28
LEGALITAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA NO.KEP- 236/MBU/2011 TANGGAL 15 NOVEMBER 2011 BERDASARKAN ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK Kajian ringkas yang disusun oleh: MARLINDAH JOHANNA ADRIAANSZ A. LATAR BELAKANG Pada tanggal 15 November 2011, Dahlan Iskan selaku Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut “MBUMN”) yang baru menetapkan Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. Kep-236/MBU/2011 tentang PENDELEGASIAN SEBAGIAN KEWENANGAN DAN/ATAU PEMBERIAN KUASA MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA SEBAGAI WAKIL PEMERINTAH SELAKU PEMEGANG SAHAM/RUPS PADA PERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) DAN PERSEROAN TERBATAS SERTA PEMILIK MODAL PADA PERUSAHAAN UMUM (PERUM) KEPADA DIREKSI, DEWAN KOMISARIS/DEWAN PENGAWAS DAN PEJABAT ESELON I DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (selanjutnya disebut “Keputusan MBUMN No.236/MBU/2011”). Dari konsiderans Keputusan MBUMN No.236/MBU/2011 tersebut dapat terlihat bahwa pertimbangan yang dipakai untuk menetapkan keputusan tersebut antara lain adalah sebagai berikut: 1) bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar Perusahaan, MBUMN memiliki kedudukan, tugas dan kewenangan sebagai wakil Pemerintah selaku pemegang saham/RUPS pada Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perseroan Terbatas serta pemilik modal pada Perusahaan Umum (Perum); 2) bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pengurusan BUMN, perlu mendelegasikan dan/atau memberikan kuasa atas sebagian kewenangan MBUMN sebagaimana dimaksud dalam angka 1 tersebut di atas kepada Direksi, Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan Pejabat Eselon I di Lingkungan Kementerian Badan Usaha Milik Negara; 3) bahwa kewenangan yang didelegasikan dan/atau dikuasakan kepada Direksi dan/atau Dewan Komisaris/Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada huruf b, disamping karena pertimbangan efektifitas, juga karena pertimbangan bahwa hal-hal tersebut dianggap tidak “sangat strategis”; 1

LEGALITAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA NO.KEP-236/MBU/2011 TANGGAL 15 NOVEMBER 2011 BERDASARKAN ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

  • Upload
    unpar

  • View
    1

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

LEGALITAS KEPUTUSAN MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARA NO.KEP-236/MBU/2011 TANGGAL 15 NOVEMBER 2011

BERDASARKANASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

Kajian ringkas yang disusun oleh:MARLINDAH JOHANNA ADRIAANSZ

A. LATAR BELAKANG

Pada tanggal 15 November 2011, Dahlan Iskan selaku MenteriNegara Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut “MBUMN”) yang barumenetapkan Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No.Kep-236/MBU/2011 tentang PENDELEGASIAN SEBAGIAN KEWENANGANDAN/ATAU PEMBERIAN KUASA MENTERI NEGARA BADAN USAHA MILIK NEGARASEBAGAI WAKIL PEMERINTAH SELAKU PEMEGANG SAHAM/RUPS PADAPERUSAHAAN PERSEROAN (PERSERO) DAN PERSEROAN TERBATAS SERTAPEMILIK MODAL PADA PERUSAHAAN UMUM (PERUM) KEPADA DIREKSI, DEWANKOMISARIS/DEWAN PENGAWAS DAN PEJABAT ESELON I DI LINGKUNGANKEMENTERIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (selanjutnya disebut “KeputusanMBUMN No.236/MBU/2011”). Dari konsiderans Keputusan MBUMN No.236/MBU/2011 tersebutdapat terlihat bahwa pertimbangan yang dipakai untuk menetapkankeputusan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:1) bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan

anggaran dasar Perusahaan, MBUMN memiliki kedudukan, tugas dankewenangan sebagai wakil Pemerintah selaku pemegang saham/RUPSpada Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perseroan Terbatasserta pemilik modal pada Perusahaan Umum (Perum);

2) bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pengurusan BUMN,perlu mendelegasikan dan/atau memberikan kuasa atas sebagiankewenangan MBUMN sebagaimana dimaksud dalam angka 1 tersebutdi atas kepada Direksi, Dewan Komisaris/Dewan Pengawas danPejabat Eselon I di Lingkungan Kementerian Badan Usaha MilikNegara;

3) bahwa kewenangan yang didelegasikan dan/atau dikuasakan kepadaDireksi dan/atau Dewan Komisaris/Dewan Pengawas sebagaimanadimaksud pada huruf b, disamping karena pertimbanganefektifitas, juga karena pertimbangan bahwa hal-hal tersebutdianggap tidak “sangat strategis”;

1

4) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada angka1, 2 dan 3 tersebut di atas perlu menetapkan Keputusan MBUMNNo.236/MBU/2011 (isi pertimbangan angka 4 diringkas oleh penulis).

Pertimbangan yang dipakai oleh MBUMN tersebut menjadimenarik untuk dikaji lebih lanjut oleh karena bentuk KeputusanMBUMN No.236/MBU/2011 merupakan bentuk kebijakan yang dalam HukumAdministrasi Negara digolongkan sebagai instrumen yuridis yangberupa beleidsregel (peraturan kebijakan) sebagai alat/perangkatyang dapat dipakai oleh administrasi negara atau pemerintah untukmelaksanakan tugas utamanya dalam sebuah negara yang menganutkonsep Negara kesejahteraan (Welvaartstaat), yaitu mewujudkanbestuurszorg (kesejahteraan masyarakat). Peraturan kebijakanmerupakan bentuk instrumen yuridis yang berkaitan erat denganpenerapan kewenangan bebas (freies ermessen) sebagai wewenang istimewayang hanya dimiliki oleh pemerintah untuk bertindak atas dasarpertimbangan yang lebih mementingkan tujuan (doelmatigheid) daripadahukum (rechtsmatigheid). Dalam proses pengambilan keputusan yangdidasarkan atas pertimbangan yang mementingkan tujuan inilahseringkali timbul berbagai keraguan mengenai apakah kebijakanyang diambil dengan alasan untuk lebih mementingkan efisiensi danefektifitas tersebut merupakan keputusan yang tepat sebagai upayauntuk mencapai tujuan. Hal ini disebabkan oleh karena kewenangandiskresi (Discretionary Power) yang dimiliki oleh pemerintah atasdasar kewenangan bebas (vrije bevoegheid/freies ermessen) tersebut di atasdapat bersifat subyektif, bergantung kepada pengetahuan,keahlian, kebijaksanaan dan karakter dari aparatpemerintah/administrasi Negara pengambil keputusan tersebut. Terlepas dari keraguan tersebut di atas hal lain yanglebih penting untuk dikaji adalah apakah pembentukan danpenetapan kebijakan tersebut sudah memenuhi persyaratan legalitassebagaimana diatur dalam Hukum Administrasi Negara. Hal inisenantiasa penting untuk dikaji oleh karena banyaknya jumlahKeputusan aparat pemerintah/administrasi Negara Indonesia yangberpengaruh terhadap pembangunan dan upaya pencapaian ke arahmasyarakat yang sejahtera, adil dan makmur yang telah dibuat olehPemerintah. Hal tersebut pula yang telah menyebabkan bahwaPeraturan Perundangan-undangan Hukum Administrasi di Indonesiayang masih sangat sektoral (Bijzondere Bestuurswetten) (PhilipusM.Hadjon, et.al, 2010:17-18), mengakibatkan tidak adanya standardbaku menyangkut konsep istilah di bidang hukum administrasi, asasmaupun konsep, tidak terdapatnya sinkronisasi asas hukum

2

administrasi, tidak terdapat pemahaman yang sama menyangkutkonsep-konsep dalam hukum administrasi. Alasan utama yang melatar belakangi pengkajian terhadapKep MBUMN No.23/MBU/2011 ini adalah selain hanya merupakansebagai sebuah contoh peraturan kebijakan sebagaimana dimaksuddalam Hukum Administrasi Negara (Peter Cane menyebut jenisperaturan serupa ini sebagai soft law, (Peter Cane, 2011:12)),keputusan ini juga mempunyai dampak dalam proses pengambilankeputusan di 141 (sekarang telah menjadi 140) Badan Usaha MilikNegara di Indonesia, yang merupakan pengelola utama segala macamusaha yang terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak. Hallain yang juga menjadi alasan disamping kedua alasan tersebut,adalah, Kep. MBUMN No.236/MBU/2011 juga merupakan contoh terkinidari sebuah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/administrasiNegara yang mempunyai dampak dalam proses pengambilan keputusandi Badan Usaha Milik Negara.

B. PERATURAN KEBIJAKAN DALAM KONTEKS HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

B.1 PERATURAN KEBIJAKAN

Indonesia adalah Negara yang menganut konsep NegaraKesejahteraan (Welvaartstaat) sebagaimana terungkap dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan sebagaiberikut:“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yangmelindungisegenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukankesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakanketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilansosial (huruf merah oleh penulis), maka disusunlah kemerdekaan kebangsaanIndonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentukdalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat denganberdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalampermusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagiseluruh rakyat Indonesia.”

Dari kalimat yang diberi warna merah tersebut di atas terlihatjelas bahwa pembentukan pemerintahan Negara Indonesia yangbertujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia, untukmemajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan

3

seterusnya, menyatakan secara tegas bahwa Indonesia menganutkonsep Negara Kesejahteraan. Konsep ini merupakan konsep yanglahir sebagai bentuk perlawanan terhadap Negara Penjaga Malam(Nachtwakerstaat), dimana pemerintah tidak ikut campur tangan(staatsonthouding) terhadap kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat(Ridwan HR, 2011:14). Keikut-sertaan pemerintah dalam kehidupanekonomi dan sosial masyarakat Indonesia ini (staatsbemoeinis) membawakonsekwensi bahwa pemerintah harus diberikan ruang gerak untukmelakukan/melaksanakan tugasnya secara bebas. Oleh undang-undangruang gerak untuk bertindak secara bebas ini merupakan wewenangistimewa yang hanya dimiliki oleh aparat pemerintah dalammelaksanakan tugas-tugasnya demi tercapainya masyarakat yangadil, makmur dan sejahtera. Wewenang istimewa tersebut merupakankewenangan bebas (vrijbevoegheid, freies ermessen) yang hanya dapatdiperoleh dari undang-undang. Kewenangan ini membantu pemerintahuntuk melaksanakan tugas utamanya yaitu membantu masyarakatmencapai kesejahteraan bersama. Disamping sebagai Negara yang menganut konsep Welvaartstaat,Indonesia juga merupakan Negara hukum. Hal tersebut jelasterlihat dari kata-kata selanjutnya dalam alinea 4 Undang-UndangDasar 1945 yang menyatakan bahwa:“…maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia,…”.Konsekuensi dari pernyataan tersebut di atas memberikan artibahwa landasan kehidupan Negara Indonesia adalah hukum (azaslegalitas), sehingga seluruh tindakan yang dilakukan olehpemerintah dalam melaksanakan tugas utamanya juga harusdidasarkan pada hukum yang tertuang didalam konstitusi Negara RI. Sebagai akibat dari konsepsi Welvaartstaats dan azas legalitastersebut, pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dibekali denganberbagai perangkat/instrumen yuridis oleh undang-undang yangdapat berbentuk peraturan perundang-undangan, keputusan tatausaha negara, peraturan kebijakan, rencana-rencana, perizinan daninstrumen hukum keperdataan (Ridwan, 2011:125-217). Sebelum lebihjauh, perlu ditegaskan bahwa pengertian pemerintah dalam kaitandengan pembahasan makalah ini adalah pemerintah dalam arti sempit(pemegang kekuasaan eksekutif), pengertian ini berbeda denganpengertian pemerintah dalam arti luas sesuai dengan teoripemisahan kekuasaan Trias Politica (Montesquieu), yang mencakupkekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Di antara berbagai instrumen yuridis tersebut di atas,peraturan kebijakan merupakan peraturan yang dikatakan semacamhukum bayangan dari undang-undang atau hukum (pseudo-wetgeving).

4

(Ridwan, 2011:175) Kebijakan disebut sebagai peraturan bayanganoleh karena peraturan ini merupakan produk dari perbuatan tatausaha Negara yang bertujuan menampakkan keluar suatu kebijakantertulis (naar buiten gebracht schriftelijk beleid), oleh karena itu peraturankebijakan bukan merupakan peraturan perundang-undangan (PhilipusHadjon, 1994:152-153). Peraturan ini dapat berbentuk garis-gariskebijakan (beleidslijnen), het beleid (kebijakan), peraturan-peraturan(voorschriften), pedoman-pedoman (richtlijnen), petunjuk-petunjuk(regelingen), surat edaran (circulaires), resolusi-resolusi (resoluties),instruksi-instruksi (aanschrijvingen), nota kebijakan (beleidsnota),peraturan-peraturan menteri (reglemen-ministriele), keputusan-keputusan(beschikkingen), dan pengumuman-pengumuman (bekenmakingen) (Ridwan,2011:174). Keseluruhan bentuk peraturan kebijakan tersebut diatas disebut sebagai Beleidsregel. Ridwan lebih lanjut menyatakan bahwa secara praktiskewenangan diskresioner administrasi Negara yang kemudianmelahirkan peraturan kebijakan, mengandung dua aspek pokok yaitu:pertama, kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenangyang dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya. Aspek pertamaini lazim dikenal dengan kebebasan menilai yang bersifatobyektif. Kedua, kebebasan untuk menentukan sendiri dengan carabagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki administrasi Negaraitu dilaksanakan. Aspek kedua ini dikenal dengan kebebasanmenilai yang bersifat subyektif (Ridwan, 2011:175). Dari keduaaspek tersebut dapat disimpulkan bahwa peraturan kebijakanberkaitan dengan wewenang yang dimiliki oleh administrasi Negara,namun wewenang tersebut bukan merupakan wewenang yang berasaldari peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh badan yangmemegang kekuasaan legislatif. Hal tersebut jelas terlihat dalampendapat P.J.P Tak yang menjelaskan sebagai berikut:“Peraturan kebijakan adalah peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansipemerintahan berkenaan dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadapwarga Negara atau terhadap instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturantersebut tidak memiliki dasar yang tegas dalam UUD dan undang-undang formal baiklangsung maupun tidak langsung. Artinya peraturan kebijakan tidak didasarkan padakewenangan pembuatan undang-undang-dan oleh karena itu tidak termasuk peraturanperundang-undangan yang mengikat umum- tetapi dilekatkan pada wewenangpemerintahan suatu organ administrasi Negara dan terkait dengan pelaksanaankewenangannya”. (P.J.P. Tak sebagaimana dikutip oleh Ridwan,2011:176) Selanjutnya untuk dapat membedakan peraturan perundang-undangan yang termasuk dalam undang-undang formal sebagaimanadimaksud oleh P.J.P Tak dan peraturan kebijakan, ciri-ciri

5

sebagaimana dikemukan oleh J.H. van Kreveld, Bagir Manan dan A.Hamid. S. Attamimi (Ridwan, 2011: 178-180) dapat menjadi tolokukur untuk membedakan apakah suatu keputusan termasuk dalampengertian undang-undang formal ataupun peraturan kebijakan.Ciri-ciri peraturan kebijakan menurut van Kreveld antara lainadalah:1. Peraturan itu langsung ataupun tidak langsung, tidak

didasarkan pada ketentuan undang-undang formal atau UUD yangmemberikan kewenangan mengatur, dengan kata lain peraturan itutidak ditemukan dasarnya dalam undang-undang;

2. Peraturan itu tidak tertulis dan muncul melalui serangkaiankeputusan-keputusan instansi pemerintah dalam melaksanakankewenangan pemerintahan yang bebas terhadap warga Negara, atauditetapkan secara tertulis oleh instansi pemerintah tersebut;

3. Peraturan itu memberikan petunjuk secara umum, dengan katalain tanpa pernyataan dari individu warga Negara mengenaibagaimana instansi pemerintahan melaksanakan kewenanganpemerintahannya yang bebas terhadap setiap individu wargaNegara yang berada dalam situasi yang dirumuskan dalamperaturan itu.

Bagir Manan menyatakan bahwa ciri-ciri peraturan kebijakan adalahsebagai berikut:1. Peraturan kebijakan bukan merupakan peraturan perundang-

undangan;2. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan

perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturankebijakan;

3. Peraturan kebijakan tidak dapat diuji secara wetmatigheid,karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undanganyang membuat keputusan peratuan kebijakan tersebut;

4. Peraturan kebijakan dibuat berdasarkan Freies Ermessen danketiadaan wewenang adminsitrasi bersangkutan membuat peraturanperundang-undangan.

5. Pengujian terhadap peraturan kebijakan lebih diserahkan padadoelmatigheid dan karena itu batu ujinya adalah asas-asas umumpemerintahan yang baik.

6. Dalam praktik diberi format dalam berbagai bentuk dan jenisaturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumumandan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.

A.Hamid S. Atamimi membahas mengenai ciri-ciri peraturanperundang-undangan dengan menyebutkan secara langsung baik

6

persamaan maupun perbedaan di antara keduanya. Menurut A.Hamid S.Atamimi persamaan peraturan perundang-undangan dan peraturankebijakan adalah sebagai berikut:1. Aturan yang berlaku umum

Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan mempunyaiadresat atau subyek norma dan pengaturan perilaku atau objeknorma yang sama, yaitu bersifat umum dan abstrak;

2. Peraturan yang berlaku “ke luar”

Peraturan perundang-undangan berlaku ‘ke luar’ dan ditujukankepada masyarakat umum (naar buiten werkend, tot een ieder gericht),demikian juga peraturan kebijakan berlaku ‘ke luar’ danditujukan kepada masyarakat umum yang bersangkutan.

3. Kewenangan pengaturan yang bersifat umum/publik

Peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakanditetapkan oleh lembaga/pejabat yang mempunyai kewenanganumum/publik untuk itu.

Sedangkan perbedaan yang jelas terlihat di antara peraturanperundang-undangan dan peraturan kebijakan menurutA.Hamid.S.Atamimi adalah sebagai berikut:1. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fungsi

Negara;2. Fungsi pembentukan peraturan kebijakan ada pada pemerintah

dalam arti sempit (eksekutif).3. Materi muatan peraturan perundang-undangan berbeda dengan

materi muatan peraturan kebijakan.4. Sanksi dalam peraturan perundang-undangan memiliki sanksi

pidana dan sanksi pemaksa yang jelas mengurangi dan membatasihak-hak asasi warga Negara dan penduduk. Sedangkan peraturankebijakan hanya dapat mencantumkan sanksi administratif bagipelanggaran ketentuan-ketentuannya (parafrase oleh penulis).

Mengenai kekuatan mengikat dari peraturan kebijakan BagirManan berpendapat bahwa peraturan kebijakan sebagai ‘peraturan’yang bukan peraturan perundang-undangan tidak langsung mengikatsecara hukum, tetapi mengandung relevansi hukum. Peraturankebijakan pada dasarnya ditujukan kepada administrasi Negarasendiri (Ridwan, 2011:181).

7

B.2 KEP. MBUMN NO.236/MBU/2011 SEBAGAI PERATURAN KEBIJAKAN

Dari ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, Kep. MBUMNNo.236/MBU/2011 dapat digolongkan menjadi peraturan kebijakanoleh karena:1. Tidak dibuat oleh badan kenegaraan yang memiliki kekuasaan

legislatif, sehingga tidak dapat disebut sebagai peraturanperundang-undangan.

2. Materi muatan dalam Kep.MBUMN mengandung materi muatan yangberhubungan dengan keputusan-keputusan dalam arti beschikkingen(keputusan tata usaha Negara yang bersifat individual dankonkrit). Individualitas Kep MBUMN terlihat dari substansikeputusan tersebut yang diberlakukan bagi seluruh BUMN diIndonesia, bukan bagi seluruh rakyat Indonesia, sekalipunberdampak secara tidak langsung bagi rakyat Indonesia.Sedangkan konkritisasi dari Kep.MBUMN tersebut jelas terlihatdalam materi muatan yang ditetapkan oleh Kep.MBUMN tersebutyaitu masalah pendelegasian sebagian wewenang Menteri NegaraBadan Usaha Milik Negara (MBUMN) sebagai wakil Negara yangbertindak selaku Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagaimanadiatur dalam Pasal 14 ayat 1 UU No.19 Tahun 2003 tentang BadanUsaha Milik Negara;

3. Kep.MBUMN tersebut secara jelas tidak mencantumkan mengenaimasalah sanksi sehingga dapat disimpulkan bahwa sanksi yangsecara tersirat terkandung didalamnya hanyalah merupakansanksi administrasi.

Oleh karena Kep.MBUMN No.236/MBU/2011 ini merupakanperaturan kebijakan dan dengan demikian pembentukannya lebihmemperhatikan aspek doelmatigheid (tujuan yang ingin dicapai), makauntuk mengujinya adalah dengan asas-asas umum pemerintahan yangbaik (AAUPB), khususnya larangan penyalahgunaan wewenang(detournement de pouvoir) dan asas larangan sewenang-wenang (willekeur).

C. ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

8

Untuk mulai memahami mengenai Asas-asas Umum Pemerintahanyang Baik, pembahasan sebaiknya dimulai dengan menjelaskan latarbelakang yang menjadi penyebab timbulnya kesadaran masyarakat danpemerintah terhadap berbagai prinsip/asas yang bermuara padaetika dan moral yang jauh melebihi prinsip atau kaidah hukumtertentu. Prinsip/asas ini pada akhirnya menjadi ukuran terhadaptindakan pemerintah yang dilakukan karena adanya kewenangan bebas(Freies Ermessen) atau kewenangan diskresi (discretionary power) sebagaiwewenang istimewa yang diperoleh pemerintah dari undang-undang. Dalam sebuah Negara yang menganut prinsip Negara hukummaterial (Negara hukum kesejahteraan/Welvaartstaat), pemerintahmempunyai tugas utama yaitu menyelenggarakan kesejahteraan umum(bestuurszorg). Negara hukum material ini merupakan solusi bagikegagalan penerapan prinsip Negara hukum formal (Nachtwakerstaat)dimana pemerintah hanya berfungsi untuk menjaga keamanan danketertiban saja. Kondisi Negara dimana pemerintah hanya berfungsiuntuk menjaga keamanan dan ketertiban tersebut telah menimbulkanjurang yang dalam antara golongan masyarakat kaya dan miskin.Terbaginya masyarakat kedalam dua kelompok tersebut merupakanakibat dari sistem perekonomian liberal-kapitalis dimanamasyarakat diberikan kebebasan untuk berusaha dengan sebebas-bebasnya, dalam kondisi demikian tidak seluruh masyarakat akanmemperoleh keberhasilan yang sama sehingga menimbulkan perbedaanantara golongan masyarakat kaya karena berhasil didalam melakukanusahanya dan miskin karena kurang atau tidak berhasil dalamusahanya. Diantara kedua golongan tersebut jumlah golonganmasyarakat miskin melebihi jumlah masyarakat yang kaya sehinggamenimbulkan kekuatiran bagi golongan masyarakat yang kayatersebut akan terjadinya konflik vertikal yang tentunya akanmerugikan bagi golongan masyarakat kaya tersebut (Dr.Hotma P.Sibuea, SH., MH, 2010:58-60). Untuk mencegah timbulnya konfliktersebut maka lahirlah sebuah konsep Negara hukum material,dimana tujuan utama yang ingin dicapai oleh masyarakat adalahkesejahteraan bersama bagi seluruh masyarakat (bestuurszorg). Konsekuensi dari dianutnya konsep Negara Hukum Materialatau Negara Kesejahteraan ini membuat pemerintah Negara tersebutberfungsi tidak saja sebagai penguasa namun juga sebagai pelayanmasyarakat oleh karena tujuan yang ingin dicapai adalahkesejahteraan bagi segenap rakyat Negara tersebut (Hotma Sibuea,SH.MH., 2010:63). Dalam kondisi yang demikian, dan dengan semakinberkembangnya kebutuhan masyarakat sesuai dengan kebutuhan jaman,fungsi pemerintah sebagai pelayan masyarakat lebih didahulukandibandingkan dengan fungsinya sebagai penguasa (Hotma Sibuea,

9

SH.MH., 2010:64). Untuk menjalankan peran tersebut secara efektifdan efisien pemerintah perlu diberikan kebebasan untuk bertindak.Tindakan mana tidak melulu merupakan bagian dari pelaksanaansuatu ketentuan perundangan namun juga dalam upaya mengantisipasikebutuhan masyarakat yang belum diatur secara tegas dalam suatuperundang-undangan tertentu. Oleh karena itu perundang-undangansekalipun tidak selalu secara eksplisit mengatur dalam ketentuan-ketentuannya, namun juga secara implisit/tersirat mengatur danmemberikan kewenangan istimewa untuk bertindak kepada pemerintah.Kewenangan istimewa ini terwujud dalam kewenangan bebas(discretionary power) atau kebebasan bertindak (freies ermessen) yang hanyadimiliki oleh pemerintah.

C.1 FREIES ERMESSEN ATAU DISCRETIONARY POWER

Freies Ermessen atau Discretionary Power sebenarnya bukan sematamerupakan monopoli kewenangan yang hanya dimiliki oleh pemerintahdalam arti sempit (pemerintah pemegang kekuasaan eksekutif),namun juga dimiliki oleh hakim dalam lembaga peradilan (kekuasaanyudikatif). Namun dalam penerapannya berbeda dengan penerapankewenangan bebas seperti dalam Hukum Administrasi Negara.Kewenangan bebas yang dimiliki oleh hakim dalam lembaga peradilanadalah kewenangan untuk menyelesaikan sengketa dan memutus suatuperkara berdasarkan kepada pengetahuan, wawasan dan kebijaksanaanhakim. Namun dalam pembahasan makalah ini selanjutnya, fokuspembahasan akan lebih diarahkan kepada pengertian kewenanganbebas (discretionary power) atau kebebasan bertindak (freies ermessen)dari perspektif Hukum Administrasi Negara, yaitu sebagaikewenangan bebas yang dimiliki oleh pemerintah dalam arti sempit. Ridwan HR menyamakan pengertian Freies Ermessen dan DiscretionaryPower dalam pembahasannya mengenai Freies Ermessen (Ridwan HR.,2011:169). Dikatakannya, kata Freies mengandung arti orang yangbebas, tidak terikat, dan merdeka. Sedangkan Ermessen berarti,mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. SehinggaFreies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai,menduga, dan mempertimbangkan sesuatu. Apabila pengertiantersebut diterapkan dalam bidang pemerintahan akan diartikansebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagipejabat atau badan-badan administrasi Negara untuk melakukantindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang(Ridwan, HR, idem). Tidak terikat sepenuhnya pada undang-undangmengandung arti yang jelas bahwa tindakan tersebut tetap harus

10

seiring dengan undang-undang yang mendasari tindakan atas dasarkewenangan bebas tersebut. Namun yang menjadi ciri utama dari Freies Ermessen atauDiscretionary Power ini adalah bahwa tindakan pemerintah atas dasarkewenangan bebas tersebut lebih mengutamakan keefektifantercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) daripada berpegang teguhkepada ketentuan hukum, atau kewenangan yang sah untuk turutcampur dalam kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugasmenyelenggarakan kepentingan umum (Nana Saputra sebagaimanadikutip oleh Ridwan, HR, 2011:170). Sehingga keputusan yangdiambil oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan tugas tersebutlebih mengutamakan pencapaian tujuan atau sasarannya(doelmatigheid) daripada sesuai dengan hukum yang berlaku(rechtmatigheid) (Ridwan, HR, 2011:170). Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur Freies Ermessendalam suatu Negara hukum yaitu sebagai berikut:a. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik;b. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi Negara;c. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum;d. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri;e. Sikap tindak itu dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-

persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba;f. Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral

kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum.(Sjachran Basah sebagaimana dikutip oleh Ridwan, HR, idem). Dari unsur-unsur tersebut dapat terlihat bahwa Freies Ermessenmerupakan suatu upaya terobosan untuk mengisi kekurangan dankelemahan dari konsep yang terdapat dalam Negara Penjaga Malamdimana azas legalitas menjadi ciri utama dalam pelaksanaan tugaspemerintah Negara tersebut. Hal ini jelas terlihat dari unsur-unsur dimana pemerintah bertindak aktif atas dasar inisiatifnyasendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting dalammasyarakat yang timbul secara tiba-tiba dalam rangka melaksanakanfungsi sebagai pelayan masyarakat. Tindakan mana sudah seharusnyadapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada Tuhan YME. Ridwan, HR (2011:171) selanjutnya menyatakan bahwa:“Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, freies ermessen dilakukan olehadministrasi negara dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentangpenyelesaian in concreto (tertulis in konkrito, koreksi olehpenulis) terhadap suatu masalah tertentu, padahal masalah tersebutmenuntut penyelesaian yang segera. Misalnya: dalam menghadapisuatu bencana alam ataupun wabah penyakit menular, maka aparat

11

pemerintah harus segera mengambil tindakan yang menguntungkan bagiNegara maupun bagi rakyat, tindakan mana semata-mata timbul atasprakarsa sendiri.

b. Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar berbuat aparatpemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya. Misalnya dalampemberian izin berdasarkan Pasal 1 HO, setiap pemberi izin bebasuntuk menafsirkan pengertian “menimbulkan keadaan bahaya” sesuaidengan situasi dan kondisi daerah masing-masing.

c. Adanya delegasi perundang-undangan, maksudnya aparat pemerintahdiberi kekuasaan untuk mengatur sendiri, yang sebenarnya kekuasaanitu merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya.Misalnya dalam menggali sumber-sumber keuangan daerah. Pemerintahdaerah bebas untuk mengelolanya asalkan sumber-sumber itumerupakan sumber yang sah.”

Dari penjelasan yang diberikan oleh Ridwan HR tersebut diatas jelaslah bahwa pemerintah dalam menerapkan freies ermessen(discretionary power) tidak dapat melakukan tindakan yang sebebas-bebasnya yang pada akhirnya menjurus kepada tindakan sewenang-wenang (abuse of power/willekeur) atau menyalahgunakan wewenang yangdimilikinya (detournement de pouvoir) ataupun melakukan pelanggaranhukum (onrechtmatige overheids daad). Ketiga hal tersebut di atasmerupakan persyaratan kondisional yang harus ada sebelumpemerintah menerapkan kewenangan bebasnya (Hotma Sibuea,2010:73). Tindakan atas dasar kewenangan bebas/diskresi tersebuttetap harus dibatasi baik dengan pertimbangan berdasarkan asas-asas hukum yang ada, dan apabila pertimbangan hukum tersebuttidak ada, tindakan pemerintah tersebut tetap harus dapat diujiterhadap norma-norma kelayakan dan kepatutan (Hotma Sibuea,2010:74). Tindakan atas dasar diskresi terbagi menjadi diskresibebas dan diskresi terikat (Prajudi Atmosudirjo, 1981:70).Diskresi bebas merupakan suatu diskresi dimana undang-undanghanya dapat menetapkan batas, dan administrasi Negara bebasmengambil keputusan apa saja asalkan tidak melampaui/melanggarbatas-batas tersebut. Sedangkan diskresi terikat merupakandiskresi dimana undang-undang menetapkan alternatif, danpemerintah bebas untuk memilih salah satu alternatif. Baik kedua macam diskresi tersebut mengandung risikodimana pemerintah dapat bertindak melebihi batas-batas wewenangyang dimilikinya bahkan sampai berhadapan langsung dengan masalahhak-hak asasi manusia. Risiko ini sejak awal merupakanpertimbangan dari konsep Negara hukum, dimana asas legalitas yangmewajibkan bahwa setiap tindakan baik yang dilakukan olehpemerintah maupun masyarakat harus berdasarkan kepada ketentuan

12

undang-undang, menjadi asas utama dalam pelaksanaan tugaspemerintah sebagaimana dilakukan dalam sebuah Negara yangmenganut konsep Negara Penjaga Malam (Prajudi Atmosudirjo, idem).Untuk mengatasi masalah yang dilematis tersebut maka untukmenjaga agar tindakan pemerintah dalam sebuah Negara yangmenganut konsep Negara Kesejahteraan tetap dapatdipertanggungjawabkan, diperkenalkanlah asas-asas yang disebutsebagai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.

C.2 ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK DALAM PELAKSANAANTUGAS PEMERINTAHAN SEBUAH NEGARA KESEJAHTERAAN

C.2.a Pengertian

Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) merupakanasas yang untuk pertama kali diperkenalkan di Belanda ketikapemerintah Belanda untuk pertama kali menugaskan kepada sebuahkomisi yang dipimpin oleh de Monchy (1946) untuk memikirkan danmeneliti beberapa alternatif yang dapat meningkatkanperlindungan hukum bagi masyarakat dari tindakan pemerintahyang menyimpang (Verhoogde Rechtsbescherming) (Ridwan, HR,2011:231). Hal ini dilakukan oleh pemerintah Belanda setelahmenyadari bahwa dalam rangka melaksanakan tugasmenyelenggarakan kepentingan umum, dengan kewenangan diskresiyang dimilikinya, tidak jarang muncul peluang dimana terjadibenturan antara kepentingan pemerintah untuk melaksanakantugas-tugasnya dan hak-hak masyarakat yang pada akhirnyamenimbulkan penyimpangan seperti onrechtmatige overheidsdaad,detournement de pouvoir, dan willekeur (Ridwan HR, idem). Pada tahun 1950 komisi de Monchy merumuskan hasilpenelitian yang dilakukannya menjadi Asas-Asas UmumPemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur).Sayangnya, hasil penelitian ini tidak seluruhnya diterima olehpemerintah Belanda, yang kemudian membentuk komisi van de Grentenyang mendapat tugas serupa seperti komisi de Monchy. Komisi vande Grenten mengalami nasib yang sama dengan komisi de Monchy,dimana hasil penelitiannya tidak sepenuhnya dapat diterimaoleh pemerintah Belanda oleh karena adanya beberapa perbedaanpendapat. Sekalipun demikian hasil penelitian yang dilakukanoleh komisi de Monchy tersebut tetap dipakai sebagaipertimbangan dalam putusan-putusan Raad van State dalam perkaraadministrasi Negara (Ridwan, HR., 2011:231-232).

13

Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik oleh Ridwan, HRdidefinisikan sebagai:“asas-asas umum yang dijadikan sebagai dasar dan tata cara dalam penyelenggaraanpemerintahan yang baik, yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itumenjadi baik, sopan, adil dan terhormat, bebas dari kezaliman, pelangaran peraturan,tindakan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.” (Ridwan, HR.,2011: 234).Kata “asas-asas” memberikan arti sebagai sesuatu yang bersifatmendasar, titik pangkal, yang bila dikaitkan dengan hukum makamerupakan peraturan hukum yang fundamental (Ten Bergesebagaimana dikutip oleh Ridwan, HR., 2011: 236). Oleh karenaitu secara samar sekalipun bukan merupakan peraturanperundangan-undangan yang memiliki sanksi hukum, asas-asas inimemiliki daya kerja mengikat secara umum. Pada dasarnya bagihakim asas-asas ini merupakan peraturan hukum tidak tertulispada pemerintahan yang berdasarkan hukum (Ten Bergesebagaimana dikutip oleh Ridwan, HR, 2011:237). Dari pengertian tersebut di atas jelas terlihat bahwaAsas-asas Umum Pemerintahan yang Baik merupakan norma-normahukum tidak tertulis yang harus ditaati oleh pemerintah dalammelaksanakan tugas-tugasnya. Asas-asas tersebut bukanmerupakan peraturan hukum, namun dari asas-asas tersebut dapatditerjemahkan ke dalam sebuah peraturan hukum tertulis.Sehingga dalam banyak peraturan perundang-undangan sebenarnyadapat disimpulkan adanya asas-asas tersebut yang tersirat dariketentuan-ketentuan tertentu yang terdapat dalam peraturantersebut. Tidak hanya itu saja asas-asas ini bukan melulumerupakan sesuatu yang abstrak, namun seringkali tertuangdalam ketentuan peraturan perundang-undangan bahkan dapat jugamemiliki sanksi hukum (Ridwan, HR., 2011: idem). Dalam praktek administrasi Negara/pemerintahan diIndonesia, asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang hampirserupa dengan AAUPB tertuang dalam Pasal 3 berikutpenjelasannya, UU No.28 Tahun 1999 tentang PenyelenggaraanNegara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, danNepotisme (KKN), yang menyebutkan sebagai berikut:1. Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam Negara hukum yang

mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraNegara.

2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, yaitu asas yang menjadilandasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalampengendalian penyelenggara Negara.

14

3. Asas Kepentingan Umum, yaitu asas yang mendahulukankesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif,dan selektif.

4. Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hakmasyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dantidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Negara dengantetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi,golongan, dan rahasia Negara.

5. Asas Proporsionalitas, yaitu asas yang mengutamakankeseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara Negara.

6. Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlianberlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7. Asas Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiapkegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara Negaraharus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat ataurakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Asas-asas sebagaimana disebutkan dalam UU No.28 tahun 1999tersebut di atas sebenarnya bukan merupakan Asas-asas UmumPemerintahan yang Baik (AAUPB) oleh karena asas-asas yangdisebutkan dalam undang-undang tersebut ditujukan kepadapenyelenggara pemerintahan secara keseluruhan ataupemerintahan dalam arti luas (sesuai dengan teori TriasPolitica dari Montesquieu). Sedangkan Asas-asas UmumPemerintahan yang Baik (AAUPB) ditujukan hanya kepadapemerintahan dalam arti sempit (bestuur) saja (Ridwan HR.,2011:242). Asas-asas sebagaimana disebutkan dalam UU No.28tahun 1999 tersebut di atas lebih tepat disebut sebagianasas/prinsip sebagaimana terdapat dalam Tata Kelola yang Baikatau lebih dikenal sabagai Good Governance. Khusus bagipenyelenggara Negara lebih spesifik disebut sebagai Good PublicGovernance. Perbedaan mendasar antara Asas-asas Umum Pemerintahanyang Baik dan prinsip-prinsip dalam Good Governance adalah padaadresat dari keduanya. AAUPB lebih ditujukan bagi pemerintahdalam arti sempit sedangkan dalam Good Governance tidak hanyaditujukan bagi pemerintah saja namun juga bagi masyarakat.Oleh karena itulah dalam Good Governance juga dikenal prinsippartisipasi, dimana partisipasi yang dimaksudkan adalahpartisipasi dari masyarakat untuk turut serta memberi masukankepada pemerintah agar dapat bekerja dengan lebih baik. Selain

15

itu dikenal juga prinsip transparansi dimana pemerintahdituntut untuk lebih terbuka dan jelas dalam setiap tindakanyang dilakukan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya untukmenyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Namun dalam penulisan ini prinsip-prinsip sebagaimanadikemukakan dalam Good Governance tidak akan dibahas lebih jauh.Fokus pembahasan dalam penulisan ini akan lebih diarahkankepada AAUPB sebagai asas-asas yang secara langsung berkaitanerat dengan peraturan kebijakan yang dibuat oleh pemerintahdalam rangka menerapkan kewenangan bebas (FreiesErmessen/Discretionary Power) yang dimilikinya. Ridwan, HR dengan mengutip Koentjoro Purbopranoto danSF Marbun (Ridwan HR, 2011:244) menyebutkan bahwa ada 13 macamasas dalam AAUPB. Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:1. Asas Kepastian Hukum (principle of legal security);2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality);4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation);6. Asas tidak mencampuradukan kewenangan (principle of non misuse of

competence);7. Asas permainan yang layak (principle of fair play);8. Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibit on of

arbitrariness);9. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar

(principle of meeting raised expectation);10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle

of undoing the consequences of an annulled decision);11. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi

(principle of protecting the personal way of life) (tertulis ‘may’, koreksipenulis);

12. Asas kebijaksanaan (sapientia);13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public

service).

Diantara ketiga belas asas tersebut ada juga tambahanasas yang belum terangkum diantaranya adalah asas larangansewenang-wenang (willekeur) dan asas larangan penyalahgunaankewenangan (detournement de pouvoir). Keseluruhan asas tersebutdapat digolongkan menjadi dua golongan asas, bila dikaitkandengan keputusan (beschikking) yang dibuat oleh pemerintah. Keduagolongan asas tersebut adalah asas-asas yang bersifat formalatau prosedural dan asas yang bersifat material atau

16

substansial (Ridwan, HR., 2011:243-244). Pembedaan asas-asaske dalam dua golongan tersebut selanjutnya menurut P.Nicolaisebagaimana dikutip Ridwan (2011:243) adalah penting karenauntuk perlindungan hukum. Golongan pertama merupakan asas yang bersifat formaldan berkaitan dengan prosedur yang harus dipenuhi dalam setiappembuatan keputusan. Asas-asas tersebut adalah asas kecermatandan asas permainan yang layak (fair play-beginsel) (Ridwan HR,2011:244). Oleh Indroharto sebagaimana dikutip Ridwan (idem),selain kedua asas tersebut berkaitan dengan proses persiapandan prosedur pembuatan sebuah beschikking penting jugadiperhatikan adalah asas-asas yang berkaitan denganpertimbangan (motivering) serta susunan keputusan. Sedangkangolongan kedua merupakan asas-asas yang bersifat material danberkaitan dengan masalah substansi Beschikking. Asas-asastersebut adalah asas kepastian hukum, asas persamaan, asaslarangan sewenang-wenang dan asas larangan penyalahgunaankewenangan (idem). Guna memahami mengenai masing-masing asas tersebut diatas, pembahasan mengenai setiap asas tersebut akan langsungdikaitkan dengan Kep.MBUMN No.236/MBU/2011. Hal inidimaksudkan agar penerapan lebih lanjut dari AAUPB dalamproses perumusan dan substansi dari keputusan tersebut dapatdibahas secara lebih terinci.

D. KEPUTUSAN MBUMN NO.236/MBU/2011 DAN PENERAPAN ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK

Sebagaimana telah dikemukakan di awal penulisan makalahini beberapa hal yang menjadi latar belakang dikeluarkannyakeputusan menteri BUMN ini dapat terlihat dari konsideranskeputusan tersebut yang secara ringkas dapat disebutkan sebagaiberikut:1. Adanya kedudukan, tugas dan kewenangan sebagai wakil

pemerintah selaku pemegang saham/RUPS pada PerusahaanPerseroan (Persero) dan Perseroan Terbatas serta pemilik modalpada Perusahaan Umum (Perum);

2. Keputusan ini dibuat dalam rangka meningkatkan efektifitaspengurusan BUMN. Upaya peningkatan mana dilakukan dengan caramendelegasikan dan/atau memberikan kuasa atas sebagiankewenangan Menteri Negara BUMN kepada Direksi, Dewan

17

Komisaris/Dewan Pengawas dan Pejabat Eselon I di LingkunganKementerian BUMN;

3. Kewenangan yang didelegasikan dan/atau dikuasakan kepadaDireksi dan/atau Dewan Komisaris/Dewan Pengawas sebagaimanadimaksud dalam angka 2 tersebut di atas, disamping karenapertimbangan efektifitas, juga karena pertimbangan hal-haltersebut dianggap tidak “sangat strategis”;

4. Karena ketiga alasan dan maksud tersebut di atas makakeputusan ini ditetapkan oleh MBUMN.

Bila Kep. MBUMN tersebut dibahas dengan asas-asas umumyang bersifat formal, untuk mengkaji mengenai prosedur pembuatankeputusan tersebut maka asas-asas yang diterapkan adalah asasbertindak cermat (principle of carefulness) dan asas permainan yang layak(principle of fair play). Asas bertindak cermat pada dasarnya menghendakiagar pemerintah atau administrasi bertindak cermat dalammelakukan berbagai aktivitas penyelenggaraan tugas-tugaspemerintahan, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi wargaNegara (Ridwan HR., 2011:248). Hotma Sibuea mengatakan bahwa: “Kerugian masyarakat dapat terjadi karena alasan sebagai berikut:1. Kerugian dapat timbul karena badan atau pejabat administrasi Negara melakukan suatu

tindakan tertentu.2. Kerugian dapat timbul karena badan atau pejabat administrasi Negara tidak melakukan

sesuatu tindakan yang seharusnya dilakukan.” (Hotma Sibuea, 2010:160).

Dari konsiderans Kep MBUMN dapat terlihat bahwa alasanuntuk membuat keputusan tersebut adalah untuk meningkatkanefektifitas pengurusan BUMN. Alasan tersebut merupakan sebuahtindakan yang dimaksudkan agar sebagai Badan Usaha yang sebagianatau seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara sebagaimana disebutkandalam Bab I Pasal 1 UU No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha MilikNegara yang menyatakan bahwa:Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN adalahbadan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimilikioleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal darikekayaan Negara yang dipisahkan, dapat melaksanakan tugasnyasecara efektif. Kata “Negara” bila diartikan kembali menurut pemahamanmengenai Negara dari segi unsur-unsur Negara yaitu unsur adanyarakyat, wilayah dan pemerintahan, maka kata “Negara” tersebut diatas mengacu kepada rakyat Indonesia yang menempati wilayahIndonesia dan memiliki sebuah pemerintahan yang disebutpemerintah Indonesia. Dengan demikian BUMN adalah badan usaha

18

yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh segenap rakyatyang menempati wilayah Indonesia dan memiliki sebuah pemerintahanyang disebut pemerintah Indonesia. Oleh karena itu disebutsebagai Badan Usaha Milik Negara.

Selain itu pengertian “kekayaan Negara yangdipisahkan” mengandung arti sebagai kekayaan negara yang berasaldari APBN atau perolehan lainnya yang sah yang dijadikanpenyertaan modal Negara pada BUMN (Tio S. Siahaan SH., LLM.,2007:3 dan angka 10 Bab I Pasal I UU No.19 Tahun 2003 tentangBUMN). Sebagai kekayaan Negara yang dipisahkan maka penyertaanmodal Negara pada BUMN juga tunduk pada Undang-Undang No.17 tahun1999 tentang Keuangan Negara dan dengan demikian dikelola olehMenteri Keuangan. Pengelolaan ini sebenarnya telah didelegasikankewenangannya kepada Menteri BUMN berdasarkan PeraturanPemerintah No.41 Tahun 2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugasdan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan Perseroan(Persero), Perusahaan Umum (PERUM) dan Perusahaan Jawatan(PERJAN) kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara.

Dengan demikian pengelolaan kekayaan Negara yangdipisahkan dalam BUMN dengan dikeluarkannya keputusan MBUMNNo.236/MBU/2011 dapat dilaksanakan secara lebih efektif.Bila dikaji dengan asas bertindak cermat sebagaimana merupakanbagian AAUPB, maka pembentukan dan penetapan Keputusan MBUMNNo.236/MBU/2011 tersebut sudah terpenuhi. Namun untuk membuktikanapakah ada potensi menimbulkan kerugian Negara atau tidak masihdiperlukan pengujian lebih lanjut dengan mengkaji laporankeuangan BUMN setelah keputusan ini diberlakukan dandilaksanakan.

Selanjutnya asas yang bersifat formal sebagaimanadigolongkan oleh P.Nicolai (sebagaimana dikutip Ridwan HR, 2011:243) untuk menguji keputusan MBUMN ini adalah asas permainan yanglayak (fair play). Asas ini menghendaki agar warga Negara diberikesempatan seluas-luasnya untuk membela diri dengan memberikanargumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkan putusan administrasi(Ridwan HR, 2011:255). Asas ini pada dasarnya lebih tepat untukditerapkan dalam hal keputusan MBUMN ini digugat dalam bandingadministrasi oleh karena asas ini berkaitan langsung denganpenyelesaian sengketa tata usaha Negara oleh karena asas inimenekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan dalam prosespenyelesaian sengketa tata usaha Negara (idem).

Asas-asas yang bersifat material dan berkaitan dengansubstansi suatu keputusan adalah asas kepastian hukum, asaslarangan kesewenang-wenangan, dan asas larangan penyalahgunaan

19

kekuasaan. Ridwan HR menyatakan bahwa asas kepastian hukummemiliki dua aspek, yang satu lebih bersifat hukum material, yanglain bersifat formal (Ridwan HR, 2011:245). Asas yang lebihbersifat hukum material berkaitan dengan asas kepercayaan, dimanaasas ini menghalangi pemerintah untuk menarik kembali suatukeputusan atau mengubahnya untuk kerugian pihak yang dikenaikeputusan tersebut. Dengan perkataan lain asas ini menghendakidihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatukeputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Asas tersebutsecara tegas menghalangi pemerintah untuk mencabut keputusan yangtelah dibuatnya (Ridwan HR, 2011:245-246). Berbeda dengan aspekyang lebih bersifat material, aspek yang lebih bersifat formaldari asas kepastian hukum adalah bahwa asas kepastian hukummembawa serta bahwa keputusan yang memberatkan dan ketentuan yangterkait pada keputusan-keputusan yang menguntungkan, harusdisusun dengan kata-kata yang jelas. Asas ini pada dasarnyamemberikan hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengantepat apa yang dikehendaki dari keputusan yang ditetapkantersebut. Asas ini selanjutnya berkaitan dengan prinsip dalamHukum Administrasi Negara yang berarti setiap keputusan yangdikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara adalahbenar menurut hukum, selama belum dibuktikan sebaliknya ataudinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan hukum olehhakim administrasi (Ridwan HR, 2011:246). Dengan demikianpenerapan asas kepastian hukum dalam Kep MBUMN No.236/MBU/2011tidak dapat segera dilakukan oleh karena asas ini juga berkaitandengan adanya gugatan terhadap suatu keputusan yang dikeluarkanoleh administrasi Negara / pemerintah. Namun secara tegas dengandikeluarkannya Kep MBUMN No.236/MBU/2011 tersebut memberikankepastian hukum kepada direksi, komisaris, dewan pengawas danpejabat eselon I di lingkungan kementerian Negara BUMN mengenaisebagian kewenangan-kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham yangdialihkan kepada mereka.

Asas lain yang berkenaan dengan substansi dari keputusanadalah asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement depouvoir). Sebelum menerapkan asas ini terhadap Kep MBUMNNo.236/MBU/2011, maka perlu dipahami pengertian dari wewenang itusendiri. Wewenang (bevoegdheid) dalam hukum administrasi Negaradiartikan sebagai keseluruhan hak dan kewajiban yang secaraeksplisit diberikan oleh pembuat undang-undang kepada subjekhukum publik. Dalam wewenang ini ada tugas (taak), hak (rechten),kewajiban (plichten), dan pertanggungjawaban (verantwoordelijkheid)(Ridwan HR, 2011:381-382). Dilihat dari segi operasional wewenang

20

adalah kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukumtertentu. Tindakan hukum ini adalah tindakan yang menimbulkan hakdan kewajiban, dalam hal keputusan hak dan kewajiban yangditimbulkan terutama bagi pihak yang dikenai keputusan (idem). Haltersebut disebabkan oleh karena wewenang yang dimiliki olehpemerintah bersifat prealabel dimana setiap keputusan yang dibuatatas dasar wewenang pemerintah tersebut tidak memerlukanpersetujuan dari pihak yang dikenai keputusan.

Selanjutnya setiap pemberian kewenangan selalu disertaidengan tujuan tertentu. Tujuan mana dapat diketahui dariketentuan mengenai pemberian wewenang tersebut (peraturan dasaryang memberikan kewenangan kepada administrasiNegara/pemerintah). Menyimpang dari tujuan pemberian kewenangantersebut diartikan sebagai penyalahgunaan wewenang (detournement depouvoir, het gebruiken van een bevoegheid voor een ander doel) (Ridwan HR, idem).Bila pengertian tersebut diterapkan terhadap Kep. MBUMNNo.236/MBU/2011, dan bila dikaji dari UU No.19 Tahun 2003 tentangBUMN, Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2003 tentang PelimpahanKedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada PerusahaanPerseroan (PERSERO), Perusahaan Umum (PERUM) dan PerusahaanJawatan (PERJAN) kepada Menteri Negara BUMN maka dalam Pasal 14UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN dinyatakan bahwa Kewenangan RUPSadalah sebagai berikut:“1) Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham

Persero dimiliki oleh Negara dan bertindak selaku pemegangsaham pada Persero da Perseroan Terbatas dalam hal tidakseluruh sahamnya dimiliki oleh Negara.

2) Menteri dapat memberikan kuasa dengan hak substitusikepada perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalamRUPS.

3) Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untukmengambil keputusan dalam RUPS mengenai:a. Perubahan jumlah modal;b. Perubahan anggaran dasar;c. rencana penggunaan laba;d. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta

pembubaran persero;e. investasi dan pembiayaan jangka panjang;f. kerjasama Persero;g. pembentukan anak perusahaan atau penyertaan;h. pengalihan aktiva.

21

Selanjutnya dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.41 Tahun2003 tentang Pelimpahan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan MenteriKeuangan Pada Perusahaan Perseroan (PERSERO), Perusahaan Umum(PERUM) dan Perusahaan Jawan (PERJAN) Kepada Menteri Negara BadanUsaha Miilik Negara disebutkan bahwa:“Kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri Keuangan yangdilimpahkan kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negarasebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah yang mewakiliPemerintah selaku:a. Pemegang Saham atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

sebagaimana diatur dalam Peratruan Pemerintah Nomor 12 Tahun1998 tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana telahdiubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2001 danPerseroan Terbatas yang sebagian sahamnya dimiliki oleh NegaraRepublik Indonesia;

b. Wakil Pemerintah pada Perusahaan Umum (PERUM) sebagaimanadiatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentangPerusahaan Umum (PERUM); dan

c. Pembina Keuangan pada Perusahaan Jawatan (PERJAN) sebagaimanadiatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2000 tentnagPerusahaan Jawatan (PERJAN).”

Dari Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentangPerusahaan Perseroan (PERSERO) Pasal 1 ayat 1 dapat diketahuibahwa pemegang saham Negara pada Perusahaan Perseroan adalahMenteri Keuangan. Wewenang inilah yang dengan PeraturanPemerintah No.41 Tahun 2003 tersebut di atas telah dialihkankepada Menteri Negara BUMN. Selanjutnya bila kita melihat tugasdari Kementrian badan Usaha Milik Negara sebagaimana tercantumdalam Pasal 656 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 47Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementrian Negara,adalah menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan badan usahamilik Negara dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalammenyelenggarakan pemerintahan Negara. Dengan demikian dariseluruh ketentuan yang berkaitan dengan wewenang dan tujuanpemberian wewenang kepada Menteri BUMN maka tindakan MBUMN untukmembentuk keputusan yang berkaitan dengan pendelegasian wewenangkepada direksi, komisaris, dewan pengawas dan pejabat eselon I diLingkungan Kementerian BUMN tersebut tidak melanggar asaslarangan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir). Asas lain yang berkenaan dengan asas yang bersifatmaterial adalah asas larangan sewenang-wenang (willekeur). Berbedadengan larangan penyalahgunaan wewenang, asas ini lebih berkaitan

22

dengan masalah diskresi dimana dalam melakukan suatu tindakanpemerintah sebenarnya memiliki berbagai alternative atau pilihanyang dapat dengan bebas diputuskannya. Hal ini disebabkan olehkarena kebebasan mengambil kebijakan (beleidsvrijheid) lahir kaetikapembuat undang-undang memberikan kewenangan kepada pejabat dalammelaksanakan kekuasaannya untuk melakukan inventarisasi danmempertimbangkan berbagai kepentingan. Konsep sewenang-wenang(willekeur) berkenaan dengan kewenangan diskresi tersebut. (RidwanHR, 2011:386). DJ Galligan sebagaimana dikutip oleh Ridwan HR(idem) mengatakan bahwa sewenang-wenang (arbitrariness) itu terkaitdengan pemberian alasan dalam proses pengambilan keputusan, dandianggap sebagai antithesis dari tindakan yang masuk akal.Rasionalitas merupakan syarat mendasar dalam setiap pengambilankeputusan, khusus yang didasarkan kepada diskresi (idem). Disiniasas rasionalitas atau kepantasan dijadikan dasar untuk mengujiapakah ada tindakan sewenang-wenang yang dilakukan olehpemerintah ketika membuat sebuah keputusan atau peraturankebijakan. Dalam hal keputusan MBUMN No.236/MBU/2011,rasionalitas atau kepantasan tersebut dapat terlihat dari alasanyang terdapat dalam konsiderans yang menyebutkan bahwa untukpeningkatan efektifitas pengurusan BUMN maka keputusan tersebutdibuat. Namun demikian bila dikaji lebih jauh adanya perkataanbahwa “disamping pertimbangan efektifitas, juga karenapertimbangan hal-hal tersebut dianggap tidak “sangat strategis””,menimbulkan ketidakjelasan mengenai rasionalitas atau kepantasantersebut. Hal ini disebabkan karena pertimbangan mengenai hal-halyang dianggap tidak “sangat strategis” tidak dijelaskan lebihlanjut dalam keputusan tersebut dan dapat menimbulkan berbagaiasumsi yang menganggap bahwa tidak “sangat strategis” sangattergantung dari pendapat subyektif Menteri BUMN selaku pemegangsaham dalam BUMN. Disinilah kekuatiran terhadap kecenderunganmempergunakan kewenangan diskresi kearah tindakan sewenang-wenangdapat terjadi. Dengan demikian untuk dapat sampai pada kesimpulanapakah Kep.MBUMN No.236/MBU/2011 ini tidak melanggar asaslarangan kesewenang-wenangan (willekeur) masih memerlukan pengkajianlebih jauh terhadap butir-butir wewenang yang didelegasikansebagaimana terdapat dalam lampiran Keputusan tersebut.

E. KESIMPULAN

Dalam sebuah Negara yang menganut konsep NegaraKesejahteraan (welvaarstaat) pemerintah dituntut untuk lebih

23

berperan aktif dalam menyelenggarakan kepentingan umum untukmencapai tujuan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Negaratersebut. Untuk melaksanakan peran tersebut peran asas legalitasyang mewajibkan bahwa setiap tindakan yang dilakukan baik olehpemerintah dan rakyat harus memiliki dasar hukum yang jelas,tidak dapat dijadikan sandaran utama oleh pemerintah. Haltersebut disebabkan oleh karena penerapan asas legalitasmengandung risiko yang memperlambat peran aktif pemerintah untukcampur tangan (staatsbemoienis) dalam menyelesaiakan berbagai masalahdalam masyarakat. Untuk itu pemerintah dibekali dengan kewenanganbebas (freies ermessen) atau kebebasan untuk bertindak (discretionarypower). Namun harus diingat keberadaan kewenangan bebas ini tidakberarti tanpa batas. Pertimbangan hukum dalam peraturanperundang-undangan yang menjadi dasar pemberian kewenangantersebut merupakan batas yang tetap harus diperhatikan dandiingat oleh pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugasnya.Sehingga dapat dikatakan bahwa eksistensi kewenangan bebas (freiesermessen) atau kebebasan bertindak (discretionary power) dalam sebuahNegara Kesejahteraan sebenarnya memperkaya pemahaman terhadapasas legalitas itu sendiri. Wujud kewenangan bebas atau kebebasan bertindak yangdimiliki oleh pemerintah dapat tertuang dalam berbagai bentukperaturan kebijakan seperti garis-garis kebijakan (beleidslijnen),kebijakan (het beleid), peraturan-peraturan (voorschriften), pedoman-pedoman (richtlijnen), petunjuk-petunjuk (regelingen), surat edaran(circulaires), resolusi-resolusi (resoluties), instruksi-instruksi(aanschrijvingen), nota kebijakan (beleidsnota’s), reglemen(ministriele/peraturan-peraturan menteri), keputusan-keputusan (beschikkingen),pengumuman-pengumuman (erbekenmakingen) (Ridwan HR, 2011:176).Peraturan kebijakan ini pada hakikatnya merupakan produk dariperbuatan tata usaha Negara yang bertujuan menampakkan keluarsuatu kebijakan tertulis (Philipus Hadjon sebagaimana dikutipoleh Ridwan HR, idem). Oleh karena itu peraturan kebijakan inibukan merupakan peraturan sebenarnya, peraturan ini hanyamerupakan perundang-undangan semu (pseudo wetgeving) atau peraturanbayangan (spiegelsrecht). Sebagai peraturan yang bukan merupakanperaturan yang sebenarnya maka peraturan kebijakan tidakmengutamakan asas sesuai dengan peraturan yang berlaku(rechtmatigheid), namun lebih mengutamakan asas kemanfaatan ataupencapaian tujuan (doelmatigheid). Oleh karena itu pengujianterhadap peraturan kebijakan ini tidak sepenuhnya dapat dilakukanhanya semata berdasarkan asas sesuai dengan peraturan yangberlaku tetapi juga diperlukan pengujian lain yang lebih

24

berkaitan dengan masalah moral dan etika yang berlaku dalammasyarakat. Pengujian serupa itu dilakukan dengan menerapkanAsas-asas Pemerintahan yang Baik (AAUPB). AAUPB merupakan asas-asas umum yang dijadikan sebagaidasar dan tata cara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik,yang dengan cara demikian penyelenggaraan pemerintahan itumenjadi baik, sopan, adil, dan terhormat, bebas dari kezaliman,pelanggaran peraturan, tindakan penyalahgunaan wewenang dantindakan sewenang-wenang (Ridwan HR, 2011:234). Dari pengertiantersebut di atas jelas terlihat bahwa AAUPB memiliki dimensi yanglebih luas dari sekedar kepatuhan terhadap hukum. Oleh karena ituAAUPB ini sangat tepat untuk diterapkan dalam pengujian terhadapperaturan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah atas dasarkewenangan bebas atau kebebasan bertindak yang dimilikinya. Sebagai sebuah peraturan kebijakan Kep. MBUMNNo.236/MBU/2011 dapat diuji dengan menerapkan asas-asassebagaimana terdapat dalam AAUPB. Apabila asas-asas yang bersifatformal diterapkan maka Kep MBUMN tersebut sudah sesuai denganasas bertindak cermat. Sedangkan terhadap asas permainan yanglayak (fair play), asas ini lebih sesuai untuk diterapkan apabilatimbul gugatan terhadap Kep.MBUMN itu sendiri. Selanjutnyaapabila asas-asas yang bersifat formal diterapkan terhadapKeputusan tersebut, asas kepastian hukum akan lebih sesuai untukditerapkan apabila ada upaya banding terhadap keputusan tersebut.Selanjutnya bila diuji terhadap asas larangan penyalahgunaanwewenang maka dalam Kep MBUMN tersebut tidak terjadi pelanggaranwewenang (detournement de pouvoir) oleh karena sudah sesuai denganperaturan dasar yang memberikan kewenangan tersebut dan tujuandari pemberian kewenangan tersebut sebagaimana diatur dalamperaturan dasarnya. Namun untuk penerapan asas larangankesewenang-wenangan, apabila pengkajian dilakukan lebih jauhterhadap pertimbangan-pertimbangan sebagaimana terdapat dalamkonsiderans Keputusan tersebut, masih perlu diperjelas dandiperbaiki oleh karena adanya perkataan tidak “sangat strategis”. Pengujian terhadap Kep MBUMN tersebut memang tidakdilakukan satu persatu terhadap keseluruhan asas-asas yangterdapat dalam AAUPB. Ada dua alasan mengapa hal tersebut tidakdilakukan, pertama, tidak seluruh asas dapat diterapkan dalammenguji Kep MBUMN tersebut oleh karena beberapa asas baru dapatditerapkan apabila timbul gugatan atau upaya bandingadministratif terhadap Keputusan tersebut. Kedua, pendapat paraahli dan juga pencantuman AAUPB dalam beberapa perundangan yangberkaitan dengan administrasi Negara seperti UU No.32 Tahun 2004

25

tentang Pemerintahan Daerah, dapat berbeda-beda. Sebagai contohdalam UU PEMDA tersebut juga disebutkan adanya asasakuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektifitas, sedangkanpendapat dari Koentjoro Purbopranoto, asas-asas sebagaimanaterdapat dalam UU PEMDA tersebut tidak disebutkan. Sekalipun demikian penerapan AAUPB untuk menguji berbagaiperaturan kebijakan dimana salah satu contohnya adalah Kep MBUMNNo.236/MBU/2011 sebagaimana dibahas dalam penulisan ini, dapatdilakukan. Hal tersebut disebabkan oleh karena AAUPB, padaakhirnya, dapat menjadi upaya peningkatan perlindungan hukum bagimasyarakat terhadap tindakan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

PERUNDANG-UNDANGAN

1. Undang-Undang No.19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha MilikNegara;

2. Undang-Undang No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara;3. Undang-Undang No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas;4. Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 2005 Tentang Penggabungan,

Peleburan, Pengambilalihan dan Perubahan Bentuk Badan UsahaMilik Negara;

5. Peraturan pemerintah No. 44 tahun 2005 Tentang Tata CaraPenyertaan dan Penata Usahaan Modal Negara pada BUMN danPerseroan Terbatas;

6. Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 2005 Tentang Pendirian,Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran BUMN;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2003 tentang PelimpahanKedudukan,Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan padaPerusahaan Perseroan (PERSERO), Perusahaan Umum (PERUM) danPerusahaan Jawatan (PERJAN) kepada Menteri Negara Badan UsahaMilik Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor : 82, TambahanLembaran Negara Nomor : 4305);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2005 tentang Tata CaraPrivatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran NegaraTahun 2005 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4528)sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59Tahun 2009 (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 136, TambahanLembaran Negara Nomor 5055);

26

9. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-01/MBU/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik(Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara.

10. Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor:KEP- 236/MBU/2011 Tentang Pendelegasian Sebagian Kewenangandan/atau Pemberian Kuasa Menteri Negara Badan Usaha MilikNegara Sebagai Wakil Pemerintah Selaku Pemegang Saham/RUPSPada Perusahaan Perseroan (Persero) dan Perseroan TerbatasSerta Pemilik Modal Pada Perusahaan Umum (PERUM) KepadaDireksi, Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan Pejabat Eselon IDi Lingkungan Kementerian Badan Usaha Milik Negara.

11. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentangPembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimanatelah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011;

12. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi,Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;

13. Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2011 TentangPembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II.

BUKU

1. Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 2011.2. Diana Halim, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, 2004.3. Drs. A.W. Widjaja, Etika Administrasi Negara, Jakarta: Bumi Aksara

1993.4. Dr. Munir Fuady, SH, MH, LL.M, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate

Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Bandung: Citra AdityaBakti, 2010.

5. Dr. Sadjijono, SH.M.Hum, Memahami Beberapa Bab Pokok HukumAdministrasi, Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2007.

6. Dr. Hotma P. Sibuea, SH, MH., Asas Negara Hukum, Perautran kebijakandan Asasa-asas Umum Pemerintahan yang Baik, Jakarta: Erlangga, 2010.

7. E.Utrecht, Pengantar hukuam Administrasi Negara Indonesia, cetakankeempat, Bandung:Unpad, 1960.

8. E.Utrecht/Moh.Saleh Djindang, SH, Pengantar Hukum AdministrasiNegara Indonesia, cetakan kesembilan, Jakarta: PT. Ichtiar Baru,1985

9. Gunawan Widjaja, Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT,Jakarta: Forum Sahabat, 2008.

27

10. Prof. Dr. Mr. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum AdministrasiNegara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.

11. Philipus M.Hadjon, et.al., Hukum Administrasi dan Good Governance,Surabaya: Universitas Trisakti, 2010.

12. Philipus M.Hadjon, et al., Pengantar Hukum administrasi Indonesia,Yogayakarta: Gadjah mada University Press, 1994.

13. Peter Cane, Administrasi Law, fifth edition, Oxford:Clarendon Law Series, Oxford University Press, 2011.

14. Prof. H.Amrah Muslimin, SH., Beberapa Azas-Azas dan Pengertian-Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Bandung:Alumni, 1982.

15. Ridwan, HR., Hukum Administrasi Negara, edisi revisi,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011.

16. Wiratno, Pengantar Hukum administrasi Negara, Jakarta: PenerbitUniversitas Trisakti, 2010.

MAKALAH, JURNAL dan Terbitan Lainnya

1. Penatausahaan Kekayaan Negara Dipisahkan, Modul Diklat Teknis Substansi Spesialisasi Pengelolaan Kekayaan Negara, Tio S.Siahaan, Departemen Keuangan RI, 2007.

2. Public Governance, Proceeding Diskusi Panel dan Workshop Konsep Pedoman Umum, Komite Kebijakan Governance, 2008.

3. Pedoman Umum Good Public Governance, Komite Nasional KebijakanGovernance, 2010.

4. Corporate Governance Self Assessment Checklist, Forum for Corporate Governance in Indonesia, 2002.

5. KONTAN, Mingguan Bisnis dan Investasi, Edisi 12, 18 Desember2011

6. Forum Keadilan, No.44/05- 11 Maret 2012.

28