33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yunani Kuno juga tempat lahirnya filsafat sekuler barat. Kita mengenal Socrates, Plato, dan Aristoteles (serta beberapa filsuf pra-Sokrates) bergelut dengan banyak masalah dirawat di buku ini. Plato berdiri sebagai pelopor suatu tradisi panjang dalam filsafat yang kadang-kadang disebut rasionalisme atau 'Platonisme' (atau 'Platonisme, jika seseorang ingin sedikit jarak dari sang pelopor tersebut). Plato dan Aristoteles adalah ikatan Guru dan murid, namun cara pandangnya berlainan, kalau plato lebih menekankan pada ide sedangkan sedangkan Aristoteles pada logika. Plato mengatakan bahwa setiap sesuatu yang dilihat hanya sebuah pandangan semu, sekedar bayang-bayang bukan realita Kebaikan dan keadilan terkandung di dalam tabiat itu sendiri. Terdapat banyak kejahatan dan ketidakadilan di dalam kehidupan. Akan tetapi, kesemuanya pada hakikatnya bersandarkan kepada asas-asas kebaikan. Inilah elemen baik dan adil yang akan disingkap oleh Plato, yang menjadi prinsip dalam memandu kehidupan manusia. Falsafah etika dan epistemologi Plato sangat erat kaitannya. Hubungan antara kedua-duanya adalah jelas dalam pandangan beliau, bahwa kejahatan itu berlaku karena kurangnya ilmu pengetahuan. Bagi Plato, budi itu merupakan pengetahuan. 1

Makalah Filsafat

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Yunani Kuno juga tempat lahirnya filsafat sekuler barat.

Kita mengenal Socrates, Plato, dan Aristoteles (serta beberapa

filsuf pra-Sokrates) bergelut dengan banyak masalah dirawat di

buku ini. Plato berdiri sebagai pelopor suatu tradisi panjang

dalam filsafat yang kadang-kadang disebut rasionalisme atau

'Platonisme' (atau 'Platonisme, jika seseorang ingin sedikit

jarak dari sang pelopor tersebut).

Plato dan Aristoteles adalah ikatan Guru dan murid,

namun cara pandangnya berlainan, kalau plato lebih menekankan

pada ide sedangkan sedangkan Aristoteles pada logika. Plato

mengatakan bahwa setiap sesuatu yang dilihat hanya sebuah

pandangan semu, sekedar bayang-bayang bukan realita

Kebaikan dan keadilan terkandung di dalam tabiat itu

sendiri. Terdapat banyak kejahatan dan ketidakadilan di dalam

kehidupan. Akan tetapi, kesemuanya pada hakikatnya bersandarkan

kepada asas-asas kebaikan. Inilah elemen baik dan adil yang akan

disingkap oleh Plato, yang menjadi prinsip dalam memandu

kehidupan manusia.

Falsafah etika dan epistemologi Plato sangat erat

kaitannya. Hubungan antara kedua-duanya adalah jelas dalam

pandangan beliau, bahwa kejahatan itu berlaku karena kurangnya

ilmu pengetahuan. Bagi Plato, budi itu merupakan pengetahuan.

1

Jika seseorang manusia mengetahui apa tabiat kehidupan yang baik,

maka dia akan bersikap dan melakukan berdasarkan apa yang

diketahuinya. Bilamana seseorang itu mengetahui mana yang baik,

dia akan membuat perkara yang baik. Sebaliknya dengan melakukan

kejahatan pula akan terbukti kejahilannya.

Filsafat Aristoteles berkembang dalam tiga tahapan

yang pertama ketika dia masih belajar di Akademi Plato ketika

gagasannya masih dekat dengan gurunya, kemudian ketika dia

mengungsi, dan terakhir pada waktu ia memimpin Lyceum mencakup

enam karya tulisnya yang membahas masalah logika.

Meskipun sebagian besar ilmu pengetahuan yang

dikembangkannya terasa lebih merupakan penjelasan dari hal-hal

yang masuk akal (common-sense explanation), banyak teori-teorinya

yang bertahan bahkan hampir selama dua ribu tahun lamanya. Hal

ini terjadi karena teori-teori tersebut, masih dianggap masuk

akal dan sesuai dengan pemikiran masyarakat pada umumnya,

meskipun kemudian ternyata bahwa teori-teori tersebut salah total

karena didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru.

B.  PEMBATASAN MASALAH

Dikarenakan bahasan filsafat ini amat luas, maka

saya memberikan batasan pada makalah ini hanya pada filsafat

Plato dan Aristoteles dibidang matematika

C.  RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penulisan

makalah ini adalah:2

1. Bagaimana filsafat Plato tentang Matematika ?

2. Bagaimana filsafat Aristoteles tentang Matematika?

D.  Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan

makalah ini adalah:

1.        mengetahui filsafat Plato tentang Matematika

2.        mengetahui filsafat Aristoteles tentang Matematika

E.  Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini antara

lain:

a. Bagi penulis, yaitu dapat memperkaya pengetahuan terutama

tentang filsafat matematika

b. Bagi pembaca, bisa memahami dan sekaligus dapat

mengembangkan wahana berfikir khususnya tentang filsafat

matematika Plato dan Aristoteles

BAB II

PEMBAHASAN

1. RASIONALISME PLATO

1.1 Biografi Plato

3

Plato dilahirkan di Athena dari keluarga terkemuka,

dari kalangan politisi. Pada mulanya ia ingin bekerja sebagai

seorang politikus, namun pada akhirnya ambisinya untuk menjadi

seorang politikus dibatalkan, kemudian ia beralih ke filsafat

sebagai jalan untuk memperbaiki kehidupan bangsanya, ajaran

socrates sangat berpengaruh pada dirinya.

Ketika gurunya dihukum mati oleh pengadilan negara pada

Tahun 399 SM, membuat Plato benci kepada pemerintahan

demokratis. Kematian gurunya membuat Plato enggan bergelut di

dunia politik, padahal sebagai keturunan aristokrat bukanlah

hal yang sulit untuk bergelut di dunia politik. Plato lebih

memilih jalan hidup layaknya sang guru, yakni menjadi Filosof.

Bagi Plato, Socrates adalah “orang terbijaksana, terjujur,

terbaik dari semua manusia yang saya pernah kenal”. Tuturnya

Maka tak heran jika pemikiran Plato banyak yang terpengaruh

oleh Socrates.

Masa muda Plato terjadi ketika Athena mengalami masa

kemunduran, dan meninggalnya Socrates, akhirnya membut Plato

memutuskan untuk berkelana meninggalkan Athena. Dia berkelana

ke Sicilia dan Italia, bahkan kabarnya dia berkelana hingga

Afirka, Mesir dan beberapa negara di Timur Tengah. Kabarnya

Plato berkelana selama 10-12 tahun, dan setelah itu kembali

lagi ke Athena. Sekitar tahun 387 SM dia kembali ke Athena,

mendirikan perguruan di sana, dan Akademinya di beri nama

Academica itu, tidak sekedar untuk pengembangan ilmu

pengetahuan, melainkan lebih dari itu, diharapkan menjadi

4

pabrik pembentukan dan penempa orang-orang yang dapat membawa

perubahan bagi Yunani.

Lembaga pendidikannya diharapkan dapat membentuk

manusia yang berpengetahuan yang dilakukan atas nama negara

dalam rangka mencapai kebajikan.

Ada dua macam pengetahuan yang dikemukakan

oleh Plato. Pengetahuan yang pertama adalah pengetahuan yang

diperoleh melalui pengalaman atau indera (pengetahuan

pengalaman) dan yang kedua adalah pengetahuan yang diperoleh

melalui akal (pengetahuan akal). Plato membandingkan kedua

pengetahuan tersebut dan mempertimbangkan mana yang benar

dari antara keduanya.

Tujuan pengetahuan menurut Plato dapat kita lihat dari

mitos Plato yang sudah masyhur sekali tentang penunggu-

penunggu gua yang termuat dalam dialog Politisnya. Manusia

dapat dibandingkan dengan orang-orang tahanan yang sejak lahir

terbelenggu dalam gua; mukanya tidak dapat bergerak dan selalu

terarah kepada dinding gua. Dibelakang mereka ada api

bernyala. Beberapa orang budak belian mondar-mandir di depan

api itu, sambil memikul bermacam-macam benda. Hal itu

mengakibatkan rupa-rupa bayangan yang dipantulkan pada dinding

gua. Karenanya orang tahanan itu menyangka bahwa bayang-bayang

itu merupakan realitas yang sebenarnya. Namun sesudah beberapa

waktu, satu orang tahanan dilepaskan. Ia melihat sebelah

belakang gua, ternyata hanya yang ada api. Ia sudah

memperkirakan bahwa bayang-bayang tidak merupakan realitas

5

yang sebenarnya. Lalu ia dihantar keluar gua dan melihat

matahari yang meyilaukan matanya. Mula-mula ia berpikir, ia

sudah meninggalkan realitas. Tetapi berangsur-angsur ia

menginsafi bahwa itulah realitas yang sebenarnya dan bahwa

dahulu ia belum pernah memandangnya. Pada akhirnya ia kembali

ke dalam gua dan bercerita kepada teman-temannya bahwa apa

yang mereka lihat bukannya realitas sebenarnya melainkan hanya

bayang-bayang saja.

Mitos ini mesti dimengerti sebagai berikut; Gua

tadi ialah dunia yang disajikan kepada panca indera kita.

Kebanyakan orang dapat dibandingkan dengan orang tahanan yang

terbelenggu: mereka menerima pengalaman spontan begitu saja.

Tetapi ada beberapa orang yang mulai memperkirakan bahwa

realitas indrawi tidak lain daripada bayang-bayang saja:

merekalah filsuf. Mula-mula mereka merasa heran sekali, tetapi

berangsur-angsur mereka menemukan Ide “yang Baik” (matahari)

sebagai realitas tertinggi. Untuk mencapai kebenaran, yang

perlu ialah suatu pendidikan; harus diadakan suatu usaha

khusus untuk melepaskan diri dari panca indera yang

menyesatkan. Tetapi, sebagaimana terjadi dalam mitos, filsuf

pun tidak akan dipercayai orang.

Mitos tersebut sebenarnya berbicara mengenai

perbedaan mendasar antara 2 hal yang dikemukakan plato, yaitu:

a. Apa yang dapat diindera dengan apa yang hanya dapat

ditangkap oleh logika, dan

6

b. Dunia indera atau dunia fisik (materi) dengan dunia Ide

(Idea).

Ide “yang Baik” menurut Plato tidak sama dengan

kebenaran maupun pengetahuan, kebenaran lebih dari cahaya dan

penglihatan, yang identik dengan matahari. Ini yang dimaksud

Plato konsep trinitas yang terkenal yaitu: yang Benar, yang

baik dan yang Indah. ‘Yang Baik’ dibutuhkan untuk kebenaran,

yaitu yang memberikan obyek kebenarannya. ‘Yang Baik’ juga

memberikan daya penglihatan kepada kepandaian, dan pengetahuan

akan kebenaran mengisi kita dengan keindahan.

Jadi hal penting yang disampaikan Plato dari

cerita ini adalah seseorang dikatakan memperoleh pengetahuan

jika ia menemukan ide “Yang Baik”.

1.2 Dunia Jadi

Plato termotivasi oleh kesenjangan antara ide-ide yang

dapat kita pikirkan dan dunia fisik di sekitar kita. Sebagai

contoh, meskipun kita memiliki gambaran mental yang cukupjelas

tentang keadilan, akan tetapi segala sesuatu yang kita lihat

dan dengar jauh dari keadilan yang sempurna. Kita memiliki

visi keindahan, tetapi tidak ada sesuatu pun yang sepenuhnya

indah. Tidak ada yang benar-benar taat, berbudi luhur, dan

sebagainya. Segala sesuatu di alam material memiliki

kelemahan. Kita memiliki beberapa pemahaman tentang idealisme/

cita-cita yang sempurna, namun kita tidak pernah menemukan

mereka. Mengapa demikian?

7

Jawaban Plato adalah bahwa ada sebuah alam bentuk (realm

of form) yang berisi sesuatu yang sempurna seperti Keindahan,

Keadilan, dan Kebaikan. Terkadang ia berbicara tentang

'Keindahan itu sendiri', 'Keadilan itu sendiri', dan Kebaikan

itu sendiri '. Sebuah objek fisik, seperti lukisan, ini indah

sejauh bahwa ia menyerupai ',' berperan dalam ', atau'

memiliki bagian dari 'Keindahan itu sendiri. Seseorang hanya

sejauh bahwa ia menyerupai Keadilan itu sendiri. Plato

menyebut alam fisik dunia Menjadi (the world of becoming), karena

benda-benda fisik dapat berubah dan mengalami kerusakan.

Mereka menjadi lebih baik serta lebih buruk. Apa yang indah

bisa menjadi jelek. Apa yang berbudi luhur bisa menjadi keji.

Sebaliknya, bentuk-bentuk bersifat kekal dan tidak pernah

berubah. Keindahan itu sendiri akan selalu sama; suatu benda

indah sejauh bahwa masih memenuhi sifat abadi, standar yang

yang tidak berubah . Jelas, kemudian, Plato tidak akan

menganut slogan bahwa keindahan ada di mata yang melihatnya.

Hal yang sama berlaku untuk keadilan dan Bentuk lainnya. Tidak

ada yang subjektif, atau konvensional, atau kultur-relatif

tentang bentuk-bentuk tersebut.

Mari saya mengingatkan Anda tentang perbedaan yang kita

susun sebelumnya dan sudah sering dibuat pada kesempatan

lain, antara banyaknya hal-hal yang kita sebut baik atau

indah atau apa pun itu dan, di sisi lain, Kebaikan itu

sendiri atau Keindahan sendiri dan sebagainya. terkait

dengan masing-masing dari himpunan banyak hal ini, kita

8

berdalil/ berpostulat sebuah bentuk tunggal atau esensi

nyata seperti yang kita sebutkan ... lebih lanjut, banyak

hal tersebut, kita katakan, dapat dilihat, tetapi bukan

objek pemikiran yang masuk akal(dari pemikiran rasional);

sedangkan bentuk-bentuk adalah adalah objek-objek dari

pemikiran, tetapi yang tidak terlihat.

Salah satu tulisan Plato lainnya, Meno, mengisyaratkan

satu epistemologi lain. Di sana, Plato memiliki Socrates yang

memimpin seorang budak tentang teorema bahwa kuadrat dari

diagonal persegi yang diberikan adalah dua kali lipat luas

persegi tersebut. Socrates menekankan bahwa dia maupun orang

lain, mengajarkan teorema untuk budak itu. Dengan mengajukan

pertanyaan yang dipilih dengan cermat, dan menunjuk ke aspek

diagram yang dibuat, Socrates memanggil budak untuk menemukan

teorema untuk dirinya sendiri. Plato menggunakan percobaan dengan

mendukung doktrin bahwa saat menangani geometri-atau dunia jadi

(the world of Being) yang pada umumnya-apa yang disebut 'mempelajari'

adalah sebenarnya mengingat dari kehidupan silam, mungkin masa

ketika seseorang memiliki akses langsung ke dunia jadi . Para

pemikir di waktu itu tidak sepakat pada sifat dan peran

'pengingatan' dalam epistemologi Plato ini, dan sebagian besar

kaum Platonis selanjutnya tidak menggunakannya. Pada sebarang

kasus, Plato meyakini bahwa jiwa adalah kategori ontologis

ketiga, dengan kemampuan untuk memahami keduanya dunia Jadi

maupun dunia Menjadi.

9

Dengan atau tanpa unsur 'mistis' dari epistemologi

tersebut kita peroleh dari dialog bahwa dunia fisik/alam dibangun

seperti itu hanya agar kita akan terdorong melampaui indera kita

untuk menyelidiki dunia jadi. Untuk Plato, matematika adalah

sebuah langkah utama dalam proses tersebut. Hal ini mengangkat

seseorang, mencapai melebihi dunia materi ke dunia jadi yang

abadi .

1.3 Filsafat Plato Tentang Matematika

Matematika, atau setidaknya geometri, menyediakan contoh

langsung dari kesenjangan antara dunia material yang keliru di

sekitar kita dan tenang, ideal, dunia sempurna dari pemikiran.

Dari sebelum masa Plato hingga saat ini kita telah memiliki

definisi yang seutuhnya dari garis lurus tanpa luas, dan tidak

ada lingkaran sempurna, atau setidaknya tak satu pun yang dapat

kita lihat. Mungkin garis lurus dan lingkaran sempurna, dan

sejenisnya, adalah bagian dari ruang fisik (atau ruang waktu)

yang kita semua tempati, namun meskipun demikian, kita tidak

bertemu dengan garis atau lingkaran tersebut, dengan cara apapun

secara fisik. Jadi apa yang kita pelajari dalam geometri, dan

bagaimana kita mempelajarinya?

Untuk lebih jelas, Plato percaya bahwa dalil geometri

secara objektif memang benar atau salah, tergantung pada pikiran,

bahasa, dan sebagainya dari para ahli matematika. Dalam

terminologi Bab 2, dia adalah seorang realis di dalam-nilai

kebenaran. Realisme ini sedikit banyak dianggap, dan tidak

10

berusaha membela, di seluruh dialog. Mungkin tidak ada alternatif

yang serius. Tapi tentang apa geometri itu? Apa ontologi?

Bagaimana geometri diketahui? Plato menyatakan bahwa subjek

kajian geometri adalah alam (realm) objek-objek yang adanya

terlepas dari pikiran manusia, bahasa, dan sebagainya. Dia

berargumen dari realisme dalam nilai kebenaran ke nilai realisme

dalam ontologi, sebuah tema yang berlandaskan berikut sejarah

yang menyeluruh. Klaim-klaim perdebatan utamanya terkait dengan

sifat objek-objek geometris dan sumber dari pengetahuan

geometris. Dia memandang bahwa benda-benda geometris tidak

bersifat fisik, dan bahwa objek tersebut bersifat abadi dan

tidak pernah berubah. dunia Jadi. Dia dengan demikian akan

menolak saran di atas bahwa objek geometris ada di ruang fisik.

Jadi, kita boleh menyimpulkan bahwa dunia geometri Plato terpisah

dari dunia fisik dan, lebih penting, pengetahuan geometris

terlepas dari pengamatan panca indera. Pengetahuan tentang

geometri dicapai oleh pikiran murni, atau dengan mengingat

pengenalan silam kita terhadap bentuk geometris.

Pada akhir Buku 6 Republik Plato memberikan sebuah

metafora dari garis yang dibagi (lihat gambar.2.1). Dunia menjadi

berada di bawah dan dunia jadi Berada di atas (dengan Bentuk yang

baik di atas segalanya). Setiap bagian dari garis dibagi lagi.

Dunia menjadi terbagi ke dalam wilayah benda-benda fisik di atas

dan refleksi dari mereka (misalnya dalam air) di bagian bawah.

Dunia jadi dibagi menjadi bentuk di atas dan objek matematika di

bagian bawah. Hal ini menunjukkan bahwa benda-benda fisik adalah

11

'refleksi' dari objek matematika yang Pada gilirannya, adalah

'refleksi' bentuk-bentuk

THE GOOD

FORMS BEING

Mathematical Objects

Physical objects

BECOMING

Reflection

Gambar 2.1 The divided Line

Namun, ada bukti, termasuk beberapa yang dikatakan oleh

Aristoteles, bahwa Plato mengambil setidaknya beberapa objek

matematika menjadi bentuk. Ada petunjuk bahwa selama periode neo-

Pythagoras kemudian hari Plato mengambil segala bentuk menjadi

matematika .Ada kisah tentang kuliah umum tentang yang baik, di

mana, kekecewaan beberapa pendengarnya, Plato berbicara hampir

seluruhnya dari masalah matematika.

12

Kita tidak perlu menyelesaikan detail-detail penafsiran.

Sebuah benang merah, dari semua periode dan semua interpretasi,

Jadi, kita boleh menyimpulkan bahwa dunia geometri Plato terpisah

dari dunia fisik dan, lebih penting, pengetahuan geometris

terlepas dari pengamatan panca indera. Pengetahuan tentang

geometri dicapai oleh pikiran murni, atau dengan mengingat

pengenalan silam kita terhadap bentuk geometris.

Mengenai ontologi, dan setidaknya sisi negatif dari

epistemologi, argumen Plato adalah kelihatannya sederhana.

Proposisi dari poin masalah geometri yang tidak memiliki

keluasan, dan lingkaran yang sempurna. Dunia fisik tidak

mengandung sesuatu seperti itu, dan kita tidak melihat Euclidean

titik, garis, dan lingkaran. Dengan demikian, bukan tentang apa

pun di dunia fisik, dunia Menjadi, dan kami tidak menangkap objek

geometris melalui indra Tentu saja, beberapa benda-benda fisik

mendekati figur Euclid misalnya Keliling dari sebuah jeruk dan

sebuah lingkaran yang dengan hati-hati digambar di atas kertas

sedikit banyak mirip lingkaran Euclid, jeruk kurang, lingkaran

digambar lagi. Namun teorema geometris tidak berlaku untuk

perkiraan tersebut. Perhatikan, misalnya, teorema bahwa sebuah

garis singgung lingkaran memotong lingkaran di satu titik Bahkan

jika seseorang dengan hati-hati menggambar sebuah lingkaran dan

satu garis lurus yang menyinggung, menggunakan fancy, perangkat

yang mahal atau pensil yang sangat tajam (atau pencetak dengan

resolusi tinggi), kita masih akan melihat bahwa garis saling

tumpang tindih perbatasan lingkaran di daerah kecil, tidak satu

13

titik (lihat gambar 2.2) jika menggunakan papan tulis atau

tongkat di pasir untuk latihan, tumpang tindih akan jauh lebih

besar. Tentu saja, semua ini teorema standar yang perpotongan

sebuah lingkaran dan garis singgung tersebut adalah satu titik

tunggal. Penjelasan Plato lurus ke depan Lingkaran dan garis

digambar hanya perkiraan yang rendah dari Lingkaran dan garis

nyata, yang kita pegang hanya dengan pikiran (atau mengingat.)

Batasan yang kecil tumpang tindih dengan angka digambar adalah

pendekatan yang rendah dari suatu titik.

Gambar 2. 2 Garis singgung ke lingkaran

Untuk lebih memahami pernyataan Plato dalam bagian Buku 7

Republik, dikutip dalam bab 1:

ilmu [geometri] ini bertentangan langsung dengan bahasayang digunakan oleh pakar nya ... bahasa mereka inipaling konyol ... .. mereka berbicara seolah-olah merekamelakukan sesuatu dan seolah-olah semua perkataan merekadiarahkan terhadap tindakan ... .. [Mereka berbicara]dalam mengkuadratkan dan menerapkan dan menambahkan dansejenisnya ... padahal objek nyata dari seluruh subjek

14

adalah ... ..pengetahuan ... ..dari apa kekal itu ada,bukan dari segala sesuatu yang berasal menjadi ini atauitu di beberapa waktu dan tidak lagi dimiliki untukmenjadi ( Plato, 1961, 527a dalam standar penomoran )

Selanjutnya, Jika Plato benar bahwa geometri terkait

dengan objek-objek yang abadi dan tidak pernah berubah dalam

dunia jadi, maka tidak boleh terdapat bahasa dinamis di dalam

geometri. Sukarlah bagi Platonis untuk memahami konstruksi-

konstruksi dalam elemen karya Euclid, misalnya menurut Proclus

(1970), seorang neoplatonis dari abad kelima, masalah tentang

'bagaimana kita dapat menerapkan perpindahan kepada objek-objek

geometris' mengusik banyak pemikir di akademi Plato dari generasi

ke generasi selanjutnya.

Terdapat pula masalah serupa terkait dengan diagram-

diagram yang lazim menyertai demonstrasi-demonstrasi geometris.

Seorang Platonis tentu saja tersesatnya para pembaca kepada

pemikiran bahwa suatu teorema adalah suatu diagram yang

dilukiskan secara fisik. Apakah, jika demikian, tujuan dari

diagram-diagram itu? Penjelasan Plato barangkali adalah bahwa

diagram membantu pikiran dalam menangkap sesuatu yang abadi,

tidak mengubah alam geometris, atau membantu kita untuk mengingat

dunia jadi. Namun, orang mungkin bertanya-tanya bagaimana hal ini

mungkin, karena dunia jadi ini tidak dapat diakses melalui indra.

Dalam Republik (510 d) Plato menulis:

Anda tahu bagaimana ... geometri itu memanfaatkan figurterlihat dan wacana tentang bentuk-bentuk tersebut,melalui apa yang mereka benar-benar ada dalam pikiran

15

asli dari angka tersebut adalah gambaran. Mereka tidakmenalar, misalnya, tentang persegi tertentu dan diagonal;dan dalam semua kasus. Diagram yang mereka gambar danmodel yang mereka buat adalah hal-hal yang sebenarnya,yang mungkin memiliki bayangan atau gambar dalam air,tapi sekarang mereka melayani pada gilirannya merekasebagai gambar, sedangkan siswa berusaha untuk disaksikanorang realitas yang hanya memikirkan bisa memahami

Di sini kita memiliki metafora yang sama seperti dalam

membagi garis: refleksi dan gambar. Saya kira seorang ahli

matematika tingkat lanjut akan tidak memerlukan diagram, jadi

berhubungan langsung dengan semesta geometri. Plato bukanlah

filsuf terakhir yang bertanya-tanya tentang peranan diagram dalam

demonstrasi geometri.

Namun demikian, kita barangkali bertanya-tanya bagaimana

itu mungkin, bukankah dunia jadi tidak dapat ditembus melalui

panca indera? Para Platonis dari masa-masa selanjutnya tidak

mengadosi aspek-aspek yang lebih mistis dari epistimologi Plato,

kebanyakan dari mereka memandang bahwa pengetahuan geometris

bersifat a priori, tidak terikat pengalaman indrawi. Barangkali

pengalaman indrawi diperlukan untuk memahami konsep-konsep yang

relevan, atau kita mungkin memerlukan diagram yang dilukis

sebagai alat bantu visual bagi pikiran, atau barangkali untuk

menggugah pikiran ke alam (realm) geometris yang abadi dan tidak

berubah dari ruang Euclid. Namun demikian, pentinglah diketahui

bahwa berdasarkan ontologi Platonis pada prinsipnya pengetahuan

matematis tidak terikat pada pengalaman inderawi.

16

Pandangan ini meninggalkan permasalahan yang menjelaskan

mengapa geometri berlaku untuk dunia fisik, bahkan kurang lebih

Dalam Timaeus Plato menyediakan sebuah cerita rinci, tetapi

spekulatif tentang bagaimana dunia fisik dibangun secara

geometris, dari kelima yang disebut padatan Platonis: tetrahedron

(piramida), segi delapan, segienam (cube), icosahedrons,

dodecahedron.

Rincian pandangan Plato mengenai aritmatika dan aljabar

tidak sangat langsung sebagaimana penjabarannya tentang

geometri, tetapi gambaran keseluruhan adalah sama Dia adalah

seorang realis dalam nilai kebenaran maupun dala, ontologi,

berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan dalam aritmatika dan

aljabar benar atau salah tidak terikat pada matematikawan, dunia

fisik, dan bahkan pikiran, dan dia memandang bahwa pernyataan-

pernyataan aritmatika adalah tentang suatu alam (realm) objek-

objek abstrak yang disebut 'bilangan-bilangan' Dalam Sofis

(238a), mengatakan bahwa 'dalam hal memikirkan yang ada kita

menyertakan bilangan secara umum' Theaetetus menjawab, "Ya,

bilangan harus ada jika ada sesuatu '

Dialog berisi beberapa bagian yang menerapkan perbedaan

Platonis dalam hal bilangan. Ada, tentu saja, jumlah objek

material, yang dapat kita sebut 'bilangan fisik'. Ini adalah

bilangan di dunia menjadi. Ini dibedakan dengan 'bilangan itu

sendiri'. Yang tidak ditangkap oleh indera, tetapi dengan pikiran

murni saja.

17

Dalam Philebus (56), misalnya, Plato dan Socrates

membedakan antara 'orang biasa' dan 'filsuf' dalam hal

aritmatika. Ada, dalam pengertian tertentu, dua nya aritmatika

yang berbeda. lawan bicara, Plutarchus, menanyakan 'apa

prinsipnya ... adalah perbedaan ini ... akan didasarkan?

"Socrates menjawab:' ahli ilmu hitung biasa, pasti, beroperasi

dengan satuan yang tidak sama; "dua nya" mungkin dua nya tentara

atau dua ekor sapi atau dua suatu benda dari hal terkecil di

dunia hingga yang terbesar, sedangkan filsuf tidak berhubungan

dengan hal tersebut, kecuali dia setuju untuk membuat setiap

contoh dari unitnya tepat sama dengan setiap yang lainnya dari

jumlah yang tak terbatas atas kejadian. "Lihat juga Theaetetus,

196, Republik, 525. dengan demikian kita melihat aritmatika itu,

seperti geometri, berlaku untuk dunia material hanya kira-kira,

atau hanya sejauh obyek yang dapat dibedakan satu sama lain .

Aritmatika filsuf berlaku secara akurat dan benar hanya untuk

dunia jadi.

Bagian atas dari Philebus menunjukkan catatan lain

aritmatika Plato. Ketika ahli ilmu hitung biasa menghitung

sepasang sepatu, sepatu masing-masing adalah satu unit, tetapi

dua sepatu yang tidak memiliki bentuk yang sama atau bahkan

ukuran yang sama persis . Sebaliknya, ketika para filsuf

menghitung 'dua ', ia mengacu pada sepasang unit yang sama dalam

segala hal. Untuk filsuf, bilangan merupakan kumpulan satuan yang

murni, yang bisa dibedakan dari satu sama lain (Republic, 425,

Sofis, 245)

18

Perhatikan, kebetulan, bahwa untuk kedua nya baik orang

biasa dan filsuf, bilangan' selalu sejumlah sesuatu atau lainnya.

bilangan orang biasa adalah jumlah koleksi seperti tentara dan

sapi. angka filsuf dari satuan yang murni.

Sejumlah sumber kuno membedakan teori bilangan, yang

disebut 'aritmatika' dari teori perhitungan, yang disebut

'logistik'. Sebagian besar penulis sumber-sumer itu memandang

logistic sebagai sebuah disiplin ilmu praktis, terkait dengan

pengukuran dan urusan perdagangan (misalnya Proclus 1970: 20.

Kita mungkin berpikir bahwa penggolongan ini cocok dengan Plato,

berdasarkan perbedaan tajam antara dunia Jadi dan dunia menjadi.

Aritmatika terkait dengan apa yang jadi, sedangkan logistik

terkait dengan apa yang Menjadi. Namun demikian, Plato membawa

aritmatika dan logistik berfokus pada dunia jadi. Perbedaannya

adalah tentang bagaimana bilangan-bilangan asli itu sendiri

dipelajari. Aritmatika 'berkaitan dengan genap dan ganjil, dengan

mengacu pada berapa banyak tiap kejadian akan terjadi' (Georgias,

451. Jika 'seseorang menjadi sempurna dalam seni aritmatik',

maka'ia mengerti semua bilangan” (Theaetetus, 198). Logistik

Plato berbeda dari aritmatika 'sejauh hal itu mempelajari genap

dan ganjil yang berkaitan dengan banyaknya mereka buat baik

dengan diri mereka sendiri dan satu sama lain' (Georgias, 451).

Aritmatika demikian berkaitan dengan bilangan asli secara

individu dan logistik menyangkut hubungan antara bilangan-

bilangan. Untuk logistik, Plato mengusulkan prinsip-prinsip

bagaimana bilangan asli yang 'dihasilkan' dari bilangan asli

19

lainnya (meskipun gnomon. Ini adalah sesuatu yang mirip dengan

perlakuan aksiomatik tentang asal mula ontologi.

Plato mengatakan bahwa seseorang harus mengejar keduanya

aritmatika dan logistik untuk dapat mengetahui. Ini adalah

melalui studi tentang bilangan itu sendiri, dan hubungan antar

bilangan, bahwa jiwa mampu memahami sifat bilangan karena

bilangan dalam diri mereka sendiri. Seperti Jacob Klein (1968:

23) mengatakan, logistik teoritis 'menimbulkan sebuah ilmu

eksplisit bahwa pengetahuan tentang hubungan antara bilangan yang

... ..precedes, dan tentu saja harus mendahului, semua

perhitungan'. Logistik Plato untuk perhitungan praktis geometri

adalah untuk bilangan yang digambarkan di atas kertas atau pasir.

Orang mungkin bertanya-tanya, dengan Klein (1968: 20),

hanya pada apa yang akan dipelajari dalam aritmatika Plato, yang

bertentangan dengan logistik nya. Mungkin, seni perhitungan-

melafalkan bilangan aritmatika. Tetapi 'penjumlahan dan juga

pengurangan hanya peluasan penghitungan'. Selain itu, 'menghitung

sendiri sudah mensyaratkan sesuatu yang berhubungan dan

membedakan terus menerus hal-hal yang bernomor serta bilangan'.

Klein (1968: 24) sementara menyimpulkan bahwa rasio terkait

logistik antar unit murni, sementara aritmatika terkait

perhitungan, penjumlahan, dan pengurangan. Sejalan dengan dialog,

mungkin lebih baik untuk memikirkan logistik Plato sebagai apa

yang kita sebut 'aritmatika', yaitu studi matematika dari

20

bilangan asli. Aritmatika Plato adalah bagian dari filsafat yang

lebih tinggi, di mana mencakup bilangan itu sendiri.

1.4 Manfaat Matematika bagi Plato

Kekaguman Plato atas yang dilakukannya menarik dari ahli

matematika adalah sangat jelas, bahkan bagi pembaca. Seperti

Gregory Vlastos (1991: 107) mengatakan, Plato ‘ mampu terbaik

Akademi pada diberikan persyaratan mudah dengan ahli matematika

yang terbaik nya waktu, dan saling mendorong antusiasme mereka

untuk pekerjaan mereka. Beberapa pakar masa kini telah

mencurahkan perhatian pada pengaruh perkembangan matematika

terhadap filsafat plato. Secara dramatis, mereka mengungkap

beberapa perbedaan mencolok antara Plato dan Socrates, sang guru

bagi Plato.

Sejauh yang kita ketahui, ketertarikan utama Socrates

'adalah dalam etika dan politik, bukan matematika dan sains. Ia

menganggap dirinya memiliki amanah ilahi untuk menyebarkan

filosofi untuk semua orang. Kita semua senang dalam gambaran

Socrates menjelajahi jalan di Athena membahas keadilan dan

kebajikan dengan siapa saja yang mau mendengarkan dan berbicara.

Siapa Saja. Dia hidup dengan slogan bahwa renungan-renungan

filosofis adalah esensi dari kehidupan. Kitaterlahir untuk

berpikir. Pada pengadilan terhadapnya, Socrates mengungkapkan

bahwa sekedar tutup mulut dan memikirkan urusannya sendiri adalah

sebentuk ketidaktaatan kepada Tuhan (Apology, 38 a)

21

Socrates biasanya berwacana dengan terlebih dahulu

mengungkap keyakinan-keyakinan orang yang diajaknya bicara dan

kemudian, melalui pengajuan pertanyaan-pertanyaan yang teliti,

berupaya menarik konsekuensi-konsekuensi yang mengejutkan dan

tidak dikehendaki dari keyakinan-keyakinan itu. Metodenya tampak

sebagai suatu teknik untuk memangkas keyakinan-keyakinan yang

salah. Pada sebagian besar kasus, wacananya tidak berakhir dengan

reduction ad absurdum dari pandangan awal si orang yang diajak

bicara. Jika pun metodenya menghasilkan kebenaran, maka itu

dicapai hanya melalui proses eliminasi atau barangkali trial and

error.

Dengan demikian, metode Socrates tidak berakhir dengan

suatu kepastian.Metodenya memang memberitahu kita bahwa beberpa

pandangan kita salah atau membingungkan, tetapi pada akhirnya

tidak menunjukkan keyakinan-keyakinan mana yang salah atau

membingungkan itu. Metode ini bersifat falibel dan hipotetis.

Orang yang diajaknya bicara ditantang hanya untuk mengkaji ulang

keyakinan-keyakinannya dan belajar dengan merumuskan keyakinan-

keyakinan yang baru. Socrates tidak pernah mengklaim pengetahuan

positif khusus apapun tentang keadilan, kebajikan, dan

sebagainya.

Metodologi Plato yang telah matang tidak menyerupai

metode gurunya dalam beberapa segi. Plato memandang bahwa

matematika “secara universal berguna dalam semua keterampilan dan

dalam setiap bentuk pengetahuan dan operasi intelektual-hal

22

pertama yang harus dipelajari oleh setiap orang” (Republic, 523).

Tidak seperti gurunya, Plato meyakini bahwa filsafat bukan untuk

setiap orang. Di dalam persemakmuran yang divisikan dalam Republic,

hanya beberapa pemimpin yang dipilih secara ketat saja yang ikut

serta dalam renungan filosofis, dan hanya setelah masa pelatihan

yang berlangsung sampai mereka berusia sekurang-kurangnya 50

tahun. Setiap orang hanya melakukan apa yang terbaik yang dapat

dilakukannya.

Socrates tidak memberikan kedudukan yang istimewa bagi

matematika, sedangkan plato memandang matematika sebagai gerbang

ke dunia. Jadi, suatu gerbang yang harus dilalui jika seseorang

berharap untuk memahami segala sesuatu yang real. Matematika,

prasyarat untuk studi filosofis, menuntutkan periode studi yang

panjang dank eras. Oleh karena itu, dalam pandangan plato,

tidaklah mengherankan jika sebagian besar dari kita harus

menjalani kehidupan dalam keawaman tentang realitas yang sejati,

dan harus bersandar kepada Penjaga-para pakar filsafat-untuk

menunjukkan kepada kita bagaimana cara menjalani kehidupan yang

baik.

Keterkaitan Plato terhadap matematika barangkali menjadi

alasan ketidaktaaatannya terhadap metodologi Socrates yang

bersifat hipotetis dan falibel. Matematika berkembang (atau

seharusnya berkembang) via bukti, bukan hanya sekedar ‘trial dan

error’. Di dalam meno,Plato menggunakan studi geometric, dan

23

demonstrasi geometric, sebagai paradigma untuk seluruh

pengetahuan, termasuk pengetahuan moral dan metafisika.

2. ARISTOTELES

2.1 Biografi Aristoteles

Aristoteles lahir tahun 384 SM di Stagira, kota di

wilayah Chalcidice, Thracia, Yunani (dahulunya termasuk wilayah

Makedonia tengah). Ayahnya bernama Nicomachus yang

merupakandokter pribadi Raja Amyntas dari Makedoniasedangkan

ibunya bernama Phaestis. Pada usia 17 tahun, Aristoteles menjadi

murid Plato. Belakangan ia meningkat menjadi guru di Akademi

Plato di Athena selama 20 tahun. Aristoteles meninggalkan akademi

tersebut setelah Plato meninggal, dan menjadi guru bagi

Alexander dari Makedonia.

Aristoteles kembali ke Athena saat Alexander berkuasa

pada tahun 336 SM. Dengan dukungan dan bantuan dari Alexander, ia

kemudian mendirikan akademinya sendiri yang diberi nama Lyceum,

yang dipimpinnya sampai tahun 323 SM. Perubahan politik seiring

jatuhnya Alexander menjadikan dirinya harus kembali kabur dari

Athena guna menghindari nasib naas sebagaimana yang dulu dialami

Socrates. Aristoteles meninggal tak lama setelah pengungsian

tersebut. Ia meninggal pada tahun 322 SM, pada usia 62 tahun di

kota Chalcis Yunani.

2.2 Benih Empirisme: Aristoteles

Sebagian besar dari apa yang dikatakan oleh Aristoteles,

salah seorang murid Plato, tentang matematika adalah polemik

24

terhadap pandangan-pandangan Plato, dan tidak banyak konsensus di

antar para pakar tentang pernyataan-pernyataan positif yang

diungkapkannya. Namun demikian, sekurang-kurangnya terdapat

arahan penting terkait penjelasan-penjelasannya mengenai

matematika yang menjadi petunjuk bagi beberapa pemikir modern.

Filsafat-filsafat Aristoteles mengandung benih-benih empirisme.

Seperti yang telah dibahas, filsafat Plato tentang

matematika terikat pada penjelasannya tentang bentuk-bentuk

sebagai entitas-entitas yang bersifat abadi dan tak berubah di

dunia jadi, terpisah dari realm fisik. Di sisi lain, filsafat

Aristoteles tentang matematika bertumpu pada penolakan terhadap

suatu dunia jadi yang tersendiri. Aristoteles menerima eksistensi

bntuk-bentuk atau universal-universal, tetapi dia berpandangan

bahwa semua itu tidak terpisah dari objek-objek individual yang

mewakili bentuk-bentuk. Keindahan misalnya, adalah apa yang sama-

sama dimiliki oelh semua yang indah, dan bukanlah sesuatu yang

lebih dari apa-apa yang indah tersebut. Seandainya seseorang

berhasil memusnahkan semua yang indah itu, maka dia akan

memusnahkan keindahan itu sendiri---- karena tidak ada lagi

tempat untuk adanya keindahan. Hal yang sama berlaku pula untuk

keadilan, kebajikan, Manusia, dan bentuk-bentuk lainnya.

Ringkasnya, bagi Aristoteles segala sesuatu di dunia fisik

memiliki bentuk-bentuk, tetapi tidak ada dunia yang terpisah

untuk mewadahi bentuk-bentuk ini. Dengan demikian, bentuk-bentuk

ada di dalam objek-objek individual.

25

Aristoteles kadang-kadang mengisyaratkan bahwa

pertanyaan yang penting sebenarnya terkait dengan sifat dari

obejk-objek matematis, bukan melulu tentang eksistensi atau non-

eksistensinya: “Jika objek-objek matematis ada, maka objek-objek

matematis tentu ada dalam objek-objek yang tampak seperti

seseorang katakan, atau terpisah dari objek-objek yang tampak

(seseorang mengatakan ini juga), atau jika ada dalam kedua-duanya

maka objek-objek matematis sama sekali tidak ada atau objek-objek

matematis ada dalam suatu cara lainnya. Jadi perdebatan kita

tidak akan membahas ada-tidaknya objek-objek matematis itu,

melainkan tentang dalam cara seperti apa objek-objek matematis

itu ada” (Metaphysics; Buku M; 1076a; versi terjemahan berbahasa

inggris yang digunakan di sini dan selanjutnya dari Annas 1976).

Salah satu masalah bagi Aristoteles adalah bahwa jika

kita ingin menolak bentuk-bentuk Platonik, maka apakah alasan

untuk meyakini keberadaan objek-objek matematis? Apakah sifat

dari objek-objek matematis (Jika objek-objek itu ada) dan yang

terpenting, untuk apakah kita memerlukan objek-objek matematis?

Apakah yang objek-objek itu bantu jelaskan atau apakah yang

diterangkan oleh objek-objek itu?

Penjelasan Aristotleles tentang objek-objek matematis

sesuai dengan penjelasannya tentang bentuk-bentuk. Dia meyakini

bahwa objek-objek matematis “ada dalam objek-objek yang tampak,”

tidak terpisah darinya. Namun demikian tidak banyak konsensus

mengenai apa sebenarnya yang dimaksudnkannya. Tentang geometri,

Aristoteles tampak memandang objek-objek fisik memuat permukaan,

26

garis, dan titik yang dipelajari dalam matematika. Seorang

geometer, menurut Aristoteles, tidak memandang permukaan-

permukaan, misalnya sebagai permukaan-permukaan dari objek-objek

fisik. Di dalam pikiran seseorang dapat memisahkan permukaan-

permukaan, garis-garis,dan titik-titik dari objek-objek fisik

yang memuatnya. Ini berarti bahwa kita dapat berfokus pada

permukaan, garis, dan titik dan mengabaikan fakta bahwa semua itu

objek-objek fisik. Pemisahan ini bersifat psikologis atau

barangkali logis. Ini terkait dengan bagaimana kita berpikir

tentang objek fisik. Bagi Aristoteles,kesalahan Plato terletak

pada kesimpulan bahwa objek-objek geometris secara metafisik

terpisah dari kejadian-kejadian fisiknya, hanya karena para

matematikawan berhasil mengabaikan aspek-aspek fisik tertentu

dari bidang kajian mereka.

Terdapat dua interpretasi untuk pandangan Aristoteles

tentang matematika. Interpretasi yang pertama membahas objek-

objek matematis secara serius dan kurang lebih secara harfiah.

Berdasarkan interpretasi ini, Aristoteles mempostulasikan suatu

kemampuan abstraksi di mana objek-objek diciptakan atau jika

tidak demikian, diperoleh atau dipaahami, dengan cara merenungkan

objek-objek fisik. Kita mengabstraksi beberapa dari ciri-cirinya.

Jadi, objek-objek geometris adalah bentuk-bentuk dari objek-objek

fisik--- tentu saja bentuk menurut pemaknaan Aristoteles, bukan

pemaknaan dari Plato. Objek-objek matematis yang diperoleh

melalui abstraksi bersifat tidak ada mendahului, atau lepas dari

objek-objek fisik yang diabstraksinya.

27

Pada interpretasi ini bilangan-bilangan asli misalnya,

diperoleh via abstraksi dari kumpulan objek-objek fisik. Kita

mulai dengan sekelompok, misalnya lima ekor kambing dan secara

selektif mengabaikan perbedaan-perbedaan di antara kambing-

kambing itu atau bahkan fakta bahwa semua itu adalah kambing.

Kita hanya berfokus pada fakta bahwa kambing-kambing itu adalah

objek-objek berbeda, dan tiba pada bilangan 5, yang adalah suatu

bentuk dari grup tersebut. Jadi, bilangan-bilangan itu ada

sebagai bentuk-bentuk menurut pemaknaan Aristoteles, dalam

kelompok-kelompok dari objek-objek yang diwakili oleh bilangan-

bilangan.

Interpretasi yang kedua untuk pertanyaan-pertanyaan

Aristoteles tentang matematika meninggalkan abstraksi ontologis,

dan oleh karena itu menolak realisme dalam ontologi. Kita tidak

memperoleh objek-objek geometris atau objek-objek aritmetik via

proses apa pun. Ringkasnya, tidak terdapat objek-objek yang

demikian. Strategi pandangan ini adalah mempertahankan realisme

dalam nilai kebenaran dan dengan demikian, objektivitas dari

matematika. Aristoteles memandang bahwa postulasi objek-objek

geometris tidak berbahaya karena misalnya lingkaran fisik yang

real juga memiliki semua dari ciri-ciri yang kita lekatkan pada

lingkaran yang kita postulasikan.

Pada interpretasi ini, seorang geometer secara ketat dan

harfiah, hanya membicarakan objek-objek fisik. Namun demikian,

tidaklah berbahaya kita berlaku seolah-olah bahwa lingkaran

geometris itu bersifat terpisah. Dengan kata lain, objek-objek

28

geometris adalah fiksi-fiksi yang bermanfaat. Misalkan seorang

geometer berkata, “misalkan A adalah suatu segitiga sama kaki.”

Dia dengan demikian melekatkan pada A hanya ciri-ciri yang

disimpulkan dari adanya sebagai suatu segitiga sama kaki. Para

matematikawan kadang-kadang mengatakan bahwa A adalah ‘sebarang’

segitiga sama kaki, tetapi apa yang mereka maksudkan yaitu bahwa

A boleh segitiga sama kaki yang mana saja. Pada interpretasi

kedua tentang Aristoteles ini, bukanlah suatu fiksi yang

berbahaya kita katakan bahwa A adalah suatu objek khusus yang

memiliki semua ciri yang umum bagi semua segitiga sama kaki.

Penjelasan serupa mengenai aritmetika dapat diperoleh

dengan menganggap suatu objek tertentu dalam suatu kelompok

sebagai ‘tidak terbagi’ atau sebagai ‘suatu unit’. Di dalam suatu

kelompok lima ekor kambing misalnya, seorang matematikawan

menganggap tiap kambing sebagai tidak terbagi. Tentu saja,

seperti diketahui oleh jagal hewan, tiap kambing sangat dapat

dibagi-bagi sedemikian hingga asumsi matematikawan itu salah.

Tetapi gagasan di sini adalah bahwa sang matematikawan

mengabaikan setiap ciri dari kumpulan yang timbul dari

keterbagian masing-masing kambing. Kita berlaku seolah tiap

kambing tidak terbagi sehingga kita memperlakukannya sebagai

tidak terbagi.

Pada dua interpretasi untuk filsafat Aristoteles tentang

matematika tersebut, aplikabilitas matematika pada dunia fisik

bersifat langsung. Matematikawan mempelajari ciri-ciri real dari

objek-objek fisik yang real. Tidak ada keperluan untuk

29

mempostulatkan suatu hubungan antara realm matematis dan realm

fisik, karena kita tidak sedang menangani dua realm terpisah. Ini

adalah benih empirisme, atau paling tidak,suatu bentuknya.

Tidak seperti pandangan Plato, dua interpretasi untuk

pandangan Aristoteles memaknai bahasa dinamis yang khas dalam

geometri. Karena geometri berkaitan dengan objek-objek fisik atau

abstraksi-abstraksi langsung dari objek-objek fisik maka wacana

tentang misalnya, “mempersegikan dan menerapkan dan menjumlahkan

dan semacamnya” menjadi wajar. Misalnya, kita pikirkan prinsip

Eulid bahwa di antara sebarang dua titik seseorang dapat melukis

suatu garis lurus. Bagi Palto, ini adalah pernyataan kabur

tentang eksistensi garis-garis. Di sisi lain Aristoteles dapat

memperlakukan prinsip tersebut secara harfiah.

2.3 Implikasi Pemikiran Plato Dan Aristoteles Pada Perkembangan

Pendidikan

Pemikiran Plato dan Aristoteles memberikan pengaruh pada

dunia pendidikan khususnya dalam bidang matematika. Plato dengan

aliran rasionalisme yang membuktikan segala sesuatu secara

deduktif sedangkan Aristoteles sebagai penggagas empirisme yang

bekerja secara induktif. Tentunya kedua aliran dan metode yang

dipakai oleh keduanya sangat berguna. Ada kalanya kita

menggunakan metode induktif ketika mendidik siswa-siswa di

sekolah dasar karena pada usia itu mereka masih memerlukan objek

yang konkrit untuk dapat memahaminya dengan baik. Sedangkan untuk

30

yang deduktif dapat diterapkan pada pembelajaran orang yang telah

dewasa.

BAB IIIPENUTUP

1. Kesimpulan

2. Saran

31

DAFTAR PUSTAKA

Stewat, Shapiro, Thinking About Mathematics, University Pers:

Oxford.

Wahyudin, 2013, Hakikat, Sejarah, Dan Filsafat Matematika, penerbit

Mandiri : Bandung

32

33