23
IMPLEMENTASI KONSEP REINVENTING GOVERNMENT DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH * Oleh: Budi Winarno ABSTRACT This study discusses the implementation of a concept of reinventing government in the context of realizing local autonomy in Indonesia. This concept was introduced by Osborne and Gaebler as a critic towards the performance of hierarchical Weberian bureaucracy adopted in the United States, in which it became increasingly unefficent and uneffective to deliver public service as a result of the fast global changes. As a concept, entrepreneurial bureaucracy is promising, and therefore it is considered very important to be adopted in the context of rebuilding a new Indonesian bureaucracy to support the implementation of local autonomy. Several problems, however, become a stumbling bloc in the adoption of reinventing government since Indonesian bureaucracy has been characterized as a patrimonial bureaucracy coloured by corruption, collusion and nepotism. Thus, the strong commitment and the real action of national and local political elites and the current wave of democracy are needed to do reforming. Keywords: reinventing government, entrepreneurial bureaucracy, local autonomy. kalangan ilmuwan, politisi, dan pejabat publik. Pada masa kemerdekaan atau masa Orde Lama misalnya, pernyataan tentang otonomi yang seluas-luasnya tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, dan disusul kemudian dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Setahun sebelumnya juga muncul undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 1956. Di era pemerintahan Orde Baru, kita mengenal Undang-Undang Nomor 5 A. PENDAHULUAN 1. Seputar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia Salah satu hasil reformasi yang patut mendapatkan penghargaan yang besar adalah dikeluarkannya perangkat hukum yang menjamin dilaksanakannya otonomi daerah secara nyata dan bertanggung jawab. Meskipun otonomi daerah itu sendiri bukan merupakan hal baru karena telah mendapatkan perhatian sejak masa pemerintahan Soekarno bahkan sejak pemerintahan kolonial, tetapi bentuk ideal dan implementasinya telah banyak menimbulkan perdebatan di 175

Budi Winarno - E-Journal Undip

Embed Size (px)

Citation preview

IMPLEMENTASI KONSEP REINVENTING GOVERNMENTDALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH*

Oleh: Budi Winarno

ABSTRACT

This study discusses the implementation of a concept of reinventinggovernment in the context of realizing local autonomy in Indonesia. This conceptwas introduced by Osborne and Gaebler as a critic towards the performance ofhierarchical Weberian bureaucracy adopted in the United States, in which itbecame increasingly unefficent and uneffective to deliver public service as aresult of the fast global changes.

As a concept, entrepreneurial bureaucracy is promising, and therefore it isconsidered very important to be adopted in the context of rebuilding a newIndonesian bureaucracy to support the implementation of local autonomy. Severalproblems, however, become a stumbling bloc in the adoption of reinventinggovernment since Indonesian bureaucracy has been characterized as apatrimonial bureaucracy coloured by corruption, collusion and nepotism. Thus,the strong commitment and the real action of national and local political elitesand the current wave of democracy are needed to do reforming.

Keywords: reinventing government, entrepreneurial bureaucracy, local autonomy.

kalangan ilmuwan, politisi, danpejabat publik.

Pada masa kemerdekaan ataumasa Orde Lama misalnya,pernyataan tentang otonomi yangseluas-luasnya tercantum dalam UUNo. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun1948, dan disusul kemudian denganUndang-Undang Nomor 1 Tahun1957. Setahun sebelumnya jugamuncul undang-undang yangmengatur perimbangan keuanganantara pusat dan daerah, yaituUndang-Undang No. 32 Tahun 1956.Di era pemerintahan Orde Baru, kitamengenal Undang-Undang Nomor 5

A. PENDAHULUAN1. Seputar pelaksanaan otonomi

daerah di IndonesiaSalah satu hasil reformasi yang

patut mendapatkan penghargaanyang besar adalah dikeluarkannyaperangkat hukum yang menjamindilaksanakannya otonomi daerahsecara nyata dan bertanggungjawab. Meskipun otonomi daerah itusendiri bukan merupakan hal barukarena telah mendapatkan perhatiansejak masa pemerintahan Soekarnobahkan sejak pemerintahan kolonial,tetapi bentuk ideal danimplementasinya telah banyakmenimbulkan perdebatan di

175

Tahun 1974 yang menegaskanbahwa otonomi daerah dititikberat-kan pada daerah tingkat II. Selanjut-nya pasal 11 undang-undang inimenyebutkan bahwa pelaksanaanotonomi dengan titik berat padadaerah tingkat II dilaksanakandengan memuat tiga aspek utama,yaitu aspek administrasi; aspekpolitik; dan aspek kemandirian.Aspek administrasi merujuk padapemerataan dan efisiensi dalampenyelenggaraan pemerintahan danpembangunan daerah. Aspek politikmerujuk pada upaya pendemo-krasian pemerintah di daerah,sedangkan aspek kemandiriandimaksudkan agar daerah mampumandiri, khususnya dalam melaksa-nakan urusan rumah tangganyasehingga pemerintah daerah dituntutuntuk menciptakan kondisi dimanamasyarakat ikut berperan serta,kreatif, dan inovatif dalam pemba-ngunan daerah. Dengan demikian,isu mengenai otonomi daerah telahlama diperdebatkan dalam tatapemerintahan Indonesia, terutamadalam konteks hubungan antarapusat dan daerah.

Konsep ideal yang tercantumdalam masing-masing undang-undang, terutama UU No. 5 Tahun1974 yang menjadi patokanpelaksanaan desentralisasi danotonomi daerah di Indonesia padamasa Orde Baru, belum dapatdilaksanakan sesuai dengan yangdiharapkan. Hal ini karena meskipunUndang-Undang No. 5 Tahun 1974telah memberikan penekanan pada

Dati II sebagai basis pelaksanaanotonomi daerah, tetapi padakenyataannya pemerintah pusat danpemerintah daerah tingkat I masihmemegang kendali kekuasaansecara signifikan. Asas desen-tralisasi yang seharusnya menjadipijakan utama untuk melaksanakanotonomi daerah berada di bawahbayang-bayang asas dekosentrasi(Miftah Thoha, 1991). Sebagaikonsekuensinya sentralisme menjadiciri khas yang mewarnai sepanjangpelaksanaan otonomi daerah dimasa Orde Baru. Pada masa ini isudesentralisasi dalam kontekshubungan kekuasaan antara pusatdan daerah terbatas pada distribusikeuangan ke daerah-daerah tidakpernah menyentuh masalahpembagian kekuasaan (powersharing) sebagai sesuatu yangdiperlukan dalam menum-buhkanproses pembangunan demokrasi didaerah, baik antara pusat dengandaerah maupun antara birokrasidengan masyarakatnya (IchasulAmal, 1992: 9). Oleh karena itu,menjadi tidak mengherankan jika isudesentralisasi dan otonomi tetapmenjadi isu yang menarik didis-kusikan hingga saat ini terutama,ketika negara mengalami kebang-krutan ekonomi dan politik akibatkrisis moneter yang berkepanjanganbeberapa waktu yang lalu. Ini seolah-olah menjadi momen yang tepat untukmendesakkan kembali agendadesentralisasi dan otonomi daerahdalam penyelenggaraan pemerin-tahan daerah di Indonesia.

“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

176

Kuatnya peran pemerintahpusat dalam pelaksanaan otonomidaerah menimbulkan beberapaakibat. Pertama, pembangunanyang dilakukan gagal menangkapaspirasi, potensi, dan kebutuhanmasyarakat di daerah. Hal ini terjadikarena kuatnya dominasi pemerin-tah pusat sehingga para pengambilkeputusan gagal memahami aspirasidan dinamika yang berkembang ditingkat grass root. Pada akhirnya,pembangunan yang dilakukan olehpemerintah gagal dalam menjawabpersoalan-persoalan yang berada ditengah-tengah masyarakat karenapada dasarnya pemerintah daerah-lah yang lebih mempunyai pemaha-man terhadap masalah dan aspirasiyang berkembang di daerahnya.Kedua, sentralisme pembangunantelah menciptakan ketergantungandaerah terhadap pusat. Hal iniditunjukkan terutama dalam halpembiayaan proyek-proyek pem-bangunan yang dilakukan olehpemerintah. Setidaknya ada empatfaktor yang membuat daerah sangattergantung pada pusat menyangkutpembiayaan proyek-proyek pem-bangunan, yaitu: (1) kurangberperannya perusahaan daerahsebagai sumber pendapatan; (2)tingginya tingkat sentralisasi dalambidang perpajakan. Dalam konteksini, pemerintah pusat menguasaisumber-sumber pajak penting yangbersifat lucrative (pajak bidang usahadan penghasilan orang, pajakpertambahan nilai, dan bea cukai);(3) akibat yang ditimbulkan dari faktor

kedua adalah minimnya sumber-sumber penerima-an daerah yangdapat diandalkan; dan (4) faktorpolitis. Dalam hal ini ada kekha-watiran pusat jika daerah diberikekuasaan yang besar dalam halkeuangan dan pendapatan akanmuncul gerakan disintegrasi danseparatisme (Mudrajad Kuncoro,1995: 12-14). Dalam sejarah, tuntutanseperti ini muncul justru ketika daerahtidak diberi otonomi yang memadaisehingga mereka merasa tidakdiberi peran yang signifikan dalammengelola pembangunan didaerahnya. Ketiga, banyak daerahyang potensial gagal berkembangkarena sumber daya daerah yangpenting sebagai penopang pem-bangunan daerah ditarik ke pusat,dan pemerintah daerah hanyamendapatkan sedikit saja dari hasil-hasil kekayaan daerahnya, akibat-nya, banyak daerah merasa tidakpuas dengan kondisi ini sehinggamuncul desakan ke arah pembentuk-an daerah teritorial sendiri yang lepasdari peme-rintahan RI. Irian Jaya danDI Aceh dapat dijadikan contoh untukmenjelaskan hal ini. Dengan kata lainpola hubungan daerah-pusat yangdikembangkan selama pemerintah-an Orde Baru lebih dilihat sebagaipola hubungan yang eksploitatif atauada penulis yang mengatakannyasebagai bentuk-bentuk neokolonia-lisme baru Jakarta terhadap daerah-daerah di Indonesia. Keempat,sentralisme telah menciptakanhomogenisasi dan dominasi dalampembangunan daerah. Kuatnya

Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

177

pengaruh Jakarta atau dalam hal iniJawa, telah membuat pembangunandaerah yang dijalankan selamapemerin-tahan Orde Baru tidak bisadilepaskan dari bias pusat. Daerahtidak mempunyai ruang yang cukupuntuk memelihara keunikan yang adadi daerahnya.

Dengan melihat realita di atas,maka munculnya TAP MPR N0. XV/MPR/1998 yang mengamanatkanperlu diwujudkannya penyelengga-raan otonomi daerah, pengaturan,pembagian, dan pemanfaatansumber daya nasional yangberkeadilan serta perimbangankeuangan antara pemerintah pusatdan daerah dalam wadah NegaraKesatuan Republik Indonesia, yangditindaklanjuti dengan dikeluarkan-nya produk Undang-Undang No. 22Tahun 1999 tentang PemerintahanDaerah dan UU No. 25 Tahun 1999tentang Perimbangan Keuanganantara Pemerintah Pusat danDaerah, hendaknya dilihat dalamkonteks ini. Dengan kata lain,keluarnya ketetapan MPR danundang-undang otonomi daerah inisebenarnya ditujukan untukmenjawab kelemahan-kelemahanyang muncul akibat pelaksanaanUndang-Undang No. 5 Tahun 1974.Hal ini dapat kita lihat dari spirit yangmelingkupi pelaksanaan undang-undang tersebut.

Otonomi daerah sebagaimanadijelaskan dalam UU No. 22 Tahun1999, adalah kewenangan daerahotonomi untuk mengatur danmengurus masyarakat setempat

menurut prakarsa sendiri berdasar-kan aspirasi masyarakat sesuaidengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan titik beratotonomi diletakkan di daerah tingkatII seperti telah ditegaskan dalamUndang-Undang No. 5 Tahun 1974.Secara filosofis landasan yangmendasari pelaksanaan desen-tralisasi dan otonomi daerah bahwaotonomi dimaksudkan untukmeningkatkan pelayanan publik danmeningkatkan kesejahteraanmasyarakat melalui pemberiankewenangan yang lebih besarkepada daerah. Melalui kewenanganini diharapkan akan tumbuh prakarsaatau inisiatif dan kreativitas daerahuntuk mendaya-gunakan potensisetempat, dan menjadi semakinresponsif terhadap permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi.Dengan kata lain, melalui pelaksana-an otonomi daerah ini, pemerintahandaerah diharapkan akan semakinmampu bekerja secara efektif danefisien dalam melayani dan meres-pon segala tuntutan masyarakat, dandalam menyelesaikan permasalah-an yang ada (Soni Soemarsono,2001).

Ada beberapa hal pokok yangperlu digarisbawahi menyangkutpelaksanaan otonomi. Pertama,menyangkut desentralisasi itusendiri. Undang-Undang No. 22Tahun 1999 nampaknya berusahamendefinisikan desentralisasidengan merujuk pada pengertiandesentralisasi sebagaimana seringdibahas dalam kajian teoritik, yaitu

178

“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

desentralisasi dalam pengertianadministratif dan desentralisasidalam pengertian politik. Desen-tralisasi administratif (administrativedecentralization) lebih menekankanpada lembaga-lembaga pemerin-tahan formal. Titik berat lebihditekankan pada susunan organisasiatau administratif. Dalam pengertianini, desentralisasi merupakantransfer pertanggungan jawabmengenai perencanaan, mana-jemen, dan peningkatan ataupunalokasi berbagai sumber daripemerintah pusat dan berbagailembaga yang dimiliki kepadaberbagai unit lembaga pemerintahdan unit-unit yang lebih bawah.Sementara itu pengertian desentrali-sasi politik lebih menekan-kan padatransfer otoritas pembuatan keputus-an kepada daerah dan kepadakelompok yang sebelumnya tidakterwakili atau termarjinalisasi. Tujuandesentralisasi politik adalahmemberikan keleluasaan yang lebihbesar kepada warga negara ataupara wakil yang duduk di lembagaperwakilan dalam proses pembuat-an keputusan publik.

Pada masa lampau, desen-tralisasi administratif lebih dominandibandingkan dengan desentralisasipolitik. Akibatnya, pemerintah daerahkurang mempunyai otoritas dalammengambil keputusan-keputusanpolitik menyangkut alokasi sumberdaya pembangunan sesuai dengankebutuhan dan potensi daerahnya.Kuatnya pelaksanaan asas dekon-sentrasi dibandingkan dengan asas

desentralisasi membuat daerahhanya menjadi pelaksana kebijakanpusat.

Kedua, keterlibatan masyara-kat (daerah) dalam proses pem-bangunan. Konsekuensi yang palingpenting sebagai akibat pelaksanaandesentralisasi politik adalahketerlibatan masyarakat (daerah)dalam proses pengambilan keputus-an. Pada masa lampau pembangun-an sangat bersifat sentralistik dimanarakyat berada dalam posisi marginaldalam proses pengambilan keputus-an. Segala sesuatu menyangkutprogram-program pembangunantelah digariskan oleh pemerintahpusat dalam suatu lingkaran elitterbatas, dan pemerintah daerahhanya menjadi pelaksana dariprogram pembangunan yang telahdigariskan. Masyarakat dalamkondisi seperti itu hanya menjadi“penggembira” dalam prosespembangunan dan keberadaannyahanya dibutuhkan sebagai imple-mentor kebijakan melalui mobilisasimassa yang dilakukan oleh elit-elitlokal.

Ketiga, perbaikan pelayananbirokrasi daerah melalui penciptaanlembaga birokrasi yang lebihresponsif. Sentralisme yang dikem-bangkan pada masa pemerintahanOrde Baru telah membuat pemerin-tah daerah tidak lagi responsifterhadap kebutuhan-kebutuhanmasyarakat. Hal ini terjadi karenapemerintah daerah tidak diberi ruanguntuk mengenali permasalahan yangdihadapi, dan mengembangkan cara

Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

179

yang efektif untuk mengatasi masalahtersebut. Segalanya telah ditetapkandi pusat sehingga daerah kehilangankreativitasnya. Pelaksanaan otono-mi daerah yang menyandarkan padaDati II diharapkan akan menciptakankarakter pemerintahan daerah yanglebih kreatif dan responsif terhadapkebutuhan masyarakat.

Keempat, dalam skala yanglebih luas pelaksanaan otonomidaerah ini ditujukan untuk merang-sang daerah-daerah agar mengem-bangkan potensi yang dimiliki gunamenopang pembangunan daerahnyamasing-masing. Dengan kata lain,pemberlakuan undang-undang inidiharapkan akan memacu daerahuntuk secara kreatif mengembang-kan potensi yang dimiliki secaramandiri melakukan pembangunandaerah.

2. Kebutuhan akan reformasibirokrasi PemerintahanDaerah

Sebagaimana telah dising-gung dalam uraian sebelumnya,tujuan dilaksanakannya otonomidaerah adalah dalam rangkameningkatkan pelayanan publik danmeningkatkan kesejahteraan masya-rakat melalui pemberian kewenanganyang lebih besar kepada daerah. Disisi lain, melalui pelaksanaanotonomi pemerintah daerah diharap-kan lebih kreatif dalam mengem-bangkan potensi di daerahnyamasing-masing sehingga merekaakan mampu melakukan pem-bangunan daerah. Kesejahteraan

rakyat sebagaimana hendak di-wujudkan melalui pelaksanaanotonomi ini hanya mungkin dapatdicapai jika daerah mampu me-ngembangkan potensi yang merekamiliki sebagai modal utama untukmelakukan pembangunan. Oleh ka-rena itu, aparat pemerintah daerahharus kreatif dalam mengembangkansetiap potensi yang mereka milikisebagai usaha untuk meningkatkanpendapatan asli daerah (PAD).Peningkatan PAD ini dapat merekaperoleh melalui pengelolaanperusahaan daerah secara efisiensehingga mampu menghasilkankeuntungan yang besar, pemanfaat-an sumber-sumber kekayaan alam,atau melalui pajak, dan penarikaninvestasi ke daerah sehingga akanmemacu pertumbuhan ekonomi.Untuk menarik investasi inipemerintah daerah harus mampumengembangkan birokrasi yangefisien, tidak korup, demokratis(dalam arti terdesentralisasi), danramah terhadap investasi. Peme-rintah daerah masa lampau lebihbersifat pasif, tidak akuntabel, kurangresponsif, dan tersentralisasikan olehpusat, sehingga tidak lagi memadaiuntuk menjawab tantangan yangmuncul. Singkatnya otonomi daerahyang hendak dilaksanakan diharap-kan akan memberikan manfaat yangbesar terhadap daerah. Diantaramanfaat yang diharapkan adalahsebagai berikut: (1) peningkatanefisiensi dan efektivitas administrasipemerintahan dan pembangunan didaerah; (2) terciptanya hubungan

180

“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

yang harmonis dan saling membutuh-kan antara pemerintah denganmasyarakat; (3) mempertinggi dayaserap aspirasi masyarakat dalamprogram pembangunan; (4) terjadi-nya penanganan masalah secaraterpusat dan tepat dari berbagaipermasalahan aktual yang ber-kembang dalam masyarakat. (5)mendorong munculnya partisipasimasyarakat dalam pemerintahan danpembangunan di daerah (AhmadJamli, 1998: 4).

Agar otonomi daerah men-dapatkan manfaat seperti telahdijelaskan di awal, kita mem-butuhkan wajah birokrasi yang baru,yang mampu bertindak sebagaikreator dan inovator dalampembangunan daerah. Hal ini karenawajah birokrasi yang lama tidak lagimemadai untuk menopang otonomidaerah yang penuh dengantantangan, kompetisi, dan tentu sajakompleksitas permasalahan. Olehkarena itu, gagasan mengenaireinventing government nampaknyamenemukan relevansinya dalamkonteks ini. Pertanyaan yang munculadalah bagaimana konsepreinventing government ini dapatdiimplementasikan di Indonesia?Kendala-kendala apa saja yangmungkin timbul jika konsep inihendak diimplementasikan? Apayang dapat kita lakukan untukmelaksanakan konsep tersebut diIndonesia, terutama dalam konteksotonomi daerah?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, maka langkah

pertama yang perlu kita lakukanadalah mencari kerangka kon-septual mengenai apa yangdimaksud dengan reinventinggovernment. Untuk itu, tulisanOsborne dan Gaebler, dan Osbornedan Plastrik akan dijadikan rujukanutama untuk menjelaskan konsep ini.Hal ini tidak berarti bahwa kita harusmenerima begitu saja konsepreinventing government yangditawarkan Osborne dan Gaebler inidalam konteks Indonesia. Hal inikarena penerapan suatu konseptidak bisa dilepaskan dari kontekssosial, ekonomi, politik, dan budayayang melingkupinya. Kedua, setelahkita mengetahui dengan jelas konsepreinventing government, pertanyaanselanjutnya adalah bagaimanakonsep ini dapat diterapkan diIndonesia. Untuk itu perlu kiranya jugadalam konteks ini dicari persoalan-persoalan yang mungkin dapatmenjadi penghambat bagi implemen-tasi konsep reinventing governmentdi era otonomi daerah sekarang ini.Pembahasan mengenai karak-teristik birokrasi Indonesia adalahpenting karena birokrasi akanmemegang peran yang signifikan,dan sekaligus menjadi subyekreformasi yang hendak dilakukan.Pengidentifikasian peluang jugasama pentingnya sehingga peluangyang ada tersebut dapat dimaksimal-kan. Tulisan ini akan ditutup denganbeberapa rekomendasi yangmungkin berguna bagi pelaksanaankonsep reinventing government diIndonesia.

Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

181

B. PEMBAHASAN1. Reinventing Government

Saya telah menyinggung dalamuraian sebelumnya bahwa pelak-sanaan otonomi daerah yangmendasarkan pada UU No. 22 Tahun1999 akan mempunyai implikasiyang serius bagi daerah. Setidaknya,pemerintah daerah harus mampumenggali potensi yang dimiliki gunameningkatkan PAD sebagai modalutama untuk melakukan pembangun-an ekonomi di daerahnya. Suatusistem birokrasi daerah yang efisien,transparan, dan akuntabel hendak-nya menjadi acuan kerja. Di sisi lainotonomi daerah tidak semata-matamenyangkut bagaimana daerahmampu secara kreatif mengem-bangkan potensi daerah untukmeningkatkan PAD hendaknyadilihat dalam perspektif yang lebihluas, yaitu : (Afan Gaffar, 1995)Pertama, otonomi harus dikaitkandengan peningkatan kapasitas ataudemokratisasi kehidupan politik. Halini dimaksudkan agar di daerah jugaterbentuk lembaga-lembaga demo-krasi termasuk dewan perwakilanrakyat daerah, lembaga partai,lembaga nonpartai, atau lembaga-lembaga pemerintahan yangmemungkinkan masyarakat didaerah terlibat dalam prosespengambilan keputusan publik.Kedua, yang selalu menjadi temaotonomi dilaksanakan dalam rangkameningkatkan efisiensi danefektivitas penyelenggaraan peme-rintahan daerah. Ketiga, otonomi

hendaknya tetap dimaknai dalamkonteks mendukung NegaraKesatuan Republik Indonesia.Dengan kata lain, otonomi daerahhendaknya dilihat sebagai usahauntuk membenahi kesalahan masalalu yang sangat membatasi daerahuntuk berkembang sesuai denganpotensi yang dimiliki sehinggapembangunan daerah yangdilaksanakan tidak dapat berjalansecara efektif dalam arti, mampumeningkatkan taraf hidup rakyat didaerah. Ketiga hal ini nampaknyatelah terangkum dalam UU No. 22Tahun 1999 sebagai pijakan utamadalam melaksanakan desentralisasidan otonomi daerah. Hanya yangmenjadi persoalan sekarang inibagaimana implementasinya padatataran praktis. Tentunya, hal inimasih merupakan proses yangpanjang, meskipun kita menemukanmomentumnya di era reformasisekarang ini.

Untuk menjawab berbagaitantangan yang muncul sebagaikonsekuensi pelaksanaan otonomidaerah, kita membutuhkan, sebagai-mana sering dibahas oleh beberapapenulis, birokrasi yang mempunyaijiwa entrepreneur. Hal ini karenadesentralisasi, baik dalam konteksadministratif maupun dalam kontekspolitik tidak akan pernah bisadilaksanakan secara efektif jikaaparatur pemerintahan daerah gagalmengembangkan kapasitasnyasecara memadai untuk mengelolaproses pembangunan. Dalamkonteks ini reinventing government

182

“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

adalah signifikan dan menemukanmomentum yang tepat.

Reinventing government itusendiri oleh Osborne dan Plastrikdalam Banishing Bureaucracydimaknai sebagai berikut (DavidOsborne and Peter Plastrik,1992:12-13):

The fundamental transformation ofpublic systems and organizationsto create dramatic increases in theireffectiveness, efficiency,adaptability, and capacity toinnovate. This transformation isaccomplished by changing theirpurpose, incentives, accountability,power structure, and culture.

Reinventing dimaknai sebagaipenciptaan kembali birokrasi denganmendasarkan pada sistem wirausa-ha, yaitu menciptakan organisasi-organisasi dan sistem publik yangterbiasa memperbarui, danberkelanjutan, memperbaiki kualitas-nya tanpa harus memperolehdorongan dari luar. Dengan demikian,reinventing berarti menciptakansektor publik yang memiliki dorongandari dalam untuk memperbaiki apayang disebut dengan “sistem yangmemperbarui kembali secarasendiri”. Dengan kata lain, reinven-ting menjadikan pemerintah siapmenghadapi tantangan yangmungkin tidak dapat diantisipasi. Disamping itu, reinventing tidak hanyamemperbaiki keefektifan pemerintahsekarang ini, tetapi juga dapatmembangun organisasi-organisasi

yang mampu memperbaiki keefek-tifannya di masa mendatang padawaktu lingkungan organisasimengalami perubahan.

Selanjutnya dalam kaitannyadengan liberalisasi pasar, (MoeljartoTjokrowinoto) menyebutkan bahwadalam rangka mendorong pasaragar tetap berlaku efisien, makabirokrasi memerlukan kualitasentrepreneurial. Setidaknya, terda-pat tujuh kompentensi yang harusdimiliki oleh birokrasi entrepreneurial,adalah (2001: 9-10): (1) Sensitif danresponsif terhadap peluang dantantangan baru yang timbul di dalampasar; (2) Tidak terpaku padakegiatan-kegiatan rutin yang terkaitdengan fungsi instrumental birokrasi,akan tetapi harus mampu melakukanterobosan (breakthrough) melaluipemikiran yang kreatif dan inovatif;(3) Mempunyai wawasan futuristikdan sistematik; (4) Mempunyaikemam-puan untuk mengantisipasi,memperhitungkan, dan menimbul-kan risiko; (5) Jeli terhadap potensisumber-sumber dan peluang baru;(6) Mempunyai kemampuan untukmengkombinasikan sumber menjadiresource mix yang mempunyaiproduktivitas tinggi; dan (7)Mempunyai kemampuan untukmengoptimalkan sumber yangtersedia dengan menggeser sumberkegiatan yang berproduktivitasrendah menuju kegiatan yangberproduktivitas tinggi.

Diskusi tentang karakterbirokrasi yang mempunyai jiwaentrepeneur ini secara lebih konkret

Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

183

dapat kita temukan dalam buku yangditulis oleh David Osborne dan TedGaebler dengan judul ReinventingGovernment: How the Entrepre-neurial Spirit is Transforming thePublic Sector. Buku ini padadasarnya merupakan kritik terhadapbirokrasi pemerintahan federal diAmerika Serikat yang tidak lagiefisien dalam mengelola pelayananpublik. Seperti diungkapkan olehOsborne dan Gaebler, saat ini kitahidup dalam suatu era perubahanyang menakjubkan, dalam suatupasar global yang sangat kompetitif,dalam suatu masyarakat informasidimana orang bisa memanfaatkaninformasi sama cepatnya denganpemimpin mereka, hidup dalamsuatu perekonomian yang mendasar-kan pada pengetahuan di manapekerja terdidik tidak mau dikekangoleh komando serta menuntutotonomi dalam suatu jaman pasarreses dimana konsumen telahterbiasa dengan kualitas tinggi danbanyak pilihan (David Osborne andTed Gaebler, 1992). Singkatnya,perubahan-perubahan ini menuntutrespon yang tepat dari parapenyelenggara birokrasi publik.

Dengan demikian, munculnyakonsep birokrasi entrepreneurialtidak bisa dilepaskan dari per-kembangan global yang menyangkutdua dimensi pokok, yaitu globalisasiekonomi, dalam hal ini desakan kearah integrasi ekonomi menuju pasarglobal dan perubahan-perubahanyang mendasar sebagai katalisatorglobalisasi, yaitu revolusi di bidang

teknologi komunikasi dan semakinrendahnya biaya transportasi. Keduafaktor yang disebutkan belakanganini telah mengubah secarafundamental struktur ekonomi danpolitik global (Susan Strange, 2000).Lebih lanjut, Osborne dan Gaeblermenyatakan bahwa perubahan-perubahan lingkungan yang terjadisebagaimana dijelaskan di atasmenuntut lembaga yang sangatfleksibel dan mampu beradaptasisecara cepat. Perubahan lingkungantersebut menuntut lembaga yangmampu memberikan barang danjasa berkualitas tinggi yangmemberikan hasil lebih banyak darisetiap dollar yang diberikan olehsetiap pelanggan. Perubahantersebut juga menuntut lembaga yangtanggap terhadap pelanggan denganmenawarkan berbagai pilihan(choices) jasa yang tidak dibakukan,yang banyak dituntun denganpersuasi dan dorongan ketimbangdengan perintah, yang memberikanpengertian tentang makna dankontrol, bahkan kepemilikan kepadapekerja mereka (Osborne danGaebler, 1992: 15). Perubahantersebut menuntut lembaga yangmemberikan wewenang kepadawarga negara dibandingkan sekedarmelayani mereka.

Akhirnya, konsep birokrasientrepreneurial merupakan kritikterhadap birokrasi Weberian yangsangat hierarkhis. Meskipun padaawalnya, birokrasi merupakan sistemkerja institusional yang diharapkandapat menjadi alat untuk melayani

184

“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

kepentingan masyarakat denganefektif dan efisien, dalam kenyataan-nya justru sebaliknya. Birokrasicenderung lamban, hierarkhis, tidakefisien, dan hanya memboroskananggaran pemerintah. Oleh karenaitu, dengan banyak berguru kepadaahli marketing abad ini, PeterDrucker, mereka mulai melontarkangagasan mengenai pentingnyabirokrasi yang mempunyai jiwaentrerpreneur. Didukung denganriset yang dilakukan di beberapanegara bagian AS, Osborne danGaebler merumuskan sepuluh prinsipbirokrasi yang mempunyai jiwaentrepreneur, yaitu : (1) Pemerintah-an Katalis, mengarahkan ketimbangmengayuh; (2) Pemerintahan MilikMasyarakat, memberi wewenangketimbang melayani; (3) Pemerintah-an yang Kompetitif, menyuntikkanpersaingan ke dalam pemberianpelayanan; (4) Pemerintahan yangdigerakkan Misi, mengubah organi-sasi yang digerakkan oleh peraturan;(5) Pemerintahan yang berorientasiHasil, membiayai hasil dibanding-kan dengan masukan; (6) Pemerin-tahan berorientasi Pelanggan,memenuhi kebutuhan pelangganbukan birokrasi; (7) PemerintahanWirausaha, menghasilkan dibanding-kan dengan membelanjakan; (8)Pemerintahan Antisipatif, mencegahdaripada mengobati; (9) Pemerin-tahan Desentralisasi; dan (10)Pemerintahan berorientasi Pasar,mendongkrak perubahan melaluipasar.

Dengan bahasa yang lebihringkas, Osborne dan Gaeblermeringkas kesepuluh prinsipbirokrasi wirausaha tersebut kedalam paragraf yang ringkassebagai berikut.

…most entrepreneurialgovernments promote competitionbetween service providers. Theyempower citizens by pushingcontrol out of the bureaucracy, intothe community. They measure theperformance of their agencies,focusing not inputs but onoutcomes. They are driven by theirgoals-their mission-not by theirrules and regulations. Theyredefine their clients as customersand offer them choices-betweenschools, between training pro-grams, between housing options.They prevent problems before theyemerge, rather than simply offeringservices afterward. They put theirenergies into earning money, notsimply spending it. They decen-tralize authority, embracing par-ticipatory management. Theyprefer market mechanism tobureaucratic mechanism. And theyfocus not simply on providing publicservices, but on catalizing all sectorpublic, private, and voluntary intoaction to solve their community’sproblems (Ibid : 19-20).

2. Implementasinya di IndonesiaAda pertanyaan bagaimana

konsep birokrasi entrepreneurial inidapat diterapkan di Indonesia,terutama dalam konteks otonomidaerah? Apa yang dapat kita

Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

185

lakukan untuk menumbuhkanbirokrasi yang mempunyai semangatwirausaha ini dalam birokrasipemerintahan daerah sehinggatujuan pelaksanaan desentralisasidan otonomi daerah dapat dicapaidengan baik?

Untuk menjawab pertanyaan ini,Osborne dan Plastrik menyatakanbahwa setidaknya terdapat limastrategi yang dapat digunakan untukmelakukan perubahan mendasardalam rangka mendorong pening-katan kemampuan birokrasi yangefektif dan efisien, ataupun kemam-puan menyesuaikan atau adap-tability, dan kapasitas untukmemperbarui sistem dan organisasipublik (Osborne and Plastrik,op.it. :39-43).

Pertama, strategi inti (the corestrategy). Strategi ini menentukantujuan (the purpose) sebuah sistemdan organisasi publik. Jika sebuahorganisasi tidak mempunyai tujuanyang jelas atau mempunyai tujuanyang banyak atau saling ber-tentangan, maka organisasi itu tidakdapat mencapai kinerja yang tinggi.Sebuah organisasi publik akanmampu bekerja secara efektif jikaia mempunyai tujuan yang spesifik.Penting bagi para pemimpinorganisasi-organisasi publik untukmenetapkan terlebih dahulu tujuanorganisasinya secara spesifik.Penetapan visi dan misi organisasijuga mempunyai peran yang samapentingnya dalam melengkapi tujuanorganisasi publik. Hal ini pentingsebagai usaha agar karyawan atau

pegawai mempunyai arah danpegangan yang jelas. Di luar itu,strategi ini terutama berkaitandengan usaha-usaha memperbaikipengarahan (steering).

Kedua, strategi konsekuensi(the consequences strategy).Strategi ini menentukan insentif-insentif yang dibangun ke dalamsistem publik. Birokrasi memberikanpara pegawainya insentif yang kuatuntuk mengikuti peraturan-peraturan,dan sekaligus, mematuhinya. Padamodel birokrasi lama, para pegawaiatau, karyawan memperoleh gajiyang sama terlepas dari yang merekahasilkan. Dalam rangka reinventinggovernment, seperti diungkapkanoleh Osborne dan Plastrik, mengu-bah insentif adalah penting dengancara menciptakan konse-kuensi-konsekuensi bagi kinerja. Jikadiperlukan, organisasi publik ditem-patkan dalam dunia usaha (marketplace), dan membuat organisasitergantung pada konsumennya untukmemperoleh penghasilan. Namun,jika hal ini tidak layak untuk dilakukan,maka perlu dibuat kontrak atauperjanjian guna menciptakanpersaingan antara organisasi-organisasi publik dan swasta (ataupersaingan antarorganisasi publik).Hal ini karena pasar dan persainganmenciptakan insentif-insentif yangjauh lebih kuat sehingga organisasipublik terdorong untuk memberikanperbaikan-perbaikan kinerja yanglebih besar. Insentif dan persainganini dapat mempunyai bentuk yangberagam, seperti: tunjangan kese-

186

“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

hatan; kenaikan gaji; atau mem-berikan penghargaan bagi organi-sasi-organisasi publik yangmempunyai kinerja yang lebih tinggi.

Ketiga, strategi pelanggan (thecustomers strategy). Strategi initerutama memfokuskan padapertanggungjawaban (accoun-tability). Berbeda dengan birokrasilama, dalam birokrasi model barutanggung jawab para pelaksanabirokrasi publik hendaknya ditempat-kan pada masyarakat, atau dalamkonteks ini dianggap sebagaipelanggan. Dengan demikian,tanggung jawab tidak lagi semata-mata ditempatkan pada pejabatbirokratis di atasnya, tetapi lebihdidiversifikan kepada publik yanglebih luas. Model pertanggunganjawab seperti ini diharapkan dapatmeningkatkan tekanan terhadaporganisasi-organisasi publik untukmemperbaiki kinerja ataupunpengelolaan sumber-sumber organi-sasi. Selanjutnya, dengan memberipertanggunganjawab kepadamasyarakat/ konsumen, akan dapatmenciptakan informasi, tentangkepuasan para konsumen terhadaphasil-hasil dan pelayanan pemerin-tahan tertentu. Dengan kata lain,penyerahan pertanggungan jawabkepada para konsumen berartibahwa organisasi-organisasi publikharus mempunyai sasaran yangharus dicapai, yaitu meningkat-kankepuasan konsumen (customerssatisfaction).

Keempat, the control strategy.Strategi ini menentukan di mana letak

kekuasaan membuat keputusan itudiberikan. Dalam sistem birokrasilama, sebagian besar kekuasaantetap berada di dekat puncakhierarkhi. Dengan kata lain,wewenang tertinggi untuk membuatkeputusan berada pada puncakhierarkhi. Perkembangan birokrasimodern yang semakin komplekstelah membuat organisasi menjaditidak efektif. Hal ini karena prosespengambilan keputusan harusmelalui jenjang hierakhi yang panjangsehingga membuat proses pengam-bilan keputusan cenderung lamban,dan jika hal ini dipaksakan, maka jikadilewati akan membawa dampakterjadinya bureaucracy barierrs(Sarundajang, 1999: 12). Padaakhirnya, secara keseluruhan, sistemkinerja birokrasi dalam menanganimasalah dan memberikan pelayan-an kepada masyarakat akanberlangsung lamban karena bawah-an tidak diberi ruang yang cukupuntuk mengambil inisiatif dalammemecahkan masalah.

Lebih lanjut, dalam modelbirokrasi lama, para pengelola ataumanajer mempunyai pilihan-pilihanyang terbatas dan keleluasan ataufleksibilitas mereka dihimpit olehketentuan-ketentuan anggaran yangterinci, peraturan-peraturan perorang-an, sistem pendapatan (procurementsystems), praktek-praktek audit, dansebagainya. Karyawan merekahampir tidak mempunyai kekuasaanuntuk membuat keputusan. Akibat-nya, organisasi-organisasi pemerin-tah lebih menanggapi perintah-

Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

187

perintah baru dibandingkan dengansituasi yang berubah ataukebutuhan-kebutuhan pelanggan.

Oleh karena itu, adalah pentingmendesentralisasikan pembuatankeputusan kepada pejabat-pejabatdan karyawan atau pegawaibirokrasi di bawahnya karena hal iniakan mendorong timbulnya rasatanggung jawab di kalangan parapegawai birokrasi, dan dalamkonteks yang luas mendorongketerlibatan masyarakat dalamproses implementasi kebijakan.

Kelima, the culture strategy.Strategi ini menentukan budayaorganisasi publik yang menyangkutnilai, norma, tingkah laku, danharapan-harapan para karyawan.Budaya ini akan dibentuk secara kuatoleh tujuan organisasi, insentif, sistempertanggungan jawab, dan strukturkekuasaan organisasi. Dengan katalain, mengubah tujuan, insentif,sistem pertanggungan jawab, danstruktur kekuasaan organisasi akanmengubah budaya.

Masalah yang barangkali timbuladalah seberapa besar pemerintahdaerah mampu menerapkan kelimastrategi tersebut sebagai usahauntuk melakukan reinventinggovernment dan menciptakanbirokrasi yang mempunyai semangatwirausaha? Pertanyaan ini layakdikemukakan di sini karena sebagai-mana telah saya singgung di awal,keberhasilan penerapan sebuahkonsep teoritik akan sangatditentukan oleh konteks sosial,ekonomi, politik, dan bahkan budaya

yang melingkupinya. Harus tetapdiingat bahwa buku yang ditulis olehOsborne dan Gaebler merujuk padakasus-kasus di negara federalAmerika Serikat di mana strukturmasyarakatnya secara ekonomi lebihmapan, dan secara politik lebihdemokratis. Selain itu, di negara inikarakteristik birokrasinya meskipunbarangkali juga merujuk pada modelbirokrasi ala Weber, tetapi berbedadengan karakteristik birokrasi diIndonesia. Birokrasi ini tidak diliputioleh penyakit korupsi yang kronis danbudaya nepotis yang sangat kuat,akibatnya, konsep birokrasiwirausaha akan jauh lebih mudahditerapkan di negara federal ASdibandingkan dengan jika diterapkandi daerah-daerah di Indonesia.Sistem kapitalisme yang sudahsangat mengakar di AS juga akanmenciptakan lingkungan yangkondusif bagi dilaksanakannyakonsep reinventing government ini.

Dalam uraian selanjutnya sayaakan berusaha mengidentifikasibeberapa faktor yang mungkinmenjadi kendala bagi pelaksanaanreinventing government di eraotonomi daerah sekarang ini. Hal inipenting kita lakukan sebab denganmengidentifikasi berbagai kendalayang mungkin timbul diharapkanakan ditemukan rekomendasi yangbaik yang berguna untuk mengatasikendala-kendala tersebut untukkemudian menciptakan suatuorganisasi birokrasi publik yangefektif dan efisien serta mempunyaisemangat kewirausahaan.

188

“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

Salah satu faktor yangnampaknya menjadi kendala palingkuat bagi dilaksanakanya reinven-ting government di Indonesia adalahmenyangkut karakteristik birokrasi dinegara ini. Birokrasi di Indonesiasebagaimana ditunjukkan olehbeberapa penulis, mempunyaikarakteristik yang hampir miripdengan birokrasi di sebagian besarnegara dunia ketiga (DorodjatunKuntjoro Jati, 1980: 6), yang sangatkuat nuansa paternalistiknya (AgusDwiyanto, dkk., 2002) dan carapandang yang sangat naif terhadapmasyarakat yang seharusnyamereka layani.

Dalam banyak kasus, dinegara-negara dunia ketiga,birokrasi justru menjadi penghalangutama proses pembangunan yangsedang dilaksanakan. Gunnar Mirdalmisalnya, menyatakan bahwaobservasi yang telah banyakdilakukan menyangkut pembangu-nan, hasilnya adalah kegagalanpembangunan yang justru muncul darikalangan aparat negara. Menurutobservasi ini, aparat birokrasi dinegara-negara dunia ketigamerupakan mesin politik yang tidaknetral dan tidak akan mungkin netral.Hal ini sangat berbeda denganbirokrasi di negara-negara industrimaju. Sebagaimana diungkapkanoleh Max Weber, mesin birokrasi dinegara-negara industri maju sangatformal dan legalistis. Dengan katalain, aparat negara yang bertindaksebagai birokrasi di negara-negaraindustri maju sangat loyal terhadap

konstitusi dan konvensi. Sebagaiaparat, birokrasi tidak akanmengambil tindakan yang memihakpemerintah yang berkuasa dalamkeadaan dimana pemerintahmengalami krisis kepercayaan (crisisof confidence), baik yang tercermindi lembaga legislatif maupun melaluiopini publik yang berkembang(Dorodjatun Kuntjoro Jati, 1980: 6).

Di Indonesia, model birokrasiyang berkembang nampaknya tidakterlalu jauh dengan model-modelbirokrasi di negara dunia ketiga ini.Pada masa Orde Baru, birokrasitelah menjadi mesin politik partaipemerintah, menjadi organisasi yangkuat, dan hampir-hampir bersifatotonom dari kontrol masyarakat.Akibatnya, karena birokrasi menjadiorganisasi yang kuat secara politis,gerak langkahnya mendominasihampir semua kehidupanmasyarakat. Karl D. Jackson, lantasmenyebut fenomena ini sebagaimasyarakat politik birokrasi(bureaucratic polity). Masyarakatpolitik birokrasi ini setidaknyadicirikan oleh tiga hal, yaitu: Pertama,lembaga-lembaga politik yangdominan adalah aparat birokrasi.Kedua, lembaga-lembaga politiklainnya seperti parlemen, partaipolitik, dan kelompok-kelompokkepentingan (interest group) adalahlemah dan tidak mampu melakukankontrol terhadap birokrasi. Ketiga,massa di luar birokrasi baik secarapolitis maupun ekonomis sebagaiakibat lemahnya peran partai politik,dan secara timbal balik menguatkan

Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

189

peran birokrasi (Karl D. Jackson,1978). Dalam suatu masyarakatpolitik birokrasi sebagaimanadicirikan oleh birokrasi Orde Baru,keputusan-keputusan pentingdiformulasikan dalam birokrasi,korps militer, dan administrasi sipil.Kelompok-kelompok di luar biro-krasi, sebagai konsekuensi kuatnyaorganisasi birokrasi, sepertipemimpin kharismatik, partai politik,kelompok-kelompok kepentingan,dan gerakan massa tidak mem-punyai pengaruh dalam prosespengambilan keputusan di tingkatnasional (John L. S. Girling, 1981:1).Singkatnya kebijakan nasional dibuatdalam lingkaran kecil elit yangberpengaruh, dan biasanya kebijak-an tersebut ditujukan untuk meresponnilai-nilai dan kepentingan pemimpinmiliter dan birokrat tingkat tinggi(Jackson, 1978:3-4).

Dalam masyarakat politikseperti ini mobilisasi massa yangmelibatkan sebagian besar rakyathanya diizinkan oleh pemerintahdalam proses implementasi kebijak-an dibandingkan dengan pengambil-an keputusan di tingkat nasional.Mobilisasi semacam itu biasanyahanya dibatasi di tingkat lokal, dandiorganisasikan oleh elit dalam suatucara ke atas melalui kekuasaantradisional dan hubungan patron-klien (Jackson, 1978:5). Sifatbirokrasi yang dicirikan hubunganpatronklien ini melahirkan tipebirokrasi yang patrimornial, yaitusuatu birokrasi dimana hubungan-hubungan yang ada, baik intern

maupun ekstern adalah hubunganantara patron dan klien yang bersifatsangat pribadi dan khas (DorodjatunKuntjoro Jati, 1980 : 6).

Fenomena birokrasi Indonesiajuga diwarnai oleh apa yang seringdisebut Arief Budiman sebagaibureaucratic rente (Jerzy Regulskiand W. Kocan,1994). Dominasibirokrasi dalam arena politik telahmemungkinkan birokrasi Indonesiamenjadi “otonom” dalam arti terlepasdari pengaruh pihak luas terutamamasyarakat dalam proses penetapandan pelaksanaan kebijakan publikseperti telah dijelaskan di atas.Selama Orde Baru berbagai aktoryang dapat menjadi penyeimbangdan pengawas lembaga-lembagapublik seperti kelompok-kelompokkepentingan, LSM, dan organisasi-organisasi profesi yang tumbuhdalam masyarakat telah dikooptasioleh rejim. Partai politik telah“dimandulkan” melalui kebijakanmassa mengambang (floatingmass), dan disederhanakan menjaditiga partai saja. Kondisi ini semakindiperparah dengan kebijakan asastunggal Pancasila sehingga partai-partai politik tidak dapat mengguna-kan ikatan ideologisnya untukmengikat konstituennya. Akibatnya,birokrasi benar-benar menjadiinstitusi yang dominan dalam sistempolitik di Indonesia. Hal ini mendo-rong individu-individu di dalamnyauntuk berperilaku korup, nepotis, dankolusif.

Oleh karena itu pula, birokrasipatrimonial menjadi ciri khas

190

“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

birokrasi Indonesia di manahubungan-hubungan yang dilakukanlebih mendasarkan pada hubunganpatronklien, maka di bidangekonomi pun muncul fenomena rent-seeker. Para kapitalisme yangmuncul dari model pembangunanyang dilakukan oleh birokrasipatrimonial juga bukan kapitalismesejati yang lahir dari kemampuanwirausaha yang dimiliki, tetapi lebihkarena privilege yang diberikanpemerintah kepada mereka.Akhirnya, lahirlah apa yang seringdisebut sebagai kapitalisme semu(erzats capitalism).

Dengan demikian, mereforma-si birokrasi publik di Indonesiadengan menerapkan birokrasi yangmempunyai semangat wirausahaakan menghadapi tembok besarkarena karakteristik birokrasi yangada sama sekali tidak mendukungbahkan bertolak belakang. Olehkarena itu dalam rangka reinventinggovernment maka langkah awal yangharus dilakukan adalah menghancur-kan struktur tradisional birokrasitersebut. Model-model birokrasipatrimonial, birokrasi rente, ataupunbereaucratic polity harus dihancur-kan dan sedikit demi sedikit digantidengan model birokrasi yangmempunyai semangat wirausaha.Untuk tujuan ini, dapat dilakukandengan menggunakan dua cara :pertama, melalui penegasan kembalikomitmen elit politik untuk merefor-masi birokrasi publik yang lebihakuntabel dan berpihak kepadakepentingan rakyat; dan kedua,

dengan menggunakan gelombangdemokrasi yang kini sedangmengalir.

Tidak semua birokrasi yangsentralistik gagal dalam mendorongpembangunan dan industrialisasi. DiKorea Selatan, Taiwan, Hongkong,dan Singapura, sentralisme kekuasa-an dan dominasi birokrasi justrumembuat proses pengambilankeputusan berlangsung efektifkarena tidak mendapatkan tanta-ngan dari kelompok oposisi. Namun,hal ini hanya berlaku jika elit-elit politikyang duduk di birokrasi pemerintahanmempunyai komitmen yang kuatuntuk pembangunan dan kesejah-teraan rakyat. Sementara di Indone-sia, sentralisme dan hegemonibirokrasi justru menjadi penghambatutama pembangunan. Bahkan,dalam kasus Orde Baru, meskipuntelah ditetapkan UU No. 5 Tahun 1974yang menjamin pelaksanaan asasdesentralisasi dan otonomi daerah,tetapi karena langkanya komitmenelit politik untuk mendesentrali-sasikan kekuasaan maka yangterjadi adalah hal yang sebaliknya,yaitu sentralisme dan pola hubunganpusat dan daerah yang eksploitatif.Komitmen elit untuk mau melakukanreformasi birokrasi adalah pentingkarena merekalah yang mempunyaisumber daya dan otoritas yangmenentukan agenda reformasi.

Namun, komitmen elit saja tidakcukup karena alasan-alasansebagaimana telah dijelaskan dalamuraian seblumnya. Oleh karena itu,dibutuhkan gerakan reformasi

Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

191

birokrasi yang berasal dari bawah.Dengan demikian, program pember-dayaan masyarakat adalah pentingsebagai usaha untuk lebih mendo-rong partisipasi masyarakat dalamproses pengambilan keputusan ditingkat lokal ataupun nasional.Berbagai kelompok di luar birokrasijuga harus didorong untuk terlibatdalam mengawasi kinerja birokrasipublik. Munculnya lembaga-lembagaswadaya masyarakat yang bertindaksebagai watchdog perlu didorongdan difasilitasi. Hal ini karenakeberadaan lembaga-lembagaseperti itu dapat menjadi sparing-partner yang baik bagi birokrasipublik agar bekerja lebih efektif danefisien, mempunyai akuntabilitas, danmempunyai komitmen yang baikuntuk memberikan pelayanankepada masyarakat. Selain itu,kalangan akademisi juga dapatdituntut perannya yang lebih besarlagi dalam konteks pengawasandengan jalan memberikan kajian-kajian kritis mengenai kinerjabirokrasi publik, dan yang lebihpenting adalah mengembangkanriset akademik yang dapat dijadikanacuan untuk memperbaiki kinerjabirokrasi publik. Barangkali, denganmelakukan kajian terhadap daerah-daerah yang mampu melakukanreformasi birokrasi publik dalamkonteks reinventing government,maka kita akan lebih mempunyaibanyak rujukan dengan kasus-kasuskhas Indonesia. Oleh karena itu,publikasi hasil kajian seperti inimenjadi penting. Hal ini karena,

seperti telah saya tegaskan di awalbahwa kesepuluh prinsip birokrasiwirausaha yang dikembangkan olehOsborne dan Gaebler, berangkatdari studi yang dilakukan di berbagaipemerintah negara bagian AS.Barangkali, dengan melakukan kajianyang sama kita akan menemukansepuluh prinsip lainnya yang khasIndonesia.

Media massa sebagai institusipenyedia informasi harus berperanlebih besar lagi dalam memberikaninformasi kepada masyarakat,terutama menyangkut hak warganegara dan kinerja sistem birokrasipublik. Di negara-negara demo-kratis, keberadaan industri mediaadalah penting karena ia menjadisemacam public servant di bidanginformasi. Informasi yang disampai-kan media kepada masyarakat akanmenjadi bahan yang sangat bergunabagi masyarakat untuk mengambiltindakan-tindakan politik. Gelom-bang demokratisasi yang mulaimenerpa bangsa ini sejak tahun1998 membuat kelompok-kelompokyang telah saya sebutkan di atasmempunyai kesempatan yang besaruntuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik. Hal ini karenademokrasi akan menggerogotikekuasaan negara, dan membuatkekuasaaan lebih tersebar kemasyarakat dan aktor-aktor di luarnegara.

4. KasusDi bawah ini akan dipaparkan

secara sekilas daerah yang kurang

192

“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

lebih mampu menerapkan konsepreinventing government. Sayang-nya, tulisan ini tidak didasarkan padahasil penelitian yang akurat sehinggakemungkinan untuk terjebak kedalam simplikasi masalah dangeneralisasi yang berlebihan dapatsaja terjadi. Namun, setidaknya kitamempunyai informasi mengenaidaerah yang sukses dalammelakukan pembangunan, danmelakukan reformasi birokrasiberdasarkan prinsip reinventinggovernment.

Daerah yang dimaksud adalahLamongan (Gatra,No. 23. 2003:20-21). Di bawah kepemimpinanMasfuk, kini, Kota Lamonganmenjadi salah kota di Jawa Timuryang layak dibanggakan. Prestasi inisetidaknya dapat dilihat daripendapatan asli daerah Lamonganyang naik mencapai lebih dari 150%,yakni dari 6 milyar rupiah menjadi 19milyar. Meskipun laporan tersebuttidak menyebutkan secara jelasdalam rentang berapa tahunkenaikan tersebut dicapai, tetapilaporan tersebut menegaskanbahwa kenaikan itu dicapai selamaBupati Masfuk belum genapmemimpin kabupaten itu selama duatahun.

Ada beberapa faktor yangnampaknya menjadi penyebabkeberhasilan pembangunan diKabupaten Lamongan. Pertama,kemampuan leadership dansemangat wirausaha yang dimilikioleh Bupati Lamongan. Sebelummenjabat sebagai Bupati Lamongan,

Masfuk adalah pengusaha denganjumlah tenaga kerja lebih dari sekitar16 ribu dengan omzet perusahaanmencapai 15 milyar rupiah. Sebelummenjadi pengusaha sukses, Masfukadalah pedagang perhiasan monel diSinar Supermarket Surabayadengan modal awal 65 ribu rupiah.Latar belakang sebagai pengusahayang berangkat dari titik nol inilah,nampaknya yang memberikankontribusi bagi keberhasilanpembangunan di daerah Lamongan.Setidaknya, hal ini dibuktikan melaluiusahanya dalam mengembangkanpupuk lokal dengan merk Maharaniyang dibuat dari enceng gondok. Perkilogram pupuk ini seharga Rp.600,00 kilogram. Dengan mengguna-kan pupuk ini, terjadi penghematansekitar Rp. 385. 000,00 per hektaratau sekitar 54 milyar per tahun. Olehkarena pupuk ini pula, pada tahun2002 Lamongan berhasil mempro-duksi beras unggul Rajasili yangharganya Rp. 3.500,00 per kilo gram.Semangat kewirausahaan ini jugaditerapkan dalam mengembangkankawasan industri seluas 500 hektardan tengah dipersiapkan kawasansebesar 9500 hektar. Selanjutnya,untuk mendukung usaha tersebutpemda juga mempersiapkaninfrastruktur, seperti perbaikan jalankabupaten. Hal ini ditujukan untukmemper-lancar arus transportasi,atau sebagaimana diungkapkanBupati Lamongan dalam rangkamendekat-kan komoditas denganpasar. Untuk itu pula, pemda jugamenstimuli perkembangan pasar-

Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

193

pasar desa, sentra-sentra ekonomi,dan pertanian. Kedua, berbagaiprogram pembangunan daerah diKabupaten Lamongan tersebutbarangkali tidak akan pernahberhasil jika pemda tidak melibatkanmasyarakat. Salah satu semangatotonomi daerah adalah dalamrangka mendorong keterlibatanmasyarakat sehingga pembangun-an yang dilakukan di daerah dapatmemenuhi kebutuhan masyarakatsecara riil. Nampaknya, ini dipegangteguh oleh Bupati Lamongansebagaimana dia ungkapkan,“Pemda hanya bertanggung jawabpada pembinaan. Intinya, masyara-kat yang melaksanakan, mereka pulayang akan memetik manfaatnya”.Prinsip ini dengan kuat diterapkanBupati dalam mengembangkanhutan jati seluas 33. 000 hektar yangdikembangkan dari hutan tidur.Nantinya, pengelolaan hutan jati iniakan diserahkan kepada warga.Ketiga, faktor ketiga ini nampaknyayang paling krusial dalam mendorongkeberhasilan pembangunan diLamongan. Hal ini merupakanlangkah yang paling pertamadilakukan bupati, yakni denganmereformasi sistem dan sumberdaya manusia. Pegawai di Kabu-paten Lamongan yang jumlahnyamencapai 12. 000 ribu orang dimintakomitmennya untuk meningkatkanpelayanan publik, dan bagi merekaatau dinas yang berhasil akandiberikan reward yang menarik.Selanjutnya, menyangkut pembenah-an sistem, pemda menerapkan

sistem pelayanan terpadu semuaurusan perijinan bisnis dijadikan satuatap di bawah Badan PerencanaanPembangunan Daerah.

C. PENUTUPSalah satu hasil reformasi yang

patut kita hargai adalah dikeluarkan-nya ketetapan MPR tentang otonomidaerah yang ditindaklanjuti dengandikeluarkannya Undang-UndangNomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.Kedua undang-undang ini akanmenjadi landasan bagi pelaksanaanazas desentralisasi dan otonomidaerah di Indonesia. Meskipunotonomi daerah bukan merupakanhal baru yang dibahas dalam sistempemerintahan Indonesia, tetapikarena sejak dulu belum dilaksana-kan secara konsisten maka hinggasekarang isu otonomi masih menarikuntuk dibahas.

Dikeluarkannya UU No. 22Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun1999 tentang Perimbangan Keuang-an antara Pusat dan Daerah padadasarnya merupakan koreksiterhadap kelemahan-kelemahanpelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974.Pada masa lampau otonomi daerahsebagaimana diamanatkan dalamUU No. 5 Tahun 1974 yang menitik-beratkan otonomi daerah padadaerah tingkat II, pada kenyataantidaklah demikian. Desentralisasimasih berada dibawah bayang-bayang asas dekonsentrasi. Semen-tara itu, pemerintah pusat dan peme-rintah daerah tingkat I masih meme-

194

“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

gang peran yang sangat pentingdalam proses pembangunan daerah.Akibatnya, pelaksanaan otonomidaerah diwarnai oleh sentralismeyang kuat sehingga muncul ketidak-puasan dari daerah-daerah di tingkatII karena berbagai sumber daya yangpenting mengalir ke pusat dandaerah hanya mendapatkan sedikitsaja dari sumber daya yang merekamiliki. Kuatnya perencanaan pemba-ngunan yang bersifat sentralistikpada akhirnya juga gagal dalammengembangkan potensi daerahdan juga gagal dalam menangkapaspirasi yang berkembang di daerah.

Oleh karena itu, munculnya UUNo. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25Tahun 1999 harus dilihat dalamkonteks usaha pemerintahan refor-masi untuk melaksanakan otonomidaerah secara lebih baik. Otonomidaerah dalam konteks ini ditujukanuntuk mendorong keterlibatan daerahdalam proses pembangunansehingga pemerintahan daerahdapat mengembangkan potensidaerahnya dan diharapkan akanmenjadi lebih responsif terhadapkebutuhan dan dinamika yangberkembang dalam masyarakat.

Untuk itu diperlukan reinventinggovernment yang bermakna dalampencarian format birokrasi yangmempunyai kemampuan untukmemperbarui secara mandiri danmempunyai mentalitas wirausaha.Hal ini karena otonomi daerahdengan berbagai tujuan yang hendakdicapai memerlukan birokrasi yangefisien yang secara cepat mampu

memperbarui diri dan responsifterhadap perubahan-perubahan yangterjadi.

Namun, dalam konteksIndonesia usaha mengimplementa-sikan konsep reinventing govern-ment ini akan mendapatkan banyakkendala. Hal ini karena modelbirokrasi di Indonesia dicirikan olehmodel birokrasi patrimonial, birokrasirente, dan bureaucratic polity. Jikadiruntut kembali dengan seksamamodel-model birokrasi seperti inisangat bertentangan dengan modelbirokrasi wirausaha. Oleh karena itu,usaha mewirausahakan birokrasitidak akan dapat dilakukan denganbaik tanpa terlebih dahulu menghan-curkan model birokrasi yang lama.Untuk itu diperlukan komitmen yangkuat dari elit politik. Hal ini juga dapatdilakukan dengan mendorongketerlibatan masyarakat dalammelakukan pengawasan terhadapkinerja birokrasi. Program pember-dayaan masyarakat menjadi salahsatu agenda penting yang harusdilakukan. Penguatan kelompok-kelompok kepentingan, danlembaga-lembaga swadayamasyarakat juga penting dilakukankarena kelompok-kelompok ini dapatdiharapkan menjadi pengawaskinerja birokrasi publik. Mediamassa juga dapat diharapkanperannya dalam konteks menyedia-kan informasi bagi masyarakatsehingga masyarakat akan memilikisumber informasi yang cukup untukmengambil tindakan-tindakan yangbersifat politis, terutama dalam

Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

195

konteks penyikapannya terhadapkinerja birokrasi publik.

DAFTAR PUSTAKA

Amal, Ichlasul. 1992. “Decentrali-zation and Democratization in theNew Order Indonesia”, Paperpresented for InternationalSymposium: Democratic Experien-ces in Southeast Asian Countries.December 7-8. Bangkok:Thammasat University.

Dwiyanto, Agus. 2002. ReformasiBirokasi Publik di Indonesia.Yogyakarta: Pusat Studi Ke-pendudukan dan Kebijakan,Universitas Gadjah Mada.

Gaffar, Afan. 1995. “Otonomi Daerahdalam Negara Kesatuan” Prisma 4.April.

Girling, John L. S. 1981. TheBureaucratic Polity in ModernizingSocieties, Differences, andProspect in The Asean Region.Singapore: Institute of SoutheastAsian Studies.

Hidayat, Syarif. 2001. “Fenomena‘Rent-Seeking’ di Daerah: KasusTata Niaga Kayu Cendana.” JurnalIlmu Sosial dan Ilmu Politik (JSP)FISIP UGM. Vol.5. No. 2. November.

Jackson, Karl D. 1978. “BureaucraticPolity: A Theoretical Framework forAnalysis of Power and

Communication in Indonesia”, dalamKarld D. Jackson and Lucian Pye,eds. Political Power andCommunication in Indonesia,Berkeley and Los Angeles: Universityof California Press.

Kuntjoro-Jakti, Dorodjatun. 1980.“Birokrasi di Dunia Ketiga: AlatRakyat, Alat Penguasa, atauPenguasa?”. Prisma . Oktober.

Kuncoro, Mudrajad. 1995.“Desentralisasi Fiskal di Indonesia:Dilema Otonomi dan Keter-gantungan”. Prisma 4. April.

Muhaimin, Yahya. 1980. “BeberapaSegi Birokrasi di Indonesia”. Prisma.Oktober.

Osborne, David and Peter Plastrik.1992. Banishing Bureaucracy. NewYork: Addison-Wesley PublishingCompany, Inc.

Pratikno. 1998. “Urgensi ReformasiBasis Kekuasaan Birokrasi diIndonesia”. Jurnal Kebijakan danAdmnistrasi Publik (JKAP). Vol. 2.No. 1. Februari.

Regulski, Jerzy. & W. Kocan. 1994.“From Communism TowardsDemocracy: Local GovernmentReform in Poland”, dalam Robert J.Bennet, ed. Local Government andMarket Decentralization: Experien-ces in Industrialized, Developing,and Former Eastern Bloc Countries.Tokyo: United Nations University.

196

“Dialogue” JIAKP, Vol. 1, No. 2, Mei 2004 : 175-197

Sarundajang. 1999. Arus BalikKekuasaan Pusat ke Daerah.Jakarta: Sinar Harapan.

Strange, Susan. 2000. “States, Firms,and Diplomacy”, dalam Jeffrey A.Frieden. & David A. Lake, ed.International Political Economy:Perspective on Global Power andWealth, Fourth Edition. Boston:Bedford/St. Martin’s.

Soemarsono, Soni . 2001. “PerananAkuntansi dalam Sektor Publik padaEra Otonomi Daerah bagiPemerintahan Daerah danMasyarakat Menuju TerciptanyaGood Governance, Makalahdisampaikan pada Diskusi Panelsehari di Istana Ballroom Sari Pacific.Kamis, 22 Maret.

Tjokrowinoto, Moeljarto. 2001.“Pengembangan Sumber DayaManusia Birokrasi: Kemelut antaraNegara, Masyarakat Sipil, danPasar”, dalam Saiful Arif, ed.Birokrasi dalam Polemik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Thoha, Miftah. 1991. “PelaksanaanOtonomi Daerah”, Makalah di-sampaikan pada Seminar ProgramMPA dan FIA Untag Surabaya,tanggal 8 Oktober.

----.2003. Gatra, No. 23. Tahun VIII.27. April.

----and Ted Gaebler. 1992.Reinventing Government: How the

Entrepreneurial Spirit isTransforming the Public Sector. NewYork: Penguin Books, Ltd.

∗∗∗∗∗ Makalah disampaikan dalam seminarnasional dengan judul “PENATAANBIROKRASI DALAM PELAKSANAANOTONOMI DAERAH”, Ruang Seminar“PENIDA NOOR” FLA UPN “Veteran”Jawa Timur, Surabaya, Rabu, 14 Januari2004.

Implementasi Konsep Reinventing Government (Budi Winarno)

197