54
i FAKULTAS TEKNIK PRODI TEKNIK LINGKUNGAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT Jl. Achmad Yani Km. 36 FakultasTeknik UNLAM Banjarbaru 70714, Telp : (0511) 4773868 Fax: (0511) 4781730,Kalimantan Selatan, Indonesia

HUBUNGAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP PENULARAN TUBERKULOSIS (TB) DI DESA PASAYANGAN MARTAPURA KABUPATEN BANJAR

Embed Size (px)

Citation preview

i

FAKULTAS TEKNIKPRODI TEKNIK LINGKUNGAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURATJl. Achmad Yani Km. 36 FakultasTeknik UNLAM Banjarbaru 70714, Telp : (0511)

4773868 Fax: (0511) 4781730,Kalimantan Selatan, Indonesia

ii

HUBUNGAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP PENULARAN

TUBERKULOSIS (TB)

DI DESA PASAYANGAN MARTAPURA

KABUPATEN BANJAR

Disusun Guna Memenuhi Tugas Besar

Mata Kuliah Epidemiologi

Dosen Pembimbing Prof. Dr. Qomariyatus S, ST., M.Kes dan Nova Annisa, M.Si.

OLEH :

NURSELA ISTIQOMAH H1E114051

DINA PUSPITA SARI H1E114208

LINDA SINAGA H1E114230

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS TEKNIK

PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK LINGKUNGAN

BANJARBARU

2015

iii

Ucapan terimakasih kepada :

Rektor Universitas LambungMangkurat

Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si, M.Sc.

NIP. 19660331 199102 1 001

Dekan Fakultas TeknikUniversitas Lambung Mangkurat

Dr-Ing Yulian Firmana Arifin, S.T., M.T.

NIP. 19750719 200003 1 002

Kepala Prodi Teknik LingkunganUniversitas Lambung Mangkurat

Dr. Rony Riduan, ST., MT.

NIP. 19761017 199903 1 003

iv

Dosen Mata Kuliah Epidemiologi

Prof. Dr. Qomariyatus Sholihah, Amd. Hyp., S.T., Mkes.

NIP. 19780420 200501 2 002

Dosen Mata Kuliah Epidemiologi

Nova Annisa, M.Si

NIP.

Mahasiswa

Nursela Istiqomah

NIM. H1E114051

Mahasiswa

Dina Puspita Sari

NIM. H1E114208

Mahasiswa

.

Linda Sinaga

v

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa

karena berkat limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya jualah penulis dapat

menyelesaikan Laporan Penelitian Epidemiologi yang berjudul “Hubungan

Kualitas Lingkungan Terhadap Penularan TB Di Desa Pasayangan Martapura

Kabupaten Banjar” tepat pada waktunya.

Dalam penyusunan Laporan Penelitian ini, penulis banyak mendapat

tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak. Kami

mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nova Annisa, M.Si. selaku dosen

pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk dalam pembuatan

Laporan Penelitian Epidemiologi ini. Serta dari teman sekelompok dengan

mencari berbagai materi-materi yang bisa dijadikan sebagai isi di dalam tugas ini

dan akhirnya tantangan itu bisa teratasi dengan baik dan lancar. Olehnya itu,

penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak

yang telah membantu dalam penyusunan Laporan Penelitian Epidemiologi ini,

semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha

Esa.

Penulis menyadari bahwa Laporan Penelitian Epidemiologi ini masih jauh

dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik

konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan

Laporan Penelitian Epidemiologi selanjutnya.

Banjarbaru, Desember 2015

PENULIS

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI........................................................................................................ iii

DAFTAR TABEL.................................................................................................. v

DAFTAR GAMBAR..............................................................................................vi

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii

1. Pendahuluan............................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 2

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 2

1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 2

2 Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 3

2.1 Sejarah Tuberkulosis............................................................................... 3

2.2 Pengertian TB ......................................................................................... 5

2.3 Sumber Penularan TB............................................................................. 6

2.4 Klasifikasi TB ......................................................................................... 7

2.5 Cara Penularan TB ............................................................................... 10

vii

2.6 Gejala-gejala Penularan TB .................................................................. 12

2.7 Faktor-faktor Penularan TB ................................................................... 14

3 Metodologi Penelitian............................................................................. 26

3.1 Metode Deskriptif ................................................................................... 26

3.2 Metode Analitik....................................................................................... 26

3.3 Metode Eksperimental............................................................................ 26

4 Hasil dan Pembahasan ......................................................................... 27

4.1 Hasil Penelitian ..................................................................................... 27

4.2 Pembahasan......................................................................................... 28

4.2.1 Gambaran Lokasi Penelitian ................................................................. 28

4.2.2 Karakteristik Subjek Penelitian .............................................................. 29

4.2.3 Lingkungan Tempat Tinggal Penderita TB ............................................. 29

5 Penutup ................................................................................................. 31

5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 31

5.2 Saran .................................................................................................... 31

Daftar Rujukan................................................................................................... 32

Indeks................................................................................................................ 36

Soal-soal Pertanyaan ........................................................................................ 38

Lampiran ........................................................................................................... 39

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Hasil Penelitian Dengan melewatkan Cahaya Matahari Pada Berbagai

Warna Kaca Terhadap Kuman Tuberkulosis Paru…….………………21

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru…………………………….14

Gambar 4.1 Penularan TB di Desa Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar

selama 6 Tahun Terakhir...............................................................27

Gambar 4.2 Hasil Penelitian Dahak Penderita TB…………………………………28

1

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit paling mematikan di

dunia. Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO)

memperkirakan sepertiga dari populasi dunia telah terinfeksi Mycobacterium

tuberculosis. Kontak penularan M. tuberculosis yang telah mengalami resistensi

obat akan menciptakan kasus baru penderita TB yang resistensi primer, pada

akhirnya mengarah pada kasus Multi-Drug Resistance (MDR). Tuberkulosis (TB)

pada kualitas lingkungan yang buruk sangat mempengaruhi kecepatan

penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis. Kualitas lingkungan sangat

mempengaruhi penyebaran kuman TB di tempat tinggal masyarakat setempat.

Penyakit TB paru ini mudah menular, dan cara penularan biasanya terjadi

melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei dari orang penderita TB

paru yang infeksius, yaitu pasien TB paru BTA positif. Mengingat Tuberculosis

adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka

harus diperiksa 3 spesimen dalam waktu 2 hari berturut – turut yaitu Sewaktu-

Pagi-Sewaktu ( SPS ). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa dapat ditegakkan

dengan diketemukannya BTA (Basil Tahan Asam) pada pemeriksaan dahak.

Secara mikroskopis, hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua

dari tiga specimen SPS BTA hasilnya positif. Penderita yang kumannya tidak

ditemukan dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (penderita BTA negatif)

sangat tidak menular. TB Paru BTA (-) di bagi berdasarkan tingkat keparahan

penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Batuk berat bila gambaran foto

rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya

proses “far advanced” atau “milier”) dan keadaan umum penderita batuk (Depkes

RI, 2007).

Faktor resiko yang berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit

tuberkulosis paru dikelompokkan menjadi kelompok faktor risiko, yaitu faktor

risiko kependudukan (jenis kelamin, umur, status gizi, kondisi sosial ekonomi)

dan faktor risiko lingkungan (kepadatan, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan,

kelembaban, dan ketinggian) (Ahmadi, 2005).

2

1.2 Rumusan Masalah

Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyakit

TBC merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah sistem sirkulasi dan sistem

pernafasan. Faktor lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan,

merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit termasuk

tuberkulosis paru. Dari identifikasi masalah di atas dapat dibuat rumusan

masalah penelitian sebagai berikut : Apakah hubungan antara kualitas

lingkungan terhadap penularan TB di Desa Pasayangan Martapuran Kabupaten

Banjar ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hubungan kualitas lingkungan tehadap penularan TB di

Desa Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar.

2. Untuk mengetahui bagaimana penyebaran TB di Desa Pasayangan Martapura

Kabupaten Banjar

3. Pencegahan penularan TB di Desa Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Bagi Masyarakat

Dapat meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya para penderita TB

dalam pelaksanaan pengobatan serta meningkatkan pengetahuan tentang

penyakit TB.

2. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai penyakit TB.

3. Bagi Instansi atau Puskesmas

Sebagai bahan pertimbangan dan pemikiran bagi program pemberantasan

penyakit tuberkulosis paru terutama untuk menentukan kebijakan dalam

perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi program.

3

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Sejarah Tuberkulosis

Penyakit TB sudah ada sejak jaman purbakala. Penemuan arkeologis di

Mesir menemukan sisa tulang belakang manusia dengan tanda spondylitis

tuberculosa dari tahun 3700 SM dan mumi tahun 1000 SM dengan ciri penyakit

yang sama. Hippocrates berpendapat bahwa TB adalah penyakit keturunan.

Galenus dokter di zaman Romawi berpendirian TB adalah penyakit menular.

Selama 15 abad kedua paham ini dianut berbagai ahli kedokteran. Villamin

(1827-1892) pertama kali membuktikan secara ilmiah TB adalah penyakit

menular tetapi penyebabnya belum diketahui. Robert Koch pada tanggal 24

Maret 1882 menemukan basil TB dan semua pihak menerima TB adalah

penyakit menular. Laennec tahun 1819 menemukan stetoskop menjadikan

pemeriksaan jasmani hal penting dalam diagnosis klinis TB, hampir 70 tahun

sebelum penemuan Robert Koch. Wilhelhm Rontgen tahun 1895 menemukan

sinar-X sehingga makin melengkapi diagnosis TB. Von Pirquet tahun 1907

menunjukkan sarana diagnosis lain TB dengan uji tuberkulin. Penemuan Von

Pirquet ini disempurnakan oleh Mantoux dan tekniknya distandarkan kemudian

disebarluaskan, uji ini dikenal dengan nama Mantoux. Permulaan abad ke-20

semua sarana diagnosis TB sudah tersedia lengkap dan di pakai terus sehingga

sekarang. Penemuan sarana diagnosis baru untuk TB lebih ditekankan untuk

diagnosis yang lebih cepat dan dapat dilakukan sendiri oleh dokter tanpa perlu

tenaga ahli lain (Lyanda, 2012).

Tuberkulosis (TB) bukan merupakan penyakit yang baru, penyakit ini sudah

ada sejak jaman kuno, diperkirakan organisme ini ada sekitar 15.000 – 20.000

tahun yang lalu yang dapat kita temukan dalam berbagai peninggalan Mesir

kuno, beberapa bentuk kelainan tulang belakang sesuai TB spinal pada mummi.

Di Indonesia catatan paling tua ditemukan pada salah satu relief candi yang

menggambarkan kasus TB. Setelah ditemukannya Postulat Koch keberadaan

suatu penyebab penyakit membuat manusia menyadari tentang keberadaannya

merupakan masa dimana penyakit infeksi mulai mewabah dan memakan banyak

korban (Global Tuberculosis Institute).

4

Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis yang telah menginfeksi hampir sepertiga penduduk

dunia dan pada sebagian besar negara di dunia tidak dapat mengendalikan

penyakit TBC ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil

disembuhkan (DepKes RI, 2001). Tuberkulosis paru adalah penyakit menular

yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis tipe Humanus. Kuman

tuberkulosis pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Jenis

kuman tersebut adalah Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium Africanum

dan MycobacteriumBovis. Basil tuberkulosis termasuk dalam genus

Mycobacterium, suatu anggota dari family dan termasuk ke dalam ordo

Actinomycetales. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan sejumlah penyakit

berat pada manusia dan juga penyebab terjadinya infeksi tersering (Stanford dkk,

1994).

Di Indonesia Tuberkulosis masih merupakan salah satu penyakit yang

menimbulkan masalah kesehatan di masyarakat. Penderita TB di Indonesia

merupakan urutan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah

pasien, sekitar 10 % dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun

2004, ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insiden kasus TB

BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. (DepKes, 2007).

Indonesia menduduki rangking 4 dari 22 negara Negara yang mempunyai

beban tinggi untuk TB dan memberikan kontribusi jumlah kasus TB di dunia

sebesar prevalensi TB - 730.000/tahun. Kematian akibat TB – 67,000

orang/tahun. diobati oleh program - 44.4% dan 5 propinsi terbanyak dengan TB

diobati diantaranya; DKI Jakarta 68.9%,Yogyakarta 67,3%, Jawa Barat 56,2%,

Sulawesi Barat 54,2%, Jawa Tengah 50,4 %. Beban TB Global dan TB

Indonesia, dari angka kesakitan TB global 25,205 sakit/hari,11.050 sakit/jam 17

sakit/menit dan TB Indonesia 1,464 sakit TB/hari, 61 sakit TB/jam, 1 sakit

TB/menit. Sedangkan angka kematian TB Global 4,657 mati/hari,194 mati/jam, 3

mati/ menit dan angka kematian TB Indonesia 241 mati/hari, 10 mati/jam, 1

mati/6 menit. Fakta-fakta TB diantaranya:

1. TB membunuh satu juta pertahun dan lebih dari 250.000 mereka meninggal

di usia produktif,

2. TB membunuh lebih dari100.000 anak setiap tahun,

3. 10 % wanita pada usia produktif meninggal karena TB,

5

4. Pembunuh wanita terbanyak dibandingkan semua kombinasi penyebab

kematian pada wanita,

5. TB membunuh lebih dari 100.000 anak setiap tahunnya.

Di Indonesia, penyakit ini merupakan pembunuh ke dua setelah penyakit

kardiovaskuler dan penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit

infeksi. Setiap tahun diperkirakan sekitar 450.000 kasus TB Paru terjadi di

Indonesia dengan jumlah kematian sekitar 175.000 per tahun. Padahal upaya

untuk mengendalikannya telah dilakukan sejak lama dan tidak pernah berhenti

hingga kini.

2.2 Pengertian TB

Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (mycobacterium tuberculosis), sebagian besar kuman TB menyerang

paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman Tuberkulosis ini

berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada

pewarnaan. Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA).

Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan

hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh,

kuman ini dapat dormant (tidur lama) beberapa tahun (DepKes RI, 2005).

Penyakit TBC ini diakibatkan infeksi kuman mikrobakterium tuberkulosis

yang dapat menyerang paru, ataupun organ-organ tubuh lainnya seperti kelenjar

getah bening, usus, ginjal, kandungan, tulang, sampai otak. TBC dapat

mengakibatkan kematian dan merupakan salah satu penyakit infeksi yang

menyebabkan kematian tertinggi di negeri ini. (Gklinis, 2004).

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi kronik dan menular

yang erat kaitannya dengan keadaan lingkungan dan perilaku masyarakat.

Penyakit ini merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis. Penyakit ini ditularkan melalui udara yaitu lewat percikan ludah,

bersin dan batuk. Penyakit TB paru biasanya menyerang paru dan dapat pula

menyerang organ tubuh yang lain. TB paru masih menjadi masalah kesehatan di

dunia. Penyakit TB paru banyak menyerang kelompok usia produktif dan

kebanyakan berasal dari kelompok sosial ekonomi rendah dan tingkat pendidikan

yang rendah (Aditama, 2002).

Basil–basil tuberkel di dalam jaringan tampak sebagai mikroorganisme

berbentuk batang, dengan panjang berfariasi antara 1 – 4 mikron dan diameter

6

0,3 – 0,6 mikron. Bentuknya sering agak melengkung dan kelihatan seperti

manik-manik atau bersegmen. Basil tuberkulosis dapat bertahan hidup selama

beberapa minggu dalam sputum kering, ekskreta lain dan mempunyai resistensi

tinggi terhadap antiseptik, tetapi dengan cepat menjadi inaktif oleh cahaya

matahari, sinar ultraviolet atau suhu lebih tinggi dari 600C (Miller, 1982).

Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran

napas (droplet infection) sampai alveoli, terjadilah infeksi primer. Selanjutnya

menyebar ke getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks. Infeksi

primer dan primer kompleks dinamakan TB primer, yang dalam perjalanan lebih

lanjut sebagian besar akan mengalami penyembuhan (Soemirat, 1982).

2.3 Sumber PenularanTB

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif, yang dapat

menularkan kepada orang berada di sekelilingnya, terutama kontak erat. Daya

penularan dari seorang penderita TB ditentukan oleh banyaknya kuman yang

terdapat dalam paru penderita, penyebaran kuman dalam udara yang

dikeluarkan bersama dahak berupa droplet di udara sekitar penderita TB.

Penderita TB yang mengandung banyak sekali kuman dapat dilihat langsung

dengan mikroskop pada sediaan dahaknya (penderita BTA positif) adalah sangat

menular. Penderita yang kumannya tidak ditemukan dengan mikroskop pada

sediaan dahaknya (penderita BTA negatif) sangat tidak menular (DepKes RI,

2005).

Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu

batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet

(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara

pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet

tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan, kuman TB Paru tersebut dapat

menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,

sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian

tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya

kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil

pemeriksaan dahak negatip (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut

dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan

oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita

7

Tuberkulosis paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantarannya gizi buruk

atau HIV/AIDS (Fatimah, 2008).

Penderita TB BTA positif menularkan kuman ke udara dalam bentuk

droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat

kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi debu yang mengandung kuman

tuberculosis dan dapat bertahan di udara beberapa jam. Droplet yang

mengandung kuman ini dapat terhisap oleh orang lain. Jika kuman tersebut telah

menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, kemudian membelah diri

(berkembang biak), maka dapat terjadi infeksi (DepKes RI, 2005).

Orang yang serumah dengan penderita TB BTA positif adalah besar

kemungkinannya terpapar terpapar dengan kuman tuberculosis. Orang yang

telah terinfeksi belum tentu langsung mejadi sakit, sementara waktu kuman

berada dalam tubuh dalam keadaan dormant (tidur) dan dapat ditentukan dengan

tes tuberculin. Orang menjadi sakit biasanyadalam waktu paling cepat sekitar 3–

6 bulan setelah terjadi infeksi. Orang yang tidak menjadi sakit tetap mempunyai

risiko untuk menderita TB sepanjang sisa hidupnya. Faktor yang mempengaruhi

kemungkinan terjadinya penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, gizi

buruk atau HIV/AIDS (Murti, 2014).

Dengan diketahui penyebab penyakit tuberkulosis disebabkan oleh suatu

bakteri yaitu Mycobacterium tuberculosis maka dapat diupayakan berbagai

tindakan baik pencegahan maupun pengobatan yang terkait dengan penyakit ini.

Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri yang dapat menyebar dari seseorang

penderita ke orang laian melalui udara. Pada umumnya menginfeksi paru paru,

namun dapat juga menginfeksi bagian lain seperti otak, tulang, ginjal dan bagian

tubuh lainnya. Penyakit ini dapat diobati, namun dapat menyebabkan kematian

jika tidak mendapatkan pengobatan yang tepat (WHO, 2009).

2.4 Klasifikasi TB

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan

suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu:

1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;

2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau

BTA negatif;

3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.

4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

8

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:

1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai

2. Registrasi kasus secara benar

3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif

4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus:

1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau

didiagnosis oleh dokter.

2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium

tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3

spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik

sangat diperlukan untuk:

1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah

timbulnya resistensi

2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga

meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective)

3. Mengurangi efek samping

Berikut adalah klasifikasi TB berdasarkan organ tubuh yang terkena:

1. Tuberkulosis Paru

Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak

termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. Tuberkulosis Ekstra Paru

Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya

pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,

persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Berikut adalah klasifikasi TB berdasarkan hasil pemeriksaan dahak

mikroskopis:

1. Tuberkulosis paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS

9

e. Pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan

setelah pemberian antibiotika non OAT (Obat Anti TB).

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria

diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

a. Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif

b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberculosis

c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

Berikut adalah klasifikasi TB Paru berdasarkan tingkat keparahanan

penyakit :

1. TB Paru BTA Negatif Foto Toraks Positif

Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan

ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran

kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan

umum pasien buruk.

2. TB Ekstra Paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,

yaitu:

a. TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa

unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.

b. TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis,

pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih

dan alat kelamin.

Berikut adalah klasifikasi TB berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

1. Kasus Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis

kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

3. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)

Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih

dengan BTA positif.

10

4. Kasus Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain

untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam

kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan

masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (DepKes RI, 2007)

2.5 Cara Penularan TB

Cara penularan penyakit ini adalah melalui sumber penularan yaitu pasien

TB BTA positif. Ditularkan melaui media udara dari percikan dahak (droplet

nuclei), dimana sekali batuk atau bersin dapat menghasilkan 3000 percikan

dahak, percikan ini dapat bertahan lama, dalam keadaan lembab namun dengan

sinar matarahari langsung kuman dapat dimatikan. Faktor yang memungkinkan

seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara

dan lamanya menghirup udara tersebut. Daya penularan seorang pasien

ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi

derajat keposistifan dari hasil pemeriksaan dahaknya maka makin banyak pula

kuman yang dapat dikeluarkan (DepKes RI, 2006).

Penularan biasanya melalui udara, yaitu secara inhalasi “droplet nucleus”

yang mengandung basil TB. Droplet dengan ukuran 1 – 5 mikron yang dapat

melewati atau menembus sistem mukosilier saluran nafas kemudian mencapai

dan bersarang di bronkiolus dan alveolus. Beberapa penelitian menyebutkan 25

% - 50 % angka terjadinya infeksi pada kontak tertutup (Simanjuntak, 1990).

Karena di dalam tubuh pejamu belum ada kekebalan awal, hal ini

memungkinkan basil TB tersebut berkembang biak dan menyebar melalui

saluran limfe dan aliran darah (Djasio,1989). Sebagian basil TB difagositosis oleh

makrofag di dalam alveolus tapi belum mampu membunuh basil tersebut,

sehingga basil dalam makrofag umumnya dapat tetap hidup dan berkembang

biak. Basil TB yang menyebar melalui saluran limfe mencapai kelenjar limfe

regional, sedangkan yang melalui aliran darah akan mencapai berbagai organ

tubuh, dan di dalam organ tersebut akan terjadi proses dan transfer antigen ke

11

limfosit. Kuman TB hampir selalu dapat bersarang di dalam sumsum tulang, hati,

kelenjar limfe, tetapi tidak selalu dapat berkembang biak secara luas, sedangkan

basil TB di lapangan atas paru, ginjal, tulang dan otak lebih mudah berkembang

biak terutama sebelum imunitas terbentuk. Infeksi yang alami, setelah sekitar 4 –

8 minggu tubuh melakukan mekanisme pertahanan secara cepat. Pada sebagian

anak-anak atau orang dewasa mempunyai pertahanan alami terhadap infeksi

primer sehingga secara perlahan dapat sembuh. Tetapi kompleks primer ini

dapat lebih progresif dan membesar yang pada akhirnya akan muncul menjadi

penyakit tuberkulosis setelah 12 bulan. Kurang lebih 10 % individu yang terkena

infeksi TB akan menderita penyakit TB dalam beberapa bulan atau beberapa

tahun setelah infeksi. Kemungkinan menjadi sakit terutama pada balita, pubertas

dan akil balig dan keadaan-keadaan yang menyebabkan turunnya imunitas

seperti infeksi HIV, penggunaan obat-obat imunosupresan yang lama, diabetes

melitus dan silikosis. Fokus primer yang terjadi dapat melebur dan menghilang

atau terjadi perkejuan sentra yang terdiri atas otolitis sel yang tidak sempurna.

Lesi-lesi ini akan pulih spontan, melunak, mencair atau jika multifikasi basil

tuberculosis dihambat oleh kekebalan tubuh dan pengobatan yang diberikan,

maka lesi akan dibungkus oleh fibroflas dan serat kolagen. Proses terakhir yang

terjadi adalah hialinasi dan perkapuran. Jika lesi berkembang, maka darah

pekejutan akan membesar secara lambat dan sering kali terjadi perforasi ke

dalam bronkus, mengakibatkan pengosongan bahan setengah cair tersebut

sehingga terbentuk rongga di dalam paru-paru. Sebagian besar orang yang telah

terinfeksi (80 – 90 %), belum tentu menjadi sakit tuberkulosis. Untuk sementara,

kuman yang ada dalam tubuh berada dalam keadaan dormant (tidur), dan

keberadaan kuman dormant tersebut diketahui hanya dengan tes tuberkulin.

Mereka menjadi sakit (menderita tuberkulosis) paling cepat setelah 3 bulan

setelah terinfeksi, dan mereka yang tidak sakit tetap mempunyai risiko untuk

menderita tuberkulosis sepanjang hidupnya (Soemirat, 2000).

Menurut Prasetyowati, I. dan Chatarina. U. W. (2009) sinar matahari dapat

membunuh bakteri penyakit, virus dan jamur, hal ini sangat berguna untuk

perawatan penyakit TBC, keracunan darah, asma saluran pernafasan, hingga

pembinasaan beberapa virus penyebar kuman mampu dibinasakan oleh sinar

ultra violet ini. Bakteri di udara mampu dibinasakan oleh sinar matahari dalam

waktu singkat. Sedangkan menurut Ardi. M. dan Linda. A. (2010) menyebutkan

12

tingkat awal pencegahan penularan penyakit TB Paru dapat dilakukan dengan

melakukan sterilisasi dahak, sprei tempat tidur, sarung bantal dan sebagainya.

Sterilisasi ini dilakukan dengan penyinaran sinar matahari langsung untuk

membunuh kuman TB dalam waktu 5 menit. Penyinaran sinar matahari adalah

cara yang paling cocok untuk dilakukan di daerah tropis, sedangkan di tempat

yang gelap dan kuman TB dapat bertahan selama bertahun-tahun.

2.6 Gejala-gejala Penularan TB

Gejala-gejala Tuberkulosis adalah sebagai berikut :

1. Batuk berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih,

2. Dahak bercampur darah,

3. Sesak nafas dan rasa nyeri di dada,

4. Badan terasa lemah,

5. Kehilangan nafsu makan dan berat badan.

Gejala klinis penyakit Tuberkulosis, yaitu:

1. Gejala Klinik

Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala

local dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal

ialah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat), dimana gejala

tersebut adalah batuk lebih dari 3 minggu, batuk berdarah, sesak nafas dan nyeri

pada bagian dada. Gejala ini sangat bervariasi: tegantung dari berat atau

tidaknya luas lesi yang ditimbulkan oleh kuman tersebut. Gejala Sistemik, dapat

berupa demam, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun.

2. Gejala Tuberkulosis Ekstra Paru

Misalnya, pada lifadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran pada organ

limfa, pada meningitis tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sesuai dengan

organ yang terserang (Perhimpunan Dokter Paru, 2006). Riwayat alamiah

penyakit Tuberkulosis, apabila tidak mendapatkan pengobatan sama sekali,

dalam kurun waktu lima tahun adalah sebagai berikut:

- Pasien 50 % meninggal

- 25% akan sembuh dengan daya tahan tubuh yang tinggi

- 25 % menjadi kasus kronik yang tetap menular (DepKes RI, 2006).

Penemuan penderita TB Paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan

tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit

pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan

13

penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat,

untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini biasa

dikenal dengan sebutan passive promotive case finding (penemuan penderita

secara pasif dengan promosi aktif).

Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala

sama, harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan

menemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis adalah

penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka

penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut,

yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS) (Fatimah, 2008).

Diagnosis TB paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan

ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil

pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua tiga spesimen SPS BTA

hasilnya positif. Bila hanya 1 yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut

yaitu foto rontgen dada atau pemeriksan dahak SPS diulang.

1. Kalau hasil rontgen mendukung TB Paru, maka penderita didiagnosis

sebagai penderita TB Paru BTA positif.

2. Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB Paru. Maka pemeriksaan dahak

SPS diulangi

Apabila fasilitas memungkinkan, maka dapat dilakukan pemeriksaan lain,

misalnya biakan.

Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif, diberikan antibiotik spectrum

luas (misalnya kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1 – 2 minggu. Bila tidak

ada perubahan, namun gejala klinis tetap mencurigakan TB Paru, ulangi

pemeriksaan dahak SPS.

1. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita TB Paru BTA positif.

2. Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk

mendukung diagnosis TB Paru.

a. Bila hasil rontgen mendukungTB Paru, didiagnosis sebagai penderita TB

Paru BTA negatif Rontgen positif.

b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB Paru, penderita tersebut bukan TB

Paru.

UPK yang tidak memiliki fasilitas rontgen, penderita dapat dirujuk untuk foto

rontgen dada (Fatimah, 2008).

14

Gambar 2.1 Bagan Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru (Fatimah, 2008).

2.7 Faktor-faktor Penularan TB

Subaeti (2005), yang melakukan penelitian tentang faktor risiko TB paru

pada petugas mikroskopis di kabupaten Kebumen menemukan bahwa jenis

kelamin berhubungan dengan kejadian TB paru dimana OR sebesar 1,08

dan umur berhubungan dengan kejadian TB paru dimana OR sebesar 1,06.

Selanjutnya, penelitian lain yang menunjukkan adanya hubungan antara

lingkungan fisik rumah seperti kepadatan hunian, pencahayaan, ventilasi,

kelembaban, dan jenis lantai telah dilakukan oleh Sugiharto (2004) yang

menemukan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian

15

dengan kejadian TB paru dimana OR sebesar 2,716 dan dipengaruhi oleh

kondisi pencahayaan dimana OR sebesar 4,256, dan ventilasi dimana OR

sebesar 2,567. Wiasa (2009) juga telah melakukan penelitian yang sama dan

memperoleh hasil bahwa kepadatan hunian berhubungan secara signifikan

dengan kejadian TB paru dimana OR sebesar 11,76 dan pencahayaan

berhubungan signifikan dengan kejadian TB paru dengan OR sebesar

12,82. Faktor lingkungan perumahan memegang peranan penting dalam

menentukan terjadinya proses interaksi antara penjamu dengan unsur penyebab

dalam proses terjadinya penyakit. Lingkungan fisik meliputi kepadatan hunian

(rasio jumlah kamar tidur dan orang), ventilasi, dan suhu ruangan (Apriani,

2001).

Teori John Gordon mengemukakan bahwa timbulnya suatu penyakit

sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu bibit penyakit (agent), pejamu (host),

dan lingkungan (environment) :

1. Agent

Agent adalah penyebab yang esensial yang harus ada, apabila penyakit

timbul atau manifest, tetapi agent sendiri tidak sufficient/memenuhi/mencukupi

syarat untuk menimbulkan penyakit. Agent memerlukan dukungan faktor penentu

agar penyakit dapat manifest. Agent yang mempengaruhi penularan penyakit

tuberkulosis adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi

oleh beberapa faktor diantaranya patogenitas, infektifitas dan virulensi.

Patogenitas adalah daya suatu mikroorganisme untuk menimbulkan penyakit

pada host. Patogenitas kuman tuberkulosis paru termasuk pada tingkat rendah.

Infektifitas adalah kemampuan mikroba untuk masuk ke dalam tubuh host dan

berkembangbiak di dalmnya. Berdasarkan sumber yang sama infektifitas kuman

tuberkulosis paru termasuk pada tingkat menengah. Virulensi adalah keganasan

suatu mikroba bagi host. Berdasarkan sumber yang sama virulensi kuman

tuberkulosis termasuk tingkat tinggi.

2. Host

Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan

arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam (lawan

dari percobaan) host untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan,

tetapi host yang dimaksud dalam penelitian ini adalah manusia. Beberapa faktor

host yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :

16

a. Jenis kelamin

Dari catatan statistik meski tidak selamanya konsisten, mayoritas penderita

tuberkulosis paru adalah wanita. Hal ini masih memerlukan penyelidikan dan

penelitian lebih lanjut, baik pada tingkat behavioural, tingkat kejiwaan, sistem

pertahanan tubuh, maupun tingkat molekuler. Untuk sementara, diduga jenis

kelamin wanita merupakan faktor risiko yang masih memerlukan evidence pada

masing-masing wilayah, sebagai dasar pengendalian atau dasar manajemen

(DepKes RI, 2001).

b. Umur

Variabel umur berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis paru. Risiko

untuk mendapatkan tuberkulosis paru dapat dikatakan seperti halnya kurva

normal terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun

hingga dewasa memliki daya tahan terhadap tuberkulosis paru dengan baik.

Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang atau

kelompok menjelang usia tua. Umur produktif sangat berbahaya terhadap tingkat

penularan karena pasien mudah berinteraksi dengan orang lain, mobilitas yang

tinggi dan memungkinkan untuk menular ke orang lain serta lingkungan sekitar

tempat tinggal. (DepKes RI, 2001).

c. Kondisi sosial ekonomi

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita tuberkulosis paru di dunia

menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin (DepKes RI,

2001).

d. Kekebalan

Kekebalan dibagi menjadi dua macam, yaitu : kekebalan alamiah dan buatan.

Kekebalan alamiah didapatkan apabila seseorang pernah menderita tuberkulosis

paru dan secara alamiah tubuh membentuk antibodi, sedangkan kekebalan

buatan diperoleh sewaktu seseorang diberi vaksin BCG (Bacillis Calmette

Guerin). Tetapi bila kekebalan tubuh lemah maka kuman tuberkulosis paru akan

mudah menyebabkan penyakit tuberkulosis paru.

e. Status gizi

Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan

berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi

kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan

mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori

17

dan protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis

paru.

f. Penyakit infeksi HIV

Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sitem daya tahan tubuh seluler

(cellular immunity) sehingga jika terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis,

maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan

kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita

tuberkulosis paru akan meningkat, dengan demikian penularan tuberkulosis paru

di masyarakat akan meningkat pula (Departemen Pekerjaan Umum, 1986).

3. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu) baik

benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk

akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain. Faktor

lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan

rumah yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan salah satu

faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya

(Notoatmodjo, 2003). Adapun syarat-syarat yang dipenuhi oleh rumah sehat

secara fisiologis yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru antara

lain (Azwar, 1995) :

a. Kepadatan Penghuni Rumah

Ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan kejadian

tuberkulosis paru. Disamping itu Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru

Bradbury mendapat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian tuberkulosis

paru paling besar diakibatkan oleh keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat

pada luas ruangannya (Smith dan Moss , 1994).

Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara di dalam

rumah tersebut mengalami pencemaran. Karena jumlah penghuni yang semakin

banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen dalam ruangan tersebut,

begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan meningkatnya kadar CO2

di udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan tumbuh dan

berkembang biak lebih bagi Mycobacterium tuberculosis. Dengan demikian akan

semakin banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran

pernafasan. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia kepadatan

penghuni diketahui dengan membandingkan luas lantai rumah dengan jumlah

18

penghuni, dengan ketentuan untuk daerah perkotaan 6 m² perorang daerah

pedesaan 10 m² per orang.

Kepadatan penghuni merupakan suatu proses penularan penyakit.

Semakin padat maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit menular melalui

udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi terdapat anggota keluarga yang

menderita TB paru dengan BTA (+). Kuman TB paru cukup resisten terhadap

antiseptik tetapi dengan cepat akan menjadi inaktif oleh cahaya matahari, sinar

ultraviolet yang dapat merusak atau melemahkan fungsi vital organisme dan

kemudian mematikan. Kepadatan hunian ditempat tinggal penderita TB paru

anak paling banyak adalah tingkat kepadatan rendah. Suhu didalam ruangan

erat kaitannya dengan kepadatan hunian dan ventilasi rumah (Behrman, et

al 2003).

Daerah perkotaan (urban) yang lebih padat penduduknya dibandingkan di

pedesaan (rural), peluang terjadinya kontak dengan penderita TB paru lebih

besar. Sebaliknya di daerah rural akan lebih kecil kemungkinannya. Dapat

disimpulkan bahwa orang yang rentan (susceptible) akan terpapar dengan

penderita TB paru menular lebih tinggi pada wilayah yang pada penduduknya

walaupun insiden sama antara yang penduduk padat dan penduduk tidak padat

(Karyadi et al, 2006).

Kepadatan hunian akan memudahkan terjadinya penularan penyakit TB

paru di dalam rumah tangga. Bila dalam satu rumah tangga terdapat satu orang

penderita TB paru aktif dan tidak diobati secara benar maka akan menginfeksi

anggota keluarga terutama kelompok yang rentan seperti bayi dan balita,

semakin padat hunian suatu rumah tangga maka semakin besar risiko

penularan (Karyadi et al, 2006).

b. Kelembaban Rumah

Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% – 70 % dan suhu ruangan

yang ideal antara 180C – 300C (Soedjajadi, 2005). Bila kondisi suhu ruangan

tidak optimal, misalnya terlalu panas akan berdampak pada cepat lelahnya saat

bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu

dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang-orang tertentu dapat

menimbulkan alergi (DepKes RI, 1994). Hal ini perlu diperhatikan karena

kelembaban dalam rumah akan mempermudah berkembang biaknya

mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme

19

tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara,selain itu kelembaban yang

tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering seingga

kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang

meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri termasuk bakteri

tuberculosis (Azwar, 1995).

Kelembaban di dalam rumah menurut Depatemen Pekerjaan Umum (1986)

dapat disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :

- Kelembaban yang naik dari tanah ( rising damp )

- Merembes melalui dinding ( percolating damp )

- Bocor melalui atap ( roof leaks )

Untuk mengatasi kelembaban, maka perhatikan kondisi drainase

atausaluran air di sekeliling rumah, lantai harus kedap air, sambunganpondasi

dengan dinding harus kedap air, atap tidak bocor dan tersediaventilasi yang

cukup.

c. Ventilasi

Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknyaudara

juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udaradi dalam rumah

tersebut tetap segar. Menurut indikator pengawasan rumah , luas ventilasi yang

memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10%luas lantai rumah dan luas ventilasi

yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10%luas lantai rumah. Luas

ventilasi rumah yang <10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan)

akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksien dan bertambahnya

konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya (DepKes,

1989).

Ventilasi rumah sangat berperan dalam penularan penyakit TB Paru

didalam keluarga. Untuk memungkinkan pergantian udara secara lancar

diperlukan minimum luas lubang ventilasi tetap 5% luas lantai, dan jika ditambah

dengan luas lubang yang dapat memasukkan udara lainnya (celah pintu atau

jendela, lubang anyaman bambu dan sebagainya) menjadi berjumlah 10% luas

lantai (Soesanto dkk, 2000).

Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan

kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dai kulit dan

penyerapan. Kelembaban ruangan yan tinggi akam menjadi media yang baik

untuk tumbuh dan berkembang biaknya bakteri-bakteri patogen termasuk kuman

20

tuberculosis (Azwar, 1995).Hal ini berhubungan dengan minimal luas jendela/

ventilasi adalah 15% dari luas lantai, karena ventilasi mempunyai fungsi menurut

Azwar (1999):

- Menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga

keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tetap terjaga.

Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya 02 di dalam rumah yang

berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat,

- Menjaga agar udara di ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban

(humidity) yang optimum. Kelembaban yang optimal (sehat) yaitu sekitar 40 –

70% kelembaban yang lebih dari 70% akan berpengaruh terhadap kesehatan

penghuni rumah. Kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya

proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan

merupakan media yang baik untuk bakteri - bakteri patogen (penyebab

penyakit),

- Membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri

patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Bakteri

yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir.

- Lingkungan perokok dapat menyebabkan udara mengandung nitrogen oksida

sehingga menurunkan kekebalan pada tubuh terutama pada saluran napas

karena berkembang menjadi makrofag yang dapat menyebab infeksi.

Tidak adanya ventilasi yang baik pada suatu ruangan makin membahayakan

kesehatan atau kehidupan, jika dalam ruangan tersebut terjadi pencemaran oleh

bakteri seperti oleh penderita tuberkulosis atau berbagai zat kimia organik atau

anorganik (DepKes RI, 1994).

Ventilasi berfungsi juga untuk membebaskan uadar ruangan dari bakteri-

bakteri,terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis, karena di situselalu terjadi

aliran udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa olehudara akan selalu

mengalir. Selain itu, luas ventilasi yang tidakmemenuhi syarat kesehatan akan

mengakibatkan terhalangnya prosespertukaran udara dan sinar matahari yang

masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah

tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.

d. Pencahayaan Sinar Matahari

Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai

daya untuk membunuh bakteri. Hal ini telah dibuktikan oleh Robert Koch (1843-

21

1910). Dari hasil penelitian dengan melewatkan cahaya matahari pada berbagai

warna kaca terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis didapatkan data

sebagaimana pada tabel berikut (Azwar, 1995).

Tabel 2.1 Hasil Penelitian Dengan melewatkan Cahaya Matahari Pada Berbagai

Warna Kaca Terhadap Kuman Tuberkulosis Paru.

Warna Kaca Waktu mematikan (menit)

Hijau 45

Merah 20 – 30

Biru 10 – 20

Tak Berwarna 5 – 10

Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit

tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke

dalam rumah. Cahaya matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela atau

genteng kaca. Diutamakan sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet

yang dapat mematikan kuman (Depkes RI, 1994).

Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya, dan

mati bila terkena sinar matahari , sabun, lisol, karbol dan panas api. Rumah yang

tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali

dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari (Sri Soewati, 2000).

e. Suhu Udara

Suhu udara yang ideal dalam rumah antara 18 - 30°C. Suhu optimal

pertumbuhan bakteri sangat bervariasi. Mycobacterium tuberculosis tumbuh

optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5 menit dapat

membunuh M. tuberculosis dan tahan hidup pada tempat gelap, sehingga

perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap (Anonim, 1999).

Beberapa penelitian telah dilakukan yang menegaskan bahwa suhu udara

bisa menjadi salah satu faktor penyebab (faktor risiko) TB paru

seperti penelitian yang dilakukan oleh Fatimah (2008) yang menyatakan bahwa

ada hubungan antara kejadian TB paru dengan suhu (OR 2,674). Selanjutnya,

Atmosukarto dan Soewasti (2000) yang melakukan penelitian tentang pengaruh

lingkungan permukiman dengan kejadian TB paru menemukan bahwa suhu

ruangan memberikan pengaruh terhadap kejadiaan TB paru dengan OR sebesar

5,126. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang memiliki rumah dengan suhu <

22

18o atau > 30omemiliki risiko terkena TB paru sebesar 2,7 an 5,1 kali

dibandingkan dengan suhu ruangan 18-30oC.Suhu udara yang ideal dalam

rumah antara 18 - 30°C. Gould dan Brooker (2003) menyatakan bahwa

bakteri M. tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang bisa hidup pada suhu

udara 10-40oC. Suhu optimal pertumbuhan bakteri sangat bervariasi, M.

tuberculosis tumbuh optimal pada suhu 37°C. Paparan sinar matahari selama 5

menit dapat membunuh M. tuberculosis. Bakteri tahan hidup pada tempat gelap,

sehingga perkembangbiakan bakteri lebih banyak di rumah yang gelap (Anonim,

1999).

f. Lantai rumah

Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan

tidak lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian

Tuberkulosis paru, melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung

menimbulkan kelembaban, pada musim panas lantai menjadi kering sehingga

dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi penghuninya.

g. Dinding

Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun

angin serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga

kerahasiaan (privacy) penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah

dari kayu, bambu, pasangan batu bata atau batudan sebagainya. Tetapi dari

beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau

tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah

dibersihkan.

Beberapa faktor telah di ketahui berhubungan dengan terjadinya TB Paru

antara lain kebiasaan merokok, minum alkohol, pemakai obat–obatan, malnutrisi,

udara dan ventilasi yang kurang baik, keeratan kontak, status vaksinasi BCG,

lama kontak dan sedikitnya cahaya matahari yang masuk kedalam rumah. Faktor

risiko lain untuk terjadinya MDR–TB adalah infeksi HIV, sosial ekonomi, jenis

kelamin, kelompok umur, merokok, konsumsi alkohol, diabetes, pasien TB paru

dari daerah lain (pasien rujukan), dosis obat yang tidak tepat sebelumya dan

pengobatan terdahulu dengan suntikan dan fluoroquinolon (Balaji et al., 2010).

Sumber lain menyebutkan bahwa faktor risiko MDR-TB adalah jenis kelamin

perempuan, usia muda, sering bepergian, lingkungan rumah yang kotor,

23

konsumsi alkohol dan merokok serta kapasitas paru-paru (Caminero, 2010;

Firdiana, 2008).

Dalam upaya pemberantasan TB Paru, beberapa faktor telah di ketahui

berhubungan dengan terjadinya TB Paru antara lain kebiasaan merokok, minum

alkohol, pemakai obat–obatan, malnutrisi, udara dan ventilasi yang kurang baik,

keeratan kontak, status vaksinasi BCG, lama kontak dan sedikitnya cahaya

matahari yang masuk kedalam rumah,(WHO, 2003) dan berdasarkan menurut

Thoriqotul Hidayati (2007) ada beberapa faktor yang berhubungan dengan

terjadinya TB Paru antara lain: faktor kontak dengan sumber penular, faktor

lingkungan dan beberapa faktor individu seperti status vaksinasi BCG, kebiasaan

merokok, umur dan jenis kelamin.

Kondisi perumahan dengan padat penghuni tidak terlepas dari masalah

sosial ekonomi. Pada abad 19 di Eropa, kemiskinan selama revolusi industri

banyak mengakibatkan kematian karena tuberkulosis (Weiss KB, 1998). Hal ini

sampai sekarang masih dialami di negara miskin dan di negara berkembang

seperti di Indonesia. Hal kemiskinan ini pulalah yang menurut para dokter ahli

paru, mengakibatkan penderita TB putus berobat karena kendala biaya

transportasi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006).

Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam

penyebaran kuman tuberkulosis. Kuman tuberkulosis dapat hidup dalam 1-2 jam

sampai beberapa hari tergantung dari ada tidaknya sinar matahari, ventilasi yang

baik, kelembaban, suhu rumah dan kepadatan hunian rumah. Kepadatan hunian

merupakan hasil bagi antara luas ruangan dengan jumlah penghuni dalam satu

rumah. Luas rumah yang tidak sebanding dengan penghuninya akan

mengakibatkan tingginya kepadatan hunian rumah. Berkaitan dengan perilaku

penderita TB, dari hasil penelitian menunjukkan berbagai macam alasan mereka

enggan untuk mengkonsumsi obat. Dari mereka yang berhenti minum obat,

proporsi terbesar memberikan alasan utama karena sudah dinyatakan sembuh

oleh tenaga kesehatan sebesar 52 persen. Berarti 48 persen dari mereka yang

berhenti minum obat walaupun belum dinyatakan sembuh oleh tenaga kesehatan

(nakes) yang memberikan gambaran angka drop out pengobatan. Dari mereka

yang sudah dinyatakan sembuhpun ternyata 14 persen baru mengikuti

pengobatan kurang dari 6 bulan. Sedangkan alasan-alasan utama responden

tidak minum obat atau berhenti minum obat karena sudah merasa enak atau

24

tidak batuk darah (20 persen), tidak ada biaya berobat (14 persen) dan merasa

tidak ada perubahan (7 persen).Hal ini kemungkinan merupakan faktor-faktor

yang menyebabkan kegagalan berobat penderita TB (Bali T Bangkes, 2005).

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya angka kejadian TB paru

tersebut antara lain yaitu: predisposisi (status gizi, imunisasi dan pendidikan),

faktor pendukung (lingkungan rumah, sosial ekonomi, fasilitas dan sarana

kesehatan), faktor pendorong (gaya hidup dan perilaku masyarakat) serta faktor

lain (usia dan jenis kelamin). Infeksi Mycobacterium tuberculosis dipengaruhi

oleh faktor eksogen dan endogen. Faktor eksogen adalah pengaruh dari luar

individu yang menyebabkan sakit. Faktor endogen merupakan faktor dari dalam

individu itu sendiri yang membuatnya rentan terhadap infeksi tuberkulosis paru.

Salah satu faktor endogen yang menyebabkan orang menjadi rentan terhadap

timbulnya TB paru adalah status gizi. Asupan makan yang tidak mencukupi

biasanya menyebabkan keadaan gizi kurang sehingga mempermudah masuknya

bibit penyakit ke dalam tubuh dan menyebabkan penyakit infeksi. Salah satu

faktor eksogen yang menyebabkan orang menjadi rentan terhadap timbulnya TB

paru adalah pendidikan. Tingkat pendidikan di Indonesia yang masih rendah

dapat mempengaruhi pemahaman seseorang tentang penyakit TB paru, cara

pengobatan dan bahaya akibat minum obat tidak teratur. Faktor eksogen dan

endogen inilah yang menjadi faktor risiko terjadinya TB paru. Berdasarkan uraian

diatas, peneliti merasa perlu melakukan penelitian guna mengetahui gambaran

faktor risiko TB paru berdasarkan status gizi dan pendidikan.

Penyebab utama meningkatnya masalah TB antara lain adalah :

1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada Negara yang

sedang berkembang.

2. Kegagalan TB selama ini.

Hal ini diakibatkan oleh tidak memadainya komitmen politik dan

pendanaan, tidak memadainya organisasi pelayanan TB ( kurang terakses oleh

masyarakat, penemuan kasus/diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin

penyediaannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang

standar, dan sebagainya), tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan

panduan obat yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang

didiagnosis), salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG, infrastruktur

25

kesehatan yang buruk pada Negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau

pergolakan masyarakat.

3. Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan

struktur umur kependudukan.

4. Dampak pandemik HIV. (Depkes 2007)

26

3. Metode Penelitian

3.1 Metode Deskriptif

Suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk

membuat gambaran atau deskripsi tentang sutau keadaan secara objektif.

Metode ini digunakan untuk memecahkan atau menjawab permasalahan yang

sedang dihadapi pada sekarang ini.

Penyakit TB merupakan penyakit menular yang paling bebahaya di

Indonesia. Berdasarkan hasil observasi lapangan di provinsi Kalimantan Selatan

daerah Martapura di Desa Pasayangan Kabupaten Banjar, penularan TB di

masyarakat masih belum bisa ditanggulangi dengan baik. Masih banyak

masyarakat yang belum mengetahui tentang penularan kuman TB di sekitar

masyarakat.

3.2 Metode Analitik

Metode penilitian analitik adalah penelitian yang mencoba menggali

bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan

analisis dinamika korelasi antara fenomena baik antara faktor risiko atau faktor

penyebab atau determinan dan faktor efek antar faktor risiko maupun antar faktor

efek. Yang dimaksud faktor efek adalah suatu akibat dari adanya faktor risiko.

Dalam penelitian analitik ini membahas tentang bagaimana terjadinya

penularan kuman TB dan mengapa penularan TB dapat terjadi di sekitar

masyarakat Desa Pasayangan.

3.3 Meode Eksperimental

Dalam penelitian eksperimen, hal yang perlu dilakukan sebagai pembuktian

faktor sebagai penyebab terjadinya suatu penyakit adalah dilakukannya uji

kebenaran dengan percobaan atau eksperimen. Eksperimen yang penulis

lakukan yaitu di laboratorium.

27

4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Hasil PenelitianSecara umum perkembangan penularan TB tiap tahunnya tidak menetap.

Namun tingginya penularan TB di Desa Pasayangan di tahun 2010. Hal ini

disebabkan oleh tingkat kesadaran masyarakat akan faktor lingkungan yang

mempengaruhi penularan TB sekitar masyarakat di Desa Pasayangan.

Kebanyakan masyarakat tidak mengetahui secara detail mengenai penularan

kuman TB di sekitar lingkungannya. Sehingga masalah lingkungan tersebut

dianggap sepele oleh masyarakat. Tingkat penularan TB di Desa Pasayangan

dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Gambar 4.1 Penularan TB di Desa Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar

selama 6 Tahun Terakhir

Dalam hasil observasi yang dilakukan, ternyata di Desa Pasayangan

Martapura Kabupaten Banjar lebih banyak orang dewasa khususnya laki-laki

dibandingkan dengan anak-anak. Hal ini dikarenakan orang dewasa lebih sering

berinteraksi dengan orang lain tanpa menyadari bahwa orang tersebut terserang

kuman TB. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok

tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan

tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agent penyebab TB-Paru.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

2010 2011 2012 2013 2014 2015

28

Adapun hasil penelitian eksperimen yang dilakukan pada uji laboratorium

oleh penulis untuk mengetahui bahwa seseorang tersebut positif terserang

penyakit TB yaitu dengan melakukan penelitian terhadap dahak penderita.

Gambar 4.2 Hasil Penelitian Dahak Penderita TB

Dari hasil penelitian dahak penderita TB dapat dilihat pada gambar diatas

terdapat noda garis merah yang menunjukkan adanya mikrobakteri dalam

sampel dahak. Seorang laki-laki berusia 60 tahun menderita batuk, produksi

sputum dan dahak yang bercampur dengan darah dan berwarna biru. Warna

dalam dahak menunjukkan hasil Tuberkulosis (TB).

4.2 Pembahasan

4.2.1 Gambaran Lokasi Penelitian

Puskesmas Pasayangan berlokasi di Pasayangan Martapura yang

mempunyai 11 kelurahan, diantara nya : Pasayangan barat, Pasayangan Utara,

Pasayangan Selatan, T. Irang, Keraton, Ulu, Tambak Baru, Tambak Baru Ilur,

Tungkaran, Murung Kenanga dan Murung Keraton. Diantara 11 Kelurahan

tersebut, yang paling banyak dan rentan terhadap adanya penyakit Tuberkulosis

(TB) adalah kelurahan Keraton, karena di daerah tersebut terdapat jumlah

penduduk yang padat disertai dengan lingkungan yang kurang bersih. Ada pun di

kelurahan Murung keraton juga ada beberapa orang yang terkena atau tertular

penyakit Tuberkulosis (TB) dikarenakan daerah tersebut berdekatan dengan

pasar yang lingkungannya tidak terjaga sehinga penyebaran TB dapat tertular

dengan cepat.

29

4.2.2 Karakteristik Subjek Penelitian

Penyakit Tuberkulosis (TB) ini banyak menyerang orang yang memiliki

kekebalan tubuh yang lemah. Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit

menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (mycobacterium

tuberculosis) dan dapat ditularkan melalui sekresi pernafasan yang di

hembuskan oleh penderitanya kemudian di hirup oleh orang lain yang jaraknya

berdekatan dengan si penderita.

Dari hasil observasi yang kami lakukan, penyebaran kuman TB yang paling

cepat tersebar yaitu dengan seringnya masyarakat berinteraksi dengan

seseorang dimana seseorang tersebut tanpa disadari telah terserang TB. Seperti

yang terjadi di kelurahan Pasayangan, pada awalnya hanya beberapa orang

yang terserang TB namun, karena padatnya penduduk dan masyarakat sering

melakukan interaksi dengan penderitan sehingga hal ini mempengaruhi

percepatan penularan TB.

Sumber penularan penyakit Tuberkulosis (TB) adalah pada waktu batuk

atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet

(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara

pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet

tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan, kuman TB Paru tersebut dapat

menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,

sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian

tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya

kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil

pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut

dianggap tidak menular. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi

dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kuman Tuberkulosis ini berbentuk

batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan.

Oleh karena itu disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA).

Gejala penyakit Tuberkulosis (TB) kadang tidak terlihat. Gejala TB antara

lain rasa sakit di dada, kehilangan berat badan, dan nafsu makan serta banyak

mengeluarkan keringat, terutama di malam hari.

4.2.3 Lingkungan Tempat Tinggal Penderita TB

Penderita Tuberkulosis (TB) dapat di pengaruhi akibat dari lingkungan

tempat tinggal penderita. Seperti di Desa Pasayangan kelurahan Keraton dan

30

Kelurahan Murung Keraton umumnya penderita TB tinggal di daerah yang

kumuh, penuh, dan sesak serta ventilasi rumah yang kurang memadai berisiko

tertular penyakit ini. Kebiasaan masyarakat yang jarang membuka jendela rumah

juga mempengaruhi penyebaran kuman TB dimana sinar matahari tidak dapat

masuk ke dalam rumah dan mengakibatkan kelembaban di dalam rumah.

Sebenarnya, apabila masyarakat memiliki kebiasaan yang rajin membuka

jendela setiap pagi, maka kuman TB yang terdapat di udara rumah dapat mati.

31

5. Penutup

5.1 Kesimpulan

1. Kualitas lingkungan yang buruk di sekitar Desa Pasayangan, dapat

mempercepat penyebaran kuman TB di sekitar masyarakat. Lingkungan

Desa Pasayangan Martapura masih jauh dari kata bersih karena

kurangnya kesadaran masyarakat sekitar untuk menjaga kebersihan

tempat tinggal mereka sendiri. Kebanyakan masyarakat sekitar bertempat

tinggal di kawasaan yang padat, kumuh, dan sangat dekat dengan

wilayah pasar yang kotor. Kebiasaan masyarakat yang jarang membuka

jendela rumah saat pagi hari dapat menyebabkan kelembaban dan juga

mempercepat perkembangan kuman TB.

2. Penyeberan TB di Desa Payangan terjadi akibat adanya interaksi antar

masyrakat sekitar yang tanpa menyadari telah lama terserang kuman TB.

Kuman Tb (Mycobacterium tuberculosis) dapat ditularkan melalui sekresi

pernapasan yang dihembuskan oleh penderita dan pada waktu batuk

atau bersin penderita TB menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

droplet (percikan dahak).

3. Pencegahan penularan TB yang dilakukan masyarakat Desa Pasayangan

Martapura yaitu dengan membersihkan lingkungan sekitar, setiap hari

membuka ventilasi rumah, dan penderita TB menggunakan masker saat

berinteraksi denga masyarakat sekitar.

5.2 Saran

1. Sebaiknya penderita lebih memperhatikan kebersihan lingkungan

sekitarnya terutama di lingkungan tempat tinggal. Apabila masyarakat

terserang batuk yang disertai dengan dahak yang berdarah, segera

periksa ke puskesmas terdekat agar penyakit tersebut dapat diobati

sebelum mencapai ke BTA (+).

2. Penularan penyakit TB ini tidak dapat ditanggulangi dengan baik karena

kurangnya pemahaman masyarakat tentang penyakit yang di sebabkan

oleh kuman Tuberkulosis (TB).

32

DAFTAR RUJUKAN

1. Aditama, T. 2002. Diagnosis dan Pengobatan Tuberkulosis Terbaru.

(online) (http://www.tbindonesia.or.id) diakses 18 November 2015).

2. Ahmadi, Umar Fahmi. 2005. Menejemen Penyakit Berbasis Wilayah.

Penerbit Buku Kompas. Jakarta.

3. Anonim. 1999. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.829/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.

Departemen Kesehatan RI. Jakarta

4. Apriani, W. 2001. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Tb

paru di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah Tahun 2000. Tesis.

Program Pascasarja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Indonesia. Depok

5. Ardi. M., Linda. A. 2010. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Organisasi

Dengan Minat Berorganisasi Pada SISWA Fakultas Psikologi UNI SUSKA.

Jurnal Psikologi 2010.

6. Atmosukarto, Sri Soewati. 2000. Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam

Penyebaran Tuberkulosis. Media Litbang Kesehatan, Vol 9. Jakarta

7. Azwar A. 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara. Jakarta

8. Azwar, A. 1999. Pengantar Epidemiologi. Binarupa Aksara. Jakarta

9. Badan Litbang Kesehatan. 2005. Survei Prevalensi Tuberkulosis di

Indonesia 2004. Badan Litbang Kesehatan. Jakarta

10. Balaji, V., Daley P., Azad, A.A., Sudarsanam, T., Michael, J., Sarojini,

Sahni, Diana, R., George, C.P., Abraham, I., Thomas, K., Ganesh, A., John

K R., & Mathai D. 2010. Risk Factors for MDR and XDR-TB in a Tertiary

Referral Hospital in India. PLoS ONE, 5(3).

11. Behrman, R. E., Kliegman, R. M., dan Jenson, H.B. 2003. Nelson Texbook

of Pediatrics. Edisi-16. W.B. Saunders Company. Phildelphia

12. Caminero, J.A. 2010. Multidrug-resistant Tuber-culosis: Epidemiology, Risk

Factors, and Case Finding. The International Journal of Tuberculosis and

Lung Disease, 14(4) 382–390.

13. Departemen Kesehatan RI. 1989. Pengawasan Penyehatan Lingkungan

Pemukiman. Jakarta

33

14. Departemen Kesehatan RI. 1994. Pengawasan Kualitas Kesehatan

Lingkungan dan Pemukiman, Dirjen P2M & PLP. Jakarta

15. Departemen Kesehatan RI. 2001. Departemen Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis. Departemen Kesehatan RI. Jakarta

16. Departemen Kesehatan RI. 2005. Upaya Pencegahan TB Paru Di

Indonesia.

17. Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan

Tuberculosis. tersedia: www.depkes.go.id

18. Departemen Kesehatan RI. 2007. Pointers Menkes Menyambut Hari TBC

Sedunia 2007. www.depkes.go.id

19. Departemen Pekerjaan Umum. 1986. Pedoman Tehnik Pembangunan

Perumahan Sederhana Tidak Bersusun. Keputusan Menteri Pekerjaan

Umum, No. 20/kprs/1986. Jakarta

20. Fatimah. 2008. Faktor Kesehatan Lingkungan Rumah yang Berhubungan

Dengan Kejadian TB Paru di Kabupaten Cilapcap (Kecamatan : Sidareja,

Cipari, Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Bantarsari). Tesis :

Universitas Diponegoro Semarang

21. Firdiana P, Widya H.C. 2008. Hubungan antara Luas Ventilasi dan

Pencahayaan Rumah dengan Terjadinya Tuber Culosis Paru Anak di

Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu. Kecamatan Tembalang

Semarang Tahun 2007. Jurnal Kemas, 3(2):89-101

22. Gklinis. 2004. Pengobatan Tuberculosis Paru Masih Menjadi Masalah.

Jakarta

23. Global tuberculosis Institute. A history of Tubeculosis Treatment. New

Jersey Medical School. tersedia : http:globaltb.njms.rutgerse.edu

24. Gould dan Brooker. 2003. Mikrobiologi Terapan. EGC. Jakarta

25. Hidayati, T. 2000. Tuberculosis. FKUI. Jakarta

26. Karyadi, E., West, E.C., Schultink, W., Nelwan, H.R., Gross, R., dan Amin,

Z. 2003. A double-blind, placebo-controlled study of vitamin A and Zinc

Supplementation in persons with tuberculosis in Indonesia. Effects on

clinical response and nutritional status (online) (http://www.ajcn.org)

diakses pada November 2015

27. Keman, Soedjajadi. 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan

Pemukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan , Vol. 2, No. 1, Juli 2005

34

28. Lyanda, April. 2012. RAPID TB TEST. Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol.8

29. Miller F. J. W. 1982. Tuberculosis in Children Evolution, Epidemiology

Treatment, Prevention, Churchil Livingstone. Edinburgh LondonMelbourne

and New York

30. Misnadiarly, Simanjuntak, Ch Pudjarwoto. 1990. Pengaruh Faktor Gizi

danPemberian BCG terhadap Timbulnya Penyakit tuberkulosis Paru.

Cermin Dunia Kedokteran

31. Misnadiarly, Simanjuntak, Ch Pudjarwoto. 1990. Pengaruh Faktor Gizi dan

Pemberian BCG terhadap Timbulnya Penyakit tuberkulosis Paru. Cermin

Dunia Kedokteran

32. Needham DM, Godfrey-Faussett P., Foster SD. 1998. Barriers to

tuberculosis control in urbanZambia: the economic impact and burden

onpatients prior to diagnosis. Int J Tuberc Lung Dis; 2:811-17.

33. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar.

Rineka Cipta. Jakarta

34. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002. Tuberkulosis : Pedoman

Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI, 1 - 29.

35. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis (Pedoman

diagnosis dan Penatalaksanaan) di Indonesia. PDPI; 2006; tersedia :

http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html

36. Prasetyowati, I., dan Chatarina. U. W. 2009. Hubungan Antara

Pencahayaan Rumah, Kepadatan Penghuni dan Kelembaban, dan Risiko

Terjadinya Infeksi TB Anak SD di Kabupaten Jember. Jurnal Kedokteran

Indonesia VOL. 1/NO. 1/JANUARI/2009.

37. Sanropie, Djasio, dkk. 1989. Pengawasan Penyehatan Pemukiman untuk

Institusi Pendidikan Sanitasi Lingkungan. Pusdiknakes Depkes RI. Jakarta

38. Smith P.G. dan Moss A. R. 1994. Epidemiology of Tuberculosis

Patoghenesis, Protection and control. ASM Press. Washington DC

39. Soemirat. Juli. 2000. Epidemiologi Lingkungan. Gajah Mada University

Press. Yogyakarta

40. Soesanto, S.S, Agustina Lubis, Kusnindar Atmosukarto. 2000. Hubungan

Kondisi Perumahan dengan Penularan Penyakit ISPA dan TB Paru.Media

Litbang Kesehatan. Volume X Nomor 2 tahun 2000; 27-31.

35

41. Stanford S., John P., Herbert MS. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit

Infeksi, Edisi 4. Terjemahan Samik W. Gajah MadaUniversity Press.

Yogyakarta

42. Subaeti, T. 2005. Faktor Risiko Tb paru Pada Petugas Mikroskopis Di

Kabupaten Kebumen. (online) (http://www.fkm.undip.ac.id) diakses pada

November 2015

43. Sugiharto. 2004. Hubungan Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian

Penyakit Tb paru di Puskesmas Jenggot. Tesis. Universitas Diponegoro.

Semarang

44. WHO. 2003. Tuberculosis. WHO. Genewa

45. Wiasa, I,W. 2009. Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan

Kejadian Tb paru di Kabupaten Tabanan. Tesis. Universitas Airlangga.

Surabaya

46. World Health Organization. 2009. A history of Tuberculosis Control in

Indonesia. WHO 2009. tersedia: http:whq.doc.WHO.int

36

INDEKS

A

Analitik : 26

B

Bakteri : 7,12,19,20,21,22

Basil : 1,3,4,5,6,10,11,19

Batuk :5,6,7,10,12,24,28,29,31

Bersin : 5,6,7,10,29

BTA : 1, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 14, 15, 18, 29, 31

C

Cahaya : 1, 6, 15, 18, 19, 21, 23

D

Deskriptif : 26

Droplet : 1, 6, 7, 10, 29

E

Eksperimen : 26, 27

Ekstra : 7, 8, 9, 12

F

Faktor : 1, 7, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27

G

Gejala : 12, 13, 29

H

Host : 15, 16, 17

Hunian : 15, 18, 23, 24

I

Imunitas : 11

Infeksi : 1, 3, 4, 5, 6, 7, 10, 11, 18, 20, 23, 24, 29, 31

K

Kasus : 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 25

Kekebalan : 10, 11, 16, 17, 20, 28, 31

Kelembaban :1, 15, 19, 20, 21, 22, 23, 29, 31

Kelenjar : 5, 8, 9, 10, 11

Kepadatan : 5, 17, 18, 19, 23, 24

Kesehatan :1, 4, 5, 13, 17, 18, 19, 24, 25, 26, 31

Klasifikasi : 7, 8, 9

Kronik : 5, 10, 12

Kuman :4, 5, 6, 7, 8, 10, 12, 15, 16, 17, 20, 21, 23, 27, 28, 29, 30, 31

L

Laboratorium : 26, 27

Lingkungan 1, 5, 15, 16, 17, 20, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 29, 31

M

Menular : 1, 3, 4, 5, 6, 7, 12, 13, 16, 18, 26, 28, 29, 31

N

37

Negatif : 6, 7, 9, 13

O

Organ : 5, 8, 9 , 12, 13, 29, 31

Otak :5, 7, 8, 11

P

Paru : 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31

Penderita : 1, 2, 4, 6, 7, 13, 14, 16, 17, 18, 20, 23, 24, 27, 28, 29

Penularan 1, 6, 10, 12, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 26, 27, 29, 31

Pernafasan : 1,6, 11, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 28, 29

Positif : 1, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 13, 27, 29

R

Rontgen : 3, 13, 14

S

Spesimen : 8, 9, 13

Suhu

T

Tuberkulin : 3, 11

Tuberkulosis : 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31

Tulang : 3, 5, 7, 8, 9, 11

U

Udara : 5, 6, 7, 10, 12, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 29, 30, 31

V

Ventilasi : 1,15, 18, 19, 20, 21, 23, 29

38

Soal-soal Pertanyaan

1. Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman….a. Mycobacterium Bovisb. Mycobacterium Sativac. Mycobacterium Tuberculosisd. Mycobacterium Africanume. Mycobakterium Hindianus

2. Arti dari ‘Droplet’ adalah….a. Percikan dahakb. Percikan liurc. Percikan darahd. Percikan debue. Percikan api

3. Berikut ini yang termasuk ‘Host’ dalam faktor penularan TB, kecuali….a. Status Gizib. Umurc. Jenis Kelamind. Kekebalane. Ventilasi

4. Apa kepanjangan dari BTA ?a. Basil Tahan Airb. Basil Tahan Asamc. Basil Tahan Apid. Baja Tahan Apie. Baja Tahan Asam

5. Berikut adalah gejala-gejala penyakit TB, kecuali….a. Batuk berdahak selama 3 (tiga) minggu atau lebih

b. Bintik-bintik merah di kulit

c. Dahak bercampur darah

d. Sesak nafas dan rasa nyeri di dada

e. Kehilangan nafsu makan dan berat badan.

39

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Informasi dan Persetujuan menjadi Responden Penelitian 39

Lampiran 2 Lembar Pernyataan dan Persetujuan menjadi Responden

Penelitian.………………………………………………………………. 40

Lampiran 3 Lembar Kuesioner Penelitian …………………………….……..…..... 41

Lampiran 4 Dokumentasi Penelitian …………………………………………….…. 42

40

LAMPIRAN

41

Lampiran 1. Lembar Informasi dan Persetujuan menjadi Responden Penelitian

PROGRAM STUDTI TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

Kepada Yth.

Bapak Responden

di-

Tempat,

Dengan Hormat,

Sehubungan dengan kegiatan penelitian yang akan kami lakukan tentang

“Hubungan Kualitas Lingkungan Terhadap Penularan Tuberkuloasis (TB) di Desa

Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar”, maka kami peneliti mohon kesediaan

Bapak untuk menjadi responden dalam kegiatan penelitian ini.

Bapak diminta kesediannya untuk memberikan keterangan sesuai dengan yang

Bapak ketahui pada saat di minta informasi melalui kuesioner. Identitas bapak tidak

akan disebutkan dalam hasil penelitian, dan informasi yang Bapak berikan akan di jaga

kerahasiaannya.

Demikian informasi ini kami sampaikan, atas kesediaan Bapak saya ucapkan

terimakasih.

Peneliti

Nursela Istiqomah Dina Puspita Sari Linda SinagaNIM.H1E114051 NIM.H1E114208 NIM.H1E114230

42

Lampiran 2. Lembar Pernyataan dan Persetujuan menjadi Responden Penelitian

PERNYATAAN KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN

Sehubungan dengan akan dilaksanakannya penelitian tentang “Hubungan

Kualitas Lingkungan Terhadap Penularan Tuberkuloasis (TB) di Desa

Pasayangan Martapura Kabupaten Banjar”, untuk memenuhi persyaratan

penyusunan laporan pada program studi Teknik Lingkungan Universitas Lambung

Mangkurat, yang bertujuan untuk mengetahui pengetahuan penulaaran TB yang

diakibatkan oleh kualitas lingkungan dan dari kebiasaan berinteraksi dengan penderita

TB.

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur/Tanggal lahir :

Alamat :

Menyatakan bahwa untuk keperluan tersebut saya BERSEDIA / TIDAK BERSEDIA

menjadi responden dalam penelitian ini, dan akan memberikan keterangan yang

seluas-luasnya dengan yang saya ketahui.

Yang Membuat Pernyataan

*Coret yang tidak perlu

43

Lampiran 3. Lembar Kuesioner Penelitian

KUESIONER

PENYAKIT MENULAR TUBERKULOSIS (TB) TERHADAP MASYARAKAT

1. Anda tinggal di kelurahan mana?

2. Apakah kelurahan yang anda tempati penduduknya padat?

∑ YA

TIDAK

TIDAK TAHU

3. Apakah anda memiliki ventilasi rumah yang memadai?

YA

TIDAK

TIDAK TAHU

4. Apakah rumah yang anda tempati mendapatkan sinar matahari yang cukup?

YA

TIDAK

TIDAK TAHU

5. Apakah anda orang yang selalu menjaga kebersihan rumah ?

YA

TIDAK

KADANG-KADANG

6. Apakah anda tau tentang penyakit TB sebelumnya?

YA

TIDAK

7. Apakah anda pernah mengalami batuk sampai berdarah?

YA

TIDAK

44

8. Saat anda tau ada masyarakat yang terserang batuk, apakah anda sering

berinteraksi dengan orang tersebut?

YA

TIDAK

KADANG-KADANG

9. Saat anda tau anda terserang TB, apakah anda sering memakai pelindung diri

seperti masker saat berinteraksi dengan orang lain?

YA

TIDAK

KADANG-KADANG

10. Berapa banyak orang menurut anda yang tertular TB di kelurahan anda

tempati?

∑ SEDIKIT

∑ SEDANG

∑ BANYAK

45

Lampiran 4. Dokumentasi Penelitian