Upload
khangminh22
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
HALAMAN SAMPUL
LAPORAN AKHIR
PENGEMBANGAN UDANG WINDU UNTUK MEWUJUDKAN PERTUMBUHAN EKONOMI BARU DAERAH DAN
PENINGKATAN DAYA SAING KOMODITAS UNGGULAN SULAWESI SELATAN
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH
PROVINSI SULAWESI SELATAN
TAHUN 2021
ii
PENGEMBANGAN UDANG WINDU UNTUK MEWUJUDKAN PERTUMBUHAN EKONOMI BARU DAERAH DAN
PENINGKATAN DAYA SAING KOMODITAS UNGGULAN SULAWESI SELATAN
Pengarah : Kepala Bappelitbangda Provinsi Sulawesi Selatan
Penanggung jawab : Kepala Bidang Penelitian & Pengembangan Provinsi Sulawesi Selatan
Tim Peneliti :
Dr. Ir. Asbar, M.Si. (Ketua) Prof. Dr. Ir. Muh. Kasnir (Anggota)
Dr. Ir. Harlina, MP. (Anggota) Dr. Ir. Andi Tamsil, MS (Anggota) Ir. Muh. Saenong, MP. (Anggota)
Yuliana Rauf, ST, M.PFis. (Anggota) St. Suryani, ST. (Anggota)
Tim Pengendali Mutu :
Prof. Dr. Yushinta Fujaya, M.Si
Prof. Dr. Ir. Zainuddin, M.Si
HALAMAN IPTA Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang memperbanyak atau menyebarluaskan sebagian atau seluruh Laporan
tanpa seizin terlulis dari Bappelitbangda Prov. Sulsel
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN, PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAERAH
PROVINSI SULAWESI SELATAN
TAHUN 2021
iii
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi persoalan budidaya udang windu dalam rangka untuk memulihkan kembali kejayaan udang windu serta meningkatkan produktivitas yang berdaya saing; mengaplikasikan sistem teknologi budidaya udang windu dengan sentuhan teknologi berbasis dempond melalui sekolah lapang; dan memformulasikan alternatif kebijakan dalam mendorong bangkitnya kembali kejayaan undang windu di Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian dilakukan di Kabupaten Pangkep dan Bone. Data yang diperoleh berupa data primer hasil wawancara, FGD, observasi kondisi eksisting tambak, dan sekolah lapang. Data dianalisis secara deskriptif, analisis kelayakan, analisis SWOT – AHP. Hasil penelitian berupa karakterisasi responden, permasalahan dalam berbudidaya dan efektivitas sekolah lapang yang dibuktikan dengan adanya peningkatan kapasitas berbudidaya setelah dilakukan sekolah lapang, analisis kelayakan usaha dari tambak dempond yang memiliki nilai R/C ratio > 1 dan analisis SWOT-AHP yang dapat digunakan dalam menghasilkan luaran kebijakan.
iv
ABSTRACT This research was to identify the problems of tiger shrimp farming to restore the glory of tiger shrimp and increase the productivity; applying the technology system for tiger shrimp culture with a touch of dempond-based technology through field schools; and formulating alternative policies in encouraging the revival of the tiger shrimp in South Sulawesi. The research location was conducted in Pangkep and Bone Regencies. The data were obtained in the form of primary data from interviews, FGDs, observations of the existing condition of ponds, and field schools. The data were analyzed descriptively, feasibility study, SWOT - AHP analysis. The results of the study include characterization of respondents, problems in shrimp farming and effectiveness of field schools as evidenced by an increase in aquculture capacity after field schooling, business feasibility sutdy of dempond that have an R/C ratio > 1 and SWOT-AHP analysis can be used to produce policy output.
v
RINGKASAN EKSEKUTIF Ketahanan ekonomi di Provinsi Sulawesi selatan dapat didukung
melalui peningkatan daya saing produk unggulan. Udang windu (Penaeus
monodon) merupakan salah satu komoditas primadona bagi petambak
karena nilai ekonomis tinggi. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
mencanangkan peningkatan produksi udang windu hingga 500 kg/ha.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi persoalan budidaya
udang windu dalam rangka untuk memulihkan kembali kejayaan udang
windu serta meningkatkan produktivitas yang berdaya saing;
mengaplikasikan sistem teknologi budidaya udang windu dengan
sentuhan teknologi berbasis dempond melalui sekolah lapang; dan
memformulasikan alternatif kebijakan dalam mendorong bangkitnya
kembali kejayaan undang windu di Sulawesi Selatan.
Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kabupaten Bone dan
Pangkep. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari responden
atau hasil observasi dari lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan
merupakan data primer karena berasal dari masalah yang dihadapi oleh
petani tambak selama ini dan yang dihadapi pada tambak dempond.
Sumber data berasal dari data tambak dempond dan data petani tambak di
luar dari petak percontohan. Data diperoleh melalui wawancara dan
diskusi dengan petani tambak saat identifikasi masalah sebelum
dilakukan sekolah lapang dan saat sekolah lapang. Selain itu, data juga
berasal dari hasil observasi terhadap kondisi tambak dan lingkungannya.
Data yang didapatkan dari lapangan dikumpulkan, dianalisis dan
diberikan solusi saat dilakukan sekolah lapang dan pemberian contoh
melaui dempond gelondongan dan pembesaran. Metode analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, analisis
vi
kelayakan, analisis SWOT - AHP. Metode analisis deskriptif digunakan
untuk analisa kondisi eksistin dan lingkungan budidaya udang windu di
Kabupaten Bone dan Pangkep serta kontribusi kegiatan budidaya udang
windu di Kabupaten Bone dan Pangkep terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat sekitar.
Efektivitas dari sekolah lapang dievaluasi dengan melihat hasil
pretest dan posttest dari perserta sekolah lapang. Berdasarkan data pretest
yang diperoleh, pengetahuan tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik
(CBIB) dari calon peserta dempond di Kabupaten Bone masih kurang
baik. Selain wawasan yang masih kurang berdasarkan hasil pretest, para
petambak juga menganggap penerapan CBIB susak diaplikasikan. Akan
tetapi setelah dilakukan sekolah lapang, umumnya nilai peserta sekolah
lapang lebih baik dari sebelumnya (pretest). Walaupun demikian, peserta
sekolah lapang masih perlu meningkatkan pengetahuan mereka mengenai
pembesaran udang windu. Kegiatan lain seperti pakan, probiotik dan
panen sudah baik namun rerata nilai indikator yang didapatkan oleh calon
peserta masih belum optimal.
Teknologi dempond yang diterapkan mampu menghasilkan
pendapatan hingga 20 jutaan sedangkan non dempond hanya 3 juta lebih.
Tingginya penerimaan tersebut dipicu dari hasil pemeliharaan dengan
menggunakan benur gelondongan satu bulan dan pemberian pakan
dengan campuran kopasanda. Daun kopasanda ternyata dapat
meningkatkan survival rate dan menurunkan FCR. Dari hasil R/C ratio
ternyata produksi dempond layak untuk di kembangkan karena R/C >1,
sedangkan non dempong R/C<1 atau tidak layak.
Berdasarkan dari Analisis SWOT-AHP, maka beberapa hal yang
dapat disimpulkan antara lain: petani tambak sebaiknya menggunakan
vii
benih bersertifikat SPF dan SPR; benur yang akan dibudidayakan dalam
kolam pembesaran terlebih dahulu dipelihara pada kolam gelondongan
selama satu bulan; peningkatan sistem imun udang windu dapat
dilakukan melalui penggunaan probiotik dan pakan campuran daun
kopasanda; pertumbuhan ekonomi baru dapat dilakukan dengan membuat
usaha gelondongan dan probitoik skala rumah tangga
viii
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah subhaana wata’ala atas Rahmat dan
KaruniaNya sehingga penyusunan laporan akhir dari penelitian
“Pengembangan Udang Windu untuk Mewujudkan Pertumbuhan
Ekonomi Baru Daerah dan Peningkatan Daya Saing Komoditas Unggulan
Sulawesi Selatan” Tahun 2021 dapat diselesaikan. Penelitian ini
dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan
Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Provinsi Sulawesi Selatan
berkerja sama dengan Universitas Muslim Indonesia.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat disosialisasikan oleh
pemerintah kepada masyarakat dan stakeholder lainnya agar para
petambak dapat mengadopsi dan meningkatkan pendapatan dan tarah
hidup mereka (petani tambak udang windu). Semoga apa yang dilakukan
oleh Bappelitbangda Provinsi Sulawesi Selatan bekerja sama dengan
Universitas Muslim Indonesia dapat bermanfaat bagi masyarakat dan
Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan.
Makassar, Desember 2021
Kepala Badan
Ir. A. Darmawan Bintang, MDevPlg Pangkat : Pembina Utama Madya Nip: 196704271993031015
ix
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL………………………………………… i SUSUNAN TIM PENELITI……………………………………... ii ABSTRAK……………………………………………………… iii ABSTRACT…………………………………………………… iv RINGKASAN EKSEKUTIF………………………………….. v KATA PENGANTAR…………………………………………. viii DAFTAR ISI…………………………………………………… ix DAFTAR TABEL……………………………………………… xii DAFTAR GAMBAR…………………………………………... xiii BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………… 1
A. Latar Belakang……………………………………………. 1 B. Rumusan Masalah………………………………………… 2 C. Maksud dan Tujuan……………………………………….. 3 D. Sasaran……………………………………………………. 3 E. Ruang Lingkup Kegiatan………………………………….. 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................... 5 A. Udang Windu...................................................................... 5 B. Benur……………………………………………………… 7 C. Sekolah Lapang…………………………………………… 9 D. Dempond………………………………………………….. 10 G. Analisis SWOT……………………………………………. 11 H. Konsep AHP (Analytical Hierarchy Process)……………... 12
1) Prosedur AHP………………………………………….. 14 2) Kelebihan dan kelemahan AHP………………………... 15 3. Tahapan AHP……………………………………………. 17
BAB 3 METODOLOGI………………………………………… 21 A. Objek dan Subjek Penelitian……………………………… 21
x
1. Objek Penelitian………………………………………… 21 2. Subjek Penelitian………………………………………… 21
B. Jenis Data………………………………………………….. 21 C. Teknik Pengambilan………………………………………. 23
BAB 4 ANALISIS DATA............................................................. 27 A. Analisis Deskriptif………………………………………… 27 B. Analisis SWOT……………………………………………. 28
1. Matriks faktor strategi eksternal………………………… 29 2. Matriks faktor strategi internal………………………….. 31
C. Analisis AHP……………………………………………… 34 BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN………………………… 36
A. Karakteristik Responden Hasil Survey…………………… 36 1. Tingkat umur………………………………………….. 37 2. Tingkat Pendidikan…………………………………… 38 3. Luas Lahan…………………………………………… 40 4. Pengalaman Usaha Tambak Udang Windu…………….. 41
B. Identifikasi Masalah………………………………………. 42 1. Persiapan lahan………………………………………… 42 2. Benur………………………………………………….. 49 3. Pemeliharaan………………………………………….. 54 4. Panen………………………………………………….. 56
C. Sekolah Lapang di Kabupaten Pangkep dan Bone……….. 59 D. Teknis Budidaya di Lokasi Dempond…………………….. 67
1. Persiapan Lahan…………………………………………. 67 2. Benur……………………………………………………. 74 3. Pemeliharaan……………………………………………. 77 4. Panen……………………………………………………. 80
E. Daya saing dan Pertumbuhan Ekonomi…………………... 81
xi
F. Analisis Strategi Kebijakan Pengembangan Budidaya Tambak Udang Windu di Sulawesi Selatan……………………………… 88
1. Identifikasi Komponen SWOT………………………………. 88 2. Analisis Perumusan Alternatif Strategi……………….......... 93
BAB 6 KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN…………………………………………………………. 103
A. Kesimpulan…………………………………………………….. 103 B. Saran……………………………………………………… 103 b. Rekomendasi Kebijakan………………………………….. 104 c. Implikasi Kebijakan………………………………………. 104
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………… 105 LAMPIRAN…………………………………………………….. 107
xii
DAFTAR TABEL Tabel 1. formulasi pakan udang windu (% berat kering)………. 26 Tabel 2. EFAS………………………………………………….. 30 Tabel 3. IFAS…………………………………………………… 31 Tabel 4. Keterangan Skala AHP………………………………… 35 Tabel 5. Indikator Parameter Benuh yang digunakan pada petani
tambak………………………………………………… 53 Tabel 6. Indikator parameter pemeliharan hasil yang berasal dari
responden petambak…………………………………... 54 Tabel 7. Beberapa parameter hasil panen yang berasal dari responden
petambak…………………………………... 59 Tabel 8. Hasil Pre Test Calon Peserta Dempond Kabupaten
Pangkep………………………………………………. 60 Tabel 9. Hasil Post Test Peserta Dempond Kabupaten Pangkep... 62 Tabel 10. Hasil Pre Test Calon Peserta Dempond Kabupaten
Bone………………………………………………….. 64 Tabel 11. Hasil Post Test Peserta Dempond Kabupaten Bone…. 66 Tabel 12. Parameter tanah dan perlakuan………………………. 70 Tabel 13. Paramater tanah dan nilai kisaran……………………. 74 Tabel 14. Data hasil produksi Dempond dan Non Dempond di
Kabupaten Pangkep untuk indikator daya saing……... 82 Tabel 15. Data produksi udang windu 2021 di Provinsi Sulawesi
Selatan………………………………………………... 83 Tabel 16. Analsis Kelayakan Dempond dan Non Dempond di
Kabupaten Pangkep…………………………………... 85 Tabel 17. Analsis Kelayakan Usaha Budidaya Udang Windu di
Kabupaten Bone……………………………………… 86 Tabel 18. Matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) pada Pengelolaan
Budidaya Tambak udang windu di Sulawesi Selatan……………………………………… 94
Tabel 19. Matriks Faktor Strategi Eksternal pada Pengelolaan Budidaya Tambak di Provinsi Sulawesi Selatan……... 95
Tabel 20. Matriks SWOT……………………………………….. 96 Tabel 21. Hasil strategi SWOT…………………………………. 97
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Peta Kesesuaian Lahan Tambak Kabupaten Pangkep dan
Bone……………………………………………. 22 Gambar 2. Analisis SWOT……………………………………… 28 Gambar 3. Umur responden…………………………………….. 37 Gambar 4. Tingkat pendidikan responden……………………… 39 Gambar 5. luas lahan (ha) tambak yang dikerjakan……………. 40 Gambar 6. Pengalaman usaha tambak responden………………. 41 Gambar 7. Persiapan dasar tambak……………………………… 43 Gambar 8. Pengeringan dasar tambak…………………………… 44 Gambar 9. Pengolahan tambak………………………………….. 46 Gambar 10. Perbaikan keasaman tanah…………………………. 47 Gambar 11. Pemupukan…………………………………………. 47 Gambar 12. Pemberantasan hama dan penyakit………………… 48 Gambar 13. size hasil panen petani tambak di Kabupaten Bone dan
Pangkep………………………………………… 58 Gambar 14. Pengapuran Tanah dasar Tambak…………………. 72 Gambar 15. Aklimatisasi sebelum penebaran benur……………. 76 Gambar 16. Pengamatan pertumbuhan dan kesehatan udang…… 79 Gambar 17. Panen……………………………………………….. 80
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan Sulawesi Selatan berdasarkan RJPMD mengusung
visi inovatif, produkti, kompetitif, inklusif dan berkarakter. Visi yang
dicanangkan gubernur menghasilkan turunan misi yang diantaranya (1)
mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang produktif serta
(2) meningkatkan produktivitas dan daya saing produk perekonomian
rakyat serta melestarikan lingkungan hidup dan sumberdaya alam (RPJM
Sulawesi Selatan, 2018 -2023). Berdasarkan misi tersebut program
kegiatan diharapkan dapat mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan
ekonomi baru sesuai keunggulan komparatif wilayah serta meningkatkan
produktivitas dan daya saing produk prekonomian rakyat serta
melestarikan lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Kegiatan yang
dilakukan mendukung peningkatan ketahanan ekonomi wilayah antara
lain melalui peningkatan daya saing produk unggulan.
Sulawesi selatan memiliki nilai produksi perikanan budidaya
lebih dari 9 triliun pada tahun 2016 atau yang tertinggi di wilayah pulau
Sulawesi (Nainggolan et al., 2018). Tingginya nilai tersebut juga
dipengaruhi oleh luas tambak udang yang mencapai 111.038, 7 ha pada
tahun 2016 atau terjadi peningkatan dari tahun sebelumnya dengan luas
109.561,0 ha. Sekitar 92,7 persen masih dikelola dengan teknologi
sederhana (tradisional), 6,2 persen dengan teknologi madya (semi
intensif), dan 1,1 persen dengan teknologi maju (intensif). Tenaga kerja
yang terserap dari kegiatan budidaya perikanan sebanyak 156.000 jiwa,
(DKP Sulsel, 2009). Salah satu komoditas yang sedang digalakkan oleh
pemerintah Sulawesi Selatan adalah udang windu (Penaeus monodon).
2
Udang windu (P. monodon) merupakan salah satu primadona
bagi petambak karena harga jual yang lebih mahal. Udang windu (P.
monodon) merupakan udang asli Indonesia. Jumlah produksi udang
secara umum pada tahun 2017 mencapai 43,03 ribu ton atau naik 3,2
persen dari tahun 2016 sebesar 41,64 ton. Sedangkan data produksi udang
windu (Penaues monodon) Sulawesi Selatan pada tahun 2013 mencapai
15.319,1 ton atau hanya berada pada posisi ke-6 di Indonesia (Rahmantya
et al., 2018). Sedangkan data produksi udang windu di Sulawesi Selatan
pada tahun 2019 mencapai 10.370,2 ton.
Komoditas udang khususnya windu menjadi andalan bagi
pemasukan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja Provinsi Sulawesi
Selatan. Sekitar 80 persen kontribusi devisa negara berasal dari usaha
komoditas udang. Akan tetapi, budidaya udang windu mengalami
collapse sejak tahun 1998. Produksi rata-rata yang dihasilkan sekitar 284
kg/ha/MT senilai Rp 26.980.000 dengan lima kali MT per tahun dan
biaya produksi per MT sekitar Rp 5.000.000,-. Setahun pembudidaya
udang windu berpotensi mendapat penerimaaan sebesar Rp 134.900.000,-
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mencanangkan
peningkatan produksi udang windu hingga 500 kg/ha. Rerata produksi
udang windu saat ini masih jauh dari target. Akibat akumulasi pestisida,
FCR yang tinggi, pengolahan air yang tidak tepat, penurunan kualitas
benur dan serangan penyakit merupakan serangkaian masalah yang
dihadapi oleh udang windu dan pembudidaya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan potensi, tantangan dan permasalahan yang dihadapi
pada pengembangan budidaya udang windu saat ini dan di masa datang,
maka dirumuskan permasalahan kegiatan sebagai berikut :
3
1. Bagaimana mengidentifikasi persoalan budidaya udang windu dalam
rangka untuk memulihkan kembali kejayaan udang windu serta
meningkatkan produktivitas yang berdaya saing.
2. Bagaimana mengaplikasikan sistem teknologi budidaya udang windu
dengan sentuhan teknologi berbasis dempond melalui sekolah lapang.
3. Bagaimana memformulasikan alternative kebijakan dalam mendorong
bangkitnya kembali kejayaan undang windu di Sulawesi Selatan.
C. Maksud dan Tujuan
1. Mengidentifikasi persoalan budidaya udang windu dalam rangka
untuk memulihkan kembali kejayaan udang windu serta meningkatkan
produktivitas yang berdaya saing.
2. Mengaplikasikan sistem teknologi budidaya udang windu dengan
sentuhan teknologi berbasis dempond melalui sekolah lapang.
3. Memformulasikan alternatif kebijakan dalam mendorong bangkitnya
kembali kejayaan undang windu di Sulawesi Selatan.
D. Sasaran
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan kegiatan, maka
manfaat yang diharapkan dari hasil kegiatan sebagai berikut :
1. Meningkatnya produksi udang windu sebagai komoditas unggulan
ekspor Sulawesi Selatan.
2. Meningkatnya pendapatan dan taraf hidup petani tambak.
3. Meningkatnya kapasitas dan wawasan petani budidaya udang windu
dalam berinovasi dan solusi penanggulangan masalah kawasan
tambak
4
E. Ruang Lingkup Kegiatan
1. Mengevaluasi kondisi eksisting tambak di Kabupaten Pangkep dan
Bone.
2. Melakukan sekolah lapang di Kabupaten Pangkep dan Bone
3. Membuat tambak percontohan dengan sistem modular
4. Menghitung daya saing dan pertumbuhan ekonomi
5. Membuat analisis strategi yang dapat menghasilkan luaran kebijakan
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Udang Windu
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan asli Indonesia yang
harus tetap dikembangkan. Meskipun saat ini, produksinya masih kalah
dengan udang vannamei (Litopenaeus vannamei), tetapi pasar untuk
udang windu masih terbuka lebar, sehingga tetap perlu didukung dengan
ketersediaan induk dan benih yang kontiyu. Udang windu merupakan
salah satu komoditas unggulan di Asia (FAO 2008). Hal ini dikarenakan
udang windu memiliki beberapa kelebihan, diantaranya memiliki ukuran
panen yang lebih besar, rasa yang manis, gurih, dan kandungan gizi yang
tinggi. Besarnya potensi budidaya dari udang windu memacu para
petambak untuk memaksimalkan produksi (Amri, 2003).
Udang windu (Penaeus monodon) memiliki sifat-sifat dan ciri
khas yang membedakannya dengan udang-udang yang lain. Udang windu
(Penaeus monodon) bersifat Euryhaline, yakni secara alami bisa hidup di
perairan yang berkadar garam dengan rentang yang luas, yakni 5-45%.
Kadar garam ideal untuk pertumbuhan udang windu (Penaeus monodon)
adalah 19-35%. Sifat lain yang juga menguntungkan adalah ketahanannya
terhadap perubahan temperature yang dikenal dengan eurythemal
(Lidaenni, 2008).
Adapun klasifikasi udang windu (Penaeus monodon) menurut
Amri (2003) berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Family : Penaeidae
Genus : Penaeus
Species : Penaeus monodon
6
Dalam dunia perdagangan, udang windu (Penaeus monodon)
dikenal dengan sebutan udang pancet, jumbo tiger prawn, giant tiger
prawn, black tiger prawn atau black tiger shrimp.Secara morfologi,
tubuh udang windu terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian kepala
hingga dada dan abdomen yang meliputi bagian perut dan ekor. Bagian
kepala dada disebut cephalothorax yang dilapisi dengan carapace.
Bagian ini terdiri dari kepala dengan 5 segmen dan dada dengan 8
segmen. Bagian abdomen terdiri atas 6 segmen dan 1 telson (Murtidjo,
2003).
Bagian kepala, dada terdapat anggota-anggota tubuh lain yang
berpasang – pasangan berturut-turut dari muka kebelakang adalah sungut
kecil (antennula), sirip kepala (Scophocerit), sungut besar (antenna),
rahang (mandibulla), alat-alat pembantu rahang (maxilla) yang terdiri
dari dua pasang maxilliped yang terdiri atas tiga pasang, dan kaki jalan
(periopoda) yang terdiri atas lima pasang, tiga pasang kaki jalan yang
pertama ujung-ujungnya bercapit yang dinamakan chela (Suyanto dan
Mujiman, 2003).
Bagian perut terdapat lima pasang pleopoda, pada ruas ke enam
kaki renang berubah bentuk menjadi uropoda. Ujung ruas keenam kearah
belakang membentuk telson (Suyanto dan Mujiman, 2003). Udang windu
termasuk hewan heterosexual karena mempunyai jenis kelamin jantan
dan betina yang dapat dibedakan dengan jelas. Jenis udang windu betina
dapat diketahui dengan adanya telikum pada kaki jalan ke-4 dan ke-5.
Telikum berupa garis tipis dan akan melebar setelah terjadi fertilisasi.
Sementara jenis kelamin udang windu jantan dapat diketahui dengan
adanya petasma yaitu tonjolan diantara kaki renang pertama (Murtidjo,
2003).
7
Udang windu bersifat omnivora dan seringkali bersifat kanibal
karena memakan udang yang sedang moulting. Udang windu tergolong
hewan nocturnal karena sebagian besar aktifitasnya seperti makan
dilakukan malam hari. Kulit udang windu tidak elastis dan akan berganti
kulit selama pertumbuhan. Frekuensi pergantian kulit ditentukan oleh
jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, usia dan kondisi
lingkungan. Setelah kulit lama terlepas udang windu dalam kondisi lemah
karena udang baru belum mengeras. Pada saat ini udang mengalami
pertumbuhan sangat pesat diikuti dengan penyerapan sejumlah air,
semakin cepat udang berganti kulit maka pertumbuhan semakin cepat
(Murtidjo, 2003).
B. Benur
Produktivitas udang windu dipengaruh oleh kualitas benih.
Permasalahan yang sering dihadapi oleh petani tambak dalam budidaya
udang adalah tingginya kematian benih udang sewaktu penebaran di
tambak. Kematian bisa disebabkan oleh infeksi patogen dan perubahan
kualitas air secara fluktuatif. Pemeliharaan benih udang dengan sistem
yang buruk dapat menurunkan kualitas air hingga mengganggu atau
membahayakan kehidupan benih udang yang dipelihara (Djuanedi et al.,
2016). Penurunan mutu lingkungan dan ketersediaan benih yang tidak
bermutu sering memicu munculnya penyakit udang yang menyebabkan
kegagalan dalam usaha budidaya di tambak.
Produksi udang windu saat ini masih dianggap kurang optimal.
Salah satu penyebabnya adalah infeksi penyakit. Menurut Kono et al,
(2004) bahwa virus salah satu penyebab utama mortalitas udang windu.
White spot merupakan penyakit yang paling banyak menimbulkan
kerugian secara ekonomi, diperkirakan lebih dari 300 juta dollar AS per
8
tahun (Rukyani, 2000). Penularan WSSV sangat cepat dan menyebabkan
kematian 100% dalam waktu 3-10 hari sejak timbul gejala klinis. Virus
ini dapat menginfeksi udang pada post larva (PL) sampai ukuran 40 g.
Penyebaran WSSV dapat secara vertikal melalui induk menularkan ke
larvanya dan secara horizontal melalui air (waterborne transmission),
kotoran udang yang terinfeksi, kanibalisme, makanan alami/segar jenis
krustasea dan hama tambak jenis krustasea (Kono et al., 2004). Dalam
sistem budidaya, WSSV dapat ditransmisikan melalui air yang
terkontaminasi (Chang et al., 1996).
Virus lain yang sering menyerang udang windu adalah MBV,
IHHNV dan HPV Keberadaan virus tersebut menyebabkan udang windu
menjadi kerdil. Serang virus tidak hanya terjadi pada ukurang larna
namun juga ukuran dewasa. Keberadaan virus tersebut di tambak
disebabkan oleh benih, dari karier, air tambak, feses dan pemangsaan
udang yang terinfeksi. Deteksi dini pada benih dapat mencegah
peledakan populasi virus penyakit kerdil di tambak (Sriwulan dan
Anshary, 2011).
Bakteri yang sering ditemukan menginfeksi udang windu dan
menyebabkan kematian massal adalah Vibrio harveyi. Bakteri ini
merupakan penyebab penyakit kunang-kunang atau penyakit berpendar,
karena krustasea yang terinfeksi akan terlihat terang dalam keadaan gelap
(malam hari). Pada dasarnya bakteri ini bersifat oportunistikdan akan
menjadi patogen jika pada media pemeliharaannya terjadi goncangan
secara drastik, seperti perubahan suhu, pH, salinitas dan faktor lainnya.
Selain Aeromonas sp., Shigella spp., Pseudomonas spp., Citrobacter spp.,
Yersinia spp. dan Proteus spp., Shigella spp. dan Pseudomonas spp.
merupakan bakteri patogen bagi biota, sedangkan Citrobacter spp.,
9
Yersinia spp. dan Proteus spp. pada awalnya bukan merupakan patogen,
namun pada suatu saat apabila kondisi lingkungannya memungkinkan
dapat pula menyebabkan penyakit (bersifat oportunis) (Hatmanti, 2003).
C. Sekolah Lapang
Sekolah Lapang merupakan salah satu sekolah non formal bagi
petani. Sekolah lapang diharapakan menjadi media dari proses transfer of
knowledge kepada petani. Dalam sekolah lapang petani akan belajar dan
berdiskusi dalam memecahkan persoalan mereka di tambak dan
lingkungannya. Petani diajarkan langsung untuk mengalami,
mengungkapkan, menganalisis, menyimpulkan dan menerapkan
(melakukan/mengalami kembali), menghadapi dan memecahkan
masalah-masalah terutama dalam hal teknik budidaya dengan mengkaji
bersama berdasarkan spesifik lokasi (Sugianto, 2008).
Dalam pertanian, pemerintah melakukan Sekolah Lapang
Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Kegiatan tersebut merupakan
tempat pendidikan non formal bagi petani untuk meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan dalam mengenali potensi, menyusun
rencana usaha tani, mengatasi permasalahan, mengambil keputusan dan
menerapkan teknologi yang sesuai dengan kondisi sumberdaya setempat
secara sinergis dan berwawasan lingkungan sehingga usaha taninya
menjadi efisien, berproduksi tinggi dan berkelanjutan (Nurasa dan
Supriadi, 2012).
Kegiatan sekolah lapang merupakan salah satu program
pembangunan pertanian yang menerapkan model pemberdayaan petani
dengan meningkatkan kualitas dan kapasitas petani melalui percepatan
adopsi teknologi atau pengetahuan yang seluruh proses belajar
mengajarnya dilakukan di lapangan (Jaliel dan Sadono 2013). Dalam
10
proses kegiatan sekolah lapang peran penyuluh sangatlah penting dalam
meningkatkan kualitas sumber daya petani/peternak (Riana et al., 2015).
Menurut UU Nomor 16 tahun 2016 tenaga penyuluh terdari dari
penyuluh PNS, penyuluh Swasta, dan penyuluh Swadaya. Penyuluh
pertanian adalah petugas yang melakukan pembinaan dan berhubungan
atau berhadapan langsung dengan petani (Berlian, 2011). Peran penyuluh
yang diamati terdiri dari ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan
informasi, dukungan kelompok tani, dan intensitas penyuluhan.
D. Dempond
Dempond atau istilah demplot (demonstrasi plot) merupakan
salah satu metode terbaik untuk memperbaiki hasil, dan dimanfaatkan
oleh para penyuluh untuk memperoleh perubahan perilaku yang
diinginkan di masyarakat pedesaan. Dengan demplot akan terjadi situasi
pembelajaran, serta komunikasi dan interaksi antara penyuluh dan petani.
Setidaknya melalui FGD dan demplot akan ada perubahan pengetahuan,
opini, aspirasi dan keterampilan; yaitu perubahan perilaku terendah
setelah program intervensi menurut “Bennett’ s Hierarchy”
(Radhakrishna, 2010).
Metode Demontrasi merupakan salah satu metode yang
digunakan dalam kegiatan penyuluhan pertanian (Hasan, 2012). Metode
ini paling baik dan ampuh, sasaran penyuluhan dihadapkan pada bukti
nyata berupa contoh yang dapat dilihat dan dapat diamati sendiri.
Demplot membandingkan metode aplikasi pupuk organik dengan harapan
hasil dapat ditingkatkan.
Berdasarkan hasil penelitian Zulfa et al. (2013) bahwa hal-hal
yang dapat menurunkan antusias antara lain:
1. Kurang aktifnya petugas penyuluh untuk turun ke lokasi demplot.
11
2. Kurang perhatinnya petugas penyuluh terhadap aspirasi petani
3. Kurang sosialisasi dan interaksi yang baik antara petani dan
petugas penyuluh
4. Kurangnya bantuan yang diberikan penyuluh kepada petani.
G. Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara
sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan
pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang
(opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan
keputusan startegis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan,
strategi dan kebijakan perusahaan (Rangkuti, 2002).
Analisis ini bersifat deskriptif dan terkadang akan sangat
subjektif, karena bisa jadi dua orang yang menganalisis sebuah organisasi
akan memandang berbeda ke empat bagian tersebut. Hal ini diwajarkan,
karena analisis SWOT adalah sebuah analisis yang akan memberikan
output berupa arahan dan tidak memberikan solusi dalam sebuah
permasalahan. Analisis SWOT hanya menggambarkan situasi yang
terjadi bukan sebagai pemecah masalah, sehingga dapat diartikan sebagai
berikut:
a) Kekuatan ( Strength )
Kekuatan adalah berbagai kelebihan yang bersifat khas yang dimiliki
oleh suatu organisasi, yang apabila dapat dimanfaatkan akan berperan
besar, tidak hanya dalam memperlancar berbagai kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh organisasi, tetapi juga dalam mencapai tujuan yang
12
dimilliki oleh organisasi. Kekuatan yang dimaksud adalah kelebihan
organisasi dalam mengelola kinerja di dalamnya.
b) Kelemahan ( Weakness )
Kelemahan adalah berbagai kekurangan yang bersifat khas yang
dimiliki oleh suatu organisasi yang apabila berhasil diatasi akan
berperanan besar, tidak hanya dalam memperlancar berbagai kegiatan
yang akan dilaksanakan oleh organisasi, tetapi juga dalam mencapai
tujuan yang dimililiki oleh organisasi.
c) Peluang ( Opportunity )
Peluang adalah peluang yang bersifat positif yang dihadapi oleh suatu
organisasi, yang apabila dapat dimanfaatkan akan besar peranannya
dalam mencapai tujuan organisasi. Opportunity merupakan peluang
organisasi untuk meningkatkan kualitasnya.
d) Ancaman/Hambatan ( Threat )
Hambatan adalah kendala yang bersifat negatif yang dihadapi oleh
suatu organisasi, yang apabila berhasil di atasi akan besar peranannya
dalam mencapai tujuan organisasi. Threat merupakan ancaman bagi
organisasi baik itu dari luar maupun dari dalam.
H. Konsep AHP (Analytical Hierarchy Process)
AHP merupakan suatu model pendukung keputusan yang
dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini
akan menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks
menjadi suatu hirarki, menurut Saaty (1993), hirarki didefinisikan sebagai
suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu
struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level
faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level
terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks
13
dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur
menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih
terstruktur dan sistematis. (Syaifullah, 2010).
AHP sering digunakan sebagai metode pemecahan masalah
dibanding dengan metode yang lain karena alasan-alasan sebagai berikut :
1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuesi dari kriteria yang dipilih,
sampai pada sub kriteria yang paling dalam.
2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi
inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh
pengambil keputusan.
3. Memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan
keputusan.
Penggunaan AHP bukan hanya untuk institusi pemerintahan atau
swasta namun juga dapat diaplikasikan untuk keperluan individu
terutama untuk penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kebijakan
atau perumusan strategi prioritas. AHP dapat diandalkan karena dalam
AHP suatu prioritas disusun dari berbagai pilihan yang dapat berupa
kriteria yang sebelumnya telah didekomposisi (struktur) terlebih dahulu,
sehingga penetapan prioritas didasarkan pada suatu proses yang
terstruktur (hirarki) dan masuk akal. Jadi pada intinya AHP membantu
memecahkan persoalan yang kompleks dengan menyusun suatu hirarki
kriteria, dinilai secara subjektif oleh pihak yang berkepentingan lalu
menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan bobot atau
prioritas (kesimpulan).
Peralatan utama AHP adalah sebuah hierarki fungsional dengan
input utamanya persepsi manusia. Keberadaan hierarki memungkinkan
dipecahnya masalah kompleks atau tidak terstruktur dalam sub – sub
14
masalah, lalu menyusunnya menjadi suatu bentuk hierarki (Kusrini,
2007).
1) Prosedur AHP
Terdapat tiga prinsip utama dalam pemecahan masalah dalam AHP
menurut Saaty, yaitu: Decomposition, Comparative Judgement, dan
Logical Concistency. Secara garis besar prosedur AHP meliputi tahapan
sebagai berikut:
a) Dekomposisi masalah
Dekomposisi masalah adalah langkah dimana suatu tujuan (Goal)
yang telah ditetapkan selanjutnya diuraikan secara sistematis kedalam
struktur yang menyusun rangkaian sistem hingga tujuan dapat dicapai
secara rasional. Dengan kata lain, suatu tujuan yang utuh,
didekomposisi (dipecahkan) kedalam unsur penyusunnya.
b) Penilaian/pembobotan untuk membandingkan elemen-elemen
Apabila proses dekomposisi telah selasai dan hirarki telah tersusun
dengan baik. Selanjutnya dilakukan penilaian perbandingan
berpasangan (pembobotan) pada tiap-tiap hirarki berdasarkan tingkat
kepentingan relatifnya.
c) Penyusunan matriks dan Uji Konsistensi
Apabila proses pembobotan atau pengisian kuisioner telah selesai,
langkah selanjutnya adalah penyusunan matriks berpasangan untuk
melakukan normalisasi bobot tingkat kepentingan pada tiap-tiap
elemen pada hirarkinya masingmasing. Pada tahapan ini analisis dapat
dilakukan secara manual ataupun dengan menggunakan program
komputer seperti Expert Choice.
15
d) Penetapan prioritas pada masing-masing hirarki
Untuk setiap kriteria dan alternatif,perlu dilakukan perbandingan
berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif
kemudian diolah untuk menentukan peringkat alternatif dari seluruh
alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kriteria kuantitatif, dapat
dibandingkan sesuai dengan penilaian yang telah ditentukan untuk
menghasilkan bobot dan proritas. Bobot atau prioritas dihitung dengan
manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik.
e) Sistesis dari prioritas
Sistesis dari prioritas didapat dari hasil perkalian prioritas lokal
dengan prioritas dari kriteria bersangkutan yang ada pada level
atasnya dan menambahkannya ke masing-masing elemen dalam level
yang dipengaruhi oleh kriteria. Hasilnya berupa gabungan atau lebih
dikenal dengan istilah prioritas global yang kemudian dapat digunakan
untuk memberikan bobot prioritas lokal dari elemen yang ada pada
level terendah dalam hirarki sesuai dengan kriterianya.
f) Pengambilan/penetapan keputusan
Pengambilan keputusan adalah suatu proses dimana alternatifalternatif
yang dibuat dipilih yang terbaik berdasarkan kriterianya.
2) Kelebihan dan kelemahan AHP
Layaknya sebuah metode analisis, AHP pun memiliki kelebihan dan
kelemahan dalam system analisisnya. Kelebihan-kelebihan analisis ini
adalah:
a) Kesatuan (Unity)
AHP membuat permasalahan yang luas dan tidak terstruktur menjadi
suatu model yang fleksibel dan mudah dipahami.
16
b) Kompleksitas (Complexity)
AHP memecahkan permasalahan yang kompleks melalui pendekatan
sistem dan pengintegrasian secara deduktif.
c) Saling ketergantungan (Inter Dependence)
AHP dapat digunakan pada elemen-elemen sistem yang saling bebas
dan tidak memerlukan hubungan linier.
d) Struktur Hirarki (Hierarchy Structuring)
AHP mewakili pemikiran alamiah yang cenderung mengelompokkan
elemen sistem ke level-level yang berbeda dari masing-masing level
berisi elemen yang serupa.
e) Pengukuran (Measurement)
AHP menyediakan skala pengukuran dan metode untuk mendapatkan
prioritas.
f) Konsistensi (Consistency)
AHP mempertimbangkan konsistensi logis dalam penilaian yang
digunakan untuk menentukan prioritas.
g) Sintesis (Synthesis)
AHP mengarah pada perkiraan keseluruhan mengenai seberapa
diinginkannya masing-masing alternatif.
h) Trade Off
AHP mempertimbangkan prioritas relatif faktor-faktor pada sistem
sehingga orang mampu memilih altenatif terbaik berdasarkan tujuan
mereka.
i) Penilaian dan Konsensus (Judgement and Consensus)
AHP tidak mengharuskan adanya suatu konsensus, tapi
menggabungkan hasil penilaian yang berbeda.
17
j) Pengulangan Proses (Process Repetition)
AHP mampu membuat orang menyaring definisi dari suatu
permasalahan dan mengembangkan penilaian serta pengertian mereka
melalui proses pengulangan.
Sedangkan kelemahan metode AHP adalah sebagai berikut:
a) Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini
berupa persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan
subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika
ahli tersebut memberikan penilaian yang keliru.
b) Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara
statistik sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model
yang terbentuk.
3. Tahapan AHP
Dalam metode AHP dilakukan langkah-langkah sebagai berikut
(Kadarsyah Suryadi dan Ali Ramdhani, 1998):
a) Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan.
Dalam tahap ini kita berusaha menentukan masalah yang akan kita
pecahkan secara jelas, detail dan mudah dipahami. Dari masalah yang
ada kita coba tentukan solusi yang mungkin cocok bagi masalah
tersebut. Solusi dari masalah mungkin berjumlah lebih dari satu.
Solusi tersebut nantinya kita kembangkan lebih lanjut dalam tahap
berikutnya.
b) Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan utama.
Setelah menyusun tujuan utama sebagai level teratas akan disusun
level hirarki yang berada di bawahnya yaitu kriteriakriteria yang
cocok untuk mempertimbangkan atau menilai alternatif yang kita
berikan dan menentukan alternatif tersebut. Tiap kriteria mempunyai
18
intensitas yang berbeda-beda. Hirarki dilanjutkan dengan sub kriteria
(jika mungkin diperlukan).
c) Membuat matrik perbandingan berpasangan yang menggambarkan
kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap tujuan atau
kriteria yang setingkat di atasnya.
Matriks yang digunakan bersifat sederhana, memiliki kedudukan kuat
untuk kerangka konsistensi,mendapatkan informasi lain yang mungkin
dibutuhkan dengan semua perbandingan yang mungkin dan mampu
menganalisis kepekaan prioritas secara keseluruhan untuk perubahan
pertimbangan. Pendekatan dengan matriks mencerminkan aspek
ganda dalam prioritas yaitu mendominasi dan didominasi.
Perbandingan dilakukan berdasarkan judgment dari pengambil
keputusan dengan menilai tingkat kepentingan suatu elemen
dibandingkan elemen lainnya. Untuk memulai proses perbandingan
berpasangan dipilih sebuah kriteria dari level paling atas hirarki
misalnya K dan kemudian dari level di bawahnya diambil elemen
yang akan dibandingkan misalnya E1,E2,E3,E4,E5.
d) Melakukan mendefinisikan perbandingan berpasangan sehingga
diperoleh jumlah penilaian seluruhnya sebanyak n x [(n-1)/2] buah,
dengan n adalah banyaknya elemen yang dibandingkan.
Hasil perbandingan dari masing-masing elemen akan berupa angka
dari 1 sampai 9 yang menunjukkan perbandingan tingkat kepentingan
suatu elemen. Apabila suatu elemen dalam matriks dibandingkan
dengan dirinya sendiri maka hasil perbandingan diberi nilai 1. Skala 9
telah terbukti dapat diterima dan bisa membedakan intensitas antar
elemen. Hasil perbandingan tersebut diisikan pada sel yang
bersesuaian dengan elemen yang dibandingkan. Skala perbandingan
19
perbandingan berpasangan dan maknanya yang diperkenalkan oleh
Saaty bisa dilihat di bawah. Intensitas Kepentingan
1 = Kedua elemen sama pentingnya, Dua elemen mempunyai pengaruh
yang sama besar.
3 = Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yanga
lainnya, pengalaman dan penilaian sedikit menyokong satu elemen
dibandingkan elemen yang lainnya.
5 = Elemen yang satu lebih penting daripada yang lainnya, Pengalaman
dan penilaian sangat kuat menyokong satu elemen dibandingkan
elemen yang lainnya.
7 = Satu elemen jelas lebih mutlak penting daripada elemen lainnya, Satu
elemen yang kuat disokong dandominan terlihat dalam praktek.
9 = Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya, Bukti yang
mendukung elemen yang satu terhadap elemen lain memeliki tingkat
penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan.
2,4,6,8 = Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan-pertimbangan yang
berdekatan, Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi di antara 2
pilihan Kebalikan = Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka
dibanding dengan aktivitas j , maka j mempunyai nilai kebalikannya
dibanding dengan i
e) Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya.
Jika tidak konsisten maka pengambilan data diulangi.
f) Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki.
g) Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan
berpasangan yang merupakan bobot setiap elemen untuk penentuan
prioritas elemen-elemen pada tingkat hirarki terendah sampai
mencapai tujuan. Penghitungan dilakukan lewat cara menjumlahkan
20
nilai setiap kolom dari matriks,membagi setiap nilai dari kolom
dengan total kolom yang bersangkutan untuk memperoleh normalisasi
matriks, dan menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan
membaginya dengan jumlah elemen untuk mendapatkan rata-rata.
h) Memeriksa konsistensi hirarki.
Tahapan ini diukur dalam AHP adalah rasio konsistensi dengan
melihat index konsistensi. Konsistensi yang diharapkan adalah yang
mendekati sempurna agar menghasilkan keputusan yang mendekati
valid. Walaupun sulit untuk mencapai yang sempurna, rasio
konsistensi diharapkan kurang dari atau sama dengan 10 %.
21
BAB III. METODOLOGI A. Objek dan Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini, lokasi yang dipilih adalah Kabupaten Bone
dan Pangkep.
1. Objek Penelitian
Dalam penelitian ini, lokasi yang dipilih adalah Kabupaten Bone
dan Pangkep sebagaimana yang tertera pada gambar 1. Kabupaten
Pangkep sebagai perwakilan dari pantai barat dan Kabupaten Bone
sebagai perwakilan dari pantai timur.
Gambar 1. Peta Kesesuaian Lahan Tambak Kabupaten Pangkep dan Bone.
2. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan adalah Petambak udang windu
di Kabupaten Bone dan Pangkep. Jumlah responden setiap kabupaten
sebanyak 30 orang di setiap kabupaten.
B. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari responden
atau lokasi penelitian (Wardiyanta dalam Samaji, 2015). Pengumpulan
data primer dilakukan dengan teknik survei melalui wawancara dan
pengajuan kuisioner terhadap responden yang berada di Kabupaten Bone
dan Pangkep.
22
Gambar 2. Peta Kesesuaian Lahan Tambak Kabupaten Pangkep dan Bone.
1. Untuk mengidentifikasi masalah teknis budidaya udang windu
diperlukan data dari responden menyangkut tentang kegiatan
persiapan, sumber benih, pemberantasan hama, padat tebar, jumlah
pakan, FCR, SR, dan jumlah produksi beserta kendala-kendala yang
dihadapi saat ini.
2. Responden yang dijadikan sebagai calon peserta sekolah lapang
terlebih dahulu dilakukan pretest untuk mendapatkan gambaran
tingkat pemahaman atau pengetahuan tentang tahap-tahap budidaya
udang windu dengan jumlah peserta masing-masing kabupaten 30
orang. Kurikulum dan rundown kegiatan disiapkan oleh peneliti dalam
kegiatan sekolah lapang. Selanjutnya dilakukan post test hasil sekolah
lapang untuk mengetahui hasil peningkatakan pengetahuan peserta
sekolah lapang sehingga diperoleh informasi tingkat penyerapan
pengetahuan sebelum dan sesudah sekolah lapang.
3. Identifikasi Daya saing dan Pertumbuhan Ekonomi. Produk dari hasil
budidaya udang dempond dan non dempond akan dibandingkan dari
segi total penerimaan, total biaya dan Ratio Revenue Cost. Jika
23
produk hasil budidaya udang windu lebih baik dan layak maka
teknologi indikator daya saing bisa di pertimbangkan. Dari sisi
pertumbuhan ekonomi lokal akan sendirinya akan bangkit dan
berkembang seiring dengan berkembangnya budidaya udang windu.
Jadi terjadi efek ganda dengan munculnya usaha usaha mulai
penggelondongan, pakan, hatchery skala rumah tangga dan
seterusnya.
Rumus
R/C Ratio =Total Penerimaan
Total Biaya
Kriteria:
R/C Ratio > 1, kegiatan budidaya layak dikembangkan
R/C Ratio < 1, kegiatan budidaya tidak layak dikembangkan
4. Merumuskan kebijakan dalam pengembangan budidaya udang windu
melalui analisis SWOT - AHP.
C. Teknik Pengambilan
Sampel Teknik pengambilan sampel atau sampling adalah proses
penentuan sampel dari populasi yang ada pada penelitian (Bungin, 2006).
Sampel adalah wakil dari populasi yang diteliti (Arikunto, 1996). Sampel
yang digunakan peneliti adalah masing-masing responden di setiap
kabupaten.
Untuk mendapatkan gambaran tentang masalah budidaya udang
windu saat ini, maka dilakukan pengambilan sampel dari dua lokasi yaitu
Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Bone dengan cara melakukan
perhitungan dari jumlah populasi yang ada.
24
Pemilihan sampel dipilih adalah para pembudidaya udang windu.
Penentuan jumlah sampel dari rumah tangga petambak udang ditentukan
dengan persamaan yang dikemukakan oleh (Slovin 1960, dalam Nurnaeni
2012) yakni :
𝑛𝑛 = N𝑁𝑁.𝑑𝑑2+1
.
Di mana,
n = sampel yang dicari
N = Jumlah Populasi
d2 = Presisi yang ditetapkan
Berdasarkan persamaan di atas, jadi sampel yang akan diambil
adalah 30 sampel di Kabupaten Bone dan 30 sampel di Kabupaten
Pangkep. Setelah ditentukan responden baru dilakukan wawancara secara
langsung dengan mengisi kuisioner yang telah disediakan
Data yang dikumpulkan merupakan data primer karena berasal
dari masalah yang dihadapi oleh petani tambak selama ini dan yang
dihadapi saat membuat petak percontohan (dempond). Sumber data
berasal dari data petambak yang ikut dalam petak percontohan dan data
petani tambak di luar dari petak percontohan. Data diperoleh melalui
wawancara dan diskusi dengan petani tambak saat identifikasi masalah
sebelum dilakukan sekolah lapang dan saat sekolah lapang. Selain itu,
data juga berasal dari hasil observasi terhadap kondisi tambak dan
lingkungannya. Data yang didapatkan dari lapangan dikumpulkan,
dianalisis dan diberikan solusi saat dilakukan sekolah lapang dan
pemberian contoh melaui dempond gelondongan dan pembesaran.
Beberapa cara yang dilakukan dalam melakukan pengumpulan
data antara lain:
25
1. Focus Group Discussion
Teknik pengumpulan data ini dilakukan melalui tatap muka
dan tanya jawab langsung antara tim peneliti dengan petani tambak.
Diskusi atau wawancara dilakukan di lokasi tambak atau di rumah
petani tambak. Hasil yang diharapkan dari proses wawancara adalah
informasi terkait jumlah produksi udang yang mereka hasilkan,
tahapan dalam proses budidaya dan permasalahan yang didapatkan
dalam proses budidaya.
2. Observasi
Teknik pengumpulan data ini cukup kompleks karena
melibatkan berbagai faktor. Pengumpulan data melalui metode
observasi dilakukan dengan melihat kondisi langsung tambak petani
dan lingkungan sekitarnya. Saat proses peninjauan lapangan, tim
peneliti juga mengajukan beberapa pertanyaan tentang tambak yang
petani kelola.
3. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan sejumlah data fakta yang didapatkan
oleh peneliti dilapangan. Umumnya dokumentasi diambil dalam
bentuk foto.
D. Sistem Teknologi Budidaya dengan Dempond atau sekolah lapang
Metode yang digunakan adalah sekolah lapang dengan prosedur
sebagai berikut:
a. Setiap calon peserta melakukan pretest untuk menguji kemampuan
dasar bagi calon peserta yang terkait dengan pengalaman budidaya
udang windu
b. Membuat jadwal sekolah lapang dan kurikulum yang akan digunakan
26
Pemilihan benih bersertifikat SPF dan SPR, melakukan
penggelondongan selama satu bulan, pembuatan probiotik berbahan
alami dan berbasis lokal, sehingga lebih murah. Mencampur pakan
dengan daun kopasanda seperti tabel berikut ini.
Tabel 1. formulasi pakan udang windu (% berat kering) BAHAN % Tepung ikan 40 Tepung kepala udang 10 Bungkil kopra 9 Tepung jagung 12 Tepung kedelai 17 Tepung terigu 10 Vitamin dan mineral 2 Daun kopasanda (mg/kg pakan) 1500 Total 100 protein kasar (%) 35,90 lemak kasar (%) 9,20 serat kasar (%) 4,50 kadar abu (%) 12,40
27
BAB IV. ANALISIS DATA
Pada dasarnya analisis data merupakan proses penyederhanaan
data agar lebih mudah dibaca dan diinterpresentasikan. Data yang ada
akan dianalisis ke dalam bentuk yang lebih sederhana untuk selanjutnya
dicari makna dan implikasi yang lebih luas dari hasil penelitian
(Wardiyanta dalam Samaji, 2015). Metode analisis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif, analisis kelayakan,
analisis SWOT - AHP. Metode analisis deskriptif digunakan untuk
analisa kondisi eksistin dan lingkungan budidaya udang windu di
Kabupaten Bone dan Pangkep serta kontribusi kegiatan budidaya udang
windu di Kabupaten Bone dan Pangkep terhadap peningkatan pendapatan
masyarakat sekitar. Sedangkan analisis SWOT - AHP digunakan untuk
analisa strategi pengembangan budidaya udang windu di Kabupaten Bone
dan Pangkep.
A. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan salah satu metode pemecahan
masalah dengan cara menggambarkan subjek atau objek penelitian saat
ini dengan fakta yang tampak (Soejono dan Abdurrahman dalam
Pradikta, 2013). Dalam penelitian ini, metode analisis deskriptif
digunakan untuk memperoleh gambaran faktor pendorong dan
panghambat budidaya udang windu di Kabupaten Bone dan Pangkep.
Dengan menggunakan analisis deskriptif, maka data yang akan disajikan
berupa data deskriptif berupa kata-kata tertulis dari perilaku yang diamati
(Pradikta, 2013)
28
B. Analisis SWOT
SWOT merupakan singkatan dari Strengths (kekuatan) dan
Weaknesses (kelemahan) lingkungan internal dan Opportunities
(peluang) dan Threats (ancaman) lingkungan eksternal dalam dunia
bisnis (Rangkuti, 2014). Analisis SWOT dalam penelitian ini digunakan
untuk mengetahui metode strategi pengembangan dengan cara
menganalisis faktor eksternal berupa peluang dan ancaman serta faktor
internal berupa kekuatan dan kelemahan.
Sumber: Rangkuti, 2014
Gambar 3. Analisis SWOT
Kuadran 1: menunjukkan situasi yang sangat menguntungkan karena
adanya peluang dan kekuatan, sehingga pada posisi ini
harus didukung kebijakan pertumbuhan agresif.
Kuadran 2: Pada posisi ini terdapat ancaman, namun masih ada
kekuatan dari segi internal sehingga ancaman tersebut
dapat diatasi dengan kekuatan yang ada.
29
Kuadran 3: perusahaan peluang besar namun ada kelemahan internal
sehingga harus memilih strategi yang tepat agar
kelemahan yang ada tidak mengurangi peluang besarnya.
Strategi yang tepat untuk posisi ini adalah usaha
budidaya harus meminimalkan masalah-masalah internal.
Kuadran 4: Posisi ini merupakan posisi yang sangat merugikan karena
perusahaan harus menghadapi berbagai ancaman dengan
kondisi internal yang lemah.
Dalam proses penyusunan perencanaan strategis terdapat tiga
tahapan analisis yaitu tahap pengumpulan data, tahap analisis, dan tahap
pengambilan keputusan. Pada tahap pertama yaitu tahap pengumpulan
data, dilakukan evaluasi faktor eksternal maupun internal untuk
memperoleh data yang dibutuhkan. Tahap selanjutnya adalah tahap
analisis dimana pada tahap ini model alat analisis yang digunakan adalah
matriks internal-eksternal, matriks. Tahap terakhir proses penyusunan
perencanaan strategi adalah tahap pengambilan keputusan yang mana
pada tahap ini dapat digunakan matrik perencanaan strategis kuantitatif
untuk mempermudah pemilihan strategi.
Dalam penelitian ini, untuk tahap pengumpulan data akan
digunakan matriks faktor strategi eksternal dan matriks strategi internal.
1. Matriks faktor strategi eksternal
Dalam menyusun matriks faktor strategi eksternal, terlebih
dahulu kita harus mengetahui Faktor Strategi Eksternal (EFAS). Terdapat
beberapa cara penentuan Faktor Strategi Eksternal yaitu:
a. Susunlah 5 sampai 10 peluang dan ancaman dalam kolom 1.
b. Pada kolom 2 beri bobot masing-masing faktor yang disusun
menggunakan skala angka 1,0 (sangat penting) sampai 0,0 (tidak
30
penting). Hal ini perlu dilakukan karena faktor-faktor yang telah
disusun dapat memberikan dampak terhadap faktor strategis.
c. Dalam kolom 3, hitung rating untuk masing-masing faktor dengan
menggunakan skala angka 4 (outstanding) sampai 1 (poor)
berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap proses pengembangan
budidaya udang windu di Kabupaten Bone dan Pangkep. Faktor-faktor
peluang diberikan nilai rating positif yang artinya semakin besar
peluang diberi rating +4, namun jika peluangnya kecil diberi rating
+1. Pemberian rating ancaman berkebalikan dengan pemberian rating
peluang, jika ancamannya besar diberi rating 1 dan sebaliknya ketika
nilai ancamannya sedikit diberi rating 4.
d. Kalikan bobot dan rating untuk memperoleh faktor pembobotan
berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya
bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai 1 (poor).
e. Jumlahkan skor pembobotan pada kolom 4 untuk memperoleh total
skor pembobotan.
Tabel 2. EFAS
Faktor-faktor strategi eksternal
Bobot Rating Bobot x rating
Peluang : Tentukan 5-10 peluang
Ancaman: Tentukan 5-10 ancaman
Total
Sumber: Rangkuti, 2014
31
2. Matriks faktor strategi internal
Setelah melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor strategis
internal, maka dilakukan penyusunan tabel IFAS untuk merumuskan
faktor-faktor strategis internal dalam Strength and Weakness. Tahapan
penyusunan tabel IFAS adalah:
a. Menentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan
b. Pada kolom 2 beri bobot masing-masing faktor yang disusun
menggunakan skala angka 1,0 (sangat penting) sampai 0,0 (tidak
penting).
c. Dalam kolom 3, hitung rating untuk masing-masing faktor dengan
menggunakan skala angka 4 (outstanding) sampai 1 (poor)
berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap proses pengembangan
budidaya udang windu di Kabupaten Bone dan Pangkep.
d. Kalikan bobot dan rating untuk memperoleh faktor pembobotan
berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya
bervariasi mulai dari 4,0 (outstanding) sampai 1 (poor).
e. Jumlahkan skor pembobotan pada kolom 4 untuk memperoleh total
skor pembobotan.
Tabel 3. IFAS
Faktor-faktor strategi internal
Bobot Rating Bobot x rating
Kekuatan : Tentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan
Ancaman: Tentukan kelemahan internal
Total Sumber: Rangkuti, 2015
32
Setelah diperoleh data atau informasi mengenai faktor yang
mempengaruhi pengembangan budidaya udang windu di Kabupaten Bone
dan Pangkep, maka tahap selanjutnya adalah memanfaatkan data atau
informasi tersebut untuk merumuskan strategi. Alat yang digunakan
untuk menyusun faktor strategi pengembangan budidaya udang windu di
Kabupaten Bone dan Pangkep adalah matriks SWOT karena menurut
Rangkuti (2014), matrik SWOT dapat menggambarkan secara jelas
bagaimana peluang ancaman eksternal yang dihadapi sutu perusahaan
dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks
SWOT dapat menghasilkan empat set kemungkinan alternative yang
dapat digambarkan pada diagram berikut:
33
Tabel 3. Matriks SWOT IFAS EFAS
IFAS
EFAS
Strengths (S)
Tentukan 5-10 faktor-
faktor kelemahan
internal
Weakness (W)
Tentukan 5-10 faktor-
faktor kekuatan
internal
Opportunities (O)
Tentukan 5-10 faktor
peluang eksternal
Strategi SO
Buat strategi yang
menggunakan
kekuatan untuk
memanfaatkan
peluang
Strategi WO
Ciptakan strategi yang
meminimalkan
kelemahan untuk
memanfaatkan
peluang
Treaths (T)
Tentukan 5-10 faktor
ancaman eksternal
Strategi ST
Ciptakan strategi yang
menggunakan
kekuatan untuk
mengatasi ancaman
Strategi WT
Ciptakan strategi yang
meminimalkan
kelemahan dan
menghindari ancaman
Keterangan:
• Strategi SO Strategi ini dibuat dengan menggunakan seluruh kekuatan
untuk memanfaatkan seluruh peluang yang ada
• Strategi ST Strategi ST adalah strategi yang digunakan untuk
mengatasi ancaman dengan cara memanfaatkan kekuatan yang
dimiliki.
• Strategi WO Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang
yang ada dengan meminimalkan kelamahan yang dimiliki.
• Strategi WT Strategi ini merupakan strategi bagaimana menghindari
ancaman dan meminimalkan kelemahan yang ada
34
C. Analisis AHP
Menurut Boujelbene dan Ahmed (2015) AHP adalah salah satu
metode pengambilan keputusan multi kriteria yang awalnya
dikembangkan oleh Prof. Thomas L. Saaty pada tahun 1970-an, AHP
adalah suatu alat pendukung keputusan yang dapat dimanfaatkan untuk
mengatasi masalah keputusan yang kompleks. Metode AHP membantu
pembuat keputusan dalam membuat peringkat prioritas alternatif
berdasarkan penilaian yang subyektif dari para pembuat keputusan
tentang pentingnya atribut.
Menurut Amrina dan Annike (2015) metode AHP memiliki
beberapa manfaat antara lain dapat membantu menjabarkan masalah yang
tidak terstruktur menjadi sebuah pohon hierarki keputusan yang rasional,
mendapatkan lebih banyak informasi dari responden atau pembuat
keputusan dengan menggunakan perbandingan berpasangan dari masing-
masing kelompok elemen, dapat mengatur perhitungan untuk
memberikan bobot ke elemen, menggunakan ukuran yang valid terhadap
konsistensi peringkat dari responden dan pembuat keputusan.
Alternatif strategi yang diperoleh dari analisis SWOT kemudian
di urutkan berdasarkan tingkat prioritasnya. Menurut Saaty (1993)
sebagaimana yang dikutip oleh Irawan dan Sri (2015) prinsip-prinsip
AHP adalah :
3) Menyusun pohon/struktur hierarki berdasarkan anggota faktor
dari analisis SWOT.
4) Setelah didapatkan intensitas kepentingan kemudian diolah
dengan menggunakan Microsoft Excel untuk dilakukan perhitungan
bobot tingkat prioritas. Apabila terdapat Memberikan nilai alternatif
strategi manakah yang mempunyai tingkat prioritas lebih tinggi.
35
Penilaian didapatkan dari kuesioner perbandingan berpasangan antar
alternatif strategi. Intensitas kepentingan atau skala dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Keterangan Skala AHP
Intensitas Kepentingan
Keterangan
1 Kedua elemen sama pentingnya 3 Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada
elemen yang lainnya 5 Elemen yang satu lebih penting daripada elemen
yang lainnya 7 Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen
lainnya 9 Satu elemen mutlak penting daripada elemen lainnya
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangannya berdekatan
Kebalikan Jika aktivitas i mendapat l angka dibandingkan dengan j maka j memiliki nilai kebalikannya dibandingkan dengan i
5) Setelah didapatkan intensitas kepentingan kemudian diolah dengan
menggunakan Microsoft Excel untuk dilakukan perhitungan bobot
tingkat prioritas. Apabila terdapat data yang memiliki hasil rasio
konsistensi < 0,1 maka dianggap tidak konsisten, harus dilakukan
evaluasi ulang terhadap pemberian nilai intensitas kepentingan di
kuesioner.
36
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Suatu kegiatan budidaya dapat dikatakan berhasil apabila jumlah
produksi tinggi, mortalitas rendah, nilai FCR rendah dan pertumbuhan
udang tinggi. Penentuan usaha budidaya udang tambak pada umumnya
ditentukan faktor manajemen. Beberapa faktor lain seperti pemilihan
lokasi yang kurang tepat, tenaga kerja yang kurang terampil dan fisika-
kimia air serta biologis seperti kualitas air, mikro algae yang bermanfaat
bagi kehidupan udang belum sepenuhnya diperhatikan. Selain itu faktor
kualitas dan kuantitas pakan serta mutu dan jumlah penebaran benur
harus mendapat perhatian utama. Pakan merupakan salah satu hal yang
sangat penting dalam budidaya udang intensif. Pemberian pakan bermutu
dan tepat sangat menunjang keberhasilan produksi, sebaliknya
pengelolaan pakan udang yang kurang baik akan menimbulkan berbagai
penyakit dan berakibat menurunnya laju pertumbuhan serta kematian.
Penggunaan bahan kimia baik jenis maupun dosis yang kurang tepat turut
pula mempengaruhi kegagalan usaha budidaya udang. Penggunaan
pestisida untuk pemberantasan hama tambak disarankan untuk
memilih/menggunakan bahan yang bersifat efektif tidak persisten dalam
air dan tanah tambak, tidak akumulatif dalam organ tubuh jasad hidup
serta aman bagi lingkungan perairan.
A. Karakteristik Responden Hasil Survey
Berdasarkan formulasi Solving (1960), maka jumlah sampel yang
digunakan dalam penelitian ini sebanyak 30 orang petambak non
dempond di Kabupaten Pangkep dan 30 orang responden di Kabupaten
Bone pada bagian ini akan dijelaskan beberapa karakteristik responden
37
menurut tingkat umur, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman
bertambak.
1. Tingkat umur
Tingkat umur adalah salah satu faktor yang sangat berpengaruh
terhadap tingkat produktivitas para petambak udang yang berada pada
umur produktif yang memiliki kondisi yang optimal dalam melakukan
kegiatan produksi dalam upaya peningkatan produksi budidaya udang
windu. Untuk mengetahui karakteristik tingkat umur dapat dilihat pada
gambar 3:
Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 4. Umur responden
Berdasarkan gambar 3. dapat dilihat bahwa distribusi responden
menurut tingkat umur terbanyak berada pada interval 20-30 tahun,
dengan persentase responden mencapai 10%. Sedangkan untuk distribusi
usia responden menurut tingkat persentase tertinggi pada interval > 50
tahun dengan jumlah responden sebanyak 40%. Menurut rogers (1971),
petambak yang telah berusia senja tergolong dalam dalam Pengikut dini (Late Adopters) dan si kolot (Laggards). Pengikut dini (Late Adopters)
10%
20%
30%
40%20-30
31-40
41-50
50>
38
biasanya memiliki lahan tambak yang relatif sempit dan sering dijumpai
bahwa mereka temasuk petambak subsistem. Mereka cenderung sudah
berumur tua atau mereka yang menjelang usia senja. Adapun kelompok
yang termasuk dalam si kolot (Laggards) adalah mereka yang pada
umumnya termasuk tradisional sehingga enggan untuk melakukan adopsi
inovasi. Masyarakat yang mepunyai ciri demikian memang seringkali
sulit untuk mengubah dirinya dengan hal – hal yang baru. Seringkali
mereka tergolong sudah lanjut usia, status sosialnya rendah dan usaha
budidayanya masih sangat subsistem.
2. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan petambak garam yang menjadi responden
dalam penelitian ini beragam mulai dari jenjang pendidikan SD sampai
SMA dan terdapat juga petambak yang tidak lulus SD. Namun sebaran
tingkat pendidikan didominasi oleh petambak udang dengan tingkat
pendidikan SD. Sebaran tingkat pendidikan responden penelitian dapat
dilihat pada gambar 4. Berdasarkan gambar 4. diketahui bahwa sebagian
besar petambak udang di kedua Kabupaten Pangkep dan Bone yang
menjadi responden dalam penelitian mencapai tingkat pendidikan SD
dengan persentase 23%. Umumnya petambak udang di Kabupaten
Pangkep dan Bone memperoleh keahlian budidaya secara turun-temurun
karena sering melihat aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang
dilingkungan sekitarnya seperti keluarga, teman bahkan tetangga.
39
Sumber: Data primer diolah 2021
Gambar 5. Tingkat pendidikan responden
Tingkat pendidikan petambak yang berada pada jenjang
pendidikan Sekolah Dasar berimplikasi pada rendahnya tingkat adopsi
petambak terhadap teknologi baru. Menurut Burhansyah (2014) tingkat
pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
adopsi inovasi. Petambak cenderung takut untuk mencoba
teknologi baru yang dianggap asing dan tidak berpengaruh positif.
Petambak lebih memilih untuk tetap melakukan aktivitas produksi
tradisional yang sudah biasa dilakukan, walaupun memberikan
keuntungan yang sedikit atau bahkan merugikan dikemudian hari
karena tidak bisa bersaing dengan hasil produksi dari penggunan
teknologi modern.
23%
18%
35%
24%
SD
SMP
40
3. Luas Lahan
Luas lahan merupakan luas areal yang digunakan untuk
bertambak udang. Mengenai luas lahan yang diolah setiap petambak
udang yang ada di Kabupaten Pangkep dan Bone, maka dapat dilihat
pada gambar 5.
Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 6. luas lahan (ha) tambak yang dikerjakan
Berdasarkan gambar sebanyak 60% responden memiliki luas
tambak sekitar 1 ha dan hanya 13% responden yang memiliki luas
tambak lebih dari 4 ha. Setiap tambak yang dikelola memiliki status
kepemilikan yang berbeda-beda. Sebanyak 73% lahan tambak yang
mereka kelola berstatus kepemilikan sendiri, 10% berstatus sewa dan
17% berstatus bagi hasil. Selain tingkat pendidikan, luas lahan menjadi
salah satu faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi (Burhansyah, 2014).
Semakin kecil luas lahan maka semakin kecil keinginan petambak dalam
mengadaptasi teknologi baru tentang budidaya udang windu, sebaliknya
semakin luas tambak maka petani budidaya cenderung lebih berani
mengambil resiko dengan menggunakan sebagian lahan budidaya dalam
mencoba inovasi yang diperoleh.
60%17%
10%
13%
1>1-2>2-3>4
41
4. Pengalaman Usaha Tambak Udang Windu
Pengalaman bertambak udang merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap keberhasilan dari proses kegiatan usaha tambak
udang. Pengalaman kerja yang lebih lama dapat membuat petambak
memiliki kemampuan dalam melakukan kegiatan produksi dan
pengembangan di bidang sektor tambak udang dibandingkan dengan
petambak yang kurang berpengalaman. Namun hal ini bukan sesuatu
yang tentu pasti bahwa petambak yang berpengalaman akan lebih baik
dibandingkan dengan yang kurang berpengalaman karena terdapat faktor
lain di dalam melakukan suatu kegiatan produksi di sektor tambak udang.
Untuk lebih mengetahui karakteristik responden menurut pengalaman
bertambak di Kabupaten Pangkep dan Bone, dapat dilihat pada gambar 6.
Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 7. Pengalaman usaha tambak responden
Berdasarkan pengamalan petani budidaya udang windu gambar
diagram 4.4, diketahui 74% memiliki kisaran pengalaman 1-5 tahun.
Sedangkan hanya 5% petambak yang memiliki pengalaman lebih dari
15%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Munawwarah dkk., (2019)
74%
16%
5%5%
1-56-1011-1515>
42
menunjukkan bahwa pengalaman petani memberikan pengaruh terhadap
penerimaan adopsi teknologi yang disampaikan ke mereka. Oleh karena
itu petambak yang memiliki pengalaman yang lebih lama cenderung lebih
mudah menerima masukan pengetahuan yang telah didengarkan.
B. Identifikasi Masalah
Teknis budidaya merupakan salah satu aspek yang paling
penting di dalam industri perikanan. Teknis budidaya memungkinkan
petambak memilih atau mengatur sistem budidaya agar memperoleh
hasil yang diharapan. Persiapan yang baik sangat berpengaruh
terhadap jumlah panen yang akan diperoleh. Dalam hal ini, data yang
diperoleh survey yang didapatkan dari petani tambak sebelum
dilakukan sekolah lapang. Adapun beberapa hal dari teknis yang
menjadi perhatian saat petambak melakukan kegiatan budidaya seperti
persiapan lahan, pemilihan benur dan padat tebar, pemeliharaan, dan
panen.
1. Persiapan lahan
Persiapan lahan merupakan salah satu rantai
pengoperasian tambak, sebelum melakukan penebaran benur,
tambak terlebih dahulu dipersiapkan. Persiapan tambak meliputi
persiapan dasar tambak, pengeringan, pengolahan tambak,
pengapuran, pemupukan dasar tambak, pemberantasan hama.
a) Persiapan dasar tambak
Persiapan dasar tambak merupakan hal pertama yang
dilakukan dalam mempersiapkan kegiatan budidaya. Salah satu
hal yang perlu diperhatikan dalam persiapan dasar tambak adalah
pengangkatan lumpur. Berdasarkan hasil survey (gambar 7) dari
responden diketahui bahwa 52% petambak telah melakukan
43
persiapan tambak dengan baik. Akan tetapi masih terdapat 34%
diantaranya hanya mengangkat lumpur dari caren dan tidak
seluruh dasar tambak.
Sumber: Data primer diolah 2021
Gambar 8. Persiapan dasar tambak
Lumpur tambak adalah bahan material hasil endapan yang
tidak kompak dan bersifat lunak. Umumnya lumpur tambak berasal
dari sisa pakan yang tidak termakan, feces, plankton yang telah
mati, dan erosi pematang tanah tambak. Lumpur banyak
mengandung bahan organik. Kemelimpahan bahan organik pada
dasar tambak sangat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan
budidaya. Bahan organik yang tinggi dapat menurunkan nilai pH
sehingga tambak akan bersifat asam. Keadaan tersebut akan
memicu munculnya amonia yang diikuti dengan peningkatan
infeksi patogen. Hal lain yang akan terjadi adalah FCR semakin
menurun bahkan mortalitas. Akumulasi bahan organik yang terlalu
tinggi juga dapat menurunkan jumlah oksigen terlarut dalam air,
semua dilakukan
52%Hanya di caren34%
Disimpan di pematang
14%
0% 0%
44
meningkatkan kebutuhan oksigen pada sedimen dasar, serta
menurunkan potensial redoks. Jika keadaan ini berlanjut dalam
waktu yang lama maka akan memicu munculnya senyawa
tereduksi yang beracun, seperti NH3, CH4, dan H2S.
b) Pengeringan
Pengeringan dilakukan untuk mengangkat bibit penyakit
dan mikroorganisme yang merugikan dasar tambak, menguapkan
zat zat beracun yang terdapat pada dasar tambak memberantas
hama dan mempermudah dalam perbaikan pematang, kamalir, dan
pintu air. Menurut Harianto (1998), pengeringan pada tambak
dasar tanah dilakukan sampai tanah dasar retak-retak. Berdasarkan
data pengeringan dasar tambak pada gambar 8, didapatkan bahwa
pengeringan dasar tambak petambak udang mencapai 87%.
Sumber: Data primer diolah 2021
Gambar 9. Pengeringan dasar tambak
Hingga retak87%
0% tidak dilakukan
13%
45
c) Pengolahan tambak
Pengolahan tanah tambak adalah upaya untuk memperbaiki
kualitas dasar tambak. pengolahan tanah dasar tambak yang baik
akan memengaruhi kualitas air tetap dalam keadaan stabil.
Biasanya pengolahan tanah dilakukan dengan membolak-balikkan
dasar tambak menggunakan bantuan hand tractor dan atau cangkul
(alat sederhana) dengan kedalaman sekitar 30 cm. Hal ini
dilakukan sehubungan dengan pengaruh unsur hara terhadap
pertumbuhan plankton pada kedalaman tertentu, dan kemampuan
unsur toksis berpengaruh terhadap kehidupan udang di dasar
tambak.
Berdasarkan pada data gambar 9 pengolahan tanah yang
dilakukan oleh para pembudidaya udang windu non dempond
mencapai 33%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani
tradisional masih belum terlalu memperhatikan penglohanan tanah.
Alasan dari petani yang menyebabkan rendahnya pengolahan tanah
yang dilakikan oleh petani tambak karena membutuhkan biaya
yang besar dan susahnya mendapatkan traktor yang mau membajak
dasar tambak. Penggunaan cangkul dalam membalikkan dasar
tambak juga membutuhkan energi yang sangat besar.
46
Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 10. Pengolahan tambak
d) Pengapuran
Pengapuran dasar tambak saat persiapan tambak
bertujuan memperbaiki kualitas tanah dengan cara menetralkan
nilai pH, mempercepat proses penguraian bahan organik dan
membantu proses molting. Berdasarkan data pada gambar 10,
persentase tambak petani hasil survey yang melakukan pengapuran
hanya 36%. Rendahnya pengapuran berpengaruh terhadap jumlah
produksi atau hasil panen pada udang. Hal tersebut terjadi karena
pengapuran mampu meningkatkan pH tanah dan air; membakar
jasad jasad renik penyebab penyakit dan hewan liar; mengikat dan
mengendapkan butiran lumpur halus; memperbaiki kualitas tanah;
kapur yang berlebihan dapat mengikat fosfat yang sangat
dibutuhkan, menstimulir aktivitas organisme tanah sehingga dapat
menghambat organisme yang membahayakan kehidupan udang;
dapat merangsang kegiatan jasad renik dalam tanah sehingga dapat
meningkatkan penguraian bahan organik dan nitrogen dalam tanah.
Dibajak33%
Tidak dilakukan
67%
0%
47
Sumber: Data primer diolah 2021
Gambar 11. Perbaikan keasaman tanah
e) Pemupukan dasar tambak
Pemupukan merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan
hasil panen tambak, karena mampu menciptakan lingkungan yang ideal untuk udang hidup dan berkembang. Pemupukan pada tambak sendiri
berguna untuk merangsang pertumbuhan pakan alami di tambak.
Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 12. Pemupukan
0%
Pengapuran36%
tidak dilakukan64%
Pemberian Pupuk83%
Tidak dilakukan
17%
0%
48
Berdasarkan gambar 11, hasil survey responden
menunjukkan 83% petani tambak melakukan pemupukan dan
hanya 17% petani tambak yang tidak melakukan pemupukan.
Peemupukan tambak udang setidaknya dilakukan sebanyak dua
kali, yaitu pemupukan awal dan pemupukann susulan. Pemupukan
awal dilakukan 7-14 hari sebelum benih ditebar. Sedangkan
pemupukan susulan dilakukan setelah 1 bulan benih ditebar.
f) Pemberantasan hama
Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 13. Pemberantasan hama dan penyakit
Kegiatan pemberantasan hama dan penyakit pada sistem
budidaya udang dapat dilakukan melalui dua cara yaitu mekanis
dan kimiawi. Pemberantasan cara mekanis yaitu cara
pemberantasan yang dilakukan pada saat pengeringan rehabilitasi
tambak, dengan cara mencari, menangkap, dan mematikannya.
Pemberantasan hama (terutama trisipan, kepiting dan udang/ikan
liar) yang paling efektif adalah melalui pengeringan tambak secara
sempurna. Sedangkan pengapuran dengan menggunakan kapur
hidrat dan kapur oksida pada suhu tinggi juga dapat berfungsi
untuk memberantas hama udang liar (Mustafa 1991).
Memberantas hama
73%
0%
tidak dilakukan
27%
49
Pemberantasan hama ikan juga dapat dilakukan dengan
menggunakan saponin.
2. Benur
a) Bibit (Benur)
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan
budidaya udang windu (Penaeus monodon) di tambak adalah
ketersediaan benih. Untuk itu, setiap saat harus tersedia benih
berkualitas yang dibutuhkan oleh pembudidaya dalam jumlah
yang cukup, sebab dengan menebar benih yang berkualitas dan
ditunjang dengan lingkungan budidaya yang baik akan diperoleh
tingkat produksi yang diharapkan
Berikut persyaratan benur yang berkualitas:
• Keseragaman
Gunakan benur yang berukuran seragam karena benur
yang berukuran seragam dapat terhindar dari kanibalisme
antarbenih. Selain itu, ukuran benur yang tidak seragam dapat
menandakan pertumbuhan yang tidak normal.
• Penampilan warna
Kualitas benur dapat dinilai dari warnanya, penampilan
warna benur windu yang berbeda-beda bisa disebabkan oleh
tempat pemeliharan dan jenis pakan yang diberikan. Benur
berwarna kecokelatan, kehitaman, atau benih menjadi ciri dari
benur yang berkualitas baik. Sementara itu, benur berwarna
merah atau merah muda menandakan benur tersebut terindikasi
stres, terserang penyakit, infeksi, atau kekurangan makanan.
50
• Sirip ekor (uropoda)
Benur yang sehat memiliki sirip ekor yang mengembang
seperti kipas. Sirip ekor yang semakin mengembang akan
semakin baik. Bukaan sirip setidaknya memiliki tiga lembar. Jika
benur terlihat masih dalam kondisi tertutup, itu berarti benur
belum siap untuk ditebar.
• Antena pertama (sungut pendek)
Antena yang sering membuka dan menutup secara rapat
serta berada pada keadaan lebih sering menutup, menandakan
mutu benur berkualitas dan sehat. Sementara itu, benur yang
berantena membentuk huruf ‘V’ merupakan pertanda benur
sedang terinfeksi bakteri.
• Aktivitas renang
Benur yang sehat akan segera meloncat atau menjauhi
jika diberikan rangsangan dari luar. Benur yang sehat bergerak
aktif berenang dan peka terhadap rangsangan dari luar. Jika
kondisi air sedang diputar, benur yang sehat akan bergerak
melawan arus. Sementara itu, benur yang sakit justru tidak
berenang melawan arus. Jika sedang berisitrahat, badan benur
terlihat melengkung dan karapasnya mengerut.
• Ukuran benur
Bentuk benur udang yang siap ditebar adalah lancip dan
minimal berukuran 12 mm. Benur yang berukuran tersebut
biasanya memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
ukuran-ukuran lainnya. Tiga hingga empat hari sebelum benur
windu diambil dari hatchery, contoh benur diambil dengan cara
diawetkan dalam larutan alkohol 70% sebelum dicek dengan
51
Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk pengujian WSSV.
Sebelum benur windu ditebar di tambak, terlebih dahulu
ditokolkan atau dibantut 2-6 minggu di tempat yang relatif bersih
(tidak terkontaminasi oleh air kotor). Benur yang telah ditokolkan
akan memiliki vitalitas yang tinggi, dan masa pemeliharaannya di
tambak relatif lebih singkat (2-3 bulan).
• Tokolan
Benur ataupun tokolan udang windu sebelum ditebar
harus diaklimatisasi terhadap suhu dan salinitas air. Penebaran
benur atau tokolan dapat dilakukan apabila air dalam petakan
tambak telah dipersiapkan minimal dua minggu sebelumnya. Hal
ini diperlukan agar fitoplankton telah tumbuh dengan stabil yang
ditandai dengan warna air hijau kecoklatan dan kecerahan air
sekitar 30-40%. “Apabila kedalaman air tambak adalah satu
meter, maka sebaiknya kecerahan air 30-40 cm, jika kedalaman
air sekitar 60 cm, maka kecerahan air 18-24 cm.
• Bentuk Tubuh
Benur yang sehat dan berkualitas dapat dilihat dari
bentuk tubuhnya. Biasanya, benur yang baik memiliki bentuk
tubuh yang lurus saat berenang. Sedangkan untuk benur yang
tidak sehat, bentuk tubuhnya akan cenderung bengkok.
Sedangkan untuk matanya, benur berkualitas akan memiliki mata
yang mengkilap dan tidak memiliki bercak pada kulitnya.
• Usus yang Terisi Penuh
Jika dilihat ususnya, benur berkualitas pasti memiliki
usus yang terisi penuh. Sedangkan benur dalam kondisi stres atau
tidak sehat, maka ususnya terlihat kosong.satu usaha untuk
52
mendapatkan benih yang berkualitas adalah dengan cara
pentokolan.
Pentokolan adalah tahap pemeliharaan benur pasca larva
sampai mencapai ukuran cukup dewasa (yuwana) atau sudah
cukup kuat hidup di petak pembesaran yang berlangsung antara
15–45 hari, atau tergantung dari kesehatan dan ukuran benur
(Hendrajat, 2008). Hasil penelitian penggunaan benih hasil
pentokolan memberikan beberapa keuntungan antara lain:
penggunaan benur dengan harga relatif murah pada waktu
tertentu, dapat mempersingkat waktu pemeliharaan di tambak
sehingga mengurangi peluang terserang penyakit dan mengurangi
jumlah pakan, mempertinggi produksi, dan sintasan di petak
pembesaran, serta dapat meningkatkan frekuensi panen
(Mangampa et al., 1990). Dewasa ini teknologi produksi tokolan
udang sudah cukup beragam misalnya produksi tokolan di
petakan tambak yang dipersiapkan khusus dan menggunakan
hapa dalam petakan tambak yang dilengkapi dengan aerasi.
Sedangkan sistem pentokolan lain dapat menggunakan bak
terkontrol dari bahan fiber glass atau bak beton.
53
Adapun berdasarkan hasil tabulasi responden baik Kabupaten
Bone dan Pangkep, sebagaimana yang terlihat pada Tabel 4.
Sumber: Data primer diolah 2021
Dari Tabel 4. rata rata pembudidaya belum melakukan
penggunaan benur dari hasil sertifikasi yang melalui hasil tes PCR, baru
mencapai 40 persen artinya belum maksimal hingga 100 %, sehingga
benur yang ditebar masih beresiko terjangkitnya penyakit WSSV (white
spot syndrome virus) dan juga virus paling mematikan di dunia atau acute
hepatopancreatic necrosis disease (AHPND).
Dari sisi waktu penebaran rata rata pagi hari dengan presentase
sudah mencapai 84%, begitu juga aklimatisasi baik suhu maupun salinitas
sudah mencapai 70%. Tingkat kepadatan rata rata yang dilakukan 10.640
ekor/ha dengan sumber benih langsung dari hacthery skala lengkap dan
Tabel 5. Indikator Parameter Benuh yang digunakan pada petani tambak
No Indikator parameter benih yang di
gunakan Hasil
Responden Satuan
1 Pemilihan benur bersertifikat (SPF dan SPR ) 40 % 2 Rata rata Waktu penebaran Pagi (84) % 3 Aklimatisasi dilakukan 70 % 4 Kepadatan rata rata 10.640,63 ekor/ha 5 Kemasan benur menggunakan kemasan
plastik 100 %
6 Sumber benih dari hatchery lengkap dan
Hatchery skala rumah tangga (tebar
langsung) tanpa gelondongan/pentokolan
100 %
54
rumah tangga tanpa dilakukan penggelondongan atau pentokolan,
sehingga kualitas bibit masih rendah.
3. Pemeliharaan
Pemeliharaan udang windu merupakan hal yang perlu
diperhatikan dalam usaha budidaya. Keberhasilan udang windu dapat
terwujud apabila tersedia parameter sesuai dengan standar yang
sesuai. Dalam pemeliharaan data survey yang diamati antara lain alat
kualitas air, probiotik. Pemberian pakan komersil, harga dan dosis
pakan, biosekuriti dan lama budidaya.
Tabel 6. Indikator parameter pemeliharan hasil yang berasal dari responden petambak
No Paramater Volume Satuan
1 Alat kualitas air 0 %
2 Probiotik 86 %
3 Pakan komersil 80 %
4 Harga pakan 291.153,85 Rp
5 Dosis Pakan 3 %
6 Biosekuriti 17 %
7 Lama Budidaya 87.06 harian
Sumber: Data primer diolah 2021
Berdasarkan data peubah yang diamati pada Tabel 5.
menunjukkan seluruh responden tidak memiliki alat kualitas air
seperti DO meter, amonia (test kit), pH meter atau pH test kit, dll.
Adanya alat kualitas air dapat memudahkan petani mengukur kondisi
perairan dan mengantisipasi perubahan kualitas air jika terjadi.
Kualitas air sangat penting dalam budidaya perairan. Apabila
55
lingkungan kualitas air dalam kondisi normal maka infeksi dapat
diminimalisir.
Probiotik merupakan bakteri atau mikroba yang
menguntungkan bagi pembudidaya karena mampu meningkatkan
kualitas air, meningkatkan kesehatan udang melalui terjadinya
peningkatan sistem imun dari inang (udang), menghambat
pertumbuhan mikroba patogen dan meningkatkan daya cerna udang.
Berdasarkan data pada Tabel 5., sebanyak 86% dari responden
petambak menggunakan probiotik. Probiotik yang mereka gunakan
berasal dari berbagai merek.
Petani udang di Kabupaten Pangkep dan Bone umumnya
sudah menggunakan pakan komersil. Data pada Tabel 5. menunjukkan
80% dari total responden telah menggunakan pakan komersil. Pakan
komersial yang mereka gunakan memiliki rerata harga Rp 291.153,85.
Pakan yang mereka gunakan umunya 3% dari total biomassa udang
yang dipelihara. Kualitas pakan dapat ditentukan oleh kandungan gizi
dari pakan komersil dan kebutuhan gizi yang diinginkan oleh hewan
budidaya. Kebutuhan protein untuk udang ukuran juvenile sekitar
32% (Kureshy and Davis, 2002). Sedangkan Kaligis (2015)
melaporkan bahwa pasca larva udang vaname membutuhkan protein
sekitar 45%.
Biosekuriti adalah kegiatan yang bertujuan untuk mencegah
masuknya dan menyebarnya penyakit ke suatu sistem budi daya.
Mekanisme dari biosekuriti dipengaruhi oleh faktor fisik, kimia, dan
biologis. Prinsip penerapan biosekuriti adalah pengetahuan tentang
penyakit, daftar penyakit, ketersediaan alat/metode deteksi patogen,
kontrol terhadap induk, kontrol terhadap lingkungan, penerapan Best
56
Management Practices (BMP), dan program eradikasi penyakit, dan
desinfeksi patogen.
Berdasarkan data responden dari Table 5. menunjukkan
penerapan biosekuriti mencapai 17% di mana orang diantaranya 14%
menggunakan pagar dan 3% menggunakan orang-orangan. Pagar yang
dipasang pada tambak berfungsi untuk mencegah hewan liar masuk ke
tambak seperti kepiting. Pembuatan pagar pembatas dari jaring dibuat
dengan mengililingi tambak. Rendahnya penerapan biosekuriti
berpengaruh terhadap produktivitas hasil budidaya. Organisme liar
bisa jadi kompetitor bahkan pemangsa hewan budidaya. Selain itu,
burung-burung juga bisa menjadi carrier dan atau vector bagi hewan
budidaya.
Lama budidaya dalam suatu siklus berpengaruh terhadap
efektivitas dan efisiensi dalam suatu kegiatan industri perikanan
udang. Kegiatan budidaya yang dilaksanakan oleh petambak di
Kabupaten Bone dan Pangkep berdasarkan Tabel 5. memiliki lama
waktu budidaya yang beragam dengan rerata lama budidaya sekitar
87,06 hari. Lama waktu budidaya berkisar dari 55-120 hari. Semakin
lama waktu budidaya maka size udang yang diperoleh semakin baik.
4. Panen
Panen merupakan rangkaian akhir dari kegiatan budidaya.
Hasil panen udang windu dipengaruhi oleh persiapan lahan, kualitas
benur dan treatment dalam pemeliharaan. Semakin baik persiapan
lahan, kualitas benur dan treatment pemeliharaan maka hasil panen
dapat semakin maksimal. Dalam melaksanakan pemanenan beberapa
hal yang perlu diperhatikan antara lain:
57
a) Udang sebaiknya dipanen secara cepat dan hindari suhu panas
karena mempengaruhi kualitas udang.
b) Waktu panen terbaik dilakukan saat menjelang pagi dan
diharapkan selesai panan sebelum matahari terbit.
c) Panen sebaiknya menggunakan alat panen dengan permukaan
licin (tidak tajam) dan masih baik (tidak lapuk) untuk
menghindari kerusakan fisik dan pencemaran fisik udang.
d) Udang dipisahkan dan dikelompokkan untuk kualitas udang yang
bagus/baik berdasar size ukuran dan kualitas kurang baik/tidak
baik (BS) karena kulit lembek (udang yang ganti kulit/moulting).
Pengelompokan udang ini karena mempunyai harga jual yang
berbeda.
e) Ada baiknya sebelum dilakukan pemanenan, peralatan dan bahan
seperti air dan es sudah dipersiapkan.
f) Pintu keluar air dipasang jaring untuk menghindari lepasnya
udang hasil panen pada saluran air keluar. Jaring juga dapat
digunakan untuk menampung udang yang keluar lewat saluran
outlet.
g) Untuk memudahkan petambak udang windu saat panen,
sebaiknya air dibuang sebagian.
Berdasarkan data hasil tabulasi pada gambar 13 tentang
panen petani tambak udang di Kabupaten Bone dan Pangkep
menunjukkan keragaman ukuran panen yang mereka peroleh.
Sebanyak 59% udang dipanen dengan size 76-100. Hal tersebut
menunjukkan udang hasil panen berukuran kecil. Ukuran udang
sekitar size 50 saat panen mencapai 18% dan 23% udang dipanen saat
size berkisar antara 51-75. Apabila seluruh total size hasil panen
58
dirata-ratakan maka didapatkan rerata size hasil panen sekitar 72,88
dengan rerata lama budidaya mencapai 87,06 hari.
Sumber: Data primer diolah 2021 Gambar 14. size hasil panen petani tambak di Kabupaten Bone dan Pangkep
Feed conversion ratio (FCR) adalah perbandingan antara
berat pakan yang sudah diberikan dalam siklus periode tertentu
dengan berat total (biomass) yang dihasilkan. Nilai FCR
menggambarkan efesiensi penggunaan pakan. Nilai FCR hasil survey
(Tabel 6.) dengan para petambak yang berasal dari Kabupaten Bone
dan Pangkep mencapai 1,5. Nilai tersebut hampir sama dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Mohanty (2001) yang menunjukkan
rerata nilai FCR sekitar 1,4 pada sistem budidaya semi intensif.
18%
23%59%
0%
0-50
51-75
76-100
59
Tabel 7. Beberapa parameter hasil panen yang berasal dari responden petambak
Sumber: Data primer diolah 2021
C. Sekolah Lapang di Kabupaten Pangkep dan Bone
Kegiatan sekolah lapang dilaksanakan pada dua kabupaten yaitu
Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Bone. Sekolah lapang diharapkan
dapat menghasilkan perubahan pola pikir petambak untuk dapat
berbudidaya secara berkelanjutan, baik secara pribadi maupun
berkelompok. Untuk mengevaluasi hasil dari sekolah lapang, maka
dilakukan uji pre test dan post test. Uji tersebut menjadi indikator dari
keberhasilan sekolah lapang yang dilakukan pada dua kabupaten. Data
hasil pre test dan post test dapat dilihat pada Tabel 8-11.
No Paramater Rerata nilai 1 Size 78.88 2 Berat mutlak 10.67748 3 FCR 1.5
60
Tabel 8. Hasil Pre Test Calon Peserta Dempond Kabupaten Pangkep No.
Peserta Indikator Budidaya
Persiapan Penggelondongan pembesaran Pakan Probiotik Panen 1 1 1 2 1 2 1 2 2 1 1 1 2 2 3 3 1 3 3 3 3 4 2 1 4 4 5 5 5 2 1 1 3 3 4 6 2 1 4 4 5 5 7 2 1 1 3 3 4 8 2 1 4 4 5 5 9 2 1 1 3 3 4 10 2 1 4 4 5 5 11 2 1 1 3 3 4 12 2 1 4 4 5 5 13 2 1 1 3 3 4 14 2 1 4 4 5 5 15 2 1 1 3 3 4 16 2 1 4 4 5 5 17 2 1 1 3 3 4 18 2 1 4 4 5 5 19 2 1 1 3 3 4 20 2 1 4 4 5 5 21 2 1 1 3 3 4 22 2 1 4 4 5 5 23 2 1 1 3 3 4 24 2 1 4 4 5 5 25 2 1 1 3 3 4 26 2 1 4 4 5 5 27 2 1 1 3 3 4 28 2 1 4 4 5 5 29 2 1 1 3 3 4 30 2 1 4 4 5 5
Total 60 30 75 100 116 128 Rerata 2 1 2,5 3,33 3,86 4,27 SDV 0,26 0 1,48 0,80 1,11 0,94
61
Nilai Indikator bobot 1. Tidak tahu, 2 kurang tahu, 3 cukup tahu, 4. Tahu, 5. sangat tahu
Berdasarkan data pre test yang diperoleh pada Tabel 8,
pengetahuan tentang Cara Budidaya Ikan yang Baik dari calon peserta
dempond di Kabupaten Bone berkisar antara 1 - 4,27. Penerapan dari
petani mengenai budidaya udang penggelondongan masih sangat rendah.
Hal tersebut terlihat dari nilai indikator bobot mencapai 1 (tidak tahu).
Adapun persiapan budidaya petambak terhadap persiapan budidaya
mencapai nilai bobot 2. Nilai tersebut bermakna pengetahuan penerapan
dari petani tentang persipan tambak sebelum dilakukan budidaya masuk
tergolong agak rendah.
Nilai indikator bobot pembesaran berdasarkan Tabel 8. pada soal
pre test mencapai 2,5. Hal tersebut menunjukkan bahwa peserta sekolah
lapang masih perlu meningkatkan pengetahuan mereka mengenai
pembesaran udang windu. Kegiatan lain seperti pakan, probiotik dan
panen sudah baik namun rerata nilai indikator yang didapatkan oleh calon
peserta masih belum optimal.
62
Tabel 9. Hasil Post Test Peserta Dempond Kabupaten Pangkep No
Peserta Indikator Budidaya
Persiapan Penggelondongan pembesaran Pakan Probiotik Panen 1 5 4 4 4 5 5 2 5 5 4 4 5 5 3 5 4 4 4 5 5 4 5 4 4 4 5 5 5 4 4 4 4 4 4 6 4 5 4 4 5 4 7 5 4 4 4 5 5 8 5 5 4 4 5 5 9 5 4 4 4 5 5 10 5 4 4 4 5 5 11 4 4 4 4 4 4 12 4 5 4 4 5 4 13 5 4 4 4 5 5 14 5 5 4 4 5 5 15 5 4 4 4 5 5 16 5 4 4 4 5 5 17 4 4 4 4 4 4 18 4 5 4 4 5 4 19 5 4 4 4 5 5 20 5 5 4 4 5 5 21 5 4 4 4 5 5 22 5 4 4 4 5 5 23 4 4 4 4 4 4 24 4 5 4 4 5 4 25 5 4 4 4 5 5 26 5 5 4 4 5 5 27 5 4 4 4 5 5 28 5 4 4 4 5 5 29 4 4 4 4 4 4 30 4 5 4 4 5 4
Total 140 130 120 120 145 140 Rerata 4.67 4.33 4 4 4.83 4.67 SDV 0,48 0,48 0,00 0,00 0,38 0,48
Nilai Indikator bobot 1. Tidak tahu, 2 kurang tahu, 3 cukup tahu, 4. Tahu, 5. sangat tahu
Evaluasi atau post test sekolah lapang dilakukan setelah
pembelajaran. Hasil dari post test dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan
Tabel 9. menunjukkan bahwa pengetahuan dari peserta sekolah lapang
63
telah meningkat. Hal tersebut dapat dilihat dari skor indikator yang
mengalami mencapai 4.67. Tingginya nilai pengetahuan tentang
persiapan tambak diharapkan juga berpengaruh terhadap produktivitas
udang windu yang dipelihara.
Peningkatan pengetahuan juga dapat dilihat dari tingginya skor
indikator dari penggelondongan. Rerata skor yang didapatkan peserta
sekolah lapang adalah 4.33 dari skor maksimal 5. Skor tersebut bermakna
bahwa peserta sekolah lapang secara umum sudah mengetahui sistem
peggelondongan setelah dilakukan sekolah lapang. Materi pembelajaran
lain seperti pembesaran, pakan, probiotik dan panen yang diajarkan
dalam sekolah lapang menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan
pada seluruh topik tersebut. Bahkan hasil dari post test tentang probiotik
yang tersaji pada Tabel 9. menunjukkan sangat baik, hal tersebut dapat
dilihat dari nilai indikator yang mencapai 4.83 dari nilai maksimal 5.
Jumlah petani tambak yang mengikuti sekolah lapang di
Kabupaten Bone mencapai 30 orang. Sebelum diberikan materi sekolah
lapang, para peserta diminta mengisi kuesioner pre test yang telah
dibagikan. Kuesioner tersebut bertujuan untuk mengetahu seberapa besar
pengetahuna dari calon peserta sekolah lapang terhadap sistem budidaya
yang baik. Semua data hasil pre test dapat dilihat pada Tabel 10.
64
Tabel 10. Hasil Pre Test Calon Peserta Dempond Kabupaten Bone No
Peserta Indikator Budidaya
Persiapan Penggelondongan pembesaran Pakan Probiotik Panen 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 3 2 1 3 3 2 3 4 1 1 4 4 2 2 5 3 1 2 2 3 4 6 2 1 4 4 2 1 7 2 1 1 3 1 4 8 2 1 4 4 5 3 9 1 1 1 3 3 4 10 2 3 3 4 2 5 11 2 1 1 3 3 2 12 2 1 4 1 5 5 13 2 1 1 3 3 1 14 2 1 1 4 5 5 15 2 1 1 2 3 2 16 1 1 4 4 4 5 17 2 2 1 3 3 2 18 3 1 4 2 5 2 19 2 1 4 3 2 4 20 1 1 4 2 5 5 21 2 2 1 2 3 2 22 2 1 2 4 2 5 23 1 1 1 2 3 2 24 2 2 4 4 2 2 25 2 1 1 3 3 4 26 1 2 4 4 5 4 27 1 1 1 3 3 4 28 2 1 3 4 5 2 29 2 2 1 3 3 4 30 2 2 3 3 4 3
Total 54 39 71 89 95 95 Rerata 1.80 1.30 2.37 2.97 3.17 3.17 SDV 0,55 0,53 1,35 0,93 1,21 1,32
Nilai Indikator bobot 1. Tidak tahu, 2 kurang tahu, 3 cukup tahu, 4. Tahu, 5. sangat tahu
65
Berdasarkan hasil pre test peserta sekolah lapang yang diadakan
di Kabupaten Bone menunjukkan pengetahuan yang masih kurang
terhadap cara budidaya udan secara baik. Hasil pre test persiapan tambak
pada Tabel 10 masih sangat rendah. Nilai rerata indikator mencapai 2, hal
tersebut menunjukkan umumnya pengetahun peserta sekolah lapang
sebelum diberikan materi mengenai persiapan tambak masih kurang.
Rerata nilai dari calon peserta sekolah lapang terhadap hasil pre
test untuk beberapa materi juga masih rendah. Secara umum, mereka
masih kurang paham terhadap cara berbudiday udang dengan baik.
Sistem budidaya yang kurang baik berpengaruh terhadap produksi yang
mereka hasilkan. Walaupun demikian, rerata petambak udang di
Kabupaten Bone memiliki pengetahuan yang baik terhadap penangan
udang saat panen.
Evaluasi selanjutnya dilakukan saat peserta sekolah lapang
mengikuti pembelajaran. Evaluasi ini bertujuan untuk mengetahui
efektivitas dari sekolah lapang terhadap pengetahuan peserta. Data
tingkat pemahaman materi para peserta sekolah lapang dapat dilihat pada
Tabel 11.
66
Tabel 11. Hasil Post Test Peserta Dempond Kabupaten Bone No
Peserta
Indikator Budidaya Persiap
an Penggelondong
an pembesar
an Paka
n Probioti
k Pane
n 1 4 5 5 4 5 5 2 5 5 4 5 5 5 3 5 4 4 4 5 5 4 5 4 5 5 5 5 5 4 4 4 4 4 4 6 4 4 4 4 5 4 7 5 4 4 4 5 5 8 5 5 5 4 5 5 9 5 5 4 5 5 5
10 5 4 4 4 5 5 11 4 4 4 4 4 5 12 5 4 5 4 5 4 13 5 4 4 4 4 5 14 5 5 4 4 5 5 15 4 4 5 5 5 5 16 5 4 4 4 5 5 17 4 4 4 4 5 4 18 5 5 5 4 5 4 19 5 4 4 5 5 5 20 5 5 4 4 5 5 21 5 4 4 4 5 4 22 4 4 4 4 5 5 23 4 5 4 5 4 4 24 5 5 4 4 5 4 25 5 5 4 4 5 5 26 5 5 4 4 5 5 27 4 4 4 4 5 5 28 5 4 5 4 5 5 29 5 4 4 4 4 5 30 4 5 5 5 5 5
Total 140 132 128 127 145 142 Rerat
a 4.67 4.40 4.27 4.23 4.83 4.73
SDV 0.48 0.50 0.45 0.43 0.38 0.45 Nilai Indikator bobot 1. Tidak tahu, 2 kurang tahu, 3 cukup tahu, 4. Tahu, 5. sangat tahu
67
Berdasarkan data pada Tabel 11. tersaji tingkat pengetahuan para
peserta yang telah mengikuti sekolah lapang. Peserta sekolah lapang
semakin tahu dan paham mengenai persiapan, penggolondongan,
pembesaran hingga penanganan panen. Materi yang diberikan oleh
penyaji mampu meningkatkan pengetahuan mereka. Tingkat pengetahuan
dapat dilihat pada Tabel 11 yang mencapai 4.83 dari total point 5
(maksimal).
D. Teknis Budidaya di Lokasi Dempond
Jumlah produksi dari suatu usaha budidaya udang windu yang
dilakukan oleh para petambak masih perlu ditingkatkan. Jumlah hasil
panen dapat ditingkatkan melalui peningkatan pengetahuan tentang
teknik budidaya udang windu. Tranfers informasi mengenai sistem
budidaya udang windu dapat dilakukan melalui sekolah lapang dan
pembuatan dempond. Pembuatan dempond bisa menjadi bukti nyata
tentang hasil produksi budidaya udang windu yang mengikuti sistem cara
berbudidaya yang baik (CBIB). Pembuatan dempond juga mempermudah
para petambak dalam memahami sistem budidaya yang karena dilakukan
langsung di lapangan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam
budidaya udang windu yaitu:
1. Persiapan Lahan
a) Konstruksi tambak
Konstruksi dan petakan tambak harus memenuhi persyaratan teknis
Konstruksi/bangunan tambak udang windu teknologi sederhana meliputi :
pematang tambak, pintu air, petakan tambak dan bangunan serta sarana
pendukung lainnya.
68
1) Bangunan Pematang Tambak
Pada prinsipnya pematang tambak harus kedap air dengan tingkat
kehilangan air (rembesan) maksimum 10 % per minggu. Ukuran lebar
atas pematang antara 1,5 - 2,5 m dan lebar bawah antara 4,0 - 7,0 m
(tergantung jenis tanah). Ketinggian pematang minimal 1 m atau
petakan tambak mampu diisi air hingga kedalaman minimal 60 cm
atau sesuai ketinggian air yang diperlukan selama pemeliharaan udang
windu.
2) Bangunan Pintu Air
Pintu air berfungsi untuk mengisi atau membuang air dari dan
kedalam petak tambak. Pintu air dibuat dengan kokoh dan tidak bocor
serta dilengkapi dengan saringan untuk mencegah masuknya udang
liar dan ikan kedalam petakan tambak pemeliharaan pada saat
pengisian air. Pemasukan air ke petak tambak pada kawasan tambak
dengan beda pasang surut yang kecil digunakan pompa diesel ukuran
diameter 6-8 inchi sebanyak 1 buah pompa per ha (jumlah pompa
tergantung kebutuhan).
Pada tambak sederhana pintu air dapat terbuat dari bahan kayu. Untuk
memudahkan pengoperasian, ukuran ideal lebar mulut pintu adalah
0,8-1,2 m sebanyak 2 buah tiap luasan petakan 1 ha. Pembuangan air
yang baik menggunakan sistem monik, sehingga mampu membuang
air bagian dasar. Ukuran sistem pintu monik tergantung kebutuhan.
Dapat pula menggunakan pipa PVC dengan sistem pipa goyang
dengan jumlah pipa untuk 1 ha minimal 4 buah dengan diameter 8
inchi, sehingga dapat membuang air dengan mudah dan cepat.
69
3) Bangunan Petakan Tambak
Petak tambak berbentuk persegi panjang atau bujur sangkar dengan
komponen dan bentuk dasar petakan tambak terdiri dari
pelataran/dasar, caren keliling dan caren tengah. Caren berfungsi
untuk memudahkan proses pengeringan tanah dasar tambak dan
proses panen. Kedalaman caren berkisar 10-30 cm dari pelataran
dengan dasar caren miring ke pintu pembuangan. Petakan tambak
dilengkapi dengan pintu pembuangan atau pemasukan air yang
memadai. Petakan tambak sederhana dapat pula dilengkapi dengan
petak kecil dibagian depan mulut pintu pembuangan dengan tujuan
untuk memindahkan pengeringan dan pemanenan hasil (catching
pond).
b) Persiapan Tanah Dasar Tambak
Persiapan tanah dilakukan untuk memperbaiki kualitas tanah dasar
tambak sebagai wadah/media pemeliharaan udang setebal lapisan olah
(kedalaman tanah 5-15 cm). Tahapan kegiatan persiapan tanah dasar
adalah sebagai berikut :
1) Pengeringan tanah dasar tambak bertujuan untuk meningkatkan
oksidasi tanah sehingga dapat mempercepat penguraian bahan
organik. Proses pengeringan dapat dipercepat dengan pembuatan
parit/caren keliling. Pengeringan tanah dilakukan hingga tanah
retak-retak (kadar air sekitar 20%). Pengeringan dasar tambak
tidak dilakukan hingga kondisi tanah berdebu, karena proses
mineralisasi bahan organik akan berhenti. Bila tanah sudah
kering, dilakukan pembasahan dengan cara mengisi air. Cara ini
sekaligus dilakukan untuk pencucian tanah dasar.
70
2) Lumpur organik, lumut dan kelekap yang mati dicirikan dengan
warna hitam dan berbau busuk menyengat harus diangkat dari
dasar tambak.
3) Pembalikan tanah dilakukan untuk meningkatkan aerasi tanah
selama proses pengeringan. Pembalikan tanah dilakukan minimal
hingga kedalaman 5-15 cm dari permukaan tanah (umumnya
mengandung bahan organik >12%).
Tabel 12. Parameter tanah dan perlakuan No Parameter Nilai Perlakuan
1 Bahan
Oganik
< 12% Pengangkatan Lumpur, pengeringan,
pencucian
2 pH 6,5-8,5 pH < 6,5 dikapur dolomite dosis 500 –
1000 kg/ha
3 Redoks > (-
50me.V)
Oksidasi dengan pengeringan
4 C/N ratio > 11 Penambahan sumber C organik
4) Pencucian tanah dilakukan bila selama proses
pengeringan/pengolahan tanah terbentuk zat besi (firit) yang
ditandai warna kemerahan pada permukaan tanah maupun
pematang. Tanah yang mengandung zat besi, pada saat proses
pengeringan terjadi oksidasi zat besi menjadi besi firit yang akan
menyebabkan pH tanah menurun. Cara pencucian dengan
merendam tanah dasar tambak setelah kering sedalam 10 cm
selama 1-2 hari, kemudian dikeringkan kembali hingga tanah
retak-retak (kadar air 20%). Pencucian dapat dilakukan berulang
sambil menunggu program penebaran.
71
5) Tambak yang ditumbuhi hama trisipan biasanya kandungan
bahan organik tinggi. Hama trisipan sebagai hama
kompetitor/penyaing ruang gerak dan konsumsi oksigen di dasar
tambak dan juga lendir yang dihasilkan dapat menghambat
perkembangan udang. Pemberantasan trisipan/siput dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
• Pemberantasan hama trisipan sebaiknya dilakukan secara
manual, yaitu dengan pengeringan tambak secara perlahan
sehingga trisipan berkumpul pada bagian caren atau tanah yang
masih basah dan selanjutnya dibersihkan.
• Apabila populasi trisipan sangat banyak, maka pemberantasan
dengan penggunaan moluksida dapat dilakukan dengan efisien,
yaitu dengan cara pengeringan dan biasanya trisipan akan
mengumpul pada bagian tanah yang basah atau masih terendam
air (caren), kemudian hanya bagian caren yang terdapat trisipan
diberi aplikasi/disebar moluksida dengan dosis 0,5-1 ppm dan
direndam >7 hari (hingga kondisi netral).
6) Pengapuran tanah dasar tambak dilakukan bila nilai pH tanah
masih kurang dari 6,5. Untuk efisiensi, pengapuran dilakukan
setelah proses pencucian atau pada saat akan melakukan
pengisian air pada petak pembesaran udang. Pengapuran
dilakukan pada saat kondisi tanah masih lembek/lembab (Gambar
8). Jenis kapur yang cocok untuk menaikkan pH tanah adalah
kapur pertanian atau dolomite (CaMgCO3) dengan dosis 500-
1.000 kg/ha untuk nilai pH tanah kurang dari 6,5.
72
Gambar 8. Pengapuran tanah dasar tambak (dalam kondisi tanah dasar
masih lembab/lembek)
c) Persiapan Air
Setelah kualitas tanah dasar tambak memenuhi syarat, maka dilakukan
persiapan air. Persyaratan kualitas air yang siap tebar tertera pada
tabel 2 dengan tahapan kegiatan dapat dilakukan sebagai berikut:
- Pengisian air untuk petak pembesaran udang berasal dari petak
tendon/biofilter yang telah mengalami proses filtrasi secara
biologis atau minimal telah diendapkan selama 2-3 hari. Pintu air
atau pompa sudah dilengkapi dengan saringan ganda (double
screen) untuk mencegah ikan dan udang liar masuk.
- Pada saat air pasang naik dengan kondisi air terlihat kotor dan
keruh, maka hindari pengisian air ke petak tambak, karena
kualitas air rendah dan kotor akibat terjadi pengadukan lumpur
organik dasar saluran. Oleh karena itu, perlu petak tandon atau
petak biofilter yang berfungsi sebagai petak pengendapan.
- Pengisian air pada petak pembesaran udang berasal dari petak
tandon endapan atau tandon biofilter. Ketinggian air dalam petak
73
tambak minimal 80 cm. Untuk menambah ketinggian air dalam
petakan tambak dapat digunakan pompa air.
- Untuk mencegah masuknya larva dan crustacea liar ke petak
pembesaran udang dengan cara memasang saringan ganda
(berbentuk kantung) pada pintu atau pipa pemasukan air (panjang
minimal 2 m). Ukuran mata saringan adalah mess size 1 mm dan
300 mikron (plankton T-45). Untuk mencegah saringan plankton
net cepat tertutup oleh partikel kotoran, maka pemasangan
saringan dibuat rangkap (double screen) dengan ukuran yang
berbeda. Saringan pertama (bagian dalam) mess size 1 mm dibuat
ukuran diameter 0,5 m dengan panjang 2 m. Saringan kedua
(bagian luar) mess size 300 mikron dengan ukuran diameter 1 m
dan panjang 2,5 m.
- Bila lokasi tambak pada kawasan epidemis udang sakit dapat
dilakukan sterilisasi air pada petak pemeliharaan udang dengan
desinfektan yang tidak berbahaya bagi lingkungan dan manusia,
yaitu dengan sasaran krustacea atau udang-udang liar mati dan
sekaligus menekan bakteri vibrio yang ada dalam tambak.
Desinfektan yang digunakan pada teknologi sederhana ini adalah
Crustaesida dosis 1-2 ppm dan atau kaporit dengan dosis 10-15
ppm.
- Penumbuhan plankton dengan aplikasi pupuk organik (pupuk
kandungan nutrient lengkap) dosis 0,5 ppm dan pupuk anorganik
(NPK) atau pupuk Nitrogen dan Phosfat (perbandingan 4:1)
dengan dosis 3-5 ppm atau 30- 50 kg/ha. Aplikasi pupuk
dilakukan 3 hari setelah pemberian desinfektan kaporit dan dapat
74
diulang tiap 5-7 hari hingga plankton tumbuh yang ditandai
dengan warna air hijau kecoklatan (kecerahan sekitar 30-40 cm).
Tabel 13. Paramater tanah dan nilai kisaran No. Parameter Nilai
1 pH 7,5-88 (kisaran harian pagi dan sore (0,2-0,5
2 Alkalinitas > 60
3 Bahan organik Maks 90 ppm
4 Kecerahan (cm) 30-40
5 Warna air Hijau kecoklatan (dominasi fitoplankton cloropicae)
6 Visual Bersih dari udang liar, ikan liar
2. Benur
a) Pemilihan Benih
Pemilihan benih dilakukan untuk mendapatkan benih udang yang sehat,
mempunyai ketahanan tinggi dan bebas dari infeksi penyakit virus
dengan melalui uji Polymerase Chain Reaction (PCR). Cara pemilihan
benih dengan melakukan uji visual, uji ketahanan dan uji laboratorium
sampel benih udang, dengan tahapan sebagai berikut :
- Secara visual meliputi kesaragaman warna, ukuran, gerakan dan
kelengkapan organ tubuh. Warna benih seragam hijau kecoklatan
bersih (tidak berwarna merah). Ukuran seragam dengan ekor
(uropoda) sudah membuka. Nilai keseragaman ukuran dan warna
>95%. Ukuran benih PL-12 atau tokolan. Gerakan aktif berenang
menentang arus menempel di dasar atau didinding bak. Anggota tubuh
lengkap dan bersih dari pathogen dasar (sesuai SNI benih udang
windu).
75
- Uji ketahanan dengan kejutan terhadap salinitas dari air bak media
pemeliharaan benih ke salinitas 0 ppt (tawar) secara mendadak selama
15 menit kemudian dikembalikan ke salinitas air bak. Kelangsungan
hidup benih yang baik >90%. Cara kedua dengan menurunkan
salinitas dengan penambahan air tawar dan air bak media
pemeliharaan 1 : 1 selama 1-2 jam dengan nilai kelangsungan hidup
>95%.
- Perendaman formalin 200 ppm selama 0,5-1 jam untuk mengetahui
infeksi pathogen. Kelangsungan hidup benih yang baik >90%.
- Sampel yang lemah dari hasil ketahanan kejutan salinitas atau
perendaman formalin biasanya mengumpul di tengah (Gambar 9)
dilakukan uji PCR di Laboratorium untuk mengetahui infeksi penyakit
viral seperti bercak putih (WSSV), penyakit kerdil (IHHNV) dan
penyakit viral lainnya.
- Benih yang sudah dipilih baik ukuran benur PL-12 maupun tokolan,
selanjutnya dilakukan adaptasi salinitas pada media di bak
pemeliharaan dengan salinitas air tambak. Perbedaan antara air bak
pemeliharaan dan air tambak pada saat penebaran maksimum 3 ppt.
b) Penebaran Benih
- Sebelum ditebar dilakukan adaptasi terhadap suhu dengan cara
mengapungkan kantong plastik pada air tambak. Biasanya air
yang digunakan untuk mengangkut benih udang diturunkan
suhunya hingga 22 ° C untuk menekan kanibalisme. Aklimatisasi
suhu dianggap cukup bila benih sudah aktif berenang di dalam
kantung.
76
Gambar 15. Aklimatisasi sebelum penebaran benur
- Setelah suhu sama yang ditandai benih bergerak aktif, kantong
dibuka dan ditambah air tambak secara perlahan atau dengan cara
dimasukkan pada wadah waskom atau ember dan kemudian
ditambah sedikit demi sedikit air tambak. Hindarkan membuka
kantung atau menaruh benih dalam waskom/bak terlalu lama (>15
menit) karena oksigen akan lepas ke udara sehingga menyebabkan
kelarutan oksigen dalam kantung menurun.
- Selanjutnya benih dalam kantung / Waskom / bak
dituang/dimiringkan ke dalam tambak. Benih yang sehat akan
berenang aktif berenang menyebar ke air tambak. Benih yang
tidak aktif berenang keluar dari waskom dianggap tidak sehat atau
lemah kondisinya.
- Perhitungan jumlah penebaran adalah benih yang sehat setelah
sampai lokasi tambak. Benih yang sehat beberapa kantung plastik
dihitung kemudian dikalikan jumlah kantung plastik. Padat tebar
untuk teknologi sederhana antara 1-5 ekor/m2 (tergantung kondisi
daya dukung lahan dan sarana penunjang lainnya).
77
3. Pemeliharaan
a. Pengelolaan pakan Pada budidaya udang dengan teknologi sederhana lebih banyak
mengandalkan pakan alami yang tumbuh dalam tambak, berupa
cacing dan hewan renik lainnya. Pemberian pakan tambahan
dilkaukan bila kondisi pakan alami mulai menipis. Oleh karena itu
pemberian pakan tambahan harus selalu dikontrol dengan baik.
Pada prinsipnya pemberian pakan buatan disesuaikan dengan
kebutuhan udang.
- Pengelolaan pakan meliputi ukuran, jumlah dan frekuensi
pemberian disesuaikan dengan kondisi udang di tambak. Sifat
udang lebih menyukai pakan alami yang tumbuh di tambak
dari pada pakan buatan. Sehingga pemberian pakan buatan
mulai dilakukan bila ketersediaan pakan alami sudah menipis.
- Untuk mengetahui saat kapan udang perlu pakan tambahan
dapat dikontrol melalui pengamatan warna usus. Udang lapar
ususnya kosong, udang makan pakan alami usus terlihat
warna hijau kehitaman. Udang yang makan pakan tambahan
(pellet) warna usus cuklat. Udang yang terganggu pencernaan
isi usus terlihat terputus-putus.
- Untuk mengetahui apakah udang sudah perlu dilakukan
pemberian pakan tambahan adalah dengan mencoba memberi
pakan pada anco.
- Bila setelah 30 menit banyak udang naik anco dan kotoran
sudah coklat, menunjukan bahwa udang sudah mengkonsumsi
pakan buatan. Tanda lain udang mulai aktif mencari makan
dekat pematang tambak terutama pada malam hari.
78
- Untuk menjaga kualitas pakan buatan, tempat penyimpanan
pakan serta pengaturan bungkus pakan harus ditempatkan
pada ruangan yang kering, tidak lembab serta mempunyai
sirkulasi udara dengan baik.
b. Pengamatan Kesehatan & Pertumbuhan Udang
Pengamatan atau pemantauan kondisi kesehatan udang dilakukan
setiap hari terutama pada kondisi yang kritis yaitu pada pagi hari.
Pengamatan kondisi kesehatan udang yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut :
- Pengamatan kondisi kesehatan udang meliputi gerakan,
warna, kondisi usus dan nafsu makan dilakukan setiap hari.
Udang yang sehat bergerak berenang aktif mencari makan
dengan kaki jalan pada dasar tambak. Udang sehat akan
berenang atau menjauh bila kena sorotan cahaya pada malam
hari. Apabila menempel batang ranting rumput, tali anco
dengan posisi kepala di bawah dan akan berenang bila tali
anco tersebut diangkat atau digerakkan.
- Udang yang sehat berwarna cerah dengan warna belang
tubuhnya yang jelas. Tubuh terasa bersih dan licin bila
dipegang. Insang terlihat bersih dan tidak menunjukkan
adanya pembengkakan. Ekor (urupoda) membuka seperti
kipas bila dipegang dengan figmentasi warna belang yang
jelas antara hitam/hijau tua dan transparan.
- Udang yang sehat pakan pada usus tidak terlihat putus-putus.
Pakan yang terputus-putus pada usus udang menunjukan
adanya pathogen. Sebagai pencegahan perlu pengobatan
dengan antibiotik yang direkomendasikan. Warna kotoran
79
udang sehat terlihat seperti jenis pakan yang dikonsumsi.
Kandungan pakan alami yang banyak kotoran akan berwarna
hitam. Pakan pellet kotoran akan berwarna coklat.
- .Udang yang sakit biasanya akan diam dengan kaki jalan
memegang rating, rumput atau tali anco, dan tidak segera
berenang bila benda tersebut digerakan atau tali anco tersebut
diangkat. Warna ekor udang yang mengalami stress biasanya
terlihat kemerahan. Sedangkan udang yang kurang sehat
biasanya kotoran berwarna putih dan putus-putus.
Gambar 16. Pengamatan pertumbuhan dan kesehatan udang
- Pengamatan pertumbuhan udang secara periodik dilaksanakan setiap
minggu melalui anco atau menggunakan jala tebar. Bila telah
menggunakan pakan tambahan, pengukuran pertumbuhan dilakukan
lebih intensif dengan pengambilan sampel udang dengan
menggunakan jala tebar secara acak sehingga mewakili seluruh
kondisi petakan tambak.
80
4. Panen
Panen dilakukan setelah udang mencapai ukuran konsumsi
dengan harga pasar yang baik. Harga jual udang tergantung size ukuran
dan tiap waktu harga bisa berubah sesuai dengan harga ukuran size yang
dibutuhkan pasar, sehingga petambak harus mengikuti perubahan harga
pasar udang berdasar size atau ukuran waktu akan melakukan panen
untuk mendapatkan nilai jual yang tinggi. Mutu udang harus dijaga
sehingga cara panen dan alat yang digunakan tidak merusak kualitas
udang. Beberapa teknik panen adalah sebagai berikut :
Gambar 17. Panen
- Cara panen tiap daerah berbeda. Pada prinsipnya panen udang
dilakukan dengan cepat dan udang yang tertangkap dibersihkan
dari kotoran lumpur.
- Kemudian udang dimasukan dalam wadah direndam dengan es
dengan suhu kurang dari 5 oC dengan tujuan untuk menjaga
kesegaran daging mutu udang. Biasanya panen dilakukan pada
kondisi cuaca dingin atau pada malam hari.
81
- Panen sebaiknya menggunakan alat panen yang permukaannya
licin (tidak tajam) dan masih baik (tidak lapuk) untuk menghindari
kerusakan fisik dan pencemaran fisik udang.
- Kemudian udang dipisahkan dan dikelompokkan untuk kualitas
udang yang bagus/baik berdasar size ukuran dan kualitas kurang
baik/tidak baik (BS) karena kulit lembek (udang yang ganti
kulit/moulting). Pengelompokan udang ini karena mempunyai
harga jual yang berbeda.
E. Daya saing dan Pertumbuhan Ekonomi
Daya saing merupakan kemampuan menghasilkan produk
barang dan jasa yang memenuhi pengujian internasional, dan dalam saat
bersamaan juga dapat memelihara tingkat pendapatan yang tinggi
dan berkelanjutan, atau kemampuan daerah menghasilkan tingkat
pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka
terhadap persaingan eksternal. Anonim (2008) menyatakan konsep
definisi Daya saing suatu negara atau daerah mencakup beberapa
elemen utama sebagai berikut :
1. Meningkatkan taraf hidup masyarakat.
2. Mampu berkompetensi dengan daerah maupun negara lain.
3. Dapat menyediakan lapangan kerja, dan
4. Pembangunan yang berkesinambungan dan tidak membebabani
generasi yang akan datang
Dari defenisi dan indikator daya saing, maka dengan
pengembangan udang windu yang menghasilkan produk dengan tingkat
penerimaan yang tinggi, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup
masyarakat hal ini bisa dibandingkan dengan indikator budidaya dengan
82
penebaran yang sama tapi dengan teknologi yang berbeda akan
menghasilkan produksi yang lebih tinggi dan ukuran udang windu yang
lebih besar. Berikut ini gambaran data perbandingan antara dempond
dan non dempond, dimana pada dempond memiliki teknologi
penggelondongan satu bulan, memberikan campuran daun kopasanda
pada pakan dan memberikan probiotik secara alami
Tabel 14. Data hasil produksi Dempond dan Non Dempond di Kabupaten Pangkep untuk indikator daya saing
No Indikator Dempond Non Dempond
1 Padat tebar (ekor/0,5 ha)
20.000 20.000
2 Survival Rate (%) Penggelondongan 70,51 Pembesaran 53,76 40
3
Jumlah Pakan (kg)
dengan campuran Kopasanda
403,10
Tanpa campuran 153,85 4 Pemberian probiotik
(ppm) Komersial >100 buatan > 100
5 FCR 1,45 1,5 6 Size (ekor/kg) 38,02 78,8 7 Lama pemeliharaan
(hari) Penggelondongan 30 - Pembesaran 60 87,6
8 Total Produksi kg/0,5 ha
282, 80 102,56
83
Tabel 15. Data produksi udang windu 2021 di Provinsi Sulawesi Selatan
No Kabupaten/Kecamatan/Desa
Jumlah ekor
Pembesaran
Kondisi saat ini Ket
1 Maros 1. Kec. Bontoa Desa
Pajukukang 92.400 Panen 627 kg Selesai 2. Kec. Marusu Desa
Nisombalia 209.000 Panen 894 kg (parsial) Proses
2 Pangkep 1. Kec. Pangkajene Desa
Sibatua 139,000 206,7 kg Selesai 2. Kec. Pangkajene Kel.
Tekolabbua 68.000 250 kg Selesai 3 Barru
1. Kec. Taneterilau Desa Corawali 120.000
Bervariasi (rokok, korek api) Proses
2. Kec. Barru Kel. Coppo 225.000
Bervariasi (rokok, korek api) Proses
4 Pinrang 1. Kec. Mattiro Sompe Kel.
Langnga 173.800 270 kg panen parsial Proses
2. Kec. Daumpanua Desa Bababinanga 205.000 285,1 kg Selesai
5 Bone 1. Kec. Sibulue Desa
Mabbiring 3.921 Gagal 2. Kec. Sibulue Desa
Sumpang Minangae 4.800 116.5 kg Selesai 6 Wajo 1. Kec. Keera Desa Inrello 35.000 121 kg Selesai 2. Kec. Keera Desa Paojepe 25.000 205 kg Selesai 7 Luwu 1. Kec. Ponrang Desa
Maladimeng 195.000 380 kg Proses 2. Kec. Suli Desa Cimpu 182.000 196 kg Proses 8 Luwu Utara
84
1. Kec. Bone-Bone Desa Batang Tongka 225 kg Selesai
2. Kec. Bone-bone Desa Sadar Gagal
9 Luwu Timur 1. Kec. Burau Desa Burau
Pantai 93.000 310 kg Selesai 2. Kec. Angkona Desa
Watangpanua 1,000 148 kg Selesai 10 Makassar 1. Kec. Tamalanrea Kel.
Tamalanrea Indah 73.000 460 kg panen (berfariasi) Proses
2. Kec. Tamalanrea Kel. Parangloe 85.000
Sebesar kelingking Proses
11 Takalar 1. Kec. Sanrobone Desa
Banyuanyara 150.000 185 kg Selesai 2. Kec. Mappakasunggu
Desa Takalar 100.000 190 kg Selesai 12 Jeneponto 1. Kec. Bangkala Barat Desa
Tuju 50.000 835 kg Selesai 2. Kec. Bangkala Barat Desa
Banrimanurung 80.100 912 kg Selesai 13 Bulukumba 1. Kec. Ujung Loe Desa
Manyampa 187.500 Proses 2. Kec. Kajang Desa Possi
Tanah Proses Sumber: Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2021
Data hasil produksi pada Tabel 14 dan 15 tersebut terlihat bahwa
dengan teknologi dempond, maka dapat meningkatkan produksi hampir 3
kali lipat dari teknologi budidaya udang windu yang ada dan berkembang
di masyarakat. Dengan peningkatan produksi tersebut dengan sendirinya
akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan penerapan
teknologi dempond, maka akan merangsang bangkitnya udang windu di
85
Sulawesi Selatan, sehingga dengan sendirinya akan meningkatkan ekspor
dan penyerapan tenega kerja.
Untuk menguji apakah teknologi dempond layak di kembangkan
atau tidak, maka dilakukan analisis kelayakan usaha dengan
menggunakan pendekatan R/C ratio, sebagaimana pada Tabel 16 dan 17.
Tabel 16. Analsis Kelayakan Dempond dan Non Dempond di Kabupaten
Pangkep
No Item Volume Harga
(Rp/Unit)
Dempond Non
Dempond
a. Pajak 1 thn 5.000.000 35.000
b. Peny. Peralatan 1
thn 212.000
212.000
Jumlah Biaya 247.000 247.000
2 Biaya Variabel
Sarana Produksi:
a. Benur pl 12 40.000 42,5 1.700.000 700.000
b. Kapur 1.750 kg 1.742,85 3.050.000 -
c.Pupuk Urea 2 Zak 380.000 760.000 760.000
d.Pupuk Tsp 2 Zak 450.000 900.000 900.000
e. Saponin 100 kg 10.000 1000.000 1000.000
f. Pakan 403/153
11.600 4.674.800
1.744.800
g. Probiotik 100 30.000 1.500.000 3.000.000
Tenaga Kerja:
c.Pengolahan tanah 1 Ha 1000.000 1.000.000 1.000.000
Total Biaya
11.588.800
9.958.800
86
No Item Volume Harga
(Rp/Unit)
Dempond Non
Dempond
Total Produksi
278 102,56
Total Penerimaan
70.000/3
0.000
19.460.000
3.760.800
R/C Ratio 1,68 0,38
Tabel 17. Analsis Kelayakan Usaha Budidaya Udang Windu di
Kabupaten Bone
No Item Volume Harga (Rp/Unit) Non
Dempond
1 a. Pajak 1 thn 35.000
b. Peny. Peralatan 1 thn 212.000
Jumlah Biaya 247.000
2 Biaya Variabel
Sarana Produksi:
a. Benur/gelondonga 20.000 35/45 700.000
b. Kapur 150 kg 2.400 360.000
c.Pupuk Urea 2 Zak 380.000 760.000
d.Pupuk Tsp 2 Zak 450.000 900.000
e. Saponin 100 kg 10.000 1000.000
f. Pakan
366,10/1
75,34 11.600 2.330.994
g. Probiotik 100 30.000 3.000.000
Tenaga Kerja:
c.Pengolahan tanah 1 Ha 1000.000 1.000.000
Total Biaya
10.447.000
87
No Item Volume Harga (Rp/Unit) Non
Dempond
Total Produksi
109,59
Total Penerimaan
70.000/3
0.000
3.287.700
R/C Ratio 0,31
Berdasarkan Tabel 16 dan 17 baik Kabupaten Pangkep dan
Kabupaten Bone, maka dari total penerimaan dempond ternyata sangat
tinggi jika di bandingkan dengan non dempond, hal ni menunjukkan
bahwa daya saing produk dari hasil teknologi dempond lebih tinggi di
banding non dempond. Total penerimaan bersih dari hasil dempond
mencapai 20 jutaan sedangkan non dempond hanya 3 juta lebih.
Tingginya penerimaan tersebut dipicu dari hasil pemeliharaan dengan
menggunakan benur gelondongan satu bulan dan pemberian pakan
dengan campuran kopasanda. Daun kopasanda ternyata dapat
meningkatkan survival rate dan menurunkan FCR. Dari hasil R/C ratio
ternyata produksi dempond layak untuk di kembangkan karena R/C >1,
sedangkan non dempong R/C<1 atau tidak layak.
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat ditentukan Perubahan
dan kemajuan teknologi berkaitan dengan perubahan di dalam metode
produksi sebagai hasil pembaharuan atau teknik penelitian baru. Dengan
eksis dan keberlanjutan produksi udang windu, maka akan dipastikan
munculnya usaha-usaha yang terkait dengan usaha budidaya udang antara
lain menculnya usaha pengadaan induk udang untuk pembenihan, usaha
pembenihan skala lengkap dan skala rumah tangga, usaha pembuatan
probiotik, usaha pengadaan daun kopasanda, usaha saprokan dan usaha
88
lainnya. Terjadinya efek ganda dari usaha budidaya udang windu dapat
meningkatkan lapangan kerja dan pendapatan masyarakat.
F. Analisis Strategi Kebijakan Pengembangan Budidaya Tambak
Udang Windu di Sulawesi Selatan
Penelitian pengembangan tambak di Sulawesi Selatan untuk
merangsang dan bangkitnya kejayaan udang windu dengan menggunakan
Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threats).
Analisis ini, digunakan untuk mengidentifikasi Kekuatan, Kelemahan,
Peluang dan Ancaman diperlukan alat bantu analisa yaitu analisa SWOT.
Analisis kebijakan pengembangan budidaya udang windu secara
terpadu dilakukan dengan pendekatan analisis SWOT dilakukan untuk
merumuskan alternatif-alternatif strategi guna memperoleh strategi yang
dipilih untuk direkomendasikan kepada pemerintah Sulawesi Selata,
terutama bagi stakeholder yang berhubungan langsung dengan
perencanaan pengelolaan perikanan tambak udang windu di Sulawesi
Selatan. Dalam hal ini, analisis SWOT menyediakan frame dasar yang
akan menghasilkan keputusan situasional dalam menentukan arahan
kebijakan pengembangan budidaya udang windu di Sulawesi Selatan.
Tahap analisis SWOT yang digunakan dalam menganalisis data
lebih lanjut yaitu dengan mengumpulkan semua informasi yang
mempengaruhi budidaya tambak udang windu di Sulawei Selatan,
Berikut adalah hasil identifikasi faktor internal dan eksternal yaitu:
1. Identifikasi Komponen SWOT
Penelitian pengembangan tambak di Sulawesi Selatan untuk
merangsang dan bangkitnya kejayaan udang windu dengan
menggunakan Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and
89
Threats). SWOT adalah perangkat umum yang didesain dan
digunakan sebagai langkah awal dalam proses pembuatan keputusan
dan sebagai perencanaan strategis dalam berbagai terapan (Johnson
dkk, 1989 dan Bartol dkk ,1991). Analisis ini didasarkan pada logika
yang dapat memaksimalkan kekuatan-kekuatan (Strengths) dan
peluang-peluang (Opportunity) yang ada, namun secara bersamaan
dapat meminimalkan kelemahan-kelemahan (Weaknesses) dan
ancaman-ancaman (Threats).
Analisis kebijakan pengembangan budidaya udang windu
secara terpadu dilakukan dengan pendekatan analisis SWOT
dilakukan untuk merumuskan alternatif-alternatif strategi guna
memperoleh strategi yang dipilih untuk direkomendasikan kepada
pemerintah Sulawesi Selatan, terutama bagi stakeholder yang
berhubungan langsung dengan perencanaan pengelolaan perikanan
tambak udang windu di Sulawesi Selatan. Dalam hal ini, analisis
SWOT menyediakan frame dasar yang akan menghasilkan keputusan
situasional dalam menentukan arahan kebijakan pengembangan
budidaya udang windu di Sulawesi Selatan. Acuan Analisis SWOT,
yaitu keadaan yang menjadi pembanding untuk menetapkan apakah
suatu kondisi disebut sebagai kekuatan, kelemahan, peluang atau
ancaman.
Tahap analisis SWOT yang digunakan dalam menganalisis
data lebih lanjut yaitu dengan mengumpulkan semua informasi yang
mempengaruhi budidaya tambak udang windu di Sulawei Selatan,
Berikut adalah hasil identifikasi faktor internal dan eksternal yaitu:
90
a) Kekuatan atau Strenght (S)
Aspek pengelolaan lahan budidaya tambak udang di Sulawesi
Selatan bukan merupakan suatu hal baru bagi masyarakat di daerah
ini.Sejak dahulu masyarakat mengenal perikanan budidaya tambak
udang terutama udang windu sebagai salah satu komoditi ekspor dan
juga mata pencaharian di di Sulawesi Selatan walaupun pengelolaan
lahan tambak udang windu saat ini mengalami stagnasi akibat
munculnya beberapa jenis virus yang mematikan udang windu.
Terkait dengan hal tersebut, yang menjadi kekuatan pengelolaan lahan
budidaya tambak udang di Sulawesi Selatan yaitu:
Potensi lahan tambak yang luas
Potensi petambak udang/kelompok
Tersedia pembenihan berupa hatchery lengkap dan Hatchery skala
rumah tangga
Tersedianya sarana dan prasarana
Tersedinya tenaga penyuluh dan teknologi budidaya
b) Kelemahan atau Weaknesses (W)
Pengelolaan kawasan budidaya tambak udang di Provinsi
Sulawesi Selatan, memerlukan sumberdaya manusia yang memadai.
Petani tambaknya perlu ditingkatkan kualitasnya, demikian juga
penyuluh perikanannya perlu di tingkatkan kualitas dan kuantitasnya.
Selama ini juga belum terpadunya atau terkoordinasi di
antara komponen stakeholder tersebut serta inplementasi antar
stakeholder kurang bersinergi yang mengakibatkan peran-peran yang
semestinya dilakukan bersama-sama berjalan dengan secara sendiri-
sendiri dan akhirnya terjadi tumpang tindih.Akibatnya masyarakat
bersama dengan aparatur pemerintah yang telah ditunjuk untuk
91
melakukan pengawasan tidak dapat melakukan tugasnya secara rutin
akibat biaya yang tidak tersedia dalam rangka pengelolaan usaha
budidaya tambak. Terkait dengan hal tersebut, yang menjadi
kelemahan pengelolaan lahan budidaya tambak udang di Sulawesi
Selatan yaitu:
Kurangnya pemahaman masyarakat, tentang budidaya udang windu
yang berhasil/Lemahnya kemampuan sumberdaya manusia
Belum terkoordinasinya kegiatan instansi pemerintahan (termasuk
penyuluh) dan swasta dalam pemberdayaan masyarakat pembudidaya
udang
Belum diterapkannya sop pengembangan dan pedoman pelaksana
budidaya udang windu berbasis dempond
Benur yang bersertifikat masih terbatas
c) Peluang atau Opportunities (O)
Permintaan udang untuk pasar ekspor semakin meningkat
setiap tahunnya, karena harga udang stabil dan kompetitif sehingga
pengelolaan, perbaikan lahan dan lain-lainnya sangat perlu
ditingkatkan.Maka dari itu, Pemerintah Sulawesi Selatan bersama
stakeholder lainnya memberikan dukungan terhadap pemanfaatan
lahan.masyaarakat untuk membangkitkan kembali budidaya udang
windu, Pemerintah Daerah (PEMDA) dan pemerintah pusat
memberikan dukungan eskavator bagi petani tambak di dalam
perbaikan konstruksi tambak dan rehabiltasi tambak, jalan produksi,
pembenihan udang dan ikan, cold stroage, gudang, jempatan dan lain-
lain.
Sistem irigasi pertambakan yang semakin baik dan luas lahan
dan kualitas lahan untuk pengembangan budidaya tambak tersedia
92
sangat mendukung untuk perkembangan perekonomian masyarakat.
Dukungan modal kerja dan masukan dana dari investor terhadap
operasional petani tambak untuk membiayai proses produksinya
semakin meningkat, oleh sebab itu, Pemerintah Sulawesi Selatan
perlu memfasilitasi mendapatkan kredit pada bank-bank nasional agar
bisa meringankan beban para petani tambak dan untuk menghindari
konversi lahan ekosistem mangrove sampai memasuki kawasan
sempadan pantai atau zona hijau sepanjang wilayah pesisir pantai,
Dinas Perikanan dan Kelautan, Balai Lingkungan Hidup Daerah,
Dinas Kehutanan, Dinas Perkebungan, Dinas Tata Ruang dan
Bappeda Sulawesi Selatan perlu melakukan pembicaraan intensif
untuk menentukan batas-batas pengembangan kawasan tambak, sebab
tata ruang provinsi sulawsi selatan sudah memiliki kekuatan hukum
yang sudah jelas batas pengelolaan lokasi budidaya tambak masing
masing kabupaten termasuk analisis Zonasi rinci teknologi yang di
gunakan. Terkait dengan hal tersebut, yang menjadi peluang
pengelolaan lahan budidaya tambak udang di Sulawesi Selatan yaitu:
Dukungan industri udang dan Pemerintah Sulawesi Selatan
Pangsa Pasar yang Besar
Harga Udang windu Stabil dan Kompetitif
Luas lahan lahan untuk pengembangan budidaya tambak tersedia
Tata ruang/ZWP dan Zonasi Rinci budidaya udang tiap
kabupaten/Kota tersedia
d) Ancaman atau Threarts (T)
Pengelolaan budidaya udang windu merupakan komoditas
perikanan yang memiliki nilai ekonomis penting, sehingga permintaan
produksi setiap tahunnya meningkat.Terkait dengan hal tersebut, air
93
limbah yang terbuang dari dalam areal budidaya dan bahan cemaran
lainnya termasuk ;imbah rumah tangga, peranian dan industri dan
terjadimya kerusakan mangrove yang semakin meningkat, Kondisi
tersebut menyebabkan daya dukung tambak semakin menurun,
sehingga sangat mempengaruhi tumbuh kembangnya virus, bakteri
dan jamur yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas air, sehingga
berdampak pada kegiatan buidaya udang dengan menurunnya daya
dukung lingkungan. Terkait dengan hal tersebut, yang menjadi
ancaman pengelolaan lahan budidaya tambak udang di Sulawesi
Selatan yaitu:
• Jumlah produksi semakin menurun bahkan gagal panen akibat
penyakit
• Lemahnya Akses Terhadap Lembaga Permodalan
• Terjadinya Konversi tambak (Pembukaan lahan ekosistem
mangrove )
• Menurungnya daya Dukung Lingkungan
• Pembangunan yang tak terkendali sehingga merusak lingkungan.
2. Analisis Perumusan Alternatif Strategi
Untuk menggabungkan setiap komponen, baik faktor internal
maupun faktor eksternal digunakan analisis alternatif strategic dengan
menggunakan matriks SWOT. Adapun yang ingin dicapai adalah
keterkaitan antara faktor internal dan eksternal yakni perpaduan antara
faktor SWOT yang meliputi Strenght-Opportunities(WO); Weaknesses-
Opportunities (WO); Strenght-Threats (ST) dan Weaknesses-
Threats(WT), namun secara bersamaan juga dapat meminimalkan
kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats) (Rangkuti, 2009).
94
Adapun matriks IFAS dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Matriks Faktor Strategi Internal (IFAS) pada Pengelolaan Budidaya Tambak udang windu di Sulawesi Selatan
No Faktor-Faktor Strategi Internal Bobot Rating Skor KEKUATAN ( Strengths ) 1 Potensi lahan tambak yang luas 0,2 4 0,8 2 Jumlah petani cukup banyak 0,1 3 0,3 3 Memiliki irigasi tambak yang baik 0,1 2 0,6 5 Tersedianya sarana dan prasarana tambak 0,05 3 0,15 6 Teknologi tersedia 0,05 3 0,15 7 Perusahaan Pembenihan tersedia 0,05 2 0,01 Total Skor Kekuatan 2,01 KELEMAHAN ( Weakness )
1 Kualitas sumber daya manusia masih Rendah 0,15 3 0,45 2 Tenaga penyuluh terbatas dan tidak aktif 0,05 2 0,1 3 Benur yang bersertifikat masih terbatas 0,05 2 0,1
4 Biaya Produksi Besar dan tidak adanya skim kredit khusus 0,1 2 0,2
5 Terbatasnya Informasi Teknologi Bagi Petambak 0,05 2 0,1
6
Belum terkoordinasinya kegiatan instansi pemerintahan (termasuk penyuluh) dan swasta dalam pemberdayaan masyarakat pembudidaya udang
0,03 2 0,06
7 Sop budidaya udang windu belum di terapkan 0,02 2 0,04 Total skor Kelemahan 1,00 - 1,05 Total skor kekutan-kelemahan 0,96
95
Sedangkan hasil analisis untuk komponen SWOT pada faktor-faktor
matriks eksternal strategic factor analysis summary (EFAS) diperoleh
nilai skor disajikan pada Table 19. sebagai berikut:
Tabel 19. Matriks Faktor Strategi Eksternal pada Pengelolaan Budidaya Tambak di Provinsi Sulawesi Selatan
No Faktor-faktor strategi eksternal Bobot Rating Skor PELUANG(Opportunities) 1 Pangsa Pasar yang Besar 0,1 4 0,4 2 Harga Udang Stabil dan Kompetitif 0,2 2 0,4
3 Sistem irigasi pertambakan semakin
baik 0,1 2 0,2
4
Luas lahan dan kualitas lahan untuk
pengembangan budidaya tambak
tersedia 0,05 3 0,15
5
Tata ruang/ZWP dan Zonasi Rinci
budidaya udang tiap
kabupaten/Kota tersedia 0,1 1 0,1
Total skor Peluang 1,25
ANCAMAN (Threats)
1 jumlah produksi semakin menurun
bahkan gagal panen akibat penyakit
0,1 2 0,2
2 Kurangnya Akses Terhadap
Lembaga Permodalan 0,1 2 0,4
3
Perubahan lahan atau alih fungsi
lahan tambak menjadi kebun kelapa
sawit beberapa tempat berlangsung 0,1 1 0,1
4 Pembukaan lahan ekosistem 0,05 2 0,1
96
mangrove untuk menjadi tambak
terjadi
5 Menurungnya daya Dukung
Lingkungan 0,1 1 0.1
Total skor ancaman 1,00 - 0,90
Total skor peluang-ancaman 0,35
Berdasarkan dari Tabel 16 dan 17 dapat dilihat bahwa total skor
kekuatan di kurangi dengan total skor kelemahan 0,96 sedangkan total
skor peluang di kurangi total skor ancaman sebesar 0,35 data tersebut
kemudian di masukkan dalam matriks SWOT Yang dapat dilihat pada
Tabel 20.
Tabel 20. Matriks SWOT IFAS
EFAS
Kekuatan (S) Kelemahan (W)
Peluang (O) Strategi SO 2,02 + 2,01 = 4,03
Strategi WO 2,01 + 1,35 = 3,36
Ancaman (T) Strategi ST 2,02 + 1,25 = 3,27
Strategi WT 2.01 + 1,25 = 3,26
Dari perhitungan matriks swot, maka diperoleh nilai tertinggi
adalah SO sebesar 4,03 dengan demikian nilai tertinggi merupakan
strategi yang cocok dalam strategi bangkitnya kembali dan
pengembangan udang windu di Sulawesi Selatan, yaitu dengan
menciptakan strategi menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan
peluang dari hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 21.
97
Tabel 21. Hasil strategi SWOT
Faktor
Internal
Faktor Eksternal
STRENGTHS
(S)/Kekuatan Potensi lahan tambak
yang luas Potensi petambak
udang?kelompok Tersedia pembenihan
berupa hatchery
lengkap dan Hatchery
skala rumah tangga Tersedianya sarana dan
prasarana Tersedinya tenaga
penyuluh dan teknologi
budidaya
WEAKNESSES
(W)/Kelemahan Kurangnya
pemahaman
masyarakat, tentang
budidaya udang
windu yang
berhasil Lemahnya
kemampuan
sumberdaya
manusia Belum
terkoordinasinya
kegiatan instansi
pemerintahan
(termasuk
penyuluh) dan
swasta dalam
pemberdayaan
masyarakat
pembudidaya
udang Belum
diterapkannya sop
pengembangan dan
pedoman pelaksana
98
budidaya udang
windu berbasis
dempond Benur yang
bersertifikat masih
terbatas Kurangnya sarana
prasarana OPPORTUNITIE
S (O)/Peluang
Dukungan
industri udang
dan Pemerintah
Sul Sel Pangsa Pasar
yang Besar Harga Udang
windu Stabil
dan Kompetitif Luas lahan lahan
untuk
pengembangan
budidaya tambak
tersedia Tata ruang/ZWP
dan Zonasi Rinci
STRATEGI SO
Penerapan kebijakan
peran serta masyarakat,
instansi pemerintah dan
pelaku usaha dalam
mendukung Program
bangkitnya budidaya
udang windu
STRATEGI WO
Pengembangan
sarana dan fasilitas
pendukung
budidaya udang
windu
99
budidaya udang
tiap
kabupaten/Kota
tersedia
THREATS
(T)/Ancaman Jumlah produksi
semakin
menurun
bahkan gagal
panen akibat
penyakit Lemahnya
Akses Terhadap
Lembaga
Permodalan Terjadinya
Konversi tambak
(Pembukaan
lahan ekosistem
mangrove ) Menurungnya
daya Dukung
Lingkungan Pembangunan
yang tak
STRATEGI ST
Penetapan zonasi
wilayah produksi
budidaya udang Peningkatan rehabilitasi
ekosistem mangrove
dan mengurangi
konversi lahan
mangrove
STRATEGI WT
Peningkatan
kualitas para
petambak udang
100
terkendali
sehingga
merusak
lingkungan .
Strategi SO dibuat berdasarkan jalan pikiran yaitu dengan
memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan
peluang sebesar-besarnya. Program kerja yang dibuat untuk Penerapan
kebijakan peran serta masyarakat, instansi pemerintah dan pelaku usaha
dalam mendukung Program bangkitnya budidaya udang windu adalah:
a. Bantuan modal usaha pembudidaya udang windu
b. Pengadaan skim kredit murah bagi pembudidaya udang
c. Pengadaan bibit bersertifikat secara gratis atau harga bibit yang
murah atau bersubsidi
d. Rapat koordinasi antar instansi yang terkait
e. Workshop budidaya udang dengan pendekatan dempond
Strategi WO diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang
ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Program kerja
untuk strategi Pengembangan sarana dan fasilitas pendukung budidaya
udang windu:
a. Pembuatan dan perbaikan saluran primer dan sekunder
b. Pengadaan dempond centre masing masing zona produksi
c. Penetapan laboratorium kesehatan udang
d. Penyediaan sarana dan prasarana udang windu yang meliputi
probiotik, pupuk, pakan, saponin dll)
e. Penyediaan mobil ambulance untuk jasa pelayanan tambak
f. Rehabilitasi ekosistem mangrove
101
Strategi ST adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang
dimiliki untuk mengatasi ancaman.
• Program kerja untuk strategi Penetapan zonasi wilayah produksi
budidaya udang:
a. Penetapan zona dan taerget produksi secara bertahap
b. Penataan dan penyusunan tata ruang dan zonasi bagi daerah yang
belum ada dokumennya
c. Perda zonasi wilayah budidaya udang windu
• Program kerja untuk strategi Peningkatan rehabilitasi ekosistem
mangrove dan mengurangi konversi lahan mangrove:
a. Pemetaan lahan konservasi mangrove berbasis kerusakan
b. Penyuluhan tentang pentingnya ekosistem mangrove bagi budidaya
udang windu
Strategi WT berdasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive
dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari
ancaman. Program kerja untuk strategi Peningkatan kualitas para
petambak udang
a. Pelatihan/demponisasi setiap kabupaten
b. Peningkatan pemahaman bagi petambak untuk sumber benur yang
bersertifikat dengan penggolondongan
c. Pelatihan pembuatan probiotik secara alami
d. Pelatihan persipan lahan, pembesaran, pemeberantasan hama dan
penyakit serta monev kualitas air
e. Sosialisasi penggunaan teknologi budidaya udang yang ramah
lingkungan.
103
BAB VI. KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kesimpulan sebagai berikut
1. Hasil identifikasi masalah persentase petambak (responden) mulai dari
persiapan dasar tambak kurang dari 60%, penggunaan benur
bersertifikasi 40%, pemeliharaan (pemberian pakan dan manajemen
kualitas air) mencapai 40% dan hasil size udang rendah.
2. Hasil dari penerapan sistem teknologi budidaya udang windu dengan
sentuhan teknologi berbasis dempond dapat meningkatkan total
penerimaan produksi dengan R/C Ratio mencapai ,68 dibandingkan
non dempond dengan nilai R/C Ratio < 0,39
3. Strategi alternatif kebijakan dalam untuk bangkitnya kembali dan
pengembangan udang windu dapat dilakukan melalui peran serta
masyarakat, instansi pemerintah dan pelaku usaha dalam mendukung
Program bangkitnya budidaya udang windu
B. Saran
Penelitian ini menunjukkan hasil analisis usaha dari budidaya dengan
sistem dempond lebih baik dibandingkan dengan budidaya yang
dilakukan oleh petambak non dempond berdasarkan data R/C ratio.
Selain itu, sekolah lapang mampu meningkatkan wawasan keilmuan dan
managerial petambak udang. Oleh karena itu, pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan sudah bisa menjadikan hasil penelitian ini menjadi dasar
kebijakan walaupun sekolah lapang dan pembuatan dempond masih perlu
ditingkatkan bukan hanya di dua kabupaten tetapi juga dilaksanakan di
beberapa kabupaten lagi.
104
b. Rekomendasi Kebijakan
1. Petani tambak sebaiknya menggunakan aquainput bersertifikat
dan berasal dari perusahaan yang terakreditasi.
2. Menerapkan semua tahapan benur budidaya sesuai dengan
standar CPIB dan CBIB.
3. Benur yang akan dibudidayakan dalam kolam pembesaran
terlebih dahulu dipelihara pada kolam gelondongan selama satu
bulan
4. Peningkatan sistem imun udang windu dapat dilakukan melalui
penggunaan probiotik dan pakan campuran daun kopasanda,
walaupun masih perlu diuji cobakan pada tambak yang lain.
5. Pertumbuhan ekonomi baru dapat dilakukan dengan membuat
usaha gelondongan dan probiotik skala rumah tangga
c. Implikasi Kebijakan
1. Pemerintah membantu petani dalam pengadaan aquainput
bersertifikasi dan berasal dari perusahaan yang terakreditasi.
2. Pengadaan skim kredit murah bagi pembudidaya udang
3. Workshop budidaya udang dengan pendekatan dempond perlu
dilanjutkan di beberapa kabupaten lain.
105
DAFTAR PUSTAKA [FAO] Food and Agriculture Organization. 2008. Fisheries and
Aquaculture Circular No. 1034: A Review On Culture, Production and Use of Spirulina as Food For Humans and Feeds For Domestic Animals and Fish. Rome : ISBN 978-92-5- 106106-0.
Amri K. 2003. Budidaya Udang Windu secara Intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Castro RI., Zarrab, dan Lamas J. 2004, Water-soluble Seaweed Extracts Modulate the Pantoeaagglomerans lipopolysaccharide (LPS). FishShellfish Immunol, 10: 555–558.
Chang PS., Tasi DH., Huang CY., Wang CH., Chiang HC., Lo CF. 1996. Development and Evaluation of Dot Blot Analysis for Detection of White Spot Syndrome Baculovirus (WSVB) in Penaeus monodon.
Djuanedi A., Susilo H., dan Sunaryo. 2016. Kualitas Air Media Pemeliharaan Benih Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) dengan Sistem Budidaya yang Berbeda. Jurnal Kelautan Tropis. 19(2):171-178.
Hatmanti A. 2003. Penyakit Bakterial Pada Budidaya Krustasea Serta Cara penanganannya. Oseana. 28 (3): 1-10.
Kono, T., R. Savan, and T. Itami. 2004. Detection of White Spot Sindrome Virus in Shrimp by Loop-Mediated Isothermal Amplification. J. Virol. Methods.115 :59-65.
Lidaenni, A., 2008. Pengaruh pemberian bakteri agen biokontrol Vibrio SKT-b dengan dosis yang berbeda terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva udang windu, Penaeus monodon. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Manoppo H., Kolopita M. E. F., 2015 Pengimbuhan ragi roti dalam pakan meningkatkan respons imun nonspesifik dan pertumbuhan ikan nila. Jurnal Veteriner 16(2):204- 211.
Murtidjo BA., 2003. Benih Udang Windu Skala Kecil. Kanisius. Yogyakarta.
Nainggolan H., Rahmantya K.F, Asianto A.D, Wibowo W, Wahyuni T, Zunianto A, Ksatrya S.P., dan Malika R. 2018. Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2018. Pusat Data, Statistik dan Informasi. Jakarta.
Nawang, A., I. Trismawanti, dan A. Parenrengi. 2015. Produktivitas telur dan daya tetas induk udang windu (Penaeus monodon) asal Aceh
106
dan Takalar. Dalam: Sugama et al. (eds.). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2015. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya. Jakarta. Hlm.:701-707.
Nurasa T. dan Supriadi H. 2012. Program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (Sl-Ptt) Padi: Kinerja Dan Antisipasi Kebijakan Mendukung Swasembada Pangan Berkelanjutan. Analisis Kebijakan Pertanian 10 (4): 313-329.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. 2018. Rancangan Awal RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2018-2023. Makassar.
Rukyani A. 2000. Masalah Penyakit Udang dan Harapan Solusinya. Sarasehan Akuakultur Nasional. Bogor.
Suyanto SR, Mujiman A. 2003. Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar Swadaya.
Suwoyo HS. dan Sahabuddin. 2017. Performa Pertumbuhan Calon Induk Udang Windu Penaeus monodon Transfeksi pada Generasi yang Berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 9 (1): 185-199.
Tewary A., Patra B. C., 2011 Oral administration of baker’s yeast (Saccharomyces cerevisiae) acts as a growth promoter and immunomodulator in Labeo rohita (Ham.). Journal of Aquaculture Research and Development 2(1):1-7.
Zulfa M., Ginting M. dan Fauzia L. Sikap Petani terhadap Program Demplot Pertanian Organik. Journal of Agriculture and Agribusiness Socioeconomics. 2(7): 1-15.