Upload
khangminh22
View
46
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 19
Gonggong Anjing Donald dan
Kegundahan Hati Paman Sam
2
Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 19
Gonggong Anjing Donald dan
Kegundahan Hati Paman Sam
All Rights Reserved Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Edisi Cetakan Pertama, Maret 2018
Illustrasi Sampul
eL torros
Kurator
Yudhi Herwibowo
Penyunting
Wijang J. Riyanto
Tata Letak dan Percetakan
eL torros
Penerbit
Taman Budaya Jawa Tengah 2018
3
Pengantar
Pasang surut perkembangan sastra dan dunianya (literasi) semakin nyata terlihat dari tahun ke tahun. Ada masa di mana sastra mendapat tempat yang layak di berbagai lembar atau rubrik budaya di media massa cetak, seperti koran dan majalah. Namun ada pula saatnya sastra seperti termarginalkan karena tidak sepenuhnya memperoleh fasilitasi dari media massa cetak sebagaimana tersebut. Dan kenyataannya, kita tetap bersyukur bahwa sastra tetap bertumbuh dan berkembang, salah satunya adalah dalam dunia kemenulisan genre prosa, khususnya cerita pendek (cerpen).
Barangkali ada sebagian penulis cerpen yang karya-karyanya belum sempat tersosialisasikan. Namun mereka tetap bergairah melakukan persetubuhan literer dengan terus berkarya secara konsisten. Konsistensi inilah kiranya yang layak dan perlu diapresiasi dengan memberikan wahana bagi pendokumentasian dan sosialisasi, berupa penerbitan buku antologi dan mendiskusikannya.
Mengawali tahun 2018 ini, Taman Budaya Jawa Tengah bekerja sama dengan Komunitas Diskusi Kecil Pawon Surakarta berupaya melakukan kerja literasi dengan menerbitkan sebuah buku seri dokumentasi sastra antologi cerpen Joglo 19 yang bertajuk “Gonggong Anjing Donald Dan Kegundahan Hati Paman Sam” (meminjam judul cerpen karya Y. Agusta Akhir). Buku ini menghimpun dua belas cerpen karya dua belas cerpenis yang telah dipilih melalui kerja kuratorial. Dan sebagai tindak lanjut dari penerbitan buku ini diselenggarakan pula pembacaan karya dan diskusi dengan menghadirkan seorang narasumber pemerhati sastra.
Harapannya, dari penyelenggaraan kegiatan ini (penerbitan, pembacaan, dan diskusi karya) dapat memberikan manfaat bagi para cerpenis yang terlibat maupun para apresiator dalam upaya peningkatan apresiasi masyarakat terhadap seni sastra, sekaligus menjadi bagian kerja dokumentatif agar jejak-jejak literasi tetap dapat dilacak di kemudian hari.
Akhir kata, terimakasih kepada semua yang telah terlibat dan memungkinkan helat sastra ini dapat terrealisasi.
Salam, Wijang J. Riyanto
Taman Budaya Jawa Tengah
4
Daftar Isi
Abednego Afriadi ~ Kereta dari Lagit ~ 5
Astuti Parengkuh ~ Pertautan Tiga Hati ~ 10
FaqihSulthan ~ Surat Pelukis ~ 20
Imamah Fikriyati Azizah ~ Puan Penembang ~ 26
Impian Nopitasari ~ Gara Gati ~ 33
Liswindio Apendicaesatr ~ Hak Asasi ~ 40
Nurni Chaniago ~ Bejo Cilaka ~ 53
Olen Saddha ~ Hujan Tanpa Jeda di Kota yang Tenang dan
Tanpa Gairah ~ 60
Rizka Nur Laily Muallifa ~ TimurAngin ~ 65
Thea Arnaiz Le ~ Pembunuhan yang Gagal ~ 71
Yessita Dewi ~ Ketika Pulung Mengantar Pulang ~ 73
Y. Agusta Akhir ~ Gonggong Anjing Donald dan Kegundahan
Hati Paman Sam ~ 90
Catatan Mardi Luhung ~ “Ruang Lain” dalam Dua Belas
Cerpen ~ 97
5
Abednego Afriadi
Kereta dari Langit
Sekali saja perawat itu tersenyum padaku. Langkahnya pelan
saat keluar dari Ruang Teratai, mendorong meja roda berisi
botol-botol infus kosong. Suara keteplak sepatunya terdengar
menjauh, menjauh, dan menjauh.
Dada Kaswan masih nampak berkali-kali menghela.
Kedua lingkar mata Kaswan nampak menghitam, cekung,
menatap kosong, tak berjiwa.
Mungkin pemandangan inilah yang membuat Mas Nug,
kakaknya mengeluh pusing, mual, lalu muntah-muntah.
Mungkin selang infus yang menancap di pergelangan Kaswan
pula yang membuat ibunya memilih menjaganya dari luar
ruangan.
Sudah sepekan Kaswan terbaring di ruang serba putih ini.
Sering kali dia melambaikan tangannya, tanda supaya aku
mendengarkan bisikannya. “Kereta itu datang lagi,” bisiknya.
Aku membalas bisiknya dengan bisikan di telinganya, “Jangan
berpikir macam-macam. Lekaslah sembuh!”
“Kereta itu datang dari lorong-lorong berujung cahaya!”
balasnya dengan suara tersendat. Lalu, matanya menutup
perlahan. Sepertinya ia mulai terhanyut oleh sayup-sayup
instrumen saksofon dari speaker meja informasi. Lelap
tidurnya, tapi tak tenang raut mukanya. Mungkin ia sudah
6
terlalu bosan merintih, mungkin segala tenaga untuk meronta-
ronta telah musnah.
Sejak dulu, Kaswan memang kerap bercerita padaku, ia
sering menyaksikan kereta dari langit turun, muncul dua orang
berwajah cahaya menghampirinya, mengajaknya menari-nari di
tengah hamparan sawah nan luas dengan gumpalan-gumpalan
awan melingkar seperti selendang. Menyusul kemudian orang-
orang berjubah putih dengan mahkota daun melingkar di
kepala menari-nari melambaikan tangannya.
“Kau ingat sewaktu kita sering bermain ke sawah?”
bisiknya. Kaswan menebaknya sendiri. “Kereta itu turun lagi.
Kali ini mengikuti kita.”
Selama ini memang hanya denganku, Kaswan bercerita
tentang mimpi dan bayangan mengerikan itu karena ayahnya
tak segan-segan menempelengnya jika ia nekat bercerita. Suatu
ketika, hanya gara-gara mendengar cerita tentang mimpinya
yang seram, kedua kakaknya terkencing-kencing di celana saat
melintasi pemakaman umum usai mengikuti rapat karang
taruna. Bahkan karena saking takutnya, mereka selalu sedia
ember di kamar karena tidak berani ke kamar mandi jika sudah
malam. Maklum, kamar mandi di rumah pamanku waktu itu
masih terpisah dari rumah. Tepatnya di belakang rumah
berdampingan dengan sumur.
Sejak dulu Kaswan memang pintar menakut-nakuti
orang, apalagi untuk tujuan tertentu. Biasanya kedua kakaknya
selalu memberinya ongkos mengantarkannya untuk melewati
pemakaman kampung itu, setelah mendengar cerita seram dari
mulut Kaswan.
***
7
Malam kian beranjak pergi.
“Wangi sekali,” bisiknya. Matanya menerawang,
menembus dinding putih.
Sepertinya percuma, seandainya aku membantah wangi
aroma yang dirasakan hidungnya. Aku hanya berharap, Kaswan
selamat. Aku hanya berharap, penglihatan-penglihatan yang
diceritakannya karena pencernaannya kurang begitu kuat
melarutkan obat yang dimakannya.
“Mungkin karena itu Mas, ia sering mengigau, sampai
tubuhnya berkeringat dingin,” kataku saat bertemu dengan Mas
Nug sebelum menjenguk Kaswan di rumah sakit ini.
Aku belum siap kehilangan Kaswan. Aku belum sempat
membalas kebaikannya. Aku belum memiliki cukup uang untuk
menggantikan sepeda motornya yang dijual untuk biaya
operasiku saat kecelakaan beberapa tahun lalu.
Hanya kepadakulah, ia mengaku dibiarkan semakin
terjatuh. Hingga Ratri istrinya yang belum sekalipun
mengandung itu pergi entah ke mana? Ratri tak tahan
mendampingi Kaswan dalam keadaan sakit.
Sorot mata Kaswan tak lagi redup. Raut mukanya mulai
semilak, segar bercahaya usai kubasuh dengan handuk.
“Membosankan. Aku ingin pulang,” bisak Kaswan.
***
Mendampinginya di Ruang Teratai bukanlah sebuah
rencana. Semula aku hanya berniat mampir setelah acara reuni
teman-teman kampus usai. Hmmm, menjadi pembawa acara di
acara reuni memang menyenangkan, tapi lelahnya terasa
beberapa jam kemudian.
8
Sepertinya aku aku harus mengurus izin untuk tidak
masuk kerja hingga beberapa hari nanti. Pagi ini juga aku harus
pulang. Saat aku berpamitan, Kaswan tersenyum melambaikan
tangan.
***
Susah juga untuk memejamkan mata. Aroma jerami,
barisan perbuktikan selatan dan bentangan sawah hijau segar
sayang untuk dilewatkan. Meskipun embusan angin pagi dari
balik jendela membuaiku kelopak mata ini untuk tertutup,
melepaskan segala letih dan lelah. Apalagi belum dapat kutemui
jawaban secara pasti tentang penyakit yang diderita Kaswan.
Tak ada satu pun yang memberiku jawaban, termasuk bibi, Mas
Nug, dan dokter yang menanganinya. Padahal seingatku,
Kaswan termasuk anak yang paling sehat di antara saudara-
saudaranya.
Ponselku berdering. Aku lihat di layarnya, ada nama Mas
Nug.
“Halo, Mas. Maaf ini, saya pulang sebentar,” jawabku
langsung tanpa menunggunya menyapa terlebih dahulu.
“Kaswan sudah dipanggil, Sam. Sudah....” sahutnya
dengan suaranya yang tak begitu jelas.
Aku diam sejenak setelah panggilan seluler terputus.
Dadaku terasa sesak. “Lihat, Sam! Kereta itu mengajakku
terbang!” bisikan Kaswan terdengar membisik di telingaku.
Ingin kubalas bisikannya ini dengan bisikan. Tapi mulutku
terkunci, sedangkan bisikan itu terus saja terdengar hingga
sayup-sayup menjauh, menjauh, menjauh. “Sam, aku sudah di
kereta! Damai sekali rasanya! Ringan!”
9
Sampai di stasiun tujuan, aku terpaksa membeli tiket
untuk kembali seraya tak henti-hentinya memencet ponsel
untuk mengirimkan kabar duka. Dan aku harus kembali ke
rumah sakit, aku harus langsung menuju ruang jenazah,
secepatnya.
Saat aku tiba di lorong menuju ruang jenazah, tiga pria
tinggi besar berkerudung hitam nampak menghadangku.
Tatapan mereka penuh curiga.
“Kamu harus ikut! Kamu harus ikutt!” seru ketiga pria itu
bersahutan sembari menarik kedua tanganku. Susah payah aku
paksa tubuh ini untuk melawan.
Pandangan mata ini terasa buram. Kepalaku terasa
pening. Susah sekali bernafas. Selebihnya gelap. "Giliran
mereka menjemputmu Sam!” bisikan itu kembali terdengar,
dan kedua kelopak mata ini masih susah untuk dibuka. []
Solo, 2009-2018
Abednego Afriadi lahir di Solo, Jawa Tengah.
Pernah menerbitkan buku Status Pesbuk Paling Gokil
dan kumpulan cerpen Bulan Memerah. Selain hobi
teater dan nonton, penulis juga hobi menulis cerkak.
10
Astuti Parengkuh
Pertautan Tiga Hati
Wimala Wotsari
Aku tak pernah benar-benar menyangka jika cerita yang
ada di salah satu sinetron–1 Kakak 7 Ponakan– mirip dengan
pengalaman hidupku. Bagaimana tidak? Apa yang digambarkan
di dalam benda tabung segi empat –yang kerap menyajikan
iklan-iklan pemikat serta ajang silat lidah para pengecut dan
penyebar fitnah–ternyata selalu memutar cerita penuh parodi
itu setiap pekan. Dan setiap kali tayangan itu muncul, maka aku
akan duduk dengan riang membayangkan kekonyolan-
kekonyolan yang ada di hadapan bersama setoples kacang
bawang dan sepiring gorengan. Mentertawai hidupku di masa
lalu yang getir, satir namun dengan jiwa tetap terjaga.
Dilahirkan sebagai sulung delapan bersaudara dengan
seorang ayah sebagai sipir dan ibu pedagang. Ayah merupakan
lulusan SMP yang harus bergonta-ganti sekolah karena otaknya
yang tidak mampu berpikir lebih keras. Ketampanannya adalah
hal lain selain sifat kesabaran yang tiada terbatas, nyaris tidak
dimiliki oleh laki-laki manapun. Maka ketika nenek membuka
almari dan menemukan sekotak perhiasan miliknya, ia
merelakan barang berharga itu untuk menyogok relasinya agar
ayahku bisa menjadi pegawai. Itu adalah sesuatu hal yang wajar
di kala itu.
11
Ayahku di usia dua puluh tahun, yang kala itu bahkan
seekor ayam pun akan mengatakan bahwa ia perjaka tua yang
tidak laku, lalu memutuskan menikahi gadis muda yang ia
jumpai kala pulang dan pergi berdinas. Beda dengan zaman
sekarang, orang begitu biasa dan tak acuh dengan status bujang
atau gadis. Perempuan itu, ibuku, saat itu masih berumur lima
belas tahun, dan ia anak pedagang di pasar sehingga perayaan
pernikahan itu diramaikan di sebuah gedung pertemuan
dengan mewah, untuk ukuran orang zaman itu.
Lalu lahir satu per satu adikku. Sebutlah One, Two,
Three, Four, Five, Six, dan Seven. Aku sering menyebut diriku
Zero. Masa kecilku selama dua tahun tinggal di asrama khusus
untuk pegawai instansi ayah. Dengan lahirnya One dan Two,
lengkap sudah aku merasa sebagai kakak. Ibuku berdagang di
pasar dan segala keperluanku dan kedua adikku, semua Ayah
yang urus. Jika Ayah masuk shift jaga siang, maka pagi harinya
ia bekerja di rumah menjaga ketiga anaknya, begitu pun ketika
Ayah jaga shift malam, maka siang hari ia membantu ibu
berjualan di pasar. Hingga kemudian kami pindah rumah milik
sendiri. Kemudian lahirlah adik-adikku yang lain: Three dan
Four.
Waktu itu aku masih bersekolah di SD, aku tahu,
bagaimana ayah dan ibuku mencari waktu istirahat dan luang
mereka. Di sela Ayah tidak berjaga di posnya dan selepas ibu
pulang dari pasar. “Jaga adik-adik. Kalau ada tamu, bilang Ayah
dan ibu pergi,” kata Ayah sambil menutup kamarnya. Lalu aku
akan pergi bermain ke luar rumah, dan adik-adikku dengan
pengasuh mereka. Aku memiliki seorang sahabat yang darinya
aku bisa leluasa bermain dan meminjam majalah Bobo dan
Ananda, serta Panjebar Semangat.
12
Hidupku teramat bahagia kala itu. Lalu satu-persatu
adikku lahir kembali, sampai terakhir adalah si Seven. Kupikir
waktu itu meski ayah dan ibu dua orang super sibuk, tetapi
kamar mereka yang terletak di sudut rumah kami yang tidak
begitu luas adalah tempat memadu kasih dan bereproduksi bagi
dua orang dewasa yang secara sadar menginginkan lahirnya
buah-buah hati.
Eh, sebentar, untuk istilah buah hati, hhm...aku mesti
mendefinikan lagi apakah itu berlaku bagi ibuku saat itu.
Apakah benar, kami berdelapan adalah buah hatinya? Buah hati
Ayah iya, pasti. Tetapi buah hati Ibu? Tidak. Kalian jangan
mengenyitkan dahi, tapi cobalah mengerti dan pahami. Mana
ada seorang Ibu meninggalkan delapan anaknya, tanpa alasan
yang jelas? Iya, kami memag besar bersama mereka berdua,
dan para pengasuh. Tetapi jika tiba-tiba Ibu meninggalkan kami
di saat si bungsu Seven masih berusia enam bulan, itu sangat
menyakitkan. Kami seperti anak-anak ayam yang kehilangan
induknya.
Yang bisa aku ingat, suatu malam ada seorang laki-laki di
ruang tamu. Aku tahu dia pacar lama ibuku, dan dia datang
bersama Ibu. Mereka hanya duduk beberapa jenak, tak lebih
dua jam saja di rumah. Saat itu Ayah bekerja shift malam, dan
aku sedang menyetrika baju-baju seragam sekolahku dan adik-
adik. Kulihat laki-laki itu duduk di kursi tamu lalu Ibu
menghampiriku,”Nduk, Ibu mau pergi. Kamu jaga adik-
adikmu!” Saat itu aku tidak bisa menerima keadaan. Aku tidak
ingin melihat Ibu pergi dengan laki-laki lain dan itu bukan
ayahku. Aku berontak, aku marah. Di usiaku yang sebelas
tahun, aku menjelma menjadi iblis kecil. Aku berteriak-teriak
kesetanan.Ibuku hanya diam. Dia tidak menjawab tangisanku,
sampai kemudian dia membuka almari, dan memindahkan
baju-bajunya ke dalam sebuah tas besar.
13
Tangisanku tidak membendung kepergian ibu. Sebuah
gelas beirisi penuh air yang aku lempar ke lantai tidak juga
membuat hati Ibu luluh untuk tidak pergi. Kami berdelapan
menangisi kepergian ibu bersama laki-laki itu. Malam itu
kumaknai malam jahanam yang merobek-robek hati. Hanya
aku yang mengerti apa arti kepergian ibuku. Ketujuh adikku
tidak mengerti apa-apa. Dalam benak dan pikiran mereka, Ibu
akan pergi jauh ke luar kota. Kepergian Ibuku kali ini tidak
dimaknai oleh si One dan Two sebagai kepergian ibuku ke
rumah sakit, seperti biasanya ibu menyiapkan pakaiannya
dalam tas besar jika akan berangkat ke rumah bersalin. Ibu
tidak sedang hamil, perutnya tidak besar.
Ayah tidak mampu lagi membayar pengasuh. Yang aku
dengar dari pertengkaran-pertengkaran mereka sebelumnya,
ibuku bangkrut. Ia terjerat rentenir dan tertipu oleh beberapa
oknum. Ibuku yang hanya lulusan SD, lalu lari mencari solusi
dengan bermain judi. Karena keisenganku, aku sering
menemukan bundelan kertas-kertas pembelian porkas dan judi
zaman dulu.
Jadilah aku sulung yang menjadi orangtua bagi ketujuh
adikku. Aku mulai menjalani kehidupan orang dewasa yang
semestinya tidak kujalani. Sebelum berangkat sekolah aku
memasak dan mencuci baju-baju adikku. Ayahku mencuci
bajunya sendiri. Sepulangnya aku menjaga adik-adik sambil
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ayahku berjualan es
cendol di sela-sela pekerjaannya menjadi sipir. Selain itu, ayah
juga bekerja sebagai kuli di pasar.
Ibu tiada kabar berita hingga suatu saat dia pulang ketika
satu per satu kami sudah membangun bahtera rumah tangga.
Beberapa momen pernikahan adikku, aku duduk di samping
ayah menggantikan Ibu. Setelah sekian lama aku dengar juga
bahwa ayahku selama ini memiliki pacar untuk menggantikan
14
ibu. Tetapi kekasihnya tersebut tidak dinikahi. Untuk seorang
pegawai negara saat itu, ayah dan ibuku sangat sulit untuk
bercerai secara resmi.
Di suatu pagi yang rekah. Di sebidang ruang biasa disebut
‘gandhok tengen’ atau bagian ruangan sebelah kanan dari
rumah induk atau rumah keluarga nenek. Rumah berhalaman
cukup luas dengan tanah yang ditumbuhi pohon buah-buahan
seperti nangka, jambu dan mangga, tiba-tiba Ibu datang dan
kami menerimanya dengan lapang dada. Ia tampak tua, dengan
keriput wajah yang mulai mengada. Sepasang kaki tuanya
melemah, ia bilang telah dijangkiti penyakit asam urat. Namun
kegigihannya dalam berdagang tak lekang. Diceritankannya jika
ia memiliki dua buah toko di kota lain. Ibu pulang untuk
meminta maaf, dan menyilakan anak-anaknya untuk
bertandang ke tokonya. Ia hidup sendiri namun tidak kesepian.
Sampai beberapa bulan sebelum kepergian Ayah untuk
terakhir, Ibu sering pulang ke rumah. Dalam sebulan, ada
waktu ibu seminggu bersama Ayah. Sampai kemudian Ayah
jatuh sakit. Penyakit hernia yang ia derita selama sepuluh tahun
telah berkomplikasi dengan penyakit lainnya. Pahlawan
keluarga dan pekerja keras itu akhirnya tumbang. Ayah
meninggal dalam pelukan Ibu dan kami anak-anaknya. Dalam
sebuah buku memori kenangan, kutulis ayahku sebagai satu-
satunya laki-laki juara sedunia.
Sri Pratiwi
Laki-laki yang kujumpai setiap pagi, kadang siang atau
sore hari, telah mencuri hatiku. Namanya Jono dan ia berhasil
mengalahkan perebutan hati dan mengalihkanku dari Iwan,
laki-laki yang tinggal tidak jauh dari rumah. Jono datang ke
rumah dan melamarku. Kata ibuku aku masih bau kencur untuk
15
mengenal pernikahan, tetapi melihat Jono yang telah mapan,
ibuku rela melepasku. Jono ganteng. Sekilas dia mirip dengan
artis Roy Marten. Perawakannya yang tinggi dan langsing,
ditambah dengan warna kulitnya yang putih cerah, nyaris
membuatku tidak percaya, bagaimana laki-laki sedewasa ia
dengan usia terpaut 13 tahun, mau mempersuntingku. Kata
Jono, dia telah bertekad bulat untuk meminangku karena dia
ingin segera memiliki anak-anak yang lahir dari rahimku.
Kami tidak pacaran. Bahkan sebelumnya aku dengan
Iwan pun juga tidak pacaran. Untuk urusan ini, ibuku yang
tidak berpendidikan dan hanya bekerja sebagai pedagang di
pasar, sangatlah keras untuk menjaga anak-anaknya. Ibuku rela
menyerahkan aku ke pelukan Jono sebab menurutnya Jono
laki-laki mapan dan bertanggung jawab. Jono calon pegawai
yang kelak pasti akan diangkat menjadi pegawai negara.
Pendidikan ala ibu untukku yakni dengan turut berdagang di
pasar menjadi modal utamaku ketika menjadi seorang istri.
Jono tahu dan mengerti, hidupku tidak terpisah dari pasar. Jadi
ketika belum habis masa-masa nifas setelah melahirkan anak-
anakku, aku sudah kembali berjualan di pasar. Jono
mendukung.
Kami bersepakat membayar seorang pengasuh dan
seorang lagi yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Pekerjaan utamaku adalah berdagang di pasar dan melayani
Jono saat di kamar. Soal anak, menurutku adalah bagaimana
memberi mereka makan dengan makanan bergizi dan
memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan sekolah sehingga
mereka belajar dengan benar. Jika mereka sakit, dan aku
sedang di pasar, toh Jono atau pengasuh anak-anakku bisa
membawanya ke rumah sakit. Syukurlah mereka sehat dan
kalaupun sakit tidak sampai mengalami perawatan yang
16
panjang. Yang ada di kepalaku adalah uang, uang dan uang.
Aku tak bisa hidup tanpa uang.
Seperti yang selalu dikatakan oleh ibuku, jangan pernah
sekali-sekali mengecewakan pelanggan. Maka, jika tidak karena
sesuatu yang penting, aku tidak pernah absen pergi ke pasar.
Beberapa pengecer telah aku jaring dan ini strategi penjualan
yang bagus. Bertahun-tahun kujalani profesi sebagai pedagang
ini dan telah berlimpahan materi, dengan memiliki sebuah
rumah, serta mengoleksi berbagai perhiasan. Bukan berarti aku
tidak memiliki hambatan.
Untuk menambah modal agar pemasaran usahaku lebih
optimal, seseorang datang untuk memberikan tawaran utang. Si
tukang rente itu kawanku sendiri dan darinya aku meminjam
uang untuk menambah lagi volume dagangan. Namun apa yang
menjadi impianku lepas, kandas. Beberapa pelanggan tidak
membayar, dan ada pula yang lari. Satu lagi, aku terjebak dalam
putaran lingkaran judi. Langkahku tak seringan dulu dan usaha
yang telah aku rintis dari muda hancur. Peluang yang belum
sampai aku estafetkan kepada anak-anakku telah terputus. Aku
lebih memilih pergi dan meninggalkan semua. Iwan, laki-laki
yang pernah menaruh hati kepadaku datang dan aku
menerimanya sebagai dewa penolong. Suami dan anak-anakku
melaknatku dan mengatakan aku sebagai pengkhianat.
Aku pergi bersama Iwan, lalu aku putus hubungan
darinya.Kemudian satu, dua laki-laki singgah dalam
kehidupanku. Aku hidup di jalanan yang keras untuk mengais
rezeki agar perut terisi. Aku mengamen naik-turun bus, dalam
kota dan luar kota. Panas udara dan guyuran hujan kutepis
dengan semangat untuk menyambung hidup. Aku berjualan air
mineral dalamkemasan dan rokok dengan berkeliling jika ada
even di kota tempatku tinggal.
17
Sampai sebuah kasus memidanakanku bersama laki-laki
yang tinggal bersamaku. Aku ditipunya mentah-mentah,
dengan ikut kongkalikong dalam aksi tipu-tipu orang dengan
dalih penggandaan uang. Anak-anak dan Jono yang masih
berstatus suami sahku tidak ada yang mendengar tentang ini
semua. Dalam hatiku, ini pasti balasan Tuhan atas kelalaian
dan penelantaran yang kulakukan terhadap mereka. Aku telah
menerima pembalasan Tuhan dengan ikhlas.
Selepas masalah itu, aku dituntun oleh sebuah kekuatan
hati agar bangkit dan berusaha kembali. Lalu aku memiliki
sebuah warung di sebuah sentra tempat wisata. Bertahun-tahun
warung itu aku hidupi dan meski sendiri, aku telah menikmati
hidup. Mulai lagi dari nol dan memiliki warung yang akhirnya
berubah menjadi toko adalah kegiatanku sehari-hari. Baru
kemudian aku mengumpulkan keberanian untuk menemui
suami dan anak-anakku. Setidaknya mereka akan berpikir
bahwa hidupku senang dan bahagia. Meski aku juga tidak ingin
merepotkan mereka di saat usiaku renta nanti, aku harus selalu
bertemu mereka, atau mengirim kabar jika aku dalam keadaan
baik.
Memiliki tetangga dan para pemilik kios toko lainnya dan
menganggap sebagai seorang saudara. Meski terkadang
penyakitku kambuh, namun uluran tangan anak-anakku untuk
mengajakku pulang, aku tolak. Pun ketika datang tawaran dari
salah seorang mereka untuk hidup bersamaku dan bersama
cucu, aku tetap menolaknya. “Ibu masih kuat untuk hidup
sendiri,” kataku kepada mereka.
Jono Putranto
Kematian adalah kepastian. Kematian pertama yang aku
saksikan adalah kematian cucuku karena sakit menahun.
18
Semalam sebelumnya aku bermimpi dia datang kepadaku
dengan wajah cantik dan tidak kelihatan sakit. Dia
melambaikan tangannya dan lalu menghilang begitu saja.
Kematian kedua adalah saat ibuku meninggal dan aku
menyaksikannya dalam kesadaran. Di usianya yang sudah uzur,
82 tahun, itu adalah penanda bahwa tugasnya sebagai ibu,
nenek, nenek buyut telah rampung. Ibuku meninggal dalam
tenang.
Dua tahun berselang, ayahku menyusul Ibu. Lelaki yang
kala muda membaktikan diri untuk membela negara dalam
perjuangan merebut kemerdekaan itu selalu menanamkan diri
kepada anak-anaknya untuk hidup sederhana. Dia meneguhkan
bahwa pendidikanlah yang menjadi tiang penjaga utama
kehidupan. Dia pergi pada suatu siang yang redup, dengan
kesadaran penuh, meninggalkan agar kami anak-anaknya
menabur benih-benih kerukunan.
Kematian yang aku hadapi adalah keniscayaan. Aku
tengah mengidap sakit hernia selama sepuluh tahun. Tetapi
sakitku ini bisa aku obati dengan obat-obat tradisional yang
dengan mudah aku cari. Meski setelah pensiun aku masih
bekerja di pasar, dengan ikut membantu para bakul,
mendorong becak saat tiba di tanggul, dan menata barang
dagangan mereka. Kadang menunggu pedagang jika ditinggal
pergi untuk suatu keperluan, mereka percaya kepadaku. Namun
aku tidak ingin menyusahkan anak-anakku tentang penyakitku.
Sepanjang hidupku,aku tidak pernah berhadapan dengan
pengobatan dokter, pisau operasi dan rumah sakit. Maka saat
sakit selama seminggu, dan semakin hari semakin
menggerogoti tubuhku, aku menahannya. Salah seorang anakku
memaksaku untuk mendatangi dokter dan dari dokter tersebut
aku pun diberi rujukan untuk operasi. Tetapi aku memilih
19
pulang dan aku yakin bahwa saat kematianku akan segera
datang.
Dikelilingi oleh mereka, menatap satu persatu wajah
mereka, dan membayangkan kehidupan mereka ke depan akan
baik adalah kemuliaan. Istriku mendampingiku sampai nafas
terakhir. Dalam kesadaranku aku berharap dia pun meninggal
dengan cara yang tenang. Aku jauh-jauh hari telah memaafkan
semua kesalahannya dan kesalahan anak-anakku. Aku telah
mengubur duka masa lalu. []
Astuti Parengkuh, lahir di Solo, merupakan nama
pena dari Puji Astuti. Menggeluti kembali dunia tulis-
menulis sejak 2007. Debutnya adalah novel memoar
Asa, Malaikat Mungilku lalu beberapa karya cerpen,
puisi dan resensi terbit di Majalah Gadis, Tabloid
Gaul, Solopos, Tribun, Joglosemar dan beberapa
media lain. Kini menjadi kontributor untuk blog
Jurnal Perempuan dan www.solider.or.id. Penulis
bisa dikontak via surel: astutiparengkuh15@
gmail.com.
20
FaqihSulthan
Surat Pelukis
Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba sudah berada di ruangan
gelap. Aku jugatidak yakin dari mana aku berasal dan alasanapa
yang melatarbelakangiaku ada di sini.
“Ceritakan padaku apa yang terjadi sebelum aku di
sini!”aku bertanya pada satu diantara mereka.
“Lebih baik kau cari tahusendiri siapa dirimu!” jawab satu
diantara mereka
Akutersadar,ternyata aku tak bernama.
“Siapa namaku?” gumamku.
“Kita tidak pernah bernama sejak dilukis, di ruangan ini
kita harus saling menghargai usia,” jawab salah satu yang lain.
Akumeraba cahaya, menyelisik suara, dan menerawang
aroma,perlahan aku bisa memfungsikan indraku untuk
mengenali mereka. Sebut saja: Si Tua,Si Paruh Baya, Si
Dewasa,Si Remaja, dan akusendiri mereka panggilSi Muda. Aku
mencoba mendekati mereka, berharap bisa bergabung dalam
perbincangan yang sepertinya sudah berlangsung lama.
“Kabarnya kau adalah lukisannya yang terakhir ya?” bisik
Si Remaja.
“Hah,mana aku tahu?Kenapa mustibegitu?” Aku linglung,
rasa-rasanyaisikepalakuhilang.
21
Si Dewasa menimpali, “Aku masih ragu, tapi kabar itu
sepertinya benar.Aku bermimpi menyaksikan pelukissedang
menulis surat, entah akandikirimkemanadanditujukankepada
siapa.Yang aku ingat pelukismembuat kalimat ‘Sungguh aku
ingin tak henti-henti menulis kepadamu, tapi kalau pun
melukis menjadi penutup surat-surat kita, maka akan
kuterima ini sebagai takdir.’ Sampai sekarang aku belum
paham apa maksud surat itu.”
“Aku yakin ini ada hubungannya dengan Si Gadis,” ujar Si
Paruh Baya.
“Celaka, aku tidak menyangka hal ini benar-benar
terjadi,” Si Tua tampak gelisah.
“Maaf,apa yang sebenarnya terjadi?” Aku terpaksa
mengulangi pertanyaan ini.
Si Paruh Baya memberi isyarat kepada Si Remaja seolah
malas bercerita. “Hai Si Muda, kau memang banyak tanya ya.
Asal kau tahu, pelukis sedang jatuh cinta,” ujar Si Remaja. Aku
benar-benar dibuat pusing dengan percakapan ini. Siapa gadis
itu, apa hubungannya denganku, kenapa setelahSi Dewasa
bercerita tentang mimpinya mereka menjadi muram, entah
sedih, entah marah. “Siapa sebenarnya yang mereka panggil
pelukis itu?”gumamku kembali.
Si Tua mendekatiku. “Hai Si Muda, dahulu pelukis adalah
yang paling ulung dalam urusan menyendiri, walau begitu ia tak
pernah merasa sepi. Sebab dialah Sang Pelukis yang dapat
melukis apapun yang dia mau. Setiap
mengingatnyaakutersengat perasaan rindu yang hebat.”
“Sudahlah Si Tua, sekarang hal itu hanyajadi cerita usang.
Andai saja gadis itu tak menyurati pelukis, kita tidak akan
seperti ini. Ada, lalu terbuang...” ujar Si Paruh Baya kesal.
22
“Menurutku gadis itu sama sekali tidak bersalah. Ini
memang kemauan pelukis. Bisa sajapelukismenolak
permintaan gadis itu?” Si Dewasa mencoba menenangkan Si
Paruh Baya.
Aku mulai mengerti, ini adalah kisah Pelukis dan Si
Gadis. Tapi aku masih belum tahu apa sebenarnya yang
diinginkan gadis itu pada pelukis sampai-sampai kata mereka,
aku adalahlukisannya yang terakhir.
“Hai Si Muda, kau pasti bingung. Aku juga sepertimu
mulanya,namun setelah melihat dirimu sekarang, aku jadi tahu
alasannya. Pelukisternyata sudah kehilangan kemampuannya,”
ledek Si Remaja.
“Huss, kamu jangan sembarangan!” ujar Si Tua. “Sejak
surat itu sampai di sini, kita ada agarberkenalan dengan Si
Gadis.”
Si Paruh Baya menghela nafas.“Alaaah itu hanya
khayalanmu! Buktinya dari dulu tidak satupun dari kita yang
keluar dari ruangan ini untuk berkenalan dengan Si Gadis.
Justru sebaliknya surat-surat dari Si Gadis terus berdatangan
menagih permintaanya. Ini salahmuSi Tua, wajahmu buruk
rupa tidak mampu mewakili Pelukis. Andai kamu bisa lebih
tampan, kami tak perlu ada bahkan untuk tinggal di sini.”
“Jaga ucapanmu, kamu tidak punya hak menyalahkan Si
Tua. Harusnya kita ingat Sang Pelukis sangat disegani di mana-
mana atas semua karyanya yang agung. Tidak mungkin pelukis
kehilangan kemampuannya hanya karena melukis dirinya
sendiri,” Si Dewasa berusaha menengahi mereka.
“Apa masalahnyapelukismenulis surat itu?” Aku
memberanikan diri bertanya.
Si Remaja menertawakan pertanyaanku. Dia memaksaku
untuk percaya jika pelukismemang sudah kehilangan
23
kemampuannya.Suasana bertambah keruh saat Si Paruh Baya
mengolok-olok pelukis, menuduh bahwa pelukis tidak pernah
benar-benar mengetahui wajahnya sendiri. Bahkan Ia berani
mengatakan pelukismalu mengenalkan dirinya. Karena itulah,
ia menyudahi surat-suratnya kepadaSi Gadis.
Seketika dengan pecahan beling Si Dewasa menikam Si
Paruh Baya. Aku tidak sempat menerka dari mana ia
mendapatkan benda itu. Yang pasti, aku ketakutan melihat
warna merah mengalir dari tubuh Si Paruh Baya. Si
Tuabergegas melerai mereka. Namun tidak lama saat Si Paruh
Baya di atas pangkuan Si Tua. Dari belakang Si Remaja
menggorok leher Si Dewasa.
Suasana jadi mencekam, aku tunggang langgang berlari
ke seberang ruangan. Si Remaja membatu seolah tidak sadar
dengan apa yang sudah ia lakukan. Aku mendengar nada
penyesalan Si Remaja. “Kenapa ketika itu aku tidak meminta
pelukis untuk berhenti saja. Bodoh, bodoh! Akuyang paling
bodoh!”Si Remaja menancapkan beling ke sekujur tubuhnya. Si
Tua menangis sejadi-jadi, tergambar di wajahnya kekalutan
yang luar biasa. Dia hanya bisa menatap nanar wajah kawan-
kawannya. Sedang aku yang baru saja ada, benar-benar tidak
tahu harus berbuat apa.
Lama kami terdiam sampai Si Tua memanggilku, “Hai Si
Muda, cobalah baca surat-surat yang adadi sampingmu!”
Aku layangkan pandanganku mencari benda yang
dimaksud Si Tua. Aku menemukan tumpukan surat berdebu
atas nama Karina. Aku tidak lantas membacanya, foto-foto yang
terselip di setiap surat membuatku terpesona dengan
kecantikannya.
“Dialah Si Gadis itu...” Aku tidak terkejut dengan ucapan
Si Tua.
24
Karina mengirim berbagai macam foto. Ada yang ramai-
ramai bersama keluarga, ada yang dengantemannya,
kucingnya, bunga-bunga ditaman dan foto-foto bahagia lainnya.
Tapi berbeda dari foto yang lain, ada foto sendu yang
mempertontonkanwajahpiluKarina di tepi pantai. Iamenantang
senja yangdidominasi warna hitam dan jingga. Foto itu bersama
dengan surat pertama Karina yang ternyata tidak memiliki
alamat tujuan. Aku menebak ini adalah surat liar yang sengaja
dibiarkan mencari pembacannya hingga akhirnya sampai ke
tanganPelukis.
Surat-suratnya selalu berbalas dan aku menemukan satu
surat Karina yang berisi permintaan agar pelukissudi
mengenalkan wajahnya. Anehnya setelah kubaca surat tersebut,
surat-surat berikutnya berubah. Pesan yang semula berupa
kasih sayang dan kerinduan, menjadi kekesalan dan
kekecewaan.
“Apakah aku alasan pelukis berhenti membalas surat
Karina?” Aku bertanya pada Si Tua.
“Benar.”
“Apa salahku?”
“Kamu tidak bersalah.Justru kamu telah
meyakinkannya.”
“Meyakinkan apa?”
“Bahwa dia sudah tiada, mati kelelahan melukis kami
berempatsaat sebelum sampai citranya.”
“Berempat, lalu aku?”
“Dengancat dalam kanvas tubuhmu, kini kamu adalah
wadahnya.”
Semburat ingatanku kembali. Aku mendekap surat yang
belum sempat dan takkan pernah bisa kukirim ke Karina. []
25
FaqihSulthan, merupakan mahasiswa Sastra
Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Diponegoro, Semarang. Ia juga mernjadi Pimpinan
Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Manunggal,
UniversitasDiponegoro, 2017. Bisa dihubungi melalui:
26
Imamah Fikriyati Azizah
Puan Penembang
Tidak ada rubaiat juga puisi-puisi mutakhir di malamku. Sebab
bumi ngalir susu dan madu, aku ngalir lelagu ngilu. Hanya ada
aku pada guritan bertembang laras pelog patet barang, pada
sebuah Megatruh di sela musim kemarau yang teramat panjang.
“Adakah suaramu pada Megatruh yang mengalun di jejak
gending purbamu? Pada ngiangku, kamu tabuh bonang lantas
berkisah tentang pengrawit-pengrawit veteran. Aku, yang tak
memiliki elok betis, mulai nadakan getir yang kikis pada
seberkas lamunanku: Sigra milir sang getek sinangga bajul/
kawan dasa kang jageni/ ing ngarsa miwah ing pungkur/
tanapi ing kanan kering/ sang getek lampahnya alon//”
Ini kali, sebab terjebak di pikiran sendiri adalah kesialan,
aku jadi mengutuk diri habis-habisan. Tak pandai lara, tak
pandai suka. Tak lagi kuurai hingga burai huruf-huruf di kepala.
Dalam kedapnya kebuntuan, lelaki berambut sepinggang hadir
di hadapan, bermuka duga nan prasangka.
“Puan siapa?” tanyanya.
“Sigra milir, Mas. Itukah kamu yang menjelma Mas
Karebet berkawal empat puluh bajul? Ing ngarsa miwah ing
pungkur. Kamu ajur, aku mawur. Kamu kabur, aku melantur.”
“Puan siapa?” kembali ia bertanya.
27
Suntuk sudah huruf-hurufku menabrak tembok. Bukan
tembok pada puisi Wiji Thukul. Bukan pula tembok pada strata
karmawibhangga. Bukan itu. Melainkan tembok pada alam
kedapku, yang gigir dan puncaknya tengah riuh dan gaduh,
menjelma tanya dan jawab yang berkelindan pada
perbincangan semu. Sedang di bibir, penuh dengan ritual tapa
bisu.
“Apa kamu Jaka Tingkir?” aku mendelik dan bertanya.
“Bukan. Aku Jaka Lelur. Tubuhku menjelma buaya
muara. Lelaki penganggur. Siang tidur, malam ngeluyur.
Seperti katamu, sisanya aku akan kabur,” terangnya.
“Kamu melantur!” aku menggertak.
“Kamu. Bukan aku. Puan siapa?” ia masih bertanya.
“Puan siapa tanyamu? Lantas pada wajah mana bisa
kutitipkan nyanyi bisuku? Bila padamu tiba di sepuluh muka.
Bila padamu tiba di malih rupa. Jangan-jangan kamu
Rahwana?”
“Bukan, Puan. Mana mungkin aku Rahwana, sedang jelas
nyata yang di hadapku bukan Sinta,” tegasnya.
“Bagaimana kamu tahu bahwa aku bukan Sinta?”
“Sebab Sinta membumi di Dandaka. Sedang kamu
melangit di mayapada. Berwajah angkuh dan banyak berkata-
kata,” jawabnya menegaskan.
Sementara ia berhasil mengulitiku, aku merasa jejal,
sesak, dan ngilu. Lelaki yang membercandaiku dengan akunya
sebagai Jaka Lelur, mulai nadakan notasi-notasi yang ia hafal di
luar kepala. Mengiringiku tidak dengan rakit layaknya Mas
Karebet, tetapi sewujud gesekan rebab yang alunnya sungguh
menyayat. Ingatan dan kengiluan menetes sudah di lapis
28
qasrun-ku. Lantas menetes di pelipisku. Aduh raga. Aduh
nyawa. Aku tahu kamu. Aku jelas tahu siapa kamu.
“Lelaki perempat abad yang menggesek rebab, kelak
sunyi jantungmu jadi guritan di bibirku. Sebab sengar di
detakku, bau ngilu di decakmu.”
Pelan, aku mengingatnya teramat pelan.
“Puan, telah aku pilih nada miring sehingga menjelma
suara rebabku menjadi busur dan panah Radheya Karna. Apa
Puan adalah Surtikanti?” tanyanya.
Sunyi jantungnya masih berdetak. Pada irama
seperempat, ia tegaskan bahwa hanya ada bunyi bonang yang
meragu. Maka, aku latari perbincangan kami dengan
Dhandhanggula Tlutur teruntuk putra kusir, Radheya Karna.
Lelaki yang dikutuk Parasurama, lelaki yang panas telinga
lantaran ucapan Dorna, lelaki yang dihina Drupadi pada
sayembara di Kerajaan Pancala. Pada penjelmaannya sebagai
Karna, lelaki yang gemar bersajak di perempat malam sebagai
ganti zirah dan anting lantaran Dewa Indra merampasnya demi
kemenangan sang Arjuna, sangat lekat sukmanya di alam
pikirku di dalam kepala.
“Apa Surtikanti akhirnya bunuh diri?” tanyaku padanya.
“Ya. Dia pemegang teguh rasa setia kepada suaminya.”
Angin ngidit mangidul/ saya kekes rasaning ati/
“Apa Puan adalah Surtikanti yang dengan cemas dan was-
was hendak menyambut Radheya Karna pulang manakala
matahari terbenam?” ia mengulang tanya.
“Sebab hanya ada bunyi bonang yang meragu,
kutembangkan Dhandhanggula Tlutur penuh ngilu. Tidak
sebagai Surtikanti, Karna. Bukan aku yang manjing pada
29
kancing gelungmu. Sebab cundrik di kainku, tak lantas kusayat
di nadiku.”
Rumangsa yen wus lola/ Babo raganing sun/
“Wahai Puan yang gemar menembang, jika bukan
Surtikanti putra Raja Salya, lantas apa Puan adalah Amba pada
tubuh Srikandi? Kelak di Kurusetra, Puan jemput Dewabrata
hingga gugurlah segala sumpah serapah.”
Masih ia menduga kira demi menjawab rasa ingin
tahunya.
Nora sanak nora kadang/ ning pondokan mung tansah
nandang prihatin// duh nyawa aduh raga///
“Tidak ada Amba pada tubuh Srikandi yang menjelma
aku, Karna. Bukan aku pada sejurus hrusangkali yang melesat
pada tubuh sang Bisma,” aku menegaskan.
“Puan bersuara khas yang gemar menembang, sungguh
Puan bukan Surtikanti bukan pula Srikandi? Maka gesekan
rebab juga bunyi bonangku yang meragu tentu bukan berarti
cinta. Sebab yang kucari adalah pendamping kemalangan pada
lakonku, Surtikanti yang aku cintai.”
Bukankah aku telah jatuh pada nyala matanya yang
penuh duga kira. Bukankah aku telah dengan begitu gegabah
merasa menyukai setiap kata yang keluar darinya. Maka, di
sebuah pupuh Asmarandana, aku gariskan perbincangan kami
yang bersenyawa. Berdinding inginnya yang kedinginan.
Berkalang kerlingku yang kalingan. Lantaran tak maujud
Surtikanti yang setia itu. Lantaran tak maujud Srikandi yang
mampu benarkan atap sekaligus mencuci baju. Terlebih Dewi
Sinta yang membumi menuju saptapratala.
“Puan, barangkali panah Arjuna padaku akan menjelma
penyakit akut, rayuan partai politik, ancaman teror, tawaran
para juragan, dan segala tuntutan hidup yang membuatku gagal
30
menggenggam sumpah pada sahabatku Duryudana. Tak
bisakah dalam keadaan itu tetap Puan tembangkan sebuah
sekar yang kelak mengganti iringan gamelan?”
“Radheya, putra Radha dan Adirata, cukuplah Arjuna
pada mata panahnya. Menjemput ajalmu tak dalam rayuan
kapital dan polah perpolitikan. Jangan. Sebab mati jasadmu
adalah puisi di batinku. Sedang mati sukmamu adalah benci di
benakku. Maka tetaplah pada sunyi dirimu yang tak tergerus
babak pertunjukan milenial itu.”
“Ah, tentu saja, Puan. Aku tak mau mati sebagai tokoh
dagelan yang diantar tawa keras penonton dalam iringan
tembang dolanan. Maka, tak lekas aku ingin buru-buru gugur
pada gara-gara. Aku ingin bertahan hingga patet manyura. Mati
terhormat sebagai kesatria. Merampungkan lakon penuh
kutukan juga kekalahan yang telah digariskan.”
Dan kegetiran hinggap dalam inti masing-masing kami.
Aku terkelu. Masih aku sebagai diriku dalam gatra
Asmarandana juga cinta yang kekanakan. Sembari
kutundukkan Sarpakenaka dalam diriku yang menggila dengan
kuku panjang berbisa ularnya, sembari itu pula aku simpan
segala perbincangan kami yang bersenyawa.
“Bila benar bukan Puan, maka tetap nyanyilah pada
tembang-tembangmu. Tidak mengapa jika bukan Puan
perempuan yang aku nanti-nanti, Surtikanti yang setia menanti
sepenuh hati. Akan tetapi, Puan, jika nanti sebelum sampai
pada waktuku ketika panah Arjuna sampai lebih dulu, sedang
Surtikanti sebagai pereda nyeri, luka hinaan, kekalahan, dan
sederet kutukan juga kehilangan, belum juga datang padaku,
maka izinkan aku mengambil potongan suaramu melantun
tembang untuk kujadikan iringan pada akhir adegan.” sekali
lagi, ia meminta.
31
“Karna, karena aku hanyalah diriku yang papa, kelak aku
giriskan Megatruh di Kurusetra. Jika tiba panah Arjuna dan
segala kutuk Parasurama, aku bisikkan nyanyi getirku tepat di
telinga. Karena Karna adalah juga tentang telinga, putra Kunti
dan Dewa Surya. Tidak apa jika tak nyala bunyi gendingmu
yang purba. Biar hanya ada Megatruh yang sempurnakan
kesunyianmu, Radheya Karna.”
Pada pintanya, dalam nada sumbangku sebagai latar
kematiannya nanti, bila benar tak kunjung hadir tangis pilu
Surtikanti. Dan dalam isyarat mata, ia turut meminta agar aku
baitkan perbincangan ini lantas kujaga segarnya agar tak layu
hingga saat ia rentangkan busur panahnya, berujung kalah,
rebah di tanah. Maka, kelak kujumput secukupnya untuk
kutabur di atas jasadnya sambil melantunkan sekar Megatruh.
Sementara sisanya aku simpan sebagai kenangan.
Lelaki berambut sepinggang berdiri gemetar tepat di
hadapan. Subuh berlabuh, pagi menyingsing. Aku basuh
wajahku dengan tubuhnya yang mengembun. Dan ngiang akan
nyanyiku di kesunyian. Juga perbincangan yang aku baitkan
dalam puisi kengiluan. Mengutuh. Kelak kusambangi dirinya
dalam ingatan. Kembali seperti kini. Lamunan sedari malam
hingga pagi. Pada sebuah Megatruh berlaras pelog berpatet
barang. Kepada lelaki sunyi yang berlaras kutukan berpatet
kekalahan. []
Klaten, 3 Juni 2017
Imamah Fikriyati Azizah, Lahir di Klaten, 18
Agustus 1995. Merupakan alumnus Sastra Indonesia
32
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Kini tinggal di Sentono Rt. 29 / Rw. 13
Ngawonggo Ceper Klaten 57465.Dapat dihubungi
melalui email imamahfikriyatiazizah@gmail.
33
Impian Nopitasari
Gara Gati
Baru saja aku selesai membaca draft novelmu. Tentang kisah
cinta yang tak lekang oleh waktu. Sepasang pecinta yang selalu
dipertemukan di berbagai kehidupan, namun selalu saja tidak
bisa bersatu.
“Kamu percaya reinkarnasi, Mas?” tanyaku.
“Absolutely, yes,”
“Kalau kamu dilahirkan kembali, kamu ingin jadi apa?
Apa ingin menjadi tikus seperti Atmik dalam novelmu ini?
Nggak capek gitu kejar-kejaran sama Meci si kucing yang nggak
segera sadar bahwa tikus yang ia kejar adalah kekasihnya pada
kehidupan sebelumnya?”*
Kamu tersenyum. “Tidak, aku tidak ingin menjadi tikus
seperti Atmik. Aku ingin menjadi tokek saja.”
“Ih…nggilani, nggak ada binatang yang lebih bagus apa?”
“Tidak ada binatang yang lebih dibenci di rumahmu
daripada cicak dan tokek, kan? Aku akan menguji apakah kau
masih mengenaliku atau tidak.”
“Maksudmu? Aku masih manusia saat itu?”
“Ya kali aja aku yang pergi duluan, ya, kan? Siapa tahu?”
kamu mengucapkannya dengan santai, tapi malah membuatku
tidak nyaman. Jadi kamu mau meninggalkanku dulu? Begitu?
34
“Santya, aku akan selalu mendampingimu, dalam wujud
apapun aku saat itu, dalam kehidupan apapun saat itu, aku
selalu ada buatmu. Jika hatimu peka, kau akan selalu
menemukanku,” kamu mengatakan ini dengan menatap
mataku, yang membuatku merinding.
Aku heran kenapa kamu ingin bereinkarnasi menjadi
tokek. Aku memang pernah bercerita kepadamu tentang tokek
dan cicak yang sangat dibenci di rumahku, di kompleks
rumahku. Kamu terkejut ketika mendengar ceritaku tentang
adanya sekolah tingkat dasar yang mengadakan lomba
membunuh cicak.
“Anak-anak kecil diajari membunuh?” tanyamu dengan
marah.
Aku bercerita zaman kecilku dulu banyak anak-anak yang
membunuh cicak dengan menjepret dengan karet gelang. Kata
ustaz kami, cicak binatang jahat yang tidak menolong nabi
Ibrahim ketika dibakar raja Namrudz, ketika semua hewan
melata berusaha memadamkan api, cicak malah
menghembuskan angin supaya api lebih berkobar. Membunuh
cicak adalah berpahala.
“Kamu yakin cicak beneran menghembuskan angin agar
api lebih berkobar? Siapa tahu dia sebenarnya ingin
memadamkannya?” kau masih belum terima, padahal aku
bilang, berdebat dengan teks agama akan semakin membuatmu
pusing.
“Oke, aku paham ketika kamu membunuh binatang yang
membahayakan, ya...walau bagiku selama bisa tidak dibunuh,
janganlah dibunuh. Tapi seberapa daruratkah cicak? Kok
kasihan sekali jadi cicak, hidup untuk dibunuh. Masak sih
Tuhan sekejam itu? Kalau tokek, apakah sama hukumnya?”
35
“Ya sama saja, Mas. Kan tokek itu cicak besar. Banyak
yang bilang tokek menjadi media sihir, jika rumah banyak
tokeknya, ya…kau pikir sendirilah. Ah, sudahlah, kita ini kan
cuma manusia yang ilmunya cetek, Tuhan yang lebih tahu
segalanya,” aku menghentikan perdebatan menyebalkan ini.
“Kasihi semua makhluk Tuhan, Santya,” katamu lirih.
***
Bagiku tokek masih binatang yang menjijikkan, sebelum
aku berkunjung ke rumahmu. Waktu itu kamu mengajakku
berkunjung ke desamu, menghilang sejenak dari keriuhan
Jakarta, sambil menemaimu riset untuk tulisanmu berikutnya.
Orangtuamu menyambutku dengan ramah. Ibumu
memasakkan sejenis olahan daging kambing yang baru pertama
kali kujumpai. Namanya becek, kata ibumu. Kamu mengajakku
ke dapur, katamu lebih asik makan di dapur daripada di ruang
makan yang sebenarnya tidak ada di rumahmu.
Tekek…tekek…tekek…tekek…
Aku otomatis menjerit mendengar suara binatang
berwajah jelek itu. Binatang itu masih bersuara beberapa saat,
lalu diam.
“Empat kali. Tekek, muni, gara, gati,”
Aku memandangmu dengan tatapan “Maksudmu?”
“Tadi bunyi ‘tokek’-nya ada empat kali. Tekek, muni,
gara, gati,”
Dahiku mengernyit tanda penasaran.
“Apa itu, Mas?”
“Semacam hitungan, hitungan pertanda,” jawabmu.
36
Kamu tahu aku masih belum mengerti. Kamu tersenyum
lebar melihat muka seriusku. Yang membuatku sebal, kamu
tidak segera menjawab rasa penasaranku, malah mengambil
sayur becek dengan kuah yang masih panas untukku. Aroma
daging dan tulang kambing berpadu dengan asamnya daun
kedondong, bau khas kencur, pedasnya cabai rawit hijau dan
taburan bawang goreng yang sukses membuat perutku
berunjuk rasa. Aku mengambil sedikit nasi panas, kuguyur
dengan kuah becek yang banyak. Tidak pakai pendamping pun
sudah enak. Sejujurnya aku lebih menyukai olahan kambing
khas Grobogan ini daripada tengkleng Solo, lebih segar, tidak
bersantan.
“Makanlah dulu!”
Aku menurut. Kamu tidak bohong, masakan ibumu ini
memang tidak ada duanya. Aku melihatmu sama lahapnya
sepertiku. Aku meniru cara makanmu, yang katamu, sensasi
paling tak terlupakan makan becek adalah menghisap sungsum
tulang kambingnya. Sruput-sruput segar.
Selesai menghabiskan becek, aku mengambil irisan
semangka sekali makan yang sungguh segar. Semangka yang
dipanen dari sawah orangtuamu. Katamu daerah sini memang
penghasil semangka dan melon yang bagus. Sungguh kuingin
pindah ke sini saja.
“Mana ceritanya tentang tokek tadi? Lupa ya?” aku
menagih janjinya bercerita.
“Haha… maaf, perut kenyang membuatku ngantuk,”
kamu tertawa melihatku cemberut.
“Tokek di sini disebut tekek. Dalam keluargaku binatang
ini seperti alarm. Mereka membawa kabar sesuai apa hitungan
yang jatuh. Hitung saja berapa mereka bersuara “tekek”, lalu
tafsirkan sendiri. Urutannya adalah tekek, muni, gara, gati.
37
Tekek itu tokek, muni itu berbunyi, gara dari kata “gara-gara”
yang artinya akan terjadi sesuatu yang kurang baik, gati dari
kata “wigati” yang artinya penting. Ketika hitungan jatuh di
tekek dan muni, biasanya kami tak ambil pusing karena itu
hanya bunyi sambil lalu, para tokek itu hanya sedang ingin
bernyanyi saja. Nah, jika hitungan bunyi itu jatuh ke gara, atau
gati, baru kami waspada. Gara itu biasanya berita buruk, kalau
gati, biasanya sesuatu yang penting, mengejutkan, atau apalah
tapi tidak buruk seperti gara. Contohnya kedatangan kita ini,
sebelumnya ibu mendengar tokek bersuara “tekek” delapan
kali, yang jika kau hitung akan jatuh ke gati.”
Aku mengangguk. Tidak, aku tidak menuduhmu percaya
takhayul. Aku malah semakin kagum dengan dirimu dan
keluargamu yang apapun selalu ada filosofinya, bahkan untuk
binatang jelek macam tokek pun di keluarga ini sangat
disakralkan. Mungkin di tempatku keluarga ini akan dicap
aneh.
***
Tidak biasanya di rumah aku mendengar suara tokek,
setidaknya tidak sedekat ini. Tidak pernah ada tokek yang
masuk di rumah ini.
“Suaranya seperti dari kamarmu ya, San?” tanya bapak.
Bapak paling benci dengan suara tokek, apalagi bentuknya.
“Apa iya sih, Pak? Nggak ah,” aku menyanggah.
“Kamu sudah nggak pernah ngaji lagi ya? Sampai ada
tokek di kamarmu?”
“Aduh bapak, apaan sih bawa-bawa nggak pernah ngaji
segala, masa iya aku ngaji harus keras-keras,”
38
Bapak memeriksa kamarku, hasilnya nihil. Tapi beliau
masih sempat menceramahiku tentang bahayanya rumah jika
kemasukan tokek, akan banyak jin yang berdiam di situ. Beliau
mewanti-wantiku agar selalu perbanyak zikir. Terkadang aku
sebal dengan tingkah bapak yang begini. Bisa saja kan tokek itu
sampai ke rumah karena banyak pohon ditebang atau kebun
dan sawah yang sudah beralih fungsi? Toh nyatanya tokek itu
tidak ada di kamarku.
Esoknya tokek itu bersuara lagi. Aku mulai iseng
menghitung berapa jumlah bunyinya. Tokek itu bersuara saat
pagi, siang, dan menjelang magrib. Tidak pernah jatuh di
hitungan tekek atau muni, selalu di gara atau gati. Entah
pertanda apa yang ingin ia sampaikan.
Suara tokek ini berhasil membuat bapak uring-uringan,
apalagi beliau tidak berhasil menemukan wujudnya. Seisi
rumah dibuat ribut oleh ulah sang tokek. Keributan itu
bertambah ketika pagi itu, Deva, adikku menjerit, katanya ia
melihat tokek sebesar lengan orang dewasa di kamarku. Bapak
langsung ke sana membawa tongkat kayu untuk memukul si
tokek, namun tokek itu berhasil kabur. Cemong, kucingku, yang
juga penasaran dengan buruannya gagal mengejar tokek itu, ia
mengeong kesal. Bapak masih ingin menegejar tokek itu, tapi
ibu sudah berteriak untuk segera diantar belanja ke pasar dan
menyuruh Deva segera berangkat sekolah. Dengan kesal bapak
melempar tongkat itu dan mengancam akan memburu tokek itu
lagi.
Sesudah bapak pergi, tokek itu bersuara lagi, dekat sekali.
Aku mengedarkan pandangan, di pojok atas dinding kamarku,
aku melihatnya. Seekor tokek sebesar lengan orang dewasa,
menatapku. Matanya berputar-putar, mengejekku.
Santya, aku akan selalu mendampingimu, dalam wujud
apapun aku saat itu, dalam kehidupan apapun saat itu, aku
39
selalu ada buatmu. Jika hatimu peka, kau akan selalu
menemukanku…
Entahlah, ketika melihat tokek itu, aku merasa dia adalah
kamu. Kamu bilang dulu jika kamu dilahirkan kembali, ingin
menjadi tokek. Itu kata-kata terakhirmu tiga bulan lalu,
sebelum kamu meninggalkanku selamanya.
Kuacungkan tongkat kayu pada tokek jelek itu, “Nggak
ada binatang yang lebih bagus lagi gitu ya, Mas? Kenapa sih
kamu memilih tokek? Kamu mau dibunuh bapak? Atau diburu
Cemong?”
Dia menjawab dengan suara “tekek”-nya. Tiga kali, jeda,
lalu empat kali. Entah gara gati apa yang ingin ia sampaikan.
Sampai sekarang aku masih belum bisa memahaminya.
Mungkinkah dia itu...kamu? []
*Tokoh dalam cerita Seribu Tahun Mencintaimu karya Nikotopia.
Impian Nopitasari. Belajar bersama di Komunitas
Sastra Pawon. Banyak menulis fiksi dalam bahasa
Jawa. Kumpulan cerita cekaknya, Kembang Pasren
terbit September 2017 oleh penerbit Garudhawaca.
40
Liswindio Apendicaesatr
Hak Asasi
Realita Titik 0
Manusia adalah manusia adalah manusia. Makhluk hidup
adalah makhluk hidup adalah makhluk hidup. Kebernyawaan
adalah kebernyawaan adalah kebernyawaan. Penderitaan
adalah penderitaan adalah penderitaan. Kemanusiaan adalah
kebinatangan adalah kemanusiaan adalah kebinatangan.
Aku teringat pada kejadian 10 tahun lalu saat Jeremi yang
masih berusia 5 tahun menangis keras ketika sedang menonton
sebuah acara televisi tentang flora dan fauna. Aku mengira
acara tersebut mengandung adegan-adegan tidak pantas yang
bisa membuat anak kecil yang menontonnya mengalami
trauma. Acara itu adalah acara kesukaan Jeremi; setiap pukul
empat sore Jeremi selalu duduk manis di depan televisi
menyaksikan acara yang dimaksudkan sebagai pendidikan ilmu
pengetahuan alam, khususnya tentang biologi, kepada
masyarakat. Wajahnya selalu berseri dan matanya tampak
berbinar setiap tontonan tersebut menampilkan hutan-hutan,
pegunungan, air terjun, sungai-sungai yang dikelilingi
pepohonan lebat, lautan, dan angkasa raya. Tidak pernah
sekalipun Jeremi melewatkan satu episode sejak pertama kali
menontonnya.
41
Setelah satu hingga dua bulan, Jeremi mulai bisa
menjelaskan tentang perilaku-perilaku sederhana beragam
spesies hewan. Sebagai contoh, dia menjelaskan kepadaku
bagaimana serigala adalah spesies yang terlahir buta dan tuli,
tapi sebulan kemudian mereka sudah bisa melihat dan
mendengar, bahkan di usia dewasa mereka bisa mendengar
suara anggota kawanan mereka dari jarak sejauh 10 mil. Di lain
kesempatan Jeremi juga menjelaskan padaku soal matrifagi
yang terjadi pada suatu genus laba-laba; induk betina laba-laba
tersebut merelakan dirinya mati dimakan oleh ribuan anak-
anaknya yang baru 2 minggu menetas.
Tidak pernah Jeremi menangis sebelumnya meskipun
acara televisi tersebut menyajikan kehidupan alam liar yang
seringkali ganas dan kejam —Jeremi justru tampak kagum
setiap kali mengetahui hal baru tentang kehidupan alam liar itu.
Aku dan istriku tentu saja panik dan bertanya kepadanya
mengapa tiba-tiba dia menangis. Istriku mengira Jeremi
terjatuh atau tidak sengaja melukai dirinya—entah dengan cara
apa— ketika sedang menonton.
“Mengapa kita memenjarakan hewan-hewan di kebun
binatang dan membunuh hewan-hewan lalu memakannya?”
katanya sambil terisak.
Aku dan istriku terperanjat saling menatap tidak tahu
harus menjawab apa. Selebihnya aku tidak terlalu ingat apa
yang terjadi dan kami katakan selain berusaha menenangkan
Jeremi dengan memeluknya.
Hari ini seluruh masyarakat di dunia terkejut dengan
sebuah penemuan yang tidak pernah disangka oleh peradaban
manusia selama ribuan tahun. Berita-berita di media elektronik
dan cetak semua dipenuhi oleh bahasan serupa, para ahli dari
beragam ilmu saling berpendapat dan berbantah melalui
42
diskursus-diskursus terbuka baik yang disiarkan oleh televisi
maupun tidak, serta melalui tulisan-tulisan mereka di media.
Salah satu tulisan di surat kabar nasional berbunyi:
“…pertanyaan yang terpenting bukanlah apakah mereka bisa
berpikir dan berbudaya seperti kita, tapi apakah mereka bisa
merasakan penderitaan dan kebahagiaan. Sudah saatnya tirani
umat manusia berakhir. Ibu alam sendiri yang telah berbicara
dan menghadirkan bukti kepada kita.”
Tentunya pendapat yang demikian bukan satu-satunya
cerminan sikap seluruh umat dan bangsa-bangsa dalam
menghadapi masalah ini. Pihak-pihak bersebrangan justru
terdengar lebih keras dan menakutkan dalam menyuarakan
pandangan mereka:
“Ini adalah ancaman bagi keberlangsungan peradaban.
Mereka pasti adalah jelmaan iblis-iblis yang merupakan musuh
yang nyata bagi kita. Ini pasti muslihat yang akan
menjerumuskan dan melemahkan keyakinan bahwa manusia
adalah makhluk yang sempurna dan mulia. Ini adalah
peperangan untuk mempertahankan nasib umat manusia.”
Aku sendiri, yang jelas-jelas telah bekerja selama puluhan
tahun di bidang terkait, tidak tahu harus bagaimana menyikapi
hal ini. Tentunya kejadian ini adalah hal yang wajar menurut
ilmu pengetahuan yang kumiliki dan pelajari selama ini, tapi
hatiku masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku dan
mereka adalah setara.
Beberapa bulan lalu aku membaca suatu artikel sejarah
tentang kebun binatang manusia (human zoo) yang pertama
kali didirkan pada tahun 1800-an. Namun demikian,
sebenarnya pertunjukan atau ekshibisi yang menampilkan
manusia sebagai objek sudah ada jauh sejak tahun 1600-an.
Manusia-manusia yang ditampilkan dalam kebun binatang atau
43
ekshibisi manusia itu adalah mereka yang berasal dari
kelompok yang dianggap belum beradab dan modern, biasanya
seperti dari wilayah-wilayah di Afrika, Amerika Tengah, atau
orang-orang yang di zaman sekarang ini kita sebut sebagai
memiliki kelainan genetik atau kelainan kongenital. Mereka
dianggap tidak memiliki hak yang sama seperti bangsa-bangsa
modern dari Eropa; mereka diperlakukan seolah adalah hewan,
atau makhluk menjijikkan, atau monster mengerikan.
Di hari ini kita menyebut tindakan demikian sebagai
penindasan dan kejahatan kepada kemanusiaan. Namun, perlu
diketahui, istilah hak asasi sendiri adalah hal yang masih sangat
baru, belum dikenal luas, dan belum banyak digunakan ketika
itu. Demi kuasa langit, sesungguhnya bangsa manusia adalah
bangsa yang merugi dengan sejarah kelamnya, adalah bangsa
yang pada mulanya tidak beradab dan tidak mulia, sama sekali
berbeda dari yang selama ini kita kira.
Pertanyaan yang dilontarkan Jeremi sepuluh tahun lalu
terus-menerus bergaung dalam kepalaku. Lima belas menit lagi
aku harus menghadapi para wartawan media untuk
memberikan pendapatku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang
harus kukatakan. Jeremi yang mengetahui bahwa aku akan
menanggung beban berat hari ini —jawabanku nanti akan
disiarkan secara langsung dan berulang-ulang dicetak oleh
media-media massa— mengirimiku sebuah pesan singkat yang
berisi puisi buatan George Bernard Shaw berjudul Living
Graves:
We are the living graves of murdered beasts,
Slaughtered to satisfy our appetites.
We never pause to wonder at our feasts,
If animals, like men, can possibly have rights.
We pray on Sundays that we may have light,
To guide our footsteps on the path we tread.
44
We’re sick of War, we do not want to fight –
The thought of it now fills our hearts with dread,
And yet – we gorge ourselves upon the dead.
Like carrion crows, we live and feed on meat,
Regardless of the suffering and pain
We cause by doing so, if thus we treat
Defenseless animals for sport or gain,
How can we hope in this world to attain
The PEACE we say we are so anxious for.
We pray for it, o’er hecatombs of slain,
To God, while outraging the moral law.
Thus cruelty begets its offspring – WAR
“Kenyataan bahwa manusia dan simpanse hanya
memiliki perbedaan genetika tidak lebih dari satu persen dan
bahwa kita dan mereka memang memiliki spesies nenek
moyang yang sama, tidaklah mengherankan apabila akhirnya
kita menemukan sebuah peradaban primata selain manusia.
Sungguh tidak mengherankan kalau ada makhluk hidup lain
yang mampu berevolusi sedemikian rupa sampai akhirnya
mampu menemukan api, mampu memasak makanannya,
mampu bercocok tanam dan beternak, dan akhirnya
inteligensinya berevolusi cukup jauh sehingga mereka bisa
menciptakan simbol-simbol bahasa dan tulisan dan mendirikan
sebuah sistem kemasyarakatan.”
Wartawan-wartawan yang mendengar jawabanku itu
tampak terkejut. Padahal selama ini aku dikenal sebagai
seorang yang sangat relijius di kalangan kolegaku. Aku selalu
mengatakan bahwa meskipun aku adalah seorang ilmuwan
yang mempelajari evolusi makhluk hidup, aku tetap
mempercayai teks-teks kitab suciku. Pun demikian, Jeremi
sejak kecil selalu mengatakan padaku bahwa hewan-hewan
45
bukanlah diciptakan hanya sebagai aksesoris demi melengkapi
kebutuhan manusia. “Mereka adalah sesama makhluk hidup
yang juga berproses secara alami seperti kita, Ayah,” kata
Jeremi dulu. Terkadang aku merasa hidup itu sangat ironis.
Aku adalah ilmuwan dalam bidang evolusi, tapi justru anakku
yang berusaha mati-matian meyakinkanku kepada evolusi itu
sendiri. Sesungguhnya Jeremilah yang mengajariku untuk
menjadi seorang ahli evolusi sesungguhnya, untuk berpasrah
pada hukum alam, untuk menyatu dan kembali ke alam, untuk
menerima kenyataan bahwa aku bukanlah spesies yang paling
bijaksana dan mulia.
“Mungkin ini sudah saatnya kita berhenti untuk menjadi
kuburan hidup bagi bangkai-bangkai yang kita sembelih dan
kunyah setiap harinya,” kataku sebagai penutup wawancara.
Aku kemudian berlalu masuk ke dalam ruang kerjaku.
Eksplorasi nekat dua setengah tahun lalu yang
dimpimpin oleh seorang filolog gila bernama Frederik ke suatu
hutan belantara untuk menemukan peradaban tribal terisolasi
yang belum pernah terjamah sebelumnya telah melahirkan
kegemparan saat ini. Dia tidak sengaja menemukan suatu
peradaban hidup yang anggota masyarakatnya adalah primata
berwujud seperti simpanse. Bukannya langsung kabur karena
takut atau kaget —berkat kegilaannya— dia memutuskan untuk
berusaha berkomunikasi dan mempelajari bahasa mereka.
Akhirnya bukan saja dia berhasil menguasai bahasa dan aksara
mereka, tapi dia juga mengajarkan bahasa Inggris kepada suku
berwujud simpanse ini. Prestasi gilanya itu memang tidak
mengherankan mengingat dia adalah seorang yang sangat
jenius dalam bidangnya.
Setelah satu tahun menetap bersama dan saling bertukar
informasi, Filolog Frederik tidak langsung mengabarkan
penemuannya itu kepada dunia, tapi dia justru diam-diam
46
mengajak seorang ahli genetika untuk meneliti genom suku
mirip simpanse itu. Hampir dua bulan setelah keluar dari hutan
belantara di sebuah pulau terisolasi tersebut, Filolog Frederik
kembali ke sana bersama si ahli genetika itu. Entah bagaimana
dia berhasil membujuk pemimpin suku tersebut untuk
memberikan satu anggotanya agar menjadi objek penelitian.
Seperti peradaban manusia, mereka memberikan seorang
kriminal yang akan dieksekusi mati. Baginya, memberikan
kriminal tersebut kepada Filolog Frederik sama dengan
mengeksekusi mati karena dia akan enyah dari wilayah suku
tersebut, pun Filolog Frederik berjanji bahwa baik manusia
maupun si primata kriminal tidak akan pernah kembali ke sana.
Dia berjanji bahwa dia dan seluruh anggota timnya akan
merahasiakan keberadaan hutan dan pulau tersebut.
Hasil sekuensi genom terhadap si kriminal tersebut
menunjukkan bahwa perbedaan genetika antara manusia
dengan suku primata tersebut tidak lebih dari 0,3%. Ini berarti
mereka memang hampir mendekati manusia, atau bahkan
adalah manusia, atau sesuatu yang serupa manusia, atau entah
harus disebut apa. Yang jelas, mereka memiliki kecerdasan yang
tidak kalah dari rata-rata manusia pada umumnya.
Sebagaimana foto-foto dan video yang akhirnya ditunjukkan
Filolog Frederik kepada publik, pemukiman suku primata
tersebut sebenarnya lebih cocok disebut sebagai sebuah kota
kuno daripada desa, meskipun ukuran kotanya tidaklah kecil,
disebut demikian karena level modernitasnya lebih mirip
peradaban zaman Yunani atau Romawi kuno.
Entah apa yang alam inginkan dari peristiwa ini. Apakah
untuk membungkam keangkuhan manusia, atau justru
mengajak kita kembali pulang kepada yang asali?
Beberapa bulan telah berlalu, perbincangan di berbagai
negara kini semakin absurd, atau sebenarnya tidak, menjadi
47
tentang hak asasi hewan. Apabila konsep ini diterima, maka
artinya kita tidak lagi bisa memakan hewan. Kita akan menjadi
vegetarian, padahal memakan daging adalah salah satu faktor
penting yang memungkinkan nenek moyang Homo sapiens
mengembangkan inteligensi sehingga kini memiliki volume
otak sekitar 1300 sentimeter kubik beserta segala
kompleksitasnya yang menyebabkan kita membangun
peradaban modern
Keluargaku telah memutuskan menjadi vegetarian sejak
bulan lalu. Meskipun awalnya aku bersikap skeptis —sebab
fisiologi dan morfologi manusia memiliki sistem yang
mengkodratkan kita menjadi omnivora, tapi Jeremi
meyakinkanku bahwa hewan-hewan itu bisa merasakan
penderitaan layaknya manusia. Aku tidak bisa membayangkan
seandainya tiba-tiba muncul atau ditemukan spesies yang lebih
maju teknologi dan modernitasnya daripada manusia, lalu
mereka memutuskan untuk beternak manusia, menyembelih,
dan memakan daging manusia. Sebagai ahli evolusi aku paham
benar bahwa kemungkinan seperti itu sangat mungkin sekali
terjadi. Demi manusia itu sendiri, lebih baik kita berhenti
memakan daging, menurutku walau ragu.
Probabilitas Realita Masa Depan 1
Perumusan hak asasi hewan di pelbagai negeri menjadi
semakin rumit. Kubu-kubu pro dan kontra tidak bisa
menemukan kemufakatan dan masyarakat pun semakin
terpecah belah mengenai hal ini. Pertanyaan-pertanyaan
tentang apakah hewan memiliki jiwa, apakah mereka memiliki
kesadaran, apakah mereka dapat berpikir seperti manusia,
adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak menemukan
jawabannya. Apakah hanya karena mereka bisa merasakan sakit
dan ketakutan ketika akan disembelih atau dibunuh atau
48
disiksa, maka mereka serta-merta memiliki hak asasi yang
setara dengan manusia? Apa dan siapakah manusia itu? Apa
dan siapakah makhluk hidup? Apa itu nyawa, jiwa, kesadaran?
Apakah yang dimaksud dengan hidup dan kehidupan? Apakah
yang dimaksud dengan makan dan makanan?
Semakin berlarut masalah ini, semakin memakan waktu
dan biaya untuk rapat-rapat konstitusional. Protes masyarakat
semakin keras, baik dari kubu pro atau pun kontra. Tindak
kekerasan antara si pemakan daging dan si anti makan daging
terjadi, beberapa berakhir menjadi kasus pembunuhan. Para
pembela hak-hak hewan menjadi semakin brutal menuduh
bahwa si pemakan daging adalah kanibal, biadab, dan barbar.
Mereka merusak restoran-restoran, peternakan-peternakan,
dan pertanian-pertanian yang memakai pestisida.
Segelintir dari mereka bahkan menangkap seorang
pemakan daging dan menyembelih orang tersebut di tengah
publik, lalu mengulitinya, memotong-motong dagingnya, lalu
memasaknya. Kejadian itu direkam, diunggah ke internet, dan
disaksikan oleh orang-orang di seluruh dunia. Akibat kejadian
ini, hal yang serupa juga ditiru oleh orang-orang pembela hak
asasi hewan di beragam belahan dunia. Aparat keamanan
terpaksa menggunakan senjata api untuk menghentikan
kejadian-kejadian itu, korban berjatuhan pun tidak lagi
terelakkan. Kondisi semakin kacau.
Ada pula kelompok dengan ideologi yang lebih ekstrem,
meskipun tidak membunuh dan merusak, yaitu orang-orang
yang menginginkan agar manusia kembali hidup menyatu
dengan alam. Mereka berpendapat bahwa modernitas telah
membuat kita menjadi semakin tidak beradab, semakin terjadi
segregasi antara yang cerdas dan tidak cerdas, antara yang
berteknologi dengan suku-suku pedalaman, antara
kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Mereka ingin agar kita
49
menanam pohon banyak-banyak dan besar-besar lalu kembali
tinggal di tengah-tengah hutan dalam keadaan telanjang tanpa
berpakaian seperti halnya hewan-hewan, kembali pada insting
alamiah kita, kepada kodrat yang paling kodrati, kembali
menjadi bagian dari ekosistem yang seimbang.
Karena kekacauan yang tak bisa dikendalikan lagi, negara
adidaya X memutuskan untuk mengirimkan bom Hidrogen ke
wilayah hutan belantara pulau terisolasi tempat suku primata,
yang sekarang disebut sebagai Pan sapiens, berada. Lokasi yang
awalnya dirahasiakan oleh Filolog Frederik ini berhasil mereka
peroleh setelah menangkap paksa Filolog Frederik. Catatan-
catatan yang dibuat oleh Filolog Frederik pun mereka bakar
habis, dan keberadaan Filolog Frederik beserta seluruh krunya
hilang tanpa jejak.
Kelompok-kelompok pembela hak-hak asasi hewan
ditangkap, dipenjarakan, dibuang ke pulau terpencil,
dibungkam, dan setelah itu kehidupan manusia kembali
berjalan normal seperti sedia kala.
Probabilitas Realita Masa Depan 2.1
Pembahasan-pembahasan tentang makna hidup dan
makhluk hidup semakin banyak dibahas di acara-acara televisi.
Pelan-pelan masyarakat tercerahkan tentang yang
sesungguhnya melahirkan hak asasi untuk hidup adalah makna
hidup itu sendiri, makna hidup yang pada masing-masing
individu terdefinisikan melalui rasa menderita dan bahagia,
rasa takut dan aman, rasa kebersamaan dan kehilangan.
Pemaparan tentang bagaimana hewan-hewan
sesungguhnya juga mengalami dan memiliki makna hidup dan
perasaan-perasaan serupa manusia tersebut telah menggugah
hati banyak orang. Mereka yang memelihara hewan tampil di
50
televisi-televisi memberikan kesaksian bagaimana hewan-
hewan peliharaan mereka mampu merasakan kebahagiaan dan
kesedihan, mampu menunjukkan kepedulian dan cinta kasih
layaknya manusia. Ilmuwan-ilmuwan menjelaskan beragam
perilaku hewan yang menunjukkan bahwa beragam hewan
sesungguhnya adalah makhluk hidup yang memiliki kecerdasan
dan perasaan, bahkan beberapa di antara bisa memecahkan
masalah meskipun dalam level yang berbeda-beda.
Pelan-pelan, setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya
hak asasi hewan pun dirumuskan dan diakui dalam konstitusi-
konstitusi beragam negara. Umat manusia pun akhirnya
menjadi vegan. Untuk mengatasi masalah kekurangan asam
amino dan nutrisi hewani lainnya, para ilmuwan telah berhasil
mensintesa zat-zat penting bagi tubuh tersebut di dalam
laboratorium tanpa melibatkan hewan-hewan sama sekali.
Akhirnya mesin industri untuk produksi masif sintesa nutrisi
hewani tersebut berhasil diciptakan dan masyarakat pun tidak
perlu mengalami malnutrisi dan dapat hidup normal.
Satu milenium kemudian, seorang ahli botani melakukan
ekspedisi ke sebuah pulau tak berpenghuni di tengah samudra
nun jauh. Di sana dia menemukan suatu kelompok tetumbuhan
yang dapat bergerak, berbicara, dan menulis. Kelompok
tetumbuhan ini memiliki kecerdasan yang jauh melebihi
hewan-hewan di pulau tersebut. Hewan-hewan di sana diternak
layaknya manusia beternak hewan. Sesekali mereka
menyembelih hewan sebagai persembahan kepada Tuhan Yang
Maha Kuasa yang mereka sembah dalam sistem kepercayaan
mereka.
Berdasarkan penelitian si ahli botani, entah bagaimana di
tengah-tengah batang utama para tetumbuhan bergerak ini,
mereka memiliki sistem saraf pusat yang memberikan mereka
kemampuan hidup serupa dengan hewan-hewan dan manusia.
51
Hasil ekspedisi ini tersiarkan ke seluruh dunia. Sekali lagi
umat manusia berada dalam dilema tentang hak asasi: Apakah
tumbuhan juga memiliki hak asasi hidup seperti manusia?
Apakah manusia akan terus memakan tanaman atau
memutuskan tidak lagi makan apa-apa kecuali suplemen nutrisi
sintetis?
Probabilitas Realita Masa Depan 2.2
Setelah manusia memutuskan menjadi vegan, lama-
kelamaan mereka berevolusi menjadi bentuk-bentuk yang agak
berbeda. Inteligensi mereka pun turun seiring menyusutnya
volume otak mereka. Manusia-manusia di masa depan tidak
lagi dapat memahami dan menciptakan teknologi modern.
Dengan menurunnya peradaban ilmiah manusia, maka mereka
menjadi kesulitan menghadapi penyakit-penyakit. Populasi
manusia di dunia kini berkurang drastis.
Sementara itu, populasi suku primata Pan sapiens
semakin berkembang, bukan hanya secara kuantitas tapi juga
kualitas. Meskipun perawakan mereka masih mirip simpanse,
kini mereka telah menyebar ke beberapa pulau dan membentuk
koloni di sana. Lama-kelamaan mereka berhasil menciptakan
teknologi, menciptakan senjata-senjata, merumuskan sains
kompleks dan menggunakannya untuk kemajuan peradaban
mereka.
Jumlah mereka yang semakin banyak kini tidak lagi bisa
disebut sebagai suku, tapi lebih tepatnya bangsa. Beberapa abad
kemudian, tempat-tempat tinggal manusia terinvasi, tergusur,
dan manusia menjadi santapan bangsa primata Pan sapiens,
atau menjadi objek penelitian mereka. Di masa ini kita bisa
menemukan tempat-tempat peternakan dan penjagalan
52
manusia, pemerahan susu manusia, pacuan manusia, dan
sabung manusia.
Pembiakan-pembiakan manusia melalui proses rekayasa
genetika dan domestikasi juga marak dilakukan sehingga di
masa tersebut ras dan bentuk-bentuk manusia semakin
beragam dan manusia pun menjadi makhluk multifungsi
menggantikan kegunaan hewan-hewan lain. Ras-ras unik
seperti manusia berambut spiral, berkulit warna-warni,
bersuara ultrasonik, berleher panjang dan elastis, berjari
tentakel, dan semacamnya dijadikan peliharaan-peliharaan. Ras
manusia yang memiliki otot-otot besar dipakai untuk jadi
penarik kendaraan, pembajak sawah, atau dirantai di dekat
pagar-pagar rumah yang didekatnya dipajang tulisan “AWAS,
MANUSIA GALAK!!!” []
Liswindio Apendicaesar, merupakan lulusan
Kedokteran, Universitas Sebelas Maret tahun 2018.
Menulis cerpen dan esai, juga puisi. Kumcer
pertamanya Malam untuk Ashkii Dighin (bukuKatta,
2017)
53
Nurni Chaniago
Bejo Cilaka
Setelah beberapa lama makam di kampung kami tidak ada
yang menjaga, semenjak Mbah Bejo yang tua renta meninggal
dunia. Kini kami dapat bergirang hati, sebab makam tidak lagi
marimba dan sepi. Ada lagi seorang tua yang menjaganya
sekarang. Entah mengapa, orang tua itu juga bernama Mbah
Bejo.
Mbah Bejo kedua ini, juga sama tua dan keriputnya,
senang pula menghisap rokok menyan. Tapi yang sungguh
mengherankan, sifatnya sangat bertolak belakang dengan Mbah
Bejo dulu yang ramah dengan kata-kata sopan layaknya orang
yang sudah tua. Karena sifat dan watak yang berkebalikan
itulah maka wajar pula orang di kampung kami menyematkan
gelar padanya dengan sebutan Mbah Bejo Cilaka.
Dia sering menceracau dengan kata-kata yang tidak
sopan pada setiap Kamis sore ketika orang-orang datang
berziarah ke makam dengan tidak memberikan saweran uang
receh padanya. Dia yang selalu duduk di pintu gerbang makam,
persis dekat kotak sumbangan.
“Ndhi, tinggalane. Mangsamu penak lenjaga makam?”
demikian gerutunya.
Kadang dia menadahkan tangan langsung, seperti
peminta-minta atau pengemis.
54
“Nggo tumbasrokok, aja medhit-medhit, mengko mati
kejepit!” serapahnya.
Lucunya lagi bila kita membutuhkan sesuatu seperti sapu
untuk membersihkan makam.
“Sewu sik, nek ora, sapunen waekaro drijimu.” katanya
lebih lanjut.
Kata-kata itu sering diucapkan dengan wajah serius,
bukan dengan berkelakar. Matanyapun berkilat tajam, tidak
senang melihat kepada orang-orang yang hanya memberikan
recehan 500 rupiah. Bukannya terimakasih yang keluar dari
mulutnya yang sudah ompong itu, tapi seringkali justru makian.
Dari hari ke hari, kelakuan Mbah Bejo Cilaka semakin
menjadi-jadi. Tidak hanya menunggu di makam saja untuk
memperoleh rejekinya sekali seminggu. Sekarang dia mulai
mendatangi rumah-rumah warga kampung. Dia akan berjalan
terseok-seok dengan tongkat dari bekas gagang payung.
Mengetuk pintu di siang bolong, dengan suaranya yang keras.
“Ethok-ethok turu! Mudheng, ana wong njaluk!” begitu
ceracaunya bila tidak ada yang muncul membuka pintu.
Kadangkala dia datang pagi-pagi benar saat orang sedang
sibuk mempersiapkan anak ke sekolah atau suami yang mau
berangkat ke kantor. Dia membawa gelas besar dan minta
dibuatkan teh manis. Aku pernah membuatkan teh untuknya.
Gelas besar itu harus kuberi gula sebanyak 7 sendok makan
penuh dan baru terasa manis.
Banyak orang kampung yang menutup pintu, jika dari
kejauhan sudah terlihat Mbah Bejo Cilaka berjalan terseok-seok
menuju rumah mereka. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang
memaki dan menghardiknya bila Mbah Bejo Cilaka meminta
sesuatu dengan memaksa. Sepertinya mereka sudah tidak ada
lagi rasa hormat terhadap orang tua renta yang sebatang kara
55
itu. Mereka menganggap Mbah Bejo Cilaka sebagai orang yang
menyebalkan, pikun, budheg dan tak perlu dikasihani.
Badannya kotor, kata-katanya pun juga kotor dan rasanya
tidaklah pantas keluar dari mulut seorang tua. Sungguh
menjengkelkan!
***
Waktu belakangan ini, Mbah Bejo Cilaka jarang berada di
makam lagi. Dan sudah hampir satu minggu pula ibuku datang
dari Padang, Sumatera Barat, menjenguk aku sekeluarga di
kampung.
Suatu hari ketika aku pulang dari mengajar di sebuah
sekolah menengah pertama di kota kecamatan di mana aku dan
keluarga tinggal, kulihat di depan rumah ibuku menunggui
Mbah Bejo Cilaka yang sedang makan dengan lahapnya. Sekilas
Mbah Bejo Cilaka menatapku, sesaat kemudian ia kembali asyik
menekuri piring nasi yang cukup lauknya. Satu tempe bacem,
sayap ayam goreng, dan sayur bobor mbayung yang
menggunung.
Aku masuk ke dalam rumah, lalu mengintip dari balik
kaca jendela dan memperhatikan kedua orang tua itu. Mereka
seperti sedang bercakap-cakap, tapi aku yakin bahasa mereka
tidaklah nyambung. Sebab ibuku hanya bisa bahasa Minang,
sementara Mbah Bejo Cilaka berbahasa Jawa.
Setelah selesai makan, kulihat Mbah Bejo Cilaka
mengeloyor pergi begitu saja, tanpa basa-basi ucapan
terimakasih. Dan aneh, kulihat raut wajah ibuku tidak ada
sedikitpun keruh dibuatnya, apalagi merasa sebal atau jengkel.
“Apakah orang tua itu tidak menjengkelkan bagi ibu?”
tanyaku.
56
“Apakah itu sebabnya kamu enggan memberinya
makan?” ibuku balik bertanya.
“Bagaimanapun keadaan dan sifat orang tua yang tidak
berdaya itu, kita tetap saja berdosa menolak permintaan orang
yang kelaparan. Akan datang bahaya apabila menolak orang
minta makan!” lanjut ibuku seolah memberi petuah padaku.
“Semua orang tua yang berperangai seperti itu bukanlah
kehendaknya, tapi rahasia Tuhan memberikan ujian pada kita
di sekitarnya untuk beramal,” jelas ibuku lebih lanjut.
***
Pada hari libur kelas, bersih-bersih rumah adalah
pekerjaan rutin yang biasa kulakukan. Mengeluarkan sofa
untuk dijemur, juga kasur dan bantal-bantal kursi.
Menjelang tengah hari yang terik, saat aku sedang
mengelap kaca jendela dari dalam dan ibu memasak di dapur,
kulihat Mbah Bejo Cilaka sudah berada di depan gerbang pintu
rumah, melongokkan kepalanya di sela-sela jeruji besi. Dia
tidak lagi menggedor-gedor pintu dengan tongkatnya seperti
biasa ia lakukan, tapi hanya memanjang-manjangkan lehernya,
melihat ke segala penjuru rumah. Dan sesaat kemudian dia
berlalu.
Namun tidak seberapa lama, aku mendengar tetangga
sebelah rumahku memaki-makinya. Aku mengintip dari celah
pagar rumah dan melihat Mbah Bejo Cilaka dengan mata
berkilat menyodor-nyodorkan gelas kusamnya.
“Ra nduwe gula, Mbah! Saben dina kok njaluk!”
“Teh tawar yo gelem!”
“Ra nduwe teh!”
57
“Banyu putih yo ra nduwe?”
“Rung nggodhog! Mrono, lunga kana! Ra ngerti pa, aku
lagi repot, Mbah!”
“Ra ndhuwe banyu? Nek omahmu kobong piye?”
“Lambene wong tuwa kok ngana tho Mbah? Nganyelke
tenan kowe!”
Kudengar tetanggaku itu kemudian mengusir Mbah Bejo
Cilaka dengan cukup kasar. Mbah Bejo Cilaka pun kulihat mulai
beranjak pergi sambil bersungut-sungut dengan gumam
serapahnya.
Tak beberapa lama...
“Kebakaran… kebakaran…. tolong…. tolooonngggg....!”
Mendadak aku mendengar teriakan histeris dari arah
rumah tetangga sebelah.
Aku menghambur keluar bersama ibu. Dan betapa
terkejutnya kami, rumah tetangga sebelah yang hanya berbatas
pekarangan dan kolam di sampingnya itu telah memerah. Api
berkobar, menyambar-nyambar, dan semakin membesar.
Para tetangga mulai berdatangan. Ada yang membawa
ember, kaleng cat, gayung dan sejenisnya. Mereka semua
berusaha memadamkan si jago merah yang menjilat-jilat. Asap
hitam membubung ke angkasa. Suara gemeretak dari kayu-kayu
kusen pintu, jendela dan atap rumah mulai berubuhan,
menjelma arang membara. Api masih terus berkobar!
Sekitar satu jam kemudian, petugas pemadam kebakaran
datang dengan raungan sirene yang memekakkan. Mereka
begitu gesit dan bahu membahu dengan para tetangga berusaha
memadamkan api dengan mengambil air kolam yang ada.
58
Tak lama setelah itu, api pun padam. Tinggal puing-puing
rumah yang hitam, tembok-tembok yang berjelaga, dan
sesenggukan isak tangis si pemilik rumah yang menyayat.
“Api si gulambai*,” bisik ibu ke telingaku.
***
Semenjak kejadian itu, Mbah Bejo Cilaka tidak pernah
lagi terlihat di kampung kami. Dia telah pergi, entah ke mana.
Tanpa jejak. Tak ada yang tahu.
Makam kembali sunyi, kotor, bersemak liar dan
menghutan. Terasa wingit dan angker! []
Delanggu, Februari 2018
*Api Si Gulambai (Bahasa Minang): sebuah peristiwa dimana api
yang datang tiba-tiba, yang dianggap sebagai balasan bagi orang
pelit. Tidak mau memberi minum orang yang kehausan, memberi
makan bagi orang yang kelaparan.
Nurni Chaniago adalah nama pena dari Nurni, S,
Pd, asli berdarah Minang, tapi lahir di Bengkulu, 10
Maret 1970. Menempuh pendidikan seni di SMKI
Bengkulu dan lulus Sarjana Jurusan Seni Tari IKIP
Yogyakarta tahun 1996.
Sejak SMKI, ia aktif menari, juga menulis cerpen dan
puisi, serta berteater.Cerpennya berjudul “Sekat
59
Selubung Gadis Panggung” pernah memenangi lomba
penulisan dan baca cerpen di Bengkulu sebagai juara
umum.
Beberapa cerpennya pernah dimuat di koran Solopos,
Buletin Sastra “Littera” dan terhimpun ke dalam
antologi cerpen terbitan Taman Budaya Jawa Tengah
(2006-2008). Sedangkan kumpulan puisi tunggalnya
bertajuk “Merapuh” telah terbit tahun 2016.
Pada tahun 2018, cerpennya berjudul “Gading” telah
diadaptasi dan difilmkan oleh cineas muda Bengkulu
yang diproduksi oleh Rafflesia Motions, serta tayang
di Cinema XXI Bencoolen Mall.
Sekarangtercatat sebagai guru Seni Budaya di SMPN 4
Delanggu, Klaten. Tinggal di Rejosari RT 05 RW 07,
Sabrang, Delanggu, Klaten.
E-mail. [email protected]
60
Olen Saddha
Hujan Tanpa Jeda di Kota yang
Tenang dan Tanpa Gairah
Hujan mengalir tanpa jeda. Tapi otak mereka masih beku.
Hidup berdua memang lebih mudah, karena beban akan
ditanggung berdua. Tapi hidup berdua juga susah, karena
berarti kebutuhan menjadi berlipat-lipat.
Mereka sering kelelahan bukan karena tubuh yang
dipaksa bekerja seharian, tapi karena otak yang terlilit
memikirkan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga yang
menumpuk. Rasanya tidak ada yang ingin mereka lakukan
malam ini selain menarik benang-benang kusut di otak masing-
masing. Supaya mengalir lepas seperti hujan malam ini. Hujan
yang mengalir tanpa jeda.
"Aku ingin kembali melukis, tapi nanti siapa yang cari
uang?" celetuk si pria.
Perempuan muda yang berbaring di sampingnya tak
menjawab.
"Di sini mau jual karya susah. Orang-orang di sini masih
sibuk mencari kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka tidak
tertarik membeli karya. Barangkali mereka pikir lebih baik beli
beras yang jelas bisa dimakan dari pada beli lukisan yang cuma
dipajang," keluh si pria.
61
Perempuan di sampingnya hanya menghela napas
panjang.
Sebelum memutuskan menikah, mereka berdua sama-
sama paham dan sadar atas kemungkinan-kemungkinan yang
akan terjadi di tahun-tahun awal pernikahan. Akan banyak
malam yang habis karena otak yang lelah menghitung jumlah
kebutuhan rumah tangga. Dan keduanya tidak lekas jenuh
untuk saling mengingatkan agar tetap menjaga energi untuk
membuat karya. Meskipun berkarya saat ini tidaklah mudah.
Bahwasannya mereka harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan
rumah tangga terlebih dahulu sebelum berkarya. Perempuan itu
masih sering mengeluh dalam pikirannya. Di masa lajangnya
dulu, ia bisa menulis puisi dan cerita-cerita dengan lepas, tapi
setelah menikah ada beberapa hal yang melahirkan jeda dalam
rutinitasnya menulis. Begitu pun dengan si pria. Dulu ia
percaya bahwa seseorang harus tetap bergerak untuk
memperjuangkan karya. Baginya, melukis bukan hanya sekadar
upaya memupuk eksistensi. Melukis adalah caranya untuk
mengolah gagasan, perasaan, dan sarana refleksi. Melukis
bukan hal yang instan baginya, maka dalam membuat karya ia
perlu untuk mengolah dan memikirkan hingga matang. Tapi,
hidup berdua berarti menyatukan dua titik yang semula
berjauhan menuju satu titik temu.
"Kamu tidak ingin pindah?" Suara si perempuan
terdengar sayup-sayup karena beradu dengan suara hujan yang
lebat.
Si pria tidak menjawab. Ia hanya menatap langit-langit
kamar.
"Kita bisa pindah ke Jogja, Jakarta, atau Bandung. Di
sana kita bisa mendapatkan lingkungan yang lebih segar. Di
sana kita bisa memaksimalkan waktu untuk berkarya dan tidak
62
akan sepusing ini memikirkan keperluan rumah tangga." Suara
si perempuan terdengar seperti keluhan.
Si pria masih tak menjawab.
"Di sana orang-orang tidak hanya memikirkan makan,
kita bisa menjual karya dengan lebih mudah." Suara si
perempuan agak meninggi.
"Di sana banyak orang bingung," ucap si pria dengan
nada yakin.
"Tapi kita di sini lebih bingung. Mayoritas orang di sini
tidak memiliki motivasi. Kau ingat pameran yang kaugelar
minggu lalu? Tidak banyak dari mereka yang hadir secara utuh.
Mereka hanya hadir secara fisik, tapi pemikiran mereka entah
di mana," gerutu si perempuan jengkel.
Si pria memiringkan badannya dan membelakangi
istrinya. "Di kota-kota besar yang kausebut tadi, sudah banyak
seniman-seniman besar. Dibanding dengan mereka, aku ini
tidak ada apa-apanya,"
Si perempuan ikut memiringkan badan menghadap
suaminya, "Kau bisa memulai segalanya dari awal."
"Aku sudah berkepala dua dan memiliki istri." Ia
membalikkan badan menghadap istrinya, "memulai segalanya
dari awal itu butuh waktu yang tidak singkat. Kau mau aku
fokus berkarya, tapi tidak memberimu uang buat beli beras dan
sayur?"
"Terus kita harus bagaimana?" Si perempuan cemberut
dan kesal.
"Kita tetap di sini," jawab si pria singkat.
Di kota kecil ini mereka memulai berkenalan dengan seni.
Bertemu dengan orang-orang baru, menelusuri jalan takdir
masing-masing hingga akhirnya saling bertemu dan menikah.
63
Tapi ternyata kota kecil ini hanya mampu menampung
keinginan mereka untuk memulai karir. Sedangkan untuk
berkembang dan hidup melalui gagasan dan karya mereka
sangat susah. Mayoritas teman yang mereka miliki tidak bisa
menjadi teman diskusi yang membangun dengan masukan dan
kritik. Sangat sedikit teman yang mereka miliki untuk bertukar
gagasan segar.
Mengingat pertemuan awal selalu membuat keduanya
bersyukur. Mereka memiliki otak yang bertolak belakang, tapi
justru mampu menjadi lawan bicara yang segar. Seringkali ada
pemikiran-pemikiran berbeda tapi justru menjadi sudut
pandang lain yang menarik. Sejak saat itu mereka sering
mengobrol tentang teman, seni, dan kota kecil yang tenang dan
tanpa gairah ini. Saat itu mereka paham bahwa kota kecil ini
memerlukan lebih banyak orang untuk bergerak. Dan mereka
ingin menjadi bagian dari orang-orang itu, bergerak dengan
cara dan karya masing-masing.
"Di kota ini kita tidak sedang bulan madu. Di sini kita
hidup dan menyusun masa depan," ucap si pria lamat-lamat.
"Kita juga bisa hidup di kota lain. Kota yang memberi kita
ruang longgar untuk berkarya," bantah si perempuan.
"Baik di sana maupun di sini, kita tetap akan mengalami
banyak persoalan." Si pria menyatakan kalimatnya dengan
tegas.
Si perempuan menghela napas yang lebih panjang,
kemudian menatap langit-langit kamar. Berharap langit-langit
itu lenyap, agar hujan malam ini mengguyur tubuhnya yang
risau. "Terus kita harus bagaimana?"
Si pria mendekatkan diri untuk memeluk istrinya yang
sedang kebingungan. "Kita tetap di sini. Hidup dan membuat
karya sesuai dengan lingkungan kita di sini. Jika pemikiran
64
orang-orang di sini tidak terbuka, biar saja. Minimal kita
membuat karya untuk menjaga kesadaran kita sendiri. Jika otak
kita lelah memikirkan bagaimana cara yang tepat agar apa yang
kita lakukan tidak sia-sia, biar saja. Karena memang seharusnya
begitu. Pemikiran-pemikiran kita lahir di sini. Kita sudah
menjadi bagian dari kota kecil ini."
Hujan masih mengalir tanpa jeda. Mereka berpelukan
untuk menghangatkan satu sama lain. Menghangatkan pikiran
yang beku. Biar cair dan mengalir seperti hujan lebat yang
mengguyur rumah kecil yang mereka sewa untuk satu tahun ke
depan. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain tetap
menyambung hidup dan menjaga kesadaran di sini, di kota
kecil ini. Kota kecil yang tenang dan tanpa gairah ini. []
Olen Saddha lahir di Blitar pada 28 Mei 1996. Saat
ini ia berdomisili di Surakarta. rapa antologi-antologi
bersama, dan surat kabar. Buku puisinya berjudul
Memandikan Harapan diterbitkan oleh Kekata
Publisher (Surakarta) pada bulan Mei 2017. Ia dapat
dihubungi melalui akun instagram: @olensaddha, fb:
Olen Saddha, Email: [email protected]
65
Rizka Nur Laily Muallifa
TimurAngin
Ia lahir ketika negeri tidak lagi senja. Udara berlarian tak
terlalu kencang. Sayup-sayup meliukkan dedaunan berbagai
jenis pohon di kebun samping rumah. Ibunya menyiangi benih-
benih rumput yang mungkin baru tengah malam tadi tumbuh,
sehingga pagi harinya tidak akan tersisa seutas rumput pun
yang selanjutnya akantertangkap mata siapapun yang kebetulan
melintasi kebun mereka. Beliau juga rutin mengecek kondisi
tanaman-tanaman yang ada di kebun. Memastikan pohon
tomat tidak keberatan menopang buahnya. Begitu menemui
bakal buah tomat beliau akan segera menancapkan sebilah
bambu. Mengambil ancang-ancang sebelum buah pada pohon
tomat itu terlalu besar dan membuat batang pohon kesakitan
menahan beban. Sebilah bambu itu kemudian menjadi
penyokong yang bersedia menjadi sandaran pohon tomat
sampai buahnya siap dipanen oleh sang empunya kebun. Kebun
itu, ia suka menyebutnya ‘kebun ibu’. Meski dia tahu ibunya tak
menyukai sebutan itu.
Aku suka menyematkan kata ‘aktivis lingkungan’ di
belakang namanya. Kepeduliannya pada alam yang berlebihan
kupikir menjadi alasan yang cukup untuk menyebutnya sebagai
seorang aktivis. Ia selalu menolak kubelikan air minum
kemasan atau minuman jenis apapun yang sesudah habis nasib
wadahnya akan masuk tong sampah. Ia paling suka es teh
66
dengan rasa yang agak pahit. Biasanya kami meminumnya di
tempat. Setergesa apapun, ia selalu menolak membungkus es
teh. Seusai dipakai, gelas tinggal dicuci, tidak perlu dibuang.
Demikian ia selalu berkata. Ia selalu membawa tas multifungsi
di setiap kepergiannya. Maksudku, tas yang ia bawa tidak cuma
mampu memuat dompet dan alat kecantikannya. Kupikir ia
sengaja. Ia biasa memasukkan barang-barang belanjaan ke
dalam tas yang dibawanya. Pernah suatu kali, ketika aku
mencetak cukup banyak makalah untuk seminar proposal
tesisku, tanpa komando ia memasukkan semua yang tercetak
ke dalam ranselnya. Gerakannya itu lebih cepat dari petugas
percetakan menyobek plastik dari gulungannya. Itu tak cuma
dilakukannya sekali. Setiap kali kami berurusan dengan
percetakan, ia selalu menolak berkasnya diplastik. Beberapa
kali ia pernah tak terlalu konsentrasi hingga berkasnya telanjur
diplastik oleh petugas. Sesudah itu, ia akan mengembalikan
plastik kepada petugas dan memasukkan berkas ke dalam
tasnya. Lama-kelamaan petugas percetakan tempat kami biasa
datang hafal kebiasaannya.
“Mbok ya sudah, kan nggak etis mengembalikan plastik
yang sudah terpakai ke petugas,” suatu kali aku geram atas
sikapnya.
“Kan masih bersih. Lagi pula, juga bisa digunakan untuk
membungkus berkas milik konsumen lain,” dalihnya enggan
kalah.
***
Semilir Angin. Itu nama panjangnya. Ia biasa dipanggil
SeAng. Aku mengenalnya enam tahun silam. Saat itu kami
sama-sama menghadiri parkiran jazz—perhelatan musik yang
67
menjadi agenda rutin Bentara Budaya Solo sebulan sekali. Aku
meliput untuk kebutuhan pengisian media daringkantorku. Ia
datang untuk memburu imaji. Pernyataan itu kuperoleh ketika
aku mewawancarainya. Dari awal kedatanganku, sosoknya yang
mungil sontak membayang-bayangi alam pikiranku. Maka, usai
semua pemusik tampil dan kulihat dia masih tenang dalam
duduknya, aku menghambur ke arahnya yang berjarak tak
telalu jauh dari tempatku duduk. Kami sama-sama berada di
deretan kursi terdepan. Posisi dudukku hanya berselang tiga
kursi dengan posisi duduknya.
“Hai nona, tidak berniat segera pulang? Aku Timur,
wartawan,” aku mengeluarkan kartu pers dan menyodorkan
kepadanya. Dia menolak memeriksanya.
“Aku percaya. Aura wajahmu macam pemburu. Masih
belum ingin pulang. Kamu sendiri?”. Dia tersenyum. Kedua
ujung bibirnya tertarik simetris. Dia cukup manis.
“Pemburu berita. Hahaha. Oh oke, masih ada yang mesti
kuburu. Kalau berkenan, aku ingin berbincang denganmu soal
acara malam ini, tapi aku harus bertemu dengan beberapa
pemusik dan panitia penyelenggara. Andai kau tidak keberatan,
kita berbincang seusai aku mewawancarai mereka. Tapi aku
tidak memaksa. Kamu gadis. Aku akan berdosa bila
membuatmu pulang terlalu larut. Bukankah begitu?”
“Hahaha. Baik. Aku tidak tahu kamu penganut zaman
apa, yang jelas malam bukan lagi persoalan bagi gadis
seusiaku.”
“Hahaha. Oke. Duapuluh menit lagi aku kembali,”
kukeluarkan KTP dan kartu ATM. Kusodorkan padanya. Ia
terperangah. Aku berlari.
68
“Buat jaminan kalau aku tidak main-main,” suaraku
tertelan laju sepatu yang berdentuman dengan lantai. Ia geleng-
geleng. Mungkin mendengar teriakanku.
Kami meneruskan perbincangan di kawasan salah satu
bank kenamaan sembari menyeruput wedang ronde. Ia tak
terlalu suka aroma jahe pada wedang ronde, tapi ia sering
datang kemari untuk memburu imaji, demikian
dakunya.Mahasiswi biologi yang lebih suka membaca dan
menulis sastra. Gadis penuh imajinasi. Itu penyimpulan
sepihakku atas pertemuan kami malam itu. Alam dan segala
simbiosis yang terjadi di dalamnya sudah ia kenal sejak
wujudnya masih gumpalan darah. Ibunya ketua Dharma
Wanita tingkat kabupaten yang dengan beberapa organisasi
perempuan lainnya memprakarsaigerakan perempuan tanam
dan pelihara di daerahnya. Persenggamaannya dengan alam
sejak dini membuat ia memutuskan memilih program studi
biologi saat seleksi masuk perguruan tinggi. Baginya,
memelajari alam ialah sebuah keharusan. Meskipun diam-diam
ia memuja sastra semenjak ketidaksengajaannya menengok
dunia itu saat memasuki tahun kedua Sekolah Menengah Atas.
“Aku suka datang ke acara-acara musik, apapun itu,
meski aku tak paham musik. Aku suka melihat pemusik-
pemusik asyik dengan permainannya. Mereka begitu bebas.
Begitu hidup”
“Emmm, aku lebih suka datang ke acara jazz seperti ini
karena tidak lebih riuh dari konser musik pada umumnya.
Apalagi?”
“Kupikir cukup. Sebagai ucapan terima kasih, akan
kupastikan kamu baik-baik saja sampai rumah. Sampai kau
masuk rumah. Bagaimana?”
69
“Hahaha. Kamu berlebihan. Aku akan baik-baik saja. Aku
biasa pulang sendirian”
“Meskipun sudah larut,” imbuhnya tergesa seolah
membangun benteng pertahanan dari serbuanku.
Sejak malam itu, aku mencipta kelebatan-kelebatan
seandainya aku benar-benar jadi wartawan kebudayan. Tentu
aku berniat semakin giat meliput. Entah itu musik, tari, teater,
sastra, pameran fotografi maupun lukisan, dan lain sebagainya.
Keberangkatanku selalu dibersamai imaji tentang pemilik bibir
yang mencuatkan senyum simetris. Dan memang, aku hampir
tak pernah tak menemuinya di setiap acara-acara kebudayaan
di kota ini. Aku diam-diam mengabadikan dirinya dalam lensa
kameraku.
***
Aku lulus sebagai sarjana ekonomi dan melanjutkan studi
pascasarjana di kota yang sama. Ihwal studi pascasarjanaku
yang kutempuh di kota yang tak beda antara lain disebabkan
oleh kata-katanya yang menggemakan pemujaan atas kota ini.
Betapa banyaknya seni yang berleleran di sepanjang jalan di
kota ini. Seni mahal yang tak melulu berbayar. Manusia tak bisa
hidup tanpa seni. Entah terlibat aktif dalam proses kreatif seni
itu sendiri. Entah sebagai penikmat. Kata-katanya terus saja
merangsek ke dalam tubuhku. []
Solo,2016
Untuk Pak Prawoto dan keluarga kecilnya
70
Rizka Nur Laily Muallifa. Anggota Diskusi Kecil
Pawon. Senang pergi ke pantai, acara seni, dan toko
buku. Kuliah di jurusan Pendidikan Administrasi
Perkantoran, Universitas Sebelas Maret (UNS). Aktif
di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan UNS.
Untuk menghubunginya: bisa melalui surel:
71
Thea Arnais Le
Pembunuhan yang Gagal
Mulanya, aku sungguh tidak tahu apa yang terjadi dengan
keadaan sekelilingku. Setelah menunggu beberapa saat hingga
merasa benar-benar sadar, sambil mengerjap-ngerjapkan
mataku aku mulai menyadari diriku berada di tengah jalan dan
dikerumuni orang banyak. Aku berusaha bangun perlahan dan
mencoba untuk duduk. Seorang bapak-bapak mulai
menanyakan keadaanku.
“Apa anda baik-baik saja?” Bapak tua itu mencoba
menenangkanku dengan mengelus punggungku dengan telapak
tangannya.
Aku hanya bisa menggangguk. Mungkin karena belum
sepenuhnya tersadar gerakan itu malah membuatku langsung
pusing yang nyeri.
Orang-orang langsung saja menggotongku kepinggir jalan
yang lebih aman. Mereka juga mulai sibuk berteriak pada siapa
saja untuk menghubungi ambulan.
Mataku terpejam kembali tapi aku bisa mendengar ribut-
ribut yang dibuat oleh orang-orang yang menolongku.
Aku berusaha mengingat kenapa aku bisa di sini dan
kenapa aku bisa di tengah jalan tadi.Seiring sayup-sayup
kudengar ada yang mengatakan kondisiku.
72
“Kenapa Pak, Bu? Ada apa ini?” Seorang pria mencoba
mengetahui keributan ini.
“Ini lho mas, ada orang keserempet mobil” Suara seorang
perempuan muda menjawab pertanyaan tadi.
“Lha kok bisa? Ngelamun?”
“Ndak tahu, mungkin juga salah mobilnya gak lihat ada
orang nyebrang.”
“Terus sekarang, mobil yang nyerempet mana?” Kurasa
itu suara pria yang berbeda dari yang sebelumnya.
“Kabur. Ini orang-orang juga lagi menghubungi polisi dan
ambulan.” Suaranya serak sepertinya seorang bapak tua yang
menjawabnya.
“Kronologisnya bagaimana? Kok bisa keserempet?”
“Aku juga kurang tahu pasti. Aku di depan rumah sama
anak dan ibu mertuaku. Dari kejauhan aku liat bapak ini jalan
kaki sambil bawa golok, mau nyebrang ke gang situ. Eh, dari
arah selatan tiba-tiba ada mobil sedan lewat.” Kurasa itu suara
perempuan muda yang tadi.
“Paling bapak ini mau kekebon di ujung gang sana, kali.”
Suara perempuan muda lain ikut menimpali.
“Mungkin.” Orang-rang menyahuti.
Dengan keadaan terpejam aku akhirnya mengingat
kenapa aku bisa begini. Mendengar kata golok, ke mana barang
yang kugenggam tadi. Mungkin juga sudah diamankan oleh
orang-orang yang menolongku. Mereka tidak tahu niatan
awalku berjalan menuju gang kecil itu dan membawa golok.
Jika kau ingin tahu. Akan kuberi tahu kenapa aku
berjalan sambil menenteng golok. Aku sedang merencanakan
pembunuhan pada ibuku yang sudah tua renta yang tinggal
didekat kebon ujung gang kecil itu. Semua kulakukan karena
73
perempuan yang kusebut ibu itu menolak memberikan tanah
miliknya padaku. Aku ini anak satu-satunya dan tentu saja
berhak atas tanah itu. Tapi dasar, perempuan tua keras
kepalanya itu menolak keinginanku. Padahal cepat atau lambat,
jika dia sudah mati tanah itu akan jatuh juga ke tanganku. Aku
memaksanya bukan tanpa sebab. Aku sudah kehabisan hartaku
di meja judi, aku harus segera mencari uang lagi. Belum lagi
masalah rentenir yang terus-terusan mengejarku. Dan
perempuan tua itu mempersulit. Aku harus segera menjual
tanah milik Ibuku. Sebelum semua kesenanganku di meja judi
akan berakhir. Tapi sial memang. Rencanaku harus gagal
karena aku terserempet mobil. Bajingan betul yang
mengendarai mobil itu. Mana kabur pula, kalau tak kabur aku
tentu bisa minta ganti rugi yang banyak.
Aku mulai mendengar suara sirine mobil ambulan dan
polisi yang ramai mendekat.
“Ayo, Pak, di bawa ke rumah sakit!”
Orang-orang mulai membantuku untuk naik ke tandu
ambulan.
Di dalam mobil ambulan yang berjalan aku mulai
merencanakan pembunuhan yang lebih terencana dan matang
untuk ibuku. Dengan begitu aku dapat menguasai tanahnya dan
menjualnya untuk membayar hutang-hutang judiku. Aku juga
merasa beruntung orang-orang tadi tidak mengetahui niatan
awalku. Kalau mereka sampai tahu, aku tidak menjamin mereka
mau menolongku. []
Solo, 2018
74
Thea Arnais Le, merupakan mahasiswa FKIP UNS.
Aktif di Diskusi Kecil Pawon. Menulis puisi dan
pengepul rubrik Kisah Buku di Buletin Sastra Pawon.
75
Yessita Dewi
Ketika Pulung
Mengantar Pulang
“Argo, mulai hari ini kamu bisa pulang ke rumah,” katanya
dengan senyum hangat. Anak kecil 8 tahun bernama Pulung itu
menatap. Diam. Mengamati. Tersenyum, kemudian
mengangguk.
Perempuan itu menggandeng Pulung keluar dari kantor
setelah menandatangani beberapa berkas. Wajahnya bungah.
Hari ini ia menjadi ibu dari seorang anak laki-laki. Pulung
bukan anak laki-laki biasa baginya. Ia anak dari Sentanu,
sahabatnya sejak kecil. Istri Sentanu meninggal satu tahun lalu,
sementara Sentanu yang bekerja di kapal tanker sedang berada
di belahan bumi entah. Karena tidak memiliki kerabat, Pulung
dititipkan di Panti Sosial Kota. Hingga perempuan itu, Branti,
mendengar kabar kematian isri Sentanu dan mencari
keberadaan Pulung.
Siang di kedai bakso, es jeruk dan bakso menjadi menu
awal kebersamaan Branti dan Pulung. Matanya yang bulat, alis
tebal, rambut ikal. Mirip Sentanu. Lesung pipit itu mungkin
dari ibunya.
“Aku ingin memanggil Tante saja, boleh?”
76
“Boleh. Kamu boleh panggil aku tante atau apa saja yang
kamu suka.”
Anak itu tersenyum. Matanya yang tadi redup kini tak lagi
keruh. Bakso dan es jeruk tandas di hari yang sedikit mendung.
Branti senang ia tak lagi sendiri di rumah.
“Tante, aku mau tidur di kamar yang ada jendelanya.”
“Jendela? Hhmm.. kita lihat nanti ya.”
Pulung tersenyum. Branti mengangguk. Mereka pulang.
Jalan yang semakin riuh jam pulang kantor itu segera penuh
dengan orang-orang pembawa peluh. Wajah keruh, jaket lusuh
ikut berdesakan di antara knalpot yang saling menyembur.
Gurat wajah berat. Ah, masa sekarang ini apa sih yang tidak
berat? Antrian lampu lalu lintas semakin membuat merayap.
Tak jarang nyanyian kebun binatang bersahutan dari mulut
yang tak sabar tiba di rumah. Rumah memang tempat segala
peluruh penat. Branti menghela nafas. Ia melirik Pulung yang
tampak menikmati kepadatan antrian.
“Ternyata begini ya namanya kota,” suara Pulung lebih
mirip gumam.
“Iya, kita akan setiap hari melihat pemandangan seperti
ini. Beda dengan rumah Pulung yang sejuk di desa ya?” Branti
mengamati ekspresi anak kecil itu dengan seksama. Seorang
anak yang melihat ibunya sendiri tewas dibacok begal. Anak
sekecil itu. Rombongan begal yang lari dari kejaran warga itu
merangsek masuk. Pulung dan ibunya yang sedang menikmati
sinetron pilihan itu terkejut. Ancaman parang ternyata tak
menyurutkan takutnya. Pulung lari masuk lemari. Sebelum
parang itu merobek dada dan perut ibunya, ia melihat beberapa
membekap dan menindih tubuh kurus itu. Entah diapakan,
Pulung tak tahu. Matanya tertutup rapat, teriakan menyayat
coba ia usir dari telinganya. Pulung menangis sesak hingga tak
77
sadarkan diri. Anak malang itu siuman di bangsal warna putih.
Rumah sakit.
Tak lama, keduanya tiba di sebuah rumah yang masih
bertahan dengan model era 70-an. Teras khas dengan fasad,
halaman tak luas berumput. Tanaman hijau terawat dan segar.
Rumah itu tidak jauh dari jalan kampung. Belakang ada jarak
yang pas membingkai gunung.
“Nah, Pulung. Kita sampai,” Branti mematikan mesin dan
melepas sabuk pengaman. Pulung mengikuti apa yang
dilakukan Branti. Mengekor di belakangnya. Jalan pelan-pelan.
Rumah yang tidak besar tapi terasa lapang. Ada dua
kamar yang berjendela. Kamar depan dan belakang. Malam ini
mereka berdua akan sibuk.
Saat tidur tiba. Setelah menata sedemikian rupa pakaian
dan barang-barang Pulung yang tidak banyak, Branti menemani
Pulung tidur. Boneka ikan paus berwarna biru sudah erat
didekap.
“Ikan pausnya lucu ya,” celetuk Branti. Pulung membuka
mata, menatap ikan paus yang bermata jenaka.
“Ini hadiah dari ayah waktu pulang dari naik kapal.
Katanya Ayah sering melihat ikan paus.”
“Namanya siapa?”
“Temon...”
Branti tertawa geli. Ikan paus bermata jenaka dan
berwarna biru itu bernama Temon. Pulung berkisah, boneka itu
pernah ia bawa bermain bersama teman-temannya, dan lupa ia
bawa pulang. Ikan paus itu hilang selama seminggu. Boneka
lucu itu pulang setelah salah satu tetangganya tahu bahwa itu
boneka milik Pulung. Ikan paus biru, yang tersangkut di antara
pohon bambu. Karena ketemu dan pulang, Sentanu
78
menamainya Temon. Branti terkekeh mendengar cerita Pulung.
Malam ini mereka tidur dengan tersenyum.
***
Aku menunggumu datang. Lihat, aku mampu bertahan
dari tebasan parang. Luka ini telah sembuh. Tidak lagi sakit.
Sudah cukup lama aku menunggu sendiri. Sementara, Pulung
biarlah aman dulu. Jangan di sini. Kita jemput bersama nanti.
Suatu hari. Saat kamu pulang.
“Kaca ini buram,” aku bergumam. Seka kain mengurangi
debu yang melapisi sebentuk jendela. Entah sudah berapa lama
aku duduk di depan jendela. Tak satu pun yang melintas adalah
kamu, suamiku. Sentanu. Mereka yang biasa menyapaku di
depan rumah atau di balik jendela, kini hanya diam melewatiku.
Aku tak berani mengawali.
“Saaaayyyuuurrr...! Yuuurrr... saayuuurrr...!” jeritan
parau tukang sayur datang dari arah selatan. Ah, memang
sudah jamnya dia datang. Sebentar lagi para tetangga akan
datang.
“Ah, lama juga dapur dingin. Aku ingin masak gulai
nangka hari ini.”
Tapi, tukang sayur itu menurutku berjalan lebih cepat.
Tidak biasanya. Mana kebiasaan tukang sayur memanggilku,
berhenti di depan rumah dan semua berdatangan? Kenapa
sekarang semua berubah? Bahkan menengok pun tidak.
“Mass! Sayur, Mas!”
Tukang sayur itu tidak mendengar. Aku berteriak
semakin keras, tak jua berhenti. Apalagi menengok. Ya sudah,
pupus hari ini makan gulai nangka. Toh, tidak begitu lapar juga.
79
Beberapa minggu ini aku sangat tahan berpuasa. Tidak merasa
lapar, tidak merasa haus. Bahkan bisa duduk di depan jendela
dari pagi hingga malam. Di saat-saat inilah rasa rindu yang
kukira melumut karena tak juga terobati, sangat menyiksa.
Hanya nama dan ingatan tentangmu saja yang menghibur dan
menguatkanku, Sentanu.
“Aku tidak akan lama. Seperti biasa, 12 bulan. Aku pasti
pulang,” itu katamu padaku beberapa waktu lalu. Bahkan sudah
lama telepon genggam itu tak berdering. Mana aku tahu, berapa
lama kapalmu itu mengorbit di atas lautan yang kadang tak
berbatas. Lihat, kini aku hanya duduk mengamati pagar rumah
itu, berharap kamu akan datang membukanya. Tanpa kusadari,
aku menangis sangat keras. Betapa tangis ini semakin
menajamkan rasa sakit merasa terabaikan.
***
Satu bulan sudah Pulung tinggal di rumah Branti. Masa
sekolah akan dimulai bulan depan, semester baru. Sekolah baru
dan akan bertemu banyak orang belum dikenal untuk Pulung.
Tidak banyak hal yang ia lakukan selain duduk di depan jendela
kamarnya. Sejauh ini, Pulung hanya akan beranjak dari kursi
itu untuk mandi, makan, dan tidur. Terkadang ia duduk sambil
tertidur. Mbak Karni, pembantu rumah tangga yang setiap
harinya menemani Branti mulai heran. Setiap ia menyapu
halaman depan dan belakang, wajah anak kecil itu akan ada di
balik jendela. Tidak murung. Tidak juga senang.
“Masayu Branti, itu Mas Pulung tidak apa-apa duduk di
depan jendela begitu? Sudah berhari-hari lho, saya kan jadi
cemas,” kata Mbak Karni mencoba membuka obrolan. Branti
80
meletakkan buku yang sedang ia baca. Pandangannya ia lempar
ke arah kamar Pulung yang pintunya tertutup.
“Pintu kamarnya di buka saja, Mbak. Biar aku bisa
melihat dari sini,” ujar Branti. Mbak Karni beranjak menuju
kamar dan membuka pintunya. Dikunci. Branti menyusul Mbak
Karni.
Tok, tok, tok!
“Pulung, buka pintunya,Sayang, tante mau masuk...
boleh?”
Terdengar suara sandal mendekati pintu. Klik! Kunci
terbuka dari balik pintu kamar. Wajah Pulung muncul, matanya
berlingkar hitam seperti panda. Branti cemas.
“Nak, kamu sakit?” Branti memegang dahi dan leher anak
itu. Pulung menggeleng.
“Sudah makan? Atau mau tante suapin? Suapin ya?”
Pulung mengangguk lesu. Mbak Karni dengan sigap
mengambil piring dan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya.
Branti berjalan dan duduk di meja kecil dekat jendela kamar,
tempat Pulung memandang lurus ke arah gunung. Ia ikuti arah
mata anak itu. kosong. Ada sesuatu yang ia tunggu. Branti
mulai menyuapi.
“Pulung, cerita dong sama tante, kenapa setiap hari
Pulung harus duduk di depan jendela?”
Pulung terdiam. Tetap mengunyah dan menerima suapan
dengan nurut.
“Habis makan kita jalan-jalan yuk?Kita beli boneka atau
mainan baru, gimana?” rayu Branti.
“Tante, Pulung nunggu ayah. Ayah bilang kalau datang
pasti terlihat dari jendela,” jawab Pulung dengan mulut penuh.
Branti tercenung. Yah, hanya Sentanu yang ia punya sebagai
81
ayahnya. Branti menghela nafas. Ia tak tahu apa yang ia
rasakan. Sesak, sedih, prihatin atau entah.
“Kalau ayahmu datang langsung di depan pintu
bagaimana?” tanya Branti memancing. Ingin tahu. Pulung
minum, kemudian menatap Branti.
“Setiap ayah datang selalu bilang kalau pulang akan
terlihat di jendela sebelum masuk rumah...” Pulung
menjelaskan. Branti mengerutkan dahi.
“Hmm... ayah Pulung pernah datang?”
“Setiap malam...”
“Setiap... malam...? Kok, tante tidak tahu?”
“Ayah datang setiap Pulung sudah tidur.”
Branti paham. Pulung memimpikan ayahnya setiap
malam. Helaan sedih muncul. Branti memeluk Pulung.
Suatu siang, Branti panik. Pulung pingsan di kamar.
Lemas, nadinya pun lemah. Dua hari di rumah sakit pun Pulung
seperti tak juga membuka mata. Branti enggan pergi sebelum ia
melihat anak itu siuman. Rasa sayang pada bocah ini sudah
muncul sejak ia melihat senyumnya pertama kali di panti sosial
Kota. Seorang anak yang mengisi kekosongan hatinya.
“Masayu, biar saya saja yang menggantikan menjaga
Pulung. Masayu pulang dulu, mandi, istirahat biar seger
badan...” Mbak Karni memecah keheningan. Branti menoleh ke
arah Mbak Karni yang sudah datang, berdiri di seberang
ranjang bangsal. Wajahnya tak kalah khawatir. Branti
mengangguk. Pulang.
***
82
“Ayah! Kenapa ayah lama sekali datangnya?” Pulung
memeluk seorang laki-laki. Sentanu. Ayah anak itu. tinggi,
badan kokoh berkumis tipis. Ia tersenyum dan memeluk erat
Pulung. Mencubit pipi bocah laki itu.
“Maafkan, Ayah. Kapalnya baru bersandar. Kamu sehat
kan?”
Pulung mengangguk senang. Sentanu senang melihat
Pulung sehat, segar dan terawat. Ia sempat melihat Branti
keluar dari kamar. Ingin sekali ia berterima kasih pada
perempuan itu. persahabatan yang sempat meningkat menjadi
pasangan hingga akhirnya harus menyerah, bahwa pertemanan
lebih menyenangkan buat mereka. Sentanu sempat menyusul
Branti, mengejar perempuan itu. Tapi lolos. Kini ia melihat,
bahwa ketulusan Branti benar adanya.
“Pulung, kita akan pulang segera setelah kamu sehat.”
“Aku sudah sehat. Lihat pipiku, merah kan?” Senyum
lesung pipit mengingatkan pada ibunya. Pulung mengambil
boneka ikan paus.
***
“Apa?! Pulung hilang?!” Branti merasa tersambar listrik
ribuan volt. Tanpa pikir panjang ia segera berlari mengambil
kunci mobil dan sesegera mungkin sampai rumah sakit. Mbak
Karni mengaku, sebelum ia ke kamar mandi Pulung masih
belum siuman. Tapi menit di kamar mandi tentu tak lama. Ia
sudah melihat ranjang itu kosong.
Branti sesak, harus bagaimana ia nanti jika bertemu
Sentanu. Pihak keamanan, dokjter serta perawat ikut sibuk
mencari.
83
“CCTV!” Branti sedikit berteriak. Ia lari menuju kantor
keamanan rumah sakit. Petugas yang ikut mencari sigap
membuka rekaman pada jam saat Pulung hilang. Ketemu.
Branti melihat Mbak Karni masuk ke kamar mandi.
Catatan waktu ia amati. Pulung bergerak, bangun. Duduk.
Matanya terpejam, tapi seolah seperti sedang berbicara dengan
seseorang. Pulung mengambil boneka Ikan Pausnya, dan
berjalan keluar. Tak lama Mbak Karni keluar dari kamar mandi.
Sekali lagi, catatan waktu itu tidak lama.
Branti berdebar. Ia melihat Pulung bangun. Berjalan
dengan mata terpejam. Tapi bagaimana mungkin tak seorang
pun di selasar rumah sakit melihat? Perempuan itu berlari
keluar dari kantor keamanan. Di halaman rumah sakit,
jantungnya berdegub kencang, kepalanya terasa penuh,
dadanya sesak.
“Sentanu...” dadanya terasa perih. Seperih ketika kabar
Sentanu menikah dengan perempuan itu, Ardana. ia tak
menyangka bahwa Sentanu benar-benar akan menikah.
Bukankan ia dan sahabatnya tak terpisah? Ah, sakit...
***
“Kamu capek? Sini Ayah gendong, lama tidak gendong
Pulung,” kedua bapak anak itu berjalan sambil bercerita dan
tertawa. Ketika letih berjalan, berhenti.
“Ayah, kenapa tidak naik itu?” Pulung menunjuk sebuah
angkot yang penuh penumpang.
“Boleh. Kita naik angkot ya, biar cepat sampai,” Sentanu
melambaikan tangan ke arah angkot. Angkot itu tidak
mengurangi kecepatan ataupun berhenti.
84
“Pulung, kamu tidur di gendongan ayah ya, kita pulang,”
Sentanu menggendong Pulung di punggungnya. Pulung
memejamkan mata, tidur. Tanpa ia sadari betapa sangat singkat
dan menjadi dekatnya jarak yang sangat jauh itu.
Sentanu berdiri di depan pagar sebuah rumah. Pulung
berbinar. Rumah!
***
Sudah hampir putus dan sampai pada titik menunggu
yangjenuh. Aku pandangi pintu pagar itu dari jendela. Tak juga
ada yang tiba. Sampai pada akhirnya aku tak mempercayai
mataku sendiri. Mereka pulang! Bahkan lumut yang ikut
meranggas kembali bernas. Pintu pagar itu berderit, pintu
rumah yang berbunyi karena lama tak terbuka kini memberikan
jalan pada matahari yang lama ingin bertamu di sini.
“Ardana, aku pulang...” suara itu adalah suara yang
sangat aku tunggu. Aku menangis. Kami berpelukan. Kering
jiwa yang berkerak kembali luruh basah karena semua rasa
tertumpah. Kelegaan sebab kembali bersama.
“Ibu...”
Pelukan kami mengendur. Ada sadar yang datang.
Anakku, Pulung! Aku menoleh, tak terkira sebesar apa rasa
bahagiaku hari ini. Semua berkumpul. Kembali pulang.
“Sini, Nak, peluk Ibu!” kataku. Pulung berjalan
mendekatiku, tapi tiba-tiba berhenti. Ia melihatku dengan
tatapan ragu. Ia menatap perut dan dadaku.
“Ibu sudah sembuh. Ibu lupa tidak ganti baju, kalau
kalian bilang akan datang, pasti Ibu akan berdandan wangi dan
85
rapi,” kataku. Tapi mata anakku nanar. Ia seperti tidak percaya
padaku. Ia melihat ke arah ayahnya, suamiku.
“Ayah, Ibu sudah... Ibu...” Pulung terbata-bata. Ada air
mata yang mulai jatuh. Sentanu terdiam. Berdiri terpaku,
wajahnya sendu.
Aku melihat ada yang datang lagi. Ah, perempuan itu! aku
tahu ia tidak bisa melepaskan Sentanu begitu saja, sekarang ia
ingin anakku pula!
Blam! Pintu kubanting dari dalam.
***
Branti tahu, hanya di rumah ini Pulung akan pulang. Tapi
bagaimana ia bisa tahu jalan? Dan benar, Branti melihat anak
itu berjalan masuk ke dalam rumah yang sudah lama kosong.
Rumah yang terbengkalai. Beberapa warga kampung menoleh
heran.
“Mau kemana, Mbak?” tanya seorang bapak yang sedang
melintas.
“Apakah bapak melihat Pulung? Sepertinya dia tadi
masuk rumah itu, rumahnya...”
“Oh, tidak, aku tidak melihat Pulung. Bukankah dia sudah
di kota? Dan rumah itu terkunci, kuncinya dibawa Pak RT
setempat.”
“Iya, dia tinggal bersamaku, tapi hari ini ia hilang...”
Branti menceritakan apa yang ia rasa dan lihat. Bapak itu
menyimak dengan heran.
“Hmm, maaf, dua hari lalu saya mendapat kabar kalau
Pak Sentanu yang pelayar itu mendapat musibah kapalnya
86
terbakar. Dan Pak Sentanu salah satu korban yang hilang di laut
lepas.”
Branti terperanjat. Tak bisa bernafas. Semakin sesak. Ia
hanya bisa menutup mulutnya menahan teriakan yang siap
keluar. Setelah berterima kasih, Branti berlari ke arah rumah
Sentanu. Benar, pintu rumah itu terbuka. Branti melihat
bayangan Pulung berjalan masuk ke dalam rumah.
“Puluuungggg!”
Blaammm! Pintu rumah itu tiba-tiba tertutup. Branti
tersentak. Ia berlari mencari jendela. Ia butuh tahu bagaimana
Pulung di dalam, dan bersama siapa. Tapi rumah ini kan
kosong?
Muncul rasa ngeri dan seram. Ia melihat Pulung berdiri,
seperti mengamati. Mulutnya bergerak. Aah, Pulung berbicara,
tapi sama siapa? Lagi-lagi Branti harus membekap mulutnya. Ia
jatuh terduduk di bawah jendela. Rumah ini telah beberapa
bulan tak terurus, rumput-rumput meninggi. Taman
terabaikan. Setelah debur jantung sedikit mereda, Branti
memberanikan diri berdiri dan melihat lagi ke arah jendela.
Sentanu! Dan mereka bertatapan. Wajah Sentanu pucat,
rambutnya sedikit basah. Matanya sedih. Branti berlari menuju
pintu, ia mendorong sekuat tenaga. Tapi ternyata tidak seberat
yang ia bayangkan.
“Pulung!” Branti berlari memeluk anak itu dari belakang.
“Tante..?” Pulung menoleh dan membalikkan tubuhnya.
“Tante kenapa ada di sini?”
“Tante mau jemput kamu, kita pulang ya..”
“Aku sudah pulang...” mata polos Pulung semakin
menyesakkan Branti.
87
“Pulung, Ayah di sini hanya menjemput Ibu. Sementara
ini, kamu tinggal sama tante Branti ya. Nanti kalau sudah
waktunya, Ayah dan Ibu akan menjemputmu...”
“Ayah sama ibu mau ke mana..?”
“Mas, kenapa tidak kita ajak sekarang saja?Dia anak kita,”
sahut Ardana dengan nada memohon. Matanya menatap Branti
dengan wajah curiga. Branti kini bisa melihat Sentanu dan
Ardana.
“Ardana, aku akan menjaga Pulung seperti kamu
menjaganya...” ujar Branti.
“Pulung tidak akan mau ikut orang yang bukan ibunya!”
suara Ardana menuntut.
“Pulung, kamu sudah bertemu ayah dan ibu... kamu akan
ikut kami kan?” kata Ardana lagi.
Pulung tersadar. Ia menatap wajah Sentanu. Wajah
ayahnya yang pucat itu bersedih tapi tersenyum hangat ketika
menatapnya. Pulung menoleh ke arah ibunya, Ardana. Ia ingat,
baju itu yang dikenakan ketika malam itu. malam ia melihat
ibunya ditindih beberapa orang bergantian, berteriak minta
ampun. Malam ketika ibunya dipukuli dan ditampar karena
berteriak. Juga, ketika dada ibunya tertancap parang. Pulung
menangis mengingatnya. Ibunya menderita.
“Pulung, ikut pulang sama tante ya. Sampai rumah kita
akan berdoa untuk ayah dan ibumu,” bisik Branti di telinga
Pulung. Pulung terisak.
“Ayah, Ibu.. Pulung tahu, ayah dan ibu sudah pergi...
Pulung harus ikut Tante. Pulung nggak mau sendiri di sini.
Pulung takuuutt...” bocah itu menangis keras.
Sentanu mendekat dan berjongkok menatap Pulung.
Wajahnya kini cerah. Matanya tak lagi sedih meski berair.
88
“Baik-baik di rumah Tante Branti ya! Jaga tante seperti
menjaga ibumu sendiri. Ayah dan Ibu pasti akan datang lagi
suatu hari nanti...”
Anak itu mengangguk. Sentanu mengusap wajah anak
lelakinya. Ardana mendekat, terisak. Ia berdiri di depan Branti.
“Jaga dia untuk kami, Branti. Maafkan selama ini aku
sering cemburu padamu, aku tahu kamu orang yang baik...”
“Pasti. Aku akan jaga Pulung untuk kalian. Kami akan
mengunjungi kalian. Semoga kalian damai di sana,” Branti
semakin lemas.
“Branti, terima kasih...” kata Sentanu dengan mata dan
senyumnya yang teduh itu.Branti hanya mengangguk. Ia tahu,
Sentanu pasti tahu. Branti harus melepas seluruhnya,
semuanya, segalanya. Mereka harus pergi.
Pulung dan Branti melihat Sentanu dan Ardana berjalan
pergi melintasi pagar rumah, dan hilang seperti kabut.
***
Dua pusara berdampingan. Branti dan Pulung berjalan
menjauh. Pulang. Rumah Sentanu tetap sepi meski lebih bersih
dan terawat. Kini, tak ada lagi suara menangis dan meratap dari
dalam rumah itu. Ratapan menunggu pada yang dirindu. []
Gangnam, 7/02/18
Yessita Dewi, lahir di Magelang 28 April 1974.
Berdomisili di Solo. Tahun 1994 berprofesi sebagai
penyiar radio sampai tahun 2007. Puisi dan cerita
89
pendek mulai ditulis sejak SMP. Selain sempat
menjadi dubber, ada beberapa judul naskah
sandiwara radio pernah ditulis dan disiarkan Naskah
sinetron yang pernah ditulis bersama teman-teman di
BSP antara lain: Entong Abunawas dari Betawi, De I
tem, Mamat Anak Pasar Jangkrik , Jiung dan si
Pandir dari Betawi, Dunia Udah Kebalik, dll.
Tulisan-tulisannya hadir di antologi: kumpulan
cerpen Kolase 2(2011),Bulan Purnama di Trowulan,
(DKJT, 2010) dan antologi cerpen Joglo, (TBJT,
2013). Novelnya Lukisan 7 Bocah juga pernah
menjadi juara harapan III Sayembara Menulis Novel
Dewan Kesenian Jawa Tengah tahun 2011.
90
Y Agusta Akhir
Gonggong Anjing Donald dan
Kegundahan Hati Paman Sam
Malam ini anjing Donald kembali menggonggong seperti
melihat setan. Itu satu-satunya anjing tanpa tuan sejak
pemiliknya mati gantung diri seratus tigapuluh hari lalu di
sebuah batang dedalu yang tumbuh liar di seberang rumahnya.
Orang-orang tahu anjing itu bernama Donald karena si pemilik
memanggilnya demikian. Lelaki itu hidup sendiri bersama
Donald di rumah peninggalan orangtuanya. Itu sebuah
bangunan jaman kolonial yang dibeli dari seorang pejabat
negara yang gila terhadap barang antik. Orangtua pemilik
anjing Donald mendapatkan tinggalan sebuah jam
berpendulum sebesar almari sebagai bonus dari pembelian
rumah itu.
Paman Sam terjaga dari tidurnya yang baru seperempat
jam terpejam lantaran mendengar gonggong anjing kesetanan
itu. Mulutnya segera menyemburkan umpatan paling celaka
sekalipun tahu itu pekerjaan sia-sia belaka. Ia menghitung, ini
yang ke sebelas kalinya sejak sebulan terakhir, dan karena itu
pula ia harus meluapkan amarahnya. Sebenarnya, ia sudah tak
sabar pada yang kesepuluh anjing Donald menggonggong-
gonggong begitu rupa. Kala itu sebutir geraham bagian kirinya
sakit yang sudah menyiksanya tanpa ampun selama tiga hari.
91
Tetapi niat itu urung lantaran sakit giginya dirasa lebih hebat
ketimbang niat untuk menghabisi anjing Donald. Itulah kenapa,
ia akhirnya berjanji hendak mencincang anjing Donald kalau
sekali lagi mengganggu dirinya dengan gonggong liarnya.
Sebelum pemilik anjing gantung diri, paman Sam tampak
sayang pada Donald yang nyaris setiap pagi bermain ke
rumahnya. Paman Sam tak memberinya sekadar tulang,
melainkan sepotong daging. Donald akan menjilati tangan
paman Sam sebelum melahap potongan daging itu sembari
mengibas-ngibaskan ekornya. Sejak kematian tuannya, anjing
Donald tak lagi menyambangi rumah paman Sam.
Sekali saja paman Sam pernah dengan sengaja
mengunjungi rumah tua itu, tetapi sekadar berdiri di dekat
pagar besi yang sudah mulai mengelupas catnya dan karatan di
beberapa sisinya. Sebagaimana biasa yang dilakukan, paman
Sam memanggil Donald, tetapi betapa hatinya tersentak
lantaran anjing Donald abai terhadap kehadirannya. Alih-alih
menghampirinya, anjing Donald enggan menoleh ke arah
paman Sam. Ia mengira, mungkin anjing Donald sudah mulai
tuli. Maka ia ambil sepotong daging yang lebih besar dari biasa
yang diberikannya, lalu melemparkannya ke arah anjing
Donald. Potongan daging itu jatuh tepat di hadapan anjing,
tetapi anjing Donald malah berpaling dan berjalan menjauh
dari daging yang dilempar Paman Sam. Sejak itu Paman Sam
tahu kalau anjing Donald tak lagi suka padanya. “Bahkan seekor
binatang pun bisa memutus tali silaturrahim dengan manusia!”
Beberapa hari terakhir Paman Sam sering sakit-sakitan.
Usianya yang sudah mendekati kepala delapan jadi gampang
ambruk diserang penyakit. Terlebih cuaca yang tak menentu
beberapa bulan terakhir ini. Seminggu lalu encok rematiknya
kumat. Dua hari setelah itu kena demam dan batuk. Dan tiga
hari lalu terserang sakit gigi. Sekarang kepalanya tiba-tiba
92
terasa pening dan seluruh persendiannya dirasa seperti
ditimpuki dengan batu.
“Anjing biadab!”
Paman Sam bangkit berniat mengambil sebilah golok di
dinding, tapi rupanya ada yang salah dari geraknya, yang
mengakibatkan ada bunyi seperti tulang beradu di pinggul
bagian belakang. Paman Sam mengaduh dan kembali
membanting tubuhnya ke ambin. Suara gonggong anjing kian
keras sampai ke telinganya. Siksa itu bertambah sempurna
mana kala ia mencoba kembali bangkit, tapi rasa sakit berlipat
ganda dan menjalar ke punggung.
“Terkutuklah anjing Donald! Mungkin malam ini bisa kau
lewati, tapi besok jangan harap!”
Teriakan itu membuat istrinya terbangun, tapi hanya
berkata dengan setengah menggumam, “Kau bermimpi lagi soal
anjing itu. Tidurlah!”
***
Sejak orangtua pemilik anjing Donald meninggal, rumah
itu jadi tak terurus. Pemilik anjing Donald adalah seorang
pemalas dan lebih suka bermain dengan binatang itu ketimbang
memotong kalanjana yang meliar di halaman atau
memperbaruhi warna tembok rumah. Orang-orang mengenal
ayah dan ibunya sebagai pribadi yang ramah dan mudah
bergaul. Berbanding terbalik dengan pemilik anjing Donald
yang tertutup dan nyaris tak pernah bersosialisasi sejak
orangtuanya membeli rumah tua itu. Satu-satunya orang yang
akrab dengan pemilik anjing Donald adalah paman Sam yang
rumahnya bersebelahan dengannya. Sesekali ia datang ke
rumah lelaki bertubuh pendek dengan dahi lebar itu untuk
93
sekadar berbasa-basi, walau kenyataannya mereka lebih banyak
saling diam. Kalau sudah saatnya hendak pulang, pemilik
anjing Donald hanya berkata, “Pulang dulu, Paman!” dengan
nada datar tanpa menoleh pada paman Sam yang kemudian
akan menjawabnya pendek, “Ya,” dengan suaranya yang rada
serak dan wajah tanpa ekspresi.
Tapi pada suatu hari keduanya benar-benar melakukan
obrolan yang panjang dan tampak demikian akrab. Dengan
nada bercanda pemilik anjing Donald bilang, kenapa tubuh
paman Sam cebol dan berdahi besar. Selama ini, belum pernah
ada orang yang berani berkata semacam itu padanya, walau
bernada canda sekalipun. Kalau mau jujur, sakit juga hatinya
dihina begitu. Tapi barangkali demi sopan santun, ia tak ingin
meluapkan amarahnya kepada pemilik anjing Donald. Itulah
kenapa paman Sam hanya menjawab dengan setengah
berkelakar, bahwa walau keadaannya begitu tapi memiliki istri
yang semampai dan berwajah cantik. Itu memang diakui
pemilik anjing Donald, yang bahkan diam-diam suka melihat
wajah istri paman Sam. Paman Sam juga mengatakan kalau
keadaannya itu jauh lebih mujur dibanding pemilik anjing
Donald yang di usia 40 tapi masih sendiri dan hanya hidup
dengan seekor anjing. Mereka berdua saling menderai tawa,
meski keduanya sama-sama menahan sakit di hati lantaran
ejekan yang barusan mereka lontarkan.
Pagi itu pun paman Sam gagal mewujudkan niatnya
menghabisi Anjing Donald lantaran kepalanya malah
bertambah berat dan pinggulnya masih terasa ngilu. Agaknya ia
harus bersabar menunggu segala sakit terkutuk itu sirna dari
tubuhnya. Kepada Tuhan ia berdoa mohon diberi kesehatan
walau hanya sampai malam nanti demi bisa menghabisi anjing
kurang ajar itu. Dan benarlah doanya terkabul. Pening di
kepalanya jauh sekali berkurang dan pinggulnya hanya
94
menyisakan sedikit ngilu. Ia merasa dirinya jauh lebih baik dan
siap menggorok leher anjing Donald. Ia hanya menunggu
beberapa saat agar suasana benar-benar sepi. Sebab, bagaimana
pun dirinya tak ingin ada orang yang menyaksikan
perbuatannya mencincang anjing Donald. Sebenarnya sempat
terlintas di benaknya membunuh anjing itu dengan racun. Tapi
mengingat anjing itu sudah tak sudi menerima potongan daging
pemberiannya, maka pekerjaan itu akan sia-sia. Lebih dari itu,
ia lebih suka membunuh dengan cara memenggal kepalanya,
memotong kaki-kakinya, ekornya, dan menjadikan tubuh
binatang itu beberapa potong. Ia suka makan daging anjing,
tapi tidak untuk anjing Donald.
Seolah mendapatkan restu dari semesta, malam ini langit
lebih cerah ketimbang malam-malam sebelumnya yang selalu
bersaput mendung dan hujan. Walau tak sepenuhnya bening,
bulan menggantung di angkasa, nyaris tepat di atas kepala. Saat
itulah paman Sam keluar dari rumahnya dengan sebilah golok
terhunus di tangan. Tak ada sedikit pun rasa takut dan gentar,
walau orang-orang sudah sering membincangkan perihal
keangkeran rumah tua itu sejak penghuninya gantung diri,
terlebih bila jam pendulum itu berdenting. Mereka bahkan
berpikir pendulum itu digerakkan oleh tangan-tangan setan.
Sebenarnya paman Sam merasa ada yang aneh. Ia belum
mendengar gonggong anjing Donald walaupun hanya sekali
sejak pagi tadi. Tapi ia yakin anjing itu tak akan kemana-mana.
Dan ia tak perlu merasa kesulitan menemukan binatang itu. Ia
tahu anjing itu tidur di atas kursi penjalin yang sudah rusak, di
teras rumah tua itu. Ia sudah sangat hapal dengan tabiat si
anjing. Ia memang sudah mengamatinya sejak lama.
“Kalau anjing keparat itu sedang sakit, akan
memudahkan pekerjaan ini!” gumamnya sembari melangkah
tenang memasuki halaman rumah tua yang dipenuhi kalanjana
95
yang meranggas liar. Tetapi tatkala sampai di depan teras, ia
kecewa menemukan kursi penjalin rusak itu kosong dan tampak
begitu menyedihkan.
“Kemana anjing terkutuk itu?” ia mengedarkan lampu
sentar ke sekitar, sembari matanya memicing kalau-kalau
menemukan binatang yang dicarinya. Tapi ia tak menemukan
apa yang dicarinya.
Ia mengitari rumah tua dan tetap tak menemukan anjing
Donald. Ia sama sekali tak percaya kalau anjing itu masuk ke
dalam rumah karena sejak keamatian pemilik anjing Donald,
orang-orang sepakat menggembok pintu itu dari luar. Maka ia
putuskan untuk kembali dengan benak berjubel tanya perihal
keberadaan anjing itu, dan dendam masih membara di hatinya.
“Apakah anjing itu sudah minggat dari sini? Ataukah
moksa?”
Ketika sampai di depan rumah tua itu, betapa ia tersentak
saat melihat sosok yang sangat dikenalnya duduk menyandar
pada batang pohon dedalu. Di samping orang itu seekor anjing
sedang merunduk tenang tapi matanya yang berkilau awas
menatap kepadanya, yang ia rasakan sebagai tatapan penuh
kebencian. Tiba-tiba kejadian itu kembali membayang di
matanya; bagaimana ia memukul tengkuk lelaki itu dengan
sepotong balok lalu menggantungnya di pohon itu. Perutnya
tiba-tiba terasa mual, kepalanya terasa sangat pening,
pinggulnya diserang ngilu yang amat sangat, bulu kuduknya
terasa meremang. Kakinya seperti lekat pada tanah yang
sekarang dipijaknya sehingga sulit sekali ia gerakkan. Ia ingin
berteriak memanggil istrinya, tapi bahkan dirinya pun tak dapat
mendengar suara istrinya yang memanggil-manggil namanya,
kala sosok itu mulai bergerak yang diikuti sang anjing, yang
sepertinya mendekat kepadanya. []
96
Y Agusta Akhir adalah penikmat sastra dan aktif di
komunitas sastra alit, Solo. Menulis puisi, cerpen dan
novel. Beberapa karyanya berupa puisi dan cerpen
pernah dimuat di harian joglosemar(Solo), Solopos
(Solo), buletin sastra Pawon (Solo), antologi cerpen
Waktu yang Bercerita dan Secabik jejak (Alit, Solo),
antologi cerpen Joglo (TBJT Surakarta), dll. Novelnya
yang berjudul Requiem Musim Gugur terpilih sebagai
salah satu pemenang pada lomba Grasindo Publishers
tahun 2013 dan Novel Kita Tak Pernah Tahu
Kemanakah Burung-burung Itu Terbang menjadi
juara III sayembara novel yang diadakan oleh UNSA
Press tahun 2017.
97
Catatan Mardi Luhung
“Ruang Lain” dalam
Dua Belas Cerpen
Awal Maret 2018, dua belas cerpen dari Surakarta datang pada
saya via email. Dua belas cerpen itu berjudul: Kereta dari
Langit karya Abednego Afriadi; Pertautan Tiga Hati karya
Astuti Parengkuh; Surat Pelukis karya Faqih Sulthan; Puan
Penembang karya Imamah Fikriyati Azizah; Gara Gati karya
Impian Nopitasari; Hak Asasi karya Liswindio Apendicaesar;
Bejo Cilaka karya Nurni Chaniago; Timur Angin karya Rizka
Nur Laily Muallifa; Pembunuhan yang Gagal karya Thea
Arnaiz Le; Hujan Tanpa Jeda di Kota yang Tenang dan Tanpa
Gairah karya Olen Saddha; Ketika Pulung Mengantar Pulang
karya Yessita Dewi; dan Gonggong Anjing Donald dan
Kegundahan Hati Paman Sam karya Y. Agusta Akhir. Dua
belas cerpen itu adalah materi buku Seri Dokumentasi Sastra
Antologi Cerpen Joglo 19. Di dalam pesan di email, saya
diharapkan memberi catatan bagi dua belas cerpen itu. Artinya,
saya mesti membacanya.
Persoalan membaca dalam sastra (cerpen), adalah
persoalan unik. Kenapa? Karena, seperti juga menulis, yang
juga tak semua dapat diselesaikan (alias gagal), membaca juga
bisa gagal. Dalam arti, apa-apa yang telah dibaca dalam cerpen,
meski sudah maksimal, bisa tetap tidak atau kurang dimengerti
oleh pembacanya. Jadinya, tak jarang, terdengar tukasan:
98
“Sudah tiga kali saya baca, tapi tetap saja saya tak mengerti apa
arah dari cerpen ini.” Atau: “Ya, saya mengerti, tapi susah untuk
menguraikannya. Jadi, mungkin cuma setengah mengerti?”
Tentu saja, tukasan-tukasan semacam itu, bukanlah sebuah
kesalahan. Melainkan, sebuah hal yang biasa. Sebiasa, sebuah
percobaan ilmiah yang tak selalu berhasil. Atau semacam si
kasmaran, yang tak dapat menjelaskan, mengapa dia jatuh cinta
pada wanita A, bukan B. Padahal, wanita B lebih cantik dan
pintar. Kini, soalnya: Apakah pembacaan cerpen yang
menghasilkan sebuah kegagalan, dan bukan keberhasilan itu,
bisa diterima? Yang jelas, pada saat ini, apa-apa yang ada,
sepertinya cuma menuntut keberhasilan, keberhasilan, dan
keberhasilan. Padahal, bisa sebaliknya. Dan keberhasilan yang
didamba mungkin akan didapat pada pembacaan yang
berikutnya.
Selanjutnya, ketika melakukan pembacaan, saya
melakukan dengan tiga tahap. Pertama, saya membaca dua
belas cerpen itu dengan polos dan apa adanya. Dalam arti, saya
hanya mencoba menemukan getaran-getaran yang ada di dua
belas cerpen itu. Kedua, saya membiarkan getaran-getaran dari
dua belas cerpen itu memancar ke diri saya. Dan ketiga, barulah
pancaran itu saya uraikan lewat pengalaman pembacaan yang
saya punyai. Dari tiga tahap ini, saya mendapatkan simpulan,
bahwa dua belas cerpen itu, hampir semuanya menyodorkan
“ruang lain”. Yaitu ruang yang berbeda dengan ruang yang kita
tempati (ruang kita). Jika ruang kita bersifat nyata dan
bersebab-akibat; maka “ruang lain” yang saya maksud itu, bisa
bersifat tak-nyata, aneh, dan mendadak. Dan itu, bisa
disebabkan, oleh hadirnya arwah dan tokoh gaib, pikiran lain,
dan jatuh-bangun manusia.
99
1. “Ruang Lain” dengan Hadirnya Arwah dan Tokoh
Gaib
Ada lima cerpen yang menghadirkan arwah dan tokoh
gaib. Lima cerpen itu adalah Kereta dari Langit karya
Abednego Afriadi; Gara Gati karya Impian Nopitasari; Bejo
Cilaka karya Nurni Chaniago; Ketika Pulung Mengantar
Pulang karya Yessita Dewi; dan Gonggong Anjing Donald dan
Kegundahan Hati Paman Sam karya Y. Agusta Akhir. Arwah
dan tokoh gaib itu bisa berupa arwah orang mati, soal
reinkarnasi, tokoh peminta-minta, sampai pada simbol dari si
pencabut nyawa.
Kehadiran arwah dan tokoh gaib yang beragam ini,
membuat ruang yang disodorkan oleh lima cerpen yang ada,
bukan lagi bersifat ruang kita. Melainkan “ruang lain”.
Misalnya, dalam cerpen Kereta dari Langit karya Abednego
Afriadi. Cerpen ini bercerita tentang tokoh Kaswan yang sejak
kecil punya kesenangan bercerita yang aneh-aneh. Dalam
cerita, Kaswan sakit parah. Dijaga oleh Sam (sahabatnya)
setelah melihat keluarga Kaswan enggan menjaga. Sampai
akhirnya Kaswan meninggal. Dan Sam pun “diajak” serta oleh
beberapa tokoh gaib, setelah mencabut nyawa Kaswan.
Dalam cerpen Gara Gati karya Impian Nopitasari, bahwa
“ruang lain” itu dibentuk dengan reinkarnasi tokoh Santya yang
menjadi tokek. Dan reinkarnasi ini sebelumnya sudah
disepakati oleh kekasihnya. Yang berkata: “Dalam bentuk apa
pun, aku akan mendampingimu.” Ternyata, setelah Santya
meninggal dan bereinkarnasi jadi tokek, pacarnya itu malah tak
menerimanya.
Dalam cerpen Bejo Cilaka karya Nurni Chaniago, bahwa
“ruang lain” itu dibentuk oleh tokoh peminta-minta yang
bernama Mbah Bejo. Tokoh ini kerjanya meminta-minta dan
marah-marah. Tetapi, pada akhir cerita, diketahui, bahwa Mbah
Bejo bukanlah tokoh sembarangan. Melainkan semacam tokoh
100
gaib yang mampu menghadirkan Api Si Gulambai, yaitu api
yang didatangkan dengan tiba-tiba, dengan maksud memberi
pelajaran bagi orang pelit.
Sedangkan, dalam dua cerpen berikutnya: Ketika Pulung
Mengantar Pulang karya Yessita Dewi dan Gonggong Anjing
Donald dan Kegundahan Hati Paman Sam karya Y. Agusta
Akhir, adalah dua cerpen yang sama-sama menghadirkan
arwah. Bedanya, jika dalam cerpen Yessita Dewi, arwahnya ada
dua, yaitu arwah suami-istri yang bernama Sentanu dan Ardana
yang mempunyai anak bernama Pulung. (Sentanu meninggal di
laut karena kecelakaan kapal. Sedang, Ardana meninggal
karena dibunuh). Di akhir cerita, dua arwah suami-istri itu
dipertemukan lagi. Sehingga, “ruang lain” yang disodorkan
adalah “ruang lain” yang melegakan tapi aneh.
Sebaliknya, dalam cerpen Y. Agusta Akhir, adalah cerpen
yang cuma menyodorkan satu arwah. Yakni arwah orang tua
pemilik anjing Donald. Yang telah dibunuh oleh Paman Sam.
Dan arwah itu, suatu malam, balik membalas dendam pada diri
Paman Sam. Lewat adegan balas dendam inilah “ruang lain”
tersodorkan. “Ruang lain” yang seram dan menggiriskan. Yang
membuat Paman Sam mengalami hal seperti di bawah ini:
Ketika sampai di depan rumah tua itu, betapa ia
tersentak saat melihat sosok yang sangat dikenalnya
duduk menyandar pada batang pohon dedalu. Di
samping orang itu seekor anjing sedang merunduk
tenang tapi matanya yang berkilau awas menatap
kepadanya, yang ia rasakan sebagai tatapan penuh
kebencian. Tiba-tiba kejadian itu kembali membayang
di matanya; bagaimana ia memukul tengkuk lelaki itu
dengan sepotong balok lalu menggantungnya di pohon
itu... Ia ingin berteriak memanggil istrinya, tapi bahkan
dirinya pun tak dapat mendengar suara istrinya yang
101
memanggil-manggil namanya, kala sosok itu mulai
bergerak yang diikuti sang anjing, yang sepertinya
mendekat kepadanya.
2. “Ruang Lain” dengan Hadirnya Pikiran lain
Seperti yang saya uraikan, “ruang lain” adalah ruang yang
berbeda dengan ruang kita. Dan ruang semacam ini, di samping
dapat dibentuk oleh kehadiran arwah dan tokoh gaib, juga
dapat oleh pikiran lain. Pikiran lain yang lebih mengarah pada
hal-hal yang tak terduga. Di dua belas cerpen yang saya baca,
“ruang lain” yang disodorkan oleh pikiran lain itu terlihat pada
lima cerpen yang berjudul: Surat Pelukis karya Faqih Sulthan;
Puan Penembang karya Imamah Fikriyati Azizah; Timur Angin
karya Rizka Nur Laily Muallifa; Pembunuhan yang Gagal karya
Thea Arnaiz Le; dan Hujan Tanpa Jeda di Kota yang Tenang
dan Tanpa Gairah karya Olen Saddha.
Perlu juga ditegaskan, bahwa pikiran lain itu tidak saja
milik si tokoh ketika sendirian. Tetapi juga bisa ketika si tokoh
berada di kerumunan, atau sedang bercakap-cakap dengan
tokoh lain. Yang jelas, meski cerita dalam cerpen riuh dengan
konflik, tetapi pikiran lain itu seperti dunia tersendiri. Jadinya,
si tokoh dengan tokoh-tokoh lainnya (yang sama dengannya)
itu hidup bukan sebagai masyarakat seperti di ruang kita.
Melainkan, masyarakat sendiri dan menciptakan pikiran
“ketersendiriannya”. Yaitu pikiran khas milik dari “ruang lain”.
Misalnya, dalam cerpen Surat Pelukis karya Faqih
Sulthan, pikiran lain yang ada adalah pikiran lain yang
dilakukan oleh sekian lukisan. Sekian lukisan itu bernama Si
Tua, Si Paruh Baya, Si Dewasa, Si Remaja, dan Si Muda. Di
tengah-tengah pikiran lain yang ada, mereka saling bunuh.
Penyebabnya, tak lain dan tak bukan adalah kemendadakan.
Kemendadakan yang terjadi karena mereka tak bisa
mengungkap, kenapa si pelukis (yang melukis mereka), tak
102
berani memperkenalkan diri kepada si gadis yang kerap
disuratinya. Apalagi di akhir cerita, Si Muda (lukisan yang
paling kecil), hadir bukan karena dilukis oleh si pelukis. Tapi,
entah oleh siapa. Keterangan yang didapat hanyalah kalimat:
“Dia dilukis oleh cat yang ada di kanvas tubuhnya.” Benar-
benar tak terduga.
Dalam cerpen Puan Penembang karya Imamah Fikriyati
Azizah, pikiran lain yang ada adalah pikiran antara Puan
Penembang dengan Jaka Lelur. Tokoh yang dipuja sebagai
tokoh pewayangan: Karna. Padahal, tokoh itu cuma lelaki
berambut sepinggang. Lelaki yang pada akhir cerita, tubuhnya
dijadikan pembasuh wajah oleh Puan Penembang. Di cerpen
ini, rasanya, pembacaan yang saya lakukan kurang berhasil.
Mungkin, karena idiom yang ada (terutama idiom bahasa Jawa
dan peralatan gamelan) kurang saya pahami. Atau mungkin,
saya lebih terpesona oleh suasana nglangut yang disandangnya.
Susana yang dapat saya rasakan. Tapi tak dapat saya uraikan.
Dalam cerpen Timur Angin karya Rizka Nur Laily
Muallifa, pikiran lain dilakukan oleh tokoh yang bernama
Timur. Pikiran lain itu mendadak terjadi, ketika Timur bertemu
dengan tokoh yang disebut sebagai gadis yang penuh imajinasi.
Gadis yang secara tak terduga, membuat Timur mau
menyerahkan KTP dan ATM, hanya agar mau menunggunya.
Dan laku semacam ini, tentu laku yang tak ada di ruang kita.
Tetapi di “ruang lain”. Ruang yang tak nyata. Ruang yang
seperti tak lagi mengenal sebab-akibat. Ruang yang oleh Timur
disebut, sebagai ruang yang disebabkan: “Oleh kata-kata gadis
yang terus saja merangsek ke tubuhku.”
Dalam cerpen Hujan Tanpa Jeda di Kota yang Tenang
dan Tanpa Gairah karya Olen Saddha, pikiran lain yang ada,
adalah pikiran tokoh pria dan wanita. Yang pria adalah pelukis.
Yang wanita adalah penulis. Ketika mereka menikah dan hidup
di kota kecil yang tak bergairah, apa yang mereka sandang
103
(sebagai seniman) sepertinya tak disambut. Tapi apakah
mereka menyerah? Ternyata, secara tak terduga, mereka
bertahan. Dan pertahanan itu, sepertinya menyodorkan “ruang
lain”. Ruang yang meski tak berpengharapan, tetap
dipertahankan. Sikap seperti ini, adalah sikap yang tak-nyata.
Sikap yang penuh dengan hal-hal yang tak terduga. Yang salah
satunya, berbunyi: “... Jika orang-orang di sini tidak terbuka,
biar saja. Minimal kita membuat karya untuk menjaga
kesadaran kita sendiri.”
Lalu, dalam cerpen Pembunuhan yang Gagal karya Thea
Arnaiz Le, pikiran lain datang dari si tokoh yang gagal dalam
hidup. Terus marah pada ibunya yang tua, yang tak mau
menyerahkan tanahnya. Lalu, si tokoh yang gagal itu ingin
membunuhnya. Tapi, sebelum kesampaian, sebuah mobil
menyerempet. Dia jatuh. Dan golok yang dibawahnya pun
entah kemana. “Ruang lain” yang disodorkan oleh cerpen ini,
adalah pada pikiran lain si tokoh yang terang-terangan masih
ingin menghabisi ibunya sendiri. Bahkan (yang lebih tak-nyata),
meski di dalam ambulan, si tokoh tetap saja merencanakan
pembunuhan pada ibunya di lain waktu.
Di dalam mobil ambulan yang berjalan aku mulai
merencanakan pembunuhan yang lebih terencana dan
matang untuk ibuku. Dengan begitu aku dapat
menguasai tanahnya dan menjualnya untuk membayar
hutang-hutang judiku. Aku juga merasa beruntung
orang-orang tadi tidak mengetahui niatan awalku.
Kalau mereka sampai tahu, aku tidak menjamin mereka
mau menolongku.
104
3. “Ruang Lain” dengan Hadirnya Jatuh-Bangun
Manusia
Manusia bukan benda. Manusia adalah manusia. Sebuah
kata kerja yang terus berkembang. Dan terus memperbaiki apa
yang telah disandangnya. Tetapi ketika, dia (manusia itu)
dibendakan, maka “ruang lain” pun terbuka. Yaitu, ruang yang
tak terduga. Yang bisa menjadikan manusia, di dalam jatuh-
bangunnya, tak lebih semacam bidak di papan catur. Jika lurus,
lurus terus. Jika miring, miring terus. Dan pembendaan, yang
menjadikan “ruang lain“ terbuka ini, dapat dibaca pada dua
cerpen yang belum saya beri catatan, yaitu: Pertautan Tiga
Hati karya Astuti Parengkuh dan Hak Asasi karya Liswindio
Apendicaesar.
Meski dua cerpen ini memiliki kemiripan (dalam
membendakan manusia), tetapi juga memiliki perbedaan.
Bedanya, jika dalam cerpen Hak Asasi karya Liswindio
Apendicaesar, manusia benar-benar dibendakan. Artinya,
dalam jatuh-bangunnya, manusia tak lagi dapat berbuat apa-
apa. Manusia yang semula makhluk tertinggi, pelan-pelan
menjadi yang rendah. Yang semula menguasai binatang dan
tumbuh-tumbuhan, pelan-pelan menjadi yang dikuasai.
Bahkan, di akhir cerita, manusia pun menjadi peliharaan para
binatang. Sampai-sampai, di depan rumah para binatang,
tertulis kalimat: AWAS MANUSIA GALAK. Ya, benar-benar
kalimat milik “ruang lain”. Yang keanehan bobotnya, sama
dengan keanehan bobot kalimat yang diucapkan oleh para
tokoh, ketika bertemu dengan arwah, tokoh gaib, dan tokoh
hasil reinkarnasi.
Sebaliknya, dalam cerpen Pertautan Tiga Hati karya
Astuti Parengkuh, pembendaan itu, bukan terletak pada
kejatuhan manusia secara fisik. Tetapi pada nasib yang
melingkupinya. Artinya, dengan nasib yang telah diatur hitam-
putihnya, manusia tak dapat lagi memilih kemungkinannya.
105
Dalam arti, jika manusia (tokoh ibu) bernasib mesti pergi
meninggalkan keluarganya (juga dari anaknya yang masih
berumur 6 bulan), pun harus pergi. Sebaliknya, jika kembali,
pun harus kembali. Segalanya seakan sudah diatur. Apakah ini
buruk? Yang jelas, dari dua belas cerpen yang ada, cerpen
Pertautan Tiga Hati karya Astuti Parengkuh (di samping
cerpen Hak Asasi karya Liswindio Apendicaesar, cerpen
Pembunuhan yang Gagal karya Thea Arnaiz Le, dan cerpen
Puan Penembang karya Imamah Fikriyati Azizah), adalah
cerpen yang berkesan di diri saya. Terutama ketika si tokoh
ayah berkata:
Dikelilingi oleh mereka, menatap satu persatu
wajah mereka, dan membayangkan kehidupan mereka
ke depan akan baik adalah kemuliaan. Istriku
mendampingiku sampai nafas terakhir. Dalam
kesadaranku aku berharap dia pun meninggal dengan
cara yang tenang. Aku jauh-jauh hari telah memaafkan
semua kesalahannya dan kesalahan anak-anakku. Aku
telah mengubur duka masa lalu
Sebuah perkataan, yang dapat saya anggap sebagai
pemberontakan diam-diam, agar manusia tetap mengarah ke
kemuliaannya. Meski, ketika di dalam cerita, nasibnya telah
dibendakan.
4. Catatan Akhir
Sebuah cerpen memiliki suasana, latar, dan detail yang
baik. Dan pembaca, mesti dapat memahaminya. Jika tak dapat
memahami, maka tanya pun berpusaran di dalam dirinya. Bagi
saya, yang telah membaca kedua belas cerpen, ternyata ada tiga
106
detail dari tiga cerpen yang tak terpahami dan perlu ditanyakan.
Dan tanya itu, saya tulis sebagai berikut.
1. Detail Pertama
Dalam cerpen Pertautan Tiga Hati karya Astuti
Parengkuh, ada kutipan sebagai berikut:
Ayahku di usia dua puluh tahun, yang kala
itu bahkan seekor ayam pun akan mengatakan bahwa
ia perjaka tua yang tidak laku, lalu memutuskan
menikahi gadis muda yang ia jumpai kala pulang dan
pergi berdinas. Beda dengan zaman sekarang, orang
begitu biasa dan tak acuh dengan status bujang atau
gadis. Perempuan itu, ibuku, saat itu masih berumur
lima belas tahun, dan ia anak pedagang di pasar
sehingga perayaan pernikahan itu diramaikan di
sebuah gedung pertemuan dengan mewah, untuk
ukuran orang zaman itu.
Sedangkan, pada kutipan yang lain, begini:
Jono ganteng. Sekilas dia mirip dengan artis
Roy Marten. Perawakannya yang tinggi dan langsing,
ditambah dengan warna kulitnya yang putih cerah,
nyaris membuatku tidak percaya, bagaimana laki-laki
sedewasa ia dengan usia terpaut 13 tahun, mau
mempersuntingku.
Pertanyaannya: Di dua kutipan itu, menceritakan kisah
pernikahan tokoh Jono Putranto (ayah) dan Sri Pratiwi (ibu).
Anehnya, pada kutipan pertama, umur Sri Pratiwi (ibu) 15
107
tahun. Umur Jono Putranto (ayah) 20 tahun. Jadi, keduanya
terpaut 5 tahun. Tetapi, pada kutipan kedua, tertulis, bahwa
umur keduanya terpaut 13 tahun. Detail manakah yang benar?
2. Detail Kedua
Dalam cerpen Ketika Pulung Mengantar Pulang karya
Yessita Dewi, ada kutipan sebagai berikut:
“Argo, mulai hari ini kamu bisa pulang ke
rumah,” katanya dengan senyum hangat. Anak kecil 8
tahun bernama Pulung itu menatap.
Pertanyaannya: Di kutipan itu ada kata: Argo. Siapakah
dan apakah Argo itu? Tokoh ataukah idiom. Yang jelas, jika
memang tokoh, kenapa di dalam cerpen tidak pernah muncul
lagi. Tapi jika idiom, kenapa juga tak lazim. Sebab Argo dapat
diserempetkan sebagai nama dari salah satu alat ukur
(argometer). Atau mungkin ini cuma salah ketik.
3. Detail Ketiga
Dalam cerpen Timur Angin karya Rizka Nur Laily
Muallifa, ada kutipan sebagai berikut:
Pernah suatu kali, ketika aku mencetak cukup
banyak makalah untuk seminar proposal tesisku,
tanpa komando ia memasukkan semua yang tercetak ke
dalam ranselnya.
Sedangkan pada kutipan yang lain, begini:
108
Aku lulus sebagai sarjana ekonomi dan
melanjutkan studi pascasarjana di kota yang sama.
Ihwal studi pascasarjanaku yang kutempuh di kota
yang tak beda antara lain disebabkan oleh kata-katanya
yang menggemakan pemujaan atas kota ini.
Pertanyaannya: Di kutipan pertama, diceritakan tentang
hubungan Timur dengan gadis yang penuh dengan imajinasi di
sebuah toko cetak. Di hubungan itu, diketahui, jika Timur
sedang mencetak makalah untuk proposal tesisnya dibantu si
gadis. Itu berarti, Timur adalah mahasiswa pascasarjana yang
mesti menulis tesis. Tetapi kenapa, di kutipan kedua,
diceritakan, jika aku (Timur) baru lulus sarjana ekonomi (jadi
sebenarnya lebih layak menulis skripsi daripada tesis). Apakah
detail ini benar. Ataukah saya yang salah membaca dan
memahaminya.
Semoga saja saya yang salah []
Daftar Bacaan:
Budi darma, 1983, Solilokui Kumpulan Esai Sastra, Gramedia,
Jakarta
Ca. Van Peursen, 1985, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogjakarta
Dick Hartoko, 1986, “Pencerapan Estetik dalam Sastra Indonesia”,
Basis, Januari XXXV
Eka Kurniawan dkk, 2010, Kumpulan Budak Setan, Gramedia,
Jakarta
Mardi Luhung, penulis dan guru SMA yang tinggal
di Gresik. Tahun 2010 mendapatkan Khatulistiwa
Literary Award (KLA) dalam bidang puisi.