28
Pendahuluan Persaingan sangat dibutuhkan dalam peningkatan kualitas hidup manusia. Dunia yang kita kenal sekarang ini adalah hasil dari persaingan manusia dalam berbagai aspek. Persaingan yang dilakukan secara terus-menerus untuk saling mengungguli membawa manusia berhasil menciptakan hal-hal baru dalam kehidupan yang berangsur-angsur menuju arah yang semakin maju dari sebelumnya. Untuk terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak, persaingan yang harus dilakukan adalah persaingan yang sehat. Kegiatan ekonomi dan bisnis pun tidak luput dari sebuah persaingan, mengingat kegiatan ini dilakukan banyak pihak untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, hukum yang mengatur persaingan usaha dalam kegiatan ekonomi dan bisnis sangat diperlukan semua pihak supaya tidak ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Seiring dengan Era Reformasi, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam bidang hukum ekonomi dan bisnis, yang ditandai antara lain dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang di banyak negara disebut Undang-Undang Antimonopoli. Undang-undang seperti ini sudah sejak lama dinantikan oleh pelaku usaha dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat dan bebas dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah diatur sejumlah larangan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya, dengan harapan dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dalam berusaha. Dengan adanya larangan ini, pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dapat bersaing

makalah hukum persaingan usaha: kartel

Embed Size (px)

Citation preview

Pendahuluan

Persaingan sangat dibutuhkan dalam peningkatan kualitas hidup

manusia. Dunia yang kita kenal sekarang ini adalah hasil dari

persaingan manusia dalam berbagai aspek. Persaingan yang

dilakukan secara terus-menerus untuk saling mengungguli membawa

manusia berhasil menciptakan hal-hal baru dalam kehidupan yang

berangsur-angsur menuju arah yang semakin maju dari sebelumnya.

Untuk terciptanya keadilan dan kesejahteraan bagi semua pihak,

persaingan yang harus dilakukan adalah persaingan yang sehat.

Kegiatan ekonomi dan bisnis pun tidak luput dari sebuah

persaingan, mengingat kegiatan ini dilakukan banyak pihak untuk

menunjang kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, hukum yang

mengatur persaingan usaha dalam kegiatan ekonomi dan bisnis

sangat diperlukan semua pihak supaya tidak ada pihak-pihak yang

merasa dirugikan.

Seiring dengan Era Reformasi, telah terjadi perubahan yang

mendasar dalam bidang hukum ekonomi dan bisnis, yang ditandai

antara lain dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat, yang di banyak negara disebut Undang-Undang Antimonopoli.

Undang-undang seperti ini sudah sejak lama dinantikan oleh

pelaku usaha dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat dan

bebas dari praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah diatur sejumlah larangan praktik

monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat lainnya,

dengan harapan dapat memberikan jaminan kepastian hukum dan

perlindungan yang sama kepada setiap pelaku usaha atau

sekelompok pelaku usaha dalam berusaha. Dengan adanya larangan

ini, pelaku usaha atau sekelompok pelaku usaha dapat bersaing

secara wajar dan sehat, serta tidak merugikan masyarakat banyak

dalam berusaha, sehingga pada gilirannya penguasaan pasar yang

terjadi timbul secara kompetitif. Di samping itu dalam rangka

menyosong era perdagangan bebas, kita juga dituntut untuk

menyiapkan dan mengharmonisasikan rambu-rambu hukum yang

mengatur hubungan ekonomi dan bisnis antar bangsa. Dengan

demikian dunia internasional juga mempunyai andil dalam

mewujudkan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Hukum persaingan usaha merupakan hukum yang mengatur segala

sesuatu yang berkaitan dengan persaingan usaha. Menurut Arie

Siswanto, hukum persaingan usaha (competition law) adalah

instrumen hukum yang menentukan tentang bagaimana persaingan itu

harus dilakukan. Menurut Hermansyah hukum persaingan usaha

adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai segala

aspek yang berkaitan dengan persaingan usaha, yang mencakup hal-

hal yang boleh dilakukan dan hal-hal yang dilarang dilakukan

oleh pelaku usaha. Sedangkan kebijakan persaingan (competition

policy) merupakan kebijakan yang berkaitan dengan masalah-

masalah di bidang persaingan usaha yang harus dipedomani oleh

pelaku usaha dalam menjalankan usahanya dan melindungi

kepentingan konsumen. Tujuan kebijakan persaingan adalah untuk

menjamin terlaksananya pasar yang optimal, khususnya biaya

produksi terendah, harga dan tingkat keuntungan yang wajar,

kemajuan teknologi, dan pengembangan produk.

Sebuah persaingan membutuhkan adanya aturan main, karena

terkadang tidak selamanya mekanisme pasar dapat berkerja dengan

baik (adanya informasi yang asimetris dan monopoli). Dalam

pasar, biasanya ada usaha-usaha dari pelaku usaha untuk

menghindari atau menghilangkan terjadinya persaingan di antara

mereka. Berkurangnya atau hilangnya persaingan memungkinkan

pelaku usaha memperoleh laba yang jauh lebih besar. Di

Indonesia, pengaturan persaingan usaha baru terwujud pada tahun

1999 saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan.

Kelahiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut ditunjang

pula dengan tuntutan masyarakat akan reformasi total dalam

tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk penghapusan

kegiatan monopoli di segala sektor. Adapun falsafah yang

melatarbelakangi kelahiran undang-undang tersebut ada tiga hal,

yaitu:

1. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada

terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945;

2. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya

kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk

berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang

dan/atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan

efisien, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan

bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;

3. Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada

dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak

menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha

tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah

dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-

perjanjian internasional.

Oleh karena itu, perlu disusun undang-undang tentang larangan

praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang

dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan

perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya

untuk meneiptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang ini

memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong

percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan

kesejahteraan umum, serta sebagai implementasi dari semangat dan

jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian kelahiran Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimaksudkan untuk memberikan jaminan

kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap pelaku

usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-

praktik monopoli dan/atau persaingan usaha yang tidak sehat

lainnya dengan harapan dapat menciptakan iklim usaha yang

kondusif, di mana setiap pelaku usaha dapat bersaing secara

wajar dan sehat. Adapun beberapa tujuan diadakannya Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 antara lain:

Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi

ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan

kesejahteraan rakyat.

Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui

pengaturan persaingan usaha yang sehat.

Mencegah praktik monopoli dan/atau persaingan usaha

tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.

Berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam

kegiatan usaha.

Dampak positif lain dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah

terciptanya pasar yang tidak terdistorsi, sehingga menciptakan

peluang usaha yang semakin besar bagi para pelaku usaha. Keadaan

ini akan memaksa para pelaku usaha untuk lebih inovatif dalam

menciptakan dan memasarkan produk (barang dan jasa) mereka. Jika

hal ini tidak dilakukan, para konsumen akan beralih kepada

produk yang lebih baik dan kompetitif. Ini berarti bahwa, secara

tidak langsung Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 akan memberikan

keuntungan bagi konsumen dalam bentuk produk yang lebih

berkualitas, harga yang bersaing, dan pelayanan yang lebih baik.

Namun perlu diingat bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 bukan

merupakan ancaman bagi perusahaan-perusahaan besar yang telah

berdiri sebelum undang-undang ini diundangkan, selama

perusahaan-perusahaan tersebut tidak melakukan praktik-praktik

yang dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Kartel

Dalam kamus Oxford, kartel atau cartel didefinisikan, “Cartel is

a group of separate business firms wich work together to

increase profits by not competing with each other”. Artinya,

kartel adalah sebuah kelompok (grup) dari berbagai badan hukum

usaha yang berlainan yang bekerja sama untuk menaikkan

keuntungan masing-masing tanpa melalui persaingan usaha dengan

pelaku usaha lainnya. Mereka adalah sekelompok produsen atau

pemilik usaha yang membuat kesepakatan untuk melakukan penetapan

harga, pengaturan distribusi dan wilayah distribusi, termasuk

membatasi suplai.

Dalam buku Black's Law Dictionary (kamus hukum dasar yang

berlaku di Amerika Serikat), praktik kartel (cartel)

didefinisikan, “A combination of producer of any product joined

together to control its productions its productions , sale and

price, so as to obtain a monopoly and restrict competition in

any particular industry or commodity”. Artinya, kartel merupakan

kombinasi di antara berbagai kalangan produsen yang bergabung

bersama-sama untuk mengendalikan produksinya, harga penjualan,

setidaknya mewujudkan perilaku monopoli, dan membatasi adanya

persaingan di berbagai kelompok industri. Dari definisi

tersebut, praktik kartel bisa dilakukan oleh kalangan produsen

manapun atau untuk produk apapun, mulai dari kebutuhan pokok

(primer) hingga barang kebutuhan tersier.

Pengertian kartel dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dituliskan

kartel memiliki dua ciri yang menyatu, yaitu:

Organisasi perusahaan-perusahaan besar yang memproduksi

barang-barang sejenis

Persetujuan sekelompok perusahaan dengan maksud mengendalikan

harga komoditi tertentu.

Poin penting dalam definisi tersebut, bahwa kelompok-kelompok di

dalam suatu kartel terdiri atas kumpulan perusahaan-perusahaan

besar yang menghasilkan barang-barang yang sejenis. Dijelaskan

pula, tujuan utamanya berfokus pada pengendalian harga, sehingga

harga yang terbentuk adalah bukan harga persaingan. Definisi ini

telah menyentuh pada aspek perilaku monopoli.

Samuelson dan Nordhaus dalam buku “Economics” menuliskan

pengertian kartel, “Cartel is an organization of independent

firms, producing similar products, that work together to raise

prices and restrict outputs”. Artinya, kartel adalah sebuah

organisasi yang terbentuk dari sekumpulan perusahaan-perusahaan

independen yang memproduksi produk-produk sejenis, serta bekerja

sama untuk menaikkan harga dan membatasi output (produksi). Poin

penting pada definisi tersebut terletak pada tujuannya, yaitu

menaikkan harga dan membatasi output.

Seorang pakar hukum legal dan ekonom, Richard Postner dalam

bukunya “Economic Analysis of Law” menuliskan pengertian kartel,

“A contract among competing seller to fix the price of product

they sell (or, what is the small thing, to limit their out put)

is likely any other contract in the sense that the parties would

not sign it unless they expected it to make them all better

off”. Artinya, kartel menyatakan suatu kontrak atau kesepakatan

persaingan di antara para penjual untuk mengatur harga penjualan

yang bisa diartikan sebagai menaikkan harga ataupun membatasi

produknya yang setidaknya mirip dengan kontrak pada umumnya di

mana anggota-anggotanya tidak menginginkannya, kecuali mereka

mengharapkan sesuatu yang lebih baik. Definisi kartel oleh

Postner lebih menekankan pada aspek moralitas di mana praktik

kartel sesungguhnya bukan sesuatu yang diinginkan oleh setiap

anggotanya, kecuali mereka hendak mengharapkan bisa mendapatkan

sesuatu yang lebih dari kesepakatan (kontrak) tersebut.

Praktik kartel atau kartel disebutkan pula dalam Pasal 11,

Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan

Usaha yang dituliskan, “Pelaku usaha dilarang membuat

perjanjian, dengan pelaku usaha saingannya, yang bermaksud

mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran

suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Praktik

kartel di Indonesia adalah suatu bentuk perbuatan atau tindakan

yang melanggar hukum, karena akan membentuk suatu perilaku

monopoli ataupun bentuk perilaku persaingan usaha yang tidak

sehat.

Memahami kartel perlu pula memahami prinsip dasar atau

pengertian dasar dari perilaku monopoli. Pengertian monopoli

dalam bukan lagi menitikberatkan pada jumlah pelaku usaha atau

produsen, melainkan pada perilakunya untuk mengendalikan harga

dan distribusi output atau kapasitas output. Jadi bisa saja

perilaku monopoli tadi ditemukan pada struktur persaingan yang

terdiri atas beberapa perusahaan, biasanya sekitar 2-5

perusahaan besar atau ditemukan pada struktur pasar persasingan

oligopoli. Pasar persaingan yang memiliki cukup besar konsumen,

tetapi hanya memiliki beberapa produsen akan cukup kuat

mengindikasikan adanya praktik monopoli. Munculnya praktik

kartel ataupun trust tidak lain adalah untuk mewujudkan kekuatan

(perilaku) monopoli.

Kartel dan Trust

Selain dikenal istilah kartel, ada pula istilah lain yang

memiliki kemiripan, yaitu trust. Keduanya memiliki kesamaan

dilarang menurut undang-undang. Pada Pasal 12, Undang-Undang No

5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha diatur

mengenai trust yang dituliskan, “Pelaku usaha dilarang membuat

perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama

dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih

besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan

hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang

bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas

barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Dari

definisi menurut KPPU tersebut, perbedaannya terletak pada

prinsip aktualitasnya. Kesepakatana di dalam kartel biasanya

tidak secara nyata diwujudkan, tetapi tetap ada dan diakui dan

dijalankan oleh anggota-anggotanya. Sedangkan pada trust,

kesepakatan tersebut diwujudkan nyata ke dalam suatu wadah

organisasi yang tercatat pula legalitas hukumnya. Sekalipun

demikian, trust melakukan praktik monopoli seperti halnya

kartel.

Jika demikian, mengapa keduanya mesti dipisahkan?

Pemisahan antara kartel dan trust, karena berhubungan dengan

legalitas badan usaha. Seperti yang dijelaskan di atas, praktik

kartel tidak berwujud nyata, tetapi ada dan dilakukan secara

sengaja. Sementara trust memiliki bentuk nyata berupa badan

usaha seperti asosiasi industri, persatuan dagang, dan

sejenisnya. Oleh karenanya, perlu diberikan pemisahan, karena

dasar hukum yang digunakan untuk menindaklanjutinya pun harus

dibedakan.

Bagaimana contoh pratik kartel dan trust?

Misalnya di dalam sebuah industri terdapat 3 produsen atau

perusahaan yang memegang tiga besar pangsa pasar. Mereka

seluruhnya memiliki setidaknya sekitar 60% pangsa pasar dari

produk yang dijual atau dipasarkan. Karena mereka berdomisili di

wilayah yang sama, tidak tertutup kemungkinan akan saling

mengenal atau mengetahui, bahkan saling berkomunikasi. Jalinan

komunikasi atau relasi di antara mereka kemudian menciptakan

sikap saling pengertian. Salah satunya diwujudkan dengan membagi

dengan sendirinya segmen konsumennya berdasarkan wilayah. Ada

pula yang membagi segmen konsumennya berdasarkan kategori

produk. Perusahaan A akan fokus ke segmen di Indonesia bagian

timur, lalu perusahaan B fokus di Indonesia bagian tengah,

kemudian perusahaan C akan menyasar produknya untuk menguasai

pasar di Indonesia bagian barat. Perilaku bisnis seperti ini

memiliki indikasi kuat tentang terjadinya praktik kartel.

Ilustrasi lain untuk menggambarkan praktik trust bisa diketahui

melalui asosiasi bisnis ataupun kongsi dagang. Organisasi

tersebut dengan sendirinya akan dikuasai dan dipengaruhi oleh 3-

4 besar kelompok pemimpin pasar (market leader). Mereka kemudian

membuat aturan ataupun ketentuan yang mengatur harga, distribusi

produk atau wilayah pemasaran, segmentasi ataupun sasaran

konsumen, dan sebagainya. Organisasi ini bisa memiliki

keanggotaan lebih dari 5 perusahaan, tetapi suara ataupun

pengaruh terbesar tentunya hanya dimiliki oleh 3-4 perusahaan

pemimpin pasar. Kesepakatan bisnis tersebut tentunya pula hanya

akan semakin menguntungkan atau berpihak pada sebagian besar

kepentingan 3-4 besar perusahaan pemimpin pasar.

Mengapa Kartel Dilarang?

Menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui tentang perlunya

tercipta suatu iklim persaingan usaha yang sehat. Persaingan

usaha yang sehat akan memberikan manfaat positif bagi

perekonomian. Dari sisi produsen, persaingan usaha yang sehat

akan mendorong terciptanya efisiensi produksi dan alokasi input,

serta akan mendorong para pelaku usaha (produsen) untuk

memperbanyak inovasi di segala lini produksi, termasuk pula

infrastruktur produksi. Dari sisi konsumen akan mendapatkan

manfaat berupa harga yang relatif lebih murah, karena harga

output terbentuk oleh proses produksi ataupun pengelolaan

organisasi produksi yang efisien.

Sesuatu yang tidak dikehendaki oleh produsen dalam iklim

persaingan adalah ketidakpastian bisnis. Tidak sedikit nama-nama

besar perusahaan dunia akhirnya tenggelam akibat semakin

tingginya intensitas persaingan. Sebut saja seperti perusahaan

garmen terkemuka dengan merek “Levi's” yang kini sudah tidak

lagi terdengar namanya. Atau seperti Ericsson, Siemens

Telecommunication, Kodak, dan lain-lain yang sempat besar di

masa kejayaannya. Ada ribuan perusahaan-perusahaan besar yang

sudah tidak lagi terdengar namanya karena begitu ketatnya

persaingan bisnis. Inovasi adalah segalanya, bahwa siapapun

mereka yang unggul dalam inovasi berpikir yang akan mampu

bertahan. Sekalipun demikian, tidak semua pihak (perusahaan atau

produsen) yang menginginkan atau bertahan di tengah persaingan

melalui inovasi berpikir. Tidak ada jaminan inovasi akan selalu

menjadi segalanya, karena persaingan bisnis selalu diikuti

dengan ketidakpastian.

Praktik kartel maupun trust dalam bentuk apapun pasti akan

berujung pada kondisi yang merugikan konsumen. Sekalipun praktik

tersebut diatur oleh pemerintah, kecuali praktik kartel

dilakukan oleh perusahaan milik pemerintah yang notabene tidak

selalu berorientasi untuk mengejar laba (profit). Praktik akan

menutup adanya peluang bagi masuknya inovasi maupun perusahaan

(pendatang baru) yang bisa menawarkan harga lebih murah dan

pelayanan yang lebih baik. Seringkali pula terjadi, praktik

kartel maupun trus akan menutup peluang perusahaan lain

(pendatang baru) untuk menawarkan sistem produksi yang lebih

baik, sehingga akan mampu menciptakan harga yang lebih efisien

(lebih murah).

Apakah praktik kartel maupun trust menguntungkan bagi pelaku-

pelakunya?

Belum pernah ada dalam sejarah organisasi bisnis di mana

perilaku monopoli akan membuat perusahaan menjadi cukup besar.

Nama-nama perusahaan multinasional saat ini, termasuk yang masuk

ke Indonesia bukanlah nama-nama yang dihasilkan dari praktik

monopoli, melainkan mereka menjadi besar karena dampak dari

persaingan usaha yang sehat. Mereka mengkedepankan inovasi di

segala lini, bahkan inovasi dalam berpikir. Bertolak belakang

dengan mereka yang cenderung berperilaku monopoli melalui

praktik kartel. Inovasi bukanlah orientasi utama, bahkan

seringkali hanya ditempatkan pada prioritas paling dasar. Pelaku

praktik kartel lebih mengkedepankan unsur kolusi bisnis yang

tidak jarang akan melibatkan pemerintahan. Itu sebabnya, mengapa

perusahaan-perusahaan besar yang pernah ada di Indonesia tidak

pernah menjadi ikon dunia. Contoh kongkritnya seperti ASTRA yang

setelah reformasi justru menumpuk banyak utang.

Lalu, manfaat apa yang mereka dapatkan dengan melakukan praktik

kartel?

Sebenarnya tidak ada sama sekali manfaatnya, kecuali mereka

hanya mencoba untuk bertahan. Mereka mungkin masih bisa

melakukan ekspansi bisnis, tetapi tidak ada satupun di antaranya

yang berpeluang menjadi perusahaan level dunia. Mereka hanya

sekedar bisa memutar uang. Manfaatnya mungkin hanya karena

mereka bisa bertahan dengan pencapaian yang telah ada. Sekalipun

demikian, seluruh konsumen dan karyawannya lah yang akan

menanggung kerugian mereka. Dalam banyak hal, praktik kartel

biasanya akan diikuti oleh sejumlah pelanggaran hukum lainnya.

Misalnya seperti korupsi, pelanggaran pajak, perkara perdata,

bahkan sampai pada perkara pidana.

Syarat Terbentuknya dan Karakteristik Kartel

Praktik kartel biasanya diwujudkan ke dalam sebuah kongsi dagang

tertentu yang memiliki jenis badan hukum tertentu pula. Semacam

perserikatan ini pula memiliki aturan atau ketentuan yang

disepakati oleh anggota-anggotanya. Untuk bisa terjadi praktik

kartel harus memiliki pernjanjian atau kolusi di antara pelaku

usaha. Ada dua bentuk kolusi yang mengindikasikan terjadinya

praktik kartel, yaitu:

1. Kolusi Eksplisit

Para anggota-anggotanya mengkomunikasikan kesepakatan mereka

secara yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian,

data audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan

tertulis, data penjualan, dan data lainnya. Bentuk kolusi

eksplisit tidak selalu harus diwujudkan dalam asosiasi kecil,

komunitas terbatas, paguyuban, dan lain sebagainya. Ini berbeda

dengan trust, karena pada trust diwujudkan ke dalam asosiasi

atau organisasi yang memiliki badan hukum yang cukup jelas.

2. Kolusi Diam-Diam (Implisit)

Para pelaku atau anggota-anggotanya tidak berkomunikasi secara

langsung atau tidak melakukan pertemuan terbuka (diliput oleh

media). Tetapi mereka para anggota kartel melakukan pertemuan

secara tertutup, biasanya dilakukan secara rahasia. Mereka ini

pun terkadang menggunakan organisasi berupa asosiasi yang

fungsinya sebagai kedok atau kamuflase. Dalam asosiasi tercantum

mendukung persaingan usaha yang sehat, tetapi dibalik semua itu

hanya sebagai pengalihan. Menurut KPPU, jenis kartel dengan

kolusi implisit ini lebih sulit untuk dideteksi. Dari semua

kasus kartel di dunia, sekitar 30% di antaranya melibatkan

asosiasi. Mengenai larangan melakukan perjanjian tertutup diatur

dalam Pasal 15, Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli

dan Persaingan Usaha.

Perlu digarisbawahi, bahwa tidak semuanya jenis kolusi bisnis

selalu berkonotasi negatif terhadap persaingan usaha. Terdapat

pula kolusi yang positif, seperti kolusi dalam menggalang dana

bantuan untuk anak-anak miskin, bencana alam dan sebagainya,

atau bentuk kolusi yang sama sekali tidak berkaitan dengan

bisnis dan persaingan. Itu sebabnya, kartel secara umum haruslah

memiliki karakteristik sebagai berikut:

Terdapat konspirasi (persekongkolan) di antara pelaku

usaha

Melibatkan peran dari senior perusahaan atau jabatan

eksekutif perusahaan

Biasanya menggunakan asosiasi untuk menutupi

persekongkolan tadi

Melakukan price fixing atau tindakan untuk melakukan

penetapan harga, termasuk pula penetapan kuota produksi.

Adanya ancaman atau sanksi bagi anggota-anggotanya yang

melanggar kesepakatan atau perjanjian.

Adanya distribusi informasi ke seluruh anggota kartel.

Informasi yang dimaksudkan berupa laporan keuangan,

laporan penjualan, ataupun laporan produksi.

Adanya mekanisme kompensasi bagi mereka para anggota yang

memiliki produksi lebih besar atau melebihi kuota yang

telah ditetapkan bersama. Kompensasi tersebut dapat berupa

uang, saham, pembagian bunga deviden yang lebih besar,

ataupun bentuk kemitraan lain.

Kondisi-kondisi berikut ini adalah yang membuat pelaku kartel

tetap bertahan melakukan praktik monopoli. Dalam hal ini,

praktik kartel harus memiliki kondisi-kondisi sebagai berikut:

Jumlah pelaku usaha lebih sedikit, atau setidaknya hanya

didominasi oleh segelintir perusahaan. Biasanya memiliki

jumlah atau ukuran industri sebanyak 5-10 perusahaan di

mana hanya terdapat 1-4 perusahaan yang mendominasi di

dalam asosiasi.

Produknya bersifat homogen atau hanya dilakukan apabila

mereka para anggota-anggotanya memiliki produk yang sama.

Elastisitas permintaan atas produk-produknya relatif

rendah. Seberapa pun mereka menetapkan harga relatif tidak

memiliki dampak yang berarti terhadap permintaan. Di

sinilah titik kekuatan kartel, karena konsumen tidak

dikondisikan tidak memiliki banyak pilihan lain selain

menggunakan produk-produk yang dibuat oleh anggota-anggota

kartel.

Selalu terdapat upaya untuk mencegah masuknya pendatang

baru (pesaing)

Selalu melakukan kecurangan dalam bentuk laporan keuangan

fiktif, data penjualan yang fiktif, dan lain sebagainya.

Kartel biasanya dilakukan di sektor bisnis yang

membutuhkan investasi yang cukup besar. Di sinilah titik

kekuatan mereka yang sekaligus dimanfaatkan untuk semakin

memperbesar restriksi atau hambatan bagi masuknya

pendatang baru.

Adakah pengecualian atau bentuk perjanjian maupun kesepakatan

bisnis di antara korporasi agar tidak dikenakan pasal mengenai

kartel ataupun trust?

Memang benar, tidak semua bentuk kesepakatan sepihak di antara

korporasi dilarang menurut undang-undang. Pengecualian dapat

ditoleransi untuk kondisi-kondisi sebagai berikut:

Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan

peraturan perundangundangan yang berlaku;

Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan

intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak

cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik

terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang

berkaitan dengan waralaba;

Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau

jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;

Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat

ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa

dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah

diperjanjikan;

Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau

perbaikan standar hidup masyarakat luas;

Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh

Pemerintah Republik Indonesia;

Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor

yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar

dalam negeri;

Pelaku usaha yang tergolong dalam Usaha Kecil; atau

Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk

melayani anggotanya.

Jika pelaku usaha kecil masih diperbolehkan melakukan kartel,

apakah ketentuan tersebut bukan berarti mengesampingkan asas

keadilan dalam berekonomi?

Saya ingin menunjukkan sebuah praktik kartel kecil yang

dilakukan oleh pelaku usaha penjual makanan lesehan di sepanjang

Malioboro (Yogyakarta) dan sekitarnya. Jika diperhatikan,

indikasi kartel terlihat dari harga makanan yang dipatok sama

untuk setiap penjual. Apabila terdapat selisih, biasanya cuma

selisih pada menu tambahan yang sedikit pengaruhnya terhadap

penguasaan calon pembeli. Praktik kartel dalam kasus penjual

lesehan di Malioboro masih bisa ditoleransi, karena pengaturan

harga yang mereka lakukan tidak memiliki dampak yang luas ke

wilayah lainnya. Konsumen masih memiliki posisi tawar ataupun

pilihan untuk menolak ataupun tidak menolak. Banyak lagi contoh

lainnya praktik kartel yang dilakukan oleh sejumlah paguyuban-

paguyuban pelaku usaha kecil. Praktk kartel tersebut masih bisa

ditoleransi pula, karena tidak ada restriksi atau pembatasan

bagi masuknya pendatang baru.

Jenis-Jenis Kartel

Setelah mengetahui dan memahami bentuk perilaku dan praktik

kartel, perlu diketahui pula jenis-jenis kartel. Dalam hal ini,

praktik kartel dapat diidentifikasi atau dideteksi berdasarkan

jenis-jenisnya sebagai berikut.

1. Kartel Daerah

Cakupan kartel ini biasanya menggunakan indikator regional atau

wilayah. Ada beragam bentuk dan polanya. Misalnya, kartel yang

membagi wilayah pemasarannya berdasarkan regional tertentu.

Perusahaan A menguasai Pulau Jawa, kemudian perusahaan B

menguasai wilayah di Kalimantan dan Sulawesi atau mungkin dibagi

berdasarkan distrik ataupun propinsi. Perusahaan A boleh

memasukkan produknya ke wilayah perusahaan B, tetapi tidak boleh

melakukan pemasaran dengan agresif seperti melakukan promo

khusus regional.

2. Kartel Produksi

Model kartel yang memiliki bentuk kesepakatan untuk menetapkan

kuota produksi bagi anggota-anggotanya.

3. Kartel Harga

Model kartel yang dilakukan dengan melakukan kesepakatan untuk

menetapkan harga (price fixing) untuk meniadakan persaingan

harga. Modus praktik atau polanya bisa bervariasi. Mereka bisa

menetapkan harga terendah, termasuk kesepakatan harga untuk

musim penjualan (banting harga). Antara kartel harga dan kartel

produksi biasanya tidak saling terpisahkan atau biasanya menjadi

satu kesepakatan.

4. Kartel Kondisi

Kesepakatan atau perjanjian bisnis yang mereka lakukan melalui

praktik kartel berdasarkan kondisi tertentu dalam perjanjian

bisnis. Misalnya, pembuatan sistem administrasi (prosedur) dalam

pengambilan kredit kendaraan bermotor, penyusunan mekanisme

dalam penjualan tunai, prosedur dalam pemberian diskon (potongan

harga), bonus, dan sebagainya.

5. Kartel Pembagian Laba

Model kartel yang dalam perjanjiannya berorientasi untuk

melakukan kesepakatan atas pembagian laba. Biasanya, pembagian

laba diberikan ke pihak (anggota) sebagai bentuk kompensasi atas

kesepakatan yang telah mereka setujui. Tujuannya tidak lain

untuk semakin memperkuat loyalitas di antara para anggota pelaku

kartel.

Dalam dunia nyata, praktik kartel biasanya tidak hanya terbatas

untuk satu jenis kartel seperti yang disebutkan di atas. Tidak

jarang pelaku kartel dengan asosiasinya justru menggunakan

keseluruhan kesepakatan dalam 5 jenis kartel. Tujuannya tidak

lain untuk semakin mempersempit adanya persaingan dan tentunya

membatasi peluang masuknya pendatang baru. Jika aturan atau

kesepakatan kartel ingin dihormati atau dipatuhi anggota-

anggotanya, tentu mereka bukan semata melakukan praktik kartel

harga maupun produksi, tetapi akan melakukan pula praktik kartel

pembagian laba.

Praktik Kartel di Indonesia

Prinsip dasar dari perilaku kartel adalah bentuk monopoli dan

perilaku monopoli. Dua kondisi tersebut sudah ada sejak

berdirinya republik ini. Praktik kartel tersebut merupakan

warisan dari kongsi-kongsi perkebunan dan dagang di era

pemerintahan Hindia Belanda. Praktik monopoli ini pun

sesungguhnya telah tercantum di dalam Pasal 33 Undang-Undang

Dasar 1945 berupa penguasaan sumber-sumber perekonomian yang

menguasai hajat hidup orang banyak. Sementara itu, negara NKRI

terbentuk dan berkembang bersamaan dengan berkembangnya wacana

dan studi tentang persaingan dan monopoli di dunia. Di Amerika

Serikat sendiri, praktik kartel, trust, dan monopoli barulah

mulai disoroti sekitar dekade 1960an. Mengingat di masa setelah

kemerdekaan hingga 1960an belum banyak perusahaan-perusahaan

swasta, praktis perilaku kartel, trust, dan monopoli belum

terlihat.

Perkembangan perilaku monopoli baru mulai terlihat setelah

memasuki era Orde Baru. Di awal dekade 1970an, pemerintah mulai

memberikan perhatian kepada pihak swasta untuk didorong agar

dapat memenuhi target pencapaian substitusi impor. Dengan

melibatkan modal asing ataupun investor asing, pencapaian

substitusi impor tidak terlalu lama bisa diwujudkan. Praktik

kartel dan monopoli di kalangan swasta semakin mulai terlihat

pada dekade 1980an. Diduga praktik kartel dan monopoli tersebut

merupakan bentuk kesepakatan di antara pemerintah dan kalangan

investor (produsen), terutama kalangan investor asing yang

melibatkan kalangan produsen di dalam negeri. Apalagi sektor

ekonomi yang digarap oleh kalangan swasta tersebut membutuhkan

biaya investasi yang cukup besar. Pemerintah hanya bisa

memberikan insentif atau perlakuan khusus kepada hanya beberapa

produsen di dalam negeri.

Salah satu praktik kartel yang paling dominan di masa itu adalah

kartel di antara produsen otomotif. Sebelum masa reformasi 1998,

terdapat pengaturan industri yang menetapkan segmen teknologi

untuk pasar kendaraan bermotor roda dua. Honda diberikan

penguasaan untuk memproduksi dan merakit kendaraan bermotor

dengan teknologi 4 tak. Sementara untuk Yamaha dan Suzuki

diberikan penguasaan untuk motor terteknologi 2 tak. Dalam hal

ini, Honda tidak diperkenankan masuk (merakit dan memproduksi)

motor roda dua berteknologi 2 tak, kecuali diperbolehkan masuk

melalui impor yang berarti akan dikenakan PPn Bea Masuk yang

cukup mahal. Pada kelompok sedan, Toyota melalui ATPM-nya, yaitu

Toyota Astra Motor (TAM) mendapatkan kewenangan untuk bermitra

dengan pemerintah dalam menyediakan kendaraan-kendaraan dinas

untuk pemerintah. Sekalipun demikian, pihak TAM tidak

diperkenankan untuk bermitra dengan kalangan swasta dalam

penyediaan kendaraan perkantoran, kecuali dengan kesepakatan

tertentu. Praktik kartel semacam ini masih terus berlangsung

hingga saat ini. Di kelompok sedan, mereka memiliki asosasi

sendiri yang bernama Gabungan Industri Kendaraan Bermotor

Indonesia atau Gaikindo.

Pada tahun 2009 lalu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

berhasil membongkar praktik kartel dalam penetapan tarif layanan

pesan pendek atau short message service (SMS). Kartel tersebut

melibatkan nama-nama perusahaan operator seluler seperti PT

Excelcomindo Pratama, Tbk., PT Telkomsel, Tbk., PT Telkom

(Persero), PT Bakrie Telecom, Tbk., PT Mobile-8 Telecom, Tbk.,

dan PT Smart Telecom. Praktik kartel tersebut terindentifikasi

dilakukan selama periode dari tahun 2004-2008, serta merugikan

konsumen sebesar Rp 2,83 triliun. Praktik kartel dalam industri

telepon seluler sesungguhnya sudah terendus cukup lama, bukan

semata pada layanan SMS, melainkan pula pada penetapan tarif

panggilan (call). Sekalipun pihak KPPU berhasil mengeksekusi

kasus tersebut, tetapi denda yang dikenakan untuk masing-masing

perusahaan tidaklah seberapa apabila dibandingkan dengan

kerugian konsumen yang masih terus berlangsung hingga saat ini.

Praktik kartel oleh para operator telepon seluler ini pun

semakin meluas, bahkan semakin nyata membatasi masuknya

pendatang baru. Kasus yang hampir terungkap adalah kasus

operator seluler asal Malaysia, yaitu Axis yang diduga sempat

mengalami tekanan industri (politik), akibat tidak mengikuti

aturan main dalam persaingan operator telepon seluler.

Pada tahun 2005, KPPU berhasil membongkar praktik kartel dalam

produksi garam di dalam negeri. Kesepakatan tertutup yang

dilakukan oleh sejumlah produsen tersebut mengatur pasokan garam

yang disuplai dari Sumatera Utara. Tahukah Anda, garam ternyat

bukan hanya bermanfaat di rumah tangga, melainkan bahan baku

vital bagi sektor industri tertentu. Tidak main-main, sektor

industri yang sering membutuhkan pasokan garam adalah industri

perminyakan. Sektor-sektor lainnya yang cukup penting

membutuhkan pasokan garam seperti industri minuman, industri

kimia, industri farmasi, industri kertas, dan lain sebagainya.

Begitu besar manfaatnya, tetapi bertolak belakang apabila

melihat nasib kesejahteraan para petani garam.

Pada tahun 2010, KPPU berhasil membongkar modus praktik kartel

dalam industri minyak goreng kemasan maupun minyak goreng curah.

Minyak goreng merupakan salah satu dari bahan kebutuhan pokok

masyarakat yang kedudukannya sejajar dengan kebutuhan pokok

pangan. Praktik kartel tersebut diketahui telah berlangsung

selama periode April-Desember 2008 dengan modus price pararelism

untuk jenis minyak goreng kemasan maupun jenis minyak goreng

curah. Kerugian konsumen ditaksir mencapai Rp 1,27 triliun untuk

jenis minyak goreng kemasan (bermerek) dan sebesar Rp 374,3

miliar untuk jenis minyak goreng curah. Sekalipun demikian,

kasus ini kandas melalui kasasi di tingkat Mahkamah Agung (MA)

atas pengajuan banding oleh sebanyak 20 produsen minyak goreng

lokal.

Praktik kartel ini pun ternyata merambah ke industri farmasi.

Sekali lagi, KPPU berhasil membongkar adanya kartel di dalam

penyediaan obat-obatan hipertensi jenis amplodipine besylate

yang melibatkan PT Pfizer Indonesia dan PT Dexa Medica. Bentuk

kartel yang dilakukan adalah jenis kartel harga. Ini barulah

praktik kartel untuk satu jenis obat-obatan yang berhasil

dibongkar. Diduga kuat, praktik kartel terjadi pula untuk obat-

obatan lainnya. Masalah kartel dalam industri farmasi di dalam

negeri pernah disinggung oleh mantan Menteri Kesehatan, Siti

Fadila yang mengeluhkan tentang tata niaga perdagangan obat yang

membuat harga obat-obatan menjadi mahal.

KPPU sempat pula membongkar dan mengeksekusi praktik kartel di

kalangan operator transportasi udara di dalam negeri. Bentuk

praktik kartel yang dibongkar berupa praktik kartel dalam

penetapan harga tiket dan tarif fuel surcharge (avtur). Industri

penerbangan di dalam negeri mulai tumbuh dan berkembang sejak

tahun 2005 dengan kemunculan nama-nama baru dalam maskapai

penerbangan nasional. Tidak disangka, kemunculan yang begitu

cepat tersebut justru semakin memperkuat jalinan komunikasi

bisnis yang berujung pada praktik kartel. Atas kasus tersebut,

KPPU memberikan sanksi kepada PT Sriwijaya, PT Metro Batavia, PT

Lion Mentari Airlines, PT Wing Abadi Airlines, PT Merpati

Nusantara Airline (Persero), PT Travel Express Aviation

Services, dan PT Mandala Airlines. Akibat praktik kartel

tersebut, konsumen penerbangan mengalami kerugian dengan

taksiran mencapai Rp 13,8 triliun selama periode dari tahun

2006-2008. Sekalipun sempat mengajukan banding ke tingkat MA,

tetapi pihak MA menolak gugatan tersebut.

Penutup

Rasanya akan menghabiskan cukup banyak halaman apabila

menyebutkan satu per satu praktik kartel dalam industri di

Indonesia saat ini. Praktik kartel berlangsung dan dilakuan di

seluruh sektor perekonomian, tidak terkecuali pula sektor

pertanian, pertambangan, dan migas. Belum lama ini, pihak KPPU

tengah melakukan investigas terhadap adanya indikasi kuat

praktik kartel dalam pengadaan komoditi bawang putih dan

pengadaan (impor) daging sapi. Mereka memiliki sendiri asosiasi

atau organisasi yang mewadahi kepentingan ekonomi mereka. Agenda

mereka cukup jelas, mengatur penetapan harga jual dan kuota

(pasokan) ke dalam negeri. Sekalipun legalitas mereka masih bisa

sesuai dengan undang-undang, tetapi keberadaan mereka terbukti

telah membuat kekisruhan atau kekacauan harga maupun pasokan

komoditi di dalam negeri.

Sama halnya dengan upaya untuk melakukan pemberantasan korupsi,

untuk memberantas praktik kartel maupun trust membutuhkan

kemauan politik (political will) dari pemerintah. Dibandingkan

dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), lembaga komisioner

seperti KPPU relatif kurang populer di kalangan masyarakat.

Padahal, isu kartel sesungguhnya cukup dekat, bahkan

berdampingan maupun beriringan dengan kepentingan politik di

dalam isu-isu korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menghadapi praktik kartel.

Pada tahun 2001, sejumlah konsumen pengguna telepon seluler di

Surabaya sempat melakukan ancaman pemboikotan regional terhadap

sejumlah operator seluler. Aksi serupa terjadi lagi di tahun

2012 atas indikasi mafia (kartel) di dalam penyediaan layanan

spam. Sejumlah kalangan konsumen menggalang kampanye mengajak

masyarakat untuk memboikot penggunaan layanan telepon seluler.

Sayangnya, persatuan sikap konsumen seperti ini tidaklah selalu

ada dalam setiap kasus kartel atas komoditi tertentu. Di sinilah

titik kekuatan para pelaku kartel maupun trust, yaitu posisi

tawar di antara produsen dan konsumen. Lembaga perlindungan

konsumen tidak selalu dapat menjamin, karena sikap ataupun

keputusan dari lembaga perlindungan konsumen tidak selalu

mendapatkan dukungan politik dari penyelenggara negara.

REFERENSI

Samuelson, Paul Anthony and Nordhaus, William. Economics (17th

Edition). USA: McGraw-Hill Higher Education, 2001.

Oxford Dictionary of English, edited by Stevenson, Angus. UK:

Oxford University Press, 2010.

Posner, Richard. Economic Analysis of Law (7h Edition). USA:

Aspen Publishers, 2007.

Black's Law Dictionary 9th Edition, edited by Garner, Bryan.

USA: West Group, 2009.

Siswanto, Arief. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta: Penerbit

Ghalia Indonesia, 2002.

Lubis, Andi Fahmi, dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan

Konteks. Jakarta: KPPU, 2009.

Kaylani, Ahmad. Negara & Pasar dalam Bingkai Kebijakan

Persaingan. Jakarta: KPPU, 2011.

http://leo4kusuma.blogspot.com/2013/03/memahami-pengertian-

kartel-monopoli-dan.html

http://www.kppu.go.id/id/publikasi/buku/

http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pengawas_Persaingan_Usaha

http://id.wikipedia.org/wiki/Kartel

http://dunia-angie.blogspot.com/2013/10/hukum-persainganusaha-

di-susun-guna.html

TUGAS MATA KULIAH HUKUM PERSAINGAN USAHA

KARTEL

JERIO HALLEAN

2010-050-028

UNIKA ATMA JAYA

JAKARTA

2014