29
STUDI HADITS TAHAMMUL WA ADA’ AL HADITS MAKALAH Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Hadits DOSEN PEMBIMBING: Dra. Khodijah Uchi, M.Psi Oleh : 1. Muhammad Hidayat E92213059 2. Muh. Kholid Ismatulloh E92213058 3. Nur Lailatul Chasanah E92213060 JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

Makalah Studi Hadits: Tahammul wa ada' al-hadits

  • Upload
    uinsby

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

STUDI HADITS

TAHAMMUL WA ADA’ AL HADITS

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Studi Hadits

DOSEN PEMBIMBING:

Dra. Khodijah Uchi, M.Psi

Oleh :

1. Muhammad Hidayat E92213059

2. Muh. Kholid Ismatulloh E92213058

3. Nur Lailatul Chasanah E92213060

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2013

STUDI HADITS

TAHAMMUL WA ADA’ AL HADITS

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Studi Hadits

DOSEN PEMBIMBING:

Dra. Khodijah Uchi, M.Psi

Oleh :

1. Muhammad Hidayat E92213059

2. Muh. Kholid Ismatulloh E92213058

3. Nur Lailatul Chasanah E92213060

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2013

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT,

hanya berkat rahmat dan ridlo-Nya makalah ini dapat

diselesaikan. Makalah yang berjudul “Tahammul wa Ada’ al

Hadits” ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Ilmu Sosial Dasar.

Keberhasilan dalam penulisan makalah ini tentu

saja tak lepas dari bantuan banyak pihak. Untuk itu,

penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua

pihak yang telah menyumbangkan segenap pikiran, tenaga,

dan waktunya demi terselesaikannya karya tulis ini.

Ucapan terimakasih ini secara khusus penulis

sampaikan kepada pihak-pihak berikut ini:

1. Dra. Khodijah Uchi, M.Psi. Selaku dosen yang

tidak pernah bosan membimbing, mengingatkan,

dan memotivasi penulis hingga makalah ini

selesai.

2. Anggota kelompok 5. Muh. Kholid Ismatulloh,

Sisilia Mustafiana Putri, Muryani, dan Evy

Kartika. Yang berkenan meluangkan waktu,

tenaga, dan pikiran untuk menyelesaikan makalah

ini.

3. Beberapa pihak yang tidak disebutkan satu

persatu yang telah membantu suksesnya

penyusunan makalah ini.

Meskipun telah dikerjakan secara maksimal, penulis

menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari

sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran sangat

diharapkan oleh penulis demi hasil yang lebih baik.

Akhirnya, penulis mengharapkan semoga makalah ini

dapat membawa makna dan manfaat bagi pembaca, untuk

mengubah pembelajaran menulis menjadi lebih baik.

Surabaya,

November 2013

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI

iv

BAB I : PENDAHULUAN

1

A. LATAR BELAKANG 1

B. RUMUSAN MASALAH 4

C. TUJUAN 4

BAB II : PEMBAHASAN 5

A. BIOGRAFI PHYTAGORAS 5

B. PEMIKIRAN PHYTAGORAS 7

C. KAUM PHYTAGOREAN 20

D. ANALISIS 24

BAB III : PENUTUP 25

KESIMPULAN 25

DAFTAR PUSTAKA 26

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Phytagoras

5

Gambar 2.2 Phytagoras dan Pengikutnya

8

Gambar 2.3 Bilangan Phytagoras

11

Gambar 2.4 Teorema Phytagoras

13

Gambar 2.5 Ilustrasi Pemikiran Phytagoras

18

Gambar 2.6 Orfisisme

21

A.     PENDAHULUAN

Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad

Saw, para pendahulu selalu menjaga Al-Quran dan Al-

Hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah,

dan memegang janji sebagian diantara mereka mencurahkan

perhatiannya terhadap al-Quran dan ilmunya yaitu para

mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai

macam pengetahuan. Seseorang yang telah mempelajari

hadits dengan sungguh-sungguh dengan cara yang benar

memiliki beberapa kode etik yang harus dia jaga dan dia

pelihara, baik ketika masih menjadi pelajar itu sendiri

atau ketika dia sudah mengajarkannya kepada orang lain

kelak. Di dalam ilmu hadits hal ini dikenal dengan

istilah at tahammul wal ada’. Di dalam makalah ini akan

dibahas cara perimaaan dan periwayatan hadis yang

disebut dengan At-Tahammul wa Al-'Ada.

Para ulama hadis telah bersusah payah mengusahakan

adanya ilmu hadis ini, lalu mereka membikin beberapa

kaidah (batasan-batasan) dan berbagai syarat dengan

berbagai bentuk yang cermat dan banyak sekali. Mereka

telah mengidentifikasin anatara 'tahammul hadis'

selanjutnya mereka menjadikannya beberapa tingkatan,

dimana bagian satu dengan yang lain tidaklah sama

artinya ada yang lebih kuat, hal itu merupakan penguat

dari mereka untuk memelihara hadis Rasulullah Saw dan

memindahkan dengan baik dari seseorang kepada orang

lain. Disamping itu mereka yakin bahwa cara yang seperi

ini adalah cara yang palingh selamat dan cara yang

paling cermat. Untuk lebih jelasnya dibicarakan dalam

makalah ini

B.     RUMUSAN MASALAH.

1.      Pengertian tahammul al-hadits dan ada’ al-

hadits  menurut bahasa dan istilah.

2.      Syarat-syarat perawi dalam tahammul hadits.

3.      Syarat-syarat perawi dalam ada’ al-hadits.

4.    Sighat Tahammul wa Ada’al-hadits.

C.     PEMBAHASAN.

       1.      pengertian tahammul al-hadits  dan ada’ al-

hadits menurut bahasa dan istilah

Menurut bahasa tahammul merupakan masdar dari fi’il

madli tahmmala  (ملا ح ل-ت�� م ح ت� ل-ي�� م ح , yang berarti menanggung (ت��membawa, atau biasa diterjemahkan dengan menerima.

Berarti tahammul al-hadits menurut bahasa  adalah

menerima hadits atau menanggung hadits. Sedangkan

tahammul al-hadits menurut istilah ulama ahli hadits,

sebagaimana tertulis dalam kitab taisir mushtholah

hadits adalah:[1]

                                                        

                  وخ� ي� ه ع�ن� ال�ش� ذ� ي!�ث� واخ�� ى ال�حذ لق� اه ت�� حمل: م�عن� ال�ت.“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya

dari para syekh atau guru.

Sedangkan pengertian ada’ al-hadits menurut

bahasa, ada’ (داء adalah masdar dari (الا2                                                        

دى-                                               أ62 دى- ت�� ا2داء ا2

                                                        

ه                              ل�ي� لى ال�مرس�ل ا; ى2 ا; ي� صال ال�ش� �Eي ا;                                       “menyampaikan

sesuatu pada orang yang dikirim kepadanya”.

                                                                              

وص�له ى2 : ا2 ي� ه� ال�ش� دي�� أ2 دى- ت�� ا2                                                        

                                                 

“Menyampaikannya”. 

                                    Bararti ada’ al-

hadits menurut bahasa adalah menyampaikan hadits.

Sedangkan ada’ al-hadits menurut istilah adalah:

                                                        

                         Jه ال�طلاب ع�طاو2 ي!�ث� وا; ه� ال�حذ داء : رواي�� الا2“meriwayatkan hadits dan memberikannya pada para

murid”. [2]

       Pengertiannya adalah meriwayatkan dan

menyampaikan hadits kepada murid, atau proses

mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari

seorang guru.

Karena Tidak semua orang bisa menyampaikan hadits

kepada orang lain, Dalam hal ini mayoritas ulama

hadits, ushul, dan fikh memiliki kesamaan pandangan

dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta

hadist, yang antara lain:

·         Ketahanan ingatan informator (Dlabitur Rawi)

·         integritas keagamaan (‘Adalah) yang kemudian

melahirkan tingkat kredibilitas (Tsiqatur Rawi).

·         Mengetahui maksud-maksud kata yang ada dalam

hadits dan mengetahui arti hadits apabila ia

meriwayatkan dari segi artinya saja (bil ma’na).

Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan

periwayatan hadits maka yang dimaksud adalah, suatu

karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu

mendorongnya pada melakukan hal-hal yang positif, atau

orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan

mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya

2.      Syarat-syarat Perowi dalam Tahammul al-Hadits

Tidak dapat dipungkiri bisa mendapatkan hadits

atau menerimanya merupakan anugrah yang sangat besar.

Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat,

membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng,

yang merupakan adab atau tatakrama seorang tholibul al-

hadits, dalam menerima hadits harus memenuhi beberapa

syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadits

atau dikenal dengan istilah ahliyatu at-tahammul

sehingga hadits yang diterima tersebut sah untuk

diriwayatkan.

a.  Tamyiz

Syarat yang pertama perawi dalam tahammul al-

hadits adalah tamyiz. Menurut al-Hafidz Musa ibn Harun

al-Hamal seorang anak bisa disebut tamyiz jika sudah

mampu untuk membedakan antara sapi dan khimar. Kalau

menurut penulis seumpama anak Indonesia itu bisa

membedakan antara  kambing dan anjing. Menurut Imam

Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal

yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang

mengatakan bahwa ukuran tamyiz adalah pemahaman anak

pada pembicaraan dan kemampuan menjawab pertanyaan

dengan baik dan benar.

Seorang yang belum baligh boleh menerima hadits

asalkan ia sudah tamyiz. Hal ini didasarkan pada

keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli imu setelahnya 

yang menerima hadits walaupun mereka belum baligh

seperti Hasan, Husain, Abdullah ibn Zubair, Ibnu Abbas,

dan lain-lain.

Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan

seseorang boleh bertahammul hadits dengan batasan usia.

Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul

adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang

anak bisa menghafal dan mengingat-ingat sesuatu,

termasuk hadits nabi. Abu Abdullah az-Zubairi

mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika

telah berusia sepuluh tahun, sebab pada usia ini akal

mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan Yahya ibn

Ma’in menetapkan usia lima belas tahun.

Syarat perawi  dalam tahammul hadits yang penulis

temukan hanyalah tamyiz, sedangkan beragama islam tidak

disyaratkan dalam tahammul hadits. Adapun syarat

berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalam bertahammul

hadits karena untuk menerima hadits yang merupakan

salah satu sumber hukum islam sangat diperlukan. Oleh

karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima

hadits tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat

akalnya.[3]

 3.      Syarat-syarat perawi dalam ada’ al-hadits

Syarat-syarat  orang yang diterima dalam

meriwayatkan hadits atau dikenal dengan istilah

ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadits adalah:

  a.       Islam

Pada waktu periwayatan suatu hadits seorang

perowi  harus muslim. Menurut ijma’, periwayatan

hadits oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena

terhadap riwayat orang muslim yang fasik

saja dimauqufkan, apalagi hadits yang diriwayatkan oleh

orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadits orang kafir

diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadits ia harus

sudah masuk Islam.

b.      Baligh

Yang dimaksud baligh adalah perowi cukup usia

ketika ia meriwayatkan hadits. Baik baligh karena sudah

berusia lima belas tahun atau baligh karena sudah

keluar mani. Batasan baligh ini bisa diketahui dalam

ketab-kitah fiqih.

c.       ‘Adalah (adil)

‘Adl merupakan suatu sifat yang melekat, yang

berupa ketaqwaan dan muru’ah (harga diri). Sifat 

‘adalahnya seorang rowi berarti sifat ‘adlnya di dalam

riwayat. Dalam ilmu hadits sifat ‘adalah ini berarti

orang islam yang sudah mukallaf yang terhindar dari

perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan

jatuhnya harga diri.Jadi syarat yang ketiga ini

sebenarnya sudah mencakup dua syarat sebelumnya yaitu

Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat ‘adalah ini

mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang

yang tak dikenal (هول Jم�ج)d.      Dlobit

Dlobit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan

hadits harus ingat akan hadits yang ia sampaikan

tersebut. Ketika ia mendengar hadits dan memahami apa

yang didengarnya, serta hafal  sejak ia menerima hadits

hingga ia meriwayatkannya.

Dlobit oleh ulama ahli hadits dibagi menjadi dua

yaitu:

1)    Dlobtu ash-shodri, yaitu dengan menetapkan atau

menghafal apa yang ia dengar didalam dadanya, sekiranya

ia mampu untuk menyampaikan hafalan tersebut kapanpun

ia kehendaki.

2)    Dlobtul kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah

kitab catatan  yang catatan hadits yang ia dengar,

kitab tersebut dijaga dan ditashheh sampai ia

meriwayatkan hadits sesuai dengan tulisan yang terdapat

dalam kitab tersebut.[4]

4.  Sighat Tahammul wa Ada’al-hadits.[5]

Sighat Tahammul Wa Ada’ al-hadist dan Implikasinya

terhadap Persambungan Sanad.

1.    Al-Sima'

Yakni medengar sendiri dari perkataan gurunya,

baik dengan cara didektekan mauipun bukan, dan baik

dari hafalannya maupun dari tulisannya. Sehingga yang

menghadirinya mendengar apa yang disampaikan tersebut.

Menurut jumhur ulama hadis bahwa cara ini merupakan

penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya.

Termasuk kategori sama' juga seorang yang mendengar

hadis dari Syeikh dari balik satar. Jumhur ulama

membolehkannya dengan berdasar pada para sahabat yang

juga pernah melakukan hal demikian ketika meriwayatkan

hadis-hadis Rasulullah melalui para istri Nabi.

Lafadh-lafadh yang digunakan oleh rawi dalam

meriwayatkan hadis atas dasar sama', ialah: 

أ    رت�� Jب خ� رن�Eى، ا2 Jب خ� (seseorang mengabarkan kepadaku/kami) ا2

ا    ن� Yى، خ�ذي� Zي (seseorang telah bercerita kepadaku/kami)خ�ذي��                                                    

ا ، س�معن� (saya telah mendengar, kami telah mendengar)   س�معت�

2. Al-Qira'ah 'ala Al-Syaikh atau 'Aradh Al-Qira'ah

Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara

seseorang membacakan hadis dihadapan gurunya, baik dia

sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedangkan

sang guru mendengarkan atau menyimak, baik guru itu

hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau

mengetahui tulisannya.

Lafadh-lafadh yang digunakan untuk menyampaikan hadis-

hadis yang berdasarkan qiraah:

ه �راب� ع�لي�  (aku telah membacakan dihadapannya) ق�

مع �ddddس أ ا2 �Eddddت لان� و ا2 رى2 ع�لى ف�� � �ddddق (dibacakan seseorang dihadapannya sedangaku

mendengarkannya)

ه راءه� ع�لي� � �dddddddddddأ ق ��dddddddddddرت Jب خ� و ا2 ا ا2 ن� Yذي� �dddddddddddخ (telah mengabarkan/menceritkan padaku

secara pembacaandihadapannya)

3. Ijazah

yakni Seorang guru mengijinkan muridnya

meriwayatkan hadis atau riwayat, baik dengan ucapan

atau tulisan. Gambarannya : Seorang syaikh mengatakan

kepada salah seorang muridnya : Aku ijinkan kepadamu

untuk meriwayatkan dariku demikian. Di antara macam-

macam ijazah adalah

a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada

seorang yang tertentu. Misalnya dia berkata,”Aku

ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”. Di antara jenis-

jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya

b. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa

menentukan apa yang diijazahkannya. Seperti

mengatakan,”Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan

semua riwayatku”.

c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa

menentukan) dengan juga tidak menentukan apa yang

diijazahkan, seperti mengatakan,”Aku ijazahkan semua

riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.

d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui

atau majhul. Seperti dia mengatakan,”Aku ijazahkan

kepada Muhammad bin Khalid Ad-Dimasyqi”; sedangkan di

situ terdapat sejumlah orang yang mempunyai nama

seperti itu.

e. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir

demi mengikutkan   mereka yang hadir dalam majelis.

Umpamanya dia berkata,”Aku ijazahkan riwayat ini kepada

si fulan dan keturunannya”.

Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat

yang diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan

–  لان� ار� ل�ف� J�ddddddddddخ beliau) ا2 telah memberikan ijazah kepada sifulan), haddatsana ijaazatan –  ه� ار� J�dddddddddddddخ ا ا; ن� Yذي� �dddddddddddddخ, akhbarana

ijaazatan –  ه� ار� J�dddddddddخ أ ا; ��ddddddddddرت Jب خ� ,ا2 dan anba-ana ijaazatan أ – �Eddddddddddت ا2 Jن �Eي ا2

ه� ار� J�dddddddddخ beliau)ا; telah memberitahukan kepada kami secaraijazah).

4. Al-Munaawalah

Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa

hadis atau sebuah kitab hadis kepada muridnya untu

diriwayatkan.

Al-Munawalah ada dua macam :

a.       Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini

tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah

secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan

kitabnya kepada sang murid, lalu mengatakan

kepadannya,”Ini riwayatku dari si fulan, maka

riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan

bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk

disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti

ini, dan tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’

dan al-qira’ah.

b.       Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti

jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang

murid dengan hanya mengatakan : ”Ini adalah riwayatku”.

Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan

pendapat yang shahih.[6]

5. Al-Kitabah

Yaitu : Seorang syaikh menulis sendiri atau dia

menyuruh orang lain menulis riwayatnya kepada orang

yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.

Kitabah ada 2 macam :

a. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan

syaikh,”Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis

untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat

dengan cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama

kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.

b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti

syaikh menulis sebagian hadits untuk muridnya dan

dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak

diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat

perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak

memperbolehkan, dan sebagian yang lain

memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut

adalah karya syaikh itu sendiri.

6. Al-I’lam (memberitahu)

Yaitu : Seorang syaikh memberitahu seorang

muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah

riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin

untuk meriwayatkandaripadanya. Ketika menyampaikan

riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii

syaikhi –  ى� خ� ت� ى� ش�� ع�لمي� .(guruku telah memberitahu kepadaku)ا2

7. Al-Washiyyah (mewasiati)

Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat

mendekati ajalnya atau dalam perjalanan, sebuah kitab

yang ia wasiatkan kepada sang perawi.

Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi

mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin –  لى� ا; وصى ا2Jاب �dddddddddكن Jلان� ت� si) ف�� fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuahkitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan –  لان� ى� ف�� Zي ذي�� �ddخ

ه� ي� �ddddddوص (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuahwasiat). [7]

8. Al-Wijaadah (mendapat)

Yaitu : Seorang perawi mendapat hadis atau kitab

dengan tulisan seorang syaikh dan ia mengenal syaikh

itu, sedang hadi-hadisnya tidak pernah didengarkan

ataupun ditulis oleh si perawi.

Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati

dengan jalan wijadah ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi

kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan

si fulan), atau ”qara’tu bi khththi fulaanin” (aku

telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan);

kemudian menyebutkan sanad dan

matannya. Sighat Tahammul Wa Dari beberapa proses

penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa

mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika

perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus

menceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia

menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang

telah banyak dipakai para ulama’ hadits. Sebagaimana

berikut:

hadits y1) Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka

bentuk periwayatannyaadalah:

ى� Zي ذي�� �ddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddا,خ ن� Yذي� �ddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddا,خ معن� �ddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddس, معت� �ddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddddس  Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan

kata:

ى� Zي ا,خ�ذي�� ن� Yا,خ�ذي� ,س�معن� ا, س�معت� ك�ر ل�ن� ا, د� ال ل�ن� أ,ف�� رت�� Jب خ� ا2

2) Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah,

maka rowi yang   meriwayatkan harus menggunakan kata

ه ه� ع�لي� �را2 لان� ق� ا ف�� ن� Yخ�ذي� , �ى� Eرن Jب خ� , ا2 أ س�معت� لان� و ا2 ت�� �رى2 ع�لى ف�� , ق� لان� ب� ع�لى ف�� �را2 ق�    

3) Ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk

redaksi penyampaiannya adalah

ن�Eى ا2 Jن �Eي , ا2 لان� ن�Eى ف�� ار� Jخ� ا2

4) Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang

digunakan adalah

اوله� ه� و ال�من� ز� Jلاج� vأ wلان� ت� �ى ف�� Eن ا2 Jن �Eي , ا2 ه� ار� Jلاخ� اوله� وا; أام�ن� لان� ت�� ى ف�� Zي , خ�ذي�� ه� ار� Jلاخ� لان� م�ع ا; ى ف�� أول�ي� ت��

5) Ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan),

maka redaksi yang digunakan adalah:

ه� ار� Jلاخ� ه� وا; Jي �Eي أل�مكا Jى� ت� Zي �ى� خ�ذي�� Eرن Jب خ� , ا2 ه� ار� Jلاخ� ه� وا; Jي �Eي أل�مكا Jى� ت� Zي , خ�ذي�� ى� ي� Jب , ك�ات�� لى� ك�ت�تJ ا;

6) Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka

redaksi yang digunakan adalah:

لاع�لام vأ لان� ت�� �ى ف�� Eرن Jب خ� لاع�لام, ا2 vأ wلان� ت� ى ف�� Zي , خ�ذي�� لان� ى ف�� ع�لمي� ا2

7) Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat,

maka redaksi  penyampaian menggunakan kata:

ه� أل�وص�ي� Jلان� ت� ى� ف�� Zي , خ�ذي�� ه� أل�وص�ي� Jلان� ت� �ى ف�� Eرن Jب خ� , ا2 لان� لى� ف�� وصى ا; ا2

8) Ketika proses tahamul melalui metode wijadah

( penemuan sebuah manuskrip atau buku), maka redaksi

penyampaiannya menggunakan kata:[8]

لان� ال ف�� , ف�� لان� ط ف�� خ� Jذب� ت� Jوخ�ang dia hafal atau yang terdapat dalam sebuah kitab ya

D.     KESIMPULAN

 Dalam menerim hadits tidak disyaratkan seorang

harus muslim dan baligh. Namun ketika menyampaikannya,

disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima

riwayat seorang muslim yang baligh dari hadits yang

diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh,

dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq

dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian ulama

memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun

yang benar adalah cukup batasan tamyiz atau dapat

membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan

memberikan jawaban dan pendengaran yang benar, itulah

tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya

ditolak. 

Metode mempelajari/menerima Hadis yang dipakai oleh

para ulama adalah:

1. As-Sima’, yaitu guru membaca hadis didepan para

muridnya. Bentuknya bisa    membaca hafalan, membaca

dari kitab, tanyajawab dan dikte.

2. Al-‘ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di

depan guru. Dalam metode ini seorang guru dapat

mengoreksi hadis yang dbaca oleh muridnya. Istilah yang

dipakai adalah akhbarana.

3. Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada

murid untuk meriwayatkan buku hadis tanpa membaca hadis

tersebut satu demi satu. Istilah yang dipakai adalah

an-ba-ana.

4. Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau

beberapa hadis tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya.

Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.

5. Al-MKitabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk

seseorang, hal ini mirip dengan metode ijazah.

6. I’lam as-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru

kepada murid bahwa hadis dalam kitab tertentu adalah

hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang tanpa

menyebut namanya.

7. Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis

kepada muridnya sebelum meninggal.

8. Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan

hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk

meriwayatkannya

E.      PENUTUP.

            Dari makalah yang kami bahas di atas

mungkin banyak sekali terhadap kesalahan dan kekurangan

baik itu di segi tulisan, kalimat dan bahasa. Oleh

sebab itu mohon kritikan dan sarannya yang bersifat

membangun agar pembuatan makalah selanjutnya lebih baik

lagi.

DAFTAR PUSTAKA

·         -Mahmud Thohan, 1985,terjemah Tafsir Mushtholah

Hadits, Songgopuro, haramain,

·         Ibnu sholah, TT, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah

ibn ash-Sholah,Tsaqofiyah,

·         -. H. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung, CV. Pustaka

Setia, 1999. Cet. I

·         -http//ulumul hadits//com

RINGKASAN

Ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan At-

tahamul adalah “mengambil atau menerima hadits dari

seorang guru dengan salah satu cara tertentu.

Al-ada’ al-Hadist

Al-Ada‘ secara etimologis berarti

sampai/melaksanakan.secara terminologis Al-Ada‘ berarti

sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari

seorang guru kepada muridnya.

Adapun syarat-syarat bagi seseorang diperbolehkan untuk

mengutip hadits dari orang lain adalah:

a.       Dhobit.

b.      Berakal sempurna.

c.       Tamyiz.

Sementara itu, untuk mencapai tingkat ‘adalah seseorang

harus memenuhi empat syarat yaitu:a.Islam.

b.      Baliq.

c.       Adil.

d.      dhobit

Metode mempelajari/menerima Hadis yang dipakai oleh

para ulama adalah:2

1. As-Sima’, yaitu guru membaca hadis didepan para

muridnya. Bentuknya bisa membaca hafalan, membaca dari

kitab, tanyajawab dan dikte.

2. Al-‘ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di

depan guru. Dalam metode ini seorang guru dapat

mengoreksi hadis yang dbaca oleh muridnya. Istilah yang

dipakai adalah akhbarana.

3. Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru

kepada murid untuk meriwayatkan buku hadis tanpa

membaca hadis tersebut satu demi satu. Istilah yang

dipakai adalah an-ba-ana.

4. Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah

atau beberapa hadis tanpa menyuruh untuk

meriwayatkannya. Istilah yang dipakai adalah an-ba-ana.

5. Al-Kitabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk

seseorang, hal ini mirip dengan metode ijazah.

6. I’lam as-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru

kepada murid bahwa hadis dalam kitab tertentu adalah

hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang tanpa

menyebut namanya.

7. Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku

hadis kepada muridnya sebelum meninggal.

8. Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan

hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk

meriwayatkannya

[1] . Mahmud Thohan, 1985, terjemah Mushtholah Hadits,

Songgopuro, haramain, hlm. 156

[2] .ibid:hlm 156

[3]. Ibnu sholah, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah ibn ash-

Sholah, Tsaqofiyah, hlm. 137.

[4] .Ibid:137

[5] . H. Mudasir, Ilmu Hadis, Bandung, CV. Pustaka

Setia, 1999. Cet. I.hlm.85

[6] Ibid:156

[7] Ibid:156

[8] .htttp//ulumulhadits//com