61
Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah i KATA PENGANTAR Studi kajian Implikasi dan Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah merupakan studi yang dilakukan untuk memberikan langkah dalam penyusunan strategi baru guna mengembangkan koperasi dalam kaitannya dengan penerapan otonomi daerah. Pengkajian ini diharapkan dapat memberikan arahan dalam proses pengembangan koperasi yang efektif dan efisien. Kegiatan studi ini dapat terlaksana berkat kerjasama antara Dewan Koperasi Indonesia dengan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tim penyusun berharap semoga Laporan Akhir hasil studi ini dapat bermanfaat khususnya sebagai masukan bagi pihak – pihak terkait dalam perumusan pengembangan koperasi berkaitan dengan otonomi daerah. Bogor, 23 Nopember 2001 Tim Penyusun

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

Embed Size (px)

Citation preview

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

i

KATA PENGANTAR

Studi kajian Implikasi dan Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah merupakan studi yang dilakukan untuk memberikan langkah dalam penyusunan strategi baru guna mengembangkan koperasi dalam kaitannya dengan penerapan otonomi daerah. Pengkajian ini diharapkan dapat memberikan arahan dalam proses pengembangan koperasi yang efektif dan efisien. Kegiatan studi ini dapat terlaksana berkat kerjasama antara Dewan Koperasi Indonesia dengan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tim penyusun berharap semoga Laporan Akhir hasil studi ini dapat bermanfaat khususnya sebagai masukan bagi pihak – pihak terkait dalam perumusan pengembangan koperasi berkaitan dengan otonomi daerah.

Bogor, 23 Nopember 2001

Tim Penyusun

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................. i

DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

DAFTAR TABEL................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR............................................................................................... v

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang........................................................................... I-1

1.2. Tujuan dan Sasaran.................................................................... I-2

1.3. Manfaat...................................................................................... I-2

1.4 Lingkup Kegiatan...................................................................... I-2

BAB II. METODE STUDI

2.1. Kerangka Analisis.................................................................... II-1

2.2. Metode Pendekatan dan Analisis............................................. II-2

BAB III. STRUKTUR PEMAHAMAN DAN PRAKTEK PERKOPERASIAN

DI INDONESIA

3.1. Masa Pra Kemerdekaan............................................................ III-1

3.2. Masa Orde Lama...................................................................... III-5

3.3. Masa Orde Baru....................................................................... III-6

3.4. Masa Reformasi........................................................................ III-10

BAB IV. KELEMBAGAAN EKONOMI KOPERASI DALAM REALITAS

STRUKTUR PEREKONOMIAN

4.1. Dasar Pembentukan Koperasi adalah Menekan Biaya

Transaksi.................................................................................. IV-1

4.2. Konsep Koperasi...................................................................... IV-8

4.3. Koperasi Sebagai Alat Alokasi Sumberdaya........................... IV-18

4.4. Koperasi Sebagai Perusahaan................................................... IV-19

4.5. Kegagalan Koperasi Mengaktualisasikan Peranannya............. IV-19

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

iii

BAB V. KOPERASI DALAM OTONOMI DAERAH 5.1. Substansi Otonomi Daerah V-1

5.2. Perspektif Pembangunan Perekonomian Daerah V-2

5.3. Pembangunan Koperasi pada Era Otonomi Daerah V-3

5.4. Ancaman dan Peluang Otonomi Daerah Terhadap

Perkembangan Koperasi V-5

5.5. Koperasi sebagai Media Pemberdayaan V-5

BAB VI. STRATEGI PENGEMBANGAN KOPERASI

6.1. Pembangunan Koperasi Dilakukan Tidak Boleh Terlepas

Dari Upaya Pemberdayaan Anggotanya................................. VI-1

6.2. Pembangunan Koperasi Dilakukan Secara Lintas Sektoral..... VI-3

6.3. Pembangunan Koperasi Mengacu Pada Local Spesific

(Resource Based dan Community Based)................................ VI-4

6.4. Koperasi Diikutkan dalam Program Redistribusi Asset

Secara Transparan.................................................................... VI-6

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Jumlah Koperasi, Anggota dan Simpanan, Masa

Sebelum Kemerdekaan..................................................................... III-3

Tabel 3.2. Komposisi Kinerja Koperasi Indonesia Masa Awal Reformasi....... III-8

Tabel 3.3. Komposisi Kinerja Koperasi Indonesia Masa Awal Reformasi....... III-11

Tabel 3.4. Kinerja Koperasi Tahun 1998-2000................................................. III-12

Tabel 3.5. Rasio Parameter Kinerja Koperasi Terhadap Jumlah Koperasi....... III-13

Tabel 3.6. Rasio Parameter Kinerja Koperasi Terhadap Jumlah Koperasi

Aktif ................................................................................................ III-13

Tabel 3.7.

Nilai Korelasi Antara Peubah Asal dan Komponen Utama Kinerja

Koperasi Unit Desa Berdasarkan Data Statistik Koperasi di

27 Propinsi........................................................................................ III-15

Tabel 3.8. Tipologi Koperasi Unit Desa di 27 Propinsi Berdasarkan Kinerja

Indikator Fisik.................................................................................. III-16

Tabel 3.9. Nilai Korelasi Antara Peubah Asal dan Komponen Utama Kinerja

Koperasi Tahu Tempe Berdasarkan Data Statistik Koperasi di

27 Propinsi........................................................................................ III-17

Tabel 3.10. Tipologi Koperasi Tahu Tempe dan Karakteristik Pencirinya

Di 27 Propinsi di Indonesia.............................................................. III-18

Tabel 3.11. Nilai Korelasi Antara Peubah Asal dan Komponen Utama Kinerja

Koperasi Industri Kerajinan Berdasarkan Data Statistik Koperasi

Di 27 Propinsi................................................................................... III-19

Tabel 3.12. Nilai Korelasi Antara Peubah Asal dan Komponen Utama Kinerja

Koperasi Secara Agregat Berdasarkan Data Statistik Koperasi di

27 Propinsi........................................................................................ III-20

Tabel 3.13. Tipologi Koperasi secara Umum dan Karakteristiknya Pencirinya

Di 27 Propinsi di Indonesia.............................................................. III-21

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Kinerja Agregat Koperasi Antar Propinsi Tahun 1999............ III-22

Gambar 3.2. Kinerja KUD antar Propinsi Tahun 1999................................. III-22

Gambar 3.3. Kinerja Koperasi Kerajinan antar Propinsi Tahun 1999.......... III-23

Gambar 3.4. Kinerja Koperasi Tahu Tempe antar Propinsi Tahun 1999...... III-23

Gambar 4.1. Pemecahan Masalah hold up dalam Suatu Transaksi............... IV-4

Gambar 4.2. Hubungan Kepemilikan, Pelayanan dan Pasar

Dalam Koperasi........................................................................ IV-9

Gambar 5.1. Proporsi Peran antara Pemerintah dan Private......................... V-6

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

I-1

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Adanya UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan

perimbangan keuangan daerah dan pusat serta rencana perubahan UU nomor 25 tahun 1992 koperasi akan mempengaruhi perilaku dari koperasi sebagai institusi ekonomi.

Koperasi sebagai institusi terdiri dari hardware dan software. Hardware ialah organisasi koperasi itu sendiri sedangkan software adalah the rule of the game yang meliputi tata nilai anggota, prinsip koperasi, AD /ART, peraturan, norma dan adat istiadat baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Selayaknya antara hardware dan software saling bersesuaian (compatible). Bila tidak bersesuaian maka koperasi bertindak sebagai organisasi, namun peran dan fungsinya seperti lembaga perdagangan karena software yang dibangun (the rule of the game) lebih sesuai untuk peran dan fungsi lembaga perdagangan.

Menjadi pertanyaan bagi kita, apakah organisasi dari koperasi di Indonesia telah membuat the rule of the game yang sesuai dan melembaga bagi anggota ? Hal ini penting karena the rule of the game (software) dari koperasi di Indonesia harus pula bersesuaian dengan UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 dan UU nomor 25 tahun 1992 yang akan direvisi.

Kajian amplikasi dan strategi koperasi dalam rangka otonomi daerah harus meletakkan UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 sebagai external institution yang mempengaruhi perubahan internal institution dari koperasi. Dalam kaitan ini terjadi dua kemungkinan yaitu diperlukan internal institution change (perubahan kelembagaan )yang menyesuaikan dengan UU nomor 22 dan 25 tahun 1999.

Jiwa dari otonomi daerah adalah mengakui adanya perbedaan dan keragaman dari suatu daerah dengan daerah lainnya sehingga tidak terjadi lagi penyamarataan kebijakan untuk seluruh daerah. Untuk itulah kebijakan koperasi haruslah sejiwa dengan otonomi daerah.

Koperasi produksi, pemasaran dan produksi dan pemasaran sangat berbeda dengan koperasi unggas maupun koperasi tanaman pangan dari prilaku maupun karakteristiknya. Juga, koperasi yang berbentuk vertical integration sangat berbeda yang berbentuk bargaining power. Jadi, menyederhanakan koperasi dan menyamaratakan kebijakan pada koperasi di era otonomi adalah tindakan yang mengulangi masa lalu pada saat pemerintah pusat sangat sentralistik.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

I-2

1.2. Tujuan dan Sasaran

Tujuan studi ini adalah : a. Mengidentifikasi kaitan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 dengan prospek

pengembangan koperasi b. Memberdayakan ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan daya

saing dan kemandirian yang berkelanjutan c. Menyusun strategi pembangunan koperasi yang sesuai dengan kerangka

perundang – undangan yang ada Sedangkan sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan penelitian ini adalah :

a. Teridentifikasinya factor pendorong dan peluang – peluang pengembangan koperasi dalam kerangka penerapan otonomi daerah

b. Tersusunnya strategi pengembangan koperasi sesuai dengan prinsip–prinsip dan pelaksanaan otonomi daerah

1.3. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari studi ini : a. Sebagai bahan acuan dalam proses menggerakkan dan mengembangkan

koperasi yang dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah b. Sebagai salah satu alternatif pemikiran bagi pemerintahan dalam pembinaan

koperasi

1.4. Lingkup Kegiatan

Ruang lingkup kegiatan studi ini mencakup aktifitas berikut ini : a. Mengidentifikasi dan mengeksplorasi factor – factor penting sebagai

penentu perkembangan koperasi secara umum dan yang khas di setiap tipologi. Kegiatan ini meliputi identifikasi kondisi fisik, social ekonomi kawasan, tata ruang kawasan, pelaksanaan kebijakan / rencana / program – program pembangunan sector di kawasan sentra produksi.

b. Mengidentifikasi bentuk kelembagaan dan kebijakan yang berperan besar dalam pengembangan koperasi.

c. Mengidentifikasi factor pendorong dan peluang – peluang pengembangan koperasi dalam kerangka penetapan otonomi daerah.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

II-1

2 METODE STUDI 2. 1. Kerangka Analisis

Untuk mengevaluasi keragaan koperasi digunakan berbagai tolok ukur objektif yang dapat diukur dan dibandingkan. Pengujian tolok ukur tersebut dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Validasi data diuji dengan menggunakan analisis statistika deskriptif. Validasi data tersebut sekaligus merupakan proses pemilihan data yang layak untuk dianalisis. Hasil validasi data dan keragaan awal data sekunder digunakan sebagai bahan penyusunan hipotesis serta pengelompokan tingkat perkembangan koperasi.

Hasil validasi merupakan data yang siap untuk dianalisis. Analisis yang dilakukan adalah teknik analisis gerombol dan analisis komponen utama untuk mendapatkan tipologi secara empiric. Penjabaran singkat dari teknik analisis yang digunakan disampaikan dalam sub bab selanjutnya. Gerombol alamiah akan diidentifikasi dan selanjutnya diuji factor penciri dari setiap tipologi koperasi.

Berdasarkan tolok ukur dasar secara hipotetik di munculkan berbagai ukuran – ukuran operasional yaitu ukuran – ukuran yang dapat diidentifikasikan di lapangan atau dapat disediakan datanya di lapangan. Melalui uji statistic sederhana, dilakukan uji konsistensi terhadap tolok ukur hipotesis yang ada sehingga terpilih ukuran – ukuran yang terbaik.

Dengan menggunakan analisis korelasi berganda dilakukan penghitungan keterikatan antara tolak ukur perkembangan koperasi dengan factor – factor yang dihipotesiskan menjadi factor – factor yang mempengaruhi perkembangan koperasi. Hasil dari korelasi ini adalah diperolehnya factor – factor yang berpeluang dalam mempengaruhi perkembangan koperasi.

Pada saat yang bersamaan dilakukan studi literature untuk melakukan eksplorasi terhadap Undang – Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 dalam kaitannya dengan pembangunan koperasi dan studi kasus di beberapa daerah mengenai penerapan otonomi daerah, seperti peraturan daerah, struktur organisasi di daerah dan kiat – kiat pelaksanaan otonomi daerah. Ini penting untuk dilakukan agar strategi pembangunan koperasi yang akan disusun sesuai dengan kerangka perundang – undangan yang ada.

Data berupa kebijakan yang diturunkan semasa kemerdekaan hingga era reformasi digunakan sebagai bahan untuk mengidentifikasi potensi pengembangan, bentuk kelembagaan dan kebijakan yang ada serta kendala pengembangan koperasi.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

II-2

Kompilasi data akan dilakukan melalui pendekatan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) bagi stakeholder terbatas. Kompilasi tersebut diharapkan akan menghasilkan konsep pengembangan koperasi secara utuh.

2. 2. Metode Pendekatan dan Analisis

2.2.1. Pengumpulan Data

Pemilihan koperasi sebagai studi kasus dilakukan secara purposif dengan asumsi bahwa koperasi tersebut mewakili keragaman kondisi perkoperasian di Indonesia. Lokasi studi tidak dipilih secara spesifik. Pengumpulan data dalam studi adalah pengumpulan data sekunder. Stakeholder koperasi yang teridentifikasi akan dijadikan sebagai narasumber tentang kebijakan dan keragaan koperasi secara umum dalam studi ini antara lain : pejabat di kementerian Negara koperasi, pejabat DEKOPIN, pengurus koperasi baik yang ada di provinsi serta kabupaten / kotamadya, anggota koperasi, dan pegawai dinas koperasi.

Data sekunder akan dikumpulkan di tingkat pusat. Pusat data yang dihubungi untuk mendapatkan berbagai informasi tentang koperasi antara lain : Badan Pusat Statistik, Kantor Kementerian Koperasi, DEKOPIN serta kantor dinas koperasi di propinsi dan kabupaten. Buku – buku data yang dapat diidentifikasi akan dikumpulkan antara lain : 1. Laporan Tahunan Koperasi serta Statistik Koperasi 2. Potensi Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia 3. Perekonomian Propinsi / Kabupaten 4. Tabel input – output propinsi 5. Buku – buku Statistik Kabupaten dan propinsi dalam Angka

2.2.2. Teknik Analisis

1. Analisis Komponen Utama

Untuk menampilkan data pada objek – objek yang mempunyai

beberapa peubah (dimensi) maka perlu dilakukan transformasi agar peubah tersebut dapat diwakilkan pada peubah baru yang mampu menerangkan keragaman data terbesar.

Peubah – peubah baru tersebut merupakan kombinasi linier dengan peubah lama sehingga dapat dicari tingkat korelasi peubah baru dengan peubah lama. Peubah baru tersebut tidak mempunyai korelasi antar peubah baru lain.

Peubah baru Y 1 dimana Y1 =a 1 x yang mempunyai ragam σσσσ² Y1, Y2 dimana Y2

= a2 X yang mempunyai ragam σσσσ² Y2, demikian seterusnya sampai dengan Y1 dimana Yp

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

II-3

= ap X yang mempunyai ragam σσσσ² YP.

σσσσ² Y1 ≥≥≥≥σσσσ² Y2 ≥≥≥≥………….σσσσ²YP-1 ≥≥≥≥σσσσ² YP

σσσσ² Y1 = a 1 ! a 1

Sasaran adalah max a1 σσσσ² x a1 dengan kendala | a1 |||| = 1 F (a1) = a1!a1 – A (a1 – 1) D f (a1)/d a1 = a1!a1 – 2 A a1 = 0

(! – A 1) a1 = 0 Jika | ! – A 1 | = 0 maka Ai dapat ditentukan. Selanjutnya akan dapat ditentukan a1, demikian juga Y1.

Untuk menentukan Y2 maka fungsi f (a1) diberi kendala antara lain σσσσ² Y1Y2 = 0, | a2 | = 1, a1 a2 = 0, sehingga D f (a2) / d (a2) = 2 a1 ! a1 – B a1 = 0 Maka akan dapat ditentukan (! – B 1) a2 = 0 dan | ! – B 1 |||| = 0, sehingga B dapat ditentukan. Nilai – nilai a2 dan Y2 dapat ditentukan pula.

Dengan melakukan plot dua peubah baru yang mampu menerangkan variasi data yang terbesar maka akan didapatkan posisi dan penggerombolkan koperasi – koperasi yang diamati. Koperasi – koperasi yang menggerombol diharapkan mempunyai tingkat kemiripan peubah – peubahnya. Selanjutnya peubah yang paling menentukan penggerombolan tersebut akan dapat dijawab melalui penghitungan korelasi peubah lama dengan peubah hasil transformasi komponen utama.

2. Analisis Gerombol

Analisis gerombol secara konsep bertujuan mengelompokan

objek (koperasi) ke dalam koperasi yang lebih homogen bedasarkan suatu ukuran kedekatan tertentu. Ukuran kedekatan tersebut sangat tergantung pada sifat peubah (diskret, kontinu, biner) atau skala pengukuran (nominal, ordinal, interval, rasio) dan pengetahuan bidang yang akan diteliti (subject – matter). Ukuran kedekatan tersebut adalah ukuran jarak.

Pada penelitian ini metode penggerombolan yang digunakan terbagi dua, yakni : 1. Metode tak berhierarki ( Nonhierarchical Clustering Methods) 2. Metode berhierarki ( Hierarchical Clustering Methods )

a. Methode tak berhierarki

Pertama – tama memisahkan sejumlah koperasi dengan p

peubah ke dalam K gerombol yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Kemudian dipilih sejumlah K data sebagai pusat gerombol dengan satu anggota, lalu menggerombolkan N – K data yang lain

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

II-4

ke dalam gerombol dengan pusat yang terdekat. Setelah terbentuk pusat gerombol yang baru, selanjutnya menukar keanggotaan masing – masing gerombol sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu kelompok dengan anggota koperasi yang tetap. Kelompok hasil penggerombolan metode tak berhierarki tersebut dianggap sebagai contoh untuk setiap kelas koperasi dalam rangka menyusun fungsi klasifikasi.

Ukuran jarak yang digunakan dalam penggerombolan ini adalah jarak Mahalanobis, yang didefinisikan sebagai berikut : d² rs = (Xr – Xs)’ S (Xr – Xs), dengan S = matrik peragam total Jarak Mahalanobis digunakan bila dikhawatirkan peubah yang diamati saling berkorelasi.

b. Metode berhierarki

Metode penggerombolan berhierarki digunakan pada analisis keterpisahan antar koperasi. Ukuran keterpisahan dapat diwujudkan melalui gram batang dan ranting (dendogram ). Dengan analisis ini ukuran keterpisahan dan kedekatan antar gerombol dapar dihitung. Selanjutnya, metode berhierarki sebenarnya mempunya dua pendekatan yakni : metode berhierarki agglomerativedan metode hierarki “Divisive”. Metode berhierarki “Divisive” mula – mula memandang data (koperasi – koperasi) sebagai satu kelompok dan kemudian dibagi menjadi sub kelompok yang berjauhan. Tiap sub kelompok dibagi lagi menurut ukuran tak keserupaan menjadi sub – sub kelompok, dan seterusnya sehingga menjadi banyak kelompok yang sebanyak objeknya. Sedangkan metode berhierarki “Agglomerative” dimulai dengan satu koperasi, sehingga pada awalnya akan terbentuk N gerombol koperasi. Penggerombolan dilakukan menurut ukuran kedekatan atau keserupaan, hingga akhirnya membentuk satu gerombol. Dalam penelitian ini digunakan metode berhierarki “agglomerative”. Metode “ agglomerative” dibedakan sebagai berikut : a. Metode pautan

a.1. pautan tunggal a.2. pautan lengkap a.3. pautan rataan

b. Metode Ward

3. Fungsi Diskriminan

Tujuan dilakukan analisis diskriminan pada penelitian koperasi ini adalah mampu disusun fungsi pembatas antar gerombol koperasi. Dengan adanya fungsi pembatas antar gerombol koperasi tersebut maka akan dapat diukur perubahan nilai – nilai peubah yang

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

II-5

digunakan dalam menyusun fungsi tersebut suatu koperasi dari gerombol tertentu akan berubah menjadi koperasi gerombol yang lain.

Diasumsikan bahwa S = {fj , j = 1,2,…, M). S adalah gugus

koperasi dengan jumlah gerombol yang belum diketahui. Hasil klasifikasi sebelumnya akan diketahui jumlah gerombol serta anggota koperasi dalam gerombol tersebut. Sehingga gugus S dapat dituliskan kembali S = (fjk , j = 1,2,…Mk), k = 1,…,K. (Dengan asumsi jumlah gerombol adalah K).

Fungsi klasifikasi diwujudkan sebagai fungsi kepekatan peluang f(z) :

F(z) = 1 1 (2 π)² |C|1/2

Dengan z adalah vector berdimensi N, m = E(z) adalah vector rataan berdimensi N, C = E ((z – m)(z – m)’) adalah matriks ragam peragam berukuran Nx N, |C| adalah determinan matriks ragam peragam. Didalam pendekatan statistika vector z dianggap sebagai peubah acak. Jika z hendak diklasifikasikan ke dalam Sk, maka perlu adanya fungsi kepekatan peluang bersyarat f(z||||Sk) dan peluang apriori P(Sk). Asumsi selanjutnya adalah selebaran fungsi kepekatan peluang f diketahui dan parameter f hanya diidentifikasikan dari anggota gerombol. Dalam analisis fungsi determinan juga akan dianalisis kerugian melalui perhitungan kesalahan klasifikasi.

exp ( -1/2 (z-m)’ C-1 (z-m))

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-1

3 STRUKTUR PEMAHAMAN DAN PRAKTEK PERKOPERASIAN DI

INDONESIA

Perkenalan rakyat Indonesia dengan koperasi telah melalui perjalanan panjang yang diawali sejak peralihan abad 20. dalam perkembangannya sebagaimana menjadi pengalaman Negara berkembang lain diprakarsai oleh pejabat pemerintah. Di Indonesia, khususnya hal ini dimulai pada masa penjajahan Belanda, yang dilakukan sebagai upaya memperkenalkan bentuk pembaharuan social ekonomi yang moderat. Peran pemerintah dalam pengembangan koperasi setelah proklamasi kemerdekaan masih tetap besar, diantaranya dalam bentuk menerbitkan peraturan perundangan serta pemberian fasilitas, subsidi, upaya, perlindungan atau bentuk lainnya.

3.1. Masa Pra Kemerdekaan

Bibit awal didirikannya suatu organisasi yang senafas dengan koperasi

diprakarsai oleh R. Aria Wiriaatmadja, patih Purwokerto dengan mendirikan “De Purwakertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden “ (bank Bantuan dan Simpanan Purwokerto), atau lebih dikenal dengan sebutan “Bank Priyayi Purwokerto” , pada tanggal 16 Desember 1895. Pendirian bank tersebut bertujuan untuk menolong para pegawai pemerintah di wilayah Purwokerto, yang sering terjerat hutang pada lintah darat.

Bank hasil prakarsa Patih Aria Wiriaatmadja ini menurut Bung Hatta bukan merupakan bank koperasi. Meskipun demikian, Bank yang didirikan oleh R. Aria Wiriaatmadja itu, selanjutnya oleh de Wolff van Westerrode diubah menjadi “Purwokertosche Hulp, Spaaren, Landbouwer Creadit Bank” yang memberikan kredit baik kepada pegawai pemerintah maupun kepada para petani. (Bank Bantuan dan Simpanan serta Kredit Petani Purwokerto). Bersamaan dengan pendirian dan perluasan bank tersebut ke seluruh Karesidenan Banyumas, didirikan pula 250 buah lumbung desa dengan fungsi memberikan kredit dalam bentuk padi.

Pola pendirian Bank Priyayi Purwokerto tersebut menjadi salah satu ide dasar untuk mendirikan Bank Kredit Rakyat (Volks Credit Bank) diseluruh pulau Jawa dan Madura. Tahun 1934, semua Bank Kredit Rakyat disatukan menjadi “Algemeene Volkscredit Bank” yang memiliki cabang di seluruh Indonesia. De Wolff Van Westerrode bercita – cita ingin membangun koperasi model Raiffeisen bagi petani di pedesaan. Model Shultze Deiltz untuk para pegawai pemerintah di daerah perkotaan kemudian berubah menjadi cikal bakal BRI.

Walaupun nafas organisasi yang menjadi rintisan pertumbuhan koperasi di Indonesia di nyatakan mulai 1895 /1896, namun awal kegiatan pengembangan cita – cita koperasi di kalangan masyarakat Indonesia sesungguhnya baru dimulai oleh pergerakan nasional Boedi Oetomo (1908). Bung Hatta menyatakan bahwa, “pergerakan nasionallah yang mendorong perkembangan koperasi”.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-2

Perasaan kebangsaan menjadi semangatnya. Hal itu karena sejak semula pergerakan nasional memang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Oleh karena itu pendidikan (pengajaran) dan perekonomian menjadi program terpenting bagi partai yang berdiri pada saat itu, seperti : Boedi Oetomo, NIP, Serikat Islam, PK1, Pasundan, PNI, Indonesiche Studie Club Surabaya, Partindo, Parindra dan lain sebagainya. “Rakyat yang lemah ekonominya tidak akan dapat membentuk Negara yang kuat, dan ekonomi akan tetap lemah, apabila rakyat yang terbanyak masih buta huruf”, demikian penjelasan Bung Hatta.

Partai (organisasi gerakan nasional) menganjurkan kepada kalangan rakyat untuk membentuk koperasi. Boedi Oetomo atau Sarikat Islam membentuk koperasi – koperasi rumah tangga atau toko – toko koperasi ( koperasi konsumen). Akan tetapi karena pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola koperasi konsumen masih sangat kurang, sedang pemerintah maupun gerakan sendiri belum menyelenggarakan pendidikan atau penyuluhan, akibatnya koperasi – koperasi yang tumbuh tidak berumur panjang. Sementara itu pada tahun 1927 di Surabaya didirikan “Indonesiche Studi Club” oleh dr. Soetomo (pendiri Boedi Oetomo tahun 1908) yang beranggotakan segolongan kecil kaum Intelektual, yang antara lain mempelajari masalah perkoperasian. Pada tahun 1929 diselenggarakan kongres koperasi oleh “ Partai Nasional Indonesia” di Jakarta. Pimpinan Partai Nasional Indonesia terdiri dan pemuda – pemuda nasionalis yang pernah belajar di negeri Belanda dan mempelajari gerakan koperasi di Eropa. Semangat berkoperasi dalam kongres tersebut mendorong berdirinya banyak koperasi di Jawa dan puncaknya terjadi pada tahun 1932. Setelah tahun itu, kembali koperasi mengalami kemunduran. Kejadian itu timbul akibat lemahnya pemilikan dan aplikasi dari dasar – dasar koperasi. Pada akhir tahun 1931 terdapat sekitar 1.549 buah koperasi (yang dinilai “liar” karena tidak disahkan pemerintah), dan hanya 172 buah yang disahkan (menurut UU No. 91/1927). Menjelang pecah perang dunia ke II hampir tidak ada lagi koperasi yang aktif beroperasi. Meskipun demikian kondisi itu tidak menggambarkan kegagalan dalam proses pembangunan maupun pembinaan koperasi. Menurut catatan resmi, jumlah koperasi yang telah disahkan hingga tahun 1939 mencapai 656 buah (599 buah di Jawa dan 57 buah di luar Jawa), dan 82 buah diantaranya telah dibubarkan (69 buah dan 13 buah di luar Jawa).

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-3

Tabel 3.1. Jumlah Koperasi, Anggota dan Simpanan Masa Sebelum Kemerdekaan

Tahun Jumlah Koperasi Jumlah Anggota Simpanan Anggota

dan Titipan 1927 1928 1929 1930 1931 1932 1933 1934 1935 1936 1937 1938 1939 1940 1941 1942

1 22 43 89 133 172 233 263 399 342 410 540 574 639 712 728

7.848 13.725 14.035 18.307 18.663 19.064 20.423 28.697 40.237 52.216

f 101.296 f 194.578 f 262.184 f 317.613 f 375.557 f 306.317 f 302.399 f 570.182 f 633.082 f 850.671

Sumber : Nasoetion, 2000.

Koperasi kredit merupakan jenis koperasi terbesar (440 buah di Jawa, 45 buah di luar Jawa, dan 63 buah diantaranya dibubarkan). Menurut Bung Hatta selain koperasi konsumen dan koperasi kredit, pada masa penjajahan Belanda terdapat beberapa jenis koperasi lainnya, seperti : koperasi produksi, koperasi pembangunan rumah, koperasi pembebasan hutang dan koperasi lumbung. Dengan adanya perkembangan koperasi yang sudah mulai memasyarakat, pemerintah Belanda memandang perlu segera mengeluarkan peraturan perundangan untuk mengatur kehidupan perkoperasian di Hindia Belanda. Rangkaian perundangan tentang perkoperasian yang telah diterbitkan pemerintah penjajahan Belanda, adalah sebagai berikut :

1. Peraturan Perkumpulan Koperasi (Verordening Op de

Cooperatieve Vereenegingen) Tahun 1915 No. 431

Peraturan ini berlaku untuk semua golongan penduduk. Bagi golongan bumiputera yang kurang berpendidikan dan lemah kondisi perekonomiannya dirasakan terlalu berat, khususnya dari segi prosedur maupun besarnya biaya pendirian koperasi.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-4

2. Peraturan Perkumpulan – Perkumpulan Koperasi bagi Golongan Bumiputera (Regeling Inlandsche Cooperatieve Vereenigingen) Tahun 1927 No. 91

Perkumpulan koperasi yang berdasar peraturan perundangan ini

mempunyai hak badan hukum bumiputera. Hal ini sangat penting, khususnya dalam kaitan dengan hak tanah kaum bumiputera. Sedangkan bagi koperasi kredit, terbuka kemungkinan untuk meminjamkan uang kepada anggotanya secara hukum adat menggunakan tanggungan barang, seperti : sawah, kebun dsb.

3. Peraturan Umum Perkumpulan – perkumpulan Koperasi

(Algemene Regeling Op de Cooperatieve Vereenigingen) Tahun No. 21

Peraturan ini serupa dengan peraturan tahun 1915 dan hanya

berlaku bagi Orang – orang yang tunduk kepada hukum barat. Dalam upaya

meningkatkan pembinaan koperasi, oleh pemerintah pada akhir 1930 telah dibentuk Jawatan koperasi dipimpin Prof. Dr. J.H. Boeke, mantan Ketua Panitia Koperasi tahun 1920. Jawatan ini sejak awal hingga tahun 1935 berada di bawah naungan Departemen Dalam Negeri, dan selanjutnya dipindah ke Departemen Perekonomian di bagian Usaha Umum. Kemudian sejak tahun 1939 Jawatan Koperasi diperluas menjadi Jawatan Koperasi dan Perdagangan Dalam negeri. Dalam wadah baru ini, pejabat koperasi tidak hanya memberi bimbingan dan penerangan tentang koperasi, tetapi juga tentang perdagangan, terutama perdagangan bumiputera.

Dalam masa pemerintah pendudukan Jepang diberlakukan

Undang – undang perkoperasian untuk orang – orang Indonesia (Bumiputera) Tahun 1927 No. 91, asal tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang. Disamping itu, Pemerintah Militer Jepang juga mengeluarkan Undang – undang No. 23 yang mengatur cara – cara pendirian perkumpulan dan penyelenggaraan persidangan, di mana disebutkan antara lain bahwa untuk mendirikan perkumpulan, termasuk koperasi, harus ada izin dari Shuchokan (Residen).

Pada tanggal 1 Agustus 1944 pemerintahan telah mendirikan Kantor Perekonomian Rakyat, yang bertugas mengurus segala hal yang berkaitan dengan perekonomian rakyat. Dengan berdirinya kantor ini, Jawatan Koperasi menjadi bagian dari kantor bersangkutan dan disebut Kumiaika, yang tugasnya adalah untuk mengurusi hal – hal yang berkaitan dengan koperasi. Sedang yang berkaitan dengan perdagangan diserahkan kepada bagian usaha (Kigyoka) dan Kantor Perekonomian Rakyat.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-5

Kumiai – kumiai (koperasi – koperasi) itu selanjutnya oleh pemerintah pendudukan Jepang dipergunakan sebagai sarana untuk membagikan barang – barang pemerintah kepada rakyat dan sebaliknya mengumpulkan hasil bumi (padi, kapas, iles – iles, dsb) untuk keperluan peperangan Asia Timur Raya. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, tamat sudah era penjajahan. Dalam kondisi pahit getirnya periode penjajahan itu, telah tertorehkan awal sejarah gerakan koperasi Indonesia.

3.2. Masa Orde Lama

Pada masa kemerdekaan, peran dan posisi koperasi dicantumkan dalam penjelasan pasal 33 ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945. Koperasi telah memperoleh amanah untuk menjadi sokoguru perekonomian nasional.

Suasana perjuangan fisik di tanah air turut menghambat pembangunan koperasi secara terencana. Namun demikian berdasar kesadaran bahwa pembangunan koperasi hanya bisa dilakukan secara efektif apabila di antara para pelaku bekerjasama, maka tanggal 11 – 14 Juli 1947 telah diselenggarakan Kongres Koperasi pertama di Tasikmalaya, Jawa Barat. Kongres dihadiri oleh sekitar 500 orang utusan dari gerakan koperasi serta pejabat pemerintah yang datang dari berbagai pelosok tanah air. Pada 12 Juli 1947 kongres menyepakati pembentukan organisasi gerakan koperasi Indonesia yang pertama, dengan nama SOKRI (Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia). Tanggal pembentukan SOKRI 12 Juli kemudian disepakati sebagai “Hari Koperasi” yang selalu diperingati setiap tahunnya.

Pembentukan SOKRI sebagai organisasi gerakan koperasi merupakan tonggak sejarah, yang mengandung semangat kerjasama, persatuan dan kesatuan, di antara sesama organisasi koperasi, dan di antara para anggota gerakan koperasi dengan pihak pemerintah. Hanya saja dalam kondisi masih berlangsungnya perjuangan fisik, organisasi gerakan koperasi belum dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Selanjutnya dalam Kongres Koperasi II (1953) nama SOKRI diganti menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Dalam kongres itulah Moh. Hatta ditetapkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

Langkah perjuangan koperasi untuk mewujudkan amanat konstitusi menghadapi berbagai hambatan dan tantangan, baik secara fisik maupun secara konseptual. Perihal kesulitan mewujudkan koperasi sebagai pelaku ekonomi nasional sudah disadari sejak awal oleh para pendiri Negara ini. Adalah Bung Hatta yang sudah memperingatkan dalam pidato radio 12 juli 1951, bahwa disamping koperasi sebagai cita – cita, ada “desakan rakyat untuk mendapat perbaikan hidup sekarang juga”

Menyadari, bahwa “rakyat jelata tidak bisa hidup dengan cita – cita saja”, maka beliau menyarankan untuk bersikap realis yaitu dengan memisahkan politik perekonomian jangka panjang, yang meliputi usaha dan rencana menyelenggarakan secara berangsur – angsur ekonomi Indonesia berdasarkan koperasi, dengan politik perekonomian jangka pendek, yang realisasinya

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-6

bersandar pada bukti – bukti nyata untuk memperbaiki keadaan hidup rakyat. “tindakan itu sementara waktu dan harus dilakukan”, kata Bung Hatta, tetapi dengan catatan, “antara kedua cabang politik kemakmuran itu harus ada koordinasinya. Perhubungannya”,

Namun demikian ternyata pembinaan dan pengembangan koperasi tetap saja mengalami kesulitan dalam penyesuaiannya dengan pesan Bapak Koperasi Indonesia. Dan pengalaman sejarah menunjukkan, bahwa proses pembinaan dan pengembangan koperasi lebih banyak “mengikuti arus” perkembangan politik yang berlaku, ketimbang secara konsisten berkiblat pada pasal 33 UUD 1945.

Pola itu dapat dilihat dari periode ke periode dalam perjalanan kehidupan Negara kita. Pada periode yang sering disebut sebagai “masa demokrasi liberal” (1950 – 1959) pengembangan koperasi banyak bersikap “ing ngarso sung tulodo” (didepan memberi contoh) dan “tut wuri handayani” (di belakang, memberikan kekuatan).

Situasi demikian itu kemudian berubah drastis, khususnya pada periode : “demokrasi terpimpin” (1959 – 1965), yang dipenuhi dengan slogan “politik adalah panglima”. Pada masa itu, pembinaan koperasi sepenuhnya berada dalam dominasi pemerintah, bahkan organisasi gerakan koperasi yang disebut KOKSI (Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia) dipimpin langsung oleh Menteri yang menangani koperasi, yaitu Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa (Transkopemada), dan kemudian dilanjutkan oleh Menteri Transmigrasi dan Koperasi (Mentranskop).

Ketika pemerintah “Orde Lama” runtuh pada bulan Oktober tahun 1965, dan kemudian diganti pemerintah “Orde Baru” berbagai upaya telah diselewengkan. Diterbitkan pula antara lain UU No. 12/1967 tentang pokok – pokok Perkoperasian, untuk menggantikan UU No. 14/1965 tentang perkoperasian yang nyata – nyata menempatkan koperasi sebagai lembaga politik. Gerakan koperasi secara simultan mulai membenahi diri dengan meniadakan produk – produk Orde Lama yang jelas tidak sesuai dengan prinsip–prinsip koperasi secara universal.

3.3. Masa Orde Baru

Untuk dapat mewujudkan organisasi ekonomi mandiri, pemerintah Masa Orde Baru hanya melakukan pembinaan khususnya untuk memantapkan aspek kelembagaan, seperti membina tumbuhnya pengawasan secara demokratis olek anggotanya dan menetapkan peran pemerintah hanya terbatas pada pemberian bimbingan, fasilitas serta penciptaan iklim yang diharapkan mampu membantu memandirikan koperasi. Untuk itu tahap pembangunan KUD ditempuh melalui 3 (tiga) tahap, yaitu : ofisialisasi, eofisialisasi (debirokratisasi) dan otonomi. Pada tahap otonomi (mandiri), koperasi diharapkan sudah mampu mengambil keputusan sendiri, tanpa campur tangan dari luar termasuk dari pemerintah.

Sejak awal Orde Baru, pembangunan koperasi telah diintegrasikan dengan pembangunan perekonomian nasional melalui pengkaitan koperasi pertanian yang dikembangkan menjadi KUD dalam menangani pengadaan pangan nasional. Hal itu tercermin dalam Garis – garis Besar Haluan Negara

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-7

(GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dalam Pembangunan Jangka Panjang (25 tahun) Tahap 1 Pemerintah denan melalui program pembangunan KUD-nya berupa membuat koperasi itu menjadi badan usaha di perdesaan. Namun demikian, upaya itu belum cukup memuaskan dari sisi perkembangan kualitas kegiatan usahanya. Untuk memacu kualitas kegiatan usahanya itu UU No. 12/1967 kemudian diganti dengan UU No. 25 Tahun 1992, yang lebih menekankan pada pengaturan keberadaan koperasi sebagai suatu badan usaha. Upaya tersebut diharapkan akan mendorong peningkatan posisi dan peran koperasi dalam dinamika bisnis perekonomian nasional, sekaligus menyiapkannya untuk menghadapi era perdagangan bebas.

Selanjutnya dalam GBHN 1993 yang lalu telah ditetapkan kebijakan Pembangunan Lima Tahun ke VI, diantaranya memuata pernyataan : “ koperasi yang merupakan bagian integral dari perekonomian nasional, baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat, pembangunannya diarahkan untuk mengembangkan koperasi agar menjadi makin maju, makin mandiri, dan makin berakar dalam masyarakat, serta menjadi badan usaha yang sehat dan mampu berperan dalam kehidupan ekonomi rakyat, dalam upaya mewujudkan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang – undang dasar 1945”.

Tentang kemandirian koperasi, pasal 5 UU No. 25/1992 menyatakan bahwa hal itu merupakan salah satu prinsip koperasi Indonesia, dengan penjelasan “Kemandirian mengandung pengertian dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada pihak lain, yang dilandasi oleh kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan dan usaha sendiri. Dalam kemandirian pengertian kebebasan yang bertanggung jawab, otonomi, swadaya, berani mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri, dan kehendak untuk mengelola diri sendiri”. Semangat kemandirian itu mengungkapkan bahwa koperasi merupakan satu masyarakat sendiri, dan karenanya pemerintah harus menjauhkan diri dan upaya campur tangan. Hal itu juga dinyatakan dalam penjelasan pasal 60 UU NO. 25/1992: “Sesuai dengan prinsip kemandirian, pembinaan dilaksanakan tanpa mencampuri urusan internal organisasi koperasi”.

Secara normative, kemandirian koperasi sudah menjadi ketentuan praktis. Hal itu bukan saja sesuai dengan tuntutan dari dalam koperasi sesuai dengan prinsip – prinsipnya, tetapi diharapkan juga dapat memenuhi tuntutan dari luar selaras dengan berlakunya globalisasi atau liberalisasi ekonomi.

Melalui aplikasi berbagai kebijakan pemerintah dan aktivitas gerakan koperasi sendiri, telah terjadi proses pertumbuhan dalam perkoperasian Indonesia yang relative cukup maju apabila diukur dan indicator fisik seperti besarnya jumlah koperasi, anggota koperasi, permodalan, asset, omzet (volume usaha) maupun besarnya nilai SHU. Hal itu dapat dibaca dalam data selama 5 tahun terakhir masa orde baru (1994 – 1998).

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-8

Tabel 3.2. Komposisi Kinerja Koperasi Indonesia Masa Orde Baru (1994 s/d 1997)

Kinerja Koperasi Pada No Uraian Satuan 1994 1996 1997

Pertumbuhan Per Tahun

1 Koperasi Unit 44294 49075 54580 7.74 2 Anggota Ribu Orang 25359 27006 29140 4.97 3 Modal sendiri Miliar Rp. 2286 3033 4218 28.17 4 Modal luar Miliar Rp. 2149 3095 8911 104.89 5 Asset Miliar Rp. 4435 6028 13520 68.28 6 Omzet Miliar Rp. 8187 12345 -33.33 7 SHU Miliar Rp. 243 447.7 -33.33 Sum ber: Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah (PUSDATIN).

Dari gambaran Tabel 3.2. tersebut diketahui bahwa pada periode 1994 –

1997 yaitu periode sebelum krisis ekonomi, pertumbuhan koperasi ditinjau dari hampir seluruh indicator kinerjanya secara fisik bernilai negative, kecuali modal usaha. Suntikan modal dengan laju pertumbuhan yang telatif besar tersebut tidak mendorong kinerja koperasi menjadi semakin baik. Laju pertumbuhan jumlah koperasi per tahun meningkat sebesar 7.74 % per tahun dengan peningkatan laju pertumbuhan anggota sebesar 4.97 % per tahun. Pertumbuhan jumlah koperasi dan anggota tersebut secara positif hanya diikuti oleh pertumbuhan asset koperasi sebesar 68.28% per tahun. Namun demikian, pertumbuhan jumlah koperasi dan jumlah anggota tersebut justru diikuti oleh penurunan laju pertumbuhan omzet sebesar 33.33% per tahun dan penurunan laju pertumbuhan SHU sebesar 33.33 % per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja koperasi pada periode tersebut sangat buruk.

Selanjutnya, setelah sejak krisis ekonomi yang terjadi pada Agustus 1997 pertumbuhan jumlah koperasi justru terjadi masih cukup besar yaitu sebesar 8.91% per tahun, namun jumlah anggota mengalami penurunan sebesar 30.93% per tahun. Pertumbuhan jumlah koperasi tersebut hanya diikuti secara positif oleh pertumbuhan modal sendiri koperasi, namun demikian justru terjadi penurunan pertumbuhan jumlah orang yang menjadi anggota koperasi. Hal ini menunjukkan bahwa koperasi menjadi semakin tidak menarik bagi masyarakat.

Gambaran seperti itu menunjukkan bahwa citra koperasi sampai saat ini masih belum bagus. Koperasi selalu diidentikan dengan kelompok ekonomi lemah. Indikatornya berupa fakta bahwa koperasi secara terus menerus selalu dibantu pemerintah. Padahal, koperasi itu lemah karena para anggotanya yang lemah, baik dalam disiplin maupun kemampuan meraih laba usaha. Namun sesuai dengan harkatnya bahwa perkembangan koperasi sangat ditentukan oleh kualitas bisnis dan disiplin anggota koperasinya, maka kondisi itu tidak mungkin dihindarkan. Itulah sebabnya setelah koperasi dibentuk sebenarnya pengurus dan manajemen koperasi diharapkan mampu memfasilitasi kegiatan bisnis anggotanya, agar usaha anggota itu mampu berkembang lebih lanjut. Dalam kegiatan seperti itulah koperasi baru dianggap mampu berperan sebagai lembaga ekonomi yang dapat menerapkan watak sosialnya.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-9

Keterbatasan ditemukan juga pada langkanya sumber daya manusia koperasi yang berkualitas, sehingga aplikasi proses manajemen koperasinya belum dapat dilakukan sebagaimana yang diharapkan. Kendala utama itu pada gilirannya telah menumbuhkan hambatan lain sebagai bagian dari rangkaian mata rantai, seperti misalnya : kelemahan dan organisasi dan manajemen, kelemahan dalam struktur permodalan, kekurangmampuan koperasi memanfaatkan peluang untuk meraih pangsa pasar, serta keterbatasan penguasaan teknologi, di samping lemahnya jaringan usaha koperasi. Hal ini didukung dari studi yang dilakukan oleh beberapa civitas akademika IPB yang antara lain menyatakan bahwa kelemahan dari koperasi antara lain disebabkan oleh :

• Rendahnya efisiensi dan produktifitas koperasi karena kekurangsigapan pelaku utama koperasi dalam mengejar peluang pasar (Permatasari, 1997; Dewi, 1995). • Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kurang efektifnya pengawasan dan pengendalian pengurus, belum optimalnya peran manajer koperasi, ketergantungan koperasi terhadap fasilitas – fasilitas pemerintah serta penempatan karyawan / pengurus koperasi tidak sesuai dengan keterampilan dan keahlian yang dimilikinya (Arifin, 1996). • Lemahnya akses informasi dari anggota koperasi (Dewi, 1995). Dalam kaitan itu Ibnoe Soedjono (1997) menyatakan meskipun ada pasal

33 UUD 1945, sektor koperasi di Indonesia tetap sangat lemah. Juga kalau dibandingkan dengan perkembangan koperasi di Negara – Negara tetangga, makin tampak kelemahan koperasi kita. Organisasinya koperasi umumnya rapuh dan tidak efisien. Kalaupun usahaya berkembang, hal itu lebih karena dukungan dan fasilitas serta bantuan pemerintah atau karena praktek – praktek swasta”.

Selaras dengan kondisi itu peran DEKOPIN, sebagai organisasi tunggal masyarakat koperasi, ternyata juga belum mampu menunjukkan kekuatan sebagai mitra pemerintah, dalam proses pembinaan dan pengembangan koperasi. Lembaga gerakan koperasi yang sejak 1947 telah diubah namanya menjadi Dewan Koperasi Indonesia kemudian dalam Munaskop ke X ditetapkan sejak 1977 disebut dengan DEKOPIN ternyata belum aktif. Akibatnya fungsi Dekopin sebagai wadah penjuangan yang bertumpu terutama pada kegiatan promosi dan advokasi untuk mengembangkan dan melindungi identitas dan jatidiri koperasi, ternyata belum mampu juga menyuarakan aspirasi masyarakat koperasi secara luas.

Apalagi sejak 1993 ada konflik antara pucuk pimpinan DEKOPIN dan pimpinan Depkop ~ PPK waktu itu, yang kemudian meluas pada Induk – induk koperasi sehingga mereka akhirnya ke luar dan keanggotaan DEKOPIN. Konflik bersumber pada perbedaan pendapat tentang penyesuaian Anggaran Dasar DEKOPIN dengan isi UU No. 25/1992. Sementara pihak pimpinan DEKOPIN berpendapat bahwa sudah dilakukan penyesuaian, namun pihak pemerintah dan induk – induk yang keluar dan DEKOPIN merasa hal itu belum dilakukan. Konflik yang berkepanjangan itu akhirnya terhenti dengan keluarnya Keppres

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-10

No. 21 Tahun 1997 tentang Pengesahan Anggaran Dasar DEKOPIN baru. Ternyata kelahiran Keppres ini dianggap cacat hukum, karena prosesnya dilakukan tidak melalui Rapat Anggota DEKOPIN sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sampai tibanya masa reformasi proses rekonsiliasi dengan pihak yang mengalami konflik tidak pernah diwujudkan.

Dalam posisi DEKOPIN yang tidak mampu berfungsi seperti diharapkan, pola perkembangan koperasi pun kemudian berjalan tanpa kesatuan gerak dan kemandirian yang jelas. Selaras dengan kondisi demikian itu dorongan pengembangan kemampuan untuk melaksanakan bisnis telah menyebabkan banyak koperasi yang kemudian tumbuh berkembang hanya mengikuti arus perkemangan dari sisi usaha saja. Tidak mengherankan apabila kemudian banyak koperasi yang terjebak, sekedar hanya untuk mengejar sisa hasil usaha yang besar, yang sebenarnya menggambarkan sikap dan umumnya sebuah perusahaan tanpa berupaya untuk mengembangkan dan memperjuangkan langkah – langkah untuk memotivasi tumbuh suburnya partisipasi anggota di samping tumbuh efektifnya kualitas pelayanan yang meningkat bagi anggotanya.

3.4. Masa Reformasi

Perkembangan pada masa – masa awal orde reformasi dapat dilihat pada Tabel 3.2. Jumlah koperasi pada masa awal orde reformasi masih mengalami pertumbuhan. Namun demikian, secara relative seluruh indicator kinerjanya secara fisik antara lain dari jumlah anggota, besaran modal sendiri dari sumber anggota maupun dari luar mengalami penurunan. Demikian juga halnya dengan besarnya asset koperasi bernilai negative. Secara umum dapat dinyatakan bahwa kinerja perkoperasian pada masa reformasi masih serupa dengan kinerja pada periode – periode sebelumnya. Bertambahnya jumlah koperasi tidak menggambarkan bahwa koperasi semakin menarik bagi masyarakat. Sebaliknya, justru orang – orang sebelumnya menjadi anggota koperasi keluar dari keanggotaannya. Artinya, dari pihak yang pernah menjadi anggota koperasi sendiri merasakan bahwa koperasi kurang memberikan dampak baik secara social maupun secara ekonomi bagi anggotanya, sehingga ditinggalkan oleh para anggotanya.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-11

Tabel 3.3. Komposisi Kinerja Koperasi Indonesia Masa Awal Reformasi (1997 s/d 1998)

Tahun No Uraian Satuan 1997 1998 Laju / Th

97 - 98 1 Koperasi Unit ribu 54580 59441 8.91 2 Anggota Orang Rp. 29140 20128 -30.93 3 Modal sendiri Miliar Rp. 4218 5122 21.43 4 Modal luar Miliar Rp. 8911 4331 -51.40 5 Asset Miliar Rp. 13520 9962 -26.32 6 Omzet Miliar Rp. 12952 * 7 SHU Miliar Rp. 508.9 *

Dengan semangat reformasi berbahagia kebijakan tertulis maupun yang

tidak tertulis bagi koperasi yang dinilai menghambat perkembangan koperasi sebagai lembaga ekonomi yang demokratis, telah dihapuskan atau diganti pemerintah Kabinet Reformasi Pembangunan. Keluhan masyarakat tentang sulitnya memperoleh badan hukum koperasi, segera dijawab dengan keluarnya keputusan Menteri Koperasi & PKM dengan melakukan pendelegasian kewenangan kepada pejabat di tingkat Kabupaten / Kotamadya. Demikian pula bagi Inpres No 4 tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan KUD, yang selama ini dinilai menjadi hambatan utama dalam pengembangan koperasi bukan KUD di daerah perdesaan, telah dicabut dan diganti dengan Inpres No. 18 Tahun 1998 tentang “Peningkatan Pembinaan dan Pengembangan Perkoperasian”. Inpres itu memberi peluang yang sama bagi tumbuhnya semua jenis koperasi, baik di perdesaan maupun di perkotaan.

Kebijakan lain dalam era reformasi adalah pemberian kesempatan seluas – luasnya kepada koperasi untuk menyalurkan sembilan bahan pokok (sembako) melalui pengembangan jalur distribusi alternative, karena jalur yang ada telah mengalami kerusakan akibat krisis ekonomi. Kebijakan lain adalah penyediaan kredit bagi jalur koperasi dan UKM sebanyak 17 skema kredit, yang untuk tahun anggaran 1999 / 2000 jumlahnya mencapai Rp. 10.8 trilyun dengan tingkat bunga rendah.

Namun di sisi lain berbagai kebijakan dan kemudahan tersebut, telah pula mengakibatkan tumbuhnya koperasi dikalangan masyarakat luas yang menjadi kurang asli (genuine). Pembentukan koperasi yang dilakukan karena hanya untuk kepentingan pemanfaatan tersedianya berbagai peluang usaha oleh pihak pemerintah, tanpa menghiraukan syarat tentang jatidiri dan penerapan prinsip – prinsip koperasi, maka akan dapat ditemukan koperasi – koperasi baru, yang sekarang ini tidak mampu bertahan dalam lingkup kegiatan. Akibatnya dalam praktek akan dapat ditemui koperasi – koperasi baru yang tidak jauh berbeda dengan praktek pelaku ekonomi lainnya.

Informasi tentang prestasi jajaran koperasi dalam aplikasinya tercantum pada tabel di muka (1998). Namun dari tingkat perkembangannya, dapat dicatat apabila pada bulan Juli 1998 ada 53.767 koperasi yang memiliki badan hukum, maka pada akhir September 1998 yang lain angka itu berkembang menjadi

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-12

55.545 koperasi, dan pada akhir Desember 1998 telah meningkat menjadi 59.441 koperasi. Suatu prestasi biasa yang perlu dicermati lebih lanjut.

Penataan kembali kondisi pembangunan koperasi meliputi pula pembenahan DEKOPIN. Pada bulan November 1998 yang lain telah diselenggarakan Temu Nasional Koperasi (TUNASKOP) yang diikuti oleh semua unsur gerakan koperasi, baik yang berada didalam struktur DEKOPIN berdasar Keppres No. 21/1997 maupun yang berada di luar struktur. TUNASKOP ini telah bersepakat untuk mengesahkan draft Anggaran Dasar DEKOPIN baru, dan kemudian perlu disahkan dengan Keppres baru sebagai pengganti dan Keppres No. 21 Tahun 1997. Pengesahan AD itu baru dilakukan tiga bulan kemudian, melalui Keppres No. 24 Tahun 1999 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar DEKOPIN, tanggal 21 maret 1999. Pengesahan itu diikuti dengan penyelenggaraan Rapat Anggota DEKOPIN untuk memilih pengurus DEKOPIN yang baru periode 1999 – 2004.

Perkembangan koperasi selanjutnya diharapkan tetap mengacu pada cita – cita yang tercantum dalam pasal 33 UU 1945. Paradigma baru dalam pembangunan system perekonomian nasional, bertumpu pada pengembangan program pemberdayaan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi rakyat. Pada Oktober 1998 telah dideklarasikan kebangkitan ekonomi rakyat, yang bersama dengan terbitnya Ketetapan MPR/XVI/1998 melalui Sidang Istimewa MPR yang memuat materi tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, dapat membuat lebih konkritnya aplikasi paradigma baru.

Perkembangan kinerja koperasi dan laju perkembangannya setelah 1998 sampai tahun 200 dapat kita lihat pada tabel 3.4, tabel 3.5 dan 3.6.

Tabel 3.4. Kinerja koperasi tahun 1998 – 2000

Periode Perkembangan No Parameter Satu

an 1998 1999 2000 1998-1999

1999-2000

1 Jumlah Koperasi Unit 59441.00 89939.00 99765.00 51.31 10.93 Aktif Unit 46420.00 77204.00 89855.00 66.32 16.39 Tidak Aktif Unit 13201.00 12735.00 9910.00 -3.53 -22.18 2 Jumlah Anggota Unit 20128283.00 22529199.00 22976539.00 11.93 1.99 3 RAT Unit 32447.00 36767.00 33454.00 13.31 -9.01 4 Manager Unit 19834.00 22802.00 22918.00 14.96 0.51 5 Karyawan Unit 170297.00 174569.00 175531.00 2.51 0.55 6 Modal sendiri Unit 5121962.85 5270474.97 5356383.71 2.90 1.63 7 Modal luar Unit 4330986.05 12466650.49 12653650.25 187.85 1.50 8 Volume usaha Unit 12952140.48 22448490.50 22506226.48 73.32 0.26 9 SHU Unit 508925.08 557086.73 561542.42 9.46 0.80

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-13

Tabel 3.5. Rasio Parameter Kinerja Koperasi terhadap Jumlah Koperasi

No Ratio terhadap jumlah koperasi aktif

Perkembangan (%) 1998-1999

Perkembangan (%) 1998-1999

Perkembangan (%) 1998-2000

1 Jmlh anggota 338.63 250.49 230.31 -26.03 -8.06 -31.99 2 RAT 0.55 0.41 0.34 -25.11 -17.97 -38.57 3 Manager 0.33 0.25 0.23 -24.02 -9.39 -31.15 4 Karyawan 2.86 1.94 1.76 -32.25 -9.35 -38.59 5 Modal sendiri 86.17 58.60 53.69 -31.99 -8.38 -37.69 6 Modal luar 72.86 138.61 126.83 90.24 -8.50 74.08 7 Volume usaha 217.90 249.60 225.59 14.55 -9.62 3.53 8 SHU 8.56 6.19 5.63 -27.66 -9.13 -34.26

Tabel 3.6. Rasio Parameter Kinerja Koperasi terhadap Jumlah Koperasi Aktif

No Ratio terhadap jumlah koperasi aktif

Perkembangan (%) 1998-1999

Perkembangan (%) 1998-1999

Perkembangan (%) 1998-2000

1 Jmlh anggota 433.61 291.81 255.71 -32.70 -12.37 -41.03 2 RAT 0.70 0.48 0.37 -31.87 -21.82 -46.74 3 Manager 0.43 0.30 0.26 -30.88 -13.64 -40.31 4 Karyawan 3.67 2.26 1.95 -38.37 -13.61 -46.75 5 Modal sendiri 110.34 68.27 59.61 -38.13 -12.68 -45.97 6 Modal luar 93.30 161.48 140.82 73.07 -12.79 50.94 7 Volume usaha 279.02 290.77 250.47 4.21 -13.86 -10.23 8 SHU 10.96 7.22 6.25 -34.18 -13.39 -43.00

Dari tabel perkembangan kinerja koperasi tahun 1998-200 (tabel 3.4) ada beberapa hal yang dapat kita lihat. Secara umum selama tiga titik tahun jumlah koperasi (aktif dan tidak aktif), jumlah anggota, RAT, jumlah manager, jumlah karyawan, jumlah modal sendiri, jumlah modal luar, volume usaha dan SHU mengalami peningkatan. Perkembangannya secara persentase menunjukkan pertumbuhan yang positif. Namun apabila kita analisis lebih lanjut dengan menghitung rasio antara variable – variable tersebut dengan variable jumlah koperasi dan jumlah koperasi aktif akan nampak fenomena lain yang cukup menarik.

Berdasarkan tabel 3.5. terlihat bahwa jumlah anggota, RAT, jumlah manajer, jumlah karyawan; jumlah modal sendiri dan SHU ternyata perkembangannya selama 3 tahun mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa berkembangnya jumlah koperasi sebagai organisasi ternyata diikuti dengan menurunnya jumlah anggota per koperasi; RAT per koperasi; jumlah manager per koperasi; jumlah karyawan per koperasi; jumlah modal sendiri per

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-14

koperasi dan jumlah SHU per koperasi. Ada kemungkinan bahwa ternyata pembentukan koperasi lebih cenderung ke arah pembentukan lembaga yang bersifat simbolis, sehingga banyaknya koperasi yang terbentuk ternyata kurang didukung oleh peningkatan kapasitas di dalamnya.

Volume usaha per koperasi relative meningkat namun persentasenya kecil. Ini menunjukkan bahwa belum ada peningkatan volume usaha secara signifikan walaupun jumlah koperasi mengalami peningkatan. Satu – satunya parameter kinerja yang meningkat adalah jumlah modal luar per koperasi yang lajunya semakin besar. Dari karakteristik ini terlihat bahwa laju modal luar yang semakin besar ini lebih disebabkan oleh mobilisasi dana dari pemerintah daripada investasi oleh investor swasta. Hal ini karena dari sisi kapasitas usaha dan kinerja koperasi yang tidak mengalami peningkatan tentunya akan sulit untuk mengundang investasi dari pihak swasta. Input berupa modal luar yang semakin besar ini ternyata tidak semakin meningkatkan kinerja koperasi. Dengan demikian terjadi inefisiensi modal luar yang diberikan.

Rasio terhadap jumlah koperasi yang aktif juga menggambarkan fenomena yang serupa (tabel 3.6.) namun angkanya lebih ekstrim karena jumlah koperasi yang aktif lebih rendah daripada jumlah koperasi total. Jumlah anggota, RAT, jumlah manager, jumlah karyawan, jumlah modal sendiri, volume usaha dan SHU relative mengalami pertumbuhan yang negative, sementara jumlah modal luar relative mengalami pertumbuhan yang positif. Hal ini dapat menunjukkan secara lebih jelas bahwa telah terjadi inefisiensi modal luar yang diberikan kepada koperasi. Kinerja koperasi mengalami penurunan walaupun modal luar meningkat. Melihat hal ini sulit mengadakan bahwa modal luar ini berasal dari swasta karena swasta tidak mungkin akan menanamkan investasi pada institusi yang kinerjanya buruk. Satu – satunya kemungkinan adalah modal luar ini memang diperoleh dari mobilisasi dana oleh pemerintah.

Selanjutnya dari upaya memahami tiga jenis koperasi secara lebih mendalam, yaitu koperasi KUD, koperasi tahu – tempe dan koperasi industri kerajinan diperoleh beberapa fenomena menarik yang dijabarkan pada uraian berikut ini.

Data yang dianalisis untuk menjabarkan keragaan koperasi di orde reformasi ini didasarkan pada data tahun 1999. Secara umum keragaan koperasi yang dijabarkan terdiri dari data – data data agregat koperasi yang berkembang di 27 propinsi di Indonesia. KUD dipilih sebagai kasus dengan pertimbangan KUD merupakan salah satu jenis koperasi yang penyebarannya relative merata di Indonesia, kecuali di propinsi – propinsi tertentu. Demikian juga dengan koperasi tahu tempe dan koperasi industri kerajinan.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-15

a. Koperasi Unit Desa

Koperasi unit desa merupakan salah satu koperasi yang relative popular dan sebagian besar merupakan koperasi pertanian. Dengan menggunakan 11 peubah dilakukan analisis komponen utama untuk menjaring peubah utama sebagai tolok ukur dalam memahami kinerja koperasi unit desa di 27 propinsi di Indonesia. Peubah – peubah tersebut adalah : keaktifan unit koperasi di setiap propinsi, jumlah koperasi total, jumlah manajer yang dimiliki, jumlah karyawan, besarnya modal dari sumber anggota sendiri, besarnya modal dari sumber luar, volume usaha yang dikembangkan, dan besarnya sisa hasil usaha.

Dari hasil analisis yang dilakukan diperoleh dua peubah baru yang dapat menerangkan struktur hubungan seluruh peubah yang digunakan. Hubungan antar peubah pewakil baru yang akan menjadi peubah dasar dalam analisis dengan dan peubah asalnya ditampilkan pada tabel 3.7. Secara lebih rinci hasil tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

• Profil -1 : Secara terstruktur menunjukkan keterkaitan erat antara keaktifan koperasi dengan aktifitas rapat anggota tahunan dengan jumlah manajer yang aktif, jumlah karyawan dalam organisasi koperasi, modal yang diperoleh dari anggota sendiri dan modal yang dijaring dari pihak luar, serta volume usaha yang dijalankan.

• Profil -2 : menunjukkan keterkaitan negative antara koperasi yang tidak aktif dengan sisa hasil usaha.

Tabel 3.7. Nilai Korelasi antara Peubah Asal dan Komponen Utama

Kinerja Koperasi Unit Desa Berdasarkan Data Statistik Koperasi di 27 Propinsi

Variable asal Factor 1 Factor 2

Jumlah koperasi aktif 0.975 -0.049 Jumlah koperasi tidak aktif 0.108 -0.918 Jumlah anggota 0.847 0.421 Rapat Anggota Tahunan 0.966 0.092 Jumlah manager 0.931 0.160 Jumlah karyawan 0.886 0.331 Jumlah modal sendiri 0.514 0.511 Jumlah modal luar 0.682 0.449 Volume usaha 0.743 0.515 SHU 0.526 0.630 Expl. Var 5.823 2.289 Prp. Totl 0.582 0.229

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-16

Yang dapat kita ketahui dari analisis keragaan koperasi unit desa ini adalah bahwa sisa hasil usaha kurang tepat sebagai indicator keaktifan KUD. Selanjutnya hasil analisis tersebut dapat dijadikan dasar dalam menetapkan penggerombolan kinerja koperasi unit desa di 27 propinsi di Indonesia. Hasil analisis penggerombolan dan identifikasi penciri pentingnya ditampilkan pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8. Tipologi Koperasi Unit Desa di 27 Propinsi Berdasarkan

Kinerja Indikator Fisik Tipologi Propinsi Anggota Karakteristik Penciri

1 DI-Aceh, Sumbar, Riau, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sulsel, Sultra, dan Irja

Lokasi dengan KUD tidak aktif berjumlah banyak dan dengan kinerja indicator fisik koperasi secara relative berada diantara dua kelompok lain

2 Jabar, Jateng, Jatim Lokasi dengan KUD tidak aktif relative sedikit serta kinerja indicator fisik, secara relative terbaik

3 Sumut, Jambi, Bengkulu, Lampung, DKI, Bali, NTB, NTT, Kaltim, Sulut, Sulteng, Maluku

Lokasi dengan KUD tidak aktif relative sedikit serta kinerja indicator fisik terburuk diantara dua kelompok lain

Dari hasil analtipologi tersebut diketahui bahwa Jawa secara

umum kecuali DIY dan DKI mempunyai KUD yang berkinerja baik. Proporsi KUD aktif relative tertinggi dibandingkan dengan di lokasi lain. Sementara itu, Sumut, Jambi, Bengkulu, Lampung, DKI, Bali, NTB, NTT, Kaltim,Sulut, Sulteng, dan Maluku mempunyai kinerja KUD yang terburuk walaupun secara relative jumlah KUD tidak aktif bukan yang tertinggi. Proporsi KUD tidak aktif di ke-12 Propinsi tersebut secara relative tidak terlalu banyak berada di antara dua tipologi lainnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, jika dimaksudkan akan melakukan pembinaan KUD seharusnya lokasi propinsi yang tergolong dalam tipologi ke-1 harus diutamakan untuk mendapatkan pembinaan. Kesimpulan lain yang cukup menarik adalah bahwa jumlah KUD aktif yang tinggi di suatu wilayah tidak selalu berkolerasi positif dengan agregat kinerja KUD di wilayah tersebut yang cukup baik.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-17

b. Koperasi Tahu Tempe

Berikut akan disampaikan keragaan koperasi tahu tempe dari berbagai karakteristik fisik yang terukur, antara lain keaktifan unit koperasi di setiap propinsi, jumlah koperasi total, jumlah manajer yang dimiliki, jumlah karyawan, besarnya modal dari sumber anggota sendiri, besarnya modal dari sumber luar, volume usaha yang dikembangkan, dan besarnya sisa hasil usaha. Hasil analisis komponen utama dari kesebelas peubah tersebut ditampilkan pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9. Nilai Korelasi antara Peubah Asal dan Komponen Utama

Kinerja Koperasi Tahu – Tempe Berdasarkan Data Statistik Koperasi di 27 Propinsi

Variable asal Factor 1 Factor 2

Jumlah koperasi aktif 0.917 0.051 Jumlah koperasi tidak aktif -0.191 -0.238 Jumlah anggota 0.546 0.116 Rapat Anggota Tahunan 0.949 0.083 Jumlah manajer 0.967 0.136 Jumlah karyawan 0.907 0.266 Jumlah modal sendiri 0.870 0.340 Jumlah modal luar 0.711 0.663 Volume usaha 0.835 0.486 SHU -0.084 0.971 Expl. Var 5.799 1.902 Prp. Totl 0.580 0.190

Berdasarkan hasil analisis tersebut diketahui bahwa

keragaan sebelas peubah penduga kinerja koperasi tahu tempe di 27 propinsi dapat diwakili oleh 2 peubah baru yang menerangkan 77% ragam seluruh peubah tersebut. Keragaan dari kedua peubah baru tersebut secara terstruktur dapat menerangkan hubungan antar peubah asal yang selanjutnya disebut sebagai Profil-1 dan Profil-2. Secara ringkas hubungan structural kedua peubah penting tersebut dapat diterangkan sebagai berikut :

• Profil-1 : Secara terstruktur profil-1 menunjukkan keterkaitan erat antara keaktifan koperasi dengan aktifitas rapat anggota tahunan dengan jumlah manajer, jumlah karyawan dalam organisasi koperasi, besarnya modal yang diperoleh dari anggota sendiri dan modal yang dijaring dari pihak luar, serta volume usaha yang dijalankan.

• Profil-2 : Profil-2 menunjukkan peran peubah SHU dan modal yang diperoleh dari luar.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-18

Secara garis besar hasil yang diperoleh sama dengan struktur hubungan yang dihasilkan pada hasil analisis KUD, yaitu sisa hasil usaha tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk melihat banyaknya organisasi koperasi yang aktif.

Peubah baru terekstrak tersebut merupakan bahan untuk analisis gerombol, yang menghasilkan tipologi koperasi tahu-tempe sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.10. Berdasarkan tabel tersebut diketahui koperasi tahu tempe di-27 propinsi dapat dikategorikan dalam 3 kelompok besar.

Tabel 3.10. Tipologi Koperasi Tahu – Tempe dan Karakteristik

Pencirinya di 27 Propinsi di Indonesia Tipologi Propinsi Anggota Karakteristik Penciri 1 Jabar, Jateng, Jatim Jumlah koperasi aktif relative tinggi

dengan kinerja koperasi tahu tempe yang terbaik dibandingkan dengan dua kelompok lainnya, namun besaran SHU secara relative terkecil

2 DI Aceh, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, DIY,Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Maluku

Jumlah koperasi aktif di kelompok ini relative terburuk dibandingkan dengan dua kelompok lainnya dengan SHU secara relative tertinggi dibandingkan dengan dua kelompok lain (1 dan 4)

3 DKI Memiliki karakteristik ekslusif dimana besaran SHU tertinggi. Karakteristiknya tidak terdiskriminasi karena anggotanya ekslusif (1 buah)

4 Sumut, Sumbar, Riau, Kalsel, Irja

Jumlah koperasi tahu tempe aktif relative baik dan kinerja koperasi relative lebih baik

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-19

c. Koperasi industri – kerajinan

Dari hasil analisis komponen utama terhadap keragaan koperasi industri – kerajinan, terlihat beberapa fenomena yang menarik (Tabel 3.11). Hasil analisis menunjukkan bahwa keseluruhan variable asal bisa direduksi menjadi satu factor utama. Factor utama ini berkolerasi dengan jumlah koperasi aktif, jumlah anggota, Rapat Anggota Tahunan, jumlah manajer, jumlah modal sendiri, jumlah modal luar, volume usaha, dan SHU. Keterkaitan ini tentunya relative lebih baik karena antara variable – variable usaha koperasi (jumlah modal sendiri, jumlah modal luar, volume usaha, SHU) sangat terkait dengan variable – variable keragaan aktivitas organisasi (jumlah koperasi aktif, jumlah anggota, Rapat Anggota Tahunan, jumlah manajer). Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas yang terjadi dalam koperasi sangat mempengaruhi keragaan usaha koperasi. Semakin aktif suatu koperasi secara organisasi, maka semakin bagus kemampuan usahanya. Koperasi industri – kerajinan ini sudah sangat terkait dengan pasar sehingga potensinya untuk menjadi salah satu pelaku pasar cukup besar. Hal ini tentunya terkait dengan jenis aktivitas industri atau kerajinan itu sendiri yang memang harus langsung dipasarkan.

Tabel 3.11. Nilai Korelasi antara Peubah Asal dan Komponen Utama

Kinerja Koperasi Industri – Kerajinan Berdasarkan Data Statistik Koperasi di 27 Propinsi

Variable asal Factor 1

Jumlah koperasi aktif 0.983 Jumlah koperasi tidak aktif 0.664 Jumlah anggota 0.978 Rapat Anggota Tahunan 0.918 Jumlah manajer 0.884 Jumlah karyawan 0.678 Jumlah modal sendiri 0.864 Jumlah modal luar 0.981 Volume usaha 0.979 SHU 0.889 Expl. Var 7.904 Prp. Totl 0.970

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-20

d. Keragaan Koperasi secara Agregat di Indonesia

Berdasarkan hasil analisis komponen utama terhadap variable – variabel asal yang menggambarkan kinerja koperasi di Indonesia secara agregat, dihasilkan dua factor utama (tabel 3.12.). Faktor 1 berkorelasi dengan jumlah koperasi aktif, jumlah anggota, Rapat Anggota Tahunan, jumlah manajer, jumlah karyawan, jumlah modal sendiri dan volume usaha. Sedangkan factor 2 berkolerasi dengan SHU.

Tabel 3.12. Nilai Korelasi antara Peubah Asal dan Komponen Utama

Kinerja Koperasi Secara Agregat Di Indonesia Berdasarkan Data Statistik Koperasi di 27 Propinsi

Variable asal Factor 1 Factor 2

Jumlah koperasi aktif 0.984 0.122 Jumlah koperasi tidak aktif 0.379 0.851 Jumlah anggota 0.960 0.149 Rapat Anggota Tahunan 0.956 0.160 Jumlah manajer 0.879 0.018 Jumlah karyawan 0.948 0.239 Jumlah modal sendiri 0.886 0.027 Jumlah modal luar 0.256 -0.464 Volume usaha 0.912 0.298 SHU 0.509 0.795 Expl. Var 6.562 1.781 Prp. Totl 0.656 0.178

Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas koperasi lebih terkait dengan volume usaha daripada SHU. Ini tentunya perlu dicermati, mengapa volume usaha yang meningkat tidak berkaitan dengan peningkatan SHU. Kemungkinan koperasi ini digunakan sebagai wadah usaha oleh para pengurusnya tanpa memperhitungkan keterkaitannya dengan anggota sehingga SHU yang seharusnya diterima oleh anggota tidak mengalami peningkatan. Ini tentunya menggambarkan adanya kemungkinan kurang adanya democratic control dalam pelaksanaan aktivitas koperasi. Selanjutnya apabila kita kelompokkan melalui analisis cluster terdapat dua kelompok propinsi dengan factor penciri yang berbeda.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-21

Tabel 3.13. Tipologi Koperasi Secara Umum dan Karakteristik Pencirinya di 27 Propinsi di Indonesia

Kelompok Propinsi Anggota Karakteristik Penciri

1 DKI, Jabar, Jateng, Jatim Proporsi koperasi aktif tinggi dan kinerja koperasi relative baik ditinjau dari indikatornya fisiknya. Namun demikian koperasi tidak aktif tetapi mempunyai SHU tinggi juga tinggi

2 DI Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, DIY, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Maluku, Irja

Proporsi koperasi aktif relative rendah atau kinerja koperasi kurang bagus

Secara umum koperasi di Pulau Jawa mempunyai karakteristik

yang baik ditinjau dari karakteristik kinerja indicator fisik. Kedekatan dengan pusat kekuasaan mempermudah arus aliran dana ke dalam koperasi, sehingga banyak koperasi yang tidak mempunyai aktifitas tetapi menghasilkan sisa hasil usaha tinggi, yang diduga sebagian besar dari dana subsidi dari pemerintah.

Selanjutnya untuk melihat keragaan koperasi antar propinsi berdasarkan kondisi keunggulan usaha / pasar dan partisipasinya dilakukan perhitungan indeks keunggulan pasar dan indeks partisipasi. Indeks keunggulan pasar dihitung dari rasio SHU terhadap modal baik modal dari luar maupun modal sendiri. Sedangkan indeks partisipasi dihitung dari rasio RAT terhadap jumlah koperasi aktif. Terdapat 4 jenis koperasi yang dianalisa yaitu koperasi agregat (secara umum untuk skala nasional), KUD, Koperasi kerajinan dan Koperasi tahu tempe. Keragaan ini bisa kita lihat pada gambar 1, 2, 3 dan 4.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-22

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-23

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

III-24

Dari gambar 1, 2, 3, dan 4 kita dapat melihat keragaan masing-masing koperasi di masing-masing propinsi berdasarkan jenis koperasi, indeks keunggulan pasar dan indeks partisipasi. Secara umum koperasi di propinsi cenderung kurang dalam hal keunggulan pasarnya. Hal ini dapat kita lihat dari gambar, dimana nilai keunggulan pasarnya cenderung kurang. Sedangkan dari nilai indeks partisipasinya nampak bahwa proses partisipasi relative baik. Seperti pada gambar 1, 2, 3 dan 4 terlihat bahwa sudah terdapat kecenderungan untuk mulai bergerak ke sisi atas dari sumbu Y.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

IV-1

4 STRUKTUR PEMAHAMAN DAN PRAKTEK PERKOPERASIAN DI

INDONESIA

4.1 Dasar Pembentukan Koperasi adalah Menekan Biaya Transaksi 4.1.1 Pengertian Biaya Transaksi

Beberapa ahli new institutional economics menunjukan bahwa sebenarnya argumen

skala ekonomi (economies of scale) dan monopoli power, atau gabungan keduanya tidak dapat menerangkan dasar-dasar didirikannya perusahaan koperasi melainkan pada upaya menekan biaya transaksi.

Masalah biaya transaksi berhubungan erat dengan manfaat integrasi vertikal koperasi. Manfaat integrasi vertikal tidak dapat dipandang dari sudut efisiensi yang berhubungan dengan biaya transaksi. Biaya produksi di sini diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk proses produksi, dari membeli input, membayar tenaga kerja yang membiayai overhead pabrik. Sedangkan biaya transaksi terdiri atas :

• Biaya mencari pemasok input; • Biaya informasi mengenai kualitas barang dan harga • Biaya tawar-menawar • Biaya monitoring kontrak dengan pemasok input • Biaya legal jika kontrak dilanggar • Resiko pada asset yang sangat khusus atau asset yang mempunyai kisaran yang

sangat banyak 4.1.2 Dimensi Transaksi Dimensi yang penting untuk memerikan transaksi adalah: (1) Specifity asset (kekhususan asset), (2) Frekuensi yang berulang, dan (3) ketidak pastian. Specifity asset (kekhususan asset): merupakan dimensi yang paling penting, dimana hal ini dapat dibedakan menjadi 4 (empat) tipe:

1) Kekhususan Aset Tempat Tempat (lokasi) suatu perusahaan dapat menjadi aset khusus bila dengan tempat (lokasi) tersebut memberikan kontribusi khusus terhadap pertumbuhan perusahaan. Tempat-tempat yang berurutan dalam tahap-tahap proses produksi yang mempunyai hubungan dekat yang lainnya merupakan salah satu contoh kekhususan aset tempat. Jika aset tersebut telokasi di tempat yang berjauhan akan meningkatkan biaya transaksi.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

IV-2

2) Kekhususan Aset Fisik Aset seperti ini biasanya sangat mobil atau mudah bergerak, misalnya alat-alat yang siperlukan untuk menghasilkan suatu barang tertentu seperti mesin-mesin yang akan digunakan dalam proses produksi. Ketiadaan aset ini dapat digunakan untuk keperluan lain, tetapi nilai yang dihasilkan dan penggunaan aset tersebut digunakan untuk proses produksi tertentu tersebut.

3) Kekhususan Aset Manusia Kemampuan seseorang merupakan aset khusus bagi sebuah organisasi. Kemampuan-kemampuan itu timbul dari latihan khusus dalam organisasi (misalnya, peternak sapi perah akan mendapat pengetahuan dan pengalaman khusus dalam menangani sapi dan susu). Bila manusia seperti ini dipakai pada kegiatan lain, aset manusia seperti ini akan menjadi kurang berarti karena akan menghasilkan produktivitas yang lebih rendah.

4) Kekhususan Aset Dedikasi Dedikasi menggambarkan semangat loyalitas seorang individu pada suatu organisasi (perusahaan). Aset ini sangat berharga bagi koperasi. Investasi-investasi yang dipersembahkan oleh seseorang yang mempunyai dedikasi merupakan investasi yang diskret dalam kapasitas produk secara umum (bukan untuk keperluan khusus) yang diperuntukan bagi seorang pembeli (konsumen) khusus (misalnya, seorang petani memasang lebih banyak mesin agar lebih banyak menjual produk kepada langganannya).

Kekhususan aset timbul ketika sumberdaya-sumberdaya saling tergantung satu dengan lain dengan cara yang khusus. Sebagai contoh, seorang peternak sapi perah memerlukan peralatan yang khusus agar mengumpulkan, membersihkan dan mengangkut susu perahnya. Untuk itu ia memerlukan investasi yang tahan lama (dalam bentuk peralatan-peralatan/mesin-mesin) agar dapat menunjang suatu transaksi (misalnya memproduksi susu untuk dijual ke pabrik pengolah susu). Dalam hal ini aset yang dipakai (peralatan produksi susu perah) adalah spesifik, artinya nilai investasi itu akan jauh lebih rendah dalam pernggunaan alternatif atau oleh pemakai alternatif.

Sekarang jika pabrik pengolah susu menolak membeli susu segar dan peternak sapi karena alasan tertentu, peternak tersebut tidak mempunyai alternatif lain selain tetap memakai peralatannya karena jika peralatannya dijual kepada peternak lain, tetangganya mungkin menghadapi kesulitan mengingat nilai aset tersebut menjadi sangat rendah. Dalam hal ini pabrik pengolah susu bertindak secara ”oportunistis”. Macam oportunitis yang dilukiskan disebut hold-up (”rampok”). Situasi hold-up dapat diilustrasikan sebagai berikut :

a. Dua individu A dan individu B mengadakan kontrak kerja sama. A memberikan pelayanan kepada B sesuai dengan perjanjian yang disepakati bersama. Misalnya, A adalah peternak sapi yang akan menjual susu segar kepada pabrik pengolah susu (B) dalam waktu tertentu dengan kuantitas dan kualitas tertentu pula.

b.Sekarang individu B sudah semestinya dengan pelayanan yang setara dengan pelayanan individu A, misalnya membayar dengan harga yang telah disepakati bersama. Hanya masalahnya sekarang adalah, jika A menyerahkan susu segar, ia masih tidak pasti apakah individu B akan-akan memenuhi servis-servisnya sesuai

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

IV-3

dengan yang diharapkan atau tidak. Dalam hal ini individu A menghadapi masalah ketidakpastian. Jadi hold-up adalah perilaku oportunitis seseorang dengan memanfaatkan individu lain. Dalam situasi hold-up, individu B mempunyai fleksibilitas yang lebih tinggi, tetapi individu A tidak dapat secara tepat mengamati perilaku individu B, misalnya sudahkah individu B membayar dengan harga yang telah disepakati bersama dengan tepat pada waktunya.

Contoh lain : Individu A sebagai pemasok individu B telah berfungsi sebagai “stake holder” pada perusahaan B, sehingga A mempunyai tuntutan terhadap B. masalahnya bagi stake holder A adalah bagaimana melindungi dirinya terhadap penyimpangan yang curang terhadap kontrak yang telah disepakati bersama dengan B. Suatu hal yang memberi B”kekuatan pasar” untuk menghentikan pelayanan kepada A terutama factor specificity asset yang dimiliki A yang telah digunakan. Jika sekali telah digunakan (diterapkan), suatu asset spesifik (dalam contoh di atas berupa peralatan-peralatan proses produksi susu perah) bias sedemikian mahal untuk dipindahkan atau sedemikian khususnya bagi seorang pemakai khusus (pabrik pengolah susu), sehingga kalau harga yang dibayar kepada individu A dikurangi, sebagian dari nilai yang diciptakan oleh pemasangan asset khusus tersebut (oleh individu A) dapat dinikmati/dimiliki dengan tidak sah oleh pemakai pelayanan (individu B) yang dihasilkan oleh asset itu. Dalam terminologi ilmu ekonomi, tambahan nilai yang diciptakan oleh asset spesifik dapat dilihat sebagai suatu “quasi rent” (sewa semu), yang kelebihan harga dari asset terhadap nilai sisa (salvage value) atau nilai dalam pemakaian terbaik berikutnya ke penyewa lain. Sebagai contoh diilustrasikan sabagai berikut peralatan khusus milik pembeli memberi dia tambahan pendapatan sebesar Rp 1000.000,00. salvage value dari peralatan tersebut Rp 200.000,00 dan tambahan biaya operasinya Rp 300.000,00. Quasi rent dari peralatan yang telah terpasang akan sebesar Rp 500.000,00 (tambahan pendapatan Rp 1.000.000,00 dikurangi tambahan biaya operasi Rp 300.000,00 dan dikurangi salvage value Rp 200.000,00). Jika pemilik peralatan bias mencari pihak lain yang bersedia membayar Rp 700.000,00 untuk peralatannya, maka quasi rent akan hilang dan tidak ada lagi yang dimiliki dengan cara yang tidak sah. Jika individu B mengancam individu A untuk membayar sesuatu yang lebih rendah, individu A dapat dengan mudah menjual peralatannya. Tetapi dengan asset yang spesifik, ini tidak mudah untuk mungkin dilakukan karena dengan asset tersebut menjadi sangat rendah untuk penggunaan alternatif lainnya. Oleh karena itu ancaman suatu hold-up akan selalu ada pada pemegang aset spesifik. Sebaiknya bila aset tidak punya kekhususan dan bias ditransfer ke pemakai lain, ancaman hold-up tidak akan ada, kekuatan individu B (dalam contoh di atas) untuk memiliki secara tidak sah akan tidak ada.

Pemecahan masalah hold-up akan tergantung pada model biaya-biaya transaksi yang kritis pada tiga alternatif, yaitu: membeli, menyewa, atau memiliki servis (pelayanan) tertentu. Alternatif terahir menyangkut pemecahan melalui koperasi dan/atau integrasi vertikal.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

IV-4

Self interest

Gambar 4.1 Pemecahan Masalah hold-up dalam Suatu Transaksi

Seperti diketahui sebelumnya, ada tiga faktor yang perlu diperhatikan dalam

dimensi transaksi, yaitu: ketidakpastian, frekuensi dan spesifikasi aset. Tetapi kali ini, dimensi kedua dan ketiga yang hendak dideskripsikan, yaitu aset spesipik dan frekuensi transaksi menjadi pokok perhatian dalam pembahasan. Dimensi ketidakpastian tidak lagi diperhatikan. Transaksi terdapat dua kelas yakni : incidental/kebetulan dan berulang. Sedangkan spesifiksasi asset terdapat tiga kelas yakni : tidak khusus, khusus, dan sangat khusus.

Berdasarkan uraian di atas ada beberapa hal yang perlu didemonstrasikan, yakni: a. Transaksi yang tidak khusus tidak memerlukan pengaturan khusus organisasi.

Antara pihak pembeli dan penjual dapat berkomunikasi melalui pengalaman masing-masing dalam menentukan/meneruskan hubungan dagang atau menghentikan sama sekali. Jika tidak puas dapat beralih kepada siapa saja dengan tambahan biaya yan relatif sedikit. Bagi transaksi yang tidak khusus baik dari frekuensi yang kebetulan maupun berulang, koperasi sebagai pemecahan organisasi tidak akan efisien.

b.Rangsangan-rangsangan untuk perdagangan (bertransaksi) akan semakin berkurang bila aset yang ditransaksikan menjadi lebih spesifik. Hal ini terutama disebabkan oleh aset manusia dan fisik menjadi lebih khusus untuk pemakaian tunggal sehingga kurang dapat ditransfer ke pemakaian lain. Akibat adanya aset spesificity, potensi hold-up dan ketergantungan akan makin meningkat.

c. Transaksi kebetulan seperti membangun pabrik sangat memerlukan pengaturan organisasi. Demikian pula untuk transaksi yang berulang (sering) yang potensial dalam menurunkan biaya transaksi aset yang spesifik. Dalam hal ini dapat dibedakan dua tipe transaksi khusus:

OPRTUNISTIS

“ASSET SPECIFICITY”

Moral Hazard

Menyewa

Membeli

Faktor lain

Ketidak pastian

KOPERASI

Memiliki Jasa

INTEGRASI VERTICAL

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

IV-5

1) pada struktur bilateral (berusaha sendiri-dendiri), masing-masing pihak mempunyai sifat otonom.

2) Pada struktur gabungan,transaksi dipindahkan dari pasar dan diorganisasikan dalam perusahaan (integrasi vertikal).

Koperasi sebagai organisasi ekonomi yang dapat mengadakan integrasi vertikal, harus dapat menunjukan keunggulan dibanding dengan integrasi vertikal nonkoperasi. Keunggulan integrasi vertikal dimana kepemilikan tunggal oleh kedua belah pihak akan mengubah kebutuhan-kebutuhan pihak yang terlibat tanpa perlu untuk berkomunikasi dan meningkatkan mutu pemufakatan antar pelaku (perusahaan).

Secara ringkas, keputusan untuk memanfaatkan pelayanan sendiri atau membeli pelayanan pihak lain, akan lebih cenderung memanfaatkan pelayanan sendiri (integrasi vertikal) bila:

a. Semakin spesifik aset yang terkibat, dan b. Semakin sering transaksi

Bila terjadi integrasi vertikal meupun integrasi horizontal maka semakin sering transaksi semakin rendah biaya transaksinya. Kesimpulan utama dan pembahasan yang telah dilakukan dimuka adalah barang atau jasa yang ditunjang oleh aset nonspesifik (aset lain). Jika aset semakin spesifik, keunggulan komperatif akan beralih ke vertikal (memanfaatkan pelayanan sendiri), termasuk perantaraan lewat koperasi. - Moral Hazard

Dua individu A dan B bekerja sama dan menandatangani kontrak. Individu A

memberikan pelayanan (service) kepada individu B dan pelayanan balasan kepada B akan tergantung pada :

a. Perilaku dan motivasi B (misal dapat saja B memanfaatkan situasi hold-up), b. Faktor eksternal yang tidak diperhitungkan (terutama yang berhubungan dengan

resiko moral). Faktor eksternal ini tidak dapat diamati langsung oleh individu A, sehingga A tidak

dapat menyimpulkan apakah perilaku B itu jujur sesuai kontrak perjanjian atau tidak. Ketika kontrak ditandatangani, saat itu belum terlihat perilaku yang sesungguhnya akan diketahui setelah kontrak itu dilaksanakan. Jadi pada saat ditandatangani kontrak, sebenarnya masing-masing individu maasih tetap menghadapi masalah ketidakpastian masa depan. Situasi ini adalah pola dasar pemikiran resiko moral.

Resiko moral dapat didefinisikan sebagai aksi dan agen ekonomi (pelaksana kegiatan ekonomi) dalam memaksimumkan kepuasannya dengan cara merugikan orang lain (principal), dalam situasi di mana agen tidak tunduk secara penuh terhadap perjanjian (kontrak) sehingga principal (pemilik sumber daya) tidak menikmati manfaat secara penuh dan aksi agen ekonomi tersebut disebabkan principal mempunyai ketidak lengkapan informasi.

Resiko moral sering disebut ”the principal-agent problem” (Ropke,1989), yaitu bagaimana seorang principal (pemilik sumber daya) dapat mendesain atau merancang kontrak yang dapat memotivasi individu lain yang menjadi agennya (pelaksana kegiatan) untuk bertindak sesuai dengan interest si Principal. Pada sebuah penseroan yang betindak sebagai principal adalah para pemegang saham dan agennya adalah manajer dan para karyawan perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan pada sebuah koperasi yang

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

IV-6

bertindak sebagai principal adalah anggotanya dan agennya adalah para pengurus koperasi atau manajer koperasi. Segera setelah agen-agen (manajer) dibedakan/ dipisahkan dan principal (pemegang saham atau anggota koperasi) dan agen mempunyai informasi yang tersembunyi (hidden information) atau memang sengaja disembunyikan, maka risiko moral akan menyusupi jegiatan ekonomi pada perusahaan atau koperasi yang bersangkutan.

Jika tindakan seseorang atau aksi individu tidak dapat diamati dan tidak dapat diketahui berdasarkan variabel yang dapat diamati, atau jika agen-agen melakukan tindakan yang didasarkan pada informasi yang hanya tersedia bagi dirinya sendiri, maka setiap kompensasi tidak dapat didasarkan pada aksi-aksi individu tersebut dan konflik antara kepentingan agent dan principal akan timbul.

Risiko moral mempunyai pengaruh langsung terhadap biaya transaksi komparatif dan alternatif –alternatif organisasional. Ketidakpastian masa depan dan ketidaksamaan akan banyaknya peristiwa-peristiwa yang harus diperhatikan oleh masing-masing organisasi, maka biaya untuk mengatasi peristiwa-peristiwa yang akan terjadi menjadi sangat besar. Semakin besar ketidakpastian akan semakin besar biaya transaksinya.

Jika oprtunisme hold-up tergantung pada spesipikasi aset, maka risiko moral tergantung pada;

a. Biaya (cost monitoring), dan b. Plasticity sumber daya (aset ”plastik”)

Dikatakan aset plastik jika terdapat kisaran penggunaan aset yang luas sehingga

setiap orang dapat menggunakannya dalam berbagai alternatif. Bagaimana masalah risiko moral dapat diatasi? Dan apakah kkoperasi akan mampu

lebih baik untuk menghadapi resiko moral dan pada alternatif lain? Sebagaimana dirancang semula terhadap pemecahan masalah hold-up, yaitu melalui

integrasi vertikal, maka pemecahan masalah resiko moral juga akan diarahkan ke sana. Suatu pemecahan yang baik terhadap risiko moral adalah bahwa agen (pemakai)

dan suatu perusahaan akan menjadi pemilik perusaahaan yang bersangkutan (principal), sehingga konsekuensi penuh tentang bagaimana sumber daya dipakai jatuh ke tangan pemakai. Pemakai akan mempunyai insentif lebih besar, sehingga menghabiskan sumber daya yang langka dengan kehati-hatian lebih besar, sehingga menghabiskan sumber daya langka (dana) dalam monitoring menjadi tidak perlu. Seorang supir taksi (dalam kasus yang dibicarakan dimuka) akan memelihara taksinya dengan baik dan akan menggunakan taksi tersebut secara hati-hati sebab mobil taksi telah menjadi aset miliknya. Pemecahan koperasi seperti itu dapat dilakukan dengan cara pemilik (principal) dapat mencoba mengajak sopir taksi berpartisipasi dalam pembetukan profit dan mengatur insentif atau kompensasi masing-masing. Tujuannya adalah mamotivasi pemakai (sopir taksi) untuk berperilaku sebagai pemilik (principal) dari sumber-sumber yang plastik itu (mobil taksi).

Jadi jika sumber daya suatu perusahaan adalah sumber yang ”plastik”, maka pemakaian sumber daya tersebut akan sulit dimonitor oleh principal-nya. Dalam hal ini koperasi dapat sebagai pemecahan yang cukup baik terhadap masalah risiko moral.

Contoh lain dan aset yang cukup ”plastik” adalah ”uang”. Dalam suatu hubungan kredit,seorang individu (atau bank) memberi individu lain berupa (uang) itu pada waktu yang akan datang dalam jumlah yang lebih banyak. Kasus yang sama juga berlaku bagi

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

IV-7

seorang penabung yang memberi individu lain (bank) sejumlah sumber sebagai alasan janjiuntuk memperoleh kembali sumber itu pada waktu yang akan datang dengan nilai yang lebih tinggi.

Transaksi itu sangat mudah dihinggapi risiko selama terdapat beberapa peluang bagi peminjam uang atau peluang bagi bank untuk memberikan kompensasi terhadap tabungannya (dalam mengembalikan uang kepada penabung). Masalah ini muncul karena uang sangat plastik dan dapat ditempatkan ke penggunaan-penggunaan alternatif yang tidak diinginkan oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam perjanjian kontrak, dan tindakan ini tidak dapat secara sempurna dimonitor oleh pemberi pinjaman (atau peminjam). Sebuah bank sangat mengharapkan kredit yang diberikan kepada pengusaha digunakan untuk pengembangan usaha, sebab bila usahanya berkembang, upaya pengembalian pinjaman akan menjadi lancar. Tetapi karena uang adalah aset yang plastik, maka jika bank memberikan kredit kepada nasabahnya, perilaku nasabahnya tidak dapat dipantau oleh pihak bank. Bisa saja uang pinjaman yang semula akan digunakan untuk kegiatan proses produksi, tetapi berbelok pada penggunaan lain yang tidak produktif. Bagi bank jika nasabah mengangsur dengan jumlah yang telah disepakati dalam jangka waktu tertentu, itu bukan menjadi persoalan. Tetapi jika karena penggunaan dana tersebut diarahkan ke penggunan yang tidak produktif dan nasabah kehilangan likuiditasnya dalam mengembalikan pinjamannya kepada bank, maka akan merugikan pihak bank. Konstelasi ini menciptakan kesempatan-keswmpatan bagi perilaku oprtunistis. Pemberi pinjaman tidak dapat mengawasi perilaku Si peminjam.

Demikian pula perilaku bank sebagai pihak yang dipinjami uang oleh penabung tidak dapat diawasi oleh penabung mengenai kegiatan apa yang akan dilakukan oleh bank dengan uang itu. Penabung sangat mengharapkan bank itu selalu dalam keadaan likuid, sehingga bila benar-benar dibutuhkan akan mudah diambil kembali. Tetapi mungkin saja bank akan kehilangan likuiditasnya dalam mengembalikan tabungan nasabahnya sehinnga perilaku ini dapat merugikan penabung.

Untuk mengatasi kesulitan tersebut, pemecahan koperasi telah dipraktikkan sejak manusia mulai memakai uang itu untuk penggunaan yang produktif. Dalam hal ini pemakai akan menjadi pemilik usaha yang dilakukan. Anggota kelompok akan saling memberi pinjaman dengan uangnya sendiri. Principal akan berubah menjadi agen yang berusaha mengendalikan dan memonitor kegiatan sendiri. Koperasi-koperasi kredit yang didirikan oleh para pionir pada masa revolusi industri adalah sebagai bukti bahwa pemecahan koperasi dalam masalah hold-up dan resiko moral memberikan keunggulan tersendiri dan alternatif pemecahan lain.

Bila agen dikenal oleh principal dan principal mengenal secara pribadi dan masing-masing agen dalam kegiatan bisnisnya, maka biaya monitoring yang dikkeluarkan akan menjadi rendah. Agen dan principal sebagai orang yang sama, pasa waktu-waktu tertentu atau selama waktu tertentu akan bersedia berbagi informasi yang dimiliki antara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian pemecahan koperasi disamping akan mengalami masalah resiko moral juga akan menurunkan biaya monitoring. Karena biaya monitoring merupakan sub-bagian dari biaya transaksi, maka pada akhirnya akan menurunjan biaya transaksi.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

IV-8

4.2 Konsep Koperasi

Pada UU No.25 tahun 1992, koperasi didefinisikan sebagai ”badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Pengertian ini disusun tidak hanya berdasar pada konsep koperasi sebagai organisasi ekonomi dan sosial tetapi secara lengkap telah mencerminkan norma-norma / kaidah-kaidah yang berlaku bagi bangsa Indonesia. Norma-norma atau kaidah-kaidah tersebut tercermin dan fungsi dan peranan koperasi sebagai:

a. Alat untuk membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi

anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya,

b. Alat untuk mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat, c. Alat untuk memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan

ketahanan perekonomian nasional, dan d. Alat untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang

merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.

Devinisi lain dan koperasi dijelaskan sebagai berikut:

a. Internasional Cooperative Alliance (ICA) mendevinisikan koperasi sebagai kumpulan orang-orang atau badan hokum, yang bertujuan untuk perbaikan social ekonomi anggotanya dengan memenuhi kebutuhan ekonomi anggotanya dengan jalan berusaha bersama-sama saling membantu antara satu dengan lainnya dengan cara membatasi keuntungan, usaha tersebut harus didasarkan prinsip-prinsip koperasi.

b. Menurut Calver, koperasi adalah organisasi orang-orang yang hasratnya dilakukan secara sukarela sebagai manusia atas dasar kemampuan untuk mencapai tujuan ekonomi masing-masing.

c. Moh. Hatta dalam ”koperasi Membangun dan Membangun Koperasi”, mendefinisikan koperasi sebagai berikut ’Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong.

Dan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Koperasi adalah organisasi yang terdiri atas orang-orang (kumpulan orang) atau dapat pula kumpulan badan hukum koperasi yang mempunyai kepentingan yang sama.

b. Koperasi adalah sebuah perusahaan di mana orang-orang berkumpul bukan untuk menyatukan uang atau modal melainkan sebagai akibat kesamaan kebutuhan ekonomi.

c. Koperasi adalah perusahaan yang harus dapat memberikan pelayanan ekonomi kepada anggotanya dan masyarakat lingkungannya.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

IV-9

d. Koperasi adalah perusahaan yang didukung oleh orang-orang sebagai anggotanya dalam menghimpun kekuatan-kekuatan yang meliputi para penghasil barang, pemberi jasa, dan pemakai barang atau jasa yang ada.

e. Dalam tubuh koperasi terkandung aspek pendidikan yang sangat dalam. f. Di Indonesia koperasi berwajah ganda bila dilihat dari tujuannya, sebab selain

untuk memenuhi kebutuhan anggotanua ia juga merupakan alat yang sesuai untuk mempercepat proses pembangunan.

Jika koperasi dipandang dari sudut organisasi ekonomi, pengertian koperasi dapat

dinyatakan dalam kriteria identitas yaitu anggota sebagai pemilik dan sekaligus sebagai pelanggan. Ropke (1985,h.24) menjelaskan, ”koperasi adalah suatu organisasi bisnis yang para pemilik/anggotanya adalah juga pelanggan utama perusahaan tersebut. Kriteria identitas suatu koperasi akan merupakan dalil/prinsip identitas yang membedakan unit usaha koperasi dan unit usaha yang lainnya”.

Sejalan dengan mendapat Ropke, Meunknter (1989, h.40) memberikan definisi koperasi sebagai organisasi yang mempunyai ciri-ciri khusus sebagai berikut:

a. Adanya sekelompok orang yang menjalin hubungan antara sesamanya atas dasar sekurang-kurangnya satu kepentingan yang sama (kelompok koperasi),

b. Adanya dorongan (motivasi) untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok guna memenuhi kebutuhan ekonomi melalui usaha bersama atas dasar swadaya dan saling tolong menolong (motivasi swadaya),

c. Adanya perusahaan yang didirikan dan dikelola secara bersama-sama (perusahaan koperasi),dan;

d. Tugas perusahaan tersebut adalah untuk memberikan pelayanan kepada anggotanya (promosi anggota).

Keempat ciri tersebut menunjukkan bahwa, kegiatan koperasi (secara ekonomis),

harus mengacu pada prinsip identitas (hakikat ganda) yaitu anggota sebagai pemilik yang sekaligus sebagai pelanggan. Organisasi koperasi dibentuk oleh sekelompok orang yang mengelola perusahaan bersama yang diberi tugas untuk menunjang kegiatan ekonomi individu para anggotanya. Koperasi adalah organisasi otonom, yang berada dalam lingkungan sosial ekonomi, yang memungkinkan setiap individu dan setiap kelompok orang merumuskan tujuan-tujuannya secara bersama-sama (Hanel, 1989, b.30).

Mengapa identity criterian itu demikian penting? Sebab dari situ dapat ditujukan bahwa para pemilik dan para pelanggan dari suatu organisasi adalah individu-individu yang identik sehingga mereka mempunyai kesempatan yang lebih besar dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya di setiap kegiatan koperasi. Berbeda dengan korporasi di mana para pemegang saham menentukan besarnya hak milik terhadap perusahaan dan besarnya pembagian keuntungan, pada koperasi setiap anggota mempunyai hak yang sama dan besarnya pendapatan ditentukan oleh jasanya. Semakin besar jasanya terhadap koperasi semakin besar keuntungan yang diperoleh dari koperasi tersebut. Dengan kata lain pada korporatif yang paling besar kesempatan untuk memenuhi kebutuhannya adalah para pemegang saham mayoritas, sedangkan pada koperasi anggota mempunyai kesempatan yang sama.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

IV-10

1. Tipe-tipe Koperasi Definisi koperasi yang berdasarkan kriteria identitas dijelaskan sebagai berikut:

Jika para pemilik dan para pelanggan (para pembeli pelayanan dan organisasi) adalah individu-individu yang sama, maka organisasi tersebut dapat didefinisikan sebagai suatu koperasi pembelian (purchasing cooperative).

Cooperasi pemasaran (marketing cooperative) adakah koperasi yang melalui para anggota menjual produk dan bisnis mereka masing-masing. Jika produk yang dibeli dari suatu perusahaan adalah barang konsumsi akhir dan para pelanggan adalah orang-orang itu juga sebagai pemilik perusahaan, maka organisasi ini dapat dikatakan sebagai koperasi konsumen (consumer cooperative).

Koperasi produsen (productive cooperation) didefinisikan sebagai suatu perusahaan yang dimiliki oleh para pekerjanya. Anggota dan koperasi jenis ini adalah para produsen yang secara bersama-sama memproduksi produk tertentu, kemudian produk tersebut dijual ke pasaran umum atau untuk memenuhi pesanan para pelanggan.

Dalam literatur, banyak dijumpai tipe koperasi tambahan tetapi pada hakikatnya dapat dikembalikan kepada empat tipe koperasi tersebut. Sebagai contoh, koperasi pelayanan (service Cooperative) yang diorganisir untuk menyediakan pelayanan yang baik pada para anggotanya dalam hal misalnya, asuransi, kredit, telepon, listrik, rumah sakit, fasilitas pengolahan data dengan komputer, dan lain-lain, dapat dipegang sebagai Sub-tipe Koperasi Pembelian (Purchasing Cooperative) karena para pemakai dari satu perusahaan koperasi bertindak sebagai pelanggan.

Keempat tipe koperasi di atas dapat dikombinasikan menjadi koperasi serba guna, misalnya koperasi yang membeli produk dan menjual kepada anggotanya, maka koperasi ini dapat dikatakan sebagai Koperasi Pembelian dan Penjualan. Atau jika suatu koperasi menerima tabungan dan para anggotanya (maraketing) dan juga menyediakan pinjaman kepada anngotanya (purchasing), maka koperasi ini disebut Koperasi Simpan Pinjam.

2. Berbagai Hubungan dalam Koperasi

Berdasarkan konsep koperasi yang dijelaskan di atas, perlu digarisbawahi 3 hubungan yang penting dalam lingkungan koperasi, yaitu hubungan kepemilikan, hubungan pelayanan dan hubungan pasar. a. Hubungan Kepemilikan

Hubungan kepemilikan menunjukkan besarnya peranan anggota dalam koperasi,

artinya anggota adalah pemilik perusahaan koperasi. Sebagai pemilik anggota mempunyai kewajiban-kewajiban dan hak-hak tertentu terhadap koperasinya, baik kewajiban dan hak individual maupun kewajiban dan hak keuangan (finansial).

Kewajiban dan hak pribadi adalah kewajiban dan hak dalam kehidupan kegiatan koperasi. Kewajiban dan hak ini sama bagi semua anggota dan tidak dapat dihilangkan sebagai seorang anggota selama menjadi anggota koperasi. Biasanya kewajiban dan hak ini secara langsung dihubungkan dengan pribadi anggota, misalnya kewajiban dan hak itu tidak dapat diwariskan kepada orang lain, tidak dapat dipindahkan dan tidak dapat

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

IV-11

dilaksanakan secara wakil. Kewajiban dan hak ini timbul hanya antara anggota dengan koperasi, tidak antara sesama anggota.

Kewajiban dan hak keuangan adalah kewajiban dan hak yang berhubungan dengan keikutsertaan keuangan para anggota dalam harta kekayaan dan dana koperasi. Kewajiban dan hak keuangan hanya timbul antara anggota dan koperasi, tidak antara sesama anggota, atau antara anggota dengan para kreditor koperasi. Hanya kewajiban dan hak itulah yang termasuk kategori yang timbul secara langsung dari keanggotaan. Oleh karena itu kewajiban dan hak itu harus dibedakan dari tuntunan dan kewajiban keuangan para anggota berhadapan dengan badan usaha koperasi yang timbul dari transaksi barang dagangan dan yang dikuasai oleh ketentuan umum hukum perdata (misalnya hukum perjanjian).

Kewajiban secara individual yang utama adalah: 1) Ikut serta secara individual dalam usaha bersama guna mencapai tujuan bersama. 2) Kewajiban untuk setia kepada koperasi, yakni meliputi:

a) Turut serta secara aktif dalam kehidupan koperasi, misalnya melakukan pemilihan pengurus.

b) Memanfaatkan fasilitas koperasi. c) Mengambil tindakan yang diperlukan agar kerugian koperasi dapat

dihindarkan. d) Tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan koperasi. e) Tidak melakukan persaingan dengan badan usaha koperasi. f) Kewajiban untuk memenuhi keputusan yang diambil dengan suara terbanyak. g) Kewajiban untuk mematuhi anggaran dasar. h) Kewajiban untuk memberikan semua keterangan yang perlu kepada koperasi. i) Kewajiban untuk memanfaatkan fasilitas badan usaha koperasi.

Umumnya setiap anggota mempunyai kepentingan untuk memanfaatkan fasilitas

yang disediakan koperasi, sebab fasilitas ini dibentuk terutama untuk memenuhi kebutuhan anggotanya. Tetapi dalam hal dimana pemanfaatan fasilitas koperasi secara reguler tidak memberikan hasil dalam memajukan kepentingan ekonomis para anggotanya, maka keikutsertaan para anggota dalam koperasi menjadi alasan yang dipersoalkan. Oleh kerena itu tindakan anggota seharusnya adalah:

1) Menimbulkan suatu perubahan dalam hal pengelolaan badan usaha koperasi. 2) Mengubah tujuan koperasi sampai dengan koperasi mampu memenuhi

kebutuhan ekonomis rill anggotanya. 3) Mengundurkan diri dari koperasi karena tidak menguntungkan. 4) Membubarkan koperasi mereka. 5) Mempersatukan koperasi mereka dengan koperasi lain supaya membentuk

unit ekonomi yang dapat hidup terus guna kemajuan anggotanya.

Berdasarkan kewajiban individual tersebut maka setiap anggota mempunyai hak individual sebagai berikut:

1) Hak untuk menghadiri rapat dan mengajukan usul. 2) Hak untuk memberi suara 3) Hak untuk memilih dan dipilih menjadi pengurus 4) Hak untuk memanfaatkan fasilitas koperasi

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

IV-12

5) Hak untuk diberi tahu mengenai suatu hal yang berhubungan dengan koperasi. 6) Hak untuk mengundurkan diri dari keanggotaan. 7) Hak untuk melindungi kelompok minoritas.

Kewajiban keuangan yang utama dan anggota meliputi tiga hal pokok, yaitu : 1) Kewajiban untuk membayar kontribusi keuangan yang ditentukan dalam

anggaran dasar, misalnya simpanan pokok, simpanan wajib, simpana sukarela dan dana-dana pribadi yang diinvestasikan dalam koperasi. Bagi anggota sendiri, kontribusi ini merupakan keputusan investasi di mana mereka mengharapkan tingkat pengembalian investasi (return on investment) tertentu yang dapat menunjang tingkat kehidupannya. Keuntungan itu bisa meluas tidak hanya pada besarnya proporsi dari SHU, tetapi besarnya manfaat langsung yang diterima, yakni berupa harga pelayanan. Manfaat langsung inilah yang sebenarnya sangat diharapkan anggota.

2) Kewajiban bertanggung jawab atas utang koperasi. Tanggung jawab koperasi terhadap kreditor hanya sebatas harta kekayaan koperasi itu sendiri dan

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

V-1

5 KOPERASI DALAM OTONOM DAERAH

5.1. Substansi Otonom Daerah

Secara subtantif otonomi daerah mengandung hal-hal desentralisasi dalam hal

bidang politik, ekonomi dalam rangka kemandirian ekonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Otonomi daerah pada hakekatnya ialah demokrasi di bidang pemerintahan. Secara filosofis dapat dilihat hal-hal pokok dalam otonomi daerah dimana dengan implementasi otonomi daerah maka akan terdapat indikasi sebagai berikut:

1. Semua persoalan daerah atau lokal akan selesai di tingkat lokal. Jadi masalah-masalah di kabupaten tidak perlu dibawa ke propinsi atau ke pusat, demikian juga persoalan propinsi tidak dibawa ke pusat, persoalan desa tidak harus ke kabupaten dan seterusnya.

2. Daerah akan berkembang dengan prakarsanya sendiri berdasarkan kewenangan dan tanggungjawab yang dimilikimya.

3. sifat-sifat atau ciri-ciri khusus daerah atau lokalitas sangat dihargai dan dipertimbangkan, dan tidak ada lagi upaya-upaya penyeragaman .

4. Adanya pembagian tugas dan tanggung jawab secara tegas antara legislatir dan eksekutif untuk pengembangan daerah bagi kesejahteraan masyarakat yang dipertanggung jawabkan secara administratif, sosial dan moral.

5. Partisipasi masyarakat berkembang, secara dinamis pada setiap denyut daerah sebagai kesatuan masyarakat hukum.

Prinsip otonomi daerah yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan otonomi daerah, yang sebelumnya dilakukan dengan pola

bertahap, sekarang dilakukan melalui pola-pola penyerahan urusan total, bulat, utuh dan menyeluruh, kecuali atas bidang hubungan luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan agama.

2. Propinsi dapat diperlakukan sebagai daerah otonom dan wilayah administratrif, karena tetap mendapat tugas dan tanggung jawab desentralisasi dan dekonsentralisasi. Dengan sendirinya, status Gubernur sebagai Kepala Daerah dan sebagai Kepala Wilayah masih tetap dipertahankan. Namun terhadap daerah kabupaten dan kota hanya diperlakukan prinsip desentralisasi, sehingga keduanya berfungsi hanya sebagai daerah otonom.

3. peraturan mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada masing-masing daerah dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.

4. Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya, sedangkan DPRD tidak lagi menjadi unsur pemerintah daerah; melainkan berdiri sendiri dengan fungsinya yang bermitra dengan pemerintah daerah.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

V-2

Fungsinya yang utama adalah pelaksana pengawasan, anggaran dan legislasi daerah.

5. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah dan tidak perlu disahkan oleh pemerintah pusat.

6. Daerah dibeli kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji dan tunjangan serta kesejahteraan, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan norma, standar, prosedur yang diterapkan oleh pemerintah.

7. Pertimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah diatur dalam mekanisme dan perhitungan yang telah mengakomodir harapan daerah untuk mendapatkan alokasi anggaran perimbangan dan kekayaan sumberdaya alam daerah.

Untuk implementasi otonomi daerah, pemerintah telah menetapkan 1 Januari

2001 dimulainya pelaksanaan secara formal otonomi daerah dengan penyelenggaraan/ pelaksanaan APBN TA 2001. Persiapan oleh pemerintah telah cukup matang telah diselesaikannya sejumlah 4 UU, 20 PP, dan 15 Peraturan Perundangan lainnya. Sebetulnya otonomi daerah bukanlah barang baru, karena sistem pemerintaan sebetulnya sudah mengenal daerah kecil dan besar serta kewenangan-kewenangannya, misalnya sudah diatur sejak tahun 1945, 1948, 1957 dan akhirnya 1974. Namun pada prakteknya memang terjadi berbagai permasalahan.

5.2. Perspektif Pembangunan Perekonomian Daerah

Orientasi yang dikembangkan dalam pembangunan nasional 30 tahun ke belakang ialah kebijakansanaan pertumbuhan (dan pemerataan). Dengan orientasi itu jelas bahwa investasi adalah kata kunci dalam menggerakkan roda keberhasilannya. Di waktu yang lalu, bagi daerah, kebijaksanaan pusat di bidang investasi sangat penting dan merupakan sarana yang benar-benar dimanfaatkan untuk kemajuan investasi daerah. Dalam gelombang reformasi saat ini, sangat disadari bahwa pukulan cukup besar terkena pada upaya-upaya pengembangan investasi. Sangat sulit untuk menjaga keamanan investasi karena sulitnya keamanan dan stabilitas politik dalam negeri. Dimana-mana faktor stabilitas sangat dominan mempengaruhi minat investasi, apa lagi mengharapkan investasi dari luar negeri. Dengan demikian, bagi kelompok pengelola investasi tidak ada hal yang dapat dilakukan lebih baik pada saat itu kecuali melihat berbagai peluang stabilitas politik dalam negeri untuk kembali menggelar peluang investasi. Pemerintah terus berupaya sedemikian rupa untuk menata sistem politik dan pola-pola mekanisme politik untuk sampai kepada tatanan mekanisme kedaulatan rakyat sesuai dengan tuntutan masyarakat dalam reformasi serta terselenggaranya negara dan pemerintahan yang diharapkan, demokratis dan memberi peluang akses secara merata.

Untuk menuju kemandirian ekonomi daerah perlu dilakukan restrukturisasi ekonomi daerah yang berbasiskan kepada koperasi dan usaha kecil-menengah. Salah satu dampak negatif yang diperkirakan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terpinggirkannya peranan koperasi dan usaha kecil-menengah. Untuk itu perlu dilakukan upaya restrukturisasi ekonomi daerah yang berbasiskan koperasi dan pengusaha kecil-menengah sebagai penggerak ekonomi daerah. Selain itu diperlukan juga optimalisasi

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

V-3

pengembangan sumberdaya ekonomi daerah agar kemandirian ekonomi daerah bisa terwujud. Untuk mendukung hal tersebut maka pemerintah daerah perlu menciptakan iklim usaha yang aman dan tenang agar resiko bisnis bisa ditekan sekecil mungkin.

Restrukturisasi ekonomi daerah yang berbasiskan koperasi dan usaha kecil-menengah (UKM) dilakukan dengan cara merangsang partisipasi koperasi dan UKM seluas-luasnya dan pemberian hak-hak khusus (privilige) pengembangan koperasi dan UKM, serta dengan cara menjalankan program pemerataan kepemilikan asset-asset produktif dan sumberdaya ekonomi daerah (program redistribusi asset).

Bagi pemerintah Daerah program restrukturisasi ekonomi daerah perlu dilakukan karena dalam jangka panjang akan memberikan kontribusi kepada pendapatan daerah. Dengan program restrukturisasi yang berbasiskan koperasi dan UKM akan memperluas basis pajak dan memperbesar jumlah pembayar pajak. Program ini juga akan berdampak mengurangi angka pengangguran karena mencakup hampir 99,4% dari jumlah kesempatan kerja serta berfungsi juga sebagai katup pengaman sosial yang pada akhirnya akan memperkuat struktur dan kemandirian ekonomi daerah. 5.3. Pembangunan Koperasi Pada Era Otonomi Daerah

Pembangunan ekonomi masa yang akan datang diharapkan pada dua tantangan yaitu : Pertama, meningkatnya daya saing industri nasional melalui peningkatan efisiensi dan pembangunan keunggulan yang kompetitif dan kedua, melaksanakan proses desentralisasi ekonomi secara bertahap agar seluruh sumber daya ekonomi diseluruh daerah dapat segera tergerakkan secara serempak menjadi kegiatan ekonomi yang meluas yang didukung oleh semakin tumbuhnya prakarsa jiwa wirausaha. Dengan demikian peran koperasi menjadi penting sebagai sokoguru dan bagian integral dari tata perekonomian nasional. Koperasi secara bersama-sama dengan usaha swasta, daerah dan negara harus mampu menjadi penggerak utama dalam peran meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pengembangan koperasi yang sehat, kuat langgeng, mandiri dan berfungsi sebagai wadah menggalang ekonomi rakyat.

Dalam rangka kerja otonomi daerah, bidang koperasi merupakan salah satu kewenangan wajib kabupaten dan kota; utuk itu kebijaksanaan strategis koperasi ke depan dapat dikembangkan sebagai berikut: Pertama, terciptanya koperasi yang berbasis anggota yang mampu melayani kebutuhan

pokok anggota, Kedua, meningkatkan akses pasar dan memperbesar pangsa pasar baik di daerah,

regional, nasional maupun internasional. Ketiga, memperluas akses terhadap permodalan, memperkokoh struktur permodalan serta

meningkatkan kemampuan pemanfaatan modal. Keempat, meningkatkan akses terhadap teknologi, manajemen kemampuan sumber daya

manusia serta memantapkan kemitraan.

Peran pemeritah Daerah dalam penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan semakin berkurang dan menempatkan swasta dan koperasi untuk ikut berperan dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan melalui mekanisme pasar yang kompetitif. Pemerintah Daerah lebih ditempatkan pada fungsi pengendali dan pengawas atas

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

V-4

pekerjaan yang diserahkan kepada Swasta dan Koperasi. Dengan demikian peletakkan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Pada dasarnya otonomi daerah yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 meletakkan semua kewenangan Pemerintah pada daerah Kabupaten dan daerah Kota, kecuali kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Kewenangan daerah dilaksanakan secara luas, utuh, dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua aspek pemerintahan.

Sesuai dengan tujuan peletakkan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah tersebut, maka dalam pengembangan koperasi di era Otonomi Daerah ini harus mampu dijawab oleh daerah bagaimana memberdayakan seluruh potensi sumber daya daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui wadah koperasi. Ada beberapa hal yang menjadi acuan dasar kewenangan di bidang koperasi, yaitu:

1. Pasal 10 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa ”Daerah

berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Kewenangan ini mempunyai implikasi bahwa daerah dimungkinkan untuk memanfaatkan seoptimal mungkin sumber daya yang ada dengan memperhatikan karakteristik dan daya dukungannya (carrying capacity).

2. Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa ”Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah Kabupaten dan daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri, dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja”.

3. Sesuai dengan semangat Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Pasal 1 ayat (3) bulir 6 Peraturan Pemerintahan Nomor 25 Tahun 1999, maka secara umum pembagian kewenangan di bidang perkoperasian adalah sebagai berikut: a. Kewenangan Pusat antara lain berupa:

1) Penempatan pedoman akuntansi koperasi dan pengusaha kecil dan menengah.

2) Penetapan pedoman penyertaan modal pada koperasi. 3) Fasilitasi pengembangan sistem distribusi bagi koperasi dan pengusaha

kecil dan menengah. 4) Fasilitasi kerjasama antar koperasi dan pengusaha kecil dan menengah

serta kerjasama dengan badan usaha lain. b. Kewenangan Propinsi di Bidang Perkoperasian antara lain berupa

penyediaan dukungan pengembangan koperasi. c. Sedangakan dikewenangan Kabupaten/Kota tidak diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 25 tahun 2000, karena Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 pada dasarnya meletakkan semua kewenangan pemerintah pada daerah

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

V-5

Kabupaten/Kota kecuali sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 di atas.

5.4. Ancaman dan Peluang Otonomi daerah Terhadap Perkembangan Koperasi

Ancaman yang mungkin dihadapi dalam pengembangan koperasi di daerah antara

lain: 1. Tuntutan pendanaan pembangunan daerah membuat Pemerintah Daerah

cenderung menarik pajak dan retribusi daripada mengkondisikan daerah agar lebih cepat merangsang pertumbuhan ekonomi. Dikhawatirkan koperasi menjadi sasaran pajak dan retribusi saja tanpa mendapatkan pelayanan publik yang seimbang;

2. Selama ini banyak upaya pemberdayaan masyarakat silakukan oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah dikhawatirkan belum memehami substansi program tersebut. Hal ini dapat mengancam keberlanjutan program pemberdayaan yang dilakukan pemerintah pusat;

3. Alasan percepatan pembangunan membuat Pemerintah Daerah lebih senang memilih pelaku usaha yang sudah mampu daripada melibatkan koperasi dalam pembangunan. Hal ini memang sangat tergantung dari kapabilits koperasi yang berada di daerah tersebut.

Sedangkan peluang yang mungkin adalah bahwasannya otonomi daerah membuat pembangunan mengarah pada local based development sekaligus community based development sebab pengambilan keputusan tipologi pembangunan diserahkan pada daerah sehingga tidak ada lagi program dari pusat yang seragam dan tidak terlalu memperhatikan karakteristik daerah.

5.5. Koperasi sebagai Media Pemberdayaan

Koperasi sebagai lembaga ekonomi yang mengandalkan social capital maka faktor penting dalam pengembangan memerlukan upaya pemberdayaan bagi anggotanya. Pengembangan masyarakat ini adalah investasi publik sebab nilai tambah yang dihasilkan tidak secara spesifik diterima oleh pihak yang melakukan pemberdayaan. Akan tetapi secara menyebar diterima oleh masyarakat. Dengan karakteristik ini maka aktivitas pemberdayaan harus dilakukan oleh pemerintah. Peran pemerintah daerah dalam pemberdayaan anggota koperasi dapat dilakukan dengan cara membantu dana pelatihan, akses informasi dan teknologi.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

V-6

PERUSAHAAN SWASTA/KOPERASI

Gambar 5.1. Proporsi Peran antara Pemerintah dan Private

Tidak perlu diragukan, keberhasilan ekonomi sangat penting bagi pengembangan

koperasi secara berkesinambungan. Meskipun demikian, keberhasilan ekonomi semata tidak dapat menunjukkannya sebagai ciri usaha yang khas jika dibandingkan dengan perusahaan komersial. Lebih dari itu, masih ada tujuan dan sasaran yang masih harus dicapai dan budaya organisasi yang harus dipraktekkan. Hal ini berkaitan tidak semata-mata pada keberhasilan ekonomi, tetapi lebih pada tujuan jangka panjang untuk memperbaiki kondisi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lingkungan hidup manusia yang sudah merupakan ciri khusus gerakan serta organisasi-organisasinya, sejak dulu hingga nanti.

Setelah beberapa dasawarsa terjadi penurunan basis ideologi, politisasi, manipulasi dan penyelenggaraan organisasi koperasi untuk pemerasan, penggunaan SHU yang tidak benar atau upaya untuk memperkaya diri para pimpinannya, maka ada alasan yang kuat untuk menekankan perlunya orientasi nilai-nilai koperasi dapat berfungsi kembali.

Mengingat: - Jarak yang semakin lebar antara anggota dan perusahaan koperasi yang terus

berkembang, - Keanggotaan yang terpecah belah, karena pelayanan perusahaan koperasi yang

sama antara anggota dan non anggota serta kurangnya manfaat konkrit yang dirasakannya sebagai koperasiwan.

- Orientasi teknokratis manajemen koperasi yang meningkat - Mekanisme pengawasan demokratis yang tidak lagi efektif

PEM

ERIN

TAH

Pemberdayaan masyarakat

Peningkatan Kualitas

Peningkatan daya Saing

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

V-7

Atas hal tersebut di atas dirasakan sangat perlu untuk melakukan pemilu kembali secara cermat mengenai konsep kerja sama secara keseluruhan dengan tujuan untuk membangun kembali gerakan koperasi sebagai kekuatan moral yang diakui dan dihormati, selain gerakan populer yang prestisius, maka memiliki program, pembaharuan di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan.

Prinsip-prinsip koperasi merupakan pedoman dalam mengacu perkumpulan koperasi sesuai dengan nilai-nilai dasar koperasi. Prinsip-prinsip ini juga berlaku sebagai dasar bagi perundang undangan koperasi. Sementara prinsip identitas sangat penting untuk menjelaskan struktur koperasi yang khas, maka prinsip-prinsip kerjasama yang berdasarkan nilai secara bersama-sama mencerminkan filosofi koperasi antar budaya yang menjadi koperasi di seluruh dunia sebagai budaya organisasi yang utama. Pada saat yang sama prinsip-prinsip koperasi yang berdasarkan pada nilai ini harus dipahami dan diterima oleh koperasiwan. Koperasiwan sebagai norma tingkah laku yang paling sesuai untuk membangun organisasi, yang didirikan di atas prinsip jatidiri bekerja demi kepuasan para anggotanya dan bertahan dalam persaingan dengan perusahaan-perusahaan komersial.

Cara-cara melaksanakan prinsip-prinsip koperasi dalam kegiatan sehari-hari (praktek koperasi) dapat berbeda-beda sesuai dengan kondisi yang berlaku, sepanjang cara-cara tersebut tidak bertentangan dengan budaya organisasi koperasi seperti tercermin dalam prinsip-prinsip komersial.

Definisi tentang perkumpulan koperasi berikut dapat dirumuskan dari upaya untuk mengidentifikasikan suatu koperasi:

a. Perkumpulan koperasi adalah organisasi yang memusatkan perhatiannya pada orang, bukan pada modal. Koperasi adalah organisasi kerjasama orang-orang untuk jangka panjang untuk memberi manfaat kepada anggota perorangan dan seluruh anggota pada umumnya. Keanggotaan secara sukarela dan kesediaan untuk menerima anggota baru (keanggotaan terbuka) sangat deperlukan untuk pembaharuan kebersamaan (homogenitas) kelompok yang terus menerus untuk beberapa generasi (bebas untuk masuk dan bebas untuk keluar).

b.Melayani kebutuhan anggota merupakan tujuan utama, yang harus merupakan prioritas utama dibandingkan dengan tujuan perusahaan koperasi lainnya.

c. Perkumpulan koperasi harus beraskar di lingkungan atau diwilayah yang bersangkutan dan memiliki struktur pengambilan keputusan dan pengawasan yang otonom, yang memungkinkan anggota untuk menentukan sendiri bagaimana menangani urusannya sendiri.

d.Bentuk yang paling sesuai untuk menetapkan tujuan dan sasaran, mengambil keputusan dan mengawasi dalam kelompok seperti itu adalah dengan menerapkan ketentuan demokrasi untuk mengarahkan kegiatan perusahaan koperasi dalam mencapai tujuan, yang sebanyak mungkin memenuhi kebutuhan mayoritas anggotanya.

e. Untuk menjamin bahwa organisasi tetap memusatkan perhatiannya pada anggota perorangan dan bahwa modal tidak akan memainkan peranan yang dominan, hak suara dan pembagian SHU tidak diberikan sebanding dengan kontribusi modalnya, tetapi dikaitkan dengan orang sebagai anggota (satu anggota satu suara, pembagian SHU sebanding dengan transaksinya dengan perusahaan koperasi).

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

V-8

f. Ketentuan untuk kerjasama antara anggota (perorangan) juga diterapkan untuk kerjasama antara koperasi dalam bentuk integrasi horizontal (proyek bersama atau amalgamasi) maupun integrasi vertical (struktur federasi).

Definisi tersebut, yang menguraikan inti ideologi koperasi secara singkat,

membuktikan bahwa nilai dasar koperasi dan prinsip-prinsip koperasi tidak seharusnya dipandang sebagai doktrin yang kaku, melainkan sebagai norma umu untuk menjadikan koperasi yang berdasar pada prinsip menolong diri sendiri dapat berhasil.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

V-1

6 STRATEGI PENGEMBANGAN KOPERASI

6.1 Pembangunan Koperasi dilakukan tidak boleh terlepas dari upaya pemberdayaan anggotanya

Pembangunan koperasi yang berhasil memerlukan sejumlah prasyarat dan

pemenuhan syarat-syarat tertentu, sebagaimana layaknya dalam pelaksanaan suatu proses. Pembangunan itu merupakan proses dinamik, karena koperasi adalah lembaga yang hidup dan beraksi terhadap perubahan kondisi internal maupun eksternal. Mengingat koperasi merupakan lembaga milik sekelompok masyarakat, yang dibangun sendiri oleh masyarakat bersangkutan, dengan maksud untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar ekonomi masyarakat tersebut, maka dapat dipahami bahwa koperasi harus mampu melaksanakan berbagai kegiatan kegiatan ekonomi. Kegiatan mana, harus terkait dengan upaya untuk memenuhi kepentingan ekonomi para anggotanya pada tingkat usaha yang efektif dan efisien. Dengan demikian kegiatan itu harus terencana, yaitu dengan melalui penerapan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi yang khas sifatnya.

Sehubungan dengan hal itu perlu dipahami peran berbagai faktor yang mencakup kriteria-kriteria prasyarat, yaitu faktor-faktor yang dianggap sangat menentukan bagi keberhasilan dan kesinambungan koperasi yang dibangun. Selanjutnya, setelah prasyarat dipenuhi, maka koperasi berarti sudah siap lahir dan siap tumbuh. Tetapi faktor yang tergolong sebagai syarat keberhasilan, bagi tumbuhnya koperasi bersangkutan dimasa mendatang. Syarat tersebut menjadi komponen pokok yang perlu dipenuhi dan diwujudkan, agar koperasi itu dapat berprestasi dan dapat disebut sebagai koperasi yang berhasil. Artinya bila syarat keberhasilan itu tidak terpenuhi, maka koperasi bersangkutan dapat dianggap tidak berhasil dalam proses pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Dengan demikian bisa saja satu koperasi dibentuk, akan tetapi koperasi yang telah mampu memenuhi prasyarat yang ditetapkan itu untuk selanjutnya ternyata tidak mampu tumbuh normal, dengan mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan, ataupun kalau dapat tumbuh maka pertumbuhan koperasi itu menjadi sangat lambat atau dapat dinyatakan dengan ”hidup segan, mati tak mau”.

Pemahaman tetang hal-hal tersebut tidak kalah penting bila dibanding dengan upaya memahami sejumlah langkah-langkah pembinaan atau mengenali sejumlah hambatan dan kendala pertumbuhan koperasi, yang mengharuskan kita membawa koperasi itu kembali pada jati dirinya (menerapkan pendekatan ”back to basic”).

Pemberdayaan anggota mencakup pemberdayaan kapital (bantuan modal) dan pemberdayaan knowledge, yang meliputi peningkatan kemampuan manajemen, skill dan pemahaman yang benar mengenai prinsip-prinsip koperasi melalui pendidikan dan pelatihan. Pemberdayaan ini akan memberikan dampak peningkatan pertisipasi anggota.

Memang harus diakui bahwa peningkatan partisipasi anggota bukanlah dampak langsung dari pendidikan dan pelatihan. Partisipasi anggota merupakan fungsi dari intrinsik anggota dan nilai ekstrinsik yang berasal dari luar anggota itu sendiri.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

V-2

Peningkatan partisipasi merupakan outcome atau dampak positif tidak langsung dari pendidikan dan pelatihan. Peningkatan partisipasi anggota ini diharapkan akan memberikan dampak kepada kinerja koperasi yang ditandai dengan 5 indikator keberhasilan koperasi. Peningkatan kinerja koperasi yang ditandai akhirnya akan menghasilkan tujuan yang hendak dicapai yakni kesejahteraan masyarakat.

Pelaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi anggota harus memperhatikan beberapa aspek sebagai berikut:

a. Dominasi pemerintah (pemerintah daerah) dalam pendidikan in service/diklat harus dikurangi karena di masa lalu telah menimbulkan ketergantungan koperasi kepada Pemerintah sehingga mengurangi pemupukan rasa percaya diri dan kemampuan menolong dirinya sendiri bagi koperasi;

b. Harus jelas konsep ”link & matc”, karena penyelenggaraan diklat pada masa-masa sebelumnya tersentralisasi dan berdasarkan pemikiran-pemikiran dari atas, belum pernah dilakukan analisis kebutuhan pelatihan, yang bersumber kepada kebutuhan koperasi. Hingga kini pendidikan yang sudah dilaksanakan masih belum mengarah kepada kebutuhan koperasi;

c. Dana pendidikan dari gerakan koperasi secara formal merupakan salah satu sumber dana pendidikan koperasi, namun pada kenyataannya dana tersebut belum optimal terkumpul;

d. Pemerintah daerah harus memiliki akreditasi untuk lembaga penyelenggara pendidikan termasuk standarisasi materi pelatihan;

e. Peserta harus dipersiapkan dengan baik, karena pendidikan dan pelatihan di masa depan tidak gratis. Pada masa lalu umumnya peserta tidak dipersiapkan dengan baik, lebih-lebih karena pendidikan bersifat gratis, sehingga yang dilatih orangnya tetap sama atau tidak relevan dengan tugasnya;

f. Perlu ada evaluasi yang menyeluruh mengenai dampak dari diklat terhadap kinerja koperasi.

Untuk mencapai tujuan seperti yang diharapkan maka Pemerintah Pusat bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dan Dewan Koperasi Indonesia melakukan tugas sebagai berikut :

1. Secara bertahap mengintegrasikan, mengkoordinir dan mengkonsolidasikan potensi pendidikan dan pelatihan perkoperasian secara nasional;

2. Secara bertahap dan simultan memberdayakan dan mengkoordinir potensi lembaga-lembaga dan pelatihan perkoperasian yang dimiliki oleh negara (antar departemen), Gerakan Koperasi (LAPENKOP), Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lembaga-lembaga pendidikan swasta pelaksana pendidikan koperasi.

3. Secara pro aktif memberdayakan lembaga-lembaga pendidikan perkoperasian yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam kerangka semangat otonomi daerah.

4. Menentukan kebijaksanaan pokok program pendidikan dan pelatihan perkoperasian yang mencakup sistem, metodologi, kurikulum, silabus, sistem evaluasi, kelompok sasaran, dan bahan serta alat bantu;

5. Melaksanakan program pendidikan dan pelatihan perkoperasian sesuai dengan rencana dan kebutuhan.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

V-3

6.2 Pembangunan Koperasi dilakukan secara lintas sektoral

Membicarakan keberhasilan koperasi, harus mulai dengan membahas sejumlah prasyarat, yang nampaknya akhir-akhir ini kurang mendapat perhatian yang sungguh-sungguh (terbaikan atau diabaikan) oleh para pendiri koperasi (masyarakat luas) maupun oleh para pembina koperasi pada umumnya. Prasyarat tersebut boleh dinyatakan sebagai kriteria yang relatif sifatnya mutlak, atau merupakan faktor yang mau atau tidak mau harus dipenuhi agar dapat membuat koperasi lahir dan siap tumbuh dalam dinamika perekonomian. Oleh karena itu dalam setiap pembentukan koperasi baru, haruslah benar-benar dapat dipenuhi prasyarat yang ditetapkan, dengan maksud agar dapat menumbuhkan koperasi yang berkemampuan tumbuh secara berkelanjutan tanpa menimbulkan berbagai masalah di masa mendatang. Singkatan bila faktor-faktor dimaksud tidak dipenuhi, secara konseptual koperasi akan sulit tumbuh sebagaimana diharapkan karena organisasinya tidak didukung oleh faktor-faktor yang diperlukan. Misalnya dalam satu proses pembentukan koperasi baru, ternyata ada satu prasyarat yang tidak dipenuhi, umpamanya ”tidak jelasnya hubungan antara kepentingan ekonomi anggota-anggota pendiri, yang seharusnya menjadi alasan dasar bagi pembentukan koperasi tersebut”. Koperasi itu bisa saja dibentuk tanpa dilandasi oleh pemahaman dan kesamaan kepentingan para pendiri atau anggotanya. Namun demikian, potensinya sangat besar untuk menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan di masa mendatang, karena landasan arah dan proses pertumbuhan kelompoknya tidak jelas. Secara konseptual, rencana pendirian suatu koperasi seperti itu dapat saja ditolak, apabila syarat mutlaknya tidak terpenuhi walaupun tidak sesuai dengan ketentuan formal koperasi itu mungkin saja tetap dibentuk. Baru kemudian, sambil berjalan koperasi bersangkutan menyesuaikan kembali hal-hal yang belum dipenuhi atau yang dapat diperbaiki, sehingga akhirnya koperasi itu juga mampu memenuhi syarat mutlak yang seharusnya perlu dipenuhi lebih dahulu. Namun demikian secara praktis tidak jarang pengalaman menunjukan, bahwa hal dimaksud kerap kali sulit dilakukan, mengingat koperasinya terlanjur menghadapi masalah dan sibuk dalam mengelola kegiatan bisnisnya, yang kerap kali justru tidak terkait dengan kepentingan ekonomi pada anggotanya, karena tidak teridentifikasi sebelumbnya. Koperasi seperti itu tergolong pada koperasi ”palsu” (psue coop),apabila ditinjau dan pelaksanaan identitas koperasinya. Padahal kita faham justru identitas koperasilah yang menjadi keunggulan komparatif, dan sekaligus menjadi keunggulan kompetitif dan suatu badan usaha koperasi, karena hal-hal itu membuat kelompok anggota mampu mendukung eksistensi koperasi dalam menghadapi pasar bebas.

6.3 Pembangunan Koperasi mengacu pada local spesific (resource based dan

community based) Pembentukan koperasi baru, perlu difahami dan diidentifikasi kepentingan ekonomi

para pendiri khususnya dan umumnya kepentingan anggota baru di masa mendatang, yang dijadikan landasan utama pengembangan organisasi dan kegiatan usahanya. Apabila kemudian ada koperasi dibentuk tanpa ada landasan kepentingan anggota dan kemudian memperoleh badan hukum resmi, maka sudah bisa dipastikan bahwa koperasi itu tidak mungkin digolongkan dalam kelompok koperasi genuine, atau koperasi yang dapat memenuhi kriteria internasional (identitas koperasi menurut ICA 1995). Pada umumnya

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

V-4

koperasi itu dalam proses pertumbuhan selanjutnya, tidak mampu memanfaatkan peluang besar atau tidak cukup berhasil dalam proses pertumbuhan memanfaatkan peluang yang ada secara maksimal, walaupun koperasi dimaksud tetap saja berpeluang tumbuh sebagai organisasi atau badan usaha.

Prasyarat dasar lain yang juga harus dapat dipenuhi melalui pembentukan koperasi, agar selanjutnya proses pengembangan koperasi itu berhasil atau koperasinya dapat meraih sukses dalam pentumbuhan selanjutnya., berupa pemenuhan kriteria tentang kualitas calon anggota koperasi. Mereka dipersyaratkan mampu memenuhi indikator, bahwa secara sadar anggota-anggota koperasi itu mengetahui dan memahami dengan baik dan sistematik, peran dan fungsi koperasi yang akan dibentuk. Sebagai suatu lembaga ekonomi milik bersama,koperasi diharapkan mampu membantu memenuhi berbagai kebutuhan ekonomi dasar para anggotanya, baik secara individu maupun secara kelompok serta dalam lingkup lokal, regional maupun nasional. Wujud sebab dan akibat dan dua sisi itu, apabila perlu harus dilatihkan dan dikembangkan lebih dahulu, dengan melalui proses yang disebut sebagai masa pra koperasi. Akan banyak manfaat yang diperbolehkan koperasi di masa mendatang apabila kegiatan masa pra koperasi dilakukan dengan sadar dan terprogram (dalam rencana). Karena itu pada hakekatnya pembentukan koperasi bukanlah sekedar pembentukan lembaga ekonomi biasa melainkan sebagai usaha terencana untuk menimbulkan suatu lembaga yang harus memiliki komitmen dan wawasan luas serta terpadu. Itulah sebabnya di dalam buku ini dilampirkan proses yang lazimnya perlu dilalui dalam mendirikan badan usaha koperasi.

Selanjutnya, apabila prasyarat itu telah dipenuhi, dan kondisi lingkungannya juga mendukung, maka masih ada syarat berikut yang harus dipenuhi. Syarat dimaksud adalah merupakan syarat tidak mutlak, yang dapat disebut sebagai ayarat yang diinginkan.syarat ini sifatnya komparatif dan dapat dibandingkan serta berada pada satu selang (range) indikator tertentu. Selang indikator itu dapat disesuaikan dengan kondisi sehingga berdasar indikator yang dipenuhi oleh koperasinya, akan diperoleh sejumlah nilai indikator koperasi yang berbeda-beda ukurannya. Akan tetapi nilainya tetap berada pada batas-batas kelompok angka yang di tetapkan, sesuai dengan jenis dan kualitas dari koperasi-koperasi yang dinilai. Hal itulah yang menjadi ciri khas dari masing-masing koperasi bersangkutan. Ciri khas koperasi itu biasanya dituangkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang disyahkan dalam rapat anggota (RAT).

Dengan mengetahui komposi kriteria syarat yang dipenuhi, secara otomatis akan dapat dikenali berbagai keunggulan dan sekaligus hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus dari koperasi bersangkutan untuk membuatnya sukses. Pemenuhan kriteria itu memungkinkan dapat dilakukannya pembandingan antar koperasi yang satu dengan kkoperasi yang lain walaupun tidak sejenis. Posisi koperasi seperti itu juga dapat digunakan untuk mengarahkan dan menemukan pokok-pokok masalah tentang koperasi-koperasi bersangkutan dalam proses pembinaan. Dengan demikian, tingkat keberhasilan koperasi untuk memenuhi kriteria itu dapat dimanfaatkan pula untuk sekaligus menilai tingkat prestasi koperasi secara transparan dan adil.untuk itu kriterianya perlu disusun denagan nasional, sesuai dengan kaidah-kaidah lembaga usaha.

Laporan Akhir Kajian Implikasi Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi Daerah

V-5

6.4 Koperasi diikutkan dalam program redistribusi asset secara transparan Saat ini dengan berlakunya otonomi daerah maka tugas teknis pembinaan koperasi

merupakan tugas pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota sendiri dihadapkan pada berbagai masalah spesifik di daerah masing-masing. Terdapat paling tidak tiga tipologi kinerja ekonomi wilayah, dan masing-masing diharapkan dapat memberikan peran yang paling optimal bagi perkembangan koperasi di daerahnya maupun secara regional dan nasional.

1.Daerah Kaya dan Daerah Berkembang dengan potensi alam cukup

• Koperasi menjadi pelaku yang aktif dalam bidang distribusi; • Koperasi sektor jasa (sektor tersier) dikembangkan secara lebih profesional; • Koperasi Simpan Pinjam diarahkan melakikan interlending dengan Koperasi

daerah yang berada di sekitarnya yang lebih miskin; • Koperasi yang telah memiliki modal cukup besar diarahkan bekerjasama dengan

koperasi daerah yang sejenis atau atas pertimbangan kemitraan strategis; • Koperasi menjadi prime mover dalam pengelolaan potensi alam;

2.Daerah Miskin potensi alam belum tergarap

• Koperasi sebagai sarana pemberdayaan masyarakat bersaan dengan penciptaan iklim yang kondusif bagi masuknya investor;

• Koperasi yang telah terbina bersama-sama dengan investor mengelola strategic asset yang ada