108
1 Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 19 Gonggong Anjing Donald dan Kegundahan Hati Paman Sam

Gonggong Anjing Donald dan Kegundahan Hati Paman Sam

Embed Size (px)

Citation preview

1

Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 19

Gonggong Anjing Donald dan

Kegundahan Hati Paman Sam

2

Seri Dokumentasi Sastra Antologi Cerpen Joglo 19

Gonggong Anjing Donald dan

Kegundahan Hati Paman Sam

All Rights Reserved Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Edisi Cetakan Pertama, Maret 2018

Illustrasi Sampul

eL torros

Kurator

Yudhi Herwibowo

Penyunting

Wijang J. Riyanto

Tata Letak dan Percetakan

eL torros

Penerbit

Taman Budaya Jawa Tengah 2018

3

Pengantar

Pasang surut perkembangan sastra dan dunianya (literasi) semakin nyata terlihat dari tahun ke tahun. Ada masa di mana sastra mendapat tempat yang layak di berbagai lembar atau rubrik budaya di media massa cetak, seperti koran dan majalah. Namun ada pula saatnya sastra seperti termarginalkan karena tidak sepenuhnya memperoleh fasilitasi dari media massa cetak sebagaimana tersebut. Dan kenyataannya, kita tetap bersyukur bahwa sastra tetap bertumbuh dan berkembang, salah satunya adalah dalam dunia kemenulisan genre prosa, khususnya cerita pendek (cerpen).

Barangkali ada sebagian penulis cerpen yang karya-karyanya belum sempat tersosialisasikan. Namun mereka tetap bergairah melakukan persetubuhan literer dengan terus berkarya secara konsisten. Konsistensi inilah kiranya yang layak dan perlu diapresiasi dengan memberikan wahana bagi pendokumentasian dan sosialisasi, berupa penerbitan buku antologi dan mendiskusikannya.

Mengawali tahun 2018 ini, Taman Budaya Jawa Tengah bekerja sama dengan Komunitas Diskusi Kecil Pawon Surakarta berupaya melakukan kerja literasi dengan menerbitkan sebuah buku seri dokumentasi sastra antologi cerpen Joglo 19 yang bertajuk “Gonggong Anjing Donald Dan Kegundahan Hati Paman Sam” (meminjam judul cerpen karya Y. Agusta Akhir). Buku ini menghimpun dua belas cerpen karya dua belas cerpenis yang telah dipilih melalui kerja kuratorial. Dan sebagai tindak lanjut dari penerbitan buku ini diselenggarakan pula pembacaan karya dan diskusi dengan menghadirkan seorang narasumber pemerhati sastra.

Harapannya, dari penyelenggaraan kegiatan ini (penerbitan, pembacaan, dan diskusi karya) dapat memberikan manfaat bagi para cerpenis yang terlibat maupun para apresiator dalam upaya peningkatan apresiasi masyarakat terhadap seni sastra, sekaligus menjadi bagian kerja dokumentatif agar jejak-jejak literasi tetap dapat dilacak di kemudian hari.

Akhir kata, terimakasih kepada semua yang telah terlibat dan memungkinkan helat sastra ini dapat terrealisasi.

Salam, Wijang J. Riyanto

Taman Budaya Jawa Tengah

4

Daftar Isi

Abednego Afriadi ~ Kereta dari Lagit ~ 5

Astuti Parengkuh ~ Pertautan Tiga Hati ~ 10

FaqihSulthan ~ Surat Pelukis ~ 20

Imamah Fikriyati Azizah ~ Puan Penembang ~ 26

Impian Nopitasari ~ Gara Gati ~ 33

Liswindio Apendicaesatr ~ Hak Asasi ~ 40

Nurni Chaniago ~ Bejo Cilaka ~ 53

Olen Saddha ~ Hujan Tanpa Jeda di Kota yang Tenang dan

Tanpa Gairah ~ 60

Rizka Nur Laily Muallifa ~ TimurAngin ~ 65

Thea Arnaiz Le ~ Pembunuhan yang Gagal ~ 71

Yessita Dewi ~ Ketika Pulung Mengantar Pulang ~ 73

Y. Agusta Akhir ~ Gonggong Anjing Donald dan Kegundahan

Hati Paman Sam ~ 90

Catatan Mardi Luhung ~ “Ruang Lain” dalam Dua Belas

Cerpen ~ 97

5

Abednego Afriadi

Kereta dari Langit

Sekali saja perawat itu tersenyum padaku. Langkahnya pelan

saat keluar dari Ruang Teratai, mendorong meja roda berisi

botol-botol infus kosong. Suara keteplak sepatunya terdengar

menjauh, menjauh, dan menjauh.

Dada Kaswan masih nampak berkali-kali menghela.

Kedua lingkar mata Kaswan nampak menghitam, cekung,

menatap kosong, tak berjiwa.

Mungkin pemandangan inilah yang membuat Mas Nug,

kakaknya mengeluh pusing, mual, lalu muntah-muntah.

Mungkin selang infus yang menancap di pergelangan Kaswan

pula yang membuat ibunya memilih menjaganya dari luar

ruangan.

Sudah sepekan Kaswan terbaring di ruang serba putih ini.

Sering kali dia melambaikan tangannya, tanda supaya aku

mendengarkan bisikannya. “Kereta itu datang lagi,” bisiknya.

Aku membalas bisiknya dengan bisikan di telinganya, “Jangan

berpikir macam-macam. Lekaslah sembuh!”

“Kereta itu datang dari lorong-lorong berujung cahaya!”

balasnya dengan suara tersendat. Lalu, matanya menutup

perlahan. Sepertinya ia mulai terhanyut oleh sayup-sayup

instrumen saksofon dari speaker meja informasi. Lelap

tidurnya, tapi tak tenang raut mukanya. Mungkin ia sudah

6

terlalu bosan merintih, mungkin segala tenaga untuk meronta-

ronta telah musnah.

Sejak dulu, Kaswan memang kerap bercerita padaku, ia

sering menyaksikan kereta dari langit turun, muncul dua orang

berwajah cahaya menghampirinya, mengajaknya menari-nari di

tengah hamparan sawah nan luas dengan gumpalan-gumpalan

awan melingkar seperti selendang. Menyusul kemudian orang-

orang berjubah putih dengan mahkota daun melingkar di

kepala menari-nari melambaikan tangannya.

“Kau ingat sewaktu kita sering bermain ke sawah?”

bisiknya. Kaswan menebaknya sendiri. “Kereta itu turun lagi.

Kali ini mengikuti kita.”

Selama ini memang hanya denganku, Kaswan bercerita

tentang mimpi dan bayangan mengerikan itu karena ayahnya

tak segan-segan menempelengnya jika ia nekat bercerita. Suatu

ketika, hanya gara-gara mendengar cerita tentang mimpinya

yang seram, kedua kakaknya terkencing-kencing di celana saat

melintasi pemakaman umum usai mengikuti rapat karang

taruna. Bahkan karena saking takutnya, mereka selalu sedia

ember di kamar karena tidak berani ke kamar mandi jika sudah

malam. Maklum, kamar mandi di rumah pamanku waktu itu

masih terpisah dari rumah. Tepatnya di belakang rumah

berdampingan dengan sumur.

Sejak dulu Kaswan memang pintar menakut-nakuti

orang, apalagi untuk tujuan tertentu. Biasanya kedua kakaknya

selalu memberinya ongkos mengantarkannya untuk melewati

pemakaman kampung itu, setelah mendengar cerita seram dari

mulut Kaswan.

***

7

Malam kian beranjak pergi.

“Wangi sekali,” bisiknya. Matanya menerawang,

menembus dinding putih.

Sepertinya percuma, seandainya aku membantah wangi

aroma yang dirasakan hidungnya. Aku hanya berharap, Kaswan

selamat. Aku hanya berharap, penglihatan-penglihatan yang

diceritakannya karena pencernaannya kurang begitu kuat

melarutkan obat yang dimakannya.

“Mungkin karena itu Mas, ia sering mengigau, sampai

tubuhnya berkeringat dingin,” kataku saat bertemu dengan Mas

Nug sebelum menjenguk Kaswan di rumah sakit ini.

Aku belum siap kehilangan Kaswan. Aku belum sempat

membalas kebaikannya. Aku belum memiliki cukup uang untuk

menggantikan sepeda motornya yang dijual untuk biaya

operasiku saat kecelakaan beberapa tahun lalu.

Hanya kepadakulah, ia mengaku dibiarkan semakin

terjatuh. Hingga Ratri istrinya yang belum sekalipun

mengandung itu pergi entah ke mana? Ratri tak tahan

mendampingi Kaswan dalam keadaan sakit.

Sorot mata Kaswan tak lagi redup. Raut mukanya mulai

semilak, segar bercahaya usai kubasuh dengan handuk.

“Membosankan. Aku ingin pulang,” bisak Kaswan.

***

Mendampinginya di Ruang Teratai bukanlah sebuah

rencana. Semula aku hanya berniat mampir setelah acara reuni

teman-teman kampus usai. Hmmm, menjadi pembawa acara di

acara reuni memang menyenangkan, tapi lelahnya terasa

beberapa jam kemudian.

8

Sepertinya aku aku harus mengurus izin untuk tidak

masuk kerja hingga beberapa hari nanti. Pagi ini juga aku harus

pulang. Saat aku berpamitan, Kaswan tersenyum melambaikan

tangan.

***

Susah juga untuk memejamkan mata. Aroma jerami,

barisan perbuktikan selatan dan bentangan sawah hijau segar

sayang untuk dilewatkan. Meskipun embusan angin pagi dari

balik jendela membuaiku kelopak mata ini untuk tertutup,

melepaskan segala letih dan lelah. Apalagi belum dapat kutemui

jawaban secara pasti tentang penyakit yang diderita Kaswan.

Tak ada satu pun yang memberiku jawaban, termasuk bibi, Mas

Nug, dan dokter yang menanganinya. Padahal seingatku,

Kaswan termasuk anak yang paling sehat di antara saudara-

saudaranya.

Ponselku berdering. Aku lihat di layarnya, ada nama Mas

Nug.

“Halo, Mas. Maaf ini, saya pulang sebentar,” jawabku

langsung tanpa menunggunya menyapa terlebih dahulu.

“Kaswan sudah dipanggil, Sam. Sudah....” sahutnya

dengan suaranya yang tak begitu jelas.

Aku diam sejenak setelah panggilan seluler terputus.

Dadaku terasa sesak. “Lihat, Sam! Kereta itu mengajakku

terbang!” bisikan Kaswan terdengar membisik di telingaku.

Ingin kubalas bisikannya ini dengan bisikan. Tapi mulutku

terkunci, sedangkan bisikan itu terus saja terdengar hingga

sayup-sayup menjauh, menjauh, menjauh. “Sam, aku sudah di

kereta! Damai sekali rasanya! Ringan!”

9

Sampai di stasiun tujuan, aku terpaksa membeli tiket

untuk kembali seraya tak henti-hentinya memencet ponsel

untuk mengirimkan kabar duka. Dan aku harus kembali ke

rumah sakit, aku harus langsung menuju ruang jenazah,

secepatnya.

Saat aku tiba di lorong menuju ruang jenazah, tiga pria

tinggi besar berkerudung hitam nampak menghadangku.

Tatapan mereka penuh curiga.

“Kamu harus ikut! Kamu harus ikutt!” seru ketiga pria itu

bersahutan sembari menarik kedua tanganku. Susah payah aku

paksa tubuh ini untuk melawan.

Pandangan mata ini terasa buram. Kepalaku terasa

pening. Susah sekali bernafas. Selebihnya gelap. "Giliran

mereka menjemputmu Sam!” bisikan itu kembali terdengar,

dan kedua kelopak mata ini masih susah untuk dibuka. []

Solo, 2009-2018

Abednego Afriadi lahir di Solo, Jawa Tengah.

Pernah menerbitkan buku Status Pesbuk Paling Gokil

dan kumpulan cerpen Bulan Memerah. Selain hobi

teater dan nonton, penulis juga hobi menulis cerkak.

10

Astuti Parengkuh

Pertautan Tiga Hati

Wimala Wotsari

Aku tak pernah benar-benar menyangka jika cerita yang

ada di salah satu sinetron–1 Kakak 7 Ponakan– mirip dengan

pengalaman hidupku. Bagaimana tidak? Apa yang digambarkan

di dalam benda tabung segi empat –yang kerap menyajikan

iklan-iklan pemikat serta ajang silat lidah para pengecut dan

penyebar fitnah–ternyata selalu memutar cerita penuh parodi

itu setiap pekan. Dan setiap kali tayangan itu muncul, maka aku

akan duduk dengan riang membayangkan kekonyolan-

kekonyolan yang ada di hadapan bersama setoples kacang

bawang dan sepiring gorengan. Mentertawai hidupku di masa

lalu yang getir, satir namun dengan jiwa tetap terjaga.

Dilahirkan sebagai sulung delapan bersaudara dengan

seorang ayah sebagai sipir dan ibu pedagang. Ayah merupakan

lulusan SMP yang harus bergonta-ganti sekolah karena otaknya

yang tidak mampu berpikir lebih keras. Ketampanannya adalah

hal lain selain sifat kesabaran yang tiada terbatas, nyaris tidak

dimiliki oleh laki-laki manapun. Maka ketika nenek membuka

almari dan menemukan sekotak perhiasan miliknya, ia

merelakan barang berharga itu untuk menyogok relasinya agar

ayahku bisa menjadi pegawai. Itu adalah sesuatu hal yang wajar

di kala itu.

11

Ayahku di usia dua puluh tahun, yang kala itu bahkan

seekor ayam pun akan mengatakan bahwa ia perjaka tua yang

tidak laku, lalu memutuskan menikahi gadis muda yang ia

jumpai kala pulang dan pergi berdinas. Beda dengan zaman

sekarang, orang begitu biasa dan tak acuh dengan status bujang

atau gadis. Perempuan itu, ibuku, saat itu masih berumur lima

belas tahun, dan ia anak pedagang di pasar sehingga perayaan

pernikahan itu diramaikan di sebuah gedung pertemuan

dengan mewah, untuk ukuran orang zaman itu.

Lalu lahir satu per satu adikku. Sebutlah One, Two,

Three, Four, Five, Six, dan Seven. Aku sering menyebut diriku

Zero. Masa kecilku selama dua tahun tinggal di asrama khusus

untuk pegawai instansi ayah. Dengan lahirnya One dan Two,

lengkap sudah aku merasa sebagai kakak. Ibuku berdagang di

pasar dan segala keperluanku dan kedua adikku, semua Ayah

yang urus. Jika Ayah masuk shift jaga siang, maka pagi harinya

ia bekerja di rumah menjaga ketiga anaknya, begitu pun ketika

Ayah jaga shift malam, maka siang hari ia membantu ibu

berjualan di pasar. Hingga kemudian kami pindah rumah milik

sendiri. Kemudian lahirlah adik-adikku yang lain: Three dan

Four.

Waktu itu aku masih bersekolah di SD, aku tahu,

bagaimana ayah dan ibuku mencari waktu istirahat dan luang

mereka. Di sela Ayah tidak berjaga di posnya dan selepas ibu

pulang dari pasar. “Jaga adik-adik. Kalau ada tamu, bilang Ayah

dan ibu pergi,” kata Ayah sambil menutup kamarnya. Lalu aku

akan pergi bermain ke luar rumah, dan adik-adikku dengan

pengasuh mereka. Aku memiliki seorang sahabat yang darinya

aku bisa leluasa bermain dan meminjam majalah Bobo dan

Ananda, serta Panjebar Semangat.

12

Hidupku teramat bahagia kala itu. Lalu satu-persatu

adikku lahir kembali, sampai terakhir adalah si Seven. Kupikir

waktu itu meski ayah dan ibu dua orang super sibuk, tetapi

kamar mereka yang terletak di sudut rumah kami yang tidak

begitu luas adalah tempat memadu kasih dan bereproduksi bagi

dua orang dewasa yang secara sadar menginginkan lahirnya

buah-buah hati.

Eh, sebentar, untuk istilah buah hati, hhm...aku mesti

mendefinikan lagi apakah itu berlaku bagi ibuku saat itu.

Apakah benar, kami berdelapan adalah buah hatinya? Buah hati

Ayah iya, pasti. Tetapi buah hati Ibu? Tidak. Kalian jangan

mengenyitkan dahi, tapi cobalah mengerti dan pahami. Mana

ada seorang Ibu meninggalkan delapan anaknya, tanpa alasan

yang jelas? Iya, kami memag besar bersama mereka berdua,

dan para pengasuh. Tetapi jika tiba-tiba Ibu meninggalkan kami

di saat si bungsu Seven masih berusia enam bulan, itu sangat

menyakitkan. Kami seperti anak-anak ayam yang kehilangan

induknya.

Yang bisa aku ingat, suatu malam ada seorang laki-laki di

ruang tamu. Aku tahu dia pacar lama ibuku, dan dia datang

bersama Ibu. Mereka hanya duduk beberapa jenak, tak lebih

dua jam saja di rumah. Saat itu Ayah bekerja shift malam, dan

aku sedang menyetrika baju-baju seragam sekolahku dan adik-

adik. Kulihat laki-laki itu duduk di kursi tamu lalu Ibu

menghampiriku,”Nduk, Ibu mau pergi. Kamu jaga adik-

adikmu!” Saat itu aku tidak bisa menerima keadaan. Aku tidak

ingin melihat Ibu pergi dengan laki-laki lain dan itu bukan

ayahku. Aku berontak, aku marah. Di usiaku yang sebelas

tahun, aku menjelma menjadi iblis kecil. Aku berteriak-teriak

kesetanan.Ibuku hanya diam. Dia tidak menjawab tangisanku,

sampai kemudian dia membuka almari, dan memindahkan

baju-bajunya ke dalam sebuah tas besar.

13

Tangisanku tidak membendung kepergian ibu. Sebuah

gelas beirisi penuh air yang aku lempar ke lantai tidak juga

membuat hati Ibu luluh untuk tidak pergi. Kami berdelapan

menangisi kepergian ibu bersama laki-laki itu. Malam itu

kumaknai malam jahanam yang merobek-robek hati. Hanya

aku yang mengerti apa arti kepergian ibuku. Ketujuh adikku

tidak mengerti apa-apa. Dalam benak dan pikiran mereka, Ibu

akan pergi jauh ke luar kota. Kepergian Ibuku kali ini tidak

dimaknai oleh si One dan Two sebagai kepergian ibuku ke

rumah sakit, seperti biasanya ibu menyiapkan pakaiannya

dalam tas besar jika akan berangkat ke rumah bersalin. Ibu

tidak sedang hamil, perutnya tidak besar.

Ayah tidak mampu lagi membayar pengasuh. Yang aku

dengar dari pertengkaran-pertengkaran mereka sebelumnya,

ibuku bangkrut. Ia terjerat rentenir dan tertipu oleh beberapa

oknum. Ibuku yang hanya lulusan SD, lalu lari mencari solusi

dengan bermain judi. Karena keisenganku, aku sering

menemukan bundelan kertas-kertas pembelian porkas dan judi

zaman dulu.

Jadilah aku sulung yang menjadi orangtua bagi ketujuh

adikku. Aku mulai menjalani kehidupan orang dewasa yang

semestinya tidak kujalani. Sebelum berangkat sekolah aku

memasak dan mencuci baju-baju adikku. Ayahku mencuci

bajunya sendiri. Sepulangnya aku menjaga adik-adik sambil

mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ayahku berjualan es

cendol di sela-sela pekerjaannya menjadi sipir. Selain itu, ayah

juga bekerja sebagai kuli di pasar.

Ibu tiada kabar berita hingga suatu saat dia pulang ketika

satu per satu kami sudah membangun bahtera rumah tangga.

Beberapa momen pernikahan adikku, aku duduk di samping

ayah menggantikan Ibu. Setelah sekian lama aku dengar juga

bahwa ayahku selama ini memiliki pacar untuk menggantikan

14

ibu. Tetapi kekasihnya tersebut tidak dinikahi. Untuk seorang

pegawai negara saat itu, ayah dan ibuku sangat sulit untuk

bercerai secara resmi.

Di suatu pagi yang rekah. Di sebidang ruang biasa disebut

‘gandhok tengen’ atau bagian ruangan sebelah kanan dari

rumah induk atau rumah keluarga nenek. Rumah berhalaman

cukup luas dengan tanah yang ditumbuhi pohon buah-buahan

seperti nangka, jambu dan mangga, tiba-tiba Ibu datang dan

kami menerimanya dengan lapang dada. Ia tampak tua, dengan

keriput wajah yang mulai mengada. Sepasang kaki tuanya

melemah, ia bilang telah dijangkiti penyakit asam urat. Namun

kegigihannya dalam berdagang tak lekang. Diceritankannya jika

ia memiliki dua buah toko di kota lain. Ibu pulang untuk

meminta maaf, dan menyilakan anak-anaknya untuk

bertandang ke tokonya. Ia hidup sendiri namun tidak kesepian.

Sampai beberapa bulan sebelum kepergian Ayah untuk

terakhir, Ibu sering pulang ke rumah. Dalam sebulan, ada

waktu ibu seminggu bersama Ayah. Sampai kemudian Ayah

jatuh sakit. Penyakit hernia yang ia derita selama sepuluh tahun

telah berkomplikasi dengan penyakit lainnya. Pahlawan

keluarga dan pekerja keras itu akhirnya tumbang. Ayah

meninggal dalam pelukan Ibu dan kami anak-anaknya. Dalam

sebuah buku memori kenangan, kutulis ayahku sebagai satu-

satunya laki-laki juara sedunia.

Sri Pratiwi

Laki-laki yang kujumpai setiap pagi, kadang siang atau

sore hari, telah mencuri hatiku. Namanya Jono dan ia berhasil

mengalahkan perebutan hati dan mengalihkanku dari Iwan,

laki-laki yang tinggal tidak jauh dari rumah. Jono datang ke

rumah dan melamarku. Kata ibuku aku masih bau kencur untuk

15

mengenal pernikahan, tetapi melihat Jono yang telah mapan,

ibuku rela melepasku. Jono ganteng. Sekilas dia mirip dengan

artis Roy Marten. Perawakannya yang tinggi dan langsing,

ditambah dengan warna kulitnya yang putih cerah, nyaris

membuatku tidak percaya, bagaimana laki-laki sedewasa ia

dengan usia terpaut 13 tahun, mau mempersuntingku. Kata

Jono, dia telah bertekad bulat untuk meminangku karena dia

ingin segera memiliki anak-anak yang lahir dari rahimku.

Kami tidak pacaran. Bahkan sebelumnya aku dengan

Iwan pun juga tidak pacaran. Untuk urusan ini, ibuku yang

tidak berpendidikan dan hanya bekerja sebagai pedagang di

pasar, sangatlah keras untuk menjaga anak-anaknya. Ibuku rela

menyerahkan aku ke pelukan Jono sebab menurutnya Jono

laki-laki mapan dan bertanggung jawab. Jono calon pegawai

yang kelak pasti akan diangkat menjadi pegawai negara.

Pendidikan ala ibu untukku yakni dengan turut berdagang di

pasar menjadi modal utamaku ketika menjadi seorang istri.

Jono tahu dan mengerti, hidupku tidak terpisah dari pasar. Jadi

ketika belum habis masa-masa nifas setelah melahirkan anak-

anakku, aku sudah kembali berjualan di pasar. Jono

mendukung.

Kami bersepakat membayar seorang pengasuh dan

seorang lagi yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Pekerjaan utamaku adalah berdagang di pasar dan melayani

Jono saat di kamar. Soal anak, menurutku adalah bagaimana

memberi mereka makan dengan makanan bergizi dan

memfasilitasi apa yang menjadi kebutuhan sekolah sehingga

mereka belajar dengan benar. Jika mereka sakit, dan aku

sedang di pasar, toh Jono atau pengasuh anak-anakku bisa

membawanya ke rumah sakit. Syukurlah mereka sehat dan

kalaupun sakit tidak sampai mengalami perawatan yang

16

panjang. Yang ada di kepalaku adalah uang, uang dan uang.

Aku tak bisa hidup tanpa uang.

Seperti yang selalu dikatakan oleh ibuku, jangan pernah

sekali-sekali mengecewakan pelanggan. Maka, jika tidak karena

sesuatu yang penting, aku tidak pernah absen pergi ke pasar.

Beberapa pengecer telah aku jaring dan ini strategi penjualan

yang bagus. Bertahun-tahun kujalani profesi sebagai pedagang

ini dan telah berlimpahan materi, dengan memiliki sebuah

rumah, serta mengoleksi berbagai perhiasan. Bukan berarti aku

tidak memiliki hambatan.

Untuk menambah modal agar pemasaran usahaku lebih

optimal, seseorang datang untuk memberikan tawaran utang. Si

tukang rente itu kawanku sendiri dan darinya aku meminjam

uang untuk menambah lagi volume dagangan. Namun apa yang

menjadi impianku lepas, kandas. Beberapa pelanggan tidak

membayar, dan ada pula yang lari. Satu lagi, aku terjebak dalam

putaran lingkaran judi. Langkahku tak seringan dulu dan usaha

yang telah aku rintis dari muda hancur. Peluang yang belum

sampai aku estafetkan kepada anak-anakku telah terputus. Aku

lebih memilih pergi dan meninggalkan semua. Iwan, laki-laki

yang pernah menaruh hati kepadaku datang dan aku

menerimanya sebagai dewa penolong. Suami dan anak-anakku

melaknatku dan mengatakan aku sebagai pengkhianat.

Aku pergi bersama Iwan, lalu aku putus hubungan

darinya.Kemudian satu, dua laki-laki singgah dalam

kehidupanku. Aku hidup di jalanan yang keras untuk mengais

rezeki agar perut terisi. Aku mengamen naik-turun bus, dalam

kota dan luar kota. Panas udara dan guyuran hujan kutepis

dengan semangat untuk menyambung hidup. Aku berjualan air

mineral dalamkemasan dan rokok dengan berkeliling jika ada

even di kota tempatku tinggal.

17

Sampai sebuah kasus memidanakanku bersama laki-laki

yang tinggal bersamaku. Aku ditipunya mentah-mentah,

dengan ikut kongkalikong dalam aksi tipu-tipu orang dengan

dalih penggandaan uang. Anak-anak dan Jono yang masih

berstatus suami sahku tidak ada yang mendengar tentang ini

semua. Dalam hatiku, ini pasti balasan Tuhan atas kelalaian

dan penelantaran yang kulakukan terhadap mereka. Aku telah

menerima pembalasan Tuhan dengan ikhlas.

Selepas masalah itu, aku dituntun oleh sebuah kekuatan

hati agar bangkit dan berusaha kembali. Lalu aku memiliki

sebuah warung di sebuah sentra tempat wisata. Bertahun-tahun

warung itu aku hidupi dan meski sendiri, aku telah menikmati

hidup. Mulai lagi dari nol dan memiliki warung yang akhirnya

berubah menjadi toko adalah kegiatanku sehari-hari. Baru

kemudian aku mengumpulkan keberanian untuk menemui

suami dan anak-anakku. Setidaknya mereka akan berpikir

bahwa hidupku senang dan bahagia. Meski aku juga tidak ingin

merepotkan mereka di saat usiaku renta nanti, aku harus selalu

bertemu mereka, atau mengirim kabar jika aku dalam keadaan

baik.

Memiliki tetangga dan para pemilik kios toko lainnya dan

menganggap sebagai seorang saudara. Meski terkadang

penyakitku kambuh, namun uluran tangan anak-anakku untuk

mengajakku pulang, aku tolak. Pun ketika datang tawaran dari

salah seorang mereka untuk hidup bersamaku dan bersama

cucu, aku tetap menolaknya. “Ibu masih kuat untuk hidup

sendiri,” kataku kepada mereka.

Jono Putranto

Kematian adalah kepastian. Kematian pertama yang aku

saksikan adalah kematian cucuku karena sakit menahun.

18

Semalam sebelumnya aku bermimpi dia datang kepadaku

dengan wajah cantik dan tidak kelihatan sakit. Dia

melambaikan tangannya dan lalu menghilang begitu saja.

Kematian kedua adalah saat ibuku meninggal dan aku

menyaksikannya dalam kesadaran. Di usianya yang sudah uzur,

82 tahun, itu adalah penanda bahwa tugasnya sebagai ibu,

nenek, nenek buyut telah rampung. Ibuku meninggal dalam

tenang.

Dua tahun berselang, ayahku menyusul Ibu. Lelaki yang

kala muda membaktikan diri untuk membela negara dalam

perjuangan merebut kemerdekaan itu selalu menanamkan diri

kepada anak-anaknya untuk hidup sederhana. Dia meneguhkan

bahwa pendidikanlah yang menjadi tiang penjaga utama

kehidupan. Dia pergi pada suatu siang yang redup, dengan

kesadaran penuh, meninggalkan agar kami anak-anaknya

menabur benih-benih kerukunan.

Kematian yang aku hadapi adalah keniscayaan. Aku

tengah mengidap sakit hernia selama sepuluh tahun. Tetapi

sakitku ini bisa aku obati dengan obat-obat tradisional yang

dengan mudah aku cari. Meski setelah pensiun aku masih

bekerja di pasar, dengan ikut membantu para bakul,

mendorong becak saat tiba di tanggul, dan menata barang

dagangan mereka. Kadang menunggu pedagang jika ditinggal

pergi untuk suatu keperluan, mereka percaya kepadaku. Namun

aku tidak ingin menyusahkan anak-anakku tentang penyakitku.

Sepanjang hidupku,aku tidak pernah berhadapan dengan

pengobatan dokter, pisau operasi dan rumah sakit. Maka saat

sakit selama seminggu, dan semakin hari semakin

menggerogoti tubuhku, aku menahannya. Salah seorang anakku

memaksaku untuk mendatangi dokter dan dari dokter tersebut

aku pun diberi rujukan untuk operasi. Tetapi aku memilih

19

pulang dan aku yakin bahwa saat kematianku akan segera

datang.

Dikelilingi oleh mereka, menatap satu persatu wajah

mereka, dan membayangkan kehidupan mereka ke depan akan

baik adalah kemuliaan. Istriku mendampingiku sampai nafas

terakhir. Dalam kesadaranku aku berharap dia pun meninggal

dengan cara yang tenang. Aku jauh-jauh hari telah memaafkan

semua kesalahannya dan kesalahan anak-anakku. Aku telah

mengubur duka masa lalu. []

Astuti Parengkuh, lahir di Solo, merupakan nama

pena dari Puji Astuti. Menggeluti kembali dunia tulis-

menulis sejak 2007. Debutnya adalah novel memoar

Asa, Malaikat Mungilku lalu beberapa karya cerpen,

puisi dan resensi terbit di Majalah Gadis, Tabloid

Gaul, Solopos, Tribun, Joglosemar dan beberapa

media lain. Kini menjadi kontributor untuk blog

Jurnal Perempuan dan www.solider.or.id. Penulis

bisa dikontak via surel: astutiparengkuh15@

gmail.com.

20

FaqihSulthan

Surat Pelukis

Aku tak mengerti mengapa tiba-tiba sudah berada di ruangan

gelap. Aku jugatidak yakin dari mana aku berasal dan alasanapa

yang melatarbelakangiaku ada di sini.

“Ceritakan padaku apa yang terjadi sebelum aku di

sini!”aku bertanya pada satu diantara mereka.

“Lebih baik kau cari tahusendiri siapa dirimu!” jawab satu

diantara mereka

Akutersadar,ternyata aku tak bernama.

“Siapa namaku?” gumamku.

“Kita tidak pernah bernama sejak dilukis, di ruangan ini

kita harus saling menghargai usia,” jawab salah satu yang lain.

Akumeraba cahaya, menyelisik suara, dan menerawang

aroma,perlahan aku bisa memfungsikan indraku untuk

mengenali mereka. Sebut saja: Si Tua,Si Paruh Baya, Si

Dewasa,Si Remaja, dan akusendiri mereka panggilSi Muda. Aku

mencoba mendekati mereka, berharap bisa bergabung dalam

perbincangan yang sepertinya sudah berlangsung lama.

“Kabarnya kau adalah lukisannya yang terakhir ya?” bisik

Si Remaja.

“Hah,mana aku tahu?Kenapa mustibegitu?” Aku linglung,

rasa-rasanyaisikepalakuhilang.

21

Si Dewasa menimpali, “Aku masih ragu, tapi kabar itu

sepertinya benar.Aku bermimpi menyaksikan pelukissedang

menulis surat, entah akandikirimkemanadanditujukankepada

siapa.Yang aku ingat pelukismembuat kalimat ‘Sungguh aku

ingin tak henti-henti menulis kepadamu, tapi kalau pun

melukis menjadi penutup surat-surat kita, maka akan

kuterima ini sebagai takdir.’ Sampai sekarang aku belum

paham apa maksud surat itu.”

“Aku yakin ini ada hubungannya dengan Si Gadis,” ujar Si

Paruh Baya.

“Celaka, aku tidak menyangka hal ini benar-benar

terjadi,” Si Tua tampak gelisah.

“Maaf,apa yang sebenarnya terjadi?” Aku terpaksa

mengulangi pertanyaan ini.

Si Paruh Baya memberi isyarat kepada Si Remaja seolah

malas bercerita. “Hai Si Muda, kau memang banyak tanya ya.

Asal kau tahu, pelukis sedang jatuh cinta,” ujar Si Remaja. Aku

benar-benar dibuat pusing dengan percakapan ini. Siapa gadis

itu, apa hubungannya denganku, kenapa setelahSi Dewasa

bercerita tentang mimpinya mereka menjadi muram, entah

sedih, entah marah. “Siapa sebenarnya yang mereka panggil

pelukis itu?”gumamku kembali.

Si Tua mendekatiku. “Hai Si Muda, dahulu pelukis adalah

yang paling ulung dalam urusan menyendiri, walau begitu ia tak

pernah merasa sepi. Sebab dialah Sang Pelukis yang dapat

melukis apapun yang dia mau. Setiap

mengingatnyaakutersengat perasaan rindu yang hebat.”

“Sudahlah Si Tua, sekarang hal itu hanyajadi cerita usang.

Andai saja gadis itu tak menyurati pelukis, kita tidak akan

seperti ini. Ada, lalu terbuang...” ujar Si Paruh Baya kesal.

22

“Menurutku gadis itu sama sekali tidak bersalah. Ini

memang kemauan pelukis. Bisa sajapelukismenolak

permintaan gadis itu?” Si Dewasa mencoba menenangkan Si

Paruh Baya.

Aku mulai mengerti, ini adalah kisah Pelukis dan Si

Gadis. Tapi aku masih belum tahu apa sebenarnya yang

diinginkan gadis itu pada pelukis sampai-sampai kata mereka,

aku adalahlukisannya yang terakhir.

“Hai Si Muda, kau pasti bingung. Aku juga sepertimu

mulanya,namun setelah melihat dirimu sekarang, aku jadi tahu

alasannya. Pelukisternyata sudah kehilangan kemampuannya,”

ledek Si Remaja.

“Huss, kamu jangan sembarangan!” ujar Si Tua. “Sejak

surat itu sampai di sini, kita ada agarberkenalan dengan Si

Gadis.”

Si Paruh Baya menghela nafas.“Alaaah itu hanya

khayalanmu! Buktinya dari dulu tidak satupun dari kita yang

keluar dari ruangan ini untuk berkenalan dengan Si Gadis.

Justru sebaliknya surat-surat dari Si Gadis terus berdatangan

menagih permintaanya. Ini salahmuSi Tua, wajahmu buruk

rupa tidak mampu mewakili Pelukis. Andai kamu bisa lebih

tampan, kami tak perlu ada bahkan untuk tinggal di sini.”

“Jaga ucapanmu, kamu tidak punya hak menyalahkan Si

Tua. Harusnya kita ingat Sang Pelukis sangat disegani di mana-

mana atas semua karyanya yang agung. Tidak mungkin pelukis

kehilangan kemampuannya hanya karena melukis dirinya

sendiri,” Si Dewasa berusaha menengahi mereka.

“Apa masalahnyapelukismenulis surat itu?” Aku

memberanikan diri bertanya.

Si Remaja menertawakan pertanyaanku. Dia memaksaku

untuk percaya jika pelukismemang sudah kehilangan

23

kemampuannya.Suasana bertambah keruh saat Si Paruh Baya

mengolok-olok pelukis, menuduh bahwa pelukis tidak pernah

benar-benar mengetahui wajahnya sendiri. Bahkan Ia berani

mengatakan pelukismalu mengenalkan dirinya. Karena itulah,

ia menyudahi surat-suratnya kepadaSi Gadis.

Seketika dengan pecahan beling Si Dewasa menikam Si

Paruh Baya. Aku tidak sempat menerka dari mana ia

mendapatkan benda itu. Yang pasti, aku ketakutan melihat

warna merah mengalir dari tubuh Si Paruh Baya. Si

Tuabergegas melerai mereka. Namun tidak lama saat Si Paruh

Baya di atas pangkuan Si Tua. Dari belakang Si Remaja

menggorok leher Si Dewasa.

Suasana jadi mencekam, aku tunggang langgang berlari

ke seberang ruangan. Si Remaja membatu seolah tidak sadar

dengan apa yang sudah ia lakukan. Aku mendengar nada

penyesalan Si Remaja. “Kenapa ketika itu aku tidak meminta

pelukis untuk berhenti saja. Bodoh, bodoh! Akuyang paling

bodoh!”Si Remaja menancapkan beling ke sekujur tubuhnya. Si

Tua menangis sejadi-jadi, tergambar di wajahnya kekalutan

yang luar biasa. Dia hanya bisa menatap nanar wajah kawan-

kawannya. Sedang aku yang baru saja ada, benar-benar tidak

tahu harus berbuat apa.

Lama kami terdiam sampai Si Tua memanggilku, “Hai Si

Muda, cobalah baca surat-surat yang adadi sampingmu!”

Aku layangkan pandanganku mencari benda yang

dimaksud Si Tua. Aku menemukan tumpukan surat berdebu

atas nama Karina. Aku tidak lantas membacanya, foto-foto yang

terselip di setiap surat membuatku terpesona dengan

kecantikannya.

“Dialah Si Gadis itu...” Aku tidak terkejut dengan ucapan

Si Tua.

24

Karina mengirim berbagai macam foto. Ada yang ramai-

ramai bersama keluarga, ada yang dengantemannya,

kucingnya, bunga-bunga ditaman dan foto-foto bahagia lainnya.

Tapi berbeda dari foto yang lain, ada foto sendu yang

mempertontonkanwajahpiluKarina di tepi pantai. Iamenantang

senja yangdidominasi warna hitam dan jingga. Foto itu bersama

dengan surat pertama Karina yang ternyata tidak memiliki

alamat tujuan. Aku menebak ini adalah surat liar yang sengaja

dibiarkan mencari pembacannya hingga akhirnya sampai ke

tanganPelukis.

Surat-suratnya selalu berbalas dan aku menemukan satu

surat Karina yang berisi permintaan agar pelukissudi

mengenalkan wajahnya. Anehnya setelah kubaca surat tersebut,

surat-surat berikutnya berubah. Pesan yang semula berupa

kasih sayang dan kerinduan, menjadi kekesalan dan

kekecewaan.

“Apakah aku alasan pelukis berhenti membalas surat

Karina?” Aku bertanya pada Si Tua.

“Benar.”

“Apa salahku?”

“Kamu tidak bersalah.Justru kamu telah

meyakinkannya.”

“Meyakinkan apa?”

“Bahwa dia sudah tiada, mati kelelahan melukis kami

berempatsaat sebelum sampai citranya.”

“Berempat, lalu aku?”

“Dengancat dalam kanvas tubuhmu, kini kamu adalah

wadahnya.”

Semburat ingatanku kembali. Aku mendekap surat yang

belum sempat dan takkan pernah bisa kukirim ke Karina. []

25

FaqihSulthan, merupakan mahasiswa Sastra

Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Diponegoro, Semarang. Ia juga mernjadi Pimpinan

Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Manunggal,

UniversitasDiponegoro, 2017. Bisa dihubungi melalui:

[email protected].

26

Imamah Fikriyati Azizah

Puan Penembang

Tidak ada rubaiat juga puisi-puisi mutakhir di malamku. Sebab

bumi ngalir susu dan madu, aku ngalir lelagu ngilu. Hanya ada

aku pada guritan bertembang laras pelog patet barang, pada

sebuah Megatruh di sela musim kemarau yang teramat panjang.

“Adakah suaramu pada Megatruh yang mengalun di jejak

gending purbamu? Pada ngiangku, kamu tabuh bonang lantas

berkisah tentang pengrawit-pengrawit veteran. Aku, yang tak

memiliki elok betis, mulai nadakan getir yang kikis pada

seberkas lamunanku: Sigra milir sang getek sinangga bajul/

kawan dasa kang jageni/ ing ngarsa miwah ing pungkur/

tanapi ing kanan kering/ sang getek lampahnya alon//”

Ini kali, sebab terjebak di pikiran sendiri adalah kesialan,

aku jadi mengutuk diri habis-habisan. Tak pandai lara, tak

pandai suka. Tak lagi kuurai hingga burai huruf-huruf di kepala.

Dalam kedapnya kebuntuan, lelaki berambut sepinggang hadir

di hadapan, bermuka duga nan prasangka.

“Puan siapa?” tanyanya.

“Sigra milir, Mas. Itukah kamu yang menjelma Mas

Karebet berkawal empat puluh bajul? Ing ngarsa miwah ing

pungkur. Kamu ajur, aku mawur. Kamu kabur, aku melantur.”

“Puan siapa?” kembali ia bertanya.

27

Suntuk sudah huruf-hurufku menabrak tembok. Bukan

tembok pada puisi Wiji Thukul. Bukan pula tembok pada strata

karmawibhangga. Bukan itu. Melainkan tembok pada alam

kedapku, yang gigir dan puncaknya tengah riuh dan gaduh,

menjelma tanya dan jawab yang berkelindan pada

perbincangan semu. Sedang di bibir, penuh dengan ritual tapa

bisu.

“Apa kamu Jaka Tingkir?” aku mendelik dan bertanya.

“Bukan. Aku Jaka Lelur. Tubuhku menjelma buaya

muara. Lelaki penganggur. Siang tidur, malam ngeluyur.

Seperti katamu, sisanya aku akan kabur,” terangnya.

“Kamu melantur!” aku menggertak.

“Kamu. Bukan aku. Puan siapa?” ia masih bertanya.

“Puan siapa tanyamu? Lantas pada wajah mana bisa

kutitipkan nyanyi bisuku? Bila padamu tiba di sepuluh muka.

Bila padamu tiba di malih rupa. Jangan-jangan kamu

Rahwana?”

“Bukan, Puan. Mana mungkin aku Rahwana, sedang jelas

nyata yang di hadapku bukan Sinta,” tegasnya.

“Bagaimana kamu tahu bahwa aku bukan Sinta?”

“Sebab Sinta membumi di Dandaka. Sedang kamu

melangit di mayapada. Berwajah angkuh dan banyak berkata-

kata,” jawabnya menegaskan.

Sementara ia berhasil mengulitiku, aku merasa jejal,

sesak, dan ngilu. Lelaki yang membercandaiku dengan akunya

sebagai Jaka Lelur, mulai nadakan notasi-notasi yang ia hafal di

luar kepala. Mengiringiku tidak dengan rakit layaknya Mas

Karebet, tetapi sewujud gesekan rebab yang alunnya sungguh

menyayat. Ingatan dan kengiluan menetes sudah di lapis

28

qasrun-ku. Lantas menetes di pelipisku. Aduh raga. Aduh

nyawa. Aku tahu kamu. Aku jelas tahu siapa kamu.

“Lelaki perempat abad yang menggesek rebab, kelak

sunyi jantungmu jadi guritan di bibirku. Sebab sengar di

detakku, bau ngilu di decakmu.”

Pelan, aku mengingatnya teramat pelan.

“Puan, telah aku pilih nada miring sehingga menjelma

suara rebabku menjadi busur dan panah Radheya Karna. Apa

Puan adalah Surtikanti?” tanyanya.

Sunyi jantungnya masih berdetak. Pada irama

seperempat, ia tegaskan bahwa hanya ada bunyi bonang yang

meragu. Maka, aku latari perbincangan kami dengan

Dhandhanggula Tlutur teruntuk putra kusir, Radheya Karna.

Lelaki yang dikutuk Parasurama, lelaki yang panas telinga

lantaran ucapan Dorna, lelaki yang dihina Drupadi pada

sayembara di Kerajaan Pancala. Pada penjelmaannya sebagai

Karna, lelaki yang gemar bersajak di perempat malam sebagai

ganti zirah dan anting lantaran Dewa Indra merampasnya demi

kemenangan sang Arjuna, sangat lekat sukmanya di alam

pikirku di dalam kepala.

“Apa Surtikanti akhirnya bunuh diri?” tanyaku padanya.

“Ya. Dia pemegang teguh rasa setia kepada suaminya.”

Angin ngidit mangidul/ saya kekes rasaning ati/

“Apa Puan adalah Surtikanti yang dengan cemas dan was-

was hendak menyambut Radheya Karna pulang manakala

matahari terbenam?” ia mengulang tanya.

“Sebab hanya ada bunyi bonang yang meragu,

kutembangkan Dhandhanggula Tlutur penuh ngilu. Tidak

sebagai Surtikanti, Karna. Bukan aku yang manjing pada

29

kancing gelungmu. Sebab cundrik di kainku, tak lantas kusayat

di nadiku.”

Rumangsa yen wus lola/ Babo raganing sun/

“Wahai Puan yang gemar menembang, jika bukan

Surtikanti putra Raja Salya, lantas apa Puan adalah Amba pada

tubuh Srikandi? Kelak di Kurusetra, Puan jemput Dewabrata

hingga gugurlah segala sumpah serapah.”

Masih ia menduga kira demi menjawab rasa ingin

tahunya.

Nora sanak nora kadang/ ning pondokan mung tansah

nandang prihatin// duh nyawa aduh raga///

“Tidak ada Amba pada tubuh Srikandi yang menjelma

aku, Karna. Bukan aku pada sejurus hrusangkali yang melesat

pada tubuh sang Bisma,” aku menegaskan.

“Puan bersuara khas yang gemar menembang, sungguh

Puan bukan Surtikanti bukan pula Srikandi? Maka gesekan

rebab juga bunyi bonangku yang meragu tentu bukan berarti

cinta. Sebab yang kucari adalah pendamping kemalangan pada

lakonku, Surtikanti yang aku cintai.”

Bukankah aku telah jatuh pada nyala matanya yang

penuh duga kira. Bukankah aku telah dengan begitu gegabah

merasa menyukai setiap kata yang keluar darinya. Maka, di

sebuah pupuh Asmarandana, aku gariskan perbincangan kami

yang bersenyawa. Berdinding inginnya yang kedinginan.

Berkalang kerlingku yang kalingan. Lantaran tak maujud

Surtikanti yang setia itu. Lantaran tak maujud Srikandi yang

mampu benarkan atap sekaligus mencuci baju. Terlebih Dewi

Sinta yang membumi menuju saptapratala.

“Puan, barangkali panah Arjuna padaku akan menjelma

penyakit akut, rayuan partai politik, ancaman teror, tawaran

para juragan, dan segala tuntutan hidup yang membuatku gagal

30

menggenggam sumpah pada sahabatku Duryudana. Tak

bisakah dalam keadaan itu tetap Puan tembangkan sebuah

sekar yang kelak mengganti iringan gamelan?”

“Radheya, putra Radha dan Adirata, cukuplah Arjuna

pada mata panahnya. Menjemput ajalmu tak dalam rayuan

kapital dan polah perpolitikan. Jangan. Sebab mati jasadmu

adalah puisi di batinku. Sedang mati sukmamu adalah benci di

benakku. Maka tetaplah pada sunyi dirimu yang tak tergerus

babak pertunjukan milenial itu.”

“Ah, tentu saja, Puan. Aku tak mau mati sebagai tokoh

dagelan yang diantar tawa keras penonton dalam iringan

tembang dolanan. Maka, tak lekas aku ingin buru-buru gugur

pada gara-gara. Aku ingin bertahan hingga patet manyura. Mati

terhormat sebagai kesatria. Merampungkan lakon penuh

kutukan juga kekalahan yang telah digariskan.”

Dan kegetiran hinggap dalam inti masing-masing kami.

Aku terkelu. Masih aku sebagai diriku dalam gatra

Asmarandana juga cinta yang kekanakan. Sembari

kutundukkan Sarpakenaka dalam diriku yang menggila dengan

kuku panjang berbisa ularnya, sembari itu pula aku simpan

segala perbincangan kami yang bersenyawa.

“Bila benar bukan Puan, maka tetap nyanyilah pada

tembang-tembangmu. Tidak mengapa jika bukan Puan

perempuan yang aku nanti-nanti, Surtikanti yang setia menanti

sepenuh hati. Akan tetapi, Puan, jika nanti sebelum sampai

pada waktuku ketika panah Arjuna sampai lebih dulu, sedang

Surtikanti sebagai pereda nyeri, luka hinaan, kekalahan, dan

sederet kutukan juga kehilangan, belum juga datang padaku,

maka izinkan aku mengambil potongan suaramu melantun

tembang untuk kujadikan iringan pada akhir adegan.” sekali

lagi, ia meminta.

31

“Karna, karena aku hanyalah diriku yang papa, kelak aku

giriskan Megatruh di Kurusetra. Jika tiba panah Arjuna dan

segala kutuk Parasurama, aku bisikkan nyanyi getirku tepat di

telinga. Karena Karna adalah juga tentang telinga, putra Kunti

dan Dewa Surya. Tidak apa jika tak nyala bunyi gendingmu

yang purba. Biar hanya ada Megatruh yang sempurnakan

kesunyianmu, Radheya Karna.”

Pada pintanya, dalam nada sumbangku sebagai latar

kematiannya nanti, bila benar tak kunjung hadir tangis pilu

Surtikanti. Dan dalam isyarat mata, ia turut meminta agar aku

baitkan perbincangan ini lantas kujaga segarnya agar tak layu

hingga saat ia rentangkan busur panahnya, berujung kalah,

rebah di tanah. Maka, kelak kujumput secukupnya untuk

kutabur di atas jasadnya sambil melantunkan sekar Megatruh.

Sementara sisanya aku simpan sebagai kenangan.

Lelaki berambut sepinggang berdiri gemetar tepat di

hadapan. Subuh berlabuh, pagi menyingsing. Aku basuh

wajahku dengan tubuhnya yang mengembun. Dan ngiang akan

nyanyiku di kesunyian. Juga perbincangan yang aku baitkan

dalam puisi kengiluan. Mengutuh. Kelak kusambangi dirinya

dalam ingatan. Kembali seperti kini. Lamunan sedari malam

hingga pagi. Pada sebuah Megatruh berlaras pelog berpatet

barang. Kepada lelaki sunyi yang berlaras kutukan berpatet

kekalahan. []

Klaten, 3 Juni 2017

Imamah Fikriyati Azizah, Lahir di Klaten, 18

Agustus 1995. Merupakan alumnus Sastra Indonesia

32

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret

Surakarta. Kini tinggal di Sentono Rt. 29 / Rw. 13

Ngawonggo Ceper Klaten 57465.Dapat dihubungi

melalui email imamahfikriyatiazizah@gmail.

33

Impian Nopitasari

Gara Gati

Baru saja aku selesai membaca draft novelmu. Tentang kisah

cinta yang tak lekang oleh waktu. Sepasang pecinta yang selalu

dipertemukan di berbagai kehidupan, namun selalu saja tidak

bisa bersatu.

“Kamu percaya reinkarnasi, Mas?” tanyaku.

“Absolutely, yes,”

“Kalau kamu dilahirkan kembali, kamu ingin jadi apa?

Apa ingin menjadi tikus seperti Atmik dalam novelmu ini?

Nggak capek gitu kejar-kejaran sama Meci si kucing yang nggak

segera sadar bahwa tikus yang ia kejar adalah kekasihnya pada

kehidupan sebelumnya?”*

Kamu tersenyum. “Tidak, aku tidak ingin menjadi tikus

seperti Atmik. Aku ingin menjadi tokek saja.”

“Ih…nggilani, nggak ada binatang yang lebih bagus apa?”

“Tidak ada binatang yang lebih dibenci di rumahmu

daripada cicak dan tokek, kan? Aku akan menguji apakah kau

masih mengenaliku atau tidak.”

“Maksudmu? Aku masih manusia saat itu?”

“Ya kali aja aku yang pergi duluan, ya, kan? Siapa tahu?”

kamu mengucapkannya dengan santai, tapi malah membuatku

tidak nyaman. Jadi kamu mau meninggalkanku dulu? Begitu?

34

“Santya, aku akan selalu mendampingimu, dalam wujud

apapun aku saat itu, dalam kehidupan apapun saat itu, aku

selalu ada buatmu. Jika hatimu peka, kau akan selalu

menemukanku,” kamu mengatakan ini dengan menatap

mataku, yang membuatku merinding.

Aku heran kenapa kamu ingin bereinkarnasi menjadi

tokek. Aku memang pernah bercerita kepadamu tentang tokek

dan cicak yang sangat dibenci di rumahku, di kompleks

rumahku. Kamu terkejut ketika mendengar ceritaku tentang

adanya sekolah tingkat dasar yang mengadakan lomba

membunuh cicak.

“Anak-anak kecil diajari membunuh?” tanyamu dengan

marah.

Aku bercerita zaman kecilku dulu banyak anak-anak yang

membunuh cicak dengan menjepret dengan karet gelang. Kata

ustaz kami, cicak binatang jahat yang tidak menolong nabi

Ibrahim ketika dibakar raja Namrudz, ketika semua hewan

melata berusaha memadamkan api, cicak malah

menghembuskan angin supaya api lebih berkobar. Membunuh

cicak adalah berpahala.

“Kamu yakin cicak beneran menghembuskan angin agar

api lebih berkobar? Siapa tahu dia sebenarnya ingin

memadamkannya?” kau masih belum terima, padahal aku

bilang, berdebat dengan teks agama akan semakin membuatmu

pusing.

“Oke, aku paham ketika kamu membunuh binatang yang

membahayakan, ya...walau bagiku selama bisa tidak dibunuh,

janganlah dibunuh. Tapi seberapa daruratkah cicak? Kok

kasihan sekali jadi cicak, hidup untuk dibunuh. Masak sih

Tuhan sekejam itu? Kalau tokek, apakah sama hukumnya?”

35

“Ya sama saja, Mas. Kan tokek itu cicak besar. Banyak

yang bilang tokek menjadi media sihir, jika rumah banyak

tokeknya, ya…kau pikir sendirilah. Ah, sudahlah, kita ini kan

cuma manusia yang ilmunya cetek, Tuhan yang lebih tahu

segalanya,” aku menghentikan perdebatan menyebalkan ini.

“Kasihi semua makhluk Tuhan, Santya,” katamu lirih.

***

Bagiku tokek masih binatang yang menjijikkan, sebelum

aku berkunjung ke rumahmu. Waktu itu kamu mengajakku

berkunjung ke desamu, menghilang sejenak dari keriuhan

Jakarta, sambil menemaimu riset untuk tulisanmu berikutnya.

Orangtuamu menyambutku dengan ramah. Ibumu

memasakkan sejenis olahan daging kambing yang baru pertama

kali kujumpai. Namanya becek, kata ibumu. Kamu mengajakku

ke dapur, katamu lebih asik makan di dapur daripada di ruang

makan yang sebenarnya tidak ada di rumahmu.

Tekek…tekek…tekek…tekek…

Aku otomatis menjerit mendengar suara binatang

berwajah jelek itu. Binatang itu masih bersuara beberapa saat,

lalu diam.

“Empat kali. Tekek, muni, gara, gati,”

Aku memandangmu dengan tatapan “Maksudmu?”

“Tadi bunyi ‘tokek’-nya ada empat kali. Tekek, muni,

gara, gati,”

Dahiku mengernyit tanda penasaran.

“Apa itu, Mas?”

“Semacam hitungan, hitungan pertanda,” jawabmu.

36

Kamu tahu aku masih belum mengerti. Kamu tersenyum

lebar melihat muka seriusku. Yang membuatku sebal, kamu

tidak segera menjawab rasa penasaranku, malah mengambil

sayur becek dengan kuah yang masih panas untukku. Aroma

daging dan tulang kambing berpadu dengan asamnya daun

kedondong, bau khas kencur, pedasnya cabai rawit hijau dan

taburan bawang goreng yang sukses membuat perutku

berunjuk rasa. Aku mengambil sedikit nasi panas, kuguyur

dengan kuah becek yang banyak. Tidak pakai pendamping pun

sudah enak. Sejujurnya aku lebih menyukai olahan kambing

khas Grobogan ini daripada tengkleng Solo, lebih segar, tidak

bersantan.

“Makanlah dulu!”

Aku menurut. Kamu tidak bohong, masakan ibumu ini

memang tidak ada duanya. Aku melihatmu sama lahapnya

sepertiku. Aku meniru cara makanmu, yang katamu, sensasi

paling tak terlupakan makan becek adalah menghisap sungsum

tulang kambingnya. Sruput-sruput segar.

Selesai menghabiskan becek, aku mengambil irisan

semangka sekali makan yang sungguh segar. Semangka yang

dipanen dari sawah orangtuamu. Katamu daerah sini memang

penghasil semangka dan melon yang bagus. Sungguh kuingin

pindah ke sini saja.

“Mana ceritanya tentang tokek tadi? Lupa ya?” aku

menagih janjinya bercerita.

“Haha… maaf, perut kenyang membuatku ngantuk,”

kamu tertawa melihatku cemberut.

“Tokek di sini disebut tekek. Dalam keluargaku binatang

ini seperti alarm. Mereka membawa kabar sesuai apa hitungan

yang jatuh. Hitung saja berapa mereka bersuara “tekek”, lalu

tafsirkan sendiri. Urutannya adalah tekek, muni, gara, gati.

37

Tekek itu tokek, muni itu berbunyi, gara dari kata “gara-gara”

yang artinya akan terjadi sesuatu yang kurang baik, gati dari

kata “wigati” yang artinya penting. Ketika hitungan jatuh di

tekek dan muni, biasanya kami tak ambil pusing karena itu

hanya bunyi sambil lalu, para tokek itu hanya sedang ingin

bernyanyi saja. Nah, jika hitungan bunyi itu jatuh ke gara, atau

gati, baru kami waspada. Gara itu biasanya berita buruk, kalau

gati, biasanya sesuatu yang penting, mengejutkan, atau apalah

tapi tidak buruk seperti gara. Contohnya kedatangan kita ini,

sebelumnya ibu mendengar tokek bersuara “tekek” delapan

kali, yang jika kau hitung akan jatuh ke gati.”

Aku mengangguk. Tidak, aku tidak menuduhmu percaya

takhayul. Aku malah semakin kagum dengan dirimu dan

keluargamu yang apapun selalu ada filosofinya, bahkan untuk

binatang jelek macam tokek pun di keluarga ini sangat

disakralkan. Mungkin di tempatku keluarga ini akan dicap

aneh.

***

Tidak biasanya di rumah aku mendengar suara tokek,

setidaknya tidak sedekat ini. Tidak pernah ada tokek yang

masuk di rumah ini.

“Suaranya seperti dari kamarmu ya, San?” tanya bapak.

Bapak paling benci dengan suara tokek, apalagi bentuknya.

“Apa iya sih, Pak? Nggak ah,” aku menyanggah.

“Kamu sudah nggak pernah ngaji lagi ya? Sampai ada

tokek di kamarmu?”

“Aduh bapak, apaan sih bawa-bawa nggak pernah ngaji

segala, masa iya aku ngaji harus keras-keras,”

38

Bapak memeriksa kamarku, hasilnya nihil. Tapi beliau

masih sempat menceramahiku tentang bahayanya rumah jika

kemasukan tokek, akan banyak jin yang berdiam di situ. Beliau

mewanti-wantiku agar selalu perbanyak zikir. Terkadang aku

sebal dengan tingkah bapak yang begini. Bisa saja kan tokek itu

sampai ke rumah karena banyak pohon ditebang atau kebun

dan sawah yang sudah beralih fungsi? Toh nyatanya tokek itu

tidak ada di kamarku.

Esoknya tokek itu bersuara lagi. Aku mulai iseng

menghitung berapa jumlah bunyinya. Tokek itu bersuara saat

pagi, siang, dan menjelang magrib. Tidak pernah jatuh di

hitungan tekek atau muni, selalu di gara atau gati. Entah

pertanda apa yang ingin ia sampaikan.

Suara tokek ini berhasil membuat bapak uring-uringan,

apalagi beliau tidak berhasil menemukan wujudnya. Seisi

rumah dibuat ribut oleh ulah sang tokek. Keributan itu

bertambah ketika pagi itu, Deva, adikku menjerit, katanya ia

melihat tokek sebesar lengan orang dewasa di kamarku. Bapak

langsung ke sana membawa tongkat kayu untuk memukul si

tokek, namun tokek itu berhasil kabur. Cemong, kucingku, yang

juga penasaran dengan buruannya gagal mengejar tokek itu, ia

mengeong kesal. Bapak masih ingin menegejar tokek itu, tapi

ibu sudah berteriak untuk segera diantar belanja ke pasar dan

menyuruh Deva segera berangkat sekolah. Dengan kesal bapak

melempar tongkat itu dan mengancam akan memburu tokek itu

lagi.

Sesudah bapak pergi, tokek itu bersuara lagi, dekat sekali.

Aku mengedarkan pandangan, di pojok atas dinding kamarku,

aku melihatnya. Seekor tokek sebesar lengan orang dewasa,

menatapku. Matanya berputar-putar, mengejekku.

Santya, aku akan selalu mendampingimu, dalam wujud

apapun aku saat itu, dalam kehidupan apapun saat itu, aku

39

selalu ada buatmu. Jika hatimu peka, kau akan selalu

menemukanku…

Entahlah, ketika melihat tokek itu, aku merasa dia adalah

kamu. Kamu bilang dulu jika kamu dilahirkan kembali, ingin

menjadi tokek. Itu kata-kata terakhirmu tiga bulan lalu,

sebelum kamu meninggalkanku selamanya.

Kuacungkan tongkat kayu pada tokek jelek itu, “Nggak

ada binatang yang lebih bagus lagi gitu ya, Mas? Kenapa sih

kamu memilih tokek? Kamu mau dibunuh bapak? Atau diburu

Cemong?”

Dia menjawab dengan suara “tekek”-nya. Tiga kali, jeda,

lalu empat kali. Entah gara gati apa yang ingin ia sampaikan.

Sampai sekarang aku masih belum bisa memahaminya.

Mungkinkah dia itu...kamu? []

*Tokoh dalam cerita Seribu Tahun Mencintaimu karya Nikotopia.

Impian Nopitasari. Belajar bersama di Komunitas

Sastra Pawon. Banyak menulis fiksi dalam bahasa

Jawa. Kumpulan cerita cekaknya, Kembang Pasren

terbit September 2017 oleh penerbit Garudhawaca.

40

Liswindio Apendicaesatr

Hak Asasi

Realita Titik 0

Manusia adalah manusia adalah manusia. Makhluk hidup

adalah makhluk hidup adalah makhluk hidup. Kebernyawaan

adalah kebernyawaan adalah kebernyawaan. Penderitaan

adalah penderitaan adalah penderitaan. Kemanusiaan adalah

kebinatangan adalah kemanusiaan adalah kebinatangan.

Aku teringat pada kejadian 10 tahun lalu saat Jeremi yang

masih berusia 5 tahun menangis keras ketika sedang menonton

sebuah acara televisi tentang flora dan fauna. Aku mengira

acara tersebut mengandung adegan-adegan tidak pantas yang

bisa membuat anak kecil yang menontonnya mengalami

trauma. Acara itu adalah acara kesukaan Jeremi; setiap pukul

empat sore Jeremi selalu duduk manis di depan televisi

menyaksikan acara yang dimaksudkan sebagai pendidikan ilmu

pengetahuan alam, khususnya tentang biologi, kepada

masyarakat. Wajahnya selalu berseri dan matanya tampak

berbinar setiap tontonan tersebut menampilkan hutan-hutan,

pegunungan, air terjun, sungai-sungai yang dikelilingi

pepohonan lebat, lautan, dan angkasa raya. Tidak pernah

sekalipun Jeremi melewatkan satu episode sejak pertama kali

menontonnya.

41

Setelah satu hingga dua bulan, Jeremi mulai bisa

menjelaskan tentang perilaku-perilaku sederhana beragam

spesies hewan. Sebagai contoh, dia menjelaskan kepadaku

bagaimana serigala adalah spesies yang terlahir buta dan tuli,

tapi sebulan kemudian mereka sudah bisa melihat dan

mendengar, bahkan di usia dewasa mereka bisa mendengar

suara anggota kawanan mereka dari jarak sejauh 10 mil. Di lain

kesempatan Jeremi juga menjelaskan padaku soal matrifagi

yang terjadi pada suatu genus laba-laba; induk betina laba-laba

tersebut merelakan dirinya mati dimakan oleh ribuan anak-

anaknya yang baru 2 minggu menetas.

Tidak pernah Jeremi menangis sebelumnya meskipun

acara televisi tersebut menyajikan kehidupan alam liar yang

seringkali ganas dan kejam —Jeremi justru tampak kagum

setiap kali mengetahui hal baru tentang kehidupan alam liar itu.

Aku dan istriku tentu saja panik dan bertanya kepadanya

mengapa tiba-tiba dia menangis. Istriku mengira Jeremi

terjatuh atau tidak sengaja melukai dirinya—entah dengan cara

apa— ketika sedang menonton.

“Mengapa kita memenjarakan hewan-hewan di kebun

binatang dan membunuh hewan-hewan lalu memakannya?”

katanya sambil terisak.

Aku dan istriku terperanjat saling menatap tidak tahu

harus menjawab apa. Selebihnya aku tidak terlalu ingat apa

yang terjadi dan kami katakan selain berusaha menenangkan

Jeremi dengan memeluknya.

Hari ini seluruh masyarakat di dunia terkejut dengan

sebuah penemuan yang tidak pernah disangka oleh peradaban

manusia selama ribuan tahun. Berita-berita di media elektronik

dan cetak semua dipenuhi oleh bahasan serupa, para ahli dari

beragam ilmu saling berpendapat dan berbantah melalui

42

diskursus-diskursus terbuka baik yang disiarkan oleh televisi

maupun tidak, serta melalui tulisan-tulisan mereka di media.

Salah satu tulisan di surat kabar nasional berbunyi:

“…pertanyaan yang terpenting bukanlah apakah mereka bisa

berpikir dan berbudaya seperti kita, tapi apakah mereka bisa

merasakan penderitaan dan kebahagiaan. Sudah saatnya tirani

umat manusia berakhir. Ibu alam sendiri yang telah berbicara

dan menghadirkan bukti kepada kita.”

Tentunya pendapat yang demikian bukan satu-satunya

cerminan sikap seluruh umat dan bangsa-bangsa dalam

menghadapi masalah ini. Pihak-pihak bersebrangan justru

terdengar lebih keras dan menakutkan dalam menyuarakan

pandangan mereka:

“Ini adalah ancaman bagi keberlangsungan peradaban.

Mereka pasti adalah jelmaan iblis-iblis yang merupakan musuh

yang nyata bagi kita. Ini pasti muslihat yang akan

menjerumuskan dan melemahkan keyakinan bahwa manusia

adalah makhluk yang sempurna dan mulia. Ini adalah

peperangan untuk mempertahankan nasib umat manusia.”

Aku sendiri, yang jelas-jelas telah bekerja selama puluhan

tahun di bidang terkait, tidak tahu harus bagaimana menyikapi

hal ini. Tentunya kejadian ini adalah hal yang wajar menurut

ilmu pengetahuan yang kumiliki dan pelajari selama ini, tapi

hatiku masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku dan

mereka adalah setara.

Beberapa bulan lalu aku membaca suatu artikel sejarah

tentang kebun binatang manusia (human zoo) yang pertama

kali didirkan pada tahun 1800-an. Namun demikian,

sebenarnya pertunjukan atau ekshibisi yang menampilkan

manusia sebagai objek sudah ada jauh sejak tahun 1600-an.

Manusia-manusia yang ditampilkan dalam kebun binatang atau

43

ekshibisi manusia itu adalah mereka yang berasal dari

kelompok yang dianggap belum beradab dan modern, biasanya

seperti dari wilayah-wilayah di Afrika, Amerika Tengah, atau

orang-orang yang di zaman sekarang ini kita sebut sebagai

memiliki kelainan genetik atau kelainan kongenital. Mereka

dianggap tidak memiliki hak yang sama seperti bangsa-bangsa

modern dari Eropa; mereka diperlakukan seolah adalah hewan,

atau makhluk menjijikkan, atau monster mengerikan.

Di hari ini kita menyebut tindakan demikian sebagai

penindasan dan kejahatan kepada kemanusiaan. Namun, perlu

diketahui, istilah hak asasi sendiri adalah hal yang masih sangat

baru, belum dikenal luas, dan belum banyak digunakan ketika

itu. Demi kuasa langit, sesungguhnya bangsa manusia adalah

bangsa yang merugi dengan sejarah kelamnya, adalah bangsa

yang pada mulanya tidak beradab dan tidak mulia, sama sekali

berbeda dari yang selama ini kita kira.

Pertanyaan yang dilontarkan Jeremi sepuluh tahun lalu

terus-menerus bergaung dalam kepalaku. Lima belas menit lagi

aku harus menghadapi para wartawan media untuk

memberikan pendapatku. Aku benar-benar tidak tahu apa yang

harus kukatakan. Jeremi yang mengetahui bahwa aku akan

menanggung beban berat hari ini —jawabanku nanti akan

disiarkan secara langsung dan berulang-ulang dicetak oleh

media-media massa— mengirimiku sebuah pesan singkat yang

berisi puisi buatan George Bernard Shaw berjudul Living

Graves:

We are the living graves of murdered beasts,

Slaughtered to satisfy our appetites.

We never pause to wonder at our feasts,

If animals, like men, can possibly have rights.

We pray on Sundays that we may have light,

To guide our footsteps on the path we tread.

44

We’re sick of War, we do not want to fight –

The thought of it now fills our hearts with dread,

And yet – we gorge ourselves upon the dead.

Like carrion crows, we live and feed on meat,

Regardless of the suffering and pain

We cause by doing so, if thus we treat

Defenseless animals for sport or gain,

How can we hope in this world to attain

The PEACE we say we are so anxious for.

We pray for it, o’er hecatombs of slain,

To God, while outraging the moral law.

Thus cruelty begets its offspring – WAR

“Kenyataan bahwa manusia dan simpanse hanya

memiliki perbedaan genetika tidak lebih dari satu persen dan

bahwa kita dan mereka memang memiliki spesies nenek

moyang yang sama, tidaklah mengherankan apabila akhirnya

kita menemukan sebuah peradaban primata selain manusia.

Sungguh tidak mengherankan kalau ada makhluk hidup lain

yang mampu berevolusi sedemikian rupa sampai akhirnya

mampu menemukan api, mampu memasak makanannya,

mampu bercocok tanam dan beternak, dan akhirnya

inteligensinya berevolusi cukup jauh sehingga mereka bisa

menciptakan simbol-simbol bahasa dan tulisan dan mendirikan

sebuah sistem kemasyarakatan.”

Wartawan-wartawan yang mendengar jawabanku itu

tampak terkejut. Padahal selama ini aku dikenal sebagai

seorang yang sangat relijius di kalangan kolegaku. Aku selalu

mengatakan bahwa meskipun aku adalah seorang ilmuwan

yang mempelajari evolusi makhluk hidup, aku tetap

mempercayai teks-teks kitab suciku. Pun demikian, Jeremi

sejak kecil selalu mengatakan padaku bahwa hewan-hewan

45

bukanlah diciptakan hanya sebagai aksesoris demi melengkapi

kebutuhan manusia. “Mereka adalah sesama makhluk hidup

yang juga berproses secara alami seperti kita, Ayah,” kata

Jeremi dulu. Terkadang aku merasa hidup itu sangat ironis.

Aku adalah ilmuwan dalam bidang evolusi, tapi justru anakku

yang berusaha mati-matian meyakinkanku kepada evolusi itu

sendiri. Sesungguhnya Jeremilah yang mengajariku untuk

menjadi seorang ahli evolusi sesungguhnya, untuk berpasrah

pada hukum alam, untuk menyatu dan kembali ke alam, untuk

menerima kenyataan bahwa aku bukanlah spesies yang paling

bijaksana dan mulia.

“Mungkin ini sudah saatnya kita berhenti untuk menjadi

kuburan hidup bagi bangkai-bangkai yang kita sembelih dan

kunyah setiap harinya,” kataku sebagai penutup wawancara.

Aku kemudian berlalu masuk ke dalam ruang kerjaku.

Eksplorasi nekat dua setengah tahun lalu yang

dimpimpin oleh seorang filolog gila bernama Frederik ke suatu

hutan belantara untuk menemukan peradaban tribal terisolasi

yang belum pernah terjamah sebelumnya telah melahirkan

kegemparan saat ini. Dia tidak sengaja menemukan suatu

peradaban hidup yang anggota masyarakatnya adalah primata

berwujud seperti simpanse. Bukannya langsung kabur karena

takut atau kaget —berkat kegilaannya— dia memutuskan untuk

berusaha berkomunikasi dan mempelajari bahasa mereka.

Akhirnya bukan saja dia berhasil menguasai bahasa dan aksara

mereka, tapi dia juga mengajarkan bahasa Inggris kepada suku

berwujud simpanse ini. Prestasi gilanya itu memang tidak

mengherankan mengingat dia adalah seorang yang sangat

jenius dalam bidangnya.

Setelah satu tahun menetap bersama dan saling bertukar

informasi, Filolog Frederik tidak langsung mengabarkan

penemuannya itu kepada dunia, tapi dia justru diam-diam

46

mengajak seorang ahli genetika untuk meneliti genom suku

mirip simpanse itu. Hampir dua bulan setelah keluar dari hutan

belantara di sebuah pulau terisolasi tersebut, Filolog Frederik

kembali ke sana bersama si ahli genetika itu. Entah bagaimana

dia berhasil membujuk pemimpin suku tersebut untuk

memberikan satu anggotanya agar menjadi objek penelitian.

Seperti peradaban manusia, mereka memberikan seorang

kriminal yang akan dieksekusi mati. Baginya, memberikan

kriminal tersebut kepada Filolog Frederik sama dengan

mengeksekusi mati karena dia akan enyah dari wilayah suku

tersebut, pun Filolog Frederik berjanji bahwa baik manusia

maupun si primata kriminal tidak akan pernah kembali ke sana.

Dia berjanji bahwa dia dan seluruh anggota timnya akan

merahasiakan keberadaan hutan dan pulau tersebut.

Hasil sekuensi genom terhadap si kriminal tersebut

menunjukkan bahwa perbedaan genetika antara manusia

dengan suku primata tersebut tidak lebih dari 0,3%. Ini berarti

mereka memang hampir mendekati manusia, atau bahkan

adalah manusia, atau sesuatu yang serupa manusia, atau entah

harus disebut apa. Yang jelas, mereka memiliki kecerdasan yang

tidak kalah dari rata-rata manusia pada umumnya.

Sebagaimana foto-foto dan video yang akhirnya ditunjukkan

Filolog Frederik kepada publik, pemukiman suku primata

tersebut sebenarnya lebih cocok disebut sebagai sebuah kota

kuno daripada desa, meskipun ukuran kotanya tidaklah kecil,

disebut demikian karena level modernitasnya lebih mirip

peradaban zaman Yunani atau Romawi kuno.

Entah apa yang alam inginkan dari peristiwa ini. Apakah

untuk membungkam keangkuhan manusia, atau justru

mengajak kita kembali pulang kepada yang asali?

Beberapa bulan telah berlalu, perbincangan di berbagai

negara kini semakin absurd, atau sebenarnya tidak, menjadi

47

tentang hak asasi hewan. Apabila konsep ini diterima, maka

artinya kita tidak lagi bisa memakan hewan. Kita akan menjadi

vegetarian, padahal memakan daging adalah salah satu faktor

penting yang memungkinkan nenek moyang Homo sapiens

mengembangkan inteligensi sehingga kini memiliki volume

otak sekitar 1300 sentimeter kubik beserta segala

kompleksitasnya yang menyebabkan kita membangun

peradaban modern

Keluargaku telah memutuskan menjadi vegetarian sejak

bulan lalu. Meskipun awalnya aku bersikap skeptis —sebab

fisiologi dan morfologi manusia memiliki sistem yang

mengkodratkan kita menjadi omnivora, tapi Jeremi

meyakinkanku bahwa hewan-hewan itu bisa merasakan

penderitaan layaknya manusia. Aku tidak bisa membayangkan

seandainya tiba-tiba muncul atau ditemukan spesies yang lebih

maju teknologi dan modernitasnya daripada manusia, lalu

mereka memutuskan untuk beternak manusia, menyembelih,

dan memakan daging manusia. Sebagai ahli evolusi aku paham

benar bahwa kemungkinan seperti itu sangat mungkin sekali

terjadi. Demi manusia itu sendiri, lebih baik kita berhenti

memakan daging, menurutku walau ragu.

Probabilitas Realita Masa Depan 1

Perumusan hak asasi hewan di pelbagai negeri menjadi

semakin rumit. Kubu-kubu pro dan kontra tidak bisa

menemukan kemufakatan dan masyarakat pun semakin

terpecah belah mengenai hal ini. Pertanyaan-pertanyaan

tentang apakah hewan memiliki jiwa, apakah mereka memiliki

kesadaran, apakah mereka dapat berpikir seperti manusia,

adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak menemukan

jawabannya. Apakah hanya karena mereka bisa merasakan sakit

dan ketakutan ketika akan disembelih atau dibunuh atau

48

disiksa, maka mereka serta-merta memiliki hak asasi yang

setara dengan manusia? Apa dan siapakah manusia itu? Apa

dan siapakah makhluk hidup? Apa itu nyawa, jiwa, kesadaran?

Apakah yang dimaksud dengan hidup dan kehidupan? Apakah

yang dimaksud dengan makan dan makanan?

Semakin berlarut masalah ini, semakin memakan waktu

dan biaya untuk rapat-rapat konstitusional. Protes masyarakat

semakin keras, baik dari kubu pro atau pun kontra. Tindak

kekerasan antara si pemakan daging dan si anti makan daging

terjadi, beberapa berakhir menjadi kasus pembunuhan. Para

pembela hak-hak hewan menjadi semakin brutal menuduh

bahwa si pemakan daging adalah kanibal, biadab, dan barbar.

Mereka merusak restoran-restoran, peternakan-peternakan,

dan pertanian-pertanian yang memakai pestisida.

Segelintir dari mereka bahkan menangkap seorang

pemakan daging dan menyembelih orang tersebut di tengah

publik, lalu mengulitinya, memotong-motong dagingnya, lalu

memasaknya. Kejadian itu direkam, diunggah ke internet, dan

disaksikan oleh orang-orang di seluruh dunia. Akibat kejadian

ini, hal yang serupa juga ditiru oleh orang-orang pembela hak

asasi hewan di beragam belahan dunia. Aparat keamanan

terpaksa menggunakan senjata api untuk menghentikan

kejadian-kejadian itu, korban berjatuhan pun tidak lagi

terelakkan. Kondisi semakin kacau.

Ada pula kelompok dengan ideologi yang lebih ekstrem,

meskipun tidak membunuh dan merusak, yaitu orang-orang

yang menginginkan agar manusia kembali hidup menyatu

dengan alam. Mereka berpendapat bahwa modernitas telah

membuat kita menjadi semakin tidak beradab, semakin terjadi

segregasi antara yang cerdas dan tidak cerdas, antara yang

berteknologi dengan suku-suku pedalaman, antara

kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Mereka ingin agar kita

49

menanam pohon banyak-banyak dan besar-besar lalu kembali

tinggal di tengah-tengah hutan dalam keadaan telanjang tanpa

berpakaian seperti halnya hewan-hewan, kembali pada insting

alamiah kita, kepada kodrat yang paling kodrati, kembali

menjadi bagian dari ekosistem yang seimbang.

Karena kekacauan yang tak bisa dikendalikan lagi, negara

adidaya X memutuskan untuk mengirimkan bom Hidrogen ke

wilayah hutan belantara pulau terisolasi tempat suku primata,

yang sekarang disebut sebagai Pan sapiens, berada. Lokasi yang

awalnya dirahasiakan oleh Filolog Frederik ini berhasil mereka

peroleh setelah menangkap paksa Filolog Frederik. Catatan-

catatan yang dibuat oleh Filolog Frederik pun mereka bakar

habis, dan keberadaan Filolog Frederik beserta seluruh krunya

hilang tanpa jejak.

Kelompok-kelompok pembela hak-hak asasi hewan

ditangkap, dipenjarakan, dibuang ke pulau terpencil,

dibungkam, dan setelah itu kehidupan manusia kembali

berjalan normal seperti sedia kala.

Probabilitas Realita Masa Depan 2.1

Pembahasan-pembahasan tentang makna hidup dan

makhluk hidup semakin banyak dibahas di acara-acara televisi.

Pelan-pelan masyarakat tercerahkan tentang yang

sesungguhnya melahirkan hak asasi untuk hidup adalah makna

hidup itu sendiri, makna hidup yang pada masing-masing

individu terdefinisikan melalui rasa menderita dan bahagia,

rasa takut dan aman, rasa kebersamaan dan kehilangan.

Pemaparan tentang bagaimana hewan-hewan

sesungguhnya juga mengalami dan memiliki makna hidup dan

perasaan-perasaan serupa manusia tersebut telah menggugah

hati banyak orang. Mereka yang memelihara hewan tampil di

50

televisi-televisi memberikan kesaksian bagaimana hewan-

hewan peliharaan mereka mampu merasakan kebahagiaan dan

kesedihan, mampu menunjukkan kepedulian dan cinta kasih

layaknya manusia. Ilmuwan-ilmuwan menjelaskan beragam

perilaku hewan yang menunjukkan bahwa beragam hewan

sesungguhnya adalah makhluk hidup yang memiliki kecerdasan

dan perasaan, bahkan beberapa di antara bisa memecahkan

masalah meskipun dalam level yang berbeda-beda.

Pelan-pelan, setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya

hak asasi hewan pun dirumuskan dan diakui dalam konstitusi-

konstitusi beragam negara. Umat manusia pun akhirnya

menjadi vegan. Untuk mengatasi masalah kekurangan asam

amino dan nutrisi hewani lainnya, para ilmuwan telah berhasil

mensintesa zat-zat penting bagi tubuh tersebut di dalam

laboratorium tanpa melibatkan hewan-hewan sama sekali.

Akhirnya mesin industri untuk produksi masif sintesa nutrisi

hewani tersebut berhasil diciptakan dan masyarakat pun tidak

perlu mengalami malnutrisi dan dapat hidup normal.

Satu milenium kemudian, seorang ahli botani melakukan

ekspedisi ke sebuah pulau tak berpenghuni di tengah samudra

nun jauh. Di sana dia menemukan suatu kelompok tetumbuhan

yang dapat bergerak, berbicara, dan menulis. Kelompok

tetumbuhan ini memiliki kecerdasan yang jauh melebihi

hewan-hewan di pulau tersebut. Hewan-hewan di sana diternak

layaknya manusia beternak hewan. Sesekali mereka

menyembelih hewan sebagai persembahan kepada Tuhan Yang

Maha Kuasa yang mereka sembah dalam sistem kepercayaan

mereka.

Berdasarkan penelitian si ahli botani, entah bagaimana di

tengah-tengah batang utama para tetumbuhan bergerak ini,

mereka memiliki sistem saraf pusat yang memberikan mereka

kemampuan hidup serupa dengan hewan-hewan dan manusia.

51

Hasil ekspedisi ini tersiarkan ke seluruh dunia. Sekali lagi

umat manusia berada dalam dilema tentang hak asasi: Apakah

tumbuhan juga memiliki hak asasi hidup seperti manusia?

Apakah manusia akan terus memakan tanaman atau

memutuskan tidak lagi makan apa-apa kecuali suplemen nutrisi

sintetis?

Probabilitas Realita Masa Depan 2.2

Setelah manusia memutuskan menjadi vegan, lama-

kelamaan mereka berevolusi menjadi bentuk-bentuk yang agak

berbeda. Inteligensi mereka pun turun seiring menyusutnya

volume otak mereka. Manusia-manusia di masa depan tidak

lagi dapat memahami dan menciptakan teknologi modern.

Dengan menurunnya peradaban ilmiah manusia, maka mereka

menjadi kesulitan menghadapi penyakit-penyakit. Populasi

manusia di dunia kini berkurang drastis.

Sementara itu, populasi suku primata Pan sapiens

semakin berkembang, bukan hanya secara kuantitas tapi juga

kualitas. Meskipun perawakan mereka masih mirip simpanse,

kini mereka telah menyebar ke beberapa pulau dan membentuk

koloni di sana. Lama-kelamaan mereka berhasil menciptakan

teknologi, menciptakan senjata-senjata, merumuskan sains

kompleks dan menggunakannya untuk kemajuan peradaban

mereka.

Jumlah mereka yang semakin banyak kini tidak lagi bisa

disebut sebagai suku, tapi lebih tepatnya bangsa. Beberapa abad

kemudian, tempat-tempat tinggal manusia terinvasi, tergusur,

dan manusia menjadi santapan bangsa primata Pan sapiens,

atau menjadi objek penelitian mereka. Di masa ini kita bisa

menemukan tempat-tempat peternakan dan penjagalan

52

manusia, pemerahan susu manusia, pacuan manusia, dan

sabung manusia.

Pembiakan-pembiakan manusia melalui proses rekayasa

genetika dan domestikasi juga marak dilakukan sehingga di

masa tersebut ras dan bentuk-bentuk manusia semakin

beragam dan manusia pun menjadi makhluk multifungsi

menggantikan kegunaan hewan-hewan lain. Ras-ras unik

seperti manusia berambut spiral, berkulit warna-warni,

bersuara ultrasonik, berleher panjang dan elastis, berjari

tentakel, dan semacamnya dijadikan peliharaan-peliharaan. Ras

manusia yang memiliki otot-otot besar dipakai untuk jadi

penarik kendaraan, pembajak sawah, atau dirantai di dekat

pagar-pagar rumah yang didekatnya dipajang tulisan “AWAS,

MANUSIA GALAK!!!” []

Liswindio Apendicaesar, merupakan lulusan

Kedokteran, Universitas Sebelas Maret tahun 2018.

Menulis cerpen dan esai, juga puisi. Kumcer

pertamanya Malam untuk Ashkii Dighin (bukuKatta,

2017)

53

Nurni Chaniago

Bejo Cilaka

Setelah beberapa lama makam di kampung kami tidak ada

yang menjaga, semenjak Mbah Bejo yang tua renta meninggal

dunia. Kini kami dapat bergirang hati, sebab makam tidak lagi

marimba dan sepi. Ada lagi seorang tua yang menjaganya

sekarang. Entah mengapa, orang tua itu juga bernama Mbah

Bejo.

Mbah Bejo kedua ini, juga sama tua dan keriputnya,

senang pula menghisap rokok menyan. Tapi yang sungguh

mengherankan, sifatnya sangat bertolak belakang dengan Mbah

Bejo dulu yang ramah dengan kata-kata sopan layaknya orang

yang sudah tua. Karena sifat dan watak yang berkebalikan

itulah maka wajar pula orang di kampung kami menyematkan

gelar padanya dengan sebutan Mbah Bejo Cilaka.

Dia sering menceracau dengan kata-kata yang tidak

sopan pada setiap Kamis sore ketika orang-orang datang

berziarah ke makam dengan tidak memberikan saweran uang

receh padanya. Dia yang selalu duduk di pintu gerbang makam,

persis dekat kotak sumbangan.

“Ndhi, tinggalane. Mangsamu penak lenjaga makam?”

demikian gerutunya.

Kadang dia menadahkan tangan langsung, seperti

peminta-minta atau pengemis.

54

“Nggo tumbasrokok, aja medhit-medhit, mengko mati

kejepit!” serapahnya.

Lucunya lagi bila kita membutuhkan sesuatu seperti sapu

untuk membersihkan makam.

“Sewu sik, nek ora, sapunen waekaro drijimu.” katanya

lebih lanjut.

Kata-kata itu sering diucapkan dengan wajah serius,

bukan dengan berkelakar. Matanyapun berkilat tajam, tidak

senang melihat kepada orang-orang yang hanya memberikan

recehan 500 rupiah. Bukannya terimakasih yang keluar dari

mulutnya yang sudah ompong itu, tapi seringkali justru makian.

Dari hari ke hari, kelakuan Mbah Bejo Cilaka semakin

menjadi-jadi. Tidak hanya menunggu di makam saja untuk

memperoleh rejekinya sekali seminggu. Sekarang dia mulai

mendatangi rumah-rumah warga kampung. Dia akan berjalan

terseok-seok dengan tongkat dari bekas gagang payung.

Mengetuk pintu di siang bolong, dengan suaranya yang keras.

“Ethok-ethok turu! Mudheng, ana wong njaluk!” begitu

ceracaunya bila tidak ada yang muncul membuka pintu.

Kadangkala dia datang pagi-pagi benar saat orang sedang

sibuk mempersiapkan anak ke sekolah atau suami yang mau

berangkat ke kantor. Dia membawa gelas besar dan minta

dibuatkan teh manis. Aku pernah membuatkan teh untuknya.

Gelas besar itu harus kuberi gula sebanyak 7 sendok makan

penuh dan baru terasa manis.

Banyak orang kampung yang menutup pintu, jika dari

kejauhan sudah terlihat Mbah Bejo Cilaka berjalan terseok-seok

menuju rumah mereka. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang

memaki dan menghardiknya bila Mbah Bejo Cilaka meminta

sesuatu dengan memaksa. Sepertinya mereka sudah tidak ada

lagi rasa hormat terhadap orang tua renta yang sebatang kara

55

itu. Mereka menganggap Mbah Bejo Cilaka sebagai orang yang

menyebalkan, pikun, budheg dan tak perlu dikasihani.

Badannya kotor, kata-katanya pun juga kotor dan rasanya

tidaklah pantas keluar dari mulut seorang tua. Sungguh

menjengkelkan!

***

Waktu belakangan ini, Mbah Bejo Cilaka jarang berada di

makam lagi. Dan sudah hampir satu minggu pula ibuku datang

dari Padang, Sumatera Barat, menjenguk aku sekeluarga di

kampung.

Suatu hari ketika aku pulang dari mengajar di sebuah

sekolah menengah pertama di kota kecamatan di mana aku dan

keluarga tinggal, kulihat di depan rumah ibuku menunggui

Mbah Bejo Cilaka yang sedang makan dengan lahapnya. Sekilas

Mbah Bejo Cilaka menatapku, sesaat kemudian ia kembali asyik

menekuri piring nasi yang cukup lauknya. Satu tempe bacem,

sayap ayam goreng, dan sayur bobor mbayung yang

menggunung.

Aku masuk ke dalam rumah, lalu mengintip dari balik

kaca jendela dan memperhatikan kedua orang tua itu. Mereka

seperti sedang bercakap-cakap, tapi aku yakin bahasa mereka

tidaklah nyambung. Sebab ibuku hanya bisa bahasa Minang,

sementara Mbah Bejo Cilaka berbahasa Jawa.

Setelah selesai makan, kulihat Mbah Bejo Cilaka

mengeloyor pergi begitu saja, tanpa basa-basi ucapan

terimakasih. Dan aneh, kulihat raut wajah ibuku tidak ada

sedikitpun keruh dibuatnya, apalagi merasa sebal atau jengkel.

“Apakah orang tua itu tidak menjengkelkan bagi ibu?”

tanyaku.

56

“Apakah itu sebabnya kamu enggan memberinya

makan?” ibuku balik bertanya.

“Bagaimanapun keadaan dan sifat orang tua yang tidak

berdaya itu, kita tetap saja berdosa menolak permintaan orang

yang kelaparan. Akan datang bahaya apabila menolak orang

minta makan!” lanjut ibuku seolah memberi petuah padaku.

“Semua orang tua yang berperangai seperti itu bukanlah

kehendaknya, tapi rahasia Tuhan memberikan ujian pada kita

di sekitarnya untuk beramal,” jelas ibuku lebih lanjut.

***

Pada hari libur kelas, bersih-bersih rumah adalah

pekerjaan rutin yang biasa kulakukan. Mengeluarkan sofa

untuk dijemur, juga kasur dan bantal-bantal kursi.

Menjelang tengah hari yang terik, saat aku sedang

mengelap kaca jendela dari dalam dan ibu memasak di dapur,

kulihat Mbah Bejo Cilaka sudah berada di depan gerbang pintu

rumah, melongokkan kepalanya di sela-sela jeruji besi. Dia

tidak lagi menggedor-gedor pintu dengan tongkatnya seperti

biasa ia lakukan, tapi hanya memanjang-manjangkan lehernya,

melihat ke segala penjuru rumah. Dan sesaat kemudian dia

berlalu.

Namun tidak seberapa lama, aku mendengar tetangga

sebelah rumahku memaki-makinya. Aku mengintip dari celah

pagar rumah dan melihat Mbah Bejo Cilaka dengan mata

berkilat menyodor-nyodorkan gelas kusamnya.

“Ra nduwe gula, Mbah! Saben dina kok njaluk!”

“Teh tawar yo gelem!”

“Ra nduwe teh!”

57

“Banyu putih yo ra nduwe?”

“Rung nggodhog! Mrono, lunga kana! Ra ngerti pa, aku

lagi repot, Mbah!”

“Ra ndhuwe banyu? Nek omahmu kobong piye?”

“Lambene wong tuwa kok ngana tho Mbah? Nganyelke

tenan kowe!”

Kudengar tetanggaku itu kemudian mengusir Mbah Bejo

Cilaka dengan cukup kasar. Mbah Bejo Cilaka pun kulihat mulai

beranjak pergi sambil bersungut-sungut dengan gumam

serapahnya.

Tak beberapa lama...

“Kebakaran… kebakaran…. tolong…. tolooonngggg....!”

Mendadak aku mendengar teriakan histeris dari arah

rumah tetangga sebelah.

Aku menghambur keluar bersama ibu. Dan betapa

terkejutnya kami, rumah tetangga sebelah yang hanya berbatas

pekarangan dan kolam di sampingnya itu telah memerah. Api

berkobar, menyambar-nyambar, dan semakin membesar.

Para tetangga mulai berdatangan. Ada yang membawa

ember, kaleng cat, gayung dan sejenisnya. Mereka semua

berusaha memadamkan si jago merah yang menjilat-jilat. Asap

hitam membubung ke angkasa. Suara gemeretak dari kayu-kayu

kusen pintu, jendela dan atap rumah mulai berubuhan,

menjelma arang membara. Api masih terus berkobar!

Sekitar satu jam kemudian, petugas pemadam kebakaran

datang dengan raungan sirene yang memekakkan. Mereka

begitu gesit dan bahu membahu dengan para tetangga berusaha

memadamkan api dengan mengambil air kolam yang ada.

58

Tak lama setelah itu, api pun padam. Tinggal puing-puing

rumah yang hitam, tembok-tembok yang berjelaga, dan

sesenggukan isak tangis si pemilik rumah yang menyayat.

“Api si gulambai*,” bisik ibu ke telingaku.

***

Semenjak kejadian itu, Mbah Bejo Cilaka tidak pernah

lagi terlihat di kampung kami. Dia telah pergi, entah ke mana.

Tanpa jejak. Tak ada yang tahu.

Makam kembali sunyi, kotor, bersemak liar dan

menghutan. Terasa wingit dan angker! []

Delanggu, Februari 2018

*Api Si Gulambai (Bahasa Minang): sebuah peristiwa dimana api

yang datang tiba-tiba, yang dianggap sebagai balasan bagi orang

pelit. Tidak mau memberi minum orang yang kehausan, memberi

makan bagi orang yang kelaparan.

Nurni Chaniago adalah nama pena dari Nurni, S,

Pd, asli berdarah Minang, tapi lahir di Bengkulu, 10

Maret 1970. Menempuh pendidikan seni di SMKI

Bengkulu dan lulus Sarjana Jurusan Seni Tari IKIP

Yogyakarta tahun 1996.

Sejak SMKI, ia aktif menari, juga menulis cerpen dan

puisi, serta berteater.Cerpennya berjudul “Sekat

59

Selubung Gadis Panggung” pernah memenangi lomba

penulisan dan baca cerpen di Bengkulu sebagai juara

umum.

Beberapa cerpennya pernah dimuat di koran Solopos,

Buletin Sastra “Littera” dan terhimpun ke dalam

antologi cerpen terbitan Taman Budaya Jawa Tengah

(2006-2008). Sedangkan kumpulan puisi tunggalnya

bertajuk “Merapuh” telah terbit tahun 2016.

Pada tahun 2018, cerpennya berjudul “Gading” telah

diadaptasi dan difilmkan oleh cineas muda Bengkulu

yang diproduksi oleh Rafflesia Motions, serta tayang

di Cinema XXI Bencoolen Mall.

Sekarangtercatat sebagai guru Seni Budaya di SMPN 4

Delanggu, Klaten. Tinggal di Rejosari RT 05 RW 07,

Sabrang, Delanggu, Klaten.

E-mail. [email protected]

60

Olen Saddha

Hujan Tanpa Jeda di Kota yang

Tenang dan Tanpa Gairah

Hujan mengalir tanpa jeda. Tapi otak mereka masih beku.

Hidup berdua memang lebih mudah, karena beban akan

ditanggung berdua. Tapi hidup berdua juga susah, karena

berarti kebutuhan menjadi berlipat-lipat.

Mereka sering kelelahan bukan karena tubuh yang

dipaksa bekerja seharian, tapi karena otak yang terlilit

memikirkan kebutuhan-kebutuhan rumah tangga yang

menumpuk. Rasanya tidak ada yang ingin mereka lakukan

malam ini selain menarik benang-benang kusut di otak masing-

masing. Supaya mengalir lepas seperti hujan malam ini. Hujan

yang mengalir tanpa jeda.

"Aku ingin kembali melukis, tapi nanti siapa yang cari

uang?" celetuk si pria.

Perempuan muda yang berbaring di sampingnya tak

menjawab.

"Di sini mau jual karya susah. Orang-orang di sini masih

sibuk mencari kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka tidak

tertarik membeli karya. Barangkali mereka pikir lebih baik beli

beras yang jelas bisa dimakan dari pada beli lukisan yang cuma

dipajang," keluh si pria.

61

Perempuan di sampingnya hanya menghela napas

panjang.

Sebelum memutuskan menikah, mereka berdua sama-

sama paham dan sadar atas kemungkinan-kemungkinan yang

akan terjadi di tahun-tahun awal pernikahan. Akan banyak

malam yang habis karena otak yang lelah menghitung jumlah

kebutuhan rumah tangga. Dan keduanya tidak lekas jenuh

untuk saling mengingatkan agar tetap menjaga energi untuk

membuat karya. Meskipun berkarya saat ini tidaklah mudah.

Bahwasannya mereka harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan

rumah tangga terlebih dahulu sebelum berkarya. Perempuan itu

masih sering mengeluh dalam pikirannya. Di masa lajangnya

dulu, ia bisa menulis puisi dan cerita-cerita dengan lepas, tapi

setelah menikah ada beberapa hal yang melahirkan jeda dalam

rutinitasnya menulis. Begitu pun dengan si pria. Dulu ia

percaya bahwa seseorang harus tetap bergerak untuk

memperjuangkan karya. Baginya, melukis bukan hanya sekadar

upaya memupuk eksistensi. Melukis adalah caranya untuk

mengolah gagasan, perasaan, dan sarana refleksi. Melukis

bukan hal yang instan baginya, maka dalam membuat karya ia

perlu untuk mengolah dan memikirkan hingga matang. Tapi,

hidup berdua berarti menyatukan dua titik yang semula

berjauhan menuju satu titik temu.

"Kamu tidak ingin pindah?" Suara si perempuan

terdengar sayup-sayup karena beradu dengan suara hujan yang

lebat.

Si pria tidak menjawab. Ia hanya menatap langit-langit

kamar.

"Kita bisa pindah ke Jogja, Jakarta, atau Bandung. Di

sana kita bisa mendapatkan lingkungan yang lebih segar. Di

sana kita bisa memaksimalkan waktu untuk berkarya dan tidak

62

akan sepusing ini memikirkan keperluan rumah tangga." Suara

si perempuan terdengar seperti keluhan.

Si pria masih tak menjawab.

"Di sana orang-orang tidak hanya memikirkan makan,

kita bisa menjual karya dengan lebih mudah." Suara si

perempuan agak meninggi.

"Di sana banyak orang bingung," ucap si pria dengan

nada yakin.

"Tapi kita di sini lebih bingung. Mayoritas orang di sini

tidak memiliki motivasi. Kau ingat pameran yang kaugelar

minggu lalu? Tidak banyak dari mereka yang hadir secara utuh.

Mereka hanya hadir secara fisik, tapi pemikiran mereka entah

di mana," gerutu si perempuan jengkel.

Si pria memiringkan badannya dan membelakangi

istrinya. "Di kota-kota besar yang kausebut tadi, sudah banyak

seniman-seniman besar. Dibanding dengan mereka, aku ini

tidak ada apa-apanya,"

Si perempuan ikut memiringkan badan menghadap

suaminya, "Kau bisa memulai segalanya dari awal."

"Aku sudah berkepala dua dan memiliki istri." Ia

membalikkan badan menghadap istrinya, "memulai segalanya

dari awal itu butuh waktu yang tidak singkat. Kau mau aku

fokus berkarya, tapi tidak memberimu uang buat beli beras dan

sayur?"

"Terus kita harus bagaimana?" Si perempuan cemberut

dan kesal.

"Kita tetap di sini," jawab si pria singkat.

Di kota kecil ini mereka memulai berkenalan dengan seni.

Bertemu dengan orang-orang baru, menelusuri jalan takdir

masing-masing hingga akhirnya saling bertemu dan menikah.

63

Tapi ternyata kota kecil ini hanya mampu menampung

keinginan mereka untuk memulai karir. Sedangkan untuk

berkembang dan hidup melalui gagasan dan karya mereka

sangat susah. Mayoritas teman yang mereka miliki tidak bisa

menjadi teman diskusi yang membangun dengan masukan dan

kritik. Sangat sedikit teman yang mereka miliki untuk bertukar

gagasan segar.

Mengingat pertemuan awal selalu membuat keduanya

bersyukur. Mereka memiliki otak yang bertolak belakang, tapi

justru mampu menjadi lawan bicara yang segar. Seringkali ada

pemikiran-pemikiran berbeda tapi justru menjadi sudut

pandang lain yang menarik. Sejak saat itu mereka sering

mengobrol tentang teman, seni, dan kota kecil yang tenang dan

tanpa gairah ini. Saat itu mereka paham bahwa kota kecil ini

memerlukan lebih banyak orang untuk bergerak. Dan mereka

ingin menjadi bagian dari orang-orang itu, bergerak dengan

cara dan karya masing-masing.

"Di kota ini kita tidak sedang bulan madu. Di sini kita

hidup dan menyusun masa depan," ucap si pria lamat-lamat.

"Kita juga bisa hidup di kota lain. Kota yang memberi kita

ruang longgar untuk berkarya," bantah si perempuan.

"Baik di sana maupun di sini, kita tetap akan mengalami

banyak persoalan." Si pria menyatakan kalimatnya dengan

tegas.

Si perempuan menghela napas yang lebih panjang,

kemudian menatap langit-langit kamar. Berharap langit-langit

itu lenyap, agar hujan malam ini mengguyur tubuhnya yang

risau. "Terus kita harus bagaimana?"

Si pria mendekatkan diri untuk memeluk istrinya yang

sedang kebingungan. "Kita tetap di sini. Hidup dan membuat

karya sesuai dengan lingkungan kita di sini. Jika pemikiran

64

orang-orang di sini tidak terbuka, biar saja. Minimal kita

membuat karya untuk menjaga kesadaran kita sendiri. Jika otak

kita lelah memikirkan bagaimana cara yang tepat agar apa yang

kita lakukan tidak sia-sia, biar saja. Karena memang seharusnya

begitu. Pemikiran-pemikiran kita lahir di sini. Kita sudah

menjadi bagian dari kota kecil ini."

Hujan masih mengalir tanpa jeda. Mereka berpelukan

untuk menghangatkan satu sama lain. Menghangatkan pikiran

yang beku. Biar cair dan mengalir seperti hujan lebat yang

mengguyur rumah kecil yang mereka sewa untuk satu tahun ke

depan. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain tetap

menyambung hidup dan menjaga kesadaran di sini, di kota

kecil ini. Kota kecil yang tenang dan tanpa gairah ini. []

Olen Saddha lahir di Blitar pada 28 Mei 1996. Saat

ini ia berdomisili di Surakarta. rapa antologi-antologi

bersama, dan surat kabar. Buku puisinya berjudul

Memandikan Harapan diterbitkan oleh Kekata

Publisher (Surakarta) pada bulan Mei 2017. Ia dapat

dihubungi melalui akun instagram: @olensaddha, fb:

Olen Saddha, Email: [email protected]

65

Rizka Nur Laily Muallifa

TimurAngin

Ia lahir ketika negeri tidak lagi senja. Udara berlarian tak

terlalu kencang. Sayup-sayup meliukkan dedaunan berbagai

jenis pohon di kebun samping rumah. Ibunya menyiangi benih-

benih rumput yang mungkin baru tengah malam tadi tumbuh,

sehingga pagi harinya tidak akan tersisa seutas rumput pun

yang selanjutnya akantertangkap mata siapapun yang kebetulan

melintasi kebun mereka. Beliau juga rutin mengecek kondisi

tanaman-tanaman yang ada di kebun. Memastikan pohon

tomat tidak keberatan menopang buahnya. Begitu menemui

bakal buah tomat beliau akan segera menancapkan sebilah

bambu. Mengambil ancang-ancang sebelum buah pada pohon

tomat itu terlalu besar dan membuat batang pohon kesakitan

menahan beban. Sebilah bambu itu kemudian menjadi

penyokong yang bersedia menjadi sandaran pohon tomat

sampai buahnya siap dipanen oleh sang empunya kebun. Kebun

itu, ia suka menyebutnya ‘kebun ibu’. Meski dia tahu ibunya tak

menyukai sebutan itu.

Aku suka menyematkan kata ‘aktivis lingkungan’ di

belakang namanya. Kepeduliannya pada alam yang berlebihan

kupikir menjadi alasan yang cukup untuk menyebutnya sebagai

seorang aktivis. Ia selalu menolak kubelikan air minum

kemasan atau minuman jenis apapun yang sesudah habis nasib

wadahnya akan masuk tong sampah. Ia paling suka es teh

66

dengan rasa yang agak pahit. Biasanya kami meminumnya di

tempat. Setergesa apapun, ia selalu menolak membungkus es

teh. Seusai dipakai, gelas tinggal dicuci, tidak perlu dibuang.

Demikian ia selalu berkata. Ia selalu membawa tas multifungsi

di setiap kepergiannya. Maksudku, tas yang ia bawa tidak cuma

mampu memuat dompet dan alat kecantikannya. Kupikir ia

sengaja. Ia biasa memasukkan barang-barang belanjaan ke

dalam tas yang dibawanya. Pernah suatu kali, ketika aku

mencetak cukup banyak makalah untuk seminar proposal

tesisku, tanpa komando ia memasukkan semua yang tercetak

ke dalam ranselnya. Gerakannya itu lebih cepat dari petugas

percetakan menyobek plastik dari gulungannya. Itu tak cuma

dilakukannya sekali. Setiap kali kami berurusan dengan

percetakan, ia selalu menolak berkasnya diplastik. Beberapa

kali ia pernah tak terlalu konsentrasi hingga berkasnya telanjur

diplastik oleh petugas. Sesudah itu, ia akan mengembalikan

plastik kepada petugas dan memasukkan berkas ke dalam

tasnya. Lama-kelamaan petugas percetakan tempat kami biasa

datang hafal kebiasaannya.

“Mbok ya sudah, kan nggak etis mengembalikan plastik

yang sudah terpakai ke petugas,” suatu kali aku geram atas

sikapnya.

“Kan masih bersih. Lagi pula, juga bisa digunakan untuk

membungkus berkas milik konsumen lain,” dalihnya enggan

kalah.

***

Semilir Angin. Itu nama panjangnya. Ia biasa dipanggil

SeAng. Aku mengenalnya enam tahun silam. Saat itu kami

sama-sama menghadiri parkiran jazz—perhelatan musik yang

67

menjadi agenda rutin Bentara Budaya Solo sebulan sekali. Aku

meliput untuk kebutuhan pengisian media daringkantorku. Ia

datang untuk memburu imaji. Pernyataan itu kuperoleh ketika

aku mewawancarainya. Dari awal kedatanganku, sosoknya yang

mungil sontak membayang-bayangi alam pikiranku. Maka, usai

semua pemusik tampil dan kulihat dia masih tenang dalam

duduknya, aku menghambur ke arahnya yang berjarak tak

telalu jauh dari tempatku duduk. Kami sama-sama berada di

deretan kursi terdepan. Posisi dudukku hanya berselang tiga

kursi dengan posisi duduknya.

“Hai nona, tidak berniat segera pulang? Aku Timur,

wartawan,” aku mengeluarkan kartu pers dan menyodorkan

kepadanya. Dia menolak memeriksanya.

“Aku percaya. Aura wajahmu macam pemburu. Masih

belum ingin pulang. Kamu sendiri?”. Dia tersenyum. Kedua

ujung bibirnya tertarik simetris. Dia cukup manis.

“Pemburu berita. Hahaha. Oh oke, masih ada yang mesti

kuburu. Kalau berkenan, aku ingin berbincang denganmu soal

acara malam ini, tapi aku harus bertemu dengan beberapa

pemusik dan panitia penyelenggara. Andai kau tidak keberatan,

kita berbincang seusai aku mewawancarai mereka. Tapi aku

tidak memaksa. Kamu gadis. Aku akan berdosa bila

membuatmu pulang terlalu larut. Bukankah begitu?”

“Hahaha. Baik. Aku tidak tahu kamu penganut zaman

apa, yang jelas malam bukan lagi persoalan bagi gadis

seusiaku.”

“Hahaha. Oke. Duapuluh menit lagi aku kembali,”

kukeluarkan KTP dan kartu ATM. Kusodorkan padanya. Ia

terperangah. Aku berlari.

68

“Buat jaminan kalau aku tidak main-main,” suaraku

tertelan laju sepatu yang berdentuman dengan lantai. Ia geleng-

geleng. Mungkin mendengar teriakanku.

Kami meneruskan perbincangan di kawasan salah satu

bank kenamaan sembari menyeruput wedang ronde. Ia tak

terlalu suka aroma jahe pada wedang ronde, tapi ia sering

datang kemari untuk memburu imaji, demikian

dakunya.Mahasiswi biologi yang lebih suka membaca dan

menulis sastra. Gadis penuh imajinasi. Itu penyimpulan

sepihakku atas pertemuan kami malam itu. Alam dan segala

simbiosis yang terjadi di dalamnya sudah ia kenal sejak

wujudnya masih gumpalan darah. Ibunya ketua Dharma

Wanita tingkat kabupaten yang dengan beberapa organisasi

perempuan lainnya memprakarsaigerakan perempuan tanam

dan pelihara di daerahnya. Persenggamaannya dengan alam

sejak dini membuat ia memutuskan memilih program studi

biologi saat seleksi masuk perguruan tinggi. Baginya,

memelajari alam ialah sebuah keharusan. Meskipun diam-diam

ia memuja sastra semenjak ketidaksengajaannya menengok

dunia itu saat memasuki tahun kedua Sekolah Menengah Atas.

“Aku suka datang ke acara-acara musik, apapun itu,

meski aku tak paham musik. Aku suka melihat pemusik-

pemusik asyik dengan permainannya. Mereka begitu bebas.

Begitu hidup”

“Emmm, aku lebih suka datang ke acara jazz seperti ini

karena tidak lebih riuh dari konser musik pada umumnya.

Apalagi?”

“Kupikir cukup. Sebagai ucapan terima kasih, akan

kupastikan kamu baik-baik saja sampai rumah. Sampai kau

masuk rumah. Bagaimana?”

69

“Hahaha. Kamu berlebihan. Aku akan baik-baik saja. Aku

biasa pulang sendirian”

“Meskipun sudah larut,” imbuhnya tergesa seolah

membangun benteng pertahanan dari serbuanku.

Sejak malam itu, aku mencipta kelebatan-kelebatan

seandainya aku benar-benar jadi wartawan kebudayan. Tentu

aku berniat semakin giat meliput. Entah itu musik, tari, teater,

sastra, pameran fotografi maupun lukisan, dan lain sebagainya.

Keberangkatanku selalu dibersamai imaji tentang pemilik bibir

yang mencuatkan senyum simetris. Dan memang, aku hampir

tak pernah tak menemuinya di setiap acara-acara kebudayaan

di kota ini. Aku diam-diam mengabadikan dirinya dalam lensa

kameraku.

***

Aku lulus sebagai sarjana ekonomi dan melanjutkan studi

pascasarjana di kota yang sama. Ihwal studi pascasarjanaku

yang kutempuh di kota yang tak beda antara lain disebabkan

oleh kata-katanya yang menggemakan pemujaan atas kota ini.

Betapa banyaknya seni yang berleleran di sepanjang jalan di

kota ini. Seni mahal yang tak melulu berbayar. Manusia tak bisa

hidup tanpa seni. Entah terlibat aktif dalam proses kreatif seni

itu sendiri. Entah sebagai penikmat. Kata-katanya terus saja

merangsek ke dalam tubuhku. []

Solo,2016

Untuk Pak Prawoto dan keluarga kecilnya

70

Rizka Nur Laily Muallifa. Anggota Diskusi Kecil

Pawon. Senang pergi ke pantai, acara seni, dan toko

buku. Kuliah di jurusan Pendidikan Administrasi

Perkantoran, Universitas Sebelas Maret (UNS). Aktif

di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan UNS.

Untuk menghubunginya: bisa melalui surel:

[email protected].

71

Thea Arnais Le

Pembunuhan yang Gagal

Mulanya, aku sungguh tidak tahu apa yang terjadi dengan

keadaan sekelilingku. Setelah menunggu beberapa saat hingga

merasa benar-benar sadar, sambil mengerjap-ngerjapkan

mataku aku mulai menyadari diriku berada di tengah jalan dan

dikerumuni orang banyak. Aku berusaha bangun perlahan dan

mencoba untuk duduk. Seorang bapak-bapak mulai

menanyakan keadaanku.

“Apa anda baik-baik saja?” Bapak tua itu mencoba

menenangkanku dengan mengelus punggungku dengan telapak

tangannya.

Aku hanya bisa menggangguk. Mungkin karena belum

sepenuhnya tersadar gerakan itu malah membuatku langsung

pusing yang nyeri.

Orang-orang langsung saja menggotongku kepinggir jalan

yang lebih aman. Mereka juga mulai sibuk berteriak pada siapa

saja untuk menghubungi ambulan.

Mataku terpejam kembali tapi aku bisa mendengar ribut-

ribut yang dibuat oleh orang-orang yang menolongku.

Aku berusaha mengingat kenapa aku bisa di sini dan

kenapa aku bisa di tengah jalan tadi.Seiring sayup-sayup

kudengar ada yang mengatakan kondisiku.

72

“Kenapa Pak, Bu? Ada apa ini?” Seorang pria mencoba

mengetahui keributan ini.

“Ini lho mas, ada orang keserempet mobil” Suara seorang

perempuan muda menjawab pertanyaan tadi.

“Lha kok bisa? Ngelamun?”

“Ndak tahu, mungkin juga salah mobilnya gak lihat ada

orang nyebrang.”

“Terus sekarang, mobil yang nyerempet mana?” Kurasa

itu suara pria yang berbeda dari yang sebelumnya.

“Kabur. Ini orang-orang juga lagi menghubungi polisi dan

ambulan.” Suaranya serak sepertinya seorang bapak tua yang

menjawabnya.

“Kronologisnya bagaimana? Kok bisa keserempet?”

“Aku juga kurang tahu pasti. Aku di depan rumah sama

anak dan ibu mertuaku. Dari kejauhan aku liat bapak ini jalan

kaki sambil bawa golok, mau nyebrang ke gang situ. Eh, dari

arah selatan tiba-tiba ada mobil sedan lewat.” Kurasa itu suara

perempuan muda yang tadi.

“Paling bapak ini mau kekebon di ujung gang sana, kali.”

Suara perempuan muda lain ikut menimpali.

“Mungkin.” Orang-rang menyahuti.

Dengan keadaan terpejam aku akhirnya mengingat

kenapa aku bisa begini. Mendengar kata golok, ke mana barang

yang kugenggam tadi. Mungkin juga sudah diamankan oleh

orang-orang yang menolongku. Mereka tidak tahu niatan

awalku berjalan menuju gang kecil itu dan membawa golok.

Jika kau ingin tahu. Akan kuberi tahu kenapa aku

berjalan sambil menenteng golok. Aku sedang merencanakan

pembunuhan pada ibuku yang sudah tua renta yang tinggal

didekat kebon ujung gang kecil itu. Semua kulakukan karena

73

perempuan yang kusebut ibu itu menolak memberikan tanah

miliknya padaku. Aku ini anak satu-satunya dan tentu saja

berhak atas tanah itu. Tapi dasar, perempuan tua keras

kepalanya itu menolak keinginanku. Padahal cepat atau lambat,

jika dia sudah mati tanah itu akan jatuh juga ke tanganku. Aku

memaksanya bukan tanpa sebab. Aku sudah kehabisan hartaku

di meja judi, aku harus segera mencari uang lagi. Belum lagi

masalah rentenir yang terus-terusan mengejarku. Dan

perempuan tua itu mempersulit. Aku harus segera menjual

tanah milik Ibuku. Sebelum semua kesenanganku di meja judi

akan berakhir. Tapi sial memang. Rencanaku harus gagal

karena aku terserempet mobil. Bajingan betul yang

mengendarai mobil itu. Mana kabur pula, kalau tak kabur aku

tentu bisa minta ganti rugi yang banyak.

Aku mulai mendengar suara sirine mobil ambulan dan

polisi yang ramai mendekat.

“Ayo, Pak, di bawa ke rumah sakit!”

Orang-orang mulai membantuku untuk naik ke tandu

ambulan.

Di dalam mobil ambulan yang berjalan aku mulai

merencanakan pembunuhan yang lebih terencana dan matang

untuk ibuku. Dengan begitu aku dapat menguasai tanahnya dan

menjualnya untuk membayar hutang-hutang judiku. Aku juga

merasa beruntung orang-orang tadi tidak mengetahui niatan

awalku. Kalau mereka sampai tahu, aku tidak menjamin mereka

mau menolongku. []

Solo, 2018

74

Thea Arnais Le, merupakan mahasiswa FKIP UNS.

Aktif di Diskusi Kecil Pawon. Menulis puisi dan

pengepul rubrik Kisah Buku di Buletin Sastra Pawon.

75

Yessita Dewi

Ketika Pulung

Mengantar Pulang

“Argo, mulai hari ini kamu bisa pulang ke rumah,” katanya

dengan senyum hangat. Anak kecil 8 tahun bernama Pulung itu

menatap. Diam. Mengamati. Tersenyum, kemudian

mengangguk.

Perempuan itu menggandeng Pulung keluar dari kantor

setelah menandatangani beberapa berkas. Wajahnya bungah.

Hari ini ia menjadi ibu dari seorang anak laki-laki. Pulung

bukan anak laki-laki biasa baginya. Ia anak dari Sentanu,

sahabatnya sejak kecil. Istri Sentanu meninggal satu tahun lalu,

sementara Sentanu yang bekerja di kapal tanker sedang berada

di belahan bumi entah. Karena tidak memiliki kerabat, Pulung

dititipkan di Panti Sosial Kota. Hingga perempuan itu, Branti,

mendengar kabar kematian isri Sentanu dan mencari

keberadaan Pulung.

Siang di kedai bakso, es jeruk dan bakso menjadi menu

awal kebersamaan Branti dan Pulung. Matanya yang bulat, alis

tebal, rambut ikal. Mirip Sentanu. Lesung pipit itu mungkin

dari ibunya.

“Aku ingin memanggil Tante saja, boleh?”

76

“Boleh. Kamu boleh panggil aku tante atau apa saja yang

kamu suka.”

Anak itu tersenyum. Matanya yang tadi redup kini tak lagi

keruh. Bakso dan es jeruk tandas di hari yang sedikit mendung.

Branti senang ia tak lagi sendiri di rumah.

“Tante, aku mau tidur di kamar yang ada jendelanya.”

“Jendela? Hhmm.. kita lihat nanti ya.”

Pulung tersenyum. Branti mengangguk. Mereka pulang.

Jalan yang semakin riuh jam pulang kantor itu segera penuh

dengan orang-orang pembawa peluh. Wajah keruh, jaket lusuh

ikut berdesakan di antara knalpot yang saling menyembur.

Gurat wajah berat. Ah, masa sekarang ini apa sih yang tidak

berat? Antrian lampu lalu lintas semakin membuat merayap.

Tak jarang nyanyian kebun binatang bersahutan dari mulut

yang tak sabar tiba di rumah. Rumah memang tempat segala

peluruh penat. Branti menghela nafas. Ia melirik Pulung yang

tampak menikmati kepadatan antrian.

“Ternyata begini ya namanya kota,” suara Pulung lebih

mirip gumam.

“Iya, kita akan setiap hari melihat pemandangan seperti

ini. Beda dengan rumah Pulung yang sejuk di desa ya?” Branti

mengamati ekspresi anak kecil itu dengan seksama. Seorang

anak yang melihat ibunya sendiri tewas dibacok begal. Anak

sekecil itu. Rombongan begal yang lari dari kejaran warga itu

merangsek masuk. Pulung dan ibunya yang sedang menikmati

sinetron pilihan itu terkejut. Ancaman parang ternyata tak

menyurutkan takutnya. Pulung lari masuk lemari. Sebelum

parang itu merobek dada dan perut ibunya, ia melihat beberapa

membekap dan menindih tubuh kurus itu. Entah diapakan,

Pulung tak tahu. Matanya tertutup rapat, teriakan menyayat

coba ia usir dari telinganya. Pulung menangis sesak hingga tak

77

sadarkan diri. Anak malang itu siuman di bangsal warna putih.

Rumah sakit.

Tak lama, keduanya tiba di sebuah rumah yang masih

bertahan dengan model era 70-an. Teras khas dengan fasad,

halaman tak luas berumput. Tanaman hijau terawat dan segar.

Rumah itu tidak jauh dari jalan kampung. Belakang ada jarak

yang pas membingkai gunung.

“Nah, Pulung. Kita sampai,” Branti mematikan mesin dan

melepas sabuk pengaman. Pulung mengikuti apa yang

dilakukan Branti. Mengekor di belakangnya. Jalan pelan-pelan.

Rumah yang tidak besar tapi terasa lapang. Ada dua

kamar yang berjendela. Kamar depan dan belakang. Malam ini

mereka berdua akan sibuk.

Saat tidur tiba. Setelah menata sedemikian rupa pakaian

dan barang-barang Pulung yang tidak banyak, Branti menemani

Pulung tidur. Boneka ikan paus berwarna biru sudah erat

didekap.

“Ikan pausnya lucu ya,” celetuk Branti. Pulung membuka

mata, menatap ikan paus yang bermata jenaka.

“Ini hadiah dari ayah waktu pulang dari naik kapal.

Katanya Ayah sering melihat ikan paus.”

“Namanya siapa?”

“Temon...”

Branti tertawa geli. Ikan paus bermata jenaka dan

berwarna biru itu bernama Temon. Pulung berkisah, boneka itu

pernah ia bawa bermain bersama teman-temannya, dan lupa ia

bawa pulang. Ikan paus itu hilang selama seminggu. Boneka

lucu itu pulang setelah salah satu tetangganya tahu bahwa itu

boneka milik Pulung. Ikan paus biru, yang tersangkut di antara

pohon bambu. Karena ketemu dan pulang, Sentanu

78

menamainya Temon. Branti terkekeh mendengar cerita Pulung.

Malam ini mereka tidur dengan tersenyum.

***

Aku menunggumu datang. Lihat, aku mampu bertahan

dari tebasan parang. Luka ini telah sembuh. Tidak lagi sakit.

Sudah cukup lama aku menunggu sendiri. Sementara, Pulung

biarlah aman dulu. Jangan di sini. Kita jemput bersama nanti.

Suatu hari. Saat kamu pulang.

“Kaca ini buram,” aku bergumam. Seka kain mengurangi

debu yang melapisi sebentuk jendela. Entah sudah berapa lama

aku duduk di depan jendela. Tak satu pun yang melintas adalah

kamu, suamiku. Sentanu. Mereka yang biasa menyapaku di

depan rumah atau di balik jendela, kini hanya diam melewatiku.

Aku tak berani mengawali.

“Saaaayyyuuurrr...! Yuuurrr... saayuuurrr...!” jeritan

parau tukang sayur datang dari arah selatan. Ah, memang

sudah jamnya dia datang. Sebentar lagi para tetangga akan

datang.

“Ah, lama juga dapur dingin. Aku ingin masak gulai

nangka hari ini.”

Tapi, tukang sayur itu menurutku berjalan lebih cepat.

Tidak biasanya. Mana kebiasaan tukang sayur memanggilku,

berhenti di depan rumah dan semua berdatangan? Kenapa

sekarang semua berubah? Bahkan menengok pun tidak.

“Mass! Sayur, Mas!”

Tukang sayur itu tidak mendengar. Aku berteriak

semakin keras, tak jua berhenti. Apalagi menengok. Ya sudah,

pupus hari ini makan gulai nangka. Toh, tidak begitu lapar juga.

79

Beberapa minggu ini aku sangat tahan berpuasa. Tidak merasa

lapar, tidak merasa haus. Bahkan bisa duduk di depan jendela

dari pagi hingga malam. Di saat-saat inilah rasa rindu yang

kukira melumut karena tak juga terobati, sangat menyiksa.

Hanya nama dan ingatan tentangmu saja yang menghibur dan

menguatkanku, Sentanu.

“Aku tidak akan lama. Seperti biasa, 12 bulan. Aku pasti

pulang,” itu katamu padaku beberapa waktu lalu. Bahkan sudah

lama telepon genggam itu tak berdering. Mana aku tahu, berapa

lama kapalmu itu mengorbit di atas lautan yang kadang tak

berbatas. Lihat, kini aku hanya duduk mengamati pagar rumah

itu, berharap kamu akan datang membukanya. Tanpa kusadari,

aku menangis sangat keras. Betapa tangis ini semakin

menajamkan rasa sakit merasa terabaikan.

***

Satu bulan sudah Pulung tinggal di rumah Branti. Masa

sekolah akan dimulai bulan depan, semester baru. Sekolah baru

dan akan bertemu banyak orang belum dikenal untuk Pulung.

Tidak banyak hal yang ia lakukan selain duduk di depan jendela

kamarnya. Sejauh ini, Pulung hanya akan beranjak dari kursi

itu untuk mandi, makan, dan tidur. Terkadang ia duduk sambil

tertidur. Mbak Karni, pembantu rumah tangga yang setiap

harinya menemani Branti mulai heran. Setiap ia menyapu

halaman depan dan belakang, wajah anak kecil itu akan ada di

balik jendela. Tidak murung. Tidak juga senang.

“Masayu Branti, itu Mas Pulung tidak apa-apa duduk di

depan jendela begitu? Sudah berhari-hari lho, saya kan jadi

cemas,” kata Mbak Karni mencoba membuka obrolan. Branti

80

meletakkan buku yang sedang ia baca. Pandangannya ia lempar

ke arah kamar Pulung yang pintunya tertutup.

“Pintu kamarnya di buka saja, Mbak. Biar aku bisa

melihat dari sini,” ujar Branti. Mbak Karni beranjak menuju

kamar dan membuka pintunya. Dikunci. Branti menyusul Mbak

Karni.

Tok, tok, tok!

“Pulung, buka pintunya,Sayang, tante mau masuk...

boleh?”

Terdengar suara sandal mendekati pintu. Klik! Kunci

terbuka dari balik pintu kamar. Wajah Pulung muncul, matanya

berlingkar hitam seperti panda. Branti cemas.

“Nak, kamu sakit?” Branti memegang dahi dan leher anak

itu. Pulung menggeleng.

“Sudah makan? Atau mau tante suapin? Suapin ya?”

Pulung mengangguk lesu. Mbak Karni dengan sigap

mengambil piring dan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya.

Branti berjalan dan duduk di meja kecil dekat jendela kamar,

tempat Pulung memandang lurus ke arah gunung. Ia ikuti arah

mata anak itu. kosong. Ada sesuatu yang ia tunggu. Branti

mulai menyuapi.

“Pulung, cerita dong sama tante, kenapa setiap hari

Pulung harus duduk di depan jendela?”

Pulung terdiam. Tetap mengunyah dan menerima suapan

dengan nurut.

“Habis makan kita jalan-jalan yuk?Kita beli boneka atau

mainan baru, gimana?” rayu Branti.

“Tante, Pulung nunggu ayah. Ayah bilang kalau datang

pasti terlihat dari jendela,” jawab Pulung dengan mulut penuh.

Branti tercenung. Yah, hanya Sentanu yang ia punya sebagai

81

ayahnya. Branti menghela nafas. Ia tak tahu apa yang ia

rasakan. Sesak, sedih, prihatin atau entah.

“Kalau ayahmu datang langsung di depan pintu

bagaimana?” tanya Branti memancing. Ingin tahu. Pulung

minum, kemudian menatap Branti.

“Setiap ayah datang selalu bilang kalau pulang akan

terlihat di jendela sebelum masuk rumah...” Pulung

menjelaskan. Branti mengerutkan dahi.

“Hmm... ayah Pulung pernah datang?”

“Setiap malam...”

“Setiap... malam...? Kok, tante tidak tahu?”

“Ayah datang setiap Pulung sudah tidur.”

Branti paham. Pulung memimpikan ayahnya setiap

malam. Helaan sedih muncul. Branti memeluk Pulung.

Suatu siang, Branti panik. Pulung pingsan di kamar.

Lemas, nadinya pun lemah. Dua hari di rumah sakit pun Pulung

seperti tak juga membuka mata. Branti enggan pergi sebelum ia

melihat anak itu siuman. Rasa sayang pada bocah ini sudah

muncul sejak ia melihat senyumnya pertama kali di panti sosial

Kota. Seorang anak yang mengisi kekosongan hatinya.

“Masayu, biar saya saja yang menggantikan menjaga

Pulung. Masayu pulang dulu, mandi, istirahat biar seger

badan...” Mbak Karni memecah keheningan. Branti menoleh ke

arah Mbak Karni yang sudah datang, berdiri di seberang

ranjang bangsal. Wajahnya tak kalah khawatir. Branti

mengangguk. Pulang.

***

82

“Ayah! Kenapa ayah lama sekali datangnya?” Pulung

memeluk seorang laki-laki. Sentanu. Ayah anak itu. tinggi,

badan kokoh berkumis tipis. Ia tersenyum dan memeluk erat

Pulung. Mencubit pipi bocah laki itu.

“Maafkan, Ayah. Kapalnya baru bersandar. Kamu sehat

kan?”

Pulung mengangguk senang. Sentanu senang melihat

Pulung sehat, segar dan terawat. Ia sempat melihat Branti

keluar dari kamar. Ingin sekali ia berterima kasih pada

perempuan itu. persahabatan yang sempat meningkat menjadi

pasangan hingga akhirnya harus menyerah, bahwa pertemanan

lebih menyenangkan buat mereka. Sentanu sempat menyusul

Branti, mengejar perempuan itu. Tapi lolos. Kini ia melihat,

bahwa ketulusan Branti benar adanya.

“Pulung, kita akan pulang segera setelah kamu sehat.”

“Aku sudah sehat. Lihat pipiku, merah kan?” Senyum

lesung pipit mengingatkan pada ibunya. Pulung mengambil

boneka ikan paus.

***

“Apa?! Pulung hilang?!” Branti merasa tersambar listrik

ribuan volt. Tanpa pikir panjang ia segera berlari mengambil

kunci mobil dan sesegera mungkin sampai rumah sakit. Mbak

Karni mengaku, sebelum ia ke kamar mandi Pulung masih

belum siuman. Tapi menit di kamar mandi tentu tak lama. Ia

sudah melihat ranjang itu kosong.

Branti sesak, harus bagaimana ia nanti jika bertemu

Sentanu. Pihak keamanan, dokjter serta perawat ikut sibuk

mencari.

83

“CCTV!” Branti sedikit berteriak. Ia lari menuju kantor

keamanan rumah sakit. Petugas yang ikut mencari sigap

membuka rekaman pada jam saat Pulung hilang. Ketemu.

Branti melihat Mbak Karni masuk ke kamar mandi.

Catatan waktu ia amati. Pulung bergerak, bangun. Duduk.

Matanya terpejam, tapi seolah seperti sedang berbicara dengan

seseorang. Pulung mengambil boneka Ikan Pausnya, dan

berjalan keluar. Tak lama Mbak Karni keluar dari kamar mandi.

Sekali lagi, catatan waktu itu tidak lama.

Branti berdebar. Ia melihat Pulung bangun. Berjalan

dengan mata terpejam. Tapi bagaimana mungkin tak seorang

pun di selasar rumah sakit melihat? Perempuan itu berlari

keluar dari kantor keamanan. Di halaman rumah sakit,

jantungnya berdegub kencang, kepalanya terasa penuh,

dadanya sesak.

“Sentanu...” dadanya terasa perih. Seperih ketika kabar

Sentanu menikah dengan perempuan itu, Ardana. ia tak

menyangka bahwa Sentanu benar-benar akan menikah.

Bukankan ia dan sahabatnya tak terpisah? Ah, sakit...

***

“Kamu capek? Sini Ayah gendong, lama tidak gendong

Pulung,” kedua bapak anak itu berjalan sambil bercerita dan

tertawa. Ketika letih berjalan, berhenti.

“Ayah, kenapa tidak naik itu?” Pulung menunjuk sebuah

angkot yang penuh penumpang.

“Boleh. Kita naik angkot ya, biar cepat sampai,” Sentanu

melambaikan tangan ke arah angkot. Angkot itu tidak

mengurangi kecepatan ataupun berhenti.

84

“Pulung, kamu tidur di gendongan ayah ya, kita pulang,”

Sentanu menggendong Pulung di punggungnya. Pulung

memejamkan mata, tidur. Tanpa ia sadari betapa sangat singkat

dan menjadi dekatnya jarak yang sangat jauh itu.

Sentanu berdiri di depan pagar sebuah rumah. Pulung

berbinar. Rumah!

***

Sudah hampir putus dan sampai pada titik menunggu

yangjenuh. Aku pandangi pintu pagar itu dari jendela. Tak juga

ada yang tiba. Sampai pada akhirnya aku tak mempercayai

mataku sendiri. Mereka pulang! Bahkan lumut yang ikut

meranggas kembali bernas. Pintu pagar itu berderit, pintu

rumah yang berbunyi karena lama tak terbuka kini memberikan

jalan pada matahari yang lama ingin bertamu di sini.

“Ardana, aku pulang...” suara itu adalah suara yang

sangat aku tunggu. Aku menangis. Kami berpelukan. Kering

jiwa yang berkerak kembali luruh basah karena semua rasa

tertumpah. Kelegaan sebab kembali bersama.

“Ibu...”

Pelukan kami mengendur. Ada sadar yang datang.

Anakku, Pulung! Aku menoleh, tak terkira sebesar apa rasa

bahagiaku hari ini. Semua berkumpul. Kembali pulang.

“Sini, Nak, peluk Ibu!” kataku. Pulung berjalan

mendekatiku, tapi tiba-tiba berhenti. Ia melihatku dengan

tatapan ragu. Ia menatap perut dan dadaku.

“Ibu sudah sembuh. Ibu lupa tidak ganti baju, kalau

kalian bilang akan datang, pasti Ibu akan berdandan wangi dan

85

rapi,” kataku. Tapi mata anakku nanar. Ia seperti tidak percaya

padaku. Ia melihat ke arah ayahnya, suamiku.

“Ayah, Ibu sudah... Ibu...” Pulung terbata-bata. Ada air

mata yang mulai jatuh. Sentanu terdiam. Berdiri terpaku,

wajahnya sendu.

Aku melihat ada yang datang lagi. Ah, perempuan itu! aku

tahu ia tidak bisa melepaskan Sentanu begitu saja, sekarang ia

ingin anakku pula!

Blam! Pintu kubanting dari dalam.

***

Branti tahu, hanya di rumah ini Pulung akan pulang. Tapi

bagaimana ia bisa tahu jalan? Dan benar, Branti melihat anak

itu berjalan masuk ke dalam rumah yang sudah lama kosong.

Rumah yang terbengkalai. Beberapa warga kampung menoleh

heran.

“Mau kemana, Mbak?” tanya seorang bapak yang sedang

melintas.

“Apakah bapak melihat Pulung? Sepertinya dia tadi

masuk rumah itu, rumahnya...”

“Oh, tidak, aku tidak melihat Pulung. Bukankah dia sudah

di kota? Dan rumah itu terkunci, kuncinya dibawa Pak RT

setempat.”

“Iya, dia tinggal bersamaku, tapi hari ini ia hilang...”

Branti menceritakan apa yang ia rasa dan lihat. Bapak itu

menyimak dengan heran.

“Hmm, maaf, dua hari lalu saya mendapat kabar kalau

Pak Sentanu yang pelayar itu mendapat musibah kapalnya

86

terbakar. Dan Pak Sentanu salah satu korban yang hilang di laut

lepas.”

Branti terperanjat. Tak bisa bernafas. Semakin sesak. Ia

hanya bisa menutup mulutnya menahan teriakan yang siap

keluar. Setelah berterima kasih, Branti berlari ke arah rumah

Sentanu. Benar, pintu rumah itu terbuka. Branti melihat

bayangan Pulung berjalan masuk ke dalam rumah.

“Puluuungggg!”

Blaammm! Pintu rumah itu tiba-tiba tertutup. Branti

tersentak. Ia berlari mencari jendela. Ia butuh tahu bagaimana

Pulung di dalam, dan bersama siapa. Tapi rumah ini kan

kosong?

Muncul rasa ngeri dan seram. Ia melihat Pulung berdiri,

seperti mengamati. Mulutnya bergerak. Aah, Pulung berbicara,

tapi sama siapa? Lagi-lagi Branti harus membekap mulutnya. Ia

jatuh terduduk di bawah jendela. Rumah ini telah beberapa

bulan tak terurus, rumput-rumput meninggi. Taman

terabaikan. Setelah debur jantung sedikit mereda, Branti

memberanikan diri berdiri dan melihat lagi ke arah jendela.

Sentanu! Dan mereka bertatapan. Wajah Sentanu pucat,

rambutnya sedikit basah. Matanya sedih. Branti berlari menuju

pintu, ia mendorong sekuat tenaga. Tapi ternyata tidak seberat

yang ia bayangkan.

“Pulung!” Branti berlari memeluk anak itu dari belakang.

“Tante..?” Pulung menoleh dan membalikkan tubuhnya.

“Tante kenapa ada di sini?”

“Tante mau jemput kamu, kita pulang ya..”

“Aku sudah pulang...” mata polos Pulung semakin

menyesakkan Branti.

87

“Pulung, Ayah di sini hanya menjemput Ibu. Sementara

ini, kamu tinggal sama tante Branti ya. Nanti kalau sudah

waktunya, Ayah dan Ibu akan menjemputmu...”

“Ayah sama ibu mau ke mana..?”

“Mas, kenapa tidak kita ajak sekarang saja?Dia anak kita,”

sahut Ardana dengan nada memohon. Matanya menatap Branti

dengan wajah curiga. Branti kini bisa melihat Sentanu dan

Ardana.

“Ardana, aku akan menjaga Pulung seperti kamu

menjaganya...” ujar Branti.

“Pulung tidak akan mau ikut orang yang bukan ibunya!”

suara Ardana menuntut.

“Pulung, kamu sudah bertemu ayah dan ibu... kamu akan

ikut kami kan?” kata Ardana lagi.

Pulung tersadar. Ia menatap wajah Sentanu. Wajah

ayahnya yang pucat itu bersedih tapi tersenyum hangat ketika

menatapnya. Pulung menoleh ke arah ibunya, Ardana. Ia ingat,

baju itu yang dikenakan ketika malam itu. malam ia melihat

ibunya ditindih beberapa orang bergantian, berteriak minta

ampun. Malam ketika ibunya dipukuli dan ditampar karena

berteriak. Juga, ketika dada ibunya tertancap parang. Pulung

menangis mengingatnya. Ibunya menderita.

“Pulung, ikut pulang sama tante ya. Sampai rumah kita

akan berdoa untuk ayah dan ibumu,” bisik Branti di telinga

Pulung. Pulung terisak.

“Ayah, Ibu.. Pulung tahu, ayah dan ibu sudah pergi...

Pulung harus ikut Tante. Pulung nggak mau sendiri di sini.

Pulung takuuutt...” bocah itu menangis keras.

Sentanu mendekat dan berjongkok menatap Pulung.

Wajahnya kini cerah. Matanya tak lagi sedih meski berair.

88

“Baik-baik di rumah Tante Branti ya! Jaga tante seperti

menjaga ibumu sendiri. Ayah dan Ibu pasti akan datang lagi

suatu hari nanti...”

Anak itu mengangguk. Sentanu mengusap wajah anak

lelakinya. Ardana mendekat, terisak. Ia berdiri di depan Branti.

“Jaga dia untuk kami, Branti. Maafkan selama ini aku

sering cemburu padamu, aku tahu kamu orang yang baik...”

“Pasti. Aku akan jaga Pulung untuk kalian. Kami akan

mengunjungi kalian. Semoga kalian damai di sana,” Branti

semakin lemas.

“Branti, terima kasih...” kata Sentanu dengan mata dan

senyumnya yang teduh itu.Branti hanya mengangguk. Ia tahu,

Sentanu pasti tahu. Branti harus melepas seluruhnya,

semuanya, segalanya. Mereka harus pergi.

Pulung dan Branti melihat Sentanu dan Ardana berjalan

pergi melintasi pagar rumah, dan hilang seperti kabut.

***

Dua pusara berdampingan. Branti dan Pulung berjalan

menjauh. Pulang. Rumah Sentanu tetap sepi meski lebih bersih

dan terawat. Kini, tak ada lagi suara menangis dan meratap dari

dalam rumah itu. Ratapan menunggu pada yang dirindu. []

Gangnam, 7/02/18

Yessita Dewi, lahir di Magelang 28 April 1974.

Berdomisili di Solo. Tahun 1994 berprofesi sebagai

penyiar radio sampai tahun 2007. Puisi dan cerita

89

pendek mulai ditulis sejak SMP. Selain sempat

menjadi dubber, ada beberapa judul naskah

sandiwara radio pernah ditulis dan disiarkan Naskah

sinetron yang pernah ditulis bersama teman-teman di

BSP antara lain: Entong Abunawas dari Betawi, De I

tem, Mamat Anak Pasar Jangkrik , Jiung dan si

Pandir dari Betawi, Dunia Udah Kebalik, dll.

Tulisan-tulisannya hadir di antologi: kumpulan

cerpen Kolase 2(2011),Bulan Purnama di Trowulan,

(DKJT, 2010) dan antologi cerpen Joglo, (TBJT,

2013). Novelnya Lukisan 7 Bocah juga pernah

menjadi juara harapan III Sayembara Menulis Novel

Dewan Kesenian Jawa Tengah tahun 2011.

90

Y Agusta Akhir

Gonggong Anjing Donald dan

Kegundahan Hati Paman Sam

Malam ini anjing Donald kembali menggonggong seperti

melihat setan. Itu satu-satunya anjing tanpa tuan sejak

pemiliknya mati gantung diri seratus tigapuluh hari lalu di

sebuah batang dedalu yang tumbuh liar di seberang rumahnya.

Orang-orang tahu anjing itu bernama Donald karena si pemilik

memanggilnya demikian. Lelaki itu hidup sendiri bersama

Donald di rumah peninggalan orangtuanya. Itu sebuah

bangunan jaman kolonial yang dibeli dari seorang pejabat

negara yang gila terhadap barang antik. Orangtua pemilik

anjing Donald mendapatkan tinggalan sebuah jam

berpendulum sebesar almari sebagai bonus dari pembelian

rumah itu.

Paman Sam terjaga dari tidurnya yang baru seperempat

jam terpejam lantaran mendengar gonggong anjing kesetanan

itu. Mulutnya segera menyemburkan umpatan paling celaka

sekalipun tahu itu pekerjaan sia-sia belaka. Ia menghitung, ini

yang ke sebelas kalinya sejak sebulan terakhir, dan karena itu

pula ia harus meluapkan amarahnya. Sebenarnya, ia sudah tak

sabar pada yang kesepuluh anjing Donald menggonggong-

gonggong begitu rupa. Kala itu sebutir geraham bagian kirinya

sakit yang sudah menyiksanya tanpa ampun selama tiga hari.

91

Tetapi niat itu urung lantaran sakit giginya dirasa lebih hebat

ketimbang niat untuk menghabisi anjing Donald. Itulah kenapa,

ia akhirnya berjanji hendak mencincang anjing Donald kalau

sekali lagi mengganggu dirinya dengan gonggong liarnya.

Sebelum pemilik anjing gantung diri, paman Sam tampak

sayang pada Donald yang nyaris setiap pagi bermain ke

rumahnya. Paman Sam tak memberinya sekadar tulang,

melainkan sepotong daging. Donald akan menjilati tangan

paman Sam sebelum melahap potongan daging itu sembari

mengibas-ngibaskan ekornya. Sejak kematian tuannya, anjing

Donald tak lagi menyambangi rumah paman Sam.

Sekali saja paman Sam pernah dengan sengaja

mengunjungi rumah tua itu, tetapi sekadar berdiri di dekat

pagar besi yang sudah mulai mengelupas catnya dan karatan di

beberapa sisinya. Sebagaimana biasa yang dilakukan, paman

Sam memanggil Donald, tetapi betapa hatinya tersentak

lantaran anjing Donald abai terhadap kehadirannya. Alih-alih

menghampirinya, anjing Donald enggan menoleh ke arah

paman Sam. Ia mengira, mungkin anjing Donald sudah mulai

tuli. Maka ia ambil sepotong daging yang lebih besar dari biasa

yang diberikannya, lalu melemparkannya ke arah anjing

Donald. Potongan daging itu jatuh tepat di hadapan anjing,

tetapi anjing Donald malah berpaling dan berjalan menjauh

dari daging yang dilempar Paman Sam. Sejak itu Paman Sam

tahu kalau anjing Donald tak lagi suka padanya. “Bahkan seekor

binatang pun bisa memutus tali silaturrahim dengan manusia!”

Beberapa hari terakhir Paman Sam sering sakit-sakitan.

Usianya yang sudah mendekati kepala delapan jadi gampang

ambruk diserang penyakit. Terlebih cuaca yang tak menentu

beberapa bulan terakhir ini. Seminggu lalu encok rematiknya

kumat. Dua hari setelah itu kena demam dan batuk. Dan tiga

hari lalu terserang sakit gigi. Sekarang kepalanya tiba-tiba

92

terasa pening dan seluruh persendiannya dirasa seperti

ditimpuki dengan batu.

“Anjing biadab!”

Paman Sam bangkit berniat mengambil sebilah golok di

dinding, tapi rupanya ada yang salah dari geraknya, yang

mengakibatkan ada bunyi seperti tulang beradu di pinggul

bagian belakang. Paman Sam mengaduh dan kembali

membanting tubuhnya ke ambin. Suara gonggong anjing kian

keras sampai ke telinganya. Siksa itu bertambah sempurna

mana kala ia mencoba kembali bangkit, tapi rasa sakit berlipat

ganda dan menjalar ke punggung.

“Terkutuklah anjing Donald! Mungkin malam ini bisa kau

lewati, tapi besok jangan harap!”

Teriakan itu membuat istrinya terbangun, tapi hanya

berkata dengan setengah menggumam, “Kau bermimpi lagi soal

anjing itu. Tidurlah!”

***

Sejak orangtua pemilik anjing Donald meninggal, rumah

itu jadi tak terurus. Pemilik anjing Donald adalah seorang

pemalas dan lebih suka bermain dengan binatang itu ketimbang

memotong kalanjana yang meliar di halaman atau

memperbaruhi warna tembok rumah. Orang-orang mengenal

ayah dan ibunya sebagai pribadi yang ramah dan mudah

bergaul. Berbanding terbalik dengan pemilik anjing Donald

yang tertutup dan nyaris tak pernah bersosialisasi sejak

orangtuanya membeli rumah tua itu. Satu-satunya orang yang

akrab dengan pemilik anjing Donald adalah paman Sam yang

rumahnya bersebelahan dengannya. Sesekali ia datang ke

rumah lelaki bertubuh pendek dengan dahi lebar itu untuk

93

sekadar berbasa-basi, walau kenyataannya mereka lebih banyak

saling diam. Kalau sudah saatnya hendak pulang, pemilik

anjing Donald hanya berkata, “Pulang dulu, Paman!” dengan

nada datar tanpa menoleh pada paman Sam yang kemudian

akan menjawabnya pendek, “Ya,” dengan suaranya yang rada

serak dan wajah tanpa ekspresi.

Tapi pada suatu hari keduanya benar-benar melakukan

obrolan yang panjang dan tampak demikian akrab. Dengan

nada bercanda pemilik anjing Donald bilang, kenapa tubuh

paman Sam cebol dan berdahi besar. Selama ini, belum pernah

ada orang yang berani berkata semacam itu padanya, walau

bernada canda sekalipun. Kalau mau jujur, sakit juga hatinya

dihina begitu. Tapi barangkali demi sopan santun, ia tak ingin

meluapkan amarahnya kepada pemilik anjing Donald. Itulah

kenapa paman Sam hanya menjawab dengan setengah

berkelakar, bahwa walau keadaannya begitu tapi memiliki istri

yang semampai dan berwajah cantik. Itu memang diakui

pemilik anjing Donald, yang bahkan diam-diam suka melihat

wajah istri paman Sam. Paman Sam juga mengatakan kalau

keadaannya itu jauh lebih mujur dibanding pemilik anjing

Donald yang di usia 40 tapi masih sendiri dan hanya hidup

dengan seekor anjing. Mereka berdua saling menderai tawa,

meski keduanya sama-sama menahan sakit di hati lantaran

ejekan yang barusan mereka lontarkan.

Pagi itu pun paman Sam gagal mewujudkan niatnya

menghabisi Anjing Donald lantaran kepalanya malah

bertambah berat dan pinggulnya masih terasa ngilu. Agaknya ia

harus bersabar menunggu segala sakit terkutuk itu sirna dari

tubuhnya. Kepada Tuhan ia berdoa mohon diberi kesehatan

walau hanya sampai malam nanti demi bisa menghabisi anjing

kurang ajar itu. Dan benarlah doanya terkabul. Pening di

kepalanya jauh sekali berkurang dan pinggulnya hanya

94

menyisakan sedikit ngilu. Ia merasa dirinya jauh lebih baik dan

siap menggorok leher anjing Donald. Ia hanya menunggu

beberapa saat agar suasana benar-benar sepi. Sebab, bagaimana

pun dirinya tak ingin ada orang yang menyaksikan

perbuatannya mencincang anjing Donald. Sebenarnya sempat

terlintas di benaknya membunuh anjing itu dengan racun. Tapi

mengingat anjing itu sudah tak sudi menerima potongan daging

pemberiannya, maka pekerjaan itu akan sia-sia. Lebih dari itu,

ia lebih suka membunuh dengan cara memenggal kepalanya,

memotong kaki-kakinya, ekornya, dan menjadikan tubuh

binatang itu beberapa potong. Ia suka makan daging anjing,

tapi tidak untuk anjing Donald.

Seolah mendapatkan restu dari semesta, malam ini langit

lebih cerah ketimbang malam-malam sebelumnya yang selalu

bersaput mendung dan hujan. Walau tak sepenuhnya bening,

bulan menggantung di angkasa, nyaris tepat di atas kepala. Saat

itulah paman Sam keluar dari rumahnya dengan sebilah golok

terhunus di tangan. Tak ada sedikit pun rasa takut dan gentar,

walau orang-orang sudah sering membincangkan perihal

keangkeran rumah tua itu sejak penghuninya gantung diri,

terlebih bila jam pendulum itu berdenting. Mereka bahkan

berpikir pendulum itu digerakkan oleh tangan-tangan setan.

Sebenarnya paman Sam merasa ada yang aneh. Ia belum

mendengar gonggong anjing Donald walaupun hanya sekali

sejak pagi tadi. Tapi ia yakin anjing itu tak akan kemana-mana.

Dan ia tak perlu merasa kesulitan menemukan binatang itu. Ia

tahu anjing itu tidur di atas kursi penjalin yang sudah rusak, di

teras rumah tua itu. Ia sudah sangat hapal dengan tabiat si

anjing. Ia memang sudah mengamatinya sejak lama.

“Kalau anjing keparat itu sedang sakit, akan

memudahkan pekerjaan ini!” gumamnya sembari melangkah

tenang memasuki halaman rumah tua yang dipenuhi kalanjana

95

yang meranggas liar. Tetapi tatkala sampai di depan teras, ia

kecewa menemukan kursi penjalin rusak itu kosong dan tampak

begitu menyedihkan.

“Kemana anjing terkutuk itu?” ia mengedarkan lampu

sentar ke sekitar, sembari matanya memicing kalau-kalau

menemukan binatang yang dicarinya. Tapi ia tak menemukan

apa yang dicarinya.

Ia mengitari rumah tua dan tetap tak menemukan anjing

Donald. Ia sama sekali tak percaya kalau anjing itu masuk ke

dalam rumah karena sejak keamatian pemilik anjing Donald,

orang-orang sepakat menggembok pintu itu dari luar. Maka ia

putuskan untuk kembali dengan benak berjubel tanya perihal

keberadaan anjing itu, dan dendam masih membara di hatinya.

“Apakah anjing itu sudah minggat dari sini? Ataukah

moksa?”

Ketika sampai di depan rumah tua itu, betapa ia tersentak

saat melihat sosok yang sangat dikenalnya duduk menyandar

pada batang pohon dedalu. Di samping orang itu seekor anjing

sedang merunduk tenang tapi matanya yang berkilau awas

menatap kepadanya, yang ia rasakan sebagai tatapan penuh

kebencian. Tiba-tiba kejadian itu kembali membayang di

matanya; bagaimana ia memukul tengkuk lelaki itu dengan

sepotong balok lalu menggantungnya di pohon itu. Perutnya

tiba-tiba terasa mual, kepalanya terasa sangat pening,

pinggulnya diserang ngilu yang amat sangat, bulu kuduknya

terasa meremang. Kakinya seperti lekat pada tanah yang

sekarang dipijaknya sehingga sulit sekali ia gerakkan. Ia ingin

berteriak memanggil istrinya, tapi bahkan dirinya pun tak dapat

mendengar suara istrinya yang memanggil-manggil namanya,

kala sosok itu mulai bergerak yang diikuti sang anjing, yang

sepertinya mendekat kepadanya. []

96

Y Agusta Akhir adalah penikmat sastra dan aktif di

komunitas sastra alit, Solo. Menulis puisi, cerpen dan

novel. Beberapa karyanya berupa puisi dan cerpen

pernah dimuat di harian joglosemar(Solo), Solopos

(Solo), buletin sastra Pawon (Solo), antologi cerpen

Waktu yang Bercerita dan Secabik jejak (Alit, Solo),

antologi cerpen Joglo (TBJT Surakarta), dll. Novelnya

yang berjudul Requiem Musim Gugur terpilih sebagai

salah satu pemenang pada lomba Grasindo Publishers

tahun 2013 dan Novel Kita Tak Pernah Tahu

Kemanakah Burung-burung Itu Terbang menjadi

juara III sayembara novel yang diadakan oleh UNSA

Press tahun 2017.

97

Catatan Mardi Luhung

“Ruang Lain” dalam

Dua Belas Cerpen

Awal Maret 2018, dua belas cerpen dari Surakarta datang pada

saya via email. Dua belas cerpen itu berjudul: Kereta dari

Langit karya Abednego Afriadi; Pertautan Tiga Hati karya

Astuti Parengkuh; Surat Pelukis karya Faqih Sulthan; Puan

Penembang karya Imamah Fikriyati Azizah; Gara Gati karya

Impian Nopitasari; Hak Asasi karya Liswindio Apendicaesar;

Bejo Cilaka karya Nurni Chaniago; Timur Angin karya Rizka

Nur Laily Muallifa; Pembunuhan yang Gagal karya Thea

Arnaiz Le; Hujan Tanpa Jeda di Kota yang Tenang dan Tanpa

Gairah karya Olen Saddha; Ketika Pulung Mengantar Pulang

karya Yessita Dewi; dan Gonggong Anjing Donald dan

Kegundahan Hati Paman Sam karya Y. Agusta Akhir. Dua

belas cerpen itu adalah materi buku Seri Dokumentasi Sastra

Antologi Cerpen Joglo 19. Di dalam pesan di email, saya

diharapkan memberi catatan bagi dua belas cerpen itu. Artinya,

saya mesti membacanya.

Persoalan membaca dalam sastra (cerpen), adalah

persoalan unik. Kenapa? Karena, seperti juga menulis, yang

juga tak semua dapat diselesaikan (alias gagal), membaca juga

bisa gagal. Dalam arti, apa-apa yang telah dibaca dalam cerpen,

meski sudah maksimal, bisa tetap tidak atau kurang dimengerti

oleh pembacanya. Jadinya, tak jarang, terdengar tukasan:

98

“Sudah tiga kali saya baca, tapi tetap saja saya tak mengerti apa

arah dari cerpen ini.” Atau: “Ya, saya mengerti, tapi susah untuk

menguraikannya. Jadi, mungkin cuma setengah mengerti?”

Tentu saja, tukasan-tukasan semacam itu, bukanlah sebuah

kesalahan. Melainkan, sebuah hal yang biasa. Sebiasa, sebuah

percobaan ilmiah yang tak selalu berhasil. Atau semacam si

kasmaran, yang tak dapat menjelaskan, mengapa dia jatuh cinta

pada wanita A, bukan B. Padahal, wanita B lebih cantik dan

pintar. Kini, soalnya: Apakah pembacaan cerpen yang

menghasilkan sebuah kegagalan, dan bukan keberhasilan itu,

bisa diterima? Yang jelas, pada saat ini, apa-apa yang ada,

sepertinya cuma menuntut keberhasilan, keberhasilan, dan

keberhasilan. Padahal, bisa sebaliknya. Dan keberhasilan yang

didamba mungkin akan didapat pada pembacaan yang

berikutnya.

Selanjutnya, ketika melakukan pembacaan, saya

melakukan dengan tiga tahap. Pertama, saya membaca dua

belas cerpen itu dengan polos dan apa adanya. Dalam arti, saya

hanya mencoba menemukan getaran-getaran yang ada di dua

belas cerpen itu. Kedua, saya membiarkan getaran-getaran dari

dua belas cerpen itu memancar ke diri saya. Dan ketiga, barulah

pancaran itu saya uraikan lewat pengalaman pembacaan yang

saya punyai. Dari tiga tahap ini, saya mendapatkan simpulan,

bahwa dua belas cerpen itu, hampir semuanya menyodorkan

“ruang lain”. Yaitu ruang yang berbeda dengan ruang yang kita

tempati (ruang kita). Jika ruang kita bersifat nyata dan

bersebab-akibat; maka “ruang lain” yang saya maksud itu, bisa

bersifat tak-nyata, aneh, dan mendadak. Dan itu, bisa

disebabkan, oleh hadirnya arwah dan tokoh gaib, pikiran lain,

dan jatuh-bangun manusia.

99

1. “Ruang Lain” dengan Hadirnya Arwah dan Tokoh

Gaib

Ada lima cerpen yang menghadirkan arwah dan tokoh

gaib. Lima cerpen itu adalah Kereta dari Langit karya

Abednego Afriadi; Gara Gati karya Impian Nopitasari; Bejo

Cilaka karya Nurni Chaniago; Ketika Pulung Mengantar

Pulang karya Yessita Dewi; dan Gonggong Anjing Donald dan

Kegundahan Hati Paman Sam karya Y. Agusta Akhir. Arwah

dan tokoh gaib itu bisa berupa arwah orang mati, soal

reinkarnasi, tokoh peminta-minta, sampai pada simbol dari si

pencabut nyawa.

Kehadiran arwah dan tokoh gaib yang beragam ini,

membuat ruang yang disodorkan oleh lima cerpen yang ada,

bukan lagi bersifat ruang kita. Melainkan “ruang lain”.

Misalnya, dalam cerpen Kereta dari Langit karya Abednego

Afriadi. Cerpen ini bercerita tentang tokoh Kaswan yang sejak

kecil punya kesenangan bercerita yang aneh-aneh. Dalam

cerita, Kaswan sakit parah. Dijaga oleh Sam (sahabatnya)

setelah melihat keluarga Kaswan enggan menjaga. Sampai

akhirnya Kaswan meninggal. Dan Sam pun “diajak” serta oleh

beberapa tokoh gaib, setelah mencabut nyawa Kaswan.

Dalam cerpen Gara Gati karya Impian Nopitasari, bahwa

“ruang lain” itu dibentuk dengan reinkarnasi tokoh Santya yang

menjadi tokek. Dan reinkarnasi ini sebelumnya sudah

disepakati oleh kekasihnya. Yang berkata: “Dalam bentuk apa

pun, aku akan mendampingimu.” Ternyata, setelah Santya

meninggal dan bereinkarnasi jadi tokek, pacarnya itu malah tak

menerimanya.

Dalam cerpen Bejo Cilaka karya Nurni Chaniago, bahwa

“ruang lain” itu dibentuk oleh tokoh peminta-minta yang

bernama Mbah Bejo. Tokoh ini kerjanya meminta-minta dan

marah-marah. Tetapi, pada akhir cerita, diketahui, bahwa Mbah

Bejo bukanlah tokoh sembarangan. Melainkan semacam tokoh

100

gaib yang mampu menghadirkan Api Si Gulambai, yaitu api

yang didatangkan dengan tiba-tiba, dengan maksud memberi

pelajaran bagi orang pelit.

Sedangkan, dalam dua cerpen berikutnya: Ketika Pulung

Mengantar Pulang karya Yessita Dewi dan Gonggong Anjing

Donald dan Kegundahan Hati Paman Sam karya Y. Agusta

Akhir, adalah dua cerpen yang sama-sama menghadirkan

arwah. Bedanya, jika dalam cerpen Yessita Dewi, arwahnya ada

dua, yaitu arwah suami-istri yang bernama Sentanu dan Ardana

yang mempunyai anak bernama Pulung. (Sentanu meninggal di

laut karena kecelakaan kapal. Sedang, Ardana meninggal

karena dibunuh). Di akhir cerita, dua arwah suami-istri itu

dipertemukan lagi. Sehingga, “ruang lain” yang disodorkan

adalah “ruang lain” yang melegakan tapi aneh.

Sebaliknya, dalam cerpen Y. Agusta Akhir, adalah cerpen

yang cuma menyodorkan satu arwah. Yakni arwah orang tua

pemilik anjing Donald. Yang telah dibunuh oleh Paman Sam.

Dan arwah itu, suatu malam, balik membalas dendam pada diri

Paman Sam. Lewat adegan balas dendam inilah “ruang lain”

tersodorkan. “Ruang lain” yang seram dan menggiriskan. Yang

membuat Paman Sam mengalami hal seperti di bawah ini:

Ketika sampai di depan rumah tua itu, betapa ia

tersentak saat melihat sosok yang sangat dikenalnya

duduk menyandar pada batang pohon dedalu. Di

samping orang itu seekor anjing sedang merunduk

tenang tapi matanya yang berkilau awas menatap

kepadanya, yang ia rasakan sebagai tatapan penuh

kebencian. Tiba-tiba kejadian itu kembali membayang

di matanya; bagaimana ia memukul tengkuk lelaki itu

dengan sepotong balok lalu menggantungnya di pohon

itu... Ia ingin berteriak memanggil istrinya, tapi bahkan

dirinya pun tak dapat mendengar suara istrinya yang

101

memanggil-manggil namanya, kala sosok itu mulai

bergerak yang diikuti sang anjing, yang sepertinya

mendekat kepadanya.

2. “Ruang Lain” dengan Hadirnya Pikiran lain

Seperti yang saya uraikan, “ruang lain” adalah ruang yang

berbeda dengan ruang kita. Dan ruang semacam ini, di samping

dapat dibentuk oleh kehadiran arwah dan tokoh gaib, juga

dapat oleh pikiran lain. Pikiran lain yang lebih mengarah pada

hal-hal yang tak terduga. Di dua belas cerpen yang saya baca,

“ruang lain” yang disodorkan oleh pikiran lain itu terlihat pada

lima cerpen yang berjudul: Surat Pelukis karya Faqih Sulthan;

Puan Penembang karya Imamah Fikriyati Azizah; Timur Angin

karya Rizka Nur Laily Muallifa; Pembunuhan yang Gagal karya

Thea Arnaiz Le; dan Hujan Tanpa Jeda di Kota yang Tenang

dan Tanpa Gairah karya Olen Saddha.

Perlu juga ditegaskan, bahwa pikiran lain itu tidak saja

milik si tokoh ketika sendirian. Tetapi juga bisa ketika si tokoh

berada di kerumunan, atau sedang bercakap-cakap dengan

tokoh lain. Yang jelas, meski cerita dalam cerpen riuh dengan

konflik, tetapi pikiran lain itu seperti dunia tersendiri. Jadinya,

si tokoh dengan tokoh-tokoh lainnya (yang sama dengannya)

itu hidup bukan sebagai masyarakat seperti di ruang kita.

Melainkan, masyarakat sendiri dan menciptakan pikiran

“ketersendiriannya”. Yaitu pikiran khas milik dari “ruang lain”.

Misalnya, dalam cerpen Surat Pelukis karya Faqih

Sulthan, pikiran lain yang ada adalah pikiran lain yang

dilakukan oleh sekian lukisan. Sekian lukisan itu bernama Si

Tua, Si Paruh Baya, Si Dewasa, Si Remaja, dan Si Muda. Di

tengah-tengah pikiran lain yang ada, mereka saling bunuh.

Penyebabnya, tak lain dan tak bukan adalah kemendadakan.

Kemendadakan yang terjadi karena mereka tak bisa

mengungkap, kenapa si pelukis (yang melukis mereka), tak

102

berani memperkenalkan diri kepada si gadis yang kerap

disuratinya. Apalagi di akhir cerita, Si Muda (lukisan yang

paling kecil), hadir bukan karena dilukis oleh si pelukis. Tapi,

entah oleh siapa. Keterangan yang didapat hanyalah kalimat:

“Dia dilukis oleh cat yang ada di kanvas tubuhnya.” Benar-

benar tak terduga.

Dalam cerpen Puan Penembang karya Imamah Fikriyati

Azizah, pikiran lain yang ada adalah pikiran antara Puan

Penembang dengan Jaka Lelur. Tokoh yang dipuja sebagai

tokoh pewayangan: Karna. Padahal, tokoh itu cuma lelaki

berambut sepinggang. Lelaki yang pada akhir cerita, tubuhnya

dijadikan pembasuh wajah oleh Puan Penembang. Di cerpen

ini, rasanya, pembacaan yang saya lakukan kurang berhasil.

Mungkin, karena idiom yang ada (terutama idiom bahasa Jawa

dan peralatan gamelan) kurang saya pahami. Atau mungkin,

saya lebih terpesona oleh suasana nglangut yang disandangnya.

Susana yang dapat saya rasakan. Tapi tak dapat saya uraikan.

Dalam cerpen Timur Angin karya Rizka Nur Laily

Muallifa, pikiran lain dilakukan oleh tokoh yang bernama

Timur. Pikiran lain itu mendadak terjadi, ketika Timur bertemu

dengan tokoh yang disebut sebagai gadis yang penuh imajinasi.

Gadis yang secara tak terduga, membuat Timur mau

menyerahkan KTP dan ATM, hanya agar mau menunggunya.

Dan laku semacam ini, tentu laku yang tak ada di ruang kita.

Tetapi di “ruang lain”. Ruang yang tak nyata. Ruang yang

seperti tak lagi mengenal sebab-akibat. Ruang yang oleh Timur

disebut, sebagai ruang yang disebabkan: “Oleh kata-kata gadis

yang terus saja merangsek ke tubuhku.”

Dalam cerpen Hujan Tanpa Jeda di Kota yang Tenang

dan Tanpa Gairah karya Olen Saddha, pikiran lain yang ada,

adalah pikiran tokoh pria dan wanita. Yang pria adalah pelukis.

Yang wanita adalah penulis. Ketika mereka menikah dan hidup

di kota kecil yang tak bergairah, apa yang mereka sandang

103

(sebagai seniman) sepertinya tak disambut. Tapi apakah

mereka menyerah? Ternyata, secara tak terduga, mereka

bertahan. Dan pertahanan itu, sepertinya menyodorkan “ruang

lain”. Ruang yang meski tak berpengharapan, tetap

dipertahankan. Sikap seperti ini, adalah sikap yang tak-nyata.

Sikap yang penuh dengan hal-hal yang tak terduga. Yang salah

satunya, berbunyi: “... Jika orang-orang di sini tidak terbuka,

biar saja. Minimal kita membuat karya untuk menjaga

kesadaran kita sendiri.”

Lalu, dalam cerpen Pembunuhan yang Gagal karya Thea

Arnaiz Le, pikiran lain datang dari si tokoh yang gagal dalam

hidup. Terus marah pada ibunya yang tua, yang tak mau

menyerahkan tanahnya. Lalu, si tokoh yang gagal itu ingin

membunuhnya. Tapi, sebelum kesampaian, sebuah mobil

menyerempet. Dia jatuh. Dan golok yang dibawahnya pun

entah kemana. “Ruang lain” yang disodorkan oleh cerpen ini,

adalah pada pikiran lain si tokoh yang terang-terangan masih

ingin menghabisi ibunya sendiri. Bahkan (yang lebih tak-nyata),

meski di dalam ambulan, si tokoh tetap saja merencanakan

pembunuhan pada ibunya di lain waktu.

Di dalam mobil ambulan yang berjalan aku mulai

merencanakan pembunuhan yang lebih terencana dan

matang untuk ibuku. Dengan begitu aku dapat

menguasai tanahnya dan menjualnya untuk membayar

hutang-hutang judiku. Aku juga merasa beruntung

orang-orang tadi tidak mengetahui niatan awalku.

Kalau mereka sampai tahu, aku tidak menjamin mereka

mau menolongku.

104

3. “Ruang Lain” dengan Hadirnya Jatuh-Bangun

Manusia

Manusia bukan benda. Manusia adalah manusia. Sebuah

kata kerja yang terus berkembang. Dan terus memperbaiki apa

yang telah disandangnya. Tetapi ketika, dia (manusia itu)

dibendakan, maka “ruang lain” pun terbuka. Yaitu, ruang yang

tak terduga. Yang bisa menjadikan manusia, di dalam jatuh-

bangunnya, tak lebih semacam bidak di papan catur. Jika lurus,

lurus terus. Jika miring, miring terus. Dan pembendaan, yang

menjadikan “ruang lain“ terbuka ini, dapat dibaca pada dua

cerpen yang belum saya beri catatan, yaitu: Pertautan Tiga

Hati karya Astuti Parengkuh dan Hak Asasi karya Liswindio

Apendicaesar.

Meski dua cerpen ini memiliki kemiripan (dalam

membendakan manusia), tetapi juga memiliki perbedaan.

Bedanya, jika dalam cerpen Hak Asasi karya Liswindio

Apendicaesar, manusia benar-benar dibendakan. Artinya,

dalam jatuh-bangunnya, manusia tak lagi dapat berbuat apa-

apa. Manusia yang semula makhluk tertinggi, pelan-pelan

menjadi yang rendah. Yang semula menguasai binatang dan

tumbuh-tumbuhan, pelan-pelan menjadi yang dikuasai.

Bahkan, di akhir cerita, manusia pun menjadi peliharaan para

binatang. Sampai-sampai, di depan rumah para binatang,

tertulis kalimat: AWAS MANUSIA GALAK. Ya, benar-benar

kalimat milik “ruang lain”. Yang keanehan bobotnya, sama

dengan keanehan bobot kalimat yang diucapkan oleh para

tokoh, ketika bertemu dengan arwah, tokoh gaib, dan tokoh

hasil reinkarnasi.

Sebaliknya, dalam cerpen Pertautan Tiga Hati karya

Astuti Parengkuh, pembendaan itu, bukan terletak pada

kejatuhan manusia secara fisik. Tetapi pada nasib yang

melingkupinya. Artinya, dengan nasib yang telah diatur hitam-

putihnya, manusia tak dapat lagi memilih kemungkinannya.

105

Dalam arti, jika manusia (tokoh ibu) bernasib mesti pergi

meninggalkan keluarganya (juga dari anaknya yang masih

berumur 6 bulan), pun harus pergi. Sebaliknya, jika kembali,

pun harus kembali. Segalanya seakan sudah diatur. Apakah ini

buruk? Yang jelas, dari dua belas cerpen yang ada, cerpen

Pertautan Tiga Hati karya Astuti Parengkuh (di samping

cerpen Hak Asasi karya Liswindio Apendicaesar, cerpen

Pembunuhan yang Gagal karya Thea Arnaiz Le, dan cerpen

Puan Penembang karya Imamah Fikriyati Azizah), adalah

cerpen yang berkesan di diri saya. Terutama ketika si tokoh

ayah berkata:

Dikelilingi oleh mereka, menatap satu persatu

wajah mereka, dan membayangkan kehidupan mereka

ke depan akan baik adalah kemuliaan. Istriku

mendampingiku sampai nafas terakhir. Dalam

kesadaranku aku berharap dia pun meninggal dengan

cara yang tenang. Aku jauh-jauh hari telah memaafkan

semua kesalahannya dan kesalahan anak-anakku. Aku

telah mengubur duka masa lalu

Sebuah perkataan, yang dapat saya anggap sebagai

pemberontakan diam-diam, agar manusia tetap mengarah ke

kemuliaannya. Meski, ketika di dalam cerita, nasibnya telah

dibendakan.

4. Catatan Akhir

Sebuah cerpen memiliki suasana, latar, dan detail yang

baik. Dan pembaca, mesti dapat memahaminya. Jika tak dapat

memahami, maka tanya pun berpusaran di dalam dirinya. Bagi

saya, yang telah membaca kedua belas cerpen, ternyata ada tiga

106

detail dari tiga cerpen yang tak terpahami dan perlu ditanyakan.

Dan tanya itu, saya tulis sebagai berikut.

1. Detail Pertama

Dalam cerpen Pertautan Tiga Hati karya Astuti

Parengkuh, ada kutipan sebagai berikut:

Ayahku di usia dua puluh tahun, yang kala

itu bahkan seekor ayam pun akan mengatakan bahwa

ia perjaka tua yang tidak laku, lalu memutuskan

menikahi gadis muda yang ia jumpai kala pulang dan

pergi berdinas. Beda dengan zaman sekarang, orang

begitu biasa dan tak acuh dengan status bujang atau

gadis. Perempuan itu, ibuku, saat itu masih berumur

lima belas tahun, dan ia anak pedagang di pasar

sehingga perayaan pernikahan itu diramaikan di

sebuah gedung pertemuan dengan mewah, untuk

ukuran orang zaman itu.

Sedangkan, pada kutipan yang lain, begini:

Jono ganteng. Sekilas dia mirip dengan artis

Roy Marten. Perawakannya yang tinggi dan langsing,

ditambah dengan warna kulitnya yang putih cerah,

nyaris membuatku tidak percaya, bagaimana laki-laki

sedewasa ia dengan usia terpaut 13 tahun, mau

mempersuntingku.

Pertanyaannya: Di dua kutipan itu, menceritakan kisah

pernikahan tokoh Jono Putranto (ayah) dan Sri Pratiwi (ibu).

Anehnya, pada kutipan pertama, umur Sri Pratiwi (ibu) 15

107

tahun. Umur Jono Putranto (ayah) 20 tahun. Jadi, keduanya

terpaut 5 tahun. Tetapi, pada kutipan kedua, tertulis, bahwa

umur keduanya terpaut 13 tahun. Detail manakah yang benar?

2. Detail Kedua

Dalam cerpen Ketika Pulung Mengantar Pulang karya

Yessita Dewi, ada kutipan sebagai berikut:

“Argo, mulai hari ini kamu bisa pulang ke

rumah,” katanya dengan senyum hangat. Anak kecil 8

tahun bernama Pulung itu menatap.

Pertanyaannya: Di kutipan itu ada kata: Argo. Siapakah

dan apakah Argo itu? Tokoh ataukah idiom. Yang jelas, jika

memang tokoh, kenapa di dalam cerpen tidak pernah muncul

lagi. Tapi jika idiom, kenapa juga tak lazim. Sebab Argo dapat

diserempetkan sebagai nama dari salah satu alat ukur

(argometer). Atau mungkin ini cuma salah ketik.

3. Detail Ketiga

Dalam cerpen Timur Angin karya Rizka Nur Laily

Muallifa, ada kutipan sebagai berikut:

Pernah suatu kali, ketika aku mencetak cukup

banyak makalah untuk seminar proposal tesisku,

tanpa komando ia memasukkan semua yang tercetak ke

dalam ranselnya.

Sedangkan pada kutipan yang lain, begini:

108

Aku lulus sebagai sarjana ekonomi dan

melanjutkan studi pascasarjana di kota yang sama.

Ihwal studi pascasarjanaku yang kutempuh di kota

yang tak beda antara lain disebabkan oleh kata-katanya

yang menggemakan pemujaan atas kota ini.

Pertanyaannya: Di kutipan pertama, diceritakan tentang

hubungan Timur dengan gadis yang penuh dengan imajinasi di

sebuah toko cetak. Di hubungan itu, diketahui, jika Timur

sedang mencetak makalah untuk proposal tesisnya dibantu si

gadis. Itu berarti, Timur adalah mahasiswa pascasarjana yang

mesti menulis tesis. Tetapi kenapa, di kutipan kedua,

diceritakan, jika aku (Timur) baru lulus sarjana ekonomi (jadi

sebenarnya lebih layak menulis skripsi daripada tesis). Apakah

detail ini benar. Ataukah saya yang salah membaca dan

memahaminya.

Semoga saja saya yang salah []

Daftar Bacaan:

Budi darma, 1983, Solilokui Kumpulan Esai Sastra, Gramedia,

Jakarta

Ca. Van Peursen, 1985, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogjakarta

Dick Hartoko, 1986, “Pencerapan Estetik dalam Sastra Indonesia”,

Basis, Januari XXXV

Eka Kurniawan dkk, 2010, Kumpulan Budak Setan, Gramedia,

Jakarta

Mardi Luhung, penulis dan guru SMA yang tinggal

di Gresik. Tahun 2010 mendapatkan Khatulistiwa

Literary Award (KLA) dalam bidang puisi.