Upload
uinsby
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI HADITS
TAHAMMUL WA ADA’ AL HADITS
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Hadits
DOSEN PEMBIMBING:
Dra. Khodijah Uchi, M.Psi
Oleh :
1. Muhammad Hidayat E92213059
2. Muh. Kholid Ismatulloh E92213058
3. Nur Lailatul Chasanah E92213060
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013
STUDI HADITS
TAHAMMUL WA ADA’ AL HADITS
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Studi Hadits
DOSEN PEMBIMBING:
Dra. Khodijah Uchi, M.Psi
Oleh :
1. Muhammad Hidayat E92213059
2. Muh. Kholid Ismatulloh E92213058
3. Nur Lailatul Chasanah E92213060
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT,
hanya berkat rahmat dan ridlo-Nya makalah ini dapat
diselesaikan. Makalah yang berjudul “Tahammul wa Ada’ al
Hadits” ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ilmu Sosial Dasar.
Keberhasilan dalam penulisan makalah ini tentu
saja tak lepas dari bantuan banyak pihak. Untuk itu,
penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah menyumbangkan segenap pikiran, tenaga,
dan waktunya demi terselesaikannya karya tulis ini.
Ucapan terimakasih ini secara khusus penulis
sampaikan kepada pihak-pihak berikut ini:
1. Dra. Khodijah Uchi, M.Psi. Selaku dosen yang
tidak pernah bosan membimbing, mengingatkan,
dan memotivasi penulis hingga makalah ini
selesai.
2. Anggota kelompok 5. Muh. Kholid Ismatulloh,
Sisilia Mustafiana Putri, Muryani, dan Evy
Kartika. Yang berkenan meluangkan waktu,
tenaga, dan pikiran untuk menyelesaikan makalah
ini.
3. Beberapa pihak yang tidak disebutkan satu
persatu yang telah membantu suksesnya
penyusunan makalah ini.
Meskipun telah dikerjakan secara maksimal, penulis
menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran sangat
diharapkan oleh penulis demi hasil yang lebih baik.
Akhirnya, penulis mengharapkan semoga makalah ini
dapat membawa makna dan manfaat bagi pembaca, untuk
mengubah pembelajaran menulis menjadi lebih baik.
Surabaya,
November 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I : PENDAHULUAN
1
A. LATAR BELAKANG 1
B. RUMUSAN MASALAH 4
C. TUJUAN 4
BAB II : PEMBAHASAN 5
A. BIOGRAFI PHYTAGORAS 5
B. PEMIKIRAN PHYTAGORAS 7
C. KAUM PHYTAGOREAN 20
D. ANALISIS 24
BAB III : PENUTUP 25
KESIMPULAN 25
DAFTAR PUSTAKA 26
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Phytagoras
5
Gambar 2.2 Phytagoras dan Pengikutnya
8
Gambar 2.3 Bilangan Phytagoras
11
Gambar 2.4 Teorema Phytagoras
13
Gambar 2.5 Ilustrasi Pemikiran Phytagoras
18
Gambar 2.6 Orfisisme
21
A. PENDAHULUAN
Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad
Saw, para pendahulu selalu menjaga Al-Quran dan Al-
Hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah,
dan memegang janji sebagian diantara mereka mencurahkan
perhatiannya terhadap al-Quran dan ilmunya yaitu para
mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai
macam pengetahuan. Seseorang yang telah mempelajari
hadits dengan sungguh-sungguh dengan cara yang benar
memiliki beberapa kode etik yang harus dia jaga dan dia
pelihara, baik ketika masih menjadi pelajar itu sendiri
atau ketika dia sudah mengajarkannya kepada orang lain
kelak. Di dalam ilmu hadits hal ini dikenal dengan
istilah at tahammul wal ada’. Di dalam makalah ini akan
dibahas cara perimaaan dan periwayatan hadis yang
disebut dengan At-Tahammul wa Al-'Ada.
Para ulama hadis telah bersusah payah mengusahakan
adanya ilmu hadis ini, lalu mereka membikin beberapa
kaidah (batasan-batasan) dan berbagai syarat dengan
berbagai bentuk yang cermat dan banyak sekali. Mereka
telah mengidentifikasin anatara 'tahammul hadis'
selanjutnya mereka menjadikannya beberapa tingkatan,
dimana bagian satu dengan yang lain tidaklah sama
artinya ada yang lebih kuat, hal itu merupakan penguat
dari mereka untuk memelihara hadis Rasulullah Saw dan
memindahkan dengan baik dari seseorang kepada orang
lain. Disamping itu mereka yakin bahwa cara yang seperi
ini adalah cara yang palingh selamat dan cara yang
paling cermat. Untuk lebih jelasnya dibicarakan dalam
makalah ini
B. RUMUSAN MASALAH.
1. Pengertian tahammul al-hadits dan ada’ al-
hadits menurut bahasa dan istilah.
2. Syarat-syarat perawi dalam tahammul hadits.
3. Syarat-syarat perawi dalam ada’ al-hadits.
4. Sighat Tahammul wa Ada’al-hadits.
C. PEMBAHASAN.
1. pengertian tahammul al-hadits dan ada’ al-
hadits menurut bahasa dan istilah
Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il
madli tahmmala (ملا ح ل-ت�� م ح ت� ل-ي�� م ح , yang berarti menanggung (ت��membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima.
Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa adalah
menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan
tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits,
sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah
hadits adalah:[1]
وخ� ي� ه ع�ن� ال�ش� ذ� ي!�ث� واخ�� ى ال�حذ لق� اه ت�� حمل: م�عن� ال�ت.“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya
dari para syekh atau guru.
Sedangkan pengertian ada’ al-hadits menurut
bahasa, ada’ (داء adalah masdar dari (الا2
دى- أ62 دى- ت�� ا2داء ا2
ه ل�ي� لى ال�مرس�ل ا; ى2 ا; ي� صال ال�ش� �Eي ا; “menyampaikan
sesuatu pada orang yang dikirim kepadanya”.
وص�له ى2 : ا2 ي� ه� ال�ش� دي�� أ2 دى- ت�� ا2
“Menyampaikannya”.
Bararti ada’ al-
hadits menurut bahasa adalah menyampaikan hadits.
Sedangkan ada’ al-hadits menurut istilah adalah:
Jه ال�طلاب ع�طاو2 ي!�ث� وا; ه� ال�حذ داء : رواي�� الا2“meriwayatkan hadits dan memberikannya pada para
murid”. [2]
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan
menyampaikan hadits kepada murid, atau proses
mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari
seorang guru.
Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits
kepada orang lain, Dalam hal ini mayoritas ulama
hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan
dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta
hadist, yang antara lain:
· Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi)
· integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian
melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqatur Rawi).
· Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam
hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia
meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).
Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan
periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu
karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu
mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau
orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan
mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya
2. Syarat-syarat Perowi dalam Tahammul al-Hadits
Tidak dapat dipungkiri bisa mendapatkan hadits
atau menerimanya merupakan anugrah yang sangat besar.
Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat,
membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng,
yang merupakan adab atau tatakrama seorang tholibul al-
hadits, dalam menerima hadits harus memenuhi beberapa
syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadits
atau dikenal dengan istilah ahliyatu at-tahammul
sehingga hadits yang diterima tersebut sah untuk
diriwayatkan.
a. Tamyiz
Syarat yang pertama perawi dalam tahammul al-
hadits adalah tamyiz. Menurut al-Hafidz Musa ibn Harun
al-Hamal seorang anak bisa disebut tamyiz jika sudah
mampu untuk membedakan antara sapi dan khimar. Kalau
menurut penulis seumpama anak Indonesia itu bisa
membedakan antara kambing dan anjing. Menurut Imam
Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal
yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang
mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak
pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan
dengan baik dan benar.
Seorang yang belum baligh boleh menerima hadits
asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada
keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli imu setelahnya
yang menerima hadits walaupun mereka belum baligh
seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas,
dan lain-lain.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan
seseorang boleh bertahammul hadits dengan batasan usia.
Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul
adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang
anak bisa menghafal dan mengingat-ingat sesuatu,
termasuk hadits nabi. Abu Abdullah az-Zubairi
mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika
telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal
mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn
Ma’in menetapkan usia lima belas tahun.
Syarat perawi dalam tahammul hadits yang penulis
temukan hanyalah tamyiz, sedangkan beragama islam tidak
disyaratkan dalam tahammul hadits. Adapun syarat
berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalam bertahammul
hadits karena untuk menerima hadits yang merupakan
salah satu sumber hukum islam sangat diperlukan. Oleh
karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima
hadits tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat
akalnya.[3]
3. Syarat-syarat perawi dalam ada’ al-hadits
Syarat-syarat orang yang diterima dalam
meriwayatkan hadits atau dikenal dengan istilah
ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadits adalah:
a. Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadits seorang
perowi harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan
hadits oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena
terhadap riwayat orang muslim yang fasik
saja dimauqufkan, apalagi hadits yang diriwayatkan oleh
orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadits orang kafir
diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadits ia harus
sudah masuk Islam.
b. Baligh
Yang dimaksud baligh adalah perowi cukup usia
ketika ia meriwayatkan hadits. Baik baligh karena sudah
berusia lima belas tahun atau baligh karena sudah
keluar mani. Batasan baligh ini bisa diketahui dalam
ketab-kitah fiqih.
c. ‘Adalah (adil)
‘Adl merupakan suatu sifat yang melekat, yang
berupa ketaqwaan dan muru’ah (harga diri). Sifat
‘adalahnya seorang rowi berarti sifat ‘adlnya di dalam
riwayat. Dalam ilmu hadits sifat ‘adalah ini berarti
orang islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari
perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan
jatuhnya harga diri.Jadi syarat yang ketiga ini
sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu
Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat ‘adalah ini
mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang
yang tak dikenal (هول Jم�ج)d. Dlobit
Dlobit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan
hadits harus ingat akan hadits yang ia sampaikan
tersebut. Ketika ia mendengar hadits dan memahami apa
yang didengarnya, serta hafal sejak ia menerima hadits
hingga ia meriwayatkannya.
Dlobit oleh ulama ahli hadits dibagi menjadi dua
yaitu:
1) Dlobtu ash-shodri, yaitu dengan menetapkan atau
menghafal apa yang ia dengar didalam dadanya, sekiranya
ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun
ia kehendaki.
2) Dlobtul kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah
kitab catatan yang catatan hadits yang ia dengar,
kitab tersebut dijaga dan ditashheh sampai ia
meriwayatkan hadits sesuai dengan tulisan yang terdapat
dalam kitab tersebut.[4]
4. Sighat Tahammul wa Ada’al-hadits.[5]
Sighat Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan Implikasinya
terhadap Persambungan Sanad.
1. Al-Sima'
Yakni medengar sendiri dari perkataan gurunya,
baik dengan cara didektekan mauipun bukan, dan baik
dari hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga yang
menghadirinya mendengar apa yang disampaikan tersebut.
Menurut jumhur ulama hadis bahwa cara ini merupakan
penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya.
Termasuk kategori sama' juga seorang yang mendengar
hadis dari Syeikh dari balik satar. Jumhur ulama
membolehkannya dengan berdasar pada para sahabat yang
juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan
hadis-hadis Rasulullah melalui para istri Nabi.
Lafadh-lafadh yang digunakan oleh rawi dalam
meriwayatkan hadis atas dasar sama', ialah:
أ رت�� Jب خ� رن�Eى، ا2 Jب خ� (seseorang mengabarkan kepadaku/kami) ا2
ا ن� Yى، خ�ذي� Zي (seseorang telah bercerita kepadaku/kami)خ�ذي��
ا ، س�معن� (saya telah mendengar, kami telah mendengar) س�معت�
2. Al-Qira'ah 'ala Al-Syaikh atau 'Aradh Al-Qira'ah
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara
seseorang membacakan hadis dihadapan gurunya, baik dia
sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedangkan
sang guru mendengarkan atau menyimak, baik guru itu
hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau
mengetahui tulisannya.
Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan hadis-
hadis yang berdasarkan qiraah:
ه �راب� ع�لي� (aku telah membacakan dihadapannya) ق�
مع �ddddس أ ا2 �Eddddت لان� و ا2 رى2 ع�لى ف�� � �ddddق (dibacakan seseorang dihadapannya sedangaku
mendengarkannya)
ه راءه� ع�لي� � �dddddddddddأ ق ��dddddddddddرت Jب خ� و ا2 ا ا2 ن� Yذي� �dddddddddddخ (telah mengabarkan/menceritkan padaku
secara pembacaandihadapannya)
3. Ijazah
yakni Seorang guru mengijinkan muridnya
meriwayatkan hadis atau riwayat, baik dengan ucapan
atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan
kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu
untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-
macam ijazah adalah
a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada
seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,”Aku
ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-
jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya
b. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa
menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti
mengatakan,”Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan
semua riwayatku”.
c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa
menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang
diijazahkan, seperti mengatakan,”Aku ijazahkan semua
riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.
d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui
atau majhul. Seperti dia mengatakan,”Aku ijazahkan
kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di
situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama
seperti itu.
e. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir
demi mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis.
Umpamanya dia berkata,”Aku ijazahkan riwayat ini kepada
si fulan dan keturunannya”.
Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat
yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan
– لان� ار� ل�ف� J�ddddddddddخ beliau) ا2 telah memberikan ijazah kepada sifulan), haddatsana ijaazatan – ه� ار� J�dddddddddddddخ ا ا; ن� Yذي� �dddddddddddddخ, akhbarana
ijaazatan – ه� ار� J�dddddddddخ أ ا; ��ddddddddddرت Jب خ� ,ا2 dan anba-ana ijaazatan أ – �Eddddddddddت ا2 Jن �Eي ا2
ه� ار� J�dddddddddخ beliau)ا; telah memberitahukan kepada kami secaraijazah).
4. Al-Munaawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa
hadis atau sebuah kitab hadis kepada muridnya untu
diriwayatkan.
Al-Munawalah ada dua macam :
a. Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini
tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah
secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan
kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan
kepadannya,”Ini riwayatku dari si fulan, maka
riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan
bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk
disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti
ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’
dan al-qira’ah.
b. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti
jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang
murid dengan hanya mengatakan : ”Ini adalah riwayatku”.
Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan
pendapat yang shahih.[6]
5. Al-Kitabah
Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia
menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang
yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.
Kitabah ada 2 macam :
a. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan
syaikh,”Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis
untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat
dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama
kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti
syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan
dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak
diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat
perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak
memperbolehkan, dan sebagian yang lain
memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut
adalah karya syaikh itu sendiri.
6. Al-I’lam (memberitahu)
Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang
muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah
riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin
untuk meriwayatkandaripadanya. Ketika menyampaikan
riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii
syaikhi – ى� خ� ت� ى� ش�� ع�لمي� .(guruku telah memberitahu kepadaku)ا2
7. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat
mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab
yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi
mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin – لى� ا; وصى ا2Jاب �dddddddddكن Jلان� ت� si) ف�� fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuahkitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan – لان� ى� ف�� Zي ذي�� �ddخ
ه� ي� �ddddddوص (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuahwasiat). [7]
8. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu : Seorang perawi mendapat hadis atau kitab
dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh
itu, sedang hadi-hadisnya tidak pernah didengarkan
ataupun ditulis oleh si perawi.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati
dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi
kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan
si fulan), atau ”qara’tu bi khththi fulaanin” (aku
telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan);
kemudian menyebutkan sanad dan
matannya. Sighat Tahammul Wa Dari beberapa proses
penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa
mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika
perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus
menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia
menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang
telah banyak dipakai para ulama’ hadits. Sebagaimana
berikut:
hadits y1) Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka
bentuk periwayatannyaadalah:
ى� Zي ذي�� �ddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddا,خ ن� Yذي� �ddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddا,خ معن� �ddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddس, معت� �ddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddس Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan
kata:
ى� Zي ا,خ�ذي�� ن� Yا,خ�ذي� ,س�معن� ا, س�معت� ك�ر ل�ن� ا, د� ال ل�ن� أ,ف�� رت�� Jب خ� ا2
2) Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah,
maka rowi yang meriwayatkan harus menggunakan kata
ه ه� ع�لي� �را2 لان� ق� ا ف�� ن� Yخ�ذي� , �ى� Eرن Jب خ� , ا2 أ س�معت� لان� و ا2 ت�� �رى2 ع�لى ف�� , ق� لان� ب� ع�لى ف�� �را2 ق�
3) Ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk
redaksi penyampaiannya adalah
ن�Eى ا2 Jن �Eي , ا2 لان� ن�Eى ف�� ار� Jخ� ا2
4) Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang
digunakan adalah
اوله� ه� و ال�من� ز� Jلاج� vأ wلان� ت� �ى ف�� Eن ا2 Jن �Eي , ا2 ه� ار� Jلاخ� اوله� وا; أام�ن� لان� ت�� ى ف�� Zي , خ�ذي�� ه� ار� Jلاخ� لان� م�ع ا; ى ف�� أول�ي� ت��
5) Ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan),
maka redaksi yang digunakan adalah:
ه� ار� Jلاخ� ه� وا; Jي �Eي أل�مكا Jى� ت� Zي �ى� خ�ذي�� Eرن Jب خ� , ا2 ه� ار� Jلاخ� ه� وا; Jي �Eي أل�مكا Jى� ت� Zي , خ�ذي�� ى� ي� Jب , ك�ات�� لى� ك�ت�تJ ا;
6) Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka
redaksi yang digunakan adalah:
لاع�لام vأ لان� ت�� �ى ف�� Eرن Jب خ� لاع�لام, ا2 vأ wلان� ت� ى ف�� Zي , خ�ذي�� لان� ى ف�� ع�لمي� ا2
7) Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat,
maka redaksi penyampaian menggunakan kata:
ه� أل�وص�ي� Jلان� ت� ى� ف�� Zي , خ�ذي�� ه� أل�وص�ي� Jلان� ت� �ى ف�� Eرن Jب خ� , ا2 لان� لى� ف�� وصى ا; ا2
8) Ketika proses tahamul melalui metode wijadah
( penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi
penyampaiannya menggunakan kata:[8]
لان� ال ف�� , ف�� لان� ط ف�� خ� Jذب� ت� Jوخ�ang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab ya
D. KESIMPULAN
Dalam menerim hadits tidak disyaratkan seorang
harus muslim dan baligh. Namun ketika menyampaikannya,
disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima
riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang
diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh,
dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq
dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama
memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun
yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat
membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan
memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah
tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya
ditolak.
Metode mempelajari/menerima Hadis yang dipakai oleh
para ulama adalah:
1. As-Sima’, yaitu guru membaca hadis didepan para
muridnya. Bentuknya bisa membaca hafalan, membaca
dari kitab, tanyajawab dan dikte.
2. Al-‘ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di
depan guru. Dalam metode ini seorang guru dapat
mengoreksi hadis yang dbaca oleh muridnya. Istilah yang
dipakai adalah akhbarana.
3. Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada
murid untuk meriwayatkan buku hadis tanpa membaca hadis
tersebut satu demi satu. Istilah yang dipakai adalah
an-ba-ana.
4. Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau
beberapa hadis tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya.
Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
5. Al-MKitabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk
seseorang, hal ini mirip dengan metode ijazah.
6. I’lam as-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru
kepada murid bahwa hadis dalam kitab tertentu adalah
hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang tanpa
menyebut namanya.
7. Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis
kepada muridnya sebelum meninggal.
8. Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan
hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk
meriwayatkannya
E. PENUTUP.
Dari makalah yang kami bahas di atas
mungkin banyak sekali terhadap kesalahan dan kekurangan
baik itu di segi tulisan, kalimat dan bahasa. Oleh
sebab itu mohon kritikan dan sarannya yang bersifat
membangun agar pembuatan makalah selanjutnya lebih baik
lagi.
DAFTAR PUSTAKA
· -Mahmud Thohan, 1985,terjemah Tafsir Mushtholah
Hadits, Songgopuro, haramain,
· Ibnu sholah, TT, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah
ibn ash-Sholah,Tsaqofiyah,
· -. H. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung, CV. Pustaka
Setia, 1999. Cet. I
· -http//ulumul hadits//com
RINGKASAN
Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-
tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari
seorang guru dengan salah satu cara tertentu.
Al-ada’ al-Hadist
Al-Ada‘ secara etimologis berarti
sampai/melaksanakan.secara terminologis Al-Ada‘ berarti
sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari
seorang guru kepada muridnya.
Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk
mengutip hadits dari orang lain adalah:
a. Dhobit.
b. Berakal sempurna.
c. Tamyiz.
Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang
harus memenuhi empat syarat yaitu:a.Islam.
b. Baliq.
c. Adil.
d. dhobit
Metode mempelajari/menerima Hadis yang dipakai oleh
para ulama adalah:2
1. As-Sima’, yaitu guru membaca hadis didepan para
muridnya. Bentuknya bisa membaca hafalan, membaca dari
kitab, tanyajawab dan dikte.
2. Al-‘ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di
depan guru. Dalam metode ini seorang guru dapat
mengoreksi hadis yang dbaca oleh muridnya. Istilah yang
dipakai adalah akhbarana.
3. Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru
kepada murid untuk meriwayatkan buku hadis tanpa
membaca hadis tersebut satu demi satu. Istilah yang
dipakai adalah an-ba-ana.
4. Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah
atau beberapa hadis tanpa menyuruh untuk
meriwayatkannya. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.
5. Al-Kitabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk
seseorang, hal ini mirip dengan metode ijazah.
6. I’lam as-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru
kepada murid bahwa hadis dalam kitab tertentu adalah
hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang tanpa
menyebut namanya.
7. Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku
hadis kepada muridnya sebelum meninggal.
8. Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan
hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk
meriwayatkannya
[1] . Mahmud Thohan, 1985, terjemah Mushtholah Hadits,
Songgopuro, haramain, hlm. 156
[2] .ibid:hlm 156
[3]. Ibnu sholah, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah ibn ash-
Sholah, Tsaqofiyah, hlm. 137.
[4] .Ibid:137