Upload
independent
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Drama
Drama berasal dari bahasa Yunani greek, draen yang kemudian
menurunkan kata drein turunan kata dromai yang semula berarti bertindak dan
beraksi atau berbuat (Satoto, 2012: 1). Sedangkan drama menurut Sumanto dalam
Endaswara (2011: 11) berasal dari bahasa Perancis drame yang artinya lakon serius.
Serius artinya bukan berarti drama melarang adanya humor. Serius dalam hal ini
terkait dengan aspek penggarapan. Sementara menurut Jakob Sumardjo asal muasal
drama seperti berikut ini, 1. Adanya upacara-upacara primitif. Unsur cerita
ditambahkan pada upacara semacam itu akhirnya berkembang menjadi pertunjukan
drama. Meskipun upacara agama telah lama ditinggalkan namun drama tetap hidup
hingga sekarang. 2. .Berasal dari nyayian untuk menghormati seorang pahlawan di
kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan
yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk drama. 3. .Berasal dari kegemaran
manusia mendengarkan cerita-cerita. Kemudian cerita itu didramakan (kisah
perburuan, kepahlawanan, perang dan sebagainya. (Sumardjo, 1986: 1) Berdasarkan
pernyataan tersebut maka drama dapat dikatakan sebagai ekspresi serius manusia
menyusun lakon dengan tujan menggambarkan sesuatu yang diketahui atau
11
dirasakannya dengan media laku, gerak dan dialog-dialog dengan pengarapan yang
dirancang secara serius dan sengaja sebagai reflelksi manusia dalam kegemarannya
mereka ulang lingkungan tempat hidupnya.
Drama menyajikan realitas yang dirasakan, diamati atau dapat diinterpretasi
terhadap sesuatu yang bersifat realis maupun suryalis karena kenyattan ini drama
menjadi media ekspresi yang mengandung nilai seni. Nilai-nilai seni ini kemudian
menjadikan drama mampu memuaskan rasa estetika manusia . bukan hanya sekedar
tontonan namun menjadi penggambaran nyata melalui rekonstruksi peristiwa yang
ingin disampaikan kepada penonton.
Pertunjukan drama merupakan implementasi dari keseriusan penggarapan
drama. Rendra (1989 :1) menyatakan bahwa cara menyampaikan ilham seni kepada
orang lain disebut dengan tekhik seni. Berdasarkan pernyataan tersebut pertujukan
drama adalah salah satu tehknik yang digunakan seniman dalam menyampaikan
gagasan seni yang dimilikinya.
Selanjutnya Endaswara (2011: 32) menyebutkan drama adalah seni,
kenyataan ini belum ada yang menolak. Artinya, sebagai seni ia merupakan ekspresi
keindahan. Seni drama terkait dengan pentas atau pertunjukan. Seperti karya seni
pertunjukan lain, pertunjukan drama adalah hasil proses. Proses ini berupa latihan-
latihan panjang yang melelahkan, bertujuan untuk mendapatkan hasil karya maksimal
untuk disajikan kepada penonton. Pertunjukan drama termasuk kedalam salah satu
12
media yang dipilih seniman ketika menuangkan gagasan seni yang dimilikinya.
Sebagai Drama juga memuat stilisasi peristiwa dan perlambangan-perlambangan
gagasan yang mengacu pada realita baik itu secara jelas maupun terselubung.
1. Teks Drama
Teks drama atau naskah drama dapat diartikan sebagai karya sastera
yang ditulis untuk kepentingan pertunjukan drama. Riris K. Sarumpaet (dalam
Satoto, 2012: 3) menyatakan defenisi teks sebagai Ragam Sastera dalam bentuk
dialog yang dimaksudkan untuk pertunjukan di atas pentas. Selanjutnya Atmazaki
menjelaskan drama sebagai berikut, Pertama-tama yang menentukan bahwa sebuah
karya sastera disebut drama adalah dialog, teks drama terdiri atas dialog antar tokoh.
Deretan peristiwa yang membentuk plot terjadi akibat dialog-dialog yang sekurang-
kurangnya terjadi antara dua tokoh. Dalam karya sastera berbentuk prosa juga
terdapat dialog, namun dialog itu terdapat didalam narasi maka teks digolongkan
kedalam prosa; sedangkan apabila cerita terjadi karena dialog maka teks itu dapat
digolongkan drama. Kedua, drama diciptakan pertama-tama bukan untuk dinikmati
melalui pembacaan melainkan untuk pemenatasan. Oleh sebab itu didalamnya juga
diterangkan secara jelas peralatan apa yang diperlukan. Artinya sebuah teks drama
semestinya memenuhi syarat-syarat teaterikal. Namun demikian seringkali sutradara
menginterpretasikan teks sesuai keinginannya sehingga hasil pementasan juga
13
seringkali plus-minus teks drama. Jadi proses pemahaman drama terjadi secara
bertngkat-tingkat. Sutradara dan pemain menginterpretasikan naskah untuk
dipentaskan, penonton menginterpretasikan hasil pementasan. Ketiga, kalau karya
sastera berbentuk prosa menceritakan tentang suatu kejadian, maka drama atau teater
adalah kejadian itu sendiri, kejadian di atas pentas. Penonton menyaksikan kejadian
atau rekonstruksi sebuah peristiwa. (Atmazaki, 2007 : 43-44)
Penjelasan di atas memberikan gambaran drama dapat ditafsirkan menjadi
dua macam tafsiran umum, yakni drama sebagai pertunjukan teater dan drama
sebagai skrip naskah teater. Berdasarkan kajian itu dalam penelitian ini kata “drama”
diartikan sebagai teks naskah drama bukan pertunjukan teater atau pentas drama.
Selanjutnya drama akan dikonotasikan sebagai teks atau skrip naskah pertunjukan
drama dengan penjelasan tersebut jelaslah bahwa dalam konteks penelitian ini drama
diartikan berbeda dengan pertunjukan drama. Drama dimaknai naskahnya dan teater
atau pertunjukan drama adalah transformasinya ke pentas. Penelitian ini menelaah
teks sastera tertulisnya atau naskah, jadi penelitian ini tidak sampai pada pembahasan
teks pertunjukannya.
1. Struktur Drama
Endaswara (2011: 21-24) menjelaskan bahwa drama terbagi pada babak,
adegan, dialog, prolog dan epilog. Selanjutnya Brahim (dalam Endaswara (2011: 25)
14
berpendapat bahwa drama terdiri dari plot dan karakterisasi. Elemen-elemen
pembangun drama menurut Brahim (dalam Endaswara 2011: 25) sama dengan prosa
yakni (a) instiden permulaan atau permulaan konflik, (b) Penanjakan atau ressing
aksion (c) klimaks atau puncak krisis (d) keputusan atau resolusi.
Selanjutnya Wiko Antoni (2013, 150-151) menerangkan bahwa drama
terdiri dari (1) tema, (2) alur, (3) Penokohan, (4) seting, (5) style atau gaya.
Berdasarkan penjelasan di atas maka secara struktur drama dapat dilihat dari dua sisi
yakni struktur pembangunan dinamika dramatiknya dan struktur drama bila dilihat
dari elemen-elemen pembentuknya. Kedua sisi pandang ini tidaklah berbeda sama
sekali dengan prosa.
Dari dinamika dramatiknya drama tersusun sebagai uraian yang mengkaji
susunan dramatik dimulai dari awal cerita hingga selesai sedangkan dari sisi elemen
pembentuknya drama diurai berdasarkan bagian-bagian yang terkandung dalam lakon
drama tersebut.(1). Tema. Tema adalah amanat yang dibawa sebuah karya drama.
Tema terbagi padadua bagian yakni tema mayor dan tema minor. Tema mayor disebut
juga dengan tema utama yang termuat dalam karya drama. Tema minor adalah tema-
tema kecil yang ikut berada dalam karya drama sebagai pendukung tema utama.(3).
Alur. Alur adalah perjalanan cerita. Perjalanan cerita berikut konflikasinya.
Konlikasi drama disebut dengan alur dramatik. Dilihat dari Jalan cerita drama terbagi
kepada alur maju, alur kebelakang atau mundur, melingkar dan periodik. Alur maju
15
menyajikan cerita secara mengalir dari awal hingga akhir cerita sedangkan alur
mundur menyajikan cerita dengan mengembalikan ingatan tokoh utama ke masa lalu
atau flasback. Alur melingkar atau periodik adalah pola penyajian cerita dengan fase-
fase yang saling berhubungan yang bermuara pada sebuah persoalan utama. (Wiko
Antoni, 2013: 151)
Dilihat dasi sisi dramatik drama terbagi pada model alur linier dan struktur
aristotelean. Alur linier berbentuk gelombang dengan suspen yang meletup-letup
dengan konflikasi terus menerus hingga akhir cerita sedangkan alur aristotelean
adalah alur yang bila digambar grafiknya menyerupai tanjakan yang pada puncaknya
menurun kembali dengan elemen, introduksi, ressing action (penanjakan), konflikasi,
klimaks, resolusi dan diakhiri dengan ending. (3). Penokohan. Penokohan adalah
pemberian watak karakter pada orang-orang yang terlibat dalam sebuah lakon drama.
Penokohan dibagi kepada kedudukan tokoh dan perwatakan. Kedudukan tokoh
adalah penempatan posisi masing-masing tokoh yang terlibat dalam lakon. Terdiri
dari antagonis, deutragonis, tetragonis, protagonis dan utility. Perwatakan terbagi
pada psikololis, fisik, moralitas dan posisi sosial.Setting. Setting dalam drama
terbagi atas setting tempat dan setting waktu. Setting zaman adalah kurun zaman
peristiwa terjadi sedangkan seting waktu adalah masa pada waktu terjadi misalnya
malam atau siang. (4). Style atau gaya. Style atau gaya adalah gaya ekspresi penulis,
dalam kajian sastera biasa disebut dengan stilistika atau ilmu kajian gaya berbahasa
16
dalam karya sastera, Kamus Linguistik, Kridalaksana (1982:159) mengemukakan
pengertian stilistika yaitu, (a). Ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan
dalam karya sastra; (b). ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan. (c).
Penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa. Sementara Wiko Antoni (2013:
151) menyebutkan Stilistik (a) Kajian tentang penggunaan gaya bahasa secara
berkesan dalam penulisan. (b). Berkaitan dengan stail atau gaya, terutama gaya
bahasa penulisan. Style atau gaya adalah model tuturan yang dipilih sasterawan
dalam mengekspresikan konsep fikirnya dalam karya sastera, dengan kata lain adalah
kecenderungan berbahasa atau dapat pula diartikan sebagai model penggunaan gaya
bahasa yang dominan seorang sastrawan dalam karya mereka.
Penejelasan di atas memberkan memberikan keterangan bahwa
drama dari sisi pertunjukan adalah persitiwa seni sedangkan dari sisi teks adalah
karya sastera berwujud tulisan. Dalam wujud naskah drama kajian analisis drama
dikaji dari sisi kebahasaan dengan menggunakan ilmu linguistik dengan analisis
semiotik atau perangkat semantik dan pragmatik.
B. Sosiologi Sastera
1. Latar Pengarang dalam Penciptaan Seni Sastera
M. H. Abbrams (dalam Hassanudin, 1996: 108-109) menjelaskan bahwa
terdapat beberapa pendekatan terhadap karya sastera yaitu (1) pendekatan objektif,
(2) Penekatan memesis, (3) pendekatan ekspresif, (4) pendekatan pragmatis.
17
Selanjutnya Hassanudin (130-132) menjelaskan proses-proses pendekatan ekspresif
sebagai pendekatan yang dilakukan secara bertahap dengan mengenali pengaran
secara baik baik melalui kousioner maupun studi kepustakaan selanjutnya data
pengarang dijadikan bagian dari analisis terhadap karya yang diteliti meskipun
demikian karya bukan dipandang sebagai bagian dari kisah hidup si pengarang.
Menurut pandangan ini gaya bahasa adalah hal kongkrit yang menggambarkan jiwa
sari seorang pengarang dalam berekspresi.
Pengarang dalam berkarya pastilah membawa nilai-nilai budaya yang
menjadi latar belakang asal muasal daerahnya walaupun tidak secara kasat mata,
kepribadian seorang pengarang pastilah dipengaruhi oleh latar dimana ia dilahirkan
dan dibesarkan. Sosiologi karya memuat latar tempat cerita digambarkan, dalam
drama ini muncul sebagai struktur simbol yang dimuat dalam tema, penokohan,
seting, alur dan gaya (style).
Individu sebagai bagian dari komponen yang berada dalam sebuah
lingkungan sosial adalah elemen peka yang dibentuk karakteristknya oleh
lingkungan. Sebagai bagian dari kelompok sosial individu merespon segala yang
terjadi dilingkungannya. Respon ini bisa penerimaan atau penolakan, walaupun
demikian konsep-konsep umum yang mengungkung cara fikir individu selalu
membentuk sikap kolektif yang dipatuhi baik secara sadar, diterima dengan rela,
tidak sadar bahkan terpaksa. Secara sederhana hal ini digambarkan sebagai berikut,
18
Individu berada dalam lingkaran kelompok yang merupakan bagian
masyarakat. Segala pola fikir dan karakteristik perilaku kelompok mengikat individu
dan membentuk karakter unik yang ada padanya. Selanjutnya karakteristik pola fikir
dan tingkah laku kelompok adalah bagian dari karakteristik dan pola fikir general
dari masyarakat yang mengelilinginya.
Gejala tingkah laku yang terjadi pada individu tak dapat dilepaskan dari
karakteristik kelompok yang mengelilingiya, begitu pula gejala kolektif yang terjadi
dalam kelompok berhubungan dengan masyarakat yang melingkupinya. Dari
pandangan yang demikian tiada dapat dalam sebuah kajian melepaskan gejala
perilaku individu dari segala signifikasi yang terjadi dalam lingkungan kelompok
dan masyarakat tempat individu itu berada.
Berikut bagan pembentuk idea sebagai dasar penciptaan konsep-konsep
Konsep Pembangun idea (konsep fikir pembentuk perilaku berbudaya (Firman, 2011)
Prof Dr. Firman Mpd (2012:03)
18
Individu berada dalam lingkaran kelompok yang merupakan bagian
masyarakat. Segala pola fikir dan karakteristik perilaku kelompok mengikat individu
dan membentuk karakter unik yang ada padanya. Selanjutnya karakteristik pola fikir
dan tingkah laku kelompok adalah bagian dari karakteristik dan pola fikir general
dari masyarakat yang mengelilinginya.
Gejala tingkah laku yang terjadi pada individu tak dapat dilepaskan dari
karakteristik kelompok yang mengelilingiya, begitu pula gejala kolektif yang terjadi
dalam kelompok berhubungan dengan masyarakat yang melingkupinya. Dari
pandangan yang demikian tiada dapat dalam sebuah kajian melepaskan gejala
perilaku individu dari segala signifikasi yang terjadi dalam lingkungan kelompok
dan masyarakat tempat individu itu berada.
Berikut bagan pembentuk idea sebagai dasar penciptaan konsep-konsep
Konsep Pembangun idea (konsep fikir pembentuk perilaku berbudaya (Firman, 2011)
Prof Dr. Firman Mpd (2012:03)
18
Individu berada dalam lingkaran kelompok yang merupakan bagian
masyarakat. Segala pola fikir dan karakteristik perilaku kelompok mengikat individu
dan membentuk karakter unik yang ada padanya. Selanjutnya karakteristik pola fikir
dan tingkah laku kelompok adalah bagian dari karakteristik dan pola fikir general
dari masyarakat yang mengelilinginya.
Gejala tingkah laku yang terjadi pada individu tak dapat dilepaskan dari
karakteristik kelompok yang mengelilingiya, begitu pula gejala kolektif yang terjadi
dalam kelompok berhubungan dengan masyarakat yang melingkupinya. Dari
pandangan yang demikian tiada dapat dalam sebuah kajian melepaskan gejala
perilaku individu dari segala signifikasi yang terjadi dalam lingkungan kelompok
dan masyarakat tempat individu itu berada.
Berikut bagan pembentuk idea sebagai dasar penciptaan konsep-konsep
Konsep Pembangun idea (konsep fikir pembentuk perilaku berbudaya (Firman, 2011)
Prof Dr. Firman Mpd (2012:03)
19
fikir pembentuk idea yang muncul sebagai sigbifikasi kepribadian individu,
Prinsip benar salah adalah konsep mendasar yang ditanamkan kepada
setiap individu diseluruh masyarakat dunia, hanya saja pada penerapan ini terdapat
visi yang berbeda terhadap sesuatu yang dianggap benar pada tempat-tempat yang
berbeda. Kepercayaan merupakan elemen lain yang juga menjadi pembentuk idea-
idea individu yang datang dari intervensi masyarakat atau kelompok kepada individu,
selanjutnya hadirlah agama yang diyakini sebagai sesuatu yang diturunkan Tuhan.
Walaupun demikian mithos, legenda,tahayul tetap menjadi elemen penting dalam
pembentuk idea-idea yang mempengaruhi pola fikir individu. Sastera kemudian hadir
menjadi “paket” estetik dalam penanaman konsep-konsep di atas secara terselubung,
Konsep Pembangun idea konsep fikir pembentuk perilaku berbudaya (Firman: 2011)
Prof Dr. Firman Mpd (2012:03)
19
fikir pembentuk idea yang muncul sebagai sigbifikasi kepribadian individu,
Prinsip benar salah adalah konsep mendasar yang ditanamkan kepada
setiap individu diseluruh masyarakat dunia, hanya saja pada penerapan ini terdapat
visi yang berbeda terhadap sesuatu yang dianggap benar pada tempat-tempat yang
berbeda. Kepercayaan merupakan elemen lain yang juga menjadi pembentuk idea-
idea individu yang datang dari intervensi masyarakat atau kelompok kepada individu,
selanjutnya hadirlah agama yang diyakini sebagai sesuatu yang diturunkan Tuhan.
Walaupun demikian mithos, legenda,tahayul tetap menjadi elemen penting dalam
pembentuk idea-idea yang mempengaruhi pola fikir individu. Sastera kemudian hadir
menjadi “paket” estetik dalam penanaman konsep-konsep di atas secara terselubung,
Konsep Pembangun idea konsep fikir pembentuk perilaku berbudaya (Firman: 2011)
Prof Dr. Firman Mpd (2012:03)
19
fikir pembentuk idea yang muncul sebagai sigbifikasi kepribadian individu,
Prinsip benar salah adalah konsep mendasar yang ditanamkan kepada
setiap individu diseluruh masyarakat dunia, hanya saja pada penerapan ini terdapat
visi yang berbeda terhadap sesuatu yang dianggap benar pada tempat-tempat yang
berbeda. Kepercayaan merupakan elemen lain yang juga menjadi pembentuk idea-
idea individu yang datang dari intervensi masyarakat atau kelompok kepada individu,
selanjutnya hadirlah agama yang diyakini sebagai sesuatu yang diturunkan Tuhan.
Walaupun demikian mithos, legenda,tahayul tetap menjadi elemen penting dalam
pembentuk idea-idea yang mempengaruhi pola fikir individu. Sastera kemudian hadir
menjadi “paket” estetik dalam penanaman konsep-konsep di atas secara terselubung,
Konsep Pembangun idea konsep fikir pembentuk perilaku berbudaya (Firman: 2011)
Prof Dr. Firman Mpd (2012:03)
20
kehadirannya dapat berupa pepatah dan cerita-cerita.
Elemen-elemen yang berpadu tersebut menjadi konsep dasar (konsep idea)
atau konsep pembentuk yang dijadikan cara pandang ideal individu dalam
menterjemahkan sesuatu yang kemudian direfresentasikan dalam representasi
dadasannya secara pribadi dalam wujud pandangan filsafat atau refleksi karya seni.
Secara umum karakteristik fikir dibentuk oleh budaya yang telah diturunkan
oleh pendahili sebuah masyarakat, dalam kajian universal terdapat dua bagian
karakteristik kubudayaan. Pertama adalah Budaya Barat, dengan orientasi
Menguasai fisis untuk merubah dunia. Akibat dari semua itu hasilnya adalah ilmu
pengetahuan, tekhnik, kekayaan standar hidup, kerja keras dan ketegangan.
Sedangkan budaya timur bersifat psike, bersifat menguasai ambisi, nafsu, mencari
damai dihati dan menjaga keharmonisan dengan alam. Akibat yang terjadi adalah
kemiskinan, nikmat hidup sebagai tujuan mengakibatkan gaya hidup yang santai dan
bijaksana. (Firman, 2012: 03)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah karya seni
tidak akan terlepas dari lingkungan tempat karya tersebut dibuat. Karena itulah selain
mempelajari pengarang perlu pula dipelajari tempat dimana karya tersebut
diciptakan. Walaupun demikian dalam konteks penciptaan pencipta tak terikat kuat
dengan tempat ia berada, yang kuat mempengaruhinya justeru latar sosial yang
membentuk karakter dan pengalaman seorang pengarang. Tempat penciptaan ini
21
hanya berpengaruh pada suasana psikologis penciptaan yang memungkinkan rasa
tenang, kondusif atau tidak saat mencipta sebuah drama.
Penjelasan di atas merangkan bahwa tempat pencipaan sebuah karya sastera
dapat mempengaruhi struktur fikir secara subtansif pengarang. Hal ini bukan secara
konseptual karena penciptaan karya sastera bias saja dipengaruhi tujuan lain sesuai
kepentingan karya itu dibuat. Konsep penciptaan karya lebih dipengaruhi oleh
pengalaman dan tujuan penciptaan karya. Seniman bisa saja berkarya menembus
dimensi lain dari lingkungan tempatnya berada karena sifat sastera yang independent
tidak mungkin sasterawan dikungkung oleh aturan-aturan tertentu dalam berkarya hal
ini pula yang membuat analisis sastera melibatkan banyak sisi pandang keilmuan.
Meskipun analisis sastera dapat melibatkan berbagai sisi
keilmuan,sesungguhnya sastera dijembantani satu hal yang tak dapat dibantah karena
bagaimanapun bentuknya, karya sastera tetap lahir dari kontemplasi batin sasterawan
dalam menuangkan apa yang sedang dirasakannya. Berdasarkan pemikiran ini maka
dapat disimpulkan bahwa karya sastera drama tak akan terlepas dari empiris
dramawan yang melahirkan karya drama tersebut. Pengalaman batin yang dialami
dramawan akan mempengaruhi gaya sebuah karya drama baik dari sisi tematik
hingga kebahasaannya.
Sebagai karya ekspresif sastera terlahir sebagai ungkapan manusia
menghadapi lingkungannya. Sastera merupakan pengungkapan rasa seni melalui
22
media bahasa. Kenyataan demikian mengakibatkan ia terlepas dari lingkungan
tempat hidupnya seperti hukum Negara, agama dan adat. Walaupun sastera berdiri
dengan kelembagaannya sendiri dengan struktur etikanya sendiri pula namun
sasterawan tak dapat dilepaskan dari pengaruh social pengarangnya. Wellek dan
Warrent (1990: 111) menjelaskan penyebab hal ini sebagai kaitan dunia profesi
pengarang dengan latar ekonomi produksi karya sastera, ideologi si pengarang, yang
mengakibatkan pengarang terkait kepada hal diluar karangannya. Selanjutnya adalah
tujuan diciptakan karya sastera itu sendiri (yang akan terkait dengan realita sekitar
sang pengarang-pen) dimana karangan akan terlibat dengan latar sosial tempat ia
dikarang kemudian yang terakhir adalah dampak karanga terhadap lingkungan karya
itu dibuat.
Walupun sastera tidak dapat menjadi sumber sejarah namun sastera tidak
dipungkiri merupakan bagian dari perwakilan semangat suatu zaman. sastera menjadi
penggambaran situasi sosial zamannya, dalam hal ini istilah yang digunakan adalah
geighseges (Wellek dan Warent,1990: 147) istilah ini adalah penamaan terhadap
unsure sejarah dalam karya sastera sebagai perwakilan semangat zaman, setiap
periode manusia memiliki semangat zaman, Lovejoy dalam Wellek dan Warrant
(1990: 147) mengemukakan bahwa istilah ini adalah upaya Merekonstruksikan
semangat dari suatu zaman yang berbeda dari suatu zaman dari berbagai objektivasi
suatu zaman-mulai dari agamanya sampai tata busananya. Kita mencari totalitas
23
dibalik objek-objek dan menerangkan semua fakta berdasarkan semangat zamannya.
Sejalan dengan keterangan tersebut, Ian Watt (dalam Heru Kurniawan, 2012: 11)
menjelaskan bahwa, tiga klasifikasi (paradigm) dalam sosiologi sastera. Pertama,
konteks social pengarang; yang berhubungan dengan analisis posisi pengarang dalam
suatu masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Adapun analisis social ini meliputi
(a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, (b) profesionalisme
dalam kepengarangan yang mencakup sejauh mana pengarang itu menganggap
pekerjaannya itu sebagai sebuah profesi; dan (c) masyarakat apa yang dituju
pengarang ini itni untuk menentukan bentuk dan isi karya sastera. Kedua, sastera
sastera sebagai cermin masyarakat, berkaitan dengan sejauh mana sastera dianggap
mencerminkan keadaan masyarakat. Konsep “cermin” tentu saja kabar karena
masyarakat sebenarnya tidak sama dengan masyarakat yang digambarkan dalam
karya sastra karena adanya intervensi pandangan dunia pengarang. Oleh karena itu,
cermin disini menjadi refleksivitas masyarakat yang digambarkan pengarang, bukan
berarti kenyataan dalam karya sastra sama dengan kenyataan dalam masyarakat.
Dengan demikian, sastra sebagai cermin Kemasyarakat berarti sastra merefleksikan
masyarakat atau merepresentasikan semangat zamannya. Ketiga, fungsi social sastra;
ini berkaitan dengan sampai sejauh mana nilai sastra berkaiyan dengan nilai social
dan sampai sejauh mana nilai sastra sampai dipengaruhi oleh nilai social. Dalam hal
ini sastra dipersepsi sebagai karya kanonik yang berfungsi sebagai pembaharu dan
24
perombak atau sastra harus mengajarkan sesuatu nilai secara menghibur. Muaranya
adalah, sastra disi lain dipengaruhi oleh nilai social, sastra juga mampu mengajarkan
nilai social yang baru pada masyarakat, yaitu berperan serta dalam proses terjadinya
perubahan sosial. (Watt, dalam Kurniawan, 2012: 11).
Berdasarkan pandangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa karya
sastera memiliki hubungan erat dengan masa penciptaannya. Karya sastera memiliki
relasi kuat dengan latar sosialnya serta tata nilai yang berada dalam masyarakat di
zamannya dengan demikian sebagai teks karya sastera memiliki keterkaitan erat
dengan konteks zamannya.
Selanjutnya Umar Junus menerangkan bahwa teori tentang pengaruh
sosiobudaya bertolak dari bantahan terhadap cara pandang pertentangan kelas Karll
Max, Teori ini, seperti yang dikembangkan oleh Taine, bertolak dari pandangan
bahwa sastera dapat dikesan dari dasar material sebuah masyarakat, yaitu ras, waktu
dan lingkungan. Ras dihubungkan dengan sifat kejiwaan yang turun temurun,
perasaan, bentuk tubuh, dan sebagainya. Waktu dihubungkan dengan jiwanya pada
suatu zaman, misalnya zaman pertengahan, dan lingkungan yang peling penting
dibatasi kepada keadaan cuaca dan geografi. (Junus 1986: 19).
Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa karya sastera akan
berhubungan dengan tiga aspek penting yakni sosiologi zaman, sosio budaya
masyarakat dan geografis. Walaupun demikian tidak semua karya sastera terlahir dari
25
struktur budaya yang sesuai dengan denga sosiologi tempatnya diciptakan demikan
juga tidak semua karya sastera terpengaruh oleh geografis lokasi dimana ia
diciptakan sebagaimana tidak pula semua karya sastera berkaitan dengan masa atau
zaman ia diciptakan. Ada kalanya karya sastera menembus batas ruang dan waktu
karena itulah pengarang menjadi hal penting untuk dipertimbangkan.
Karl Max yang berpandangan bahwa persoalan sosial berhubungan dengan
pertentangan antar kelompok masyarakat dalam kelas-kelas strata social berbeda.
Pandangan demikian membuat sastera dianggap sebagai refleksi perseteruan antar
kelompok masyarakat dari kelas-kelas social berbeda. Penjelasan Taine memberikan
keterangan bahwa persoalan sastera bukan semata-mata pertentangan antar kelompok
kelas social namun lebih kompleks dari hal tersebut.
Selanjutnya Atmazaki (2002: 51) berpendapat bahwa menyelami jiwa
penyair atau sastrawan, pada umumnya, para kritikus/peneliti menggunakan
pendekatan ekspresif, pendekatan yang menitikberatkan kajiannya kepada pengarang
(pencipta). Dengan pendekatan ini para kritkus/peneiti menganggap atau merasa
bertemu dengan si aku penyair (aku lirik), dan dalam prosa adalah si aku pengarang.
Selanjutnya Goddman (dalam Faruk 16 : 2005) berpendapat bahwa sastera
adalah produk interaksi antara subjek kolektif dengan lingkungan sekitarnya.
Pandangan ini memperkuat pendapat bahwa karya sastera bukan hanya sebuah
26
imajinasi saja melainkan berhubungan dengan realitas yang ada pada zamannya dan
sangat kuat dipengaruhi linkungan tempat terciptanya.
Beranjak dari pemikiran di atas maka kajian sastera secara ekspresif adalah
cara menerka apa yang dirasakan dan ingin disampaikan oleh sasterawanr melalui
karyanya. Karya sastera adalah curahan perasaan. Curahan perasaan ini dianggap
adalah ekspresi jiwa pengarang dalam menghadapi realitas yang menjadi
pengalamannya dalam proses terciptanya karya sastera yang diteliti.
C. Semiotika
Sebagai karya sastera yang menggunakan media bahasa drama secara
tekstual terkait pada ilmu linguistik. Keterkaitan ini disebabkan drama merupakan
cabang sastera tertulis yang menggunakan ilmu bahasa sebagai alat analisisnya
meskipun akhirnya analisis ini kerapkali mengungkap hal-hal diluar kesusasteraan
seperti sosiologi, psikologi dan sebagainya. Atas dasar itu pula hubungan teks sastera
drama dengan konteksnya diperlukan perangkat semiotik yang digunakan dalam ilmu
linguistik dalam mengungkap tanda dan penanda dalam teks drama.
Disiplin analisis sastera menempatkan linguistik sebagai bidang penting.
Linguistik sebagai ilmu yang mempelajari bahasa kaya akan perangkat analisis yang
mampu mengurai berbagai fenomena berbahasa yang menjadi kajian ilmu sastera.
Perangkat linguistik inilah alat utama sastera dalam menemukan berbagai teks-teks
tersembunyi sebagai ekspresi simbolik sasterawan. Salah satu perangkat linguistik
27
yang penting dalam analisis sastera adalah semiotik. Semiotik juga tidak dapat
berdiri sendiri, semiotik terkait dengan semantik pragmatik yang menadi dasar
analisis proses kajiannya. Analisis sastera baik secara sosiologi maupun psikologital
tak terlepas dari tafsiran terhadap teks. Oleh karena itu ilmu tafsir teks tetap menjadi
hal penting dalam mengungkap “misteri” ekspresi sasterawan, Berdasarkan
kenyataan tersebut karya seni yag menggunakan media bahasa, tak mungkin
dilepaskan dari perangkat-perangkat teori yang dimiliki linguistik meskipun akhirnya
ia akan berkolaborasi dengan perangkat analisis cabang ilmu lainnya sesuai konteks
kebutuhan tafsirnya.
Ilmu semiotik Moderen dikemukanan oleh Ferdinand De Seassure (Chaer
2007: 19). Pandangan De Seasussure beranjak pada anggapan bahwa sesuatu yang
static memiliki relasi singkronik dengan sesuatu yang lain. (Budiman, 2004: 37 )
pandangan demikan lebih mudah difahami bahwa visual yang ada akan memberikn
relasi kepada yang lain, selanjutnya sebuah teks memiliki relasi dengan konteksnya.
Budiman menjelaskan bahwa dikotomi yang pertama bersangkutan dengan perspektif
lingusitik itu sendiri sebagai sebuah disiplin keilmuan. Menurut pandangan De
seassure segala sesuatu yang berhubungan dengan sisi static sebuah ilmu adalah
singkronik. Linguistik dari perspektif singkroniknya, secara khusus memperhatikan
relasi-relasi logis dan psikologis yang memadukan terma-terma secara berbarengan
dan membentuk suatu sistim dalam pikiran kolektif. Analisis bahasa secara
28
singkronik ialah analisis bahasa sebagai sistim yang eksis pada suatu titik waktu
tertentu-yang seringkali berarti “saat ini” atau kontemporer dengan mengabaikan
route telah dilaluinya sehingga dapat berwujud seperti sekarang. Sebaliknya, segala
sesuatu yang bersangkutan dengan evolusi adalah diakronik. (Chaer 2007: 19).
Berdasarkan penjelasan tersebut analisis tanda dan penanda dari pandangan
De seassure mengarah kepada pandangan bahwa sign memiliki relasi dengan
signifiennya tanpa harus melalui serangkaian proses pemaknaan yang rumit. Bagi De
Seassure yang terpenting adalah sebuah tanda memiliki relasi terhadap penandanya
pada saat ia ditafsirkan dengan prinsip kekinian atau kontemporer. Berkaitan dengan
penggunaan pandangan De Seassure untuk memhami makna teks terkait relasinya
maka ada baiknya pandangan Chaer (2007: 289) mengenai hubungan makna leksikal
dan gramatikal dijadikan acuan. Chaer menyatakan makna leksikal adalah makna
yang memiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun. Misalnya pada
leksem kuda memiliki makna leksikal sebagai binatang berkaki empat sebagai yang
dapat dikendarai. Selanjutnya secara lugas chaer mendefenisikan makna leksikal
sebagai makna sebenarnya yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari atau leksem
umum yang tidak memiliki konteks gramatik baik diikuti oleh konteks atau tidak.
Selanjutnya Chaer memandang makna gramatikal akan muncul bila terjadi proses
afiksasi, kalimatisasi, reduplikatisasi dan komposisi. Sebagai contoh makna nasi
padang. Secara leksikal nasi Padang hanyalah dua kata yang direkat menjadi kalimat
29
yang bermakna nasi sebagai benda yang di tanak berasal dari beras dan Padang
yakni sebuah kota di Sumatera Barat. Walaupun secara leksikal nasi padang tak dapat
dimaknai karena tidak memiliki koherensi antara keduanya yakni nasi (benda) dan
Padang (tempat) namun secara gramtikal ia akan membentuk maka nasi berasal dari
Padang secara gramatikal akan tergambar nasi dengan lauk yang serba pedas.
Selanjutnya untuk lebih memahami hubungan makna leksikal dan gamatikal
Chaer (2007: 290) menjelaskan persoalan teks-teks leksikal yang dihubungkan oleh
makna kontekstual. Makna kontekstual menurut Chaer adalah leksem yang berada
dalam satu konteks. Dalam memahami makna kontekstual ini perlu pula difahami
bahwa konteks sebuah leksem terkait pada referensi leksem kepada leksem-leksem
yang lain. Chaer menjelaskan bahwa makna referensial adalah leksem yang muncul
dengan eksistensi acuan sedangkan makna non referensial menurutnya adalah leksem
yang muncul tanpa acuan referensi. Kajian leksem secara gramatik juga melibatkan
sisi konotatif dan denotatif, chaer menjelaskan makna konotatif adalah makna asli
atau makna leksikal sebuah leksem, sedangkan makna denotative adalah makna lain
yang ditambahkan pada leksem.
Selanjutnya makna konseptual dan asosiatif, Lech dalam Chaer (2007: 292)
menjelaskan bahwa makna kontekstual adalah makna sebuah leksem yang terlepas
dari konteks apapun sedangkan makna assosiatif adalah pemaknaan leksem sebagai
sesuatu yang berhubungan dengan hal diluar kata itu. Sebagai contoh kata Melati
30
berasosiasi dengan hal yang suci, kata buaya berasosiasi dengan sesuatu yang jahat.
Sifat pemaknaan lain menurut Chaer adalah, kata dan istilah, Chaer
menjelaskan bahwa kata adalah makna leksem yang bersifat umum sedangkan makna
istilah adalah pemaknaan leksem yang sudah berada pada posisi tidak meragukan
lagi. Makna istilah hanya dipakai di kalangan tertuntu saja. Misalnya dunia keilmuan,
kelompok-kelompok tertentu atau lembaga-lembaga institusi tertentu. Terakhir Chaer
menjelaskan idiom dan peribahasa yang mana idiom adalah suatu ujaran bermakna
tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya baik secara leksikal maupun
gramatikal, sedangkan peribahasa adalah leksem yang maknanya dapat ditelusuri dari
makna unsur-unsurnya karena adanya assosiasi dari makna aslinya dengan maknanya
sebagai peribahasa. Perangkat analisis makna secara semantik seperti dijelaskan
Chaer (2007 :298-240) adalah sebagai berikut,
1. Sinonim
Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan
makna antara satu ujaran dengan ujaran lainnya. Sebagai contoh kata mamam dengan
makan. Kata haus dengan dahaga.
2. Antonim
31
Antonim adalah hubungan semantik yang menyatakan perlawanan wakna
antara satu ujaran dengan ujaran lainnya, sebagai contoh, sayang dengan benci, maju
dengan mundur, siang dengan malam.
3.Polisemi
Polisemi adalah kegandaan makna dalam sebuah kata, sebagai contoh
malam sebagai ungkapan terhadap suasana gelap saat tenggelamnya matahari dengan
malam yang dimaksudkan dengan lilin. Malam juga bisa dianggap sebagai ungkapan
pernyataan berakhirnya hidup misalnya dalam kalimat masa depan orang yang
berumur 56 adalah senja menjelang malam. Contoh lain adalah kabur sebagai
ungkapan tidak terlihat jelas dengan kabur yang menyatakan perbuatan melarikan
diri, kata kabur dapat juga bermakna tidak berujung pangkal seperti pada kalimat
ucapanmu kabur.
4.Homonim
Homonim adalah ujaran yang sama dengan makna ganda, contohnya bisa
untuk ungkapan racun ular dan bisa untuk ungkapan dapat melakukan. Pacar untuk
inai dan pacar untuk teman dekat dikalangan remaja.
5.Hiponim
Hiponim adalah ujaran yang memiliki makna cakupan terhadap makna lain
32
sebagai contoh adalah burung yang mencakup merpati, balam, punai, enggang, dan
sebagainya. Contoh lain adalah ujaran pelajar yang mencakup siswa SD, SMP dan
SLTA.
6.Ambiguitas
Ambiguitas adalah gejala kegandaan makna yang mengakibatkan perbedaan
tafsiran. Sebagai contoh adalah kalimat kematian mengintai di lorong waktu. Kalimat
ini membuat tafsiran beragam, apakah kematian yang berarti hilangnya nyawa
seseorang saat waktu ajalnya tiba, atau kematian berarti asa atau semangat hidup
yang berangsur-angsur hilang, dapat pula matinya karier seseorang karena tak ada
potensi diri yang dapat dikembangkan lagi. Ambiguitas biasa digunakan penyair
dalam ekspresi puitik demi mencapai nilai estetika bahasa.
7.Redunansi
Redunansi adalah kelebihan segmentasi ujaran. Sebagai contoh adalah
ujaran sebaiknya aku melangkah pergi tak akan berbeda dengan ujaran sebaiknya aku
pergi. Ujaran hentikan perbuatan menutup diri dengan hentkan menutup diri tak akan
berbeda maknanya.
Selain secara semantik untuk melakukan analisis makna teks yang
berhubungan dengan konteksnya perlu pula dilakukan analisa secara pragmatik.
33
Morris dalam Yusrizal (2012: 19) menjelaskan pragmatik sebagai suatu proses
semiotik yang berfungsi sebagai tanda atau simbol yang mempunyai empat bagian
yaitu: a sign vehicle, designatum, interpretant, and interpreter. A sign vehicle adalah
tanda, lambang, simbol, dan lain-lain yang bertindak sebagai tanda (sign),
designatum adalah informasi tentang tanda tersebut yang merujuk kepada apa atau
siapa. Interpretant adalah akibat atau dampak yang ditimbulkan oleh tanda tersebut.
Sedangkan interpreter adalah individu atau institusi yang menerima akibat atau
dampak dari tanda tersebut. Berdasarkan uraian di atas, pragmatik adalah mengkaji
bagaimana interpreter berpartisipasi dalam menentukan designatum
(pengkonstruksian interpretant dari tanda-tanda yang digunakan).
Selanjutnya Djajasudarma (2012: 83) mengemukakan bahwa berbagai segi
pragmatik meliputi persoalan bahasa menyangkut unsur bahasa dengan konteks. Hal
yang diliputi oleh pragmatik adalah 1. Interpretasi (semantik) dan penggunaan
tuturan bergantung pada realitas dunia; 2. penggunaan dan pemahaman tindak ujar
(speech acts); dan 3. pengaruh struktur kalimat karena hubungan penyapa-pesapa
,pragmatik berhubungan erat dengan semantik, tetapi dapat pula bersifat kontras
dalam hubungan makna (semantik) tanpa acuan (abstrak). Dengan demikian, bila kita
memahami semantik (makna) dalam komunikasi pada saat bahasa digunakan-
pragmatik) bahasa difahami secara komunikatif. Makna melibatkan tidak hanya
sekedar interpretasi semantik sebuah tuturan, kitaharus memahami konteks secara
34
keseluruhan. (Palmer, 1981; Leech,1983; Levinson,1983, Djajasudanna; 2002,
Djajasudarma 2012: 83)
Penjelasan di atas menerangkan pemahaman persoalan semantik belumlah
dapat dijadikan dasar pemahaman teks dan konteks sebuah wacana sebagai tuturan
yang bersifat ekspresif. Tuturan sastrawan drama mestilah dipahami pula secara
pragmatik berkaitan dengan ini secara semantik komunukasi Cruse (2004) dalam
Djayasudarma (2012 : 84) menjelaskan tiga unsure komunikasi yaitu, (1). Sender`s
meaning atau pesan yang dimaksud oleh pengirim(2). Receiver`s meaning atau
makna penerima, yang menduga dan menyimpulkan makna tersebut. (3) Sign
meaning atau makna tanda yakni struktur simbolik yang menjadi media penyampaian
makna tersebut. Dengan demikian penafsiran semantik komunkasi lebih ditikberatkan
kepada bagaimana makna itu hadir, dari siapa makna itu dating, siapa yang
memaknainya dan bagaimana struktur baku tanda tersebut.
Pada bagian lain Djajasudarma menjelaskan bahwa semantik dikategorikan
atas tiga tataran yakni (1) makna kalimat (sentence meaning) (2). Makna pernyataan
(statement) dan (3). Makna ujaran (utterance meaning). Dalam hal ini kalimat adalah
unit gamatika yang merupakan untaian kata-kata dengan tipe tertentu, bentuk apiknya
ditandai dengan gramatika bahasa. Pernyataan ini menyangkut bahasa sebagai
sitruktur baku yang dapat dimaknai dengan susunan yang tepat. Bila sebuah kalimat
35
disusun dengan susunan kata-kata berbeda maka akan berubah maknanya bahkan
dapat tak bermakna sama sekali.
Secara tegas Djayasudarma berpendapat bahwa dalam ranah semantik-
pragmatik untuk kajian bidang ilmu linguistic pendekatan pragmatik digunakan
mempertimbangkan bahasa melalui konteksnya pada saat bahasa digunakan. Jenis
konteks ini adalah fisik, epistemic, linguistic, dan sosial (Djayasudarma 2012; 95).
Sehubungan dengan penjelasan di atas pada konteks ini, penelitian teks yang bersifat
ekpresif berada pada ranah konteks sosial atau pragmatik tuturan teks yang
menyangkut ekspresi pengarang dalam menyaksikan realita yang terjadi pada sebuah
masa dihadapannya. Untuk itu dalam hal ini penekanan penelitian mengarah pada
analisis makna teks terhadap konteks social tuturan pengarang menyaksikan situasi
sebuah tempat pada sebuah masa tertentu disini adalah ini Aceh pada masa
diberlakukakannya Darurat Militer oleh TNI disaat konflik NKRI dan GAM. Pilihan
analisis teks yang demikian akan memberikan ruang untuk menafsir teks bahasa
kedalam tafsiran kontekstasi sosial. Dengan cara ini dapat pula diungkap sisi
emosional, Latar budaya dan pandangan seni si pengarang.
Selanjutnya untuk memperjelas hubungan simbolis teks dengan
pengarangnya. secara simbolik. Teks naskah drama Jambo dianggap sebagai tuturan
dari seseorang (pengarang) dalam mengkomunikasikan persoalan yang dilihatnya.
Kajian ini akan menjelaskan hubungan yang kuat antara karya sastera dengan
36
ekspresi penuturnya. Dalam memahami hubungan teks dengan masyarakatnya
dipelajari tiga hal, pertama setting tempat, kedua seting waktu dan sosio budaya
pendukung teks yang sedang dipelajari.
Selanjutnya Menurut Djajasudarma dalam Yusrizal (2012: 20) kajian
pragmatik mencakup studi interaksi antara pengetahuan kebahasaan dan dasar
pengetahuan tentang dunia yang dimiliki oleh pendengar atau lawan bicara. Studi ini
melibatkan unsur interpretatif yang mengarah pada studi tentang keseluruhan
pengetahuan dan keyakinan akan konteks. Kajian ini melihat hubungan antara bahasa
dan konteks yang mendasari penjelasan bahasa. Hal ini berarti, bahwa untuk mengerti
suatu ungkapan atau ujaran diperlukan pengetahuan di luar makna kata dan hubungan
tata bahasanya, yakni hubungan dengan konteks pemakaiannya. Pragmatik adalah
kajian linguistik yang melibatkan pertimbangan-pertimbangan kontekstual yang
secara khusus masuk dalam wilayah kajian bahasa. Dengan pemahaman di atas maka
dapatlah disimpulkan kajian pragmatik mengkaji hal-hal diluar teks yang meberikan
interpretasi makna terhadap teks. Hubungan relasi secara pragmatik, semantik dan
sintaksis.
Berdasarkan penejelasan di atas pragmatik merupakan sisi terluar lingkaran
makna yang didalamnya terdapat sintaks dan semantik. Pragmatik adalah pemaknaan
tuturan secara leksikal atau gramatikal tergantung referen yang mengikutinya artinya
kajian semiotik yang melibatkan tafsiran teks dengan tujuan menemukan makna-
37
makna simbolis yang ada dalam teks adalah kajian yang melibatkan sisi-sisi semantik
sekaligus sintaks dengan tidak melupakan penanda-penanda lepas dalam wacana baik
berupa klausa maupun sintaksnya. Berkaitan dengan analisis sastera kajian ini teks
dihubungkan dengan konteks dengan tiga unsure (1) semantik, (2) Sintaktik, (3)
Pragmatik. (Djayasudarma, 2012 : 35) selanjutnya kajian ini dinamakan dengan
semiologi yang oleh Bearthes dikatakan sebagai ilmu yang mencakup semua system
tanda, apapun substansi batas-batasnya: gambar, gerak isyarat, suara musik, objek,
dan asosiasi kompleks dari semua yang membentuk isi ritual, konvensi atau hiburan
publik: semuanya mengkonstitusikan, jika bukan bahasa (langue), minimal sistim
signifikasi.(Bearthes, 2012: 17). Dengan demikian semiotik adalah perkembangan
dari ilmu telaah makna bahasa dimana penanda dianggap berada di semua bidang
komunikasi hingga wilayah yang lebih luas.
Meskipun semiotik memberikan ruang yang lebih luas dalam memberikan
makna bahasa sampai pada bunyi, rupa dan gerak namun semiotika tak dapat bekerja
tanpa elemen-elemen linguistic konvensional. Elemen-elemen kebahasaan yang
mampu menguak hubungan tanda dengan penandanya berupa semantik dan
pragmatik digunakan semiotik untuk memahami hubungan antara tanda dan
penandanya sementara untuk wacana berbentuk kalimat telaah sintakmatik menjadi
penting dalam analisis semiotik. Berdasarkan kenyataan tersebut sebuah analisis teks
yang bersifat wacana tetap tergantung pada tiga unsure utama analisis yakni
38
semantik, sintakmatik dan pragmatik sedangkan hubungan teks secara intrinsic
dengan sisi ekstrinsik lebih mengacu pada fenoma-fenomena pendukung yang
bersifat peristiwa atau penanda-penanda budaya (semangat zaman sebuah karya).
Keterangan lugas tentang perkembangan ilmu semiologi dijelaskan
Djayasudarma (2012: 35) bahwa teori tanda dikembangkan perre pada abad ke-18
yang kemudian dipertegas Odgen dan Richard tahun 1923 dimana elemen tanda yang
menjadi perhatian pada masa mereka adalah semantik, sintaktik dan pragmatik.
Dengan demikian jelaslah semiotika modern yang kita kenal sekarang tetap beranjak
dari elemen utama linguistik yakni semantik. Dalam hal ini semantik meiliki
perangkat-perangkat yang berguna menjelaskan relasi antar makna. Salah satunya
adalah relasi ambiguitas. Relasi ambiguitas merupakan bagian dari aneka jenis relasi
teks dan konteknya dalam kajian semantik. Relasi ambiguitas yang kerap ditemukan
dalam karya sastera ini menjadi misteri yang harus dipecahkan dengan
menghubungkan teks dengan situasi pengarang, tempat dan waktu karya diciptakan.
Sehubungan dengan hal ini semantik dapat melibatkan semiotik teks sebagai
perangkat kajiannya.
Selanjutnya Bearthes dalam Cristomy dan Yuwono (59 : tanpa tahun)
menjelaskan bahwa semiotik teks tidak terlepas dari isi (E) dan konten (C) dengan
demikian teks adalah sesuatu yang maujud sebagai aspek kebahasaan, maujud
sebagai kaidah-kaidah tekstual dan sebagai bagian dari kebudayaan. Dengan
39
pemahaman ini maka telaah sosiologi karya, sosiologi pengarang dan sosiologi
rempat dan waktu menjadi hal penting untuk dipertimbangkan dalam memahami
hubungan teks dan konteks sebuah karya sastra. Dalam usaha menemukan konteks
tersebut terdapat perangkat pendukung yang tidak hanya berlaku pada penanda teks
bahkan berlaku ke penanda peristiwa atau benda, penanda tersebut terbagi atas tiga
tingkat yakni indeks atau penanda degan hubungan sebab akibat, ikon penanda yang
menjelaskan keberadaan sesuatu secara eksistensi dan simbol yaitu penanda yang
menjadi kesepakatan dalam pemaknaannya (Pierce dalam Cristomy, 2003: 29-33).
D. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan adalah penelitian sebelumnya
yang memiliki keterkaitan dengan objek yang sedang diteliti. Penelitian ini memiliki
korelasi dengan penelitian sebelumnya yang meneliti karya-karya Sulaimain yakni
Tesis Tri Aji Purnomo berjudul Pertunjukan Hikayat Cantoi, Kajian Politik di Aceh
1989-2005, Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2010. Penelitan ini membahas
teks-teks panggung pertunjukan drama “Cantoi” karya Sulaiman berkaitan dengan
situasi politik Aceh pada tahun 1989-2010, penelitian ini menemukan hubungan teks-
teks panggung petunjukan drama “cantoi” karya Sulaiman dengan situasi politik
Aceh pada masa konflik NKRI-GAM. Walaupun seting Aceh yang menjadi latar
sosisl pertunjukan ini pada kurun waktu yang sama, isu dan objek juga berakar dari
wacana yang sama penelitian ini sangat berbeda, peneliian Tri Purnomo Adji adalah
40
penelitian teks panggung sedangkan penelitian “Drama `Cantoi` teks dan konteks
adalah penelitian yang meneliti drama “Cantoi” dari sisi struktur naskah dramanya.
Selain itu penelitian ini lebih menekankan makna tuturan yang ada dalam drama
“Cantoi” dengan menjadikan pengarangnya sebagai referen penutur sedangkan
penelitian Tri Purnomo Adji menekankan kepada konflik sosial Aceh sebagai acuan
refern pemaknaan teks-teks panggung yang ditelitinya.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap penelitian relevan tersebut maka dapat
diketahui bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian
sebelumnya membahas sisi lain dari karya Sulaiman maka penelitian ini dapat
dianggap sebagai baru pertama kali dilakukan.
E. Kerangka Pemikiran
Dasar pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah tiga sisi pandang
dalam melihat hubungan teks drama dengan konteksnya, tiga sisi pandang tersebut
adalah kajian secara simbolik berkaitan dengan struktur simbol pembangun teks,
kajian secara empirik yang berkaitan dengan struktur simbol secara pragmatik dan
kajian secara sosiologi yang berkaitan struktur simbol terhadap sosial masyarakat
pada waktu tertentu disebuah tempat tertentu. Pemikiran ini didasarkan kepada
pandangan bahwa drama adalah susunan simbol yang bertujuan membangun sebuah
kesatuan tematik dengan tujuan menyampaikan pesan tertentu. Pandangan ini
41
menjadi dasar menuju pendekatan teoritis linguistik yang berkaitan dengan
pemaknaan lambang dan penanda dalam teks. Mengurai teks adalah proses
menemukan elemen lambang dan penanda yang membagunnya dengan tujuan
menemukan konteks dari penanda-penanda tersebut berkaitan dengan teks diluar
naskah yang diteliti. Secara sederhana hal ini dapat digambarkan dengan illustrasi
berikut,
(Wiko Antoni, 2013: 54)
41
menjadi dasar menuju pendekatan teoritis linguistik yang berkaitan dengan
pemaknaan lambang dan penanda dalam teks. Mengurai teks adalah proses
menemukan elemen lambang dan penanda yang membagunnya dengan tujuan
menemukan konteks dari penanda-penanda tersebut berkaitan dengan teks diluar
naskah yang diteliti. Secara sederhana hal ini dapat digambarkan dengan illustrasi
berikut,
(Wiko Antoni, 2013: 54)
41
menjadi dasar menuju pendekatan teoritis linguistik yang berkaitan dengan
pemaknaan lambang dan penanda dalam teks. Mengurai teks adalah proses
menemukan elemen lambang dan penanda yang membagunnya dengan tujuan
menemukan konteks dari penanda-penanda tersebut berkaitan dengan teks diluar
naskah yang diteliti. Secara sederhana hal ini dapat digambarkan dengan illustrasi
berikut,
(Wiko Antoni, 2013: 54)