119
BUKU AJAR HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN PERDATA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016

buku ajar hukum acara dan praktek peradilan perdata

Embed Size (px)

Citation preview

BUKU AJAR

HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN

PERDATA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

i

BUKU AJAR

HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN PERDATA

Kode Mata Kuliah : BNI5338

Penyusun

Dr. I Ketut Tjukup, SH., MH

Dr. Nyoman Rai Asmara Putra, SH., MH

I Ketut Artadi, SH., SU

Nyoman. A Martana, SH., MH

I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, SH., MH

Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., M.Kn

I Putu Rasmadi Arsha Putra, SH., MH

Kadek Agus Sudiarawan, SH., MH

Nyoman Wicaksana Wirajati, SH., LLM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat karuniaNya,

Buku Ajar Hukum Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata berhasil diselesaikan.

Buku Ajar ini adalah merupakan hasil Revisi dari penggabungan block book Tahun

2012 dan juga Buku Ajar Tahun 2006 yang dimaksudkan untuk memperbaiki format,

mereformulasi jenis-jenis tugas serta pemutahiran substansi dan referensi. Buku Ajar

mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata ini dimaksudkan sebagai

buku pedoman pelaksanaan proses pembelajaran, baik untuk mahasiswa maupun bagi

dosen dan tutor, sehingga diharapkan pelaksanaan perkuliahan berjalan sesuai dengan

rencana dan jadwal yang ditentukan di dalam Buku Ajar.

Substansi Buku Ajar meliputi identitas mata kuliah, tim pengajar, deskripsi mata kuliah,

organisasi materi, metode dan strategi pembelajaran, tugas-tugas, ujian-ujian,

penilaian, dan bahan bacaan. Selain itu terdapat pula kegiatan pembelajaran yang

dilakukan pada setiap pertemuan berdasarkan pada jadwal kegiatan pembelajaran.

Buku Ajar ini dilengkapi dengan Kontrak Perkuliahan dan Satuan Acara Perkulianan

yang ditempatkan pada lampiran.

Dengan selesainya revisi ini, sepatutnya diucapkan terima kasih yang tulus kepada:

1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan para Pembantu Dekan

yang telah berkomitmen dan konsisten untuk menerapkan metode problem

based learning dalam proses pembelajaran, sehingga setiap mata kuliah

diupayakan memiliki pegangan berupa buku ajar/block book.

2. Para pihak yang telah membantu penyelesaian buku ajar ini

Akhirnya, mohon maaf atas segala kekurangan dan kelemahan pada buku ajar

ini. Semoga bermanfaat terhadap pelaksanaan proses pembelajaran dan mencapai

hasil sesuai dengan kompetensi yang direncanakan.

Denpasar, 18 Agustus 2016

Penyusun.

iii

SAMBUTAN DEKAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

Puja dan Puji syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang

Hyang Widhi Wasa, atas anugrah dan karunianya, akhirnya Buku Ajar Hukum Acara

dan Praktek Peradilan Perdata, sebagai materi ajar dalam proses pembelajaran Hukum

Acara dan Praktek Peradilan Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana dapat

diterbitkan.

Terbitnya Buku Ajar Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata ini,

merupakan hasil jerih payah dari penulis sehingga perlu diberikan penghargaan dan

apresiasi yang mendalam. Terbitnya Buku Ajar ini juga diharapkan agar penulis mampu

secara berkesinambungan mengkaji perkembangan terkini dari hukum yang berkaitan

dengan Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata.

Akhir kata, pada kesempatan ini kami menyamapikan terima kasih dan

penghargaan kepada para penulis dan semua pihak yang telah membantu penerbitan

Buku Ajar Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata ini. Semoga para penulis terus

menumbuh kembangkan karyanya dan melahirkan ciptaan-ciptaan buku lainnya untuk

memperkaya khasanah ilmu pengetahuan hukum.

Denpasar, 29 November 2016 Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH, M.Hum. NIP. 19650221 199003 1 005

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii

SAMBUTAN DEKAN ...................................................................................................... iii

DAFTAR ISI .......................................................................................................................iv

I IDENTITAS MATA KULIAH ......................................................................................... 2

II DISKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN................................................................... 2

III. TUJUAN MATA KULIAH ........................................................................................... 3

IV. MANFAAT MATA KULIAH ...................................................................................... 3

V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH ....................................................... 3

VI. ORGANISASI MATERI ............................................................................................... 4

VIIMETODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN ........ 5

VIII. TUGAS-TUGAS ......................................................................................................... 6

IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN ............................................................................... 6

X. BAHAN PUSTAKA ....................................................................................................... 7

XI. JADWAL PERKULIAHAN ......................................................................................... 8

PERTEMUAN I: PERKULIAHAN 1 ............................................................................... 10

PERTEMUAN II: TUTORIAL 1 ...................................................................................... 36

PERTEMUAN III: TUTORIAL 2 ..................................................................................... 38

PERTEMUAN IV: TUTORIAL 3 ..................................................................................... 40

PERTEMUAN V: PERKULIAHAN 2 .............................................................................. 42

PERTEMUAN VI: TUTORIAL 4 ..................................................................................... 51

PERTEMUAN VII: TUTORIAL 5 ................................................................................... 53

PERTEMUAN VIII: UJIAN TENGAH SEMESTER ....................................................... 55

PERTEMUAN IX: PERKULIAHAN 3 ........................................................................... 56

PERTEMUAN X: TUTORIAL 6 ...................................................................................... 68

PERTEMUAN XI: TUTORIAL 7 ..................................................................................... 70

PERTEMUAN XII: PERKULIAHAN 4 ........................................................................... 73

PERTEMUAN XIII: TUTORIAL 8 .................................................................................. 84

PERTEMUAN XIV: TUTORIAL 9 .................................................................................. 87

PERTEMUAN XV: TUTORIAL 10 ................................................................................. 89

PERTEMUAN XVI: UJIAN AKHIR SEMESTER .......................................................... 91

LAMPIRAN I: SILABUS.................................................................................................. 92

LAMPIRAN II: RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) .................... 94

LAMPIRAN III: KONTRAK PERKULIAHAN............................................................. 112

2

I IDENTITAS MATA KULIAH

Nama Mata Kuliah : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata

Kode Mata Kuliah/SKS : BNI5338

SKS : 3 SKS

Prasyarat : -

Semester : 3 (Tiga)

Status Mata Kuliah : Wajib Nasional

Tim Pengajar : Dr. I Ketut Tjukup, S.H., M.H.

I Ketut Artadi, SH., SU

Nyoman. A Martana, SH., MH

I Gusti Ayu Agung Ari Krisnawati, SH., MH

Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., M.Kn

I Putu Rasmadi Arsha Putra, SH., MH

Kadek Agus Sudiarawan, SH., MH

Nyoman Wicaksana Wirajati, SH., LLM

II DISKRIPSI SUBSTANSI PERKULIAHAN

Mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan perdata merupakan mata

kuliah Wajib Nasional, yang pada hakekatnya merupakan pendalaman dari salah

satu substansi yang terdapat dalam mata kuliah Hukum Acara, yakni mengenai

Peradilan Perdata. Karena itu bahasan dalam mata kuliah ini meliputi berbagai

istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata,

sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan Hukum Acara

dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan Sebelum Sidang;

Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya

Hukum; Eksekusi.

Dalam mata kuliah ini berusaha untuk menghubungkan konsep-konsep

hukum yang ada dibidang acara secara teori dengan realitas yang terjadi di dalam

masyarakat. Karena itu, dalam perkuliahan dipergunakan berbagai contoh kasus

yang terjadi di dalam masyarakat.

3

III. TUJUAN MATA KULIAH

Tujuan dari perkuliahan ini adalah mahasiswa diharapkan mampu

memahami istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan

Perdata, sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan

Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan

Sebelum Sidang; Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian,

Putusan; Upaya Hukum; Eksekusi.

Dengan demikian maka, mahasiswa diharapkan mampu menganalisa

berbagai masalah yang berkaitan dengan Hukum Acara dan Praktek Peradilan

Perdata yang timbul dan ada dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

IV. MANFAAT MATA KULIAH

Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata merupakan mata kuliah yang

bersifat teoritis dan praktis, sebagai pendalaman dari mata kuliah lain dalam

kelompok mata kuliah keahlian hukum, terutama Hukum Acara, khususnya

substansiHukum Perdata. Karena itu, Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata

selain memberikan manfaat teoritis bagi mahasiswa, yakni mahasiswa dapat

memahami seluk-beluk istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan

Praktek Peradilan Perdata, sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata,

sejarah pengaturan Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia;

Tindakan Persiapan Sebelum Sidang; Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara

Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya Hukum; Eksekusi.

V. PERSYARATAN MENGIKUTI MATA KULIAH

Mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata merupakan mata kuliah

pilihan yang ditawarkan pada semester 3. Berdasarkan pada Keputusan Rektor

Universitas UdayanaNomor : 980/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Buku Pedoman

Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013 dan Keputusan

Rektor Universitas Udayana Nomor: 849/Un14.1.11/PP/2013 Tentang Kurikulum

Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, Hukum Acara dan Praktek

Peradilan Perdata dipersyarati dengan mata kuliah Hukum Perdata.

4

VI. ORGANISASI MATERI

Materi kuliah terdiri dari beberapa pokok bahasan dan sub pokok bahasan,

yang dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Pendahuluan:

a. Pengertian hukum Acara Perdata

b. Sumber-sumber hukum Acara Perdata

c. Asas- Asas Hukum Acara Perdata

d. Susunan Badan Kekuasaan Peradilan

e. Pejabat di Lingkungan Peradilan

2. Tindakan Sebelum dan Selama Sidang

a. Tuntutan Hak

b. Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya

c. Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis

d. Penggabungan/ Komulatif

e. Upaya untuk Menjamin Hak

f. Kompetensi Peradilan

g. Gugatan Perwakilan

3. Proses Acara Istimewa

a. Pemanggilan Secara Patut

b. Acara Istimewa

c. Mediasi Litigasi

d. Perubahan dan Pencabutan Gugatan

4. Proses Jawab Menjawab

a. Jawaban Gugatan

b. Replik Duplik

c. Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses

5. Pembuktian

a. Pengertian

b. Beban Pembuktian

c. Alat-alat Bukti

6. Putusan

a. Pengertian putusan

b. Sistematika Putusan

5

c. Asas-asas Putusan

d. Jenis-jenis Putusan

e. Kekuatan Putusan

7. Upaya Hukum

a. Upaya Hukum Biasa

b. Upaya Hukum Luar Biasa

8. Pelaksanaan Putusan

a. Pengertian

b. Dasar Hukum

c. Asas-asas

d. Jenis-jenis

e. Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi

f. Pelaksanaan Putusan

VII METODE, STRATEGI, DAN PELAKSANAAN PROSES PEMBELAJARAN

Metode perkuliahan yang digunakan yaitu metode Problem Based

Learning. Mahasiswa belajar (learning) menggunakan masalah sebagai basis

pembelajaran. Dosen bukan mengajar (teaching), tetapi memfasilitasi mahasiswa

belajar.

Pelaksanaan perkuliahan dikombinasikan dengan tutorial. Perkuliahan

dilakukan oleh dosen penanggung jawab mata kuliah sebanyak 4 (empat) kali,

untuk memberikan orientasi materi perkuliahan per-pokok bahasan. Sedangkan

tutorial dilaksanakan sebanyak 12 (delapan) kali. Untuk mengetahui hasil belajar

peserta didik, dilakukan dengan penilaian terhadap tugas-tugas, ujian tengah

semester (UTS), dan ujian akhir semester (UAS). Dengan demikan, keseluruhan

tatap muka pertemuan berjumlah 16 kali.

Perkuliahan Pokok-pokok Bahasan dan sub-sub pokok bahasan dipaparkan

dengan alat bantu papan tulis, power point slide, dan penyiapan bahan bacaan

tertentu yang dipandang sulit diakses oleh mahasiswa. Mahasiswa sudah

mempersiapkan diri (self study) sebelum mengikuti perkuliahan dengan mencari

bahan materi, membaca, dan memahami pokok-pokok bahasan yang akan

dikuliahkan sesuai dengan arahan (guidance) dalam Block Book. Perkuliahan

dilakukan dengan proses pembelajaran dua arah, yakni pemaparan materi, tanya

jawab, dan diskusi.

6

Mahasiswa mengerjakan tugas-tugas, baik discussion task, study task,

maupun problem task sebagai bagian dari self study. Tugas-tugas dikerjakan

sesuai dengan petunjuk yang terdapat pada setiap jenis tugas-tugas. Kemudian

presentasi dan berdiskusi di kelas tutorial.

VIII. TUGAS-TUGAS

Mahasiswa diwajibkan untuk membahas, mengerjakan dan mempersiapkan tugas-

tugas yang ditentukan di dalam Buku Ajar. Tugas-tugas terdiri dari tugas mandiri

yang dikerjakan di luar perkuliahan, tugas yang harus dikumpulkan, dan tugas

yang harus dipresentasikan.

IX. UJIAN-UJIAN DAN PENILAIAN

Ujian-ujian terdiri dari ujian tertulis dalam bentuk essay dalam masa tengah

semester dan akhir semester. Ujian tengah semester (UTS) dapat diberikan pada

saat tutorial atas materi perkuliahan nomor 1 dan 2. UTS dapat diganti dengan

menggunakan nilai tutorial 1, 2, 3, 4, dan 5 dari perkuliahan 1 dan 2. Sedangkan

ujian akhir semester ( UAS ) dilakukan atas materi perkuliahan 3 dan 4 dan tutorial

6, 7, 8, 9, dan 10 yang dilakukan pada pertemuan ke-16.

Penilaian meliputi aspek hard skills dan aspek soft skills. Penilaian hard skill

dilakukan melalui tugas-tugas (TT), UTS, dan UAS. Penilaian soft skill meliputi

penilaian atas kehadiran, keaktifan, kemampuan presentasi, penguasaan materi,

argumentasi, disiplin, etika dan moral berdasarkan pada pengamatan dalam tatap

muka selama perkuliahan dan tutorial. Nilai soft skill ini merupakan nilai tutorial

yang dijadikan sebagai nilai tugas. Nilai Akhir Semester (NA) diperhitungkan

menggunakan rumus seperti pada Buku Pedoman FH UNUD 2013, yaitu

(UTS + TT ) + 2 (UAS)

2

NA =

3

Sistem penilaian mempergunakan skala 5 (0-4) dengan rincian dan kesetaraan

sebagai berikut :

7

Skala Nilai Penguasaan

Kompetisi

Keterangan dengan skala

nilai

Huruf Angka 0-10 0-100

A

B

C

D

E

4

3

2

1

0

Sangat baik

Baik

Cukup

Sangat kurang

Gagal

8,0-10,0

7,0-7,9

5,5-6,4

5,0-5,4

0,0-4,9

80-100

70-79

55-64

50-54

0-49

X. BAHAN PUSTAKA

1. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung.

2. Bambang Waluyo, 1992, Sistem Pembuktian dalam Sistem Peradilan

di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

3. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico,

Bandung.

4. Chidir Ali, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, Armico,

Bandung.

5. Darwan Prints,1996, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan

Perdata, CV. Armico, Bandung.

6. A.T. Hamid, 1986, Hukum Acara Perdata Serta Sususnan dan

Kekuasaan Peradilan, PT. Bina Ilmu, Surabaya.

7. Lilik Mulyadi,1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata

pada Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.

8. Mukti Arto, 2004, Praktek Perkara Perdata, pada Pengadilan Agama,

Pustaka Pelajar, Jakarta.

9. Nur Rasaaid, 1996, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

10. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata 1989, Hukum

Acara Perdata Teori dan Praktek, Alumni, Bandung.

8

11. Soeparmono, 2000, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, CV

Mandar Maju, Bandung,

12.

13. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia,

Liberty, Yogyakarta.

14. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia,

Sumur Bandung, Bandung.

15. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya

Paramita, Jakarta.

16. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT

Citra Aditya Bakti, Bandung.

17. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan

Peradilan Umum, Pustaka Kartini, Jakarta.

18. M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika,

Jakarta.

XI. JADWAL PERKULIAHAN

Jadwal perkuliahan secara rinci sebagai berikut:

NO PERTEMUAN TOPIK KEGIATAN

1 I Pendahuluan dan Tindakan Sebelum

Sidang

Perkuliahan 1

2

II

Pengertian hukum Acara Perdata,

Sumber-sumber hukum Acara Perdata,

Asas- Asas Hukum Acara Perdata,

Susunan Badan Kekuasaan Peradilan,

Pejabat di Lingkungan Peradilan

Tutorial 1

3 III Tuntutan Hak, Isi Gugatan dan Dasar

Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan

Tertulis, Penggabungan/ Komulatif,

Tutorial 2

4 IV Upaya untuk Menjamin Hak, Kompetensi

Peradilan, Gugatan Perwakilan

Tutorial 3

5 V Proses Acara Istimewa dan Proses Jawab Perkuliahan 2

9

Menjawab

6 VI Pemanggilan Secara Patut, Acara

Istimewa, Mediasi Litigasi, Perubahan dan

Pencabutan Gugatan

Tutorial 4

7 VII Jawaban Gugatan, Replik Duplik,

Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam

Proses

Tutorial 5

8 VIII UJIAN TENGAH SEMESTER

9 IX Pembuktian dan Putusan Perkuliahan 3

10 X Pengertian, Beban Pembuktian dan Alat-

alat Bukti

Tutorial 5

11 XI Pengertian putusan, Sistematika Putusan,

Asas-asas Putusan, Jenis-jenis Putusan

dan Kekuatan Putusan

Tutorial 6

12 XII Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Perkuliahan 4

13 XIII Upaya Hukum Biasa, Upaya Hukum Luar

Biasa

Tutorial 7

14 XIV Upaya Hukum Luar Biasa Tutorial 8

15 XV Pengertian, Dasar Hukum, Asas-asas,

Jenis-jenis, Perlawanan Terhadap Sita

Eksekusi dan Pelaksanaan Putusan

Tutorial 9

16 XVI UAS Terstruktur

10

PERTEMUAN I: PERKULIAHAN 1

PENDAHULUAN, DAN TINDAKAN SEBELUM SIDANG

1. Pendahuluan

Pertemuan pertama pada perkuliahan ini akan disajikan pemahaman

mengenai pengertian hukum acara secara umum, pengertian hukum acara

Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan perkuliahan pertama

adalah mahasiswa mampu menguraikan mengenai pemahaman hukum acara

secara umum, pengertian hukum acara perdata, yaitu sebagai hukum formil yang

bertujuan untuk melaksanakan atau menjamin ditatainya hukum perdata materiil.

Dalam pertemuan ini pula dibahas mengenai asas-asas hukum acara perdata yang

merupakan fundamen untuk mempelajari hukumacara perdata lebih lanjut, sumber-

sumber hukum acara perdata yang sampai saat ini masih menggunakan sumber-

sumber hukum acara perdata dijaman colonial, peraturan perundang-undangan

yang baru menyangkut tentang hukum formil, Susunan Badan Kekuasaan

Peradilan, serta Pejabat di Lingkungan Peradilan.

Sedangkan pada tindakan sebelum siding dibahas Perbedaan Gugatan dan

Permohonan, Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan

Tertulis, Penggabungan/ Komulatif, Upaya untuk Menjamin Hak, Kompetensi

Peradilan, serta Gugatan Perwakilan

Materi perkuliahan Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata ini sangat

penting dipahami untuk memudahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-

tugas tutorial dalam pertemuan kedua dan ketiga. Selain itu juga menghindari

terjadinya pengulangan penjelasan terhadap konsep-konsep yang berulang kali

diketemukan dalam bahan kajian pada perkuliahan kedua, ketiga dan keempat.

2. Pengertian Hukum Acara Perdata

Hukum menurut fungsinya dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu hukum formil

dan hukum materiil. Hukum acara perdata merupakan hukum formil (Burgelijk

Procesrecht, Civil Procedural Law) karena memiliki fungsi mempertahankan atau

menegakan hukum perdata materiil. Hukum acara perdata tidak membebani

dengan hak dan kewajiban sebagaimana halnya dalam hukum perdata materiil.

Hukum acara perdata bertujuan untuk menegakan kaidah-kaidah hukum perdata

materiil sebagai akibat dari adanya pelanggaran terhadap hukum materiil.

Pelanggaran kaidah hukum pedata yang menyebabkan kerugian pada pihak lain,

harus diselesaikan melalui lembaga yang berwenang untuk itu dan tidak boleh

diselesaikan dengan cara “Eigenrichting” (main hakim sendiri).

11

Menurut UU nomor 48 Tahun 2009 sebagai pengganti dari UU nomor 4

Taun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut UU nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa, suatu sengketa juga

dapat diselesaikan diluar lembaga peradilan (non litigasi) yang disebut dengan

penyelesaian sengketa secara alternative. Disamping itu juga perlu dibaca pasal

666 KUHperdata.

Ada beberapa pendapat ahli berkaitan dengan pengertian Hukum Acara Perdata

diantaranya:

1. Sudikno Mertokusumo, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang

mengatur bagaimmana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata

materiil dengan perantaraan hakim.1

2. Abdulkadir Muhamad, mengemukakan bahwa hukum acara perdata

peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum

perdata.

3. Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan bahwa hukum acara perdata adalah

sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana

orang yang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan, dan cara

bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk berjalannya

peraturan-peraturan hukum perdata.2

4. R. Supomo, memberikan pengertian bahwa dalam hokum acara perdata

hakim melaksanakan tugasnya untuk mempertahankan tata hokum perdata

(burgerlijke rechts orde) menetapkan apa yang ditentukan oleh hokum

dalam suatu perkara.3

5. Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa hukum acara perdata adalah

merupakan ketentuan hukum yang mengatur bagaimana proses seseorang

untuk berperkara perdata di depan sidang pengadilan serta bagaimanakah

proses hakim (pengadilan) menerima, memeriksa serta memutus perkara

dalam rangka memperthankan eksistensi hukum perdata materiil. 4

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum acara perdata bukan

hukum yang berdiri sendiri, karena hukum acara perdata tidak dapat dilepaskan

dengan hukum perdata materiil atau dengan kata lain, hukum acara perdata tidak

akan ada artinya atau tidak berfungsi jika tidak ada hukum perdata materiil.

1 Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta,h.19 2 Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung,

h.13 3 Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, h.12 4 Lilik Mulyadi,1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada Praktik

Peradilan, Jambatan, Jakarta, h.2

12

Demikian sebaliknya hukumperdata materiil tidak akan dapat lancar tanpa peranan

hukum acara perdata.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa peraturan hukum acara perdata

tersebut mengatur bagaimana caranya mengajukan perkara ke pengadilan,

bagaimana caranya pihak terserang (tergugat) mempertahankan diri, bagaiamana

hakim bertindak terhadap pihak-pihak yang berperkara. Bagaimana hakim

memeriksa dan memutus perkara sehingga mencerminkan keadilann, apa yang

harus dilakukan pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan, bagaimana

cara melaksanakan putusan sehingga apa yang menjadi hak pihak yang

dimenangkan menurut hukum benar-benar dapat dinikmati.

Perkataan “acara” berarti mengandung artiproses penyelesaian perkara lewat

hakim (pengadilan). Proses penyelesaian perkara lewat hakim tersebut adalah

bertujuan untuk memulihkan hak seseorang yang telah terganggu atau mengalami

suatu kerugian mengembalikan keadaan semula, bahwa setiap orang harus

memenuhi peraturan hukum perdata supaya peraturan hukum perdata berjalan

sebagaimmana mestinya.5 Penyelesaian perkara bukan saja dapat dilakukan

melalui lembaga peradilan (litigasi) melainkan juga dapat dilakukan melalui

lembaga non litigasi sebagai alternative penyelesaian sengketa sebagaimana

diatur dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternative Penyelesaian Sengketa.

3. Sumber- sumber Hukum Acara perdata

Sampai saat ini kita belum memiliki Kitab Undang- Undang Hukum acara

perdata yang bersifat nasional, sebagaimana halnya dengan hukum acara pidana.

Walaupun pada tahun 1967 sebenarnya kita telah memiliki Rancangan Undang-

Undang Hukum Acara Perdata, terbata pada rancangan undang-undang hukum

acara perdata untukperadilan umum, yang telah disahkan oleh Badan Pekerja

BPHN, namun sampai saat ini masih belum pernah menjadi undang-undang. Oleh

karenanya hukum acara perdata masih berlaku hukum acra perdata peninggalan

jaman colonial dan masih bersifat plurtalistis.

Namun walaupun sampai saat ini kita belum memiliki kitab undang-undang

hukum acara perdata nasional, jangnlah diartikan bahwa tidak ada sumber hukum

acara perdata. Adapun sumber-sumber hukum acara perdata, adalah sebagai

berikut:

5 Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,

Bandung, h. 16-17

13

a. Menurut Undang-undang darurat nomor tahun 1961, masih ditunjukan

Het Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya disebut HIR) atau

reglemen Indonesia yang diperbaharui Stb.1848 Nomor 16, Stb. 1941

Nomor 44 yang hanya berlaku untuk daerah Pulau Jawa dan Madura,

serta Reglement Buitengewestwn (selanjutnya disebut Rbg) atau

reglemen daerah Seberang Stb. 1927 Nomor 227 yang berlaku untuk

daerah luar pulau jawa dan Madura.

b. Reglement op de Burgelijk rechtvordering (selanjutnya disenut RV atau

BRV) Stb. 1847 No. 52 Stb. 1849 nomor 63. Namun hal ini hanya

berlaku untuk mereka yang tunduk pada hukum eropa. Oleh karenanya

hal ini hanya sebagai pedoman.

c. Reglement op de Rechteelijke Organisasi in het beleid der jutitie ind

Indonesie atau reglement tentang kekuasaan kehakiman. Hal ini juga

hanya berlaku untuk golongan Eropa. Oleh karenanya hanya sebagai

pedoman.

d. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

(selanjutnya disebut Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman).

e. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

f. Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 dan peraturan pemerintah No

10 tahun 1983

g. Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

h. Yurisprudensi Mahkamah agung

i. Hukum Adat

j. Traktat

k. Doktrin

l. Peraturan dan Surat Edaran Mahkamah Agung, seperti Peraturan

Mahkamah agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi.

4. Asas- asas Hukum Acara Perdata

Asas-asas hukum acara adalah merupakan fundamen yang harus diketahui

terlebih dahulu sebelum meningkat pada pokok bahasan berikutnya, baik oleh para

penegak hukum maupun oleh para juitiabelen. Dibawah ini dikemukakan beberapa

asas hukum acara:

a. Asas hakim bersifat Menunggu;

Dalam asasini terkandung arti bahwa inisiatif berperkara datangnya dari

pihak yang berkepentigan dan hakim hanya bersifat menunggu datangnya

14

atau masuknya perkara (iudek ne procedat ex officio). Tidak ada hakim jika

tidak ada tuntutan hak (nommo judex sine actore). Proses perkara baru aka

nada jika yang berkepentingan mengajukan kepada hakim (pengadilan) dan

oleh hakim perkara yang masuk diproses sesuai hukum yang berlaku.

b. Asas hakim tidak boleh Menolak Perkara (ius curia novit)

Jika inisiatif tentang datang dari pihak yang berkepentingan serta tuntutan

hak telah diajukan kepada hakim atau ke pengadilan, maka hakim tidak

boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya atau

hukumnya kurang jelas. Dalam hal ini hakim dianggap tahu hukumnya (ius

curia novits). Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

mengatur bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili

dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum

tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan

mengadilinya. Sedangkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan

Kehakiman mengatur bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hkum yang hidup dalam masyarakat.

Oleh karenanya hakim harus terus mengikuti perkembangan hukum serta

mengahayti dan melaksanakan nilai-nilai hukum yang ada dalam

masyarakat..

c. Asas Hakim Pasif.

Asas ini mengandung arti bahwa hakim dalam memeriksa suatu perkara

adalah bersikap pasif, artinya ruang lingkup atau luas perkara yang

diajukan ke pengadilan untuk diperiksa oleh hakim adalah ditentukan oleh

para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya

membantu para pihak pencari keadilan untuk mengatasi segala hambatan

dan rintangan agar tercapainya peradilan yang sesuai dengan Trilogi

Peradilan.6 Sehubungan dengan asas ini perlu mendapat perhatiian pasal

178 HIR/189 R.Bg. yang pada pokoknya menentukan hakim wajib

mengadili seluruh tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap

sesuatu yang tidak dituntut atau mangbulkan lebih dari pada yang dituntut.

Para pihak yang berperkara juga bebas untuk mengajukan atau tidak

mengajukan upaya hukum, bahkan dapat mengakhiri sengketa kapan saja

dengan perdamaian tanpa persetuujuan hakim.7 Dalam asashakim pasif ini

juga mengandung asas hakim aktif misalnya agar persidangan berjalan

6 Sudikno Mertokusumo Op, Cit h.11 7 Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Pustaka

Kartini, Jakarta, h.18-19

15

dengan aman dan lancar, menunda persidangan, memerintah pembuktian,

menjelaskan mengenai upaya hukum dan sebagainya.

d. Asas Verhandelung Maksim

Asasini berhubugan dengan pembuktian dalam hukum acara perdata. Oleh

karenanya lebih lanjut akan diuraikan dalam pokok bahasan pembuktian.

Asas ini mengandung arti bahwa proses pembuktian dalam hukum acara

perdata adalah merupakan kewjiban penggugat dalam membuktikan dalil-

dalil gugatannya dan tergugat dalam membuktikan dalil-dalil bantahannya.

e. Asas Sidang Terbuka Untuk Umum

Tujuan asas ini adalah untuk menjamin objektifitas daripada persidangan

pengadilan karena adanya control social dari masyarakat luas, menghindari

subjektifitas dari hakim dalam memeriksa perkara. Demikian juga putusan

hakim harus diucapkan didepan sidang terbuka untuk umum.

Namun terhadap sidang-sidang yang berkaitan dengan kesusilaan seperti

perkara perceraian menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 serta

Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 sidang perceraian dilakukan dalam

sidang yang tertutup untuk umum. Demikian pula halnya dengan sengketa-

sengketa rahasia dagang juga dapat dilakukan secara tertutup sesuai

dengan UU No 30 Tahun 2000.

f. Asas Audi at Alteram Parterm

Asas ini mengandung arti bahwa para pihak harus diperlakukan sama di

depan hukum. Hal ini juga mengadung maksud hakim harus bersifat objektif

di dalam menangani suatu perkara, tidal boleh memihak atau bersikap

subjektif. Diperlakukan sama juga berarti para pihak harus diberiakn

kesempatan yang sama baik pada saat pemeriksaan perkara dalam

persidangan maupun pada saat pembuktian. (pasal 1221, 132 HIR/ psal

145, 147 R.Bg)

g. Asas Actor Sequituur Forum Rei

Asas ini mengandung arti bahwa gugatan diajukan pada pengadilnn di

wilayah hukum diaman tergugat bertempat tinggal. Jikahal ini dihubungkan

dengan kewenangan mengadili (kompetensi) hal ini merupakan kompetensi

relative. Dalam hukum cara dikeanal adanya 2 kompetensi yaitu absolute

dan relative. Asas ini juga mengenal beberpa pengecualian, yang akan

dibahas lebih lanjut dalam kompetensi /kewenangan mengadili.

h. Asas Putusan Harus Disertai dengan alasan.

Hakim didalam menjatuhkan putusan harus disetai degan alasan. Hal ini

juga bertujuan agar hakim bersifat objektif, dengan memeberikan alasan

16

dan pertimbangan yang cukup terhadap putusan yang dijatuhkannya. Hal

ini bukan saja merupakan pertranggungjawaban hakim kepada para pihak

yang berperkara, akan tetapi juga pertanggungjawaban hakim kepada

masyarakat, Pengadilan yang lebih tinggi oleh Sudikno Mertokusumo

mengemukakan itu artinya mempunyai nilai objektif.8 Dengan disertai

alasan yang kuat dalam suatu putusan tersebut mempunyai wibawa dan

tidak mudah untuk dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.

i. Asas Berperkara Kena Biaya

Berdasarkan ketentuan Pasal 121 ayat (4), Pasal 182, 183, HIR/ Pasal 145

ayat (4), 192, 194 R.Bg. berperkara dikenakan biaya. Biaya- biaya perkara

ini adalah diperuntukan:

- Biaya kepaniteraan;

- Biaya pemanggilan/ pemberitahuan;

- Biaya materai dll.

Bagi mereka yang tidak mampu, dapat berperkara dengan Cuma- Cuma

atau tanpa biaya yang disebut berperkara secara Prodeo demikian

ditentukan dalam pasal 271-274 R.Bg/ 235-238 HIR. Sudah tentu harus

dilengkapi dengan surat keterangan tidak mampu dari aparat yang

berwenang untuk itu.

j. Asas tidak ada keharusan mewakili.

Menurut system HIR/R.Bg setiap orang yang berperkara tidak ada

keharusan menunjuk kuasa atau wakil yang maju kedalam persidangan.

Namun juga memang menginginkannya juga dapat menunjuk wakil atau

kuasa dalam persidangan pengadilan. Namun jika ditunjuk kuasa atau

wakil, sikuasa tiidak dapat mengajukan gugatan tiidak tertulis. Berbeda

dengan system BRV sebagai sumber hukum acara perdata untuk orang-

orang yang tunduk pada hukum acara peradat Eropa, menghaluskan pihak

yang mempunyai perkara wajib mewakilkannya pada kuasa dengan akibat

batalnya gugatan jika tidak diwakilkan pada seorang kuasa (Pasal 106 ayat

1 BRV). Menurut ketentuan Pasal 109 RV, seorang kuasa diharuskan

Sarjana Hukum. Sistem yang mewajibkan bantuan dari seorang ahli hokum

dalam Rv ini didasarkan atas pertimbangan, bahwa di dalam suatu proses

yang memerlukan pengetahuan hokum dan kecakapan teknis, maka para

pihak yang berperkara perlu dibantu oleh seorang ahli hokum agar segala

8 Sudikno Mertokusumo, Op, Cit h. 14

17

sesuatunya dapat berjalan dengan lancer dan putusan dijatuhkan dengan

seadil-adilnya.9

k. Asas Hakim Majelis

Asas hakim majelis dapat dilihat dalam pasal 11 Undang-undang Kekuasan

Kehakiman.

l. Asas Trilogi Peradilan

Asastrilogi peradilan dimaksudkan adlah dalam proses pemeriksaan

perkara harus memperhatikan tiga hal yaitu:

- Sederhana;

- Cepat;

- Biaya ringan

5. Susunan Badan Kekuasaan Kehakiman

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan pada badan-badan peradilan

negara yang ditetapkan menurut UU Pasal 3 ayat 1 UU No 4 tahun 2004.

Sehubungan dengan badan peradilan juga perlu dibaca pasal 10 yang

menentukan:

a. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

Peradilan-peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.

b. Badan peradilan yang berada di bawahnya meliputi lingkungan peradilan

umum, peradilan agama, peradilan militer dan lingkungan peradilan tata

usaha negara.

Puncak semua sistem peradilan yang ada adalah pada Mahkamah Agung.

Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan, tentunya mempunyai kewenangan

untuk melakukan pengawasan terhadap peradilan yang ada di bawah Mahkamah

Agung. Peradilan yang ada dibwah Mahkamah Agung adalah peradilan tngkat

banding yang disebut juga appellate jurisdiction dan peradilan tingkat pertama

yang juga disebut dengan original jurisdiction. Kedua tingkatan ini disebut dengan

judex factie (peradilan dua tingkat). Artinya pemeriksaan perkara dalam tingkay

banding adlah merupakan pemeriksaan ulang atas pemeriksaan dalam tingkat

pertama baik mengenai peristiwanya maupun mengenai hukumnya. Sedangkan

dalam tingkat kasasi pada Mahkamah Agung (judex jure) hanyadiperiksa mengenai

kekeliruan penerapan hukumnya saja. Oleh krenanya pemeriksaan tingkat banding

adalah pemeriksaan tingkat kedua dan terkhir untuk pemeriksaan peristiwa dan

mengenai hukumnya.

9 Wirjono Projodikoro Op.cit. h. 29

18

6. Pejabat Dilingkungan Peradilan

Disamping hakim yang bertugas untuk memeriksa dan mengadili perkara

dilingkungan peradilan atau yang berwenang untukmelakukan kekuasaan

kehakiman, masih ada beberapa pejabat lainnya yaitu panitera (griffier). Dalam

setiap pengadilan ditetapkan adanya kepaniteraan yang terdiri dari seorang

panitera, seorang wakil panitera, beberapa panitera muda dan beberapa panitera

engganti. Serta juru sita (deurwaarder) dan juru sita pengganti. Panitera bertugas

untuk menyelenggarakan administrasi peradilan dan mengikuti semua lajannya

persidangan, dengan membuat berita acara (proses verbal), termasuk untuk

melaksanakan putusan, yang dibantu oleh juru sita. Sedangkan tugas juru sita

adalah untuk melakukan pemanggilan atau pemberitahuan.

Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti serta juru sat

diangkat ileh Menteri Kehakiman. Sedangkan juru sita pengganti diangkat oleh

Ketua Pengadilan.

7. Perbedaan Gugatan dan Permohonan

Untuk mengajukan perkara kepada hakim (pengadilan), memerlukan persiapan

yang sangat matang dengan cara terebih dahulu mempelajari kasus posisinya

secara seksama. Hal yang utama harus dilihat terlebih dahulu adalah orang yang

akan mengajukan perkaranya kepengadilan “mempunyai kepentingan yang

cukup“, artinya orang yang kepentingannyya dilanggar, diganggu dan mengalami

kerugian baik materiil maupuun inmateriil, dapat mengajukan tuntutan hak ke

pengadilan.

Pengertian perkara dalam hal ini adalah baik perkara yang mengandung sengketa

maupun perkara yang tidak mengandung sengketa, yang juga disebut dengan

peradilan tidak sesungguhnya atau peradilan sukarela (volunteer jurisdictie).

Perkara yang mengandung sengketa diajukan ke pengadilan dalam bentuk

gugatan, sedangkan yang tidak mengandung sengketa diajukan dalam bentuk

permohonan. Baik perkara yang mengandung sengketa maupun yang tidak

mengandung sengketa kedua-duanya disebut dengan tuntutan hak.

Dalam gugatan minimal terdapat dua pihak didalamnya yaitu pihak penggugat dan

pihak tergugat dan dengan hasil akhir putusan pengadilan. Sedangkan dalam

permohonan hanya terdapat satu pihak yaitu pihak permohon dengan hasil akhir

penetapan pengadilan.

Menurut Sudikno Mertokususmo, tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan

untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk

mencegah terjadinya eigenrichting.

19

Untuk mrngajukan suatu perkara kepada hakim, (pengadilan) memerlukan

persiapan yang sangat matang, disamping harus mempelajari kasus posisinya

dengan seksama.

Hal yang utama harus dilihat terlebih dahulu sebagai suatu proses tindakan

persiapan sebelum sidang, adlaah “apakah orang yang akan mengajukan tuntutan

hak tersebut memang mempunyai kepentingan yang cukup”. Orang yang haknya

merasa dilanggar, diganggu atau mengalami kerugian, mengajukan perkaranya ke

pengadilan untuk mendapat perlindungan hukum dan untuk menghindari terjadinya

eigenrcting, adalah orang yang mempunyai kepentingan. Namun perlu diperhatikan

disini bahwa tidak setiap kepentingan bisa dijadikan dasar untuk mengajukan

tuntutan hak ke pengadilan, melainkan kepentingan yang cukup yang dpaat dipakai

dasar alasan sebagai pengajuan tuntutan hakk. Maksudnya adalah kepentingan

yang cukup, yang layak dan yang mempunyai landasan hukum saja yang dapat

dipakai landasan penggajuan tuntutan hak ke pengadilan.

Pengertian perkara dalam hal ini adlah baik perkara yang mengandung sengketa

maupun yang tidak mengandung sengketa, maksudnya baik itu berupa

“permohonan” maupun “gugatan”. Yang kedua-duanya disebut dengan “tuntutan

hak”.

Tuntutan hakadlah tndakan yang bertujuan untuk memproleh perlindunga hak yang

diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eingenrichting. Orang yang

mengajukan tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan

hukum. 10

Dalam perkara gugatan dan permohonan terdapat suatu perbedaan, dimana dalam

perkara gugatan di dalamanya terdapat suatu sengketa/konflik yang harus

diselesaian dan diputus oleh pengadilan, di dalam perkara gugatan, terdapat

minima dua pihak, dimana ada seorang atau lebih yang “ merasa” haknya telah

dilanggar. Pihak yang haknya merasa dilanggar itulah yang mengajukan gugatn ke

pengadilan dan mereka disebut pihak penggugat (eiser plaintiff). Sedangkan

dipihak yang lainnya ada satu orang atau lebih sevagai pihak yang diseret dalam

kepentingan piihak penggugat, mereka disebut dengan “pihak tergugat”

(gedaagde, defendant). Dalam perkara yang mengandung sengketa yang disebut

gugatan ini hakim sungguh-sungguh berfungsi sebagai hakim yang bertugas untuk

memutus suatu perkara, sehingga disebut dengan “peradilan yang sesunggunya”

(constentius jurisdictie). Setelah hakim memeriksa perkara yang mengadung

10 Ibid, h.33

20

sengketa tersebut maka hakim akan mengeluarkan “putusan “atas perkara

dimaksud,

Pada asasnya, setiap orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntut,

atau ingin mempertahankan haknya wenang untuk bertindak sebagai pihak baik

selaku penggugat maupun selaku tergugat (legitima persona standi in judicio)

Dalam perkara yang disebut dengan permohonan, di dalamnya tdak terdapat suatu

sengketa atau konflik. Karena tidak mengndung sengketa maka dlam perkara

permohonan itu di dalamnya hanya terdapat satu pihak, yaitu satu orang atau lebih

yang bertindak sebagai “pemohon”. Dalam hal ini hakim hanya bertindak sebagai

bbadan administrasi belaka dalam memeriksa permohonan yang kemudian dibuat

penetapan atas permohonan tersebut. Maka oleh karenanya terhadap perkara

yang tidak mengandung sengketa ini juga disebut dengan peradilan yang tidak

sesungguhny atau peradilan sukarela dalam proses ini hakim tidak menyelesaikan

suatu sengketa.

Permohonan yang banyak diajukan ke pengadilan adalah permohonan penetapan

pengangkatan anak, permohonan penetapan kelahiran (karena lewaat kurun waktu

tertentu belum dimohonkan akte kelahiran pada Kantor Catatan Sipil, permohonan

penetapan kematian, permohonan penetapan ahli waris, permohonan penetapan

tim likuidasi bank, permohonan penetapan dan lain sebagainya.

8. Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya

Oleh karena dalam perkara gugatan dan permohonan telah jelas perbedaannya

sebagaimana telah diuraikan datas, dalam hal membicarakan mengenai sistimatika

dari tuntutan hak cukuplah dibicarakan satu saja dari dua jenis tuntutan hak yaitu

gugatan. Sehingga dibawah ini hanya dibicarakan mengenai sistimatika gugatan,

yang dalam kepustakaan sering disebut dengan isi gugatan.

Mengenai isi gugatan, tidak ada diatur baik dalam herzien Indonesis Reglement

disingkat HIR maupun dalam Rechtsreglement Buitengewesten disingkat R.Bg.

sebagai sumber hukum utama dari hukum acara perdata karena rancangan

Undang-undang Hukum Acara Perdata (tahun 1967) sampai saat ini masih tetap

saja sebagai rancangan. Dengan tidak adanya diatur mengenai isi gugatan baik

dalam HIR maupun dalam Rbg bukanlah berarti gugatan itu dapat dibuat dengan

seenakna tanpa memenuhi syarat-syarat tertentu.

Pasal 8 no 3 Rv menentukan gugatan sedikitnya memuat 3 hal yaiitu:

a. Identitas dari para pihak,

21

b. Dalil-dalil tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar

serta alasan-alasan dari pada tuntutan atau lebih dikenal dengan

fundamentum petendi, dan

c. Tuntutan atau petiitum.11

Sedangkan dalam Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata dalam pasal

8 ada ditentukan bahwa surat gugat hendaklah memuat:

a. Nama, tempat tinggal, dan pekerjaan kedua belah pihak yaitu

penggugat dan tergugat.

b. Hal-hal yang nyata atau peristiwa-peristiwa yang terjadi terutama dalam

hubungan antara penggugat dan tergugat;

c. Hal-hal yang diminta oleh penggugat supaya hakim memberikan

putusannya.

Dari hal-hal tersebut diatas, walaupun kelihatannya apa yang ditentukan

dalam pasal 8 RUU Hukum Acara Perdata lebih rinci dibandingkan dengan apa

yang ditentukan dalam pasal 8 Rv, namun pada incinya tidak ada perbedaan yang

prinsipil, karena apa yang disebut dalam angka 1 adalah merupakan identitas para

pihak, angka 2 dan 3 merupakan fundamentum petendi dan yang tercantum dalam

angka 4 adalah petitum.

Untuk lebiih jelaskan apa yang dimaksud dengan masing-masing tersebut

diatas adalah sebagai berikut:

Identitas Para Pihak

Identitas para pihak, tiada lain adalah jati diri atau cirri-ciri masing-masing

pihak baik penggugat maupun tergugat, umur, status perkawinan, pekerjaan serta

tempat tinggal masing-masing perlu pula dicantumkan. Mengenai tempat tinggal

pasal 17 KUHPerdata ada menentukan bahwa setiap orang dianggap mempunyai

tempat tinggalnya dimana ia menempatkan pusat kediamannya.

Sebagaimana dikemukakan dalam pengertian tuntutan hak yang

mengandung sengketa, bahwa dalam suatu perkara yang mengandung sengketa

minimal ada dua pihak yaitu pihak penggugat dan pihak tergugat. Pada asasnya

memang setiap orang adalah mempunyai hak dan ingin menuntutnya atau ingin

mempertahankan atau ingin membelanya, berwenang untuk menjadi pihak baik

selaku penggugat ataupun selaku tergugat (legitima persona standi in judicaio).

Pihak- pihak dalam perkara perdata ada yang disebut pihak materiil dan ada pula

11 Ibid, 34

22

yang disebut pihak formil. Pihak materiil adalah pihak yang langsung mempunyai

kepentingan atas perkara tersebut. Jika mereka yang mempunyai kepentingan itu

langsung bertindak aktif maju ke pengadilan untuk menuntut atau

mempertahankan kepentingannya maka ia merupakan pihak materiil dan pihak

formil. Seorang yang tidak mempunyai kepentingan langsung bertindak aktif di

depan pengadilan seperti seorang kuasa, (Pasal 142 RBg / Pasal 118 HIR; Buku

Ketga Bab XVI tentang pemberian Kuasa, pasal 1792 s/d pasal 1819

KUHPerdata), seorang wali pengampu, mereka yang mewakili suatu badan hukum,

adalah merupakan pihak formil. Orang yang bertindak sebagai kuasa dari pihak

materiil, harus dilengkapi dengan suatu surat kuasa khusus, yang biasanya

dilengkapi dengan hak substitusi (untuk itu berlaku ketentuan-ketentuan pemberian

kuasa).

Dasar-dasar Tuntutan

Fundamentum Petendi yang disebut Posita atau dasar-dasar tuntutan

sebenarnya masih dapat dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu:

1. Bagian yang menguraikan mengenai kejadian-kejadian atau peristiwa

yang juga disebut dengan duduknya masalah; dan

2. Bagian yang menguraikan tentang hukum, maksudnya adalah

hubungan hukum baik antara subjek dengan subjek ataupun antara

subjek dengan objek atau hubugan hukum dalam peristiwa tersebut.

Disini bukanlah dimaksudkan untuk menguraikan pasal-pasal Undang-

undang atau peraturan yang berlaku yang dipakai sebagai dasar

tuntutan, karena untuk menemukan hukum adalah merupakan tugas

hakim bukan tugas penggugat ataupun tergugat.

Sejauh manakah panjang dan lebarnya uraian peristiwa konkrit yang

menjadi dasar-dasar tuntutan yang diuraikan dalam posita adalah merupakan hal

yang tidak boleh diabaikan dalam penyusunan gugatn. Didalam menyusun dasar-

dasar tuntutan yang juga disebut dengan posita atau Fundamentum Petendi, harus

memperhatikan 2 teori yang berlaku untuk itu, yaitu yang disebut dengan

substantieringstheorie. Teori substansi (sejarah), dan Idividualiseringstheorie atau

teori individualisasi.

Menurut teori substansi (substantieringstheorie), bahwa dalam petitum

surat gugatan, tidaklah cukup hanya menguraikan mengenai peristiwa dan

hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan, melainkan harus diuraikan pula

bagaimana sejarahnya sampai terjadinya peristiwa dan hubungan hukum itu. Sebut

23

saja umpamanya membicarakan masalah hak tertentu, dalam teori ini tidaklah

cukup menguraikan bahwa penggugat mempunyai suatu hak dengan menunjukan

alat bukti hak tersebut, melainkan haruslah dipaparkan bagaimana searahnya atau

yang menjadi landasan yuridis sampai pada mereka mempunyai suatu hak yang

digugatkan itu. Sehingga apa yang digugatkan menjadi jelas dan gambling.

Sedangkan menurut teori individualisasi, bahwa dalam menyusun suatu

posita atau dasar-dasar tuntutan dari surat gugatan, adalah sudah cukup dengan

menguraikan peristwa dan hubungan hukum tanpa menguraikan sejarah atau

landasan yuridis dari peristiwa dan hubungan hukum tersebut. Sehingga surat

gugatan dapat dibuat dengan singkat, cepat dan tepat. Dengan dasar pemikiran

bahwa sepanjang tidak dipertanyakan atau dibantah tentang peristiwa dan

hubungan hukum tersebt tidaklah perlu dari sejak awal yaitu baru mengajukan

gugatan sudah menguraikan mengenai sejarah alat landasan yuridis dari suatu

peristiwa atau hubungan hukum yang ada. Seandainnya hal itu dipertanyakan atau

dibantah, maka substansinya dapat diuraikan dalam proses jawab menjawab

berikutnya yaitu baik dalam replik maupun dalam rereplik. Menurut yurisprudensi

Mahkamah Agung, penyusunan posita gugatan dengn prumusan secara singkat

sudah dapat dikatakan memenuhi syarat. Putusan Mahkamah agung Republik

Indonesia Nomor 547 K/Sip/1971. Tertanggal 15 maret 1972.

Tuntutan atau Petitum

Bagian terakhir dari surat gugatan, adalah apa yang disebut dengan

tuntutan atau petitum, yaitu berupa permintaan atau tuntutan atau apa yang

diminta oleh penggugat bagaimana nantinya diputus oleh hakim yang senyatanya

dapat dilihat dalam amar putusan. Petitum gugatan haruslah dirumuskan secara

jelas. Putusan yang tidak jelas perumusannya berakibat tuntutan tidak dapat

dierima. Perumusan petitum harus mempunyai korelasi dengan posita. Atau

dengan kata lain suatu tuntutan haruslah terlebih dahulu didasari dengan uraian

didalam posita atau fundamentum petendi. Tampa itu, juga dapat menyebabkan

gugatan dinyatakan tidak dapat diterima bahkan juga bisa ditolak.

Tuntutan atau petitum, dibedakan menjadi tuntutan primaer dan tuntutan

subsider. Tuntutan Primer dibedakan lagi menjadi dua yaitu tuntutan pokok dan

tuntutan tambahan. Tuntutan pokok adalah tuntutan yang langsung merupakan

pokok perkara, sedangkan tuntutan tambahan adalah tuntutan yang berhubungan

langsung dengan tuntutan pokok dan pada umunya adalah sebagai pelengkap dari

tuntuta pokok. Sedangkan tuntutan tambahannya seperti tuntutan hak asuh

24

terhadap anak dari perkawinan tersebut, tuntutan biaya hidup, biaya pendidikan

anak-anak dan sebagainya.

Tuntutan tambahan mempunyai kaitan yang amat erat dengan tuntutan

pokok, karena tuntutan tambahan adalah merupakan akibat langsung dari tuntutan

pokok (sebagai pelengkap), jika tuntutan pokok ditolak, maka tuntutan tambahan

menjadi tidak berarti. Sedangkan tuntutan sibsider adalah tuntutan pengganti dari

tuntutan primer, juga kiranya tuntutan primer tiidak dikabulkan nantinya. Jika

tuntutan primer dikabulkan tuntutan subside menjadi tidak mempunyai arti.12

Setelah diketahui atau gugatan dibuat sebagaimana ketentuan isi atau

sistimatika gugatan sebagai uraian diatas, agar gugatan dapat diajukan ke

pengadilan maka gugatan harus ditandatangani oleh yang bersangkutan dalam hal

ini penggugat atau kuasanya/wakilnya, (baca pasal 142 dan 147 Rbg/pasal 118

dan 123 HIR) tempat dan tanggal gugatan ditanda tangani.

Oleh karena dalam Rv. Ketentuan mengani isi gugatan demikian sumir

adanya bahwa dalam HIR/RBg. Hal itu tidak diatur maka dalam praktek masih

terlihat beranekaragamnya cara penyusunan gugatan, namun minimal tiga hal

yang harus dimuat telah terpenuhi. Jika ada pihak yang belum paham bagaimana

caranya membuat atau menyusun gugatan, berdasarkan pasal 143 RBg/119 HIR,

ketua pengadilan mempunyai wewenang untuk memberikan nasehat kepada pihak

yang mengajukan gugatan. Setelah gugatan selesai dibuat. Untuk kepentingan

atau menjwab pertnyaan tersebut terlebih dahulu haruus diketahui apa yang

disebut kompetensi atau kewenangan lembbaga peradilan.

9. Gugatan Tertulis dan Gugatan Lisan.

Menurut ketentuan Pasal 142 ayat 1 R.Bg/118 ayat 1 HIR, ditentukan

bahwa gugatan harus diajukan dengan surat yang ditanda tangani oleh penggugat

atau wakilnya. Hal ini mengandung arti bahwa gugatan itu haruslah diajukan

secara tertulis (dengan surat gugatan). Dari ketentuan ini lalu menimbulkan

pertanyaan bagaimana halnya jika penggugat tidak bisa membaca dan menulis

sedangkan penggugat mau mengajukan sendiri gugatan sehingga ia bertindak

sebagai pihak meteriil maupun pihak formil.

Pasal 144 R.Bg/120 HIR menentukan bilamana penggugat tidak dapat

menulis, maka gugatan dapat diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan

negeri. Ketua Pengadilan Negeri tersebut membuat catatan atau menyuruh

12 Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung,h. 23

25

membuat catatan tentang gugatan itu. Dalam pengajuan gugatan secara lisan ini

tiidak berlaku terhadap orang yang dikuasakan.

Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa memang

dimungkinkan untuk mengajukan gugatan secara lisan namun nantinya akan

menjadi suatu gugatan yang tertulis (surat gugatan), karena dibuatkan oleh Ketua

Pengadilan Negeri atau oleh yang disuruh oleh Ketua Pengadilan negeri.

10. Komulasi (cumulatie) atau Penggabungan

Mengenai komulasi atau penggabungan gugatan ini tidak ada ketentuan yang jelas

mengatur baik dalam HIR maupun RBg, namun dalam praktek basa dilakukan

karena komulasi akan dapat menghemat baik waktu maupun biaya dengan.

Komulasi dapat dibedakan menjadi:

1) Komulasi Subjektif

Dalam suatu perkara yang mengandung sengketa tidak jarang

penggugatnya terdiri dar beberapa orang melawan satu orang tergugat dan

demikian sebaliknya atau beberapa orang penggugat melawan beberapa orang

tergugat. Dalam perkara sepertii ini pada prinsipnya antara para penggugat

ataupun tergugat, dapat sja digabungkan karena memang tidak ada larangan hal

itu (lihat juga pasal 284 KUHPerdata) penggabungan atau komulasi semacam ini

disebut dengan penggabungan subjektif atau comulasi subjektif. Namun bagi orang

yang berkeberatan untuk penggabungan subjektif dapat mengajukan keberatan

atas penggabungan tersebut. Namun sebaliknya ada pula yang memang

menginginkan untuk dilakukan penggabungan subjektif diaamping lebih efisien dan

efektif adalah juga kepentingan tertentuseperti dengan penggabungan subjek yang

lainnya dapat membela kepentingannya (lihat juga vriwaring dalam masuknya

pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan). Diikutsertakan orang

lain dalam perkara yang mengandung sengketa sebagai pihak yang

berkepentingan disebut eceptio plurium litis consortium.

2) Komulasi Objektif

Komulasi atau penggabungan objektif adalah merupakan penggabungan

dari beberapa tuntutan dalam satu surat gugatan. Hal ini juga pada prinsipnya tidak

dilarang dan tidak dipersyaratkan adanya koneksitas antara tuntutan yang satu

dengan yang lainnya. Namum dalam komulasi objektif ini ada beberapa tututan

yang tidak mungkin untuk digabungkan yaitu:

26

a) Bila tuntutan yang satu dengan yang lainnya harus diperiksa dengan

harus diperiksa dengan acara khusus dan yang lainnya dengan acara

biasa contohnya perkara perceraian harus diperiksa secara khusus dan

tuntutan yang lainnya dengan acara terbuka untuk umum (acara biasa)

b) Bila tuntutan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat digabungkan

karena perbedaan kompetensi (kewenangan mengadili) baik secara

absolute maupun secara relative

c) Tuntutan tentang “bezit” disatu pihak dengan tuntutan “egendom”

sebagai tuntutan yang lainnya menurut pasal 103 Rv. Tidak dapat

digabungkan dalam satu surat gugatan.

Berbicara masalah penggabungan atau komulasi ini dituntut cukup berhati-hati

dengan lembaga yang disebut dengan konkursus. Karena dalam konkursus juga

mengandung beberapa tuntutan dalam satu surat gugatan, akan tetapi tuntutan

yang satu dengan yang lainnya menuju pada suatu akibat hukum yang sama.

Dengan dikabulkannya tuntutan yang satu dengan sendirinya tuntutan yang lain

harus pula dikabulkan. Dalam seperti bukanlah merupakan penggabungan

objektif.13

11. Tindakan Untuk Menjamin Hak

Penyitaan berasal dari terminology berlag (bahasa belanda) yang artinya

sita atau penyitaan. Agar suatu perkara tidak hanya menang diatas kertas, artinya

jika penggugat dimengkan, gugatan dikabulkan untuk seluruh namun objek

sengketa sudah tidak lagi berada pada tangan pihak tergugat maka jelas

menimbulkan masalah baru yaitu kesulitan dalam melaksanakan putusan

(eksekusi). Untuk menghindari hal yang demikian, maka untuk menjamin

kepentingan pihak penggugat juka mereka dimenangkan nantinya, hukum acara

perdata menyediakan lembaga “penyitaan” atau “sita” terhadap objek sengketa.

M. yahya Harahap mengemukakan bahwa pengertian yang terkandung dalam

penyitaan adalah:

1) Tindakan yang menempatkan harta kekayaan tergugat secara

paksa berada kedalam penjagaan;

2) Tindakan paksa penjagaan itu dilakukan secara resmi berdasarkan

perintah pengadilan atau hakim.

3) Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut berupa barang

yang disengketakan, tapi boleh juga berupa barang yang akan

13 Sudikno Mertokususmo, Op. Cit. h.52

27

dijadikan sebagai alat pembayaran sebagai peunasan hutang

debitur atau tergugat dengan jalan menjual lelang barang yang

disita tersebut.

4) Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama

proses pemeriksaan sampai ada putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap yang menyatakan sah atau tidak sahnya

tindakan penyitaan tersebut. 14

Penyitaan dilihat dari segi fungsinya adalah merupakan tindakan persiapan

untuk menjamin dapat dilaksankannya putusan hakim perdata. Oleh karena untuk

menjamin maka sita tersebut juga disebut dengan “sita jaminan” atau “consenvatoir

beslag”. Jika telah terjadi penyitaan maka barang-barang yang diletakan sita itu

dibekukan, sehingga tidak dapat dialihkan oleh siapapun atau pihak yang

menguasai kehilangan hak untuk berbuat bebas terhadap benda yang diletakkan

sita. Mengalhkan barang yang dalam keadaan diletakan sita adalah merupakan

perbuatan pidana (baca pasal 231 dan 232 KUHP).

Sita jaminan dapat dibedakan menjadi dua yaitu sita jaminan terhadap

barang miliknya sendiri (dalam hal ini pemohon sita) dan sita jaminan barang milik

debitur (termohon sita).

1) Sita jaminan terhadap Barang Milik Sendiri.

Barang milik penggugat yang dikuasaioleh orang lain dapat dimohonkan

sita oleh pemohon atau oleh pemiliknya baik sita terhadap barang milik sendiri

dapat lagi dibedakan menjadi 2 yaitu revindicatoir beslag dan marital beslag.

a) Revindicatoir beslag

Terhadap barang bergerak miliknya sendiri yang dikuasai oleh orag lain

dapat dimohonkan sita melalui pengadilan, baiksecara lisan maupun secara tertulis

kepada ketua pengadilan diwilayah hukum dimana orang yang menguasai barang

tersebut bertempat tinggal. Penekanan dalam revindicatoir beslag ini adalah

“barang bergerak milik pemohon sita”. Dalam permohonan sita ini identitas barang

objek penyitaan. Penyitaan ini juga berlaku terhadap hak reklame sebagaimana

ditentutak dalam pasal 1145 KUHPerdata jo. 232 KUHDagang.

Karena dalam revindicatoir beslag ini adalah penyitaan terhadap barang

bergerak, maka dalam hal mengabulkan sita ini tidaklah perlu menunggu “duga

14 M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika, Jakarta, h.282

28

yang beralasan “. Dalam sita revidicatoir pihak pemohon tidak dapat menguasai

barang sitaan, karena barang sitaan masih dimungkinkan untuk tetap dikuasai oleh

pihak termohon, namun termohon sudah kehilangn haknya untuk berbuat bebas

terhadap barang tersebut atau ditaruh ditempat lain sesuai penetapan hakim

pimpoinan sidang yang memerintah sita.

b) Marital Beslag

Marital beslag atau sita marital ini tidak ada diatur dalam HIR maupun

dalamRbg. Namun pengaturannya dapat dilihat dalam Rv (pasal 823 a-j Rv).

Marital Beslag ini hanya dikenal dalam hukum perdata barat yang berhubungan

degan harta perkawinan yang menurut pasal 119 KUHPerdata, mulai sejak

perkawinan telah terjadi percampurn harta secara bulat, dengan konsekwensi

yuridis bila terjadi perceraian harta perkawinan harus dibagi dua tanpa melihat asal

mula benda tersebut. Terhadap barang-barang harta perkawinan ini dapat

dimohonkan sita oleh salah satu pihak. Sita inilah yang disebut dengan sita merital.

Yang mengajukan permohonan sita marital adalah pihak istri yang tunduk pada

KUHPerdata, karena menurut KUHPerdata seorang istri adalah termasuk orang

yang tidak cakap untuk bertindak (pasal 1330 KuHperdat). Jadi seorang istri

mohon sita marital adalah untuk menghindari kekuasaan marital dari seorang

suami dalam hukum perdata barat.

2) Sita Jaminan Terhadap Barang Milik debitur

a) Conservatoir beslag (sita jaminan)

Sita jaminan terhadap barang milik debitur ini disebut dengan

conservatoir beslag (sita jaminan). Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan

dari pihak penggugat dengan cara mengajukan permohonan peletakan sita

kehadapan ketua pengadilan negeri terhadap barang milik debitur yang menjadi

objek sengketa ata yang dijadikan jaminan hutang.

Penyitaan ini hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah ketua

pengadilan negeri atas permintas kreditur atau penggugat. Pengabulan sita ini

harus didasarkan atas duga yang beralasan, artinya tergugat atau debitur selama

belum adanya putusan ada gejala atau indikasi akan menggelaokan atau

mengalihkan benda yang dijadikan jaminan. Tanpa adanya bukti kuat yang

mengindikasikan bahwa tergugat atau debitur akan mangalhkan benda sengketa,

permohonan sita jaminan itu harusnya tidak dikabulkan. Jika penyitaan telah

dilakukan, harus mendapatkan kekauatran eksekutorial dalam putusan pengadilan,

dengan cara menyatakan sah dan berharga sita yang telah diletakan. Namun jika

29

sitayang telah diletakkan ditolak dalam putusan dicantumkan bahwa sita yang telah

diletakkan dinyatakan diangkat atau dicabut.

Tersita juga setiap saat dapat mengajukan permohonan kepada ketua

pengadilan yang memeriksa perkara agar sta yang diletakkan terhadap barang

milik debitur diangkat. Permohonan tersebut dapat saja dikabulkan jika termohon

menyediakan jaminan yang cukup untuk itu. Demikian pula apabila sita jaminan itu

tidak ada manfaatnya atau barang yang telah diletakan sita ternyata bukan barang

milik debitur.

Dalam prakteknya pengadilan biasanya gampang saja mengabulkan

sita pemohon sita jaminan tanpa membuktikan adanya duga yang beralasan. Yang

dapat disita secara conservatoir:

1) Barang bergerak milik debitur

2) Barang tetap milik debitur

3) Barang bergerak milik debitur yang berada pada orang lain.

(Pasal 261, 208 RBg/pasal 227, 197 HIR)

Barang yang telah diletakan sita harus dibiarkan pada kekuasaan

termohon sita namun tidak dapat dialihkan. Pengalihan barang yang diletakkan sita

melanggar pasal 231 dan 232 KUHP.

b) Derden beslag (sita jaminan atas milik pihak ketiga)

Sita jaminan terhadap barang milik debitur, juga dapat dilakukan

terhadap barang milik debitur yang berada pada pihak ketiga (pasal 211 RBg/Pasal

197 HIR/Pasal 728 Rv). Jika debitur mempunyai piutang kepada pihak ketiga maka

kreditur untuk menjamin haknya kreditur dapat melakukan sita jaminan

concervatoir beslag terhadap benda bergerak milik pihak ktiga hal ini disebut

dengan derden beslag.

c) Pandbeslag (sita gadai)

Sita gadai ini hanya dapat diajukan atas tuntutan sebagaimana

ditentukan dalam pasal 1139 sub 2 KUHPerdata (pemenuhan kewajiban si

penyewa) dan dilaksanakan atas barang-barang tersebut di dalam pasal 1140

KUHPerdata.

12. Kompetensi

Kemana gugatan diajukan adalah merupakan pertanyaan yang sangat

sederhana, namun untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu harus diketahui

mengani kompetensi yang dalam hal ini dikenal kompetensi absolute (kewenangn

mutlak) dan kompetensi relative (kewenangan nisbi). Pasal 50 UU No 2 Tahun

1986 yang telah dirubah dengan UU No 8 than 2004 ada menentukan pengadilan

30

Negeri bertugas dan berwenang memeriksa memutus dan menyelesaikan perkara

pidana dan perdata ditingkat pertama. Pasal 10 ayat 1 UU No 4 tahun 2004

tentang kekuasaan Kehakiman menentukan: Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

sebuah mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi.

a. Kompetensi absolute (kewenangn mutlak)

Kompetensi absolute juga disebut dengan atribusi kekuasaan kehakiman

adalah wewenang badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang

secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain baik

dalamlingkungan peradilan yang sama maupun dalam lingkungan peradilan yang

berbeda. Jadi dengan demikian kompetensi absolute ini adalah untuk menjawab

pertanyaan pengadilan macam apa yang berwenang untuk menerima dan

memeriksa perkara tersebeut.

b. Kompetensi relative (kewenangan nisbi)

Kompetensi relative atau kewenangan nisbi ini juga disebut dengan

distribusi van Rechtmacht (distribusi kekuasaan kehakiman). Kompetensi relative

ini ditentukan oleh suatu wilayah hukum (yurisdiksi) dari suatu badan peradilan.

Kompetensi relative adalah untuk menjawab pertanyaan pengadilan yang mana

berwenng menerima dan memeriksa suatu perkara diantara pengadilan yang

sejenis (umpamanya antara Pengadilan negeri Denpasar dengan Pengadilan

negeri tabanan).

Dalam RBg dan HIR mengenai kompetensi relative ini diatur dalam pasal

142 RBg/118 HIR. Dalam ayat 1 pasal tersebut menentukan bahwa gugatan

diaukan pada pengadilan negeri di tempat tinggat tergugat. Maksudnya adalah

gugatan diajukan pada pengadilan negeri (baca pengadilan tingakay pertama)

diwilayah hukum dimana tergugat bertempat tinggal. Hal ini dikenal dengan actor

sequitor forom rei yang merupakan salah satu asas dalam hukum acara perdata.

Asas ini dikecualikan dalam nenerapa hal sebagai berikut:

a) Gugatan dapat diajukan pada pengadilan diwilayah hukum dimana

tergugat senyartanya berdiam jika tempattinggal tergugat tidak diketahui

(pasal 142(1) RBg/118 (1) HIR)

b) Jika tergugat terdiri daari dua orang atau lebih gugatan dapat diajukan

pada pengadilan diwilayah hukum salah satu tempat tinggal tergugat.

Akan tetapi jika salah satu adalah pihak yang berhutang sedangkan

31

yang lainnya dalah sebagai penjamin, maka gugatan diajukan pada

pihak berutang (pasal 142 (2) RBg/118 (2) HIR)

c) Jika tempat tinggal tergugat tidak diketahui maka gugatn dapat diajukan

pada pengadilan diwilayah hukum penggugat bertempat tinggal (pasal

142 (3) RBg/118 (3) HIR).

d) Jikaonjek sengketa adlah berupa barang tetap, maka gugatan dapat

diajukan pada pengadilan diwilayah hukum dimana objek sengketa

berada (pasal 99 ayat (8) Rv, Pasal 142 (5) RBg/118 (5) HIR)

e) Jika ada tempat tinggal yang dipilih maka gugatan diajukan pada

pengadilan diwilayah hukum tempat tinggal yang dipilih (pasal 142 (4)

RBg / 188 (4) HIR)

f) Jika tergugat adalah orang yang tidak cakap, gugatan diajukan pada

pengadilan diwilayah hukum dimana walinya bertempat tinggal (pasal

21 KUHPerdata)

g) Tenang kepailitan gugatan diajukan pada pengadilan yang menetapkan

pailit (pasal 15 Rv).

h) Gugatan perceraian dimana tergugatnya berada diluar negeri diajukan

pada pengadilan diwilayah hukum tempat tinggal penggugat (pasal 63

ayat (1) b. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 20 ayat (2)

dan (3) peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975)

i) Masalah pengangkatan anak, gugatan ataupun permohonan diajukan

pada pengadilan diwilayah hukum dimana anak yang akan diangkat

bertempat tingal

j) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan pada pengadilan

diwilayah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau

ditempat tinggal kedua suami istri atau istri (pasal 38 peraturan

Pemerintah Nomor 9 tahun 1975).

c. Hak Choice of Jurisdiction atau Chois of Court

Penerpan Coice of Court adalah merupakan perluasan kekuasaan

yurisdiksi relative pengadilan, jika pelayanan dan penegakan hukum dan keadilan

dianggap lebih baik dan lebih layak dilakukan pengadilan lain dari pada pengdilan

suatu tempat. 15

15 Ibid, h.204

32

13. Gugatan Perwakilan

Dewasa ini persoalan-persoalan yang merugikan masyarakat dalam jumlah

yang besar semakin banyak terjadi dalam masyarakat, hal demikian akan semakin

banyak terjadi seiring dengan kemajuan masyarakat. Tuntutan atas kerugian yang

melibatkan masyarakat dalam jumlah yang banyak yang disebut dengan class

action yang dikenal dalam system hukum Anglo Saxon, tidak ada diatur dalam

hukum acara yang berlaku sampai saat ni yaitu HIR/RBg. Oleh karenanya banyak

gugatan class action (gugatan perwakilan) yang dilakukan oleh masyarakat selalu

ditolak oleh hakim dengan alasan bahwa hukum acara tidak mengatur tentang hal

ini.

Dengan mengutip pendapat Mas Achmad Santosa dalam konteks gugatan

yang melibatkan masyarakat banyak yang bersifat masal, maka class action

sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia. Dikatakan pula bahwa ada 3

manfaat dari gugatn class action:

a. Proses perkara bersifat ekonomis (judicial economy) dengan gugatan class

action mencegah pengulangan (repetition) gugatan-gugatan serupa secara

individual. Tindakan ekonomis bagi pengadilan apa bila harus melayani

gugatan-gugatan sejenis secara individual. Bagi tergugat hanya

mengeluarkan biaya hanya satu kali.

b. Akses pada keadilan (acces to justie)

c. Perubahan prilaku pelanggaran memberikan akses yang lebih luas pada

pencari keadilan untuk mengajukan gugatan dengan cara cost efficiency:

akses class action ini berpeluang mendorong perubahan sikap dari mereka

yang berpotensi merugikan kepentingan masyarakat luas.

Akhirnya class action dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan di

Indonesia seperti dalam UU no 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup; UU no

41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen. Namun masih sulit diterapkan dalam praktek karena pengadilan masih

mengacu pada HIR/RBg yang tidak menganal gugatan perwakilan. Selankjutnya

oleh Mahkamah Agung sikeluarkan peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No 1

tahun 2002 tentang cara gugatan perwakilan kelompok.

14. Penutup

Paparan materi perkuliahan di atas pokok-pokoknya akan dikemukakan

kembali dalam rangkuman untuk memudahkan mahasiswa memahami materi

33

secara komprehensip. Kemudian untuk mengetahui capaian pembelajaran, maka

akan diberikan latihan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa.

Rangkuman

Perkuliahan pertama disuguhi tentang adanya pengertian hukum menurut

fungsinya dapat dibedakan menjadi 2 bagian yaitu hukum formil dan hukum

materiil. Hukum acara perdata merupakan hukum formil (Burgelijk Procesrecht,

Civil Procedural Law) karena memiliki fungsi mempertahankan atau menegakan

hukum perdata materiil. Hukum acara perdata tidak membebani dengan hak dan

kewajiban sebagaimana halnya dalam hukum perdata materiil. Sumber hukum

acara perdata menurut Undang-undang darurat nomor tahun 1961, masih

ditunjukan Het Herziene Indonesisch Reglement (selanjutnya disebut HIR),

Reglement Buitengewestwn (selanjutnya disebut Rbg), Reglement op de Burgelijk

rechtvordering (selanjutnya disenut RV atau BRV), Reglement op de Rechteelijke

Organisasi in het beleid der jutitie ind Indonesie atau reglement tentang kekuasaan

kehakiman, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-

undang Nomor 3 tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-undang Nomor 14

tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004

tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahunn 1986 tentang Peradilan

Umum, Yurisprudensi Mahkamah agung, Hukum Adat, Traktat, Doktrin, Peraturan

dan Surat Edaran Mahkamah Agung, seperti Peraturan Mahkamah agung

(PERMA) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Mediasi.

Dalam pertemuan ini juga akan dijelaskan beberapa asas dalam hukum

acara perdata seperti Asas hakim bersifat Menunggu; Asas hakim tidak boleh

Menolak Perkara (ius curia novit), Asas Hakim Pasif, Asas Verhandelung Maksim,

Asas Sidang Terbuka Untuk Umum, Asas Audi at Alteram Parterm, Asas Actor

Sequituur Forum Rei, Asas Putusan Harus Disertai dengan alasan, Asas

Berperkara Kena Biaya, Asas tidak ada keharusan mewakili, Asas Hakim Majelis

dan Asas Trilogi Peradilan

Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

Peradilan-peradilan yang ada dibawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Badan peradilan yang berada di bawahnya meliputi lingkungan peradilan umum,

peradilan agama, peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

Pejabat yang ada dalam hukum acara perdata adalah Panitera, wakil

panitera, panitera muda, dan panitera pengganti serta juru sita diaangkat oleh

Menteri Kehakiman. Sedangkan juru sita pengganti diangkat oleh Ketua

Pengadilan.

34

Dalam hukum acara perdata dikenal dengan gugatn lisan dan tertulis.

Dalam membuat gugatan harus berisikan Identitas dari para pihak, Dalil-dalil

tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari

pada tuntutan atau lebih dikenal dengan fundamentum petendi, dan Tuntutan atau

petiitum.

Latihan: Diskusikan pertanyaan dibawah ini

1. Apa itu hukum materiil dan hukum formil?

2. Apakah setiap perbuatan yang tidak melalui lembaga perdailan

adalah merupakan pernuatan main hakim sendiri?

3. Apakah PERMA dan SEMA merupakan sumber hukum?

4. Kenapa hukum dizaman colonial masih tetap diperlakukan di

Indonesia?

5. Apa perbedaan hukum acara dengan materiil?

6. Bagaimana perbedaan asas hakim pasif dengan asas hakim bersifat

menunggu

7. Identifikasi semua assas yang mempunyai tujuan yang sama yaitu

asas hakim bersikap objektif

8. Apa yag dimaksud dengan judex factie?

9. Apa Arti gugatan lisan?

10. Apa yang dimaksud dengan identitas para pihak? Coba Sebutkan

Identitas diri sendiri dengan kedudukan sebagai penggugat?

11. Apa Hubungan Posita dengan Petitum gugatan?

12. Apa sebab disebut dengan sita jaminan?

13. Apakah semua macam sita dapat dikatakan sita jaminan

14. Apa yang tidak dimungkinkan untuk melakukan komulasi subjektif

dan objektif

15. Apa akibat hokum dari kesalahan pengajuan gugatan yang

melanggar kompetensi peradilan

16. Apa perbedaan Antara class action dengan gugatn kelompok

Bahan Pustaka

1. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,

Yogyakarta.

35

2. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur

Bandung, Bandung.

3. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya

Paramita, Jakarta.

4. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada

Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.

5. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung.

6. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Umum, Pustaka

7. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.

8. M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika, Jakarta.

36

PERTEMUAN II: TUTORIAL 1

PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA, SUMBER-SUMBER HUKUM

ACARA PERDATA, ASAS- ASAS HUKUM ACARA PERDATA, SUSUNAN

BADAN KEKUASAAN PERADILAN, PEJABAT DI LINGKUNGAN PERADILAN

1. Pendahuluan

Pertemuan kedua adalah kegiatan tutorial pertama. Kegiatan tutorial ini

merupakan pendalaman atas materi Pengertian hukum Acara Perdata, Sumber-

sumber hukum Acara Perdata, Asas- Asas Hukum Acara Perdata, Susunan Badan

Kekuasaan Peradilan, Pejabat di Lingkungan Peradilan Perdata. Mahasiswa

bediskusi di dalam kelompok atas tugas Discussion task yang mengilustrasikan

materi perkuliahan kesatu terutama mengenai peristilahan, pengertian, Sumber

hokum Acara Perdata asas-asas Hukum Acara Perdata dan Badan Kekuasaan

Peradilan. Dengan demikian diharapkan mahasiswa dengan rasa tanggung jawab,

jujur dan demokratis mampu:

a. Menjelaskan status A. Hong dan Rudi Hartono sebagai apabila

permasalahan ini akan di bawa kepengadilan perdata, dan

b. Mengidentifikasi dan menunjukkan pernyataan-pernyataan yang bermakna

istilah penggugat, Tergugat, serta asas acara perdatayang inklusif di

dalam wacana.

2. Tugas: Discussion Task-Study Task

A Hong, seorang pemilik mall yang bertempat tinggal di Jalan Kaliurang

Km.9, Ngaglik,Sleman, D.I. Yogyakarta mempunyai sebuah mall baru bernama

Oke Mall yang terletak di JalanSosio-Justicia No.1, Bulaksumur, Depok, Sleman

yang selesai dibangun tahun 1999. A Hongmencari orang-orang yang mau

membeli kios di mallnya dengan mempromosikan melalui baliho. Salah satunya

adalah Rudi Hartono, seorang pengusaha yang mau membuka usaha butik,

bertempat tinggal di Jalan Kolombo No.19, Caturtunggal, Sleman, D.I. Yogyakarta

yang maumenyewa kios di Oke Mall. Akhirnya, A Hong dan Rudi Hartono dan

istrinya Ny.Hartono pada tanggal 4 Januari 2000 kemudian membuat dan

menandatangani Perjanjian tertulis untuk sewa menyewa ruko dengan tuan A

Hong di Kantor Notaris EKO SANTOSA, S.H, dan dihadiri oleh saksi-saksi yang

juga turut menandatangani perjanjian tersebut yaitu Bapak Lurah Caturtunggal

yang bernama Budiman Pamungkas dan masing-masing 1 saksi dari masing-

masing membuat akta perjanjian dinotaris. Akta tersebut berisi:

37

a. Perjanjian sewa menyewa kios selama 10 (sepuluh) tahun yang dimulai

tahun 2000 hingga tahun 2012.

b. Uang sewa dibayarkan di tanggal 10 Januari awal tahun dengan biaya Rp

240.000.000,-per tahun.

c. Kios tersebut berukuran 80 M2.

d. Bahwa biaya tersebut sudah termasuk fasilitas biaya listrik, keamanan dan

kebersihan.

Pada bulan November 2008 ada Gentlement Agreement antara A Hong dan Rudi

yangdisaksikan oleh Fajar Komaruddin berisi:

A Hong : “Hei Rudi, nanti tahun 2010, perjanjian kita perpanjang ya”.

Rudi : “Tapi 2008 ini saja usahaku mulai macet”

A Hong : “Ah masalah pembayaran gampanglah itu, kita kan friend.”

Dengan berjalannya waktu mulai pada tahun 2008 dan 2009 usaha Tuan

Rudi mulaimerugi. Tuan Rudi Hartono tidak membayar kewajibannya terkait sewa

kiosnya. Pihak A Hongsudah menemui Rudi untuk menagih uang sewanya namun

Rudi tidak segera membayarnya danmenganggap gentlement agreement bisa

menjadi alasan Rudi tidak membayar biaya sewa padatahun 2008 dan 2009.

Kemudian A Hong sudah memberi Surat Peringatan sebanyak 3 (tiga) kalikepada

Tuan Rudi yaitu masing-masing pada tanggal 20 April 2009, 20 Mei 2009 dan 20

Juni2009.Karena pihak Rudi tidak segera membayar biaya sewa pada tahun 2008

dan 2009,maka pada bulan Juli 2009 Tuan A Hong menggugat Tuan Rudi ke

Pengadilan Negeri Sleman sesuai yang tertuang dalam Akta Perjanjian.

Diakses dari: http://dokumen.tips/documents/kasus-posisi-plkh-perdata-11mei-

2012.html (diakses pada tanggal 21 Oktober 2016)

3. Penutup

Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi dan dikumpulkan di akhir tutorial.

Bahan Pustaka: Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan 1.

38

PERTEMUAN III: TUTORIAL 2

PERBEDAAN GUGATAN DAN PERMOHONAN, ISI GUGATAN DAN DASAR

HUKUMNYA, GUGATAN LISAN DAN GUGATAN TERTULIS,

PENGGABUNGAN/ KOMULATIF

1. Pendahuluan

Pertemuan kedua adalah kegiatan tutorial pertama. Kegiatan tutorial ini

merupakan pendalaman atas materi Perbedaan Gugatan dan Permohonan, Isi

Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis,

Penggabungan/ Komulatif dalam Hukum Acara Perdata. Mahasiswa bediskusi di

dalam kelompok atas tugas Discussion task yang mengilustrasikan materi

perkuliahan kesatu terutama mengenai Perbedaan Gugatan dan Permohonan, Isi

Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis,

Penggabungan / Komulatif dalam Hukum Acara Perdata.

2. Tugas: Discussion Task – Study Task

YANG PERLU DIPERHATIKAN SEBELUM POKOK PERKARA GUGATAN

Dalam membuat gugatan ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar

gugatan tidak dimentahkan dengan eksepsi oleh pihak lawan. Jika ini terjadi maka

Gugatan ditolak atau tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard) karena

kesalahan-kesalahan ketidak cermatan dalam menyusun dan membuat gugatan.

Suatu cambukan atau istilanya "tersambar petir disiang bolong" karena Gugatan

ditolak.

Selain itu, berperkara di muka pengadilan membutuhkan biaya yang tidak

sedikit, karena untuk mengajukan gugatan penggugat diwajibkan membayar biaya

perkara kurang lebih Rp 566.000,-(lima ratus enam puluh enam ribu rupiah) itu

baru hanya untuk daftar gugatan 1 (satu) Penggugat dan 1 (satu) Tergugat dalam

kota yang sama. Tambah 1 (satu) pihak (Tergugat dan atau Penggugat) Rp

225.000 (dua ratus dua puluh lima ribu rupiah), dan bila alamat salah satu pihak

diluar kota tambah lagi biaya Rp 100.000 (seratus ribu rupiah). Belum lagi jika

proses pemerikasaan perkara berjalan alot dan biaya perkara tersebut sudah habis

maka Penggugat wajib untuk melakukan tambahan biaya perkara, karena biaya-

biaya yang disetorkan tersebut sifatnya hanyalah Panjar Biaya Perkara.

39

Tentu saja kita tidak mau gugatan yang diajukan menjadi sia-sia atau gugatan tidak

dapat diterima/ ditolak (niet onvankelijke verklaard), dan dapat dibayangkan berapa

biaya yang harus dikeluarkan lagi bila ini terjadi.

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat gugatan adalah sebagai

berikut:

a. Kewenangan Pengadilan

b. Isi Posita dan Petitum

c. Para Pihak

Tiga hal tersebut diatas; Kewenangan Pengadilan, Posita dan Petitum, serta Para

Pihak merupakan hal yang paling dasar dalam gugatan untuk dicermati sebelum

pemeriksaan ke pokok perkara oleh Majelis Hakim bila Penggugat tidak cermat

dalam gugatan ini akan menjadi fatal dan gugatan dapat ditolak (niet onvankelijke

verklaard) dengan dipatahkan oleh eksepsi Tergugat.

3. Penutup

Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi dan dikumpulkan di akhir tutorial.

(sumber http://hendra-septianus.blogspot.co.id/2012/11/yang-perlu-diperhatikan-

sebelum-pokok.html)

Bahan Pustaka: Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan 1.

40

PERTEMUAN IV: TUTORIAL 3

UPAYA UNTUK MENJAMIN HAK, KOMPETENSI PERADILAN, GUGATAN

PERWAKILAN

1. Pendahuluan

Pada tutorial yang ketiga ini merupakan pendalaman atas materi Upaya

untuk Menjamin Hak, Kompetensi Peradilan, Gugatan Perwakilan yang

divisualisasikan dengan wacana bertopik “Pertama di Indonesia, Class Action

Nasabah Menang Lawan Bank”. Mahasiswa mendiskusikan dengan sevent jumpt

approach dan presentasi dalam kelompok mengenai Upaya untuk Menjamin Hak,

Kompetensi Peradilan, Gugatan Perwakilan di dalam wacana tersebut. Setelah

selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan

demokratis mampu mengidentifikasi dan menjelaskan perbedaan Gugatan Class

Action, Legal Standing, dan Citizen Law Suit yang terdapat di dalam wacana.

2. Tugas: Tugas: Studi Task

Pertama di Indonesia, Class Action Nasabah Menang Lawan Bank

Bisa jadi, putusan Pengadilan Negeri (PN) Garut, Jawa Barat menjadi

putusan pertama di Indonesia yang mengabulkan gugatan class action di kasus

perbankan. Sebelumnya class action umumnya dipakai dalam kasus-kasus

lingkungan hidup.

Kasus bermula saat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bungbulang dilikuidasi

oleh pemerintah pada 2007. Ratusan nasabah pun merasa dirugikan karena

tabungannya raib sebesar Rp 4 miliar. Setelah bertahun-tahun tidak menerima

kepastian uangnya, mereka menggugat Pemkab Garut dan pengurus BPR

Bungbulang ke PN Garut.

"Para Penggugat sebagai pemilik tabungan dan deposito/simpanan

berjangka tersebut telah berupaya dan berusaha sebaik-baiknya dan dibenarkan

secara hukum untuk menuntut dan mengambil haknya serta menyelesaikan

masalah tersebut di atas secara musyawarah kekeluargaan, akan tetapi hasilnya

sia-sia/tidak berhasil," gugat para nasabah sebagaimana tertuang dalam putusan

PN Garut yang dilansir website Mahkamah Agung (MA), Kamis (26/2/2015).

Dalam gugatannya, mereka mengajukan gugatan model class

action. Padahal sesuai hukum positif yang berlaku, gugatan class action baru

dikenal di UU Lingkungan Hidup, UU Perlindungan Konsumen, UU Jasa Konstruksi

dan UU Kehutanan. Gugatan class action ini dilakukan karena salah satunya

penggugat mencapai 600 nasabah lebih. Dalam gugatannya, ratusan nasabah itu

41

meminta uang tabungan Rp 478 juta dikembalikan dan dalam bentuk deposito Rp

3,5 miliar.

"Menghukum Para Tergugat untuk membayar ganti kerugian imateril atas

tabungan adalah sebesar Rp 182 juta kerugian imateril atas deposito adalah

sebesar Rp 4,5 miliar," gugat nasabah.

Gayung bersambut. Meski model gugatan belum lazim, majelis PN Garut

mengabulkan permohonan itu. Majelis yang terdiri dari Daniel Ronald sebagai

ketua majelis dengan Hastuti dan Darmoko Yuti Witanto menghukum Para

Tergugat mengembalikan tabungan Rp 399 juta dan deposito Rp 3 miliar.

"Menghukum para tergugat membayar bunya tabungan sebesar Rp 1,2 juta dan

bunga deposito Rp 1,2 miliar," putus majelis hakim pada 15 Januari 2015 lalu.

Sumber: (http://news.detik.com/berita/2843788/pertama-di-indonesia-class-action-

nasabah-menang-lawan-bank di akses pada tanggal 16 September 2016)

3. Penutup

Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi dan dikumpulkan di akhir tutorial.

Bahan Pustaka: Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan 1.

42

PERTEMUAN V: PERKULIAHAN 2

PROSES ACARA ISTIMEWA DAN PROSES JAWAB MENJAWAB

1. Pendahuluan

Pertemuan pertama pada perkuliahan ini akan disajikan pemahaman

mengenai pengertian hukum acara secara umum, pengertian hukum acara

Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan perkuliahan pertama

adalah mahasiswa mampu menguraikan mengenai pemahaman hukum acara

secara umum, pengertian hukum acara perdata, yaitu sebagai hukum formil yang

bertujuan untuk melaksanakan atau menjamin ditatainya hukum perdata materiil.

Dalam pertemuan ini pula dibahas mengenai asas-asas hukum acara perdata yang

merupakan fundamen untuk mempelajari hukumacara perdata lebih lanjut, sumber-

sumber hukum acara perdata yang sampai saat ini masih menggunakan sumber-

sumber hukum acara perdata dijaman colonial, peraturan perundang-undangan

yang baru menyangkut tentang hukum formil, Susunan Badan Kekuasaan

Peradilan, serta Pejabat di Lingkungan Peradilan.

Sedangkan pada tindakan sebelum siding dibahas Perbedaan Gugatan dan

Permohonan, Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan

Tertulis, Penggabungan/ Komulatif, Upaya untuk Menjamin Hak, Kompetensi

Peradilan, serta Gugatan Perwakilan.

Materi perkuliahan Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata ini sangat

penting dipahami untuk memudahkan mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-

tugas tutorial dalam pertemuan kedua dan ketiga. Selain itu juga menghindari

terjadinya pengulangan penjelasan terhadap konsep-konsep yang berulang kali

diketemukan dalam bahan kajian pada perkuliahan kedua, ketiga dan keempat.

2. Pemanggilan Secara Patut

Setelah guggatan selesai dibuat dan diajukan ke pengadilan sebagaimana

persyaratan yang ditentukan sesuai dengan kompetensi atau kwenangan

mengadili baik kewenangan absolute maupun kewenangan relative. Gugatan yang

diajukan terlebih dahulu harus didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan untuk

mendapatkan nomor register perkara dengan terlebih dahulu membayar panjar

biaya perkara. Namun bagi yang tidak mampu juga dapat bererkara secara proseo.

Terhadap perkara yang telah mendapatkan nomor register, hakim wajib untuk

memeriksa dan mengadili perkara tersebut, sesuai dengan hukum acara yang

berlaku.

43

Perkara yang telah masuk dengan memenuhi persyaratan hukum acara

yang berlaku, oleh ketua pengadilan didistribusikan kepada hakim atau majelis

hakim yang memeriksa perkara tersebut dengan suatu penetapan ketua

pengadilan, denagn menetapkan majelis hakim dan panitera atau panitera

pngganti yang menyertainya. Menurut M. Nur Rasaid, tugas pokok hakim adalah

menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang

diajukan kepadanya.16 Berikutnya majelis hakim yang bersangkutan menetapkan

hari dan tanggal persidangan atas perkara tersebut. Agar kedua belah pihak hadir

kedalam persidangan yang telah ditentukan, maka para pihak harus dipanggil

untuk itu dengan melakukan pemanggilan secara patut. Pemanggilan dilakukan

oleh juru sita dengan menyerahkan surat panggilan beserta salinan surat gugatan

(khusus kepada tergugat) dimana tergugat bertempat tinggal. Jika yang dipanggil

tidaj diketahui tempat tinggalnya, panggilan dapat diserahkan kepada kepala desa.

Surat panggilan yang telah ditandatangani oleh pihak yang dipanggil atau oleh

kepala desa, risalah panggilan (relas) tersebut, oleh juru sita harus diserahkan

kepada hakim pimpinan sidang untuk membuktikan bahwa pemanggilan telah

dilakukan secara patut.

3. Acara Istimewa

Setelah dilakukan pemanggilan secara patut oleh juru sita atau juru sita

pengganti kepada kedua belah pihak, maka jika kedua belah pihak hadir, maka

dapat dilakukan pemerisaan perkara yang diwalai dengan pembacaan gugatan

oleh penggugt dan kepada tergugat diberikan kesempatan untuk menanggapinya

baik secara lisan maupun terlutis. Namun ada kalanya dimana para pihak sudah

dipanggil secara patut, salah satu pihak ada yang tidak hadir, maka terjadilah

acara istimewa dimana hakim pimpinan sidang dapat menjatuhkan putusan

gugatan gugur atau verstek. Ini berarti bahwa gugatan perdata dapat diputus

secara contraditoir dan diputus diluar hadirnya pihak-pihak.

Ada kalanya pengguggat yang mengajukan gugatn setelah dipanggil secara

patut justru mereka yang tidak hadir atau tidak mengirim wakilnya dalam

persidangan yang telah ditentukan. Menurut pasal 150 RBg/126 HIR. Jika yang

bersangkutan telah dipanggil satu kali secara patut, masih diberikan toleransi

pemanggilan sekali lagi, bahkan dalam praktek kadang-kadang sampai tiga kali

pemanggilan, juga penggugat tidak hadir, sedangkan tergugat hadir maka hakim

dapat menjatuhkan putusan gugatan gugur yang disertai dengan membebankan

16 Nur Rasaid, 1996, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, h. 15

44

kepada penggugat untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ni.

Dan mereka dapat mengajukan gugatn lagi setelah membayar biaya perkara

tersebut. (Pasal 148 Rbg/124 HIR)

Jika yang tidak hadir atau tidak megirim wakilnya kedalam persidangan

setelah dipanggil secara patut itu adalah pihak tergugat, maka hakim dapat

manjatuhkan putusan verstek sebagaimana ditentukan dalam pasal 149 Rbg/125

HIR). Namun sebagaimana dikemukakan diatas, berdasarkan pasal 150 RBg/

Pasal 126 HIR, pengadilan dapat memerintahkan untuk melakukan pemanggilan

kepada pihak yang tidak hadir sekali lagi supaya hadir pada hari sidang yang lain.

Sedangkan bagi pihak yang hadir diberitahukan dan pemberitahuan itu dianggap

sebagai pamggilan.

Putusan verstek tiidak selalu mengabulkan gugatan penggugat. Jika

gugatan tidak berdasarkan ats hukum, yaitu peristiwa-peristiwa sebagai dasar dari

tuntutan tidak membenarkan tuntutan maka gugatan dinyatakan tidak dapat

diterima (niet onvenklijk verklkelaard). Sedangkan jika gugatan tidak beralasan,

yaitu tidak diajukan alasan-alasn yang membenarkan tuntutan, maka gugatan

dinyatakan ditolak.17 Namun jika dalam sidang pertama tergugat hadir, dan dalam

sidang berikutnya walaupun telah dipanggil secara patut tergugat juga tidak hadir

atau tidak mengirim wakilnya, maka perkara dperiksa secara contradictoir.

4. Mediasi Litigasi

Istilah ini hanya untuk membedakan antara mediasi yang dilakukan diluar

sidang pengadilan (non litigasi) dengan mediasi yang dilakukan di pengadilan.

Setelah dilakukan pemanggilan secara patut kedua belah pihak hadir, maka para

pihak wajib untuk melakukan mediasi sesuai dengan peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 tahun 2016 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan.

5. Perdamaian

Jika mediasi gagal dilakukan, maka acara dilanjutkan dengan pemeriksaan

perkara sesuai dengan hukum acara biasa dan masih dimungkinkan untuk

melakukan perdamaian sebagaimana ditentukan dalam pasal 154 Rbg/130 HIR. Jo

Bab kedelapanbelas pasal 1851-pasal 1864 KUHPerdata. Perdamaian ini tetap

harus diusahakan oleh hakim pimpinan sidang sejak pemeriksaan secara hukum

acara biasa sampai menjelang putusan diucapkan bahkan sampai sebelum

dilakukan pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi). Jika perkara dapat

17 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h.84)

45

diselesaikan secara damai, yang kemudian dikukuhkan dengan penetapan akta

perdamaian, maka kekuatan putusannya sama dengan kekuatan putusan yang

telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Yahya Harahap juga

mengemukakan bahwa putusan akta perdamaian mempunyai kekuatan hukum

yang sama dengan putusan prngadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang

tetap.18

6. Perubahan dan pencabutan Gugatan

Sebagai mana dikemukakan diatas bahwa diajukan gugatan kepada

penggugat, bahwa penggugat ingin menuntut haknya yang telah terganggu. Jika

tuntutan itu telah dipenuhi oleh penggugat adalah sangat beralasan penggugat

untuk encabut gugatannya. Disamping itu, alasan penggugat mencabut

gugatannya jiga penggugat menyadari bahwa penggugat keliru mengajukan

gugatan.

Mengani pencabutan gugatan tidak ada diarur dalam R.bg atau HIR.

Melainkan ditentukan dlaam Rv. Menurut ketentuan pasal 271 Rv. Bahwa jika

pencabutan gugatan dilakukan sebelum gugatan dioperiksa, yang berarti tergugat

secara resmi belummerasa terserang haknya, maka tidak siperlukan persetujuan

dari tergugat.

Sebaliknya jika pencabutan gugatan dilakukan stelah gugatan diperiksa

apalagi terguagat telah mengajukan jawbanan maka persetujuan phak tergugat

mutlak diperlukan jika tidakmaka pencabutan gugatan tidak dapat dilakukan

sepihak oleh penggugat.

Terhadap perubahan gugtan diperbolehkan sepanjang pemeriksaan

perkara aslkan tidan mengubah atau menambah onderwerp van den eis (petitum

pokok tuntutan). Demikian dalam pasal 127 Rv. Dalam praktek onderwerp van den

eis adalah juga meliputi mengenai dasar tuntutan.

7. Jawaban Gugatan

Jika usaha hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak tidak berhasil

sebelum ataupun telah pemeriksaan gugatan, maka sidang berikutnya dilanjutkan

dengan giliran tergugat untuk menjawab gugatan penggugat. Istilahnya sering

disebut dengan jawaban gugatan, atau jawaban terguagat atas gugatan

penggugat.

18 Yahya Harahap, Op. Cit. h.279

46

Dalam RBg/HIR memang tergugat tidak diwajibkan untuk menjawab

gugatan penggugat. Namun tergugat dapat menjawab gugatan penggugat baik

secara lisan maupun secara tulisan, sebagaimana ditentukan dalam pasal 145 ayat

2 Rbg/121 ayat (2) HIR. Jika tergugat menjawab gugatan penggugat secara

tertulis, mka jawaban tergugat dapat berisikan pengakuan, bantahan diluar pokok

perkara yang disebut dengan tangkisan atau eksepsi, bantahan dalam yang

langsung mengenai pokok perkara (verweer ten pricipale) yang disebut dengan

sangkalan dan dimungkinkan pula bahwa tergugat menggugat penggugat yang

disebut dengan gugatan balik atau gugatan rekonvensi.

a. Pengakuan

Pengakuan haruslah dibedakan dengan referte (referte aan het oordeel des

rechters) yang artinya tidak membantah dan juga tidak mengakui artinya

menyerahkan kepada putusan pengadilan. Hal ini perlu dibedakan karena

mempunyai akibat hukum yang berbeda dalam pembuktian, dimana pengakuan

yang diucapkan dalam sidang adalah merupakan buktti yang sempurna (pasal 311-

313 RBg/174-176 HIR jo. 1926 KUHPerdata). Referte sering dilakukan oleh pihak

tergugat yang tidak langsung berkepentingan terhadap putusan tersebut.

b. Bantahan

Bantahan (verweer ten prinsipale) dapat dibedakan menjadi dua yaitu

bantahan diluar pokok perkara yang disebut dengan eksepsi dan

sangkalan.walaupun Rbg/HIR tidak mewajibkan bahwa bantahan dalam jawaban

gugatan disertai dengan alasan, namun seyogyanya jawaban gugatan disertai

dengan alasan sehingga semakin jelas dudk masalahnya.

Pada umumnya yang diatikan dengan tangkisan (eksepse) ialah suatu

sangkalan atau bantahan dari pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang

tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi tuntutan batalnya gugatan.19

Secara teoritis eksepsi dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksepsi

prosessuil, dan eksepsi materiil.

Eksepsi prosessuil, adalah tangkisan atau eksepsi yang berupaya untuk

menuju pada tidak diterimanya gugatan. Pernyataan tidak dapat diterimanya

gugatan adalah merupakan penolakan in limine litis berdasar alasan-alasan diluar

pokok perkara. Namun dalam hal eksepsi atas ketidak wenangan hakim dan

eksepsi atas batalnya gugatan hakim bukannya menyatakan gugatan tiidak dapat

diterima melainkan menyatakan gugatan batal. Yang termasuk eksepsi prosessuil

adalah tangkisan yang bersifat mengelakan (eksepsi declinatoir) seperti:

19 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h.92

47

1) Eksepsi tidak berwenangnya hakim

2) Eksepsi gugatan batal

3) Eksepsi perkara telah diputus (ne bis in idem)

4) Pihak penggugat tidak mempunyai kedudukan sebagai penggugat.

Eksepsi Materiil, adalah tangkisan yang lainnya yang didasarkan atas

ketentuan hukum materiil. Termasuk dalam eksepsi materiil adalah:

1) Eksepsi yang bersifat menunda (eksepsi dilatoir); misalnya tuntutan

penggugat belum dapat dikabulkan karena tergugat telah diberikan untuk

melakukan penundaan pembayaran;

2) Eksepsi Paremtoir, adalah eksepsi yang sudah menyangkut pokok perkara

seperti karena telah lampaunya waktu (daluarsa) atau tergugat dibebaskan

dari pembayaran.

Berkaitan dengan eksepsi dalam RBg/HIR, hanya mengatur mengenai

eksepsi atas ketidakwenangan hakim atau pengadilan untuk memeriksa gugatan,

sebagaimana ditentukan dalam pasal 149 ayat (20) pasal 160-162 RBg/pasal 125

ayat 2, pasal 133-136 HIR.

Tangkisan atau eksepsi terhadap kewenangan relative, harus sudah

diajukan sejak awal jawaban gugatan, jika tidak perkara tetap diperiksa

sebagaimana biasa. Sedangkan tangkisan atau eksepsi atas kewenangan

absolute, dapat diajukan setiap saat, bahkan seharusnya hakim secara ex officio,

menyatakan pengadilan tidak berwenang secara absolute tanpa menunggu

eksepsi dari tergugat.

8. Gugat balik atau Gugat Ginugat

Jika tergugat mempunyai kepentingan dalam arti berniat menggugat

penggugat dengan alasan yang cukup untuk itu, maka gugatan penggugat dapat

diajukan dalam perkara yang sedang dihadapi dengan mengajukan gugatan

balasan atau gugatan balik. Gugatan balasan ini dapat diajukan terhadap segala

perkara adalah tergugat itu memang tergugat konvensi secara meateriil.

Pengaturan gugat balik atau gugatan balasan ini ditentukan dalam pasal 157

RBg/psal 132 a HIR yang menentuka:

1) Tergugat dapat mengajukan gugat balas (reconventia/rekonpensi)

dalam segala perkara kecuali:

a) Semula dalam perkara itu bukan bertindak untuk dirinya, sedang

gugat balas ditujukan pada dirinya sendiri;

48

b) Apabila pengadilan negeri tidak mempunyai wewenang mutlak

c) Dalam perselisihan mengenai pelaksanaan putusan hakim.

2) Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugatan balas,

maka dalam tingkat banding tidak dapat diajukan lagi.

Dalam perkara tingkat pertama, gugatan balas harus diajukan

bersamaan dengan jawaban gugatan. Demikian ditentukan dalam pasal 158

RBg/132 b HIR. Namun dalam praktek masih terdapat perbedaan pandangan

dimana ada yang menyatakan gugatan balasan dapat diajukan sebelum dilakukan

pembuktian atau hanya boleh bersamaan dengan jawaban gugatan baik secara

lisan maupun tertulis.

9. Replik dan Duplik

Setelah jawaban gugatan, maka giliran pihakpenggugat untuk menjawab

jawaban tergugat atas gugatan penggugat.jawaban penggugat untuk menjawab

jawaban gugatan disebut dengan replik. Replik dari penggugat dijawab oleh

tergugat namanya duplik dan jika penggugat memandang perlu untuk menjawab

duplik tergugat maka dijawab dengan rereplik. Rereplik dijawab oleh tergugat,

namanya reduplik dan demikian seterusnya sampai pada proses jawabmenjawab

dianggap cukup.

10. Mengikut Sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses.

Mengikut sertakan pihak ketiga dalam proses tidak ada diatur dalam

Rbg/HIR. Hal tersebut diatur dalam Rv. Dipergunakannya Rv dalam praktek

dewasa ini dapat dilihat ketentuan Pasal 393 HIR. Ada 3 bentuk ikutsertanya pihak

ketiga dalam proses yaitu vrijwaring voeging dan tussenkomst.

a. Vrijwaring adalah masuknya pihak ketiga atas dasar permohonan tergugat

untuk melindungi kepentingan tergugat (diatur dalam pasal 70-76 Rv).

b. Voeginmg, (voeging van partijen) adalah masuknya pihak ketiga atas

permohonan sendiri untuk masuk dalam perkara yang sedang diproses

untuk membela kepentingan salah satu pihak baik penggugat maupun

tergugat.

c. Tusenkoms, adalah masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang

sedang berjalan atas keinginan sendiri dan untuk kepentingan sendiri. Hal

inilah yang disebut dengan intervensi.

49

11. Penutup

Paparan materi perkuliahan di atas pokok-pokoknya dikemukakan kembali

dalam rangkuman untuk memudahkan mahasiswa memahami materi secara

komprehensip. Kemudian untuk mengetahui capaian pembelajaran, maka

diberikan latihan yang harus dikerjakan oleh mahasiswa.

Rangkuman

Setelah gugatan selesai dibuat dan diajukan ke pengadilan sebagaimana

persyaratan yang ditentukan sesuai dengan kompetensi atau kewenangan

mengadili baik kewenangan absolute maupun kewenangan relative. Gugatan yang

diajukan terlebih dahulu harus didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan untuk

mendapatkan nomor register perkara dengan terlebih dahulu membayar panjar

biaya perkara. Namun bagi yang tidak mampu juga dapat bererkara secara prodeo.

Terhadap perkara yang telah mendapatkan nomor register, hakim wajib untuk

memeriksa dan mengadili perkara tersebut, sesuai dengan hukum acara yang

berlaku. Proses selanjutnya dilakukan pemanggilan secara patut.

Setelah dilakukan pemanggilan secara patut oleh juru sita atau juru sita

pengganti kepada kedua belah pihak, maka jika kedua belah pihak hadir, maka

dapat dilakukan pemeriksaan perkara yang diwalai dengan pembacaan gugatan

oleh penggugt dan kepada tergugat diberikan kesempatan untuk menanggapinya

baik secara lisan maupun terlutis. Namun ada kalanya dimana para pihak sudah

dipanggil secara patut, salah satu pihak ada yang tidak hadir, maka terjadilah

acara istimewa dimana hakim pimpinan sidang dapat menjatuhkan putusan

gugatan gugur atau verstek. Ini berarti bahwa gugatan perdata dapat diputus

secara contraditoir dan diputus diluar hadirnya pihak-pihak.

Dalam pertemuan ini juga dibahas mengenai mediasi litigasi. Istilah ini

hanya untuk membedakan antara mediasi yang dilakukan diluar sidang pengadilan

(non litigasi) dengan mediasi yang dilakukan di pengadilan. Setelah dilakukan

pemanggilan secara patut kedua belah pihak hadir, maka para pihak wajib untuk

melakukan mediasi sesuai dengan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun

2016 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan.

Proses jawab menjawab dimana gugatan dibalas dengan jawaban gugatan,

jawaban gugatan berisikan pengakuan, bantahan diluar pokok perkara yang

disebut dengan tangkisan atau eksepsi, bantahan dalam yang langsung mengenai

pokok perkara (verweer ten pricipale) yang disebut dengan sangkalan dan

dimungkinkan pula bahwa tergugat menggugat penggugat yang disebut dengan

gugatan balik atau gugatan rekonvensi.

50

Pihak ketiga dapat masuk kedalam persidangan yang disebut dengan

intervensi, intervensi ada tiga jenis yaitu Vrijwaring, Voeginmg, Tusenkoms.

Latihan: Diskusikan pertanyaan dibawah ini

1. Apa akibat hokum bila tidak dilakukan pemanggilan secara patut?

2. Apakah setiap putusan verstek mengalahkan tergugat?

3. Apa Tujuan diadakan Mediasi?

4. Benarkah Mediasi Litigasi dapat memperlancar jalur keadilan?

5. Sebutkan tahapan-tahapan pemeriksaan perkara dlam sidang?

6. Apa saja yang harus dimuat dalam jawaban gugatan?

7. Apa yang dimaksud dengan eksepsi?

8. Apa persyaratan diajukan gugatan Reconvensi?

9. Apa perbedaan Antara intervensi dengan bentuk-bentuk masuknya pihak

ketiga yang lain?

Bahan Pustaka

1. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung.

2. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV. Armico, Bandung.

3. Hamid, A.T. 1986, Hukum Acara Perdata Serta Susunan dan Kekuasaan

Peradilan, PT. Bina Ilmu, Surabaya.

4. Darwis Prins, 1992, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata,

Citra Aditya Bakti, Bandung.

5. Lilik Mulyadi, 1999, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada

Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.

6. Retnowulan Sutantio, Ny. Dan Iskandar Oeripkartawinata, 1989, Hukum

Acara Perdata dalam Teori dan Praktej, Alumni Bandung.

7. Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,

Yogyakarta.

8. Subekti, 1982, Praktek Hukum, Alumni, Bandung.

9. Yayahya Harahap. M, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta

51

PERTEMUAN VI: TUTORIAL 4

PEMANGGILAN SECARA PATUT, ACARA ISTIMEWA, MEDIASI LITIGASI,

PERUBAHAN DAN PENCABUTAN GUGATAN

1. Pendahuluan

Tutorial ini merupakan pendalaman atas pemanggilan secara patut, acara

istimewa, mediasi litigasi, perubahan dan pencabutan gugatan yang

divisualisasikan dengan wacana bertopik “gugurnya suatu gugatan”. Mahasiswa

mendiskusikan dan presentasi dalam kelompok mengenai unsur-unsur yang harus

dipenuhi dalam membuat gugatan dan apa upaya hukum yang dapat dilakukan

para pihak.

Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung

jawab, jujur dan demokratis mampu mengidentifikasi dan menjelaskan unusur-

unsur apa saja yang harus terpenuhi dalam membuat suatu gugatan dan cara

membuat suatu gugatan.

2. Tugas: Discussion Task – Study Task

GUGURNYA SUATU GUGATAN

Terkadang di situasi tertentu, terdapat putusan tentang gugurnya suatu

gugatan. Hal ini terjadi karena penggugat dalam persidangan pertama yang telah

ditentukan harinya dan telah dipanggil secara sah dan patut, dirinya tidak hadir

atau tidak pula menyuruh kuasanya untuk datang menghadiri persidangan

tersebut. Pengguguran gugatan diatur dalam Pasal 124 Het Herziene Indonesisch

Reglement (“HIR”) yang berbunyi: “Jika penggugat tidak datang menghadap PN

pada hari yang ditentukan itu, meskipun ia dipanggil dengan patut, atau tidak pula

menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, maka surat gugatannya dianggap

gugur dan penggugat dihukum biaya perkara; akan tetapi penggugat berhak

memasukkan gugatannya sekali lagi, sesudah membayar lebih dahulu biaya

perkara yang tersebut tadi.”

Berdasarkan Pasal 124 HIR sebagaimana tersebut di atas, maka alasan

digugurkannya gugatan penggugat oleh pengadilan karena:

a. Penggugat dan/atau kuasanya tidak datang pada hari sidang pertama

yang telah ditentukan tanpa alasan yang sah;

b. Penggugat telah dipanggil secara patut dan sah;

Pengguguran gugatan dilakukan oleh Majelis Hakim yang berwenang

secara ex-officio apabila alasan yang tersebut dalam Pasal 124 HIR telah

52

terpenuhi. Dengan kata lain, bahwa kewenangan pengguguran gugatan itu dapat

dilakukan oleh hakim meskipun tidak ada permintaan dari pihak tergugat. Akan

tetapi, kewenangan pengguguran gugatan tidak bersifat imperatif, karena

berdasarkan Pasal 126 HIR menegaskan bahwa sebelum menjatuhkan putusan

pengguguran gugatan, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan supaya pihak

yang tidka hadir dipanggil untuk kedua kalinya supaya datang menghadap pada

hari sidang yang lain.

Disamping itu, apabila penggugat pernah hadir tetapi kemudian tidak hadir

lagi, maka penggugat dipanggil sekali lagi dengan peringatan (peremptoir) untuk

hadir dan apabila tetap tidak hadir sedangkan tergugat tetap hadir, maka

pemeriksaan dilanjutkan dan diputus secara kontradiktoir. Gugatan yang

digugurkan oleh pengadilan, maka dituangkan dalam putusan, dan penggugat

berhak mengajukan kembali atas gugatannya tersebut

Sumber http://www.hukumacaraperdata.com/gugatan/gugurnya-suatu-

gugatan/ (diakses pada tanggal 12 November 2016)

3. Penutup

Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi. Laporan dikumpulkan pada

saat selesai tutorial.

Bahan Pustaka: sama dengan Bahan Pustaka Perkuliahan 2.

53

PERTEMUAN VII: TUTORIAL 5

JAWABAN GUGATAN, REPLIK DUPLIK, MENGIKUT SERTAKAN PIHAK

KETIGA DALAM PROSES

1. Pendahuluan

Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi jawaban gugatan, replik

duplik, dan mengikut sertakan pihak ketiga dalam proses pemeriksaan. Mahasiswa

melakukan role play untuk menyelesaikan permasalahan gugatan yang tidak

berdasarkan hukum dan memformulasikan kedalam jawaban gugatan yang

terdapat dalam wacana. Dalam hal itu, setiap mahasiswa membuat skrip role play

yang mendeskripsikan adanya peran seorang penasihat hukum dank lien.

Setelah itu wacana tersebut diselesaikan melalui seven jump approacht

dengan catatan bahwa tahap identifikasi dan inventarisasi istilah atau kata-kata slt

diabaikan dilewati.

Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggun

jawab, jujur dan demokratis mampu memainkan peran sebagai penasihat hukum

dan klien dalam menyelesaikan masalah. Selain itu, mahasiswa dengan rasa

tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu membangun argumentasi dalam

menyelesaikan permasalahan dalam wacana.

2. Tugas

Gugatan Dinilai Tak Berdasar Hukum

PADANG, HALUAN — Tergugat I, II, III dan VI dalam perkara perdata

tanah seluas 1.678 m2 di Jalan Gajah Mada RT 02 RW 02, menyampaikan

jawaban atas gugatan yang disampaikan Rusman Haris selaku penggugat, yang

mengaku sebagai mamak kepala jurai dalam kaumnya. Dalam jawaban tergugat,

disebutkan beberapa unsur gugatan tidak memenuhi syarat sehingga tidak

memiliki dasar hukum yang jelas.

Jawaban tersebut disampaikan kuasa hukum dari keempat tergugat di

persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Padang yang dipimpin Leba Max Nandoko,

Selasa (27/9). Mewakili tergugat I, II dan III, Devi bertindak sebagai kuasa hukum.

Sedangkan Syofrina RozaCs bertindak sebagai kuasa hukum Badan Pertanahan

Nasional (BPN) Kota Padang selaku tergugat VI.

Dalam jawabannya, Devi menjelaskan bahwa gugatan yang disampaikan

Rusman Haris tidak layak karena penggugat bukan kakak tertua dalam kaum,

sehingga tidak layak disebut sebagai mamak kepala jurai. Selain itu, pengangkatan

sebagai mamak kepala jurai tak pernah dilangsungkan secara adat.

54

Selain itu, tergugat I, II dan III juga menyebut gugatan kabur karena tidak

memenuhi syarat formal sebuah gugatan, di mana penggugat tidak dapat

menjelaskan secara konkrit tentang objek mana saja yang dikuasai oleh para

tergugat.

Di sisi lain, tergugat VI, Pimpinan BPN Kota Padang, melalui kuasa

hukumnya Syofrina Roza menilai gugatan yang diajukan tidak sesuai dengan

peristiwa hukum yang seharusnya menjadi dasar gugatan.

Dalam hal pengajuan sertifikat pengganti oleh pihak tergugat I, II dan III,

BPN menilai dasar penerbitannya telah sesuai dengan aturan yang berlaku, di

mana para pemohon menyetakan beberapa surat keterangan yang berkekuatan

hukum.

Selain itu BPN juga telah menerbitkan pengumuman melalui surat kabar

pada 4 Februari 1999, untuk mengantisipasi adanya pihak yang mengajukan

komplain atas rencana penggantian sertifikat pengganti di masa itu.

Atas jawaban tersebut, keempat tergugat menilai gugatan yang

disampaikan Rusman Haris layak untuk dibatalkan demi hukum, karena tidak

memenuhi unsur-unsur dasar hukum yang jelas. Sidang selanjutnya digelar pada

Selasa depan dengan agenda tanggapan dari penggugat. Sebelumnya di-

sampaikan dalam oleh Rusman Haris melalui kuasa hukumnya Herman Amir Cs,

bahwa secara berkaum/berjurai, penggugat memiliki hak di atas objek perkara,

tepatnya di lokasi bangunan Apikes Iris dan Gama 2000 Gunung Pangilun saat ini.

Jalan memilikinya karena penggugat adalah anak dari Almarhumah Nurlela

yang merupakan kemenakan dari Almarhum Prof Thamrin Nurdin yang tercatat

sebagai awal mula pemilik objek. (h/isq)

(Sumber ; http://harianhaluan.com/news/detail/60366/gugatan-dinilai-tak-

berdasar-hukum diakses pada tanggal 21 Oktober 2016)

3. Penutup

Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi untuk problem task. Laporan

dikumpulkan pada saat selesai tutorial.

Bahan Pustaka: Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan 2

55

PERTEMUAN VIII: UJIAN TENGAH SEMESTER

56

PERTEMUAN IX: PERKULIAHAN 3

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN

1. Pendahuluan

Bahan kajian Pembuktian dan Putusan memuat apa yang dilakukan

penggugat dalam gugatannya dalam persidangan haruslah dibuktikan

kebenarannya dalam persidangan. Pembuktian kebenaran dalil gugatan tersebut

dapat dilakukan dengan bukti surat, saksi-saksi, persangkaan, mungkin pengakuan

dari pihak lawan, atupun sumpah baik sumpah tambahan maupun sumpah

pemutus. Masalah pembuktian sangat menentukan apakah gugatan dpat

dikabulkan atau tidak nantinya. Sehingga masalah pembuktian mempunyai kaitan

dengan gugatan, maupun putusan hakim nantinya.

Setelah hakim memeriksa perkara dengan seksama dlam proses jawab

menjawab, maka giliran hakim untuk menjatuhkan putusan. Penjatuhan putusan

adalah sangat tergantung dari persidangan sebelumnya yaitu proses jawab-

menjawab maupun dalam proses pembuktian.

2. Pengertian Pembuktian

Membuktikan mengandung beberapa arti:

a. Dalam arti logis, membuktikan berarti memberikan kepastian yang mutlak

karena berlaku untuk setiap orang dan tidak dimungkinkan adanya bukti

lawan.

b. Kata membuktikan juga mengandung arti konvensional. Disini juga

membuktikan juga berarti memberikan kepastian, hanya saja bukan

kepastian yang mutlak, melainkan kepastian yang nisbi atau relative yang

dalam hal ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu kepastian yang hanya

didasarkan atas perasaan belaka dan kepastian yang didasarkan atas

pertimbangan akal.

c. Pembuktian dalam arti yuridis. Dalam pengertian yuridis bukan merupakan

pembuktian yang mengandung kebenaran mutlak, karena masih

dimungkinkan adanya pembuktian lawan. Pembuktian dalam arti yuridis

hanyalah untuk kepentingan pihak-pihak yang bersengketa atau siapa yang

diberikan hak kepadanya.

Nur Rasaid mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan membuktikan

adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dimaksudkan

dalam persengketaan.20 Dalam praktek perkara perdata tidak semua hal

yang diperkarakan harus dibktikan kebenarannya. Hal-hal yang tidak perlu

20 Nur Rasaiid, Op. Cit. h.36

57

dibuktikan seperti dalil-dalil yang tidak disangkal, atau diakui kebenarannya

tidaklah perlu dibuktikan.21 Disamping itu hal-hal yang telah diketahui umum

yang disebut notoir, tidaklah perlu dibuktikan.

3. Beban Pembuktian

Pasal 283 RBg./163 HIR 1865 KUHPerdata, menentukan setiap orang yang

mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hk, atau guna meneguhkan haknya

sendiri, maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,

diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Dari rumusan pasal

tersebut jelaslah bahwa yang diwajibkan untuk membuktikan adalah keduabelah

pihak baik penggugat maupun tergugat. Dalam membagi beban pembuktian hakim

harus memegang teguh asas audi et alteram partam dimana kedua pihak haruslah

diperlakukan sama, diberikan kesempatan yang sama dalam segala hal termasuk

dalam pembuktian.

4. Alat –alat Bukti

Sesuai dengan ketentuan pasal 284 RBg/164 HIR, dalam hukum acara perdata

dikenal adanya 5 alat bukti yaitu:

a. Alat bukti tertulis ( surat)

b. Alat bukti saksi;

c. Alat bukti persangkaan;

d. Alat bukti pengakuan;

e. Alat bukti sumpah.

Pada 1866 KUHPerdata menentukan juga ada 5 macam alat bukti dalam

hukum acara perdata yaitu:

a. Bukti tulisan

b. Bukti dengan saksi-saksi;

c. Persangkaan-persangkaan;

d. Pengakuan;

e. Sumpah.

Dari ketentuan pasal RBg/HIR dengan ketentuan pasal KUHPerdata sedikit

menunjukan perbedaan namun secara sepintas perbedaan tersebut tidaklah

Nampak. Kenapa terjadi perbedaan yang demikian akan terungkap dalam uraian

dari masing-masing jenis alat bukti dimaksud.

21 Darwan Prints,1996, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, CV. Armico,

Bandung, h. 177

58

a. Alat Bukti Surat

Alat bukti surat diatur dalam pasal 164,285-305RBg/pasal 138,165-167 HIR

dan Pasal 1867-1896 KUHPerdata.

Alat bukti surat adalah alat bukti yang tertulis yang memuat tulisan yang

menyatakan pikiran yang dipergunakan sebagai bukti. Alat bukti tertulis ini dibagi

menjadi:

1) Surat Berupa akta, adalah surat yang diberi tanda tangan memuat

peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang

dibuat sejak semuala secara sengaja memang untuk membuktikan. Akta ini

lagi menjadi dua jenis:

a) Akta otentik, yaitu akta ang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang

untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah dterapkan baik

dengan ataupun tanpa bantuan pihak yang berkepentingan yang

mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh yang

berkepentingan.

Berdasarkan ketentuan pasal 185 RBg/165 HIR bahwa akte otentik

mempunyai kekuatan yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli

warisannya, dan orang-orang yang mendapat hak dari padanya. Akte

otentik ini dibagi lagimenjadi 2:

- Akta otentik yang dibuat hanya oleh pejabat (acta

ambtelijk/prosesverbal acta)

- Akta aotentik yang dibuat oleh para pihak (partijakta).

2) Akta dibawah tangan, adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian

akan tetapi tanpa bantuan seorang pejabat pembuat pembuat akta, (lihat

pasal 1874-1880 KUHPerdata ; Pasal 286-305 RBg D. 1867 No 29)

3) Surat bukan akta, adalah surat lainnya selain yang disebutkan diatas, yang

sebenarnya tidak sengaja dibuat sebagai alat bukti akan tetapi ternyata

dikemudian hari dapat dijadikan alat bukti.

b. Alat Bukti Saksi

Alat bukti saksi yang diperlukan dipersidangan adalah kesaksian atau keterangan

dari seorang yang diajukan sebagai saksi. Hal ini disebut dengan keterangan saksi

atau kesaksian.

59

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang

peristiwa yang disengketakan dengan jalan memberitahukan secara lisan dan

pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil

untuk hadir dalam persidangan. Bambang Waluyo mengatakan bahwa bukti

dengan saksi atau kesaksian adalah keterangan yang diberikan oleh seorang saksi

didepan sidang pengadilan, suatu peristiwa, kejadian atau keadaan tertentu yang

didengar sendri, lihat sendiri dan dialami sendiri. 22

Dalam halbukti saksi ada beberapa asas penting yaitu:

1) Keterangan saksi haruslah keterangan mengenai peristiwa atau kejadian

yang dialaminya sendiri, dilihat atau didengar sendiri;

2) Keterangan yang didengar atau hanya diketahui dari orang lain

(testimonium, de auditu) bukanlah merupakan kesaksian.

3) Keterangan satu saksi yang idak didukung oleh bukti lain, (unus testil nullus

testis) tidak mempunyai kekuatan yang cukup sebagai pembuktiian.

4) Sebelum memberikan kesaksian saksi diwajibkan untuk bersumpah sesuai

dengan agama/keyakinannya (pasal 175 RBg, pasal 147 HIR jo pasal 1911

KUHPedata)

Tidak setiap orang dapat didengar keterangannya sebagai saksi pasal 172

RBg pasal 145 ayat 1 HIR jo Pasal 1910, 1912 KUHPerdata menentukan yang

tidak dapat didengar sebagai saksi adalah:

1) Keluarga sedarah atau keluarga karena perkawinan menurut keturunan

yang lurus dari slah satu pihak;

2) RBg, saudara laki-laki atau saudara perempuan dari ibu dan keponakan

dalam daerah keresidenan Bengkulu, Sumatera barat; dan Tapanuli, jika

hak waris disitu diatur menurut hukum adat;

3) Istri/suami salah satu pihak walaupun sudah kawin;

4) Anak-anak yang belum dapat diketahui benar apakah umurnya sudah 15

tahun;

5) Orang gila meskipun kadang-kadang terang ingatannya.

Disamping tidak setia orang yang dapat didengar keterangannya

sebagai saksi, namun juga ada orang yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi

yaitu:

1) Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah

satu pihak;

22 Bambang Waluyo, 1992, Sistem Pembuktian dalam Sistem Peradilan Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta, h.36

60

2) Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dari saudara laki-laki dan

perempuan dari suami/istri dari salah satu pihak;

3) Orang yang karena martabak, pekerjaan atau jabatannya yang sah,

diwajibkan menyimpan rahasia dalam hal yang semata-mata tentang hal itu

saja, yang dipercayakan karena martabat dan pekerjaannya itu.

c. Alat Bukti Persangkaan

Persangkaan atau dugaan diatur dalam pasal 310 Rbg/173 HIR jo 1915-1922

KUHPerdata. Namun dalam semua pasal-pasal HIR/Rbg tersebut tidak ada

memberikan pengertian apa yang dimaksud dengan persangkaan.

Pasal 1915 KUHPerdata ada menentukan bahwa persangkaan kesimpulan yang

oleh undang-undang atau oleh hakim ditariknya dari suatu peristiwa yang terkenal

karena suatu peritwa yang tidak terkenal.

Ada dua macam persangkaan yaitu persangkaan menurut undang-undang dan

persangkaan yang bukan berdasarkan uu. Persangkaan menurt uu diatur dalam

pasal 1916 KUHPerdata.

Pasal 130 RBg/173 HIR ada menentukan bahwa sangka saja yang tidak beralasan

pada suatu ketentuan uu yang nyata, hanya boleh diperhatikan oleh hakim waktu

menjatuhkan putusannya jika sangka itu penting, saksama tertentu dan

bersesuaian.

d. Alat Bukti Pengakuan

Bukti pengakuan diatur dalam Pasal 311-313 Rbg/174-176 HIR dan 1923-

1928 KUHPerdata.

Pasal 174 RBg/Pasal 311 HIR menentukan bahwa pengakuan yang

diucapkan didepan sidang pengadilan adalah merupakan bukti yang sempurna,

baik yang diucapkan sendiri maupun melalui kuasanya. Namun dalam praktek,

penilaian hakim atas pengakuan yang diucapkan didepan sidang sangat dominan

dalam hal menilai apakah pengakuan itu benar atau tidak.

Menurut pasal 313 RBg/ pasal 176 HIR ditentukan bahwa setiap

pengakuan harus diterima seluruhnya atau ditolak seluruhnya dalam hakim tidak

boleh menerimanya sebagai atau menolak sebagian. Artinya pengakuan harus

diartikan sebagai suatu yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan.

Disamping pengakuan secara bulat, dalam kepustakaan hukum acara ada

pula disebut dengan pengakuan yang berembel-embel. Pengakuan semacam ini

dibedakan menjadi 2:

61

1) Pengakuan dengan klausula, misalnya tergugat mengatakan benar

saya berhutang akan tetapi hutang tersebut sudah saya bayar;

2) Pengakuan dengan kwalifikasi, contohnya : benar saya membelinya,

akan tetapi setelah saya mencoba dan itupun juga saya setuju (dengan

syarat tangguh)23

e. Alat Bukti Sumpah

Sumpah adalah pernyataan yang diucapkan dengan resmi dan dengan

bersaksi kepada Tuhan atau sesuatu yang dianggap suci bahwa yang diketahui

atau dijanjikan itu benar. Sumpah dapat dibedakan menjadi:

1) Convirmatoir eed, yang dibagi lagi menjadi:

a) Suppletoir eed (sumpah pelengkap) diatur dalam pasal 182 Rbg/155

HIR jo. Pasal 1940 KUHPerdata. Termasuk didalamnya mengani

sumpah penaksir.

b) Descisoir eed (sumpah pemutut) diatur dalam pasal 183 RBg/156 HIR

jo. 1930 KUHPerdata.

2) Promisoir eed atau juga disebut dengan sumpah prosesusil. Hala mana

diatur dalampasal 175 Rbg/147 HIR. Sumpah ini berarti bahwa setiap orang

yang dimintai keterangan harus disumpah terlebih dahulu.

5. Pengertian Putusan

Menurut Sudikno Mertokusumo, adalah pernyataan yang oleh hakim yang

oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di

persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara

atas sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja disebut

putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan

kemudian diucapkan oleh hakim dipersidangan. Sebuah konsep putusan (tertulis)

tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan dipersidangan

oleh hakim.24 Putusan yang diucapkan tdak boleh berbeda dengan yang ditulis

(vonis). Menurut SEMA No 5 tahun 1959 tanggal 20-4-1959 dan No. 1 tahun 1962

tanggal 7-3-1962: Agar sewaktu putusan diucapkan konsep putusan sudah selesai.

Konsekwensi dari hal ini menjadi putusan hakim tiidak sah.

Hakim sebelum menjatuhkan putusan, dari sejak perkara diperiksa telah

melakukan tindakan yang disebut dengan mengconstatir (menyatakan benar telah

23 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata 1989, Hukum Acara Perdata Teori

dan Praktek, Alumni, Bandung, h.73

24 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h. 168

62

terjadi suatu peristiwa konkrit), mengkwalifisir berarti menentukan apa yang terjadi

termasuk peristiwa hukum apa, dan mengkonstituir, berarti menentukan atau

menemukan hukumnya yang terkait dengan ius curia novit (untuk teori penemuan

hukum, ingat kembali PIH).

Setelah tiga hal diatas dilakukan oleh hakim, maka hakim menjatuhkan putusan

dengan memperhatikan factor kedailan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

6. Sistimatika Putusan

Putusan pengadilan mempunyai sistimatika yang terdiri dari kepala putusan,

konsidran atau pertimbangan dan amar putusan.

a. Kepala putusan

Putusan pengadilan mempunyai kepala yang berbunyi DEMI KEADILAN

BERDASRKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Kepala putusan ini mempunyai

arti yang amat penting, karena kepala putusan aeperti tersebut diatas

menyebabkan putusan pengadilan mempunyai kekuatan eksekusi. Sehingga

konsekwensi yuridisnya, jika tdak mempunyai kekuatan eksekusi atau tidak

mempunyai kekuatan eksekutorial.

b. Konsidrans

Bagaian yang kedua ini adalah berisikan pertimbangan-pertimbangan

hukum tentang kenapa suatu gugatan dikabulkan, ditolak atau tidak dapat diterima.

Setiap tuntutan penggugat haruslah cukup dipertimbangan dalam amar ini.

c. Amar

Amar adalah merupakan bagian akhir daripada putusan pengadilan. amar

merupakan jawaban dari petitum gugatan.

7. Asas –asas Putusan

Agar putusan Pengadilan itu memenuhi syarat dan tidak mengandung

cacat, maka harus memperhatikan beberapa asas sebagai berikut:

a. Memuat alasan dan dasar yang jelas dan rinci;

b. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan;

c. Tidak boleh mengbulkan lebih dari pada apa yang dituntut;

d. Diucapkan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum termasuk

perkara yang diperiksa secara tertutup

63

8. Jenis-jenis Putusan Pengadilan

Menurut asal 185 ayat 1 HIR, pasal 196 ayat 1 Rbg membedakan putusan akhir

dan bukan putusan akhir.

Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri suatu sengekta atau

perkara dalam suatu tingkatan peradilan tertentu.

Sifatnya:

a. Condemnatoir (penghukuman)

Adalah suatu putusan yang bersifat menghukum pihak yang telah dan

dihukum untuk memenuhi prestasi. Didalam putusan condemnatoir diakui

hak penggugat atas prestasi yang ditunttnya prestasi berisi: memberi,

berbuat, tidak berbuat. Condemnatoir ini umumnya pemenuhan sejumlah

uang (eksekusi sejumlah uang). Condemnatoir ini mempunyai

kekuatanmengikat, atas hak eksekutorial sehingga condemnatoir ini dapat

dilaksanakan dengan pksa (executiofircee)

b. Constitutive (menciptakan)

Yaitu putusan yang meniadakan atau menciptakan suatu kedaan hukum.

Putusan ini tidak dapat dieksekusi karena tidak ada penemuan prestasi

seperti condemnatoir.

Contoh:

1) Pemutusan perkawinan

2) Pengangkatan wali

3) Penerimaan pengampunan

4) Pernyataan pailit

5) Pemutusan perjanjian

6) Dll

c. Declarative (menyatakan)

Yaitu putusan yang isinya bersifat menerangkan/menyatakan apa yang sah

1) Anak sah

2) Ahli waris yang sah dll

Yang bukan merupakan putusan akhir ialah: disebut dengan putusan sela, antara

yang berfungsi untuk memperlancar pemeriksaan perkara menurut pasal 185 ayat

1 HIR pasal 48 Rv yaitu: putusan praeparatoir dan putusan interlucotoir.

a. Putusan praeparatoir ialah: putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa

mempunyai pengaruh terhadap pokok perkara atau putusan akhir.

64

b. Contoh:

1) Kummulai (penggabungan)

2) Penolakan pengunduran pemeriksaan aksi

c. Putusan interlocotoir ialah: putusan yang memerintahkan pembuktian

Contoh: discente (pemeriksaan ditempat)

Putusan ini dapat mempengaruhi putusan akhir.

Menurut pasal 332 Rv dikenal juga putusan sela, insidentil dan frofisionil.

d. Putusan insientil ialah: putusan yang berhubungan dengan insiden,

peristiwa yang menghentikan prosedur pengadilan.

Contoh: interview vrijwaring

e. Putusan profisionil ialah : putusan yang menjawab tntutan provisi, tuntutan

pendahuluan

Contoh:

1) Alimentasi, nafkah

2) Scheiding van tepel and bed

3) Dll

9. Kekuatan Putusan

Ada tiga kekuatan putusan pengadilan yaitu kekuatan mengikat, kekuatan

pembuktian dan kekuatan eksekutorial. Adapun yang dimaksud masing-masing

adalah sebagai berikut:

a. Kekuatan mengikat

Suatu putusan pengadilan hanya mengikat kedua belah pihak yang

berperkara (Pasal 1917 KUHPerdata). Terikatnya para pihak terhadap putusan

mempunyai dua arti yaitu arti positif dan negative.

Arti positif mengadung arti bahwa apa yang telah diputuskan oleh hakim

pengadilan harus dianggap benar. Pembuktian lawan tidak dimungkinkan. (Pasal

1917, 1920 KUHPerdta)

Arti negative ini artinya hakim tidak boleh memutus suatu perkara yang

pernah diputus sebelumnya antara para pihak serta megenai pokok perkara yang

sama. Putusan tersebut tdak akan mempunyai kekuatan apa-apa, nebis in idem

(Pasal 134 Rv). Halini adalah merupakan asas litis finitri opertet yang artinya apa

yang pada suatu waktu telah diselesaikan oleh hakim tifdakboleh diajukan lagi

kepada hakim.

Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti apabila upaya

hukum biasa sudah tidak lagi tersedia untuk itu. Dengan kekuatan hukum yang

65

pasti, putusan tidak lagi boleh diubah kecuali dengan upaya hukum luarbiasa.

Mengikatnya putusan pengadilan melahirkan beberapa teori yaitu:

1) Teori Hukum Materiil

Menurut teori ini kekuatan mengikat dari putusan pengadilan

mempunyai sifat hukum materiil, atau member akibat pada hukum

materiil terhadap putusan. Contohnya dengan putusan pengadilan

seorang dapat mempunyai hak atas tanah dll, sehingga putusan

pengadilan juga sebagai sumber hukum materiil.

2) Teori hukum Acara

Menurut teori ini, putusan bukan sumber hukum materiil, melainkan

sumber dari hukum prosesuil. Karena siapa yang dutetapkan

sebagai pemilik melalui prosesuil ditetapkan pemilik dalam putusan

engadilan berulah mereka dapat bertindak sebagai pemilik terhadap

pihak lawannya. Kelihatannya ajaran ini sangat sempit, karena

putusan bukan saja merupakan hukum prosesuil melaikan juga

merupakan kepastian atas hubungan hukum yang ada.

3) Teori Hukum Pembuktian

Menurut teori ini putusan pengadilan merupakan bukti tentang apa

yang ditetapkan didalamnya, sehingga mempunyai kekuatan

mengikat, karena menurut hukum pembuktian, pembuktian lawan

atas putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti

tidak diperkenankan. 25

b. Kekuatan Pembuktian

Dibuatnya putusan secara tertulis (vonees) adalah merupakan akta aotentik

dan suatu bukti untuk melakukan upaya hukum atau untuk mohon pelaksanaan

putusan. (lihat pula Pasal 1918 dan pasal 1919 KUHPerdata tentang kekuatan

pembuktian putusan pidana).

c. Kekuatan Eksekutorial

Suatu putusan pengadilan adalah bertujuan untuk menyelesaikan suatu

senhketa serta menetapkan hak atau hukumnya. Suatu putusan belum berarti apa-

apa jika belum atau tidak dapat dilaksanakan. Kekuatan mengikat saja dari suatu

putusan belumlah cukup, karena yang lebih penting adalah pelaksanaan dari isi

putusan itu sendiri. Oleh karenanya putusan mempunyai kekuatan untuk

dilaksanakan (eksekusi) secara paksa oleh alat negara. Kekuatan eksekutorial dari

25 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, h. 171-172

66

putusan pengadilan adalah terletak pada kepala putusan yang berbunyi Demi

Kedailan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 4 ayat 1 UU Nomor 4

tahun 2004). Suatu akte notariil juga mempunyai kekuatan eksekutorial kija

mempunyai kepala yang berbunyi Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan yang

Maha Esa.

10. Penutup

Bagian Penutup terdiri dari Rangkuman atas materi perkuliahan yang

dikemukakan di atas, dan latihan untuk mengetahui capaian pembelajaran.

Rankuman

Membuktikan berarti memberikan kepastian yang mutlak karena berlaku

untuk setiap orang dan tidak dimungkinkan adanya bukti lawan. Kata membuktikan

juga mengandung arti konvensional. Disini juga membuktikan juga berarti

memberikan kepastian, hanya saja bukan kepastian yang mutlak, melainkan

kepastian yang nisbi atau relative yang dalam hal ini dapat dibedakan menjadi dua

yaitu kepastian yang hanya didasarkan atas perasaan belaka dan kepastian yang

didasarkan atas pertimbangan akal. Pasal 283 RBg./163 HIR 1865 KUHPerdata,

menentukan setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hk, atau

guna meneguhkan haknya sendiri, maupun membantah suatu hak orang lain,

menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau

peristiwa tersebut. Dari rumusan pasal tersebut jelaslah bahwa yang diwajibkan

untuk membuktikan adalah keduabelah pihak baik penggugat maupun tergugat.

Dalam membagi beban pembuktian hakim harus memegang teguh asas audi et

alteram partam dimana kedua pihak haruslah diperlakukan sama, diberikan

kesempatan yang sama dalam segala hal termasuk dalam pembuktian.

Jenis alat bukti Antara lain; Alat bukti tertulis (surat); Alat bukti saksi; Alat

bukti persangkaan; Alat bukti pengakuan; dan Alat bukti sumpah.

Putusan adalah pernyataan yang oleh hakim yang oleh hakim sebagai

pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan

bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atas sengketa

antara para pihak. Putusan terdiri dari; Kepala putusan; Konsidrans; Amar; dan

putusan memiliki Kekuatan mengikat; Kekuatan Pembuktian dan Kekuatan

Eksekutorial

67

Latihan

1. Apa perbedaan alat bukti yang diatur dalam HIR/R.Bg dengan alat bukti

yang diatur dalam KUHPerdata?

2. Apa Hubungan Alat Bukti dengan Posita Gugatan?

3. Apa perbedaan sumpah tambahan dengan sumpah putusan?

4. Mungkinkah apa yang diucapkan oleh hakim berbeda dengan apa yang

tertulis dalam vonis?

5. Apa yang dimaksud dengan kekuatan mengikat dari putusan pengadilan?

6. Apa yang dimaksud dengan eksepsi?

7. Apa yang harus dilakukan oleh hakim sebelum menjatuhkan putusan?

Bahan Pustaka

1. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,

Yogyakarta.

2. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur

Bandung, Bandung.

3. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya

Paramita, Jakarta.

4. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada

Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.

5. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung.

6. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Umum, Pustaka

7. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.

M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika, Jakarta

68

PERTEMUAN X: TUTORIAL 6

PENGERTIAN, BEBAN PEMBUKTIAN DAN ALAT-ALAT BUKTI

1. Pendahuluan

Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi pengertian, beban

pembuktian dan alat bukti yang divisualisasikan dalam wacana, Mahasiswa

diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dalam wacana dengan seven

jump approach.

Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur

dan demokratis mampu membangun argumentasi.

2. Tugas Problem Task

Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk

menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar-

benar ada atau tidak.

Adanya hubungan hukum inilah yang harus terbukti apabila penggugat

mengiginkan kemenangan dalam suatu perkara. Apabila penggugat tidak berhasil

membuktikan dalil-dalilnya yang menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya

akan ditolak, sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.

Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan

kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui sepenuhnya

oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi. Beberapa hal/keadaan yang

tidak harus dibuktikan antara lain:

a. Hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui

b. Hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal

c. Hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak ramai

(notoire feiten/fakta notoir). Atau hal-hal yang secara kebetulan telah

diketahui sendiri oleh hakim.

Merupakan fakta notoir, bahwa pada hari Minggu semua kantor pemerintah

tutup, dan bahwa harga tanah di jakarta lebih mahal dari di desa.

Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus

membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang akan menentukan

siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang akan

diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau sebaliknya pihak

tergugat. Secara ringkas disimpulkan bahwa hakim sendiri yang menentukan pihak

yang mana yang memikul beban pembuktian. Didalam soal menjatuhkan beban

pembuktian, hakim harus bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat

69

sebelah. Semua peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan

seksama olehnya.

Sebagai pedoman, dijelaskan oleh pasal 1865 BW, bahwa:“Barang siapa

mengajukan peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak, diwajibkan

membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-

peristiwa guna pembantahan hak orang lain, diwajibkan juga membuktikan

peristiwa-peristiwa itu”

(sumber diolah dari: http://fauzanjauhari.blogspot.co.id/2013/11/teori-

pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html diakses pada tanggal 21 oktober 2016)

3. Penutup

Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi untuk problem task. Laporan

dikumpulkan pada saat selesai tutorial.

Bahan Pustaka:Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan 3

70

PERTEMUAN XI: TUTORIAL 7

PENGERTIAN PUTUSAN, SISTEMATIKA PUTUSAN, ASAS-ASAS PUTUSAN,

JENIS-JENIS PUTUSAN DAN KEKUATAN PUTUSAN

1. Pendahuluan

Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi pengertian putusan,

sistematika putusan, asas-asas putusan, jenis putusan, dan kekuatan putusan

yang divisualisasikan dalam wacana rasa keadilan putusan hakim, Mahasiswa

diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan dalam wacana dengan seven

jump approach.

Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur

dan demokratis mampu membangun argumentasi.

2. Tugas Problem Task

Rasa Keadilan Putusan Hakim

Berbagai peristiwa hukum yang aneh-aneh di negeri ini telah membenarkan

pernyataan yang pernah disampaikan Satjipto Rahardjo bahwa Indonesia laksana

“laboratorium hukum”.

Begitu banyak peristiwa hukum yang dapat dijadikan sampel bagi para

peneliti hukum negara lain, mulai dari bagaimana mengakali aturan hukum,

menjadikan hukum sebagai barang komoditas, sampai pada putusan hakim yang

tidak memihak rasa keadilan masyarakat. Celakanya karena dilakukan oleh

mereka yang seharusnya menegakkan hukum dan keadilan.

Perlu meningkatkan perhatian bagaimana memberikan rasa keadilan bagi

warga masyarakat. Jangan sampai menciptakan peluang atau keterpaksaan untuk

membelokkan arah hukum. Pedoman yang penting untuk diperhatikan adalah

jangan membiarkan penegakan hukum berseberangan dengan nilai-nilai hukum

yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

menegaskan “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat“.

Pemikiran agar hakim memerankan fungsinya sebagai penyelesai konflik

setidaknya ada dua pendekatan yang perlu dimanifestasi dalam menjatuhkan

putusan.

Pertama, pendekatan keilmuan untuk mengantisipasi dominasi paham

positivisme sebab hukum yang diurai melalui kaidahnya mempunyai semangat dan

71

nilai-nilai kemanusiaan. Agar putusan memiliki efektivitas, harus dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah (juridisch en filosofich veranwoord) karena

mampu menyelesaikan konflik dan diterima oleh pihak yang bersengketa.

Kedua, pendekatan empiris (sosiologis) lantaran hukum bertitik-tolak pada

manusia sebagai subjek kulturalnya. Hukum senantiasa bergelut dengan manusia

yang “bereksistensi kultural dan moral”. Artinya, putusan hakim selalu erat

kaitannya dengan kehidupan sosial masyarakat yang selain menuntut koherensi

logikal, juga menghendaki ada pembuktian empiris.

Putusan Kontradiksi Negeri yang dipenuhi persoalan hukum termasuk tidak

kuatnya logika hukum dalam putusan hakim. Itu dapat dilihat pada putusan yang

mengabaikan logika hukum dan nilai-nilai kemanusiaan di Pengadilan Negeri

Palembang (30/12/2015) yang menolak gugatan perdata Kementerian Lingkungan

Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai Rp7,8

triliun.

KLHK menuntut ganti rugi atas kerusakan hutan tanaman industri pohon

akasia seluas 20.000 hektare milik perusahaan tersebut pada 2014 di Ogan

Komering Ilir. Apalagi, Pasal 88 UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebut pemilik izin harus bertanggung jawab

mutlak (strict liability). Pertimbangan majelis hakim yang patut dikaji secara

akademik bahwa “lahan yang terbakar itu tidak merusak lingkungan hidup karena

masih dapat ditanami lagi”.

Logika hukum yang terbalikbalik sebab hilangnya hutan yang mestinya

dijaga agar tidak rusak, apalagi membiarkannya terbakar telah mencederai rasa

keadilan masyarakat. Bukan hanya merusak lingkungan hidup, melainkan juga

menimbulkan asap berkepanjangan yang merusak kesehatan manusia. Hutan

yang terbakar memang bisa saja ditanami kembali, tetapi butuh waktu bertahun-

tahun baru bisa tumbuh lagi.

Putusan itu kontradiksi dengan putusan hakim di Probolinggo. Lelaki Busrin

ditangkap dan diproses hukum gara-gara menebang satu pohon di hutan

mangrove di kampungnya, Desa Pesisir, Kecamatan Sumberasih (16/7/2014).

Hakim hanya melihat permasalahan sepotongsepotong tanpa memandang secara

holistik, sementara ada perusahaan besar yang membiarkan hutan terbakar yang

menjadi tanggung jawabnya untuk dijaga justru ditolak gugatannya.

Ini menunjukkan rasa keadilan masyarakat semakin jauh dari substansinya.

Padahal, kalau mau membuka mata hati, warga yang menebang pohon tidak

terlepas dari suatu kebijakan yang pukul rata, tetapi rakyat kecil yang jadi korban.

Faktanya, kebanyakan warga di desa itu memang mencari kayu bakar dari pohon

72

mangrove akibat masalah kemiskinan. Sulit memungkiri kalau negeri ini telah

berada pada ambang batas yang sangat jauh dari rasa keadilan.

Hukum tidak mampu memberikan kebenaran dan keadilan. Diperlukan

langkah konkret untuk menggerakkan legalitas dan wibawa hukum. Itu yang dikritisi

dalam sosiologi hukum disebutkan bahwa hukum tertulis itu barulah janji-janji

hukum. Dia menjadi hukum apabila sudah dilaksanakan dengan baik oleh

pelaksana hukum sesuai dengan cita dan tujuan hukum.

Beragamnya putusan hakim perlu disikapi secara bijak dengan memberikan

pemahaman secara holistik. Kiranya perlu menyimak kritikan Charles Sampford

dalam teorinya “the disorder theory of law “ yang memandang hukum tidak identik

dengan sebuah bangunan yang penuh dengan keteraturan yang logis-rasional.

Hukum adalah sesuatu yang bersifat cair (melee, fluid) yang perlu dihidupkan.

Hukum tidak selalu dimaknakan machine justice sehingga hakim sebagai

ujung tombak keadilan harus mampu menjaga hak-hak komunitas rakyat. Di

dalamnya selalu ada ruang ekstra yang dapat digunakan membangkitkan nilainilai

kehidupan sosial dan rasa keadilan masyarakat.

Sumber; http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=3&date=2016-01-09

diakses pada tanggal 12 Oktober 2016

3. Penutup

Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi untuk problem task. Laporan

dikumpulkan pada saat selesai tutorial.

Bahan Pustaka: Lihat Bahan Pustaka Perkuliahan 3

73

PERTEMUAN XII: PERKULIAHAN 4

UPAYA HUKUM DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

1. Pendahuluan

Hakim sebagai manusia biasa di dalam menjatuhkan putusan pengadilan

tidak luputu dari kekliruan atau keterpihakan pada salah satu pihak, sehingga

putusannya tidak mencerminkan rasa kedilan yang menyebabkan ada yang

merasa tidak puas atas putusan tersebut. Oleh karenanya demi keadilan setiap

putusan pengadilan hendaknya dapat dilakukan pemeriksaan ulang sehingga

kekeliruan terhadap putusan atau putusan yang memihak dapat diperbaiki

sehingga dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak pencari keadilan. Upaya

hukum secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu upaya hukum biasa

dan upaya hukum luar biasa. Pembedaan menjadi dua bagian ini menunjukan sifat

berlakunya yang berbeda pula.

2. Upaya Hukum

Upaya hukum biasa terbuka untuk semua putusan sepanjang tenggang waktu

yang disediakan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku masih

dimungkinkan untuk itu. Hak untuk mengajukan upaya hukum biasa menjadi hapus

dengan pernyataan menerima putusan atau jangka waktu untuk mengajukan

upaya hukum tersebut jangka waktunya telah lewat. Upaya hukum biasa terdiri

dari:

a. Perlawanan (verset)

Upaya hukum perlawanan (verset) adalah merupakan upaya hukum terhadap

putusan diluar hadirnya tergugat (verstek) namun jika putusan verstek tersebut

mengabulkan gugatan penggugat dan berarti mengalahkan pihak tergugat yang

tidak hadir dalam persidangan. (baca pasal 149 ayat 3 dan pasal 153 Rbg/pasal

125 ayat 3 dan pasal 129 HIR). Apa yang dimaksud dengan putusan verstek baca

kembali acara istimewa sebagaimana dalam BAB III terdahulu.

b. Banding

Upaya hukum banding adalah uapay hukum terhadap putusan npengadilan tingkat

pertama (putusan Pengadilan Negeri) yang dalam keadaan biasa baik untuk pihak

penggugat maupun pihak tergugat yang tidak puas atas putusan pengadilan tingkat

pertama.

Upaya hukum banding, disamping sebagaimana tersebut diatas, juga merupakan

upaya hukum terhadap putusan diluar hadirnya pihak tergugat, namun jika verstek

mengalahkan pihak penggugat (baca pasal 199-205 rbg untuk luar pulau Jawa dan

74

Madura ) dan UU No 20 Tahun 1947 tentang peradilan ulangan di Jawa dan

Madura. Pengaturan masalah banding masih bersifat pluralistis. Permohonan

banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak putusan itu

diucapkan atau putusan itu diberitahukan bila ada pihak yang tidak hadir pada saat

putusan diucapkan.permohonan banding dapat pula disertakan dengan memori

banding (untuk emori banding baca kembali pemeriksaan dalam dua timgkat atau

judex faktie) sebagai bahan untuk menyampaikan keberatan-keberatan

pembanding atas putusan pengadilan tingkat pertama.

Upaya hukum banding hanya duperuntukan bagi pihak yang merasa dirugikan oleh

adanya putusan pengadilan tingkat pertama. Namun jika kedua pihak merasa

dirugikan, maka kedua pihak mempunyai hak untuk mengajukan permohonan agar

perkatanya diperiksa kembali dalam tingkat banding.

Yang dapat dimohonkan banding adalah semua putusan akhir kecuali ditentukan

lain oleh UU pasal 21 UU No 4 tahun 2004) sedangkan putusan sela tidak dapat

dimihonkan banding secara sendiri, kecuali bersamaan dengan putusan akhir.

Pemeriksaan perkara dalam tingkat banding dilakukan pemeriksaan ulangan, oleh

karenanya dalam pemeriksaan tingkat banding ini dimungkinkan mengajukan alat

bukti yang baru.

c. Prorogasi

Prorogasi juga dikenal dengan istilah pelompatan satu tingkat maksudnya, atas

persetujuan kedua pihak, mereka sepakat untuk mengajukan perkaranya kepada

pengadilan yang sedungguhnya tidak berwenang untuk menangani perkara

tersebut jika dilihat dari hirarki dari badan pengadilan. Atas kesepakatan kedua

belah pihak mereka dapat engajukan perkaranya melompat satu tingkat dari

lembaga peradilan yang seharusnya berwenang untuk menangani perkara

tersebut.prorogasi ini tidak diatur dalam RBg maupun HIR melainkan diatur dalam

Pasal 324-326 Rv. Prorogasi dalam praktek sangat jarang dilakukan bahkan

hamper tidak ada yang menggunakan lembaga prorogasi ini.

d. Kasasi

Kasasi adalah merupakan upaya hukum biasa yang terakhir sebagai upaya

hukum terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding. Sama halnya dengan

putusan pengadilan dalam tingkat pertama, jika ada pihak yang tidak puas akan

putusan pengadlan dalam tingkat banding, maka mereka dapat mengajukan

permohonan kasasi. Pengajuan permohonan kasasi dapat diajukan kepada

Mahkamah agung melalui kepaniteraan pengadilan tingkat pertama yang

menangani perkara trersebut dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak putusan

75

pengadilan tingkat banding diberitahukan. (UU No 14 tahun 1980 yang telah

dirubah dengan UU No 5 Tahun 2004).

Pemohon kasasi diwajibakan untuk membuat memori kasasi sebagai alasan

bahwa judex faktie telah keliru dalam menerapkan huku. (baca kembali susunan

badan kekuasaan peradilan dan pemeriksaan dalam dua tingkat BAB I)

Dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi tidak lagi dimungkinkan untuk

mengajukan alat bukti baru sebagaimana halnya dalam pemeriksaan dalam tingkat

banding. Karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi tidak lagi memeriksa tentang

duduknya perkara melainkan hanya memeriksa tentang hukumnya. Oleh karena

dalam memori kasasi yang dipakai alasan adalah kesalahan penerapan hukum

oleh judex faktie.

e. Peninjauan Kembali (request civil)

Istilahnya request civil dapat dijumpai dalam pasal 385-401 Rv. Sedangkan

istilahnya peninjauan kembali dapat dilihat dalam pasal 21 UU No 14 1970 yang

telah dicabut dengan Uu No 4 Tahun 2004.

Pasal 23 UU No. 4 tahun 2004 menentukan:

1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan

kembali kepada Mahkamah agung apabila terdapat hal atau keadaan

tertentu yang ditentukan dalam UU;

2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan

kembali.

Peninjauan kembali juga diatur dalam beberapa SEMA dan PERMA,

terakhir peninjauan kembali diatur dalam PERMA no 1/1980 yang disempurnakan

dengan PERMA No 1/82. Alasan-alasan peninjauan kembali adalah sebagai

berikut:

1) Bila putusan didasarkan suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan

yang diketahi setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti

yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.

2) Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat

menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan

3) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada

yang dituntut

4) Apabila mengeni suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa

dipertimbangkan sebab-sebabnya

76

5) Apabila mengenai pihak-pihak yang sama mengenai soal yang sama, atas

dasar yang smaa atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang

bertentangan satu denagn yang lainnya.

6) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu

kekeliruan yang nyata

Mahkamah Agung memutuskan permohonan peninjauan kembali untuk

tingkat pertama dan terkahir. Oleh karenanya peninjauan kembali tidak ada lag

upaya hukum untuk hal itu.

Permhonan peninjauan kembali tidak dapat dicabut sebelum dijatuhkan

putusan dan hanya dapat diajukan satu kali sja. Permohonan peninjauan kembali

tidak menghentikan eksekusi.

f. Perlawanan Pihak ketiga

Telah dibicarakan bahwa putusan hanya mengikat para pihak dan tidak

mengikat pihak ketiga.namun jika hak-hak pihak ketiga merasa dirugikan, atas

suatu putusan pengadilan, maka pihak yang merasa dirugikan, dapat mengajukan

putusan yang dilawan. Gugatannya seperti mengajukan guagatn biasa, dengan

mengedepankan hal-hal yang merugikan pihak pelawan (penggugat) atas putusan

pengadilan tersebut.

3. Pengertian eksekusi

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada

pihak yang kalah dalam suatu perkara, pada dasarnya membuat aturan dan tata

cara dari proses dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Oleh karena itu

eksekusi tiada lain dari pada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan

proses hukum acara perdata.

Pada umumnya orang berpendaat, bahwa dengan dijatuhkannya putusan

oleh hakim/pengadilan persoalannya menjadi selesai, anggapan seperti itu adalah

tidak benar, artinya dengan dijatuhkannya putusan saja belum selesai

persoalannya. Ptusan itu harus dapat dilaksanakan/dijalankan, satu putusan

pengadilan tidak ada artinya apabila tidak dapat dilaksanakan/dijalankan.

Pembakuan istilah eksekusi kedalam Bahasa Indonesia barangkali

sebagian besar para sarjana hukum kita setuju dengan kata /istilah Pelaksanaan

Putusan.

Dengan diterimanaya istilah pelaksanaan putusan sebagai pengganti istilah

eksekusi, janganlah menggabungkan kedua istilah itu dalam suatu rangkaian

kalimat agar tidak berlebihan (misalnya (pelaksanaan eksekusi).

77

Selanjutnya bila diperhatikan pasal-pasal yang terdapat didalam HIR

ataupun RBg pengertian eksekusi sama dengan pengertian “menjalankan

putusan”. Menjalankan putusan pengadilan tiada lain, daripada melaksanakan isi

putusan pengadilan secara paksa dengan bantuan aparat keamanan apabila

tereksekusi tidak menjalankannya secara sukarela. Dengan demikian yang

dimaksud dengan eksekusi atau pelaksanaan putusan adalah: Tindakan yang

dilakukan secara paksaterhadap yang kalah dalam perkara, atas suatu putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

4. Dasar Hukum Eksekusi

Eksekusi atau cara menjalankan putusan pengadilan diatur mulai dari pasal

195 s/d pasal 224 HIR atau pasal 206 s/d pasal 258 RBg. Namun sekarang yang

efektif berlaku adalah pasal-pasal 195 sampai pasal 208 dan pasal 224 HIR, atau

pasal 206 sampai pasal 204 dan pasal 258 RBg.

Penghapusan pasal-pasal tentang eksekusi tersebut diatas berkenaan

dengan adanya Surat edaran Mahkmah Agung RI No 2 / 1964 tanggal 22 januari

1964 tentang Penghapusan Sandera.

Disamping pasal-pasal tersebut diatas, masih terdapat pasal lain yang

mengatur eksekusi sebagaimana yang diatur dalam pasal 225 HIR datau 259

RBg.

5. Asas –Asas Eksekusi

a. Menjalankan Putusan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap.

Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum

yang tetap yang dapat dijalankan/eksekusi. Karena didalam putusan

pengadlan yang telah berkekuatan tetap telah terkandung wujud hubungan

hukum yang tetap dan pasti antara para pihak yang berperkara. Selama

putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap putusan belum dapat

dijalankan. Dengan kata lain, selama putusan belum memperoleh kekuatan

hukum tetap, upaya dan tindakan eksekusi belum berfungsi. Eksekusi baru

berfungsi sebagai tindakan hukum yang sah dan memaksa terhitung sejak

tanggal putusan memperoleh kekuatan hukum yang tetap dan pihak

tergugat tidak mau mentaati dan memahami putusan secara sukarela.

Beberapa pengecualian:

Ada beberapa pengecualian yang dibenarkan oleh UU, yang

memperkenankan eksekusi dapat dijalankan diluar putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap. Terhadap pengecualian dimaksud eksekusi

78

dapat dijalankan sesuai dengan antara tata cara eksekusi terhadap putusan

yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Bentuk-bentuk

pengecualian itu antara lain sebgai berikut:

1) Pelaksanaan putusan lebih dulu

Bentuk pelaksanaan putusan lebih dulu (uit voerbaar bijvoorrraad)

merupakan salah satu pengecualian terhadap prinsip diatas.

Menurut pasal 180 ayat 1 HIR, atau pasal 191 ayat 1 RBg. Eksekusi

dapat dijalankan terhadap putusan pengadilan, sekalipun putusan

tersebut belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Pasal tersebut diatas memberikan hak kepada penggugat untuk

menunjukan permintaan agar putusan tersebut dapat dijalankan

eksekusinya lebih adhulu sekalipun terhadap putusan tersebut pihak

tergugat mengajukan banding atau kasasi.

2) Pelaksanaan Putusan Provisi

Pengecualian yang kedua berlaku terhadap pelaksanaan putusan

provisi. Pelaksanaan putusan provisimerupakan pengecualian

eksekusi terhadap putusan yang memperoleh kekuatan hukum

tetap.

Kalimat yang terakhir dalam pasal 180 aat 1 HIR atau pasal 191

ayat 1 RBG, mengenal gugatprovisi yakni tuntutan lebih dudlu yang

bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara.

Apabila hakim mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, maka

putusan provisi tersebut dapat dieksekusi sekalipun pokok

perkaranya belum diputus.

3) Akte perdamaian

Bentuk pengecualian yang lain adalah akta pedamaian yang diatur

dalam pasal 130 HIR, atau pasal 154 RBg. Pasal tersebut

menentukan selama persidangan berlangsung, kedua belah pihak

yang berperkara dapat berdamai, baik atas anjuran hakim maupun

atas inisiatif dankehendak kedua belah pihak

4) Eksekusi terhadap Grose Akta

Pengecualian lain yang diatur dalam UU ialah eksekusi terhadap

grose akta, baik grose akta pengakuan hutang, maupun grose akta

hipotik sebagaimana yang diatur dalam pasal 224 HIR, atau pasal

258 RBg.

79

Menurut pasal ini eksekusi yang dijalankan pengadilan bukan

berupa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap. Eksekusi yang dijalankan ialah memenuhi isi

perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Hal ini jelas merupakan

penyimpangan dan pengecualian eksekusi terhadap putusan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun pasal 224 HIR/258

Rbg memperkenankan eksekusi terhadap pernanjian, asal itu

berbentuk grose akta.

b. Putusan tidak dijalankan secara sukarela

Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap baru merupakan pilihan

hukum apabila pihak ynag kalah tidak mau menjalankan isi putusan secara

sukarela, jika pihak yang kalah bersedia menaati dan memenuhi putusan

secara sukarela maka tindkan paksa tidak perlu dilakukan. Oleh karena itu

harus dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela dengan

menjalankan putusan secara eksekusi.

c. Putusan yang dapat dieksekusi bersifat kondemnator dengan menjalankan.

Prinsip lain yang perlu diperhatikan sehubungan eksekusi ialah sifat

kondemnator. Hanya putusan yang bersifat kondemnator saja yang bisa

dijalankan eksekusi. Yakni putusan yang amar atau diktumnya

mengandung unsure penghukuman. Putusan yang amar atau diktumnya

tidak mengandung unsure penghukuman tidak dapat dieksekusi non-

eksekutabel. Adapun cirri-ciri yang dapat dijadikan indicator menentukan

suatu putusan pengadilan yang bersifat komdemnator, dalam amar/ dictum

putusan terdapat perintah untuk menghukum pihak yang kalah yang

dirumuskan dalam kalimat:

1) Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan” suatu barang.

2) Menghukum/ memerintahkan “pengosongan”sebidang tanah

atau rumah.

3) Menghukum/memerintahkan “melakukan” suatu perbuatan

tertentu.

4) Menghukum/memerintahkan “penghentian” suatu perbuatan

atau keadaan.

5) Menghukum/memerintahkan melakukan “pembayaran” sejumlah

uang.

80

Inilah rincian yang dapat dijadikan pedoman menetukan cirri suatu putusan

pengadilan yang bersifat komdemnator. Jika salah satu cirri tersebut

terdapat dalam amar putusan menandakan putusan itu bersifat

komdemnator.

Misalnya dalam amar putusan terdapat salah satu dictum yang menghukum

atau memerintahkan tergugat untuk menyerahkan suatu barang, maka

amar yang demikian telah mengandung cirri komdemnator, dan menjadikan

putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum eksekutoria. Artinya apabila

pihak yang kalah tidak menaati dan menjalankan putusan tersebut secara

sukarela maka dapat dilakukan secara paksa upaya hukum “eksekusi

Selain itu ada juga putusan yang bersifat deklarator yaitu amar putusan

hanya mengandung “pernyataan” hukum saja tanpa dibarengi dengan

penghukuman. Putusan deklarator pada umumnya terdapat dalam perkara

yang berbentuk “permohonan”

d. Eksekusi atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pngadilan Negeri

Asas ini diatur dalam pasal 195 ayat 1 /pasal 206 ayat 1 RBg. Yang

menentukan “tentang menjalankan putusan dalam perkara yang pada

tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri adalah atas perintah dan

dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama

memeriksa perkara itu menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut

ini”. Artinya bahwa eksekusi tersebut haruslah dilaksanakan atas perintah

dan dibawah pimpinan pengadilan negeri yang memutus.

Eksekusi dilakukan dengan surat perintah eksekusi dan untuk kepentingan

tersebut dibuat berita acara dan dihadiri oleh dua orang saksi (pasal 210

RBg/197 HIR).

6. Jenis-jenis Eksekusi

Menurut Sudikno Mertokusumo (dalam bukunya Hukum Acara Perdata) disebutkan

ada beberapa jenis eksekusi sbb:

a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkn untuk membayar

sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah membayar sejumlah uang.

Eksekusi ini diatur didalam pasal 196 HIR/208 RBg.

b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu

perbuatan. Halini diatur dalam pasal 225 HIR/259 RBg. Yang pada

hakekatnya menentukan bahwa orang tidak dapat dilaksanakan untuk

memenuhi syarat prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi pihak yang

81

dimenangkan dapat diminta kepada hakim agar kepentingan yang akan

diperoleh dinilai dengan uang.

c. Eksekusi Riil, tidak diatur dalam HIR, tetapi diatur dalam pasal 1033 Rv,

yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan pengosongan

benda tetap.

d. Parate Executie atau eksekusi langsung terjadi apabila seorang debitur

kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur tanpa mempunyai title

eksekutorrial (pasal 1155 KUHPerdata)

Selanjutnya menurut Yaha Harahap (di dalam bukunya “Ruang Lingkup

Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata’), menyatakan bahwa pada dasarnya ada

dua bentuk eksekusi bila ditinjau dari segi sasaran yang hendak dicapai oleh

hubungan hukum yang tercantum dalam putusan pengadilan, yaitu:

a. Bila sasaran hubungan hukum yang hendakndipenuhi sesuai dengan amar

putusan ialah melakukan suatu tindakan nyata atau tindakan rii, maka

disebut eksekusi riil.

b. Bila hubungan hukum yang dipenuhi sesuai dengan amar putusan ialah

melakukan pembayaran sejumlah uang, maka disebut eksekusi

pembayaran uang.

Pertanyaan kita sekarang, apakah perbedaan antara eksekusi riil, dengan eksekusi

pembayaran sejumlah uang? Jawabannya dapat dicontohkan dalam putusan

pengadilan yang bersifat kondemnator sbb:

a. Menyerahkan suatu barang

b. Mengosongkan sebidang tanah

c. Melakukan suatu perbuatan tertentu

d. Menghentikan suatu kedaan atau perbuatan

e. Membayar sejumlah uang.

7. Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi

Sebelum dilakukan eksekusi, biasanya terlebih dahulu barang objek

sengketa diletakan sita, baik dilakukan sebelum putusan mempunyai kekuatan

hukum yang pasti maupun setelah putusanmempunyai kekuatan hukum yang

pasti.

Terhdap sita eksekusi, baik terhadap barang bergerak maupun terhadap barang

yang tidak bergerak, pihak yang dikalahkan atau tereksekusi dapat mengajukn

perlawanan baik tertulis maupun secara lisan (pasal 225 RBg / 107 HIR).

Perlawanan ini diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang melaksanakan

82

eksekusi. Namun perlawanan tersebut tidaklah menghambat pelaksanaan putusan,

kecuali Ketua pengadilan memberikan perintah penangguhan eksekusi.

Disamping tereksekusi, orang lain pihak ketiga juga dapat mengajukan perlawanan

eksekusi dengan dalil bahwa barang yang diletakan sita eksekusi adalah miliknya.

Pasal 228 RBg/ pasal 208 HIR.

8. Pelaksanaan Eksekusi

Pelaksanaan putusan pengadilan harus dilakukan oleh pihak yang

berwenang untuk itu sebagaimana ditentukan dalam UU. Dalam bidang hukum

perdata yang bertindak sebagai pelaksana putusan adalah panitera dibantu oleh

juru sita (pasal 36 ayat 3 UU No 4 tahun 2004). Dalam pasal tersebut ditentukan

bahwa putusan dilaksanakan oleh panitera dibantu oleh jurusita dan dipimpin oleh

ketua pengadilan.

9. Penutup

Bagian Penutup terdiri dari Rangkuman atas materi perkuliahan yang

dikemukakan di atas, dan latihan untuk mengetahui capaian pembelajaran.

Rankuman

Hakim sebagai manusia biasa di dalam menjatuhkan putusan pengadilan

tidak luputu dari kekliruan atau keterpihakan pada salah satu pihak, sehingga

putusannya tidak mencerminkan rasa kedilan yang menyebabkan ada yang

merasa tidak puas atas putusan tersebut. Oleh karenanya demi keadilan setiap

putusan pengadilan hendaknya dapat dilakukan pemeriksaan ulang sehingga

kekeliruan terhadap putusan atau putusan yang memihak dapat diperbaiki

sehingga dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak pencari keadilan. Upaya

hukum secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu upaya hukum biasa

dan upaya hukum luar biasa. Pembedaan menjadi dua bagian ini menunjukan sifat

berlakunya yang berbeda pula dimungkinkan untuk itu. Hak untuk mengajukan

upaya hukum biasa menjadi hapus dengan pernyataan menerima putusan atau

jangka waktu untuk mengajukan upaya hukum tersebut jangka waktunya telah

lewat. Upaya hukum biasa terdiri dari Perlawanan (verset), Banding, Prorogasi,

Kasasi, Peninjauan Kembali (request civil), Perlawanan Pihak ketiga,

Pengertian eksekusi.

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada

pihak yang kalah dalam suatu perkara, pada dasarnya membuat aturan dan tata

cara dari proses dalam pemeriksaan perkara di pengadilan. Oleh karena itu

83

eksekusi tiada lain dari pada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan

proses hukum acara perdata. Eksekusi atau cara menjalankan putusan pengadilan

diatur mulai dari pasal 195 s/d pasal 224 HIR atau pasal 206 s/d pasal 258 RBg.

Namun sekarang yang efektif berlaku adalah pasal-pasal 195 sampai pasal 208

dan pasal 224 HIR, atau pasal 206 sampai pasal 204 dan pasal 258 RBg.

Jenis eksekusi terdiri dari Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang

dikalahkn untuk membayar sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan adalah

membayar sejumlah uang, Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk

melakukan suatu perbuatan. Eksekusi Riil. Pelaksanaan putusan pengadilan harus

dilakukan oleh pihak yang berwenang untuk itu sebagaimana ditentukan dalam

UU. Dalam bidang hukum perdata yang bertindak sebagai pelaksana putusan

adalah panitera dibantu oleh juru sita (pasal 36 ayat 3 UU No 4 tahun 2004).

Dalam pasal tersebut ditentukan bahwa putusan dilaksanakan oleh panitera

dibantu oleh jurusita dan dipimpin oleh ketua pengadilan.

Latihan

1. Apa sebenarnya dimaksud dengan novum dalam peninjauan kembali?

2. Kenapa upaya hokum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi?

3. Kenapa perlawanan terhadap sita eksekusi tidak menghentikan

eksekusi?

4. Bagaimana prosedur dari pelaksanaan eksekusi?

Bahan Pustaka

1. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia,

Liberty, Yogyakarta.

2. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur

Bandung, Bandung.

3. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya

Paramita, Jakarta.

4. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata

pada Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.

5. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung.

6. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Umum, Pustaka

7. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.

84

PERTEMUAN XIII: TUTORIAL 8

UPAYA HUKUM BIASA

1. Pendahuluan

Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi upaya hukum biasa.

Mahasiswa mendiskusikan dan presentasi dalam kelompok mengenai

permaslahan yang divisualisasikan melalui wacana “Mahkamah Agung Sebagai

Judex Juris ataukah Judex Facti: Kajian Terhadap Asas, Teori dan Praktek”.

Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab,

jujur dan demokratis mampu mengidentifikasi dan menjelaskan tugas dari

Mahkamah Agung.

Mahasiswa supaya mendiskusikan di dalam kelompok mengenai

permasalahan yang terkandung di dalam wacana berkaitan dengan materi tutorial.

Mahasiswa berdiskusi menyelesaikan permaslahan melalui seven jump approacht

dengan catatan bahwa, tahap identifikasi dan inventarisasi istilah atau kata-kata

sulit diabaikan-dilewati. Setelah tutorial diharapkan mahasiswa secara bertanggung

jawab, jujur dan demokratis mampu menemukan capaian pembelajaran yang

terkandung di dalam wacana.

2. Tugas: Problem Task

Mahkamah Agung Sebagai Judex Juris ataukah Judex Facti: Kajian Terhadap

Asas, Teori dan Praktek

Jakarta, litbangdiklatkumdil.net - Selasa tanggal 10 September 2013,

Puslitbang mengadakan Seminar Focus Group Discussion dalam rangka

presentasi Hasil Penelitian yang dikoordinatori Sugeng Riyono, SH., MH dengan

judul Mahkamah Agung Sebagai Judex Juris ataukah Judex Facti : Kajian

Terhadap Asas, Teori dan Praktek.

Berdasarkan hasil kajiannya, kordinator menarik kesimpulan:

a. Dalam penelitian ini setelah ditelusuri asas, norma dan peraturan

perundang-undangan tentang kewenangan Mahkamah Agung dalam

memeriksa dan mengadili perkara baik dalam tingkat kasasi ataupun

tingkat peninjauan kembali tidak terdapat peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang apakah itu kewenangan Judex Factie

atau Judex juris, jadi istilah tersebut hanya sebatas istilah akademis

yang tidak mendasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku.

85

b. Kewenangan hakim agung pada Mahkamah Agung dalam memeriksa

dan mengadili perkara berdasarkan pada kewenangan dengan alasan-

alasan yang secara imperatif diatur dalam UU 14 Tahun l985 Jo.

Undang-undang No. 5 Tahun 2004 jo. Undang No. 3 Tahun 2009

tentang Mahkamah Agung dan UU No. 8 Tahun l981 tentang Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana.

c. Hakim agung pada Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili

perkara baik dalam tingkat kasasi atau peninjauan kembali dalam

proses mengambil putusan tetap mendasarkan pada fakta hukum

sebagaimana termuat dalam berkas perkara.

d. Secara substansial dengan kewenangan hakim agung pada Mahkamah

Agung sebagaimana diatur dalam undang-undang diharapkan akan

tercipta adanya putusan yang berkepastian hukum dan berkeadilan

hukum, karena seharusnya dalam setiap putusan pengadilan sudah

terkandung tentang adanya asas, nilai dan norma-norma hukum yang

hidup dalam masyarakat.

Dalam hasil penelitiannya, Koordinator memberi saran:

a. Untuk kewibawaan hukum dan kepastian hukum yang berkeadilan:

Perlu dilakukan penelitian secara komprehensif untuk mengetahui

secara pasti sebab-sebab banyaknya perkara permohonan kasasi yang

membatalkan putusan peradilan dibawahnya, dan untuk mengetahui

sebab-sebab banyak permohonan peninjauan kembali yang

membatalkan putusan kasasi, selanjutnya dicarikan solusi yang tepat

untuk mengatasinya.

b. Untuk terciptanya putusan yang berkepastian hukum dan berkeadilan

hukum, maka sangat diperlukan adanya konsistensi alasan dalam

pertimbangan hukum terhadap penilaian asas, norma dan interpretasi

undang-undang dengan mengarah pada nilai-nilai keadilan masyarakat,

termasuk untuk terciptanya nilai-nilai hukum baru (rechvinding).

c. Untuk terciptanya putusan yang berkualitas, Mahkamah Agung perlu

menciptakan suatu sistem yang dapat dipakai untuk mengontrol agar

tercipta putusan yang berkualitas, antara lain: dengan perubahan

pengaturan regulasi terhadap suatuperaturan perundang-undangan

atau dengan suatu sikap Mahkamah Agung dengan mengeluarkan

peraturan Mahkamah Agung.

d. Untuk kewibawaan Mahkamah Agung, perlu dihindari adanya suatu

putusan yang saling bertentangan dan sangat diperlukan konsistensi,

86

maka dalam perkara permohonan peninjauan kembali terhadap putusan

kasasi diputus dengan majelis khusus dalam sidang pleno dengan

ketua majelis pimpinan Mahkamah Agung dan anggota majelis hakim

Ketua Muda pada Mahkamah Agun

(Sumber: http://www.litbangdiklatkumdil.net/puslitbang-hukum-dan-peradilan/dok-

kegiatan-litbangkumdil/759-mahkamah-agung-sebagai-judex-juris-ataukah-judex-

facti-kajian-terhadap-asas-teori-dan-praktek.html diakses pada tanggal 12 Oktober

2016)

3. Penutup

Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi. Laporan dikumpulkan pada saat

selesai tutorial.

Bahan Pustaka

Sama dengan Bahan Pustaka Perkuliahan keempat

87

PERTEMUAN XIV: TUTORIAL 9

UPAYA HUKUM LUAR BIASA

1. Pendahuluan

Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi upaya hukum luar biasa.

Mahasiswa mendiskusikan dan presentasi dalam kelompok mengenai

permaslahan yang divisualisasikan melalui wacana “Merasa Tak Bersalah, IAS

Akan Ajukan PK”. Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa diharapkan dengan rasa

tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu mengidentifikasi dan menjelaskan

tugas dari Mahkamah Agung.

Mahasiswa supaya mendiskusikan di dalam kelompok mengenai

permasalahan yang terkandung di dalam wacana berkaitan dengan materi tutorial.

Mahasiswa berdiskusi menyelesaikan permaslahan melalui seven jump approacht

dengan catatan bahwa, tahap identifikasi dan inventarisasi istilah atau kata-kata

sulit diabaikan-dilewati. Setelah tutorial diharapkan mahasiswa secara bertanggung

jawab, jujur dan demokratis mampu menemukan capaian pembelajaran yang

terkandung di dalam wacana.

2. Tugas: Problem Task

Merasa Tak Bersalah, IAS Akan Ajukan PK

RAKYATKU.COM, MAKASSAR - Mantan Wali Kota Makassar, Ilham Arief

Sirajuddin (IAS) masih akan melakukan upaya hukum pasca kasasinya dikabulkan

oleh Mahkamah Agung (MA).

Pria yang akrab disapa Aco itu berencana akan mengajukan Peninjauan

Kembali (PK) atas putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta. "Secara hukum,

kami masih punya upaya hukum peninjauan kembali. Kami sejak awal nyatakan

tidak ada kesalahan, tidak ada kejahatan dan tidak cukup bukti," ucap

Pengacara IAS, Alyas Ismail kepada Rakyatku.com, Kamis (20/10/2016).

Diketahui, MA meringankan hukuman penjara IAS dari 6 tahun menjadi 4

tahun dengan denda Rp 100 juta subsider 4 bulan kurungan dalam kasus dugaan

korupsi pelaksanaan kerja sama rehabilitasi dan transfer kelola air di PDAM

Makassar.

IAS divonis selama 6 tahun berdasarkan putusan banding Pengadilan

Tinggi DKI. Banding ini diajukan jaksa menyusul tak puas dengan putusan Hakim

Pengadilan Tipikor Jakarta yang menjatuhkan vonis 4 tahun penjara.

88

"Tidak semestinya beliau divonis bersalah dalam kasus tersebut. Itu kasus

perdata, bukan pidana," ungkap Alyas Ismail.

Alyas Ismail menjelaskan, pihaknya sudah memiliki bukti baru (novum)

yang tentunya akan meringankan tuduhan yang dialamatkan ke IAS.

"Ada bukti baru yang akan meringankan. Hukuman 4 tahun itu masih berat,

semestinya harus bebas. Kami tetap akan perjuangkan hingga bebas," demikian

Alyas.

Sumber: http://news.rakyatku.com/read/24835/2016/10/20/merasa-tak-

bersalah-ias-akan-ajukan-pk (diakses pada tanggal 12 Oktober 2016)

3. Penutup

Mahasiswa menyusun Laporan Hasil Diskusi. Laporan dikumpulkan pada saat

selesai tutorial.

Bahan Pustaka

Sama dengan Bahan Pustaka Perkuliahan keempat

89

PERTEMUAN XV: TUTORIAL 10

PENGERTIAN, DASAR HUKUM, ASAS-ASAS, JENIS-JENIS, PERLAWANAN

TERHADAP SITA EKSEKUSI DAN PELAKSANAAN PUTUSAN

1. Pendahuluan

Tutorial ini merupakan pendalaman atas materi eksekusi. Mahasiswa

mendiskusikan dan presentasi dalam kelompok mengenai permaslahan yang

divisualisasikan melalui wacana “Aset Belum ‘Clear’, PN Jaksel Tidak Akan

Eksekusi Yayasan Supersemar”. Setelah selesai tutorial ini, mahasiswa

diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu

mengidentifikasi dan menjelaskan apa kendala eksekusi Yayasan Supersemar.

Mahasiswa supaya mendiskusikan di dalam kelompok mengenai

permasalahan yang terkandung di dalam wacana berkaitan dengan materi tutorial.

Mahasiswa berdiskusi menyelesaikan permaslahan melalui seven jump approacht

dengan catatan bahwa, tahap identifikasi dan inventarisasi istilah atau kata-kata

sulit diabaikan-dilewati. Setelah tutorial diharapkan mahasiswa secara bertanggung

jawab, jujur dan demokratis mampu menemukan capaian pembelajaran yang

terkandung di dalam wacana.

a. Tugas: Problem Task

Aset Belum ‘Clear’, PN Jaksel Tidak Akan Eksekusi Yayasan Supersemar

KARTA (Pos Kota) – Eksekusi terhadap Yayasan Supersemar terkait

kewajiban bayar ganti rugi ke negara sebesar Rp4,4 triliun, seperti putusan

Mahkamah Agung (MA) akan molor.

Sebab, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan selaku eksekutor dalam

perkara perdata, tidak akan mengeksekusi selama aset-aset yang sudah

diserahkan oleh Kejaksaan selaku jaksa pengacara negara (JPN) belum ‘clear’

bahwa aset-aset yang diklaim milik Supersemar oleh JPN tidak ada kepemilikan

pihak lain.

“Jadi, disini kita bersifat pasif,” kata Juru bicara PN Jakarta Selatan Made

Sutrisna menjawab pertanyaan tentang kepastian eksekusi paksa terhadap

Yayasan Supersemar, di Jakarta, Selasa (9/2).

Menurut Made, pasif dalam pengertian PN Jaksel hanya menunggu ada

data-data pasti bahwa benda yang akan diletakan sita eksekusi milik termohon

(Supersemar).

90

“Sebagai contoh kendaraan, apakah benar surat-surat kepemilikannya,

seperti BKKB (Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor) milik termohon,” ujarnya

mengumpamakan.

Dia enggan mengomentari, apakah dengan demikian terhadap aset-aset

yang dilakukan oleh pemohon (JPN), untuk dilakukan sita eksekusi ke PN Jaksel

belum disertai bukti-bukti kepemilikan.

“Itu tugas pemohon. Kita hanya bersoifat pasif. Jika semua sudah lengkap,

tentu kita akan laksanakan sesuai perintah undang-undang,” jelas Made.

Seperti yang diterangkan sebelumnya, Selasa (2/2) menurut Made langkah

itu guna menghindari gugatan dari pihak ketiga dan /atau perlawanan dari pihak

lain.

Sita Eksekusi

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Bambang

Setyo Wahyudi, membenarkan JPN telah menyampaikan permohonan sita

eksekusi terhadap aset tidak begerak, berupa deposito, bilyet dan giro di sejumlah

bank dan tanah di Jakarta dan Bogor. Serta, aset tidak bergerak, berupa

kendaraan ke PN Jaksel.

Sita eksekusi dimaksudkan agar aset-aset itu tidak diperjual-belikan atau

berpindah tangan, agar saat dieksekusi tidak menimbulkan masalah hukum lain.

Namun, Bambang mengingatkan permohonan sita eksekusi tidak termasuk

deposito, yang bunganya dikucurkan kepada penerima bea siswa Supersemar

hingga kini.

“Kalau untuk beasiswa enggak, tidak terkait (untuk dimintakan sita

eksekusi). Kita jamin itu,” kata Bambang kepada wartawan, di Kejagung, Selasa

(2/2).

Bambang enggan merinci aset-aset yang dimonhonkan untuk sita eksekusi

tersebut, tetapi tidak ditepis, jika salah satu asetnya itu, berupa properti Gedung

Granadi, di Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

Dia berjanji akan menelusuri aset-aset lainnya, bila dari perhitungan aset-

aset yang disita untuk dieksekusi nilainya belum mencukupi. “Kita akan cari terus

sampai kewajiban Supersemar ke negara tercukupi,” katanya.

91

PERTEMUAN XVI: UJIAN AKHIR SEMESTER

92

LAMPIRAN I: SILABUS

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum

2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata

3. Kode MK : BNI5338

4. Semester : VI (Enam)

5. SKS : 3 SKS

6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata

7. Deskripsi Mata Kuliah :

Mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan perdata merupakan mata

kuliah Wajib Nasional, yang pada hakekatnya merupakan pendalaman dari salah

satu substansi yang terdapat dalam mata kuliah Hukum Acara, yakni mengenai

Peradilan Perdata. Karena itu bahasan dalam mata kuliah ini meliputi berbagai

istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata,

sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan Hukum Acara

dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan Sebelum Sidang;

Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya

Hukum; Eksekusi.

Dalam mata kuliah ini berusaha untuk menghubungkan konsep-konsep

hukum yang ada dibidang acara secara teori dengan realitas yang terjadi di dalam

masyarakat. Karena itu, dalam perkuliahan dipergunakan berbagai contoh kasus

yang terjadi di dalam masyarakat.

8. Capaian Pembelajaran :

Mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai konsep-konsep dan

peristilahan dalam Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata, sasa-asas Acara

dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan Hukum Acara dan Praktek

Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan Sebelum Sidang;

Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya

Hukum; Eksekusi.

93

9. Bahan Kajian

Bahan Kajian mata kuliah terdiri dari: Pendahuluan, Tindakan Sebelum dan

Selama Sidang, Proses Acara Istimewa, Proses Jawab Menjawab, Pembuktian,

Putusan, Upaya Hukum, Pelaksanaan Putusan, dan Pelaksanaan Putusan.

10. Referensi

1. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung.

2. Bambang Waluyo, 1992, Sistem Pembuktian dalam Sistem Peradilan di

Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

3. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.

4. Chidir Ali, Yurisprudensi Hukum Acara Perdata Indonesia, Armico,

Bandung.

5. Darwan Prints,1996, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan

Perdata, CV. Armico, Bandung.

6. A.T. Hamid, 1986, Hukum Acara Perdata Serta Sususnan dan

Kekuasaan Peradilan, PT. Bina Ilmu, Surabaya.

7. Lilik Mulyadi,1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata

pada Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.

8. Mukti Arto, 2004, Praktek Perkara Perdata, pada Pengadilan Agama,

Pustaka Pelajar, Jakarta.

9. Nur Rasaaid, 1996, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

10. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata 1989, Hukum

Acara Perdata Teori dan Praktek, Alumni, Bandung.

11. Soeparmono, 2000, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, CV

Mandar Maju, Bandung,

12. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia,

Liberty, Yogyakarta.

13. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur

Bandung, Bandung.

14. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya

Paramita, Jakarta.

15. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung.

94

LAMPIRAN II: RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RPP PERTEMUAN KE I, II, III, dan IV

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum

2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata

3. Kode MK : BNI5338

4. Semester : VI (Enam)

5. SKS : 3 SKS

6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata

7. Deskripsi Mata Kuliah :

Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan perkuliahan

pertama adalah mahasiswa menguasai pengetahuan mengenai Pendahuluan dan

Tindakan Sebelum Sidang. Selain itu, mahasiswa dengan rasa tanggung jawab,

jujur dan demokratis terampil mengemukakan pandangan menenai Pendahuluan

dan Tindakan Sebelum Sidang Pengertian hukum Acara Perdata, Sumber-sumber

hukum Acara Perdata, Asas- Asas Hukum Acara Perdata, Susunan Badan

Kekuasaan Peradilan, Pejabat di Lingkungan Peradilan Tuntutan Hak, Isi Gugatan

dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis, Penggabungan/

Komulatif, paya untuk Menjamin Hak, Kompetensi Peradilan, Gugatan Perwakilan

dalam tutorial pada pertemua II, III dan IV.

8. Indikator Pencapaian

a. Mahasiswa mampu menguraikan mengenai Pengertian, Dasar Hukum, Azas

Hukum Acara Perdata dan Tindakan Sebelum Sidang

b. Mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu

mendiskusikan Pengertian hukum Acara Perdata, Sumber-sumber hukum

Acara Perdata, Asas- Asas Hukum Acara Perdata, Susunan Badan

Kekuasaan Peradilan, Pejabat di Lingkungan Peradilan Tuntutan Hak, Isi

Gugatan dan Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis,

Penggabungan/ Komulatif, paya untuk Menjamin Hak, Kompetensi

Peradilan, Gugatan Perwakilan.

9. Materi Pokok

a. Pendahuluan:Pengertian hukum Acara Perdata

b. Sumber-sumber hukum Acara Perdata

c. Asas- Asas Hukum Acara Perdata

d. Susunan Badan Kekuasaan Peradilan

95

e. Pejabat di Lingkungan Peradilan

f. Tindakan Sebelum dan Selama Sidang

g. Tuntutan Hak

h. Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya

i. Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis

j. Penggabungan/ Komulatif

h. Upaya untuk Menjamin Hak

i. Kompetensi Peradilan

j. Gugatan Perwakilan

10. Metode Pembelajaran

a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).

b. Metode: Problem Based Learning (PBL).

c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

11. Media, Alat dan Sumber Belajar

a. Power point presentation.

b. LCD, white board, spidol.

c. Bahan bacaan/pustaka.

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi

Kegiatan Pembelajaran Alokasi Waktu

Pendahuluan Dosen mengkondisinkan

mahasiswa untuk siap

menerima perkuliahan,

menemukan perilaku awal

mahasiswa, menjelaskan RPS,

RPP, Silabus, dan

Kontrak Perkuliahan. Memberikan

ulasan umum isi

Block Book dan materi

Pendahuluan dan Tindakan

Sebelum Sidang Memfasilitasi

pembentukan kelompok diskusi

(FGD)

untuk tutorial.

20 Menit

96

Kegiatan Inti Dosen melalui media

pembelajaran LCD

mendeskripsikan mengenai

ruanglingkup Dasar-dasar Hukum

Acara dan Praktek Perdadilan

Perdata.

Mahasiswa dengan rasa ingin

tahu, tangung jawab

dan jujur menganalisis,

mendeskripsikan dalam

bentuk catatan serta

menambahkan informasi

pelengkap dari sumber.

Mahasiswa secara mandiri

dengan cerdas dan

tanggun jawab menyajikan secara

lisan mengenai

hasil analisis terkait dengan

Pengertian hukum Acara Perdata,

Sumber-sumber hukum Acara

Perdata, Asas- Asas Hukum

Acara Perdata, Susunan Badan

Kekuasaan Peradilan, Pejabat di

Lingkungan Peradilan Tuntutan

Hak, Isi Gugatan dan Dasar

Hukumnya, Gugatan Lisan dan

Gugatan Tertulis, Penggabungan/

Komulatif, paya untuk Menjamin

Hak, Kompetensi Peradilan,

Gugatan Perwakilan

60 Menit

Penutup Dosen bersama mahasiswa

secara bertanggung

jawab dan logis menyimpulkan

proses dan hasil

pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan,

10 Menit

97

evaluasi, dan tugas

untuk mempelajari lebih

mendalam Pengertian hukum

Acara Perdata, Sumber-sumber

hukum Acara Perdata, Asas- Asas

Hukum Acara Perdata, Susunan

Badan Kekuasaan Peradilan,

Pejabat di Lingkungan Peradilan

Tuntutan Hak, Isi Gugatan dan

Dasar Hukumnya, Gugatan Lisan

dan Gugatan Tertulis,

Penggabungan/ Komulatif, paya

untuk Menjamin Hak, Kompetensi

Peradilan, Gugatan Perwakilan

Untuk memahami materi dalam

tutorial pada pertemuan

berikutnya.

13. Tugas

a. Apa itu hukum materiil dan hukum formil?

b. Apakah setiap perbuatan yang tidak melalui lembaga perdailan adalah

merupakan pernuatan main hakim sendiri?

c. Apakah PERMA dan SEMA merupakan sumber hukum?

d. Kenapa hukum dizaman colonial masih tetap diperlakukan di Indonesia?

e. Apa perbedaan hukum acara dengan materiil?

f. Bagaimana perbedaan asas hakim pasif dengan asas hakim bersifat

menunggu

g. Identifikasi semua assas yang mempunyai tujuan yang sama yaitu asas

hakim bersikap objektif

h. Apa yag dimaksud dengan judex factie?

i. Apa Arti gugatan lisan?

j. Apa yang dimaksud dengan identitas para pihak? Coba Sebutkan Identitas

diri sendiri dengan kedudukan sebagai penggugat?

k. Apa Hubungan Posita dengan Petitum gugatan?

l. Apa sebab disebut dengan sita jaminan?

98

m. Apakah semua macam sita dapat dikatakan sita jaminan

n. Apa yang tidak dimungkinkan untuk melakukan komulasi subjektif dan

objektif

14. Pedoman Penskoran

a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.

b. Skor 0, 5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan indicator

jawaban dosen.

c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan indikator yang

dibuat oleh dosen.

15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang dinilai 3 2 1 Keterangan

1 Kejujuran

2 Tanggung Jawab

3 Disiplin

4 Kreatifitas

5 Berkomunikasi

16. Sumber Belajar

a. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,

Yogyakarta.

b. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur

Bandung, Bandung.

c. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya

Paramita, Jakarta.

d. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada

Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.

e. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung.

f. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Umum, Pustaka

g. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.

h. M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika, Jakarta.

Pengampu Mata Kuliah

99

RPP PERTEMUAN KE V, VI, VII

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum

2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata

3. Kode MK : BNI5338

4. Semester : VI (Enam)

5. SKS : 3 SKS

6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata

7. Deskripsi Mata Kuliah :

Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan kelima adalah

mahasiswa mampu menguasai Alur Acara Istimewa dan Proses Jawab Menjawab

Selain itu, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan

demokratis terampil mengemukakan pandangannya dalam diskusi.

Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan keenam dan ketujuh

adalah mahasiswa mampu mendiskusikan mengenai Pemanggilan Secara Patut,

Acara Istimewa, Mediasi Litigasi, Perubahan dan Pencabutan Gugatan Jawaban

Gugatan, Replik Duplik, Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses. Selain itu,

mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis terampil

mengemukakan pandangannya dalam tutorial.

8. Indikator Pencapaian

a. Mahasiswa mampu menguraikan mengenai Alur Acara Istimewa dan Proses

Jawab Menjawab.

b. Mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu

mendiskusikan Pemanggilan Secara Patut, Acara Istimewa, Mediasi Litigasi,

Perubahan dan Pencabutan Gugatan Jawaban Gugatan, Replik Duplik,

Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses.

9. Materi Pokok

a. Proses Acara Istimewa

b. Pemanggilan Secara Patut

c. Acara Istimewa

d. Mediasi Litigasi

e. Perubahan dan Pencabutan Gugatan

f. Proses Jawab Menjawab

g. Jawaban Gugatan

100

h. Replik Duplik

i. Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses

10. Metode Pembelajaran

a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).

b. Metode: Problem Based Learning (PBL).

c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

1. Media, Alat dan Sumber Belajar

a. Power point presentation.

b. LCD, white board, spidol.

c. Bahan bacaan/pustaka.

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi

Kegiatan Pembelajaran Alokasi Waktu

Pendahuluan Dosen mengkondisinkan

mahasiswa untuk siap

menerima perkuliahan,

menemukan perilaku awal

mahasiswa, menjelaskan RPS,

RPP, Silabus, dan

Kontrak Perkuliahan. Memberikan

ulasan umum isi

Block Book dan materi

Memfasilitasi pembentukan

kelompok diskusi (FGD)

untuk tutorial.

20 Menit

Kegiatan Inti Dosen melalui media

Pembelajaran LCD

Mendeskripsikan Alur Acara

Istimewa dan Proses Jawab

Menjawab. Mahasiswa dengan

rasa ingin tahu, tangung jawab

dan jujur menganalisis,

60 Menit

101

mendeskripsikan dalam bentuk

catatan serta menambahkan

informasi pelengkap dari sumber.

Mahasiswa secara mandiri

dengan cerdas dan tanggun jawab

menyajikan secara lisan mengenai

hasil analisis terkait dengan Alur

Acara Istimewa dan Proses Jawab

Menjawab.

Penutup Dosen bersama mahasiswa

secara bertanggung

jawab dan logis menyimpulkan

proses dan hasil

pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan,

evaluasi, dan tugas

untuk mempelajari lebih

mendalam Pemanggilan Secara

Patut, Acara Istimewa, Mediasi

Litigasi, Perubahan dan

Pencabutan Gugatan Jawaban

Gugatan, Replik Duplik, Mengikut

sertakan Pihak Ketiga Dalam

Proses untuk memahami materi

dalam tutorial pada pertemuan

berikutnya.

10 Menit

13. Pedoman Penskoran

a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.

b. Skor 0, 5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan indicator

jawaban dosen.

c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan indikator yang

dibuat oleh dosen.

13. Tugas

a. Apa akibat hokum bila tidak dilakukan pemanggilan secara patut?

b. Apakah setiap putusan verstek mengalahkan tergugat?

102

c. Apa Tujuan diadakan Mediasi?

d. Benarkah Mediasi Litigasi dapat memperlancar jalur keadilan?

e. Sebutkan tahapan-tahapan pemeriksaan perkara dlam sidang?

f. Apa saja yang harus dimuat dalam jawaban gugatan?

g. Apa yang dimaksud dengan eksepsi?

h. Apa persyaratan diajukan gugatan Reconvensi?

i. Apa perbedaan Antara intervensi dengan bentuk-bentuk masuknya pihak

ketiga yang lain?

14. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang dinilai 3 2 1 Keterangan

1 Kejujuran

2 Tanggung Jawab

3 Disiplin

4 Kreatifitas

5 Berkomunikasi

15. Sumber Belajar

a. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,

Yogyakarta.

b. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur

Bandung, Bandung.

c. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya

Paramita, Jakarta.

d. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada

Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.

e. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung.

f. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Umum, Pustaka

g. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.

h. M Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Garfika, Jakarta.

Pengampu Mata Kuliah

103

RPP PERTEMUAN KE VIII

UJIAN TENGAH SEMESTER

104

RPP PERTEMUAN KE IX, X, dan XI

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum

2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata

3. Kode MK : BNI5338

4. Semester : VI (Enam)

5. SKS : 3 SKS

6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata

7. Deskripsi Mata Kuliah :

Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan kesembilan adalah

mahasiswa mampu menguasai Pembuktian dan Putusan, jujur dan demokratis

terampil mengemukakan pandangannya dalam diskusi.

Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan kesepuluh dan

kesebelas adalah mahasiswa mampu mendiskusikan mengenai Pengertian,

Beban Pembuktian dan Alat-alat Bukti Pengertian putusan, Sistematika Putusan,

Asas-asas Putusan, Jenis-jenis Putusan dan Kekuatan Putusan, mahasiswa

diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis terampil

mengemukakan pandangannya dalam tutorial.

8. Indikator Pencapaian

a. Mahasiswa mampu menguraikan mengenai Pembuktian dan Putusan.

b. Mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu

mendiskusikan Pengertian, Beban Pembuktian dan Alat-alat Bukti

Pengertian putusan, Sistematika Putusan, Asas-asas Putusan, Jenis-jenis

Putusan dan Kekuatan Putusan.

9. Materi Pokok

a. Pengertian,

b. Beban Pembuktian

c. Alat-alat Bukti P

d. engertian putusan

e. Sistematika Putusan

f. Asas-asas Putusan

g. Jenis-jenis Putusan

h. Kekuatan Putusan

105

10. Metode Pembelajaran

a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).

b. Metode: Problem Based Learning (PBL).

c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

11. Media, Alat dan Sumber Belajar

a. Power point presentation.

b. LCD, white board, spidol.

c. Bahan bacaan/pustaka.

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi

Kegiatan Pembelajaran Alokasi Waktu

Pendahuluan Dosen mengkondisinkan

mahasiswa untuk siap

menerima perkuliahan,

menemukan perilaku awal

mahasiswa, menjelaskan RPS,

RPP, Silabus, dan

Kontrak Perkuliahan. Memberikan

ulasan umum isi

Block Book dan materi

Pembuktian dan Putusan

Memfasilitasi pembentukan

kelompok diskusi (FGD)

untuk tutorial.

20 Menit

Kegiatan Inti Dosen melalui media

pembelajaran LCD

Mendeskripsikan mengenai

ruanglingkup Pembuktian dan

Putusan.

Mahasiswa dengan rasa ingin

tahu, tangung jawab

dan jujur menganalisis,

mendeskripsikan dalam

bentuk catatan serta

60 Menit

106

menambahkan informasi

pelengkap dari sumber.

Mahasiswa secara mandiri

dengan cerdas dan

tanggun jawab menyajikan secara

lisan mengenai

hasil analisis terkait dengan

Pengertian, Beban Pembuktian

dan Alat-alat Bukti Pengertian

putusan, Sistematika Putusan,

Asas-asas Putusan, Jenis-jenis

Putusan dan Kekuatan Putusan.

Penutup Dosen bersama mahasiswa

secara bertanggung

jawab dan logis menyimpulkan

proses dan hasil

pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan,

evaluasi, dan tugas

untuk mempelajari lebih

mendalam Pengertian, Beban

Pembuktian dan Alat-alat Bukti

Pengertian putusan, Sistematika

Putusan, Asas-asas Putusan,

Jenis-jenis Putusan dan Kekuatan

Putusan untuk memahami materi

dalam tutorial pada pertemuan

berikutnya.

10 Menit

13. Pedoman Penskoran

a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.

b. Skor 0, 5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan indicator

jawaban dosen.

c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan indikator yang

dibuat oleh dosen.

107

14. Tugas

a. Apa perbedaan alat bukti yang diatur dalam HIR/R.Bg dengan alat bukti yang

diatur dalam KUHPerdata?

b. Apa Hubungan Alat Bukti dengan Posita Gugatan?

c. Apa perbedaan sumpah tambahan dengan sumpah putusan?

d. Mungkinkah apa yang diucapkan oleh hakim berbeda dengan apa yang

tertulis dalam vonis?

e. Apa yang dimaksud dengan kekuatan mengikat dari putusan pengadilan?

f. Apa yang dimaksud dengan eksepsi?

g. Apa yang harus dilakukan oleh hakim sebelum menjatuhkan putusan?

15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang dinilai 3 2 1 Keterangan

1 Kejujuran

2 Tanggung Jawab

3 Disiplin

4 Kreatifitas

5 Berkomunikasi

16. Sumber Belajar

a. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,

Yogyakarta.

b. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur

Bandung, Bandung.

c. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya

Paramita, Jakarta.

d. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada

Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.

e. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung.

f. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Umum, Pustaka

g. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.

Pengampu Mata Kuliah

108

RPP PERTEMUAN KE XII, XIII, XIV, dan XV

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum

2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha

Negara

3. Kode MK : BNI6349

4. Semester : VI (Enam)

5. SKS : 3 SKS

6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Administrasi Negara

7. Deskripsi Mata Kuliah :

Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan keduabelas adalah

mahasiswa mampu menguasai Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan. Selain

itu, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis

terampil mengemukakan pandangannya dalam diskusi.

Capaian pembelajaran yang diharapkan dari pertemuan ketigabelas,

Keempatbelas dan kelimabelas adalah mahasiswa mampu mendiskusikan

mengenai Upaya Hukum Biasa, Upaya Hukum Luar Biasa Pengertian, Dasar

Hukum, Asas-asas, Jenis-jenis, Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi dan

Pelaksanaan Putusan. Selain itu, mahasiswa diharapkan dengan rasa tanggung

jawab, jujur dan demokratis terampil mengemukakan pandangannya dalam tutorial.

8. Indikator Pencapaian

a. Mahasiswa mampu menguraikan mengenai Upaya Hukum dan Pelaksanaan

Putusan

b. Mahasiswa dengan rasa tanggung jawab, jujur dan demokratis mampu

mendiskusikan pengertian Upaya Hukum Biasa, Upaya Hukum Luar Biasa

Pengertian, Dasar Hukum, Asas-asas, Jenis-jenis, Perlawanan Terhadap

Sita Eksekusi dan Pelaksanaan Putusan

9. Materi Pokok

a. Putusan

b. Upaya Hukum dan

c. Eksekusi.

10. Metode Pembelajaran

a. Pendekatan: Stundent Centered Learning (SCL).

b. Metode: Problem Based Learning (PBL).

c. Tenik: Ceramahan, diskusi, presentasi, dan tanya jawab.

109

11. Media, Alat dan Sumber Belajar

a. Power point presentation.

b. LCD, white board, spidol.

c. Bahan bacaan/pustaka.

12. Tahapan Kegiatan Pembelajaran

Kegiatan Deskripsi

Kegiatan Pembelajaran Alokasi Waktu

Pendahuluan Dosen mengkondisinkan

mahasiswa untuk siap

menerima perkuliahan,

menemukan perilaku awal

mahasiswa, menjelaskan RPS,

RPP, Silabus, dan

Kontrak Perkuliahan. Memberikan

ulasan umum isi

Block Book dan materi Putusan,

Upaya Hukum, dan Eksekusi.

Memfasilitasi pembentukan

kelompok diskusi (FGD) untuk

tutorial.

20 Menit

Kegiatan Inti Dosen melalui media

pembelajaran LCD

mendeskripsikan mengenai

ruanglingkup Dasar-dasar Hukum

Acara dan Praktek Perdadilan

Perdata.

Mahasiswa dengan rasa ingin

tahu, tangung jawab dan jujur

menganalisis, mendeskripsikan

dalam bentuk catatan serta

enambahkan informasi pelengkap

dari sumber.

60 Menit

110

Mahasiswa secara mandiri

dengan cerdas dan

tanggun jawab menyajikan secara

lisan mengenai hasil analisis

terkait dengan pengertian

Upaya Hukum Biasa, Upaya

Hukum Luar Biasa Pengertian,

Dasar Hukum, Asas-asas, Jenis-

jenis, Perlawanan Terhadap Sita

Eksekusi dan Pelaksanaan

Putusan

Penutup Dosen bersama mahasiswa

secara bertanggung jawab dan

logis menyimpulkan proses dan

hasil pembelajaran.

Dosen memberikan penguatan,

evaluasi, dan tugas mempelajari

lebih mendalam Upaya Hukum

Biasa, Upaya Hukum Luar Biasa

Pengertian, Dasar Hukum, Asas-

asas, Jenis-jenis, Perlawanan

Terhadap Sita Eksekusi dan

Pelaksanaan Putusan untuk

memahami materi dalam tutorial

pada pertemuan berikutnya.

10 Menit

13. Pedoman Penskoran

a. Skor 0: Jika mahasiswa tidak menjawab.

b. Skor 0, 5: Jika jawaban mahasiswa sebagian yang sesuai dengan indicator

jawaban dosen.

c. Skor 1: Jika jawaban mahasiswa semuanya sesuai dengan indikator yang

dibuat oleh dosen.

14. Tugas

a. Apa sebenarnya dimaksud dengan novum dalam peninjauan kembali?

b. Kenapa upaya hokum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi?

c. Kenapa perlawanan terhadap sita eksekusi tidak menghentikan eksekusi?

d. Bagaimana prosedur dari pelaksanaan eksekusi?

111

15. Evaluasi Soft Skills

No Aspek yang dinilai 3 2 1 Keterangan

1 Kejujuran

2 Tanggung Jawab

3 Disiplin

4 Kreatifitas

5 Berkomunikasi

15. Sumber Belajar

a. Sudikno Mertokususmo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty,

Yogyakarta.

b. Wirjono Projodikoro, 1975, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur

Bandung, Bandung.

c. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya

Paramita, Jakarta.

d. Lilik Mulyadi, 1996, Tuntutan Provisionil dalam Hukum Acara Perdata pada

Praktik Peradilan, Jambatan, Jakarta.

e. Abdulkadir Muhamad, 2000, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT Citra

Aditya Bakti, Bandung.

f. Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan

Umum, Pustaka

g. Chidir Ali, 1987, Responsi Hukum Acara Perdata, CV Armico, Bandung.

Pengampu Mata Kuliah

112

LAMPIRAN III: KONTRAK PERKULIAHAN

1. Fakultas/Program Studi : Hukum/ Sarjana Ilmu Hukum

2. Mata Kuliah (MK) : Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata

3. Kode MK : BNI5338

4. Semester : VI (Enam)

5. SKS : 3 SKS

6. Mata Kuliah Prasyarat : Hukum Perdata

7. Deskripsi Mata Kuliah :

Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata merupakan mata kuliah wajib. Karena

itu, mata kuliah ini bermanfaat bagi mahasiswa yaitu:

a. Dapat memahami kaidah berkehidupan bermasyarakat sebagai warga

Negara dalam hubungan dengan sesama warga negara dan dengan

Negara;

b. Dapat memahami seluk-beluk istilah, pengertian dan asas-asas Hukum

Acara dan Praktik Peradilan Perdata; dan

c. Kemampuan untuk menyelesaikan kasus-kasus yang terkait dengan

Hukum Acara dan Praktik Peradilan Perdata yang timbul dalam kehidupan

bermasyarakat.

8. Diskripsi Perkuliahan

Mata kuliah Hukum Acara dan Praktek Peradilan perdata merupakan mata

kuliah Wajib Nasional, yang pada hakekatnya merupakan pendalaman dari salah

satu substansi yang terdapat dalam mata kuliah Hukum Acara, yakni mengenai

Peradilan Perdata. Karena itu bahasan dalam mata kuliah ini meliputi berbagai

istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata,

sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah pengaturan Hukum Acara

dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan Persiapan Sebelum Sidang;

Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa; Pembuktian, Putusan; Upaya

Hukum; Eksekusi.

Dalam mata kuliah ini berusaha untuk menghubungkan konsep-konsep

hukum yang ada dibidang acara secara teori dengan realitas yang terjadi di dalam

masyarakat. Karena itu, dalam perkuliahan dipergunakan berbagai contoh kasus

yang terjadi di dalam masyarakat.

9. Capaian Pembelajaran:

113

Pada akhir perkuliahan mata kuliah ini mahasiswa menguasai pengetahuan

mengenai seluk-beluk istilah dan pengertian-pengertian Hukum Acara dan Praktek

Peradilan Perdata, sasa-asas Acara dan Praktek Peradilan Perdata, sejarah

pengaturan Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata di Indonesia; Tindakan

Persiapan Sebelum Sidang; Pemeriksaan Dalam Sidang; Acara Istimewa;

Pembuktian, Putusan; Upaya Hukum; Eksekusi dan mengembangkan sikap

religius, rasa ingin tahu, kritis, logis dalam menyelesaikan masalah-masalah

kewarganegaraan serta peduli terhadap lingkungan masyarakat.

10. Organisasi Materi

Materi kuliah pada Hukum Hukum Acara dan Praktek Peradilan Perdata

terdiri dari beberapa pokok bahasan serta sub pokok bahasan, yang dapat

digambarkan sebagai berikut :

Pendahuluan:

Pengertian hukum Acara Perdata

Sumber-sumber hukum Acara Perdata

Asas- Asas Hukum Acara Perdata

Susunan Badan Kekuasaan Peradilan

Pejabat di Lingkungan Peradilan

Tindakan Sebelum dan Selama Sidang

Tuntutan Hak

Isi Gugatan dan Dasar Hukumnya

Gugatan Lisan dan Gugatan Tertulis

Penggabungan/ Komulatif

Upaya untuk Menjamin Hak

Kompetensi Peradilan

Gugatan Perwakilan

Proses Acara Istimewa

Pemanggilan Secara Patut

Acara Istimewa

Mediasi Litigasi

Perubahan dan Pencabutan Gugatan

Proses Jawab Menjawab

Jawaban Gugatan

Replik Duplik

Mengikut sertakan Pihak Ketiga Dalam Proses

Pembuktian

Pengertian

Beban Pembuktian

Alat-alat Bukti

114

Putusan

Pengertian putusan

Sistematika Putusan

Asas-asas Putusan

Jenis-jenis Putusan

Kekuatan Putusan

Upaya Hukum

Upaya Hukum Biasa

Upaya Hukum Luar Biasa

Pelaksanaan Putusan

Pengertian

Dasar Hukum

Asas-asas

Jenis-jenis

Perlawanan Terhadap Sita Eksekusi

Pelaksanaan Putusan

11. Strategi Perkuliahan

Metode perkuliahan yang dipakai adalah dengan ceramah, diskusi, Tanya

jawab dan tugas terstruktur. Ceramah diberikan pada awal kuliah untuk

memberikan gambaran tentang materi yang akan dibahas. Tanya jawab dilakukan

pada saat perkuliahan berlangsung baik pada awal kuliah, pertengahan maupun

akhir kuliah. Sedangkan diskusi dilakukan untuk topik-topik tertentu yang dilakukan

dalam rangka menemukan pemecahan terhadap suatu masalah. Penilaian juga

dilakukan melalui pemberian tugas-tugas selama masa perkuliahan sebelum dan

dan setelah UTS. Dengan demikan, keseluruhan tatap muka pertemuan untuk

perkuliahan, tutorial dan ujian-ujian berjumlah 15 kali. Penilaian meliputi aspek

hard skills dan soft skills.

12. Tugas-tugas

Tugas-tugas dalam perkuliahan dalam satu semester terdiri dari:

a. Tugas-tugas latihan yang terdapat pada setiap sesi penutup

kegiatan pembelajaran seagai media evaluasi atas capaian

pembelajaran atas satu bahan kajian; dan

b. Tugas-tugas yang terdapat pada setiap kegiatan tutorial yang

divisualisasi dengan kasus-kasus untuk mencapai capaian

kemampuan akhir yang direncanakan pada setiap pertemuan.

115

13. Kriteria Penilaian

Penilaian dilakukan sesuai dengan ketentuan yang terdapat Pedoman

Pendidkan Fakultas Hukum Unud tahun 2013.

14. Jadwal Perkliahan

Jadwal perkuliahan sudah ditentukan di dalam Block Book.

15. Tata Tertib Perkuliahan

a. Tata tertib perkuliahan sesuai dengan Pedoman Etika Dosen, Pegawai

(Administrasi) dan Mahasiswa yang ditetapkan dalam Buku Pedoman

Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana Tahun 2013, Bab VII,

poin 4 huruf c.

b. Batas toleransi keterlambatan yaitu 15 menit. Apabila dosen dan

mahasiswa terlambat daripada batas toleransi, maka akan dikenakan

sanksi, kecuali ada pemberitahuan atas keterlambatan tersebut.

Koordinator Kelas, Dosen Pengampu

…………………………………

…………………………………

Mengetahui

Ketua Bagian Acara,

………………………………………..