21
LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA RADIODIAGNOSTIK “FAKTOR GEOMETRI (DISTORSI BENTUK)” Disusun Guna Memenuhi Tugas Laporan Praktek Fisika Radiodiagnostik yang Diampu oleh Sri Mulyati, S.Si, MT Disusun oleh : Alit Nur Cahyani (P17430113051) Aziza Ayu Lestari (P17430113054) Dwi Yulian Purwandani (P17430113057) Hanik Neily Rizqiyah (P17430113060) Indah Nur Azizah (P17430113064) Lailatul Badriyah (P17430113069) Muhammad Sofyan Mubarok (P17430113073) Nur Wahid Abdurrohman (P17430113077) Sani Nafi’a (P17430113082) Zulfa Sofiana (P17430113087) PRODI D-III TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI SEMARANGJURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG 2015

Faktor Geometri - Distorsi Bentuk

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM FISIKA RADIODIAGNOSTIK “FAKTOR GEOMETRI

(DISTORSI BENTUK)” Disusun Guna Memenuhi Tugas Laporan Praktek

Fisika Radiodiagnostik yang Diampu oleh Sri Mulyati, S.Si, MT

Disusun oleh :

Alit Nur Cahyani (P17430113051)

Aziza Ayu Lestari (P17430113054)

Dwi Yulian Purwandani (P17430113057)

Hanik Neily Rizqiyah (P17430113060)

Indah Nur Azizah (P17430113064)

Lailatul Badriyah (P17430113069)

Muhammad Sofyan Mubarok (P17430113073)

Nur Wahid Abdurrohman (P17430113077)

Sani Nafi’a (P17430113082)

Zulfa Sofiana (P17430113087)

PRODI D-III TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI

SEMARANGJURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN

RADIOTERAPI POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

2015

I. Tujuan

Untuk mengetahui pengaruh faktor geometric terhadap ukuran dan bentuk

gambaran

II. Landasan Teori

Sebagai tenaga paramedis, seorang radiografer hendaknya dapat

menyajikan gambar radiografi (foto rontgen) yang berkualitas, terutama saat

pelayanan di rumah sakit - rumah sakit, atau laboratorium klinik swasta yang

sudah banyak tersebar di masyarakat.Gambaran radiografi merupakan hal

penting dalam menunjang praktek radiografer sehari-hari.Setiap radiografer

pasti menginginkan gambar radiografi atau foto rontgen dengan kualitas yang

semaksimal mungkin dalam rangka menegakkan diagnosis.

Ada beberapa pengertian dari kualitas radiograf yaitu kemampuan radiograf

dalam memberikan informasi yang optimal dari obyek yang diperiksa.(Curry,

1984) atau kesanggupan radiograf untuk membentuk pola bayangan nyata

sesuai besarnya transmisi sinar-X yang mengenai film setelah menembus

obyek (Chesney, 1981).

Citra-radiografi merupakan bentuk bayangan; citra yang diperoleh sebagai

akibat dari sinar x melalui tubuh, mirip dengan bayangan pada tembok bila

melewatkan sinar matahari pada tubuh. Bayangan yang membentuk citra

radiografi haruslah dengan bentuk yang jelas dan tajam, dimana tingkat

pengaburannya berkurang. Pada praktek bentuk bayangan sering diikuti oleh

pengaburan, dimana tingkat pengaburan itu disebabkan oleh beberapa hal,

seperti :

a. Faktor Geometrik; yang berhubungan dengan pembentukan citra (misal :

ukuran, jarak)

b. Faktor Goyang; yang berhubungan dengan penderita (pasien) dan alat

c. Faktor Fotografi atau intrinsik; yang berhubungan dengan bahan

perekam citra.

Ketajaman Radiografi dimaksudkan untuk membedakan detail dari

struktur yang dapat terlihat pada citra radiografi. Karena itu, semu faktor

mengatur kontras (perbedaan densitas) juga mempengaruhi ketajaman. Faktor

ini bersifat obyektif karena dapat diukur. Ketajaman dapatr juga dipengaruhi

oleh faktor yang tidak obyektif yang disebut faktor subyektif, sangat

bervariasi tidak dapat diukur, termasuk hal yang berada di luar. Citra seperti

kondisi dari “viewer” boleh dikatakan bahwa ketajaman yang dimaksud

adalah kualitas visual yang lebih bersifat subyektif.

Faktor yang Mempengaruhi Ketajaman

a. Faktor Citra Radiografi, meliputi :

Ketajaman dan kontras obyektif

Tingakat eksposi

Bila citra radiografi berbatas/berbentuk jelas, benda densitas masih

dapat diamati, walau tingkat densitasnya sedikit (ketajaman baik walau

dengan kontras yang sangat rendah). Jika citra radiografi dengan perbedaan

densitas tinggi, struktur masih dapat terlihat jelas walau dengan batas yang

tidak begitu tegas (ketajaman masih dapat dilihat, walaupun detail struktur

tidak optimal).

Pada praktek radiografi, hal itu dapat kita temukan pada x-foto

abdomen untuk melihat struktur dari janin, terlihat adanya perbedaan densitas

yang kecil, namun bentuk janin terlihat jelas. Juga pada x-foto abdomen anak

kecil tertelan uang logam terlihat adanya perbedaan densitas yang tinggi,

ketajaman uang logam masih terlihat walau bentuknya tidak tegas (uang

logam bergerak). Dengan demikian, batas yang tegas dari citra radiografi

tidak hanya tergantung oleh ketajaman/kontras tetapi dari keduanya. Tingkat

eksposi signifikan merubah kontras yang terlihat pada citra radiografi. Bila

terjadi overexposure maka densitas pada seluruh bidang film juga meningkat,

tetapi “kontras obyektif” (overexposure tidak berlebihan) tidak berubah,

karena perbedaan melewatkan cahaya dari seluruh bidang x-foto tetap ada dan

dapat diukur. Karena densitas yang demikian besar, mata sudah tidak dapat

lagi melihat, karena tidak ada lagi cahaya dari viewer yang dapat melaluinya.

Oleh karena itu pemirsa mengatakan bahwa kontras visual berkurang karena

overexposure, jadi kontras visual ini bersifat subyektif tidak dapat diukur.

Pada underex posure dimana densitasnya sangat minim menyebabkan kontras

obyektif dan subyektif menjadi kurang.

b. Faktor Viewer/Illuiminator (alat baca x-foto)

Hubungannya terhadap detail (devinition) adalah dengan contras

subyektif faktor viewer dapat dilihat dari segi:

Yang berhubungan dengan kualitas penerang

Penerangan lampu viewer dapat dengan berbagai warna,

intensitas, dan homogenitas; diluminator yang moderen denfgan

dilengkapi dengan beberapa lampu TL yang memancarkan cahaya

biru cerah dan homogen, dapat meningkatkan nilai kontras

“kontras-fisual”. X-foto yang overexposure dengan menaikan

intensitas penerangan illuminator akan meningkatkan kontras

subyektif, sedangkan yang underexposure intensitas cahaya

diturunkan hingga kontras visual dapat tercapai. Pada umumnya

viewer dilengkapi dengan alat pengatur terangnya cahaya, sesuai

dengan keadaan citra radiografi yang sedang ditayangkan. Ruang

baca x-foto sebaiknya ruangan redup (watt rendah) sehingga

cahaya yang keluar dari viewer dapat diamati dengan baik.

Yang berhubungan dengan penglihatan pemirsa

Kontras citra radiografi oleh mata kelihatnaya dipengartuhi oleh

tingkat penerangan yang diadaptasi, dan oleh silaunya cahaya

viewer. Mata yang beradaptasi dengan cahaya terang tidak dapat

mengamati perbedaan densitas pada tingkat gelap, dan detail. Juga

bila viewer dengan x-foto densitas sedikit, melewatkan cahaya

yang menyilaukan, menyebabkan kegagalan untuk melihat detail

struktur. Untuk mencegah cahaya yang menyilaukan, viewer

dilengkapi dengan semacam diagfragma yang dapat membatasi

luas penerangan. Spot light yang berada di luar viewer gunanya

untuk mengamati bagian tertentu dari film yang densitasnya

gelap.

Kontras Radiografi

Kontras radiografi memiliki unsur yang berbeda :

1. Kontras Objektif, perbedaan kehitaman ada seluruh bagian citra yang dapat

dilihat & dinyatakan dengan angka.

2. Kontras Subjektif, yaitu perbedaan terang di antara bagian film, jadi tidak

dapat diukur, tergantung dari pemirsa/pengamat

Distorsi

Merupakan perbandingan yang salah dari struktur yang direkam, bentuk

serta hubungan dengan struktur lainnya kurang betul. Hasil yang benar

diperoleh bila garis tentgah struktur yang akan di x-foto berada sejajar

dengan film yang tegak lurus dengan pusat sinar-x. Hal ini sering terlihat

pada x-ray foto gigi, bila hal ini terjadi, maka x-ray foto gigi akan terlihat

bertumpuk satu sama lain, dapat lebih panjang atau lebih pendek.

Pembesaran tidak sama/tidak rata dari berbagai bagian dari objek yang

sama yang disebut distorsi.

Gambar.20-21 Obyek yang tebal lebih banyak mengalami distorsi daripada obyek yang tipis

Distorsi dapat mengganggu diagnosis. distorsi gambar disebabkan oleh :

ketebalan objek, posisi objek dan objek bentuk.

Ketebalan Obyek (Object Thickness)

Pada obyek yg tebal OID untuk setiap bagian tidak sama

magnifikasi setiap bagian obyek tidak sama Obyek yang tebal lebih

banyak mengalami distorsi dibanding obyek yg tipis.

1. Faktor Ketebalan

Obyek dengan diameter yang sama tetapi memiliki ketebalan yang

berbeda akan menghasilkan image yang berbeda. Obyek yang sejajar

film, gambaran yang diperbesar akan berbentuk sama dg obyek pada film

(berlaku untuk sinar sentra / oblik). Ukuran & bentuk bayangan dr bola

yang sama besar yang sejajar film tergantung letak lateralnya.

Gambar .20-22 ketebalan objek mempengaruhi distorsi.Radiograph dari koin atau bola muncul sebagai lingkaran jika objek berada di sumbu pusat,Ketika

lateralis untuk poros tengah,koin terlihat sebagai lingkaran dan bola terlihat sebagai elips.

2. Posisi Obyek terhadap Sinar Sentral

Ukuran dan bentuk bayangan dr bola yang sama besar yang sejajar

dengan film tergantung letak lateralnya.

3. Distorsi Karena Bentuk Obyek

Distorsi akan semakin nyata pada obyek-obyek yang memiliki bentuk

yang tidak beraturan.

Gambar 20-23 benda-benda yang tidak teratur seperti struktur anatomi,Atau barang-barang ini dapat menyebabkan cukup distorsi ketika radiographed dari

poros tengah.

Distorsi Karena Posisi

Gambar 20-24 ketika obyek ukuran yang sama ditempatkan pada jarak yang berbeda dari IR,distorsi spasial terjadi.

Dua obyek yang sama dan sejajar film, tetapi jarak terhadap film tidak

sama pembesaran tidak sama.

Ukuran dan bentuk bayangan dari obyek miring tergantung dr posisi

lateralnya dalam berkas sinar X.

Bentuk dan ukuran bayangan tergantung dari sudut inklinasi juga sinar

yang dipakai sentral/oblik.

Distorsi berkurang karena :

– FFD

– OFD

– Sinar obyek dan film

Gambar. 20-26 lateral cenderung objek diposisikan untuk sinar sumbu pusat Dapat sangat terganggu oleh elongasi atau foreshortening.

Cara Untuk Mengurangi Distorsi

Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk mengurani efek

daripada distorsi ini, antara lain :

Meminimalkan jarak film-obyek / FOD berarti mengurangi resiko

ketidaktajaman dan mengurangi perbesaran citra/bayangan yang

dibentuk pada film.

Pastikan methode proyeksi penyinaran yang diterapkan pada pasien

tidak mengakibatkan (objek) dalam hal ini pasien merasa kurang

nyaman sehinngga pasien cenderung bergerak dan akan

mengakibatkan ada jarak/celah antara film dengan objek sehingga

efek magnifikasi (pembesaran) semakin besar.

Sebelum melakukan eksposi, pastikan garis tengah struktur sejajar

film tegak lurus dengan pusat sinar-x (Central Ray/CR).

III. Alat dan Bahan

1. Koin

2. Bola Pingpong

3. Spon

4. Meteran

5. Busur Derajat

6. Kaset dan film ukuran 24 x 30 cm

7. Alat Pencatat

IV. Prosedur

1. Menyusun koin berjaajar pada jarak 10 cm diatas kaset

2. Melakukan eksposi dengan FFD 100 cm, kV = 40, mA = 300, s = 0,02

3. Memproses film

4. Mengamati gambaran yang terjadi

5. Mengulangi langka 1-3 dengan obyek bola pingpong, kemudian

mengamati gambaran yang terjadi

6. Mengatur koin pada jarak 10 cm sejajar diatas film

7. Mengulangi langkah di atas dengan titik bidik pada koin yang berada

ditepi

8. Mengatur koin dengan penyudutan tertentu (30°, 45°, 90°) diatas film

melalukan langkah 2-4

9. Mengatur koin dnengan penyudutan tertentu (30°, 45°, 90°) film dengan

arah sudut berlawanan kemudian melakukan langkah 2-4

10. Mengulangi percobaan diatas dengan sinar penyudutan

11. Menganalisis hasil praktikum

V. Hasil

1. Sudut

FFD : 100 cm

Diameter koin : 2,7 cm

No Sudut I II III Rata-rata

1 90° 0,55 cm 0,5 cm 0,5 cm 0,5167 cm

2 45° 2,2 cm 2,2 cm 2,1 cm 2,167 cm

3 30° 2,7 cm 2,7 cm 2,7 cm 2,7 cm

No Sudut I II III Rata-rata

1 90° 0,45 cm 0,4 cm 0,4 cm 0, 4167 cm

2 45° 2,2 cm 2,2 cm 2,1 cm 2,1667 cm

3 30° 2,55 cm 2,6 cm 2,5 cm 2,55 cm

2. Koin

FFD : 100 cm

Diameter koin : 2,7 cm

Ket :

A = CP di Tengah

B = CP di Tepi

a. Central Point di Tengah

No I II III Rata-rata

1 2,7 cm 2,75 cm 2,75 cm 2.733 cm

2 2,7 cm 2,75 cm 2,7 cm 2,717 cm

3 2,75 cm 2,7 cm 2,75 cm 2.733 cm

b. Central Point di Tepi

No I II III Rata-rata

1 2,75 cm 2,7 cm 2,75 cm 2.75 cm

2 2,7 cm 2,7 cm 2,75 cm 2.717 cm

3 2,7 cm 2,7 cm 2,7 cm 2,7 cm

3. Bola Pingpong

Ket :

A = CP di Tengah

B = CP di Tepi

a. Central Point di Tengah

No I II III Rata-rata

1 4,1 cm 4,1 cm 4,05 cm 4,0833 cm

2 4,05 cm 4,1 cm 4,05 cm 4.0667 cm

3 4,05 cm 4,1 cm 4,1 cm 4,0833 cm

b. Central Point di Tepi

No I II III Rata-rata

1 4,1 cm 4,1 cm 4,1 cm 4,1 cm

2 4,05 cm 4,1 cm 4,1 cm 4,0833 cm

3 4,05 cm 4 cm 4,1 cm 4,05 cm

VI. Pembahasan

1. Radiograf 1 : Penyudutan

Pada radiograf pertama dilakukan eksposi sebanyak dua kali. Untuk

eksposi yang pertama pada tiga obyek koin yang berjajar dengan

penyudutan sebesar 30°, 45°, 90°. Berdasarkan pengukuran gambaran

radiograf pada koin didapatkan hasil :

No Sudut I II III Rata-rata

1 30° 2,7 cm 2,7 cm 2,7 cm 2,7 cm

2 45° 2,2 cm 2,2 cm 2,1 cm 2,167 cm

3 90° 0,55 cm 0,5 cm 0,5 cm 0,5167 cm

Sedangkan pada eksposi kedua, juga dilakukan dengan cara yang

sama pada eksposi pertama, akan tetapi penyudutan eksposi kedua dibuat

berlawanan arah dengan eksposi pertama, sehingga didapatkan hasil

sebagai berikut :

No Sudut I II III Rata-rata

2 30° 2,55 cm 2,6 cm 2,5 cm 2,55 cm

2 45° 2,2 cm 2,2 cm 2,1 cm 2,1667 cm

3 90° 0,45 cm 0,4 cm 0,4 cm 0, 4167 cm

Dari kedua data tersebut dapat disimpulkan bahwa koin mengalami

distorsi bentuk (foreshortening).Foreshortening disebabkan karena letak

objek yang tidak sejajar dengan film. Diketahui diameter koin

sebenarnya adalah 2,7 cm, akan tetapi hasil yang mengalami

pemendekan.

Pada eksposi pertama

a) Koin membentuk sudut 30°, pada radiograf didapat

pengukuran diameter 2,7 cm. Diameter pada radiograf ini sama

dengan diameter pada koin. Secara teori tidak sesuai, hal ini

mungkin disebabkan karena :

1) Pengaturan sudut tidak tepat 30°

2) Akibat dari berkas sinar X yang divergent, dimana letak

koin ini tidak berada pada central point.

3) Kesalahan alat ukur

b) Koin membentuk sudut 45°, pada radiograf didapat

pengukuran diameter 2,167 cm. Diameter pada radiograf ini

kurang dari diameter koin. Sehingga koin ini dapat dikatakan

mengalami foreshortening.

c) Koin membentuk sudut 90°, pada radiograf didapat

pengukuran diameter 0,5167 cm. Diameter pada radiograf ini

kurang dari diameter koin 2,7 cm. Sehingga koin ini dapat

dikatakan mengalami foreshortening.

Pada eksposi kedua

a) Koin membentuk sudut 30°, pada radiograf didapat

pengukuran diameter 2,55 cm. Diameter pada radiograf ini

kurang dari diameter koin 2,7 cm. Sehingga koin ini dapat

dikatakan mengalami foreshortening.

b) Koin membentuk sudut 45°, pada radiograf didapat

pengukuran diameter 2,167 cm. Diameter pada radiograf ini

kurang dari diameter koin 2,7 cm. Sehingga koin ini dapat

dikatakan mengalami foreshortening.

c) Koin membentuk sudut 90°, pada radiograf didapat

pengukuran diameter 0,5167 cm. Diameter pada radiograf ini

kurang dari diameter koin 0,4167 cm. Sehingga koin ini dapat

dikatakan mengalami foreshortening.

Pada data diatas juga terdapat berbedaaan yang cukup mencolok

pada kedua eksposi pada koin yang membentuk sudut 30°. Pada eksposi

pertama pengukuran diameter pada radiograf 2,7 cm sedangkan pada

eksposi kedua pengukuran diameter pada radiograf 2,55 cm terdapat

perbedaan sekitar 0,15 cm. Dimungkinkan terjadi kesalahan pada

pengukuran eksposi pertama koin menyudut 30°, seperti penjelasan

diatas.

Sehingga secara garis besar, hasil yang didapat dari pengukuran

diameter radiograf pertama akan mengalami pembesaran yang tidak sama

untuk setiap bagiannya (distorsi). Itulah mengapa pengukuran diameter

pada radiograf menjadi berbeda-beda.Hal lainnya yang mempengaruhi

distorsi bentuk adalah penyudutan. Jika sudut yang digunakan semakin

kecil, seperti menggunakan sudut 30°, maka terjadinya foreshortening

akan semakin kecil. Sebaliknya jika sudut yang digunakan semakin

besar, seoerti menggunakan sudut 90°, maka terjadinya foreshortening

akan semakin besar.

2. Radiograf 2 : Koin

Pada radiograf 2 dilakukan eksposi sebanyak dua kali. Untuk eksposi

yang pertama pada tiga obyek koin pipih dan tipis yang ditempatkan

berjajar dengan titik bidik pada koin yang tengah dengan OFD 0 cm.

Berdasarkan pengukuran gambaran radiograf pada koin didapatkan hasil

sebagai berikut :

No I II III Rata-rata

1 2,7 cm 2,75 cm 2,75 cm 2.733 cm

2 2,7 cm 2,75 cm 2,7 cm 2,717 cm

3 2,75 cm 2,7 cm 2,75 cm 2.733 cm

Sedangkan pada eksposi kedua, juga dilakukan dengan cara yang

sama seperti pada eksposi yang pertama, akan tetapi titik bidik

padaeksposi kedua dibuat berada di koin yang ada ditepi, sehingga

didapatkan hasil sebagai berikut :

No I II III Rata-rata

1 2,75 cm 2,75 cm 2,75 cm 2.75 cm

2 2,7 cm 2,7 cm 2,75 cm 2.717 cm

3 2,7 cm 2,7 cm 2,7 cm 2,7 cm

Pada eksposi pertama:

a. Koin 1, pada radiograf didapat pengukuran diameter 2.733 cm.

Diameter pada radiograf ini lebih panjang dari diameter koin asli

2,7 cm.Dikarenakan terdapat jarak antara permukann kaset

dengan film.

b. Koin 2 (CP), pada radiograf didapat pengukuran diameter 2,717

cm. Diameter pada radiograf ini lebih besar dari diameter koin

asli.Dikarenakan terdapat jarak antara permukann kaset dengan

film.

c. Koin 3, pada radiograf didapat pengukuran diameter 2.733 cm.

Diameter pada radiograf ini lebih panjang dari diameter koin

sebenarnya.Dikarenakan terdapat jarak antara permukann kaset

dengan film.

Pada eksposi pertama obyek koin yang pipih dan tipis dengan

OFD 0 cm, arah sinar vertikal tegak lurus pada pertengahan objek

dan CP ditengah (koin 2) hasilnya tidak sesuai dengan teori,

seharusnya radiograf menghasilkan pembesaran ukuran yang sama

tiap koinnya namun dari data tersebut pembesaran ukuran tiap koin

berbeda-beda. Hal ini mungkin disebabkan karena kesalahan dalam

menggunakan alat ukur.

Pada eksposi kedua:

a. Koin 1. Pada radiograf didapat pengukuran diameter 2.75 cm.

Diameter pada radiograf ini lebih panjang dari diameter koin 2,7

cm. Sehingga koin ini dapat dikatakan mengalami elongasi.

b. Koin 2, pada radiograf didapat pengukuran diameter 2.717 cm.

Diameter pada radiograf ini lebih panjang dari diameter koin 2,7

cm. Sehingga koin ini dapat dikatakan mengalami elongasi.

c. Koin 3 (CP), pada radiograf didapat pengukuran diameter 2,7

cm. Diameter pada radiograf ini sama dengan diameter koin

sesungguhnya 2,7 cm.

Pada eksposi kedua dengan CP dipinggir (koin 3) ukuran koin

yang berada dipertengahan sinar (koin 3) tidak mengalami

perubahan ukuran sedangkan koin yang jaraknya 10 cm dari CP

(koin 2) mengalami distorsi berupa elongasi (pemanjangan) yaitu

2,717 cm, dan koin yang letaknya 20 cm dari CP (koin 1) mengalami

pemanjangan lebih besar dibandingkan koin 2 yaitu sebesar 2.75 cm.

Elongasi semakin besar disebabkan karena letak obyek/koin yang

semakin jauh dari pertengahan sinar (CP).

3. Radiograf 3 : Bola

Pada radiograf 3 dilakukan eksposi sebanyak dua kali. Untuk eksposi

yang pertamapada objek bola pingpong yang bulat dan tebal dengan OFD

= 0 cm (objek menempel dan sejajar dengan kaset), arah sinar juga vertikal

tegak lurus pada pertengahan objek dan CP pada bola 2. Berdasarkan

pengukuran gambaran radiograf pada bola pingpong didapatkan hasil

sebagai berikut :

No I II III Rata-rata

1 4,1 cm 4,1 cm 4,05 cm 4,0833 cm

2 4,05 cm 4,1 cm 4,05 cm 4.0667 cm

3 4,05 cm 4,1 cm 4,1 cm 4,0833 cm

Sedangkan pada eksposi kedua, juga dilakukan dengan cara yang

sama seperti pada eksposi yang pertama, akan tetapi titik bidik pada

eksposi kedua dibuat berada di bola yang ada ditepi, sehingga didapatkan

hasil sebagai berikut :

No I II III Rata-rata

1 4,1 cm 4,1 cm 4,1 cm 4,1 cm

2 4,05 cm 4,1 cm 4,1 cm 4,0833 cm

3 4,05 cm 4 cm 4,1 cm 4,05 cm

Pada eksposi pertama:

a. Bola1, pada radiograf didapat pengukuran diameter 4,0833 cm.

b. Bola2 (letak CP), pada radiograf didapat pengukuran diameter

4.0667 cm.

c. Bola3, pada radiograf didapat pengukuran diameter 4,0833 cm

Dari data hasil pengukuran radiograf diatas ukuran diameter

bola 1 dan bola 3 lebih panjang dari bola 2 yang letaknya

dipertengahan sinar. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi

distorsi berupa elongasi. Elongasi tersebut disebabkan karena objek

yang tebal dan posisi objek tersebut tidak tegak lurus dengan berkas

sinar-x.

Pada eksposi kedua:

a. Bola 1, pada radiograf didapat pengukuran diameter 4,1 cm.

b. Bola 2, pada radiograf didapat pengukuran diameter 4,0833 cm.

c. Bola 3 (letak CP), pada radiograf didapat pengukuran diameter

4,05 cm

Pada eksposi kedua pada obyek bola pingpong yang bulat dan

tebal dengan CP dipinggir (bola 3) dan OFD = 0 cm menghasilkan

ukuran radiograf yang menunjukkan bahwa terjadi distorsi berupa

elongasi(pemanjangan). Pengukuran radiograf menghasilkan ukuran

diameter bola1>bola2>bola3. Bola 3 yang merupakan letak CP dan

tegak lurus dengan sumbu sinar memiliki ukuran diameter terkecil

dibandingkan bola 2 yang letaknya 10 cm dari CP dan bola 3 yang

letaknya 20 cm dari CP. Berdasarkan data tersebut dapat

disimpulkan bahwa distorsi bentuk dapat dipicu oleh semakin lateral

posisi objek dari arah sumbu sinar.

VII. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Dari hasil percobaan diatas diketahui bahwa jika pada suatu pemeriksaan

objek yang diperiksa tidak sejajar dengan kaset maka akan mengalami

distorsi bentuk . Juga dapat diketahui bahwa semakin besar sudut objek

tersebut terhadap film maka semakin jelas distorsi bentuk yang terlihat

Dari hasil percobaan diatas dapat diketahui juga bahwa semakin tebal

objek yang diperiksa dan semakin objek tidak berada pada titik bidik

kolimasi maka semakin dimungkinkan terjadinya distorsi bentuk berupa

ukuran objek pada radiograf lebih panjang (elongasi) dan juga jika objek

semakin jauh dari titik bidik kolimasi maka elongasi yang terjadi semakin

besar dan lebih tampak.

Saran

Untuk menghindari terjadinya distorsi bentuk (foreshortening dan

elongasi) :

Memastikan bahwa objek yang akan diperiksa berada di pertengahan

kolimasi

Mengusahakan agar objek dengan kemiringan tertentu dapat sejajar

dengan film dengan tetap memperhatikan kenyamanan dan keamanan

pasien

VIII. Daftar Pustaka

Carlton, Richard R., Arlene M. Adler, 2001, Principles Of Radiographic

Imaging, An Art and A Science, Third Edition, Delmar, USA

Carrol, QB., 1985, “Principle of Radiographic Exposure Processing and

QualityContro”, Third Edition, USA, Charless C, Thomas Publisher.

Chember, H., 1983, “Pengantar Fisika Kesehatan” (diterjemahkan oleh

Achmad Toekiman), Semarang, IKIP Press.

Curry III, Thomas S., 1984, “ChristensensIntroduction to The Physics of

Diagnostic Radiology”, Third Edition, Lea and Eigher Philadelphia

Halmshaw, Ron and Kowol, Tom, ”Indikator Kualitas Gambar Radiografi

Industri”, Email: [email protected]

Waaler, D and Hoffman, B, ”Image Rejects/Retakes Radiographic

Challenges”