56
UNIVERSITAS INDONESIA Implikasi bagi Anak yang Terpapar Kekerasan Domestik (Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT-) Disusun sebagai tugas akhir semester mata kuliah Perlindungan Anak Aditya Awal Sri Lestari 12062050834 Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Depok, 2014

Implikasi bagi Anak yang Terpapar Kekerasan Domestik (Kekerasan Dalam Rumah Tangga -KDRT)-

  • Upload
    ui

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

UNIVERSITAS INDONESIA

Implikasi bagi Anak yang Terpapar Kekerasan Domestik

(Kekerasan Dalam Rumah Tangga –KDRT-)

Disusun sebagai tugas akhir semester mata kuliah Perlindungan Anak

Aditya Awal Sri Lestari 12062050834

Departemen Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

Depok, 2014

2

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar belakang masalah

Anak-anak yang menjadi saksi atau terpapar peristiwa kekerasan dalam lingkup

keluarga dapat mengalami gangguan fisik, mental dan emosional.1 Ekspos kekerasan

dalam rumah tangga (KDRT) pada anak dapat menimbulkan berbagai persoalan baik

dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti:

ancaman terhadap keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya

berbagai gangguan mental. Sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi

anak terlibat dalam perilaku kekerasan dan pelecehan di masa depan, baik sebagai

pelaku maupun korbannya.

Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu

individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan/atau mental.

Menurut Indra Sugiarno, kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah

suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang seharusnya menjaga dan

melindungi anak (care-taker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual, maupun

emosi.2

Pengalaman menyaksikan KDRT pada masa kanak telah diketahui sebagai salah

satu faktor penting yang dapat menjelaskan terjadinya KDRT atau kekerasan dalam

relasi intim di masa dewasa. Anak laki-laki yang tumbuh dalam keluarga yang

mengalami kekerasan memiliki resiko tiga kali lipat menjadi pelaku kekerasan

terhadap isteri dan keluarga mereka di masa mendatang; sedangkan anak perempuan

saksi KDRT akan berkembang menjadi perempuan dewasa yang cenderung bersikap

1 Megan H. Bair-Merritt, Mercedes Blackstone and Chris Feudtner. 2006. Physical Health Outcomes of Childhood Exposure to Intimate Partner Violence: A Systematic Review. Journal of Pediatrics.Hlm 279 2 Data diolah dari Kemenpppa. “Anak Korban Kekerasan” 2009.

3

pasif dan memiliki resiko tinggi menjadi korban kekerasan di keluarga mereka

nantinya.3

I.B. Rumusan Masalah

Peneliti melihat adanya kemungkinan apabila seorang anak memiliki rekam jejak

masa kecil yang menjadikan ia terpapar kekerasan domestik (atau kekerasan dalam

rumah tangga) dapat menjadi korban ataupun pelaku di masa depan. Namun yang

ingin peneliti lebih mencari tahu adalah implikasi dari seorang anak yang sering

(lebih dari dua jenis) kekerasan dalam rumah tangga.

I.C. Pertanyaan Penelitian

a. Apa saja jenis kekerasan dalam rumah tangga yang terpapar oleh informan?

b. Bagaimana implikasi atau dampak dari ia yang terpapar kekerasan dalam

rumah tangga?

I.D. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui apa saja jenis kekerasan yang dapat terpapar oleh seorang

anak,

b. Untuk mengetahui dampak dari seorang anak yang terpapar kekerasan dalam

rumah tangga.

3

Holt, Buckley, & Whelan. 2008. The impact of exposure to domestic violence on children and young

people: a review of the literature. US National Library of MedicineNational Institutes of Health. Hlm

258

4

BAB II

KAJIAN LITERATUR DAN KERANGKA KONSEP

II.A. Kajian Literatur

Judul 1 : Children Exposed to Domestic Ciolence: Conclusions from the

Literature and Challenge Ahead.

Penulis : Overlien, Carolina. 2010.

Publikasi : Journal of Social Work, SAGE Publication.

Dewasa ini, kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu aspek yang

dengan mudah dapat ditemui dalam kebanyakan anak-anak. Paparan yang terjadi

terhadap anak di bidang kekerasan domestik, dalam 30 tahun terakhir telah

difokuskan dalam hal perempuan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku.

Penelitian mengenai anak yang terpapar kekerasan dalam rumah tangga meningkat

secara eksponensial dengan penelitian yang dilakukan oleh Holden, et.al tahun 1998

yang memeriksa publikasi artikel dalam rentang 1975 hingga 1995 mengenai anak-

anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga dengan hasil selama rentang waktu

tersebut, hampir lima kali lebih banyak anak yang terkena kekerasan dalam rumah

tangga. Tujuan dari penelitian ini bagi penulis adalah memberikan gambaran

penelitia, membahas implikasi bagi anak ke depannya serta tantangan masa depan

dengan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis.

Terminologi dan Taksonomi

Holden (2003) menyatakan salah satu permasalahan yang dihadapi dalam

meneliti anak-anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga adalah kurangnya

terminologi umum dan definisi yang sekiranya dapat digunakan di lapangan secara

langsung. Salah satu akibat dari kurangnya terminologi umum adalah tingkat

prevalensi menjadi lebih sulit untuk dibandingkan, baik karena variabilitas dalam

5

pemahaman dan pelaporan dalam kekerasan rumah tangga serta peneliti dan praktisi

yang mendefinisikan anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga berbeda.

Di tahun 1970-an awal, di Amerika Utara, menggunakan dua istilah yakni „untuk

bersaksi‟ dan „untuk mengamati‟, hal ini berdampak cukup signifikan bagi anak

karena mereka menjadi saksi dan pengamat yang hampir secara eksklusif tergantikan

oleh paparan kekerasan. Istilah ini menurut Fantuzzo dan Mohr (1990) menjadikan

lebih inklusif dan tidak membuat asumsi khusus dari pengalaman anak-anak dengan

kekerasan. Bagi banyak peneliti, anak bukannya penerima pasif namun sebagai agen

aktif yang mana dalam hidupnya pengalaman kekerasan menjadi penting yang dapat

memaksa anak dan dalam banyak kasus memaksa mereka juga untuk bertindak.

Prevalence

Kebanyakan studi prevalensi secara nasional belum mengangkat isu ini secara

serius. Satu studi di Amerika Serikat, menunjukkan 617 orang dewasa perempuan,

20% diantaranya melaporkan telah banyak menyaksikan bentuk kekerasan fisik

antara orang tua mereka selama masa anak-anak. Di Kanada, anak-anak dalam

500.000 rumah tangga di Kanada terkena kekerasan dalam rumah tangga (The

General Social Study, 2001). Peneliti mengacu pada sebagian besar perempuan yang

menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekat mereka dan menarik

kesimpulan bahwa anak-anak menjadi lebih besar pula jumlahnya untuk terpapar

kekerasan dalam rumah tangga.

Emotional and Behavioural Consequences

Dalam 10 tahun terkahir, penelitian yang dilakukan terakit dengan tema ini

menyimpulkan bahwa paparan kekerasan dalam rumah tangga memiliki

kemungkinan kuar dalam merugikan anak sehingga menimbulkan kemungkinan besar

agresi, depresi, kemarahan, kecemasan. McAlister Groves (2001) berpendapat bahwa

kekerasan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang paling beracun untuk anak-

anak. Sebagian besar peneliti menemukan bahwa anak-anak memiliki dampak negatif

atas kekerasan yang dilakukan oleh ayah mereka. Bogart et al (2006) menemukan

6

gejala trauma ditemukan pada bayi usia satu tahun yang telah terkena kekerasan

dalam rumah tangga yang prah (dengan mendengar atau melihay kekerasan).

Hasil penelitian 10 tahun terakhir juga memberikan hasil anak-anak memiliki

kemungkinan terdiagnosa DSM-IV PTSD dan merupakan kelompok paling rentan

menerima PTSD. Adamson dan Thompson (1998) menemukan anak-anak dalam

studi mereka yang memiliki riwayat terkena kekerasan domestic bereaksi dengan

intensitas emosional mereka yang besar untuk konflik daripada anak-anak yang tidak

tumbuh dalam lingkungan terpapar kekerasan. Penelitian lanjutan menemukan bahwa

kekerasan dalam rumah tangga dalam meningkatkan resiko masalah perilaku.

Wolfe et.al (2003) dalam 41 studi kasus di Amerika Serikat mengenai paparan

kekerasan dalam rumah tangga jelas terkait dengan masalah perilaku dan emosional.

Kernic et al (2003) menyebutkan lebih lanjut bahwa anak-anak yang terpapar tersebut

memiliki masalah signifikan pada perilaku termasuk perilaku dan kompetensi sosial

dengan miskin eksternalisasi dibandingkan dengan kontrol. Di Italia, anak-anak yang

terpapar kekerasan domestik lebih memungkinkan untuk terkena juga bullying di

sekolah dan bereaksi lebih keras untuk berkonflik pula dengan teman sebayanya. Lee

et al (2004) menemukan bahwa anak-anak yang langsung turun tangan dalam

tindakan kekerasan memiliki tingkat perilaku tidak terlalu bermasalah daripada

mereka yang tidak. Hutch dan Bocks (2008) menemukan stres yang disalurkan lewat

pengasuhan memiliki efek negatif langsung yang secara kuat berdampak pada anak

(perilaku dan masalah emosional).

Long term consequences

Dalam melihat dampak jangka panjang dari anak-anak yang terpapar kekerasan

rumah tangga adalah teori siklus kekerasan atau transmisi antargenerasi kekerasan.

Dengan teori sosial belajar yang menemukan anak-anak terpapar kekerasan domestic

lebih mungkin untuk kasar sebagai orang dewasa dan mengekspresikan pandangan

yang menggunakan penggunaan kekerasan (Wallace, 2002; Lichter dan McClosky,

2004). Proses penelitian dengan teori ini lebih kompleks dengan menunjukkan

bentuk-bentuk lain dari penganiayaan anak seperti penelantaran yang menjadi faktor

7

resiko yang penting dalam memprediksi apakah anak tersebut ketika tumbuh dewasa

akan menjadi kasar.

Children at Risk Violence and Abuse

Anak-anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga memiliki resiko

mengalami bentuk-bentuk kekerasan lain seperi pelecehan anak secara fisik yang

lebih dimungkinkan terjadi di keluarga dimana posisi ibu disalahgunakan. Moore dan

Pepler (1998) menemukan 42% anak-anak dari studi penelitian mereka terkena

kekerasan dalam rumah tangga juga disiksa secara fisik. Lebih lanjut Apple dan

Holden (1998) memiliki 30 studi dan semuanya menunjukkan hubungan jelas antara

kekerasan dalam rumah tangga dan penganiayaan terhadap anak, termasuk pelecehan

seksual terhadap mereka. McCloskey et.al. (1995) menemukan bahwa 10%

perempuan dewasa yang babak belur akibat pertengkaran mengalami pelecehan

seksual yang juga dialami oleh anak perempuannya juga.Peneliti berpendapat bahwa

penyebab kekerasan dalam rumah tangga dapat beranekaragam yakni faktor

structural, lingkungan, dinamika keluarga, dan faktor individu.

Edleson et.al. (2003) melaporkan 25% dari 114 anak perempan yang babak belur

dalam penelitian mereka telah meminya bantuan dan 25% terlibat langsung dalam

kekerasan tersebut. Semakin parah ibu dari anak-anak tersebut dilecehkan, semaki

sering anak-anak akan ikut campur. Anak-anak yang terkena kekerasan dalam rumah

tangga telah digambarkan sebagai korban yang tidak diinginkan. Ketiak anak campur

tngan dalam tindak kekerasan mungkin ada kekerasan yang dihadapi oleh anak yang

bersifat tidak diinginkan sebagai kekerasan kebetulan. McCloskey (2001)

menyebutkan 65% pria yang melukai istrinya juga telah mengancam akan menyakiti

anak-anak.

Conclusion

Dalam ulasan ini, terdapat anak-anak yang memiliki dampak dari kekerasan

rumah tangga yang lebih besar dari yang sebelumnya dipahami. Peneliti harus

berhati-hati dalam menggambarkan anak-anak yang hidup dengan penuh kesulitan,

8

dengan menghargai pengalaman mereka. Banyak anak yang menunjukkan ketahanan

yang luar biasa baik dengan atau tidak intervensi efektif dari para ahli sehingga

memerlukan studi longitudinal sebagi pemahaman dari efek perubahan kekerasan dari

waktu ke waktu. Terdapat bukti yang jelas mendukung temuan bahwa anak-anak

yang terkena kekerasan dalam rumah tangga mengalami peningkatan resiko menjadi

korban secara fisik dan pelecehan seksual. Untuk praktisi, perlu adanya perlindungan

pelayanan anak dan tempat bagi penampungan perempuan yang mengalami

kekerasan domestik. Yang diharapkan dapat mengurangi resiko anak dalam

mengembangkan masalah emosional dan/atau masalah perilaku dan berkerja secara

aktif dalam mendukung hubungan ibu-anak setelah kekerasan domestik terjadi.

Mengembangkan, mendukung, mengevaluasi berbagai bentuk intervensi pada

hubungan menjadi hal yang penting.

9

Judul 2 : Children’s Experiences of Domestic Violence: Developing an

Integrated Response Form Police and Child Protection Service.

Penulis : Nick Stanley, et.al. 2011.

Publikasi : SAGE Publication.

Sistem yang dikebangkan dengan baik untuk pelayanan yang diberikan oleh

polisi kepada anak sebagai sarana komunikasi informasi dan koordinasi tanggapan

terhadap anak dan keluarga yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Kedatangan polisi menjadi penting sebagai perlindungan insiden kekerasan dalam

rumah tangga dan sebagai bentuk pelayanan public dalam mengidentifikasi

kebutuhan dalam menyampaikan intervensi dalam mendukung dan melindungi

korban – anak-anaknya.

Layanan perlindungan anak dapat memberikan intervensi yang ditargetkan untuk

anak-anak yang menjadi paling beresiko berbahaya dan bertujuan dalam mengurangi

paparan kekerasan pada anak serta memastikan keselamatan mereka. Dalam

mengembangkan layanan yang terkoordinasi membutuhkan strategi perencanaan

sebagai evaluasi inisiatif yang telah dijalankan. Studi penelitian ini melaporkan

sistem yang berkolaborasi antara polisi dan pelayanan sosial anak dalam kasus

kekerasan rumah tangga yang emlibatkan anak-anak dalam dua otoritas lokal di

Inggris. Kolaborasi ini melibatkan polisi yang memberitahu pelayanan sosial anak-

anak dari semua insiden kekerasan dalam rumah tangga. Selanjutnya polisi

mengarahkan anak-anak ke pelayanan sosial anak jika mereka memiliki keprihatinan

tentang keselamatan dan kesejahteraan dalam insiden kekerasan domestik.

Interagency Collaboration – Police and Child Protective Services

Studi yang dilakukan oleh hallett (1995) mengungkapkan adanya koordinasi antar

lembaga dalam pihak berwenang menemukan penilaian pekerja sosial melibatkan

polisi dalam kasus cedera fisik didasarkan pada tingkat keseriusan yang terjadi,

apakah berupa luka parah atau masih dapat ditangani lewat mediasi. Cross et.al

10

(2005) meneliti layanan perlindungan anak di Amerika Serkat dalam kasus dengan

dan tanpa keterlibatan polisi menemukan bahwa polisi terlibat lebih mungkin untuk

memiliki atau menuduhkan yang membahayakan dengan pembuktian dan menerima

layanan dari anak itu. Penulis menyarankan keterlibatan polisi dapat memperkuat

intervensi pekerja sosial dengan memberikan kualitas yang lebih baik dari investigasi

dan bukti sebagai pinjaman kewenangan dan keselamatan dalam proses penilaian.

Penelitian ini menawarkan kesempatan dalam berlajar antarmuka antara polisi

dan pusat pelayanan perlindungan anak dalam kasitannya dengan insiden kekerasan

domestic. Dirancang untuk mengidentifikasi karakteristik insiden dan keluarga yang

diberitahukan kepada pelayanan sosial anak-anak, mendirikan dan memberitahukan

informasi apa yang perlu disampaikan oleh pelayanan sosial anak-anak dalam

pemberitahuan dan menerima kasus dan layanan yang perlu diberikan.

Method

Penelitian ini dilakukan dalam tahun 2006 – 2009 dan memasukkan restrospektif

analisis polisi dan catatan pelayanan sosial dalam 251 insiden kekerasan dalam rumah

tangga di dua pemerintahan daerah bagian utara dan selatan di Inggris. Satu daerah

termasuk daerah perkotaan di pinggir sebuah kota besar dan yang lainnya terdiri dari

campuran daerah pedesaan dan perkitaan. Penggunaan dua tempat ini dimaksudkan

untuk menangkap vcariasi dalam prosedur lokal dan praktik yang diketahui di

dalamnya ada kaitan dengan pemberitahuan polisi mengenai insiden kekerasan dalam

rumah tangga.

Memilih sampel dalam rentang waktu ini memungkinkan peneliti mengikuti

intervensi pelayanan sosial anak-anak dengan anak-anak dan keluarganya dalam

periode 21 bulan setelah pemberitahuan asli. Sampai dengan insiden mewakili sekitar

sepertiga dari semua insiden kekerasan dalam rumah tangga, di kedua lokasi dan

petugas polisi berkomentar bahwa ini adalah proporsi yang lebih rendah dari yang

mereka harapkan untuk diberitahu karena mereka menganggap anak-anak dalam

rumah tangga sekitar setengah dari insiden di daerah mereka pada tahun 2009.

11

Data dilengkapi dengan lima puluh delapan wawancara secara individu dengan

polisi (delapan spesialis dari 10 petugas garis depan), pendukung kekerasan domestic

(6), mengawasi petugas (9), pekerja sosial anak (13), pelayanan sosial administrator

nak-anak (2), dan manajer (10) di dua lokasi tersebut. Staf pelayanan sosial anak-

anak sebagian besar adalah perempuan, dan hanya lima polisi yang merupakan

perempuan. Sebagian dari mereka, memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun di

bidang mereka masing-masing.

Peserta diminta untuk menggambarkan dan mengomentari proses untuk merekam

dan mentransfer informasi antara polisi dan anak-anak pelayanan sosial dan

mengidentifikasi kekuatan serta kelemahan dari sistem ini. Data yang direkam dari

polisi mencakup informasi demografis tentang keluarga, rincian luka yang diderita,

senjata yang digunakan dan apakah mereka melakukan hal tersebut di bawah

pengaruh zat. Data deskriptif analitis yang tersedia dalam basis data laporan

penelitian polisi dapat digunakan dalam memberitahu pelayanan sosial anak-anak

yang bervariasi dalam dua wilayah.

Data pelayanan sosial anak-anak dikumpulkan dalam file elektronik dan kertas

serta dokumen hukum. Data dari polisi dan catatan pelayanan sosial anak-anak yang

awalnya dimasukkan dalam lembar-lembaran terpisah, kemudian ditransfer ke dalam

proyek ini. Data kuantitaif kemudian diubah menjadi kode-kode dan dianalisa

menggunakan SPSS. Basis data yang terpisah digunakan untuk polisi dn pelayanan

sosial anak-anak dengan variabel kunci yang bergabung untuk memeriksa intervsni

pelayanan sosial anak-anak yang berkaitan dengan karakteristik asli insiden

kekerasan dalam rumah tangga. Data kualitatif diambil dari data yang dianilisi

menggunakan dua tema yang dihasilkan oleh data dan yang ditarik dari pertanyaan

penelitian serta studi kasus yang dikembangkan untuk kasus yang menerima

intervensi dari pelayanan sosial anak-anak.

Standar pendekatan analisa data kualitatif untuk data wawancara yang disimpan

dan diurutkan dengan bantuan program NViwo, data dari survey LSCB dianlisa

12

secara manual dengan persetujuan etis dalam studi ini disediakan oleh komite etika,

University of Central Lancashire.

Limitations of the Research

Variasi yang ditermukan dalam jumlah informasi yang tersedia dalam kasus yang

diteliti dan ini berlaku baik antara polisi dan pelayanan sosail anak-anak. Hal ini

dapat dikaitkan dengan sebagian pergeseran dari fokus insiden pada kekerasan dalam

rumah tangga dengan catatan polisi untuk berfokus pada kasus keluarga. Dalam

pemberitahuan, terdapat 12 keluarga yang menyumbang 5% dari pengurangan ukuran

sampel, namun 22% dari sampel asli kalah dalam penelitian seiring dengan

perjalanan melintasi bada lain karena file telah dipindah ke layanan sosial lainnya,

file hilang atau tidak tersedia.

Beeman, Hagiemen, Edellson (2001) menggambarkan masalah yang sama dalam

pencocokan data polisi dan pelayanan sosial. Hal ini menggambarkan masalah yang

sama dalam pengalaman praktisi kesulitan dalam mentransfer dan mengambil

informasi pada keluarga.

New Developments in Filtering and Risk Assessment Systems

Survei yang diadakan oleh LSCB membeirikan kesempatan untuk

mengembangkan gambaran mengenai berbagai pendekatan layanan di seluruh Inggris

dan Walles untuk mengatasi beberapa masalah dalam hal notifikasi pelayanan anak-

anak korban kekerasan domestic.Survei yang dilakuakn antara Desember 2007 dan

Januari 2008, menghasilkan 57 respon dengan 30 responden diidentifikasi melakukan

praktik inovatif dalam kaitannya untuk pemberitahuan kepada polisi di daerah mereka

dengan memberikan beberapa contoh pernyataan kebijakan atau protocol. Inovasi

lokal yang dilakukan sebagai respon terhadap volume pemberitahuan yang tinggi atas

kekhawatiran bahwa anak-anak dan orang tua yang hidep dalam kekerasan domestic

tidak menerima layanan dan beberapa responden lain menyebutkan bahwa kekerasan

yang langsung dapat ditangani merupakan kunci dalam tinjauan lokal kematian anak.

13

Brandon et.al (2009) menemukan bahwa kekerasana dalam rumah tangga adalah

yang paling umum terjadidalam karakteristik kematian anak belajar. Responden

survey menggambarkan berbagai lembaga yang berkontribusi terhadap beragam

inovasi yang muncul untuk pemberitahuan keketasan rumah tanga di daerah mereka.

Layanan sosial tampil sebagai mitra dalam semua model pendekatan inovatif dan

polisi sebagai mitra dalam setengah pendekatan pelaporan. Pendekatan pertama kali

diidentifikasi dengan tujuan meningkatkan kemungknan awal untuk intervensi

dengan mengalihkan keluarga jauh dari pelayanansosial maupun kesehatan.

Pendekatan kedua melibatkan pertemuan biasa dan panel yang melakukan

pemberitahuan secara screening. Pekerja sosial diasumsikan untuk membantu ti

kekerasa polisi dalam rumah tangga.model ketiga mennsyaratkan pemanfataan

prosedur penilaian resiko polisi sebagai alat saring keluarga dalam hal pelayanan

setelah insiden kekerasa dalam rumah tangga. Evaluasi respon menggunakan tiga

tingkatan dalam menentukan tingkat respon pelayanan sosial anak-anak yakni emas :

perlindungan hukumd ari pelayanan anak, perak dalam hal membangkitkan dukungan

keluarga, dan perunggu untuk insiden beresiko rendah yang tercatat dalam basis data

pelayanan sosial sebagai catatan kontak. Model keempat mrupakan upaya

mengembangkan sebuah matriks dalam menentukan risk-assessment yang berfokus

pada anak sebagai korban. Menurut Bell dan McGoren (2003) matriks ini

menawarkan kerangka kerja dalam mengorganisir infomrasi pada anak dan

mengklasifikasikan kebutuhan anak dan keluarga dsalah satu dari empat tingkat

respon pelayanan.

Discussion

Selain masalah insiden, pernyataan saksi, informasi mengenai masalah yang

menunjukkan krentanan anak-anak merupakan hal yang tidak kalah penting untuk

polisi menginformasikan kepada pelayanan perlinfungan anak untuk membantunya

dalam memberikan intervensi yang tepat. Sejarah sebelum insiden seperti catatan

criminal, keterlibatan pelayanan sosial sebelumnya dalam keluarga. Penelitian ini

menunjukkan mekanisme untuk membawa informasi bersejarah bersama-sama dalam

14

menginfomrasikan kepada pelayanan sosial terbatas dan pekerje sosial tampaknya

belum menggunakannya secara sistematis.

Tindak lanjut keluarga menjadi penting seperti penawaran dokter spesialis dalam

menangani kekerasan dalam rumah tangga. Matriks yang terkadang disediakan oleh

kepolisian, acapkali penilaiannya bergantung pada pendekatan apa yang digunakan

untuk menuntut salah satu dari sejumlah tanggapan terhadap pertanyaan , dan kerap

kali polisi tidak membuka dialog dengan para korban yang bisa dibilang memiliki

informasi lengkap berkaitan dengan resiko yang akan muncul.

Conclusion

Studi ini memberikan bukti kemajuan antara polisi dan pelayanan perlindungan

anak yang telah dibuat sebagai respon terhadap anak yang mengalami paparan

kekerasan dalam rumah tangga dan mengidentifikasi kekurangan utama dalam hal

tingkat respon yang diperlukan. Hal ini juga memfokusan perhatian pada tantangan

yang akan terjadi dalam hal dua muka lembaga sebagai pelayanan public universal

dan memiliki target tertentu.

Definisi dari anak-anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga sebagai

bentuk penganiayaan di bawah hukum terlah membawa keterlibatan anak-anak dalam

masalah perhatian di lembaga tertentu, namun pelayanan yang diberikan Nampak

hanya memberikan respon yang efektid dalam mendiskriminasikan antara tingkat

kebutuhan dan penwaran berbagai tingkat intervensi.

15

Judul 3 : How Much Does “How Much” Matter? Assessing the Relationship

Between Children’s Lifetime Exposure to Violence and Trauma Symptoms ,

Behavior Problems, and Parenting Stress

Penulis : Laura J. Hickman, Lisa H. Jaycox, Claude M. Setodji, Aaron

Kofner, Dana Schultz, Dionne Barnes-Proby and Racine Harris

Publikasi : Journal of Interpersonal Violence, SAGE Publication. 2012.

Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi pertumbuhan yang stabil dalam

empiris dan teoritis literature megenai topik paparan anak terhadap kekerasan baik di

ranah sekolah, masyarakat. Eksposur ini menyebabkan kekhawatiran yang jelas

mengenai bahaya fisik dan jangka panjang dalam perkembangan mental kesehatan

bagi anak-anak. Berdasarkan temuan penelitian yang dilakukan untuk survey anak

yang terkena kekerasan sampai dengan usia 17 tahun dan yang lebih muda, 61% telah

terpapar dengan berbagai aspek kejahatan, serangan fisik (46%), pelanggaran

property (25%), penganiayaan oleh orang tua atau pengasuh (10%) dan menyaksikan

kekerasan di rumah (25%).

Dalam studi yang dilakukan oleh Finklehor et al. (e.g., Finkelhor, Ormrod, &

Turner, 2007a; Finkelhor, Ormrod, & Turner, 2007b; Finkelhor, Ormrod, & Turner,

2009; Finkelhor, Ormrod, Turner, & Hamby, 2005; Turner, Finkelhor, & Ormrod,

2010), mengungkapkan bahwa literature sebelumnya berfokus secara sempit pada

satu jenis paparan daripada memeriksa dampak potensial dari beberapa jenis paparan.

Hal ini dapat dilihat sebagai refleksi dari masalah yang lebih umum dalam

pemeriksaan paparan anak-anak terhadap kekerasan dimana penelitian yang sedang

dilakukan mengambil pendekatan yang lebih komprehensif.

Dalam karya sebelumnya, Finkelhor et,.al telah menetapkan polyvictimizatio

yang menggunakan pertanyaan kebohongan untuk anak-anak dan remaja yang

melakukan 34 tipe tertentu penyimpangan. Contohnya adalah penyerangan terhadap

pengasuh, mengalami penelantaran, penyerangan, penculikan keluarga, kekerasan

16

seksual. Meluasnya polyvictimization ini didefinisikan menurut jumlah jenis

kekerasan yang mereka alami dengan lebih banyak jenis kekerasan polyvictimzation

lebih besar. Berdasarkan data yang diperoleh dari the National Survey of Children‟s

Exposure to Violence, Turner, Finklehor, and Ormrod (2010) menemukan

polyvictimization lebih penting dan mampu menjelaskan gejala PTSC (Post

Traumatic Syndrome Diagnose) dari paparan yang berulang dan spesifik.

Method

Data dari penelitian ini diambil dari National Evaluation of Safe Start Promising

Approaches (SSPA), yang didanai oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat

yang diluncurkan pada 2005. SSPA dikemabngkan nntuk melaksanakan dan

mengevaluasi program bebrbasis bukti yang dimaksudkan untuk membantu anak-

anak yang telah mengalami kekerasan dan keluarga mereka (Hyde, Kracke, Jaycox,

& Schultz, 2008).. Penelitian ini menafaatkan data dari Sembilan komponen SSPA

yang digunakan untuk desain eksperimental acak yang menugaskan tiap keluarga

untuk kelompok intervensi ataupun kontrol.

Data Collection and Measure

Data dikumpulkan secara pribadi oleh pewawancara terlatih yang telah diberikan

penilaian standar untuk pengasuh utama. Penelitian ini hanya menggunakan data

dasar dari National Safe Start Evaluation, yang dikumpulkan sebelum penugasan

keluarga untuk kondisi tertentu. Tindakan pengasuh yang dilaporkan digunakan untuk

penelitian ini yang terdiri dari karakteristik demografi, paparan anak terhadap

kekerasan, gejala stress pasca trauma (PTSD) pada anak, masalah perilaku anak,

pengasuh anak yang sehari-hari mengalami stress.

Pengasuh anak dan demografis ini dikumpulkan dengan menggunakan modifikasi

dari instrument yang digunakan dalam studi longitudinal penelanataran dan kekerasan

yang dialmi oleh anak (2010) dengan konsorsium dari studi penelitian longitudinal

dengan menilai etiologi dan dampak dari penganiayaan anak. Pertanyaan yang

ditanyakan bersifat tertutup, karakteristik demografis (jenis kelamain, ras/etnis, status

17

perkawinan, pengasuh dan pendapatan rumah tangga, dll) dan juga pengasuhan serta

kesehatan fisik anak, masalah emosional, dukungan atau bantuan yang diterima

pengasuh.

Paparan anak terhadap kekerasan diukur melalui versi laporan pengasuh.

INstrmen JVQ asli terdiri dari 34 item menjadi 17 item, Penelitian ini memanfaatkan

16 item, dengan menghilangkan satu item rasa sakit emosional yang disebabkan oleh

saudara atau rekan dengan penolakn atas nama panggilan. Ke-16 jenis item paparan

kekerasan dibagi dalam empat kategori, yakni a) serangan fisik : termausk memukul,

menyakiti anak dengan atau tanpa senjata; b) penganiayaan anak oleh orang dewasa :

pengabaian fisik, penculikan keluarga, masalah psikologis dan emosional, c)

penyaksian kekerasan : melihat serangan terhadap orang tua atau saudara, melihat

serangan lain dengan atau tanpa senjata, melihat pembunuhan; d) pelecehan seksual.

18

Tabel 1 ini menunjukkan masing-masing 16 tipe eksposur dan jumlah masing-

masing pendukungnya.

Laporan pengasuhan anak dengan gejala PTSD ditangkap dngan Trauma

Symptom Checklist for Young Children PTSD subscale (TSCYC; Briere et al.,

2001). Hal ini diberikan hanya untuk anak-anak dengan usia 3 hingga 10 tahun dan

terdiri dari 27 item yang meminta pengasuh untuk menilai frekuensi pada bulan lalu,

apakah anak ini melakukan ini atau tidak.

Masalah perilaku anak yang dinilai pada ukuran di ukuran yang berbeda,

tergantung usia anak. Anak-anak dengan usia 3 tahun dan yang lebuh tua, masalah

perilaku ditangkap dengan Behavior Problems Index (BPI). Pengasuh ditanya

mengenai kesepakatan mereka dengan serangkaian pernyataan tentang perilaku anak

dalam satu bulan terakhir. Untuk anak-anak dengan usia 1 hingga 3 tahun, masalah

perilaku diukut dengan the Brief Infant-Toddler Social and Emotional Assessment

(BITSEA; Briggs-Gowan & Carter, 2002) yang berisi 31 item yang emminta

pengasuh menilai masalah perilaku pada skala poin. Dalam penelitian sebelumnya,

skor BITSEA ditemukan berkolerasi tinggi dengan peringkat bersamaan evaluator

dan memprediksi skor masalah satu tahun kemudian.

Statistical Approach

Dalam mengeksplorasi hubungan antara paparan kekerasan seumur hidup dan

perilaku gejala mental kesehatan anak-anak serta stress orang tua, menggunakan

beberapa model statistik. Model pertama termasuk ukuran tunggal dari total frekuensi

seumur hidup insiden paparan kekerasan dan semua jenis yang terkandung di

dalamnya. Model dua, dalam setiap set menambahkan variabel keuda yang

menunjukkan polyvictimization apakah korban mewakili :a) satu kategori kekerasan,

b) jatuh di dua atau lebih kategori kekerasan. Model ketiga, variabel frekuensi seumur

hidup total diganti dengan empat variabel yang dibagi frekuensi total seumur hidup

menjadi kategori paparan tertentu dengan a) frekuensi insiden penganiayaan, b)

frekuensi kekerasan yang menyakitkan, c) frekuensi serangan viktimisasi, d)

frekuensi pelecahan seksual.

19

Variabel kontrol yang termasuk adalah karakteristik demografi anak atau

pengasuh atau rumah tangga yang mungkin memiliki beberapa hubungan dengan

gejala stres anak dan orang tuanya.hal ini termasuk usia, ras, jenis kelamin, hubungan

pengasuh anak, status kesehatan pengasuh, jumlah anak-anak yang diasuh.

Result

Pertama, peneliti menyajikan deskripsi dari total eksposur kekerasan seumur

hidup dari 768 anak-anak dalam sampel penelitian. Lebih lanjut lagi, dalam table 2

menunjukkan pengasuh utama melaporkan anak yang terkena hampir 15 jenis insiden

kekerasan lebih seumur hidup mereka. Untuk 44% dari anak-anak, paparan seumur

hidup mereka terbatas pada satu jenis kategori kekerasan.

Yang paling umum kategori paparan yang sedang menyaksikan kekerasan diikuti

dengan mengalami penganiayaan dan mengalami serangan fisik. Viktimisasi seksual

adalah tipe paling umum dari paparan, dengan pengasuh yang melaporkan anak-anak

pernah mengalami insiden kekerasan seumur hidup. Pengasuh juga melaporkan anak-

anak yang diambil dalam sampel, rata-rata menyaksikan 8,8 insiden kekerasan dalam

hidup mereka.

Dalam pengujian hubungan antara paparan kekerasan dan gejala negative yang

mungkin bisa dihasilkan adalah polyvictimization didefinisikan sebagai paparan

untuk kategori kekerasan, muncul sebagai prediktor paling konsisten. Dalam

pengujian definisi yang berbeda, hanya variabel yang dikotomis diperlukan untuk

menangkap efek ini. Paparan dua atau kategori lainnya, menunjukkan gejala lebih

buruk dibandingkan degan mereka yang terkena kategori tunggal.

Secara keseluruha, total paparan yang diterima seumur hidup oleh anak tidak

sangat berpengaruh pada gejala perilaku negative, tapi tidak setiap kategori dan

paparan mengendalikan polyvictimization dengan pengecualian tunggal pelecehan

seksual dan gejala PTSD. Hal ini merupakan campuran dari pengalaman paparan

yang memprediksi dampak negatif pada anak.

20

Judul 4 : Multi-Prepetator Domestic Violence

Penulis : Michael Salter

Publikasi : Trauma Violence Abuse, SAGE Publication. 2013.

Kekerasan paradigmatic yang dialami oleh perempuan dan/atau anak-anak

biasanya melibatkan satu pelaku dan satu korban. Meskipun diakui adanya relasional

kualitas kekerasan yang memiliki dampak luar pelaku dengan korban yang berangka

dua. Terdapat heterogenitas dalam kekerasan yang dialami oleh perempuan dan

memiliki konsekuensi penting dalam tanggapan dan hasil yang akan diambil oleh

mereka.

Jumlah pelaku yang terlibat dalam insiden kekerasan fisik atau seksual terhadap

perempuan diidentifikasi sebagai ukuran penyalahgunaan multiprepetator. Penelitian

menunjukkan proporsi yang signifikan dari insiden kekerasan terhadap anak-anak dan

peremouan yang melibatkan beberapa pelaku dan penyalahgunaan ini mungkin harus

direncanakan dan dikoordinasikan antar pelaku.

Perempuan yang termasuk korban dalam jurnal ini, dimaksudkan sebagai multi-

prepetator domestic violence (MDV) seseorang yang bagi pasangannya manrik

ornang lain ke dalam partisipasi korban secara fisik dan/atau seksual. Termsuk

dengan insiden kekerasan yang melibatkan pelaku yang berbeda serta keterlibatan

beberapa perilaku dalam pola penguntitan dan kontrol yang koersif. Menurut data

yang berhasil dikumpulkan oleh Centre for Disease Control and Prevention selama

satu decade terakhir, instrument data kasus kekerasan dalam rumah tangga seringkali

menimbulkan pertanyaan posisi pelaku.

Critical point of Research View

Perempuan yang melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada polisi atau

membutuhkan perlindungan dari pelaku, acapkali enggan untuk melaporkan

keadaannya dengan beberapa pertimbangan seperti

21

1. Anak perempuan dan orang perempuan dewasa bermitra untuk anggota

kelompok kejahatan yang beresiko tinggi terhdap MDV

2. Dalam beberapa komunitas etnis minoritas, jaringan kerabat-teman berkoalisi

dalam korban koletif perempuan

3. MDV muncul dari kondisi sosial dan ekonomi marjinal dimana kekerasan

kolektif terhadap anak perempuan dan perempuan sebagai sarana untuk membangun

dan melindungi kehormatan maskulinitas dan statusnya

4. MDV mencakup tingkat penyiksaaan dan pembunuhan dari kekerasan dan

korban memiliki berbagai masalah mental, fisik, hingga psikososial.

Prevalence and Characteristic of MDV

Saat ini tidak ada data yang tersedia dalam masyarakat mengenai prevalesni

MDV karena survey yang dilakukan dalam skala besar tentang kekerasan terhadap

perempuan dan anak perempuan tidak berkaitan dengan kekerasan multi-pelaku dan

pelecehan. Dari 9.475 laporan dari perempuan korban pasangan maupun mantan,

dalam tahun 1994 hingga 1996 terdapat 0,35% kasus yang melibatkan beberapa

pelaku.

Sebuah studi yang menunjukkan > 240.000 perempuan yang melakukan kontak

dengan layanan kekerasan dalam rumah tangga di Illionis, Amerika Serikat

menemukan bahwa 2,4% perempuan melaporkan beberapa pelaku. Selama 12 bulan

layanan kekerasan dalam rumah tangga di Adelaide, Australia, perempuan mencari

perlindungan dari berbagai pelaku (yakni sekitar 16% dari total kasus yang terlapor).

Peneliti melaporkan bahwa pelanggaran ini lebih cenderung termasuk kekerasan

seksual dan pemerkosaan, lebih mungkin dilakukan oleh mantan pasangan daripada

pasangan saat ini dan baik korban dan pelaku cenderung untuk lebih muda daripada

insiden lain yang sedang diteliti. Menurut Caldwell, Swan, dan Woodbroan (2012),

kekerasan dalam rumah tangga apabila dilakukan oleh perempuan kepada laki-laki

tidak akan berbahaya, namun hal terjadi sebaliknya bila dilakukan oleh laki-laki

terhadap perempuan.

22

The Challenges of Responding to MDV

Kebijakan yang bertujuan untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan

jarang mengakui kompeksitas dari jenis yang dialami oleh perempuan yang

mengalami MDV. Tantangan tersebut diakui dan dibahas dalam layanan perempuan,

namun layanan ini biasanya kekurangan dana dan bisa berjuang untuk terus berupaya

dalam mengakomodasi kebutuhan klien yang kompleks. Dalm hal ini, kita berbicara

satu set lebih luas dari pertanyaan mengenai kurangnya kesetraan gender dalam

kesehatan dan kesejahteraan dimana keburuhan perempuan dalam kaitannya dengan

penyalahgunaan dan trauma seringkali diabaikan sedangkan anak perempuan dan

perempuan dalam masyarakat migrant dan etnis emnghadapi beban khusus terutama

dalam status budaya.

Lembaga yang bertugas untuk menangani kekerasan kelompok terkait, acapkali

mengabaikan kepentingan perempuan dan anak perempuan yang terkena dampak ini.

Etnis minoritas dan imigran perempuan yang melarikan diri, MDV, telah bermerk

melodramatic dan manipulative oleh polisi ketika mereka berusaha untuk melaporkan

pelecehan yang mereka alami (Payton, 2011, hlm 71-72) serta cerita mereka

mengenai multi-pelaku kekerasan fisik dan seksual diragukan kebenarannya oleh

pengadilan. Perilaku ini berbeda dengan best practice yang mencoba

merekomendasikan korrdinasi yang lebih baik antar lembaha yang membutuhkan

investigasi dengan dana yang lebih besat.

Model baru dalam penanganan kekerasan seperti Multi-Agency Risk Assessment

Conference, menawarkan model yang menjanjikan intervensi dalam keadaan tertentu

dengan keterlibatan polisi, pelaku kekerasan dalam rumah tangga, lembaga lainnya

dimana mereka merencanakan aksu untuk kejahatan yang beresiko tinggi dalam

rumah tangga, bagaimana menangani dan mengkoordinasikannya jika hal tersebut

terjadi di kemudian hari.

Conclusion

23

Arikel ini telah menerangkan bentuk kriminalitas teroragnisir yang diabaikan

dalam bentuk hubungan kasar yang membentuk lokus terkoordinasi antara fisik dan

seksual terhadap perempuan. MDV dapat terjadi bersama dengan bentuk kejahatan

terogranisir lainnya seperti geng atau timbul dengan dukungan dan partisipasi dari

keluarga dan teman di kekerasan dalam rumah tangga.

Meetoo dan Safia Mirzi (2007) menekankan pada cara yang dilakukan unruk

perampasan sosial ekonomi dari jenis yang dialami oleh migran, pengungsi,

komunitas etnis lain yang mengkatalisasi tren budaya terhadap nilai patriarki dan

konservatif dalam mempromosikan kekerasan terhadap perempuan. Geng terkait

dalam MDV juga muncul dalam masyarakat sosio ekonomi yang kekurangan,

terpinggrikan, anak laki-laki dan laki-laki berusaha untuk meningkatkan prestise

mereka melalui kekerasan dan kriminalitas dalam ketiadaan alternative yang lebih

konstruktif.

Pemahaman dari MDV yang mengakui interseksionalitas dari gender, ras, etnis,

agama, sosial, budaya, menghindari politisasi proyeksi MDV dalam masyarakat yang

rentan dan terpinggrikan. Ada berbagai hambatan untuk penyidikan, penuntutan, dan

pengobatan kekerasan dalam rumah tangga, termasuk pelaku kendali atas korban

melalui emosional, fisik, dan sarana keuangan. Namun, kendala tersebut diperpara

dalam kasus MDV, di mana upaya dari pasangan atau mantan pasangan sebagi tindak

lanjut dari penyalahgunaan, melecehkan, atau pelukaan terhadap korban didukung

oleh asosiasi kriminal dan/atau keluarga dan rekan-rekan. Kelompok dapat memiliki

kepentingan dalam kontrol dan membungkam dari wanita yang mungkin, dalam

kasus kejahatan terorganisir dan geng.

24

Jurnal 5 : Children’s Exposure to Violence in the Family and Community

Penulis : Gayla Margolin and Elana B. Gordis

Publikasi : Current Directions in Psychological Science, SAGE Publication.

2004.

Kekerasan merupakan masalah kesehatan masyarakat, dan anak-anak sangat

rentan untuk terkena dampaknya. Kekerasan merupakan aspek yang paling halus

fungsi dalam penyerangan tubuh manusia seperti perilaku kognitif, sosial, dan

emosional. Gangguan dominan dapat memengaruhi perkembangan anak-anak dengan

perkembangan proses yang khas dengan dampak yang bergantung pada waktu, jenis,

kronisitas paparan kekerasan.

Kekerasan didefinisikan dalam banyak cara yang berbeda dalam penelitian

tentang efek yang pada anak-anak. Kategori utama dari kekerasan yang telah diteliti

adalah (a) penganiayaan anak, termasuk kekerasan fisik, pelecehan seksual, dan

penelantaran; (b) agresi antara orang tua; dan (c) kekerasan masyarakat, termasuk

korban langsung dan kesaksian dari kekerasan (Appel & Holden, 1998; Margolin &

Gordis, 2000). Berbagai keparahan kekerasan bahwa anak-anak mengamati atau

belajar dari pengalaman. Beberapa bentuk agresi parah, seperti pemukulan atau

penggunaan senjata, dapat traumatis kepada korban dan pengamat. Bentuk lain dari

agresi, seperti mendorong atau mendorong dan hukuman fisik, dianggap normatif

oleh banyak masyarakat. Di sampel yang diambil dari populasi pada umumnya,

rendah keparahan agresif perilaku mungkin cukup sebagai kriteria untuk kekerasan.

Rates of Exposure

Perkiraan paparan kekerasan yang diterima oleh anak-anak bervariasi karena

definisi yang berbeda dna metode pengumpulan data. Dalam menggunakan data tidak

resmi dari professional yang berkerja dengan anak memperkirakan sekitar 23 dari

1.000 anak menjadi korban penganiayaan, termasuk kekerasan fisik, seksual, dan

penelantaran.

25

Straus (1992), ekstrapolasi bahwa tiap tahun > 10 juta anak-anak di Amerika

Serikat menyaksikan agresi fisik antar orang tua mereka dan tingkat kekerasan dalam

masyarakat umumnya didasarkan pada wawancara atau survey pada anak-anak dan

dikuatkan oleh wawancara kepada orang tua.

Richters dan Martinez (1993) melaporkan paparan kekerasan masyarakat adalah

sangat umum, dan sepertiga dari anak-anak yang menjadi korban (sekitar 90%

diantaranya) melihat sekali kekerasan setidaknya, selama mereka hidup.

Effects of Exposure to Violence

Dalam jangka pendeknya, yang mungkin terjadi adalah anak-anak yang

mengalami kekerasan dalam bentuk apapun mungkin menunjukkan gangguan

perilaku seperti agresi dan kenakalan; emosional dan gangguan mood seperti depresi

dan kecemasan; posttraumatic gejala stres seperti mengagetkan berlebihan, mimpi

buruk, dan kilas balik; masalah yang berhubungan dengan kesehatan dan gejala

somatik seperti tidur gangguan; dan masalah akademik dan kognitif. Beberapa bentuk

kekerasan cenderung memiliki konsekuensi tertentu. Misalnya, seksual bertindak

keluar kadang-kadang merupakan konsekuensi tertentu pelecehan seksual.

Dalam melihat dampak, kita tidak dapat menampik dalam mnggunakan teori

pembelajaran sosial, teori pembelajaran sosial, yang menurut anak-anak belajar dari

model agresif dalam lingkungan mereka. Selain itu, korban dapat mengganggu

kemampuan anak untuk mengatur emosi mereka, dan sebagai akibatnya mereka dapat

bertindak keluar agresif. Pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan paparan kekerasan

antara orang tua dan di masyarakat semuanya telah dikaitkan dengan agresi, dengan

link khususnya terdokumentasi dengan baik untuk kekerasan fisik.

Gejala stres pasca trauma dan gangguan stres pasca trauma (PTSD) adalah

konsekuensi penting dari paparan kekerasan karena mereka dapat mengganggu fungsi

sosial dan perilaku. PTSD dan depresi dapat mengganggu kemampuan belajar ereka

dan kemampuan untuk tampil baik di depan kelas.

26

Dalm jangka panjang, Dalam 20 – 30 tahun prospektif studi oleh Ehrensaft et al.

(2003), anak-anak yang mengalami kekerasan antara orang tua mereka kemudian

lebih cenderung melakukan kekerasan terhadap pasangannya ketika mereka dewasa

dan harus diperlakukan dengan kekerasan juga oleh pasangan dewasanya daripada

anak-anak yang tidak terkena kekerasan; anak-anak yang disiksa secara fisik telah

peningkatan tingkat melukai pasangan. Widom (1998) menyimpulkan bahwa masa

kanak-kanak yang mengalami proses viktimisasi meningkatkan risiko perilaku

kriminal dan mental lainnya masalah kesehatan, namun siklus ''kekerasan tidak

deterministik atau tak terelakkan''.

Conclusion

Paparan kekerasan pada keluarga dan komunitas memerlukan bantuan

pengemabngan pada anak-anak yang mengalami hal tersebut. Model penjelasan

faktor individu sangat penting untuk dilakukan dalam hal melawan efek dari

kekerasan yang perlu untuk ditangkal. Meskipun penelitian sebelumnya telah

menekankan apa yang salah dengan anak-anak yang telah mengalami kekerasan,

fokus pada anak-anak adaptasi yang sukses adalah sama pentingnya. Ketahanan

paparan tersebut adalah fungsi dari bagaimana anak-anak mengelola dan memotong

rantai pendek negatif reaksi, misalnya, melalui pemecahan masalah yang efektif,

mendukung tanggapan dari keluarga atau teman-teman, dan kesempatan untuk sukses

di sekolah.

Paparan anak-anak terhadap kekerasan yang sering terjadi tanpa disadari dan

tanpa pengawasan oleh orang tua dan oleh para profesional yang bekerja dengan

anak-anak. Orangtua biasanya meremehkan paparan anak-anak mereka terhadap

kekerasan dan bahkan mungkin tidak menyadari pelecehan di rumah. Anak-anak

terkena kekerasan cenderung menunjukkan gejala yang berhubungan dengan jenis

umum ketidakmampuan menyesuaikan diri.

27

II.B, Kerangka Konsep

1. Anak

Anak adalah individu yang berada di bawah usia legal mayoritas, yaitu usia

dimana seseorang tidak lagi dianggap sebagai minor dan sudah mencapai masa

kedewasaan. Konvensi PBB tentang Hak Anak mengatakan bahwa anak berarti setiap

manusia di bawah umur 18 tahun, kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada

anak, kedewasaan dicapai lebih awal.4

Batas usia yang ditetapkan untuk menentukan bahwa seseorang dikatakan masih

anak-anak ataupun tidak sangatlah kabur di Indonesia:5

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatakan bahwa syarat usia

perkawinan 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki,

UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefinisikan anak berusia

21 tahun dan belum pernah kawin,

UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefinisikan anak adalah

orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia delapan tahun, tetapi belum

mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin,

UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 tahun dan belum pernah kawin,

UU. No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memperbolehkan usia 15 tahun

untuk bekerja,

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan

wajib belajar 9 tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 sampai 15 tahun,

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatakan bahwa anak

adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang berada dalam

kandungan,

4 M. Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 10

5 Ibid., halaman 9

28

UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatakan

bahwa penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah

berumur 14 tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman

pidana penjara 7 tahun atau lebih.6

Untuk membatasi definisi, kami menggunakan definisi yang terdapat pada UU

No 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak (mengatakan bahwa anak adalah

seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang berada dalam kandungan).

Ringkasan Pedoman Kerja Bagi Anak-anak : Divisi Pemeriksaan Tenaga Kerja

Departemen Tenaga Kerja, Hong Kong7 Berdasarkan Peraturan Kerja, pengertian

“Anak – anak” ditentukan sebagai seseorang yang berusia dibawah 15 tahun.

Konvensi Hak Anak, Pasal 1: Seorang anak berarti setiap manusia di bawah umur

delapan belas tahun kecuali menurut undang-undang yang berlaku pada anak,

kedewasaan dicapai lebih awal.

Konvensi Kementrian Pengembangan Perempuan dan Anak India. (India: First

Periodic Report on CRC)8 dalam Bab 2, pasal 1 : A “child” as every human being

below the age of 18 years, it allows for minimum ages to be set, under different

circumstances, balancing the evolving capacities of the child with the State‟s

obligation to provide special protection. Accordingly, Indian legislation has

minimum ages defined under various laws related to the protection of child rights.”

Family Code: The Parent-Child Relationship And The Suit Affecting The Parent-

Child Relationship9, Sec. 101.003 “Child" or "minor" means a person under 18 years

of age who is not and has not been married or who has not had the disabilities of

minority removed for general purposes”

6 Ibid., halaman 130-131

7 Diakses dalam

http://www.labour.gov.hk/eng/public/lid/BahasaIndonesiaConciseGuideEmploymentChildrenRegulation.pdf 22 Februari 2014 pukul 21:00 8 Diakses dalam http://wcd.nic.in/crcpdf/crc-2.pdf pada 22 Februari 2014 pukul 22:26 9 Family Code Ch.1 , Definitions. Texas Constitution and Statutes. Diakses dari http://www.statutes.legis.state.tx.us/SOTWDocs/FA/htm/FA.101.htm pada 22 Februari 2014 pukul 23:00

29

KUHAP Indonesia, Pasal 330 : Secara implisit, dijelaskan bahwa “Belum dewasa

adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak

lebih dahulu telah kawin.”

30

2. Kekerasan dalam rumah tangga

Kekerasan domestik terdapat banyak sekali definisinya. Oleh karenanya, penulis

mengambil beberapa definisi yang sekiranya relevan dengan apa yang ingin penulis

capai

Menurut Departemen Kehakiman, Amerika Serikat, kekerasan dalam rumah

tangga yakni “a pattern of abusive behavior in any relationship that is used by one

partner to gain or maintain power and control over another intimate partner.”10

Di

mata hukum, definisi dari kekerasan dalam rumah tangga hanya berfokus pada

kekerasan fisik dan yang mengakibatkan perlukaan pada bagian fisik pasangan.11

II.C. Kerangka Konsep

Tahun 1989, Majelis Umum PBB menyelesaikan dan meratifikasi Konvensi Hak

Anak. KHA mengandung hal-hal penting seperti yang diungkapkan dalam Hak Asasi

Manusia yang mengandung 54 pasal. Terdapat empat isu utama yang ingin diangkat

dalam konvensi ini, yaitu non-diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak

hidup, serta kelangsungan tumbuh-kembang serta penghargaan bagi anak.

Empat prinsip tersebut tertuang jelas dalam beberapa pasal dalam Konvensi Hak

Anak. Hak untuk bebas dari diskriminasi yang tertuang dalam pasal 2 : “Negara-

negara peserta akan menghormati dan menjamin hak-hak yang diterapkan dalam

konvensi ini bagi setiapanak yang berada dalam wilayah hokum mereka tanpa

diskriminasi dalam bentuk apapun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis kelamin,

bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain, asal-usul

kebangsaan, etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau

status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orang tua atau walinya yang sah”.

(Ayat 1). “Negara-negara peserta akan mengambil semua langkah yang perlu untuk

10 Diakses dari http://www.ovw.usdoj.gov/domviolence.htm pada 30 Mei 2014 pukul 21:30 11

Goodmark, Leigh. 2012. A Troubled-Marriage: Domestic Violence and The Legal System. USA: New York University Press. Hlm 33

31

menjamin agar anak dilindungi dari semua bentuk diskriminasi atau hukuman yang

didasarkan pada status, kegiatan, pendapat yang dikemukakan atau keyakinan dari

orang tua anak, walinya yang sah atau anggota keluarga”. (Ayat 2).

Dalam pasal 3 ayat 1, “dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang

dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau badan

legislatif. Maka dari itu, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi

pertimbangan utama.” Pasal ini dimaksudkan untuk anak dapat terlibat dalam setiap

kebijakan yang dibuat. Anak tidak berada dalam posisi yang dirugikan atas apa yang

dilakukan oleh orang dewasa.

Hak untuk hidup, berkelangsungan, dan perkembangan. Hak ini senada

dengan pasal 6, yaitu (1) negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak

memiliki hak yang melekat atas kehidupan. (2) Disebutkan juga bahwa negara-negara

peserta akan menjamin sampai batas maksimal kelangsungan hidup dan

perkembangan anak.

Penghargaan untuk tiap pendapat anak penting untuk dilakukan dengan

harapan mereka akan belajar untuk berbicara dan mengutarakan pendapat serta orang

dewasa tidaklah mengambil keputusan secara sepihak menyangkut apapun terhadap

anak. Hal ini senada dalam pasal 12 KHA, yaitu “Negara-negara peserta akan

menjamin agar anak-anak yang mempunyai pandangan sendiri akan memperoleh hak

untuk menyatakan pandanganpandangannya secara bebas dalam semua hal yang

mempengaruhi anak, dan pandangan tersebut akan dihargai sesuai dengan tingkat usia

dan kematangan anak”.

Apabila dalam beberapa paragraph diatas, lebih dijabarkan mengenai anak,

dalam paragraph berikutnya akan dicoba untuk dipaparkan mengenai kekerasan

dalam rumah tangga (korban dan pelaku) serta anak yang terlibat di dalamnya.

Kekerasan dalam rumah tangga acapkali dilakukan oleh pasangan terhadap

pasangannya yang lain. Hal ini dapat menyerang laki-laki maupun perempuan sebagai

korbannya, namun yang kerap kali terjadi di Indonesia adalah perempuan menjadi

korban karena posisi partriarki dan ketidakmampuan perempuan dalam beberapa

aspek dibandingkan laki-laki.

32

Banyak sekali bentuk kontrol dan intimidasi yang bisa dilakukan oleh seorang

laki-laki terhadap pasangannya, misalnya dengan “penghancuran” rumah yang

mereka huni bersama. Permempuan menemukan dirinya dalam posisi tidak dapat

berbuat apa-apa dikarenakan beberapa faktor, seperti sulit untuk hidup secara mandiri

dengan kondisi keuangan yang dimilikinya sendiri dan memikirkan kondisi anak-

anaknya jika tidak bersama dengan pasangannya sekarang.12

Dalam konteks Indonesia, Soeroso (2010) juga menjelaskan bahwa penyebab

terjadinya kekerasan dalam rumah tangga dapat digolongkan menjadi dua faktor,

yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah faktor-faktor di luar

diri si pelaku kekerasan. Individu yang tidak memiliki perilaku agresif dapat

melakukan tindak kekerasan bila berhadapat dengan situasi yang menimbulkan

frustasi, misalnya kesulitan ekonomi yang berkepanjangan atau perselingkuhan yang

dilakukan suami atau istri. Faktor internal menyangkut kepribadian dari pelaku

kekerasan yang menyebabkan ia mudah sekali melakukan tindak kekerasan bila

menghadapi situasi yang menimbulkan13

Kebanyakan perempuan yang mengalami masalah dalam kekerasan di rumah

tangga, mengelami lebih dari satu jenis kekerasan misalnya fisik dan psikologis yang

dilakukan oleh pasangannya. Tidak jarang, apabila anak-anak mereka sedang berada

di rumah, anak-anak dapat melihat apa yang sedang dilakukan oleh orang tua mereka.

Bentakan dan teriakan tidak jarang ditemukan dalam kondisi keluarga yang tengah

didera masalah kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini yang menjadi fokus utama

dari tulisan ini, yakni implikasi bagi anak-anak yang terpapar kekerasan dalam rumah

tangga.

12 McGee, Caroline. 2000. Childhood Experiences of Domestic Violence. United Kingdom: Jessica Kingsley Publishers. Hlm 34 13 Margaretha, Rahmaniar Nuringtyas, dan Rani Rachim. 2013. Childhood Trauma of Domestic Violence and Violence in Further Intimate Relationship. UI Journal: Makara Seri Sosial Humaniora. Hlm 33

33

BAB III

Metode Penelitian

A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.

Menurut Ragin (1994:92), metode kualitatif sangat berbeda dengan metode

kuantitatif dalam hal perbedaan kualitatif melihat data sebagai sesuatu yang lebih

besar, dapat dipergunakan untuk menganalisa permasalahan penelitian dan

melihat masalah penelitian dari segala sisi.14

Kualitatif dalam kriminologi pertama kali dipergunakan di Amerika Serikat

dalam pekerjaan Chicago School. Mereka menggunakan teknik etnografi dan

ekologis dalam memecahkan masalah sosial mengenai kejahatan.15

B. Jenis Penelitian

B.1. Tujuan Penelitian

Penelitian deskriptif yang biasa disebut juga dengan penelitian taksonomik.

Dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan klarifikasi mengenai satu fenomena atau

kenyataan sosial.16

B.2. Manfaat Penelitian

Penelitian terapan dengan kegunaan dan penerapan pengetahuan. Fokus

utama adalah memproduksi pengetahuan yang praktis dan memiliki aplikasi

langsung untuk menekan masalah masyarakat luas atau publik. Dirancang untuk

14 Neuman, W. Lawrence. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches 6th Edition. USA: Pearson Education. Hlm. 14 15 Lesley Noaks dan Emma Wincup. 2004. Criminological Research: Understanding Qualitative Methods. SAGE Publication. Hlm. 6 16

Faisal, Sanapiah. (1992). Format-Format Penelitian Sosial: Dasar-dasar dan Aplikasinya. Jakarta: CV Rajawali. Hlm 20

34

keterlibatan orang banyak, organisasi, dan kepentingan untuk menginformasikan

pelayanan manusia, kebijakan publik dalam skala lokal-nasional-internasional.17

B.3. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan selama 2 hari. Dibagi menjadi dua tahap, yakni

observasi dengan menjalani kegiatan satu hari bersama dengan informan pada

tanggal 28 Mei 2014 dan melakukan wawancara pada tanggal 29 Mei 2014 yang

bertempat di salah satu tempat makan di pusat perbelanjaan di bilangan Jakarta

Selatan.

B.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik wawancara

Pertanyaan diajukan secara lisan (peneliti bertatap muka dengan informan).

Dalam wawancara alat pengumpul data disebut sebagai pedoman wawancara

yang dipergunakan untuk mewawancarai dan menjelaskannya kepada informan.18

Teknik observasi

Metode ini menggunakan pengamatan dan penginderaan langsung terhadap

suatu benda, kondisi, situasi, proses, atau perilaku.19

C. Alasan Pemilihan Informan

Informan merupakan salah satu siswa yang menduduki usia 17 tahun dan

merupakan orang yang bersedia untuk menceritakan pengalaman pribadi masa

lalunya kepada peneliti secara terbuka dikarenakan telah mengenai peneliti

sebelumnya dalam sebuah kesempatan acara.

17 Given, Lisa M. (2008). The SAGE Encyclopedia of Qualitative Research Methods. Australi: SAGE

Publication, Inc. Hlm 17 18 Faisal, Sanapiah. (1992). Format-Format Penelitian Sosial: Dasar-dasar dan Aplikasinya. Jakarta: CV Rajawali. Hlm 52 19

Ibid, hlm 52

35

Tidak hanya itu, informan juga merupakan sosok individu yang dapat dengan

mudah bercerita mengenai dirinya tanpa perlu mengenalnya lama. Kedekatan peneliti

dengan informan, tidak membuatnya canggung untuk membagi masa lalunya.

D. Teknik Analisa Data

Peneliti mengelompokkan data-data (berupa transkrip wawancara) ke dalam

beberapa kategori berdasarkan pemaknaan yang dianalisa oleh peneliti lewat semiotik

(analisa simbol). Tahap ini disebut juga tahap coding.20

Analisa ini dipergunakan

untuk mereduksi data yang tidak diperlukan dan menjadikan data menjadi lebih

mudah dipahami maknanya.

Analisa konten merupakan salah satu metode independen dari perspektif teoritis

yang bermula dari metode kuantitatif. Dalam analisa isi kualitatif dapat membantu

pertanyaan “mengapa” dan menganalisa persepsi. Secara luas dapat diterapkan di

dalam ilmu sosial yang setiap kali data tekstual dianalisis.

Interpretatif dalam konteks analisa isi adalah yang melibatkan membaca secara

„dekat‟ dengan teks. Menggunakan pendekatan analitik konten dengan mengenali

teks yang terbuka untuk subyektif interpretasi, mencerminkan beberapa arti, dan

tergantung konteks. 21

20 Neuman, W. Lawrence. (2006). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches 6th Edition. USA: Pearson Education. Hlm. 460 21

Given, Lisa M. (2008). The SAGE Encyclopedia of Qualitative Research Methods. Australi: SAGE Publication, Inc. Hlm 120

36

BAB IV

TEMUAN DAN ANALISA DATA

A, Deskripsi Temuan Data

Informan yang peneliti wawancarai berusia 17 tahun dengan latar belakang

pendidikan baru saja lulus SMA. Ia memiliki latar belakang sebagai anak yang

memiliki paparan kekerasan domestik atau rumah tangga, semasa kecil yakni ketika

ia berusia 6 hingga 10 tahun. Informan didapat dari kontak gatekeeper peneliti

dengan salah satu siswi SMA yang menjadi teman sekolahnya tersebut.

Informan merupakan sosok yang baik hati, pintar dan tangkas. Menurutnya,

meskipun ia memiliki masa lalu yang cukup sulit, namun masa depannya belum tentu

sama sulitnya dengan apa yang pernah dialami. Sehingga sampai sekarang, ia masih

dengan mudah bercengkrama dengan orang lain, bahkan ketika baru bertemu seperti

dengan peneliti.

Selain itu, informan merupakan sosok remaja laki-laki pada umumnya, memiliki

kesukaan kepada sepak bola, nongkrong dengan teman-temannya. Di kala di rumah,

ia lebih senang untuk bermain dengan gadget yang ia punya, sehingga ada perbedaan

asosiasi antara ia yang berada di rumah dengan ia yang berada di lingkungan luar

rumah.

Sebelum mendapatkan informan ini, peneliti berupaya keras untuk

mendapatkannya, karena sedikit sekali individu yang peneliti kenal yang mampu

untuk menceritakan masa lalunya. Janji untuk bertemu dan mewawancarai untuk

penelitian ini, dilakukan dua kali. Satu hari untuk observasi bersama dengan informan

dengan mengikuti kegiatannya dan di hari lain untuk melakukan wawancara,

37

Untuk melakukan triangulasi, peneliti melakukan wawancara dengan kerabat dari

informan, yakni kakek dan nenek informan. Informan tinggal bersama kakek dan

neneknya, peneliti lakukan wawancara juga untuk melakukan crosscheck terkait

beberapa pernyataan informan yang dilontarkan saat wawancara.

B. Analisa Data

Hampir tiga juta anak setiap tahunnya mengalami kekerasan fisik maupun

seksual. Mereka mengalami trauma bahkan hingga menyebabkan kematian. Anak-

anak yang menjadi korban ini membutuhkan intervensi medis, perawatan dan

perlindungan yang memadai bagi mereka. Bentuk kekerasan fisik yang mereka alami

beragam. Selama dua puluh tahun terakhir ini banyak pusat advokasi anak yang

memerjuangkan hak-hak anak. Namun selain itu, pusat ini juga berperan dalam

melakukan investigasi terhadap anak-anak yang dinilai mengalami masalah pada diri

mereka. Masalah yang mereka alami baik itu berupa pelanggaran, maupun tindakan

kenakalan lainnya.22

Menurut informan, terdapat beberapa hal yang menjadi catatannya ketika ia tidak

merasa menjadi korban. Ia memang merasa diabaikan oleh orang-orang yang berada

di keluarga dan lingkungan rumahnya.

“Mostly karena pengalaman buruk gue waktu kecil kali ya, jadi pas gue

kecil, orang tua gue sering berantem. Berantemnya mereka juga ngga main-main

sih, sampe sempet ada bagian dimana gue sama adek gue disuruh milih mau ikut

siapa. Padahal coba lo bayangin deh, umur gue baru 7 tahun dan lo disuruh

milih mau ikut siapa? For God‟s sake! Orang tua kok begitu.”

22

Johson, Tiffani. 2008. Update and Current Trends in Child Protection. Emergency Medicine and Child Protection. Hlm 270

38

Di dalam obrolan yang terjadi antara peneliti dan informan, terdapat beberapa

cerita yang diungkapkan oleh informan bahwa ia tidak mengetahui bahwa apa yang

dilakukan dari orang tua (pihak laki-laki) kepada pihak perempuan sebagai tindak

kekerasan. Hal ini dikarenakan scoop pengetahuan yang belum memadai dan sikap

dari kedua orang tuanya yang selalu menyembunyikan apa yang sesungguhnya

terjadi. Sehingga anak-anak tidak dapat mendefinisikan secara jelas apa itu kekerasan

dalam rumah tangga dan apakah ia menjadi korban diantaranya.23

Penelitian mengenai anak yang terpapar kekerasan dalam rumah tangga

meningkat secara eksponensial dengan penelitian yang dilakukan oleh Holden, et.al

tahun 1998 yang memeriksa publikasi artikel dalam rentang 1975 hingga 1995

mengenai anak-anak yang terkena kekerasan dalam rumah tangga dengan hasil

selama rentang waktu tersebut, hampir lima kali lebih banyak anak yang terkena

kekerasan dalam rumah tangga.24

Penelitian ini berkolerasi dengan dampak yang

dapat diterima oleh anak apabila ia terpapar kekerasan dalam rumah tangga secara

terus-menerus.

Informan yang diwawancarai oleh peneliti, memiliki efek dalam jangka pendek

sebagai akibat dari tindakannya untuk berpergian berdua saja dengan adiknya untuk

menjemput bude mereka (yang kebetulan tinggal satu komplek dengan keluarga

mereka)

“Masih bikin mau nangis dan merinding sampe sekarang kalo inget kejadian

yang itu.”

Rasa sedih hingga merinding inilah yang menurut Fantuzzo dan Mohr (1990)

menjadikan anak-anak lebih inklusif dan tidak membuat asumsi khusus dari

23 Gordis, Elana B. dan Gayla Margolin. 2004. Children’s Exposure to Violence in the Family and Community. Current Directions in Psychological Science, SAGE Publication. 24

Ibid.

39

pengalaman anak-anak dengan kekerasan.25

Seringkali anak-anak dianggap sebagai

penerima pasif dari sebuah tindakan kekerasan. Padahal anak-anak menjadi penerima

aktif dari sebuah tindakan pengalaman kekerasan dapat membekas dalam diri mereka

dan menjadi salah satu pengalaman tidak terlupakan.

Tidak hanya itu, apabila seorang ibu yang menerima kekerasan dalam rumah

tangga dari suaminya, hal ini dapat berdampak bagi sang anak. Bagi informan, ia

merasa terkucil dan tidak mampu untuk membela ibunya dari tindakan yang

dialaminya dari suaminya.

“Dan juga, orang tua kalo lagi berantem, lebih sering nyokap yang kena bogem

mentah dari bokap. Bogem mentahnya di sini bebas deh lo artiin apa aja, karena

memang begitu dulu adanya. Pernah sekali waktu, gue liat nyokap dipukul pake

gesper sampe bagian tengkuknya membiru. Pernah juga gue liat nyokap dijedotin ke

tembok.”

“Gue bingung mendefinisikan tindakan gue itu sebagai apa, tapi satu hal yang

pasti adalah gue melakukan itu karena udah ngga tahan sama kondisi rumah yang

selalu bertengkar. Gue ngga sanggup lihat nyokap gue yang selalu kena hajar dari

bokap. Gue yang jadi anak laki-laki pertama tapi ngga bisa ngelindungin nyokap

dari tangan dingin bokap dan melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh anak

laki-laki. Gue tertekan waktu itu….”

Penelitian yang dilakukan terakit dengan tema ini menyimpulkan bahwa paparan

kekerasan dalam rumah tangga memiliki kemungkinan kuar dalam merugikan anak

sehingga menimbulkan kemungkinan besar agresi, depresi, kemarahan, kecemasan.26

Depresi dan rasa agresi yang sempat terjadi pada informan, sehingga menimbulkan

25

Ibid 26

Ibid.

40

keinginannya untuk melakukan tindakan yang tidak sepatutnya, seperti menyayat

tangannya sendiri.

“Wah, itu pas gue di umur 10 tahun kali ya, gue ngga sanggup lagi ngadepin

omelan dan celotehan mereka. Mereka bisa saling ancam untuk membunuh. Gue

cuma bisa nangis di kamar dan pernah satu kali gue melakukan percobaan

penyayatan pergelangan tangan, waktu itu gue ditemuin di kamar mandi sama

mbak gue dan langsung dibawa ke Rumah Sakit.”

Selain itu, menurut penuturan orang terdekat dari informan, yakni Neneknya.

Informan dulu merupakan tipe individu yang pendiam, jarang bergaul dan lebih

suka bermain dan sibuk dengan dunianya sendiri.

“Tidak ada… (berpikir sejenak). Dulu ketika bersama dengan orang tuanya,

ia merupakan anak yang pendiam, hanya menurut saja jika dibilang oleh orang

tua. Namun sekarang ia menjadi lebih aktif dan supel kepada setiap orang”

Perubahan yang dialami oleh informan, dibawa oleh dua tahap penting dalam

perubahan masa kelam kanak-kanaknya, yakni ketika ia memiliki psikolog

sendiri yang dapat mendengarkan keluh-kesahnya sehari-hari secara lebih

relevan dan memberikan nasihat apa yang memang ia butuhkan serta perginya ia

dari rumah orang tuanya yang menurutnya membuat ia merasa tertekan.

Rasa tertekan yang didapatkan oleh informan merupakan salah satu contoh

dari konsekuensi kekerasan dalam rumah tangga yang mana anak menjadi

terpapar karenanya Informan mendapatkan salah satu akibat dari bentuk

kekerasan dalam rumah tangga, yaitu jeweran dari ayahnya ketika ia hendak

membela ibunya.

“Berpengaruh engga, gue juga lupa. Tapi selama di usia orang tua gue

cukup sering berantem, prestasi gue lumayan turun. Di kelas 1 gue peringkat 3

41

dan di kelas 2-nya gue malah peringkat 7. Kena omelan lagi dari bokap dan

malah bokap komentar yang nyindir nyokap gue. Gue inget banget waktu itu gue

belain nyokap dengan bilang „Papa ngga boleh gitu sama Mama‟ eh malah gue

yang habis dijewer sama beliau.”

Dalam kasus informan ini, peneliti belum melihat adanya integrasi khusus antar

lembaga di Indonesia dalam menangani anak-anak yang mempunyai pengalaman

untuk terpapar kekerasan domestik. Acapkali, keluarga masih harus berjibaku seorang

diri dan melakukan masa penyembuhan – reintegrasi kembali ke masyarakat secara

sendiri-sendiri. Dalam keluarga informan, hal yang dilakukan adalah dengan

pelibatan pekerja sosial, yakni seorang psikolog.

Layanan perlindungan anak dapat memberikan intervensi yang ditargetkan untuk

anak-anak yang menjadi paling beresiko berbahaya dan bertujuan dalam mengurangi

paparan kekerasan pada anak serta memastikan keselamatan mereka.27

Di sisi lain,

kurang adanya perhatian dan pengawasan dari lembaga terkait pelayanan

perlindungan anak, menyebabkan masih belum maksimalnya hal yang sebetulnya

masih bisa diintervensi oleh pemerintah selain mendirikan layanan korban kekerasan

dalam rumah tangga.

Implikasi yang dirasakan oleh informan sudah cukup baik untuk dilewati

sebelumnya karena menurut penuturan dari neneknya, sekarang ia sudah berubah

menjadi sosok yang lebih ceria dan dapat bergaul dengan siapa saja. Berbeda dari

yang dahulu, ketika ia masih tinggal dengan orang tuanya, karena ia menjadi sosok

anak yang pendiam dan suka menyendiri. Pola perubahan ini yang dapat disimpulkan

sebagai suatu dampak positif dari adanya kehadiran psikolog dan kepindahannya ke

tempat nenek dan kakeknya.

27 Nick Stanley, et.al. 2011. Children’s Experiences of Domestic Violence: Developing an Integrated Response Form Police and Child

Protection Service. SAGE Publication.

42

“Iya, dokter Ira cukup membantu Dewa untuk menjadi anak yang seperti

sekarang. Dewa menjadi anak yang rajin dan aktif tentu membutuhkan banyak

dukungan dan bantuan dari segala pihak yang menyayanginya, salah satunya

psikolognya itu”

Orang tua, terlebih ibu dari informan mencoba untuk memahami kebutuhan

anaknya untuk bisa bercerita dan bertumbuh-kembang sesuai dengan anak-anak di

usia lain yang sedang senang-senangnya untuk bermain dan mencoba hal baru. Rasa

trauma dan takut dicoba untuk dihilangkan oleh ibu informan dengan

mengikutkannya pada satu sesi psikolog dengan warna di ruang kerja yang informan

sukai. Hal ini cukup membantu informan dalam mengatasi permasalahan tekanana

psikis dan sosial yang tengah dialami olehnya.

C. Diskusi

Selain menunjukkan informan sangat rentan terhadap paparan kekerasan dalam

rumah tangga serta dampaknya, perlu diadakan satu intervensi kebijakan dalam skala

yang lebih besar untuk mencoba mengintegrasikan lembaga pelayanan terkait dalam

hal ini. Perlu adanya peran serta keluarga dalam hal pemberian dukungan untuk

merubah anak-anak yang terpapar kekerasan agar kehidupan mereka menjadi lebih

baik dari sebelumnya dan dapat memperoleh masa depan yang lebih cerah.

Lebih dari 57% kasus pelanggaran hak asasi manusia, menimpa anak-anak dan

belum mendapatkan penanganan serius.28

28

Global Protection Cluster. 2011. Vulnerabilities, Violence, and Serious Violations of Child Rights. Hlm 7

43

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Informan dalam penelitian ini telah terpapar lebih dari dua jenis kekerasan dalam

rumah tangga yang dilakukan oleh ayah kepada ibunya, ketika ia masih kecil seperti

pukulan, sabetan dengan gesper, dll. Hal ini sempat membuatnya menjadi anak yang

pemurung, pendiam dan kurang suka bergaul. Beberapa kejadian yang menjadi

pemicu dari kekerasan dalam rumah tangga di keluarganya, masih membuatnya

merinding dan selalu ingin menangis. Namun ia berhasil mengatasi itu semua dengan

bantuan dukungan dari psikolog dan keluarga dekatnya (dalam hal ini adalah kakek

dan neneknya). Banyak anak yang memiliki masalah yang sama seperti informan

dalam penelitian ini, namun mereka tidak memiliki akses yang lebih untuk bisa

berubah dan mengakses lembaga yang mungkin bisa membantu mereka untuk

berubah.

SARAN

1. Membangun pusat bantuan terintegrasi bagi anak-anak yang terpapar

kekerasan dalam rumah tangga

2. Menggencarkan konseling pra-pernikahan dalam hal meminimalisir

kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga

44

DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Gordis, Elana B. dan Gayla Margolin. 2004. Children‟s Exposure to Violence in

the Family and Community. Current Directions in Psychological Science, SAGE

Publication.

Laura J. Hickman et.al. 2012. How Much Does “How Much” Matter? Assessing

the Relationship Between Children‟s Lifetime Exposure to Violence and Trauma

Symptoms, Behavior Problems, and Parenting Stress. Journal of Interpersonal

Violence, SAGE Publication.

Nick Stanley, et.al. 2011. Children‟s Experiences of Domestic Violence:

Developing an Integrated Response Form Police and Child Protection Service.

SAGE Publication.

Overlien, Carolina. 2010. Children Exposed to Domestic Ciolence: Conclusions

from the Literature and Challenge Ahead. Journal of Social Work, SAGE

Publication.

Salter, Michael. 2013. Multi-Prepetator Domestic Violence. Trauma Violence

Abuse, SAGE Publication.

Megan H. Bair-Merritt, Mercedes Blackstone and Chris Feudtner. 2006. Physical

Health Outcomes of Childhood Exposure to Intimate Partner Violence: A Systematic

Review. Journal of Pediatrics.

Margaretha, Rahmaniar Nuringtyas, dan Rani Rachim. 2013. Childhood Trauma

of Domestic Violence and Violence in Further Intimate Relationship. UI Journal:

Makara Seri Sosial Humaniora

Buku

Cathy dan Nicky Stanley. 2006. Domestic Violence and Child Protection:

Directions for Good Pratice. England: Jessica Kingsley Publisher.

45

Faisal, Sanapiah. 1992. Format-Format Penelitian Sosial: Dasar-dasar dan

Aplikasinya. Jakarta: CV Rajawali.

Given, Lisa M. 2008. The SAGE Encyclopedia of Qualitative Research Methods.

Australia: SAGE Publication, Inc.

Global Protection Center. 2011. Vulnerabilities, Violence, Serious Violations of

Child Rights.

Hester, Marianne, et.al. 2008. Making an Impact: Children and Domestic

Violence A Reader. England: Authenaum Press.Humphrey,

Holt, Buckley, & Whelan. 2008. The Impact of Exposure To Domestic Violence

on Children and Young People: A Review of The Literature. US National Library of

Medicine - National Institutes of Health.

Lesley Noaks dan Emma Wincup. 2004. Criminological Research:

Understanding Qualitative Methods. SAGE Publication.

M. Nasir Djamil. 2013. Anak Bukan Untuk Dihukum. Jakarta : Sinar Grafika.

McGee, Caroline. 2000. Childhood Experiences of Domestic Violence. United

Kingdom: Jessica Kingsley Publishers.

Neuman, W. Lawrence. 2006. Social Research Methods: Qualitative and

Quantitative Approaches 6th

Edition. USA: Pearson Education.

Publikasi Online

Departement of Justice, United States of America. “Domestic Violence”.

http://www.ovw.usdoj.gov/domviolence.htm pada 30 Mei 2014 pukul 21:30

Department of Labour, United Kingdom. “Guide Employment Children

Regulation”

http://www.labour.gov.hk/eng/public/lid/BahasaIndonesiaConciseGuideEmployment

ChildrenRegulation.pdf 22 Februari 2014 pukul 21:00

“Definition of the Child” http://wcd.nic.in/crcpdf/crc-2.pdf pada 22 Februari

2014 pukul 22:26

46

“Family Code Ch.1 , Definitions”. Texas Constitution and Statutes. Diakses dari

http://www.statutes.legis.state.tx.us/SOTWDocs/FA/htm/FA.101.htm pada 22

Februari 2014 pukul 23:00

47

LAMPIRAN

I. Wawancara dengan informan anak

Peneliti : A

Informan : B

A: “Selamat siang, saya salah satu mahasiswa dari Universitas Indonesia,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, departemen kriminologi, sedang

melakukan penelitian sebagai pemenuhan tugas akhir semester saya mata kuliah

kenakalan anak. Kira-kira bisa minta waktunya sebentar ngga?”

B : “Oh, bisa… bisa. Tapi ngga apa-apa kan kalo kita ngobrolnya sembari

makan? Gue laper banget soalnya”

(tertunda tiga menit untuk peneliti dan informan memilih menu makanan)

B : “Oke, siap. Jadi apa nih yang perlu gue bantuin?”

A : “Simpel sih, mau tanya-tanya mengenai pengalaman di masa kecil,

gimana kondisi rumah ketika orang tua sedang berantem dan hal-hal seperti itu.

Keberatan ngga?”

B : “Nope. Not at all. Gue malah seneng untuk ditanyain seperti ini, biar

banyak orang yang bisa belajar juga dari pengalaman gue”

A : “Good one. Okedeh, berarti nanti bersedia ya untuk diwawancara dan

hasil penelitian ini ngga akan mengungkapkan identitas kamu serta memberikan

keleluasan bagi kamu untuk melakukan koreksi dari kalimat yang nanti

diucapkan.”

B : “Tentu aja. Gue perlu tanda tangan sekarang?”

(Peneliti menyodorkan informan consent untuk ditandatangani oleh

informan)

48

A : “Pertama, bisa kasih tau data diri lo kali ya, menceritakan lo dari sudut

pandang lo pribadi gitu hehe”

B : “Oke, tapi ngga perlu pake nama panjang dan asli kan ya? Karena

percuma bakal lo samarkan juga, haha. Hm (hening sekitar 10 detik) gue anak

pertama dari 3 bersaudara. Sekarang ini berstatus pengangguran terselubung

sejak lulus SMA dan nunggu pendaftaran ulang di kampus lu juga.”

A : “Oh iya? Lo masuk apa?”

B : “Gue di FT, Teknik Industri hehehe. Doain yak biar selamet selama

ospeknya.”

A : “Sabi, pasti kok. Eh by the way, balik lagi ke topik. Belum secara penuh

nih menceritakan mengenai diri lo.”

B : “Hahaha. Sorry sorry. Lanjutnya, gue golongan darah B. Tinggal di

daerah Ragunan bareng kakek dan nenek. Dulu sempet tinggal sama orang tua di

daerah Cibubur, Cuma gue ngga betah akhirnya balik lagi ke rumah kakek dan

nenek.”

A : “Hoo… Kenapa gitu ngga betah sama orang tua?”

B : “Mostly karena pengalaman buruk gue waktu kecil kali ya, jadi pas gue

kecil, orang tua gue sering berantem. Berantemnya mereka juga ngga main-main

sih, sampe sempet ada bagian dimana gue sama adek gue disuruh milih mau ikut

siapa. Padahal coba lo bayangin deh, umur gue baru 7 tahun dan lo disuruh milih

mau ikut siapa? For God‟s sake! Orang tua kok begitu.”

A : “Ceritanya waktu itu kayak gimana?”

B : “Gue lupa gimana awal mulanya, gue cuma inget di bagian dimana gue

dibangunin sama mama gue di jam 2 pagi dan disuruh ke rumah bude gue, iya,

rumah kami sekeluarga itu sekomplek, Cuma beda jalan aja. Itu kondisinya

jalanan komplek sepi banget dan ngga ada satpam yang keliling, jadi gue sama

49

adik gue harus banget berjalan berduaan doang untuk nurutin maunya bapak

gue.”

A : “Lalu, lo sama adek gimana?”

B : “Sampe dengan selamet sih di rumah bude gue. Cuma itu jadi kejadian

yang paling ngebekas buat gue. Masih bikin mau nangis dan merinding sampe

sekarang kalo inget kejadian yang itu. Dan juga, orang tua kalo lagi berantem,

lebih sering nyokap yang kena bogem mentah dari bokap. Bogem mentahnya di

sini bebas deh lo artiin apa aja, karena memang begitu dulu adanya. Pernah sekali

waktu, gue liat nyokap dipukul pake gesper sampe bagian tengkuknya membiru.

Pernah juga gue liat nyokap dijedotin ke tembok.”

(informan menghela napas sekitar 2 menit, mengambil jeda)

B : “Dulu pas gue kecil, gue udah lumayan ngerti bokap nyokap sedang

berantem, yaudah gue jadinya diem aja di kamar. Ngga mau keluar atau ngapa-

ngapain, tapi kan kalo adek-adek gue engga. Mereka masih kecil dan butuh

perhatian dari orang tua gue.”

A : “Adek-adek lo umur berapa waktu itu?”

B : “Anak kedua, umurnya 5 tahun dan yang anak ketiga umurnya 3 tahun.

Jadi gue semua berselang 2 tahun. Katanya sih nyokap bokap gue ikutan KB dan

diatur gitu biar lebih mudah ngurusin keuangan ke depannya (tertawa)”

A : “Pas orang tua lagi berantem, adek-adek sama siapa yang jagain di

rumah?”

B : “Gue kan diem di kamar. Mbak sih yang ngurusin mereka. Untung Mbak

di rumah cukup dekat dengan gue dan adek-adek gue, sepertinya beliau juga

udah ngerti sama kondisi rumah. Jadinya langsung sigap aja ngurusin kami.”

A : “Oh gitu.. Misalnya pas sepulang sekolah lo ngeliat orang tua lo

berantem, ada pengaruhnya ngga untuk lo di sekolah?”

50

B : “Berpengaruh engga, gue juga lupa. Tapi selama di usia orang tua gue

cukup sering berantem, prestasi gue lumayan turun. Di kelas 1 gue peringkat 3

dan di kelas 2-nya gue malah peringkat 7. Kena omelan lagi dari bokap dan

malah bokap komentar yang nyindir nyokap gue. Gue inget banget waktu itu gue

belain nyokap dengan bilang „Papa ngga boleh gitu sama Mama‟ eh malah gue

yang habis dijewer sama beliau.”

A : “Lo sebetulnya dulu sadar ngga sih kalo jadi korban kekerasan dalam

rumah tangga gitu? Atau minimal seharusnya lo ngga menerima itu karena posisi

lo sebagai anak”

B : “Ya enggalah, dulu gue cuma tau kalo minta uang apa-apa sama Papa,

jadi jangan bandel. Dulu nyokap juga selalu bilang untuk nurutin semua

omongan Papa, jangan dilawan. Kalo mau dilawan malah kena sendiri akibatnya.

Mungkin karena itu juga kali ya, gue jadi ngga deket sama bokap sendiri.”

A : “Berarti lo ngga sadar sama sekali?”

B : “Iya banget. Dulu gue sempet nangis-nangis untuk belain Mama biar

ngga diapa-apain sama Papa. Dulu gue kasian banget sama Mama karena beliau

selalu kena hujatan dari Papa. Dulu gue ngga ngerti kenapa Papa bisa segitu

jahatnya ke Mama”

A : “Sekarang lo udah tau kira-kira alasannya apa?”

B : “Gue ngga ngerti-ngerti banget deh kenapa orang tua bisa segitunya bisa

kejam sama pasangannya sendiri. Kayaknya gue juga ngga sekejem itu ke pacar

gue sendiri”

A : “Asik. Ngga mau ngulang kesalahan yang sama ya? Haha”

B : “Iya banget, Wal. Kalo ngga gitu, gue bisa-bisa jadi manusia yang

keledai. Suka ngulang kesalahan yang pernah dilakuin sama orang tua gue dulu,

terus buat apa gue sekolah tinggi-tinggi”

A : “Lo sekarang udah bisa berdamai sama masa lalu nih ceritanya? Azek.”

51

B : “Kalo lo bilang berdamai dengan ngeliat orang tua lo udah bisa hidup

rukun dan damai di usia mereka yang semakin tua sih, Alhamdulillah gue udah

bisa berdamai dengan hal itu.”

(Diam sekitar 28 detik)

B : “Kalau gue, pernah ngalamin fase dimana gue ngga bisa ngadepin apa

yang orang tua gue ributin tiap hari. Sampe akhirnya, satu hari gue ngga pulang

ke rumah, malah ke tempat kakek dan nenek gue. Itu salah satu penyebab dimana

gue ngga mau tinggal bareng sama mereka lagi. Gue menemukan kenyamanan

dan kedamaian dari tinggal bareng kakek dan nenek gue. Itu yang menurut gue

penting untuk dilakukan sekalian ngejaga mereka juga yang udah jagain gue dari

kecil, Wal.”

A : “You‟ve through that stage kok. Tenang aja. Percaya sama diri lo sendiri.

Tinggal dibantuin nih adek-adek lo nanti supaya ngga ngalamin hal yang sama”

B : “Setuju banget. Yang penting gue udah lewat dari fase traumatis itu

haha”

A: “Dulu fase traumatis lo gimana?”

B : “Wah, itu pas gue di umur 10 tahun kali ya, gue ngga sanggup lagi

ngadepin omelan dan celotehan mereka. Mereka bisa saling ancam untuk

membunuh. Gue cuma bisa nangis di kamar dan pernah satu kali gue melakukan

percobaan penyayatan pergelangan tangan, waktu itu gue ditemuin di kamar

mandi sama mbak gue dan langsung dibawa ke Rumah Sakit.”

A : “Lo nyayat karena trauma atau kenapa?”

B : “Gue bingung mendefinisikan tindakan gue itu sebagai apa, tapi satu hal

yang pasti adalah gue melakukan itu karena udah ngga tahan sama kondisi rumah

yang selalu bertengkar. Gue ngga sanggup lihat nyokap gue yang selalu kena

hajar dari bokap. Gue yang jadi anak laki-laki pertama tapi ngga bisa

ngelindungin nyokap dari tangan dingin bokap dan melakukan apa yang

seharusnya dilakukan oleh anak laki-laki. Gue tertekan waktu itu….

52

(informan mengatur napas lagi dan melanjutkan pembicaraan 18 detik

kemudian)

Nyokap gue selalu nangis di siang hari. Gue sering mendapati beliau kayak

gitu. Alhamdulillah sekarang udah berkurang. Kata adek-adek gue sih, bokap

udah bisa bersikap demokratis dan mengurangi otoriternya. Pernah di otak gue

berpikir untuk nyuruh nyokap minta cerai ke bokap, tapi sekali lagi,

pertimbangan nyokap untuk ninggalin bokap pasti banyak. Dan ngga bisa diliat

dari satu variabel. Gue mencoba memahami orang tua gue dan kondisinya dari

sudut pandang mereka, meskipun acapkali mesti bertabrakan.”

A : “I hope your family always doing well. I really do.”

B : “Thank you, Wal.”

A : “Lanjut nih, ada beberapa pertanyaan tersisa. Respon keluarga dekat lo

yang lain dengan kejadian yang menimpa keluarga lo seperti apa? Masih ingat

ngga?”

B : “Wah. Itu mah gue inget banget. Dulu, bude gue selalu marah-marah ke

adiknya (yang notabennya adalah nyokap gue) untuk bercerai dan bercerai. Tapi

kakek gue berkata lain, beliau cuma bilang „kalau kamu mau bertahan, silahkan.

Tapi pertimbangan anak-anak‟ Akhirnya setelah omongan kakek gue itu, gue

dibawa ke salah satu psikolog kenalan nyokap gue.”

A : “Dibawa ke psikolog-nya itu setelah adegan penyayatan lo itu?”

B : “Iya, karena kakek gue berkata demikian pasca melihat efek yang terjadi

di rumah tangga nyokap dan bokap gue. Segitu berperngaruhnya ke gue, kata

beliau sih gitu”

A : “Terus terus? Ceritain dong gimana rasanya ke Psikolog. Gue belum

pernah”

B : “Gue ke psikolog, tepat sebelum gue kabur ke rumah kakek dan nenek

dan setelah gue nyayat pergelangan tangan. Hal pertama yang gue inget pas

53

masuk ke ruangan temen nyokap gue itu adalah kondisinya yang serba biru.

Ternyata psikolog gue juga suka warna biru, gue amaze sih di situ. Bayangin aja,

itu semua literally biru. Seru deh.”

A : “Psikolog itu berhasil membantu lo nih jadinya? Hahaha”

B : “Sort of times sih iya, karena gue suka dengan kondisi ruang kerjanya

yang serba biru dan keramahan dari psikolognya untuk selalu dengerin cerita

gue.”

A : “Kenapa dilepas?”

B : “Karna dia pergi ke AS untuk belajar lagi. Baru tahun lalu dia balik ke

Jakarta dan ketemu sama gue lagi.”

(Makanan yang kami pesan datang dan kami melanjutkan percakapan

secara santai karena pertanyaan yang telah disiapkan telah sudah ditanyakan.

Selain itu, peneliti merasa sudah cukup dengan data rekaman yang sudah

dimilikinya dari informan)

II. Wawancara dengan wali (nenek dari informan)

A : Peneliti

B : Ibu Roes (Nenek dari informan)

A : “Selamat sore, Nek. Saya Awal dari FISIP. Saya teman dari Dewa (bukan

nama sebenarnya), saya ingin mewawancarai tekait beberapa pertanyaan yang ingin

saya cek kepada Nenek. Apakah boleh?”

B : “Ya, tentu saja. Silahkan. Mari, disambi dengan minum tehnya, keburu dingin

nanti.”

A : “Terima kasih, Nek hehe. Apakah nenek bisa bercerita mengenai kebiasaan

sehari-hari Dewa?”

54

B : “Dewa anak yang sangat bisa bergaul dengan orang lain. Setau nenek, dia

mempunyai banyak teman di jejaring sosial. Hal ini bisa dilihat dengan seringnya

ponsel dia berbunyi ketika ia di rumah dan kadang hingga larut malam. Nenek pernah

memperingatkannya untuk menggunakan mode diam ketika di rumah karena

kakeknya sedang berstirahat, namun tidak juga digubris”

A : “Apakah ada perubahan sikap yang dilakukan oleh Dewa, Nek setelah ia

sampai di rumah ini?”

B : “Tidak ada… (berpikir sejenak). Dulu ketika bersama dengan orang tuanya, ia

merupakan anak yang pendiam, hanya menurut saja jika dibilang oleh orang tua.

Namun sekarang ia menjadi lebih aktif dan supel kepada setiap orang”

A : “Bagaimana dengan kebiasaan Dewa untuk menyayat pergelangan tangannya,

Nek?”

B : “Nenek masih mengawasinya hingga sekarang dan tindakan itu tidak pernah

diulanginya lagi. Hanya pertama dan terakhir kalinya dilakukan ketika ia sedang

merasa frustasi dengan apa yang terjadi di rumahnya ketika ia masih kecil.”

A : “Apakah Nenek tau kalau Dewa pernah pergi ke Psikolog?”

B : “Iya, tentu saya tahu.”

A : “Apakah bantuan seperti itu cukup membantu bagi Dewa?”

B : “Iya, dokter ira cukup membantu Dewa untuk menjadi anak yang seperti

sekarang. Dewa menjadi anak yang rajin dan aktif tentu membutuhkan banyak

dukungan dan bantuan dari segala pihak yang menyayanginya, salah satunya

psikolognya itu”

(Ada suara yang memanggil dari dalam kamar, meminta Ibu Roes masuk ke

dalam sehingga percakapan disudahi)

55

Yth. Bapak/Ibu/Saudara/i .

Selamat pagi/siang/sore, saya Aditya Awal Sri Lestari, mahasiswi tingkat 2

Departemen kriminologi, FISIP UI. Bermaksud untuk melakukan penelitian tentang

Implikasi bagi Anak yang Terpapar Kekerasan Domestik (Kekerasan Dalam Rumah

Tangga –KDRT-)

Penjelasan terjaminnya subjek : Informan tidak akan dipaksa untuk menjawab

pertanyaan dari peneliti. Partisipasi bersifat sukarela dan setiap saat subjek dapat

mengundurkan diri.

Kami berharap Bapak/Ibu/Saudara/i bersedia menjadi responden penelitian ini.

Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

Dengan ini, saya yang bertanda tangan dibawah ini bersedia untuk diwawancarai

dengan sebenar-benarnya.

Tanda Tangan,

56

Yth. Bapak/Ibu/Saudara/i .

Selamat pagi/siang/sore, saya Aditya Awal Sri Lestari, mahasiswi tingkat 2

Departemen kriminologi, FISIP UI. Bermaksud untuk melakukan penelitian tentang

Implikasi bagi Anak yang Terpapar Kekerasan Domestik (Kekerasan Dalam Rumah

Tangga –KDRT-)

Penjelasan terjaminnya subjek : Informan tidak akan dipaksa untuk menjawab

pertanyaan dari peneliti. Partisipasi bersifat sukarela dan setiap saat subjek dapat

mengundurkan diri.

Kami berharap Bapak/Ibu/Saudara/i bersedia menjadi responden penelitian ini.

Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Indonesia

Dengan ini, saya yang bertanda tangan dibawah ini bersedia untuk diwawancarai

dengan sebenar-benarnya.

Tanda Tangan,