32
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Drama Drama berasal dari bahasa Yunani greek, draen yang kemudian menurunkan kata drein turunan kata dromai yang semula berarti bertindak dan beraksi atau berbuat (Satoto, 2012: 1). Sedangkan drama menurut Sumanto dalam Endaswara (2011: 11) berasal dari bahasa Perancis drame yang artinya lakon serius. Serius artinya bukan berarti drama melarang adanya humor. Serius dalam hal ini terkait dengan aspek penggarapan. Sementara menurut Jakob Sumardjo asal muasal drama seperti berikut ini, 1. Adanya upacara-upacara primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara semacam itu akhirnya berkembang menjadi pertunjukan drama. Meskipun upacara agama telah lama ditinggalkan namun drama tetap hidup hingga sekarang. 2. .Berasal dari nyayian untuk menghormati seorang pahlawan di kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk drama. 3. .Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita-cerita. Kemudian cerita itu didramakan (kisah perburuan, kepahlawanan, perang dan sebagainya. (Sumardjo, 1986: 1) Berdasarkan pernyataan tersebut maka drama dapat dikatakan sebagai ekspresi serius manusia menyusun lakon dengan tujan menggambarkan sesuatu yang diketahui atau

SEMANTIK TEKS DRAMA

Embed Size (px)

Citation preview

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Drama

Drama berasal dari bahasa Yunani greek, draen yang kemudian

menurunkan kata drein turunan kata dromai yang semula berarti bertindak dan

beraksi atau berbuat (Satoto, 2012: 1). Sedangkan drama menurut Sumanto dalam

Endaswara (2011: 11) berasal dari bahasa Perancis drame yang artinya lakon serius.

Serius artinya bukan berarti drama melarang adanya humor. Serius dalam hal ini

terkait dengan aspek penggarapan. Sementara menurut Jakob Sumardjo asal muasal

drama seperti berikut ini, 1. Adanya upacara-upacara primitif. Unsur cerita

ditambahkan pada upacara semacam itu akhirnya berkembang menjadi pertunjukan

drama. Meskipun upacara agama telah lama ditinggalkan namun drama tetap hidup

hingga sekarang. 2. .Berasal dari nyayian untuk menghormati seorang pahlawan di

kuburannya. Dalam acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan

yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk drama. 3. .Berasal dari kegemaran

manusia mendengarkan cerita-cerita. Kemudian cerita itu didramakan (kisah

perburuan, kepahlawanan, perang dan sebagainya. (Sumardjo, 1986: 1) Berdasarkan

pernyataan tersebut maka drama dapat dikatakan sebagai ekspresi serius manusia

menyusun lakon dengan tujan menggambarkan sesuatu yang diketahui atau

11

dirasakannya dengan media laku, gerak dan dialog-dialog dengan pengarapan yang

dirancang secara serius dan sengaja sebagai reflelksi manusia dalam kegemarannya

mereka ulang lingkungan tempat hidupnya.

Drama menyajikan realitas yang dirasakan, diamati atau dapat diinterpretasi

terhadap sesuatu yang bersifat realis maupun suryalis karena kenyattan ini drama

menjadi media ekspresi yang mengandung nilai seni. Nilai-nilai seni ini kemudian

menjadikan drama mampu memuaskan rasa estetika manusia . bukan hanya sekedar

tontonan namun menjadi penggambaran nyata melalui rekonstruksi peristiwa yang

ingin disampaikan kepada penonton.

Pertunjukan drama merupakan implementasi dari keseriusan penggarapan

drama. Rendra (1989 :1) menyatakan bahwa cara menyampaikan ilham seni kepada

orang lain disebut dengan tekhik seni. Berdasarkan pernyataan tersebut pertujukan

drama adalah salah satu tehknik yang digunakan seniman dalam menyampaikan

gagasan seni yang dimilikinya.

Selanjutnya Endaswara (2011: 32) menyebutkan drama adalah seni,

kenyataan ini belum ada yang menolak. Artinya, sebagai seni ia merupakan ekspresi

keindahan. Seni drama terkait dengan pentas atau pertunjukan. Seperti karya seni

pertunjukan lain, pertunjukan drama adalah hasil proses. Proses ini berupa latihan-

latihan panjang yang melelahkan, bertujuan untuk mendapatkan hasil karya maksimal

untuk disajikan kepada penonton. Pertunjukan drama termasuk kedalam salah satu

12

media yang dipilih seniman ketika menuangkan gagasan seni yang dimilikinya.

Sebagai Drama juga memuat stilisasi peristiwa dan perlambangan-perlambangan

gagasan yang mengacu pada realita baik itu secara jelas maupun terselubung.

1. Teks Drama

Teks drama atau naskah drama dapat diartikan sebagai karya sastera

yang ditulis untuk kepentingan pertunjukan drama. Riris K. Sarumpaet (dalam

Satoto, 2012: 3) menyatakan defenisi teks sebagai Ragam Sastera dalam bentuk

dialog yang dimaksudkan untuk pertunjukan di atas pentas. Selanjutnya Atmazaki

menjelaskan drama sebagai berikut, Pertama-tama yang menentukan bahwa sebuah

karya sastera disebut drama adalah dialog, teks drama terdiri atas dialog antar tokoh.

Deretan peristiwa yang membentuk plot terjadi akibat dialog-dialog yang sekurang-

kurangnya terjadi antara dua tokoh. Dalam karya sastera berbentuk prosa juga

terdapat dialog, namun dialog itu terdapat didalam narasi maka teks digolongkan

kedalam prosa; sedangkan apabila cerita terjadi karena dialog maka teks itu dapat

digolongkan drama. Kedua, drama diciptakan pertama-tama bukan untuk dinikmati

melalui pembacaan melainkan untuk pemenatasan. Oleh sebab itu didalamnya juga

diterangkan secara jelas peralatan apa yang diperlukan. Artinya sebuah teks drama

semestinya memenuhi syarat-syarat teaterikal. Namun demikian seringkali sutradara

menginterpretasikan teks sesuai keinginannya sehingga hasil pementasan juga

13

seringkali plus-minus teks drama. Jadi proses pemahaman drama terjadi secara

bertngkat-tingkat. Sutradara dan pemain menginterpretasikan naskah untuk

dipentaskan, penonton menginterpretasikan hasil pementasan. Ketiga, kalau karya

sastera berbentuk prosa menceritakan tentang suatu kejadian, maka drama atau teater

adalah kejadian itu sendiri, kejadian di atas pentas. Penonton menyaksikan kejadian

atau rekonstruksi sebuah peristiwa. (Atmazaki, 2007 : 43-44)

Penjelasan di atas memberikan gambaran drama dapat ditafsirkan menjadi

dua macam tafsiran umum, yakni drama sebagai pertunjukan teater dan drama

sebagai skrip naskah teater. Berdasarkan kajian itu dalam penelitian ini kata “drama”

diartikan sebagai teks naskah drama bukan pertunjukan teater atau pentas drama.

Selanjutnya drama akan dikonotasikan sebagai teks atau skrip naskah pertunjukan

drama dengan penjelasan tersebut jelaslah bahwa dalam konteks penelitian ini drama

diartikan berbeda dengan pertunjukan drama. Drama dimaknai naskahnya dan teater

atau pertunjukan drama adalah transformasinya ke pentas. Penelitian ini menelaah

teks sastera tertulisnya atau naskah, jadi penelitian ini tidak sampai pada pembahasan

teks pertunjukannya.

1. Struktur Drama

Endaswara (2011: 21-24) menjelaskan bahwa drama terbagi pada babak,

adegan, dialog, prolog dan epilog. Selanjutnya Brahim (dalam Endaswara (2011: 25)

14

berpendapat bahwa drama terdiri dari plot dan karakterisasi. Elemen-elemen

pembangun drama menurut Brahim (dalam Endaswara 2011: 25) sama dengan prosa

yakni (a) instiden permulaan atau permulaan konflik, (b) Penanjakan atau ressing

aksion (c) klimaks atau puncak krisis (d) keputusan atau resolusi.

Selanjutnya Wiko Antoni (2013, 150-151) menerangkan bahwa drama

terdiri dari (1) tema, (2) alur, (3) Penokohan, (4) seting, (5) style atau gaya.

Berdasarkan penjelasan di atas maka secara struktur drama dapat dilihat dari dua sisi

yakni struktur pembangunan dinamika dramatiknya dan struktur drama bila dilihat

dari elemen-elemen pembentuknya. Kedua sisi pandang ini tidaklah berbeda sama

sekali dengan prosa.

Dari dinamika dramatiknya drama tersusun sebagai uraian yang mengkaji

susunan dramatik dimulai dari awal cerita hingga selesai sedangkan dari sisi elemen

pembentuknya drama diurai berdasarkan bagian-bagian yang terkandung dalam lakon

drama tersebut.(1). Tema. Tema adalah amanat yang dibawa sebuah karya drama.

Tema terbagi padadua bagian yakni tema mayor dan tema minor. Tema mayor disebut

juga dengan tema utama yang termuat dalam karya drama. Tema minor adalah tema-

tema kecil yang ikut berada dalam karya drama sebagai pendukung tema utama.(3).

Alur. Alur adalah perjalanan cerita. Perjalanan cerita berikut konflikasinya.

Konlikasi drama disebut dengan alur dramatik. Dilihat dari Jalan cerita drama terbagi

kepada alur maju, alur kebelakang atau mundur, melingkar dan periodik. Alur maju

15

menyajikan cerita secara mengalir dari awal hingga akhir cerita sedangkan alur

mundur menyajikan cerita dengan mengembalikan ingatan tokoh utama ke masa lalu

atau flasback. Alur melingkar atau periodik adalah pola penyajian cerita dengan fase-

fase yang saling berhubungan yang bermuara pada sebuah persoalan utama. (Wiko

Antoni, 2013: 151)

Dilihat dasi sisi dramatik drama terbagi pada model alur linier dan struktur

aristotelean. Alur linier berbentuk gelombang dengan suspen yang meletup-letup

dengan konflikasi terus menerus hingga akhir cerita sedangkan alur aristotelean

adalah alur yang bila digambar grafiknya menyerupai tanjakan yang pada puncaknya

menurun kembali dengan elemen, introduksi, ressing action (penanjakan), konflikasi,

klimaks, resolusi dan diakhiri dengan ending. (3). Penokohan. Penokohan adalah

pemberian watak karakter pada orang-orang yang terlibat dalam sebuah lakon drama.

Penokohan dibagi kepada kedudukan tokoh dan perwatakan. Kedudukan tokoh

adalah penempatan posisi masing-masing tokoh yang terlibat dalam lakon. Terdiri

dari antagonis, deutragonis, tetragonis, protagonis dan utility. Perwatakan terbagi

pada psikololis, fisik, moralitas dan posisi sosial.Setting. Setting dalam drama

terbagi atas setting tempat dan setting waktu. Setting zaman adalah kurun zaman

peristiwa terjadi sedangkan seting waktu adalah masa pada waktu terjadi misalnya

malam atau siang. (4). Style atau gaya. Style atau gaya adalah gaya ekspresi penulis,

dalam kajian sastera biasa disebut dengan stilistika atau ilmu kajian gaya berbahasa

16

dalam karya sastera, Kamus Linguistik, Kridalaksana (1982:159) mengemukakan

pengertian stilistika yaitu, (a). Ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan

dalam karya sastra; (b). ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan. (c).

Penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa. Sementara Wiko Antoni (2013:

151) menyebutkan Stilistik (a) Kajian tentang penggunaan gaya bahasa secara

berkesan dalam penulisan. (b). Berkaitan dengan stail atau gaya, terutama gaya

bahasa penulisan. Style atau gaya adalah model tuturan yang dipilih sasterawan

dalam mengekspresikan konsep fikirnya dalam karya sastera, dengan kata lain adalah

kecenderungan berbahasa atau dapat pula diartikan sebagai model penggunaan gaya

bahasa yang dominan seorang sastrawan dalam karya mereka.

Penejelasan di atas memberkan memberikan keterangan bahwa

drama dari sisi pertunjukan adalah persitiwa seni sedangkan dari sisi teks adalah

karya sastera berwujud tulisan. Dalam wujud naskah drama kajian analisis drama

dikaji dari sisi kebahasaan dengan menggunakan ilmu linguistik dengan analisis

semiotik atau perangkat semantik dan pragmatik.

B. Sosiologi Sastera

1. Latar Pengarang dalam Penciptaan Seni Sastera

M. H. Abbrams (dalam Hassanudin, 1996: 108-109) menjelaskan bahwa

terdapat beberapa pendekatan terhadap karya sastera yaitu (1) pendekatan objektif,

(2) Penekatan memesis, (3) pendekatan ekspresif, (4) pendekatan pragmatis.

17

Selanjutnya Hassanudin (130-132) menjelaskan proses-proses pendekatan ekspresif

sebagai pendekatan yang dilakukan secara bertahap dengan mengenali pengaran

secara baik baik melalui kousioner maupun studi kepustakaan selanjutnya data

pengarang dijadikan bagian dari analisis terhadap karya yang diteliti meskipun

demikian karya bukan dipandang sebagai bagian dari kisah hidup si pengarang.

Menurut pandangan ini gaya bahasa adalah hal kongkrit yang menggambarkan jiwa

sari seorang pengarang dalam berekspresi.

Pengarang dalam berkarya pastilah membawa nilai-nilai budaya yang

menjadi latar belakang asal muasal daerahnya walaupun tidak secara kasat mata,

kepribadian seorang pengarang pastilah dipengaruhi oleh latar dimana ia dilahirkan

dan dibesarkan. Sosiologi karya memuat latar tempat cerita digambarkan, dalam

drama ini muncul sebagai struktur simbol yang dimuat dalam tema, penokohan,

seting, alur dan gaya (style).

Individu sebagai bagian dari komponen yang berada dalam sebuah

lingkungan sosial adalah elemen peka yang dibentuk karakteristknya oleh

lingkungan. Sebagai bagian dari kelompok sosial individu merespon segala yang

terjadi dilingkungannya. Respon ini bisa penerimaan atau penolakan, walaupun

demikian konsep-konsep umum yang mengungkung cara fikir individu selalu

membentuk sikap kolektif yang dipatuhi baik secara sadar, diterima dengan rela,

tidak sadar bahkan terpaksa. Secara sederhana hal ini digambarkan sebagai berikut,

18

Individu berada dalam lingkaran kelompok yang merupakan bagian

masyarakat. Segala pola fikir dan karakteristik perilaku kelompok mengikat individu

dan membentuk karakter unik yang ada padanya. Selanjutnya karakteristik pola fikir

dan tingkah laku kelompok adalah bagian dari karakteristik dan pola fikir general

dari masyarakat yang mengelilinginya.

Gejala tingkah laku yang terjadi pada individu tak dapat dilepaskan dari

karakteristik kelompok yang mengelilingiya, begitu pula gejala kolektif yang terjadi

dalam kelompok berhubungan dengan masyarakat yang melingkupinya. Dari

pandangan yang demikian tiada dapat dalam sebuah kajian melepaskan gejala

perilaku individu dari segala signifikasi yang terjadi dalam lingkungan kelompok

dan masyarakat tempat individu itu berada.

Berikut bagan pembentuk idea sebagai dasar penciptaan konsep-konsep

Konsep Pembangun idea (konsep fikir pembentuk perilaku berbudaya (Firman, 2011)

Prof Dr. Firman Mpd (2012:03)

18

Individu berada dalam lingkaran kelompok yang merupakan bagian

masyarakat. Segala pola fikir dan karakteristik perilaku kelompok mengikat individu

dan membentuk karakter unik yang ada padanya. Selanjutnya karakteristik pola fikir

dan tingkah laku kelompok adalah bagian dari karakteristik dan pola fikir general

dari masyarakat yang mengelilinginya.

Gejala tingkah laku yang terjadi pada individu tak dapat dilepaskan dari

karakteristik kelompok yang mengelilingiya, begitu pula gejala kolektif yang terjadi

dalam kelompok berhubungan dengan masyarakat yang melingkupinya. Dari

pandangan yang demikian tiada dapat dalam sebuah kajian melepaskan gejala

perilaku individu dari segala signifikasi yang terjadi dalam lingkungan kelompok

dan masyarakat tempat individu itu berada.

Berikut bagan pembentuk idea sebagai dasar penciptaan konsep-konsep

Konsep Pembangun idea (konsep fikir pembentuk perilaku berbudaya (Firman, 2011)

Prof Dr. Firman Mpd (2012:03)

18

Individu berada dalam lingkaran kelompok yang merupakan bagian

masyarakat. Segala pola fikir dan karakteristik perilaku kelompok mengikat individu

dan membentuk karakter unik yang ada padanya. Selanjutnya karakteristik pola fikir

dan tingkah laku kelompok adalah bagian dari karakteristik dan pola fikir general

dari masyarakat yang mengelilinginya.

Gejala tingkah laku yang terjadi pada individu tak dapat dilepaskan dari

karakteristik kelompok yang mengelilingiya, begitu pula gejala kolektif yang terjadi

dalam kelompok berhubungan dengan masyarakat yang melingkupinya. Dari

pandangan yang demikian tiada dapat dalam sebuah kajian melepaskan gejala

perilaku individu dari segala signifikasi yang terjadi dalam lingkungan kelompok

dan masyarakat tempat individu itu berada.

Berikut bagan pembentuk idea sebagai dasar penciptaan konsep-konsep

Konsep Pembangun idea (konsep fikir pembentuk perilaku berbudaya (Firman, 2011)

Prof Dr. Firman Mpd (2012:03)

19

fikir pembentuk idea yang muncul sebagai sigbifikasi kepribadian individu,

Prinsip benar salah adalah konsep mendasar yang ditanamkan kepada

setiap individu diseluruh masyarakat dunia, hanya saja pada penerapan ini terdapat

visi yang berbeda terhadap sesuatu yang dianggap benar pada tempat-tempat yang

berbeda. Kepercayaan merupakan elemen lain yang juga menjadi pembentuk idea-

idea individu yang datang dari intervensi masyarakat atau kelompok kepada individu,

selanjutnya hadirlah agama yang diyakini sebagai sesuatu yang diturunkan Tuhan.

Walaupun demikian mithos, legenda,tahayul tetap menjadi elemen penting dalam

pembentuk idea-idea yang mempengaruhi pola fikir individu. Sastera kemudian hadir

menjadi “paket” estetik dalam penanaman konsep-konsep di atas secara terselubung,

Konsep Pembangun idea konsep fikir pembentuk perilaku berbudaya (Firman: 2011)

Prof Dr. Firman Mpd (2012:03)

19

fikir pembentuk idea yang muncul sebagai sigbifikasi kepribadian individu,

Prinsip benar salah adalah konsep mendasar yang ditanamkan kepada

setiap individu diseluruh masyarakat dunia, hanya saja pada penerapan ini terdapat

visi yang berbeda terhadap sesuatu yang dianggap benar pada tempat-tempat yang

berbeda. Kepercayaan merupakan elemen lain yang juga menjadi pembentuk idea-

idea individu yang datang dari intervensi masyarakat atau kelompok kepada individu,

selanjutnya hadirlah agama yang diyakini sebagai sesuatu yang diturunkan Tuhan.

Walaupun demikian mithos, legenda,tahayul tetap menjadi elemen penting dalam

pembentuk idea-idea yang mempengaruhi pola fikir individu. Sastera kemudian hadir

menjadi “paket” estetik dalam penanaman konsep-konsep di atas secara terselubung,

Konsep Pembangun idea konsep fikir pembentuk perilaku berbudaya (Firman: 2011)

Prof Dr. Firman Mpd (2012:03)

19

fikir pembentuk idea yang muncul sebagai sigbifikasi kepribadian individu,

Prinsip benar salah adalah konsep mendasar yang ditanamkan kepada

setiap individu diseluruh masyarakat dunia, hanya saja pada penerapan ini terdapat

visi yang berbeda terhadap sesuatu yang dianggap benar pada tempat-tempat yang

berbeda. Kepercayaan merupakan elemen lain yang juga menjadi pembentuk idea-

idea individu yang datang dari intervensi masyarakat atau kelompok kepada individu,

selanjutnya hadirlah agama yang diyakini sebagai sesuatu yang diturunkan Tuhan.

Walaupun demikian mithos, legenda,tahayul tetap menjadi elemen penting dalam

pembentuk idea-idea yang mempengaruhi pola fikir individu. Sastera kemudian hadir

menjadi “paket” estetik dalam penanaman konsep-konsep di atas secara terselubung,

Konsep Pembangun idea konsep fikir pembentuk perilaku berbudaya (Firman: 2011)

Prof Dr. Firman Mpd (2012:03)

20

kehadirannya dapat berupa pepatah dan cerita-cerita.

Elemen-elemen yang berpadu tersebut menjadi konsep dasar (konsep idea)

atau konsep pembentuk yang dijadikan cara pandang ideal individu dalam

menterjemahkan sesuatu yang kemudian direfresentasikan dalam representasi

dadasannya secara pribadi dalam wujud pandangan filsafat atau refleksi karya seni.

Secara umum karakteristik fikir dibentuk oleh budaya yang telah diturunkan

oleh pendahili sebuah masyarakat, dalam kajian universal terdapat dua bagian

karakteristik kubudayaan. Pertama adalah Budaya Barat, dengan orientasi

Menguasai fisis untuk merubah dunia. Akibat dari semua itu hasilnya adalah ilmu

pengetahuan, tekhnik, kekayaan standar hidup, kerja keras dan ketegangan.

Sedangkan budaya timur bersifat psike, bersifat menguasai ambisi, nafsu, mencari

damai dihati dan menjaga keharmonisan dengan alam. Akibat yang terjadi adalah

kemiskinan, nikmat hidup sebagai tujuan mengakibatkan gaya hidup yang santai dan

bijaksana. (Firman, 2012: 03)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah karya seni

tidak akan terlepas dari lingkungan tempat karya tersebut dibuat. Karena itulah selain

mempelajari pengarang perlu pula dipelajari tempat dimana karya tersebut

diciptakan. Walaupun demikian dalam konteks penciptaan pencipta tak terikat kuat

dengan tempat ia berada, yang kuat mempengaruhinya justeru latar sosial yang

membentuk karakter dan pengalaman seorang pengarang. Tempat penciptaan ini

21

hanya berpengaruh pada suasana psikologis penciptaan yang memungkinkan rasa

tenang, kondusif atau tidak saat mencipta sebuah drama.

Penjelasan di atas merangkan bahwa tempat pencipaan sebuah karya sastera

dapat mempengaruhi struktur fikir secara subtansif pengarang. Hal ini bukan secara

konseptual karena penciptaan karya sastera bias saja dipengaruhi tujuan lain sesuai

kepentingan karya itu dibuat. Konsep penciptaan karya lebih dipengaruhi oleh

pengalaman dan tujuan penciptaan karya. Seniman bisa saja berkarya menembus

dimensi lain dari lingkungan tempatnya berada karena sifat sastera yang independent

tidak mungkin sasterawan dikungkung oleh aturan-aturan tertentu dalam berkarya hal

ini pula yang membuat analisis sastera melibatkan banyak sisi pandang keilmuan.

Meskipun analisis sastera dapat melibatkan berbagai sisi

keilmuan,sesungguhnya sastera dijembantani satu hal yang tak dapat dibantah karena

bagaimanapun bentuknya, karya sastera tetap lahir dari kontemplasi batin sasterawan

dalam menuangkan apa yang sedang dirasakannya. Berdasarkan pemikiran ini maka

dapat disimpulkan bahwa karya sastera drama tak akan terlepas dari empiris

dramawan yang melahirkan karya drama tersebut. Pengalaman batin yang dialami

dramawan akan mempengaruhi gaya sebuah karya drama baik dari sisi tematik

hingga kebahasaannya.

Sebagai karya ekspresif sastera terlahir sebagai ungkapan manusia

menghadapi lingkungannya. Sastera merupakan pengungkapan rasa seni melalui

22

media bahasa. Kenyataan demikian mengakibatkan ia terlepas dari lingkungan

tempat hidupnya seperti hukum Negara, agama dan adat. Walaupun sastera berdiri

dengan kelembagaannya sendiri dengan struktur etikanya sendiri pula namun

sasterawan tak dapat dilepaskan dari pengaruh social pengarangnya. Wellek dan

Warrent (1990: 111) menjelaskan penyebab hal ini sebagai kaitan dunia profesi

pengarang dengan latar ekonomi produksi karya sastera, ideologi si pengarang, yang

mengakibatkan pengarang terkait kepada hal diluar karangannya. Selanjutnya adalah

tujuan diciptakan karya sastera itu sendiri (yang akan terkait dengan realita sekitar

sang pengarang-pen) dimana karangan akan terlibat dengan latar sosial tempat ia

dikarang kemudian yang terakhir adalah dampak karanga terhadap lingkungan karya

itu dibuat.

Walupun sastera tidak dapat menjadi sumber sejarah namun sastera tidak

dipungkiri merupakan bagian dari perwakilan semangat suatu zaman. sastera menjadi

penggambaran situasi sosial zamannya, dalam hal ini istilah yang digunakan adalah

geighseges (Wellek dan Warent,1990: 147) istilah ini adalah penamaan terhadap

unsure sejarah dalam karya sastera sebagai perwakilan semangat zaman, setiap

periode manusia memiliki semangat zaman, Lovejoy dalam Wellek dan Warrant

(1990: 147) mengemukakan bahwa istilah ini adalah upaya Merekonstruksikan

semangat dari suatu zaman yang berbeda dari suatu zaman dari berbagai objektivasi

suatu zaman-mulai dari agamanya sampai tata busananya. Kita mencari totalitas

23

dibalik objek-objek dan menerangkan semua fakta berdasarkan semangat zamannya.

Sejalan dengan keterangan tersebut, Ian Watt (dalam Heru Kurniawan, 2012: 11)

menjelaskan bahwa, tiga klasifikasi (paradigm) dalam sosiologi sastera. Pertama,

konteks social pengarang; yang berhubungan dengan analisis posisi pengarang dalam

suatu masyarakat dan kaitannya dengan pembaca. Adapun analisis social ini meliputi

(a) bagaimana pengarang mendapatkan mata pencahariannya, (b) profesionalisme

dalam kepengarangan yang mencakup sejauh mana pengarang itu menganggap

pekerjaannya itu sebagai sebuah profesi; dan (c) masyarakat apa yang dituju

pengarang ini itni untuk menentukan bentuk dan isi karya sastera. Kedua, sastera

sastera sebagai cermin masyarakat, berkaitan dengan sejauh mana sastera dianggap

mencerminkan keadaan masyarakat. Konsep “cermin” tentu saja kabar karena

masyarakat sebenarnya tidak sama dengan masyarakat yang digambarkan dalam

karya sastra karena adanya intervensi pandangan dunia pengarang. Oleh karena itu,

cermin disini menjadi refleksivitas masyarakat yang digambarkan pengarang, bukan

berarti kenyataan dalam karya sastra sama dengan kenyataan dalam masyarakat.

Dengan demikian, sastra sebagai cermin Kemasyarakat berarti sastra merefleksikan

masyarakat atau merepresentasikan semangat zamannya. Ketiga, fungsi social sastra;

ini berkaitan dengan sampai sejauh mana nilai sastra berkaiyan dengan nilai social

dan sampai sejauh mana nilai sastra sampai dipengaruhi oleh nilai social. Dalam hal

ini sastra dipersepsi sebagai karya kanonik yang berfungsi sebagai pembaharu dan

24

perombak atau sastra harus mengajarkan sesuatu nilai secara menghibur. Muaranya

adalah, sastra disi lain dipengaruhi oleh nilai social, sastra juga mampu mengajarkan

nilai social yang baru pada masyarakat, yaitu berperan serta dalam proses terjadinya

perubahan sosial. (Watt, dalam Kurniawan, 2012: 11).

Berdasarkan pandangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa karya

sastera memiliki hubungan erat dengan masa penciptaannya. Karya sastera memiliki

relasi kuat dengan latar sosialnya serta tata nilai yang berada dalam masyarakat di

zamannya dengan demikian sebagai teks karya sastera memiliki keterkaitan erat

dengan konteks zamannya.

Selanjutnya Umar Junus menerangkan bahwa teori tentang pengaruh

sosiobudaya bertolak dari bantahan terhadap cara pandang pertentangan kelas Karll

Max, Teori ini, seperti yang dikembangkan oleh Taine, bertolak dari pandangan

bahwa sastera dapat dikesan dari dasar material sebuah masyarakat, yaitu ras, waktu

dan lingkungan. Ras dihubungkan dengan sifat kejiwaan yang turun temurun,

perasaan, bentuk tubuh, dan sebagainya. Waktu dihubungkan dengan jiwanya pada

suatu zaman, misalnya zaman pertengahan, dan lingkungan yang peling penting

dibatasi kepada keadaan cuaca dan geografi. (Junus 1986: 19).

Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa karya sastera akan

berhubungan dengan tiga aspek penting yakni sosiologi zaman, sosio budaya

masyarakat dan geografis. Walaupun demikian tidak semua karya sastera terlahir dari

25

struktur budaya yang sesuai dengan denga sosiologi tempatnya diciptakan demikan

juga tidak semua karya sastera terpengaruh oleh geografis lokasi dimana ia

diciptakan sebagaimana tidak pula semua karya sastera berkaitan dengan masa atau

zaman ia diciptakan. Ada kalanya karya sastera menembus batas ruang dan waktu

karena itulah pengarang menjadi hal penting untuk dipertimbangkan.

Karl Max yang berpandangan bahwa persoalan sosial berhubungan dengan

pertentangan antar kelompok masyarakat dalam kelas-kelas strata social berbeda.

Pandangan demikian membuat sastera dianggap sebagai refleksi perseteruan antar

kelompok masyarakat dari kelas-kelas social berbeda. Penjelasan Taine memberikan

keterangan bahwa persoalan sastera bukan semata-mata pertentangan antar kelompok

kelas social namun lebih kompleks dari hal tersebut.

Selanjutnya Atmazaki (2002: 51) berpendapat bahwa menyelami jiwa

penyair atau sastrawan, pada umumnya, para kritikus/peneliti menggunakan

pendekatan ekspresif, pendekatan yang menitikberatkan kajiannya kepada pengarang

(pencipta). Dengan pendekatan ini para kritkus/peneiti menganggap atau merasa

bertemu dengan si aku penyair (aku lirik), dan dalam prosa adalah si aku pengarang.

Selanjutnya Goddman (dalam Faruk 16 : 2005) berpendapat bahwa sastera

adalah produk interaksi antara subjek kolektif dengan lingkungan sekitarnya.

Pandangan ini memperkuat pendapat bahwa karya sastera bukan hanya sebuah

26

imajinasi saja melainkan berhubungan dengan realitas yang ada pada zamannya dan

sangat kuat dipengaruhi linkungan tempat terciptanya.

Beranjak dari pemikiran di atas maka kajian sastera secara ekspresif adalah

cara menerka apa yang dirasakan dan ingin disampaikan oleh sasterawanr melalui

karyanya. Karya sastera adalah curahan perasaan. Curahan perasaan ini dianggap

adalah ekspresi jiwa pengarang dalam menghadapi realitas yang menjadi

pengalamannya dalam proses terciptanya karya sastera yang diteliti.

C. Semiotika

Sebagai karya sastera yang menggunakan media bahasa drama secara

tekstual terkait pada ilmu linguistik. Keterkaitan ini disebabkan drama merupakan

cabang sastera tertulis yang menggunakan ilmu bahasa sebagai alat analisisnya

meskipun akhirnya analisis ini kerapkali mengungkap hal-hal diluar kesusasteraan

seperti sosiologi, psikologi dan sebagainya. Atas dasar itu pula hubungan teks sastera

drama dengan konteksnya diperlukan perangkat semiotik yang digunakan dalam ilmu

linguistik dalam mengungkap tanda dan penanda dalam teks drama.

Disiplin analisis sastera menempatkan linguistik sebagai bidang penting.

Linguistik sebagai ilmu yang mempelajari bahasa kaya akan perangkat analisis yang

mampu mengurai berbagai fenomena berbahasa yang menjadi kajian ilmu sastera.

Perangkat linguistik inilah alat utama sastera dalam menemukan berbagai teks-teks

tersembunyi sebagai ekspresi simbolik sasterawan. Salah satu perangkat linguistik

27

yang penting dalam analisis sastera adalah semiotik. Semiotik juga tidak dapat

berdiri sendiri, semiotik terkait dengan semantik pragmatik yang menadi dasar

analisis proses kajiannya. Analisis sastera baik secara sosiologi maupun psikologital

tak terlepas dari tafsiran terhadap teks. Oleh karena itu ilmu tafsir teks tetap menjadi

hal penting dalam mengungkap “misteri” ekspresi sasterawan, Berdasarkan

kenyataan tersebut karya seni yag menggunakan media bahasa, tak mungkin

dilepaskan dari perangkat-perangkat teori yang dimiliki linguistik meskipun akhirnya

ia akan berkolaborasi dengan perangkat analisis cabang ilmu lainnya sesuai konteks

kebutuhan tafsirnya.

Ilmu semiotik Moderen dikemukanan oleh Ferdinand De Seassure (Chaer

2007: 19). Pandangan De Seasussure beranjak pada anggapan bahwa sesuatu yang

static memiliki relasi singkronik dengan sesuatu yang lain. (Budiman, 2004: 37 )

pandangan demikan lebih mudah difahami bahwa visual yang ada akan memberikn

relasi kepada yang lain, selanjutnya sebuah teks memiliki relasi dengan konteksnya.

Budiman menjelaskan bahwa dikotomi yang pertama bersangkutan dengan perspektif

lingusitik itu sendiri sebagai sebuah disiplin keilmuan. Menurut pandangan De

seassure segala sesuatu yang berhubungan dengan sisi static sebuah ilmu adalah

singkronik. Linguistik dari perspektif singkroniknya, secara khusus memperhatikan

relasi-relasi logis dan psikologis yang memadukan terma-terma secara berbarengan

dan membentuk suatu sistim dalam pikiran kolektif. Analisis bahasa secara

28

singkronik ialah analisis bahasa sebagai sistim yang eksis pada suatu titik waktu

tertentu-yang seringkali berarti “saat ini” atau kontemporer dengan mengabaikan

route telah dilaluinya sehingga dapat berwujud seperti sekarang. Sebaliknya, segala

sesuatu yang bersangkutan dengan evolusi adalah diakronik. (Chaer 2007: 19).

Berdasarkan penjelasan tersebut analisis tanda dan penanda dari pandangan

De seassure mengarah kepada pandangan bahwa sign memiliki relasi dengan

signifiennya tanpa harus melalui serangkaian proses pemaknaan yang rumit. Bagi De

Seassure yang terpenting adalah sebuah tanda memiliki relasi terhadap penandanya

pada saat ia ditafsirkan dengan prinsip kekinian atau kontemporer. Berkaitan dengan

penggunaan pandangan De Seassure untuk memhami makna teks terkait relasinya

maka ada baiknya pandangan Chaer (2007: 289) mengenai hubungan makna leksikal

dan gramatikal dijadikan acuan. Chaer menyatakan makna leksikal adalah makna

yang memiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun. Misalnya pada

leksem kuda memiliki makna leksikal sebagai binatang berkaki empat sebagai yang

dapat dikendarai. Selanjutnya secara lugas chaer mendefenisikan makna leksikal

sebagai makna sebenarnya yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari atau leksem

umum yang tidak memiliki konteks gramatik baik diikuti oleh konteks atau tidak.

Selanjutnya Chaer memandang makna gramatikal akan muncul bila terjadi proses

afiksasi, kalimatisasi, reduplikatisasi dan komposisi. Sebagai contoh makna nasi

padang. Secara leksikal nasi Padang hanyalah dua kata yang direkat menjadi kalimat

29

yang bermakna nasi sebagai benda yang di tanak berasal dari beras dan Padang

yakni sebuah kota di Sumatera Barat. Walaupun secara leksikal nasi padang tak dapat

dimaknai karena tidak memiliki koherensi antara keduanya yakni nasi (benda) dan

Padang (tempat) namun secara gramtikal ia akan membentuk maka nasi berasal dari

Padang secara gramatikal akan tergambar nasi dengan lauk yang serba pedas.

Selanjutnya untuk lebih memahami hubungan makna leksikal dan gamatikal

Chaer (2007: 290) menjelaskan persoalan teks-teks leksikal yang dihubungkan oleh

makna kontekstual. Makna kontekstual menurut Chaer adalah leksem yang berada

dalam satu konteks. Dalam memahami makna kontekstual ini perlu pula difahami

bahwa konteks sebuah leksem terkait pada referensi leksem kepada leksem-leksem

yang lain. Chaer menjelaskan bahwa makna referensial adalah leksem yang muncul

dengan eksistensi acuan sedangkan makna non referensial menurutnya adalah leksem

yang muncul tanpa acuan referensi. Kajian leksem secara gramatik juga melibatkan

sisi konotatif dan denotatif, chaer menjelaskan makna konotatif adalah makna asli

atau makna leksikal sebuah leksem, sedangkan makna denotative adalah makna lain

yang ditambahkan pada leksem.

Selanjutnya makna konseptual dan asosiatif, Lech dalam Chaer (2007: 292)

menjelaskan bahwa makna kontekstual adalah makna sebuah leksem yang terlepas

dari konteks apapun sedangkan makna assosiatif adalah pemaknaan leksem sebagai

sesuatu yang berhubungan dengan hal diluar kata itu. Sebagai contoh kata Melati

30

berasosiasi dengan hal yang suci, kata buaya berasosiasi dengan sesuatu yang jahat.

Sifat pemaknaan lain menurut Chaer adalah, kata dan istilah, Chaer

menjelaskan bahwa kata adalah makna leksem yang bersifat umum sedangkan makna

istilah adalah pemaknaan leksem yang sudah berada pada posisi tidak meragukan

lagi. Makna istilah hanya dipakai di kalangan tertuntu saja. Misalnya dunia keilmuan,

kelompok-kelompok tertentu atau lembaga-lembaga institusi tertentu. Terakhir Chaer

menjelaskan idiom dan peribahasa yang mana idiom adalah suatu ujaran bermakna

tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya baik secara leksikal maupun

gramatikal, sedangkan peribahasa adalah leksem yang maknanya dapat ditelusuri dari

makna unsur-unsurnya karena adanya assosiasi dari makna aslinya dengan maknanya

sebagai peribahasa. Perangkat analisis makna secara semantik seperti dijelaskan

Chaer (2007 :298-240) adalah sebagai berikut,

1. Sinonim

Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan

makna antara satu ujaran dengan ujaran lainnya. Sebagai contoh kata mamam dengan

makan. Kata haus dengan dahaga.

2. Antonim

31

Antonim adalah hubungan semantik yang menyatakan perlawanan wakna

antara satu ujaran dengan ujaran lainnya, sebagai contoh, sayang dengan benci, maju

dengan mundur, siang dengan malam.

3.Polisemi

Polisemi adalah kegandaan makna dalam sebuah kata, sebagai contoh

malam sebagai ungkapan terhadap suasana gelap saat tenggelamnya matahari dengan

malam yang dimaksudkan dengan lilin. Malam juga bisa dianggap sebagai ungkapan

pernyataan berakhirnya hidup misalnya dalam kalimat masa depan orang yang

berumur 56 adalah senja menjelang malam. Contoh lain adalah kabur sebagai

ungkapan tidak terlihat jelas dengan kabur yang menyatakan perbuatan melarikan

diri, kata kabur dapat juga bermakna tidak berujung pangkal seperti pada kalimat

ucapanmu kabur.

4.Homonim

Homonim adalah ujaran yang sama dengan makna ganda, contohnya bisa

untuk ungkapan racun ular dan bisa untuk ungkapan dapat melakukan. Pacar untuk

inai dan pacar untuk teman dekat dikalangan remaja.

5.Hiponim

Hiponim adalah ujaran yang memiliki makna cakupan terhadap makna lain

32

sebagai contoh adalah burung yang mencakup merpati, balam, punai, enggang, dan

sebagainya. Contoh lain adalah ujaran pelajar yang mencakup siswa SD, SMP dan

SLTA.

6.Ambiguitas

Ambiguitas adalah gejala kegandaan makna yang mengakibatkan perbedaan

tafsiran. Sebagai contoh adalah kalimat kematian mengintai di lorong waktu. Kalimat

ini membuat tafsiran beragam, apakah kematian yang berarti hilangnya nyawa

seseorang saat waktu ajalnya tiba, atau kematian berarti asa atau semangat hidup

yang berangsur-angsur hilang, dapat pula matinya karier seseorang karena tak ada

potensi diri yang dapat dikembangkan lagi. Ambiguitas biasa digunakan penyair

dalam ekspresi puitik demi mencapai nilai estetika bahasa.

7.Redunansi

Redunansi adalah kelebihan segmentasi ujaran. Sebagai contoh adalah

ujaran sebaiknya aku melangkah pergi tak akan berbeda dengan ujaran sebaiknya aku

pergi. Ujaran hentikan perbuatan menutup diri dengan hentkan menutup diri tak akan

berbeda maknanya.

Selain secara semantik untuk melakukan analisis makna teks yang

berhubungan dengan konteksnya perlu pula dilakukan analisa secara pragmatik.

33

Morris dalam Yusrizal (2012: 19) menjelaskan pragmatik sebagai suatu proses

semiotik yang berfungsi sebagai tanda atau simbol yang mempunyai empat bagian

yaitu: a sign vehicle, designatum, interpretant, and interpreter. A sign vehicle adalah

tanda, lambang, simbol, dan lain-lain yang bertindak sebagai tanda (sign),

designatum adalah informasi tentang tanda tersebut yang merujuk kepada apa atau

siapa. Interpretant adalah akibat atau dampak yang ditimbulkan oleh tanda tersebut.

Sedangkan interpreter adalah individu atau institusi yang menerima akibat atau

dampak dari tanda tersebut. Berdasarkan uraian di atas, pragmatik adalah mengkaji

bagaimana interpreter berpartisipasi dalam menentukan designatum

(pengkonstruksian interpretant dari tanda-tanda yang digunakan).

Selanjutnya Djajasudarma (2012: 83) mengemukakan bahwa berbagai segi

pragmatik meliputi persoalan bahasa menyangkut unsur bahasa dengan konteks. Hal

yang diliputi oleh pragmatik adalah 1. Interpretasi (semantik) dan penggunaan

tuturan bergantung pada realitas dunia; 2. penggunaan dan pemahaman tindak ujar

(speech acts); dan 3. pengaruh struktur kalimat karena hubungan penyapa-pesapa

,pragmatik berhubungan erat dengan semantik, tetapi dapat pula bersifat kontras

dalam hubungan makna (semantik) tanpa acuan (abstrak). Dengan demikian, bila kita

memahami semantik (makna) dalam komunikasi pada saat bahasa digunakan-

pragmatik) bahasa difahami secara komunikatif. Makna melibatkan tidak hanya

sekedar interpretasi semantik sebuah tuturan, kitaharus memahami konteks secara

34

keseluruhan. (Palmer, 1981; Leech,1983; Levinson,1983, Djajasudanna; 2002,

Djajasudarma 2012: 83)

Penjelasan di atas menerangkan pemahaman persoalan semantik belumlah

dapat dijadikan dasar pemahaman teks dan konteks sebuah wacana sebagai tuturan

yang bersifat ekspresif. Tuturan sastrawan drama mestilah dipahami pula secara

pragmatik berkaitan dengan ini secara semantik komunukasi Cruse (2004) dalam

Djayasudarma (2012 : 84) menjelaskan tiga unsure komunikasi yaitu, (1). Sender`s

meaning atau pesan yang dimaksud oleh pengirim(2). Receiver`s meaning atau

makna penerima, yang menduga dan menyimpulkan makna tersebut. (3) Sign

meaning atau makna tanda yakni struktur simbolik yang menjadi media penyampaian

makna tersebut. Dengan demikian penafsiran semantik komunkasi lebih ditikberatkan

kepada bagaimana makna itu hadir, dari siapa makna itu dating, siapa yang

memaknainya dan bagaimana struktur baku tanda tersebut.

Pada bagian lain Djajasudarma menjelaskan bahwa semantik dikategorikan

atas tiga tataran yakni (1) makna kalimat (sentence meaning) (2). Makna pernyataan

(statement) dan (3). Makna ujaran (utterance meaning). Dalam hal ini kalimat adalah

unit gamatika yang merupakan untaian kata-kata dengan tipe tertentu, bentuk apiknya

ditandai dengan gramatika bahasa. Pernyataan ini menyangkut bahasa sebagai

sitruktur baku yang dapat dimaknai dengan susunan yang tepat. Bila sebuah kalimat

35

disusun dengan susunan kata-kata berbeda maka akan berubah maknanya bahkan

dapat tak bermakna sama sekali.

Secara tegas Djayasudarma berpendapat bahwa dalam ranah semantik-

pragmatik untuk kajian bidang ilmu linguistic pendekatan pragmatik digunakan

mempertimbangkan bahasa melalui konteksnya pada saat bahasa digunakan. Jenis

konteks ini adalah fisik, epistemic, linguistic, dan sosial (Djayasudarma 2012; 95).

Sehubungan dengan penjelasan di atas pada konteks ini, penelitian teks yang bersifat

ekpresif berada pada ranah konteks sosial atau pragmatik tuturan teks yang

menyangkut ekspresi pengarang dalam menyaksikan realita yang terjadi pada sebuah

masa dihadapannya. Untuk itu dalam hal ini penekanan penelitian mengarah pada

analisis makna teks terhadap konteks social tuturan pengarang menyaksikan situasi

sebuah tempat pada sebuah masa tertentu disini adalah ini Aceh pada masa

diberlakukakannya Darurat Militer oleh TNI disaat konflik NKRI dan GAM. Pilihan

analisis teks yang demikian akan memberikan ruang untuk menafsir teks bahasa

kedalam tafsiran kontekstasi sosial. Dengan cara ini dapat pula diungkap sisi

emosional, Latar budaya dan pandangan seni si pengarang.

Selanjutnya untuk memperjelas hubungan simbolis teks dengan

pengarangnya. secara simbolik. Teks naskah drama Jambo dianggap sebagai tuturan

dari seseorang (pengarang) dalam mengkomunikasikan persoalan yang dilihatnya.

Kajian ini akan menjelaskan hubungan yang kuat antara karya sastera dengan

36

ekspresi penuturnya. Dalam memahami hubungan teks dengan masyarakatnya

dipelajari tiga hal, pertama setting tempat, kedua seting waktu dan sosio budaya

pendukung teks yang sedang dipelajari.

Selanjutnya Menurut Djajasudarma dalam Yusrizal (2012: 20) kajian

pragmatik mencakup studi interaksi antara pengetahuan kebahasaan dan dasar

pengetahuan tentang dunia yang dimiliki oleh pendengar atau lawan bicara. Studi ini

melibatkan unsur interpretatif yang mengarah pada studi tentang keseluruhan

pengetahuan dan keyakinan akan konteks. Kajian ini melihat hubungan antara bahasa

dan konteks yang mendasari penjelasan bahasa. Hal ini berarti, bahwa untuk mengerti

suatu ungkapan atau ujaran diperlukan pengetahuan di luar makna kata dan hubungan

tata bahasanya, yakni hubungan dengan konteks pemakaiannya. Pragmatik adalah

kajian linguistik yang melibatkan pertimbangan-pertimbangan kontekstual yang

secara khusus masuk dalam wilayah kajian bahasa. Dengan pemahaman di atas maka

dapatlah disimpulkan kajian pragmatik mengkaji hal-hal diluar teks yang meberikan

interpretasi makna terhadap teks. Hubungan relasi secara pragmatik, semantik dan

sintaksis.

Berdasarkan penejelasan di atas pragmatik merupakan sisi terluar lingkaran

makna yang didalamnya terdapat sintaks dan semantik. Pragmatik adalah pemaknaan

tuturan secara leksikal atau gramatikal tergantung referen yang mengikutinya artinya

kajian semiotik yang melibatkan tafsiran teks dengan tujuan menemukan makna-

37

makna simbolis yang ada dalam teks adalah kajian yang melibatkan sisi-sisi semantik

sekaligus sintaks dengan tidak melupakan penanda-penanda lepas dalam wacana baik

berupa klausa maupun sintaksnya. Berkaitan dengan analisis sastera kajian ini teks

dihubungkan dengan konteks dengan tiga unsure (1) semantik, (2) Sintaktik, (3)

Pragmatik. (Djayasudarma, 2012 : 35) selanjutnya kajian ini dinamakan dengan

semiologi yang oleh Bearthes dikatakan sebagai ilmu yang mencakup semua system

tanda, apapun substansi batas-batasnya: gambar, gerak isyarat, suara musik, objek,

dan asosiasi kompleks dari semua yang membentuk isi ritual, konvensi atau hiburan

publik: semuanya mengkonstitusikan, jika bukan bahasa (langue), minimal sistim

signifikasi.(Bearthes, 2012: 17). Dengan demikian semiotik adalah perkembangan

dari ilmu telaah makna bahasa dimana penanda dianggap berada di semua bidang

komunikasi hingga wilayah yang lebih luas.

Meskipun semiotik memberikan ruang yang lebih luas dalam memberikan

makna bahasa sampai pada bunyi, rupa dan gerak namun semiotika tak dapat bekerja

tanpa elemen-elemen linguistic konvensional. Elemen-elemen kebahasaan yang

mampu menguak hubungan tanda dengan penandanya berupa semantik dan

pragmatik digunakan semiotik untuk memahami hubungan antara tanda dan

penandanya sementara untuk wacana berbentuk kalimat telaah sintakmatik menjadi

penting dalam analisis semiotik. Berdasarkan kenyataan tersebut sebuah analisis teks

yang bersifat wacana tetap tergantung pada tiga unsure utama analisis yakni

38

semantik, sintakmatik dan pragmatik sedangkan hubungan teks secara intrinsic

dengan sisi ekstrinsik lebih mengacu pada fenoma-fenomena pendukung yang

bersifat peristiwa atau penanda-penanda budaya (semangat zaman sebuah karya).

Keterangan lugas tentang perkembangan ilmu semiologi dijelaskan

Djayasudarma (2012: 35) bahwa teori tanda dikembangkan perre pada abad ke-18

yang kemudian dipertegas Odgen dan Richard tahun 1923 dimana elemen tanda yang

menjadi perhatian pada masa mereka adalah semantik, sintaktik dan pragmatik.

Dengan demikian jelaslah semiotika modern yang kita kenal sekarang tetap beranjak

dari elemen utama linguistik yakni semantik. Dalam hal ini semantik meiliki

perangkat-perangkat yang berguna menjelaskan relasi antar makna. Salah satunya

adalah relasi ambiguitas. Relasi ambiguitas merupakan bagian dari aneka jenis relasi

teks dan konteknya dalam kajian semantik. Relasi ambiguitas yang kerap ditemukan

dalam karya sastera ini menjadi misteri yang harus dipecahkan dengan

menghubungkan teks dengan situasi pengarang, tempat dan waktu karya diciptakan.

Sehubungan dengan hal ini semantik dapat melibatkan semiotik teks sebagai

perangkat kajiannya.

Selanjutnya Bearthes dalam Cristomy dan Yuwono (59 : tanpa tahun)

menjelaskan bahwa semiotik teks tidak terlepas dari isi (E) dan konten (C) dengan

demikian teks adalah sesuatu yang maujud sebagai aspek kebahasaan, maujud

sebagai kaidah-kaidah tekstual dan sebagai bagian dari kebudayaan. Dengan

39

pemahaman ini maka telaah sosiologi karya, sosiologi pengarang dan sosiologi

rempat dan waktu menjadi hal penting untuk dipertimbangkan dalam memahami

hubungan teks dan konteks sebuah karya sastra. Dalam usaha menemukan konteks

tersebut terdapat perangkat pendukung yang tidak hanya berlaku pada penanda teks

bahkan berlaku ke penanda peristiwa atau benda, penanda tersebut terbagi atas tiga

tingkat yakni indeks atau penanda degan hubungan sebab akibat, ikon penanda yang

menjelaskan keberadaan sesuatu secara eksistensi dan simbol yaitu penanda yang

menjadi kesepakatan dalam pemaknaannya (Pierce dalam Cristomy, 2003: 29-33).

D. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan adalah penelitian sebelumnya

yang memiliki keterkaitan dengan objek yang sedang diteliti. Penelitian ini memiliki

korelasi dengan penelitian sebelumnya yang meneliti karya-karya Sulaimain yakni

Tesis Tri Aji Purnomo berjudul Pertunjukan Hikayat Cantoi, Kajian Politik di Aceh

1989-2005, Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2010. Penelitan ini membahas

teks-teks panggung pertunjukan drama “Cantoi” karya Sulaiman berkaitan dengan

situasi politik Aceh pada tahun 1989-2010, penelitian ini menemukan hubungan teks-

teks panggung petunjukan drama “cantoi” karya Sulaiman dengan situasi politik

Aceh pada masa konflik NKRI-GAM. Walaupun seting Aceh yang menjadi latar

sosisl pertunjukan ini pada kurun waktu yang sama, isu dan objek juga berakar dari

wacana yang sama penelitian ini sangat berbeda, peneliian Tri Purnomo Adji adalah

40

penelitian teks panggung sedangkan penelitian “Drama `Cantoi` teks dan konteks

adalah penelitian yang meneliti drama “Cantoi” dari sisi struktur naskah dramanya.

Selain itu penelitian ini lebih menekankan makna tuturan yang ada dalam drama

“Cantoi” dengan menjadikan pengarangnya sebagai referen penutur sedangkan

penelitian Tri Purnomo Adji menekankan kepada konflik sosial Aceh sebagai acuan

refern pemaknaan teks-teks panggung yang ditelitinya.

Berdasarkan pemeriksaan terhadap penelitian relevan tersebut maka dapat

diketahui bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian

sebelumnya membahas sisi lain dari karya Sulaiman maka penelitian ini dapat

dianggap sebagai baru pertama kali dilakukan.

E. Kerangka Pemikiran

Dasar pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah tiga sisi pandang

dalam melihat hubungan teks drama dengan konteksnya, tiga sisi pandang tersebut

adalah kajian secara simbolik berkaitan dengan struktur simbol pembangun teks,

kajian secara empirik yang berkaitan dengan struktur simbol secara pragmatik dan

kajian secara sosiologi yang berkaitan struktur simbol terhadap sosial masyarakat

pada waktu tertentu disebuah tempat tertentu. Pemikiran ini didasarkan kepada

pandangan bahwa drama adalah susunan simbol yang bertujuan membangun sebuah

kesatuan tematik dengan tujuan menyampaikan pesan tertentu. Pandangan ini

41

menjadi dasar menuju pendekatan teoritis linguistik yang berkaitan dengan

pemaknaan lambang dan penanda dalam teks. Mengurai teks adalah proses

menemukan elemen lambang dan penanda yang membagunnya dengan tujuan

menemukan konteks dari penanda-penanda tersebut berkaitan dengan teks diluar

naskah yang diteliti. Secara sederhana hal ini dapat digambarkan dengan illustrasi

berikut,

(Wiko Antoni, 2013: 54)

41

menjadi dasar menuju pendekatan teoritis linguistik yang berkaitan dengan

pemaknaan lambang dan penanda dalam teks. Mengurai teks adalah proses

menemukan elemen lambang dan penanda yang membagunnya dengan tujuan

menemukan konteks dari penanda-penanda tersebut berkaitan dengan teks diluar

naskah yang diteliti. Secara sederhana hal ini dapat digambarkan dengan illustrasi

berikut,

(Wiko Antoni, 2013: 54)

41

menjadi dasar menuju pendekatan teoritis linguistik yang berkaitan dengan

pemaknaan lambang dan penanda dalam teks. Mengurai teks adalah proses

menemukan elemen lambang dan penanda yang membagunnya dengan tujuan

menemukan konteks dari penanda-penanda tersebut berkaitan dengan teks diluar

naskah yang diteliti. Secara sederhana hal ini dapat digambarkan dengan illustrasi

berikut,

(Wiko Antoni, 2013: 54)

surian 1
Pencil
surian 1
Pencil