246
Konservasi ARSITEKTUR Kota Yogyakarta Laboratorium Perencanaan & Perancangan Lingkungan & Kawasan Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Konservasi ARSITEKTUR Kota Yogyakarta

  • Upload
    uajy

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Konservasi ARSITEKTUR Kota Yogyakarta

Laboratorium Perencanaan & Perancangan Lingkungan & Kawasan

Prodi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya Yogyakarta

ii

Konservasi ARSITEKTUR Kota Yogyakarta072352© Kanisius 2013

Buku ini diterbitkan atas kerjasama Universitas Atmajaya Yogyakarta

PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI)Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349Website : www.kanisiusmedia.comE-mail : [email protected] Cetakan ke- 3 2 1

Tahun 15 14 13

Penata Letak: Haryo Desain Cover: Yudi

ISBN 978-979-21-3574-9

Hak cipta dilindungi undang-undang.Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari penerbit.

Dicetak oleh Percetakan Kanisius Yogyakarta

iii

Tim Penyusun Buku adalah para Dosen Anggota Laboratorium Perencanaan dan Perancangan Lingkungan dan Kawasan Universitas Atma Jaya Yogyakarta Periode 2013/2014

Ir. Lucia Asdra R., M.Phil., PhD. (Penasihat & Reviewer Naskah)Dr. Ir.Y. Djarot Purbadi, MT. (Penasihat & Reviewer Naskah)Dr. Amos Setiadi , ST., MT. (Penasihat & Editor Buku)Ir. Ign. Purwanto Hadi, MP. (Penasihat)Ir.B. Sumardiyanto, MSc. (Penasihat)Ir. Anna Pudianti, MSc. (Penasihat)Catharina Dwi Astuti Depari, ST., MT. (Kepala Lab PPLK & Koord Buku)Vincentia Reni Vita Surya, ST., MT. (Editor Buku)

Kontributor Naskah adalah para Dosen Arsitektur di Lingkungan Prodi Arsitektur Universitas Atmajaya Yogyakarta

Dr. Amos Setiadi , ST., MT.Augustinus Madyana Putra, ST., M.Sc. Gerarda Orbita Ida Cahyandari, ST., MBS.Dev.Yanuarius Benny Kristiawan, ST., M.Sc.Catharina Dwi Astuti Depari, ST., MT. Vincentia Reni Vita Surya, ST., MT.

Desain Cover & Ilustrator SketsaAugustinus Madyana Putra, ST., M.Sc. Yanuarius Benny Kristiawan, ST., M.Sc.

v

Kata Hantar

Dapat dirasakan secara nyata dan jelas bahwa suatu kota laksana organisme hidup, yang tumbuh berkembang menyedot sumber daya, namun juga menghasilkan buangan. Kota dengan sistem pendukung yang ada di dalamnya menciptakan kualitas lingkungan hidup kota itu sendiri, juga menjaga kultur yang sedang berlangsung, serta menentukan prospek untuk proses keberlanjutannya. Perkembangan kota dapat dipicu oleh pengaruh aspek internal ataupun eksternal. Penduduk, lingkungan fisik, dan sumber daya, merupakan tiga aspek kehidupan yang sangat mempengaruhi perkembangan suatu kota.

Sebuah kota semestinya dapat dilihat dan dirasakan nuansanya yang berkesinambungan dari masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Konservasi arsitektur dan lingkungan kota menjadi pilihan untuk menjembatani kesinambungan tersebut.

Buku ini mencoba mengkaji perkembangan arsitektur Kota Yogyakarta dengan merajut jalinan masa lalu, masa sekarang dan meneropong masa yang akan datang, dengan mengupas perkembangan fisik Kota Yogyakarta serta ragam arsitektur yang mewarnainya, dan segala aspek nonfisik yang dominan mempengaruhi perkembangan kota dari masa ke masa, serta upaya dalam menjaga kelestarian budaya, arsitektur dan lingkungan kota. Diawali dengan ulasan peranan pentingnya konservasi arsitektur, kemudian bagian selanjutnya mengupas pengaruh budaya dan ideologi dalam perkembangan arsitektur dan transformasi kota, dengan beberapa contoh kasus pada

vi

bagian wilayah Kota Yogyakarta, dan diakhiri dengan rekomendasi dalam upaya menjembatani kesinambungan wajah kota masa lalu dan masa yang akan datang.

Rangkaian artikel dalam buku ini merupakan bagian kecil dari hasil penelitian serta kajian studi mata kuliah yang ada di lingkungan laboratorium “Perencanaan Perancangan Lingkungan dan Kawasan”, Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Buku ini diharapkan dapat menjadi awal dari proses melengkapi buku serial yang dapat merepresentasikan puzzle perkembangan wajah kota Yogyakarta secara terintegrasi dan lebih holistik.

Yogyakarta, April 2013Ir. Lucia Asdra Rudwiarti, M.Phil., PhD.

Dosen pada Program Studi ArsitekturFakultas Teknik-UAJY

vii

Kata Sambutan

Pertama dan terutama, puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena hanya berkat bimbingan dan rahmat-Nya buku yang berjudul Konservasi Arsitektur Kota Yogyakarta ini dapat berhasil disusun.

Dengan semakin tergerusnya objek-objek arsitektural oleh perkembangan dan pembangunan fisik pada masa sekarang ini, sudah selayaknya berbagai upaya dilakukan untuk mencoba melakukan konservasi terhadap berbagai objek arsitektural yang mempunyai nilai-nilai yang layak untuk dilestarikan dan dilindungi. Pembangunan bukanlah sesuatu yang harus dihindari karena pembangunan adalah suatu keniscayaan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun, pembangunan hendaknya tidak mengakibatkan penghancuran jejak-jejak sejarah. Pembangunan yang mengabaikan dan menghancurkan jejak-jejak sejarah merupakan tindakan pengabaian hakikat dan keberadaan diri. Dalam upaya untuk mendukung pembangunan yang tidak mengabaikan hakikat dan keberadaan diri inilah, buku ini disusun, sebagai sumbangan upaya dan pemikiran untuk konservasi arsitektur kota Yogyakarta.

Lebih jauh lagi, bagi masyarakat luas, buku ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan dan apresiasi publik akan karya ataupun hasil karya arsitektural pada masa lampau, dan dapat menjadi wahana pembukaan wawasan di dalam menghadapi dan berarsitektur pada masa kini dan mendatang. Bagi para praktisi dan masyarakat pecinta

arsitektur, buku ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan arsitektur yang pernah dan sedang berkembang di Kota Yogyakarta, dan dapat menjadi bahan masukan di dalam melakukan pengembangan dan pembangunan di Kota Yogyakarta serta dapat menjadi wahana untuk penggalian dan penelaahan serta pembukaan wawasan bagi pengembangan kreativitas berkarya di dalam kancah dan konstelasi arsitektur pada masa kini dan mendatang.

Buku ini juga diharapkan akan dapat bermanfaat bagi pengem-bangan wawasan dan kreasi para mahasiswa; dan juga dapat menjadi bahan renungan untuk melakukan refleksi diri, serta menjadikannya sebagai pendorong kearifan berpikir dan bersikap serta berbuat pada saat berkarya di Kota Yogyakarta, pada umumnya, ataupun di kawasan-kawasan konservasi di Kota Yogyakarta, pada khususnya. Buku ini juga diharapkan akan dapat membantu penyempurnaan pembelajaran dan menjadi masukan untuk melakukan refleksi bagi pengembangan pendidikan arsitektur.

Manusia adalah insan yang tidak sempurna. Justru ketidak-sempurnaan itulah yang menjadi salah satu ciri kemanusiaan manusia karena kesempurnaan manusia terletak pada pemahaman akan ke-ti dak sempurnaannya. Ketidaksempurnaan adalah salah satu ciri manusia. Demikian juga halnya dengan hasil karyanya. Kesempurnaan yang hakiki dan abadi hanya akan dapat ditemukan di dalam diri-Nya. Besar kemungkinannya, isi buku ini masih jauh dari kesempurnaan. Walaupun demikian, dengan segala ketidaksempurnaannya, semoga buku ini dapat bermanfaat.

Buku ini dapat diselesaikan atas usaha keras dari kelompok penulis yang diprakarsai oleh Laboratorium Perencanaan dan Perancangan Lingkungan dan Kawasan (LPPLK), Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Ucapan selamat patut diberikan kepada seluruh penulis, penyunting, kontributor naskah, ilustrator, dan tentu saja kepada seluruh anggota LPPLK. Ucapan

ix

terima kasih juga patut dilayangkan kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini.

Medio April 2013Ir. F. Christian J. Sinar Tanudjaja, MSA

Ketua Program Studi Arsitektur FT – UAJY

xi

Daftar Isi

Kata Hantar ................................................................................. vKata Sambutan ............................................................................. viiDaftar Isi ...................................................................................... xiDaftar Gambar ............................................................................ xiiiDaftar Tabel ................................................................................. xvDaftar Skema ............................................................................... xvDaftar Grafik................................................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................ 3PENDAHULUAN ........................................................................ 5Catharina Dwi Astuti Depari

BAB II ARSITEKTUR KOTA YOGYAKARTA PERIODE ISLAM DAN KOLONIAL BELANDA ....................... 21PENGARUH ISLAM TERHADAP RENCANA KOTA YOGYAKARTA .................................................... 23KONSEP KOSMOLOGI SEBAGAI PENGHUBUNG PERISTIWA SOSIAL-POLITIK DAN ARSITEKTUR DALAM MASA KOLONIALISME ................................... 43

BAB III KASUS-KASUS KONSERVASI ARSITEKTUR ...... 63PENATAAN FASADE JALAN MONDORAKANKAWASAN KOTAGEDE YOGYAKARTAAugustinus Madyana Putera ......................................................... 67

xii

TRANSFORMASI POLA STRUKTUR RUANG KAMPUNG KAUMAN YOGYAKARTACatharina Dwi Astuti Depari ....................................................... 85

ARKETIPE KAMPUNG NDALEM SEBAGAI BAGIAN PEMBENTUK CITRA KAMPUNG KOTA YOGYAKARTAAmos Setiadi ................................................................................ 121

BINTARAN: REKAM JEJAK ARSITEKTUR INDISCHE DI YOGYAKARTAVincentia Reni Vita Surya ............................................................. 139

KONSEP GARDEN CITY DI KAWASAN KOTABARU YOGYAKARTAYanuarius Benny Kristiawan ......................................................... 168

BAB IV KONSERVASI ARSITEKTUR KAMPUNG PERKOTAAN ............................................................... 199PERMEABILITAS RUANG KAMPUNG PADA BLOK PERKOTAAN DI YOGYAKARTA:STUDI KASUS KAMPUNG JOGONEGARANAmos Setiadi & Yohanes Basuki Dwisusanto .............................. 205

BAB V KESIMPULAN .............................................................. 223ARAHAN BAGI PERENCANAAN KOTA YOGYAKARTA DI MASA DEPANAmos Setiadi ................................................................................ 225

xiii

Daftar Gambar

Gambar 1.1 Ilustrasi ancaman penghancuran terhadap aset historis kota .............................................. 7Gambar 1.2 Monolit-monolit modern yang mengisi struktur ruang kota masa kini sebagaimana di Kyoto Jepang, merefleksikan wabah penyeragaman wajah kota sebagai dampak globalisasi. ........................................................ 9Gambar 1.3 Dialog antara modernitas dengan tradisi berusaha dihadirkan melalui detail desain arsitektural di kawasan bersejarah Nara Prefecture, Osaka Jepang. ............................... 11Gambar 2.1 Kronologi masuknya Islam ke wilayah perairan Indonesia dan Pulau Jawa ................................. 25Gambar 2.2 Kronologi pemindahan pusat kerajaan-kerajaan Jawa sampai abad ke-17 .................................. 26Gambar 2.3 Sebaran lokasi Masjid Pathok Nagari di keempat penjuru mata angin Kota Yogyakarta 35Gambar 2.4 Bank Indonesia dengan gaya eklektisme. ......... 54Gambar 2.5 Kedudukan Benteng Keraton terhadap bangunan kolonial. ........................................... 55Gambar 2.6 Plengkung sebagai benteng kraton yang menjadi pusat poros kosmologi Yogyakarta .................. 56Gambar 2.7 Periode perkembangan kota dan distrik kultural di kawasan Benteng Kraton. ............... 57Gambar 3.1 Gerbang menuju Makam Panembahan Senopati, peninggalan Mataram Islam. ............................. 69

xiv

Gambar 3.2 Peninggalan arsitektur Mataram Islam di Kotagede namun tetap terlihat bagaimana konsep vertikalisme diterapkan sebagai pengaruh dari arsitektur Hindu. ............................................. 70Gambar 3.3 Lokasi Amatan ................................................. 71Gambar 3.4 Konsep bangunan ndalem tunggal dan bangunan ndalem berkelompok. ...................................... 73Gambar 3.5 Bangunan ndalem tunggal dan bangunan ndalem kelompok di jalan Mondorakan. .......... 74Gambar 3.6 Arsitektur kelompok bangunan ndalem di Kotagede. ..................................................... 75Gambar 3.7 Penyederhanaan wujud fasade bangunan ndalem utara (tipe 1-3) dan selatan (tipe 4) ..... 76Gambar 3.8 Lokasi Bangunan Percontohan Aplikasi Arahan Rancangan ........................................... 77Gambar 3.9 Salah satu bangunan hunian yang kini beralih fungsi menjadi sebuah toko. ............................ 78Gambar 3.10 Perubahan wajah deretan bangunan sebelum dan setelah gempa bumi 2006 ......................... 79Gambar 3.11 Kajian terhadap deretan fasade bangunan Jalan Mondorakan ............................................ 79Gambar 3.12 Lima elemen pembentuk identitas kota .......... 89Gambar 3.13 Jenis-jenis bentuk ruang kawasan/kota menurut teori figure-ground ............................. 90Gambar 3.14 Konsep tiga model bentuk kota ....................... 91Gambar 3.15 Konsep kosmologi Kota Yogyakarta ................. 93Gambar 3.16 Sebaran fungsi lahan dan bangunan Kampung Kauman Yogyakarta ......................... 97Gambar 3.17 Upacara Grebeg Maulud Kraton di pelataran . Masjid Agung Kauman. ..................................... 99Gambar 3.18 Perubahan status hak milik lahan-bangunan Kampung Kauman ............................................ 100Gambar 3.19 Perubahan fungsi lahan dan bangunan Kampung Kauman ............................................ 103Gambar 3.20 Perubahan pola ruang terbuka Kampung Kauman 105

xv

Gambar 3.2 Peninggalan arsitektur Mataram Islam di Kotagede namun tetap terlihat bagaimana konsep vertikalisme diterapkan sebagai pengaruh dari arsitektur Hindu. ............................................. 70Gambar 3.3 Lokasi Amatan ................................................. 71Gambar 3.4 Konsep bangunan ndalem tunggal dan bangunan ndalem berkelompok. ...................................... 73Gambar 3.5 Bangunan ndalem tunggal dan bangunan ndalem kelompok di jalan Mondorakan. .......... 74Gambar 3.6 Arsitektur kelompok bangunan ndalem di Kotagede. ..................................................... 75Gambar 3.7 Penyederhanaan wujud fasade bangunan ndalem utara (tipe 1-3) dan selatan (tipe 4) ..... 76Gambar 3.8 Lokasi Bangunan Percontohan Aplikasi Arahan Rancangan ........................................... 77Gambar 3.9 Salah satu bangunan hunian yang kini beralih fungsi menjadi sebuah toko. ............................ 78Gambar 3.10 Perubahan wajah deretan bangunan sebelum dan setelah gempa bumi 2006 ......................... 79Gambar 3.11 Kajian terhadap deretan fasade bangunan Jalan Mondorakan ............................................ 79Gambar 3.12 Lima elemen pembentuk identitas kota .......... 89Gambar 3.13 Jenis-jenis bentuk ruang kawasan/kota menurut teori figure-ground ............................. 90Gambar 3.14 Konsep tiga model bentuk kota ....................... 91Gambar 3.15 Konsep kosmologi Kota Yogyakarta ................. 93Gambar 3.16 Sebaran fungsi lahan dan bangunan Kampung Kauman Yogyakarta ......................... 97Gambar 3.17 Upacara Grebeg Maulud Kraton di pelataran . Masjid Agung Kauman. ..................................... 99Gambar 3.18 Perubahan status hak milik lahan-bangunan Kampung Kauman ............................................ 100Gambar 3.19 Perubahan fungsi lahan dan bangunan Kampung Kauman ............................................ 103Gambar 3.20 Perubahan pola ruang terbuka Kampung Kauman 105

Gambar 3.34 Tampak depan Museum Sasmitaloka, bentuk atap dan bangunan secara garis besar masih memperlihatkan gaya Tradisional Jawa. .......... 152Gambar 3.35 Beranda bangunan dengan bentuk atap pelana, bahan penutup genting atau sirap ................... 153Gambar 3.36 Tampak depan bangunan dengan bentuk atap plana, penutup genting..................................... 154Gambar 3.37 Bukaan bergaya Arsitektur Indische Modern dengan material kaca dan ornamen. ................ 155Gambar 3.38 Tampak depan Museum Zoologicum, bangunan ini masih terlihat kental dengan arsitektur Indische Empire, bentuk atap plana – limasan dan tampak depan simetris .............................. 156Gambar 3.39 Gedung Mahmilub dengan ciri bangunan Indische Empire yang diapit oleh dua bangunan pada sayap kiri dan kanan, namun telah dimodifikasi dengan beberapa material modern. 158Gambar 3.40 Tampak depan bangunan yang simetris menunjukan ciri bangunan Indishe Empire. .......................... 159Gambar 3.41 Teras keliling masih tampak pada sekeliling bangunan menunjukan ciri khas langgam Indische Empire................................................. 159Gambar 3.42 Tampak depan penjara Wirogunan, simetris dengan atap plana ............................................ 160Gambar 3.43 Tampak bangunan masif, namun penanda muka atau jalur masuk terlihat dari jenis bukaan yang lebar, baik untuk pintu maupun jendela. . 161Gambar 3.44 Bentuk masa bangunan Gereja Bintaran. ......... 162Gambar 3.45 Komposisi bangunan yang sudah tidak simetris, penggunaan material beton bertulang, Penggunaan shading, tidak lagi menggunakan teras keliling, mewakili ciri Arsitektur Indische Modern. ........ 163Gambar 3.46 Pendopo dalam kompleks Gereja menandakan perpaduan unsur tradisional Jawa dengan Eropa yang dulunya digunakan untuk kegiatan kemasyarakatan dan proses belajar. ................ 163

xvii

Gambar 3.47 Trend Jumlah Penduduk Indonesia .................. 169Gambar 3.48 Boulevard Utama Kotabaru di Jalan Suroto Tahun 2013 ...................................................... 174Gambar 3.49 Tiga Magnet yang Menarik Kota – Desa – Kota Desa oleh Ebenezer Howard .................. 175Gambar 3.50 Konsep Keseluruhan Jaringan Garden City oleh Ebenezer Howard ................................... 176Gambar 3.51 Bagian-bagian Guna Lahan Garden City .......... 177Gambar 3.52 Jaringan Antarkota pada Konsep Garden City oleh Ebenezer Howard ................................... 179Gambar 3.53 Contoh Bangunan Langgam Zaman Kolonial Belanda di Kawasan Kotabaru .......................... 181Gambar 3.54 Peta Kawasan Kotabaru terhadap Kotamadya Yogyakarta ....................................................... 182Gambar 3.55 Kawasan Perumahan Kotabaru Yogyakarta-1990 186Gambar 3.56 Kerangka Kawasan Perumahan Kotabaru Yogyakarta - 1990 ............................................ 191Gambar 3.57 Ruang Jalan “Boulevard” di Kotabaru ............... 192Gambar 3.58 Ruang Jalan di Kotabaru .................................... 192Gambar 3.59 Ruang Antarbangunan di Kotabaru ................... 193Gambar 4.1 Lokasi beberapa gerbang kampung pada kawasan penelitian ........................................... 215Gambar 4.2 Gerbang jalan (regol lurung) memberi peluang akses ke kampung ............................................ 216Gambar 4.3 Akses ke dalam kampung ................................ 216Gambar 4.4 Akses ke dalam kampung ................................ 217

xviii

Daftar Skema

Daftar Grafik

Daftar TabelTabel 1.1 Jenis-Jenis Kegiatan Pelestarian dan Tingkat Perubahannya .......................................... 15Tabel 2.1 Fungsi atau Aktivitas pokok pada Periode Sejarah Kolonialisme di Indonesia .......................... 45Tabel 2.2 Studi arsitektur kolonial di Surabaya, Malang dan Bandung .............................................. 52Tabel 3.1 Penelusuran arketipe–makna–objek ..................... 132

Skema 2.1 Penerapan konsep Mancapat dalam penataan permukiman Jawa ................................................. 31Skema 2.2 Orientasi dan tata letak kota-kota di Jawa berdasarkan pola konsentrik. ................................ 36Skema 2.3 Hubungan antara periode perkembangan kota dengan aspek aktivitas yang dominan. .......... 51Skema 3.1 Perkembangan Arsitektur Indis di Indonesia ......... 141

Grafik 3.1 Grafik Tren Suhu Maksimum Absolut Tahunan Kota Yogyakarta ...................................... 171

It is no light sin to destroy anything that is old

Eugene Ruskin

BAB IPENDAHULUAN

Catharina Dwi Astuti Depari

Pend

ahul

uan

5

PENDAHULUANCatharina Dwi Astuti Depari

Permasalahan Umum Kota-kota Tradisional

Besarnya dampak modernisasi dan globalisasi yang melanda kota-kota tradisional mengakibatkan sejumlah perubahan pada setiap aspek kehidupan perkotaan. Perubahan yang terjadi semakin sulit dikendalikan apabila Pemerintah Kota berpihak pada persoalan ekonomi semata. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa kini, faktor ekonomi dianggap sebagai satu-satunya tolok ukur untuk menilai kemajuan suatu kota. Berbagai infrastruktur dibangun untuk melayani kepentingan ekonomi kota tanpa mempertimbangkan dampak multidimensional yang mungkin terjadi. Permasalahan yang lahir sebagai dampak dari perubahan kota yang tidak terkendali antara lain degradasi kualitas lingkungan perkotaan, kesenjangan sosial-ekonomi warga yang semakin lebar serta ancaman terhadap citra atau identitas kota di tengah-tengah realitas budaya yang semakin pluralistik. Ambisi kota masa kini yang mengejar pertumbuhan ekonomi semata pada akhirnya hanya akan menciptakan suatu tatanan hidup perkotaan yang justru paradoks dari tujuan ideal kota yang selama ini dicita-citakan (Depari, 2013:1).

Desakan arus globalisasi yang terjadi pada kota-kota tradisional dapat melahirkan dualisme1 budaya. Dualisme budaya dapat diamati dari perilaku dan pola aktivitas setempat yang mulai secara perlahan mengalami pergeseran. Bagi Pemerintah Kota, yang biasanya dihadapi adalah sebuah situasi dilematis ketika akan menentukan sejumlah

1 Dualisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-3 (2012), berarti paham bahwa di dalam kehidupan terdapat dua prinsip yang saling bertentangan. Dalam konteks budaya, berarti adanya pertentangan antara paham modern dengan paham tradisonal.

Pend

ahul

uan

6

kebijakan, seperti pilihan antara kebijakan untuk mengeksploitasi seluruh lahan kota demi alasan profit versus kebijakan untuk memproteksi lahan-lahan kota demi alasan pelestarian. Secara fisik, kebijakan yang bersifat dualistik tercermin dari pola struktur ruang kota yang ambigu dan terpecah belah (ambiguous-fragmented urban forms). Dalam pola kota tradisional yang ambigu, integrasi antara ruang-ruang kawasan bernilai sejarah dengan ruang kawasan sekitarnya yang berkonsep modern merupakan sesuatu yang sangat sulit ditemukan.

Menghadapi wabah globalisasi, Pemerintah Kota saat ini dituntut untuk memikirkan secara serius berbagai isu konservasi serta menerapkan berbagai upaya pelestarian terhadap aset-aset kota yang bernilai historis. Langkah tersebut ditujukan untuk menjaga identitas kota dari berbagai krisis yang disebabkan oleh globalisasi. Dalam tataran fisik, krisis identitas yang melanda suatu kota dapat diamati dari perubahan yang terjadi pada struktur ruangnya yang secara bertahap mengalami proses penyeragaman bentuk dan karakteristik dengan bentuk ruang kota-kota modern pada umumnya. Selain isu penyeragaman karakteristik fisik kota, pembangunan masa kini yang berorientasi pada economic gain dapat pula mengakibatkan simbol-simbol kota sebagai elemen penting pembentuk identitas lokal mengalami perubahan atau bahkan penghancuran (Depari, 2013). Dalam jangka panjang, krisis identitas yang berlarut-larut akan berdampak pada psikologi warga kota seperti hilangnya kebanggaan lokal sebagai satu entitas dengan kota atau bahkan muncul perasaan terasing atau terisolir dari lingkungan sekitar. Selain itu, lahan-lahan kota yang seharusnya dilindungi dan dilestarikan oleh pemerintah kota justru diserahkan pada kekuatan pasar sehingga mendorong tumbuhnya bisnis properti secara pesat. Setiap inci lahan perkotaan senantiasa dilihat dari kacamata profit. Semakin melambungnya harga lahan di daerah perkotaan pada akhirnya akan menciptakan sejumlah permasalahan baru yang tidak hanya menyentuh ranah pelestarian,

Pend

ahul

uan

7

namun juga pada bidang permukiman. Harga lahan di daerah perkotaan yang tidak terjangkau mengakibatkan penyediaan lahan permukiman yang murah dan layak sangat sulit diperoleh, khususnya bagi warga kota yang miskin dan berpenghasilan rendah.

Gambar 1.1 Ilustrasi ancaman penghancuran terhadap aset historis kota

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Bagi para pemerhati kota, permasalahan penyeragaman karak-teristik fisik pada kota-kota tradisional yang semakin meningkat pada dasawarsa ini menciptakan sebuah kerisauan tiada akhir. Tarik menarik antara kebutuhan pelestarian dengan kebutuhan modern senantiasa terjadi dan tidak jarang sebagian besar konflik antara keduanya dimenangkan oleh kebutuhan modern. Berbagai penelitian Arsitektur yang khusus mengangkat topik proses transformasi yang terjadi pada struktur ruang kawasan dengan faktor-faktor pendorongnya pada dasawarsa ini tidak terhitung jumlahnya, baik dalam bentuk buku publikasi maupun dalam jurnal ilmiah. Beberapa penelitian di antaranya berusaha memahami desain ruang kota dan kawasan dengan pertama-tama mencoba melakukan penelusuran sejarah dengan menggunakan

Pend

ahul

uan

8

pendekatan tertentu. Penelitian tidak sekadar mengungkapkan hubungan timbal balik antarelemen fisik kota, tetapi turut menyentuh dimensi manusia sebagai penghuni ruang kota. Rapoport (1977) mengkaitkan proses hubungan timbal balik antara terbentuknya suatu kota atau kawasan dengan masyarakatnya melalui konsep socio-spatial nya, Hillier (Hillier dalam Lam, 2008) dengan konsep spatial-culture dan Madanipour (1996) dengan konsep socio-spatial yang secara intensif menekankan pentingnya pendekatan interdispliner untuk memahami desain ruang kota dan kawasan (Purbadi, 2008;34).

Meskipun secara fisik karakteristik konsep tradisional dan modern dapat dibedakan, namun dengan berkembangnya budaya eklektisme, dikotomi secara hitam putih di antara keduanya semakin sulit dilakukan. Kategorisasi karakteristik masing-masing konsep dan bagaimana keduanya diwujudkan ke dalam fisik ruang membutuhkan penelitian secara intensif. Kerumitan penelitian semakin meningkat karena kecenderungan kedua konsep tersebut yang semakin melebur menjadi satu entitas. Meskipun demikian, terdapat karakteristik umum yang membedakan. Indikator tradisionalitas adalah adanya konsep tematik, seperti sinkretisme, eklektisisme, mistikisme, simbolisme, ketaatan pada tradisi dan sejarah, pada sumber legitimasi, rancangan bersifat inkremental, bentuk lahir dari logika bahan semata dan lemahnya semangat inovasi. Sedangkan indikator modernitas adalah adanya semangat pembaruan (inovasi) dan reinterpretasi, rasional, kritis, a-historis, antisimbol, bentuk dilahirkan dari ide/gagasan tertentu yang multidimensi, kesetiaan pada pola/penataan dan bentuk mengikuti fungsi (Iskandar, 2004: 113).

Pend

ahul

uan

9

Gambar 1.2 Monolit-monolit modern yang mengisi struktur ruang kota masa kini sebagaimana di Kyoto Jepang, merefleksikan wabah penyeragaman

wajah kota sebagai dampak globalisasi.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2011)

Konservasi Arsitektur: Kenapa Penting? Melalui teori-teori yang dikemukakannya, Schultz (1980)

menekankan peran arsitektur sebagai media untuk memvisualisasikan jiwa tempat. Tujuan arsitektur, menurutnya, adalah menciptakan tempat penuh makna yang memungkinkan manusia untuk dapat mengidentifikasi orientasi dirinya terhadap lingkungan sekitar. Oleh karena itu, setiap kota perlu memelihara identitas/cirinya sehingga dapat dibedakan dengan tempat lain (Schultz, 1980: 5). Meskipun demikian, menurut Garnham (1984), suatu kota dapat dikatakan ideal apabila perencanaannya memperlihatkan sebuah integrasi yang sinergis antara kebutuhan modern dengan tradisi, antara kebutuhan untuk

Pend

ahul

uan

10

mengakomodasi perubahan dengan kelangsungan dari karakteristik setempat.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012), konservasi memiliki makna harafiah sebagai usaha pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan mengawetkan, pengawetan atau pelestarian, sedangkan konservasi arsitektur berarti usaha yang berkaitan dengan kelang-sungan kehidupan atau pelestarian dari suatu identitas, integritas atau karakteristik suatu objek arsitektural. Menurut Budihardjo (Architectural Conservations in Bali, 1994: 8-9), terdapat tujuh faktor yang mendorong perlunya konservasi arsitektur, yaitu:1. sikap untuk mempertahankan secara ulet seluruh kawasan tua

sebagai tempat yang dapat memperkaya pengalaman visual, mengakomodasi hasrat akan keberlanjutan, menyediakan sebuah hubungan bermakna dengan masa lalu, dan memberikan kepada masyarakat pilihan untuk hidup dan bekerja di dalam lingkungannya, khususnya dalam kehidupan kontemporer saat ini;

2. dalam kehidupan yang sarat dengan perubahan dan pertumbuhan yang semakin cepat, kawasan-kawasan yang lebih tua dianggap memiiliki atmosfer yang menyegarkan, kekal dan abadi sebagai sesuatu yang melegakan dan menarik;

3. mempertahankan bagian-bagian kota atau desa akan mendukung pelestarian jiwa tempat dan identitas kota/kawasan sekaligus menawarkan konsep-konsep kekontrasan dengan pembangunan masa kini;

4. kawasan tua dan perkotaan merupakan aset komersial terbesar dalam kaitannya dengan industri pariwisata;

5. merupakan tanggung jawab semua orang untuk menghargai dan merawat warisan budaya yang tidak ternilai harganya untuk tetap bertahan sehingga generasi baru di masa yang akan datang dapat belajar darinya dan menikmatinya;

Pend

ahul

uan

11

6. warga membutuhkan pera-saan aman secara psikologis untuk dapat menyentuh, melihat dan merasakan bukti fisik dari lingkungan sekitar dalam atmosfer tradisional;

7. warisan arsitektural dapat menyediakan sebuah data rekam historis dari masa lampau yang menyiratkan nilai keabadian dan kesi-nam bungan sebagai lawan dari kehidupan manusia yang serba fana/terbatas.

Cagar Budaya & Kriteria Konservasi

Menyadari pentingnya konsep jiwa tempat dalam pembangunan kota dan kawasan, Pemerintah Indonesia dituntut untuk mendukung gerakan konservasi terhadap seluruh aset atau cagar budaya secara aktif melalui aturan perundang-undangan dan produk kebijakan yang dikeluarkan. Aturan yang melindungi usaha pelestarian cagar budaya di Indonesia, antara lain Monumeneren Ordonantie Stbl.238/1931, yang selanjutnya disebut sebagai M.O.1931 (Sidharta & Budihardjo, 1989:9). M.O.Stbl.238/1931 Pasal 1 menguraikan bahwa yang dianggap sebagai monumen adalah:

Gambar 1.3 Dialog antara modernitas dengan tradisi berusaha dihadirkan melalui detail

desain arsitektural di kawasan bersejarah Nara Prefecture, Osaka Jepang.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2011)

Pend

ahul

uan

12

1. benda-benda bergerak maupun tak bergerak, yang dibuat oleh tangan manusia, bagian atau kelompok benda-benda dan juga sisa-sisanya, yang pokoknya berumur 50 tahun atau memiliki langgam yang sedikitnya berumur 50 tahun dan dianggap mempunyai nilai penting bagi presejarah, sejarah atau kesenian;

2. benda-benda yang dianggap mempunyai nilai penting dipandang dari sudut palaeoanthropologi;

3. situs yang mempunyai petunjuk yang kuat dasarnya bahwa di dalamnya terdapat benda-benda yang dimaksud pada ad.1 dan ad.b.

Peraturan tersebut kemudian ditegaskan kembali melalui UU Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 dan disempurnakan melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang menguraikan bahwa yang dimaksud dengan cagar budaya adalah kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selain itu, cagar budaya dapat didefinisikan pula sebagai warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Tetap terkait dengan objek konservasi, Sidharta & Budihardjo (1989) membagi cagar budaya menjadi beberapa kategori, yaitu: 1. satuan areal, yang merupakan wilayah dalam kota yang dapat

berwujud kawasan (bahkan keseluruhan kota itu sendiri), sebagai suatu sistem kehidupan, dianggap mempunyai ciri-ciri atau nilai khas kota;

Pend

ahul

uan

13

2. satuan visual/landscape sebagai satuan yang mempunyai arti dan peran yang penting bagi suatu kota; dan

3. satuan fisik yang merupakan satuan yang berwujud bangunan, kelompok atau deretan bangunan, rangkaian bangunan yang mem bentuk ruang umum atau dinding jalan sampai kepada unsur bangunan baik unsur fungsional, struktur atau entesis ornamental.

Dalam merencanakan konservasi terhadap suatu cagar budaya,

tentunya dibutuhkan sejumlah kriteria pertimbangan yang perlu diperhatikan oleh tim perencana berikut ini.1. Nilai estetika

− Bangunan atau bagian dari kota yang dilestarikan karena mewakili keindahan khusus dari suatu langgam sejarah tertentu. Tolok ukur dari estetika dikaitkan dengan nilai keindahan dan kerumitan bentuk arsitekturalnya terkait dengan bentuk, struktur, tata ruang dan ornamennya. Kriteria estetika bersifat subjektif/berbeda-beda sehingga cukup sulit untuk menentukan bahwa suatu bangunan lebih penting dari yang lain.

− Kejamakan arsitektural.2. Nilai kejamakan arsitektural (value for architectural diversity).

Bangunan atau bagian dari kota yang dilestarikan karena mewakili satu kelas atau kelompok jenis khusus gaya arsitektur bangunan yang semakin memperkaya kejamakan arsitektural kawasan/lingkungan.

3. Kejamakan lingkungan (value for environmental diversity).Kemajemukan arsitektur memberi kontribusi bagi bertambahnya kemajemukan/keragaman wajah lingkungan.

4. Kejamakan fungsional (value for functional diversity).Kemajemukannya ditentukan oleh variasi dalam latar belakang

Pend

ahul

uan

14

sejarah dan usia bangunan yang memungkinkan adanya berbagai fungsi campuran (mixed use).

5. Kelangkaan bangunan atau bagian dari kota yang dilestarikan karena hanya berjenis satu atau merupakan contoh terakhir yang masih ada sehingga termasuk karya yang unik dan sangat langka bahkan satu-satunya di dunia dan tidak dimiliki oleh pihak/tempat lain.

6. Peranan sejarah (value for continuity of cultural memory/ heritage values).Bangunan atau lingkungan perkotaan atau bagian dari kota dilestarikan karena menjadi lokasi bagi berlangsungnya peristiwa bersejarah. Cagar budaya dinilai penting karena ada ikatan simbolis antara peristiwa sekarang dengan masa lalu atau ikatan emosional antara objek dengan masyarakat setempat.

7. Memperkuat citra kawasan di sekitarnya.Bangunan atau bagian dari kota dilestarikan karena keberadaannya dapat memberikan makna lebih untuk meningkatkan kualitas dan citra lingkungan sekitar.

8. Nilai ekonomi dan komersial.Bangunan atau kawasan dilestarikan karena memiliki nilai investasi di dalamnya sehingga mempengaruhi kawasan di sekitarnya.

9. Keistimewaan.Bangunan-bangunan ruang dilindungi karena memiliki keistimewaan misalnya sebagai yang tertinggi, tertua, terpanjang, terbesar atau yang pertama terbangun.

Konservasi pada dasarnya tidak hanya mencakup tataran fisik

tetapi juga ditujukan untuk melestarikan kegiatan budaya dan sosial yang berlangsung di dalamnya khususnya dalam menghadapi ancaman perubahan jaman.

Pend

ahul

uan

15

Jenis Usaha & Pendekatan Konservasi

Terdapat beberapa usaha pelestarian cagar budaya, yaitu: • konservasi, yang merupakan segenap proses pengelolaan suatu

tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik, mencakup preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi, dan revitalisasi;

• preservasi sebagai usaha pelestarian suatu tempat agar tetap persis dengan kondisi aslinya tanpa ada perubahan termasuk usaha mencegah penghancuran;

• restorasi/rehabilitasi sebagai usaha mengembalikan suatu tempat ke kondisi semula dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen semula tanpa menggunakan bahan baru;

• rekonstruksi sebagai usaha mengembalikan suatu tempat semirip mungkin dengan kondisi semula dengan menggunakan bahan lama maupun bahan baru;

• adaptasi/revitalisasi sebagai usaha mengubah tempat agar dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai; dan

• demolisi sebagai usaha penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah rusak atau membahayakan (Sidharta & Budihardjo, 1989: 11).

Tabel 1.1 Jenis-Jenis Kegiatan Pelestarian dan Tingkat Perubahannya

KEGIATANTINGKAT PERUBAHAN

Tidak Ada Sedikit Banyak TotalKonservasi √ √ √ √Preservasi √Restorasi/Rehabilitasi √ √Rekonstruksi √ √Adaptasi/Revitalisasi √Demolisi √

(Sumber: Sidharta dan Budihardjo, 1989)

Pend

ahul

uan

16

Sebagai bagian dari proses kebijakan pembangunan kota, kon-servasi harus dipersiapkan atau direncanakan secara matang sebelum akhirnya menentukan salah satu kebijakan konservasi. Setiap kebijakan konservasi yang dihasilkan maupun metode yang digunakan, sangat tergantung pada kasus yang dihadapi. Pada kasus pelestarian suatu cagar budaya yang rusak akibat faktor iklim, kebijakan yang lahir dapat berupa usaha restorasi/rehabilitasi. Namun, pada kasus-kasus tertentu yang telah bersentuhan langsung dengan faktor keamanan pengguna, kebijakan konservasi yang dilahirkan dapat bersifat radikal, yaitu dengan demolisi atau penghancuran total cagar budaya. Pada dasarnya, setiap perencanaan konservasi dapat menerapkan satu atau bahkan gabungan dari beberapa tipe pendekatan yang terdiri dari:1. Pendekatan Planologi/Perencanaan.

Perencanaan konservasi cagar budaya atau artefak arkeologis suatu kawasan yang didahului oleh kegiatan penelitian secara mendalam terhadap objek (fisik dan non-fisik) dan melibatkan partisipasi lokal dalam setiap tahapan perencanaan.

2. Pendekatan Penelitian dan Arahan Desain. Melalui riset akan dihasilkan rekomendasi desain (design guidelines) yang paling tepat untuk menjembatani antara nilai-nilai budaya masa lampau dengan konteks kebutuhan kota masa kini.

3. Pendekatan Kebijakan Kota.Pemerintah dapat memberikan kebijakan berupa pemberian penghargaan kepada setiap usaha pelestarian yang dilakukan oleh setiap elemen masyarakat berupa keringanan pajak, pemberian dana pemeliharaan atau berupa dukungan usaha bagi pemilik. Selain itu, pemerintah dapat menjatuhkan sanksi berupa denda dan pajak yang setinggi-tingginya kepada warga yang terbukti melanggar aturan membangun setempat melalui praktik modifikasi atau perombakan total terhadap cagar budaya sehingga terjadi degradasi kualitas lingkungan secara signifikan.

Pend

ahul

uan

17

4. Pendekatan Komunitas.Seluruh proses perencanaan konservasi berusaha untuk melibatkan masyarakat setempat (people participatory), mulai dari tahap perencanaan sampai pada tahap pemeliharaan. Melibatkan warga lokal akan membentuk rasa memiliki (sense of belonging) terhadap cagar budaya yang kemudian mendorong tanggung jawab untuk menjaga kelestariannya.

Daftar Pustaka

Budihardjo, Eko, 1994, Architectural Conservations in Bali, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Depari, C. Setyonugroho, G., 2013, Penelitian: Transformasi Karak-teristik Konfigurasi Struktur Ruang Kawasan Masjid Pathok Nagari Yogyakarta, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta Fakul tasTeknik Program Studi Arsitektur.

Garnham, H.L., 1984, Maintaining the Spirit of Place, Arizona: PDA Publishers Corporation.

Iskandar, M.S.B., 2004, “Tradisionalitas dan Modernitas Tipologi Arsitektur Masjid”, Universitas Kristen Petra: Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur, Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, Vol.32, No.2, Desember 2004, hlm. 110-118.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012, Jakarta.Larkham, P.J., 1996, Conservation and the City, London: Routledge.Lam, Kok Sun, 2008, An Introduction of Space Syntax, Research

Symposium Compilation, USA: Georgia Tech Atlanta.Madanipour, A., 1996, Design of Urban Space: An Inquiry into a Socio-

spatial Process, UK: John Wiley & Sons, Ltd.Purbadi, Y.Djarot, 2008, Proposal Disertasi: Tata Spasial Permukiman

Tradisional Desa Kaenbaun di Pulau Timor, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Program Pascasarjana Fakultas Teknik

Pend

ahul

uan

18

Rapoport, A., 1977, Human Aspects of Urban Form Towards A Man-Environment Approach to Urban Forms and Design, London: Pergamon Press.

Schultz, C.N., 1980, Genius Loci: Towards A Phenomenology of Architecture, New York: Rizzoli.

Sidharta, Budihardjo, E., 1989, Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Undang-undang Negara Republik Indonesia No.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Internet: www.archinect.com, 2012, Archipelagos: Ungers versus Rowe.

Internet: www.readwrite.com, 2012, Sim City: Indside South Korea’s $35 Billion Plan to Build A City from Scratch, Publikasi 31 Juli 2012.

Internet: www.yonghaophotography.com, 2000, CBD: Final Water-maked.

the city is to be understood here as architecture ... the city is seen

as a gigantic man-made object, work of engineering and architecture

that is large and complex and growing over time

Aldo Rossi

BAB IIARSITEKTUR

KOTA YOGYAKARTAPERIODE ISLAM DAN KOLONIAL BELANDA

Catharina Dwi Astuti DepariGerarda Orbita Ida Cahyandari

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

23

PENGARUH ISLAM TERHADAP RENCANA KOTA YOGYAKARTA

Catharina Dwi Astuti Depari

Abstrak

Sebagai bagian dari Jawa, perkembangan budaya Kota Yogyakarta sangat dipengaruhi oleh sejarah masuknya ideologi Islam ke perairan Jawa sejak abad ke-8 M melalui peran para saudagar Arab dan Gujarat. Pergeseran budaya yang terjadi di Pulau Jawa sebagian besar dilatarbelakangi oleh ambisi politik para penguasa kerajaan pada masa itu. Kerajaan-kerajaan Islam mulai berdiri di sekitar pesisir pantai Jawa sejak abad ke-15 M, menggeser dominansi budaya dan ideologi Hindu-Buddha yang telah terlebih dahulu berkembang. Melalui rangkaian peristiwa penakhlukan terhadap kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta penyebaran ajaran oleh para Santri ataupun Ulama, Islam semakin memperlihatkan eksistensinya dalam menentukan arah perkembangan tata ruang kota-kota kerajaan Jawa. Secara khusus, sejarah perkembangan Islam di Kota Yogyakarta dipengaruhi oleh peristiwa penakhlukan Kerajaan Majapahit oleh Kerajaan Demak yang akhirnya membentuk sebuah kerajaan baru yang disebut sebagai Mataram Islam. Pada abad ke-16, ibu kota Kerajaan Mataram Islam dipindahkan dari daerah Pajang ke Kotagede pada era pemerintahan Sultan Hadiwijaya dan kemudian dipindahkan ke Plered pada era pemerintahan Sultan Agung. Perpecahan yang terjadi di internal Kerajaan Mataram Islam antara Pangeran Mangkubumi dengan Sunan Pakubuwono III mengakibatkan terbentuknya dua kerajaan baru, yaitu Kasultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Islam dalam hal ini tetap diakui sebagai agama masing-masing kerajaan, namun bagaimana Islam mempengaruhi arah perkembangan tata ruang masing-masing wilayah tentunya memiliki perbedaan. Tulisan ini akan memaparkan secara khusus bagaimana sejarah perkembangan Islam dan pengaruhnya

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

24

terhadap tata ruang Kota Yogyakarta berdasarkan hasil penelusuran sejarah yang bersumber dari berbagai pustaka.

Sejarah Peradaban Sebelum Islam di Pulau Jawa

Sejak zaman Megalithikum, masyarakat Jawa hidup sebagai masyarakat agraris yang tetap sehingga hubungan antaranggotanya sangat kuat. Bagi masyarakat Jawa, tanah merupakan hak komunal yang bermakna religi kosmologi. Sistem irigasi diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 500-300 SM oleh Cina Selatan dan Vietnam sedangkan India masuk ke wilayah perairan Nusantara sejak abad ke-1 SM melalui hubungan perdagangan dan kelautan berdampingan dengan bangsa Cina (Zahnd, 2008:11-12). Kota-kota kerajaan Jawa pada dasarnya memiliki 2 tipologi, yaitu kerajaan pesisir dan kerajaan dalam. Kerajaan pesisir memiliki karakteristik, yaitu berkembang di kawasan perairan, memiliki pelabuhan, tidak memiliki hinterland (tanah rural) sehingga kekayaan lokal ditentukan dari hasil perdagangan dan masyarakat heterogen. Karakteristik masyarakat pesisir sangat terbuka terhadap budaya asing. Sedangkan karakteristik kerajaan dalam adalah umumnya berkembang di wilayah gunung berapi, memiliki lahan subur yang dikuasai dan dikelola bersama oleh masyarakat setempat dan penduduk agraris dengan karakteristik cenderung tertutup dan homogen.

Pada abad ke-4 SM, wilayah Nusantara dikuasai oleh budaya Hindu Buddha melalui dominansi tiga kerajaan besar, yaitu: Kerajaan Mataram, Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Mataram Hindu awalnya berpusat di daerah Dieng dan menguasai hampir seluruh wilayah Jawa Tengah pada masa pemerintahan Raka Sanjaya. Namun, Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan beraliran Buddha semakin kuat menguasai Selat Melaka-Sunda. Pada abad ke-8 dalam masa Dinasti Syailendra, Sriwijaya berhasil menakhlukkan Kerajaan Mataram Hindu. Pusat Kerajaan Mataram kemudian dipindahkan ke kawasan Borobudur hingga kemudian

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

25

terjadi pemberontakan oleh Rakai Pikatan yang merupakan keturunan Dinasti Sanjaya dan berhasil menghentikan kekuasaan Sriwijaya pada abad ke-9. Pusat pemerintahan kerajaan kemudian dipindahkan dari Borobudur ke kawasan Prambanan (Zahnd, 2008:14-15).

Kemunduran perdagangan di Asia Tenggara pada abad ke-9 dan ke-10 sebenarnya dapat menjadi tonggak kebangkitan Kerajaan Mataram untuk tampil sebagai pusat perdagangan terbesar di Asia. Namun, konflik perang berkepanjangan dengan Kerajaan Sriwijaya menghentikan ambisi tersebut. Kedua kerajaan tersebut akhirnya beraliansi di bawah pemerintahan Raja Airlangga pada tahun 1019 selama hampir 2 abad. Pada tahun 1293, lahirlah Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Wijaya dengan pengaruh kekuasaan yang sangat besar di seluruh wilayah Nusantara. Majapahit mengalami puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk (Zahnd, 2008:15).

Gambar 2.1 Kronologi masuknya Islam ke wilayah perairan Indonesia dan Pulau Jawa

(Sumber gambar: Reid, 1996, digambar ulang oleh penulis, 2013)

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

26

Sejarah Islam di Pulau Jawa

Berdasarkan bukti sejarah inskripsi Arab, para pedagang Islam memasuki wilayah Asia Tenggara dan Samudera Hindia pada sekitar abad ke-8 M. Masuknya agama Islam diyakini semakin menambah kekuatan spiritual masyarakat Jawa dan mengakibatkan integrasi antara budaya Hindu Jawa dengan Islam. Islam mulai dapat menguasai kerajaan-kerajaan pesisir Jawa, yaitu pada sekitar abad ke-15 sampai abad ke-16. Sejak tahun 1478, masyarakat Muslim Kerajaan Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggana berperang melawan Kerajaan Majapahit dan akhirnya Kerajaan Majapahit berhasil ditakhlukkan. Pusat kekuasaan Majapahit akhirnya pindah ke Jawa Tengah dan kemudian berdiri sebagai Kerajaan Mataram baru berideologi Islam. Sultan Hadiwijaya yang memerintah Kerajaan Mataram Islam memindahkan pusat kerajaan ke Pajang dan kemudian dipindahkan ke Kotagede pada tahun 1588 setelah adanya serangan dari Panembahan Senapati. Kerajaan Mataram mengalami puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Agung yang kemudian memindahkan ibu kota kerajaan ke Plered. Pada tahun 1677, Kerajaan Mataram Islam mulai terancam oleh kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda yang bermaksud melemahkan dan memecah belah penguasa tradisional Kerajaan Mataram Islam.

Gambar 2.2 Kronologi pemindahan pusat kerajaan-kerajaan Jawa sampai abad ke-17

(Sumber gambar: Zahnd digambar ulang oleh penulis, 2013)

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

27

Peninggalan sejarah tertua yang membuktikan masuknya ajaran Islam ke Pulau Jawa adalah makam seorang wanita Muslim di daerah Leran, Jawa Timur (Partokusumo, 1995: 286-287). Sebagaimana dikemukakan oleh seorang sarjana Belanda bahwa pada era masa Kerajaan Majapahit di Jawa, masyarakat yang memeluk agama Islam masih relatif sedikit. Islam mulai berkembang terutama setelah masuknya seorang saudagar dari Gujarat (India) ke daerah Gresik pada era tahun 1419 sesudah Masehi dengan misi untuk menyiarkan ajaran Islam selain kegiatan berdagang sehingga dibangun sebuah pesantren pertama di daerah Gresik. Dalam sejarah penyebaran ajaran Islam di Pulau Jawa, Wali1 memiliki peran sentral. Khusus di Pulau Jawa, terdapat 9 wali yang perannya sangat dijunjung tinggi yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga. Para Wali Sanga memiliki ambisi yang kuat untuk berdakwah di tengah persaingan politik yang terjadi antara Kerajaan Majapahit dengan sejumlah kerajaan di seluruh pelosok Nusantara dan di tengah konflik internal kerajaan. Setiap wali membagi wilayah dakwah di seluruh Pulau Jawa melalui jalur pendidikan, cerita rakyat, seni, musik dan lakon wayang. Penyebaran ajaran Islam menggunakan media wayang di Jawa dirintis oleh Sunan Kalijaga dan Raden Patah.

Metode dakwah yang dilakukan untuk menyebarkan ajaran Islam oleh para wali adalah dengan mengisi seluruh dimensi hidup sehari-hari masyarakat setempat secara lahir batin melalui ajaran Islam tanpa adanya unsur pemaksaan. Ajaran yang diberikan bertujuan untuk menemukan kebenaran sejati atau kasunyataan (love of perfection) dengan jalan meningkatkan jiwa, raga, dan sukma sehingga tercapai kesadaran panca indra melalui kesadaran hening (cipta-rasa-karsa) dan kesadaran pribadi (sukma sejati) menuju ke arah kesadaran rohani. Hal tersebut dipercaya sebagai jalan menuju Tuhan yang dalam istilah

1 Wali, menurut Partokusumo (Kebudayaan Jawa, 1995: 287), berasal dari singkatan waliyullah yang berarti orang yang dianggap dekat dengan Tuhan, kekasih Allah, orang keramat yang mempunyai kekuatan melebihi kekuatan manusia awam.

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

28

Jawa disebut manunggaling kawula-Gusti 2. Ajaran filsafat kawula-Gusti merupakan representasi atau simbol dari hubungan antara manusia dengan Tuhan yang di dalamnya mengandung konsep keseimbangan dan kesatuan antara manusia dengan Tuhan (Partokusumo, 1995: 297-298). Berdasarkan pemahaman tersebut, dapat disimpulkan bahwa ajaran Islam pada hakikatnya merupakan ajaran yang mengedepankan konsep damai dan berusaha untuk menghadirkannya dalam hubungan pergaulan antarumat termasuk dalam relasinya dengan Tuhan.

Sinkretisme Budaya Jawa-Islam

Istilah Islam berasal dari bahasa Arab yang secara tradisional dipahami oleh para Muslim sebagai agama yang benar dan satu-satunya berasal dari Tuhan yang diajarkan kepada manusia melalui para nabi yang dipercaya memegang sebuah kitab suci dengan Muhammad sebagai nabi terakhir dan terbesar yang memegang Kitab Qur’an. Sedangkan istilah Muslim memiliki konotasi sebagai pengikut agama Islam atau segala sesuatu yang berhubungan dengan pengikut Islam dan agama Islam (Morris,1994:369).

Dalam perkembangannya, Islam dikenal memiliki fleksibilitas dan tingkat keterbukaan/toleransi yang tinggi terhadap unsur-unsur kebudayaan lokal sehingga dalam perkembangannya terjadi proses akulturasi antara nilai-nilai ajaran Islam dengan budaya setempat termasuk di pulau Jawa. Proses sinkretisme antara budaya Jawa dengan Islam berlangsung cepat yang disebabkan oleh dua faktor, yaitu: (a) kemampuan agama Islam dalam meginterpretasikan lingkungan budaya secara baru tanpa menghilangkan identitas budaya lokal, dan

2 Manunggaling kawula-Gusti merupakan ungkapan yang diajarkan oleh seorang Sufi Islam bernama Syekh Siti Jenar yang berarti bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya atau bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia.

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

29

(b) kemampuan budaya Jawa dalam menyerap pengaruh baru dan mengintegrasikan elemen-elemen baru tersebut tanpa menghilangkan identitas Jawa.

Masyarakat Jawa pada dasarnya tidak sekadar berusaha memenuhi kebutuhan jasmaninya semata, tetapi juga berusaha me-menuhi kebutuhan batinnya sehingga dibutuhkan keseimbangan di antara kedua aspek tersebut. Sifat masyarakat Jawa adalah seremonial dengan pandangan hidup yang melihat segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan yang bersifat sosial dan simbolis serta berusaha menyelaraskan segala sesuatu, perbedaan yang prinsipiil antara subjek dengan objek, bentuk dengan isi, bentuk dengan waktu, simbol dengan benda, dan antara hidup dengan mati, kawula lan Gusti, disederhanakan menjadi satu dan memiliki hubungan mitologis (Ronald, 1988:30-69). Masyarakat Jawa mengenal adanya mitos jagad gedhe, yaitu alam, dan jagad cilik sehingga dibutuhkan keselarasan antara alam (makrokosmos) sebagai roh alam yang suci pemberi kehidupan dengan manusia yang harus senantiasa berterima kasih kepada alam dengan memberikan bentuk sesaji atau persembahan kepada roh yang dipersonifikasikan ke dalam bentuk dewa dewi (Supriyono dalam Setiadi, 2010: 44-45).

Kepercayaan yang dianut mengakibatkan masyarakat Jawa selalu berpedoman pada satu prinsip ketika membangun yang disebut memayu hayuning bawana; artinya, selalu menjaga keselarasan dengan alam sekitar dan pelestarian nilai budaya lokal. Pikiran manusia Jawa selalu terkait dengan dunia gaib sebagai sesuatu yang lebih besar dari eksistensinya sehinga keberadaan Gunung Merapi, Laut Selatan, Sungai Progo, Sungai Opak, Sungai Oyo, pohon beringin, pohon kemuning, makam, bahkan benda pusaka, seperti halnya keris, memiliki peranan penting dalam alam pikiran. Hal tersebut dapat dipahami mengingat kuatnya pengaruh budaya Hindu dari India yang memiliki kepercayaan bahwa alam terbagi menjadi dunia atas dan dunia bawah, serta berbagai kepercayaan lainnya yang tumbuh sebelum masuknya budaya

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

30

Islam. Kepercayaan tersebut diungkapkan dalam perilaku sehari-hari ataupun dalam kegiatan ritual setempat yang masih berlangsung hingga sekarang. Misalnya, penghormatan terhadap roh para leluhur yang dilakukan pada hari tertentu dengan mengunjungi makam para leluhur atau makam raja pada bulan Ruwah yang dikenal sebagai nyadran.

Islam dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat

Sebagaimana umumnya Kerajaan Islam di Jawa, penguasa Kerajaan Mataram menjadikan agama Islam sebagai agama negara dan kemudian mengalami perpecahan akibat pertikaian antara Pangeran Mangkubumi yang ingin mempertahankan tradisi kerajaan dengan Sunan Pakubuwana III yang mewakili kelompok Pangeran Sambernyawa yang memberontak. Untuk meredam konflik, Pemerintah VOC yang berkuasa berusaha untuk menyelesaikan pertikaian melalui Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755. Peristiwa tersebut menandai berakhirnya Kerajaan Mataram Islam secara de facto dan de iure. Kesepakatan yang terjadi adalah pembagian wilayah Mataram Islam menjadi dua, yaitu wilayah di sebelah Timur Kali Opak dikuasai oleh Sunan Pakubuwana III sebagai pewaris takhta Mataram dengan pusat pemerintahan berkedudukan di Surakarta serta wilayah di sebelah Barat (daerah Mataram asli) dikuasai oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono I dengan pusat pemerintahan di Yogyakarta.

Setelah diangkat sebagai pemimpin Kasultanan Ngayogyakarta, Sultan HB I mulai melakukan pembenahan di dalam tubuh peme-rintahannya, antara lain mengangkat para pejabat pemerintahan, pembangunan kraton termasuk beberapa elemen penting kota lainnya. Di dalam kompleks kraton, terdapat sejumlah bangunan, gerbang, ruang terbuka dan pohon yang mengandung makna simbolis. Hierarki ruang dalam tatanan kota Yogyakarta secara kosmologi (cosmic order) menempatkan Kraton sebagai titik pusat kota yang kemudian

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

31

menentukan perkembangan kota selanjutnya. Hubungan antara Kraton, Laut Kidul, panggung krapyak, Tugu, dan Gunung Merapi yang membentuk aksis Utara Selatan, diadopsi dari konsep budaya Hindu tentang jagad purnawama yang memiliki titik pusat pada sebuah benua bundar Jambudwipa yang dikelilingi oleh tujuh lapis daratan dan samudera. Pada dasarnya, aksis Kota Yogyakarta yang dimulai dari arah Selatan ke Utara memiliki makna filosofis, yaitu tempat asal mula roh sampai ke tempat bersatunya manusia dengan Tuhan. Selain itu, aksis dari Tugu sampai Alun-alun memiliki makna: (a) pangurakan sebagai jalan di mana nafsu hewani harus dibuang sebagai prasyarat untuk mencapai manunggaling kawula lan Gusti; (b) margomulyo sebagai jalan menuju kemuliaan untuk melaksanakan kehendak Tuhan dalam rangka keselamatan dunia atau mangayu hayuning buwana ; (c) malioboro sebagai jalan yang menjelaskan maksud Tuhan dalam menciptakan dunia; dan (d) margotomo sebagai jalan menuju keutamaan, asal usul manusia atau sangkan paraning dumadi (Setiadi, 2010: 51-52).

Skema 2.1 Penerapan konsep Mancapat dalam penataan permukiman Jawa

(Sumber skema: Rejeki (2010) diskema ulang oleh penulis, 2013)

Dalam menata ruang kota atau kerajaan, Sultan Hamengku Buwono I menentukan batas wilayah dengan menggunakan konsep keblat papat lima pancer. Karakteristik penataan wilayah Kasultananan

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

32

Ngayogyakarta yang berkonsep keblat papat lima pancer adalah bersifat khas dan tidak ditemukan pada penataan ruang wilayah Kasunanan Surakarta. Konsep keblat papat lima pancer dimanifestasikan ke dalam bentuk masjid yang diletakkan di empat penjuru utama mata angin dan berfungsi sebagai pathok 3 atau penanda batas wilayah ibu kota Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Setiap masjid yang menjadi penanda batas wilayah kasultanan di empat penjuru mata angin disebut pula dengan istilah pathok nagari. Sedangkan istilah Masjid Kagungan Dalem Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat pada setiap masjid menunjukkan peran sentral sultan dalam sejarah Islam dan pembangunan masjid ( Depari, 2013:70-72).

Sejarah pembangunan masjid pathok nagari tidak dapat dilepaskan dari pengaruh seorang pemuka agama bernama Kyai Muhammad Faqih yang memberikan nasihat kepada Sultan Hamengku Buwono I. Sultan memiliki harapan agar wilayah Kasultanan Ngayogyakarta berada dalam keadaan aman sehingga Kyai Muhammad Faqih memberikan nasihat agar Sultan mengangkat pathok nagari yang secara simbolis mengarah pada para ulama. Ulama bertugas untuk memberikan pendidikan moral mengenai akhlak dan budi pekerti kepada masyarakat melalui nilai-nilai ajaran Islam. Sultan Hamengku Buwono I mengangkat Kyai Muhammad Faqih sebagai kepala para pathok nagari dan menghibahkan sebidang tanah perdikan, yang berupa daerah hutan, untuk tujuan membangun masjid kepada masing-masing ulama. Khusus pada wilayah kekuasaan Kyai Muhammad Faqih, Sultan Hamengku Buwono I memberi nama Wa Anna Karoma yang kemudian dilafalkan dalam bahasa setempat menjadi Wonokromo dengan tujuan agar keberadaan masjid dapat memberikan kemuliaan bagi masyarakat setempat.

Terdapat lima Masjid pathok nagari yang tersebar di empat pen juru mata angin wilayah Kasultanan Ngayogyakarta dengan Masjid

3 Pathok dalam bahasa dan dialek Jawa memiliki makna yang sama dengan istilah “patok” dalam Bahasa Indonesia, yaitu tonggak penanda tapal batas.

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

33

Agung Kauman sebagai titik pusat wilayah kasultanan berdasarkan konsep mancapat. Kelima Masjid tersbut adalah Masjid Mlangi di bagian Barat Yogyakarta, Masjid Babadan di bagian Timur, Masjid Plosokuning di bagian Utara, serta Masjid Nurul Huda Dongkelan dan Masjid Wonokromo di bagian Selatan Yogyakarta ( Depari, 2013: 71). Selain berfungsi sebagai penunjuk batas wilayah kekuasaan Kasultanan Ngayogyakarta, Masjid pathok nagari memiliki peran simbolis sebagai benteng pertahanan yang menjaga kemurnian moral masyarakat Jawa di seluruh penjuru wilayah kasultanan. Masjid berfungsi sebagai tempat untuk menyebarkan ajaran Islam, menjalankan kegiatan ibadah, menjalankan kegiatan belajar (mengaji) dan sebagai sarana untuk melangsungkan upacara pernikahan dan kematian. Kelima Masjid menjalankan fungsi ketakmiran berdampingan dengan Masjid Agung Kauman yang merupakan masjid utama kasultanan. Meskipun fisik bangunan masjid dapat berubah dan berbeda sesuai dengan konteks lingkungannya masing-masing, terdapat beberapa ketentuan pembangunan masjid yang tidak dapat diubah, antara lain penentuan orientasi dinding masjid dan ruang utama sholat yang harus menghadap ke arah Masjid Al’ Haram sebagai lokasi Ka’bah. Dalam kasus Masjid Agung Kauman, Masjid dibangun sebagai lambang kekuasaan kasultanan dan direncanakan dalam keadaan apa adanya sehingga tidak sepenuhnya secara tepat memperhitungkan arah kiblat. Masjid Agung Kauman yang dibangun di dalam lingkungan pemerintahan mengakibatkan arsitektur bangunan berbentuk lebih megah dengan ukuran yang lebih luas serta detail yang lebih rumit dibandingkan dengan masjid-masjid lainnya yang berkembang di seluruh penjuru wilayah kasultanan (Rochym, 1987:61-73). Masjid Agung Kauman tidak sekadar berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan kaum Muslimin kampung, namun juga menjadi pusat penyebaran ajaran Islam dalam skala wilayah kasultananan Yogyakarta sekaligus sebagai masjid utama kraton. Mengingat bahwa karakteristik dari agama Islam

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

34

yang toleran atau terbuka terhadap adat kebiasaan setempat, desain elemen bangunan masjid turut menyesuaikan dengan ragam desain/corak Yogyakarta yang mempresentasikan simbol-simbol ornamen Jawa dan Kraton.

Selain masjid sebagai elemen simbolis kawasan Islam, kawasan Masjid pathok nagari Yogyakarta dibentuk pula oleh elemen lainnya sebagai pembentuk identitas kawasan, seperti pondok pesantren dan madrasah, tempat tinggal pemuka agama dan pengelola masjid, areal makam dan wilayah permukiman warga yang mayoritas menganut agama Islam yang masih bertahan hingga sekarang. Dalam tataran kawasan, masjid berperan sebagai generator atau sub-ordinat yang menentukan arah perkembangan kawasan selanjutnya dengan karakteristik fisiknya masing-masing. Dalam aspek sosial politik, khususnya yang berkaitan dengan struktur organisasi kepengurusan masjid, para Imam atau Pengulu atau Kyai Pengulu di masing-masing kawasan masjid memiliki kedudukan sebagai anggota al-Mahkamah al-Kabirah, yaitu suatu Badan Peradilan Kesultanan Yogyakarta dalam tingkat Peradilan Agama Islam. Imam Besar Masjid Agung Kauman memiliki jabatan sebagai Ketua Mahkamah dengan gelar Kanjeng Kyai Pengulu dengan Sultan sebagai pihak yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan peradilan.

Kosmologi Jawa dalam Tata Ruang Kota Yogyakarta

Tradisi bermukim masyarakat Jawa sangat erat kaitannya dengan proses dan pengertian tradisional tentang bermukim urban dalam konteks nagara (Wiryomartono, 1995:24). Mustahil dapat dipahami konsep penataan ruang kota Jawa jika tidak diketahui sebelumnya mengenai pola pikir dan budaya masyarakat Jawa. Dalam sistem kemasyarakatan Jawa dikenal pola hierarki yang terdiri dari kelompok petani, pedagang, priyayi dengan Raja sebagai pusat kekuasaan. Penataan ruang bermukim kota-kota Jawa termasuk Yogyakarta, senantiasa

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

35

memperhatikan model pengelompokan masyarakat penghuninya yang didasarkan pada peran, keturunan, status sosial ataupun jabatan. Hal ini mendukung pemahaman bahwa konsep kuta-negara dalam budaya Jawa bukan hanya merupakan jawaban fungsional terhadap kebutuhan bermukim saja, namun lebih kepada keyakinan bahwa kota merupakan sebuah representasi dari model pemukiman surgawi yang berpusat pada area dalem atau area pemerintahan. Menurut Kitab Negarakertagama dan Pararaton, Kerajaan Kertanegara pada masa pemerintahan Raja Singasari (1268-1292) merupakan peletak pertama dari pondasi pemerintahan kerajaan Jawa, mulai dari Kerajaan Majapahit sampai dengan Kerajaan Mataram Islam. Raja dibantu oleh mahapatih, menteri dan penasihat ahli termasuk para adipati, tumenggung dan demang atau kepala desa.

Secara konsentrik, kraton dibangun sebagai inti atau pusat kota yang merepresentasikan kehadiran Tuhan dalam sebuah struktur

Gambar 2.3 Sebaran lokasi Masjid Pathok Nagari di keempat penjuru mata angin Kota Yogyakarta

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

36

mikrokosmos dan dikelilingi oleh beberapa wilayah pemukiman. Wilayah pemukiman yang direncanakan oleh Sultan HB I dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari tempat tinggal para patih kerajaan dan bupati dalam yang disebut sebagai wilayah nayaka atau bupati njero, tempat tinggal kaum bangsawan dan putra mahkota yang disebut sebagai wilayah kadipaten serta tempat tinggal para abdi dalem yang disebut sebagai pangulon atau kompleks para pangula. Tiap kelompok wilayah memiliki sejumlah kompleks bangunan. Keluarga bangsawan biasanya memiliki ndalem4 dengan batas antarkompleks yang sering kali tidak jelas sehingga sering menimbulkan konflik. Sedangkan permukiman para abdi dalem kraton dapat dikelompokkan lagi menjadi beberapa kelompok permukiman kampung yang disesuaikan dengan profesi, status sosial dan jabatannya dalam hubungan birokrasi dengan kraton.

Skema 2.2 Orientasi dan tata letak kota-kota di Jawa berdasarkan pola konsentrik.

(Sumber skema: Tjahjono dalam Setyowati-2007, diskema ulang oleh penulis,

2013)

4 Ndalem dibangun di atas lahan kosong yang tersebar di daerah luar ataupun di daerah dalam benteng kraton. Selain sebagai tempat tinggal pangeran atau sentana, ndalem digunakan sebagai hunian oleh masyarakat (kawula alit) yang hendak mengabdi pada Sultan sebagai abdi dalem.

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

37

Kelompok kampung yang terdapat dalam permukiman para abdi dalem, antara lain kelompok Musikanan sebagai tempat tinggal abdi dalem yang berprofesi sebagai pemain musik gamelan dan tiup, Ngrambutan sebagai tempat tinggal abdi dalem penata rambut, Kemitbumen sebagai tempat tinggal abdi dalem yang bertugas menjaga kebersihan halaman kraton, Bludiran sebagai tempat tinggal abdi dalem yang bertugas sebagai tukang sulam kraton, Gebulen sebagai tempat tinggal abdi dalem yang bertugas menyiapkan api untuk memasak, Sekullanggen sebagai tempat tinggal abdi dalem yang bertugas menyiapkan nasi, Mantrigawen sebagai tempat tinggal abdi dalem yang mempunyai kedudukan sebagai kepala pegawai kraton, Pesindenan sebagai tempat tinggal abdi dalem yang bertugas sebagai sinden, Gamelan sebagai tempat tinggal abdi dalem yang bertugas mengurusi kuda milik sultan, Namburan sebagai tempat tinggal abdi dalem yang bertugas menabuh tambur atau genderang, Siliran sebagai tempat tinggal abdi dalem yang bertugas mengurus lampu kraton, Patehan sebagai tempat tinggal abdi dalem yang bertugas menyiapkan minuman, Rotowijayan sebagai tempat tinggal abdi dalem yang bertugas membuat kereta kraton, Suranatan sebagai tempat tinggal abdi dalem yang bertugas sebagai ulama kraton dan kampung Kauman yang merupakan suatu kelompok permukiman warga yang memiliki jabatan dalam mengurus bidang keagamaan di tingkat kraton dan kerajaan (Chawari, 2008: 42-43).

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan sejarah perkembangan Islam serta pengaruhnya terhadap tata ruang Kota Yogyakarta, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Sebagai penguasa kerajaan, sultan berusaha menjaga hubungan dengan rakyat sebagai sesuatu yang senantiasa berada di dalam keseimbangan. Hubungan yang selaras antara rakyat dengan sultan akan mengantar rakyat dekat dengan Tuhan sehingga pengabdian

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

38

kepada sultan sebagai penguasa kraton diwujudkan melalui komunitas abdi dalem.

Pola struktur ruang Kota Yogyakarta senantiasa berorientasi pada konsep Kosmologi Mancapat sebagai warisan budaya Jawa Hindu Kuno. Islam berintegrasi dengan konsep tata ruang Kota Yogyakarta melalui kehadiran elemen-elemen kota yang terdiri dari satu masjid utama sebagai pusat dan lima masjid lainnya sebagai patok batas kota yang tersebar di empat penjuru mata angin.

Masjid Agung berperan sebagai sentra penyebaran Islam dan sekaligus sebagai pusat kosmis yang menyimbolkan kehidupan spiritual masyarakat Yogyakarta, sedangkan kraton dan alun-alun menyimbolkan kekuatan politik dan ritual masyarakat Yogyakarta.

Daftar Pustaka

Chawari, M., 2008, Tesis: Bangunan Rumah Tradisional Jawa di Kampung Kauman Yogyakarta, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Program Studi Arkeologi Program Pascasarjana.

Depari, C. Setyonugroho, G., 2013, Penelitian: Transformasi Karak-teristik Konfigurasi Struktur Ruang Kawasan Masjid Pathok Nagari Yogyakarta, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta FakultasTeknik Program Studi Arsitektur.

Morris, A.E.J., 1994, History of Urban Form Before The Industrial Revolutions, New York: John Wiley and Sons, Inc.

Partokusumo, K.K., 1995, Kebudayaan Jawa: Perpaduannya dengan Islam, D.I.Yogyakarta: Ikatan Penerbit Indonesia

Reid, A., 1996, Indonesian Heritage: Early Modern History, Jakarta: Grolier International, Inc.

Rejeki, V.G.Sri, Soewarno N., Sudaryono, Subroto, T.Y.W.S., 2010, Nilai Kosmologi pada Tata Spasial Permukiman Desa Kapencar, Lereng Gunung Sindoro, Wonosobo, Yogyakarta: Universitas

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

39

Gadjah Mada, Fakultas Teknik, Forum Teknik, Majalah Ilmiah Teknologi, hal.140-148.

Rochym, A., 1987,Masjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, Bandung: Angkasa.

Ronald, Arya, 1988, Manusia dan Rumah Jawa, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Jurusan Teknik Arsitektur dan Peren-canaan.

Setiadi, A., 2010, Arsitektur Kampung Tradisional, Yogyakarta: PT. Kanisius.

Setyowati, E., 2007, Karakteristik Ruang Kawasan Dalam Beteng Kraton Yogyakarta, Yogyakarta, UGM: Forum Teknik Volume 30, No. 3, hal.197-272.

Wiryomartono, A.B.,1995, Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Zahnd, M., 2008, Model Baru Perancangan Kota yang Kontekstual, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Internet: www.Masuk-Islam.com., 2013, Antara Wayang Hindu dengan Wayang Islam,Bagaimanakah Pandangan Islam tentang Wayang?, Publikasi: 19 Maret 2013.

Internet: www.Masuk-Islam.com.,2010, Yogyakarta: Istimewa Sepanjang Masa, Publikasi: 18 Desember 2010.

history doesn’t repeat itself, but it does rhyme

Mark Twain

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

43

KONSEP KOSMOLOGI SEBAGAI PENGHUBUNG PERISTIWA SOSIAL-POLITIK DAN ARSITEKTUR

DALAM MASA KOLONIALISMEGerarda Orbita Ida Cahyandari

Abstrak

Perkembangan kota melewati tahapan periode sejarah yang masing-masing memiliki karakter peristiwa. Peristiwa penting dapat dikaji dalam aspek sosial, politik, ekonomi, dan spiritual. Selanjutnya, aspek ini saling mempengaruhi perkembangan kota dan bangunan. Dalam konteks Kota Yogyakarta, perkembangan kota dipengaruhi oleh kekuatan poros kosmologis. Bukti kekuatan poros ini dapat diteliti dengan pendekatan historis interpretatif melalui tata letak bangunan, gaya arsitektur, dan periode perkembangan kota. Sebagai kota tradisional, Yogyakarta memiliki landasan kosmologi yang kuat yang diayomi oleh kekuatan Kraton Yogyakarta. Hal ini menjadi pertimbangan sosio-politis pada periode kota kolonial dan modern untuk mengarahkan pembangunan dan perkembangan kota sehingga menanamkan makna kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah kolonial.

Kosmologi dalam Sejarah Kota Yogyakarta

Arsitektur merupakan bagian dari perkembangan sejarah suatu bangsa. Sebagaimana saat suatu peristiwa penting terjadi, makna kesejarahan dihadirkan secara nyata dalam wujud ruang. Kepekaan rasa akan karakter dan sejarah suatu tempat dapat terbangun melalui ruang arsitektur. Ruang dalam arsitektur antara lain dihadirkan dalam wujud kota dan bangunan. Karakter bangunan dan unsur-unsurnya dapat mempengaruhi karakter suatu kota karena kota terdiri dari unit-

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

44

unit sosial. Salah satu unit sosial adalah masyarakat dengan budayanya. Unit-unit sosial dan arsitektur bersusun secara kronologis membentuk rangkaian sejarah (Molotch, 2000).

Sejarah dan budaya menjadi bagian utama dari kota tradisional. Kota tradisional memiliki tatanan kosmologis yang jelas disertai dengan pola sosio-kultural. Sumbu imajiner adalah salah satu bukti kosmologis kota tradisional (Mann, 1993). Bahkan Nas (1986) menyebutkan bahwa salah satu penentu struktur pemukiman dalam suatu kota adalah keberadaan ide kosmologis.

Kota Yogyakarta memiliki karakter sebagai kota tradisional dan kota budaya. Kekuatan sejarah dan budaya dijiwai oleh sumbu imajiner kota dari Selatan ke Utara. “Roh” ini diyakini mempengaruhi perancangan kota dan bangunan di Yogyakarta, terutama pada masa pendudukan Belanda di mana konstelasi sosio-politis amat kuat terjadi (Cahyandari, 2007). Kekuatan sumbu menjadi semakin nyata karena secara fisik sumbu ini merupakan poros kosmologi. Garis lurus Selatan-Utara bukan hanya merupakan sumbu simbolis-filosofis Kota Yogyakarta, melainkan memang benar nyata (Sumarwoto dalam Suryo, 2005: 34). Elemen-elemen kota yang dihubungkan oleh garis Selatan-Utara Yogyakarta adalah Pantai Parangkusumo – Panggung Krapyak – Keraton – Tugu – Gunung Merapi yang menjadi embrio pertumbuhan Kota Yogyakarta (Colombijn, 2005).

Tulisan ini akan membahas mengenai hubungan antara letak kelompok bangunan kolonial dengan keberadaan ruang kosmologis di Yogyakarta. Pembahasan awal adalah mengenai periode sejarah pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Aspek sejarah yang dibahas adalah yang memiliki keterkaitan dengan kebijakan politik, yang selanjutnya berpengaruh terhadap aspek sosial dan perkembangan fisik kota. Sebagaimana unit-unit sosial akan membentuk karakter kota, pembahasan berikut mengaitkan antara arsitektur dan periode kolonialisme di Indonesia. Metode analisis historis-interpretatif akan

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

45

diterapkan pada data grafis dan tulisan mengenai sejarah Kota Yogya-karta. Temuan arsitektural ini akan menjadi bukti peran konsep kosmologis dalam mempengaruhi kebijakan sosio-politis pada masa kolonial di Yogyakarta.

Periodisasi Sejarah Kolonialisme Belanda di Indonesia

Peristiwa sejarah dan kekuatan tradisi budaya akan menjadi bagian dari unit pembentuk karakter suatu kota. Unit-unit ini akan membentuk keistimewaan atau kekhasan suatu tempat melalui interaksi dan akulturasi. Kemapanan perpaduan ini akan teruji dalam skala waktu sehingga menjadi tradisi lokal (Molotch, 2000). Bila akan melihat bagaimana perkembangan kota dan arsitektur, perlulah dilihat peristiwa penting kesejarahan yang terjadi berkaitan dengan arsitektur kolonial. Berdasarkan pengelompokan periode kesejarahan, di Indonesia terdapat 2 periode besar, yaitu: masa pendudukan VOC dan masa kolonialisme Belanda (Mann 1998; Sumalyo 1995; Tjahjono 1999; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993).

Tabel 2.1 Fungsi atau Aktivitas pokok pada Periode Sejarah Kolonialisme di Indonesia

Kategori Tahap Tahun Durasi Aspek FungsiPERIODE VOC 1 1596 - 1628 32 Ekonomi (Perdagangan)•

2 1727 - 1740 13 Ekonomi (Perdagangan)• 3 1755 - 1800 45 Politik (intervensi •

wewenang)

Sosial (Pemukiman)• PERIODE

KOLONIALISME

1 1808 - 1811 3 Politik •

Ekonomi (Pembangunan)• 2 1811 - 1816 5 Sosial (Pemukiman)•

Spiritual (Budaya, •

Ekspedisi penelitian)

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

46

3 1816 - 1830 14 Politik (Pertahanan, •

Pembangunan, Ekspedisi

wilayah)4 1830 - 1846 16 Ekonomi (Pertambangan)•

Politik (Tanam Paksa)• 5 1848 - 1886 38 Politik (penghapusan •

Tanam Paksa)

Ekonomi (Industri, •

Transportasi, Perusahaan,

Pertambangan, Teknologi,

Perkebunan, Kehutanan)

Sosial (Pendidikan)•

Spiritual (religius)• 6 1887 - 1900 13 Sosial (Pendidikan)•

Ekonomi (Eksplorasi •

wilayah, Perpajakan)7 1901 - 1917 16 Sosial (Pendidikan)•

Ekonomi (Keuangan, •

Pelabuhan, Perpajakan,

Ekspedisi penelitian)

Politik (Transmigrasi) • 8 1920 - 1942 22 Sosial (Pendidikan)•

Politik (Kantor Berita)•

(Sumber: diolah dari Nas, 1986; Surjomihardjo-2000, dan Cahyandari-2007)

Pada masa VOC, terdapat tiga kelompok periode yang dimulai tahun 1596 hingga tahun 1800.1. Periode pertama adalah antara tahun 1596 – 1628 diawali dengan

kedatangan Belanda pertama kali di Pulau Jawa disertai perkuatan ekonomi melalui penguasaan perdagangan. Periode kedua adalah antara tahun 1727 – 1740. Saat itu, terjadi pengaturan kepen-dudukan penduduk Tionghoa dan beberapa konflik yang terjadi

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

47

antara Belanda dengan etnis Tionghoa. Periode selanjutnya adalah antara tahun 1755 – 1800 yang ditandai dengan pengakuan Kesultanan Yogyakarta melalui Perjanjian Giyanti, hingga pem-bubaran VOC. Kata kunci untuk masa VOC adalah ekonomi dan pertahanan sehingga makna fungsional lebih mengemuka dibanding simbol dan estetika. Pembangunan benteng dan pergudangan adalah contoh fungsi bangunan di masa ini. Masa pendudukan kolonial Belanda merupakan periode di mana aktivitas politik lebih dominan daripada aktivitas ekonomi. Periode pertama (1808 – 1811) diwarnai dengan pembaharuan dan pembangunan di masa Daendels, hingga penyerahan kekuasaan Belanda kepada Inggris. Pembangunan perkotaan dilakukan berupa pembangunan jalan raya dan pelabuhan. Daendels turut campur tangan dalam kekuasaan kerajaan Yogyakarta dan Surakarta dengan memaksa Sultan Hamengkubuwono II mengundurkan diri dan memaksakan perjanjian-perjanjian baru terhadap Yogyakarta dan Surakarta yang isinya mencakup penghentian pembayaran uang sewa Belanda kepada kedua Sultan untuk wilayah-wilayah pantai utara.

2. Periode yang kedua adalah antara tahun 1811 – 1816. Periode pemerintahan Inggris ini memberikan kontribusi sosial budaya yang cukup signifikan melalui Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Jenderal Jawa. Contohnya, ekspedisi penemuan Borubudur dan Prambanan, perhatian untuk masyarakat desa, dan pengembangan Kebun Raya Bogor yang didirikan tahun 1817.

3. Periode ketiga (tahun 1816 – 1830) diwarnai peristiwa politis mengenai pemberontakan, perluasan kekuasaan, pembagian wilayah kekuasaan Inggris dan Belanda, serta kekuasaan Belanda kembali di Indonesia. Ekspedisi dan perluasan wilayah tetap dilakukan sehingga pembangunan yang dilakukan lebih bersifat pertahanan. Dalam periode ini, terjadi peristiwa bencana Gunung Merapi tahun 1822.

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

48

4. Periode keempat (tahun 1830 – 1846) merupakan masa kebijakan ekonomi contohnya yaitu tanam paksa dan pertambangan.

5. Periode kelima (tahun 1848 – 1886) merupakan masa pem-bangunan sekolah bagi bangsawan, sekolah kedokteran, peng-hapusan tanam paksa, perusahaan, pertambangan, industri, tek-nologi, perkebunan, kehutanan, dan transportasi. Terjadi pula bencana alam dan perubahan kebijakan perekonomian dan sosial.

6. Periode keenam adalah tahun 1887 – 1900 di mana terjadi resesi ekonomi sehingga dilakukan kegiatan eksplorasi wilayah dan perubahan ekonomi berupa pajak kekayaan, namun pembangunan sekolah juga tetap dilaksanakan.

7. Periode ketujuh tahun 1901 – 1917 merupakan pencerahan bagi bangsa Indonesia dengan dilaksanakannya politik etis. Hal-hal yang dilaksanakan dalam periode ini adalah:

pembangunan sekolah-sekolah penting,• penataan keuangan Belanda,• penyediaan kesempatan secara politis kepada penduduk • lokal,kegiatan transmigrasi dan pajak pendapatan,• ekspedisi penelitian,• pembangunan pelabuhan.•

8. Periode kedelapan tahun 1920 – 1942 merupakan periode penting, yaitu dengan berdirinya ITB dan Kantor Berita ANTARA.

Dengan mencermati periodisasi di atas, dapat diasumsikan fungsi yang menjadi pokok kegiatan di tiap periode. Jika mengacu pada tulisan Nas (1986) dan Surjomihardjo (2000) mengenai periode perkembangan kota, dapat disimpulkan bahwa aktivitas utama pada perkembangan kota meliputi spiritual, pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik. Aspek spiritual mencakup kegiatan religius, budaya, dan

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

49

wawasan pengetahuan. Aspek ekonomi berkaitan dengan perdagangan, perkantoran, keuangan, pembangunan, dan pengelolaan wilayah. Aspek sosial berhubungan dengan perkembangan pemukiman dan pendidikan. Aspek politik berkaitan dengan wewenang, pemerintahan, dan pertahanan.

Berdasarkan tabel 1, kolonialisme di Indonesia mencapai pun-caknya di periode ke-5 (tahun 1848 – 1886). Saat itu aspek politik, ekonomi, spiritual, dan sosial secara simultan dikembangkan dan diwadahi. Pada periode ini, dapat diasumsikan terjadi pembangunan besar-besaran yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan kota dan karakter kota yang telah ada. Periode berikutnya merupakan dukungan dan perkuatan dari periode ke-5.

Transisi Periodisasi Kolonial dalam Ranah Arsitektur

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kota-kota diren-canakan secara matang dan ada pula yang mengalami perkembangan secara alami. Berkaitan dengan struktur kota yang berkembang, Nas (1986) membagi periode perkembangan kota di Indonesia menjadi 4 (empat), yaitu kota Indonesia awal atau kuno, kota indische (Hindis), kota kolonial, dan kota modern. Dalam buku Kota Yogyakarta 1880-1930: Sejarah Perkembangan Sosial (2000), disebutkan pula pertumbuhan dan peran dari penduduk Cina dan Muslim dalam perkembangan kota-kota masa kolonialisme di Indonesia. Masing-masing periode perkembangan kota mempunyai struktur dan fungsi yang dominan. Kota kuno atau sebagai kota tradisional ditandai dengan kraton sebagai pusat dan dibatasi oleh benteng. Di sekitar benteng, berkembang bangunan tradisional, antara lain rumah bangsawan. Kota indische ditandai dengan pesatnya perkembangan distrik Cina dengan fungsi ekonomi, fungsi spiritual, dan fungsi sosial, yang berkembang seiring dengan distrik kolonial sendiri. Pada periode kota kolonial, aspek politik, ekonomi, dan sosial memegang kendali. Akhirnya, pada

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

50

periode kota modern berkembang distrik kolonial dengan fungsi ekonomi (perkantoran, keuangan, niaga) dan sosial (perumahan), serta distrik muslim sebagai kampung urban. (Surjomihardjo 2000; Cahyandari 2007; Cahyandari 2008). Berkaitan dengan momentum sejarah kolonialisme Belanda, periode perkembangan kota dapat dikaitkan dengan kesejarahan dalam faktor sosio-politis kesejarahan (Suryo 2009: 29 – 35). Kota tradisional dianggap sebagai suatu karakter yang kuno dan kuat sehingga karakter ini akan selalu mempengaruhi perkembangan kota di tahap yang berikutnya. Benteng dan kraton menjadi tolok ukur perkembangan kota.

Periode kota indische dalam momentum politis adalah saat dimulainya masa penjajahan, walaupun dalam tinjauan sosial budaya masih terjadi akulturasi antara budaya barat dan timur. Pada masa ini, terjadi perubahan fisik kota yang signifikan karena kekuatan fungsi ekonomi, sosial, dan politik pada masa pemerintah kolonial Belanda berada di bawah pimpinan Daendels dan pemerintah kolonial Inggris. Sarana dan prasarana yang dibangun antara lain benteng, kantor pemerintah, dan jalan, yang secara interpretatif merupakan cara untuk memperkuat pengaruh spiritual dan kepercayaan ekonomi dalam membangun landasan kolonialisme. Kota Indische termasuk dalam periode VOC, namun pengaruh kekuasaan lokal tetap kuat. Periode ketiga adalah kota kolonial, yang ditandai dengan eksploitasi ekonomi berupa sumber daya alam dan manusia. Kekuatan ekonomi yang berkembang adalah perkantoran, perindustrian, pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan transportasi. Periode ini diawali dengan penetapan tanam paksa tahun 1830 hingga terjadinya masa resesi ekonomi tahun 1900. Periode kota terakhir adalah kota modern yang diawali dengan ditetapkannya politik etis dan diakhiri dengan masa penjajahan Belanda. Namun, bila melihat perkembangan kota secara alami, periode modern ini merupakan dasar bagi perkembangan kota selanjutnya. Pada masa ini, pengaruh ekonomi tetap kuat disertai

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

51

dengan pembangunan pendidikan dan penelitian, sedangkan sektor swasta berperan untuk mewujudkan perubahan wajah kota melalui aktivitas ekonomi dan sosial.

Skema 2.3 Hubungan antara periode perkembangan kota dengan aspek aktivitas yang dominan.

(Sumber: Analisis Penulis, 2013)

Dalam Skema 2.3, secara jelas terlihat peran kota tradisional dan kota kolonial dalam perkembangan kota. Kota tradisional sebagai

Periode VOC

Periode Kolonial Belanda

1808 - 1811

1596 - 1628

1727 - 1740

1755 - 1800

Kota tradisional

1811 - 1816

1816 - 1830

1830 - 1846

1848 - 1886

1901 - 1917

1920 - 1942

Kota indische

Kota modern Aktivitas politik, sosial (pendidikan), ekonomi (keuangan, pembangunan)

Aktivitas ekonomi (perdagangan, pergudangan), sosial (pemukiman), Politik

Aktivitas politik (pertahanan, kebijakan, ekspedisi wilayah), sosial (pendidikan, pemukiman), ekonomi (pembangunan, perdagangan,perkantoran, keuangan, industri), spiritual (budaya, ekspedisi penelitian, religius)

Aktivitas sosial

Kota kolonial

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

52

embrio awal yang kosmologis, sedangkan kota kolonial sebagai pokok kebijakan dan pembangunan selanjutnya.

Arsitektur Kolonial dan Perkembangan Kota Yogyakarta

Kota Yogyakarta, sebagai kota tradisional dengan poros kos-mologisnya, dapat diasumsikan memiliki periode perkembangan kota sebagaimana tahapan di atas (Tabel 1; Skema 1). Keistimewaan perkembangan Kota Yogyakarta adalah pada poros kosmologisnya yang menjadi dasar dan menjiwai perkembangan selanjutnya. Pembangunan dan keberadaan arsitektur tradisional ataupun arsitektur kolonial tentu saja mempertimbangkan keberadaan poros kosmologis. Hubungan antara konsep kosmologis dengan perkembangan kota dan arsitektur dapat ditelusuri melalui studi kronologis gaya bangunan.

Tabel 2.2 Studi arsitektur kolonial di Surabaya, Malang dan Bandung

STUDI PRESEDEN

PERIODE I PERIODE II PERIODE III

Surabaya 1870 – 1900Empire Style

1900 – 1920Gaya Eklektisme, art and craft

Setelah tahun 1920Gaya Indisch mengacu pada arsitektur modern di Amerika dan Eropa

Malang 1850 – 1900Indische Empire Style

1900 – 1915Arsitektur Kolonial awal modern

1916 – 1940Gaya Indische, Internasional Style, Aliran Nieuwe Bouwen (abad 20), muncul Art Deco

Bandung 1867Indische Empire

1919-1940Gaya Indisch, Gaya Art Deco

(Sumber: Diolah dari Sumalyo, 1993; Handinoto, 1996; Tjahjono, 1999;

Wijanarko, 2007)

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

53

Bila periode bangunan kolonial di atas disesuaikan dengan periode perkembangan kota, periode bangunan tersebut hanya tercakup dalam periode kota kolonial dan kota modern. Gaya bangunan yang mewarnai periode ini terutama adalah empire style, indische, eklektisme, international style, dan art deco. Berdasarkan metode historis-interpretatif (Groat & Wang, 2002), Kota Yogyakarta juga memiliki gaya arsitektur tersebut dengan kategori periode kota yang sama dan karakter arsitektural yang serupa. Beberapa bangunan kolonial yang menjadi ikon sejarah Yogyakarta adalah Stasiun Tugu, Kantor Pos Besar, Bank Indonesia, dan Bank Negara Indonesia ’46.

Periode pembangunan, gaya, dan lokasi bangunan menjadi indikator penting: bagaimana peran poros kosmologis Yogyakarta menjadi poros perkembangan kota. Pada periode gaya Empire Style, bangunan-bangunan berperan sebagai penanda kewenangan dan kekuasaan kolonialisme, seperti Vredeburg, Gedung Agung atau Loji Kebon, dan Stasiun Tugu. Periode kota kolonial ini cenderung mendekati keberadaan sumbu secara sejajar. (Djoko Suryo, 2005: 35; Cahyandari 2008).

Sejak kedatangan pasukan ekspedisi Belanda hingga Perjanjian Giyanti, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengalami tahapan pengaruh kolonialisme yang besar. Satu demi satu bangunan Belanda dengan kekuatan sosial dan pertahanan didirikan, yaitu Rumah Residen Belanda atau disebut Loji Kebon, diikuti oleh Benteng Vredeburg yang dikenal sebagai Loji Besar. Gedung Pertemuan Societeit dan Gereja dibangun di sebelah utara dan timur dari Loji Kebon. Selanjutnya fungsi sosial pendidikan, yaitu sekolah juga dibangun. Pemukiman Belanda berkembang di selatan dan timur dari Benteng Vredeburg, sedangkan pemukiman Cina di utara benteng berdekatan dengan pasar. Perumahan mulai didirikan sebagai tempat tinggal para pegawai kantor-kantor pemerintahan dan perdagangan. Kemudian di sekitar kawasan hunian elit Belanda, beberapa pedagang Cina mulai

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

54

bermunculan mendirikan bangunan niaga untuk memenuhi kebutuhan penghuni kawasan tersebut. Seiring dengan tingkat kebutuhan yang semakin berkembang, dibangunlah sarana peribadatan dan pendidikan di dalam kawasan pemukiman (Surjomihardjo, 2000; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993).

Pada periode kota modern dengan gaya arsitektur international style, art deco, dan eklektisme, keberadaan bangunan kolonial me-ng arah ke timur barat dengan pintu masuk berorientasi ke alun-alun utara. Keterbukaan kota dalam bidang ekonomi dan sosial, mengakibatkan pola perkembangan kota bersifat menyebar dan tidak lagi berkonsentrasi pada poros kosmologis.

Berkaitan dengan aspek yang berkembang pada periode kota kolonial dan modern, poros kosmologis Kota Yogyakarta dikelilingi oleh:

Gambar 2.4 Bank Indonesia dengan gaya eklektisme.

(Sumber gambar: Cahyandari, 2013, digambar ulang oleh Putera, 2013)

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

55

Benteng • Vredeburg dan Loji Kebon, sebagai wujud aspek politik,Bank, kantor, niaga, dan pasar, sebagai wujud aspek ekonomi,• Gereja dan • Societet, sebagai wujud aspek spiritual,Sekolah, museum, dan pemukiman, sebagai wujud aspek sosial•

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa kelengkapan fungsi dan aspek dalam poros kosmologis dipengaruh oleh sosial politik di masa perkembangan kota kolonial dan modern.

Gambar 2.5 Kedudukan Benteng Keraton terhadap bangunan kolonial.

(Sumber gambar: Cahyandari, 2008)

PemukimanPerdagangan

PasarGerejaSocietet

Pemukiman, perdagangan

Loji KebonVredeburg

Perkantoran, Perumahan, sekolah,

Perumahan, perdagangan,perkantoran

PlengkungPlengkung

Pemukiman, perdagangan

Plengkung

Plengkung

Plengkung

POROS KOSMOLOGIS

U

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

56

Gambar 2.6 Plengkung sebagai benteng kraton yang menjadi pusat poros kosmologi Yogyakarta

(Sumber gambar: digambar ulang dari buku Ngayogyakarta, Bentara Budaya

oleh Putra, 2013)

Tata Letak Bangunan Kolonial dan Bangunan Tradisional

Keberadaan kraton, benteng, dan plengkung (jalan masuk ke benteng) menunjukkan peran kosmologis dan kekuasaan kota tradisional. Namun, kekuatan kosmologis tersebut seolah diuji dan dilemahkan dengan pembangunan bangunan kolonial di sekitarnya. Hal ini terjadi dengan keberadaan bangunan tradisional lain di sekitar benteng kraton (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2009: 49). Keberadaan bangunan Ndalem atau rumah bangsawan

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

57

cenderung didekati oleh bangunan-bangunan kolonial yang terutama dibangun di periode kota modern. Demikian juga dengan fenomena akan kehadiran distrik Cina dan Islam. Sebagai bagian dari pertumbuhan penduduk dan sosial, distrik-distrik ini seakan mencoba memperkuat kehadiran poros kosmologis Kota Yogyakarta.

Gambar 2.7 Periode perkembangan kota dan distrik kultural di kawasan Benteng Kraton.

(Sumber gambar: Analisis Penulis, 2013)

Ditrik Belanda, distrik Cina, Kota Indische

Distrik Cina Kota Indische

Distrik Muslim Kota kolonial - modern

Distrik Belanda Kota Indische

Distrik Belanda Kota Indische

Distrik Belanda Kota kolonial

Distrik Belanda Kota modern

Kraton

Tradisional

Tradisional

Tradisional Tradisional

Tradisional

Tradisional

Distrik Belanda Kota modern

Distrik Belanda Kota modern

Distrik Belanda Kota modern

Distrik Belanda Kota modern

Distrik Belanda Kota modern

Distrik Belanda Kota modern

Tradisional

Distrik Belanda Kota modern

U

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

58

Dengan mengamati perkembangan distrik-distrik, terdapat pe-la pisan proses untuk mendekati poros kosmologis atau mendekati kraton. Distrik Belanda masa indische dan masa kolonial mendekati sumbu kosmologis dari arah utara, sedangkan distrik Belanda periode kota modern lebih menyebar ke arah timur dan barat sepanjang benteng kraton. Distrik Cina dan distrik Muslim hadir sebagai respon keberadaan distrik Belanda secara spiritual, sosial, dan ekonomi.

Kesimpulan

Kota Yogyakarta sebagai kota tradisional tetap mempertahankan sumbu kosmologisnya selama periode perkembangan kota indische, kolonial, dan modern. Keberadaan karakter, fungsi, dan periode bangunan di sekitar poros kosmologis menunjukkan pengaruh-pengaruh yang terjadi sebagai respon akan entitas kosmologis tersebut. Dengan demikian, perkembangan Kota Yogyakarta memiliki keistimewaan dibanding kota-kota lain karena unit-unit sosial bersama elemen-elemen arsitektur membentuk karakter keistimewaan kota tradisional melewati tahapan periode perkembangan kota. Sedangkan harapan di masa datang adalah perencanaan kota dan bangunan senantiasa mempertimbangkan entitas keistimewaan yang sudah ada, yang telah terbukti sepanjang sejarah Kota Yogyakata. Entitas tersebut berupa ikatan poros kosmologis beserta bangunan-bangunan pembentuk periode sejarah kota.

Daftar Pustaka

Cahyandari, G.O. I., 2007, Traditional Fort of Keraton Yogyakarta and Sacred Axis influenced Social and Political Development in Colonial and Modern Periods, Proceeding of International Seminar Northern Sumatera University, 13rd – 14th November 2007.

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

59

Cahyandari, G.O.I., 2008, Letak dan Fungsi Bangunan Kolonial di sekitar Benteng Keraton Yogyakarta sebagai Kajian Sosio Politis Tata Ruang Kota Masa Kolonial Belanda, Laporan Penelitian Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993, Peta Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jakarta.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2009, Prajurit Kraton Yogyakarta: Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di Dalamnya.

Groat, Linda & Wang, D., 2002, Architectural Research Methods. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Handinoto, 1996, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda Surabaya 1870-1940, Surabaya: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit Andi Yogyakarta Cetakan.

Handinoto & Soehargo, P.H., Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, Surabaya: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat Universitas Kristen Petra Surabaya dan Penerbit Andi Yogyakarta.

Martine Barwegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Khusyairi, “Kota Lama, kota Baru, Sejarah Kota-kota di Indonesia sebelum dan setelah Kemerdekaan”, Surabaya: Jurusan Sejarah Universitas Airlangga, Surabaya.

Molotch, H., Freudenburg, W. & Paulsen, Krista E., 2000, History Repeats Itself, But How? City Character, Urban Tradition, and the Accomplishmentof Place, American Sociological Review, Vol. 65, No. 6 (Dec., 2000), hal. 791-823.

Nas, Peter J.M., 1986, The Indonesian City “Studies in Urban Development and Planning, Dordrecht, Holland: Foris Publications.

Arsit

ektu

r Kot

a Yo

gyak

arta

Per

iode

Isla

m d

an K

olon

ial B

elan

da

60

NIOD, Old city, new city: The history of the Indonesian City Before and After Independence, Netherlands Institute For War Documentation, Penerbit Ombak.

Sumalyo, Yulianto., 1995, Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Surjomihardjo, Abdurrachman, 2000, Kota Yogyakarta 1880-1930: Sejarah Perkembangan Sosial. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.

Suryo, D., 2005, Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900 – 1990, Ed. Freek Colombijn,

Tjahjono, Gunawan, 1999, Indonesian Heritage: Arsitektur. Singapore: Periplus.

Wijanarka, 2007, Semarang Tempo Dulu, Yogyakarta: Penerbit Ombak.

to sustain an environment suitable for man,we must fight on a thousand

battlegrounds

Lyndon B. Johnson

BAB IIIKASUS-KASUS

KONSERVASI ARSITEKTUR

Augustinus Madyana PuteraCatharina Dwi Astuti Depari

Amos SetiadiVincentia Reni Vita Surya

Yanuarius Benny Kristiawan

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

65

Berkaitan dengan upaya konservasi terhadap identitas Kota Yogyakarta sebagai tempat bertemunya berbagai unsur budaya, khususnya Islam dan Kolonial Belanda, dibutuhkan sebuah

pendekatan perencanaan berbasis penelitian. Paparan hasil penelitian ataupun kajian yang akan diulas dalam bab ini, diarahkan pada kawasan-kawasan tertentu di Kota Yogyakarta yang dianggap mengandung nilai historis yang tinggi. Kasus dan kawasan-kawasan yang akan dibahas hanya mewakili sebagian kecil dari sejarah perkembangan ideologi Islam ataupun Kolonial Belanda di Kota Yogyakarta, namun memberikan pengaruh yang signifikan dalam menentukan arah perkembangan Kota Yogyakarta.

Secara historis, Kota Yogyakarta memiliki latar belakang sejarah budaya yang hampir sama dengan kota-kota tradisional lainnya di Pulau Jawa. Kedua kekuatan budaya, yaitu Jawa Islam dan Kolonial Belanda hadir mengisi ruang-ruang kota, melalui kehadiran simbol-simbol atau elemen tertentu. Simbol-simbol tersebut seolah berkompetisi untuk menjadi sebuah poros atau orientasi utama pertumbuhan Kota Yogyakarta yang menyiratkan dominansi atau hegemoni suatu kekuasaan di antara keduanya. Pertemuan antara dua unsur budaya yang berbeda, Timur dan Barat, antara Islam Jawa dengan Kolonial Belanda, mengakibatkan Kota Yogyakarta tumbuh sebagai sebuah ruang arsitektural dengan kekayaan warisan budaya yang luar biasa dan yang sekaligus memberi ciri pada kota. Penerapan kosmologi Jawa dalam tata ruang Kota Yogyakarta sebagai warisan budaya masa lampau Hindu-Buddha, justru semakin diperkokoh oleh masuknya ajaran Islam yang hadir melalui simbol-simbol tertentu kota. Dalam tataran kota, Islam antara lain disimbolkan melalui pembangunan masjid dan fasilitas lainnya yang mencirikan kehadiran ajaran Islam. Keyakinan Jawa terhadap unsur-unsur yang bersifat mistis dan magis serta keyakinan absolut untuk berpasrah pada kehendak alam melahirkan konsep pikir bahwa sudah selayaknya jika kehidupan manusia diselaraskan dengan

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

66

alam yang kemudian diungkapkan ke dalam filosofi membangun Kota Yogyakarta, memayu hayuning bawana. Berbeda dengan prinsip-prinsip alam pikir ideologi Belanda yang berkuasa di Kota Yogyakarta. Kekuatannya hadir sebagai unsur yang sebaliknya merepresentasikan adanya kekuatan rasionalitas, logika dan realitas, kekuatan yang berusaha mengatasi atau bahkan menaklukkan alam lingkungan dengan kekuatan berpikir manusia. Bentuk pola dan struktur kota hampir sepenuhnya mengandalkan teknologi sebagai sebuah produk budaya manusia modern.

Kedua jenis ideologi tersebut mengakar dalam penataan ruang Kota Yogyakarta sebagai daya-daya buatan manusia yang semakin memperkaya identitas Yogyakarta. Pada beberapa kasus tercermin adanya tekad penakhlukan terhadap kekuatan hegemoni Kasultanan Ngayogyakarta oleh penjajahan Belanda melalui pola penataan lahan, bangunan dan jalan di Kota Yogyakarta. Resistensi masyarakat Yogyakarta diperlihatkan dengan munculnya pola pembangunan lokal yang berusaha mempertahankan status budayanya sealigus berintegrasi dengan unsur budaya Barat. Pada konteks masa kini, Kota Yogyakarta menghadapi sebuah tantangan baru untuk berkompetisi dengan kota-kota tradisional lainnya di Pulau Jawa dengan berusaha menampilkan cirinya masing-masing. Sekali lagi, Kota Yogyakarta hanya dapat menjadi kota yang unggul apabila upaya-upaya pelestarian senantiasa dilakukan secara berkelanjutan, baik terhadap fisik ruang sebagai sang wadah maupun terhadap aktivitas budaya lokal sebagai “sang atma” atau roh.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

67

PENATAAN FASADE JALAN MONDORAKANKAWASAN KOTAGEDE YOGYAKARTA

Augustinus Madyana Putera

Abstrak

Fenomena perubahan fasade yang terjadi pada bangunan lama di beberapa situs bersejarah merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan. Namun, apabila perubahan yang terjadi tersebut tidak mempertimbangkan keunikan kawasan setempat dikhawatirkan akan menghilangkan identitas kawasan tersebut. Hal tersebut terjadi di Kotagede, bekas ibu kota Kerajaan Mataram, yang merupakan cikal bakal Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Suatu identitas yang dimiliki oleh sebuah situs bersejarah terbentuk dari berbagai hal, namun wajah bangunan yang terlihat dari ruang jalan merupakan suatu hal yang paling mudah dikenali oleh pengamat. Penemuan pola wajah sebuah ruang jalan merupakan suatu hal yang penting untuk mengawali pemeliharaan kekhasan wajah kelompok bangunan di suatu tempat. Namun, upaya tersebut perlu dikawal sampai penerapan di lapangan dapat dilakukan seperti yang diharapkan. Dalam tulisan ini, akan dibahas tentang temuan pola fasade bangunan di Jalan Mondorakan dan beberapa contoh penerapannya.

Makna Tempat dan Identitas Kawasan

“OUTSIDES” are public, historic, and regulated, while “INSIDES” are private, fluid, and free.

(Lynch, 1972:32)

Makna suatu tempat bagi pengamat merupakan suatu hal yang selalu hangat didiskusikan sepanjang waktu. Ketegangan akibat dari

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

68

perubahan yang tak mungkin dapat terelakkan dalam sebuah kawasan yang dilestarikan mengakibatkan kawasan tersebut harus berhadapan dengan realitas semakin memudarnya karakter setempat. Pertanyaan yang perlu diajukan kemudian adalah seberapa pentingkah upaya untuk menjaga agar karakter kawasan tersebut agar tetap bertahan. Karakter yang dimiliki oleh suatu tempat pada hakikatnya akan menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan seseorang untuk dapat mengenal atau mengingat suatu tempat sebagai suatu yang berbeda dengan tempat yang lain. Tempat yang dimaksud tentunya harus mempunyai daya tarik atau kekhasan atau kekhususan; (Lynch, 1992: 131). Garnham (1984) menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur yang membentuk karakter atau identitas suatu kawasan sehingga meningkatkan makna tempat atau jiwa tempat (genius loci), yaitu:

physical features and appearance, ciri fisik dan penampilan,• observable activities and function, aktivitas yang teramati dan • fungsi,meanings or symbol, yaitu arti atau simbol.•

Tampilan visual merupakan salah satu komponen pendukung identitas kawasan tersebut untuk dapat dibaca. Salah satu perubahan yang sangat cepat terjadi adalah pada perubahan wajah /fasade bangunan. Hal ini menjadi suatu hal yang sangat krusial mengingat tampilan wajah deretan bangunan sangat berpengaruh pada gambaran awal sang pengamat akan karakter bawaan tempat ia berpijak. Fasade pada dasarnya merupakan elemen penting yang menampilkan kekayaan pengalaman visual bagi pengamat (Moughtin, 1992). Selain sebagai selubung bangunan, tampak bangunan sebenarnya hanya bertindak sebagai salah satu komponen kecil untuk menjaga identitas suatu tempat, tetapi merupakan bagian atau bahkan langkah awal dari seluruh proses pelestarian identitas tempat yang dapat dilakukan. Tampilan eksternal sekelompok bangunan di suatu kawasan bersejarah menjadi

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

69

sangat berarti untuk menjaga identitas kawasan bersejarah tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Lynch (1972), bahwa tampilan luar bangunan di kawasan bersejarah sebagai milik publik perlu untuk diatur sedemikian rupa. Bukan sekadar untuk kepentingan nostalgia masa silam, melainkan juga untuk ”merayakan” dan ”memberi penekanan” pada sebuah kekinian. Berdasarkan hal ini, pengaturan yang ada sebaiknya tidak bersifat kaku, tetapi tetap memberikan peluang bagi tuntutan perkembangan di masa mendatang. Terkait dengan fasade bangunan dan wajah jalan, hal yang paling mudah untuk mengenal/mengidentifikasi suatu kawasan adalah me la-lui wajah jalan kawas an yang sekaligus mere-presentasikan baik bu-ruk nya kualitas dan citra kotanya (Jacobs dalam Moughtin, 1992). Kajian yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah pada sekelompok bangunan Kawasan Kota gede ber-dasarkan peng amatan pada pattern (pola), align ment (kesegarisan), serta size and shape (ukuran dan wujud).

Kotagede merupakan sebuah situs yang hidup dan berkembang dari waktu ke waktu. Keberadaannya sebagai bekas ibu kota Kerajaan Mataram Islam masih dapat terbaca dengan adanya tanda-tanda fisik yang sampai saat ini masih dapat dijejaki dan masih lestarinya nama-nama khusus yang memiliki makna tertentu terkait dengan sejarah

Gambar 3.1 Gerbang menuju Makam Panembahan Senopati, peninggalan Mataram Islam.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

70

lokal. Setelah ditinggalkan oleh Sultan Agung, Kotagede tumbuh dan berkembang menjadi satu sentral kegiatan perekonomian baru dengan karakteristik yang sangat khas sehingga menjadikan kawasan yang sarat dengan warisan budaya tersebut masuk ke dalam salah satu dari 100 situs bersejarah yang perlu dilestarikan namun juga terancam keberadaannya (Kedaulatan Rakyat, 15 Juni 2007, hlm. 1).

Beberapa ruas jalan yang penting dalam sejarah perkembangan kawasan Kotagede adalah Jalan Kemasan, Jalan Karanglo, Jalan Mondorakan, Jalan Mentaok Raya, dan Jalan Watugilang. Dari keempat jalan yang ada di Kotagede tersebut, Jalan Mondorakan merupakan ruang jalan yang mempunyai pelingkup berupa bangunan lama yang mampu menceritakan kekhasan kawasan Kotagede. Pada masa lalu, para pengunjung Kotagede harus berjalan kaki menuju pusat kota

Gambar 3.2 Peninggalan arsitektur Mataram Islam di Kotagede namun

tetap terlihat bagaimana konsep vertikalisme diterapkan sebagai pengaruh dari arsitektur Hindu.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

71

melalui jalan ini. Mereka harus meninggalkan kendaraannya di ujung barat Jembatan Tegal Gendu. Peran penting Jalan Mondorakan ini juga ditandai dengan munculnya bangunan-bangunan milik para saudagar masa lalu yang sering disebut dengan Rumah Orang Kalang. Pada mulanya, orang Kalang hanya diizinkan membangun rumah di sisi barat jembatan, namun semenjak tahun 1905 diizinkan untuk membangun di sisi Timur jembatan.

Pola Fasade Bangunan di Jalan Mondorakan

Jalan Mondorakan merupakan sebuah jalur sirkulasi yang membelah kawasan Kotagede dan merupakan batas administrasi dari Kelurahan Prenggan dan Kelurahan Jagalan. Beberapa saat setelah gempa bumi 2006, terjadi perubahan drastis pada bangunan di sepanjang jalan ini. Kerusakan yang terjadi segera diikuti dengan pembangunan baru.

Gambar 3.3 Lokasi Amatan

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Karakteristik fasade bangunan di Jalan Mondorakan akan segera terlihat dari desain fasade deretan bangunan yang berada di sepanjang koridor jalan. Saat ini, bangunan-bangunan yang ada di sisi utara ataupun

JL. MONDORAKAN

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

72

selatan Jalan Mondorakan memiliki berbagai fungsi, yakni: jasa dan komersial, pendidikan, pemerintahan, dan rumah tinggal. Bangunan-yang ada di sepanjang jalan ini sudah banyak mengalami perubahan. Namun, apabila dicermati, ternyata dapat ditemukan suatu hal yang sangat menarik, yaitu bahwa persil bangunan di sepanjang jalan ini terdiri dari beberapa saf. Setiap saf merupakan persil memanjang yang memiliki dimensi rangkaian bangunan-bangunan ndalem. Meskipun bangunan-bangunan di jalan ini berubah, deretan persil-persil ini masih dapat dikenali dengan jelas. Upaya mencari pola tampak bangunan asli yang ada di jalan ini dilakukan dengan mengenali bangunan-bangunan ndalem. Bangunan ndalem yang masih bertahan di Jalan Mondorakan dapat dibagi berdasarkan tata masanya (Gambar 3.4), yakni: bangunan ndalem tunggal dan bangunan ndalem kelompok.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

73

POTONGAN SEBUAH NDALEM

BANGUNAN NDALEM TUNGGAL Satu buah bangunan Jawa lengkap dalam sebuah persil

Kelompok bangunan ini saling terhubung di peringgitan dan gadri

BANGUNAN NDALEM BERKELOMPOK Beberapa bangunan ndalem dalam sebuah persil. Biasanya dimiliki oleh sebuah keluarga besar

tokopendopo peringgitanJalan Mondorakan

Ndalem inti pawon

pawon

Gambar 3.4 Konsep bangunan ndalem tunggal dan bangunan ndalem berkelompok.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Bangunan ndalem tunggal merupakan sebuah bangunan Jawa lengkap yang berdiri sendiri pada satu buah persil. Bangunan ini mempunyai bangunan inti dan pendopo yang dikelilingi oleh masa

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

74

bangunan samping (gandok), sedangkan bangunan di muka biasanya berfungsi sebagai toko. Bangunan ndalem berkelompok adalah kelompok beberapa bangunan ndalem yang dibangun pada sebuah persil dan biasanya dimiliki oleh keluarga besar. Lengkap tidaknya jenis ruang dalam ndalem ini sangat tergantung dari luasan lahan atau kemampuan pemiliknya. Deretan rumah sebuah keluarga besar ini biasanya dihubungkan oleh pintu yang terletak pada bagian gadri dan peringgitan. Semua bangunan ndalem di Jalan Mondorakan ini pada mulanya berorientasi ke arah selatan. Bangunan di sisi utara jalan merupakan sisi depan bangunan, sedangkan bangunan di sisi selatan jalan merupakan punggung bangunan. Akses ke bangunan di sisi selatan jalan ini pada mulanya dari gang yang ada di sisi kiri kanan bangunan tersebut.

Gambar 3.5 Bangunan ndalem tunggal dan bangunan ndalem kelompok di jalan Mondorakan.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

JALAN MONDORAKAN

Keterangan:: Ndalem tunggal : Ndalem berkelompok

8 Bangunan Ndalem

13 Bangunan Ndalem

Orientasi awal bangunan-bangunan di Jalan Mondorakan

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

75

Gambar 3.6 Arsitektur kelompok bangunan ndalem di Kotagede.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Fasade sisi bangunan ndalem Jalan Mondorakan terbentuk oleh bangunan kios. Secara umum, bangunan kios merupakan bangunan memanjang dengan atap sejajar dengan jalan yang dilengkapi dengan kuncungan yang memotong komposisi. Jika disederhanakan, komposisi fasade yang terbentuk dari tatanan tersebut adalah:

Tipe 1: Fasade dengan kuncungan di tengah. • Tipe 2: Fasade tanpa kuncungan• Tipe 3: Fasade dengan kuncungan di samping kiri dan kanan.•

Kesegarisan Bangunan (Building Alignment)

Bangunan di Jalan Mondorakan pada mulanya dibangun tanpa setback. Setiap kios berbatasan langsung dengan badan jalan. Hanya satu bangunan yang memiliki jarak dengan jalan semenjak dahulu, yakni bangunan Toko Mundur. Prinsip kesegarisan yang muncul pada

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

76

bangunan asli diperkuat melalui pengaturan ketinggian pintu seluruh kios dengan dimensi yang sama.

Ukuran dan Wujud (Size and Shape)

Ukuran bangunan kios rata-rata hampir sama, begitu juga wujud bangunannya. Dari keberagaman komposisi wajah bangunan eksisting dapat dikenali pola rancangannya. Secara umum pola yang ada terdiri dari tiga jenis, yakni pola memanjang tanpa kuncungan, pola memanjang dengan satu kuncungan di tengah, dan pola memanjang dengan dua buah kuncungan. Karakter fasade yang sudah terbentuk ini diharapkan dapat terjaga apabila proses perancangan bangunan yang baru dapat menggunakan pola yang ditemukan tersebut.

Gambar 3.7 Penyederhanaan wujud fasade bangunan ndalem utara (tipe 1-3) dan selatan (tipe 4)

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Void yang berupa bukaan pintu toko

Void yang berupa bukaan pintu toko

TIPE 1: Simetris, dominasi pada kuncunganJajaran pilaster membentuk ritme vertikal (sisiutara)

TIPE 2 : Simetris, Jajaran pilaster dan kolomkayu membentuk ritme vertikal (sisi utara) Void yang berupa bukaan pintu toko

TIPE 3 : Simetris dengan penekanan pada awal dan akhir komposisi, pilaster membentuk ritme secara vertikal (sisi utara)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

77

Penerapan Temuan Pola dalam Penataan Fasade

Kerusakan akibat gempa bumi Mei 2006 di Yogyakarta sangat mempengaruhi kebertahanan identitas kawasan bersejarah di Kotagede. Beberapa penanda bersejarah yang ada di Kotagede hancur sehingga keunikan yang menjadi karakter khas di kawasan ini hilang. Hal utama yang menggambarkan citra seluruh kawasan adalah kemenarikan ruang jalan (Jacobs dalam Moughtin, 1992), maka beberapa penanda yang berada di penggal-penggal utama di kawasan Kotagede ini perlu untuk dihadirkan kembali setelah hilang akibat gempa bumi. Tujuan utama rekonstruksi bangunan bersejarah ini adalah untuk memberi pembelajaran kepada masyarakat yang membangun bangunan milik mereka agar menggunakan kaidah berharga yang telah dimiliki oleh kawasan ini. Beberapa bangunan yang menjadi percontohan untuk tujuan pembelajaran ini adalah bangunan di sekitar Pasar Kotagede. Diharapkan masyarakat atau pemilik bangunan yang berada di antara bangunan terpilih akan mengikuti konsep yang telah dicontohkan tersebut.

Gambar 3.8 Lokasi Bangunan Percontohan Aplikasi Arahan Rancangan

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Bangunan yang dijadikan percontohan adalah bangunan di sisi utara Pasar Kotagede. Bangunan rumah toko ini berderet sepanjang sebuah bangunan ndalem. Berdasarkan wawancara, bangunan ini diduga berdiri di atas sebuah bangunan ndalem pada tahun 1920-an. Bangunan ini memiliki detail yang sangat khas. Semenjak robohnya

PERCONTOHAN

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

78

toko yang berpenampilan unik ini, keenam pemilik persil membangun bangunannya sendiri-sendiri dengan gaya bangunan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Peraturan pemerintah mengharuskan pemilik bangunan mengambil jarak 3 m dari jalan. Akibatnya, terdapat ruang setback antara jalan dan bangunan baru.

Beranjak dari kajian untuk menjaga prinsip kesegarisan pada dinding ruang jalan di Jalan Mondorakan ini, perlu didirikan suatu bangunan baru di atas ruang setback yang baru tercipta. Bangunan ini berupa struktur fasade sebagai unsur aditif di sepanjang jalur pedestrian yang menampilkan kekhasan wajah bangunan kawasan Mondorakan Kotagede. Jalur pejalan kaki perlu ditata lebih baik mengingat bahwa ruang Jalan Mondorakan sejak awal tidak didesain untuk mewadahi

Gambar 3.9 Salah satu bangunan hunian yang kini beralih fungsi menjadi sebuah toko.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

79

berbagai jenis fungsi sebagaimana yang berkembang saat ini, yaitu dengan munculnya aktifitas perdagangan dan sarana prasana pen-dukungnya melalui pembangunan ruang jalan dan sistem parkir.

Gambar 3.11 Kajian terhadap deretan fasade bangunan Jalan Mondorakan

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Gambar 3.10 Perubahan wajah deretan bangunan sebelum dan setelah gempa bumi 2006

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Pola fasade sebuah bangunan ndalem

Deretan bangunan di sepanjang jalur pedestrian yang menutupi fasade bangunan yang sebelumnya dibangun oleh para pemilik untuk menjaga karakter fasade kawasan Kotagede.

Tampak deretan toko pra gempa bumi

Tampak deretan toko setelah dibangun kembali oleh para pemilik

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

80

Secara visual, fasade jalur pedestrian berusaha merepresentasikan karakteristik desain sebuah ndalem sehingga identitas jalan sebagai ba-gian dari kawasan Kotagede tetap terbaca. Proses sosialisasi mengenai pentingnya usaha pelestarian terhadap karakteristik fasade bangunan Kotagede membutuhkan upaya pendekatan secara terus-menerus kepada masyarakat lokal sehingga warga bersedia untuk mengembalikan tampilan bangunan kepada kondisi semula, sesuai dengan karakteristik bangunan kuno Kotagede. Pada tahap percontohan ini, masyarakat yang diharapkan untuk mengubah tampilan bangunan, terdiri dari tujuh (7) pemilik bangunan. Dari ketujuh warga tersebut, salah seorang di antaranya menolak untuk mengubah wajah bangunannya. Sebagian besar proses pendekatan terhadap masyarakat lokal dilakukan oleh Yayasan Kanthil, yang merupakan sebuah lembaga pelestarian budaya di Kotagede.

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan terhadap penataan fasade di Jalan Mon-doraka yang mempertahankan identitas kawasan Kotagede Yogyakarta, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Penataan pola dan desain fasade bangunan lama merupakan suatu hal yang penting sebagai bahan pertimbangan pengembangan tampilan wajah bangunan di masa yang akan datang untuk pelestarian identitas suatu kawasan bersejarah.

Peningkatan kesadaran masyarakat lokal tentang pentingnya mempertahankan identitas kawasan yang terwujud secara fisik merupakan kunci utama kelangsungan/kelestarian identitas suatu kawasan bersejarah sebagaimana halnya di kawasan Kotagede.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

81

Daftar Pustaka

Angkatan Muda Muhammadiyah Kotagede, 2008, Brosur No 47 Tahun XLVII/1429-2008, Kotagede, Yogyakarta.

Bentley, Ian., Alcock, Alan., Murrain, Paul., Mc Glynn, Sue., dan Smith, Graham, 1985, Responsive Environments, London: Butterworth-Heinemann Ltd.

Garnham, Harry Launce, 1985, Maintaining The Spirit of Place, Arizona: PDA Publishers Corporation, Mesa.

Lynch, Kevin, 1972, What time is This Place, Cambridge, Massachusets, and London: MIT Press.

Lynch, Kevin, 1977, Managing the Sense of a Region, Cambridge, Massachusets, and London: MIT Press.

Lynch, Kevin, 1981, Good City Form, Cambridge, Massachusets, and London: MIT Press.

Martokusumo, Widjaja, Ir, Ing, Dr, 2005, Konservasi Lingkungan Perkotaan, Bandung: Penerbit ITB.

Moughtin, Cliff, 1992, Urban Design: Street and Square, Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd.

Moughtin, Cliff, 1995, Urban Design: Ornament and Decoration, Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd.

Indartoro, Laurentius, 2006, Tesis: Kesinambungan dan Perubahan Peran Jalan Rukunan di Kampung Kotagede Yogyakarta : Masa Tahun 1930 – 1993, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Fakultas Teknik Magister Desain Kawasan dan Binaan Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan.

Rossi, Aldo, 1982, The Architecture of the City, Cambridge, Massachusets, and London: MIT Press.

Soekiman, Djoko, 1992, KOTAGEDE: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Jakarta.

Tim Peneliti Lembaga Studi Jawa, 1997, Kotagede: Pesona dan Dinamika Sejarahnya, Yogyakarta: Penerbit Lembaga Studi Jawa.

history begins with the handing down of tradition and tradition means the

changing of the habits and lessons of the past into the future

Edward, H Carr

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

85

TRANSFORMASI POLA STRUKTUR RUANGKAMPUNG KAUMAN YOGYAKARTA

Catharina Dwi Astuti Depari

Abstrak

Sebagai sentra penyebaran ajaran Islam di Yogyakarta, Kampung Kauman telah ditempa oleh serangkaian peristiwa politik dan sosial budaya yang cukup kompleks. Masa terbentuknya Kampung Kauman belum dapat diketahui secara pasti, namun perkembangan Kampung Kauman diyakini memiliki kaitan yang sangat erat dengan sejarah lahirnya Kasultanan Ngayogyakarta. Pasca ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 M, Sultan Hamengku Buwono (HB) I sebagai penguasa kasultanan saat itu merencanakan penataan ruang wilayah kasultanan yang didasarkan pada konsep kosmologi Jawa yang turut mempengaruhi perkembangan Kampung Kauman. Hubungan birokrasi yang erat antara Kampung Kauman dengan kraton dibuktikan melalui kebijakan Sultan HB I yang mengukuhkan peran para santri (warga Kauman) sebagai abdi dalem kraton, yang secara khusus bertugas untuk mengurusi bidang keagamaan di wilayah Kasultanan. Lahan perdikan di sekitar kraton dihibahkan oleh Sultan HB I kepada warga Kauman untuk digunakan sebagai wilayah hunian. Sebagai kampung Islam, ajaran Islam telah menyatu dengan rutinitas hidup sehari-hari warga Kampung Kauman. Namun, kuatnya desakan globalisasi dapat mengancam kelangsungan identitas kampung. Pada dasarnya, derajat perubahan yang terjadi pada fisik Kampung Kauman cenderung minim apabila dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada kawasan bersejarah lainnya di Kota Yogyakarta. Hal ini diakibatkan karena pola pikir dan budaya masyarakat Kauman yang cenderung bersifat tertutup dan tetap mempertahankan hubungan pertalian darah di dalam komunitas setempat. Meskipun demikian, perlu dilakukan kajian

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

86

terhadap perubahan fisik kampung yang mulai terjadi termasuk berbagai fenomena politik, ekonomi dan sosial budaya yang mempengaruhinya sehingga diharapkan pemahaman mendalam mengenai Kampung Kauman Yogyakarta akan dapat tercapai.

Dualisme Budaya pada Kota-kota Tradisional

Permasalahan yang dihadapi oleh kota-kota tradisional umum-nya diakibatkan oleh besarnya desakan globalisasi yang masuk dan kemudian berpotensi mengancam kelestarian budaya setempat. Pada kota-kota tradisional, desakan globalisasi mendorong pula lahirnya fenomena dualisme1 budaya, yaitu pertentangan antara paham modern dengan paham tradisional. Akibat dari dualisme budaya adalah lahirnya situasi dilematis yang harus dihadapi oleh Pemerintah Kota ketika akan menentukan arah kebijakan kotanya, yaitu antara pilihan untuk mengeksploitasi lahan kota demi meraup investasi dengan pilihan untuk melestarikan aset-aset ekonomi kota yang sekaligus bernilai sejarah (Larkham, 1996: 3). Secara fisik, dualisme budaya dapat di-ama ti dari pola bentuk kawasan yang terkesan ambigu dan saling terpecah belah (ambiguous-fragmented urban forms) dan ditandai pula oleh punahnya elemen identitas lokal karena tersingkir oleh struktur bangunan modern. Menghadapi permasalahan tersebut, dibutuhkan usaha pelestarian terhadap aset-aset kota yang dinilai mengandung makna sejarah dengan didukung oleh aturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah kota.

Sebagai salah satu kota tradisional di Pulau Jawa, Yogyakarta memiliki sejumlah cagar budaya, di antaranya adalah Kampung Kauman yang tumbuh sebagai sentra penyebaran ajaran Islam. Sejarah lahirnya

1 Dualisme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-3 (2012), berarti paham bahwa di dalam kehidupan terdapat dua prinsip yang saling bertentangan. Dalam konteks budaya, berarti adanya pertentangan antara paham modern dengan paham tradisonal.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

87

Kampung Kauman tidak dapat dipisahkan dari sejarah pembentukan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta. Sebagai sebuah kerajaan baru hasil pecahan dari Kerajaan Mataram Islam, Kasultanan Ngayogyakarta membutuhkan sejumlah perangkat sosial yang antara lain menangani persoalan agama di lingkungan kraton. Sultan Hamengku Buwono I sebagai pimpinan kraton menetapkan suatu wilayah di sekitar kraton sebagai daerah permukiman bagi para santri/pemuka agama dan dinyatakan sebagai daerah berstatus perdikan.2 Masing-masing abdi dalem memperoleh sebidang lahan pada daerah perdikan untuk membangun sebuah fasilitas hunian.

Tulisan dikembangkan dari sebuah kajian terhadap gejala per-ubahan yang terjadi pada fisik ruang Kampung Kauman. Seiring dengan semakin terbukanya sikap masyarakat Kauman terhadap modernisasi dan para pendatang, gejala perubahan yang terjadi pada fisik kampung semakin jelas terlihat. Lokasi kampung, yang berada di pusat Kota Yogyakarta, semakin memperbesar potensi perubahan yang terjadi. Kajian mengenai karakteristik Kampung Kauman Yogyakarta dilakukan dengan menggunakan metodologi rasionalistik dengan terlebih dahulu mempersiapkan grand theory mengenai jenis-jenis pola bentuk ruang dan identitas kota.

Pola Bentuk dan Identitas Kota

Tujuan Arsitektur adalah menciptakan tempat penuh mak-na sehingga manusia memiliki kemampuan untuk memahami kebe-radaannya terhadap lingkungan sekitar (Schultz, 1980: 5). Demi meraih tujuan tersebut, setiap tempat dirancang dengan mempertimbangkan ciri atau karakteristiknya sehingga dapat dibedakan dengan tempat lain. Desain tempat dengan karakteristik individualnya yang kuat

2 Perdikan adalah status istimewa yang diberikan kepada suatu daerah dengan menetapkan kebijakan bebas bayar pajak oleh warganya namun dengan syarat menjalankan sejumlah kewajiban atau tugas tertentu.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

88

sebagai simbol ekspresi budayanya, adalah dambaan pribadi setiap komunitas. Tanpanya hidup manusia menjadi tidak bermakna, kebanggaan terhadap kota menjadi punah dan sebagai gantinya adalah perasaan yang semakin terasing dengan lingkungan sekitar. Selain pertimbangan karakter, desain setiap tempat seyogyanya juga harus dapat mengakomodasi perubahan sehingga tugas arsitek masa kini adalah bagaimana ide perubahan tersebut dapat diwadahi, namun karakteristik tempat tetap dapat dipertahankan (Garnham, 1984:4).

Dalam bidang ilmu arsitektur, bahasa yang digunakan adalah bahasa pola dan bentuk. Tidak berbeda dengan arsitektur dalam skala lingkungan mikro/bangunan, arsitektur dalam skala mezo (kawasan) dan makro (kota) turut menggunakan bahasa pola dan bentuk sebagai media interpretasi terhadap karakteristik kota dan kawasan yang dikaji. Pola bentuk suatu tempat, kawasan atau kota dihasilkan dari rangkaian penataan atau penyusunan dari berbagai jenis elemen. Elemen-elemen tersebut berperan untuk memberikan petunjuk simbolik bagi orang mengenai karakteristik sang tempat. Sebagai contoh, orang menyadari keberadaannya di Kota Yogyakarta setelah mengamati adanya Gunung Merapi atau Pantai Parangtritis sebagai elemen alamiah Yogyakarta yang tidak mungkin ditemukan di tempat lain, atau setelah mengamati adanya Tugu Pal Putih sebagai as Kota Yogyakarta ataupun Kraton Yogyakarta sebagai elemen buatan manusia yang berciri khas. Pada kasus tertentu, elemen alamiah dapat bertindak sebagai unsur utama untuk mewujudkan suatu tatanan ruang kota yang didasarkan pada suatu keyakinan atau konsep-konsep mitologis tertentu. Pentingnya menjaga keharmonisan alam semesta dimanifestasikan melalui penataan berbagai jenis elemen kota yang saling terhubung, yaitu antara bumi dengan langit, antara dunia mikrokosmos dengan makrokosmos, antara lingkungan buatan manusia dengan dunia surgawi (Schultz, 1980: 42). Dalam membangun dunia mikrokosmos, manusia menyadari adanya kekuatan magis yang mempengaruhi dan menuntun tindakannya

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

89

sehingga akhirnya dapat terwujud sebuah tatanan ruang yang taat terhadap suatu artikulasi formal tertentu (Schultz, 1980: 50-51). Beberapa elemen lain yang memberikan keunikan pada tempat, yaitu gaya arsitektur, iklim, setting unik alami lingkungan, metafora, material lokal, produk kerajinan, bangunan penting lokal, keanekaragaman budaya, nilai-nilai kemasyarakatan, area publik serta aktivitas lokal (Garnham, 1984: 4).

Gambar 3.12 Lima elemen pembentuk identitas kota

(Sumber gambar: Lynch (1960), digambar ulang oleh penulis, 2013)

Menurut Lynch (1960), terdapat lima jenis elemen kota yang menentukan identitasnya, yaitu: (a) pathways, sebagai sebuah jaringan kota yang menjadi saluran bagi rute pergerakan para penghuninya; (b) edges, sebagai elemen linear kota yang menandakan batas antara dua hal, garis lurus yang memecah dalam suatu kontinuitas, batas pembangunan atau dinding kota; (c) districts, sebagai komponen lingkungan permukiman dari suatu kota berskala medium sampai

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

90

skala besar, biasanya memiliki kesamaan yang mudah dikenali sehingga memperlihatkan adanya identitas/karakter tertentu; (d) nodes, sebagai titik atau area strategis yang menjadi gerbang masuk kota, berperan sebagai pusat kota, fokus atau epitome yang mempengaruhi bentuk sekitar atau area berdirinya simbol-simbol kota; dan (e) landmark, sebagai sebuah objek fisik di dalam atau di sekitar kota, baik berupa bangunan, tata tanda, toko maupun fitur alam, seperti gunung atau laut, berperan sebagai titik referensi/pemberi petunjuk dalam menentukan orientasi pergerakan.

Gambar 3.13 Jenis-jenis bentuk ruang kawasan/kota menurut teori figure-ground

(Sumber gambar: Trancik (1986), digambar ulang oleh penulis, 2013)

Seluruh elemen disusun sebagai suatu sistem yang saling ber-hubungan sehingga menghasilkan suatu pola bentuk tertentu. Se-tiap pola bentuk yang dihasilkan merupakan ekspresi dari budaya penghuninya. Hal tersebut berarti bahwa setiap pola bentuk yang

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

91

tercipta dipengaruhi oleh sejumlah faktor (determinants), antara lain aktivitas/ritual setempat atau proses budaya yang berlangsung secara terus-menerus. Untuk memahami pola bentuk ruang suatu kota, Trancik (1986) menghasilkan tiga teori desain kota, yaitu figure ground theory, linkage theory, dan place theory. Sebelum Trancik, Lynch (1981), sebenarnya telah terlebih dahulu menguraikan tiga model bentuk kota, yaitu: the city of faith, the city as a machine, dan the city as an organism (Lynch dalam Shane, 2005: 38-51). Dalam the city of faith, aturan magis merupakan faktor yang mengatur hubungan antarelemen kota. Pola kota the city of faith, biasanya berbentuk geometris bermakna kosmologis dan berorientasi pada satu garis lurus (axis) yang mengekspresikan hubungan antara dunia makrokosmos dengan dunia mikrokosmos. Konsep the city as machine memperlihatkan keterkaitan antara koridor kota dengan arus pergerakan yang kemudian menentukan bentuk kota selanjutnya. Sedangkan the city as an organism menganologikan kota selayaknya organisme hidup yang berkarakter dinamis dan berusaha mengatur dirinya sendiri dengan senantiasa mencari keseimbangan di tengah-tengah budaya kota modern yang pluralistik.

Gambar 3.14 Konsep tiga model bentuk kota

(Sumber gambar: Lynch dalam Shane (2005) digambar ulang oleh penulis,

2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

92

Sejarah Perkembangan Islam di Yogyakarta

Sejarah perkembangan kota-kota Islam di Indonesia dipengaruhi oleh tradisi Islam-Arab yang dibawa oleh para pedagang dari Persia dan Gujarat sejak abad ke-8. Masuknya Islam semakin menambah kekuatan spiritual masyarakat Jawa. Perkembangan Islam di Jawa terjadi karena beberapa faktor, yaitu: (a) krisis Indocina yang memperlemah kerajaan lokal saat itu; (b) perjuangan sufisme di Timur Tengah mendorong para pemuka Islam hijrah ke wilayah Timur yang dipandang masih sangat terikat dengan dunia mistis; (c) harapan masyarakat pesisir Jawa yang melihat Islam sebagai sebuah identitas baru untuk melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan masa itu yang kian melemah; dan (d) pandangan bahwa Islam dapat menjadi kekuatan untuk menentang masuknya pengaruh agama Katolik dan kekuasaan bangsa Portugis (Zahnd, 2008: 23).

Setelah ditetapkannya Kasultanan Ngayogyakarta sebagai pusat pemerintahan yang baru, Sultan HB I menata wilayah kekuasaannya dengan menentukan batas wilayah berdasarkan konsep mancapat 3 serta mengangkat sejumlah pejabat dan abdi dalem. Dalam menata kota Jawa, masyarakat setempat tidak melihat wilayahnya dalam batas fisik yang mengelilinginya, namun pada dimensi kosmologis yang bermakna lebih luas (Wiryomartono, 1995: 30). Laut dan gunung sebagai elemen alamiah kota diyakini sebagai tempat tinggal kekuatan roh yang berperan menentukan pola bentuk kota sehingga dibangun garis axis utara-selatan yang menghubungkan antara Laut Kidul, Kraton, Panggung Krapyak, Tugu dan Gunung Merapi. Konsep kosmologis Jawa yang diterapkan pada Kota Yogyakarta dipengaruhi oleh ajaran

3 Mancapat adalah konsep ruang yang menekankan adanya tumpuan atau orientasi kota pada satu titik pusat dengan empat arah mata angin; merupakan hasil proses sinkretisme budaya Jawa dengan budaya Hindu. Konsep mancapat memperoleh pengaruh dari kosmologi Hindu yang dikenal dengan istilah Jambudvipa.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

93

Hindu, yaitu yang dimulai dari tempat asal mula roh sampai ke tempat bersatunya manusia dengan Tuhan (Setiadi, 2010:51-52).

Selain pengaruh dari ajaran Islam, paham modern dan konsep pikir Barat turut mewarnai perkembangan Kota Yogyakarta. Sejak tahun 1833, Belanda mulai menguasai Yogyakarta dan berusaha menyusun strategi politik untuk melemahkan wibawa dan kekuatan hegemoni Sultan di mata pengikutnya. Strategi yang dilakukan oleh Belanda adalah dengan cara membangun sistem jaringan kereta api yang memotong axis kosmologis Kota Yogyakarta yang menghubungkan utara-selatan kota serta pembangunan sejumlah sarana militer, fasilitas umum, kompleks pemerintahan, dan area permukiman Eropa di sekitar pusat kota. Perpaduan antara pola pikir pemerintah feodal kraton yang bercirikan Jawa Islam dengan Kolonial Belanda yang berambisi untuk menaklukkan Yogyakarta, mengakibatkan karakteristik fisik Kota Yogyakarta menjadi berpola hibrida (campuran), yaitu antara yang berpola tradisional dengan modern. Perpaduan antara pola pikir dan budaya tersebut tentunya akan berdampak pada perkembangan Kampung Kauman selanjutnya.

Gambar 3.15 Konsep kosmologi Kota Yogyakarta

(Sumber gambar: www.kompasiana.com (2011), digambar ulang oleh

penulis, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

94

Proses Sinkretisme Dalam Budaya Jawa

Proses pencampuran budaya antara Jawa dengan Islam dapat berlangsung karena kemampuan Islam dalam menyikapi perbedaan budaya dengan cara yang baru, yaitu bersikap menghormati/menghargai budaya lokal sehingga Islam secara tidak langsung turut memelihara identitas budaya setempat. Sedangkan budaya Jawa memiliki kemampuan untuk menyerap pengaruh budaya asing serta mengintegrasikan pengaruh tersebut tanpa menghilangkan identitasnya sebagai masyarakat Jawa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sinkretisme merupakan keunggulan budaya Jawa, yaitu kemampuan untuk memadukan antara pengaruh budaya luar dengan jati dirinya sehingga luluh menjadi satu entitas pribadi yang semakin kaya.

Pada era Hindu Buddha, menurut inskripsi historis pada Prasasti Kutai, bahwa proses sinkretisme budaya Jawa dengan budaya Hindu Buddha turut mempengaruhi perkembangan pola permukiman dan sistem politik kenegaraan Jawa. Masyarakat Jawa mengenal adanya mitos jagad gedhe, yaitu alam (makrokosmos) dan jagad cilik (mikrokosmos) sehingga dibutuhkan keselarasan antara alam sebagai roh suci pemberi kehidupan dengan manusia yang harus senantiasa berterima kasih kepada alam melalui pemberian sesaji atau persembahan kepada roh (Supriyono dalam Setiadi, 2010: 44-45). Kepercayaan yang dianut mengakibatkan masyarakat Jawa selalu berpedoman pada satu prinsip ketika membangun yang disebut memayu hayuning bawana4. Perwujudan prinsip tersebut dapat diamati pula dari pola perilaku sehari-hari masyarakat setempat, prosesi keagamaan, dan praktik ilmu Kejawen (dalam istilah Islam disebut tasawuf ). Misalnya, penghormatan terhadap roh leluhur dengan mengunjungi makam pada bulan Ruwah sebelum puasa, yang dikenal pula sebagai tradisi nyadran. Apabila diamati dari tatanan sosial kemasyarakatan Jawa, terdapat tiga

4 Memayu hayuning bawana berarti sikap untuk selalu menjaga keselarasan dengan alam sekitar.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

95

kelompok Islam yang dinilai sangat berpengaruh, yaitu (a) kaum priyayi yang merupakan penganut Islam intelektual, namun cenderung menolak dogma Islamiah karena lebih mementingkan elemen mistik Jawa dalam kehidupan setempat; (b) kaum santri yang merupakan penganut Islam murni yang lebih mementingkan dogma Islamiah dan menolak dogma mistik meskipun secara sosial kaum santri lebih dekat dengan kaum priyayi daripada dengan kaum abangan; dan (c) kaum abangan yang merupakan kelompok rakyat biasa yang kurang memperhatikan Islam intelektual dan dogma Islamiah, namun lebih mementingkan keyakinan mistis Jawa (Geertz dalam Zahnd, 2005: 26-27).

Kauman: Realitas Kampung Islam di Kota Yogyakarta

Istilah “Kauman” dapat diartikan sebagai suatu wilayah yang ber-ada di sekitar masjid dengan penduduknya yang menganut agama Islam (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2011). Sedangkan, dalam bahasa Arab, “Kauman” berarti pemuka agama Islam yang berasal dari kata qo’um muddin. Istilah “Kauman” di Kota Yogyakarta berarti tempat tinggal masyarakat kebanyakan yang berasal dari kata nggone wong kaum, sama halnya dengan di Kota Kudus yang berasal dari kata pakuaman; sedangkan di Semarang, berarti kaum yang aman yang berasal dari kata kaum sing aman sehingga secara umum “Kauman” dapat diartikan sebagai tempat tinggal para pemuka agama Islam (Wijanarka, 2005:25-26).

Kampung Kauman Yogyakarta berada di daerah ndalem kraton dan secara politik merupakan bagian dari wilayah administratif Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan dengan batas utara berupa Jalan KHA Dahlan, sebelah selatan berupa Jalan Kauman, sebelah Barat berupa Jalan Pekapalan dan Jalan Trikora serta sebelah Timur yang berbatasan dengan Jalan Nyai Ahmad Dahlan. Kampung Kauman Yogyakarta merupakan komunitas homogen yang disatukan

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

96

oleh adanya pertalian darah yang dihasilkan dari perkawinan endogami.5 Selain erat berkaitan dengan penyebaran ajaran Islam, sejarah perkembangan Kampung Kauman juga tidak terlepas dari kebijakan politik Sultan. Sultan HB I merencanakan adanya pembagian ruang wilayah Kasultanan Ngayogyakarta yang didasarkan pada sejumlah lingkaran konsentrik. Kraton ditempatkan sebagai pusat kota dan kemudian diikuti oleh wilayah kepatihan, yaitu nayaka atau bupati njero (bupati dalam), kadipaten (putra mahkota) serta pangulon (kompleks para abdi dalem). Setiap kelompok memiliki wilayah permukiman yang disebut ndalem dan dibangun di atas lahan kosong (Setiadi, 2010: 36). Dalam konsep pertanahan tradisional, Sultan dianggap telah mengambil alih hak milik lahan dari penduduk pribumi sebagai pemilik asli dan kemudian menyerahkan kembali hak yang dimenangkannya kepada para pengikutnya dengan memberlakukan 2 (dua) jenis kebijakan, yaitu ingkang darbe (pemilik) dan ingkang manggoni (yang menduduki tanah). Seorang penguasa (ingkang gadhah parentah) dapat mengklaim hak tertentu atas sebidang tanah yang luasnya tidak diketahui secara pasti dan nilainya akan ditentukan secara tradisional (Setiadi, 2010: 36-37).

5 Perkawinan endogami adalah perkawinan yang terjadi antarsaudara yang disepakati sebagai bagian dari adat istiadat setempat dengan tujuan untuk mempertahankan kemurnian garis keturunan keluarga, menjaga hubungan kekerabatan antarkeluarga di wilayah setempat yang sekaligus merepresentasikan sikap tertutup terhadap pengaruh dari luar.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

97

Gambar 3.16 Sebaran fungsi lahan dan bangunan Kampung Kauman Yogyakarta

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2012)

Sejak periode Mataram Islam, penguasa kerajaan telah men-jadikan Islam sebagai agama negara sehingga masjid tidak hanya difungsikan sebagai wadah penyiaran ajaran Islam (Rochym, 1987:15), namun juga sebagai simbol kekuasaan. Pembangunan masjid Agung berkiblat ke arah Timur-Selatan mengikuti garis axis terhadap alun-alun utara Yogyakarta dan tidak berkiblat ke Mekah sebagaimana umumnya masjid. Berkaitan dengan pengelolaan Masjid Agung Kauman, Sultan HB I melimpahkan tugas tersebut kepada sekelompok abdi dalem (Kawedanan Pangulon) dengan seorang Pengulu sebagai pimpinan. Pengulu bertugas untuk mengurus hal-hal yang berkaitan dengan ritual keagamaan serta budaya lokal, seperti pernikahan, talak, rujuk, juru kunci makam, naib, hukum dalam peradilan agama dan kemasjidan.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

98

Dalam menjalankan tugasnya, Pengulu dibantu oleh aparatur yang disebut sebagai Abdi Dalem Pamethakan yang terdiri dari Ketib, Modin, Barjamangah dan Merbot (Chawari, 2008:41-44). Para abdi dalem memperoleh fasilitas berupa sebidang lahan gadhuhan di sekitar masjid yang letak dan luasnya disesuaikan dengan jabatan masing-masing. Pengulu memperoleh tempat di Ndalem Pangulon yang terletak di sebelah utara Masjid Agung yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga sebagai kantor dinas. Seluruh kompleks Kawedanan Pengulon pada awalnya merupakan milik kraton, namun dalam perkembangannya tahan gadhuhan yang ditempati oleh ketib, modin, barjamangah dan merbot telah menjadi hak milik penghuni dan keluarganya (Darban, 2000: 13-14).

Perubahan Karakteristik Kampung Kauman

Sejumlah bangunan di Kampung Kauman telah mengalami per-ubahan yang cukup mengkhawatirkan sehingga untuk menghindari terjadinya perubahan yang semakin tidak terkendali, dibutuhkan pengawasan yang ketat terhadap setiap aktivitas pembangunan di dalam kampung. Meskipun gejala perubahan mulai terlihat, tradisi Islam Jawa tetap kuat menjiwai kehidupan warga, seperti kegiatan pengajian secara rutin, ritual nyadran hingga upacara adat Grebeg6 yang dilaksanakan di pelataran Masjid Agung Kauman.

6 Upacara grebeg merupakan upacara adat Kraton yang dilaksanakan 3 kali setahun, yaitu Grebeg Syawal (pada hari raya Idul Firi), Grebeg Besar (pada hari raya Idul Adha) dan Grebeg Maulud/Grebeg Sekatenan (pada hari raya Maulid Nabi).

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

99

Gambar 3.17 Upacara Grebeg Maulud Kraton di pelataran Masjid Agung Kauman.

(Sumber gambar: www.tourbalijava.com (2011),

digambar ulang oleh penulis, 2013)

Perubahan Status Hak Milik Lahan dan Bangunan Kampung Kauman

Peralihan status hak milik lahan/bangunan yang diberikan oleh sultan kepada warga Kauman merupakan hal penting untuk dikaji. Diduga bahwa hal tersebut menjadi salah satu faktor pemicu yang mengakibatkan praktik modifikasi terhadap fisik bangunan oleh setiap penghuni menjadi semakin merebak. Perubahan terhadap karakteristik Kampung Kauman akan semakin tidak terkendali apabila tidak tersedia sebuah manajemen kontrol yang menuntut partisipasi aktif dari warga Kauman dan aparat lokal.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

100

Gambar 3.18 Perubahan status hak milik lahan-bangunan Kampung Kauman

(Sumber gambar: Analisis, 2012)

Meskipun kepemilihan lahan dan bangunan di kawasan Kampung Kauman saat ini sebagian besar telah dihibahkan oleh sultan kepada warga setempat, beberapa bangunan penting, seperti Masjid Agung Kauman dan bangunan rumah Pengulu, tetap menjadi milik kraton yang pengelolaannya diserahkan kepada warga Kauman. Sebagian

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

101

besar bangunan lokal pada masa awal berdirinya Kraton Yogyakarta masih berstatus ngindung (mendiami tanah dan atau bangunan orang lain) atau magersari (orang yang rumahnya menumpang pada halaman rumah/pekarangan orang lain). Selain rumah masyarakat umum, bangunan rumah di dalam Kampung Kauman yang kini telah berstatus hak milik perseorangan adalah termasuk rumah-rumah dengan dimensi yang cukup besar milik para Ketib dan Juragan Batik. Setelah batik tulis kehilangan popularitasnya, rumah para Ketib dan Juragan Batik beralih fungsi menjadi tempat usaha untuk bisnis pondokan atau asrama yang akan disewakan dan dikontrakkan. Selain untuk bisnis pondokan/asrama, sebagian kecil bangunan hunian lainnya mengadopsi konsep fungsi campuran (mixed-use) antara fungsi hunian dengan fungsi komersial berupa toko, warung makan dan bahkan sarang walet. Sedangkan fasilitas publik, seperti masjid, langgar, mushola, balai RW, gedung serba guna, madrasah dan pesantren sebagai elemen penting kampung, tetap berperan sesuai dengan fungsinya. Berbeda dengan karakteristik aktivitas di bagian inti Kampung Kauman, aktivitas perdagangan berskala lokal ataupun kota terkonsentrasi di sepanjang jalan utama kota yang membingkai wilayah Kampung Kauman. Aktivitas perdagangan skala lokal yang menjual batik khas Kauman melalui fungsi pertokoan ataupun pusat bisnis yang berhubungan kebutuhan masyarakat muslim terkonsentrasi pada koridor Jl. Kauman, Jl. Nyai KHA Dahlan, Jl. Trikora, dan Jl. Perkapalan. Sedangkan aktivitas per-kantoran, bisnis, fasilitas umum dan komersial berskala kota tersebar di sepanjang Jl. KHA Dahlan.

Kebijakan sultan yang mengembalikan status hak milik lahan kepada warga kampung yang sekaligus merupakan pengikut setia kraton, memberi dampak positif bagi citra sultan sebagai sosok yang disegani sekaligus dekat dengan rakyatnya sehingga secara tidak langsung akan mempertebal semangat junjungan/pengabdian para abdi dalem terhadap sultan. Keuntungan lain yang diperoleh adalah

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

102

efektivitas dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap seluruh aset kraton karena pengelolaan dan tanggung jawabnya diserahkan secara langsung kepada warga setempat. Namun, kebijakan tersebut dapat berdampak negatif karena justru memperluas keleluasaan penghuni untuk melakukan praktik pembangunan atau modifikasi fungsi ataupun wajah desain arsitektural bangunan lokal. Tidak dapat dipungkiri bahwa desakan ekonomi merupakan faktor yang mendorong praktik demikian oleh para penghuni. Semakin tinggi derajat keterbukaan warga terhadap kaum pendatang yang berminat untuk menyewa bahkan membeli hunian setempat, akan memperparah ancaman terhadap karakteristik kampung sehingga fungsi kendali dari pemerintah daerah yang melibatkan partisipasi aktif warga setempat merupakan kunci penting untuk menjaga kelestarian Kampung Kauman.

Perubahan Fungsi Lahan dan Bangunan Kampung Kauman

Perubahan yang terjadi pada Kampung Kauman dapat diamati dari perubahan fungsi lahan dan bangunan kampung. Perubahan fungsi lahan dan bangunan tidak sekadar disebabkan oleh pengaruh budaya luar, namun secara internal disebabkan pula oleh aturan kebijakan mengenai status hak milik lahan/bangunan yang diberikan oleh sultan. Selama ini, gerakan pelestarian telah dilakukan oleh warga Kauman melalui sebuah lembaga lokal/paguyuban yang bertugas mengawasi berbagai aktivitas pembangunan atau praktik modifikasi terhadap bentuk hunian. Terdapat kecenderungan perubahan pada beberapa bangunan lokal, namun mayoritas bangunan hunian Kampung Kauman tetap berperan sesuai fungsinya sebagai tempat tinggal. Pada saat-saat tertentu, rumah berfungsi pula sebagai wadah kegiatan pengajian yang dilakukan secara bergiliran.

Setelah berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta dan Kraton Yogyakarta, gejala perubahan terhadap fisik hunian kampung mulai

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

103

terjadi seiring dengan semakin tumbuhnya industri batik yang awalnya diprakarsai oleh para istri Ketib. Pada awalnya, industri batik tumbuh untuk memenuhi kebutuhan sandang para anggota keluarga, kerajaan, dan kerabat kraton sekaligus untuk menambah pendapatan ekonomi keluarga. Setelah memasuki era pasca kemerdekaan, aktivitas membatik mulai mengalami kemunduran sehingga ruang-ruang produksi batik kini beralih fungsi. Kebutuhan ekonomi yang semakin besar mengakibatkan perubahan fungsi bangunan dari fungsi hunian menjadi fungsi bisnis sewa dan kontrakan atau bisnis komersial lainnya.

Gambar 3.19 Perubahan fungsi lahan dan bangunan Kampung Kauman

(Sumber gambar: Analisis, 2012)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

104

Perubahan Pola Ruang Terbuka Kampung Kauman

Tidak berbeda dengan faktor yang melatarbelakangi perubahan pada fungsi lahan dan bangunan Kampung Kauman, perubahan yang terjadi pada pola ruang terbuka kampung turut dipengaruhi oleh kebijakan politik sultan berkaitan dengan peralihan status hak milik lahan, tuntutan ekonomi dan aktivitas sosial budaya setempat. Pola ruang terbuka Kampung Kauman pada era Mataram Hindu pada awalnya diperkirakan masih berpola acak dan terdapat sebuah kemungkinan bahwa ruang-ruang terbuka tersebut dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan ritual, seperti upacara sesajen yang ditujukan kepada roh-roh para leluhur. Pada masa Islam, terutama setelah lahirnya organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912, tradisi Kejawen berusaha dihilangkan untuk menjaga kemurnian ajaran Islam di dalam perilaku sehari-hari warga sehingga ruang-ruang yang ditujukan untuk ritual demikian semakin berkurang. Memasuki era modern, semakin besarnya derajat keterbukaan warga kampung terhadap kaum pendatang mengakibatkan tuntutan akan ruang hunian dan ruang ekonomi semakin tinggi sehingga ketersediaan ruang terbuka kampung semakin sempit.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

105

Gambar 3.20 Perubahan pola ruang terbuka Kampung Kauman

(Sumber gambar: Analisis, 2012)

Untuk mewadahi pergerakan warga kampung, dibangun ak-ses jalan yang menghubungkan antara berbagai fungsi kampung melalui sistem jalan berupa jalan-jalan gang sempit yang dibentuk oleh deretan bangunan permukiman. Kehadiran setiap bangunan permukiman yang secara linear mengikuti alur jalan kampung semakin mem pertegas pola struktur ruang kampung. Preferensi warga untuk

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

106

tetap mempertahankan sejumlah ruang terbuka publik, khususnya area pelataran Masjid dan Pangulon, mengekspresikan masih kuatnya tradisi Islam di dalam wilayah Kauman sebagai elemen utama yang membentuk identitas Kawedanan Pangulon. Perubahan dimensional pada ruang terbuka kampung yang memperlihatkan derajat perubahan yang relatif besar dapat diamati pada bangunan para Ketib atau Juragan Batik. Penghuni membangun ruang tambahan di areal halaman menggantikan fungsi sebelumnya sebagai ruang jemur batik. Ruang tambahan tersebut ditujukan kepentingan bisnis atau ekonomi pemilik, yaitu sebagai hunian yang akan dikontrakkan atau disewakan.

Hierarki Fungsi dan Kelas Jalan

Berdasarkan wawancara dengan Balai Arkeologi Provinsi DIY (2011), pola permukiman Kampung Kauman Yogyakarta pada periode Mataram Hindu bersifat organik sporadik. Sebagaimana umumnya desain permukiman pada periode Mataram Hindu, desain jalan lingkungan Kampung Kauman pada awalnya terbuat dari susunan batu andesit yang kemudian disebut sebagai jalan makadam.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

107

Gambar 3.21 Perubahan hierarki fungsi dan kelas jalan Kampung Kauman

(Sumber gambar: Analisis, 2012)

Pasca berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta, permukiman di sekitar kraton dibangun dengan berdasarkan konsep penataan ruang dalam kosmologi Jawa. Jalan utama kampung dibangun dengan mempertimbangkan konektivitas antara wilayah kampung dengan bangunan Masjid Agung sebagai orientasi utama pergerakan. Dalam perkembangannya, setiap bangunan permukiman didirikan menyesuaikan dengan garis axis atau jalan utama dalam kampung yang berorientasi ke masjid.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

108

Pada era pasca kemerdekaan dan memasuki era modern, dengan semakin meningkatnya intensitas kebutuhan dan pergerakan ke luar wilayah kampung mengakibatkan semakin bertambahnya jumlah akses keluar masuk kampung. Akses dibangun berupa gang-gang sempit di seluruh bagian/penjuru kampung. Keberadaaan akses utama kampung dipertegas oleh adanya gerbang utama kampung yang bercorak desain arsitektural Kauman Kraton. Hal tersebut menyimbolkan identitas Kampung Kauman sebagai bagian dari kraton yang bercirikan budaya Islam dan Jawa.

Perubahan Pola Bentuk Kampung dan Karakteristiknya

Pola bentuk ruang Kampung Kauman pada periode Hindu dan Mataram Islam, diperkirakan lebih ditentukan oleh faktor alam dan faktor kebutuhan akan ruang-ruang hunian dan religi sehingga terbentuk suatu pola permukiman yang organik sporadik. Namun, tentunya hipotesa tersebut perlu dikaji secara lebih mendalam melalui penelitian arkeologi dan arsitektur. Setelah terbentuknya Kasultanan Ngayogyakarta, perencanaan kota tradisional Jawa didasarkan pada konsep kosmologi Jawa sebagai faktor penentu bagi perkembangan bentuk kampung. Permukiman yang semakin padat, terutama terjadi di sepanjang jalan utama kampung yang mengarah ke masjid sehingga secara tidak langsung pembangunan permukiman tersebut mempertegas struktur ruang kampung.

Pola bentuk kampung yang karakterisiknya menghubungkan antara elemen-elemen penting kawasan dengan masjid melalui jaringan jalan kampung dikategorikan sebagai pola bentuk kota axial. Hubungan kosmologis antara elemen masjid, alun-alun, dan kraton merupakan karakteristik dari konsep kota city of faith. Dalam keyakinan Islam, masjid merupakan orientasi hidup para pemeluknya, sedangkan kraton dipandang sebagai manifestasi dari kerajaan surgawi di dalam dunia mikrokosmos, sementara alun-alun berperan sebagai

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

109

ruang perantara yang menghubungkan kedua elemen tersebut. Hubungan elemen-elemen tersebut memberikan identitas tertentu bagi Kampung Kauman sebagaimana yang dikemukakan oleh Schultz (1980) dalam teori genius loci. Selanjutnya, konsep penataan ruang yang diterapkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Kota Yogyakarta melalui pembangunan infrastruktur jalan dan fasilitas umum di sekitar wilayah Kampung Kauman turut mempengaruhi perkembangan pola bentuk Kampung Kauman. Menurut Trancik (1986), pola bentuk kota, yang telah mengalami intervensi pola pikir untuk tujuan-tujuan praktis, akan melahirkan sejumlah pola bentuk kota yang rasional, seperti halnya bentuk kota angular. Pola pikir mesin yang lebih mengedepankan efesiensi pergerakan dan efektivitas kota merupakan karakteristik dari city as a machine, sebagaimana yang dikemukakan pula oleh Lynch (1981).

Memasuki era modern, kepadatan bangunan di Kampung Kauman semakin meningkat terutama di sepanjang garis-garis axis utama kampung yang pada akhirnya membantu mempertegas struktur ruang Kampung Kauman. Struktur ruang kampung pada akhirnya membentuk pola hibrida sebagai campuran antara pola bentuk axial, yang bermakna kosmologis, dengan pola pemukiman berpola angular, yang bersifat rasional. Dalam kajian Lynch (1981), campuran antara beberapa bentuk ruang akan menghasilkan pola bentuk kota hibrida. Pola bentuk kawasan atau kota hibrida mencerminkan tingkat kompleksitas aktivitas kota yang cukup tinggi sekaligus memperlihatkan kemungkinan adanya permasalahan dualisme budaya yang umumnya dihadapi oleh kota-kota tradisional. Dalam kategorisasi Lynch (1981), karakteristik demikian terdapat pada konsep kota, city as an organism.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

110

Gambar 3.22 Perubahan pola bentuk ruang Kampung Kauman

(Sumber gambar: Analisis, 2012)

Kesimpulan

Proses Transformasi Pola Bentuk Ruang Kampung Kauman

Pasca terbentuknya wilayah Kasultanan Ngayogyakarta, penataan pola bentuk ruang kampung sangat dipengaruhi oleh kebijakan politik sultan. Konsep kosmologi Jawa yang diterapkan oleh Sultan HB I

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

111

dalam menata Kota Yogyakarta dengan menghubungkan antara dunia mikrokomos dan makrokosmos, antara elemen alun-alun, kraton, dan masjid, menyimbolkan karakteristik kota kosmik. Selain faktor agama, faktor budaya maupun politik dan ekonomi turut menentukan arah perkembangan kampung. Berdasarkan pengamatan di lapangan, axis mundi kampung bermakna kosmo logis yang menghubungkan antara elemen kraton, masjid, dengan alun-alun, tetap bertahan, meskipun telah terlihat adanya gejala perubahan yang diakibatkan oleh faktor politik, sosial dan budaya, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar kampung.

Elemen Pembentuk Identitas Kawasan

1. Variabel: Status Hak Milik Lahan Elemen pembentuk identitas Kampung Kauman adalah bangunan tempat tinggal Pengulu dan fungsi lahan religius berupa area Masjid Agung Kauman yang berstatus milik kraton. Bangunan yang berdiri di atas kedua lahan tersebut merupakan milik kraton sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada warga Kauman.

2. Variabel: Fungsi Lahan dan Bangunan Beberapa elemen pembentuk identitas Kampung Kauman adalah bangunan religius berupa Masjid Agung Kauman, musholla; bangunan fasilitas sosial berupa langgar, balai pertemuan, Sekolah Dasar Aisiyah, pendopo, Madrasah Muhammadiyah, termasuk elemen gerbang kampung yang tersebar di seluruh bagian Kampung Kauman; ruang terbuka kampung berupa makam Kauman, halaman masjid dan halaman rumah penghulu; bangunan komersial berupa pertokoan di sepanjang Jl. Kauman dan Jl. Nyai KHA Dahlan serta bangunan tempat tinggal/hunian, khususnya rumah pengulu, rumah Ketib, para abdi dalem pamethakan dan Juragan Batik.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

112

Gambar 3.23 Gerbang Utama kampung dari arah Jalan KHA Dahlan

mempresentasikan ciri arsitektur Kauman.

Sebagai elemen utama identitas kampung yang sekaligus menjadi pusat aktivitas agama Islam di tingkat kerajaan, Masjid Agung Kauman Yogyakarta dibangun dengan desain bentuk yang terkesan megah dan berukuran luas, serta dengan detail desain yang rumit (Rochym, 1987: 61-73). Masjid Agung dibangun sebagai simbol kekuasaan dan direncanakan mengikuti sumbu Alun-alun Utara Yogyakarta sehingga tidak sepenuhnya memperhitungkan arah kiblat ke Mekkah secara tepat. Mengingat karakteristik umat Muslim yang toleran terhadap budaya setempat, desain elemen bangunan masjid turut menyesuaikan dengan corak lokal dengan mengadopsi desain ornamen Jawa atau kraton yang bermakna simbolik. Beberapa hal yang menjadi ciri khas Masjid, yaitu terdapatnya maksurah sebagai tempat khusus untuk sholat sultan

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

113

beserta kerabatnya, atap susun masjid dengan atap ruang utama yang posisinya lebih tinggi dibandingkan atap pada ruangan sekitar, ornamen bermotif pakem kraton, serta suasana interior yang gelap untuk menambah kesan mistis. Masjid menempati areal lahan yang cukup luas untuk menampilkan bentuk keseluruhan dari berbagai arah sehingga kesan monumentalitas dapat tercapai. Dinding pembatas yang mengitari kompleks masjid ditujukan untuk menegaskan/memisahkan masjid dari lingkungan sekitar secara hierarkis dan dalam konteks kawasan menjadi pusat dan orientasi hidup sehari-hari warga lokal.

3. Variabel: Pola Ruang Terbuka Elemen pembentuk identitas kampung Kauman pada aspek pola ruang terbuka adalah dua axis utama kampung yang didesain mengarah ke Masjid Agung. Secara simbolis, pola struktur ruang terbuka demikian mengekspresikan orientasi hidup warga Kauman yang memegang teguh ajaran Islam dan kemudian dimanifestasikan dalam wujud masjid. Karakteristik fisik yang sama dapat dijumpai pada kota-kota Islam di Timur Tengah. Fungsi ruang terbuka publik pada area masjid, makam kampung, dan halaman rumah pengulu adalah beberapa jenis square lokal yang harus dipertahankan sebagai elemen pembentuk identitas Kampung Kauman.

4. Variabel: Hierarki Fungsi dan Kelas Jalan Elemen pembentuk identitas kawasan pada aspek jalan adalah koridor utama kampung Kauman, yang terdiri dari: (1) axis utara-selatan wilayah kampung yang menghubungkan antara Masjid Agung Kauman dengan Jl. KHA Dahlan; (2) axis barat-timur yang menghubungkan antara Masjid Agung Kauman dengan Jalan Nyai Ahmad Dahlan. Kedua koridor jalan tersebut dipertegas oleh

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

114

deretan dinding dan struktur bangunan permukiman di sepanjang koridor.

Gambar 3.24 Axis utama kampung menuju Masjid Agung sebagai

simbol orientasi hidup dan pergerakan warga

Gambar 3.25 Axis kampung menuju Jl.Nyai H.Ahmad Dahlan merefleksikan

identitas Kauman sebagai kampung Islam-Kraton melalui desain bangunannya

di sepanjang koridor

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

115

Faktor-faktor Pengaruh Perkembangan

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, disimpulkan beberapa faktor dominan yang mempengaruhi perubahan pola bentuk ruang kampung Kauman, yaitu: (1) aspek politik; kebijakan kraton merupakan faktor dominan yang mempengaruhi proses transformasi Kampung Kauman mengingat bahwa tugas utama warga yang tinggal di dalam Kampung Kauman adalah sebagai abdi dalem kraton. Aktivitas utama para abdi dalem senantiasa dikaitkan dengan kewajiban dan tugas pengabdian terhadap sultan ataupun keluarga kraton. Namun, kebijakan peralihan status hak milik lahan dan bangunan oleh sultan ditambah dengan masuknya pengaruh modernisasi, telah mengakibatkan beberapa perubahan pada fisik kampung. Untuk mengantisipasi perubahan yang tidak terkendali, didirikan sebuah organisasi setempat yang bertugas mengawasi setiap praktik pembangunan yang berlangsung sehingga identitas Kampung Kauman sebagai kampung Islam dan sebagai bagian dari wilayah kraton tetap terjaga; (2) aspek sosial budaya; aktivitas sosial budaya warga setempat tidak lepas dari tanggung jawabnya terhadap kraton sehingga sebagian besar aktivitas warga senantiasa berhubungan dengan ritual keagamaan dan upacara-upacara/prosesi kraton. Nilai-nilai agama Islam yang mengatur perilaku hidup sehari-hari (misal: melaksanakan lima kewajiban Muslim yang disebut sebagai Pilar Islam) berakulturasi dengan nilai-nilai modern sehingga mengakibatkan pola bentuk struktur ruang kampung yang bersifat hibrida. Keterbukaan warga terhadap masuknya para pendatang dari luar daerah memberi andil pula bagi terjadinya perubahan pada fisik bangunan kampung; (3) aspek ekonomi; semakin bertambahnya kebutuhan dan tuntutan ekonomi mendorong sebagian warga Kauman melakukan modifikasi terhadap bangunan hunian, yaitu menjadi ruang usaha atau bisnis rumah sewa/ kontrakan.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

116

Berdasarkan kajian tersebut, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan berikut ini sebagai bahan rekomendasi desain Kampung Kauman sehingga identitas lokal tetap terpelihara.

etiap kegiatan pembangunan Kampung Kauman di masa yang akan datang harus mempertimbangkan kelestarian seluruh elemen pembentuk identitas kawasan sebagaimana yang telah disimpulkan. Pemerintah diharapkan mampu menghasilkan kebijakan yang berpihak pada pelestarian cagar budaya dan pelestarian terhadap bentuk dan fungsi elemen utama kampung dengan melibatkan partisipasi warga secara aktif mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap pelaksanaan.

Warga Kauman diharapkan dapat berpartisipasi secara aktif dalam setiap program pembangunan kampung serta mengantisipasi setiap kegiatan pembangunan yang berpotensi mengancam kelestarian cagar budaya dan elemen penting kampung.

Akademisi dan pihak swasta diharapkan mampu mendukung pelestarian kampung Kauman dengan menyelenggarakan penelitian secara kontinu dan melakukan gerakan pelestarian untuk menjaga identitas dan karakteristik Kampung Kauman.

Arsitek kawasan dan kota diharapkan dapat memberikan rekomendasi desain yang mampu mengakomodasi kebutuhan akan pelestarian sekaligus kebutuhan untuk mewadahi tuntutan modern dengan menciptakan peluang bagi tumbuhnya ruang-ruang ekonomi baru sehingga kesejahteraan warga Kauman semakin meningkat.

Daftar Pustaka

Chawari, M., 2008, Tesis: Bangunan Rumah Tradisional Jawa di Kampung Kauman Yogyakarta, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Yogya-karta Program Studi Arkeologi Program Pascasarjana.

Darban, A.A., 1984, Kampung Kauman Sebuah Tipologi Kampung Santri

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

117

di Perkotaan, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Fakultas Sastra.

Garnham, H.L., 1984, Maintaining the Spirit of Place, Arizona: PDA Publishers Corporation.

Larkham, P.J., 1996, Conservation and the City, London: Routledge.Lynch, K., 1960, The Image of The City, USA: The M.I.T. Press.Morris, A.E.J., 1994, History of Urban Form Before The Industrial Revolutions,

New York: John Wiley and Sons, Inc.Moudon, A.V., 1994, Ordering Space: Getting to Know the Built Landscape,

Cambridge, MA., MIT Press.Rochym, A., 1987, Masjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia,

Bandung: Angkasa.Setiadi, A., 2010, Arsitektur Kampung Tradisional, Yogyakarta: PT.Kanisius.Schultz, C.N., 1980, Genius Loci: Towards A Phenomenology of Architecture,

New York: Rizzoli.Shane, D., 2005, Recombinant Urbanism, Great Britain: John Willey & Sons

Ltd.Trancik, R., 1986,Finding Lost Space, New York: Van Nostrand Reinhold

Company.Wijanarka, 2001, Teori Desain Kawasan Binaan, Palangkaraya: Universitas

Palangkaraya Program Studi Teknik Arsitektur.Wiryomartono, A.B., 1995, Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia,

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.Zahnd, M., 2008, Model Baru Perancangan Kota yang Kontekstual,

Yogyakarta: Penerbit Kanisius.Internet: www.kompasiana.com, 2011, The Other Side of Yogyakarta,

Publikasi 12 September 2011.Internet: www.tourbalijava.com, 2011, Tradisi Grebeg Syawal Kraton

Yogyakarta, Publikasi Agustus 2011. Internet: www.architexting.com, 2011, Architexting: Architecture,

Urbanism, Design, Publikasi 15 Agustus 2011.

... the most we know about cultures, about the structure of society in various

periods of history in different parts of the world, the better we are able to

read their built environment ...

(Kostof, 1991)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

121

ARKETIPE KAMPUNG NDALEM SEBAGAI BAGIAN PEMBENTUK CITRA

KAMPUNG KOTA YOGYAKARTA Amos Setiadi

“Kota adalah arsitektur”, demikian dinyatakan oleh Rossi (1982). Rossi juga menyatakan bahwa kota sebagai objek berstruktur yang senantiasa berubah atau tumbuh dari masa ke masa. Dari seluruh kawasan yang ada dalam suatu kota, dimungkinkan beberapa kawasan tertentu, yang melalui suatu mekanisme kontrol yang ketat dapat terhindar dari perubahan dan mampu bertahan secara fisik-spasial (persistent). Sebagai objek yang terus tumbuh sekaligus menyimpan rekaman (jejak) masa lampau, citra suatu kota dapat terbentuk melalui bagian-bagian kota. Lynch (1979) menyatakan pentingnya citra kota sebagai dasar arah pertumbuhan suatu kota. Setiap warga yang sudah lama tinggal dalam suatu kota akan memiliki hubungan emosional dengan kawasan-kawasan dalam kota mereka. Citra kawasan-kawasan kota tersebut terekam di dalam ingatan dan memunculkan makna tertentu dalam dirinya. Sering kali pemaknaan terhadap citra sebuah kota tidak utuh dan tidak berlanjut, kadangkala hanya berupa potongan-potongan dan bercampur dengan keinginan-keinginan individu, sehingga setiap warga kota yang mencoba mengungkapkan citra kotanya, maka citra yang terungkap adalah gabungan dari potongan pemaknaan dan keinginan individu.

CITRA KOTA

Setiap kota memiliki elemen visual yang dapat menjadi simbol ragam budaya masyarakatnya. Semakin mudah citra visual kota ditangkap, akan semakin kuat pula ekspresi makna yang dapat diungkap. Gambaran serta pengalaman masyarakat tentang citra

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

122

visual kota tersimpan dalam kesadaran, ketidaksadaran dan menjadi simpanan dalam penelusuran memori tentang kota. Mengungkap citra kota dapat diawali dengan mengenali identitas kota itu sendiri. Identitas kota tidak bisa diciptakan secara mendadak atau meniru kota lain. Citra kota dibangun melalui hierarki yang beraturan serta berulang karena identitas suatu kota merupakan bagian dari jejak peradaban kota itu sendiri yang ditampilkan sepanjang sejarahnya.

Schultz (1984) menyatakan a place is a space which has a distinct character. Pernyataan tersebut mengemukakan pentingnya pemahaman tentang spirit of the place (genius loci). Genius loci terbentuk dari kemampuan masyarakat kota dalam menerima pengaruh dari luar secara selektif dan melalui proses kreatif. Proses tersebut memungkinkan terciptanya identitas baru kota yang unik selama didasarkan pada realitas masa kini dengan tetap mempertahankan kekhasan kota tersebut. Schulz menjelaskan bahwa arsitektur (kota) bagaikan puisi yang bertujuan membantu menciptakan rasa nyaman bagi manusia dalam menempati suatu tempat. Bertolak dari pernyataan Schulz, mengungkap citra kota tidak dapat dilakukan pada suatu kota yang dibangun secara asal-asalan.

KOTA SEBAGAI GUDANG MEMORI

Setiap kata yang menunjukkan nama suatu tempat dan toponimi tempat dalam suatu kota merupakan sesuatu yang penting untuk ditelusuri maknanya karena setiap kata memiliki makna. Dengan kata lain, nama suatu tempat atau toponimi tempat tidak terbentuk secara kebetulan.

Menelusuri sejarah suatu tempat (kota) dapat dilakukan dengan cara mengidentfikasi perkembangan kota secara serempak dalam satu waktu tertentu (sinkronik atau tissue analysis) ataupun dari perkembangan kota dalam beberapa kurun (keberuntunan) waktu (diakronik atau historical reading). Kedua cara ini menjadi

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

123

dasar bagi pemahaman suatu kota. Cara hermeneutika juga dapat dipergunakan untuk menyusun interpretasi yang mampu mengubah sikap dan perilaku seseorang. Meskipun kondisi faktual yang tersimpan dalam suatu tempat (kota) tidak selalu mengandung informasi yang bermakna, namun tetap diperlukan interpretasi yang tepat terhadap tempat (kota) sehingga tidak membuat sesorang memiliki gambaran yang salah tentang tempat (kota) tersebut.

Interpretasi dapat digambarkan sebagai sebuah jembatan untuk menjelaskan pandangan kelompok budaya tertentu kepada kelompok yang lain, ataupun memaknai masa lalu ke masa sekarang. Interpretasi juga berperan menyampaikan pesan tertentu kepada kelompok yang berbeda-beda. Interpretasi merupakan pengejawantahan dari pemaknaan yang dimunculkan kembali dalam bentuk rekonstruksi. Pada dasarnya, interpretasi adalah penyusunan kembali nilai-nilai yang ada di balik tempat (kota) atau objek arsitektural kota yang teramati (kertaji). Cara-cara mengungkap dan menginterpretasi suatu tempat (kota) tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut dengan pemahaman bahwa dengan cara interpretasi cukup mampu membantu seseorang membentuk gambaran warisan masa lalu suatu tempat (kota). Melalui interpretasi atas artefak atau objek arsitektural, dapat dijelaskan tentang citra suatu kota. Oleh sebab itu, kota yang sudah kehilangan artefak, objek arsitektural dan tempat bersejarah lainnya dapat disebut sebagai kota yang telah kehilangan pembentuk memori dan citra kota itu sendiri. Memori tentang suatu tempat (kota) selalu meninggalkan jejak (memori traces) yang berfungsi sebagai tanda (sign) dan petunjuk memori, sedangkan gambaran kolektif terhadap arsitektur kota merupakan rangkaian memori dari berbagai bentuk arsitektural kota sejak masa lalu. Oleh sebab itu, jika seseorang hendak membentuk citra kota dalam dirinya, tidak cukup dari sudut formal fungsional saja, tetapi masih perlu dengan pengamatan terhadap bentuk dan interpretasi makna yang ada di balik bentuk (Boyer, 1994).

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

124

Kota merupakan the locus of the collective memory (Rossi, 1982). Rossi memandang pentingnya bentuk kota dan struktur kota sehingga dua hal tersebut perlu dilestarikan. Pandangan tersebut sekaligus menolak pandangan dalam paham fungsionalis form follows function karena ada bentuk kota yang tetap bertahan (persisten) dan permanen, meski fungsi-fungsi di dalamnya berubah. Rossi juga meyakini adanya otonomi dari tatanan arsitektural dan menekankan arti penting penghayatan terhadap ruang. Cara pandang yang kemudian dikenal sebagai pendekatan tipomorfologi ini dapat diumpamakan sebagai analogi, yaitu meminjam bentuk lama kota atau bentuk lama bangunan, namun tanpa melibatkan makna lama karena makna telah berubah atau mengalami transformasi seiring dengan berjalannya waktu, sebagaimana diungkapkan oleh Rossi (1982): “the quality of architecture – the quality of the human creation – is the meaning of the city”.

Kota yang memiliki sejarah membuat kota menjadi semacam gudang memori bagi warga kota itu sendiri. Menurut Kostof (1991), “the more we know about cultures, about the structure of society in various of history in different parts of the world, the better we are able to read their built environment.” Sebagai tempat yang meninggalkan jejak memori (traces), kota dapat dipahami sebagai artefak fisik, berupa objek buatan manusia yang meninggalkan jejak.

MENGUNGKAP MAKNA KOTA

Kota sebagai arsitektur dipahami sebagai jalinan (tissue) antara massa dan ruang, sebagai suatu entitas fisik-spasial konkret, yang terdiri dari elemen bangunan, pohon, tiang listrik, sungai, jalan, jembatan. Bangunan dibuat sebagai artefak yang bermakna sehingga selalu dibuat dengan maksud tertentu. Dengan demikian, tatanan fisik-spasial dapat dipergunakan sebagai titik masuk pendekatan arsitektur ke dalam masalah citra kota.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

125

Kevin Lynch (1979) mengungkap citra kota melalui pengamatan lima elemen kota, yaitu: path, edges, nodes, districts, dan landmark. Lynch berhasil mengungkap citra yang bersifat umum berupa kesenangan dan kepuasan dalam arti tertib, aman dan lancar. Namun, ia mengaku gagal untuk mengungkap makna dibalik citra itu sendiri. Oleh karena itu, penelitian ini melengkapi cara tersebut dengan “collective unconsciousness” dari arketipe yang dapat mengungkap citra, idea, dan perilaku.

Arketipe sebagai elemen yang mampu memunculkan citra, idea, dan perilaku merupakan konsep dasar masa lampau yang tetap bertahan dan teruji oleh jaman. Dalam kebudayaan suatu kota, arketipe dapat ditelusuri melalui mitos atau wahyu. Kota Yogyakarta sebagai lokasi penelitian ini masih memiliki masyarakat yang menghayati mitos dengan kesadaran. Hal ini tercermin dari adanya mitos keberadaan penguasa Laut Selatan dan Gunung Merapi, serta mitos-mitos lainnya yang menjadi bagian tidak terpisahkan dengan keberadaan Kraton Yogyakarta, kampung-kampung, dan bangunan tradisional. Kepercayaan ini pula yang membentuk garis sumbu kota yang memanjang antara Laut Selatan, Panggung Krapyak, Kraton, Tugu, Gunung Merapi. Dari garis sumbu tersebut dapat ditemukan arketipe Kota Yogyakarta.

Arketipe memiliki peran memuat makna yang dapat diungkap kembali dengan cara mengumpulkan memori dari kesadaran kolektif warga kota, maka diperlukan suatu interpretasi memori warga kota untuk memperoleh kesamaan arketipe dan ragam maknanya diantara warga kota. Arketipe merupakan citra masa lalu yang terdapat dalam alam bawah sadar kolektif manusia. Dengan kata lain, arketipe hanya berasal dari ketidaksadaran (unconscious).

Menurut Jung (1987), simbol membentuk kesatuan yang konkret antara apa yang nyata dan yang semu, antara gagasan dan perasaan, antara roh dan materi. Kesatuan dari simbol-simbol ini tidak dapat diciptakan oleh alam kesadaran sebab alam kesadaran

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

126

pada hakikatnya bersifat memisahkan, membedakan, dan memilih sesuatu secara terbatas. Sedangkan kesatuan simbol berasal dari alam tak sadar, di mana fungsi psikis masih berada dalam suatu kesatuan tanpa ada pemilahan dan pembedaan. Sedangkan alam kesadaran merupakan apa yang selama ini menjadi perhatian seseorang. Sebagai contoh, seseorang sadar atas apa yang menjadi maksud dan tujuan orang tersebut, tetapi tidak sadar atas apa yang tidak menjadi maksud dan tujuannya. Seseorang dapat saja menjadi sadar terhadap sesuatu dengan mudah yaitu jika mengalihkan perhatian pada sesuatu itu. Kondisi semacam ini disebut prasadar. Seseorang mungkin secara aktif berusaha menghindari perhatian terhadap hal-hal tertentu karena tahu hal-hal tertentu tersebut mungkin dianggap mengganggu sehingga pikiran tak sadar menjadi direpresi. Dengan demikian, jika seseorang kurang perhatian atau tidak punya perhatian terhadap sesuatu, hal itu dapat digolongkan sebagai unconscious atau preconscious. Dengan pendekatan ini, dapat dipilahkan antara ingatan kolektif masyarakat yang tergolong sadar (conscious), mana yang tidak sadar (unconscious) dan mana yang prasadar (preconscious).

Seseorang tidak dapat berhubungan langsung dengan realitas. Hubungan dengan realitas dilakukan melalui bermacam-macam tanda. Oleh karena itu, bagaimana manusia menciptakan dan menggunakan tanda-tanda (semiotika) merupakan hal penting. Arsitektur sebagai salah satu disiplin ilmu yang akrab dengan tanda-tanda memerlukan alat bantu semiotika untuk mengungkap tanda tanda dalam objek arsitektural.

Jika bentuk dalam arsitektur dianggap sebagai simbol, semiotika dalam arsitektur berguna untuk mengidentifikasi dan memahami makna bentuk dalam arsitektur itu sendiri. Dengan kata lain, setiap bentuk dalam arsitektur mewakili makna tertentu. Oleh sebab itu, pendekatan semiotika dalam arsitektur merupakan cara komunikasi visual yang berhubungan erat dengan estetika dan semiotika objek. Cara

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

127

pandang pendekatan ini menganggap bahwa bentuk arsitektur dapat dipahami sebagai sebuah teks. Pandangan yang menganggap bentuk dalam arsitektur sebagai sebuah teks yang tidak dapat dilepaskan dari teks lain dalam suatu kalimat tersebut mirip dengan pandangan para penganut paham strukturalis yang meyakini bahwa hakikat yang benar dari suatu benda tidak berada dalam benda itu sendiri, namun di dalam pertalian-pertalian antara benda-benda yang dibangun (construct).

KAMPUNG NDALEM SEBAGAI PEMBENTUK SKEMATA

Masyarakat yang tinggal di kampung ndalem di Yogyakarta sebagian relatif mudah menyesuaikan terhadap pengaruh dari luar (global) dan sebagian masih memegang tradisi. Masyarakat setempat yang sebagian masih bersifat tradisional (melestarikan tradisi) belum dapat lepas dari irama kosmik, sedangkan bagi masyarakat pendatang ada yang mampu berhubungan dengan ciri masyarakat profan. Bagi masyarakat lokal, kosmos memiliki sejarah yang tidak terikat waktu dan diwariskan turun temurun dalam bentuk arketipe. Sebagai contoh, bangunan ndalem sebagai objek arsitektural di kampung tradisional ndalem merupakan media berkomunikasi, menyampaikan pesan budaya setempat. Oleh sebab itu, penting untuk memberi perhatian terhadap bangunan ndalem sebagai simbol sosial budaya.

Kampung ndalem tumbuh dari keberadaan bangunan ndalem. Pada masa kini, perkembangan ruang terbangun yang berlangsung di kampung ndalem diwarnai oleh gaya bangunan yang cenderung seragam, tidak memberi ruang berimajinasi, serta unsur lokal yang cenderung terabaikan. Di sisi lain, arsitektur bukanlah produk massal yang diekspor ke seluruh tempat. Arsitektur merupakan karya dan cermin semangat jaman, serta memiliki keunikan, jati diri dan karakter setempat.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

128

Penolakan terhadap tradisi yang menyebabkan pemiskinan baha-sa visual dan disain yang terlampau rasional pada bangunan-bangunan baru di kawasan kampung ndalem sebenarnya tidak perlu terjadi karena pada hakikatnya manusia adalah juga makhluk yang emosional. “High tech” seyogyanya juga diperkaya dengan “high touch”. Nalar dan rasa harus diolah menjadi satu dan bukan dipilih salah satu. Pilihan seharusnya bukan yang bersifat “either-or” melainkan “both-and” (Venturi, 1977). Demikian pula, kolaborasi antara “new” and “old” sehingga dua kutub ekstrim “modern” dan “tradisional” yang semula bersifat kontradiktif, menjadi pasangan yang bersifat komplementer ini dapat diperpanjang mencakup “rasional dan romantik”, “empirik dan intuitif”, “objektif dan relatif”, “sadar dan bawah sadar”, “universal dan partikular”, “mekanistik dan organik”.

Membaca peran kampung ndalem sebagai elemen pembentuk identitas arsitektural salah satunya dengan mengikuti paham strukturalis dalam filsafat, dengan mendudukkan ndalem sebagai karya arsitektur yang membentuk suatu konstruksi dari tanda-tanda. Keterkaitan tanda-tanda dalam struktur itulah yang akan mampu memberi makna yang tepat. Ndalem sebagai bagian penting dari kampung tradisional ndalem merupakan objek arsitektur yang senantiasa berubah, baik dalam fungsi bangunan, lahan, struktur kampung, maupun detailnya. Pada bagian tertentu, melalui suatu mekanisme kontrol yang ketat dapat terhindar dari aneka perubahan dan relatih bertahan (persistent), yang berpeluang menjadi salah satu unsur pembentuk makna dan citra kota.

Setiap warga kampung tradisional ndalem (dimungkinkan juga masyarakat di luar kampung ndalem) memiliki hubungan emosional dalam waktu yang cukup lama dengan beberapa unsur dalam kampung tradisional ndalem itu sendiri. Gambaran tentang kampung tradisional tersebut terpateri ke dalam memorinya dan memunculkan makna tertentu dalam dirinya. Sering kali pemaknaan terhadap citra sebuah

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

129

lingkungan terbangun tidak utuh dan tidak berlanjut, kadangkala hanya berupa potongan-potongan (fragmen).

Gambar 3.26 Contoh salah satu gerbang menuju ndalem Sketsa: Agus Madyana, 2013

Makna tempat terbentuk bukan hanya karena kejelasan tempat itu sendiri tetapi juga karena keunikannya. Ndalem, dalam konteks kampung tradisional ndalem dan Kota Yogyakarta, memiliki potensi untuk menjadi simbol yang kuat dari kompleksitas budaya masyarakatnya. Bila citra visual ndalem mudah ditangkap, hal itu dapat memberi ekspresi makna yang kuat. Kejelasan struktur dan identitas kampung tradisional ndalem yang salah satunya diungkap melalui keberadaan ndalem merupakan langkah awal dari penjelmaan simbol-

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

130

simbol makna kampung tradisional ndalem itu sendiri (mezo) dan struktur Kota Yogyakarta (makro).

Identitas tidak bisa diciptakan secara seketika (instant). Pencapaiannya melalui hierarki tertentu yang teratur dan berulang. Identitas kampung tradisional ndalem merupakan jejak peradaban yang ditampilkan sepanjang sejarah kampung tradisional ndalem itu sendiri, selaras dengan pemikiran Schulz (1984). Membangun citra visual kampung tradisional ndalem dapat dimulai dengan mengindetifikasi identitas kampung tradisional ndalem itu sendiri, yaitu melalui keberadaan ndalem.

Identitas dan makna ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem tidak harus tunggal, tetapi didasarkan pada realitas masa kini dengan tetap mempertahankan kekhasannya sehingga memiliki keunikan. Dalam melakukan interpretasi citra visual ndalem (dalam konteks kampung ndalem), dapat memanfaatkan pengalaman meruang. Interpretasi dapat berperan menggugah, menghibur dan mungkin juga mengubah karakter. Fakta yang tersimpan diberbagai tempat tidak selalu menjadi informasi yang bermakna, sehingga perlu interpretasi yang tepat. Interpretasi atas ndalem dalam konteks kampung ndalem membantu membentuk keterkaitan dengan warisan masa lalu. Ndalem sebagai artefak dapat menceritakan kisahnya sendiri sepanjang waktu, sehingga apabila suatu kampung tradisional ndalem kehilangan bangunan-bangunan dan tempat-tempat bersejarahnya dapat disebut telah kehilangan memorinya. Menjadi catatan penting bahwa gejala ini telah menimpa beberapa bangunan ndalem di Yogyakarta.

Memori umumnya meninggalkan jejak (traces) yang berfungsi sebagai tanda (sign) atau sebagai petunjuk memori. Kampung tradisional ndalem sebagai permukiman tua banyak menyimpan memori masa lalu sehingga relasi antara arsitektur, bentuk permukiman dan sejarahnya harus selalu menjadi pertimbangan utama dalam “mengintervensi” bangunan ndalem maupun kawasan kampung tradisional ndalem.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

131

Ekspresi kolektif arsitektur pada kampung tradisional ndalem merupakan rangkaian memori dari berbagai bentuk arsitektur masa lalu. Oleh karena itu, untuk dapat mengapresiasi maknanya, tidak cukup melihat dari sudut formal fungsional saja, tetapi dengan pengamatan bentuk dan penafsiran makna yang dikandungnya (Boyer, 1994). Ada bentuk yang tetap persisten dan permanen meski fungsinya berubah-ubah. Oleh karena itu, membuat suatu perencanaan dan perancangan baru pada ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem dapat dilakukan dengan meminjam bentuk lama, tetapi tanpa melibatkan makna lama karena makna telah berubah dengan berjalannya waktu.

Ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem merupakan gudang sejarah. Karena itu, sulit membayangkan untuk mempelajari fenomena yang berlangsung di dalamnya tanpa melalui sejarah, sebagaimana pernyataan Kostof (1991) “The more we know about cultures, about the structure of society in various of history in different parts of the world, the better we are able to read their built environment. Segi sejarah dapat dibaca dengan melihat ndalem dan kampung tradisional ndalem sebagai artefak fisik, berupa objek buatan manusia yang meninggalkan jejak. Dalam hal ini, ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem dilihat sebagai sintesis dari serangkaian nilai-nilai, ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem dilihat sebagai jalinan massa dan ruang, entitas fisik-spasial yang konkrit. Bangunan-bangunan (ndalem dan bangunan lain disekitarnya) didirikan dengan maksud tertentu, sehingga menjadi artefak yang bermakna.

Agar bisa sampai mengungkap makna ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem saat ini, salah satunya dapat dilakukan dengan mengungkap “collective unconsciousness” dari objek arsitektural yang dapat memunculkan citra. Bila seseorang kurang perhatian atau tidak punya perhatian terhadap sesuatu, ia dapat digolongkan sebagai unconscious atau preconscious. Dari pintu masuk ini, dapat dibuat kategori mana ingatan kolektif masyarakat yang

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

132

tergolong sadar (conscious) dan mana yang tidak sadar (unconscious) atau setidaknya yang prasadar (preconscious) tentang ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem.

RAGAM ARKETIPE NDALEM SEBAGAI BAGIAN PEMBENTUK CITRA KOTA

Artefak yang merupakan unsur dari tatanan suatu kawasan kampung tradisional ndalem bersifat fana (temporalis), mengalami perubahan baik secara alami maupun karena ulah manusia. Nilai-nilai sejarah, estetik, ilmiah, dan sosial suatu benda, ataupun suatu tradisi dapat mengalami perubahan menurut kurun waktu dan tempat tertentu, yang sangat dipengaruhi oleh perbagai paradigma yang berkembang dalam masyarakat. Namun, secara naluriah, manusia ingin mempertahankan sesuatu yang dianggapnya bernilai dan pada akhirnya menjadi “pusaka” (heritage). Ragam arketipe di bangunan ndalem dalam konteks kampung tradisional ndalem yang dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat dalam membangun citra Kota Yogyakarta yang berjati diri dapat diamati dari Tabel 1.

Tabel 3.1 Penelusuran arketipe–makna–objek

Lingkup

Area

Arketipe Makna Lahir/

Permukaan

Makna Batin/Dalam Objek

ArsitekturalNdalem:

Halaman

Belakang

Gana Ruang untuk

menerima

kerabat dekat

Ruang yang

memberi makna

relasi kekerabatan

(kindship)

Gandok

Ruang untuk

memasak

Ruang yang

memberi makna

kehidupan

Pawon

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

133

Ndalem:

Halaman

Dalam

Sri Ruang untuk

menerima tamu

(perempuan)

Ruang yang

memberi makna

relasi sosial

Griya Ageng

Ruang yang

dikhususkan

(disengker)

(tengah), un tuk

keluar ga inti

(kiwo-tengen)

Ruang sakral, simbol

keberadaan Dewi

Sri (tengah)

Senthong

Ndalem:

Halaman

Luar

Kitri Ruang untuk

menerima tamu

(laki-laki)

Ruang yang

memberi makna

keterbukaan (relasi

sosial)

Pendhapa

Ruang untuk

menerima

tamu,

pertunjukkan

wayang/ringgit

Ruang yang

memberi makna

keterbukaan (relasi

sosial)

Pringgitan

Liyu Ruang/pintu

masuk

Ruang transisi dari

batin yang penat/

liyu beralih ke batin

yang tidak penat,

sareh

Regol

? ? ? ?Kampung

ndalem

Gledekan ? ? Jalan

menuju

ndalem? ? ? Bangunan

magersari? ? ? ?

(Sumber: Analisis)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

134

KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini.

Ndalem sebagai artefak dan makna ndalem sebagai arketipe mulai dilupakan dalam perkembangan kampung tradisional ndalem itu sendiri. Hal ini memerlukan perhatian, agar Yogyakarta yang kini sedemikian terbuka (pembangunannya) tidak larut dalam permainan langgam arsitektur global yang cenderung tanpa makna.

Artefak yang telah dinilai usang, dikembalikan lagi kebentuk “aslinya” karena memperoleh kembali penghargaan publik dan sebaliknya. Upaya konservasi telah banyak dilakukan, meski kadang masih belum memberi pengaruh yang besar bagi masyarakat dalam mengapresiasikan makna yang terkandung didalamnya. Penggalian arketipe kampung tradisional ndalem melalui interpretasi sejarah dan memori kolektif diharapkan akan mampu melestarikan ndalem sebagai “pusaka” dalam kreasi baru.

DAFTAR PUSTAKA

Boyer, M, Christine, 1994, The City of Collective Memory, The MIT Press, Cambridge Mass

Jung, C, Gustav, 1987, Menjadi Diri Sendiri, terjemahan dari judul asli: Aion Researches into the Phenomenology of the Self, Gramedia, Jakarta

Kostof, Spiro, 1991, The City Shaped, Thames and Hudson, Hongkong

Lynch, Kevin, 1979, The Image of the City, MIT Press, CambrirdgeSchulz, Christian Norberg, 1984, Genius Loci, Towards a Fenomenology

of Architecture, Rizzoli, New YorkRossi, Aldo., The Architecture of the City, Cambridge: The MIT Press,

1984

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

135

Venturi, Robert, 1977, Complexity and Contradiction in Architecture, 2nd edition, The Architectural Press, London

....the city is to be understood here as architecture..

the city is seen as a gigantic man-made object, work of engineering

and architecture that is large and complex and growing over time....

(Aldo Rossi, 1982)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

139

BINTARAN: REKAM JEJAK ARSITEKTUR INDISCHE DI YOGYAKARTA

Vincentia Reni Vita Surya

Abstrak

Bintaran, salah satu kawasan di Yogyakarta yang memiliki sejarah panjang dalam perkembangannya menjadi bagian penting dari perkembangan kota Yogyakarta. Berbagai pengaruh datang silih berganti mewarnai kawasan yang dulunya menjadi salah satu kediaman bangsawan Kraton Yogyakarta. Dimulai dari masuknya bangsa Belanda, yang tentu saja membawa kental langgam Kolonial yang berkembang menjadi Arsitektur Indische dalam bangunannya, kedatangan bangsa Cina yang membawa kemajuan dalam sector ekonomi, hingga masa kemerdekaan yang menempatkan fungsi pendidikan di kawasan ini. Kajian ini mengungkapkan pengaruh yang paling dominan dalam sejarah perkembangan Bintaran, yaitu Arsitektur Indische. Sebagai bagian besar dari porsi sejarahnya, perkembangan Arsitektur Indische adalah hal utama yang menjadi jiwa atau roh kawasan Bintaran. Sebagaimana tubuh dapat hidup dengan adanya jiwa, kelestarian Arsitektur Indische diharapkan dapat menghidupkan kawasan Bintaran sebagai bagian penting dari kota Yogyakarta.

Arsitektur Indische di Indonesia

Perkembangan sebuah kota ataupun kawasan pada hakikatnya senantiasa berupaya untuk mengarahkan perjalanan sejarahnya agar identitasnya dapat tetap terjaga. Ketika menghadapi kompleksitas kehidupan yang terus meningkat diperlukan paradigma dan teori yang tepat untuk memahami kawasan sehingga dapat berkembang tanpa meninggalkan identitasnya. Seperti yang kita ketahui, bahwa

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

140

perkembangan kawasan Indische di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, pada masa lalu sangatlah pesat. Salah satu kawasan yang mengalami sentuhan pengaruh Indische adalah kawasan Bintaran. Kawasan tersebut masih menyisakan aspek-aspek fisik berupa tata ruang dan bangunan yang dulunya sempat menjadi alternatif kawasan permukiman bangsa Belanda di Yogyakarta.

Istilah Indische berasal dari istilah Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda. Orang Belanda pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1619. Kehadiran orang Belanda selama tiga abad di Indonesia tentu memberi pengaruh pada segala macam aspek kehidupan. Perubahan antara lain juga terlihat pada seni bangunan atau arsitektur. Pada mulanya, bangunan dari orang-orang Belanda di Indonesia, khususnya di Jawa, bertolak dari Arsitektur Kolonial yang sesuai dengan kondisi tropis dan lingkungan budaya, yang sering disebut landhuiz11, yaitu hasil perkembangan rumah tradisional Hindu-Jawa yang diubah dengan penggunaan teknik, material batu, besi, dan genteng atau seng. Arsitek landhuizen yang terkenal saat ini adalah Wolff Schoemaker, DW Berrety, dan Cardeel.

Apa Itu Arsitektur Indische?

Arsitektur Indische merupakan asimulasi atau campuran dari unsur-unsur budaya Barat, terutama Belanda dengan budaya Indo-nesia, khususnya dari Jawa. Pengertian Indische juga dimaksudkan untuk membedakan dengan bangunan tradisional yang sudah lebih dulu ada, bahkan oleh pemerintah Belanda bentuk bangunan Indische dikukuhkan sebagai gaya yang harus ditaati, sebagai simbol kekuasaan, status sosial, dan kebesaran penguasa saat itu.

Perkembangan Arsitektur Indische

Rob Niewenhuijs, dalam tulisannya Oost Indische Spiegel (Pencerminan Budaya Indis), menyebutkan bahwa sistem pergaulan

1 Landhuiz/Landhuizen : rumah tuan tanah bangsa Belanda

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

141

dan kegiatan yang terjadi di dalam bangunan yang bergaya Indische merupakan jalinan pertukaran norma budaya Jawa dengan Belanda. Manusia Belanda berbaur ke dalam lingkungan budaya Jawa dan sebaliknya. Arsitektur Indische telah berhasil memenuhi nilai-nilai budaya yang dibutuhkan oleh penguasa karena dianggap bisa menjadi simbol status, keagungan, dan kebesaran kekuasaan terhadap masyarakat jajahannya.2 Hartono (2006) mengatakan bahwa pasang surut perkembangan Arsitektur Indische tidak dapat dilepaskan dari rentang sejarah panjang bangsa Indonesia.

Skema 3.1 Perkembangan Arsitektur Indis di Indonesia

(Sumber skema: Hartono, 2006)

Arsitektur Indische Empire

Indische Empire Style adalah suatu gaya arsitektur kolonial yang berkembang pada abad ke-18 dan 19 sebelum berkembang di kota-

2 J. Pamudji Suptandar, “Arsitektur ‘Indis’ Tinggal Kenangan”, dalam Harian KOMPAS, 14 Oktober 2001.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

142

kota lainnya di Indonesia. Pada mulanya, gaya arsitektur tersebut muncul di daerah pinggiran Kota Jakarta pada pertengahan abad ke-17, tapi kemudian berkembang di daerah urban, di mana bermukim penduduk Eropa. Munculnya gaya arsitektur tersebut adalah sebagai akibat dari suatu kebudayaan yang disebut sebagai Indische Culture yang berkembang di Hindia Belanda sampai akhir abad ke-19.

Arsitektur Indische Transisi

Arsitektur peralihan muncul karena berbagai hal di antaranya; semakin berkembangnya pembangunan yang dilakukan oleh pihak Kolonial, terutama pihak swasta. Pembangunan yang pesat tersebut menarik kelompok arsitek profesional Belanda untuk bekerja di daerah koloni. Akibatnya, bangunan yang muncul merupakan sebuah desain yang sangat orisinal yang berasal dari ide desain individu. Berbeda halnya dengan Mass Indisch Empire yang merupakan pakem bangunan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kolonial.

Gambar 3.27 Tampak depan arsitektur “indische empire style” Bangunan utama di tengah sedangkan disamping terdapat bangunan kecil yang disebut “pavilion”. Tampak bangunan berbentuk simetri penuh. Gaya bangunan ini

berkembang abad 18 dan 19.

Sumber : Hartono, 2006 digambar ulang oleh Depari, 2013

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

143

Arsitektur Indische Modern

Angin perubahan pada gaya Arsitektur Indische kembali terjadi di tahun 1915. Hal ini didukung oleh semakin banyaknya para arsitek dari Belanda, khususnya T.U Delft. Kehadiran para akademisi tersebut mengubah bentuk atau pakem arsitektur sebelumnya. Arsitektur Indische Modern menghasilkan sebuah desain yang telah mengadopsi kultur, pengaruh lingkungan sosial dan juga iklim yang terjadi di daerah Hindia-Belanda.3 Gaya arsitektur Indische Modern sering kali diartikan juga sebagai “Indo Eropa”. Gaya arsitektur Indo-Eropa ini digolongkan sebagai salah satu usaha untuk mencari bentuk identitas arsitektur Hindia Belanda waktu itu.

3 Hartono, Samuel. Arsitektur Transisi dari akhir abad 19 ke awal abad 20, Jurnal Arsitektur Petra

Voor 1900

Gambar 3.28 Gaya arsitektur peralihan yang timbul antara th. 1890 sampai 1915 di Hindia Belanda. Gaya ini timbul sebelum masuknya arsitek

professional Belanda th. 1915 di Hindia Belanda.

Sumber : Hartono, 2006, digambar ulang oleh penulis, 2013

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

144

Arsitektur Indis di Yogyakarta

Arsitektur Indische berkembang pesat semenjak Politik Etis dideklarasikan penguasa negeri Belanda tahun 1901. Politik balas budi Belanda terhadap rakyat Hindia Belanda agar selain rakyat hidupnya menjadi lebih layak, dalam batasan kesejahteraan pribumi, juga agar tetap setia mengabdi pada Belanda. Orang pribumi yang menjadi pegawai Belanda seolah mendapat rezeki, terutama meningkatnya posisi status sosial mereka. Hingga datang Jepang mengakhiri semua itu, termasuk budaya Indis.4 Sejarah menunjukkan bahwa arsitektur Eropa, atau lebih tepatnya dengan istilah Arsitektur Indische, terlanjur menjadi ikon Kota Yogyakarta. Oleh karena itu, terjadilah tautan antara bentuk dan makna pada arsitektur kota, yang salah satunya memiliki ciri arsitektur Indis yang telah menjadi milik bersama. Arsitektur Kota Yogyakarta adalah bercampuraduknya arsitektur Jawa, China, dan Indis, seperti yang berderet di sepanjang Jl. Mangkubumi, Jl. Malioboro, Jl. A Yani hingga kraton. Perkembangan menarik terjadi pada dekade 1980-an saat dimulainya renovasi Benteng Vredeburg.

4 J. Pamudji Suptandar, “Arsitektur ‘Indis’ Tinggal Kenangan”, dalam Harian KOMPAS, 14 Oktober 2001.

1915 1930

Gambar 3.29 Gaya arsitektur colonial modern yang tumbuh pada awal th. 1920 an sampai 1940 an setelah datangnya arsitek Belanda tamatan T.U.

Delft sesudah th. 1915 sampai th. 1940 an.

Sumber : Hartono, 2006, digambar ulang oleh Depari, 2013

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

145

Wacana arsitektur kolonial ramai diperbincangkan mengenai perlunya merawat, atau menghilangkan langgam arsitektur Indische. Akan tetapi, kearifan para seniman, sejarawan – dan tentu saja pemerintah waktu itu – yang mendorong dan menekankan pentingnya melestarikan artefak arsitektur masa lalu, termasuk arsitektur Indis buatan para penjajah. Tidak hanya menyentuh bangunan, beberapa kawasan di Yogyakarta yang tumbuh dengan nuansa arsitektur Indische menjadi bagian dari warna identitas Yogyakarta. Kidul Loji, Kotabaru hingga Bintaran, ikut menjadi ikon yang sudah seharusnya menjadi perhatian kita untuk dilestarikan. Bintaran dengan segenap keunikannya muncul sebagai perpaduan nilai tradisional Jawa dan kekinian Eropa pada masa tersebut.

Sejarah Kawasan Bintaran

Bintaran merupakan kawasan yang terus mengalami perkem-bangan. Bermula dari wilayah kediaman Pangeran Haryo Bintoro pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono, kawasan ini berkembang menjadi area pemukiman Indische pada tahun 1930-an. Seperti halnya Kotabaru, Bintaran merupakan kawasan hunian alternatif bagi orang Belanda yang menetap di wilayah Indonesia, berkembang setelah kawasan Loji Kecil tak lagi memadai. Dari segi fisik, kawasan yang bisa ditempuh dengan berjalan ke timur dari perempatan Gondomanan itu tak begitu pesat perkembangannya seperti Kotabaru. Salah satu faktornya adalah letaknya yang masih dekat dengan Loji Kecil sehingga beragam fasilitas masih bisa diakses dengan mudah. Sebelum berkembang menjadi kawasan permukiman Indische, Bintaran dikenal sebagai tempat berdirinya Ndalam Mandala Giri. Bangunan tersebut merupakan kediaman Bendara Pangeran Haryo Bintoro, salah satu trah Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Perkembangan Bintaran sebagai pemukiman Indische diperkirakan dimulai tahun 1930-an yang ditandai dengan pembangunan rumah, fasilitas seperti gereja dan penjara.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

146

Umumnya, orang Belanda yang bermukim di Bintaran adalah bekerja sebagai opsir dan pegawai pabrik gula. Perkembangan kawasan Bintaran dapat digambarkan ke dalam beberapa masa di mana aspek tradisional Jawa dan Eropa silih berganti hingga era kemerdekaan. Secara periodik diuraikan sebagai berikut.

Masa Tradisional• Periode ini berlangsung mulai tahun 1890 s.d 1930. Masa ini merupakan masa arsitektur lokal, di mana kawasan tersebut menjadi kawasan tinggal Pangeran Haryo Bintoro dari keluarga Kasultanan. Pada masa tersebut, kawasan Bintaran masih didominasi bangunan berlanggam tradisional Jawa. Cikal bakal perkembangan kawasan ini adalah kediaman Pangeran Bintoro yang dikenal dengan Ndalem Mandara Giri. Pengaruh Indische baru terlihat pada bangunan kediaman Pangeran Bintoro dengan langgam tradisional Jawa yang mendominasi. Perdagangan mulai memasuki kawasan dengan masuknya etnis Tionghoa. Keberadaan mereka ditunjang dengan kebutuhan warga yang tinggal di kawasan ini, membuat pasar tradisional berkembang pesat. Perkembangan yang lambat mengakibatkan bangsa Belanda yang saat itu menguasai Kota Yogyakarta merasa resah. Ditunjang kepentingannya sendiri untuk memperluas daerah kekuasaannya, dibangunlah kawasan ini dengan bangunan baru, seperti kediaman pejabat Belanda, kediaman pengawas militer daerah Pakualaman dan kediaman pejabat keuangan Pakualaman. Bangunan baru ini tentu saja membawa gaya baru pada kawasan Bintaran.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

147

Gambar 3.30 Peta Kawasan Bintaran dan objek penting pada periode tradisional.

(Sumber gambar: Identifikasi Penulis, 2011)

Masa Kolonial • Periode ini dimulai dari 1930 sampai dengan 1945 dan merupakan masa arsitektur Indische Modern. Hal ini ditandai dengan beragam bangunan yang dibangun pada kawasan tersebut untuk melengkapi permukiman Indische. Bangunan-bangunan pelengkap tersebut adalah gereja, sekolah, dan gedung perkantoran yang diperuntukan bagi kelangsungan hidup bangsa Belanda yang bermukim di kawasan Bintaran.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

148

Gambar 3.31 Peta Kawasan Bintaran dan objek penting pada

periode Kolonial.

(Sumber gambar: identifikasi Penulis, 2011)

Masa Kemerdekaan• Periode ini dimulai tahun 1945 s.d. 2011 dan merupakan masa pra-kemerdekaan hingga kemerdekaan saat ini. Periode ini ditandai dengan pengambilalihan beberapa bangunan Belanda menjadi milik pemerintah Republik Indonesia. Beberapa di antaranya adalah Museum Satmikaloka yang tadinya adalah kantor pejabat keuangan Pakualaman, KODAMKAR, yang dijadikan Kantor Komando Pemadam Kebakaran, semula adalah kediaman salah satu pejabat Belanda, dan lain – lain. Seiring dengan perubahan fungsinya, bangunan – bangunan ini pun mengalami beberapa penambahan, baik itu secara fisik luar bangunan maupun interior

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

149

bangunan. Secara makro, perubahan tersebut dapat digambarkan pada peta di atas.

Arsitektur Indische di Kawasan Bintaran

Kawasan Bintaran merupakan kawasan pemukiman Belanda yang pertama kali berada di timur Kali Code. Kawasan ini berkembang karena kurang tercukupinya kebutuhan pemukiman Belanda yang sudah ada sebelumnya, yaitu di Loji Besar dan Loji Kecil. Arsitektur Indische di kawasan Bintaran mulai berkembang seiring dengan pertumbuhan kawasan ini menjadi kawasan pemukiman orang Belanda. Mulai dibangunnya gedung–gedung baru, tentu saja membawa corak dan langgam budaya Eropa. Sejalan dengan tujuan munculnya Arsitektur Indische di Yogyakarta, bangunan Indische dibangun sebagai tempat tinggal pejabat sipil dan militer pemerintah jajahan sebagai penguasa wilayah. Bangunan–bangunan ini kebanyakan terletak di jalan–jalan utama/protokol atau berkelompok pada suatu wilayah. Sebagai peninggalan hasil karya seni budaya, kawasan Bintaran bergaya Indische sebagai salah satu rangkaian sejarah panjang perkembangan arsitektur sangat kental dengan faktor politis.

Perpaduan lokalitas budaya asli Yogyakarta seperti bentuk atap, dinding, pintu dan jendela serta gerbang mulai berpadu dengan pengaruh budaya Eropa seperti sistem konstruksi dinding bata, bentuk dan gaya yang dipengaruhi skala monumental, ragam hias dekoratif hingga tatanan ruang dalam. Beberapa bangunan yang menjadi bagian penting di kawasan Bintaran turut menjadi bagian dari pembentuk citra kawasan tersebut. Hasil penelusuran sejarah yang dilakukan melalui studi pustaka sejarah kawasan Bintaran menunjukkan kawasan ini punya peranan penting dalam perkembangan Kota Yogyakarta.

Terkait dengan pelestarian nilai dan identitas inilah, pembahasan bangunan–bangunan berarsitektur Indische menjadi penting, terutama untuk menjaga citra kawasan bersejarah Bintaran. Proses identifikasi

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

150

dilakukan untuk memberi gambaran tentang peranan masing–masing bangunan dalam kawasan sehingga kajian ini lebih banyak memuat unsur sejarah yang terkait dengan kondisi fisik yang masih tersisa hingga saat ini.

Bangunan Karta Pustaka atau Ndalem Mandara Giri

Karta Pustaka merupakan lembaga Indonesia-Belanda yang dulu dinamakan Ndalem Mandara Giri adalah tempat tinggal Pangeran Haryo Bintoro dan ditinggali oleh trah kraton. Arsitektur bangunan tersebut merupakan perpaduan antara Jawa dan Belanda. Ciri Jawa terlihat dari pendopo yang bahan-bahannya khusus didatangkan dari Demak pada tahun 1908. Sementara, ciri bangunan Belanda terlihat dari ruangan yang lebar dan berdinding tinggi serta jendela khas Belanda yang besar dan memiliki dua daun.

Bangunan yang ditempati Karta Pustaka merupakan bangunan yang berdiri sejak 1896 atas dhawuh atau perintah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Di bagian tengah pendapa-nya yang diambil dari rumah Jawa klasik berangka tahun 1808 di Demak merupakan tempat HB VIII bermeditasi. Kawasan tersebut awalnya sebagai pesanggrahan dan pernah ditempati dua keluarga Belanda secara bergantian. Hingga yang terakhir keluarga Wibatsu, pakar almanak Jawa yang mengelola rumah Jawa klasik itu.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

151

Gambar 3.32 Pendopo Ndalem Mandara Giri, kental dengan langgam

tradisional Jawa.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Gambar 3.33 Arsitektur Indis terlihat pada bentuk pagar luar

Ndalem Mandara Giri.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

152

Gedung Sasmitaloka

Museum terletak di Jalan Bintaran Wetan No. 3, Yogyakarta. Sejarah Museum Sasmitaloka berawal dari gedung yang dibangun pada masa pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1890. Awalnya, bangunan bersejarah ini diperuntukkan bagi pejabat keuangan Pura Paku Alam VII, Tuan Winschenk. Pada masa penjajahan Jepang, bangunan dikosongkan dan barang-barangnya disita. Pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, bangunan ini dipakai sebagai Markas Kompi Tukul dari batalion Suharto. Sejak tanggal 18 Desember 1945 sampai 19 Desember 1948, bangunan ini menjadi kediaman resmi Jenderal Soedirman setelah menjadi Panglima Tertinggi TKR.

Gambar 3.34 Tampak depan Museum Sasmitaloka, bentuk atap dan

bangunan secara garis besar masih memperlihatkan gaya Tradisional Jawa.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

153

Selanjutnya, saat Agresi Belanda II, bangunan ini dipergunakan oleh Belanda sebagai Markas IVG Brigade T dan setelah kedaulatan Republik Indonesia ditetapkan pada tanggal 27 Desember 1949, bangunan ini dipergunakan sebagai kantor Komando Militer Kota Yogyakarta dan kemudian dipakai untuk asrama Resimen Infantri XIII dan penderita cacat (invalid). Selanjutnya, pada tanggal 17 Juni 1968, bangunan ini dipakai sebagai Museum Pusat Angkatan Darat, sebelum akhirnya diresmikan sebagai Museum Sasmitaloka Panglima Besar (Pangsar) Jenderal Sudirman pada tanggal 30 Agustus 1982.5

Museum ini dibagi ke dalam empat bagian, yakni Gedung Utama (dengan enam ruang pameran), Gedung Sayap Utara (tiga ruang pameran yang terletak di sisi kiri dari muka gedung utama), Gedung Belakang (satu ruang diorama), dan Gedung Sayap Selatan (yang terletak di sisi kanan dari muka gedung utama). Bentuk atap masih didominasi oleh atap pelana atau perisai, dengan bahan

penutup genting atau sirap. Sedangkan bahan bangunan beton mulai diperkenalkan. Demikian juga dengan pe-

ma kaian bahan kaca. Kaca yang cukup lebar banyak di per gunkan, terutama untuk penutup bukaan dan jendela.

5 Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY, Hasil pendataan Bangunan Indis di Kawasan Bintaran Yogyakarta, Jogja Heritage Society, 1997.

Gambar 3.35 Beranda bangunan dengan bentuk atap pelana, bahan penutup genting atau sirap (Sumber gambar: www.berhatinyaman.com –

2010, digambar ulang oleh Putera, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

154

Perkembangan arsitektur Indische juga terlihat pada bangunan ini, masa di mana arsitektur Indis mulai mengalami transisi dari bentuk Indische Empire menuju Indische Modern. Bangunan ini berusaha untuk menghilangkan kesan tampak arsitektur gaya “indische empire”. Dimulai dari tampaknya terlihat tidak simetri. Tampak bangunan lebih mencerminkan “Form Follow Function” atau “Clean Design” dengan maksud menampilkan bangunan “apa adanya” sesuai fungsinya. Bentuk simetri mulai banyak dihindari. Pemakaian teras keliling bangunan sudah tidak dipakai lagi karena dirasa sebagai pemborosan ruang dan sebagai gantinya mulai dipakai elemen penahan sinar. Arsitektur Indische di masa kolonial modern pada mulai dirancang berdasarkan fungsi ruang yang pada akhirnya mempengaruhi bentuk secara keseluruhan.

Kodamkar

Kediaman seorang warga Belanda bernama Henry Paul Sagers, kini dimanfaatkan sebagai kantor Komando Pemadam Kebakaran.

Gambar 3.36 Tampak depan bangunan dengan bentuk atap plana, penutup genting

(Sumber gambar: http://tamasya.com – 2011, diedit oleh penulis, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

155

Ciri khas bangunan Indische transisi terlihat pada bentuk bangunan yang tidak simetris. Peralihan menuju arsitektur Indische modern yang mencari identitas berupa perpaduan Indonesia – Eropa.

Gambar 3.37 Bukaan bergaya Arsitektur Indische Modern dengan material kaca dan ornamen.

(Sumber gambar: http://greenmap.or.id, - 2011, diedit oleh penulis, 2013)

Museum BiologiMuseum Biologi dirintis sejak terbentuknya Museum Zooligicum

pada tahun 1964, yang menempati salah satu ruang di Sekip, Sleman, DIY, di dalam Kampus UGM, yang dipimpin oleh Prof. drg. R.G. Indrojono dan koleksi herbarium yang menempati sebagian gedung di Jalan Sultan Agung 22 Yogyakarta, yang dipimpin oleh Prof. Ir. Moeso Suryowinoto. Pengelolaan keduanya ditangani oleh Fakultas Biologi,

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

156

yang pada waktu itu bertempat di Ndalem Mangkubumen, Ngasem, Yogyakarta, yang lebih dikenal dengan nama fakultas-fakultas Kompleks Ngasem.

Atas prakarsa Dekan Fakultas Biologi, yang pada waktu itu dijabat oleh Ir. Soerjo Sodo Adisewoyo, pada tanggal 20 September 1969, yaitu pada peringatan Dies Natalis Fakultas Biologi, Museum Biologi diresmikan. Museum tersebut merupakan penggabungan dari koleksi Museum Zoologicum dan Herbarium, dengan menempati gedung di Jalan Sultan Agung 22 Yogyakarta. Museum Biologi memiliki koleksi spesimen hewan dan tumbuhan dalam bentuk awetan kering, awetan basah, serta fosil, yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan beberapa dari luar negeri. Koleksi museum tersebut digunakan sebagai sarana studi dosen, mahasiswa, pelajar, dan umum.6 Bangunan tersebut masih sangat terpengaruh oleh pengaruh gaya Indische Empire. Hal ini didukung dari tampilan fasad yang sangat simatris. Kolom terlihat lebih

6 Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY, Hasil pendataan Bangunan Indis di Kawasan Bintaran Yogyakarta, Jogja Heritage Sociaty, 1997

Gambar 3.38 Tampak depan Museum Zoologicum, bangunan ini masih terlihat kental dengan arsitektur Indische Empire, bentuk atap plana – limasan

dan tampak depan simetris

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

157

ramping. Karakteristik bangunan mulai bercampur dengan arsitektur vernacular daerah setempat.

Mahmilub

Bangunan Mahmilub berada di Jalan Sultan Agung Yogyakarta. Semula gedung ini difungsikan sebagai kantor Mahkamah Militer Luar Biasa dan Oditorat Militer (Odmil) mempunyai riwayat yang sama dengan bangunan–bangunan lainnya di kawasan Bintaran. Bangunan ini tadinya adalah salah satu fasilitas perumahan bagi opsir–opsir Belanda, dibangun pada awal abad XX. Bangunan tersebut secara politis dibangun untuk menjaga kepentingan pihak VOC Belanda mengawasi gerak–gerik Puro Pakualaman.

Pada masa pendudukan Jepang di tahun 1942, pemukiman orang–orang Belanda diambil alih oleh pihak Jepang. Pemerintah Jepang yang mengambil alih kemudian mengubah fungsi bangunan menjadi perkantoran, perumahan, gudang, dan lain–lain. Seiring dengan perkembangan sejarah bangsa Indonesia, sesudah masa kemerdekaan bangunan tersebut dikembalikan kembali fungsinya seperti semula sebagai kantor mahkamah militer. Peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada bangunan ini adalah sebagai tempat pengadilan bagi pelaku G-30-S/PKI yang dilakukan pada masa pemerintahan orde baru. Kompleks bangunan Mahmilub ini memiliki dua halaman, yaitu: halaman muka dan halaman belakang, serta beberapa bangunan, yaitu: bangunan induk, bangunan sayap, dan bangunan belakang. Pada bagian halaman, telah diperkeras dengan batu andesit dan plesteran semen dan pasir. Tiang–tiang penyangga pagar berupa besi cor.7

Bangunan induk telah mengalami banyak perubahan dalam bentuk, penggantian bahan, pengurangan dan penambahan elemen bangunan di beberapa tempat. Pengurangan di antaranya yaitu

7 Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY, Hasil pendataan Bangunan Indische di Kawasan Bintaran Yogyakarta, Jogja Heritage Sociaty, 1997

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

158

pemotongan bangunan sayap barat setelah pengalihan penguasaan tanah. Beberapa bangunan sayap timur dan belakang mengalami penambahan dan pengurangan sesuai perubahan fungsinya.

TK – SD Bopkri

Menurut beberapa sumber, sekolah yang saat ini difungsikan menjadi sekolah TK – SD – SMP BOPKRI adalah asrama tentara Belanda. Dari tatanan masa bangunan dan tata ruang, sedikit banyak bercerita bahwa bangunan ini merupakan bangunan umum yang dipakai militer pendudukan Belanda. Belum ada sumber yang jelas menceritakan fungsi bangunan ini semula, tetapi sejak masa kemerdekaan sudah berubah fungsi menjadi sekolah Bintaran, seiring waktu maka sekolah Bintaran berkembang di bawah naungan Yayasan Pendidikan BOPKRI, Yogyakarta.

Gambar 3.39 Gedung Mahmilub dengan ciri bangunan Indische Empire yang diapit oleh dua bangunan pada sayap kiri dan kanan, namun telah

dimodifikasi dengan beberapa material modern.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

159

Gambar 3.40 Tampak depan bangunan yang simetris menunjukan ciri bangunan Indishe Empire. (Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Gambar 3.41 Teras keliling masih tampak pada sekeliling bangunan

menunjukan ciri khas langgam Indische Empire.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

160

Penjara Wirogunan

Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Yogyakarta atau yang sering disebut dengan nama Lapas Wirogunan terletak di Jl. Tamansiswa 6 Yogyakarta. Menempati areal seluas kurang lebih 3,8 ha. Bangunan ini merupakan salah satu bangunan peninggalan kolonial Belanda yang dibangun pada tahun 1910 sampai tahun 1915 dengan nama awal Gevangelis En Huis Van Bewaring. Hingga sekarang Lapas Klas II A Yogyakarta telah mengalami enam pergantian nama.8

Gevangelis En Huis Van Bewaring (zaman Belanda)• Pendjara Djogdjakarta• Kependjaraan Daerah Istimewa Djogjakarta• Kantor Direktorat Bina Tuna Warga• Lembaga Pemasyarakatan Klas I Yogyakarta• Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Yogyakarta•

Gambar 3.42 Tampak depan penjara Wirogunan, simetris dengan atap plana

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

8 Sejarah Lapas Wirogunan

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

161

Bentuk yang memperlihatkan pengaruh arsitektur Indische terlihat pada bentuk masa bangunan yang masif, unsur simetris terlihat pada tampak, namun ornamen tidak banyak dipergunakan.

Penggunaan material modern seperti tembok beton menjadi dominan. Hal ini tak lepas dari fungsinya sebagai lembaga pemasyarakatan yang menuntut keamanan lebih dibandingkan bangunan dengan fungsi lain.

Gereja Bintaran

Gereja Santo Yusup Bintaran Yogyakarta dibangun pada tahun 1933 – 1934. Gedung gereja diresmikan pada hari Minggu 8 April 1934. Perancang bangunannya adalah seorang Belanda bernama J.H. van Oijen B.N.A. dan dilaksanakan pembuatannya oleh Hollandsche Beton Maatschappij.

Menurut catatan, bangunan pertama Gereja Bintaran berukuran panjang 36 meter sampai di bagian bangku tempat komuni. Bagian kiri dan kanan berukuran panjang 20 meter. Lebar bagian tengah 10 meter dan bagian sisinya, masing-masing 5 meter sehingga lebar seluruhnya 20 meter. Atas penaung bagian tengah memiliki ukuran tinggi 13 meter.

Beberapa keunikan Gereja St. Jusuf Bintaran adalah (1) merupakan gereja Jawa pertama yang dibangun dan diperuntukkan untuk orang pribumi; (2) bangunan yang sangat unik karena bentuknya yang menyerupai peti mati merupakan salah satu dari dua gereja di

Gambar 3.43 Tampak bangunan masif, namun penanda muka atau jalur masuk terlihat dari jenis bukaan yang lebar, baik untuk pintu maupun

jendela.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

162

dunia yang berbentuk sejenis; (3) Gereja menjadi saksi perjuangan dalam merebut kemerdekaan. Saat ibu kota Pemerintahan RI dipindahkan ke Yogyakarta, Gereja menjadi tempat persembunyian keluarga Bung Karno dan Bung Hatta; (4) merupakan tempat rintisan sekolah pribumi Kolose De Britto; (5) merupakan bangunan Gereja yang sering digunakan sebagai tempat pertemuan kelompok gereja Katolik, antara lain Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI), yang berlangsung dari tanggal 12 – 17 Desember 1949 yang kemudian melahirkan Partai Katolik Indonesia; dan (6) Gereja Bintaran termasuk ke dalam cagar budaya yang dilindungi oleh Negara Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.25/PW.007/MKP/2007 tentang Penetapan Situs dan Bangunan Tinggalan Sejarah dan Purbakala yang Berlokasi di Wilayah Provinsi DIY sebagai Benda Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya.9

9 Raharjo. N, Aloysius, Atmaja, Danny, Antonius Dewantoro, GT Fernandus, Cyrillus Yudhi (Tim Mahasiswa) Tugas Mata Kuliah Sejarah Teori Perkembangan Kota – Kajian Sejarah Kawasan Bintaran, Program Studi Arsitektur UAJY, 2011

Gambar 3.44 Bentuk masa bangunan Gereja Bintaran.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

163

Gambar 3.45 Komposisi bangunan yang sudah tidak simetris, penggunaan material beton bertulang, Penggunaan shading, tidak lagi menggunakan teras

keliling, mewakili ciri Arsitektur Indische Modern.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Gambar 3.46 Pendopo dalam kompleks Gereja menandakan perpaduan unsur tradisional Jawa dengan Eropa yang dulunya digunakan untuk kegiatan

kemasyarakatan dan proses belajar.

(Sumber gambar: Dokumen Penulis, 2013)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

164

Rumah – Rumah Kuno

Bintaran Tengah

Rumah besar dari Bintaran Tengah 12 dibangun pada tahun 1890. Komposisi bangunan bata tebal tanpa beton (teknik beton hanya didirikan pada awal abad 20). Dirancang dalam “Indische woonhuis”, yaitu arsitektur tropis di Indonesia yang pada awal fusi antara nilai-nilai Eropa dan tradisional. Bangunan ini terletak di Jalan Bintaran Tengah No 12. Saat ini bangunan ini ditinggali keluarga Poei Soe Hie.

Pada awal pembangunannya sekitar permulaan abad 20, ba-ngunan ini dibangun sebagai salah satu hunian bagi pejabat Belanda. Ciri khas Arsitektur Indische Modern, tampak dari penggunaan material modern yang mendominasi, seperti tembok beton, kaca, baik sebagai penutup bukaan maupun sebagai elemen dekoratif, serta jenis bukaan yang lebar.

Asrama–asrama Mahasiswa

Seperti halnya kampung Indische lainnya, kawasan Bintaran dibentuk oleh bangunan-bangunan berarsitektur khas Eropa yang hingga saat ini tetap bertahan. Namun, kawasan Bintaran telah beralih fungsi menjadi kawasan permukiman bagi para mahasiswa yang berasal dari luar pulau Jawa sehingga dapat ditemukan pula beberapa bangunan asrama mahasiswa yang mengadopsi arsitektur khas daerah tersebut di kawasan Bintaran.

Beberapa asrama mahasiswa yang menenempati bekas gedung atau bangunan peninggalan rumah Belanda antara lain berikut ini.

Asrama Mahasiswa Putri RAHADI OSMAN KALBAR,• Asrama Sulawesi Selatan,• Asrama Putri Bunda Kanduang,• Asrama Putri Riau.•

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

165

Keberadaan beberapa asrama yang dihuni pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia mengakibatkan kawasan Bintaran kini disebut sebagai Indonesia mini. Pada era modern memasuki era kemerdekaan, bangunan-bangunan permukiman di kawasan Bintaran mulai mengalami perubahan beberapa dengan berusaha menampilkan identitas daerahnya masing-masing. Hal ini mengakibatkan ciri dari arsitektur bangunan Indische mengalami degradasi atau terancam punah.

Kesimpulan

Kawasan Bintaran telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang sehingga akhirnya membentuk karakteristik sebagaimana yang dapat kita amati saat ini. Tidak sekadar pada aspek bangunan, kawasan Bintaran telah mengalami pula sejarah peralihan atau perubahan pada aspek tata guna lahan. Sejak periode tahun 1890, kawasan Bintaran diperuntukkan sebagai kawasan permukiman dan pada tahun 1940 berubah menjadi sebuah kawasan militer. Bukti dari peralihan tata guna lahan kawasan Bintaran sebagai kawasan militer pada era perjuangan adalah dengan adanya pangkalan TNI-AD yang sekarang bernama Museum Sasmitaloka.

Dengan semakin berkembangnya permukiman di kawasan Bin taran bagi penduduk pribumi ketika memasuki era perjuangan merebut kemerdekaan dari Kolonialisme Belanda, dibangun sejumlah fasilitas pendukung yang mewadahi kegiatan dan kehidupan sehari-hari masyarakat lokal, antara lain dengan dibangunnya Gereja Bintaran sebagai Gereja pribumi pertama di Yogyakarta, serta sejumlah fasilitas sekolah dan asrama mahasiswa.

Berdasarkan fenomena perubahan tata guna lahan dan bangunan di kawasan Bintaran, dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini.

Kawasan Bintaran tetap berusaha mempertahankan tata guna • lahan/fungsinya sebagai sebuah kawasan permukiman, meskipun

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

166

mayoritas warga yang menghuni kawasan Bintaran kini adalah warga pribumi (non-Belanda). Akibat dari perubahan tersebut adalah terjadinya perubahan atau • pergeseran pada ciri atau karakteristik kawasan Bintaran yang jika tidak dikontrol akan mengancam kelestarian ciri atau karakteristik Bintaran sebagai permukiman yang sarat dengan peninggalan arsitektur Belanda. Perubahan pada wajah bangunan Bintaran menyimbolkan lemahnya • mekanisme dan sistem kontrol yang diterapkan oleh Pemerintah Daerah selama ini dalam mengendalikan pembangunan di kawasan Bintaran sebagai sebuah cagar budaya peninggalan Kolonialisme Belanda yang seharusnya dilindungi/dijaga kelestariannya. Hilangnya identitas asli kawasan Bintaran, yang mulai tergeser • oleh pembangunan yang tidak terkendali dengan tidak mempertimbangkan identitas Bintaran sebagai sebuah cagar budaya peninggalan kolonial Belanda, berarti punahnya potensi Bintaran sebagai sebuah museum sejarah dan pengetahuan yang seyogianya dapat menjadi sumber informasi yang menghubungkan kehidupan masa lampau dengan masa sekarang, antara kenangan dengan cita-cita di masa depan.

Daftar Pustaka

Hartono, Samuel, 2006, Arsitektur Transisi dari akhir abad 19 ke awal abad 20, Jurnal Arsitektur Petra.

Jogja Heritage Society, 1997, Hasil pendataan Bangunan Indis di Kawasan Bintaran Yogyakarta, Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY.

Raharjo. N, Aloysius, Atmaja, Danny, Antonius Dewantoro, Fernandus, Cyrillus Yudhi, 2011, Kajian Sejarah Kawasan Bintaran, UAJY: Tugas Matakuliah Sejarah Teori Perkembangan Kota Fakultas Teknik Program Studi Arsitektur.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

167

Suptandar, J.P., 2001, Arsitektur “Indis” tinggal kenangan, Jakarta: Kompas, Edisi 14 Oktober 2001

Internet : http://ipb.ac.id/backend.php/offices-and-services/landhuis) diunduh 25 Maret 2013

Internet : http://tamasya.blogspot.com/ diunduh 25 Maret 2013Internet : http://greenmap.or.id/index.php?start=7 diunduh 25 Maret

2013Internet : http://mahandisyoanata.multiply.com/photos/album/93/93

diunduh 25 Maret 2013Internet : http://id.wikipedia.org/wiki/Indische_Woonhuizen diunduh

13 April 2013Internet : http://lapaswirogunan.info/sejarah/ diunduh 25 Maret 2013

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

168

Konsep Garden City di Kawasan Kotabaru Yogyakarta

Yanuarius Benny Kristiawan

Abstrak

Sudah lebih dari 100 tahun konsep Garden City ditawarkan Ebenezer Howard, sebuah konsep desain kota yang menarik dan sebenarnya masih relevan diaplikasikan. Saat ini, penerapan konsep tersebut secara lengkap sangat sulit dilakukan mengingat semakin sempitnya area-area pertanian, tidak terkecuali di Indonesia. Pemahaman pragmatis terhadap konsep tersebut membuat seolah konsep ini kuno dan tidak relevan lagi diterapkan. Dua aspek pokok yang dapat dipelajari dari konsep tersebut adalah struktur kawasan dan kualitas ruang mikronya yang khas.

Kajian rasionalistik dilakukan dengan menggali nilai dan prinsip konsep Garden City dan menggunakannya untuk membaca kawasan Kotabaru Yogyakarta yang oleh sebagian orang dinyatakan sebagai kawasan yang menerapkan konsep Garden City. Pendapat tersebut umumnya hanya mengacu pada rindangnya pepohonan di kawasan tersebut. Pertumbuhan di dalam kawasan dan lingkungan sekitarnya membuat kekhasan Kotabaru terancam hilang. Perubahan fungsi guna lahan dan perubahan elemen-eleman pokok kawasan yang membentuk karakter khas Kotabaru dapat mengancam hilangnya nilai-nilai positif yang ditawarkan dalam konsep Garden City.

Berdasarkan kajian yang dilakukan, pemahaman akan nilai dan prinsip Garden City serta aplikasinya pada kawasan Kotabaru diharapkan dapat membuat kawasan tetap terjaga kualitasnya sehingga nyaman dihuni.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

169

Pendahuluan

Latar Belakang

Kota menjadi penting untuk diperhatikan karena mendekati tahun 2010 lalu, tidak kurang dari 54% penduduk Indonesia tinggal di kota. Diperkirakan pada tahun 2025 penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan akan menjadi 68%. Identifikasi permasalahan lingkungan perkotaan di Indonesia menjadi semakin mendesak untuk dilakukan dan diselesaikan karena tidak terkendalinya jumlah laju pertumbuhan penduduk Indonesia (KOMPAS, 10 Januari 2011).

Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia, terutama di daerah perkotaan, yang semakin tinggi ini sudah sangat terasa dampaknya bagi kualitas kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya. Hal tersebut diperparah dengan tidak terkendalinya perkembangan fisik kota sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Salah satu kekhawatiran yang muncul adalah kecenderungan pembangunan kota yang meminimalkan

Gambar 3.47 Trend Jumlah Penduduk Indonesia

(Sumber gambar: KOMPAS, 10 Januari 2011)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

170

ruang terbuka hijau. Gejala yang terasa jelas adalah meningkatnya suhu udara kawasan perkotaan tersebut. Suhu rata-rata Indonesia tahun 2000-2100 diperkirakan naik 1° C, lebih tinggi dibandingkan kenaikan seabad sebelumnya, sebesar 0,65°. Meski hanya 1°, dampaknya serius. Menurut Sudibyakto, dalam Tribun Manado tanggal 29 November 2012, perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia memicu makin tingginya kenaikan suhu udara.

Gejala-gejala di atas juga terjadi di Kota Yogyakarta. Banyak dijumpai lahan-lahan hijau dialihfungsikan menjadi perumahan, pertokoan, perkantoran, industri, dan area rekreasi yang tidak mempertimbangkan kaidah-kaidah penataan lingkungan yang baik. Perubahan yang terjadi tidak hanya yang kasat mata berupa perubahan dari lahan kosong hijau, seperti taman, sawah ataupun daerah aliran sungai, menjadi fungsi lain, tetapi juga persentase Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang berubah, walaupun dalam fungsi yang tetap. Perubahan KDB yang tadinya berupa lahan area terbuka hijau menjadi perkerasan dengan paving atau pengembangan bangunan.

Kasus-kasus perubahan fungsi bangunan atau perubahan KDB, yang berdampak pada berkurangnya area terbuka hijau di suatu kawasan kota, terjadi pula di Kawasan Kotabaru Yogyakarta, yang merupakan salah satu kawasan khas dengan dominasi fungsi rumah tinggal dan pepohonan. Saat ini fungsi rumah tinggal yang ada mulai berubah menjadi fungsi komersial dan perkantoran. Area terbuka hijau di tapak rumah tinggal berubah fungsi menjadi area parkir atau bangunan baru. Pepohonan besar yang ada di dalam tapak ditebang atau dipangkas cabang-cabangnya sehingga membuat karakter lingkungan juga berubah, dari yang sebelumnya teduh menjadi terang tanpa peneduh.

Alasan peremajaan sering digunakan untuk mengubah bagian-bagian kota. Beberapa ahli kota dan pemerintah daerah akan menyatakan bahwa peremajaan itu diperlukan karena bagian kota itu

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

171

sudah kumuh, tidak efisien, tidak sesuai zaman, letaknya strategis, dan lain sebagainya. Jawaban dan sikap seperti itulah yang menjadi sumber segala masalah dan gejolak sosial yang dialami di hampir semua kota besar (Bianpoen, 1996).

Salah satu alasan perubahan ruang adalah alasan ekonomi. Sebuah alasan logis bila sebuah kota berkeinginan untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakatnya. Namun, kemajuan ekonomi yang dialami kota sering tidak diikuti kemajuan secara ekologi. Di samping kenaikan suhu maksimum absolut yang terjadi di Kota Yogyakarta, kasus-kasus pencemaran lingkungan sebagai akibat keseimbangan ekosistem menjadi bermunculan seperti tingkat pencemaran yang tinggi, baik udara, tanah dan air.

Pencemaran udara berupa meningkatnya kadar CO (Karbon Monoksida), NO2 (Nitrogen Dioksida), dan SO2 (Sulfur Dioksida) Kota Yogyakarta sudah memasuki nilai ambang batas dan perlu diwaspadai. Karena itu perlu segera diambil langkah-langkah guna menghindari kemungkinan terjadi hujan asam. Sekarang di jalan raya makin banyak para pengendara sepeda motor yang mengenakan masker meskipun

Grafik 3.1 Grafik Tren Suhu Maksimum Absolut Tahunan Kota Yogyakarta

(Sumber gambar: www.bmkg.co.id)

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

172

seadanya. Sebab, mereka menyadari bahwa tingkat pencemaran udara makin tinggi (Sri Sultan HB X, 2002).

Salah satu usaha untuk menjaga keseimbangan ekosistem di wilyah perkotaan sehingga tetap nyaman untuk aktivitas manusia yang tinggal di dalamnya adalah dengan mempertahankan keberadaan pepohonan di kawasan perkotaan. Manfaat pepohonan dan hutan kota sangat bervariasi, antara lain manfaat estetika yang dapat berpengaruh pada psikologis, perbaikan iklim perkotaan dan reduksi polusi udara.

Kawasan Kota Yogyakarta yang dikenal dengan keberadaan pepohonan yang rindang dengan tatanan ruang yang khas adalah kawasan Kotabaru. Kekhasan pola kawasan dan suasana rindang pepohonan membuat banyak orang menganggap bahwa kawasan Kotabaru merupakan salah satu contoh desain kawasan kota dengan konsep Garden City. Beberapa tulisan mengemuka dengan menyatakan bahwa Kotabaru merupakan salah satu warisan konsep Garden City dari zaman kolonial Belanda. Sebagaimana dipublikasikan dalam www.gamawisata.com yang menyatakan bahwa Kotabaru Jogja sebagai kawasan yang didesain dengan konsep Garden City. Demikian pula http://www.kotajogja.com/wisata/index/Kawasan-Kotabaru yang me-nya takan bahwa ruas jalan yang cukup besar dengan taman bunga sebagai pembagi ruas jalan, pohon-pohon besar, dan tanaman buah yang banyak terdapat di ruas jalan ini menandakan Kotabaru dirancang dengan konsep Garden City.

Permasalahan Perubahan untuk Kemajuan

Ide-ide yang berkembang dalam masyarakat modern dengan berlatarbelakang kesejahteraan atau harkat kemanusiaan memberi pengaruh pada relasinya dengan lingkungan. Salah satu pengaruhnya adalah bergeraknya industrialisasi di berbagai sektor di negara-negara Eropa dan Amerika mulai abad 18. Revolusi industri menjadi salah satu noktah penting perubahan peradaban manusia. Orang mulai bergerak

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

173

ke kota di mana pusat-pusat industri berada. Demi kesejahteraan dan kemajuan, eksploitasi alam menjadi kredo yang dilegalkan demi industrialisasi dan kemajuan tersebut. Hal ini terjadi di hampir seluruh belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia.

Sebuah ironi terjadi sebagaimana dikatakan oleh Martin (2009) dalam Supelli (2009). Di belakang pembangunan kota-kota modern, bersembunyi Ideal Pencerahan dan semua asumsinya mengenai rasionalitas, efisiensi, dan universalisasi ruang sehingga kota dapat dibangun di mana saja tanpa mempertimbangkan kendala lingkungan dan daya tampung alam. Dengan kata lain, kota adalah perkara keselamatan manusia dan kesejahteraannya, bukan perkara ekosistem. Ideal pencerahan yang menekankan rasionalitas juga meruntuhkan apa yang sampai awal Renaisans masih dipandang sebagai kekeramatan alam yang tersisa di kota, seperti pepohonan dan sungai.

Kawasan Kotabaru Yogyakarta merupakan kawasan yang dibangun terpisah di luar inti kota lama Yogyakarta, yaitu kawasan Kraton. Ide pembangunannya dapat menjadi gambaran dikotomi antara alam dan kebudayaan; sebuah konsep khusus yang digunakan pemerintah kolonial Belanda dalam menyediakan kawasan perumahan bagi warga Belanda dan kulit putih (Eropa) lainnya. Berbeda dengan lingkungan masyarakat sekitarnya yang berlatarbelakang budaya Jawa. Kualitas fisik kawasan yang terbentuk di kawasan Kotabaru dapat dijumpai pula di kawasan perumahan lain di kota-kota Indonesia, seperti kawasan Menteng di Jakarta, kawasan Candi di Semarang, Situs Cagar Budaya Darmo di Surabaya dan kawasan Ijen di Malang. Kawasan dengan struktur non-grid yang luwes dengan ruang jalan yang lebar. Bangunan rumah tinggal dengan KDB rendah di mana area terbukanya ditanami berbagai jenis pohon besar. Taman-taman aktif dan pasif dibangun membentuk deretan pohon di kiri kanan jalan atau berupa boulevard.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

174

Gambaran akan relasi lingkungan buatan dan alami yang terbangun secara indah, lambat laun mengalami perubahan. Saat ini kawasan Kotabaru telah mengalami perubahan-perubahan yang signifikan. Sifat kepemilikan perorangan membuat peninggalan fisik yang ada mudah mengalami perubahan. Melalui berbagai pertimbangan yang terkait dengan lingkungan, kesejarahan, konservasi dan fungsinya bagi Kota Yogyakarta secara umum, keberadaan kawasan Kotabaru beserta karakteristik khas kawasannya perlu mendapat perhatian. Bila dikaitkan dengan ide konsep Garden City yang berkembang pada abad ke-20, dapat dipertimbangkan bagaimanakah ide-ide tersebut dapat ditarik untuk membantu membuat sebuah kota tetap menarik dan dapat ditinggali dengan nyaman oleh para penghuninya.

Kajian terhadap alasan atau latar belakang munculnya sebuah ide dan diterapkan dalam penataan kawasan kota, khususnya kawasan Kotabaru serta bagaimanakah sebenarnya konsep Garden City yang dianggap sebagai konsep yang diterapkan di kawasan Kotabaru, perlu dikaji. Hal tersebut selain sebagai pertanggungjawaban keilmuan, juga merupakan pijakan bagi kegiatan perbaikan, pengembangan, dan konservasi selanjutnya.

Gambar 3.48 Boulevard Utama Kotabaru di Jalan Suroto Tahun 2013

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

175

Konsep Garden City

Konsep Garden City pertama kali disampaikan oleh Ebenezer Howard (1850-1928) yang merupakan telaah terhadap magnet-magnet, yaitu kota (town) sebagai gambaran tempat yang penuh dengan kesenangan dan kesempatan, sedangkan pedesaan (country) sebagai gambaran keindahan alami, udara segar dan biaya hidup rendah dan kota desa (town-country) sebagai gambaran gabungan keduanya.

Howard, dengan gerakan Garden City-nya, adalah salah satu di antara tokoh-tokoh reformasi sosial abad ke-19, seperti William Morris, Thomas More, ataupun John Ruskin. Pada abad tersebut kota-kota di Inggris mengalami tekanan atas lingkungan perkotaannya, khususnya di kawasan industri di mana kondisi kehidupan yang suram dan tidak sehat terjadi. Hal ini dipicu oleh perpindahan penduduk dari desa ke kota-

kota. Konsep Garden City yang ideal yang ditawarkan Ebenezer Howard berusaha untuk meningkatkan standar kesehatan dan kenyamanan bagi pekerja industri, dengan menyediakan lingkungan hidup yang memadukan unsur-unsur terbaik dari kota dan kehidupan desa. Dalam diagram “The Three Magnet”, Howard mengidentifikasi unsur-unsur yang menguntungkan antara gaya hidup desa dan

kota. Unsur-unsur tersebut berusaha untuk ditiru dan diterapkan dalam konsep

Gambar 3.49 Tiga Magnet yang Menarik Kota – Desa – Kota Desa oleh Ebenezer

Howard

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

176

Garden City yang ideal.Kawasan yang

diusulkan Howard mencakup luas 6.000 acre yang berbasis pada kawasan pertani-an sebagai layer dasar (Gambar 3.48). Seperenam dari luas lahan tersebut (1.000 acre), dibuat bentuk lingkaran dengan luas sekitar 1.240 yard (sekitar tiga perempat mil). Keenam kawasan mengelilingi kota pusat. Antar kawasan kota dihubungkan dengan jalur jalan dan jalur kereta api.

Selanjutnya, enam boulevard besar yang masing-masing berlebar 120 feet membelah kota dari pusat menuju ke area tepi lingkaran dalam ukuran yang sama. Pada bagian pusat lingkaran yang berukuran kurang lebih lima setengah hektar, dibuat taman yang indah. Mengelilingi taman ini dibangun fasilitas publik seperti balai kota, museum, teater, rumah sakit dan lecture hall. Di bagian luar bangunan-bangunan publik tersebut dibangun taman yang disebut sebagai central park. Area kosong yang mengelilingi bagian tepinya dibuat fasilitas publik yang disebut sebagai crystal palace yang mengarah terbuka ke taman umum seluas 145 acre yang digunakan sebagai sarana rekreasi yang mudah diakses oleh semua orang. Crystal Palace sebagai arcade kaca yang berorientasi ke arah taman, sebagai tempat jual dan dipamerkannya semua produk industri.

Gambar 3.50 Konsep Keseluruhan Jaringan Garden City oleh Ebenezer Howard

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

177

Area yang melingkupi central park yang demikian luas dipertimbangkan sebagai taman musim dingin. Keseluruhan fungsi ter sebut membentuk sebuah area pamer per-manen yang atraktif di mana bentuknya yang melingkar memungkinkan setiap penduduk untuk mengakses dari tempat tinggal mereka dengan jarak sekitar 600 yard.

Garden City, yang dibangun pada pusat area yang berluas 6.000 acre

(2,428,14 Ha) tadi, mencakup area seluas 1.000 acre (sekitar 404,69 Ha), atau seperenam dari seluruh luasan yang ada, memiliki bentuk lingkaran yang mempunyai garis tengah sekitar 2.480 yard (2.267,712 m). Enam boulevard yang masing-masing mempunyai lebar 120 kaki, melintang dari pusat sampai pinggiran kota, memisahkan seluruh kawasan menjadi enam bagian yang sama luas. Area pusat merupakan ruang lingkar yang berfungsi sebagai taman kota yang dipenuhi dengan berbagai macam tanaman dan taman air. Di sekeliling taman ini, berdiri bangunan-bangunan publik, seperti balai kota, concert hall, bioskop, perpustakaan, museum, galeri, dan rumah sakit.

Di sekeliling Central Park berupa area luas yang dilingkupi bangunan kaca yang disebut sebagai Crystal Palace, berorientasi terbuka ke arah taman. Di bangunan ini semua barang yang merupakan produk industri dipamerkan dan dijual. Namun dari segi luas bangunan,

Gambar 3.51 Bagian-bagian Guna Lahan Garden City

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

178

Cystal Palace terlalu luas untuk memenuhi fungsi aktivitas yang di dalamnya. Oleh karena itu, sebagian area digunakan sebagai taman di musim dingin. Keseluruhan fungsi tersebut membentuk sebuah area pamer permanen yang atraktif di mana bentuknya yang melingkar memungkinkan setiap penduduk untuk mengunjunginya dari arah pencapaian yang paling dekat dengan rumah mereka.

Mengarah keluar dari Chrystal Palace ke arah cincin luar kota, akan melewati jalur melingkar luar selanjutnya yang disebut sebagai Fifth Avenue. Jalur ini juga dirindangi dengan pepohonan di tepi jalannya. Menghadap ke arah Crytal Palace, dibangun bangunan-bangunan indah. Jumlah penduduk yang direncanakan untuk konsep Garden City ini adalah untuk 32.000 orang. Bagian penting yang diperhatikan untuk bangunan dalam konsep Garden City ini adalah kontrol terhadap sempadan bangunan, sanitasi, dan ukuran yang rata-rata berkisar 20 x 130 feet.

Pada lingkaran luar selanjutnya adalah Grand Avenue. Area ini menjadi sabuk hijau dengan lebar sekitar 420 yard dan panjang lebih dari 3 mil. Grand Avenue seolah membagi konsep Garden City dalam dua area, yaitu dalam dan luar. Di dalam Grand Avenue ini terdapat fasilitas sekolah, tempat bermain dan tempat ibadah, seperti gereja.

Lingkaran terluar konsep Garden City, yaitu pabrik, gudang, perusahaan susu, pasar, penyedia batubara dan kayu. Area ini dilewati jalur kereta api yang mengelilingi bagian tepi kota dan menghubungkannya dengan areal perkebunan. Hal ini memungkinkan barang yang akan dimuat langsung dari truk ke gudang atau bengkel atau dikirim ke pasar kota lainnya melalui jalur kereta api. Demikian pula sebaliknya, barang-barang dari luar yang diangkut dengan kereta api dapat langsung dimuat truk atau diturunkan di gudang atau bengkel-bengkel kerja. Hal ini dapat menghemat pengepakan dan pengangkutan sehingga kerusakan dapat dikurangi. Lalu-lintas kendaraan kota di

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

179

dalam kota dapat dikurangi. Hal ini akan berdampak baik pada reduksi pencemaran udara yang diakibatkan asap kendaraan.

Populasi di satu Garden City diperkirakan tidak melebihi 32.000 orang. Bila melebihi angka tersebut, harus dibuat Garden City lainnya, dan seterusnya hingga terbentuk social city sebagai pusatnya. Antara Garden City satu dengan yang lain akan dihubungkan dengan jalur jalan dan jalur kereta api untuk mempermudah akses penghuni. Harapan Howard terbentuk sinergi dan integrasi yang baik antara kota dan area pertumbuhan di sekitarnya.

Gambar 3.52 Jaringan Antarkota pada Konsep Garden City oleh Ebenezer Howard

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

180

Kotabaru dan Perkembangannya

Sejarah Kawasan Kotabaru Yogyakarta

Kota Yogyakarta berdiri dan berkembang menjadi salah satu kota besar yang terdapat di Indonesia. Sebagaimana sebagian besar kota-kota lainnya, Yogyakarta memiliki peninggalan-peninggalan karya arsitektur yang sebenarnya bernilai tinggi dari segi sejarah ataupun arsitekturnya. Dalam hal ini, termasuk bangunan-bangunan peninggalan zaman kolonial Belanda. Peninggalan karya arsitektur zaman kolonial Belanda di Yogyakarta antara lain berupa bangunan-bangunan benteng, perkantoran dan kawasan perumahan.

Kawasan perumahan atau perkampungan di Yogyakarta ber-kembang bersama-sama dengan perkembangan pembangunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada awalnya, perkampungan yang ada dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: perkampungan untuk kaum pribumi dan untuk orang asing. Perkampungan untuk kaum pribumi di luar kraton dimulai dari kampung-kampung untuk perumahan atau asrama-asrama para anak buah angkatan perang dan para perwiranya. Perumahan untuk orang asing (Belanda) di Yogyakarta dimulai dengan izin berdirinya Benteng Vredeburg. Selanjutnya, beberapa daerah di Yogyakarta diperkenankan berdiri tempat tinggal untuk orang kulit putih atau Eropa. Daerah-daerah tersebut dimulai dari kawasan Loji Kecil, yang berada di sekitar Benteng Vredeburg. Saat jumlah orang Eropa semakin banyak, permukiman baru diperlukan untuk menampung mereka.

Berawal dari perumahan di kawasan Loji Kecil meluas ke jalan Setyodiningratan, Kampung Bintaran, Kampung Jetis hingga terakhir di Kotabaru (Darmosugito, 1956). Cornelis Canne sebagai residen saat itu meminta izin pada Sri Sultan Hamengku Buwana VII agar diperbolehkan menggunakan lahan di sebelah utara kota sebagai tempat permukiman khusus orang Eropa. Hal ini dilakukan karena

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

181

jumlah orang Eropa semakin banyak dan Kawasan Bintaran juga semakin sesak. Lahan yang tersedia tersebut berada di sebelah timur Sungai Code (di lahan yang disewa oleh perkebunan tebu Muja-Muju), yang akhirnya dibangun sebagai kawasan permukiman bernama nieuwe wijk (Bruggen & Wassing, 1998 dalam Wahyu, 2011).

Gambar 3.53 Contoh Bangunan Langgam Zaman Kolonial Belanda di Kawasan Kotabaru

Kawasan Kota Baru merupakan kawasan perumahan bagi orang Belanda yang dibangun setelah Perang Dunia I, atau pada akhir pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VII, yaitu tahun 1877 – 1921. Kawasan ini merupakan kawasan yang benar-benar baru dibangun terpisah dari Kota Yogyakarta lama.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

182

Sebagaimana dinyatakan dalam Rijksblad van Sultanaat Djogjakarta 1917, No. 12; 107-108 (Wahyu, 2011), pelaksanaan pembangunan Kawasan Kotabaru ini diatur secara rinci. Dokumen tersebut berisi tentang pemberian lahan beserta wewenangnya agar dapat didirikan bangunan, jalan, taman beserta perawatannya dengan ketentuan yang diatur oleh pihak kesultanan. Penggunaan lahan tersebut dibebani pajak dan uang sewa agar kesultanan juga mendapat keuntungan. Penggunaan tanah ditangani oleh sebuah komisi yang diberi nama Komisi Penggunaan Tanah (Comissie van Grondbedrijf) yang mendapat uang muka penggunaan dari kesultanan dengan bunga 5% per tahun. Anggota-anggota komisi ini ditentukan oleh pihak kesultanan dan karesidenan. Sebagai pelaksana proyek pembuatan kawasan adalah Departemen van Sultanaat Werken, yang diketuai oleh Ir. L.V.R. Biileveld.

Gambar 3.54 Peta Kawasan Kotabaru terhadap Kotamadya Yogyakarta

Kraton sebagai pusat Kota Lama Yogyakarta

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

183

Perkembangan Kotabaru

Sampai dengan tahun 2010, usia Kawasan Kotabaru sudah sekitar 90 tahun. Kawasan Kotabaru tentu memiliki kekuatan elemen, kriteria dan prinsip yang membuatnya mampu bertahan hingga saat ini. Karakter atau kualitas ruang kawasan yang khas terasa ketika memasuki kawasan tersebut. Terdapat suasana yang berbeda bila dibandingkan dengan karakter ruang Kota Yogyakarta lainnya.

Sejak zaman kuno, genius loci atau roh suatu tempat telah dikenal sebagai suatu realitas yang harus dihadapi oleh manusia dan ditemui dalam kehidupan sehari-hari. “Tempat” (place) merupakan suatu ruang yang mempunyai karakter berbeda. Arsitektur berarti memvisualisasikan “si genius loci” dan tugas seorang arsitek adalah menciptakan tempat-tempat yang berarti di mana dia membantu orang untuk bertempat tinggal (Trancik, 1986). Untuk menciptakan tempat-tempat kontekstual yang unik para designer harus lebih menyelidiki sejarah lokal, perasaan-perasaan dan kebutuhan-kebutuhan massa, tradisi kerajinan dan bahan-bahan asli serta realita ekonomi dan politik dari komunitas.

Terdapat empat masa yang melalui sejarah Kawasan Kotabaru. Ketiga masa tersebut adalah masa kolonial Belanda, masa penjajahan Jepang, masa kemerdekaan dan masa pembangunan (Wahyu, 2011). a. Masa Kolonial Belanda

Kebijakan Undang-undang Desentralisasi (Desentralisatie Wet) pemerintah Batavia tahun 1903, mengakibatkan pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota di Pulau Jawa. Menurut Milone (1966), kebijakan tersebut telah membuat dibentuknya pemerintahan otonomi beserta administrasinya sendiri-sendiri di tiap-tiap daerah, tidak terkecuali Kota Yogyakarta. Di samping peraturan desentralisasi, terdapat suatu politik yang mengatur pengelompokan tempat tinggal orang Eropa yang terkonsentrasi di satu tempat, yaitu politik wijkenstelsel.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

184

Perkembangan Kota Yogyakarta juga ditandai dengan kenaikan secara signifikan jumlah orang Eropa, Cina dan Timur Asing (Arab, India). Orang-orang eropa banyak berkecimpung di bidang pemerintahan (sebagai pegawai gouvernement) dan di sektor perkebunan. Sebagian orang Timur Asing bekerja di sektor perdagangan. Hal itu dapat menyatakan suatu indikasi bahwa Yogyakarta menjadi tempat yang cukup memberikan harapan bagi usaha-usaha di bidang ekonomi.

b. Masa Penjajahan JepangWilayah kekuasaan Belanda diserahkan kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942. Hal tersebut terjadi ketika pemerintah Belanda menyerah pada pemerintah Jepang. Perubahan kekuasaan tersebut diikuti dengan perubahan kebijakan, termasuk dalam pengelolaan kawasan. Kawasan Kotabaru diambil alih tentara Jepang, dengan menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan perkantoran, perumahan, tangsi, dan gudang. Perubahan fungsi yang dilakukan tentara Jepang terhadap bangunan-bangunan di kawasan Kotabaru tidak dilakukan terhadap fisik bangunannya secara berarti.

c. Masa KemerdekaanPada masa kemerdekaan, terjadi peristiwa pertempuran di kawasan Kotabaru yang dikenal dengan peristiwa “Pertempuran Kotabaru”. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 7 Oktober 1945, yang bermula dari usaha pelucutan senjata Jepang yang dilakukan oleh para pemuda. Kebuntuan perundingan pelucutan senjata pasukan Jepang yang terjadi antara Moh. Saleh, R.P. Soedarsono, Bardosono, dan Sunjoto dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan pimpinan Mase Butai (saat ini asrama militer) yang terdiri dari Butaico Mayor Otsuka, Kem Pei Taico Sasaki, Kapten Ito,

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

185

dan Cianbuco, pada tanggal 6 Oktober 1945, memicu terjadinya kekerasan.Ratusan rakyat yang telah berkumpul sejak tanggal 6 Oktober 1945 mulai terlibat pertempuran dengan tentara Jepang pada tanggal 7 Oktober 1945. Orang Indonesia yang gugur dan berjumlah 21 orang dan di pihak Jepang ditawan 360 orang tentara. Untuk mengenang peristiwa tersebut, didirikan Monumen Pertempuran Kotabaru di dalam kompleks asrama militer TNI-AD.

d. Masa PembangunanKawasan Kotabaru mengalami perubahan fungsi dan fisik pada beberapa bangunan yang dirasakan kuat setelah krisis moneter tahun 1997. Pada tahun-tahun sebelumnya tidak banyak terjadi perubahan, dan bila terjadi perubahan pun tidak begitu drastis sehingga suasana Kotabaru sebagai kawasan perumahan yang khas masih terasa. Hal yang berbeda terjadi pada sekitar tahun 2002 di mana perubahan-perubahan secara signifikan terjadi di kawasan tersebut. Beberapa bangunan fungsi perumahan mulai berubah fungsi menjadi fasilitas komersial atau dibisniskan, yang berakibat pada perubahan bentuk fisik bangunan serta alih fungsi bangunan sehingga tidak sesuai lagi dengan citra lama kawasan Kotabaru.

Kawasan perumahan Kotabaru Yogyakarta secara administratif termasuk Kecamatan Gondokusuman, Kelurahan Kotabaru, Kotamadya Yogyakarta. Secara umum, warga Yogyakarta mengenal kawasan Kotabaru sebagai sebuah kawasan perumahan dengan ciri bangunan zaman kolonial Belanda. Kawasan yang pada zaman penjajahan Belanda termasuk kawasan perumahan elit yang hanya diperuntukkan bagi warga Belanda. Melalui penelusuran jejak yang ada dan berdasarkan wawancara dengan penduduk setempat, yang dimaksud dengan kawasan Kotabaru selain bercirikan bangunan langgam zaman Kolonial

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

186

Belanda batasan wilayahnya meliputi:Batas sisi utara : Jl Jend. Sudirman• Batas sisi selatan : Rel Kereta Api – Stasiun Lempuyangan• Batas sisi timur : Jl Dr Wahidin• Batas sisi barat : Sungai Code•

Dalam perkembangannya, banyak bangunan rumah tinggal masa kolonial dengan kualitas arsitektur, baik yang telah mengalami perubahan maupun telah dihancurkan dengan berbagai pertimbangan. Usaha-usaha untuk melindungi bangunan-bangunan tua bersejarah dan memiliki kualitas yang baik dapat dilakukan dengan mengacu pada salah satu strategi konservasi yang dapat diacu dari The Burra Charter for the Conservation of Place of Cultural Significance, 1981, yang terdeskripsi:a. Preservasi: usaha mengembalikan suatu tempat ke keadaan

semula dengan menghilangkan tambahan-tambahan atau mema-sang komponen semula tanpa menggunakan bahan baru.

Gambar 3.55 Kawasan Perumahan Kotabaru Yogyakarta - 1990

Batas Wilayah Kawasan Kotabaru

Sunga Code

Stasiun Lempuyangan

Jl Dr

Wah

idin

Jl Jend. Sudirman

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

187

b. Rekonstruksi: mengembalikan suatu tempat semirip mungkin dengan keadaan semula, dengan menggunakan bahan baru/lama.

c. Adaptasi atau Revitalisasi: mengubah tempat agar dapat digunakan untuk fungsi yang lebih sesuai (kegunaan yang tidak menuntut perubahan drastis atau yang hanya mengakibatkan sedikit dampak minimal).

d. Demolisi: penghancuran atau perombakan suatu tempat mengenai tingkat perubahan yang diakibatkan oleh masing-masing kategori kegiatan tersebut.

Kriteria-kriteria di atas, menurut Siswanto (1994), harus difokuskan pada filososfi, sosio-kultural, dan sejarah (historical), yang ditandai oleh kelangkaan, kejamakan, perbedaan, dan superlativitas.

Nilai-nilai dan Prinsip-prinsip Konsep Garden City di Kawasan Kotabaru Yogyakarta

Nilai-nilai yang diusung oleh Ebenezer Howard melalui konsep Garden City untuk kehidupan perkotaan kita saat ini sebenarnya masih relevan. Nilai-nilai yang berakar dari isu-isu kebutuhan dasar manusia (Lang, 1987), antara lain fisiologis, keselamatan-keamanan, penghargaan, dan aktualisasi yang terkait dengan lingkungan, seperti pencahayaan, penghawaan, penghijauan untuk kelangsungan flora dan fauna, dan keindahan untuk kesehatan psikis penghuni masih sangat dibutuhkan saat ini. Justru saat ini kita tengah dihadapkan pada kualitas lingkungan fisik yang jauh dari standar-standar kualitas lingkungan yang sehat bagi kehidupan manusia. Lingkungan tempat tinggal manusia menjadi daerah-daerah kumuh yang tidak layak untuk dihuni, terutama di daerah perkotaan.

Terhadap nilai-nilai sosial umum, konsep Garden City memberi harapan akan terciptanya rasa aman, pelayanan, kesempatan kerja, kesempatan bersosialisasi, partisipasi dalam komunitas, kesempatan

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

188

tetap sehat dan kesejahteraan (Savery, 2008). Rasa aman dalam tatanan konsep Garden City dapat tercipta melalui nilai-nilai tersebut serta dapat menjadi dasar untuk terciptanya masyarakat yang egaliter. Masyarakat penghuni tetap menjadi “inti” dari perencanaan kebijakan dan strategi dan terus mempengaruhi struktur dan tata letak lingkungan perkotaannya. Apa saja yang kemudian berubah dari waktu ke waktu adalah tetap hasil aspirasi masyarakat. Namun, harus ada sesuatu yang tetap, yaitu struktur jalan, masa bangunan, dan tempat tinggal.

Dari ketiga aspek di atas, yang relatif tetap dengan perubahan kecil adalah struktur jalan. Masa bangunan pada urutan kedua mengalami banyak perubahan berikutnya. Kenyataannya, saat ini kawasan Kotabaru justru telah banyak terjadi perubahan di fungsi rumah tinggalnya. Pemanfaatan awal bangunan rumah tinggal yang berjumlah 297 bangunan, saat ini menjadi 136 buah (Wahyu, 2011). Dari 136 buah jumlah bangunan fungsi tempat tinggal yang telah berubah tersebut 103 buah atau lebih dari 75% telah berubah menjadi fungsi perdagangan dan jasa. Berarti saat ini hanya tertinggal kurang lebih 45% bangunan fungsi tempat tinggal yang tetap dapat dipertahankan fungsi awalnya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap terjadinya arah perubahan kawasan Kotabaru selanjutnya. Kawasan Kotabaru yang awalnya didominasi fungsi tempat tinggal menjadi kawasan perdagangan dan jasa di mana masyarakat penghuni menjadi berkurang peranannya dalam berpartisipasi menentukan arah perubahan kawasannya.

Membaca fisik kawasan Kotabaru Yogyakarta dengan kacamata konsep Garden City tidak bisa dilakukan dalam semua aspek. Aspek pokok yang membedakan, antara lain: tujuan, skala kawasan, dan jaringan kawasan. Konsep Garden City dibangun untuk mendapatkan kualitas sosial masyarakat yang egaliter. Kotabaru dibangun dengan latar belakang perbedaan. Kawasan Kotabaru dibangun khusus untuk orang Belanda atau orang kulit lainnya yang berasal dari Eropa. Hal ini akan berpengaruh pada tata guna lahan apa saja yang dinyatakan

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

189

dan di mana fungsi-fungsi tersebut akan ditempatkan di kawasan kota tersebut.

Skala ruang kawasan di dalam konsep Garden City relatif besar untuk kawasan yang didesain untuk 32.000 penduduk. Satu tatanan Garden City memiliki luas kurang lebih 400 Ha. Kawasan Kotabaru yang dibangun Belanda memiliki luas kurang lebih 80 Ha. Perbedaan skala yang mencolok tersebut membuat tidak semua fungsi-fungsi ruang kawasan dapat dipenuhi kawasan Kotabaru apabila akan menerapkan konsep Garden City. Beberapa fungsi bangunan publik dan jasa yang ditawarkan di konsep Garden City yang tersedia di kawasan Kotabaru, antara lain: rumah sakit, bangunan ibadah, taman, dan sekolah. Fungsi-fungsi bangunan industri, pergudangan dan sejenisnya yang mendukung kawasan, tidak tersedia di Kotabaru.

Jaringan antarkawasan dalam konsep Garden City berupa jalan untuk kendaraan bermotor dan jalur kereta api. Jalur kereta api yang direncanakan Howard mengakses tiap kota melalui bagian tepi kota untuk menghubungkan tiap-tiap kota. Pada bagian tepi kawasan, berupa area industri, gudang, dan perbengkelan. Hal ini mempermudah distribusi barang hasil pertanian dan industri dari satu kota ke kota yang lainnya. Kota beserta area sekitarnya yang dikonsepkan Howard relatif mampu mendukung kehidupan kotanya atau minimal mampu didukung jaringan kota lainnya di sekitarnya.a. Kerangka kawasan

Kerangka kawasan merupakan struktur inti kawasan yang menggambarkan kerangka penataan kawasan melalui korelasi konsep-konsep dasarnya. Konsep Garden City yang diusulkan Howard membentuk pola konsentris dengan menempatkan taman di pusat kawasan (lingkaran terdalam). Selanjutnya, kegiatan administrasi dan fungsi-fungsi publik kota lainnya (berada di lingkaran kedua). Lingkungan permukiman berada di bagian

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

190

selanjutnya dengan dibatasi fungsi-fungsi ruang untuk industri dan perdagangan yang lebih besar. Melalui peta kawasan Kotabaru dan pendapat berbagai pengamat, kerangka kawasan Kotabaru sangat kuat dipengaruhi keberadaan pusat kawasan, yaitu ruang terbuka berupa Kompleks Stadion Kridosono dan jalan-jalan utama yang mengarah ke ruang terbuka tersebut. Kerangka kawasan Kotabaru mendekati bentuk konsentris dengan adanya pusat kawasan. Fungsi kawasan pusat ini sebagai area hijau, namun tidak terbuka penuh untuk publik karena berupa lapangan sepak bola Kridosono yang saat ini memiliki pembatas dinding yang tinggi, kurang lebih 4 m. Hal ini berbeda dengan kondisi awal area Kridosono yang juga berupa ruang terbuka, tetapi dengan dinding pembatas rendah. Digambarkan bagaimana bangunan-bangunan yang berada di sekeliling lapangan terlihat dari dalam lapangan. Bahkan dinding tersebut bisa dipanjat oleh anak kecil (Wahyu, 2011).Pembuatan dinding yang tinggi di area pusat kawasan membuat fungsi dan kualitas kawasan inti berubah. Area terbuka yang seharusnya dapat diakses oleh semua orang menjadi terbatas. Relasi visual yang terjadi antarruang di sekeliling lapangan menjadi terputus. Kualitas ruang yang bersifat terbuka dan egaliter tidak terjadi karena tingkat ketertutupan yang tinggi dan akses yang terbatas terhadap fungsi-fungsi ruang di area pusat ini. Hal ini diperparah dengan kualitas bangunan Kridosono yang kurang terawat. Gambaran tersebut berbeda dengan konsep yang ditawarkan Howard yang menjadikan pusat sebagai taman publik dengan keindahan dan estetika tinggi.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

191

b. Karakteristik Ruang dan Massa BangunanRuang Jalan• Dalam pergerakan di Garden City, dalam suatu public realm, menjadikan jalan sebagai salah satu dasar untuk membangun tempat untuk interaksi sosial dan pengaturan kualitas lingkungan serta karakter area tepi kota. Dalam perencanaan wilayah, streetscape didefinisikan sebagai komponen yang terlihat di jalan, termasuk tanah pribadi di muka bangunan. Hal ini meliputi area tapak antara garis bangunan di kedua sisi jalan, mencakup semua yang terlihat dari ranah publik yang melingkupi jalan, yaitu bentuk bangunan, setback bangunan, pagar, pepohonan, landscape, jalan masuk, tatanan dan permukaan jalan, layanan utilitas, dan street furniture. Dalam pengaturan ini, bentuk terbangun tetap penting,

PusatKawasan

Gambar 3.56 Kerangka Kawasan Perumahan Kotabaru Yogyakarta - 1990

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

192

tapi tidak menjadi unsur visual yang dominan. Tempat tinggal dibingkai oleh jalan dan penanaman tanaman dan mengusahakan lingkup pandangan yang lebih luas.Dibandingkan dengan konsep makro wilayahnya, konsep ruang mikro di kawasan Kotabaru lebih mendekati dengan konsep ruang mikro Garden City yang ditawarkan Howard. Keamanan akses dengan suasana perumahan yang menyenangkan dan memberi kesempatan interaksi dan partisipasi komunitas dapat terbaca karakternya. Jalan digunakan tidak hanya sebagai akses kendaraan, tetapi memberi kesempatan pada warga untuk menikmati dalam suasana santai di jalan-jalan yang ada. Wajah bangunan menghadap ke jalan dengan adanya bangunan yang menyediakan teras yang dapat digunakan sebagai area duduk-duduk untuk menikmati taman dan jalan.Masa Bangunan•

Gambar 3.58 Ruang Jalan di Kotabaru

Gambar 3.57 Ruang Jalan “Boulevard” di KotabaruSumber: Penulis, 2013

TAMANRUANG JALAN RUANG JALANRUMAH TINGGAL

RUMAH TINGGAL

RUANG JALAN RUMAH TINGGAL

RUMAH TINGGAL

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

193

Konfigurasi masa bangunan dalam konsep Garden City terlihat bagaimana masa ditempatkan di antara ruang-ruang yang tetap terbuka. Hal ini membangkitkan udara dan cahaya untuk menembus ke setiap rumah yang berarti penghuni memiliki akses terhadap lahan yang dapat digunakan untuk tempat bermain, berkebun, menjemur, dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.Konfigurasi ruang dan masa di kawasan Kotabaru cenderung lebih kuat kesan konfigurasi masanya. Dapat dikatakan kawasan Kotabaru mengutamakan konfigurasi ground di mana konfigurasi ruang atau void dilihat sebagai suatu bentuk tersendiri. Namun demikian, karakteristik ruang yang terbentuk antara masa bangunan dengan jalan dan antarmasa bangunan yang diisi dengan pepohonan di tepi ataupun di tengah jalan, cukup dominan membentuk sistem terbuka yang memusat (central open system) yang merupakan salah satu aspek dari empat elemen terbuka atau void.

Area Hunian•

Gambar 3.59 Ruang Antarbangunan di Kotabaru

TAMANHUNIAN HUNIANTAMANN

Prinsip karakter area hunian di Garden City, yaitu adanya pepohonan di tepi jalan dan halaman yang dominan mewarnai streetscapes di lingkungannya. Hal ini membuat bangunan muncul dalam bagian-bagian yang tetap terlihat dari ruang jalan atau ruang publik lainnya, bahkan dari bangunan tetangganya. Di samping suasana yang terbentuk oleh ruang mikro kawasan tersebut, prinsip-prinsip pengolahan bangunan rumah tinggalnya memperhatikan

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

194

aspek-aspek antara lain: ditempatkan di site yang menghadap jalan, diatur ketinggiannya, dan memiliki kekhasan atap, artikulasi bentuk, detail, material, warna, tekstur, dan identitas lainnya.Bangunan hunian di Kotabaru awalnya memiliki kekhasan-kekhasan tersebut sebelum saat ini banyak yang berubah fungsi menjadi fungsi perdagangan dan jasa. Masyarakat pun mudah mengenali kawasan ini yang dikenal dengan bangunan yang bergaya zaman kolonial Belanda. Prinsip-prinsip tatanan fisik, seperti orientasi, skala, dan properti bentuk bangunan, memiliki ciri khusus, berbeda dengan lingkungan di sekitarnya. Arsitektur zaman kolonial Belanda di Indonesia menjadi fenomena budaya yang unik, tidak terdapat di lain tempat, juga pada negara-negara bekas koloninya. Dikatakan demikian karena terjadi percampuran budaya antara penjajah dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam. Oleh karena itu, arsitektur zaman kolonial Belanda di Indonesia, dari satu tempat dengan tempat lainnya apabila diteliti lebih jauh, mempunyai perbedaan-perbedaan dan ciri tersendiri (Sumalyo, 1993).Bangunan berlanggam arsitektur zaman kolonial Belanda di Indonesia, termasuk di Kotabaru, sering kali disebut juga dengan bangunan Indis (Indies). Kata “Indis” berasal dari kata Nederlandsch Indie atau Hindia Belanda, yaitu nama daerah jajahan di negeri Belanda di seberang lautan yang secara geografis meliputi jajahan di Kepulauan Nusantara yang disebut Nederlandsch Oost Indie, untuk membedakan dengan satu wilayah jajahan lainnya, yang disebut Nederlandsch West Indie, yang meliputi wilayah Suriname dan Curascao (Tjahyono & dkk, 2002).

Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas, dari lingkup spasial yang berbeda, yaitu lingkup makro kawasan dan lingkup mikro masa bangunan serta

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

195

ruang di sekitarnya, terdapat hal-hal penting yang perlu dicermati lebih lanjut dalam usaha-usaha untuk menjadikan kawasan perumahan Kotabaru sebagai kawasan yang baik.

Dalam lingkup makro, kawasan Kotabaru tidak dapat sepenuhnya dikategorikan menggunakan konsep Garden City. Secara bentuk bisa mendekati pada pola struktur kawasan konsentris, seperti konsep Garden City. Aspek skala ruang kawasan yang jauh lebih kecil dan guna lahan dengan pembagian fungsi-fungsi bangunan di kawasan, tidak memungkinkan konsep Garden City sebagai social city yang diharapkan Howard dapat tercapai. Hal paling dominan adalah keterbatasan akses dan kualitas ruang terdegradasi di inti kawasan.

Hal yang melegakan karena tetap memiliki harapan mendapatkan ruang dengan kualitas yang baik, tetap dapat terjadi, yaitu pada skala mikro. Hal tersebut dapat terjadi karena kualitas ruang terbuka jalan dan antarbangunan dengan tetap ditanami tanaman pepohonan yang rindang sehingga tetap nyaman untuk penghuni kawasan. Garis sempadan bangunan dan koefisien dasar bangunan yang tetap terjaga sebagaimana tujuan awal pembangunannya membantu terciptanya urban amenity kawasan Kotabaru yang khas dan baik.

Saran yang perlu diperhatikan agar karakter lingkungan Kotabaru tetap memiliki sebagian karakter Garden City adalah:a. Menjaga tidak terjadi perubahan fungsi lahan hunian menjadi fungsi

lain.b. Menciptakan ruang terbuka publik seperti lapangan dan jalan yang

aman, mudah diakses dan manusiawi, seperti melengkapi jalur pedestrian dengan pepohonan.

Kasu

s-Ka

sus

Kons

erva

si Ar

sitek

tur

196

Daftar Pustaka

Bruggen, M. P., & Wassing, R. S. (1998). Djokja En Solo: Beeld van de Vorstensteden. Asia Maior.

Dewi, S. (2002). Kota Kreatif. Yogyakarta: Kanisius.Lang, J. (1987). Creating Architectural Theory. New York: Van Nostrand

Reinhold.Pena, W., Caudill, W., & Focke, J. (1995). Penyelusuran Masalah.

Bandung: Intermatra.Savery, N. (2008). GARDEN CITIES VALUES AND PRINCIPLES. Canberra:

Act Planning and Land Auhority.Tjahyono, G., & dkk. (2002). Indonesian Heritage. Jakarta: PT

WIdyadara.Wahyu, H. T. (2011). Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan Indis di

Kawasan Kotabaru. Tesis Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada .

Internet

http://www.suaramerdeka.com/harian/0211/27/dar34.htm, Sri Sultan HB X, 2002, Pencemaran Udara Yogyakarta Sudah Sampai Ambang Batas, diunduh 3 April 2013

http://manado.tribunnews.com/2012/11/29/suhu-rata-rata-indonesia-naik-1-derajat-celsius, diunduh 3 April 2013

www.library.cornell.edu/Reps/DOCS/howard.htm, diunduh 8 April 2013

http://site.iugaza.edu.ps/falqeeq/files/2010/02/Planning-Theory.pdf diunduh 8 April 2013

we must create pools of stilness, areas of entrancement and the purpose of these is not to escape from life but to enjoy life in

its prodoundest essence

Herbert Read

BAB IVKONSERVASI ARSITEKTUR

KAMPUNG PERKOTAAN

Amos SetiadiYohanes Basuki Dwisusanto

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

201

Dalam menghadapi isu global, identitas suatu kawasan tidak semata-mata dipertahankan berdasarkan tinjauan historis, namun aktifitas sosial budaya yang merepresentasikan

kekhasan selayaknya memperoleh sentuhan perencanaan konservasi. Kampung sebagai suatu entitas masyarakat rural di dalam realitas hidup urban dan perkotaan menyediakan sebuah kesejukan dan atmosfer baru yang menyegarkan di tengah-tengah ritme kehidupan manusia modern yang relatif cepat dan monoton.

Kampung menambah kemajemukan kehidupan urban melalui penciptaan ruang-ruang berskala humanis yang bersifat terbuka terhadap setiap relasi sosial, namun sekaligus bersifat tertutup terhadap kekuatan asing yang sewaktu-waktu mengancam eksistensinya. Hasrat untuk menimba pengetahuan dan pemahaman baru terhadap komunitas kampung serta kemampuannya untuk bertahan di tengah-tengah suatu urban setting merupakan hal yang perlu dilakukan secara mendalam melalui berbagai studi kajian atau penelitian arsitektural. Dengan demikian, akan diperoleh arahan penataan ruang dan pelestarian budaya kampung yang tepat sebagai elemen yang mendukung terciptanya karakteristik suatu tempat.

....the city is to be understood here as architecture.. the city is seen as

a gigantic man-made object, work of engineering and architecture that is large

and complex and growing over time....

(Aldo Rossi, 1982)

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

204

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

205

PERMEABILITAS RUANG KAMPUNGPADA BLOK PERKOTAAN DI YOGYAKARTA

Studi Kasus Kampung JogonegaranAmos Setiadi & Yohanes Basuki Dwisusanto

Kampung kota merupakan suatu realita perkotaan yang sampai saat ini diyakini merupakan salah satu ciri kota di Indonesia. Kampung kota merupakan pemukiman yang biasanya tumbuh secara spontan dan incremental serta dibangun di atas lahan yang dimiliki dengan cara-cara tradisional. Karakter fisik kampung kota ditandai dengan kumpulan rumah yang padat berdesakan dengan beraneka bentuk, jalan yang sempit dan tidak teratur, serta terisolir (enclave) dari aktivitas kota.

KAMPUNG KOTA DAN PENGARUH MODERNISASI

Modernisasi kota sebagai pertemuan antara nilai global dengan nilai lokal kota, membawa implikasi pada kampung kota untuk melakukan transformasi baik fisik, sosial, maupun ekonomi, dan umumnya terikat dalam konteks tempat. Di Indonesia, pendekatan perencanaan dan perancangan kota yang didasari atas konsep perencanaan dari negara-negara maju cenderung menekankan universalitas dan kurang memberi perhatian yang cukup terhadap unsur-unsur lokal, di antaranya kampung kota. Unsur lokal yang tersingkir dari wacana kaum modernis kini mulai menarik perhatian. Studi-studi perkotaan memberi perhatian pada unsur-unsur lokal yang meskipun selama ini terposisikan marginal namun secara material maupun simbolik telah membentuk menciptakan karakter kota. Menurut Peter (1995), konsep ruang kampung kota merupakan representasi totalitas gagasan yang mengatasi realitas fisik dan sosial kampung. Simpanan pengetahuan lokal kampung kota (local knowledge) yang telah mewarnai karakter

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

206

kota di Indonesia, menjadi penting untuk ditelaah. Pengetahuan mengenai kampung dalam hubungannya dengan modernisasi kota dipandang penting untuk menentukan arah perkembangan urbanitas di Indonesia, dan dapat menjadi rujukan bagi pengembangan strategi transformasi kampung dan bagi pengembangan strategi perencanaan serta perancangan kota.

Penelitian kampung kota ini dilakukan di wilayah yang dianggap mengalami tekanan modernisasi yang bersifat relatif intensif. Tekanan tersebut menyebabkan kampung kota menghadapi benturan dengan modernitas. Secara purposive dipilih Kampung Jogonegaran dan Kampung Pajeksan di Kota Yogyakarta, karena: 1) Kota Yogyakarta merupakan kota yang proses modernisasinya dimulai dengan adanya perencanaan kota secara tradisional (dimulai dari berdirinya kraton), dan 2) telah ada beberapa studi arsitektural yang dapat dipergunakan sebagai pijakan penelitian. Pemilihan kampung sebagai kasus studi ditetapkan berdasarkan kriteria berikut: a) Kampung yang awalnya tumbuh untuk mengakomodasi pemukiman bangsawan/pejabat karaton dan abdidalem (tradisional), b) Kampung yang dalam perkembangnnya memperoleh pengaruh modernitas.

Pola dan tatanan ruang, serta pemakaian ruang yang bersifat modern sangat berbeda dengan karakter kampung kota yang merupakan unsur lokal kota. Sebagai realitas fisik dan sosial, kampung kota terikat pada suatu locus yang memiliki tatanan spasial dan sosial tertentu. Sebagai konsep ruang, kampung kota tidak terbatas pada locus tertentu tetapi juga bersifat transpatial. Dengan demikian, “kampung kota sebagai konsep atau ide ruang” tidak terikat tempat (locus free) dan di antaranya dapat mewujud dalam inhabitasi ruang kota. Berdasarkan argumen di atas, dapat diajukan suatu tesa kerja bahwa “kampung kota sebagai konsep ruang maupun realitas fisik dan sosial merupakan elemen urban” dan “kampung kota sebagai suatu konsep ruang lebih menentukan karakter urbanitas daripada sebagai

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

207

realitas fisik dan sosial”. Dengan demikian, urbanitas yang selama ini dipahami dalam perencanaan modern kota harus dielaborasi lebih lanjut sesuai dengan karakteristik “lokalitas” kota. Dengan demikian, pendekatan perencanaan kota yang memandang unsur lokal atau tradisi (kampung) sebagai “penghalang” modernisasi kota haruslah ditiadakan dalam urbanitas kota (lokal).

PERSOALAN INTEGRASI SOSIO-SPASIAL

Kampung kota merupakan konsep yang lekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan di Indonesia, tetapi pemahaman akan hakikat kampung kota masih belum jelas. Pemahaman akan urbanitas tidak dapat diperoleh tanpa memahami hakikat kampung kota, baik secara fisik maupun sosial, kampung kota merupakan bagian kota yang selalu ada dan dibutuhkan dalam kehidupan perkotaan. Kampung kota di Yogyakarta merupakan bentuk permukiman yang sudah ada sejak awal terbentuknya kota sehingga ikut berperan dalam membentuk karakter dan morfologi Kota Yogyakarta. Di lain pihak, pembangunan Kota Yogyakarta yang selama ini berlangsung cenderung kurang mengenali peran kampung kota dalam proses “modernisasi” kota.

Penelitian ini mempersoalkan bagaimana kedudukan kampung kota dalam urbanitas dengan mengungkap integrasi fisik-spasial antara kampung kota dan bagian kota yang melingkupinya. Secara arsitektural kampung kota merupakan artefak kota yang mempunyai konfigurasi ruang unik. Keunikan konfigurasi ruang inilah yang menjadikan kampung kota mempunyai nilai pembentuk karakter fisik kota. Sebagai suatu sistem ruang kota, konfigurasi ruang kampung kota tersebut saling berhubungan dan tidak terpisahkan dengan bagian kota yang melingkupi. Masalah ini diharapkan dapat memberi kontribusi pada pengetahuan teoritis serta empiris tentang urbanitas di Indonesia yang sangat berguna bagi pengembangan pendekatan dan

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

208

strategi perencanaan kota, serta pada akhirnya akan bermanfaat bagi penetapan kebijakan pembangunan fisik kota.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini bersifat eksploratif dan interpretatif berdasarkan pada temuan-temuan empirik yang diperoleh dari kampung kota yang diteliti. Dikatakan eksploratif karena penelitian ini akan menelusuri dan mengungkap karakter fisik dan sosial kampung kota. Bersifat interpretatif karena penelitian ini akan sarat dengan interpretasi logika spasial dan logika sosial melalui telaah hasil empirik penelitian lapangan, dibantu dengan telaah literatur untuk memahami konsep ruang kampung kota dan sejauh mana konsep ruang kampung kota hadir dalam ruang kota.

Metode yang diterapkan dalam pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam tahap yang berurutan berikut ini: a) tahap konseptualisasi kerangka teoritik; b) tahap eksplorasi kasus studi kampung (empirik); serta c) tahap interpretasi.

HUBUNGAN RUANG KAMPUNG DENGAN KOTA

Kampung kota merupakan realita fisik dan sosial. Realita tersebut merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Pemisahan antara aspek fisik dan sosial kampung kota dilakukan untuk keperluan analisis agar didapatkan pemahaman yang lebih tajam. Konsepsi kampung kota akan dipahami dalam dinamika hubungan antara realita fisik dan sosial. Paham integratif menurut Hillier dan Hanson (1984) memahami lingkungan binaan secara integratif, dimana faktor fisik dan sosial saling berinteraksi dan tidak terpisahkan. Realita fisik dipandang mempunyai dimensi sosial (sosiality) dan realitas sosial selalu mempunyai dimensi ruang fisik (spatiality). Oleh karena itu, untuk memahami hakikat kampung kota, penelitian ini memakai pendekatan integratif dan

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

209

berupaya mensintesiskan kerangka pendekatan teoritis yang telah berkembang untuk memahami dan menjelaskan konsep ruang kampung dan faktor-faktor yang mempengaruhi.

Kampung kota yang dibangun secara mandiri sebagai pemukiman vernakular, diyakini telah mengembangkan hubungan dan makna antara manusia dan lingkungan fisiknya. Pola dan tatanan ruang kampung kota dihasilkan secara spontan dan tumbuh berkembang secara inkremental melalui proses informal yang dilakukan oleh masing-masing individu. Namun demikian, proses pertumbuhan tersebut diyakini dikendalikan oleh seperangkat aturan atau realita sosial yang tercermin dalam wujud fisik. Oleh sebab itu, penelitian tentang pola dan tatanan ruang secara mendalam akan dapat menyingkap konsep ruang kampung yang masih merupakan pengetahuan tersembunyi (tacit knowledge).

Beberapa kajian mengenai pola dan tatanan ruang yang telah dikembangkan hingga saat ini secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut.

Pendekatan Morfologi

Pendekatan ini melihat lingkungan binaan sebagai suatu jaringan (tissues) massa dan ruang, di mana lingkungan binaan dilihat sebagai kesatuan (the whole) yang kompleks dan tertata. Morfologi mempelajari koherensi struktural antara tipe-tipe yang mengatur jalinan beragam tipe tersebut ke dalam suatu jaringan yang tertata (organised tissue). Dengan analisis jaringan (tissue analysis) pendekatan tipo morfologi dapat mengenali pola jalinan (interweaving) massa dan ruang, merumuskan tema-tema morfologis yang mendasari jalinan antara massa dan ruang terbuka tersebut, dan selanjutnya melakukan penafsiran tema-tema tersebut sebagai seperangkat pranata yang menstrukturkan lingkungan binaan. Pendekatan ini sesuai untuk menjelaskan struktur ruang dari realitas fisik itu sendiri.

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

210

Pendekatan Bahasa Pola

Pendekatan Bahasa Pola (pattern language) yang dikemukakan oleh Alexander, Christopher (1977) relevan untuk menerangkan pola dan tatanan ruang kampung kota, menekankan pada pemahaman kekinian karena yang dipentingkan adalah hubungan fungsional wujud fisik massa dan ruang dengan dinamika sosial masyarakat. Elemen dari Bahasa Pola adalah entitas yang disebut Pola. Setiap Pola menggambarkan persoalan lingkungan dan menggambarkan kunci pemecahan terhadap permasalahan. Pola selalu mengandung konteks, permasalahan dan pemecahan. Konteks merupakan suatu kondisi, permasalahan merupakan konteks kebutuhan yang selalu ada dalam konteks tertentu (given context), sedangkan pemecahan permasalahan merupakan pengaturan ruang yang selalu harus ada dalam konteks untuk memecahkan persoalan. Pola dipahami sebagai rangkaian hubungan antara aktivitas dan ruang. Relasi fungsional antara objek fisik dan pengalaman merupakan sesuatu yang penting dalam memahami pola. Relasi fungsional tersebut dapat dipahami melalui pengamatan pemakaian ruang. Hubungan antar pola membentuk suatu Bahasa Pola yang dapat dianggap sebagai sebuah jaringan (network) dari pola yang besar ke pola yang kecil.

Pendekatan Struktur Ruang

Sebagaimana dinyatakan oleh Martin, Leslie (1975) struk-tur ruang dipahami sebagai hasil dari dua proses yang saling mempengaruhi, dimana dengan proses tersebut, artefak (elemen fisik) dan aktivitas (elemen sosial) ditentukan tempatnya. Pertama-tama, proses menempatkan artefak sebagai jawaban atas kebutuhan ruang yang ditimbulkan oleh berbagai aktivitas, dan kedua proses bagaimana aktivitas mengambil tempat dalam ruang. Struktur ruang merupakan produk dan sekaligus menentukan hubungan antara

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

211

elemen fisik dan sosial. Kesulitan konseptualisasi hubungan antara ruang dan kehidupan sosial, yaitu relasi antara ”material realm” dari ruang fisik dengan ”abstract realm” dari hubungan sosial dan pranata dapat diatasi dengan menjelaskan bahwa masyarakat secara intrinsik mengandung aspek keruangan dan ruang secara intrinsik mengandung aspek sosial. Menurut Hilier dan Hanson (1984), kompleksitas hubungan antara elemen fisik (ruang) dan elemen sosial (masyarakat) dapat dijelaskan sebagai hubungan yang terdiri dari komponen atau bagian (the parts), pengaturan antar komponen (the arrangement), dan bentuk keseluruhan (the whole). Kekuatan konsep ini dalam konteks lingkungan binaan terletak pada kenyataan bahwa apapun yang dapat dikenali (identified) dan diuraikan (described) mempunyai struktur internal dan berada dalam suatu konteks tertentu. Ruang memiliki hierarki. Setiap langkah penggabungan komponen ”part to whole” berarti peningkatan kompeksitas (level of complexity). Struktur ruang yang mempunyai hierarki lebih tinggi akan mencakup hierarki yang lebih rendah dan makin banyak komponen (the parts) yang terlibat (Korlp, Karl, 1996).

Ruang berfungsi untuk memfasilitasi interaksi sosial. Sebagai upaya memfasilitasi interaksi sosial tersebut, umumnya intervensi terjadi pada ruang elemental. Meskipun intervensi pada skala lokal (ruang elemental) tersebut penting, tetapi Hillier dan Hanson (1984) menegaskan bahwa faktor utama dalam memahami bentuk keseluruhan (global form) dan habitasinya adalah proses interaksi antara ruang-ruang elemental (elemental spaces) yang terjadi dalam suatu sistem keseluruhan (global form). Dengan demikian, pola hubungan antara ruang-ruang elemental dalam sistem keseluruhan dapat menjelaskan interaksi antara elemen fisik dan sosial yang terjadi.

Aldo Rossi (1984) melakukan pemisahan antara bangunan sebagai artefak individual (monuments) dan kawasan hunian sebagai artefak kolektif. Kawasan permukiman merupakan artefak kolektif.

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

212

Fungsi hunian merupakan fungsi pokok suatu kota yang selalu ada dan menempati bagian terbesar dari wilayah terbangun kota. Permanensi artefak kolektif terjadi pada skala kawasan yang fungsinya sebagai hunian. Fungsi hunian suatu kawasan cenderung tetap bertahan dalam kota, sedangkan rumah-rumah dalam kawasan tersebut secara individual tidak mempunyai permanensi dan akan mengalami perubahan. Permanensi kawasan hunian sering kali didukung oleh adanya penetapan tata guna lahan yang pasti. Sedangkan pada kawasan kampung, permanensi sering kali harus diperjuangkan dengan mengandalkan solidaritas warga dalam menghadapi penggusuran.

Belajar dari kondisi yang ada sangat penting dalam disiplin arsitektur. Kondisi yang paling riil, teraba, terlihat dan sekaligus dialami adalah realitas fisik (kampung) sebagai wujud peradaban kota (artefak). Berdasarkan pengamatan empirik pada kampung kasus studi, setidak-tidaknya terdapat persoalan pokok dan dapat digunakan untuk memahami konfigurasi ruang dalam rangka menjelaskan kedudukan kampung dalam urbanitas kota, yakni: kompleksitas, legibility, pola, kontrol kendali transformasi konfigurasi ruang kampung. Pada dasarnya, konfigurasi ruang kampung ditentukan oleh batas kampung, yaitu jaringan jalan dan bangunan-bangunan. Batas dapat menciptakan keberikatan (boundedness) bagi komunitas kampung dan sekaligus mendefinisikan teritori kampung secara tegas. Kampung pada dasarnya merupakan keterpaduan antara organisasi spasial (teritori) dan organisasi sosial. Tegasnya batas teritori yang diciptakan oleh pelingkup memperkuat identitikasi warga kampung sebagai suatu komunitas. Di satu pihak, keberikatan tersebut memberikan citra eksklusif terhadap kampung dari perspektif kota, di lain pihak keberikatan juga menciptakan persepsi dalam komunitas kampung bahwa kota bukan wilayah untuk mereka.

Batas menyadarkan akan adanya pemisahan “di sini” dan “di sana”, publik dan privat, dalam dan luar. Sebaliknya, jalur sirkulasi

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

213

(path) menjembatani pemisahan tersebut dengan pintu masuk (ditandai oleh regol/gerbang/gapura) menandai adanya batas/pelingkup antara pemisahan tersebut. Jalan masuk menegaskan adanya perbedaan antara bagian kampung dan bagian yang melingkupi dan sekaligus berperan untuk secara simbolik melarang atau mengontrol akses yang menghubungkan kedua bagian tersebut. Oleh karena itu, permeabilitas batas merupakan prasyarat yang harus dimiliki oleh suatu blok kota. Jalan-masuk tersebut tersambungkan dengan jaringan jalan kampung.

HUBUNGAN RUANG ANTARA KAMPUNG JOGONEGARAN DAN PAJEKSAN DENGAN KOTA YOGYAKARTA

Pada kasus studi Kampung Jogonegaran dan Kampung Pajeksan di Yogyakarta, dikenal istilah lurung yang merupakan jalan yang biasa digunakan oleh pelintas ketika melewati kampung. Pada kasus studi, dapat diketahui bahwa lurung ternyata merupakan elemen penting dalam pembentukan konfigurasi ruang kampung. Jalur atau rute lurung terbentuk oleh beberapa faktor, seperti: batas kepemilikan lahan, kemudahan dan kenyamanan pelintas. Jalan kampung selanjutnya ditentukan oleh perkembangan lurung yang sudah ada ketika ketika kampung masih belum sepadat seperti sekarang. Lurung diperhatikan oleh warga kampung ketika mereka karena satu dan lain hal harus melakukan pembagian atau pembelahan lahan. Peran lurung semula bukan sebagai penentu jalur jalan kampung yang menentukan bentukan konfigurasi ruang tetapi lebih sebagai penentu titik asal dan tujuan sirkulasi. Perubahan rute lurung disesuaikan dengan kepemilikan lahan atau posisi dan orientasi bangunan rumahnya. Gugus konfigurasi ruang kampung terbentuk secara inkremental oleh bangunan bangunan individual. Tidak adanya bentuk keseluruhan (global form) yang ditetapkan sebelumnya seperti yang lazim terjadi pada permukiman terencana. Pada dasarnya, konfigurasi ruang kampung pada kasus studi

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

214

ditentukan oleh posisi rumah terhadap bangunan rumah yang sudah ada sebelumnya dengan tidak menutup peluang akses fisik untuk bangunan berikutnya. Nilai sosial harmoni di antara warga kampung memungkinkan hal seperti ini terjadi. Hal ini menegaskan apa yang telah ditenggarai oleh Lang (1987) bahwa suatu proses pertumbuhan organik seperti itu diyakini dikendalikan oleh “seperangkat aturan” atau realita sosial. Konfigurasi ruang kampung sangat tergantung pada keputusan warga kampung (individual atau kolektif) dalam memposisikan rumahnya. Namun demikian, tindakan warga kampung membangun rumahnya tidaklah terlepas dari suatu panduan atau ketentuan yang secara tidak disadari mengatur tindakannya dalam membangun dan memposisikan rumahnya.

Perletakan dan orientasi bangunan tersebut menghasilkan ruang-ruang luar yang sekaligus berfungsi sebagai jalur sirkulasi. Berbeda dengan konfigurasi ruang hasil perencanaan formal, pola sirkulasi di kampung tidak menentukan perletakan dan orientasi bangunan, tetapi sebaliknya merupakan hasil dari pengaturan bangunan-bangunan yang sepenuhnya dikendalikan oleh warga kampung.

Pada kampung kasus studi, hubungan ruang antara kampung dan kota merupakan hubungan antara “bagian dalam” dan “bagian luar” blok kota. Batas/pelingkup kampung dan blok kota sangat menentukan integrasi ruang kampung dalam kota. Hubungan ruang antara kampung dan kota harus dapat dipahami sebagai hubungan part to whole. Batas/pelingkup terjadi karena adanya hubungan dominasi “bagian luar” terhadap “bagian dalam”. Perkembangan perekonomian kota mendorong terjadinya peningkatan pemanfaatan lahan dan menyebabkan semakin intensifnya pembangunan fisik di sepanjang jalan tersebut. Dominannya “bagian luar” blok kota ini mengakibatkan terjadinya batas/pelingkup “bagian dalam” (kampung) oleh “bagian luar” blok kota yang cenderung menciptakan segregasi sosial dan spasial. Proses terbentuknya batas/pelingkup yang berlangsung pada

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

215

kasus studi ditentukan oleh transformasi bangunan yang ada di “bagian luar” blok kota. Proses tersebut menghadapi potensi resistensi warga kampung, sejauh menyangkut akses masuk ke lahan kampung. Akses masuk yang sejak awal merupakan lurung tidak pernah dapat dihilangkan atau berubah posisi (persisten).

Gambar 4.1 Lokasi beberapa gerbang kampung pada kawasan penelitian

(Sumber gambar: google earth, 2011)

Jalan Malioboro

1 2

34

U

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

216

Gambar 4.3 Akses ke dalam kampung

(Sketsa: Agus Madyana , 2013)

Gambar 4.2 Gerbang jalan (regol lurung) memberi peluang akses ke kampung

(Sketsa: Agus Madyana, 2013)

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

217

Gambar 4.4 Akses ke dalam kampung

(Sketsa: Agus Madyana , 2013)

HUBUNGAN PART TO WHOLE SOSIO-SPASIAL KAMPUNG

Sebagai sebuah kampung kota, Kampung Jogonegaran meru-pakan sebuah permukiman yang kompleks dan tersusun atas banyak bagian. Karakter keseluruhan kota sebagai pelingkup Kampung Jogonegaran hanya dapat dijelaskan dengan mengenali karakter bagian-bagian kota. Kampung kota (Kampung Jogonegaran) sebagai artefak tersusun atas bangunan-bangunan sederhana (tidak monumental). Karakter kampung kota (Kampung Jogonegaran) akan sulit dipahami melalui atribut-atributnya yang sangat banyak. Struktur suatu kota dapat direpresentasikan dalam bentuk konfigurasi ruang. Melakukan

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

218

pembedaan antara konfigurasi kampung kota dan kota itu sendiri adalah syarat utama dalam memahami karakter fisik-spasial kota.

Kualitas hubungan ruang antara kampung kota (Kampung Jogonegaran) dan bagian kota yang melingkupi (membatasi) ditentukan permeabilitas batas (pelingkup). Secara fisik, permeabilitas batas (pelingkup) diwujudkan oleh jalan-jalan masuk kampung (lurung). Permeabilitas batas (pelingkup) ruang ibarat membran dalam peristiwa osmosis, yang secara fungsional mendukung hubungan spasial melalui jalur sirkulasi antara kampung dan bagian kota yang lain sebagai bagian-bagian yang saling tergantung satu sama lain. Hubungan tersebut memberi peran kampung dalam proses urbanitas kota.

Hubungan spasial tersebut mendukung kampung senantiasa beradaptasi terhadap perubahan dan perkembangan kota, serta dapat bertahan karena kampung mempunyai hubungan spasial dengan kota. Hubungan spasial tersebut juga dapat dipahami sebagai hubungan “part-to-whole”. Hubungan “part-to-whole” merupakan suatu konsep hubungan yang menyatakan bahwa suatu elemen selalu berada dalam suatu lingkungan yang lebih besar dalam satu kesatuan sistem yang mempunyai struktur tertentu. Hubungan “part-to-whole” merupakan konsep dasar dari suatu sistem hubungan kampung dalam kota yang mempunyai suatu tatanan atau struktur. Dengan demikian, hubungan “part-to-whole” terjadi secara bertingkat tetapi dalam struktur yang sarna.

KESIMPULAN

Berdasarkan temuan pada kasus studi, dapat dihasilkan beberapa kesimpulan berikut.

Proses terbentuknya batas/pelingkup cenderung mempersempit teritori kampung, namun akses yang menghubungkan antara kampung dengan kota tetap dipertahankan.

Akses merupakan atribut permeabilitas pembatasan kampung.

Kons

erva

si Ar

sitek

tur K

ampu

ng P

erko

taan

219

Permeabilitas batas/pelingkup kampung merupakan kondisi yang menentukan kualitas hubungan ruang antara kampung dan bagian kota yang melingkupi.

Transformasi pada area batas atau pelingkup menyebabkan terjadinya sejumlah penyesuaian, terutama pada daerah pertemuan antara batas/pelingkup dan kampung.

Jalan masuk ke kampung merupakan teritori di bawah kontrol langsung kampung, meskipun jalan masuk kampung terletak pada zona batas/pelingkup dan merupakan jalan yang langsung berhubungan dengan jaringan jalan kota. Kontrol atas jalan masuk tersebut diekspresikan ke dalam bentuk mendirikan regol (gerbang) dan perangkat tanda-tanda sebagai hasil konsensus lokal pada area jalan masuk.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, Christopher, et.al., 1977, A Pattern Language: Towns, Buildings, Contruction, New York: Oxford University Press.

Hillier, B., and Hanson, J., 1984, The Social Logic of Space, Cambridge: Cambridge University Press.

Kropf, Karl., 1996, Urban Tissue and the Character of Towns, dalam Urban Design International, Volume I no. 3, hlm 247-263.

Lang, Jon., 1987, Creating Architectural Theory, New York: Van Nostrand Reinhold.

Martin, Leslie and March, Lionel (eds.), 1975, Urban Space and Structure, Cambridge: Cambridge University Press.

Rapoport, Amos., 1969, House, Form and Culture, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Rossi, Aldo., 1984, The Architecture of the City, Cambridge: The MIT Press.

Smith, M. Peter (ed.), 1995, After Modernism: Global Restructuring and the Changing Boundaries of City Life, New Brunswick: Transaction Publishers.

today we are more practical, more rational and quite functional,

but it has been at the expense of grace and gentility

Pietro Belluschi

BAB V

KESIMPULAN

Amos Setiadi

Kesim

pula

n

225

ARAHAN BAGI PERENCANAAN KOTA YOGYAKARTA DI MASA DEPAN

Amos Setiadi

Manusia merupakan homo symbolicum, yaitu mahkluk yang memiliki kemampuan untuk memahami serta memberi makna simbolik atas ragam objek yang diamati dalam lingkungan hidupnya. Kasus konservasi arsitektur dengan pengaruh ideologi Islam menunjukkan bahwa dengan tujuan mengingat Allah (zikrullah), Islamic patterns mengembangkan pola-pola desain yang bertolak dari gagasan tentang tata surya, konfigurasi bintang, bunga dan dedaunan (Critichlow, 1992). Seni Islam tersebut memadukan antara ketertiban pola-pola geometris dan kedinamisan susunan ragam pola yang menggambarkan sikap tertib, namun dinamis sebagai manifestasi bentuk-bentuk realitas spiritual sekaligus merupakan kesadaran kolektif yang menjiwai pola-pola tersebut.

Sebagai sebuah produk budaya, arsitektur kota dapat diibaratkan sebagai sebuah teks. Jika mengacu pada Wilhelm Dilthey, setiap kata memiliki makna, maka setiap nama, gelar, julukan, toponim suatu tempat pada berbagai tempat di Kota Yogyakarta sangat penting untuk diungkap sejarah maupun maknanya. Selain itu, wujud fisik suatu tempat dapat menjadi media untuk menyampaikan suatu informasi atau makna tertentu sehingga wujud perlu dijamin kelestariannya melalui rencana konservasi. Wujud fisik yang dimaksud termasuk konfigurasi atau pola-pola bentuk arsitektur dalam skala kota, kawasan maupun bangunan yang mengundang asosiasi atau interpretasi tertentu bagi setiap pengamat sekaligus sebagai sebuah jembatan yang menghubungkan peritiwa atau kejadian di masa lampau dengan angan-angan atau cita-cita di masa depan.

Artefak yang telah diuraikan pada Bab I sampai dengan Bab IV

Kesim

pula

n

226

buku ini menguraikan secara lengkap mengenai makna sejarah, jiwa tempat beberapa kawasan di Kota Yogyakarta, termasuk berbagai kegiatan budaya maupun ritual yang tetap berlangsung hingga saat ini sebagai variabel yang memberi atma atau roh pada tempat. Selain itu, diuraikan bagaimana peran setiap objek cagar budaya dalam mempengaruhi arah perkembangan kota termasuk permasalahan yang dihadapi berupa ancaman perubahan yang dapat mengakibatkan kepunahan pada identitas tempat. Keberadaan cagar budaya atau setiap artefak bersejarah, baik dalam konteks kampung tradisional maupun dalam konteks bangunan tunggal yang dibahas dalam buku, hanya merupakan sebagian kecil dari tempat-tempat bernilai historis di Kota Yogyakarta. Penelitian ataupun pemaparan sejarah yang dilakukan terhadap masing-masing kawasan cagar budaya merupakan bagian dari usaha konservasi yang bertujuan untuk menggugah kesadaran masyarakat masa kini akan pentingnya makna masing-masing kawasan dalam menentukan arah perkembangan Kota Yogyakarta setelah ditempa oleh berbagai pengalaman sejarah, pengaruh peradaban, dan budaya serta kekuasaan politik yang silih berganti.

Persoalan mendasar yang muncul pada perencanaan Kota Yogyakarta saat ini adalah tidak terhindarnya transformasi atau perubahan sebagai konsekuensi dari pembangunan kota. Transformasi dalam hal ini hendaknya dipahami secara semantik. Transformasi sering kali dikonotasikan dalam makna visual sebagai gejala perubahan yang sekadar mencakup pada aspek bentuk arsitektural meskipun pada kenyataannya transformasi memuat makna yang lebih luas daripada sekadar fisik, yaitu adanya fenomena pergeseran atau perubahan pada nilai-nilai budaya atau pola pikir masyarakat setempat. Dalam tataran fisik, dekomposisi dan dekonstruksi yang berlangsung pada arsitektur Kota Yogyakarta bukan merupakan sebuah proses alami karena terdapat adanya unsur paksaan agar perubahan segera diakomodir. Sikap dualisme dalam pola pikir dan budaya akan menciptakan

Kesim

pula

n

227

kebingungan karena di dalamnya mengandung sebuah ketidakpastian. Apabila peneliti tidak memiliki pemahaman secara mendalam terhadap permasalahan kota masa kini termasuk sejarah dan faktor-faktor pendorong yang mengakibatkan perubahan terhadap bentuk fisik kota, kekeliruan dalam melakukan interpretasi akan lebih mudah terjadi (Antoniades, 1992).

Usaha konservasi terhadap identitas Kota Yogyakarta tetap harus dijamin keberlanjutannya sehingga orang memiliki kemampuan untuk melakukan penelusuran terhadap kehidupan sejarah kota di masa lampau ataupun mempelajari hikmah dari sejumlah peristiwa penting kota di masa lalu. Pengalaman sejarah setiap objek kawasan yang dibahas akan membangkitkan kembali kesadaran bahwa betapa setiap kawasan tersebut memiliki peranan strategis dalam menentukan arah perkembangan Kota Yogyakarta. Sebagai sebuah material artifact dan sintesa dari serangkaian nilai-nilai. Arsitektur pada masing-masing kawasan di Kota Yogyakarta dikaji dan dianalisis sehingga akhirnya dihasilkan sejumlah rekomendasi yang penting untuk perencanaan Kota Yogyakarta di masa depan.

Gerakan konservasi di Kota Yogyakarta pada dasarnya telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak dengan tujuan untuk mempertahankan ciri dan identitas Kota Yogyakarta sebagai sebuahcultural heritage. Setiap pihak dituntut untuk bertanggung jawab dalam memelihara kelestarian setiap kawasan cagar budaya dari perubahan yang tidak terkendali. Perubahan memang tidak akan dapat dihindari, tetapi bukan berarti tanpa arah sehingga arsitek dan Urban Designer masa kini diharapkan mampu mengakomodasi ide-ide perubahan dan nilai-nilai modern sekaligus mempertahankan jati diri kota sebagai bentuk apresiasi terhadap nilai-nilai di masa lampau.