk. Ilmu akhlak dapat pula dikatakan sebagai ilmu yang

pembahasanya dalam upaya mengenal tingkah laku manusia. Objek pembahasan

ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian terhadap suatu perbuatan yang

dilakukan oleh seseorang. Jika kita katakan baik atau buruk maka ukuran yang

digunakan adalah ukuran normative.26

Sungguh penting bagi kita untuk memerhatikan aspek pendidikan akhlak

bagi kehidupan manusia. Melalui hal tersebut umat manusia akan mampu

22

Veithzal Rivai Zainal, Manajemen Akhlak, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2018), h.221. 23

Veithzal Rivai Zainal, Manajemen Akhlak, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2018), h.224. 24

Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam,

(Yogyakarta: Teras,2009), h. 9. 25

Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,

2008), h.261. 26

Achmad Gholib, Akidah dan Akhlak dalam Perspektif Islam, (Ciputat: CV. Diaz Pratama Mulia,

2016), h.110.

13

membangun peradaban yang baik dan bagus dengan dilandasi oleh keluhuran

nilai-nilai kemanusiaan dan akhlak yang tinggi.27

Akhlak sebagai suatu tatanan nilai yaitu merupakan sebuah pranata sosial

yang berdasarkan pada ajaran syariat Islam. Sedangkan akhlak sebagai sebuah

tingkah laku atau tabiat manusia yang merupakan perwujudan sikap hidup

manusia yang menjelma menjadi sebuah perbuatan atau tindakan. Untuk

menentukan perbuatan dan tindakan manusia itu baik atau buruk, Islam

menggunakan barometer syariat agama Islam yang berdasarkan wahyu Allah Swt

Sedangkan masyarakat umum lainnya ada yang menggunakan norma-norma adat

istiadat ataupun tatanan nilai masyarakat yang dirumuskan berdasarkan norma

etika dan moral.

Dalam Islam, tatanan nilai yang menentukan suatu perbuatan itu baik atau

buruk dirumuskan dalam konsep akhlakul karimah, yang merupakan suatu konsep

yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan sang

Maha Pencipta yaitu Allah Swt, dan manusia dengan alam sekitarnya. Secara

lebih khusus juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Ruang lingkup akhlak itu dapat berupa seluruh aspek kehidupan seseorang

sebagai individu, yang bersinggungan dengan sesuatu yang ada di luar dirinya.

Karena sebagai individu, dia pasti berinteraksi dengan lingkungan alam

sekitarnya, dan juga berinteraksi dengan berbagai kelompok kehidupan manusia

secara sosiologis, dan juga berinteraksi secara methaphisik dengan Allah Swt

sebagai pencipta alam semesta.

Dengan adanya hubungan yang kuat antara iman dan akhlak terdapat

kekokohan antara akidah dan amal inilah, para pakar pendidikan dan ilmu sosial

baik dibarat maupun diberbagai negara memberikan perhatiannya. Kemudian

mereka mencetuskan pemikiran- pemikiran dan pandangan mereka bahwa tanpa

benteng agama maka kemapanan tidak mungkin terjadi.28

Berakhlak terhadap tuhan antara lain dengan mengenal, mendekati, dan

mencintai-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,

menghiasi diri dengan sifat-sifat-Nya atas dasar kemampuan dan kesanggupan

27

Otib Satibi Hidayat, Metode Pengembangan Moral dan Nilai- nilai Agama, (Tangsel: UT, 2018),

h.24. 28

Abdullah Nashih „Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Terj.Arif Rahman Hakim (Jawa

Tengah: Insan Kamil Solo), h.133.

14

manusia, membumikan ajaran-Nya dalam kehidupan individu, masyarakat dan

bangsa.29

Sebagaimana manusia yang beragam sudah menjadi keharusan dalam

perbuatannya akan berhubungan dengan tuhan (Allah), hal ini tidak dapat

dipisahkan karena manusia makhluk ciptaan Allah dengan tujuan penciptaanya

sebagai firman Allah:

عبدون نس الا ليـ وما خلقت الجنا وال

Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Az Zariyat [51] : 56)

Ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah:

a. Allah yang telah menciptakan manusia. Dia menciptakan manusia dari air

yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk

sebagaimana dalam Al-Qur‟an surah At-Tariq ayat 5-7. Dalam ayat lain

Allah berfirman manusia diciptakan dari tanah yang kemudian diproses

menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim) setelah ia

menjadi sebuah darah, segumpal daging dijadikan tulang dan dibalut

dengan daging dan selanjutnya diberi roh, sebagaimana dalam Al-Qur‟an

surah Al-Mu'min ayat 12- 13.

b. Allah yang telah memberikan perlengkapan panca indra, berupa

pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, disamping

anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia sebagaimana

dalam Al-Qur‟an surah An-Nahl ayat 78.

c. Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan

bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal

dari tumbuh-tumbuhan, air, udara binatang ternak dan sebagainya.

sebagaimana dalam Al-Qur‟an surah Al-Jatsiyah ayat 12-13.

d. Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan

menguasai daratan dan lautan. sebagaimana dalam Al-Qur‟an surah Al-

Isra ayat 70.30

29

Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam, & Barat, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h.209. 30

Henny Narendrany Hidayati, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa, (Jakarta: Lembaga

Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2009), h.12-13.

15

1) Berakhlak terhadap keluarga

ا ستكى انزي خهقكى ي ا اناط اذق ا تث جا ا ص خهق ي احذج فظ

ت انزي ذغاءناذقا للا غاءا ا شا ا سجالا كث ي كا للا السحاو ا

ثاا كى سق عه

Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan

sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,

anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang

jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya

Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan

diri. (Q.S. An-Nisa [4] : 1)

Berakhlak terhadap keluarga meliputi ayah, ibu, anak dan

keturunannya.31

Kita harus berbuat baik kepada anggota keluarga terutama

orang tua. Ibu yang telah mengandung kita dalam keadaan lemah, menyusui

dan mengasuh kita memberikan kasih sayang yang tiada tara. Begitu juga ayah

dialah sosok seorang pria yang hebat dalam hidup yang telah menafkahi kita

tanpa mempedulikan panasnya terik matahari.32

Seperti dalam ayat dibawah ini merupakan perintah untuk berbuat baik

kepada dua orang ibu dan bapak dalam Q.S Al-Ahqaf [46] : 15

احغااا انذ ت غا ا ال ص هر اي ح ه ح ضعر كشاا كشاا ه فص

ى ارا تهغ اشذا حر شا ش ث اشكش ثه ا صع عحا قال سب ا تهغ استع

ا انذي ى عه د عه ع ا رك انر ع ف اصهح ن ى ا ذشض م صانحا اع

غه ان ي ا ك ذثد ان ا ر رس

Artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua

orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan

melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai

menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan

umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku

31

Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral, penerjemah: Tulus Musthofa, (Yogyakarta: Pustaka pelajar,

2004), h. 24. 32

Syarifah Habibah,”Akhlak dan Etika dalam Islam”, Jurnal pendidikan Dasar dan Humaniora,

Oktober 2015, Vol.2 h.73-87.

16

untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan

kepadas ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang

Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan)

kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan

sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".(Q.S Al-Ahqaf

[46] :15).

Perkataan terhadap kedua ibu bapak haruslah dengan cara yang baik

sopan dan mulia. Dalam surah al-Ahqaf Sayyid Quthb mengatakan bahwa usia

dewasa, yakni pemikirannya dan sempurna pemahamannya dan kelemah

lembutanya, dan dikatakan biasanya seseorang itu tidak berubah, walau pun

umurnya sampai 40 tahun. Dari sini sungguhpun umur kita sudah lumayan tua,

kita tetap memperlakukan mereka dengan hormat dan berkata dengan

lembut.33

Itu pula sebabnya secara kodrati, setiap orang tua menyayangi dan

mencintai anaknya sebagaimana ia menyayangi dan mencintai dirinya sendiri,

kasih dan sayang ini mulai dicurahkan sepenuhnya terutama oleh ibu,

semenjak anak masih dalam kandungan sampai ia lahir dan menyusui bahkan

sampai tua.34

Didalam ajaran agama Islam, anak yang baru lahir mempunyai hak-hak

tertentu, yang harus diberikan oleh orangtuanya sebagai pelaksanaan tanggung

jawab orang tua dihadapan Allah Swt untuk kelestarian keturunannya, sebab

anak adalah karunia Allah Swt dan anak merupakan pewaris dari satu generasi

ke generasi yang baru hingga akhir zaman.35

Adapun anak juga merupakan amanah Allah Swt terhadap pasangan

manusia yang telah terjalin oleh tali perkawinan yang disebut dengan

keluarga, yang merupakan komponen terkecil dalam masyarakat, yang

nantinya akan berpengaruh dilingkungan masyarakat dimana keluarga itu

bertempat tinggal. Keluarga yang baik akan menjadi cerminan dalam suatu

masyarakat khususnya dan bangsa serta negara umumnya. Dengan demikian

setiap keluarga diharapkan agar dapat mendidik anak-anaknya untuk

33

Sayyid Quthb, Fii Dzilalil Qur‟an (Madina: Darrushorouk, 2007), h.22 34

Ibnu „aqil, Bahauddin Abdullah, Buku Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu‟aqil,(Bandung: Sinar

Baru Algesindo, 2017), h.3. 35

Aliasa, “Akhlak Sebagai Azas Kebahagiaan Keluarga dan Masyarakat”,Jurnal pendidikan

Agama Islam, February 2016, Vol.2 h.42.

17

melaksanakan agama dengan baik dan bersikap dengan akhlak yang baik,

hormat kepada ibu dan bapak.36

2) Berakhlak terhadap masyarakat

Al-Qur‟an menegaskan bahwa seluruh umat manusia berasal dari satu

pohon, walaupun akhirnya mereka berbeda dan membentuk bangsa-bangsa

dengan jenis dan warna yang berbeda-beda pula. Mereka semua adalah anak

dan keturunan dari satu bapak dan satu ibu, Adam dan Hawa. Dalam proses

penciptaannya, semua manusia sama karena masing-masing dari mereka

melalui fase-fase penciptaan yang juga sama.

Jika mereka sama dari awal sejak dilahirkan, maka berarti mereka juga

sama saat berakhir pada satu nasib, kematian. Allah Swt berfirman di dalam

Al-quran:

تث جا ا ص خهق ي احذج فظ ا ستكى انزي خهقكى ي ا اناط اذق ا

ت انزي ذغاءناذقا للا غاءا ا شا ا سجالا كث ي كا

للا السحاو ا

ثاا كى سق عه

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan

isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki

dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga

dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa [4] : 1).37

Sesama orang yang beriman mereka bersaudara. Di antara mereka

tidak boleh saling mengolok karena boleh jadi yang diolok-olok sebenarnya

lebih baik. Di antara mereka juga tidak boleh saling mengunjing karena

perbuatan tersebut merupakan dosa. Dan antar sesama muslim harus saling

menolong untuk melaksanakan kebaikan dan ketakwaan, saling mengingatkan

dalam kebenaran dan kesabaran.38

36

Aliasa, “Akhlak Sebagai Azas Kebahagiaan Keluarga dan Masyarakat”, Jurnal pendidikan

Agama Islam, Februari 2016, Vol.2 h.43. 37

Muhammad As-Sayyid Yusuf, dkk. Ensiklopedi Metodologi Al-Quran, (Mesir: Dar as-salam,

Maktabah al-Usrah), h.28-29. 38

Edy Sukardi, Buku Pintar Akhlak Terpuji, (Jakarta: AMP Press, 2016), h.136.

18

Islam tidak hanya menyuruh kita membina hubungan baik dengan non

muslim. Namun demikian dalam hal-hal tertentu ada pembatasan hubungan

dengan non muslim, terutama yang menyangkut aspek ritual keagamaan.

Dalam berhubungan dengan masyarakat non muslim islam mengajarkan

kepada kita untuk toleransi, yaitu menghormati keyakinan umat lain tanpa

berusaha memaksakan keyakinan kita kepada mereka.

3) Berakhlak terhadap Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang di sekitar manusia, baik

binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda. Pada dasarnya akhlak yang

diajarkan Al-Qur‟an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia

sebagai khalifah. Kekhalifaan menuntut adanya interaksi antara manusia

dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifaan mengandung arti

pengayoman, pemeliharaan, serta bimbingan agar setiap makhluk mencapai

tujuan penciptanya.39

Manusia ialah makhluk Allah yang paling sempurna jika dibandingkan

dengan makhluk lain. Malaikat makhluk Allah yang mempunyai unsur akal,

sementara hewan yang hanya mempunyai unsur nafsu, sedangkan manusia

dikaruniakan Allah kedua unsur itu.

Dengan akal pikiran, manusia membuat pertimbangan sebelum

melakukan sesuatu tindakan. Setelah dibuat barulah nafsu digerakkan kearah

mencapai keinginan itu. Namun, ada kalanya wujud ketidak harmonisan antara

unsur akal dan nafsu dalam jiwa manusia. Akibatnya, tindak-tanduk itu

memberi kesan positif kepada kesejahteraan manusia sejagat. Maka, timbul

krisis seperti masalah alam sekitar.40

ا احغ ك احغ ا انذ ثك ي ظ ص ل ذ خشج اس ال انذىك للا ذ ا ا اترغ ف

ل ذثغ ك ان للا فغذ ل حة ان

للا انفغاد فى السض ا

Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu

(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu

dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)

sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu

39

Abuddin Nata, Akhlak Tasawwuf dan Karakter Mulia, (Jakarta, Rajawali Press, 2015), h.129. 40

Edy Sukardi, Buku Pintar Akhlak Terpuji, (Jakarta: AMP Press, 2016), h.174-175.

19

berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai

orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qasas [28] 77)

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akhlak

Menurut Abuddin Nata, pembentukan akhlak adalah upaya yang dilakukan

orang tua atau pendidik dengan sungguh-sungguh dalam membentuk karakter dan

kepribadian anak melalui bimbingan, pembinaan dan pendidikan menggunakan

program-program yang telah direncanakan dan konsisten.41

Akhlak anak usia dini dan perkembangannya dalam tataran kehidupan

mereka dapat diuraikan sebagai berikut: Sikap dan cara berhubungan dengan

orang lain, cara berpakaian dan berpenampilan, sikap dan kebiasaaan makan dan

sikap perilaku anak yang memperlancar hubunganya denga orang lain.42

Ada tiga aliran yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi

pembentukan akhlak yaitu:

1) Aliran nativisme, menurut aliran ini factor yang paling berpengaruh terhadap

pembentukan diri seseorang adalah pembawaan dari dalam (kecendrungan,

bakat, akal dan lain-lain).

2) Aliran empirisme, menurut aliran ini faktor dari luar sagat berpengaruh

terhadap pembentukan diri seseorang seperti lingkungan sosial, termask

pembinaan dan pendidikan yang diberikan.

3) Aliran konvergensi, berpendapat bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh

faktor internal yaitu pembawaan si anak dan faktor dari luar yaitu pendidikan

dan pembinaan yang dibuat secara khusus atau melalui interaksi dalam

lingkungan sosial.43

Pembinaan akhlak pada anak harus dilakukan sejak dini sebagai

pedoman yang dapat mengarahkan anak agar berperilaku sesuai dengan

aturan. Membina akhlak anak perlu dilakukan dengan mengarahkan anak pada

pengenalan kehidupan anak saat berinteraksi dengan orang lain.44

Perilaku akhlak merupakan produk dari pengetahuan akhlak dan perasaan

akhlak, yaitu mewujudkan penalaran akhlak menjadi perilaku yang nyata. Tiga

41

Abuddin Nata, Akhlak Tasawwuf. (Jakarta: Rajawali Pers: 2010), h.155 42

Mahjuddin, Akhlak Tasawwuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h.7 43

Abuddin Nata, Akhlak Tasawwuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) h. 167 44

Supriyanto, D. (2015). “Perkembangan Nilai Agama dan Moral Anak dan Pendidikan

Keagamaan Orangtua”.Modeling : Jurnal Program Studi PGMI, 87–105.

20

aspek yang perlu dipahami dalam mendorong anak untuk melakukan perilaku

akhlak yang baik antara lain:

a. Kompetensi (Competence)

Anak yang memiliki kompetensi akhlak berati ia dapat mengubah

pengetahuan dan perasaan menjadi perilaku akhlak yang efektif dan nyata.

b. Keinginan (Will)

Keinginan dibutuhkan untuk mengendalikan emosi. Anak membutuhkan

kehendak untuk memikirkan keadaan melalui semua aspek akhlak,

mendahulukan kewajiban, bukan kesenangan semata, serta menahan diri dari

godaan teman sebaya dan melawan hal-hal yang tidak baik.

c. Kebiasaan (Habit)

Kebiasaan merupakan faktor yang membentuk perilaku akhlak. Anak yang

berkarakter akan melakukan tindakan dengan sungguh-sungguh, memiliki

loyalitas, keberanian, berbudi pekerti yang baik, serta adil. Bahkan, seringkali

anak menentukan “pilihan yang benar” dengan tidak sadar, karena mereka

memiliki kebiasaan untuk beperilaku benar.45

D. Konsep Karakter

1. Definisi Karakter

Kata karakter menurut Dani Setiawan yang dikutip oleh Agus Wibowo

dalam bukunya mengatakan bahwa karakter berasal dari kata Latin “kharakter”,

“Kharassein” dan “Kharax” yang berarti “tools for making”, “to engrave” dan

“pointed stake”. Kata karakter juga berasal dari bahasa prancis “caractere” yang

diartikan dalam bahasa Inggris dengan kata “character” yang kemudian menjadi

bahasa Indonesia “karakter.46

Menurut Michael Novak karakter merupakan “campuran kompatibel dari

seluruh kebaikan yang diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum

bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah.”47

Sementara itu, Masnur Muslich menyatakan bahwa karakter merupakan nilai-nilai

perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,

45

Falakhul Auliya dkk, Kecerdasan Moral Anak Usia Dini, (Pekalongan: PT. Nasya Expanding

Management Penerbit NEM - Anggota IKAPI, 2020) h. 20-22 46

Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 64. 47

Lickona, Thomas. Mendidik Untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah dapat

Memberikan Pendidikan Sikap Hormat dan Bertanggung Jawab. (Penerjemah: Juma Abdu Wamaungo.

Jakarta: Bumi Aksara. 2012), h. 81

21

sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,

perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata

krama, budaya, dan adat istiadat.48

Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu.

Ciri khas tersebut asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu

tersebut, dan merupakan mesin yang mendorong bagaimana seseorang bertindak,

bersikap, berujar, dan merespon sesuatu.49

Selanjutnya, menurut Maksudin yang

dimaksud karakter adalah ciri khas setiap individu berkenaan dengan jati dirinya

(daya qalbu), yang merupakan saripati kualitas batiniah/rohaniah, cara berpikir,

cara berperilaku (sikap dan perbuatan lahiriah) hidup seseorang dan bekerja sama

baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa maupun negara.50

Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa karakter adalah

sesuatu yang terdapat pada individu yang menjadi ciri khas kepribadian individu

yang berbeda dengan orang lain berupa sikap, pikiran, dan tindakan. Ciri khas tiap

individu tersebut berguna untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup

keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

E. Pengertian Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian

seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlibat dalam tindakan

nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, dan

sebagainya.51

Membangun karakter itu harus dimulai sedini mungkin, disamping

itu pendidikan karakter juga mengembangkan semua potensi anak. Perkembangan

anak juga harus seimbang, baik dari segi akademiknya maupun dari sosial dan

emosinya.52

Pendidikan karakter terdiri dari dua suku kata yakni pendidikan dan

karakter. Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana

48

Masnur Muslich. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan KrisisMultidimensional. (Jakarta:

Bumi Aksara. 2011), h.84 49

Jamal Ma‟mur Asmani. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakterdi Sekolah.

(Yogyakarta: Diva Press. 2011), h.23 50

Maksudin.Pendidikan Karakter Non-Dikotomik (Yogyakarta:Pustaka Pelajar.2013), h.3 51

Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi (Bandung: Alfabeta, 2012),h.23. 52

Ihsana El-Khuluqo, Manajemen PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)(Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2015), 63.

22

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Menurut

Dewantara, pendidikan merupakan tuntutan dalam hidup, artinya bahwa

pendidikan merupakan proses menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada

anak, agar tercapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik

sebagai manusia maupun anggota masyarakat.53

Anak usia dini harus dibiasakan dengan melakukan hal-hal yang baik

sesuai kemampuannya sehingga ketika perilaku baik sudah melekat pada dirinya

ketika itu dikatakan sebagai anak yang berkarakter baik.54

Dalam pendidikan

karakter akan membentuk kepribadian seseorang yang terdiri dari tiga komponen

yaitu Moral knowing, Moral feeling dan Moral action.55

Yang artinya seorang

anak akan mampu untuk memahami, merasakan dan melakukan nilai-nilai

kebaikan sesuai dengan aturan. Budaya sekolah merupakan salah satu upaya

dalam menanamkan karakter pada anak. Dengan budaya sekolah yang ada,

penanaman karakter anak ini akan terus menerus dibangun, dan dalam

pelaksanaannya semua anggota sekolah harus mengikutinya.

Sehingga pada dasarnya seorang anak akan menirukan apa yang mereka

lihat. Ketika seorang guru menjadi suri tauladan yang baik pada anak, maka anak

akan juga melakukan apa yang akan menjadi tujuan pendidikan. Selain itu budaya

sekolah juga dikondisikan dengan nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan

baik dalam aturan ruangan atau benda-benda yang akan membantu dalam proses

penanaman karakter pada anak. Bukan hanya itu, metode juga merupakan salah

satu hal penting yang berperan dalam penanaman karakter anak. Ketika metode

yang digunakan menarik dapat dapat diterima dengan mudah oleh anak, maka

penanaman karakter itu akan lebih mudah ditanamkan pada anak.

Terdapat sumber tahapan yang menyatakan fase atau tahap pendidikan

karakter pada anak usia dini sesuai dengan umurnya yaitu:56

1) Usia 0-3 tahun

53

Dewantara, Ki Hadjar. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika, 2009). h.3 54

Ihsana El-Khuluqo, Manajemen PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)(Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2015), h.81. 55

Fadlillah Martono, Desain Pembelajaran PAUD (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2012).h.34. 56

Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h.88-90

23

Pada fase umur ini, anak lebih membutuhkan peran keluarga terlebih

kedua orang tuanya dalam pembentukan karakternya. Karena pada fase ini,

anak sangat membutuhkan cinta dan kasih sayang dari orang tuanya

2) Usia 2-3 tahun

Pada fase umur ini, sebaiknya anak sudah diperkenalkan dengan sopan-

santun yang sesuai dengan adat dan nilai-nilai karakter, serta perkenalkan

anak dengan perilaku yang baik dan salah. Pada usia ini orang tua harus

sangat sabar pada anak, karena pada usia ini anak sudah mulai mencoba-

coba dan penasaran dengan melanggar aturan yang telah diajarkan.

3) Usia 4 tahun

Pada fase umur ini anak sudah mengalami masa egosentris, yang mana

anak lebih suka memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan

lingkungannya, dan ia sudah mulai senang melanggar aturan-aturan.

Namun pada usia ini anak juga lebih lebih mudah untuk didorong

melakukan perbuatan yang baik dengan adanya hadiah yang telah

dijanjikan. Karena pada masa ini anak sudah mengerti antara hadiah dan

hukuman dalam perbuatannya.

4) Usia 4,5 - 6 tahun

Pada fase umur ini anak sudah mulai bisa diajak kerjasama agar sama-

sama mentaati aturan yang telah dibuat agar terhindar dari hukuman yang

telah dibuat.

5) Usia 6,5 – 8 tahun

Pada fase usia ini anak sudah mulai memiliki pikiran seperti orang dewasa,

dia tidak lagi berpikir bahwa orang dewasa memerintah mereka. Mereka

sudah berpikir konsep balas-membalas, ketika ada seorang yang berbuat

baik padanya, maka dia juga akan bersikap baik padanya, tapi ketika ada

seseorang yang berbuat tidak baik padanya, maka ia akan bersikap yang

tidak baik juga.

F. Fungsi, Tujuan dan Urgensi Pendidikan Karakter

1. Fungsi Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter berfungsi mengembangkan potensi dasar agar

berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik, memperkuat dan

membangun perilaku bangsa yang multikultur, serta meningkatkan peradaban

24

bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Media implementasi

pendidikan karakter dapat berupa lingkungan keluarga, satuan pendidikan,

masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media

massa.57

2. Tujuan Pendidikan Karakter

Menurut Kemendiknas, bahwa pendidikan karakter bertujuan

mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila,

meliputi:(a) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia

berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (b) membangun bangsa

yang berkarakter Pancasila; (c) mengembangkan potensi warganegara agar

memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai

umat manusia. Pendidikan karakter juga berfungsi yakni:(a) membangun

kehidupan kebangsaan yang multikultural; (b) membangun peradaban bangsa

yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap

pengembangan kehidupan umat manusia; mengembangkan potensi dasar agar

berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (c)

membangun sikap warganegara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu

hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni. Pendidikan

karakter dilakukan melalui berbagai media yaitu keluarga, satuan pendidikan,

masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.58

Aqib dan Amrullah, juga menguraikan tentang tujuan, fungsi, dan

media pendidikan karakter. Menurut mereka bahwa pendidikan karakter pada

intinya bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif,

berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong-royong, berjiwa patriotik,

berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang

kesemuanya itu dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berdasarkan pancasila.

Selanjutnya, menurut Kurniasih dan Sani, mengatakan bahwa pada

dasarnya, tujuan pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu

penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian

pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan

57

Aqib, Z., & Amrullah, A. Ensiklopedia Pendidikan & Psikologi. Yogyakarta: ANDI. 2017. h.4-5 58

Kemendiknas. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. (Jakarta: Badan

Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2011), h.7

25

seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan. Dengan adanya

pendidikan karakter, maka diharapkan peserta didik mampu secara mandiri

meningkatkan serta menggunakan pengetahuannya, mengkaji serta

menginternalisasikan, mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak

mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.59

Lebih lanjut, Kurniasih

dan Sani, mengatakan bahwa tujuan pendidikan karakter memiliki fokus pada

pengembangan potensi peserta didik secara keseluruhan, agar dapat menjadi

individu yang siap menghadapi masa depan dan mampu survive mengatasi

tantangan jaman yang dinamis dengan perilaku-perilaku yang terpuji dan tidak

tercela.60

G. Hasil Penelitian Yang Relevan

1. Penelitian “Konsep Pendidikan Akhlak Persepktif Abdullah Nashih Ulwan”

(Library research, Kualitatif). Oleh Ita Humairah pada tahun 2012.

Menjelaskan tentang pendidikan akhlak dalam konsep Abdullah Nashih Ulwan.

Dia menjelaskan tentang bahwa konsep akhlak kepada Allah dan makhluk-Nya

hendaknya bersumber dari al-Qur‟an dan as-Sunah. Pada dasar pembentukkan

akhlak menurut Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan bahwa keimanan kepada

Allah yang telah berkaitan dengan ketauhidan atau kepercayaan terhadap

Tuhan, telah menjadi dasar pendidikan akhlak. Secara khusus konsep

pendidikan akhlak terhadap Allah Swt meliputi: keikhlasan ketakwaan dan

penyabar. Perbedaannya skripsi ini menggunakan tokoh yang berlandaskan

Abdullah Nasih Ulwan. Persamaan adalah sama-sama menggunakan metode

kualitatif dan menjelaskan tentang Pendidikan Akhlak, sedangkan peneliti

menjelaskan tentang konsep pembinaan kepribadian anak menurut kitab

Ayyuhal Walad Imam Ghazali dan relevansinya terhadap pendidikan Akhlak

anak usia dini.

2. Penelitian yang dibuat oleh Rendi Setiawan. Jurusan Pendidikan Agama Islam,

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013.

Skripsi yang berjudul “Studi Komparasi Pemikiran Abdullah Nasih Ulwan dan

Zakiah Drajat terhadap Pendidikan Agama Islam pada Anak” Penelitian ini

59

Kurniasih, Imas dan Sani, Berlin. Ragam pengembangan model pembelajaran untuk

peningkatan profesionalitas guru. (Bandung: Kata Pena, 2017). h. 25 60

Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h.88-90

26

membahas konsep pendidikan agama Islam pada anak menurut Abdullah

Nashih Ulwan dan Zakiyah Drajat, di penelitian ini menjelaskan konsep

pendidikan agama Islam pada anak itu berdasarkan materi, metode dan

lingkungan pendidikan. Perbedaannya di dalam skripsi ini metode yang

digunakan adalah metode keteladanan dan kebiasaan lingkungan yang

digunakan adalah lingkungan pendidikan. Skripsi ini menggunakan metode

penelitian pustaka, penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif

dan dalam penyajian datanya menggunakan deskriptif analisis. Persamaannya

skripsi Rendi Setiawan dengan saya, sama-sama menggunakan penelitian

kepustakaan dan membahasa tentang pendidikan anak menurut studi tokoh.

Perbedaaan dari skrispi ini adalah, jika skripsi ini membahas pendidikan agama

untuk anak menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiyah Drajat, sedangkan

saya membahas konsep pembinaan kepribadian anak menurut kitab Ayyuhal

Walad Imam Ghazali dan relevansinya terhadap pendidikan Akhlak anak usia

dini. Skrpsi ini juga melibatkan dua tokoh karena studi komperasi yaitu

Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiyah Drajat, sedangkan saya hanya satu yaitu

Imam Ghazali.

3. Penelitian Fitri Nur Chasanah dengan judul “Pendidikan Karakter Kajian

Pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ayyuhal Walad”. Kitab Ayyuhal

Walad karya Imam Al-Ghazali, didalamnya antara lain berisi : tentang akidah

yaitu beriman kepada Allah Swt, anjuran beribadah kepada Allah, dan nasihat-

nasihat yang edukatif terhadap anak. Khusus dengan pendidikan meliputi:

materi (subject matter) tentang akhlak, metode dan tujuan pendidikan.

Pendidikan karakter kajian pemikiran Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal

Walad mencakup dua nilai yakni: nilai individu yang meliputi karakter religius

dan nilai kolektif atau sosial yang meliputi karakter peduli sosial, tanggung

jawab, kerja keras, menghargai prestasi. Adapun metode yang ditawarkan

Imam Al-Ghazali memiliki kesamaan dalam konteks penyesuaian metode

terhadap perkembangan anak. Tujuan pendidikan yang dikemukakan Imam Al-

Ghazali memiliki relevansi dengan tujuan Pendidikan Agama Islam konsep

Akhlak anak usia dini.

4. Penelitian Syahraini Tambak dengan judul “Pemikiran Pendidikan al-Ghazali”.

Hasil tulisan ini adalah bahwa bangunan pemikiran pendidikan al-Ghazali

27

bersifat religius-etis. tujuan pendidikan al-Ghazali mencakup tiga aspek, yaitu

aspek kognitif, aspek apektif, dan aspek psikomotorik. Metode pengajaran Al-

Ghazali menekankan bagi guru yang memberikan ilmu dituntut menggunakan

metode teladan dan dialog dalam proses pembelajaran. Persamaan adalah

sama-sama menggunakan metode kualitatif dan menjelaskan tentang

Pendidikan Akhlak, sedangkan peneliti menjelaskan tentang konsep pembinaan

kepribadian anak menurut kitab Ayyuhal Walad Imam Ghazali dan

relevansinya terhadap pendidikan akhlak anak usia dini.

Persamaan dari keempat karya tulis tersebut dengan skripsi yang penulis buat

ialah saling menganalisis tentang pendidikan, tetapi perbedaan disini penulis

mengaitkan tentang nilai-nilai pendidikan karakter dalam kitab Ayyuhal Walad

dengan pendidikan karakter dalam sistem pendidikan nasional.

28

BAB III

BIOGRAFI AL-GHAZALI

A. Riwayat Hidup Al-Ghazali

Al-Ghazali dengan nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad

Al-Ghazali61

dan lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali. Ia dikenal sebagai ahli

fiqih, kalam, seorang filosof dan seorang yang membawa pembaharu terhadap

tafsiran ajaran-ajaran islam, dan yang berkenaan dengan kemasyarakatan, bahkan

juga sebagai tokoh pendidik akhlak berstandar islam. Ia lahir pada tahun 450 H.

(1058 M) di suatu daerah yang bernama Ghazalah, Tunisia, suatu kota di

Khusaran, Persia.62

Al-Ghazali seorang tokoh fiqih dan sufi, bermazhab Syafi‟i dan mengikuti

firqah Asy‟ariah dalam berakidah al-Ghazali juga populer dengan sebutan

Hujjatul Islam, Zainuddin at-Tusi (Penghias agama)63

. Namanya kadang

diucapkan Ghazzali (dua z), artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah

Al-Ghazali ialah tukang pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah Ghazali

(satu),64

disebut demikian karena beliau dilahirkan di Ghazalah di kota thus

termasuk daerah Khurasan Iran pada tahun 450 H/1058 M.

Imam al-Ghazali dengan nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin

Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, tapi dalam dunia islam ia lebih

dikenal dengan sebutan al-Ghazali saja. Al-Ghazali juga populer dengan sebutan

Hujjatul Islam, Zainuddin at-Thusi (Penghias Agama), al-Faqih asy-Syafi‟i dan

Bahrun Mugriq. Ia juga dijuluki the spiner yang berarti pemintal atau penenun.

Al-Ghazali juga hidup pada masa pemerintahan „Abbasiyah II, ia lahir di tengah-

61

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar,2009), h.9 62

Hasan Asari, The educationalk Thought of al-Ghazali: Theori and Praktice, Tesis Montreal:

Institute of Islamic Studies (t.tMcGill University, 1993),h. 27 63

Yusuf al-Qardhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, alih bahasa, Hasan Abrori, (Surabaya:

Pustaka Progresif, 1996), h.39 64

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar,2009), h. 9

29

tengah keluarga yang tinggi religiusitasnya. Adapun ayahnya Muhammad yaitu

seorang penenun dan pemintal kain wol dan menjualnya di tokonya sendiri di

Thus, di luar kesibukannya. Ia senantiasa menghadiri majelis- majelis pengajian

yang diselenggarakan para ulama.65

Karena pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol, adanya tergolong

orang yang hidup sederhana sebagai pemintal benang, tetapi mempunyai semangat

keagamaan yang tinggi seperti terlihat pada simpatinya kepada para ulama dan

mengharap anaknya agar menjadi ulama yang selalu memberi nasehat.66

Al-Ghazali juga mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Abu

al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusi al-Ghazali

yang dikenal dengan julukan Majdudin.67

Dengan terbentuknya dari keluarga

religius mengarahkan keduanya untuk menjadi ulama besar. Hanya saja

saudaranya lebih cenderung kepada kegiatan dakwah dibanding al-Ghazali yang

menjadi penulis dan pemikir.

Ayahnya al-Ghazali disebut seorang pencinta ilmu, bercita-cita tinggi dan

seorang muslim yang soleh taat menjalankan agama. Tapi sangat disayangkan,

ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan segala

keinginan dan do‟anya tercapai. Ia meninggal sewaktu al-Ghazali dan saudaranya

al-Ghazali masih kecil. Margaret Smith mencatat bahwa ibu al-Ghazali masih

hidup dan berada di Baghdad sewaktu ia dan saudaranya al-Ghazali sudah

menjadi terkenal.

Pada keluarga al-Ghazali yang sangat sederhana itu, ayahnya menggemari

pola hidup sufi. Sehingga ketika dia sudah merasa ajalnya segera tiba, dan sempat

berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya yang bernama Ahmad bin

Muhammad ar-Razakani at-Thusi ahli taSawuf dan Fiqh dari Thus, untuk

memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil, yaitu Muhammad dan

Ahmad dengan bekal sedikit warisannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya.

Setelah harta tersebut habis, sufi yang hidup faqir itu tak mampu

memberinya tambahan. Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke sebuah

65

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar

(Yogyakarta:1998),h.15 66

Zaenal Abidin Ahmad, Riwayat hidup Imam al-Ghazali (Jakarta:Bulan Bintang, 1975),

h.28 67

Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2009), h. 9

30

madrasah di Thusi untuk bisa memperoleh pakaian, makan dan pendidikan. Di

sinilah awal mula perkembangan intelektual dan spritual al-Ghazali yang penuh

arti sampai akhir hayatnya. Tidak diragukan lagi, bahwa al-Ghazali adalah salah

seorang pemikir besar islam dan filsafat kemanusiaan, disamping sebagai salah

seorang pribadi yang memiliki berbagai kegeniusan dan banyak karya. Al-Ghazali

adalah pakar ilmu Syari‟ah pada dekadenya, disamping itu dia juga menguasai

ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Kalam, Mantiq, Filsafat, Taswuf, Akhlak dan sebagainya.

Pada tiap-tiap disiplin ilmu tersebut, al-Ghazali telah menuliskannya

secara mendalam, murni dan bernilai tinggi. Banyak tokoh yang

mengungkapkannya pujian dan kekagumannya pada al-Ghazali Imamal-

Haramain. Seperti gurunya ia berkata al-Ghazali adalah lautan tanpa tepi,

sementara salah seorang muridnya yaitu Imam Muhammad bin Yahya berkata,

“Imam al-Ghazali adalah Hujjatul Islam bagi kaum muslimin imam dari para

imam agama, pribadi yang tidak pernah dilihat oleh mata pada diri tokoh-tokoh

selainnya, baik lisannya, ucapannya, kercerdasan maupun tabiatnya.68

Pendidikan dan karir intelektual al-Ghazali pendidikan dimasa anak-anak

dikampung halamannya. Setelah ayahnya meninggal dunia ia dan saudaranya di

didik oleh Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-Thusi, seorang sufi yang

mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuh mereka.69

Imam al-Ghazali

menjadi sarjana dan ilmuwan. Bakat intelektualnya mengejutkan banyak orang,

tidak hanya di kalangan muslim, tetapi juga di kalangan cendekiawan barat.70

Dan

kepadanyalah kali pertama al-Ghazali mempelajari fiqh. Namun setelah sufi

tersebut tidak sanggup lagi mengasuh mereka, mereka dimasukkan ke sebuah

madarsah di Thus. Setelah mempelajari dasar-dasar Fiqh di kampung halamannya,

ia merantau ke Jurjan pada tahun 465 H, sebuah kota di Persia yang terletak antara

kota Tabristan dan Nisabur. Di Jurjan ia pun memperluas wawasannya tentang

Fiqh dengan berguru kepada seorang Fakih yang bernama Abu al-Qasim Isma‟il

bin Mus‟idah al-Isma‟illy atau yang populer dengan nama Imam Abu Nasr al-

Isma‟ily.

68

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar

(Yogyakarta:1998), h.17 69

Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2009), h.9 70

Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam,

(Madiun: Jaya Star Nine,2013), h.19

31

Setelah kembali Thus, al-Ghazali yang telah berusia 20 tahun berangkat

lagi ke Nisabur pada tahun 470 H untuk belajar kepada salah seorang ulama

Asy‟ariyyah, yaitu yang bernama Imam Abu al-Ma‟ali al-Juwaini dan

mengikutinya sampai gurunya tersebut meninggal dunia pada tahun 1016 M/478H

Al-Juwaini lebih dikenal dengan nama Imamal-Haramain. Al-Ghazali belajar

kepadanya dalam bidang (Fiqh, Ilmu debat, Mantiq, Filsafat dan Ilmu kalam).71

Dengan meninggalnya Imam al-Haramain, maka al-Ghazali pun dengan

bekal kecakapan dan kecerdasannya menggantikan peran gurunya sebagai

pemimpin pada madrasah yang didirikan Imam al-Haramain di Nisabur.72

Disamping itu, al-Ghazali juga belajar taSawuf kepada dua orang sufi, yaitu Imam

Yusuf al-Nasaj dan Imam Abu „Ali al-Fadl bin Muhammad bin „Ali al-Farmazi at-

Thusi. Ia juga belajar hadist kepada banyak ulama hadist, seperti Abu Sahal

Muhammad bin Ahmad al-Hafsi al Marwaziy, Abu al-Fath Nasr bin „Ali bin

Ahmad al-Hakimi at-Thusi, Abu Muhammad „Abdullah bin Ahmad al-Khuwariy,

Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja‟i al-Zauzani, al-Hafiz Abu al-

Fityan „Umar bin Abi al-Hasan ar-Ru‟asi al-Dahistaniy dan Nasr bin Ibrahim al-

Maqdisi.

Setelah al-Juwaini meninggal dunia, al-Ghazali mengunjungi tempat

kediaman seorang wazir (menteri) pada masa pemerintah Sultan „Adud ad-Daulah

Alp Arselan (455H/1063M-265 H/1072 M) dan Jalal ad-Daulah Malik Syah (465

H?1072M-485H/1092 M) dari Dinasti Salajiqah di al-„Askar, sebuah kota di

Persia.73

Wazir tersebut bernama Nizam al-Mulk. Wazir kagum atas pandangan-

pandangan al-Ghazali sehingga al-Ghazali diminta untuk mengajar Fiqh asy-

Syafi‟iyah di perguruan tingginya Nizham al-Mulk di Baghdad yang lebih dikenal

dengan perguruan atau madrasah Nizhamiyah al-Ghazali mengajar di Bahghad

pada tahun (484H/1091 M). Pada saat inilah al-Ghazali yang pada waktu itu

berusia 34 tahun memperoleh berbagai gelar dalam dunia islam dan mencapai

puncak karirnya yang ia capai dalam usia yang masih relatif sangat muda.74

71

Ahmad, Tafsir Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.(Bandung: Remaja Rosda

Karya,2004),h.45 72

Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam,

(Madiun: Jaya Star Nine,2013),h.20 73

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis,

(Jakarta: Ciputat Press, 2012),h.206. 74

H. M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar,2009), h.63-64

32

Empat tahun lamanya al-Ghazali mengajar di Bahgdad. Kemudian ia

meninggalkan Baghdad menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua

kalinya pada tahun 488 H.75

Setelah ia mewakilkan tugasnya kepada saudaranya

dan terus melanjutkan perjalanan ke Damaskus. Di sini ia hidup sebagai seorang

zahid yang mendalami suasana batin, meninggalkan kemewahan dan menyucikan

diri dari dosa selama kurang dari 2 tahun lamanya. Kemudian pada akhir tahun

490 H/1098 M. Dia pergi ke Hebron dan Bait al-Maqdis, Palestina dan

melanjutkannya perjalanannya ke Mesir serta hendak ke Maroko dengan maksud

untuk bertemu dengan salah seorang Amir dari pemerintah Murabithun.

Namun sebelum keinginannya tercapai al-Ghazali mendengar kabar

kematian Amir tersebut. Lantas ia membatalkan niatnya dan kembali ke Timur

menuju tanah suci Mekkah dan Madinah. Selanjutnya ia kembali ke Nisabur dan

diangkat oleh Fakhr al-Mulk (putra Nizham al-Mulk) Perdana Menteri dari

Gubernur Khurasan Sanjar yang merupakan salah seorang puta Malik Syah,

sebagai Presiden dari perguruan di Nisabur pada tahun 1105.76

Tidak lama di

Nisabur, kemudian ia kembali ke Thus dan mendirikan madrasah yang

mempelajari teologi, tasawwuf, serta madrasah fiqh yang khusus mempelajari

ilmu hukum. Di sinilah al-Ghazali menghabiskan sisa hidupnya setelah

mengabdikan diri untuk pengetahuan berpuluh tahun lamanya dan sesudah

memperoleh kebenaran yang sejati.77

Latar belakang sosial politik situasi islam dalam perjalanan sejarahnya

tidak lepas dari kehidupan politik yang tidak jarang menumbuhkan benih-benih

konflik baik internal maupun eksternal. Konflik yang terjadi di kalangan umat

islam telah muncul secara jelas sejak masa Khalifah „Usman bin Affan dan pada

saat inilah maka umat islam berselisih dalam dua medan: Imamah (politik) dan

Ushul (teologi).

Dalam medan politik muncul partai dan aliran Khawarij, Syi‟ah dan

Murji‟ah serta lahir Daulat Umawiah yang berpusat di Damaskus (40-132H)

kemudian Daulat „Abbasiyah di Baghdad (132-656H), disamping sisa Daulat

Umawiyah di Spanyol (138-403H), yang di masa al-Ghazali sudah terkeping-

75

Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2009),h.9 76

Fadjar Noegraha Syamhoedie, Tasawwuf Kehidupan al-Ghazali; Refleksi Petualangan

Intelektual dari Teolog, Filosof hingga Sufi, (Ciputat: CV. Putra Harapan,2009), h. 202-204. 77

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.(Bandung: Remaja Rosda

Karya,2004),h.49

33

keping menjadi kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Twa‟if), dan Daulat

Fathimiyah/Isma‟iliyyah di Mesir (297-567 H) yang hal tersebut menandakan

adanya pergeseran doktrin politik islam yang hakiki kepada monarkisme yang

secara umum lebih mencerminkan nepotisme dan ambisi duniawi dan duniawi

oleh konflik-konflik politik berkepanjangan.78

Tetapi umat Islam sendiri, pasca “Tahun Perdamaian” („Am al-Jama‟ah)

yang dipelopori oleh Hasan bin „Ali Ibn „Abbas, dan Ibn „Umar tidak terbawa

hanyut ke dalam arus emosi di atas. Mereka menarik diri dari pentas politik

praktis untuk bergerak dalam dunia ilmu dan dakwah. Meski hal ini membawa

akses berupa munculnya semacam dualisme kepemimpinan umat, yaitu “Ulama”

dan “Umara” tetapi dengan cara ini dapat dipertahankan sedemikian jauh

kemurnian islam dan objektivitas ilmu, disamping tercapainya kemajuan ilmu dan

dakwah sendiri. Para penerusnya inilah yang kemudian disebut Ahl As-Sunnah wa

al-Jama‟ah yang salah satu tokohnya adalah al-Ghazali.79

Sepanjang perjalanan Daulat „Abbasiyah kompetisi dan konflik

berlangsung antara Bani „Abbas dan Syi‟ah Mu‟tazilah yang lebih dominan

disebabkan oleh perbedaan faham dan ideologi. Bahkan krisis politik Dinasti

“Abasyiah yang sangat kompleks ini memaksa jatuhnya otoritas ekslusif

kekhalifahan „Abbasiyah ke tangan sultan-sultan yang membagi wilayah

„Abbasiyah menjadi beberapa daerah kesultanan yang independen. Diantaranya

adalah Dinasti Saljuk yang didirikan oleh Togrel Bek (1037-1063) M) hingga

akhirnya dapat menguasai kota Baghdad pada tahun 1055 M, tiga tahun sebelum

al-Ghazali lahir, sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan Bani Buawahi yang

sempat berkuasa selama 113 (334-447 H/945-1055 M).80

Maka sejak saat itu berdirilah kekuasaan independen Dinasti Saljuk yang

Sunni dengan corak keagamaan yang kuat. Dan pada masa Dinasti saljuk inilah

terutama sejak dipegang oleh Sultan Arselan lalu Malik Syah dengan wazirnya

yang masyhur, Nizham al-Mulk “Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya

kembali. Namun pada masa Dinasti Saljuk pun tidak lepas dari adanya konflik-

konflik yang dilatar belakangi oleh perbedaan aliran keislaman. Faktor eksternal

78

A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-

Ruzz Media, 2013),h.134 79

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar

(Yogyakarta:1998), h.27 80

K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1996), h.409.

34

yang memungkinkan jayanya kembali Dinasti „Abbasiyah adalah kondisi Dinasti

Fathimiy yang menganut Syi‟ah Isma‟iliyyah di Mesir yang sedang mengalami

kemorosotan menuju keruntuhannya baik karena krisis ekonomi, politik internal

maupun karena desakkan negara-negara Muharabithin yang Sunny-Maliky di

Afrika Utara hingga sebagian Sudan dan berafilasi ke Abbasiyah.81

Sedang „Abbasiyah pusat sendiri terus menerus mendesak dari arah Timur

dan Utara. Dengan sendirinya Isma‟iliy Yaman pun (Bani Sulaihi 483-569 H) ikut

menyusut. Namun sepeninggal Malik Syah dan Nizham al-Mulk, „Abbasiyah

berubah drastis yang akan diikuti oleh perubahan drastis pula dalam kehidupan al-

Ghazali. Merosotnya otoritas pemerintah disebabkan oleh adanya konflik atau

perang saudara yang berkepanjangan di kalangan istana (internal).82

Keadaan ini

diperparah lagi dengan bangkitnya kaum Bathiniyyah/Isma‟iliyyah/Ta‟limiyah di

Timur yang melancarkan teror-teror sehingga memakan korban salah satunya

Wazir Nizham Mulk.

Pada situasi ini dunia Kristen Eropa melancarakan Perang Salib di

Timur,83

sehingga mereka berhasil mengguncang Syiria dan mendirikan kerajaan-

kerajaan Kristen latin di Baitul Maqdis, Antiocia, Tarabils dan Ruha sejak tahun

490 H/1098 M. Sementara al-Ghazali masih berkhalwat mencari ilmu yakini di

Syam dan sekitarnya. Ia sendiri menilai masa ini sebagai masa fatrah

(menghiraukan dari ajaran agama), dimana ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga

perlu dilakukan pembaharuan (tajdid) atau menghidupkan kembali ilmu-ilmu

agama (Ihya „Ulum ad-Din).

Disimpulkan bahwa pada saat ini al-Ghazali dengan hidup dalam suasana

dan kondisi Islam yang sudah menunjukkan kemorosotan dan kemunduran dalam

beberapa aspeknya situasi ilmiah dan sosial keagamaan pada masa al-Ghazali,

bukan saja telah terjadi disintegrasi di bidang politik umat islam, tetapi juga di

bidang sosial keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa

golongan mazhab fiqh dan aliran kalam, masing-masing dengan tokoh ulamanya

81

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar

(Yogyakarta:1998),h.27 82

Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan, (Madiun:

Jaya Star Nine, 2013),h.8 83

K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1996),h.414.

35

yang sadar menanamkan fanatisme kepada umat. Dan terkadang, hal itu juga

dilakukan pula oleh pihak penguasa.84

Fanatisme yang berlebihan pada masa itu sering menimbulkan konflik

antar golongan mazhab dan aliran. Masing-masing mazhab memang mempunyai

wilayah penganutnya. Di Khurasan mayoritas penduduk bermazhab Syafi‟i di

Transoksiana didominasi oleh mazhab Hanafi, di Isfaham mazhab Syafi‟i bertemu

dengan mazhab Hanbali, di Balkan mazhab Syafi‟I bertemu mazhab Hanafi.

Adapun di wilayah Baghdad dan wilayah Irak, mazhab Hanbali lebih dominan.85

Konflik sering terjadi karena pengikut mazhab yang satu mengkafirkan mazhab

yang lain, seperti antara mazhab Syafi‟i dengan mazhab Hanbali. Konflik

terbanyak terjadi antara berbagai aliran kalam, yaitu antara Asy‟arime dengan

Hanabilah, antara Hanabilah dengan Mu‟tazilah dan antara aliran lain.86

Pada tahun 469 H. terjadi apa yang disebut sebagai “Peristiwa Qusyairi”,

yaitu konflik fisik antara pengikut Asy‟arisme dan Hanabilah karena pihak

pertama menuduh pihak kedua berpaham “tajsim” dan konflik ini meminta korban

seorang laki-laki. Pada tahun 473 H terjadi pula konflik antara golongan

Hanabilah dengan Syi‟ah dan dua tahun kemudian terjadi pula konflik antara

golongan Hanabilah dan Asy‟arisme. Penanaman fanatisme mazhab dan aliran

dalam masyarakat tersebut juga banyak melibatkan para ulama. Hal ini erat

kaitannya dengan status ulama yang menempati strata tertinggi dalam stratifikasi

sosial waktu itu, di bawah status para penguasa. Hal ini karena adanya

interdepensi antara penguasa dan ulama87

Para peran ulama, penguasa pun bisa memperoleh semacam legitimasi

terhadap kekuasaanya di mata umat, sebaliknya peran penguasa atau peran ulama

bisa memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut kemewahan hidup. Karena itu

para ulama berlomba-lomba mendekati para penguasa dan sebaliknya. Disisi lain

ada pula golongan sufi yang hidup secara eksklusif di Khankah-khankah dengan

kehidupan mereka yang khas.88

84

Zakiyah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta:Bumi Aksara, 1984),h.32 85

Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan, (Madiun:

Jaya Star Nine, 2013),h.9 86

K.Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1996),h.417 87

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar

(Yogyakarta:1998), h.32 88

Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar

(Yogyakarta:1998),h.35

36

Di Damaskus pada masanya, golongan sufi yang hidup di Khankah

dianggap komunitas istimewa. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak

menghiraukan kehidupan duniawi yang penuh dengan noda, dan mampu

mendoakan kepada Tuhan apa-apa yang diharapkan dengan mudah terkabul.

Kebutuhan mereka dicukupkan oleh masyarakat dan penguasa. Sebagai sufi pada

masa ini sangat beruntung karena mendapatkan kemudahan dan kesejahretaan

dengan saran kehidupan yang dimunculkan.89

Terjadinya konflik pada zaman al-Ghazali timbul dari perbedaan persepsi

terhadap ajaran agama, ada juga yang dari berbagai pengaruh kultural non-Islami

terhadap Islam yang sudah ada beberapa abad sebelumnya, yang kemudian

membentuk berbagai aliran dan paham ideologi keagamaan dan itu menyebabkan

bertentangan para penguasa dan ulama namun membawa dampak positif terhadap

perkembangan ilmu pengetahuan. Para ulama berlomba-lomba dalam menuaikan

berbagai ilmu meskipun bukan bermotif untuk pengembangan ilmu tetapi

mendapat perhatian dari penguasa yang memantau kemajuan untuk jabatan

intelektual yang lebih baik.

Tetapi usaha pengembangan ilmu ini mengarahkan pada misi bersama-

sama yaitu mengantisipasi pengaruh pemikiran filsafat dan kalam Mu‟tazilah.

Memang, filsafat waktu itu tidak hanya menjadi konsumsi kalangan elite

intelektual tetapi sudah menjadi konsumsi umum. Bahkan ada sebagian orang

yang sudah menerima kebenaran pemikiran filsafat secara mutlak dan cendrung

meremehkan doktrin agama dan pengamalannya.90

Aliran Mu‟tazilah banyak menyerap filsafat Yunani, pun secara historis

menyengsarakan golongan Ahl-assunah, pada masa Dinasti Buwaihi maupun pada

masa al-Kunduri (wazir Sulthan Torgel Bek). Dan menurut penguasa dan

beberapa ulama sama-sama menganut Ahl-assunah, Filsafat dan Mu‟tazilah

adalah musuh utama yang harus dihadapi bersama. Dengan masa inilah al-Ghazali

lahir dan berkembang menjadi seorang pemikir yang terkemuka dalam sejarah.

89

K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1996),h.419. 90

Ali Al-Jumbulati Abdul Futuh At-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam,(Jakarta:

Rineka Cipta,2002),h.168

37

Latar belakang pemikiran al-Ghazali dengan adanya muncul beberapa

berbagai aliran keagamaan dan trend-trend pemikiran,91

disamping dengan

munculnya beberapa tokoh pemikir besar sebelum al-Ghazali. Di antaranya Abu

„Abdillah al-Baghdadi (w.413H) tokoh Syiah, al-Qadhi „Abd al-Jabbar (w.430H).

ahli Matematika dan Fisika, Ibn Hazm (w.444H). Tokoh salafisme di Spanyol, al-

Isfara‟ini (w.428H) tokoh Batiniyah al-Ghazali menggolongkan berbagai pada

masanya menjadi empat aliran popular yaitu Mutakalimun, pada filosof al-Ta‟lim

dan para sufi.92

Dua aliran yang pertama adalah mencari kebenaran berdasarkan akal

walaupun terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal antara

keduanya. Golongan yang ketiga menekankan otoritas imam dan yang terakhir

menggunakan al-dzauq (intuisi). Dengan latar belakang tersebut al-Ghazali yang

semula memiliki kecendrungan rasional yang tinggi.93

Bisa dilihat dari karya-

karya sebelum penyerangnya terhadap filsafat mengalami keraguan (syak)

keraguan ini berpangkal dari adanya kesenjangan antara persepsi ideal dalam

pandangannya dengan kenyataan yang sesungguhnya.

Menurut persepsi idealnya kebenaran datangnya berasal dari al-Fithrah al-

Ashiliyat. Menurut hadist nabi “Setiap anak dilahirkan atas dasar fithrahnya yang

membuat anak menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi adalah orangtuanya”. Oleh

karenanya ia mencari hakekat al-fitrah al-Ashliyat yang menyebabkan keraguan

karena datangnya pengetahuanya dari luar dirinya. Dari sinilah al-Ghazali

menyimpulkan bahwa ia harus mulai dari hakekat pengetahuan yang diyakininya.

Kepercayaan al-Ghazali terhadap akal juga goncang karena tidak tahu apa

yang menjadi dasar kepercayaan pada akal. Seperti pengetahuan aksiomatis yang

bersifat apriori artinya ketika akal harus membuktikkan sumber pengetahuan yang

lebih tinggi dari akal ia hanya dapat menggunakan kesimpulan hipotesis (fadhi)

saja dan tidak sanggup membuktikan pengetahuan secara faktual al-Ghazali

kemudian menduga adanya pengetahuan supra rasional. Kemungkinan tersebut,

kemudian diperkuat adanya pengakuan para sufi bahwa pada situasi-situasi

tertentu (akhwal) mereka melihat hal-hal yang tidak sesuai dengan ukuran akal

91

M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1996), h. 63. 92

Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan, (Madiun:

Jaya Star Nine, 2013), h.5 93

Amrouni, Pemikiran dan Dokrin Imam Al-Ghazali (Jakarta : Riova Cipta, 2000 ,Cet I ),

h.78.

38

dan adanya hadist yang menyatakan bahwa manusia sadar (intabahu) dari tidurnya

sesudah mati.94

Pada tanggal 14 Jumadil Akhir, tahun 505 H atau 19 Desember 1111 M,

al-Ghazali meninggal dunia di Thus dalam usia 53 tahun.95

Dan kemudian

dimakamkan dengan makam penyair besar terkenal, yaitu Firdausi.96

Beliau wafat

dengan meninggalkan tiga orang anak, dua perempuan dan satu laki-laki,

sedangkan anak laki-lakinya yang bernama Hamid sudah meninggal dunia

sebelum beliau wafat. Al-Ghazali digelari Hujjatul Islam karena pembelaanya

yang mengagumkan terhadap agama, terutama dalam menyanggah aliran-aliran

kebatinan dan para filosof.97

Keistimewaan yang luar biasa dari al-Ghazali, bahwa

dia adalah seorang pengarang yang sangat produktif. Di dalam hidupnya, baik

sebagai pembesar negara di Muasakar maupun sebagai profesor di Baghdad, baik

sewaktu-waktu mulai skeptis di Nisyapur maupun setelah berada dalam pendirian

yang tegas, al-Ghazali tetap menulis dan mengarang puluhan kitab yang meliputi

berbagai disiplin ilmu termasuk salah satunya adalah kitab Ayyuhal Walad.

Begitu juga dengan ayahnya terkenal sebagai seorang miskin yang sholeh,

dan ia tidak mau makan-makanan kecuali dari usahanya sendiri yang halal,

dengan pekerjaannya seorang pemintal benang dari bulu. Disisi itu ia banyak

berbicara masalah fiqih dengan beberapa seorang ahli fiqih. Karena banyaknya

tertarik dengan masalah keislaman itu, maka ia pada suatu waktu pernah menangis

sehabis mendengarkan pengajian keislaman dan sesudah itu ia mohon kepada

Allah agar anaknya nanti kiranya menjadi seorang ahli fiqih dan lahirlah anak

bernama al-Ghazali atau Abu Hamid. Ternyata doa ayah inipun diterima oleh

Allah. Al-Ghazali dikenal sebagai seorang ahli fiqih atau tasawwuf yang banyak

menasehati masyarakat dengan keislaman.

Di waktu mudanya al-Ghazali memang banyak mempelajari masalah fiqih

dan tauhid (ilmu kalam) kepada imam Haramain (Dhiyaudin Al-Juwaini), begitu

pula dengan guru-guru yang lain. Ia juga mempelajari masalah filsafat, terutama

filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina dan juga tentang tasawwuf. Dari pengetahuan-

94

Ali Al-jumbulati Abdul Futuh At-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta:

Rineka Cipta, 2002), h.173 95

Saepudin,“Pendidikan Karakter dalam Kitab Ayyuhal Walad dalam Konsep Pendidikan

di Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu, Vol.2 2019,h. 3. 96

Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali, h 53 97

Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta:Bulan Bintang,1984),

h. 60

39

pengetahuan yang ia pelajari ternyata kurang menyakini dan tidak membawa

kebahagiaan pada hatinya. Maka sesudah ia mengajar di Madrasah Nizhamiyah

dan memerlukan penyelidikan lebih banyak menemui orang-orang tertentu dari

satu negara ke negara lain menuju Damaskus, Baitul Maqdis (Yerussalam), Kairo,

Iskandariyah, Mekah dan Madinah.98

Dari berbagai hal diatas pandangan pemikiran al-Ghazali terbentuk.

Karya-karya ilmiah Imam al-Ghazali adalah seorang penulis yang produktif ia

meninggalkan kita warisan keilmuan yang tiada tara harganya. Disebutkan ia

menyusun kurang lebih 228 karya. Karya-karyanya tersebut terdiri dari berbagai

disiplin ilmu terutama dalam bidang agama, filsafat, taSawuf dan sejarah.99

B. Riwayat Pendidikan Imam Al-Ghazali

Pendidikan Al-Ghazali dapat dilihat dalam beberapa fase perjalanan

pendidikannya, yaitu fase Thus, fase Jurjan, fase Nesabur, fase Mu‟askar, fase

Baghdad. Fase-fase itu akan penulis uraikan dalam penjelasan berikut ini :

1. Fase Tus

Awal pendidikan Al-Ghazali dimulai ketika ayahnya menitipkannya

dan saudaranya Ahmad kepada seorang shufi sahabat ayahnya hingga ia

berusia 15 tahun (450 H/1058 M-465 H/1073 M). Pendidikan yang

diperolehnya dari tokoh shufi ini antara lain mengenai Al-Qur'an, Hadist,

Khat, kisah para ahli hikmah.100

Kemudian pendidikan Al-Ghazali dilanjutkan

di Madrasah Nizamiyah Thus.101

2. Fase Jurjan

Fase pendidikan Al-Ghazali dilanjutkan di kota Jurjan di Mazardaran,

di kota ini Al-Ghazali memperdalam ilmu fikih pada imam Abu Nashr Al-

Isma‟ili.102

3. Fase Thus kedua

Dikisahkan bahwa selama di kota Thus (dalam fase pertama) Al-

Ghazali telah mengalami masa pergolakan batin setelah masa pendidikannya

98

K.Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja Grafindo

Persada,1996), h.420. 99

Zakiyah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta:Bumi Aksara, 1984),h.213 100

Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Sriguntng, 1999)h.43 101

Saiful Anwar, Filsafat ilmu Al-Ghazali, Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka

Setia, 2007), h. 64 102

Zainudin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.8

40

di Jurjan selesai, Al-Ghazali kembali ke kota Thus dan melanjutkan

pendidikannya dengan belajar ilmu taSawuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai

usia 20 tahun.103

4. Fase Nesapur

Fase pendidikan Al-Ghazali berlanjut di kota Nesapur, bersama

sekelompok pemuda dari kota Thus, Al-Ghazali melanjutkan pendidikannya di

Madrasah Al-Nhizamiyah Nesapur. Fase ini berlangsung selama 5 tahun yaitu

pada tahun 473 H/1081M- 478H/1086 M dan dikenal dengan nama imam Al-

Haramain.104

Dari Al-Juwaini, Al-Ghazali memperoleh pelajaran tentang

disiplin ilmu yang berbeda, yakni ilmu fiqih, ushul fiqih, serta mantiq, hikmah

dan filsafat.105

5. Fase Mu‟askar

Sepeninggal gurunya, Al-Farmadzi (w. 477) dan Al-Juwainiy (w. 478

H/1085 M), Al-Ghazali meneruskan pengembaraan intelektualnya ke

Mu‟askar dan menetap di sana. Pengembaraan Al-Ghazali di kota ini

berlansung lebih kurang 6 tahun.106

Kota ini merupakan tempat berkumpul

sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan antar ulama-ulama terkenal,

sehingga seorang yang menguasai retorika perdebatan Al-Ghazali terpancing

untuk melibatkan diri dalam perdebatan itu. Karena ketajaman analisis dan

kehebatan argumentasinya, Al-Ghazali sering mengalahkan para ulama

ternama sehingga mengakui kenggulan Al-Ghazali.107

6. Fase Baghdad

Fase pendidikan Al-Ghazali di Baghdad dimulai dari ketika Nizam Al-

Mulk mengangkat Al-Ghazali menjadi guru besar sekaligus Rektor Nizamiyah

Baghdad dalam usia 4 tahun. Ketika memasuki Baghdad Al-Ghazali mendapat

penghormatan yang luar biasa yang menyerupai kultus. Fase yang berlangsung

selama 4,5 tahun ini diisi Al-Ghazali dengan tiga kegiatan pokok, yaitu

103

Zainudin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.8 104

Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Sriguntng, 1999)h.43 105

Fathiyah Hasan Sulaiman, Alam pendidikan Al-Ghazali mengenai ilmu pengetahuan, (terj.)

Herry Noer Aly, judul asli “ al-Mazahibu fit –Tarbawiyyah, Bahtsu fil Mazhahibu Tarbawiyyi „Indal Al-

Ghazali”,(Bandung: Diponegoro, 1986), cet. III h. 20 106

Saiful Anwar, Filsafat ilmu Al-Ghazali, Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka

Setia, 2007), h. 56 107

M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996), h. 64.

41

mengajar, meneliti dan menulis karya ilmiah.108

Dapat dilihat bahwa Al-

Ghazali merupakan seorang sufi yang haus akan ilmu pengetahuan. Hal itu

terbukti dengan banyaknya tempat Al-Ghazali menuntut ilmu, dan secara

logika dapat diartikan bahwa imam Al-Ghazali adalah orang yang memiliki

banyak ilmu. Di Thus, beliau mempelajari ilmu Al-Qur‟an, Hadist, dan khat,

di Jurjan beliau meperdalam ilmu fikih pada imam Abu Nashr Al- Isma‟ili,

kemudian beliau kembali ke Thus untuk melanjutkan belajar ilmu tasawwuf

kepada Yusuf An-Nasaj, kemudian imam Al-Ghazali melanjutkan

pendidikannya di Madrasah Al-Nhizamiyah Naizabur, di Naizabur Al-Ghazali

memperoleh pelajaran tentang disiplin ilmu yang berbeda, yakni ilmu fiqih,

ushul fiqih, serta mantiq, hikmah dan filsafat.

Sepanjang hidup Al-Ghazali telah memiliki beberapa jabatan sebagai

pengajar dibeberapa Universitas terkenal, di antaranya :

1. Tenaga edukatif pada Universitas Nizamiyah (475-478 H)

Pada karir Al-Ghazali sebagai seorang pendidik atau sebagai

tenaga edukatif di Universitas Nizaymiyah.109

Peristiwa ini terjadi saat Al-

Ghazali masih berguru pada Imam Haramain, kemudin Al- Ghazali

diangkat menjadi asisten dan mengajar di Madrasah Nizhamiyah Naizabur.

2. Rektor Universitas Nizamiyah di Naizabur (478H/1085M)

Pada tahun 478H/1085 M. Meninggalnya Imam Al-Haramain,

maka perdana Menteri Nizamul Mulkti menunjuk Al-Ghazali

menggantikan gurunya untuk menjadi Rektor di Universitas Nizamiyah.110

3. Mufti dan Guru besar di Mu‟askar (1086-1090M)

Sepeninggal Imam Al-Haramain, Al-Ghazali pun tidak berlama-

lama di kota Naisapur. Beliaupun berangkat ke Mu‟askar, tempat

kediaman perdana Menteri serta pembesar-pembesar tinggi Negara, tokoh

ulama, politik, dan pujangga terkemuka.111

108

Saiful Anwar, Filsafat ilmu Al-Ghazali, Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka

Setia, 2007), h. 57 109

Zainudin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.9 110

M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996), h. 68 111

Saiful Anwar, Filsafat ilmu Al-Ghazali, Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka

Setia, 2007), h. 54

42

4. Guru besar utama di Universitas Nizamiyah

Kelebihan yang dimiliki oleh Imam Al-Ghazali, membuat hati

Nizhamal-mulk tersentuh, sehingga Nizhamal-mulk mengangkatnya

menjadi guru besar utama dalam bidang ilmu fikih di Universitas

Nizhamiyah dan juga ketua jurusan teologi pada Madrasah Nizamiyah di

Baghdad tahun 484H/1091M dalam usia menjelang 34 tahun.112

Demikianlah jabatan-jabatan yang telah diproleh oleh imam Al-

Ghazali, yang mana semua dari jabatan itu dimilikinya dengan cara yang

murni, tidak ada paksaaan dan itu semua didapatkannya karena kecerdasan

dan ketulusan hatinya mencintai ilmu pengetahuan.

C. Karya-karya

Al-Ghazali bukan hanya ulama yang kreatif tetapi gemar menulis.

Menurut Musthafa Galab, al-Ghazali meninggalkan tulisannya karya

ilmiah sebanyak 228 kitab terdiri dari macam ilmu pengetahuan yang

terkenal dan yang diterbitkan antar lain:

a. Dalam bidang Tasawwuf dan Akhlak

1). Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama)

2). Ayyuha al-Walad (Wahai Anakku)

3). Minhaj al‟Abidin (Jalan orang-orang yang beribadah)

4). Kimiya al-Sa‟adah (Kimia Kebahagiaan)

5). Miskyah al-Anwar (Sumber Cahaya)

6). Al-Adab fi al-Din (Adab Keagamaaan)

7). Al-Risalah al-Laduniyah (Risalah tentang soal-soal batin)

8). Adab al-Sufiyah

9). Al-Munqiz min al-Dhalal (Penyelamat dari kesesatan)

10). Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Asyrar (Akhlak orang-orang

yang baik dan keselamatan dari kejahatan)

11). Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyf „Ulum al-Akhirah (Mutiara-mutiara

yang megah dalam menyingkap Ilmu-ilmu akhirat)

12). Al-Qurbah ila Allah „Azza wa Jalla (Mendekatkan diri kepada

Allah yang maha mulia dan Maha Agung)113

112

Zainudin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.12 113

Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 74-80.

43

b. Bidang Filsafat dan Logika

1).Maqasid al-Falasifah (Tujuan para Filsuf)

2). Tahafut al-Falasifah (kekacauan para filsuf)

3). Mi‟yar al-Ilm fi al-Mantiq

4). Mizan al-Amal (Timbangan amal)114

c. Bidang Ilmu al-Qur‟an

1). Jawahir al-Qur‟an (Mutiara-Mutiara al-Qur‟an)

2). Yaqut at-Ta‟wil fi Tafsir at-Tanzil (Permata Takwil dalam

menafsirkan al-Qur‟an

d. Bidang Ushul Fiqh

1). Al-Mankhul min Ta‟liqat al-Ushul (Pilihan yang tersaring dari

noda-noda Ushul Fiqh)

2). Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al-

Ta‟lil (Obat orang yang dengki : penjelasan tentang hal-hal yang samar

serta cara-cara penglihatan)

3). Al-Wajiz fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi;i

4). Al-Mustasfha min „Ilm al-Ushul (Pilihan dari Ilmu Usul Fiqh)

5). Tahzib al-Ushul (Elaborasi terhadap Ilmu Ushul Fiqh)

6). Kitab Asas al-Qiyas115

e. Karya dalam Bidang Fiqh

1). Al-Wajiz (yang ringkas)

2). Al-Wasit (Yang pertengahan)

3). Al-Basit (Yang sederhana)

4).Al-Zari‟ah ila Makarim al-Syari‟ah (jalan menuju Syari‟at yang

mulia)

5).Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk (Batang logam mulia:Uraian

tentang nasihat kepada para raja)

d. Bidang Teologi dan Ilmu Kalam

1). Iljam al-„Awam‟an „Il al-Kalam

2). Al-Qisthas al-Mustaqim (Timbangan yang lurus)

114

Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: CV.Pustaka

Setia,2013), h. 51-54. 115

Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 80-86.

44

3). Faisal at-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (garis pemisah

antara islam dan kependidikan)

4). Al-Iqtisad fi al-tiqad (Kesederhanaan dalam beritiqad)

e. Bidang Politik

1). Fatihat al-Ulum (Pembuka pengetahuan)

2). Suluk as-Sulthaniyah (cara menjalankan pemerintahan)

3). Al-Mustazhiri nama lengkapnya Fadhaih al-Batiniyah wa Fadhil

al-Mustazhiriyah (Bahayanya haluan batiniyah yang ilegal dan

kebaikan pemerintah Muaszhir yang legal)116

3. Gambaran Umum Kitab Ayyuhal Walad

Karya al-Ghazali salah satunya adalah kitab Ayyuhaal Walad merupakan

sumber primer dan kajian dari penelitian ini. Kitab Ayyuha Walad merupakan kitab

yang mempunyai karakter tersendiri, membahas tentang hal penting yang harus

diketahui oleh seseorang yang sedang belajar atau menuntut ilmu.117

Kitab Ayyuhal Walad merupakan karangan Imam Abu Hamid Muhammad

bin Muhammad al-Ghazali yang diterbitkan di Surabaya Jawa Timur oleh penerbit

al-Hidayah.118

Kemudian diterjemaahkan kedalam bahasa indonesia oleh Achmad

Sunarno yang diterbitkan di Surabaya oleh penerbit Mutiara yang berjudul

“Ayyuhal Walad Nasehat-nasehat al-Imam al-Ghazali kepada para muridnya”.

Kitab Ayyuhal Walad terdapan nasihat, yang masing-masing bagian tersusun

oleh sebagai berikut:119

يح (1 naakubeePيقذ

2) Ketahuilah Wahai Anakku yang Tercinta Mulia ض حة انعض نذ ان ا ان اعهى أ

انحاج (3 قد uebau eaeue ea hauaePان

حح (4 فع انص aebeaeP Pebh ea hau kaneaePae يرى ذ

فع انعهى (5 aeP nuau hau kanaePaeeaee يرى

م (6 ل انع vhaanhaePme eaeu قث

ح (7 tanbh Pme Phea طاسج ان

116

Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 74-86. 117

Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad (Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:

Darusalam Yasin, 2015), h.60 118

Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad (Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:

Darusalam Yasin, 2015), h.60 119

، أا اننذ، انحشي: انطثعح انثاح، ذ ٱنغضان ذ ت يح ٢, ح. ٧٢٤١اياو ات حايذ يح

45

iae mePp beau aaue enhيارا ذرعهى (8

ج (9 اد ح ان ظه ح tante emePme nu aeP paueaPme aeaanhإششاقح انش

nkeae aeePeauae فضم انعثادج (10

م (11 eauaeaeeP ihmeauu uehu فضم قاو انه

انعثادج (12 hu ueP aenh nkeaeانقصذ ي

ترذاع (13 iaPphbuah thateاذثاع ال

ال عاصش (14 eabaaaunPeeP mPbun-mPbunانك

ائذ (15 hehae -hehaeف

ا (16 uenhue baenePp punuاذخز نك يششذا

م للا (17 ششذ إنى عث hhaea punu eueP aaPuP ub ba eueP iuue صفاخ ان

ف (18 hebessua mPbun-mPbunخصال انرص

19) Dengan sabar terbukalah hakikat كشف انحقائق ثش ذ تانص

يارا ذفعم (20 iae mePp beu ahPppeubeP eae mePp beu ban ebeP يارا ذذع

عاء (21 veteانذ120

D. Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali

Menurut Imam Al-Ghazali, pendidikan akhlak merupakan inti dari ajaran

agama. Nabi Muhammad diutus untuk memperbaiki karakter manusia, sebagaimana

sabdanya : “Hanya saja aku ini diutus untuk menyempurnakan budi pekerti”.

(HR.Ahmad, Hakim dan Baihaqi).121

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah akhlak berarti ajaran

terkait baik dan buruk yang dapat diterima secara luas atau umum berkaitan dengan

perbuatan, sikap, kewajiban; akhlak; budi pekerti; kondisi mental yang membuat

orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin; isi hati atau keadaan perasaan

yang mendorong suatu perbuatan.122

Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya sesuai dengan tujuan dari Islam itu

sendiri, khususnya untuk mengangkat nilai-nilai akhlak hingga sampai pada tingkat

akhlak al-karimah yang mendalam. Selain itu, ada dua tujuan utama pendidikan

Islam yang ingin dicapai, yaitu kepuasan dunia dan kebahagiaan di akhirat. Lebih

120

، ذ ٱنغضان ذ ت يح ٧١, ح. ٧٢٤١أا اننذ، انحشي: انطثعح انثاح، اياو ات حايذ يح 121

Muhammad Jalaluddin Al-Asqalani Addimasqy, Mau‟izhatul Mukimin Min Ihya‟Ulumuddin,

(Al-Maktabah At-Tijjariyah Al-Kubra), h.502 122

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kelima. Pengarang, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. Edisi Kelima, 2017.

46

jauh lagi, ini dipandang sebagai nilai yang lebih besar untuk pendidikan Islam

daripada pendidikan lain secara keseluruhan123

Anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda untuk meneruskan tujuan

perjuangan negara yang memiliki fungsi esensial dan memiliki ciri dan sifat unik

untuk menjamin kemajuan bangsa dan negara di kemudian hari. Oleh karena itu, agar

kelak seorang anak dapat menerima tanggung jawab itu, maka pada saat itu, ia harus

mendapatkan banyak kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara ideal, bukan

hanya fisik, tetapi mental dan sosial, serta berbudi pekerti yang baik, upaya harus

dilakukan untuk memberikan jaminan dan pencapaian. bantuan pemerintah anak

muda dengan memberikan jaminan untuk memenuhi kebebasan mereka dan tidak ada

perlakuan deskriminasi.124

Dalam Islam, pengertian anak berasal dari akar kata al-walad, al-ibn, al-tifl,

al-sabi, dan al-ghulam. Dalam pengertian yang sama itu disebut al- walad, yang

menyiratkan keturunan kedua dari seorang individu, atau semua yang dikandung dan

dilahirkan. Berdasarkan pengertian ini, keturunan yang pertama adalah orang tua.

Selain itu, orang tua memiliki keturunan, keturunan ini disebut anak-anak. Arti dari

kata al-ibn adalah anak yang baru lahir dengan jenis kelamin laki-laki. Lagi pula, al-

tifl adalah anak yang masih dalam tahap awal hingga baligh (sampai usia tertentu

yang dihukumi syari'at dan sudah bisa mengetahui hukumnya). Istilah lain yaitu al-

sabi dan al-ghulum, memiliki makna yaitu anak yang usianya dari lahir sampai

dewasa.125

Kurikulum pendidikan akhlak al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan

yaitu, Pertama, kecederungan agama dan tasawwuf. Kecenderungan ini membuat al-

Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya, dan memandangnya

sebagai alat untuk mensucikan diri dan membersihkan seseorang dari pengaruh

kehidupan dunia. Dengan kecenderungan ini, al-Ghazali sangat mementingkan

pendidikan Akhlak karena ilmu ini bertalian erat dengan pendidikan agama.

Kedua, kecenderungan pragmatis. Kecederungan ini tampak dalam karya

tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulang penilaiannya terhadap ilmu

berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan di dunia, maupun

kehidupan di akhirat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral/non syariat yang tidak

123

Nafis, M. Muntahibun. 2017. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Kalimedia. h.24 124

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 8. 125

As‟ril Muhajir, Ilmu Pendidikan Prespektif Kontekstual, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2021), hlm.

113-114.

47

dipergunakan pemiliknya pada hal-hal yang bermanfaat merupakan ilmu yang tak

bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan kegunaannya

dalam bentuk amaliah. Setiap amaliah yang disertai ilmu itu harus pula disertai

dengan kesungguhan dan niat yang tulus ikhlas.126

Pandangan al-Ghazali yang menyatakan ajaran akhlak harus bersandar pada

syari‟at dan akal ditentang oleh orang-orang yang meyakini konsep adanya relatifitas

akhlak. Mereka mendukung pendapat Socrates tentang adanya relatifitas akhlak.

Mereka menyatakan akhlak bersandar kepada kebaikan dan keburukan rasional,

yakni akal manusia memandang sebagian perbuatan adalah baik dan sebagian yang

lainnya adalah buruk. Akhlak mulia untuk segenap perbuatan baik dan terpuji, dan

akhlak buruk untuk segenap perbuatan tercela. Kemudian mereka mengatakan bahwa

pemikiran manusia tentang nilai kebaikan dan keburukan dari berbagai perbuatan itu

senantiasa mengalami perubahan mengikuti perubahan zaman; tidak ada nilai-nilai

akhlak yang bersifat tetap dan menyeluruh. Bisa saja suatu perbuatan dikategorikan

sebagai akhlak mulia di suatu lingkungan, tetapi dipandang akhlak yang buruk di

lingkungan lain.127

126

Ratna, “Konsep Pendidikan Moral Menurut Al-Gazali Dan Émile Durkheim”, Pascasarjana

UIN Alauddin Makassar, Lentera Pendidikan, Juni 2015, h.76. 127

Muthahari. Innaddina „Indallahil Islam. (Terjmh: Mansuroh Al-Rofi‟), h.269

48

BAB IV

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

A. Selayang Pandang Ayyuhal Walad

Kitab Ayyuhal Walad merupakan sumber jawaban dari Imam al-Ghazali atas

surat dari salah satu muridnya yang tengah mengalami kebimbangan setelah memperoleh

banyak ilmu dan pengetahuan. Teksnya yang menggunakan bahasa Persia, kemudian

dialihkan ke dalam Bahasa Arab. Terdapat dua kitab yang merupakan terjemah dalam

bahasa arabnya yaitu Ayyuhal walad dan Khulashoh attashonnifi. Kitab Ayyuhal Walad

yang penulis teliti merupakan terbitan al-Haramain Indonesia, tanpa tahun. Kitab ini

termasuk kitab kecil, hanya berjumlah 24 halaman.128

Dengan ukuran kecil namun

kandungannya sangat melimpah ruah. Dimulai pada pembahasan kerena dorongan dari

pengalaman dari ilmu-ilmu yang dilengkapi dengan analog-analog dan cerita yang

menarik dan unik.129

Dan terdapat pula karakteristik seorang sufi (praktisi ilmu

tasawwuf), etika berdiskusi dan metode ceramah.130

Penamaan kitab ini dengan kata Ayyuhal Walad karena pemaparannya banyak

dimulai dengan kata Ayyuhal Walad. Hampir setiap alinea baru dimulai dengan kata ini.

Pada kitab ini isi yang berjumlah 24 halaman memuat 74 paragraf , ada 23 paragraf yang

dimulai dengan kata Ayyuhal Walad. Dan ada beberapa paragraf yang dimulai dengan

kata I‟lam atau Wa‟lam (ketahuilah olehmu) berjumlah 6 paragraf. Lafaz I‟lam atau

Wa‟lam merupakan fi‟il amr (kalimat perintah). Fa‟ilnya wajib mustatir, takdirannya

adalah engkau. Engkau yang dimaksud disini adalah Ayyuhal Walad.

Meski istilah "anak" dalam kandungan masih sangat abstrak, namun pendidikan

bisa dimulai dengan menjalin hubungan dengan ibu kandung (prenatal education).

Padahal, pada kenyataannya pendidikan Islam tentang anak terutama ditujukan pada

pendidikan (nifas) tepatnya dimulai dari penamaan anak.131

Penggunaan dan pengulangan kata Ayyuhal Walad di awal kalam menunjukkan

komunikasi empati dari guru kemurid, karena murid selalu dalam perhatian guru,

sehingga ketika guru menasihati muridnya dari hati ke hati. Dengan begitu, hati murid

langsung luluh dan terketuk dan menerima apa yang disampaikan oleh gurunya. Dapat

128

Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu, (Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.45 129

Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu, (Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46 130

Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad (Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan: Darusalam

Yasin,2015), h.60 131

Miftahul Huda, Idealitas Pendidikan Anak: Tafsir Tematik QS.Luqman, (Malang: UIN Malang

Press, 2009), 49-50

49

disimpulkan dan dipahami bahwa tugas guru bukan hanya mentrasfer ilmu ke murid

tetapi yang sangat amat penting yaitu menyadarkan murid, mengetuk hatinya serta

membentuk karakter dan akhlaknya.

Kitab Ayyuhal Walad tidak memuat argumentasi relatif panjang berdasarkan

semua pernyataan atau saran dibuat oleh Al-Ghazali. Walaupun tidak panjang, empat

tema utama yang dibahas bagian untuk memahami arkeologi pemikiran Al-Ghazali di

kitab Ayyuhal Walad, yaitu tujuan pendidikan, subjek pendidikan, materi pendidikan,

metode pendidikan karakter.132

B. Latar belakang penulisan kitab Ayyuhal Walad

Kitab Ayyuhal Walad ini ditulis oleh Imam Al-Ghazali sebagai jawaban kepada

sepucuk surat yang dikirim oleh seorang murid beliau yang sangat mencintainya, dimana

didalam surat itu murid beliu meminta agar Imam Al-Ghazali sudi menulis sepucuk surat

yang merupakan suatu nasehat yang ditujukan kepadanya secara khusus, walaupun ia

yakin bahwa isi kandungan surat tersebut telah ada termaktub dalam kitab-kitab

lainnya.133

Inilah yang melatarbelakangi sehingga ia menulis surat kepada gurunya Imam Al-

Ghazali. Ia menanyakan berbagai masalah, meminta nasehat dan do‟a. dan berikut

kutipan pendahuluan beliau dalam kitab Ayyuhal walad yang menjadikan beliau

mengarang kitab ini, yang artinya: “segala puji milik Allah , Tuhan semesta alam. Dan

kesudahan baik itu bagi mereka yang bertaqwa. Shalawat serta salam semoga tetap

tercurah limpahkan kepada Nabi-Nya Muhammad Saw dan keluarganya. Ketahuilah,

bahwa ada seorang murid zaman dahulu, senantiasa berkhidmat kepada seorang guru

besar Imam Zainuddin Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-

Ghazali. Ia tidak pernah absen dalam belajar dan membaca ilmu pengetahuan

dihadapannya, sehingga ia berhasil mengumpukan ilmu pengetahuan tersebut secara

mendalam, ia juga berhasil menyempurnakan keutamaan jiwa.134

Imam Al-Ghazali berkata “Sesungguhnya aku telah membaca bermacam-macam

ilmu pengetahuan dan menghabiskan sebagian umurku untuk mempelajari dan

mengumpulkannya. Sekarang sebaiknya bagiku mengetahui ilmu-ilmu mana yang akan

132

Saepudin,“Pendidikan Karakter Dalam Kitab Ayyuhal Walad Dalam Konsep Pendidikan Di

Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu, Vol.2 Desember 2019, h.6. 133

Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad (Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan: Darusalam

Yasin,2015), h.60 134

Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu, (Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46

50

bermanfaat bagiku suatu kali nanti dan menemaniku di alam barzah kelak dan ilmu mana

yang tidak bermanfat bagiku sehingga akan ku tinggalkan seperti sabda Rasulullah Saw:

Ya Allah aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat”.135

Dengan demikian maka terhimpunlah didalam kitab Ayyuhal Walad sebuah

nasihat Imam Al-Ghazali diantaranya ada dua puluh satu nasehat yang beliau tulis. Antara

lain:

مة (1 مقد

ز (2 اعلم أيـها الولد المحب العزيـ

الوقت هو الحياة (3

فع الناصيحة (4 نـ متى تـ

فع العلم (5 متى يـنـ

ول العمل (6 بـ قـ

ياة (7 طهارة النـ

علام (8 تـ ماذا تـ

قة الروح وظلمة الماداة (9 إشرا

فضل العبادة (10

فضل قيام اللايل (11

القصد من العبادة (12

باع (13 بتداع اتـ ال

عناصر الكمال (14

وائد (15 فـ

اتاخذ لك مرشدا (16

صفات المرشد إلى سبيل اهلل (17

خصال التاصوف (18

نكشف الحقائق (19 بر تـ بالصا

135

Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu, (Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46

51

ماذا تدع وماذا تـفعل (20

عاء (21 136الد

C. Pendidikan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Al-Ghazali

Menurut al-Ghazali, pendidikan anak usia dini dapat dikelompokkan menjadi dua

tahapan yaitu tahapan janin dan tahapan kanak-kanak (thiftl).

1. Tahapan Janin

Pengajaran islam menyebutkan bahwa masa kehamilan/tahapan janin

merupakan masa menentukkan bagi kehidupan masa depan anak. Apa yang

dirasakan anak ketika masih dalam kandungan digambarkan sebagai situasi

yang akan dialami anak dalam kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, pada

masa kehamilan orangtua disarankan untuk menjaga diri dari sifat sikap

negatif serta memperbanyak ibadah dan terbiasa menyucikan diri sebelum

melakukan pekerjaan sehari-hari. Kondisi suci yang diciptakan dalam

lingkungan keluarga itu diyakini akan berpengaruh pada perkembangan janin

yang dikandung oleh si ibu. Hubungan langsung antara orang tua dan anak

memang belum berlangsung secara fisik, tetapi kondisi dan kegiatan orang tua

diakui berpengaruh pada kehidupan janin dalam kandungan137

Sebelum itu, Al-Ghazali terlebih dahulu membahas masalah tentang

proses pendidikan masa konsepsi yang terdapat dalam adab Al-Muasyarah

(adab pergaulan suami istri).138

Dalam adab yang kesepuluh dari bab tersebut

al-Ghazali menerangkan tentang tata cara bersetubuh yang benar menurut

Sunnah Rasul, diantaranya adalah membaca basmalah, surat Al-Ikhlas, takbir,

tauhid dan doa-doa lainnya.139

Dapat kita pahami dari uraian diatas bahwa pendekatan psikologis

pada masa ini mulai diterapkan dengan cara lebih mendekatkan diri kepada

Allah Swt seperti memperbanyak amal soleh, memperbanyak amal

kemanusiaan dan senantiasa berharap anak yang akan lahir kelak menjadi anak

yang benar-benar soleh. Penerapan doa kebaikan bagi anak ini tentu tidak

، أا اننذ، انحشي: انطثعح انثاح، ذ ٱنغضان ذ ت يح ٧١, ح. ٧٢٤١اياو ات حايذ يح

136

137Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star

Nine,2013), h.50 138

Al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid II Alih Bahasa H.Ismail Jakub, (Jakarta:CV.Faizan,tth) h.427 139

Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star

Nine,2013), h.51

52

hanya diucapkan saat hendak bersetubuh saja, melainkan harus dilakukan

terus-menerus dan istiqomah.

Pada saat istri diketahui positif hamil, pendidikan anak sudah harus

mulai aktif dilakukan ibunya. Melalui pertumbuhan dan kesejahteraan

fisiknya, janin dalam kandungan dapat dijaga melalui pemenuhan makanan

yang halal dan baik supaya kesehatan ibu lebih terjaga. Meskipun makanan

yang halal tidak langsung diberikan kepada janin, tetapi hal itu justru

mendasar karena makanan yang baik dan halal akan membentuk janin yang

baik dan halal pula. Al-Ghazali menegaskan bahwa jika anak terutama masa

prenatal diberikan asupan makanan yang haram. Bila sudah begitu, akan selalu

muncul keinginan dalam dirinya untuk memakan, mecium, melihat dan

merasakan hal-hal yang haram, meskipun ia memiliki kesempatan untuk

merasakan yang halal. Sementara dari segi psikologisnya, janin tersebut

dipelihara melalui pembinaan suasana rumah tangga yang sedemikian rupa

sehingga ibu yang mengandungnya tetap merasakan ketentraman, kenyamanan

dan kestabilan emosi.140

1. Tahapan kanak-Kanak

Lingkungan anak yang pertama adalah keluarga, dan keluargalah yang

menentukan pertumbuhan dan perkembangan yang ada. Masa kanak-kanak

(thifl) merupakan masa yang paling penting dalam kehidupan (usia

prasekolah). Sebab hari-hari yang dilaluinya tidak akan mudah hilang atau

berubah. Adapun pokok pikiran al-Ghazali yang berkaitan dengan anak-anak

adalah :

a. Pentingnya peran orang tua dan pendidikan akhlak bagi anak usia dini

Al-Ghazali seorang pemuka agama yang sufi. Karena itu pertama kali ia

memandang penting membina dan mengisi hati anak kecil dengan melatih

jiwanya untuk beribadah, bermakrifah kepada Allah dan mendekatkan diri

kepada-Nya. Dan semua itu tidak akan tercapai kecuali dengan menanamkan

sendi-sendi agama yang benar di dalam dada anak kecil sejak masa

pertumbuhannya.141

140

Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star

Nine,2013), h.51 141

Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan Islam (Semarang: Dina Utama

Semarang, 1993), h.47

53

Anak menurut al-Ghazali dilahirkan dalam keadaan seimbang dan

dengan fitrah yang baik. Ayah ibunyalah yang mewariskan agama yang

mereka anut kepadanya. Sebagaimana ia bertingkahlaku terpuji atau tercela

dari lingkungan dimana ia hidup, dari cara bergaul dan dari kebiasaan

hidupnya. Ini sama dengan tubuh anak dikala lahir yang masih belum

sempurna, lewat pertumbuhan perawatan dan makan, tubuh menjadi

sempurna. Tabiat fitrah anak, yang merupakan anugerahnya. Semula belum

sempurna dan mungkin disempurnakan dan menjadi baik lewat pendidikan

yang baik pula.142

Al-Ghazali menasehatkan pula agar orang tua atau pendidik

menjauhkan anak didiknya dari teman-teman yang berprilaku kurang baik

sebagai jalan bagi pembinaan mental anak.143

Dinasehatkan juga agar orang

tua tidak memanjakannya, memupuk dengan kenikmatan, mengundurkan

semangat, malas dan memberikan segala kemudahan bagi pergaulan dengan

orang lain, dimana segala keinginan tercapai dari orang tanpa susah payah

adalah termasuk hal-hal yang dianggap tidak baik. Sebab pola asuh seperti ini

dapat merusakan budi pekertinya.

Beliau juga mengatakan seyogyanya anak dibiasakan untuk

menghormati dan rendah hati kepada orang-orang yang bergaul dengannya,

sopan santun dalam berbicara, tidak dibiasakan untuk menghormati dan

rendah hati kepada di tiang sandaran. Sebab semua itu, menjadi pertanda

kemalasan. Hendaknya anak juga diajarkan cara duduk yang baik, sudi

mendengarkan saat berbicara dengan orang yang lebih tua, dicegah dari

berbicara ngelantur dan kotor, atau memaki orang lain.144

Satu hal lagi yang perlu diungkapkan mengenai topik ini adalah bahwa

keseluruhan ide pendidikan anak didasarkan atas asumsi filosofis bahwa ia

dilahirkan dengan fitrah suci dengan potensi netral, dan karenanya ia siap

menerima pengaruh apa pun dari luar. Hal ini menjadikan pendidikan anak

sebagai satu seni menjadikan pendidikan anak sebagai satu seni menjaga dan

merawat serta sebuah poses penyediaan dorongan-dorongan yang membawa

142

Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, (terj. Hakim dan M. Imam Aziz),

(Jakarta: P3M, 1986), hal. 3 143

Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star

Nine,2013), h.5 144

Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.80

54

kepada pertumbuhan dan perkembangan yang positif dan sebagai periode

dasar, keberhasilan pendidikan masa awal ini akan membuat tahap-tahap

berikutnya menjadi lebih mudah. Manakala tahap ini gagal, dan anak tumbuh

tidak terarah dan tidak mengenal disiplin, tugas pendidikan menjadi lebih sulit,

sebab ini akan melibatkan proses pelurusan arah-arah penyediaan dorongan-

dorongan kearah yang diinginkannya.145

b. Seimbangkan antara perintah dengan keteladanan

Al-Ghazali mengatakan bahwa pendidikan agama harus mulai sejak

dini, sebab anak-anak dalam usia ini siap untuk menerima akidah agama

melalui keimanannya kepadanya, ia tidak menuntut dalil untuk

menguatkannya.146

Ia juga tidak berkeinginan untuk memastikan atau

membuktikan kebenarannya. Oleh karena itu, dalam mengajarkan agama

kepadanya, guru harus mulai pertama kali dengan memintanya menghafal

kaidah-kaidah dan dasar-dasar agama, setelah itu baru guru menjelaskan

pengertiannya agar dapat diyakini dan dibenarkannya.147

Semuanya diberikan

tanpa memberikan dalil atau bukti, karena ia tidak memerlukannya. Dengan

kata lain, bahwa penanaman agama menurut cara ini jelas tidak sempurna,

karena itu perlu diikuti dengan langkah selanjutnya secara gradual sesuai

perkembangan anak, karena iman yang didirikan diatas keyakinan yang

dipotong oleh bukti-bukti yang benar.

Al-Ghazali mengatakan bahwa, agama selayaknya disajikan sepada

anak pada masa awal pertumbuhannya agar dihafalkan dengan baik.

Kemudian setelah ia dewasa, maka pergantiannya akan dapat ia ketahui sedikit

demi sedikit. Jadi berawal dari hafalan dan berakhir dengan kefahaman, untuk

selanjutnya menjadi I‟tiqad, menjadi keyakinan dan dibenarkan.148

Kegiatan

ini oleh Al-Ghazali diumpamakan dengan kegiatan menabur benih di lahan

pertanian. Dan ia kemudian atas dasar semua itu, ia membuat bentuk latihan

bagi muridnya.

145

Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1999), h.85

146 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.83

147Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star

Nine,2013), h.7 148

Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.80

55

c. Berikan anak untuk bermain

Al-Ghazali juga mengingatkan baik kepada orangtua maupun kepada

guru akan perlunya permainan bagi anak-anak. Ia jelaskan nilai permainan

sebagai alat yang membantu pendidikan dan pengajaran anak, sebagai sarana

mengungkapkan bakat dan cara yang aman untuk menghilangkan keletihan

anak yang menumpuk ketika belajar. Selengkapnya ia mengatakan.149

“Anak seusai membaca pelajarannya hendaknya diizinkan untuk

bermain dengan baik agar ia bisa beristirahat dari keletihan belajar sekedarnya

saja, agar ia tidak letih karena bermain. Bila ia dilarang bermain dan diporsir

belajar, hatinya akan mati, kecerdasannya menurun dan kacaulah hidupnya

hingga mau tak mau ia mencari kesempatan untuk keluar dari suasana

tersebut.‟‟

Berbicara tentang nilai permainan, Al-Ghazali berbicara dan ia

mengemukakan pendapat yang matang.150

Al-Ghazali tidak menganggap

permainan semata-mata sebagai kegiatan bersama yang dilakukan oleh anak.

Permainan mempunyai tiga tugas pokok, yang sangat dibutuhkan baik untuk

pertumbuhan jasmani maupun intelektualnya. Pertama, permainan membantu

untuk menggerakkan tubuh anak serta menguatkan otot-ototnya yang akan

membawa pertumbuhan jasmaninya tumbuh dengan sehat. Kedua, permainan

membuat hati anak senang dan segar yang merupakan pendorong kebahagiaan

yang sangat dibutuhkan. Ketiga, permainan sebagai usaha menghilangkan

keletihan belajar yang dilakukan anak dengan riang merupakan salah satu hal

yang mempermudah pendidikan.151

d. Berikan kegiatan positif di waktu luangnya

Menurut Al-Ghazali diantara cara-cara yang dapat digunakan untuk

menjauhkan anak-anak dari pekerjaan-pekerjaan yang tak bermakna adalah

membiasakannya banyak membaca khususnya membaca Al-Qur‟an, hadist,

berbagai berita, hikayahnya atau cerita orang-orang yang baik serta keadaan

mereka (seperti kisah-kisah nabi) agar tertanam rasa cinta kepada orang-orang

baik di dalam hatinya. Ia juga menasehatkan agar anak-anak dijauhkan dari

149

Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep pendidikan, h.75 150

Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.50. 151

Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan Islam (Semarang: Dina Utama

Semarang, 1993), h.89

56

bacaan yang merangsang (pornografi), nyanyian pencintaan ataupun puisi-

puisi yang berisi cinta dan orang mabuk asmara, guna menjaganya dari efek

yang tidak baik.152

e. Reward and Punishment

Al-Ghazali memandang wajib tentang masalah penghargaan dan pujian

kepada anak bila ia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik atau

berperilaku dengan penuh etika. Anak harus juga diberi imbalan yang baik

sedapat mungkin atas segala kebaikan yang dilakukannya, bila perlu pujilah

anak dihadapan orang-orang penting dan berkedudukan tinggi guna

memberikan semangat kepadanya. Sebaliknya, bila anak melakukan perbuatan

yang tidak terpuji, terutama jika tampak ia merasa malu dan berupaya

menutupinya, sebaiknya kita berpura-pura seakan tidak mengetahuinya.153

Maksudnya adalah ketika pada kesempatan pertama anak melakukan

kesalahan, kita tidak langsung menegurnya, tapi memberikan kesempatan

kepada anak untuk menyadari kesalahannya itu terlebih dahulu. Karena

menampakkan kesalahan pada kesempatan pertama kepadanya bahwa kita

mengetahui perbuatan itu kadangkala justru membuat dia semakin mendetail,

tetapi Al-Ghazali paling tidak telah memberikan landasan/gagasan utama

dalam pendidikan anak usia dini yang dibaginya menjadi dua tahapan yaitu

tahap janin dan tahap kanak-kanak (thifl).

D. Konsep Akhlak Anak Dalam Kitab Ayyuhal Walad

1. Analisis Materi Pembinaan Akhlak Anak

Konsep akhlak yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali kitab Ayyuhal Walad

adalah lebih kepada sikap bagaimana sikap seorang muslim atau seorang hamba

dalam berperilaku, baik kepada Tuhan, diri sendiri dan orang lain di sekitarnya.

Masih banyak sekolah yang menganggap pendidikan itu hanya berkutat soal

matematika, IPA, fisika, komputer dan teknik. Mereka lebih disibukkan oleh pelajaran

yang berpatokan dengan angka-angka sebagai poin keberhasilan. Pada akhirnya,

mereka melupakan pendidikan akhlak atau pembentukan karakter.154

Karena pada

dasarnya pembinaan akhlak tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana

152

Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan Islam (Semarang: Dina Utama

Semarang, 1993), h.60 153

Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan. h.78 154

Enni K. Hairuddin, Membentuk Karakter Anak dari Rumah (Jakarta: Gramedia, 2014), h. 7.

57

yang salah kepada peserta didik, tetapi juga menanamkan kebiasaan (habituation)

tentang yang baik, sehingga peserta didik paham, mampu merasakan dan mau

melakukannya.

Beberapa materi pembinaan Akhlak dalam kitab Ayyuhal Walad adalah :

a. Taat dan Bertakwa Kepada Allah Swt

أيها الولد، خلصة العلم أن تـعلم أنا الطااعة والعبادة ما هي

Wahai anakku, intisari ilmu adalah kamu mengerti apa itu hakikat ketaatan

dan ibadah.

واهي، بالقول، والفعل. يـعني، اعلم، أنا الطااعة والعبادة إناما هي متابـعة الشاارع في الوامر، والنـارع، كما لو قتداء الشا وله وفعله يكون با رك، قـ تـ صمت يـوم العيد وأياام كل ما تـقول، وتـفعل، وتـ

التاشريق، تكون عاصيا، أو صلايت في ثـوب مغصوب، وإن كانت صورة عبادة تأثم

Ketahuilah, sesungguhnya taat dan ibadah itu mengikuti Syaari‟ (Nabi Saw)

dalam perintah, larangan, perkataan dan perbuatannya. Artinya, semua perkara yang

kamu ucapkan, lakukan, dan tinggalkan, itu keseluruhannya mengikuti syariat, seperti

halnya jika kamu berpuasa pada dua hari raya dan hari-hari tasyrik, maka kamu

adalah orang yang bermaksiat, atau kamu shalat dengan pakaian ghasab, walaupun

berbentuk ibadah kamu tetap berdosa.

Meteri yang disusun Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad dimulai dengan

ketaatan seorang hamba kepada Allah Swt. Dengan itu orang akan tertanam dengan

takwa. Takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala

perintah-Nya dan menjauhi segala larangn-Nya. Orang-orang yang bertakwa adalah

hamba Allah paling mulia dan bersih jiwanya. Para hamba Allah yang bertakwa

membekali diri dengan mengamalkan dari Al-Qur‟an dan sembari mencari ridho

Allah.

Ketakwaan adalah barang berharga yang tidak ternilai harganya. Ia merupakan

kekayaan paling mahal, dan kunci rahasia yang mampu membuka semua gerbang

kebaikan dan sarana menuju surga.155

Manusia dengan keutamaan takwa berarti

berupaya menghargai segala bentuk jalan kebaikan dan menghindari segala bentuk

jalan keburukan.

155

Muhammad Fethullah Gulen, Tasawwuf Untuk Kta Semua, (penerj.Fuad Syaifudin Nur),

(jakarta:Republika, 2013), h.101.

58

Sesungguhnya setiap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah kepada manusia

sesuatu tersebut mendatangkan kebaikan terhadap manusia. Dan setiap sesuatu yang

dilarang oleh Allah pasti itu mendatangkan mudharat terhadap manusia. Manfaat

yang didapatkan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mental bahkan setiap perintah

Allah seperti halnya rukun islam itu memberikan pengaruh pada kepribadian.

Misalkan solat, solat yang dilakukan dengan khusyu akan menciptakan rasa segan dan

takut kepada Allah sehingga tergerak hatinya untuk untuk menjauhi prilaku yang

buruk, menjaga kemaluan, menyampaikan amanat, menepati janji dan menjaga

Akhlak.156

Demikian juga untuk rukun islam lainnya seperti syahadat, zakat, puasa

dan haji.

b. Tawakal

ل، وهو أن تستحكم اعتقادك باهلل تـعالى فيما وعد، يـعني أنا ما وك ر لك سيصل وسألتني عن التـا قدهد كل من في العالم على صرفه عنك. وما لم يكتب لك لن يصل إليك إليك ، ل محالة، وإن اجتـ

وإن ساعدك جميع العالم

Kamu bertanya kepadaku tentang tawakal. Tawakal adalah ketika kau

memperkokoh keyakinanmu pada Allah Ta‟ala dalam perkara yang telah dijanjikan,

yaitu kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan untukmu pasti akan sampai

padamu, walaupun seluruh makhluk yang ada di alam ini berusaha keras

menghalanginya darimu. Dan sesuatu yang tidak tertuliskan (untukmu) tentu tidak

akan sampai padamu, walaupun seluruh alam semesta membantumu

Tawakal artinya menggantungkan diri kepada Allah, serta mempercayakan

dan mewakilkan segala urusan kepada Allah. Tawakal merupakan salah satu maqom

dan tahap kemajuan keberagaman seorang mukmin. Bahkan dapat dikatakan bahwa ia

merupakan tahap tertinggi dari kepada Allah. Tetapi tawakal tidak harus berpangku

tangan duduk bersimpuh menunggu datangnya milik tanpa diusahakan. Tawakal juga

mengandung pengertian berusaha dengan sungguh-sungguh sambil menyandarkan,

mengandalkan Allah semata-mata. Tawakal adalah proses keyakinan bahwa hanya

pertolongan Allah yang dapat menyukseskan usaha seorang hamba157

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa banyak orang mengira bahwa tawakal

adalah tidak mau mencari nafkah, meninggalkan mencari penghidupan, meninggalkan

156

Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawwuf Islam Dan Akhlak, (Penrj.Kamran As‟at dan Fakhri

Ghazali), (Jakarta:Amzah,2011), h.245 157

B.Wiwho, Bertasawwuf Di Zaman Edan, (Jakarta: buku Republika, 2016), h.92

59

usaha, dan hanya berbaring diri sambil menunggu makan datang diatas meja makan

dengan sendirinya. Sesungguhnya ini adalah sangkaan orang-orang bodoh mengenai

tawakal dan hal tersebut tidak dibenarkan dan dilarang oleh syariat.158

Menurut Al-Gazali ada empat konsep yang harus baik supaya akhlak manusia itu

sempurna. Empat itu ialah kekuatan ilmu, kekuatan marah, kekuatan syahwat dan

kekuatan keseimbangan diantara kekuatan ketiga tersebut.159

1. Kekuatan ilmu bernilai baik bila dengan mudah menanggapi perbedaan antara

kebenaran dengan kebohongan, antara benar dan batil. Bila kekuatan ilmu ini baik,

niscaya lahirlah dari padanya al-Hikmah, yaitu suatu kebijaksanaan akan membawa

kepada perbuatan yang baik.

2. Kekuatan marah dinilai baik manakala dia dalam keadaan terkendali dan terarah

menurut batas yang dikehendaki oleh kebijaksanaan.

3. Kekuatan syahwat bernilai baik bila dalam bimbingan dan isyarat kebijaksanaan,

yakni menurut petunjuk akal dan agama.

4. Kekuatan adil, yaitu mengendalikan kekuatan syahwat dan kemarahan dibawah

penunjukan akal dan agama.

E. Relevansi Kitab Ayyuhal Walad Terhadap Pendidikan Karakter Anak

Usia Dini

Relevansi pendidikan karakter menurut al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal

Walad terhadap pendidikan karakter bagi anak, yaitu: karakter religius, karakter

toleransi, karakter kerja keras, karakter kreatif, karakter rasa ingin tahu, dan karakter

tanggung jawab.

Dalam menunjang penerapan pendidikan karakter di sekolah, semua

stakeholder pendidikan sebisa mungkin tidak hanya mengajarkan apa yang terdapat

dalam nilai-nilai universal dari desain kurikulum ini, tetapi juga harus disertai dengan

penanaman tentang nilai-nilai keteladanan yang mesti diajarkan sebagai cermin

pembentukan karakter. Karakter kepribadian atau budi pekerti adalah ciri yang

melekat pada setiap individu dan berpengaruh langsung ketika bersentuhan dengan

kelompok masyarakat. Sementara keteladanan, berasal dari kata teladan yang menurut

158

Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Buku Kesepuluh, terjm.Purwanto, (Bandung:Marja,

2014), h. 244. 159

Agus Salim Lubis, “Konsep Akhlak dalam Pemikiran Al-Ghzali”. Jurnal Ilmu Dakwah dan

Komunikasi Islam 6 Vol.1 2014. H,20

60

kamus besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk

dicontoh (tentang perbuatan, kelakuan, sifat dan sebagainya).160

Mengenai metode yang digunakan oleh Imam Al-Ghazali, seperti metode

keteladanan dan metode cerita atau kisah, beliau mengambil keteladanan dari

Rasulullah Saw, guna membentuk akhlak yang baik pada anak. Selain itu keteladanan

juga diperoleh dari peristiwa sejarah atau contoh kehidupan tokoh agar menjadi

panutan dalam kehidupan anak. Salah satu metode lain yang diterapkan oleh Imam

Al-Ghazali yaitu metode pembiasan. Metode ini efektif untuk menghafalkan serta

untuk menguasai materi pelajaran apabila materi dipelajari secara berulang. Dalam

kehidupan, melakukan sebuah pembiasaan sangat penting, seperti terbiasa

mengamalkan ajaran agama dan terbiasa melakukan hal yang baik.

Metode lain yaitu metode nasihat, nasihat yang diberikan kepada anak

haruslah mengandung ajaran-ajaran yang baik dan positif. Ketika seorang guru

menasihati muridnya dengan sabar, penuh kasih sayang dan tanpa adanya tekanan,

maka metode ini sangat baik untuk mencapai tujuan pendidikan yang ingin dicapai.

Dengan demikian, beberapa metode yang telah dipaparkan oleh Imam Al-Ghazali

dalam kitab Ayyuhal walad ini sangat relevan diterapkan dalam sistem pendidikan

Islam. Berikut poin yang berkaitan dengan pendidikan karakter dalam kitab Ayyuhal

Walad:

1. Religius

Religius pada anak tidak cukup diberikan melalui pelajaran, penjelasan

dan pemahaman.161

Kemudian membiarkan anak berjalan sendiri. Penanaman

nilai religius pada anak memerlukan bimbingan, yaitu usaha untuk menuntun,

mengarahkan sekaligus mendampingi anak dalam hal-hal terntentu, terutama

ketika anak merasakan ketidakberdayaan atau anak sedang mengalami masalah

maka kehadiran orangtua sangat berarti. Tujuan dari nilai religius adalah

bagaimana sikap kepada Allah, Tuhan semesta alam, yang menunjukkan sikap

ketakwaan.162

160

Mohammad Takdir Ilahi, Gagalnya Pendidikan Karakter. Analiss dan Solusi Pengendalian

Karakter Emas Anak Didik. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014). 161

Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter, (Yogyakarta:

Laksbang Pressindo,2011), h. 64 162

Muhammad Fatehullah Gulen, TaSawuf untuk kita semua, penerjemah: Fuad Syaifudin Nur,

(Jakarta: Republika, 2013), h. 101.

61

Al-Ghazali adalah seorang tokoh pendidikan dan akhlak.163

Pendapat al-

Ghazali tentang pendidikan akhlak pada umumnya sejalan dengan trend-trend

agama dan etika al-Ghazali tidak melupakan masalah-masalah duniawi. Tetapi

dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia hanya

dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih

utama dan kekal. Dunia hanya alat yang megantarakan seseorang menemui

Tuhannya.164

Dalam kitab Ayyuhal Walad dijelaskan yang berkaitan dengan religiusitas

yaitu penjelasan tentang tasawwuf yang memiliki dua unsur yaitu istiqamah dan

ketenangan, sebagai berikut:

165اعلم أنا التاصوف له خصلتان الستقامة والسكون عن الخلق أيـها الولد، ثما Wahai anakku, maka ketahuilah bahwa tasawwuf memiliki dua unsur

yaitu istiqamah dan ketenangan dalam pergaulan

قام وأحسن خلقه بالناا ستقامة أن فمن استـ وعاملهم بالحلم فـهو صوفي. والفسه، وحسن الخلق مع الناا ، ألا تحمل الناا على مراد يـفدي حظا نـفسه لنـ

ر 166ع نـفسك، بل تحمل نـفسك على مرادهم ما لم يخالفوا الشاMaka siapapun yang istiqamah dan berperilaku baik dengan sesama

manusia dan bergaul dengan bijaksana maka ia adalah seseorang sufi. Istiqamah

adalah menebus sebagian kesenangan dirinya sendiri demi perintah Allah, dan

bergaul yang baik dengan manusia, yaitu kamu tidak mengajak mereka pada

keinginan dirimu, tetapi kamu berusaha membawa dirimu pada keinginan mereka

selama tidak bertentangan dengan syariat‟167

163

Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan (Madiun: Jaya

Star Nine, 2013) h. 255 164

Abu Hamid Hambali bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulummuddin jld.I

(Semarang: Thoha Putra,) h. 13 ، أيها الولد، الحرمين: الطبعة الثانية، 165 د ٱلغزالي د بن محما ٧١, ح. ه ٧٢٤١امام ابي حامد محما

، أيها الولد، الحرمين: الطبعة الثانية، 166 د ٱلغزالي د بن محما ٣, ح. ه ٧٢٤١امام ابي حامد محما167

Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha

al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,

Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad

bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia), h.96

62

Hal ini relevan dengan yang disampaikan al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal

Walad karakter religius berisi tetang seseorang mempunyai akhlak yang baik dan

mengendalikan hawa nafsu. Apabila seseorang mempunyai karakter itu maka

kehidupan setiap manusia atau anak harus seimbang antara dunia dan akhirat,

semua amal dan pola kehidupan kita harus didasarkan semata-mata hanya karena

Allah.

2. Toleransi

Menghormati perbedaan sikap dan perilaku agama, ras, suku, ras,

pendapat, sikap, perilaku, dan orang lain berbeda dengannya adalah arti kata

toleransi.168

Toleransi adalah kemampuan seseorang menerima perbedaan dari

orang lain. Orangtua perlu mendidikan apa artinya toleransi dan rasa hormat

kepada orang lain yang bisa saja menganut pemahaman berbeda darinya. Perlunya

orang tua untuk mengajarkan anak karakter toleransi atau saling menghargai

kepada anak.169

Dalam kitab Ayyuhal Walad dijelaskan tentang toleransi, Al-Ghazali

menunjukkan bahwa pentingnya proses saling menghargai diantara sesama

manusia, tidak saling mencela dan mengunjing antara orang satu dengan yang

lainnya, sebagai berikut:

قى لحد عليك حق 170استرضاء الخصوم حتاى ل يـبـMencari kerelaan hati para musuh sampai tidak ada hak orang lain yang

tersisa171

Hal ini relevan dengan yang disampaikan oleh Al-Ghazali dalam kitab

Ayyuhal Walad yaitu toleransi. Maksud dari “mencari kerelaan hati para musuh

sampai tidak ada hak orang lain yang tersisa” yaitu: Memberikan ruang dan hak

kepada musuh dan orang lain untuk memperoleh haknya sesuai dengan

kewajibannya dan kadarnya.

168

Pupuh Fathurrohman, AA Suryana, Pengembangan Pendidikan Karakter,(Bandung: PT.

Refika Aditama, 2013),h.19 169

Said Agil Husain Al-Munawar, MA, Fiqh Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat

Press, 2005), h.13-14 ، أيها الولد، الحرمين: الطبعة الثانية، 170 د ٱلغزالي د بن محما ٣٢, ح. ه ٧٢٤١امام ابي حامد محما

171Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha

al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,

Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad

bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia),h. 63

63

Al-Ghazali menunjukkan bahwa pentingnya proses saling menghargai

diantara sesama manusia, tidak saling mencela dan menggunjing antara orang satu

dengan yang lainnya dalam hidup bermasyarakat perlu adanya sikap toleransi atau

saling menghargai antara orang satu dengan yang lainnya. Apabila tidak terdapat

toleransi antara orang satu dengan yang lain hidup itu tidak akan nyaman tentram

harmonis, adanya perpecahan, adanya permusuhan. Oleh karena itu perlunya

hidup dimanapun kita berada terutama dalam masyarakat untuk saling menghargai

atau toleransi.

3. Kerja Keras

Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari perlu adanya kebutuhan primer,

seperti makan, minum, pakaian, rumah, dan kebutuhan yang lainnya. Semakin

tinggi kebutuhan hidup suatu keluarga semakin naik pula biaya yang diperlukan.

Semakin besar biaya yang diperlukan semakin kita dintuntut bekerja keras untuk

mendapatkan uang yang banyak. Anak juga harus diberi kesadaran bahwa untuk

mendapatkan uang yang banyak kita harus bekerja dan tanpa uang kita tidak akan

dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Agar mereka bersungguh-sungguh

dalam mencari ilmu atau belajar.172

Suatu upaya yang terbaik untuk mewujudkan atau menunjukkan

kesediaanmu untuk menjadi hamba Allah dengan menggunakan semua bakat,

pikiran dan dedikasi. Maka Allah menaklukkan dunia dan menempatkan dirimu

dalam masyarakat terbaik (khoiru ummah) merupakan arti kata kerja keras bagi

seorang muslim.173 Orang tua menjadi teladan, anak diberitahu penjelasan bahwa

kerja keras yang baik dan benar akan mendapatkan kebaikan, berupa uang fasilitas

kehormatan dan tentu pahala dari Allah Swt.

Banyak sekali kerja keras yang dapat didefinisikan, maka dari itu penulis

mengambil contoh pokok pembahasan dalam karakter ini yaitu kerja keras dalam

mengamalkan ilmu yang telah didapat. Tugas peserta didik bukan hanya menuntut

ilmu saja, selain itu juga harus mengamalkan ilmu yang ia dapat. Agar apa yang

telah ia ketahui itu juga dapat bermanfaat untuk orang lain.

172

Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter, (Yogyakarta:

Laksbang Pressindo,2011), h. 52. 173

Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2005), h. 27

64

ضي اهلل عنه: من ظنا أناه بدون الجهد يصل فـهو متمن، ومن ظنا أناه وقال علي ر ببذل الجهد يصل فـهو مستـغن

Rasulullah Saw bersabda : “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab

(pada hari kiamat), dan timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbang”.

Ali RA berkata : “Barangsiapa menyangka bahwa tanpa berusaha ia akan sampai

kepada tujuannya maka ia adalah orang pemimpi, dan barang siapa menyangka

dengan kerja keras ia akan berhasil maka ia termasuk orang yang tidak butuh

Allah ”174

Maksud dari hadits diatas yang tercantum didalam kitab Ayyuhal Walad

menjelaskan bahwa Imam Al-Ghazali menerangkan tentang pentingnya

pendidikan karakter yang menyeimbangkan antara kerja keras dengan berserah

diri kepada Allah Swt agar tidak disebut sebagai termasuk golongan orang yang

tidak butuh Allah Swt. Hal ini relevan dengan yang disampaikan oleh Al-Ghazali

dalam kitab Ayyuhal Walad yaitu kerja keras. Al-Ghazali menunjukkan bahwa

untuk mencapai segala sesuatu khususnya ilmu bermanfaat maka perlu kerja keras

dari seseorang anak untuk tidak gampang menyerah menuntut ilmu dan rajin

belajar agar mereka dapat mengatasi masalah yang dialaminya. Dalam belajar

dengan bertanya kepada seseorang anak untuk tidak gampang menyerah menuntut

ilmu dan rajin belajar agar mereka dapat mengatasi masalah yang dialaminya.

Dalam belajar dengan bertanya orang yang lebih pintar atau bertanya kepada yang

lebih tau dan mempelajari ilmu dengan menyeluruh dan teliti.

Kerja keras itu akan menghasilkan yang baik, jika pada proses belajar

tidak akan lepas dari kesulitan dan hambatan. Hal tersebut menjadi dorongan

untuk mencapai solusi dengan usaha yang telaten dan tidak mudah putus asa

sehingga mencapai prestasi yang memuaskan.175

4. Kreatif

Integritas pendidikan seharusnya tidak diukur dari seberapa banyak materi

yang dihafal anak dan kemampuannya mengerjakan soal, tetapi melalui kualitas-

174

Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha

al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,

Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad

bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia),h.27-28 175

Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim,(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2005), h.30

65

kualitas yang lebih subtansif seperti kemampuan mengambil keputusan,

menumbuhkan kreatifitas, keterampilan berkarya dan lainnya. Mencerminkan

sikap dan perilaku perilaku inovatif dalam segala aspek penyelesaian masalah,

sehingga mereka selalu dapat menemukan metode baru bahkan menemukan hasil

baru yang lebih baik dari sebelumnya merupakan arti sebuah sikap kreatif.176

Begitu pula orang kreatif bisa dimaknai sebagai pengalaman mengungkapkan dan

mengekspresikan diri dalam bentuk holistik yang berkaitan dengan diri sendiri,

alam dan lainnya.177

Ciri-ciri anak-anak yang mempunyai kreativitas anatara lain: Mempunyai

daya imajinasi yang kuat, senang mencari pengalaman baru, memiliki inisiatif,

mempunyai minat yang luas, selalu ingin tahu, mempunyai kebebasan dalam

berfikir, mempunyai kepercayaan diri yang kuat, mempunyai rasa humor, penuh

semangat, berwawasan masa depan dan berani mengambil resiko.178

ة، وكتابة فاتي فاطلبه ثما لك بـعضها مسطور في مصنـا أيـها الولد، والباقي من مسائنكشف لك ما لم تـعلم. قال رسول اهلل صلاى بـعضها حرام. اعمل أنت بما تـعلم ليـ

179اهلل عليه وسلام: )من عمل بما علم وراثه اهلل علم ما لم يـعلم(Wahai anakku, kelanjutan dari permasalahan-permasalahabmu

sebagiannya tertulis dalam kitab-kitab karanganku untuk itu carilah disana, dan

menuliskan jawaban dari sebagian dari permasalahanmu yang lain itu haram

(tidak diperkenankan). Amalkanlah apa yang telah kau ketahui supaya apa yang

belum kau ketahui bisa tersingkap. Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa

yang mengamalkan sesuatu yang telah ia ketahui maka Allah akan memberikan

ilmu yang belum ia ketahui”180

176

Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter,(Bandung: PT Remaja Rosdaya.

2013),h.8. 177

Fuad Nashori dan Rochmy Diana Mucharrom, Mengembangkan Kreativitas Dalam

Perspektif Psikologi Islam, (Yogyakarta: Menara Kudus,2002),h.34 178

Diana Vidya Fakhriyani.”Pengembangan Kreativitas Anak Usia Din” Jurnal Pendidikan.

Vol.2 Desember 2016. h. 4 ، أيها 179 د ٱلغزالي د بن محما ٢, ح. ه ٧٢٤١الولد، الحرمين: الطبعة الثانية، امام ابي حامد محما

180Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha

al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,

Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad

bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia), h. 104-105

66

Maksud dari kata “Amalkanlah apa yang telah kau ketahui supaya apa yang

belum kau ketahui bisa tersingkap”, yaitu: Mengamalkan perbuatan atau ilmu

dapat menambah pengetahuan dan pengalaman baru dan membuka pengetahuan

yang lain, sehingga pengetahuan baru dan pengalaman baru menimbulkan sifat

yang kreatif dan inovatif.

Hal ini relevan dengan yang disampaikan oleh Al-Ghazali dalam kitab

Ayyuhal Walad yaitu kreatif. Al-Ghazali mengarahkan bahwa seseorang menuntut

ilmu itu harus mempunyai ambisi yang kuat, rasa ingin tahu yang tinggi serta

dapat berkomitmen serta memegang tujuan mereka dalam belajar. Seseorang yang

mempunyai kreatif dan mampu menjalankan amalan kehidupan yang baik, ilmu

itu beragam, maka perlu keratifitas dari seseorang dalam menjalankan dengan

baik dan sesuai yang baru lagi untuk mengembangkan ilmu tersebut yang pada

akhirnya akan bermanfaat bagi orang lain.

5. Rasa Ingin Tahu Anak

Setiap manusia mempunyai rasa ingin tahu dari sejak awal kehidupannya.

Rasa ingin tahulah yang membuat bertambah pengetahuannya. Seorang ahli

pendidikan sangat sepakat salah satu anak yang cerdas adalah memiliki rasa ingin

tahu yang sangat besar. Anak cerdas akan bertanya tentang banyak hal, karena dia

ingin tahu jawabannya. Dan anak akan bertanya, dan anak akan memberikan

pertanyaan lanjutan sampai orang tua kewalahan.181

Anak usia dini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi karena itu mereka

selalu bertanya apa saja kepada orang yang ditemui. Orangtua atau pendidik tidak

dibenarkan melarang anak untuk bertanya atau bahkan memarahinya karena

sering bertanya, dan ketika memberikan jawaban yang logis dan terus melayani

apa yang ditanyakan anak. Seandainya untuk memberhentikan pertanyaannya

harus lebih halus dan lembut.182

Dalam nasihat beliau lainnya yaitu nilai pendidikan karaktek tentang rasa

ingin tahu, keingintahuan seorang anak harus disesuaikan dengan kemampuannya.

Karena, jika tidak anak akan merasa tidak mampu dan menyerah. Hal ini akan

181

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 97. 182

Muhammad Fadhilah dan Lilif Mualifatu Khorida. Pendidikan Karakter Anak Usia Dini:

Konsep dan Aplikasinya dalam PAUD. (Yogyakarta: Ar-Ruzz 2016) h. 83

67

memperkuat motivasi anak dalam menuntut ilmu. Berikut nasihat beliau dalam

kitab Ayyuhal Walad:

، أيـها الولد، أي شيء حاصل لك من تحصيل علم الكلم، والخلف، والطبواوين، ر تضييع العمر والدا والشعار، والنجوم، والعروض، والناحو، والتاصريف غيـ

183بخلف ذي الجلل Wahai anakku, apapun yang kamu peroleh dari mempelajari ilmu kalam,

perdebatan, kedokteran, prosa-prosa, syair-syair, astronomi, ilmu „arudh, nahwu,

dan sharf tidaklah menyia-nyiakan umur, berbeda dengan Allah Yang Maha

Agung184

Dari nasihat di atas dapat dipahami bahwa seorang anak yang sedang

menuntut ilmu harus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dari berbagai ilmu

pengetahuan yang dipelajari. Maka dari itu, seorang anak yang sedang menuntut

ilmu harus gemar membaca dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, karena

dengan rasa ingin tahu yang tinggi dapat membuat anak memperoleh banyak

wawasan dari mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang diminati.

Hal ini relevan dengan yang disampaikan oleh Al-Ghazali dalam kitab

Ayyuhal Walad yaitu rasa ingin tahu yang tinggi. Al-Ghazali menunjukkan bahwa

rasa ingin tahu yang tinggi dalam menggali ilmu sedalam-dalamnya kepada

seorang guru perlu bagi setiap anak siswa. Untuk mencapai hasil yang maksimal,

membutuhkan peran rasa ingin tahu yang besar yang mempunyai semangat belajar

yang tinggi. Ketika rasa ingin tahu yang tinggi tersebut muncul akan menciptakan

keaktifan seseorang untuk mencari, mengikuti, bertanya, berpendapat dan

berargumentasi. Semua itu akan berpengaruh terhadap ilmu yang bermanfaat.

6. Tanggung Jawab

Rasa tanggung jawab pada anak bisa dilatih dengan pembagian tugas.

Menurut Moh Haitami Salim dapat dilakukan dalam rangka menumbuhkan

، أيها الولد، الحرمين: الطبعة الثانية، 183 د ٱلغزالي د بن محما ٣, ح. ه ٧٢٤١امام ابي حامد محما

184Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha

al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,

Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad

bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia),h. 34-35

68

kepercayaan kepada anak agar bisa beratnggung jawab, dengan memberikan

tugas, amanah, pekerjaan tertentu.

185الولد، عش ما شئت، وأحبب ما شئت فإناك مفارقه، واعمل ما شئت فإناك مجزي به أيـها Wahai anakku, hiduplah semaumu, cintailah apa yang kamu inginkan karena

kamu akan meninggalakannya, dan berbuatlah sesukamu karena kamu akan

mendapat balasannya186

Dari nasihat tersebut, terlihat sangat jelas dengan kata “karena kamu akan

memperoleh balasan setimpal dengan perbuatanmu itu” yang mana menjelaskan

bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan maka akan mendapatkan balasan, maka

dari itu dari kalimat tersebut, Imam Ghazali mengajarkan agar anak memiliki rasa

tanggung jawab atas setiap tindakan yang dilakukannya.

Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh beliau imam Al- Ghazali

dalam kitab Ayyuhal Walad tentang nilai karakter tanggung jawab. Imam Al-

Ghazali mengatakan hiduplah semaumu, cintailah apa yang kamu inginkan karena

kamu akan meninggalakannya, dan berbuatlah sesukamu karena kamu akan

mendapat balasannya, mengajarkan agar anak memiliki rasa tanggung jawab atas

setiap tindakan dan perilaku terhadap temannya.

، أيها الولد، الحرمين: الطبعة الثانية، 185 د ٱلغزالي د بن محما ٢, ح. ه ٧٢٤١امام ابي حامد محما

186Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha

al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,

Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad

bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia),h. 33

69

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut al-Ghazali, pendidikan anak usia dini dapat dikelompokkan menjadi dua

tahapan yaitu tahapan janin dan tahapan kanak-kanak (thiftl). Diantaranya: 1)Tahapan

Janin. Pengajaran islam menyebutkan bahwa masa kehamilan/tahapan janin merupakan

masa menentukkan bagi kehidupan masa depan anak. 2) Tahapan kanak-kanak;

a)Pentingnya peran orang tua dan pendidikan akhlak bagi anak usia dini, b)Seimbangkan

antara perintah dengan keteladanan, c)Berikan anak untuk bermain, d) Berikan kegiatan

positif di waktu luangnya, e) Reward and Punishment.

Pendidikan karakter dalam kitab Ayyuhal Walad relevan dengan pendidikan baik

masa lalu maupun kontemporer. Relevansinya dapat menjadi faktor pendukung bagi tujuan

pendidikan anak usia dini akan berdampak pada aspek perkembangan Akhlak anak dan

memberikan karakter pada anak baik dari sisi substansi nilai maupun tujuan pendidikan

karakter. Relevansi pendidikan karakter menurut Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal

Walad terhadap pendidikan karakter bagi anak, yaitu: karakter religius, karakter toleransi,

karakter kerja keras, karakter kreatif, karakter rasa ingin tahu, dan karakter tanggung

jawab.

Jika pendidikan karakter dalam kitab Ayyuhal walad diterapkan, maka sangat

relevan dan sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan pendidikan karakter dalam system

pendidikan nasional yakni pembentukan nilai karakter dalam diri agar terwujudnya

manusia yang memiliki karakter kuat yang berdampak baik di lingkungan individu

maupun masyarakatnya. Dan apabila hal itu diterapkan maka anak tersebut menjadi lebih

bai sehingga dapan menjungjung nilai-nilai Pancasila, undang- undang dasar 1945,

Bhineka Tunggal Ika dan juga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

B. Saran

Pendidikan Akhlak anak usia dini dalam kitab Ayyuhal Walad yang telah penulis

paparkan diatas relevan dengan pendidikan saat ini, tujuan yang digunakan dalam

pembelajaran isi kitab tersebut. Dengan demikian Kitab Ayyuhal Walad karya Imam al-

Ghazali sangat cocok digunakan sebagai referensi dalam mengajarkan pendidikan Akhlak

saat ini. Khususnya pendidikan Akhlak yang dilaksanakan di sekolah. Begitu banyak nilai-

nilai pendidikan Akhlak dalam kitab Ayyuhal Walad ini perlu ditanamkan kepada diri

70

anak. Dalam kita ini cara penyampaiannya dengan menggunakan teladan dan nasehat

yamg tentunya mudah diingat dan cara melaksanakannya juga praktis. Maka dari itu kita

harus biasa mengenalkan kearifan lokal jangan sampai terlupakan.

Nilai-nilai pendidikan Akhlak dalam mendidik anak dalam kitab Ayyuhal Walad

ini relevan dengan nilai-nilai pendidikan karakter bagi anak seperti yang dirumuskan

berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 1 bahwa

tujuan pendidikan itu menjadikan generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan

karakter yang bernafas nilai-nilai luhur dan agama. Maka dari itu kita ini dapat digunakan

sebagai motivasi untuk mendidikan anak dan dapat digunakan sebagai referensi dalam

pembelajaran, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan Akhlak yang praktis

dalam mendidik anak. Diharapkan dalam penelitian selanjutya dapat menambah nilai-nilai

karakter yang berkaitan dengan relevansi pendidikan karakter dari kitab Ayyuhal Walad.

71

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Gymnastiar, Refleksi Untuk Membangun Nurani Bangsa, Bandung: MQS

Publishing, 2004.

Abdul Mustaqim, “Berbagai Penyebutan Anak dalam al-Qur‟an”, Jurnal Lektur

Keagamaan, 2015.

Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan

Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.

Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam,

Madiun: Jaya Star Nine, 2013.

Achmad Sunaro. Ayyuhal Waladu Muhibbu. Surabaya: Mutiara Ilmu, 2014.

Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2012

Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad (Wahai anakku yang tercinta),

Kalimantan: Darusalam Yasin, 2015.

Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2009.

Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad Fi

Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman

Na‟fian, Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia, 2006.

Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan

Ayyuha al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu

Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian, Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah

bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad bin Salim Al-Aydrus,

Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia, 2006.

Al-Ghazali, Metode Penaklukan Jiwa Perspektif Sufistik, Bandung:Mizan, 2013.

Alisa, “Akhlak Sebagai Azas Kebahagiaan Keluarga dan Masyarakat”. Jurnal

Pendidikan Agama Islam, 2016.

Ansori, Raden Ahmad Muhajir. “Strategi Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Agama

Islam Pada Peserta Didik”, jurnal Pusaka: Media Kajian dan Pemikiran

Islam,2017.

Ahmad,Nurwadjah.Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan.Bandung: Marja, 2010.

72

Al-Misri, Mahmud. Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW. Jakarta: Pena Pundi

Aksara, 2011.

A. Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-

Ruzz Media, 2013.

Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filsuf dan Ajarannya, Bandung:

CV.Pustaka Setia, 2013.

Djaman Salon dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:

Alfabeta, 2013.

Enni K. Hairuddin, Membentuk Karakter Anak dari Rumah. Jakarta: Gramedia, 2014.

Fadjar Noegraha Syamhoedie, TaSawuf Kehidupan al-Ghazali; Refleksi Petualangan

Intelektual dari Teolog, Filosof hingga Sufi, Ciputat: CV. Putra Harapan,

2009.

Fadlillah Martono, Desain Pembelajaran PAUD Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2012.

Falakhul Auliya dkk, Kecerdasan Akhlak Anak Usia Dini, Pekalongan: PT. Nasya

Expanding Management Penerbit NEM - Anggota IKAPI, 2020.

Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan Islam Semarang: Dina

Utama Semarang, 1993.

Gholib, Achmad. Akidah dan Akhlak dalam Perspektif Islam.Ciputat: CV. Diaz

Pratama Mulia, 2016.

Habibah,“Syarifah. Akhlak dan Etika dalam Islam”. Jurnal pendidikan Dasar dan

Humaniora, 2015.

Haryani, Retno Ika.,Jaya,I., & Yulsyofriend. “Pembentukan karakter tanggung jawab

di Taman Kanak- Kanak Islam Budi Mulia Padang”. Jurnal Ilmiah Potensia.

2019.

Hidayati, Henny Narendrany. Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa. Jakarta:

Lembaga Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2009.

Herdianto, Tri Naimah, Yuki Widyasari. “Implementasi Sekolah Ramah Anak untuk

Membangun Nilai- Nilai Karakter Anak Usia Dini”. Jurnal Pendidikan Anak

Usia Dini. 2020.

Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi Bandung: Alfabeta,

2012.

H. M. Zurkani Jahja, Teologi Al Ghazali: Pendekatan Metodologi, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009.

73

Ihsana El-Khuluqo, Manajemen PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2015.

Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat Al-imam al-Ghazali kepada para

muridnya, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2014.

Ibnu „aqil, Bahauddin Abdullah, Buku Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu‟aqil,

Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2017.

K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1996.

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Mahjuddin, Akhlak TaSawuf. Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Miftahul Huda, Idealitas Pendidikan Anak: TafsirTematik QS.Luqman, Malang: UIN

Malang Press, 2009.

Miqdad Yaljan, Kecerdasan Akhlak,penerjemah: Tulus Musthofa, Yogyakarta: Pustaka

pelajar, 2004.

Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter, Yogyakarta:

Laksbang Pressindo,2011.

Moh Fauziddin,Mufarizudin, “Useful of Clap Hand Games for Optimalize Cogtivite

Aspects in Early Chilhood Education”. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini.

2018.

Moleong,Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2016.

Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta:

Rineka Cipta, 2008.

Muhammad Fatehullah Gulen, TaSawuf untuk kita semua, penerjemah: Fuad

Syaifudin Nur, Jakarta: Republika, 2013.

Mulyasa. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996.

Nata, Abuddin. Pemikiran Pendidikan Islam, & Barat. Jakarta: Rajawali Press, 2012.

Pupuh Fathurrohman, AA Suryana, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: PT.

Refika Aditama, 2013.

Ratna, “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Al-Gazali Dan Émile Durkheim”,

Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Lentera Pendidikan, Juni 2015.

Rosihon Anwar, Akhlak TaSawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.

74

Saepudin, “Pendidikan Karakter dalam Kitab Ayyuhal Walad dalam Konsep

Pendidikan di Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu, 2019.

Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis,

Jakarta: Ciputat Press, 2012.

Santrock, J.W (2007). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.

Satori,Djam‟an.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2013.

Siregar, N. S. S. Persepsi Oang Tua Terhadap Pentingnya Pendidikan Bagi Anak.

Jurnal Ilmu Pemerintahan Dan Sosial Politik. 2013.

Sodiq, Akhmad.Prophetic Character Building.Jakarta: Kencana, 2018.

Sugiyono.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.Bandung: Alfabeta,

2016.

Sukandarrumidi.Metedologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti

Pemula.Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti, 2012.

Sukardi,Edy.Buku Pintar Akhlak Terpuji.Jakarta: AMP Press, 2016.

Thoyib,M. “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Alquran (Surat Al-Hujurat Ayat 11-

13)”,Jurnal Studi Keislaman, 2012.

Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2005

Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-qur‟an, Jakarta: Rajawali Press,

2014.

Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak dalam Islam, Terj.Arif Rahman Hakim

Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2017.

Yamin, H. Martinis. Panduan Pendidikan Anak. Usia Dini. Jakarta: GP Press. 2010

Yulianto, A. Pendidikan Ramah Anak Studi Kasus SDIT Nur Hidayah Surakarta. At

Tarbawi. Jurnal Kajian Kependidikan Islam, 2016.

Yusuf,Muri.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian

Gabungan.Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2015.

Yusuf,Muhammad as-Sayyid., dkk.Ensiklopedi Metodologi Alquran.Mesir: Dar as-

salam, Maktabah al-Usrah.

Watz,M. An Historical Analysis of Character Education. Journal of Inqury & Action

in Education, 2011.

Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Zainal, Veithzal Rivai. Manajemin Akhlak.Jakarta: Salemba Diniyah, 2018.

Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

75

LEMBAR UJI REFERENSI

Nama : Leli Romdaniah

NIM : 11160184000013

Jurusan : Pendidikan Islam Anak Usia Dini

Judul Skripsi : KONSEP MORAL DALAM KITAB AYYUHAL WALAD DAN

RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER ANAK

USIA DINI

No

Judul dan Halaman Buku Paraf

Pembimbing

BAB I

1 Suryadi dan Maulidya Ulfah, Konsep Dasar PAUD,

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h.2

2 Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta:

Erlangga, 1996), h.12

3 Abdullah Nashih „Ulwan, Pendidikan Anak dalam

Islam, (Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2017,

h.533.

4 Suryadi dan Maulidya Ulfah, Konsep Dasar PAUD,

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h.2.

5 Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak

Dalam Islam, jilid 2. (Pustaka Amani : Jakarta,

2007) h.142

6 Sabar Budi Raharjo, “Pendidikan Karakter Sebagai

Upaya Menciptakan Akhlak Mulia” Jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan,Mei 2010

7 La Ode Aan Sanjaya, Jamaludin Hos, dan Ratna

Supiyah, “Kontrol Sosial Masyarakat Terhadap

Maraknya Seks Bebas di Kalangan Pelajar”, Jurnal

Pemkiran dan Penelitian Sosiologi, 2018 h.441-

448.

8 Muslim Nurdin, Moral Dan Kognisi Islam: Buku

76

Teks Agama Untuk Perguruan Tinggi Umum

(Bandung: Alfabeta,1993), h.209

9 Muslim Nurdin, Moral Dan Kognisi Islam: Buku

Teks Agama Untuk Perguruan Tinggi Umum

(Bandung: Alfabeta,1993), h.209

BAB II

1 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2002), h.17

2 Saepudin,“Pendidikan Karakter Dalam Kitab

Ayyuhal Walad Dalam Konsep Pendidikan Di

Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu,

Desember 2019, h. 6.

3 Muhadjir Effendy, “Kamus Besar Bahasa

Indonsia”, https://kbbi.kemdikbud.go.id/

4 Raden Ahmad Muhajir Ansori,“Strategi

Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam

Pada Peserta Didik”,Jurnal Pusaka: Media Kajian

dan Pemikiran Islam, Mei 2017, h.16-17.

5 Akhmad Sodiq, Prophetic Character Building,

(Jakarta: Kencana, 2018), h.1.

6 Raden Ahmad Muhajir Ansori,“Strategi

Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam

Pada Peserta Didik.h.20

7 Otib satibi Hidayat, Metode Pengembangan Moral

dan Nilai-Nilai Agama, (Jakarta: Universitas

Terbuka,2007), h.7.3-7.5

8 Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,

2014), h.17

9 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter

Mulia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 75

10 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV

Pustaka Setia, 2010), h. 18.

77

11 Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam,(jakarta:

Bumi Aksara, 2007), h. 29

12 Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai-nilai

Karakte, (Jakarta: Rajawali Pers. 2013), h. 1

13 Achmad Gholib, Akidah dan Akhlak dalam

Perspektif Islam, (Ciputat: CV. Diaz Pratama

Mulia, 2016), h.108.

14 Veithzal Rivai Zainal, Manajemin Akhlak, (Jakarta:

Salemba Diniyah, 2018), h.13.

15 Abdullah Nashih „Ulwan, Pendidikan Anak dalam

Islam, (Jawa Tengah: Insan Kamil Solo), h.131.

16 Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Anak Usia

Dini (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 64.

17 Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan

Implementasi (Bandung: Alfabeta, 2012),h.23

18 Ihsana El-Khuluqo,Manajemen PAUD (Pendidikan

Anak Usia Dini)(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2015), 63.

19 Ihsana El-Khuluqo,Manajemen PAUD (Pendidikan

Anak Usia Dini)(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2015), h.81.

20 Fadlillah Martono, Desain Pembelajaran PAUD

(Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2012).h.34.

21 Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Anak Usia

Dini. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h.88-90

22 Veithzal Rivai Zainal, Manajemin Akhlak, (Jakarta:

Salemba Diniyah, 2018), h.221.

23 Veithzal Rivai Zainal, Manajemin Akhlak, (Jakarta:

Salemba Diniyah, 2018), h.224.

78

24 Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam Sebuah

Gagasan Membangun Pendidikan Islam,

(Yogyakarta: Teras,2009), h. 9.

25 Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi

Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,

2008), h.261

26 Achmad Gholib, Akidah dan Akhlak dalam

Perspektif Islam, (Ciputat: CV. Diaz Pratama

Mulia, 2016), h.110.

27 Otib Satibi Hidayat, Metode Pengembangan Moral

dan Nilai- nilai Agama, (Tangsel: UT, 2018), h.24.

28 Otib Satibi Hidayat, Metode Pengembangan Moral

dan Nilai- nilai Agama, (Tangsel: UT, 2018), h.26.

29 Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-

qur‟an, (Jakarta: Rajawali Press, 2014),h.11-12.

30 Abdullah Nashih „Ulwan, Pendidikan Anak dalam

Islam, (Jawa Tengah: Insan Kamil Solo), h.133.

31 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam, &

Barat, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h.209

32 Henny Narendrany Hidayati, Pengukuran Akhlakul

Karimah Mahasiswa, (Jakarta: Lembaga

Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2009), h.12-13.

33 Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral, penerjemah:

Tulus Musthofa, (Yogyakarta: Pustaka pelajar,

2004), h. 24.

34 Syarifah Habibah,”Akhlak dan Etika dalam Islam”,

Jurnal pendidikan Dasar dan Humaniora, Oktober

2015, h.73-87.

35 Ibnu „aqil, Bahauddin Abdullah, Buku Terjemahan

Alfiyyah Syarah Ibnu‟aqil,(Bandung: Sinar Baru

79

Algesindo, 2017), h.3.

36 Aliasa, “Akhlak Sebagai Azas Kebahagiaan

Keluarga dan Masyarakat”, Jurnal pendidikan

Agama Islam, February2016, h.42.

37 Aliasa, “Akhlak Sebagai Azas Kebahagiaan

Keluarga dan Masyarakat”, Jurnal pendidikan

Agama Islam, February2016, h.43.

38 Muhammad as-Sayyid Yusuf, dkk. Ensiklopedi

Metodologi Alquran, (Mesir: Dar as-salam,

Maktabah al-Usrah), h.28-29.

39 Edy Sukardi, Buku Pintar Akhlak Terpuji, (Jakarta:

AMP Press, 2016), h.136.

40 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter

Mulia, (Jakarta, Rajawali Press, 2015), h.129.

41 Edy Sukardi, Buku Pintar Akhlak Terpuji, (Jakarta:

AMP Press, 2016), h.174-175.

42 Veithzal Rivai Zainal, Manajemen Akhlak, (Jakarta:

Salemba Diniyah, 2018), h.15

43 M. Thoyib, “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam

Alquran (Surat Al-Hujurat Ayat 11-13)”, Jurnal

Studi Keislaman, September 2012, h.200.

44 Jess Feist Dan Gregory J. Feist (penr handriyanto)

Teori Kpribadian Buku II (Jakarta: salemba

Humanika, 2010), h.3

45 Alex Sobur, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka

Setia, 2003), h.299

46 Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,

(Bandung: Marja, 2010), h.128.

47 Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,

(Bandung: Marja, 2010), h.129.

48 Mahjuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam

Mulia, 2009), h.7

49 Falakhul Auliya dkk, Kecerdasan Moral Anak Usia

Dini, (Pekalongan: PT. Nasya Expanding

Management Penerbit NEM - Anggota IKAPI,

2020) h. 20-22

BAB III

80

1 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang

Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009),

h.9

2 Hasan Asari, The educationalk Thought of al-

Ghazali: Theori and Praktice, Tesis Montreal:

Institute of Islamic Studies (t.tMcGill University,

1993),h. 27

3 Yusuf al-Qardhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan

Kontra, alih bahasa, Hasan Abrori, (Surabaya:

Pustaka Progresif, 1996), h.39

4 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang

Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), h.

9

5 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang

Pendidikan, Pustaka Pelajar

(Yogyakarta:1998),h.15

6 Zaenal Abidin Ahmad, Riwayat hidup Imam al-

Ghazali (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), h.28

7 Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang

Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.

9

8 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang

Pendidikan, Pustaka Pelajar (Yogyakarta:1998),

h.17

9 Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang

Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.

9

10 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-

Ghazali tentang Pendidikan Islam, (Madiun: Jaya

Star Nine,2013), h.19

11 Ahmad, Tafsir Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif

Islam.(Bandung: Remaja Rosda Karya,2004),h.45

12 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-

81

Ghazali tentang Pendidikan Islam, (Madiun: Jaya

Star Nine,2013),h.20

13 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam

Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis,

(Jakarta: Ciputat Press, 2012),h.206

14 H. M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali:

Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar,2009), h.63-64

15 Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang

Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2009),h.9

16 Fadjar Noegraha Syamhoedie, Tasawuf Kehidupan

al-Ghazali; Refleksi Petualangan Intelektual dari

Teolog, Filosof hingga Sufi, (Ciputat: CV. Putra

Harapan,2009), h. 202-204

17 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif

Islam.(Bandung: Remaja Rosda Karya,2004),h.49

18 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik

hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,

2013),h.134

19 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang

Pendidikan, Pustaka Pelajar (Yogyakarta:1998),

h.27

20 K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj.

Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1996), h.409

21 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang

Pendidikan, Pustaka Pelajar

(Yogyakarta:1998),h.27

22 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al

Ghazali Tentang Pendidikan, (Madiun: Jaya Star

Nine, 2013),h.8

23 K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj.

Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1996),h.414.

24 Zakiyah drajat, Ilmu Pendidikan

Islam,(Jakarta:Bumi Aksara, 1984),h.32

25 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al

Ghazali Tentang Pendidikan, (Madiun: Jaya Star

Nine, 2013),h.9

26 K.Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj.

Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1996),h.417

82

27 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang

Pendidikan, Pustaka Pelajar (Yogyakarta:1998),

h.32

28 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang

Pendidikan, Pustaka Pelajar

(Yogyakarta:1998),h.35

29 K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj.

Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1996),h.419.

30 Ali Al-Jumbulati Abdul Futuh At-Tuwanisi,

Perbandingan Pendidikan Islam,(Jakarta: Rineka

Cipta,2002),h.168

31 M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan

Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),

h. 63

32 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al

Ghazali Tentang Pendidikan, (Madiun: Jaya Star

Nine, 2013), h.5

33 Amrouni, Pemikiran dan Dokrin Imam Al-Ghazali

(Jakarta : Riova Cipta, 2000 ,Cet I ), h.78.

34 Ali Al-jumbulati Abdul Futuh At-Tuwanisi,

Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka

Cipta, 2002), h.173

35 Saepudin,“Pendidikan Karakter dalam Kitab

Ayyuhal Walad dalam Konsep Pendidikan di

Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu,

2019,h. 3.

36 Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali, h 53

37 Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam

Islam (Jakarta:Bulan Bintang,1984), h. 60

38 K.Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj.

Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja Grafindo

Persada,1996), h.420.

39 Zakiyah Drajat, Ilmu Pendidikan

Islam,(Jakarta:Bumi Aksara, 1984),h.213

40 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:

Logos Wacana Ilmu, 2001), h.64-65.

41 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 74-80.

83

42 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep

Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: CV.Pustaka

Setia,2013), h. 51-54.

43 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 80-86.

44 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 74-86.

45 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad

(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:

Darusalam Yasin, 2015), h.60

46 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad

(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:

Darusalam Yasin, 2015), h.60

47 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali,

(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 74-86

48 Muhammad Jalaluddin Al-Asqalani Addimasqy,

Mau‟izhatul Mukimin Min Ihya‟Ulumuddin, (Al-

Maktabah At-Tijjariyah Al-Kubra), h.502

49 Muhammad Jalaluddin Al-Asqalani Addimasqy,

Mau‟izhatul Mukimin Min Ihya‟Ulumuddin, (Al-

Maktabah At-Tijjariyah Al-Kubra), h.505

50 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kelima.

Pengarang, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan,. EDISI, Edisi Kelima, 2017.

51 Ratna, “Konsep Pendidikan Moral Menurut Al-

Gazali Dan Émile Durkheim”, Pascasarjana UIN

Alauddin Makassar, Lentera Pendidikan, Juni

2015, h.76.

52 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad

(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:

Darusalam Yasin, 2015), h.58

53 Pupuh Fathurrohman, AA Suryana, Pengembangan

Pendidikan Karakter, (Bandung: PT. Refika

Aditama, 2013), h. 19.

54 Said Agil Husain Al-Munawar, MA, Fiqh

Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat Press,

2005), h.13-14

55 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad

(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:

Darusalam Yasin, 2015), h.58

56 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat

Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h. 18.

84

57 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad

(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:

Darusalam Yasin, 2015), h.59

58 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat

Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h. 18.

59 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat

Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h. 20.

60 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad

(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan: D

Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk

Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Laksbang

Pressindo,2011), h. 104

arusalam Yasin, 2015), h.59

61 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat

Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h. 18

62 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat

Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h. 20.

63 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad

(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:

Darusalam Yasin, 2015), h.59

64 Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk

Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Laksbang

Pressindo,2011), h. 104

65 Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran,

(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 97

66 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat

Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h. 15

67 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad

(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:

Darusalam Yasin, 2015), h.60

68 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-

Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star

Nine,2013), h.50

69 Al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid II Alih Bahasa

H.Ismail Jakub, (Jakarta:CV.Faizan,tth) h.427

70 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-

Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star

Nine,2013), h.51

71 Ahmad Tafsir (ed), Pendidikan Agama Islam dalam

keluarga,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2002), h.35

71 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam

85

Pendidikan Islam (Semarang: Dina Utama

Semarang, 1993), h.47

73 Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan. h.74

74 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-

Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star

Nine,2013), h.51

75 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi

Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.80

76 Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik,

(Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1999), h.85

77 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi

Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.83

78 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi

Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.78

79 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi

Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.80

80 Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep pendidikan,

h.75.

81 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat

Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.50.

82 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam

Pendidikan Islam (Semarang: Dina Utama

Semarang, 1993), h.89

83 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam

Pendidikan Islam (Semarang: Dina Utama

Semarang, 1993), h.60

84 Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan. h.78

BAB IV

1. Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.45

2 Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46

3 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuha al-Walad

(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:

Darusalam Yasin,2015), h.60

4 Miftahul Huda, Idealitas Pendidikan Anak:

86

TafsirTematik QS.Luqman, (Malang: UIN Malang

Press, 2009), 49-50

5 Miftahul Huda, Idealitas Pendidikan Anak:

TafsirTematik QS.Luqman, (Malang: UIN Malang

Press, 2009), 53

6 Abdul Mustaqim, “Berbagai Penyebutan Anak

dalam al-Qur‟an”, Jurnal Lektur Keagamaan, 2015,

h.271-290

7 Saepudin,“Pendidikan Karakter Dalam Kitab

Ayyuhal Walad Dalam Konsep Pendidikan Di

Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu,

Desember 2019, h.6

8 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad

(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:

Darusalam Yasin,2015), h.60

9 Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46

10 Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46

11 Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.47

12 Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu,

(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46

13 Al-Ghazali, Metode Penaklukan Jiwa Perspektif

Sufistik, (Bandung:Mizan,2013), h.74

14 Enni K. Hairuddin, Membentuk Karakter Anak dari

Rumah (Jakarta: Gramedia, 2014), h. 7

15 Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Kta

Semua, (penerj.Fuad Syaifudin Nur),

(jakarta:Republika, 2013), h.101

16 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam Dan

Akhlak, (penrj.Kamran As‟at dan Fakhri Ghazali),

(Jakarta:Amzah,2011), h.245

17 B.Wiwho, Bertasawuf Di Zaman Edan, (Jakarta:

buku Republika, 2016), h.92

18 Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Buku

Kesepuluh, terjm.Purwanto, (Bandung:Marja,

2014), h. 244.

19 Muhammad, Pendidikan di Alaf Baru Rekontruksi

atas Moralitas Pendidikan, (Yogyakarta:

Primashopie,2003), h.24

87

20 Mohammad Takdir Ilahi, Gagalnya Pendidikan

Karakter. Analiss dan Solusi Pengendalian

Karakter Emas Anak Didik. (Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media, 2014).

21 Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk

Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Laksbang

Pressindo,2011), h. 64

22 Muhammad Fatehullah Gulen, Tasawuf untuk kita

semua, penerjemah: Fuad Syaifudin Nur, (Jakarta:

Republika, 2013), h. 101

23 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran al-

Ghazali tentang pendidikan (Madiun: Jaya Star

Nine, 2013) h. 255

24 Abu Hamid Hambali bin Muhammad bin

Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulummuddin jld.I

(Semarang: Thoha Putra,) h. 13

25 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad

Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha al-Walad

Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim

Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,

Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin

Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin

Ahmad bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain

Jaya Indonesia), h.96

26 Pupuh Fathurrohman, AA Suryana,

Pengembangan Pendidikan Karakter,(Bandung:

PT. Refika Aditama, 2013),h.19

27 Said Agil Husain Al-Munawar, MA, Fiqh

Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat Press,

2005), h.13-14

28 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad

Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha al-Walad

Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim

Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,

Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin

Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin

Ahmad bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain

Jaya Indonesia),h. 63

29 Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk

Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Laksbang

Pressindo,2011), 52.

30 Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim,

(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2005), h. 27

88

31 Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim,

(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2005), h. 29

32 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad

Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha al-Walad

Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim

Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,

Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin

Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin

Ahmad bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain

Jaya Indonesia),h.27-28

33 Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi

Muslim,(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2005),

h.30

34 Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan

Karakter,(Bandung: PT Remaja Rosdaya.

2013),h.8.

35 Fuad Nashori dan Rochmy Diana Mucharrom,

Mengembangkan Kreativitas Dalam Perspektif

Psikologi Islam, (Yogyakarta: Menara

Kudus,2002),h.34

36 Diana Vidya Fakhriyani.”Pengembangan

Kreativitas Anak Usia Din” Jurnal Pendidikan.

Desember 2016. h. 4

37 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad

Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha al-Walad

Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim

Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,

Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin

Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin

Ahmad bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain

Jaya Indonesia), h. 104-105

38 Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran,

(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 97.

39 Muhammad Fadhilah dan Lilif Mualifatu Khorida.

Pendidikan Karakter Anak Usia Dini: Konsep dan

Aplikasinya dalam PAUD. (Yogyakarta: Ar-Ruzz

2016) h. 83

40 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad

Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha al-Walad

Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim

89

Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,

Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin

Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin

Ahmad bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain

Jaya Indonesia),h. 34-35

41 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad

Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha al-Walad

Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim

Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,

Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin

Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin

Ahmad bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain

Jaya Indonesia),h. 33

90

Lampiran

91

92

93

94

95