Upload
independent
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Yunani Kuno juga tempat lahirnya filsafat sekuler barat.
Kita mengenal Socrates, Plato, dan Aristoteles (serta beberapa
filsuf pra-Sokrates) bergelut dengan banyak masalah dirawat di
buku ini. Plato berdiri sebagai pelopor suatu tradisi panjang
dalam filsafat yang kadang-kadang disebut rasionalisme atau
'Platonisme' (atau 'Platonisme, jika seseorang ingin sedikit
jarak dari sang pelopor tersebut).
Plato dan Aristoteles adalah ikatan Guru dan murid,
namun cara pandangnya berlainan, kalau plato lebih menekankan
pada ide sedangkan sedangkan Aristoteles pada logika. Plato
mengatakan bahwa setiap sesuatu yang dilihat hanya sebuah
pandangan semu, sekedar bayang-bayang bukan realita
Kebaikan dan keadilan terkandung di dalam tabiat itu
sendiri. Terdapat banyak kejahatan dan ketidakadilan di dalam
kehidupan. Akan tetapi, kesemuanya pada hakikatnya bersandarkan
kepada asas-asas kebaikan. Inilah elemen baik dan adil yang akan
disingkap oleh Plato, yang menjadi prinsip dalam memandu
kehidupan manusia.
Falsafah etika dan epistemologi Plato sangat erat
kaitannya. Hubungan antara kedua-duanya adalah jelas dalam
pandangan beliau, bahwa kejahatan itu berlaku karena kurangnya
ilmu pengetahuan. Bagi Plato, budi itu merupakan pengetahuan.
1
Jika seseorang manusia mengetahui apa tabiat kehidupan yang baik,
maka dia akan bersikap dan melakukan berdasarkan apa yang
diketahuinya. Bilamana seseorang itu mengetahui mana yang baik,
dia akan membuat perkara yang baik. Sebaliknya dengan melakukan
kejahatan pula akan terbukti kejahilannya.
Filsafat Aristoteles berkembang dalam tiga tahapan
yang pertama ketika dia masih belajar di Akademi Plato ketika
gagasannya masih dekat dengan gurunya, kemudian ketika dia
mengungsi, dan terakhir pada waktu ia memimpin Lyceum mencakup
enam karya tulisnya yang membahas masalah logika.
Meskipun sebagian besar ilmu pengetahuan yang
dikembangkannya terasa lebih merupakan penjelasan dari hal-hal
yang masuk akal (common-sense explanation), banyak teori-teorinya
yang bertahan bahkan hampir selama dua ribu tahun lamanya. Hal
ini terjadi karena teori-teori tersebut, masih dianggap masuk
akal dan sesuai dengan pemikiran masyarakat pada umumnya,
meskipun kemudian ternyata bahwa teori-teori tersebut salah total
karena didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru.
B. PEMBATASAN MASALAH
Dikarenakan bahasan filsafat ini amat luas, maka
saya memberikan batasan pada makalah ini hanya pada filsafat
Plato dan Aristoteles dibidang matematika
C. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan
makalah ini adalah:2
1. Bagaimana filsafat Plato tentang Matematika ?
2. Bagaimana filsafat Aristoteles tentang Matematika?
D. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan
makalah ini adalah:
1. mengetahui filsafat Plato tentang Matematika
2. mengetahui filsafat Aristoteles tentang Matematika
E. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini antara
lain:
a. Bagi penulis, yaitu dapat memperkaya pengetahuan terutama
tentang filsafat matematika
b. Bagi pembaca, bisa memahami dan sekaligus dapat
mengembangkan wahana berfikir khususnya tentang filsafat
matematika Plato dan Aristoteles
BAB II
PEMBAHASAN
1. RASIONALISME PLATO
1.1 Biografi Plato
3
Plato dilahirkan di Athena dari keluarga terkemuka,
dari kalangan politisi. Pada mulanya ia ingin bekerja sebagai
seorang politikus, namun pada akhirnya ambisinya untuk menjadi
seorang politikus dibatalkan, kemudian ia beralih ke filsafat
sebagai jalan untuk memperbaiki kehidupan bangsanya, ajaran
socrates sangat berpengaruh pada dirinya.
Ketika gurunya dihukum mati oleh pengadilan negara pada
Tahun 399 SM, membuat Plato benci kepada pemerintahan
demokratis. Kematian gurunya membuat Plato enggan bergelut di
dunia politik, padahal sebagai keturunan aristokrat bukanlah
hal yang sulit untuk bergelut di dunia politik. Plato lebih
memilih jalan hidup layaknya sang guru, yakni menjadi Filosof.
Bagi Plato, Socrates adalah “orang terbijaksana, terjujur,
terbaik dari semua manusia yang saya pernah kenal”. Tuturnya
Maka tak heran jika pemikiran Plato banyak yang terpengaruh
oleh Socrates.
Masa muda Plato terjadi ketika Athena mengalami masa
kemunduran, dan meninggalnya Socrates, akhirnya membut Plato
memutuskan untuk berkelana meninggalkan Athena. Dia berkelana
ke Sicilia dan Italia, bahkan kabarnya dia berkelana hingga
Afirka, Mesir dan beberapa negara di Timur Tengah. Kabarnya
Plato berkelana selama 10-12 tahun, dan setelah itu kembali
lagi ke Athena. Sekitar tahun 387 SM dia kembali ke Athena,
mendirikan perguruan di sana, dan Akademinya di beri nama
Academica itu, tidak sekedar untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, melainkan lebih dari itu, diharapkan menjadi
4
pabrik pembentukan dan penempa orang-orang yang dapat membawa
perubahan bagi Yunani.
Lembaga pendidikannya diharapkan dapat membentuk
manusia yang berpengetahuan yang dilakukan atas nama negara
dalam rangka mencapai kebajikan.
Ada dua macam pengetahuan yang dikemukakan
oleh Plato. Pengetahuan yang pertama adalah pengetahuan yang
diperoleh melalui pengalaman atau indera (pengetahuan
pengalaman) dan yang kedua adalah pengetahuan yang diperoleh
melalui akal (pengetahuan akal). Plato membandingkan kedua
pengetahuan tersebut dan mempertimbangkan mana yang benar
dari antara keduanya.
Tujuan pengetahuan menurut Plato dapat kita lihat dari
mitos Plato yang sudah masyhur sekali tentang penunggu-
penunggu gua yang termuat dalam dialog Politisnya. Manusia
dapat dibandingkan dengan orang-orang tahanan yang sejak lahir
terbelenggu dalam gua; mukanya tidak dapat bergerak dan selalu
terarah kepada dinding gua. Dibelakang mereka ada api
bernyala. Beberapa orang budak belian mondar-mandir di depan
api itu, sambil memikul bermacam-macam benda. Hal itu
mengakibatkan rupa-rupa bayangan yang dipantulkan pada dinding
gua. Karenanya orang tahanan itu menyangka bahwa bayang-bayang
itu merupakan realitas yang sebenarnya. Namun sesudah beberapa
waktu, satu orang tahanan dilepaskan. Ia melihat sebelah
belakang gua, ternyata hanya yang ada api. Ia sudah
memperkirakan bahwa bayang-bayang tidak merupakan realitas
5
yang sebenarnya. Lalu ia dihantar keluar gua dan melihat
matahari yang meyilaukan matanya. Mula-mula ia berpikir, ia
sudah meninggalkan realitas. Tetapi berangsur-angsur ia
menginsafi bahwa itulah realitas yang sebenarnya dan bahwa
dahulu ia belum pernah memandangnya. Pada akhirnya ia kembali
ke dalam gua dan bercerita kepada teman-temannya bahwa apa
yang mereka lihat bukannya realitas sebenarnya melainkan hanya
bayang-bayang saja.
Mitos ini mesti dimengerti sebagai berikut; Gua
tadi ialah dunia yang disajikan kepada panca indera kita.
Kebanyakan orang dapat dibandingkan dengan orang tahanan yang
terbelenggu: mereka menerima pengalaman spontan begitu saja.
Tetapi ada beberapa orang yang mulai memperkirakan bahwa
realitas indrawi tidak lain daripada bayang-bayang saja:
merekalah filsuf. Mula-mula mereka merasa heran sekali, tetapi
berangsur-angsur mereka menemukan Ide “yang Baik” (matahari)
sebagai realitas tertinggi. Untuk mencapai kebenaran, yang
perlu ialah suatu pendidikan; harus diadakan suatu usaha
khusus untuk melepaskan diri dari panca indera yang
menyesatkan. Tetapi, sebagaimana terjadi dalam mitos, filsuf
pun tidak akan dipercayai orang.
Mitos tersebut sebenarnya berbicara mengenai
perbedaan mendasar antara 2 hal yang dikemukakan plato, yaitu:
a. Apa yang dapat diindera dengan apa yang hanya dapat
ditangkap oleh logika, dan
6
b. Dunia indera atau dunia fisik (materi) dengan dunia Ide
(Idea).
Ide “yang Baik” menurut Plato tidak sama dengan
kebenaran maupun pengetahuan, kebenaran lebih dari cahaya dan
penglihatan, yang identik dengan matahari. Ini yang dimaksud
Plato konsep trinitas yang terkenal yaitu: yang Benar, yang
baik dan yang Indah. ‘Yang Baik’ dibutuhkan untuk kebenaran,
yaitu yang memberikan obyek kebenarannya. ‘Yang Baik’ juga
memberikan daya penglihatan kepada kepandaian, dan pengetahuan
akan kebenaran mengisi kita dengan keindahan.
Jadi hal penting yang disampaikan Plato dari
cerita ini adalah seseorang dikatakan memperoleh pengetahuan
jika ia menemukan ide “Yang Baik”.
1.2 Dunia Jadi
Plato termotivasi oleh kesenjangan antara ide-ide yang
dapat kita pikirkan dan dunia fisik di sekitar kita. Sebagai
contoh, meskipun kita memiliki gambaran mental yang cukupjelas
tentang keadilan, akan tetapi segala sesuatu yang kita lihat
dan dengar jauh dari keadilan yang sempurna. Kita memiliki
visi keindahan, tetapi tidak ada sesuatu pun yang sepenuhnya
indah. Tidak ada yang benar-benar taat, berbudi luhur, dan
sebagainya. Segala sesuatu di alam material memiliki
kelemahan. Kita memiliki beberapa pemahaman tentang idealisme/
cita-cita yang sempurna, namun kita tidak pernah menemukan
mereka. Mengapa demikian?
7
Jawaban Plato adalah bahwa ada sebuah alam bentuk (realm
of form) yang berisi sesuatu yang sempurna seperti Keindahan,
Keadilan, dan Kebaikan. Terkadang ia berbicara tentang
'Keindahan itu sendiri', 'Keadilan itu sendiri', dan Kebaikan
itu sendiri '. Sebuah objek fisik, seperti lukisan, ini indah
sejauh bahwa ia menyerupai ',' berperan dalam ', atau'
memiliki bagian dari 'Keindahan itu sendiri. Seseorang hanya
sejauh bahwa ia menyerupai Keadilan itu sendiri. Plato
menyebut alam fisik dunia Menjadi (the world of becoming), karena
benda-benda fisik dapat berubah dan mengalami kerusakan.
Mereka menjadi lebih baik serta lebih buruk. Apa yang indah
bisa menjadi jelek. Apa yang berbudi luhur bisa menjadi keji.
Sebaliknya, bentuk-bentuk bersifat kekal dan tidak pernah
berubah. Keindahan itu sendiri akan selalu sama; suatu benda
indah sejauh bahwa masih memenuhi sifat abadi, standar yang
yang tidak berubah . Jelas, kemudian, Plato tidak akan
menganut slogan bahwa keindahan ada di mata yang melihatnya.
Hal yang sama berlaku untuk keadilan dan Bentuk lainnya. Tidak
ada yang subjektif, atau konvensional, atau kultur-relatif
tentang bentuk-bentuk tersebut.
Mari saya mengingatkan Anda tentang perbedaan yang kita
susun sebelumnya dan sudah sering dibuat pada kesempatan
lain, antara banyaknya hal-hal yang kita sebut baik atau
indah atau apa pun itu dan, di sisi lain, Kebaikan itu
sendiri atau Keindahan sendiri dan sebagainya. terkait
dengan masing-masing dari himpunan banyak hal ini, kita
8
berdalil/ berpostulat sebuah bentuk tunggal atau esensi
nyata seperti yang kita sebutkan ... lebih lanjut, banyak
hal tersebut, kita katakan, dapat dilihat, tetapi bukan
objek pemikiran yang masuk akal(dari pemikiran rasional);
sedangkan bentuk-bentuk adalah adalah objek-objek dari
pemikiran, tetapi yang tidak terlihat.
Salah satu tulisan Plato lainnya, Meno, mengisyaratkan
satu epistemologi lain. Di sana, Plato memiliki Socrates yang
memimpin seorang budak tentang teorema bahwa kuadrat dari
diagonal persegi yang diberikan adalah dua kali lipat luas
persegi tersebut. Socrates menekankan bahwa dia maupun orang
lain, mengajarkan teorema untuk budak itu. Dengan mengajukan
pertanyaan yang dipilih dengan cermat, dan menunjuk ke aspek
diagram yang dibuat, Socrates memanggil budak untuk menemukan
teorema untuk dirinya sendiri. Plato menggunakan percobaan dengan
mendukung doktrin bahwa saat menangani geometri-atau dunia jadi
(the world of Being) yang pada umumnya-apa yang disebut 'mempelajari'
adalah sebenarnya mengingat dari kehidupan silam, mungkin masa
ketika seseorang memiliki akses langsung ke dunia jadi . Para
pemikir di waktu itu tidak sepakat pada sifat dan peran
'pengingatan' dalam epistemologi Plato ini, dan sebagian besar
kaum Platonis selanjutnya tidak menggunakannya. Pada sebarang
kasus, Plato meyakini bahwa jiwa adalah kategori ontologis
ketiga, dengan kemampuan untuk memahami keduanya dunia Jadi
maupun dunia Menjadi.
9
Dengan atau tanpa unsur 'mistis' dari epistemologi
tersebut kita peroleh dari dialog bahwa dunia fisik/alam dibangun
seperti itu hanya agar kita akan terdorong melampaui indera kita
untuk menyelidiki dunia jadi. Untuk Plato, matematika adalah
sebuah langkah utama dalam proses tersebut. Hal ini mengangkat
seseorang, mencapai melebihi dunia materi ke dunia jadi yang
abadi .
1.3 Filsafat Plato Tentang Matematika
Matematika, atau setidaknya geometri, menyediakan contoh
langsung dari kesenjangan antara dunia material yang keliru di
sekitar kita dan tenang, ideal, dunia sempurna dari pemikiran.
Dari sebelum masa Plato hingga saat ini kita telah memiliki
definisi yang seutuhnya dari garis lurus tanpa luas, dan tidak
ada lingkaran sempurna, atau setidaknya tak satu pun yang dapat
kita lihat. Mungkin garis lurus dan lingkaran sempurna, dan
sejenisnya, adalah bagian dari ruang fisik (atau ruang waktu)
yang kita semua tempati, namun meskipun demikian, kita tidak
bertemu dengan garis atau lingkaran tersebut, dengan cara apapun
secara fisik. Jadi apa yang kita pelajari dalam geometri, dan
bagaimana kita mempelajarinya?
Untuk lebih jelas, Plato percaya bahwa dalil geometri
secara objektif memang benar atau salah, tergantung pada pikiran,
bahasa, dan sebagainya dari para ahli matematika. Dalam
terminologi Bab 2, dia adalah seorang realis di dalam-nilai
kebenaran. Realisme ini sedikit banyak dianggap, dan tidak
10
berusaha membela, di seluruh dialog. Mungkin tidak ada alternatif
yang serius. Tapi tentang apa geometri itu? Apa ontologi?
Bagaimana geometri diketahui? Plato menyatakan bahwa subjek
kajian geometri adalah alam (realm) objek-objek yang adanya
terlepas dari pikiran manusia, bahasa, dan sebagainya. Dia
berargumen dari realisme dalam nilai kebenaran ke nilai realisme
dalam ontologi, sebuah tema yang berlandaskan berikut sejarah
yang menyeluruh. Klaim-klaim perdebatan utamanya terkait dengan
sifat objek-objek geometris dan sumber dari pengetahuan
geometris. Dia memandang bahwa benda-benda geometris tidak
bersifat fisik, dan bahwa objek tersebut bersifat abadi dan
tidak pernah berubah. dunia Jadi. Dia dengan demikian akan
menolak saran di atas bahwa objek geometris ada di ruang fisik.
Jadi, kita boleh menyimpulkan bahwa dunia geometri Plato terpisah
dari dunia fisik dan, lebih penting, pengetahuan geometris
terlepas dari pengamatan panca indera. Pengetahuan tentang
geometri dicapai oleh pikiran murni, atau dengan mengingat
pengenalan silam kita terhadap bentuk geometris.
Pada akhir Buku 6 Republik Plato memberikan sebuah
metafora dari garis yang dibagi (lihat gambar.2.1). Dunia menjadi
berada di bawah dan dunia jadi Berada di atas (dengan Bentuk yang
baik di atas segalanya). Setiap bagian dari garis dibagi lagi.
Dunia menjadi terbagi ke dalam wilayah benda-benda fisik di atas
dan refleksi dari mereka (misalnya dalam air) di bagian bawah.
Dunia jadi dibagi menjadi bentuk di atas dan objek matematika di
bagian bawah. Hal ini menunjukkan bahwa benda-benda fisik adalah
11
'refleksi' dari objek matematika yang Pada gilirannya, adalah
'refleksi' bentuk-bentuk
THE GOOD
FORMS BEING
Mathematical Objects
Physical objects
BECOMING
Reflection
Gambar 2.1 The divided Line
Namun, ada bukti, termasuk beberapa yang dikatakan oleh
Aristoteles, bahwa Plato mengambil setidaknya beberapa objek
matematika menjadi bentuk. Ada petunjuk bahwa selama periode neo-
Pythagoras kemudian hari Plato mengambil segala bentuk menjadi
matematika .Ada kisah tentang kuliah umum tentang yang baik, di
mana, kekecewaan beberapa pendengarnya, Plato berbicara hampir
seluruhnya dari masalah matematika.
12
Kita tidak perlu menyelesaikan detail-detail penafsiran.
Sebuah benang merah, dari semua periode dan semua interpretasi,
Jadi, kita boleh menyimpulkan bahwa dunia geometri Plato terpisah
dari dunia fisik dan, lebih penting, pengetahuan geometris
terlepas dari pengamatan panca indera. Pengetahuan tentang
geometri dicapai oleh pikiran murni, atau dengan mengingat
pengenalan silam kita terhadap bentuk geometris.
Mengenai ontologi, dan setidaknya sisi negatif dari
epistemologi, argumen Plato adalah kelihatannya sederhana.
Proposisi dari poin masalah geometri yang tidak memiliki
keluasan, dan lingkaran yang sempurna. Dunia fisik tidak
mengandung sesuatu seperti itu, dan kita tidak melihat Euclidean
titik, garis, dan lingkaran. Dengan demikian, bukan tentang apa
pun di dunia fisik, dunia Menjadi, dan kami tidak menangkap objek
geometris melalui indra Tentu saja, beberapa benda-benda fisik
mendekati figur Euclid misalnya Keliling dari sebuah jeruk dan
sebuah lingkaran yang dengan hati-hati digambar di atas kertas
sedikit banyak mirip lingkaran Euclid, jeruk kurang, lingkaran
digambar lagi. Namun teorema geometris tidak berlaku untuk
perkiraan tersebut. Perhatikan, misalnya, teorema bahwa sebuah
garis singgung lingkaran memotong lingkaran di satu titik Bahkan
jika seseorang dengan hati-hati menggambar sebuah lingkaran dan
satu garis lurus yang menyinggung, menggunakan fancy, perangkat
yang mahal atau pensil yang sangat tajam (atau pencetak dengan
resolusi tinggi), kita masih akan melihat bahwa garis saling
tumpang tindih perbatasan lingkaran di daerah kecil, tidak satu
13
titik (lihat gambar 2.2) jika menggunakan papan tulis atau
tongkat di pasir untuk latihan, tumpang tindih akan jauh lebih
besar. Tentu saja, semua ini teorema standar yang perpotongan
sebuah lingkaran dan garis singgung tersebut adalah satu titik
tunggal. Penjelasan Plato lurus ke depan Lingkaran dan garis
digambar hanya perkiraan yang rendah dari Lingkaran dan garis
nyata, yang kita pegang hanya dengan pikiran (atau mengingat.)
Batasan yang kecil tumpang tindih dengan angka digambar adalah
pendekatan yang rendah dari suatu titik.
Gambar 2. 2 Garis singgung ke lingkaran
Untuk lebih memahami pernyataan Plato dalam bagian Buku 7
Republik, dikutip dalam bab 1:
ilmu [geometri] ini bertentangan langsung dengan bahasayang digunakan oleh pakar nya ... bahasa mereka inipaling konyol ... .. mereka berbicara seolah-olah merekamelakukan sesuatu dan seolah-olah semua perkataan merekadiarahkan terhadap tindakan ... .. [Mereka berbicara]dalam mengkuadratkan dan menerapkan dan menambahkan dansejenisnya ... padahal objek nyata dari seluruh subjek
14
adalah ... ..pengetahuan ... ..dari apa kekal itu ada,bukan dari segala sesuatu yang berasal menjadi ini atauitu di beberapa waktu dan tidak lagi dimiliki untukmenjadi ( Plato, 1961, 527a dalam standar penomoran )
Selanjutnya, Jika Plato benar bahwa geometri terkait
dengan objek-objek yang abadi dan tidak pernah berubah dalam
dunia jadi, maka tidak boleh terdapat bahasa dinamis di dalam
geometri. Sukarlah bagi Platonis untuk memahami konstruksi-
konstruksi dalam elemen karya Euclid, misalnya menurut Proclus
(1970), seorang neoplatonis dari abad kelima, masalah tentang
'bagaimana kita dapat menerapkan perpindahan kepada objek-objek
geometris' mengusik banyak pemikir di akademi Plato dari generasi
ke generasi selanjutnya.
Terdapat pula masalah serupa terkait dengan diagram-
diagram yang lazim menyertai demonstrasi-demonstrasi geometris.
Seorang Platonis tentu saja tersesatnya para pembaca kepada
pemikiran bahwa suatu teorema adalah suatu diagram yang
dilukiskan secara fisik. Apakah, jika demikian, tujuan dari
diagram-diagram itu? Penjelasan Plato barangkali adalah bahwa
diagram membantu pikiran dalam menangkap sesuatu yang abadi,
tidak mengubah alam geometris, atau membantu kita untuk mengingat
dunia jadi. Namun, orang mungkin bertanya-tanya bagaimana hal ini
mungkin, karena dunia jadi ini tidak dapat diakses melalui indra.
Dalam Republik (510 d) Plato menulis:
Anda tahu bagaimana ... geometri itu memanfaatkan figurterlihat dan wacana tentang bentuk-bentuk tersebut,melalui apa yang mereka benar-benar ada dalam pikiran
15
asli dari angka tersebut adalah gambaran. Mereka tidakmenalar, misalnya, tentang persegi tertentu dan diagonal;dan dalam semua kasus. Diagram yang mereka gambar danmodel yang mereka buat adalah hal-hal yang sebenarnya,yang mungkin memiliki bayangan atau gambar dalam air,tapi sekarang mereka melayani pada gilirannya merekasebagai gambar, sedangkan siswa berusaha untuk disaksikanorang realitas yang hanya memikirkan bisa memahami
Di sini kita memiliki metafora yang sama seperti dalam
membagi garis: refleksi dan gambar. Saya kira seorang ahli
matematika tingkat lanjut akan tidak memerlukan diagram, jadi
berhubungan langsung dengan semesta geometri. Plato bukanlah
filsuf terakhir yang bertanya-tanya tentang peranan diagram dalam
demonstrasi geometri.
Namun demikian, kita barangkali bertanya-tanya bagaimana
itu mungkin, bukankah dunia jadi tidak dapat ditembus melalui
panca indera? Para Platonis dari masa-masa selanjutnya tidak
mengadosi aspek-aspek yang lebih mistis dari epistimologi Plato,
kebanyakan dari mereka memandang bahwa pengetahuan geometris
bersifat a priori, tidak terikat pengalaman indrawi. Barangkali
pengalaman indrawi diperlukan untuk memahami konsep-konsep yang
relevan, atau kita mungkin memerlukan diagram yang dilukis
sebagai alat bantu visual bagi pikiran, atau barangkali untuk
menggugah pikiran ke alam (realm) geometris yang abadi dan tidak
berubah dari ruang Euclid. Namun demikian, pentinglah diketahui
bahwa berdasarkan ontologi Platonis pada prinsipnya pengetahuan
matematis tidak terikat pada pengalaman inderawi.
16
Pandangan ini meninggalkan permasalahan yang menjelaskan
mengapa geometri berlaku untuk dunia fisik, bahkan kurang lebih
Dalam Timaeus Plato menyediakan sebuah cerita rinci, tetapi
spekulatif tentang bagaimana dunia fisik dibangun secara
geometris, dari kelima yang disebut padatan Platonis: tetrahedron
(piramida), segi delapan, segienam (cube), icosahedrons,
dodecahedron.
Rincian pandangan Plato mengenai aritmatika dan aljabar
tidak sangat langsung sebagaimana penjabarannya tentang
geometri, tetapi gambaran keseluruhan adalah sama Dia adalah
seorang realis dalam nilai kebenaran maupun dala, ontologi,
berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan dalam aritmatika dan
aljabar benar atau salah tidak terikat pada matematikawan, dunia
fisik, dan bahkan pikiran, dan dia memandang bahwa pernyataan-
pernyataan aritmatika adalah tentang suatu alam (realm) objek-
objek abstrak yang disebut 'bilangan-bilangan' Dalam Sofis
(238a), mengatakan bahwa 'dalam hal memikirkan yang ada kita
menyertakan bilangan secara umum' Theaetetus menjawab, "Ya,
bilangan harus ada jika ada sesuatu '
Dialog berisi beberapa bagian yang menerapkan perbedaan
Platonis dalam hal bilangan. Ada, tentu saja, jumlah objek
material, yang dapat kita sebut 'bilangan fisik'. Ini adalah
bilangan di dunia menjadi. Ini dibedakan dengan 'bilangan itu
sendiri'. Yang tidak ditangkap oleh indera, tetapi dengan pikiran
murni saja.
17
Dalam Philebus (56), misalnya, Plato dan Socrates
membedakan antara 'orang biasa' dan 'filsuf' dalam hal
aritmatika. Ada, dalam pengertian tertentu, dua nya aritmatika
yang berbeda. lawan bicara, Plutarchus, menanyakan 'apa
prinsipnya ... adalah perbedaan ini ... akan didasarkan?
"Socrates menjawab:' ahli ilmu hitung biasa, pasti, beroperasi
dengan satuan yang tidak sama; "dua nya" mungkin dua nya tentara
atau dua ekor sapi atau dua suatu benda dari hal terkecil di
dunia hingga yang terbesar, sedangkan filsuf tidak berhubungan
dengan hal tersebut, kecuali dia setuju untuk membuat setiap
contoh dari unitnya tepat sama dengan setiap yang lainnya dari
jumlah yang tak terbatas atas kejadian. "Lihat juga Theaetetus,
196, Republik, 525. dengan demikian kita melihat aritmatika itu,
seperti geometri, berlaku untuk dunia material hanya kira-kira,
atau hanya sejauh obyek yang dapat dibedakan satu sama lain .
Aritmatika filsuf berlaku secara akurat dan benar hanya untuk
dunia jadi.
Bagian atas dari Philebus menunjukkan catatan lain
aritmatika Plato. Ketika ahli ilmu hitung biasa menghitung
sepasang sepatu, sepatu masing-masing adalah satu unit, tetapi
dua sepatu yang tidak memiliki bentuk yang sama atau bahkan
ukuran yang sama persis . Sebaliknya, ketika para filsuf
menghitung 'dua ', ia mengacu pada sepasang unit yang sama dalam
segala hal. Untuk filsuf, bilangan merupakan kumpulan satuan yang
murni, yang bisa dibedakan dari satu sama lain (Republic, 425,
Sofis, 245)
18
Perhatikan, kebetulan, bahwa untuk kedua nya baik orang
biasa dan filsuf, bilangan' selalu sejumlah sesuatu atau lainnya.
bilangan orang biasa adalah jumlah koleksi seperti tentara dan
sapi. angka filsuf dari satuan yang murni.
Sejumlah sumber kuno membedakan teori bilangan, yang
disebut 'aritmatika' dari teori perhitungan, yang disebut
'logistik'. Sebagian besar penulis sumber-sumer itu memandang
logistic sebagai sebuah disiplin ilmu praktis, terkait dengan
pengukuran dan urusan perdagangan (misalnya Proclus 1970: 20.
Kita mungkin berpikir bahwa penggolongan ini cocok dengan Plato,
berdasarkan perbedaan tajam antara dunia Jadi dan dunia menjadi.
Aritmatika terkait dengan apa yang jadi, sedangkan logistik
terkait dengan apa yang Menjadi. Namun demikian, Plato membawa
aritmatika dan logistik berfokus pada dunia jadi. Perbedaannya
adalah tentang bagaimana bilangan-bilangan asli itu sendiri
dipelajari. Aritmatika 'berkaitan dengan genap dan ganjil, dengan
mengacu pada berapa banyak tiap kejadian akan terjadi' (Georgias,
451. Jika 'seseorang menjadi sempurna dalam seni aritmatik',
maka'ia mengerti semua bilangan” (Theaetetus, 198). Logistik
Plato berbeda dari aritmatika 'sejauh hal itu mempelajari genap
dan ganjil yang berkaitan dengan banyaknya mereka buat baik
dengan diri mereka sendiri dan satu sama lain' (Georgias, 451).
Aritmatika demikian berkaitan dengan bilangan asli secara
individu dan logistik menyangkut hubungan antara bilangan-
bilangan. Untuk logistik, Plato mengusulkan prinsip-prinsip
bagaimana bilangan asli yang 'dihasilkan' dari bilangan asli
19
lainnya (meskipun gnomon. Ini adalah sesuatu yang mirip dengan
perlakuan aksiomatik tentang asal mula ontologi.
Plato mengatakan bahwa seseorang harus mengejar keduanya
aritmatika dan logistik untuk dapat mengetahui. Ini adalah
melalui studi tentang bilangan itu sendiri, dan hubungan antar
bilangan, bahwa jiwa mampu memahami sifat bilangan karena
bilangan dalam diri mereka sendiri. Seperti Jacob Klein (1968:
23) mengatakan, logistik teoritis 'menimbulkan sebuah ilmu
eksplisit bahwa pengetahuan tentang hubungan antara bilangan yang
... ..precedes, dan tentu saja harus mendahului, semua
perhitungan'. Logistik Plato untuk perhitungan praktis geometri
adalah untuk bilangan yang digambarkan di atas kertas atau pasir.
Orang mungkin bertanya-tanya, dengan Klein (1968: 20),
hanya pada apa yang akan dipelajari dalam aritmatika Plato, yang
bertentangan dengan logistik nya. Mungkin, seni perhitungan-
melafalkan bilangan aritmatika. Tetapi 'penjumlahan dan juga
pengurangan hanya peluasan penghitungan'. Selain itu, 'menghitung
sendiri sudah mensyaratkan sesuatu yang berhubungan dan
membedakan terus menerus hal-hal yang bernomor serta bilangan'.
Klein (1968: 24) sementara menyimpulkan bahwa rasio terkait
logistik antar unit murni, sementara aritmatika terkait
perhitungan, penjumlahan, dan pengurangan. Sejalan dengan dialog,
mungkin lebih baik untuk memikirkan logistik Plato sebagai apa
yang kita sebut 'aritmatika', yaitu studi matematika dari
20
bilangan asli. Aritmatika Plato adalah bagian dari filsafat yang
lebih tinggi, di mana mencakup bilangan itu sendiri.
1.4 Manfaat Matematika bagi Plato
Kekaguman Plato atas yang dilakukannya menarik dari ahli
matematika adalah sangat jelas, bahkan bagi pembaca. Seperti
Gregory Vlastos (1991: 107) mengatakan, Plato ‘ mampu terbaik
Akademi pada diberikan persyaratan mudah dengan ahli matematika
yang terbaik nya waktu, dan saling mendorong antusiasme mereka
untuk pekerjaan mereka. Beberapa pakar masa kini telah
mencurahkan perhatian pada pengaruh perkembangan matematika
terhadap filsafat plato. Secara dramatis, mereka mengungkap
beberapa perbedaan mencolok antara Plato dan Socrates, sang guru
bagi Plato.
Sejauh yang kita ketahui, ketertarikan utama Socrates
'adalah dalam etika dan politik, bukan matematika dan sains. Ia
menganggap dirinya memiliki amanah ilahi untuk menyebarkan
filosofi untuk semua orang. Kita semua senang dalam gambaran
Socrates menjelajahi jalan di Athena membahas keadilan dan
kebajikan dengan siapa saja yang mau mendengarkan dan berbicara.
Siapa Saja. Dia hidup dengan slogan bahwa renungan-renungan
filosofis adalah esensi dari kehidupan. Kitaterlahir untuk
berpikir. Pada pengadilan terhadapnya, Socrates mengungkapkan
bahwa sekedar tutup mulut dan memikirkan urusannya sendiri adalah
sebentuk ketidaktaatan kepada Tuhan (Apology, 38 a)
21
Socrates biasanya berwacana dengan terlebih dahulu
mengungkap keyakinan-keyakinan orang yang diajaknya bicara dan
kemudian, melalui pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang teliti,
berupaya menarik konsekuensi-konsekuensi yang mengejutkan dan
tidak dikehendaki dari keyakinan-keyakinan itu. Metodenya tampak
sebagai suatu teknik untuk memangkas keyakinan-keyakinan yang
salah. Pada sebagian besar kasus, wacananya tidak berakhir dengan
reduction ad absurdum dari pandangan awal si orang yang diajak
bicara. Jika pun metodenya menghasilkan kebenaran, maka itu
dicapai hanya melalui proses eliminasi atau barangkali trial and
error.
Dengan demikian, metode Socrates tidak berakhir dengan
suatu kepastian.Metodenya memang memberitahu kita bahwa beberpa
pandangan kita salah atau membingungkan, tetapi pada akhirnya
tidak menunjukkan keyakinan-keyakinan mana yang salah atau
membingungkan itu. Metode ini bersifat falibel dan hipotetis.
Orang yang diajaknya bicara ditantang hanya untuk mengkaji ulang
keyakinan-keyakinannya dan belajar dengan merumuskan keyakinan-
keyakinan yang baru. Socrates tidak pernah mengklaim pengetahuan
positif khusus apapun tentang keadilan, kebajikan, dan
sebagainya.
Metodologi Plato yang telah matang tidak menyerupai
metode gurunya dalam beberapa segi. Plato memandang bahwa
matematika “secara universal berguna dalam semua keterampilan dan
dalam setiap bentuk pengetahuan dan operasi intelektual-hal
22
pertama yang harus dipelajari oleh setiap orang” (Republic, 523).
Tidak seperti gurunya, Plato meyakini bahwa filsafat bukan untuk
setiap orang. Di dalam persemakmuran yang divisikan dalam Republic,
hanya beberapa pemimpin yang dipilih secara ketat saja yang ikut
serta dalam renungan filosofis, dan hanya setelah masa pelatihan
yang berlangsung sampai mereka berusia sekurang-kurangnya 50
tahun. Setiap orang hanya melakukan apa yang terbaik yang dapat
dilakukannya.
Socrates tidak memberikan kedudukan yang istimewa bagi
matematika, sedangkan plato memandang matematika sebagai gerbang
ke dunia. Jadi, suatu gerbang yang harus dilalui jika seseorang
berharap untuk memahami segala sesuatu yang real. Matematika,
prasyarat untuk studi filosofis, menuntutkan periode studi yang
panjang dank eras. Oleh karena itu, dalam pandangan plato,
tidaklah mengherankan jika sebagian besar dari kita harus
menjalani kehidupan dalam keawaman tentang realitas yang sejati,
dan harus bersandar kepada Penjaga-para pakar filsafat-untuk
menunjukkan kepada kita bagaimana cara menjalani kehidupan yang
baik.
Keterkaitan Plato terhadap matematika barangkali menjadi
alasan ketidaktaaatannya terhadap metodologi Socrates yang
bersifat hipotetis dan falibel. Matematika berkembang (atau
seharusnya berkembang) via bukti, bukan hanya sekedar ‘trial dan
error’. Di dalam meno,Plato menggunakan studi geometric, dan
23
demonstrasi geometric, sebagai paradigma untuk seluruh
pengetahuan, termasuk pengetahuan moral dan metafisika.
2. ARISTOTELES
2.1 Biografi Aristoteles
Aristoteles lahir tahun 384 SM di Stagira, kota di
wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah
Makedonia tengah). Ayahnya bernama Nicomachus yang
merupakandokter pribadi Raja Amyntas dari Makedoniasedangkan
ibunya bernama Phaestis. Pada usia 17 tahun, Aristoteles menjadi
murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi
Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi
tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi
Alexander dari Makedonia.
Aristoteles kembali ke Athena saat Alexander berkuasa
pada tahun 336 SM. Dengan dukungan dan bantuan dari Alexander, ia
kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi nama Lyceum,
yang dipimpinnya sampai tahun 323 SM. Perubahan politik seiring
jatuhnya Alexander menjadikan dirinya harus kembali kabur dari
Athena guna menghindari nasib naas sebagaimana yang dulu dialami
Socrates. Aristoteles meninggal tak lama setelah pengungsian
tersebut. Ia meninggal pada tahun 322 SM, pada usia 62 tahun di
kota Chalcis Yunani.
2.2 Benih Empirisme: Aristoteles
Sebagian besar dari apa yang dikatakan oleh Aristoteles,
salah seorang murid Plato, tentang matematika adalah polemik
24
terhadap pandangan-pandangan Plato, dan tidak banyak konsensus di
antar para pakar tentang pernyataan-pernyataan positif yang
diungkapkannya. Namun demikian, sekurang-kurangnya terdapat
arahan penting terkait penjelasan-penjelasannya mengenai
matematika yang menjadi petunjuk bagi beberapa pemikir modern.
Filsafat-filsafat Aristoteles mengandung benih-benih empirisme.
Seperti yang telah dibahas, filsafat Plato tentang
matematika terikat pada penjelasannya tentang bentuk-bentuk
sebagai entitas-entitas yang bersifat abadi dan tak berubah di
dunia jadi, terpisah dari realm fisik. Di sisi lain, filsafat
Aristoteles tentang matematika bertumpu pada penolakan terhadap
suatu dunia jadi yang tersendiri. Aristoteles menerima eksistensi
bntuk-bentuk atau universal-universal, tetapi dia berpandangan
bahwa semua itu tidak terpisah dari objek-objek individual yang
mewakili bentuk-bentuk. Keindahan misalnya, adalah apa yang sama-
sama dimiliki oelh semua yang indah, dan bukanlah sesuatu yang
lebih dari apa-apa yang indah tersebut. Seandainya seseorang
berhasil memusnahkan semua yang indah itu, maka dia akan
memusnahkan keindahan itu sendiri---- karena tidak ada lagi
tempat untuk adanya keindahan. Hal yang sama berlaku pula untuk
keadilan, kebajikan, Manusia, dan bentuk-bentuk lainnya.
Ringkasnya, bagi Aristoteles segala sesuatu di dunia fisik
memiliki bentuk-bentuk, tetapi tidak ada dunia yang terpisah
untuk mewadahi bentuk-bentuk ini. Dengan demikian, bentuk-bentuk
ada di dalam objek-objek individual.
25
Aristoteles kadang-kadang mengisyaratkan bahwa
pertanyaan yang penting sebenarnya terkait dengan sifat dari
obejk-objek matematis, bukan melulu tentang eksistensi atau non-
eksistensinya: “Jika objek-objek matematis ada, maka objek-objek
matematis tentu ada dalam objek-objek yang tampak seperti
seseorang katakan, atau terpisah dari objek-objek yang tampak
(seseorang mengatakan ini juga), atau jika ada dalam kedua-duanya
maka objek-objek matematis sama sekali tidak ada atau objek-objek
matematis ada dalam suatu cara lainnya. Jadi perdebatan kita
tidak akan membahas ada-tidaknya objek-objek matematis itu,
melainkan tentang dalam cara seperti apa objek-objek matematis
itu ada” (Metaphysics; Buku M; 1076a; versi terjemahan berbahasa
inggris yang digunakan di sini dan selanjutnya dari Annas 1976).
Salah satu masalah bagi Aristoteles adalah bahwa jika
kita ingin menolak bentuk-bentuk Platonik, maka apakah alasan
untuk meyakini keberadaan objek-objek matematis? Apakah sifat
dari objek-objek matematis (Jika objek-objek itu ada) dan yang
terpenting, untuk apakah kita memerlukan objek-objek matematis?
Apakah yang objek-objek itu bantu jelaskan atau apakah yang
diterangkan oleh objek-objek itu?
Penjelasan Aristotleles tentang objek-objek matematis
sesuai dengan penjelasannya tentang bentuk-bentuk. Dia meyakini
bahwa objek-objek matematis “ada dalam objek-objek yang tampak,”
tidak terpisah darinya. Namun demikian tidak banyak konsensus
mengenai apa sebenarnya yang dimaksudnkannya. Tentang geometri,
Aristoteles tampak memandang objek-objek fisik memuat permukaan,
26
garis, dan titik yang dipelajari dalam matematika. Seorang
geometer, menurut Aristoteles, tidak memandang permukaan-
permukaan, misalnya sebagai permukaan-permukaan dari objek-objek
fisik. Di dalam pikiran seseorang dapat memisahkan permukaan-
permukaan, garis-garis,dan titik-titik dari objek-objek fisik
yang memuatnya. Ini berarti bahwa kita dapat berfokus pada
permukaan, garis, dan titik dan mengabaikan fakta bahwa semua itu
objek-objek fisik. Pemisahan ini bersifat psikologis atau
barangkali logis. Ini terkait dengan bagaimana kita berpikir
tentang objek fisik. Bagi Aristoteles,kesalahan Plato terletak
pada kesimpulan bahwa objek-objek geometris secara metafisik
terpisah dari kejadian-kejadian fisiknya, hanya karena para
matematikawan berhasil mengabaikan aspek-aspek fisik tertentu
dari bidang kajian mereka.
Terdapat dua interpretasi untuk pandangan Aristoteles
tentang matematika. Interpretasi yang pertama membahas objek-
objek matematis secara serius dan kurang lebih secara harfiah.
Berdasarkan interpretasi ini, Aristoteles mempostulasikan suatu
kemampuan abstraksi di mana objek-objek diciptakan atau jika
tidak demikian, diperoleh atau dipaahami, dengan cara merenungkan
objek-objek fisik. Kita mengabstraksi beberapa dari ciri-cirinya.
Jadi, objek-objek geometris adalah bentuk-bentuk dari objek-objek
fisik--- tentu saja bentuk menurut pemaknaan Aristoteles, bukan
pemaknaan dari Plato. Objek-objek matematis yang diperoleh
melalui abstraksi bersifat tidak ada mendahului, atau lepas dari
objek-objek fisik yang diabstraksinya.
27
Pada interpretasi ini bilangan-bilangan asli misalnya,
diperoleh via abstraksi dari kumpulan objek-objek fisik. Kita
mulai dengan sekelompok, misalnya lima ekor kambing dan secara
selektif mengabaikan perbedaan-perbedaan di antara kambing-
kambing itu atau bahkan fakta bahwa semua itu adalah kambing.
Kita hanya berfokus pada fakta bahwa kambing-kambing itu adalah
objek-objek berbeda, dan tiba pada bilangan 5, yang adalah suatu
bentuk dari grup tersebut. Jadi, bilangan-bilangan itu ada
sebagai bentuk-bentuk menurut pemaknaan Aristoteles, dalam
kelompok-kelompok dari objek-objek yang diwakili oleh bilangan-
bilangan.
Interpretasi yang kedua untuk pertanyaan-pertanyaan
Aristoteles tentang matematika meninggalkan abstraksi ontologis,
dan oleh karena itu menolak realisme dalam ontologi. Kita tidak
memperoleh objek-objek geometris atau objek-objek aritmetik via
proses apa pun. Ringkasnya, tidak terdapat objek-objek yang
demikian. Strategi pandangan ini adalah mempertahankan realisme
dalam nilai kebenaran dan dengan demikian, objektivitas dari
matematika. Aristoteles memandang bahwa postulasi objek-objek
geometris tidak berbahaya karena misalnya lingkaran fisik yang
real juga memiliki semua dari ciri-ciri yang kita lekatkan pada
lingkaran yang kita postulasikan.
Pada interpretasi ini, seorang geometer secara ketat dan
harfiah, hanya membicarakan objek-objek fisik. Namun demikian,
tidaklah berbahaya kita berlaku seolah-olah bahwa lingkaran
geometris itu bersifat terpisah. Dengan kata lain, objek-objek
28
geometris adalah fiksi-fiksi yang bermanfaat. Misalkan seorang
geometer berkata, “misalkan A adalah suatu segitiga sama kaki.”
Dia dengan demikian melekatkan pada A hanya ciri-ciri yang
disimpulkan dari adanya sebagai suatu segitiga sama kaki. Para
matematikawan kadang-kadang mengatakan bahwa A adalah ‘sebarang’
segitiga sama kaki, tetapi apa yang mereka maksudkan yaitu bahwa
A boleh segitiga sama kaki yang mana saja. Pada interpretasi
kedua tentang Aristoteles ini, bukanlah suatu fiksi yang
berbahaya kita katakan bahwa A adalah suatu objek khusus yang
memiliki semua ciri yang umum bagi semua segitiga sama kaki.
Penjelasan serupa mengenai aritmetika dapat diperoleh
dengan menganggap suatu objek tertentu dalam suatu kelompok
sebagai ‘tidak terbagi’ atau sebagai ‘suatu unit’. Di dalam suatu
kelompok lima ekor kambing misalnya, seorang matematikawan
menganggap tiap kambing sebagai tidak terbagi. Tentu saja,
seperti diketahui oleh jagal hewan, tiap kambing sangat dapat
dibagi-bagi sedemikian hingga asumsi matematikawan itu salah.
Tetapi gagasan di sini adalah bahwa sang matematikawan
mengabaikan setiap ciri dari kumpulan yang timbul dari
keterbagian masing-masing kambing. Kita berlaku seolah tiap
kambing tidak terbagi sehingga kita memperlakukannya sebagai
tidak terbagi.
Pada dua interpretasi untuk filsafat Aristoteles tentang
matematika tersebut, aplikabilitas matematika pada dunia fisik
bersifat langsung. Matematikawan mempelajari ciri-ciri real dari
objek-objek fisik yang real. Tidak ada keperluan untuk
29
mempostulatkan suatu hubungan antara realm matematis dan realm
fisik, karena kita tidak sedang menangani dua realm terpisah. Ini
adalah benih empirisme, atau paling tidak,suatu bentuknya.
Tidak seperti pandangan Plato, dua interpretasi untuk
pandangan Aristoteles memaknai bahasa dinamis yang khas dalam
geometri. Karena geometri berkaitan dengan objek-objek fisik atau
abstraksi-abstraksi langsung dari objek-objek fisik maka wacana
tentang misalnya, “mempersegikan dan menerapkan dan menjumlahkan
dan semacamnya” menjadi wajar. Misalnya, kita pikirkan prinsip
Eulid bahwa di antara sebarang dua titik seseorang dapat melukis
suatu garis lurus. Bagi Palto, ini adalah pernyataan kabur
tentang eksistensi garis-garis. Di sisi lain Aristoteles dapat
memperlakukan prinsip tersebut secara harfiah.
2.3 Implikasi Pemikiran Plato Dan Aristoteles Pada Perkembangan
Pendidikan
Pemikiran Plato dan Aristoteles memberikan pengaruh pada
dunia pendidikan khususnya dalam bidang matematika. Plato dengan
aliran rasionalisme yang membuktikan segala sesuatu secara
deduktif sedangkan Aristoteles sebagai penggagas empirisme yang
bekerja secara induktif. Tentunya kedua aliran dan metode yang
dipakai oleh keduanya sangat berguna. Ada kalanya kita
menggunakan metode induktif ketika mendidik siswa-siswa di
sekolah dasar karena pada usia itu mereka masih memerlukan objek
yang konkrit untuk dapat memahaminya dengan baik. Sedangkan untuk
30
yang deduktif dapat diterapkan pada pembelajaran orang yang telah
dewasa.
BAB IIIPENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
31
DAFTAR PUSTAKA
Stewat, Shapiro, Thinking About Mathematics, University Pers:
Oxford.
Wahyudin, 2013, Hakikat, Sejarah, Dan Filsafat Matematika, penerbit
Mandiri : Bandung
32