Upload
independent
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Manusia hidup dalam suatu dunia yang sedang
mengalami ambiguitas moral. Di satu pihak manusia
mengalami banyak momen yang menyenangkan, membahagiakan
dan menggembirakan, namun di pihak lain ia mengalami
ketidakbahagiaan, ketidaksenangan dan penderitaan dalam
dunia yang sama. Ada penderitaan yang tak terperikan,
kemiskinan, rasa sakit yang mengerikan, tindakan-
tindakan irasional seperti kekerasan dan penganiayaan,
serta ancaman akan kematian yang datang secara
mendadak.1
Seorang filsuf Yunani, Epikurus sekitar 300 tahun
sebelum Kristus merumuskan problem pertentangan antara
kebaikan dan kemahakuasaan Allah di satu pihak dan
kebobrokan dunia di pihak lain sebagai berikut:
Atau Allah ingin menghapus kebobrokan, tetapi
tidak sanggup; atau Ia sanggup, tetapi
tidak mau; atau Ia tidak mau dan tidak sanggup;
atau Ia mau dan Ia sanggup juga. Kalau Ia mau,
tetapi tidak sanggup, maka Ia lemah, hal mana
tidak sesuai dengan hakikat Allah. Kalau Ia
sanggup, tetapi tidak mau, maka Ia bersifat jahat1 ?Stephen T. Davis (Ed.), Encountering Evil (Edinburgh: T. &T.Clark Ltd.,1981) P.1
yang juga tidak cocok bagi Allah. Kalau Ia tidak
mau dan tidak sanggup, Ia sekaligus bersifat
jahat dan lemah, karena itu Ia bukan Allah. Kalau
Ia mau dan sanggup juga, satu-satunya kemungkinan
yang sesuai dengan Allah- maka dari manakah
kebobrokan? Atau mengapa Allah tidak
menghapusnya?2
Terhadap semua realitas penderitaan dan kejahatan
di atas, manusia secara spontan bertanya: mengapa
semuanya itu terjadi? Mengapa dunia ini penuh kekerasan
dan penderitaan? Apakah ada alasan? Pertanyaan-
pertanyaan eksistensial ini menggugah penulis untuk
mendalami dan merefleksikan tema-tema tersebut dalam
tulisan ini. Dengan berbasiskan konsep teodice Leibniz,
penulis berusaha memberikan jawaban terhadap semua
orang yang dalam hidupnya bergulat dengan hakekat dunia
dan intervensi Allah terhadap dunia dan ciptaan-Nya.
Salah satu cara untuk memperkenalkan masalah
kejahatan dan penderitaan adalah dengan bertanya bagi
siapa problem itu hadir. Satu jawaban yang pasti dan
lazim adalah bahwa problem kejahatan dan penderitaan
adalah problem untuk theisme. Theisme percaya bahwa
dunia diciptakan oleh seorang Pribadi yang mahakuasa
dan Mahabaik, yang disebut Allah. Kaum theis yang hadir2 ?Georg Kirchberger., Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani(Maumere: Ledalero, 2007), P. 267.
2
dalam diri para penganut agama Kristiani, Yahudi,
Muslim, percaya akan beberapa sifat, karakter Allah
sebagai berikut.3 Pertama, Allah itu satu. Di sini
theisme adalah sebuah bentuk dari monotheisme. Kaum
monotheist, percaya hanya kepada satu Allah dan hanya
kepada Dia sajalah mereka mengarahkan hati dan
bersembah-sujud. Kedua, Allah adalah Pencipta dunia.
Kaum theis mengklaim bahwa dunia bereksistensi karena
sebuah keputusan pada pihak Allah dan karena itu
bergantung kepada-Nya.4 Itu berarti segala sesuatu yang
terjadi di dunia menjadi mungkin karena kehendak Allah.
Di luar kehendak dan kontrol Allah, segala peristiwa
yang terjadi tidak mungkin ada. Bagi kaum theis dunia
adalah sesuatu yang kontingen. Artinya segala yang ada
dan terjadi di dunia bersifat mungkin, sementara saja.
Ketiga, Allah itu Mahakuasa. Bagi kaum theis Tuhan itu
mahakuasa pada batas kepastian jika dan hanya jika
untuk kemungkinan logikal, dengan mengatakan bahwa
Tuhan menunjukkan kekuasaan-Nya secara koheren, dan
menyatakan kemahakuasaan-Nya itu pada waktunya. Di
sini Tuhan yang mahakuasa mesti juga terlibat dalam
setiap momen kehidupan manusia dan menyatakan
kemahakuasaan-Nya. Keempat, Tuhan itu personal. Kaum
theis mengatakan bahwa Tuhan itu Ada yang sadar, yang
dapat berpikir, memiliki intensi, berkeinginan dan3 ? Ibid. P.2.4 ? Ibid. P.3.
3
berkehendak. Tidak sama seperti Allah kaum Deisme pada
abad ke-18, Dia prihatin dan tertarik pada ciptaan-
ciptaan-Nya. Karena itu, Dia tetap menyelenggarakan
dunia setelah penciptaan. Kelima, Allah adalah kebaikan
yang sempurna. Itu berarti Tuhan tidak pernah melakukan
kesalahan moral. Semua tindakan dan intensinya selalu
benar secara moral. Theisme mengklaim bahwa Tuhan itu
penuh kebaikan dan cinta akan ciptaan-ciptaan-Nya. Dia
tidak pernah menyebabkan penderitaan, kecuali ada
penolakan dengan alasan moral bagi-Nya untuk melakukan
hal itu.5
Ada sedikit kesangsian bahwa problem kejahatan
menjadi kesulitan intelektual yang serius dari theisme.
Letak problemnya dalam pertanyaan sederhana: Mengapa
Allah mengijinkan kejahatan dan penderitaan? Pertanyaan
ini penting untuk melihat problem kejahatan dan
penderitaan hanyalah masalah agama teistik dalam
konteks yang luas. Bagi mereka yang menolak bahwa Allah
adalah kebaikan yang sempurna tidak sulit menjawab
pertanyaan- kejahatan ada karena Allah jahat di samping
membimbingnya menciptakan kejahatan. Hal ini juga
sangat mudah bagi mereka yang menolak bahwa Allah itu
Mahakuasa. Bagi mereka, adanya kejahatan karena Allah
tidak mempunyai kewenangan untuk mencegah eksistensi
kejahatan. Masalahnya di sini adalah, jika Allah itu
5 ? Ibid.
4
Mahakuasa, Dia mesti dapat mengatasi, mencegah
kejahatan. Dan kalau Tuhan itu Mahabaik, Dia harus
berinisiatif untuk mengatasi kejahatan. Tetapi jika
Allah mampu melakukan kedua-duanya, dan berkeinginan
untuk mengatasi kejahatan, mengapa ada kejahatan dan
penderitaan? Mengapa ada begitu banyak orang tidak
bersalah mendekap dalam penjara? Mengapa gempa bumi,
kelaparan yang menyebabkan kesakitan dan kematian
terjadi? David Hume pernah bertanya kepada Allah:
apakah Dia berkehendak untuk mencegah kejahatan dan
penderitaan, tetapi tidak mampu? Dengan demikian Dia
tidak berdaya, tidak mampu. Apakah Dia mampu, tetapi
tidak menghendaki? Kalau begitu Dia berhati dengki.
Apakah Dia mampu dan menghendaki kedua-duanya?6 Lalu
bagaimana dengan kejahatan dan penderitaan? Menurut
Leibniz sejak awal mula Allah telah memilih untuk
menciptakan dunia yang terbaik dari segala kemungkinan.
Hakikat Allah adalah kebaikan, sebab itu Dia
menciptakan yang terbaik.7
1.2 Tujuan Penulisan
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menjawabi
pertanyaan eksistensial tetang kejahatan dan
penderitaan yang terjadi di dunia. Konsep Allah yang
6 ? Ibid. P. 4.7 ? Frederick Copleston., A History Of Philosophy: Descartes To Leibniz,Vol. Iv (London: Burns & Oates, 1965), P. 326.
5
Mahabaik dan mahakuasa yang diimani kaum theis sering
dipertanyakan oleh kaum atheis. Terhadap pertanyaan
ini, penulis berusaha memberi jawaban rasional dengan
berbasiskan pemikiran Leibniz tentang teodice.
Leibniz mencoba memberikan jawaban rasional untuk
mempertahankan eksistensi Allah. Bahwa keberadaan Allah
tidak dapat disangsikan dan disingkirkan berhadapan
dengan realitas kejahatan. Allah tetaplah Dia yang
Mahabaik dan mahakuasa, walaupun banyak penderitaan
yang terjadi. Sebagai kebaikan tertinggi, Allah tetap
menghendaki kebaikan dan mau menciptakan dunia yang
terbaik. Menurut Leibniz, penderitaan adalah bagian
dari kehidupan manusia sebagai makhluk yang fana. Hanya
Allah yang memiliki predikat bebas dari penderitaan.8
Karena itu, penderitaan tetap eksis dan merupakan
bagian dari pengalaman manusia yang membuat dunianya
menjadi yang terbaik dari yang mungkin diciptakan.9
Allah tetaplah Dia yang Mahabaik dan Mahakuasa
berhadapan dengan penderitaan dan kejahatan dalam dunia
yang diciptakan-Nya.
1.3 Metode penulisan
Dalam upaya merampungkan tulisan ini, penulis
menggunakan metode kepustakaan. Bahwa tulisan ini
8 ? Gottfried Wilhelm Leibniz, Essais De Theodicee Sur La Bonte DeDieu, La Liberte De I’homme Et I’origine Du Mal. P. 211. Dikutip Dalam PaulBudi Kleden, Svd., Membongkar Derita “ Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat DanTeologi (Maumere: Ledalero, 2006), P. 105.9 ? Ibid.
6
bukanlah hasil penelitian lapangan. Sebaliknya, penulis
menggunakan sejumlah buku sumber sebagai materi dasar.
Hal ini tidak berarti bahwa penulis mengabaikan
realitas sosial sebagai sumber lain yang memberikan
inspirasi bagi perampungan karya ini. Dalam hal ini,
penulis menjadikan realitas kejahatan dan penderitaan
sebagai acuan untuk dipersandingkan dengan pemikiran
Gottried Wilhelm Leibniz sebelum akhirnya sampai pada
suatu kesimpulan tertentu. Dan kesimpulan yang diambil
adalah hasil permenungan pribadi dalam berkonfrontasi
dengan pemikiran filosofi sejumlah filsuf yang
diperoleh saat kuliah mimbar.
1.4 Sistematika Penulisan
Tulisan ini terdiri dari Lima bab. Bab I.
Pendahuluan. Dalam bab ini penulis mengemukakan
latarbelakang penulisan, tujuan penulisan, metode
penulisan dan sistematika penulisan. Dalam bab II,
membeberkan informasi singkat tentang riwayat hidup
Gottfried Wilhel Leibniz dan karya-karya yang pernah
dihasilkannya. Bab III merupakan bab inti yang
menjelaskan konsep teodice Leibniz, kebaikan dan
kemahakuasaan Allah berhadapan dengan realitas
penderitaan dan kejahatan. Sementara dalam bab IV
7
penulisan mencoba melihat relevansi konsep teodise
Leibniz bagi pendewasaan iman. Bahwa iman dan
kepercayaan kaum beriman dapat turut dimatangkan dengan
adanya penderitaan dan kejahatan. Dan bab V merupakan
bab penutup yang menjadi kesimpulan dari karya tulis
ini. dalam bagian penutup ini, penulis juga memberikan
catatan kritis dan saran terhadap konsep teodice
Leibniz.
BAB II
GOTTFRIED WILHELM LEIBNIZ:
RIWAYAT HIDUP, KARYA DAN KONSEP TEODICE
2.1. Riwayat Hidup dan Karya-karya
2.1.1. Riwayat Hidup
Gottfried Wilhel Von Leibniz dilahirkan di
Leipzig, pada hari Minggu 1 juli 1646. Ayahnya bernama
Friedrich Leibnutz (1597-1652), adalah seorang
professor filsafat moral di universitas Leipzig. Ibunya
bernama Catherina Schmuck (1621-1664), adalah isteri
ketiga ayahnya Friedrich. Leibniz mempunyai seorang
8
saudara bernama Johann Friedrich dan seorang saudari
bernama Anna Catherina.10
Leibniz belajar membaca dari ayahnya, sejak umur
tujuh tahun jauh sebelum masuk sekolah. Minatnya sangat
besar untuk belajar bahasa Latin dan Yunani. Leibniz
kecil sudah belajar bahasa Latin sejak usia delapan
tahun. Pada usia 12 tahun beliau mulai belajar bahasa
Yunani. Dia dibentuk dengan basis pemikiran yang
memadai dari para filsuf klasik, bapa-bapa Gereja dan
filsafat Skolastik. Leibniz sangat berminat pada
logika. Pada usia 13 tahun Leibniz pernah mencoba
memperbaiki teori-teori Aristoteles tentang kategori-
kategori, yang walaupun kurang mendapat dukungan dari
para gurunya.11
Leibniz masuk universitas di universitas Leipzig
pada hari Paskah 1661, ketika ia masih berusia empat
belas tahun. Dia mengikuti juga kursus kesenian dengan
batas waktu dua tahun, termasuk kursus dalam bidang
filsafat, retorika, Matematika, bahasa Latin, Yunani
dan Ibrani. Sang Filsuf rasionalisme itu memperoleh
gelar Baccheloriat dalam usia 17 tahun. Setelah tamat,
Leibniz melanjutkan studi doktoratnya pada bidang
teologi, hukum dan kedokteran. Dia kemudian meraih
gelar doktor di Universitas Altdorf, sebuah kota kecil
10 ? G. Macdonald Ross., Leibniz (New York: Oxford UniversityPresss, 1984), P.1.11 ? Ibid.
9
di Jerman.12 Leibniz kemudian tertarik dan memilih
hukum, tetapi sebelum memulai kursusnya itu, beliau
menghabiskan musim panas dekat universitas Jena. Di
sini Leibniz berkontak dengan ide-ide Neopythagoraisme
Erhard Weigel, di mana angka-angka adalah realitas
fundamental dari universum.13
Selain itu Leibniz juga menjalin kontak dengan
beberapa tokoh penting. Beliau pernah mengunjungi
Spinoza di negeri Belanda. Meskipun tak pernah mengakui
secara terang-terangan akan pemikiran Spinoza,
sesungguhnya Leibniz banyak menimba inspirasi dari
pemikiran Spinoza. Leibniz juga aktif dalam bidang
politik. Dalam usia dua puluh tahun dia ikut merevisi
hukum kota Mainz, dan dia juga sempat diutus sebagai
diplomat ke Paris untuk mengadakan wawancara dengan
raja Louis XIV. Dia juga berkesempatan menjalin kontak
dengan dua orang fisikawan terkenal, Boyle dan Isaak
Newton, di kota London. Leibniz juga mendirikan Academy
of Sciences, dan ikut mempengaruhi perkembangan ilmu
pengetahuan di Rusia.14
2.1.2.Karya – karya
Leibniz adalah seorang pemikir besar dan popular.
Bukunya yang paling terkenal adalah Monadology12 ? Ibid.13 ? Ibid.14 ? F. Budi Hardiman., Filsafat Modern: Dari Machiavelli SampaiNietzsche ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), P. 54.
10
(Monadologie, 17140), yang ditulis untuk Raja Eugene
dari Savoy. Dalam bukunya ini Leibniz menjelaskan
tentang monade-monade, sebagai satuan terkecil yang
otonom, yang ada sebagai substansi. Sebagai substansi,
setiap monade lengkap dalam dan mencukupi dirinya
sendiri. Sebab itu monade disebut tanpa jendela. Segala
yang terjadi dengan dan di dalam monade lahir dari
monade itu sendiri.15 Itu berarti setiap monade
tertutup dalam dirinya sendiri, tidak berelasi satu
dengan yang lain.
Karya besarnya yang lain adalah Essays in Theodicy
(Essais de Theodicee). Karya ini, adalah sebuah jawaban
sistematik atas artikel Bayle yang berjudul ‘Rorarius’
dalam bukunya Historical and Critical Dictionary, yang terbit
tahun 1710.16 Sementara karya-karyanya yang lain yang
tidak kalah popular adalah Discourse on Metaphysics (Discours
de metahysique), terbit tahun 1686. Dalam buku ini
Leibniz berbicara juga tentang eksistensi Allah. Essai-
nya tentang pemahaman manusia terbit pada tahun 1765
dengan judul New Essays On Human Understanding (Nouveaux
essays sur l’entendement humain). Leibniz juga menulis buku
tentang prinsip-prinsip alamiah dan rahmat yang terbit
tahun 1714 di bawah judul The Principles of Nature and of Grace
15 ? Fabrizio Mondadori, “Solipsistic Perception In a WorldOf Monads”, Dalam Michael Hooker (Ed.), Leibniz, Critical AndInterpretative Essays (Manchester: Manchester University Press, 1982),Pp. 23-40.16 ? F. Copleston, S.J. op.cit., P.269.
11
(Principes de la nature et de la grace).17 Dari sejumlah bukunya
di atas kita dapat melihat bahwa Leibniz adalah seorang
filsuf-teolog. Dia tidak hanya berbicara tentang
manusia dan alam semesta tetapi juga berbicara tentang
Tuhan. Melalui konsep Teodicenya orang dihantar untuk
memahami Allah sebagai pencipta alam semesta tapi
serentak dengan itu dia memberikan kebebasan kepada
alam semesta untuk beraktivitas sesuai dengan
hakekatnya.
2.2. Konsep Teodice Leibniz
2.2.1. Tuhan dan adanya Kejahatan dan Penderitaan
2.2.1.1. Problem Kejahatan.
Kejahatan bukan sekedar pelbagai perbuatan bukan
baik yang keluar dari hati manusia yang amburadul,
melainkan inti keras dan jahat di dalam perbuatan-
perbuatan itu. Kejahatan bukan sekedar kelemahan
seseorang sehingga ia mengikuti nafsu dan emosinya,
terbawa oleh rasa dendam spontan, malas dan sebagainya,
melainkan sikap jahat sungguh-sungguh sejauh memang
termasuk di dalam kelemahan-kelemahan itu. Sikap yang
betul-betul menolak tarikan hati nurani, yang nekat mau
berbuat secara bohong, keji, kejam, tidak adil meskipun
menyadari bahwa sikap-sikap itu jahat. Kejahatan adalah
apa yang dalam bahasa agama disebut dosa.18
17 ? Ibid., P. 270.18 ?Frans Magnis-Suseno., Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), p. 218.
12
Mengapa adanya kejahatan menjadi masalah bagi
orang yang percaya akan Allah? Karena Allah adalah yang
mahasuci dan membenci kejahatan, lalu mengapa Ia tidak
mencegah adanya kejahatan. Bisa dikatakan bahwa Allah
secara hakiki memiliki zero-tolerance terhadap kejahatan.19
Sebagaimana tuntutan hati nurani agar kita memilih yang
baik dan bukan yang buruk bersifat mutlak, begitu pula
yang jahat mutlak harus tidak ada. Dengan kata lain
kita dapat memaafkan suatu pembunuhan kalau terjadi
karena emosi, atau orang selingkuh karena terbawa oleh
hawa nafsunya. Tetapi kejahatan adalah soal lain.
Kejahatan terletak dalam kehendak seseorang yang tidak
mau bersikap baik. Kejahatan ini selalu jahat dan yang
jahat mutlak tidak boleh ada. Mengapa Allah yang
berkuasa untuk mencegahnya, membiarkannya?
Seperti pada masalah kebebasan manusia berhadapan
dengan kemahakuasaan Allah, begitu pula adanya
kejahatan yang diizinkan berlangsung oleh Yang Mahasuci
tidak mungkin dapat dimengerti dalam arti sebenarnya.
Di sini kita sampai pada batas kemungkinan makhluk
ciptaan memahami motivasi Sang Pencipta. Namun adanya
kejahatan tidak seakan-akan membuktikan bahwa Allah
tidak mungkin ada. Yang melakukan kejahatan bukan Allah
melainkan manusia. Allah mengizinkan terjadi meskipun
Ia menolaknya. Kalau Allah mau menciptakan sesuatu,
19 ?Ibid.
13
maka sangat masuk akal bahwa Allah menciptakan makhluk
yang berakal budi karena hanya makhluk berakal budi
dapat mengakui anugerah penciptaan. Tetapi makhluk
berakal budi dengan sendirinya berarti makhluk yang
bebas. Bagi Allah menciptakan robot-robot yang secara
otomatis berbuat sesuai dengan kehendak-Nya tidak
mempunyai nilai apa pun. Allah menciptakan manusia
dengan menganugerahkan kepadanya kemampuan untuk
menjawab cinta kasih Allah secara bebas. Dan karena
manusia sedemikian penting bagi Allah, Allah mengambil
resiko bahwa manusia memakai kebebasannya untuk menolak
Allah, untuk berbuat jahat. Allah sedikit pun tidak
menghendaki kejahatan itu sendiri, tetapi demi manusia
Allah bersedia mengambil resiko bahwa kejahatan akan
terjadi.20
Masalah kejahatan menjadi pergumulan yang tidak
pernah selesai. Mengapa? Karena kejahatan sudah, sedang
dan akan terjadi dalam perjalanan hidup manusia. Juga
karena kejahatan sudah menjadi salah satu bagian
penting dari hidup manusia yang memungkinkan adanya
kebaikan yang lebih baik dari kebaikan sebelumnya.
Adanya kejahatan membuat seleksi atas kebaikan menjadi
lebih sempurna. Menurut Leibniz kejahatan tidak
bertentangan dengan kebaikan Allah.21 Dengan kata lain,
bagi Leibniz jika kejahatan itu tidak ada maka kebaikan20 ?Ibid., p. 219. 21 ?G. Macdonald Ross., op.cit. P. 103.
14
pun tidak ada. Dan hal itu bertentangan dengan
kesempurnaan Allah.22
Untuk itu Leibniz menawarkan dua solusi, pertama,
mengakui bahwa universum sesungguhnya tidak sempurna.
Bagi Leibniz penjelasan tentang dunia yang tidak
sempurna ini penting untuk menunjukkan bahwa
ketidaksempurnaan secara logis perlu sebagai
penjarakkan terhadap Tuhan, sebagai ada yang selalu
sempurna. Tuhan tentu tidak akan mengutuk atau
mempersalahkan kekurangan yang bertentangan dengan
hukum-hukum logika. Kedua, ketidaksempurnaan universum
adalah kemungkinan terbaik. Dunia menjadi tidak
sempurna untuk merujuk pada Allah yang sempurna. Dengan
demikian, mempersalahkan Allah yang telah menciptakan
universum ini, sama dengan mengatakan bahwa Allah tidak
harus segala sesuatu.23 Hal itu berarti manusia tidak
setuju bahwa Tuhan harus menciptakan dunia ini dengan
segala konkuensi yang ada, seperti kejahatan dan
penderitaan.
2.2.1.2. Problem Penderitaan
Masalah yang sungguh menantang iman adalah mengapa
Allah dapat mengizinkan penderitaan. Problem mengapa
Allah mengizinkan adanya dosa, bisa dikatakan adalah
masalah Allah sendiri. Mungkin kita sendiri mengalami
di lingkungan keluarga atau sahabat kita suatu kejadian22 ?Ibid. 23 ?Ibid.
15
di mana kita secara spontan bertanya: bagaimana Allah
dapat mengizinkan sesuatu seperti itu terjadi? Misalnya
terjadi gempa, tsunami dan tanah longsor yang merenggut
nyawa ribuan orang, termasuk di dalamnya sahabat
kenalan dan keluarga dekat kita.
Perlu diperhatikan bahwa teodice, pembenaran Allah
yang baik dan mahakuasa berhadapan dengan pengalaman
penderitaan ini, tidak muncul dalam lingkungan semua
agama. Dalam pandangan-pandangan dualistik penderitaan
dijelaskan dengan prinsip asali yang negatif.24 Dalam
Panteisme penderitaan individual seakan-akan tenggelam
dalam makna keseluruhan yang dihayati secara bersama.
Masalah teodice hanya dapat muncul apabila Allah
dipahami secara personal dan dialogal dan apabila
masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai
nilai pada dirinya sendiri. Penderitaan menjadi masalah
justeru karena yang Ilahi dipahami, bahkan dialami,
sebagai kekuatan yang peduli pada manusia, yang
berbelaskasih, yang suka mengampuni kesalahan manusia
(daripada secara keras selalu menghukumnya), yang
menyembuhkan. Atas dasar penghayatan Allah sebagai
kekuatan yang peduli, menyelamatkan dan menyembuhkan,
kenyataan penderitaan menjadi semakin tidak dapat
dimengerti. Justeru karena itu muncul pertanyaan:
24 ?Frans M. Suseno., op.cit. p. 222.
16
Apakah Allah tidak dapat menciptakan tanpa menyiksa?
Apa Allah tidak bisa atau tidak mau?
Dalam dinamika sejarah, tema penderitaan merupakan
tema klasik yang menantang sekaligus inheren pada
setiap manusia tanpa kecuali. Sejak kapan pastinya
manusia mulai menderita? Penderitaan mulai dialami
manusia sejak ia diberi eksistensi oleh Allah pencipta.
Manusia diberi eksistensi dengan dua anasir mendasar,
yaitu roh dan materi. Roh bersifat kekal, sedangkan
kodrat materi adalah sementara, rapuh, binasa.
Penderitaan identik dengan penghancuran. Penderitaan
masuk kategori dan kualifikasi materi. Penderitaan
menandai kodrat manusia sebagai barang (benda) material
yang dikehendaki untuk binasa.25
Penderitaan adalah fakta yang inheren pada
manusia. Dia (penderiataan) tidak dapat dielakkan
dengan cara dan taktik secanggih apa pun. Dia adalah
suatu conditio sine qua non (absolut) untuk manusia.
Penderitaan adalah kenyataan yang hanya mampu
dikategorikan. Richard Swimburne menggolongkan
penderitaan ke dalam empat dimensi. Pertama, penderitaan
fisik. jenis penderitaan ini dialami oleh semua makhluk
hidup, baik manusia maupun hewan. Kedua, penderitaan
emosional, misalnya rasa ditinggalkan yang menyebabkan
seseorang menderita, atau rasa frustrasi karena suatu25 ?Frit Fioz., “Mengais Allah Dalam Bongkahan Penderitaan:Sebuah Ziarah Pencarian Makna”. Seri Buku Vox, P. 69.
17
tujuan yang diidealkan tidak tercapai. Ketiga,
penderitaan yang disebabkan karena dalam batin
seseorang terjadi sesuatu yang tidak enak atau tidak
baik, misalnya orang yang iri akan menderita akibat iri
hatinya itu. Keempat, penderitaan yang disebabkan oleh
orang lain. Di sini orang berbicara tentang masalah
penderitaan atau orang yang menderita secara tidak
adil.26
Berhadapan dengan penderitaan dan keburukan
(malum), Leibniz menawarkan tiga bentuk keburukan.
Dalam bukunya Theodicy, Essay on the Goodness of God, the Freedom
of Man and the origin of Evil, Leibniz membedakan tiga macam
keburukan:27
2.2.1.2.1. Keburukan Metafisis
Keburukan metafisis disebabkan oleh
ketidaksempurnaan belaka. Ketidaksempurnaan ini
meliputi ada yang terbatas. Keberadaan ciptaan selalu
terbatas, dan terbatas selalu berarti tidak sempurna,
dan ketidaksempurnaan ini adalah akar dari kemungkinan
kekeliruan dan kejahatan. Sebagai manusia yang mendapat
26 ?Richard Swimburne., The Problem Of Evil, Reason And Religion(London: Ithaca, 1977), P. 81-82.27 ?Leibniz., Theodicy, Essay On The Goodness Of God, The Freedom Of ManAnd The Origin Of Evil, Seperti Dikutip Dalam Frederick Copleston., loc.cit.
18
segala keberadaan dari Allah, di manakah kita akan
menemukan sumber keburukan? Jawaban atas pertanyaan ini
dapat dijumpai dalam idea alam ciptaan, yang sangat
jauh sebagaimana alam ini termuat dalam kebenaran-
kebenaran abadi yang mana dalam pemahaman Allah secara
bebas akan kehendak-Nya. Karena itu mesti
dipertimbangkan bahwa ada “ketiksempurnaan alamiah
dalam ciptaan” sebelum dosa, karena ciptaan terbatas
dalam esensinya. Sumber terakhir dari keburukan
demikian metafisik sehingga muncul pertanyaan,
bagaimana Allah tidak mampu merespons keburukan, hingga
Dia menciptakan dunia dan memberi eksistensi yang
terbatas dan tidak sempurna pada benda-benda? Terhadap
pertanyaan ini, Leibniz menjawab, adalah lebih baik
berada dari pada tidak berada sama sekali. Sejak
ketidaksempurnaan dalam ciptaan tidak bergantung pada
pilihan yang ilahi tetapi pada ideal esensi ciptaan,
Allah tidak dapat memilih untuk menciptakan tanpa
pilihan untuk menciptakan adanya yang tidak sempurna.
Dia memilih, bagaimanapun untuk menciptakan dunia yang
terbaik dari yang mungkin. Allah selalu menghendaki
kebaikan, dan konsekuensinya, sekali memberikan
keputusan ilahi untuk menciptakan, hal itu merupakan
kemungkinan terbaik. Karena itu, Allah tidak dapat
menghendaki “yang terbaik” tanpa menginginkan
eksistensi benda-benda yang tidak sempurna. Tetap yang
19
terbaik dari segala dunia ciptaan yang mungkin harus
ada yang tidak sempurna.
2.2.1.2.2. Keburukan Fisis
Keburukan fisis terdapat dalam penderitaan dan
kesengsaraan.28 Keburukan fisis merupakan bentuk
keburukan alamiah yang terdapat dalam relitas-realitas
negatif yang ditimpakan alam kepada manusia, misalnya
bencana alam, penyakit dan cacat fisik yang dialami
manusia. Sebagai makhluk terbatas sekaligus beriman
manusia sering mempersalahkan Allah menghadapi
penderitaan ini. Penderitaan dipandang sebagai kutukan
Allah atas kesalahan yang dibuat manusia. Menurut
Leibniz, Allah tidak pantas dan tidak patut
dipersalahkan. Dia adalah Allah yang selalu menghendaki
yang terbaik bagi dunia dan manusia. Tentang hal itu
Leibniz menulis:
The objection will be made that God therefore
creates man a sinner, he that in the beginning
created him innocent. But here it must be said,
with regard to the moral aspect, that God being
supremely wise cannot fail to obserb certain
laws, and to act according to the rules, as well
28 ?Ibid.
20
physical as moral, that wisdom has made him
choose. And the same reason that has made him
create man innocent, but liable to fall, makes
him re-creator man when he falls; for God
knowledge causes the future to be for him as the
present, and prevents him from rescinding the
resolutions made.29(Keberatan akan dibuat tentang
Allah yang menciptakan manusia sebagai pendosa,
dia (manusia) pada mulanya diciptakan tidak
bersalah. Namun di sini harus dikatakan merujuk
pada aspek moral, bahwa Allah yang Mahabijaksana
itu tidak mungkin lupa mengamati hukum yang
pasti, dan bertindak menurut aturan-aturan, baik
secara fisik maupun moral, yang bijaksana telah
membuatnya memilih. Dengan alasan yang sama, Dia
telah menciptakan manusia yang tak bersalah,
tetapi dapat jatuh, membuat Dia menciptakan
kembali manusia ketika manusia itu jatuh; karena
Allah mengetahui alasan yang futuris bagi Dia
sebagai yang ada, untuk mencegahnya dari
resolusi-resolusi yang telah dibuat).
2.2.1.2.3. Keburukan Moral
29 ?G.W. Leibniz., Theodice, Essays on the Goodness of God the Freedom of Man and the Origin of Evil (Peru: Illinois 61354 Open Court Publishing Company, 1985), p.28.
21
Keburukan moral nampak dalam dosa. Keburukan moral
adalah satu keburukan yang menjadi begitu besar hanya
karena ia menjadi sumber dari keburukan fisis-keburukan
fisis, suatu sumber yang ada dalam satu dari sekian
banyak kekuatan ciptan-ciptaan. Tentang hal itu Leibniz
mengatakan:
It is again well to consider that moral evil
so great only because it is a source of physical
evils, a source existing in one of the most
powerful of creatures, who is also most capable
of causing those evil.30(Penting sekali untuk
mempertimbangkan bahwa keburukan moral adalah
kejahatan yang begitu besar hanya karena
merupakan sumber keburukan fisis, suatu sumber
yang eksis dalam satu daru sekian banyak
kekuatan-kekuatan ciptaan, yang sanggup menjadi
sebab dari keburukan).
Keburukan moral ditimpakan manusia atas manusia
seperti perang, ketidakadilan, kekerasan dan
penindasan.
2.3. Dunia Terbaik Dari Segala Yang Mungkin
2.3.1. Apakah Allah Memilih Kemungkinan Terbaik?
30 ?Ibid.
22
Leibniz mengembangkan argumen, kemungkinan
terbaik secara detail sebagai upaya untuk membuktikan –
atas dasar rasionalitas kosmos- bahwa itu semacam itu
eksis. Tentang kemungkinan terbaik itu Leibniz menulis
sebagai berikut: God wills antecedently the good and consequently
the best.31 Hal ini berarti sejak awal Allah
berkecenderungan untuk menciptakan dan menghadirkan
yang baik bagi dunia, dan hal itu nampak dalam dunia
yang terbaik yang diciptakannya. Dengan demikian
Leibniz berkesimpulan dari argumen kosmologis ini bahwa
suatu wujud yang rasional, maha mengetahui, sempurna,
maha kuasa tidak bisa tidak, harus memilih yang terbaik
dari segala dunia yang mungkin.32 Alasannya? Seandainya
Tuhan yang sempurna memilih secara sadar sebuah dunia
yang kurang dari sempurna, itu akan menjadi tidak
rasional. Dan hal itu tidak sesuai dengan kodratnya
sebagai Tuhan yang rasional dan sempurna. Dengan
demikian Allah telah memilih kemungkinan terbaik untuk
menciptakan dunia.
2.3.2. Penderitaan Dalam Dunia Sebagai Yang Terbaik
Dari Yang Mungkin
31 ?Ibid 32 ? Paul Davies., Membaca Pikiran Tuhan : Dasar-Dasar Ilmiah DalamDunia Yang Rasional ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), P. 280.
23
Leibniz berpendapat bahwa sejak awal mula Allah
telah memilih untuk menciptakan dunia yang terbaik dari
segala kemungkinan.33 Sendainya dunia yang tercipta
bukanlah dunia yang terbaik, maka masih ada kemungkinan
lain yang lebih baik. Itu berarti Allah tidak mengenal
kemungkinan terbaik itu, dan hal ini bertentangan
dengan kemahatahuan-Nya. Atau Dia tidak sanggup
menciptakan yang terbaik itu, ini bertentangan dengan
kemahabaikan-Nya.
Sebagai kebaikan tertinggi, allah memang
menghendaki kebaikan dan mau menciptakan dunia terbaik.
Dan menurut Leibniz, penderitaan adalah bagian dari
kehidupan kita sebagai makhluk yang fana. Hanya Allah
yang memiliki predikat bebas dari penderitaan.34
Penderitaan adalah bagian dari pengalaman yang membuat
dunia menjadi yang terbaik dari yang mungkin
diciptakan.35
Allah menciptakan dunia terbaik dari kemungkinan
penciptaan yang Dia miliki. Tetapi dunia yang tercipta
itu bukanlah dunia yang terbaik. Dunia ini bukanlah
optimum optimorum, yang terbaik dari yang terbaik.36
Dunia terbaik yang mungkin diciptakan adalah dunia ini,
dan dunia ini menghadirkan banyak penderitaan.
Penderitaan ini tak terelakkan sebagai konsekuensi dari33 ?Paul Budi Kleden., op.cit. P. 101.34 ?Loc.cit.35 ?Ibid. 36 ?Ibid.
24
segala kebaikan yang ada di dalam dunia ini. Sebab itu,
pandangan manusia hendaknya diarahkan kepada yang baik.
Dengan ini manusia belajar menerima yang buruk sebagai
konsekuensi yang tak terelakkan dari berbagai kebaikan
yang dihadiahkan kehidupan baginya.37 Tanpa penderitaan
fisis, kita tidak akan mampu menikmati saat-saat
bahagia kehidupan. Sebab yang positif hanya akan muncul
dan menjadi kian tajam dirasakan pada sebuah
latarbelakang yang kontras. Demikian pula dengan
penderitaan moral dan batin. Tanpa penderitaan yang
pernah dialami dan dilihat, orang tidak akan memperoleh
gagasan dan daya juang yang tinggi untuk berperang
melawan dan mengatasi penderitaan itu.
37 ?Ibid.
25
BAB III
RELEVANSI TEODICE LEIBNIZ
BAGI PENDEWASAAN IMAN
3.1. Penderitaan sebagai Cobaan Allah Atas Kualitas
Iman Manusia
Kenyataan penderitaan adalah problem bahkan misteri
yang sulit dipecahkan dengan akal sehat manusia.
Sebagai animal rationale manusia tidak akan berhenti
bergulat dengan penderitaan. Sebagai makhluk
berkesadaran, mansuia sadara akan penderitaan itu.
dalam konfrontasinya dengan penderitaan, kesadaran
merupakan hal yang penting sebagai pembuka horizon
pikir manusia.
Penderitaan menyentil titik kesadaran manusia untuk
memahami makna penderitaan. Kesadaran menggiring budi
manusia pada suatu dimensi pemahaman, bahwa manusia
adalah makhluk rapuh, lemah dan tidak berdaya. Manusia
mengalami kekosongan dan ketidakberartiran diri. Daya
26
dan potensi manusiawi tidak mampu mengelakkan sepak
terjang penderitaan. Penderitaan mengarahkan pikiran
dan nurani manusia menuju kepada suatu horizon yang
lain. Penderitaan membuka pemahaman manusia akan
kehadiran sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu
transenden, melampaui realitas indrawi. Pada titik ini
manusia beriman memahami bahwa segala kejadian kosmos
termasuk evolusi benda dipengaruhi oleh daya kuasa
Ilahi. Maka penderitaan yang dialami manusia bukan
tidak mungkin terjadi karena penyelenggaraan Ilahi.
Dalam arti ini penolakan terhadap penderitaan bukanlah
sikap iman dan bukan juga sikap bijaksana kaum beriman.
Seorang beriman memahami segala peristiwa harian dalam
nuansa dan perspektif religius-teologis. Sikap
kristiani yang sehat terhadap diri adalah mengakui dan
menerima kondisi manusia yang rapuh, walaupun
konsekuensi penerimaan ini membawa penghancuran diri
manusia secara psikologis.38
3.2. Penderitaan sebagai Pemurnian Hati
Penderitaan bernilai secara moral.39 Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa dengan penderitaan manusia secara
perlahan mulai membenah diri dalam relasinya dengan
Tuhan dan sesama. Penderitaan yang dialami yang38 ?John Powell., Visi Kristiani (Yogyakarta: Kanisius, 1997), P.86. 39 ?Franz Magnis-Suseno., Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius,2006), P. 223.
27
diakibatkan oleh gempa bumi dan tsunami seperti yang
dialami masyarakat di Aceh dapat memurnikan hati orang-
orang yang sedang bertikai. Para pemberontak, seperti
GAM akhirnya untuk sementara menyerahkan diri dan ingin
berdamai dengan TNI, karena mereka percaya bahwa gempa
dan tsunami adalah salah satu kutukan dari Allah atas
perbuatan mereka.
Selain itu penderitaan menyentil manusia untuk
menyerahkan diri secara total ke dalam penyelenggaraan
ilahi. Manusia yang mengalami pemurnian hati atas
penderitaan itu akan selalu menunggu kapan Tuhan
mengerjakan karya-karya ajaib-Nya. Manusia menunggu
kapan Tuhan menyelesaikan rencana-Nya dalam diri
manusia. Tuhan mematikan kita, membedah hidup kita,
memasukkan dan mengambil keluar bagian-bagian dari
diri kita dan hidup kita.40 Situasi penderitaan
menggurui manusia untuk belajar memurnikan hati dan
memasrahkan diri secara total dan paripurna ke dalam
tangan Tuhan. Penderitaan mngajarkan manusia sikap iman
yang benar kepada siapa manusia mencari perlindungan
terakhir yang tepat.
3.3. Dunia Yang ada Penderitaannya Akan Lebih Baik
Daripada Dunia Tanpa Penderitaan.
40 ?J. Powell., op.cit. P. 176.
28
Penderitaan adalah kesempatan bagi dunia yang
sedang berproses ini mencapai taraf yang lebih baik.
Menurut Teilhard de Chardin dunia ini dalam proses
“menjadi” pada setiap tarafnya, terutama pada taraf
masyarakat manusiawi.41 Ada peralihan dari tingkat
pengada yang berkekurangan ke tingkat pengada yang
sempurna, melalui kegagalan-kegagalan dan pergulatan
yang tak dapat dihindari.42 Hal itu berarti dunia
yang ada penderitaannya akan lebih baik dari dunia
yang tidak ada penderitaan. Karena dunia yang ada
penderitaan akan terus menerus membaharui diri dan
terus-menerus dibaharui. Sementara dunia tanpa
penderitaan akan tetap menjadi dunia yang labil, dan
hal itu tidak mungkin terjadi dalam dunia yang yang
diciptakan oleh Yang Mahabaik.
Penderitaan tidak dapat dilihat sebagai saat Tuhan
menyiksa. Bagi Leibniz Allah yang telah menciptakan
dunia ini akan tetap memberikan kebebasan kepada
dunia untuk menentukan dirinya. Dengan demikian,
penderitaan adalah konsekuensi dari kebebasan yang
diberikan Allah itu. Penderitaan adalah tanda sirene
bahwa manusia adalah makhluk fana yang eksistensinya
bersifat temporal. Manusia adalah homo viator (makhluk
peziarah) dalam dunia. Kehidupannya adalah suatu41 ?Teilhard De Chardin., Du Cosmos À La Cosmogénèse (Paris,1963), P. 212 Seperti Dikutip Oleh Louis Leahy., Filsafat KetuhananKontemporer (Yogyakarta: Kanisius, 1993), P. 276. 42 ?Ibid.
29
ziarah menuju horizon yang transenden, tak terbatas.
Dalam istilah Teilhard de Chardin, hidup manusia
adalah evolusi atau gerakan dari titik alfa sebagai
awal kehidupan menuju ke titik omega sebagai akhir.
Titik alfa dan omega bagi orang Kristen merupakan
simbolisasi Kristus. Kehidupan dunia berlangsung di
antara titik alfa dan titik omega. Penderitaan
adalah hal yang wajar dan normal dalam kehidupan
dunia karena tujuan final kehidupan bukanlah dunia
ini. Kehidupan absolut tidak tercapai di dunia ini,
tetapi berpusat, berpuncak dan mencapai kepenuhannya
pada masa eskatologis. Masa eskatologis
menyempurnakan nilai temporalis eksistensi manusia
dan mengubahnya menjadi kedamaian abadi. Dalam
kerangka ini John Powell benar ketika mengatakan
bahwa penderitaan menjadi peringatan terus-menerus
bahwa manusia masih dalam perjalanan. Penderitaan
dapat dianalogikan dengan sebuah bintang penunjuk
arah bagi manusia dalam ziarah menuju Allah.
3.4. Manusia sebagai Makhluk Terbatas
Harus pula diakui bahwa manusia adalah makhluk
terbatas yang tidak tuntas menyelami kehendak Allah.
Sebagai makhluk terbatas manusia hanya mengenal
kehendaka Allah dalam keterbatasannya itu. Dia tidak
bisa menyelami segala yang ada dalam kehendak
Allah. Namun satu hal yang pasti bahwa apa yang
30
dibuat Allah adalah apa yang terbaik yang diberikan
untuk manusia dan dunianya. Allah tidak pernah
merancang kejahatan untuk dunia. Kisah Ayub kiranya
menjadi contoh yang jelas bagi pergulatan setiap
orang beriman menghadapi penderitaan. Ayub adalah
tokoh yang mengalami penderitaan bertubi-tubi.
Penderitaan itu tidak dilihat Ayub sebagai hukuman
Allah yang diimaninya. Ayub selalu melihat
penderitaan sebagai berkat bagi hidupnya.
Dalam penderitaannya Ayub menulis: Apakah gerangan
manusia, sehingga ia Kauanggap agung dan
Kauperhatikan, dan kaudatangi setiap pagi, dan
Kauuji setiap saat? Bilakah Engkau mengalihkan
pandangan-Mu dari padaku? Kalau aku berbuat dosa,
apakah yang telah kulakukan terhadap Engkau, ya
penjaga manusia? Mengapa Engkau menjadikan aku
sasaran-Mu, sehingga aku menjadi beban bagi diriku?
(Ayb 7:17-20)
Namun dalam segala keputusasaannya Ayub mau
berpegang pada pada Allahnya dan masih tetap menaruh
harapannya pada Allah itu. Meskipun kelihatannya
Allah melawannya, namun Ayub berharap, bahwa Allah
toh akan membebaskannya. Penderitaan tidak dipandang
Ayub sebagai hukuman Allah yang diimaninya. Ayub
selalu melihat penderitaan sebagai berkat bagi
hidupnya.
31
Dengan demikian, Ayub menjadi tokoh yang menyadari
keterbatasannya. Dia menyerahkan semua problem
penderitaan kepada Allah yang menghendaki semuanya
itu. Dan hal itulah yang membuat Ayub tetap
berkanjang dalam iman menghadapi penderitaan. Ayub
adalah tokoh yang berani mengatakan: “Ya Tuhan aku
senantiasa berpasrah pada-Mu”. Kepasrahan Ayub ini
menunjukkan keterbatasannya sebagai manusia.
. Penderitaan yang dialami Ayub tidak harus
mengajak manusia untuk selalu mengalah pada
penderitaan, apalagi mengatakan bahwa setiap
penderitaan adalah nasib terberi. Manusia yang
memiliki akal budi harus mengusahakan kebahagiaan
dalam hidupnya. Namun bila dalam usaha itu dia
menemukan keterbatasan, pada saat itulah manusia
harus mengakui bahwa ada sesuatu yang melampaui
dirinya. Penderitaan yang diakibatkan oleh gempa dan
tsunami harus diakui manusia sebagai keterbatasan
menghadapi segala kejadian alam. Manusia tidak
sanggup, dan terbatas untuk mengatakan kepada alam
bahwa gempa dan tsunami tidak harus terjadi.
Keterbatasan ini menjadi kekuatan ketika orang
beriman menyerahkan itu kepada Tuhan dan yakin bahwa
itu merupakan satu berkat baginya.
32
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kritik
Konsep Teodise Leibniz, seakan menghadirkan
hiburan baru bagi manusia untuk menerima penderitaan
sebagai hal yang harus ada karena ketidaksempurnaan
ciptaan. Itu berarti konsekuensi dari keberadaan
manusia di dunia adalah bahwa dia harus menderita
karena ketidaksempurnaan dunia itu. Namun konsep
seperti ini dapat juga melemahkan usaha manusia untuk
meminimalisir adanya bencana. Manusia menerima
penderitaan dan kejahatan sebagai kejadian yang harus
ada.
Kejahatan dan penderitaan tidak selalu menjadi
konsekuensi keberadaan manusia di dunia yang tidak
sempurna ini, tetapi bencana, kematian yang tidak
wajar, kekerasan, pembunuhan, dan lain-lain dapat
terjadi oleh tingkah laku manusia. Bencana alam seperti
banjir dan tanah longsor dan keadaan musim yang tidak
menentu adalah akibat dari relasi ketidakharmonisan
manusia dengan alam ini. Penebangan hutan secara liar,
membakar hutan untuk membuka kebun baru adalah bukti
tindakan manusia yang serakah terhadap alam. Karena
itu, penderitaan seperti bencana alam yang terjadi
33
tidak harus dilihat sebagai “murka’ Allah tetapi
merupakan reaksi alam dalam dirinya sendiri, karena
alam mengalami ketidakharmonisan. Alam menjadi Chaos
bukan kosmos (teratur). Dengan demikian, selalu ada
usaha manusia untuk meminimalisir penderitaan (bencana)
yang sering terjadi akhir-akhir ini. Atau misalnya
terjadi pembunuhan yang mengakibatkan kematian yang
tidak wajar. Hal itu karena manusia yang satu ingin
menguasai yang lain. Di sana ada egoisme dalam diri
manusia yang menghendaki segala sesuatu kembali kepada
dirinya.
Dalam gerakan ekofeminisme, alam dilihat sebagai
ibu yang mengandung dan melahirkan segala kehidupan
yang ada. Karena itu, terhadap ibu yang melahirkan itu,
manusia mesti memberi penghormatan lebih. Alam harus
dilihat, lebih dari sekedar kumpulan benda-benda yang
memberi hidup kepada manusia dan ciptaan lain. Alam
mesti menjadi partner dalam relasi subjek-subjek, di
mana yang satu tidak dapat menguras dan menghabiskan
yang lain. Yang satu mesti memandang yang lain sebagai
subjek yang patut dihargai dan dipelihara. Penghargaan
dan pemeliharaan terhadap alam merupakan bukti
penghargaan manusia akan kehidupanya dan kehidupan
orang lain. Manusia dengan itu turut bertanggungjawab
atas alam agar bencana yang sering menambah penderitaan
hidupnya dapat dikurangi.
34
Selain itu untuk meminimalisir kejahatan dan
penderitaan, manusia juga perlu menghargai satu sama
lain. Emanuel Levinas adalah seorang filsuf yang
menyumbangkan gagasan tentang solidaritas manusia
terhadap sesamanya. Dia mencetuskan ide tentang “yang
lain” yang harus dihargai dalam keberlainannya. Levinas
menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal “Dia” untuk
menyebut “yang lain”. Hal itu mau menunjukkan bahwa “yang
lain” bukan sebagai sesuatu. “Yang lain” adalah Dia
yang heteronom, personal, eksterior. “Yang lain” adalah
Dia yang lain secara radikal.43 Yang lain itu adalah
yang tak berhingga. Tentang yang lain ini Levinas
menulis:
To think the infinite, the transcendent, the
Stranger, is hence not to think an object. But to
think what does not have the lineaments of an
object is in reality to do more than think.44
(Berpikir tentang infinitas, yang transenden,
tentang orang asing, bukan berpikir tentang satu
objek. Tetapi memikirkan apa yang melampaui batas
pada satu objek yang ada dalam realitas, yang
melampaui pikiran).
43 ? Ibid., Pp. 144-145.44 ?Emmanuel Levinas, Totality And Infinity: Am Essay On Exteriority,Tranlated By Alphonso Lingis (United States Of America: DuquesneUniversity Press, 1969), P. 49.
35
Artinya yang lain itu melampaui objek yang
kelihatan. Sebagai yang lain secara absolut dia hanya
dapat dipahami tanpa konteks dan mediasi. Dikatakan
demikian, karena ia melampaui konteks. Memasukkan dia
yang tak berhingga itu dalam konteksku saat ini dan
kini sama dengan memperkosa keberlainannya secara
gawat. Yang Tak berhingga itu bukanlah obyek pemikiran
dan kesadaranku, karena aku tidak lagi bisa menjadi
subyek yang mengobyekan di hadapannya. Nafsu egoku
runtuh di hadapan dia.
Menurut Levinas, terdapat satu hubungan yang benar
dan sejati antara aku dan yang lain. Hubungan itu
tidaklah sama dengan hubungan antara yang mengetahui
dan yang diketahui secara obyektif. Mengapa? Mengetahui
atau mengerti sesuatu menurut Levinas, berarti
menguasai, dan menindasnya. Selain itu ada yang disebut
devioler (membuka tutup).45 Devioler berarti mendekati
kenyataan dari sudut pandangan dan konteks tertentu.
Mendekati kenyataan itu pun terjadi berdasarkan
proyeksi ataupun kegiatan dari yang mengetahui itu
sendiri.46 dalam pengetahuan semacam ini, “yang lain”
itu hanya tergantung pada kegiatan dari yang
mengetahuinya saja. Adanya di luar dari yang
45 ? E. Levinas, Op.Cit., 36. Seperti Dikutip Oleh Drs. AlexLanur., Hubungan Antarpribadi Menurut Emmanuel Levinas. Dalam SoerjantoPoespowardojo Dan K. Bertens., Sekitar Manusia: Bunga Rampai TentangFilsafat Manusia ( Jakarta: Gramedia, 1983), P. 64. 46 ? Ibid., P. 65.
36
mengetahuinya hanyalah suatu yang relatif saja dan
tidak mutlak lagi.47
Namun demikian, ada suatu pengetahuan tentang
“yang lain”, dalam arti “orang lain” itu sendiri.
Tetapi inisiatif untuk pengetahuan itu tidak datang
dari dalam melainkan dari luar diri orang yang
mengetahuinya. Pengetahuan tersebut oleh Levinas
disebut “pengalaman yang mutlak” atau pengalaman yang
fundamental.48 Dalam pengetahuan atau pengalaman yang
mutlak ini, orang lain sungguh-sungguh “diketahui”
serta “dialami” dalam seluruh kedirian dan
keberlainannya.
Kalau pengetahuan di atas terjadi atas inisiatif
orang lain, bagaimana terjadinya? Orang lain itu
menyatakan dan mewahyukan dirinya kepadaku. Pewahyuan
itu terjadi tidak tergantung dari posisi yang kuambil
terhadapnya. Pewahyuan itu pun terjadi “tanpa sifat”,
tanpa atribut, tanpa bentuk dan tanpa kategori manapun
juga.49 Orang lain itu seakan-akan sama sekali tidak
membutuhkan semua yang disebut tadi dalam pewahyuannya.
Dari dan dalam dirinya sendiri dia sudah bermakna dan
bernilai. Pewahyuan atau pernyataan diri ini juga
disebutnya pewahyuan sebagai wajah, sebagai wajah yang
telanjang. Dalam dan dengan wajahnya tampillah orang
47 ? Ibid.48 ? Ibid.49 ? Ibid.
37
lain itu dalam keaslian, kepolosan, kedirian dan
seluruh ekspresi kediriannya, dalam kepenuhan artinya
serta seluruh dunia dan hidupnya.50
Dengan demikian hubunganku dengan orang lain itu
menjadi suatu hubungan tanpa gambar atau tanpa apa pun
juga. Dengan kata lain, hubunganku dengan orang lain
adalah suatu hubungan yang langsung sekali. Dalam dan
melalui hubungan yang langsung inilah orang lain itu
menyatakan serta mewahyukan dirinya kepadaku.
Maksudnya, pewahyuan diri sebagai yang sama sekali lain
dan sama sekali berada di luar daripada serta tetap
asing terhadapku. Dengan relasi tanpa gambar manusia
yang satu akan melihat yang lain sebagai bagian dari
dirinya. Atau bahkan menurut Levinas, manusia akan
merasa bertanggungjawab terhadap tanggungjawab orang
lain. Melalui solidaritas tanpa batas ini dunia ini
akan menjadi suatu dunia yang bebas dari segala dari
segala kejahatan dan penderitaan.
4.2. Saran
Konsep teodice Leibniz adalah sebuah konsep yang
digunakan untuk mengeritik konsep Allah dalam pemahaman
deisme. Bagi deisme Allah setelah menciptakan segala
sesuatu yang ada di bumi ini meninggal ciptaannya itu
sendiri. Di sana tidak ada lagi penyelenggaraan ilahi
50 ? Ibid.
38
terhadap ciptaannya. Leibniz dalam konsep teodicenya
menghadirkan penjelasan yang rasional. Penjelasan itu
tentunya bermaksud untuk diterima secara rasional pula.
Namun yang rasional belum tentu benar seluruhnya.
Karena itu, bagi penulis konsep teodice Leibniz
hendaknya tidak menjadi semacam hiburan baru bagi para
penderita. Konsep ini hendaknya dilihat sebagai suatu
sumbangan rasional Leibniz bagi problem penderitaan dan
kejahatan. Bahwa adanya penderitaan tidak menyebabkan
konsep manusia berubah tentang kemahakuasaan dan
kemahabaikan Allah. Allah tetaplah pencipta yang baik
dan berkuasa, dan segala kejahatan dan penderitaan
dunia ini merupakan konsekuensi dari ketidaksempurnaan
ciptaan. Allah selalu menghendaki yang terbaik bagi
dunia, tetapi dalam kehendak-Nya yang baik itu Dia
tetap menghargai dan memberikan kebebasan kepada dunia
ciptaan-Nya. Dengan memberi kebebasan itulah, Allah
disebut sebagai yang mahabaik dan mahakuasa. Dia adalah
Allah yang penuh pengertian dan cinta akan segala
sesuatu yang sudah diciptakan-Nya.
39
DAFTAR PUSTAKA
Budi Hardiman, F. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai
Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Budi Kleden, P. Membongkar Derita “ Teodice: Sebuah Kegelisahan
Filsafat Dan Teologi Maumere: Ledalero, 2006.
Copleston, F. A History Of Philosophy: Descartes To Leibniz, Vol. Iv.
London: Burns & Oates, 1965.
Davies, P. Membaca Pikiran Tuhan : Dasar-Dasar Ilmiah Dalam
Dunia Yang Rasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Davis, T. Stephen (Ed.). Encountering Evil. Edinburgh: T.
& T.Clark Ltd.,1981.
40
Fioz, F. Mengais Allah Dalam Bongkahan Penderitaan: Sebuah Ziarah
Pencarian Makna. Seri Buku Vox.
Hooker, M. (ed.). Leibniz: Critical and Interpretative Essays.
Manchester: Manchester University Press, 1982.
Kirchberger, Georg. Allah Menggugat: Sebuah Dogmati Kristiani.
Maumere: Ledalero, 2007.
Leahy, L. Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta:
Kanisius, 1993.
Leibniz, G.W. Theodicy, Essays On The Goodness Of God The
Freedom Of Man And The Origin Of Evil. Peru: Illinois 61354
Open Court Publishing Company, 1985.
Levinas, E. Totality And Infinity: An Essay on Exteriority. United
States of Amerika: Duquesne University Press, 1969.
Poespowardojo, S. dan Bertens, K. Sekitar manusia: Bunga
Rampai tentang Filsafat Manusia. Jakarta:Gramedia, 1983.
Powell, J. Visi Kristiani. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Ross, Macdonald G. Leibniz. New York: Oxford University
Presss, 1984.
41