50
Al-Qur`an : Isi dan Sistematikanya Al-Qur`an berasal dari bahasa arab yang artinya bacaan atau himpunan. Al-Qur`an berarti bacaan karena Al-Qur`an merupakan kitab yang wajib dibaca dan dipelajari, dan berarti himpunan karena Al-Qur`an merupakan himpunan firman – firman Allah SWT ( wahyu ). Menurut istilah, Al-Qur`an adalah kitab suci umat islam yang berisi firman-firman Allah SWT yang diwahyukan dalam bahasa arab kepada rasul/nabi terakhir Nabi Muhammad SAW, yang membacanya adalah ibadah. Al-Quran adalah sumber ajaran agama Islam pertama dan utama yang memuat firman-firman (wahyu) Allah, yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sediki selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekah kemudian di Madinah. Ayat-ayat Al-Quran yang di turunkan selama lebih kurang 23 tahun itu dapat dibedakan antara ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad masih tinggal di Mekah (sebelum hijrah) dengan ayat yang turun setelah Nabi Muhammad hijrah (pindah) ke Madinah. Al-Qur`an terdiri dari 30 Juz dan 114 surah ( 89 surah Makkiyah dan 25 surah Madaniyyah ), 6.236 ayat ( 4.726 ayat dari surah Makkiyyah dan 1.510 ayat dari surah Madaniyyah ). Ayat-ayat yang turun ketika Nabi Muhammad masih berdiam di Mekkah di sebut ayat-ayat Makkiyah, sedangkan ayat-ayat yang turun sesudah Nabi Muhammad pindah ke Medinah dinamakan ayat-ayat Madaniyah. Ciri-cirinya adalah : a. Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya pendek-pendek, merupakan 19/30 dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 86 surat, 4.780 ayat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah pada umumnya panjang-panjang, merupakan 11/30 dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 28 surat, 1456 ayat. b. Ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhannaas (hai manusia) sedang ayat –ayat Madaniyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhallaziina aamanu (hai orang-orang yang beriman).

Al quran isi dan sistematisnya

Embed Size (px)

Citation preview

Al-Qur`an : Isi dan Sistematikanya

Al-Qur`an berasal dari bahasa arab yang artinya bacaan atau himpunan. Al-Qur`an berarti bacaan karena Al-Qur`an merupakan kitab yang wajib dibaca dan dipelajari, dan berarti himpunan karena Al-Qur`an merupakan himpunan firman – firman Allah SWT ( wahyu ). Menurut istilah, Al-Qur`an adalah kitab suci umat islam yang berisi firman-firman Allah SWT yang diwahyukan dalam bahasa arab kepada rasul/nabi terakhir Nabi Muhammad SAW, yang membacanya adalah ibadah.

Al-Quran adalah sumber ajaran agama Islam pertama dan utama yang memuat firman-firman (wahyu) Allah, yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sedikit demi sediki selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, mula-mula di Mekah kemudian di Madinah. Ayat-ayat Al-Quran yang di turunkan selama lebih kurang 23 tahun itu dapat dibedakan antara ayat-ayat yang diturunkan ketika Nabi Muhammad masih tinggal di Mekah (sebelum hijrah) dengan ayat yang turun setelah Nabi Muhammad hijrah (pindah) ke Madinah.

Al-Qur`an terdiri dari 30 Juz dan 114 surah ( 89 surah Makkiyah dan 25 surah Madaniyyah ), 6.236 ayat ( 4.726 ayat dari surah Makkiyyah dan 1.510 ayat dari surah Madaniyyah ). Ayat-ayat yang turun ketika Nabi Muhammad masih berdiam di Mekkah di sebut ayat-ayat Makkiyah, sedangkan ayat-ayat yang turun sesudah Nabi Muhammad pindah ke Medinah dinamakan ayat-ayat Madaniyah.

Ciri-cirinya adalah :

a. Ayat-ayat Makkiyah pada umumnya pendek-pendek, merupakan 19/30 dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 86 surat, 4.780 ayat. Sedangkan ayat-ayat Madaniyah pada umumnya panjang-panjang, merupakan 11/30 dari seluruh isi al-Quran, terdiri dari 28 surat, 1456 ayat.

b. Ayat-ayat Makkiyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhannaas (hai manusia) sedang ayat –ayat Madaniyah dimulai dengan kata-kata yaa ayyuhallaziina aamanu (hai orang-orang yang beriman).

c. Pada umumnya ayat-ayat Makkiyah berisi tentang tauhid yakni keyakinan pada Kemaha Esaan Allah, hari Kiamat, akhlak dan kisah-kisah umat manusia di masa lalu, sedang ayat-ayat Madaniyah memuat soal-soal hukum, keadilan, masyarakat dan sebagainya.

Al-Qur`an memiliki beberapa nama seperti :

- Al-Kitab atau kitab Allah SWT, (Q.S. Al-Baqarah 2 : 2 ) ;

“Kitab (Al Quraan) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”

- Al-Furqan yang artinya pembeda antara benar dan salah (Q.S. Al-Furqan 25 : 1 ) ;

“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”

- Az-Zikr yang berarti peringatan (Q.S Al-Hijr 15 : 9 ) ;

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”

- At-Tanzil yang artinya diturunkan (Q.S Asy-Syu`ara 26 : 192 ) ;

“Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam”

Al-Quran sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat manusia dalam hidup baik di dunia dan akhirat, berisi hal-hal antara lain :

1. Petunjuk mengenai akidah yang harus diyakini oleh manusia. Petunjuk akidah ini berintikan keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan kepastian adanya hari kebangkitan, perhitungan serta pembalasan kelak.

2. Petunjuk mengenai syari’ah yaitu jalan yang harus diikuti manusia dalam berhubungan dengan Allah dan dengan sesama insan demi kebahagiaan hidup manusia di dunia ini dan di akhirat kelak.

3. Petunjuk tentang akhlak, mengenai yang baik dan buruk yang harus dihindarkan oleh manusia dalam kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan sosial.

4. Kisah-kisah umat manusia di zaman lampau. Sebagai contoh kisah kaum Saba yang tidak mensyukuri karunia yang diberikan Allah, sehingga Allah menghukum mereka dengan mendatangkan banjir besar serta mengganti kebun yang rusak itu dengan kebun lain yang ditumbuhi pohon-pohon yang berbuah pahit rasanya.

5. Berita tentang zaman yang akan datang. Yakni zaman kehidupan akhir manusia yang disebut kehidupan akhirat. Kehidupan akhirat dimulai dengan peniupan sangkakala (terompet) oleh malaikat Israil. “ Apabila sangkakala pertamaditiupkan, diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu keduanya dibenturkan sekali bentur. Pada hari itulah terjadilah kiamat dan terbelahlah langit...”. (Qs al-Haqqah (69) : 13-16.

6. Benih dan Prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.

7. Hukum yang berlaku bagi alam semesta

MAR

13

PENGERTIAN DAN FUNGSI AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH/AL-HADITS

A. AL QUR’AN

1. Penegertian Al-Qur’an

Menurut bahasa Al-Qur’an merupakan kata benda dari kata kerja Qara’at yang maksnanya sinonim dengan kata Qiro’at yang berarti “ bacaan”. Menurut istilah, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Syeh Ali Ash-Shaabuni, ‘Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang menjadi mukjizat, diturunkan kepada Nabi dan Rosulterakhir dengan perantara MAlaikat Jibril, tertulis dalam mushaf yang di nukilkan kepada kita secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, yang di mulai dari surat Al-Fatihah dan di akhiri dengan surat An-Naas”

2. Fungsi Al-Qur’an

a. Petunjuk bagi manusia. Allah SWT

b. Sumber pokok ajaran Islam.

c. Peringatan dan pembelajaran bagi manusia.

d. Sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW

B. AS-SUNNAH / AL-HADITS

1. Pengertian As-Sunnah

Kata sunnah adalah salah satu kosa kata bahasa Arab “sunnah”. Secara bahasa kata sunnah berarti” perjalanan hidup yang baik dan buruk”. As- Sunnah menurut bahasa eimologi berarti tradisi yang biasa dilakukan, atau jalan yang dilalui (al-thariqah al-maslukah), baik yang terpuji maupun yang tercela. Hal ini bisa dipahami dari hadits Nabi SAW:

“Barang siapa mengadakan/mempelopori suatu sunnah ( tradisi atau jalan yang dilalui) yang baik, maka baginya pahala atas perbuatan itu dan pahala orang yang mengerjakannya hingga akhir kiamat. Dan barang siapa mempeloporisuatu sunnah yang buruk maka baginya dosa atas perbuatannya itu dan menanggung dosa orang yang mengerjakan( mengikuti)nya hingga hari kiamat. “ ( H.R. Muttafaqun ‘alaih).

2. Fungsi As-sunnah

a. Menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an.

b. Memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal/global (bayan al-mujmal).

c. Memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih belum terbatas didalam Al-Qur’an (taqyid al-mutlaq).

d. Memberikan penentuan khusus (takhshish) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum (takhshish al’am).

e. Memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih rumit didalam Al-Qur’an ( taudlih al-musykil);

f. Menetapkan hokum atau aturan-aturan yang tidak didapati didalam Al-Qur’an.

Home / Modul / Rakyu atau Akal Pikiran (Ijtihad)

Rakyu atau Akal Pikiran (Ijtihad)

Posted by Admin 0 komentar

Menurut kebahasaan, kata Ijtihad berasal dari bahasa arab “jahada”, yang artinya berusaha dengan sungguh – sungguh. Menurut istilah dalam ilmu fikih, ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh – sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung didalam Al-Qur`an dan hadis dengan syarat – syarat tertentu.

Ijtihad menempati kedudukan sebagai sumber hukum islam setelah Al-Qur`an dan hadis. Hadis yang dapat dijadikan dalil tentang kebolehan berijtihad adalah sabda Rasulullah SAW yang artinya : “ Apabila seorang hakim didalam menjatuhkan hukum berijtihad, lalu ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala. Apabila ijtiadnya itu salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim ).

Seorang muslim yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Agar ijtihadnya dapat menjadi pegangan bagi umat, seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan pokok untuk menjadi mujtahid adalah :

1. Memahami Al-Quran dan asbabun nuzul-nya (sebab – sebab turunnya ayat – ayat Al-Qur`an ), serta ayat – ayat nasikh ( yang menghapus hukum ) dan mansukh (yang dihapus).

2. Memahami hadis dan sebab-sebab munculnya hadis – hadis, serta memahami hadis – hadis nasikh dan mansukh.

3. Mempunyai kemampuan yang mendalam tentang bahasa arab.

4. Mengetahui tempat – tempat ijmak.

5. Mengetahui usul fikih.

6. Mengetahui maksud – maksud syariat.

7. Memahami masyarakat dan adat istiadatnya.

8. Bersifat adil dan taqwa.

Selain kedelapan persyaratan pokok tersebut beberapa ulama juga menambahkan tiga persyaratan lagi, yaitu :

1. Mendalami ilmu ushuluddin ( ilmu tentang akidah islam ).

2. Memahami ilmu mantik ( logika ).

3. Mengetahui cabang – cabang fikih.

Fungsi ijtihad adalah untuk menetapkan hukum sesuatu, yang tidak ditemukan dalil hukumnya secar pasti didalam Al-Quran dan hadis. Masalah - masalah yang sudah jelas hukumnya, karena telah ditemukan dalilnya secara pasti di dalam Al-Qur`an dan hadis seperti kewajiban beriman kepada rukun iman yang enam, kewajiban melaksanakan rukun islam yang lima, maka masalah – masalah tersebut tidak boleh di ijtihadkan lagi. Ditinjau dari segi sejarah ijtihad, ijtihad telah dilakukan semenjak Rasulullah SAW masih hidup dan terus berlanjut setelah beliau wafat.

Bentuk bentuk ijtihad yang biasa digunakan oleh para mujtahid adalah :

- Ijma`, adalah kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada suatu masa atas suatu masalah yang berkaitan dengan syariat.

- Qiyas (Ra`yu), yaitu penetapan hukum atas suatu perbuatan yang belum ada ketentuannya, berdasarkan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya dengan memperhatikan kesamaan antara kedua hal itu.

- Istihab, yaitu melanjutkan berlakunya hukum yang tellah ada dan yang telah ditetapkan karena adanya suatu dalil, samapi ada dalil lain yang mengubah kedudukan hukum tersebut.

- Mashlahah Mursalah, yaitu kemaslahatan atau kebaikan yang tidak disinggung – singgung syara` untuk mengerjakan atau meninggalkannya.

- Urf, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang baik dalam kata – kata atau perbuatan.

Beberapa fatwa Majelis Ulama Indonesia yang merupakan hasil ijtihad mereka, dimasa sekarang antara lain :

- Mengikuti natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram.

- Memakan daging kelinci hukumnya halal.

- Penulisan kitab Suci AL-Qur`an dengan huruf selain arab, karena mengikuti pendapat yang membolehkan, dan dianggap sangat perlu, harus dibatasi sekedar hajat dan ditulis disamping huruf arab aslinya.

- Penggunaan pil anti haid untuk kesempurnaan ibadah haji hukumnya mubah (boleh) sedangkan untuk mencukupi puasa bulan ramadhan sebulan penuh hukumnya makruh. Tetapi bagi wanita yang sukar meng-qada puasanya pada hari lain , hukumnya mubah. Selain itu penggunaan pil anti haid selain untuk hal - hal tersebut di atas, hukumnya tergantung pada niatnya. Bila untuk perbuatan yang menjurus kepada pelanggaran hukum agama, hukumnya haram.

- Vasektomi dan tubektomi termasuk usaha pemandulan, karena itu vasektomi dan tubektomi hukumnya haram.

- Seseorang yang semasa hidupnya berwasiat akan menghibahkan kornea matanya, sesudah wafatnya dengan diketahui dan disetujui dan disaksikan oleh ahli warisnya, wasiat itu dapat dilaksanakan dan harus dilakukan oleh ahli bedah.

Menurut ajaran Islam manusia dibekali Allah dengan berbagai perlengkapan yang sangat berharga antara lain akal, kehendak, dan kemampuan untuk berbicara. Dengan akalnya manusia dapat membedakan antara yang benar dengan yang salah, yang baik dengan

yang buruk, antara kenyataan dengan khayalan. Dengan mempergunakan akalnya manusia akan selalu sadar dan dapat memilih jalan yang dilaluinya, membedakan mana yang mutlak mana yang nisbi. Karena manusia bebas menentukan pilihannya, ia dapat dimintai pertanggungan jawab mengenai segala perbuatannya dalam memilih sesuatu.

Perkataan al-’aqal dalam bahasa Arab berarti pikiran dan intelek. Di dalam bahasa Indonesia pengertian itu dijadikan kata majemuk akal pikiran. Perkataan akal dalam bahasa asalnya dipergunakan juga untuk menerangkan sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan. Akar kata ’aqal mengandung makna ikatan.

Sebagai sumber ajaran yang ketiga, kedudukan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat penting sekali dalam sistem ajaran Islam. Sumber ajaran Islam ini biasa disebut dengan istilah ar-ra’yu atau sering juga disebut ijtihad. Namun makna ijtihad sendiri sebenarnya adalah usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman tertentu yang memenuhi syarat untuk mencari, menemukan dan menetapkan nilai dan norma yang tidak jelas atau tidak terdapat patokannya di dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Ia merupakan suatu proses, karena itu ijtihad dapat dilakukan bersama-sama oleh beberapa orang (yang hasilnya menjadi ijma’ atau konsensus dan dapat pula dilakukan oleh orang tertentu yang hasilnya menjadi qiyas atau analogi).

Sebagai hasil ketekunan keilmuwan muslim mempelajari Al-Quran dan Al-Hadis (sebagai sumber utama agama dan ajaran Islam) dan kemampuan mereka mempergunakan akal pikiran atau rakyu melalui ijtihad, mereka telah berhasil menyusun berbagai ilmu dalam ajaran Islam seperti ilmu tauhid atau ilmu kalam yang (kini) sering disebut dengan istilah teologi, ilmu fikih, ilmu tasawuf dan ilmu akhlak.

Di samping itu mereka juga telah berhasil menyusun norma-norma dan seperangkat penilaian mengenai perbuatan manusia dalam hidup

dan kehidupan, baik dalam hidup pribadi maupun di dalam hidup kemasyarakatan. Sistem penilaian mengenai perbuatan manusia yang diciptakan oleh ilmuwan muslim itu, dalam kepustakaan Indonesia dikenal dengan nama al-khamsah (lima kategori penilaian, lima kaidah atau sering disebut juga lima hukum dalam Islam).

Menurut sistem al-ahkam al-khamsah ada lima kemungkinan penilaian mengenai benda dan perbuatan manusia. Penilaian itu menurut Hazairin mulai dari ja’iz atau mubah atau ibahah. Ja’iz adalah ukuran penilaian atau kaidah kesusilaan (akhlak) pribadi, sunat dan makruh adalah ukuran penilaian bagi hidup kesusilaan (akhlak) masyarakat, wajib dan haram adalah ukuran penilaian atau kaidah atau norma bagi lingkungan hukum duniawi. Kelima kaidah ini berlaku di dalam ruang lingkup keagamaan yang meliputi semua lingkungan itu. Pembagian ke alam ruang lingkup kesusilaan, baik pribadi maupun perseorangan. Ukuran penilaian tingkah laku ini dikenakan bagi perbuatan-perbutan yang sifatnya pribadi yang semata-mata diserahkan kepada pertimbangan dan kemauan orang itu sendiri untuk melakukannya

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana yang kita ketahui sumber hukum islam ada tiga yaitu Al-Quran, Al-Hadits dan ijtihad. Al-Quran berasal dari wahyu Allah SWT, Al-Hadits yang merupakan penjelasan dari Nabi Muhammad SAW terkait dengan hal-hal yang belum dijelaskan dalam Al-Quran dan ijtihad merupakan kesepakatan ulama terhadap suatu hal yang belum dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Ijtihad berasal dari kata ijtihada yang artinya adalah bersungguh-sungguh, rajin, dan giat. Sedangkan Imam Ghazali mendefinisikan ijtihad itu dengan usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid di dalam rangka mengetahui tentang hukum-hukum syariat. Ijtihad merupakan hasil dari akal pikiran manusia (ar-ra’yu). Ijtihad diperkuat oleh dialog antara Nabi Muhammad SAW dengan Mu’adz bin jabal ketika itu Nabi bertanya kepada kepada Mu’adz bin Jabal tentang perkara yang belum ada di dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul maka Mu’adz akan menggunakan akal pikirannya sepanjang tidak melenceng dengan Al-Quran dan Sunnah Rasul dan Nabi Muhammad SAW pun menyetujuinya.

Terdapat berbagai macam ijtihad dan hukum-hukumnya. Ijtihad oleh Syaikh Muhammad khudloriy memiliki 3 hukum yakni wajib ainy, wajib kifaiy, dan sunnah. Sedangkan Dr. Ad duwalibi membagi ijtihad menjadi 3 macam yaitu Al-Ijtihadul Bayaniy, Al-Ijtihadul Qiyasiy dan Al-Ijtihadul Istishlahiy. Ustadz Muhammad Taqqiyul Hakim membagi ijtihad menjadi dua macam yaitu ijtihad aqliy dan ijtihad syar’i.

B. Identifikasi masalah

1. Ijtihad merupakan salah satu sumber hukum islam.

2. Pengertian ijtihad secara terminologi dan epistimologi menurut ulama.

3. Dasar hukum ijtihad.

4. Macam-macam ijtihad dan hukumnya.

C. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad?

2. Jelaskan macam-macam dari Ijtihad?

3. Mengapa Ijtihad dapat menjadi salah satu sumber dari hukum islam.

4. Jelaskan hukum-hukum dari ijtihad.

D. Tujuan

1. Dapat mengetahui pengertian dari ijtihad secara bahasa dan menurut pendapat ulama.

2. Dapat mengetahui macam-macam dari ijtihad.

3. Dapat mengetahui hukum-hukum dari ijtihad.

4. Dapat mengetahui dasar hukum dan alasan dari penggunaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum islam.

E. Manfaat

a. Menambah wawasan mahasiswa tentang pengertian ijtihad.

b. Menambah wawasan mahasiswa tentang macam-macam ijtihad.

c. Menambah mahasiswa tentang hukum-hukum dari ijtihad.

d. Menambah wawasan mahasiswa tentang ijtihad secara luas.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad

Ijtihad yang berasal dari kata (asal mulanya) ijtihada ( ) artinya ialah : Bersungguh-sungguh, rajin, giat. Sedang apabila kita meneliti makna kata ja-ha-da artinya ialah mencurahkan segala kemampuan. Jadi dengan demikian menurut bahasa ijtihad itu ialah berusaha atau berupaya yang bersungguh-sungguh. Imam Al Ghazaliy mendefinisikan

ijtihad itu dengan usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid di dalam rangka mengetahui tentang hukum-hukum syariat. Adapula yang mengatakan ijtihad itu ialah qiyas, tetapi oleh Al Ghazaliy pendapat itu lebih umum daripada qiyas, sebab kadang-kadang ijtihad itu memandang di dalam keumuman dan lafadz-lafadz yang pelik dan semua jalan asillah (berdalil) selain daripada qiyas. Imam Syafi’iy sendiri menyebutkan bahwa arti sempit qiyas itu juga adalah ijtihad (Kamal Muchtar dkk, 1995: 115-16).

Dalam hubungannya dengan hukum, ijtihad adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan mempergunakan segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi syarat untuk merumuskan garis hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah. Orang yang berijtihad disebut mujtahid (Mohammad Daud Ali, 1990: 116).

Pengertian ijtihad menurt Ibrahim Hosen berarti pengarahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Ijtihad secara bahasa sering juga diartikan sebagai pencurahan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu, yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan suatu kepuasan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit di dalam Al-qur’an dan Sunnah.

Dalam bidang fikih, ijtihad berarti mengerahkan segala tenaga dan fikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (mengistinbatkan) hukum-hukum yang terkandung dalam Al-qur’an dengan syarat-syarat tertentu. Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas’ud sebagai berikut : “berhukumlah engkau dengna Al-qur’an dan Sunnah Rasul, apabila persoalan itu engkau temukan dalam kedua sumber tersebut. Akan tetapi apabila engkau tidak menemukannya,maka ijtihadlah”. Rasulullah pun pernah menyatakan kepada Ali Bin Abi Thalib : “apabila engkau berijtihad dan ijtihad mu betul, maka engkau mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihad mu salah, maka engkau hanya mendapatkan satu pahala”. Ada tiga hukum ijtihad seperti ditetapakan para ahli ushul fikih, antar lain fardhu ain (wajib bagi setiap orang), fardhu kifayah (cukup dilakukan oleh sebagian orang) serta mandub (sunah). (Muhammad Alim,2006:195)

Ijtihad adalah istilah para fuqaha, yaitu berfikira dengan menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh para ilmuan syari’at Islam untuk menetapkan/menemukan sesuatu hukum syari’at islam dalam hal-hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnyaoleh Al-qur’an dan Sunnah. Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman dalam Al-qur’an dan Sunnah tersebut. Karena itu ijtihad dipandang sebagai salah satu sumber hukum islam yang sangat dibutuhkan sepanjang masa setelah Rasulullah wafat. Sasaran ijtihad adalah segala sesuatu yang diperlukan dalam kehidupan, yang senantiasa berkembang. Ijtihad bidang pendidikan sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin maju, terasa semakin urgen dan mendesak, tidak saja dibidang materi atau isi, melainkan juga dibidang sistem dalam arti yang luas. (Zakiah Daradjat,2006:21)

Ijtihad merupakan dasar dan saran pengembangan hukum Islam. Ia adalah kewajiban umat Islam yang memenuhi syarat (karena pengetahuan dan pengalamannya) untuk menunaikannya. Kewajiban itu tercermin dalam Sunnah Nabi Muhammad SAW yang mendorong mujtahid untuk berijtihad. Mujtahid yang berijtihad, dan (hasil) ijtihadnya itu benar, kata Nabi, akan memperoleh dua pahala. Kalau ijtihadnya salah, dia akan mendapatkan (juga) satu pahala (Othman Ishak,1980:16 dalam Mohammad Daud Ali, 1990: 17).

B. Kedudukan Ijtihad Sebagai Sumber Ajaran Islam

Dilihat dari Jumlah pelakunya, ijtihad dapat dibagi dua yakni (a) ijtihad individual (ijtihad fardi) dan (b) ijtihad kolektif (ijtihad jama’i). Yang dimaksud dengan (a) ijtihad individual adalah ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid saja. Yang dimaksud dengan (b) ijtihad kolektif adalah ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh banyak ahli tentang satu persoalan hukum tertentu. Di samping jumlah orang yang melakukannya, ijtihad juga dapat dilihat dari objek atau lapangannya. Dilihat dari objek atau lapangannya, ijtihad dapat dilakukan terhadap (a) persoalan-persoalan hukum yang zhanni sifatnya, (b) hal-hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Alquran dan Al-Hadist dan (c) mengenai masalah-masalah hukum baru yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat (Mohammad Daud Ali, 1990: 117-118).

Berbeda dengan Al-qur’an dan Assunnah, ijtihad pada kepastiannya sebagai sumber ajaran islam terkait dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang bersifat mutlak, sebab ijtihad merupakan produk manusia yang bersifat relatif, maka keputusan suatu ijtihad pun adalah relatif

b. Suatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungikin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk suatu tempat atau masa atau tempat yang lain.

c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan dan atau pengurangan ibadah mahdhah (ritual khusus, ibadah yang termasuk paket dari Rasulullah, misal sholat). Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah. Maka ketika ada pihak yang melkukan inovasi dalam hal shalat dan ibadah lainnya, tentu saja para ulama dan umat islam sangat keberatan. Karena memang tidak pernah ada ijtihad untuk hal prakik ibadah. Meski begitu beberapa praktik ibadah, semisal melaksanakan shalat dalam kendaraan ketika melakukan perjalanan, maka seorang muslim boleh shalat tidak menghadap kiblat. Ini menunjukkan bahwa islam juga sangat fleksibel dalam penerapan ibadah.

d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-qur’an dan Assunnah.

e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi, akibat, kemaslahatan bagi umat,kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa dari ajaran islam. (Muhammad Alim,2006:197)

Asy Syaikh Muhammad Khudloriy di dalam Kitabnya Ushulul Fiqih (h.368), mengemukakan hukum-hukum ijtihad itu sebagai berikut :

1. Wajib ainiy, yaitu bagi seseorang yang ditanyai akan sesuatau peristiwa, dan peristiwa itu akan hilang sebelum diketahui. Atau ia sendiri mengalami sesuatu peristiwa yang ia sendiripun mengetahui hukumnya.

2. Wajib kifa’iy, yaitu apabila seseorang ditanyai tentang sesuatu dan sesuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukum-hukumnya, dan disamping itu masih ada mujtahid yang lain. Apabila salah seorang mujtahid sudah meyelesaikan tugas itu atau sudah ada seseorang saja yang berijtihad menyelesaikan soal tersebut, kewajiban tersebut sudah gugur atas yang lain-lain, artinya ijtihad satu orang tersebut sudah membebaskan beban kewajiban berijtihad. Tetapi apabila tidak seorangpun yang melakukan ijtihad dari kalangan mujtahidin, mereka semua berdosa.

3. Sunnah (annadbu), yaitu hukum atas sesuatu yang belum terjadi, baik hal itu ditanyakan ataukah tidak (Kamal Muchtar dkk, 1995: 119).

C. Syarat-syarat Berijtihad

Dalam sejarah, banyak para mujtahid yang muncul dan berjasa mengembangkan hukum islam . Para penulis sejarah hukum mengadakan klasifikasi dan menentukan peringkat mereka berdasarkan kriteria yang mereka adakan. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (1292-1356 M) menggolongkannya ke dalam empat tingkat saja, yakni (1) mujtahid mutlak, (2)mujtahid mazhab, (3) mujtahid fatwa dan (4) muqallid atau disebut juga dengan istilah ahli tarjih (Asjmuni Abdurrahman, 1978:n 17-24 dalam Muhammad Daud Ali, 1990: 119).

Ijtihad perlu dilakukan oleh orang yang memenuhi syarat dari masa ke masa, karena Islam dan umat Islam berkembang pula dari zaman ke zaman sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat yang berkembang itu, senantiasa muncul masalah-masalah yang perlu dipecahkan dan ditentukan kaidah hukumnya. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan ijtihad. Dan karena pentingnya ijitihad, seorang pemikir Islam terkemuka (yang menjadi salah seorang pendorong lahirnya negara Islam Pakistan) yakni Muhammad Iqbal menyebut ijtihad sebagai the rinciple of movement dalam struktur ajaran agama islam (Nazaruddin Razak, 1977:113), karena dengan ijtihad hukum Islam dapat dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam di setiap zaman. Ijtihad Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M) dalam berbagai aspek hukum Islam, adalah model yang dapat dicontoh terus-menerus

dalam melakukan ijtihad dari masa ke masa, di setiap tempat dalam berbagai peristiwa (Mohammad Daud Ali, 1990: 119).

Di antara banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan ijtihad, sebagaimana disebutkan oleh para ulama dalam kitab ushul fiqh, yang terpenting ialah:

a. Memiliki pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum, dalam arti mampu mebahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.

b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist Nabi SAW. Yang behubungan dengan masalah hukum, dalam arti sanggup membahas hadist-hadist tersebut untuk menggali hukum.

c. Mengetahui bahasa Arab dengan berbagai ilmu kebahasaannya, seperti nahwu, sharaf, ma’ani, bayan, badi’, agar dapat menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an atau Assunnah dengan cara yang benar.

d. Mengetahui kaidah-kaidah ilmu shuk fikih yang seluas-luasnya, karena ilmu ini menjadi dasar berijtihad.

e. Mengetahui ilmu logika, agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tenatang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.

f. Mengetahui soal-soal ijma’, supaya tidak timbul pendapat yang bertentangan dengan hasil ijma’.

g. Mengetahui hadist yang dibatalkan karena sesuatu yang lebih kuat dalam Al-qur’an. (Muhammad Alim,2006:198)

D. Arti Pentingnya ijtihad

Agar ajaran islam selalu selaras dengan perkembangan umat manusia dan mampu menjawab tantangan jaman, maka hukum islam perlu dikembangkan. Selain itu, pemahaman terhadap islam perlu terus-menerus diperbaharui dengan memberikan penafsiran-pnafsiran baru terhadap nash syara’, menggali alternatif-alternatif lain yang bisa diangkat sebagi solusi atas masalah-masalah kekinian. Jadi pembaruan hukum islam (dalam konteks ijtihad) ini dimksudkan agar syariat islam

mampu direalisasikan dalam kehidupan, menjadi hukum yang aflikatif dalam menjawab semua permasalahan yang dihadapi masyarakat.

Ijtihad pada hakikatnya merupakan realisasi dari sejumlah ayat Al-qur’an yang menyuruh umat Islam untuk menggunakan akal pikiran, melahirkan kemaslahatan masyarakat dan kebaikan manusia. Dengan demikian ijtihad perlu diperkembangkan dan diperluas. Para ulama telah menciptakan beberapa cara untuk berijtihad, antara lain sebagai berikut :

a. Qiyas, yaitu menetapka suatu hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-qur’an atau hadist, dengan cara dianalogikan kepada suatu hukum yang telah diterangkan Al-qur’an atau hadist karena memiliki sebab yang sama. Sebagai contoh, dalam Al-qur’an surat a-Jumu’ah (62) ayat 9 diisyaratkan bahwa seseorang diharuskan meninggalkan aktifitas perniagaan (jual beli) pada saat azan jum’attelah dikumandangkan. Bagaimana hukum aktivitas lain (selain perniagaan) yang dilakukan pada saat setelah mendengar adzan jumat. Dalam hal ini al-qur’an maupun hadis tidak menjelaskan. Maka hendaklah berijtihad dengan jalan analogi (qiyas). Jika aktifitas perniagaan dapat mengganggu pelaksaan shalat jumat itu dilarang, maka aktivitas lain yang bisa mengganggu pelaksanaan shalat jumat juga dilarang.

b. Ijma’ (konsensus, ijtihad kolektif) yaitu kesepakaan ulama-ulama Islam dalam menentukan suatu keputusan hukum atas masalah ijtihadiyah. Ketika Ali Bin Abi Thalib mengungkapkan pada Rasulullah tentang kemungkinan adanya suatu masalah yang tidak dibicarakan oleh Al-qur’an maupun hadist, maka rasul mengatakan kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan tersebut sebagai bahan musyawarah.

c. Istihsan, yaitu menetapkan suatu hukum terhadap suatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran islam, seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. pengalihan hukum yang diperoleh dengan jalan qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila dihadapkan kepada keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek, maka harus diambil yang lebih ringan kejelekannya.

d. Mashalihul mursalah, yaitu menetapkan hukum terhadap suatu persoalan atas pertimbangan keguanaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syariat islam, yaitu dengan memelihara kelestarian dan keselamatan agama (hak untuk beragama), jiwa (hak untuk hidup), akal (hak untuk mendapatkan ilmu pengetahuan), harta (hak untuk memiliki dan memanfaatkan harta) dan keturunan (hak untuk mengembangkan keturunan) (Muhammad Alim,2006:198-200)

Dr. Ad Duwalibi, sebagaimana dikatakan oeh Dr. Wahbah membagi ijtihad kepada tiga macam (sebagian diantaranya juga ditunjuk oleh As Syathibiy di dalam ( Al muwafafotnya)).

1. Al Ijtihadul Bayaniy, yaitu menjelaskan (bayan) hukum-hukum Syar’iyah dari nash-nash syar’i (yang memberi syari’at).

2. Al ijtihadul Qiyasyi, yaitu meletakkan (wadl’an) hukum-hukum syar’iyah unuk kejadian-kejadian/peristiwa yang tidak terdapat di dalam Al Kitab dan As Sunnah, dengan jalan menggunakan qiyas atas apa yang terdapat di dalam nash-nash hukum syar’i.

Al Ijtihadul Ishtishlahiy, inipun juga meletakkan (wadl’an) hukum-hukum syar’iyah untuk peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang untuk itu tidak terdapat di dalam Al Kitab dan As Sunnah dengan mempergunakan ar ra’yu yang disandarkan atas istishlah (Kamal muchtar dkk, 1995: 120).

Sedangkan Ustadz Muhammad Taqiyyulhakim membaginya kepada ijtihad aqliy dan ijtihad syar’iy. Yang aqliyah ialah apabila hujah-hujjahnya mantap itu melulu aqal saja dan tidak menerima untuk dijadikan syar’iy yaitu hal-hal yang semata-mata aqliy aturan-aturan yang biasanya untuk menolak kemadlaratan dan lain-lain. Sedangkan yang syar’iy ialah yang memerlukan kepada kehujjahannya itu sebagian dari hujjah-hujjah syar’iy dan dalam kelompok ini termasuk Ijma’, qiyas, istihsan, istishislah, urf, istishhab, dan lain-lain. Imam Asy Syafi’iy memadukan ijtihad itu dengan makna istinbath atas qiyas terhadap suatu yang terdapat di dalam Al Kitab dan As Sunah (Kamal Muchtar dkk, 1995: 120).

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ijtihad dianggap sangat perlu dilakukan karena zaman semakin berkembang searah dengan berkembangnya pemikiran manusia. Ijtihad juga banyak dilakukan oleh para sahabat dan juga para ulama-ulama besar setelah Rasulullah wafat. Ijtihad dilakukan untuk menemukan suatu kepuasan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit di dalam Al-qur’an dan Sunnah. Ijtihad dilakukan dengan cara mengerahkan segala kemampuan pikiran yang ada namun keputusan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan Al-qur’an dan Assunnah. Syarat-syarat untuk melakukan ijtihad diantaranya adalah memiliki pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum, memiliki pengetahuan yang luas tentang hadist-hadist Nabi SAW yang behubungan dengan masalah hukum, mengetahui bahasa Arab dengan berbagai ilmu kebahasaannya, mengetahui ilmu logika, dll.

Pengertian Ijma’ dan Hal-Hal yang Berkaitan Dengannya

Definisinya :

Ijma’ secara bahasa : ( واالتفاق .Niat yang kuat dan Kesepakatan (العزم

Dan secara istilah :

( شرعي حكم على وسلم عليه الله صلى النبي بعد األمة هذه مجتهدي (اتفاق

“Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap suatu hukum syar’i.”

Maka keluar dari perkataan kami : (اتفاق) “kesepakatan” : adanya khilaf walaupun dari satu orang, maka tidak bisa disimpulkan sebagai ijma’.

Dan keluar dari perkataan kami : (مجتهدي) “Para mujtahid” : Orang awam dan orang yang bertaqlid, maka kesepakatan dan khilaf mereka tidak dianggap.

Dan keluar dari perkataan kami : ( األمة Ummat ini” : Ijma’ selain“ (هذهmereka (ummat Islam), maka ijma’ selain mereka tidak dianggap.

Dan keluar dari perkataan kami : ( وسلم عليه الله صلى النبي Setelah“ (بعدwafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : Kesepakatan mereka pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak dianggap sebagai ijma’ dari segi keberadaannya sebagai dalil, karena dalil dihasilkan dari sunnah nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dari perkataan atau perbuatan atau taqrir (persetujuan), oleh karena itu jika seorang shahabat berkata : “Dahulu kami melakukan”, atau “Dahulu mereka melakukan seperti ini pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “, maka hal itu marfu’ secara hukum, tidak dinukil sebagai ijma’.

Dan keluar dari perkataan kami : ( شرعي حكم terhadap hukum“ (علىsyar’i” : Kesepakatan mereka dalam hukum akal atau hukum kebiasaan, maka hal itu tidak termasuk disini, karena pembahasan dalam masalah ijma’ adalah seperti dalil dari dalil-dalil syar’i.

Ijma merupakan hujjah, dengan dalil-dalil diantaranya :

1. Firman Allah :

اس الن على شهداء لتكونوا وسطا أمة جعلناكم وكذلك

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (QS. Al-Baqoroh : 143)

Maka firmanNya : “Saksi atas manusia“, mencakup persaksian terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan hukum-hukum dari perbuatan mereka, dan seorang saksi perkataannya diterima.

2. Firman Allah :

سول والر ه الل إلى فردوه شيء في تنازعتم فإن

“Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (QS. An-Nisa’ : 59)

menunjukkan atas bahwasanya apa-apa yang telah mereka sepakati adalah benar.

3. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ضاللة على أمتي تجتمع ال

“Umatku tidak akan bersepakat diatas kesesatan”

4. Kami mengatakan : Ijma’ umat atas sesuatu bisa jadi benar dan bisa jadi salah, jika benar maka ia adalah hujjah, dan jika salah maka bagaimana mungkin umat yang merupakan umat yang paling mulia disisi Allah sejak zaman Nabinya sampai hari kiamat bersepakat terhadap suatu perkara yang batil yang tidak diridhoi oleh Allah? Ini merupakan suatu kemustahilan yang paling besar.

Macam-macam ijma’ :

Ijma’ ada dua macam : Qoth’i dan Dzonni.

1. Ijma’ Qoth’i : Ijma’ yang diketahui keberadaannya di kalangan umat ini dengan pasti, seperti ijma’ atas wajibnya sholat lima waktu dan haramnya zina. Ijma’ jenis ini tidak ada seorangpun yang mengingkari ketetapannya dan keberadaannya sebagai hujjah, dan dikafirkan orang yang menyelisihinya jika ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya.

2. Ijma’ Dzonni : Ijma’ yang tidak diketahui kecuali dengan dicari dan dipelajari (tatabbu’ & istiqro’). Dan para ulama telah berselisih tentang kemungkinan tetapnya ijma’ jenis ini, dan perkataan yang paling rojih dalam masalah ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mengatakan dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah : “Dan ijma’ yang bisa diterima dengan pasti adalah ijma’nya as-salafush-sholeh, karena yang setelah mereka banyak terjadi ikhtilaf dan umat ini telah tersebar.”

Ketahuilah bahwasanya umat ini tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi suatu dalil yang shohih dan shorih serta tidak mansukh karena umat ini tidaklah bersepakat kecuali diatas kebenaran. Dan jika engkau mendapati suatu ijma’ yang menurutmu menyelisihi kebenaran, maka perhatikanlah! Mungkin dalilnya yang tidak shohih atau tidak shorih atau mansukh atau masalah tersebut merupakan masalah yang diperselisihkan yang kamu tidak mengetahuinya.

Syarat-syarat ijma’ :

Ijma’ memiliki syarat-syarat, diantaranya :

Tetap melalui jalan yang shohih, yaitu dengan kemasyhurannya dikalangan ‘ulama atau yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan luas pengetahuannya.

Tidak didahului oleh khilaf yang telah tetap sebelumnya, jika didahului oleh hal itu maka bukanlah ijma’ karena perkataan tidak batal dengan kematian yang mengucapkannya.

Maka ijma’ tidak bisa membatalkan khilaf yang ada sebelumnya, akan tetapi ijma’ bisa mencegah terjadinya khilaf. Ini merupakan pendapat yang rojih karena kuatnya pendalilannya. Dan dikatakan : tidak disyaratkan yang demikian, maka bisa ditetapkan atas salah satu pendapat yang ada sebelumnya pada masa berikutnya, kemudian ia menjadi hujjah bagi ummat yang setelahnya. Dan menurut pendapat jumhur, tidak disyaratkan berlalunya zaman orang-orang yang bersepakat, maka ijma’ ditetapkan dari ahlinya (mujtahidin) hanya dengan kesepakatan mereka (pada saat itu juga, pent) dan tidak boleh bagi mereka atau yang selain mereka menyelisihinya setelah itu, karena dalil-dalil yang menunjukkan bahwa ijma’ adalah hujjah, tidak ada padanya pensyaratan berlalunya zaman terjadinya ijma’ tersebut. Karena ijma’ dihasilkan pada saat terjadinya kesepakatan mereka, maka apa yang bisa membatalkannya?

Dan jika sebagian mujtahid mengatakan sesuatu perkataan atau mengerjakan suatu pekerjaan dan hal itu masyhur di kalangan ahlul Ijtihad dan tidak ada yang mengingkarinya dengan adanya kemampuan mereka untuk mengingkari hal tersebut, maka dikatakan : hal tersebut menjadi ijma’, dan dikatakan : hal tersebut menjadi hujjah bukan ijma’,

dan dikatakan : bukan ijma’ dan bukan pula hujjah, dan dikatakan : jika masanya telah berlalu sebelum adanya pengingkaran maka hal itu merupakan ijma’, karena diam mereka (mujtahidin) secara terus-menerus sampai berlalunya masa padahal mereka memiliki kemampuan untuk mengingkari merupakan dalil atas kesepakatan mereka, dan ini merupakan pendapat yang paling dekat kepada kebenaran.

***

[Diterjemahkan dari kitab al-Ushul min ‘Ilmil Ushul karya asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh al-‘Utsaimin]

sumber http://tholib.wordpress.com/2007/05/26/ijma-%D8%A7%D9%84%D8%A5%D8%AC%D9%85%D8%A7%D8%B9/

—————————————————————————————————————————————————————-

Ijma’ adalah satu hujjah syar’iyyah yang dijadikan pijakan oleh para ulama Ahli Sunnah dari jaman ke jaman dalam setiap masalah ‘ilmiyyah diniyyah.

Al-Imam asy-Syafi’i berkata: “Sumber ilmu ada empat, yaitu: al-Kitab, Sunnah, Ijma’ atau Qiyas. [ar-Risalah, hlm. 39, ‘Ilmul-Muwaqi’in, 4/105].

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Apabila telah tetap Ijma’ pada suatu hukum (di antara hukum-hukum syar’i), maka tidak boleh bagi seseorang untuk keluar dari Ijma’ mereka”. [Al-Fatâwâ, 10/20].

Ijma’ adalah pokok yang ketiga yang menjadi pijakan ilmu dan agama. Para ulama menimbang dengan tiga ushul ini terhadap seluruh apa yang ditempuh manusia, baik ucapan maupun perbuatannya, yang nampak maupun yang tersembunyi yang memiliki hubungan dengan agama. [Al-Washitiyyah].

Keempat sumber di atas saling bersesuaian dan tidak ada pertentangan, karena antara yang satu dengan lainnya saling membenarkan dan saling menguatkan. Oleh sebab itu, kita boleh mengatakan bahwa dasar dalil-dalil syar’i adalah Al-Qur`ân, dengan tinjauan selainnya sebagai penjelas Al-Qur`ân, atau sebagai cabang dan semua bersandar kepadanya. Boleh juga kita katakan sumber dalil adalah Rasulullah n dengan tinjauan Al-Qur`ân disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Sunnah itu datang dari Allah l sebagai penjelas terhadap Al-Qur`ân. Adapun Ijma’ dan Qiyas, penetapannya berdasarkan kepada Al-Qur`ân dan Sunnah.

Syaikhul-Islam Ibnu Tamiyyah berkata: “Al-Qur`ân, Sunnah dan Ijma’ isinya satu, karena semua yang ada di dalam Al-Qur`ân disetujui Rasulullah n dan disepakati oleh umat. Sehingga tidak ada dari umat ini, kecuali ada yang mewajibkan untuk mengikuti Al-Qur`ân. Demikian juga, semua yang disunnahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Al-Qur`ân telah memerintahkan untuk mengikutinya, dan umat telah sepakat terhadap masalah itu. Demikian pula, seluruh masalah yang kaum muslimin telah sepakat di atasnya, maka itu adalah kebenaran yang sesuai dengan Al-Qur`ân dan Sunnah”. [Al-Fatâwâ, 7/40]

Hujjahnya Ijma’ ditunjukkan oleh yang lainnya, (hujjahnya Ijma’ ditujukkan oleh Al-Qur`ân dan Sunnah).

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin berkata: “Ini merupakan tiga landasan pokok yang berlandaskan kepadanya ilmu dan agama. Ushul yang pertama adalah Al-Qur’aan, uhsul yang kedua adalah Sunnah, dan ushul yang ketiga adalah Ijma’. Al-Qur`ân dan Sunnah berdiri dengan sendirinya, sedangkan Ijma’ berdiri di atas yang lainnya, karena tidak ada Ijma’ kecuali berdasarkan Al-Qur`ân dan Sunnah”. [Syarh al-Wasyithiyyah, 1/324].

Demikian, kalau kita katakan bahwa yang dimaksud hablullah adalah Al-Qur`ân, Sunnah, dan Ijma, karena ketiganya menunjukan pada satu hakikat. Apa yang terdapat dalam Al-Qur`ân, maka Rasulullah mayetujuinya, dan sebagian besar umat bersepakat atasnya.

Ada tiga masalah penting yang berkaitan dengan Ijma’.

ADAKAH IJMA’ SETELAH PARA SAHABAT?

Jumhur ‘ulama menetapkan adanya Ijma’ setelah para sahabat. Sedangkan Dâwud bin ‘Ali azh-Zhahiri, dan Ibnu Hazm, Ibnu Hibban mengatkan, bahwa Ijma hanya ijma’ para sahabat. Pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur ulama bahwa Ijma’ tidak hanya Ijma’ para sahabat. Pendapat ini dikuatkan al-Khatib al-Baghdadi, al-Fiqhu al-Mutafaqi (1/327-328), asy-Syanqiti dalam Mudzakirah Ushul-Fiqih (155), Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin, dan penjelasannya sebagai berikut:

1. Ijma’ para sahabat mungkin terjadi dan mudah untuk mengetahuinya. Adapun Ijma’ orang setelahnya, biasanya sulit untuk terjadi dan sulit untuk mengetahuinya. Oleh sebab itu, para ulama sangat berhati-hati

dalam menukil Ijma’. Al-Imam asy-Syâfi’i berkata: “Kalau boleh bagi seseorang untuk berkata pada ilmu tertentu ‘telah Ijma kaum muslimin dulu dan sekarang dalam menetapkan khabar ahad (hadits ahad)’ (dalam hujjah). Dan bahwasannya tidak didapatkan seorangpun dari kalangan fuqaha, kecuali ia menetapkan hadits ahad,’ maka itu adalah boleh bagiku. Tetapi aku mengatakan, aku tidak menghapalnya dari kalangan fuqaha bahwa mereka berselisih dalam menetapkan hadits ahad (sebagai hujjah), karena aku telah sifatkan bahwa semua itu dikatakan oleh mereka, para ulama”. [Ar-Risalah, 458. Lihat juga ar-Risalah, 534].

Syaikhul-Islam dalam Majmu’atul-Fatâwâ (XI/ 341) berkata: ‘Secara umum, Ijma’ adalah perkara yang disepakati oleh kaum muslimin, dari kalangan fuqaha, kaum sufi, ahli hadits, ahli kalam, dan yang lainnya, walaupun diingkari oleh sebagian ahli bid’ah dari kalangan Mu`tazilah dan Syi’ah. Selanjutnya, Ijma’ yang diakui adanya, adalah Ijma’ para sahabat. Adapun setelahnya, merupakan perkara yang biasanya sulit diketahui. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat berkaitan dengan Ijma’ yang terjadi setelah para sahabat. Juga berbeda pendapat tentang beberapa masalah yang masuk ke dalam bahasannya, seperti Ijma’ tabi’in terhadap salah satu pendapat sahabat. Juga Ijma’ yang terjadi sebelum ahli masanya habis, sehingga sebagian dari mereka menyelisihinya. Demikian pula Ijma’ sukuti, dan yang lainnya”.

2. Riwayat al-Imam Ahmad yang mengatakan: “Barang siapa yang mengaku ada Ijma’, maka ia telah berdusta”.

Para ulama telah menjelaskan maksud ucapan Imam Ahmad dengan beberapa kemungkinan, disebabkan beliau sendiri dalam banyak masalah telah berhujjah dengan Ijma dan menjadikannya sebagai dalil, di antaranya:

Pertama. Sebagai bentuk kehati-hatian beliau dalam menukil Ijma’, agar tidak mudah mengatakan Ijma’ sebelum mengadakan penelitian secara seksama terhadap seluruh perkataan para ulama.

Kedua. Bahwasanya Imam Ahmad tidak meniadakan Ijma’ secara mutlak, tetapi hanya menunjukkan sulit terjadinya dan sulit mengetahuinya.

Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata: “Ucapan Imam Ahmad bukan berarti menunujukan tidak mungkin adanya Ijma’ (setelah para sahabat), tetapi al-Imam Ahmad dan ahli hadits membantah kepada orang yang menolak Sunnah yang shahih dengan Ijma’. Oleh karena itu, al-Imam asy-Syâfi’i dan Ahmad menjelaskan, bahwa itu pernyataan yang dusta dan tidak boleh menolak Sunnah dengan semisalnya. [Mukhtashar Sawâ`iq, 506]

3. Jika Ijma’ itu terjadi dan diketahui secara pasti, maka tetap menjadi hujjah bagi orang yang setelahnya.

Jika para ulama (mujtahidin) Ijma’ pada satu masa setelah para sahabat dan diketahui dengan pasti, maka Ijma’ itu tetap sebagai hujjah bagi orang yang setelahnya, sebab dalil menunjukkan bahwa Ijma’ adalah sebagai hujjah, dan tidak ada pengkhususan bahwa Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah hanya Ijma’ para sahabat. Sebab, tidak boleh mengkhususkan sebuah dalil sehingga ada dalil yang mengkhususkannya. Demikian juga, harus membedakan antara adanya perbedaan, apakah mungkin Ijma’ setelah para sahabat ataukah tidak, dengan hujjahnya Ijma’ atau tidak. Sehingga bagi orang yang mengatakan Ijma’ adalah hujjah, apabila ia mengetahui adanya Ijma’, maka Ijma’ adalah hujjah baginya.

Al-Imam al-Ghazali berkata: “Dalil-dalil dari Al-Qur`ân, Sunnah dan akal yang menunjukkan bahwa Ijma’ adalah hujjah yang tidak membedakan suatu waktu dengan waktu yang lainya. Apabila para tabi’in bersepakat itu adalah Ijma’ seluruh umat dan barang siapa yang menyelisihinya, maka ia telah menempuh jalan selain jalan orang-orang beriman”.

APAKAH IJMA’ HARUS ADA DASARNYA DARI AL-KITAB DAN SUNNAH?

Berdasarkan dengan poin-poin berikut ini, maka Ijma’ harus berlandaskan dalil syar’i:

1. Jumhur ulama telah sepakat bahwa umat tidak akan bersepakat kecuali di atas dalil syar’i. Sebab umat ini tidak mungkin bersepakat di atas hawa nafsu dan berkata kepada Allah dengan tanpa ilmu atau berkata tanpa dalil. Umat ini telah dijaga dari kesalahan (bersepakat di atas kebatilan). Dan apabila berkata kepada Allah dengan tanpa dalil, berarti ini merupakan suatu kesalahan.

Al-Imam asy-Syâfi’i berkata: “Apabila nash mengandung dua makna, maka wajib bagi ahli ilmu untuk tidak membawa makna nash kepada khusus, tidak kepada umum, kecuali dengan dalil Sunnah dan Ijma’ ulama muslimin, yang mereka tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi Sunnah”. [Ar-Risalah, 323].

Beliau rahimahullah berkata: “Kita mengetahui bahwa mereka (umat) tidak akan bersepakat untuk menyelisihi Sunnah Rasulullah”. [Ar-Risalah, 472].

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Kaum muslimin tidak akan bersepakat kecuali dengan (sesuatu) yang ada nashnya dari Rasulullah, maka yang menyelisihi mereka (Ijma’), berarti menyelisihi Rasulullah, dan menyelisihi Rasulullah berarti menyelisihi Allah”. [Al-Fatâwâ, 19/195].

Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata: “Mustahil umat bersepakat untuk menyelishi nash (dalil), kecuali ada nash lain yang memansukhnya (menghapusnya)”. [‘Ilamul-Muwaqi’in, 1/367].

Syaikh Muhammad Shâlih al-‘Utsaimin berkata: “Tidak mungkin umat bersepakat untuk menyelisihi dalil yang jelas yang tidak dimansukh. Maksudnya, apabila umat bersepakat di atas haq, maka tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi dalil yang jelas, sebab itu bathil. Orang yang menyelisihi dalil yang jelas yang tidak dimansukh, pasti ia berada di atas kebathilan, dan umat tidak mungkin bersepakat berada di atas kebathilan”. [Syarah al-Ushul fî ‘Ilmu Ushul, 467].

Pendapat ini didasarkan pada kaidah-kaidah berikut.

Pertama : Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan seluruh permasalahan agama. Tidak ada perkara yang berkaitan dengan agama ini kecuali Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya.

Kedua : Nash syar’i telah meliputi pada setiap perkara yang dibutuhkan manusia. Sehingga tidak ada masalah, kecuali ada dalil yang menunjukannya, baik dalil yang jelas maupun tersembunyi.

Ketiga : Sebahagian ulama terkadang tidak mendapatkan sebuah nash, sehingga ia berdalil dengan ijtihad atau Qiyas. Sedangkan sebahagian lainnya mengetahui nashnya, lalu ia berdalil dengan nash itu, hingga ijtihad seorang mujtahid itu bertepatan dengan nash yang dijadikan dalil oleh mujtahid yang mengetahui dalilnya.

2. Penelitian membuktikan bahwa tidak didapatkan Ijma’ kecuali ada dalilnya.

3. Kadang ada Ijma’ tidak nampak dalilnya bagi kita, tetapi sesungguhnya disana ada dalil yang tersembunyi maknanya bagi kita, sedangkan bagi ahlil-ijma’ tidak.

4. Para ulama telah berselisih, apakah Ijma’ boleh bersandar dengan ijtihad atau Qiyas.

Jika ada orang yang mengklaim ada Ijma’ yang tanpa dalil, maka tidak lepas dari salah satu dari tiga kemungkinan.

Pertama : Penukilan Ijma tidak benar.

Kedua : Dimungkinkan adanya dalil yang memansukhnya, kemudian para ulama bersepakat pada dalil yang memansukhnya, sebagaimana dijelaskan oleh al-Imam Ibnul-Qayyim di atas.

Ketiga : Dimungkinkan pada mereka ada dalil umum yang tersembunyi bagi diri kita, sedangkan mereka mengetahuinya.

JIKA PARA SAHABAT BERSELISIH DENGAN DUA PENDAPAT, MAKA TIDAK BOLEH MENDATANGKAN PENDAPAT KETIGANYA ATAU MENGKLAIM IJMA’ SETELAHNYA

Jika para sahabat berselisih dalam satu masalah, maka hendaklah kaum muslimin untuk tidak keluar dari ucapan mereka, dan tidak boleh mendatangkan ucapan atau pendapat baru yang tidak pernah dikatakan oleh mereka, sebab kebenaran beredar di antara mereka. Para sahabat tidak akan bersepakat dalam kesesatan, dan Allah l tidak akan membiarkan mereka dalam kesesatan. Hal ini berdasarkan dalil di bawah ini.

Pertama. Dalil syar’i.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

الله : رسول قال قال ثوبان ) n عن ال الحق على ظاهرين أمتي من طائفة تزال الكذلك وهم الله أمر يأتي ى حت خذلهم من هم مسلم ( يضر رواه

Dari Tsauban, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Terus-menerus ada kelompok dari ummatku, yang mereka

tetap nampak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang mencerca mereka sampai datang ketentuan Allah (hari Kiamat), dan mereka dalam keadaan seperti itu”. [HR Muslim]

ه الل رسول عن هريرة أبى كل » n عن رأس على األمة لهذه يبعث ه الل إن قالدينها لها يجدد من سنة .» مائة

Dari Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah akan mengutus dalam sesiat seratus tahun kepada umat ini seseorang (mujadid) yang membaharui agamanya. [HR Abu Dâwud].

Dalil di atas menunjukan bahwa tidak mungkin umat ini bersepakat di atas kebatilan, dan hak dalam satu masa sirna tidak ada yang mengatakannya, atau seluruh ulama tidak ada yang tahu, sebab semua itu bertengtangan dengan dalil di atas.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya mereka (Salafush-Shalih) lebih utama daripada orang-orang setelahnya. Mengetahui Ijma’ mereka dan perselisihan mereka dalam ilmu dan agama, (itu) lebih baik dan lebih bermanfaat daripada mengetahui Ijma’ dan perselisihan setelah mereka. Karena Ijma’ Salafush-Shalih terjaga dari kesalahan. Apabila mereka berselisih, maka kebenaran tidak keluar dari mereka. Kebenaran bisa diketahui dari salah satu ucapan mereka. Tidak boleh menyalahkan salah satu ucapan mereka, sehingga diketahui bahwa Al-Qur`ân dan Sunnah telah menyelisihinya”. [Al-Fatâwâ, 13/24]

Kedua : Amal Para Ulama.

1. Al-Imam Abu Hanifah berkata: “Apabila datang berita dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sepenuhnya kami menerimanya.

Apabila datang berita dari para sahabat Nabi maka kami memilih salah satu ucapan mereka (apabila mereka berselisih). Dan apabila datang ucapan dari para tabi’in maka kami mengikuti pendapat al-Imam Malik bin Anas yang berkata dalam al-Muwatha`, ‘Di dalamnya terdapat Hadits Nabi, ucapan para sahabat, para tabi’in, pendapat-pendapat mereka’. Kadang aku perpendapat dengan pendapatku dalam masalah ijtihad, dan apa-apa yang aku dapatkan dari para ahlu ilmi yang berada di negara kami dan kami tidak keluar dari ucapan mereka”.

2. Al-Imam Malik berkata tentang kitabnya, al-Muwatha`: “Di dalamnya ada hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ucapan-ucapan para sahabat, tabi’in dan pendapat-pendapat mereka, dan aku sungguh berbicara dengan pendapatku atas ijtihad, dan apa-apa yang aku dapatkan dari perkataan ahlul ilmi yang ada di negara kami. Aku tidak pernah keluar dari pendapat mereka (beralih) kepada yang lainnya. [Tatrib al-Madarik, 1/193].

3. Al-Imam asy-Syafi’i berkata: Ilmu ada tingkatannya.

Pertama : Al-Qur`ân dan Sunnah yang shahîh.

Kedua : Ijma’ yang tidak terdapat di dalam Al-Qur`ân dan Sunnah.

Ketiga : Perkataan salah seorang di antara para sahabat dan tidak diketahui ada yang menyelisihinya.

Keempat : Perbedaan di kalangan para sahabat.

Kelima : Qiyas terhadap salah satu tingkatan yang di atas. Tidak mengambil selain Al-Qur`ân dan Sunnah selama keduanya ada, karena ilmu diambil dari yang atas”. [Al-Madkhal ila Sunanil-Kubra, 110]

4. Al-Imam Ahmad berkata: “Apabila dalam suatu permasalahan ada hadits Nabi maka kami tidak mengambil ucapan salah seorang dari para sahabat, juga orang-orang setelah mereka. Apabila dalam suatu permasalahan ada perbedaan di antara para sahabat maka kami

memilih salah satu ucapan mereka, dan kami tidak keluar dari ucapan mereka kepada ucapan yang selainnya. Serta, apabila tidak didapatkan ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya maka kami memilih ucapan para tabi’in”. [Al-Musawadah, 276].

5. Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barang siapa menafsirkan Al-Qur`ân dan Hadits dengan penafsiran yang tidak dikenal dari para sahabat dan Tabi’in maka dia telah mengada-adakan dusta terhadap Allah, menyimpang dari ayat-ayat Allah, memalingkan kalam Allah dari yang semestinya, dan telah membuka pintu bagi orang-orang zindik lagi menyimpang (untuk menyelewengkan ayat-ayat Allah dari tempatnya). Dan hal ini adalah suatu perkara yang telah jelas kebatilannya dari agama Islam”. [Al-Fatâwâ, 13/243].

6. Al-Imam Ibnul-Qayyim berkata: “Demikianlah, kondisi firqah-firqah yang baru dalam syari’ah terhadap syari’ah. Di antara mereka menta’wil syari’ah dengan ta’wil yang bukan ta’wil firqah lainnya. San setiap firqah menyangka bahwa yang dita’wil itulah yang dimaksud pemilik Syari’ah, sehinga mereka memporakporandakan syari’ah, dan menjauhkan dari keadaannya yang pertama”. [I‘lam Muwaqi’in]

Amal para ulama ini menunjukan bahwa mereka tidak pernah keluar dari pendapat para sahabat. Tetapi mengikuti Ijma’ mereka atau memilih salah satu pendapat dari para sahabat apabila mereka berselisih

Isi Kandungan Alquran

Isi Kandungan Alquran : Aqidah, Ibadah, Akhlak, Hukum, Sejarah & Dorongan Untuk Berfikir – Garis Besar / Inti Sari Al-Quran

Al-Quran adalah kitab suci agama islam untuk seluruh umat muslim di seluruh dunia dari awal diturunkan hingga waktu penghabisan spesies manusia di dunia baik di bumi maupun di luar angkasa akibat kiamat besar.

Di dalam surat-surat dan ayat-ayat alquran terkandung kandungan yang secara garis besar dapat kita bagi menjadi beberapa hal pokok atau hal utama beserta pengertian atau arti definisi dari masing-masing kandungan inti sarinya, yaitu sebagaimana berikut ini :

1. Aqidah / Akidah

Aqidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib dimiliki oleh setiap orang di dunia. Alquran mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak beranak-pinak. Percaya kepada Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.

2. Ibadah

Ibadah adalah taat, tunduk, ikut atau nurut dari segi bahasa. Dari pengertian “fuqaha” ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dkerjakan untuk mendapatkan ridho dari Allah SWT. Bentuk ibadah dasar dalam ajaran agama islam yakni seperti yang tercantum dalam lima butir rukum islam. Mengucapkan dua kalimah syahadat, sholat lima waktu, membayar zakat, puasa di bulan suci

ramadhan dan beribadah pergi haji bagi yang telah mampu menjalankannya.

3. Akhlaq / Akhlak

Akhlak adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau akhlakul karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT mengutus Nabi Muhammd SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki akhlaq. Setiap manusia harus mengikuti apa yang diperintahkanNya dan menjauhi laranganNya.

4. Hukum-Hukum

Hukum yang ada di Al-quran adalah memberi suruhan atau perintah kepada orang yang beriman untuk mengadili dan memberikan penjatuhan hukuman hukum pada sesama manusia yang terbukti bersalah. Hukum dalam islam berdasarkan Alqur’an ada beberapa jenis atau macam seperti jinayat, mu’amalat, munakahat, faraidh dan jihad.

5. Peringatan / Tadzkir

Tadzkir atau peringatan adalah sesuatu yang memberi peringatan kepada manusia akan ancaman Allah SWT berupa siksa neraka atau waa’id. Tadzkir juga bisa berupa kabar gembira bagi orang-orang yang beriman kepadaNya dengan balasan berupa nikmat surga jannah atau waa’ad. Di samping itu ada pula gambaran yang menyenangkan di dalam alquran atau disebut juga targhib dan kebalikannya gambarang yang menakutkan dengan istilah lainnya tarhib.

6. Sejarah-Sejarah atau Kisah-Kisah

Sejarah atau kisah adalah cerita mengenai orang-orang yang terdahulu baik yang mendapatkan kejayaan akibat taat kepada Allah SWT serta ada juga yang mengalami kebinasaan akibat tidak taat atau ingkar terhadap Allah SWT. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari

sebaiknya kita mengambil pelajaran yang baik-baik dari sejarah masa lalu atau dengan istilah lain ikibar.

7. Dorongan Untuk Berpikir

Di dalam al-qur’an banyak ayat-ayat yang mengulas suatu bahasan yang memerlukan pemikiran menusia untuk mendapatkan manfaat dan juga membuktikan kebenarannya, terutama mengenai alam semesta.

Home « Risalah Islam « Sumber Ajaran Islam: Al-Quran, Hadits, Ijtihad

Sumber Ajaran Islam: Al-Quran, Hadits, Ijtihad

Al-Quran sumber ajaran Islam

SUMBER Ajaran Islam itu ada tiga, yakni Al-Quran, Hadits (As-Sunnah), dan Ijtihad. Ajaran yang tidak bersumber dari ketiganya bukan ajaran Islam.

Sumber ajaran Islam pertama dan kedua (Al-Quran dan Hadits/As-Sunnah) langsung dari Allah SWT dan Nabi Muhammad Saw. Sedangkan yang ketiga (ijtihad) merupakan hasil pemikiran umat Islam, yakni para ulama mujtahid (yang berijtihad), dengan tetap mengacu kepada Al-Quran dan As-Sunnah.

1. Sumber Ajaran Islam: Al-Quran

Secara harfiyah, Al-Quran artinya “bacaan” (qoroa, yaqrou, quranan), sebagaimana firman Allah dalam Q.S. 75:17-18:

“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengum-pulkannya dan ‘membacanya’. Jika Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah ‘bacaan’ itu”.

Al-Quran adalah kumpulan wahyu atau firman Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw, berisi ajaran tentang keimanan (akidah/tauhid/iman), peribadahan (syariat), dan budi pekerti (akhlak).

Al-Quran adalah mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw, bahkan terbesar pula dibandingkan mukjizat para nabi sebelumnya. Al-Quran

membenarkan Kitab-Kitab sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkan sebelumnya.

“Tidak mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah. Akan tetapi ia membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang ditetapkannya. Tidak ada keraguan di dalamnya dari Tuhan semesta alam” (Q.S. 10:37).

“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu yaitu Al-Quran itulah yang benar, membenarkan kitab-kitab sebelumnya...” (Q.S. 35:31).

Al-Quran dalam wujud sekarang merupakan kodifikasi atau pembukuan yang dilakukan para sahabat. Pertama kali dilakukan oleh shabat Zaid bin Tsabit pada masa Khalifah Abu Bakar, lalu pada masa Khalifah Utsman bin Affan dibentuk panitia ad hoc penyusunan mushaf Al-Quran yang diketuai Zaid. Karenanya, mushaf Al-Quran yang sekarang disebut pula Mushaf Utsmani.

2. Sumber Ajaran Islam: Hadits/As-Sunnah

Hadits disebut juga As-Sunnah. Sunnah secara bahasa berarti "adat-istiadat" atau "kebiasaan" (traditions). Sunnah adalah segala perkataan, perbuatan, dan penetapan/persetujuan serta kebiasaan Nabi Muhammad Saw. Penetapan (taqrir) adalah persetujuan atau diamnya Nabi Saw terhadap perkataan dan perilaku sahabat.

Kedudukan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam dijelaskan Al-Quran dan sabda Nabi Muhammad Saw.

“Demi Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman sehingga mereka menjadikanmu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara

yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak merasa berat hati terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuh hati” (Q.S. 4:65).

“Apa yang diberikan Rasul (Muhammad) kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah” (Q.S. 59:7).

“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Al-Quran) dan Sunnah-ku.” (HR. Hakim dan Daruquthni).

“Berpegangteguhlah kalian kepada Sunnahku dan kepada Sunnah Khulafaur Rasyidin setelahku” (H.R. Abu Daud).

Sunnah merupakan “penafsir” sekaligus “juklak” (petunjuk pelaksanaan) Al-Quran. Sebagai contoh, Al-Quran menegaskan tentang kewajiban shalat dan berbicara tentang ruku’ dan sujud. Sunnah atau Hadits Rasulullah-lah yang memberikan contoh langsung bagaimana shalat itu dijalankan, mulai takbiratul ihram (bacaan “Allahu Akbar” sebagai pembuka shalat), doa iftitah, bacaan Al-Fatihah, gerakan ruku, sujud, hingga bacaan tahiyat dan salam.

Ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup, beliau melarang para sahabatnya menuliskan apa yang dikatakannya. Kebijakan itu dilakukan agar ucapan-ucapannya tidak bercampur-baur dengan wahyu (Al-Quran). Karenanya, seluruh Hadits waktu itu hanya berada dalam ingatan atau hapalan para sahabat.

Kodifikasi Hadits dilakukan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (100 H/718 M), lalu disempurnakan sistematikanya pada masa Khalifah Al-Mansur (136 H/174 M). Para ulama waktu itu mulai menyusun kitab

Hadits, di antaranya Imam Malik di Madinah dengan kitabnya Al-Mutwaththa, Imam Abu Hanifah menulis Al-Fqhi, serta Imam Syafi’i menulis Ikhtilaful Hadits, Al-Um, dan As-Sunnah.

Berikutnya muncul Imam Ahmad dengan Musnad-nya yang berisi 40.000 Hadits. Ulama Hadits terkenal yang diakui kebenarannya hingga kini adalah Imam Bukhari (194 H/256 M) dengan kitabnya Shahih Bukhari dan Imam Muslim (206 H/261 M) dengan kitabnya Shahih Muslim. Kedua kitab Hadits itu menjadi rujukan utama umat Islam hingga kini. Imam Bukhari berhasil mengumpulkan sebanyak 600.000 hadits yang kemudian diseleksinya. Imam Muslim mengumpulkan 300.000 hadits yang kemudian diseleksinya.

Ulama Hadits lainnya yang terkenal adalah Imam Nasa'i yang menuangkan koleksi haditsnya dalam Kitab Nasa'i, Imam Tirmidzi dalam Shahih Tirmidzi, Imam Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, Imam Ibnu Majah dalam Kitab Ibnu Majah, Imam Baihaqi dalam Sunan Baihaqi dan Syu'bul Imam, dan Imam Daruquthni dalam Sunan Daruquthni.

3. Sumber Ajaran Islam: Ijtihad

Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Pelakunya disebut Mujtahid.

Kedudukan Ijtihad sebagai sumber hukum atau ajaran Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.

“Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?”

“Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran.”

“Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”

“Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”

“Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”

“Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.”

“Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!”

Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw.

“Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”

“Kamu punya Al-Quran!”

“Ya Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah yang akan menjadi petunjuk kami?”

“Berbuatlah seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!”

“Tetapi Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami?”

“Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat setiap orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!”

Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah.

Pada dasarnya, semua umat Islam berhak melakukan Ijtihad, sepanjang ia menguasai Al-Quran, As-Sunnah, sejarah Islam, juga berakhlak baik dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.

Lazimnya, Mujtahid adalah para ulama yang integritas keilmuan dan akhlaknya diakui umat Islam. Hasil Ijtihad mereka dikenal sebagai fatwa. Jika Ijtihad dilakukan secara bersama-sama atau kolektif, maka hasilnya disebut Ijma’ atau kesepakatan. Wallahu a'lam. (www.risalahislam.com).***

Referensi:

Endang Saifuddin Anshari, Kuliah Al-Islam, Pustaka Bandung, 1978.

Drs. Nasruddin Razak, Dienul Islam, Maarif Bandung, 1989

Zainab Al-Ghazali, Menuju Kebangkitan Baru, Gema Insani Press Jakarta, 1995

H. Djarnawi Hadikukusam, “Ijtihad”, dalam Amrullah Achmad dkk. (Editor), Persepektif Ketegangan Kreatif dalam Islam, PLP2M Yogyakarta, 1985

Kategori: Risalah Islam

Sebarkan kebaikan, silakan share Sumber Ajaran Islam: Al-Quran, Hadits, Ijtihad!

26

Newer PostOlder Post

Artikel RISALAH ISLAM Lainnya:

Etika Menguap Menurut Islam

Etika Menguap Menurut Islam

Hukum Nikah Siri dalam Islam

Hukum Nikah Siri dalam Islam

Garis Besar Risalah Islam: Pokok-Po...

Garis Besar Risalah Islam: Pokok-Po...

Makna dan Keutamaan Ibadah Kurban

Makna dan Keutamaan Ibadah Kurban

0 Response to "Sumber Ajaran Islam: Al-Quran, Hadits, Ijtihad"

Search here...

Search

« Subscribe to Risalah Islam Update by Email

TULISAN TERBARU

Amalan Sunah Bulan Muharram & Tahun Baru Hijriyah

Tafsir QS Al-Kaustar: Syukuri Nikmat dengan Shalat dan Kurban

Pemerintah: Idul Adha 1436 Kamis 24 September 2015

Pahala Ibadah Kurban - Tiap Helai Rambut & Bulunya Jadi Kebaikan

Muhammadiyah: Hari Raya Idul Adha 1436 H Rabu 23 September 2015

BERITA DUNIA ISLAM

Jumlah Umat Islam di India Meningkat, Penganut Hindu Menurun

Pastor di Nigeria Masuk Islam dan Ubah Gereja Jadi Masjid

15.000 Muslim Berlari Menuju Gerbang Masjid Terbesar di Eropa

Kiai Pasuruan Ingatkan NU Jangan Bela Syiah, Ahmadiyah, Liberalis

Masjid Baitul Mutaqqin Tolikara Papua yang Dibakar Butuh Bantuan

IKLAN ANDA

iklan

POPULAR POSTS

Asmaul Husna: Daftar, Tulisan, dan Arti

Pengertian Salafi yang Sebenarnya

Debat, Dusta, Canda, dan Surga

Cara Menjawab Ucapan Jazakallah dan Syukron

Barangsiapa yang Hari Ini Lebih Baik dari Hari Kemarin (Bukan Hadits)

Pengertian Tahayul, Bid'ah, dan Khurafat (TBC)

Teladan Rasulullah Saw: Tafsir QS. Al-Ahzab:21

Sumber Ajaran Islam: Al-Quran, Hadits, Ijtihad

Pengertian Islam Menurut Al-Quran

RANDOM POSTS

Keutamaan Sedekah Hari Jumat

Allah SWT Menjamin Rezeki Semua Makhluk

Hukum Makan-Minum Menggunakan Tangan Kiri

Kenapa Khotbah Jumat Suka Lama?

Harta yang Berkah Mendatangkan Kebaikan

Pemerintah Upayakan Awal Puasa Ramadhan dan Idul Fitri Sama

Jangan Tunda Kewajiban Bayar Upah & Utang

Dakwah Tidak Harus Jadi Ustadz

Jangan Ungkap Kebaikan yang Telah Dilakukan

Kriteria Pekerjaan Halal dalam Islam

Untaian Mutiara Hadits: Iman dan Amal Tak Terpisahkan

KOMENTAR TERBARU

Kalo namanya abdul fattah rasyid boleh?

terima kasih!

Inilah yang membuat kenapa sampai saat ini saya ti...

Alhamdulillah, lebaran kali ini tepat pada hari ke...

Syukron katsir, dan terkadang syukron dijawab dng...