Upload
independent
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keadilan bisa tercapai dengan memperhatikan prodak hukum
yang mengakomodir hak-hak masyarakat ketika kebaikan-kebaikan
produk hukum yang apirmatif tentunya di sesuaikan dengan
pelaksanaannya atau penegakannya dewasa ini banyak produk
hukum yang di hasilkan syarat dengan kepentingan yang
tersembunyi di balik semua aturan yang dibuat. Keterlibatan
politik sangat besar mempengaruhi isi dari produk hukum. Ciri
utama model rule of law, juga merupakan pelindung otonomi
institusional, adalah pemisahan antara kehendak politik dan
putusan hukum. Hukum diangka “di atas” politik; maksudnya,
hukum positif ditegakkan untuk menentukan bahwa persetujuan
publik, yang di buktikan dengan tradisi atau proses
konstitusional telah di jauhkan dari kontroversi politik. Oleh
karena itu ototritas untuk menafsirkan hukum ini harus dijaga
sehingga terlindung dari perebutan kekuasaan dan tidak
tercemar oleh pengaruh politik. Dalam menginterpretasikan dan
melaksanakan hukum, para ahli hukum harus menjadi juru bicara
yang obyektif bagi perinsip-perinsip yang mapan secara
historis, menjadi para pemberi keadilan yang pasif,yang
memberikan keadilan secara impersonal dan telah diterima
sebagai suatu yang baku. Mereka memiliki klaim karena putusan-
putusan mereka dipercayai sebagai suatu yang mematuhi kehendak
eksternal dan bukan kehendak mereka sendiri. Premis-perimis
diatas membantu menjelaskan diterimanya sebuah supremasi hukum
yang terbatas. Para penguasa politik dapat menerima intitusi-
intitusi hukum jika mereka diyakinkan bahwa putusan-putusan
instiutsi hukum yang harus mereka hormati sebenarnya dapat
ditemukan kebijakan-kebijakan yang mereka setujui (atau
abaikan) sendiri, dan bahwa keberlanjutan otoritas institusi
hukum tersebut pada akhirnya tergantung pada komitmen mereka.
Yang harus diakui oleh penguasa politik adalah, jika institusi
hukum ingin mempertahankan otonominya, mereka harus menahan
diri untuk tidak memasukkan pemikirran mereka sendiri menenai
muatan hukum. Otoritas mereka dibatasi oleh suatu pemahaman
bersama bahwa otoritas akan menjadi yang tertnggi hanya dalam
suatu wilayah yang bersifat non politik dan yang tepat.
Akibat terjadilah sebuah tawar-menawar historis:
institusi-institusi hukum memperoleh otonomi prosedural dengan
syarat mengorbankan otonomi substansi. Komunitas politik
mendelegasikan kepada para ahli hukum sebuah otoritas terbatas
untuk bertindak bebas dari campur tangan politik, namun syarat
dari imunitas tersebut adalah bahwa para ahli hukum tersebut
menjauhkan diri dari pembentukan kebijakan publik. Itulah
periode ketika peradilan memenangkan “dependensi”-nya.
Pengadilan tentu saja secara khusus (walaupun tidak secara
eksklusif) cocok sebagai pengemban kepercayaan tersebut.
Sebagai pihak yang memutuskan sengketa, hakim melayani tatanan
politik dengan cara mendorong penyelesaian damai untuk konflik
perorangan. Pada saat merka melakukan “mediasi” ataupun
“ajudikasi” fungsi mereka adalah mendepolitisasi isu-isu yang
kalau tidak didepolitisasi, bisa saja muncul dalam bentuk
permusuhan antara individu atau bentuk-bentuk konfrontasi
lainnya. Pekerjaan tersebut difasilitasi oleh sebuah fokus
yang berkelanjutan pada kasus yang ditangani dan yang di
pisahkan dari kontek konflik kelompok yang lebih besar.1[1]
Pemisahan antara hukum dan politik merupakan setrategi utama
legitimasi. Itulah cara hukum ortonom membawa legitimasi baik
bagi dirinya sendiri maupun bagi tatana politik. Setrategi
tersebut mempunyai dua asfek pertama, sebuah pondasi di buat
untuk meletakkan politik dibawah hukum, pada rezim hukum
otonom. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh komunitas
politik yang teorganisasi tidak terlegitimasi dengan
sendirinya. Elit politik bisa saja membuat putusan-putusan dan
mengerahkan sumber-sumber daya yang ada, namun pertayaan
apakah tindakan-tindakan tersebut sah secara hukum membutuhkan
penilaian seccara terpisah. Pekerjaan pemerintah dan pekerjaan
kepemimpinan politik harus selalu berkaitan dengan memecahkan
berbagai masalah, memobilisasi sumber daya, dan memperoleh
persetujuan warga Negara. selalu terdapat tarik-menarik antara
tindakan dan legalitas. hukum otonom menyediakan forum untuk
meneliti dengan cermat tarik-menarik tersebut dan memberikan
sebuah penilaian atau putusan terhadap hal tersebut. Hingga
tahap tersebut, hukum melembagakan sebuah asas kontrol dalam
melaksanakan kekuasaan. Kedua, dalam pencariannya akan
legitimasi, para hakim menekankan dan megagungkan fungsi-
fungsi mereka yang semata –mata bersifat hukum, bukan
bersifat politis. Sampai pada titik ini, mereka dapat mengkui
bahwa dibawah arahan merekalah hukum berubah dan beradaftasi.
Di beberapa bidang, khususnya hukum acara, atau cabang-cabang
1[1] Philippe nonet dan Philip Selznick, law and society in
transition, diterjemahkan oleh raisul muttagien, hokum responsive,
cetakan keenam ( Bandung: pernebit nusa media, 2011) hlm 64-66
hukum yang sudah lebih terintegrasi dengan komunitas hukum,
mereka dapat secara lebih sadar dan percaya diri melakukan
kreativitas. Namun demikian, pada prinsipnya, hukum otonom
menuntut dengan tegas sebuah pembedaan yang tajam antara
legislasi dan ajudikasi; institusi-institusi hukum ortonom
harus membatasi dirinya untuk tidak menerapkan hukum yang
diterima kedalam kasus-kasus yang disitu hanya “fakta” yang
dinilai. Evolusi historis dari institusi-institusi yang
berbeda pengadilan dan legislator- dibahas untuk menunjukkan
bahwa evolusi ini diikuti oleh adanya fungsi-fungsi yang
benar-benar berbeda pada masing-masing institusi tersebut.
Apapun yang mengigatkan fungsi pembuatan hukum yang dilakukan
oleh badan peradilan dipandang sebagai hal yang buruk bagi
etos hukum otonom dan ancaman bagi otoritasnya. Kekhawatiran
inilah yang lebih dari setiap kesalahan sedahana dalam
memahami proses hukum, memunculkan konsepsi-konsepsi yang naïf
bahkan tidak jujur mengenai kebersahajaan yudisial (judicial self-
effacement) atau bisa di sebut juga mechanical jurisprudence. Bagi
institusi-institusi hukum, pemisahan hukum dan politik lebih
dari sekedar sebuah asas pengendalian diri. Pemisahan tersebut
merupakan sebuah persyaratan proteksi diri dan sebuah janji
ketaatan kepada tatanan politik yang berlaku. Agar bisa
efektif dalam mengendalikan pelaksanaan kekuasaan, hukum
otonom harus menegaskan kembali komitmennya kepada kebijakan-
kebijakan yang ia terima. Ia menjinakkan represi, namun
kemampuannya untuk melakukan tugas terseut sangat bergantung
pada sebuah pembatasan diri yang hati-hati. Jadi, seperti
hukum represif, hukum otonom masih identik dengan Negara,
tepatnya suatu rechtsstant, namun suatu Negara yang punya
komitmen terhadap tatanan, kontrol dan subordinasi.2[2]
Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan umat manusia, yakni “ada masyarakat, ada hukum” (ubi
societas ibi ius). Kehadiran hukum dalam masyarakat sangat
penting karena hukum merupakan salah satu lembaga
kemasyarakatan (sosial institutions) yang harus dipahami tidak
sekedar sebagai suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga
bagaimana ia menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat
bersama-sama dengan lembaga kemasyarakatan yang lain secara
seimbang.
Pada dasarnya kehidupan di dunia ini tidak telepas
dari perubahan terhadap suatu lingkungan, baik linkungan
fisik, lingkungan biologis, maupun lingkungan sosial manusia.
Perubahan-perubahan sosial merupakan suatu variasi dari cara-
cara hidup yang telah di terima yang di sebabkan baik karena
perubahan kondisi goegrafis, kebudayaan matril, konposisi
penduduk, ideologi maupun adanya defusi ataupun penemuan
penemuan baru dalam masyarakat tertentu.
Selo soemarjan mengemukakan seperti yang di kutip
oleh soerjono soekanto bahwa perubahan perubahan sosial adalah
segala perubahan pada lembaga – lembaga kemasyarakatan di
dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap pola-pola
perikelakuan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.3[3]
Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam proses penegakan
2[2] Ibid, 66-68
3[3] Zainuddin Ali, Sosiologi hukum ( Jakarta: Sinar Grafika,
2007) Cet, ke-2 hlm. 18
hukum terutama di sebabkan karena, secara konsepsionil di anut
pendapat yang sempit mengenai hal itu. hukum tidak hanya
terdiri dari “ law enforcement” ( yang dewasa ini tidak begitu
gencar terdengar dalam pembicaraan sehari-hari; berbeda dengan
beberapa yang lampau, di mana hapir setiap hari hal itu di
degung-dengungkan); penegkan hukum juga mencakup pencipta
kedamaian.4[4] Dengan lebih memahami hakikat hukum dan
kekuasaan secara mendasar, tentunya pada giliranya pembuatan
dan pelaksanaan hukum di satu pihak dan perolehan serta
penggunaan kekuasaan di lain pihak akan senantiasa lebih arif
dan bijaksana.5[5]
Indonesia masa kini, banyak masyarakat yang tidak
percaya terhadap lembaga dan penegakan hukum karena di
sebabkan persoalan-persoalan hukum yang tidak kunjung efektif
dalam penanganannya.6[6] Ketidak percayaan pada sistem hukum di4 [4]Soerjono soekanto, dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum
dalam Masyarakat, Cetakan ketiga (Jakarta: Rajawali,1987), hlm 30
5[5] Lili rasyidi dan B.Aref sidharta, Filsafat Hukum,
( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994) hlm.157
6[6] apabila suatu peraturan mulai tidak pas lagi pada
msalah yang diaturnya. Keadaan seperti ini dapat juga di jumpai
pada lembaga-lembaga hukum, lembaga ini sebetulnya di dirikan
atas dasar asumsi-asumsi mengenai hal-hal yang akan diaturnya,
yang lebih kurang juga meliputi berbagai aspek-aspek sebagaiman
di sebutkan diatas. Suatu lembaga pengadilan, misalnya, baik
susunan, wewenang maupun prosedur kerjanya sudah diatur oleh
hukum. Peraturan hukum ini di bertolak dari asumsi-asumsi
tertentu mengenai apa dan bagaimana kiranya pekerjaan yang harus
di tangani oleh pengadilan itu nanti, yang meliputi perkiraan
jumlah perkara, jenisnya, tingkat kecerdasan para pemerkara dan
Indonesia, yang mankin hari mangkin memperhatinkan.
Kecenderungan itu tidak saja terjadi di lembaga-lembaga
peradilan tetapi juga di seluruh lapisan sosial.7[7]
Leibniz berkata, bahwa kebaikan hidup itu hanya
terjamin, kalau orang-orang memiliki sikap keadilan. Dengan
kata lain: prinsip dasar hukum alam, yang menjamin pembangunan
manusia dalam segala hubungannya, ialah keadilan keadilan yang
dimaksud disini memiliki arti luas.8[8] Hukum sebagai kategori
sebagainya.lihat.Satjipto Rahardjo, Pemamfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi
Pengembangan Ilmu Hukum, Cetakan kedua ( Yogyakarta: Genta
Oublishing, 2010) hlm. 68
7[7] Efernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan
Hukum Kodrat dan Antinomi nilai, Cetakan kedua ( Jakarta: PT. kompas
Media Nusantara, 2007) hlm. 157
8[8] Defenisi Leibniz tentang keadilan berbunyi: keadilan
ialah cinta kasih seorang bijksana ( iustitia est caritas sapientis). Cinta
kasih menandakan kebaikan hati, kebijksanaan menandakan
pengertian praktis dalam segala bidang hidup. Orang adil ialah
orang dengan bertolak dari kebaikan hatinya mengejar kebahagiaan
dan kesempurnaan. Kebahagiaan dan kesempurnaan itu hanya dapat
tercapai melalui cinta kasih terhadap Allah dan sesama. Dari
perinsip dasar ini brasalah tiga norma: pertama-tama terdapat
norma-norma dan hak-hak pada tingkat yang rendah, yang mengatur
hubungan orang dengan benda. Di sini berlakulah satu hak yang
bersungguh-sungguh, yakni, hak memiliki ( ius propietatis ) perinsip
dasar dalam bidang ini ialah: jangan merugikan orang ( neminen
laedere) . keadilan di sini disebut keadilan tukar- menukar ( iustitia
communativa). Terdapat juga norma-norma dan hak-hak pada tingkat
yang lebih tinggi, yakni untuk mengatur hubungan dengan orang
lain. Di sini berlakulah hak untuk hidup dalam masyarakat bersama
moral serupa dengan keadilan, peryataan yang di tunjukan untuk
mengelompokan sosial tersebut semuanya benar, yang sepenuhnya
mencapai tujuannya dengan memuaskan semua, rindu akan
keadilan, yang dianggap secara psikologis adalah kerinduan
abadi manusia akan kebahagiaan manusia yang tidak ditemukannya
sebagai seorang individu dan karenanya mencarinya dalam
masyarakat. kebahagiaan sosial yang dinamakan keadilan.
Kata keadilan tentu saja juga di gunakan dalam
pengertian hukum dari segi kecocokan dengan hukum positif
terutama kecocokan dengan undang-undang. Jika sebuah norma
umum di terapkan pada satu kasus tetapi tidak di terapkan pada
kasus sejenis yang muncul maka di katakana tidak adil dan
ketidakadilan tersebut terlepas dari beberapa pertimbangan
nilai norma umum itu sendiri. Menurut pemakaian kata-kata ini
menggap suatu keadilan hanya mengungkapkan nilai kecocokan
relatif dengan sebuah norma, adil hanya kata lain dari benar.orang lain secara pantas ( ius societatis). Sikap yang di perlukan dalam
bidang ini di sebut aequitas, suatu cinta kasih yang meyangkut
kesediaan untuk menjadi berguna bagi orang lain, dan secara
demikian menumbuhkan pula kesejahteraan sendiri. Perinsip dasar
dalam bidang ini ialah: berikanlah pada setiap orang menurut
haknya (unicuique suum tribuere). Keadilan dalam bidang ini di sebut
keadilan distributif ( iusttia distributive). Terdapat juga norma-norma
pada tingkat yang paling tinggi, yang mengatur hubungan orang
dengan Allah. Di sini berlakulah hakdan kewajiban orang untuk
berbakti kepada Allah ( ius pietatis atau ius internum). Perinsip dasar
dalam bidang ini ialah: bertingkah lakulah baik (honeste vivere).
Keadilan dalam bidang ini di sebut: keadilan umum (iustitia universalis).
Lihat. Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah , Cetakan kelima
belas ( Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm 75-76
Namun makna harfiahnya berbeda dari pengertian hukum kata ini,
keadilan berarti nilai mutlak.muatannya tidak bisa ditetapkan
dengan pure theory of law,atau memang di capai melalui kognisi
rasional – sebagaimana, yang berusaha di tunjukan dengan
sejarah intlektual manusia. Dengan kegagalannya memecahkan
masalah ini selama satu millennium karena dalam keapsahan
mutlaknya keadilan yang harus di bayangkan sebagai bagian yang
berbeda dari, dan lebih tinggi dari, hukum positif diletakkan
jauh di luar semua pengalaman sebagaimana peletakan ide
platonic di luar realitas alamiah.9[9] Namun faktanya penegakan
hukum jauh dari rasa keadilan bahkan tidak menyentuh kalangan
masyarakat elit yang memiliki power kekuasaan, hanya tajam
kebawah terhadap masyarakat kecil. Semankin besar pengaruh
setatus seseorang semangkin tumpul penegakan hukum
terhadapnya.
Pada taraf yang paling umum, sistem hukum memiliki
fungsi untuk mendistribusikan dan mengalokasi nilai-nilai yang
benar menurut masyarakat. Alokasi ini, yang tertanam akan
pemahaman kebenaran, adalah apa yang umumnya disebut sebagai
keadilan. Aristoteles menarik perbedaan yang terkenal antara
keadilan distributif dan keadilan komunitatif, antara perinsip
dimana kekayaan dan kehormatan dialokasikan diantara warga dan
yang berkenaan dengan individu dan gugatan hukum. Di tengah
konsep keadilan terdapat gagasan mengenai bagaimana
mempertemukan orang dan hal apa yang pantas mereka dapatkan,
di tinjau secara etis tidak lebih dan tidak kurang. Seperti
9[9] Hans kalsen, Introduction To The Problem Of Legal Theory,
Terjemah, Pengantar Teori Hukum, Cetakan keempat belas (Bandung:
Nusa Media, 2012), hlm 48
apa hal ini dan bagaimana menjalankannya meruapakan masalah
yang di geluti oleh para folosof hukum selama berabad-abad. Di
sini kita menghadapi gagasan tersebut hanya sebagai fakta
sosiologis sebagai mandat yang di berikan publik yang relevan
dengan sistem hukum dengan kata lain, sistem hukum diandaikan
untuk menjamin distribusi yang benar atau tepat (atau
barangkali yang paling nyaman) di antara orang-orang atau
kelompok. Dalam gugatan hukum dan transaksi individu, sistem
harus menerapkan persturan yang benar atau tepat ( atau
barangkali yang paling nyaman).10[10]
Maka dari itu untuk mengetahui dengan pasti
persamaan dan perbedaan sesungguhnya diantara muatan
substantif sistem-sistem hukum sebaiknya tidak di mulai dari
nama-nama aturan hukum dan lembaga hukum tetapi dengan
mempertimbangkan fungsi aturan hukum dan lembaga hukum
tersebut yaitu, situasi konflik yang nyata terjadi atau
potensi konflik yang mungkin terjadi yang hendak diatur dengan
aturan-aturan yang akan dikaji tersebut.11[11]
Selain itu, pemerintah berhak dan berkewajiban
menjaga kepastian hukum.12[12] Siapa yang melakukan suatu
10[10] Lawrence M.friedman, The Legal System A Social Science
Perspective, Terjemah, M. Khozim, Sitem Hukum Persfektif Ilmu
Sosial, Cetakan keempat ( Bandung: Nusa Media, 2011) hlm 19
11[11] Michael bogdan, Comparative Law, Terjemah, Derta sri
widowatie, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Cetakan pertama (
Bandung: Nusa media, 2010),hlm 64
12[12]. Inti pandangan ini ialah hukum sebagai ius lebih
percaya pada perinsip moral walaupun moral itu abstrak daripada
kebijaksanaan manusia. Karena menurut mereka makna hukum sebagai
perbuatan yang bertentangan dengan hukum harus mengganti
kerugian yang di derita oleh yang di rugikan karena perbuatan
itu. Jadi karena sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan
hukum timbullah suatu perikatan untuk mengganti suatu kerugian
yang di derita oleh pihak yang di rugikan.13[13]
Pada saat yang sama menjadi jelas bahwa kita memang
jelas mengandalkan peraturan-peraturan preskriptif. Peraturan-
peraturan ini bukan hanya sekedar fakta tanpa signifikansi
moral bagi orang-orang yang membuat, menerapkan, dan
menaatinya, serta memberikan penghargaan atau kencaman dengan
berpedoman pada peraturan-peraturan tersebut. Mengabaikan
aspek kehidupan yang di pedomani peraturan ini berarti
mengabaikan makna subjektif perilaku. Karena itu, harus di
tentukan hubungan antara kajian ilmiah untuk mencari
keteraturan untuk mencari keteraturan faktual dalam masyarakat
dengan penggunaan praturan dalam kehidupan sehari-sehari. Inti
hukum yang adil lebih terjamin dalam perumusan abstrak daripada
dalam putusan seorang hakim. Mutlak perlu bagi seorang hakim
untuk menyesuaikan diri dengan perumusan yang telah terwujud
dalam undang-undang., sikap kebanyakan orang terhadap hukum
mencerminkan pengertian hukum itu. Mereka memandang hukum sebagai
semacam moral hidup. Karena itu orang-orang berpandangan juga
bahwa apa yang di rumuskan dalam undang-undang tidak dapat
tercapai sepenuhnya seperti halnya cita-cita moral karena adanya
kelemahan manusia. Tiap-tiap peraturan hukum memang di susun
sebagai norma untuk di taati. Lihat., zainuddin Ali, Filsafat Hukum,
Cetakan kelima ( Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hlm 87
13[13] C.s.t kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Cetakan kedelapan, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1989) hlm 123
teori masyarakat adalah menerangkan hubungan antara hukum yang
menerangkan ( law that ordains) dan hukum yang bersifat mengatur (
law that ordains ).
Kajian terhadap hukum berkaitan erat dengan masalah
tatanan sosial doktrin kepentingan peribadi dan doktrin
consensus mencakup dan bergantung pada pandangan-pandangan
yang bertentangan mengenai peraturan. Jika kita mengetahui
dalam keadaan seperti apa berbagai jenis hukum akan muncul,
mungkin kitapun mampu melihat batasan-batasan dan kegunaan
kedua pandangan dasar tentang tatanan itu dan menyusun cara
untuk menyatukan keduanya.14[14] Penegakan hukum ( law
enforcement) yang dapat di lakukan dengan baik dan efektif
merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu Negara
dalam upaya mengangkat harkat dan martabat bangsanya di bidang
hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap
warganya. Hal ini berarti pula adanya jaminan kepastian hukum
bagi rakyat, sehingga rakyat merasa aman dan terlindungi hak-
haknya dalam menjalani kehidupannya. Sebaliknya penegakan
hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan
indikator bahwa Negara yang bersangkutan belum sepenuhnya
mampu memberikan perlindungan hukum kepada warganya.15[15]
14[14] Roberto M. unger, Law and Modern Society: Toward A Criticism of
Social Theory, Terjemah, Dariyatno dan Derta Seri Widowatie, Teori
Hukum Keritis, Posisi Hukum dalam Masyarakat Moderen, Cetakan keenam
( Bandung: Nusa Media, 2012) hlm 55
15[15] Bambang sutiyoso dan Sri hastuti Puspita sari, Aspek-
Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Cetakan pertama
( Yogyakarta: UII Pres, 2005) hlm 77
Memang di dalam keyataan, hukum itu lahir sebagai
refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya.
Dengan kata lain, kalimat-kalimat yang ada di dalam aturan
hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-
kehendak politik yang saling bersaingan.16[16] Pada keyataanya
hukum-hukum tersebut berkembang seiring dengan trasformasi
masyarakat.17[17]
Fungsi dan peran hukum sangat di pengaruhi dan acap
kali dan sering kali di intervensi kekuasaan politik.
Konfigurasi politik berkembang melalui tari-menarik antara
yang demokratis dan otoritarian, sedangkan karakter produk
hukum mengikutinya dalam tarik menarik antara yang responsif
dan yang konservatalam segalif.18[18] Hukum sebagai kategori
moral serupa dengan keadilan, peryataan yang di tunjukan untuk
mengelompokan sosial tersebut semuanya benar, yang sepenuhnya
mencapai tujuannya dengan memuaskan semua, rindu akan
keadilan, yang dianggap secara psikologis adalah kerinduan
abadi manusia akan kebahagiaan manusia yang tidak ditemukannya
sebagai seorang individu dan karenanya mencarinya dalam
masyarakat. kebahagiaan sosial yang dinamakan keadilan.
Runtuhnya kepercayaan masyarakat pada prana hukum
dan penegaknya tidak terhindarkan. Beberapa faktor pengaruh
16[16] Ni’matul huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan
kedelapan, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2013) hlm 279
17[17]Sukris sarmardi, Menjadi Advokat Indonesia Kini, Cetakan
pertama (Bandung: CV; Bandar Maju, 2009) hlm 5
18[18] H.abdul latif, dan hasbi ali, Politik Hukum, Cetakan
kedua, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hlm 32
seperti substansi dan struktur hukum dan budayanya turut
menentukan ketidak percayaan tersebut.19[19]
Kemudian status sosial juga menmpengaruhi keputusan
hukum dan penegakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran
hukum, banyak sekali kasus-kasus yang tanpa kasat mata yang
banyak terjadi dalam realita hukum bahwa orang-orang yang
memiliki setatus sosial yang tinggi dalam tatanan sosial
masyrakat tidak tersentuh oleh hukum dan ini sudah menjadi
realita di masyarakat. Hukum itu hanya tajam terhadapa orang
yang lemah namun bagi orang yang memilki satus soaisal yang
tinggi atau para pejabat orang-orang konglomerat hukum menjadi
tumpul. Beranjak dari persoalan inilah penulis tertarik
megangakat persoalan tersebut untuk di tuangkan dalam paper
ini dalam kajian sosiologi hukum.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah penegakan hukum di Indonesia bersifat otonom dalam
Masyarakat? .
2. Apa saja problem yang mempengaruhi penegakan hukum di
Indonesia.?
C. Maksud dan tujuan
1. Mengetahui apakah penegakan hukum di Indonesia bersifat
otonom.?
2. Mengetahui problem apa saja yang mempengaruhi penegakan
hukum di Indonesia?
19[19] Jawahir thontowi, pengembangan ilmu hukum berbasis
religious science: dekontruksi filosofis pemikiran hukum
positivistik.”, Jurnal Hukum, Edisi no.2.Vol.7,(2012) hlm 92
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaruh setatus sosial dalam penegakan hukum yang otonom
Karakteristik yang mencolok dalam pembicaraan
mengenai sosiologi penegakan hukum adalah bahwa penegakan
hukum itu bukan merupakan suatu tindakan yang pasti, yaitu
menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat
diibaratkan menarik garis lurus antara dua titik. Dalam ilmu
hukum cara seperti ini disebut sebagai model mesin otomat dan
pekerjaan hukum menjadi aktivitas subsumsi otomat. Disini
hukum di lihat sebagai variable yang jelas dan pasti, demikian
juga kejadian yang memancing diterapkannya hukum tersebut,
sehingga semuannya tanpak sederhana dalam keyataannya keadaan
adalah tidak seperti itu, melainkan yang terjadi adalah bahwa
penegakan hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, kepada
keyataan yang kompleks.20[20]
Dikatakan oleh Galanter, bahwa kebiasaan berfikir
hukum yang dominan, yaitu berfikir posivistik-logalistik,
berangkat dari peraturan hukumnya. Ini berbeda dengan
sosiologi hukum yang berangkat dari keyataan di lapangan,
yaitu melihat dari beberapa keyataan, kompleksitas, yang ada
dalam masyarakat dan bagaiaman keyataan itu membentuk maksud
20[20] Satjipto rahardjo, sosiologi hukum perkembangan metode dan
pilihan masalah, Cetakan kedu, (Yogyakarta: Genta Publishing) hlm
190
dengan melihat hukum dari “ujung yang lain dari
teleskop”21[21]
Penegakan hukum adalah kata Indonesia untuk law
enforcement. Dalam bahasa belanda dikenal rechtstoepassing dan
rechtshandhaving. Pemikiran yang dominan disini mengatakan,
penegakan hukum adalah suatu proses logis yang mengikuti
kehadiran suatu peraturan hukum. Apa yang harus terjadi
menyusul kehadiran peraturan hukum hampir sepenuhnya terjadi
melalui pengolahan logika. Logika menjadi kredo dalam
penegakan hukum.
Penegakan hukum dapat juga dilihat sebagai proses
yang melibatkan manusia di dalamnya. Sosiologi hukum melihat
penegakan hukum dengan pengamatan yang demikian itu. Sesuai
dengan tradisi empiriknya, maka pengamatan terhadap keyataan
penegakan hukum, faktor manusia sangat terlibat dalam
penegakan hukum tesebut. Penegakan hukum bukan suatu proses
logis semata, melainkan sarat dengan keterlibatan manusia. Hal
itu berarti bahwa penegakan hukum tidak dapat dilihat sebagai
suatu peroses logislinier, melainkan suatu yang kompleks.
Masuknya faktor manusia menjadikan penegakan hukum sarat
dengan dimensi perilaku dengan semua faktor yang
menyertainnya. Penegakan hukum bukan lagi merupakan hasi
deduksi logis, melainkan lebih merupan, luarankan hasil dari
pilihan-pilihan. Dengan demikian luaran (output) dari
penegakan hukum tidak dapat hanya didasarkan pada ramalan
21[21] “ most analysis of the legal system start at the rules end and work down
through institutional facilities to see what effect the rules have on the parties. I would
like to reverse that procedure and look through the other of the telescope” (Galanter,
1974:97)
logika semata, melainkan juga hal-hal yang “tidak menurut
logika”. Hakim agung O.W. holmes merumuskannya dengan sangat
bagus, pada waktu ia mengatakan, “the life of the law has not been logic,
it has been experience”.
Penegakan hukum dilakukan oleh institusi yang di beri
wewenang untuk itu, seperti polisi, jaksa dan pejabat
pemerintahan. Sejak hukum itu mengandung perintah dan
pemaksaan ( coercion), maka sejak semula hukum membutuhkan
bantuan untuk mewujudkan perintah tersebut. Hukum menjadi
tidak ada artinya bila perintahnya tidak dapat di laksanakan.
Di perlukan usaha dan tindakan manusia agar perintah dan
paksaan yang secara pontesial ada di dalam peraturan itu
menjadi manifest.22[22]
Negara hanya menyediakan fasilitas bagi terjadinya
penegakan hukum, sedangkan sebaliknya di serahkan kepada
rakyat untuk bertindak (atau tidak bertindak) dengan
menggunakan fasilitas yang di sediakan tersebut. Kendatipun
tidak ada diskriminasi dalam pengunaan fasilitas atau hukum
tersebut, tetapi dalam keyataan di lapangan, tidak semua orang
berada pada posisi yang sama untuk menikmati failitas yang di
sediakan oleh hukum. Para pelaku yang memiliki kekuasaan lebih
besar akan mendominasi penegakan hukum. Kekuasaan tersebut
berupa pengetahuan, status, hubungan-hubungan sosial dan
kemampan ekonominya. Dengan kekuasaan itu, mereka lebih mampu
mengendalikan dan memamfaatkan penegakan hukum.23[23]
Sejak hukum modern semangkin bertumpu pada dimensi
bentuk yang menjadikannya formal dan prosedural, maka sejak22[22] Ibid., hlm 192
23[23] Ibid., hlm 196
itu pula muncul keadilan formal atau keadilan menurut hukum di
satu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di
pihak lain. Dalam konteks perkembangan hukum yang demikian
itulah menjadi relevan untuk berbicara mengenai penggunaan
hukum.24[24]
Sistem hukum yang umumnya dipakai didunia bertumpu
pada keadilan liberal, yang membatasi hanya pada pembuatan
sistem hukum positif yang non-diskriminatif. Tugas hukum untuk
memberikan keadilan dianggap selesai dengan membuat peraturan
yang tidak diskriminatif, soal apakah yang seperti itu benar-
benar memberkan keadilan kepada masyarakat sudah bukan
wewenang hukum lagi. Dalam uraian mengenai kerja pengadilan
dimuka sudah dikemukakan bahwa sistem keadilan tersebut justru
menjadi diskriminatif pada waktu ditegakkan dalam masyarakat.
Secara sosiologis di tunjukkan bahwa keadilan liberal yang
non-diskriminatif itu dijalankan dalam masyarakat yang sarat
dengan keadaanyang tidak merata, baik secara sosial, ekonomi,
politik dan lain-lain.
Keadaan seperti itu secara bernar digambarkan oleh
seorang advokat senior amerika pada waktu member komentar
mengenai tulisan dinding supreme court yang berbunyi” Equal
Justice Under The Law” advokat tersebut dengan sinis menganjurkan
agar kalimat tersebut menggambarkan dengan baik praktik
pegakan hukum di negeri itu, maka sebaiknya ditambah dengan
satu kalimat lagi sehingga menjadi ”Equal Justice Under The Law”- To All
who can Afford It”. Di tempat lain, Chambliss dan seidman juga
membuat cacatan yang sama dengan mengatakan, penegakan hukum
24[24] Ibid., hlm 199
yang dikatan adil adalah suatu mitos belaka. “This Myth of the
operation of Law is given the lie dailiy”.25[25]
Sosiologi hukum yang mengamati keyataan dalam dunia
hukum melihat bahwa penegakan hukum bukanlah aktivitas yang
netral, melainkan memiliki struktur sosialnya sendiri,
sehingga berbeda dari waktu kewaktu, dari sistem kesistem dan
dari satu tempat ketempat lain.26[26]
Berdasarkan pada gagasan Montesquieu yang menganggap
phenomena sosial sebagai ‘benda’ atau, atau sebagaimana
dikatakan, sebagai ‘fakta sosial’ ketika memandang sosial
sebagai benda atau fakta pengamatan menjauh dari penilaian
moral yang berbias dan, justru, berfokus pada sifat-sifat
statitik dan dinamis dari kekuatan sosial.27[27] Kehidupan
sosial masyarakat dalam reformasi dan transformasi di
Indonesia saat ini berbeda dari kehidupan sosial zaman orde
lama dan orde baru. Hal itu, sebagai akibat perkembangan yang25[25] . William J. Chambliss dan Robert B. seidman, law,
order, and power, 1971. “This Myth of the operation of Law is given the lie
dailiy… that the blacks and the poor are not treated fairly or equitably by the police…
that judges have discretion and in fact make policy.. that electoral process is loaded in
favor of the rich,… that one-fifth of the senators of the united states are millionaires. Yet
the myth persists. These the aberrations are thought to be temporary biases. The
framework is nevertheless “on the whole” impartial and neutral. Predetermined rules are
believed to ardain decisions of government, not the valueloaded discration of police,
judges, or bureaucrats.” (p.3)
26[26] Ibid., hlm 202
27[27] George ritzer dan barry smart, handbook of social theory,
diterjemahkan oleh imam muttaqien, derta sri widowatie dan
waluyati, handbook teori sosoial, cetakan kedua ( Bandung: Nusa
Media) hlm 61
dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkembangan masyarakat, membentuk perubahan sosial secara
terus-menerus sesuai tempat dan waktu. Perubahan sosial itu,
merupakan suatu dinamika dalam kehidupan masyarakat, baik yang
disebabkan oleh perubahan kondisi geografis, kebudayaan
materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun adanya difusi
ataupun penemuan baru dalam mayarakat tertentu. Selain hal
tersebut, juga ditemukan perubahan pada lembaga kemasyarakatan
yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalam nilai,
sikap, dan pola perikelakuan diantara kelompok dalam
masyarakat.
Parsudin suparlan mengemukakan bahwa yang dimaksud
perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan
dalam pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup sistem
setatus, hubungan dalam keluarga, sistem politik, dan kekuatan
serta persabaran penduduk. Perubahan tersebut berkaitan dengan
perubahaan budaya.28[28] Perubahan kehidupan sosial tersebut,
menimbulkan permasalahan-permasalahan yang menuntut
penyelesaian termasuk hukum dalam berbagai bentuknya.29[29]
Indonesia secara tradisional institusi hukum yang
melakukan penegakan hukum adalah kepolisian, kejaksaan, badan
peradilan dan advokat. Di luar institusi tersebut masih ada
diantaranya, jenderal beacukai, direktotarat jenderal pajak,
dan direktorat jenderal imigrasi. Problem dalam penegakan
hukum yang di hadapi oleh bangsa Indonesia perlu untuk di
28[28] Zainudin ali, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga
(Jakarta Sinar grafika,2011) hlm 144
29[29] Ibid., hlm 145
potret dan di petak tujuannya agar para pengambil kebijakan
dapat mengupayakan jalan keluar.
Penegakan hukum atau orang yang bertugas menerapkan
hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab meyangkut
petugas pada strata atas, menegah, dan bawah. Artinya di dalam
melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seyogyanya
harus memiliki suatu pedoman diantaranya peraturan tertulis
tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya.
B. kasus Penegakan Hukum
1. Di ibu kota provinsi di Indonesia, misalnya, provinsi
DKI jarang sekali mengambil tindakan terhadap pejalan kaki
yang seenaknya menyebrang jalan. Jika terjadi kecelakaan
lalu lintas, maka ada kecendrungan yang sangat kuat, bahwa
penegemudi kendaraan bermotor yang ditindak. Padahal dalam
pasal 132 undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu
lintas dan angkutan jalan raya peristiwa tersebut
diklasifikasi sebagai peristiwa (tindak) pelanggaran, yang
diatur dalam pasal 284 undang-undang tersebut. Namun entah
mengapa petugas lalulintas di wilayah ini hampir-hampir
tidak pernah menerapkan ketentuan-ketentuan tersebut,
tetapi lebih cendrung untuk menerapkan pasal 359 dan 360
KHUP terhadap pengemudi kendaraan bermotor apabila terjadi
kecelakaan lalu lintas yang melibatkan tabrakan antara
kendaraan bermotor dengan pejalan kaki
2. Kemudian kasus selanjutnya penyimpangan penegakan hukum
yang di lakukan jaksa selaku penuntup umum berkenaan
penangganan kasus perkara tindak pidana korupsi
PT.jamsostek atas nama ahmad junaidi. Jaksa penuntut umum
tersebut, dalam melaksanakan tugasnya telah melakukan
perbuatan secara melawan hukum atau menyalah gunakan
kekuasaannya, yaitu secara berturut-turut dan berulang
sebanyak 3 (tiga) kali telah memaksa meminta sejumlah uang
kepada ahmad junaidi melalui Aan hadie gusnantho yang
seluruhnya Rp 600.000.000,00 ( enam ratus juta rupiah) dan
telah di terima sebanyak 550.000.000,00 (lima ratus lima
puluh juta rupiah). Berdasarkan perilaku jaksa tersebut,
hakim PN Jakarta selatan mengeluarkan keputusan Nomor:
2122/PID.B/2006/PN.JAKSEL tertanggal 27 februari 2007.
Putusan ini, menghukum masing-masing terdakwa berupa pidana
penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun 8 (delapan)
bulan serta denda masing-masing sebanyak Rp 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah); putusan pengadilan tnggi
Jakarta No.143/PID/2007/PT DKI, dan putusan Mahkamah Agung
No. 208 K/Pid.Sus/2007 tanggal 24 oktober 2007
3. Contoh kasus lain tindak pidana korupsi, misalnya:
(kasus komisis yudisial, dimana seorang pejabat Negara
tertangkap basah menerima sogokan yang kemudian menjalani
proses hukum, sehingga hakim menjatuhkan putusan tindak
pidana korupsi 8 (delapan) tahun; (2) kasus BLBI, dan (3)
Kasus Jaksa Agung. Selain itu contoh kasus lainnya ialah,
kasus mahkamah agung yang tidak mau di periksa oleh BPK
dengan alasan belum keluar aturan berkenaan penerimaan dan
penggunaan dana/atau biaya perkara.
Berdasarkan keterangan singkat dari contoh kasus
diatas, faktor petugas memainkan peran penting dalam
memfungsikan hukum dan/atau peyalahgunakan hukum. Kalau
peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegakan hukum rendah
dan/ atau tahu tapi tidak mau mengetahui dan memfungsikan
hukum maka akan ada masalah. Demikian pula, apabila
peraturannya buruk, sedangkan kualitas petugas baik, mungkin
pula tmbul masalah-masalah hukum.30[30]
Persoalan diatas sebenarnya tidak terlepas pengaruh
status sosial seseorang dalam masyarakat sehingga ketika hukum
atau penegakan hukum berusaha memutuskan sebuah keputusan
hukum terbentur dengan setatus sosial yang dimilki pihak yang
bersangkutan, misalnya orang kaya yang berpengaruh, pejabat-
pejabat pemerintah, dll. Sehingga begrond inilah yang membuat
sulit untuk menentukan kepastian hukum atau penegakan hukum
terhadap para pelaku pelanggaran hukum.
C. Tujuan hukum dalam penegakan hukum
Dalam pergaulan masyarakat terdapat aneka macam
hubungan antara anggota masyarakat, yakni hubungan yang
ditimbulkan oleh kepentingan-kepentingan anggota masyarakat
itu.
Dengan banyak dan aneka raganya hugungan itu, para
anggota masyaakat memerlukana aturan-aturan yang dapat
menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan itu tidak
terjadi kekacauan dalam masyarakat. 31[31] untuk menjaga
peraturan hukum itu dapat berlangsung terus dan diterima dalam
anggota masyarakat, maka peraturan-praturan hukum yang ada
30[30] Ibid., hlm 33- 36
31[31] C.s.t kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Cetakan kedelapan, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1989) hlm 40
harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas
keadilan dari masyarakat tersebut.
Dengan demikian hukum itu bertujuan menjamin adanya
kepastian hukum dalam masyaakat dan hukum itu harus pula
bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari
masyarakat itu.
Berkenaan dengan tujuan hukum, kita mengenal beberapa
pendapat sarjana ilmu hukum yang diantaranya ialah sebagai
berikut:
1. Prof. subekti, S.H.
Dalam buku yang berjudul “dasar-dasar hukum dan
pengadilan:, prof. subekti, S.H mengatakan, bahwa hukum itu
mengabdi kepada tujuan Negara yang dalam pokoknya ialah:
mendatangkan keakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.
Hukum, hukum menurut prof.subekti, S.H., melayani
tujuan Negara tersebut dengan menyelenggarakan “keadilan”
dan “ketertiban” syarat-syaat pokok untuk mendapatkan
kebahagiaan dan kemakmuran di tegaskan selanjutnya, bahwa
keadilan itu kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadaan
keseimbangan yang membawa ketenteraman di dalam hati orang,
dan jika di dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan
kegoncangan.
Keadilan selalu mengandung unsur”penghargaan”,
”penilaian” atau” neraca keadilan.” Dikatakan bahwa keadilan
itu menuntut bahwa” dalam keadaan yang sama tiap orang harus
menrima bagian yang sama pula”
Darimana asalnya keadilan itu? Keadila, menurut prof
subekti, S.H., berasal dari tuhan yang maha esa; tetapi
seorang manusia diberi kecakapan atau kemampuan untuk meraba
atau merasakan keadaan yang dinamakan adil itu. Dan segala
kejadian di alam dunia ini pun sudah semestinya menumbuhkan
dasar-dasar keadilan itu pada manusia.
Dengan demikian maka dapat kita lihat hukum tidak
saja harus mencarikan keseimbangan antara berbagai
kepentingan yang bertentangan dengan satu sama lain, untuk
mendapatkan ”keadilan,” tetapi hukum juga harus mendapatkan
keseimbangan lagi antara tuntutan keadilan tersebut dengan
tuntutan ”ketertiban” atau” kepastian hukum”.
2. Prof. Mr. Dr. LJ. Van Apeldoorn
Prof. Mr. Dr. LJ. Van Apeldoorn dalam bukunya”
inleiding tot de studie van het nederlandse recht”
mengatakan, bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan
hidup manusia secara damai hukum menghendaki perdamaian.
Perdamaian di antara manusia di pertahankan oleh hukum
dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia
tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda
terhadap pihak yang merugikannya. Kepentingan perseorangan
selalu bertentangan dengan kepentingan golongan-golongan
manusia. Pertentangan kepentingan golongan ini dapat menjadi
pertikaian bahkan dapat menjelma menjadi peperangan,
seandainya hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk
mempertahankan perdamaian.
Adapun hukum mempertahankan perdamaian dengan
menimbang kepentingan yang bertengan itu secara teliti dan
mengadakan keseimbangan di antaranya, karena hukum hanya
dapat mencapai tujuan, jika ia menuju peraturan yang adil;
artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan anatara
kepentingan-kepentingan yang dilindungi, pada setiap orang
memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya. Keadilan
tidak dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan
bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang
sama.
Dalam tulisannya ”rhetorica,” aristoteles
memebedakan dua macam keadilan, yaitu keadilan “distributif”
dan keadilan “komunitatif” keadilan distributif ialah yang
memberikan kepada setiap orang jatah menururt jasanya
( pembagian menurut haknya masing-masing). Ia tidak menuntut
sumpaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya:
bukan persamaan, melainkan kesebandingan.
Keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan
kepada setiap oarang yang sama banyaknya dengan tidak
melihat jasa-jasa perseorangan. Ia memegang peranan dalam
tukar menukar; pada pertukaran barang-barang dan jasa-jasa,
dalam mana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara
apa yang dipertukarkan. Keadilan komutatif lebih-lebih
menguasai hubungan antara perseorangan khusus, sedangakan
keadilan distributif terutama menguasai hubungan antara
masyarakat (khususnya Negara) dengan perseorangan khusus.32
[32]
Namun, hukum yang kita miliki tidak pasti, tidak
tertentu, dan tunduk pada perubahan-perubahan yang tidak
dapat di perhitungkan. Masyarakat menganggap kondisi ini
32[32] Ibid., hlm 41-43
merupakan akibat dari ulah para penegak hukum.33[33]hakim
jarang memperlihatkan unsur yang tergantung dalam memberi
alasan, keraguan atau keyakinan apapun yang tidak sepenuh
hati. Kosakata yudisial memiliki beberapa frasa yang
mengungkapkan ketidakpastian seperti dikatakan oleh Sir
Henry Maine.
Ketika sejumlah fakta diajukan didepan pengadilan
untuk mendapatkan putusan hakim, “ seluruh rangkaian diskusi
antara hakim dan pengacara menganggap bahwa tidak ada
pertayaan yang akan, atau dapat, diajukan yang akan
membutuhkan penerapan prinsip apa pun kecuali yang telah
lama diperbolehkan. Akan dianggap wajar sepenuhnya bahwa ada
sebuah aturan hukum yang dikenal yang mencakup fakta-fakta
dari perselisihan yang kini yang diperkarakan, dan bahwa,
jika sebuah aturan hukum tidak ditemukan, maka kesabaran,
pengetahuan atau kecerdasan, tidak akan dapat mendeteksinya.
Pendegar yang belum diberitahu akan memutuskan bahwa
pengabdian dan penasehat tanpa ragu menerima sebuah doktrin
bahwa di suatu tempat, in nubibus, atau in gremio magistratum,
sejumlah. undang-undang yang lengkap, jelas dan simetri,
dengan amplitude yang cukup untuk melengkapi prinsip yang
dapat diterapkan pada gabungan berbagai keadaan yang
mungkin.”34[34]
Jelas disini, bahwa hukum mempunyai tugas untuk
menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain itu
33[33] Jerome frank, law and the modrn mind, diterjemahkan oleh
Rahmani astuti, hukum dan pemikiran modern, cetakan pertama
( Bandung: Nuansa cendekia, 2013) hlm 40
34[34] Ibid., hlm 43-44
dapat pula disebutkan bahwa hukum menjaga dan mencegah agar
setiap orang menjadi hakim /penegak hukum atas dirinya
sendiri (eigenrichting is verboden), tidak mengadili dan
menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap
dirinya. Naumun tiap perkara, harus diselesaikan melalui
proses pengadilan, dengan perantaraan hakim atau penegak
hukum lainnya berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku35[35]
D. Permasalahan penegakan hukum
Maka, kalaupun banyak perbincangan akhir-akhir ini
berpusar di seputar masalah yang bikin galau tentang
‘mengapa hukum tak kunjung bisa tegak dan tak bisa
ditegakkan dengan mudah dengan hasil yang baik’, pangkal
masalahnya sebenarnya bukan pada masalah penegakannya itu
sendiri. Analisis teoritik sebagaimana yang dibentang-
bentangkan di muka menyimpulkan bahwa kesulitan utama ialah
pada kenyataan yang harus diakui, baik oleh para teoritisi
pengkaji maupun oleh para praktisi pelaksana, bahwa hukum
undang-undang yang harus ditegakkan itu dibentuk dan dibuat
berdasarkan realitas normatif –preskriptif yang berada di
alam kesadaran rasionalitas para elit pembuatnya. Ada celah
selisih yang menganga besar antara intensi para penguasa
pembuat kebijakan itu dengan realitas yang ada di alam
kesadaran warga tentang apa yang harus disebut hukum yang
adil dan apa yang bukan hukum menurut persepsi dan konsepsi
rakyat. Pemaksaan berdasarkan sanksi pidana dan
tindakan;polisionil yang dibenarkan secara sepihak
berdasarkan hukum publik, yang administratif ataupun yang35[35] C.s.t kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Indonesia., Op. cit ., hlm 45
strafrechtelijk, hanya akan berakhir dengan perlawanan dan/atau
pembangkangan sipil, yang acapkali tak cuma bersifat
simbolik melainkan sering pula bersifat fisikal.36[36]
Jika dikaji dan ditelaah secara mendalam, setidaknya
terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di
Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu sebagai berikut ;
1.(Pertama ), lemahnya political will dan political action para
pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima
dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain,
supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang
didengung-dengungkan pada saat kampanye.
2.(Kedua), peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih
lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang
kepentingan rakyat.
3.(Ketiga), rendahnya integritas moral, kredibilitas,
profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum
(Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.
4.(Keempat), minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang
mendukung kelancaran proses penegakan hukum.
5.(Kelima), tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang
masih rendah serta kurang respek terhadap hukum.
6.(Keenam) ,paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis
yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal
justice) daripada keadilan substansial (substantial justice).
36[36] Soetandyo Wignjosoebroto, “ hukum yang tak kunjung
tegak apa yang salah dengan kerja penegakan hukum di Indonesia,”
http://soetandyo.wordpress.com/2012/12/30/hukum-yang-tak-kunjung-
tegak-apa-yang-salah-dengan-kerja-penegakan-hukum-di-negeri-ini/
#more-223 Akses 30 Desember 2012
7. (Ketujuh), kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak
terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan
hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif
dan tersistematis.37[37]
E. Upaya penegakan hukum yang berkeadilan
Penegakan hukum wajib ditegakkan secara sama dan
merata tanpa melihat beground setiap pelaku pelanggaran hukum
dengan menjunjung tinggi asas-asas keadilan. Sebagaimana
dikemukakan enam tokoh tentang persyaratan keadilan tercapai
melalui sebagai berikut:
1. Mill: persyaratan keadilan tercapai melalui pencarian
hakikat umum di dalam konsep-konsep yang ada selama ini
mengenai apa yang adil dan tidak adil;
2. Rawls: persyaratan keadilan tercapai melaui pilihan
rasional didalam seting yang fair;
3. Nozick: persayratan keadilan bagi hak-hak minimal
tercapai melalui pendeduksian maksim Kantian yang
memperlakukan setiap peribadi sebagai tujuan akhir, bukan
hanya sebagai alat/cara;
4. Para uskup: persyatan keadilan tercapai melalui
perwujudan visi keadilan berbasis iman dalam perinsip-
perinsip filosofis dan teologis mengenai kewajiban dan
hak;
37[37] Ferry A Karo Karo Sitepu, “Masalah Penegakkan Hukum Di Indonesia
Saat Ini (" Runcing Kebawah Tumpul Keatas ” ) ( Quo Vadis PenegakkanHukum ),” Dalamhttp://www.gbkp.or.id/index.php/208-gbkp/bacaan-populer/319-masalah-penegakkan-hukum-di-indonesia-saat-ini-runcing-kebawah-tumpul-keatas-quo-vadis-penegakkan-hukum, Akses 25 Juni 2013
5. Neibuhr: persyaratan keadilan tercapai melalui
perinsip kasih berbasis-iman yang selalu tarik ulur
dengan realitas-realitas dosa;
6. Miranda: persyaratan keadilan tercapai melalui
konfirmasi al-kitab bagi analisis marxis tentang ketidak
adilan yang dialami kaum tertindas.38[38]
Dalam kaitan penegakan hukum pandangan Soerjono
Soekanto (1983) masih dapat menjadi rujukan kita dalam
memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan
hukum. Menurut Soerjono Soekanto ada lima faktor yang dapat
memengaruhi hukum: Pertama, faktor hukum itu tersendiri; Kedua,
faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang
terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukum; Ketiga,
faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan
hukum; Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di
mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan; Kelima,
faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Kaitannya
dalam hal ini, penegak hukum semestinya lebih mengedepankan
sifat moralitas serta mentalitasnya, dalam melaksanakan
penegakan hukum tanpa memandang kasta dan strata sosial dalam
tatanan kehidupan masyarakat. Hal ini bertujuan agar morality of
law dapat diimplimentasi dengan sempurna, walaupun dalam
kaitannya antara moralitas hukum dengan moralitas masyarakat
sosial, memiliki perbedaan. Namun, minimal ketika hal ini
38[38] Karen leback, six theories of justice, diterjemahkan oleh,
yudisantoso, teori-teori keadilan analisis kritis pemikiran
J.S.Mill,J.Rawls, R.Nozick, R.Neibuhr,J.P.Miranda, cetakan kelima
(Bandung: Nusa media, thn) hlm 237
dapat terbangun, maka aspek kesadaran hukum bagi masyarakat
akan mudah untuk diwujudkan. Dalam hal ini prilaku penegak
Hukum sangat mempengaruhi terhadap berkerjanya prinsip ini.
Upaya penegakan hukum yang berkeadilan, aspek pemahaman hukum
bagi aparat penegak hukum kiranya perlu ditinjau ulang oleh
setiap instansi penegak hukum, agar dapat menumbuhkan
integritas, kredibilitas, dan kapabilitas aparat penegak
hukumnya. Setiap aparat penegak dapat menggerakkan dan
mengaktualisasikan hukum, karena perlu dipahami jika hukum itu
tidak dapat bergerak dengan sendirinya. Sehingga ungkapan
“hukum itu selalu terlambat” adalah keliru. Upaya penumbuhan
pemahaman hukum bagi para penegak dapat dilakukan melalui
program pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus
menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan intelektualitas tiap aparat hukum tersebut. Agenda
pengembangan kualitas profesional di kalangan profesi hukum
ini perlu dipisahkan dari program pembinaan pegawai
administrasi dilingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut.
Aspek penting Selain dari pada upaya penumbuhan
pemahaman hukum bagi para penegak hukum. Satu aspek penting
lainnya dalam rangka penegakan hukum adalah proses
pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law
sosialization and law education) terhadap masyarakat. Hal ini
dibutuhkan agar masyarakat memahami hak-haknya dalam hukum,
serta tidak diperlakukan semena-mena terhadap mereka, dan yang
lebih penting agar mendapatkan kesamaan di depan hukum (equality
before the law). Jika tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan
dan pemahaman oleh para subyek hukum dalam masyarakat, maka
nonsens suatu norma hukum dapat diharapkan tegak dan ditaati.
Karena itu, agenda pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan
hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka
perwujudan ide negara hukum. Minimal sekali ketika hal ini
dapat terwujud, maka praktik-praktik kotor, seperti
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini
dilakukan oleh penegak hukum akan dapat sama-sama ditegahi.
Dengan demikian, sudah selayaknya para penegak hukum melakukan
upaya-upaya yang dapat menumbuhkembangkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan prinsip-prinsip keadilan masyarakat.
Sehinga kata “keadilan” ataupun “kebenaran” dapat terwujud
dalam makna dan hakikat yang sebenarnya.39[39]
Dari beberpa penjelasan tentang teori keadilan
menurut pandangan beberapa tokoh diatas serta solusi yang
ditawarkan tersebut bisa menjadi pertimbangan oleh para
penegak hukum dalam mengambil keputusan sehingga hukum yang
berkeadilan bisa tercapai dengan baik.
39[39] http://aceh.tribunnews.com/2013/04/27/, menyoal-perilaku-
penegak-hukum “Menyoal Perilaku Penegak Hukum,”Akses, 27 April 2013
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Setelah melihat dari penjelasan sebelumnya serta
kasus-kasus yang ada maka dapat di ketahui penegakan hukum
di Indonesia masih belum seutuhnya otonom selalu terbentur
dengan problem yang lain. Seperti pengaruh satus sosial dan
problem-problem yang lain sehingga Hukum hanya tajam kebawah
terhadap masyarakat yang lemah asas hukum yang mengatakan
bahwa semua orang sama dihadapan hukum hanyalah mitos belaka
karena dalam realitanya asas tersebut tidak berlaku bagi
kaum timokrasi.
Lemahnya mental dan moral para penegak hukum serta
budaya hukum kita yang salah. Menyebabkan semangkin carut-
marunya penegakan hukum di Indonesia ditambah persoalan lain
seperti fasilitas hukum yang kurang memadai pelayanan
pemerintah terhadap para penegak hukum yang kurang begitu
diperhatikan sehingga persoalan-persoalan ini menciptakan
peluang untuk melakukan kecurangan karena keadaan serta
lingkungan yang tidak mendukung. Dampak negatif yang timbul
kurang percayanya masyarakat kepada para penegak hukum
menjadi dilema bagi para penegak hukum. Ditambah Kurangnya
kontrol pemerintah terhadap proses penegakan hukum di
Indonesia membuat peluang pelanggaran semangkin besar.
B. SARAN
Kondisi hukum yang semangkin hari sangat terpuruk
karena para penegak hukum belum bisa otonom dalam
penegaknnya, masih terpengaruh dengan problem klasik paling
tidak untuk menuju pembangunanan hukum yang otonom harus
melakukan reformasi hukum. Ada berapa komponen yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Struktur Hukum yaitu sistem hukum, yang terdiri
atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat
hukum. Penataan kembali terhadap struktur dan lembaga-
lembaga hukum yang ada termasuk rekrutmen sumber daya
manusianya yang berkualitas.
2. Substansi Hukum yaitu nilai-nila atau asas-asas
yang terkandung dalam aturan tersebut yang mengandung
usnsur keadilan. Dengan Perumusan kembali hukum yang
berkeadilan
3. Budaya Hukum yaitu terkait dengan profesionalisme
para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya serta
kesadaran masyarakat dalam menaati hukum. Meningkatkan
kembali budaya hukum dengan cara menyelesaikan kasus-
kasus pelanggaran hukum dan mengikut sertakan rakyat
dalam penegakkan hukum. Serta membangun Penerapan
konsep Good Governance dengan memberikan Pendidikan
publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap
hukum.
Selain reformasi diatas perlu juga diperhatikan kepada
para pengambil kebijakan harus menerima berbagai problem
penegakan hukum.Dalam perbaikan serta pembenahan hukum
diperlukan kesabaran tanpa harus bertindak instant yang
berakibat fatal kepada penegakan hukum itu sendiri. Perlu
disadari persoalan hukum sangat kompleks sehingga para
penegak hukum harus memiliki pengetahuan yang luas dari
bebrbagai keilmuan lain. Perlu juga di perhatikan
kesejahteraan aparat penegak hukum dari segi keuangan dll.
Dan partisipasi publik dari Semua pihak mempunyai peran
dalam pembenahan penegakan hukum. Sehingga penegakan hukum
itu tidak hanya dipahami sebagai tanggung jawab lembaga
penegakan hukum semata melainkan semua masyarakat sadar
bahwa penegakan hukum adalah tanggung jawab bersama.