26
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN KOMPOSISI AIR SUSU Oleh Ir. Nyoman Sadia, M.Sc FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN KOMPOSISI SUSU Produksi ternak terutama produksi susu dan komposisi susu, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi satu sama lain. Pada dasarnya faktor-faktor itu dapat digolongkan ke dalam dua bagian yaitu : FAKTOR DALAM (Faktor Ternak = Genetik Ternak) dan FAKTOR LUAR (Faktor lingkungan ternak) FAKTOR DALAM (Internal) FAKTOR LUAR (Eksternal) (Faktor Ternak = Genetik Ternak) (Faktor lingkungan ternak) 1. BANGSA (Breeds) 1. MUSIM (Suhu + RH) 2. INDIVIDU 2. FREKUENSI PEMERAHAN 3. KETURUNAN (Genetik) 3. KECEPATAN PEMERAHAN 4. UMUR (Periode Laktasi) 4. PERGANTIAN PEMERAH 5. LAMA MASA LAKTASI 5. PAKAN 6. KEBUNTINGAN (Gestation) 6. OBAT2AN 7. SIKLUS ESTRUS 7. PENYAKIT 8. HORMONAL 8. INTERVAL PEMERAHAN 9. 9. FAKTOR PEMBERIAN AIR 10. 10. FAKTOR LAMA PENGERINGAN 11. 11. FAKTOR JARAK BERANAK 12. 12. FAKTOR KONDISI SAAT BERANAK 13. 13. FAKTOR PERAWATAN & PERLAKUAN 1

B-FAKTOR2 PRODUKSI \u0026KOMPOSISI AIR SUSU-1

Embed Size (px)

Citation preview

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN KOMPOSISI AIR SUSU

OlehIr. Nyoman Sadia, M.Sc

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN KOMPOSISI SUSU

Produksi ternak terutama produksi susu dan komposisi susu, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi satu sama lain. Pada dasarnya faktor-faktor itu dapat digolongkan ke dalam dua bagian yaitu : FAKTOR DALAM (Faktor Ternak = Genetik Ternak) dan FAKTOR LUAR (Faktor lingkungan ternak)

FAKTOR DALAM (Internal) FAKTOR LUAR (Eksternal)(Faktor Ternak = Genetik Ternak) (Faktor lingkungan ternak)

1. BANGSA (Breeds) 1. MUSIM (Suhu + RH)2. INDIVIDU 2. FREKUENSI PEMERAHAN3. KETURUNAN (Genetik) 3. KECEPATAN PEMERAHAN4. UMUR (Periode Laktasi) 4. PERGANTIAN PEMERAH5. LAMA MASA LAKTASI 5. PAKAN6. KEBUNTINGAN (Gestation) 6. OBAT2AN7. SIKLUS ESTRUS 7. PENYAKIT8. HORMONAL 8. INTERVAL PEMERAHAN9. 9. FAKTOR PEMBERIAN AIR

10. 10. FAKTOR LAMA PENGERINGAN

11. 11. FAKTOR JARAK BERANAK

12. 12. FAKTOR KONDISI SAAT BERANAK

13. 13. FAKTOR PERAWATAN & PERLAKUAN

1

Fktor dalam (faktor ternak) adalah sebagai berikut :1. Bangsa (breeds)

Sapi perah yang termasuk bangsa yang besar (large breeds) antara lain adalah Friesien Holstein dan Brown Swiss. Jumlah susu yang dihasilkan lebih banyak dari pada sapi yang termasuk dalam bangsa kecil (small breeds), seperti sapi Jersey dan Guernsey. Bangsa sapi perah yang kecil mempunyai kadar lemak yang lebih tinggi (Yapp, 1955). Menurut tingkatan produksinya, sapi Holstein (FH) mempunyai produksi susu yang tertinggi, kemudian diikuti oleh Brown Swiss, Ayrshire, Guernsey, Milking Shorthorn dan Jersey. Urutan kadar lemak susunya, berturut-turut dari yang tertinggi adalah Jersey, Guernsey, Brown Swiss, Ayrshire, dan Holstein yang kadar lemak susunya sama dengan Milking Shorthorn. Dalam satu periode laktasi, sapi Holstein memproduksi lemak susu terbanyak, diikuti oleh Brown Swiss, Guernsey, Jersey, Ayrshire dan Milking Shortshorn (Diggins et al, 1969).

2. Faktor Individu Ensminger (1969) berpendapat bahwa kesanggupan untuk memproduksi susu dan lemak susu

setiap individu dari setiap bangsa akan berbeda. Biasanya apabila jumlah produksi susunya

meningkat, maka kadar lemak susunya menurun. Hal ini sesuai juga dengan pendapat Scmidt

dan Van Vleck (1974). Pada bangsa yang sama dan pada kelompok yang sama pula ternyata

sapi yang berat badannya lebih besar, mempunyai kesanggupan makan yang lebih besar

sehingga produksi susunya juga akan lebih banyak. Tetapi apabila berat badannya melebihi

batas normal, justru produksinya akan menurun karena sapi perah yang kondisinya demikian,

pakan yang diberikan kepadanya tidak digunakan untuk membentuk/memproduksi susu,

melainkan untuk produksi daging sehingga berat badannya terus betambah, tetapi produksi

susunya menurun. Bentuk sapi perah yang baik dan normal adalah berbentuk baji yaitu

melebar kebelakang sebagai akibat dari pembesaran ambing.

3. Faktor Keturunan (Genetik) Bangsa-bangsa sapi perah yang telah mengalami seleksi selama beratus-ratus tahun akan mampu mengahasilkan produksi susu yang tinggi. Ada sapi yang mempunyai sifat-sifat keturunan untuk memproduksi susu yang tinggi, tetapi ada juga sapi yang tidak mampu untuk memproduksi susu yang banyak. Kemampuan sifat yang diturunkan tersebut dapat diumpamakan sebagai halnya tenaga kuda pada kendaraan cidomo/dokar. Kuda dibekali kesanggupan untuk menghasilkan sejumlah tenaga untuk melakukan pekerjaan. Pada sapi

2

perah, kesanggupan ini adalah kesanggupan untuk mengubah sejumlah besar energi yang diperoleh dari bahan makanan untuk pembentukan susu. Sapi perah yang baik mempunyai warisan dari nenek moyangnya berupa kemampuan untuk mengkomsumsi bahan makanan dalam jumlah yang tinggi sehingga dapat memproduksi susu yang tinggi pula. Apabila sapi dengan sifat keturunan yang diturunkan itu baik, maka akan memberikan suatu peluang yang lebih menguntungkan apabila dilakukan seleksi sampai waktu tertentu (Yapp, 1955) dibandingkan dengan sapi tersebut dibiarkan kawin secara alami.

4. Faktor Umur Periode Laktasi Menurut Bath et al (1978), produksi susu terus meningkat sampai umur 8 tahun

dengan rata-rata peningkatan (increasing rate) yang semakin berkurang sesuai dengan

bangsanya. Setelah berumur 8 tahun produksinya akan menurun, tetapi penurunan ini

lebih kecil dari pada peningkatrannya sebelum umur tersebut. Sapi dewasa

memproduksi susu 25% lebih banyak dari pada sapi yang berumur 2 tahun. Menurut

Ensminger (1969), setelah berumur 6 tahun, kadar lemak susunya juga akan menurun

secara perlahan-lahan. Apabila dibuat suatu indeks persentase, maka produksi susu

yang tertinggi, yaitu 100 %, dicapai pada waktu sapi perah berumur 6 tahun;

sedangkan pada umur 2 tahun, 3 tahun, 4 tahun, dan 5 tahun, jumlah produksi susu

yang dapat dicapai per laktasi adalah berturut-turut 77 %, 87 %, 94 %, dan 98 %.

Produksi susu per laktasi akan menurun dengan bertambahnya umur sapi perah

tersebut, seperti terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Produksi susu berdasarkan umur sapi

Umur sapi Periode laktasi

Produksi susu per laktasi

2 tahun I 77 %3 tahun II 87%4 tahun III 94%5 tahun IV 98%6 tahun V 99%7 tahun VI 100%

3

8 tahun VII 100%9 tahun VIII 98%10 tahun IX 96%11 tahun X 94%12 tahun XI 91%

5. Faktor Lama Laktasi Menurut Yapp (1955), dengan pemeliharaan yang layak, produksi maksimum tercapai pada minggu ke 3 – 6 minggu setelah beranak. Setelah itu produksi hariannya berangsur-angsur akan menurun. Perhitungan pada tabel 1, menunjukkan bahwa seperdelapan dari produksi susu setiap tahunnya diperoleh selama bulan pertama beranak, sedangkan selama bulan kesepuluh (produksi bulan terakhir pada Calving Interval 12 bulan) hanya 6 persen. Penurunan produksi selama akhir bulan ke empat sesudah beranak lebih cepat dari pada bulan-bulan sebelumnya. Davis (1962) melukiskan produksi susu selama laktasi dengan suatu grafik (gambar 1).

4

Produksi susu/hari-

-

-

-

-

-

- Lama laktasi setelah melahirkan

-

| | | | | | | | | |

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Melahirkan Dikeringkan Melahirkan

Gambar 1

Gambar 1. Kurve produksi susu untuk satu masa laktasi.

(Variasi produksi susu selama satu masa laktasi).

Bagi sapi yang persistensinya tinggi, kesanggupan mempertahankan produksi tertinggi selama masa laktasi relatif lebih besar. Yang dimaksud dengan persistensi adalah istilah yang digunakan untuk menentukan kesanggupan sapi untuk mempertahankan masa tingkatan produksi tinggi secara terus-menerus dan teratur selama masa laktasi. Persistensi ini sangat penting karena ada hubungannya dengan banyaknya/jumlah produksi susu seekor sapi pada masa satu periode laktasi. Sapi-sapi yang mempunyai puncak (peak) yang sama selama laktasi, besar kemungkinannya mempunyai jumlah produksi susu yang berbeda, sebagai akibat dari perbedaan persistensinya, seperti ditunjukkan pada gambar 2.

5

Tabel 1. Proporsi produksi susu selama laktasi

Bulan sejak

melahirkan

Proporsi dalamsatu bulan

T o t a l p r o d u k s I

Produksi rendah Produksi sedamg Produksi tinggi

(%)Susu

lbLemak

LbSusu

lbLemak

lbSusu

lbLemak

Lb

1 13 820 32 1.150 45 1.490 582 13 1.640 64 2.310 90 2.980 1163 12 2.440 95 3.410 133 4.390 1714 12 3.180 124 3.440 173 5.700 2225 10 3.850 150 5.380 210 6.930 2706 10 4.660 174 6.260 244 8.060 3147 9 5.025 196 7.050 275 9.085 3548 8 5.450 216 7.769 303 10.010 3909 7 6.000 234 8.410 325 10.830 42210 6 6.410 250 8.975 350 11.550 450

Sumber: Yapp, W.W. (1955). Dairy Cattle Selection, Feeding, and Management. 4th Edition. P. 298.

4

5

6.Faktor Kebuntingan (Gestation) Menurut Davis (1962), kebuntingan nampaknya sedikit pengaruhnya terhadap produksi susu sampai pada kebuntingan bulan kelima. Pada bulan ke lima ini produksi susu mulai menurun lebih cepat dari pada sapi yang tidak bunting. Terjadinya penurunan ini kemungkinan besar diakibatkan karena keseimbangan hormonnya berubah. Hal ini sama dengan pendapat Ensminger (1969). Ia mengestimasikan bahwa energi yang dibutuhkan oleh fetus/janin pada saat itu kurang lebih sama dengan pembentukan susu sebanyak 400 – 600 lb susu. Agar sapi tidak mengorbankan berat badannya untuk mempertahankan produksi susu, maka kebutuhan pokok/maintenance pakan sapi perah laktasi yang sedang bunting 2 bulan keatas harus dibedakan atau ditambah (NRC, 1978).

7. Faktor Siklus Estrus

Siklus reproduksi/siklus estrus mempunyai pengaruh kecil terhadap produksi susu, kecuali pada saat berlangsungnya birahi (heat). Selama birahi berlangsung, produksi susu dan presentase lemak susunya mengalami penurunan yang cukup berarti (Davis, 1962). Hal ini sangat erat hubungannya dengan menurunnya nafsu makan ternak sapi yang sedang estrus, sehingga mengakibatkan konsumsi pakan menurun dan akhirnya mempengaruhi produksi susu dan lemak susunya. Hasil penelitian State College of Washington pada tahun 1952 menyimpulkan bahwa umur, bulan pada waktu estrus dan panjang siklus estrus memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap produksi susu dan itu berlangsung hanya beberapa hari. Produksi akan normal kembali setelah masa birahi berakhir.

8. Faktor Hormonal Menurut Davis (1962) hormon lactogen, yang disekresikan oleh kelenjar pituitaria

memegang peranan penting dalam produksi susu. Suatu bukti bahwa keluarnya susu banyak dipengaruhi oleh hormon tersebut yaitu apabila sapi yang sedang laktasi disuntik dengan lactogen ternyata produksi susunya naik atau meningkat. Hormon lactogen jumlahnya naik setelah partus atau beranak, kemudian jumlahnya menurun setelah laktasi berjalan lama. Hormon lain yang berpengaruh terhadap produksi susu adalah adrenalin dan tiroksin. Adrenalin dihasilkan oleh kelenjar adrenalis, sedangkan tiroksin dihasilkan oleh kelenjar thyroid. Apabila tiroksin disuntikkan pada sapi yang sedang laktasi, kemampuan produksi susunya meningkat (Diggins, et al., 1969). Disamping meningkatkan kemampuan produksi susu, tiroksin juga mempengaruhi konsumsi oksigen dan sintesa protein (Bath, et al., 1978). Hormon oxytocin, menurut Yapp (1955), adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitaria bagian belakang, yang mempunyai peranan penting dalam pengontrolan turunnya atau keluarnya air susu (Milk Let Down) waktu pemerahan. Apabila pada sapi yang sedang laktasi disuntikkan hormon oxytocin langsung pada arteria pudenda ekterna yang menuju ambing bagian kanan, maka pemerahan dalam waktu singkat akan mendapatkan susu yang diharapkan, tetapi ambing sebelah kiri tidak mengeluarkan susu. Ambing bagian kiri baru melepaskan susu 50 – 60 detik setelah penyuntikkan tersebut. Penelitian yang dilakukan di Washington State University menyimpulkan bahwa penyuntikkan oxytocin meningkatkan produksi susu, kadar lemak dan jumlah sel-sel tubuh (somatic

6

cell). Tetapi dalam pemerahan sehari hari, sapi perah dapat dirangsang untuk mengeluarkan hormon oxytocin dengan jalan mengelap ambing dengan menggunakan handuk bersih yang dibasahi dengan air hangat dan dilakukan sebelum pemerahan dimulai. Kerja hormon ini sangat singkat sekitar 5 – 8 menit.

Faktor Lingkungan (Faktor luar).Berbagai faktor luar yang juga mempengaruhi produksi susu adalah : faktor

musim, frekuensi pemerahan, faktor pergantian pemerah, faktor makanan, obat-obatan dan penyakit.

1. Faktor musim Sapi yang beranak pada musim gugur atau musim dingin umumnya jumlah produksi susu dan kadar lemak susunya setiap tahun lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang beranak pada musim panas (Yapp, 1955 and Looper et al., 2006). Diggins et al., (1969) mengemukakan pendapat bahwa perusahaan-perusahaan yang memperdagangkan susu secara eceran, mengusahakan agar produksi susu tiap bulannya sama yaitu dengan mengatur perkawinan sapi-sapinya. Ada kalanya ia mengusahakan agar sapinya beranak pada musim rontok/gugur karena sapi yang beranak pada musim rontok produksinya lebih banyak. Produksi tersebut dapat dipertahankan sampai musim semi yaitu dengan melepas sapinya di padang rumput. Sebaliknya sapi yang beranak pada musim panas atau musim semi biasanya memproduksi susu lebih sedikit. Perbedaan produksi susu ini bervariasi untuk tiap-tiap daerah. Pengaruh musim sangat tampak pada persentase lemak susunya. Kadar lemak susu tinggi pada musim gugur dan musim dingin dan rendah pada musim semi dan musim panas. Mengenai alasan terjadinya hal ini belumlah diketahui dengan jelas. Hal ini mungkin karena pengaruh temperatur dan kelembaban udara, perubahan berat badan, pengaruh makanan dan faktor-faktor lainnya. Pada cuaca yang panas, biasanya jumlah produksi susu dan kadar lemaknya rendah (Ensminger, 1969 and Sharma et al., 1988). Mengenai pengaruh temperatur lingkungan, diuraikan dengan jelas oleh Bath et al., (1978). Mereka melukiskan hubungan antara temperatur lingkungan, produksi susu dan konsumsi makanan, seperti pada gambar 3. Naiknya temperatur lingkungan menyebabkan naiknya frekuensi pernapasan. Sebagai contoh, kecepatan respirasi menjadi 5 kali lipat lebih cepat bila temperatur naik dari 5oF sampai 1050F. Produksi susu dan lemak susu akan menurun bila temperatur lingkungan lebih dari 80oF untuk sapi Holstein dan Brown Swiss, 85oF untuk Jersey dan 90 – 95oF untuk sapi Brahman. Temperatur optimal untuk bangsa-bangsa sapi Eropa adalah 50oF. Kenaikan temperatur di atas 50oF lebih merusak/pengaruhnya lebih jelek dari pada penurunan dibawah 50oF. Kelembaban yang tinggi akan memberikan pengaruh yang merugikan bila temperatur lebih dari 75oF. Menurut Sharman et al. (1988), temperatur optimum untuk produksi susu adalah dibawah 19,4oC dengan kelembaban relative minimum berkisar antara 33.4 dan 78.2% untuk sapi FH. Kadar lemak susu sapi FH diprediksi paling tinggi 3.5% dan rata-rata 3,35 % pada temperatur dibawah 30.8o C dan kelembaban relative dibawah 89% Sedangkan untuk sapi Jersey, temperatur optimum 10.6oC dengan kelembaban relative maksimum 16%.

7

Sehingga dapat disimpulkan bahwa interaksi temperatur dan kelembaban relatif lingkungan dapat dipakai untuk menguji kondisi optimum untuk produksi susu suatu bangsa sapi perah.

Gambar 3. Bila temperatur lingkungan 75oF atau lebih menyebabkan feed in take menurun dan diikuti oleh menurunnya produksi susu. Pada temperatur + 5oF konsumsi pakan mulai naik dan diikuti oleh penurunan produksi susu.

2. Faktor Frekuensi Pemerahan Yapp (1955) menyatakan bahwa makin sering dilakukan pemerahan setiap harinya pada sapi yang berproduksi tinggi akan makin meningkatkan produksi susunya. Sapi-sapi yang berproduksi tinggi bila diperah 3 atau 4 kali sehari maka produksinya lebih banyak jika dibandingkan dengan pemerahan yang dilakukan 2 kali sehari. Peningkatan ini dapat mencapai 20%. Pada sapi-sapi yang produksinya rendah, kenaikkan produksi susu sebagai akibat dari peningkatan frekuensi pemerahan sangatlah kecil. Pada umumnya sapi diperah 3 kali sehari pada saat produksi susunya tertinggi yaitu 60 – 90 hari setelah beranak. Pada periode berikutnya sapi diperah 2 kali saja dalam sehari. Menurut Bath, et al., (1978), peningkatan frekuensi pemerahan menjadi 3 kali per hari meningkatkan produksi 10 – 25% dan pemerahan 4 kali per hari akan memberikan tambahan lagi 5 – 15%. Sedangkan menurut Wing (1963), pemerahan 3 kali sehari dengan interval 8 jam produksu susunya akan meningkat sebanyak 15- 20% dibandingkan dengan pemerahan 2 kali sehari.

Sapi-sapi yang diperah tiga kali sehari produksinya lebih banyak dari pada pemerahan dua kali sehari dan pemerahan empat kali sehari produksinys lebih banyak dibandingkan dengan pemerahan tiga kali sehari (Anderson, 1963; Briggs, 1958; Ensminger, 1969; Davis, 1962). Selain dapat dapat meningkatkan produksi susu, peningkatan frekuensi pemerahan dapat pula meningkatkan persistensi produksi susu selama masa laktasi. Selanjutnya ditegaskan bahwa pemerahan lebih dari dua kali sehari, harus dipertimbangan secara ekonomis antara peningkatan penghasilan yang diperoleh dari peningkatan produksi susu harus

8

dapat melebihi peningkatan ongkos-ongkos yang dikeluarkan selama masa produksi tersebut.

Peningkatan frekuensi pemerahan seharusnya diimbangi dengan penambahan pakan sesuai dengan peningkatan produksinya. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka produksi pada periode laktasi berikutnya akan menurun sebagai akibat dari pengorbanan berat badan sapi tersebut. Apakah peningkatan produksi ini akan sebanding dengan pengeluaran tambahan untuk tenaga kerja, pakan dan peralatan yang digunakan untuk kegiatan tambahan diatas, tergantung dari kondisi perusahaan yang bersangkutan. Perusahaan yang besar yang menggunakan mesin pemerah akan lebih ekonomis jika kelompok sapi yang produksinya tinggi diperah lebih dari 2 kali per hari. Ensminger (1969) menambahkan bahwa kelebihan produksi akibat menambahkan frekuensi pemerahan pada saat produksinya tinggi dapat dimanfaatkan untuk menutupi gaji pekerja dan ongkos-ongkos lainnya.

3. Faktor Kecepatan Pemerahan Pemancaran susu (Milk Let Down) dikontrol oleh hormon oxytocin yang dihasilkan oleh kelenjar pituitaria. Pengaruh hormon ini hanya sementara yaitu 5 – 8 menit. Oleh karena itu, pemerahan harus selesai sebelum pelepasan hormon tersebut terhenti (Yapp, 1955). Dijelaskan oleh Bath, et al., (1978) bahwa adanya hormon oxytocin dalam darah akan menyebabkan kontraksi sel-sel myo-epithel yang menyusun dinding alveoli dalam ambing. Rangsangan yang dapat menyebabkan pembebasan hormon tersebut antara lain: Perabaan pada waktu mengelap ambing dengan handuk yang dibasahi dengan air hangat kuku, adanya pedet di depannya, kehadiran pemerah yang biasa/rutin memerah, dan bunyi-bunyian yang biasa dibunyikan pada setiap menjelang pemerahan. Bila dilakukan pemerahan dengan mesin perah, menurut Diggins, et al., (1969) kecepatan pemerahan dapat ditentukan dengan mengalikan jumlah alat pemerahan dengan lamanya pemerahan sejak sapi yang pertama sampai sapi yang terakhir. Contoh : Jika digunakan 2 unit mesin perah untuk 24 ekor sapi dan waktu seluruhnya adalah 60 menit, maka pemerahan per ekor adalah 5 menit.

4. Faktor Pergantian Pemerah Sapi perah lebih suka diperah secara teratur oleh pemerah yang sama. Pada pemerahan dengan tangan, hal ini merupakan faktor yang sangat penting. Hal ini disebabkan sapi perah mudah stres dengan perubahan lingkungan yang mendadak. Pergantian pemerah dapat menyebabkan stress, karena pada umumnya sapi sangat peka terhadap segala perubahan-perubahan, termasuk pergantian pemerah (Ensminger, 1969). Jika pemerahan dilakukan dengan mesin, maka pemerah diharapkan mampu bekerja tanpa menyebabkan sapi menjadi takut yang biasanya menyebabkan ternak menjadi stress. Apabila sapi mengalami stres, maka produksi susunya dapat menurun.

5. Faktor Makanan

9

Mutu dan jumlah pakan yang diberikan pada sapi merupakan salah satu faktor penting terhadap produksi dan komposisi susu. Pemberian ransum secara bebas dan dengan imbangan yang rasional sangat berguna sekali untuk menentukan tingginya produksi susu. Diggins, et al., (1969) memberikan definisi mengenai ransum seimbang adalah sebagai berikut:Ransum seimbang adalah ransum yang memberikan jumlah yang tepat dari semua zat gizi yang diperlukan untuk hidup layak dan untuk kebutuhan pokok serta untuk produksi susu selama 24 jam.

Pemberian ransum yang melebihi dari kebutuhan ternak tidak akan menaikkan produksi susu melebihi kemampuan ternak perah (Min et al., 2005) termasuk sapi perah. Pemberian ransum yang kurang dari kebutuhannya menyebabkan produksi susu menurun dan sapi menjadi lebih kurus. Selanjutnya dijelaskan oleh (Min et al., 2005) bahwa makanan sangat instant mempengaruhi kadar lemak dan protein susu. Sehingga jika mutu hijauan kurang baik, maka perlu ditambahkan biji-bijian atau konsentrat (Yapp, 1955). Menurut Bath, et al., (1978), pemberian pakan yang tidak mencukupi (underfeeding) akan menurunkan kandungan lemak, protein dan mineral susu yang dihasilkan. Secara umum dikatakan bahwa peningkatan produksi susu biasanya menurunkan persentase lemak susu. Ransum yang normal biasanya mengandung 3 sampai 4 persen lemak. Penggantian macam lemak dalam ransum tidak selalu mempengaruhi kadar lemak susu. Tetapi pemberian minyak ikan (cod liver oil) dan lemak yang tidak jenuh (unsaturated oils) mengakibatkan penurunan kadar lemak susu tanpa mempengaruhi produksi susu. Zat gizi dalam ransum dapat meningkatkan kadar protein dan lemak susu yang dihasilkan. Kadar lemak susu umumnya paling sensitif terhadap perubahan-perubahan pakan dan perubahan dapat bervariasi sampai 3 %. Untuk kadar protein susu hanya mengalami perubahan sekitar 0,60% sebagai respon dari manipulasi ransum yang diberikan pada sapi perah. Sedangkan kadar laktose and mineral, serta komposisi susu lainnya, perubahannya tidak dapat diprediksi dengan tepat sebagai akibat dari perubahan komposisi gizi ransum.

6. Faktor Obat-obatan Banyak obat-obatan yang digunakan dalam percobaan untuk meningkatkan produksi susu dan kadar lemaknya, diantaranya adalah thyroprotein. Adapun cara penggunaannya adalah dengan dosis tertentu, yang ditambahkan pada pakan yang diberikan selama periode laktasi. Yang harus diperhatikan adalah agar pemberian pakan ditingkatkan selama pemberian obat tersebut (Ensminger, 1969). Sebagai tambahan, perlu diberikan air dalam jumlah yang cukup sepanjang hari, kecuali bila sapi dilepas pada pasture yang terdiri dari rumput yang masih muda (Diggins, et al., 1969). Menurut Bath, et al., (1978), pemberian thyroprotein ini dapat meningkatkan produksi susu sebanyak 20%. Sebagai konsekuensinya, produksi pada laktasi berikutnya biasanya menurun. Penurunan produksi cukup tajam jika pemberian thyroprotein ini tidak dilanjutkan.

7. Faktor Penyakit

10

Penyakit pada ternak mempunyai pengaruh yang sangat merugikan. Pada sapi perah, penyakit seperti mastitis, ketosis, milk fever dan gangguan pencernaan mempengaruhi produksi susu dan bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada perusahaan peternakan, program pencegahan penyakit melalui perawatan yang lebih baik memegang peranan penting untuk produksi yang efisien. Perlakuan memang perlu diberikan kepada sapi yang sedang sakit. Tetapi untuk mempertahankan keuntungan, pencegahan lebih baik dari pada pengobatan sapi yang telah sakit. Peningkatan manajemen pakan tidak akan berhasil untuk meningkatkan produksi susu apabila kondisi ternak tidak sehat.

11

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, A.L., J.J. Kiser, 1963. Introductory Animal Science. The Macmillan Company. Collier-Macmillan Limited. London.

Briggs, H. M. 1958. Modern Breeds of Live Stock. The Micmillaan Company. New York.

http://64.233.161.104/search?q=cache:Dq_0SXf2fYQJ:pods.dasnr.okstate.edu/docushare/dsweb/Get/Document-2028/F. Managing milk composition: Normal Sources of Variation4016web.pdf+Factor+influence+milk+production+and+composition&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=4

http://cahe.nmsu.edu/pubs/_d/d-103.html . (Managing Milk Compositon: Normal Sources of Variation) Guide D-103Looper M., NMSU., Sandra R. Stokes, Dan N. Waldner, Ellen R Jordan.. 2006. Managing Milk Compositon: Normal Sources of Variation). Guide D-103. Extension Dairy Specialist,Extension Dairy Specialist, The Texas A&M University System,Extension Dairy Specialist, Oklahoma State University,Extension Dairy Specialist, The Texas A&M University System. College of Agriculture and Home Economics New Mexico State University

http://www.osti.gov/energycitations/product.biblio.jsp?osti_id=6227128 (Interactions of climatic factors affecting milk yield and composition)

Acker, D. 1971. Animal Science and Industry. Prentice- Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.

Atmadilaga, D. 1973. Potensi pengembangan dan Peningkatan Usaha Sapi Perah di Indonesia. Naskah Seminar Pengembangan Usaha Peternakan dan Pemasaran Peternakan di Indonesia, Jakarta 4 – 5 April.

Bath, D.L., F.N. Dickinson, H.A. Tucker and R.D. Applemen. 1978. Dairy Cattle: Principles, Practices,Problems, Profits. Lea & Febiger, Philadelphia.

Castle, M.E. and P. Watkins. 1979. Modern Milk Production. Faber and Faber, London-Boston.

Davis, R.F. 1962. Modern Dairy Cattle Management. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.

Diggins, R.V. and C.E. Bundy. 1969. Dairy Production. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New jersey.

Ensmingers, M.E. 1969. Animal Science. Sixth Edition. The Interstate & Publishers, Inc., Denville, Illinois.

Foley, R.C., D.L. Bath, F.N Dickinson and H.A. Tucker. 1972. Dairy Cattle: Principles, Practices, Problems, Profits. Lea & Febiger, Philadelphia.

Juegenson, M.E. and W.P. Mortenson. 1977. Approved Practices in Dairying. Fourth Edition. The Interstate Printers and Publishers, Inc., Deville Illinois.

12

Kusumadewa, A.L., S. Sutrisno, W. Widianto dan D. Hasibuan. 1977. Laporan Feasibility Study Pengembangan Sapi Perah di Jawa Barat dan Jawa Timur. Survey Agro-Ekonomi, Direktor Jenderal Peternakan. Min, B. R., S. P. Hart, T. Sahlu and L. D. Satter. 2005. The Effect of Diets on Milk Productionand Composition, and on Lactation Curves in Pastured Dairy Goats. J. Dairy Sci. 88:2604-2615.

Smicht, G. H. and L.D. Van Vleck. 1974. Principles of Dairy Science. W.H. Freeman and Company, San Francisco.

Sindoeredjo, S. 1961. Pedoman Perusahaan Pemerahan Susu. Proyek Pengembangan Ternak Perah, Direktorat Pengembangan Produksi Peternakan Direktorat Jendral Peternakan.

Syarief, M.Z. dan R.M. Sumoprastowo. 1984. Ternak Perah. Cetakan pertama. Penerbit CV Yasaguna, Jakarta.

Trimberger, G.W. 1977. Dairy Cattle Jugging Techniques. Prentice-hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.

Yapp, W.W. 1955. Dairy Cattle Selection, Feeding and Management. John Wiley & Sons, Inc., New York Campman & Hall, Limited London.

Yapp, W.W. 1959. Dairy Cattle Selection. John Wiley & Sons, Inc., New York.

13

Beberapa konstituen di dalam air susu hampir selalu ditemukan dalam proporsi yang sama/tetap pada setiap jenis ternak, walaupun kondisi ternaknya cukup berbeda. Sementara konstituen lainnya ada juga yang sangat bervariasi.

Salah satu faktor utama yang dapat meningkatkan komposisi susu adalah jumlah air susu yang diproduksi oleh ternak tertentu yang sedang diperah. Banyak lagi faktor lainnya yang mungkin dapat meningkatkan komposisi air susu, tetapi dengan mekanisme yang merupakan kombinasi dari faktor yang mempengaruhi komposisi air susu secara langsung dan secara tidak langsung, sehingga pada akhirnya mempengaruhi total produksi susu.

Selain hal diatas, beberapa perubahan di dalam komposisi air susu dari periode pemerahan yang satu dengan periode pemerahan lainnya tidak dapat dijelaskan secara pasti. Sebagai contoh: persentase lemak susu dapat bervariasi sampai 30 % tanpa penyebab yang jelas (Bath et. Al., 1978).

Komposisi dan jumlah produksi susu khususnya pada sapi perah, adalah merupakan hasil interaksi dari banyak faktor di dalam tubuh ternak perah (faktor internal) dan faktor lingkungan sapi yang bersangkutan (faktor external). Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komposisi dan jumlah produksi susu secara lebih terperinci. Harapan penulis adalah agar mahasiswa atau peternak dapat memahami dan memakai tulisan ini sebagai referensi untuk mencapai tujuan peningkatan kualitas dan produksi air susu, dengan harapan dapat memperoleh keuntungan yang lebih tinggi.

Komposisi Air Susu.

Air susu mengandung tiga komponen utama yaitu laktose, kasein dan lemak, disamping mengandung bahan-bahan lainnya seperti air, mineral, vitamin dan lain-lainnya dengan konsentrasi yang berbeda-beda.

1. Kolostrum. Kolostrum adalah air susu yang diproduksi pada hari pertama sampai hari ke 5

setelah melahirkan. Komposisi dari kolostrum sapi FH, babi dan mare ditunjukkan pada table 1. Di banyak negara bagian, penjualan air susu yang dihasilkan pada hari pertama sampai 5 hari setelah melahirkan adalah illegal, akan tetapi secara umum komposisi dari air susu yang masih dianggap normal untuk dijual adalah kira-kira 4 – 5 hari setelah melahirkan (47).

Total komponen bahan padat, protein, dan abu dalam kolostrum lebih tinggi dibandingkan dengan komponen tersebut di dalam air susu yang diperoleh pada minggu 2 – 3 setelah melahirkan. Perbedaan yang paling menyolok adalah kandungan protein kolostrum jauh lebih tinggi dari air susu yang normal. Perbedaan ini sebagian besar disebabkan oleh kandungan globulinnya, khususnya globulin gamma yang mengandung berbagai macam antibody. Sedangkan titer antibody darah pada pedet yang baru lahir sangatlah rendah. Gamma globulin mampu diserap pedet sejak saat pedet baru lahir. Penyerapan dari

14

Pengaruh Musim.Musim pada saat sapi melahirkan sangat mempengaruhi total produksi susu per

laktasi dan komposisinya, yang merupakan pengaruh dari kombinasi dari breed, tingkat laktasi, kondisi klimatologi pada saat pencatatan dilakukan, dan perbedaan-perbedaan dalam managemen pakan. Di bagian utara dari US, suatu kecenderungan telah terjadi untuk pemeliharaan kelompok sapi yang mengarah agar kelompok sapi tersebut melahirkan pada musin hujan dan menjelang winter, dimana dalam hal ini peternak berusaha untuk mengombinasikan antara pengaruh musin dengan tingkat laktasi. Sapi-sapi yang melahirkan pada musim basah (hujan) biasanya memproduksi susu lebih tinggi dari sapi yang melahirkan pada musim lainnya. Di negara barat, sapi FH yang melahirkan antara bulan Desember sampai Maret memproduksi susu sekitar 1.300 pond lebih banyak dari sapi yang melahirkan antara bulan Juli dan Agustus. Sapi FH yang melahirkan pada musim basah di New York State dapat memproduksi susu sekitar 1.500 pond lebih banyak dari sapi yang melahirkan pada musim semi dan panas. Perbedaan-perbedaan produksi susu (menurun) sebagai akibat dari perbedaan musim-musim melahirkan diatas akan semakin nyata yang disebabkan oleh perbedaan manajemen pakan pada sapinya yang dipelihara. Hasil laporan dari North Carolina dan Georgia juga menunjukkan bahwa sapi-sapi yang beranak pada musim dingin dan semi memproduksi susu lebih tinggi dari sapi-sapi yang melahirkan pada musim panas (6; 34; 62).

Komposisi susu pada musim yang berbeda juga cenderung dipengaruhi oleh efek dari laktasi. Persentase lemak susu; SNF biasanya tertinggi pada bulan-bulan musim dingin, dan menurun pada bulan Maret dan April, dan terus menurun ke titik terendah pada bulan Juli dan Agustus, kemudian mulai meningkat pada bulan selanjutnya. Sapi yang melahirkan pada musim hujan dan dingin mempunyai persentase total bahan padat, SNF dan lemak susu lebih tinggi dibandingkan sapi yang melahirkan pada musim lainnya dalam tahun yang sama. Sehingga persentase komposisi dari ketiga komponen tersebut menjadi lebih tinggi selama musim hujan dan dingin, dimana pada saat tersebut produksi susunya juga tinggi. Hal yang berlawanan terjadi pada sapi-sapi yang melahirkan di North Carolina dari bulan Mei sampai Oktober yang mempunyai rata-rata persentase lemak susu dan SNF lebih tinggi dibandingkan sapi-sapi yang melahirkan pada musim lainnya pada tahun yang sama (6; 33; 46; 62; 66).

Temperatur Lingkungan.Banyak review mengenai efek temperatur dan kelembaban lingkungan pada

produksi dan komposisi susu telah dipublikasikan (7; 9; 43; 50; 51; 52; 62). Efek dari temperatur lingkungan pada jumlah produksi susu dan komposisinya tergantung dari bangsa ternak. Sapi FH dan bangsa sapi perah besar lainnya agak sedikit lebih toleran terhadap suhu yang lebih rendah, sedangkan bangsa sapi yang lebih kecil seperti Jersey dan termasuk juga sapi Brown Swiss sangat lebih toleran dengan suhu lingkungan yang lebih tinggi. Temperatur yang rendah tidak berpengaruh pada produksi susu apabila sapi diberikan penambahan ransum dari biasanya untuk memenuhi kebutuhan energi untuk mempertahan suhu tubuh. Pada kelembaban relatif antara 60 – 80 %, produksi susu tidak dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan antara 400 F dan 700 F. Dalam ambang kondisi lingkungan seperti tersebut diatas, sapi masih dapat mengatur suhu tubuhnya dengan mengaturnya secara phisiologi, tanpa peningkatan produksi panas dalam tubuh.

15

Ambang penyesuaian temperatur (temperatur thermal) setiap ternak berbeda dan sangat tergantung dengan breednya, dimana sapi Jersey dan Brown Swiss dapat bertahan pada temperatur yang lebih tinggi. Diatas ambang temperatur thermal akan terjadi penurunan produksi susu yang signifikan apbila adanya peningkatan temperatur lingkungan. Pada saat temperatur lingkungan tinggi, konsumsi pakan sapi akan menurun dan konsumsi air akan meningkat. Pada saat temperatur lingkungan sekitar 1050 F, konsumsi pakan dan produksi susu mendekati nol.

Kadar lemak susu meningkat dengan menurunnya temperatur lingkungan menjadi 750 F. Kadar SNF dan bahan padat mengikuti pola yang sama dengan persentase kadar lemak susu. Kandungan chloride susu meningkat dan kadar laktose menurun dengan adanya peningkatan temperatur lingkungan.

Cobble dan Herman (9) menemukan bahwa penurunan produksi susu sangat drastis terjadi pada temperatur lingkungan diatas 800 F untuk sapi FH; dan 850 F untuk sapi Jersey dan Brown Swiss; dan 900 F untuk sapi Brahman. Peningkatan yang sangat nyata pada persentase kadar lemak susu terjadi pada temperatur diatas 900 F. Persentase SNF akan terus menurun dengan adanya peningkatan temperatur lingkungan diatas 900 F. Penyakit.

Penyakit mastitis sangat berpengaruh baik pada jumlah produksi susu maupun komposisi susu. Penyakit dapat meningkatkan permeable dari jaringan tissu ambing dan dapat menurunkan kemampuan jaringan yang untuk mensintesa konstituen dari susu. Penyakit ini juga dapat merusak jaringan pensekresi air susu di dalam ambing, yang berakibat pada produksi susu yang menurun. Penurunan dalam produksi susu yang terjadi setelah tanda-tanda klinik penyakit mastitis dalam ambang/batas yang sudah dapat diabaikan (dianggap sembuh) disebabkan oleh terjadinya kerusakan-kerusakan dalam kelenjar sekresi susu (55).

California Mastitis Test (CMT) adalah sebuah index dari kerusakan atau infeksi pada ambing yang secara langsung berhubungan dengan jumlah leukosit dalam air susu. Pada suatu experimen (21) yang membandingkan salah satu quarter ambing yang menghasilkan air susu yang tidak normal dengan quarter yang berlawanan pada sapi yang sama yang mempunyai hasil CMT yang negatif. Quarter-quarter yang menunjukkan hasil reaksi test; quarter 1; quarter 2; quarter 3; memproduksi susu berturut-turut: 9,0 %; 19,5 %; 31,8 %; 34,4 % lebih rendah dari quarter yang tidak terinfeksi mastitis. Adanya bakteri phatogenik di dalam ambing, tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda klinis penyakit mastitis, tetapi menyebabkan produksi susu menurun. Sapi-sapi yang terinfeksi oleh organisme Staphyloccocus pygenes, mempunyai penurunan 10 %; 11 %; 12 % masing-masing untuk produksi susu; SNF dan lemak susu selama periode laktasi dibandingkan dengan sapi yang tidak terinfeksi mastitis sama sekali (44).

Susu sapi yang terkena infeksi mastitis mempunyai kandungan lactose dan potassium yang lebih rendah dan sodium; chlor yang lebih tinggi dari sapi yang sehat. Selama sapi terinfeksi mastitis, kandungan globulin susu meningkat, kandungan serum albumin dan protease juga ada sedikit peningkatan. Sedangkan kandungan kaseinnya menurun. Perubahan-perbahan fraksi protein diatas secara umum tidak mengubah persentase protein dalam susu. Perubahan-prubahan dalam persentase kadar lemak susu tidak konsisten. Secara umum penurunan dalam kandungan SNF susu dari sapi yang

16

mempunyai tanda-tanda mastitis disebabkan oleh penurunan kadar lactose susu (55; 60; 73).

Waite dan Blakcburn (74) mengelompokkan perubahan-perubahan komposisi susu menurut jumlah bakteri dalam susu. Susu yang mempunyai jumlah bakteri kurang dari 100.000/ml tidak menunjukkan gejala klinis dan tidak ada perubahan kimia dalam air susunya. Apabila jumlahnya meningkat dari 100.000 sampai 500.000/ml, akan terjadi penurunan dalam kandungan SNF dan lactose susu. Ketika jumlahnya melebihi 1.000.000/ml, kandungan casein susunya mulai menurun.

Dari uraian diatas menunjukkan bahwa infeksi mastitis mempunyai efek yang sangat besar pada komposisi susu yaitu pada kandungan lactose, mineral susu yang disebabkan oleh suatu perubahan dalam permeabilitas dari epithelium kelenjar susu. Perubahan-perubahan dalam kandungan protein susu akan terlihat setelah terjadi tanda-tanda klinis terlihat dengan jelas.

Kondisi Ternak Pada Saat melahirkan.Kualitas kondisi sapi pada saat melahirkan mempunyai efek pada level produksi

susu dan kemungkinan juga pada komposisi susu. Hal ini sebagian disebabkan oleh lamanya periode pengeringan, karena lebih lama sapi itu dikeringkan berarti memberikan sapi tersebut kesempatan lebih lama untuk mengembalikan kondisi tubuhnya sebelum datang periode laktasi berikutnya. Beberapa laporan hasil penelitian bahwa pemberian pakan biji-bijian secara bebas selama periode pengeringan dapat meningkatkan produksi susu dan lemak susu pada periode laktasi berikutnya. Pendapat ini direview oleh Schmidt dan Schultz (63).

Susu yang disekresikan selama awal laktasi berhubungan erat dengan konsumsi energi selama periode pengeringan. Katabolisme setiap 100 pond lemak tubuh dapat memproduksi susu sebanyak 880 pond selama awal laktasi. Secara umum, sapi kehilangan berat badan 100 – 200 pond berat badan setelah melahirkan, tetapi ada juga beberapa sapi yang kehilangan berat badan mencapai 400 pond. Tidak semua penurunan berat badan ini berasal dari lemak tubuh, tetapi sapi yang mempunyai kondisi tubuh yang baik pada saat melahirkan mempunyai cadangan energi yang lebih banyak untuk mensintesa susu pada awal laktasi, dimana pada saat tersebut ternak mempunyai kesulitan untuk mengkonsumsi cukup energi untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup dan untuk produksi susu.

Beberapa hasil penelitian (23; 25; 81) telah menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang menguntungkan pada pemberian biji-bijian selama periode pengeringan. Hasil suatu penelitian (63) tentang 3 level dari biji-bijian yang diberikan kepada 3 kelompok ternak sapi selama periode pengeringan dan disimpulkan bahwa pemberian level biji-bijian yang tinggi selama periode pengeringan tidak berpengaruh terhadap produksi susu dan lemak susu pada awal laktasi. Semua kelompok sapi dalam kondisi tubuh yang baik pada saat periode pengeringan dan hal ini mungkin menjadi alasan sehingga tidak terjadi perbedaan dalam produksi susu pada semua kelompok sapi. Pada penelitian lainnya (16), sapi yang sedang laktasi dan dara yang diberikan biji-bijian untuk merangsang nafsu makan di mulai pada hari ke 21 sebelum beranak, memproduksi susu 79 dan 119 pond susu (masing-masing untuk sapi yang laktasi dan dara) lebih banyak selama 45 hari setelah beranak dibandingkan dengan sapi yang tidak diberikan biji-bijian sampai setelah beranak. Pemberian biji-bijian sebelum beranak dibuktikan menjadi tidak

17

ekonomis, tetapi sapi sapi yang digunakan dalam percobaan mempunyai kondisi tubuh yang baik. Informasi mengenai pengaruh kondisi tubuh pada produksi susu sangatlah terbatas, tetapi Eckles (12) menunjukkan bahwa sapi yang gemuk pada saat melahirkan memproduksi susu yang mengandung persentase lemak susu yang lebih tinggi dari sapi yang mempunyai kondisi tubuh yang sedang atau kurus. Sebagian besar kenaikkan persentase lemak susu terjadi selama 2 atau 3 bulan pertama laktasi. Hasil penelitian lainnya (55), pemberian biji-bijian yang tidak terbatas sebelum beranak, menghasilkan peningkatan dalam persentase lemak susu dan SNF untuk beberapa bulan pertama laktasi.

Kualitas dari Nutrisi.

Sapi perah yang mempunyai produksi susu rendah dapat ditingkatkan produksi susu dengan memberikan ransum yang kandungan energinya ditingkatkan (53). Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa energi adalah merupakan faktor yang paling menentukan dalam memperoleh produksi susu yang tinggi dalam suatu peternakan sapi perah. Peningkatan konsumsi energi pada sapi perah dapat meningkatkan level produksi susu terhadap potensi sapi yang yang bersangkutan. Penyediaan energi selama awal laktasi sangat memegang peranan penting pada jumlah produksi susu selama dalam satu periode laktasi. Jumlah produksi susu pada periode awal laktasi dapat mencerminkan total produksi susu selama satu masa laktasi. Sapi yang mempunyai level produksi susu yang tinggi pada awal laktasi akan memproduksi susu lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang memulai produksi susunya relatif lebih rendah.

Hubungan energi intake (konsumsi energi) dengan produksi susu diilustrasikan oleh Warner (76) dengan mempelajari dua kelompok sapi perah. Kedua kelompok sapi tersebut memproduksi susu rata-rata 50 lb/hari selama bulan pertama laktasi. Salah satu kelompok ternak mempunyai persistesi yang lebih tinggi (mempunyai kemampuan untuk mempertahankan produksi susu tinggi lebih lebih lama) yaitu rata-rata 44 lb/hari selama 6 bulan pertama laktasi. Sedangkan kelompok yang lainnya mempunyai produksi yang menurun menjadi 26 lb/ hari pada waktu yang sama. Sebagian perbedaan produksi susu antara kedua kelompok ini berhubungan erat dengan distribusi biji-bijian yang diberikan selama 6 bulan pertama periode laktasi. Kelompok pertama diberikan energi yang melebihi rekomendasi pemberian standar pakan selama awal laktasi. Sedangkan kelompok lainnya diberikan pakan dibawah standar standar kebutuhan selama awal laktasi, kemudian diberikan pakan yang mengandung energi yang berlebihan selama 4 - 6 bulan periode laktasi. Kelompok sapi yang mempunyai persistensi yang rendah diberikan biji-bijian yang hampir sama dengan kelompok sapi yang mempunyai persistensi yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya pemberian energi yang cukup selama periode laktasi dan menjelaskan bahwa pendistribusian energi selama masa laktasi dapat mempengaruhi total produksi selama masa laktasi.

Efek dari nutrisi terhadap komposisi susu telah direview oleh Laben (33) dan Rook (55). Peningkatan level gizi di dalam pakan sapi perah sampai 25 – 35 % diatas normal standar feeding menyebabkan persentase SNF (Solid Non Fat) nya meningkat sampai 0,2 %. Perubahan persentase SNF sebagian besar disebabkan oleh perubahan dalam persentase protein yang sebagai akibat dari penurunan kadar caseinnya. Efek dari nutrisi terhadap kandungan lemak susu juga sangat erat hubungannya dengan perubahan-

18

perubahan dalam jumlah prduksi susu. Ketika pakan dapat meningkatkan jumlah produksi susu, persentase lemak susu cendrung akan menurun.

Level protein dan lemak dalam ransumPemberian ransum yang mengandunf protein sangat rendah dibawah level standar

kebutuhan kepada ternak perah menyebabkan penurunan persentase SNF dan penurunan jumlah produksi susu. Sedangkan pemberian level protein sedikit dibawah standar kebutuhan kepada sapi perah menyebabkan sedikit penurunan jumlah produksi susu dan persentase protease, globulin dan non protein nitrogen (NPN) dalam air susu juga agak menurun. Peningkatan level protein di dalam ransum di atas standar normal telah mempunyai efek yang positif terhadap jumlah produksi susu dan hanya sedikit dapat mempengaruhi peningkatan kandungan NPN dalam susu (55),

Kandungan lemak consentrat dalam ransum sapi perah sekitar 3 – 4 % untuk memperoleh produksi susu yang maximum, akan tetapi jumlah lemak dalam ransun tidak mempunyai efek yang konsisten terhadap kandungan lemak susu. Penambahan lemak sebanyak 2 pond dari jumlah standar/normal dalam ransum sapi perah menyebabkan gangguan pada pencernaan sapi perah dan menyebabkan sapi perah tersebut kehilangan nafsu makan dan penurunan jumlah produksi susu. Ada pengaruh macam lemak dalam ransum dilaporkan dapat memodifikasi lemak susu tanpa mempengaruhi jumlah produksi susu. Akan tetapi hasilnya sangat bervariasi dan sering bersifat sementara. Ada perkecualian yaitu pemberian minyak ikan dan asam lemak tidak jenuh tertentu dalam jumlah yang tinggi dalam ransum dapat menurunkan kadar lemak secara signifikan tanpa mempengaruhi jumlah produksi susu. Asam linoleat juga mempunyai efek yang hampir sama dengan minyak ikan (!3; 35).

Beberapa penelitian/percobaan untuk meningkatkan kandungan asam lemak tak jenuh dalam komposisi air susu melalui pemberian pakan telah dilakukan, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Hal ini disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa mikroorganisme hydrogenate dalam rumen sebagian besar adalah asam lemak tidak jenuh. Pemberian minyak biji kapok (cottonseed oil) sebanyak 6 % dalam campuran konsentrat atau 15 % dari biji-bijian dalam konsentrat dapat digantikan dengan minyak bunga matahari dapat menurunkan kadar asam lemak jenuh dan meningkatkan kandungan asam lemak tidak jenuh dalam secara signifikan, terutama asam lemak oleic. Akan tetapi kedua minyak diatas menyebabkan penurunan kandungan lemak susu secara signifikan. Perubahan-perubahan dalam kandungan asam lemak susu terjadi selama pemuasaan ternak yang menyebabkan asam lemak rantai pendek sedang diganti dengan asam lemak oleic. Kemungkinan sebanyak 80 % dari asam lemak rantai pendek diganti dengan asam lemak oleic (13; 29; 48).

Perubahan-perubahan dalam ransum.Sejumlah perubahan-perubahan dalam ransum sapi perah menyebabkan

penurunan dalam persentase lemak susu. Hal ini telah direview oleh Elliot (13) dan Warner (77). Salah satu temuan terakhir bahwa pemberian ransum dengan konsentrat yang tinggi dan hijauan yang terbatas menurunkan kadar lemak susu. Walapun banyak laporan yang menyatakan hasil yang berbeda dalam hal batas minimum kebutuhan hijauan yang harus diberikan pada sapi perah untuk penurun dalam jumlah tertentu kadar

19

lemak susu. Warner (77) menyimpulkan bahwa paling sedikit 15 pond hay. Bentuk fisik dari hijauan juga dapat mempengaruhi penurunan persentase lemak susu. Laporan mengenai ukuran pemotongannya sangat bervariasi, tetapi kelihatannya penurunan kadar lemak susu terjadi secara signifikan apabila dipotong dengsn ukursn lebih pendek dari 1/8 inchi.

Pembatasan pemberian hijauan dengan jumlah konsentrat yang tinggi pada sapi perah biasanya dibarengi dengan penurunan level serat kasat dalam ransum. Ransum sapi perah seharusnya mengandung paling sedikit 17 % serat kasar dari total ransum untuk mencegah penurunan kadar lemak susu yang dihasilkan. Kandungan serat kasar dalam ransum kemungkinan memegang peranan penting dalam penurunan kadar lemak susu ketika sapi-sapi perah berproduksi pada awal musim semi dimana pasture atau hijauan masih sangat relatif muda. Konsentrat yang terdiri dari “flaked corn” (biji jagung yang dipres untuk diambil minyaknya) atau tepung yang dipanaskan seperti tepung kentang, roti (bread) atau produk beras yang telah dimasak (cooked rice) juga menyebabkan hasil tes kadar lemak susu sedikit mengalami penurunan. Penggunaan tepung jagung dalam ransum sapi perah yang khususnya dalam bentuk pellet, juga dapat menurunkan kadar lemak susu. Pemberian pellet jajung pada level 35 % dari total ransum akan menyebabkan masalah yaitu penurunan kadar lemak susu. Bungkail bijian-bijian dan parture/hijauan dari gandum juga menyebabkan penurunan kadar lemak susu (10; 26; 77).

Ransum yang dapat menekan persentase lemak susu juga dapat menyebabkan perubahan dalam beberapa karakteristik permentasi di dalam rumen. Penurunan persentase molar asam asetat dan terjadinya peningkatan persentase molar asam propionat di dalam cairan rumen. Hal ini mengakibatkan penurunan rasio dari asam asetat dengan asam propionat. Van Soest (72) membuat suatu ringkasan beberapa factor yang menyebabkan penurunan kadar lemak susu dan teorinya telah digunakan untuk menerangkan penurunan tersebut. Teori pertama adalah kekurangan produksi asam asetat di dalam rumen untuk mensintesa lemak susu disebabkan oleh perubahan/pergantian permentasi di dalam rumen. Teori kedua adalah adanya keterlibatan penurunan jumlah β hydroxybutyric acid (sejenis asam butirat) di dalam darah. Asam ini diambil oleh kelenjar susu dan digunakan untuk pembentukan lemak susu. Teori ketiga adalah renpon glucogenic selama terjadinya produksi asam propionat yang tinggi menekan mobilisasi lemak dari jaringan tubuh dan hal ini menyebabkan penurunan penyediaan lipid di dalam darah untuk sitesa lemak susu. Baldwin dan temen sekerjanya (3; 45) menyetujui konsep di atas. Selasa lemak susu mengalami penurunan, proporsi dari stearic acid (asam stearat) di dalam lemak susu, kemungkinan sebagai akibat dari penurunan dari adipose tissue. Disamping itu, Esterifikasi asam lemak di dalam adipose tissue meningkat, yang menyebabkan penurunan ketersediaan precursor pembentuksn air susu di dalam ambing. Untuk membuktikan ketiga teori diatas telah dilakukan beberapa penelitian. Tetapi belum ada yang dapat menjelaskan sampai tuntas penyebab dari penurunan kadar lemak susu ini.

Ada beberapa perubahan yang terjadi sebagai akibat dari penurunan persentase kadar lemak susu. Perubahan-perubahan tersebut adalah: penurunan kadar lipid dalam darah; peningkatan glucose darah; penurunan pH rumen; peningkatan kenikkan berat badan; penurunan produksi susu; penurunan komponen rantai pendek, palmitic,dan stearic acid dalam lemak susu; dan peningkatan komponen asam lemak tak jenuh dalam lemak susu. Semua hasil penelitian yang direview oleh Schmidt (1971) melaporkan

20

bahwa penurunan produksi susu tidak terjadi jika sapi perah diberikan ransum yang dapat menurunkan kadar lemak susu (27; 31).

Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa pemberian 1 pond sodium acetate setiap hari kepada sapi perah dengan pemberian ransum yang dapat menurunkan kadar lemak susu, dapat mengembalikan persentase kadar lemak susu menjadi normal kembali. Tetapi sebagian peneliti juga melaporkan bahwa pemberian sodium acetate tidak selalu efektif (13). Sodium butyrate kelihatannya sama efektifnya dengan acetate, tetapi pemberian propionate kelihatannya mempunyai efek lebih menurunkan kadar lemak susu. Infusi propionic acid ke dalam rumen menyebabkan penurunan persentase kadar lemak susu dan peningkatan persentase SNF dan protei dalam air susu. Infusi acetic acid menyebabkan total produksi susu meningkat dan peningkatan kadar lemak susu tanpa mempengaruhi kadar SNF. Infusi acetic acid dan butyric acid dapat meningkatkan proporsi dari C4 – C16 acid dalam lemak susu dan penurunan proporsi dari C18. Infusi propionic acid menurunkan produksi hampir semua komponen asam lemak susu, kecuali palmitic acid. Infusi propionic acid dan glucose ke dalam darah juga dapat menurunankan persentase kadar lemak susu dan meningkatkan persentase lactose di dalam air susu (13; 20; 67).

Pemberian sodium bicarbonate atau potassium bicarbonate; magnesium carbonate; …. Delactosed whey; magnesium oxide; dan calcium hydroxide dapat mencegah sebagian dari penurunan kadar lemak susu yang disebabkan oleh pembatasan pemberian hijauan dalam ransumnya. PH rumen dapat ditingkatkan dengan pemberian mineral, tetapi tidak dapat ditingkatkan dengan delactosed whey. Mineral dan whey menurunkan propionic acid dalam rumen danmeningkatkan produksi acetic acid. Mekanisme yang pasti/jelas mengenai komponen diatas mempunyai kecenderungan untuk mengembalikan persentase kadar lemak susu belum dapat diklarifikasikan (14; 15; 27; 42; 69).

RINGKASAN

Air susu diproduksi oleh sel epithel dengan 2 jalan/cara. Pertama, lemak susu, lactose dan protein disintesa di dalam sel dari precursor yang diserap dari darah. Komponen ini (precursor) ini kemudian dibawa/dialirkan ke dalam lumina dan alveoli. Kedua, komponen air, mineral dan vitamin dalam air susu yaitu masuk ke dalam lumen dari alveolus sebagian besar melalui proses difusi. Tetapi, beberapa dari komponen-komponen tersebut terikat dalam bentuk senyawa lain. Sekitar 500 volume darah masuk/mengalir ke dalam ambing sapi dan kambing untuk memproduksi setiap volume air susu. Perbandingan jumlah darah yang mengalir ke ambing dengan produksi susu adalah lebih tinggi pada pada kambing yang mempunyai produksi susu lebih rendah dan pada ternak perah lainnya pada akhir masa laktasi.

Banyak 21actor phisiologi dan lingkungan berpengaruh pada produksi susu dan komposisi susu. Salah satu perbedaan komposisi susu yang paling besar yang dianngap normal adalah komposisi kolustrum. Kolustrum adalah air susu yang diperoleh pada hari pertama pemerahan pada awal laktasi. Kolustrom ini mempunyai persentasi kadar bahan padat, protein, mineral yang lebih tinggi dan mempunyai konsentrasi lactose yang lebih rendah dari air susu yang diperoleh pada hari ke 5 atau lebih setelah melahirkan.

21

Komposisi lemak dari kolustrum dan air susu yang normal bervariasi diantara spesies. Selama kurva laktasi sapi perah normal, jumlah produksi susu akan terhenti pada produksi tertinggi mencapai puncak laktasi pada 3 – 6 minggu setelah melahirkan dan kemudian secara perlahan-lahan menurun menuju akhir dari laktasi. Persentasi kadar lemak dan protein susu akan berbanding terbalik dengan total produksi susu. Persentase komposisi susu akan stabil pada level rata-rata, kemudian menurun selama puncak laktasi tercapai.

Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan jumlah produksi susu pada ternak sapi khususnya adalah: Peningkatan berat badan; penambahan umur; peningkatan kualitan nutrisi; musim pada saat beranak (musim hujan dan dingin); suhu lingkungan dan kualitas kondisi ternak pada saat melahirkan. Faktor-faktor yang cendrung menurunkan jumlah produksi susu adalah: peningkatan masa laktasi; peningkatan umur kebuntingan; periode masa kering yang pendek; melahirkan pada musim semi dan panas; suhu lingkungan dan kelembaban yang tinggi; penyakit yang berpengaruh pada ambing atau konsumsi pakan sapi; dan penurunan kualitas nutrisi. Secara umum, 22actor yang cendrung meningkatkan total produksi susu dari sapi perah cendrung menurunkan persentase kadar lemak susu.

Perubahan-perubahan tertentu di dalam ransum sapi perah berpengaruh secara negatif pada persentase lemak susu. Sebagian besar hal ini berhubungan dengan ransum yang terdiri dari jumlah konsentrat yang tinggi dan hijauan yang terbatas yang akhirnya mengakibatkan kadar serat kasar ransum menjadi rendah. Alasan yang tepat terjadinya penurunan kadar lemak susu belum diketahui, kecuali penurunan persentase kadar lemak susu yang diikuti oleh perubahan-perubahan fermentasi di dalam rumen. Perubahan-perubahan tersebut adalah: penurunan produksi asam asetat dalam rumen; peningkatan produksi asan propionat di dalam rumen; dan penurunan pH cairan rumen. Pemberian sodium atau potassium bicarbonat; magnesium bicarbonat; magnesium oxide; dan kalsium hydroxide, sebagian dapat mencegah penurunan komposisi lemak susu yang disebabkan oleh pembatasan pemberian hijauan dalam ransum sapi perah.

22

Pengaruh Faktor Pakan Terhadap Produksi Dan Komposisi Susu

Pemberian pakan dibawah standar kebutuhan.Pemberian pakan dibawah standar kebutuhan sapi perah dapat menurunkan

produksi dan kadar lactose susu, tetapi kadar lemak susunya meningkat. Untuk selanjutnya, apabila sapi tersebut diberikan pakan mencukupi standar kebutuhan nutrisinya, maka akan terjadi hal yang sebaliknya. Sudah merupakan teori umum, bahwa setiap jenis dan jumlah pakan yang mengakibatkan peningkatan produksi susu, biasanya akan menurunkan kadar lemak susu yang dihasilkan. Sedangkan laktose relatif tidak sensitif terhadap pemberian jenis dan jumlah pakan. Hanya system pemberian pakan dibawah standar kebutuhan ternak yang akan menyebabkan kadar lactose susu sedikit menurun.

Pemberian pakan dengan kandungan lemak yang berbeda.Lemak susu dapat menurun yang mungkin disebabkan oleh tidak cukupnya

konsumsi energi, terutama pada awal masa laktasi. Sapi perah yang mempunyai kondisi tubuh yang cukup bagus pada awal laktasi akan mempunyai kandungan lemak susu yang lebih tinggi dibandingkan dengan sapi perah yang mempunyai kondisi lebih kurus saat memasuki masa laktasi. Umumnya sapi-sapi perah yang mempunyai produksi susu tinggi akan mengalami penurunan berat badan pada masa-masa awal laktasi, sehingga konsumsi energi sapi-sapi ini seharusnya dijaga setinggi mungkin tanpa menyebabkan sapi-sapi tersebut tidak punya nafsu makan. Ketika sapi-sapi mengalami kehilangan lemak tubuh terlalu cepat, dapat menyebabkan terjadinya ketosis. Sapi perah yang diberi makan biji-bijian dalam jumlah yang banyak selama periode kering kandang akan memproduksi susu yang kandungan lemak susu dan solid non fatnya lebih tinggi pada saat beberapa bulan setelah melahirkan dibandingkan dengan sapi perah yang diberikan pakan dibawah standar kebutuhan pakannya. Akan tetapi, pemberian biji-bijian yang terlalu tinggi sangat mempengaruhi/menyebabkan sistem pencernaan sapi terganggu yaitu menyebabkan mencret (metabolic disorders) dan tidak ekonomis karena harga biji-bijian jauh lebih mahal dari hijauan. Sangat dianjurkan untuk membatasi pemberian pakan pada sapi-sapi yang sedang kering kandang selama 2 – 3 minggu sebelum melahirkan, kemudian pemberian biji-bijian ditingkatkan selama periode awal laktasi.

Penyebab rendahnya persentase kadar lemak susu adalah Keterbatasan konsumsi energi. Biasanya terjadi pada masa laktasi antara 90 – 150

hari. Sapi perah biasanya menjadi kurus dan mempunyai kadar lemak susu berkisar antara 2,5 – 3 %. Kadar lemak susunya juga menurun. Umumnya ransum yang diberikan tidak seimbang.

Penurunan/depresi kadar lemak susu. Dapat terjadi pada setiap masa laktasi. Dapat terjadi pada sapi dalam kondisi yang tubuhnya cukup bagus. Kadar lemak susunya antara 0,9 – 2,5 %. Sapi tidak mau makan. Kadar protein susunya lebih tinggi dari kadar lemak susunya.

Beberapa komponen nutrisi akan menurunkan persentase lemak susu secara nyata ketika sapi perah diberi pakan tanpa mengakibatkan perubahan produksi susu. Termasuk juga

23

ketika pemberian biji-bijian dalam jumlah yang tinggi dan pemberian hijauan dalam jumlah yang sedikit, dapat merangsang/meningkatkan produksi susu, tetapi menurunkan kadar lemak susu. Hal ini terjadi ketika pemberian hijauan dibatasi sampai 30 % atau serat kasar dalam ransu kurang. Faktor pakan lainnya yang juga mengakibatkan menurunnya kadar lemak susu adalah pemberian pakan dalam bentuk pellet (pencacahan hijauan lebih kecil dari 1/8 inchi); pemberian minyak tertentu atau pemberian asam lemak polyunsaturated (cod liver oil dan minyak extrak biji-bijian); flaked corn; heated staches atau

24