57
1 Abstract A study was conducted to investigate fluctuations in different physical and chemical parameters near floating net cages Hurun Bay that already operated during more five years. Samples were collected from the centre of the farms and away from the cages. There were no significant differences (P>0.05) in water quality parameters, such dissolved oxygen, temperature and salinity between the two locations during investigation. Dissolved oxygen concentration in near cages and offshore were 6,33 ± 0.21 (5.92-6.66) mg/L and 6,33 ± 0.15 (6.11-6.64) mg/L respectively. Temperature in near cages and offshore were 29,51 ± 0.43 (28.96-31.31) and 29,34 ± 0.24 (28.96-30.16) respectively, Salinity in near cages and offshore were 32,80 ± 0.05 (32.66-32.92) and 32,79 ± 0.049 (32.67-32.92) respectively. Meanwhile turbidity value was higher at near cages than in the offshore. Turbidity at near cages was 1,60 ± 3.10 (0.21-17.24) and at offshore 0.31 ± 0.35 (0.17- 2.27). Nutrient concentration show that value has higher at near cages than at offshore. Phosphate concentration at near cages and offshore were 5,0 ± 0.81 (4.0-6.0) and 3,35 ± 0.14 (3.24-3.6 meanwhile nitrate concentration at near cages and offshore were 5,44±1.03 (3.7-6.7) and 3,81 ± 0.53 (3.18-4.8). The present study indicated that the Hurun Bay water quality condition was still good for marine culture activities. Key words: Water quality, cage-culture, nutrient I. PENDAHULUAN Dalam kegiatan budidaya intensif diperkirakan sebanyak 30% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan dan dari pakan yang terkonsumsi tersebut akan dieksekresikan sekitar 25-30% (1) . Pakan yang diberikan sebagian besar akan dimanfaatkan oleh ikan. Melalui proses pencernaan akan diperoleh energi dan nutrisi yang tersimpan dalam jaringan ikan sebagai biomassa. Sisanya sebagai hasil ekskresi baik dalam bentuk terlarut maupun dalam bentuk feses akan terbuang ke badan air. Dalam badan air, hasil ekskresi akan mengalami proses pelarutan, sedimentasi, mineralisasi dan dispersi. Sementara sisa pakan yang tidak termakan akan mengalami pelarutan oleh badan air, pemangsaan oleh biota lain serta akan mengalami sedimentasi di dasar perairan. Sisa pakan dan feses yang terbuang ke badan air di sekitar KJA akan berpotensi sebagai sumber bahan organik dan nutriet yang dapat mempengaruhi tingkat kesuburan dan kualitas air bagi kehidupan ikan budi daya. Keberadaan opersional KJA pada suatu perairan dalam beberapa waktu akan mengakibatkan timbunan bahan organik di J. Hidrosfir Indonesia Vol. 5 No.1 Hal.1 - 7 Jakarta, April 2010 ISSN 1907-1043 Kualitas Air Keramba Jaring Apung (KJA) di Teluk Hurun Lampung Arif Dwi Santoso Peneliti Bidang Oseanografi Biologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Naskah Masuk 3 Januari - Revisi Terakhir 26 Maret 2010 Kualitas Air Keramba..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 1 - 7 Korespondensi Penulis Telp: 62-21-3169 737; [email protected]

Bppt%20JHI%20ed%205 1%20pdf

Embed Size (px)

Citation preview

1

Abstract

A study was conducted to investigate fluctuations in different physical and chemical parameters near floating net cages Hurun Bay that already operated during more five years. Samples were collected from the centre of the farms and away from the cages. There were no significant differences (P>0.05) in water quality parameters, such dissolved oxygen, temperature and salinity between the two locations during investigation. Dissolved oxygen concentration in near cages and offshore were 6,33 ± 0.21 (5.92-6.66) mg/L and 6,33 ± 0.15 (6.11-6.64) mg/L respectively. Temperature in near cages and offshore were 29,51 ± 0.43 (28.96-31.31) and 29,34 ± 0.24 (28.96-30.16) respectively, Salinity in near cages and offshore were 32,80 ± 0.05 (32.66-32.92) and 32,79 ± 0.049 (32.67-32.92) respectively. Meanwhile turbidity value was higher at near cages than in the offshore. Turbidity at near cages was 1,60 ± 3.10 (0.21-17.24) and at offshore 0.31 ± 0.35 (0.17-2.27). Nutrient concentration show that value has higher at near cages than at offshore. Phosphate concentration at near cages and offshore were 5,0 ± 0.81 (4.0-6.0) and 3,35 ± 0.14 (3.24-3.6 meanwhile nitrate concentration at near cages and offshore were 5,44±1.03 (3.7-6.7) and 3,81 ± 0.53 (3.18-4.8). The present study indicated that the Hurun Bay water quality condition was still good for marine culture activities.

Key words: Water quality, cage-culture, nutrient

I. Pendahuluan

Dalam kegiatan budidaya intensif diperkirakan sebanyak 30% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan dan dari pakan yang terkonsumsi tersebut akan dieksekresikan sekitar 25-30%(1). Pakan yang diberikan sebagian besar akan dimanfaatkan oleh ikan. Melalui proses pencernaan akan diperoleh energi dan nutrisi yang tersimpan dalam jaringan ikan sebagai biomassa. Sisanya sebagai hasil ekskresi baik dalam bentuk terlarut maupun dalam bentuk feses akan terbuang ke badan air. Dalam badan air, hasil ekskresi akan mengalami proses pelarutan,

sedimentasi, mineralisasi dan dispersi. Sementara sisa pakan yang tidak termakan akan mengalami pelarutan oleh badan air, pemangsaan oleh biota lain serta akan mengalami sedimentasi di dasar perairan. Sisa pakan dan feses yang terbuang ke badan air di sekitar KJA akan berpotensi sebagai sumber bahan organik dan nutriet yang dapat mempengaruhi tingkat kesuburan dan kualitas air bagi kehidupan ikan budi daya.

Keberadaan opers iona l KJA pada suatu perairan dalam beberapa waktu akan mengakibatkan timbunan bahan organik di

J. Hidrosfir Indonesia Vol. 5 No.1 Hal.1 - 7 Jakarta, April 2010 ISSN 1907-1043

Kualitas air Keramba Jaring apung (KJa)di Teluk hurun lampung

arif dwi Santoso

Peneliti Bidang Oseanografi BiologiBadan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Naskah Masuk 3 Januari - Revisi Terakhir 26 Maret 2010

Kualitas Air Keramba..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 1 - 7

Korespondensi PenulisTelp: 62-21-3169 737; [email protected]

2 Arif Dwi Santoso, 2010

dasar KJA. Timbunan bahan organik yang tidak terkendali ini akan memicu perubahan fisik, kimia dan biologi sedimen dasar perairan dan berdampak pada degradasi kualitas air di lapisan air atasnya. Beberapa kejadian kematian massal ikan secara mendadak merupakan salah satu dampak timbunan limbah organik di dasar KJA yang dipicu oleh proses pembalikan massa air yang beracun di dasar perairan ke kolom air permukaan. Untuk mengurangi dampak penurunan kualitas perairan di sekitar KJA, maka penting dilakukan monitoring secara berkala untuk mengetahui status perairan tersebut.

105014’E 105015’E 105016’E 105017’E 105018’E5030’S

5031’S

5032’S

5033’SScale 1:50.000

Gambar 1 . Lokasi Penelitian dan stasiun pengambilan sampel

II. MeTOdelOGI

Penelitian telah dilakukan di Teluk Hurun, Lampung pada bulan Juli 2003. Lokasi Teluk berada di arah Timur dari Teluk Lampung (Gambar 1). Kondisi muara Teluk di bagian utara

masih diselimuti oleh hutan mangrove yang lebat, sementara di bagian selatan terdapat 3 anak sungai yang bermuara ke teluk. Di badan Teluk terdapat lebih dari 50 unit KJA yang dioperaskan oleh Balai Budidaya Laut (BBL) dan nelayan dengan total biomas sekitar 500 kg(2). Dalam penelitian ini kami mengadakan survey synoptic dengan chlorotec probe (Chlorotec, type AAQ1183, Alec Electronics) (Gambar 2) dan pengambilan sample air untuk analisis kimia. Data yang bisa diambil dari sensor chlorotec probe meliputi data suhu air, salinitas, DO, dan turbiditas. Stasiun pengambilan sampel sebanyak

15 stasiun terbagi menjadi 2 lintasan, Lintasan A berada di sekitar KJA meliputi stasiun 1, 3, 5, 14 dan 17. Sementara lintasan B mewakili lokasi areal lepas pantai yang meliputi stasiun 8, 12, 17, 19, 20, 22, 23, 24 dan 25. Penentuan pengamatan lokasi di lapangan dilakukan dengan mempergunakan hand portable GPS (Tabel 1).

Analisis kimia yang dilakukan meliputi konsentrasi phospat dan nitrat. Sampel air laut diambil dengan menggunakan van dorn pada tiap-tiap stasiun pengamatan pada kedalaman 0m dan kedalaman 10m yang tersebar dari

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana kegiatan budidaya ikan dalam KJA mempengaruhi perubahan fisik-kimia kualitas air dan nutrien di perairan sekitarnya.

3

mulai mulut Teluk Hurun sampai off shore Teluk Lampung. Sampel air terkumpul kemudian dianalisis di laboratorium setelah terlebih dahulu disaring dengan menggunakan kertas saring ukuran pori 0,45 µm Advantec DISMIC, selanjutnya diukur konsentrasinya berdasarkan metode reaktor cadmium dan phosphorous-molybdenum blue dengan menggunakan alat BRAN LUEBBE AutoAnalyzer IV. Keseluruhan data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis dengan mengunakan program Visual Basic dan MatLab.

Gambar 2. Peralatan chlorotec probe dilengkapi dengan note book

III. haSIl dan PeMBahaSan

3.1.Oksigen Terlarut

Kualitas Air Keramba..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 1 - 7

Gambar 3b. Penampang melintang konsentrasi oksigen terlarut dan lepas pantai

Gambar 3a. Penampang melintang konsentrasi oksigen terlarut O2 pada KJA

Hasil tampilan melintang konsentrasi oksigen terlarut di sekitar KJA dan lepas pantai disajikan pada Gambar 3. Konsentrasi oksigen terlarut pada lintasan A terstatifikasi dengan jelas, konsentrasi oksigen terlarut di areal pantai relatif tinggi sekitar 6.4 mg/L, kemudian konsentrasinya menurun saat mendekati lepas pantai sekitar 6.15 mg/L. Tingginya konsentrasi oksigen terlarut di areal pantai dimungkinkan disebabkan oleh optimalnya kegiatan fotosintesis yang ditunjang oleh tingginya produktivitas di areal tersebut(3). Sementara pada lintasan B, oksigen terlarut tercatat tinggi di sekitar stasiun 8 dan 12 (6.6 m/L) hingga kedalaman

4

14m, hal ini dimungkinkan akibat air pasokan dari sungai yang muaranya ada didekat stasiun 8. konsentrai oksigen terlarut tinggi juga dijumpai di lapisan badan air (5-20m) di lepas pantai, kejadian ini oleh Santoso, 2005 dimungkinkan disebabkan oleh pergerakan massa air dari Teluk Lampung yang membawa kandungan oksigen lebih tinggi. Secara umum kisaran konsentrasi oksigen telarut di sekitar KJA 6,33 ± 0.21 (5.92-6.66) mg/L dan di lepas pantai sekitar 6,33 ± 0.15 (6.11-6.64) mg/L masih layak dan di atas batas standar Kantor MNLH, 1988 sekitar 4 mg/L(4). Dengan demikian kadar oksigen perairan ini relatif masih baik untuk kepentingan budidaya perikanan.

Kisaran oksigen terlarut di Teluk Hurun di atas mencerminkan kondisi perairan yang masih subur, belum mengalami pencemaran yang berat, bila dibandingkan dengan beberapa pengukuran di beberapa pantai di Indonesia seperti di Teluk Ambon sekitar 5,67 mg/L(5,6) dan di Teluk Tanimbar 5,05 mg/L(7).

Gambar 4. Penampang melintang suhu air pada KJA (atas) dan lepas pantai (bawah)

Suhu air pada lintasan A dan lintasan B memperlihatkan pola yang sama yaitu suhu di daerah pantai lebih tinggi dibanding di daerah lepas pantai, pada lintasan A berkisar 29,51 ± 0.43 (28.96-31.31) dan lintasan B sekitar 29,34 ± 0.24 (28.96-30.16).Tingginya suhu di daerah pantai disebabkan karena adanya pemasukan air dari sungai yang ada di sekitar Teluk Hurun yang mempunyai suhu lebih tinggi (Muawanah, 2003). Selain karena adanya masukan air dari sungai,

Arif Dwi Santoso, 2010

Tabel 1. Lokasi survey Chlorotec dan rata-rata kedalaman setiap stasiun

Station latitude longitude depth (m)1 105o14`56,8`` 05o 31`2,3`` 3.43 105o15`5,4`` 05o 31`19.9`` 8.55 105o15`11,4`` 05o 31`32,9`` 14,28 105o15`5`` 05o 32`10`` 1712 105o15`17`` 05o 32`8`` 20.717 105o15`32`` 05o 32`10`` 21.119 105o15`47`` 05o 32`10`` 20.520 105o16`2`` 05o 32`10`` 22.721 105o16`16`` 05o 32`10`` 22.522 105o16`31`` 05o 32`10`` 23.123 105o16`48`` 05o 32`10`` 24.424 105o17`2`` 05o 32`10`` 24.425 105o17`16`` 05o 32`10`` 24.4

3.2. Suhu

tingginya suhu di daerah pantai juga disebabkan oleh topografi pantai yang dangkal sehingga penetrasi cahaya dapat maksimal menembus dasar perairan. Suhu air di lapisan atas lebih tinggi dibanding suhu di lapisan bawah. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan penetrasi

5

cahaya matahari antara lapisan permukaan dengan lapisan yang lebih dalam. Jika ditinjau dari kepentingan untuk biota perairan, suhu di perairan Teluk Hurun ini masih baik untuk kehidupan biota laut. Suhu untuk biota laut dan budidaya perikanan adalah suhu alami ± 2% variasi alami(4) dan menurut Mulyanto (1992)(8), suhu yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25-32 oC.

3.3. Salinitas

Hasil pengukuran salinitas di perairan Teluk Hurun disajikan pada gambar 5. Kisaran salinitas di lintasan A sekitar 32,80 ± 0.05 (32.66-32.92) psu dan di lintasan B sekitar 32,79 ± 0.049 (32.67-32.92) psu. Berdasarkan grafik penampang melintang sebaran salinitas dapat dilihat bahwa kadar salinitas di Teluk Hurun relatif stabil. Pada lintasan A, salinitas perairan hampir homogen sekitar 32.6 psu, di dekat KJA nilai salinitas sekitar 32.35 psu. Sementara di lintasan B salinitas mengalami penurunan secara horizontal dari 32.67 psu menjadi 32.65 psu pada kedalaman sekitar 17m. Penurunan salinitas menurun dengan bertambahnya kedalaman dimungkinkan karena pengaruh perbedaan intensitas cahaya matahari pada permukaaan lapisan di bawahnya. Pada lapisan permukaan, penguapan air berlangsung lebih tinggi dibanding lapisan di bawahnya sehingga menyebabkan kadar salinitas di lapisan ini lebih tinggi dibanding dengan lapisan di bawahnya. Hal ini sesuai dengan referensi yang menyatakan bahwa secara

Gambar 5. Penampang melintang salinitas pada KJA (kiri) dan lepas pantai (kanan)

Baku mutu air laut(4) menetapkan salinitas sebesar salinitas alami ± 10% variasi alami untuk biota laut, dan 18-32 ppt ± 10% variasi alami untuk budidaya biota laut (perikanan). Untuk kepentingan pariwisata, baik untuk umum dan estetika maupun untuk mandi renang dan selam, salinitas yang diinginkan adalah nilai alami ± 10 % variasi alami.

vertikal nilai salinitas air laut akan semakin besar dengan bertambahnya kedalaman(9).

3.4. Turbiditas

Nilai kisaran turbiditas di sekitar KJA sekitar 1,60 ± 3.10 (0.21-17.24) dan di lepas pantai sekitar 0.31 ± 0.35 (0.17-2.27). Berdasarkan grafik penampang melintang turbiditas (gambar 6), nilai turbiditas di daerah pantai berkisar 11.2 ntu lebih tinggi dibanding di daerah lepas pantai 0.72 ntu. Tingginya nilai turbiditas di daerah pantai kemungkinan disebabkan karena akibat run-off dari air sungai serta efek dari topografi kedalaman pantai yang relatif dangkal, sehingga massa air mudah teraduk oleh angin atau arus(3,10). Nilai turbiditas yang tinggi pada batas-batas tertentu akan menghambat proses fotosintesa, namun pada Teluk Hurun kondisi turbiditas di daerah pantai belum mempengaruhi proses fotosintesa karena kandungan okasigen terlarut di daerah tersebut masih relatif tinggi.

Kualitas Air Keramba..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 1 - 7

6

Gambar 6. Penampang melintang turbiditas (ntu) pada KJA (atas) dan lepas pantai (bawah)

3.5. nutrien

Kondisi nutrien yang diamati meliputi konsentrasi fosfat dan nitrat. Konsentrasi fosfat di dekat KJA lebih tinggi dibanding di lepas pantai. Di sekitar KJA konsentrasi fosfat sekitar 5,0 ± 0.81 (4.0-6.0) µg/L sementara di lepas pantai sekitar 3,35 ± 0.14 (3.24-3.6) µg/L. Beberapa kemungkinan yang menyebabkan tingginya konsentrasi fosfat di daerah KJA/pantai, pertama kandungan fosfat di areal berasal dari pasokan fosfat darat melalui run-off sungai(3,10). Kita ketahui bahwa keberadaan unsur fosfor di daratan sangat tidak stabil, karena ia berbentuk mineral-mineral yang sangat reaktif terhadap air yang mengalir di permukaannya. Unsur ini akan mudah mengalami proses pengikisan, pelapukan dan pengenceran

KeSIMPulan

Meskipun terdapat kegiatan budidaya perikanan di perairan Teluk dan terdapat limpasan air sungai, kondisi lingkungan sekitar perairan Teluk Hurun tidak berpengaruh terhadap beberapa

Arif Dwi Santoso, 2010

karena limpasan air. Kemungkinan kedua adalah pasokan fosfat berasal dari bahan organik and anorganik dari kegiatan budidaya KJA di areal tersebut. Kemungkinan ketiga adalah pasokan fosfat dari lapisan dasar perairan Teluk Hurun. Secara alamiah zat hara fosfat terdistribusi mulai dari permukaan sampai dasar, semakin ke dasar kadarnya semakin tinggi sebagai akibat dari dasar laut yang lebih kaya kandungan nutrisinya. Pada pengamatan di Teluk Hurun, tingginya zat hara fosfat di permukaan perairan mungkin disebabkan karena mudahnya lapisan dasar teraduk oleh energi pasang surut dan gelombang di areal tersebut. Menurut Santoso 2004(2), karakteristik muara Teluk Hurun yang relatif dangkal menyebabkan badan air mudah teraduk ke lapisan atas.

Kisaran konsentrasi nitrat di sekitar KJA 5,44±1.03 (3.7-6.7) dan di lepas pantai 3,81 ± 0.53 (3.18-4.8) ug/L. Seperti halnya fosfat, konsentrasi nitrat di pantai/sekitar KJA lebih tinggi dibanding di lepas pantai. Kadar nitrat hasil pengamatan ini relatif tinggi, namun masih memenuhi persyaratan untuk budidaya biota laut. Departemen Pertanian menetapkan kadar nitrat yang diperkenankan untuk tujuan budidaya perikanan antara lain untuk ikan kakap dan kerapu berkisar antar 0,9-3,2 ug.at/l(4).

7

5. Wenno, L.F., Walman, H., dan D. Sahetapy, 1983. Penelitian Pengaruh Sirkulasi Air Terhadap Pertumbuhan Karang di Perairan Teluk Ambon. Laporan Pen. Proyek BSDL LIPI Ambon: 68-69

6. Sutarna, I.N., 1987. Keanekargaman dan Kekayaan Jenis Karang batu di Teluk Ambon Bagian Luar, P. Ambon. Buku Teluk Ambon (Biologi, Perikanan, Oseanografi dan Geologi). BSDL LIPI Ambon: 1- 9

7. Tarigan, M.S., Edward., 2004. Kualitas Air Laut di Ekosistem Terumbu Karang di Wilayah Pesisir Sulawesi Utara. Bidang Dinamika Laut Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jakarta. Prosiding SEMINAR NASIONAL PENYAKIT IKAN dan UDANG IV, 18 – 19 Mei 2004 di Departemen Kelautan dan Perikanan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 28 pp.

8. Mulyanto, 1992. Lingkungan Hidup Untuk Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: 138 pp.

9. Burd A.B. and George A. J., 2002. An Analysis of Water Column Nutrient Distributions in Florida Bay. Department of Oceanography, Texas A&M University. 41 pp.

10. Muawanah, Nilasari, Syafruddin (2003) Laporan Kualitas Air Teluk Hurun tahun 2003. Balai Budidaya Laut Lampung. 110pp.

parameter fisik-kimia dan kualitas nutrien di dalamnya. Variasi konsentrasi parameter fisik-kimia dan zat hara nitrit dan fosfat di perairan Teluk Hurun masih normal untuk kategori perairan pantai dan sangat sesuai untuk kegiatan budidaya biota perairan.

daFTaR PuSTaKa

1. Rachmansyah, Makmur dan Kamaruddin, 2004. Pendugaan Laju Sedimentasi dan Dispersi Limbah Partikel Oerganik dari Budidaya banding dalam Keramba Jaring Apung di laut. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume 10 nomer 2 hal 89-98.

2. Santoso, 2004. A Study on the Hydrography and Water Quality in the Tropical Aquaculture Field, Hurun Bay, Indonesia. Master Thesis at Graduate Scholl of Science and Engineering. Ehime University. Japan. 51pp.

3. Santoso, A.D., 2006. Kualitas Nutrien Perairan di Teluk Hurun, Lampung. Jurnal Teknologi Lingkungan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Vol.7 No. 2 hal. 140-144

4. Anonim. 1985. Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Laporan Khusus : Asisten I Menteri Negara Kepndudukan dan Lingkungan Hidup.

Kualitas Air Keramba..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 1 - 7

8

Undangan MenulisJTL, Jurnal Ilmiah Terakreditasi

terbit 3x setahun memberi kesempatanbagi Anda untuk mempublikasikan

temuan dan pemikiran yang berkaitan tentang penguasaan IPTEK

Bidang TeknologiPengembangan Sumberdaya Alam

Informasi Penda�aran dan

Penerimaan Makalah

Hubungi :

DiyonoTelp. 021 3169 755

Akreditasi:Skep Kepala LIPI No: 816/D/2009, Skep Kepala LIPI No: 1417/D/2006

Kpts Dirjen Dikti Depdiknas RI No : 34/DIKTI/Kep/2003 Alamat Redaksi: Pusat Teknologi Lingkungan Gedung BPPT II Lantai 19

Telp. 021 3169 755, Fax. 021 3169 760

ISSN 1441 - 318XJ U R N A L

TEKNOLOGI LINGKUNGAN

9

J. Hidrosfir Indonesia Vol. 5 No.1 Hal. 9 - 16 Jakarta, April 2010 ISSN 1907-1043

Survei Ekohidrologi untuk..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 9 - 16

Abstract

Ecohidrological survey is the first important step that always be conducted before development of ‘embung-embung’ in the East Nusa Tenggara Province (NTT). The study consisted of agro-ecosystem around watershed, soil and topographic, hydrologic network of watershed, climatologic aspect especially rainfall, and social as water user (included human, cattle and agriculture). Since the first project 1986, in Besipae, Southern Central of Timor District as a based camp until 2006, a number of 334 ‘embungs’ were developed in the East Nusa Tenggara Province. Due to the various of soil tipe, climate and topographic in this area, ‘embungs’ construction were distributed, i.e.: in West Timor island (236 embungs), Sumba island (25 embungs) and around Flores island (72 embungs). In this paper, ‘embung’ of Oemasi, Kupang as ‘the best embung in NTT’ was used as a case study of ‘embung model’. The Oemasi ‘embung’ that was developed in 1992, untill 2009 were still well function to deliver water for household consumption, cattle feeding and irrigation in small scale.

Key words: ecohydrology, ‘embung’, development, Oemasi, Kupang, East Nusa Tenggara Province.

SuRVeI eKOhIdROlOGI unTuK PeMBanGunan ‘eMBunG-eMBunG’ dI PROVInSI nuSa TenGGaRa TIMuR:

STudI KaSuS ‘eMBunG’ OeMaSI KuPanGWahyu Widiyono

Peneliti Puslit Biologi – LIPIJL. Raya Jakarta-Bogor, Km. 46, Cibinong

Naskah Masuk :10 Desember 2009 - Revisi Terakhir 25 Maret 2010

I. Pendahuluan

1.1. Peranan Survei ekohidrologi embung

Survei ekohidrologi merupakan tahap pertama pal ing penting yang di lakukan sebelum pelaksanaan pembangunan embung, pemanfaatan air dan pemeliharaan. Survei ekohidrologi bertujuan untuk mengetahui kondisi agroekosistem, tanah dan tataguna lahan daerah tangkapan air, topografi dan jaringan hidrologi, iklim terutama curah hujan, sosial termasuk pemukiman penduduk, masyarakat, kepemilikan ternak dan lahan pertanian. Selain itu menurut, pengelolaan sumberdaya air harus dilakukan secara bijak, karena ada kaitan erat (link) antara

permasalahan ekologi dan hidrologi(1) .Survei ekohidrologi dilakukan mengingat

pembangunan embung ialah rekayasa panen hujan dan aliran permukaan dari sebuah daerah tangkapan air (watershed) yang ditampung di dalam sebuah kolam embung (water storage) dan dimanfaatkan untuk memenuhi keperluan konsumsi rumah tangga, ternak dan pertanian (household farmer consumption). Panen hujan dan aliran permukaan ini bermanfaat pula untuk peningkatan produktivitas pertanian lahan kering, penanggulangan banjir dan kekeringan(2).

Korespondensi Penulise-mail: [email protected]

10

Disebutkan dalam ACIL(3) bahwa untuk pembangunan sebuah embung perlu diketahui: (1) luasan lahan daerah tangkapan air; (2) jenis tanah yang bersifat kedap air sehingga dapat menampung air hujan bila dipadatkan; (3) jaringan hidrologi terdiri dari anak-anak sungai di daerah tangkapan air yang memiliki inlet ke calon lokasi embung; (4) iklim terutama curah hujan yang cukup untuk mengisi embung; dan (4) perkampungan penduduk yang berjarak tidak terlalu jauh, yakni sekitar 1-3 km dari bangunan embung agar pemanfaatan air mudah dilakukan.

1.2. Pengertian embung nTT

Tidak salah bila dikatakan Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah identik dengan Provinsi ‘embung-embung’. Hal ini karena tidak kurang dari 333 ‘embung-embung’ telah dibangun oleh Pemda setempat untuk menanggulangi keterbatasan air pada musim kemarau. Ukuran dan sasaran embung-pun juga bervariasi, sehingga berdasarkan manfaatnya embung NTT dibedakan menjadi embung kecil, embung irigasi dan ‘embung besar’ (dam atau bendungan).

Tabel 1. Klasifikasi ‘embung-embung’ kecil, embung irigasi dan embung besar di Provinsi Nusa Tenggara Timur

no. Jenis embungTinggi

tanggul(m)

luas daS(km2) Sumber air Volume

(m3) Pemanfaatan

1 embung kecil < 10 < 1 Hujan dan aliran permukaan < 100.000

Air bersih masyarakat, minum ternak, pertanian skala terbatas

2 embung irigasi <15 1 – 10

Hujan, aliran permukaan, dan sungai

100.000 s/d5.000.000

Irigasi, perikanan, dan pariwisata

3embung besar, bendunganatau waduk

> 15 > 10Hujan aliran permukaan dan sungai

> 5.000.000

Multiguna sesuai kelayakan teknis dan ekonomis (irigasi, pariwisata, pembangkit listrik, dll).

Sejak tahun 1986 hingga tahun 2005, telah terbangun 334 embung kecil, 24 embung irigasi, dan beberapa bendungan (waduk) di NTT. Beberapa bendungan yang dikenal bervolume cukup besar di NTT, yaitu bendungan Tilong di Kupang - Timor, bendungan Haliwen di Belu-P Timor, bendungan Kambaniru di P Sumba Timur, dan bendungan Mbai di Flores.

Pada paper ini, pembahasan dibatasi pada ‘embung-embung’ kecil NTT. Embung kecil NTT ialah bangunan yang berfungsi menyimpan (menampung) air penghujan dalam suatu kolam (waterstorage) dan kemudian dioperasikan (dimanfaatkan) selama musim kering (kemarau) untuk berbagai kebutuhan suatu desa, yaitu penduduk, ternak, dan kebun5).

Wahyu Widiyono, 2010

Embung kecil mendapatkan air dari hujan dan aliran permukaan. embung irigasi dan ‘embung besar’ mendapatkan sumber air dari hujan, aliran permukaan dan sungai yang secara langsung maupun tidak langsung masuk ke dalam bangunan embung. Secara terperinci, berdasarkan sumber air, daerah tangkapan, dan pemanfaatannya, embung di NTT diklasifikasikan seperti pada Tabel 14).

11

1.3. Model ‘embung kecil’ nTT

Model embung kecil NTT’ pada prinsipnya terdiri dari tiga bagian utama, yaitu daerah tangkapan, kolam embung, dan area pemanfaatan air. Secara terperinci model embung kecil NTT menurut ACIL3) meliputi beberapa bagian yaitu: daerah (1) tangkapan air; (2) kolam embung; (3), saluran pelimpah; (4) tanggul embung; (5) pagar embung; (6) saluran pipa utama pemanfaatan; (7) bak air bersih untuk konsumsi rumah tangga; (8) bak pertanian skala terbatas; dan (9) bak minum ternak.

Untuk menjamin fungsi hidrologis dan keamanan bangunan, embung kecil NTT dilengkapi beberapa bagian5), sebagai berikut:a. Tubuh embung, yang berfungsi menutup

lembah atau sekungan (depresi) sehingga air tetap bertahan di udiknya;

b. Kolam embung, yang berfungsi untuk menampung air penghujan dan aliran permukaan;

c. Alat sadap atau penguras, yang berfungsi mengeluarkan air kolam bila diperlukan;

d. Jaringan distribusi berupa rangkaian pipa, yang berfungsi mengalirkan air dari kolam ke bak tendon (penampung) air di pemukiman penduduk secara gravitasi dan bertekanan, sehingga air tidak mengalir terus menerus (kontinyu);

e. Pelimpah (spillway) berfungsi mengalirkan air banjir dari kolam ke lembah untuk mengamankan tubuh embung atau dinding kolam terhadap luapan.

Model embung kecil seperti dijelaskan dalam uraian di atas dapat dijumpai pada embung Desa Oemasi, Kupang. Sebagai sebuah model, berbagai kegiatan telah dilaksanakan pada embung Oemasi, Kupang antara lain: budidaya pertanian hemat air dengan cara menanam sayuran dalam pot polibag di mana tanaman disiram dengan menggunakan air embung6); pemasangan alat penjernih air embung untuk konsumsi masyarakat oleh peneliti BPPT, tahun 1995/1996; pengembangan budidaya jagung dengan air embung pada musim kemarau untuk

menunjang ketahanan pangan oleh peneliti Puslit Biologi-LIPI, tahun 2009-1010.

1.4. Penyebaran embung Kecil di nTT

Pembangunan embung kecil di NTT, dimulai sejak kegiatan kerjasama Pemerintah Indonesia dan Australia (Nusa Tenggara Timur Integrated Area Development Project – NTT IADP), tahun 1987.

Sejak tahun 1986/1987 hingga tahun 2005 telah terbangun 334 embung kecil di NTT yang mencakup 79.870 ha daerah tangkapan air, daya tampung 8.318.152 m3, dengan target pelayanan 31. 591 KK (2955 jiwa), 105.322 ekor (sapi) dan pertanian skala terbatas seluas 1.319 ha.

Sejumlah 204 (62%) dari 334 embung kecil di NTT memiliki volume 10.000 - 30.000, sedangkan embung lain yang tersisa merupakan embung bervolume kurang dari 10.000 m3 dan lebih dari 30.000 – 100.000 m3.

1.5. Permasalahan embung nTT

Permasalahan embung meliputi daerah tangkapan (vegetasi, tataguna lahan, aliran permukaan dan erosi). Penutupan vegetasi dan keanekaragaman jenis rendah serta tataguna lahan untuk penggembalaan ternak, pertanian lahan kering, dan sawah tadah hujan. Selain itu kebakaran yang terjadi setiap tahun mengganggu pemulihan dan regenerasi tumbuhan. Laju aliran permukaan dan erosi tinggi mempercepat sedimentasi embung.

Permasalahan kolam embung (infiltrasi, evaporasi, retak dan longsoran dinding embung). Laju infiltrasi dan evaporasi tinggi mempercepat kehilangan air embung. Keretakan dan longsoran dinding embung mengurangi umur teknis embung.

Permasalahan pemanfaatan air belum optimal. Pemanfaatan air hanya terbatas untuk penyediaan air bersih, dan kurang optimal untuk pertanian dan pemeliharaan ternak

Dari hasil survei untuk evaluasi kondisi ‘embung-embung’ pada 4 (empat) Kabupaten di Pulau Timor dengan sampel sebanyak 68 embung diketahui bahwa ‘embung-embung’ mengalami kerusakan berat (10%), kerusakan sedang (40%)

Survei Ekohidrologi untuk..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 9 - 16

12

dan kerusakan ringan (40%)7). Diduga kerusakan tersebut berkaitan dengan tingkat akurasi survei ekohidrologi sebelum pelaksanaan pembangunan ‘embung-embung’. Semakin tinggi tingkat akurasi survei ekohidrologi, tingkat kerusakan semakin rendah dan resiko pemeliharaan embung semakin ringan.

1.6. Tujuan penelitian

Tujuan survei ekohodrologi ialah untuk mengetahui kondisi tanah, iklim, topografi, jaringan hidrologi, agroekosistem dan sosial kemasyarakatan sebagai dasar perencanaan pembangunan sebuah embung. Tujuan pengungkapan kembali (rekonstruksi) kondisi ekohidrologi di sekitar daerah tangkapan embung Oemasi, Kupang adalah untuk memvalidasi hasil survei yang telah dilaksanakan oleh Sub Dinas Pengairan PU Provinsi Nusa Tenggara Timur, tahun 1992 dan sebagai bahan studi untuk pembangunan ’embung-embung’ di NTT.

II. MeTOdOlOGI

2.1. lokasi penelitian

Penelitian dilaksanakan pada embung Desa Oemasi, Kupang. embung Oemasi dipilih sebagai lokasi penelitian ekohidrologi embung, karena berdasarkan pengamatan penulis pada beberapa embung dan masukan dari Dinas Kimpraswil Propinsi Nusa Tenggara Timur, embung Oemasi merupakan embung yang paling ideal dan dapat mewakili ’embung-embung’ yang ada. Penulis telah mengunjungi beberapa embung di Pulau Besar Timor (Kabupaten Kupang, Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, dan Belu), Pulau Semau, dan P Sumba, sejak tahun 1993 -2009.

2.2. Metode survei dan pemetaan

Metode survei dan pemetaan adalah sebagai berikut:1. Survei agroekosistem untuk mengetahui

tutupan vegetasi dan tataguna lahan, dilaksanakan tahun 2005/20068) dan tahun

2009;2. Pemetaan tataguna lahan, topografi dan

jaringan hidrologi berdasarkan satelit citra, dilakukan tahun 2005/20068);

3. Pemetaan topografi daerah tangkapan air embung secara manual dibuat dengan menggunakan alat theodolit, dilakukan tahun 20019);

4. Simulasi aliran permukaan berdasarkan kondisi tutupan vegetasi, curah hujan dan aliran permukaan pada masing-masing plot di setiap tipe vegetasi, dilakukan tahun 2005/20068).

III. haSIl dan PeMBahaSan

3.1. agroekosistem dan tataguna lahan

Agroekosistem di wilayah Nusa Tenggara Timur berupa ekosistem darat alami yang terdiri dari hutan monsoon (musiman), semak belukar, savana dan padang rumput; dan ekosistem darat buatan terdiri dari pertanian lahan kering permanen, lahan kering tebas bakar dan pertanian padi sawah pada musim penghujan. Hutan monsoon antara lain ditumbui oleh Casuarina junghuhniana, Zizyphus jujuba dan Psidium guajava; semak belukar didominasi oleh bambu lokal dan Chromolaena odorata; savana dan padang rumput Acacia leucophloea; lahan kering permanen ditumbuhi berbagai jenis tanaman seperti pisang, sirih dan turi; pertanian tebas bakar ditanami berbagai jenis tanaman seperti jagung dan kacang-kacangan; dan sebagia kecil wilayah ditanami padi pada musim pengpenghujan.

Dari hasil pemetaan dengan satelit citra pada Desa Oemasi, Oelomin dan Oeltua-Kupang, diketahui bahwa tutupan vegetasi dan tataguna lahan adalah sebagai berikut: 78-86% berupa campuran padang rumput dan semak belukar; 1-13% berupa kebun, 3-11% padang rumput dan 2-7,6 padang rumput. Sawah hanya sekitar 1% dan hutan sekunder bahkan kurang dari 1%. Pemukiman 1-3%. Luas genangan embung Oemasi (0,4 ha), Oelomin (0,5 ha) dan Oeltua (1 ha) 8).

Berdasarkan survei diketahui bahwa daerah

Wahyu Widiyono, 2010

13

tangkapan air embung Oemasi memiliki luas 16,8 ha. Terdapat dua anak sungai ’kecil’ utama selebar 3-5 m yang inlet-nya menuju ke embung. Jenis tanah daerah tangkapan merupakan tanah liat bobonaro (bobonaro clay) yang bersifat lengket

Gbr. 1. Agroekosistem dan tataguna lahan di sekitar daerah tangkapan air embung Desa Oemasi, Kupang, NTT

3.2. Topografi dan hidrologi

Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri dari 3 (tiga) pulau besar, yakni Pulau Besar Timor beserta P. Sabu, P. Rote dan P. Semau; Pulau Besar Sumba dan P. Besar Flores ke timur hingga P. Alor. Kondisi geologis P. Besar Flores ke timur merupakan bagian busur dalam Banda yang memiliki jenis tanah vulkanis. Pulau Besar Timor dan P. Sumba serta pulau-pulau di sekitarnya merupakan bagian dari busur luar Banda yang memiliki jenis tanah berbahan induk batu gamping, karang dan marl10). Selain itu, jenis tanah liat bobonaro (bobonaro clay) yang sesuai untuk pembangunan ‘embung-embung’ banyak tersebar di Pulau Timor.

Dari Peta Satelit Citra diketahui topografi sekitar daerah tangkapan air embung Oemasi terdiri dari dataran paling tinggi (463 – 500 m dpl.) berwarna putih dan dataran paling rendah (175-211 m dpl.) berwarna hijau tua. Jaringan hidrologi

3.3. Iklim dan prediksi aliran permukaan

Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki iklim monsoon yang ditandai oleh perbedaan antara musim penghujan dan musim kemarau yang jelas. Menurut CIDA10) dan11), pada umumnya musim kemarau berlangsung 8-9 bulan (Maret-Oktober) dan musim penghujan hanya berlangsung 3-4 bulan (November-Februari). Rata-rata temperatur maksimum harian adalah antara 290C hingga 330C,. dan minimum antara 210C hingga 240C. Kelembaban pada musim penghujan mencapai 70-84% dan kelembaban pada musim kemarau hanya 63-69%. Evaporasi pada musim kemarau mencapai 202-230 mm/bulan, sebaliknya pada musim penghujan hanya 139-168 mm/bulan.

Survei Ekohidrologi untuk..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 9 - 16

dan kedap air9). Pada Gambar 1 disampaikan, tutupan vegetasi di sekitar daerah tangkapan air embung terdiri dari komunitas pohon-pohon, semak belukar, ladang pertanian lahan kering, padang rumput savana, asosiasi semak serta padang rumput, areal pemukiman dan bangunan embung 8).

berupa anak-anak sungai dan alur-alur aliran permukaan berupa garis-grais berwarna biru8). Topografi embung dengan kemiringan lereng 2,5 - 10% dan rata-rata 3,5%. Daerah tangkapan air tertinggi 480 m dpl. dan terendah, yakni lokasi embung 458 m dpl. Jarak antara embung dan perkampungan penduduk sekitar 2-3 km9).

14

Gbr. 2. Peta topografi dan jaringan hidrologi daerah tangkapan air embung Desa Oemasi, Kupang-NTT

Curah hujan tahunan hanya 1250 mm/tahun dan pada beberapa wilayah mencapai 1400 mm/tahun. Kondisi iklim tersebut di atas menegaskan, bahwa air di wilayah NTT hanya tersedia dalam waktu relatif pendek; sedangkan air yang tersediapun akan segera menguap ke udara karena evaporasi yang relatif tinggi.

Iklim terutama data curah hujan merupakan bagian amat penting, karena berdasarkan data seri curah hujan selama 10-20 tahun terakhir akan dapat memprediksi aliran permukaan dari daerah tangkapan air, kecukupan panen hujan dan aliran permukaan untuk memasok kebutuhan cadangan

air embung.Berdasarkan pemantauan data curah hujan

harian otomatis (automatic rainfall recorder) pada embung Oemasi Kupang yang diinstal sejak tahun 1999, diketahui periode curah hujan efektif di embung Desa Oemasi berlangsung selama 5 bulan (November-April).

Berdasarkan parameter vegetasi yang terdapat pada daerah tangkapan air embung Oemasi yang meliputi vegetasi padang rumput, komunitas bambu, semak belukar Chromolaena oodorata, tegakan pohon-pohon, dan tanaman jagung diamati data aliran permukaan pada

Curah hujan dan simulasi aliran permukaan ‘embung’ oemasikupang 2005/ 2006

200180160140120100

80604020

0

27- N

ov-05

7-Dec

-05

17-D

ec-05

27-D

ec-05

6-Jan

-06

16-Ja

n-06

13-A

pr-06

26-Ja

n-06

5-Feb

-06

15-F

eb-06

25-F

eb-06

03-A

pr-06

020406080100120140160180200

mm

/ har

i

mm

/ har

iGbr. 3. Grafik curah hujan dan simulasi aliran permukaan berdasarkan komposisi vegetasi di daerah tangkapan

air embung Oemasi, Kupang-NTT tahun 2005/2006

Wahyu Widiyono, 2010

15

masing-masing plot. Dari data aliran permukaan pada masing-masing plot, dan luasan area masing-masing vegetasi yang terdapat pada luasan daerah tangkapan seluas 16,8 ha dapat disimulasikan volume aliran permukaan harian selama periode musim penghujan9).

Dari hasil simulasi, diketahui bahwa prediksi aliran permukaan total dari daerah tangkapan air embung seluas 16,8 ha ketika terjadi hujan besar dapat digambarkan seperti pada Gambar 3, dan beberapa nilai tertinggi, disampaikan pada Tabel 2. Hasil prediksi tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan pemasukan air dari daerah tangkapan air menuju ke embung Oemasi.

Tabel 2. Prediksi aliran permukaan pada saat hujan besar berdasarkan simulasi di daerah tangkapan air embung Oemasi, Kupang pada musim penghujan 2005/2006

Tanggal Hujan(mm)

Prediksi aliran permukaan (mm)

10 Des 2005 50,6 19,507 Januari 2006 59,8 23,723 Januari 2006 96 40,61 Februari 2006 54,8 21,42 Maret 2006 133 532 April 2006 95 39,711 April 2006 39,2 14,421 April 2006 43,6 15,9

3.4. Sosial dan pemanfaatan air embung

Permasalahan ‘krusial’ dalam perencanaan pembangunan embung ialah kepemilikan lahan daerah tangkapan dan lokasi pembangunan embung di satu pihak; dan areal pemanfaatan air embung di pihak lainnya. Seringkali terjadi berdasarkan survei ekohidrologi, suatu daerah sudah sesuai untuk pembangunan embung. Namun ketika embung dibangun ternyata masyarakat yang akan menggunakan air embung bukanlah pemilik lahan daerah tangkapan air. Apabila menghadapi hal-hal tersebut, biasanya dilakukan kompromi dan ‘kompensasi’ secara adat antara pemilik lahan daerah tangkapan air dan pemakai air embung.

Berdasarkan survei ekohidrologi dan perencanaan pembangunan, embung Oemasi

–Kupang yang dibangun tahun 1991/1992 memiliki luas genangan maksimum 1 ha dengan kapasitas tampung air 30.000 m3 dan ditargetkan dapat dimanfaatkan untuk melayani konsumsi penduduk 50 KK (250 jiwa), ekor ternak dan ha pertanian lahan kering12).

Embung Oemasi masih dapat dimanfaatkan dengan baik ketika masyarakat pemakai air embung berjumlah 60 KK pada tahun 20019) dan 70 KK pada tahun 2009.

KeSIMPulan dan SaRan

Dari hasil survei ekohidrologi embung Desa Oemasi, Kupang sebagai embung model di NTT, dapat disimpulkan, bahwa:1. Survei ekohidrologi merupakan tindakan

penting yang harus dilakukan secara akurat sebelum pembangunan embung, karena tanpa survei ekohidrologi yang baik tidak akan terpenuhi sebuah bangunan embung yang bagus, terisi air cukup dengan pemanfaatan air yang efektif;

2. Kondisi embung Oemasi kupang relatif bagus dengan kondisi ekohidrologis sebagai berikut: a. Jenis tanah di daerah tangkapan air

embung Oemasi, Kupang ialah tanah liat bobonaro (bobonaro clay) yang memenuhi syarat untuk pembangunan embung, yakni bersifat kedap air bila dipadatkan;

b. Daerah tangkapan air memiliki luas 16,8 ha telah cukup untuk menangkap hujan dan aliran permukaan untuk sebuah embung yang berdaya tampung relatif kecil (30.000 m3); topografi daerah tangkapan air dengan kemiringan lereng berkisar antara 2,5-10% relatif aman terhadap bahaya longsor;

c. Vegetasi daerah tangkapan air didominasi oleh savana, komunitas bambu lokal, semak belukar, beberapa pohon-pohon dan areal perladangan yang mengalami kebakaran setiap musim kemarau kurang bagus untuk mengendalikan bahaya erosi;

Survei Ekohidrologi untuk..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 9 - 16

16

d. Periode musim penghujan yang ber langsung 4 h ingga 5 bulan dengan intensitas hujan besar hanya berlangsung kurang dari 10 kali telah cukup untuk memasok cadangan air embung yang dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga, ternak dan pertanian pada musim kemarau.

e. Jarak antara embung ke perkampungan penduduk antara 2-3 km dengan beda tinggi yang cukup untuk mengalirkan air embung secara gravitasi melalui saluran perpipaan ke bak konsumsi masyarakat, ternak dan pertanian;

f. ‘Embung Oemasi, Kupang yang dibangun sejak tahun 1992 (hampir 20 tahun) masih berfungsi baik hingga saat survei dilakukan, tahun 2009.

3. Untuk pembangunan ‘embung-embung’ NTT di masa mendatang perlu dilakukan survei ekohidrologi secara konsisten agar diperoleh bangunan embung dengan kualitas dan kuantitas yang memadai.

daFTaR PuSTaKa

1. Dunbar, M.J & M.C.Acreman. 2001. Applied hydro-ecological science for the twenty-first century. Hydro-ecology: Linking Hydrology and Aquatic Ecology. (Proceeding of Workshop HW2 held at Birmingham, UK, July 1999). IAHS Publ. No. 266: 1-17.

2. Irianto, G. 2000. Panen hujan dan aliran permukaan untuk peningkatan produktivitas pertanian lahan kering, penanggulangan banjir dan kekeringan. Berita Biologi. 5(1):29-39.

3. ACIL. 1988. Dams Manual. Nusa Tenggara Timur Integrated Area Development Project. A joint Co. Project of Gov. of Indonesia and Australia. 181 p.

4. Dinas Kimpraswil Prov. NTT. 2000. Usulan Pengembangan, dan Konservasi Sumber Air di Wilayah Timor, Sumba. Dinas Permukiman dan Pengembangan Wilayah, Provinsi Nusa Tenggara Timur. 44 hlm

(Tidak dipublikasikan).5. Kasiro, I., W. Adidharma, B.S. Rusli, CL.

Nugroho & Sunarto. 1994. Pedoman kriteria desain embung kecil untuk daerah semi kering di Indonesia. Puslitbang Pengairan, PU.

6. Widiyono, W., Engk. Komarudin, A. Khusmayadi & End. Komarudin. 1994.

Budidaya tanaman sayuran dalam pot di pekarangan dan perbaikan cara bertanam di kebun petani lahan kering untuk menghemat pemanfaatan air embung-NTT. Pros. Seminar Hasil Litbang SDH, Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor. Tahun Anggaran 1993/1994 :246-253.

7. Dinas Kimpraswil Prov. NTT. 2007. Laporan Akhir (Final Report), Studi evaluasi kinerja embung kecil di lima Kabupaten se daratan Timor. CV. Hatari Gesit Mandiri. Kupang.

8. Widiyono, W. 2007. Relationship between vegetation and runoff-erosion: consequences on embung water balance in West Timor East Nusa Tenggara Province. Disertasi Bidang Biologi Konservasi, FMIPA, UI. 176 hal.

9. Widiyono, W. 2002. Konservasi embung di Nusa Tenggara Timur melalui analisis tutupan vegetasi dan sumber daya air. Tesis Magister Sains, Jurusan Biologi, F-MIPA, UI. Bag. I. 68 hal. dan Bag. II. 101 hal.

10. CIDA. 1980. Timor Island Water Resources Development Study. Canadian International Development Agency . CRIPPEN International Ltd. Canada.

11. Monk, K.A., Y. de Fretes dan G. Reksodihardjo-Lilley. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Seri Ekologi Indonesia, Buku V. Prenhallindo, Jakarta. 966 hal..

12. Dinas PU Popinsi NTT. 1990. Dokumen Perencanaan Embung Oemasi 1990/1991. Sub Dinas Pengairan, PU Propinsi NTT (Tidak dipublikasikan).

Wahyu Widiyono, 2010

17Ketersediaan Sumberdaya Air..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 17 - 25

Abstract

Cimalaka Subdistrict constitutes part of Sumedang district, West Java province. There are lots of sand quarrries in this area, in consequence, it might caused very much concern regarding environmental matters. This report aimed to indentify sand quarry sites and the possibilities of deteriorating groundwater in the vicinity of the sites. Data retrieval was based upon secondary data as well as conducting imaging resistivity measuring. And the result is that most northern part of Cimalaka subdistrict fall within short of shallow groundwater zone, whereas for moderate and deep groundwater zone categorized as limited resources. On the other side, the result of Southern part of Cimalaka subdistrict fall within short of shallow groundwater zone, whereas for deep zone categorized as scarce and limited. Imaging resisitivity measurements at points 3, 4, 11 and 12 resulted two acquifer zone levels i.e. 600~660 meter acquifer zone and more than 560 meter zone. It is suggested to excavate less than 660 meter at point 3 & 4, whereas it's prohibited to excavate more than 620 meter for point 11 & 12.

Key words : imaging resistivity, sand mining, water resources.

KeTeRSedIaan SuMBeRdaYa aIR Tanah dI KaWaSan PenaMBanGan PaSIR

dI KeCaMaTan CIMalaKaKaBuPaTen SuMedanG – JaWa BaRaT

Wahyu Garinas

Peneliti Bidang PertambanganPusat Teknologi Sumberdaya Mineral BPPT

Naskah Masuk : 2 Januari 2010 - Revisi Terakhir 25 Maret 2010

I. Pendahuluan

1.1. latar Belakang

Kabupaten Sumedang adalah salah satu dari kabupaten di propinsi Jawa Barat yang memiliki sumberdaya alam terutama bahan tambang pasir urug yang selalu menyumbang pendapatan daerah dan masyarakat sekitarnya.1). Terdapat banyak usaha pertambangan pasir yang telah dilaksanakan dan sampai sekarang masih tetap dikeluarkan izin pertambangannya.

Potensi sumberdaya alam yang menjadi salah satu andalan di bidang pertambangan saat ini adalah kegiatan eksploitasi pasir di Gunung Tampomas.1). Kegiatan ini tersebar di sebelah timur dan selatan dari Gunung Tampomas yang diusahakan baik secara mekanis maupun semi mekanis. Tersebarnya usaha tambang pasir ini tentunya akan berdampak terhadap lingkungan

J. Hidrosfir Indonesia Vol. 5 No.1 Hal.17 - 25 Jakarta, April 2010 ISSN 1907-1043

Korespondensi Penulis

18

sekitarnya. Untuk meminimalkan dampak usaha penambangan terhadap lingkungan sekitar maka perlu pengelolaan yang sesuai dalam pemanfaatannya.

Dar i pe laksanaan usaha keg ia tan penambangan ini timbul silang pendapat bahwa telah terjadi kerusakan lingkungan di sekitarnya. Pada saat ini berdasarkan wawancara dengan masyarakat sekitar tambang mereka khawatir akan terjadi penurunan air tanah atau kekurangan sumber air tanah terutama di wilayah yang lebih rendah topografinya. Selain itu masyarakat juga mengkhawatirkan terjadinya penurunan jumlah potensi air di beberapa sumber mata air seperti mata air di Cipanteuneun. Padahal mata air ini adalah sebagai sumber penyuplai air bersih daerah rekreasi di kota Sumedang.

Untuk tidak menimbulkan keraguan atas pelaksanaan kegiatan usaha penambangan maka dilakukan penelitian yang untuk mengetahui seberapa pengaruh dari kegiatan tambang terhadap ketersediaan air di sekitar lokasi penambangan. Penelitian dilakukan dengan mengidentifikasi dan menginterpretasikan hasil kegiatan imaging resistivity (geolistrik) pada tahapan awal ini didaerah kecamatan Cimalaka.

Diharapkan data ini dapat membantu para pembuat kebijakan untuk memberikan perijinan di usaha pertambangan, Selain itu juga sebagai bahan untuk dinas pertambangan dan energi Kabupaten Sumedang mendapat masukan dalam mengambil keputusan sebaik mungkin. Pada akhirnya diharapkan dapat meminimalkan terjadinya kerusakan terhadap lingkungan sekitar usaha pertambangan pasir.

1.2. Kondisi Geografi

Kabupaten Sumedang merupakan kabupaten yang terletak pada koordinat 06° 40’ - 7° 23’ Lintang Selatan dan 107° 44’ - 108° 13’ Bujur Timur 2). Adapun batas secara administratif di sebelah Utara meliputi Kabupaten Indramayu dan Subang, sebelah Selatan dengan Kabupaten Garut, sebelah Barat dengan Kabupaten Bandung dan sebelah Timur dengan Kabupaten Majalengka.

Daerah penelitian yaitu kecamatan Cimalaka

Kecamatan Cimalaka Kota Sumedang

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang.

1.3. Tujuan Penelitian.

Penelitian dilaksanakan untuk mengetahui dan mengidentifikasi daerah penambangan pasir sekitar Gunung Tampomas terutama di Kecamatan Cimalaka. Selain itu mengetahui seberapa jauh ketersediaan air tanah di daerah sekitar areal penambangan pasir dan diharapkan dapat menjadi masukan untuk usaha eksploitasi tambang pasir disekitar Kecamatan Cimalaka.

2. MeTOde PenelITIan

Pada pelaksanan kegiatan penelitian ini metode yang dilakukan antara lain:

2.1. Identifikasi dan Penentuan lokasi daerah

Penelitian

Pada tahapan ini adalah melakukan identifikasi dan verifikasi : data sekunder seperti : lokasi dan posisi, pemanfaatan, penyebaran secara regional dari data sekunder serta survei lapangan. Data laporan mengenai hasil kajian, dan informasi lainnya. Data sekunder lain yang dikompilasi adalah : peta geologi, hidrologi

Wahyu Garinas, 2010

terletak di dekat pusat kota Sumedang dan kecamatan ini merupakan salah satu tempat penambangan pasir gunung yang cukup luas selain kecamatan Paseh dan Conggeang.

19

dan peta lainnya skala 1 : 25.000. Pada tahap akhir melakukan proses penentuan lokasi untuk mengambil data data geolistrik.

2.2. Pengambilan data Survei Geolistrik ( Imag ing Res is t iv i t y ) d i lokas i Penambangan Pasir.

Kegiatan pengambilan data meliputi : kelapangan dengan melakukan pekerjaan survei geolistrik. Peninjauan langsung di lapangan adalah untuk mengetahui kondisi lokal dan melaksanakan penelitian air bawah tanah di areal aktifitas penambangan dengan melakukan imaging resistivity (geolistrik).

Pekerjaan akan dilakukan diareal aktifitas penambangan yang diperkirakan merusak kondisi sumberdaya air tanah. Berdasarkan data sekunder yang ada dan pelaksanan survei ke lapangan maka untuk penelitian ini direncanakan pada beberapa titik lokasi tersebar di daerah kecamatan Cimalaka.

Luas areal penambangan pasir di kecamatan Cimalaka kedepan akan terus bertambah seiiring dengan meningkatnya kebutuhan pasir. Oleh karenanya diareal penambangan perlu dilakukan penelitian air tanah agar kondisi dan ketersediaan air tanah pada areal tambang tidak mengalami kerusakan total. Lokasi salah satu usaha pertambangan di Kecamatan Cimalaka seperti pada gambar berikut.

HUTAN LINDUNG

Gambar 2.Lokasi KegiatanPenambangan Pasir Gunung di Kecamatan Cimalaka,

2.3. Pengambilan data Tahanan Jenis

Aliran konduksi arus listrik di dalam batuan/mineral digolongkan atas tiga macam yaitu konduksi dielektrik, konduksi elektrolit dan konduksi elektronik.3). Konduksi dielektrik terjadi jika batuan/mineral bersifat dielektrik terhadap aliran arus terhadap muatan listrik (terjadi polarisasi muatan saat bahan dialiri listrik). Konduksi elektrolit terjadi jika batuan/mineral bersifat porous dan pori-pori tersebut terisi cairan elektrolitik, pada kondisi ini arus listrik dibawah oleh ion-ion elektrolit. Konduksi elektronik terjadi jika batuan/mineral mempunyai banyak elektron bebas sehingga arus listrik dialirkan dalam batuan/mineral oleh elektron bebas.

Berdasarkan harga resistivitasnya, batuan digolongkan dalam tiga kategori yaitu 4). :

- konduktor baik : 10-6<ρ<1 Ohm-meter- konduktor buruk : 1<ρ<107 Ohm-meter- isolator : ρ >107 Ohm-meter

Metode resistivitas didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian dari arus listrik yang diberikan pada lapisan tanah, ternetrasi pada kedalaman tertentu dan bertambah besar dengan bertambahnya jarak antar elektroda, sehingga jika spasi elektroda diperbesar, distribusi potensial pada permukaan bumi akan semakin membesar dengan nilai resistivitas yang bervariasi. Sebagaimana disajikan dalam gambar berikut : 3).

Garis medan potensialGaris aliran arus

Gambar 3. Aliran Arus dan Penyebaran Medan Potensial.

Ketersediaan Sumberdaya Air..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 17 - 25

20

Perlakuan matematis terhadap distribusi potensial ini dapat dilakukan atas dasar anggapan bahwa :

a. Bumi berlapis secara horisontal.b. Tiap lapis bersifat homogen isotropis.c. Pemisahan lapisan yang satu dengan yang

lain merupakan bidang batas antara dua resistivitas yang berbeda atau ada kontras resisitivitas.

Adanya cairan atau air dalam sistem rekahan atau ruang antar butir batuan dapat menurunkan nilai resistivitas batuan. Jenis batuan beku, ubahan (metamorf), atau batuan sedimen umumnya memiliki nilai resistivitas tinggi, sebaliknya, jenis batuan lepas seperti pasir, kerikil, apabila jenuh air tawar akan memiliki nilai resistivitas sedang4). Resistivitas itu akan lebih rendah lagi apabila terdapat air payau atau asin di dalamnya.

Pengambilan data tahanan jenis di lapangan meliputi penentuan posisi titik pengukuran dan nilai tahanan jenis. Hasil pengukuran dapat di plot dan dikoreksi di peta serta siap untuk dilakukan analisis dan interpretasi lebih lanjut. Untuk posisi lokasi titik pengukuran tahanan jenis dan ketinggian ditentukan dengan menggunakan alat GPS (Global Positioning System) .

Konfigurasi elektroda yang dipakai pada pengambilan data tahanan jenis 2 D adalah konfigurasi Wenner, dimana susunan elektrodanya mempunyai spasi yang konstan (n ke a), yang dapat divisualisasikan pada gambar berikut :

Gambar 4. Visualisasi Pengambilan Data Tahanan Jenis Konfigurasi Wenner.

dimana K adalah faktor geometri, I adalah besarnya arus listrik yang diinjeksikan ke dalam bumi, V adalah beda potensial yang terukur, a adalah spasi antara C1–P1, P1– P2 dan P2 – C2. Data yang diperoleh dari pengukuran lapangan adalah data posisi setiap elektroda (x,y,z) dan data V (potensial) serta I (kuat arus).

III. haSIl dan PeMBahaSan

3.1. hasil Identifikasi daerah Penelitian

3.1.1. daerah aliran Sungai.

Jumlah sungai di daerah penambangan tidak dilewati oleh sungai besar dan hanya dilewati oleh sungai-sungai kecil. Pemanfaatan air sungai –sungai kecil hanya digunakan oleh mayarakat sekitar jalan menuju daerah pertambangan untuk kebutuhan sehari-harinya ataupun kebutuhan air untuk para pelaku kegiatan penambangan itu sendiri. Jaringan sungai ini termasuk kategori kecil yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk keperluan sehari-hari mengingat letak daerah ini berada diperbukitan.

3.1.2. Jenis akifer di daerah Penelitian.

Hasil identifikasi data geologi daerah Kecamatan Cimalaka terdapat beberapa sistem hidrologi diantaranya :

1. Akifer Endapan Gunung Api: Akifer ini terdiri dari litologi tuff berbatuapung, breksi volkanik dimana air tanah mengalir melaui media pori. Lapisan akifer ini merupakan akifer bebas, karena tidak ada lapisan batuan pengekang di bawah atau di atasnya Mata air di daerah penelitian umumnya keluar dari akifer ini. Akifer ini merupakan lapisan akifer dangkal (5).

2. Akifer Endapan Sedimen : merupakan akifer yang terdiri dari batupasir berlapis dan berselingan dengan batu lempung.

Wahyu Garinas, 2010

21

Akifer ini merupakan akifer tertekan dimana air yang mengalir pada lapisan batupasir dikekang oleh batu lempung yang bertindak sebagai akifer di atas dan dibawahnya. Akifer ini merupakan lapisan akifer dalam.(5).

3.1.3. Sumberdaya air

a. air permukaan

Air permukaan di wilayah penelitian di daerah penambangan di Kecamatan Cimalaka berupa anak sungai yang kecil yang berfungsi mengumpulkan air hujan ke daerah aliran sungai. Selain itu merupakan aliran dari air yang muncul dari perbukitan yang di atasnya.

Untuk kebutuhan air yang diperlukan penduduk terdapat beberapa sumur yang kedalamannya > 5 meter atau air didapat dari mata air yang muncul dan ditampung di kolam kecil (gambar 5).

Gambar.5.Kolam Tempat Penampungan Air Penduduk.

b. air Tanah(2)

Dari data hidrogeologi maka potensi air tanah pada suatu wilayah ditentukan oleh keberadaan cekungan air tanah(2). Kecamatan Cimalaka berdasarkan data hidrologi maka termasuk kedalam wilayah cekungan air tanah Sumantri. Wilayah cekungan Sukamantri meliputi wilayah kaki bukit Gunung Tampomas, dengan batas sebelah Utara daerah Sukaratu, sebelah Selatan Mandalaherang,

sebelah Timur daerah Narimbang. Cekungan air tanah ini diperkirakan memiliki jumlah aliran air tanah bebas sebesar 98 juta m3/tahun dan jumlah aliran air tanah tertekan sebesar 13 juta m3/tahun. Daerah penelitian selatan kaki Gunung Tampomas termasuk ke dalam cakupan cekungan air tanah Sukamantri.(2)

no luas area / Jumlah IuP Keterangan

1. 24,722 / 8 buah Lokasi dikec.Cimalaka

2. 3,423 / 5 buah Lokasi dikec.Cimalaka

3. 15,900 hektar /7 buah Lokasi dikec.Cimalaka

4. 2,800 hektar/ 3 buah Lokasi dikec.Cimalaka

5. 3,70 hektar / 3 buah Lokasi dikec.Cimalaka

6. 2,00 hektar / 1 buah Lokasi dikec.Cimalaka

7. 11,21 hektar / 5 buah Lokasi dikec.CimalakaLuas = 48.536 ha

Tabel 1. Data Izin Usaha Pertambangan di Kecamatan Cimalaka sampai tahun 2006*).

*).Dinas Pertambangan dan energi Kab.Sumedang.

Berdasarkan data dari peta indikasi potensi air tanah di Kecamatan Cimalaka di sebelah Utara ke arah Gunung Tampomas merupakan daerah potensi air yang langka untuk kedalaman dangkal. Sedangkan untuk kedalaman sedang dan dalam potensi air tanah termasuk kedalam kategori langka terbatas dan setempat. Adapun kapasitas air termasuk kedalam kategori kritis air untuk semua kedalaman dangkal, sedang dan dalam. Maksud dari setempat dan terbatas adalah penyebaran aquifer tidak menerus seperti terdapat berupa lensa-lensa atau terpotong oleh terpotong oleh struktur geologi lainnya.

Sedangkan untuk daerah selatan Kecamatan Cimalaka merupakan daerah potensi air yang langka untuk kedalaman dangkal. Untuk kedalaman sedang dan dalam potensi airnya termasuk kedalam kategori yang langka dan terbatas dengan kapasitas sekitar < 2.5 l/d/km2.

Maksud langka disini keberadaan air sangat

Ketersediaan Sumberdaya Air..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 17 - 25

22

terbatas dan tanah lapisan tanah atas termasuk tipis serta tergantung kepada musim dan vegetasi yang ada serta topografi setempat.

3.2. Pengamatan di lokasi daerah Penambangan Pasir Gunung

Kegiatan penambangan pasir di lokasi penelitian telah diusahakan cukup lama. Eksploitasi pasir gunung tersebar dan menggunakan areal yang akan semakin bertambah luas.

Gambar 6. Areal penambangan pasir gunung yang masih dieksploitasi.

Kegiatan penambangan ini akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Pada gambar 6 terlihat bahwa terdapat areal yang terbuka luas akibat penambangan pasir. Cukup banyak pendapat yang menghawatirkan kondisi lingkungan sekitar tambang terutama terhadap potensi air tanahnya. Seperti diketahui daerah perbukitan Gunung Tampomas atau di sekitar daerah Kecamatan Cimalaka merupakan salah satu dari daerah sumber cadangan air tanah. Di bagian dataran rendah (hilir) dari Kecamatan Cimalaka terdapat mata air Cipanteuneun yang merupakan sumber air bersih untuk Kabupaten Sumedang.

Kegiatan penambangan di sekitar gunung Tampomas ini perlu dipantau dan dilakukan penel i t ian apakah berdampak terhadap ketersediaan air tanahnya. Diharapkan pada

akhirnya dapat diketahui bagaimana potensi air di kawasan usaha pertambangan pasir ini.

Berdasarkan data Izin Usaha Pertambangan (IUP) bahan galian di kabupaten Sumedang dari tahun 2001 – 2006 terdapat 32 izin dengan luasan areal IUP dikecamatan Cimalaka sekitar 48.536 hektar (1*).

Mengingat semakin meningkatnya kebutuhan dan permintaan bahan galian pasir gunung maka diperlukan antisipasi dampak akibat kegiatan penambangan tersebut. Salah satu upaya untuk itu adalah dengan melakukan penelitian kondisi air tanah di daerah eksploitasi penambangan. Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk menjawab isu kerusakan lingkungan terutama masalah kekurangan air dan kekeringan di sekitar gunung Tampomas.

3.3. hasil uji Geolistrik (Imaging Resistivity) di Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang(6)

Penelitian geolistrik yang dilakukan di kawasan penambangan pasir gunung ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi muka air tanah di sekitar lokasi penambangan. Pada lokasi ini dilakukan pengambilan data geolistrik 2 dimensi dengan 4 titik pada titik 3 – 4 – 11 – 12. Lokasi pengambilan data berada pada daerah dengan ketinggian yang berbeda. Lokasi daerah penelitian di areal tambang pasir seperti gambar berikut ini.

Gambar 7. Lokasi pengambilan data geolistrik pada titik 3,4,11 dan 12.

Wahyu Garinas, 2010

23

Pada pengukuran di lokasi titik 3,4,11 dan 12 dari hasil pengukuran dapat diintepretasikan seperti berikut :

Pada lokasi penelitian titik 3 : lokasi potensial air tanah diperkirakan berada pada ketinggian 660 meter. Sedangkan pada ketinggian 660 – 720 meter diinterpretasikan sebagai lapisan penutup, seperti pada gambar 8.

Gambar 8. Lokasi penelitian titik 3.

Hasil pengukuran pada titik 4 diperkirakan lapisan pembawa aquifer berada di ketinggian sekitar 580 - 620 meter dan lapisan atas merupakan endapan penutup. (Gambar 9). Di lokasi penelitian terdapat usaha penambangan pasir gunung yang masih aktif .

Gambar 9. Lokasi penelitian titik 4.

Hasil pengukuran pada titik 12 diperkirakan lapisan pembawa air pada ketinggian 580 - 600 meter. Sedangkan di atasnya merupakan lapisan penutupnya tidak terlalu tebal. Pada ketinggian 500 – 560 diperkirakan juga lapisan pembawa air yang cukup besar. Gambar 10 berikut ini.

Gambar 10. Lokasi penelitian titik 12.

Hasil pengukuran pada titik 11, diperkirakan lapisan pembawa air tidak terlihat dan hanya sedikit pada ketinggian 480 – 500 meter. Adapun lapisan di atasnya merupakan lapisan penutup yang padat. Hasil penelitian seperti pada gambar 11 berikut.

Gambar 11. Lokasi penelitian titik 11.

Dari hasil interpretasi hasil pengukuran pada 4 titik lokasi tersebut maka kondisi air bawah tanah di daerah penelitian dapat digambarkan bahwa seperti berikut :

Lokasi Tambang

Gambar 12. Interpretasi penampang aquifer titik 3,4,12 dan 11.(6)

Hasil interpretasi dan kompilasi data titik 3-4-12-11 (gambar 12) diperkirakan terdapat lapisan pembawa air/aquifer atas (aquifer C) yang terhubungkan dari titik 3, 4 dan sampai titik 11. Lapisan ini diperkirakan sebagai salah satu lapisan sumber air untuk mata air Cipanteuneun (sumber air di kota).

Daerah potensial sebagai sumber air /aquifer diperkirakan terdapat dibawah lokasi penelitian ini yaitu terdapatnya dua lapisan pembawa air aquifer C dan D. Lapisan ini tentunya harus dijaga karena sebagai sumber air untuk mata air di bawah lokasi

Ketersediaan Sumberdaya Air..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 17 - 25

24

ini. Dengan kondisi di lapangan yang tidak hijau lagi dan adanya usaha penambangan pasir maka perlu upaya pelestarian lingkungan agar lapisan ini tidak rusak. Usaha kegiatan penambangan di titik 3 terdapat pada level 720 meter sedangkan pada titik 4 – 12 penambangan berada di level 630 - 680 meter. Untuk penambangan pada titik 3 ini tentunya kegiatan harus diawasi agar tidak sampai pada level 660 m dimana pada level ini adalah lokasi terdapat lapisan aquifer C. Demikian pula pada titik 4 dimana kegiatan penambangan tidak boleh sampai pada level 620 meter karena batas lapisan aquifer C pada level ini. Untuk titik 12 dan 11 pada level atasnya yaitu di level 600 meter diperkirakan berada pada satu lapisan aquifer C.

Dari data tit ik 3,4,12 dan 11 juga di interpretasikan bahwa dibawah lapisan aquifer C terdapat juga lapisan lain dibawahnya yaitu aquifer D. Jadi didaerah penelitian ini dapat diperkirakan terdapat 2 (dua) lapisan aquifer potensial.

Pada titik 3 dan 4 penambangan tidak boleh menyentuh level 660 meter sedangkan titik 4 dan 12 tidak boleh sampai level 620 meter. Untuk menjaga lapisan atas setiap level batas dari aquifer maka perlu menjaga vegetasi pada level diatasnya melaui usaha reklamasi atau pembatasan kegiatan penambangan. Oleh karenanya usaha eksploitasi di daerah Cimalaka akan merusak potensi aquifer C dan D yang ada dibawahnya apabila pemerintah daerah tidak dapat mengatur usaha pertambangan pasir secara bijaksana.

Untuk menjaga keberadaan dari aquifer ini kedepan maka kegiatan penambangan harus diawasi ketat dengan melalui peraturan pembatasan yang jelas. Kemungkinan lain membuat zona aman penambangan (zonasi berdasarkan faktor geologi, bencana dan lainnya) sehingga eksploitasinya akan mengacu kepada keselamatan l ingkungan daerah tambang. Selain itu pemda harus melakukan pembatasan daerah eksploitasi penambangan dan melakukan selalu upaya reklamasi didaerah bekas tambang.

IV. KeSIMPulan

Dari pelaksanaan kegiatan penelitian yang telah dilakukan di daerah Kecamatan Cimalaka maka didapatkan beberapa kesimpulan untuk bahan tindak lanjut, seperti berikut :

1. Berdasarkan pengamatan dari data geologi untuk daerah Kecamatan Cimalaka termasuk ke dalam sistem cekungan Sukamantri. Data dari peta indikasi potensi air tanah ternyata daerah penelitian sebelah utara Cimalaka termasuk ke dalam daerah potensi air yang langka untuk kedalaman dangkal. Pada kedalaman sedang dan dalam potensi air tanah termasuk kedalam kategori langka terbatas dan setempat. Maksud dari setempat dan terbatas diartikan bahwa penyebaran aquifer tidak menerus seperti terdapat berupa lensa-lensa atau terpotong oleh terpotong oleh struktur geologi lainnya.

Untuk daerah Selatan Kecamatan Cimalaka merupakan daerah potensi air yang langka untuk kedalaman dangkal. Sedangkan untuk kedalaman sedang dan dalam potensi airnya termasuk kedalam kategori yang langka dan terbatas dengan kapasitas sekitar < 2.5 l/d/km2.

2. Berdasarkan hasil interpretasi dari pengukuran geolistrik pada lokasi titik 3,4,11,12 diperkirakan di daerah lokasi penambangan di Cimalaka terdapat 2 (dua) lapisan aquifer yaitu aquifer C dan D. Adanya kegiatan penambangan di lokasi titik 3,4 dan 12 perlu dilakukan pengaturan pelaksanaannya. Mengingat di lokasi ini terdapat lapisan air tanah /aquifer yang nantinya berpotensi akan terganggu dengan adanya aktifitas penambangnan. Untuk jangka panjang keberadaan aquifer perlu dijaga dengan adanya peraturan atau pengawasan yang berwawasan lingkungan.

3. Hasil dari analisis dan interpretasi maka kegiatan usaha eksploitasi tambang pasir di Cimalaka agar tidak mengganggu keberadaan air tanah disarankan pada

Wahyu Garinas, 2010

25

level 700 meter pada titik 3 , untuk titik 4 dan 12 disarankan tidak melebihi level 630 meter. Diharapkan dengan pembatasan ini keberadaan air lapisan air tanah tidak akan terganggu keberadaannya.

daFTaR PuSTaKa

1. ........,2006, laporan izin usaha pertambangan (IUP) bahan galian pasir di kabupaten Sumedang, Dinas Pertambangan dan energi.

2. Bappeda Sumedang, 2002, ”RTRW tahun 2002 – 2012” , Bappeda Kabupaten Sumedang , Sumedang.

3. Model Praktikum GL-645, 1996, Praktikum Pengukuran Geofisika, Lab.Fisika Bumi, Jurusan Fisika, ITB.

4. Tim Geologi Lingkungan, 2008, ”Laporan evaluasi cekungan air tanah di Kabupaten Bondowoso” PTLMB,“ BPPT, 2008, hal. V-67.

5. Departemen PU Dirjen Cipta Karya, 2003, ”Peta Indikasi Potensi Air Tanah dan Irigasi”.

6. Tim PTSM-BPPT, 2006,”Pemetaan Wilayah Penambangan Daerah Gunung Tampomas Selatan Kabupaten Sumedang”, BPPT, Jakarta, hal. III – 19.

Ketersediaan Sumberdaya Air..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 17 - 25

26

Undangan MenulisJRL, Jurnal Ilmiah Terakreditasi

terbit 3x setahun memberi kesempatanbagi Anda untuk mempublikasikan

temuan dan pemikiran yang berkaitan tentang penguasaan IPTEK

Bidang TeknologiPengembangan Sumberdaya Alam

Informasi Penda�aran dan

Penerimaan Makalah

Hubungi :

RositaTelp. 021 3169 755

JURNAL

REKAYASA LINGKUNGANJournal of Environmental EngineeringNama Baru dari Majalah Teknologi Lingkungan ISSN : 0216-7735

Akreditasi:Skep Kepala LIPI No: 1417/D/2008, Kpts Dirjen Dikti Depdiknas RI No : 34/DIKTI/Kep/2003

Alamat Redaksi: Pusat Teknologi LingkunganGedung BPPT II Lantai 19, Telp. 021 3169 755, Fax. 021 3169 760

27

J. Hidrosfir Indonesia Vol. 5 No.1 Hal. 27 - 32 Jakarta, April 2010 ISSN 1907-1043

Abstract

Phytoplankton and zooplankton has contiguity of ecological relationship that is predator ( grazing), here in after zooplankton consumed by higher level consumer like young larva and animal from various organisms including mangrove crab ( Scylla sp). Purpose of this research is to see relationship between abundances and composition of main zooplankton type of Copepoda sp and crab larva in location of research. This research divided into 5 station and executed in stream mamburungan Tarakan island at one of mangrove ecosystem . Research activity is executed in September- Oktober 2009. Sampling is done when morning and night with sampling frequency each week. plankton observation is done in Fisheries and Marine Faculty of Borneo University. Relatioship Between Copepoda sp and crab larva is determined with calculating its by using simple linear regression. Abundance of Copepoda ranges from 500.10-7 Ind/l to 1000 . 10-7 Ind/l, while abundance of Larva crab ranges from 2.10-7 Ind/l to 367.10-7 Ind/l. correlation value of Abundance of copepoda and crab larva is r = 0,38, the correlation value indicates that relation between abundance of Copepoda and low crab in station of observation.

Key word : Copepoda, Larva crab, abundance, correlationI

huBunGan anTaRa POPulaSI COPEPODO sp denGan KePITInG BaKau ( SCYLLA sp)

dI SunGaI MaMBuRunGan TaRaKan

Azis

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universita Borneo Tarakan

Naskah Masuk : 10 November 2009 - Revisi Terakhir : 18 Maret 2010

I. Pendahuluan 1.1. latar Belakang

Kawasan pesisir merupakan daerah pencampuran antara rezim darat dan laut, serta membentuk suatu keseimbangan yang dinamis dari masing-masing komponen. Interaksi antara hutan mangrove dengan lingkungannya, di perairan pesisir mampu menciptakan kondisi lingkungan yang sangat cocok bagi berlangsungnya proses biologi dari berbagai macam jenis organisme akuatik. Kawasan pesisir yang memiliki ekosistem mangrove yang baik, biasanya memiliki produktivitas yang sangat

tinggi. Disamping itu, secara ekologis ketiga ekosistem tersebut mampu berperan sebagai penyeimbang stabilitas kawasan pesisir, baik akibat pengaruh darat maupun dari laut. Perairan di sekitar hutan mangrove memiliki peranan dan memegang kunci dalam perputaran nutrien, sehingga eksistensinya dapat berperan dalam menopang dan memberikan tempat kehidupan biota laut apabila lingkungannya relatif stabil, kondusif dan tidak terlalu berfluktuatif.

Fitoplankton memegang peranan yang

Korespondensi [email protected]

Relationship Between Zooplankton..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 27 - 32

28 Azis, 2010

sangat penting dalam suatu perairan. Fungsi ekologisnya sebagai produser primer dan awal mata rantai dalam jaringan makanan menyebabkan fitoplankton sering dijadikan skala ukuran kesuburan suatu ekosistim. Berdasarkan struktur tropik level , pada kebanyakan ekosistim fitoplankton terutama dikomsumsi oleh zooplankton disamping larva hewan tingkat tinggi lainnya. Fitoplankton dan zooplankton memiliki kedekatan hubungan ekologis yaitu pemangsaan (grazing), selanjutnya zooplankton dikomsumsi oleh konsumner yang lebih tinggi seperti larva dan hewan muda dari berbagai organisme termasuk kepiting bakau (Scylla spp).

Zooplankton merupakan plankton hewani yang menjadi konsumen utama fitoplankton (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Selanjutnya dinyatakan meskipun jumlah, jenis, dan kepadatannya lebih rendah dari fitoplankton, zooplankton membentuk kelompok yang lebih beranekaragam. Setidak-tidaknya ada sembilan filum yang mewakili kelompok zooplankton ini dan ukurannya sangat beragam, dari yang sangat kecil atau renik sampai yang garis tengahnya lebih dari 1 mikron.

Salah satu dari zooplankton yang merupakan pemangsa utama fitoplankton adalah Copepoda sp yang tergolong dalam kelas Crustacea Sub klas Copepoda. Zooplankton jenis ini seringkali dijumpai mendominasi dan banyak memangsa diatom dibandingkan dengan zooplankton jenis lainnya (1). Hal ini disebabkan karena Copepoda sp memiliki kemampuan memecahkan dinding sel diatom yang kerangkanya dari silikat. Oleh karena itu Copepoda sp memiliki peranan penting sebagai salah satu rantai penghubung antara fitoplankton dengan konsumer atau tropil level yang lebih tinggi. Salah satu pemangsa Copepoda sp dan crustacea pada umumnya yang bernilai ekonomis penting adalah stadia megalopa kepiting bakau (2).

Sehubungan hal diatas, keberadaan mangrove di wilayah perairan Mamburungan sebagai penyedia nutrient bagi plankton dan sebagai lokasi restoking megalopa kepiting bakau dapat dipertahankan, maka sangat perlu diketahui kelimpahan zooplankton dari jenis Copepoda sp di lokasi tersebut. Hal ini sangat

erat kaitannya dengan penentuan jumlah larva yang tersedia berdasarkan jumah zooplankton yang diharapkan mendukung kelangsungan hidupnya, sehingga penangkapan kepiting bakau tidak melebihi produksi kepiting secara alami. Oleh karena itu sebelum melakukan penangkapan kepiting perlu adanya suatu penelitian yang mengkaji seberapa besar kelimpahan zooplankton diperairan tersebut dan bagaimana perubahannya dari waktu ke waktu.

1.2. Kerangka Pemikiran

Pulau Tarakan dikenal sebagai salah satu daerah panghasil kepiting bakau (Scylla serrata) di Wilayah Utara Kalimantan Timur. Produksi kepiting bakau yang dipasarkan oleh Nelayan berasal dari usaha penangkapan dengan memburu kepiting bakau pada habitat alaminya. Kegiatan ini jika terus menerus dilakukan, dapat mengakibatkan penurunan jumlah populasi kepiting bakau dan habitat hidup kepiting bakau dan biota lain.

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang khas dan berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya. Mangrove tumbuh di pesisir tropika seperti pantai yang terlindung dan muara-muara sungai. Ekosistem ini dipengaruhi oleh air laut maupun air tawar. Sebagai suatu ekosistem pesisir, hutan mangrove mempunyai banyak fungsi, yaitu fungsi fisik, biologi dan ekonomi. Salah satu fungsi biologi adalah merupakan tempat hidup berbagai jenis fauna darat dan laut diantaranya adalah kepiting bakau. Kepiting bakau merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting di seluruh kawasan Indo-Pasifik.

Kawasan hutan mangrove Kelurahan Mamburungan, Kecamatan Tarakan Timur adalah salah satu daerah penghasil kepiting yang potensial diantaranya adalah jenis Scylla spp. Kepiting ini cukup dikenal dan digemari sebagai makanan laut dengan harga di pasaran lokal sekitar Rp 40.000 – 80.000 / Kg. Produksi kepiting masih mengandalkan penangkapan di alam dengan peralatan yang sangat sederhana, berlangsung setiap hari dan belum ada upaya untuk membudidayakannya. Dalam upaya pengelolaan dan perlindungan sumberdaya

29

kepiting, sebagai salah satu komoditas perikanan yang bernilai ekonomis untuk pengembangan usaha alternatif, maka perlu dilakukan penelitian tentang kelimpahan pakan alami dan larva kepiting bakau, agar langkah preventif untuk tetap menjaga kelestarian benih kepiting di alam tetap terjaga.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keterkaitan antara kelimpahan dan komposisi jenis zooplankton utamanya Copepoda sp dan larva kepiting di lokasi penelitian.

1.4. Manfaat Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi awal mengenai hubungan kuantitatif antara plankton dan larva kepit ing dan dinamikanya.

II. MeTOdOlOGI

2.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Mamburungan Pulau Tarakan pada salah satu ekosistem mangrove. Letak stasiun pengambilan sampel terletak di daerah sungai Kelurahan Mamburungan, masing-masing lokasi tersebar pada lima titik yaitu Stasiun A di sungai sekitar 200 meter dari laut, Stasiun B di sungai sekitar 100 meter dari laut , Stasiun C di laut kearah sisi sebelah kanan sungai , stasiun D di laut tepat didepan muara sungai dan Stasiun E di laut kearah sisi sebelah kiri sungai. Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan September- Oktober 2009. Pengambilan sampel dilakukan pada waktu pagi dan malam hari dengan frekuensi pengambilan sampel setiap minggu. Pengukuran parameter lingkungan meliputi suhu, salinitas dan derajat keasaman (pH) air dan konsentrasi oksigen terlarut (DO). Pengukuran suhu, salinitas, pH, dan DO dilakukan secara in situ sebelum pengambilan sampel air dengan plankton net pada setiap stasiun

, sedangkan pengamatan plankton dilakukan di Laboratorium Dasar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo.

2.2. alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain planktonet, ember, perahu, botol sampel, mikroskop,waterchecker, kamera, alat tulis menulis, formalin dan plankton.

2.3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode eksploratif yaitu pengamatan langsung kondisi di lapangan serta survey skala terbatas. Pengumpulan data meliputi data utama dan data penunjang. Data utama adalah parameter biologi perairan yaitu plankton sebagai objek penelitian. Air sampel di saring sebanyak 100 liter dengan menggunakan planktonet dan ditampung dengan botol sampel volume 10 ml, kemudian ditetesi formalin 4% sebanyak 3 tetes sebagai bahan pengawet. Selanjutnya jenis-jenis plankton yang ditemukan di amati dibawah mikroskop electron pembesaran 40x dan diidentifikasi menggunakan pedoman (3).

2.4. analisa data

Perh i tungan ke l impahan p lank ton menggunakan rumus “Counting Cell” modifikasi (APHA,1989). Hubungan antara Copepoda sp dan larva kepiting ditentukan dengan menghitung korelasinya dengan menggunakan regresi linear sederhana.

III. haSIl dan PeMBahaSan

3.1. Kelimpahan Copepoda dan larva Kepiting

Hasil pengamatan kelimpahan Copepoda dan larva kepiting pada 5 stasiun di sungai Mamburungan, tertera pada Tabel 1.

Relationship Between Zooplankton..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 27 - 32

30

kondisi lingkungan dan faktor pemangsa yang mengontrol kelimpahan populasinya. Dengan demikian maka distribusi kelimpahan populasi akan mengalami perubahan yang menyolok berdasarkan waktu dibandingkan dengan stasiun pengamatan.

Kelimpahan populasi Copepoda dan larva kepiting berdasarkan letak stasiun pengambilan sampel, menunjukkan bahwa letak stasiun A dan B yang dekat dengan pemukiman penduduk, menyebabkan populasi Copepoda dan larva kepiting lebih sedikit jika dibandingkan stasiun D dan E yang terletak di depan muara sungai dan di laut sebelah kiri sungai yang kondisinya agak jauh dari pemukiman dan banyak ditumbuhi pohon mangrove.

Sedangkan kelimpahan populasi copepoda dan larva kepiting berdasarkan waktu pengambilan sampel, menunjukkan bahwa kedua organisme ini, memiliki pola sebaran vertical. Metode pengambilan sampel melalui penyaringan air permukaan sungai, memperlihatkan bahwa pada pagi hari kelimpahan Copepoda tertinggi adalah sebanyak 830 .10-7 Ind/l, sedangkan pada malam hari sebanyak 1000 .10-7 Ind/l. Sedangkan kelimpahan larva kepiting pada pagi hari sebesar 3.10-7 Ind/l dan pengambilan sampel pada malam hari diperoleh 3.10-7 Ind/l. Fenomena ini menunjukkan bahwa baik Copepoda maupun larva kepiting, bergerak kepermukaan pada malam hari dan pada siang hari berada pada dasar perairan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Nontji (4), yang menyatakan bahwa zooplankton umumnya mempunyai kemampuan bergerak atau berenang meskipun terbatas. Zooplankton seperti Copepoda dan eufausid diperlengkapi dengan umbai-umbai yang digunakan sebagai kaki renang. Dengan kemampuan itu mereka dapat melakukan gerakan migrasi vertical.

3.2. hubungan antara Copepoda dan larva Kepiting

K e l i m p a h a n C o p e p o d a d i s u n g a i Mamburungan yang diperoleh selama 8 minggu pengamatan, menunjukkan kelimpahan copepoda yang bervariasi. Kelimpahan tertinggi diperoleh

Azis, 2010

Kelimpahan Copepoda selama penelitian pada pengamatan pagi hari, berkisar antara 500.10-7 Ind/l sampai 830 .10-7 Ind/l, sedangkan pada pengamatan malam hari berkisar antara 800 .10-7 Ind/l sampai 1000 .10-7 Ind/l. Kelimpahan total Copepoda terendah pada pagi hari didapatkan di Stasiun A dan C, sedangkan kelimpahan Copepoda rata-rata tertinggi pada pengamatan malam didapatkan di Stasiun E.

Kelimpahan Larva kepiting selama penelitian pada pengamatan pagi hari, berkisar antara 2.10-7 Ind/l sampai 3.10-7 Ind/l, sedangkan pada pengamatan malam hari berkisar antara 183 .10-7 Ind/l sampai 367.10-7 Ind/l. Kelimpahan total larva kepiting terendah pada pagi hari didapatkan di Stasiun A dan B, sedangkan kelimpahan Copepoda rata-rata tertinggi pada pengamatan malam hari didapatkan di Stasiun E.

Pola sebaran kelimpahan Copepoda dan larva kepiting yang memperlihatkan variasi temporal yang lebih menonjol dibandingkan dengan variasi spasial antar stasiun disebabkan karena jarak antar stasiun yang relatif berdekatan sehingga dengan adanya percampuran massa air oleh pengaruh arus pasang surut memungkinkan plankton yang sifatnya melayang dan kurang kuat melawan arus cenderung akan lebih homogen. Sementara perbedaan antar minggu pengamatan disebabkan karena dinamika perubahan populasi yang berkaitan dengan faktor-faktor perubahan

Tabel 1. Kelimpahan Copepoda dan Larva kepiting (Ind/l) pada tiap stasiun pengamatan

Stasiun Pagilarva kepiting

(ind/l)Copepoda

(Ind/l)(x 10-7) (x 10-7)

A 10 500B 2 670C 3 500D 3 670E 3 830Malam A 250 900B 183 850C 267 800D 250 850E 367 1000

31

pada minggu ke-4 dan minggu ke-7. Kelimpahan copepoda dan larva kepiting selengkapnya tersaji pada Gambar 1.

1200

1000

800

600

400

200

01 2 3 4 5 6 7 8

Minggu Pengamatan

(Kel

impa

han

ind/

Ix10

^.6)

larva KepitingCopepoda

Gambar 1. Grafik kelimpahan Copepoda dan larva kepiting selama 8 minggu pengamatan

Dari grafik menunjukkan bahwa pada minggu 1 dan ke-4 kelimpahan populasi larva kepiting lebih tinggi dibandingkan dengan minggu-minggu lain selama penelitian. Hal ini diperkirakan bahwa pada minggu 1 dan ke-4 bertepatan dengan musim pemijahan kepiting sehingga populasinya lebih tinggi. Sedangkan kelimpahan copepoda relative tidak mengandalkan musim, tetapi berkorelasi dengan populasi larva kepiting, dimana diperkirakan turunnya populasi copepod pada minggu ke-2, 5 dan ke-8 akibat pemangsaan yang tinggi dari larva kepiting. Hasil ini diperkuat oleh penelitian Umar (2002), yang memperoleh korelasi positif R Spearman 0,4116 antara larva kepiting dengan copepoda di perairanTeluk Siddo Sulawesi Selatan. Korelasi antara kelimpahan Copepoda dan larva kepiting di sungai Mamburungan tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2. Grafik korelasi antara kelimpahan copepoda dan larva kepiting

Walaupun korelasi kelimpahan copepoda dan larva kepiting menunjukkan nilai r = 0,38 namun berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa larva kepiting memiliki tendensi untuk memangsa copepod. Rendahnya nilai korelasi tersebut menunjukkan bahwa selain kelimpahan copepoda maka ada plankton lain yang dimanfaatkan oleh larva kepiting sebagai pakan alami, artinya keberadaan copepoda bukan satu-satunya pakan alami bagi larva kepiting. Indikasi lain adalah keberadaan populasi larva kepiting di daerah pengambilan sampel sudah mulai berkurang, sehingga populasi copepoda berkembang cukup baik karena populasi pemangsa relatif lebih sedikit.

Menurut Thoha (6), perkembangan persentase dan kel impahan copepoda yang selalu mendominasi di seluruh perairan, merupakan komponen utama zooplankton predominan yang mengindikasikan bahwa perairan tersebut cukup potensial untuk mendukung kehidupan biota laut pelagis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wiadnyana dan Praseno (7), bahwa kelompok copepoda di dalam lingkungan yang kondisinya normal berhubungan dengan bergerombolnya biota laut sebagai pemangsanya.

3.3. Parameter lingkungan

Parameter lingkungan perairan di sungai Mamburungan yang diukur dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ; Suhu berkisar antara 28 – 310C, salinitas air berkisar antara 28 – 34 ppt, pH berkisar antara 7,5 – 8,1 dan DO berkisar antara 4 – 5,5 ppm.

Berdasarkan data parameter lingkungan yang terukur, maka secara umum nampak bahwa secara umum parameter lingkungan tidak menunjukkan perubahan fluktuasi secara temporal yang cukup signifikan selama penelitian. Sementara secara spasial perbedaan antar stasiun hanya terlihat pada perbedaan salinitas di stasiun A dan B yang letaknya menjorok ke daerah pemukiman penduduk, dimana salinitas di kedua stasiun ini lebih rendah jika dibandingkan dengan stasiun yang lain.

Relationship Between Zooplankton..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 27 - 32

32 Azis, 2010

KeSIMPulan dan SaRan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang didapatkan selama penelitian bahwa kelimpahan larva kepiting dan copepoda mempunyai korelasi yang kecil dengan nilai r = 0,38. Hal ini disebabkan karena copepoda bukan menjadi satu-satunya pakan alami larva kepiting atau keberadaan populasi larva kepiting di sungai Mamburungan sudah mulai berkurang.

Perlu penelitian lanjutan tentang kesuburan perairan sungai Mamburungan terkait dengan kelimpahan, keanekaragaman dan komposisi fitoplankton dan zooplankton.

daFTaR PuSTaKa

1. Wickins J.F and Lee. D. O’C. 2002, Crustacean Farming Ranching and Culture. Blackwell Science Ltd. Second Edition

2. Arinardi, O. H., A. B. Sutomo, S. A. Yususf, Trimaningsih, E. Asnaryanti, dan S. H. Riyono., 1997. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan Di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, LIPI. Jakarta.

3. Yamaji. U. 1984. Illustration of The Marine Plankton of Japan. Hoikusho Publishing. Japan.

4. Nontji, A. 2008 Plankton Laut. Indonesian Institute of Science (LIPI). Pusat Penelitian Oseanografi. Press Jakarta.

5. Umar, N.A. 2002. Hubungan Anatar Kelimpahan Fitoplankton dan Zooplankton (Kopepoda) dengan Larva Kepiting di Perairan Teluk Siddo, Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

6. Thoha. H. 2007. Kelimpahan Plankton di Ekosistem Perairan Teluk Gilimanuk, Taman Nasional Bali Barat. Makara Sains, Vol. 11. Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI Jakarta.

7. Wiadnyana, N. N. dan D. P. Praseno. 1997. Dampak Munculnya Spesies Red Tide Terhadap Perikanan di Indonesia. Berkala Perikanan Terubuk, XXIII.

33Analisis Potensi Air Asam..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 33 - 44

J. Hidrosfir Indonesia Vol. 5 No.1 Hal. 33 - 44 Jakarta, April 2010 ISSN 1907-1043

Abstract

Coal mining activities in addition have a positive impact in the economic aspect is also the negative impact of environmental contamination, as happened in PT. KPC. Pollution is often occured in the mining of coal is the occurrence of acid mine drainage. Mine water quality is determined by the presence of sulfide and carbonate minerals, although usually the number and percentage is very small in the overall mass of rock. Negative impact sequel among other losses as a result of corrosion (damage) mining equipment, dissolve of heavy metals in the rocks, the decrease of pH, high sulphate content, which eventually will pollute the surrounding waters. Therefore it is important to know the potential occurrence of acid mine water in the mining area of PT. KPC, so can be planned from the beginning to minimize negative impacts. The method used in this study is the study of literature, secondary data collection, field observations, soil and rock sampling, laboratory analysis (using the procedures Acid Base Accounting). Based on the obtained results of this study: a) For the dump rocks in the Void Inul generally classified in the rock rather than acid-forming (type 1), only about 10-15% are classified as acid-forming (type 4); b) For Void Bendili and Pelikan rocks are classified as acid-forming rock is missing, mskipun of PAF analysis / NAF, the rocks belonging to PAF reached 25%; c) For Void Bengalon A, B and C rocks belonging to the acid-forming rock (type 4) reached 34% with the content sulfur at 2.72% with MPA value is high, ie 83.3 kg H2SO4/ton; d) In the Void Pool Sangata North and DS 2, is void which have been rehabilitated, not detected the existence of the sulfur content (% S) so all acid-forming rock is not considered (type 1). It's just on the cover in the rock pool DS2 terdetesksi approximately 0.19% sulfur content by NAPP value of 5.5 kg H2SO4/ton thus classified as potentially acid forming rocks of low capacity (type 2); e) Dump material around Void Surya have potential to produce acid mine drainage where the overburden material belonging to type 2 while the remaining overburden leaching process classified type 4. To minimize the negative impacts of acid mine drainage can be done with settings and controls the flow of surface topography, structure and composition of the heap (closure) of land around the pond to be precise, choosing the right plant closing.

Key word : acid mine drainage; acid base accounting, post-mine void

analISIS POTenSI aIR aSaM TaMBanGdI SeKITaR luBanG BeKaS TaMBanG BaTuBaRa

PT. KalTIM PRIMa COal

Mardi Wibowo

Peneliti Geologi LingkunganBadan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

Naskah Masuk: 20 Desember 2009 - Revisi Terakhir 12 Maret 2010

Korespondensi PenulisE-mail : [email protected]

34

I. Pendahuluan

1.1. latar Belakang

PT. Kaltim Prima Coal (PT. KPC) telah beroperasi dengan metode tambang terbuka di daerah Sangata, Kalimantan Timur sejak tahun 1990. Produksi komersial dimulai pada tahun 1992 sebesar 7,3 juta ton/tahun. Peningkatan produksi terus berlanjut hingga mencapai 36,8 juta ton pada tahun 2007. Untuk memenuhi permintaan pasar batubara yang semakin meningkat, PT. KPC berencana meningkatkan produksinya menjadi sekitar 70 juta ton/tahun yang akan dicapai pada tahun 2011. Produksi sebesar itu direncanakan berasal dari daerah Sangata sekitar 37-59,5 juta ton/tahun dan daerah Bengalon sekitar 4,2-12,5 juta ton/tahun yang akan diperoleh dengan cara pengembangan pit yang ada sekarang dan juga pembukaan pit baru di kedua daerah tersebut (1). Pengembangan produksi tersebut tentu saja berdampak positif dalam segala aspek baik bagi masyarakat sekitar, pemerintah daerah maupun secara nasional. Namun terdapat potensi dampak negatif yang cukup besar yaitu kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan, terutama yang berupa air asam tambang, apalagi lokasinya terletak di daerah tropis basah dan cenderung lembab. Seperti diketahui kualitas air tambang dipengaruhi tipe, jumlah dan distribusi mineral-mineral reaktif yang kontak dengan air. Dua kelompok mineral yang sangat berpengaruh pada kualitas air tambang adalah mineral sulfida dan karbonat, meskipun biasanya jumlah dan prosentasenya sangat kecil dalam keseluruhan masa batuan.

Pada penambangan batubara potensi pengasaman (acidity) sebagian besar berasal dari mineral sulfida pirite. Dalam soil dan pelapukan batuan pertukaran pengasaman dan mineral logam sulfat juga berpotensi meningkatkan pengasaman meskipun relatif kecil (2). Sedangkan alkalinitas (alkalinity) sebagian besar berasal dari mineral karbonat terutama kalsit dan dolomit. Mineral-mineral silikat juga merupakan penetral asam, tetapi kecepatan reaksinya jauh lebih lambat dibandingkan karbonat. Mirip dengan

reaksi pertukaran ion dari air asam dengan lempung (clays) yang dapat menyebabkan alkalinitas, tetapi ini hanya terjadi pada lapisan yang jenuh (Perry, 1998).

Dampak negatif lanjutan akibat adanya air asam tambang ini antara lain timbulnya kerugian akibat korosi (kerusakan) peralatan tambang, terlarutnya logam-logam berat pada batuan, terjadinya penurunan pH, kadar sulfat yang tinggi, yang akhirnya akan mencemari perairan di sekitarnya khususnya badan yang ada dalam lubang-lubang bekas tambang yang ada di kawasan pertambangan PT. KPC. Akibat tercemarnya perairan (permukaan maupun tanah) selain merugikan masyarakat secara langsung (sumber air bersih terganggu), juga dapat mematikan makhluk hidup yang ada dalam perairan tersebut serta mengganggu keseimbangan proses-proses yang ada di dalam ekosistem. Self recovery suatu ekosistem akan memerlukan waktu yang sangat lama (Earle & Callaghan, 1998), dimana air merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat vital. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui potensi terjadinya air asam tambang di kawasan pertambangan PT. KPC, sehingga dapat direncanakan sejak awal langkah-langkah untuk meminimisai dampak negatifnya. Perhitungan asam basa (acid base accounting) merupakan salah satu cara untuk mengetahui sumber-sumber yang berpotensi menghasilkan air asam tambang. Pada kajian kali ini lebih ditekankan pada daerah di sekitar lubang bekas tambang (kolam) terutama yang sudah direhabilitasi karena kondisi seperti inilah yang nantinya akan terjadi jika kegiatan penambang sudah selesai. Kajian juga dilakukan pada lubang bekas tambang yang masih aktihuntuk melihat hubungan langsung antara proses penimbunan material yang dilakukan selama ini di sekitar kolam dengan kualitas air yang ada di dalam kolam.

Mardi Wibowo, 2010

35

1.2. Tujuan

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya potensi terjadinya air asam tambang di sekiatar lubang bekas tambang yang ada di PT. KPC. Sehingga pada akhirnya dapat dilakukan langkah-langkah antisipasi agar kemungkinan dampak negatif yang mungkin timbul akibat adanya air asam tambang ini dapat diminimalisir.

1.3. definisi

Beberapa istilah khusus yang berkaitan dengan air asam tambang ini perlu dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut (3):a. Air asam tambang (acid mine drainage) adalah

air larian permukaan atau penirisan (drainage) di daerah tambang yang bersifat asam, sifat ini terbentuk sebagai akibat teroksidasinya senyawa belerang dari batuan oleh udara. Secara alamiah proses oksidasi ini akan menghasilkan sulfur dioksida (SO2) dan karena kondisi lingkungan yang lembab SO2 akan berubah menjadi asam sulfat (H2SO4) melalui proses hidrolisis.

b. Perhi tungan asam basa (acid base accounting/ ABA) adalah uji statistik yang bertujuan untuk menentukan kemampuan suatu sampel dalam menetralkan dan memproduksi asam secara kuantitatif.

c. Potensial keasaman maksimum (Maximum Potential Acidity/ MPA) adalah nilai yang dihitung berdasarkan stoikiometri reaksi oksidasi belerang dengan asumsi bahwa reaksi berlangung sempurna.

d. Kapasitas netralisasi asam (Acid Neutralising Capacity/ ANC) adalah kemampuan contoh dalam pembentukan buffer atau menetralkan asam, yang disebabkan adanya mineral karbonat dalam contoh batuan.

e. Penetapan fizzing rate adalah cara untuk menentukan jumlah dan konsentrasi asam klorida yang digunakan dalam analisis ANC.

f. Nilai potensi produksi asam (Net Acid Producing Potential/ NAPP) adalah nilai yang didapat dari selisih antara MPA dan

ANC, yang digunakan sebagai inikator terhadap batuan/mineral yang berpotensi menghasilkan asam.

g. Pembentukan asam netto (Net Acid Generation/ NAG) adalah kemampuan dari contoh untuk menghasilkan asam, jika dilakukan proses oksidasi sempurna.

II. MeTOdOlOGI

Dalam kajian ini dilakukan tahapan-tahapan kegiatan sebagai berikut :a. Studi literature dan pengumpulan data

sekunder.b. Survei lapangan : dilakukan pengamatan

dan diskripsi lapangan serta di lakukan pengambilan sampel pada lokasi sekitar lubang bekas tambang dan lokasi dimana lubang bekas tambang akan direncanakan, lokasi ini telah ditentukan berdasarkan hasil studi literature dan analisis data sekunder.

c. Analisis laboratorium terhadap sampel yang diambil : analisis laboratorium ini dilakukan di Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Departemen ESDM, Bandung. Metode analisis yang dilakukan adalah :l Semua sampel dikeringkan dan digerus

sampai ukuran 60 mesh.l Penentuan keasaman maksimum (MPA)l Penentuan fizzing ratel Penentuan kapasitas netralisasi asam

(ANC)l Menghitung nilai potensi produksi asam

(NAPP)l Uji pembentukan asam netto (NAG)

III. haSIl dan PeMBahaSan

Sebagaimana pada umumnya tambang batubara, air asam tambang menjadi ancaman bagi lingkungan yang harus dikendalikan dan diatasi agar tidak mencemari lingkungan setelah proses penambangan selesai dilakukan.

Secara umum batuan di daerah Bengalon lebih berpotensi membentuk asam dibandingkan dengan wilayah Sangata, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam proses penutupan, sebab

Analisis Potensi Air Asam..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 33 - 44

36

jika sudah terlanjur dilakukan penutupan dengan cara yang salah, akan mahal dalam perbaikan dan pemeliharaan lingkungannya. Struktur perlipatan yang komplek di Bengalon dapat mengakibatkan retakan yang banyak pada batuan dasar, proses kompaksi, sementing dan grouting mungkin perlu dilakukan untuk menghindari kebocoran air dari lapisan PAF masuk kedalam formasi air tanah dangkal, yang mungkin dimanfaatkan penduduk untuk kebutuhan sehari-hari (4).

Volume batu bara yang ditambang secara tidak langsung menunjukkan potensi wilayah tersebut akan munculnya air asam tambang, daerah-daerah ini juga harus mendapat perhatian khusus pada saat penutupan tambang, pengaturan bentuk topografi akhir sangat menentukan pola aliran air hujan yang terjadi, oleh karena itu sedini mungkin dihindari aliran terbuka yang tidak masuk ke dalam kolam-kolam penampung (Sungai atau Wilayah Pemukiman). Pemilihan tumbuhan penutup juga merupakan bagian yang penting untuk menahan laju aliran permukaan, menurunkan laju erosi dan meningkatkan peresapan (potensi air hujan yang besar dapat berfungsi untuk pengenceran secara alamiah air asam tambang).

Pemodelan distribusi, kedalaman dan ketebalan tiap lapisan NAF dan PAF telah dilakukan sebelum proses penambangan telah dilakukan oleh PT. KPC dengan menggunakan Waste Rock Model. Dengan demikian sedini mungkin sudah dapat diprediksi potensi air asam yang akan muncul dan volume lapisan penutup kolam sudah dapat diperkirakan. Peta potensi batuan penutup yang tergolong NAF dan PAF menunjukkan bahwa di wilayah Sangata mempunyai batuan yang tergolong NAF lebih tinggi dibandingkan Bengalon.

Tabel 1. Kriteria Penggolongan Jenis Batuan Pembentuk Asamno. Golongan Jenis Batuan Kriteria

1. Tipe 1 Bukan Pembentuk Asam Nilai pH uji NAG lebih besar atau sama dengan 4,5 dan atau nilai NAPP negatif

2. Tipe 2 Potensi Pembentuk Asam Kapasitas Rendah

pH uji NAG < 4,5; nilai NAG pada pH 4,5 < 5 kg H2SO4/ton; NAPP 0-10 kg H2SO4/ton.

3. Tipe 3 Potensi Pembentuk Asam Kapasitas Tinggi

pH uji NAG < 4,5; nilai NAG pada pH 4,5 > atau = 5 kg H2SO4/ton; NAPP > atau = 10 kg H2SO4/ton.

4. Tipe 4 Pembentuk Asam pH uji NAG < 4,5 dan batuan (1:2) < 4,5; nilai NAG pada pH 4,5 > atau = 5 kg H2SO4/ton; NAPP > atau = 10 kg H2SO4/ton.

3.1. Kolam Inul

Untuk memperkirakan kualitas air pasca tambang di Kolam Inul digunakan sampel batuan dari Kolam Hatari AB, karena sampel di Kolam Inul tidak ada (tidak diambil). Hasil analisis acid-base accounting (ABA) pada sampel overburden di Kolam Inul (Tabel 2) menunjukkan bahwa kandungan belerang (%S) tidak terdeteksi pada sampel soil di Hatari AB (Hatari AB Tanah) sehingga sampel ini dapat digolongkan sebagai batuan bukan pembentuk asam (tipe 1). Pada sampel Hatari AB, NAF ditemukan adanya kandungan belerang yang kecil, yaitu 0,29%. Kandungan belerang yang kecil ini mengakibatkan nilai maximum potential acidity (MPA) yang juga kecil. Dengan demikian sampel batuan ini pun digolongkan ke dalam batuan bukan pembentuk asam tipe 1. Sementara itu pada sampel Hatari PAF didapatkan kandungan belerang sebesar 3,19% dengan nilai MPA yang tinggi, yaitu 97,7 kg H2SO4/ton dan ANC yang kecil, yaitu 6,3. Dari nilai MPA dan ANC ini diperoleh nilai potensi produksi asam (NAPP) yang positif, sehingga sampel batuan ini digolongkan sebagai batuan pembentuk asam tipe 4. Dengan demikian pada saat pasca penambangan, kualitas air di dalam kolam memiliki potensi bersifat asam, meskipun dengan probabilitas yang tidak terlalu besar karena proporsi batuan PAF di daerah ini hanya sekitar 10-15%. Untuk lebih meminimalkan

Mardi Wibowo, 2010

Pembahasan perkiraan kualitas air di setiap kolam diuraikan seperti di bawah ini. Penggolongan jenis batuan pembentuk asam dilakukan dengan menggunakan criteria seperti pada Tabel 1.

37

Tabel 2. Hasil ABA Overburden di Rencana Kolam Inul

Sampel Id TotalS (%)

MPa anC naPP ph 1:2

ph naG

naG,kg h2SO4/ton

Penggolongan Batuan Pembentuk

asam (Tabel 1)kg h2SO4/ton ph=4,5 ph=7Hatari AB Tanah 0,0 9,8 7,5 2,3 4,1 3,84 0,2 1,8 (Tipe 1)Hatari AB NAF 0,29 8,9 25,6 -16,7 8,6 3,39 0,4 1,4 (Tipe 1)Hatari AB PAF 3,19 97,7 6,3 91,4 4,2 2,44 6,8 8,4 (Tipe 4)

Kondisi overburden di rencana Kolam Inul hampir sama dengan yang ditemukan di Kolam Surya, dimana terdapat batuan pembentuk asam tipe 4. Jika mengacu kepada hasil analisis kualitas air yang dihasilkan dari pengamatan yang dilakukan di Kolam Surya, terlihat bahwa kualitas airnya relatif cukup baik, meskipun di dekat dasar kolam didapatkan harga pH yang lebih rendah daripada di Kolam Sangata North, yaitu 5,2 – 5,5. Hal ini memberikan indikasi bahwa kemungkinan di dasar Kolam Surya, dimana batuannya masih terpapar langsung, masih terjadi proses oksidasi yang menyebabkan pH air berada di bawah netral, meskipun dengan laju reaksi yang relatif lambat karena terbatasnya konsentrasi O2 di dasar kolam.

Sementara itu di permukaan terlihat bahwa kualitas air di Kolam Surya relatif baik. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadinya proses oksidasi di permukaan, yaitu pada daerah yang sudah direklamasi dan direvegetasi, relatif kecil sehingga tidak terjadi pembentukan air asam tambang. Hal ini mengindikasikan bahwa proses reklamasi dan revegetasi telah berjalan sesuai dengan prosedur yang ada. Faktor-faktor yang mengontrol terbentuknya air asam tambang telah dapat diminimalkan dengan cara menutup material yang berpotensi membentuk air asam tambang dengan material non-acid forming (NAF) dan top soil yang kedap air dan udara, serta revegetasi. Jadi, meskipun curah hujan di

kawasan Kolam Surya relatif besar sepanjang tahun, besarnya zat tersuspensi dan terlarut yang berpotensi menghasilkan asam dalam air larian yang mengalir ke dalam kolam sangat kecil. Untuk itu, kondisi di Kolam Surya ini juga dapat dijadikan acuan dalam merehabilitasi kawasan pasca penambangan di Inul, sehingga rencana Kolam Inul yang akan terbentuk di tahun 2021 tidak bersifat asam. Selain itu perlu diperhatikan pula bahwa agar dapat menjaga kondisi ini tetap bertahan, maka vegetasi yang ada di sekitar rencana kolam ini harus dapat dipertahankan sehingga tidak terjadi proses erosi yang dapat menyingkap batuan yang berpotensi menghasilkan asam.

3.2. Kolam Bendili dan Pelikan

Berdasarkan pada kondisi geologi dan hasil kajian proporsi PAF dan NAF oleh PT. KPC, Kolam Bendili dan Pelikan memiliki kondisi yang relatif sama, sehingga pembahasan untuk perkiraan potensi pembentukan air asam tambangnya digabungkan.

Pada sampel overburden yang diambil di Kolam Bendili dan Pelikan (Tabel 3), didapatkan bahwa pada sampel Bendili 01 PAF tidak terdeteksi kandungan belerang (%S), sedangkan Bendili NAF kandungannya sangat kecil (hanya 0,01%). Dengan demikian kedua sampel ini dapat digolongkan sebagai batuan bukan pembentuk asam (tipe 1). Dengan demikian pada saat pasca penambangan, kualitas air di dalam kolam tidak memiliki potensi bersifat asam, apalagi dengan proporsi batuan PAF yang hanya sekitar 25%. Untuk lebih meminimalkan kemungkinan terbentuknya air asam tambang, proses rehabilitasi dan kontruksi timbunan di sekitar kolam pasca tambang harus benar-benar

kemungkinan terbentuknya air asam tambang, maka proses dan kontruksi timbunan di sekitar kolam tambang harus benar-benar diperhatikan. Kemungkinan perlu ada penambahan batu kapur pada awal penimbunan. Selain itu urutan dan ketebalan lapisan batuan PAF, NAF dan soil harus sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan oleh PT. KPC.

Analisis Potensi Air Asam..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 33 - 44

38

Tabel 3. Hasil ABA Overburden di Rencana Kolam Bendili dan Pelikan

Sampel Id TotalS(%)

MPa anC naPP ph 1:2

ph naG

naG,kg h2SO4/ton

Penggolongan Batuan Pembentuk

asam (Tabel 1)kg h2SO4/ton ph=4,5 ph=7Bendili 01 PAF 0,01 0,2 13,4 -13,2 9,5 3,89 0,2 1,3 (Tipe 1)Bendili NAF 0,00 0,0 27,7 -27,7 9,4 5,56 0,0 0,4 (Tipe 1)

Kondisi overburden di rencana Kolam Bendili dan Pelikan ini hampir sama dengan yang diperoleh di Kolam Sangata North. Mengacu kepada kondisi Kolam Sangata North yang kualitas airnya bagus, maka jika PT. KPC melakukan proses rehabilitasi pasca tambang dengan cara yang sama dengan yang telah dilakukan pada Kolam Sangata North, kualitas air di rencana Kolam Bendili dan Pelikan akan sama dengan kondisi di Kolam Sangata North.

Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap data kualitas air di Kolam Sangata North konsentrasi O2 terlarut di dasar kolam sekitar 2,5 s.d. 3 mg/L. Dengan konsentrasi yang relatif kecil ini, oksidasi pirit di dasar kolam menjadi sangat kecil sehingga jika menilik hasil pengukuran pH didapatkan nilai yang cenderung mendekati netral, dengan rentang 6,5 s.d. 8. Hal yang sama ditemukan pula di permukaan Kolam Sangata North, dimana kualitas airnya sangat baik. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pembentukan air asam tambang tidak terjadi di kolam ini karena proses reklamasi dan revegetasi berjalan sesuai dengan prosedur yang ada sehingga faktor-faktor yang mengontrol terbentuknya air asam tambang dapat diminimalkan.

Dengan cara menutup material yang berpotensi membentuk air asam tambang dengan material non-acid forming (NAF) dan top soil yang kedap air dan udara, serta revegetasi, maka kualitas air di dalam Kolam Sangata North menjadi sangat baik. Jadi, meskipun curah hujan di kawasan Kolam Sangata North relatif besar sepanjang tahun, besarnya zat tersuspensi dan terlarut yang berpotensi menghasilkan asam

dalam air larian yang mengalir ke dalam kolam sangat kecil. Untuk itu Kolam Sangata North dapat dijadikan acuan untuk pengelolaan rencana Kolam Bendili dan Pelikan yang akan terbentuk di tahun 2021 nanti.

3.3. Kolam Sangata north

Kolam Sangata North merupakan kolam yang sudah final (sudah direhabilitasi) dan sudah tidak ada aktifitas penambangan dan penimbunan. Di sekitar kolam ini diambil dua sampel untuk analisis geokimia dan analisis air asam tambang, yaitu soil (kedalaman 0,5 m) dan batuan penutup yang digolongkan sebagai NAF (kedalaman + 1 m), sedangkan untuk batuan penutup yang digolongkan sebagai PAF diambil dari data pemboran di pit Bendili karena berdasarkan informasi dari Departemen Geologi – PT. KPC batuan penutup yang digolongkan PAF di sekitar Sangata North diambil dari pit Bendili.

Berdasarkan analisis air asam tambang terhadap ketiga sampel yang diambil di sekitar Kolam Sangata North, yang dilakukan di Laboratorium Pengujian tekMIRA, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung, diperoleh hasil seperti terlihat pada Tabel 4 :

Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel Sangata North Soil dan Sangata North NAF tidak terdeteksi adanya kandungan belerang (%S), sehingga ke-2 contoh tersebut dikategorikan sebagai batuan bukan pembentuk asam (tipe 1), bahkan untuk sampel Sangata North NAF mempunya nilai ANC cukup tinggi yaitu 12,3 kg H2SO4/ton. Sedangkan untuk sampel Bendili 01 PAF mempunyai kandungan sulfur yang sangat kecil 0,005%, sehingga nilai MPA hanya 0,2 kg H2SO4/ton, sedangkan nilai ANC cukup besar yaitu 13,4 kg H2SO4/ton, sehingga sampel ini

Mardi Wibowo, 2010

diperhatikan. Kemungkinan diperlukan adanya penambahan batu kapur pada awal penimbunan. Selain itu urutan dan ketebalan lapisan batuan PAF, NAF dan soil harus sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan oleh PT. KPC.

39

Tabel 4. Hasil Identifikasi AAT Pada Sampel Batuan Di Sekitar Kolam Sangata North

Sampel Id Total S (%)

MPa anC naPP ph1 : 2

phnaG

naG, Kg h2SO4/ ton

Penggolongan Batuan Pembentuk

asam (Tabel 1)Kg h2SO4/ ton ph=4,5 ph= 7Sangata North Soil 0,000 0,00 0,4 -0,4 5,64 3,69 0,3 1,7 (Tipe 1)Sangata North NAF 0,000 0,00 12,3 -12,3 9,27 4,92 0,0 0,9 (Tipe 1)Bendili 01 PAF 0,005 0,2 13,4 -13,3 9,48 3,89 0,2 1,3 (Tipe 1)

Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Kolam Sangata North diperoleh bahwa konsentrasi oksigen terlarut di dasar kolam berkisar antara 2,8 dan 3 mg/L. Sama halnya dengan Kolam Surya, dasar Kolam Sangata North merupakan batuan yang langsung terpapar. Dengan adanya oksigen terlarut ini, maka proses oksidasi pirit yang berpotensi menghasilkan air asam tambang akan terus terjadi. Namun demikian, melihat hasil analisis ABA (Tabel 4) didapatkan bahwa overburden di Sangata North bukan merupakan pembentuk asam. Dengan demikian, potensi terjadinya air asam tambang sangat kecil. Indikasi ini dapat dilihat dari hasil pengukuran pH, dimana di dekat dasar kolam nilai pH nya lebih besar dari 6. Di permukaan kolam terlihat bahwa kualitas air relatif cukup baik. Kondisi ini mengindikasikan bahwa proses pembentukan asam tambang sangat kecil. Lebih dari itu, daerah di sekitar Kolam Sangata North pun telah mengalami reklamasi dan revegetasi. Sehingga faktor-faktor yang mengontrol terbentuknya air asam tambang telah menjadi sangat minimal.

3.4. Kolam Surya

Kolam Surya saat ini merupakan kolam yang sedang dalam proses penimbunan atau penutupan tambang, dimana material yang ditimbun di sekitar kolam ini masih terus bergerak dan berubah. Berdasarkan kondisi eksisting yang ada dan ditemui di lapangan, ada dua material utama yang ada di sekitar Kolam Surya, yaitu timbunan batubara hasil pencucian (batubara yang reject) dilabeli Surya Cuci dan material timbunan yang berupa batulempung abu-abu (mudstone) dilabeli Surya OB. Oleh karena

itu untuk keperluan analisis di laboratorium di ambil dua sampel dari masing-masing material timbunan tersebut.

Berdasarkan hasil analisis kedua sampel tersebut di Laboratorium Pengujian tekMIRA, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung, diperoleh hasil seperti pada Tabel 5. Dari tabel terlihat bahwa material yang ada di sekitar Kolam Surya untuk material timbunan berupa mudstone mempunyai kandungan total sulfur 0,32, dan untuk material timbunan buangan dari pencucian batubara mempunyai kandungan total sulfur 1,79, ini tergolong besar khususnya untuk yang bekas cucian batubara dan sangat berpotensi untuk menghasilkan air asam tambang. Kandungan unsur yang dominan dari ketiga sampel tersebut di atas adalah SiO2 dan Al2O3 yang merupakan unsur utama penyusun mineral silikat dan mineral lempung (clay mineral). Sedangkan kandungan unsur CaO dan MgO sebagai unsur utama pembentuk mineral karbonat sangat rendah, demikian juga dengan kandungan logam beratnya.

Tabel 5. Komposisi kimia material timbunan di sekitar Kolam Surya

nomor lab 6615/2008 6623/2008nama Surya OB Surya Cuci

Parameter SatuanTotal S % 0,32 1,79SiO2 % 61,3 51,4Al2O3 % 13,64 15,03Fe2O3 % 5,03 4,15CaO Total % 0,34 0,16CaO Bebas % Nihil NihilNa2O % 0,37 0,13K2O % 3,51 3,57MgO % 1,32 0,91P2O5 % 0,15 0,12Pb % 0,009 0,007

digolongkan sebagai batuan bukan pembentuk asam (tipe 1).

Analisis Potensi Air Asam..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 33 - 44

40

nomor lab 6615/2008 6623/2008nama Surya OB Surya Cuci

Parameter SatuanCu % 0,004 0,006Zn % 0,012 0,007Mn % 0,027 0,009LOI % 13,52 22,5

Berdasarkan analisis air asam tambang terhadap kedua sampel yang diambil di sekitar Kolam Surya, yang dilakukan di Laboratorium Pengujian tekMIRA, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung, diperoleh hasil sebagai berikut (Tabel 6) :

Tabel 6. Hasil Identifikasi AAT Pada Sampel Batuan Di Sekitar Kolam Surya

Sampel Total S (%)

MPa anC naPP ph1 : 2

phnaG

naG, Kg h2SO4/ ton Penggolongan Batuan Pembentuk

asam (Tabel 1)Kg h2SO4/ ton ph=4,5 ph = 7

Surya OB 0,32 9,8 7,5 2,3 5,62 3,32 0,8 2,1 (Tipe 2)Surya Cuci 1,79 54,8 1,5 53,3 3,56 2,34 6,3 9,9 (Tipe 4)

Berdasarkan hasil analisis tersebut, material timbunan di sekitar kolam berpotensi untuk menghasilkan asam tambang. Tetapi berdasarkan hasil survei kualitas air di Kolam Surya ternyata nilai pH relatif netral antara 6 – 7. Hal ini kemungkinan adanya proses netralisasi selama air berada dalam kolam. Tetapi karena kandungan unsur CaO dan MgO sebagai unsur utama pembentuk mineral karbonat sebagai penetral sangat rendah, kemungkinan mineral penetralnya adalah mineral silikat dan mineral lempung (clay mineral) yang ada di sekitar dinding kolam yang bersentuhan langsung dengan air.

Menurut Lappako (1993) dalam Brady, KBC (1998)(3), mineral silikat dan clay mineral dapat juga berfungsi sebagai penetral asam dengan kecepatan lebih lambat dibanding mineral karbonat dan hanya terjadi pada kondisi pH rendah. Berikut ini adalah contoh yang menunjukkan anorthite sebagai mineral silikat dapat menetralkan asam :

CaAl2Si2O8 (s) + 2 H+ + H2O → Ca 2+ + Al2Si2O5(OH)4 (s)

Mineral silikat menetralkan asam dengan pelarutan. Pelarutan ini akan melepaskan unsur-unsur seperti aluminium dan magnesium,

sehingga unsur-unsur tersebut sering dijumpai di air lindi tambang. Meskipun peran penetralan mineral silikat ini menjadi tidak signifikan pada pH yang mendekati netral. Peran netralisasi asam dari mineral silikat ini sangat penting untuk menjelaskan mengapa batuan penutup yang persentase batupasirnya rendah (lebih dominan batuan yang halus : feldspar dan mineral lempung) akan menghasilkan air lindi yang cenderung alkaline.

Sumber penetralisasi asam yang lain adalah pertukaran ion pada pertikel lempung. Partikel lempung cenderung mempunyai muatan negatif di permukaannya, sehingga akan menarik ion

bermuatan positif, jadi H+ akan terikat pada permukaan partikel lempung dan menaikkan pH larutan(3).

Dari hasil pengamatan yang dilakukan di Kolam Surya diperoleh bahwa konsentrasi Oksigen terlarut di dasar kolam berkisar antara 2,5 dan 3 mg/L. Diketahui bahwa dasar kolam merupakan batuan yang langsung terpapar. Dengan adanya oksigen terlarut ini, maka proses oksidasi pirit yang berpotensi menghasilkan air asam tambang akan terus terjadi, apalagi jika melihat hasil analisis ABA dari sampel overburden dengan ID Surya OB dan Surya Cuci (Tabel 6), meskipun dengan laju yang relatif lambat. Sementara itu di permukaan kolam terlihat bahwa kualitas air relatif cukup baik. Kondisi ini mengindikasikan bahwa proses oksidasi di permukaan pada daerah yang sudah direklamasi dan direvegetasi, pembentukan air asam tambang tidak terjadi. Hal ini mengindikasikan bahwa proses reklamasi dan revegetasi telah berjalan sesuai dengan prosedur yang ada. Faktor-faktor yang mengontrol terbentuknya air asam tambang telah dapat diminimalkan dengan cara menutup material yang berpotensi membentuk air asam tambang dengan material non-acid forming

Mardi Wibowo, 2010

41

(NAF) dan top soil yang kedap air dan udara, serta revegetasi. Jadi, meskipun curah hujan di kawasan Kolam Surya relatif besar sepanjang tahun, besarnya zat tersuspensi dan terlarut yang berpotensi menghasilkan asam dalam air larian yang mengalir ke dalam kolam sangat kecil. Untuk menjaga agar kondisi ini tetap dapat bertahan maka vegetasi yang ada di sekitar kolam ini harus dapat dipertahankan sehingga tidak terjadi proses erosi yang dapat menyingkap batuan yang berpotensi menghasilkan asam.

3.5. Kolam Pengendap dS 2

Kolam pengendap DS 2 pada waktu dulu merupakan kolam untuk mengendapkan air lindi yang keluar dari tempat pencucian batubara. Saat ini kolam pengendap DS2 merupakan kolam yang sudah final (sudah direhabilitasi) dan sudah tidak ada aktifitas penambangan dan penimbunan. Di sekitar kolam ini diambil dua sampel untuk analisis geokimia dan analisis air asam tambang yaitu soil (kedalaman 0,5 m) dan batuan penutup yang diambil dari kedalaman + 1 m.

Berdasarkan analisis air asam tambang terhadap kedua sampel yang diambil di sekitar kolam pengendap DS 2, yang dilakukan di Laboratorium Pengujian tekMIRA, Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung, diperoleh hasil sesuai Tabel 7 sebagai berikut :

Hasil analisis menunjukkan bahwa pada sampel DS 2 Soil tidak terdeteksi adanya kandungan belerang (%S), sedangkan pada sampel DS 2, OB kandungan belerang total

Tabel 7. Hasil identifikasi AAT pada sampel batuan di sekitar kolam pengendap DS 2

Sampel Total S (%)

MPa anC naPP ph1 : 2

phnaG

naG, Kg h2SO4/ ton Penggolongan Batuan Pembentuk

asam (Tabel 1)Kg h2SO4/ ton ph=4,5 ph = 7

DS 2 Soil 0,00 0,00 0,1 -0,1 4,48 3,68 0,4 2,0 (Tipe 1)

DS 2 OB 0,19 5,8 0,4 5,5 3,5 3,15 0,8 3,0 (Tipe 2)

hanya 0,19 sehingga sampel DS 2 Soil tersebut dikategorikan sebagai batuan bukan pembentuk asam (tipe 1), sedangkan DS 2 OB digolongkan sebagai batuan berpotensi pembentuk asam kapasitas rendah (tipe 2). Sehingga secara umum material timbunan di sekitar kolam pengendap DS 2 ini tidak berpotensi untuk menghasilkan air asam tambang yang signifikan.

3.6. Kolam Bengalon a, B, C

Karena pada saat ini daerah yang sudah aktif ditambang di Kawasan Bengalon hanya satu lokasi, yaitu di Kolam Bengalon A, maka untuk memperkirakan potensi pembentukan air asam tambang di kawasan Bengalon, Pit A, B, dan C dianggap sama.

Dari sampel overburden yang diambil di Kolam Bengalon (Tabel 8) ditunjukkan bahwa belerang untuk sampel ID Bengalon Soil dan Bengalon NAF tidak terdeteksi sehingga sampel-sampel ini dapat digolongkan sebagai batuan bukan pembentuk asam (tipe 1). Sementara itu dari sampel Bengalon PAF didapatkan kandungan belerang sebesar 2,72% dengan nilai MPA yang tinggi, yaitu 83,3 kg H2SO4/ton dan ANC yang kecil, yaitu 0,1. Dari nilai MPA dan ANC ini diperoleh nilai potensi produksi asam (NAPP) yang positif dan besar, yaitu 83,2. Dengan demikian sampel batuan ini digolongkan sebagai batuan pembentuk asam (tipe 4). Dengan demikian pada saat pasca penambangan, kualitas air di dalam kolam memiliki potensi bersifat asam dengan probabilitas yang tinggi mengingat proporsi batuan PAF di daerah ini yang cukup besar (34%).

Analisis Potensi Air Asam..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 33 - 44

42

Tabel 8. Hasil ABA Overburden di Rencana Kolam Bengalon

Gambar 1. Lokasi Lubang Bekas Tambang yang direncankan di Sangata (Anonim, 2007)

Sampel Id Total S (%)

MPa anC naPP ph 1:2

ph naG

naG,kg h2SO4/ton

Penggolongan Batuan Pembentuk

asam (Tabel 1)kg h2SO4/ton ph=4,5 ph=7Bengalon Soil 0,0 0,0 0,1 -0,1 4,4 3,28 0,6 2,5 (Tipe 1)Bengalon Soil 2,72 83,3 0,1 83,2 3,1 2,46 6,3 8,2 (Tipe 4)Bengalon PAF 0,00 0,0 3,9 -3,9 5,3 4,53 0,0 1,1 (Tipe 1)

Untuk lebih meminimalisasi kemungkinan terbentuknya air asam tambang maka proses dan kontruksi timbunan di sekitar kolam tambang harus benar-benar diperhatikan, misalnya perlu adanya penambahan kapur pada awal penimbunan serta urutan dan ketebalan lapisan batuan PAF, NAF dan soil harus sesuai dengan

spesifikasi yang telah ditetapkan PT. KPC.Hasil ABA pada overburden rencana Kolam

Bengalon menunjukkan jenis batuan yang relatif sama dengan yang ada di Inul dan juga Kolam Surya, sehingga Kolam Surya dapat dijadikan acuan dalam proses rehabilitasi lahan pasca tambang di kawasan Bengalon ini.

Gambar 2. Rencana Lubang Bekas Tambang di Bengalon (Anonim, 2007)

Mardi Wibowo, 2010

43

PenuTuP

1. Penambangan batubara seperti yang dilakukan oleh PT. KPC di Sangata, Kalimantan Timur, selain berdampak positif dalam aspek ekonomi juga berdampak negative yaitu terjadinya pencemaran lingkungan, terutama yang berupa air asam tambang, apalagi lokasinya terletak di daerah tropis basah dan cenderung lembab.

2. Penentuan batuan penutup yang mana tergolong NAF dan PAF telah dilakukan s e b e l u m p e n a m b a n g a n d i m u l a i . Penggo longan i n i be rguna un tuk merencanakan proses penambangan, penimbunan sementara batuan penutup, perencanaan penutupan (volume batuan PAF dan NAF untuk penutupan tambang serta proses urutan penutupan) sehingga memenuhi standard penutupan kolam yang telah ditentukan. Penentuan atau penggolongan batuan penutup ke dalam NAF dan PAF juga dilakukan sebelum peledakan (blastig), pada saat penambangan berlangsung, dan setelah proses penutupan kolam selesai.

3. Untuk batuan penutup di sekitar Kolam Inul secara umum tergolong dalam batuan bukan pembentuk asam (tipe 1), hanya sekitar 10-15% yang tergolong pembentuk asam (tipe 4). Untuk Kolam Bendili dan Pelikan batuan yang tergolong batuan pembentuk asam tidak ada, mskipun dari analisis PAF/NAF, batuan yang tergolong PAF mencapai 25%. Untuk Kolam Bengalon A,B dan C batuan yang tergolong dalam batuan pembentuk asam (tipe 4) mencapai 34% dengan kandungan belerang sebesar 2,72% dengan nilai MPA yang tinggi, yaitu 83,3 kg H2SO4/ton dan ANC yang kecil, yaitu 0,1. Dari nilai MPA dan ANC ini diperoleh nilai potensi produksi asam (NAPP) yang positif dan besar, yaitu 83,2.

4. Di Kolam Sangata North dan Kolam DS 2 yang merupakan kolam-kolam yang sudah direhabilitasi, tidak terdeteksi adanya kandungan belerang (%S) sehingga semua batuannya tergolong bukan pembentuk asam

(tipe 1). Hanya saja pada batuan penutup di Kolam DS2 terdetesksi kandungan belerang sekitar 0,19% dengan nilai NAPP 5,5 kg H2SO4/ton sehingga digolongkan sebagai batuan berpotensi pembentuk asam kapasitas rendah (tipe 2).

5. Untuk Kolam Surya yang merupakan kolam yang sedang dalam proses penimbunan atau penutupan tambang, dimana material yang ditimbun di sekitar kolam ini masih terus bergerak dan berubah. Berdasarkan hasil analisis ABA, material timbunan di sekitar Kolam Surya berpotensi untuk menghasilkan asam tambang dimana material batuan penutup tergolong tipe 2 sedangakan batuan penutup sisa proses pencucian tergolong tipe 4.

6. Secara umum batuan di daerah Bengalon leb ih berpotens i membentuk asam dibandingkan dengan wilayah Sangata, sehingga diperlukan kehati-hatian dalam proses penutupan, sebab jika sudah terlanjur dilakukan penutupan dengan cara yang salah, akan mahal dalam perbaikan dan pemeliharaan lingkungannya.

7. Hal-hal yang perlu direkomendasikan untuk dilakukan agar meminimalisir kemungkinan terjadinya air asam tambang adalah :

l Per lu penga tu ran topogra f i un tuk pengendalian aliran permukaan agar mengarah ke kolam,

l Peta NAF dan PAF pada saat penutupan diinformasikan secara transparan, sehingga pengendalian air asam tambang lebih terarah,

l Penentuan penggunaan struktur penutupan lahan di sekitar kolam perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut dengan uji skala pilot.

l Tumbuhan penutup mempunyai peran penting dalam menahan laju erosi dan meningkatkan laju peresapan

daFTaR PuSTaKa

1. Anonim; 2005; Studi Amdal Peningkatan Produksi Batubara Hingga 48 Juta Ton

Analisis Potensi Air Asam..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (1) 33 - 44

44

Pertahun PT. Kaltim Prima Coal, Kabupaten Kutai Timur Propinsi Kalimantan Timur; Sangatta.

2. Perry,E; 2000; Mine Drainage Prediction, A Summary of Concepts and Processes, Departement of Environmental Protection, Harrisburg; Pennsylvania.

3. Anonim; 2008; Identifikasi Air Asam Tambang, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung.

4. A n o n i m ; 2 0 0 4 ; S t u d i K e l a y a k a n Pengembangan Tambang Sengata & Bengalon PT. KPC; PT. Kaltim Prima Coal.

5. Brady, KBC; Hornberger, RJ; Fleeger, G; 1998; Influence of Geology on Postmining Water Quality : Northern Appalachian Basin; Departement of Environmental Protection, Harrisburg; Pennsylvania.

Mardi Wibowo, 2010

45Studi isotop Oksigen-18..... J. Hidrosfir. Vol.5 (1) 45 - 53

Abstract

Pesanggrahan River is one of 13 main rivers that streams to dense Jakarta area. Along to this river in Ciputat and Kebayoran Lama site, there are some human activities such as traditional markets, textile industries, home industries and settlements, which might have an impact to this river. The objective of this experiment is to know the origin of Pesanggrahan River and the factors influencing to its isotopic content variations. Natural isotopes used in this experiment were oxygen-18 (as δ 18O value) and deuterium (as δ 2H value) contained in water compounds. A method commonly used to determine δ 18O values was by injecting CO2 gas released from equilibration process between water samples and CO2 gas standard in a mass spectrometer. The δ 2H values were determined by injection of H2 gas released from reduction of water samples with zinc metals in a mass spectrometer. The results showed that δ 18O and δ 2H values of Pesanggrahan river in Ciputat fall on -3.99 0/00 to -6.99 0/00 and -23.8 0/00 to -38.10/00, respectively whereas in Kebayoran Lama its δ 18O and δ 2H values were in the range of -5.68 0/00 to -8.310/00 and -29.6 0/00 to -49.8 0/00, respectively. Both its linear regression between δ 18O and δ 2H indicated that evaporation process had occurred. The origin of this river was from mixing of a local groundwater and spring waters at the altitude of ±1000 m. The river site at the mouth of textile industry waste pipeline in Ciputat gave a much more enriched value which could be due to evaporation at waste treatment ponds whereas some home industries in Kebayoran Lama did not change to both isotope contents.

Key words: Pesanggrahan, oxygen-18, deuterium, river, water.

J. Hidrosfir Indonesia Vol. 5 No.1 Hal. 45 - 53 Jakarta, April 2010 ISSN 1907-1043

Studi isotop oksigen-18 dan deuterium untuk identifikasi asal-usul air sungai Pesanggrahan di Jakarta Selatan

E. Ristin Pujiindiyati1 and Banu Irwan Nugroho2

1. Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi – Badan Tenaga Nuklir Nasional, Jln. Cinere Pasar Jum’at PO.Box 7002 JKSKL, Jakarta 12070. Telp.021-7690709,

2. Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta

Naskah Masuk : 22 Desember 2009 - Revisi Terakhir 25 Maret 2010

Pendahuluan

Pertumbuhan industri di pinggiran kota Jakarta semakin bertambah pesat dengan semakin berkurangnya lahan untuk industri di daerah Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Di daerah Jakarta Selatan dan sekitarnya yang semula digunakan sebagai daerah hunian penduduk dan resapan air, sekarang semakin banyak muncul industri-industri baru seperti industri tekstil dan rumahan. Munculnya industri

tersebut tentu akan memberikan dampak terhadap lingkungan terutama ketersediaan air tanah yang bersih. Pengambilan air tanah dalam skala besar oleh industri akan mengganggu kesetimbangan tekanan hidrostatik air tanah. Air permukaan, misalnya air sungai, yang mungkin telah tercemar akan mengisi kekosongan air tanah sebagai penyedia air bersih. Kemungkinan lain yaitu, untuk daerah pantai, terjadinya intrusi

Korespondensi PenulisEmail: [email protected]

46

air laut ke formasi daratan untuk mengisi air tanah yang telah dieksploitasi. Kemungkinan ini akan bertambah apabila luasan daerah resapan air telah berkurang atau tertutup oleh bangunan-bangunan permanen [1].

Daerah Kampung Baru terletak di Kebayoran Lama – Jakarta Selatan sedangkan daerah Ciputat terletak di Tangerang Selatan, berbatasan dengan Jakarta Selatan. Di kedua daerah ini terdapat sentra-sentra industri tekstil dalam skala kecil maupun menengah dan beberapa industri rumahan seperti pengrajin tempe. Selain itu juga terdapat pasar tradisonal yang cukup besar di wilayah Ciputat dan Kebayoran Lama. Wilayah ini dialiri oleh sungai Pesanggrahan. Adanya aktifitas pasar tradisional dan sentra industri di sepanjang sungai ini dapat menimbulkan perubahan warna kehitaman pada sungai tersebut. Perubahan warna air sungai merupakan salah satu indikator telah terjadi pencemaran [2]. Berdasarkan Indeks Kualitas Air yang di sungai Pesanggrahan nilainya adalah 54,47, ini berarti sungai Pesanggrahan ada dalam kategori sedang tingkat pencemarannya dan peruntukannya adalah perikanan [3].

Isotop alam seperti oksigen-18 (18O) dan deuterium (2H) dalam senyawa air bersama dengan parameter kimia lainnya dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah terkait sumber daya air. Kedua isotop ini banyak berperan dalam studi hidrogeologi untuk menjawab pertanyaan asal-usul air tanah, waktu tinggal dan percampuran air tanah dengan air permukaan atau air tanah dari aquifer lain. Adanya efek fraksinasi antara isotop lebih ringan (misalnya: 16O dan 1H) dan isotop lebih berat (misalnya: 18O dan 2H) akan memberikan komposisi perbandingan isotop yang khas dalam senyawa air [4-6].

Dalam siklus hidrologi, fraksinasi isotop 18O dan 2H dipengaruhi oleh faktor suhu lokal. Semakin tinggi suatu daerah (besar altitude) maka akan semakin rendah (depleted) nilai δ 18O dan δ 2H dalam air presipitasinya (misalnya: air hujan, salju). Data δ 18O dan δ 2H dalam air presipitasi dari beberapa ketinggian digunakan untuk memperoleh garis meteorik lokal, sebagai dasar atau fungsi input untuk penentuan daerah

resapan air tanah pada suatu daerah [4-6]. Adanya kemungkinan perbedaan asal-usul air tanah antara air tanah dangkal, air permukaan maupun air tanah dalam maka melalui data isotop 18O dan 2H dapat diketahui apakah terdapat proses percampuran. Apabila kondisi air permukaan telah tercemar maka proses percampuran ke dalam air tanah sebagai penyedia air bersih tentu sangat tidak dikehendaki atau harus dihindari.

Penelitian tentang distribusi isotop stabil oksigen-18 dan deuterium bersama dengan parameter konduktivitas di air sungai telah dilakukan di Danube River – Serbia untuk mengetahui hubungan percampuran dengan air dari anak sungainya [7]. Percampuran antara air permukaan pada Little River dan air tanah di sistem Karst – Florida dapat diketahui dengan menggunakan isotop oksigen-18 dan deuterium [8]. Kedua isotop ini juga digunakan untuk mengetahui asal-usul air sungai Pecos River di Amerika [9], Urumqi River di China [10]. Pembaharuan basis data tahun 1984-1987 pada pola oksigen-18 dan deuterium dilakukan pada tahun 2000 di sungai-sungai utama di Amerika Serikat untuk studi siklus hidrologi modern [11]

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai isotop δ 18O dan δ 2H pada air sungai Pesanggrahan di wilayah Ciputat dan Kebayoran Lama. Data ini digunakan untuk mengetahui asal-usul dan faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi nilai isotop δ 18O dan δ 2H di sepanjang aliran sungai Pesanggrahan. Penelitian ini berguna sebagai basis data proses infiltrasi air sungai Pesanggrahan ke air tanah di sekitarnya. Selama ini basis data isotop δ 18O dan δ 2H pada air sungai Pesanggrahan belum pernah dibuat. Data isotop δ 18O dan δ 2H pada sungai Pesanggrahan kemudian dibandingkan dengan data isotop δ 18O dan δ 2H pada bagian hulu sungai di daerah Bogor.

MeTOde PenelITIan

BahanBahan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah gas CO2 (99,9%), nitrogen cair, Zn granular yang teraktifasi (BDH), JAWS (Jakarta

E. Ristin Pujiindiyati and Banu Irwan Nugroho 2010

47

Water Standard) berupa air tanah dari PATIR-BATAN, aseton (Merck) dan gas hidrogen murni (99,9%).

PeralatanPeralatan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah Global Positioning System - GPS (SporTrak Magellan), seperangkat alat spektrometer massa Sira-9 dan jalur Isoprep-18 (VG Isogas Middlewich), pendingin cryocool CC-100 II (Neslab), furnace blok dari aluminium, termometer digital, mikropipet, tabung kjedhal, termos vakum, neraca analitik, botol gelas 20 ml dengan penutup ganda, pompa vakum rotari dan difusi (Edwards High Vacuum), jalur pemvakuman dari gelas dan manometer (Edward Pirani 1001).

Prosedur

Pengambilan sampel air sungaiSampel air sungai diambil dari S.

Pesanggrahan, S. Ciliwung dan S. Cidurian pada permukaan sebanyak 20 mL untuk analisis isotop 18O/16O dan 2H/1H. Botol gelas diisi penuh air sehingga tidak ada gelembung udara di dalamnya dan ditutup rapat. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Januari dan Februari 2008.

Analisis isotop dilakukan di laboratorium Hidrologi – Bidang Kebumian dan Lingkungan, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi – BATAN.

analisis isotop 18O/16O dalam senyawa air

Metode yang digunakan adalah menurut Epstein Mayeda, yakni dengan pengukuran kelimpahan relatif isotop 18O terhadap 16O dalam gas CO2 dari hasil kesetimbangan sampel air [12]. Sebanyak 2 mL air dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian dilekatkan pada alat Isogas isoprep-18. Alat ini dapat dimuati sebanyak 22 sampel air dan 2 standar air internal yaitu JAWS (Jakarta Water Standard) seperti terlihat pada Gambar 1. Seluruh tabung divakumkan kemudian dialiri gas CO2 sebanyak 960 mbar dan dikocok selama satu malam agar terjadi kesetimbangan. Reaksi kesetimbangan yang terjadi adalah sebagai berikut: H2

18O cair + C 18O2 gas H2 16O cair +

C 16O2 gasGas CO2 hasil kesetimbangan dialirkan ke

dalam alat spektrometer massa untuk pengukuran kelimpahan relatif massa 46 (untuk isotop 12C18O16O) terhadap massa 44 (untuk isotop 12C16O 16O).

TO THE PUMP

SAMPLECONTAINER

FINGERCO2 FREEZING

FROMCO2 TANK

CO2MANOMETER

PIRANIVACUUM GAUGE

Gambar 1. Penyiapan gas CO2 hasil kesetimbangan sampel air dengan gas CO2 murni

Studi isotop Oksigen-18..... J. Hidrosfir. Vol.5 (1) 45 - 53

48

analisis isotop 2h/1h dalam senyawa air

Analisis 2H/1H dari contoh air dilakukan pada gas hidrogen (H2) dengan pengukuran kelimpahan relatif isotop 2H terhadap isotop 1H. Gas H2 diperoleh dari hasil reduksi contoh air dengan seng (Zn). Sejumlah 250 mg logam Zn ditempatkan dalam tabung kjedhal seperti pada Gambar 2, kemudian 10 µL contoh air diinjeksikan dekat ke permukaan logam Zn. Tabung dicelupkan ke dalam N2 cair untuk membekukan contoh air kemudian tabung divakumkan hingga tekanan 10-2

160.0

73.0

57.0

20.0

‘O’ Ring

Teflon Plug

12.7Zrv

13.0

6.8

200

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

CONNECTION FORARGON CYLINDER P2

S1

P1

S2 S3

PUMP

S1, S2, S3 - STOPCORKSP1, P2 - VACUUM GAUGE1,2,3,4,...12 - O-RING POINTS

Gambar 2. Tabung kjedhal dan jalur pemvakuman untuk penyiapan gas H2

mbar. Tabung ditutup rapat kemudian dipanaskan hingga 450oC selama 60 menit. Reaksi reduksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

H2O(l) + Zn(p) H2(g) + ZnO(p)

Dua gas H2 dari standar air internal (Jakarta Water Standard) disiapkan dengan cara yang sama. Gas H2 diinjeksikan ke spektrometer massa untuk pengukuran kelimpahan relatif massa 3 (untuk isotop 2H1H) terhadap massa 2 (untuk isotop 1H1H) [13].

Penentuan nilai δ 18O

Nilai kandungan isotop dinyatakan dengan notasi δ (delta) dalam satuan per mil (0/00) dan didefinisikan dengan persamaan:

Notasi R adalah kelimpahan relatif isotop 18O terhadap 16O atau isotop 2H terhadap 1H. Standar internasional yang digunakan adalah air laut rata -rata atau SMOW (Standard Mean Ocean Water) [4-5].

haSIl dan PeMBahaSan

Data lokasi pengambilan contoh air sungai Pesanggrahan di daerah Ciputat dan Kebayoran Lama beserta nilai δ 18O dan δ 2H dapat dilihat pada Tabel 1. Pada tabel tersebut juga disertakan data nilai δ 18O dan δ 2H air sungai Cidurian dan Ciliwung di daerah Bogor yang lebih dekat dengan hulu sungai. Data nilai δ 18O dan δ 2H pada air hujan di Jakarta dan Bogor pada berbagai ketinggian seperti tertera pada Tabel 2 [14]. Data tersebut selanjutnya dievaluasi dengan membuat grafik hubungan δ 18O terhadap δ 2H pada air sungai Pesanggrahan.

E. Ristin Pujiindiyati and Banu Irwan Nugroho 2010

49

Tabel 1. Data lokasi, nilai δ 18O dan δ 2H air dari air sungai Pesanggrahan di daerah Ciputat dan Kebayoran Lama.

no lokasi δ 18O δ 2hBujur Timur lintang Selatan (0/00 SMOW) (0/00 SMOW)

S. Pesanggrahan - Ciputat1 106o 45’ 59,46” 6o 17’ 24,49” -6,34 -38,12 106o 45’ 58,43” 6o 17’ 19,93” -4,96 -29,33 106o 46’ 00,67” 6o 17’ 19,65” -4,75 -30,44 106o 46’ 02,84” 6o 17’ 18,35” -5,27 -34,55 106o 46’ 01,00” 6o 17’ 15,11” -6,99 -36,56 106o 46’ 06,49” 6o 16’ 52,81” -5,72 -27,07 106o 46’ 07,30” 6o 16’ 49,95” -3,99 -23,8

S. Pesanggrahan – Kebayoran Lama8 106o 45’ 50,55” 6o 13’ 39,15” -6,22 -41,59 106o 45’ 51,08” 6o 13’ 36,94” -8,13 -40,610 106o 45’ 53,08” 6o 13’ 35,44” -8,31 -44,411 106o 45’ 57,61” 6o 13’ 34,88” -7,14 -46,512 106o 45’ 59,55” 6o 13’ 32,20” -7,58 -42,913 106o 45’ 59,21” 6o 13’ 28,29” -5,68 -29,614 106o 45’ 57,84” 6o 13’ 26,20” -6,85 -38,715 106o 45’ 55,73” 6o 13’ 22,88” -7,91 -49,816 106o 45’ 56,91” 6o 13’ 20,02” -7,13 -42,9

S. Cidurian - Bogor17 106o 30’ 26,12” 6o 31’ 38,03” -8,89 -56,5

S. Ciliwung - Bogor18. 106o 59’ 04,30” 6o 42’ 00,32” -7.83 -44.8019. 106o 56’ 21,11” 6o 41’13,90” -7.21 -40.40

Tabel 2. Data lokasi, nilai δ 18O dan δ 2H dari stasiun pengambilan curah hujan di sekitar Jakarta

No. Lokasi Elevasi δ 18O δ 2H(m) (0/00 SMOW) (0/00 SMOW)

1 Tongkol 10m -5,68 -32,52 Pasar Jum’at 40m -5,83 -33,13 Parung) 120m -6,21 -34,04 Bogor 200m -6,30 -35,05 Ciawi 600m -6,71 -39,36 Puncak 1020m -8,14 -50,7

Studi isotop Oksigen-18..... J. Hidrosfir. Vol.5 (1) 45 - 53

50

Gambar 3. Hubungan δ 18O dan δ 2H pada air S. Pesanggrahan di Ciputat dan di Kebayoran Lama; S. Ciliwung dan S. Cidurian di Bogor sebagai pembanding; dan air hujan lokal

Data nilai δ 18O air sungai Pesanggrahan pada daerah Ciputat hingga Kebayoran Lama berkisar antara –3,99 0/00 hingga –8,31 0/00 sedangkan data nilai δ 2H berkisar antara –23,8 0/00 hingga –49,8 0/00. Gambar 3 memperlihatkan hubungan linier antara nilai δ 18O dan δ 2H pada contoh air sungai Pesanggrahan di daerah Kebayoran Lama dengan persamaan δ 2H = 4,46 δ18O – 9,67 (r=0,69), Ciputat dengan persamaan δ 2H = 4,06 δ18O – 9,31 (r=0,79) sedangkan air hujan lokal menunjukkan persamaan garis linier sebesar δ 2H = 7,78 δ18O + 12,94 (r=1). Dari ketiga persamaan tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran garis linier antara nilai δ18O dan δ 2H pada air sungai dari garis awal input air hujan lokal sebagai sumber mata air sungai. Pergeseran kandungan kedua isotop ke arah lebih kaya (enriched) yang ditandai dengan nilai slope yang lebih kecil dari nilai slope air hujan lokal (sebesar 7,78) menunjukkan bahwa telah terjadi proses penguapan pada air sungai Pesanggrahan. Lokasi pengambilan contoh air sungai Pesanggrahan berada pada ketinggian ± 40 m dpl (di atas permukaan laut). Sebagai perbandingan, air sungai Cisadane juga

mengalami pergeseran slope dengan persamaan regresi δ 2H = 1,28 δ18O – 33,52, yang juga menunjukkan adanya proses evaporasi [15].

Kejadian tersebut berbeda dengan air sungai Ciliwung-1 (ketinggian 1278 m dpl), Ciliwung-2 (ketinggian 940 m dpl) dan Cidurian (ketinggian 203 m dpl) di daerah Bogor. Pada Gambar 3 terlihat bahwa nilai δ 18O dan δ 2H dari tiga lokasi, berada dekat dengan garis air hujan lokal. Ini berarti contoh air sungai di daerah hulu tersebut belum mengalami proses evaporasi. Semakin kecil pergeseran titik-titik data dari garis air hujan lokalnya maka semakin kecil kejadian proses evaporasi pada air sungai ataupun pada air tanah [4].

Gambar 4 memperlihatkan hubungan nilai δ 18O terhadap elevasi pengambilan contoh curah hujan lokal dan air sungai. Semakin tinggi elevasi maka nilai δ 18O pada air meteorik, misalnya air hujan, akan semakin rendah (depleted). Hal ini berkaitan dengan perjalanan uap air dari proses penguapan air laut hingga terjadi hujan pada berbagai ketinggian. Isotop dengan massa lebih berat yaitu 18O akan lebih mudah turun dari fraksi uapnya ke fraksi air (sebagai air hujan atau salju) dibandingkan isotop lebih ringan yaitu 16O.

E. Ristin Pujiindiyati and Banu Irwan Nugroho 2010

51

Proses fisik ini akan mencirikan bahwa semakin tinggi elevasi, dengan suhu semakin rendah, dari pergerakan uap air maka kandungan isotop 18O akan semakin sedikit dibandingkan dengan 16O, atau nilai δ 18O semakin menurun. Nilai δ 18O pada air hujan yang meresap ke dalam tanah akan sama dengan nilai δ 18O air tanah pada ketinggian tertentu. Nilai δ 18O air tanah ini akan tetap nilainya atau terawetkan dalam pergerakannya selama tidak mengalami proses evaporasi, dilusi, kondensasi, pembekuan, pertukaran isotop karena melalui magma dan reaksi kimia. Proses evaporasi akan menyebabkan pengkayaan nilai δ 18O sedangkan proses dilusi menyebabkan penurunan nilai δ 18O

dari fungsi input air hujan. Pergerakan nilai ke arah negatif ini relatif terhadap senyawa standar yang digunakan yaitu nilai air laut rata-rata atau SMOW (Standard Mean Ocean Water) yang telah disepakati secara internasional sebesar 0 0/00 [4-5].

Nilai δ 18O air sungai Cidurian dan Ciliwung di daerah Bogor terlihat berada pada kisaran (dengan tingkat kesalahan 10%) nilai δ 18O air hujan di daerah Puncak pada ketinggian ±1000 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa sumber mata air pada air sungai di daerah Bogor tersebut dominan berasal dari air hujan setempat dengan ketinggian ± 1000 m dpl.

Ele

vasi

(m)

δ 18O (0/00 SMOW)Gambar 4. Hubungan δ 18O pada S. Pesanggrahan di Ciputat dan di

Kebayoran Lama; S. Ciliwung dan S. Cidurian di Bogor terhadap elevasi curah hujan lokal

Hal yang berbeda terlihat pada air sungai Pesanggrahan di daerah Ciputat dan Kebayoran Lama. Data nilai δ 18O di dua daerah ini lebih tersebar pada berbagai ketinggian air hujan seperti terlihat pada Gambar 4. Nilai δ 18O air sungai Pesanggrahan di Ciputat berada pada kisaran nilai δ 18O pada air hujan dari ketinggian 0 m hingga 600 m dpl sedangkan nilai δ 18O di daerah Kebayoran Lama berada pada kisaran

nilai δ 18O air hujan pada ketinggian hingga 1000 m dpl. Hal ini menunjukkan adanya proses percampuran berbagai input air tanah terhadap air sungai Pesanggrahan sepanjang perjalanan dari hulu di daerah Bogor hingga titik pengambilan sampel di sekitar Jakarta Selatan.

Seperti diketahui bahwa di sepanjang aliran air sungai Pesanggrahan di dua daerah tersebut terdapat beberapa anak sungai dan

Studi isotop Oksigen-18..... J. Hidrosfir. Vol.5 (1) 45 - 53

52 E. Ristin Pujiindiyati and Banu Irwan Nugroho 2010

saluran pembuangan limbah pabrik tekstil dan industri rumah tangga. Pada sampel air sungai Pesanggrahan di daerah Ciputat dengan nomor sampel-2, yakni tepat berada pada saluran pipa pembuangan limbah pabrik tekstil yang cukup besar, terjadi pengkayaan nilai δ 18O sebesar –4,96 0/00. Pengkayaan ini kemungkinan akibat proses evaporasi air limbah pabrik tekstil tersebut pada kolam-kolam terbuka untuk pengolahan limbah sebelum dibuang ke aliran sungai. Terdapat kemungkinan juga bahwa pengkayaan nilai δ 18O tersebut akibat dari proses industri yang melibatkan suhu tinggi sehingga terjadi proses evaporasi (misalnya penggunaan air sebagai pendingin mesin) yang kemudian ikut dibuang di kolam pembuangan limbah. Apabila air tanah yang diambil untuk proses indutri tekstil tersebut berasal dari air tanah dangkal maka nilai δ 18O adalah sekitar –5,83 0/00 (nilai δ 18O air hujan pada ketinggian 40 m dpl) sedangkan jika diambil dari air tanah dalam (kedalaman 40 m hingga 140 m dpl) di daerah tersebut maka nilai δ 18O adalah sekitar –6,65 0/00 [16]. Data pada sampel-2 yang lebih diperkaya daripada dua data δ 18O air tanah memperjelas bahwa telah terjadi proses evaporasi pada sampel tersebut yang kemungkinan berasal dari limbah pabrik tekstil. Pengaruh nilai δ 18O yang diperkaya pada sampel-2 masih terlihat pada sampel-3 yang berjarak sekitar ±5 m dari pipa pembuangan limbah kemudian berangsur-angsur mendekati nilai δ 18O air tanah. Pada sampel-7 juga kembali terjadi pengkayaan nilai δ 18O yang kemungkinan mengalami proses yang sama dengan sampel-2.

Data nilai δ 18O pada air sungai Pesanggrahan di daerah Kebayoran Lama menunjukkan fenomena yang agak berbeda dengan air sungai Pesanggrahan di daerah Ciputat. Standar deviasi air sungai Pesanggrahan di Kebayoran Lama adalah 0,87 0/00, berbeda dengan di daerah Ciputat yang mempunyai nilai standar deviasi lebih besar yakni 1,01 0/00. Hal ini menunjukkan bahwa sumber nilai δ 18O air sungai Pesanggrahan di daerah Kebayoran Lama lebih seragam yang berasal dari percampuran sumber air dari daerah yang lebih tinggi dengan air tanah lokal. Apabila dilihat dari lokasi, sepanjang daerah ini tidak terdapat pabrik atau industri skala

besar tidak seperti di Ciputat, walaupun di daerah Kebayoran Lama terdapat beberapa selokan yang airnya berwarna agak kehitaman. Warna kehitaman ini kemungkinan lebih disebabkan oleh asam humus hasil dari degradasi limbah organik dari kegiatan pasar tradisional dan sampah rumah tangga. Industri di sekitar daerah ini adalah industri dengan skala rumahan atau skala kecil seperti industri tekstil, pembuatan tempe, pembuatan tahu dan pengasapan ikan, yang mungkin langsung membuang limbahnya ke aliran sungai atau selokan tanpa melalui kolam-kolam terbuka untuk pengolahan limbah. Hal ini terlihat pada sampel-13 yang mempunyai nilai δ 18O sebesar –5,68 0/00. Pada sampel ini cenderung tidak menunjukkan pengkayaan nilai δ 18O akibat proses evaporasi walaupun lokasi pengambilan sampel tepat berada pada pipa pembuangan limbah pabrik tekstil. Nilai ini masih mendekati nilai air hujan di daerah tersebut yakni sebesar –5,83 0/00.

KeSIMPulan

Air sungai Pesanggrahan di daerah Ciputat mempunyai nilai δ 18O berkisar antara –3,99 0/00 hingga –6,99 0/00 dan nilai δ 2H berkisar antara –23,8 0/00 hingga –38,1 0/00 sedangkan di daerah Kebayoran Lama nilai δ 18O berkisar antara –5,68 0/00 hingga –8,31 0/00 dan nilai δ 2H berkisar antara –29,6 0/00 to –49,8 0/00, Garis regresi nilai δ 18O terhadap δ 2H menunjukkan telah terjadi proses penguapan di kedua wilayah tersebut. Air sungai Pesanggrahan berasal dari percampuran air tanah lokal dan mata air hingga ketinggian ±1000 m dpl. Tepat pada saluran pembuangan limbah industri tekstil di S. Pesanggrahan di daerah Ciputat menunjukkan anomali pengkayaan pada nilai δ 18O dan δ 2H yang kemungkinan akibat evaporasi dari kolam pengolahan limbah. Akan tetapi, beberapa industri rumah tangga di daerah Kebayoran Lama, tidak menyebabkan perubahan terhadap nilai kedua isotop tersebut pada aliran sungai Pesanggrahan.

uCaPan TeRIMa KaSIh

Penulis mengucapkan terima kasih Kepala Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi – BATAN atas dana penelitian melalui usulan

53

penelitian pada tahun 2007. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan di laboratorium Hidrologi – PATIR, khususnya kepada saudara Bungkus Pratikno atas bantuan dalam pengoperasian alat spektrometer massa.

daFTaR PuSTaKa

1. Robert, J.K, 1996., Pengantar Hidrogeologi., Andi., Yogyakarta, 9.

2. Wisnu, A.W., 2004., Dampak Pencemaran Lingkungan., Andi, Yogyakarta, 74

3. Diana, H., 2005., Makara Teknologi, 9,1,13-19

4. Clark, I.D., and Fritz, P., 1997, Environmental Isotopes in Hydrogeology, Lewis publishers, New York, 63-108

5. Willem, G.M., 2000, Environmental Isotopes in Hydrological Cycle: Introduction, Theory and Methods Review, IAEA – Unesco, Paris, 101-114.

6. Mebus, G., 2000, Environmental Isotopes in Hydrological Cycle: Groundwater Saturated and Unsaturated Zone, IAEA – Unesco, Paris, 65-72

7. Miljevic, N., Golobacanin, D., Ogrinc, N., and Bondzic, A., 2008, Isotopes in Environmental Health Studies, 44, 2, 137-148.

8. Brian, G.K., 1999, Using δ 18O and δ D to Quantify ground-water/surface-water interaction in Karst System of Florida, http://www.acmi.gov/monitoring/conference/diakses 1 Maret 2010.

9. Fasong, Y., and Seiichi, M., 2008, Chemical Geology, 255, 2, 220-230

10. Xinping, Z., Tandong, Y., and Jingmiao, L., 2003, Journal of Geographical Sciences, 13, 4, 438-446.

11. Kendall, C., and Coplen, B.T., 2001, Hydrological Processes, 15, 7, 1363-1393

12. Epstein, S and Mayeda, T.K., 1959, Geochim.Cosmochim.Acta , 4, 213-224.

13. Tanweer, A., Hut, G., and Burgman, J.O., 1988, Chem. Geol., 73, 199-203.

14. Wandowo., 2000, Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu V Bidang Teknologi Perlindungan Lingkungan 1997-2000, Kantor Menteri Riset dan Teknologi – Dewan Riset Nasional, Jakarta.

15. Syafalni., Paston, S., and Ristin, P.I., 2007., Risalah Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Tahun 2005, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi - BATAN, 204-210.

16. Ristin, P.I., Wandowo, Zainal, A., 2007, Indo. J. Chem, 7, 1, 32-37.

Studi isotop Oksigen-18..... J. Hidrosfir. Vol.5 (1) 45 - 53

54

1. Ruang lingkup

Jurnal Hidrosfir Indonesia memuat hasil-hasil riset, hasil-hasil survei, laporan teknis dan studi pustaka di bidang kebumian dan hasil riset bidang ilmu yang terkait.

2. Tata Cara Pengiriman naskah

Naskah berupa naskah yang asli, mengunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar (Ejaan Yang Disempurnakan, EYD) atau dalam Bahasa Inggris dengan ejaan yang didasarkan atas Oxford Dictionary, tidak diperkenankan mengunakan singkatan yang tidak umum, jelas bahan dan tujuan yang digunakan, metode yang diterapkan, dan belum pernah dipublikasikan di mana saja.

Naskah diketik dengan program MS-Words dalam spasi 1.5 huruf arial 11. Naskah di kirim ke Redaksi Pelaksana di Gedung II BPPT Lantai 19 Jl. M.H. Thamrin No.8 Jakarta 10340 Telp.(021) 316 9737 Fax. (021) 316 9760, e-mail : [email protected]; [email protected]

Naskah yang diterbitkan akan dibebani biaya penerbitan sesuai dengan banyaknya halaman dan biaya percetakan.

3. Penulisan naskah

a. Judul Hendaknya tidak melebihi dari 10 kata dan harus mencerminkan isi naskah, diikuti nama

lengkap, bidang keahlian dan instansi asal penulis. E-mail dan nomor telpon ditulis sebagai catatan kaki di bawah halaman pertama.

b. Abstraks Dibuat dalam bahasa Inggeris dengan grammar yang benar, maksimal 250 kata yang

menggambarkan tujuan, metode dan hasil penelitian.

c. Keywords Paling banyak 10 kata dalam bahasa inggeris, merupakan kata terpenting dalam

artikel.d. Pendahuluan Berisi latar belakang, justifikasi, tujuan dan sasaran serta pokok-pokok topik yang akan

dibahas. Pendahuluan harus menggambarkan pentingnya penelitian dilakukan serta hasil penelitian yang sudah ada sebagai landasan penelitian yang ditulis dalam jurnal ini.

e. Hasil dan Pembahasan Penulis harus menyampaikan data/hasil pengamatannya. Hubungkan dan diskusikan

dengan referensi/hasil penelitian lain. Jelaskan mengapa hasil penelitian yang didapat berbeda atau sama dengan referensi yang ada. Pembahasan yang dikemukakan harus mengunakan pustaka yang relevan dan up to date.

f. Tabel Tabel diberi nomor urut, judul singkat dan informatif. Diketik dengan program MS-

Excel.

JuRnal hIdROSFIR IndOneSIaPedoman untuk Penulis

Pedoman Penulis

55

g. Gambar dan Grafik Gambar dan Grafik diberi nomor urut, judul dan keterangan yang jelas dan diletakkan

di bawah gambar/grafik. Grafik disertai dengan data digital mengunakan program MS-Excel.

h. Kesimpulan Kesimpulan diuraikan dengan logika yang benar, secara ringkas dan jelas mengacu pada

pokok-pokok bahasan. Kesimpulan yang disampaikan sesuai dengan tujuan penelitian yang ditetapkan.

i. Foto Foto dipilih warna yang kontras atau hitam putih, diberi judul dan nomor urut.

j. Daftar Pustaka

Penulisan daftar pustaka sesuai dengan aturan Jurnal Hidrosfir Indonesia. Daftar referensi disusun menurut urutan kemunculan dalam teks (bukan menurut urutan abjad)

Pedoman Penulis

56

Formulir Pengiriman Jurnal

Kepada Yth.Redaksi Jurnal Hidorsfir IndonesiaPusat Teknologi LingkunganJl. M.H. Thamrin No.8 Gedung BBPT II Lantai 19JAKARTA 10340

Dengan hormat,Kami berminat mendapatkan Jurnal Hidrosfir Indonesia.Mohon jurnal tersebut dikirimkan ke alamat sebagai berikut :

Nama : ..................................................................................Alamat : ..................................................................................Kota : ..................................................................................Telp/fax : ..................................................................................Untuk persyaratan pengiriman, bersama ini kami lampirkan amplop ukuran A4 dengan alamat lengkap dan perangko pengiriman.

Terima kasih.

Hormat kami,

........................................(Nama lengkap, ttd & cap lembaga)

NB. Formulir dapat diperbanyak

Untuk Memperoleh Jurnal Hidrosfir Indonesia

Jurnal Hidrosfir Indonesia (JHI) terbit 3 kali dalam setahun dengan tiras sekitar 150 exsemplar tiap kali terbit. JHI dapat diperoleh secara gratis oleh Perpustakan/Badan/Lembaga dengan mengirimkan formulir di bawah ini ke Redaksi JHI. JHI juga dapat secara pribadi dengan mengganti bea cetak dan pengiriman sebesar Rp.50.000,- per eksemplar. Pembayaran dilakukan dimuka melalui rekening Bank BRI Britama a.n. Arif Dwi Santoso No.Rek.1242-01-002107-50-6. Formulir dan bukti transfer di fak ke 021-316 9760.

Pedoman Penulis

57