36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keadilan bisa tercapai dengan memperhatikan prodak hukum yang mengakomodir hak-hak masyarakat ketika kebaikan-kebaikan produk hukum yang apirmatif tentunya di sesuaikan dengan pelaksanaannya atau penegakannya dewasa ini banyak produk hukum yang di hasilkan syarat dengan kepentingan yang tersembunyi di balik semua aturan yang dibuat. Keterlibatan politik sangat besar mempengaruhi isi dari produk hukum. Ciri utama model rule of law, juga merupakan pelindung otonomi institusional, adalah pemisahan antara kehendak politik dan putusan hukum. Hukum diangka “di atas” politik; maksudnya, hukum positif ditegakkan untuk menentukan bahwa persetujuan publik, yang di buktikan dengan tradisi atau proses konstitusional telah di jauhkan dari kontroversi politik. Oleh karena itu ototritas untuk menafsirkan hukum ini harus dijaga sehingga terlindung dari perebutan kekuasaan dan tidak tercemar oleh pengaruh politik. Dalam menginterpretasikan dan melaksanakan hukum, para ahli hukum harus menjadi juru bicara yang obyektif bagi perinsip-perinsip yang mapan secara historis, menjadi para pemberi keadilan yang pasif,yang memberikan keadilan secara impersonal dan telah diterima sebagai suatu yang baku. Mereka memiliki klaim karena putusan- putusan mereka dipercayai sebagai suatu yang mematuhi kehendak eksternal dan bukan kehendak mereka sendiri. Premis-perimis diatas membantu menjelaskan diterimanya sebuah supremasi hukum yang terbatas. Para penguasa politik dapat menerima intitusi-

HUKUM PEMBANGUNAN

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah

Keadilan bisa tercapai dengan memperhatikan prodak hukum

yang mengakomodir hak-hak masyarakat ketika kebaikan-kebaikan

produk hukum yang apirmatif tentunya di sesuaikan dengan

pelaksanaannya atau penegakannya dewasa ini banyak produk

hukum yang di hasilkan syarat dengan kepentingan yang

tersembunyi di balik semua aturan yang dibuat. Keterlibatan

politik sangat besar mempengaruhi isi dari produk hukum. Ciri

utama model rule of law, juga merupakan pelindung otonomi

institusional, adalah pemisahan antara kehendak politik dan

putusan hukum. Hukum diangka “di atas” politik; maksudnya,

hukum positif ditegakkan untuk menentukan bahwa persetujuan

publik, yang di buktikan dengan tradisi atau proses

konstitusional telah di jauhkan dari kontroversi politik. Oleh

karena itu ototritas untuk menafsirkan hukum ini harus dijaga

sehingga terlindung dari perebutan kekuasaan dan tidak

tercemar oleh pengaruh politik. Dalam menginterpretasikan dan

melaksanakan hukum, para ahli hukum harus menjadi juru bicara

yang obyektif bagi perinsip-perinsip yang mapan secara

historis, menjadi para pemberi keadilan yang pasif,yang

memberikan keadilan secara impersonal dan telah diterima

sebagai suatu yang baku. Mereka memiliki klaim karena putusan-

putusan mereka dipercayai sebagai suatu yang mematuhi kehendak

eksternal dan bukan kehendak mereka sendiri. Premis-perimis

diatas membantu menjelaskan diterimanya sebuah supremasi hukum

yang terbatas. Para penguasa politik dapat menerima intitusi-

intitusi hukum jika mereka diyakinkan bahwa putusan-putusan

instiutsi hukum yang harus mereka hormati sebenarnya dapat

ditemukan kebijakan-kebijakan yang mereka setujui (atau

abaikan) sendiri, dan bahwa keberlanjutan otoritas institusi

hukum tersebut pada akhirnya tergantung pada komitmen mereka.

Yang harus diakui oleh penguasa politik adalah, jika institusi

hukum ingin mempertahankan otonominya, mereka harus menahan

diri untuk tidak memasukkan pemikirran mereka sendiri menenai

muatan hukum. Otoritas mereka dibatasi oleh suatu pemahaman

bersama bahwa otoritas akan menjadi yang tertnggi hanya dalam

suatu wilayah yang bersifat non politik dan yang tepat.

Akibat terjadilah sebuah tawar-menawar historis:

institusi-institusi hukum memperoleh otonomi prosedural dengan

syarat mengorbankan otonomi substansi. Komunitas politik

mendelegasikan kepada para ahli hukum sebuah otoritas terbatas

untuk bertindak bebas dari campur tangan politik, namun syarat

dari imunitas tersebut adalah bahwa para ahli hukum tersebut

menjauhkan diri dari pembentukan kebijakan publik. Itulah

periode ketika peradilan memenangkan “dependensi”-nya.

Pengadilan tentu saja secara khusus (walaupun tidak secara

eksklusif) cocok sebagai pengemban kepercayaan tersebut.

Sebagai pihak yang memutuskan sengketa, hakim melayani tatanan

politik dengan cara mendorong penyelesaian damai untuk konflik

perorangan. Pada saat merka melakukan “mediasi” ataupun

“ajudikasi” fungsi mereka adalah mendepolitisasi isu-isu yang

kalau tidak didepolitisasi, bisa saja muncul dalam bentuk

permusuhan antara individu atau bentuk-bentuk konfrontasi

lainnya. Pekerjaan tersebut difasilitasi oleh sebuah fokus

yang berkelanjutan pada kasus yang ditangani dan yang di

pisahkan dari kontek konflik kelompok yang lebih besar.1[1]

Pemisahan antara hukum dan politik merupakan setrategi utama

legitimasi. Itulah cara hukum ortonom membawa legitimasi baik

bagi dirinya sendiri maupun bagi tatana politik. Setrategi

tersebut mempunyai dua asfek pertama, sebuah pondasi di buat

untuk meletakkan politik dibawah hukum, pada rezim hukum

otonom. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh komunitas

politik yang teorganisasi tidak terlegitimasi dengan

sendirinya. Elit politik bisa saja membuat putusan-putusan dan

mengerahkan sumber-sumber daya yang ada, namun pertayaan

apakah tindakan-tindakan tersebut sah secara hukum membutuhkan

penilaian seccara terpisah. Pekerjaan pemerintah dan pekerjaan

kepemimpinan politik harus selalu berkaitan dengan memecahkan

berbagai masalah, memobilisasi sumber daya, dan memperoleh

persetujuan warga Negara. selalu terdapat tarik-menarik antara

tindakan dan legalitas. hukum otonom menyediakan forum untuk

meneliti dengan cermat tarik-menarik tersebut dan memberikan

sebuah penilaian atau putusan terhadap hal tersebut. Hingga

tahap tersebut, hukum melembagakan sebuah asas kontrol dalam

melaksanakan kekuasaan. Kedua, dalam pencariannya akan

legitimasi, para hakim menekankan dan megagungkan fungsi-

fungsi mereka yang semata –mata bersifat hukum, bukan

bersifat politis. Sampai pada titik ini, mereka dapat mengkui

bahwa dibawah arahan merekalah hukum berubah dan beradaftasi.

Di beberapa bidang, khususnya hukum acara, atau cabang-cabang

1[1] Philippe nonet dan Philip Selznick, law and society in

transition, diterjemahkan oleh raisul muttagien, hokum responsive,

cetakan keenam ( Bandung: pernebit nusa media, 2011) hlm 64-66

hukum yang sudah lebih terintegrasi dengan komunitas hukum,

mereka dapat secara lebih sadar dan percaya diri melakukan

kreativitas. Namun demikian, pada prinsipnya, hukum otonom

menuntut dengan tegas sebuah pembedaan yang tajam antara

legislasi dan ajudikasi; institusi-institusi hukum ortonom

harus membatasi dirinya untuk tidak menerapkan hukum yang

diterima kedalam kasus-kasus yang disitu hanya “fakta” yang

dinilai. Evolusi historis dari institusi-institusi yang

berbeda pengadilan dan legislator- dibahas untuk menunjukkan

bahwa evolusi ini diikuti oleh adanya fungsi-fungsi yang

benar-benar berbeda pada masing-masing institusi tersebut.

Apapun yang mengigatkan fungsi pembuatan hukum yang dilakukan

oleh badan peradilan dipandang sebagai hal yang buruk bagi

etos hukum otonom dan ancaman bagi otoritasnya. Kekhawatiran

inilah yang lebih dari setiap kesalahan sedahana dalam

memahami proses hukum, memunculkan konsepsi-konsepsi yang naïf

bahkan tidak jujur mengenai kebersahajaan yudisial (judicial self-

effacement) atau bisa di sebut juga mechanical jurisprudence. Bagi

institusi-institusi hukum, pemisahan hukum dan politik lebih

dari sekedar sebuah asas pengendalian diri. Pemisahan tersebut

merupakan sebuah persyaratan proteksi diri dan sebuah janji

ketaatan kepada tatanan politik yang berlaku. Agar bisa

efektif dalam mengendalikan pelaksanaan kekuasaan, hukum

otonom harus menegaskan kembali komitmennya kepada kebijakan-

kebijakan yang ia terima. Ia menjinakkan represi, namun

kemampuannya untuk melakukan tugas terseut sangat bergantung

pada sebuah pembatasan diri yang hati-hati. Jadi, seperti

hukum represif, hukum otonom masih identik dengan Negara,

tepatnya suatu rechtsstant, namun suatu Negara yang punya

komitmen terhadap tatanan, kontrol dan subordinasi.2[2]

Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

kehidupan umat manusia, yakni “ada masyarakat, ada hukum” (ubi

societas ibi ius). Kehadiran hukum dalam masyarakat sangat

penting karena hukum merupakan salah satu lembaga

kemasyarakatan (sosial institutions) yang harus dipahami tidak

sekedar sebagai suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga

bagaimana ia menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam masyarakat

bersama-sama dengan lembaga kemasyarakatan yang lain secara

seimbang.

Pada dasarnya kehidupan di dunia ini tidak telepas

dari perubahan terhadap suatu lingkungan, baik linkungan

fisik, lingkungan biologis, maupun lingkungan sosial manusia.

Perubahan-perubahan sosial merupakan suatu variasi dari cara-

cara hidup yang telah di terima yang di sebabkan baik karena

perubahan kondisi goegrafis, kebudayaan matril, konposisi

penduduk, ideologi maupun adanya defusi ataupun penemuan

penemuan baru dalam masyarakat tertentu.

Selo soemarjan mengemukakan seperti yang di kutip

oleh soerjono soekanto bahwa perubahan perubahan sosial adalah

segala perubahan pada lembaga – lembaga kemasyarakatan di

dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya,

termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap pola-pola

perikelakuan diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.3[3]

Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam proses penegakan

2[2] Ibid, 66-68

3[3] Zainuddin Ali, Sosiologi hukum ( Jakarta: Sinar Grafika,

2007) Cet, ke-2 hlm. 18

hukum terutama di sebabkan karena, secara konsepsionil di anut

pendapat yang sempit mengenai hal itu. hukum tidak hanya

terdiri dari “ law enforcement” ( yang dewasa ini tidak begitu

gencar terdengar dalam pembicaraan sehari-hari; berbeda dengan

beberapa yang lampau, di mana hapir setiap hari hal itu di

degung-dengungkan); penegkan hukum juga mencakup pencipta

kedamaian.4[4] Dengan lebih memahami hakikat hukum dan

kekuasaan secara mendasar, tentunya pada giliranya pembuatan

dan pelaksanaan hukum di satu pihak dan perolehan serta

penggunaan kekuasaan di lain pihak akan senantiasa lebih arif

dan bijaksana.5[5]

Indonesia masa kini, banyak masyarakat yang tidak

percaya terhadap lembaga dan penegakan hukum karena di

sebabkan persoalan-persoalan hukum yang tidak kunjung efektif

dalam penanganannya.6[6] Ketidak percayaan pada sistem hukum di4 [4]Soerjono soekanto, dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum

dalam Masyarakat, Cetakan ketiga (Jakarta: Rajawali,1987), hlm 30

5[5] Lili rasyidi dan B.Aref sidharta, Filsafat Hukum,

( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994) hlm.157

6[6] apabila suatu peraturan mulai tidak pas lagi pada

msalah yang diaturnya. Keadaan seperti ini dapat juga di jumpai

pada lembaga-lembaga hukum, lembaga ini sebetulnya di dirikan

atas dasar asumsi-asumsi mengenai hal-hal yang akan diaturnya,

yang lebih kurang juga meliputi berbagai aspek-aspek sebagaiman

di sebutkan diatas. Suatu lembaga pengadilan, misalnya, baik

susunan, wewenang maupun prosedur kerjanya sudah diatur oleh

hukum. Peraturan hukum ini di bertolak dari asumsi-asumsi

tertentu mengenai apa dan bagaimana kiranya pekerjaan yang harus

di tangani oleh pengadilan itu nanti, yang meliputi perkiraan

jumlah perkara, jenisnya, tingkat kecerdasan para pemerkara dan

Indonesia, yang mankin hari mangkin memperhatinkan.

Kecenderungan itu tidak saja terjadi di lembaga-lembaga

peradilan tetapi juga di seluruh lapisan sosial.7[7]

Leibniz berkata, bahwa kebaikan hidup itu hanya

terjamin, kalau orang-orang memiliki sikap keadilan. Dengan

kata lain: prinsip dasar hukum alam, yang menjamin pembangunan

manusia dalam segala hubungannya, ialah keadilan keadilan yang

dimaksud disini memiliki arti luas.8[8] Hukum sebagai kategori

sebagainya.lihat.Satjipto Rahardjo, Pemamfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi

Pengembangan Ilmu Hukum, Cetakan kedua ( Yogyakarta: Genta

Oublishing, 2010) hlm. 68

7[7] Efernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan

Hukum Kodrat dan Antinomi nilai, Cetakan kedua ( Jakarta: PT. kompas

Media Nusantara, 2007) hlm. 157

8[8] Defenisi Leibniz tentang keadilan berbunyi: keadilan

ialah cinta kasih seorang bijksana ( iustitia est caritas sapientis). Cinta

kasih menandakan kebaikan hati, kebijksanaan menandakan

pengertian praktis dalam segala bidang hidup. Orang adil ialah

orang dengan bertolak dari kebaikan hatinya mengejar kebahagiaan

dan kesempurnaan. Kebahagiaan dan kesempurnaan itu hanya dapat

tercapai melalui cinta kasih terhadap Allah dan sesama. Dari

perinsip dasar ini brasalah tiga norma: pertama-tama terdapat

norma-norma dan hak-hak pada tingkat yang rendah, yang mengatur

hubungan orang dengan benda. Di sini berlakulah satu hak yang

bersungguh-sungguh, yakni, hak memiliki ( ius propietatis ) perinsip

dasar dalam bidang ini ialah: jangan merugikan orang ( neminen

laedere) . keadilan di sini disebut keadilan tukar- menukar ( iustitia

communativa). Terdapat juga norma-norma dan hak-hak pada tingkat

yang lebih tinggi, yakni untuk mengatur hubungan dengan orang

lain. Di sini berlakulah hak untuk hidup dalam masyarakat bersama

moral serupa dengan keadilan, peryataan yang di tunjukan untuk

mengelompokan sosial tersebut semuanya benar, yang sepenuhnya

mencapai tujuannya dengan memuaskan semua, rindu akan

keadilan, yang dianggap secara psikologis adalah kerinduan

abadi manusia akan kebahagiaan manusia yang tidak ditemukannya

sebagai seorang individu dan karenanya mencarinya dalam

masyarakat. kebahagiaan sosial yang dinamakan keadilan.

Kata keadilan tentu saja juga di gunakan dalam

pengertian hukum dari segi kecocokan dengan hukum positif

terutama kecocokan dengan undang-undang. Jika sebuah norma

umum di terapkan pada satu kasus tetapi tidak di terapkan pada

kasus sejenis yang muncul maka di katakana tidak adil dan

ketidakadilan tersebut terlepas dari beberapa pertimbangan

nilai norma umum itu sendiri. Menurut pemakaian kata-kata ini

menggap suatu keadilan hanya mengungkapkan nilai kecocokan

relatif dengan sebuah norma, adil hanya kata lain dari benar.orang lain secara pantas ( ius societatis). Sikap yang di perlukan dalam

bidang ini di sebut aequitas, suatu cinta kasih yang meyangkut

kesediaan untuk menjadi berguna bagi orang lain, dan secara

demikian menumbuhkan pula kesejahteraan sendiri. Perinsip dasar

dalam bidang ini ialah: berikanlah pada setiap orang menurut

haknya (unicuique suum tribuere). Keadilan dalam bidang ini di sebut

keadilan distributif ( iusttia distributive). Terdapat juga norma-norma

pada tingkat yang paling tinggi, yang mengatur hubungan orang

dengan Allah. Di sini berlakulah hakdan kewajiban orang untuk

berbakti kepada Allah ( ius pietatis atau ius internum). Perinsip dasar

dalam bidang ini ialah: bertingkah lakulah baik (honeste vivere).

Keadilan dalam bidang ini di sebut: keadilan umum (iustitia universalis).

Lihat. Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah , Cetakan kelima

belas ( Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm 75-76

Namun makna harfiahnya berbeda dari pengertian hukum kata ini,

keadilan berarti nilai mutlak.muatannya tidak bisa ditetapkan

dengan pure theory of law,atau memang di capai melalui kognisi

rasional – sebagaimana, yang berusaha di tunjukan dengan

sejarah intlektual manusia. Dengan kegagalannya memecahkan

masalah ini selama satu millennium karena dalam keapsahan

mutlaknya keadilan yang harus di bayangkan sebagai bagian yang

berbeda dari, dan lebih tinggi dari, hukum positif diletakkan

jauh di luar semua pengalaman sebagaimana peletakan ide

platonic di luar realitas alamiah.9[9] Namun faktanya penegakan

hukum jauh dari rasa keadilan bahkan tidak menyentuh kalangan

masyarakat elit yang memiliki power kekuasaan, hanya tajam

kebawah terhadap masyarakat kecil. Semankin besar pengaruh

setatus seseorang semangkin tumpul penegakan hukum

terhadapnya.

Pada taraf yang paling umum, sistem hukum memiliki

fungsi untuk mendistribusikan dan mengalokasi nilai-nilai yang

benar menurut masyarakat. Alokasi ini, yang tertanam akan

pemahaman kebenaran, adalah apa yang umumnya disebut sebagai

keadilan. Aristoteles menarik perbedaan yang terkenal antara

keadilan distributif dan keadilan komunitatif, antara perinsip

dimana kekayaan dan kehormatan dialokasikan diantara warga dan

yang berkenaan dengan individu dan gugatan hukum. Di tengah

konsep keadilan terdapat gagasan mengenai bagaimana

mempertemukan orang dan hal apa yang pantas mereka dapatkan,

di tinjau secara etis tidak lebih dan tidak kurang. Seperti

9[9] Hans kalsen, Introduction To The Problem Of Legal Theory,

Terjemah, Pengantar Teori Hukum, Cetakan keempat belas (Bandung:

Nusa Media, 2012), hlm 48

apa hal ini dan bagaimana menjalankannya meruapakan masalah

yang di geluti oleh para folosof hukum selama berabad-abad. Di

sini kita menghadapi gagasan tersebut hanya sebagai fakta

sosiologis sebagai mandat yang di berikan publik yang relevan

dengan sistem hukum dengan kata lain, sistem hukum diandaikan

untuk menjamin distribusi yang benar atau tepat (atau

barangkali yang paling nyaman) di antara orang-orang atau

kelompok. Dalam gugatan hukum dan transaksi individu, sistem

harus menerapkan persturan yang benar atau tepat ( atau

barangkali yang paling nyaman).10[10]

Maka dari itu untuk mengetahui dengan pasti

persamaan dan perbedaan sesungguhnya diantara muatan

substantif sistem-sistem hukum sebaiknya tidak di mulai dari

nama-nama aturan hukum dan lembaga hukum tetapi dengan

mempertimbangkan fungsi aturan hukum dan lembaga hukum

tersebut yaitu, situasi konflik yang nyata terjadi atau

potensi konflik yang mungkin terjadi yang hendak diatur dengan

aturan-aturan yang akan dikaji tersebut.11[11]

Selain itu, pemerintah berhak dan berkewajiban

menjaga kepastian hukum.12[12] Siapa yang melakukan suatu

10[10] Lawrence M.friedman, The Legal System A Social Science

Perspective, Terjemah, M. Khozim, Sitem Hukum Persfektif Ilmu

Sosial, Cetakan keempat ( Bandung: Nusa Media, 2011) hlm 19

11[11] Michael bogdan, Comparative Law, Terjemah, Derta sri

widowatie, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Cetakan pertama (

Bandung: Nusa media, 2010),hlm 64

12[12]. Inti pandangan ini ialah hukum sebagai ius lebih

percaya pada perinsip moral walaupun moral itu abstrak daripada

kebijaksanaan manusia. Karena menurut mereka makna hukum sebagai

perbuatan yang bertentangan dengan hukum harus mengganti

kerugian yang di derita oleh yang di rugikan karena perbuatan

itu. Jadi karena sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan

hukum timbullah suatu perikatan untuk mengganti suatu kerugian

yang di derita oleh pihak yang di rugikan.13[13]

Pada saat yang sama menjadi jelas bahwa kita memang

jelas mengandalkan peraturan-peraturan preskriptif. Peraturan-

peraturan ini bukan hanya sekedar fakta tanpa signifikansi

moral bagi orang-orang yang membuat, menerapkan, dan

menaatinya, serta memberikan penghargaan atau kencaman dengan

berpedoman pada peraturan-peraturan tersebut. Mengabaikan

aspek kehidupan yang di pedomani peraturan ini berarti

mengabaikan makna subjektif perilaku. Karena itu, harus di

tentukan hubungan antara kajian ilmiah untuk mencari

keteraturan untuk mencari keteraturan faktual dalam masyarakat

dengan penggunaan praturan dalam kehidupan sehari-sehari. Inti

hukum yang adil lebih terjamin dalam perumusan abstrak daripada

dalam putusan seorang hakim. Mutlak perlu bagi seorang hakim

untuk menyesuaikan diri dengan perumusan yang telah terwujud

dalam undang-undang., sikap kebanyakan orang terhadap hukum

mencerminkan pengertian hukum itu. Mereka memandang hukum sebagai

semacam moral hidup. Karena itu orang-orang berpandangan juga

bahwa apa yang di rumuskan dalam undang-undang tidak dapat

tercapai sepenuhnya seperti halnya cita-cita moral karena adanya

kelemahan manusia. Tiap-tiap peraturan hukum memang di susun

sebagai norma untuk di taati. Lihat., zainuddin Ali, Filsafat Hukum,

Cetakan kelima ( Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hlm 87

13[13] C.s.t kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,

Cetakan kedelapan, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1989) hlm 123

teori masyarakat adalah menerangkan hubungan antara hukum yang

menerangkan ( law that ordains) dan hukum yang bersifat mengatur (

law that ordains ).

Kajian terhadap hukum berkaitan erat dengan masalah

tatanan sosial doktrin kepentingan peribadi dan doktrin

consensus mencakup dan bergantung pada pandangan-pandangan

yang bertentangan mengenai peraturan. Jika kita mengetahui

dalam keadaan seperti apa berbagai jenis hukum akan muncul,

mungkin kitapun mampu melihat batasan-batasan dan kegunaan

kedua pandangan dasar tentang tatanan itu dan menyusun cara

untuk menyatukan keduanya.14[14] Penegakan hukum ( law

enforcement) yang dapat di lakukan dengan baik dan efektif

merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan suatu Negara

dalam upaya mengangkat harkat dan martabat bangsanya di bidang

hukum terutama dalam memberikan perlindungan hukum terhadap

warganya. Hal ini berarti pula adanya jaminan kepastian hukum

bagi rakyat, sehingga rakyat merasa aman dan terlindungi hak-

haknya dalam menjalani kehidupannya. Sebaliknya penegakan

hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan

indikator bahwa Negara yang bersangkutan belum sepenuhnya

mampu memberikan perlindungan hukum kepada warganya.15[15]

14[14] Roberto M. unger, Law and Modern Society: Toward A Criticism of

Social Theory, Terjemah, Dariyatno dan Derta Seri Widowatie, Teori

Hukum Keritis, Posisi Hukum dalam Masyarakat Moderen, Cetakan keenam

( Bandung: Nusa Media, 2012) hlm 55

15[15] Bambang sutiyoso dan Sri hastuti Puspita sari, Aspek-

Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Cetakan pertama

( Yogyakarta: UII Pres, 2005) hlm 77

Memang di dalam keyataan, hukum itu lahir sebagai

refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya.

Dengan kata lain, kalimat-kalimat yang ada di dalam aturan

hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-

kehendak politik yang saling bersaingan.16[16] Pada keyataanya

hukum-hukum tersebut berkembang seiring dengan trasformasi

masyarakat.17[17]

Fungsi dan peran hukum sangat di pengaruhi dan acap

kali dan sering kali di intervensi kekuasaan politik.

Konfigurasi politik berkembang melalui tari-menarik antara

yang demokratis dan otoritarian, sedangkan karakter produk

hukum mengikutinya dalam tarik menarik antara yang responsif

dan yang konservatalam segalif.18[18] Hukum sebagai kategori

moral serupa dengan keadilan, peryataan yang di tunjukan untuk

mengelompokan sosial tersebut semuanya benar, yang sepenuhnya

mencapai tujuannya dengan memuaskan semua, rindu akan

keadilan, yang dianggap secara psikologis adalah kerinduan

abadi manusia akan kebahagiaan manusia yang tidak ditemukannya

sebagai seorang individu dan karenanya mencarinya dalam

masyarakat. kebahagiaan sosial yang dinamakan keadilan.

Runtuhnya kepercayaan masyarakat pada prana hukum

dan penegaknya tidak terhindarkan. Beberapa faktor pengaruh

16[16] Ni’matul huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Cetakan

kedelapan, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2013) hlm 279

17[17]Sukris sarmardi, Menjadi Advokat Indonesia Kini, Cetakan

pertama (Bandung: CV; Bandar Maju, 2009) hlm 5

18[18] H.abdul latif, dan hasbi ali, Politik Hukum, Cetakan

kedua, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hlm 32

seperti substansi dan struktur hukum dan budayanya turut

menentukan ketidak percayaan tersebut.19[19]

Kemudian status sosial juga menmpengaruhi keputusan

hukum dan penegakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran

hukum, banyak sekali kasus-kasus yang tanpa kasat mata yang

banyak terjadi dalam realita hukum bahwa orang-orang yang

memiliki setatus sosial yang tinggi dalam tatanan sosial

masyrakat tidak tersentuh oleh hukum dan ini sudah menjadi

realita di masyarakat. Hukum itu hanya tajam terhadapa orang

yang lemah namun bagi orang yang memilki satus soaisal yang

tinggi atau para pejabat orang-orang konglomerat hukum menjadi

tumpul. Beranjak dari persoalan inilah penulis tertarik

megangakat persoalan tersebut untuk di tuangkan dalam paper

ini dalam kajian sosiologi hukum.

B.  Rumusan Masalah

1.      Apakah penegakan hukum di Indonesia bersifat otonom dalam

Masyarakat? .

2.      Apa saja problem yang mempengaruhi penegakan hukum di

Indonesia.?

C.  Maksud dan tujuan

1.      Mengetahui apakah penegakan hukum di Indonesia bersifat

otonom.?

2.      Mengetahui problem apa saja yang mempengaruhi penegakan

hukum di Indonesia?

19[19] Jawahir thontowi, pengembangan ilmu hukum berbasis

religious science: dekontruksi filosofis pemikiran hukum

positivistik.”, Jurnal Hukum, Edisi no.2.Vol.7,(2012) hlm 92

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengaruh setatus sosial dalam penegakan hukum yang otonom

Karakteristik yang mencolok dalam pembicaraan

mengenai sosiologi penegakan hukum adalah bahwa penegakan

hukum itu bukan merupakan suatu tindakan yang pasti, yaitu

menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang dapat

diibaratkan menarik garis lurus antara dua titik. Dalam ilmu

hukum cara seperti ini disebut sebagai model mesin otomat dan

pekerjaan hukum menjadi aktivitas subsumsi otomat. Disini

hukum di lihat sebagai variable yang jelas dan pasti, demikian

juga kejadian yang memancing diterapkannya hukum tersebut,

sehingga semuannya tanpak sederhana dalam keyataannya keadaan

adalah tidak seperti itu, melainkan yang terjadi adalah bahwa

penegakan hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan, kepada

keyataan yang kompleks.20[20]

Dikatakan oleh Galanter, bahwa kebiasaan berfikir

hukum yang dominan, yaitu berfikir posivistik-logalistik,

berangkat dari peraturan hukumnya. Ini berbeda dengan

sosiologi hukum yang berangkat dari keyataan di lapangan,

yaitu melihat dari beberapa keyataan, kompleksitas, yang ada

dalam masyarakat dan bagaiaman keyataan itu membentuk maksud

20[20] Satjipto rahardjo, sosiologi hukum perkembangan metode dan

pilihan masalah, Cetakan kedu, (Yogyakarta: Genta Publishing) hlm

190

dengan melihat hukum dari “ujung yang lain dari

teleskop”21[21]

Penegakan hukum adalah kata Indonesia untuk law

enforcement. Dalam bahasa belanda dikenal rechtstoepassing dan

rechtshandhaving. Pemikiran yang dominan disini mengatakan,

penegakan hukum adalah suatu proses logis yang mengikuti

kehadiran suatu peraturan hukum. Apa yang harus terjadi

menyusul kehadiran peraturan hukum hampir sepenuhnya terjadi

melalui pengolahan logika. Logika menjadi kredo dalam

penegakan hukum.

Penegakan hukum dapat juga dilihat sebagai proses

yang melibatkan manusia di dalamnya. Sosiologi hukum melihat

penegakan hukum dengan pengamatan yang demikian itu. Sesuai

dengan tradisi empiriknya, maka pengamatan terhadap keyataan

penegakan hukum, faktor manusia sangat terlibat dalam

penegakan hukum tesebut. Penegakan hukum bukan suatu proses

logis semata, melainkan sarat dengan keterlibatan manusia. Hal

itu berarti bahwa penegakan hukum tidak dapat dilihat sebagai

suatu peroses logislinier, melainkan suatu yang kompleks.

Masuknya faktor manusia menjadikan penegakan hukum sarat

dengan dimensi perilaku dengan semua faktor yang

menyertainnya. Penegakan hukum bukan lagi merupakan hasi

deduksi logis, melainkan lebih merupan, luarankan hasil dari

pilihan-pilihan. Dengan demikian luaran (output) dari

penegakan hukum tidak dapat hanya didasarkan pada ramalan

21[21] “ most analysis of the legal system start at the rules end and work down

through institutional facilities to see what effect the rules have on the parties. I would

like to reverse that procedure and look through the other of the telescope” (Galanter,

1974:97)

logika semata, melainkan juga hal-hal yang “tidak menurut

logika”. Hakim agung O.W. holmes merumuskannya dengan sangat

bagus, pada waktu ia mengatakan, “the life of the law has not been logic,

it has been experience”.

Penegakan hukum dilakukan oleh institusi yang di beri

wewenang untuk itu, seperti polisi, jaksa dan pejabat

pemerintahan. Sejak hukum itu mengandung perintah dan

pemaksaan ( coercion), maka sejak semula hukum membutuhkan

bantuan untuk mewujudkan perintah tersebut. Hukum menjadi

tidak ada artinya bila perintahnya tidak dapat di laksanakan.

Di perlukan usaha dan tindakan manusia agar perintah dan

paksaan yang secara pontesial ada di dalam peraturan itu

menjadi manifest.22[22]

Negara hanya menyediakan fasilitas bagi terjadinya

penegakan hukum, sedangkan sebaliknya di serahkan kepada

rakyat untuk bertindak (atau tidak bertindak) dengan

menggunakan fasilitas yang di sediakan tersebut. Kendatipun

tidak ada diskriminasi dalam pengunaan fasilitas atau hukum

tersebut, tetapi dalam keyataan di lapangan, tidak semua orang

berada pada posisi yang sama untuk menikmati failitas yang di

sediakan oleh hukum. Para pelaku yang memiliki kekuasaan lebih

besar akan mendominasi penegakan hukum. Kekuasaan tersebut

berupa pengetahuan, status, hubungan-hubungan sosial dan

kemampan ekonominya. Dengan kekuasaan itu, mereka lebih mampu

mengendalikan dan memamfaatkan penegakan hukum.23[23]

Sejak hukum modern semangkin bertumpu pada dimensi

bentuk yang menjadikannya formal dan prosedural, maka sejak22[22] Ibid., hlm 192

23[23] Ibid., hlm 196

itu pula muncul keadilan formal atau keadilan menurut hukum di

satu pihak dan keadilan sejati atau keadilan substansial di

pihak lain. Dalam konteks perkembangan hukum yang demikian

itulah menjadi relevan untuk berbicara mengenai penggunaan

hukum.24[24]

Sistem hukum yang umumnya dipakai didunia bertumpu

pada keadilan liberal, yang membatasi hanya pada pembuatan

sistem hukum positif yang non-diskriminatif. Tugas hukum untuk

memberikan keadilan dianggap selesai dengan membuat peraturan

yang tidak diskriminatif, soal apakah yang seperti itu benar-

benar memberkan keadilan kepada masyarakat sudah bukan

wewenang hukum lagi. Dalam uraian mengenai kerja pengadilan

dimuka sudah dikemukakan bahwa sistem keadilan tersebut justru

menjadi diskriminatif pada waktu ditegakkan dalam masyarakat.

Secara sosiologis di tunjukkan bahwa keadilan liberal yang

non-diskriminatif itu dijalankan dalam masyarakat yang sarat

dengan keadaanyang tidak merata, baik secara sosial, ekonomi,

politik dan lain-lain.

Keadaan seperti itu secara bernar digambarkan oleh

seorang advokat senior amerika pada waktu member komentar

mengenai tulisan dinding supreme court yang berbunyi” Equal

Justice Under The Law” advokat tersebut dengan sinis menganjurkan

agar kalimat tersebut menggambarkan dengan baik praktik

pegakan hukum di negeri itu, maka sebaiknya ditambah dengan

satu kalimat lagi sehingga menjadi ”Equal Justice Under The Law”- To All

who can Afford It”. Di tempat lain, Chambliss dan seidman juga

membuat cacatan yang sama dengan mengatakan, penegakan hukum

24[24] Ibid., hlm 199

yang dikatan adil adalah suatu mitos belaka. “This Myth of the

operation of Law is given the lie dailiy”.25[25]

Sosiologi hukum yang mengamati keyataan dalam dunia

hukum melihat bahwa penegakan hukum bukanlah aktivitas yang

netral, melainkan memiliki struktur sosialnya sendiri,

sehingga berbeda dari waktu kewaktu, dari sistem kesistem dan

dari satu tempat ketempat lain.26[26]

Berdasarkan pada gagasan Montesquieu yang menganggap

phenomena sosial sebagai ‘benda’ atau, atau sebagaimana

dikatakan, sebagai ‘fakta sosial’ ketika memandang sosial

sebagai benda atau fakta pengamatan menjauh dari penilaian

moral yang berbias dan, justru, berfokus pada sifat-sifat

statitik dan dinamis dari kekuatan sosial.27[27] Kehidupan

sosial masyarakat dalam reformasi dan transformasi di

Indonesia saat ini berbeda dari kehidupan sosial zaman orde

lama dan orde baru. Hal itu, sebagai akibat perkembangan yang25[25] . William J. Chambliss dan Robert B. seidman, law,

order, and power, 1971. “This Myth of the operation of Law is given the lie

dailiy… that the blacks and the poor are not treated fairly or equitably by the police…

that judges have discretion and in fact make policy.. that electoral process is loaded in

favor of the rich,… that one-fifth of the senators of the united states are millionaires. Yet

the myth persists. These the aberrations are thought to be temporary biases. The

framework is nevertheless “on the whole” impartial and neutral. Predetermined rules are

believed to ardain decisions of government, not the valueloaded discration of police,

judges, or bureaucrats.” (p.3)

26[26] Ibid., hlm 202

27[27] George ritzer dan barry smart, handbook of social theory,

diterjemahkan oleh imam muttaqien, derta sri widowatie dan

waluyati, handbook teori sosoial, cetakan kedua ( Bandung: Nusa

Media) hlm 61

dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Perkembangan masyarakat, membentuk perubahan sosial secara

terus-menerus sesuai tempat dan waktu. Perubahan sosial itu,

merupakan suatu dinamika dalam kehidupan masyarakat, baik yang

disebabkan oleh perubahan kondisi geografis, kebudayaan

materiil, komposisi penduduk, ideologi maupun adanya difusi

ataupun penemuan baru dalam mayarakat tertentu. Selain hal

tersebut, juga ditemukan perubahan pada lembaga kemasyarakatan

yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalam nilai,

sikap, dan pola perikelakuan diantara kelompok dalam

masyarakat.

Parsudin suparlan mengemukakan bahwa yang dimaksud

perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan

dalam pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup sistem

setatus, hubungan dalam keluarga, sistem politik, dan kekuatan

serta persabaran penduduk. Perubahan tersebut berkaitan dengan

perubahaan budaya.28[28] Perubahan kehidupan sosial tersebut,

menimbulkan permasalahan-permasalahan yang menuntut

penyelesaian termasuk hukum dalam berbagai bentuknya.29[29]

Indonesia secara tradisional institusi hukum yang

melakukan penegakan hukum adalah kepolisian, kejaksaan, badan

peradilan dan advokat. Di luar institusi tersebut masih ada

diantaranya, jenderal beacukai, direktotarat jenderal pajak,

dan direktorat jenderal imigrasi. Problem dalam penegakan

hukum yang di hadapi oleh bangsa Indonesia perlu untuk di

28[28] Zainudin ali, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ketiga

(Jakarta Sinar grafika,2011) hlm 144

29[29] Ibid., hlm 145

potret dan di petak tujuannya agar para pengambil kebijakan

dapat mengupayakan jalan keluar.

Penegakan hukum atau orang yang bertugas menerapkan

hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab meyangkut

petugas pada strata atas, menegah, dan bawah. Artinya di dalam

melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seyogyanya

harus memiliki suatu pedoman diantaranya peraturan tertulis

tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya.

B.   kasus Penegakan Hukum

1.      Di ibu kota provinsi di Indonesia, misalnya, provinsi

DKI jarang sekali mengambil tindakan terhadap pejalan kaki

yang seenaknya menyebrang jalan. Jika terjadi kecelakaan

lalu lintas, maka ada kecendrungan yang sangat kuat, bahwa

penegemudi kendaraan bermotor yang ditindak. Padahal dalam

pasal 132 undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang lalu

lintas dan angkutan jalan raya peristiwa tersebut

diklasifikasi sebagai peristiwa (tindak) pelanggaran, yang

diatur dalam pasal 284 undang-undang tersebut. Namun entah

mengapa petugas lalulintas di wilayah ini hampir-hampir

tidak pernah menerapkan ketentuan-ketentuan tersebut,

tetapi lebih cendrung untuk menerapkan pasal 359 dan 360

KHUP terhadap pengemudi kendaraan bermotor apabila terjadi

kecelakaan lalu lintas yang melibatkan tabrakan antara

kendaraan bermotor dengan pejalan kaki

2.      Kemudian kasus selanjutnya penyimpangan penegakan hukum

yang di lakukan jaksa selaku penuntup umum berkenaan

penangganan kasus perkara tindak pidana korupsi

PT.jamsostek atas nama ahmad junaidi. Jaksa penuntut umum

tersebut, dalam melaksanakan tugasnya telah melakukan

perbuatan secara melawan hukum atau menyalah gunakan

kekuasaannya, yaitu secara berturut-turut dan berulang

sebanyak 3 (tiga) kali telah memaksa meminta sejumlah uang

kepada ahmad junaidi melalui Aan hadie gusnantho yang

seluruhnya Rp 600.000.000,00 ( enam ratus juta rupiah) dan

telah di terima sebanyak 550.000.000,00 (lima ratus lima

puluh juta rupiah). Berdasarkan perilaku jaksa tersebut,

hakim PN Jakarta selatan mengeluarkan keputusan Nomor:

2122/PID.B/2006/PN.JAKSEL tertanggal 27 februari 2007.

Putusan ini, menghukum masing-masing terdakwa berupa pidana

penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun 8 (delapan)

bulan serta denda masing-masing sebanyak Rp 150.000.000,00

(seratus lima puluh juta rupiah); putusan pengadilan tnggi

Jakarta No.143/PID/2007/PT DKI, dan putusan Mahkamah Agung

No. 208 K/Pid.Sus/2007 tanggal 24 oktober 2007

3.      Contoh kasus lain tindak pidana korupsi, misalnya:

(kasus komisis yudisial, dimana seorang pejabat Negara

tertangkap basah menerima sogokan yang kemudian menjalani

proses hukum, sehingga hakim menjatuhkan putusan tindak

pidana korupsi 8 (delapan) tahun; (2) kasus BLBI, dan (3)

Kasus Jaksa Agung. Selain itu contoh kasus lainnya ialah,

kasus mahkamah agung yang tidak mau di periksa oleh BPK

dengan alasan belum keluar aturan berkenaan penerimaan dan

penggunaan dana/atau biaya perkara.

Berdasarkan keterangan singkat dari contoh kasus

diatas, faktor petugas memainkan peran penting dalam

memfungsikan hukum dan/atau peyalahgunakan hukum. Kalau

peraturan sudah baik, tetapi kualitas penegakan hukum rendah

dan/ atau tahu tapi tidak mau mengetahui dan memfungsikan

hukum maka akan ada masalah. Demikian pula, apabila

peraturannya buruk, sedangkan kualitas petugas baik, mungkin

pula tmbul masalah-masalah hukum.30[30]

Persoalan diatas sebenarnya tidak terlepas pengaruh

status sosial seseorang dalam masyarakat sehingga ketika hukum

atau penegakan hukum berusaha memutuskan sebuah keputusan

hukum terbentur dengan setatus sosial yang dimilki pihak yang

bersangkutan, misalnya orang kaya yang berpengaruh, pejabat-

pejabat pemerintah, dll. Sehingga begrond inilah yang membuat

sulit untuk menentukan kepastian hukum atau penegakan hukum

terhadap para pelaku pelanggaran hukum.

C. Tujuan hukum dalam penegakan hukum

Dalam pergaulan masyarakat terdapat aneka macam

hubungan antara anggota masyarakat, yakni hubungan yang

ditimbulkan oleh kepentingan-kepentingan anggota masyarakat

itu.

Dengan banyak dan aneka raganya hugungan itu, para

anggota masyaakat memerlukana aturan-aturan yang dapat

menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan itu tidak

terjadi kekacauan dalam masyarakat. 31[31] untuk menjaga

peraturan hukum itu dapat berlangsung terus dan diterima dalam

anggota masyarakat, maka peraturan-praturan hukum yang ada

30[30] Ibid., hlm 33- 36

31[31] C.s.t kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,

Cetakan kedelapan, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1989) hlm 40

harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan asas-asas

keadilan dari masyarakat tersebut.

Dengan demikian hukum itu bertujuan menjamin adanya

kepastian hukum dalam masyaakat dan hukum itu harus pula

bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari

masyarakat itu.

Berkenaan dengan tujuan hukum, kita mengenal beberapa

pendapat sarjana ilmu hukum yang diantaranya ialah sebagai

berikut:

1.      Prof. subekti, S.H.

Dalam buku yang berjudul “dasar-dasar hukum dan

pengadilan:, prof. subekti, S.H mengatakan, bahwa hukum itu

mengabdi kepada tujuan Negara yang dalam pokoknya ialah:

mendatangkan keakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya.

Hukum, hukum menurut prof.subekti, S.H., melayani

tujuan Negara tersebut dengan menyelenggarakan “keadilan”

dan “ketertiban” syarat-syaat pokok untuk mendapatkan

kebahagiaan dan kemakmuran di tegaskan selanjutnya, bahwa

keadilan itu kiranya dapat digambarkan sebagai suatu keadaan

keseimbangan yang membawa ketenteraman di dalam hati orang,

dan jika di dilanggar akan menimbulkan kegelisahan dan

kegoncangan.

Keadilan selalu mengandung unsur”penghargaan”,

”penilaian” atau” neraca keadilan.” Dikatakan bahwa keadilan

itu menuntut bahwa” dalam keadaan yang sama tiap orang harus

menrima bagian yang sama pula”

Darimana asalnya keadilan itu? Keadila, menurut prof

subekti, S.H., berasal dari tuhan yang maha esa; tetapi

seorang manusia diberi kecakapan atau kemampuan untuk meraba

atau merasakan keadaan yang dinamakan adil itu. Dan segala

kejadian di alam dunia ini pun sudah semestinya menumbuhkan

dasar-dasar keadilan itu pada manusia.

Dengan demikian maka dapat kita lihat hukum tidak

saja harus mencarikan keseimbangan antara berbagai

kepentingan yang bertentangan dengan satu sama lain, untuk

mendapatkan ”keadilan,” tetapi hukum juga harus mendapatkan

keseimbangan lagi antara tuntutan keadilan tersebut dengan

tuntutan ”ketertiban” atau” kepastian hukum”.

2.      Prof. Mr. Dr. LJ. Van Apeldoorn

Prof. Mr. Dr. LJ. Van Apeldoorn dalam bukunya”

inleiding tot de studie van het nederlandse recht”

mengatakan, bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan

hidup manusia secara damai hukum menghendaki perdamaian.

Perdamaian di antara manusia di pertahankan oleh hukum

dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia

tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda

terhadap pihak yang merugikannya. Kepentingan perseorangan

selalu bertentangan dengan kepentingan golongan-golongan

manusia. Pertentangan kepentingan golongan ini dapat menjadi

pertikaian bahkan dapat menjelma menjadi peperangan,

seandainya hukum tidak bertindak sebagai perantara untuk

mempertahankan perdamaian.

Adapun hukum mempertahankan perdamaian dengan

menimbang kepentingan yang bertengan itu secara teliti dan

mengadakan keseimbangan di antaranya, karena hukum hanya

dapat mencapai tujuan, jika ia menuju peraturan yang adil;

artinya peraturan pada mana terdapat keseimbangan anatara

kepentingan-kepentingan yang dilindungi, pada setiap orang

memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya. Keadilan

tidak dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan

bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang

sama.

Dalam tulisannya ”rhetorica,” aristoteles

memebedakan dua macam keadilan, yaitu keadilan “distributif”

dan keadilan “komunitatif” keadilan distributif ialah yang

memberikan kepada setiap orang jatah menururt jasanya

( pembagian menurut haknya masing-masing). Ia tidak menuntut

sumpaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya:

bukan persamaan, melainkan kesebandingan.

Keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan

kepada setiap oarang yang sama banyaknya dengan tidak

melihat jasa-jasa perseorangan. Ia memegang peranan dalam

tukar menukar; pada pertukaran barang-barang dan jasa-jasa,

dalam mana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara

apa yang dipertukarkan. Keadilan komutatif lebih-lebih

menguasai hubungan antara perseorangan khusus, sedangakan

keadilan distributif terutama menguasai hubungan antara

masyarakat (khususnya Negara) dengan perseorangan khusus.32

[32]

Namun, hukum yang kita miliki tidak pasti, tidak

tertentu, dan tunduk pada perubahan-perubahan yang tidak

dapat di perhitungkan. Masyarakat menganggap kondisi ini

32[32] Ibid., hlm 41-43

merupakan akibat dari ulah para penegak hukum.33[33]hakim

jarang memperlihatkan unsur yang tergantung dalam memberi

alasan, keraguan atau keyakinan apapun yang tidak sepenuh

hati. Kosakata yudisial memiliki beberapa frasa yang

mengungkapkan ketidakpastian seperti dikatakan oleh Sir

Henry Maine.

Ketika sejumlah fakta diajukan didepan pengadilan

untuk mendapatkan putusan hakim, “ seluruh rangkaian diskusi

antara hakim dan pengacara menganggap bahwa tidak ada

pertayaan yang akan, atau dapat, diajukan yang akan

membutuhkan penerapan prinsip apa pun kecuali yang telah

lama diperbolehkan. Akan dianggap wajar sepenuhnya bahwa ada

sebuah aturan hukum yang dikenal yang mencakup fakta-fakta

dari perselisihan yang kini yang diperkarakan, dan bahwa,

jika sebuah aturan hukum tidak ditemukan, maka kesabaran,

pengetahuan atau kecerdasan, tidak akan dapat mendeteksinya.

Pendegar yang belum diberitahu akan memutuskan bahwa

pengabdian dan penasehat tanpa ragu menerima sebuah doktrin

bahwa di suatu tempat, in nubibus, atau in gremio magistratum,

sejumlah. undang-undang yang lengkap, jelas dan simetri,

dengan amplitude yang cukup untuk melengkapi prinsip yang

dapat diterapkan pada gabungan berbagai keadaan yang

mungkin.”34[34]

Jelas disini, bahwa hukum mempunyai tugas untuk

menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Selain itu

33[33] Jerome frank, law and the modrn mind, diterjemahkan oleh

Rahmani astuti, hukum dan pemikiran modern, cetakan pertama

( Bandung: Nuansa cendekia, 2013) hlm 40

34[34] Ibid., hlm 43-44

dapat pula disebutkan bahwa hukum menjaga dan mencegah agar

setiap orang menjadi hakim /penegak hukum atas dirinya

sendiri (eigenrichting is verboden), tidak mengadili dan

menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum terhadap

dirinya. Naumun tiap perkara, harus diselesaikan melalui

proses pengadilan, dengan perantaraan hakim atau penegak

hukum lainnya berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku35[35]

D.    Permasalahan penegakan hukum

Maka, kalaupun banyak perbincangan akhir-akhir ini

berpusar di seputar masalah yang bikin galau tentang

‘mengapa hukum tak kunjung bisa tegak dan tak bisa

ditegakkan dengan mudah dengan hasil yang baik’, pangkal

masalahnya sebenarnya bukan pada masalah penegakannya itu

sendiri. Analisis teoritik sebagaimana yang dibentang-

bentangkan di muka menyimpulkan bahwa kesulitan utama ialah

pada kenyataan yang harus diakui, baik oleh para teoritisi

pengkaji maupun oleh para praktisi pelaksana, bahwa hukum

undang-undang yang harus ditegakkan itu dibentuk dan dibuat

berdasarkan realitas normatif –preskriptif yang berada di

alam kesadaran rasionalitas para elit pembuatnya. Ada celah

selisih yang menganga besar antara intensi para penguasa

pembuat kebijakan itu dengan realitas yang ada di alam

kesadaran warga tentang apa yang harus disebut hukum yang

adil dan apa yang bukan hukum menurut persepsi dan konsepsi

rakyat. Pemaksaan berdasarkan sanksi pidana dan

tindakan;polisionil yang dibenarkan secara sepihak

berdasarkan hukum publik, yang administratif ataupun yang35[35] C.s.t kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Indonesia., Op. cit ., hlm 45

strafrechtelijk, hanya akan berakhir dengan perlawanan dan/atau

pembangkangan sipil, yang acapkali tak cuma bersifat

simbolik melainkan sering pula bersifat fisikal.36[36]

Jika dikaji dan ditelaah secara mendalam, setidaknya

terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di

Indonesia, ketujuh faktor tersebut yaitu sebagai berikut ;

1.(Pertama ), lemahnya political will dan political action para

pemimpin negara ini, untuk menjadi hukum sebagai panglima

dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain,

supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang

didengung-dengungkan pada saat kampanye.

2.(Kedua), peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih

lebih merefleksikan kepentingan politik penguasa ketimbang

kepentingan rakyat.

3.(Ketiga), rendahnya integritas moral, kredibilitas,

profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum

(Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum.

4.(Keempat), minimnya sarana dan prasana serta fasilitas yang

mendukung kelancaran proses penegakan hukum.

5.(Kelima), tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang

masih rendah serta kurang respek terhadap hukum.

6.(Keenam) ,paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis

yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal

justice) daripada keadilan substansial (substantial justice).

36[36] Soetandyo Wignjosoebroto, “ hukum yang tak kunjung

tegak apa yang salah dengan kerja penegakan hukum di Indonesia,”

http://soetandyo.wordpress.com/2012/12/30/hukum-yang-tak-kunjung-

tegak-apa-yang-salah-dengan-kerja-penegakan-hukum-di-negeri-ini/

#more-223 Akses 30 Desember 2012

7. (Ketujuh), kebijakan (policy) yang diambil oleh para pihak

terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan penegakan

hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif

dan tersistematis.37[37]

E.  Upaya penegakan hukum yang berkeadilan

Penegakan hukum wajib ditegakkan secara sama dan

merata tanpa melihat beground setiap pelaku pelanggaran hukum

dengan menjunjung tinggi asas-asas keadilan. Sebagaimana

dikemukakan enam tokoh tentang persyaratan keadilan tercapai

melalui sebagai berikut:

1.      Mill: persyaratan keadilan tercapai melalui pencarian

hakikat umum di dalam konsep-konsep yang ada selama ini

mengenai apa yang adil dan tidak adil;

2.      Rawls: persyaratan keadilan tercapai melaui pilihan

rasional didalam seting yang fair;

3.      Nozick: persayratan keadilan bagi hak-hak minimal

tercapai melalui pendeduksian maksim Kantian yang

memperlakukan setiap peribadi sebagai tujuan akhir, bukan

hanya sebagai alat/cara;

4.      Para uskup: persyatan keadilan tercapai melalui

perwujudan visi keadilan berbasis iman dalam perinsip-

perinsip filosofis dan teologis mengenai kewajiban dan

hak;

37[37] Ferry A Karo Karo Sitepu, “Masalah Penegakkan Hukum Di Indonesia

Saat Ini (" Runcing Kebawah Tumpul Keatas ” ) ( Quo Vadis PenegakkanHukum ),” Dalamhttp://www.gbkp.or.id/index.php/208-gbkp/bacaan-populer/319-masalah-penegakkan-hukum-di-indonesia-saat-ini-runcing-kebawah-tumpul-keatas-quo-vadis-penegakkan-hukum, Akses 25 Juni 2013

5.      Neibuhr: persyaratan keadilan tercapai melalui

perinsip kasih berbasis-iman yang selalu tarik ulur

dengan realitas-realitas dosa;

6.      Miranda: persyaratan keadilan tercapai melalui

konfirmasi al-kitab bagi analisis marxis tentang ketidak

adilan yang dialami kaum tertindas.38[38]

Dalam kaitan penegakan hukum pandangan Soerjono

Soekanto (1983) masih dapat menjadi rujukan kita dalam

memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan

hukum. Menurut Soerjono Soekanto ada lima faktor yang dapat

memengaruhi hukum: Pertama, faktor hukum itu tersendiri; Kedua,

faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang

terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukum; Ketiga,

faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan

hukum; Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di

mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, dan; Kelima,

faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. Kaitannya

dalam hal ini, penegak hukum semestinya lebih mengedepankan

sifat moralitas serta mentalitasnya, dalam melaksanakan

penegakan hukum tanpa memandang kasta dan strata sosial dalam

tatanan kehidupan masyarakat. Hal ini bertujuan agar morality of

law dapat diimplimentasi dengan sempurna, walaupun dalam

kaitannya antara moralitas hukum dengan moralitas masyarakat

sosial, memiliki perbedaan. Namun, minimal ketika hal ini

38[38] Karen leback, six theories of justice, diterjemahkan oleh,

yudisantoso, teori-teori keadilan analisis kritis pemikiran

J.S.Mill,J.Rawls, R.Nozick, R.Neibuhr,J.P.Miranda, cetakan kelima

(Bandung: Nusa media, thn) hlm 237

dapat terbangun, maka aspek kesadaran hukum bagi masyarakat

akan mudah untuk diwujudkan. Dalam hal ini prilaku penegak

Hukum sangat mempengaruhi terhadap berkerjanya prinsip ini.

Upaya penegakan hukum yang berkeadilan, aspek pemahaman hukum

bagi aparat penegak hukum kiranya perlu ditinjau ulang oleh

setiap instansi penegak hukum, agar dapat menumbuhkan

integritas, kredibilitas, dan kapabilitas aparat penegak

hukumnya. Setiap aparat penegak dapat menggerakkan dan

mengaktualisasikan hukum, karena perlu dipahami jika hukum itu

tidak dapat bergerak dengan sendirinya. Sehingga ungkapan

“hukum itu selalu terlambat” adalah keliru. Upaya penumbuhan

pemahaman hukum bagi para penegak dapat dilakukan melalui

program pendidikan dan pelatihan terpadu yang dapat terus

menerus membina sikap mental, meningkatkan pengetahuan dan

kemampuan intelektualitas tiap aparat hukum tersebut. Agenda

pengembangan kualitas profesional di kalangan profesi hukum

ini perlu dipisahkan dari program pembinaan pegawai

administrasi dilingkungan lembaga-lembaga hukum tersebut.

Aspek penting Selain dari pada upaya penumbuhan

pemahaman hukum bagi para penegak hukum. Satu aspek penting

lainnya dalam rangka penegakan hukum adalah proses

pembudayaan, pemasyarakatan, dan pendidikan hukum (law

sosialization and law education) terhadap masyarakat. Hal ini

dibutuhkan agar masyarakat memahami hak-haknya dalam hukum,

serta tidak diperlakukan semena-mena terhadap mereka, dan yang

lebih penting agar mendapatkan kesamaan di depan hukum (equality

before the law). Jika tanpa didukung oleh kesadaran, pengetahuan

dan pemahaman oleh para subyek hukum dalam masyarakat, maka

nonsens suatu norma hukum dapat diharapkan tegak dan ditaati.

Karena itu, agenda pembudayaan, pemasyarakatan dan pendidikan

hukum ini perlu dikembangkan tersendiri dalam rangka

perwujudan ide negara hukum. Minimal sekali ketika hal ini

dapat terwujud, maka praktik-praktik kotor, seperti

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini

dilakukan oleh penegak hukum akan dapat sama-sama ditegahi.

Dengan demikian, sudah selayaknya para penegak hukum melakukan

upaya-upaya yang dapat menumbuhkembangkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dan prinsip-prinsip keadilan masyarakat.

Sehinga kata “keadilan” ataupun “kebenaran” dapat terwujud

dalam makna dan hakikat yang sebenarnya.39[39]

Dari beberpa penjelasan tentang teori keadilan

menurut pandangan beberapa tokoh diatas serta solusi yang

ditawarkan tersebut bisa menjadi pertimbangan oleh para

penegak hukum dalam mengambil keputusan sehingga hukum yang

berkeadilan bisa tercapai dengan baik.

39[39] http://aceh.tribunnews.com/2013/04/27/, menyoal-perilaku-

penegak-hukum “Menyoal Perilaku Penegak Hukum,”Akses, 27 April 2013

BAB III

PENUTUP

A.    SIMPULAN

Setelah melihat dari penjelasan sebelumnya serta

kasus-kasus yang ada maka dapat di ketahui penegakan hukum

di Indonesia masih belum seutuhnya otonom selalu terbentur

dengan problem yang lain. Seperti pengaruh satus sosial dan

problem-problem yang lain sehingga Hukum hanya tajam kebawah

terhadap masyarakat yang lemah asas hukum yang mengatakan

bahwa semua orang sama dihadapan hukum hanyalah mitos belaka

karena dalam realitanya asas tersebut tidak berlaku bagi

kaum timokrasi.

Lemahnya mental dan moral para penegak hukum serta

budaya hukum kita yang salah. Menyebabkan semangkin carut-

marunya penegakan hukum di Indonesia ditambah persoalan lain

seperti fasilitas hukum yang kurang memadai pelayanan

pemerintah terhadap para penegak hukum yang kurang begitu

diperhatikan sehingga persoalan-persoalan ini menciptakan

peluang untuk melakukan kecurangan karena keadaan serta

lingkungan yang tidak mendukung. Dampak negatif yang timbul

kurang percayanya masyarakat kepada para penegak hukum

menjadi dilema bagi para penegak hukum. Ditambah Kurangnya

kontrol pemerintah terhadap proses penegakan hukum di

Indonesia membuat peluang pelanggaran semangkin besar.

B.     SARAN

Kondisi hukum yang semangkin hari sangat terpuruk

karena para penegak hukum belum bisa otonom dalam

penegaknnya, masih terpengaruh dengan problem klasik paling

tidak untuk menuju pembangunanan hukum yang otonom harus

melakukan reformasi hukum. Ada berapa komponen yang perlu

diperhatikan adalah sebagai berikut:

1.       Struktur Hukum yaitu sistem hukum, yang terdiri

atas bentuk hukum, lembaga-lembaga hukum, perangkat

hukum. Penataan kembali terhadap struktur dan lembaga-

lembaga hukum yang ada termasuk rekrutmen sumber daya

manusianya yang berkualitas.

2.       Substansi Hukum yaitu nilai-nila atau asas-asas

yang terkandung dalam aturan tersebut yang mengandung

usnsur keadilan. Dengan Perumusan kembali hukum yang

berkeadilan

3.       Budaya Hukum yaitu terkait dengan profesionalisme

para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya serta

kesadaran masyarakat dalam menaati hukum. Meningkatkan

kembali budaya hukum dengan cara menyelesaikan kasus-

kasus pelanggaran hukum dan mengikut sertakan rakyat

dalam penegakkan hukum. Serta membangun Penerapan

konsep Good Governance dengan memberikan Pendidikan

publik untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap

hukum.

Selain reformasi diatas perlu juga diperhatikan kepada

para pengambil kebijakan harus menerima berbagai problem

penegakan hukum.Dalam perbaikan serta pembenahan hukum

diperlukan kesabaran tanpa harus bertindak instant yang

berakibat fatal kepada penegakan hukum itu sendiri. Perlu

disadari persoalan hukum sangat kompleks sehingga para

penegak hukum harus memiliki pengetahuan yang luas dari

bebrbagai keilmuan lain. Perlu juga di perhatikan

kesejahteraan aparat penegak hukum dari segi keuangan dll.

Dan partisipasi publik dari Semua pihak mempunyai peran

dalam pembenahan penegakan hukum. Sehingga penegakan hukum

itu tidak hanya dipahami sebagai tanggung jawab lembaga

penegakan hukum semata melainkan semua masyarakat sadar

bahwa penegakan hukum adalah tanggung jawab bersama.