Upload
atmajaya
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Pendahuluan
Persaingan sangat dibutuhkan dalam peningkatan kualitas hidup
manusia. Dunia yang kita kenal sekarang ini adalah hasil dari
persaingan manusia dalam berbagai aspek. Persaingan yang
dilakukan secara terus-menerus untuk saling mengungguli membawa
manusia berhasil menciptakan hal-hal baru dalam kehidupan yang
berangsur-angsur menuju arah yang semakin maju dari sebelumnya.
Untuk terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak,
persaingan yang harus dilakukan adalah persaingan yang sehat.
Kegiatan ekonomi dan bisnis pun tidak luput dari sebuah
persaingan, mengingat kegiatan ini dilakukan banyak pihak untuk
menunjang kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, hukum yang
mengatur persaingan usaha dalam kegiatan ekonomi dan bisnis
sangat diperlukan semua pihak supaya tidak ada pihak-pihak yang
merasa dirugikan.
Seiring dengan Era Reformasi, telah terjadi perubahan yang
mendasar dalam bidang hukum ekonomi dan bisnis, yang ditandai
antara lain dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, yang di banyak negara disebut Undang-Undang Antimonopoli.
Undang-undang seperti ini sudah sejak lama dinantikan oleh
pelaku usaha dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat dan
bebas dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah diatur sejumlah larangan praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya,
dengan harapan dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan
perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha atau
sekelompok pelaku usaha dalam berusaha. Dengan adanya larangan
ini, pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dapat bersaing
secara wajar dan sehat, serta tidak merugikan masyarakat banyak
dalam berusaha, sehingga pada gilirannya penguasaan pasar yang
terjadi timbul secara kompetitif. Di samping itu dalam rangka
menyosong era perdagangan bebas, kita juga dituntut untuk
menyiapkan dan mengharmonisasikan rambu-rambu hukum yang
mengatur hubungan ekonomi dan bisnis antar bangsa. Dengan
demikian dunia internasional juga mempunyai andil dalam
mewujudkan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Hukum persaingan usaha merupakan hukum yang mengatur segala
sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha. Menurut Arie
Siswanto, hukum persaingan usaha (competition law) adalah
instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu
harus dilakukan. Menurut Hermansyah hukum persaingan usaha
adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala
aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-
hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan
oleh pelaku usaha. Sedangkan kebijakan persaingan (competition
policy) merupakan kebijakan yang berkaitan dengan masalah-
masalah di bidang persaingan usaha yang harus dipedomani oleh
pelaku usaha dalam menjalankan usahanya dan melindungi
kepentingan konsumen. Tujuan kebijakan persaingan adalah untuk
menjamin terlaksananya pasar yang optimal, khususnya biaya
produksi terendah, harga dan tingkat keuntungan yang wajar,
kemajuan teknologi, dan pengembangan produk.
Sebuah persaingan membutuhkan adanya aturan main, karena
terkadang tidak selamanya mekanisme pasar dapat berkerja dengan
baik (adanya informasi yang asimetris dan monopoli). Dalam
pasar, biasanya ada usaha-usaha dari pelaku usaha untuk
menghindari atau menghilangkan terjadinya persaingan di antara
mereka. Berkurangnya atau hilangnya persaingan memungkinkan
pelaku usaha memperoleh laba yang jauh lebih besar. Di
Indonesia, pengaturan persaingan usaha baru terwujud pada tahun
1999 saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan.
Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut ditunjang
pula dengan tuntutan masyarakat akan reformasi total dalam
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk penghapusan
kegiatan monopoli di segala sektor. Adapun falsafah yang
melatarbelakangi kelahiran undang-undang tersebut ada tiga hal,
yaitu:
1. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada
terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945;
2. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya
kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk
berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang
dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan
efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan
bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
3. Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada
dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak
menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha
tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah
dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-
perjanjian internasional.
Oleh karena itu, perlu disusun undang-undang tentang larangan
praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang
dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan
perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya
untuk meneiptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang ini
memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong
percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan
jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian kelahiran Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk memberikan jaminan
kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku
usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-
praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat
lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang
kondusif, di mana setiap pelaku usaha dapat bersaing secara
wajar dan sehat. Adapun beberapa tujuan diadakannya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 antara lain:
Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi
ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sehat.
Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
Berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha.
Dampak positif lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah
terciptanya pasar yang tidak terdistorsi, sehingga menciptakan
peluang usaha yang semakin besar bagi para pelaku usaha. Keadaan
ini akan memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam
menciptakan dan memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika
hal ini tidak dilakukan, para konsumen akan beralih kepada
produk yang lebih baik dan kompetitif. Ini berarti bahwa, secara
tidak langsung Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan memberikan
keuntungan bagi konsumen dalam bentuk produk yang lebih
berkualitas, harga yang bersaing, dan pelayanan yang lebih baik.
Namun perlu diingat bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bukan
merupakan ancaman bagi perusahaan-perusahaan besar yang telah
berdiri sebelum undang-undang ini diundangkan, selama
perusahaan-perusahaan tersebut tidak melakukan praktik-praktik
yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Kartel
Dalam kamus Oxford, kartel atau cartel didefinisikan, “Cartel is
a group of separate business firms wich work together to
increase profits by not competing with each other”. Artinya,
kartel adalah sebuah kelompok (grup) dari berbagai badan hukum
usaha yang berlainan yang bekerja sama untuk menaikkan
keuntungan masing-masing tanpa melalui persaingan usaha dengan
pelaku usaha lainnya. Mereka adalah sekelompok produsen atau
pemilik usaha yang membuat kesepakatan untuk melakukan penetapan
harga, pengaturan distribusi dan wilayah distribusi, termasuk
membatasi suplai.
Dalam buku Black's Law Dictionary (kamus hukum dasar yang
berlaku di Amerika Serikat), praktik kartel (cartel)
didefinisikan, “A combination of producer of any product joined
together to control its productions its productions , sale and
price, so as to obtain a monopoly and restrict competition in
any particular industry or commodity”. Artinya, kartel merupakan
kombinasi di antara berbagai kalangan produsen yang bergabung
bersama-sama untuk mengendalikan produksinya, harga penjualan,
setidaknya mewujudkan perilaku monopoli, dan membatasi adanya
persaingan di berbagai kelompok industri. Dari definisi
tersebut, praktik kartel bisa dilakukan oleh kalangan produsen
manapun atau untuk produk apapun, mulai dari kebutuhan pokok
(primer) hingga barang kebutuhan tersier.
Pengertian kartel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan
kartel memiliki dua ciri yang menyatu, yaitu:
Organisasi perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi
barang-barang sejenis
Persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan
harga komoditi tertentu.
Poin penting dalam definisi tersebut, bahwa kelompok-kelompok di
dalam suatu kartel terdiri atas kumpulan perusahaan-perusahaan
besar yang menghasilkan barang-barang yang sejenis. Dijelaskan
pula, tujuan utamanya berfokus pada pengendalian harga, sehingga
harga yang terbentuk adalah bukan harga persaingan. Definisi ini
telah menyentuh pada aspek perilaku monopoli.
Samuelson dan Nordhaus dalam buku “Economics” menuliskan
pengertian kartel, “Cartel is an organization of independent
firms, producing similar products, that work together to raise
prices and restrict outputs”. Artinya, kartel adalah sebuah
organisasi yang terbentuk dari sekumpulan perusahaan-perusahaan
independen yang memproduksi produk-produk sejenis, serta bekerja
sama untuk menaikkan harga dan membatasi output (produksi). Poin
penting pada definisi tersebut terletak pada tujuannya, yaitu
menaikkan harga dan membatasi output.
Seorang pakar hukum legal dan ekonom, Richard Postner dalam
bukunya “Economic Analysis of Law” menuliskan pengertian kartel,
“A contract among competing seller to fix the price of product
they sell (or, what is the small thing, to limit their out put)
is likely any other contract in the sense that the parties would
not sign it unless they expected it to make them all better
off”. Artinya, kartel menyatakan suatu kontrak atau kesepakatan
persaingan di antara para penjual untuk mengatur harga penjualan
yang bisa diartikan sebagai menaikkan harga ataupun membatasi
produknya yang setidaknya mirip dengan kontrak pada umumnya di
mana anggota-anggotanya tidak menginginkannya, kecuali mereka
mengharapkan sesuatu yang lebih baik. Definisi kartel oleh
Postner lebih menekankan pada aspek moralitas di mana praktik
kartel sesungguhnya bukan sesuatu yang diinginkan oleh setiap
anggotanya, kecuali mereka hendak mengharapkan bisa mendapatkan
sesuatu yang lebih dari kesepakatan (kontrak) tersebut.
Praktik kartel atau kartel disebutkan pula dalam Pasal 11,
Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan
Usaha yang dituliskan, “Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud
mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Praktik
kartel di Indonesia adalah suatu bentuk perbuatan atau tindakan
yang melanggar hukum, karena akan membentuk suatu perilaku
monopoli ataupun bentuk perilaku persaingan usaha yang tidak
sehat.
Memahami kartel perlu pula memahami prinsip dasar atau
pengertian dasar dari perilaku monopoli. Pengertian monopoli
dalam bukan lagi menitikberatkan pada jumlah pelaku usaha atau
produsen, melainkan pada perilakunya untuk mengendalikan harga
dan distribusi output atau kapasitas output. Jadi bisa saja
perilaku monopoli tadi ditemukan pada struktur persaingan yang
terdiri atas beberapa perusahaan, biasanya sekitar 2-5
perusahaan besar atau ditemukan pada struktur pasar persasingan
oligopoli. Pasar persaingan yang memiliki cukup besar konsumen,
tetapi hanya memiliki beberapa produsen akan cukup kuat
mengindikasikan adanya praktik monopoli. Munculnya praktik
kartel ataupun trust tidak lain adalah untuk mewujudkan kekuatan
(perilaku) monopoli.
Kartel dan Trust
Selain dikenal istilah kartel, ada pula istilah lain yang
memiliki kemiripan, yaitu trust. Keduanya memiliki kesamaan
dilarang menurut undang-undang. Pada Pasal 12, Undang-Undang No
5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha diatur
mengenai trust yang dituliskan, “Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama
dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih
besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan
hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang
bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Dari
definisi menurut KPPU tersebut, perbedaannya terletak pada
prinsip aktualitasnya. Kesepakatana di dalam kartel biasanya
tidak secara nyata diwujudkan, tetapi tetap ada dan diakui dan
dijalankan oleh anggota-anggotanya. Sedangkan pada trust,
kesepakatan tersebut diwujudkan nyata ke dalam suatu wadah
organisasi yang tercatat pula legalitas hukumnya. Sekalipun
demikian, trust melakukan praktik monopoli seperti halnya
kartel.
Jika demikian, mengapa keduanya mesti dipisahkan?
Pemisahan antara kartel dan trust, karena berhubungan dengan
legalitas badan usaha. Seperti yang dijelaskan di atas, praktik
kartel tidak berwujud nyata, tetapi ada dan dilakukan secara
sengaja. Sementara trust memiliki bentuk nyata berupa badan
usaha seperti asosiasi industri, persatuan dagang, dan
sejenisnya. Oleh karenanya, perlu diberikan pemisahan, karena
dasar hukum yang digunakan untuk menindaklanjutinya pun harus
dibedakan.
Bagaimana contoh pratik kartel dan trust?
Misalnya di dalam sebuah industri terdapat 3 produsen atau
perusahaan yang memegang tiga besar pangsa pasar. Mereka
seluruhnya memiliki setidaknya sekitar 60% pangsa pasar dari
produk yang dijual atau dipasarkan. Karena mereka berdomisili di
wilayah yang sama, tidak tertutup kemungkinan akan saling
mengenal atau mengetahui, bahkan saling berkomunikasi. Jalinan
komunikasi atau relasi di antara mereka kemudian menciptakan
sikap saling pengertian. Salah satunya diwujudkan dengan membagi
dengan sendirinya segmen konsumennya berdasarkan wilayah. Ada
pula yang membagi segmen konsumennya berdasarkan kategori
produk. Perusahaan A akan fokus ke segmen di Indonesia bagian
timur, lalu perusahaan B fokus di Indonesia bagian tengah,
kemudian perusahaan C akan menyasar produknya untuk menguasai
pasar di Indonesia bagian barat. Perilaku bisnis seperti ini
memiliki indikasi kuat tentang terjadinya praktik kartel.
Ilustrasi lain untuk menggambarkan praktik trust bisa diketahui
melalui asosiasi bisnis ataupun kongsi dagang. Organisasi
tersebut dengan sendirinya akan dikuasai dan dipengaruhi oleh 3-
4 besar kelompok pemimpin pasar (market leader). Mereka kemudian
membuat aturan ataupun ketentuan yang mengatur harga, distribusi
produk atau wilayah pemasaran, segmentasi ataupun sasaran
konsumen, dan sebagainya. Organisasi ini bisa memiliki
keanggotaan lebih dari 5 perusahaan, tetapi suara ataupun
pengaruh terbesar tentunya hanya dimiliki oleh 3-4 perusahaan
pemimpin pasar. Kesepakatan bisnis tersebut tentunya pula hanya
akan semakin menguntungkan atau berpihak pada sebagian besar
kepentingan 3-4 besar perusahaan pemimpin pasar.
Mengapa Kartel Dilarang?
Menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui tentang perlunya
tercipta suatu iklim persaingan usaha yang sehat. Persaingan
usaha yang sehat akan memberikan manfaat positif bagi
perekonomian. Dari sisi produsen, persaingan usaha yang sehat
akan mendorong terciptanya efisiensi produksi dan alokasi input,
serta akan mendorong para pelaku usaha (produsen) untuk
memperbanyak inovasi di segala lini produksi, termasuk pula
infrastruktur produksi. Dari sisi konsumen akan mendapatkan
manfaat berupa harga yang relatif lebih murah, karena harga
output terbentuk oleh proses produksi ataupun pengelolaan
organisasi produksi yang efisien.
Sesuatu yang tidak dikehendaki oleh produsen dalam iklim
persaingan adalah ketidakpastian bisnis. Tidak sedikit nama-nama
besar perusahaan dunia akhirnya tenggelam akibat semakin
tingginya intensitas persaingan. Sebut saja seperti perusahaan
garmen terkemuka dengan merek “Levi's” yang kini sudah tidak
lagi terdengar namanya. Atau seperti Ericsson, Siemens
Telecommunication, Kodak, dan lain-lain yang sempat besar di
masa kejayaannya. Ada ribuan perusahaan-perusahaan besar yang
sudah tidak lagi terdengar namanya karena begitu ketatnya
persaingan bisnis. Inovasi adalah segalanya, bahwa siapapun
mereka yang unggul dalam inovasi berpikir yang akan mampu
bertahan. Sekalipun demikian, tidak semua pihak (perusahaan atau
produsen) yang menginginkan atau bertahan di tengah persaingan
melalui inovasi berpikir. Tidak ada jaminan inovasi akan selalu
menjadi segalanya, karena persaingan bisnis selalu diikuti
dengan ketidakpastian.
Praktik kartel maupun trust dalam bentuk apapun pasti akan
berujung pada kondisi yang merugikan konsumen. Sekalipun praktik
tersebut diatur oleh pemerintah, kecuali praktik kartel
dilakukan oleh perusahaan milik pemerintah yang notabene tidak
selalu berorientasi untuk mengejar laba (profit). Praktik akan
menutup adanya peluang bagi masuknya inovasi maupun perusahaan
(pendatang baru) yang bisa menawarkan harga lebih murah dan
pelayanan yang lebih baik. Seringkali pula terjadi, praktik
kartel maupun trus akan menutup peluang perusahaan lain
(pendatang baru) untuk menawarkan sistem produksi yang lebih
baik, sehingga akan mampu menciptakan harga yang lebih efisien
(lebih murah).
Apakah praktik kartel maupun trust menguntungkan bagi pelaku-
pelakunya?
Belum pernah ada dalam sejarah organisasi bisnis di mana
perilaku monopoli akan membuat perusahaan menjadi cukup besar.
Nama-nama perusahaan multinasional saat ini, termasuk yang masuk
ke Indonesia bukanlah nama-nama yang dihasilkan dari praktik
monopoli, melainkan mereka menjadi besar karena dampak dari
persaingan usaha yang sehat. Mereka mengkedepankan inovasi di
segala lini, bahkan inovasi dalam berpikir. Bertolak belakang
dengan mereka yang cenderung berperilaku monopoli melalui
praktik kartel. Inovasi bukanlah orientasi utama, bahkan
seringkali hanya ditempatkan pada prioritas paling dasar. Pelaku
praktik kartel lebih mengkedepankan unsur kolusi bisnis yang
tidak jarang akan melibatkan pemerintahan. Itu sebabnya, mengapa
perusahaan-perusahaan besar yang pernah ada di Indonesia tidak
pernah menjadi ikon dunia. Contoh kongkritnya seperti ASTRA yang
setelah reformasi justru menumpuk banyak utang.
Lalu, manfaat apa yang mereka dapatkan dengan melakukan praktik
kartel?
Sebenarnya tidak ada sama sekali manfaatnya, kecuali mereka
hanya mencoba untuk bertahan. Mereka mungkin masih bisa
melakukan ekspansi bisnis, tetapi tidak ada satupun di antaranya
yang berpeluang menjadi perusahaan level dunia. Mereka hanya
sekedar bisa memutar uang. Manfaatnya mungkin hanya karena
mereka bisa bertahan dengan pencapaian yang telah ada. Sekalipun
demikian, seluruh konsumen dan karyawannya lah yang akan
menanggung kerugian mereka. Dalam banyak hal, praktik kartel
biasanya akan diikuti oleh sejumlah pelanggaran hukum lainnya.
Misalnya seperti korupsi, pelanggaran pajak, perkara perdata,
bahkan sampai pada perkara pidana.
Syarat Terbentuknya dan Karakteristik Kartel
Praktik kartel biasanya diwujudkan ke dalam sebuah kongsi dagang
tertentu yang memiliki jenis badan hukum tertentu pula. Semacam
perserikatan ini pula memiliki aturan atau ketentuan yang
disepakati oleh anggota-anggotanya. Untuk bisa terjadi praktik
kartel harus memiliki pernjanjian atau kolusi di antara pelaku
usaha. Ada dua bentuk kolusi yang mengindikasikan terjadinya
praktik kartel, yaitu:
1. Kolusi Eksplisit
Para anggota-anggotanya mengkomunikasikan kesepakatan mereka
secara yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian,
data audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan
tertulis, data penjualan, dan data lainnya. Bentuk kolusi
eksplisit tidak selalu harus diwujudkan dalam asosiasi kecil,
komunitas terbatas, paguyuban, dan lain sebagainya. Ini berbeda
dengan trust, karena pada trust diwujudkan ke dalam asosiasi
atau organisasi yang memiliki badan hukum yang cukup jelas.
2. Kolusi Diam-Diam (Implisit)
Para pelaku atau anggota-anggotanya tidak berkomunikasi secara
langsung atau tidak melakukan pertemuan terbuka (diliput oleh
media). Tetapi mereka para anggota kartel melakukan pertemuan
secara tertutup, biasanya dilakukan secara rahasia. Mereka ini
pun terkadang menggunakan organisasi berupa asosiasi yang
fungsinya sebagai kedok atau kamuflase. Dalam asosiasi tercantum
mendukung persaingan usaha yang sehat, tetapi dibalik semua itu
hanya sebagai pengalihan. Menurut KPPU, jenis kartel dengan
kolusi implisit ini lebih sulit untuk dideteksi. Dari semua
kasus kartel di dunia, sekitar 30% di antaranya melibatkan
asosiasi. Mengenai larangan melakukan perjanjian tertutup diatur
dalam Pasal 15, Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli
dan Persaingan Usaha.
Perlu digarisbawahi, bahwa tidak semuanya jenis kolusi bisnis
selalu berkonotasi negatif terhadap persaingan usaha. Terdapat
pula kolusi yang positif, seperti kolusi dalam menggalang dana
bantuan untuk anak-anak miskin, bencana alam dan sebagainya,
atau bentuk kolusi yang sama sekali tidak berkaitan dengan
bisnis dan persaingan. Itu sebabnya, kartel secara umum haruslah
memiliki karakteristik sebagai berikut:
Terdapat konspirasi (persekongkolan) di antara pelaku
usaha
Melibatkan peran dari senior perusahaan atau jabatan
eksekutif perusahaan
Biasanya menggunakan asosiasi untuk menutupi
persekongkolan tadi
Melakukan price fixing atau tindakan untuk melakukan
penetapan harga, termasuk pula penetapan kuota produksi.
Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota-anggotanya yang
melanggar kesepakatan atau perjanjian.
Adanya distribusi informasi ke seluruh anggota kartel.
Informasi yang dimaksudkan berupa laporan keuangan,
laporan penjualan, ataupun laporan produksi.
Adanya mekanisme kompensasi bagi mereka para anggota yang
memiliki produksi lebih besar atau melebihi kuota yang
telah ditetapkan bersama. Kompensasi tersebut dapat berupa
uang, saham, pembagian bunga deviden yang lebih besar,
ataupun bentuk kemitraan lain.
Kondisi-kondisi berikut ini adalah yang membuat pelaku kartel
tetap bertahan melakukan praktik monopoli. Dalam hal ini,
praktik kartel harus memiliki kondisi-kondisi sebagai berikut:
Jumlah pelaku usaha lebih sedikit, atau setidaknya hanya
didominasi oleh segelintir perusahaan. Biasanya memiliki
jumlah atau ukuran industri sebanyak 5-10 perusahaan di
mana hanya terdapat 1-4 perusahaan yang mendominasi di
dalam asosiasi.
Produknya bersifat homogen atau hanya dilakukan apabila
mereka para anggota-anggotanya memiliki produk yang sama.
Elastisitas permintaan atas produk-produknya relatif
rendah. Seberapa pun mereka menetapkan harga relatif tidak
memiliki dampak yang berarti terhadap permintaan. Di
sinilah titik kekuatan kartel, karena konsumen tidak
dikondisikan tidak memiliki banyak pilihan lain selain
menggunakan produk-produk yang dibuat oleh anggota-anggota
kartel.
Selalu terdapat upaya untuk mencegah masuknya pendatang
baru (pesaing)
Selalu melakukan kecurangan dalam bentuk laporan keuangan
fiktif, data penjualan yang fiktif, dan lain sebagainya.
Kartel biasanya dilakukan di sektor bisnis yang
membutuhkan investasi yang cukup besar. Di sinilah titik
kekuatan mereka yang sekaligus dimanfaatkan untuk semakin
memperbesar restriksi atau hambatan bagi masuknya
pendatang baru.
Adakah pengecualian atau bentuk perjanjian maupun kesepakatan
bisnis di antara korporasi agar tidak dikenakan pasal mengenai
kartel ataupun trust?
Memang benar, tidak semua bentuk kesepakatan sepihak di antara
korporasi dilarang menurut undang-undang. Pengecualian dapat
ditoleransi untuk kondisi-kondisi sebagai berikut:
Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan
peraturan perundangundangan yang berlaku;
Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan
intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak
cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik
terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang
berkaitan dengan waralaba;
Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau
jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat
ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa
dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah
diperjanjikan;
Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau
perbaikan standar hidup masyarakat luas;
Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh
Pemerintah Republik Indonesia;
Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor
yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar
dalam negeri;
Pelaku usaha yang tergolong dalam Usaha Kecil; atau
Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk
melayani anggotanya.
Jika pelaku usaha kecil masih diperbolehkan melakukan kartel,
apakah ketentuan tersebut bukan berarti mengesampingkan asas
keadilan dalam berekonomi?
Saya ingin menunjukkan sebuah praktik kartel kecil yang
dilakukan oleh pelaku usaha penjual makanan lesehan di sepanjang
Malioboro (Yogyakarta) dan sekitarnya. Jika diperhatikan,
indikasi kartel terlihat dari harga makanan yang dipatok sama
untuk setiap penjual. Apabila terdapat selisih, biasanya cuma
selisih pada menu tambahan yang sedikit pengaruhnya terhadap
penguasaan calon pembeli. Praktik kartel dalam kasus penjual
lesehan di Malioboro masih bisa ditoleransi, karena pengaturan
harga yang mereka lakukan tidak memiliki dampak yang luas ke
wilayah lainnya. Konsumen masih memiliki posisi tawar ataupun
pilihan untuk menolak ataupun tidak menolak. Banyak lagi contoh
lainnya praktik kartel yang dilakukan oleh sejumlah paguyuban-
paguyuban pelaku usaha kecil. Praktk kartel tersebut masih bisa
ditoleransi pula, karena tidak ada restriksi atau pembatasan
bagi masuknya pendatang baru.
Jenis-Jenis Kartel
Setelah mengetahui dan memahami bentuk perilaku dan praktik
kartel, perlu diketahui pula jenis-jenis kartel. Dalam hal ini,
praktik kartel dapat diidentifikasi atau dideteksi berdasarkan
jenis-jenisnya sebagai berikut.
1. Kartel Daerah
Cakupan kartel ini biasanya menggunakan indikator regional atau
wilayah. Ada beragam bentuk dan polanya. Misalnya, kartel yang
membagi wilayah pemasarannya berdasarkan regional tertentu.
Perusahaan A menguasai Pulau Jawa, kemudian perusahaan B
menguasai wilayah di Kalimantan dan Sulawesi atau mungkin dibagi
berdasarkan distrik ataupun propinsi. Perusahaan A boleh
memasukkan produknya ke wilayah perusahaan B, tetapi tidak boleh
melakukan pemasaran dengan agresif seperti melakukan promo
khusus regional.
2. Kartel Produksi
Model kartel yang memiliki bentuk kesepakatan untuk menetapkan
kuota produksi bagi anggota-anggotanya.
3. Kartel Harga
Model kartel yang dilakukan dengan melakukan kesepakatan untuk
menetapkan harga (price fixing) untuk meniadakan persaingan
harga. Modus praktik atau polanya bisa bervariasi. Mereka bisa
menetapkan harga terendah, termasuk kesepakatan harga untuk
musim penjualan (banting harga). Antara kartel harga dan kartel
produksi biasanya tidak saling terpisahkan atau biasanya menjadi
satu kesepakatan.
4. Kartel Kondisi
Kesepakatan atau perjanjian bisnis yang mereka lakukan melalui
praktik kartel berdasarkan kondisi tertentu dalam perjanjian
bisnis. Misalnya, pembuatan sistem administrasi (prosedur) dalam
pengambilan kredit kendaraan bermotor, penyusunan mekanisme
dalam penjualan tunai, prosedur dalam pemberian diskon (potongan
harga), bonus, dan sebagainya.
5. Kartel Pembagian Laba
Model kartel yang dalam perjanjiannya berorientasi untuk
melakukan kesepakatan atas pembagian laba. Biasanya, pembagian
laba diberikan ke pihak (anggota) sebagai bentuk kompensasi atas
kesepakatan yang telah mereka setujui. Tujuannya tidak lain
untuk semakin memperkuat loyalitas di antara para anggota pelaku
kartel.
Dalam dunia nyata, praktik kartel biasanya tidak hanya terbatas
untuk satu jenis kartel seperti yang disebutkan di atas. Tidak
jarang pelaku kartel dengan asosiasinya justru menggunakan
keseluruhan kesepakatan dalam 5 jenis kartel. Tujuannya tidak
lain untuk semakin mempersempit adanya persaingan dan tentunya
membatasi peluang masuknya pendatang baru. Jika aturan atau
kesepakatan kartel ingin dihormati atau dipatuhi anggota-
anggotanya, tentu mereka bukan semata melakukan praktik kartel
harga maupun produksi, tetapi akan melakukan pula praktik kartel
pembagian laba.
Praktik Kartel di Indonesia
Prinsip dasar dari perilaku kartel adalah bentuk monopoli dan
perilaku monopoli. Dua kondisi tersebut sudah ada sejak
berdirinya republik ini. Praktik kartel tersebut merupakan
warisan dari kongsi-kongsi perkebunan dan dagang di era
pemerintahan Hindia Belanda. Praktik monopoli ini pun
sesungguhnya telah tercantum di dalam Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 berupa penguasaan sumber-sumber perekonomian yang
menguasai hajat hidup orang banyak. Sementara itu, negara NKRI
terbentuk dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya wacana
dan studi tentang persaingan dan monopoli di dunia. Di Amerika
Serikat sendiri, praktik kartel, trust, dan monopoli barulah
mulai disoroti sekitar dekade 1960an. Mengingat di masa setelah
kemerdekaan hingga 1960an belum banyak perusahaan-perusahaan
swasta, praktis perilaku kartel, trust, dan monopoli belum
terlihat.
Perkembangan perilaku monopoli baru mulai terlihat setelah
memasuki era Orde Baru. Di awal dekade 1970an, pemerintah mulai
memberikan perhatian kepada pihak swasta untuk didorong agar
dapat memenuhi target pencapaian substitusi impor. Dengan
melibatkan modal asing ataupun investor asing, pencapaian
substitusi impor tidak terlalu lama bisa diwujudkan. Praktik
kartel dan monopoli di kalangan swasta semakin mulai terlihat
pada dekade 1980an. Diduga praktik kartel dan monopoli tersebut
merupakan bentuk kesepakatan di antara pemerintah dan kalangan
investor (produsen), terutama kalangan investor asing yang
melibatkan kalangan produsen di dalam negeri. Apalagi sektor
ekonomi yang digarap oleh kalangan swasta tersebut membutuhkan
biaya investasi yang cukup besar. Pemerintah hanya bisa
memberikan insentif atau perlakuan khusus kepada hanya beberapa
produsen di dalam negeri.
Salah satu praktik kartel yang paling dominan di masa itu adalah
kartel di antara produsen otomotif. Sebelum masa reformasi 1998,
terdapat pengaturan industri yang menetapkan segmen teknologi
untuk pasar kendaraan bermotor roda dua. Honda diberikan
penguasaan untuk memproduksi dan merakit kendaraan bermotor
dengan teknologi 4 tak. Sementara untuk Yamaha dan Suzuki
diberikan penguasaan untuk motor terteknologi 2 tak. Dalam hal
ini, Honda tidak diperkenankan masuk (merakit dan memproduksi)
motor roda dua berteknologi 2 tak, kecuali diperbolehkan masuk
melalui impor yang berarti akan dikenakan PPn Bea Masuk yang
cukup mahal. Pada kelompok sedan, Toyota melalui ATPM-nya, yaitu
Toyota Astra Motor (TAM) mendapatkan kewenangan untuk bermitra
dengan pemerintah dalam menyediakan kendaraan-kendaraan dinas
untuk pemerintah. Sekalipun demikian, pihak TAM tidak
diperkenankan untuk bermitra dengan kalangan swasta dalam
penyediaan kendaraan perkantoran, kecuali dengan kesepakatan
tertentu. Praktik kartel semacam ini masih terus berlangsung
hingga saat ini. Di kelompok sedan, mereka memiliki asosasi
sendiri yang bernama Gabungan Industri Kendaraan Bermotor
Indonesia atau Gaikindo.
Pada tahun 2009 lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
berhasil membongkar praktik kartel dalam penetapan tarif layanan
pesan pendek atau short message service (SMS). Kartel tersebut
melibatkan nama-nama perusahaan operator seluler seperti PT
Excelcomindo Pratama, Tbk., PT Telkomsel, Tbk., PT Telkom
(Persero), PT Bakrie Telecom, Tbk., PT Mobile-8 Telecom, Tbk.,
dan PT Smart Telecom. Praktik kartel tersebut terindentifikasi
dilakukan selama periode dari tahun 2004-2008, serta merugikan
konsumen sebesar Rp 2,83 triliun. Praktik kartel dalam industri
telepon seluler sesungguhnya sudah terendus cukup lama, bukan
semata pada layanan SMS, melainkan pula pada penetapan tarif
panggilan (call). Sekalipun pihak KPPU berhasil mengeksekusi
kasus tersebut, tetapi denda yang dikenakan untuk masing-masing
perusahaan tidaklah seberapa apabila dibandingkan dengan
kerugian konsumen yang masih terus berlangsung hingga saat ini.
Praktik kartel oleh para operator telepon seluler ini pun
semakin meluas, bahkan semakin nyata membatasi masuknya
pendatang baru. Kasus yang hampir terungkap adalah kasus
operator seluler asal Malaysia, yaitu Axis yang diduga sempat
mengalami tekanan industri (politik), akibat tidak mengikuti
aturan main dalam persaingan operator telepon seluler.
Pada tahun 2005, KPPU berhasil membongkar praktik kartel dalam
produksi garam di dalam negeri. Kesepakatan tertutup yang
dilakukan oleh sejumlah produsen tersebut mengatur pasokan garam
yang disuplai dari Sumatera Utara. Tahukah Anda, garam ternyat
bukan hanya bermanfaat di rumah tangga, melainkan bahan baku
vital bagi sektor industri tertentu. Tidak main-main, sektor
industri yang sering membutuhkan pasokan garam adalah industri
perminyakan. Sektor-sektor lainnya yang cukup penting
membutuhkan pasokan garam seperti industri minuman, industri
kimia, industri farmasi, industri kertas, dan lain sebagainya.
Begitu besar manfaatnya, tetapi bertolak belakang apabila
melihat nasib kesejahteraan para petani garam.
Pada tahun 2010, KPPU berhasil membongkar modus praktik kartel
dalam industri minyak goreng kemasan maupun minyak goreng curah.
Minyak goreng merupakan salah satu dari bahan kebutuhan pokok
masyarakat yang kedudukannya sejajar dengan kebutuhan pokok
pangan. Praktik kartel tersebut diketahui telah berlangsung
selama periode April-Desember 2008 dengan modus price pararelism
untuk jenis minyak goreng kemasan maupun jenis minyak goreng
curah. Kerugian konsumen ditaksir mencapai Rp 1,27 triliun untuk
jenis minyak goreng kemasan (bermerek) dan sebesar Rp 374,3
miliar untuk jenis minyak goreng curah. Sekalipun demikian,
kasus ini kandas melalui kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA)
atas pengajuan banding oleh sebanyak 20 produsen minyak goreng
lokal.
Praktik kartel ini pun ternyata merambah ke industri farmasi.
Sekali lagi, KPPU berhasil membongkar adanya kartel di dalam
penyediaan obat-obatan hipertensi jenis amplodipine besylate
yang melibatkan PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica. Bentuk
kartel yang dilakukan adalah jenis kartel harga. Ini barulah
praktik kartel untuk satu jenis obat-obatan yang berhasil
dibongkar. Diduga kuat, praktik kartel terjadi pula untuk obat-
obatan lainnya. Masalah kartel dalam industri farmasi di dalam
negeri pernah disinggung oleh mantan Menteri Kesehatan, Siti
Fadila yang mengeluhkan tentang tata niaga perdagangan obat yang
membuat harga obat-obatan menjadi mahal.
KPPU sempat pula membongkar dan mengeksekusi praktik kartel di
kalangan operator transportasi udara di dalam negeri. Bentuk
praktik kartel yang dibongkar berupa praktik kartel dalam
penetapan harga tiket dan tarif fuel surcharge (avtur). Industri
penerbangan di dalam negeri mulai tumbuh dan berkembang sejak
tahun 2005 dengan kemunculan nama-nama baru dalam maskapai
penerbangan nasional. Tidak disangka, kemunculan yang begitu
cepat tersebut justru semakin memperkuat jalinan komunikasi
bisnis yang berujung pada praktik kartel. Atas kasus tersebut,
KPPU memberikan sanksi kepada PT Sriwijaya, PT Metro Batavia, PT
Lion Mentari Airlines, PT Wing Abadi Airlines, PT Merpati
Nusantara Airline (Persero), PT Travel Express Aviation
Services, dan PT Mandala Airlines. Akibat praktik kartel
tersebut, konsumen penerbangan mengalami kerugian dengan
taksiran mencapai Rp 13,8 triliun selama periode dari tahun
2006-2008. Sekalipun sempat mengajukan banding ke tingkat MA,
tetapi pihak MA menolak gugatan tersebut.
Penutup
Rasanya akan menghabiskan cukup banyak halaman apabila
menyebutkan satu per satu praktik kartel dalam industri di
Indonesia saat ini. Praktik kartel berlangsung dan dilakuan di
seluruh sektor perekonomian, tidak terkecuali pula sektor
pertanian, pertambangan, dan migas. Belum lama ini, pihak KPPU
tengah melakukan investigas terhadap adanya indikasi kuat
praktik kartel dalam pengadaan komoditi bawang putih dan
pengadaan (impor) daging sapi. Mereka memiliki sendiri asosiasi
atau organisasi yang mewadahi kepentingan ekonomi mereka. Agenda
mereka cukup jelas, mengatur penetapan harga jual dan kuota
(pasokan) ke dalam negeri. Sekalipun legalitas mereka masih bisa
sesuai dengan undang-undang, tetapi keberadaan mereka terbukti
telah membuat kekisruhan atau kekacauan harga maupun pasokan
komoditi di dalam negeri.
Sama halnya dengan upaya untuk melakukan pemberantasan korupsi,
untuk memberantas praktik kartel maupun trust membutuhkan
kemauan politik (political will) dari pemerintah. Dibandingkan
dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), lembaga komisioner
seperti KPPU relatif kurang populer di kalangan masyarakat.
Padahal, isu kartel sesungguhnya cukup dekat, bahkan
berdampingan maupun beriringan dengan kepentingan politik di
dalam isu-isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menghadapi praktik kartel.
Pada tahun 2001, sejumlah konsumen pengguna telepon seluler di
Surabaya sempat melakukan ancaman pemboikotan regional terhadap
sejumlah operator seluler. Aksi serupa terjadi lagi di tahun
2012 atas indikasi mafia (kartel) di dalam penyediaan layanan
spam. Sejumlah kalangan konsumen menggalang kampanye mengajak
masyarakat untuk memboikot penggunaan layanan telepon seluler.
Sayangnya, persatuan sikap konsumen seperti ini tidaklah selalu
ada dalam setiap kasus kartel atas komoditi tertentu. Di sinilah
titik kekuatan para pelaku kartel maupun trust, yaitu posisi
tawar di antara produsen dan konsumen. Lembaga perlindungan
konsumen tidak selalu dapat menjamin, karena sikap ataupun
keputusan dari lembaga perlindungan konsumen tidak selalu
mendapatkan dukungan politik dari penyelenggara negara.
REFERENSI
Samuelson, Paul Anthony and Nordhaus, William. Economics (17th
Edition). USA: McGraw-Hill Higher Education, 2001.
Oxford Dictionary of English, edited by Stevenson, Angus. UK:
Oxford University Press, 2010.
Posner, Richard. Economic Analysis of Law (7h Edition). USA:
Aspen Publishers, 2007.
Black's Law Dictionary 9th Edition, edited by Garner, Bryan.
USA: West Group, 2009.
Siswanto, Arief. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Penerbit
Ghalia Indonesia, 2002.
Lubis, Andi Fahmi, dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan
Konteks. Jakarta: KPPU, 2009.
Kaylani, Ahmad. Negara & Pasar dalam Bingkai Kebijakan
Persaingan. Jakarta: KPPU, 2011.
http://leo4kusuma.blogspot.com/2013/03/memahami-pengertian-
kartel-monopoli-dan.html
http://www.kppu.go.id/id/publikasi/buku/
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pengawas_Persaingan_Usaha
http://id.wikipedia.org/wiki/Kartel
http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/hukum-persainganusaha-
di-susun-guna.html