42
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penulisan Manusia hidup dalam suatu dunia yang sedang mengalami ambiguitas moral. Di satu pihak manusia mengalami banyak momen yang menyenangkan, membahagiakan dan menggembirakan, namun di pihak lain ia mengalami ketidakbahagiaan, ketidaksenangan dan penderitaan dalam dunia yang sama. Ada penderitaan yang tak terperikan, kemiskinan, rasa sakit yang mengerikan, tindakan- tindakan irasional seperti kekerasan dan penganiayaan, serta ancaman akan kematian yang datang secara mendadak. 1 Seorang filsuf Yunani, Epikurus sekitar 300 tahun sebelum Kristus merumuskan problem pertentangan antara kebaikan dan kemahakuasaan Allah di satu pihak dan kebobrokan dunia di pihak lain sebagai berikut: Atau Allah ingin menghapus kebobrokan, tetapi tidak sanggup; atau Ia sanggup, tetapi tidak mau; atau Ia tidak mau dan tidak sanggup; atau Ia mau dan Ia sanggup juga. Kalau Ia mau, tetapi tidak sanggup, maka Ia lemah, hal mana tidak sesuai dengan hakikat Allah. Kalau Ia sanggup, tetapi tidak mau, maka Ia bersifat jahat 1 ? Stephen T. Davis (Ed.), Encountering Evil (Edinburgh: T. & T.Clark Ltd.,1981) P.1

KONSEP PENDERITAAN MENURUT LEIBNIZ

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penulisan

Manusia hidup dalam suatu dunia yang sedang

mengalami ambiguitas moral. Di satu pihak manusia

mengalami banyak momen yang menyenangkan, membahagiakan

dan menggembirakan, namun di pihak lain ia mengalami

ketidakbahagiaan, ketidaksenangan dan penderitaan dalam

dunia yang sama. Ada penderitaan yang tak terperikan,

kemiskinan, rasa sakit yang mengerikan, tindakan-

tindakan irasional seperti kekerasan dan penganiayaan,

serta ancaman akan kematian yang datang secara

mendadak.1

Seorang filsuf Yunani, Epikurus sekitar 300 tahun

sebelum Kristus merumuskan problem pertentangan antara

kebaikan dan kemahakuasaan Allah di satu pihak dan

kebobrokan dunia di pihak lain sebagai berikut:

Atau Allah ingin menghapus kebobrokan, tetapi

tidak sanggup; atau Ia sanggup, tetapi

tidak mau; atau Ia tidak mau dan tidak sanggup;

atau Ia mau dan Ia sanggup juga. Kalau Ia mau,

tetapi tidak sanggup, maka Ia lemah, hal mana

tidak sesuai dengan hakikat Allah. Kalau Ia

sanggup, tetapi tidak mau, maka Ia bersifat jahat1 ?Stephen T. Davis (Ed.), Encountering Evil (Edinburgh: T. &T.Clark Ltd.,1981) P.1

yang juga tidak cocok bagi Allah. Kalau Ia tidak

mau dan tidak sanggup, Ia sekaligus bersifat

jahat dan lemah, karena itu Ia bukan Allah. Kalau

Ia mau dan sanggup juga, satu-satunya kemungkinan

yang sesuai dengan Allah- maka dari manakah

kebobrokan? Atau mengapa Allah tidak

menghapusnya?2

Terhadap semua realitas penderitaan dan kejahatan

di atas, manusia secara spontan bertanya: mengapa

semuanya itu terjadi? Mengapa dunia ini penuh kekerasan

dan penderitaan? Apakah ada alasan? Pertanyaan-

pertanyaan eksistensial ini menggugah penulis untuk

mendalami dan merefleksikan tema-tema tersebut dalam

tulisan ini. Dengan berbasiskan konsep teodice Leibniz,

penulis berusaha memberikan jawaban terhadap semua

orang yang dalam hidupnya bergulat dengan hakekat dunia

dan intervensi Allah terhadap dunia dan ciptaan-Nya.

Salah satu cara untuk memperkenalkan masalah

kejahatan dan penderitaan adalah dengan bertanya bagi

siapa problem itu hadir. Satu jawaban yang pasti dan

lazim adalah bahwa problem kejahatan dan penderitaan

adalah problem untuk theisme. Theisme percaya bahwa

dunia diciptakan oleh seorang Pribadi yang mahakuasa

dan Mahabaik, yang disebut Allah. Kaum theis yang hadir2 ?Georg Kirchberger., Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani(Maumere: Ledalero, 2007), P. 267.

2

dalam diri para penganut agama Kristiani, Yahudi,

Muslim, percaya akan beberapa sifat, karakter Allah

sebagai berikut.3 Pertama, Allah itu satu. Di sini

theisme adalah sebuah bentuk dari monotheisme. Kaum

monotheist, percaya hanya kepada satu Allah dan hanya

kepada Dia sajalah mereka mengarahkan hati dan

bersembah-sujud. Kedua, Allah adalah Pencipta dunia.

Kaum theis mengklaim bahwa dunia bereksistensi karena

sebuah keputusan pada pihak Allah dan karena itu

bergantung kepada-Nya.4 Itu berarti segala sesuatu yang

terjadi di dunia menjadi mungkin karena kehendak Allah.

Di luar kehendak dan kontrol Allah, segala peristiwa

yang terjadi tidak mungkin ada. Bagi kaum theis dunia

adalah sesuatu yang kontingen. Artinya segala yang ada

dan terjadi di dunia bersifat mungkin, sementara saja.

Ketiga, Allah itu Mahakuasa. Bagi kaum theis Tuhan itu

mahakuasa pada batas kepastian jika dan hanya jika

untuk kemungkinan logikal, dengan mengatakan bahwa

Tuhan menunjukkan kekuasaan-Nya secara koheren, dan

menyatakan kemahakuasaan-Nya itu pada waktunya. Di

sini Tuhan yang mahakuasa mesti juga terlibat dalam

setiap momen kehidupan manusia dan menyatakan

kemahakuasaan-Nya. Keempat, Tuhan itu personal. Kaum

theis mengatakan bahwa Tuhan itu Ada yang sadar, yang

dapat berpikir, memiliki intensi, berkeinginan dan3 ? Ibid. P.2.4 ? Ibid. P.3.

3

berkehendak. Tidak sama seperti Allah kaum Deisme pada

abad ke-18, Dia prihatin dan tertarik pada ciptaan-

ciptaan-Nya. Karena itu, Dia tetap menyelenggarakan

dunia setelah penciptaan. Kelima, Allah adalah kebaikan

yang sempurna. Itu berarti Tuhan tidak pernah melakukan

kesalahan moral. Semua tindakan dan intensinya selalu

benar secara moral. Theisme mengklaim bahwa Tuhan itu

penuh kebaikan dan cinta akan ciptaan-ciptaan-Nya. Dia

tidak pernah menyebabkan penderitaan, kecuali ada

penolakan dengan alasan moral bagi-Nya untuk melakukan

hal itu.5

Ada sedikit kesangsian bahwa problem kejahatan

menjadi kesulitan intelektual yang serius dari theisme.

Letak problemnya dalam pertanyaan sederhana: Mengapa

Allah mengijinkan kejahatan dan penderitaan? Pertanyaan

ini penting untuk melihat problem kejahatan dan

penderitaan hanyalah masalah agama teistik dalam

konteks yang luas. Bagi mereka yang menolak bahwa Allah

adalah kebaikan yang sempurna tidak sulit menjawab

pertanyaan- kejahatan ada karena Allah jahat di samping

membimbingnya menciptakan kejahatan. Hal ini juga

sangat mudah bagi mereka yang menolak bahwa Allah itu

Mahakuasa. Bagi mereka, adanya kejahatan karena Allah

tidak mempunyai kewenangan untuk mencegah eksistensi

kejahatan. Masalahnya di sini adalah, jika Allah itu

5 ? Ibid.

4

Mahakuasa, Dia mesti dapat mengatasi, mencegah

kejahatan. Dan kalau Tuhan itu Mahabaik, Dia harus

berinisiatif untuk mengatasi kejahatan. Tetapi jika

Allah mampu melakukan kedua-duanya, dan berkeinginan

untuk mengatasi kejahatan, mengapa ada kejahatan dan

penderitaan? Mengapa ada begitu banyak orang tidak

bersalah mendekap dalam penjara? Mengapa gempa bumi,

kelaparan yang menyebabkan kesakitan dan kematian

terjadi? David Hume pernah bertanya kepada Allah:

apakah Dia berkehendak untuk mencegah kejahatan dan

penderitaan, tetapi tidak mampu? Dengan demikian Dia

tidak berdaya, tidak mampu. Apakah Dia mampu, tetapi

tidak menghendaki? Kalau begitu Dia berhati dengki.

Apakah Dia mampu dan menghendaki kedua-duanya?6 Lalu

bagaimana dengan kejahatan dan penderitaan? Menurut

Leibniz sejak awal mula Allah telah memilih untuk

menciptakan dunia yang terbaik dari segala kemungkinan.

Hakikat Allah adalah kebaikan, sebab itu Dia

menciptakan yang terbaik.7

1.2 Tujuan Penulisan

Dalam tulisan ini, penulis mencoba menjawabi

pertanyaan eksistensial tetang kejahatan dan

penderitaan yang terjadi di dunia. Konsep Allah yang

6 ? Ibid. P. 4.7 ? Frederick Copleston., A History Of Philosophy: Descartes To Leibniz,Vol. Iv (London: Burns & Oates, 1965), P. 326.

5

Mahabaik dan mahakuasa yang diimani kaum theis sering

dipertanyakan oleh kaum atheis. Terhadap pertanyaan

ini, penulis berusaha memberi jawaban rasional dengan

berbasiskan pemikiran Leibniz tentang teodice.

Leibniz mencoba memberikan jawaban rasional untuk

mempertahankan eksistensi Allah. Bahwa keberadaan Allah

tidak dapat disangsikan dan disingkirkan berhadapan

dengan realitas kejahatan. Allah tetaplah Dia yang

Mahabaik dan mahakuasa, walaupun banyak penderitaan

yang terjadi. Sebagai kebaikan tertinggi, Allah tetap

menghendaki kebaikan dan mau menciptakan dunia yang

terbaik. Menurut Leibniz, penderitaan adalah bagian

dari kehidupan manusia sebagai makhluk yang fana. Hanya

Allah yang memiliki predikat bebas dari penderitaan.8

Karena itu, penderitaan tetap eksis dan merupakan

bagian dari pengalaman manusia yang membuat dunianya

menjadi yang terbaik dari yang mungkin diciptakan.9

Allah tetaplah Dia yang Mahabaik dan Mahakuasa

berhadapan dengan penderitaan dan kejahatan dalam dunia

yang diciptakan-Nya.

1.3 Metode penulisan

Dalam upaya merampungkan tulisan ini, penulis

menggunakan metode kepustakaan. Bahwa tulisan ini

8 ? Gottfried Wilhelm Leibniz, Essais De Theodicee Sur La Bonte DeDieu, La Liberte De I’homme Et I’origine Du Mal. P. 211. Dikutip Dalam PaulBudi Kleden, Svd., Membongkar Derita “ Teodice: Sebuah Kegelisahan Filsafat DanTeologi (Maumere: Ledalero, 2006), P. 105.9 ? Ibid.

6

bukanlah hasil penelitian lapangan. Sebaliknya, penulis

menggunakan sejumlah buku sumber sebagai materi dasar.

Hal ini tidak berarti bahwa penulis mengabaikan

realitas sosial sebagai sumber lain yang memberikan

inspirasi bagi perampungan karya ini. Dalam hal ini,

penulis menjadikan realitas kejahatan dan penderitaan

sebagai acuan untuk dipersandingkan dengan pemikiran

Gottried Wilhelm Leibniz sebelum akhirnya sampai pada

suatu kesimpulan tertentu. Dan kesimpulan yang diambil

adalah hasil permenungan pribadi dalam berkonfrontasi

dengan pemikiran filosofi sejumlah filsuf yang

diperoleh saat kuliah mimbar.

1.4 Sistematika Penulisan

Tulisan ini terdiri dari Lima bab. Bab I.

Pendahuluan. Dalam bab ini penulis mengemukakan

latarbelakang penulisan, tujuan penulisan, metode

penulisan dan sistematika penulisan. Dalam bab II,

membeberkan informasi singkat tentang riwayat hidup

Gottfried Wilhel Leibniz dan karya-karya yang pernah

dihasilkannya. Bab III merupakan bab inti yang

menjelaskan konsep teodice Leibniz, kebaikan dan

kemahakuasaan Allah berhadapan dengan realitas

penderitaan dan kejahatan. Sementara dalam bab IV

7

penulisan mencoba melihat relevansi konsep teodise

Leibniz bagi pendewasaan iman. Bahwa iman dan

kepercayaan kaum beriman dapat turut dimatangkan dengan

adanya penderitaan dan kejahatan. Dan bab V merupakan

bab penutup yang menjadi kesimpulan dari karya tulis

ini. dalam bagian penutup ini, penulis juga memberikan

catatan kritis dan saran terhadap konsep teodice

Leibniz.

BAB II

GOTTFRIED WILHELM LEIBNIZ:

RIWAYAT HIDUP, KARYA DAN KONSEP TEODICE

2.1. Riwayat Hidup dan Karya-karya

2.1.1. Riwayat Hidup

Gottfried Wilhel Von Leibniz dilahirkan di

Leipzig, pada hari Minggu 1 juli 1646. Ayahnya bernama

Friedrich Leibnutz (1597-1652), adalah seorang

professor filsafat moral di universitas Leipzig. Ibunya

bernama Catherina Schmuck (1621-1664), adalah isteri

ketiga ayahnya Friedrich. Leibniz mempunyai seorang

8

saudara bernama Johann Friedrich dan seorang saudari

bernama Anna Catherina.10

Leibniz belajar membaca dari ayahnya, sejak umur

tujuh tahun jauh sebelum masuk sekolah. Minatnya sangat

besar untuk belajar bahasa Latin dan Yunani. Leibniz

kecil sudah belajar bahasa Latin sejak usia delapan

tahun. Pada usia 12 tahun beliau mulai belajar bahasa

Yunani. Dia dibentuk dengan basis pemikiran yang

memadai dari para filsuf klasik, bapa-bapa Gereja dan

filsafat Skolastik. Leibniz sangat berminat pada

logika. Pada usia 13 tahun Leibniz pernah mencoba

memperbaiki teori-teori Aristoteles tentang kategori-

kategori, yang walaupun kurang mendapat dukungan dari

para gurunya.11

Leibniz masuk universitas di universitas Leipzig

pada hari Paskah 1661, ketika ia masih berusia empat

belas tahun. Dia mengikuti juga kursus kesenian dengan

batas waktu dua tahun, termasuk kursus dalam bidang

filsafat, retorika, Matematika, bahasa Latin, Yunani

dan Ibrani. Sang Filsuf rasionalisme itu memperoleh

gelar Baccheloriat dalam usia 17 tahun. Setelah tamat,

Leibniz melanjutkan studi doktoratnya pada bidang

teologi, hukum dan kedokteran. Dia kemudian meraih

gelar doktor di Universitas Altdorf, sebuah kota kecil

10 ? G. Macdonald Ross., Leibniz (New York: Oxford UniversityPresss, 1984), P.1.11 ? Ibid.

9

di Jerman.12 Leibniz kemudian tertarik dan memilih

hukum, tetapi sebelum memulai kursusnya itu, beliau

menghabiskan musim panas dekat universitas Jena. Di

sini Leibniz berkontak dengan ide-ide Neopythagoraisme

Erhard Weigel, di mana angka-angka adalah realitas

fundamental dari universum.13

Selain itu Leibniz juga menjalin kontak dengan

beberapa tokoh penting. Beliau pernah mengunjungi

Spinoza di negeri Belanda. Meskipun tak pernah mengakui

secara terang-terangan akan pemikiran Spinoza,

sesungguhnya Leibniz banyak menimba inspirasi dari

pemikiran Spinoza. Leibniz juga aktif dalam bidang

politik. Dalam usia dua puluh tahun dia ikut merevisi

hukum kota Mainz, dan dia juga sempat diutus sebagai

diplomat ke Paris untuk mengadakan wawancara dengan

raja Louis XIV. Dia juga berkesempatan menjalin kontak

dengan dua orang fisikawan terkenal, Boyle dan Isaak

Newton, di kota London. Leibniz juga mendirikan Academy

of Sciences, dan ikut mempengaruhi perkembangan ilmu

pengetahuan di Rusia.14

2.1.2.Karya – karya

Leibniz adalah seorang pemikir besar dan popular.

Bukunya yang paling terkenal adalah Monadology12 ? Ibid.13 ? Ibid.14 ? F. Budi Hardiman., Filsafat Modern: Dari Machiavelli SampaiNietzsche ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), P. 54.

10

(Monadologie, 17140), yang ditulis untuk Raja Eugene

dari Savoy. Dalam bukunya ini Leibniz menjelaskan

tentang monade-monade, sebagai satuan terkecil yang

otonom, yang ada sebagai substansi. Sebagai substansi,

setiap monade lengkap dalam dan mencukupi dirinya

sendiri. Sebab itu monade disebut tanpa jendela. Segala

yang terjadi dengan dan di dalam monade lahir dari

monade itu sendiri.15 Itu berarti setiap monade

tertutup dalam dirinya sendiri, tidak berelasi satu

dengan yang lain.

Karya besarnya yang lain adalah Essays in Theodicy

(Essais de Theodicee). Karya ini, adalah sebuah jawaban

sistematik atas artikel Bayle yang berjudul ‘Rorarius’

dalam bukunya Historical and Critical Dictionary, yang terbit

tahun 1710.16 Sementara karya-karyanya yang lain yang

tidak kalah popular adalah Discourse on Metaphysics (Discours

de metahysique), terbit tahun 1686. Dalam buku ini

Leibniz berbicara juga tentang eksistensi Allah. Essai-

nya tentang pemahaman manusia terbit pada tahun 1765

dengan judul New Essays On Human Understanding (Nouveaux

essays sur l’entendement humain). Leibniz juga menulis buku

tentang prinsip-prinsip alamiah dan rahmat yang terbit

tahun 1714 di bawah judul The Principles of Nature and of Grace

15 ? Fabrizio Mondadori, “Solipsistic Perception In a WorldOf Monads”, Dalam Michael Hooker (Ed.), Leibniz, Critical AndInterpretative Essays (Manchester: Manchester University Press, 1982),Pp. 23-40.16 ? F. Copleston, S.J. op.cit., P.269.

11

(Principes de la nature et de la grace).17 Dari sejumlah bukunya

di atas kita dapat melihat bahwa Leibniz adalah seorang

filsuf-teolog. Dia tidak hanya berbicara tentang

manusia dan alam semesta tetapi juga berbicara tentang

Tuhan. Melalui konsep Teodicenya orang dihantar untuk

memahami Allah sebagai pencipta alam semesta tapi

serentak dengan itu dia memberikan kebebasan kepada

alam semesta untuk beraktivitas sesuai dengan

hakekatnya.

2.2. Konsep Teodice Leibniz

2.2.1. Tuhan dan adanya Kejahatan dan Penderitaan

2.2.1.1. Problem Kejahatan.

Kejahatan bukan sekedar pelbagai perbuatan bukan

baik yang keluar dari hati manusia yang amburadul,

melainkan inti keras dan jahat di dalam perbuatan-

perbuatan itu. Kejahatan bukan sekedar kelemahan

seseorang sehingga ia mengikuti nafsu dan emosinya,

terbawa oleh rasa dendam spontan, malas dan sebagainya,

melainkan sikap jahat sungguh-sungguh sejauh memang

termasuk di dalam kelemahan-kelemahan itu. Sikap yang

betul-betul menolak tarikan hati nurani, yang nekat mau

berbuat secara bohong, keji, kejam, tidak adil meskipun

menyadari bahwa sikap-sikap itu jahat. Kejahatan adalah

apa yang dalam bahasa agama disebut dosa.18

17 ? Ibid., P. 270.18 ?Frans Magnis-Suseno., Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius, 2006), p. 218.

12

Mengapa adanya kejahatan menjadi masalah bagi

orang yang percaya akan Allah? Karena Allah adalah yang

mahasuci dan membenci kejahatan, lalu mengapa Ia tidak

mencegah adanya kejahatan. Bisa dikatakan bahwa Allah

secara hakiki memiliki zero-tolerance terhadap kejahatan.19

Sebagaimana tuntutan hati nurani agar kita memilih yang

baik dan bukan yang buruk bersifat mutlak, begitu pula

yang jahat mutlak harus tidak ada. Dengan kata lain

kita dapat memaafkan suatu pembunuhan kalau terjadi

karena emosi, atau orang selingkuh karena terbawa oleh

hawa nafsunya. Tetapi kejahatan adalah soal lain.

Kejahatan terletak dalam kehendak seseorang yang tidak

mau bersikap baik. Kejahatan ini selalu jahat dan yang

jahat mutlak tidak boleh ada. Mengapa Allah yang

berkuasa untuk mencegahnya, membiarkannya?

Seperti pada masalah kebebasan manusia berhadapan

dengan kemahakuasaan Allah, begitu pula adanya

kejahatan yang diizinkan berlangsung oleh Yang Mahasuci

tidak mungkin dapat dimengerti dalam arti sebenarnya.

Di sini kita sampai pada batas kemungkinan makhluk

ciptaan memahami motivasi Sang Pencipta. Namun adanya

kejahatan tidak seakan-akan membuktikan bahwa Allah

tidak mungkin ada. Yang melakukan kejahatan bukan Allah

melainkan manusia. Allah mengizinkan terjadi meskipun

Ia menolaknya. Kalau Allah mau menciptakan sesuatu,

19 ?Ibid.

13

maka sangat masuk akal bahwa Allah menciptakan makhluk

yang berakal budi karena hanya makhluk berakal budi

dapat mengakui anugerah penciptaan. Tetapi makhluk

berakal budi dengan sendirinya berarti makhluk yang

bebas. Bagi Allah menciptakan robot-robot yang secara

otomatis berbuat sesuai dengan kehendak-Nya tidak

mempunyai nilai apa pun. Allah menciptakan manusia

dengan menganugerahkan kepadanya kemampuan untuk

menjawab cinta kasih Allah secara bebas. Dan karena

manusia sedemikian penting bagi Allah, Allah mengambil

resiko bahwa manusia memakai kebebasannya untuk menolak

Allah, untuk berbuat jahat. Allah sedikit pun tidak

menghendaki kejahatan itu sendiri, tetapi demi manusia

Allah bersedia mengambil resiko bahwa kejahatan akan

terjadi.20

Masalah kejahatan menjadi pergumulan yang tidak

pernah selesai. Mengapa? Karena kejahatan sudah, sedang

dan akan terjadi dalam perjalanan hidup manusia. Juga

karena kejahatan sudah menjadi salah satu bagian

penting dari hidup manusia yang memungkinkan adanya

kebaikan yang lebih baik dari kebaikan sebelumnya.

Adanya kejahatan membuat seleksi atas kebaikan menjadi

lebih sempurna. Menurut Leibniz kejahatan tidak

bertentangan dengan kebaikan Allah.21 Dengan kata lain,

bagi Leibniz jika kejahatan itu tidak ada maka kebaikan20 ?Ibid., p. 219. 21 ?G. Macdonald Ross., op.cit. P. 103.

14

pun tidak ada. Dan hal itu bertentangan dengan

kesempurnaan Allah.22

Untuk itu Leibniz menawarkan dua solusi, pertama,

mengakui bahwa universum sesungguhnya tidak sempurna.

Bagi Leibniz penjelasan tentang dunia yang tidak

sempurna ini penting untuk menunjukkan bahwa

ketidaksempurnaan secara logis perlu sebagai

penjarakkan terhadap Tuhan, sebagai ada yang selalu

sempurna. Tuhan tentu tidak akan mengutuk atau

mempersalahkan kekurangan yang bertentangan dengan

hukum-hukum logika. Kedua, ketidaksempurnaan universum

adalah kemungkinan terbaik. Dunia menjadi tidak

sempurna untuk merujuk pada Allah yang sempurna. Dengan

demikian, mempersalahkan Allah yang telah menciptakan

universum ini, sama dengan mengatakan bahwa Allah tidak

harus segala sesuatu.23 Hal itu berarti manusia tidak

setuju bahwa Tuhan harus menciptakan dunia ini dengan

segala konkuensi yang ada, seperti kejahatan dan

penderitaan.

2.2.1.2. Problem Penderitaan

Masalah yang sungguh menantang iman adalah mengapa

Allah dapat mengizinkan penderitaan. Problem mengapa

Allah mengizinkan adanya dosa, bisa dikatakan adalah

masalah Allah sendiri. Mungkin kita sendiri mengalami

di lingkungan keluarga atau sahabat kita suatu kejadian22 ?Ibid. 23 ?Ibid.

15

di mana kita secara spontan bertanya: bagaimana Allah

dapat mengizinkan sesuatu seperti itu terjadi? Misalnya

terjadi gempa, tsunami dan tanah longsor yang merenggut

nyawa ribuan orang, termasuk di dalamnya sahabat

kenalan dan keluarga dekat kita.

Perlu diperhatikan bahwa teodice, pembenaran Allah

yang baik dan mahakuasa berhadapan dengan pengalaman

penderitaan ini, tidak muncul dalam lingkungan semua

agama. Dalam pandangan-pandangan dualistik penderitaan

dijelaskan dengan prinsip asali yang negatif.24 Dalam

Panteisme penderitaan individual seakan-akan tenggelam

dalam makna keseluruhan yang dihayati secara bersama.

Masalah teodice hanya dapat muncul apabila Allah

dipahami secara personal dan dialogal dan apabila

masing-masing orang secara personal dianggap mempunyai

nilai pada dirinya sendiri. Penderitaan menjadi masalah

justeru karena yang Ilahi dipahami, bahkan dialami,

sebagai kekuatan yang peduli pada manusia, yang

berbelaskasih, yang suka mengampuni kesalahan manusia

(daripada secara keras selalu menghukumnya), yang

menyembuhkan. Atas dasar penghayatan Allah sebagai

kekuatan yang peduli, menyelamatkan dan menyembuhkan,

kenyataan penderitaan menjadi semakin tidak dapat

dimengerti. Justeru karena itu muncul pertanyaan:

24 ?Frans M. Suseno., op.cit. p. 222.

16

Apakah Allah tidak dapat menciptakan tanpa menyiksa?

Apa Allah tidak bisa atau tidak mau?

Dalam dinamika sejarah, tema penderitaan merupakan

tema klasik yang menantang sekaligus inheren pada

setiap manusia tanpa kecuali. Sejak kapan pastinya

manusia mulai menderita? Penderitaan mulai dialami

manusia sejak ia diberi eksistensi oleh Allah pencipta.

Manusia diberi eksistensi dengan dua anasir mendasar,

yaitu roh dan materi. Roh bersifat kekal, sedangkan

kodrat materi adalah sementara, rapuh, binasa.

Penderitaan identik dengan penghancuran. Penderitaan

masuk kategori dan kualifikasi materi. Penderitaan

menandai kodrat manusia sebagai barang (benda) material

yang dikehendaki untuk binasa.25

Penderitaan adalah fakta yang inheren pada

manusia. Dia (penderiataan) tidak dapat dielakkan

dengan cara dan taktik secanggih apa pun. Dia adalah

suatu conditio sine qua non (absolut) untuk manusia.

Penderitaan adalah kenyataan yang hanya mampu

dikategorikan. Richard Swimburne menggolongkan

penderitaan ke dalam empat dimensi. Pertama, penderitaan

fisik. jenis penderitaan ini dialami oleh semua makhluk

hidup, baik manusia maupun hewan. Kedua, penderitaan

emosional, misalnya rasa ditinggalkan yang menyebabkan

seseorang menderita, atau rasa frustrasi karena suatu25 ?Frit Fioz., “Mengais Allah Dalam Bongkahan Penderitaan:Sebuah Ziarah Pencarian Makna”. Seri Buku Vox, P. 69.

17

tujuan yang diidealkan tidak tercapai. Ketiga,

penderitaan yang disebabkan karena dalam batin

seseorang terjadi sesuatu yang tidak enak atau tidak

baik, misalnya orang yang iri akan menderita akibat iri

hatinya itu. Keempat, penderitaan yang disebabkan oleh

orang lain. Di sini orang berbicara tentang masalah

penderitaan atau orang yang menderita secara tidak

adil.26

Berhadapan dengan penderitaan dan keburukan

(malum), Leibniz menawarkan tiga bentuk keburukan.

Dalam bukunya Theodicy, Essay on the Goodness of God, the Freedom

of Man and the origin of Evil, Leibniz membedakan tiga macam

keburukan:27

2.2.1.2.1. Keburukan Metafisis

Keburukan metafisis disebabkan oleh

ketidaksempurnaan belaka. Ketidaksempurnaan ini

meliputi ada yang terbatas. Keberadaan ciptaan selalu

terbatas, dan terbatas selalu berarti tidak sempurna,

dan ketidaksempurnaan ini adalah akar dari kemungkinan

kekeliruan dan kejahatan. Sebagai manusia yang mendapat

26 ?Richard Swimburne., The Problem Of Evil, Reason And Religion(London: Ithaca, 1977), P. 81-82.27 ?Leibniz., Theodicy, Essay On The Goodness Of God, The Freedom Of ManAnd The Origin Of Evil, Seperti Dikutip Dalam Frederick Copleston., loc.cit.

18

segala keberadaan dari Allah, di manakah kita akan

menemukan sumber keburukan? Jawaban atas pertanyaan ini

dapat dijumpai dalam idea alam ciptaan, yang sangat

jauh sebagaimana alam ini termuat dalam kebenaran-

kebenaran abadi yang mana dalam pemahaman Allah secara

bebas akan kehendak-Nya. Karena itu mesti

dipertimbangkan bahwa ada “ketiksempurnaan alamiah

dalam ciptaan” sebelum dosa, karena ciptaan terbatas

dalam esensinya. Sumber terakhir dari keburukan

demikian metafisik sehingga muncul pertanyaan,

bagaimana Allah tidak mampu merespons keburukan, hingga

Dia menciptakan dunia dan memberi eksistensi yang

terbatas dan tidak sempurna pada benda-benda? Terhadap

pertanyaan ini, Leibniz menjawab, adalah lebih baik

berada dari pada tidak berada sama sekali. Sejak

ketidaksempurnaan dalam ciptaan tidak bergantung pada

pilihan yang ilahi tetapi pada ideal esensi ciptaan,

Allah tidak dapat memilih untuk menciptakan tanpa

pilihan untuk menciptakan adanya yang tidak sempurna.

Dia memilih, bagaimanapun untuk menciptakan dunia yang

terbaik dari yang mungkin. Allah selalu menghendaki

kebaikan, dan konsekuensinya, sekali memberikan

keputusan ilahi untuk menciptakan, hal itu merupakan

kemungkinan terbaik. Karena itu, Allah tidak dapat

menghendaki “yang terbaik” tanpa menginginkan

eksistensi benda-benda yang tidak sempurna. Tetap yang

19

terbaik dari segala dunia ciptaan yang mungkin harus

ada yang tidak sempurna.

2.2.1.2.2. Keburukan Fisis

Keburukan fisis terdapat dalam penderitaan dan

kesengsaraan.28 Keburukan fisis merupakan bentuk

keburukan alamiah yang terdapat dalam relitas-realitas

negatif yang ditimpakan alam kepada manusia, misalnya

bencana alam, penyakit dan cacat fisik yang dialami

manusia. Sebagai makhluk terbatas sekaligus beriman

manusia sering mempersalahkan Allah menghadapi

penderitaan ini. Penderitaan dipandang sebagai kutukan

Allah atas kesalahan yang dibuat manusia. Menurut

Leibniz, Allah tidak pantas dan tidak patut

dipersalahkan. Dia adalah Allah yang selalu menghendaki

yang terbaik bagi dunia dan manusia. Tentang hal itu

Leibniz menulis:

The objection will be made that God therefore

creates man a sinner, he that in the beginning

created him innocent. But here it must be said,

with regard to the moral aspect, that God being

supremely wise cannot fail to obserb certain

laws, and to act according to the rules, as well

28 ?Ibid.

20

physical as moral, that wisdom has made him

choose. And the same reason that has made him

create man innocent, but liable to fall, makes

him re-creator man when he falls; for God

knowledge causes the future to be for him as the

present, and prevents him from rescinding the

resolutions made.29(Keberatan akan dibuat tentang

Allah yang menciptakan manusia sebagai pendosa,

dia (manusia) pada mulanya diciptakan tidak

bersalah. Namun di sini harus dikatakan merujuk

pada aspek moral, bahwa Allah yang Mahabijaksana

itu tidak mungkin lupa mengamati hukum yang

pasti, dan bertindak menurut aturan-aturan, baik

secara fisik maupun moral, yang bijaksana telah

membuatnya memilih. Dengan alasan yang sama, Dia

telah menciptakan manusia yang tak bersalah,

tetapi dapat jatuh, membuat Dia menciptakan

kembali manusia ketika manusia itu jatuh; karena

Allah mengetahui alasan yang futuris bagi Dia

sebagai yang ada, untuk mencegahnya dari

resolusi-resolusi yang telah dibuat).

2.2.1.2.3. Keburukan Moral

29 ?G.W. Leibniz., Theodice, Essays on the Goodness of God the Freedom of Man and the Origin of Evil (Peru: Illinois 61354 Open Court Publishing Company, 1985), p.28.

21

Keburukan moral nampak dalam dosa. Keburukan moral

adalah satu keburukan yang menjadi begitu besar hanya

karena ia menjadi sumber dari keburukan fisis-keburukan

fisis, suatu sumber yang ada dalam satu dari sekian

banyak kekuatan ciptan-ciptaan. Tentang hal itu Leibniz

mengatakan:

It is again well to consider that moral evil

so great only because it is a source of physical

evils, a source existing in one of the most

powerful of creatures, who is also most capable

of causing those evil.30(Penting sekali untuk

mempertimbangkan bahwa keburukan moral adalah

kejahatan yang begitu besar hanya karena

merupakan sumber keburukan fisis, suatu sumber

yang eksis dalam satu daru sekian banyak

kekuatan-kekuatan ciptaan, yang sanggup menjadi

sebab dari keburukan).

Keburukan moral ditimpakan manusia atas manusia

seperti perang, ketidakadilan, kekerasan dan

penindasan.

2.3. Dunia Terbaik Dari Segala Yang Mungkin

2.3.1. Apakah Allah Memilih Kemungkinan Terbaik?

30 ?Ibid.

22

Leibniz mengembangkan argumen, kemungkinan

terbaik secara detail sebagai upaya untuk membuktikan –

atas dasar rasionalitas kosmos- bahwa itu semacam itu

eksis. Tentang kemungkinan terbaik itu Leibniz menulis

sebagai berikut: God wills antecedently the good and consequently

the best.31 Hal ini berarti sejak awal Allah

berkecenderungan untuk menciptakan dan menghadirkan

yang baik bagi dunia, dan hal itu nampak dalam dunia

yang terbaik yang diciptakannya. Dengan demikian

Leibniz berkesimpulan dari argumen kosmologis ini bahwa

suatu wujud yang rasional, maha mengetahui, sempurna,

maha kuasa tidak bisa tidak, harus memilih yang terbaik

dari segala dunia yang mungkin.32 Alasannya? Seandainya

Tuhan yang sempurna memilih secara sadar sebuah dunia

yang kurang dari sempurna, itu akan menjadi tidak

rasional. Dan hal itu tidak sesuai dengan kodratnya

sebagai Tuhan yang rasional dan sempurna. Dengan

demikian Allah telah memilih kemungkinan terbaik untuk

menciptakan dunia.

2.3.2. Penderitaan Dalam Dunia Sebagai Yang Terbaik

Dari Yang Mungkin

31 ?Ibid 32 ? Paul Davies., Membaca Pikiran Tuhan : Dasar-Dasar Ilmiah DalamDunia Yang Rasional ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), P. 280.

23

Leibniz berpendapat bahwa sejak awal mula Allah

telah memilih untuk menciptakan dunia yang terbaik dari

segala kemungkinan.33 Sendainya dunia yang tercipta

bukanlah dunia yang terbaik, maka masih ada kemungkinan

lain yang lebih baik. Itu berarti Allah tidak mengenal

kemungkinan terbaik itu, dan hal ini bertentangan

dengan kemahatahuan-Nya. Atau Dia tidak sanggup

menciptakan yang terbaik itu, ini bertentangan dengan

kemahabaikan-Nya.

Sebagai kebaikan tertinggi, allah memang

menghendaki kebaikan dan mau menciptakan dunia terbaik.

Dan menurut Leibniz, penderitaan adalah bagian dari

kehidupan kita sebagai makhluk yang fana. Hanya Allah

yang memiliki predikat bebas dari penderitaan.34

Penderitaan adalah bagian dari pengalaman yang membuat

dunia menjadi yang terbaik dari yang mungkin

diciptakan.35

Allah menciptakan dunia terbaik dari kemungkinan

penciptaan yang Dia miliki. Tetapi dunia yang tercipta

itu bukanlah dunia yang terbaik. Dunia ini bukanlah

optimum optimorum, yang terbaik dari yang terbaik.36

Dunia terbaik yang mungkin diciptakan adalah dunia ini,

dan dunia ini menghadirkan banyak penderitaan.

Penderitaan ini tak terelakkan sebagai konsekuensi dari33 ?Paul Budi Kleden., op.cit. P. 101.34 ?Loc.cit.35 ?Ibid. 36 ?Ibid.

24

segala kebaikan yang ada di dalam dunia ini. Sebab itu,

pandangan manusia hendaknya diarahkan kepada yang baik.

Dengan ini manusia belajar menerima yang buruk sebagai

konsekuensi yang tak terelakkan dari berbagai kebaikan

yang dihadiahkan kehidupan baginya.37 Tanpa penderitaan

fisis, kita tidak akan mampu menikmati saat-saat

bahagia kehidupan. Sebab yang positif hanya akan muncul

dan menjadi kian tajam dirasakan pada sebuah

latarbelakang yang kontras. Demikian pula dengan

penderitaan moral dan batin. Tanpa penderitaan yang

pernah dialami dan dilihat, orang tidak akan memperoleh

gagasan dan daya juang yang tinggi untuk berperang

melawan dan mengatasi penderitaan itu.

37 ?Ibid.

25

BAB III

RELEVANSI TEODICE LEIBNIZ

BAGI PENDEWASAAN IMAN

3.1. Penderitaan sebagai Cobaan Allah Atas Kualitas

Iman Manusia

Kenyataan penderitaan adalah problem bahkan misteri

yang sulit dipecahkan dengan akal sehat manusia.

Sebagai animal rationale manusia tidak akan berhenti

bergulat dengan penderitaan. Sebagai makhluk

berkesadaran, mansuia sadara akan penderitaan itu.

dalam konfrontasinya dengan penderitaan, kesadaran

merupakan hal yang penting sebagai pembuka horizon

pikir manusia.

Penderitaan menyentil titik kesadaran manusia untuk

memahami makna penderitaan. Kesadaran menggiring budi

manusia pada suatu dimensi pemahaman, bahwa manusia

adalah makhluk rapuh, lemah dan tidak berdaya. Manusia

mengalami kekosongan dan ketidakberartiran diri. Daya

26

dan potensi manusiawi tidak mampu mengelakkan sepak

terjang penderitaan. Penderitaan mengarahkan pikiran

dan nurani manusia menuju kepada suatu horizon yang

lain. Penderitaan membuka pemahaman manusia akan

kehadiran sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain itu

transenden, melampaui realitas indrawi. Pada titik ini

manusia beriman memahami bahwa segala kejadian kosmos

termasuk evolusi benda dipengaruhi oleh daya kuasa

Ilahi. Maka penderitaan yang dialami manusia bukan

tidak mungkin terjadi karena penyelenggaraan Ilahi.

Dalam arti ini penolakan terhadap penderitaan bukanlah

sikap iman dan bukan juga sikap bijaksana kaum beriman.

Seorang beriman memahami segala peristiwa harian dalam

nuansa dan perspektif religius-teologis. Sikap

kristiani yang sehat terhadap diri adalah mengakui dan

menerima kondisi manusia yang rapuh, walaupun

konsekuensi penerimaan ini membawa penghancuran diri

manusia secara psikologis.38

3.2. Penderitaan sebagai Pemurnian Hati

Penderitaan bernilai secara moral.39 Secara sederhana

dapat dikatakan bahwa dengan penderitaan manusia secara

perlahan mulai membenah diri dalam relasinya dengan

Tuhan dan sesama. Penderitaan yang dialami yang38 ?John Powell., Visi Kristiani (Yogyakarta: Kanisius, 1997), P.86. 39 ?Franz Magnis-Suseno., Menalar Tuhan (Yogyakarta: Kanisius,2006), P. 223.

27

diakibatkan oleh gempa bumi dan tsunami seperti yang

dialami masyarakat di Aceh dapat memurnikan hati orang-

orang yang sedang bertikai. Para pemberontak, seperti

GAM akhirnya untuk sementara menyerahkan diri dan ingin

berdamai dengan TNI, karena mereka percaya bahwa gempa

dan tsunami adalah salah satu kutukan dari Allah atas

perbuatan mereka.

Selain itu penderitaan menyentil manusia untuk

menyerahkan diri secara total ke dalam penyelenggaraan

ilahi. Manusia yang mengalami pemurnian hati atas

penderitaan itu akan selalu menunggu kapan Tuhan

mengerjakan karya-karya ajaib-Nya. Manusia menunggu

kapan Tuhan menyelesaikan rencana-Nya dalam diri

manusia. Tuhan mematikan kita, membedah hidup kita,

memasukkan dan mengambil keluar bagian-bagian dari

diri kita dan hidup kita.40 Situasi penderitaan

menggurui manusia untuk belajar memurnikan hati dan

memasrahkan diri secara total dan paripurna ke dalam

tangan Tuhan. Penderitaan mngajarkan manusia sikap iman

yang benar kepada siapa manusia mencari perlindungan

terakhir yang tepat.

3.3. Dunia Yang ada Penderitaannya Akan Lebih Baik

Daripada Dunia Tanpa Penderitaan.

40 ?J. Powell., op.cit. P. 176.

28

Penderitaan adalah kesempatan bagi dunia yang

sedang berproses ini mencapai taraf yang lebih baik.

Menurut Teilhard de Chardin dunia ini dalam proses

“menjadi” pada setiap tarafnya, terutama pada taraf

masyarakat manusiawi.41 Ada peralihan dari tingkat

pengada yang berkekurangan ke tingkat pengada yang

sempurna, melalui kegagalan-kegagalan dan pergulatan

yang tak dapat dihindari.42 Hal itu berarti dunia

yang ada penderitaannya akan lebih baik dari dunia

yang tidak ada penderitaan. Karena dunia yang ada

penderitaan akan terus menerus membaharui diri dan

terus-menerus dibaharui. Sementara dunia tanpa

penderitaan akan tetap menjadi dunia yang labil, dan

hal itu tidak mungkin terjadi dalam dunia yang yang

diciptakan oleh Yang Mahabaik.

Penderitaan tidak dapat dilihat sebagai saat Tuhan

menyiksa. Bagi Leibniz Allah yang telah menciptakan

dunia ini akan tetap memberikan kebebasan kepada

dunia untuk menentukan dirinya. Dengan demikian,

penderitaan adalah konsekuensi dari kebebasan yang

diberikan Allah itu. Penderitaan adalah tanda sirene

bahwa manusia adalah makhluk fana yang eksistensinya

bersifat temporal. Manusia adalah homo viator (makhluk

peziarah) dalam dunia. Kehidupannya adalah suatu41 ?Teilhard De Chardin., Du Cosmos À La Cosmogénèse (Paris,1963), P. 212 Seperti Dikutip Oleh Louis Leahy., Filsafat KetuhananKontemporer (Yogyakarta: Kanisius, 1993), P. 276. 42 ?Ibid.

29

ziarah menuju horizon yang transenden, tak terbatas.

Dalam istilah Teilhard de Chardin, hidup manusia

adalah evolusi atau gerakan dari titik alfa sebagai

awal kehidupan menuju ke titik omega sebagai akhir.

Titik alfa dan omega bagi orang Kristen merupakan

simbolisasi Kristus. Kehidupan dunia berlangsung di

antara titik alfa dan titik omega. Penderitaan

adalah hal yang wajar dan normal dalam kehidupan

dunia karena tujuan final kehidupan bukanlah dunia

ini. Kehidupan absolut tidak tercapai di dunia ini,

tetapi berpusat, berpuncak dan mencapai kepenuhannya

pada masa eskatologis. Masa eskatologis

menyempurnakan nilai temporalis eksistensi manusia

dan mengubahnya menjadi kedamaian abadi. Dalam

kerangka ini John Powell benar ketika mengatakan

bahwa penderitaan menjadi peringatan terus-menerus

bahwa manusia masih dalam perjalanan. Penderitaan

dapat dianalogikan dengan sebuah bintang penunjuk

arah bagi manusia dalam ziarah menuju Allah.

3.4. Manusia sebagai Makhluk Terbatas

Harus pula diakui bahwa manusia adalah makhluk

terbatas yang tidak tuntas menyelami kehendak Allah.

Sebagai makhluk terbatas manusia hanya mengenal

kehendaka Allah dalam keterbatasannya itu. Dia tidak

bisa menyelami segala yang ada dalam kehendak

Allah. Namun satu hal yang pasti bahwa apa yang

30

dibuat Allah adalah apa yang terbaik yang diberikan

untuk manusia dan dunianya. Allah tidak pernah

merancang kejahatan untuk dunia. Kisah Ayub kiranya

menjadi contoh yang jelas bagi pergulatan setiap

orang beriman menghadapi penderitaan. Ayub adalah

tokoh yang mengalami penderitaan bertubi-tubi.

Penderitaan itu tidak dilihat Ayub sebagai hukuman

Allah yang diimaninya. Ayub selalu melihat

penderitaan sebagai berkat bagi hidupnya.

Dalam penderitaannya Ayub menulis: Apakah gerangan

manusia, sehingga ia Kauanggap agung dan

Kauperhatikan, dan kaudatangi setiap pagi, dan

Kauuji setiap saat? Bilakah Engkau mengalihkan

pandangan-Mu dari padaku? Kalau aku berbuat dosa,

apakah yang telah kulakukan terhadap Engkau, ya

penjaga manusia? Mengapa Engkau menjadikan aku

sasaran-Mu, sehingga aku menjadi beban bagi diriku?

(Ayb 7:17-20)

Namun dalam segala keputusasaannya Ayub mau

berpegang pada pada Allahnya dan masih tetap menaruh

harapannya pada Allah itu. Meskipun kelihatannya

Allah melawannya, namun Ayub berharap, bahwa Allah

toh akan membebaskannya. Penderitaan tidak dipandang

Ayub sebagai hukuman Allah yang diimaninya. Ayub

selalu melihat penderitaan sebagai berkat bagi

hidupnya.

31

Dengan demikian, Ayub menjadi tokoh yang menyadari

keterbatasannya. Dia menyerahkan semua problem

penderitaan kepada Allah yang menghendaki semuanya

itu. Dan hal itulah yang membuat Ayub tetap

berkanjang dalam iman menghadapi penderitaan. Ayub

adalah tokoh yang berani mengatakan: “Ya Tuhan aku

senantiasa berpasrah pada-Mu”. Kepasrahan Ayub ini

menunjukkan keterbatasannya sebagai manusia.

. Penderitaan yang dialami Ayub tidak harus

mengajak manusia untuk selalu mengalah pada

penderitaan, apalagi mengatakan bahwa setiap

penderitaan adalah nasib terberi. Manusia yang

memiliki akal budi harus mengusahakan kebahagiaan

dalam hidupnya. Namun bila dalam usaha itu dia

menemukan keterbatasan, pada saat itulah manusia

harus mengakui bahwa ada sesuatu yang melampaui

dirinya. Penderitaan yang diakibatkan oleh gempa dan

tsunami harus diakui manusia sebagai keterbatasan

menghadapi segala kejadian alam. Manusia tidak

sanggup, dan terbatas untuk mengatakan kepada alam

bahwa gempa dan tsunami tidak harus terjadi.

Keterbatasan ini menjadi kekuatan ketika orang

beriman menyerahkan itu kepada Tuhan dan yakin bahwa

itu merupakan satu berkat baginya.

32

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kritik

Konsep Teodise Leibniz, seakan menghadirkan

hiburan baru bagi manusia untuk menerima penderitaan

sebagai hal yang harus ada karena ketidaksempurnaan

ciptaan. Itu berarti konsekuensi dari keberadaan

manusia di dunia adalah bahwa dia harus menderita

karena ketidaksempurnaan dunia itu. Namun konsep

seperti ini dapat juga melemahkan usaha manusia untuk

meminimalisir adanya bencana. Manusia menerima

penderitaan dan kejahatan sebagai kejadian yang harus

ada.

Kejahatan dan penderitaan tidak selalu menjadi

konsekuensi keberadaan manusia di dunia yang tidak

sempurna ini, tetapi bencana, kematian yang tidak

wajar, kekerasan, pembunuhan, dan lain-lain dapat

terjadi oleh tingkah laku manusia. Bencana alam seperti

banjir dan tanah longsor dan keadaan musim yang tidak

menentu adalah akibat dari relasi ketidakharmonisan

manusia dengan alam ini. Penebangan hutan secara liar,

membakar hutan untuk membuka kebun baru adalah bukti

tindakan manusia yang serakah terhadap alam. Karena

itu, penderitaan seperti bencana alam yang terjadi

33

tidak harus dilihat sebagai “murka’ Allah tetapi

merupakan reaksi alam dalam dirinya sendiri, karena

alam mengalami ketidakharmonisan. Alam menjadi Chaos

bukan kosmos (teratur). Dengan demikian, selalu ada

usaha manusia untuk meminimalisir penderitaan (bencana)

yang sering terjadi akhir-akhir ini. Atau misalnya

terjadi pembunuhan yang mengakibatkan kematian yang

tidak wajar. Hal itu karena manusia yang satu ingin

menguasai yang lain. Di sana ada egoisme dalam diri

manusia yang menghendaki segala sesuatu kembali kepada

dirinya.

Dalam gerakan ekofeminisme, alam dilihat sebagai

ibu yang mengandung dan melahirkan segala kehidupan

yang ada. Karena itu, terhadap ibu yang melahirkan itu,

manusia mesti memberi penghormatan lebih. Alam harus

dilihat, lebih dari sekedar kumpulan benda-benda yang

memberi hidup kepada manusia dan ciptaan lain. Alam

mesti menjadi partner dalam relasi subjek-subjek, di

mana yang satu tidak dapat menguras dan menghabiskan

yang lain. Yang satu mesti memandang yang lain sebagai

subjek yang patut dihargai dan dipelihara. Penghargaan

dan pemeliharaan terhadap alam merupakan bukti

penghargaan manusia akan kehidupanya dan kehidupan

orang lain. Manusia dengan itu turut bertanggungjawab

atas alam agar bencana yang sering menambah penderitaan

hidupnya dapat dikurangi.

34

Selain itu untuk meminimalisir kejahatan dan

penderitaan, manusia juga perlu menghargai satu sama

lain. Emanuel Levinas adalah seorang filsuf yang

menyumbangkan gagasan tentang solidaritas manusia

terhadap sesamanya. Dia mencetuskan ide tentang “yang

lain” yang harus dihargai dalam keberlainannya. Levinas

menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal “Dia” untuk

menyebut “yang lain”. Hal itu mau menunjukkan bahwa “yang

lain” bukan sebagai sesuatu. “Yang lain” adalah Dia

yang heteronom, personal, eksterior. “Yang lain” adalah

Dia yang lain secara radikal.43 Yang lain itu adalah

yang tak berhingga. Tentang yang lain ini Levinas

menulis:

To think the infinite, the transcendent, the

Stranger, is hence not to think an object. But to

think what does not have the lineaments of an

object is in reality to do more than think.44

(Berpikir tentang infinitas, yang transenden,

tentang orang asing, bukan berpikir tentang satu

objek. Tetapi memikirkan apa yang melampaui batas

pada satu objek yang ada dalam realitas, yang

melampaui pikiran).

43 ? Ibid., Pp. 144-145.44 ?Emmanuel Levinas, Totality And Infinity: Am Essay On Exteriority,Tranlated By Alphonso Lingis (United States Of America: DuquesneUniversity Press, 1969), P. 49.

35

Artinya yang lain itu melampaui objek yang

kelihatan. Sebagai yang lain secara absolut dia hanya

dapat dipahami tanpa konteks dan mediasi. Dikatakan

demikian, karena ia melampaui konteks. Memasukkan dia

yang tak berhingga itu dalam konteksku saat ini dan

kini sama dengan memperkosa keberlainannya secara

gawat. Yang Tak berhingga itu bukanlah obyek pemikiran

dan kesadaranku, karena aku tidak lagi bisa menjadi

subyek yang mengobyekan di hadapannya. Nafsu egoku

runtuh di hadapan dia.

Menurut Levinas, terdapat satu hubungan yang benar

dan sejati antara aku dan yang lain. Hubungan itu

tidaklah sama dengan hubungan antara yang mengetahui

dan yang diketahui secara obyektif. Mengapa? Mengetahui

atau mengerti sesuatu menurut Levinas, berarti

menguasai, dan menindasnya. Selain itu ada yang disebut

devioler (membuka tutup).45 Devioler berarti mendekati

kenyataan dari sudut pandangan dan konteks tertentu.

Mendekati kenyataan itu pun terjadi berdasarkan

proyeksi ataupun kegiatan dari yang mengetahui itu

sendiri.46 dalam pengetahuan semacam ini, “yang lain”

itu hanya tergantung pada kegiatan dari yang

mengetahuinya saja. Adanya di luar dari yang

45 ? E. Levinas, Op.Cit., 36. Seperti Dikutip Oleh Drs. AlexLanur., Hubungan Antarpribadi Menurut Emmanuel Levinas. Dalam SoerjantoPoespowardojo Dan K. Bertens., Sekitar Manusia: Bunga Rampai TentangFilsafat Manusia ( Jakarta: Gramedia, 1983), P. 64. 46 ? Ibid., P. 65.

36

mengetahuinya hanyalah suatu yang relatif saja dan

tidak mutlak lagi.47

Namun demikian, ada suatu pengetahuan tentang

“yang lain”, dalam arti “orang lain” itu sendiri.

Tetapi inisiatif untuk pengetahuan itu tidak datang

dari dalam melainkan dari luar diri orang yang

mengetahuinya. Pengetahuan tersebut oleh Levinas

disebut “pengalaman yang mutlak” atau pengalaman yang

fundamental.48 Dalam pengetahuan atau pengalaman yang

mutlak ini, orang lain sungguh-sungguh “diketahui”

serta “dialami” dalam seluruh kedirian dan

keberlainannya.

Kalau pengetahuan di atas terjadi atas inisiatif

orang lain, bagaimana terjadinya? Orang lain itu

menyatakan dan mewahyukan dirinya kepadaku. Pewahyuan

itu terjadi tidak tergantung dari posisi yang kuambil

terhadapnya. Pewahyuan itu pun terjadi “tanpa sifat”,

tanpa atribut, tanpa bentuk dan tanpa kategori manapun

juga.49 Orang lain itu seakan-akan sama sekali tidak

membutuhkan semua yang disebut tadi dalam pewahyuannya.

Dari dan dalam dirinya sendiri dia sudah bermakna dan

bernilai. Pewahyuan atau pernyataan diri ini juga

disebutnya pewahyuan sebagai wajah, sebagai wajah yang

telanjang. Dalam dan dengan wajahnya tampillah orang

47 ? Ibid.48 ? Ibid.49 ? Ibid.

37

lain itu dalam keaslian, kepolosan, kedirian dan

seluruh ekspresi kediriannya, dalam kepenuhan artinya

serta seluruh dunia dan hidupnya.50

Dengan demikian hubunganku dengan orang lain itu

menjadi suatu hubungan tanpa gambar atau tanpa apa pun

juga. Dengan kata lain, hubunganku dengan orang lain

adalah suatu hubungan yang langsung sekali. Dalam dan

melalui hubungan yang langsung inilah orang lain itu

menyatakan serta mewahyukan dirinya kepadaku.

Maksudnya, pewahyuan diri sebagai yang sama sekali lain

dan sama sekali berada di luar daripada serta tetap

asing terhadapku. Dengan relasi tanpa gambar manusia

yang satu akan melihat yang lain sebagai bagian dari

dirinya. Atau bahkan menurut Levinas, manusia akan

merasa bertanggungjawab terhadap tanggungjawab orang

lain. Melalui solidaritas tanpa batas ini dunia ini

akan menjadi suatu dunia yang bebas dari segala dari

segala kejahatan dan penderitaan.

4.2. Saran

Konsep teodice Leibniz adalah sebuah konsep yang

digunakan untuk mengeritik konsep Allah dalam pemahaman

deisme. Bagi deisme Allah setelah menciptakan segala

sesuatu yang ada di bumi ini meninggal ciptaannya itu

sendiri. Di sana tidak ada lagi penyelenggaraan ilahi

50 ? Ibid.

38

terhadap ciptaannya. Leibniz dalam konsep teodicenya

menghadirkan penjelasan yang rasional. Penjelasan itu

tentunya bermaksud untuk diterima secara rasional pula.

Namun yang rasional belum tentu benar seluruhnya.

Karena itu, bagi penulis konsep teodice Leibniz

hendaknya tidak menjadi semacam hiburan baru bagi para

penderita. Konsep ini hendaknya dilihat sebagai suatu

sumbangan rasional Leibniz bagi problem penderitaan dan

kejahatan. Bahwa adanya penderitaan tidak menyebabkan

konsep manusia berubah tentang kemahakuasaan dan

kemahabaikan Allah. Allah tetaplah pencipta yang baik

dan berkuasa, dan segala kejahatan dan penderitaan

dunia ini merupakan konsekuensi dari ketidaksempurnaan

ciptaan. Allah selalu menghendaki yang terbaik bagi

dunia, tetapi dalam kehendak-Nya yang baik itu Dia

tetap menghargai dan memberikan kebebasan kepada dunia

ciptaan-Nya. Dengan memberi kebebasan itulah, Allah

disebut sebagai yang mahabaik dan mahakuasa. Dia adalah

Allah yang penuh pengertian dan cinta akan segala

sesuatu yang sudah diciptakan-Nya.

39

DAFTAR PUSTAKA

Budi Hardiman, F. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai

Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Budi Kleden, P. Membongkar Derita “ Teodice: Sebuah Kegelisahan

Filsafat Dan Teologi Maumere: Ledalero, 2006.

Copleston, F. A History Of Philosophy: Descartes To Leibniz, Vol. Iv.

London: Burns & Oates, 1965.

Davies, P. Membaca Pikiran Tuhan : Dasar-Dasar Ilmiah Dalam

Dunia Yang Rasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Davis, T. Stephen (Ed.). Encountering Evil. Edinburgh: T.

& T.Clark Ltd.,1981.

40

Fioz, F. Mengais Allah Dalam Bongkahan Penderitaan: Sebuah Ziarah

Pencarian Makna. Seri Buku Vox.

Hooker, M. (ed.). Leibniz: Critical and Interpretative Essays.

Manchester: Manchester University Press, 1982.

Kirchberger, Georg. Allah Menggugat: Sebuah Dogmati Kristiani.

Maumere: Ledalero, 2007.

Leahy, L. Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta:

Kanisius, 1993.

Leibniz, G.W. Theodicy, Essays On The Goodness Of God The

Freedom Of Man And The Origin Of Evil. Peru: Illinois 61354

Open Court Publishing Company, 1985.

Levinas, E. Totality And Infinity: An Essay on Exteriority. United

States of Amerika: Duquesne University Press, 1969.

Poespowardojo, S. dan Bertens, K. Sekitar manusia: Bunga

Rampai tentang Filsafat Manusia. Jakarta:Gramedia, 1983.

Powell, J. Visi Kristiani. Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Ross, Macdonald G. Leibniz. New York: Oxford University

Presss, 1984.

41

Suseno, F.M. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Swimburne, R. The Problem Of Evil, Reason And Religion. London:

Ithaca, 1977.

42