128

PPID Sulselprov - Sulawesi Selatan

Embed Size (px)

Citation preview

i

HALAMAN SAMPUL

LAPORAN AKHIR

PENGEMBANGAN UDANG WINDU UNTUK MEWUJUDKAN PERTUMBUHAN EKONOMI BARU DAERAH DAN

PENINGKATAN DAYA SAING KOMODITAS UNGGULAN SULAWESI SELATAN

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH

PROVINSI SULAWESI SELATAN

TAHUN 2021

ii

PENGEMBANGAN UDANG WINDU UNTUK MEWUJUDKAN PERTUMBUHAN EKONOMI BARU DAERAH DAN

PENINGKATAN DAYA SAING KOMODITAS UNGGULAN SULAWESI SELATAN

Pengarah : Kepala Bappelitbangda Provinsi Sulawesi Selatan

Penanggung jawab : Kepala Bidang Penelitian & Pengembangan Provinsi Sulawesi Selatan

Tim Peneliti :

Dr. Ir. Asbar, M.Si. (Ketua) Prof. Dr. Ir. Muh. Kasnir (Anggota)

Dr. Ir. Harlina, MP. (Anggota) Dr. Ir. Andi Tamsil, MS (Anggota) Ir. Muh. Saenong, MP. (Anggota)

Yuliana Rauf, ST, M.PFis. (Anggota) St. Suryani, ST. (Anggota)

Tim Pengendali Mutu :

Prof. Dr. Yushinta Fujaya, M.Si

Prof. Dr. Ir. Zainuddin, M.Si

HALAMAN IPTA Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang memperbanyak atau menyebarluaskan sebagian atau seluruh Laporan

tanpa seizin terlulis dari Bappelitbangda Prov. Sulsel

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH

PROVINSI SULAWESI SELATAN

TAHUN 2021

iii

ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi persoalan budidaya udang windu dalam rangka untuk memulihkan kembali kejayaan udang windu serta meningkatkan produktivitas yang berdaya saing; mengaplikasikan sistem teknologi budidaya udang windu dengan sentuhan teknologi berbasis dempond melalui sekolah lapang; dan memformulasikan alternatif kebijakan dalam mendorong bangkitnya kembali kejayaan undang windu di Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Pangkep dan Bone. Data yang diperoleh berupa data primer hasil wawancara, FGD, observasi kondisi eksisting tambak, dan sekolah lapang. Data dianalisis secara deskriptif, analisis kelayakan, analisis SWOT – AHP. Hasil penelitian berupa karakterisasi responden, permasalahan dalam berbudidaya dan efektivitas sekolah lapang yang dibuktikan dengan adanya peningkatan kapasitas berbudidaya setelah dilakukan sekolah lapang, analisis kelayakan usaha dari tambak dempond yang memiliki nilai R/C ratio > 1 dan analisis SWOT-AHP yang dapat digunakan dalam menghasilkan luaran kebijakan.

iv

ABSTRACT This research was to identify the problems of tiger shrimp farming to restore the glory of tiger shrimp and increase the productivity; applying the technology system for tiger shrimp culture with a touch of dempond-based technology through field schools; and formulating alternative policies in encouraging the revival of the tiger shrimp in South Sulawesi. The research location was conducted in Pangkep and Bone Regencies. The data were obtained in the form of primary data from interviews, FGDs, observations of the existing condition of ponds, and field schools. The data were analyzed descriptively, feasibility study, SWOT - AHP analysis. The results of the study include characterization of respondents, problems in shrimp farming and effectiveness of field schools as evidenced by an increase in aquculture capacity after field schooling, business feasibility sutdy of dempond that have an R/C ratio > 1 and SWOT-AHP analysis can be used to produce policy output.

v

RINGKASAN EKSEKUTIF Ketahanan ekonomi di Provinsi Sulawesi selatan dapat didukung

melalui peningkatan daya saing produk unggulan. Udang windu (Penaeus

monodon) merupakan salah satu komoditas primadona bagi petambak

karena nilai ekonomis tinggi. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan

mencanangkan peningkatan produksi udang windu hingga 500 kg/ha.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi persoalan budidaya

udang windu dalam rangka untuk memulihkan kembali kejayaan udang

windu serta meningkatkan produktivitas yang berdaya saing;

mengaplikasikan sistem teknologi budidaya udang windu dengan

sentuhan teknologi berbasis dempond melalui sekolah lapang; dan

memformulasikan alternatif kebijakan dalam mendorong bangkitnya

kembali kejayaan undang windu di Sulawesi Selatan.

Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kabupaten Bone dan

Pangkep. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari responden

atau hasil observasi dari lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan

merupakan data primer karena berasal dari masalah yang dihadapi oleh

petani tambak selama ini dan yang dihadapi pada tambak dempond.

Sumber data berasal dari data tambak dempond dan data petani tambak di

luar dari petak percontohan. Data diperoleh melalui wawancara dan

diskusi dengan petani tambak saat identifikasi masalah sebelum

dilakukan sekolah lapang dan saat sekolah lapang. Selain itu, data juga

berasal dari hasil observasi terhadap kondisi tambak dan lingkungannya.

Data yang didapatkan dari lapangan dikumpulkan, dianalisis dan

diberikan solusi saat dilakukan sekolah lapang dan pemberian contoh

melaui dempond gelondongan dan pembesaran. Metode analisis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, analisis

vi

kelayakan, analisis SWOT - AHP. Metode analisis deskriptif digunakan

untuk analisa kondisi eksistin dan lingkungan budidaya udang windu di

Kabupaten Bone dan Pangkep serta kontribusi kegiatan budidaya udang

windu di Kabupaten Bone dan Pangkep terhadap peningkatan pendapatan

masyarakat sekitar.

Efektivitas dari sekolah lapang dievaluasi dengan melihat hasil

pretest dan posttest dari perserta sekolah lapang. Berdasarkan data pretest

yang diperoleh, pengetahuan tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik

(CBIB) dari calon peserta dempond di Kabupaten Bone masih kurang

baik. Selain wawasan yang masih kurang berdasarkan hasil pretest, para

petambak juga menganggap penerapan CBIB susak diaplikasikan. Akan

tetapi setelah dilakukan sekolah lapang, umumnya nilai peserta sekolah

lapang lebih baik dari sebelumnya (pretest). Walaupun demikian, peserta

sekolah lapang masih perlu meningkatkan pengetahuan mereka mengenai

pembesaran udang windu. Kegiatan lain seperti pakan, probiotik dan

panen sudah baik namun rerata nilai indikator yang didapatkan oleh calon

peserta masih belum optimal.

Teknologi dempond yang diterapkan mampu menghasilkan

pendapatan hingga 20 jutaan sedangkan non dempond hanya 3 juta lebih.

Tingginya penerimaan tersebut dipicu dari hasil pemeliharaan dengan

menggunakan benur gelondongan satu bulan dan pemberian pakan

dengan campuran kopasanda. Daun kopasanda ternyata dapat

meningkatkan survival rate dan menurunkan FCR. Dari hasil R/C ratio

ternyata produksi dempond layak untuk di kembangkan karena R/C >1,

sedangkan non dempong R/C<1 atau tidak layak.

Berdasarkan dari Analisis SWOT-AHP, maka beberapa hal yang

dapat disimpulkan antara lain: petani tambak sebaiknya menggunakan

vii

benih bersertifikat SPF dan SPR; benur yang akan dibudidayakan dalam

kolam pembesaran terlebih dahulu dipelihara pada kolam gelondongan

selama satu bulan; peningkatan sistem imun udang windu dapat

dilakukan melalui penggunaan probiotik dan pakan campuran daun

kopasanda; pertumbuhan ekonomi baru dapat dilakukan dengan membuat

usaha gelondongan dan probitoik skala rumah tangga

viii

KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah subhaana wata’ala atas Rahmat dan

KaruniaNya sehingga penyusunan laporan akhir dari penelitian

“Pengembangan Udang Windu untuk Mewujudkan Pertumbuhan

Ekonomi Baru Daerah dan Peningkatan Daya Saing Komoditas Unggulan

Sulawesi Selatan” Tahun 2021 dapat diselesaikan. Penelitian ini

dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan

Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Provinsi Sulawesi Selatan

berkerja sama dengan Universitas Muslim Indonesia.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat disosialisasikan oleh

pemerintah kepada masyarakat dan stakeholder lainnya agar para

petambak dapat mengadopsi dan meningkatkan pendapatan dan tarah

hidup mereka (petani tambak udang windu). Semoga apa yang dilakukan

oleh Bappelitbangda Provinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan

Universitas Muslim Indonesia dapat bermanfaat bagi masyarakat dan

Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.

Makassar, Desember 2021

Kepala Badan

Ir. A. Darmawan Bintang, MDevPlg Pangkat : Pembina Utama Madya Nip: 196704271993031015

ix

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL………………………………………… i SUSUNAN TIM PENELITI……………………………………... ii ABSTRAK……………………………………………………… iii ABSTRACT…………………………………………………… iv RINGKASAN EKSEKUTIF………………………………….. v KATA PENGANTAR…………………………………………. viii DAFTAR ISI…………………………………………………… ix DAFTAR TABEL……………………………………………… xii DAFTAR GAMBAR…………………………………………... xiii BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………… 1

A. Latar Belakang……………………………………………. 1 B. Rumusan Masalah………………………………………… 2 C. Maksud dan Tujuan……………………………………….. 3 D. Sasaran……………………………………………………. 3 E. Ruang Lingkup Kegiatan………………………………….. 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................... 5 A. Udang Windu...................................................................... 5 B. Benur……………………………………………………… 7 C. Sekolah Lapang…………………………………………… 9 D. Dempond………………………………………………….. 10 G. Analisis SWOT……………………………………………. 11 H. Konsep AHP (Analytical Hierarchy Process)……………... 12

1) Prosedur AHP………………………………………….. 14 2) Kelebihan dan kelemahan AHP………………………... 15 3. Tahapan AHP……………………………………………. 17

BAB 3 METODOLOGI………………………………………… 21 A. Objek dan Subjek Penelitian……………………………… 21

x

1. Objek Penelitian………………………………………… 21 2. Subjek Penelitian………………………………………… 21

B. Jenis Data………………………………………………….. 21 C. Teknik Pengambilan………………………………………. 23

BAB 4 ANALISIS DATA............................................................. 27 A. Analisis Deskriptif………………………………………… 27 B. Analisis SWOT……………………………………………. 28

1. Matriks faktor strategi eksternal………………………… 29 2. Matriks faktor strategi internal………………………….. 31

C. Analisis AHP……………………………………………… 34 BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN………………………… 36

A. Karakteristik Responden Hasil Survey…………………… 36 1. Tingkat umur………………………………………….. 37 2. Tingkat Pendidikan…………………………………… 38 3. Luas Lahan…………………………………………… 40 4. Pengalaman Usaha Tambak Udang Windu…………….. 41

B. Identifikasi Masalah………………………………………. 42 1. Persiapan lahan………………………………………… 42 2. Benur………………………………………………….. 49 3. Pemeliharaan………………………………………….. 54 4. Panen………………………………………………….. 56

C. Sekolah Lapang di Kabupaten Pangkep dan Bone……….. 59 D. Teknis Budidaya di Lokasi Dempond…………………….. 67

1. Persiapan Lahan…………………………………………. 67 2. Benur……………………………………………………. 74 3. Pemeliharaan……………………………………………. 77 4. Panen……………………………………………………. 80

E. Daya saing dan Pertumbuhan Ekonomi…………………... 81

xi

F. Analisis Strategi Kebijakan Pengembangan Budidaya Tambak Udang Windu di Sulawesi Selatan……………………………… 88

1. Identifikasi Komponen SWOT………………………………. 88 2. Analisis Perumusan Alternatif Strategi……………….......... 93

BAB 6 KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN…………………………………………………………. 103

A. Kesimpulan…………………………………………………….. 103 B. Saran……………………………………………………… 103 b. Rekomendasi Kebijakan………………………………….. 104 c. Implikasi Kebijakan………………………………………. 104

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………… 105 LAMPIRAN…………………………………………………….. 107

xii

DAFTAR TABEL Tabel 1. formulasi pakan udang windu (% berat kering)………. 26 Tabel 2. EFAS………………………………………………….. 30 Tabel 3. IFAS…………………………………………………… 31 Tabel 4. Keterangan Skala AHP………………………………… 35 Tabel 5. Indikator Parameter Benuh yang digunakan pada petani

tambak………………………………………………… 53 Tabel 6. Indikator parameter pemeliharan hasil yang berasal dari

responden petambak…………………………………... 54 Tabel 7. Beberapa parameter hasil panen yang berasal dari responden

petambak…………………………………... 59 Tabel 8. Hasil Pre Test Calon Peserta Dempond Kabupaten

Pangkep………………………………………………. 60 Tabel 9. Hasil Post Test Peserta Dempond Kabupaten Pangkep... 62 Tabel 10. Hasil Pre Test Calon Peserta Dempond Kabupaten

Bone………………………………………………….. 64 Tabel 11. Hasil Post Test Peserta Dempond Kabupaten Bone…. 66 Tabel 12. Parameter tanah dan perlakuan………………………. 70 Tabel 13. Paramater tanah dan nilai kisaran……………………. 74 Tabel 14. Data hasil produksi Dempond dan Non Dempond di

Kabupaten Pangkep untuk indikator daya saing……... 82 Tabel 15. Data produksi udang windu 2021 di Provinsi Sulawesi

Selatan………………………………………………... 83 Tabel 16. Analsis Kelayakan Dempond dan Non Dempond di

Kabupaten Pangkep…………………………………... 85 Tabel 17. Analsis Kelayakan Usaha Budidaya Udang Windu di

Kabupaten Bone……………………………………… 86 Tabel 18. Matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) pada Pengelolaan

Budidaya Tambak udang windu di Sulawesi Selatan……………………………………… 94

Tabel 19. Matriks Faktor Strategi Eksternal pada Pengelolaan Budidaya Tambak di Provinsi Sulawesi Selatan……... 95

Tabel 20. Matriks SWOT……………………………………….. 96 Tabel 21. Hasil strategi SWOT…………………………………. 97

xiii

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Peta Kesesuaian Lahan Tambak Kabupaten Pangkep dan

Bone……………………………………………. 22 Gambar 2. Analisis SWOT……………………………………… 28 Gambar 3. Umur responden…………………………………….. 37 Gambar 4. Tingkat pendidikan responden……………………… 39 Gambar 5. luas lahan (ha) tambak yang dikerjakan……………. 40 Gambar 6. Pengalaman usaha tambak responden………………. 41 Gambar 7. Persiapan dasar tambak……………………………… 43 Gambar 8. Pengeringan dasar tambak…………………………… 44 Gambar 9. Pengolahan tambak………………………………….. 46 Gambar 10. Perbaikan keasaman tanah…………………………. 47 Gambar 11. Pemupukan…………………………………………. 47 Gambar 12. Pemberantasan hama dan penyakit………………… 48 Gambar 13. size hasil panen petani tambak di Kabupaten Bone dan

Pangkep………………………………………… 58 Gambar 14. Pengapuran Tanah dasar Tambak…………………. 72 Gambar 15. Aklimatisasi sebelum penebaran benur……………. 76 Gambar 16. Pengamatan pertumbuhan dan kesehatan udang…… 79 Gambar 17. Panen……………………………………………….. 80

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Sulawesi Selatan berdasarkan RJPMD mengusung

visi inovatif, produkti, kompetitif, inklusif dan berkarakter. Visi yang

dicanangkan gubernur menghasilkan turunan misi yang diantaranya (1)

mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang produktif serta

(2) meningkatkan produktivitas dan daya saing produk perekonomian

rakyat serta melestarikan lingkungan hidup dan sumberdaya alam (RPJM

Sulawesi Selatan, 2018 -2023). Berdasarkan misi tersebut program

kegiatan diharapkan dapat mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan

ekonomi baru sesuai keunggulan komparatif wilayah serta meningkatkan

produktivitas dan daya saing produk prekonomian rakyat serta

melestarikan lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Kegiatan yang

dilakukan mendukung peningkatan ketahanan ekonomi wilayah antara

lain melalui peningkatan daya saing produk unggulan.

Sulawesi selatan memiliki nilai produksi perikanan budidaya

lebih dari 9 triliun pada tahun 2016 atau yang tertinggi di wilayah pulau

Sulawesi (Nainggolan et al., 2018). Tingginya nilai tersebut juga

dipengaruhi oleh luas tambak udang yang mencapai 111.038, 7 ha pada

tahun 2016 atau terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya dengan luas

109.561,0 ha. Sekitar 92,7 persen masih dikelola dengan teknologi

sederhana (tradisional), 6,2 persen dengan teknologi madya (semi

intensif), dan 1,1 persen dengan teknologi maju (intensif). Tenaga kerja

yang terserap dari kegiatan budidaya perikanan sebanyak 156.000 jiwa,

(DKP Sulsel, 2009). Salah satu komoditas yang sedang digalakkan oleh

pemerintah Sulawesi Selatan adalah udang windu (Penaeus monodon).

2

Udang windu (P. monodon) merupakan salah satu primadona

bagi petambak karena harga jual yang lebih mahal. Udang windu (P.

monodon) merupakan udang asli Indonesia. Jumlah produksi udang

secara umum pada tahun 2017 mencapai 43,03 ribu ton atau naik 3,2

persen dari tahun 2016 sebesar 41,64 ton. Sedangkan data produksi udang

windu (Penaues monodon) Sulawesi Selatan pada tahun 2013 mencapai

15.319,1 ton atau hanya berada pada posisi ke-6 di Indonesia (Rahmantya

et al., 2018). Sedangkan data produksi udang windu di Sulawesi Selatan

pada tahun 2019 mencapai 10.370,2 ton.

Komoditas udang khususnya windu menjadi andalan bagi

pemasukan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja Provinsi Sulawesi

Selatan. Sekitar 80 persen kontribusi devisa negara berasal dari usaha

komoditas udang. Akan tetapi, budidaya udang windu mengalami

collapse sejak tahun 1998. Produksi rata-rata yang dihasilkan sekitar 284

kg/ha/MT senilai Rp 26.980.000 dengan lima kali MT per tahun dan

biaya produksi per MT sekitar Rp 5.000.000,-. Setahun pembudidaya

udang windu berpotensi mendapat penerimaaan sebesar Rp 134.900.000,-

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mencanangkan

peningkatan produksi udang windu hingga 500 kg/ha. Rerata produksi

udang windu saat ini masih jauh dari target. Akibat akumulasi pestisida,

FCR yang tinggi, pengolahan air yang tidak tepat, penurunan kualitas

benur dan serangan penyakit merupakan serangkaian masalah yang

dihadapi oleh udang windu dan pembudidaya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan potensi, tantangan dan permasalahan yang dihadapi

pada pengembangan budidaya udang windu saat ini dan di masa datang,

maka dirumuskan permasalahan kegiatan sebagai berikut :

3

1. Bagaimana mengidentifikasi persoalan budidaya udang windu dalam

rangka untuk memulihkan kembali kejayaan udang windu serta

meningkatkan produktivitas yang berdaya saing.

2. Bagaimana mengaplikasikan sistem teknologi budidaya udang windu

dengan sentuhan teknologi berbasis dempond melalui sekolah lapang.

3. Bagaimana memformulasikan alternative kebijakan dalam mendorong

bangkitnya kembali kejayaan undang windu di Sulawesi Selatan.

C. Maksud dan Tujuan

1. Mengidentifikasi persoalan budidaya udang windu dalam rangka

untuk memulihkan kembali kejayaan udang windu serta meningkatkan

produktivitas yang berdaya saing.

2. Mengaplikasikan sistem teknologi budidaya udang windu dengan

sentuhan teknologi berbasis dempond melalui sekolah lapang.

3. Memformulasikan alternatif kebijakan dalam mendorong bangkitnya

kembali kejayaan undang windu di Sulawesi Selatan.

D. Sasaran

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan kegiatan, maka

manfaat yang diharapkan dari hasil kegiatan sebagai berikut :

1. Meningkatnya produksi udang windu sebagai komoditas unggulan

ekspor Sulawesi Selatan.

2. Meningkatnya pendapatan dan taraf hidup petani tambak.

3. Meningkatnya kapasitas dan wawasan petani budidaya udang windu

dalam berinovasi dan solusi penanggulangan masalah kawasan

tambak

4

E. Ruang Lingkup Kegiatan

1. Mengevaluasi kondisi eksisting tambak di Kabupaten Pangkep dan

Bone.

2. Melakukan sekolah lapang di Kabupaten Pangkep dan Bone

3. Membuat tambak percontohan dengan sistem modular

4. Menghitung daya saing dan pertumbuhan ekonomi

5. Membuat analisis strategi yang dapat menghasilkan luaran kebijakan

5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Udang Windu

Udang windu (Penaeus monodon) merupakan asli Indonesia yang

harus tetap dikembangkan. Meskipun saat ini, produksinya masih kalah

dengan udang vannamei (Litopenaeus vannamei), tetapi pasar untuk

udang windu masih terbuka lebar, sehingga tetap perlu didukung dengan

ketersediaan induk dan benih yang kontiyu. Udang windu merupakan

salah satu komoditas unggulan di Asia (FAO 2008). Hal ini dikarenakan

udang windu memiliki beberapa kelebihan, diantaranya memiliki ukuran

panen yang lebih besar, rasa yang manis, gurih, dan kandungan gizi yang

tinggi. Besarnya potensi budidaya dari udang windu memacu para

petambak untuk memaksimalkan produksi (Amri, 2003).

Udang windu (Penaeus monodon) memiliki sifat-sifat dan ciri

khas yang membedakannya dengan udang-udang yang lain. Udang windu

(Penaeus monodon) bersifat Euryhaline, yakni secara alami bisa hidup di

perairan yang berkadar garam dengan rentang yang luas, yakni 5-45%.

Kadar garam ideal untuk pertumbuhan udang windu (Penaeus monodon)

adalah 19-35%. Sifat lain yang juga menguntungkan adalah ketahanannya

terhadap perubahan temperature yang dikenal dengan eurythemal

(Lidaenni, 2008).

Adapun klasifikasi udang windu (Penaeus monodon) menurut

Amri (2003) berikut:

Filum : Arthropoda

Kelas : Crustacea

Family : Penaeidae

Genus : Penaeus

Species : Penaeus monodon

6

Dalam dunia perdagangan, udang windu (Penaeus monodon)

dikenal dengan sebutan udang pancet, jumbo tiger prawn, giant tiger

prawn, black tiger prawn atau black tiger shrimp.Secara morfologi,

tubuh udang windu terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian kepala

hingga dada dan abdomen yang meliputi bagian perut dan ekor. Bagian

kepala dada disebut cephalothorax yang dilapisi dengan carapace.

Bagian ini terdiri dari kepala dengan 5 segmen dan dada dengan 8

segmen. Bagian abdomen terdiri atas 6 segmen dan 1 telson (Murtidjo,

2003).

Bagian kepala, dada terdapat anggota-anggota tubuh lain yang

berpasang – pasangan berturut-turut dari muka kebelakang adalah sungut

kecil (antennula), sirip kepala (Scophocerit), sungut besar (antenna),

rahang (mandibulla), alat-alat pembantu rahang (maxilla) yang terdiri

dari dua pasang maxilliped yang terdiri atas tiga pasang, dan kaki jalan

(periopoda) yang terdiri atas lima pasang, tiga pasang kaki jalan yang

pertama ujung-ujungnya bercapit yang dinamakan chela (Suyanto dan

Mujiman, 2003).

Bagian perut terdapat lima pasang pleopoda, pada ruas ke enam

kaki renang berubah bentuk menjadi uropoda. Ujung ruas keenam kearah

belakang membentuk telson (Suyanto dan Mujiman, 2003). Udang windu

termasuk hewan heterosexual karena mempunyai jenis kelamin jantan

dan betina yang dapat dibedakan dengan jelas. Jenis udang windu betina

dapat diketahui dengan adanya telikum pada kaki jalan ke-4 dan ke-5.

Telikum berupa garis tipis dan akan melebar setelah terjadi fertilisasi.

Sementara jenis kelamin udang windu jantan dapat diketahui dengan

adanya petasma yaitu tonjolan diantara kaki renang pertama (Murtidjo,

2003).

7

Udang windu bersifat omnivora dan seringkali bersifat kanibal

karena memakan udang yang sedang moulting. Udang windu tergolong

hewan nocturnal karena sebagian besar aktifitasnya seperti makan

dilakukan malam hari. Kulit udang windu tidak elastis dan akan berganti

kulit selama pertumbuhan. Frekuensi pergantian kulit ditentukan oleh

jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, usia dan kondisi

lingkungan. Setelah kulit lama terlepas udang windu dalam kondisi lemah

karena udang baru belum mengeras. Pada saat ini udang mengalami

pertumbuhan sangat pesat diikuti dengan penyerapan sejumlah air,

semakin cepat udang berganti kulit maka pertumbuhan semakin cepat

(Murtidjo, 2003).

B. Benur

Produktivitas udang windu dipengaruh oleh kualitas benih.

Permasalahan yang sering dihadapi oleh petani tambak dalam budidaya

udang adalah tingginya kematian benih udang sewaktu penebaran di

tambak. Kematian bisa disebabkan oleh infeksi patogen dan perubahan

kualitas air secara fluktuatif. Pemeliharaan benih udang dengan sistem

yang buruk dapat menurunkan kualitas air hingga mengganggu atau

membahayakan kehidupan benih udang yang dipelihara (Djuanedi et al.,

2016). Penurunan mutu lingkungan dan ketersediaan benih yang tidak

bermutu sering memicu munculnya penyakit udang yang menyebabkan

kegagalan dalam usaha budidaya di tambak.

Produksi udang windu saat ini masih dianggap kurang optimal.

Salah satu penyebabnya adalah infeksi penyakit. Menurut Kono et al,

(2004) bahwa virus salah satu penyebab utama mortalitas udang windu.

White spot merupakan penyakit yang paling banyak menimbulkan

kerugian secara ekonomi, diperkirakan lebih dari 300 juta dollar AS per

8

tahun (Rukyani, 2000). Penularan WSSV sangat cepat dan menyebabkan

kematian 100% dalam waktu 3-10 hari sejak timbul gejala klinis. Virus

ini dapat menginfeksi udang pada post larva (PL) sampai ukuran 40 g.

Penyebaran WSSV dapat secara vertikal melalui induk menularkan ke

larvanya dan secara horizontal melalui air (waterborne transmission),

kotoran udang yang terinfeksi, kanibalisme, makanan alami/segar jenis

krustasea dan hama tambak jenis krustasea (Kono et al., 2004). Dalam

sistem budidaya, WSSV dapat ditransmisikan melalui air yang

terkontaminasi (Chang et al., 1996).

Virus lain yang sering menyerang udang windu adalah MBV,

IHHNV dan HPV Keberadaan virus tersebut menyebabkan udang windu

menjadi kerdil. Serang virus tidak hanya terjadi pada ukurang larna

namun juga ukuran dewasa. Keberadaan virus tersebut di tambak

disebabkan oleh benih, dari karier, air tambak, feses dan pemangsaan

udang yang terinfeksi. Deteksi dini pada benih dapat mencegah

peledakan populasi virus penyakit kerdil di tambak (Sriwulan dan

Anshary, 2011).

Bakteri yang sering ditemukan menginfeksi udang windu dan

menyebabkan kematian massal adalah Vibrio harveyi. Bakteri ini

merupakan penyebab penyakit kunang-kunang atau penyakit berpendar,

karena krustasea yang terinfeksi akan terlihat terang dalam keadaan gelap

(malam hari). Pada dasarnya bakteri ini bersifat oportunistikdan akan

menjadi patogen jika pada media pemeliharaannya terjadi goncangan

secara drastik, seperti perubahan suhu, pH, salinitas dan faktor lainnya.

Selain Aeromonas sp., Shigella spp., Pseudomonas spp., Citrobacter spp.,

Yersinia spp. dan Proteus spp., Shigella spp. dan Pseudomonas spp.

merupakan bakteri patogen bagi biota, sedangkan Citrobacter spp.,

9

Yersinia spp. dan Proteus spp. pada awalnya bukan merupakan patogen,

namun pada suatu saat apabila kondisi lingkungannya memungkinkan

dapat pula menyebabkan penyakit (bersifat oportunis) (Hatmanti, 2003).

C. Sekolah Lapang

Sekolah Lapang merupakan salah satu sekolah non formal bagi

petani. Sekolah lapang diharapakan menjadi media dari proses transfer of

knowledge kepada petani. Dalam sekolah lapang petani akan belajar dan

berdiskusi dalam memecahkan persoalan mereka di tambak dan

lingkungannya. Petani diajarkan langsung untuk mengalami,

mengungkapkan, menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan

(melakukan/mengalami kembali), menghadapi dan memecahkan

masalah-masalah terutama dalam hal teknik budidaya dengan mengkaji

bersama berdasarkan spesifik lokasi (Sugianto, 2008).

Dalam pertanian, pemerintah melakukan Sekolah Lapang

Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Kegiatan tersebut merupakan

tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan

pengetahuan dan ketrampilan dalam mengenali potensi, menyusun

rencana usaha tani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan

menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat

secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usaha taninya

menjadi efisien, berproduksi tinggi dan berkelanjutan (Nurasa dan

Supriadi, 2012).

Kegiatan sekolah lapang merupakan salah satu program

pembangunan pertanian yang menerapkan model pemberdayaan petani

dengan meningkatkan kualitas dan kapasitas petani melalui percepatan

adopsi teknologi atau pengetahuan yang seluruh proses belajar

mengajarnya dilakukan di lapangan (Jaliel dan Sadono 2013). Dalam

10

proses kegiatan sekolah lapang peran penyuluh sangatlah penting dalam

meningkatkan kualitas sumber daya petani/peternak (Riana et al., 2015).

Menurut UU Nomor 16 tahun 2016 tenaga penyuluh terdari dari

penyuluh PNS, penyuluh Swasta, dan penyuluh Swadaya. Penyuluh

pertanian adalah petugas yang melakukan pembinaan dan berhubungan

atau berhadapan langsung dengan petani (Berlian, 2011). Peran penyuluh

yang diamati terdiri dari ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan

informasi, dukungan kelompok tani, dan intensitas penyuluhan.

D. Dempond

Dempond atau istilah demplot (demonstrasi plot) merupakan

salah satu metode terbaik untuk memperbaiki hasil, dan dimanfaatkan

oleh para penyuluh untuk memperoleh perubahan perilaku yang

diinginkan di masyarakat pedesaan. Dengan demplot akan terjadi situasi

pembelajaran, serta komunikasi dan interaksi antara penyuluh dan petani.

Setidaknya melalui FGD dan demplot akan ada perubahan pengetahuan,

opini, aspirasi dan keterampilan; yaitu perubahan perilaku terendah

setelah program intervensi menurut “Bennett’ s Hierarchy”

(Radhakrishna, 2010).

Metode Demontrasi merupakan salah satu metode yang

digunakan dalam kegiatan penyuluhan pertanian (Hasan, 2012). Metode

ini paling baik dan ampuh, sasaran penyuluhan dihadapkan pada bukti

nyata berupa contoh yang dapat dilihat dan dapat diamati sendiri.

Demplot membandingkan metode aplikasi pupuk organik dengan harapan

hasil dapat ditingkatkan.

Berdasarkan hasil penelitian Zulfa et al. (2013) bahwa hal-hal

yang dapat menurunkan antusias antara lain:

1. Kurang aktifnya petugas penyuluh untuk turun ke lokasi demplot.

11

2. Kurang perhatinnya petugas penyuluh terhadap aspirasi petani

3. Kurang sosialisasi dan interaksi yang baik antara petani dan

petugas penyuluh

4. Kurangnya bantuan yang diberikan penyuluh kepada petani.

G. Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara

sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan

pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang

(opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan

kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan

keputusan startegis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan,

strategi dan kebijakan perusahaan (Rangkuti, 2002).

Analisis ini bersifat deskriptif dan terkadang akan sangat

subjektif, karena bisa jadi dua orang yang menganalisis sebuah organisasi

akan memandang berbeda ke empat bagian tersebut. Hal ini diwajarkan,

karena analisis SWOT adalah sebuah analisis yang akan memberikan

output berupa arahan dan tidak memberikan solusi dalam sebuah

permasalahan. Analisis SWOT hanya menggambarkan situasi yang

terjadi bukan sebagai pemecah masalah, sehingga dapat diartikan sebagai

berikut:

a) Kekuatan ( Strength )

Kekuatan adalah berbagai kelebihan yang bersifat khas yang dimiliki

oleh suatu organisasi, yang apabila dapat dimanfaatkan akan berperan

besar, tidak hanya dalam memperlancar berbagai kegiatan yang akan

dilaksanakan oleh organisasi, tetapi juga dalam mencapai tujuan yang

12

dimilliki oleh organisasi. Kekuatan yang dimaksud adalah kelebihan

organisasi dalam mengelola kinerja di dalamnya.

b) Kelemahan ( Weakness )

Kelemahan adalah berbagai kekurangan yang bersifat khas yang

dimiliki oleh suatu organisasi yang apabila berhasil diatasi akan

berperanan besar, tidak hanya dalam memperlancar berbagai kegiatan

yang akan dilaksanakan oleh organisasi, tetapi juga dalam mencapai

tujuan yang dimililiki oleh organisasi.

c) Peluang ( Opportunity )

Peluang adalah peluang yang bersifat positif yang dihadapi oleh suatu

organisasi, yang apabila dapat dimanfaatkan akan besar peranannya

dalam mencapai tujuan organisasi. Opportunity merupakan peluang

organisasi untuk meningkatkan kualitasnya.

d) Ancaman/Hambatan ( Threat )

Hambatan adalah kendala yang bersifat negatif yang dihadapi oleh

suatu organisasi, yang apabila berhasil di atasi akan besar peranannya

dalam mencapai tujuan organisasi. Threat merupakan ancaman bagi

organisasi baik itu dari luar maupun dari dalam.

H. Konsep AHP (Analytical Hierarchy Process)

AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang

dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini

akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks

menjadi suatu hirarki, menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai

suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu

struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level

faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level

terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks

13

dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur

menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih

terstruktur dan sistematis. (Syaifullah, 2010).

AHP sering digunakan sebagai metode pemecahan masalah

dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut :

1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih,

sampai pada sub kriteria yang paling dalam.

2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi

inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh

pengambil keputusan.

3. Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan

keputusan.

Penggunaan AHP bukan hanya untuk institusi pemerintahan atau

swasta namun juga dapat diaplikasikan untuk keperluan individu

terutama untuk penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kebijakan

atau perumusan strategi prioritas. AHP dapat diandalkan karena dalam

AHP suatu prioritas disusun dari berbagai pilihan yang dapat berupa

kriteria yang sebelumnya telah didekomposisi (struktur) terlebih dahulu,

sehingga penetapan prioritas didasarkan pada suatu proses yang

terstruktur (hirarki) dan masuk akal. Jadi pada intinya AHP membantu

memecahkan persoalan yang kompleks dengan menyusun suatu hirarki

kriteria, dinilai secara subjektif oleh pihak yang berkepentingan lalu

menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau

prioritas (kesimpulan).

Peralatan utama AHP adalah sebuah hierarki fungsional dengan

input utamanya persepsi manusia. Keberadaan hierarki memungkinkan

dipecahnya masalah kompleks atau tidak terstruktur dalam sub – sub

14

masalah, lalu menyusunnya menjadi suatu bentuk hierarki (Kusrini,

2007).

1) Prosedur AHP

Terdapat tiga prinsip utama dalam pemecahan masalah dalam AHP

menurut Saaty, yaitu: Decomposition, Comparative Judgement, dan

Logical Concistency. Secara garis besar prosedur AHP meliputi tahapan

sebagai berikut:

a) Dekomposisi masalah

Dekomposisi masalah adalah langkah dimana suatu tujuan (Goal)

yang telah ditetapkan selanjutnya diuraikan secara sistematis kedalam

struktur yang menyusun rangkaian sistem hingga tujuan dapat dicapai

secara rasional. Dengan kata lain, suatu tujuan yang utuh,

didekomposisi (dipecahkan) kedalam unsur penyusunnya.

b) Penilaian/pembobotan untuk membandingkan elemen-elemen

Apabila proses dekomposisi telah selasai dan hirarki telah tersusun

dengan baik. Selanjutnya dilakukan penilaian perbandingan

berpasangan (pembobotan) pada tiap-tiap hirarki berdasarkan tingkat

kepentingan relatifnya.

c) Penyusunan matriks dan Uji Konsistensi

Apabila proses pembobotan atau pengisian kuisioner telah selesai,

langkah selanjutnya adalah penyusunan matriks berpasangan untuk

melakukan normalisasi bobot tingkat kepentingan pada tiap-tiap

elemen pada hirarkinya masingmasing. Pada tahapan ini analisis dapat

dilakukan secara manual ataupun dengan menggunakan program

komputer seperti Expert Choice.

15

d) Penetapan prioritas pada masing-masing hirarki

Untuk setiap kriteria dan alternatif,perlu dilakukan perbandingan

berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif

kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh

alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat

dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk

menghasilkan bobot dan proritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan

manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik.

e) Sistesis dari prioritas

Sistesis dari prioritas didapat dari hasil perkalian prioritas lokal

dengan prioritas dari kriteria bersangkutan yang ada pada level

atasnya dan menambahkannya ke masing-masing elemen dalam level

yang dipengaruhi oleh kriteria. Hasilnya berupa gabungan atau lebih

dikenal dengan istilah prioritas global yang kemudian dapat digunakan

untuk memberikan bobot prioritas lokal dari elemen yang ada pada

level terendah dalam hirarki sesuai dengan kriterianya.

f) Pengambilan/penetapan keputusan

Pengambilan keputusan adalah suatu proses dimana alternatifalternatif

yang dibuat dipilih yang terbaik berdasarkan kriterianya.

2) Kelebihan dan kelemahan AHP

Layaknya sebuah metode analisis, AHP pun memiliki kelebihan dan

kelemahan dalam system analisisnya. Kelebihan-kelebihan analisis ini

adalah:

a) Kesatuan (Unity)

AHP membuat permasalahan yang luas dan tidak terstruktur menjadi

suatu model yang fleksibel dan mudah dipahami.

16

b) Kompleksitas (Complexity)

AHP memecahkan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan

sistem dan pengintegrasian secara deduktif.

c) Saling ketergantungan (Inter Dependence)

AHP dapat digunakan pada elemen-elemen sistem yang saling bebas

dan tidak memerlukan hubungan linier.

d) Struktur Hirarki (Hierarchy Structuring)

AHP mewakili pemikiran alamiah yang cenderung mengelompokkan

elemen sistem ke level-level yang berbeda dari masing-masing level

berisi elemen yang serupa.

e) Pengukuran (Measurement)

AHP menyediakan skala pengukuran dan metode untuk mendapatkan

prioritas.

f) Konsistensi (Consistency)

AHP mempertimbangkan konsistensi logis dalam penilaian yang

digunakan untuk menentukan prioritas.

g) Sintesis (Synthesis)

AHP mengarah pada perkiraan keseluruhan mengenai seberapa

diinginkannya masing-masing alternatif.

h) Trade Off

AHP mempertimbangkan prioritas relatif faktor-faktor pada sistem

sehingga orang mampu memilih altenatif terbaik berdasarkan tujuan

mereka.

i) Penilaian dan Konsensus (Judgement and Consensus)

AHP tidak mengharuskan adanya suatu konsensus, tapi

menggabungkan hasil penilaian yang berbeda.

17

j) Pengulangan Proses (Process Repetition)

AHP mampu membuat orang menyaring definisi dari suatu

permasalahan dan mengembangkan penilaian serta pengertian mereka

melalui proses pengulangan.

Sedangkan kelemahan metode AHP adalah sebagai berikut:

a) Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini

berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan

subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika

ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru.

b) Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara

statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model

yang terbentuk.

3. Tahapan AHP

Dalam metode AHP dilakukan langkah-langkah sebagai berikut

(Kadarsyah Suryadi dan Ali Ramdhani, 1998):

a) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.

Dalam tahap ini kita berusaha menentukan masalah yang akan kita

pecahkan secara jelas, detail dan mudah dipahami. Dari masalah yang

ada kita coba tentukan solusi yang mungkin cocok bagi masalah

tersebut. Solusi dari masalah mungkin berjumlah lebih dari satu.

Solusi tersebut nantinya kita kembangkan lebih lanjut dalam tahap

berikutnya.

b) Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan utama.

Setelah menyusun tujuan utama sebagai level teratas akan disusun

level hirarki yang berada di bawahnya yaitu kriteriakriteria yang

cocok untuk mempertimbangkan atau menilai alternatif yang kita

berikan dan menentukan alternatif tersebut. Tiap kriteria mempunyai

18

intensitas yang berbeda-beda. Hirarki dilanjutkan dengan sub kriteria

(jika mungkin diperlukan).

c) Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan

kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau

kriteria yang setingkat di atasnya.

Matriks yang digunakan bersifat sederhana, memiliki kedudukan kuat

untuk kerangka konsistensi,mendapatkan informasi lain yang mungkin

dibutuhkan dengan semua perbandingan yang mungkin dan mampu

menganalisis kepekaan prioritas secara keseluruhan untuk perubahan

pertimbangan. Pendekatan dengan matriks mencerminkan aspek

ganda dalam prioritas yaitu mendominasi dan didominasi.

Perbandingan dilakukan berdasarkan judgment dari pengambil

keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen

dibandingkan elemen lainnya. Untuk memulai proses perbandingan

berpasangan dipilih sebuah kriteria dari level paling atas hirarki

misalnya K dan kemudian dari level di bawahnya diambil elemen

yang akan dibandingkan misalnya E1,E2,E3,E4,E5.

d) Melakukan mendefinisikan perbandingan berpasangan sehingga

diperoleh jumlah penilaian seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah,

dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan.

Hasil perbandingan dari masing-masing elemen akan berupa angka

dari 1 sampai 9 yang menunjukkan perbandingan tingkat kepentingan

suatu elemen. Apabila suatu elemen dalam matriks dibandingkan

dengan dirinya sendiri maka hasil perbandingan diberi nilai 1. Skala 9

telah terbukti dapat diterima dan bisa membedakan intensitas antar

elemen. Hasil perbandingan tersebut diisikan pada sel yang

bersesuaian dengan elemen yang dibandingkan. Skala perbandingan

19

perbandingan berpasangan dan maknanya yang diperkenalkan oleh

Saaty bisa dilihat di bawah. Intensitas Kepentingan

1 = Kedua elemen sama pentingnya, Dua elemen mempunyai pengaruh

yang sama besar.

3 = Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yanga

lainnya, pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen

dibandingkan elemen yang lainnya.

5 = Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya, Pengalaman

dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan

elemen yang lainnya.

7 = Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya, Satu

elemen yang kuat disokong dandominan terlihat dalam praktek.

9 = Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya, Bukti yang

mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memeliki tingkat

penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.

2,4,6,8 = Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang

berdekatan, Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara 2

pilihan Kebalikan = Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka

dibanding dengan aktivitas j , maka j mempunyai nilai kebalikannya

dibanding dengan i

e) Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya.

Jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi.

f) Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.

g) Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan

berpasangan yang merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan

prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai

mencapai tujuan. Penghitungan dilakukan lewat cara menjumlahkan

20

nilai setiap kolom dari matriks,membagi setiap nilai dari kolom

dengan total kolom yang bersangkutan untuk memperoleh normalisasi

matriks, dan menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan

membaginya dengan jumlah elemen untuk mendapatkan rata-rata.

h) Memeriksa konsistensi hirarki.

Tahapan ini diukur dalam AHP adalah rasio konsistensi dengan

melihat index konsistensi. Konsistensi yang diharapkan adalah yang

mendekati sempurna agar menghasilkan keputusan yang mendekati

valid. Walaupun sulit untuk mencapai yang sempurna, rasio

konsistensi diharapkan kurang dari atau sama dengan 10 %.

21

BAB III. METODOLOGI A. Objek dan Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, lokasi yang dipilih adalah Kabupaten Bone

dan Pangkep.

1. Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, lokasi yang dipilih adalah Kabupaten Bone

dan Pangkep sebagaimana yang tertera pada gambar 1. Kabupaten

Pangkep sebagai perwakilan dari pantai barat dan Kabupaten Bone

sebagai perwakilan dari pantai timur.

Gambar 1. Peta Kesesuaian Lahan Tambak Kabupaten Pangkep dan Bone.

2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan adalah Petambak udang windu

di Kabupaten Bone dan Pangkep. Jumlah responden setiap kabupaten

sebanyak 30 orang di setiap kabupaten.

B. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari responden

atau lokasi penelitian (Wardiyanta dalam Samaji, 2015). Pengumpulan

data primer dilakukan dengan teknik survei melalui wawancara dan

pengajuan kuisioner terhadap responden yang berada di Kabupaten Bone

dan Pangkep.

22

Gambar 2. Peta Kesesuaian Lahan Tambak Kabupaten Pangkep dan Bone.

1. Untuk mengidentifikasi masalah teknis budidaya udang windu

diperlukan data dari responden menyangkut tentang kegiatan

persiapan, sumber benih, pemberantasan hama, padat tebar, jumlah

pakan, FCR, SR, dan jumlah produksi beserta kendala-kendala yang

dihadapi saat ini.

2. Responden yang dijadikan sebagai calon peserta sekolah lapang

terlebih dahulu dilakukan pretest untuk mendapatkan gambaran

tingkat pemahaman atau pengetahuan tentang tahap-tahap budidaya

udang windu dengan jumlah peserta masing-masing kabupaten 30

orang. Kurikulum dan rundown kegiatan disiapkan oleh peneliti dalam

kegiatan sekolah lapang. Selanjutnya dilakukan post test hasil sekolah

lapang untuk mengetahui hasil peningkatakan pengetahuan peserta

sekolah lapang sehingga diperoleh informasi tingkat penyerapan

pengetahuan sebelum dan sesudah sekolah lapang.

3. Identifikasi Daya saing dan Pertumbuhan Ekonomi. Produk dari hasil

budidaya udang dempond dan non dempond akan dibandingkan dari

segi total penerimaan, total biaya dan Ratio Revenue Cost. Jika

23

produk hasil budidaya udang windu lebih baik dan layak maka

teknologi indikator daya saing bisa di pertimbangkan. Dari sisi

pertumbuhan ekonomi lokal akan sendirinya akan bangkit dan

berkembang seiring dengan berkembangnya budidaya udang windu.

Jadi terjadi efek ganda dengan munculnya usaha usaha mulai

penggelondongan, pakan, hatchery skala rumah tangga dan

seterusnya.

Rumus

R/C Ratio =Total Penerimaan

Total Biaya

Kriteria:

R/C Ratio > 1, kegiatan budidaya layak dikembangkan

R/C Ratio < 1, kegiatan budidaya tidak layak dikembangkan

4. Merumuskan kebijakan dalam pengembangan budidaya udang windu

melalui analisis SWOT - AHP.

C. Teknik Pengambilan

Sampel Teknik pengambilan sampel atau sampling adalah proses

penentuan sampel dari populasi yang ada pada penelitian (Bungin, 2006).

Sampel adalah wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 1996). Sampel

yang digunakan peneliti adalah masing-masing responden di setiap

kabupaten.

Untuk mendapatkan gambaran tentang masalah budidaya udang

windu saat ini, maka dilakukan pengambilan sampel dari dua lokasi yaitu

Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Bone dengan cara melakukan

perhitungan dari jumlah populasi yang ada.

24

Pemilihan sampel dipilih adalah para pembudidaya udang windu.

Penentuan jumlah sampel dari rumah tangga petambak udang ditentukan

dengan persamaan yang dikemukakan oleh (Slovin 1960, dalam Nurnaeni

2012) yakni :

𝑛𝑛 = N𝑁𝑁.𝑑𝑑2+1

.

Di mana,

n = sampel yang dicari

N = Jumlah Populasi

d2 = Presisi yang ditetapkan

Berdasarkan persamaan di atas, jadi sampel yang akan diambil

adalah 30 sampel di Kabupaten Bone dan 30 sampel di Kabupaten

Pangkep. Setelah ditentukan responden baru dilakukan wawancara secara

langsung dengan mengisi kuisioner yang telah disediakan

Data yang dikumpulkan merupakan data primer karena berasal

dari masalah yang dihadapi oleh petani tambak selama ini dan yang

dihadapi saat membuat petak percontohan (dempond). Sumber data

berasal dari data petambak yang ikut dalam petak percontohan dan data

petani tambak di luar dari petak percontohan. Data diperoleh melalui

wawancara dan diskusi dengan petani tambak saat identifikasi masalah

sebelum dilakukan sekolah lapang dan saat sekolah lapang. Selain itu,

data juga berasal dari hasil observasi terhadap kondisi tambak dan

lingkungannya. Data yang didapatkan dari lapangan dikumpulkan,

dianalisis dan diberikan solusi saat dilakukan sekolah lapang dan

pemberian contoh melaui dempond gelondongan dan pembesaran.

Beberapa cara yang dilakukan dalam melakukan pengumpulan

data antara lain:

25

1. Focus Group Discussion

Teknik pengumpulan data ini dilakukan melalui tatap muka

dan tanya jawab langsung antara tim peneliti dengan petani tambak.

Diskusi atau wawancara dilakukan di lokasi tambak atau di rumah

petani tambak. Hasil yang diharapkan dari proses wawancara adalah

informasi terkait jumlah produksi udang yang mereka hasilkan,

tahapan dalam proses budidaya dan permasalahan yang didapatkan

dalam proses budidaya.

2. Observasi

Teknik pengumpulan data ini cukup kompleks karena

melibatkan berbagai faktor. Pengumpulan data melalui metode

observasi dilakukan dengan melihat kondisi langsung tambak petani

dan lingkungan sekitarnya. Saat proses peninjauan lapangan, tim

peneliti juga mengajukan beberapa pertanyaan tentang tambak yang

petani kelola.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan sejumlah data fakta yang didapatkan

oleh peneliti dilapangan. Umumnya dokumentasi diambil dalam

bentuk foto.

D. Sistem Teknologi Budidaya dengan Dempond atau sekolah lapang

Metode yang digunakan adalah sekolah lapang dengan prosedur

sebagai berikut:

a. Setiap calon peserta melakukan pretest untuk menguji kemampuan

dasar bagi calon peserta yang terkait dengan pengalaman budidaya

udang windu

b. Membuat jadwal sekolah lapang dan kurikulum yang akan digunakan

26

Pemilihan benih bersertifikat SPF dan SPR, melakukan

penggelondongan selama satu bulan, pembuatan probiotik berbahan

alami dan berbasis lokal, sehingga lebih murah. Mencampur pakan

dengan daun kopasanda seperti tabel berikut ini.

Tabel 1. formulasi pakan udang windu (% berat kering) BAHAN % Tepung ikan 40 Tepung kepala udang 10 Bungkil kopra 9 Tepung jagung 12 Tepung kedelai 17 Tepung terigu 10 Vitamin dan mineral 2 Daun kopasanda (mg/kg pakan) 1500 Total 100 protein kasar (%) 35,90 lemak kasar (%) 9,20 serat kasar (%) 4,50 kadar abu (%) 12,40

27

BAB IV. ANALISIS DATA

Pada dasarnya analisis data merupakan proses penyederhanaan

data agar lebih mudah dibaca dan diinterpresentasikan. Data yang ada

akan dianalisis ke dalam bentuk yang lebih sederhana untuk selanjutnya

dicari makna dan implikasi yang lebih luas dari hasil penelitian

(Wardiyanta dalam Samaji, 2015). Metode analisis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, analisis kelayakan,

analisis SWOT - AHP. Metode analisis deskriptif digunakan untuk

analisa kondisi eksistin dan lingkungan budidaya udang windu di

Kabupaten Bone dan Pangkep serta kontribusi kegiatan budidaya udang

windu di Kabupaten Bone dan Pangkep terhadap peningkatan pendapatan

masyarakat sekitar. Sedangkan analisis SWOT - AHP digunakan untuk

analisa strategi pengembangan budidaya udang windu di Kabupaten Bone

dan Pangkep.

A. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan salah satu metode pemecahan

masalah dengan cara menggambarkan subjek atau objek penelitian saat

ini dengan fakta yang tampak (Soejono dan Abdurrahman dalam

Pradikta, 2013). Dalam penelitian ini, metode analisis deskriptif

digunakan untuk memperoleh gambaran faktor pendorong dan

panghambat budidaya udang windu di Kabupaten Bone dan Pangkep.

Dengan menggunakan analisis deskriptif, maka data yang akan disajikan

berupa data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari perilaku yang diamati

(Pradikta, 2013)

28

B. Analisis SWOT

SWOT merupakan singkatan dari Strengths (kekuatan) dan

Weaknesses (kelemahan) lingkungan internal dan Opportunities

(peluang) dan Threats (ancaman) lingkungan eksternal dalam dunia

bisnis (Rangkuti, 2014). Analisis SWOT dalam penelitian ini digunakan

untuk mengetahui metode strategi pengembangan dengan cara

menganalisis faktor eksternal berupa peluang dan ancaman serta faktor

internal berupa kekuatan dan kelemahan.

Sumber: Rangkuti, 2014

Gambar 3. Analisis SWOT

Kuadran 1: menunjukkan situasi yang sangat menguntungkan karena

adanya peluang dan kekuatan, sehingga pada posisi ini

harus didukung kebijakan pertumbuhan agresif.

Kuadran 2: Pada posisi ini terdapat ancaman, namun masih ada

kekuatan dari segi internal sehingga ancaman tersebut

dapat diatasi dengan kekuatan yang ada.

29

Kuadran 3: perusahaan peluang besar namun ada kelemahan internal

sehingga harus memilih strategi yang tepat agar

kelemahan yang ada tidak mengurangi peluang besarnya.

Strategi yang tepat untuk posisi ini adalah usaha

budidaya harus meminimalkan masalah-masalah internal.

Kuadran 4: Posisi ini merupakan posisi yang sangat merugikan karena

perusahaan harus menghadapi berbagai ancaman dengan

kondisi internal yang lemah.

Dalam proses penyusunan perencanaan strategis terdapat tiga

tahapan analisis yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis, dan tahap

pengambilan keputusan. Pada tahap pertama yaitu tahap pengumpulan

data, dilakukan evaluasi faktor eksternal maupun internal untuk

memperoleh data yang dibutuhkan. Tahap selanjutnya adalah tahap

analisis dimana pada tahap ini model alat analisis yang digunakan adalah

matriks internal-eksternal, matriks. Tahap terakhir proses penyusunan

perencanaan strategi adalah tahap pengambilan keputusan yang mana

pada tahap ini dapat digunakan matrik perencanaan strategis kuantitatif

untuk mempermudah pemilihan strategi.

Dalam penelitian ini, untuk tahap pengumpulan data akan

digunakan matriks faktor strategi eksternal dan matriks strategi internal.

1. Matriks faktor strategi eksternal

Dalam menyusun matriks faktor strategi eksternal, terlebih

dahulu kita harus mengetahui Faktor Strategi Eksternal (EFAS). Terdapat

beberapa cara penentuan Faktor Strategi Eksternal yaitu:

a. Susunlah 5 sampai 10 peluang dan ancaman dalam kolom 1.

b. Pada kolom 2 beri bobot masing-masing faktor yang disusun

menggunakan skala angka 1,0 (sangat penting) sampai 0,0 (tidak

30

penting). Hal ini perlu dilakukan karena faktor-faktor yang telah

disusun dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis.

c. Dalam kolom 3, hitung rating untuk masing-masing faktor dengan

menggunakan skala angka 4 (outstanding) sampai 1 (poor)

berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap proses pengembangan

budidaya udang windu di Kabupaten Bone dan Pangkep. Faktor-faktor

peluang diberikan nilai rating positif yang artinya semakin besar

peluang diberi rating +4, namun jika peluangnya kecil diberi rating

+1. Pemberian rating ancaman berkebalikan dengan pemberian rating

peluang, jika ancamannya besar diberi rating 1 dan sebaliknya ketika

nilai ancamannya sedikit diberi rating 4.

d. Kalikan bobot dan rating untuk memperoleh faktor pembobotan

berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya

bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai 1 (poor).

e. Jumlahkan skor pembobotan pada kolom 4 untuk memperoleh total

skor pembobotan.

Tabel 2. EFAS

Faktor-faktor strategi eksternal

Bobot Rating Bobot x rating

Peluang : Tentukan 5-10 peluang

Ancaman: Tentukan 5-10 ancaman

Total

Sumber: Rangkuti, 2014

31

2. Matriks faktor strategi internal

Setelah melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor strategis

internal, maka dilakukan penyusunan tabel IFAS untuk merumuskan

faktor-faktor strategis internal dalam Strength and Weakness. Tahapan

penyusunan tabel IFAS adalah:

a. Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan

b. Pada kolom 2 beri bobot masing-masing faktor yang disusun

menggunakan skala angka 1,0 (sangat penting) sampai 0,0 (tidak

penting).

c. Dalam kolom 3, hitung rating untuk masing-masing faktor dengan

menggunakan skala angka 4 (outstanding) sampai 1 (poor)

berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap proses pengembangan

budidaya udang windu di Kabupaten Bone dan Pangkep.

d. Kalikan bobot dan rating untuk memperoleh faktor pembobotan

berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya

bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai 1 (poor).

e. Jumlahkan skor pembobotan pada kolom 4 untuk memperoleh total

skor pembobotan.

Tabel 3. IFAS

Faktor-faktor strategi internal

Bobot Rating Bobot x rating

Kekuatan : Tentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan

Ancaman: Tentukan kelemahan internal

Total Sumber: Rangkuti, 2015

32

Setelah diperoleh data atau informasi mengenai faktor yang

mempengaruhi pengembangan budidaya udang windu di Kabupaten Bone

dan Pangkep, maka tahap selanjutnya adalah memanfaatkan data atau

informasi tersebut untuk merumuskan strategi. Alat yang digunakan

untuk menyusun faktor strategi pengembangan budidaya udang windu di

Kabupaten Bone dan Pangkep adalah matriks SWOT karena menurut

Rangkuti (2014), matrik SWOT dapat menggambarkan secara jelas

bagaimana peluang ancaman eksternal yang dihadapi sutu perusahaan

dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks

SWOT dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternative yang

dapat digambarkan pada diagram berikut:

33

Tabel 3. Matriks SWOT IFAS EFAS

IFAS

EFAS

Strengths (S)

Tentukan 5-10 faktor-

faktor kelemahan

internal

Weakness (W)

Tentukan 5-10 faktor-

faktor kekuatan

internal

Opportunities (O)

Tentukan 5-10 faktor

peluang eksternal

Strategi SO

Buat strategi yang

menggunakan

kekuatan untuk

memanfaatkan

peluang

Strategi WO

Ciptakan strategi yang

meminimalkan

kelemahan untuk

memanfaatkan

peluang

Treaths (T)

Tentukan 5-10 faktor

ancaman eksternal

Strategi ST

Ciptakan strategi yang

menggunakan

kekuatan untuk

mengatasi ancaman

Strategi WT

Ciptakan strategi yang

meminimalkan

kelemahan dan

menghindari ancaman

Keterangan:

• Strategi SO Strategi ini dibuat dengan menggunakan seluruh kekuatan

untuk memanfaatkan seluruh peluang yang ada

• Strategi ST Strategi ST adalah strategi yang digunakan untuk

mengatasi ancaman dengan cara memanfaatkan kekuatan yang

dimiliki.

• Strategi WO Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang

yang ada dengan meminimalkan kelamahan yang dimiliki.

• Strategi WT Strategi ini merupakan strategi bagaimana menghindari

ancaman dan meminimalkan kelemahan yang ada

34

C. Analisis AHP

Menurut Boujelbene dan Ahmed (2015) AHP adalah salah satu

metode pengambilan keputusan multi kriteria yang awalnya

dikembangkan oleh Prof. Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an, AHP

adalah suatu alat pendukung keputusan yang dapat dimanfaatkan untuk

mengatasi masalah keputusan yang kompleks. Metode AHP membantu

pembuat keputusan dalam membuat peringkat prioritas alternatif

berdasarkan penilaian yang subyektif dari para pembuat keputusan

tentang pentingnya atribut.

Menurut Amrina dan Annike (2015) metode AHP memiliki

beberapa manfaat antara lain dapat membantu menjabarkan masalah yang

tidak terstruktur menjadi sebuah pohon hierarki keputusan yang rasional,

mendapatkan lebih banyak informasi dari responden atau pembuat

keputusan dengan menggunakan perbandingan berpasangan dari masing-

masing kelompok elemen, dapat mengatur perhitungan untuk

memberikan bobot ke elemen, menggunakan ukuran yang valid terhadap

konsistensi peringkat dari responden dan pembuat keputusan.

Alternatif strategi yang diperoleh dari analisis SWOT kemudian

di urutkan berdasarkan tingkat prioritasnya. Menurut Saaty (1993)

sebagaimana yang dikutip oleh Irawan dan Sri (2015) prinsip-prinsip

AHP adalah :

3) Menyusun pohon/struktur hierarki berdasarkan anggota faktor

dari analisis SWOT.

4) Setelah didapatkan intensitas kepentingan kemudian diolah

dengan menggunakan Microsoft Excel untuk dilakukan perhitungan

bobot tingkat prioritas. Apabila terdapat Memberikan nilai alternatif

strategi manakah yang mempunyai tingkat prioritas lebih tinggi.

35

Penilaian didapatkan dari kuesioner perbandingan berpasangan antar

alternatif strategi. Intensitas kepentingan atau skala dapat dilihat pada

Tabel 4.

Tabel 4. Keterangan Skala AHP

Intensitas Kepentingan

Keterangan

1 Kedua elemen sama pentingnya 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada

elemen yang lainnya 5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen

yang lainnya 7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen

lainnya 9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya

2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangannya berdekatan

Kebalikan Jika aktivitas i mendapat l angka dibandingkan dengan j maka j memiliki nilai kebalikannya dibandingkan dengan i

5) Setelah didapatkan intensitas kepentingan kemudian diolah dengan

menggunakan Microsoft Excel untuk dilakukan perhitungan bobot

tingkat prioritas. Apabila terdapat data yang memiliki hasil rasio

konsistensi < 0,1 maka dianggap tidak konsisten, harus dilakukan

evaluasi ulang terhadap pemberian nilai intensitas kepentingan di

kuesioner.

36

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Suatu kegiatan budidaya dapat dikatakan berhasil apabila jumlah

produksi tinggi, mortalitas rendah, nilai FCR rendah dan pertumbuhan

udang tinggi. Penentuan usaha budidaya udang tambak pada umumnya

ditentukan faktor manajemen. Beberapa faktor lain seperti pemilihan

lokasi yang kurang tepat, tenaga kerja yang kurang terampil dan fisika-

kimia air serta biologis seperti kualitas air, mikro algae yang bermanfaat

bagi kehidupan udang belum sepenuhnya diperhatikan. Selain itu faktor

kualitas dan kuantitas pakan serta mutu dan jumlah penebaran benur

harus mendapat perhatian utama. Pakan merupakan salah satu hal yang

sangat penting dalam budidaya udang intensif. Pemberian pakan bermutu

dan tepat sangat menunjang keberhasilan produksi, sebaliknya

pengelolaan pakan udang yang kurang baik akan menimbulkan berbagai

penyakit dan berakibat menurunnya laju pertumbuhan serta kematian.

Penggunaan bahan kimia baik jenis maupun dosis yang kurang tepat turut

pula mempengaruhi kegagalan usaha budidaya udang. Penggunaan

pestisida untuk pemberantasan hama tambak disarankan untuk

memilih/menggunakan bahan yang bersifat efektif tidak persisten dalam

air dan tanah tambak, tidak akumulatif dalam organ tubuh jasad hidup

serta aman bagi lingkungan perairan.

A. Karakteristik Responden Hasil Survey

Berdasarkan formulasi Solving (1960), maka jumlah sampel yang

digunakan dalam penelitian ini sebanyak 30 orang petambak non

dempond di Kabupaten Pangkep dan 30 orang responden di Kabupaten

Bone pada bagian ini akan dijelaskan beberapa karakteristik responden

37

menurut tingkat umur, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman

bertambak.

1. Tingkat umur

Tingkat umur adalah salah satu faktor yang sangat berpengaruh

terhadap tingkat produktivitas para petambak udang yang berada pada

umur produktif yang memiliki kondisi yang optimal dalam melakukan

kegiatan produksi dalam upaya peningkatan produksi budidaya udang

windu. Untuk mengetahui karakteristik tingkat umur dapat dilihat pada

gambar 3:

Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 4. Umur responden

Berdasarkan gambar 3. dapat dilihat bahwa distribusi responden

menurut tingkat umur terbanyak berada pada interval 20-30 tahun,

dengan persentase responden mencapai 10%. Sedangkan untuk distribusi

usia responden menurut tingkat persentase tertinggi pada interval > 50

tahun dengan jumlah responden sebanyak 40%. Menurut rogers (1971),

petambak yang telah berusia senja tergolong dalam dalam Pengikut dini (Late Adopters) dan si kolot (Laggards). Pengikut dini (Late Adopters)

10%

20%

30%

40%20-30

31-40

41-50

50>

38

biasanya memiliki lahan tambak yang relatif sempit dan sering dijumpai

bahwa mereka temasuk petambak subsistem. Mereka cenderung sudah

berumur tua atau mereka yang menjelang usia senja. Adapun kelompok

yang termasuk dalam si kolot (Laggards) adalah mereka yang pada

umumnya termasuk tradisional sehingga enggan untuk melakukan adopsi

inovasi. Masyarakat yang mepunyai ciri demikian memang seringkali

sulit untuk mengubah dirinya dengan hal – hal yang baru. Seringkali

mereka tergolong sudah lanjut usia, status sosialnya rendah dan usaha

budidayanya masih sangat subsistem.

2. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan petambak garam yang menjadi responden

dalam penelitian ini beragam mulai dari jenjang pendidikan SD sampai

SMA dan terdapat juga petambak yang tidak lulus SD. Namun sebaran

tingkat pendidikan didominasi oleh petambak udang dengan tingkat

pendidikan SD. Sebaran tingkat pendidikan responden penelitian dapat

dilihat pada gambar 4. Berdasarkan gambar 4. diketahui bahwa sebagian

besar petambak udang di kedua Kabupaten Pangkep dan Bone yang

menjadi responden dalam penelitian mencapai tingkat pendidikan SD

dengan persentase 23%. Umumnya petambak udang di Kabupaten

Pangkep dan Bone memperoleh keahlian budidaya secara turun-temurun

karena sering melihat aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang

dilingkungan sekitarnya seperti keluarga, teman bahkan tetangga.

39

Sumber: Data primer diolah 2021

Gambar 5. Tingkat pendidikan responden

Tingkat pendidikan petambak yang berada pada jenjang

pendidikan Sekolah Dasar berimplikasi pada rendahnya tingkat adopsi

petambak terhadap teknologi baru. Menurut Burhansyah (2014) tingkat

pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

adopsi inovasi. Petambak cenderung takut untuk mencoba

teknologi baru yang dianggap asing dan tidak berpengaruh positif.

Petambak lebih memilih untuk tetap melakukan aktivitas produksi

tradisional yang sudah biasa dilakukan, walaupun memberikan

keuntungan yang sedikit atau bahkan merugikan dikemudian hari

karena tidak bisa bersaing dengan hasil produksi dari penggunan

teknologi modern.

23%

18%

35%

24%

SD

SMP

40

3. Luas Lahan

Luas lahan merupakan luas areal yang digunakan untuk

bertambak udang. Mengenai luas lahan yang diolah setiap petambak

udang yang ada di Kabupaten Pangkep dan Bone, maka dapat dilihat

pada gambar 5.

Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 6. luas lahan (ha) tambak yang dikerjakan

Berdasarkan gambar sebanyak 60% responden memiliki luas

tambak sekitar 1 ha dan hanya 13% responden yang memiliki luas

tambak lebih dari 4 ha. Setiap tambak yang dikelola memiliki status

kepemilikan yang berbeda-beda. Sebanyak 73% lahan tambak yang

mereka kelola berstatus kepemilikan sendiri, 10% berstatus sewa dan

17% berstatus bagi hasil. Selain tingkat pendidikan, luas lahan menjadi

salah satu faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi (Burhansyah, 2014).

Semakin kecil luas lahan maka semakin kecil keinginan petambak dalam

mengadaptasi teknologi baru tentang budidaya udang windu, sebaliknya

semakin luas tambak maka petani budidaya cenderung lebih berani

mengambil resiko dengan menggunakan sebagian lahan budidaya dalam

mencoba inovasi yang diperoleh.

60%17%

10%

13%

1>1-2>2-3>4

41

4. Pengalaman Usaha Tambak Udang Windu

Pengalaman bertambak udang merupakan salah satu faktor yang

berpengaruh terhadap keberhasilan dari proses kegiatan usaha tambak

udang. Pengalaman kerja yang lebih lama dapat membuat petambak

memiliki kemampuan dalam melakukan kegiatan produksi dan

pengembangan di bidang sektor tambak udang dibandingkan dengan

petambak yang kurang berpengalaman. Namun hal ini bukan sesuatu

yang tentu pasti bahwa petambak yang berpengalaman akan lebih baik

dibandingkan dengan yang kurang berpengalaman karena terdapat faktor

lain di dalam melakukan suatu kegiatan produksi di sektor tambak udang.

Untuk lebih mengetahui karakteristik responden menurut pengalaman

bertambak di Kabupaten Pangkep dan Bone, dapat dilihat pada gambar 6.

Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 7. Pengalaman usaha tambak responden

Berdasarkan pengamalan petani budidaya udang windu gambar

diagram 4.4, diketahui 74% memiliki kisaran pengalaman 1-5 tahun.

Sedangkan hanya 5% petambak yang memiliki pengalaman lebih dari

15%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Munawwarah dkk., (2019)

74%

16%

5%5%

1-56-1011-1515>

42

menunjukkan bahwa pengalaman petani memberikan pengaruh terhadap

penerimaan adopsi teknologi yang disampaikan ke mereka. Oleh karena

itu petambak yang memiliki pengalaman yang lebih lama cenderung lebih

mudah menerima masukan pengetahuan yang telah didengarkan.

B. Identifikasi Masalah

Teknis budidaya merupakan salah satu aspek yang paling

penting di dalam industri perikanan. Teknis budidaya memungkinkan

petambak memilih atau mengatur sistem budidaya agar memperoleh

hasil yang diharapan. Persiapan yang baik sangat berpengaruh

terhadap jumlah panen yang akan diperoleh. Dalam hal ini, data yang

diperoleh survey yang didapatkan dari petani tambak sebelum

dilakukan sekolah lapang. Adapun beberapa hal dari teknis yang

menjadi perhatian saat petambak melakukan kegiatan budidaya seperti

persiapan lahan, pemilihan benur dan padat tebar, pemeliharaan, dan

panen.

1. Persiapan lahan

Persiapan lahan merupakan salah satu rantai

pengoperasian tambak, sebelum melakukan penebaran benur,

tambak terlebih dahulu dipersiapkan. Persiapan tambak meliputi

persiapan dasar tambak, pengeringan, pengolahan tambak,

pengapuran, pemupukan dasar tambak, pemberantasan hama.

a) Persiapan dasar tambak

Persiapan dasar tambak merupakan hal pertama yang

dilakukan dalam mempersiapkan kegiatan budidaya. Salah satu

hal yang perlu diperhatikan dalam persiapan dasar tambak adalah

pengangkatan lumpur. Berdasarkan hasil survey (gambar 7) dari

responden diketahui bahwa 52% petambak telah melakukan

43

persiapan tambak dengan baik. Akan tetapi masih terdapat 34%

diantaranya hanya mengangkat lumpur dari caren dan tidak

seluruh dasar tambak.

Sumber: Data primer diolah 2021

Gambar 8. Persiapan dasar tambak

Lumpur tambak adalah bahan material hasil endapan yang

tidak kompak dan bersifat lunak. Umumnya lumpur tambak berasal

dari sisa pakan yang tidak termakan, feces, plankton yang telah

mati, dan erosi pematang tanah tambak. Lumpur banyak

mengandung bahan organik. Kemelimpahan bahan organik pada

dasar tambak sangat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan

budidaya. Bahan organik yang tinggi dapat menurunkan nilai pH

sehingga tambak akan bersifat asam. Keadaan tersebut akan

memicu munculnya amonia yang diikuti dengan peningkatan

infeksi patogen. Hal lain yang akan terjadi adalah FCR semakin

menurun bahkan mortalitas. Akumulasi bahan organik yang terlalu

tinggi juga dapat menurunkan jumlah oksigen terlarut dalam air,

semua dilakukan

52%Hanya di caren34%

Disimpan di pematang

14%

0% 0%

44

meningkatkan kebutuhan oksigen pada sedimen dasar, serta

menurunkan potensial redoks. Jika keadaan ini berlanjut dalam

waktu yang lama maka akan memicu munculnya senyawa

tereduksi yang beracun, seperti NH3, CH4, dan H2S.

b) Pengeringan

Pengeringan dilakukan untuk mengangkat bibit penyakit

dan mikroorganisme yang merugikan dasar tambak, menguapkan

zat zat beracun yang terdapat pada dasar tambak memberantas

hama dan mempermudah dalam perbaikan pematang, kamalir, dan

pintu air. Menurut Harianto (1998), pengeringan pada tambak

dasar tanah dilakukan sampai tanah dasar retak-retak. Berdasarkan

data pengeringan dasar tambak pada gambar 8, didapatkan bahwa

pengeringan dasar tambak petambak udang mencapai 87%.

Sumber: Data primer diolah 2021

Gambar 9. Pengeringan dasar tambak

Hingga retak87%

0% tidak dilakukan

13%

45

c) Pengolahan tambak

Pengolahan tanah tambak adalah upaya untuk memperbaiki

kualitas dasar tambak. pengolahan tanah dasar tambak yang baik

akan memengaruhi kualitas air tetap dalam keadaan stabil.

Biasanya pengolahan tanah dilakukan dengan membolak-balikkan

dasar tambak menggunakan bantuan hand tractor dan atau cangkul

(alat sederhana) dengan kedalaman sekitar 30 cm. Hal ini

dilakukan sehubungan dengan pengaruh unsur hara terhadap

pertumbuhan plankton pada kedalaman tertentu, dan kemampuan

unsur toksis berpengaruh terhadap kehidupan udang di dasar

tambak.

Berdasarkan pada data gambar 9 pengolahan tanah yang

dilakukan oleh para pembudidaya udang windu non dempond

mencapai 33%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani

tradisional masih belum terlalu memperhatikan penglohanan tanah.

Alasan dari petani yang menyebabkan rendahnya pengolahan tanah

yang dilakikan oleh petani tambak karena membutuhkan biaya

yang besar dan susahnya mendapatkan traktor yang mau membajak

dasar tambak. Penggunaan cangkul dalam membalikkan dasar

tambak juga membutuhkan energi yang sangat besar.

46

Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 10. Pengolahan tambak

d) Pengapuran

Pengapuran dasar tambak saat persiapan tambak

bertujuan memperbaiki kualitas tanah dengan cara menetralkan

nilai pH, mempercepat proses penguraian bahan organik dan

membantu proses molting. Berdasarkan data pada gambar 10,

persentase tambak petani hasil survey yang melakukan pengapuran

hanya 36%. Rendahnya pengapuran berpengaruh terhadap jumlah

produksi atau hasil panen pada udang. Hal tersebut terjadi karena

pengapuran mampu meningkatkan pH tanah dan air; membakar

jasad jasad renik penyebab penyakit dan hewan liar; mengikat dan

mengendapkan butiran lumpur halus; memperbaiki kualitas tanah;

kapur yang berlebihan dapat mengikat fosfat yang sangat

dibutuhkan, menstimulir aktivitas organisme tanah sehingga dapat

menghambat organisme yang membahayakan kehidupan udang;

dapat merangsang kegiatan jasad renik dalam tanah sehingga dapat

meningkatkan penguraian bahan organik dan nitrogen dalam tanah.

Dibajak33%

Tidak dilakukan

67%

0%

47

Sumber: Data primer diolah 2021

Gambar 11. Perbaikan keasaman tanah

e) Pemupukan dasar tambak

Pemupukan merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

hasil panen tambak, karena mampu menciptakan lingkungan yang ideal untuk udang hidup dan berkembang. Pemupukan pada tambak sendiri

berguna untuk merangsang pertumbuhan pakan alami di tambak.

Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 12. Pemupukan

0%

Pengapuran36%

tidak dilakukan64%

Pemberian Pupuk83%

Tidak dilakukan

17%

0%

48

Berdasarkan gambar 11, hasil survey responden

menunjukkan 83% petani tambak melakukan pemupukan dan

hanya 17% petani tambak yang tidak melakukan pemupukan.

Peemupukan tambak udang setidaknya dilakukan sebanyak dua

kali, yaitu pemupukan awal dan pemupukann susulan. Pemupukan

awal dilakukan 7-14 hari sebelum benih ditebar. Sedangkan

pemupukan susulan dilakukan setelah 1 bulan benih ditebar.

f) Pemberantasan hama

Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 13. Pemberantasan hama dan penyakit

Kegiatan pemberantasan hama dan penyakit pada sistem

budidaya udang dapat dilakukan melalui dua cara yaitu mekanis

dan kimiawi. Pemberantasan cara mekanis yaitu cara

pemberantasan yang dilakukan pada saat pengeringan rehabilitasi

tambak, dengan cara mencari, menangkap, dan mematikannya.

Pemberantasan hama (terutama trisipan, kepiting dan udang/ikan

liar) yang paling efektif adalah melalui pengeringan tambak secara

sempurna. Sedangkan pengapuran dengan menggunakan kapur

hidrat dan kapur oksida pada suhu tinggi juga dapat berfungsi

untuk memberantas hama udang liar (Mustafa 1991).

Memberantas hama

73%

0%

tidak dilakukan

27%

49

Pemberantasan hama ikan juga dapat dilakukan dengan

menggunakan saponin.

2. Benur

a) Bibit (Benur)

Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan

budidaya udang windu (Penaeus monodon) di tambak adalah

ketersediaan benih. Untuk itu, setiap saat harus tersedia benih

berkualitas yang dibutuhkan oleh pembudidaya dalam jumlah

yang cukup, sebab dengan menebar benih yang berkualitas dan

ditunjang dengan lingkungan budidaya yang baik akan diperoleh

tingkat produksi yang diharapkan

Berikut persyaratan benur yang berkualitas:

• Keseragaman

Gunakan benur yang berukuran seragam karena benur

yang berukuran seragam dapat terhindar dari kanibalisme

antarbenih. Selain itu, ukuran benur yang tidak seragam dapat

menandakan pertumbuhan yang tidak normal.

• Penampilan warna

Kualitas benur dapat dinilai dari warnanya, penampilan

warna benur windu yang berbeda-beda bisa disebabkan oleh

tempat pemeliharan dan jenis pakan yang diberikan. Benur

berwarna kecokelatan, kehitaman, atau benih menjadi ciri dari

benur yang berkualitas baik. Sementara itu, benur berwarna

merah atau merah muda menandakan benur tersebut terindikasi

stres, terserang penyakit, infeksi, atau kekurangan makanan.

50

• Sirip ekor (uropoda)

Benur yang sehat memiliki sirip ekor yang mengembang

seperti kipas. Sirip ekor yang semakin mengembang akan

semakin baik. Bukaan sirip setidaknya memiliki tiga lembar. Jika

benur terlihat masih dalam kondisi tertutup, itu berarti benur

belum siap untuk ditebar.

• Antena pertama (sungut pendek)

Antena yang sering membuka dan menutup secara rapat

serta berada pada keadaan lebih sering menutup, menandakan

mutu benur berkualitas dan sehat. Sementara itu, benur yang

berantena membentuk huruf ‘V’ merupakan pertanda benur

sedang terinfeksi bakteri.

• Aktivitas renang

Benur yang sehat akan segera meloncat atau menjauhi

jika diberikan rangsangan dari luar. Benur yang sehat bergerak

aktif berenang dan peka terhadap rangsangan dari luar. Jika

kondisi air sedang diputar, benur yang sehat akan bergerak

melawan arus. Sementara itu, benur yang sakit justru tidak

berenang melawan arus. Jika sedang berisitrahat, badan benur

terlihat melengkung dan karapasnya mengerut.

• Ukuran benur

Bentuk benur udang yang siap ditebar adalah lancip dan

minimal berukuran 12 mm. Benur yang berukuran tersebut

biasanya memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan

ukuran-ukuran lainnya. Tiga hingga empat hari sebelum benur

windu diambil dari hatchery, contoh benur diambil dengan cara

diawetkan dalam larutan alkohol 70% sebelum dicek dengan

51

Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk pengujian WSSV.

Sebelum benur windu ditebar di tambak, terlebih dahulu

ditokolkan atau dibantut 2-6 minggu di tempat yang relatif bersih

(tidak terkontaminasi oleh air kotor). Benur yang telah ditokolkan

akan memiliki vitalitas yang tinggi, dan masa pemeliharaannya di

tambak relatif lebih singkat (2-3 bulan).

• Tokolan

Benur ataupun tokolan udang windu sebelum ditebar

harus diaklimatisasi terhadap suhu dan salinitas air. Penebaran

benur atau tokolan dapat dilakukan apabila air dalam petakan

tambak telah dipersiapkan minimal dua minggu sebelumnya. Hal

ini diperlukan agar fitoplankton telah tumbuh dengan stabil yang

ditandai dengan warna air hijau kecoklatan dan kecerahan air

sekitar 30-40%. “Apabila kedalaman air tambak adalah satu

meter, maka sebaiknya kecerahan air 30-40 cm, jika kedalaman

air sekitar 60 cm, maka kecerahan air 18-24 cm.

• Bentuk Tubuh

Benur yang sehat dan berkualitas dapat dilihat dari

bentuk tubuhnya. Biasanya, benur yang baik memiliki bentuk

tubuh yang lurus saat berenang. Sedangkan untuk benur yang

tidak sehat, bentuk tubuhnya akan cenderung bengkok.

Sedangkan untuk matanya, benur berkualitas akan memiliki mata

yang mengkilap dan tidak memiliki bercak pada kulitnya.

• Usus yang Terisi Penuh

Jika dilihat ususnya, benur berkualitas pasti memiliki

usus yang terisi penuh. Sedangkan benur dalam kondisi stres atau

tidak sehat, maka ususnya terlihat kosong.satu usaha untuk

52

mendapatkan benih yang berkualitas adalah dengan cara

pentokolan.

Pentokolan adalah tahap pemeliharaan benur pasca larva

sampai mencapai ukuran cukup dewasa (yuwana) atau sudah

cukup kuat hidup di petak pembesaran yang berlangsung antara

15–45 hari, atau tergantung dari kesehatan dan ukuran benur

(Hendrajat, 2008). Hasil penelitian penggunaan benih hasil

pentokolan memberikan beberapa keuntungan antara lain:

penggunaan benur dengan harga relatif murah pada waktu

tertentu, dapat mempersingkat waktu pemeliharaan di tambak

sehingga mengurangi peluang terserang penyakit dan mengurangi

jumlah pakan, mempertinggi produksi, dan sintasan di petak

pembesaran, serta dapat meningkatkan frekuensi panen

(Mangampa et al., 1990). Dewasa ini teknologi produksi tokolan

udang sudah cukup beragam misalnya produksi tokolan di

petakan tambak yang dipersiapkan khusus dan menggunakan

hapa dalam petakan tambak yang dilengkapi dengan aerasi.

Sedangkan sistem pentokolan lain dapat menggunakan bak

terkontrol dari bahan fiber glass atau bak beton.

53

Adapun berdasarkan hasil tabulasi responden baik Kabupaten

Bone dan Pangkep, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 4.

Sumber: Data primer diolah 2021

Dari Tabel 4. rata rata pembudidaya belum melakukan

penggunaan benur dari hasil sertifikasi yang melalui hasil tes PCR, baru

mencapai 40 persen artinya belum maksimal hingga 100 %, sehingga

benur yang ditebar masih beresiko terjangkitnya penyakit WSSV (white

spot syndrome virus) dan juga virus paling mematikan di dunia atau acute

hepatopancreatic necrosis disease (AHPND).

Dari sisi waktu penebaran rata rata pagi hari dengan presentase

sudah mencapai 84%, begitu juga aklimatisasi baik suhu maupun salinitas

sudah mencapai 70%. Tingkat kepadatan rata rata yang dilakukan 10.640

ekor/ha dengan sumber benih langsung dari hacthery skala lengkap dan

Tabel 5. Indikator Parameter Benuh yang digunakan pada petani tambak

No Indikator parameter benih yang di

gunakan Hasil

Responden Satuan

1 Pemilihan benur bersertifikat (SPF dan SPR ) 40 % 2 Rata rata Waktu penebaran Pagi (84) % 3 Aklimatisasi dilakukan 70 % 4 Kepadatan rata rata 10.640,63 ekor/ha 5 Kemasan benur menggunakan kemasan

plastik 100 %

6 Sumber benih dari hatchery lengkap dan

Hatchery skala rumah tangga (tebar

langsung) tanpa gelondongan/pentokolan

100 %

54

rumah tangga tanpa dilakukan penggelondongan atau pentokolan,

sehingga kualitas bibit masih rendah.

3. Pemeliharaan

Pemeliharaan udang windu merupakan hal yang perlu

diperhatikan dalam usaha budidaya. Keberhasilan udang windu dapat

terwujud apabila tersedia parameter sesuai dengan standar yang

sesuai. Dalam pemeliharaan data survey yang diamati antara lain alat

kualitas air, probiotik. Pemberian pakan komersil, harga dan dosis

pakan, biosekuriti dan lama budidaya.

Tabel 6. Indikator parameter pemeliharan hasil yang berasal dari responden petambak

No Paramater Volume Satuan

1 Alat kualitas air 0 %

2 Probiotik 86 %

3 Pakan komersil 80 %

4 Harga pakan 291.153,85 Rp

5 Dosis Pakan 3 %

6 Biosekuriti 17 %

7 Lama Budidaya 87.06 harian

Sumber: Data primer diolah 2021

Berdasarkan data peubah yang diamati pada Tabel 5.

menunjukkan seluruh responden tidak memiliki alat kualitas air

seperti DO meter, amonia (test kit), pH meter atau pH test kit, dll.

Adanya alat kualitas air dapat memudahkan petani mengukur kondisi

perairan dan mengantisipasi perubahan kualitas air jika terjadi.

Kualitas air sangat penting dalam budidaya perairan. Apabila

55

lingkungan kualitas air dalam kondisi normal maka infeksi dapat

diminimalisir.

Probiotik merupakan bakteri atau mikroba yang

menguntungkan bagi pembudidaya karena mampu meningkatkan

kualitas air, meningkatkan kesehatan udang melalui terjadinya

peningkatan sistem imun dari inang (udang), menghambat

pertumbuhan mikroba patogen dan meningkatkan daya cerna udang.

Berdasarkan data pada Tabel 5., sebanyak 86% dari responden

petambak menggunakan probiotik. Probiotik yang mereka gunakan

berasal dari berbagai merek.

Petani udang di Kabupaten Pangkep dan Bone umumnya

sudah menggunakan pakan komersil. Data pada Tabel 5. menunjukkan

80% dari total responden telah menggunakan pakan komersil. Pakan

komersial yang mereka gunakan memiliki rerata harga Rp 291.153,85.

Pakan yang mereka gunakan umunya 3% dari total biomassa udang

yang dipelihara. Kualitas pakan dapat ditentukan oleh kandungan gizi

dari pakan komersil dan kebutuhan gizi yang diinginkan oleh hewan

budidaya. Kebutuhan protein untuk udang ukuran juvenile sekitar

32% (Kureshy and Davis, 2002). Sedangkan Kaligis (2015)

melaporkan bahwa pasca larva udang vaname membutuhkan protein

sekitar 45%.

Biosekuriti adalah kegiatan yang bertujuan untuk mencegah

masuknya dan menyebarnya penyakit ke suatu sistem budi daya.

Mekanisme dari biosekuriti dipengaruhi oleh faktor fisik, kimia, dan

biologis. Prinsip penerapan biosekuriti adalah pengetahuan tentang

penyakit, daftar penyakit, ketersediaan alat/metode deteksi patogen,

kontrol terhadap induk, kontrol terhadap lingkungan, penerapan Best

56

Management Practices (BMP), dan program eradikasi penyakit, dan

desinfeksi patogen.

Berdasarkan data responden dari Table 5. menunjukkan

penerapan biosekuriti mencapai 17% di mana orang diantaranya 14%

menggunakan pagar dan 3% menggunakan orang-orangan. Pagar yang

dipasang pada tambak berfungsi untuk mencegah hewan liar masuk ke

tambak seperti kepiting. Pembuatan pagar pembatas dari jaring dibuat

dengan mengililingi tambak. Rendahnya penerapan biosekuriti

berpengaruh terhadap produktivitas hasil budidaya. Organisme liar

bisa jadi kompetitor bahkan pemangsa hewan budidaya. Selain itu,

burung-burung juga bisa menjadi carrier dan atau vector bagi hewan

budidaya.

Lama budidaya dalam suatu siklus berpengaruh terhadap

efektivitas dan efisiensi dalam suatu kegiatan industri perikanan

udang. Kegiatan budidaya yang dilaksanakan oleh petambak di

Kabupaten Bone dan Pangkep berdasarkan Tabel 5. memiliki lama

waktu budidaya yang beragam dengan rerata lama budidaya sekitar

87,06 hari. Lama waktu budidaya berkisar dari 55-120 hari. Semakin

lama waktu budidaya maka size udang yang diperoleh semakin baik.

4. Panen

Panen merupakan rangkaian akhir dari kegiatan budidaya.

Hasil panen udang windu dipengaruhi oleh persiapan lahan, kualitas

benur dan treatment dalam pemeliharaan. Semakin baik persiapan

lahan, kualitas benur dan treatment pemeliharaan maka hasil panen

dapat semakin maksimal. Dalam melaksanakan pemanenan beberapa

hal yang perlu diperhatikan antara lain:

57

a) Udang sebaiknya dipanen secara cepat dan hindari suhu panas

karena mempengaruhi kualitas udang.

b) Waktu panen terbaik dilakukan saat menjelang pagi dan

diharapkan selesai panan sebelum matahari terbit.

c) Panen sebaiknya menggunakan alat panen dengan permukaan

licin (tidak tajam) dan masih baik (tidak lapuk) untuk

menghindari kerusakan fisik dan pencemaran fisik udang.

d) Udang dipisahkan dan dikelompokkan untuk kualitas udang yang

bagus/baik berdasar size ukuran dan kualitas kurang baik/tidak

baik (BS) karena kulit lembek (udang yang ganti kulit/moulting).

Pengelompokan udang ini karena mempunyai harga jual yang

berbeda.

e) Ada baiknya sebelum dilakukan pemanenan, peralatan dan bahan

seperti air dan es sudah dipersiapkan.

f) Pintu keluar air dipasang jaring untuk menghindari lepasnya

udang hasil panen pada saluran air keluar. Jaring juga dapat

digunakan untuk menampung udang yang keluar lewat saluran

outlet.

g) Untuk memudahkan petambak udang windu saat panen,

sebaiknya air dibuang sebagian.

Berdasarkan data hasil tabulasi pada gambar 13 tentang

panen petani tambak udang di Kabupaten Bone dan Pangkep

menunjukkan keragaman ukuran panen yang mereka peroleh.

Sebanyak 59% udang dipanen dengan size 76-100. Hal tersebut

menunjukkan udang hasil panen berukuran kecil. Ukuran udang

sekitar size 50 saat panen mencapai 18% dan 23% udang dipanen saat

size berkisar antara 51-75. Apabila seluruh total size hasil panen

58

dirata-ratakan maka didapatkan rerata size hasil panen sekitar 72,88

dengan rerata lama budidaya mencapai 87,06 hari.

Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 14. size hasil panen petani tambak di Kabupaten Bone dan Pangkep

Feed conversion ratio (FCR) adalah perbandingan antara

berat pakan yang sudah diberikan dalam siklus periode tertentu

dengan berat total (biomass) yang dihasilkan. Nilai FCR

menggambarkan efesiensi penggunaan pakan. Nilai FCR hasil survey

(Tabel 6.) dengan para petambak yang berasal dari Kabupaten Bone

dan Pangkep mencapai 1,5. Nilai tersebut hampir sama dengan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Mohanty (2001) yang menunjukkan

rerata nilai FCR sekitar 1,4 pada sistem budidaya semi intensif.

18%

23%59%

0%

0-50

51-75

76-100

59

Tabel 7. Beberapa parameter hasil panen yang berasal dari responden petambak

Sumber: Data primer diolah 2021

C. Sekolah Lapang di Kabupaten Pangkep dan Bone

Kegiatan sekolah lapang dilaksanakan pada dua kabupaten yaitu

Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Bone. Sekolah lapang diharapkan

dapat menghasilkan perubahan pola pikir petambak untuk dapat

berbudidaya secara berkelanjutan, baik secara pribadi maupun

berkelompok. Untuk mengevaluasi hasil dari sekolah lapang, maka

dilakukan uji pre test dan post test. Uji tersebut menjadi indikator dari

keberhasilan sekolah lapang yang dilakukan pada dua kabupaten. Data

hasil pre test dan post test dapat dilihat pada Tabel 8-11.

No Paramater Rerata nilai 1 Size 78.88 2 Berat mutlak 10.67748 3 FCR 1.5

60

Tabel 8. Hasil Pre Test Calon Peserta Dempond Kabupaten Pangkep No.

Peserta Indikator Budidaya

Persiapan Penggelondongan pembesaran Pakan Probiotik Panen 1 1 1 2 1 2 1 2 2 1 1 1 2 2 3 3 1 3 3 3 3 4 2 1 4 4 5 5 5 2 1 1 3 3 4 6 2 1 4 4 5 5 7 2 1 1 3 3 4 8 2 1 4 4 5 5 9 2 1 1 3 3 4 10 2 1 4 4 5 5 11 2 1 1 3 3 4 12 2 1 4 4 5 5 13 2 1 1 3 3 4 14 2 1 4 4 5 5 15 2 1 1 3 3 4 16 2 1 4 4 5 5 17 2 1 1 3 3 4 18 2 1 4 4 5 5 19 2 1 1 3 3 4 20 2 1 4 4 5 5 21 2 1 1 3 3 4 22 2 1 4 4 5 5 23 2 1 1 3 3 4 24 2 1 4 4 5 5 25 2 1 1 3 3 4 26 2 1 4 4 5 5 27 2 1 1 3 3 4 28 2 1 4 4 5 5 29 2 1 1 3 3 4 30 2 1 4 4 5 5

Total 60 30 75 100 116 128 Rerata 2 1 2,5 3,33 3,86 4,27 SDV 0,26 0 1,48 0,80 1,11 0,94

61

Nilai Indikator bobot 1. Tidak tahu, 2 kurang tahu, 3 cukup tahu, 4. Tahu, 5. sangat tahu

Berdasarkan data pre test yang diperoleh pada Tabel 8,

pengetahuan tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik dari calon peserta

dempond di Kabupaten Bone berkisar antara 1 - 4,27. Penerapan dari

petani mengenai budidaya udang penggelondongan masih sangat rendah.

Hal tersebut terlihat dari nilai indikator bobot mencapai 1 (tidak tahu).

Adapun persiapan budidaya petambak terhadap persiapan budidaya

mencapai nilai bobot 2. Nilai tersebut bermakna pengetahuan penerapan

dari petani tentang persipan tambak sebelum dilakukan budidaya masuk

tergolong agak rendah.

Nilai indikator bobot pembesaran berdasarkan Tabel 8. pada soal

pre test mencapai 2,5. Hal tersebut menunjukkan bahwa peserta sekolah

lapang masih perlu meningkatkan pengetahuan mereka mengenai

pembesaran udang windu. Kegiatan lain seperti pakan, probiotik dan

panen sudah baik namun rerata nilai indikator yang didapatkan oleh calon

peserta masih belum optimal.

62

Tabel 9. Hasil Post Test Peserta Dempond Kabupaten Pangkep No

Peserta Indikator Budidaya

Persiapan Penggelondongan pembesaran Pakan Probiotik Panen 1 5 4 4 4 5 5 2 5 5 4 4 5 5 3 5 4 4 4 5 5 4 5 4 4 4 5 5 5 4 4 4 4 4 4 6 4 5 4 4 5 4 7 5 4 4 4 5 5 8 5 5 4 4 5 5 9 5 4 4 4 5 5 10 5 4 4 4 5 5 11 4 4 4 4 4 4 12 4 5 4 4 5 4 13 5 4 4 4 5 5 14 5 5 4 4 5 5 15 5 4 4 4 5 5 16 5 4 4 4 5 5 17 4 4 4 4 4 4 18 4 5 4 4 5 4 19 5 4 4 4 5 5 20 5 5 4 4 5 5 21 5 4 4 4 5 5 22 5 4 4 4 5 5 23 4 4 4 4 4 4 24 4 5 4 4 5 4 25 5 4 4 4 5 5 26 5 5 4 4 5 5 27 5 4 4 4 5 5 28 5 4 4 4 5 5 29 4 4 4 4 4 4 30 4 5 4 4 5 4

Total 140 130 120 120 145 140 Rerata 4.67 4.33 4 4 4.83 4.67 SDV 0,48 0,48 0,00 0,00 0,38 0,48

Nilai Indikator bobot 1. Tidak tahu, 2 kurang tahu, 3 cukup tahu, 4. Tahu, 5. sangat tahu

Evaluasi atau post test sekolah lapang dilakukan setelah

pembelajaran. Hasil dari post test dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan

Tabel 9. menunjukkan bahwa pengetahuan dari peserta sekolah lapang

63

telah meningkat. Hal tersebut dapat dilihat dari skor indikator yang

mengalami mencapai 4.67. Tingginya nilai pengetahuan tentang

persiapan tambak diharapkan juga berpengaruh terhadap produktivitas

udang windu yang dipelihara.

Peningkatan pengetahuan juga dapat dilihat dari tingginya skor

indikator dari penggelondongan. Rerata skor yang didapatkan peserta

sekolah lapang adalah 4.33 dari skor maksimal 5. Skor tersebut bermakna

bahwa peserta sekolah lapang secara umum sudah mengetahui sistem

peggelondongan setelah dilakukan sekolah lapang. Materi pembelajaran

lain seperti pembesaran, pakan, probiotik dan panen yang diajarkan

dalam sekolah lapang menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan

pada seluruh topik tersebut. Bahkan hasil dari post test tentang probiotik

yang tersaji pada Tabel 9. menunjukkan sangat baik, hal tersebut dapat

dilihat dari nilai indikator yang mencapai 4.83 dari nilai maksimal 5.

Jumlah petani tambak yang mengikuti sekolah lapang di

Kabupaten Bone mencapai 30 orang. Sebelum diberikan materi sekolah

lapang, para peserta diminta mengisi kuesioner pre test yang telah

dibagikan. Kuesioner tersebut bertujuan untuk mengetahu seberapa besar

pengetahuna dari calon peserta sekolah lapang terhadap sistem budidaya

yang baik. Semua data hasil pre test dapat dilihat pada Tabel 10.

64

Tabel 10. Hasil Pre Test Calon Peserta Dempond Kabupaten Bone No

Peserta Indikator Budidaya

Persiapan Penggelondongan pembesaran Pakan Probiotik Panen 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 3 2 1 3 3 2 3 4 1 1 4 4 2 2 5 3 1 2 2 3 4 6 2 1 4 4 2 1 7 2 1 1 3 1 4 8 2 1 4 4 5 3 9 1 1 1 3 3 4 10 2 3 3 4 2 5 11 2 1 1 3 3 2 12 2 1 4 1 5 5 13 2 1 1 3 3 1 14 2 1 1 4 5 5 15 2 1 1 2 3 2 16 1 1 4 4 4 5 17 2 2 1 3 3 2 18 3 1 4 2 5 2 19 2 1 4 3 2 4 20 1 1 4 2 5 5 21 2 2 1 2 3 2 22 2 1 2 4 2 5 23 1 1 1 2 3 2 24 2 2 4 4 2 2 25 2 1 1 3 3 4 26 1 2 4 4 5 4 27 1 1 1 3 3 4 28 2 1 3 4 5 2 29 2 2 1 3 3 4 30 2 2 3 3 4 3

Total 54 39 71 89 95 95 Rerata 1.80 1.30 2.37 2.97 3.17 3.17 SDV 0,55 0,53 1,35 0,93 1,21 1,32

Nilai Indikator bobot 1. Tidak tahu, 2 kurang tahu, 3 cukup tahu, 4. Tahu, 5. sangat tahu

65

Berdasarkan hasil pre test peserta sekolah lapang yang diadakan

di Kabupaten Bone menunjukkan pengetahuan yang masih kurang

terhadap cara budidaya udan secara baik. Hasil pre test persiapan tambak

pada Tabel 10 masih sangat rendah. Nilai rerata indikator mencapai 2, hal

tersebut menunjukkan umumnya pengetahun peserta sekolah lapang

sebelum diberikan materi mengenai persiapan tambak masih kurang.

Rerata nilai dari calon peserta sekolah lapang terhadap hasil pre

test untuk beberapa materi juga masih rendah. Secara umum, mereka

masih kurang paham terhadap cara berbudiday udang dengan baik.

Sistem budidaya yang kurang baik berpengaruh terhadap produksi yang

mereka hasilkan. Walaupun demikian, rerata petambak udang di

Kabupaten Bone memiliki pengetahuan yang baik terhadap penangan

udang saat panen.

Evaluasi selanjutnya dilakukan saat peserta sekolah lapang

mengikuti pembelajaran. Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui

efektivitas dari sekolah lapang terhadap pengetahuan peserta. Data

tingkat pemahaman materi para peserta sekolah lapang dapat dilihat pada

Tabel 11.

66

Tabel 11. Hasil Post Test Peserta Dempond Kabupaten Bone No

Peserta

Indikator Budidaya Persiap

an Penggelondong

an pembesar

an Paka

n Probioti

k Pane

n 1 4 5 5 4 5 5 2 5 5 4 5 5 5 3 5 4 4 4 5 5 4 5 4 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 6 4 4 4 4 5 4 7 5 4 4 4 5 5 8 5 5 5 4 5 5 9 5 5 4 5 5 5

10 5 4 4 4 5 5 11 4 4 4 4 4 5 12 5 4 5 4 5 4 13 5 4 4 4 4 5 14 5 5 4 4 5 5 15 4 4 5 5 5 5 16 5 4 4 4 5 5 17 4 4 4 4 5 4 18 5 5 5 4 5 4 19 5 4 4 5 5 5 20 5 5 4 4 5 5 21 5 4 4 4 5 4 22 4 4 4 4 5 5 23 4 5 4 5 4 4 24 5 5 4 4 5 4 25 5 5 4 4 5 5 26 5 5 4 4 5 5 27 4 4 4 4 5 5 28 5 4 5 4 5 5 29 5 4 4 4 4 5 30 4 5 5 5 5 5

Total 140 132 128 127 145 142 Rerat

a 4.67 4.40 4.27 4.23 4.83 4.73

SDV 0.48 0.50 0.45 0.43 0.38 0.45 Nilai Indikator bobot 1. Tidak tahu, 2 kurang tahu, 3 cukup tahu, 4. Tahu, 5. sangat tahu

67

Berdasarkan data pada Tabel 11. tersaji tingkat pengetahuan para

peserta yang telah mengikuti sekolah lapang. Peserta sekolah lapang

semakin tahu dan paham mengenai persiapan, penggolondongan,

pembesaran hingga penanganan panen. Materi yang diberikan oleh

penyaji mampu meningkatkan pengetahuan mereka. Tingkat pengetahuan

dapat dilihat pada Tabel 11 yang mencapai 4.83 dari total point 5

(maksimal).

D. Teknis Budidaya di Lokasi Dempond

Jumlah produksi dari suatu usaha budidaya udang windu yang

dilakukan oleh para petambak masih perlu ditingkatkan. Jumlah hasil

panen dapat ditingkatkan melalui peningkatan pengetahuan tentang

teknik budidaya udang windu. Tranfers informasi mengenai sistem

budidaya udang windu dapat dilakukan melalui sekolah lapang dan

pembuatan dempond. Pembuatan dempond bisa menjadi bukti nyata

tentang hasil produksi budidaya udang windu yang mengikuti sistem cara

berbudidaya yang baik (CBIB). Pembuatan dempond juga mempermudah

para petambak dalam memahami sistem budidaya yang karena dilakukan

langsung di lapangan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam

budidaya udang windu yaitu:

1. Persiapan Lahan

a) Konstruksi tambak

Konstruksi dan petakan tambak harus memenuhi persyaratan teknis

Konstruksi/bangunan tambak udang windu teknologi sederhana meliputi :

pematang tambak, pintu air, petakan tambak dan bangunan serta sarana

pendukung lainnya.

68

1) Bangunan Pematang Tambak

Pada prinsipnya pematang tambak harus kedap air dengan tingkat

kehilangan air (rembesan) maksimum 10 % per minggu. Ukuran lebar

atas pematang antara 1,5 - 2,5 m dan lebar bawah antara 4,0 - 7,0 m

(tergantung jenis tanah). Ketinggian pematang minimal 1 m atau

petakan tambak mampu diisi air hingga kedalaman minimal 60 cm

atau sesuai ketinggian air yang diperlukan selama pemeliharaan udang

windu.

2) Bangunan Pintu Air

Pintu air berfungsi untuk mengisi atau membuang air dari dan

kedalam petak tambak. Pintu air dibuat dengan kokoh dan tidak bocor

serta dilengkapi dengan saringan untuk mencegah masuknya udang

liar dan ikan kedalam petakan tambak pemeliharaan pada saat

pengisian air. Pemasukan air ke petak tambak pada kawasan tambak

dengan beda pasang surut yang kecil digunakan pompa diesel ukuran

diameter 6-8 inchi sebanyak 1 buah pompa per ha (jumlah pompa

tergantung kebutuhan).

Pada tambak sederhana pintu air dapat terbuat dari bahan kayu. Untuk

memudahkan pengoperasian, ukuran ideal lebar mulut pintu adalah

0,8-1,2 m sebanyak 2 buah tiap luasan petakan 1 ha. Pembuangan air

yang baik menggunakan sistem monik, sehingga mampu membuang

air bagian dasar. Ukuran sistem pintu monik tergantung kebutuhan.

Dapat pula menggunakan pipa PVC dengan sistem pipa goyang

dengan jumlah pipa untuk 1 ha minimal 4 buah dengan diameter 8

inchi, sehingga dapat membuang air dengan mudah dan cepat.

69

3) Bangunan Petakan Tambak

Petak tambak berbentuk persegi panjang atau bujur sangkar dengan

komponen dan bentuk dasar petakan tambak terdiri dari

pelataran/dasar, caren keliling dan caren tengah. Caren berfungsi

untuk memudahkan proses pengeringan tanah dasar tambak dan

proses panen. Kedalaman caren berkisar 10-30 cm dari pelataran

dengan dasar caren miring ke pintu pembuangan. Petakan tambak

dilengkapi dengan pintu pembuangan atau pemasukan air yang

memadai. Petakan tambak sederhana dapat pula dilengkapi dengan

petak kecil dibagian depan mulut pintu pembuangan dengan tujuan

untuk memindahkan pengeringan dan pemanenan hasil (catching

pond).

b) Persiapan Tanah Dasar Tambak

Persiapan tanah dilakukan untuk memperbaiki kualitas tanah dasar

tambak sebagai wadah/media pemeliharaan udang setebal lapisan olah

(kedalaman tanah 5-15 cm). Tahapan kegiatan persiapan tanah dasar

adalah sebagai berikut :

1) Pengeringan tanah dasar tambak bertujuan untuk meningkatkan

oksidasi tanah sehingga dapat mempercepat penguraian bahan

organik. Proses pengeringan dapat dipercepat dengan pembuatan

parit/caren keliling. Pengeringan tanah dilakukan hingga tanah

retak-retak (kadar air sekitar 20%). Pengeringan dasar tambak

tidak dilakukan hingga kondisi tanah berdebu, karena proses

mineralisasi bahan organik akan berhenti. Bila tanah sudah

kering, dilakukan pembasahan dengan cara mengisi air. Cara ini

sekaligus dilakukan untuk pencucian tanah dasar.

70

2) Lumpur organik, lumut dan kelekap yang mati dicirikan dengan

warna hitam dan berbau busuk menyengat harus diangkat dari

dasar tambak.

3) Pembalikan tanah dilakukan untuk meningkatkan aerasi tanah

selama proses pengeringan. Pembalikan tanah dilakukan minimal

hingga kedalaman 5-15 cm dari permukaan tanah (umumnya

mengandung bahan organik >12%).

Tabel 12. Parameter tanah dan perlakuan No Parameter Nilai Perlakuan

1 Bahan

Oganik

< 12% Pengangkatan Lumpur, pengeringan,

pencucian

2 pH 6,5-8,5 pH < 6,5 dikapur dolomite dosis 500 –

1000 kg/ha

3 Redoks > (-

50me.V)

Oksidasi dengan pengeringan

4 C/N ratio > 11 Penambahan sumber C organik

4) Pencucian tanah dilakukan bila selama proses

pengeringan/pengolahan tanah terbentuk zat besi (firit) yang

ditandai warna kemerahan pada permukaan tanah maupun

pematang. Tanah yang mengandung zat besi, pada saat proses

pengeringan terjadi oksidasi zat besi menjadi besi firit yang akan

menyebabkan pH tanah menurun. Cara pencucian dengan

merendam tanah dasar tambak setelah kering sedalam 10 cm

selama 1-2 hari, kemudian dikeringkan kembali hingga tanah

retak-retak (kadar air 20%). Pencucian dapat dilakukan berulang

sambil menunggu program penebaran.

71

5) Tambak yang ditumbuhi hama trisipan biasanya kandungan

bahan organik tinggi. Hama trisipan sebagai hama

kompetitor/penyaing ruang gerak dan konsumsi oksigen di dasar

tambak dan juga lendir yang dihasilkan dapat menghambat

perkembangan udang. Pemberantasan trisipan/siput dilakukan

dengan cara sebagai berikut:

• Pemberantasan hama trisipan sebaiknya dilakukan secara

manual, yaitu dengan pengeringan tambak secara perlahan

sehingga trisipan berkumpul pada bagian caren atau tanah yang

masih basah dan selanjutnya dibersihkan.

• Apabila populasi trisipan sangat banyak, maka pemberantasan

dengan penggunaan moluksida dapat dilakukan dengan efisien,

yaitu dengan cara pengeringan dan biasanya trisipan akan

mengumpul pada bagian tanah yang basah atau masih terendam

air (caren), kemudian hanya bagian caren yang terdapat trisipan

diberi aplikasi/disebar moluksida dengan dosis 0,5-1 ppm dan

direndam >7 hari (hingga kondisi netral).

6) Pengapuran tanah dasar tambak dilakukan bila nilai pH tanah

masih kurang dari 6,5. Untuk efisiensi, pengapuran dilakukan

setelah proses pencucian atau pada saat akan melakukan

pengisian air pada petak pembesaran udang. Pengapuran

dilakukan pada saat kondisi tanah masih lembek/lembab (Gambar

8). Jenis kapur yang cocok untuk menaikkan pH tanah adalah

kapur pertanian atau dolomite (CaMgCO3) dengan dosis 500-

1.000 kg/ha untuk nilai pH tanah kurang dari 6,5.

72

Gambar 8. Pengapuran tanah dasar tambak (dalam kondisi tanah dasar

masih lembab/lembek)

c) Persiapan Air

Setelah kualitas tanah dasar tambak memenuhi syarat, maka dilakukan

persiapan air. Persyaratan kualitas air yang siap tebar tertera pada

tabel 2 dengan tahapan kegiatan dapat dilakukan sebagai berikut:

- Pengisian air untuk petak pembesaran udang berasal dari petak

tendon/biofilter yang telah mengalami proses filtrasi secara

biologis atau minimal telah diendapkan selama 2-3 hari. Pintu air

atau pompa sudah dilengkapi dengan saringan ganda (double

screen) untuk mencegah ikan dan udang liar masuk.

- Pada saat air pasang naik dengan kondisi air terlihat kotor dan

keruh, maka hindari pengisian air ke petak tambak, karena

kualitas air rendah dan kotor akibat terjadi pengadukan lumpur

organik dasar saluran. Oleh karena itu, perlu petak tandon atau

petak biofilter yang berfungsi sebagai petak pengendapan.

- Pengisian air pada petak pembesaran udang berasal dari petak

tandon endapan atau tandon biofilter. Ketinggian air dalam petak

73

tambak minimal 80 cm. Untuk menambah ketinggian air dalam

petakan tambak dapat digunakan pompa air.

- Untuk mencegah masuknya larva dan crustacea liar ke petak

pembesaran udang dengan cara memasang saringan ganda

(berbentuk kantung) pada pintu atau pipa pemasukan air (panjang

minimal 2 m). Ukuran mata saringan adalah mess size 1 mm dan

300 mikron (plankton T-45). Untuk mencegah saringan plankton

net cepat tertutup oleh partikel kotoran, maka pemasangan

saringan dibuat rangkap (double screen) dengan ukuran yang

berbeda. Saringan pertama (bagian dalam) mess size 1 mm dibuat

ukuran diameter 0,5 m dengan panjang 2 m. Saringan kedua

(bagian luar) mess size 300 mikron dengan ukuran diameter 1 m

dan panjang 2,5 m.

- Bila lokasi tambak pada kawasan epidemis udang sakit dapat

dilakukan sterilisasi air pada petak pemeliharaan udang dengan

desinfektan yang tidak berbahaya bagi lingkungan dan manusia,

yaitu dengan sasaran krustacea atau udang-udang liar mati dan

sekaligus menekan bakteri vibrio yang ada dalam tambak.

Desinfektan yang digunakan pada teknologi sederhana ini adalah

Crustaesida dosis 1-2 ppm dan atau kaporit dengan dosis 10-15

ppm.

- Penumbuhan plankton dengan aplikasi pupuk organik (pupuk

kandungan nutrient lengkap) dosis 0,5 ppm dan pupuk anorganik

(NPK) atau pupuk Nitrogen dan Phosfat (perbandingan 4:1)

dengan dosis 3-5 ppm atau 30- 50 kg/ha. Aplikasi pupuk

dilakukan 3 hari setelah pemberian desinfektan kaporit dan dapat

74

diulang tiap 5-7 hari hingga plankton tumbuh yang ditandai

dengan warna air hijau kecoklatan (kecerahan sekitar 30-40 cm).

Tabel 13. Paramater tanah dan nilai kisaran No. Parameter Nilai

1 pH 7,5-88 (kisaran harian pagi dan sore (0,2-0,5

2 Alkalinitas > 60

3 Bahan organik Maks 90 ppm

4 Kecerahan (cm) 30-40

5 Warna air Hijau kecoklatan (dominasi fitoplankton cloropicae)

6 Visual Bersih dari udang liar, ikan liar

2. Benur

a) Pemilihan Benih

Pemilihan benih dilakukan untuk mendapatkan benih udang yang sehat,

mempunyai ketahanan tinggi dan bebas dari infeksi penyakit virus

dengan melalui uji Polymerase Chain Reaction (PCR). Cara pemilihan

benih dengan melakukan uji visual, uji ketahanan dan uji laboratorium

sampel benih udang, dengan tahapan sebagai berikut :

- Secara visual meliputi kesaragaman warna, ukuran, gerakan dan

kelengkapan organ tubuh. Warna benih seragam hijau kecoklatan

bersih (tidak berwarna merah). Ukuran seragam dengan ekor

(uropoda) sudah membuka. Nilai keseragaman ukuran dan warna

>95%. Ukuran benih PL-12 atau tokolan. Gerakan aktif berenang

menentang arus menempel di dasar atau didinding bak. Anggota tubuh

lengkap dan bersih dari pathogen dasar (sesuai SNI benih udang

windu).

75

- Uji ketahanan dengan kejutan terhadap salinitas dari air bak media

pemeliharaan benih ke salinitas 0 ppt (tawar) secara mendadak selama

15 menit kemudian dikembalikan ke salinitas air bak. Kelangsungan

hidup benih yang baik >90%. Cara kedua dengan menurunkan

salinitas dengan penambahan air tawar dan air bak media

pemeliharaan 1 : 1 selama 1-2 jam dengan nilai kelangsungan hidup

>95%.

- Perendaman formalin 200 ppm selama 0,5-1 jam untuk mengetahui

infeksi pathogen. Kelangsungan hidup benih yang baik >90%.

- Sampel yang lemah dari hasil ketahanan kejutan salinitas atau

perendaman formalin biasanya mengumpul di tengah (Gambar 9)

dilakukan uji PCR di Laboratorium untuk mengetahui infeksi penyakit

viral seperti bercak putih (WSSV), penyakit kerdil (IHHNV) dan

penyakit viral lainnya.

- Benih yang sudah dipilih baik ukuran benur PL-12 maupun tokolan,

selanjutnya dilakukan adaptasi salinitas pada media di bak

pemeliharaan dengan salinitas air tambak. Perbedaan antara air bak

pemeliharaan dan air tambak pada saat penebaran maksimum 3 ppt.

b) Penebaran Benih

- Sebelum ditebar dilakukan adaptasi terhadap suhu dengan cara

mengapungkan kantong plastik pada air tambak. Biasanya air

yang digunakan untuk mengangkut benih udang diturunkan

suhunya hingga 22 ° C untuk menekan kanibalisme. Aklimatisasi

suhu dianggap cukup bila benih sudah aktif berenang di dalam

kantung.

76

Gambar 15. Aklimatisasi sebelum penebaran benur

- Setelah suhu sama yang ditandai benih bergerak aktif, kantong

dibuka dan ditambah air tambak secara perlahan atau dengan cara

dimasukkan pada wadah waskom atau ember dan kemudian

ditambah sedikit demi sedikit air tambak. Hindarkan membuka

kantung atau menaruh benih dalam waskom/bak terlalu lama (>15

menit) karena oksigen akan lepas ke udara sehingga menyebabkan

kelarutan oksigen dalam kantung menurun.

- Selanjutnya benih dalam kantung / Waskom / bak

dituang/dimiringkan ke dalam tambak. Benih yang sehat akan

berenang aktif berenang menyebar ke air tambak. Benih yang

tidak aktif berenang keluar dari waskom dianggap tidak sehat atau

lemah kondisinya.

- Perhitungan jumlah penebaran adalah benih yang sehat setelah

sampai lokasi tambak. Benih yang sehat beberapa kantung plastik

dihitung kemudian dikalikan jumlah kantung plastik. Padat tebar

untuk teknologi sederhana antara 1-5 ekor/m2 (tergantung kondisi

daya dukung lahan dan sarana penunjang lainnya).

77

3. Pemeliharaan

a. Pengelolaan pakan Pada budidaya udang dengan teknologi sederhana lebih banyak

mengandalkan pakan alami yang tumbuh dalam tambak, berupa

cacing dan hewan renik lainnya. Pemberian pakan tambahan

dilkaukan bila kondisi pakan alami mulai menipis. Oleh karena itu

pemberian pakan tambahan harus selalu dikontrol dengan baik.

Pada prinsipnya pemberian pakan buatan disesuaikan dengan

kebutuhan udang.

- Pengelolaan pakan meliputi ukuran, jumlah dan frekuensi

pemberian disesuaikan dengan kondisi udang di tambak. Sifat

udang lebih menyukai pakan alami yang tumbuh di tambak

dari pada pakan buatan. Sehingga pemberian pakan buatan

mulai dilakukan bila ketersediaan pakan alami sudah menipis.

- Untuk mengetahui saat kapan udang perlu pakan tambahan

dapat dikontrol melalui pengamatan warna usus. Udang lapar

ususnya kosong, udang makan pakan alami usus terlihat

warna hijau kehitaman. Udang yang makan pakan tambahan

(pellet) warna usus cuklat. Udang yang terganggu pencernaan

isi usus terlihat terputus-putus.

- Untuk mengetahui apakah udang sudah perlu dilakukan

pemberian pakan tambahan adalah dengan mencoba memberi

pakan pada anco.

- Bila setelah 30 menit banyak udang naik anco dan kotoran

sudah coklat, menunjukan bahwa udang sudah mengkonsumsi

pakan buatan. Tanda lain udang mulai aktif mencari makan

dekat pematang tambak terutama pada malam hari.

78

- Untuk menjaga kualitas pakan buatan, tempat penyimpanan

pakan serta pengaturan bungkus pakan harus ditempatkan

pada ruangan yang kering, tidak lembab serta mempunyai

sirkulasi udara dengan baik.

b. Pengamatan Kesehatan & Pertumbuhan Udang

Pengamatan atau pemantauan kondisi kesehatan udang dilakukan

setiap hari terutama pada kondisi yang kritis yaitu pada pagi hari.

Pengamatan kondisi kesehatan udang yang dapat dilakukan adalah

sebagai berikut :

- Pengamatan kondisi kesehatan udang meliputi gerakan,

warna, kondisi usus dan nafsu makan dilakukan setiap hari.

Udang yang sehat bergerak berenang aktif mencari makan

dengan kaki jalan pada dasar tambak. Udang sehat akan

berenang atau menjauh bila kena sorotan cahaya pada malam

hari. Apabila menempel batang ranting rumput, tali anco

dengan posisi kepala di bawah dan akan berenang bila tali

anco tersebut diangkat atau digerakkan.

- Udang yang sehat berwarna cerah dengan warna belang

tubuhnya yang jelas. Tubuh terasa bersih dan licin bila

dipegang. Insang terlihat bersih dan tidak menunjukkan

adanya pembengkakan. Ekor (urupoda) membuka seperti

kipas bila dipegang dengan figmentasi warna belang yang

jelas antara hitam/hijau tua dan transparan.

- Udang yang sehat pakan pada usus tidak terlihat putus-putus.

Pakan yang terputus-putus pada usus udang menunjukan

adanya pathogen. Sebagai pencegahan perlu pengobatan

dengan antibiotik yang direkomendasikan. Warna kotoran

79

udang sehat terlihat seperti jenis pakan yang dikonsumsi.

Kandungan pakan alami yang banyak kotoran akan berwarna

hitam. Pakan pellet kotoran akan berwarna coklat.

- .Udang yang sakit biasanya akan diam dengan kaki jalan

memegang rating, rumput atau tali anco, dan tidak segera

berenang bila benda tersebut digerakan atau tali anco tersebut

diangkat. Warna ekor udang yang mengalami stress biasanya

terlihat kemerahan. Sedangkan udang yang kurang sehat

biasanya kotoran berwarna putih dan putus-putus.

Gambar 16. Pengamatan pertumbuhan dan kesehatan udang

- Pengamatan pertumbuhan udang secara periodik dilaksanakan setiap

minggu melalui anco atau menggunakan jala tebar. Bila telah

menggunakan pakan tambahan, pengukuran pertumbuhan dilakukan

lebih intensif dengan pengambilan sampel udang dengan

menggunakan jala tebar secara acak sehingga mewakili seluruh

kondisi petakan tambak.

80

4. Panen

Panen dilakukan setelah udang mencapai ukuran konsumsi

dengan harga pasar yang baik. Harga jual udang tergantung size ukuran

dan tiap waktu harga bisa berubah sesuai dengan harga ukuran size yang

dibutuhkan pasar, sehingga petambak harus mengikuti perubahan harga

pasar udang berdasar size atau ukuran waktu akan melakukan panen

untuk mendapatkan nilai jual yang tinggi. Mutu udang harus dijaga

sehingga cara panen dan alat yang digunakan tidak merusak kualitas

udang. Beberapa teknik panen adalah sebagai berikut :

Gambar 17. Panen

- Cara panen tiap daerah berbeda. Pada prinsipnya panen udang

dilakukan dengan cepat dan udang yang tertangkap dibersihkan

dari kotoran lumpur.

- Kemudian udang dimasukan dalam wadah direndam dengan es

dengan suhu kurang dari 5 oC dengan tujuan untuk menjaga

kesegaran daging mutu udang. Biasanya panen dilakukan pada

kondisi cuaca dingin atau pada malam hari.

81

- Panen sebaiknya menggunakan alat panen yang permukaannya

licin (tidak tajam) dan masih baik (tidak lapuk) untuk menghindari

kerusakan fisik dan pencemaran fisik udang.

- Kemudian udang dipisahkan dan dikelompokkan untuk kualitas

udang yang bagus/baik berdasar size ukuran dan kualitas kurang

baik/tidak baik (BS) karena kulit lembek (udang yang ganti

kulit/moulting). Pengelompokan udang ini karena mempunyai

harga jual yang berbeda.

E. Daya saing dan Pertumbuhan Ekonomi

Daya saing merupakan kemampuan menghasilkan produk

barang dan jasa yang memenuhi pengujian internasional, dan dalam saat

bersamaan juga dapat memelihara tingkat pendapatan yang tinggi

dan berkelanjutan, atau kemampuan daerah menghasilkan tingkat

pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka

terhadap persaingan eksternal. Anonim (2008) menyatakan konsep

definisi Daya saing suatu negara atau daerah mencakup beberapa

elemen utama sebagai berikut :

1. Meningkatkan taraf hidup masyarakat.

2. Mampu berkompetensi dengan daerah maupun negara lain.

3. Dapat menyediakan lapangan kerja, dan

4. Pembangunan yang berkesinambungan dan tidak membebabani

generasi yang akan datang

Dari defenisi dan indikator daya saing, maka dengan

pengembangan udang windu yang menghasilkan produk dengan tingkat

penerimaan yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup

masyarakat hal ini bisa dibandingkan dengan indikator budidaya dengan

82

penebaran yang sama tapi dengan teknologi yang berbeda akan

menghasilkan produksi yang lebih tinggi dan ukuran udang windu yang

lebih besar. Berikut ini gambaran data perbandingan antara dempond

dan non dempond, dimana pada dempond memiliki teknologi

penggelondongan satu bulan, memberikan campuran daun kopasanda

pada pakan dan memberikan probiotik secara alami

Tabel 14. Data hasil produksi Dempond dan Non Dempond di Kabupaten Pangkep untuk indikator daya saing

No Indikator Dempond Non Dempond

1 Padat tebar (ekor/0,5 ha)

20.000 20.000

2 Survival Rate (%) Penggelondongan 70,51 Pembesaran 53,76 40

3

Jumlah Pakan (kg)

dengan campuran Kopasanda

403,10

Tanpa campuran 153,85 4 Pemberian probiotik

(ppm) Komersial >100 buatan > 100

5 FCR 1,45 1,5 6 Size (ekor/kg) 38,02 78,8 7 Lama pemeliharaan

(hari) Penggelondongan 30 - Pembesaran 60 87,6

8 Total Produksi kg/0,5 ha

282, 80 102,56

83

Tabel 15. Data produksi udang windu 2021 di Provinsi Sulawesi Selatan

No Kabupaten/Kecamatan/Desa

Jumlah ekor

Pembesaran

Kondisi saat ini Ket

1 Maros 1. Kec. Bontoa Desa

Pajukukang 92.400 Panen 627 kg Selesai 2. Kec. Marusu Desa

Nisombalia 209.000 Panen 894 kg (parsial) Proses

2 Pangkep 1. Kec. Pangkajene Desa

Sibatua 139,000 206,7 kg Selesai 2. Kec. Pangkajene Kel.

Tekolabbua 68.000 250 kg Selesai 3 Barru

1. Kec. Taneterilau Desa Corawali 120.000

Bervariasi (rokok, korek api) Proses

2. Kec. Barru Kel. Coppo 225.000

Bervariasi (rokok, korek api) Proses

4 Pinrang 1. Kec. Mattiro Sompe Kel.

Langnga 173.800 270 kg panen parsial Proses

2. Kec. Daumpanua Desa Bababinanga 205.000 285,1 kg Selesai

5 Bone 1. Kec. Sibulue Desa

Mabbiring 3.921 Gagal 2. Kec. Sibulue Desa

Sumpang Minangae 4.800 116.5 kg Selesai 6 Wajo 1. Kec. Keera Desa Inrello 35.000 121 kg Selesai 2. Kec. Keera Desa Paojepe 25.000 205 kg Selesai 7 Luwu 1. Kec. Ponrang Desa

Maladimeng 195.000 380 kg Proses 2. Kec. Suli Desa Cimpu 182.000 196 kg Proses 8 Luwu Utara

84

1. Kec. Bone-Bone Desa Batang Tongka 225 kg Selesai

2. Kec. Bone-bone Desa Sadar Gagal

9 Luwu Timur 1. Kec. Burau Desa Burau

Pantai 93.000 310 kg Selesai 2. Kec. Angkona Desa

Watangpanua 1,000 148 kg Selesai 10 Makassar 1. Kec. Tamalanrea Kel.

Tamalanrea Indah 73.000 460 kg panen (berfariasi) Proses

2. Kec. Tamalanrea Kel. Parangloe 85.000

Sebesar kelingking Proses

11 Takalar 1. Kec. Sanrobone Desa

Banyuanyara 150.000 185 kg Selesai 2. Kec. Mappakasunggu

Desa Takalar 100.000 190 kg Selesai 12 Jeneponto 1. Kec. Bangkala Barat Desa

Tuju 50.000 835 kg Selesai 2. Kec. Bangkala Barat Desa

Banrimanurung 80.100 912 kg Selesai 13 Bulukumba 1. Kec. Ujung Loe Desa

Manyampa 187.500 Proses 2. Kec. Kajang Desa Possi

Tanah Proses Sumber: Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2021

Data hasil produksi pada Tabel 14 dan 15 tersebut terlihat bahwa

dengan teknologi dempond, maka dapat meningkatkan produksi hampir 3

kali lipat dari teknologi budidaya udang windu yang ada dan berkembang

di masyarakat. Dengan peningkatan produksi tersebut dengan sendirinya

akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan penerapan

teknologi dempond, maka akan merangsang bangkitnya udang windu di

85

Sulawesi Selatan, sehingga dengan sendirinya akan meningkatkan ekspor

dan penyerapan tenega kerja.

Untuk menguji apakah teknologi dempond layak di kembangkan

atau tidak, maka dilakukan analisis kelayakan usaha dengan

menggunakan pendekatan R/C ratio, sebagaimana pada Tabel 16 dan 17.

Tabel 16. Analsis Kelayakan Dempond dan Non Dempond di Kabupaten

Pangkep

No Item Volume Harga

(Rp/Unit)

Dempond Non

Dempond

a. Pajak 1 thn 5.000.000 35.000

b. Peny. Peralatan 1

thn 212.000

212.000

Jumlah Biaya 247.000 247.000

2 Biaya Variabel

Sarana Produksi:

a. Benur pl 12 40.000 42,5 1.700.000 700.000

b. Kapur 1.750 kg 1.742,85 3.050.000 -

c.Pupuk Urea 2 Zak 380.000 760.000 760.000

d.Pupuk Tsp 2 Zak 450.000 900.000 900.000

e. Saponin 100 kg 10.000 1000.000 1000.000

f. Pakan 403/153

11.600 4.674.800

1.744.800

g. Probiotik 100 30.000 1.500.000 3.000.000

Tenaga Kerja:

c.Pengolahan tanah 1 Ha 1000.000 1.000.000 1.000.000

Total Biaya

11.588.800

9.958.800

86

No Item Volume Harga

(Rp/Unit)

Dempond Non

Dempond

Total Produksi

278 102,56

Total Penerimaan

70.000/3

0.000

19.460.000

3.760.800

R/C Ratio 1,68 0,38

Tabel 17. Analsis Kelayakan Usaha Budidaya Udang Windu di

Kabupaten Bone

No Item Volume Harga (Rp/Unit) Non

Dempond

1 a. Pajak 1 thn 35.000

b. Peny. Peralatan 1 thn 212.000

Jumlah Biaya 247.000

2 Biaya Variabel

Sarana Produksi:

a. Benur/gelondonga 20.000 35/45 700.000

b. Kapur 150 kg 2.400 360.000

c.Pupuk Urea 2 Zak 380.000 760.000

d.Pupuk Tsp 2 Zak 450.000 900.000

e. Saponin 100 kg 10.000 1000.000

f. Pakan

366,10/1

75,34 11.600 2.330.994

g. Probiotik 100 30.000 3.000.000

Tenaga Kerja:

c.Pengolahan tanah 1 Ha 1000.000 1.000.000

Total Biaya

10.447.000

87

No Item Volume Harga (Rp/Unit) Non

Dempond

Total Produksi

109,59

Total Penerimaan

70.000/3

0.000

3.287.700

R/C Ratio 0,31

Berdasarkan Tabel 16 dan 17 baik Kabupaten Pangkep dan

Kabupaten Bone, maka dari total penerimaan dempond ternyata sangat

tinggi jika di bandingkan dengan non dempond, hal ni menunjukkan

bahwa daya saing produk dari hasil teknologi dempond lebih tinggi di

banding non dempond. Total penerimaan bersih dari hasil dempond

mencapai 20 jutaan sedangkan non dempond hanya 3 juta lebih.

Tingginya penerimaan tersebut dipicu dari hasil pemeliharaan dengan

menggunakan benur gelondongan satu bulan dan pemberian pakan

dengan campuran kopasanda. Daun kopasanda ternyata dapat

meningkatkan survival rate dan menurunkan FCR. Dari hasil R/C ratio

ternyata produksi dempond layak untuk di kembangkan karena R/C >1,

sedangkan non dempong R/C<1 atau tidak layak.

Pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat ditentukan Perubahan

dan kemajuan teknologi berkaitan dengan perubahan di dalam metode

produksi sebagai hasil pembaharuan atau teknik penelitian baru. Dengan

eksis dan keberlanjutan produksi udang windu, maka akan dipastikan

munculnya usaha-usaha yang terkait dengan usaha budidaya udang antara

lain menculnya usaha pengadaan induk udang untuk pembenihan, usaha

pembenihan skala lengkap dan skala rumah tangga, usaha pembuatan

probiotik, usaha pengadaan daun kopasanda, usaha saprokan dan usaha

88

lainnya. Terjadinya efek ganda dari usaha budidaya udang windu dapat

meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat.

F. Analisis Strategi Kebijakan Pengembangan Budidaya Tambak

Udang Windu di Sulawesi Selatan

Penelitian pengembangan tambak di Sulawesi Selatan untuk

merangsang dan bangkitnya kejayaan udang windu dengan menggunakan

Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threats).

Analisis ini, digunakan untuk mengidentifikasi Kekuatan, Kelemahan,

Peluang dan Ancaman diperlukan alat bantu analisa yaitu analisa SWOT.

Analisis kebijakan pengembangan budidaya udang windu secara

terpadu dilakukan dengan pendekatan analisis SWOT dilakukan untuk

merumuskan alternatif-alternatif strategi guna memperoleh strategi yang

dipilih untuk direkomendasikan kepada pemerintah Sulawesi Selata,

terutama bagi stakeholder yang berhubungan langsung dengan

perencanaan pengelolaan perikanan tambak udang windu di Sulawesi

Selatan. Dalam hal ini, analisis SWOT menyediakan frame dasar yang

akan menghasilkan keputusan situasional dalam menentukan arahan

kebijakan pengembangan budidaya udang windu di Sulawesi Selatan.

Tahap analisis SWOT yang digunakan dalam menganalisis data

lebih lanjut yaitu dengan mengumpulkan semua informasi yang

mempengaruhi budidaya tambak udang windu di Sulawei Selatan,

Berikut adalah hasil identifikasi faktor internal dan eksternal yaitu:

1. Identifikasi Komponen SWOT

Penelitian pengembangan tambak di Sulawesi Selatan untuk

merangsang dan bangkitnya kejayaan udang windu dengan

menggunakan Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and

89

Threats). SWOT adalah perangkat umum yang didesain dan

digunakan sebagai langkah awal dalam proses pembuatan keputusan

dan sebagai perencanaan strategis dalam berbagai terapan (Johnson

dkk, 1989 dan Bartol dkk ,1991). Analisis ini didasarkan pada logika

yang dapat memaksimalkan kekuatan-kekuatan (Strengths) dan

peluang-peluang (Opportunity) yang ada, namun secara bersamaan

dapat meminimalkan kelemahan-kelemahan (Weaknesses) dan

ancaman-ancaman (Threats).

Analisis kebijakan pengembangan budidaya udang windu

secara terpadu dilakukan dengan pendekatan analisis SWOT

dilakukan untuk merumuskan alternatif-alternatif strategi guna

memperoleh strategi yang dipilih untuk direkomendasikan kepada

pemerintah Sulawesi Selatan, terutama bagi stakeholder yang

berhubungan langsung dengan perencanaan pengelolaan perikanan

tambak udang windu di Sulawesi Selatan. Dalam hal ini, analisis

SWOT menyediakan frame dasar yang akan menghasilkan keputusan

situasional dalam menentukan arahan kebijakan pengembangan

budidaya udang windu di Sulawesi Selatan. Acuan Analisis SWOT,

yaitu keadaan yang menjadi pembanding untuk menetapkan apakah

suatu kondisi disebut sebagai kekuatan, kelemahan, peluang atau

ancaman.

Tahap analisis SWOT yang digunakan dalam menganalisis

data lebih lanjut yaitu dengan mengumpulkan semua informasi yang

mempengaruhi budidaya tambak udang windu di Sulawei Selatan,

Berikut adalah hasil identifikasi faktor internal dan eksternal yaitu:

90

a) Kekuatan atau Strenght (S)

Aspek pengelolaan lahan budidaya tambak udang di Sulawesi

Selatan bukan merupakan suatu hal baru bagi masyarakat di daerah

ini.Sejak dahulu masyarakat mengenal perikanan budidaya tambak

udang terutama udang windu sebagai salah satu komoditi ekspor dan

juga mata pencaharian di di Sulawesi Selatan walaupun pengelolaan

lahan tambak udang windu saat ini mengalami stagnasi akibat

munculnya beberapa jenis virus yang mematikan udang windu.

Terkait dengan hal tersebut, yang menjadi kekuatan pengelolaan lahan

budidaya tambak udang di Sulawesi Selatan yaitu:

Potensi lahan tambak yang luas

Potensi petambak udang/kelompok

Tersedia pembenihan berupa hatchery lengkap dan Hatchery skala

rumah tangga

Tersedianya sarana dan prasarana

Tersedinya tenaga penyuluh dan teknologi budidaya

b) Kelemahan atau Weaknesses (W)

Pengelolaan kawasan budidaya tambak udang di Provinsi

Sulawesi Selatan, memerlukan sumberdaya manusia yang memadai.

Petani tambaknya perlu ditingkatkan kualitasnya, demikian juga

penyuluh perikanannya perlu di tingkatkan kualitas dan kuantitasnya.

Selama ini juga belum terpadunya atau terkoordinasi di

antara komponen stakeholder tersebut serta inplementasi antar

stakeholder kurang bersinergi yang mengakibatkan peran-peran yang

semestinya dilakukan bersama-sama berjalan dengan secara sendiri-

sendiri dan akhirnya terjadi tumpang tindih.Akibatnya masyarakat

bersama dengan aparatur pemerintah yang telah ditunjuk untuk

91

melakukan pengawasan tidak dapat melakukan tugasnya secara rutin

akibat biaya yang tidak tersedia dalam rangka pengelolaan usaha

budidaya tambak. Terkait dengan hal tersebut, yang menjadi

kelemahan pengelolaan lahan budidaya tambak udang di Sulawesi

Selatan yaitu:

Kurangnya pemahaman masyarakat, tentang budidaya udang windu

yang berhasil/Lemahnya kemampuan sumberdaya manusia

Belum terkoordinasinya kegiatan instansi pemerintahan (termasuk

penyuluh) dan swasta dalam pemberdayaan masyarakat pembudidaya

udang

Belum diterapkannya sop pengembangan dan pedoman pelaksana

budidaya udang windu berbasis dempond

Benur yang bersertifikat masih terbatas

c) Peluang atau Opportunities (O)

Permintaan udang untuk pasar ekspor semakin meningkat

setiap tahunnya, karena harga udang stabil dan kompetitif sehingga

pengelolaan, perbaikan lahan dan lain-lainnya sangat perlu

ditingkatkan.Maka dari itu, Pemerintah Sulawesi Selatan bersama

stakeholder lainnya memberikan dukungan terhadap pemanfaatan

lahan.masyaarakat untuk membangkitkan kembali budidaya udang

windu, Pemerintah Daerah (PEMDA) dan pemerintah pusat

memberikan dukungan eskavator bagi petani tambak di dalam

perbaikan konstruksi tambak dan rehabiltasi tambak, jalan produksi,

pembenihan udang dan ikan, cold stroage, gudang, jempatan dan lain-

lain.

Sistem irigasi pertambakan yang semakin baik dan luas lahan

dan kualitas lahan untuk pengembangan budidaya tambak tersedia

92

sangat mendukung untuk perkembangan perekonomian masyarakat.

Dukungan modal kerja dan masukan dana dari investor terhadap

operasional petani tambak untuk membiayai proses produksinya

semakin meningkat, oleh sebab itu, Pemerintah Sulawesi Selatan

perlu memfasilitasi mendapatkan kredit pada bank-bank nasional agar

bisa meringankan beban para petani tambak dan untuk menghindari

konversi lahan ekosistem mangrove sampai memasuki kawasan

sempadan pantai atau zona hijau sepanjang wilayah pesisir pantai,

Dinas Perikanan dan Kelautan, Balai Lingkungan Hidup Daerah,

Dinas Kehutanan, Dinas Perkebungan, Dinas Tata Ruang dan

Bappeda Sulawesi Selatan perlu melakukan pembicaraan intensif

untuk menentukan batas-batas pengembangan kawasan tambak, sebab

tata ruang provinsi sulawsi selatan sudah memiliki kekuatan hukum

yang sudah jelas batas pengelolaan lokasi budidaya tambak masing

masing kabupaten termasuk analisis Zonasi rinci teknologi yang di

gunakan. Terkait dengan hal tersebut, yang menjadi peluang

pengelolaan lahan budidaya tambak udang di Sulawesi Selatan yaitu:

Dukungan industri udang dan Pemerintah Sulawesi Selatan

Pangsa Pasar yang Besar

Harga Udang windu Stabil dan Kompetitif

Luas lahan lahan untuk pengembangan budidaya tambak tersedia

Tata ruang/ZWP dan Zonasi Rinci budidaya udang tiap

kabupaten/Kota tersedia

d) Ancaman atau Threarts (T)

Pengelolaan budidaya udang windu merupakan komoditas

perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting, sehingga permintaan

produksi setiap tahunnya meningkat.Terkait dengan hal tersebut, air

93

limbah yang terbuang dari dalam areal budidaya dan bahan cemaran

lainnya termasuk ;imbah rumah tangga, peranian dan industri dan

terjadimya kerusakan mangrove yang semakin meningkat, Kondisi

tersebut menyebabkan daya dukung tambak semakin menurun,

sehingga sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya virus, bakteri

dan jamur yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas air, sehingga

berdampak pada kegiatan buidaya udang dengan menurunnya daya

dukung lingkungan. Terkait dengan hal tersebut, yang menjadi

ancaman pengelolaan lahan budidaya tambak udang di Sulawesi

Selatan yaitu:

• Jumlah produksi semakin menurun bahkan gagal panen akibat

penyakit

• Lemahnya Akses Terhadap Lembaga Permodalan

• Terjadinya Konversi tambak (Pembukaan lahan ekosistem

mangrove )

• Menurungnya daya Dukung Lingkungan

• Pembangunan yang tak terkendali sehingga merusak lingkungan.

2. Analisis Perumusan Alternatif Strategi

Untuk menggabungkan setiap komponen, baik faktor internal

maupun faktor eksternal digunakan analisis alternatif strategic dengan

menggunakan matriks SWOT. Adapun yang ingin dicapai adalah

keterkaitan antara faktor internal dan eksternal yakni perpaduan antara

faktor SWOT yang meliputi Strenght-Opportunities(WO); Weaknesses-

Opportunities (WO); Strenght-Threats (ST) dan Weaknesses-

Threats(WT), namun secara bersamaan juga dapat meminimalkan

kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats) (Rangkuti, 2009).

94

Adapun matriks IFAS dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) pada Pengelolaan Budidaya Tambak udang windu di Sulawesi Selatan

No Faktor-Faktor Strategi Internal Bobot Rating Skor KEKUATAN ( Strengths ) 1 Potensi lahan tambak yang luas 0,2 4 0,8 2 Jumlah petani cukup banyak 0,1 3 0,3 3 Memiliki irigasi tambak yang baik 0,1 2 0,6 5 Tersedianya sarana dan prasarana tambak 0,05 3 0,15 6 Teknologi tersedia 0,05 3 0,15 7 Perusahaan Pembenihan tersedia 0,05 2 0,01 Total Skor Kekuatan 2,01 KELEMAHAN ( Weakness )

1 Kualitas sumber daya manusia masih Rendah 0,15 3 0,45 2 Tenaga penyuluh terbatas dan tidak aktif 0,05 2 0,1 3 Benur yang bersertifikat masih terbatas 0,05 2 0,1

4 Biaya Produksi Besar dan tidak adanya skim kredit khusus 0,1 2 0,2

5 Terbatasnya Informasi Teknologi Bagi Petambak 0,05 2 0,1

6

Belum terkoordinasinya kegiatan instansi pemerintahan (termasuk penyuluh) dan swasta dalam pemberdayaan masyarakat pembudidaya udang

0,03 2 0,06

7 Sop budidaya udang windu belum di terapkan 0,02 2 0,04 Total skor Kelemahan 1,00 - 1,05 Total skor kekutan-kelemahan 0,96

95

Sedangkan hasil analisis untuk komponen SWOT pada faktor-faktor

matriks eksternal strategic factor analysis summary (EFAS) diperoleh

nilai skor disajikan pada Table 19. sebagai berikut:

Tabel 19. Matriks Faktor Strategi Eksternal pada Pengelolaan Budidaya Tambak di Provinsi Sulawesi Selatan

No Faktor-faktor strategi eksternal Bobot Rating Skor PELUANG(Opportunities) 1 Pangsa Pasar yang Besar 0,1 4 0,4 2 Harga Udang Stabil dan Kompetitif 0,2 2 0,4

3 Sistem irigasi pertambakan semakin

baik 0,1 2 0,2

4

Luas lahan dan kualitas lahan untuk

pengembangan budidaya tambak

tersedia 0,05 3 0,15

5

Tata ruang/ZWP dan Zonasi Rinci

budidaya udang tiap

kabupaten/Kota tersedia 0,1 1 0,1

Total skor Peluang 1,25

ANCAMAN (Threats)

1 jumlah produksi semakin menurun

bahkan gagal panen akibat penyakit

0,1 2 0,2

2 Kurangnya Akses Terhadap

Lembaga Permodalan 0,1 2 0,4

3

Perubahan lahan atau alih fungsi

lahan tambak menjadi kebun kelapa

sawit beberapa tempat berlangsung 0,1 1 0,1

4 Pembukaan lahan ekosistem 0,05 2 0,1

96

mangrove untuk menjadi tambak

terjadi

5 Menurungnya daya Dukung

Lingkungan 0,1 1 0.1

Total skor ancaman 1,00 - 0,90

Total skor peluang-ancaman 0,35

Berdasarkan dari Tabel 16 dan 17 dapat dilihat bahwa total skor

kekuatan di kurangi dengan total skor kelemahan 0,96 sedangkan total

skor peluang di kurangi total skor ancaman sebesar 0,35 data tersebut

kemudian di masukkan dalam matriks SWOT Yang dapat dilihat pada

Tabel 20.

Tabel 20. Matriks SWOT IFAS

EFAS

Kekuatan (S) Kelemahan (W)

Peluang (O) Strategi SO 2,02 + 2,01 = 4,03

Strategi WO 2,01 + 1,35 = 3,36

Ancaman (T) Strategi ST 2,02 + 1,25 = 3,27

Strategi WT 2.01 + 1,25 = 3,26

Dari perhitungan matriks swot, maka diperoleh nilai tertinggi

adalah SO sebesar 4,03 dengan demikian nilai tertinggi merupakan

strategi yang cocok dalam strategi bangkitnya kembali dan

pengembangan udang windu di Sulawesi Selatan, yaitu dengan

menciptakan strategi menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan

peluang dari hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 21.

97

Tabel 21. Hasil strategi SWOT

Faktor

Internal

Faktor Eksternal

STRENGTHS

(S)/Kekuatan Potensi lahan tambak

yang luas Potensi petambak

udang?kelompok Tersedia pembenihan

berupa hatchery

lengkap dan Hatchery

skala rumah tangga Tersedianya sarana dan

prasarana Tersedinya tenaga

penyuluh dan teknologi

budidaya

WEAKNESSES

(W)/Kelemahan Kurangnya

pemahaman

masyarakat, tentang

budidaya udang

windu yang

berhasil Lemahnya

kemampuan

sumberdaya

manusia Belum

terkoordinasinya

kegiatan instansi

pemerintahan

(termasuk

penyuluh) dan

swasta dalam

pemberdayaan

masyarakat

pembudidaya

udang Belum

diterapkannya sop

pengembangan dan

pedoman pelaksana

98

budidaya udang

windu berbasis

dempond Benur yang

bersertifikat masih

terbatas Kurangnya sarana

prasarana OPPORTUNITIE

S (O)/Peluang

Dukungan

industri udang

dan Pemerintah

Sul Sel Pangsa Pasar

yang Besar Harga Udang

windu Stabil

dan Kompetitif Luas lahan lahan

untuk

pengembangan

budidaya tambak

tersedia Tata ruang/ZWP

dan Zonasi Rinci

STRATEGI SO

Penerapan kebijakan

peran serta masyarakat,

instansi pemerintah dan

pelaku usaha dalam

mendukung Program

bangkitnya budidaya

udang windu

STRATEGI WO

Pengembangan

sarana dan fasilitas

pendukung

budidaya udang

windu

99

budidaya udang

tiap

kabupaten/Kota

tersedia

THREATS

(T)/Ancaman Jumlah produksi

semakin

menurun

bahkan gagal

panen akibat

penyakit Lemahnya

Akses Terhadap

Lembaga

Permodalan Terjadinya

Konversi tambak

(Pembukaan

lahan ekosistem

mangrove ) Menurungnya

daya Dukung

Lingkungan Pembangunan

yang tak

STRATEGI ST

Penetapan zonasi

wilayah produksi

budidaya udang Peningkatan rehabilitasi

ekosistem mangrove

dan mengurangi

konversi lahan

mangrove

STRATEGI WT

Peningkatan

kualitas para

petambak udang

100

terkendali

sehingga

merusak

lingkungan .

Strategi SO dibuat berdasarkan jalan pikiran yaitu dengan

memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan

peluang sebesar-besarnya. Program kerja yang dibuat untuk Penerapan

kebijakan peran serta masyarakat, instansi pemerintah dan pelaku usaha

dalam mendukung Program bangkitnya budidaya udang windu adalah:

a. Bantuan modal usaha pembudidaya udang windu

b. Pengadaan skim kredit murah bagi pembudidaya udang

c. Pengadaan bibit bersertifikat secara gratis atau harga bibit yang

murah atau bersubsidi

d. Rapat koordinasi antar instansi yang terkait

e. Workshop budidaya udang dengan pendekatan dempond

Strategi WO diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang

ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Program kerja

untuk strategi Pengembangan sarana dan fasilitas pendukung budidaya

udang windu:

a. Pembuatan dan perbaikan saluran primer dan sekunder

b. Pengadaan dempond centre masing masing zona produksi

c. Penetapan laboratorium kesehatan udang

d. Penyediaan sarana dan prasarana udang windu yang meliputi

probiotik, pupuk, pakan, saponin dll)

e. Penyediaan mobil ambulance untuk jasa pelayanan tambak

f. Rehabilitasi ekosistem mangrove

101

Strategi ST adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang

dimiliki untuk mengatasi ancaman.

• Program kerja untuk strategi Penetapan zonasi wilayah produksi

budidaya udang:

a. Penetapan zona dan taerget produksi secara bertahap

b. Penataan dan penyusunan tata ruang dan zonasi bagi daerah yang

belum ada dokumennya

c. Perda zonasi wilayah budidaya udang windu

• Program kerja untuk strategi Peningkatan rehabilitasi ekosistem

mangrove dan mengurangi konversi lahan mangrove:

a. Pemetaan lahan konservasi mangrove berbasis kerusakan

b. Penyuluhan tentang pentingnya ekosistem mangrove bagi budidaya

udang windu

Strategi WT berdasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive

dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari

ancaman. Program kerja untuk strategi Peningkatan kualitas para

petambak udang

a. Pelatihan/demponisasi setiap kabupaten

b. Peningkatan pemahaman bagi petambak untuk sumber benur yang

bersertifikat dengan penggolondongan

c. Pelatihan pembuatan probiotik secara alami

d. Pelatihan persipan lahan, pembesaran, pemeberantasan hama dan

penyakit serta monev kualitas air

e. Sosialisasi penggunaan teknologi budidaya udang yang ramah

lingkungan.

102

103

BAB VI. KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kesimpulan sebagai berikut

1. Hasil identifikasi masalah persentase petambak (responden) mulai dari

persiapan dasar tambak kurang dari 60%, penggunaan benur

bersertifikasi 40%, pemeliharaan (pemberian pakan dan manajemen

kualitas air) mencapai 40% dan hasil size udang rendah.

2. Hasil dari penerapan sistem teknologi budidaya udang windu dengan

sentuhan teknologi berbasis dempond dapat meningkatkan total

penerimaan produksi dengan R/C Ratio mencapai ,68 dibandingkan

non dempond dengan nilai R/C Ratio < 0,39

3. Strategi alternatif kebijakan dalam untuk bangkitnya kembali dan

pengembangan udang windu dapat dilakukan melalui peran serta

masyarakat, instansi pemerintah dan pelaku usaha dalam mendukung

Program bangkitnya budidaya udang windu

B. Saran

Penelitian ini menunjukkan hasil analisis usaha dari budidaya dengan

sistem dempond lebih baik dibandingkan dengan budidaya yang

dilakukan oleh petambak non dempond berdasarkan data R/C ratio.

Selain itu, sekolah lapang mampu meningkatkan wawasan keilmuan dan

managerial petambak udang. Oleh karena itu, pemerintah Provinsi

Sulawesi Selatan sudah bisa menjadikan hasil penelitian ini menjadi dasar

kebijakan walaupun sekolah lapang dan pembuatan dempond masih perlu

ditingkatkan bukan hanya di dua kabupaten tetapi juga dilaksanakan di

beberapa kabupaten lagi.

104

b. Rekomendasi Kebijakan

1. Petani tambak sebaiknya menggunakan aquainput bersertifikat

dan berasal dari perusahaan yang terakreditasi.

2. Menerapkan semua tahapan benur budidaya sesuai dengan

standar CPIB dan CBIB.

3. Benur yang akan dibudidayakan dalam kolam pembesaran

terlebih dahulu dipelihara pada kolam gelondongan selama satu

bulan

4. Peningkatan sistem imun udang windu dapat dilakukan melalui

penggunaan probiotik dan pakan campuran daun kopasanda,

walaupun masih perlu diuji cobakan pada tambak yang lain.

5. Pertumbuhan ekonomi baru dapat dilakukan dengan membuat

usaha gelondongan dan probiotik skala rumah tangga

c. Implikasi Kebijakan

1. Pemerintah membantu petani dalam pengadaan aquainput

bersertifikasi dan berasal dari perusahaan yang terakreditasi.

2. Pengadaan skim kredit murah bagi pembudidaya udang

3. Workshop budidaya udang dengan pendekatan dempond perlu

dilanjutkan di beberapa kabupaten lain.

105

DAFTAR PUSTAKA [FAO] Food and Agriculture Organization. 2008. Fisheries and

Aquaculture Circular No. 1034: A Review On Culture, Production and Use of Spirulina as Food For Humans and Feeds For Domestic Animals and Fish. Rome : ISBN 978-92-5- 106106-0.

Amri K. 2003. Budidaya Udang Windu secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Castro RI., Zarrab, dan Lamas J. 2004, Water-soluble Seaweed Extracts Modulate the Pantoeaagglomerans lipopolysaccharide (LPS). FishShellfish Immunol, 10: 555–558.

Chang PS., Tasi DH., Huang CY., Wang CH., Chiang HC., Lo CF. 1996. Development and Evaluation of Dot Blot Analysis for Detection of White Spot Syndrome Baculovirus (WSVB) in Penaeus monodon.

Djuanedi A., Susilo H., dan Sunaryo. 2016. Kualitas Air Media Pemeliharaan Benih Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) dengan Sistem Budidaya yang Berbeda. Jurnal Kelautan Tropis. 19(2):171-178.

Hatmanti A. 2003. Penyakit Bakterial Pada Budidaya Krustasea Serta Cara penanganannya. Oseana. 28 (3): 1-10.

Kono, T., R. Savan, and T. Itami. 2004. Detection of White Spot Sindrome Virus in Shrimp by Loop-Mediated Isothermal Amplification. J. Virol. Methods.115 :59-65.

Lidaenni, A., 2008. Pengaruh pemberian bakteri agen biokontrol Vibrio SKT-b dengan dosis yang berbeda terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva udang windu, Penaeus monodon. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Manoppo H., Kolopita M. E. F., 2015 Pengimbuhan ragi roti dalam pakan meningkatkan respons imun nonspesifik dan pertumbuhan ikan nila. Jurnal Veteriner 16(2):204- 211.

Murtidjo BA., 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kanisius. Yogyakarta.

Nainggolan H., Rahmantya K.F, Asianto A.D, Wibowo W, Wahyuni T, Zunianto A, Ksatrya S.P., dan Malika R. 2018. Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2018. Pusat Data, Statistik dan Informasi. Jakarta.

Nawang, A., I. Trismawanti, dan A. Parenrengi. 2015. Produktivitas telur dan daya tetas induk udang windu (Penaeus monodon) asal Aceh

106

dan Takalar. Dalam: Sugama et al. (eds.). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya. Jakarta. Hlm.:701-707.

Nurasa T. dan Supriadi H. 2012. Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (Sl-Ptt) Padi: Kinerja Dan Antisipasi Kebijakan Mendukung Swasembada Pangan Berkelanjutan. Analisis Kebijakan Pertanian 10 (4): 313-329.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. 2018. Rancangan Awal RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2023. Makassar.

Rukyani A. 2000. Masalah Penyakit Udang dan Harapan Solusinya. Sarasehan Akuakultur Nasional. Bogor.

Suyanto SR, Mujiman A. 2003. Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar Swadaya.

Suwoyo HS. dan Sahabuddin. 2017. Performa Pertumbuhan Calon Induk Udang Windu Penaeus monodon Transfeksi pada Generasi yang Berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 9 (1): 185-199.

Tewary A., Patra B. C., 2011 Oral administration of baker’s yeast (Saccharomyces cerevisiae) acts as a growth promoter and immunomodulator in Labeo rohita (Ham.). Journal of Aquaculture Research and Development 2(1):1-7.

Zulfa M., Ginting M. dan Fauzia L. Sikap Petani terhadap Program Demplot Pertanian Organik. Journal of Agriculture and Agribusiness Socioeconomics. 2(7): 1-15.

107

LAMPIRAN

Lokasi Dempond di Kabupaten Pangkep

Lokasi Dempond Kabupaten Pangkep

108

Focus Group Discussion (FGD) di lapangan

109

110

111

112

113

114