36
PENGARUH PENANGKAPAN IKAN TERHADAP KOMPOSISI TINGKAT TROFIK (TROPHIC LEVEL) DI KEPULAUAN SERIBU KUSNADI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

PENGARUH PENANGKAPAN IKAN TERHADAP KOMPOSISI TINGKAT TROFIK (TROPHIC LEVEL) DI KEPULAUAN SERIBU

Embed Size (px)

Citation preview

PENGARUH PENANGKAPAN IKAN TERHADAP

KOMPOSISI TINGKAT TROFIK (TROPHIC LEVEL)

DI KEPULAUAN SERIBU

KUSNADI

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pengaruh

Penangkapan Ikan terhadap Komposisi Tingkat Trofik (Trophic Level) di

Kepulauan Seribu” adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor

Bogor, Juni 2013

Kusnadi

NIM C44080025

ABSTRAK

KUSNADI, C44080025. Pengaruh Penangkapan Ikan terhadap Komposisi

Tingkat Trofik (Trophic Level) di Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh AM

AZBAS TAURUSMAN dan BUDY WIRYAWAN.

Trofik level adalah posisi suatu organisme dalam jaring makanan. Penggunaan

alat tangkap yang selektif maupun tidak selektif berpotensi mempengaruhi

keseimbangan rantai makanan. Menjadi pertanyaan penting apakah spesies ikan

yang ditangkap pada trofik level tertentu berhubungan dengan jenis alat tangkap

yang digunakan. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan status

perikanan tangkap di Kepulauan Seribu; (2) menentukan komposisi hasil

tangkapan nelayan menurut jenis alat tangkap; dan (3) mengidentifikasi potensi

dampak penggunaan suatu alat tangkap terhadap ekosistem. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa jenis alat tangkap utama yang digunakan nelayan di

Kepulauan Seribu adalah payang, muroami, jaring insang, pancing dan bubu

tambun. Ukuran rata-rata panjang total jenis ikan hasil tangkapan dominan ikan

ekor kuning sebesar 19 ± 4,0 cm dan ikan baronang sebesar 22,4 ± 1,5 cm.

sementara berat rata-rata hasil tangkapan dominan kedua jenis ikan tersebut

adalah ikan ekor kuning sebesar 110,6 ± 103,7 gram dan ikan baronang sebesar

163,6 ± 58,5 gram. Trofik level ikan yang ditangkap didominasi oleh jenis

karnivora yang cenderung pemakan ikan dan cephalopoda (TL5 yaitu 4,0 - 4,5),

seperti ikan tongkol. Penelitian ini telah menghasilkan suatu indikasi dampak

penangkapan terhadap ekosistem khususnya keseimbangan rantai makanan.

Kata kunci: alat tangkap, hasil tangkapan, tingkat trofik (trophic level)

ABSTRACT

KUSNADI, C44080025. Fishing Effect on the Trophic Level Composition in

Seribu Islands. Supervised by AM AZBAS TAURUSMAN and BUDY

WIRYAWAN.

Trophic level is a structure of organism in food chain. The using both selective or

non selective fishing gears has potential effects on the food chain. Thus, the

important question is whether the caught at a certain trophic level relate to the

used fishing gears. The study aimed: (1) to describe the status of fisheries in

Seribu Islands; (2) to determine the composition of caught based on fishing gear

types; and (3) to identify the potential impacts on ecosystem. The result of this

study showed that the major fishing gears in Seribu Islands were seine net,

muroami, gill net, hook and line as well as „bubu tambun‟ (trap). Most of the

catch in the study area were redbelly yellowtail fusilier and goldlined spinefoot;

the average length were 19 ± 4,0 cm and 22,4 ± 1,5 cm respectively. Further

more, the average weight were redbelly yellowtail fusilier (110,6 ± 103,7 gr) and

goldlined spinefoot (163,6 ± 58,5 gr). Majority, trophic level of catch was

carnivores which prey the smaller fish and cephalopods (TL5: 4.0 – 4.5) e.g.

frigate mackerel. This study has indicated that there was an impact of fishing on

the ecosystem, particularly the balance of the food chain.

Keywords: caught, fishing gear, trophic level

PENGARUH PENANGKAPAN IKAN TERHADAP

KOMPOSISI TINGKAT TROFIK (TROPHIC LEVEL)

DI KEPULAUAN SERIBU

KUSNADI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan

pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Judul Penelitian : Pengaruh Penangkapan Ikan terhadap Komposisi Tingkat

Trofik (Trophic Level) di Kepulauan Seribu

Nama : Kusnadi

NRP : C44080025

Program studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap

Disetujui oleh

Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi., M.Si. Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc

Ketua Departemen

Tanggal lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-

Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan di Perairan Kepulauan Seribu pada bulan Juni-

Agustus 2012 ini adalah Pengaruh Perikanan Tangkap Terhadap Tingkat Trofik

(Trophic Level) Berdasarkan Alat Tangkap di Kepulauan Seribu.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi.

M.Si. dan Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc. atas arahan dan bimbingannya selama

penyusunan skripsi ini serta Dr. Ir. Muhammad Fedi Alfiadi Sondita, M.Sc. selaku

dosen penguji dan Vita Rumanti Kurniawati, S.Pi. MT. selaku Komisi Pendidikan

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Ungkapan terima kasih juga

disampaikan kepada dosen Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan atas

ilmu yang telah diberikan selama ini, kedua orang tua, kakak dan adik-adikku

yang selalu memberikan doa, motivasi, inspirasi dan semangat kepada penulis,

Soraya Gigentika, Ristiani, Rosyiddin, Reza Setia Raharja P, Dwi Putra, M. Iqbal

Hidayat, Izza Mahdiana, Yadudin, Oktavianto, Alfin, Ariestyo, Anggara Bayu,

Cut Pinta, Imelda, Rahmi Fitria, Hotnaida, Rheka, Dian, Andhika Pratama,

PSP45, PSP 46, PSP 47, PSP 48, Toba crew serta civitas PSP lainnya yang telah

memberikan doa, dukungan dan semangatnya. Kegiatan survei lapangan studi

lapangan ini mendapat dukungan dari Proyek Program Iptek bagi Masyarakat

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Nomor

258/SP2H/KPM/DIT.LITABMAS/VII/2012, dengan judul IbM Restocking

Teripang dan Restorasi Ekosistem Lamun, untuk itu penulis mengucapkan terima

kasih.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2013

Kusnadi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL.............................................................................................. ii

DAFTAR GAMBAR......................................................................................... ii

DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... iii

PENDAHULUAN..............................................................................................

Latar Belakang............................................................................................. 1

Tujuan.......................................................................................................... 2

Manfaat........................................................................................................ 2

METODE PENELITIAN...................................................................................

Waktu dan Tempat...................................................................................... 3

Metode Penelitian........................................................................................ 3

Analisis Data............................................................................................... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN..........................................................................

Deskripsi Alat Tangkap............................................................................... 7

Komposisi Ikan Dominan Hasil Tangkapan di Kepulauan Seribu.............. 11

Indeks Keragaman Hasil Tangkapan di Kepulauan Seribu......................... 16

Trofik Level Hasil Tangkapan..................................................................... 17

KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................................

Kesimpulan.................................................................................................. 23

Saran............................................................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 25

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis dan tingkat trofik (trophic level) ikan hasil tangkapan nelayan

menurut alat tangkap di Kepulauan Seribu................................................. 18

2. Hasil jenis dan tingkat trofik (trophic level) ikan hasil tangkapan

nelayan di Kepulauan Seribu...................................................................... 19

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Peta lokasi penelitian......................................................................... 3

2. Cara pengukuran panjang ikan.......................................................... 5

3. Konstruksi muroami di Kepulauan Seribu......................................... 8

4. Konstruksi jaring insang di Kepulauan Seribu.................................. 9

5. Konstruksi pancing di Kepulauan Seribu.......................................... 10

6. Konstruksi bubu di Kepulauan Seribu............................................... 11

7. Panjang total ikan ekor kuning........................................................... 12

8. Berat ikan ekor kuning....................................................................... 12

9. Hubungan panjang dan berat ikan ekor kuning................................. 13

10. Panjang total dan panjang cagak ikan baronang................................ 14

11. Berat ikan baronang........................................................................... 14

12. Hubungan panjang dan berat ikan baronang...................................... 15

13. Indeks keragaman hasil tangkapan berdasarkan tahun...................... 16

14. Komposisi tingkat trofik (trophic level) hasil tangkapan di Perairan

Kepulauan Seribu............................................................................... 18

15. Tingkat trofik (trophic level) hasil tangkapan setiap jenis alat

tangkap di Kepulauan Seribu............................................................. 19

16. Komposisi tingkat trofik (trophic level) hasil tangkapan setiap jenis

alat tangkap di Kepulauan Seribu...................................................... 20

17. Ilustrasi struktur tingkat trofik (trophic level) seimbang alamiah...... 20

18. Ilustrasi struktur tingkat trofik (trophic level) hasil tangkapan di

Perairan Kepulauan Seribu................................................................. 21

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegiatan penangkapan ikan memiliki dampak langsung dan tidak langsung

terhadap ekosistem. Dampak ini diidentifikasi pada skala waktu dan level yang

berbeda pada organisasi biologis, yaitu populasi, komunitas dan ekosistem.

Kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan akan berdampak pada ekosistem laut

yang mengalami penurunan kondisi alaminya, baik degradasi keragaman spesies

maupun penurunan biomassa. Penurunan kondisi ini mengakibatkan terjadinya

ketidakseimbangan rantai makanan. Jadi, kegiatan penangkapan ikan harus

memperhatikan manajemen atau pengelolaan perikanan dengan pendekatan

ekosistem. Tingkat trofik (trophic level) adalah posisi suatu organisme dalam

jaring makanan (Froese dan Pauly, 2000). Kegiatan penangkapan ikan

menggunakan alat tangkap yang selektif maupun tidak selektif berpotensi

mempengaruhi keseimbangan rantai makanan (trophic level). Perubahan tingkat

trofik (trophic level) merupakan salah satu indikator keberlanjutan suatu daerah

penangkapan ikan.

Pendekatan ekositem dalam kegiatan pengelolaan perikanan merupakan

penggabungan dari pengelolaan perikanan konvensional dan pengelolaan

perikanan berbasis ekosistem. Pengelolaan perikanan konvensional terfokus pada

spesies ikan yang menjadi sasaran nelayan, pemenuhan kebutuhan pangan dan

kebutuhan ekonomi lainnya, sementara pengelolaan perikanan berbasis ekosistem

memiliki fokus yang lebih luas dari sekedar mengelola spesies tersebut (Stergiou

et al., 2007).

Kepulauan Seribu merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki

perairan karang yang kaya dengan berbagai jenis ikan. Banyaknya jenis ikan yang

hidup di perairan tersebut menimbulkan kegiatan penangkapan ikan. Menurut

DKP DKI Jakarta (2011), terdapat 5 jenis alat tangkap di Kepulauan Seribu yaitu

muroami, payang, jaring insang (gillnet), pancing dan bubu. Empat dari lima

jenis alat tangkap tersebut terdapat di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang. Empat

Jenis alat tangkap tersebut adalah muroami, jaring insang (gillnet), pancing dan

bubu. Sementara satu jenis alat tangkap yaitu payang terdapat di Pulau Harapan. Beberapa penelitian mengenai dampak penangkapan ikan terhadap

ekosistem khususnya terkait keseimbangan rantai makanan telah dilakukan.

Aprilia (2011) melakukan penelitian tersebut di Bojonegoro, Kabupaten Serang,

Banten sedangkan Ristiani (2011) di habitat lamun di Kepulauan Seribu, provinsi

DKI Jakarta. Kedua peneliti tersebut melaporkan adanya dampak potensial

kegiatan penangkapan ikan berupa perubahan struktur tingkat trofik (trophic

level) komunitas ikan. Spesifikasi alat penangkapan ikan, metode, waktu dan

tempat pengoperasiannya sangat menentukan komposisi ikan yang tertangkap.

Oleh karena itu, penelitian mengenai pengaruh perikanan tangkap terhadap

struktur dan komposisi komunitas ikan menurut tingkat trofik (trophic level) ini

perlu dilakukan secara intensif.

2

Tujuan

Tujuan penelitian ini, adalah:

1) Mendeskripsikan status perikanan tangkap di perairan Kepulauan Seribu, DKI

Jakarta;

2) Menentukan komposisi hasil tangkapan nelayan menurut jenis alat tangkap;

dan

3) Mengidentifikasi dampak potensial penangkapan ikan terhadap struktur dan

komposisi komunitas ikan menurut tingkat trofik (trophic level).

Manfaat

Manfaat dari penelitian ini, yaitu:

1) Memberikan informasi ilmiah tentang komposisi hasil tangkapan nelayan di

Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta; dan

2) Menghasilkan salah satu informasi dalam kerangka pengelolaan perikanan

berbasis ekosistem di wilayah penangkapan.

3

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam periode Juni 2012–Maret 2013. Pengambilan

data dilakukan periode Juni-Agustus 2012 di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang,

karena 4 dari 5 jenis alat di Kepulauan Seribu terdapat di Pulau tersebut.

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

deskriptif survei. Metode penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan data

atau informasi tentang suatu populasi dengan menggunakan sampel. Alat yang

digunakan pada penelitian ini antara lain interview guide, papan ukur (measuring

board), timbangan dan kamera. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil pengamatan

langsung (pengukuran morfologi dan penimbangan berat hasil tangkapan), dan

hasil wawancara dengan nelayan responden. Sampel nelayan yang diambil yaitu

2 nelayan muroami, 3 nelayan jaring insang, 3 nelayan pancing dan 3 nelayan

bubu. Adapun data sekunder diperoleh dari Dinas Kelautan dan Pertanian berupa

data produksi perikanan tangkap di Kepulauan Seribu.

6°00'

5°55'

5°50'

5°45'

5°40'

5°35'

5°30'

106°25' 106°30' 106°35' 106°40' 106°45' 106°50' 106°55' 107°00'106°20'

N

EW

S

10 0 10

Kilometer

Daratan

Lautan

LEGENDA:

Lokasi Penelitian

10°

107° 110° 113°

INSERT PETA:

Pulau Panggang

Pulau Pramuka

4

Data yang diperoleh akan dikelompokkan dan diolah berdasarkan:

1) Panjang dan berat hasil tangkapan

Hasil tangkapan diukur panjang dan beratnya. Perbandingan panjang dan

berat hasil tangkapan menggunakan software Microsoft Excel 2003 untuk

mengetahui hubungan panjang dan berat hasil tangkapan yang diperoleh.

Panjang tubuh ikan dapat diukur dengan sistem morfometrik (Effendie, 1979).

Ada tiga macam pengukuran, yaitu : panjang total, panjang baku, dan panjang

cagak. Panjang total adalah panjang tubuh ikan mulai dari ujung mulut depan

ikan sampai ujung ekor ikan. Panjang baku adalah panjang ikan yang diukur

mulai dari ujung terdepan dari kepala sampai ujung terakhir dari tulang

punggungnya. Panjang cagak adalah panjng ikan yang diukur dari ujung

terdepan sampai ujung bagian luar lekukan ekor.

Sumber : Modifikasi Jennings et al. (2001)

Gambar 2 Cara pengukuran panjang ikan

2) Jenis dan ukuran alat tangkap

Data jenis dan ukuran alat tangkap dapat diperoleh dari kuesioner dan

pengamatan langsung di lapangan.

3) Trofik level setiap ikan hasil tangkapan nelayan menurut alat tangkapnya

Dari spesies hasil tangkapan yang didapat, akan dilihat dan diklasifikasikan

nilai trofik level dari metadata Fish Base (Froese & Pauly, 2012), yang

menyediakan informasi nilai trofik level dari jenis dan komposisi makanan.

Analisis Data

Analisis statistik

Tujuan dari analisis ini, yaitu mengetahui apakah terdapat perbedaan antara

jenis alat tangkap dan komposisi hasil tangkapan menurut struktur ekologinya.

Hipotesis yang digunakan, yaitu :

Ho : Tidak terdapat hubungan antara alat tangkap yang digunakan dengan

komposisi hasil tangkapan menurut indikator tingkat trofik.

Panjang Baku

Panjang Cagak

Panjang Total

5

2

H1 : Terdapat hubungan antara alat tangkap yang digunakan dengan komposisi

hasil tangkapan menurut indikator tingkat trofik.

Analisis Keragaman Shannon-Wiener

Indeks diversitas (keragaman) Shannon-Wiener dihitung dengan

menggunakan persamaan modifikasi dari Krebs (1989) yang ditujukan oleh

persamaan (1).

H‟= - 𝑛𝑖

𝑁 𝑙𝑜𝑔

𝑛𝑖

𝑁

𝑠

𝑡=1 …………………………………………………(1)

Keterangan:

H‟: indeks diversitas Shannon-Wiener

ni : jumlah individu hasil tangkapan spesies ke-i

N : jumlah total individu dari suatu spesies ke i (i = 1 sampai S)

S : jumlah total spesies dalam suatu contoh

Keragaman dihitung berdasarkan indeks keragaman untuk menggambarkan

komunitas secara matematis dan mempermudah analisis komunitas ikan hasil

tangkapan.

Hubungan panjang dan berat

Panjang dan berat ikan hasil tangkapan utama setiap alat tangkap diukur,

kemudian dianalisis hubungannya dengan menggunakan model Ricker (1975)

yaitu W = aLb, dimana W = bobot ikan (gram) dan L = panjang total (cm),

sedangkan a dan b = konstanta regresi hubungan panjang dan berat. Logaritma

persamaan tersebut, yaitu: ln W = ln a + b ln L adalah sebuah persamaan linear.

Indikator ukuran panjang ikan dan length at first maturity

Indikator ukuran panjang ikan dibandingkan terhadap ukuran saat pertama

kali matang gonad (memijah) atau length at first maturity dari Froese and Pauly,

2012 (Fishbase). Analisis dilakukan untuk mengetahui ikan yang layak tangkap

secara ekologis.

Analisis tingkat trofik (trophic level) hasil tangkapan

Trofik level menunjukkan keberadaan ikan dan organisme lainnya yang

masing-masing berperan dalam jaring makanan (Stergiou et al., 2007). Spesies

hasil tangkapan yang didapat, akan dilihat dan diklasifikasikan nilai TL dari

metadata Fish Base (Froese & Pauly, 2012), yang menyediakan informasi nilai

TL dari jenis dan komposisi makanan. Sementara klasifikasi tingkat trofik

(trophic level) menurut Stergiou et al. (2007) yaitu :

2,1 ≤ TL2 ≤ 2,9 = omnivora yang cenderung pemakan tumbuhan

6

2,9 < TL3 ≤ 3,7 = omnivora yang cenderung pemakan hewan (zooplankton)

3,7 < TL4 ≤ 4,0 = carnivora yang menyukai decapoda dan ikan

4,0 < TL5 ≤ 4,5 = carnivora yang cenderung pemakan ikan dan cephalopoda

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Unit Penangkapan Ikan

Menurut DKP DKI Jakarta (2011), terdapat 5 jenis alat tangkap di

Kepulauan Seribu yaitu muroami, payang, jaring insang (gillnet), pancing dan

bubu. Empat dari lima jenis alat tangkap tersebut terdapat di Pulau Pramuka dan

Pulau Panggang. Empat Jenis alat tangkap tersebut adalah muroami, jaring insang

(gillnet), pancing dan bubu. Sementara itu, satu jenis alat tangkap yaitu payang

terdapat di Pulau Harapan. Berikut deskripsi empat jenis alat tangkap yang

terdapat di Kepulauan Seribu :

1) Unit penangkapan muroami

Jaring jepang yang digunakan di Kepulauan Seribu termasuk ke dalam

klasifikasi alat tangkap muroami (soma malalugis) dengan panjang jaring

mencapai 27 m, lebar 11 m dan tinggi 11 m. Ukuran mesh size yang digunakan

pada alat tangkap payang yaitu 1,5 inchi. Alat penangkapan ikan ini dioperasikan

dengan menggunakan perahu/kapal motor dengan bahan kayu. Kapal yang

digunakan memiliki ukuran panjang 12-17 meter, lebar 2,5-3,5 meter dan draft

1,5-2 meter. Mesin kapal yang digunakan memiliki kekuatan 23 PK. Alat

tangkap ini terdiri dari sayap, kantong, pemberat, pelampung, dan alat bantu

berupa alat penggiring yang berfungsi untuk menggiring ikan ke jaring.

Proses pengoperasian muroami dilakukan secara harian (one day fishing).

Nelayan berangkat menuju lokasi penangkapan (fishing ground) sekitar pukul

07.00 pagi hari dan pulang sekitar pukul 17.00. Waktu yang dibutuhkan menuju

fishing ground sekitar 1 - 2 jam tergantung jarak fishing ground yang ditempuh.

Penggunaan tenaga kerja pada alat tangkap muroami berkisar antara 18-20 orang

nelayan.

Pengoperasian muroami diperlukan sekitar 2-3 buah perahu, yaitu satu

perahu bertugas membawa kantong, dua perahu untuk memuat masing-masing

sayap atau kaki jaring dan perahu lainnya digunakan untuk membawa tenaga

penggiring ikan ke tempat ikan berada. Tempat pengoperasian alat dilakukan di

perairan karang dengan kedalaman 10-25 meter dengan dasar yang tidak terlalu

miring. Pengoperasian muroami dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu pertama

memperkirakan densitas kawanan ikan terlebih dahulu sebelum setting alat

tangkap, dengan cara pengamatan langsung atau menyelam. Kemudian

mengetahui kecepatan dan arah arus untuk kelancaran operasional alat tangkap.

Arus yang tidak terlalu kencang paling baik untuk pelaksanaan setting jaring.

Setelah mengetahui kecepatan dan arah arus dilakukan pemasangan jaring

dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga membentuk huruf V dan harus

memperhatikan letak ujung depan kaki yang pendek berada di perairan yang lebih

dangkal dimana karang berada, sedangkan ujung kaki yang panjang diletakkan di

perairan yang lebih dalam. Terakhir menggiringkan ikan segera dilakukan setelah

pemasangan kantong selesai.

Hasil tangkapan yang diperoleh dengan muroami adalah ikan karang. Hasil

tangkapan utamanya adalah ikan ekor kuning (Caesio cuning), sedangkan hasil

tangkapan sampingannya yaitu ikan baronang (Siganus lineatus), ikan selar

8

(Selaroides leptolepis), ikan kwe (Caranx sexfasciatus) dan ikan kakatua (Scarus

quayi).

Gambar 3 Konstruksi muroami di Kepulauan Seribu

2) Unit penangkapan gillnet

Gillnet atau orang di Kepulauan Seribu menyebutnya jaring “tangsi” yang

digunakan di Kepulauan Seribu termasuk ke dalam klasifikasi alat tangkap jaring

insang (gillnet) dengan ukuran panjang 29 m (75 mata) dan lebar 1,5 m (35 mata).

Alat penangkapan ikan ini dioperasikan dengan menggunakan perahu/kapal motor

dengan bahan kayu. Kapal yang digunakan memiliki ukuran panjang sekitar 11

meter, lebar 1,8 meter dan draft 1,75 meter. Mesin kapal yang digunakan

memiliki kekuatan 24 PK.

Nelayan berangkat menuju lokasi penangkapan (fishing ground) sekitar

pukul 07.00 pagi hari dan pulang sekitar pukul 17.00. Waktu yang dibutuhkan

menuju fishing ground sekitar 1 - 2 jam tergantung jarak fishing ground yang

ditempuh. Penggunaan tenaga kerja pada alat tangkap jaring tangsi berkisar

antara 3-5 orang nelayan.

Pengoperasian tangsi dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap persiapan,

pemasangan jaring (setting), perendaman jaring (soaking) dan pengangkatan

jaring (hauling). Tahap persiapan antara lain persiapan bahan bakar, pengecekan

mesin, perbekalan makanan, es, air tawar dan keperluan melaut lainnya.

Penurunan jaring dimulai dengan menurunkan pelampung tanda kemudian badan

jaring sampai pelampung tanda terakhir. Waktu yang dibutuhkan untuk setting

adalah 20 - 30 menit. Tahap ketiga adalah perendaman jaring (soaking). Jaring

yang sudah dipasang akan dibiarkan di dalam air selama semalam setelah jaring

terpasang. Tahap yang terakhir adalah pengangkatan jaring atau hauling. Proses

pengangkatan jaring diawali dengan mengangkat pelampung tanda kemudian

badan jaring dan pemberat. Setelah itu, jaring diangkat dan selanjutnya

melepaskan hasil tangkapan yang tertangkap pada jaring. Pada saat pengangkatan

jaring, ada nelayan yang bertugas menyusun pemberat dan pelampung secara

teratur untuk proses setting selanjutnya.

Hasil tangkapan yang diperoleh oleh bubu tambun adalah ikan karang.

Hasil tangkapan utamanya adalah ikan baronang (Siganus guttatus), sedangkan

27 m

11 m

11 m

9

hasil tangkapan sampingannya yaitu ikan lencam (Lethrinus sp), ikan kerapu

(Epinephelus sp) dan ikan kakatua (Scarus quayi).

Gambar 4 Konstruksi Jaring Insang di Kepulauan Seribu

3) Unit penangkapan pancing

Pancing yang digunakan di Kepulauan Seribu adalah pancing ulur. Alat

penangkapan ini merupakan jenis alat tangkap yang termasuk ke dalam hook and

lines. Alat tangkap pancing di Kepulauan seribu biasanya menggunakan jenis

kapal/perahu motor dalam operasi penangkapan ikan. Kapal yang digunakan

memiliki ukuran panjang sekitar 6 meter, lebar 3 meter dan draft 2 meter. Mesin

kapal yang digunakan memiliki kekuatan 18 PK.

Proses pengoperasian pancing dilakukan secara harian (one day fishing).

Nelayan berangkat menuju lokasi penangkapan (fishing ground) sekitar pukul

06.00 pagi hari dan pulang sekitar pukul 18.00. Waktu yang dibutuhkan menuju

fishing ground sekitar 1 - 2 jam tergantung jarak fishing ground yang ditempuh.

Penggunaan tenaga kerja pada alat tangkap pancing berkisar antara 2-3 orang

nelayan.

Pada prinsipnya pancing terdiri dari dua komponen utama, yaitu tali (line)

dan mata pancing (hook). Alat tangkap pancing di Kepulauan Seribu merupakan

jenis pancing ulur, terdiri atas roller, tali utama (main line) dan tali cabang

(branch line), mata pancing (hook) dari besi, kili-kili (swivel) dari bahan baja dan

besi, pemberat dari bahan besi, pelampung dari styrofoam dan pemberat. Tali

pancing yang digunakan nelayan di Kepulauan Seribu dibuat dari plastik (senar).

Mata pancing yang digunakan nelayan di Kepulauan Seribu dibuat dari kawat baja

dengan mata kail nomor 9 dan 20. Jenis pancing yang digunakan ada 3, yaitu

pancing dasar, pancing kotrek dan pancing tongkol.

Pada alat tangkap pancing, hasil tangkapan utamanya adalah ikan ekor

kuning (Caesio cuning) untuk pancing kotrek, ikan lencam (Lethrinus sp) untuk

pancing dasar dan ikan tongkol (Auxis thazard). Hasil tangkapan sampingannya

yaitu ikan tenggiri (Scomberomorus commerson), ikan kembung (Rastrelliger

brachysoma) dan ikan tetengkek (Megalaspis cordyla).

29 m

1,5 m

10

Gambar 5 Konstruksi pancing di Kepulauan Seribu

4) Unit penangkapan bubu tambun

Bubu tambun yang digunakan di Kepulauan Seribu termasuk ke dalam

klasifikasi alat tangkap perangkap dengan ukuran panjang 80 m, lebar 50 cm dan

tinggi 30 cm. Ada dua jenis bubu tambun di kepulauan seribu, yaitu bubu tambun

yang tebuat dari bambu dan bubu tambun yang terbuat dari kawat atau orang di

kepulauan seribu menyebutnya dengan bubu kawat. Alat penangkapan ikan ini

dioperasikan dengan menggunakan perahu/kapal motor dengan bahan kayu.

Kapal yang digunakan memiliki ukuran panjang sekitar 7 meter, lebar 2 meter dan

draft 1,5 meter. Mesin kapal yang digunakan memiliki kekuatan 23 PK.

Proses pengoperasian bubu tambun dilakukan secara harian (one day

fishing). Nelayan berangkat menuju lokasi penangkapan (fishing ground) sekitar

pukul 07.00 pagi hari dan pulang sekitar pukul 17.00. Waktu yang dibutuhkan

menuju fishing ground sekitar 1 - 2 jam tergantung jarak fishing ground yang

ditempuh. Penggunaan tenaga kerja pada alat tangkap bubu tambun berkisar

antara 4-5 orang nelayan.

Pengoperasian bubu tambun dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap

persiapan, pemasangan bubu (setting), perendaman bubu (soaking) dan

pengangkatan bubu (hauling). Tahap persiapan yang dilakukan meliputi

persiapan perbekalan melaut, persiapan alat tangkap, persiapan alat bantu

penangkapan ikan serta persiapan perahu dan perlengkapannya. Persiapan alat

tangkap meliputi persiapan bubu. Tahap pemasangan (setting) bubu dilakukan

dengan cara ditimbun menggunakan batu karang, baik yang masih hidup maupun

yang sudah mati. Terakhir yaitu menyingkirkan benda-benda yang menutupi

jalan agar ikan dapat masuk menuju bubu dan terjebak. Tahap ketiga adalah

perendaman bubu (soaking). Bubu yang sudah dipasang akan dibiarkan di dalam

air selama ±24 jam setelah bubu terpasang. Tahap yang terakhir adalah

pengangkatan bubu atau hauling. Proses pengangkatan bubu diawali dengan

11

Badan Bubu

Mulut

Bubu

Badan Bubu

menyingkirkan batu karang yang digunakan untuk menimbun bubu. Setelah itu,

bubu diangkat dan selanjutnya pintu bubu dibuka untuk mengeluarkan hasil

tangkapan. Hasil tangkapan ditampung dalam wadah. Ikan target tangkapan

biasanya langsung dipisahkan dalam wadah khusus yang memungkinkan ikan

tetap hidup.

Hasil tangkapan yang diperoleh oleh bubu tambun adalah ikan karang.

Hasil tangkapan utamanya adalah ikan kerapu (Epinephelus sp), sedangkan hasil

tangkapan sampingannya yaitu ikan ekor kuning (Caesio cuning), ikan pasir

(Pentapodus trivittatus) dan ikan kakatua (Scarus quayi).

Gambar 6 Konstruksi bubu tambun di Kepulauan Seribu

Komposisi Ikan Dominan Hasil Tangkapan di Kepulauan Seribu

Ikan ikan ekor kuning (Caesio cuning)

Panjang total maksimal ikan ekor kuning yang tertangkap yaitu sebesar 35

cm dengan panjang cagak 30 cm, sedangkan panjang total minimal ikan ekor

kuning yang tertangkap sebesar 15 cm dengan panjang cagak 13 cm (Gambar 7).

Hal ini menyatakan hubungan yang berbanding lurus antara panjang total dan

panjang cagak, misalnya pada ikan dengan panjang total sebesar 15 cm dan

panjang cagak 13 cm mengalami peningkatan panjang pada ikan dengan panjang

total sebesar 17 cm dan panjang cagak 14,5 cm.

30 cm

50 cm

80 cm

12

Gambar 7 Panjang total ikan ekor kuning (Caesio cuning) yang tertangkap di

Kepulauan Seribu Juli-Agustus 2012

Berat ikan ekor kuning yang tertangkap berkisar antara 50 - 610 gram.

Berat maksimal ikan ekor kuning yang tertangkap yaitu sebesar 610 gram

sedangkan berat minimal ikan ekor kuning yang tertangkap yaitu sebesar 50 gram

(Gambar 8).

Gambar 8 Berat ikan ekor kuning (Caesio cuning) yang tertangkap di Kepulauan

Seribu Juli-Agustus 2012

Sebagian besar ikan ekor kuning yang merupakan hasil tangkapan utama

nelayan di Kepulauan Seribu berada di bawah ukuran standar tangkap menurut

indikator length at first at maturity (Lm) sehingga dalam jangka panjang

berpotensi mengganggu keberlanjutan sumberdaya ikan.

Model regresi linear antara panjang dan berat ikan ekor kuning hasil

tangkapan utama muroami adalah y = 1,468 + 0,324x atau ln W = 1,468 + 0,324

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89

pan

jan

g ik

an

(cm

)

ikan ekor kuning (yang ke)

0.00

100.00

200.00

300.00

400.00

500.00

600.00

700.00

1 5 9 13 17 21 25 29 33 37 41 45 49 53 57 61 65 69 73 77 81 85 89

bera

t ik

an

(g

ra

m)

ikan ekor kuning (yang ke)

Lm

13

ln L (R² = 97,5%) (Gambar 9). Model ini hanya berlaku untuk kisaran panjang 15

– 35 cm.

Gambar 9 Hubungan panjang dan berat ikan ekor kuning (Caesio cuning) menurut

hasil tangkapan di Kepulauan Seribu pada Juli-Agustus 2012

Secara umum, hasil analisis pada menunjukkan panjang dan bobot ikan ekor

kuning memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini dibuktikan dengan nilai

model observasi (R2) yang mendekati 1, atau 100%.

Secara keseluruhan, hubungan panjang dan bobot ikan ekor kuning di

wilayah perairan Kepulauan Seribu (Gambar 9) memiliki pola pertumbuhan

allometric negatif (b = 1,468), yakni pertumbuhan panjang lebih cepat

pertumbuhan bobot. Hal ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Harmiyati (2009) dengan nilai b = 3,009 dan Habibun (2011)

dengan nilai b = 2,964. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh ukuran ikan contoh

pada penelitian ini relatif seragam. Menurut Effendie (1997) ada beberapa faktor

yang mempengaruhi pertumbuhan, diantaranya adalah faktor dalam dan faktor

luar yang mencakup jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah makanan

yang menggunakan sumber makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, faktor

kualitas air, umur, dan ukuran ikan serta matang gonad.

Menurut Effendie (1997), apabila nilai b sama dengan 3 (tiga) menunjukkan

bahwa pertumbuhan ikan tidak berubah bentuknya atau pertambahan panjang ikan

seimbang dengan pertambahan beratnya. Apabila nilai b yang didapatkan lebih

besar dari 3 (tiga) maka ikan tersebut dalam keadaan gemuk (montok), dimana

pertambahan berat lebih cepat dari panjangnya, sedangkan apabila nilai b yang

diperoleh lebih kecil dari 3 (tiga) maka ikan tersebut berada dalam kondisi kurus,

dimana pertumbuhan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan beratnya.

Pengamatan hubungan panjang berat ikan ekor kuning ternyata diperoleh hasil

bahwa ikan ekor kuning yang tertangkap termasuk dalam kategori ikan yang

pertumbuhan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan beratnya.

y = 0.324x + 1.468

R² = 0.975

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

4.00

3.00 4.00 5.00 6.00 7.00

ln b

erat

ikan

(W

)

ln panjang ikan (L)

14

Ikan ikan baronang (Siganus guttatus)

Panjang total maksimal ikan baronang yang tertangkap yaitu sebesar 26,40

cm dengan panjang cagak 24,5 cm, sedangkan panjang total minimal ikan

baronang yang tertangkap sebesar 19,80 cm dengan panjang cagak 18,7 cm

(Gambar 10). Hal ini menyatakan hubungan yang berbanding lurus antara

panjang total dan panjang cagak, misalnya pada ikan dengan panjang total sebesar

19,80 cm dan panjang cagak 18,7 cm mengalami peningkatan panjang pada ikan

dengan panjang total sebesar 21,30 cm dan panjang cagak 20 cm.

Gambar 10 Panjang total dan panjang cagak ikan baronang (Siganus guttatus)

yang tertangkap di Kepulauan Seribu Juli-Agustus 2012

Berat ikan baronang yang tertangkap berkisar antara 74 - 202 gram. Berat

maksimal ikan baronang yang tertangkap yaitu sebesar 202 gram sedangkan berat

minimal ikan baronang yang tertangkap yaitu sebesar 74 gram (Gambar 11).

Gambar 11 Berat ikan baronang (Siganus guttatus) yang tertangkap di Kepulauan

Seribu Juli-Agustus 2012

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920

pan

jan

g i

ka

n (

cm

)

ikan baronang (yang ke-)

panjang total

panjang cagak

0.00

50.00

100.00

150.00

200.00

250.00

300.00

350.00

400.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

berat

ikan

(gra

m)

ikan baronang (yang ke-)

Lm

15

Semua ikan baronang yang merupakan hasil tangkapan dominan nelayan

berada di atas ukuran standar tangkap menurut indikator length at first at maturity

(Lm) sehingga dalam jangka panjang tidak mengganggu keberlanjutan

sumberdaya ikan di lokasi studi. Menurut Saputra (2009), ukuran pertama kali

ikan matang gonad penting diketahui karena dengan mengetahui nilai Lm maka

dapat digunakan sebagai salah satu indikator atau masukan untuk menyusun suatu

konsep pengelolaan perikanan berkelanjutan.

Model regresi linear antara panjang dan berat ikan baronang hasil tangkapan

utama jaring tangsi adalah y = -8,25 + 4,281x atau ln W = -8,25 + 4,281 ln L (R²

= 93,9%) (Gambar 12). Model ini hanya berlaku untuk kisaran panjang 19-25 cm.

Gambar 12 Hubungan panjang dan berat ikan baronang (Siganus guttatus)

menurut hasil tangkapan di Kepulauan Seribu Juli-Agustus 2012

Secara umum, hasil analisis pada menunjukkan panjang dan bobot ikan

baronang memiliki hubungan yang sangat erat. Hal ini dibuktikan dengan nilai

model observasi (R2) yang mendekati 1, atau 100%.

Secara keseluruhan, hubungan panjang dan bobot ikan baronang di wilayah

perairan Kepulauan Seribu (Gambar 12) memiliki pola pertumbuhan allometric

positif (b = 4,281), yakni pertumbuhan berat lebih cepat pertumbuhan panjang.

Menurut Effendie (1997) apabila nilai b sama dengan 3 (tiga) menunjukkan

bahwa pertumbuhan ikan tidak berubah bentuknya atau pertambahan panjang ikan

seimbang dengan pertambahan beratnya. Apabila nilai b yang didapatkan lebih

besar dari 3 (tiga) maka ikan tersebut dalam keadaan gemuk (montok), dimana

pertambahan berat lebih cepat dari panjangnya, sedangkan apabila nilai b yang

diperoleh lebih kecil dari 3 (tiga) maka ikan tersebut berada dalam kondisi kurus,

dimana pertumbuhan panjang lebih cepat daripada pertumbuhan beratnya.

Pengamatan hubungan panjang berat ikan baronang ternyata diperoleh hasil

bahwa ikan ekor kuning yang tertangkap termasuk dalam kategori ikan yang

pertumbuhan berat lebih cepat daripada pertumbuhan panjangnya.

y = 4.281x - 8.250

R² = 0.939

0

1

2

3

4

5

6

7

2.95 3 3.05 3.1 3.15 3.2 3.25 3.3

ln b

erat

ikan

(W

)

ln panjang ikan (L)

16

Indeks keragaman hasil tangkapan di Kepulauan Seribu

Keragaman dihitung berdasarkan indeks keragaman untuk menggambarkan

komunitas secara matematis dan mempermudah analisis komunitas ikan. Indeks

keragaman hasil tangkapan dianalisis dari data produksi perikanan tangkap di

Kepulauan Seribu. Ikan ekor kuning merupakan jenis ikan dengan produksi

tertinggi pada tahun 2010 di Kepulauan Seribu. Ikan ekor kuning mengalami

penurunan produksi pada tahun 2011, hal ini terjadi karena adanya penurunan

jumlah nelayan muroami yang menyebabkan penurunan jumlah hasil tangkapan

ikan ekor kuning. Setuhuk hitam merupakan jenis ikan dengan produksi terendah

pada tahun 2010 sebesar 0,1 ton, sementara pada tahun 2011 tidak ada ikan

setuhuk hitam yang tertangkap. Produksi perikanan tangkap Kepulauan Seribu

pada tahun 2011 mengalami penurunan dari tahun 2010 yaitu dari 500,4 ton

menjadi 270,1 ton (Lampiran 3).

Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini dengan menghitung indeks

keragaman Shannon-Wiener berdasarkan berat hasil tangkapan. Indeks ini hanya

menggambarkan keragaman ikan yang tertangkap di lokasi tersebut. Indeks

keragaman hasil tangkapan di Kepulauan Seribu mengalami penurunan dari tahun

2010 sebesar 3,21 menjadi 2,52 pada tahun 2011.

Gambar 13 Indeks keragaman ikan hasil tangkapan di Kepilauan Seribu pada

tahun 2010 dan 2011 berdasarkan data dari DKP DKI Jakarta.

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, maka nilai index Shannon

Wiener (H‟) yang diperoleh pada tahun 2011 lebih kecil dibandingkan dengan

nilai H‟ pada tahun 2010. Hal ini berarti bahwa nilai indeks keragaman pada

tahun 2010 relatif lebih baik dibandingkan dengan nilai indeks keragaman pada

tahun 2011. Nilai H‟ yang lebih besar menunjukkan bahwa keragaman hasil

tangkapan pada tahun 2010 relatif lebih baik dibandingkan dengan tahun 2011

tapi informasi ini tidak dapat digunakan untuk mengetahui kualitas ekosistem

pada habitat tersebut, karena untuk itu diperlukan asumsi bahwa tingkat

eksploitasi relatif sama dan hasil tangkapan mewakili populasi ikan.

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

2010 2011

Ind

ek

s K

era

ga

ma

n

Tahun

3,21

2,52

17

Tingkat trofik (trophic level) hasil tangkapan

Hasil tangkapan nelayan di Kepulauan Seribu dengan menggunakan alat

tangkap muroami, jaring insang, bubu dan pancing didominasi oleh jenis

carnivora yang menyukai ikan kecil dan cephalopoda (TL5 yaitu 4,0 - 4,5). Jenis

ikan dominan kedua yang ditangkap menggunakan muroami, jaring insang, bubu

dan pancing didominasi oleh ikan jenis omnivora yang cenderung pemakan hewan

(zooplankton) (TL3 yaitu 2,9 - 3,7), seperti ikan ekor kuning dan selar (Tabel 1).

Tabel 1 Jenis dan Tingkat trofik (trophic level) ikan hasil tangkapan nelayan

menurut alat tangkap di Kepulauan Seribu

Nama ikan Trofik

Level*

Jumlah spesies/jenis Ket**

Muroami Gillnet Pancing Bubu

Manyung 3,1 1 1 1 1 TL 3

Cendro 2,7 1 1 0 1 TL 2

Ekor kuning 3,4 1 1 1 1 TL 3

Selar 3,5 1 1 0 1 TL 3

Kwee 4,5 1 0 1 0 TL 5

Tetengkek 4,4 1 0 1 0 TL 5

Bawal hitam 2,9 1 0 1 0 TL 2

Bentong 4,1 1 1 0 1 TL 5

Golok-golok 4,5 1 1 0 1 TL 5

Lemuru 2,4 1 1 0 1 TL 2

Lemadang 4,4 1 0 1 0 TL 5

Ikan layaran 4,5 0 0 1 0 TL 5

Lencam 3,3 1 1 1 1 TL 3

Tanda-tanda 4,1 1 1 1 1 TL 5

Tongkol komo 4,5 1 0 1 0 TL 5

Kembung 3,4 1 1 1 0 TL 3

Tenggiri 4,4 0 0 1 0 TL 5

Madidihang 4,3 0 0 1 0 TL 5

Tongkol abu-abu 4,5 1 0 1 0 TL 5

Kerapu lumpur 3,8 0 1 0 1 TL 4

Baronang 2,7 1 1 1 1 TL 2

Alu-alu 4,5 1 1 1 1 TL 5

Cucut 3,9 0 0 1 1 TL 4

Pari 3,7 1 0 0 0 TL 4

Kakatua 2,0 1 1 0 1 TL 2

Tongkol 4,3 0 0 1 0 TL 5

Pasir 3,6 1 0 0 1 TL 4

Keterangan:

1 = ditangkap; 0 = tidak ditangkap

* = klasifikasi tingkat trofik (trophic level) menurut Froese dan Pauly (2012)

** = klasifikasi tingkat trofik (trophic level) menurut Stergiou et al. (2007)

18

2,1 ≤ TL2 ≤ 2,9 = omnivora yang cenderung pemakan tumbuhan

2,9 < TL3 ≤ 3,7 = omnivora yang cenderung pemakan hewan (zooplankton)

3,7 < TL4 ≤ 4,0 = carnivora yang menyukai decapoda dan ikan

4,0 < TL5 ≤ 4,5 = carnivora yang cenderung pemakan ikan dan cephalopoda

Komposisi tingkat trofik (trophic level) hasil tangkapan nelayan di

Kepulauan Seribu yang terbesar yaitu TL 5 sebesar 48 % (gambar 14).

Komposisi tingkat trofik (trophic level) hasil tangkapan terkecil yaitu TL 4

sebesar 15 %. Sementara sisanya TL 2 dan TL 3 masing-masing sebesar 18 %

dan 19 %. Muroami dan pancing dapat menangkap sebagian besar jenis ikan yang

ada, sedangkan bubu tambun dan jaring insang hanya dapat menangkap sebagian

kecil ikan yang ada (Tabel 2).

Gambar 14 Komposisi tingkat trofik (trophic level) hasil tangkapan di Perairan

Kepulauan Seribu

Tabel 2 Hasil jenis dan tingkat trofik (trophic level) ikan hasil tangkapan nelayan

di Kepulauan Seribu

Tingkatan trofik Jumlah spesies/jenis

Muroami Gillnet Pancing Bubu Tambun

TL 2 5 4 2 4

TL 3 5 5 4 4

TL 4 1 1 1 2

TL 5 10 4 11 5

Jumlah 21 14 18 15

Alat tangkap muroami, pancing dan bubu tambun banyak menangkap jenis

ikan dengan tingkat trofik (trophic level) 5 (4,0 - 4,5) yaitu omnivora yang

cenderung pemakan hewan (zooplankton) (Gambar 15). Alat tangkap muroami,

gillnet, pancing dan bubu tambun sedikit menangkap jenis ikan dengan tingkat

TL 2

18%

TL 3

19%

TL 4

15%

TL 5

48%

19

trofik (trophic level) 4 (3,7 - 4,0) yaitu carnivora yang menyukai decapoda dan

ikan.

Gambar 15 Tingkat trofik (trophic level) hasil tangkapan setiap jenis alat tangkap

di Kepulauan Seribu.

Alat tangkap muroami menangkap 21 jenis ikan dari 27 jenis ikan hasil

tangkapan dengan TL 2 sebanyak 19%, pada TL 3 sebanyak 19%, pada TL 4

sebanyak 4%, pada TL 5 sebanyak 37%. Alat tangkap jaring insang menangkap

14 jenis ikan dari 27 jenis ikan hasil tangkapan dengan TL 2 sebanyak 15%, pada

TL 3 sebanyak 19%, pada TL 4 sebanyak 4%, pada TL 5 sebanyak 15%. Alat

tangkap pancing menangkap 18 jenis ikan dari 27 jenis ikan hasil tangkapan

dengan TL 2 sebanyak 7%, pada TL 3 sebanyak 15%, pada TL 4 sebanyak 4%

dan pada TL 5 sebanyak 41%. Alat tangkap bubu tambun menangkap 15 jenis

ikan dari 27 jenis ikan hasil tangkapan jenis ikan dengan TL 2 sebanyak 15%,

pada TL 3 sebanyak 15%, pada TL 4 sebanyak 7% dan pada TL 5 sebanyak 19%.

Alat tangkap muroami, pancing dan bubu tambun banyak menangkap jenis ikan

dengan TL 5 (37%, 41% dan 19%) yaitu omnivora yang cenderung pemakan

hewan (zooplankton). Alat tangkap muroami, gillnet, pancing dan bubu tambun

sedikit menangkap jenis ikan dengan TL 4 (4%, 4%, 4% dan 7%) yaitu karnivora

yang menyukai decapoda dan ikan (Gambar 16).

0

2

4

6

8

10

12

Muroami Gillnet Pancing Bubu Tambun

TL

alat tangkap

TL 2

TL 3

TL 4

TL 5

20

Gambar 16 Komposisi tingkat trofik (trophic level) hasil tangkapan setiap jenis

alat tangkap di Kepulauan Seribu

Dari hasil perhitungan statistik data produksi perikanan tangkap di

Kepulauan Seribu diperoleh hasil Fhit = 0,29 dan Ftab = 3,49, sehingga Fhit<Ftab

maka hipotesis (Ho) diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

hubungan antara alat tangkap yang digunakan dengan komposisi hasil tangkapan

menurut indikator tingkat trofik.

Struktur tingkat trofik (trophic level) adalah hubungan makan-memakan

berbagai spesies dalam komunitas. Struktur tingkat trofik (trophic level) yang

seimbang membentuk sebuah piramida yang stabil, seperti diilustrasikan pada

Gambar 17. Sebuah piramida makanan terbentuk dari transfer energi dari

produsen (TL 1) untuk herbivora, karnivora dan predator. Panjang setiap TL

ditentukan oleh efisiensi energi yang ditransfer dari satu tingkat trofik ke tingkat

trofik berikutnya.

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

Muroami Gillnet Pancing Bubu Tambun

TL

alat tangkap

TL 5

TL 4

TL 3

TL 2

21

Gambar 17 Ilustrasi struktur rantai makanan seimbang alamiah.

Struktur hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan hasil tangkapan di lokasi

studi didominasi pada TL 5 (seperti ikan tongkol) dan TL 3 (seperti ikan ekor

kuning) sehingga akan menyebabkan struktur komunitas ikan menjadi berubah

dan piramida tersebut menjadi tidak stabil (Gambar 18).

Perubahan struktur tingkat trofik terlihat jelas pada Gambar 18. Ikan yang

paling banyak ditangkap nelayan adalah ikan pada TL 5 dengan persentase hasil

tangkapan sebesar 48 %. Analisis ini dilakukan terhadap hasil tangkapan dengan

asumsi stok ikan pada semua tingkat trofik tersedia secara proporsional. Dari

Gambar 18 terlihat bahwa kegiatan penangkapan ikan yang cenderung lebih

mengeksploitasi ikan TL 3 dan TL 5 seperti kasus di Kepulauan Seribu berpotensi

merusak keseimbangan ekosistem (rantai makanan).

Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Aprilia

(2011) yang melakukan penelitian mengenai tingkat trofik hasil tangkapan

berdasarkan alat tangkap yang digunakan nelayan di Bojonegoro Kabupaten

Serang, Banten. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa kegiatan

penangkapan ikan di Bojonegoro didominasi ikan TL 3 dan TL 5. Hal ini terjadi

karena ikan pada TL 3 (seperti ikan ekor kuning) dan ikan TL 5 (seperti ikan

tongkol) merupakan ikan target penangkapan yang ekonomis tinggi dan alat

tangkap yang digunakan didesain untuk menangkap ikan pada kelompok rantai

makanan tersebut.

------------------------------------------------------------------

---

Omnivora yang cenderung

pemakan hewan (zooplankton)

------------------------------------------------------------------

---

------------------------------------------------------------------

---

-----------------

Carnivora yang cenderung pemakan ikan dan

cephalopoda

Carnivora yang menyukai

decapoda dan ikan

Omnivora yang cenderung

pemakan tumbuhan

Fitoplakton

------------------------------------------------------------------

---

------------------------------------------------------------------

---

TL1

TL 4

TL 2

TL 3

TL 5

22

Gambar 18 Ilustrasi struktur rantai makanan di lokasi studi akibat kegiatan

penangkapan

Menurut Cury et al. (2003) kondisi ini termasuk kedalam kriteria top-down

control, dimana kegiatan penangkapan ikan bertindak seakan sebagai predator

yang menangkap ikan pada TL teratas. Efek top-down control menujukkan

adanya penurunan komposisi pada TL teratas. Kegiatan penangkapan ikan

biasanya mengurangi kelimpahan TL teratas sehingga populasi ikan pada TL

dibawahnya berpotensi meningkat.

Secara teoritis, jika diasumsikan sistem tersebut tertutup, ketika komposisi

TL 5 mengalami penurunan maka akan terjadi peningkatan pada komposisi TL 4.

Peningkatan pada TL 4 mengakibatkan penurunan pada TL 3. Penurunan TL 3

mengakibatkan peningkatan pada TL 2. Peningkatan TL 2 mengakibatkan

penurunan TL 1. Namun dinamika perairan pesisir tropis, maka produsen (TL 1)

relatif tersedia sepanjang tahun untuk mendukung konsumen (TL 2).

Banyaknya hasil tangkapan ikan yang tertangkap pada TL 3 dan TL 5

menyebabkan rantai makanan alami pada lokasi studi menjadi tidak seimbang.

Dampak pada perubahan keseimbangan ekologis sumberdaya ikan di Perairan

Kepulauan Seribu terlihat dari perubahan bentuk piramida rantai makanan

tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan berpotensi

merusak keseimbangan ekosistem di perairan Kepulauan Seribu, Provinsi DKI

Jakarta. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari sebuah segmen

waktu yang pendek, Juli-Agustus 2012. Sumber daya ikan di lokasi penelitian

berada dalam sistem terbuka, ada ikan keluar masuk perairan. Perlu penelitian

selanjutnya dalam hal pengaruh migrasi ikan terhadap tingkat trofik (trophic

level).

24% 24%

7,5% 7,5%

9,5% 9,5%

9% 9%

23

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1) Jenis alat tangkap yang terdapat di Kepulauan Seribu yaitu muroami, payang,

jaring insang (gillnet), pancing dan bubu. Empat dari lima jenis alat tangkap

terdapat di Pulau Pramuka dan Pulau Panggang. Empat Jenis alat tangkap

tersebut adalah muroami, jaring insang (gillnet), pancing dan bubu. Jenis hasil

tangkapan utama masing-masing alat tangkap tersebut adalah ikan ekor kuning

(caesio cuning), ikan baronang (Siganus guttatus), ikan ekor kuning (Caesio

cuning), dan ikan kerapu (Epinephelus sp).

2) Ukuran rata-rata panjang total jenis ikan hasil tangkapan dominan ikan ekor

kuning sebesar 19 ± 4,0 cm dan ikan baronang sebesar 22,4 ± 1,5 cm.

sementara berat rata-rata hasil tangkapan dominan kedua jenis ikan tersebut

adalah ikan ekor kuning sebesar 110,6 ± 103,7 gram dan ikan baronang sebesar

163,6 ± 58,5 gram.

3) Tingkat trofik (trophic level) ikan yang ditangkap dengan semua alat tangkap

utama di Perairan Kepulauan Seribu (muroami, gillnet, bubu dan pancing)

berkisar antara pada TL 2,10 - 4,50 dan didominasi oleh jenis karnivora yang

cenderung pemakan ikan dan cephalopoda atau TL5 yaitu 4,0 - 4,5, seperti

ikan tongkol dan tenggiri. Jenis ikan dominan kedua yang ditangkap

menggunakan alat tangkap tersebut adalah jenis omnivora yang cenderung

pemakan hewan (zooplankton) (TL3 yaitu 2,9 - 3,7), seperti ikan kembung

lelaki. Alat tangkap muroami, pancing dan bubu tambun banyak menangkap

jenis ikan dengan TL 5 (4,0 - 4,5) yaitu jenis karnivora yang cenderung

pemakan ikan dan cephalopoda. Alat tangkap muroami, gillnet, pancing dan

bubu tambun sedikit menangkap jenis ikan dengan TL 4 (3,7 - 4,0) yaitu

karnivora yang menyukai decapoda dan ikan.

4) Penelitian ini telah dapat menggambarkan status terkini kegiatan pemanfaatan

sumberdaya ikan di lokasi studi berdasarkan alat tangkap dan hasil tangkapan

beserta fungsinya secara ekologis. Oleh karena itu, pengelolaan dalam kegiatan

pemanfaatan sumberdaya perikanan mengacu pada sistem pemanfaatan

sumberdaya perikanan yang ramah lingkungan dan mamperhatikan aspek

kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Penelitian ini telah menghasilkan

suatu indikasi dampak penangkapan terhadap ekosistem khususnya

keseimbangan rantai makanan.

Saran

1) Menganalisis feeding guilds secara langsung terhadap jenis ikan hasil

tangkapan untuk memperoleh data real tingkat trofik (trophic level) ikan hasil

tangkapan.

2) Memperbaiki metode penangkapan ikan agar keseimbangan ekosistem dapat

terjaga.

24

DAFTAR PUSTAKA

Akbar E. 2011.Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Ekor Kuning (Caesio

Cuning) yang Didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Pulau Pramuka,

Kepulauan Seribu, Jakarta [Skripsi]. Bogor(ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 2007. fish Morphology.www.collegeofidho.edu.[24 Mei 2012]

Aprilia, S. 2011. Trofik Level Hasil Tangkapan Berdasarkan Alat Tangkap yang

Digunakan Nelayan di Bojonegara, Kabupaten Serang, Banten [skripsi].

Bogor(ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Cury, P., Shannon, L. dan Jai,Y.S. 2003. The Functioning of Marine Ecosystems:

a Fisheries Perspective. Responsible Fisheries in The Marine Ecosystem.

[DKP DKI Jakarta] Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. 2011.

Statistik Perikanan Tangkap Provinsi DKI Jakarta. Jakarta(ID): DKP.

Effendie MI. 1997. Biologi perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.

Elliot dan Hemingway. 2002. Fishes in Estuaries. Blackwell Science: USA(US).

Froese, R dan Pauly, D. 2012. Fish Base: Consepts, Design and Data Sources.

Philippine: International Center for Living Aquatic Resources Management.

Habibun E.A. 2011. Aspek Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Ekor Kuning

(Caesio Cuning) yang Didaratkan di Pangkalan Pendaratan Ikan Pulau

Pramuka, Kepulauan Seribu, Jakarta. [Skripsi] Bogor(ID): Program Studi

Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor.

Hall S.J. 1999. The Effect of Fishing on Marine Ecosystems and Communities.

Cornwall: MPG Books.

Harmiyati D. 2009. Analisis Hasil Tangkapan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning

(Caesio Cuning) yang Didaratkan di PPI Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.

[skripsi]. Bogor(ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor.

Jennings S, MJ Kaiser dan JD Reynolds. 2001. Marine Fisheries Ecology. United

Kingdom(UK): Blackwell Publishing.

Komarudin D. 2009. Penggunaan Celah Pelolosan Pada Bubu Tambun Terhadap

Hasil Tangkapan Kerapu Koko di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu.

[Skripsi]. Bogor(ID): Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Krebs CJ. 1989. The Experimental Analysis of Distribution and Abundance.

Harper & Row: London(UK).

Ristiani. 2011. Dampak Penangkapan Ikan Terhadap Keseimbangan Trofik Level

Pada Habitat Lamun di Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. [Skripsi]

Bogor(ID): Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Saputra. 2009. Beberapa Aspek Biologi Ikan Kuniran (Upeneus spp ) di Perairan

Demak. Jurnal Saintek Perikanan. Vol 1. No. 1.

Septiawan A. 2009. Kajian Bio-Teknik Perikanan Muroami di Perairan

Kepulauan Seribu. [Skripsi]. Bogor(ID): Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

25

Susanti Y. 2005. Pengoperasian Bubu Tambun dan Kerusakan Terumbu Karang

yang Diakibatkannya di Pulau Harapan, Kepulauan Seribu. [Skripsi]

Bogor(ID): Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Stergiou, KI, DK Moutopoulus, HJA Casal dan K Erzini. 2007. Trophic

Signatures of Small-Scale Fishing Gears: Implications for Conservation and

Management. Marine Ecology Progress Series.

Subani W dan Barus HR. 1989. Alat Penangkapan Ikan dan Udang Indonesia.

Nomor 59 Tahun 1988/199. Edisi Khusus. Jurnal Penelitian Perikanan Laut.

Jakarta(ID): Balai Penelitian Perikanan Laut, Badan Penelitian Perikanan Laut,

Departemen Pertanian.

26

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 25 Juni 1990 dari Bapak

Samsudin dan Ibu Arsih. Penulis merupakan putra keempat dari tujuh bersaudara.

Tahun 2008 penulis lulus dari MAN Leuwiliang dan pada tahun yang sama,

penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI pada Program Studi

Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan

Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam kegiatan organisasi.

Penulis pernah menjabat sebagai staf Departemen Kewirausahaan Himafarin

(Himpunan Mahasiswa Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan) periode 2009-2011,

Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) periode 2010-2011. Selain itu,

penulis menjadi asisten matakuliah Teknologi Alat Penangkapan Ikan (TAPI)

2010-2013, Ekploratori Penangkapan Ikan tahun 2011-2013 dan Kepelautan tahun

2013.