Upload
independent
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap orang mempunyai identitas untuk membedakannya dari
orang lain. Identitas individu mempunyai aspek hukum, sebagai
contoh orang meningggal akibat kriminal harus ditentukan
identitasnya untuk keperluan pembayaran asuransi, warisan, hak dan
kewajiban sebagai anggota masyarakat. Ada beberapa metode
identifikasi yang dialakuan, antara lain pengenalan visual,
pengenalan barang milik pribadi, sidik jari, karakteristik gigi
hingga DNA. Diantara metoda itu, metode sidik jari, DNA dan
karakteristik gigi mempunyai validitas individu yang tinggi.
Identifikasi ilmu kedokteran gigi forensik adalah semua
aplikasi dari disiplin ilmu kedokteran gigi yang terkait dalam
suatu penyelidikan dalam memperoleh data-data postmortem,berguna
untuk menentukan otentitas dan identitas korban maupun pelaku demi
kepentingan hukum dalam suatu proses peradilan dan menegakkan
kebenaran. Ada beberapa jenis identifikasi melalui gigi geligi
dalam rongga mulut yang dapat dilakukan dalam terapan semua
disiplin ilmu kedokteran gigi yang terkait pada penyidikan demi
kepentingan umum dan peradilan serta dalam membuat surat keterangan
ahli. Apabila seorang dokter gigi dengan surat permintaan sebagai
anggota penyidik,anggota tim identifikasi dan sebagai saksi ahli
apabila hakim sulit memutuskan suatu perkara dalam suatu bidang
peradilan sedangkan pada tubuh korban terdapat pola bekas
gigitan,menggunakan gigi palsu, serta seluruh data-data gigi yang
telah dilakukan dari semua disiplin ilmu kedokteran gigi maka hakim
akan meminta seorang ahli untuk memastikan hal tersebut di atas demi
memantapkan keputusan yang akan diambilnya.
Bentuk gigi merupakan ciri khusus dari seseorang,sedemikan
khususnya sehingga dapat dikatakan tidak ada gigi atau rahang yang
identik pada dua orang yang berbeda,menjadikan pemeriksaan gigi ini
mempunyai nilai yang tinggi dalam hal penentuan jati diri
seseorang. Pemeriksaan atas gigi ini menjadi lebih penting lagi,
bila korban sudah rusak atau membusuk dimana dalam hal tersebut
pemeriksaan sidik jari tidak dapat dilakukan, sehingga dapat
dikatakan gigi merupakan pengganti dari sidik jari. Suatu
keterbatasan pemanfaatan gigi sebagai sarana identitas adalah
belum meratanya sarana untuk pemeriksaan gigi demikian pula
pendataannya (dental record) oleh karena pemeriksaan gigi
merupakan hal yang mewah bagi kebanyakan rakyat Indonesia. Dengan
demikian pemeriksaan gigi sifatnya lebih selektif.
Forensik odontologi adalah salah satu metode penentuan
identitas individu yang telah dikenal sejak era sebelum masehi.
Kehandalan teknik identifikasi ini bukan saja disebabkan karena
ketepatannya yang tinggi sehingga nyaris menyamai ketepatan teknik
sidik jari, akan tetapi karena kenyataan bahwa gigi dan tulang
adalah material biologis yang paling tahan terhadap perubahan
lingkungan dan terlindung. Gigi merupakan sarana identifikasi yang
dapat dipercaya apabila rekaman data dibuat secara baik dan benar.
Beberapa alasan dapat dikemukakan mengapa gigi dapat dipakai
sebagai sarana identifikasi adalah sebagai berikut, pertama karena
gigi bagian terkeras dari tubuh manusia yang komposisi bahan
organik dan airnya sedikit sekali dan sebagian besar terdiri atas
bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, terletak dalam rongga
mulut yang terlindungi. Kedua, manusia memiliki 32 gigi dengan
bentuk yang jelas dan masing-masing mempunyai lima permukaan.
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Identifikasi
2.1.1 Identifikasi Secara Umum
Pada dasarnya kata identifikasi berasal dari bahasa asing yang
berarti usaha untuk mengenal kembali suatu mahluk. Menurut
Harmaini (2001) identifikasi diartikan sebagai usaha mencari
sejumlah persamaan antara objek pemeriksaan dengan data-data
korban dengan membandingkan satu sama lain berdasarkan prinsip-
prinsip ilmu pengetahuan. Pada umumnya identifikasi terhadap
seseorang (hidup atau sudah meninggal) dilakukan untuk alasan
(Cottone and Baker, 1982) :
a. Membuat surat keterangan kematian yang menjelaskan bahwa
seseorang benar-benar sudah meninggal, surat tersebut
biasanya diperlukan untuk masalah-masalah legal, seperti
untuk keperluan asuransi, pembagian warisan, urusan-urusan
bisnis, dan surat keterangan apabila si istri atau suami yang
ditinggalkan ingin menikah kembali.
b. Alasan pribadi atau alasan keluarga, identifikasi dilakukan
untuk mengetahui identitas orang hilang atau meninggal secara
mendadak yang mungkin saja meredakan ketegangan emosi dari
keluarga bersangkutan. Masalah dapat pula timbul dalam tata
cara pemakaman apabila dalam suatu kematian massal melibatkan
orang-orang yang berbeda agama, karenanya harus dilakukan
identifikasi.
c. Kasus-kasus kriminal, bukti dapat saja tergantung pada
identifikasi positif dari korban dan penentuan tentang
hubungan antara korban dengan pelaku, terutama jika
pembunuhan melibatkan anggota keluarga atau kenalan. Oleh
karena identifikasi merupakan dasar terhadap penyelidikan
polisi, korban yang tidak dapat diidentifikasi dan tidak
dapat ditentukan apakah dibunuh atau bunuh diri, biasanya
menyebabkan kasus tersebut tidak dapat diselesaikan
2.1.2 Metode Identifikasi
Dalam proses identifikasi dikenal sembilan metode identifikasi,
yaitu (Idries, 1997) :
1) Metode visual
Metode ini dilakukan dengan memperhatikan korban secara
teliti, terutama wajahnya oleh pihak keluarga atau rekan dekatnya,
maka identitas korban dapat diketahui. Walaupun metode ini
sederhana, untuk mendapatkan hasil yang diharapkan perlu diketahui
bahwa metode ini baru dapat dilakukan bila keadaan tubuh dan
terutama wajah korban masih dalam keadaan baik dan belum terjadi
pembusukkan yang lanjut. Selain itu perlu diperhatikan faktor
psikologis, emosi, dan latar belakang pendidikan karena faktor-
faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Juga perlu
diingat bahwa manusia itu mudah terpengaruh dengan sugesti,
khususnya sugesti dari pihak penyidik.
2) Pakaian
Pencatatan yang teliti atas pakaian, bahan yang dipakai, mode,
dan adanya tulisan-tulisan, seperti merek pakaian, penjahit,
laundry , dan inisial nama dapat memberikan informasi yang berharga,
milik siapakah pakaian tersebut. Bagi korban yang tidak dikenal,
menyimpan pakaian secara keseluruhan atau potongan-potongan
dengan ukuran 10 cm x 10 cm adalah tindakan yang tepat agar korban
masih dapat dikenali walaupun tubuhnya sudah dikubur.
3) Perhiasan
Anting-anting, kalung, gelang serta cincin yang ada pada tubuh
korban, khususnya bila perhiasan itu terdapat inisial nama
seseorang yang biasanya terdapat pada bagian dalam dari gelang atau
cincin, akan membantu dokter atau pihak penyidik dalam menentukan
identitas korban. Mengingat kepentingan tersebut maka penyimpanan
dari perhiasan haruslah dilakukan dengan baik.
4) Dokumen
Kartu Tanda Penduduk, Surat Izin Mengemudi, paspor, kartu
golongan darah, tanda pembayaran, dan lain sebagainya dapat
menunjukkan identitas korban. Benda-benda tersebut biasa ditemukan
dalam dompet atau tas korban.
5) Medis
Pemeriksaan fisik secara keseluruhan yang meliputi bentuk
tubuh, tinggi, berat badan, warna mata, adanya cacat tubuh,
kelainan bawaan, jaringan parut bekas operasi, dan tato dapat turut
membantu menentukan identitas korban. Pada beberapa keadaan
khusus, tidak jarang harus dilakukan pemeriksaan radiologis, yaitu
untuk mengetahui keadaan sutura, bekas patah tulang atau pen, serta
pasak yang dipakai pada perawatan penderita patah tulang.
6) Gigi
Bentuk gigi dan bentuk rahang merupakan ciri khusus dari
seseorang, sedemikian khususnya sehingga dapat dikatakan tidak ada
gigi atau rahang yang identik pada dua orang berbeda. Hal ini
menjadikan pemeriksaan gigi memiliki nilai yang tinggi dalam
penentuan identitas seseorang. Satu keterbatasan pemanfaatan gigi
sebagai sarana identifikasi adalah belum meratanya sarana untuk
pemeriksaan gigi, demikian pula pendataannya (rekam medik gigi)
karena pemeriksaan gigi masih dianggap sebagai hal yang mewah bagi
kebanyakan rakyat Indonesia.
7) Sidik jari
Dapat dikatakan bahwa tidak ada dua orang yang mempunyai sidik
jari yang sama, walaupun kedua orang tersebut kembar. Atas dasar
ini, sidik jari merupakan sarana yang penting khususnya bagi
kepolisian didalam mengetahui identitas seseorang. Pemeriksaan
sidik jari ini mudah dilakukan dan murah pembiayaannya. Walaupun
pemerikasaan sidik jari tidak dilakukan oleh dokter, dokter masih
mempunyai kewajiban untuk mengambilkan (mencetak) sidik jari,
khususnya sidik jari pada korban meninggal dan keadaan mayatnya
telah membusuk.
8) Serologi
Sampel darah dapat diambil dari dalam tubuh korban, maupun
bercak darah yang berasal dari bercak-bercak pada pakaian. Hal-hal
tersebut dapat menentukan golongan darah si korban.
9) Eksklusi
Metode ini umumnya hanya dipakai pada kasus dimana banyak
terdapat korban (bencana massal), seperti peristiwa kecelakaan
pesawat, kecelakaan kereta api, dan kecelakaan angkutan lainnya
yang membawa banyak penumpang. Dari daftar penumpang ( passenger list)
pesawat terbang akan dapat diketahui siapa saja yang menjadi
korban. Bila dari sekian banyak korban tinggal satu yang belum dapat
dikenali oleh karena keadaan mayatnya sudah sedemikian rusak, maka
atas bantuan daftar penumpang akan dapat diketahui siapa nama
korban tersebut, caranya yaitu dari daftar penumpang yang ada
dikurangi korban lain yang sudah diketahui identitasnya.
Dari sembilan metode tersebut hanya metode identifikasi
dengan sidik jari yang tidak lazim dikerjakan oleh dokter dan dokter
gigi, melainkan dilakukan oleh pihak kepolisian (Idries, 1997).
Walaupun ada sembilan metode identifikasi yang kita kenal, dalam
prakteknya untuk menentukan identitas seseorang tidak perlu semua
metode dikerjakan. Dari sembilan metode tersebut di atas dapat
diambil kesimpulan bahwa terdapat metode identifikasi yang
dianggap primer, yaitu identifikasi dengan sidik jari dan gigi. Hal
tersebut dikarenakan jarang bahkan hampir tidak ada sidik jari dan
gigi yang identik antara dua orang berbeda, sehingga kedua metode
tersebut bersifat sangat individual dan memiliki validitas yang
sangat tinggi. Apabila dilakukan pemeriksaan DNA, hasil
pemeriksaannya juga dapat dijadikan bahan identifikasi primer,
hanya saja metode identifikasi dengan DNA membutuhkan biaya yang
mahal (Depkes RI, 2006).
2.2 Definisi Kedokteran Gigi Forensik
Kedokteran gigi forensik merupakan bagian dari ilmu
kedokteran forensik. Dalam perkembangannya ilmu kedokteran gigi
forensik berkembang lebih jauh dan lebih spesifik, sehingga dapat
dianggap merupakan bidang ilmu tersendiri (Ardan, 1999).
Kedokteran forensik menurut Sir Sidney Smith adalah ilmu
pengetahuan medis dan paramedis yang mempelajari mengenai mayat,
yang dapat berguna untuk memberikan pelayanan secara administrasi
hukum (Tjondroputranto, 1988). Definisi dari ilmu kedokteran gigi
forensik sendiri menurut Woolridge adalah aplikasi dari ilmu
kedokteran gigi dalam bidang hukum (Tedeschi, et al ., 1977). Selain
itu menurut Lukman (2006) kedokteran gigi forensik adalah semua
aplikasi dari disiplin ilmu kedokteran gigi yang terkait dalam
suatu penyidikan dalam memperoleh data-data postmortem , berguna
untuk menentukan otentitas dan identitas korban maupun pelaku demi
kepentingan hukum dalam suatu proses peradilan dan menegakkan
kebenaran. Ilmu kedokteran gigi forensik ini memiliki berbagai nama
lain yaitu forensic odontology , forensic dentistry , ilmu kedokteran gigi
kehakiman, dan dental forensic (Ardan, 1999).
2.3 Identifikasi Dalam Kedokteran Gigi Forensik
Identifikasi dalam kedokteran gigi forensik ada beberapa macam,
yaitu (Lukman, 2006):
1. Identifikasi ras korban maupun pelaku melalui gigi-geligi dan
antropologi ragawi.
2. Identifikasi seks atau jenis kelamin korban melalui gigi-
geligi, tulang rahang, dan antropologi ragawi.
3. Identifikasi umur korban (janin) melalui benih gigi.
4. Identifikasi umur korban melalui gigi susu (decidui).
5. Identifikasi umur korban melalui gigi campuran.
6. Identifikasi umur korban melalui gigi tetap.
7. Identifikasi korban melalui kebiasaan menggunakan gigi.
8. Identifikasi korban melalui pekerjaan menggunakan gigi.
9. Identifikasi golongan darah korban melalui air liur.
10. Identifikasi golongan darah korban melalui pulpa gigi.
11. Identifikasi DNA korban melalui analisa air liur dan jaringan
dari sel dalam rongga mulut.
12. Identifikasi korban melalui gigi palsu yang dipakainya.
13. Identifikasi wajah korban melalui rekontruksi tulang rahang
dan tulang facial.
14. Identifikasi melalui wajah korban.
15. Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku.
16. Identifikasi korban melalui eksklusi pada korban bencana
massal.
17. Identifikasi melalui radiologi kedokteran gigi forensik.
18. Identifikasi melalui fotografi kedokteran gigi forensik,
misalnya teknik fotografi superimposisi yang dilakukan dengan
menumpang-tindihkan foto postmortem dan foto wajah antemortem,
teknik ini dilakukan apabila identifikasi dengan teknik lain
seperti rekam medik gigi, sidik jari, dan DNA tidak dapat
dilakukan, selain itu harus tersedia foto antemortem yang fokus
pada wajah.
19. Identifikasi melalui formulir identifikasi korban.
Walaupun identifikasi dengan menggunakan gigi-geligi sudah
banyak terbukti keakuratannya namun tetap saja ada berbagai syarat
yang harus terdapat pada data-data untuk identifikasi kedokteran
gigi forensik agar data tersebut bisa dikatakan valid.
2.3.1 Kriteria Identifikasi Gigi Geligi
Ada beberapa kriteria yang merupakan syarat untuk validitas
identifikasi dengan gigi-geligi, yaitu ( Sopher, 1976):
a. Data yang tersedia harus bersifat multipel, permanen, dapat
diukur atau diteliti, sehingga menjamin individualitas dari
data yang tersedia.
b. Terdapat registrasi yang akurat mengenai karakteristik
individu (data antemortem ) yang memungkinkan untuk
dibandingkan dengan data postmortem.
c. Data dilengkapi dengan gambaran spesifik yang tahan terhadap
gaya destruktif, sehingga dapat tetap menjadi jaminan untuk
keindividualitasan data walaupun tidak tersedia gambaran
identifikasi lainnya.
2.3.2 Nilai spesifik gigi geligi
Gigi mempunyai nilai spesifik atau individualitas yang sangat
tinggi mengingat begitu tidak terbatasnya kemungkinan kombinasi
ciri-ciri khas pada gigi, baik ciri alami maupun akibat tindakan
perawatan terhadap gigi-geligi. Ciri-ciri khas tersebut antara
lain (Ardan, 1999):
a. Jumlah gigi
Jumlah gigi dapat menjadi suatu ciri yang khas pada seseorang.
Hal ini karena jumlah gigi pada seseorang dapat berbeda-beda. Satu
atau beberapa gigi pada rahang dapat tidak ada, baik secara klinis
atau radiologis, selain itu sering juga ditemukan jumlah gigi lebih
banyak dari normal. Jumlah gigi yang berkurang dapat disebabkan
gigi yang lepas alami, pencabutan, trauma (benturan dengan benda
tumpul), kongenital (tidak terbentuknya benih gigi molar ketiga,
premolar kedua, incisivus kedua), impaksi, dan pergeseran gigi.
b. Restorasi mahkota dan protesa
Restorasi mahkota dan protesa sangat bersifat individual karena
dibuat sesuai kebutuhan masing-masing individu. Beberapa ciri khas
dari protesa yang dapat diamati adalah bentuk daerah relief dari
langit-langit, bentuk dan kedalaman post-dam, desain sayap labial,
penutupan daerah retromolar, warna akrilik, bentuk, ukuran dan
bahan gigi artifisial, serta bentuk dan ukuran linggir alveolar.
c. Karies Gigi
Jumlah gigi yang karies dan letaknya dicatat dalam odontogram.
Ada kemungkinan gigi yang karies sudah ditambal, maka harus
dilakukan juga pemeriksaan catatan perawatan. Fraktur dari gigi
yang karies bentuknya tidak teratur, berwarna coklat, umumnya
terjadi pada gigi posterior, dilapisi sisa-sisa makanan, dan bekas
rokok. Adanya dentin sekunder menunjukkan bahwa fraktur sudah lama
terjadi. Fraktur gigi mahkota karena trauma yang baru terjadi atau
pascakematian dengan bagian tepi gigi tidak menunjukkan karies
maka permukaan frakturnya cenderung tajam.
d. Gigi yang malposisi dan malrotasi
Malposisi dapat berupa gigi berjejal, gigi saling menutup
(overlapping ), miring, bergeser, dan jarang-jarang. Malrotasi dapat
berupa terputarnya gigi. Keadaan malposisi dan malrotasi
seringkali tidak dicatat pada pemeriksaan sehari-hari
(antemortem ), maka untuk mengatasinya keadaan malposisi dan
malrotasi dapat diperiksa data postmortem dari model cetakan atau
dari foto roentgen.
e. Gigi berbentuk abnormal
Gigi dapat berbentuk abnormal karena faktor kongenital atau
dapatan. Gigi abnormal yang disebabkan faktor kongenital dapat
berupa hutchinson dan gigi incisivus lateral berbentuk runcing (peg
shaped ). Bentuk gigi abnormal yang disebabkan faktor dapatan antara
lain akibat pekerjaan dan kebiasaan yang akan mempengaruhi bentuk
gigi.
f. Perawatan endodontik
Perawatan endodontik merupakan perawatan bagian pulpa (rongga
pulpa dan atau saluran akar). Jaringan pulpa pada rongga pulpa dan
atau saluran akar sudah non-vital atau sudah didevitalisasi, yang
kemudian diawetkan dengan bahan mumifikasi atau diisi dengan bahan
pengisi berisi obat, sehingga tidak akan jadi sumber infeksi.
Sebagai bahan pengisi pulpa diberi bahan yang akan memberikan
kontras, sehingga dapat terlihat jelas pada foto roentgen. Bentuk
bahan pengisi, maupun kesempurnaan pengisian pulpa dapat
memberikan gambaran foto roentgen yang spesifik. Biasanya mahkota
gigi yang sudah mengalami perawatan saluran akar dibungkus dengan
mahkota tiruan dari bahan logam atau bahan porselen.
g. Pola trabekulasi tulang
Pola trabekulasi tulang dapat dilihat pada foto roentgen
antemortem maupun foto roentgen postmortem . Dari foto roentgen
tersebut dapat juga dilihat kemiringan gigi, ruang interproksimal,
resorpsi tulang akibat penyakit periodontal, perubahan pada
ruangan pulpa, dan bentuk saluran akar.
h. Oklusi gigi
Oklusi gigi adalah hubungan kontak oklusal antara gigi di rahang
atas terhadap gigi di rahang bawah. Oklusi gigi diklasifikasikan
menurut klasifikasi Angle, yaitu oklusi kelas I, kelas II, dan kelas
III. Masing-masing kelas mempunyai subkelas tergantung keadaan
gigi yang lain (berjejal, gigitan bersilang, dll).
i. Patologi oral
Kelainan struktur oral dapat merupakan suatu ciri yang khas pada
individu.
2.3.3. Fungsi Identifikasi Gigi Geligi
Gigi-geligi juga dapat digunakan untuk menentukan jenis
kelamin korban, ras korban, dan umur korban. Hal-hal tersebut
dibutuhkan sebagai data tambahan dan dapat juga digunakan sebagai
alat mempersempit populasi untuk memudahkan proses identifikasi.
11 Penentuan jenis kelamin
Pada kasus-kasus tertentu seperti mutilasi atau korban bencana
massal dengan tubuh yang sudah terpisah-pisah, penentuan jenis
kelamin tidak dapat dilakukan dengan mudah seperti penentuan jenis
kelamin pada orang hidup atau mayat yang masih utuh. Penentuan jenis
kelamin pada kasus-kasus tersebut dapat ditentukan melalui gigi-
geligi.
Penentuan jenis kelamin melalui gigi-geligi dapat dilakukan
dengan melihat bentuk lengkung gigi, ukuran diameter mesio-distal
gigi, dan kromosom yang terdapat pada pulpa. Bentuk lengkung gigi
pada pria cenderung tapered , sedangkan wanita cenderung oval, ukuran
diameter mesio-distal gigi taring bawah wanita = 6,7 mm dan pria = 7
mm. Kromosom X dan Y dapat ditentukan dengan menggunakan sel pada
pulpa gigi sampai dengan lima bulan setelah pencabutan gigi dan
kematian (Astuti, 2008).
12 Penentuan ras korban
Ras korban dapat diketahui dari struktur rahang dan gigi-
geliginya. Secara antropologi, ras dibagi tiga yaitu ras kaukasoid,
ras negroid, dan ras mongoloid. Masing-masing ras memiliki bentuk
rahang dan struktur gigi-geligi yang berbeda (Astuti, 2008) :
a) Ras kaukasoid
Permukaan lingual yang rata pada gigi incivus
Gigi molar pertama bawah tampak lebih panjang dan bentuknya
lebih tapered
Ukuran buko-palatal gigi premolar kedua bawah sering
ditemukan mengecil dan ukuran mesio-distal melebar
Lengkung rahang sempit
Gigi berjejal
Carabelli cusp pada molar pertama atas
b) Ras negroid
Akar premolar yang membelah atau tiga akar
Pada premolar pertama bawah terdapat 2 atau 3 lingual cusp
Gigi molar pertama bawah berbentuk segi empat dan kecil
Bimaxillary protrution
Kadang-kadang ditemui molar keempat
c) Ras mongoloid
Gigi incisivus pertama atas berbentuk sekop
Gigi molar pertama bawah berbentuk bulat dan lebih besar
Adanya kelebihan akar distal dan accesory cusp pada permukaan
mesio-bukal pada gigi molar pertama bawah
Permukaan email seperti butiran mutiara
13 Penentuan umur korban
Penentuan umur korban atau lebih tepatnya perkiraan umur juga
dapat dilakukan melalui pemeriksaan gigi-geligi (Astuti, 2008):
a) Melihat pertumbuhan dan perkembangan gigi
Perkembangan gigi mulai dapat dipantau sejak mineralisasi
gigi susu, yaitu umur empat bulan dalam kandungan hingga mencapai
saat sempurnanya gigi molar kedua tetap. Pemanfaatan molar ketiga
mulai terbatas karena sudah mulai banyaknya molar tersebut yang
tidak tumbuh sempurna. Sehubungan dengan ini dikenal beberapa tahap
yang dapat dipantau dengan baik, yaitu:
1) Intrauteri: dipantau melalui sediaan, dengan melihat
tahap mineralisasi gigi dapat diketahui usia kandungan.
2) Postnatal tanpa gigi: berkisar antara umur 0 – 6 bulan,
yaitu saat tumbuhnya gigi susu yang pertama. Penentuan umur
secara tetap disini masih memerlukan sediaan mikroskopis
dengan melihat mineralisasi. Selain itu dapat juga dilakukan
pemeriksaan terhadap tahap perkembangan gigi yang belum
tumbuh atau masih di dalam tulang dengan bantuan roentgen.
3) Masa pertumbuhan gigi susu: berkisar antara umur 6 bulan –
3 tahun, saat bermunculannya gigi susu ke dalam mulut. Dengan
memperhatikan gigi mana yang sudah tumbuh dan belum tumbuh,
umur dapat diperkirakan dengan kisaran yang relatif sempit.
4) Masa statis gigi susu: berkisar antara umur 3 – 6 tahun.
Pada masa ini penentuan umur melihat tingkat keausan gigi susu
dan jika diperlukan dengan bantuan roentgen untuk melihat
tahap pertumbuhan gigi tetap.
5) Masa gigi-geligi campuran: berkisar antara 6 – 12 tahun.
Pada masa ini umur dapat dilihat dari gigi susu yang tanggal
dan gigi tetap yang tumbuh.
6) Masa penyelesaian pertumbuhan gigi tetap: yaitu saat
tidak adanya gigi susu yang tanggal dan selesainya pembentukan
akar gigi yang terakhir tumbuh, yaitu molar kedua tetap.
b) Metode Gustafson
Setelah masa pertumbuhan gigi tetap selesai, maka pertumbuhan
dan perkembangan gigi tidak banyak lagi memberikan bantuan untuk
menentukan umur karena kondisinya dapat dikatakan menetap. Untuk
itu Gustafson (1950) menemukan 6 metode dalam menentukan umur:
1) Atrisi: akibat penggunaan rutin pada saat makan, sehingga
permukaan gigi mengalami keausan.
2) Penurunan tepi gusi: sesuai dengan pertumbuhan gigi dan
pertambahan umur, maka tepi gusi (margin-gingival attachment ) akan
bergerak ke arah apikal.
3) Pembentukan dentin sekunder: sebagai upaya perlindungan
alami pada dinding pulpa gigi akan dibentuk dentin sekunder yang
bertujuan menjaga ketebalan jaringan gigi yang melindungi
pulpa. Semakin tua seseorang semakin tebal dentin sekundernya.
4) Pembentukan semen sekunder: dengan bertambahnya umur, maka
semen sekunder di ujung akar pun bertambah ketebalannya.
5) Transparansi dentin: karena proses kristalisasi pada bahan
mineral gigi, maka jaringan dentin gigi berangsur menjadi
transparan. Proses transparan ini dimulai dari ujung akar gigi
meluas ke arah mahkota gigi.
6) Penyempitan atau penutupan foramen apicalis : akan semakin
menyempit dengan bertambahnya umur dan bahkan akan menutup.
2.3.4. Keuntungan Identifikasi Gigi Geligi
Ada beberapa keuntungan dengan menjadikan gigi sebagai objek
pemeriksaan, yaitu (Lukman, 2006) :
1) Gigi-geligi merupakan rangkaian lengkungan secara
anatomis, antropologis, dan morpologis mempunyai letak yang
terlindung dengan otot-otot, bibir, dan pipi. Apabila terjadi
trauma, maka akan mengenai otot-otot tersebut terlebih
dahulu.
2) Gigi-geligi sukar untuk membusuk walaupun dikubur
kecuali gigi tersebut sudah mengalami nekrotik atau gangren.
Umumnya organ-organ lain bahkan tulang telah hancur tetapi
gigi tidak (masih utuh).
3) Gigi-geligi di dunia ini tidak ada yang sama. Menurut
Sims dan Furnes, gigi manusia kemungkinan sama adalah 1 :
2.000.000.000.
4) Gigi-geligi mempunyai ciri-ciri yang khusus apabila
ciri-ciri gigi tersebut rusak atau berubah, maka sesuai dengan
pekerjaan dan kebiasaan menggunakan gigi bahkan setiap ras
memiliki ciri yang berbeda.
5) Gigi-geligi tahan asam keras, terbukti pada peristiwa
Haigh yang terbunuh dan direndam di dalam drum berisi asam
pekat, jaringan ikatnya hancur tetapi giginya masih utuh.
6) Gigi-geligi tahan panas, apabila terbakar sampai dengan
suhu 400 °C gigi tidak akan hancur, terbukti pada peristiwa
Parkman yang terbunuh dan dibakar tetapi giginya masih utuh.
Kemudian pada peristiwa aktor perang dunia kedua, yaitu
Hitler, Eva Brown, dan Arthur Boorman mereka membakar diri
kedalam tungku yang besar di dalam bunker tahanan tetapi
giginya masih utuh dan gigi palsunya bisa dibuktikan. Kecuali
dikremasi karena suhunya di atas 1000 °C. Gigi menjadi abu
sekitar suhu lebih dari 649 °C. Apabila gigi tersebut ditambal
menggunakan amalgam, maka bila terbakar akan menjadi abu
sekitar di atas 871 °C. Apabila gigi tersebut memakai mahkota
logam atau inlay alloy emas, maka bila terbakar akan menjadi abu
sekitar suhu 871-1093 °C.
7) Gigi-geligi dan tulang rahang secara roentgenografis,
walaupun terdapat pecahan-pecahan rahang pada
roentgenogramnya dapat dilihat (interpretasi) kadang-kadang
terdapat anomali dari gigi dan komposisi tulang rahang yang
khas.
8) Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya ia
memakai gigi tiruan dengan berbagai macam model gigi tiruan
dan gigi tiruan tersebut dapat ditelusuri atau
diidentifikasi. Menurut Scott, gigi tiruan akrilik akan
terbakar menjadi abu pada suhu 538 °C sampai 649 °C. Apabila
memakai jembatan dari porselen maka akan menjadi abu pada suhu
1093 °C.
9) Gigi-geligi merupakan sarana terakhir di dalam
identifikasi apabila sarana-sarana lain atau organ tubuh lain
tidak ditemukan.
Berbagai keuntungan yang dapat diperoleh dengan menjadikan
gigi-geligi sebagai objek pemeriksaan tersebut dapat diperoleh
dari data gigi-geligi yang memenuhi berbagai syarat validitas.
Data gigi antemortem atau disebut juga data-data prakematian
gigi-geligi adalah keterangan tertulis, catatan atau gambaran
dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang
yang terdekat (Depkes RI, 2006).
Keterangan data-data biasanya berisi (Depkes RI, 2006):
1) Nama penderita
2) Umur
3) Jenis kelamin
4) Pekerjaan
5) Tanggal perawatan, penambalan , pencabutan, dan lain-lain
6) Pembuatan gigi tiruan ,orthodonti, dan lain-lain
7) Foto Roentgen
Sumber data-data antemortem tentang kesehatan dan gigi
diperoleh dari (Depkes RI, 2006) :
1) Klinik gigi rumah sakit pemerintah, TNI / Polri, dan swasta
2) Lembaga-lembaga pendidikan
3) Praktek pribadi dokter gigi
Data-data postmortem adalah data-data hasil pemeriksaan
forensik yang dilihat dan ditemukan pada jenazah korban (Depkes RI,
2006). Pemeriksaan gigi postmortem dilakukan oleh dokter gigi atau
dokter gigi forensik. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
melakukan pencatatan kelainan-kelainan sesuai formulir yang ada,
roentgen gigi, roentgen kepala jenazah, dan bila perlu cetakan gigi
jenazah untuk dianalisa (Depkes RI, 2006).
Pemeriksaan gigi postmortem ini diharapkan dapat memberikan
informasi berupa ciri-ciri khas pada gigi, yaitu jenis kelamin,
umur, kebiasaan, pekerjaan, status sosial, golongan darah, ras, dan
DNA (Ardan, 1999).
2.4 Identifikasi Korban Melalui Gigi Desidui
Identifikasi umur korban melalui gigi sementara atau desidui,
dengan interpretasi roentgenogram yang berdasarkan atas periode-
beriode pertumbuhan gigi antara lain periode proliferasi, periode
kalsifikasi, periode formasi, dan periode erupsi gigi.
Periode proliferasi gigi desidui(sementara) dimulai dari
formasi gigi janin yang berakhir sampai dengan post natal, balita,
anak-anak hingga berumur 2,5-3 tahun. Begitupun dengan periode
kalsifikasi dari gigi janin berakhir sampai dengan umur 2,5 atau 3,5
tahun oleh karena proses tersebut berakhir dengan formasi gigi
kaninus seorang anak yang berusia 3,5 tahun. Sedangkan untuk gigi
molar sementara atau desidui, berakhir sampai berumur 3 tahun.
Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun.
Identifikasi melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang
yang lebih baik daripada pemeriksaan antropologi lainnya pada masa
pertumbuhan. Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6
intra uteri. Mineralisasi gigi dimulai saat 12 – 16 minggu dan
berlanjut setelah bayi lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang
stress metabolik yang mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan
sel ini akan mengakibatkan garis tipis yang memisahkan enamel dan
dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini akan tetap
ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika
ditemukan mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan bahwa
mayat sudah pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel dan
dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan teori dapat digunakan
dengan melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal line.
Gambar tersebut memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada
anak-anak (a) gambaran yang menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi
dan perkembangan pada usia 9 tahun (pada usia 6 tahun terjadi erupsi
dari akar gigi molar atau gigi 6 tapi belum tumbuh secara utuh).
Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari Schour dan Massler
(b) menunjukkan pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun.
2.4.1 Periode Erupsi
Periode erupsi gigi desidui sangat bervariasi tergantung dari
beberapa faktor antara lain pertumbuhan memanjang dari gigi,
multiplikasi dari jaringan pulpa, deposisi dari lapisan baru
jaringan cemen, pertumbuhan jaringan tulang rahang.
Tabel kalsifikasi dan erupsi gigi desidui:
Tabel poladan status erupsi gigi desidui:
Pada identifikaasi perkiraan umur seseorang yang berdasarkan
periode –periode pertumbuhan gigi hendaknya mengingat beberapa
teori penunjang antara lain :
1. Nolla tahun 1958, telah membagi periode-periode pertumbuhan
gigi menjadi sepuluh stadium, stadium-stadium ini dibuat
berdasarkan pengamatan mulai mula-mula terbentuknya benih
gigi sampai dengan penutupan foramen apikal gigi.
2. Schour dan massler tahun 1941, telah membuat diagram gambar
perkiraan waktu erupsi gigi geligi yang berdasarkan
terjadinya prosesklasifikasi gigi susu dan gigi tetap,
forrmasi pembentukan akar gigi susu dan tetap.
3. Menurut Logan dan Kronfeld, bahwa permulaan erupsi gigi sampai
dengan umur 8 tahun. Apabila pertumbuhannya lambat maka sampai
berumur 8 tahun.
2.5 Identifikasi Korban Melalui Gigi Bercampur
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Identifikasi ilmu kedokteran gigi forensik adalah semua
aplikasi dari disiplin ilmu kedokteran gigi yang terkait dalam
suatu penyelidikan dalam memperoleh data-data postmortem,berguna
untuk menentukan otentitas dan identitas korban maupun pelaku demi
kepentingan hukum dalam suatu proses peradilan dan menegakkan
kebenaran. Perlu diketahui setiap manusia mempunyai pola yang
spesifik di giginya. Apabila seseorang pernah pergi kedokter gigi
biasanya akan ada identifikasi gigi ini di kartu pasien sebelum
dilakukan penanganan oleh Dokter, data ini disebut Odontogram,
kemudian data Odontogram tersebut yang digunakan dalam proses
identifikasi mayat, dengan membandingkan jumlah gigi, bentuk gigi,
susunan, tambalan, protesa gigi antara mayat dan data Odontogram
dengan cara pemeriksaan manual, sinar-X dan pencetakan gigi dan
rahang, metode ini sangat efektif apabila kondisi mayat dalam
keadaan tidak utuh atau terbakar.
Saat ini dikenal Odontologi forensik (FO), FO adalah suatu cabang
ilmu kedokteran gigi yang mempelajari cara penanganan dan
pemeriksaan benda bukti gigi serta cara evaluasi dan presentasi
temuan gigi tersebut untuk kepentingan peradilan. Kehandalan
teknik identifikasi ini bukan saja disebabkan karena ketepatannya
yang tinggi sehingga nyaris menyamai ketepatan sidik jari, akan
tetapi juga karena kenyataan bahwa gigi (dan tulang) adalah
material biologis yang paling tahan terhadap perubahan lingkungan
dan terlindung. Seperti tulang, gigi sangat keras dan tahan
terhadap dekomposisi, bahkan gigi lebih tahan patah dibandingkan
tulang. Tidak seperti gigi hewan, ketika mencapai ukuran dewasa,
gigi manusia akan berhenti untuk tumbuh. Selain itu juga gigi
mempunyai perkembangan dan
struktur yang khas, sehingga membuat gigi menjadi sangat berguna
dalam identifikasi secara individual. Gigi merupakan sarana
identifikasi yang dapat dipercaya apabila rekaman data dibuat
secara baik dan benar.
Kematian yang tidak wajar atau tak terduga,atau kondisi
bencena massal,kerusakan fisik yang tidak terencanakan,dan
keterlambatan dalam penemuan jenazah bisa menggangu
identifikasi.dalam kondisi inilah Odontologi forensik (FO)
diperlukan walaupun tubuh korban sudah tidak dapat dikenali
lagi.identifikasi dan kematian sangat penting untuk dilakukan
karena menyangkut masslah hukum dan kemanusiaan.harus diingat
bahwa kegagalan menemukan rekaman gigi dapat mengakibatkan
hambatan dalam identifikasi dan menghilangkan semua harapan
keluarga,jadi rekaman gigi sangatlah diperlukan setiap manusia.
3.2 Saran
Kesadaran tentang pentingnya pemeriksaan gigi di masyarakat
harus ditingkatkan, dan ini adalah tanggung jawab dokter gigi,
karena tanpa pemeriksaan gigi dan pengambilan data ante mortem,
maka pelayanan kedokteran gigi forensik tidak ada artinya.
Pelayanan kedokteran gigi forensik diharapkan dilaksanakan oleh
seluruh dokter gigi di Indonesia, baik di setiap klinik swasta atau
rumah sakit untuk memban proses identifikasi mengingat negara kita
rawan terhadap bencana.
Daftar Pustaka
https://citrafkg2005.wordpress.com
Gani, M.Husni, dr. DSF. Ilmu Kedokteran Forensik. Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas, Padang, Indonesia 2002
http://id.wikipedia.org/w/index.php?
title=Identifikasi_forensik&oldid=6910572