138
Semata-mata Keadilan Visi Perdamaian Seorang Kristen Palestina

Semata-mata Keadilan

Embed Size (px)

Citation preview

Semata-mata Keadilan

Visi Perdamaian Seorang Kristen Palestina

Kutipan Pasal 72:Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Hak Cipta (UU No. 19 Tahun 2002)

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana den-gan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau men-jual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Tentang Penulis

Doktor Naim Stifan Ateek adalah pendiri dan ketua Sabeel Ecumenical Liberation Theology

Center, sebuah pusat teologi ekumenis di Yerusalem yang didirikan untuk berjuang demi kemerdekaan Palestina.

Ia dilahirkan di Beisan (Beth Shean) dan baru berusia 11 tahun ketika kaum Zionis men-duduki kotanya pada tanggal 12 Mei 1948. Dua

hari ke mu dian Negara Israel diproklamasikan dan empat belas hari kemudian Beisan harus dikosongkan. Ia dan keluarganya di pindah-kan secara paksa ke Nazaret, yang kemudian juga dikuasai tentara Yahudi pada tanggal 19 Juli 1948.

Pada tahun 1959, ia meninggalkan Nazaret menuju Amerika Se-rikat untuk mengambil gelar sarjana dan menjadi seorang pendeta. Enam tahun kemudian ia diwisuda, lalu kembali ke Nazaret untuk ditahbiskan dan memulai pelayanan di tengah bangsanya. Ia meng-ajar di Nazareth Baptist dan banyak memberi kuliah baik di dalam maupun di luar negeri.

Ia menyadari diri sebagai seorang Arab, Palestina, Kristen, rohaniwan Anglikan, sekaligus warga dari Negara Israel. Ia me-rupakan orang pertama yang menyam pai kan ide tentang teologi pembebasan Palestina dalam bukunya, Semata-mata Keadilan. Buku ini meletakkan dasar bagi suatu teologi yang ditujukan bagi konfl ik Palestina serta mengungkap berbagai dimensi secara politis, biblis, dan teologis. Buku lain tentang konfl ik Palestina yang ditulisnya adalah A Palestinian Christian Cry for Reconciliation.

Bibliografi 259

Stotts, Jack L. Shalom: The Search for a Peaceable City. Nashville, Tenn.: Abingdon, 1973.

Talal, Hassan bin. Palestinian Self-Determination. New York: Quarter Book, 1981.

Tibawi, A. L. British Interests in Palestine, 1800–1901. Oxford: Oxford University Press, 1961.

Tillich, Paul. Systematic Theology, vol. 3. Chicago: University of Chicago Press, 1963.

Torre, Sergio dan John Eagleson. The Challenge of Basic Christian Communities. Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1981.

Trimingham, J. Spencer. Christianity Among the Arabs in Pre-Islamic Times. London & New York: Longman Librairie du Liban, 1979.

van Buren, Paul M. A Christian Theology of the People Israel. New York: Seabury, 1983.

----------. Discerning the Way. New York: Seabury, 1980.----------. ”Discerning the Way to the Incarnation”. Anglican Theology

Review, 63 (Juli 1981).van der Post, Laurens. Venture to the Interior. New York: William Morrow,

1951.von Rad, Gerhard. Old Testament Theology, vol. 2. New York: Harper &

Row, 1965.Ware, Timothy. The Orthodox Church. Harmondsworth, U.K.: Penguin,

1964.Wilson, Evan M. Jerusalem, Key to Peace. Washington, D.C.: Middle East

Institute, 1970.Wright, G. Ernest. The Old Testament against Its Environment. London:

SCM, 1962.Yoder, John. The Politics of Jesus. Grand Rapids, Mich.: Eerdmans,

1972.Yohanes XIII, Paus. Pacem in Terris. New York: Paulist, 1963.Zahn, Gordon Z., ed. Thomas Merton on Peace. New York: McCall, 1971.Zureik, Elia T. The Palestinians in Israel. London: Routledge and Kegan

Paul, 1979.

Semata-mata keadilan

Visi Perdamaian Seorang Kristen

Palestina

Naim Stifan Ateek

Kata Pengantar oleh Rosemary Radford Ruether

Semata-mata Keadilan:Visi Perdamaian Seorang Kristen Palestina

Judul asli: Justice and Only Justice: A Palestinian Theology of Liberation

Copyright © 1989 by Naim Stifan AteekThis translation is published by arrangement with Orbis Books, Walsh Building, P.O. Box 308 Maryknoll, New York 10545. All right reserved.

Hak Cipta Terjemahan Indonesia oleh PT BPK Gunung Mulia, Jl. Kwitang 22-23, Jakarta 10420E-mail: [email protected]; Website: www.bpkgm.comAnggota IKAPIHak Cipta dilindungi Undang-undangCetakan ke-1: 2009

Penyunting: Steve Gaspersz, Nino Oktorino, Eko Y.A. FangohoyTata Letak: PanjibudiDesain Sampul: Hendry

Katalog dalam Terbitan (KDT)

Ateek, Naim StifanSemata-mata keadilan: visi perdamaian seorang Kristen Palestina / oleh Naim Stifan Ateek; diterjemahkan oleh Williams Bill Mailoa - Cet. 1. – Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009xvi + 260 hlm. ; 14,5 x 21 cm1. Konfl ik Israel-Palestina 2. Politik dan Keadilan 3. Teologi PembebasanI. Judul II. Williams Bill Mailoa261

ISBN 978-979-687-624-2

258 Semata-mata Keadilan

Peretz, Don. Israel and the Palestine Arabs. Washington, D.C.: Middle East Institute, 1958.

Pritchard, James B., ed. Ancient Near Eastern Texts. Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1950.

Rawls, John. A Theory of Justice. Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1971.

The Reader’s Digest Treasury of Modern Quotations. New York: Crowell, 1975.

Renan, Ernest. The Life of Jesus. New York: Modern Library, 1927.Roberts, J. Deotis. Liberation and Reconciliation: A Black Theology.

Philadelphia: Westminster, 1971.Rondot, Pierre. The Changing Patterns of the Middle East. Diterjemahkan

oleh Mary Dilke. London: Chatto and Windus, 1961.Rose, Norman A. The Gentile Zionists: A Study in Anglo-Zionist Diplomacy,

1929–1939. London: Frank Cass, 1973.Rowley, H. H., ed. Studies in Old Testament Prophecy. Edinburgh: T & T

Clark, 1950.Rubenberg, Cheryl. The Palestine Liberation Organization: Its Institutional

Infrastructure. Belmont, Mass.: Institut of Arab Studies, 1983.Ruether, Rosemary Radford. Faith and Fratricide. New York: Seabury,

1974.Runciman, Steven. ”The Christian Arabs of Palestine”. Materi yang

disampaikan dalam the Second Carreras Arab Lecture, University of Essex. Essex, U.K., 26 November 1968.

Said, Edward. The Question of Palestine. New York: Random House/Vintage, 1980.

Sayegh, Fayes A., John Coventry Smith, Yehoshafat Harkabi, dan Elizabeth Monroe. Time Bomb in the Middle East. New York: Friendship, 1969.

Shae, John. Stories of God: An Unauthorized Biography. Chicago: Thomas More, 1978.

Shehadeh, Raja. Occupier’s Law: Israel and the West Bank. Washington, D.C.: Institute for Palestine Studies, 1985.

Shipler, David. Arab and Jew. New York: Times Books, 1985.Shorris, Earl. Jews without Mercy. New York: Anchor, 1982.Sidorsky, David, ed., Essays on Human Rights in Contemporary Issues

and Jewish Perspectives. Philadelphia: Jewish Publication Society of America, 1979.

Stendahl, Krister. ”Toward a New Generation”. Materi yang disampaikan pada Consultation on the Church and Jewish People. London, 22 Juni 1981.

Bibliografi 257

Lilienthal, Alfred M. The Zionist Connection: What Price Peace? New York: Dodd, Mead, 1978.

Limburg, James. The Prophets and the Powerless. Atlanta: John Knox, 1977.

Locke, John. Two Treatises of Government. Thomas I. Cook, ed. New York: Hafner, 1973.

Logan, Willis., ed. The Kairos Covenant. New York: Friendship Press, 1988.

Lowenthal, Marvin., ed. The Diaries of Theodor Herzl. New York: Dial, 1956.

Lustick, Ian. Arabs in the Jewish State. Austin: University of Texas Press, 1980.

Macquarrie, John. The Concept of Peace. New York: Harper & Row, 1973.Mallison, N. T. Jr., dan S. V. Mallison, ”The Role of International Law

in Achieving Justice and Peace in Palestine-Israel”. Materi yang dipresentasikan pada Conference on Human Rights in Palestina dalam World Conference of Christian for Palestine. Jenewa, 11–14 Januari 1974.

Mays, James Luther. Micah. Philadelphia: Westminster, 1976.Menuhin, Moshe. The Decadence of Judaism in Our Time. New York:

Exposition, 1965.Merton, Thomas. ”Pacem in Terris” dalam ”... Therefore Choose Life”. Santa

Barbara, Calif.: Center for the Study of Democratic Institutions, 1965.

Moltmann, Jurgen. The Church in the Power of the Spirit. New York: Harper & Row, 1977.

Naayem, Joseph. Shall This Nation Die? New York: Chaldean Rescue, 1921.

National Council of Churches of Christ di Amerika Serikat. Middle East Policy Statement. New York: 1980.

Neill, Stephen. Christian Missions. Harmondsword, U.K.: Penguin, 1964.Niebuhr, Reinhold. Moral Man and Immoral Society. New York: Scribners,

1960.----------. Pious and Secular America. New York: Scribners, 1958.----------. Prayers for Peace. Mount Vernon, N.Y.: Peter Pauper Press,

1962.Nielsen, Jorgen S., gen. ed. International Documents on Palestine, 1974.

Beirut: Institute for Palestine Studies, 1977.----------., gen. ed. International Documents on Palestine, 1975. Beirut:

Institute for Palestine Studies, 1977.

Buku ini dipersembahkan

untuk mengenang ayah dan ibuku,Stifan dan Nevart Ateek

yang menanamkan iman terhadap Allah dan rasa keadilan dalam diri anak-anaknya

untuk mengenang saudaraku, Michael

dan untuk menghormati saudaraku, Saleem

serta para saudariku, Hanneh, Hilda, Huda, Neda, Fida, Naomi, dan Selma

Daftar Isi

PENGANTAR .................................................................. xi

UCAPAN TERIMA KASIH ................................................ xv

PENDAHULUAN: BERBAGAI DIMENSI KONFLIK .............. 1Pandangan Keagamaan....................................................... 1Statistik dan Terminologi .................................................... 4Mengapa Teologi Pembebasan bagi Orang Kristen Palestina? 6

1. PERJUMPAAN ............................................................ 9Pengalaman Pertama dengan Israel..................................... 9Hancurnya Stereotip—Siapa Saya? ..................................... 16

2. SEBUAH ARENA PERSELISIHAN: LATAR BELAKANG POLITIS-HISTORIS .............. 23Anti-Semitisme Modern ...................................................... 26Munculnya Nasionalisme .................................................... 26Emansipasi Yahudi ............................................................. 27Kolonialisme ....................................................................... 28Sebuah Bangsa Tanpa Negara ............................................ 29Kemajuan Zionis, Perlawanan Arab..................................... 35Pembagian Wilayah dan Kepanikan .................................... 37Mereka yang Tetap Tinggal: Orang Arab Palestina di Israel.. .............................................................. 39Intifada: Pemberontakan ..................................................... 53

3. MENJADI ORANG PALESTINA DAN ORANG KRISTEN DI ISRAEL ..................... 59Tubuh Kristus yang Terpecah ............................................. 59Akar-Akar Kristen di Palestina ............................................ 62Suara Gereja ...................................................................... 67Politisasi Orang Arab di Israel ............................................. 70Menyatakan Kebenaran Tanpa Rasa Takut ......................... 71Kaum Zionis Kristen ........................................................... 72

256 Semata-mata Keadilan

Haim, Sylvia G. Arab Nationalism: An Anthology. Berkeley: University of California Press, 1976.

Halsell, Grace. Journey to Jerusalem. New York: Macmillan, 1981.----------. Prophecy and Politics. Westport, Conn.: Lawrence Hill, 1986.Heschel, Abraham J. The Prophets. New York: Harper & Row, 1962.Hillesum, Etty. An Interrupted Life: The Diaries of Etty Hillesum, 1941–

1943. New York: Pocket, 1985.Hobbes, Thomas. Leviathan. Diedit oleh Michael Oakeshott. New York:

Crowell-Collier, 1962.Hodder, Edwin. The Life and Work of the Seventh Earl of Shaftesbury, K. G.

London: Cassell, 1887.Holland, Joe dan Peter Henriot. Social Analysis: Linking Faith and Justice.

Washington, D.C.: Center of Concern, 1980.Isaacs, Stephen D. Jews and American Politics. New York: Doubleday,

1974.Jaeger, David-Maria A., ed. Papers Read at the 1979 Tantur Conference on

Christianity in the Holy Land. Yerusalem: Franciscan Printing Press, 1981.

Jansen, G. H. Militant Islam. London: Pan, 1979.Jiryis Sabri. The Arabs in Israel. New York: Monthly Review, 1976.Johnson, Howard A. Global Odyssey. London: Geoffrey, 1963.Kahane, Rabbi Meir. They Must Go. New York: Grosset an Dunlap, 1981.Kanana, Sharif. Ataghyeer Al-ijima’i wa-tawafuq Annafsi’ind Assukan

Al’arab fi Israil [Socio-Cultural and Psychological Adjustment of the Arab Minority in Israel]. Birzeit University, 1978.

Kee, Alistair., ed. A Reader in Political Theology. Philadelphia: Westminster, 1974.

Kin, David., ed. Dictionary of American Maxims. New York: Philosophical Library, 1955.

Kipling, Rudyard. Sixty Poems. London: Hodder & Stoughton, 1976.Kissinger, Henry. ”Years of Upheaval”. Time, 1 Maret 1982, 30–56.Kittel, Gerhard, ed. Theological Dictionary of the New Testament. Vol. 2.

Grand Rapids, Mic.: Eerdmans, 1964.Koestler, Arthur. The Thirteen Tribes. New York: Random House, 1976.Laquer, Walter., ed. The Israel-Arab Reader. London: Lowe & Brydone,

1969.Laqueur, Walter dan Barry Rubin., ed., The Human Rights Reader. New

York: Meridian, 1979.Lewy, Guenter. Religion and Revolution. New York: Oxford University

Press, 1974.

Bibliografi 255

Comblin, José. The Church and the National Security State. Maryknoll, N.Y.: Orbis, 1979.

Coote, Robert B. Amos among the Prophets. Philadelphia: Fortress, 1981Cullmann, Oscar. Jesus and the Revolutionaries. Diterjemahkan oleh

Gareth Putnam. New York: Harper & Row, 1970.Davies, J. G. Christians, Politics and Violent Revolutions. Maryknoll, N.Y.:

Orbis, 1976.Davies, W. D. The Gospel and The Land. Berkeley: University of California

Press, 1974.Davis, Uri. Israel: An Apartheid State. London dan New Jersey: Zed Books,

1987.Dimont, Max I. Jews, God and History. New York: Signet, 1962.Dodd, C. H. dan M. E. Sales, Israel and the Arabs. London: Routledge and

Kegan Paul, 1970.Dodd, Charles Harold. The Meaning of Paul for Today. New York: Meridian,

1957.Donelly, Lewis., ed. Justice First. London: Sheed and Ward, 1969.Ellis, Marc. Toward a Jewish Theology of Liberation. Maryknoll, N.Y.:

Orbis, 1987.Elon, Amos. Herzel. New York: Holt, Rinehart, and Winston, 1975.Epstein, Isidore. Judaism. Harmondsworth, U.K.: Penguin, 1977.Ferguson, John. War and Peace in the World’s Religions. London: Sheldon,

1977.Feuerlicht, Roberta Strauss. The Fate of the Jews. New York: Times Books,

1983.Findley, Paul. They Dare to Speak Out. Westport, Conn.: Lawrence Hill,

1985.Fishman, Hertzel. American Protestantism and a Jewish State. Detroit,

Mich.: Wayne State University Press, 1973.Frankl, Viktor E. Man’s Search for Meaning. New York: Washington Square,

1963.Garrett, Samuel M. ”An Anglican View of Ethics: The Investigation of a

Context”. Anglican Theological Review 61 (Januari 1979).Ghareeb, Edmund., ed., Split Vision. Washington D.C.: American-Arab

Affairs Council, 1983.Grossman, David. The Yellow Wind. New York: Farrar, Straus and Giroux,

1988.Hadawi, Sami. Christianity at the Crossroads. Ottawa: Jerusalem

International Publishing House, 1982.----------. The Jews, Zionism, and the Bible. Toronto: Arab Palestine

Association, 1981.

Sebuah Pertanda Kebencian ............................................... 75Sebuah Kesalahan yang Baru ............................................. 77Melampaui Teologi Zionis: Menuju Teologi Pembebasan Yahudi ..................... 79Sebuah Agenda Baru bagi Gereja di Israel-Palestina ................................................. 83

4. ALKITAB DAN PEMBEBASAN: SEBUAH PERSPEKTIF ORANG PALESTINA ........ 87Dua Persoalan Utama ......................................................... 88Alkitab: Masalah atau Solusi? ............................................. 91Suatu Teologi yang Menantang Nasionalisme ...................... 108Teologi tentang Allah Keadilan dan Zionisme ...................... 118

5. JERITAN ORANG PALESTINA UNTUK KEADILAN DAN BELAS KASIH .............. 135Penyalahgunaan Keadilan ................................................... 135Ketika Keadilan Mengandung Ketidakadilan ....................... 140Dilema Teologis terhadap Kekuasaan dan Keadilan ........................................................ 144”Desakan Akal Budi terhadap Konsistensi” ......................... 148Paradoks Kekuasaan .......................................................... 152Sebuah Teologi bagi Para Korban Ketidakadilan .................. 153Jalan Tanpa Kekerasan ...................................................... 157Keadilan Saja Tidak Cukup................................................. 163Kebenaran Berhubungan dengan Belas Kasihan ................. 167Pencarian Kedamaian yang Pantang Mundur ...................... 169Salib Damai ........................................................................ 175

6. BERBAHAGIALAH MEREKA YANG MEMBAWA DAMAI: TUGAS GEREJA YANG PROFETIS DAN MEMBAWA DAMAI ..................................... 177Tugas Ganda ...................................................................... 177Gereja, Salib, dan Tugas Ganda .......................................... 186

7. SEBUAH MIMPI TENTANG DAMAI: VISI SEORANG PALESTINA ............................... 191Premis Mayor: Sebuah Tanah untuk Warga Palestina dan Yahudi ....................... 193Premis Minor: Sebuah Negara Palestina .............................. 195Sikap-sikap Baru: Dasar-dasar untuk Perdamaian ............. 197Berbagi Yerusalem: Kunci Menuju Perdamaian ................... 202

8. KEADILAN, DAN HANYA KEADILAN: SEBUAH PERMOHONAN TERAKHIR .................. 207Kedamaian Sedang Mengetuk Pintu Kita ............................. 208Impian Israel yang Berbahaya ............................................. 209”Tidak Akan Pernah Lagi” atau ”Ya, Sekali Lagi” ................. 210Sebuah Kebencian yang Tidak Beralasan ............................ 212Tantangan Orang Kristen: Kasihilah Musuhmu .................. 213Mereka yang Menderita Dapat Memaafkan ......................... 217Sebuah Catatan Tambahan ................................................ 220

CATATAN AKHIR ........................................................... 223BIBLIOGRAFI ................................................................. 253TENTANG PENULIS ........................................................ 260

254 Semata-mata Keadilan

----------. A Partisan History of Judaism. New York: Devin-Adair, 1951.----------. Prophecy, Zionism and the State of Israel. Kata Pengantar oleh

Arnold J. Toynbee. New York: American Alternative to Zionism, tanpa tanggal.

Betts, Robert Brenton. Christians in the Arab East. Atlanta, Ga.: John Knox, 1978.

Blitzer, Wolf. Between Washington and Jerusalem: A Reporter’s Notebook. New York: Oxford University Press, 1985.

Blyth, George Francis Popham. The Primary Charge. London, 1890.----------. The Second Charge. London, 1893.----------. The Third Charge. London, 1896.Brandon, S. G. F. Jesus and the Zealots. Manchester: University Press,

1967.Bright, John. The Authority of The OldTestament. Nashville, Tenn.:

Abingdon, 1967.Brown, Raymond E. The Critical Meaning of the Bible. New York: Paulist

Press, 1981.Brown, Robert McAfee. Making Peace in the Global Village. Philadelphia:

Westminster, 1981.Brueggemann, Walter. The Land. Philadelphia: Fortress, 1977.Buttrick, George A., gen. ed. The Interpreter’s Bible. Vol 7, ”New Testament:

Matthew, Mark”. Nashville, Tenn.: Abingdon, 1951.Camara, Dom Helder. Revolution through Peace. Diterjemahkan oleh

Amparo McLear. New York: Harper & Row, 1971.----------. The Spiral of Violence. London: Sheed and Ward, 1975.Cattan, Henry. Palestine, the Arabs and Israel: The Search for Justice.

London: Longman Group, 1970.----------. Palestine and International Law. London: Longman Group,

1973.Chacour, Elias. Blood Brothers. Grand Rapids, Mich.: Chosen, 1984.Chakmakjian, Hagop A. In Quest of Justice and Peace in the Middle East:

The Palestinian Confl ict in Biblical Perspective. New York: Vantage, 1980.

Chavel, Charles B., ed. Commentary on the Torah-Deutronomy. New York: Shilo, 1976.

Cobban, Helena. The Palestinian Liberation Organization: People, Power, and Politics. Cambridge: Cambridge University Press, 1985.

Cohen, Abraham., ed. The Babylon Talmud, ”Yoma”. London: Soncino, 1984.

Colby, Saul P. Christianity in the Holy Land: Past and Present. Tel Aviv: Am Hasefer, 1969.

253

Bibliografi

American Friends Service Commitee. A Compassionate Peace: A Future for Middle East. New York: Hill and Wang, 1982.

Anderson, Gerald H., dan Thomas F. Stransky, ed. Mission Trends No. 3. New York: Paulist Press, 1976.

Antonius, George. The Arab Awakening. London: Hamish Hamilton, 1955.

Appleton, George., ed. The Oxford Book of Prayer. Oxford: Oxford University Press, 1985.

Arberry, A. J., ed. Religion in the Middle East. 2 vol. Cambridge: Cambridge University Press, 1969.

Atiya, Aziz Suryal. A History of Eastern Christianity. Notre Dame, Ind.: University of Notre Dame Press, 1968.

Avnery, Uri. Israel without Zionism. New York: Collier, 1971.Bainton, Roland H. Christian Attitudes Toward War and Peace. Nashville,

Tenn.: Abingdon, 1960.Barth, Karl. Church Dogmatics. 4 vol. Edinburgh: T & T Clark, 1957.Bates, M. Searle., dan Wilhelm Pauck, ed. Prospects of Christianity

throughout the World. New York: Scribners, 1964.Beegle, Dewey M. Prophecy and Prediction. Ann Arbor, Mich.: Pryor

Pettengill, 1978.Begin, Menachem. The Revolt: Story of the ”Irgun”. New York: Abelard-

Schumann; London: W. H. Allen, 1951.Bennett, John C. The Radical Imperative. Philadelphia: Westminster,

1975.Benson, Arthur Christopher. The Life of Edward White Benson (Sometime

Archbishop of Cantebury). 2 vol. London, 1899.Berger, Elmer. Judaism or Jewish Nationalism: The Alternative to Zionism.

New York: Brookman, 1957.

xi

Pengantar

Pemaparan Pendeta Naim Ateek tentang sebuah teologi pem be bas-an rakyat Palestina ditulis dalam semangat yang luar biasa, yang

menyatukan keadilan dan kasih. Kita menemukan dua hal tentang imannya sebagai seorang Kristen Palestina dalam kesaksian ini, yaitu berbagai pernyataan yang menghargai kebenaran dan keadilan dalam melawan ketidakadilan, serta upaya pendamaian dalam peng-ampunan bagi orang-orang yang telah melukai rakyat Palestina, ke-tika kesalahan-kesalahan tersebut diakui. Ini merupakan sebuah teo logi pembebasan yang hadir, pertama-tama dan terutama, dari ha ti dan pikiran seorang pendeta, yang hidup di tengah tragedi se-kelompok korban yang mengalami penderitaan atas kekuasaan dari sekelompok korban historis lainnya.

Klaim kekuasaan atas nama keamanan bagi satu bangsa ter-tentu, orang Yahudi Israel, telah diperoleh atas pengorbanan klaim keadilan atas tanah milik bangsa lainnya, orang Palestina. Klaim-klaim kedua pihak sama-sama eksklusif, sehingga konfl ik yang ter-jadi tampaknya tidak terselesaikan. Namun, bagi iman Kristen yang berakar pada etika Kristus, menjadi nyata bahwa setiap orang dapat hidup di tanah itu hanya bila keduanya menunjukkan sikap saling mengakui secara mendalam. Seperti yang dinyatakan oleh Ateek, orang Yahudi Israel mencari kedamaian melalui keamanan, dan orang Palestina mencari kedamaian melalui keadilan. Orang Palestina harus memahami ketakutan dan kebutuhan orang Yahudi terhadap keamanan, sementara orang Yahudi Israel harus menyadari bahwa satu-satunya keamanan sejati bagi mereka adalah melalui keadilan bagi orang Palestina.

252 Semata-mata Keadilan

mengambil langkah melawan seluruh penduduk, yang akan meng-ingatkan saya, dan juga dunia, akan tindakan kriminal Nazi.” Untuk mengetahui lebih lanjut, lihat Report on the Violations of Human Rights in the Territories During the Uprising, tahun 1988, diterbitkan oleh Liga Israel untuk Hak Asasi Manusia dan Sipil, P.O. Box 14192, Tel Aviv, Israel.

6 Viktor E. Frankl, Man’s Search for Meaning, hlm. 143.7 Ibid., hlm. 144.8 Abraham Cohen, ed., The Babylon Talmud, ”Yoma” (London: Soncino,

1984), hlm. 59a (3).9 Ibid., ”Perek HashShalom”, 2.10 Mat. 5:5.11 David Grossman, The Yellow Wind, hlm. 11.12 Yoh. 10:10.13 Mat. 5:43–45a.14 Laurens van der Post, Venture to the Interior, hlm. 30–31.15 Dikutip dalam Marc Ellis, Toward a Jewish Theology of Liberation,

hlm. 98.16 Ibid., hlm. 102.17 David Kin, ed., Dictionary of American Maxims (New York: Philosophical

Library, 1955), ”Hate”, hlm. 227.18 St. Fransiskus dari Asisi, 1181–1226. Lihat The Oxford Book of

Prayer, ed. George Appleton (Oxford: Oxford University Press, 1985), no. 217, hlm. 75.

19 Week of Prayer for World Peace, 1978. Ibid., no. 227, hlm. 78.20 Reinhold Niebuhr, Prayers for Peace (Mount Vernon, New York: Peter

Pauper Press, 1962), hlm. 18.

Catatan Akhir 251

3 Lihat surat Elias Haddadin kepada editor di Atlanta Constitution (14 Juni 1988): hlm. 18A.

4 Grace Halsell, Prophecy and Politics, hlm. 199.5 Lihat karya Profesor Israel Shakak dari Hebrew University, Yerusalem,

pemimpin Persatuan Israel untuk Hak-hak Asasi Manusia dan Sipil, yang mengalami langsung penderitaan akibat Nazi. Shakak secara ber kala mencetak dalam bentuk stensilan berbagai artikel yang ber hubungan dengan masalah politik, sosial, dan keagamaan yang dikumpulkannya dari berbagai surat kabar berbahasa Ibrani. Ia dan para penulis Israel lainnya tidak segan untuk membandingkan tindakan tertentu Israel dengan yang dilakukan oleh Nazi. Shakak memperkenalkan salah satu dari kumpulan cetakan stensilnya, ”An example of anti-Arab racism in Israel” dengan kalimat:

Ketika tiga pokok pertama di sini menjelaskan sebuah peristiwa tertentu, salah satu penjelasan yang diberikan dalam pokok perta ma, pokok yang keempat memberikan beberapa contoh tentang betapa banyaknya kekerasan yang serupa dengan Nazi dilakukan terus-menerus oleh Polisi, Penjaga Perbatasan dan para (sukarelawan) Aparat Keamanan Sipil terhadap orang Arab di Tel Aviv dan di se luruh wilayah Israel. Kesimpulan sederhana pertama, seperti yang ditunjukkan koleksi ini, diterima oleh banyak orang Israel namun tidak dapat disebutkan di negara-negara Barat, yaitu bahwa chau vinis me dan rasisme Yahudi, dan dalam banyak kasus Nazisme Yahudi, memang terjadi. Kesimpulan kedua adalah, secara terpisah, hal-hal tersebut memiliki pola-pola sosial yang mirip [dengan] berbagai bentuk rasisme dan secara khusus [dengan] anti-Semitisme, dan dalam kasus-kasus yang ekstrem menyerupai Nazisme Jerman.

Dalam kumpulan lainnya, ”Transfer and Holocaust”, Shakak me-rujuk pada ”Nazifi cation of the State of Israel and the expulsion or extermination of the Palestinians”. Dalam kumpulan yang sama, Shakak memasukan sebuah artikel yang ditulis oleh Hayim Baram yang berjudul ”Transfer will lead to civil war”, yang muncul dalam Kol Ha`ir pada tanggal 26 Februari 1988. Dalam menentang ide deportasi massal warga Palestina, Baram menyatakan bahwa, ”Saya pribadi akan berjuang, juga dengan senjata, melawan setiap individu yang

xii Semata-mata Keadilan

Kesaksian iman Kristen ini, yang terinkarnasi di tengah konfl ik his toris kemanusiaan yang paling pedih, harus didengar oleh kaum Kristen, Yahudi, dan Muslim—oleh semua orang beriman. Pesannya yang sederhana dan lugas memiliki daya ledak dan daya transformatif bagi kita semua. Walaupun, sekali lagi, tidak berharap untuk membuat klaim yang dibesar-besarkan terhadap kekhususan ”Tanah Suci” itu, kita dapat merasakan bahwa beban historis dari tem pat ini, di mana tiga iman monoteistik menyebutnya ”suci”, me-miliki paradigma penting yang unik.

Berbagai klaim tersamar dari ketiga agama besar ini, yaitu bah-wa masing-masing berakar di Palestina, dalam arti tertentu telah men jadi kutukan—bukannya berkat—bagi masyarakat pribumi di wilayah itu. Selama lima milenium, berbagai tentara telah bertempur memperebutkan wilayah itu karena lokasinya yang strategis sebagai jembatan yang menghubungkan tiga benua. Namun, selama tiga milenium, mereka juga telah bertempur karena makna simbolis ta-nah itu. Pada abad ke-7, orang Islam mengklaim tanah itu sebagai tanah leluhur mereka, Ibrahim, dan sebagai tempat perjalanan zia-rah surgawi Muhammad. Para pejuang Perang salib Kristen telah membantai orang Yahudi dan Islam, dan juga orang Kristen Timur, untuk menguasai tanah itu pada Abad Pertengahan. Puluhan ribu orang Yahudi serta orang Kristen dan Islam Arab telah mati demi tanah itu pada abad ke-20.

Tanah ketiga iman yang dikutuk oleh ”kesucian”-nya ini da-pat menjadi sebuah tanah yang penuh berkat hanya jika jelas ba-gi ketiganya bahwa tanah itu tidak dapat diklaim oleh kelompok ter tentu. Tanah itu adalah tanah milik bersama dua masyarakat, orang Yahudi Israel dan orang Palestina. Itu adalah tanah dari tiga kepercayaan, yaitu Yudaisme, Kristen, dan Islam. Kunci menuju per da maiannya adalah sebuah pemahaman bahwa tanah ini ha rus dibagi bersama. Jalan menuju berkat adalah belajar tentang bagai-mana cara mem baginya.

Bagi para teolog pembebasan Kristen, munculnya sebuah teologi pembebasan Palestina menyerukan perlunya suatu pergeseran pa-ra digma besar dari hal-hal yang telah banyak dilakukan oleh orang-orang Kristen di belahan dunia lainnya berkaitan dengan jenis teologi ini. Bagi orang Kristen, bahasa Eksodus dan tanah perjanjian, pe-milihan Israel sebagai umat Allah, serta penebusan sebagai pem-ber dayaan mereka yang tertindas sudah menjadi hal yang tak terbantahkan. Orang Kristen di Amerika Latin, Asia, dan Afrika telah

Pengantar xiii

menggunakan motif-motif semacam itu dari kisah Alkitab sebagai model dari situasi mereka sendiri.

Teologi pembebasan Palestina menyingkapkan bahayanya, yaitu sisi gelap berbagai gambaran pembebasan dari penindasan sebelum-nya. Orang Palestina adalah korban dari suatu teologi pembebasan dan ideologi kaum Zionis. Eksodus Yahudi dari penindasan di Eropa merupakan alasan terhadap tindakan penaklukan yang mereka la-kukan. Klaim orang Yahudi terhadap tanah perjanjian adalah keter-cerabutan mereka dari tanah Palestina. Rasa kebangsaan Yahudi te lah meniadakan eksistensi rakyat Palestina sebagai manusia. Pem-bebasan orang Yahudi adalah penindasan bagi orang Palestina.

Kesaksian tentang ketertindasan ini, yang didasarkan pada mo tif alkitabiah tentang tindakan pembebasan Allah terhadap sa tu umat pilihan, harus membuat kita semua mempertanyakan ber bagai konsep yang eksklusif tentang masalah kebangsaan dan Allah. Kita harus diingatkan kembali pada tujuan universal ketiga iman tadi, bukan sebagai penyangkalan imperialis terhadap suatu kekhususan, melainkan sebagai konteks global yang di dalamnya kekhususan kebangsaan, kebudayaan, dan nasionalisme dapat didamaikan. De ngan demikian, ki ta dapat belajar untuk hidup sebagai sesama manusia yang berbagi satu ta nah dan satu bumi yang sama.

Masalah kritis bagi setiap teologi pembebasan, setiap gerakan pembebasan, bukan hanya bagaimana menanggalkan penindasan dan memberdayakan mereka yang sebelumnya telah menjadi korban, melainkan bagaimana melakukannya dengan cara yang tidak se-kadar membuat para bekas budak menjadi tuan-tuan perbudakan yang baru. Bagaimana kita dapat menghentikan kekerasan ter ha dap suatu masyarakat dengan cara yang tidak melahirkan ke kerasan baru terhadap masyarakat yang lain? Bagaimana kita berhenti mem biarkan kesalahan kita terhadap orang lain digunakan untuk menutup telinga kita dari jeritan orang lain? Bagaimanakah kita da-pat mengakhiri lingkaran kekerasan ini?

Bagi Ateek, jawaban untuk pertanyaan itu adalah keadilan, tetapi lebih dari sekadar keadilan belaka. Ini adalah sebuah keadilan yang dikobarkan dengan belas kasih dan pengampunan. Kita harus belajar untuk mengasihi, bukan hanya terhadap sesama kita, melain-kan juga musuh-musuh kita. Ini tidak berarti menerima setiap ke ti-dakadilan yang mereka lakukan. Ini berarti berusaha untuk mema-hami luka hati mereka, kisah di balik ketakutan dan keinginan me re ka untuk menguasai. Ini memang makna yang mendalam dari

250 Semata-mata Keadilan

10 Sebuah laporan CIA tahun 1968 memperkirakan bahwa Israel memiliki 12–20 bom nuklir. Berdasarkan laporan Christian Science Monitor, Mordechai Vanunu, seorang teknisi nuklir Israel yang mem-bocorkan informasi kepada Sunday Times di London pada bulan Oktober 1986 tentang gudang senjata nuklir Israel yang besar, mengungkapkan bahwa Israel mungkin memiliki 100–200 senja-ta nuklir dengan kekuatan yang berbeda-beda (dilaporkan dalam Chris tian Century [13 April 1988]: 362). Sejauh ini, Israel menolak untuk menandatangani Nuclear Nonproliferation Treaty. Liha Halsell, Prophecy and Politics, hlm. 198.

11 Mi. 4:1–4.

BAB 81 Reuven Moscovitz menyebutkan interpretasi Ul. 16:20 ini dalam

sebuah diskusi panel, ”People, Land, and Faith” pada Ecumenical Theological Research Fraternity dalam Pertemuan Israel di Yerusalem pada tanggal 10 Februari 1977.

Ada komentar menarik lainnya terhadap ayat ini dalam tradisi Yahudi. Rabi Abraham bin Ezra (Spanyol, 1089–1164) mengatakan bahwa kata ”keadilan” disebutkan dua kali ”untuk mengindikasikan bahwa kita harus mengejar keadilan entah itu menguntungkan atau merugikan.” Lihat Ramban (Nachmanides), Commentary on the Torah-Deutronomy, Charles B. Chavel, ed., (New York: Shilo, 1976), hlm. 195–196. Dalam Talmud Babel, R. Ashi (Prancis, 1040–1105) menuliskan, ”keadilan yang pertama disebutkan merujuk pada se-bu ah ketegasan yang didasarkan pada hukum yang kaku; yang kedua pada sebuah kompromi.” (Sanhedrin, 32b).

2 Setelah Pembuangan Babel, garis-garis batas wilayah hanya di an-tara Bethel dan Hebron. Pada kenyataannya, tidak pernah ada masa dalam sejarah Yahudi ketika ”tanah Israel” memiliki ”garis batas perjanjian”. Dalam Kitab Suci Ibrani, ada beraneka defi nisi dan deskripsi tentang garis batas; sebuah defi nisi memperluas garis-garis batas tersebut dari Sungai Nil sampai Sungai Efrat. Defi nisi lainnya memasukkan wilayah Palestina dan bagian timur Yordania. Masalah perbatasan tidak terlalu banyak dibahas atau dikhawatirkan dalam Alkitab. Pada kenyataannya, di puncak kekuasaan Salomo, sebagian wilayah pantai bagian barat tidak termasuk wilayah Israel.

Catatan Akhir 249

8

Negara Jumlah Penduduk Luas Wiayah

IsraelYordaniaLebanonTepi Barat dan Gaza

4.449.000 (1987)*2.853.000 (1987)2.762.000 (1987)1.342.000 ‡

7.992 mil2 †34.443 mil2

3.950 mil2

2.031 mil2

NegaraAgama

Islam Kristen Yahudi Lain-lain

IsraelYordaniaLebanon §Tepi Barat dan Gaza

13.5%93.0%53.0%96.0%

2.4%4.9%39.0%4.0%

82.5%---

1.6%2.1%8.0%-

* Termasuk jumlah penduduk di Yerusalem Timur dan sekitar 25.000 penduduk Israel yang tinggal di wilayah pendudukan.

† Tidak termasuk Tepi Barat, Jalur Gaza, Dataran Tinggi Golan, dan Yerusalem Timur.

‡ Laporan Biro Statistik Pusat Israel, 1986, 1988. § Tidak ada data resmi setelah sensus 1932, ketika orang Kristen

(sebagian besar kaum Maronit) jumlahnya sedikit lebih besar daripada kaum Muslim. Diperkirakan pada saat ini orang Islam merupakan kelompok mayoritas, namun tidak pasti dalam batasan apa. Sebuah perkiraan yang tidak resmi (1984) mengindikasikan bahwa kelompok-kelompok agama yang utama terbagi sebagai berikut: Islam Syiah 32%, Islam Sunni 21%, Maronit 24.5%, Ortodoks Yunani 6.5%, Armenia 4%, Druze 7%, dan lainnya 1%.

Statistik diambil dari 1988 Britanica Book of the Year (Chicago: Encyclopedia Britanica, 1988).

9 Timur Tengah memimpin dunia dalam hal pembelian senjata. Dari 18 negara pengimpor utama senjata di dunia pada tahun 1984, 7 negara di antaranya berasal dari Timur Tengah: Irak, Arab Saudi, Iran, Libia, Mesir, Suriah, dan Israel. World Almanac and Book of Facts, 1988 (New York: Pharos Books), hlm. 340.

xiv Semata-mata Keadilan

metanoia, konversi antara jiwa dua bangsa. Ini terjadi ketika kita ber henti menyatakan luka kita sendiri di tangan orang lain, dan juga mulai merasakan luka orang lain seolah-olah itu adalah luka kita sendiri. Inilah etika dan spiritualitas yang disebut belas kasih.

Hanya keadilan yang berakar pada belas kasih yang dapat menye lamatkan kita dari pengulangan lingkaran kekerasan, dari pengu atan suatu bangsa tertindas hanya untuk menjadikan mereka kaum penindas bagi bangsa lain. Mungkin hal ini terlihat seperti suatu etika yang terlalu tinggi diharapkan dari berbagai komunitas politik apa pun. Reinhold Niebuhr mengajar orang Kristen pada era ta hun 1930-an bahwa etika kasih dan belas kasih hanya mungkin terjadi di antara individu-individu. Tidak akan pernah diharapkan terjadi di antara komunitas-komunitas politik yang hanya dapat ter-motivasi oleh kekuasaan dan kepentingan pribadi. ”Keadilan yang keras”, atau keseimbangan klaim-klaim kekuasaan, adalah hal yang paling bisa kita harapkan dari etika politik.

Mungkin apa yang membuat konfl ik Israel-Palestina begitu men da lam dan menjadi paradigma bagi dunia adalah karena di sini ”keadilan yang keras” hanya dimungkinkan melalui lahirnya pera-saan belas kasih dan persahabatan. Apa yang benar bagi Palestina akhirnya benar bagi seluruh bumi. Seperti yang ditegaskan Ateek, pada akhirnya bumi tetap menjadi milik Allah, dan bukan menjadi harta pribadi kita. Kita dapat belajar untuk hidup damai hanya ke-tika kita berhenti mengklaim bumi sebagai milik pribadi kita demi menentang orang lain, dan belajar untuk membaginya sebagai se-sama saudara—perempuan dan laki-laki—anak-anak dari Allah yang Maha Esa, yang menciptakan dan memilih kita semua.

Rosemary Radford Ruether

xv

Ucapan Terima Kasih

Saya ingin berterima kasih atas dukungan dari banyak sahabat dan keluarga. Tanpa bantuan mereka, saya akan mengalami ke-

su litan untuk merampungkan naskah buku ini:Dr. Marc Ellis dari Sekolah Teologi Maryknoll, yang telah mem-

buka hubungan awal dengan Orbis Books, dan yang selama ini telah menjadi seorang sahabat serta penasihat yang ramah;

Para Frater dan Bruder di Sekolah Teologi Maryknoll, yang telah mengundang saya untuk tinggal di Maryknoll selama menulis buku ini. Kehangatan penyambutan mereka membuat saya merasa seperti di rumah sendiri.

Direktur eksekutif dan para staf Orbis Books, khususnya Eve Dro gin, editor saya, yang selalu terbuka, menyemangati dan sangat membantu saya, serta Geraldine DiLauro, yang berkali-kali telah menge tik naskah saya.

Di Yerusalem, Uskup Samir Kafi ty dan rekan-rekan rohaniwan, khu susnya mereka yang telah menggantikan posisi saya dalam pe-layanan jemaat selama ketidakhadiran saya di Gereja. Kenneth Bailey dari Tantur, atas nasihat dan dorongan semangatnya. Bruder Gilbert Sinden dari St. George’s College, yang telah meninjau bagian-bagian naskah saya dan telah memberikan usulan-usulan yang berharga.

Abla Aranki di San Francisco, yang menjadi seorang penolong be sar bagi saya selama menyelesaikan disertasi di Berkeley, Cali-fornia—sebagian besar masuk dalam buku ini—pada awal 1980-an.

Yang sangat penting, keluarga saya—istri saya, Maha, dan anak-anak kami, Stifan, Sari, dan Nevart—yang senantiasa mendampingi saya dengan kasih dan pengertian mereka yang pantang menyerah, yang menanggung penderitaan dalam perpisahan kami ketika saya

248 Semata-mata Keadilan

BAB 71 Mat. 7:12.2 Mrk. 12:31.3 Pada awal Perang Dunia I, jumlah orang Kristen Asiria antara

700.000 dan 800.000, tersebar di Irak, Suriah bagian utara, Iran, dan Turki. Jumlah ini termasuk para anggota yang saat ini kita mak-sudkan sebagai Gereja Purba dari Timur, Orang Kristen Khaldea, Ortodoks Siria, dan Katolik Siria. Sekitar 250.000 orang terbunuh di tangan orang Turki, orang Kurdi, dan Iran. (Lihat karangan historis tentang orang Kristen Asiria-Khaldea oleh Pdt. Gabriel Oussani, dalam Joseph Naayem, Shall This Nation Die? (h. xv-xxvi.)

Selama tahun 1894–1896, hampir 200.000 orang Armenia dibu nuh oleh orang Turki. Pembunuhan tersebut dimulai lagi pada tahun 1909, namun pembantaian terburuk terjadi selama Perang Dunia I. Lebih dari satu juta orang Armenia dibantai; ribuan orang lainnya masuk Islam untuk menghindari kematian; dan sekitar satu juta orang berhasil bertahan hidup (Encyclopedia Americana, International Edition [Danbury, Conn.: Grolier, 1984], hlm. 333).

4 Lihat Bab 2 hlm. 34. Ketika Inggris mengeluarkan Deklarasi Bal four pada tanggal 2 November 1917, Palestina masih berada di ba wah kekuasaan Turki. Kemuskilan dari deklarasi tersebut disingkapkan ketika masyarakat menyadari bahwa Inggris menjanjikan sebuah negeri yang bukan miliknya sendiri kepada sebuah bangsa yang tidak memiliki negeri itu. Hal itu sama gilanya dengan saya berjanji untuk memberikan rumah Anda bagi orang lain.

5 Evan M. Wilson, Jerusalem, Key to Peace, hlm. 140.6 Ibid.7 Henry Kissingerlah orang yang, ketika menjabat sebagai Menteri

Luar Negeri Amerika Serikat, menyatakan kebijakan bahwa Amerika Serikat tidak akan berurusan dengan PLO sampai PLO menerima dua syarat penting—hak Israel untuk ada dan resolusi 242 dan 338 Dewan Keamanan PBB. Syarat-syarat yang secara formal disetujui pada tanggal 1 September 1975 ini membuat jengkel para pejabat Amerika Serikat yang merasa bahwa mereka seha rusnya membuka negosiasi dengan PLO. Lihat Wolf Blitzer, Between Washington and Jerusalem, h.207–207.

Catatan Akhir 247

ge nerasi diakibatkan oleh kesalahan generasi-generasi sebelumnya, dan pada waktunya akan mengkondisikan penderitaan serta godaan bagi generasi yang selanjutnya.” Dikutip dalam John C. Bennett, The Radical Imperative, hlm. 18.

21 G. H. Jansen (Militant Islam, hlm. 49–68) berpendapat bahwa Islam sebagai sebuah agama sedikit terpengaruh oleh 350 tahun usaha mi si Kristen; dan sebagai sebuah kebijakan, sedikit terpengaruh oleh 150 tahun penjajahan kolonial dan pemerintahan imperial.

22 Pembunuhan Anwar Sadat, presiden Mesir, oleh kelompok militan Is lam pada tanggal 6 Oktober 1981 merupakan contoh kasus.

23 Judah Halevi dalam Al Khuzari (11, 44) pada abad ke-12 menulis bahwa Israel memiliki misi penderitaan. ”Israel, jantung umat manu-sia, hamba yang menderita, menanggung penyakit semua manusia, dan dengan sangat nyata memperkenankan Allah dinyatakan di dunia.” Rabi Joshua ben Levi berkata, ”Orang yang dengan sukacita menerima penderitaan dunia ini membawa keselamatan bagi dunia.” Dikutip dalam John Ferguson, War and Peace in the World’s Religions, hlm. 96.

24 Baba Kamma 93a. Ibid.25 Ferguson, hlm. 96–97.26 Menachem Begin, The Revolt, Pendahuluan dan hlm. 32. Di per-

mukaan, fenomena ”Yahudi petarung” dapat ditafsirkan, dan dipa-hami demikian, dari sudut pandang dan sebagai sebuah reaksi atas Holocaust. Jadi, seseorang dapat mengerti desakan yang berulang kali tentang ”tidak akan pernah lagi”; bagaimanapun, hal ini telah dikembangkan dalam sebuah kebencian buta Massada. Jika perdamaian tidak dicapai syarat-syarat yang cocok untuk Is rael, maka pintu kompromi dan fl eksibilitas akan tertutup. Ini berarti bahwa Israel berpegang pada dan dihantui oleh kekuasaan sebagai satu-satunya alternatif yang menjamin kelangsungan hidup negara itu. Keinginan yang dihantui oleh kekuasaan lebih suka meng-hancurkan dirinya sendiri dan orang lain daripada mengakui dan memberikan kepada orang lain apa yang menjadi hak mereka dan dengan melakukan hal itu berarti sedang menyelamatkan dirinya sendiri serta hidup dalam damai dengan sesamanya.

27 Dewan Gereja-gereja Kristus Nasional, Middle East Policy Statement, hlm. 13.

xvi Semata-mata Keadilan

berada jauh dari mereka, dalam merampungkan penulisan naskah di Maryknoll, dan mereka berada di Yerusalem pada puncak Intifada.

Di atas segalanya, Allah yang kepada-Nya saya persembahkan ucapan syukur yang terbesar dan terdalam karena menaruh ide pe-nulisan buku ini dalam hati saya, dan telah membuatnya menjadi sebuah kemungkinan yang nyata. Tanpa anugerah dan belas kasih Allah, saya tidak akan pernah memiliki keberanian untuk menye-lesaikan tugas ini. Segala kesalahan dan kelemahan dalam buku ini merupakan tanggung jawab saya. Hanya kepada Allah segala ke-muliaan dan kehormatan.

1

PENDAHULUAN: BERBAGAI DIMENSI KONFLIK

Salah satu perselisihan yang paling mengerikan, yang telah meng isi pikiran jutaan orang pada abad ini, dan yang masih

terus mengguncang imajinasi serta menghalangi tindakan mereka, adalah pertikaian antara Israel-Palestina. Konfl ik ini telah menarik perhatian masyarakat dunia karena dimensinya yang kompleks—politik, keaga maan, historis, dan emosional. Sejak awal, konfl ik tersebut telah membuat manusia menjadi terpecah-belah. Konfl ik itu telah diisi dengan berbagai emosi dan sentimen yang menolak tun duk pada nalar dan logika.

Dengan berlalunya waktu, masalah utama dari konfl ik itu se makin tajam dan dalam—bukannya surut atau menjadi lebih baik. Lima peperangan dan sebuah Intifada, pemberontakan warga Palestina di Tepi Barat Sungai Yordan dan Gaza sejak Desember 1987 dan terus berlanjut sampai penulisan ini dilakukan, semakin memperparah ketegangan. Sebagai pendahuluan, saya ingin menyaji-kan tiga pokok penting.

PANDANGAN KEAGAMAANWalaupun sejumlah buku telah ditulis tentang satu atau beberapa aspek konfl ik dilihat dari posisi rakyat Palestina, Yahudi, atau yang lainnya, dan beberapa penulis telah menyinggung persoalan-persoalan keagamaan, namun hanya sedikit di antaranya yang dipu sat kan pada isu-isu alkitabiah dan teologis dari perjuangan itu. Saya menulis sebagai seorang Kristen Palestina yang telah menjalani sebagian besar kehidupan saya di Israel-Palestina. Saya lebih ba-

246 Semata-mata Keadilan

Kristen utama di Israel-Palestina dan dituntun oleh visi pokok yang diungkapkan dalam bab ini.

17 Mengacu pada Thomas Hobbes (1588–1679), salah satu keadaan alamiah manusia adalah berperang. Kehidupan manusia itu ”terkucil, miskin, buruk, kasar, dan singkat”. Damai adalah sebuah syarat kedua berdasarkan rasa takut. John Locke (1632–1704) menawarkan pandangan yang berbeda. Ia menuliskan bahwa keadaan alamiah manusia adalah ”manusia hidup bersama berdasarkan akal budi”. Saya yakin bahwa Locke lebih mendekati tradisi Alkitab. Manusia secara alami adalah rasional dan suka bergaul. Perdamaian lebih mendasar daripada peperangan. Dengan menekankan pandangan yang terakhir tadi, orang Kristen mempromosikan sebuah sikap po-sitif terhadap perdamaian. (Thomas Hobbes, Leviathan, hlm. 21–128; John Locke, Two Treatises of Government, hlm. 121–128).

18 Sebuah ilustrasi yang baik tentang pokok ini ditemukan dalam ”An Open Letter to North American Christians”, yang ditandatangani oleh 13 orang Kristen dari Amerika Latin (dikutip dalam Brown, hlm. 26):

Jika di masa lampau Anda merasa hal itu sebagai tugas apos tolik Anda untuk mengirimkan para misionaris dan sumber-sumber ekonomi, saat ini batas kesaksian dan solidaritas kekristenan Anda ada dalam negara Anda sendiri. Kesadaran, kepandaian, dan rasa tanggung jawab digunakan dalam pilihan Anda; seruan kepada perwakilan Anda di Kongres; penggunaan tekanan dengan berbagai cara dalam ke wenangan Anda, dapat menjadi sumbangan dalam perubahan jalan pemerintah kami ke jejak-jejak keadilan dan per sau daraan yang lebih besar, atau untuk menonjolkan sebuah ke bijakan yang kolonialis dan opresif terhadap masyarakat kami. Da lam pengertian ini, Anda harus bertanya pada diri Anda sendiri jika Anda akan atau tidak akan menjadi ”penjaga adik Anda” di tanah Amerika ini, yang darinya darah jutaan Habel berteriak ke surga.

19 Dewan Gereja-gereja Kristus Nasional, Middle East Policy Statement, hlm. 1.

20 Walter Rauschenbusch (1861–1918), salah satu perwakilan utama liberal social gospel, menulis bahwa ”kehidupan kemanusiaan ter -ja lin dengan tidak terbatas, selalu memperbarui dirinya, masih menge kalkan apa yang sudah dan sedang terjadi. Kejahatan satu

Catatan Akhir 245

13 Istilah ”Levantine” menunjukkan orang-orang yang hidup dalam dua dunia—Kristen dan Islam—pada saat bersamaan, tanpa sepenuhnya memeluk salah satunya. Dunia yang pertama mencerminkan keadaan kualitatif, pribadi, dan spiritual, dunia yang kedua mencerminkan keadaan kualitatif, ekonomi, sosial, dan politik. Pada satu sisi, orang-orang ini terikat secara emosional dan eksistensial terhadap rumah dan negerinya; pada sisi lain, kadang-kadang mereka merasa asing di antara orang sebangsanya. Mereka hidup dalam masa-masa yang ambigu dan mengecewakan, dan merelakan diri pada rendahnya status sosial dan politik, walaupun mereka memiliki kapasitas untuk pencapaian yang lebih besar. Untuk penjelasan yang lebih rinci tentang Levantinisme, lihat Malik, dalam The Prospects of Christianity throughout the World, Searle dan Pauck, ed., hlm. 88–93.

14 Walaupun ada Levantinisme, orang Kristen di Timur Tengah telah me mainkan peran penting dan telah memberikan banyak sumbang-sih pada pengembangan dan peningkatan area tersebut, termasuk membangkitkan nasionalisme Arab. Pierre Rondot telah berkata, ”Tanpa mereka (orang Kristen), Timur Tengah akan kekurangan ka-rakter dan cita rasa, serta kurang menarik, karena mereka adalah garam dan ragi.” Pierre Rondot, The Changing Patterns of Middle East, hlm. 58.

15 Sebagai tambahan atas apa yang dapat diberikan oleh gereja-gereja di Israel-Palestina, saya yakin bahwa dukungan keuangan terbesar akan datang dari bermacam-macam agensi, organisasi, dan gereja luar negeri, termasuk beberapa pemerintah dan lembaga-lembaga internasional, seperti DGD. Saya takjub dengan sejumlah uang yang telah diterima oleh beberapa kelompok ketika mereka terlibat (sering kali tidak terlalu serius) dengan beberapa aktivitas perdamaian.

16 Sejauh yang saya ketahui, tidak ada lembaga yang sejajar dengan Pusat ini di Israel-Palestina. Bagaimanapun, hal ini tidak berarti bahwa tidak ada individu maupun kelompok yang terlibat dalam upaya perdamaian. Ada dua contoh: sebuah organisasi yang di-sebut Shutafut (persekutuan) dalam beberapa tahun terakhir telah menyatukan pemuda Arab dan Yahudi. Neve Shalom juga telah mengembangkannya dalam bentuk sebuah permukiman kooperatif dekat Yerusalem, membawa orang Yahudi, Islam, dan Kristen secara bersama-sama dalam sebuah pola hidup berdampingan model Arab-Yahudi. Berbeda dengan usaha-usaha yang terbatas, terpinggirkan, dan agak simbolis ini, Pusat Perdamaian dapat menciptakan sebuah kontribusi yang lebih permanen dan substansial bagi keadilan dan kedamaian, jika didirikan dan didukung oleh gereja-gereja

2 Semata-mata Keadilan

nyak menulis berdasarkan pengalaman pribadi saya, mencoba un-tuk merefl eksikan konfl ik tersebut secara alkitabiah dan teologis. Saya tidak sekadar menulis bagi para ahli atau teolog, tetapi untuk semua orang dari berbagai profesi dan latar belakang kehidupan. Saya juga berharap bahwa bagian teologis yang utama dalam buku ini (bab 4 dan 5) tidak akan menghalangi mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan teologi untuk membacanya. Jika hal itu terjadi, saya berharap bahwa mereka mau masuk ke dalamnya dan tetap membacanya, mengulanginya beberapa kali secara perlahan dan teliti; saya sangat yakin bahwa cara membaca yang demikian da pat menerangi persoalan-persoalan alkitabiah dan teologis yang mendasari berbagai realitas penderitaan masa kini.

Lebih khusus lagi, saya berharap bahwa buku ini akan menarik dan menjangkau empat kategori pembaca, yaitu warga Palestina sen diri, baik Islam maupun Kristen; sejumlah pembaca Yahudi, di dalam dan di luar Israel; komunitas Kristen yang lebih luas di dunia Barat; dan semua orang beragama di seluruh dunia.

Saya sangat sadar bahwa orang Muslim Palestina jarang di se -but kan dalam studi ini, umumnya karena sifat tulisan ini—se buah teologi pembebasan orang Kristen Palestina. Namun, orang Muslim merupakan kelompok mayoritas di Palestina yang, bersama dengan orang Kristen, sudah memiliki solidaritas yang sangat kuat dalam memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Walaupun buku ini me refl eksikan suatu perspektif Kristen terhadap masalah Palestina, saya berharap bahwa orang Muslim Palestina, orang Druze, dan penduduk Arab lainnya juga dapat merasakan manfaatnya.

Bagian lain dari warga Palestina yang menjadi sasaran studi ini adalah orang Kristen Palestina. Saya yakin, komunitas ini sangat membutuhkan pemahaman yang benar dan memadai tentang makna teologis pengalaman rakyat Palestina dalam kaitannya dengan Nega-ra Israel. Banyak orang Kristen Palestina, dalam berbagai cara, te-lah dan sedang dihadapkan dengan suatu kekerasan religius yang berbahaya dari konfl ik tersebut. Banyak di antara mereka yang men-derita, dan berharap bahwa Gereja akan mampu membangun serta menjelaskan suatu teologi pembebasan rakyat Palestina yang dapat menangani masalah-masalah yang sangat menyakitkan tentang ke-beradaannya di tengah-tengah kekacauan politik. Namun, teologi-teologi yang hidup di berbagai gereja Kristen di Israel-Palestina ma-sih tidak berubah selama puluhan tahun atau malah diimpor dari luar Palestina. Teologi-teologi tersebut banyak sekali membahas per-

Pendahuluan 3

soalan yang sudah tidak relevan bagi kehidupan banyak orang pada masa kini. Bagi hierarki Gereja, pelayanan pastoral menjadi per-hatian utama. Namun, hampir tidak ada keberhasilan dalam melatih para pendeta untuk melayani gereja-gereja yang sedang hidup. Ti-dak ada waktu sama sekali untuk menata teologi dalam sebuah kon teks regional yang melampaui pandangan sebagian kecil pendeta pada taraf jemaat. Dan dalam waktu yang lama, gereja enggan untuk mengemukakan pendapatnya secara berani terhadap berbagai ma-salah politik yang sensitif. Karena alasan-alasan yang demikian, ti-dak ada para teolog pribumi yang tampil dari gereja-gereja Kristen Palestina—atau, kalaupun ada, suara mereka tidak cukup keras. Para pendeta lokal masih terus membincangkan ketidakpuasan me reka dengan teologi-teologi yang sedang hidup, bereaksi dengan penuh semangat terhadap penyalahgunaan Al kitab secara politik dan menyuarakan berbagai protes terhadap ketidakadilan. Akan tetapi, kebutuhan akan sebuah kontekstualisasi teologi bagi gereja di Israel-Palestina tetap ada; itulah kepentingan yang sesungguhnya.

Para pembaca Yahudi, di dalam maupun di luar Israel, termasuk yang religius maupun yang tidak, bisa saja tidak setuju dengan per-spektif Kristen berdasarkan interpretasi saya. Bagaimanapun, saya percaya bahwa mereka dapat menyadari adanya spirit ke manusiaan yang sedang mencoba menjangkau mereka, yang sedang berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan perdamaian nyata dan sedang berseru untuk merealisasikan keadilan bagi seluruh rakyat Israel-Palestina. Saya berharap bahwa buku ini, dengan cara yang unik, dapat menjangkau orang-orang Yahudi yang berpengaruh dan pen-ting, yang dapat menerima peran kenabiannya dan melakukannya dengan segenap tenaga untuk membawa keadilan bagi rakyat Pales-tina, bukan hanya demi kedamaian dan kesejahteraan Israel; karena hanya dalam cara itulah terletak keamanan sejati bagi Negara Is-rael.

Saya berharap buku ini dapat menjelaskan bagi banyak orang dalam komunitas Kristen yang lebih luas di dunia Barat tentang hakikat persoalan rakyat Palestina, sebagaimana yang dilihat oleh mata dan pengalaman orang Kristen Palestina, ketika saya berusaha untuk menguraikan masalah-masalah krusial yang dihadapi orang Kristen Israel-Palestina.

Termasuk di dalam orang Kristen Barat, ada juga yang disebut sebagai kaum Zionis Kristen dan kaum fundamentalis Kristen, yang secara tidak sadar dalam banyak kesempatan turut memberikan

244 Semata-mata Keadilan

5 Sebuah ilustrasi yang baik sekali tentang penyelenggaraan tanggung jawab orang Kristen menanggapi konfl ik Arab-Israel dapat dilihat dalam Dewan Gereja-gereja Kristus Nasional di Amerika Serikat, Middle East Policy Statements.

6 Thomas Merton, ”Pacem in Terris”, hlm. 70.7 Pada bulan Februari 1852, Sultan Abdul Mejid mengeluarkan sebuah

fi rman secara otoriter menetapkan hak-hak dari gereja-gereja historis dalam perselisihan atas Tempat-tempat Suci. Firman ini pada intinya menegaskan situasi nyata Tempat-tempat Suci yang ada sejak ta-hun 1757 dengan amandemen-amandemen minor tertentu. Pada Kong res Berlin tahun 1878, pemberlakuan fi rman 1852 secara de facto ditegaskan. Dalam pasal 62 Treaty of Berlin ekspresi ”status quo” digunakan untuk pertama kalinya untuk menjelaskan berbagai fakta dan situasi yang sedang terjadi di Tempat-tempat Suci.

Dari sudut pandang hukum belaka, status quo hanya menawar-kan lima tempat keramat: Gereja Makam Suci, Deir el-Sultan (dekat Makam Suci), cagar alam tempat Kenaikan di Bukit Zaitun, Makam Perawan Maria di Lembah Yosafat, dan Gereja Kelahiran Kristus di Bethlehem. Denominasi-denominasi yang terpengaruh oleh status quo adalah gereja Ortodoks Yunani, gereja Latin, gereja Armenia. (Gereja Koptik, Asiria, dan Etiopia dikelompokkan dengan Armenia.) Pada hakikatnya, tempat-tempat Suci ini bukanlah bagian dari Negara Israel, namun sensivitas di antara gereja-gereja tidak terikat pada perbatasan geografi s.

Untuk pembahasan yang lebih rinci tentang status quo, lihat Saul P.Colby, Christianity in the Holy Land, hlm. 75–76, 171–180.

8 Reader’s Digest Treasury of Modern Quotations, hlm. 725.9 Salah satu tempat terbaik untuk mendoktrinasi anak-anak tentang

ke adilan dan kedamaian adalah sekolah Kristen. Ada lebih dari 80 sekolah dasar dan menengah di Israel-Palestina yang sama-sama melayani orang Kristen dan Islam.

10 Mat. 5:9. 11 Lihat Bab 5, hlm. 157–15812 Charles Habib Malim menuliskan bahwa ketika Gereja ditindas dan

dianiaya maka gereja berhenti menjadi evangelis dan beralih menjadi liturgis, ”memelihara lapisan iman di balik simbol dan nyanyian. Ge-reja mati, katakanlah demikian, supaya iman bisa hidup.” Charles Habib Malik, ”The Near East”, dalam M. Searle Bates dan Wilhelm Pauck, ed., The Prospects of Christianity throughout the World, hlm. 87.

Catatan Akhir 243

134 Yoh. 1:12.135 Kedamaian di bumi menjadi sebuah kemungkinan jika manusia

berkeinginan untuk memuliakan Allah (Luk. 2:14). Nyanyian para malaikat telah dibalikkan. Ketika manusia memuliakan dirinya sen-diri, hasilnya adalah peperangan bukan kedamaian. Damai, kemu-dian, menjadi sesuatu yang eskatologis, ketika tujuan kehendak Allah digenapi bahwa ”setiap lutut bertelut...dan setiap lidah meng-aku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah Bapa” (Flp. 2:10–11). Orang Kristen hanya dapat merasakan damai di bumi. Sebentar lagi mereka dapat mengalaminya secara penuh, atau secara bertahap dalam kurun waktu yang lebih panjang.

136 Lihat Mi. 4:1–4; Yes. 11:6–9; Why. 21:2–4.137 Dikutip dalam Macquarrie, The Concept of Peace, hlm. 13.

BAB 61 Yoh. 8:32.2 Dikutip dalam Robert McAfee Brown, Making Peace in the Global

Village, hlm. 19.3 Ada persamaan tertentu dengan situasi gereja di Amerika Latin. José

Comblin, dalam buku The Church and the National Security State, hlm. 172–173, telah menyatakan bahwa anggota gereja di Amerika Latin sangat menyadari nilai perkataan profetis:

Gereja mengambil risiko kehilangan banyak materi dan budaya, termasuk banyak kesempatan bertindak mewakili jemaatnya sendiri. Harga perkataan profetis adalah tekanan, penyiksaan, ancaman, dan akhirnya kematian. Dalam situasi masa kini, gereja menyadari bahwa fi rman Allah dapat membahayakan keamanannya sendiri. Jika orang Kristen berbicara, kekuatan dari pernyataannya bereaksi melawan mereka, dan dapat memaksa mereka untuk diam.

4 ”Ketika kita berbicara tentang visi perdamaian, kita telah memahami karakter idealnya...karakter eskatologis...sebuah perdamaian yang dalam dan luas yang hanya terdapat pada perwujudan sejarah.... Sebuah konsep yang secara tidak langsung menyatakan struktur-struktur yang dapat dikenali dan dijelaskan....” John Macquarrie, The Concept of Peace, hlm. 12–13.

4 Semata-mata Keadilan

andil terhadap penderitaan rakyat Palestina dan masyarakat Yahudi di Timur Tengah. Alih-alih melawan ketidakadilan, mereka malah memperburuk keadaan dengan mendorong semangat perang Israel. Meningkatkan kesadaran, saya berharap, akan menuntun mereka memainkan peranan yang lebih konstruktif.

Akhirnya, studi ini ditujukan kepada semua orang, baik Kristen atau bukan Kristen, yang menyadari dirinya sebagai warga negara dari kampung global kita—mereka yang peduli tentang kesejahteraan manusia di mana saja dan yang menyadari bahwa konfl ik Arab-Israel berpotensi menjadi sebuah konfrontasi luar biasa yang da pat mengarah pada bencana global. Sangat penting bagi semua orang yang berniat baik untuk mengerahkan segala upaya untuk mem-perkuat tekanan yang dibutuhkan demi tercapainya keadilan, per-damaian, dan rekonsiliasi bagi semua orang yang terpengaruh oleh konfl ik Israel-Palestina.

STATISTIK DAN TERMINOLOGIWalaupun nanti akan dijelaskan lebih jauh tentang siapa sebenarnya orang Palestina dan orang Israel, saya ingin menyuguhkan beberapa data statistik yang dapat menjadi pegangan kita.

Setidaknya, ada lima kelompok utama orang Palestina yang hi-dup di berbagai belahan dunia dalam kondisi yang berbeda-beda:

Sekitar 800.000 orang Palestina adalah warga negara Israel dan 1. hidup di wilayah negara Israel.Lebih dari 1,3 juta orang Palestina hidup di Palestina bagian 2. Timur, yang umumnya dikenal sebagai wilayah Tepi Barat Su ngai Yordan—dan karena itu, setelah tahun 1948, disebut sebagai Tepi Barat; penyebutan Tepi Barat juga ada kaitannya dengan Tepi Timur Sungai Yordan, Kerajaan Hashemit Yordania—dan kota Gaza dan sekitar nya (sebidang tanah di sebelah barat daya Palestina di Laut Tengah, yang setelah tahun 1948 berada di ba-wah pemerintahan Mesir). Kedua wilayah ini kemudian diduduki oleh Israel pada tahun 1967, dan sejak saat itu penduduknya hidup di bawah pemerintahan militer. Mereka bukan warga ne-ga ra Israel.Hampir 1 juta orang Palestina hidup di wilayah Kerajaan Yordania 3. dan berkewarganegaraan Yordania.

Pendahuluan 5

Sekitar 300.000 orang Palestina hidup di Lebanon, kebanyakan 4. dari mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian.Kira-kira 1 juta orang Palestina hidup dalam diaspora—di dunia 5. Arab dan juga di berbagai negara di Barat.

Kelompok-kelompok ini membentuk populasi orang Palestina yang jumlahnya sekitar 4–5 juta orang; kebanyakan dari mereka ber aga-ma Islam, namun sekitar 10 persen beragama Kristen.

Di beberapa bagian buku ini, para pembaca akan melihat bah wa saya sedang berbicara tentang orang Palestina, baik Islam maupun Kristen, yang telah menjadi warga negara Israel. Karena saya dibesarkan dalam lingkungan ini, saya sangat mengenal ke lompok ini. Namun, perlahan-lahan saya berpindah ke lingkungan orang Kristen Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Ketika saya membahas ten tang sebuah solusi masa depan, saya berbicara tentang semua bagian dari populasi warga Palestina secara merata.

Mengacu pada pernyataan Profesor Roberto Bacchi, kepala De-partemen Statistik Hebrew University di Yerusalem, ada 16 juta orang Yahudi yang hidup di dunia sebelum Perang Dunia II. Pada saat ini, hanya ada sekitar 13 juta orang. Tiga setengah juta orang Yahudi hidup di Israel; 9,5 juta orang hidup dalam diaspora, kebanyakan tinggal di Amerika Serikat dan (eks) Uni Soviet.

Salah satu kesulitan yang saya temui selama penulisan buku ini adalah persoalan terminologi. Secara keseluruhan, saya telah memilih menggunakan istilah ”Israel-Palestina” untuk mengidentifi kasikan ta nah yang menjadi sumber konfl ik. Istilah ini meliputi seluruh wi-la yah geografi s Palestina di bawah kekuasaan pemerintah Inggris sebelum tahun 1948. Bagi saya, Israel-Palestina mengekspresikan penerimaan dan harapan: penerimaan akan keberadaan Negara Israel di bagian barat Palestina (Israel sebelum tahun 1967) dan harapan saya untuk pembangunan sebuah negara Palestina di wilayah timur Palestina (Tepi Barat) dan Gaza.

Lebih dari itu, saya secara sengaja tidak menggunakan istilah ”Tanah Suci”, kecuali hanya di beberapa tempat tertentu. Istilah ter-se but lebih membangkitkan kenangan masa lalu daripada masa kini; istilah itu lebih menyatakan sisi-sisi suci bagi para turis daripada tentang orang-orang yang sekarang sedang hidup di sana dan sama-sama berjuang untuk perdamaian. Saya tidak mengatakan bahwa istilah tersebut sepenuhnya bersifat negatif dan tidak perlu

242 Semata-mata Keadilan

ed., Essays on Human Rights in Contemporary Issues and Jewish Perspectives, hlm. 207).

108 Yes. 1:17.109 Yer. 22:15–16.110 Yes. 32:16–17. Kedamaian juga berhubungan dengan kebenaran

dalam Mzm. 85:10; 72:7; Yes. 48:18; 57:2; 60:17; dan Yak. 3:18.111 Yes. 48:22.112 Dom Helder Camara, Revolution through Peace, hlm. 130.113 Robert McAfee Brown, Making Peace in the Global Village, hlm. 15.114 Paus Yohanes XXIII, Pacem in Terris, hlm. 76.115 Za. 8:19.116 Boake Carter dikutip dalam Reader’s Digest Treasury of Modern

Quotations, hlm. 706.117 Thomas Merton on Peace, hlm. 45.118 Yes. 39:8.119 Yes. 59:8. Lihat juga Luk. 1:79.120 Za. 8:12.121 Mzm. 34:15.122 Mat. 5:9.123 Ferguson, War and Peace in the World’s Religions, hlm. 86.124 Sanhedrin 38a. dikutip dalam Ferguson, hlm. 87.125 Gen. Rabbah 38, 6. Dikutip dalam Ferguson, hlm. 87.126 Kej. 14:14; Nedarim 32a. dikutip dalam Ferguson, hlm. 88.127 Kej. 48:22.128 Ferguson, hlm. 88. Untuk contoh yang lebih banyak lihat Ferguson,

hlm. 86–96.129 Theological Dictionary of the New Testament, ed. Gerhard Kittel,

dalam ”Eirene”, oleh Gerhard von Rad, vol. 2, hlm. 406.130 Salah satu teks yang dapat dipahami sebagai ekspresi sebuah realitas

batin adalah Rm. 14:17. Teks ini hanya dapat dimengerti demikian jika Kerajaan Allah dinyatakan sebagai sebuah realitas pribadi dan bukan sebagai sebuah entitas sosial.

131 Dalam teologi pembebasan orang kulit hitam, pembebasan ditekankan sebagai sebuah prasyarat rekonsiliasi. Sebagai contoh, lihat J. Deotis Roberts, Liberation and Reconciliation: A Black Theology, hlm. 47.

132 Ef. 2:14–18. Damai Kristus seharusnya juga menghasilkan rekon-siliasi antara manusia dengan sesamanya. ”Itulah akhir perseteruan dan awal saling membutuhkan. Itulah relasi yang Allah maksudkan dan sediakan untuk ciptaan-Nya.” Stotts, Shalom: The Search for a Peaceable City, hlm. 107. (Lihat Kol. 1:19–20).

133 2 Kor. 5:17.

Catatan Akhir 241

bangkitan sebagai sebuah ekspresi keadilan Allah. Dengan tegas di katakan, salib adalah ekspresi keadilan Allah melawan dosa dan maut. Oleh karena itu, Paskah Yahudi sejajar dengan Jumat Agung. Hari Paskah telah menjadi pokok utama Gereja, yang darinya segala sesuatu dievaluasi dan dimaknakan. Paulus dengan jaya menya-takan, ”Sebab anak domba Paskah kita juga telah disembelih, yaitu Kristus. Karena itu marilah kita berpesta.” (1 Kor. 5:7–8)

91 Sebagai contoh, kisah Nabot dan Ahab (1 Raj. 21). Lihat Bab 4, hlm. 101–105.

92 Walaupun siddiq dalam bahasa Arab adalah kata terjemahan untuk kata tsadik dalam bahasa Ibrani, kata itu bukanlah kata yang sa-ma yang diterjemahkan sebagai ”berbudi” (righteous) dalam bahasa Inggris. Kata yang sering diterjemahkan sebagai ”berbudi” (righteous) dalam bahasa Arab adalah bar.

93 Mzm. 143:1–2. Lihat juga Mzm. 143:11.94 Mzm. 98:9—kata righteousness, diekspresikan secara nyata dengan

kebaikan. Kombinasi antara belas kasih dan keadilan juga dinyatakan dalam Yes. 30:18. Reinhold Niebuhr telah mengusulkan bahwa da-lam bahasa Ibrani yang berkembang kemudian, kata tsedakah berhubungan dengan hesed. Mzm. 36:10. Dikutip dalam Heschel, hlm. 201.

95 Ams. 14:31. Lihat juga Ams. 17:5.96 Kel. 22:22–23, 27.97 Kej. 4:8–16.98 Salah satu perkataan yang luar biasa dalam Talmud mengandung

makna yang sama: ”Siapa pun yang menumpahkan darah berarti mengurangi kehadiran Allah dalam dunia.” (Rabbah 34,14).

99 Heschel, hlm. 220.100 Am. 9:7. (berdasarkan New English Bible).101 Revised Standard Version dan TB-LAI menerjemahkannya menjadi

”orang Etiopia”.102 Coote, hlm. 117–118. Lihat Kej. 10:8–11.103 Shae, hlm. 114.104 Dikutip dalam John Macquarrie, The Concept of Peace, hlm. 24.105 Yer. 6:6.106 Yer. 6:14.107 Yer. 6:15. Jerome J. Shestack telah menulis bahwa ”meninggalkan

Tepi Barat dan Jalur Gaza dapat menjadi ancaman terhadap ke-amanan fi sik Israel; tetap tinggal di situ dapat menjadi sebuah ancaman terhadap nilai-nilai moralnya” (”Human Rights Issues in Israel’s Rule of The West Bank and Gaza”, dalam David Sidorsky,

6 Semata-mata Keadilan

digunakan lagi. Untuk tujuan penulisan saya ini, istilah ”Israel-Palestina” lebih tepat dan spesifi k.

Saya juga menghindari penggunaan istilah ”masalah” ketika menjelaskan konfl ik di Israel-Paletina. Dalam pikiran banyak orang, masyarakat Palestina telah menjadi sebuah masalah dan konfl iknya menjadi ”Masalah Palestina”. Saya juga telah memperkecil penggunaan istilah ”Arab-Israel”. Ketika istilah tersebut digunakan, secara umum hal itu merujuk pada konfl ik yang lebih luas atau hubungan antara Israel dengan semua negara Arab.

Ada juga kesulitan dalam menyebutkan Israel dan Yahudi. Menye butkan ”orang Israel” ketika berbicara tentang orang Yahudi di Israel, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang, adalah tidak terlalu tepat. Ada sekitar 800.000 orang Arab Palestina yang hidup di Israel sebagai warga negara Israel; mereka juga adalah orang Israel. Menggunakan kata ”Yahudi” ketika berbicara tentang orang Yahudi yang hidup di Israel berisiko menimbulkan kesalahpahaman, karena banyak orang Yahudi tinggal di luar wilayah Israel. Selain itu, beberapa orang Yahudi bukan Zionis dan tidak punya keterkaitan dengan kebijakan-kebijakan Negara Israel. Saya tetap memilih untuk meng gunakan istilah ”Orang Israel Yahudi” atau ”Orang Yahudi di Israel”. Ketika istilah ”orang Yahudi” digunakan, yang saya maksud adalah pengertiannya yang umum dan inklusif—semua orang Yahudi di dalam dan di luar Israel.

MENGAPA TEOLOGI PEMBEBASAN BAGI ORANG KRISTEN PALESTINA?

Bagi sebagian orang Kristen di dunia, dan secara khusus bagi banyak orang Kristen Timur di Timur Tengah, sebuah ”teologi pem bebasan” tampaknya aneh dan tidak dapat diterima.

Berbagai teologi pembebasan dibuat oleh beberapa orang Kris-ten yang terpengaruh oleh Marxisme. Anggapan ini, benar atau sa-lah, membuat teologi-teologi semacam itu terbuka bagi kritik dan menjadikannya sesuatu yang tabu. Karena penting untuk menguji perkiraan seseorang, saya akan menjelaskan bahwa teologi yang ditemukan dalam buku ini benar-benar didasarkan pada Alkitab. Ini merupakan sebuah usaha mengontekstualisasikan teologi, untuk membuatnya lebih bermakna bagi orang-orang Kristen Palestina,

Pendahuluan 7

namun teologi ini tetap bertumbuh dari akar-akar alkitabiah. Terlebih lagi, itu adalah teologi yang berjuang dengan cara tertentu, terhadap Alkitab yang telah dipahami, ditafsirkan, dan digunakan secara salah oleh banyak orang.

Beberapa rekan saya, orang-orang Kristen Timur, menentang suatu teologi pembebasan dengan dasar-dasar teologis. Bagi mereka, teologi semacam itu tidak berguna, karena pembebasan telah diper-oleh dalam karya penebusan Kristus—dalam penyaliban-Nya, kema-tian-Nya, dan kebangkitan-Nya bagi seluruh dunia. Tidak ada teologi pembebasan yang berbeda bagi Afrika dan Amerika Latin, tidak ada teologi [kulit] hitam atau teologi pembebasan perempuan—karena semuanya secara radikal telah dibebaskan oleh Kristus, dan di da-lam Kristus semua orang Kristen adalah satu. Bagi mereka yang ber-pikiran demikian, saya hanya dapat mengatakan bahwa buku ini tidak menciptakan sebuah teologi yang baru, unik, dan terpisah bagi orang Kristen Palestina. Ini benar-benar merupakan suatu upaya untuk menemukan kembali pembebasan yang telah dikerjakan Kristus dan yang seharusnya kita perhatikan.

Oleh karena itu, teologi ini meminta perhatian pada inti pesan alkitabiah. Teologi ini menekankan aspek pembebasan dari Firman Allah—yang selama ini telah ada dalam Alkitab, namun sayangnya dilupakan—dan menolong kita untuk fokus pada aspek tersebut. Teologi ini membawa Firman Allah bagi kita dalam kehidupan se tiap hari, membuat telinga kita peka terhadap apa yang sedang Allah katakan bagi kita saat ini dan apa yang ingin Allah lakukan melalui diri kita di dalam dunia yang dikasihi-Nya ini dan yang untuknya Dia telah mengutus Kristus. Suatu teologi pembebasan merupakan cara berbicara yang profetis dan kontekstual bagi situasi tertentu, khususnya di mana penindasan, penderitaan, dan ketidakadilan te-lah lama berkuasa. Allah memiliki sesuatu yang sangat tepat dan penting untuk dikatakan bagi mereka yang ditindas maupun para penindas di Timur Tengah.

Dengan memikirkan semua itu, saya mengajak para pembaca untuk melangkah bersama saya menyusuri halaman demi halaman buku ini. Saya berharap bahwa Anda tidak sekadar menemukan in-for masi, tetapi juga tantangan, yang memanggil Anda untuk ber-partisipasi aktif dalam karya keadilan dan perdamaian, sehingga orang-orang di Israel-Palestina dapat hidup sebagai tetangga yang penuh kedamaian, dan Allah dimuliakan serta diagungkan oleh semua orang.

240 Semata-mata Keadilan

keadilan, dan karena menyenangi orang yang membela orang lemah.” (Dikutip dalam Heschel, hlm. 200). Lihat juga J. Pederson, ”The Role Played by Inspired Persons among the Israelites and Arabs”, Studies in Old Testament Prophecy, ed. H. H. Rowley (Edinburgh: T & T Clark, 1950), hlm. 127–142.

62 Kel. 22:21–22; 23:9; Ul. 14:29; 26:12; Ams. 14:21, 31; 15:25; 19:17; 23:10–11; Yes. 1:17; Yer. 7:6.

63 Kel. 23:10–11; Im. 23:22; Ul. 24:19–22.64 Kel. 23:6; Im. 24:22; Ul. 1:16; 24:17–18; 27:19.65 Ams. 22:22–23.66 Yes. 10:1–2.67 Am. 2:6; 5:16. Coote, hlm. 35 dan 45.68 Mzm. 76:9–10.69 Coote, hlm. 39–40.70 Kel. 20:2; 22:21–24; Ul. 4:37–40.71 Coote, hlm. 41.72 Karl Barth, Church Dogmatics, vol. 2, hlm. 386.73 John C. Bennett, The Radical Imperative, hlm. 13–14.74 Reinhold Niebuhr, Pious and Secular America, hlm. 92.75 Rawls, hlm. 302.76 Barth, vol. 2, hlm. 387.77 Ul. 7:7–8.78 Barth, vol. 2, hlm. 387.79 Mat. 5–7.80 Untuk studi yang lebih rinci tentang ketiga teori tersebut, lihat Ro-

land H. Bainton, Christian Attitudes Toward War and Peace, hlm. 14.

81 Mat. 5:13–16.82 Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pembantaian lebih dari

250.000 orang Kristen Asiria oleh orang Turki, lihat cerita yang menggugah dari Pdt. Joseph Naayem, Shall This Nation Die?

83 Dari ”Statement Issued by the Heads of Christian Communities in Je rusalem”, 22 Januari 1988.

84 The Kairos Covenant, ed. Willis Logan, hlm. 20–21.85 Ibid.86 Mzm. 97:2.87 Shae, hlm. 106.88 Barth, vol. 2, hlm. 369.89 Mat. 18:23–35.90 Hanya dalam terang keutuhan dan keluasan dari kesatuan dan

ke se rasian keberadaan Allah itulah kita dapat membicarakan Ke-

Catatan Akhir 239

51 Kelompok-kelompok kaum ekstremis seperti Popular Front for the Liberation of Palestine tetap menuntut untuk mendapatkan kembali seluruh negeri itu. PLO secara utuh telah menyatakan keinginannya untuk menerima sebuah negara Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Per temuan Dewan Nasional Palestina (Palestine National Council, PNC) pada tahun 1974 dan 1977 memberikan ide ini kepada warga Palestina, dan pengakuan selengkapnya akan Israel sebagai tetangga. Lihat Edward Said, The Question of Palestine, hlm. 224.

Pada tanggal 12–15 November 1988, PNC bertemu di Aljazair dalam sebuah sidang luar biasa yang disebut ”Sidang Intifada”, dan pada tanggal 15 November mendeklarasikan pendirian negara Pa lestina. Dengan mengacu pada deklarasi kemerdekaan dalam Resolusi Dewan Legislatif PBB 181, PNC kembali memberikan peng-akuan secara tidak langsung terhadap Negara Israel. Resolusi 181 tahun 1947 itulah yang menyebutkan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara—Arab dan Yahudi—yang berarti memberikan legitimasi internasional terhadap Negara Israel pada saat itu. Lebih dari itu, dalam mendeklarasikan negara Palestina, PNC bersandar pada resolusi-resolusi PBB sejak tahun 1947, yang tentu saja me-liputi pengakuan terhadap Negara Israel.

52 Ini merupakan sebuah defi nisi yang baik tentang fanatisisme—ketika setiap cara dibenarkan demi pencapaian sebuah tujuan yang diharapkan.

53 Niebuhr, Moral Man and Immoral Society, hlm. xii.54 Ibid., hlm. 1.55 Ibid., hlm. 42.56 Ibid., hlm. 16.57 Ibid., hlm. 19.58 Ibid., hlm. 31.59 Ibid., hlm. 20.60 Ibid., hlm. 22.61 Konsep keilahian bagi keadilan terhadap orang miskin tidak hanya

khas kepada Israel purba, tetapi juga ditemukan dalam agama-agama Timur Dekat yang lain. Dewa orang Mesir, Amon Re, disapa sebagai: ”engkau ya Amon, Dewa dari manusia yang diam, yang hadir dalam suara orang miskin. Jika aku memanggilmu ketika aku menderita, engkau datang dan engkau menyelamatkan aku. Engkau memberikan napas bagi orang yang lemah; engkau melepaskan orang yang tertawan.” James B. Pritchard, ed., Ancient Near Eastern Texts, hlm. 380. Dalam himne orang Babel, Shamash, dewa matahari, dipuja karena menghukum hakim yang lalim, penerima suap yang menodai

9

1PERJUMPAAN

Kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebe naran itu akan memerdekakan kamu.

Yohanes 8:32

PENGALAMAN PERTAMA DENGAN ISRAEL

Saya orang Palestina. Saya baru berusia 11 tahun pada tahun 1948 ketika kaum Zionis menduduki kota asal saya, Beisan (Beth

Shean).1 Kami tidak memiliki tentara untuk melindungi kami. Tidak ada pertempuran, tidak ada perlawanan, tidak ada pembunuhan; kota kami begitu saja diambil alih, diduduki, pada hari Rabu, 12 Mei 1948.

Rumah kami terletak di jalan utama, sehingga sebagai seorang anak laki-laki saya menyaksikan tentara Zionis, Haganah, yang me-masuki kota melewati rumah kami, melihat mereka memasuki se-tiap rumah di lingkungan itu, mencari senjata. Mereka menggeledah rumah kami juga, namun tidak menemukan apa-apa. Ayah saya tidak pernah memiliki senjata; ia tidak menyukainya.

Pada awal tahun 1920-an, ayah saya meninggalkan kota Nab-lus, tempat kelahirannya, dan pindah ke Beisan dengan istri, dua anak yang masih kecil, dan juga ayahnya yang sudah tua. Ia telah belajar untuk menjadi seorang tukang perak dan emas. Namun karena di Nablus terdapat beberapa orang tukang emas, ayah memutuskan untuk membangun usahanya sendiri di kota yang

238 Semata-mata Keadilan

kasus klasik terjadi selama perang Timur Tengah pada tahun 1973. Henry Kissinger, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, melihat hal itu sebagai sebuah pertikaian antara negaranya dengan Uni Soviet, sebuah perang antara tentara Amerika dengan tentara Rusia. ”Jika tentara Arab bertempur dengan baik, maka pujian akan diberikan pada persenjataan Soviet.” Henry Kissinger, ”Years of Upheaval”, hlm. 33–37, 40, 49–50.

42 Keseimbangan kekuasaan antara negara-negara adikuasa pada zaman nuklir me miliki ambiguitas dan berbahaya. Sebagai contoh, telah dihasilkan fenomena pembunuhan besar-besaran: dalam se-buah peperangan yang mungkin terjadi, Amerikat Serikat dan Uni Soviet dapat membunuh setiap warga dari negara musuh lebih dari lima puluh kali lipat. Di antara keduanya, orang Amerika dan orang Rusia dapat membunuh setiap warga dunia lebih dari sepuluh kali lipat. Dalam rangka menjaga keseimbangan ke kuatan, penting untuk menghasilkan lebih banyak senjata nuklir secara berkesinambungan. Bagai manapun, kehadirannya mengancam dunia. Apakah mungkin bahwa dengan menambah jumlah ketidakpastian yang dimiliki sese-orang berarti kepastian ditambahkan?

43 Niebuhr, Moral Man and Immoral Society, hlm. 6.44 Ibid., hlm. 3.45 Sejak peristiwa intifada, lebih banyak orang Yahudi Barat menjadi

kritis terhadap berbagai kebijakan Israel. Beberapa menjadi ngeri melihat tindakan kejam yang telah digunakan oleh negara itu untuk melawan warga Palestina. Sebagai contoh, lihat karya Darrell Turner ”Severe Criticism of Israel by Jews Seen as Unprecedented”, dalam National Catholic Reporter (1 April 1988), hlm. 22. Orang Yahudi Amerika yang terkemuka telah membandingkan berbagai kebijakan Israel dengan ”pembunuhan terencana”, mengumumkannya seba gai ”kekejaman dan tidak dapat dibiarkan” dan sebagai penghancuran ”setiap prinsip kesopanan manusia”. Lihat juga Albert Vorspan, ”Soul-Searching”, dalam New York Times (8 Mei 1988), hlm. 40f.

46 Niebhur, Moral Man and Immoral Society, hlm. 29.47 Ibid., hlm. 17.48 Ibid., hlm. 121.49 Ibid., hlm. 199.50 Bagi para Zionis ekstrem, Israel Raya menggenapi janji Alkitab bahwa

Eretz Yisrael akan diperluas ”mulai dari sungai Mesir sampai ke sungai yang besar itu, sungai Efrat” (Kej. 15:18). Lihat Grace Halsell, Prophecy and Politics, hlm. 110.

Catatan Akhir 237

”hak-hak yang disebutkan di atas tidak harus menjadi subjek terhadap batasan-batasan apa pun kecuali yang telah ditetapkan oleh hukum, adalah penting untuk melindungi keamanan nasional, peraturan umum....” Kalimat magis ”keamanan nasional” memberikan sebuah pintu yang terbuka lebar bagi perlakuan kejam yang diskriminatif. Lihat Walter Laqueur dan Barry Rubin., ed., The Human Rights Reader, hlm. 220.

21 Tillich, vol. 3, hlm. 265. Moshe Menuhin telah menulis (Decadence of Judaism, hlm. 473–485) bahwa sidang pengadilan terhadap Adolf Eichmann seharusnya dilakukan di hadapan sebuah pengadilan in ternasional daripada yang dimanfaatkan oleh Ben-Gurion untuk memenuhi tujuan-tujuan politiknya.

22 Lesley Lempert, ”A Legal Note” dalam Surat Kabar American-Israeli Civil Liberties Coalition, Inc, (Maret 1988), hlm. 3.

23 Raja Shehadeh, Occupier’s Law, hlm. 97.24 Ibid., hlm. 97–99.25 Ibid., hlm. 12–13, 100.26 N. T. Mallison Jr. dan S. V. Mallison, ”The Role of International Law”,

hlm. 1.27 Ibid., hlm. 2.28 Lihat Bab 2, hlm. 31.29 Laqueur dan Rubin, hlm. 113–126.30 Henry Cattan, Palestine and International Law.31 Mallison dan Mallison, hlm. 4.32 Ibid., hlm. 5. Hanya Israel, Malawi, dan Costa Rica yang tidak ikut

memberikan suara dalam pemilihan itu.33 Ibid., hlm. 7.34 Reinhold Niebuhr, Moral Man and Immoral Society, hlm. 6.35 James Luther Mays, Micah, hlm. 63.36 Mi. 2:1–2.37 Ams. 3:27.38 Robert B. Coote, Amos among the Prophets, hlm. 39.39 Lingkaran setan ini dijelaskan dengan baik dalam buku Dom Helder

Camara, The Spiral of Violence.40 Salah satu ucapan terkenal dari presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser,

tetap diingat oleh banyak masyarakat Palestina, yaitu ”Apa yang telah diambil dengan paksa tidak dapat diklaim kem bali kecuali dengan secara paksa juga.”

41 Sebuah contoh intervensi langsung, yaitu invasi Rusia ke Afghanistan pada tahun 1979. Intervensi tidak langsung tergambar di beberapa tempat, seperti El Salvador dan, terutama, di Timur Tengah. Sebuah

10 Semata-mata Keadilan

tidak memiliki seorang tukang emas pun. Beisan tampaknya sebuah pilihan yang baik. Terletak kira-kira 30 km di selatan Danau Galilea, kota itu berpenduduk sekitar 6.000 orang. Semua masyarakatnya adalah orang Palestina. Kebanyakan beragama Islam, tetapi ada se-kelompok kecil komunitas Kristen yang sedang berkembang. Hu-bungan antarkelompok keagamaan tersebut terjalin baik. Beisan juga didatangi oleh banyak suku Bedouin, di mana kebanyakan datang ke sana untuk berbelanja dan berdagang.

Bisnis ayah saya berhasil baik. Dalam waktu beberapa tahun setelah kedatangannya, ia mampu membeli sebidang tanah yang terletak di jalan utama kota. Di situlah beliau membangun rumah pertama bagi keluarganya. Beliau kemudian membangun dua rumah lagi, di mana yang ketiga diperuntukkan untuk menampung bebe-rapa wanita yang dikirimkan oleh Church Missionary Society (CMS) dari Inggris untuk melakukan karya misi di Beisan. Rumah-rumah tersebut tidak dihiasi dengan perabotan, namun cukup memadai dan nyaman.

Tuhan yang baik memberkati ayah dengan keluarga yang cukup besar, antara lain tujuh anak perempuan dan tiga anak laki-laki. Saya adalah anak yang ke-8. Setelah bekerja, atau saat pagi-pagi benar, ayah senang memelihara kebun di sekeliling rumah kami. Beliau menanam banyak sayuran dan pohon buah-buahan: pisang, delima, ara, anggur, jeruk, lemon, dan mul berry. Beisan memiliki air yang melimpah dan sebuah selokan irigasi kecil melewati kebun kami. Saya masih tetap mengingat banyak kenangan manis ketika membantu ayah membajak, menanam, dan mengairi kebun itu.

Ayah saya, yang dibesarkan sebagai seorang Kristen Ortodoks Timur,2 telah memutuskan untuk bersungguh-sungguh hidup da-lam iman sejak masa mudanya. Rumah kami dulu menjadi pusat aktivitas orang Kristen, Penelaahan Alkitab, dan Sekolah Minggu. Setiap hari Minggu, seluruh anggota keluarga akan pergi ke gereja untuk beribadah. Setelah itu, anggota jemaat akan membawa anak-anak mereka ke Sekolah Minggu di rumah kami dan mereka pun mengikuti penelaahan Alkitab di situ. Melalui pengaruh dari para misionaris CMS, ayah menjadi lebih aktif di Gereja Anglikan. Ia pun kemudian ikut membantu pembangunan sebuah gereja Episkopal (Anglikan) di Beisan. Karena seorang pendeta hanya datang satu kali dalam sebulan dari Nazareth untuk melayani Perjamuan Kudus, maka ayah berperan sebagai seorang pembaca awam.

Perjumpaan 11

Ketika tentara Zionis menduduki kota kami pada tahun 1948, kehidupan kami yang sederhana dan bersahaja itu menjadi kacau. Beberapa anggota masyarakat, baik yang Islam maupun Kristen, lari meninggalkan rumah karena ketakutan ketika mendengar berita ten tang apa yang telah dilakukan oleh tentara Yahudi di Deir Yasin. Deir Yasin adalah sebuah kota kecil di pinggiran Yerusalem. Ketika tentara Zionis menduduki kota itu, mereka membantai 254 orang penduduk, termasuk perempuan dan anak-anak, dan membuang jasadnya di sebuah sumur.3 Saya ingat banyak teman dan tetangga yang datang untuk menitipkan barang-barang berharga mereka ke pada kami sebelum meninggalkan kota. Beberapa di antaranya bahkan meninggalkan kunci rumahnya, meminta kami untuk men-jaga rumah mereka selama mereka pergi. Mereka ingin menjauh, tinggal bersama kerabatnya di tempat-tempat yang aman selama beberapa hari atau minggu. Banyak teman yang berusaha meyakin-kan ayah untuk pergi. Mereka berkata: ”Orang Yahudi akan membu-nuhmu; selamatkan dirimu dan keluargamu!” Saya selalu ingat jawaban yang berulang kali disampaikan oleh ayah: ”Tidak ada tem pat tujuan bagi keluargaku yang banyak jumlahnya. Kami akan tinggal di rumah kami. Jika kami harus mati, biarlah kami mati bersama-sama di sini.” Ayah tidak hanya merujuk pada keluarga intinya, tetapi juga untuk keluarganya yang lebih luas. Kakak laki-laki saya yang paling tua, istrinya, dan bayi mereka tinggal di sebelah rumah kami. Kakak perempuan kedua, yang telah hidup bersama suaminya dan dua orang anak perempuan mereka, yang sebelumnya tinggal di Haifa, telah mengungsi ke rumah kami di Beisan beberapa hari sebelumnya. Kami semua berjumlah 17 orang.

Kota kami diduduki pada tanggal 12 Mei 1948 (Negara Isra el diproklamasikan dua hari kemudian). Kami hidup di bawah pendu-dukan itu selama 14 hari. Pada tanggal 26 Mei, gubernur militer mengumpulkan para pemuka kota, di markas besar militer. Dengan sangat gampang dan dingin, ia mengatakan bahwa Beisan harus dikosongkan dari seluruh penduduknya dalam waktu beberapa jam. Ayah saya memohon kepadanya, ”Saya tidak punya tempat untuk di tuju bersama keluarga saya yang besar jumlahnya. Biarkanlah ka-mi tinggal di rumah kami.” Namun, beliau hanya menerima jawaban kasar, ”Jika kalian tidak pergi, kami harus membunuh kali an.”

Saya ingat dengan jelas, ayah pulang dari markas besar untuk mengatakan kabar buruk itu bagi kami. Dengan kesedihan yang luar biasa ia berkata, ”Kita tidak diberi pilihan apa-apa. Kita harus pergi.”

236 Semata-mata Keadilan

98 Luk. 2:14.99 Mat. 5:9.

BAB 5

1 Dikutip dalam John Rawls, A Theory of Justice, hlm. 10.2 Webster’s New World Dictionary of the American Language, College

Edition (Springfi elds, Mass.: Merriam-Webster, 1995), dalam ”Justice”.3 Dalam Kitab Ulangan, manusia diperintahkan untuk terus-menerus

mengingat bahwa mereka dulu adalah para budak di Mesir. Peringatan yang demikian diduga dapat menjaga mereka dari penganiayaan ter-hadap orang lain. Lihat Ul. 5:15; 15:15; 16:12; 24:18; dan 22.

4 Ul. 30:19.5 Abraham J. Heschel, The Prophets, hlm. 198–219.6 John Shae, Stories of God, hlm. 106.7 Yes. 30:18; Mzm. 119:137.8 Yes. 28:17.9 Ul. 32:4.10 Yer. 9:23–24.11 Mzm. 9:8–10.12 Yes. 5:16.13 Am. 5:22–24.14 Yes. 56:1a, 2a.15 Shae, hlm. 108–109.16 Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 3, hlm. 264.17 Rawls, hlm. 22–27.18 Beberapa contohnya adalah aneksasi wilayah pendudukan di Yeru-

salem Timur setelah perang tahun 1967, (di bawah hukum Yerusalem tahun 1980) dan penggabungan Dataran Tinggi Golan pada tahun 1982.

19 Dengan hukum internasional yang dimaksudkan adalah susunan prinsip-prinsip serta norma-norma seragam yang dibutuhkan paling tidak sebuah standar kelayakan dan tingkah laku yang ramah dalam komunitas dunia.

20 Ini tidak sekadar mengatakan bahwa hukum internasional sudah sempurna. Kita dapat menyebutkan berbagai interpretasi yang fl ek-sibel. Keinginan bangsa-bangsa untuk menghindari kewajibannya da pat terjadi dengan mudah. Contohnya, Perjanjian Internasional ten tang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966, artikel 12:3, menyatakan:

Catatan Akhir 235

72 Lihat Kej. 15:19–21; Yos. 12 dan 13.73 Lihat Kej. 12:7; 13:15, 17; 15:18; 17:8; 24:7; 26:3 dyb; 28:13 dyb;

35:12; 48:4; 50:24.74 Lihat Arthur Koestler, The Thirteen Tribes.75 W.D. Davies, The Gospel and The Land. Lihat juga Walter Bruegge-

mann, The Land.76 Heksateukh adalah nama yang diberikan oleh para ahli Alkitab

modern untuk keenam kitab pertama Alkitab, antara lain Kejadian—Yosua, dengan keyakinan bahwa semuanya diambil dari sumber-sumber literatur yang sama.

77 Lihat 1 Sam. 13:19; Yeh. 40:2; 47:18; 1 Taw. 22:2; 2 Taw. 2:17; 34:7. Istilah itu juga muncul dalam 2 Raj. 5:2, 4; 6:23; Yeh. 27:17; dan dalam 2 Taw. 30:25, yang sebenarnya hanya merujuk pada Israel Utara saja.

78 Davies, hlm. 27–29.79 Ibid., hlm. 31.80 Bil. 35:34.81 Yer. 2:7.82 Yer. 16:18.83 Ul. 4:25–26. Lihat juga Ul. 28:63; Im. 20:22; Yos. 23:15–16.84 Davies, hlm. 31. Istilah ”tanah suci”, yang mengungkapkan bahwa

ta nah itu pada dirinya sendiri telah ”suci”, jarang muncul dalam Al-kitab Ibrani. Lihat Mzm. 78:54 dan Za. 2:16. Ini dekat dengan arti bahwa Allah sendiri yang memberikan kesucian pada sebuah tempat atau tanah.

85 Yos. 24:13.86 Mzm. 24:1.87 Yes. 45:18.88 Davies, hlm. 115.89 Ibid.90 Ibid., hlm. 110.91 Ibid., hlm. 154.92 Mzm. 95:3–5.93 Am. 1 dan 2.94 Kel. 3:5.95 Yes. 44:3–4.96 Ernest Renan,The Life of Jesus (New York: Modern Library, 1927),

hlm. 27.97 Sirilus dari Yerusalem, Catechetical Lectures, X.19., terj. E.H. Gifford,

Library of Nicene and Post-Nicene Fathers, 2nd series, vol. 7 (New York: Christian Literature Co., 1894), hlm. 62–63.

12 Semata-mata Keadilan

Dua jam kemudian adalah waktu yang sangat sulit. Saya dapat meng ingat kembali apa yang telah terjadi dengan sangat saksama, ham pir setiap detailnya.

Ayah meminta kami untuk membawa barang-barang yang ringan, na mun berharga dan penting. Perintah dari militer adalah supaya kami semua berkumpul di depan gedung pengadilan di pusat kota, tidak jauh dari toko milik ayah. Kakak laki-laki saya yang tertua dan semua saudari saya masing-masing telah membawa beberapa barang ke pusat kota, berharap dapat meletakkannya di sana dan kembali ke rumah untuk mengambil lebih banyak lagi. Namun, ke tika tiba di gedung pengadilan, mereka menemukan bahwa para prajurit telah memagari wilayah tersebut, sehingga siapa pun yang tiba di situ tidak diizinkan untuk pergi. Saya ingat bahwa ayah dan ibu sangat bingung karena saudara-saudariku tidak kembali. Sa ya disuruh untuk segera menjemput mereka. Jadi, saya berlari ke pusat kota, hanya untuk bertemu mereka. Hal yang sama pun terjadi pada ayah dan ibu ketika mereka tiba. Di kemudian hari saya mengetahui—tidak dikatakan kepada saya pada waktu itu—mengapa orangtua saya sangat cemas: mereka menyadari bahwa di dalam salah satu keranjang yang tertinggal di depan rumah yang akan diambil kemudian terdapat sejumlah emas yang hendak kami bawa. Di keranjang lainnya ada sejumlah roti segar yang baru diba kar oleh ibu pada pagi itu ketika ayah pulang dengan berita buruk. Kakakku, Michael, sangat mengkhawatirkan sebuah radio Philips kecil—salah satu barang miliknya yang paling berharga—yang telah dibelinya sesaat sebelum ia menikah. Ketika para prajurit menduduki Beisan, mereka memerintahkan masyarakat untuk menyerahkan radio milik mereka. Sangat sulit bagi saudara saya untuk berpisah dari radionya sehingga ia menyembunyikan radio tersebut di kebun kami.

Ayah dan kakak lelaki saya memohon kepada para prajurit untuk di izinkan kembali ke rumah guna mengambil beberapa barang lagi, namun tidak diperbolehkan. Akan tetapi, kemudian, ketika berada dalam bus dan melewati rumah kami dalam perjalanan menuju Nazareth, ayah meminta supir untuk berhenti sejenak. Supir itu ber henti, dan kami pun menyelamatkan roti segar, emas, dan radio itu. Kakak saya membawa selimut wol dari salah satu tempat ti-dur, membungkus radio dengan selimut itu, dan dengan demikian menye lundupkan hartanya keluar dari Beisan.

Ketika masyarakat berkumpul di pusat kota, para tentara memi-sahkan kami menjadi dua kelompok, kelompok Islam dan kelompok

Perjumpaan 13

Kristen. Kelompok Islam dikirim ke seberang Sungai Yordan ke negara Transjordan (sekarang Yordania). Kelompok Kristen diangkut dengan bus-bus ke pinggiran Nazaret, dan diturunkan di sana, ka-rena Nazaret belum diduduki oleh kaum Zionis. Dalam beberapa jam, keluarga kami telah menjadi pengungsi, dibawa keluar dari Beisan untuk selamanya.

Rudyard Kipling menulis dalam puisinya yang terkenal, ”If”:

If you can meet with Triumph and DisasterAnd treat those two imposters just the same;

If you can bear to hear the truth you’ve spokenTwisted by knaves to make a trap for fools,

Or watch the things you gave your life to, broken,And stoop and build ’em up with worn-out tools....4

Pada usia yang ke-57 tahun, ayah saya harus memulai segalanya dari awal lagi, dengan apa yang ada. Saya yakin bahwa beliau menemu-kan penghiburan dalam kata-kata Pemazmur:

Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku,dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku?Berharaplah kepada Allah! Sebab aku bersyukur lagi kepada-Nya,penolongku dan Allahku! 5

Kehidupan di Nazaret selama bulan-bulan berikutnya merupakan hal yang sulit. Pengungsi Palestina membanjiri kota itu—entah karena melarikan diri maupun karena diusir dari kota-kota atau kampung-kampung di sekitarnya. Lembaga-lembaga gereja telah membuka pin tunya bagi ribuan pengungsi. Selebihnya tinggal dengan kerabat atau sahabat, atau harus mengatur kehidupannya sebaik mungkin dalam berbagai keadaan yang menyedihkan.

Keluarga kami mengungsi ke beberapa teman, yang memberikan dua kamar kepada kami di rumah mereka yang terletak dekat Sumur Maria; kami semua (17 orang) tinggal di sana selama beberapa ming-gu sampai akhirnya pindah ke gedung sekolah dasar Episkopal men-jelang musim panas. Hampir sejak awal di situ, ayah, walau pun juga adalah seorang pengungsi, bekerja bersama organisasi-organisasi gereja mengumpulkan pakaian dan makanan bagi para pengungsi lainnya.

Pada tanggal 19 Juli, tentara Yahudi menduduki Nazaret, sekali lagi tanpa pertempuran. Ayah berharap bahwa kami dapat diizinkan

234 Semata-mata Keadilan

63 Dalam beberapa tahun terakhir, telah muncul sejumlah organisasi dan partai politik Yahudi mengidentifi kasikan diri mereka sebagai kaum Zionis religius—di antaranya Oz VeShalom dan Netivot Shalom. Kelompok-kelompok yang demikian menekankan bahwa mereka adalah kaum Zionis saleh—menggambarkan inspirasi mereka dari Taurat dan Para Nabi. Walaupun jumlah pendukungnya kecil, me-reka menawarkan sebuah perbaikan yang baik terhadap hukum negara dan janji harapan bagi masa depan. Di samping kehadiran mereka yang membesarkan hati, saya tetap merasa bahwa Zionisme pada intinya mencerminkan suatu kemunduran dalam masyarakat Yahudi daripada gerakan yang membangun; dan hanya sejarah yang dapat mengatakan apakah, selain tindakan kemunduran, beberapa hal baik pada akhirnya dapat tercapai.

64 Demi kejelasan, saya harus menekankan kembali bahwa di sini saya sedang memberikan interpretasi tentang apa yang telah terjadi dalam gerakan Zionis abad ke-20 dan pembangunan negara Israel saat ini. Saya tidak sedang berkata bahwa komunitas Yahudi yang boleh me-mi lih Zionisme secara sadar telah memilih untuk menyetujui tradisi nasionalistik, sambil juga menyadari bahwa dengan bertindak demi-kian mereka sedang menolak dan mengabaikan tradisi Taurat-sentris dan profetis. Kenyataannya adalah bahwa gerakan Zionisme dibentuk dan negara Israel didirikan. Ciri-cirinya yang paling me-nonjol adalah dari tradisi nasionalistik. Tradisi Taurat-sentris, se-perti tradisi profetis, telah diletakkan dalam tugas nasionalisme yang sebenarnya. Bagian-bagian tertentu dari Taurat dan Para Nabi yang memberikan kepercayaan kepada pandangan kaum Zionis telah di-nyatakan dan dieksploitasi. Pandangan Yehezkiel tentang lembah yang penuh dengan tulang kering, misalnya, telah menjadi sebuah nubuat bagi kaum Zionis yang dimaksudkan untuk digenapi melalui tersebarnya kaum Yahudi dan kembalinya mereka ke Israel setelah tahun 1948 (Yeh. 37).

65 Walter Laqueur (ed.), The Israel-Arab Reader, hlm. 127.66 Lihat Bab 2, hlm. 31–32.67 Lihat Bab 2, hlm. 51.68 Grace Halsell, Journey to Jerusalem, hlm. 57.69 Jewish Chronicle (London: 30 Oktober 1967): 13, dikutip dalam Ber-

ger, Prophecy, Zionism, and the State of Israel, hlm. 15.70 Norman Bentwich, ”Judaism in Israel” dalam A.J. Arberry (ed.), Reli-

gion in the Middle East, vol 1, hlm. 105.71 Pernyataan jelas tentang konsep eksklusif yang rasial dari Israel dan

Allahnya ini ditemukan dalam tulisan Rabi Meir Kahane, They Must Go.

Catatan Akhir 233

37 Ada juga beberapa pemahaman besar dalam Taurat, seperti halnya berbagai Tulisan yang termasuk dalam tradisi ini, seperti yang akan saya ilustrasikan kemudian.

38 Yes. 45:22–23.39 Yun. 4:1–4.40 Am. 2:1–3.41 John Shea, Stories of God, hlm. 108.42 John Yoder, The Politics of Jesus, hlm. 26–63. Lihat juga Oscar

Cullmann, Jesus and the Revolutionaries.43 Mat. 23:23. Lihat juga Mi. 6:8 dan Luk. 11:42.44 Mat. 3:12. Lihat juga Luk. 3:17.45 Mat. 11:2–6. Lihat juga Luk. 7:18–23.46 Jack L. Stotts, Shalom, hlm. 92.47 Lihat, sebagai contoh, Luk. 4:16–30.48 Yoh. 3:16.49 Mat. 1:3, 5–6.50 Mat. 2:1.51 Mat. 2:13–15.52 Mat. 8:5–13.53 Mat. 15:21–28. Dalam tafsirannya terhadap pokok ini, Sherman

E. Johnson menulis, ”ada perkataan-perkataan rabinik yang menunjuk kan orang-orang tak bertuhan dan penyembah berhala sebagai anjing. Kita tentu saja harus ingat bahwa hal ini bukan kebiasaan seluruh orang Yahudi purba dan bahwa, dalam literatur rabinik, ada banyak perkataan dan anekdot yang memperlihatkan sikap persahabatan dengan kaum kafi r”. Sherman E. Johnson, ”St.Matthew” dalam The Intrepreter’s Bible, George A. Buttrick, ed. Vol. 7, ”New Testament: Matthew, Mark”, hlm. 441–443.

54 Luk. 4:25–27.55 Yoh. 4.56 Luk. 17:11–19.57 Luk. 10:29–37.58 Kis. 1:6.59 Kis. 1:6; 28:16. Beberapa di antara banyak bagian-bagian penting

yang mengilustrasikan sifat inklusif Allah dalam Kisah Para Rasul adalah khotbah Stefanus (pasal 7), pelayanan Filipus di Samaria (8:4–25), pertobatan Cornelius (pasal 10), dan pengajaran Paulus (pa sal 13 dan 17, sebagai contoh).

60 Gal. 3:26, 28–29.61 Ef. 3:3–6.62 Yoh. 1:12–13.

14 Semata-mata Keadilan

untuk pulang ke Beisan. Namun, ternyata pembuangan kami itu untuk selamanya.

Secara umum, keluarga kami masih lebih beruntung daripada sebagian besar lainnya. Tidak seorang pun dari kami yang terbunuh. Kami tidak tinggal di kamp pengungsian. Kami membawa banyak emas, dan ayah memiliki pekerjaan yang baik. Setelah musim panas tahun 1948, ayah mampu menyewa sebuah rumah kecil milik Waqf (harta hibah keagamaan) dari gereja Episkopal di Nazaret dan mulai membangun usahanya kembali bersama kakak lelaki saya.

Luka yang diakibatkan oleh peperangan itu tidak hanya bersifat fi sik; penderitaan psikologis setiap saat semakin besar. Daerah-daerah perbatasan ditutup dan banyak keluarga yang ter pisah akibat penutupan perbatasan genjatan senjata. Penduduk meng khawatirkan orang-orang yang mereka cintai—seorang ayah atau ibu, saudara atau saudari, paman atau bibi. Ketakutan, keti dak pastian, kekhawatiran, kemarahan, kegetiran—semuanya men ja di bagian kehidupan masyarakat Palestina yang telah diren dah kan dan dirusakkan moralnya. Pada ma sa itu, ke ma rahan mas yarakat lebih ditujukan kepada negara-negara Arab karena ketidakmampuan mereka melindungi dan menyelamatkan Palestina dibandingkan kemarahan kepada orang Yahudi. Penye baran bangsa Palestina telah dimulai. Karena tidak mungkin kembali ke tanah airnya, mereka terpaksa hidup di negara-negara Arab, Eropa Barat, Amerika Utara, dan bahkan Australia.

Sebagai warga negara kelas dua di negara yang baru, kami hi dup di bawah hukum militer. Kami tidak dapat bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa izin militer. Karena tidak ada lagi orang Arab yang tinggal di Beisan, kota tersebut menjadi tempat terlarang. Sepuluh tahun kemudian, pada hari kemerdekaan Israel tahun 1958, ketika orang-orang Arab warga Israel diizinkan bepergian secara bebas tanpa izin militer, ayah membawa kami se-mua ke Beisan. Keluarga-keluarga Yahudi warga Israel hidup di rumah-rumah orang Palestina. Beberapa rumah telah diruntuhkan. Gedung gereja kami yang kecil itu telah dijadikan gudang. Gereja Katolik Roma dan gedung-gedung yang berdekatan dengannya telah dijadikan sebuah sekolah. Gedung gereja Ortodoks telah dibiarkan rusak. Beisan yang dulu kami kenal telah dibiarkan runtuh perlahan-lahan, sementara sebuah kota Yahudi Israel yang baru sedang ber-tum buh di pinggirannya. Rumah-rumah kami masih tetap berdiri di tempatnya dan dihuni oleh beberapa keluarga Yahudi-Israel. Saya masih mengingat ketika kami minta izin un tuk masuk, hanya sekadar

Perjumpaan 15

melihat-lihat, permintaan kami ditolak. Salah seorang penghuninya berkata dengan tegas, ”Ini bukan rumah kalian; ini milik kami.”

Tidak lama setelah kami kembali ke Nazaret, ayah mengalami stroke, diikuti dengan penyakit lain beberapa bulan kemudian yang membuatnya lumpuh. Apakah stroke tersebut disebabkan oleh kun-jungan ke Beisan, saya tidak akan pernah tahu. Namun saya tahu benar bahwa kunjungan tersebut sangat traumatis bagi kami semua, khususnya bagi ayah dan ibu.

Pada tanggal 10 Juli 1959, dengan doa restu ayah, yang sudah lumpuh sebagian tubuhnya, saya meninggalkan Nazaret menuju Ame rika Serikat untuk memulai pendidikan di universitas. Ayah ta-hu bahwa saya pergi belajar untuk menjadi seorang pendeta, seba-gaimana yang selalu saya cita-citakan, dan hal itu membuatnya ba hagia. Satu tahun kemudian, pada tanggal 4 September 1960, sebelum saya memulai tahun kedua perkuliahan saya di Texas, ayah meninggal di Nazaret. Telegram yang saya terima dari kakak saya, Michael, beberapa hari kemudian dengan gamblang mengatakan, ”Dengan dukacita yang mendalam kami mengabarkan bahwa pada tanggal 4 September ayah telah pergi menghadap Tuhan. Seluruh ke-luarga menyampaikan belasungkawa kepadamu. Kami mendoakan dan mengharapkan yang terbaik bagimu.”

Beberapa minggu kemudian, ibu mengirimkan kepada saya se buah catatan yang ditemukan beliau dalam Alkitab ayah. Dapat saya katakan bahwa dari bentuk tulisannya, catatan tersebut ditulis oleh ayah pada saat beliau sedang sakit. Catatan tersebut berbunyi, ”Untuk anakku Naim: bacalah Mazmur 37:5.” Saya mencari dan membacanya, ”Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak.” Inilah warisan untuk saya, ke-inginan dan surat wasiat ayah yang terakhir bagi saya, sesuatu yang sangat berharga dan bermakna. Sejak saat itu, ayat ini menjadi ayat favorit saya.

Enam tahun kemudian, ibu datang ke Berkeley, California, un-tuk menghadiri wisuda saya. Ibu dan ayah sudah lama menunggu hari itu. Saya kembali bersama ibu ke Nazaret untuk ditahbiskan dan memulai pelayanan di tengah bangsa saya.

232 Semata-mata Keadilan

10 Yos. 6:21. Serupa dengan itu, dalam cerita Keluaran, Allah yang me-nimbulkan penyakit dan wabah terhadap orang Mesir (Kel. 7–12); itulah Allah yang membunuh setiap anak sulung di tanah Mesir (Kel. 12:29); dan itulah Allah yang berperang untuk Israel dan meng-hancurkan seluruh pasukan Mesir (Kel. 14–15).

11 Yos. 6:17.12 2 Raj. 2:23–24.13 Lihat Kel. 17:14–16 dan Ul. 25:17–19.14 1 Sam. 15:2–3.15 Robert I. Friedman, ”No Land, No Peace for Palestinians” dalam The

Nation (23 April 1988), hlm. 563.16 Ibid.17 Ibid.18 Sampai tahun 1948 ada sebuah perkampungan orang Arab, Zir`in,

di wilayah yang sama.19 Lihat 2 Raj. 9:26.20 Gal. 6:7.21 Gerhard von Rad, Old Testament Theology, vol. 2, hlm. 23.22 Ibid.23 1 Raj. 22:8.24 John Ferguson, War and Peace in the World’s Religions, hlm. 80.25 Am. 9:7. 26 Ilustrasi untuk pokok ini, lihat hlm. 11327 G. Ernest Wright, The Old Testament against Its Environment, hlm.

110–112.28 S.G.F. Brandon, Jesus and the Zealots, hlm. 326.29 Isidore Epstein, Judaism, hlm. 111. Beberapa sekte Yahudi lain-

nya selama abad pertama masehi memiliki ideologi politik dan ke-agamaannya sendiri—pada kenyataannya, Talmud mengusulkan bah wa ada 24 dari kelompok dan sekte ini. Kaum Farisi dipilih un-tuk studi ini karena mereka mewakili satu-satunya sekte yang sela-mat dalam bencana nasional tahun 70 dan 135 M dan kemudian bertanggung jawab dalam pembangunan Yudaisme Rabinik.

30 Guenter Lewy, Religion and Revolution, hlm. 74.31 Sanhedrin 97a, disebutkan oleh Lewy, hlm. 92.32 Dan. 8:25.33 Max I. Dimont, Jews, God, and History, hlm. 103–104.34 Lewy, hlm. 86.35 Jacob J. Petuchowski, ”Judaism Today” dalam Religion in the Middle

East, A. J. Arberry, ed. Vol. 1, hlm. 44.36 Dimont, hlm. 372.

Catatan Akhir 231

ber tentangan di permukaannya, namun saling melengkapi. Yang pertama, ada pengertian yang di dalamnya pesan para nabi dan orang beriman lainnya dalam Alkitab menjadi seruan untuk kem-bali pada sumbernya, pada iman para leluhur dan/atau pada Per-janjian Sinai. Dengan perkataan lain, apa yang ingin Allah kata-kan, sudah Dia katakan. Manusia hanya perlu menemukannya kem bali, mendengarkannya, dan mematuhinya. Kedua, sudah ada pendalaman kematangan pengertian, pengertian manusia yang se-dang bertumbuh tentang siapa Allah sebenarnya. Sebagai contoh, konsep-konsep yang berkembang tentang monoteisme, kebangkitan dari kematian, atau kehidupan setelah kematian. Sering kali pe nger -tian yang sedang berkembang ini mundur ke masa lalu—ke sum-ber nya—untuk pemeliharaan, walaupun tetap memberi tekanan pada masa kini dan masa depan demi pengertian yang lebih penuh dan lebih dalam tentang Allah itu. Yesus, sebagai contoh, mampu memperlihatkan persoalan kebangkitan dari kematian kepada orang-orang yang hidup pada zaman itu dengan menarik hubungan antara Allah dengan para leluhur (Mat. 22:31–32). Akan tetapi, keyakinan terhadap kebangkitan tidak muncul secara kronologis sampai pada masa antarperjanjian. Lebih dari itu, pemahaman yang sedang ber-kem bang ini tidak selamanya sistematis dan konsisten. Pada waktu tertentu, kita dapat mendeteksi ketegangan, perjuangan, dan bahkan kemunduran. Sebuah ilustrasi gamblang yang ditunjukkan secara bertentangan antara Yesaya dan Yoel terhadap konsep perang dan damai. Yesaya, pada abad ke-8 SM, memimpikan suatu masa damai ketika bangsa-bangsa ”akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas” (Yes. 2:4); Yoel, pada abad ke-5 SM, menganjurkan yang sebaliknya (Yl. 3:10). Walaupun perkembangannya tidak sistematis, ada kema-tangan yang bertumbuh dalam konsep tentang Allah yang pada akhirnya memuncak dalam Yesus Kristus.

8 Ini merupakan pandangan yang bertentangan dengan pandangan John Bright (The Authority of The OldTestament, hlm. 151–152), yang mempertahankan bahwa seluruh Perjanjian Lama sah dan otoritatif karena seluruhnya bersifat teologis. Bagi saya, seluruh Perjanjian Lama merupakan bahan untuk refl eksi teologis dan, oleh karena itu, berguna; namun, keabsahan dan otoritas dari beberapa bagiannya dibatasi oleh hermeneutik tentang pengetahuan akan Allah dalam Kristus.

9 2 Tim. 3:16.

16 Semata-mata Keadilan

HANCURNYA STEREOTIP—SIAPA SAYA?Mudah bagi manusia untuk saling memberikan stereotip. Bahkan lebih mudah bagi mereka untuk menghidupkan stereotip tersebut. Ketika kita memberikan label bagi suatu kelompok, kita berbicara ten tang kehidupan kita yang terasa menyenangkan, karena kita telah mendefi nisikan, menganalisis, dan mendaftarkan mereka—me-reka telah ditangkap dan dipenjarakan.

Sebagai seseorang yang berasal dari Timur Tengah, saya menam-bahkan stereotip yang berbeda dari apa yang sudah dipersoalkan oleh bangsa saya. Ketika saya menjelaskan atau memperkenalkan diri, sejumlah gambaran yang kontradiktif muncul di pikiran banyak orang. Beberapa di antaranya aneh; yang lainnya menarik perhati-an. Penting untuk memulai dengan menghilangkan mitos-mitos dan meng han cur kan stereotip-stereotip yang ada. Ketika hal itu terjadi, kemerdekaan terjadi; kedua kelompok tersebut dibebaskan.6

Ada empat kata penting yang secara kumulatif membentuk iden-titas saya: saya seorang Kristen, seorang Palestina, seorang Arab, dan seorang warga negara Israel. Jika saya ingin menambahkan ke-bingungan terhadap para pembaca dan melengkapi gambaran yang ada, saya akan menambahkan bahwa saya adalah seorang Episkopal (Anglikan) dan seorang rohaniwan.

Setiap kata dari empat kata yang disebutkan pertama dapat di isi dengan mitos; masing-masing telah menjadi objek dari banyak stereotip. Pemunculan stereotip dapat diakibatkan oleh kebodohan belaka atau kesan-kesan yang keliru, namun lebih sering merupakan hasil propaganda dan prasangka yang menggelisahkan. Saya akan menguraikan aspek-aspek kontrakdiktif yang tampak dari identitas saya dan menghilangkan beberapa mitos.

Seorang KristenDua pertanyaan yang langsung diajukan ketika saya mengidenti-fi kasikan diri sebagai seorang Kristen: Kapan Anda pindah agama? Apakah ada orang Kristen di Timur Tengah? Banyak penanya lu-pa bahwa kekristenan berasal dari Timur Tengah. Yesus Kristus di lahirkan di Bethlehem dan menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Galilea. Dia disalibkan, mati, dan bangkit di Yerusalem. Gereja lahir pada hari Pentakosta di Yerusalem dan dari sana terse-bar ke semua belahan dunia. Saat ini, terdapat tidak kurang dari

Perjumpaan 17

dua belas juta orang Kristen di Timur Tengah yang telah bertumbuh se jak kemunculan agama Kristen. Mereka tetap setia pada imannya, meskipun menghadapi masa-masa penuh kesulitan, status minoritas, dan kadang kala mengalami penganiayaan. Mereka menjadi bagian dari gereja-gereja purba di Timur Tengah, gereja-gereja dengan wa-ris an yang panjang dan kaya sejak masa para rasul.7 Karena itu, sejauh yang saya ketahui, kekristenan saya berakar sejak gereja mula-mula di Palestina.

Seorang PalestinaIdentifi kasi diri saya sebagai warga Palestina memunculkan ma salah yang lebih besar bagi banyak orang. Bagaimana seorang Kristen da-pat menjadi warga Palestina? Lebih buruk lagi, bagaimana mungkin seorang rohaniwan Kristen menjadi warga Palestina? Bu kan kah semua orang Palestina adalah teroris? Secara tragis, inilah cara yang digunakan oleh banyak orang untuk memandang orang Palestina. Bagaimana hal ini terjadi? Apakah ini adalah hasil pro paganda? Bagaimana dengan Organisasi Pembebasan Palestina (Palestine Liberation Organization—PLO)? Apakah itu bukan sebuah organisasi teroris?

Orang Palestina telah dicap sebagai teroris oleh Negara Israel dan sekutunya sehingga Israel terlihat benar dan adil dalam semua tindakannya terhadap orang-orang Palestina. Dan beberapa orang Palestina telah dipersalahkan atas berbagai aksi teror. Kita perlu memahami bahwa orang-orang Palestina telah berseru kepada du-nia selama bertahun-tahun (jauh sebelum pembentukan PLO) bah-wa mereka adalah para korban ketidakadilan. Mereka ingin men-ceritakan kisahnya kepada dunia, namun banyak orang tidak mau mendengarkan mereka. Akibat frustasi dan putus asa, beberapa orang Palestina mengambil jalan kekerasan, dan terlibat dalam aksi-aksi teror, untuk menarik perhatian dunia terhadap keadilan bagi perkara-perkara mereka. Ada komentar tragis tentang dunia kita yang rusak, yaitu bahwa banyak orang tidak mendengarkan dengan saksama suara kebenaran yang tenang daripada yang mereka la-kukan terhadap kebisingan ledakan bom. Banyak orang tertindas yang tidak mampu menceritakan keluhan mereka dengan baik ke-cuali melalui aksi-aksi kekerasan dan teror.

Dapat dikatakan bahwa, biarlah saya segera menambahkan bahwa mayoritas utama warga Palestina bukanlah kaum teroris.

230 Semata-mata Keadilan

44 Ibid., hlm. 283.45 Ibid., hlm. 287; lihat juga Earl Shorris, Jews without Mercy.46 Shoki Coe, ”Contextualizing Theology” dalam Gerald H. Anderson

dan Thomas F. Stransky (ed.), Mission Trends No. 3, hlm. 21–22.47 Dikutip oleh E.W. Fashole-Luke, ”The Quest for African Christian

Theologies” dalam Gerald H. Anderson dan Thomas F. Stransky (ed.), Mission Trends No. 3, hlm. 21–22.

48 Luk. 4:16–30.49 Dikutip dalam Samuel M. Garrett, ”An Anglican View of Ethics”, hlm.

36–37.

BAB 41 Luk. 1:68.2 Elmer Berger, Prophecy, Zionism and the State of Israel, pendahuluan

oleh Arnold J. Toynbee.3 Saya sengaja menggunakan kata ”kepercayaan” (beliefs) daripada

ka ta ”iman” (faith). Walaupun kepercayaan dari banyak orang telah terpecah-pecah, iman mereka kepada Allah tetap kuat. Kepercayaan—terutama mengacu pada pikiran, alasan, dan pengetahuan—dapat diperbarui dengan informasi baru. Iman, pada sisi lain, merupakan respons dari keutuhan seorang manusia kepada Allah.

4 Saya memilih untuk menggunakan istilah ”Alkitab Ibrani” dan ”Per-janjian Lama” secara bergantian jika kelihatan tepat. Bagi para pem baca Kristen, istilah ”Perjanjian Lama” terkesan lebih akrab, sementara bagi orang Yahudi penunjukan yang lebih tepat adalah ”Alkitab Ibrani”. Ketika salah satu istilah digunakan maka akan selalu merujuk pada objek yang sama.

5 Secara umum, yang kita maksud dengan hermeneutik adalah penaf-siran teks-teks asli. Perhatian dalam hermeneutik adalah terhadap kriteria bagi penafsiran teks. Itu dimulai dengan menentukan makna asli dari suatu teks dan dituntun pada penguraian maknanya bagi para pembaca modern.

6 Charles Harold Dodd, The Meaning of Paul for Today, hlm. 131–132. Untuk pemahaman Paulus tentang pengetahuan akan Allah, Dodd menyebutkan 1 Kor. 2, 12:8; 2 Kor. 10:3–6; 1 Tes. 1:5; Flp. 1:9–10; Kol. 2:2–3; Ef. 1–17; 1 Kor. 8:1–3; Gal. 4–9; dan 1 Kor. 13:12.

7 Ada dua kebenaran penting yang perlu diingat tentang pengembangan dan pematangan pengertian akan Allah. Keduanya akan terlihat

Catatan Akhir 229

25 Saya bertanya kepada van Buren di London pada 1981 tentang be ra-pa banyak kunjungan yang telah ia lakukan ke Israel. Ia menjawab hanya sekali, beberapa tahun sebelumnya. Kita pasti beranggapan bahwa sebelum menulis teologinya tentang ”Jewish-Christian Reality”, dan berspekulasi untuk membuat pernyataan yang sangat berat sebelah, van Buren pasti telah melakukan be be rapa kali kun-jungan ke Israel dan meluangkan waktu untuk menyelidiki kom-pleksitas situasi politik dan relasi Israel terhadap orang Arab.

26 Paul M. van Buren, A Christian Theology of the People Israel.27 Ibid., hlm. 200. Untuk studi yang lebih rinci tentang dukungannya

terhadap Israel, lihat Lilienthal, ”Christians in Bondage”, hlm. 486–512.

28 Dari satu artikel (”Christian Zionism”) yang ditulis oleh Joel Barber dalam persiapan dan sebagai sebuah anjuran dari First International Christian Zionist Leadership Congress, di Basel, Switzerland, 1985.

29 Untuk sebuah studi luar biasa tentang sejarah dan kepercayaan kaum fundamentalis, lihat Dewey Beegle, Prophecy and Prediction.

30 Krister Stendahl, ”Toward a New Generation”.31 Kenneth Cragg, ”The Anglican Church” dalam A. J. Arberry (ed.),

Religion in the Middle East, vol. 1, hlm. 588.32 Rosemary Radford Ruether, Faith and Fratricide.33 Michael D. Ryan dari Universitas Drew meresensi buku Ruether dalam

Journal of Ecumenical Studies, vol. 12,no. 4 (Fall 1975): hlm. 603. 34 ”Middle East Peace Means Restoring an Old Arab’s Farm”, National

Catholic Reporter (5 Juni 1987): hlm. 12.35 Rosemary Radford Ruether, ”Peace Doesn’t Mean Putting Palestinians

in Their Place”, National Catholic Reporter (8 April 1988) hlm. 14–15; lihat juga artikel Ruether, ”Listening to Palestinian Christians”, Christianity and Crisis, vol. 48 (4 April 1988), hlm. 113–115.

36 Tinjauan Rosemary Radford Ruether atas buku van Buren dalam Christianity and Crisis, vol. 47 (12 Oktober 1987): hlm. 34.

37 Lihat pernyataan-pernyataan tentang Timur Tengah oleh World Council of Churches, National Council of Churches, dan lainnya. Mengenai para tokoh lain yang telah menunjukkan keberanian da-lam pandangannya, lihat Paul Findley, They Dare to Speak Out.

38 Marc Ellis, Toward a Jewish Theology of Liberation, hlm. 114.39 Ibid., hlm. 25–26.40 Ibid., hlm. 114.41 Ibid., hlm. 116.42 Roberta Strauss Feuerlicht, The Fate of the Jews.43 Ibid., hlm. 220.

18 Semata-mata Keadilan

Mereka pun tidak mendukung terorisme. Warga Palestina adalah orang-orang yang menyebut Palestina sebagai rumahnya, tanah nenek moyangnya. Selama berabad-abad, orang Islam Pales tina, orang Kristen Palestina, Orang Yahudi Palestina, orang Druze Palestina, dan, terbaru, orang Baha’i Palestina telah hidup ber-dampingan. Mereka memeluk kepercayaan yang berbeda-beda, namun mereka semua adalah warga Palestina. Mayoritas di antara mereka, sebelum pembentukan Negara Israel, adalah orang Islam Palestina. Orang Kristen Palestina menjadi kelompok terbesar kedua sampai tahun 1920-an, ketika orang Yahudi Eropa mulai berpindah ke Palestina. Kelompok religius lainnya, termasuk orang Yahudi, me-rupakan minoritas kecil dan selama berabad-abad hidup hanya di beberapa wilayah tertentu. Pada saat ini, ada sekitar 4 atau 5 juta orang Arab Palestina. Sekitar 2,1 juta orang tinggal di Negara Israel serta wilayah pendudukan di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Selebihnya hidup dalam diaspora.8

Seorang ArabBagian ketiga dari identitas saya adalah seorang Arab. Di benak banyak orang Barat, menjadi seorang Arab sama artinya dengan men jadi seorang Muslim. Bagaimanapun, kekristenan Arab lebih tua daripada Islam. Muhammad lahir pada tahun 570 Masehi. Ke-kristenan telah hidup selama 600 tahun di Timur Tengah sebelum agama Islam muncul, dan selama itu banyak suku Arab telah menjadi Kristen. Lebih dari itu, ketika orang Islam Arab menyusuri Timur Tengah pada abad ke-7, sebagian besar orang Semit di wilayah tersebut, yang telah menjadi Kristen selama berabad-abad, secara perlahan-lahan diarabkan.9

Penggabungan antara Arabisme dengan Islam dan kekacauan yang dihasilkan oleh penggabungan seperti itu tidak hanya terjadi di antara orang Barat, tetapi juga di antara banyak orang Islam itu sendiri, entah mereka yang secara etnis adalah orang Arab maupun yang bukan. Banyak di antara mereka yang tidak menerima (bahkan banyak yang menolak) kenyataan bahwa ada orang Kristen Arab. Mereka juga berpikir bahwa ”Arab” sinonim dengan ”Islam”—walau-pun mereka setuju bahwa kebalikannya tidak benar, karena ada banyak orang Islam yang non-Arab. Pada kenyataannya, ke bang-kitan nasionalisme Arab merupakan usaha untuk menanggalkan kepicikan religius yang memenuhi Timur Tengah de ngan cara mem-

Perjumpaan 19

berikan sebuah dasar yang lebih luas bagi orang Arab dan membuat mereka memiliki kesetiaan bersama terhadap tanah air (watan) yang akan menyumbangkan kesejahteraan bagi mereka semua, tanpa me mandang perbedaan agama.10

Lebih dari itu, kekristenan Arab pada masa sebelum Islam bu-kanlah kelompok marjinal dan tidak diperhitungkan, melainkan sebuah gerakan yang telah menembus dan memengaruhi kehidupan banyak suku Arab jauh sebelum Muhammad. Beberapa orang Kris-ten, di bawah dominasi dan tekan an Islam, akhirnya berpindah agama. Yang lainnya secara bertahap pindah ke wilayah utara jazi-rah Arab, di mana mereka dapat berintegrasi dengan orang-orang Kristen lainnya.

Saat ini, orang Kristen Arab dari Tanah Suci merupakan se-buah campuran dari berbagai bangsa, yang asli telah melebur dalam sebuah kepercayaan yang tidak mengenal batasan etnis dan ras. Mereka adalah keturunan orang Kanaan, Asyur, dan Funisia; dari komunitas Kristen perdana, yang berasal dari orang Yahudi, Samaria, Yunani, Romawi dan Arab; dan, kemudian, para pejuang Perang Salib serta mungkin selusin kelompok etnis pribumi lainnya yang tinggal di daerah itu. Semuanya tercampur menjadi satu dan akhirnya secara etnis diarabkan.

Nenek moyang saya berasal dari Nablus, sekarang menjadi ko ta terbesar di Tepi Barat. Saya sering ingin tahu mengapa nama keluarga saya ”Ateek”. ’Atiq, dalam bahasa Arab berarti ”tua”, ”purba”, atau ”antik”. Bertahun-tahun yang lalu, saya pernah berjumpa dengan seorang pemimpin komunitas Samaria di Nablus. Ia dulu teman se-kelas ayah saya semasa kecilnya di Nablus. Ia mengatakan kepada saya bahwa nama Ateek menandakan bahwa keluarga kami adalah salah satu keluarga Arab Kristen yang tertua di Nablus. Entah be-nar atau tidak, sulit diketahui. Namun yang terpikirkan adalah pen-jelasan itu membuat saya sangat bahagia sekaligus bangga.

Seorang IsraelIstilah ”warga Israel” merujuk pada kewarganegaraan saya di Negara Israel. Sebagaimana yang akan dijelaskan kemudian, orang Arab Palestina yang menetap karena keinginan sendiri, atau diizinkan tinggal oleh orang Yahudi Israel, diberi kewarganegaraan Israel. Da-lam Kisah Para Rasul, rasul Paulus, walaupun berlatar belakang Yahudi, senang menjadi warga negara Romawi karena ia dilahirkan

228 Semata-mata Keadilan

3 Karena saya sangat akrab dengan kehidupan komunitas Kristen di Israel setelah 1948, saya secara khusus fokus pada persoalan itu. Ketika saya merujuk pada orang-orang Kristen di Palestina di seluruh wilayah geografi s Palestina, saya memakai istilah Israel-Palestina.

4 Steven Runciman, ”The Christian Arabs of Palestine”, hlm. 3.5 Moshe Menuhin, The Decadence of Judaism in Our Time, hlm. 236.6 Saul P. Colby, Christianity in the Holy Land, hlm. 124.7 Robert Brenton Betts, Christian in the Arab East, hlm. 212.8 Ibid., hlm. 69.9 Kelompok Druze adalah sebuah sekte religius di Timur Tengah yang

memisahkan diri dari Islam pada abad ke-11. Mereka mengikuti je jak kalifah Fatima Mesir, al-Hakim. Kebanyakan penganut Druze ting gal di Suriah dan Lebanon. Sekitar 70.000 orang tinggal di Israel.

10 Colby, hlm. 131.11 Komunitas Islam Arab di Israel, tanpa rohaniwan profesional, ti-

dak terorganisasi dengan baik sebagaimana orang Kristen di situ. Kehilangan akan waqf-nya yang direbut negara telah melumpuhkan pengaruh dan efektivitasnya.

12 Betts, hlm. 173.13 Ibid., hlm. 175.14 Alfred M. Lilienthal, The Zionist Connections, hlm. 112–114; lihat juga

Elias Chacour, Blood Brothers, hlm. 73–83.15 Betts, hlm. 174.16 Lilienthal, hlm. 133.17 Ibid., hlm. 112.18 Beberapa contoh dari Gereja Episkopal: Gereja St. John the Eva-

ngelist di Haifa memiliki jemaat Anglikan yang terbesar di Palestina, anggotanya mencapai 1.200 orang. Setelah perang 1948 dan eksodus besar-besaran orang Arab dari Haifa, jumlah jemaatnya menyusut menjadi 150 orang. Gereja St. Peter di Jaffa memiliki jumlah anggota lebih dari 400 orang, yang berkurang menjadi 15 orang setelah pe-rang tersebut.

19 Howard A. Johnson, Global Odyssey, hlm. 192.20 Ibid., hlm. 188. 21 Mzm. 22, 25, 71, 72, 98, 115, 118, 121, 122, 125, 128, 130, 131,

147, dan 148.22 Mzm. 6, 7, 10, 17, 20, 21, 29, 35, 44, 45, 48, 55, 58, 60, 70, 74, 75,

77, 79, 87, 94, 99, 108, 109, 120, 126, 132, 133, 137, dan 144.23 Paul M. van Buren, Discerning the Way, hlm. 181–182.24 Paul M. van Buren, ”Discerning the Way to the Incarnation”, hlm. 197.

Catatan Akhir 227

85 Avnery, hlm. 113.86 Lilienthal, hlm. 762.87 Lustick, hlm. 24.88 Ibid., hlm. 25.89 Laqueur, hlm. 127.90 Lustick, hlm. 25–26, 77.91 Untuk studi yang lebih rinci tentang hal ini, lihat Elia T. Zureik, The

Palestinians in Israel.92 Avnery, hlm. 211.93 Ibid., hlm. 37.94 Cheryl Rubenberg, The Palestine Liberation Organization: Its Instituti-

onal Infrastructure (Belmont, Mass: Institute of Arab Studies, 1983), hlm. 58–59.

95 Kanana, hlm. 78.96 Lilienthal, hlm. 122.97 Kanana, hlm. 81.98 Lustick, hlm. 143. Statistik terakhir menunjukkan jumlah orang

Arab di Israel sebanyak 18 persen dari total jumlah penduduk.99 Hampir 77 persen pemilih Arab yang memiliki hak suara berpar-

tisipasi dalam pemilu 1984. Sekitar 34 persen di antaranya memilih Democratic Front for Peace and Equality, sementara 18 persen memi-lih Progressive List for Peace. Sisanya 25 persen memilih partai-partai Israel yang lain. Uri Davis, Israel: An Apartheid State, hlm. 138.

100 Lilienthal, hlm. 125.101 Ibid., hlm. 124; Lustick, hlm. 68–69.102 David Shipler, Arab and Jew. Shipler menyebutkan (hlm. 84) bahwa

antara 1 Juni 1978 dan 4 Juni 1982, gerilyawan Palestina membunuh 29 orang Israel dalam serangan ke wilayah Israel utara. Untuk men-cegah penyerangan-penyerangan seperti itu, Israel melancarkan suatu perang yang merenggut 654 korban jiwa.

103 Ibid., hlm. 46–48.104 Hanna Siniora, ”A Palestinian Perpective: Lessons the U.S. Must

Learn” dalam In This Time, vol. 12, No. 16 (16–22 Maret 1988), hlm. 16.

BAB 31 Stephen Neill, Christian Missions, hlm. 420–421.2 Timothy Ware, The Orthodox Church, hlm. 12.

20 Semata-mata Keadilan

di Tarsus, sebuah kota Romawi.11 Demikian juga, sejak 1948, semua orang Arab Palestina yang lahir di Negara Israel menjadi warga negara Israel. Hal ini memiliki keuntungan sekaligus kerugian. Dalam menanggapi anti-Semitisme dan Holocaust, banyak negara di dunia telah menunjukkan sikap bersahabat terhadap Ne gara Israel. Sering kali saya berada dalam posisi yang tidak mengenakkan karena dikira sebagai seorang Yahudi Israel. Kadang-kadang, de-ngan mengasumsikan saya sebagai orang Yahudi, sese orang akan mengucapkan perkataan keji mengenai orang Arab yang buruk dan teroris Palestina. Namun wajahnya kemudian menjadi merah padam dan ia meminta maaf ketika dihadapkan dengan iden titas saya yang sebenarnya.

Ada sekitar 800.000 orang Arab Palestina yang saat ini tinggal di Negara Israel, hampir mencapai 18% dari populasi yang ada. Semuanya warga negara Israel. Termasuk di antara mereka sekitar 100.000 orang Arab Palestina yang beragama Kristen.12

Jelas bahwa tidaklah penting untuk menekankan keanggotaan denominasi kekristenan saya. Saya menyebutkannya hanya untuk melengkapi lingkaran keruwetan yang ada. Gereja Episkopal (Ang-likan) di Palestina dan gereja-gereja Protestan lainnya baru muncul di Timur Tengah pada paruh kedua abad ke-19. Para misionaris Barat datang untuk menobatkan orang Islam dan Yahudi menjadi Kristen. Sangat sedikit orang dari kedua komunitas tersebut yang berpindah agama. Mereka yang menjadi anggota Episkopal atau bergabung de-ngan gereja-gereja Protestan lainnya merupakan orang Kristen yang termasuk dalam gereja-gereja historis di tanah itu.

Beberapa pembaca mungkin ingin tahu apakah saya memba-has empat aspek identitas ini sesuai urutan prioritas, dan apakah saya membubuhkan kepentingan tertentu pada urutan tersebut. Dengan segera saya ingin mengatakan bahwa susunan tersebut tidak mutlak dan dapat diubah. Saya memilih untuk mulai dengan urutan agama, alat identifi kasi tradisional di dunia Timur; dan sebagai seorang rohaniwan yang mengabdikan diri pada pelayanan gereja, saya me rasa perlu untuk mulai dari bagian ini. Namun, saya bukanlah orang yang fanatik, rasialis, atau penuh prasangka. Saya telah dibesarkan untuk menghargai kepercayaan dan agama lain. Saya terus-menerus berdoa demi toleransi, pengertian dan sikap saling menerima yang lebih besar di antara para penganut agama di Timur Tengah. Saya membenci semua fanatisme keagamaan; hal itu merugikan kemanusiaan, tidak sopan, dan merupakan sebuah

Perjumpaan 21

penghinaan bagi Allah. Para ekstremis keagamaan bersalah dalam membuat stereotip tentang Allah. Sayangnya, banyak wilayah di Timur Tengah yang terpengaruh dengan bentuk ekstremisme dan si kap tidak toleran yang seperti ini.

Pada waktu yang bersamaan, saya menyadari bahwa beberapa orang akan mulai dengan mengidentifi kasikan dirinya sebagai se-orang Palestina atau Arab dan setelah itu sebagai orang Kristen. Sa ya telah terlibat dalam berbagai diskusi menarik di mana kaum muda dengan bersemangat memperdebatkan apakah mereka orang Palestina Kristen atau orang Kristen Palestina, orang Arab Kristen atau orang Kristen Arab. Ada berbagai argumentasi yang baik pada kedua belah pihak, tergantung di sisi mana identitas seseorang diuji, karena sisi yang diuji tersebut akan mendapatkan penekanan yang lebih besar. Namun, jika saya ingin mulai dengan hal umum menuju hal yang khusus, saya harus mengatakan bahwa saya adalah seorang Arab, seorang Palestina, seorang Kristen, dan seorang warga dari Negara Israel, dalam urutan tersebut.

226 Semata-mata Keadilan

53 Ibid., hlm. 51.54 Ibid., hlm. 51–52.55 Menachem Begin, The Revolt: Story of the ”Irgun”, hlm. 32, 163, 337.56 Menuhin, hlm. 118–120.57 Berdasarkan rencana pembagian wilayah, daerah yang diberikan ke-

pada Israel adalah 14.400 km2. Ketika pertempuran terjadi, Israel merebut sebuah wilayah sebesar 20.662 km2. Ian Lustick, Arabs in the Jewish State, hlm. 283.

58 Sayegh, hlm. 53. Para pembaca dapat melihat kembali dalam Bab 1 bahwa orang Arab Palestina di Beisan, termasuk keluarga saya, di-pin dahkan pada 26 Mei 1948.

59 Ibid., hlm. 53–54.60 Menuhin, hlm. 126. Dalam Palestinian Self-Determination, hlm. 37,

Hassan bin Talal menulis bahwa hanya 17.500 tentara Arab yang benar-benar memasuki Palestina untuk membantu tetangganya, orang Palestina. Ia mencantumkan gabungan tentara Israel sebanyak 62.500 orang: 3.500 Palmach, 55.000 Haganah, dan 4.000 Irgun.

61 Lustick, hlm. 28.62 Menuhin, hlm. 220–221.63 Lilienthal, hlm. 115.64 Sayegh, hlm. 59–60. Satu dunum kira-kira ¼ acre.65 Lustick, hlm. 48.66 Don Peretz, Israel and the Palestine Arabs, hlm. 143.67 Lustick, hlm. 40.68 Ibid., hlm. 124.69 Ini terjadi pada 21 November 1961; dikutip dalam Menuhin, hlm. 193.70 Lilienthal, hlm. 117.71 Ibid., hlm. 118.72 Ibid., hlm. 115.73 Lustick, hlm. 59.74 Menuhin, hlm. 194.75 Lustick, hlm. 57.76 Lilienthal, hlm. 116.77 Lustick, hlm. 59.78 Avnery, hlm. 179.79 Lilienthal, hlm. 109.80 Menuhin, hlm. 237.81 Lustick, hlm. 41.82 Ibid., 64.83 15 Juni 1969; dikutip dalam Avnery, hlm. 262.84 Lustick, hlm. 135–136.

Catatan Akhir 225

25 A.L. Tibawi, British Interests in Palestine 1800–1901, hlm. 34.26 Avnery, hlm. 66.27 Rosenthal, hlm. 28.28 Avnery, hlm. 107.29 Dimont, hlm. 393. Herzl sendiri senang dianggap sebagai seorang

Mesias. Menuhin, hlm. 40.30 Rosenthal, hlm. 44–45.31 Said, hlm. 70.32 Avnery, hlm. 56.33 Ibid., hlm. 59.34 Alfred M. Lilienthal, The Zionist Connection: What Price Peace? hlm. 13.35 Avnery, hlm. 64. Hagop A. Chakmakjian menulis bahwa selama

kunjungan Herzl kepada Sultan, ”tawaran penukaran otonomi di Palestina sebagai harga dari pengaruh dan dukungan orang Yahudi melawan orang Armenia, yang kondisinya sangat menyedihkan seba-gai akibat pembantaian Turki tahun 1894–1896 telah memuncul kan rasa haru yang mendalam di Eropa...” Hagop A. Chakmakjian, In Quest of Justice and Peace in the Middle East, hlm. 32–37.

36 Menuhin, hlm. 43–49. Pada 23 Januari 1904, Herzl meminta dari raja Italia pembentukan sebuah negara Yahudi di Libya. Jawaban sang raja adalah ”Ma e encora casa di altri!” [”Tetapi, itu adalah tanah air orang lain!”]. Marvin Lowenthal (ed.), The Diaries of Theodor Herzl (New York: Dial, 1956), hlm. 56, dikutip dalam Menuhin, hlm. 49.

37 Ibid., hlm. 48–49.38 C.H. Dodd dan M.E. Sales, Israel and the Arabs, hlm. 63.39 Lilienthal, hlm. 16–17.40 Ibid., hlm. 17.41 Ibid., hlm. 18.42 Menuhin, hlm. 83–84.43 Ibid., hlm. 236.44 Sayegh, hlm. 48.45 Walter Laquer (ed.), The Israel-Arab Reader, hlm. 56.46 Pierre Rondot, The Changing Patterns of the Middle East, hlm. 125.47 Laqueur, hlm. 45–58, 62–75, 84–94.48 Ibid., hlm. 113–122.49 Sayegh, hlm. 49.50 Ibid.51 Lihat Alfred Lilienthal (hlm. 56–59) untuk kisah yang lebih detail

tentang bagaimana suap dan ancaman digunakan untuk menekan para de legasi supaya menyetujui rencana pembagian wilayah.

52 Sayegh, hlm. 44. (cetak miring menurut aslinya)

23

2SEBUAH ARENA PERSELISIHAN:

LATAR BELAKANG POLITIS-HISTORIS

Beginilah fi rman TUHAN: ”Janganlah orang bijaksana bermegah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya ber megah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah fi rman TUHAN.”

Yeremia 9:23–24

Satu-satunya masalah yang pengaruhnya paling menghancurkan terhadap kehidupan gereja di Israel-Palestina, kehidupan se-

luruh rakyat Palestina, dan seluruh Arab Timur selama abad ini adalah konfl ik Arab-Israel. Konfl ik ini tetap menjadi masalah yang paling mengerikan, yang membayangi masalah-masalah lainnya—suatu masalah fundamental, yang menjadi sumber utama yang me-micu dan mengobarkan perselisihan lain secara langsung atau tidak langsung.

Hampir tidak mungkin untuk bersikap objektif terhadap konfl ik Arab-Palestina. Setiap pihak mengklaim objektif, meskipun hanya bisa diterima pada pokok tertentu saja. Selebihnya, objektivitas yang

224 Semata-mata Keadilan

10 Untuk studi tentang tentang nasionalisme Arab, lihat George An-tonius, The Arab Awakening; lihat juga Sylvia G. Haim, Arab Nationalism.

11 Kis. 16:37–39 dan 22:25–29.12 Lihat Bab 2 dan Bab 3.

BAB 2

1 Sharif Kanana, Ataghyeer Al-ijtima’i wa-tawafuq Annafsi ’ind Assukan Al’arab fi Israil [Penyesuaian Sosio-Kultural dan Psikologis dari Minoritas Arab di Israel] (Birzeit University, 1978), hlm. 45.

2 Fayez A. Sayegh, ”A Palestinian View” dalam Sayegh et.al., Time Bomb in the Middle East, hlm. 44–45.

3 Max I. Dimont, Jews, God and History, hlm. 312.4 Moshe Menuhin, The Decadence of Judaism in Our Time, hlm. 25.5 Ibid., hlm. 26.6 Uri Avnery, Israel without Zionism, hlm. 45.7 Ibid., hlm. 173–174.8 E.I.J. Rosenthal, ”Judaism” dalam A. J. Arberry (ed.), Religion in the

Middle East, vol. 1, hlm. 7.9 Dimont, hlm. 196.10 Rosenthal, hlm. 12.11 Ibid. Pada akhir masa hidupnya, Heine bersikeras bahwa walaupun

ia telah dibaptis, ia tidak pernah beralih agama.12 Dimont, hlm. 324–328.13 Avnery, hlm. 48.14 Edward Said, The Question of Palestine, hlm. 96.15 Ibid., hlm. 69.16 Menuhin, hlm. 42.17 Sayegh, hlm. 59.18 Rosenthal, hlm. 35.19 Avnery, hlm. 51.20 Setelah Perang Dunia II, Libya dianjurkan menjadi tempat tinggal

bagi orang Yahudi, namun ditolak oleh kaum Zionis.21 Avnery, hlm. 66.22 Edwin Hodder, The Life and Work of the Seventh Earl of Shaftesbury,

K. G., hlm. 14.23 Ibid.24 Ibid.

223

Catatan Akhir

BAB 11 Beisan/Beth Shean memiliki sejarah yang sangat kaya pada awal

ma sa Perunggu (3.000–2.400 SM). Pada masa itu, kota ini disebut Scythopolis dan menjadi ibu kota Dekapolis. Penggalian paling akhir telah mengungkapkan makna penting kota Beisan yang luar biasa. Lihat ”Return to Eden” karangan Abraham Rabinovich, Jerusalem Post Magazine (6 Mei 1988).

2 Gereja Ortodoks Timur biasanya dikenal sebagai Gereja Ortodoks Yunani. Istilah Yunani dapat menyesatkan. Dalam Patriarkat Antiokia dan Yerusalem, hampir semua anggota Gereja Ortodoks Yunani adalah orang Arab.

3 Lihat Bab 2, Pembagian Wilayah dan Kepanikan, hlm. 37.4 Rudyard Kipling, Sixty Poems (London: Hodder & Stoughton, 1976),

hlm. 112.5 Mzm. 42:12.6 Mengenai studi yang lebih terperinci tentang stereotip terhadap

orang Arab dalam media Amerika, lihat Edmund Ghareeb, ed., Split Vision.

7 Lihat Bab 3.8 Untuk studi tentang PLO, lihat Helena Cobban, The Palestinian

Liberation Organization: People, Power, and Politics (Cambridge University Press, 1985).

9 Untuk studi tentang Kekristenan Arab mula-mula, lihat J. Spencer Trimingham, Christianity Among the Arabs in Pre-Islamic Times (Lon-don & New York: Longman Librairie du Liban, 1979).

24 Semata-mata Keadilan

muncul diselubungi dengan emosi dan keyakinan yang didasarkan pada berbagai interpretasi dan penyesuaian fakta.

Pada intinya, masalah tersebut dihasilkan dari klaim dua bang sa terhadap harta yang sama. Sekalipun klaim ini berasal da-ri sejarah selama ribuan tahun, konfl ik itu sendiri merupakan fe-no mena modern yang belum seabad umurnya—suatu konfl ik yang berakar pada berbagai faktor politik maupun non-politik, yang sebenarnya sama sekali tidak punya kaitan dengan wilayah pertikaian tersebut, tetapi berawal jauh di Eropa. Secara bertahap, tanah kecil dengan luas sekitar 10.000 mil persegi ini menjadi arena perselisihan, kekerasan, dan peperangan yang mengakibatkan terja-dinya pembantaian, pengusiran, dan kesengsaraan bagi ratusan ri bu orang. Kondisi ini terus-menerus membuat wilayah tersebut menjadi tidak stabil dan tegang. Seorang penulis Arab pernah berkata, ”Tanah Suci telah menjadi lebih suci dengan penumpahan darah para martir di atas tanahnya.”1

Rakyat Palestina berusaha untuk membedakan antara konfl ik mengenai Palestina dengan konfl ik Arab-Israel. Konfl ik yang disebut terakhir adalah dampak dari konfl ik yang disebut sebelumnya. Dr. Fayez Sayegh, anak seorang pendeta Presbiterian, menyatakan hal tersebut dalam sebuah alegori:

Seorang anak sedang bermain di halaman rumahnya. Se-kelompok orang asing mendekatinya. Mereka menyergap anak itu dan berusaha untuk membawanya pergi. Si anak melawan, menendang, dan berteriak. Terpancing dengan keributan yang terjadi, saudara-saudara lelakinya keluar dan berusaha menyelamatkan si adik. Salah seorang pen cu lik menarik anak itu dan membawanya pergi, se-mentara yang lainnya tetap tinggal untuk melawan saudara-saudaranya dan menghalangi mereka yang ingin mengejar. Sebuah perkelahian sengit terjadi. Kerumunan pun terjadi. Seorang polisi melakukan interven si dan berusaha memisahkan pihak-pihak yang berkelahi. Setiap ada kesempatan, mereka bentrok kem-bali—dan kemudian dipisahkan lagi. Beberapa penonton, khawatir dengan perselisihan yang terus berlarut, meninggalkan lokasi, tidak peduli de ngan dampak perselisihan tersebut. Yang lainnya men desak saudara-saudara anak itu untuk kembali ke

Sebuah Arena Perselisihan 25

dalam rumah, dan berharap bahwa kedamaian dapat ter cipta. Beberapa orang mengajukan penawaran untuk menyelesaikan konfl ik. Sementara itu, sang polisi dengan was-was menghitung serangan yang terjadi dan mencatat se ca ra teliti la poran tentang apa yang telah dilakukan satu pihak terhadap yang lainnya dalam konfl ik tersebut. Akan tetapi, semua nya tampak seperti tidak tahu tentang peristiwa penculik an yang mengakibatkan perkelahian tersebut atau lupa tentang nasib si korban. Selama masa itu, saudara-saudara lelakinya mem-pro tes bahwa satu-satunya alasan bagi perselisihan itu adalah pencu likan adik mereka dan mengumumkan bah-wa tidak akan ada perdamaian sampai adiknya dibe-baskan. Namun, pengumuman itu salah dimengerti se-bagai sebuah ekspresi kekerasan hati dan keinginan un tuk terus berkelahi.2

Perkelahian antara para saudara lelaki dengan para penculik dalam alegori tersebut menyimbolkan konfl ik Arab-Israel, sementara per-selisihan di seluruh Palestina disimbolkan dengan penculikan tadi. Bagi orang Arab, Palestina adalah sebuah negara Arab, suatu bagian integral dari dunia Arab. Sejak abad ke-7, orang Arab telah menjadi kelompok mayoritas. Namun, bagi banyak orang Yahudi, Palestina adalah negara Yahudi. Melalui sejarah mereka yang panjang, seba-gian orang Yahudi telah hidup di tanah itu—dalam kurun waktu singkat mereka pernah menjadi kelompok mayoritas di sana, namun pada kurun waktu lainnya mereka hanyalah kelompok minoritas yang kecil—dan mereka sama sekali tidak pernah meninggalkan ta-nah itu. Tanah itu dikenang sebagai tanah para leluhur mereka dan pusat dari pengharapan mereka untuk kembali pulang, yang ter-ungkap jelas dalam ibadah dan liturgi mereka.

Meskipun rasa cinta orang Yahudi terhadap Palestina tidak pernah diragukan, gerakan kaum Zionis, yang dimulai pada akhir abad ke-19, tidak pertama-tama muncul karena alasan-alasan re-li gius; gerakan itu adalah sebuah gerakan politik kaum nasionalis, yang dipengaruhi oleh sejumlah faktor penting.

222 Semata-mata Keadilan

iman untuk percaya pada sebuah kemerdekaan dunia dari keke-rasan, sebuah dunia baru di mana tidak ada lagi ketakutan yang mengakibatkan manusia melakukan ketidakadilan, maupun keegois-an yang mengakibatkan mereka membuat orang lain menderita.

Tolonglah kami untuk memberikan seluruh hidup, pikiran, dan tenaga untuk tugas pendamaian, selalu berdoa untuk memperoleh inspirasi dan kekuatan untuk memenuhi takdir yang kepadanya kami dan seluruh manusia telah diciptakan.19

Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku kedamaian untuk menerima apa yang tidak dapat aku ubah, keberanian untuk mengubah apa yang dapat aku ubah,dan hikmat untuk membedakan keduanya.20

Keadilan, dan Hanya keadilan 221

doa, ketika diucapkan, membuka diri kita di hadapan Allah dan membiarkan Allah untuk berkarya sehingga kita dapat menjadi alat-alat Allah untuk memajukan keadilan, kedamaian, dan rekonsiliasi dalam dunia.

Dua doa di antaranya sudah terkenal. Yang pertama, doa Santo Fransiskus, merupakan sebuah doa pribadi tentang komitmen ter-hadap perdamaian dan implikasinya bagi orang itu sendiri. Yang kedua merupakan doa umum untuk keadilan dan perdamaian di dunia. Yang ketiga, yang selalu dihubungkan dengan Reinhold Niebuhr, telah menjadi favorit bagi banyak kelompok masyarakat. Saya temukan bahwa doa itu cocok menjadi doa bagi konfl ik Timur Tengah karena memohon integritas manusia yang nyata dan kede-wasaan untuk menerima hal-hal yang harus diterima dan meng ubah hal-hal yang harus diubah.

Semoga Allah empunya keadilan, belas kasih, dan kedamaian menerima doa-doa yang kita sampaikan ini.

Tuhan, jadikanlah aku sebagai alat damai-Mu.Di mana ada kebencian, biarlah aku menaburkan cinta,Di mana ada luka, pengampunan;Di mana ada keraguan, iman;Di mana ada keputusasaan, harapan;Di mana ada kegelapan, terang;Di mana ada kesedihan, sukacita.Oh, sang Mahakuasa, anugerahkan supaya aku tidak terlalu memintauntuk dihibur, melainkan menghibur,dipahami, melainkan memahami,dicintai, melainkan mencintai,karena dalam memberi kami menerima;dalam mengampuni kami diampuni;dalam kesengsaraan kami dilahirkan dalam hidup yang kekal.18

Tuhan, kami berdoa memohon dimampukan untuk menjadi lemah lembut; kekuatan untuk mengampuni; kesabaran untuk mema-hami; dan ketahanan untuk menerima segala konsekuensi dari mempertahankan apa yang kami yakini sebagai benar.

Biarlah kami percaya pada kekuatan baik untuk menghadapi kejahatan dan pada kekuatan kasih untuk menghadapi kebencian. Kami berdoa supaya memiliki visi untuk melihat ke depan dan

26 Semata-mata Keadilan

ANTI-SEMITISME MODERNWalaupun akarnya tertanam pada abad-abad pertama, anti-Semit-isme modern belum mendapatkan bentuknya sampai tahun 1800-an.3 Anti-Semitisme merupakan sebuah fenomena Barat yang menen-tang jati diri orang Yahudi sebagai orang Yahudi. Paham ini sama sekali tidak berkaitan dengan identitas Yahudi secara individual, baik kekurangan ataupun kelebihannya. Gerakan ter sebut mulai menyatakan diri di Eropa dalam wujud diskriminasi, prasangka, dan pembunuhan massal. Moses Hess (1812–1875), bapak nasionalisme politik Yahudi yang sesungguhnya, tersentak dengan kemunculan anti-Semitisme di kalangan orang-orang sebangsanya, Jerman. Seba-gaimana yang ia tulis pada tahun 1862 dalam Rome and Jerusalem:

Kami, selaku orang Yahudi, selalu menjadi orang asing di tengah berbagai bangsa.... Adalah sebuah kenyataan bahwa agama Yahudi berada di atas segala bentuk na-sionalisme Yahudi... setiap orang Yahudi, suka atau tidak suka, secara otomatis, berdasarkan kelahirannya, terikat dalam solidaritas dengan seluruh bangsanya... Masing-masing memiliki solidaritas itu dan bertanggung jawab bagi kelahiran kembali Israel....4

Perlu diketahui bahwa Hess, yang melarikan diri dari Jerman ke Prancis, menganjurkan kepada orang Prancis untuk mendirikan se-macam mandat di Palestina bagi kepentingan orang Yahudi, sehingga pada akhirnya akan menjadi sebuah negara Yahudi.5

MUNCULNYA NASIONALISMEPada abad ke-19, berbagai gerakan kebangsaan bermunculan di Eropa Timur. Polandia, Ceko, Slovakia, Serbia, Kroasia, Lithuania, dan lain-lain mulai melancarkan agitasi bagi kemerdekaan nasional. Setiap bangsa bermimpi membangun sebuah negara-bangsa sendiri, berdasarkan bahasa dan budaya masing-masing. ”Setiap negara ba-ru dipahami sebagai reinkarnasi kejayaan masa lalu, sebagai ke-bangkitan dari beberapa negara atau kekaisaran kuno yang di da-lamnya kelompok masyarakat tertentu itu telah meninggalkan jejak mereka dalam sejarah.”6 Zionisme diluncurkan berdasarkan asumsi penting bahwa semua orang Yahudi di seluruh dunia merupakan

Sebuah Arena Perselisihan 27

sebuah bangsa dalam konseptualisasi ala Eropa, yaitu sekelompok masyarakat yang mengidentifi kasikan diri dengan sebuah negara politis, entah yang sudah ada ataupun yang akan dibentuk.7

EMANSIPASI YAHUDIBerawal dari Revolusi Prancis (1789), komunitas Yahudi di Eropa Barat memperoleh emansipasi dalam hal status hak dan kewarganegaraan. Orang Yahudi dari Westpalia, misalnya, memperoleh hak emansipasi pada tahun 1808; orang Yahudi dari Prusia pada tahun 1812. Di Inggris, berbagai pembatasan diskriminatif terhadap orang Yahudi dicabut pada tahun 1858.8 Namun, emansipasi menciptakan berbagai masalah yang serius. Ketika tembok pembatas ghetto di Eropa barat diruntuhkan, orang Yahudi sepenuhnya bebas memasuki kehidupan publik—sebuah pengalaman baru bagi kebanyakan orang Yahudi. Tanggapannya beragam, dan beberapa berusaha untuk berasimilasi ke dalam gereja Kristen.9

David Friedlander (1750–1834), seorang murid Moses Men-delssohn, menyarankan agar orang Yahudi masuk agama Kristen secara massal, dengan syarat agar orang Yahudi yang telah menerima baptisan tidak diharuskan untuk percaya kepada semua doktrin Kristen. Tentu saja, beberapa rabi Yahudi yang menganut paham tradisional menentang emansipasi kaum Yahudi ini karena takut bahwa jalan masuk ke dalam budaya yang dominan itu akhirnya akan mengarah pada penerimaan iman yang dominan.10 Penyair Heinrich Heine (1797–1856) menyebut penerimaannya terha dap kekristenan sebagai ”tiket masuk ke dalam budaya orang Eropa.”11

Akan tetapi, emansipasi juga membawa serta kejahatan anti-Semit isme. Salah satu contoh terkenal adalah pengadilan militer pada tahun 1894 terhadap Alfred Dreyfus, yang walaupun tidak bersalah atas tuduhan spionase atas dirinya, tetap dihukum karena ia adalah orang Yahudi.12 Orang-orang Yahudi yang terpengaruh paham pencerahan telah mengira bahwa emansipasi berarti toleransi. Namun kasus Dreyfus menunjukkan bahwa anti-Semitisme belum hilang. Peristiwa inilah yang pada akhirnya mendorong Theodor Herzl (1860–1904) membuang ide asimilasi dan menulis The Jewish State (1896), yang berisi gagasan-gagasannya tentang Zionisme politik.

220 Semata-mata Keadilan

penderitaan baru akan dilahirkan terhadap orang lain—maka dukacita penderitaan tidak akan pernah berhenti di dunia ini dan akan berlipat ganda. Dan jika kamu telah memberikan tempat yang layak untuk dukacita, maka dengan sungguh-sungguh kamu dapat berkata: hidup itu indah dan begitu kaya. Terlalu indah dan kaya sehingga membuatmu mau percaya pada Allah.16

Tetap berjuang melawan kebencian dan melakukan pengampunan tidak harus berarti melepaskan kebenaran kita atau me ninggalkan keadilan. Ini harus ditekankan terus-menerus. Sebagai bagian dari perintah mengasihi musuhmu, orang Kristen harus diingatkan me-ngenai ”musuh” dari keadilan dan kebenaran. Menjadi bagian dari mengasihi adalah menyatakan kebenaran. Menjadi bagian dari tang gung jawab bagi diri kita sendiri dan bagi umat Allah di dunia adalah menyingkapkan ketidakadilan. Yang salah adalah salah. Yang tidak adil adalah tidak adil. Dan orang Kristen Palestina ha-rus memegang prinsip ini serta menuntut supaya keadilan harus di ber lakukan. Mereka seharusya tidak pernah menyerah atas hak-haknya, namun mereka juga tidak boleh menyerah pada kebencian. Booker T. Washington, yang sebagai orang kulit hitam punya alasan tepat untuk merasakan kepahitan dan membenci orang kulit putih, berkata, ”Saya tidak akan pernah membiarkan diri membungkuk sedemikian rendah dengan mem benci seseorang.”17

Tantangan bagi orang Kristen Palestina, dan sebenarnya bagi seluruh orang Palestina maupun semua orang yang terlibat dalam konfl ik Israel-Palestina ini, adalah: jangan hancurkan dirimu dengan ke bencian; peliharalah kebebasan yang ada dalam dirimu; tuntutlah keadilan, dan berusahalah mendapatkannya, maka kamu akan me-milikinya.

SEBUAH CATATAN TAMBAHANJiwa gembala dalam diri saya mendesak saya untuk mengakhiri pen jelasan saya dengan tiga doa. Buku ini telah menyentuh sejarah, politik, agama, dan teologi. Oleh karena itu, doa-doa dipersembahkan sebagai suatu cara mengangkat setiap persoalan utama kepada Allah, dan juga mendoakan semua orang yang terperangkap dalam konfl ik Timur Tengah. Dan biarlah kita menyadari bahwa sebuah

Keadilan, dan Hanya keadilan 219

menerus muncul sebuah hak istimewa. Kesadaran akan kebenaran yang kreatif itu datang dalam sebuah kilasan: ampunilah sesamamu, seperti dirimu sendiri, karena kita juga tidak tahu apa yang kita perbuat.14

Kalimat terakhir sesuai dengan pernyataan Kristus, yang di te-ngah kese dihan dan penderitaan-Nya di kayu salib, mampu meng-am puni para musuh-Nya.

Tantangan bagi orang Kristen adalah meniru Tuhannya dan memilih untuk mengampuni, bukannya membalas dendam. Mungkin tidak ada karakter Allah di Perjanjian Baru yang lebih baik dari-pada pengampunan dan kasih—perhatikan bahwa peringatan untuk mengasihi musuhmu itu diikuti dengan kalimat, ”Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga.”

Pernyataan van der Post benar. Saya takjub bahwa banyak orang Yahudi di Israel-Palestina merasionalkan perbuatan kasarnya terhadap orang Palestina melalui cara mengidentifi kasikan dengan penderitaan orang Yahudi selama Holocaust yang tidak dialami lang-sung oleh mereka. Memang benar, mereka yang menderita dapat meng ampuni, dan mereka yang hanya membayangkan penderitaan sering kali marah dan penuh kebencian. Di sini kita diingatkan pa da Etty Hillesum, seorang Yahudi berkebangsaan Belanda yang di pin-dahkan bersama orangtua dan saudara laki-lakinya ke Auschwitz pada tahun 1943, tempat mereka semua mati. Walaupun ia menang-gung dan menyaksikan penderitaan besar di sekelilingnya di kamp-kamp maut Nazi, ia tidak pernah membenci. Dalam catatan hariannya ia menyebutkan betapa Nazi itu kejam dan tak berbelas kasih, serta menambahkan bahwa ”kita sendiri harus sungguh-sungguh lebih berbelas kasih.”15 Pada suatu hari ia menulis:

Jangan bebaskan perasaanmu melalui kebencian, jangan membalaskan dendammu pada para ibu Jerman, karena mereka juga berduka pada saat ini atas anak laki-laki me re-ka yang mati terbunuh. Berikan bagi dukacita dalam dirimu sendiri, tempat yang seharusnya, karena jika setiap orang dengan jujur dan berani mengungkapkan kedukaannya, maka dukacita penderitaan yang sekarang melanda dunia akan mereda. Jika engkau tidak membersihkan sebuah persinggahan yang layak bagi dukacitamu, dan tetap me-nyediakan tempat yang lebih besar dalam dirimu untuk kebencian dan niat balas dendam—yang darinya berbagai

28 Semata-mata Keadilan

KOLONIALISMEGerakan Zionis terinspirasi oleh semangat kolonialisme Eropa abad ke-19, yang pada waktu itu belum sepenuhnya menampakkan sifat eksploitatifnya. Kebanyakan orang Eropa tetap melihatnya secara positif, sebagai upaya membawa peradaban dan kebudayaan kepada masyarakat yang terbelakang. Bagi Herzl, Palestina merupakan ”bagian dari kubu Eropa melawan Asia” yang ”akan berfungsi sebagai salah satu pelopor kebudayaan melawan barbarisme.”13 Ketika Chaim Weizmann (1874–1952), yang kemudian menjadi presiden pertama Negara Israel, merancang berbagai upaya untuk memasuki Palestina dan merencanakan program permukiman Yahudi, ia menulis pada awal tahun 1917 bahwa ”Pemerintah yang berkuasa (yakni, pemerintahan apa pun, Sekutu atau lainnya, yang berkuasa di wilayah itu) dapat mendukung pembentukan sebuah organisasi Yahudi untuk kolonisasi Palestina oleh orang Yahudi....”14

Profesor Edward Said dari Columbia University telah menun-jukkan hubungan antara Zionisme dan kolonialisme Eropa dalam bukunya yang berjudul The Question of Palestine. Sekalipun Zionisme lahir dalam sebuah era kejam anti-Semitisme Barat, paham ini pun muncul selama periode puncak penjajahan Eropa di Afrika dan Asia. ”Zionisme pada mulanya dicetuskan oleh Theodor Herzl sebagai bagian dari gerakan umum pengambilalihan dan pendudukan.... Zionisme tidak pernah menyatakan dirinya secara tegas sebagai sebuah gerakan pembebasan Yahudi, tetapi lebih sebagai gerakan orang Yahudi untuk permukiman kolonial.”15 Hal tersebut lebih jauh tergambar ketika Kongres Zionis II pada Agustus 1898 di Basel, Switzerland, menetapkan Jewish Colonial Trust Limited, yang pada tahun 1901 diubah menjadi Jewish National Fund.16

Walaupun dalam banyak hal lebih mirip dengan kolonialisme bangsa Eropa, gerakan kaum Zionis punya perbedaan dalam ajar an utamanya. Misi kaum kolonialis adalah untuk membawa kebuda-yaan dan peradaban bagi masyarakat pribumi yang berada di wilayah jajahan—yang dianggap rendah, terpinggirkan, dan terbe-lakang. Namun, tidak demikian bagi kaum Zionis. Herzl menulis dalam catatan hariannya pada 12 Juni 1895 bahwa ”Ketika kita menduduki tanah itu... kita harus mengambil alih secara halus se-luruh kekayaan pribadi atas tanah yang telah diserahkan kepada kita itu” dan ”berusaha mengentaskan masyarakat miskin keluar dari garis perbatasan.”17

Sebuah Arena Perselisihan 29

Zionisme memiliki karakter yang lebih sekuler. Ini terbukti pada tahap-tahap awal, karena Palestina tidak dilihat sebagai satu-satunya negara yang dapat menyediakan solusi terhadap penyebaran orang Yahudi. Bahkan sebelum peresmian gerakan kaum Zionis, Dr. Leo Pinsker (1821–1891), seorang Yahudi-Rusia yang terkenal, yang kemudian menjadi seorang nasionalis Yahudi sebagai dampak dari pembantaian massal di Rusia tahun 1881–1882, menganjurkan adanya sebuah rumah nasional, entah di Palestina atau di Argentina. Ia mencatat bahwa bangsa-bangsa dapat saling menghargai selama mereka dapat terlebih dulu saling menyatakan keramahtamahan, yakni selama mereka semua masih memiliki tanah air masing-masing: ”Keanehan orang Yahudi adalah mereka tidak memiliki tanah air. Sebagai sebuah bangsa tanpa tanah air, mereka menciptakan kesan seperti hantu yang menyeramkan di antara bangsa-bangsa yang me nerima mereka... dan ada semacam ketakutan umum terhadap hantu itu.... Biarlah orang Yahudi memi liki tanah airnya sendiri dan menjadi sama seperti bangsa-bangsa lainnya.”18

Pada kenyataannya, Theodor Herzl, pendiri gerakan Zionis, bersedia mendirikan tanah air Yahudi di tempat-tempat seperti Ar-gentina, Uganda, Siprus, dan El-Arish (bagian utara Sinai).19 Namun tidak lama kemudian, Pa lestina menjadi incaran utama, sebuah tem pat yang mewujudkan segala harapan, warisan, dan sejarah masyarakat Yahudi.20 Sebuah negara Yahudi di Palestina kemudian menjadi sebuah pandangan yang makin kuat, dan bukan hanya bagi orang Yahudi. Pandangan tersebut mampu membangkitkan emosi dan mengumpulkan dukungan dari banyak orang Kristen Barat, yang melihat kembalinya orang Yahudi ke Palestina sebagai tanda yang mengarah pada eschaton, kedatangan Kristus kembali, dan penggenapan rencana Allah untuk masa yang akan datang.

SEBUAH BANGSA TANPA NEGARAPada 17 Agustus 1840, sebuah tajuk rencana majalah Times London mengajukan sebuah rencana ”menempatkan orang Yahudi di ta nah leluhurnya” dan mengakui hak-hak serta keistimewaan terhadap permukiman Yahudi yang akan ”menjamin keamanan mereka di bawah perlindungan sebuah kekuatan Eropa”. Kekuatan yang dimaksud di sini adalah Inggris.21 Rencana ini dikemukakan oleh Earl of Shaftesbury, seorang Kristen yang saleh, yang mengharapkan

218 Semata-mata Keadilan

dapat membayangkan penderitaan itu. Me nurutnya, orang yang menderita dapat memaafkan, namun orang yang berpartisipasi da-lam penderitaan melalui imajinasi hanya akan dipenuhi dengan kemarahan, kebencian, dan rasa dendam.

Saya mengalami sebuah ironi yang lebih menakutkan daripada kehidupan orang Afrikaner, yaitu orang seperti ayah saya, yang bersama Smuts dan Botha telah berjuang dan menderita dalam peperangan, dapat mengampuni dan memulai kehidupan baru. Sementara, orang lain yang hidup pada saat ini, yang tidak pernah berada di pusat konfl ik, tetap sulit mengampuni sebuah luka yang bahkan tidak pernah dilakukan terhadap mereka. Bagaimana mung kin akan pernah ada sebuah permulaan baru yang nyata tanpa pengampunan? Saya melihat sesuatu yang mirip dalam pengalaman pribadi saya ketika bertemu beberapa opsir Jawatan Keja-hatan Perang, yang tidak mengalami penawanan Je pang dan juga tidak berperang melawan Jepang. Mereka lebih dipenuhi dendam dan kebencian atas apa yang dilakukan terhadap kami dan atas penderitaan kami selama di pen-jara dibandingkan diri kami sendiri. Saya sering kali menyadari bahwa pende ri taan yang paling berat, jika tidak boleh dikatakan mustahil, untuk diampuni adalah penderitaan imajinatif atau yang tidak nyata. Tidak ada kekuatan di dunia yang sama dengan imajinasi. Sayangnya, keluhan yang paling kuat hanyalah imajinasi. Mari kita menyadari bahwa ada masyarakat dan bangsa yang dengan pertimbangan mendalam menciptakan penderitaan dan keluhan, yang memampukan mereka meng hin darkan aspek-aspek realitas yang tidak mela yani kepentingan dirinya, kebanggaan pri badi, atau kepuasan hidupnya. Penyakit imajinasi ini memampukan mereka untuk meng hindar dari beban yang pantas dipikul oleh kita semua. Orang yang benar-benar telah menderita di tangan orang lain tidak sulit untuk mengampuni, bahkan juga ti dak sulit untuk memahami orang-orang yang menyebab-kan pen deritaan itu. Mereka tidak sulit untuk mengam-puni karena dari dalam penderitaan dan dukacita terus-

Keadilan, dan Hanya keadilan 217

sesuatu di Beisan. Perjuangannya nyata, namun ia tidak menga-lah pada kebencian. Karena ketika manusia membenci, kekuatan ke bencian akan meliputi mereka dan mereka sepenuhnya akan termakan oleh kebencian mereka sendiri. Jadi, saya menyadari tantangan untuk saudara-saudara saya, warga Palestina, menjadi tiga kali lipat:

Tetap berjuang melawan kebencian dan dendam. Selalu meng-akui bahwa perjuangan berjalan terus dan pertempuran belum berakhir. Kadang kalian akan berada di atas, kadang kalian akan merasa terpukul jatuh. Walaupun itu sangatlah sulit, jangan pernah membiarkan kebencian menguasai diri kalian sepenuhnya. Dengan kekuatan yang berasal dari Allah, perjuangan itu harus terus berlanjut sampai tiba waktunya ketika kalian mulai menghitung lebih banyak kemenangan daripada kekalahan.

Jangan pernah berhenti berusaha untuk melakukan hukum kasih dan pengampunan. Jangan mengurangi kekuatan pesan Yesus: jangan menjauhkan diri darinya, jangan menolaknya sebagai sesuatu yang tidak nyata dan tidak dapat dilakukan. Jangan dipangkas sesuai kebutuhanmu, berusahalah untuk membuat pesan itu lebih berguna bagi kehidupan nyata di dunia. Jangan mengubahnya sehingga kalian akan digugatnya. Jagalah pesan itu apa adanya; cita-citakanlah itu, inginkanlah itu, dan bekerjalah bersama Allah untuk mencapainya.

Ingatlah bahwa sangat sering terjadi orang yang lebih banyak menderita di tangan orang lain adalah orang yang mampu memberi-kan pengampunan dan kasih.

MEREKA YANG MENDERITA DAPAT MEMAAFKAN

Laurens van der Post dulu dipenjara oleh orang Jepang selama Perang Dunia II, mengalami penyiksaan, dan hampir meninggal dunia. Pada bagian pendahuluan buku Venture to the Interior, ia menceritakan Perang Boer di Afrika Selatan pada peralihan abad ini dan juga kepahitan yang dialami ayahnya setelah perang. Kemudian, salah satu pemimpin Afrikaner (keturunan Belanda di Afrika Selatan —ed.) membuat sebuah langkah rekonsiliasi dengan Inggris, dan kepahitan ayahnya pun lenyap. Van der Post me lanjutkan tulisannya tentang orang-orang yang tidak mengalami penderitaan tetapi hanya

30 Semata-mata Keadilan

penggenapan nubuatan alkitabiah dan kembalinya orang Yahudi ke ”tanah airnya”. Pada 17 Mei 1854, sang Earl menulis dalam catatan hariannya:

Kemaharajaan Turki mengalami kehancuran yang begitu cepat; setiap bangsa menjadi gelisah; semua hati meng-harapkan hal-hal besar terjadi.... Tidak ada seorang pun dapat mengatakan bahwa kita sedang menantikan nu buatan; seluruh persyaratan tentang nubuatan itu tampaknya hampir terpenuhi; Suriah ”terbuang begitu saja tanpa penduduk”; wilayah-wilayah yang luas dan subur ini akan segera menjadi kota tanpa hukum, tanpa kekuasaan yang dikenal dan diakui untuk memimpinnya. Wilayah itu harus diserahkan kepada seseorang; dapatkah wilayah itu diberikan kepada salah satu raja di Eropa? Kepada salah satu koloni Amerika? Kepada salah satu raja atau suku di Asia? Apakah ada calon-calon dari Afrika yang mau menuntut dengan sungguh-sungguh atas tanah yang terletak dari Hamath sampai ke sungai di Mesir? Tidak, tidak, tidak! Ada sebuah negara tanpa bangsa; sebuah bangsa tanpa negara. Umat milik Allah yang pernah dikasihi, ditolak, namun tetap dikasihi, keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub.22

Tuliskan hari ini kepada Sir Moses Montefi ore, un-tuk mempelajari, jika saya mampu, perasaan-perasaan bangsanya menanggapi rencana yang sudah saya sampai-kan kepada Clarendon. Dari Clarendon kepada Lord Stratford, bahwa sang Sultan harus digerakkan untuk menerbitkan sebuah perintah yang mengakui kekuasaan orang Yahudi atas tanah di Suriah, atau bagian lain dari wilayah kekuasaan Turki. Ini akan mirip dengan Dekrit Raja Koresy. Tentu saja tidak ada orang yang dapat berkata, ”Engkau sedang mendorong peristiwa-peristiwa itu”; peristiwa-peristiwa tersebut sedang menghampiri ki-ta dengan cepat; kami hanya ingin melihatnya.23

Earl of Shaftesbury selalu berjuang demi kesejahteraan Israel secara fi sik maupun spiritualnya. Penulis biografi nya, Edwin Hodder, mencatat:

Sebuah Arena Perselisihan 31

Keadaan permasalahan di Timur (tahun 1854) menum-buhkan kembali berbagai harapan bahwa sudah waktunya sebuah jalan dibuka bagi kembalinya bangsa Yahudi ke milik pusakanya di Tanah Perjanjian.... Lord Shaftesbury tidak pernah ragu sedikit pun bahwa orang Yahudi akan kembali ke tanah mereka sendiri, bahwa fi rman Tuhan di genapi secara harfi ah, dan waktunya sudah tiba... stu-di tentang nubuatan alkitabiah menuntunnya untuk meng hubungkan kepulangan orang Yahudi dengan Keda-tangan Kedua Kali Tuhan kita, dan inilah harapan yang menghidupkan setiap orang lainnya.24

Kaum Zionis berharap dapat menanamkan sentimen-sentimen reli-gius dan juga politis semacam itu. Ide tentang persemakmuran Ya-hudi di Palestina sebagaimana dipelopori Kerajaan Inggris telah di pi-kirkan sejak awal tahun 1840. Lord Palmerston, Menteri Luar Negeri Inggris, adalah ayah tiri dari istri Shaftesbury sekaligus sahabatnya.25 Palmerston berpandangan bahwa suatu permukiman Yahudi di Palestina akan sangat membantu bagi Kemaharajaan Ottoman. Ia menuliskan kepada duta besarnya di Istanbul:

Pada saat ini, di kalangan orang-orang Yahudi yang ter-sebar di seluruh Eropa, berkembang sebuah keyakinan kuat bahwa waktunya sudah dekat bahwa bangsanya akan kembali ke Palestina.... Masyarakat Yahudi, jika kembali dengan jaminan dan perlindungan serta undangan Sultan, akan menghentikan berbagai maksud buruk Mehemet Ali atau para penerusnya.... Saya harus menyatakan dengan jelas kepada Yang Mulia untuk menasihatkan [kepada pemerintah Turki] agar mendukung setiap dorongan bagi orang Yahudi di Eropa untuk kembali ke Palestina.26

Menarik bahwa Shaftesbury mengungkapkan sentimen-sentimen ini setengah abad sebelum kemunculan Zionisme secara resmi. Se-bagian orang Kristen Barat sejak awal menjadi sumber yang potensial dalam mendukung berbagai aspirasi kaum Zionis. Penganut Pro-testan, sebagai contoh, membuktikan dirinya sangat efektif dalam hal ini. Dengan Alkitab sebagai pemandu utama, dan mengamati penyebaran orang Yahudi, banyak orang Protestan menggunakan pernyataan-pernyataan nubuatan tertentu dari masa pembuangan dan pasca-pembuangan Perjanjian Lama ke dalam waktu mereka

216 Semata-mata Keadilan

tingkat kesadaran yang lebih tinggi, peka terhadap segala hal yang sedang terjadi di sekitar mereka. Mereka menyadari bahwa ini adalah dunia milik Allah dan bahwa mereka terpanggil untuk menjadi para pengurus yang setia atas dunia itu. Lebih dari itu, mereka adalah penjaga sesamanya. Menjadi peka berarti peduli, punya perhatian, dan terlibat dalam dunia nyata manusia.

Di satu sisi, orang Kristen mengetahui betapa dalam dan luasnya dosa serta kejahatan di dunia. Karena itu, tidak ada hal yang mengejutkan mereka jika manusia hidup tanpa Allah; ke-tika manusia membiarkan keegoisan menguasai dirinya; ketika, dituntun oleh ketamakan, orang menyelewengkan dan menaklukkan sesamanya. Di sisi yang lain, orang Kristen harus ber usaha un-tuk tidak mengurangi atau mengompromikan cara hidup orang Kristen, yang pada intinya merupakan kehidupan manusia yang sesungguhnya—manusia menilai kehidupan yang baik selama me-reka memahaminya melalui Kristus. Mereka tidak mengalah pada keadaan yang umumnya terjadi. Yang ideal tetap terangkat dan tidak dikurangi. Mereka akan terus-menerus mendambakan yang ideal itu dan berusaha untuk berbuat sesuai dengan yang ideal itu. Yang ideal itu seharusnya tidak menciptakan kekecewaan, karena mereka harus realistis dalam kehidupannya bersama Allah. Mereka memang menyadari kelemahan dan kemanusiaannya, namun sangat sadar akan kekuatan Allah yang bekerja di dalam mereka. Oleh ka rena itu, di tengah kebencian dan kepahitannya, mereka tidak dapat melupakan perkataan Yesus: ”Kamu telah mendengar fi rman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga....”13

Orang Kristen menyadari betapa sulitnya perkataan ini. Namun, mereka sepenuhnya sadar bahwa perkataan Yesus mencerminkan manusia yang sebenarnya, dan mereka harus tetap pada standar kehidupan autentik yang sebenarnya.

Oleh karena itu, tantangan bagi orang Kristen Palestina, dan tentu saja bagi semua orang Kristen ketika menghadapi situasi yang penuh kepahitan dan kebencian, adalah tetap berjuang dan tidak mengalah pada keputusasaan dan kebencian. Saya bercerita dari pengalaman pribadi saya dengan Israel sejak tahun 1948. Saya te lah belajar banyak dari ayah saya, ayah yang seharusnya sampai pada tahap benci dan dendam dalam hidupnya setelah kehilangan segala

Keadilan, dan Hanya keadilan 215

bagai kebijakan tangan besi mengakibatkan kebencian yang semakin bertambah besar. Dan warga Palestina berdiri teguh dalam kebulatan tekad untuk menolak pendudukan. Rakyat yang tertindas dan tidak punya kebebasan dengan mudah belajar untuk membenci.

Dalam The Yellow Wind, David Grossman bercerita tentang se orang lelaki berusia 30 tahun yang hidup di kamp pengungsian Balata dekat Nablus di Tepi Barat. Lelaki tersebut menghabiskan sepuluh tahun hidupnya di penjara karena menjadi anggota salah satu organisasi PLO. Identitas kepalestinaan lelaki ini dibangun dan diperkokoh selama dalam penjara. ”Sebelum dipenjara, saya tidak pernah tahu bahwa saya adalah seorang Palestina. Di sana mereka mengajarkan saya tentang siapa saya sebenarnya. Sekarang saya punya beberapa pendapat. Jangan percaya kepada orang yang berkata bahwa orang Palestina tidak sungguh-sungguh membencimu. Pahamilah: rata-rata orang Palestina bukanlah tipe orang yang fasis dan pembenci, tetapi kamu dan kehidupan di bawah pendudukanmu telah mendorongnya ke dalam kebencian.”11

Di hadapan kebencian yang menggunung seperti itu, orang Kristen Palestina harus bersikap seperti apa? Beberapa orang Kristen akan meniadakan kemungkinan kasih dan pengampunan dalam kondisi yang demikian. Mereka akan berkata bahwa kebencian yang sedang ditumbuhkan itu terlalu berat untuk dipikul dan dihadapi secara konstruktif oleh jiwa manusia. Jadi, mereka mengalah pada kebencian. Dan kebencian, ketika digunakan sebagai senjata, akan menghancurkan penggunanya sekaligus para korbannya.

Orang lain mungkin akan mengucapkan kata-kata kosong yang terdengar saleh tentang kasih dan pengampunan. Perkataan mereka semu dan artifi sial. Mereka sendiri tidak menderita, sehingga mereka dapat melepaskan diri dari penderitaan orang lain dan hidup di alam spiritual mereka sendiri sambil terus mengulangi kata-kata manis dari Perjanjian Baru.

Saya yakin bahwa tidak satu pun dari kedua kelompok ini se-tia pada panggilan Kristen yang sejati. Orang Kristen menyadari ke utuhan dan kenyataan hidupnya di dunia. Mereka tidak sedang menjalani sebuah kehidupan yang seperti bayangan, berpura-pura bahwa mereka tidak terpengaruh oleh apa yang sedang terjadi di sekitar mereka. Hidup itu nyata. Bagi orang Kristen, kehidupan bahkan harus nyata sebagaimana seharusnya. Yesus berkata, ”Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.”12 Orang Kristen seharusnya memiliki

32 Semata-mata Keadilan

saat ini. Dengan demikian, mereka menerima begitu saja pentingnya kepulangan bangsa Yahudi ke Palestina.

Ada keganjilan dan kontradiksi antara pihak Kristen dan Ya-hudi dalam menanggapi Zionisme. Banyak orang Kristen yang siap mendukung perjuangan kaum Zionis karena hal itu cocok dengan kerangka historis nubuatan. Namun, kalangan rohaniwan Yahudi—baik Ortodoks maupun Reformasi—menentangnya dengan keras, menyerang Zionisme sebagai sebuah gerakan non-religius, bahkan anti-agama.27 Bagi kaum Zionis, agama dianggap sebagai penghalang bagi sebuah upaya peremajaan masyarakat Israel. Kaum Ortodoks percaya bahwa hanya Mesias yang dapat menuntun orang Yahudi kembali ke Tanah Perjanjian. Hampir semua pemimpin Ortodoks menolak Zionisme dan mencela Herzl, dengan berkata bahwa pem ben tukan negara Yahudi dan ”berkumpulnya kembali kaum terbuang” hanya merupakan hak Sang Mesias semata.28 Kejahatan Zionisme dinyatakan dalam hal bahwa gerakan itu memindahkan tanggung jawab tersebut dari pundak Sang Mesias ke pundak bangsa Yahudi.29

Kaum Yahudi Reformasi, yang menekankan sifat universal dari Yudaisme, juga menyerang Zionisme. Mereka meyakini ”misi Israel”, yaitu penyebaran pemahaman tentang monoteisme etis di antara umat manusia. Mereka tidak menganggap dirinya sebagai sebuah ”bangsa”. Pada tahun 1885, para rabi Yahudi Reformasi berkumpul di Pittsburgh, Pennsylvania, dan menerima ”Pittsburgh Platform”, yang antara lain mengatakan:

Kami mengakui, dalam era modern dari kebudayaan hati dan intelektual yang universal, mendekatnya per wujudan pengharapan Mesianik Israel demi berdirinya kerajaan kebenaran, keadilan, dan perdamaian di antara seluruh manusia. Kami tidak lagi menganggap diri kami sebagai sebuah bangsa, melainkan sebuah komunitas religius, dan, karena itu, tidak mengharapkan suatu kepulangan ke Palestina ataupun sebuah ibadah kurban anak-anak Harun, ataupun pemulihan berbagai hukum yang ber hu-bungan dengan ne gara Yahudi.30

Sebuah Negara Tanpa Sebuah Bangsa?Para pemimpin Zionis perdana, yang bertemu dalam Kongres Zionis I di Basel tahun 1897 dan melibatkan Theodor Herzl, tidak

Sebuah Arena Perselisihan 33

pernah mengunjungi Palestina atau mempelajari banyak hal tentang masyarakatnya; mereka pasti berasumsi bahwa negara tersebut kosong. Pada tahun 1880-an, Palestina memiliki penduduk Arab tidak kurang dari 600.000 orang,31 sementara pada awal abad ke-20, jumlah pemukim Yahudi tidak sampai 50.000 orang.32 Filsuf Yahudi Martin Buber, dalam salah satu bukunya, bahkan menyatakan se-buah anekdot tentang Max Nordau, salah seorang Yahudi Jerman yang terkenal dalam gerakan Zionis. Ketika pertama kali mendengar bahwa Palestina dihuni oleh orang Arab, Nordau dengan sangat terkejut berlari kepada Herzl dan berseru, ”Aku tidak tahu hal itu! Kita sedang melakukan sebuah ketidakadilan.”33

Persetujuan-persetujuan yang BertentanganTujuan utama dari gerakan Zionisme pada peralihan abad lalu adalah untuk mencapai ”sebuah pengakuan publik dan jaminan hukum tanah air Yahudi di Palestina”.34 Ini berarti mencari pendukung yang dapat menerima rencana mereka dan menjadi pola bagi mereka. Herzl mengerahkan waktu dan tenaganya untuk tujuan yang satu ini, yaitu membentuk perwakilan langsung di Jerman, Turki, Italia, Vatikan, Inggris, dan lainnya. Pada 17 Mei 1901, Herzl berangkat ke Istanbul dan diterima oleh Sultan Abd-el-Hamid, bukan sebagai utusan Zionis, melainkan sebagai jurnalis. Selama kunjungan dua jam bersama sang Sultan, Herzl menawarkan bantuan kaum Yahudi dalam memecahkan persoalan keuangan Turki yang cu kup parah, dengan imbalan pemberian otonomi bagi masyarakat Yahudi di Palestina. Kunjungan tersebut berakhir dengan sebuah kegagalan.35 Hubungan dengan Kaisar Wilhelm, Tsar Rusia, Paus, dan raja Italia membuahkan hasil yang sama.36 Herzl juga berpaling ke Inggris dan bertemu dengan Joseph Chamberlain, menteri wilayah jajahan. Herzl meminta pembangunan sebuah permukiman Yahudi di Siprus, dengan imbalan ”...5 juta pounds; orang Yunani dengan senang hati akan menjual tanah mereka dengan harga yang pantas dan pindah ke Athena atau Kreta.”37 Kunjungan ini pun gagal.

Pada waktu itu, ada dua tujuan yang sedang dikejar secara bersamaan. Yang per tama adalah mendorong orang Yahudi un-tuk berimigrasi ke Palestina dalam rangka membeli tanah dan membangun per mukiman. Yang kedua adalah bekerja tanpa lelah demi mencapai perjanjian resmi. Tujuan kedua ini akhirnya tercapai pada 2 November 1917, dengan disampaikannya Deklarasi Balfour

214 Semata-mata Keadilan

tanpa mengizinkannya untuk berganti pakaian. Jadi, Issa pergi dengan mereka dalam balutan piyama. Istrinya dengan cepat ber-usaha untuk memberikan kartu identitas Issa. Kemudian, dengan masih terkejut dan ketakutan, sang istri menghubungi kaum ke-rabat, yang langsung bergegas datang menemani dirinya dan anak-anaknya.

Issa dibawa ke sebuah tempat terbuka di mana lusinan orang ditawan, tua dan muda. Mereka juga telah dijemput paksa dari ru-mah mereka pada malam yang dingin itu. Mereka disuruh duduk dan menunggu. Kartu identitas mereka diambil. Setiap menit salah se orang prajurit akan datang, membentak, mengancam, dan memaki mereka, kemudian pergi. Pemandangan ini terjadi berulang kali sampai pukul dua dini hari, ketika para prajurit datang, melemparkan semua kartu identitas di udara malam yang gelap, lalu menyuruh setiap orang mencari kartu miliknya dan pulang. Teman saya tiba di rumahnya pada pagi buta.

Beberapa hari kemudian, Issa datang ke kantor saya dan men ceritakan kisahnya. Saya telah mengenalnya selama beberapa tahun. Ia merupakan seorang lelaki yang tenang dan ramah, seorang pekerja keras yang berusaha membangun kehidupan yang baik bagi keluarga mudanya. Ia tidak pernah terlibat dalam politik dan tidak pernah menjadi anggota salah satu partai politik. Ia mencintai negara dan masyarakatnya. Ia orang yang jujur dan benar. Saya mendengar dengan saksama ketika ia menceritakan kisahnya. Saya ingat ia berkata pada bagian akhir cerita itu, ”Aku tidak pernah membenci orang Yahudi; bahkan setelah mereka menduduki Tepi Barat, aku tidak pernah merasa benci terhadap mereka. Aku tahu bahwa membenci itu salah, tetapi mereka sedang membuatku untuk membenci mereka.”

Lelaki muda ini bukanlah seorang anti-Semit; ia justru seorang Semit. Nenek moyangnya telah tinggal di wilayah Yerusalem selama ratusan tahun. Ia mengekspresikan sebuah fenomena kebencian yang, sejak Intifada, perlahan-lahan sedang merebak melanda ham-pir seluruh masyarakat Palestina di Tepi Barat dan Gaza.

Intifada membangkitkan begitu banyak kebencian dan dendam daripada peristiwa tahun 1948 atau 1967. Tentara Israel merasa tidak berdaya menghadapi warga Palestina yang memberontak dan pemberontakan itu telah menjadi brutal. Setiap perubahan dalam kebijakan militer pada gilirannya berubah menjadi lebih buruk—pemukulan, gas air mata, pematahan tulang, amunisi hidup...ber-

Keadilan, dan Hanya keadilan 213

mati terasing sebagai orang-orang bodoh. ”Dunia bertahan dengan tiga hal, yaitu: keadilan, kebenaran, dan kedamaian.... Ketiganya adalah satu, karena jika keadilan terwujud, kebenaran telah dijalankan dan kedamaian pun ikut serta; dan ketiganya disebutkan dalam satu sajak, yang menyatakan, laksanakan keputusan yang benar maka kedamaian ada di pintu-pintu gerbangmu, [mengindikasikan bahwa] di mana pun keadilan diwujudkan maka kedamaian akan dijumpai.”9

Kalimat dari Perek HashShalom ini ditujukan kepada semua orang berbudi baik, yang ingin bergabung mengambil bagian dalam mempertahankan keberlangsungan dunia di atas pilar-pilar keadilan, kebenaran, dan kedamaian. Dengan melakukan hal itu, pengharapan akan semakin bertambah dan ketakutan akan semakin berkurang, dan kita semua, orang Yahudi dan Palestina, menjadi pewaris apa yang diucapkan Yesus Kristus: ”Berbahagialah orang yang lemah lem but, karena mereka akan memiliki bumi.”10

TANTANGAN ORANG KRISTEN: KASIHILAH MUSUHMU

Permohonan saya yang terakhir, bagaimanapun, ditujukan kepada bangsa saya sendiri, warga Palestina. Biarlah saya memperkenal-kannya dengan sebuah cerita.

Kisah ini terjadi setelah pukul sepuluh pada sebuah malam yang dingin di bulan Februari 1988, di sebuah kota pinggiran dari Yerusalem Timur. Kedua anak perempuan sahabat saya, Issa, telah terlelap tidur, dan ia serta istrinya sedang menonton TV dengan me ngenakan pakaian tidur mereka, ketika mereka mendengar sebuah ketukan keras di pintu rumahnya. Para prajurit tidak me-nunggu sampai pintu itu dibuka dari dalam; mereka telah mulai memecahkan jendela kaca di beranda depan ketika Issa membuka pintu dengan ketakutan. Para prajurit mendorongnya dan bergegas ke dalam rumah, menggeledahnya. Putri-putri kecil terbangun dan mendekap kedua orang tuanya. Para prajurit menghancurkan beberapa benda dalam penggeledahan mereka yang liar, namun mereka tidak menemukan apa pun yang mereka cari. Yang paling buruk adalah, mereka menggunakan bahasa yang sangat buruk. Mereka memerintahkan teman saya untuk ikut bersama mereka,

34 Semata-mata Keadilan

kepada Lord Walter Rothschild oleh Lord Balfour, Menteri Luar Negeri Inggris:

Departemen Luar Negeri2 November 1917

Lord Rothschild yang terhormat,

Dengan sangat gembira saya ingin menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintah Yang Mulia, deklarasi ten-tang simpati terhadap aspirasi-aspirasi kaum Zionis Ya-hu di yang telah diajukan dan disetujui oleh Kabinet.

Pemerintah Yang Mulia memandang perlu pem-bangunan di Palestina sebuah Tanah Air bagi masyarakat Yahudi, dan akan mengerahkan segala usaha yang terbaik demi mencapai tujuan tersebut, dengan catatan bahwa hal itu tidak akan merugikan hak-hak sipil dan religius berbagai komunitas non-Yahudi di Palestina, atau hak dan status politik yang dinikmati oleh orang Yahudi di negara lain.

Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat me-nyam paikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.

(Tertanda)Arthur James Balfour38

Kira-kira dua tahun sebelum Deklarasi Balfour, Inggris telah me-lakukan negosiasi rahasia dengan negara-negara Arab, berusaha membujuk mereka untuk membangkitkan pemberontakan melawan Turki dan memihak Sekutu selama perang dunia. Hal itu terlihat jelas dalam surat-menyurat antara Sir Henry McMahon, komisaris tertinggi Inggris di Mesir, dengan Sherif Hussein di Mekah (seluruhnya ada delapan surat). Sebagai imbalan, orang Arab akan menerima kemerdekaan atas seluruh tanah Arab di Asia (kecuali Aden). ”Pa-lestina jelas termasuk ke dalam perjanjian kemerdekaan yang dibuat Inggris, tercatat tanggal 24 Oktober 1914.”39 Jaminan terakhir dari McMahon tiba pada 12 Februari, dan pemberontakan Arab pun meletus di Hejaz, bagian barat Arabia, pada 4 Juni 1916.

Sebuah Arena Perselisihan 35

Selama tahun-tahun peperangan (1914–1918), Inggris terlibat dalam tiga persetujuan terpisah, yang saling bertentangan. Di sam-ping persetujuan McMahon-Hussein dengan orang Arab dan Deklarasi Balfour dengan orang Yahudi, pada 16 Mei 1916 Inggris mencapai kesepahaman rahasia dengan Prancis dan Rusia. Perjan jian yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Sykes-Picot itu menetapkan bahwa Kemaharajaan Ottoman akan dipecah di antara ketiga ne-gara. Sebagian besar wilayah Arab akan dirampas oleh Inggris dan Prancis.40 Orang Turkilah yang menyingkapkan persetujuan rahasia ini kepada orang Arab pada Februari 1918, sebagai upaya untuk men dorong mereka menarik kembali kesetiaannya kepada pihak Sekutu. Dengan mendesak, Hussein menanyakan hal ini kepada pihak pemerintah Inggris. Balfour menjawab, ”Pemerintah Yang Mulia menegaskan perjanjian yang sebelumnya tentang pengakuan akan kemerdekaan negara-negara Arab.”41 Jadi, Inggris menjamin integritas persetujuan McMahon-Hussein dan menegaskan kembali komitmennya terhadap kemerdekaan Arab.

Persetujuan-persetujuan yang bertentangan ini menjadi sumber perselisihan, rasa curiga dan ketidakpercayaan yang telah mewabah di Timur Tengah sejak saat itu. Bagi orang Arab, perjanjian-perjanjian itu jelas merupakan tindakan pengkhianatan yang bertujuan untuk menggantikan kekuasaan Turki yang represif—yang di bawahnya, di beberapa tempat tertentu, orang Arab menikmati otonomi sebagian—dengan sebuah penjajahan Eropa yang non-Islam dalam diri orang Prancis, Inggris, dan akhirnya, negara Zionis.

Setelah Perang Dunia I, kaum Zionis bergerak untuk mencapai tujuannya. Salah satu tanda penegasan komitmen pemerintah Ing-gris bagi Zionisme adalah diangkatnya Herbert Samuel sebagai komisaris tinggi pertama Inggris di Palestina (1920–1925). Samuel adalah seorang Yahudi Inggris dan seorang Zionis yang gigih.42 Pada saat pengangkatannya, penduduk Palestina, berdasarkan sensus tahun 1921, terdiri atas 590.000 Muslim, 84.000 Yahudi, dan 89.000 Kristen.43

KEMAJUAN ZIONIS, PERLAWANAN ARABSelama periode 1918–1947, hubungan antara orang Arab, Yahudi, dan Inggris memburuk. Orang Arab Palestina meningkatkan perla-wanan mereka terhadap pemerintah kolonial, karena menerima

212 Semata-mata Keadilan

jadi kemunafi kan. Orang Yahudi Israel perlu diingatkan tentang per-nyataan Frankl yang menggugah:

Hanya dengan perlahan-lahan, orang-orang ini dapat di-tuntun kembali pada kebenaran umum di mana tidak se orang pun berhak untuk melakukan ketidakadilan, bahkan tidak juga jika sebuah ketidakadilan telah di-perlakukan terhadapnya.7

Mungkin akan tiba harinya ketika kenangan Holocaust Israel, Yad va-Shem, akan melibatkan cuplikan-cuplikan penderitaan warga Palestina untuk mengingatkan dunia tentang keluasan, kedalaman, dan misteri kejahatan di dunia kita.

SEBUAH KEBENCIAN YANG TIDAK BERALASAN

Dalam Yoma dapat kita baca,

Mengapa Tempat Kudus pertama dihancurkan?Karena tiga hal [jahat] yang terjadi di sana:penyembahan berhala, percabulan, pertumpahan darah... Namun mengapa Tempat Kudus kedua juga dihancur kan?Karena di dalamnya ada kebencian tak beralasan. Itu meng ajarkanmu bahwa kebencian yang tidak berdasar adalah lebih gawat daripada penyembahan berhala, per-cabulan, pertumpahan darah.8

Adalah penting bahwa para rabi tidak mempersalahkan orang Ro-mawi, sikap anti-Semitisme, anti-keyahudian, atau apa pun yang lain, atas kehancuran Yerusalem; mereka mempersalahkan ”ke ben-cian yang tak beralasan”. Ada sebuah ”kebencian tanpa sebab” yang sedang diberlakukan di Israel-Palestina pada saat ini, yang sedang mengancam orang Palestina maupun Israel.

Mereka yang peduli harus mengerahkan seluruh kekuatan un-tuk menyelamatkan orang Palestina dari Israel dan menyelamatkan Israel dari dirinya sendiri. Gerakan menuju penghancuran dapat diatur kembali; kedua bangsa yang menemui jalan buntu dalam konfl ik dapat tetap hidup dalam damai sebagai tetangga yang baik. Mereka juga harus hidup sebagai saudara sepupu dalam damai atau

Keadilan, dan Hanya keadilan 211

penggunaan senjata nuklir oleh Israel. Orang-orang yang mencintai Israel dan peduli terhadap kesejahteraannya harus menghentikan kegilaannya. Akal budi negara itu dan para pemimpinnya harus dikembalikan.

Sejak peristiwa Intifada di Tepi Barat dan Gaza, kebencian masa lalu sebagian orang Yahudi selama berabad-abad terhadap Pem buangan telah terinkarnasi dalam kebencian mereka terhadap orang Arab, khususnya warga Palestina. Orang Palestina telah men-jadi para penderita yang seolah-olah mengalami langsung kesalahan kemanusiaan yang dialami orang Yahudi. Namun, apa kah kesalahan orang Palestina yang sebenarnya? Apakah kesalahan nya itu hanya terletak pada fakta bahwa mereka hidup di atas tanahnya sendiri, Palestina, selama ratusan tahun ketika kaum Zionis datang dan mengklaim tanah itu sebagai milik mereka? Apakah mereka dikutuk karena menolak untuk menyerahkan hak-hak mereka, menggenggam kunci rumah mereka sendiri, berbenah dan pergi dalam rangka mengembalikan negeri itu kepada ”pemilik yang sebenarnya”? Warga Palestina tidak memprakarsai konfl ik itu, namun sekarang mereka dilecehkan hanya karena mendiami wilayah yang dijajah kekuasaan asing dan menuntut kemerdekaan, kebebasan, dan kehormatan. Ironis bahwa beberapa metode tekanan yang dilakukan oleh Negara Israel terhadap warga Palestina dapat dibandingkan dengan metode-metode yang digunakan oleh Nazi terhadap orang Yahudi.5 Kaum tertindas sungguh-sungguh telah menjadi para penindas. Kita tidak dapat membantu namun diingatkan tentang apa yang ditulis oleh psikiater Yahudi asal Austria, Viktor Frankl, setelah ia selamat dari kamp kematian Nazi Jerman. Frankl mengulas bahwa para tawanan yang telah bebas dari kamp-kamp tersebut mulai bersikap seperti penyiksanya:

Sekarang, dengan menjadi bebas, mereka berpikir bahwa mereka dapat menggunakan kemerdekaan mereka tanpa moral dan tanpa ampun. Satu-satunya hal yang telah ber-ubah adalah mereka sekarang merupakan para penindas. Mereka menjadi provokator, bukan objek, dari paksaan dan ketidakadilan yang disengaja. Mereka membenarkan sikap mereka dengan pengalaman buruk mereka sendiri.6

Israel ingin agar dunia mengingat kekejaman Holocaust. Namun tindakan-tindakannya terhadap warga Palestina tersebut menghina kesucian tragedi kemanusiaan agung itu, membuatnya terlihat men-

36 Semata-mata Keadilan

imigrasi orang Yahudi, dan menentang kaum Zionis yang secara bertahap semakin terang-terangan memperlihatkan tujuan mereka yang sesungguhnya: pembentukan negara Yahudi. Perlawanan orang Arab ini dinyatakan dalam aksi politik dan perlawanan bersenjata—penyerangan, demonstrasi, aksi kekerasan, terutama yang paling hebat terjadi dalam pemberontakan pada tahun 1920, 1921, 1929, 1933, 1936, dan 1937–1939.44 Penyebab utama semua pemberontakan ini, sebagaimana yang ditemukan oleh Komisi Kera-jaan Inggris pada Juli 1937, adalah keinginan orang Arab Palestina akan sebuah kemerdekaan nasional dan ketakutan mereka terhadap pembentukan tanah air Yahudi menjadi sebuah negara.45

Kaum Zionis bekerja dari dalam dan dari luar Palestina. Para imigran gelap maupun resmi mulai berdatangan ke Palestina. Hitler mengizinkan kaum Yahudi yang meninggalkan Jerman Nazi pada tahun 1933 untuk membawa serta uang mereka. Mereka menyumbangkan ba nyak sumber daya, keahlian, dan kepandaian untuk membangun tanah air Yahudi. Peristiwa-peristiwa mengenas-kan akibat Holocaust Nazi mendorong terjadinya migrasi orang Yahudi yang lebih besar dari Eropa menuju Palestina, dan menarik simpati serta dukungan seluruh dunia bagi mereka. Jerman kemu-dian harus membayar miliaran dolar sebagai ganti rugi bagi Israel. Salah satu ironi sejarah yang mengerikan tentang Adolf Hitler adalah ”ia menyumbang lebih banyak daripada siapa pun bagi pembentukan Negara Israel.”46

Selama tahun 1930-an dan 1940-an, kelompok bersenjata Zi-onis di dalam wilayah Palestina makin kuat dan efektif. Sebagian besar dilatih oleh Inggris dan banyak yang pernah bertempur dalam Perang Dunia II. Sementara itu, orang Arab Palestina tetap menentang peningkatan imigrasi orang Yahudi Eropa ke Palestina. Inggris terjebak di antara dua kobaran api itu. Setelah menebar angin selama Perang Dunia I, Inggris menuai badai pemberontakan dan perselisihan setelah Perang Dunia II. Pergolakan ini membuat Inggris mengeluarkan interpretasi baru terhadap janji mereka kepada orang Arab dan Yahudi, yang hanya mengikuti kontra-interpretasi—sebuah mata rantai dari berbagai kebijakan, pernyataan, dan komisi yang baru. Semuanya diungkapkan dalam 18 komisi yang berbeda—masing-masing mengeluarkan pernyataan kebijakan dan lembaran posisi—yang dibentuk untuk mempelajari Palestina. Di antaranya mencakup Churchill White Paper tahun 1922, Passfi eld White Paper tahun 1929, MacDonald Letter tahun 1931, Palestine Royal

Sebuah Arena Perselisihan 37

Commisssion (Peel Commision) pada Juli 1937, British Statement of Policy pada November 1938, White Paper tahun 1939, Anglo-American Committe of Inquary tahun 1946.47

Situasi Palestina pada pertengahan tahun 1940-an tidak ter-kendali. Ernest Bevin, Menteri Luar Negeri Inggris, pada 14 Februari 1947 mengumumkan bahwa pemerintah Inggris telah memutuskan untuk menyerahkan persoalan Palestina kepada PBB. Inggris tidak sanggup lagi menjalani tanggung jawab nya karena ketegangan yang semakin meruncing di Palestina dan proses imigrasi ilegal orang Yahudi yang terus berlangsung. PBB membentuk sebuah Komite Khusus di Palestina (UNSCOP, United Nations Special Committee on Palestine) yang terdiri atas para perwakilan 11 negara anggota. Laporan dan berbagai rekomendasi dari komite tersebut diterbitkan pada 31 Agustus 1947.48

PEMBAGIAN WILAYAH DAN KEPANIKANBerdasarkan rencana pembagian wilayah, Palestina akan dibagi men jadi negara Arab dan negara Yahudi yang terpisah, serta sebuah ”corpus separatum international” yang melingkupi wilayah Yerusalem dan desa-desa serta kota-kota di sekitarnya.49 Penerimaan rekomendasi ini oleh PBB pada 29 November 1947 didahului oleh berbagai keraguan dan perdebatan yang berkepanjangan, yang hanya teratasi ”setelah PBB memberikan banyak tekanan kepada negara-negara terkait”.50 Dalam satu kasus, $75.000 tunai dibayarkan ke-pada perwakilan sebuah negara Amerika Latin supaya ia mengubah pilihannya dan mendukung rencana pembagian wilayah.51 Kaum Zionis menerima rencana pem bagian wilayah tersebut, sedangkan orang Arab menolaknya. Akibatnya, kaum Zionis mencari jalan de-ngan mengembangkan argumentasi bahwa orang Arab Palestina, yang tidak puas terhadap sebagian wilayah Palestina (yang mereka yakini seluruhnya adalah milik mereka), telah kehilangan hak mere-ka atas seluruh wilayah dari tanah itu. Seorang cendekiawan Arab berkomentar: ”Mereka yang mengajukan pandangan ini sebenarnya mempermalukan Salomo. Karena amsal hikmat Salomo tidak menga takan bahwa bayi yang diperebutkan harus dibagi dua, me-lain kan menggambarkan kesimpulan yang benar berdasarkan re-aksi yang berbeda dari kedua ’ibu’. Kesimpulannya tepat bahwa

210 Semata-mata Keadilan

gi warga Palestina. Israel tetap menolak ”tujuan” yang seperti ini. Oleh karena itu, ”cara” apa pun, entah dengan kekerasan ataupun tanpa kekerasan, harus ditolak. Pada kenyataannya, perlawanan tan pa kekerasan lebih manjur daripada kekerasan, karena Israel di perlengkapi dan dilatih dengan lebih baik untuk menghadapi kekerasan. Dengan demikian, Mubharak harus pergi. Ini memang sangat tragis, karena Israel menutup pintu terhadap perlawanan yang positif dan masuk akal.3

”TIDAK AKAN PERNAH LAGI” ATAU ”YA, SEKALI LAGI”

”Tidak akan pernah lagi” menjadi tugas moral orang Yahudi setelah peristiwa Holocaust, dan kita semua saling berbagi tugas itu dengan mereka. Namun, di Israel, itu berubah menjadi ”ya, sekali lagi” ka-rena kekerasan hati Israel sendiri. Israel tidak pernah sukses dalam mencapai kedamaian dan keamanan bagi masyarakatnya sendiri. Alih-alih mendengar pendapat dan menerima realita hak-hak war-ga Palestina terhadap tanah dan negara mereka sendiri, Israel ma-lah terus menindas dan mencabut mereka dari tanahnya lebih jauh. Tindakan-tindakannya muncul dari kekecewaan, tantangan, ketamakan, dan kegilaan. Berbagai kebijakan Israel yang menindas tidak dapat menyemaikan bibit perdamaian; mereka hanya menata panggung untuk sebuah Holocaust yang lain, dengan orang Ya-hudi Israel sebagai provokator dan pelaksananya. Teriakan Israel ”ti dak akan pernah lagi” tak lagi menjadi jeritan mengerikan dari sebuah moral bangsa yang terkepung dan berjuang untuk hidup. Itu lah teriakan kekecewaan sebuah bangsa yang sedang berusaha melakukan bunuh diri, yang kepemimpinannya mencerminkan ke-bencian tak beralasan dari seseorang yang mengalami gangguan kom pleks Simson dan Massada: ketika tidak memperoleh apa yang diinginkan, mereka akan menghancurkan segala sesuatu dan mem-bunuh semua orang pada saat mereka pergi.

Selama beberapa hari pertama perang tahun 1973, Israel merasa terancam, dan, pada gilirannya, mengancam untuk menggunakan senjata nuklirnya, guna memaksa pemerintah Amerika Serikat agar mulai mengirimkan bantuan senjata secara besar-besaran.4 Melihat mentalitas beberapa pemimpinnya, kita tidak dapat mengecualikan

Keadilan, dan Hanya keadilan 209

IMPIAN ISRAEL YANG BERBAHAYAPenting meyakinkan Israel bahwa ”Israel Raya”, yang diperjuangkan oleh sebagian orang Yahudi, me rupakan impian yang tidak realis-tis dan berbahaya. Jika mereka memperolehnya, hal itu dihasil-kan dengan kekuatan senjata. Namun, mereka harus tahu, se-ba gai mana yang telah ditunjukkan selama 40 tahun, bahwa ke menangan militer mereka tidak akan menghasilkan perdamaian dan keamanan. Sebaliknya, mereka akan semakin mempertinggi rasa ketidakamanannya. Seratus lima puluh juta penduduk Arab di Timur Tengah tidak akan pergi begitu saja; mereka tidak akan hilang dengan tiba-tiba. Mimpi buruk akan berlangsung lama. Is-rael tidak dapat selamanya hidup di belakang tembok-tembok yang dibangunnya sendiri, memberlakukan ketidakadilan yang tak tertahankan. Israel harus menerima dirinya sebagai negara kecil di Timur Tengah, dikelilingi oleh negara-negara Islam yang lebih besar. Ada suatu masa dalam sejarah Israel kuno ketika wilayah kedaulatan orang Yahudi sangat kecil.2 Hidup dalam damai di tanah itu adalah hal yang lebih penting dibandingkan ukuran wilayah kekuasaan. Israel harus menerima ukuran yang sebenarnya. Ekspansi hanya akan membawa konfl ik dan ketidakamanan baru. Musuh bebuyutan Israel pada saat ini bukanlah Palestina ataupun orang Arab, me-lainkan diri mereka sendiri. ”Keadilan, dan hanya keadilan, itulah yang harus kamu kejar....” merupakan sebuah perintah yang perlu diperhatikan oleh Israel agar menjadi bebas.

Harapan realistis saya bercampur rasa takut. Saya takut bah wa sekarang Israel mempunyai dua sifat: keras dan sombong. Kesom-bongan telah berdentam keras sejak Intifada, namun belum hilang. Kekerasan hati telah ditingkatkan. Beberapa orang Yahudi Israel te lah menganjurkan tindakan yang lebih kasar terhadap orang Pa-lestina. Kaum ekstremis telah mengimbau pengusiran massal, dan ten tu saja, banyak orang Palestina yang telah dideportasi. Di antara mereka ada Mubharak Awad, direktur Pusat Studi Tanpa Kekerasan Palestina, yang berbasis di Yerusalem Timur. Mubharak telah men-jadi seorang pendukung gerakan tanpa kekerasan yang kuat, namun ini tidak menghalangi pemerintah Israel untuk mendeportasi dirinya (pada tanggal 13 Juni 1988) ”walaupun ada keberatan dari Amerika”. Keadaan tragis Negara Israel adalah bahwa, baik aksi protes ke-kerasan maupun tanpa kekerasan, keduanya dirasakan sebagai an-caman. Tujuan dari keduanya adalah penentuan nasib sendiri ba-

38 Semata-mata Keadilan

perempuan yang menentang pembagian bayi tersebut adalah ibu yang sesungguhnya.”52

Tampak tidak masuk akal sekaligus tragis bagi orang Arab bahwa orang Yahudi yang hanya memiliki sekitar 6 persen dari ke se luruhan wilayah Palestina dan hanya 33 persen dari jumlah penduduk yang ada, diberikan sebuah negara bagian yang meliputi lebih dari 56 persen dari wilayah itu. Terlebih lagi, negara Yahudi yang diusulkan itu akan menampung lebih banyak orang Arab (509.780) daripada orang Yahudi (499.020) di bawah kekuasaannya. Jika dibandingkan, negara Arab yang direkomendasikan hanya akan berisi 10.000 orang Yahudi dari total 735.000 penduduknya.53

Diperhadapkan dengan perselisihan dan pertumpahan darah yang semakin meningkat di Palestina, Majelis Umum PBB menangguh-kan rencana pembagian wilayah tersebut kurang dari enam bulan se telah penetapannya dan mengusulkan sebuah tawaran alternatif untuk membentuk suatu perwalian atas tanah Palestina yang utuh. Usulan ini disetujui orang Arab, namun dengan keras ditolak oleh kaum Zionis. Suatu sesi khusus diselenggarakan oleh dewan untuk mempertimbangkan kembali rencana pembagian wilayah tersebut.54 Selama masa ini, kaum Zionis berusaha menangani berbagai per-soalan dengan cara mereka sendiri. Ketika pemerintah Inggris meng-akhiri mandatnya dan menarik seluruh pasukannya, kaum Zionis mulai menduduki kota-kota secara bertahap. Penduduk Palestina dibanjiri teror dan diusir secara paksa, seperti yang dialami oleh ke-luarga saya. Peristiwa-peristiwa keji tertentu di Deir Yasin (lihat bab 1) menorehkan tanda ketakutan yang tidak terhapuskan dalam ingatan orang Palestina. Tragedi ini—diungkapkan oleh Menachem Begin yang memimpin kelompok Irgun dan Stern Gang (Begin memberikan laporan yang sombong tentang hal itu dalam bukunya The Revolt)55—mengakibat kan kepanikan orang Arab sehingga melari kan diri, suatu eksodus tragis pada abad ke-20.56 Tentara Zion is tidak hanya menduduki secara paksa wilayah yang diperuntukkan bagi negara Yahudi sebagaimana yang ditetapkan dalam rencana pembagian wilayah, tetapi juga bagian-bagian dari wilayah kekuasaan orang Arab.57 Pada pertengahan Mei 1948, lebih dari 300.000 orang Arab Palestina telah meninggalkan negeri itu—semuanya terjadi bahkan sebelum tentara dari negara-negara tetangga Arab memasuki Pales-tina.58

Pada 14 Mei 1948, kaum Zionis memproklamasikan berdirinya Negara Israel. Pada waktu yang bersamaan, Majelis Umum PBB

Sebuah Arena Perselisihan 39

menyimpulkan keputusannya terhadap penundaan rekomendasi pem bagian wilayah dan meminta penghentian aksi sebagai imple-mentasinya. Seorang mediator, Count Folke Bernadotte, ditunjuk untuk ”mempromosikan sebuah penyelesaian secara damai dari keadaan Palestina di masa depan”,59 namun ia dibunuh oleh Stern Gang pada 17 November 1948. Peristiwa itu terjadi hanya beberapa waktu setelah negara tersebut diproklamasikan dan man dat peme-rintah Inggris telah habis waktunya sehingga tentara negara-negara tetangga memasuki Palestina untuk membantu sau dara Arabnya. Namun jumlah mereka tidaklah sebanding: Jenderal Glubb Pasha (panglima Legiun Arab) memperkirakan bahwa ga bungan tentara Arab berjumlah 55.000 orang, sedangkan tentara Israel berjumlah 120.000, banyak di antara mereka merupakan prajurit yang tangguh, berpengalaman, dan gigih.60

Pada akhir peperangan, yang ditandai dengan gencatan senjata pada tahun 1949, jumlah keseluruhan pengungsi Arab Palestina kira-kira 750.000 orang.61 Merenungkan tragedi tersebut, pada 31 Januari 1961, Arnold J. Toynbee melihat bahwa ”cara memperlakukan orang Arab Palestina pada tahun 1947 (dan 1948) tidak dapat diterima secara moral seperti halnya pembantaian 6.000.000 orang Yahudi oleh Nazi”. Dr. Toynbee selanjutnya mengatakan bahwa orang Arab telah dan sedang ”dirampok” dari wilayahnya dan diperlakukan de-ngan kejam: ”walaupun tidak sebanding dari segi jumlah dengan tin dakan kriminal yang dilakukan Nazi, tetapi hal tersebut seimbang dari segi kualitasnya.”62

Kotak Pandora kini telah sepenuhnya terbuka. Semakin banyak ketidakadilan, kesengsaraan, ketakutan, dan pertumpahan darah yang menanti rakyat Palestina.

MEREKA YANG TETAP TINGGAL: ORANG ARAB PALESTINA DI ISRAEL

Kira-kira 150.000 orang Arab masih menetap di bagian wilayah Palestina yang diproklamasikan pada 14 Mei 1948 sebagai Negara Israel. Kebanyakan golongan terkemuka di bidang sosial, politik, ekonomi, dan intelektual Palestina telah meninggalkan negara ter-sebut me nuju Tepi Barat, Gaza, atau negara-negara Arab yang berdekatan. Dari 150.000 orang yang masih menetap di Israel,

208 Semata-mata Keadilan

KEDAMAIAN SEDANG MENGETUK PINTU KITA

Ketika saya menulis bab kesimpulan ini, saya memi liki harapan ber campur rasa takut. Harapan, karena diyakinkan bahwa perda-maian adalah hal yang mungkin terjadi di wilayah kita. Kedamaian sedang mengetuk pintu kita, namun pintu itu belum juga terbuka. Pintu kedamaian dicapai hanya melalui pintu keadilan. Ketika pintu itu terbuka, keadilan akan ada di dalamnya. Di mana ada damai, di situ makanan tersedia; itulah saat ketika pesta rekonsiliasi siap dirayakan. Bagaimanapun, tidak ada pintu masuk selain melalui pintu keadilan.

Harapan ini bukanlah khayalan. Harapan ini nyata. Harapan ini dapat dicapai. Harapan ini dapat dijangkau. Harapan ini menuntut keberanian pihak Yahudi Israel, dorongan yang gigih dari orang Yahudi Amerika serta pemerintah Amerika Serikat.

Ada sebuah interpretasi Yahudi terhadap Ulangan 16:20, ”Ke adilan, dan hanya keadilan, itulah yang harus kaukejar.....” [Demikianlah terjemahan dari versi yang digunakan penulis. Versi TB-LAI berbunyi: ”Semata-mata keadilan, itulah yang harus kaukejar ....”—ed.]. Kata ”keadilan” digunakan dua kali. ”Keadilan” yang diucapkan pertama ditujukan untuk orang Yahudi; yang kedua untuk orang lain.1

Pembentukan Negara Israel, setelah tragedi Holocaust, telah menyumbangkan semacam keadilan bagi masyarakat Yahudi de-ngan memberikan kepada mereka sebuah tempat tinggal di mana mereka dapat hidup dengan damai. Walaupun tempat tinggal ini dibangun di atas runtuhan tempat tinggal orang lain, di atas ke-sakitan dan penderitaan mereka, hal itu perlahan-lahan dapat dite-rima oleh orang Palestina. Sekarang saatnya untuk terus maju dan mengimple mentasikan ”keadilan” yang kedua, keadilan bagi warga Palestina. Jika keadilan ini tidak dilakukan, Israel akan hidup de-ngan tidak adil. Ketidakadilan ini akan menjadi semacam cacing yang menggerogoti tubuh Israel; Israel akan kehilangan keadilannya sendiri. Keadilan bagi warga Palestina berarti pembentukan sebuah negara Palestina.

207

8KEADILAN, DAN HANYA KEADILAN:SEBUAH PERMOHONAN TERAKHIR

Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat.

Efesus 5:15–16

Saya telah berusaha untuk meletakan dasar sebuah teologi pem-bebasan warga Palestina, sebuah teologi yang akan menolong

orang Kristen Palestina secara khusus menjadi sadar dengan berbagai masalah yang paling mengerikan dari konfl ik Israel-Palestina. Itu merupakan sebuah usulan yang juga meberikan harapan bagi orang Yahudi dan Islam. Saya juga telah mengusulkan bahwa peran Gereja di Israel-Palestina haruslah berupa tugas ganda: tanggung jawab profetis dan penciptaan perdamaian. Sebagai sarana dari tugas ganda, saya telah mengusulkan pembentukan sebuah Pusat Perdamaian di Israel-Palestina. Selanjutnya, saya telah berusaha menyebutkan sebuah resolusi konfl ik yang mungkin, didasarkan pada pemahaman saya tentang Allah dalam sejarah, tuntutan keadilan, dan tanggung jawab mengasihi sesama seperti diri kita sendiri.

40 Semata-mata Keadilan

30.000 orang di antaranya adalah para pengungsi yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.63 Peristiwa eksodus akibat kepanikan orang Arab seharusnya menggetarkan hati kaum Zionis; Weizmann menjelaskan hal itu sebagai ”penyederhanaan yang luar biasa atas tugas-tugas Israel.” Ben-Gurion berkata, ”Dekade demi dekade kita mengumpulkan uang untuk membeli sebidang tanah di atas bumi. Sekarang kita memiliki uang jutaan hanya untuk di-buang.”64

Berbagai resolusi yang berulang kali dikeluarkan oleh PBB se-te lah tahun 1948 mengenai pemulangan para pengungsi ternyata tidak berhasil. Kosongnya kota-kota dan desa-desa Palestina men-jadi suatu masalah bagi kaum Zionis—jelas ini merupakan sebuah dorongan bagi para pengungsi untuk kembali. Namun, kebijakan Israel mematahkan semangat tersebut dengan dua cara. Pertama, desa-desa yang tidak dibutuhkan akan dihancurkan; dari sekitar 550 desa Arab di wilayah yang diduduki Israel hanya tersisa 121 desa.65 Selebihnya telah diratakan dengan tanah untuk menggagalkan upaya pemulangan pengungsi. Kedua, para imigran Yahudi yang baru telah menempati rumah-rumah orang Arab di berbagai kota, seperti yang terjadi atas rumah keluarga saya. Dalam gelombang pertama imigran yang terjadi secara besar-besaran, sekitar 200.000 orang Yahudi diperbolehkan langsung menempati perumahan yang ”ditinggalkan” orang Arab. ”Pada tahun 1954, lebih dari sepertiga penduduk Yahudi Israel hidup dengan harta yang bukan milik mereka dan hampir sepertiga bagian dari para imigran baru itu (250.000 orang) menempati daerah-daerah perkotaan yang ditinggalkan oleh orang-orang Arab.”66

Ketika saya merenungkan sejarah komunitas Arab Palestina di Israel sejak 1948 dan mengevaluasi perkembangannya, tampak bagi saya bahwa sejarah itu telah melewati tiga tahap yang berbeda: keterguncangan, kepasrahan, dan kesadaran.

Masyarakat yang Terguncang (1948–1955)Orang Palestina Israel tersentak ketika dalam waktu yang singkat mereka telah menjadi minoritas di tanah mereka sendiri. Bencana itu terlalu luar biasa untuk dipercaya. Kegetiran dan kebencian yang begitu kuat juga berkembang. Di satu sisi, perasaan menyalahkan baik negara-negara Arab maupun kaum Zionis tetap dinyatakan dengan kuat, walaupun secara pribadi. Di sisi lain, keluarga-

Sebuah Arena Perselisihan 41

keluarga yang terpisah berusaha untuk membangun kontak dengan kerabat mereka. Ribuan orang berusaha untuk melintasi garis-garis perbatasan militer agar bisa bersatu kembali dengan keluarganya atau untuk kembali ke rumahnya. Moshe Dayan memperkirakan bahwa antara tahun 1949 sampai pertengahan tahun 1954 rata-rata terjadi seribu kasus penyusupan per bulan di sepanjang garis perbatasan, dengan risiko terbunuh, dipenjara, atau dalam banyak kasus dilempar kembali melewati perbatasan.67 Hal tersebut juga menjadi mimpi buruk bagi sisa masyarakat Palestina di Israel. Ba-nyak pengungsi di Israel, seperti keluarga saya, walaupun hanya berjarak beberapa mil jauhnya, dilarang untuk kembali ke kota-kota dan rumah-rumah mereka. Bahkan para penghuni daerah perkotaan yang tinggal dalam rumahnya didesak keluar dan tinggal dalam ”ghetto” (perkampungan kecil) di beberapa kota, sementara rumah-rumah mereka yang sebenarnya dihuni oleh orang Yahudi.

Dalam banyak contoh, beberapa keluarga harus tinggal dalam satu rumah yang sama, berdesak-desakan dalam satu ruangan, semuanya saling berbagi fasilitas yang sama. Makanan menjadi langka dan kondisi kehidupan sangat menyedihkan. Pemerintah Israel melakukan dua tindakan yang semakin menambah mimpi buruk ini. Yang pertama adalah penetapan undang-undang darurat perang pada 21 Oktober 1948. Pemerintahan militer dibentuk untuk mengawasi dan membatasi gerakan orang-orang Palestina Israel. Tidak ada orang Palestina yang diizinkan meninggalkan tempat ting-gal mereka tanpa izin gubernur militer distrik itu. Ini terbukti dengan adanya pengawasan bersenjata yang ketat, sehingga mengurangi interaksi di antara orang-orang Palestina—yang membuat masyarakat kami terpecah-belah. Sebagai contoh, pada tahun-tahun pertama pemerintahan militer, Galilea dibagi menjadi lebih dari 50 distrik militer.68 Setiap orang Palestina harus mendapatkan izin untuk bi-sa pergi dari satu distrik ke distrik yang lain. Izin perjalanan ini tidak hanya dikhususkan pada tanggal pemberlakuannya, tetapi juga terhadap tempat tujuan, jalur yang akan ditempuh, dan waktu kembalinya. Laporan yang disampaikan kepada Komisi HAM PBB menyatakan bahwa ”anak-anak Arab meninggal dalam pelukan para ibunya ketika sedang menunggu di koridor gubernur demi izin untuk berobat ke dokter.”69 Banyak wilayah yang sama sekali tertutup, terutama kota-kota orang Yahudi yang sebenarnya adalah milik orang Palestina sebelum tahun 1948.

Sebuah Mimpi tentang Damai 205

dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemang kas;bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang ter hadap bangsa,dan mereka tidak akan lagi belajar perang. Tetapi mereka masing-masing akan duduk di bawah pohon anggurnya dan di bawah pohon ara nyadengan tidak ada yang mengejutkan,sebab mulut TUHAN semesta alam yang menga takannya.11

Tentu saja, warga Palesina pun akan berbagi dalam visi dan doa untuk perdamaian ini.

42 Semata-mata Keadilan

Di samping pemerintahan militer, Israel juga mempertahankan Undang-undang Pertahanan Darurat dari Mandat Inggris yang men cabut hak-hak individual. Sebagai contoh: ”Pasal 109 dan 110 memberikan kuasa untuk memasuki rumah setiap orang kapan saja, siang atau malam; pasal 119 memberikan kuasa kepada Komandan Militer untuk menghancurkan sebuah rumah yang dianggapnya mencurigakan [seperti aslinya]; pasal 120 memberikan kuasa untuk melakukan penyitaan harta pribadi; pasal 121 memberikan kuasa untuk mengusir seseorang dari negara.70 Ketika masyarakat Yahudi mengalami penderitaan di bawah peraturan yang kejam itu, yang digunakan Inggris untuk melawan orang Palestina dan orang Yahudi setelah Perang Dunia II, seorang pengacara Yahudi yang terkenal, Yaccov Shapiro, yang kemudian menjabat menteri kehakiman Israel, menjelaskannya sebagai ”tidak ada bandingannya dengan negara beradab lain nya; tidak ada hukum semacam itu dalam pemerintahan Nazi di Jerman”.71

Tahap kedua dari penindasan yang dilakukan oleh negara ba-ru tersebut atas penduduk Arabnya ternyata lebih keras dan men-jengkelkan bagi komunitas Palestina di Israel: pengambilalihan ta-nah mereka. Pada tahun 1950, Israel memberlakukan Hukum Harta Tak-Bertuan, yang dengannya negara dapat mengambil alih tanah orang Palestina—bukan hanya terhadap orang Arab Palestina yang telah meninggalkan Israel, tetapi juga terhadap mereka yang masih tinggal di Israel. Banyak orang Palestina masih menetap di Israel selama perang 1948; mereka tidak meninggalkan rumahnya namun dikeluarkan, seperti yang dialami keluarga saya. Namun, mereka dianggap ”tidak ada” oleh negara secara hukum. Bahkan yang lebih tragis, banyak di antara mereka yang tidak pernah dipindahkan dari rumahnya ikut menderita akibat hukum ini, yang secara populer di sebut oleh orang Arab sebagai ”hukum hadir/tidak-hadir”, yang menarik perhatian karena bersifat paradoks.72 Diperkirakan ”sekitar setengah dari penduduk Arab di Israel dikategorikan sebagai ’tidak hadir’”.73 Memang, selama perang 1948, banyak penduduk kibbutz yang memanfaatkan kemenangan tentaranya dengan cara merampas tanah para tetangga Palestinanya.74 Antara tahun 1948 sampai 1953, telah dibangun 370 permukiman baru Yahudi, 350 di antaranya dibangun di atas tanah yang dianggap ”telantar”. Se-tidaknya 250.000 dunum (62.500 akre) diklasifi kasikan demikian walaupun sebenarnya dimiliki oleh orang Palestina yang diberi

Sebuah Arena Perselisihan 43

status ’tidak hadir’.75 Memang, Hukum Harta Tak-Bertuan 1965 dan hukum-hukum lain sejenis memberikan kesempatan bagi negara itu untuk menyita 12.500.000 dunum (sekitar 3.125.000 akre) dari tanah Palestina, lebih dari 60 persen bagian yang diambil itu adalah milik orang-orang Palestina yang tidak pernah meninggalkan Israel.76 Wilayah itu pun mencakup Waqf (bantuan keagamaan) Muslim, ra tusan ribu dunum tanah pertanian dan kompleks perumahan, ribuan rumah, perkantoran, dan pertokoan yang dibangun untuk kepentingan komunitas Muslim. Semuanya diserahkan kepada para imigran Yahudi.77 Penyitaan tanah secara sistematis yang dimulai sejak 1948 terus berlanjut, sebagaimana akan saya bahas berikut ini.

Beberapa orang Palestina di Israel ditawari kompensasi sesuai Hukum Penyitaan Tanah 1953, namun ditolak karena pembayarannya yang sangat rendah. Namun, tekanan pun dilakukan terhadap orang-orang yang menerima kompensasi tersebut, khususnya mereka yang tidak lagi berharap bisa kembali kepada keluarga-keluarga mereka atau yang membutuhkan izin usaha maupun bantuan lainnya.

Selama periode ini, penerimaan terhadap Hukum Pemulangan Pen duduk (1950) dan Undang-undang Kebangsaan (1952) membuka peluang terjadinya diskriminasi terhadap orang-orang Palestina di Israel dan melanggengkan status mereka sebagai warga negara kelas dua. Berdasarkan kedua hukum ini, setiap orang Yahudi se cara otomatis memiliki hak untuk tinggal di Israel, dan diberi kewarganegaraan Israel ketika memasuki negara tersebut.78 Pada saat yang sama, tidak seorang pun warga Palestina di Israel yang bisa memperoleh kewarganegaraan sampai mereka dapat memenuhi beberapa persyaratan dan memiliki bukti dokumen yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah meninggalkan negara itu.79

Periode keterguncangan itu berlangsung sampai paruh ke dua 1950-an, di mana selama masa itu orang Palestina Israel menyaksikan gelombang imigrasi orang Yahudi ke Palestina sebanyak lebih dari 900.000 orang, sementara orang Palestina yang telah mendiami tanah itu selama berabad-abad tidak diperbolehkan masuk.80 Bagi rakyat Palestina, dihalangi untuk kembali ke rumah-rumah mereka jelas merupakan suatu ketidakadilan yang kejam, dan masyarakat internasional gagal menebusnya.

204 Semata-mata Keadilan

dunia, atau memilih kota lainnya. Menyerahkan Yerusalem sebagai sebuah ibu kota nasional akan menjadi sulit bagi banyak orang Yahudi dan Palestina. Namun, perdamaianlah yang terpenting, dan Yerusalem akan tetap menjadi milik mereka pada tataran yang lebih tinggi. (Bahkan dalam sejarah Israel yang luhur, Yerusalem bukanlah ibu kota bagi kebanyakan bani Israel. Sepuluh dari dua belas suku lebih memberikan kesetiaannya kepada Samaria daripada untuk Yerusalem.)

Yerusalem sebagai ibu kota federasi akan kembali diberikan martabat, kehormatan, dan kesucian yang selayaknya ia miliki. Kota Suci itu tidak akan diyahudikan, diislamkan, atau dikristenkan: kota itu akan menjadi kota dari Allah yang Esa.

Salah satu kelemahan nyata dari pola ini adalah bahwa Israel sebagai sebuah negara Yahudi hanya akan menjadi satu di antara empat anggota federasi, dan tiga negara lainnya akan mejadi negara Arab. Saya takut tidak ada cara lain, jika kita tidak kembali pada ide konfederasi atas Israel dan Palestina saja. Federasi empat negara secara masuk akal akan memberikan sebuah keunikan pada Israel, posisi yang positif dibandingkan kerugian.

Mungkin dengan pandangan yang demikian, Israel dapat me-nemukan makna segar dalam pandangan apokaliptik Mikha:

Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir:gunung rumah TUHAN

akan berdiri tegak mengatasi gunung-gunungdan menjulang tinggi di atas bukit-bukit;bangsa-bangsa akan berduyun-duyun ke sana, dan banyak suku bangsa akan pergi serta ber kata:”Mari, kita naik ke gunung TUHAN,ke rumah Allah Yakub,supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nyadan supaya kita berjalan menempuhnya;sebab dari Sion akan keluar pengajaran,dan fi rman TUHAN dari Yerusalem.” Ia akan menjadi hakim antara banyak bangsa,dan akan menjadi wasit bagi suku-suku bangsa yang besar sampai ke tempat yang jauh;mereka akan menempa pedang-pedangnya men jadi mata bajak,

Sebuah Mimpi tentang Damai 203

keutuhan kota alih-alih memecahkannya. Akan menjadi sebuah tanda bagi warga Israel dan Palestina, dan juga bagi masyarakat dunia, jika Yerusalem tidak tetap bersatu. Juga akan menjadi hal tragis jika Yerusalem ditempatkan secara sepihak di bawah kendali penuh Negara Palestina atau Negara Israel.

Dengan membuang semua pendapat yang bias, kita perlu menyadari bahwa Yerusalem merupakan sebuah kota yang suci—sama sucinya—bagi Yahudi, Islam, dan Kristen. Sia-sia untuk mem-perdebatkan mana yang paling suci bagi ketiganya. Yerusalem tidak dapat dikendalikan oleh salah satu di antara ketiganya. Masa depan Yerusalem seharusnya tidak ditentukan oleh kekuatan militer. Ada-lah hal yang unik bahwa sebuah kota yang tidak hanya menjadi milik bangsa-bangsa di Timur Tengah, tetapi juga seluruh dunia. Yerusalem harus dihuni bersama.

Banyak ide telah diusulkan kepada pemerintah Yerusalem. Ba-nyak di antaranya yang langsung gagal karena bias dalam meng-utamakan satu sisi dari sisi yang lainnya. Sampai saat ini, konsep paling adil tentang Yerusalem dan untuk pihak-pihak yang berbeda dari konfl ik tersebut adalah yang diusulkan oleh PBB dan Vatikan: internasionalisasi, Yerusalem sebagai corpus separatum. Banyak hal yang pantas dikomentari, dan dapat diakui sebagai sebuah periode transisi; namun saya tidak melihatnya sebagai solusi permanen. Saya yakin bahwa pada akhirnya masyarakat Israel dan Palestina mampu untuk menjalankan urusan-urusan mereka sendiri tanpa pengawasan PBB. Walaupun PBB akan memainkan peran utama dalam penciptaan dan pemeliharaan perdamaian di Timur Tengah, dengan bertindak pada tahap-tahap yang berbeda sebagai tenaga sementara yang memfasilitasi sebuah transisi halus, akhirnya proses dinamis yang telah diprakasai dan didukung itu akan kembali pada masyarakat asli, orang Arab dan Yahudi.

Oleh karena itu, persoalan-persoalan yang saya ajukan dari pola federasi telah saya diskusikan. Yerusalem dapat menjadi ibu kota federal dari Negara Serikat Tanah Suci, yang tidak hanya dimiliki oleh satu negara, melainkan milik semua. Ibu kota Lebanon adalah Beirut, ibu kota Yordania adalah Amman. Warga Palestina dapat memilih sebuah ibu kota di antara berbagai kota yang ada di Tepi Barat atau membuat sebuah ibu kota baru. Israel, demi perdamaian, harus menerima Yerusalem sebagai ibu kota federasi, namun tidak sebagai ibu kota nasionalnya. Israel dapat terus mempertahankan Tel Aviv, yang tetap diakui sebagai ibu kotanya oleh masyarakat

44 Semata-mata Keadilan

Masyarakat yang Pasrah (1956–1967)Pada 1956, persekongkolan antara Israel dengan Inggris dan Prancis mengakibatkan Krisis Suez dan penyerangan terhadap Mesir. Israel mampu menduduki Jalur Gaza dan Sinai, namun pada akhirnya didesak untuk menarik diri dari wilayah itu oleh Presiden Amerika Serikat, Eisenhower. Namun, negara yang masih muda itu sedang berubah menjadi sebuah negara militer. Ini mewujudkan harapan menteri pendidikannya, yang pada 1950 menyerukan kepada seluruh rakyat Israel untuk membentuk sebuah ”bangsa tentara” daripada ”bangsa imam”.81 Israel tetap menentang resolusi internasional dan memaksakan kehendaknya serta status faits accomplis terhadap wilayah dan penduduknya.

Bagi masyarakat Palestina di Israel, periode kedua ini dicirikan dengan sikap penyesuaian dan penerimaan yang lebih realistis, walaupun enggan, atas konfl ik yang tidak terselesaikan. Kehidupan-nya jelas dijalani sebagai kaum minoritas, dianggap orang asing dan pada dasarnya tidak dibutuhkan. Kebijakan negara Yahudi lebih di tujukan untuk mengendalikan orang Palestina da ri pada untuk me nghilangkan, menyatukan, menampung, atau mengem bangkan mereka.82 Orang Palestina hidup dengan kesabaran dalam penderitaan yang diakibatkan oleh orang Yahudi Israel. Bahkan identitas mereka pun terancam: pada kartu identitas yang diterbitkan untuk mereka, kata ”orang Palestina”—yang sangat menggambarkan kebangsaan mereka—dihapus dan digantikan dengan istilah umum ”Arab”. Me reka kemudian dikenal sebagai orang Arab Israel. Golda Meir, Perdana Menteri Israel, menyatakan dengan terang-terangan: ”Tidak ada masyarakat Palestina di Palestina... kami datang dan menghalau mereka serta merampas negeri mereka. Mereka tidak ada.”83

Selain pengekangan fi sik dan psikologis semacam itu, negara tersebut juga menerbitkan berbagai pembatasan dalam kebudayaan dan pendidikan. Dalam kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah untuk orang Arab Israel, ada tema, peristiwa, dan nilai kepribadian yang sengaja dihindari, terutama yang mencerminkan sumbangan orang Arab bagi kebudayaan dan sejarah wilayah itu. Sebaliknya, ada usaha-usaha nyata yang dilakukan untuk menanamkan rasa bangga atas sejarah Yahudi. Anak-anak Palestina bahkan lebih banyak meng-habiskan waktu untuk mempelajari sejarah Yahudi daripada sejarah mereka sendiri.84 Tidak ada keinginan yang sungguh-sungguh untuk mengajarkan masa ”peralihan kekuasaan” dalam sejarah Palestina

Sebuah Arena Perselisihan 45

tahun 135–1948 M; orang Yahudi Israel menganggapnya tidak rele-van. Contoh sikap yang satu ini, dalam bentuk yang ekstrem, adalah pernyataan David Ben-Gurion setelah perang 1967 bahwa tembok-tembok Kota Yerusalem Kuno diruntuhkan karena tidak mewakili era Yahudi kuno, tetapi merupakan sebuah kenangan fase abad pertengahan Turki dalam sejarah Palestina.85

Selama periode kepasrahan ini ada semacam perasaan yang sama di kalangan orang Arab Israel bahwa tidak ada jalan keluar bagi konfl ik Israel-Palestina yang terlihat. Banyak di antara mereka yang terpesona dengan pembangunan, kemajuan, dan vitalitas dari negara baru tersebut. Di samping jutaan dolar yang mengalir dari Amerika Serikat, miliaran dolar juga datang dari Jerman Barat sebagai upaya ganti rugi, pemulihan, dan pinjaman.86

Berbagai upaya politis untuk menata kehidupan masyarakat Palestina di Israel dengan segera ditahan. Sikap diam dan patuh orang Palestina secara politis membingungkan James Pike, Uskup Gereja Episkopal dari keuskupan California, yang adalah seorang pendukung kuat Israel. ”Masalah yang belum dapat saya pahami adalah mengapa orang Arab di Israel tidak menata kehidupannya secara politis lebih daripada yang telah mereka lakukan. Padahal ada kemungkinan untuk melakukannya karena banyak pendukung.”87 Dalam sebuah studi tentang orang Arab Israel, Ian Lustick me-nemukan bahwa:

Kegagalan kaum minoritas Arab Israel untuk ”menata diri” dan sedikitnya upaya penting yang dilakukan dari kenyataan segmentasi komunal masyarakat Israel demi pemberlakuan dan stabilitas sistem politik Israel, dise-babkan oleh adanya sistem pengendalian yang sangat efektif, yang telah diberlakukan terhadap seluruh orang Arab Israel sejak 1948.88

Lustick selanjutnya menegaskan bahwa sistem pengendalian di Israel berbeda dari sistem apartheid, yang tidak diakui dalam kerangka kerja resmi negara tersebut. Pada sisi lain, Deklarasi Kemerdekaan Israel menyatakan:

[Negara] akan memajukan pembangunan demi kepentingan seluruh penduduknya; akan didasarkan pada prinsip ke-mer dekaan, keadilan, dan perdamaian sebagaimana yang dinyatakan oleh para nabi Israel; akan menjunjung tinggi

202 Semata-mata Keadilan

permusuhan. Ini akan menyatukan empat negara yang sedikit jumlah penduduknya yang mungkin tidak dapat menghidupkan dirinya sendiri, namun yang ketika bergabung dalam sebuah federasi yang dinamis dan sehat, dapat menjadi berkat bagi dirinya sendiri dan seluruh Timur Tengah.8

Bagi Israel dan Palestina, dalam federasi yang demikian, per-batasan dan garis batas wilayah akan dihargai karena masyarakat hidup sebagai sesama dan bukan sebagai musuh. Bahkan batasan-batasan yang aneh dari negara masa depan Palestina, yang akan menghubungkan Tepi Barat dengan Gaza, akan dapat diterima ka-rena merupakan batas-batas wilayah dari tetangga yang bersahabat dan bukan musuh.

Israel, Palestina, Yordania, dan Lebanon merupakan seluruh bagian Tanah Suci. Masing-masing akan menjaga kedaulatannya, namun mereka semua saling bergantung dan sama-sama termasuk dalam sebuah hubungan federasi yang dinamis. Masing-masing memiliki sejumlah pengungsi Palestina yang cukup besar, yang da-pat menguntungkan dari federasi tersebut. Rantai pembangunan akan diatur. Pemulangan para pengungsi akan terjadi. Permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Gaza akan menyediakan kota-kota baru bagi kembalinya para pengungsi Palestina. Orang Israel, dengan ke-ahliannya ”membuat padang gurun berbunga”, dapat menjadi re-kan dalam membangun negara. Seluruh komunitas dunia akan membantu tujuan federasi. Sebagian besar dana, yang oleh setiap rekanan telah dicanangkan untuk membeli persenjataan, kini akan dialihkan untuk pendirian dan pengembangan federasi tersebut.9 Dan Israel harus melucuti senjata nuklirnya.10

Federasi yang demikian juga dapat membantu mengatasi per-soalan Yerusalem, persoalan yang mungkin paling sulit dari semua persoalan yang ada dalam konfl ik Arab-Israel. Itulah kunci menuju perdamaian. Ketika sebuah solusi ditemukan bagi pemerintah Yerusalem, maka solusi untuk seluruh negara pun terjadi.

BERBAGI YERUSALEM: KUNCI MENUJU PERDAMAIAN

Masalah Yerusalem perlu didekati dengan dasar premis mayor yang sama. Premis minor perlu diubah dalam rangka mempertahankan

Sebuah Mimpi tentang Damai 201

dan masyarakat internasional bertindak serta mengambil keputusan. Contoh di atas menunjukkan bahwa manusia memiliki kapasitas untuk menghadapi perselisihan terburuk, bahkan ketika darah orang yang tak berdosa telah tertumpah. Jadi, di samping semua ke pahitan dan kebencian yang telah diakibatkan oleh berbagai ke -bijakan Israel terhadap orang Palestina, orang Palestina tetap me-miliki ikatan nilai-nilai Semitik, yaitu kehormatan, kemurahan hati, dan keramahtamahan yang memperkenankan mereka untuk me-ne mukan berbagai solusi nyata serta hidup damai dengan sesama-nya, bahkan dengan orang-orang yang sekaligus merupakan musuh bebuyutannya. Memang akan dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk melupakan kebencian dan kekerasan, namun adalah hal yang mungkin untuk hidup bersama. Ini bukanlah khayalan. Mereka yang mengenal orang Arab dengan baik tahu bahwa ini merupakan sebuah realitas kehidupan di Timur Tengah. Orang Yahudi Israel dapat diyakinkan tentang hal ini jika mereka mengubah sikap. Saya yakin bahwa perubahan sikap yang telah saya usulkan dapat menjadi katalisator, yang menggerakkan proses dinamis: sebuah dasar yang di atasnya dibangun perdamaian di wilayah kita.

Untuk menegaskan hal-hal yang sudah saya katakan sejauh ini: ada sebuah kebutuhan akan sebuah sikap baru terhadap konfl ik Israel-Palestina dari orang Palestina dan orang Yahudi—penerimaan warga Palestina terhadap hak orang Israel untuk berada dalam batas-batas yang aman, dan penerimaan warga Israel terhadap negara Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Yang telah saya usulkan hanyalah dasar untuk sebuah solusi. Dalam pandangan saya, itu hanyalah silogisme yang melengkapi kita dengan sebuah solusi realistis ter-hadap konfl ik yang terjadi. Berdasarkan hal itu, proses dinamis ha-rus menunjuk pada pembentukan sebuah negara federasi di Timur Tengah. Saya memimpikan federasi ini sebagai bersatunya dua atau lebih negara-negara yang berkuasa untuk menciptakan sebuah hu bungan yang dinamis di antara mereka. Beberapa orang telah mengusulkan ide sebuah konfederasi antara Israel dan Palestina. Itu merupakan sebuah ide yang sangat bagus. Akan tetapi, saya ingin mengusulkan ide federasi yang lebih menantang, yang pada akhirnya akan mencakup negara-negara berdaulat seperti Lebanon dan Yordania. Sebuah Negara Federasi Tanah Suci yang demikian akan memperluas dasar kerja sama ekonomi di antara sesama rekan. Ini akan menciptakan perasaan saling bergantung yang meng untungkan, kehidupan bertetangga yang penuh damai, bukan

46 Semata-mata Keadilan

kesetaraan sosial dan politik sepenuhnya dari setiap war-ga negara, tanpa membedakan agama, ras, atau jenis ke-lamin; akan menjamin kebebasan beragama, hati nurani, pendidikan, dan kebudayaan.89

Walaupun Deklarasi tersebut tidak mengikat secara resmi, dalam kekosongan konstitusi yang terus berlangsung, deklarasi itu diha-rap kan menuntun penafsiran hukum Israel, sehingga Israel dapat menyatakan bahwa orang Arab dan orang Yahudi adalah setara. Namun, negara Israel telah membangun sebuah ”sistem pengendalian” canggih, yang digunakan untuk memanipulasi kelompok minoritas Arab dan mengendalikannya secara efektif. Tiga komponen dari sis tem pengendalian ini adalah segmentasi, ketergantungan, dan kooptasi.

”Segmentasi” merujuk pada pengisolasian kelompok mino-ritas Arab dari penduduk Yahudi dan fragmentasi internal kelompok minoritas Arab tersebut. ”Ketergan tungan” me ru juk pada pengondisian ketergantungan kelompok mi noritas Arab terhadap mayoritas Yahudi dalam hal sumber daya ekonomi dan politik yang penting. ”Kooptasi” merujuk pada pemberlakuan pembayaran sampingan kepada kaum elite Arab atau yang berpotensi menjadi kaum elite dengan tujuan pengawasan dan pemerasan sumber hidup.90

Pada akhir periode ini, fakta-fakta yang menenangkan maupun yang mengerikan menjadi cukup jelas: dunia melihat ”masalah Palestina” sebagai masalah pengungsi. Orang-orang Palestina yang tinggal di Israel telah terisolasi dari sesama orang Palestina dan telah me-masrahkan diri mereka pada kehidupan dan status sebagai kaum minoritas.91

Kebangkitan Bangsa (1968–1988)Secara paradoks, periode ke-3 ini mulai muncul pada akhir perang 1967. Bagi kebanyakan pengamat, serangan dan kemenangan se-ce pat kilat pada 1967 dianggap sebagai sebuah pukulan maut terhadap berbagai harapan dan aspirasi Arab dalam melawan Israel. Dari posisi Israel yang menguntungkan, perang tersebut secara mili-ter telah memukul mundur orang Arab untuk waktu yang lama. Israel berharap bahwa hasil akhir perang yang sangat singkat itu

Sebuah Arena Perselisihan 47

akan membuat bangsa Arab menyerah dan harus menerima bentuk-bentuk perdamaian yang ditawarkan oleh Israel. Setelah perang itu, Moshe Dayan menyatakan bahwa ia sedang ”menunggu orang Arab untuk menghubunginya”.92

Seiring berakhirnya perang itu, sebuah kesadaran baru me-rebak dari kekalahan yang tragis dan memilukan ini ketika menyak-sikan kematian ribuan orang Arab dan 700 tentara Israel.93 Pada akhir 1960-an, khususnya setelah perang Karameh pada Maret 1968, ketika orang Arab Palestina terlibat perang melawan Israel dan mengakibatkan kerugian cukup besar bagi mereka, ada suatu kesadaran yang kembali lahir dan suatu pembaruan dedikasi ter-hadap kebenaran akan persoalan Arab. Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) diakui oleh negara-negara Arab sebagai satu-satunya perwakilan orang Arab Palestina.

Banyak orang yang melihat PLO hanya sebagai sebuah orga-nisasi teroris. Namun, bagi hampir seluruh orang Palestina, PLO merupakan gerakan pembebasan nasional mereka. Dalam proses pembentukannya pada 1964 oleh Liga Arab, PLO menyelenggarakan pertemuan perdana di Yerusalem pada bulan Mei tahun itu. Perte-muan tersebut dihadiri oleh 422 orang Palestina dari berbagai ne-gara Arab, yang bertemu dan menyusun struktur dasar organisasi tersebut. Organisasi ini dibentuk sebagai badan politik yang bertujuan untuk menyatukan pecahan-pecahan orang Palestina yang tersebar di berbagai belahan dunia. PLO menciptakan sebuah kerangka kerja yang akan mengintegrasikan kegiatan-kegiatan kebudayaan, sosial, pendidikan, ekonomi, politik, dan militer orang Palestina. Jadi, tu-juan utama sejak berdirinya bukan sekadar pencapaian hak-hak po-litik nasional bagi orang Palestina, tetapi juga penyusunan kembali masyarakat yang sehat bagi berbagai komunitas yang tersebar.

PLO sangat dikenal dengan sayap militernya, yang dibagi men jadi delapan kelompok yang berbeda, dengan Al-Fatah sebagai kelompok terbesar. Namun, sangat sedikit orang yang menyadari pelayanan sipil yang disediakan oleh PLO. Organisasi ini mempekerjakan ri-buan orang untuk mendirikan banyak sekolah, rumah sakit, dan klinik kesehatan, menerbitkan buku dan majalah, mengembangkan program pemberantasan buta huruf, mengoperasikan stasiun radio, mengupayakan pengembangan ekonomi, dan sebagainya. Dewan Na sional Palestina (Palestine National Council—PNC), atau parlemen dari PLO, beranggotakan 428 orang. Perwakilan dalam PNC adalah serikat dan sindikat para penulis dan jurnalis, pekerja, perempuan,

200 Semata-mata Keadilan

mengakui klaim kami atas tanah kalian. Dan begitu menakjubkan, banyak pemerintahan di dunia setuju dengan kami. Kami tidak mau ber negosiasi dengan perwakilan kalian, menolak mereka seperti pa ra teroris. Di sini, kami juga memaksa pemerintah Amerika Serikat untuk berjanji agar mereka tidak mau bernegosiasi dengan perwakilan kalian.7 Kami telah melakukan hal ini dan banyak hal lainnya. Kami telah bersalah terhadap kalian. Sekarang, kami me-nya dari bahwa solusi yang paling sehat terhadap berbagai konfl ik adalah penggunaan negosiasi dan kompromi, sebagai lawan dari kekuasaan, penindasan, dan pengendalian. Kami ingin bernegosiasi dengan para perwakilan kalian, PLO, dan kami memilih untuk hidup damai dengan kalian. Kami ingin tinggal di salah satu wilayah Timur Tengah. Kami mau hidup di antara kalian, orang Islam dan Kristen. Negara Palestina-mu saat ini, dua ribu tahun yang lalu adalah negara kami. Kami tetap memiliki banyak kenangan historis yang berharga yang terus menarik kami ke tanah itu. Itu ”tanah suci” kami juga, ”tanah perjanjian” kami. Ada ruang untuk kita bersama di sini.

Sikap yang demikian tidak menyangkal hubungan orang Yahudi dengan masa lampau, namun sikap itu mengakui perubahan historis dan demografi s yang realistis, yang terjadi di wilayah Palestina selama dua ribu tahun terakhir.

Kedua sikap ini dengan segera akan meletakkan dasar yang benar bagi sebuah kehidupan baru bagi seantero Timur Tengah, dan akan memprakarsai proses dinamis menuju perdamaian dan rekonsiliasi.

Di beberapa wilayah di Timur Tengah, ada tradisi-tradisi kuat yang menawarkan berbagai solusi untuk perselisihan komunal. Se-seorang terbunuh oleh orang lainnya. Seluruh keluarga akan di-sang kutkan dalam perseteruan yang sengit. Orang-orang baik dan para tokoh masyarakat dipanggil untuk menjadi perantara. Melalui berbagai kebijaksanaan dan manuver yang cerdik, mereka mulai mengarahkan perseteruan itu ke jalan damai.

Bertahun-tahun yang lalu, para lelaki dari sebuah desa Druze di Galilea mengamuk di dekat kota orang Kristen dan Islam. Mereka menjarah kota, membakar rumah dan mobil, serta membunuh orang. Sebuah sulha tradisional (proses rekonsiliasi) dilakukan.

Saya tidak sedang mengusulkan bahwa inilah yang perlu terjadi antara warga Palestina dan Yahudi. Jangkauan persoalannya lebih bersifat regional dan internasional. Di dunia masa kini, sulha-sulha terbaik terjadi ketika masyarakat mengizinkan hukum internasional

Sebuah Mimpi tentang Damai 199

Semitisme muncul. Menurut pengamatan saya, bahkan dalam se-buah tempat yang demokratis dan bebas seperti Amerika Serikat, orang dapat menemukan sebuah anti-Semitisme yang besar, belum lagi rasisme, prasangka, dan diskriminasi terhadap kelompok mi-noritas lainnya. Di samping hal ini, saya tidak melihat orang kulit hitam bergorombolan melakukan emigrasi ke Afrika. Saya juga tidak melihat orang Yahudi Amerika berkumpul di Israel. Amerika adalah rumah mereka, dan mereka akan tetap tinggal di dalamnya serta melawan rasisme maupun anti-Semitisme.

Oleh karena itu, orang Palestina dapat menatap mata orang Yahudi dan berkata bahwa satu-satunya dasar kebenaran yang dapat mereka terima saat ini untuk kehadiran Israel adalah Holo-caust. Dan dengan sebuah cara yang baru, dengan sikap murah hati mereka harus mengatakan kepada orang Yahudi, bahwa kami akan menerima kalian dan berbagi tanah ini dengan kalian. Kalian telah menderita begitu lamanya. Datanglah berbagi tanah dengan kami. Ini adalah tanah milik Allah. Kita akan hidup bersama-sama di dalamnya sebagai saudara.

Sikap baru ini tidak dikomunikasikan dalam sebuah semangat kejayaan atau superioritas. Sikap ini pun bahkan tidak perlu di-ucapkan secara verbal; namun sikap ini seharusnya mencerminkan sebuah sikap baru warga Palestina terhadap orang Yahudi.

Bagi Orang Yahudi: ”Kalian Telah Diperlakukan secara Keliru”Sikap baru orang Yahudi Israel terhadap orang Palestina secara se-derhana seharusnya demikian: Kami menyesal bahwa kami datang kepada kalian dengan kesombongan dan rasa superioritas. Kami datang dengan alasan-alasan yang baik maupun tidak terlalu baik. Akan tetapi sekarang kami berada di tanah ini. Ampuni kami atas kesalahan dan keadilan yang telah kami lakukan terhadap kalian. Kami mengambil negeri kalian. Kami mengabaikan kalian. Kami berpura-pura bahwa kalian tidak ada, atau bahkan lebih buruk lagi, kalian bukan apa-apa. Kami membuat stereotip mengenai kalian, meyakinkan orang lain bahwa kalian semua adalah teroris. Kami menolak untuk menyadari bahwa kalian memiliki hak, sambil kami menuntut kalian untuk mengakui dan melegitimasikan hak kami atas tanah kalian. Kami telah menuntut, serta meyakinkan Amerika Serikat dan negara lainnya untuk menuntut, supaya kalian

48 Semata-mata Keadilan

pelajar, guru, insinyur, pengacara, dokter, pelukis dan seniman, serta petani Palestina. PLO memiliki komite eksekutif yang terdiri atas 15 orang anggota, yang dipilih oleh PNC, yang pada gilirannya memilih seorang ketua. Setiap anggota komite eksekutif tersebut bertanggung jawab menangani urusan luar negeri, pendidikan, kesehatan, keuangan, dan bidang-bidang lainnya. PLO memiliki badan perwakilan di hampir 100 negara dan di berbagai perwakilan PBB.

Jadi, PLO dapat dianggap sebagai sebuah ”negara ba yangan” atau pemerintahan di pembuangan, walaupun tidak per-nah memproklamasikan diri secara resmi. Namun, tidak peduli bagaimana PLO dijelaskan, berbagai prestasinya da pat ditandai dan diindikasikan dari kebulatan tekad dan kemampuan komunitas ini mentransformasi diri menjadi sebuah negara-bangsa yang teruji. Tingkat kecanggihan institusi-institusi politik PLO, berbagai proses tawar-menawar dan perundingan, politik membangun konsensus (dalam kon teks kesadaran politik dan partisipasi politik ting kat tinggi), dikombinasikan dengan infrastruktur insti-tu si onal kelompok sipil yang ekstensif, memberikan dasar bagi berdirinya suatu pemerintahan, dan menjadi tanda yang baik tentang kesuksesan penyelenggaraan sebuah ne gara begitu negara itu terbentuk. Lebih dari itu, keberadaan institusi-institusi sipil PLO dan tingkat aktivitasnya yang luas, di samping institusi politik dan proses-proses interaksi dalam permainan poli-tik Palestina, merupakan bukti nyata bahwa PLO bukan sekadar organisasi militer. Berbagai aktivitas militer PLO kurang menonjol, kurang canggih, dan lebih sederhana di ban dingkan dengan aktivitas-aktivitas sipil.94

Jadi, PLO membantu menghubungkan berbagai komunitas Pales tina yang terpencar serta berfokus pada segala harapan dan inspirasi mereka.

Bagi orang Arab Israel, PLO menolong untuk membangunkan kesadaran mereka sebagai orang Palestina. Mereka tiba-tiba menya-dari bahwa mereka adalah bagian dari sebuah entitas yang lebih luas, sebuah kesatuan yang lebih besar. Mereka menemukan kemba-li identitas yang hilang, yang telah menghantui mereka selama 20 tahun. Pandangan yang holistik ini membawa harapan dan

Sebuah Arena Perselisihan 49

kehidupan pada komunitas yang selama ini tercerai-berai. Ungkapan ”orang Palestina”, yang selama ini dianggap tabu di Israel, tiba-tiba dihidupkan kembali. Banyak orang Arab Israel tidak lagi memandang diri mereka sebagai kelompok minoritas yang dikucilkan, melainkan sebagai bagian dari entitas orang Palestina yang lebih luas dengan martabat dan hak yang tidak dapat dicabut.

Lebih dari itu, perang 1967—yang dilihat banyak pihak di Barat sebagai membawa keselamatan bagi orang Yahudi, membela mereka, dan menghindari terjadinya Holocaust lain—justru menyingkap militerisme Israel dan kebijakan ekspansionisnya. Perang itu juga mengungkapkan kepada banyak orang suatu visi tentang keadaan masyarakat Palestina, yang secara tidak adil telah menanggung ber-bagai konsekuensi dari anti-Semitisme Barat.

Sejak lahirnya Negara Israel, jumlah orang Arab Palestina di Israel meningkat pesat, dengan tingkat kelahiran mencapai 4 persen per tahun—dua kali lebih besar daripada penduduk Yahudi dan salah satu yang tertinggi di dunia.95 Antara tahun 1948 dan 1977 penduduk Arab Israel meningkat lebih dari tiga kali lipat, bertambah dari kira-kira 150.000-574.000 orang.96 Dari jumlah orang Palestina yang hidup di Israel, 60 persen tinggal di Galilea; 20 persen di wilayah Segitiga, sekumpulan desa-desa Arab yang berbatasan dengan Tepi Barat di baratdaya Tel Aviv; dan 20 persen hidup di pusat-pusat kota (termasuk kaum Badui di Negev).97 Selama periode ini, standar kehidupan komunitas Arab Israel meningkat, mencerminkan ledakan perekonomian yang terjadi secara umum di kawasan itu. Setelah hilang untuk waktu yang lama, banyak orang Arab Israel berjuang keras meraih kesejahteraan dan kekayaan. Beberapa orang membangun vila-vila yang indah dan mahal; yang lainnya menggunakan kesempatan untuk bepergian ke luar negeri. Kekayaan menjadi simbol status, kesuksesan, dan kewibawaan. Namun, kekayaan itu cenderung merusak pemiliknya, apalagi ka-lau diperoleh dalam waktu singkat. Kekayaan menghasilkan pem-borosan dan kemerosotan moral; kekayaan itu pun tidak digunakan bagi pembangunan komunitas Arab, tetapi untuk memperkaya diri sendiri.

Selama periode keterguncangan dan kepasrahan, tenaga kerja orang Arab Israel sebagian besar adalah pekerja kasar, ”penebang pohon dan pengangkut air”. Kebanyakan dari mereka yang meng-inginkan pekerjaan layaknya pekerja kantoran menjadi guru di sekolah-sekolah umum atau swasta. Hanya sebagian kecil yang

198 Semata-mata Keadilan

membuat kita orang Palestina menghadapi Israel dengan sangat jujur dan menyatakan bahwa satu-satunya dasar kebenaran yang membuat orang Palestina menerima pembentukan sebuah negara orang Yahudi di Palestina adalah Holocaust. Holocaust dan hanya Holocaust-lah yang mengharuskan pendirian sebuah tanah air bagi orang Yahudi. Beberapa negara Barat tidak membuka pintunya bagi orang Yahudi, dan kepemimpinan Zionis pada waktu itu senang dengan hal itu karena kelompok ini sangat menginginkan supaya semua orang Yahudi pergi ke Palestina! Orang Palestina, sebagai tuan rumah, harus setuju untuk memberikan bagian terbaik dari tanah Palestina kepada orang Yahudi (bagian barat Palestina), bukan karena mereka berhak atas tanah itu, bukan karena Deklarasi Balfour,4 dan juga bukan karena anti-Semitisme, melainkan karena Holocaust.

Evan M. Wilson, mantan konsul jenderal Amerika Serikat di Yerusalem, pernah menuliskan, ”Pembentukan sebuah negara Ya-hudi di Palestina...yang bertentangan dengan harapan mayoritas pen duduk (dua per tiga) dari negara tersebut merupakan sebuah kesalahan....”5 Banyak orang setuju dengan pendapat ini. Namun, seperti yang dikatakan oleh Wilson, ”ini bukanlah masalah pada ma sa kini.”6 Kita harus mengevaluasi masa lalu dengan penuh ke-jujuran, namun kita juga harus melampauinya.

Seperti persoalan anti-Semitisme, saya akhirnya menerima hal tersebut sebagai sebuah kejahatan yang diarahkan terhadap orang Yahudi dengan cara tertentu. Walaupun kita dapat menunjukkan banyak rasisme, prasangka, dan diskriminasi yang tetap ada di dunia pada saat ini dalam bentuk yang berbeda-beda, orang Yahudi telah menanggung manifestasi terlama yang berkesinambungan dalam pengalaman historisnya dari rasisme karena penyebaran mereka di antara bangsa-bangsa yang berbeda-beda. Itu lebih merata dalam se jarah Yahudi karena orang Yahudi telah lebih banyak mencatat dan membuat daftar sejarah mereka, dibandingkan bangsa lainnya. Namun, sebagaimana yang telah saya sebutkan sebelumnya, ber-bagai kelompok lain, tidak hanya orang Yahudi, telah menjadi sa-saran rasisme dan diskriminasi. Itu telah menjadi kesedihan yang besar dari banyak kelompok minoritas, walaupun tidak seluruhnya. Meskipun demikian, adanya anti-Semitisme, dalam penilaian saya, bukanlah sebuah alasan yang cukup untuk mencabut akar orang lain, merampas tanah mereka, dan membentuk negara baru. Itu bukanlah hukum yang perlu diajukan setiap kali rasisme dan anti-

Sebuah Mimpi tentang Damai 197

yang harus dilakukan secara konstruktif terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh orang Yahudi Israel terhadap orang Palestina, seperti halnya dengan ketakutan terhadap orang Arab Palestina yang menghantui orang Yahudi.

SIKAP-SIKAP BARU: DASAR-DASAR UNTUK PERDAMAIAN

Sebelum proses upaya perdamaian dapat dimulai, perubahan sikap orang Yahudi dan Palestina antara yang satu terhadap yang lainnya adalah penting. Mereka perlu berhadapan dengan jujur, untuk men-ciptakan sikap-sikap baru yang akan menjadi dasar untuk per da-maian dan stabilitas di wilayah itu.

Bagi Orang Palestina: Mengetahui HolocaustOrang Palestina harus benar-benar menyadari dan peka terhadap kengerian Holocaust, usaha Nazi Jerman untuk memusnahkan orang Yahudi. Benar bahwa Holocaust bukanlah sebuah fenomena Timur Tengah, dan orang Palestina tidak ada urusannya dengan hal itu. Akan tetapi, kita perlu memahami lanjutan trauma orang Yahudi. Kebutuhan kita untuk mempelajari persoalan ini mirip dengan orang Yahudi Timur, kelompok Sephardim, orang-orang yang juga tidak mengalami Holocaust. Tidak dapat disangkal, se-bagai orang Palestina kita telah menolak, apalagi meresapi, tragedi Holocaust yang mengerikan. Kita menolak mengakui peristiwa itu, mempercayai bahwa kita mengalami Holocaust kita sendiri di tangan orang Yahudi. Banyak orang Palestina yang ragu bahwa Holocaust pernah terjadi; mereka tidak dapat percaya bahwa orang-orang yang begitu menderita dapat berbalik dan menimbulkan begitu banyak penderitaan terhadap orang-orang Palestina. Kita juga telah menolak untuk mengakui atau menyadari keunikannya, dengan merujuk pada upaya penghancuran orang Kristen Asiria dan Armenia di abad ini (yang dilakukan oleh penguasa Turki pada awal abad ke-20—ed.).3

Meskipun demikian, sebuah sikap baru diharapkan dari kita saat berhadapan dengan Holocaust. Kita harus memahami makna dan pentingnya Holocaust bagi orang Yahudi, sambil meminta dengan tegas bagi orang Yahudi untuk memahami makna dan pentingnya tragedi Palestina bagi orang Palestina. Sikap baru tersebut akan

50 Semata-mata Keadilan

bekerja sebagai pegawai di berbagai lembaga pemerintahan atau jawatan pemerintahan yang terkait. Pada tahun 1950, hanya ada 10 mahasiswa Arab Palestina yang belajar di universitas-universitas di Israel. Pada akhir 1950-an, lebih mudah memperoleh beasiswa dari suatu sekolah di Amerika dan belajar ke luar negeri daripada peluang diterima di universitas lokal. Kebanyakan dari mereka yang meninggalkan Israel menjadikan Barat sebagai rumah mereka selamanya. Secara bertahap, kemungkinan bagi para mahasiswa Arab di Israel menjadi lebih baik—pada 1977 ada sekitar 2.100 mahasiswa, terutama pada Hebrew University di Yerusalem dan University of Haifa. Namun, jumlah mahasiswa Arab tidak pernah melebihi 4 per-sen dari keseluruhan mahasiswa, sementara komunitas Arab meru-pakan 15 persen dari jumlah penduduk negara tersebut.98

Pada akhir 1960-an, kehadiran orang Arab yang berpendidik-an di Israel mulai terasa dalam kehidupan masyarakat. Cukup mengejutkan bahwa ternyata pendidikan mereka di universitas-universitas Israel tidak membuat mereka menjadi pro-Israel; seba-liknya, mereka justru semakin nasionalis. Para mahasiswa ini, yang cara pandangnya dibentuk dalam lingkungan Yahudi, menjadi orang-orang yang lantang menyuarakan keadilan, kesetaraan, ke-mer dekaan, dan penentuan nasib sendiri bagi masyarakat Pales tina. Mereka bergabung dengan persekutuan alumni universitas Arab Israel yang kembali dari negara-negara Eropa Timur. Mereka diutus dengan dukungan dana dari Partai Komunis (RAKAH) dan negara penerima, dengan program pendidikan yang tertata baik dan telah terbukti kegunaannya. Berbeda dari rekan-rekan mereka yang tinggal di Barat, para mahasiswa ini tidak punya pilihan se lain kembali pulang setelah menyelesaikan studinya. Para dokter, pengacara, insinyur, arsitek, guru, akuntan: bersama dengan para mahasiswa Arab Palestina yang belajar di Israel, mereka menyusun kekuatan para pemikir, organisator, konseptor komunitas Arab Pa les tina yang baru di Israel. Awalnya, karena tidak memiliki wadah untuk mengekspresikan pandangan mereka, para profesional dan sarjana ini beralih ke Partai Komunis, yang telah siap untuk mem berikan jalan keluar bagi mereka. Banyak di antara mereka yang bukan komunis, bahkan tidak berhasrat untuk menjadi seorang komunis. Mereka bergabung dengan partai tersebut karena merasa bahwa itulah satu-satunya wadah perjuangan yang nyata dari masyarakat Palestina. Partai tersebut mendorong afi liasi semacam itu, sambil berharap dapat memasukkan orang Arab Israel ke dalam barisannya

Sebuah Arena Perselisihan 51

dan tetap melindungi mereka. Dalam rangka menampung fenomena baru ini, RAKAH bahkan mengganti namanya menjadi Front Demo-krasi untuk Perdamaian dan Kesetaraan (Democratic Front for Peace and Equality). Ini membuktikan sebuah perkembangan yang cukup penting bagi komunitas Arab di Israel selama beberapa tahun. Akan tetapi, lambat laun banyak kaum intelektual Arab yang kecewa dan putus hubungan dengan Front Demokrasi tersebut. Orang-orang ini, bersama dengan beberapa orang Yahudi yang progresif, mengorganisasikan dirinya dalam Progressive List for Peace, yang pertama kali muncul dalam pemilu Israel 1984, meraih hampir 18 persen suara orang Arab. Saat ini, kedua partai tersebut memiliki pendukung yang setia dan gigih, dan pada saat pemilu keduanya bersaing ketat untuk mendapatkan suara orang Arab.99 Kemudian, sebuah partai Arab yang baru muncul, menyatakan dirinya pertama kali pada saat pemilu Israel pada November 1988.

Banyak orang Arab Israel yang masih mengingat perayaan Hari Bumi yang terkenal pada 30 Maret 1976, sebagai titik penentuan yang nyata, ketika mereka secara kolektif dan berani mengekspresikan kesadaran identitas nasional mereka. Pemerintah Israel telah menya-takan maksudnya untuk mengambil alih 1,5 juta dunum (350.000 akre) dari tanah milik orang Arab di Galilea dan Negev. Bagi orang Arab Israel, ini jelas merupakan usaha menyahudikan Galilea, yang lebih dari 70 persen penduduknya adalah orang Arab. Pada 30 Maret 1976, terjadi penyerangan yang melibatkan semua penduduk Arab; mereka bergabung serangan terbuka rakyat Palestina di wilayah-wilayah yang telah diduduki Israel. Kaum remaja Arab memblokir jalan-jalan dan melempari tentara Israel dengan batu. Pada sore harinya, tujuh orang Arab terbunuh dan banyak yang mengalami luka-luka pada kedua belah pihak.100

Beberapa bulan kemudian, komunitas Arab lebih diperhatikan ketika sebuah memorandum rahasia dipublikasikan. Memorandum itu ditulis oleh Israel Koenig, seorang anggota partai National Religious, ahli masalah Arab di kementerian dalam negeri, dan ko-mi saris distrik Galilea. Memorandum Koenig, ”Menangani Orang Arab Israel”, mengidentifi kasikan sejumlah persoalan demografi , politik, dan kecenderungan ekonomi di kawasan orang Arab. Dalam rangka menghadapi tumbuhnya nasionalisme orang Arab, Koenig mengusulkan untuk mengurangi jumlah penduduk Arab melalui beberapa cara, seperti hanya menyediakan 20 persen lapangan pe-ker jaan yang layak dan membatasi jumlah mahasiswa di berbagai

196 Semata-mata Keadilan

Penerimaan warga Palestina terhadap negara mereka sendiri di salah satu bagian di tanah itu tidak harus dilihat sebagai tanda kele-mahan atau kemunduran. Intifada tahun 1988 telah memberikan sebuah rasa mampu dan keefektifan. Mereka yang telah hidup di Israel, entah sebagai orang Arab Israel sejak tahun 1948 maupun sebagai orang Palestina di Tepi Barat dan Gaza sejak tahun 1967, menjadi semakin realistis dalam berbagai tuntutan dan aspirasi. Mereka ingin menerima realitas sebuah Negara Yahudi.

Israellah yang menjadi keras pada pendiriannya. Pembalikan peran pada saat yang bersamaan mengagumkan sekaligus tragis. Israel telah begitu merintangi dirinya sendiri dengan ketakutan ter-hadap orang Palestina. Rintangan itu menimbulkan kesulitan untuk memindahkan tembok-tembok pembatas dan hidup damai dengan sesamanya. Israel juga menggunakan ketakutannya terhadap warga Palestina untuk menjaga keberpihakan dunia padanya, mendukung dan mempertahankan, mengalirkan uang ke negara itu. Maka, warga Palestina, dan orang Arab secara umum, diberi gelar kejam, para teroris yang haus darah yang ingin menenggelamkan orang Yahudi ke laut. Sejak Intifada, bagaimanapun, dunia menyadari pemalsuan gambaran tentang Palestina ini. Warga Palestina sekarang tampak secara realistis sebagai: masyarakat yang dibentuk oleh laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang tahu bagaimana harus berteriak ketika dipukul oleh tentara Israel, yang kesakitan ketika tulang me-reka dipatahkan, dan yang meratapi kekasih mereka yang dibunuh hanya karena bertahan melawan pendudukan serta berjuang demi kebebasan dan martabat. Gambaran warga Palestina telah berubah, dan gambaran Israellah yang sekarang ternoda, Israel dengan para sahabat setianya yang hidup dengan fobia terhadap warga Palestina yang telah diciptakan oleh Israel.

Demi keamanan dan kesejahteraan Israel, maka sebuah Negara Palestina harus didirikan. Bahkan akan lebih tepat bagi Israel untuk membuat rencananya sendiri. Inilah bentuk kepemimpinan yang di butuhkan oleh Israel jika mereka benar-benar ingin bertahan hidup. Namun, pembentukan sebuah Negara Palestina seharusnya menjadi langkah pertama dalam sebuah proses dinamis perdamaian dan rekonsiliasi, karena resolusi konfl ik tidak terjadi secara tiba-tiba pada saat sebuah negara Palestina terbentuk. Karya rekonsiliasi kemudian hanya dapat dimulai ketika orang Yahudi dan Palestina saling berjumpa pada kedudukan yang sama dan tidak berjumpa sebagai penindas dan yang tertindas. Akan ada banyak pekerjaan

Sebuah Mimpi tentang Damai 195

seorang pengamat sejarah, saya merasakan bahwa ingatan historis orang Yahudi terhadap tanah itu sangat kuat dibandingkan akar mereka yang sebenarnya di tanah itu. Ketika menghadapi saat-saat yang be rat, banyak di antara mereka yang meninggalkan tanah itu demi kehidupan yang lebih baik di negara-negara yang lebih aman. Walaupun merupakan sebuah mitzvah atau tugas religius bagi orang Yahudi untuk tinggal di tanah itu, sebagian besar orang Yahudi, beberapa di antara mereka religius, bahkan memilih untuk tidak melakukan hal tersebut. Meskipun demikian, tanah itu akan selalu dihargai dalam ingatan historis mereka.

Katakanlah demikian, saya ingin memperjelas bahwa saya tidak sedang mengusulkan semacam solusi masa depan seiring de ngan garis demografi s. Saya hanya sedang mengatakan bahwa kita harus mengesampingkan ide sebuah Palestina demokratis dan menuntut penetapan karakter Yahudi dari Israel agar mengurangi kegelisahan masyarakat Yahudi.

PREMIS MINOR: SEBUAH NEGARA PALESTINA

Satu-satunya premis minor lain yang dapat kita simpulkan dalam silogisme itu adalah pendirian Negara Palestina berdampingan de-ngan Negara Israel. Tidak ada alternatif lain yang menawarkan keadilan yang sesungguhnya, dan sebuah ukuran yang baik ter-hadap kedamaian dan stabilitas, untuk wilayah kita. Bangsa yang demikian, sebagaimana yang telah lama dituntut oleh PLO, harus didirikan di bagian timur Palestina (Tepi Barat) dan Gaza sebagai sebuah negara yang bebas, merdeka, dan demokratis, dan tempat di mana semua orang yang mendiaminya, tanpa memandang ikatan keagamaannya, akan menjadi warga negara kelas satu. Dan saya yakin bahwa orang Palestina mampu membuat mimpi itu menjadi kenyataan.

Sebagai seorang warga Palestina, saya menyadari bahwa solusi dua negara di Palestina itu merupakan hal yang terutama diinginkan oleh para penghuni Yahudi, sebelum tahun 1948, dan yang ditolak oleh orang Palestina. Saat ini, itulah hal yang pada akhirnya harus diterima oleh warga Palestina, sementara orang Yahudi Israel meno-laknya berkali-kali.

52 Semata-mata Keadilan

universitas, membatasi pilihan studi mereka, memfasilitasi maha-siswa Arab belajar ke luar negeri, dan menghalangi kepulangan me-reka atau mempersempit peluang kerja. Intinya, ia menganjurkan untuk melakukan ”pengetatan dan pembatasan pada semua level masyarakat”.101

Para pembuat kebijakan Israel selalu tidak sepaham dalam soal bagaimana menangani kelompok minoritas Arab di Israel. Sebagian mengusulkan pendekatan integratif yang lebih positif; sebagian lainnya memilih metode-metode yang lebih keras dan kasar. Bukti-nya, sejak 1976 ada sebuah kebangkitan kesadaran di kalangan orang Arab di Israel, yang disebut sebagai ”Palestinanisasi”. Mereka menemukan dan menghidupkan kembali akar-akar kehidupan me-re ka.

Kesadaran baru dari orang Arab Israel semakin meningkat pada tahun 1980-an. Invasi Israel ke Lebanon Selatan menarik orang Palestina yang dari segala penjuru tempat untuk bersatu dan kemudian membangkitkan kesadaran nuraninya. Meskipun ada protes-protes sebagian pemimpin Israel yang menolaknya, invasi Lebanon menjadi Perang Vietnam versi Israel—sebuah bencana yang menewaskan 19.000 orang Arab, kebanyakan orang Palestina, dan tidak kurang dari 654 tentara Israel. Terlepas dari pertempuran Karameh pada Maret 1968, ketika Palestina berperang melawan Is rael, banyak orang merasakan bahwa perang Lebanon adalah perang pertama di mana orang Palestina sungguh-sungguh melawan tentara Israel. Sebagai akibatnya, mitos tentang militer Israel yang tak terkalahkan akhirnya dihancurkan.

Invasi Lebanon merupakan satu-satunya perang di mana pa-ra pemimpin Israel benar-benar harus membuktikan kebenaran kepada warga negaranya sendiri sekaligus masyarakat luar negeri. Perang tersebut telah menghancurkan upaya membawa perdamaian ke Galilea, namun hasilnya sukar untuk dilihat.102 Banyak orang Israel secara lantang menyatakan penolakan mereka atas perang itu. Pada Juli 1982, hampir 100.000 orang Israel turun ke jalan-jalan di Tel Aviv menuntut penarikan kembali tentara dari Lebanon. Pertanyaan-pertanyaan moral muncul tentang perang itu, salah satu pertanyaan tersulit adalah tentang pembantaian orang Pa les-tina di kamp-kamp pengungsian di Sabra dan Shatila pada bulan September 1982. Sekitar 700–800 orang laki-laki, perempuan, dan anak-anak dibantai oleh kaum Falangis Kristen Lebanon, de-ngan sepengetahuan, dukungan, dan, menurut beberapa pihak,

Sebuah Arena Perselisihan 53

do rongan Menteri Pertahanan Israel, Ariel Sharon, serta beberapa petinggi militer lainnya.103 Pada September 1982, kira-kira 400.000 orang Israel kembali melakukan demonstrasi di Tel Aviv memprotes pembantaian tersebut. Komunitas Palestina di dalam dan luar Is-rael bergabung dengan ribuan lainnya menyelenggarakan ibadah kenangan khusus di masjid-masjid dan gereja-gereja. Tragedi itu menarik perhatian orang pada kondisi ketidakadilan yang parah, yang dialami oleh semua orang Palestina. Hal tersebut menegaskan tindakan dehumanisasi oleh Israel terhadap rakyat Palestina dan tujuan Israel untuk sedapat mungkin menjauhkan mereka dari ta-nah Palestina—dilupakan, jika memungkinkan. Orang Palestina mam pu mendeteksi dan merasakannya, serta membuat mereka se-makin bersatu.

INTIFADA: PEMBERONTAKANPemberontakan rakyat Palestina di Tepi Barat dan di Gaza pada Desember 1987 makin memperkuat kesadaran mereka. Setelah 20 tahun hidup di bawah penjajahan dan pemerintahan militer, rakyat Palestina mulai bangkit menentang para penjajah.

Intifada dimulai sebagai reaksi spontan suatu masyarakat yang tertindas. Mungkin hal itu dapat disamakan dengan gunung berapi yang akhirnya meletus atau sepanci air yang akhirnya mendidih setelah lama terpanggang di atas api. Rakyat Palestina merasakan bahwa yang ada selama ini hanyalah penghinaan dan penindasan.

Pada 6 Desember 1987, seorang pedagang Yahudi Israel diti-kam sampai mati di Gaza. Ini bukanlah penikaman yang pertama kali terjadi; ada juga beberapa insiden serupa yang terjadi di Gaza dan Tepi Barat sejak awal pendudukan. Gaza, khususnya, dikenal se bagai tempat yang berbahaya, dan orang Israel takut pergi ke sana. Pada hari penikaman itu, jam malam diberlakukan di sebagian besar wilayah Gaza sementara para prajurit mencari si pembunuh. Dua hari kemudian, seorang Yahudi Israel yang sedang mengendarai mobil-gandeng di jalan masuk Gaza tiba-tiba membelok dan menabrak dua mobil lain, menewaskan empat orang Palestina dan melukai tujuh lainnya. Warga Palestina yakin bahwa kejadian tersebut bukanlah sebuah kecelakaan melainkan aksi balas dendam. Berbagai protes meledak di kamp pengungsian Jabaliah di Gaza pada 8 Desember dan kembali terjadi pada 9 Desember ketika ribuan orang Palestina

194 Semata-mata Keadilan

yang dapat disetujui. Perubahan apa pun terhadap keseimbangan yang baik dari premis mayor tersebut akan berisiko terhadap kehidupan jutaan manusia.

Berbeda dengan apa yang mungkin dirasakan oleh banyak orang—dan ini akan menjadi sebuah guncangan bagi banyak orang lain—PLO selalu mengusulkan solusi ideal untuk Palestina: sebuah negara kesatuan dan demokratis bagi seluruh warga Palestina dan Yahudi. Yang menarik, Amerika Serikat, yang membanggakan dirinya sebagai kampiun demokrasi, tidak pernah menerima usulan ini.

Saya tetap yakin bahwa solusi ini memungkinkan. Solusi ini merupakan solusi terbaik dan termudah untuk dilaksanakan. Dan dengan sangat baik solusi tersebut dapat menjadi premis minor dalam silogisme. Bagaimanapun, sejalan dengan perintah Alkitab di atas, saya akhirnya harus setuju, dengan Israel, untuk menolaknya. Israel lebih mementingkan desakannya untuk menjadi sebuah negara Yahudi. Sebagai bagian dari Palestina yang demokratis dan berkewarganegaraan ganda, orang Yahudi pada akhirnya akan men-jadi sebuah kelompok minoritas di negeri itu. Lebih dari itu, banyak orang Yahudi yang sangat tidak percaya terhadap orang Palestina sehingga tidak ingin menyerahkan masa depannya di tangan orang Palestina. Jadi, selain dari semua daya pikatnya, ide negara dengan dua kewarganegaraan harus dibuang.

Ketetapan Israel sebagai sebuah negara Yahudi adalah penting, bukan hanya bagi orang Yahudi-Israel, melainkan juga semua o rang Yahudi di seluruh dunia. Saya yakin bahwa kita harus meng har gai harapan mereka dan menerimanya. Orang Palestina pada akhir-nya bahkan harus menjamin perjuangan hidup Israel dengan me-nerimanya sebagai sebuah negara Yahudi. Merekalah satu-satunya yang dapat melakukan hal itu. Jika, untuk alasan apa pun, Negara Israel lenyap, seharusnya itu bukan akibat dari se buah tindakan militer, melainkan hasil keputusan orang Yahudi sendiri untuk meninggalkan Israel. Karena cukup mungkin bahwa, 50 atau 100 tahun kemudian, kehidupan di Timur Tengah menjadi kehidupan yang tak tertahankan bagi sebagian orang Israel Yahudi. Mereka dapat memilih untuk pergi ke Barat (pada kenyataannya banyak yang telah melakukan hal ini) atau negara-negara lain di Timur Tengah di mana kehidupan tidak terlalu berbeban dan lebih mudah. Itu harus menjadi keputusan mereka sendiri. Namun, akan selalu ada, sisa orang Yahudi yang setia, yang akan tinggal si Israel-Palestina, dekat dengan tempat-tempat suci mereka. Sebagai

Sebuah Mimpi tentang Damai 193

Dengan kata lain, solusi apa pun yang diusulkan dengan melibatkan Israel haruslah menjadi sebuah tawaran yang dapat saya terima untuk masyarakat saya sendiri, warga Palestina. Setiap usulan ha-rus dipertimbangkan sebaik-baiknya, sehingga setiap pihak dapat menyadari usulan itu secara baik dan adil bagi kedua belah pihak. Jika tidak, maka usulan tersebut tidak memiliki kredibilitas.

Inilah yang menjadi dasar dari karya saya. Saya menawarkan usulan ini dalam kesederhanaan yang bersahaja. Bahkan jika di-tolak, saya berharap visi ini akan tetap mencerminkan semangat dari sebuah solusi imajinatif yang sangat dibutuhkan di Timur Tengah.

Seperti yang telah saya indikasikan, saya tidak mewakili sebuah partai politik. Saya bukan anggota dari partai politik apa pun. Sa-ya tidak akan pernah menjadi anggota salah satu partai politik. Saya anggota gereja, dan saya berbicara sebagai seorang Kristen dari sudut pandang iman. Saya berbicara sebagai seseorang yang yakin pada keadilan yang tak terelakkan dan perdamaian yang tak terhindarkan.

PREMIS MAYOR: SEBUAH TANAH UNTUK WARGA PALESTINA DAN YAHUDI

Persoalan Palestina mirip sebuah silogisme bagi saya. Jika premis mayor kita adalah ”Palestina adalah milik orang Yahudi”, maka secara logis, premis minor yang menyusulnya adalah ”orang Palestina tidak berhak atas tanah itu”. Jika Anda membalikkannya dengan berkata bahwa, ”Palestina adalah tanah orang Palestina”, maka orang Yahudi harus pergi.

Kunci solusinya ditemukan dalam sebuah premis mayor yang jelas dan empatik yang harus diterima oleh orang Yahudi Israel dan orang Arab Palestina. Jika mereka tidak menerimanya—dan kecuali kalau masyarakat bangsa-bangsa dengan beberapa perbuatan ajaib dapat meyakinkan kedua belah pihak untuk menerimanya—maka akan selalu terjadi konfl ik dan pertumpahan darah. Dalam posisi ini di tahun 1980-an, Israellah yang harus diyakinkan; tekanan pada Israel untuk menerima solusi politik harus datang dari komunitas orang Yahudi Amerika dan pemerintah Amerika Serikat.

Premis mayor hanyalah: Palestina adalah negara untuk orang Yahudi dan orang Palestina. Tidak ada tambahan lain, hanya pilihan

54 Semata-mata Keadilan

menghadiri upacara pemakaman para korban. Warga Palestina me-lem pari tentara Israel dengan batu, yang dibalas dengan tem bakan peluru. Seorang pemuda berusia 17 tahun terbunuh saat itu. Intifada telah dimulai.

Berbagai demonstrasi, protes, dan kerusuhan yang dimulai di Gaza lambat laun mulai merambat ke seluruh Tepi Barat. Awalnya, Intifada hanya terjadi selama sehari. Banyak orang Palestina yang tidak yakin apakah aksi itu dapat terus berlanjut. Pemerintahan mi-liter menambah jumlah tentara dan polisinya di Tepi Barat dan di Gaza, tetapi kerusuhan tidak juga berakhir.

Pada 15 Desember, Ariel Sharon, yang saat buku ini ditulis men-jabat sebagai menteri perindustrian serta dikenal memiliki sentimen anti-Palestina secara terbuka dan punya pandangan yang ekstrem, mengumumkan bahwa ia akan pindah ke sebuah rumah di wilayah Muslim di Kota Tua Yerusalem. Warga Palestina jelas melihat hal ini sebagai aksi intimidasi dan provokasi, yang menandakan aksi pengambilalihan wilayah yang lebih besar dari Kota Tua tersebut. Warga Palestina dari Yerusalem Timur bereaksi dengan melakukan penyerangan ke tempat-tempat perdagangan. Aksi provokatif Sharon merupakan minyak yang terus mengobarkan api Intifada.

Pelemparan batu menjadi peristiwa yang berlangsung setiap hari dan jumlah korban warga Palestina makin bertambah. Pada 21 Desember terjadi penyerangan terbuka di Tepi Barat dan di Gaza, dan orang-orang Arab di Israel bergabung di dalamnya. Pada Hari Natal, suasana hati seluruh masyarakat dipenuhi kesakitan, kemarahan, dan kehendak yang jelas untuk bertahan. Perayaan-perayaan Natal di gereja sangat terbatas dan hening. Kunjungan untuk ucapan selamat di antara para pemimpin gereja selama masa Natal dibatalkan.

Seiring tibanya tahun 1988, momentum Intifada semakin meningkat dan reaksi balasan dari pihak militer semakin keras. Termasuk beberapa tindakan yang keras—penghancuran tangan untuk mencegah pelemparan batu, pemukulan bahu, kaki, perut, dan kepala—penggunaan gas air mata, peluru karet, dan amunisi; penangkapan, razia malam hari di rumah-rumah, penahanan, penge pungan kamp-kamp pengungsian, pemberlakuan jam malam, deportasi, penyiksaan, dan pelecehan. Pers mengemas berita ten-tang Intifada dengan baik dan dunia menjadi sadar tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi. Secara bertahap, pemerintahan militer mulai mencegah wartawan memasuki wilayah-wilayah kon-

Sebuah Arena Perselisihan 55

fl ik, kemudian membatasi pemberitaan tentang pemberontakan yang terjadi. Meskipun demikian, warga Palestina tetap melakukan perlawanan, memboikot barang dan produk Israel, melempar batu, membuat rusuh, membakari ban, menutup jalan, serta mengibarkan bendera Palestina.

Pada saat yang sama, dibentuk komite rahasia di setiap kota dan desa, serta sebuah komite umum yang terdiri atas warga Palestina dari faksi-faksi politik yang berbeda-beda untuk memantau berbagai peristiwa dan secara periodik mengeluarkan panduan dan arahan bagi masyarakat. Intifada—yang berarti kebangkitan mendadak sese-orang untuk melepaskan diri dari sesuatu yang telah menancap—merupakan sebuah reaksi akar rumput dari suatu masyarakat yang selama 20 tahun hidup di bawah penjajahan. Itulah cara mereka melawan penjajahan dan menyuarakan hak-hak mereka.

Pada suatu Jumat siang pertengahan Januari 1988, ketika kaum Muslim selesai menunaikan ibadahnya di Masjid Al-Aqsa dan di Dome of the Rock (salah satu tempat suci orang Islam), mereka diserang oleh para prajurit yang memukul dan menggunakan gas air mata untuk membubarkan mereka. Banyak orang terluka. Dua hari kemudian, terjadi insiden serupa di halaman Gereja Kebangkitan (Gereja Makam Suci) ketika orang Kristen selesai melakukan ibadah pagi.

Pada 22 Januari 1988, dalam sebuah gerakan yang tidak per-nah terjadi sebelumnya, para pemimpin gereja di Yerusalem me-ngeluar kan pernyataan menentang ketidakadilan dan penindasan, menyerukan kepada seluruh umat Kristen untuk berdoa, berpuasa, dan mengumpulkan sumbangan untuk membantu orang-orang yang menderita di kamp-kamp pengungsian karena kekurangan makanan dan bahan pokok. Sepanjang Mei, sekitar 200 orang terbunuh dan ribuan orang mengalami luka-luka serta ditawan, tetapi sama sekali tidak menyurutkan kebulatan hati untuk melawan penjajahan. Me-lalui Intifada, orang Palestina melakukan banyak hal untuk diri mereka sendiri lebih daripada apa yang telah dilakukan orang lain bagi mereka selama 40 tahun terakhir. Pemberontakan tersebut telah memberikan dampak multidimensi, dan telah membawa harapan, kesatuan, organisasi, dan harga diri orang Palestina. Pemberontakan itu telah menghapus ketakutan dan menumbuhkan rasa percaya diri serta kekuatan kepada mereka. Hal itu juga mengangkat semangat juang mereka dan memperteguh tekad untuk menempuh perlawanan dengan cara-cara yang relatif tanpa kekerasan.

192 Semata-mata Keadilan

untuk tetap mengusulkannya sebagai sebuah visi, walaupun hanya berupa sebuah impian. Mungkin ini merupakan hal baru bagi sebagian orang, tetapi tidak terlalu baru bagi yang lain. Visi ini lahir dari seseorang yang bukan politikus dan yang tidak pernah dapat menjadi seorang politikus. Seseorang yang dalam hatinya adalah seorang imam dan seorang gembala. Seseorang yang beriman teguh pada Allah keadilan dan kasih. Seseorang yang dengan anugerah Allah berusaha untuk lurus hati dan jujur. Seseorang yang sangat yakin bahwa para politikus tidak punya monopoli dalam persoalan-persoalan keadilan dan perdamaian. Oleh karena itu, saya ingin meyakinkan bahwa saya berbicara secara profetis, berdasarkan iman saya kepada Allah terhadap persoalan keadilan dan perdamaian di dunia. Saya menyadari hal ini sebagai bagian dari panggilan saya.

Oleh karena itu, visi berikut bukanlah sembarangan, bukan ide yang mendorong saya secara tiba-tiba. Visi ini telah bertumbuh dalam diri saya selama bertahun-tahun. Sepanjang waktu itu, visi ini menolong saya untuk menerima apa yang tidak dapat diterima: suatu kondisi orang Yahudi dalam bagian Palestina ”kita”. Sebagai seorang anak laki-laki, mengenang pengasingan keluarga saya dari Beisan secara kasar, dan kemudian sebagai seorang beriman dan rohaniwan, pergumulan saya dengan kebencian, kemarahan, dan permusuhan tidaklah mudah. Namun, perasaan-perasaan seperti ini harus terus-menerus ditantang dengan tuntutan kasih dan pengampunan. Pada saat yang bersamaan, saya sangat yakin bahwa ketidakadilan itu penuh dosa dan kejahatan; bahwa itu adalah penghinaan terhadap Allah; dan adalah tugas saya untuk bersuara menentangnya. Ber tahun-tahun saya perlukan untuk menerima pendirian Negara Israel dan kebutuhannya—walaupun bukan hak-nya—untuk tetap ada. Sekarang saya merasa bahwa saya ingin negara itu tetap ada, karena saya yakin bahwa eliminasi terhadap Israel akan menjadi ke tidakadilan yang lebih besar terhadap jutaan orang tak berdosa yang tidak punya rumah selain Israel.

Perjalanan iman dalam jiwa saya tetap berlanjut. Saya akhirnya yakin bahwa solusi tulus apa pun yang ditawarkan harus lulus ujian terhadap dua perkataan Yesus Kristus:

”Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang per-buat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mere ka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.1

Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.2

191

7SEBUAH MIMPI

TENTANG DAMAI:VISI SEORANG PALESTINA

Bila tidak ada wahyu,menjadi liarlah rakyat.

Amsal 29:18

Kita telah melihat perselisihan Palestina sebagai masalah yang tak terpecahkan. Kita menerima kebuntuan politik sebagai se-

suatu yang kekal. Walaupun sinar pengharapan berkerlip dari wak-tu ke waktu, keputusasaan telah menjadi sahabat kita di tanah itu, norma kehidupan kita. Secara keseluruhan telah berlangsung musim dingin penjajahan dan penindasan yang gelap. Kapankah musim semi keadilan dan kedamaian akan tiba di Israel-Palestina?

Banyak orang—para presiden, perdana menteri, politikus, pe-jabat maupun orang biasa dari berbagai profesi—tanpa lelah telah mengusulkan berbagai solusi. Beberapa di antaranya, dengan men-dukung salah satu pihak, tiba pada kesimpulan yang secara kese-luruhan tidak dapat diterima oleh pihak lainnya. Bahkan mereka yang dengan sungguh-sungguh telah berupaya untuk seimbang dan adil tidak dapat lari dari tuduhan berat sebelah.

Pandangan pribadi saya tentang sebuah solusi, pada per mu-kaannya, akan tampak seperti usaha-usaha lain yang sia-sia dan, seperti yang lainnya, akan terbuang. Namun, saya telah memutuskan

56 Semata-mata Keadilan

Melalui Intifada, orang Palestina mampu menyampaikan tun-tutan mereka kepada dunia dengan cara yang empatik: (1) akhiri pendudukan; (2) akui PLO sebagai satu-satunya perwakilan mereka yang sah; (3) hak untuk menentukan nasib sendiri.

Orang Palestina tidak terpanggil untuk menghancurkan Negara Israel, tetapi untuk menciptakan negara mereka sendiri. Sebagai-mana diungkapkan seorang Palestina, ”Kami tidak berjuang untuk menghancurkan sesama, namun memperjuangkan hak untuk men-jadi sesama.”104

Bagi Israel, pemberontakan tersebut membawa kekacauan pa-da tingkat kehidupan masyarakat dan pemerintahannya. Mereka tersentak dengan pemberontakan itu. Para pemimpin Israel telah mempelajari mentalitas orang Arab dengan baik; mereka berpikir bahwa mereka mampu menghadapi dan mengendalikan orang Arab. Pemberontakan ini telah menghancurkan seluruh anggapan tersebut. Penerapan sistem pengendalian dalam waktu lama, yang terbukti berhasil pada masa lalu, akhirnya, sekarang telah gagal. Orang Palestina memperlihatkan kesatuan dan solidaritas yang be-sar. Pembagian wilayah secara geografi s yang ditentukan menurut aturan Israel terbukti tidak cukup kuat untuk menekan semangat juang mereka yang tinggi. Rasa identitas spiritual mereka melampaui perbatasan-perbatasan fi sik dari Tepi Barat dan Gaza, menjangkau jauh semua orang Palestina yang hidup dalam diaspora.

Lenyaplah sudah semua ketergantungan orang Arab pada per -e ko no mian Israel. Malah, suatu pencapaian yang baik dari ke be-basan terjadi karena keinginan masyarakat untuk berkorban dan mengandalkan produk lokal, yang pada gilirannya merusak per-ekonomian Israel. Alih-alih melakukan kooptasi, pemberontakan ter sebut malah mengobarkan semangat nasionalisme, di mana orang-orang Palestina yang menjadi kaki tangan Israel melakukan pengakuan publik dan banyak orang yang telah mengabdikan diri pada pemerintahan militer di Tepi Barat dan di Gaza menyatakan pengunduran dirinya.

Tentara Israel telah dilatih dengan baik untuk berperang, untuk meledakkan kamp-kamp pengungsian di Lebanon, untuk meng antisipasi serangan orang Arab dan melakukan agresi, untuk mengejutkan ”musuh”; tetapi pemberontakan tersebut memper-kenalkan faktor-faktor baru yang tidak dipelajari oleh para prajurit Israel. Mereka harus menggunakan pukulan, gas air mata, dan amu-nisi untuk mempertahankan diri. Bukan hanya orang Palestina yang

Sebuah Arena Perselisihan 57

menderita; orang Israel sendiri pun merasa stres secara mental dan psikologis, serta ketakutan.

Intifada juga telah membuka mata dunia terhadap tragedi yang sesungguhnya dialami orang Palestina. Mitos tentang Israel yang terkepung, selalu terancam, dan menjadi korban agresi dari negara-negara tetangganya, kini pudar. Perannya sekarang terbalik. Pada 1967, Israel digambarkan sebagai Daud kecil yang mencoba bertahan menghadapi atau mengatasi raksasa Goliat, yaitu negara-negara Arab. Pada 1988, Israel, dengan perlengkapan perangnya, menyerupai Goliat, melakukan kekerasan terhadap Daud yang kecil, yang hanya menggunakan batu sebagai senjatanya. Simpati masyarakat dunia mulai berubah arah. Bahkan orang-orang Yahudi sendiri—baik di dalam maupun di luar Israel—mulai mengecam kebijakan Israel. Bagi sebagian orang, Israel telah menjadi sebuah negara yang memalukan, bahkan mungkin dipermalukan.

Sejak 1968, terjadi kebangkitan semangat yang semakin me-ningkat tentang kesadaran nasionalisme Palestina. Dalam kurun waktu 40 tahun, orang Arab Palestina di Israel berubah dari situasi yang dihinakan dan terguncang ke situasi keputusasaan dan kepasrahan, dan akhirnya kebangkitan dan kesadaran. Dari pengucilan dan per pecahan menuju kesatuan. Dari bangsa yang tercerabut dari identitasnya menjadi bangsa yang memiliki identitasnya kembali. Jika pembentukan negara Israel adalah antitesis dari Holocaust, maka Intifada 1988 merupakan awal dari proses antitesis terhadap tragedi Palestina 1948. Bahkan jika pemberontakan yang terjadi akan berakhir sebentar lagi, itu akan tetap menjadi titik balik dari kebangkitan kesadaran orang Palestina, yang membawa pemahaman diri baru serta pandangan baru dari pihak Israel. Orang Palestina bah kan telah menandai peristiwa-peristiwa tertentu sebagai pra- dan pascakebangkitan. Tidak diragukan lagi, sebuah periode baru dalam perjuangan panjang mereka untuk mendapatkan keadilan dan kedamaian telah dimulai.

Ketika orang Palestina berdiri di ambang pintu periode baru dalam sejarah hidup mereka, banyak pertanyaan yang muncul ke permukaan. Bagaimana Israel akan atau dapat menekan atau mengen dalikan bangkitnya kesadaran sebagai orang Palestina dari komunitas Arab Israel di negara itu, sebagaimana juga kepada orang Palestina di Tepi Barat dan Gaza? Akankah kepemimpinan Arab di Israel mampu bertahan dengan identitas khusus sebagai Arab Israel, dan menciptakan jalur politik yang jelas bagi diri mereka sendiri

Berbahagialah Mereka yang Membawa Damai 189

pemahaman radikal tentang kehidupan dalam Kerajaan Allah kini dan nanti. Itu merupakan sebuah pandangan kesatuan yang pertama-tama dan terutama diekspresikan dengan penuh kuasa dalam sakramen Perjamuan, yang me laluinya inkarnasi Kristus disingkapkan bagi umat yang bersekutu dan umat yang bersekutu itu menjadi tubuh Kristus itu dalam pelayanan bagi dunia.27

58 Semata-mata Keadilan

di dalam sistem yang diberlakukan oleh Israel? Dapatkah mereka memainkan peran konstruktif bagi kemajuan dan pembangunan masyarakat Arab di Israel? Apakah mereka dapat menjadi peng-hubung antara Israel dan wilayah-wilayah jajahan, berperan dalam upaya mencapai keadilan dan perdamaian bagi sesamanya Palestina di Tepi Barat dan Gaza? Mampukah orang-orang Palestina di Tepi Barat dan Gaza melanjutkan suatu perlawanan yang aktif, namun tanpa kekerasan, terhadap pendudukan dan pemerintahan militer, lantas memberikan tekanan yang lebih besar kepada Israel? Akankah bangkitnya kesadaran dunia Yahudi mampu memberikan tekanan yang tepat kepada pemerintah Amerika Serikat dan Israel untuk mengakui hak orang Palestina dalam menentukan nasibnya sendiri? Dapatkah negara-negara adikuasa membantu membahas keinginan tersebut dalam sebuah konferensi internasional dengan pertolongan PBB untuk mencapai solusi yang tepat bagi konfl ik Palestina?

Ini hanyalah sebagian kecil dari serangkaian pertanyaan kritis yang menunggu jawaban selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun kemudian.

59

3MENJADI ORANG PALESTINA DAN

ORANG KRISTEN DI ISRAEL

Tetapi harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat, su-paya nyata, bahwa kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah, bukan dari diri kami. Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak di-tinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak bi nasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di da-lam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nya ta di dalam tubuh kami.

2 Korintus 4:7–10

TUBUH KRISTUS YANG TERPECAH

Timur Tengah adalah tempat di mana kekristenan dimulai. Sejak saat itu, kekristenan dan Timur Tengah telah mengalami banyak

perubahan drastis. Gereja telah melewati masa-masa penganiayaan yang mengerikan, namun tidak ada satu tempat pun yang lebih tepat mengalami apa yang dikatakan oleh Tertulianus, bapa gereja pada abad ke-3, ”darah para martir adalah benih gereja”, dibandingkan dengan yang terjadi di Timur Tengah. Walaupun jumlah orang Kris-ten berlipat ganda di sana, gereja berada dalam perselisihan besar setelah masa Konstantinus dan akhirnya melemah serta terpecah-belah. Perselisihan-perselisihan ini bersifat teologis, namun mereka

188 Semata-mata Keadilan

memberikan kesempatan bagi umatku untuk melakukan kepada orang lain kejahatan yang telah dilakukan terhadap mereka.”25 Na mun, tentang pembentukan Negara Israel, dengan sombong Menachem Begin menyatakan,

Kita bertempur, maka kita ada.

Selain darah, perang, air mata, dan debu, sebuah contoh manusia baru telah lahir, sebuah contoh yang sungguh-sungguh tidak dikenal oleh dunia selama lebih dari 1.800 tahun—orang Yahudi yang bertempur!26

Berbeda dengan Yudaisme dan Islam, kekristenan di Israel-Palestina muncul sebagai kelompok minoritas. Orang Kristen menja-lani kehidupannya dalam konteks pra-Konstantinopel. Sebagai objek dari banyak penganiayaan, mereka telah bertahan dengan setia se lama berabad-abad, mempertahankan imannya sekuat tenaga terhadap berbagai rintangan besar. Kini pun, ketika banyak orang Islam dan Yahudi sedang hidup dengan semangat kemenangan militan, Gereja terus hidup dalam bayangan salib. Oleh karena itu, berbeda dengan Yudaisme dan Islam, dan di samping kebaikan yang dimiliki oleh keduanya, kekristenan memiliki sebuah dasar khusus yang memberikan dirinya untuk karya perdamaian dan rekonsiliasi. Inti iman Kristen ada pada salib dan kebangkitan Kristus, dan ini memberikan wawasan khusus bagi gereja dalam perdamaian dan rekonsiliasi dengan Allah dan sesama. Bagi gereja, untuk mengikuti jejak Tuhan Yesus Kristus, berarti gereja harus menempuh jalan salib. Via dolorosa bukanlah sebuah beban melainkan sebuah ke-gem biraan, kegembiraan dalam melakukan karya perdamaian dan rekonsiliasi Kristus dalam dunia. Adalah panggilan gereja untuk memberi serta menerima kasih dan pelayanan bagi dunia yang begitu dikasihi Allah dan yang untuknya Kristus telah wafat.

Gereja hidup dalam kekuasaan salib. Kekuatannya berasal dari Tuhannya yang tersalib dan hidup. Kekuatan itu dimeriahkan oleh Roh Kudus. Kekuasaan ini memampukan gereja untuk mengatasi kelemahannya sebagai kelompok minoritas secara fi sik dan psikologis dan menjauhkan kebencian atau permusuhan yang diakibatkan oleh konfl ik politik, untuk memikul peran sebagai hamba dan, demi Kristus, menjadi agen dan alat perdamaian dan rekonsiliasi.

Menjadi tubuh Kristus memerlukan keter bu ka an terhadap Roh, sebuah kesadaran akan ke sem patan historis, sebuah

Berbahagialah Mereka yang Membawa Damai 187

untuk perdamaian, maka apa yang sedang ditanam di Israel-Palestina akan ditabur dan dituai untuk generasi-generasi mendatang.20 Ma-nusia yang terbenam dalam konfl ik hampir tidak mungkin menjadi pembawa damai bagi dirinya sendiri; kebanyakan orang di Israel-Palestina terseret, menjadi lelah oleh perang. Ini berlaku bagi orang Kristen, Islam, maupun Yahudi. Saya yakin bahwa penting bagi Gereja, dalam terang pengetahuannya akan Allah melalui Kristus, untuk menjauhkan peperangan dan memainkan sebuah peran yang unik dalam upaya perdamaian.

Orang Islam, yang merupakan penduduk mayoritas di Timur Tengah, mengakui Palestina sebagai bagian integral dari tanah Mus-lim, yang sebagian besar penduduknya beragama Islam sampai ta-hun 1948 ketika Palestina diambil oleh kaum Zionis. Orang Islam mengakui Zionisme dan Israel sebagai bentuk baru kolonialisme Ba-rat yang mengganggu wilayah mereka dan harus ditentang. Ketika akhirnya orang Islam pada abad ke-19—dan ke-20—menang melawan pihak penjajah, banyak di antara mereka yang yakin bahwa dalam jangka panjang mereka akan menang melawan Negara Israel, tubuh Barat yang asing di jantung Arab Timur.21 Pandangan yang demikian tidak bertentangan dengan konsep dasar jihad yang didukung oleh orang Islam. Kata itu tidak hanya berarti ”perang suci” tetapi juga ”perjuangan/usaha keras”. Ada jihad berkhotbah dan meyakinkan orang lain, seperti halnya jihad ketekunan dan kesabaran. Dengan munculnya militansi Islami, tampaknya para pemimpin Islam dapat memainkan peran perdamaian yang radikal tanpa membahayakan diri mereka sendiri, jika peran tersebut tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Islami.22

Orang Yahudi, yang oleh tradisi profetis dan sejarah pende-rita annya yang panjang dilayakkan untuk memainkan peran perda-maian, telah mendapat gambaran baru sejak pembentukan Negara Israel pada tahun 1948. Dengan mendukung tradisi nasionalis Zionisme, mereka telah melepaskan peran hamba yang telah mereka klaim sejak berabad-abad, menjadi para penindas dan perancang perang. Ini telah menjadi sebuah perubahan revolusioner dari keper cayaan yang sudah lama dipegang bahwa orang Yahudi harus menderita.23 Banyak di antara para rabi berpikir bahwa orang Ya-hudi harus menerima penderitaan, alih-alih memakainya sebagai alat untuk mengubah dunia. Sebuah ucapan rabinik mengatakan, ”tersiksa lebih baik daripada menjadi penyiksa.”24 Dan Scholem Asch menyerukan, ”Syukur kepada Allah, karena bangsa-bangsa tidak

60 Semata-mata Keadilan

membesar-besarkannya dengan persoalan budaya dan kebangsaan. Contohnya, penduduk utama yang bukan Yunani di Mesir dan Suriah sangat membenci kekuasaan Bizantium.

Setelah empat konsili gereja yang pertama (tahun 325, 381, 431, dan 451), sebagian besar orang Kristen Timur, yang terutama berlatar belakang Semit dan mengikuti paham Kristologi Nestorian maupun Monofi sit, terpecah dan membentuk komunitas gerejawinya masing-masing. Meskipun keluar dari ortodoksi Kristen arus utama, orang-orang Kristen ini memelihara kehidupan iman mereka dengan para patriarknya sendiri dan melakukan kegiatan misi ke luar wi-layah mereka. Mereka adalah penduduk Kristen dari Mesir, Suriah, Armenia, dan Persia, serta Etiopia dan India. Orang-orang Kristen yang tetap setia pada iman Ortodoks dicemooh oleh para lawannya sebagai kaum Melkit, karena mereka tetap memelihara kesetiaannya pa da iman raja (dalam bahasa Arab, Melek), dalam hal ini Kaisar Bizantium. Jumlah kaum Melkit dalam Patriarkat Alexandria sangat sedikit. Kebanyakan di antara mereka hidup di wilayah Patriarkat Antiokia dan Yerusalem.

Perpecahan kekristenan Timur merupakan sebuah pukulan ke-ras terhadap Dunia Kristen. Kebencian, permu suh an, dan dendam tidak dapat diatasi dengan berbagai konsili. Hal itu justru terus bertumbuh seiring berjalannya waktu. Akibatnya, timbul keretakan yang dalam dan abadi di kalangan orang-orang Kristen Timur.

Persoalan politik dan religius merupakan dua faktor utama yang mendukung serta menegaskan skisma di Timur. Yang pertama adalah peristiwa penaklukan oleh orang Islam Arab pada abad ke-7. Orang Kristen Timur menyambut baik orang Islam Semit sebagai pembebas yang memerdekakan mereka dari penindasan Bizantium. Konsekuensinya, orang Kristen menikmati suatu toleransi dan mar tabat yang baik pada periode awal pemerintahan Arab. Secara ber tahap, dengan pergantian dinasti-dinasti yang berkuasa, sikap tidak toleran terhadap orang Kristen dan Yahudi mulai berkembang. Orang Kristen mulai bermigrasi dari satu tempat ke tempat lainnya dan kemudian berkumpul ketika jumlah mereka makin menciut ka-rena sebagian murtad dan memilih menganut Islam.

Pukulan hebat kedua bagi orang Kristen Timur adalah Perang Salib. Peperangan tersebut tidak hanya memengaruhi kaum Monofi sit dan Nestorian, namun juga Gereja Ortodoks Timur. Perang Salib te lah menantang otoritas dan supremasi patriark Gereja Ortodoks Yunani dengan mendirikan sebuah Patriarkat Katolik Roma (Latin)

Menjadi Orang Palestina dan Orang Kristen di Israel 61

di Yerusalem, yang giat menyelenggarakan aktivitas misi di kalangan orang Kristen Timur pribumi. Sejak Perang Salib, ada tujuh kelom pok yang bergabung dengan takhta Roma. Hal ini se makin menyu litkan keberadaan gereja-gereja Timur. Badan-badan yang masuk menjadi bagian dari Roma adalah kaum Maronit pada tahun 1180; orang Kaldea (dari Gereja Asiria Timur), yang sebelumnya kaum Nestorian dan dikenal sebagai Gereja Purba Timur pada tahun 1672; orang Katolik Yunani (Melkites) pada tahun 1724; orang Katolik Armenia pada 1742; orang Katolik Siria (dari kelompok Yakobit, Gereja Siria Ortodoks atau Gereja Siria Barat), yang sebelumnya kaum Monofi sit, pada 1783; dan Gereja Katolik Koptik pada tahun 1895.

Hal yang lebih mengganggu bagi gereja Ortodoks adalah pem-bentukan Gereja Katolik Roma (Latin) pribumi pada tahun 1099, yang anggotanya berasal dari gereja Ortodoks dan gereja-gereja Timur lainnya.1

Di samping berbagai konfl ik dalam gereja ini, yang menimbulkan kecurigaan untuk bekerja sama antara orang Kristen Timur dan Barat, adalah warisan yang begitu pahit dari Perang Salib yang te-lah merusak hubungan umat Kristen Timur dengan tetangga Mus-lim mereka. Warisan Perang Salib, berupa ketidakpercayaan dan kecurigaan, kemudian menjadi penyebab penderitaan yang semes-tinya tidak perlu bagi umat Kristen di Timur.

Seperti telah disebutkan, keretakan utama Dunia Kristen terjadi pada abad ke-4 dan ke-5, ketika sebagian besar orang Kristen Timur dalam Patriarkat Aleksandria dan Antiokia memisahkan diri dari tubuh gereja yang utama. Sekitar 600 tahun kemudian, pada tahun 1054, terjadi skisma kedua yang memengaruhi dua takhta di Konstantinopel dan Roma, yang kemudian memisahkan Gereja Katolik Roma dengan Gereja Ortodoks Timur, memisahkan yang Latin dari yang Yunani.2 Keretakan besar selanjutnya terjadi kira-kira 500 tahun kemudian (abad ke-16), ditandai dengan Reformasi Protestan di Eropa barat, yang memisahkan diri dari Gereja Katolik Roma, dan pada akhirnya melahirkan sejumlah denominasi Protestan.

Pada abad ke-19, kelompok yang terpecah terakhir ini tidak mempunyai tempat berpijak di Tanah Suci. Namun, dengan lahirnya gerakan misi, gereja-gereja Anglikan, Lutheran, Presbiterian, dan pa-ra misionaris Protestan lainnya mulai berkumpul di Timur Tengah dan mem bentuk denominasi di luar gereja-gereja historis yang ada, melengkapi gambar tubuh Kristus yang terpecah-pecah di tanah tempat Injil pertama kali diberitakan sekitar lebih dari 1.900

186 Semata-mata Keadilan

harus mengarahkan diri pada kepemimpinan negara dan mendu kung setiap tantangan perdamaian. Lembaga ini harus melampaui area wilayah konfl ik untuk menjangkau orang di luar negeri, khu susnya yang berada di Barat. Ini bertujuan untuk destereotip gambaran orang Barat terhadap masyarakat Timur Tengah, dezionisasi Alkitab, dan demitologisasi Negara Israel. Dukungan orang Kristen Barat sangat tak ternilai dalam perjuangan demi keadilan dan perdamaian. Mereka dapat meyakinkan pemerintah mereka agar bertindak dengan tidak berat sebelah dalam mengejar perdamaian yang didasarkan pada keadilan.18

Sebagai tambahan, Gereja harus melihat jauh ke depan da-lam proyeksi karya masa depan dari Pusat Perdamaian tersebut. Lingkaran setan dalam konfl ik Israel-Palestina semakin meningkat. Kebencian dan permusuhan berkembang semakin cepat secara fe-no menal, ditumbuhkan dalam tindakan saling bermusuhan dan ke kerasan pendirian Israel. Saat ini tidak ada perlengkapan untuk upaya perdamaian. Akhirnya, harus ada sebuah resolusi terhadap konfl ik ini, entah muncul dari begitu banyaknya pertumpahan da-rah dan kekerasan yang terjadi, maupun diciptakan sebagai hasil dari berbagai negosiasi damai dan tekanan dari para adikuasa. Per damaian tidak dapat terjadi secara otomatis; perdamaian akan menjadi sebuah tugas yang lambat dan menyakitkan. Di atas per-damaian sendiri ada jalan yang lebih kuat menuju rekonsiliasi. Perdamaian dan rekonsiliasi harus dibangun dari kebinasaan aki-bat peperangan, kebencian, dan dendam—yang bersifat pribadi ti-dak kalah penting dengan yang internasional—khususnya kare-na ”sejarah akan hidup dengan sebuah penekanan khusus pada kesadaran masyarakat Timur Tengah.”19 Pusat Perdamaian tersebut, dengan anugerah Allah, harus menjadi sebuah tempat di mana perdamaian dan rekonsiliasi dibangun—sebuah tempat yang, dalam hal upaya perdamaian, kredibilitasnya disadari, dihargai, dan dicari oleh semua orang.

GEREJA, SALIB, DAN TUGAS GANDAPeperangan setiap hari diciptakan di Timur Tengah, menghasilkan kehancuran dan kerusakan. Perang hanya melahirkan peperangan yang lebih banyak, dan akibat peperangan adalah kebencian dan dendam yang bertahan lama. Jika tidak ada sebuah proses internal

Berbahagialah Mereka yang Membawa Damai 185

tetap teguh meneruskan usaha-usahanya untuk melibatkan gereja-gereja Kristen lainnya. Saya yakin bahwa pendirian Pusat tersebut merupakan panggilan terbesar Gereja di Israel-Palestina dan harus mendapatkan prioritas tertinggi.16

Alasan dan dasar Pusat Perdamaian tersebut haruslah tiga implikasi teologis dari tugas ganda: konsep akan Allah, siapa Allah, dan harapan Allah bagi manusia; penjelasan rinci tentang berbagai fakta dan kebenaran serta interpretasinya dari sudut pandang konsep dan pengetahuan akan Allah; dan promosi keadilan dan perdamaian secara aktif, dalam kepercayaan bahwa perdamaian itu mungkin dan bahwa perdamaian lebih mendasar daripada peperangan.17 Arah pelayanan Pusat tersebut seharusnya terfokus pada pokok-pokok berikut:

• Pusat tersebut tidak boleh lupa untuk mengingatkan manusia akan rasa keadilan.

• Pusat tersebut harus tetap membawa sebuah kontekstualisasi teologis atas berbagai persoalan.

• Pusat tersebut harus memandang PBB sebagai forum terbaik untuk membangun kriteria yang dapat menentukan dan me-mu tuskan keadilan serta menyelesaikan klaim-klaim yang ber-tentangan.

• Pusat tersebut harus menyediakan bagi dirinya sendiri sebuah forum komunikasi dan hubungan timbal balik sehingga pan-dangan yang berbeda-beda dapat didiskusikan dan berbagai konfl ik menjadi kreatif ketika dihadapi dan dimediasi dalam sebuah atmosfer kepedulian pada keadilan dan perdamaian.

• Pusat tersebut harus memantau perkembangan atau kemun-duran berbagai peristiwa, memper juangkan hak asasi manusia, mencela persaingan senjata dan ancaman senjata nuklir.

Pusat tersebut harus sekaligus multidimensi dan luas dalam pela yan-an dan pencapaiannya. Pada awal perkembangannya, wajar untuk berfokus pada karya di tengah penduduk Kristen, menggunakan fasilitas Gereja untuk menyelenggarakan pelatihan dan seminar. Na mun, secara bertahap, pusat itu harus menjangkau orang Islam dan Yahudi, rohaniwan dan kaum awam, kaum terpelajar maupun yang tak berpendidikan, orang muda maupun orang tua. Pekerjaan Pusat tersebut harus dilibatkan dalam ibadah jemaat, didukung dan dikuatkan oleh kelompok doa di seluruh negeri yang tidak terikat pada batas-batas denominasi. Melalui berbagai publikasi, Pusat ini

62 Semata-mata Keadilan

tahun yang lalu. Gereja-gereja ini, baik yang kuno maupun yang modern, dengan seluruh kontroversinya selama berabad-abad, tidak berjumpa dalam rangka pertobatan bersama atau mencari sebuah kesatuan, melainkan berusaha menyatakan titik awal spiritual me-reka, di tempat di mana mereka berakar. Kedekatan fi siknya di Ye-ru salem, alih-alih memperkuat proses pemulihan, malah kerap menjadi penyebab perselisihan yang menyedihkan.

AKAR-AKAR KRISTEN DI PALESTINASejarah orang Kristen yang hidup di Israel-Palestina masa kini kem-bali pada kekristenan abad-abad pertama.3 Pada masa kekuasaan Konstantinus Agung, Palestina telah menjadi wilayah Kristen yang utama, dengan beberapa permukiman Yahudi yang tersebar dan sebuah komunitas kecil orang Samaria.4 Setelah penaklukan Pa-lestina oleh Arab-Islam pada abad ke-7, orang Kristen secara perlahan-lahan diarabkan sehingga akhirnya menjadi minoritas. Fakta demografi ini tidak berubah sampai tahun 1920-an, ketika akibat migrasi besar-besaran Yahudi ke Palestina, jumlah penduduk Yahudi melebihi jumlah orang Kristen.5

Penduduk Palestina Tahun 1918–1944

Tahun Islam Yahudi Kristen

*1918 574.000 56.000 70.000

**1922 589.177 83.790 88.907

**1931 759.700 174.606 88.907

*1939 797.133 445.457 116.958

**1944 1.061.277 553.600 135.547

* perkiraan

** hasil sensus

Pembentukan negara Israel pada tahun 1948 menempatkan orang Yahudi di puncak jenjang demografi , diikuti umat Islam dan Kristen.

Menjadi Orang Palestina dan Orang Kristen di Israel 63

Namun, penting untuk dicatat bahwa perbandingan antara orang Kristen dan orang Islam yang menetap di Israel setelah 1948 jauh lebih tinggi daripada yang hidup di bawah mandat Palestina.6 Empat puluh persen orang Kristen menetap di Israel (sekitar 30.000), jika dibandingkan dengan 20 persen orang Islam yang menetap (sekitar 120.000). Ini terjadi karena, pada minggu-minggu terakhir perang 1948, dengan jebolnya pertahanan Arab di bagian utara, mayoritas orang Arab di Galilea (Nazaret dan dataran tinggi Galilea), yang se-tengahnya adalah orang Kristen, tetap tinggal di dalam wilayah Israel.7 Wilayah-wilayah Palestina yang diserbu oleh eksodus orang Kristen adalah Kota Yerusalem Baru, Jaffa, Ramla, Lydda, dan Haifa. Tabel berikut menggambarkan hal tersebut:8

Eksodus Kristen dari Israel

Kota

Jumlah Penduduk Tahun 1931

Jumlah Penduduk Tahun 1961

Orang Arab

Orang Kristen

Orang Arab

Orang Kristen

Yerusalem Baru 19.223 11.526 2.313 1.403

Haifa 34.560 13.827 9.468 6.663

Jaffa 44.657 9.132 5.886 2.481

Ramla 10.345 2.184 2.166 1.302

Lydda 11.250 1.210 1.582 363

Saat ini, orang Palestina Arab warga Israel terbagi atas tiga kelompok utama, yaitu Islam 70 persen dari total populasi Arab atau sekitar 600.000; Kristen 13 persen atau 100.000; Druze dan agama-agama lain, 10 persen atau 75.000.9 Orang Kristen lebih banyak tinggal di perkotaan dibandingkan orang Islam atau Druze. Pada tahun 1967, penduduk Kristen di Israel berjumlah sekitar 55.000 orang. Dari jumlah ini, 85 persen terkonsentrasi di Galilea; 61 persen tinggal di kota-kota besar dan kecil, dan sisanya tinggal di 25 desa yang

184 Semata-mata Keadilan

dan teologi, seperti halnya perbedaan peristiwa sejarah dan politik, telah merintangi kesaksian dan dialog gereja dengan orang Islam dan Yahudi. Keterpecahan denominasional telah mengakibatkan kecurigaan dan ketidakpercayaan di antara sesama orang Kristen. Konfl ik yang menghancurkan di antara mereka telah sering digu-nakan oleh penguasa dan cenderung memperkuat kendali penguasa atas masyarakat.

Kesulitan utama lain yang telah dan sedang terjadi adalah sta tus minoritas orang Kristen, yang dicerminkan dalam seluruh kebiasaan dan mentalitas mereka. Mereka telah mampu, dengan anugerah Allah, untuk mempertahankan iman mereka selama ber abad-abad penindasan yang telah menghabiskan daya hidup mereka.12 Mereka telah bertahan dengan hak-hak yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang dimiliki oleh kaum mayoritas di sekitar mereka. Mereka telah hidup dalam ketakutan terhadap anehnya fenomena Levantinism.13 Mereka telah sangat berhati-hati supaya tidak terlalu terlibat agar tidak menimbulkan kebencian dari sesama dan pemerintahnya, yang mengakibatkan lebih banyak penderitaan bagi diri mereka sendiri.14

Oleh karena itu, apa pun keterlibatan Gereja dalam tugas gan-da tampaknya menciutkan hati para penguasa dan sering salah dipahami oleh orang Islam dan Yahudi. Jadi, di samping berbagai risiko yang ada, pelayanan tugas ganda memiliki potensi untuk mentransformasi Gereja dari hanya sekadar hadir di tanah itu menjadi kesaksian yang bertujuan dan dinamis.

Sebuah Tempat untuk Perdamaian

Tindakan kedua dari strategi dasar itu seharusnya adalah pendirian sebuah Pusat Perdamaian di Israel-Palestina. Tujuan dari Pusat Perdamaian ini adalah menerjemahkan tugas ganda ke dalam ben-tuk konkret organisasi, operasional, dan perencanaan pelayanan Gereja.

Idealnya, pusat perdamaian seperti ini seharusnya didirikan de-ngan menggalang usaha bersama berbagai gereja di Israel-Pales tina. Menyadari sebuah perluasan pelayanan gereja-gereja yang ada, maka pusat tersebut perlu didukung oleh berbagai gereja tersebut dari segi moral dan fi nansial.15 Jika usaha ini gagal, Pusat tersebut, walaupun dengan menyesal, harus dikelola oleh sebanyak mungkin denominasi yang ingin terlibat. Pada saat yang bersamaan, Pusat tersebut harus

Berbahagialah Mereka yang Membawa Damai 183

pendidikan yang tertata baik melalui berbagai gereja dan sekolah Kristen, sebuah program yang menggunakan metode terbaik dan terkini untuk menjangkau orang-orang biasa, anak-anak seperti halnya juga orang dewasa, dan golongan atas yang canggih.9

Melibatkan seluruh gereja dalam karya tugas ganda merupakan sebuah cara yang baik untuk memajukan kesatuan Kristen, sebuah kenyataan yang sama pentingnya dengan karya perdamaian itu sen diri. Bekerja untuk perdamaian membuat gereja terfokus pada sebuah kepedulian bersama orang Kristen. Kita berharap bahwa itu menghindarkan mereka dari berbagai kontroversi dan intrik eklesiologis serta membuat mereka berkonsentrasi pada sebuah ke-sak sian Kristen yang positif, yang menekankan betapa pentingnya perdamaian dan rekonsiliasi. Ini akan menjadi jawaban bersama Gereja pada apa yang Yesus katakan: ”Berbahagialah mereka yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”10

Hierarki gereja-gereja historis harus diyakinkan bahwa karya pendamaian tidak berarti bahwa Gereja sedang dalam proses men-jadi partai politik dengan sebuah agenda politik. Itu juga tidak ber-arti bahwa gereja hendak memihak tanpa syarat pada yang satu dan menentang yang lainnya, atau mendukung salah satu lebih dari yang lainnya. Sebaliknya, Gereja telah memilih untuk terlibat dalam masyarakat dan bangsa. Ini memerlukan Inkarnasi yang serius, memilih untuk menjadi hati nurani bangsa—atau paling tidak menyatakan hati nuraninya. Jika dan ketika Gereja berpihak, Gereja harus ada di sisi kaum miskin, lemah, tertindas, dan teraniaya.11

Dari Kepasifan Menuju Kedinamisan

Pelayanan dalam tugas ganda ini akan mempertinggi karya kesatuan orang Kristen, memberikan sebuah penggalian energi yang positif dari gereja yang beraneka macam, dan memfasilitasi komunikasi yang lebih luas dan lebih sehat di antara mereka. Pelayanan itu akan menjadi kesaksian iman orang Kristen kepada Tuhannya, yang memberikan kredibilitas atas Gereja dalam masyarakat. Itu akan memindahkan gereja dari sebuah posisi pinggir dalam kehidupan berbangsa ke sebuah keterlibatan yang lebih besar dan lebih sentral: dari kepasifan menuju kedinamisan.

Dari sudut pandang sejarah, pelayanan tugas ganda pasti akan menjadi sesuatu yang sulit dicapai oleh gereja di Israel-Palestina. Ke terpecahan Tubuh Kristus akibat perbedaan-perbedaan doktrin

64 Semata-mata Keadilan

ada.10 Karena angka kelahiran yang tinggi, jumlah orang Kristen meningkat hampir dua kali lipat sejak 1967. Penduduk Kristen telah memperoleh pendidikan yang lebih baik dibandingkan orang Islam, dengan sebagian besar wilayah Kristen yang cukup maju sebagai dampak dari pelayanan gereja dan sekolah-sekolah misi.

Denominasi Kristen terbesar di Israel adalah Gereja Katolik Yunani. Anggotanya berjumlah sekitar 45.000 orang Arab, yang sebagian besar tinggal di Haifa, Nazaret, dan Galilea. Ini merupakan salah satu dari gereja yang bersekutu dengan Roma dan secara umum dikenal sebagai Gereja Melkit, dengan struktur kepemimpinan yang murni dipegang orang-orang lokal; uskup agung berkedudukan di Haifa dan semua rohaniwannya adalah orang Arab. Sejumlah besar kader rohaniwan Katolik Yunani menerima pendidikan yang baik, termasuk beberapa yang belajar di Prancis dan Italia.

Gereja Ortodoks Yunani merupakan denominasi terbesar kedua di kawasan itu, dengan jumlah anggota sekitar 35.000 orang. Walau-pun anggota gerejanya adalah Arab, hierarkinya beranggotakan orang Yunani, termasuk beberapa rohaniwan dengan jabatan lebih rendah (gereja ini telah lama mengalami kekurangan rohaniwan pribumi). Ham pir semua rohaniwan Arab hanya menerima sedikit pendidikan teologi; pelayanan pastoral bagi jemaat-jemaat, khususnya di desa-desa, terkena dampaknya.

Kelompok Gereja Katolik Roma (Latin) dan Maronit menduduki urutan ketiga dan keempat dari segi jumlah anggota. Gereja Katolik Roma, dengan 12.000 anggota, jauh lebih berpengaruh dibandingkan jumlahnya, kemungkinan karena banyak lembaga dan struktur ke aga maannya telah lama dibangun di wilayah itu. Walaupun se-bagian besar jemaatnya adalah orang Arab, hanya sedikit sekali pastornya yang asli Arab. Gereja Katolik Roma telah memiliki tradisi yang baik dalam memperhatikan jemaatnya dan memberikan pela yanan pendidikan yang memadai bagi orang Arab, baik yang Kristen maupun Islam. Komunitas Maronit, yang terutama tinggal di Haifa, Nazaret, Acre, dan di beberapa desa Galilea, sebenarnya berakar di Lebanon. Jumlah anggotanya kurang dari 6.000 orang dan merupakan gereja yang murni pribumi, baik dari komposisi pendetanya maupun anggota jemaatnya.

Gereja Episkopal (Anglikan) selalu disebut sebagai gereja ”Pro-testan” di wilayah itu. Di Israel, jumlah anggotanya sekitar 1.000-an orang. Seperti Gereja Latin, gereja Episkopal mempunyai pengaruh yang tidak sebanding dengan ukuran keanggotaannya, karena

Menjadi Orang Palestina dan Orang Kristen di Israel 65

beberapa lembaganya sudah ada sebelum tahun 1948. Sejak saat itu, jumlah anggotanya semakin berkurang, sehingga turut pula me-mengaruhi gereja tersebut. Gereja Episkopal sepenuhnya pribumi, namun beberapa pendeta asing juga terlibat dalam berbagai pela-yanan khusus di keuskupannya.

Ada juga ratusan orang Armenia dan Koptik, dan sejumlah ke-cil kelompok gereja-bebas, termasuk Southern Baptists, Brethren, Nazarenes, Church of Christ, dan lain-lain. Gereja Baptis adalah kelompok yang paling terkenal dan berpengaruh di antara kelompok-kelompok ini.

Komunitas Kristen, meskipun jumlahnya berkurang sebanyak 60 persen setelah tahun 1948, lebih baik kondisinya daripada Islam ka rena organisasinya diatur oleh para uskup dan klerus, baik pribumi maupun asing.11 Sebagian besar institusi Kristen dikelola oleh para rohaniwan asing atau para pemimpin religius, yang berdedikasi tinggi bekerja tanpa lelah untuk membantu ribuan peng ungsi Palestina—termasuk membangun rumah singgah semen tara dan perumahan yang waktu itu susah sekali diperoleh—dengan bantuan lembaga-lembaga kemanusiaan dari luar negeri.

Adanya suatu hierarki asing bagi gereja-gereja Roma, Yunani, dan Protestan sering kali menjadi alasan yang menghalangi upaya peng ambilalihan kekayaan gereja oleh Israel. Jadi, keberadaan orang-orang asing ini merupakan berkat tersembunyi bagi komu-nitas Kristen, yang sering kali tidak menyukai kekuasaan ko lo-nialisme gerejawi dan hierarki asingnya. Karena itu, komunitas Kristen dalam tahun-tahun kritisnya yang pertama setelah pendirian negara Israel mampu menjaga integritas jumlah kekayaannya. Sikap hati-hati pemerintah berkaitan dengan tindakan mengambil alih kekayaan gereja ini oleh banyak orang ditafsirkan sebagai sikap agar tidak dianggap oleh Eropa dan Amerika sebagai tindakan menentang orang Kristen.12

Satu dari sekian banyak cerita menarik yang muncul setelah pe rang 1948 adalah upaya dari beberapa orang pemimpin Gereja Episkopal yang tersisa di Israel untuk menjual kekayaannya kepada pemerintah, dan kemudian ingin dibantu oleh Israel untuk pindah lokasi serta menetap sebagai satu komunitas di Brasil. Terjadi perdebatan sengit dalam Gereja, di mana para penggagas rencana ini dituduh telah bekerja sama dengan penguasa, dan permohonan tersebut ditolak dengan sangat keras. Konspirasi itu digagalkan oleh kesetiaan dan patriotisme para anggota gereja, dan sisa-sisa

182 Semata-mata Keadilan

menyadari bahwa tugas ganda merupakan tanggung jawab semua gereja Kristen di negeri itu. Ada dua tahap yang dapat ditempuh un-tuk mewujudkan strategi ini.

Sebuah Pengetahuan Baru tentang Allah

Hubungan awal dapat dibuat dengan hierarki dari gereja-gereja historis. Para uskup harus didekati terlebih dahulu. Posisi dan wibawa mereka tak ternilai untuk upaya itu, dan mereka harus selalu diberi informasi dan diajak berkonsultasi. Namun, ini adalah sebuah tugas yang sulit, ketika banyak patriark dan uskup cenderung bersifat konservatif, dan terlalu sensitif terhadap sikap-sikap tradisional dan status quo, dan ini dapat menghalangi perkembangan.7 Akan tetapi, mereka tidak boleh dilangkahi. Seharusnya para patriark dan uskup berkehendak untuk melibatkan diri dan melibatkan jemaatnya pa-da pelayanan profetis dan upaya pendamaian, maka pelayanan ter-sebut akan menjadi sebuah perbuatan Roh Kudus yang ajaib, yang memberikan berbagai dampak luar biasa bagi Gereja.

Secara bersamaan, pada saat hubungan dengan hierarki gereja-gereja diawali, para anggota sejatinya harus disadarkan bah wa kam panye pelayanan perdamaian ini sedang berada dalam per-jalanan. Pintu harus dibukakan bagi semua orang Kristen untuk ber partisipasi, baik rohaniwan maupun kaum awam. Oikumenisme di lingkungan akar rumput Gereja ini harus diwujudkan dengan bijaksana, sehingga tidak berlawanan dengan hierarki dari gereja-gereja. Biasanya mudah untuk melibatkan kaum awam, karena dalam banyak gereja mereka lebih maju lagi dalam Oikumenisme dibandingkan para pemimpinnya. Proses perubahan mentalitas perang menjadi mentalitas damai, bagaimanapun, tidak akan mudah. Proses tersebut akan menjadi sebuah tugas yang lambat dan sulit, karena perdamaian selalu dilihat sebagai hasil peperangan. Manusia perlu mengalami sebuah pengalaman konversi yang baru untuk menjadi para pembawa damai.

Dalam kalimat Pembukaan Konstitusi United Nations Educa-tional, Scientifi c, and Cultural Organisation (UNESCO), dikatakan ”karena peperangan dimulai dari pikiran manusia, maka penjagaan perdamaian harus dibangun juga dalam pikiran manusia.”8 Tidak hanya pikiran, tetapi juga seluruh kehidupan manusia harus dikon-versi pada sebuah pengetahuan yang baru tentang Allah. Jadi, gerakan perdamaian seharusnya didasarkan pada sebuah program

Berbahagialah Mereka yang Membawa Damai 181

tetap memiliki cara untuk terus bangkit dari kubur, kembali mene-gaskan diri dan menantang manusia untuk bertobat dan berubah.

Implikasi teologis yang ketiga dari tugas ganda itu adalah bagi Gereja untuk tetap tinggi mengibarkan bendera perdamaian. Ini berarti secara tetap menantang kredibilitas peperangan dan ke ke-rasan. Itu juga berarti tetap menghidupkan sebuah konsep per da-maian yang hanya mungkin tercapai jika manusia ingin me nerima sebuah perubahan dalam mentalitas perang yang mereka miliki. Konsep perdamaian ini harus disampaikan melalui sebuah visi perdamaian.4 Sebuah visi perdamaian harus ditopang oleh gereja dan harus tetap menantang manusia, memanggil pada kemungkinan perdamaian yang realistis berdasarkan keadilan—sebuah keadilan tidak kekurangan belas kasih.5

Ketika ada kasih yang mendalam, sederhana, dan me-rangkul manusia, seluruh ciptaan dunia yang hidup dan benda-benda mati, maka akan ada penghargaan untuk kehidupan, kemerdekaan, kebenaran, keadilan, dan akan ada kasih Allah yang rendah hati. Namun, jika tidak ada cinta manusia, tidak ada cinta kehidupan, maka buatlah semua hukum yang engkau kehendaki, semua maklumat dan perjanjian, keluarkan semua kutukan, aturlah semua upaya perlindungan dan pengawasan, penuhi udara de-ngan satelit pemantau, dan gantunglah kamera di bulan. Selama engkau melihat saudaramu sebagai makhluk yang pertama-tama harus ditakuti, dicurigai, dibenci, dan dihancurkan, maka tidak akan ada damai sejahtera di bumi.6

StrateginyaPenting bagi seluruh gereja di Israel-Palestina untuk menyerap tugas ganda tersebut sebagai dasar yang sah untuk strategi tindakan mereka. Secara spesifi k dan konkret, ini menuntut dua hal: pertama, membuat gereja bergerak bersama, dan kemudian benar-benar me-nyerap tugas ganda, dan kedua, mendirikan sebuah organisasi konkret, sebuah pusat perdamaian.

Untuk pelayanan profetis dan upaya perdamaian yang memiliki dampak terbesar pada negara, harus ada karya bersama dari semua gereja di Israel-Palestina. Usaha ini dapat dimulai hanya ketika gereja

66 Semata-mata Keadilan

Episkopal tetap tinggal di atas tanahnya meski dengan rasa frustrasi dan depresi.

Komunitas Kristen di Israel hidup sebagai bagian dari minori-tas Arab, di bawah sistem pengendalian. Tanpa ditunggangi oleh satu pun partai politik Arab Israel, banyak orang Kristen dan Mus lim mendapati Partai Komunis begitu terang-terangan dalam mengungkapkan ber bagai keluhan, menyalurkan ketidakpuasan, dan memperjuangkan hak-hak mereka. Pada tahun 1965, setelah periode perselisihan internal antara konstituen Yahudi dan Arab, Partai Komunis di Israel (MAKI) terpecah. Kelompok Arab (RAKAH) yang memisahkan diri terorganisasi di bawah sebuah kelompok tiga serangkai Arab Kristen—dua Ortodoks Yunani dan satu Episkopal—yang berbicara bukan sebagai orang Kristen melainkan sebagai Komunis.13 Partai Komunis merupakan satu-satunya saluran bagi banyak orang Arab Israel, entah Kristen, Islam, atau Druze, yang sangat mendambakan keadilan dalam masalah Palestina. Tidak da-pat disangkal bahwa beberapa orang Arab Israel, termasuk orang Kristen, memberi suara kepada partai-partai Yahudi yang bersaing untuk memperoleh suara dari para pemilih Arab pada saat pemilu.

Selama lebih dari dua dekade pertama keberadaan Israel, gereja-gereja Kristen di dalam wilayahnya tetap berdiam diri, memilih untuk tidak terlibat dalam persoalan politik. Ada tiga alasan utama dari sikap demikian. Pertama, gereja sendiri adalah korban dari tragedi Palestina dan sangat dikacaukan setelah perang 1948. Kedua, ke pemimpinan banyak gereja pada saat itu dipegang oleh orang-orang asing dan tidak terlalu merasakan berbagai persoalan yang terjadi sebagaimana yang dirasakan anggota pribumi. Lebih dari itu, para pemimpin tidak mau membahayakan dirinya atau lembaganya. Be berapa pemimpin gereja juga menjaga hubungan ba ik dengan pengu asa dalam rangka memecahkan masalah-masa-lah praktis ba gi jemaatnya, seperti mendapatkan jaminan izin ker ja dan penyatuan kembali keluarga-keluarga yang terpisah. Alasan ketiga dan yang terpenting ada lah mungkin kerasnya reaksi penguasa terhadap seseorang atau kelompok yang mengekspresikan pandangan-pandangan yang tidak disetujui. Penindasan semacam itu dipermudah oleh kenyataan hukum militer, sistem pengawasan yang efi sien, dan penyensoran ketat untuk mencegah dunia luar mengetahui situasi yang sedang terjadi di dalam negara itu.

Menjadi Orang Palestina dan Orang Kristen di Israel 67

SUARA GEREJAHanya pada akhir 1960-an, selama periode kebangkitan ketika ko-mu nitas Arab mengembangkan kesadaran barunya, suara gereja ter dengar. Suara ini datang dari gereja pribumi yang terkuat di Israel pada waktu itu, yaitu Gereja Katolik Yunani (Melkit).

Sebelum penahbisannya sebagai uskup agung Gereja Katolik Yunani di Israel, Joseph Raya pernah menjadi pendeta jemaat se-lama lebih dari 15 tahun di Alabama, di mana ia terlibat aktif dalam gerakan hak-hak sipil. Sang uskup mendukung masalah dua desa Kristen, Iqrit dan Kufur Bir‘im, yang terletak dekat perbatasan utara Lebanon. Desa yang pertama mayoritas penduduknya adalah penganut Katolik Yunani; sedangkan desa kedua adalah kelompok Maronit. Pada tahun 1948, kedua desa ini diduduki oleh tentara Israel dan penduduknya dipaksa untuk meninggalkan rumah-rumah mereka. Kepada penduduk desa tersebut dikabarkan bahwa dalam waktu singkat akan segera terjadi pertempuran antara tentara Israel dan Arab, sehingga akan lebih aman jika mereka segera menying kir, mengingat dekatnya jarak kedua desa tersebut dengan garis perbatasan dan menjadi zona pertempuran. Penduduk diberi jaminan bahwa setelah dua minggu mereka akan diizinkan untuk kembali ke rumahnya lagi. Ketika akhirnya mereka tidak dizinkan kembali, mereka mengadukan masalah ini ke Mahkamah Agung Israel, yang mengatur pemulangan mereka. Namun, pihak militer tetap bersikeras untuk mencegah proses pemulangan tersebut. De-ngan melanggar undang-undang yang ada, kedua desa tersebut dihancurkan oleh tentara. Salah satunya diratakan dengan tanah pada perayaan Natal 1951.14

Pilihan sang uskup agung atas kasus ini merupakan pilihan yang luar biasa karena mendapat dukungan dari Mahkamah Agung. Pada awal 1970-an, ia mulai menggerakkan cara-cara tanpa kekeras-an untuk mengembalikan penduduk kedua desa itu ke rumahnya. Ia didukung oleh banyak orang Arab, Yahudi, dan melakukan se-rangkaian demonstrasi, aksi duduk, serta berbagai protes pada 1972. Namun, perwakilan langsung pemerintah Israel, termasuk Perdana Menteri Golda Meir, menolak upaya-upaya uskup agung itu. Banyak gereja Kristen di seluruh Israel melakukan protes, dan sang uskup secara terbuka mengkritik penolakan perdana men teri karena melakukan tindakan ”penyiksaan dan penyaliban bangsaku”.15 Namun, penduduk tidak diizinkan kembali karena ti-

180 Semata-mata Keadilan

berbicara tentang Firman Allah secara profetis. Ini berarti mem biar-kan Allah kebenaran menerangi berbagai peristiwa. Ketika ini ter-jadi, kemunafi kan dan kecurangan diri setiap individu atau para pe-me rintah disingkapkan. Pada saat yang sama, mengenal dan hidup dengan kebenaran memberikan kemerdekaan dan pembebasan.1 Bagi Gereja, tetap menyatakan fakta dan menyingkapkan kebenaran berarti memberi perhatian pada penyebaran dosa, kejahatan, dan ketidakadilan, serta berarti menyerukan pertobatan dan pembaruan bagi manusia.

Ini merupakan sebuah tugas yang sangat sulit, tetapi merupakan bagian integral dari tugas profetis. Itu tidak berarti bahwa Gereja memiliki jawaban khusus terhadap persoalan-persoalan politik yang rumit. Artinya adalah Gereja memiliki sebuah kesadaran hukum dan selalu siap untuk berteriak menentang ketidakadilan, dan mendorong serta memajukan keadilan dan kedamaian. Sebuah ilustrasi yang baik dari tindakan orang Kristen ini terjadi pada puncak keterlibatan Amerika Serikat di Vietnam pada akhir tahun 1960-an. Sekelompok orang Amerika yang prihatin berjumpa dengan Henry Kissinger, yang pada waktu itu menjabat sebagai kepala arsitek kebijakan Amerika Serikat.

Percakapannya menjadi sengit. Kissinger bertanya kepa da mereka bagaimana kamu akan mengeluarkan para prajurit dari Vietnam? William Sloane Coffi n, pendeta Gereja Ri-ver side, New York, yang kemudian menjadi pendeta di Yale University dan tokoh dalam protes anti-peperangan, menjawab, ”Tuan Kissinger, tugas kami adalah untuk me-nya takan bahwa, ’keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.’ Tugas Anda, Tuan Kissinger, adalah untuk mewujudkan rincian sistem pengairan itu.”2

Berbicara tentang kebenaran berarti menjauhkan kepentingan pri-badi maupun kepentingan nasional serta memberikan kesetiaan kepada Allah. Kebenaran yang diberitakan dan disingkapkan dengan penuh semangat dan dengan sungguh-sungguh demi kebaikan ma-nusia memiliki sebuah cara untuk menembusi berbagai rintangan keras dan selalu menyebabkan sebuah tanggapan. Reaksi-reaksi yang menentangnya bisa beraneka, yaitu dari konspirasi untuk diam dan menekan sampai usaha-usaha untuk mengendalikan dan mengekangnya.3 Kebenaran, walaupun disalibkan dan dikuburkan,

Berbahagialah Mereka yang Membawa Damai 179

cana kerja bersama alih-alih sekadar memfokuskan perhatian pada berbagai perbedaan internal. Ini akan lebih menekankan aspek-aspek positif dibandingkan aspek negatif dari situasi yang ada.

Kita berharap juga walaupun ada berbagai kepekaan historis, gereja-gereja di Israel-Palestina akan setuju bahwa dasar alkitabiah dan teologis untuk strategi profetis dan penciptaan kedamaian dari gereja pada masa kini adalah tiga serangkai: tindakan dan campur tangan Allah yang berkesinambungan dalam sejarah; cinta Allah kepada seluruh dunia; dan kepedulian Allah terhadap keadilan, belas kasih, dan kedamaian di dunia.

Implikasi TeologisnyaTugas ganda mencakup tiga implikasi teologis yang strategis dan konkret bagi pelayanan Gereja. Implikasi ini terdiri atas isi pokok strategi gereja dan didasarkan pada sebuah pemahaman teologis tentang keadilan dan kedamaian seperti yang diuraikan dalam bab 5. Implikasi-implikasi ini bagaikan tiga obor terang yang harus tetap menyala dan diangkat oleh Gereja dalam masyarakat.

Implikasi pertama dari tugas ganda itu adalah penting bagi ge reja untuk tetap menghidupkan konsep tentang Allah yang se-kaligus biblis dan teologis di antara manusia—Allah universal dan inklusif dalam sifat-Nya, Allah keadilan, cinta, dan damai sejahtera. Gereja harus menyatakan konsepnya tentang Allah, seperti ia te-lah mengenal Allah melalui Kristus, kepada seluruh anggota mas-yarakat, termasuk kepada mereka yang beragama Islam dan Yahudi. Ini harus terjadi tanpa rasa bersalah dan tanpa kompromi. Gereja harus menuntut apa yang sangat disukai Allah—bukan dalam se-buah semangat superioritas atau rendah diri, melainkan dalam kerendahan hati dan cinta. Gereja harus menyadari kegagalannya sendiri dalam hal tidak menghidupkan tanggung jawab terhadap pengetahuan akan Allah yang telah dikaruniakan. Gereja tidak per-nah mencapai kesempurnaan, namun tetap mencari pengertian yang lebih mendalam akan Allah dalam Kristus. Bukan Gereja yang memiliki kebenaran; tetapi kebenaran dalam Kristus telah memiliki Gereja.

Implikasi teologis yang kedua dari tugas ganda bagi gereja ada-lah penjelasan yang rinci tentang kebenaran. Implikasi ini mengan-dung tanggung jawab ganda, untuk menjelaskan dan menaf sir-kan kebenaran. Berbicara tentang kebenaran sama artinya de ngan

68 Semata-mata Keadilan

dak ada contoh pemulangan para pengungsi Palestina lainnya yang pernah dilakukan.

Pada 14 Juli 1972, seorang jurnalis Yahudi menulis pada koran harian Israel, Yediot Aharonot:

Adalah tanggung jawab para pemimpin Israel untuk men-jelaskan kepada publik secara jernih dan berani tentang sejumlah fakta yang selama ini tenggelam dalam lintasan waktu. Hal pertama yang harus dijelaskan adalah fakta bah wa tidak ada Zionisme, permukiman, atau negara Ya-hu di tanpa pengusiran orang Arab dan pengambilalihan tanah mereka.16

Dalam sepucuk surat kepada Perdana Menteri Meir pada 1974, sang uskup memprotes perlakuan terhadap orang Arab Kristen di Israel:

Tidak ada keadilan yang memadai di negara ini. Tidak ada juga demokrasi atau kebebasan. Tidak pernah ada pembenaran atas ketidakadilan, meskipun tujuannya un-tuk kebaikan negara atau bangsa. Jika Anda mendasarkan keamanan pada penolakan terhadap keadilan, setumpuk uang pun tidak dapat menjamin keamanan itu; bahkan tentara sekuat orang Romawi pun tidak akan dapat men-ja minnya.17

Kendati sang uskup adalah seseorang yang bersungguh-sungguh, rendah hati, dan bermotivasi tinggi, tetapi ia kurang lihai dan tidak tajam sebagai seorang pemimpin politik. Karena diserang dengan berbagai kritik dari dalam denominasinya sendiri dan tekanan dari penguasa, ia akhirnya harus melepaskan jabatan uskupnya dan me-ninggalkan Israel.

Dengan lebih tenang, tetapi lebih kuat, suara gereja terdengar pada akhir 1970-an melalui United Christian Council in Israel (UCCI), atau Dewan Gereja-gereja Kristen di Israel, yang terdiri atas lembaga-lembaga Kristen terkemuka. Jumlah anggota UCCI yang terbesar adalah kelompok Episkopal dan Baptis yang pribumi; selebihnya adalah golongan orang asing. Meskipun UCCI tidak memiliki sebuah gereja basis yang kuat di Israel, dewan ini tetap dihargai karena ang gotanya yang berwarga negara asing mewakili sejumlah besar perwakilan luar negeri.

UCCI telah berbicara atas nama orang Kristen di Israel untuk menentang pihak yang mengajukan konstitusi bagi negara Israel

Menjadi Orang Palestina dan Orang Kristen di Israel 69

ber kaitan dengan persoalan hak-hak asasi manusia. Karena ke-banyakan pemimpin dalam dewan tersebut lahir dan bertumbuh dalam sistem demokrasi Barat, mereka memberikan pelayanan yang baik bagi komunitas Kristen dengan secara berkala membuat orang memperhatikan berbagai kerumitan, keruwetan, dan sindiran dari dokumen tersebut. Pada saat yang sama, pekerjaan dewan ter-sebut telah dihalangi, bahkan dimentahkan, dalam beberapa tahun terakhir oleh kepekaan yang berlebihan dari anggotanya, yang merasa bimbang apakah yang mereka yakini benar dan merasa takut untuk memisahkan diri dari negara Israel. Banyak di antara mereka, yang memiliki simpati dan kesetiaan yang begitu mendalam terhadap Israel, takut jika kritikan mereka ditafsirkan sebagai ketidaksetiaan atau pengkhianatan, dan dapat membahayakan keberadaan mereka di negara itu. Akibatnya, beberapa anggota pribumi merasa kecewa dengan pekerjaan yang dilakukan dewan tersebut.

Beberapa rohaniwan Kristen pribumi di Israel telah menunjuk-kan kepedulian mereka terhadap keadilan dan perdamaian bagi kelompok-kelompok yang ada di dalam maupun di luar Israel. Ak-tivitas demikian pada waktu itu telah menciptakan ketegangan ter-tentu dalam jemaat. Beberapa anggota jemaat tetap berpendapat bahwa seorang rohaniwan seharusnya membatasi aktivitasnya hanya pada bidang pelayanan pastoral dan spiritual. Sementara yang lain nya berpendapat bahwa, seiring dengan munculnya kader-kader baru rohaniwan yang terpelajar, seluruh kehidupan bersifat sakramental sehingga tidak perlu memisahkan antara yang kudus dan yang sekuler. Mereka berpendapat bahwa gereja seharusnya terlibat dalam segala dimensi kehidupan umat setiap hari. Mereka yang mendukung pandangan holistik ini adalah para rohaniwan pribumi—Katolik Yunani, Katolik Roma, Maronit, Episkopal, Baptis, dan lainnya—yang telah menjalani pendidikan teologi Barat. Beberapa petinggi dalam gereja mereka belum antusias terhadap pandangan mereka ini, karena takut gereja akan disakiti oleh negara. Reaksi kaum awam, khususnya generasi muda, terhadap situasi politik telah diekspresikan dalam tiga jalur yang berbeda: emigrasi, politik, dan agama.

Sejak 1960-an, jumlah orang Kristen yang memilih untuk pin dah dan menetap permanen di negara-negara Barat semakin meningkat. Sebagian besar menetap di Kanada dan Amerika Serikat, sementara sejumlah kecil pindah ke Eropa dan Australia. Akan lebih banyak orang Kristen yang pindah jika diizinkan oleh negara-negara

178 Semata-mata Keadilan

Tugas profetis mengarahkan bahwa Gereja harus berani meng-analisis dan menginterpretasikan berbagai peristiwa secara teologis. Gereja harus melihat dengan cermat tanda-tanda zaman dan mem-biarkan pikiran Kristus tinggal di dalam mereka. Tugas profetis mun cul dari keyakinan gereja bahwa kemajuan keadilan yang aktif tidak terjadi di luar bidang dan kompetensinya. Keadilan adalah mi-lik Allah, bukan milik pemerintah maupun politikus. Oleh karena itu, Gereja akan memikul peran profetis yang diberikan Allah.

Dengan tugas pembawa damai, Gereja menyadari bahwa dirinya dipanggil Allah untuk menjadi agen perdamaian dan rekonsiliasi. De ngan naturnya di dalam Kristus, Gereja me rupakan sebuah ko-munitas pembawa damai dalam konteks kehidupannya sendiri. Ini-lah perannya sebagai pelayan di dalam dunia.

DasarnyaGereja di Israel-Palestina adalah gabungan berbagai denominasi, se-buah mosaik kaya yang menyatukan kelompok Ortodoks, Katolik, dan Protestan. Selama berabad-abad, berbagai perbedaannya telah ditekankan oleh hierarki, dan orang beriman telah dibingungkan serta dipisahkan, walaupun mereka semua sebenarnya adalah orang Kristen Timur dan memiliki akar-akar yang sama. Untuk beberapa hierarki, masa lalu tetap membawa penderitaan dan keluhan. Bagi kebanyakan orang Kristen Arab, penekanan tidak lagi diberikan pada keanggotaan denominasi, melainkan pada iman bersamanya. Berbagai denominasi tersebut, sambil merefl eksikan perpecahan dan ketidaksatuan gereja, dapat juga dilihat sebagai sebuah warisan kekayaan, sebuah keberagaman ekspresi gereja yang hidup di dunia. Sungguh, gereja harus terus bekerja untuk kesatuan yang lebih be-sar, tetapi dapat menerima berbagai tradisi yang berbeda sebagai bagian yang secara bersama-sama membentuk sebuah keutuhan sempurna.

Di Timur Tengah, pemahaman gereja yang demikian masih jauh sekali. Namun, dengan anugerah Allah, kita sedang berpindah ke arah itu. Lebih dari itu, kehadiran Dewan Gereja Timur Tengah yang menyatukan hampir seluruh umat Kristen Timur Tengah, memban-tu gereja anggotanya bertumbuh bersama dalam pemahaman, peng-hargaan, dan kerja sama yang lebih besar.

Tugas ganda Gereja di Israel-Palestina akan membantu berbagai gereja yang berbeda-beda untuk berkonsentrasi pada sebuah ren-

177

6BERBAHAGIALAH MEREKA YANG

MEMBAWA DAMAI:TUGAS GEREJA YANG PROFETIS

DAN MEMBAWA DAMAI

Berbahagialah mereka yang membawa damai, karena me-reka akan disebut anak-anak Allah.

Matius 5:9

Bagaimana Gereja di Israel-Palestina, dengan mengor bankan se-ja rah dan warisannya, dapat menghu bungkan pelayanannya

secara kontekstual di tengah krisis politik yang sedang terjadi? Gereja harus berperan apa? Bagaimana dan untuk tingkat apa gereja dapat terlibat? Intinya, bagaimana kita dapat menerjemahkan teologi pembebasan Kristen Palestina kita dalam perbuatan nyata? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang paling relevan dan berhubungan.

TUGAS GANDASaya yakin bahwa dalam menanggapi konfl ik, Gereja di Israel-Palestina terpanggil pada pelayanan dua-dimensi, sebuah panggilan profetis dan pembawa damai. Ini merupakan sebuah tugas ganda bagi gereja, dan harus menjadi fokus dari strategi gereja masa kini.

70 Semata-mata Keadilan

penerima. Namun undang-undang imigrasi semakin ketat di Kanada dan Amerika Serikat, dua negara yang populer bagi orang Arab Israel yang beragama Kristen. Alasan yang selalu diberikan untuk pindah adalah demi menyelamatkan diri dari tekanan dan penindasan po-litik; demi masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka; un tuk memperoleh peluang pekerjaan, profesi, atau bisnis yang lebih baik dan setara; dan yang terpenting, untuk hidup secara bermartabat sebagai manusia yang bebas dari belenggu diskriminasi. Fenomena emigrasi ini telah menghilangkan berbagai kekuatan pemikiran dalam komunitas Kristen di Israel. Orang Kristen dalam jumlah yang besar dari negara-negara lain di Timur Tengah memang telah beremigrasi ke Barat.

POLITISASI ORANG ARAB DI ISRAELTidak semua orang yang telah beremigrasi ke Barat menjadi tidak tertarik dengan hal-hal yang terjadi di tempat asalnya. Beberapa di antara mereka tetap mempertahankan aktivitas politiknya, sementara yang lain bahkan menjadi lebih aktif, dengan iklim demokrasi dan ke bebasan yang diberikan oleh dunia Barat. Beberapa justru mampu berbuat lebih banyak untuk menanggapi masalah Palestina sejak pindah ke Barat daripada sebelum beremigrasi.

Banyak kaum muda Kristen, khususnya yang berpendidikan uni versitas, semakin bersikap politis. Mereka kecewa terhadap gereja, yang mereka pandang kurang terlibat dan terisolasi dari persoalan-persoalan kehidupan yang nyata. Selama kampanye Iqrit dan Kufur Bir’im, Uskup Raya memengaruhi sejumlah besar kaum muda ini. Namun, visi dan strateginya yang tidak jelas merupakan hambatan bagi mereka. Kelompok ini terus mencari cara yang cocok untuk aksi dan solusi politis. Mereka umumnya mendukung Democratic Front for Peace and Equality (DFPE), dengan Partai Komunis sebagai unsur utama, atau mendukung Progressive List of Peace (PLP).

Walaupun terjadi politisasi umum terhadap orang Arab di Israel, sebuah fenomena baru muncul sejak awal 1980-an. Beberapa pemuda Kristen tidak bergabung dengan partai apa pun, tetapi kembali men-cari gereja untuk memberikan jawaban terhadap dilema politik yang ada. Mereka juga mencari makna tentang iman di masa sekarang. Dari kelompok ini terbentuklah sebuah komunitas Karismatik mu da. Meskipun peduli terhadap dilema politik, penekanan mereka lebih

Menjadi Orang Palestina dan Orang Kristen di Israel 71

pada masalah spiritualitas dan kehidupan doa. Bahkan beberapa di antara mereka yang telah bergabung dalam DFPE atau PLP tidak mengekspresikan kebencian atau kritik terhadap gereja seperti yang terjadi pada 1950-an dan 1960-an. Banyak di antara mereka yang percaya bahwa gereja harus berperan dalam menciptakan keadilan dan perdamaian.

MENYATAKAN KEBENARAN TANPA RASA TAKUT

Gereja Kristen di Israel ingin menjangkau kelompok aktif politik yang berada di luar gereja, sambil terus melayani mereka yang berada di dalam lingkungannya, sehingga iman mereka menjadi lebih dewasa dalam memandang kehidupan secara menyeluruh. Supaya dapat melakukan hal tersebut, gereja sendiri harus kuat dan dipandu oleh visi dan strategi yang jelas. Meskipun eksperimen Uskup Raya gagal, hal itu telah menampilkan suatu peran penting bahwa gereja dapat terlibat dalam persoalan-persoalan keadilan dan perdamaian, sehingga membuat Injil Kristus bermakna dalam kehidupan je maat-nya. Sungguh, sangat penting bagi gereja untuk bersuara dalam masalah ini. Banyak orang Kristen mengharapkan hierarki gerejanya dapat maju untuk memimpin. Mereka mengharapkan para pemimpin gereja menyatakan kebenaran tanpa rasa takut dan berpihak kepada kaum tertindas serta terpinggirkan, walaupun untuk itu mereka ha rus menderita. Pada saat yang sama, jemaat ingin agar para rohaniwan nya menjelaskan peristiwa-peristiwa tertentu dari perspektif kristiani. Kaum pria dan wanita Kristen saling berbagi cerita, me rangkai pengalaman, dan mempertanyakan berbagai hal. Para pen deta dan pastor diharapkan untuk menjawab dan menasihati me reka dalam terang Injil. Mereka harus menghubungkan umat dengan iman kepada Allah yang hidup, yang peduli kepada manusia dan pasti ingin menyatakan sesuatu kepada para penindas maupun yang tertindas.

Pada waktu itulah, hierarki gereja di Israel-Palestina terpanggil untuk berbicara kepada semua pihak baik yang di dalam maupun di luar gereja, di dalam negeri maupun di luar negeri. Hanya dengan melakukan hal itu, orang Kristen di Israel-Palestina dapat melihat

176 Semata-mata Keadilan

damai tanpa kepura-puraan. Mereka memulainya dengan gentar, takut, dan gemetar.

Ada sebuah muatan intelektual dalam kedamaian. Ini bukanlah usaha yang sederhana. Ini melibatkan tindakan yang tekun dan disiplin. Ini juga tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan yang objektif tentang masa lalu dan masa kini. Penciptaan kedamaian harus menjadi sebuah proses yang dinamis, sebuah proses yang di dalamnya berbagai konfl ik tidak dihindari, melainkan digunakan untuk mendirikan bangunan masyarakat yang lebih baik bagi semua orang yang terlibat.

Penciptaan kedamaian merupakan sebuah tugas yang mahal dan sulit karena luas dan hebatnya kejahatan dan kerusakan manusia di dunia. Oleh karena itu, penciptaan kedamaian merupa-kan sebuah proses yang kompleks, dan jika kedamaian itu ingin menjadi kedamaian yang sejati dan efektif, maka haruslah bersifat multidimensi sehinga dapat merangkul berbagai persoalan yang saling berkaitan dari sebuah konfl ik. Penciptaan kedamaian dapat menjadi pengalaman salib sehari-hari dengan segala kesakitan dan penderitaan, tetapi juga, syukur kepada Allah, dengan segala janji akan kehidupan barunya.

Orang Kristen terpanggil untuk menjadi agen-agen perdamaian di dunia—tidak bersumber dari kepentingan dan keamanan pribadi ataupun nasional, tetapi karena tanggung jawab yang bertumbuh dari sifat baru mereka dalam Kristus.133 Ini sama dengan menjadi ”anak-anak Allah.”134 Pada saat yang sama, orang Kristen menyadari bahwa kedamaian pada akhirnya memiliki sebuah dimensi eskatologis. Meskipun manusia harus berjuang untuk mendapatkan ”kedamaian di bumi”,135 kedamaian terlalu sulit untuk dicapai secara utuh di dunia. Visi tentang kedamaian dan kerukunan total terletak pada ak hir sejarah.136 Bagaimanapun, para pembawa damai terpanggil untuk membuat pandangan eskatologis tentang damai melalui karya mereka. Mereka berusaha membuat visi itu terjadi saat ini, setidaknya sebagian, sehingga akan mendesak sebuah pengaruh formatif yang kuat pada setiap situasi historis konfl ik yang nyata. Seperti yang dikatakan J. Edward Barrett, ”kesadaran universal akan kedamaian sekarang ini bukanlah sebuah kemungkinan yang tiba-tiba. Namun, peningkatan kedamaian yang relatif dan yang mendekati kedamaian itu adalah kemungkinan yang realistis di setiap saat.”137

Jeritan Orang Palestina... 175

Segala sesuatu tidak banyak berbeda ketika kita melihat Perjanjian Baru. Sulit untuk menemukan satu referensi Perjanjian Baru yang di dalamnya kedamaian pertama-tama merupakan suatu realitas batin.130

Di atas semuanya, damai berarti rekonsiliasi. Damai yang dibawa Yesus menghancurkan berbagai rintangan permusuhan dan pengasingan antara manusia dan Allah serta antara manusia dan sesamanya.131 Selanjutnya, penulis surat Efesus mengingatkan para pembacanya bahwa Yesus Kristus sendirilah yang menjadi syarat dan yang memungkinkan adanya interaksi positif di antara manusia.

Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah memper-satukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu. Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang ”jauh” dan damai sejahtera kepada mereka yang ”dekat”, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa.132

SALIB DAMAISalib mengungkapkan betapa mahalnya kedamaian. Orang Kristen mengerti benar hal ini ketika mereka mengalami rekonsiliasi dengan Allah melalui Kristus, yang adalah ”damai kita”. Pengalaman rekon-siliasi itulah yang menciptakan komitmen dalam diri orang percaya, tidak hanya untuk hidup damai dengan sesama, tetapi juga menjadi seorang pembawa damai, seperti Yesus, dan untuk mengambil se-mua risiko untuk menciptakan damai sejahtera. Itulah mengapa Yesus menyebut bahwa membawa damai sebagai pekerjaan anak Allah. Karena Allah adalah pemberi damai yang tertinggi, maka anak-anak Allah menyatakan dirinya sebagai anak-anak laki-laki dan perempuan Allah yang sejati ketika mereka aktif menjadi pembawa damai. Pada saat yang sama, orang Kristen dilibatkan dalam karya

72 Semata-mata Keadilan

bahwa gereja akhirnya memenuhi panggilan Allah untuk menjadi relevan bagi dunia dan bersikap profetis.

Beberapa pembaca mungkin ingin tahu: Mengapa gereja-gereja pribumi tidak bersuara sebelumnya? Mengapa gereja tidak meng-ambil peran yang lebih aktif untuk memperjuangkan keadilan? Mengapa gereja tidak muncul lebih kuat dan gigih dalam konfl ik Arab-Israel? Seperti sudah saya jelaskan, jawabannya sebagian besar tergantung pada situasi politik yang ruwet dan pelik. Gereja tidak langsung di se rang sebagai gereja; jika hal itu terjadi, gereja pasti akan menjadi lebih kuat. Gereja diserang sebagai bagian dari sebuah entitas na sional orang Palestina. Gereja sendiri tercerai-berai karena perang, sehingga banyak anggota gereja yang lari atau dipindahkan. Banyak gereja yang kehilangan sebagian besar anggotanya; bahkan ada yang hampir ditutup.18 Anggota gereja di-le mahkan semangatnya. Konfl ik tersebut sesungguhnya adalah kon fl ik politik—terjadi karena perebutan ke kuasaan sebuah nega-ra, perampasan tanah, para pengungsi, penyangkalan hak-hak politik dan hak asasi seluruh penduduk nya. Gereja menderita karena anggotanya menderita, bukan karena imannya, melainkan karena mereka adalah orang-orang Palestina. Kemudian, karena kurang berhati-hati, gereja terjebak di tengah berbagai pertikaian kekuatan politik dan gereja sendiri menjadi kor ban. Negara Israel malah berusaha supaya gereja tetap berada di luar garis politik, sehingga negara dapat memanfaatkan sikap diam gereja tersebut sebagai indikasi dari persetujuan gereja terhadap status quo. Gereja pada saat yang sama juga berusaha untuk meng himpun kembali kekuatannya dan melanjutkan pelayanan kepada jemaatnya yang sangat membutuhkan bantuan.

KAUM ZIONIS KRISTENKeadaan berbahaya yang dihadapi oleh gereja di Israel-Palestina semakin dipersulit dengan pembiaran yang jelas, ketidakseimbangan, ketidakpekaan, dan keberpihakan banyak orang Kristen Barat ter-hadap konfl ik Palestina. Pada awal 1960, Howard A. Johnson, staf rohaniwan dari Katedral St. John the Divine di New York, melakukan kunjungan singkat ke gereja-gereja Anglikan di seluruh dunia dan kemudian menulis buku Global Odyssey. Kunjungannya ke diosis Yordania, Lebanon, dan Suriah dilakukan hanya dalam beberapa

Menjadi Orang Palestina dan Orang Kristen di Israel 73

hari, namun ia menulis tentang gereja tersebut seolah-olah ia mampu memahami berbagai keruwetan dalam kehidupan dan persoalan yang dihadapi gereja tersebut. Ia tidak menggunakan kata-kata yang nyaman atau menguatkan gereja tersebut; sebaliknya, analisisnya justru kasar dan banyak yang keliru. Tulisannya itu tentu saja ti-dak mencerminkan keprihatinan sebagai sesama saudara di dalam Kristus yang berada dalam persekutuan gereja Anglikan. Kritiknya terhadap Gereja Episkopal pribumi menyingkapkan simpati yang lebih besar kepada Israel, yang telah dikunjunginya pada tahun 1957 ”sebagai seorang tamu pemerintah, pada saat itu kepada saya telah ditunjukkan semuanya, mulai dari Dan sampai ke Beersheba”.19 Sa-lah satu contoh kiranya cukup untuk menunjukkan bagaimana ia mencampuradukkan teologi dan politik secara tidak bertanggung jawab. Johnson menyerang edisi revisi bahasa Arab dari Book of Common Prayer untuk menyingkapkan skandal kelompok Episkopal Arab. Ia pasti berpikir bahwa ia sedang menyatakan kepada seluruh dunia sebuah cara licik yang mereka gunakan dengan mengurangi jumlah Mazmur dalam buku doa tersebut dari 150 menjadi 100 pasal:

Saya tidak ada perselisihan dengan hal itu per se. Dalam ibadah umum, 50 pasal dapat dikeluarkan. Na mun, saya tiba-tiba merasa khawatir. Apa prinsip yang dipakai dalam penyeleksian itu? Apa kriterianya sehingga ada yang dibuang dan ada yang tetap digunakan? Dengan segera saya menemukan jawabannya. Yang terhapus ada-lah setiap Mazmur yang menyebutkan Israel!20

Dalam penelitian yang lebih cermat, di antara 100 Mazmur yang tetap dipakai dalam Buku Mazmur itu, ada 15 Mazmur yang menye-butkan Israel.21 Hal yang lebih penting lagi adalah 30 Mazmur dari 50 Mazmur yang dihapus ternyata tidak menyebut Israel sama sekali.22 Mengingat kehidupan orang Kristen Palestina yang begitu terancam di Timur Tengah, pernyataan-pernyataan keliru seperti ini hanya makin mempersulit tugas-tugas gereja.

Contoh lain tentang keberpihakan dan kenaifan dalam mem-bahas kondisi politik dapat ditemukan dalam tulisan Paul van Bu-ren, Discerning the Way, bagian pendahuluan dari karya empat jilid ”Theology of the Jewish-Christian Reality”. Dalam Discerning the Way, van Buren menggunakan istilah ”Israel” secara sangat longgar, sehingga ia tidak membuat pembedaan antara Israel alkitabiah de-

174 Semata-mata Keadilan

Mereka tidak mengenal jalan damai,dan dalam jejak mereka tidak ada keadilan;

mereka mengambil jalan-jalan yang bengkok,dan setiap orang yang berjalan di situ tidaklah mengenal damai.119

Damai adalah sebuah benih yang dapat ditabur seseorang: ”Aku akan menabur damai sejahtera.”120 Damai dapat dicari dan diusahakan: ”Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan ber usahalah mendapatkannya!”121 Itu setara dalam kemungkinan dan kemampuan manusia untuk menciptakan kedamaian. Pada se-mua pendamai, kehormatan tertinggi akan dianugerahkan: ”Berba-hagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.”122

Talmud juga menekankan kedamaian. John Ferguson bahkan menyatakan bahwa ”carilah damai dan berusahalah untuk mendapat-kannya” telah menjadi ajaran pokok dari Yudaisme yang berkembang kemudian.123 Penjelasan rabinik melihat damai sebagai bagian dari tujuan mula-mula Allah bagi kemanusiaan. Itulah mengapa Allah pada awalnya menciptakan satu individu saja. Semua manusia pada akhirnya menjadi satu.124

Salah satu di antara penegasan Talmud yang paling menghe-rankan membuat kedamaian harus diutamakan melebihi perintah terbesar, yaitu, percaya pada keesaan dan keunikan Allah: ”Agung-lah damai, karena jika orang Yahudi menyembah ber hala, dan damai sejahtera berlaku di antara mereka pada saat yang bersamaan, Allah akan berkata, ’Aku tidak dapat menghukum me reka, karena damai sejahtera ada di antara mereka’.”125 Dalam Talmud para tentara terlatih dari Abraham menjadi orang-orang terpelajar.126 Pedang dan panah Daud digunakan sebagai metafora untuk doa dan permohonan.127 Daud lebih dikenang sebagai seorang penyair, musisi, dan orang terpelajar daripada sebagai seorang tentara dan penguasa.128

Hampir semua referensi yang digambarkan oleh Kitab Suci Ibrani menyatakan shalom sebagai sebuah konsep sosial. Gerhard von Rad bahkan mengamati, ”kita bertemu dengan kenyataan bahwa tidak ada teks khusus yang secara khusus menunjukkan sikap spiritual kedamaian batin.... Kita dipaksa untuk mengatakan bahwa dalam penggunaannya yang umum, kata shalom dengan tegas merupakan sebuah konsep sosial.”129

Jeritan Orang Palestina... 173

melindungi dunia dari peperangan. Tugas besar ini ada di depan semua orang yang berkehendak baik. Itu merupakan

sebuah tugas yang paling agung, karena merupakan tu-gas untuk mewujudkan kedamaian dalam susunan yang didirikan oleh Allah—susunan yang ditemukan dalam kebenaran, dibangun berdasarkan keadilan, dihidup-kan dan diintegrasikan oleh kemurahan hati, dan diwu-judnyatakan dalam kebebasan.114

Kedamaian berhubungan dengan kebenaran. Dalam kitab Zakharia, nasihat Allah bagi manusia adalah ”cintailah kebenaran dan da-mai”.115 Salah satu faktor utama yang turut melanggengkan konfl ik di Israel-Palestina adalah penggunaan kebohongan dan dusta. Selalu telah dikatakan bahwa ”dalam masa peperangan, yang pertama menjadi korban adalah kebenaran”.116 Pengalaman orang Palestina dan Israel adalah bahwa kebenaran telah menderita, bukan hanya selama peperangan, tetapi bahkan lebih ketika pemerintah dan pimpinan politik sedang merencanakan peperangan. Kebenaran jarang dikatakan. Kebohongan dan fi tnah bertumbuh dengan subur. Kebohongan dan fi tnah melahirkan peperangan, bukan kedamaian. Sebagaimana yang dinyatakan Thomas Merton,

Kedamaian menuntut pekerja yang paling gagah dan pengorbanan yang paling sulit. Kedamaian menuntut he-roisme yang lebih besar daripada peperangan. Kedamaian menuntut kesetiaan yang lebih besar pada kebenaran dan ketulusan hati nurani yang jauh lebih sempurna.117

Perdamaian menjadi prasyarat keamanan dan keselamatan. Seperti yang dikatakan Raja Hizkia bagi dirinya sendiri, ”Asal ada damai dan keamanan seumur hidupku!”118 Ini merupakan pengingat yang kuat bahwa akhirnya bukanlah penimbunan kecanggihan peralatan perang, dan bukan pula sebuah perluasan wilayah yang menjadi jaminan atau sebuah semangat pengganti bagi kedamaian. Semuanya hanya dibuat-buat. Batas-batas yang terbaik adalah batasan-batasan perdamaian, dan keamanan yang terbaik terletak pada sebuah relasi damai yang sejati antarsesama manusia.

Benih-benih damai dapat dibedakan dari bentuknya yang biasa, penggambaran seorang petani dalam Alkitab. Pembedaan tersebut merupakan jalan yang dapat ditempuh oleh manusia:

74 Semata-mata Keadilan

ngan negara Israel modern. Di salah satu bagian dalam tulisan nya, ia menunjuk Allah berada di pihak orang Yahudi ketika berperang melawan orang Arab pada tahun 1948 seperti pada zaman Yosua. Bagi van Buren, Israel modern merupakan kelanjutan langsung dari Israel alkitabiah—ia tidak mempersoalkan perbedaan-perbedaan tersebut. Lebih dari itu, ia menulis tanpa membayangkan kompleksitas dile-ma politik dan kemungkinan terjadinya ketidakadilan. Akibat nya, ia tidak hanya memisahkan Israel dari berbagai ketidakadilan ter-selubung, tetapi juga memberikan persetujuan dan berkat dari Allah kepada Israel. Rasanya bisa dimaklumi jika pandangan-pandangan semacam itu dimunculkan dari seorang sastrawan gila, tetapi sungguh aneh bahwa itu dinyatakan oleh seseorang seperti van Buren. Ia bahkan mengakui bahwa orang-orang Yahudi yang bertindak dalam pembentukan negara Israel itulah yang menyelesaikan tindakan Allah.

Jika Holocaust merupakan sebuah pernyataan negatif ten tang tuntutan Allah akan tanggung jawab manusia, maka pendirian negara Israel menyatakan hal yang sama dalam bentuk yang positif. Israel didirikan bukan dengan intervensi ilahi dari surga atau dengan pengutusan me-sias, melainkan dengan senjata dan perjuangan orang Yahudi melawan kenyataan yang tampaknya mustahil. Para pelopor, para pelarian dari Holocaust atau para pen-du kung proyek negara Israel di diaspora, menantikan apa yang disebut tindakan Allah dan bukannya berani un-tuk menjadi bagian dari tindakan Allah itu, mereka le-bih suka terus menunggu. Peristiwa yang mulai meng-orientasikan kembali gereja, peristiwa pembentukan Israel dan kembalinya orang Yahudi ke tanah ini, merupakan sa lah satu anggapan tentang tanggung jawab manusia terhadap sejarah, ya, bagi sejarah Allah dengan umat-Nya dan sejarah umat dengan-Nya.

Walaupun ia menyatakan bahwa bagi sebagian besar orang Yahudi Ortodoks, pembentukan negara Israel tampak sebagai sebuah per-mulaan tradisi mereka, van Buren mengatakan bahwa

Hampir semua orang Yahudi telah menerima kebenaran dari perjuangan Yahudi untuk membawa sejarah Allah bersama umat-Nya selangkah lebih dekat dengan realisasi janji-janji Allah. Janji-janji Allah, dapat kita katakan, se-

Menjadi Orang Palestina dan Orang Kristen di Israel 75

cara bertahap semakin terlihat sebagai janji-janji yang harus terjadi, tetapi bukan janji-janji tentang apa yang Allah sendiri akan lakukan untuk menggenapi apa yang telah Dia janjikan.23

Kenaifan semacam itu menyingkapkan suatu kesalahpahaman yang nyata tentang Allah dan sejarah. Apakah Allah bertindak da-lam suatu ruang hampa bersama Israel, seolah-olah tidak ada bangsa-bangsa yang hidup di sekitarnya? Apakah Allah bertindak tanpa memedulikan moralitas sama sekali? Allah mana yang ditu-lis oleh van Buren? Berkali-kali muncul dalam tulisannya bahwa ia telah kembali pada ide tentang Allah suku! Apakah Allah tidak peduli dengan ketidakadilan, orang yang tertindas, dan kaum yang rentan dalam masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan demikian punya relevansi bagi van Buren jika dihubungkan dengan eksistensi orang Yahudi yang telah ditimpa penderitaan besar, namun tidak relevan jika dihubungkan dengan orang-orang yang telah menderita dalam genggaman masyarakat Yahudi. Pendirian ini bertentangan dengan komentar van Buren tentang ketidakadilan Israel (mungkin sebelum Pembuangan): ”ketidakadilan di Israel telah mencemarkan tanah itu, yang kemudian akan ’terus dimuntahkan.’”24 Ironis bahwa van Buren lebih cepat menyadari ketidakadilan Israel kuno 2.500 tahun yang lalu daripada merasakan ketidakadilan negara Israel pada masa hi-dupnya sendiri. Sebuah teologi yang tidak ber gulat dengan berbagai realitas masa kini dalam berbagai dimensi dan kompleksitasnya je-las dapat dikecam sebagai teologi yang terlalu simplistis dan tidak bertanggung jawab.25

Sebagai seorang Kristen sekaligus orang Palestina, sulit bagi saya untuk membaca jilid kedua dari teologi van Buren.26 Kita dapat merasakan bahwa inilah seorang Kristen yang telah dan sedang terjebak oleh ide-idenya sendiri. Ia tampaknya memiliki sebuah ob-sesi terhadap Israel sebagai dosa dan substansi masyarakat Yahudi. Baginya, bersikap kritis terhadap Zionisme berarti anti-Yahudi. ”Me-lawan Zion berarti melawan Israel. Demikianlah yang terjadi da lam zaman Alkitab dan juga yang terjadi sekarang.”27

SEBUAH PERTANDA KEBENCIANKelompok besar lainnya yang telah menjadi pendukung kuat ne-gara Israel adalah kaum fundamentalis Kristen, di mana salah satu

172 Semata-mata Keadilan

Sebagai contoh, Yesaya melihat kedamaian sebagai buah ke-adilan.

Di padang gurun selalu akan berlaku keadilandan di kebun buah-buahan akan tetap ada kebenaran.

Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera,

dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya.110

Hubungan antara keadilan dan kedamaian merupakan pokok da lam Perjanjian Lama. Para nabi terus-menerus mengutuk setiap keda-maian palsu yang didasarkan pada penindasan. ”’Tidak ada damai sejahtera bagi orang-orang fasik!’ fi rman TUHAN.”111 Pertama-tama keadilan, kemudian kedamaian: ini urutannya. Dom Helder Camara, mantan uskup agung Olinda dan Recife Gereja Katolik Roma di Brazil, pernah berkata,

Tidak diragukan lagi bahwa Kristus datang untuk memba-wa damai bagi manusia. Namun, bukanlah kedamaian rawa yang menggenang, bukanlah kedamaian yang di da sar kan pada ketidakadilan, bukanlah kedamaian yang menjadi la-wan pembangunan. Dalam kasus-kasus tertentu, Kristus sendiri menyatakan bahwa Ia telah datang untuk membawa perselisihan dan pedang.112

Robert McAfee Brown telah menulis dengan nada yang sama: ”Kita perlu menakar dunia dan menakar betapa pentingnya mencip-takan perdamaian, dengan tetap melihat pada keadilan. Apa pun yang tidak adil akan mengancam kedamaian. Apa pun yang mem-bantu perkembangan keadilan adalah tindakan menciptakan keda-maian.”113 Pokok ini tidak dapat terlalu ditekankan dalam konfl ik Israel-Palestina. Jika pemerintah Israel dan para pendukungnya tidak menyadari bahwa keadilan harus ada sebelum kedamaian, maka harapan-harapan kedamaian selalu akan tetap suram. Kita ingat perkataan Paus Yohanes XXIII: ”Jika kamu menginginkan kedamaian, bekerjalah untuk keadilan.” Dalam ensiklik Pacem in Terris, Paus Yohanes menguraikan susunan lengkap tentang apa yang ia pandang sebagai prakondisi kedamaian. Uraian ini termasuk penyediaan dan perlindungan hak-hak asasi manusia; tata hukum di dalam dan antarbangsa; dan tata hukum internasional yang akan

Jeritan Orang Palestina... 171

tetapi mereka sama sekali tidak merasa maludan tidak kenal noda mereka.107

Para nabi menyampaikan dengan jelas tentang apa yang membuat kedamaian. Perkataan mereka sangat berhubungan dengan kehi dup-an sosial, ekonomi, dan politik masyarakat, serta khususnya pa ra pe-nguasa:

usahakanlah keadilan,kendalikanlah orang kejam;

belalah hak anak-anak yatim,perjuangkanlah perkara janda-janda!108

Yeremia menegur Raja Yoyakim dan membandingkannya dengan ayahnya:

Sangkamu rajakah engkau, jika engkau bertanding dalam hal pemakaian kayu aras? Tidakkah ayahmu makan mi-num juga dan beroleh kenikmatan? Tetapi ia melakukan keadilan dan kebenaran, serta mengadili perkara orang sengsara dan orang miskin dengan adil. Bukankah itu namanya mengenal Aku? demikianlah fi rman TUHAN.109

Dengan mengkhotbahkan keadilan sosial, para nabi menekankan bahwa kedamaian merujuk pada kepenuhan hidup, bahwa ke da-maian merupakan sebuah konsep menyeluruh yang harus di lakukan dalam kehidupan dengan segala keutuhannya. Hidup da lam damai Allah mewajibkan kita untuk hidup secara adil dan benar karena Allah sendiri adalah adil dan benar.

Kata damai dalam bahasa Arab (salam) dan bahasa Ibrani (shalom) memiliki akar etimologi yang sama dan memiliki keluasan makna yang sama: keutuhan, kesehatan, keselamatan, dan keaman-an. Hal itu merujuk pada sebuah pengalaman damai dan dinyatakan dalam situasi historis kehidupan setiap hari. Kedamaian dipahami dalam relasi. Kedamaian dapat dihasilkan oleh sesuatu, atau dapat menjadi sebuah dasar atau penyebab sesuatu yang lain. Damai juga merupakan sebuah prasyarat atau sebuah hasil. Banyak pasal Alkitab menyatakan kegunaan damai dan hubungannya terhadap konfl ik Israel-Palestina—kedamaian berhubungan dengan keadilan, kedamaian berhubungan dengan kebenaran, dan kedamaian ber-hubungan dengan keamanan.

76 Semata-mata Keadilan

pemimpinnya adalah Jerry Falwell, pendiri Moral Majority. Kaum fundamentalis ini percaya pada ineransi (ketidakbersalahan) Alkitab, dan dengan demikian memahaminya dengan sangat harfi ah. Mereka menyatakan bahwa ”kekuatan Zionisme Kristen didasarkan pada peng akuan iman kepada Allah dan Firman-Nya”, bahwa ”Zionisme Kristen hanyalah salah satu aspek mengikuti Yesus”, dan bahwa ”kekristenan berdasarkan sifat alkitabiahnya adalah ’Zionis’”.28 Jenis Zionisme Kristen ini mulai muncul sejak awal 1980-an dalam International Christian Embassy di Yerusalem, yang didedikasikan untuk mendukung negara Israel. Dukungan yang total dan tegas telah membutakan kaum ini terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi masyarakat Palestina yang mencolok, dalam berbagai tindakan yang tidak bermoral dan tidak adil oleh negara kepada masyarakat Palestina. Ketika seorang pengunjung bertanya kepada salah seorang pimpinan ”embassy” untuk berkomentar ten tang pembunuhan banyak orang Palestina tidak berdosa oleh tentara Israel di Tepi Barat dan Gaza selama beberapa bulan per-tama intifada tahun 1988, mereka memberikan tanggapan dingin dan tanpa basa-basinya dengan menyatakan bahwa mereka akan berkomentar kalau 6.000.000 orang Palestina telah terbunuh. Orang cenderung mengabaikan komentar itu dan menganggapnya ”keseleo lidah”; atau, mereka akan dipandang sebagai orang gila dan tidak bertanggung jawab, yang tidak mengalami pengetahuan atau kasih Allah—suatu pertanda kebencian.

Kaum fundamentalis melihat pembentukan negara Israel se-bagai penggenapan harapan eskatologis masa depan. Ini cocok de-ngan konsep akhir zaman dan kedatangan Kristus kembali yang mereka anut. Nubuatan tidak terlalu penting dalam kepercayaan dan pemikiran mereka, dan memberikan kesan bahwa Allah bahkan terjebak dalam ucapan profetis Alkitab, terikat, tidak mampu meng-ubah atau menjauh dari apa yang telah disabdakan. Berbagai pe-ristiwa harus terjadi tepat seperti yang tertulis—dan seperti yang ditafsirkan oleh kaum fundamentalis. Akibatnya, berbagai rencana rumit dan fantastis diprediksikan untuk akhir sebuah sejarah.29

Bagi kaum fundamentalis, Allah berkarya untuk mendatangkan keadilan bagi orang Yahudi. Tidak ada keadilan bagi orang Pales-tina di sini; mereka harus tunduk menerima rencana Allah atas sejarah. Ketidakadilan mencolok yang dirasakan oleh orang Pa-les tina diabaikan, serta dibenarkan sebagai suatu hikmat ter-sembunyi dan misteri kehendak Allah. Beberapa pihak di dalam

Menjadi Orang Palestina dan Orang Kristen di Israel 77

negara Israel menganggap kaum fundamentalis sebagai sahabat yang sangat berguna secara politis, fi nansial, dan psikologis. Akan tetapi, pihak-pihak yang mengetahui sesuatu tentang kepercayaan kaum fundamentalis ini sering membenci dan menolak mereka. Sebagian pemahaman alkitabiah mereka tentang peristiwa-peristiwa akhir zaman adalah penghancuran dua per tiga orang Yahudi dan pengkristenan sisa-sisa orang Yahudi.

Israel dengan cepat memanfaatkan dukungan van Buren, para kolega yang sepaham, dan kaum fundamentalis demi keuntung-annya sendiri. Banyak umat Islam yang tidak membedakan antara satu jenis kekristenan dengan jenis lainnya dan sebagian lagi mencampuradukkan zionisme Kristen dengan doktrin Gereja arus utama, yang lantas semakin mempersulit keadaan rapuh yang dihadapi oleh umat Kristen Palestina.

SEBUAH KESALAHAN BARUSyukurlah, kenaifan teologis kaum fundamentalis diimbangi oleh se-jumlah kecil orang dan kelompok yang berani bersuara atas nama keadilan dan kebenaran. Dalam sebuah pidato pada Konsultasi Ge reja dan Umat Yahudi yang diselenggarakan oleh Dewan Gereja se-Dunia pada bulan Juni 1981 di London, Krister Stendahl, ketua konsultasi itu dan mantan dekan Harvard Divinity School, meninjau karya Kristen-Yahudi abad ini dan reaksi bersalah yang mendalam dari orang Kristen terhadap orang Yahudi setelah tahun 1940:

Sebagai seorang peng amat sejarah, saya semakin merasa bahwa apa pun yang dilakukan oleh manusia tanpa rasa ber s alah tidak akan abadi serta akan menghantui mereka dan orang lain di kemudian hari. Kita tidak sungguh-sungguh bertanya, entah secara teologis maupun dalam bentuk-bentuk lainnya, pertanyaan yang seharusnya ki-ta ungkapkan, pertanyaan yang lebih tepat: Apa yang be nar? ... Kesalahan kita sangat besar. Namun jika kita tidak beralih dari pertanyaan tersebut menuju pertanyaan tentang apa yang benar, tindakan itu tidak akan bertahan lama, dan reaksi yang tidak menyenangkan akan terjadi dengan sangat keras. Ada begitu banyak reaksi tidak menyenangkan di berbagai gereja saat ini, sebagian dalam bentuk kesalahan baru—kesalahan karena tidak merasa

170 Semata-mata Keadilan

lebih baik perdamaian yang singkat daripada perdamaian yang panjang! Biarlah perdamaianmu menjadi kemenangan!”104 Setiap peperangan di Timur Tengah telah meningkatkan ketidakadilan lama dan menciptakan berbagai ketidakadilan yang baru. Setiap konfl ik militer telah mempertontonkan hubungan yang saling me-mengaruhi dan kecurangan kekuasaan, membesar-besarkan hukum internasional, dan mengorbankan ribuan manusia. Orang Yahudi dan orang Palestina sama-sama merindukan kedamaian sejati dan abadi. Orang Palestina mencari kedamaian dengan keadilan, se-dang kan orang Yahudi Israel menginginkan kedamaian dengan ke aman an. Keduanya sama-sama mencari kedamaian, walaupun tam paknya jauh sekali. Oleh karena tuntutan dari keadilan yang ”kaku” pada satu sisi dan tuntutan keamanan pada sisi yang lain, kedamaian telah menjadi korban. Terdengar teriakan yang terus-menerus menuntut perdamaian, namun perdamaian tidak pernah ada. Bagaimana mungkin ada perdamaian jika tidak ada pengakuan akan ketidakadilan yang telah terjadi? Bagaimana mungkin akan ada keamanan jika keadilan tidak pernah diberlakukan? Situasi tersebut mirip dengan apa yang terjadi pada masa Yeremia, ketika ada perdebatan besar tentang perdamaian. Yeremia telah meng ingat-kan manusia terhadap penghancuran yang akan datang. Alasannya sangat sederhana: yang ada hanyalah kejahatan, kekerasan, ketidak-adilan, dan penindasan di Yudea.105 Lebih dari itu, para nabi telah dihina lagi dengan menghibur manusia dan menyatakan keadaan tiadak adanya damai sebagai kedamaian:

Mereka mengobati luka umat-Ku dengan memandangnya ringan,

katanya: Damai sejahtera! Damai sejahtera!,tetapi tidak ada damai sejahtera.106

Kebejatan moral masyarakat yang lebih luas terbukti dalam peng-abadian ketidakadilan dan penindasan yang telah membuat mereka semakin keras dan tidak berperasaan. Tidak hanya karena mereka telah hidup dalam khayalan akan kedamaian, tetapi bahwa mereka telah menjadi tidak peka terhadap ketidakadilan yang mereka la-kukan:

Seharusnya mereka merasa malu, sebab mereka melakukan kejijikan;

Jeritan Orang Palestina... 169

orang Etiopia bagi-Ku, hai orang Israel?’ demikianlah fi rman TUHAN. ’Bukankah Aku telah menuntun orang Israel keluar dari tanah Mesir, orang Filistin dari Kaftor, dan orang Aram dari Kir?’”100 Robert Coote telah memperlihatkan dengan meyakinkan bahwa ”orang Etiopia” dalam pasal ini bukanlah orang Etiopia, seperti yang diyakini secara umum,101 melainkan orang Asyur, dan orang Babel102—musuh bebuyutan Israel dan Yehuda. Jadi, belas kasih Allah diperluas bagi seluruh manusia.

Dengan demikian, hidup dengan adil berarti hidup dengan benar. Hidup dengan benar berarti hidup dengan belas kasih di te ngah kompleksitas kehidupan sosial dan politik, mencari kehendak dan tujuan cinta Allah bagi sesama seperti untuk diri sendiri. Kehidupan yang demikian akan membawa kepada sebuah pemahaman yang benar tentang kemanusiaan semua orang serta dari keadilan dan belas kasih Allah yang diperluas bagi semua:

Belas kasih merupakan cara untuk masuk dalam kehi-dupan orang lain untuk memahami klaim-klaim mereka dan membentuk institusi-institusi sosial dan politik ki-ta dalam menanggapi mereka. Rasa solidaritas ini di-landas kan dalam penilaian akan kehidupan. [Keadilan ditekankan karena kehidupan,] setiap kehidupan itu ber-harga. Kita tidak berjuang demi keadilan untuk sebuah masyarakat yang lebih adil, melainkan sebagai sebuah cara memberi nilai terhadap apa yang telah kita terima. Dalam analisis yang terakhir, keadilan adalah sebuah tindakan menghargai.103

PENCARIAN KEDAMAIAN YANG PANTANG MUNDUR

Timur Tengah telah mengenal sedikit kedamaian melalui sejarahnya. Abad ke-20 tidak terkecuali. Manusia sungguh-sungguh tahu bagai-ma na memikirkan perdamaian tanpa memikirkan peperangan. Ke da maian akhirnya hanya berarti ketiadaan peperangan dan, se cara ironis, menjadi waktu di mana para pemerintah mem per-siap kan peperangan yang berikutnya. Seperti yang dikatakan oleh Nietzsche (dalam konteks yang lain), ”Kamu harus mencintai per-damaian sebagai alat menuju berbagai peperangan baru—dan

78 Semata-mata Keadilan

cukup bersalah dalam hubungannya dengan rakyat Pa-les tina. Ada lingkaran setan tentang kesalahan yang darinya tidak muncul satu pun hasil yang baik—bukan pengampunan, bukan pembaruan, bukan pencarian ke-benaran.30

Di sinilah seorang sarjana Kristen, yang telah terlibat aktif dalam dialog Yahudi-Kristen selama bertahun-tahun, menunjukkan kebe-rani an dan integritasnya sebagai seorang Kristen yang bertanggung jawab untuk menyingkapkan masalah tersebut dalam keutuhan dan keruwetannya.

Perkataan serius lainnya datang dari Kenneth Cragg, seorang cendekiawan Anglikan yang telah mengamati konsep ”keterpilihan” (orang Yahudi sebagai umat pilihan Allah) dan bagaimana konsep tersebut telah benar-benar disalahgunakan oleh banyak orang Kris-ten yang pro-Israel:

Dalam kesadaran sebagai ”anak-anak Abraham”, orang Kristen mengemban tugas-tugas penting di dalam dan bersama negara Israel, dan bahwa kewajiban moral negara terhadap penderitaan dan kerugian orang Arab akibat pem bentukan negara tersebut. Kita tidak boleh disesat-kan oleh pertimbangan keterlibatan Yahudi dalam Alkitab dari kepastian dan pernyataan yang kuat bahwa di dalam Kristus ”tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani”. Karena hanya dalam kekuatan dari ketidaksinambungan tentang perbedaan yang paling akhir itulah, kita dapat berbalik secara tepat kepada validitasnya yang nisbi. ”Laki-laki dan perempuan... Yahudi dan Yunani”, perbedaan itu pasti ada. Namun, kita hanya dapat memahaminya secara tepat ketika kita mengabaikan persoalan perbedaan tersebut. Dan hal ini terjadi dalam dua cara, yaitu menuntut belas kasih kita yang terdalam; tetapi juga menegaskan bah-wa tidak ada ”keterpilihan” yang mengabaikan realitas-realitas moral.31

Kata-kata semacam itu sungguh menyegarkan, karena tidak di-ucapkan dalam semangat prasangka atau keberpihakan sempit, te tapi mengekspresikan suatu refl eksi yang matang dan seimbang terhadap berbagai persoalan terkait—refl eksi yang mengalirkan pi-

Menjadi Orang Palestina dan Orang Kristen di Israel 79

kiran Kristus pada situasi yang menyakitkan dan ruwet dalam kon-fl ik Palestina.

MELAMPAUI TEOLOGI ZIONIS: MENUJU TEOLOGI PEMBEBASAN YAHUDI

Berbagai refl eksi serupa juga muncul dari teolog terkemuka lainnya, Rosemary Radford Ruether, yang pernah menunjukkan keberanian menyingkapkan akar-akar kekristenan dari anti-Semitisme.32 Karya-nya disebut sebagai suatu ”peretas jalan teologis, yang mempersiapkan sebuah agenda menyeluruh bagi teologi Kristen selama beberapa dekade mendatang”.33 Faith and Fratricide juga diakui di kalangan Yahudi. Ruether telah menunjukkan keberanian yang sama, dengan menyebutkan berbagai ketidakadilan negara Israel terhadap orang Palestina. Salah satu dari sekian banyak artikelnya yang berkaitan dengan persoalan ini menunjuk pada pengambilalihan tanah orang Arab oleh Israel untuk membangun permukiman orang Yahudi di Tepi Barat:

Cerita-cerita para petani Palestina ini dapat diperbanyak ratusan kali. Lembaga Informasi Arab di Yerusalem Ti-mur memperkirakan bahwa lebih dari 500 desa orang Arab telah dihan curkan dan tanah mereka telah diram-pas sejak 1948.... Bagi banyak orang Amerika, masalah ”per damaian di Timur Tengah” terutama dili hat sebagai se bu ah masalah ”kaum teroris” dan masalah penolakan orang Arab untuk hidup damai dengan Israel. Cerita tersembunyi mengenai para petani Palestina menyajikan suatu perspektif yang berbeda, tentang Israel yang tidak ingin hidup di atas tanah yang sama dengan tetangga Arabnya, dan yang terus-menerus mencabut penduduk desa dari rumah dan tanah mereka.34

Dalam artikel lainnya, Ruether menyingkapkan mitos-mitos historis tentang hal-hal yang sering dirasakan Israel sebagai kaum yang kecil dan selalu dimusuhi. Ia meluruskan bahwa Israel telah memperluas wilayahnya secara sistematis dan selalu menjadi lebih kuat daripada sesamanya yang Arab—Israel yang sama, yang terus menolak hak-hak politik orang Palestina. Ia memberikan perhatian pada penggunaan

168 Semata-mata Keadilan

Janganlah beperkara [misphat] dengan hamba-Mu ini....93

di hadapan TUHAN, sebab Ia datang untuk menghakimi bumi. Ia akan menghakimi dunia dengan keadilan, dan bangsa-bangsa dengan kebenaran.94

Oleh karena itu, berbicara tentang kebenaran Allah berarti berbicara tentang belas kasih Allah. Perhatian Allah pada keadilan bahkan bertumbuh dari belas kasih. Ketidakadilan dikutuk secara al kitabiah, bukan karena hukum telah menjadi rusak, melainkan karena Allah yang berbelas kasih dicemooh dan manusia disakiti:

Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia.95

Seseorang janda atau anak yatim janganlah kamu tin-das. Jika engkau memang menindas mereka ini, tentulah Aku akan mendengarkan seruan mereka, jika mereka berseru-seru kepada-Ku dengan nyaring.... Maka apabila ia berseru-seru kepada-Ku, Aku akan mendengarkannya, sebab Aku ini pengasih.”96

Aspek belas kasih Allah ini diilustrasikan dengan sangat baik dalam kisah Kain dan Habel.97 Kain dikutuk setelah membunuh saudara laki-lakinya Habel, bukan karena ia melanggar hukum, melainkan karena darah saudaranya berteriak dari tanah. Seorang manusia telah disakiti dan Allah telah menjadi pembelanya.98 Berdasarkan tuntutan-tuntutan keadilan yang keras, Kain seharusnya sudah di-bunuh. Namun, ia dipertahankan oleh belas kasih Allah dan bahkan dilindungi.99

Ketika Allah memerintahkan manusia untuk hidup dengan be-nar, itu berarti bahwa mereka harus hidup sesuai standar-standar keadilan dan belas kasih Allah. Tragedi yang membahayakan dalam hidup manusia adalah bahwa keadilan paling sering dipahami se-bagai sesuatu yang terpisah dari yang lainnya, sementara belas kasih selalu dipahami sebagai sesuatu yang kita minta untuk diri kita sendiri. Yunus mengharapkan belas kasih untuk dirinya dan penghancuran terhadap orang Niniwe. Ia lebih memilih mati daripada mengakui bahwa kehendak dan tujuan cinta Allah mencakup belas kasih bagi orang lain. Tujuan cinta untuk orang lain ini dinyatakan secara jelas dalam perkataan Amos: ”’Bukankah kamu sama seperti

Jeritan Orang Palestina... 167

yang menjanjikan rekonsiliasi dan perdamaian. Pencarian keadilan yang kaku, dengan penambahan nada balas dendam, seluruhnya akan sangat mudah merendahkan manusia pada tahap yang kejam atau bahkan tidak berperikemanusiaan. Sebaliknya, pemberlakuan belas kasih dan rekonsiliasi dapat mengangkat mereka ke tahap ma-nusia yang sebenarnya dan bahkan ke tahap yang ilahi.

KEBENARAN BERHUBUNGAN DENGAN BELAS KASIHAN

Berbicara secara alkitabiah, kita tidak dapat berbicara tentang ke-adilan tanpa merujuk pada kebenaran. Kedua konsep tersebut punya arti yang mirip dan sering digunakan secara paralel dalam Alkitab. Biasanya, kata mishpat (berakar dari shafat) diterjemahkan sebagai ”keadilan”, dan tsedek (berakar dari tsadak) diterjemahkan sebagai ”kebenaran”, Perbedaan antara keduanya menjadi jelas terlihat ketika kita mengingat bahwa kata benda dari shafat adalah shofet, yang berarti seorang hakim; sedangkan kata benda dari tsadak adalah tsadik, yang berarti orang berbudi atau saleh. Dalam bahasa Arab, asal kata yang sama dengan tsedek adalah sidq, yang berarti ”keadaan yang sebenarnya”. Dari akar bahasa Arab yang sama, sadiq berarti sahabat, yaitu, ”seseorang yang mengatakan kebenaran kepada Anda”; siddiq adalah seorang yang saleh, seseorang yang hidup dalam kebenaran di hadapan Allah;92 dan sadaqah adalah sedekah, yang dianggap memberi penghargaan kepada sang pemberi. Ulangan 24:12–13 memberikan sebuah makna yang mirip:

Jika ia seorang miskin, janganlah engkau tidur dengan ba rang gadaiannya; kembalikanlah gadaian itu kepadanya pada waktu matahari terbenam, supaya ia dapat tidur dengan memakai kainnya sendiri dan memberkati engkau. Maka engkau akan menjadi benar di hadapan TUHAN, Allahmu.

Dalam hal ini, kebajikan melebihi keadilan. Terkandung makna kebaikan, rasa haru, dan belas kasih:

Ya TUHAN, dengarkanlah doaku....Jawablah aku dalam kesetiaan-Mu, demi keadilan-Mu [tsedekah]!

80 Semata-mata Keadilan

gas air mata sianida oleh orang Israel yang telah menyebabkan ke-ma tian banyak orang dewasa dan bayi selama Pemberontakan 1988. ”Penggunaan gas ini merupakan sebuah bentuk perang kimia melawan seluruh penduduk. Gas tersebut dikirim ke Israel dari Ame-rika Serikat dalam kaleng-kaleng kecil terdata tahun 1988.”35

Malah, Ruether mampu menembus permukaan teologi Zionis van Buren. Dalam meninjau jilid kedua van Buren tentang ”A Theology of the Jewish Reality”, Ruether menyatakan bahwa van Buren ”terlalu banyak berbicara dan membenarkan diri sendiri ketika menyebutkan kita ’non-Yahudi’, yang olehnya bahkan didesak untuk belajar dari orang Yahudi tentang bagaimana kita dapat mengantisipasi kebodohan spiritual dan kekerasan hati kita. Orang merasa tidak nyaman ketika membaca suatu sikap anti-Semit yang berbalik ke luar”. Mengenai cara van Buren memperlakukan orang Arab dan orang Palestina dalam bukunya, Ruether menyimpulkan bahwa mereka ”semata-mata dirujuk dalam segala keadaannya de-ngan nada-nada yang sangat bermusuhan dan menghina. Mereka dianggap sebagai bangsa yang dipenuhi kebencian tak berdasar me-lawan umat yang dikasihi Allah, yaitu bangsa Yahudi, dan negara Yahudi”.36

Keberanian yang sama telah diperlihatkan oleh beberapa gereja, dewan-dewan gereja, dan organisasi lainnya yang telah menghasilkan berbagai pernyataan penting tentang konfl ik Arab-Israel. Dokumen-dokumen ini, dengan tidak anti-Israel, telah memberi perhatian pada kemungkinan perdamaian di Timur Tengah. Walaupun mengakui hak Israel untuk hidup, mereka mendesak perlunya memberlakukan keadilan bagi orang Palestina dan memberikan hak kepada mereka untuk menentukan nasibnya sendiri.37

Tidaklah tepat jika kita mengakhiri topik ini tanpa memperhati-kan suara orang-orang Yahudi yang dengan berani telah berbicara walaupun harus dikucilkan oleh masyarakatnya sendiri. Dalam bu-kunya yang berjudul Toward a Jewish Theology of Liberation, Marc Ellis membahas kehidupan masyarakat Yahudi antara Holocaust dan pemberdayaan. Peristiwa Holocaust mewakili tragedi dan penghinaan, sementara Israel mewakili pemberdayaan dan penebusan. Ia percaya bahwa dengan pemberdayaan, sisi etis Yudaisme telah dirusak. Para teolog Holocaust menjelaskan kembali gagasan tentang praktik Ya-hudi dari orang-orang yang terikat ritual dan taat pada Taurat ke orang-orang yang menghargai kenangan, perjuangan, dan pember-dayaan. Bagi Ellis, defi nisi ulang ini tidaklah memadai. Sebagai

Menjadi Orang Palestina dan Orang Kristen di Israel 81

bagian dari suatu teologi pembebasan Yahudi, ia menambahkan pada defi nisi tersebut ”suatu pencarian yang kritis dan jitu terhadap keadilan dan perdamaian”.38 Mengenai persoalan Palestina, sikap Ellis sangat jelas:

Suatu penelantaran tak berkesudahan terhadap orang Pa les tina menantang integritas negara Israel. Hasrat un tuk membiarkan jatuhnya korban merupakan bukti adanya suatu penyakit; namun menjadi seorang penakluk setelah menjadi seorang korban merupakan resep bagi bunuh diri moral. Tidaklah berlebihan untuk menyatakan bahwa nilai-nilai yang diperoleh masyarakat Yahudi, yang ditemukan dan disusun melalui sejarah penderitaan dan perjuangan, sedang terancam lenyap. Dalam kemerdekaan kita, ingatan kita tentang perbudakan terancam hilang. Kehilangan ini akan membuat kita melupakan apa artinya tertindas. Namun, melupakan penindasan yang dialami se seorang berarti membuka kemungkinan baginya untuk menjadi seorang penindas.39

Pada catatan yang lain, Ellis percaya bahwa sebuah teologi pem-bebasan Yahudi seharusnya berlanjut untuk menghadapi persoalan anti-Semitisme, tetapi ia dengan tegas meminta bahwa hal itu tidak boleh digunakan sebagai senjata untuk mendiamkan kekritisan yang jujur.

Slogan ”Tidak Akan Pernah Lagi” terlalu sering menjadi alasan rasional menolak untuk percaya dan mengambil ri siko. Slogan itu juga membutakan mata kita pada ke-nyataan bahwa kita telah turut mengembangkan anti-Semitisme kita sendiri melalui perlakuan kita terhadap masyarakat Palestina dan Arab, yang pada dasarnya ada-lah bangsa Semit. Bisa saja terjadi bahwa anti-Semitisme yang sesungguhnya saat ini tidak ditemukan dalam PBB ataupun dalam kritik orang Yahudi terhadap Israel, melainkan dalam komunitas Yahudi, di mana berbagai gam baran yang kotor, pengabaian, dan teroris selalu ter -u lang sampai membosankan. Dan jika penolakan ma-sya rakat Palestina terhadap pendudukan yang terjadi di Tepi Barat dan Gaza dilihat sebagai tindakan anti-Semit, dapatkah juga kita katakan bahwa penolakan Israel

166 Semata-mata Keadilan

Allah akan keadilan, kebenaran, dan pengadilan terpuaskan pada salib. Bagi Allah, memperoleh dan menggenapi berbagai tuntutan keadilan, pada dasarnya berarti bahwa Allah setia pada diri-Nya, bahwa Allah adalah benar-benar Allah. Oleh karena itu, jika salib mengungkapkan kesetiaan dari Allah keadilan, maka kebangkitan menyatakan kesetiaan dari Allah belas kasih, anugerah, dan cinta. Dengan demikian, Kebangkitan merupakan tindakan Allah yang benar-benar tak terduga, suatu penghancuran semua sifat-sifat lama.90 Lebih dari itu, Kebangkitan merupakan ekspresi kesatuan dan keserasian total tentang keberadaan Allah, yaitu, Allah keadilan dan belas kasih, kebenaran dan anugerah, dan seterusnya. Pada saat yang bersamaan, Allah mampu bertindak dengan adil dan penuh belas kasih. Allah dapat menyerap tuntutan-tuntutan keadilan dan kebenaran Allah sambil tetap muncul sebagai Allah belas kasih dan cinta. Allah muncul secara utuh dari salib. Allah tetaplah Allah dalam kesatuan dan keserasian. Allah pada intinya tetap berkata bahwa berbagai tuntutan keadilan tidak akan pudar dari dunia. Pada saat yang sama, Allah tetap menegaskan bahwa akan selalu ada belas kasih, kedamaian, dan cinta.

Singkatnya: jika kita mendekati keadilan dari sudut pandang Alkitab, pertama-tama penting bagi kita untuk berprinsip bahwa Allah yang adalah Allah keadilan menuntut pemberlakuan keadilan ini dalam dunia. Tidak ada jalan memutar terhadap fakta ini, ti-dak ada jalan pintas untuk keadilan. Telah terjadi sepanjang seja-rah keselamatan bahwa Allah benar-benar tidak mengizinkan ke-adilan diinjak-injak, Allah juga tidak mengizinkan ketidakaadilan ber kuasa walaupun untuk sementara waktu.91 Ketidakadilan tidak akan selamanya bebas tak terkendali. Mereka yang tertindas dan mereka yang mengalami ketidakadilan memiliki seorang pembela: Allah. Keadilan harus dibangun. Orang Kristen terpanggil untuk mengakui dan menyatakan kebenaran utama ini. Mereka harus terus menegaskan bahwa keadilan Allah, sebagaimana yang dipa-hami dan dinyatakan dalam Kristus, tidak pernah ”buta” dan se-lalu diberlakukan dengan belas kasih dan anugerah. Hanya ke-tika keadilan benar-benar disampaikan dengan belas kasih dan kedamaian, serta ketika keadilan menyatu dalam keberpihakan terhadap mereka yang tidak mampu, maka ada harapan dalam pemecahan untuk setiap konfl ik. Kenyataan ini sangat menyakitkan bagi mereka yang berharap bahwa keadilan akan terpenuhi dengan lengkap dan jelas memuaskan, tetapi hanya itulah satu-satunya jalan

Jeritan Orang Palestina... 165

raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak is-terinya dan segala milik nya untuk pembayar hutangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: ”Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan.” Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia mem bebaskannya dan menghapuskan hutangnya. Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu de ngan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: ”Bayar hutangmu!” Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: ”Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan.” Te ta pi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyam paikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: ”Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah ku hapus kan karena engkau memohonkannya kepa daku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.89

Keadilan yang keras mewajibkan sang hamba untuk membayar utangnya kepada tuannya. Karena ia tidak mampu melunasinya, utang itu dihapus dan tuannya harus menanggung kerugian dari utang yang besar itu. Inilah belas kasih. Bagi sang tuan, melawan hambanya, yang menolak untuk mengampuni rekannya sendiri, adalah kebenaran. Menanggung konsekuensi karena tidak berbelas kasih merupakan keputusan.

Analogi ini, seperti semua analogi lainnya, tidak sempurna namun mengilustrasikan keadilan, kebenaran, pengadilan, dan be-las kasih yang saling memengaruhi dalam diri manusia. Dengan kata lain, berbagai tuntutan keadilan itu adalah mutlak, karena Allah adalah Allah yang mutlak dan sekaligus Allah keadilan. Yang terjadi dalam penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus adalah jauh melampaui apa yang dapat dilakukan oleh manusia. Tuntutan

82 Semata-mata Keadilan

untuk mengakui dan bernegosiasi dengan Orga nisasi Pembebasan Palestina adalah juga sama-sama anti-Semit?40

Ellis pun mengakui bahwa suatu teologi pembebasan Yahudi me-negaskan pemberdayaan, yang menyatakan bahwa teologi itu juga membuka peluang bagi pemberdayaan orang lain:

Yang menjadi imbangan bagi Israel sebagai sebuah keha-dir an yang otonom adalah Palestina, dan teologi pem-bebasan Yahudi mulai membahas Israel dan Palestina se-cara bersamaan. Israel adalah sebuah negara yang tidak ada kaitannya dengan prinsip-prinsip keagamaan selain se bagai organisasi nasional dunia modern. Demikian juga masyarakat Palestina berhak mendapatkan sebuah negara, dan Israel harus berpartisipasi dalam kelahirannya kembali melalui pengakuan dan bantuan material jika diminta oleh orang Palestina. Suatu teologi pembebasan Yahudi tegas dalam hal ini: masyarakat Palestina sangat dirugikan akibat pembentukan Israel dan pendudukan wilayah (Tepi Barat dan Jalur Gaza—ed.). Saat merayakan pem ber da ya an, kita harus menyesali segala pelanggaran kita dan segera meng hentikannya. Jika hal ini dila ku kan sekarang, mungkin seratus tahun ke depan kita dapat membicarakan tentang konfederasi (persekutuan) antara Israel dan Palestina, serta bagaimana dari konfl ik tragis ini dapat terjadi pemulihan yang bermanfaat bagi kedua komunitas.41

Suara lain yang disebutkan oleh Ellis adalah pernyataan dari Ro-berta Strauss Feuerlicht, yang berpendapat bahwa pembentukan negara Israel merupakan suatu tragedi bagi masyarakat Yahudi. Menurutnya, masyarakat Yahudi ”telah memberikan kepada dunia nilai-nilai etis yang pasti dan konsep sebuah negara ideal, dengan men ciptakan sebuah negara yang tidak menampakkan ni lai etis maupun idealistis.”42 Feuerlicht dengan jelas menyatakan bah wa ”kaum Zionis memilih untuk membentuk sebuah negara dengan cara menggantikan penduduk dan budaya asli Palestina.”43 Ia menjelaskan dengan sangat rinci diskriminasi terhadap orang-orang Yahudi Sephardik (Spanyol-Portugis) di Israel, seperti halnya keti-dak adilan yang terjadi pada orang Palestina. Ia tidak percaya bahwa

Menjadi Orang Palestina dan Orang Kristen di Israel 83

Israel membantu memecahkan masalah anti-Semitisme. Se balik-nya, ”Israel telah menjadi bagian dari masalah tersebut, bukan solusinya.”44 Dalam tekanannya pada kekuatan etis Yudaisme, ia menyimpulkan bahwa Israel bukanlah Mesias bagi orang Yahudi. Walaupun diciptakan sebagai tempat perlindungan, hal itu malah berbalik, ”merusak dan menghancurkan mereka dengan keberhasil-an nya menjadikan mereka sebuah bangsa seperti semua bangsa lainnya.” Kemudian, dalam salah satu pengamatan luar biasa yang juga dikutip Ellis dalam bukunya, Feuerlicht berkata, ”Yudaisme tidak terbatas sebagai sebuah paham ideal; Yudaisme justru terbatas sebagai sebuah negara. Yudaisme bertahan selama abad-abad pe-nyik saan tanpa sebuah negara; Yudaisme sekarang harus belajar bagaimana bertahan meskipun telah menjadi sebuah negara.”45

SEBUAH AGENDA BARU BAGI GEREJA DI ISRAEL-PALESTINA

Kita harus memberi perhatian kepada orang-orang pemberani ini, yang pemahamannya tentang etika Yudaisme melebihi kesetiaan-ke-setiaan politis yang ada. Mereka (demikian juga orang-orang Kristen Barat seperti Krister Stendahl) adalah contoh menonjol tentang orang-orang yang, di atas dasar iman dan pengetahuannya akan Allah, telah berani membela keadilan. Walaupun kita sangat berterima kasih atas kejujuran dan integritas mereka, sekarang sudah saatnya bagi gereja pribumi Israel-Palestina memperdengarkan suaranya. Karena itu, gereja terpanggil untuk mengontekstualisasikan iman dan teologinya, serta mengarahkan diri pada persoalan-persoalan penting yang dihadapinya. Makna kontekstualisasi ini diungkapkan dengan sangat baik oleh Shoki Coe:

Dengan demikian, kontekstualisasi...merupakan suatu pe-nilaian kritis tentang apa yang membuat konteks men jadi sangat penting dalam terang Missio Dei. Kon tekstualisasi adalah pencermatan misiologis tentang tanda-tanda zaman, yang mencari di mana Allah sedang berkarya dan memanggil kita untuk berpartisipasi dalam karya tersebut. Jadi, kontekstualisasi lebih dari sekadar menanggapi semua konteks secara serius tanpa pandang bulu. Kontekstualisasi adalah proses penyadaran ter hadap suatu konteks yang

164 Semata-mata Keadilan

ketidakadilan sungguh-sungguh akan menjadi sangat tipis. Tentu saja sangat dapat dipahami bahwa manusia yang selama ini telah menderita ketidakadilan selalu menuntut diberlakukannya keadilan mutlak. Keadilan mutlak tidak hanya memulihkan hak-hak mereka, tetapi juga memiliki cara untuk mengutuk dan merendahkan para pelaku ketidakadilan. Namun, hal tersebut sering membuat orang, keluarga, atau bangsa mengalami perpecahan dan kehilangan. Yang kita butuhkan dalam konfl ik Israel-Palestina adalah sebuah cara yang di dalamnya keadilan dapat diberlakukan sehingga hasil akhir-nya berupa kedamaian dan rekonsiliasi di antara dan di dalam setiap orang, serta bukan perpecahan ataupun penghancuran di antara keduanya. Masalah kita adalah bahwa hasil-hasil itu berbeda dari sifat manusia yang berdosa, meskipun hasil-hasil positif itu secara alami melekat dalam diri Allah.

Keadilan, belas kasih, dan kedamaian menemukan ke satu an dan keharmonisan total di dalam Allah. Dalam diri manusia, hal-hal itu dipahami sebagai sifat-sifat yang individual dan terpisah, yang terkadang berpadu harmoni. Jika dan ketika sifat itu berpadu, ketiganya dengan mudah dirusak, diselewengkan, dan dipisahkan kembali antara yang satu dengan yang lainnya. Jadi, manusia cen derung memberlakukan keadilan tanpa belas kasih, dan ha-silnya adalah kekejaman. Sebaliknya, ketika belas kasih diperluas tanpa keadilan, itu merupakan sebuah kenaifan dan sama dengan mengizinkan ketidakadilan yang lebih besar lagi. Mirip dengan itu, keadilan tanpa kedamaian cenderung memecahkan dan menghan-curkan masyarakat. Kedamaian tanpa keadilan selalu goyah, tidak mudah, dan tidak pernah permanen.

Bagi orang Kristen, sebuah cita rasa dari keutuhan dan ke-serasian yang terpulihkan, baik dalam diri mereka maupun dalam relasi mereka dengan orang lain, telah dialami dalam penderitaan, kematian, dan kebangkitan Kristus. Dalam peristiwa lengkap ini, pada saat yang bersamaan, seseorang dapat melihat keadilan, kebe-naran, dan belas kasih Allah. Perumpamaan tentang hamba yang tidak diampuni dengan begitu indah mengungkapkannya:

Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hamba nya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya,

Jeritan Orang Palestina... 163

KEADILAN SAJA TIDAK CUKUPKetika orang Kristen Palestina melanjutkan untuk menekankan bah wa Allah adalah Allah keadilan, bahwa kebenaran dan keadilan merupakan dasar takhta Allah,86 dan bahwa tanpa kekerasan meru-pakan jalan untuk melawan penjajahan, menjadi jelas bahwa dalam sebuah pemahaman teologis akan Allah, keadilan tidak berdiri sen-diri. John Shea dengan tepat dapat mengatakan bahwa keadilan ”adalah jantung Allah, inti dari keberadaan-Nya.”87 Karl Barth, pada sisi lain, dengan sangat baik mengatakan bahwa ”keberadaan Allah yang paling nyata adalah belas kasih.”88 Harus dipahami dengan lebih jelas bahwa gelar-gelar suci ini tidak terlepas satu sama yang lain, tidak juga saling bertentangan. Manusia, bergantung pada apa yang mereka bahas tentang Allah, cenderung menekankan pada satu gelar saja untuk membuktikan satu pokok persoalan. Ba gai manapun, gelar-gelar Allah tidak hidup sebagai komponen-komponen terpisah yang hanya bergabung dengan bebas. Semuanya bersatu dan berpadu dengan sangat erat dalam Allah Yang Satu. Keadilan Allah tidak dapat dipisahkan dari damai, cinta dan belas kasih Allah. Tidak ada dikotomi dalam diri Allah; dikotomi ada dalam diri manusia. Jika kita selaku manusia tidak hati-hati, kita akan cenderung membahas keadilan Allah tanpa terus mengingat bahwa keberadaan Allah juga mencakup keadilan, belas kasih, cinta, dan damai. Semua ini merupakan satu kesatuan yang utuh dalam sifat Allah.

Sebagai akibat dosa asal, berbagai dikotomi terjadi dalam keter-pecahan manusia. Karena itu, manusia memiliki kecenderungan un-tuk membahas keadilan dalam sebuah kesadaran yang kuat, khu-susnya ketika mereka telah menjadi mangsa ketidakadilan. Simbol keadilan adalah seorang perawan yang menggunakan tutup mata dan membawa timbangan pada satu tangan dan pedang di tangan lain, memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi hak nya. Dengan kata lain, keadilan diimplementasikan sebagai sebuah standar yang secara keseluruhan tidak berpihak, bebas, dan ob jektif.

Berbicara secara hukum, konsep yang demikian mungkin da -pat memuas kan berbagai tuntutan manusia akan keadilan, te ta pi akan meninggalkan banyak harapan, karena ada pengertian bah wa keadilan yang buta, impersonal, dan pasti dapat dengan mudah berubah menjadi ketidakadilan. Jika keadilan yang keras di biar-kan berjalan sendiri, maka garis pemisah antara keadilan dan

84 Semata-mata Keadilan

khusus, peristiwa historis, penyelidikan atas keunikan suatu konteks dalam terang misi gereja ketika gereja terpanggil untuk berpartisipasi dalam Missio Dei.46

Jadi, kontekstualisasi merupakan sebuah proses yang berlangsung terus-menerus dari gereja yang hidup, sebagaimana gereja tersebut bergerak dalam perubahan waktu yang cepat. Proses itu meliputi dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi terus-menerus, khusus-nya dalam situasi yang tidak stabil dan kacau akibat peperangan, seperti yang terjadi di Timur Tengah.

Dengan berpedoman pada makna dan tanggung jawab konteks-tualisasi, gereja di Israel-Palestina berjuang keras mulai melakukan kontekstualisasi. Gereja harus menerima konteks politik sebagai tantangannya demi pelayanan yang lebih relevan bagi jemaatnya, dan juga bagi orang-orang di sekitarnya, termasuk orang Yahudi dan Islam, dan sebagai tantangannya untuk menghadapi situasi tersebut secara profetis.

Seorang teolog Afrika yang terkenal, John Mbiti, merenungkan gereja di negerinya, berkata bahwa ”Gereja di Afrika adalah gereja tanpa teologi dan sebuah gereja tanpa keprihatinan teologis.”47 Ge-reja di Israel-Palestina mungkin belum memiliki teologinya sendiri untuk menjawab kebutuhan kontekstualnya, tetapi telah memiliki keprihatinan teologis yang dalam. Pada kenyataannya, keprihatinan-keprihatinan kontekstual gereja, walaupun berbentuk politik dalam penampilannya, lebih bersifat teologis secara mendalam dan pasti. Berbagai kebutuhan ini terus dihambat oleh semakin meningkatnya kompleksitas konfl ik politik.

Orang Kristen percaya bahwa peristiwa Inkarnasi adalah bentuk suci dari kontekstualisasi. Tugas gereja di Israel-Palestina pada saat ini adalah menanggapi konteks nyata dan lokalnya sendiri secara serius. Sebagaimana Yesus mengakui bahwa agenda-Nya mencakup pemberitaan kabar baik kepada orang-orang miskin, proklamasi pem bebasan kepada orang-orang yang tertawan, penglihatan kepada orang-orang buta, pembebasan kepada orang-orang yang tertindas, dan pernyataan tahun rahmat Tuhan, maka demikianlah juga se-ha rusnya agenda gereja.48 Gereja sendiri pun perlu berinkarnasi da lam konteksnya agar dapat menjadi suara dari mereka yang ter-tindas dan dilecehkan. Kita ingat Frances Perkins (1882–1965), yang berjuang dalam kariernya membawa sebuah kesaksian Kristen

Menjadi Orang Palestina dan Orang Kristen di Israel 85

secara terbuka. Perkins mengungkapkan berbagai pandangannya ten tang peranan gereja sebagai berikut:

Gereja menyampaikan suara hati jemaatnya; menghadir-kan implikasi-implikasi moral dari pilihan [mereka]; men-dorong dan memperkuat dalam menjaga martabat yang dengannya melahirkan kemerdekaan dan tanggung jawab setiap pribadi manusia dalam tindakan kolektif. Gereja harus terus menyatakan kepada negara prinsip-prinsip moral tentang pengendalian; tentang pertimbangan ma-nu siawi dan bukan material dalam setiap tindakannya; tentang penghargaan terhadap hak-hak dan perbedaan-perbedaan setiap individu, serta pemahaman bahwa ”bu-mi dan segala isinya adalah milik Allah”, dan bahwa peme-rintah adalah para pelayan.49

Dalam semangat inilah saya telah memulai sebuah teologi pem-bebasan Palestina. Saya percaya bahwa gereja di Israel-Palestina me miliki peranan unik untuk dilakukan: menggali kedalaman mak-na keadilan sebagaimana yang dapat dipahami secara alkitabiah maupun teologis. Mengejar perdamaian dengan menggunakan ke-adilan merupakan panggilan gereja yang tertinggi saat ini di Israel-Palestina, dan sekaligus sebagai tantangan terbesar bagi gereja.

162 Semata-mata Keadilan

nekat dari masyarakat dalam rangka mempertahankan dirinya? Apakah abstraksi dan generalisasi yang demikian tidak mengaburkan persoalan itu? Bagaimana tindakan-tindakan penindasan, ketidakadilan, dan dominasi dapat disamakan dengan tindakan perlawanan dan pertahanan diri? Apakah masuk akal untuk menjelaskan perjuangan fi sik yang digunakan oleh seorang pemerkosa dengan per-juangan fi sik yang digunakan oleh seorang perempuan yang sedang berusaha melawan sang pemerkosa sebagai kekerasan? Sama sekali tidak benar untuk mengatakan bahwa setiap kemungkinan penggunaan perjuangan fi sik adalah kekerasan dan bahwa hal itu tidak pernah di i zin-kan dalam segala keadaan yang mungkin terjadi.85

Pengalaman Gereja di Afrika Selatan menjadi penting sebab peng-alaman tersebut dibagikan oleh banyak orang Kristen di Israel-Palestina. Mereka menemukan bahwa sulit untuk melakukan per-juangan tanpa kekerasan dalam sebuah konteks yang membiakkan begitu banyak kekerasan oleh negara setiap hari dan mengakibatkan dehumanisasi, deportasi, dan semua bentuk ketidakadilan terhadap warga Palestina, yang memiliki setiap hak untuk merdeka.

Meskipun demikian, saya tetap yakin bahwa orang Kristen ha-rus memilih jalan tanpa kekerasan dalam setiap konfrontasi—jalan Yesus. Sayangnya, banyak orang tidak mampu untuk melakukan hal itu. Gereja harus terus mendorong, mengutuk kekerasan negara dan menekankan kepada jemaatnya kebutuhan untuk menempuh jalan tanpa kekerasan.

Jalan tanpa kekerasan ditakuti oleh orang Israel karena meng-ingatkan pada keadaan sebelum mereka berkuasa, membuat mereka ingat akan ketidakberdayaan mereka sendiri dan membangkitkan hati nurani untuk berurusan dengan pihak-pihak yang sekarang ber kuasa dengan lebih adil. Jika hal tersebut tidak membangkitkan hati nurani orang Israel, saya berharap dan berdoa bahwa hal itu dapat membantu menumbuhkan kesadaran nurani banyak orang di Barat, baik orang Yahudi maupun non-Yahudi, terhadap apa yang sedang terjadi di Israel-Palestina, dan memprovokasi sebuah teriakan yang dihasilkan dengan cara memberikan tekanan kepada Israel untuk menghentikan berbagai kebijakan yang mematikan dan untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang akan memberikan sebuah kehidupan damai bagi orang Yahudi dan orang Palestina di tanah yang sangat dicintai oleh keduanya.

Jeritan Orang Palestina... 161

ketika menghadapi perlawanan tanpa kekerasan. Itulah mengapa reak si mendasar Israel telah merasionalkan Intifada sebagai sebuah tindakan perang dalam rangka mengesahkan pembunuhan dan ke-kerasan terhadap begitu banyak warga sipil yang tidak berdosa. Sebagai sebuah hasil dari begitu banyaknya kekerasan negara, perbincangan tentang tanpa kekerasan tampak sama sekali tidak masuk akal bagi banyak warga Palestina.

Namun, pengalaman orang kulit hitam di Afrika Selatan sangat mirip dalam hal ini. Kairos Document dengan tegas menyatakan:

Masalah bagi gereja di sini adalah bagaimana cara kata ”kekerasan” digunakan dalam propaganda negara. Negara dan media telah memilih untuk menyebut kekerasan se bagai apa yang dilakukan oleh beberapa orang kota ketika berjuang untuk kemerdekaannya, misalnya me-lem par batu, membakar mobil dan bangunan, dan ka-dang membunuh para kaki tangan. Namun, ini meniada-kan kekerasan struktural, institusional, dan sikap tanpa penyesalan dari negara dan khususnya kekerasan yang menindas dan terbuka dari para polisi dan tentara. Hal-hal yang demikian tidak diperhitungkan sebagai kekerasan. Dan bahkan ketika hal itu diakui ”berlebihan”, hal itu disebut ”kesalahan” atau bahkan ”mematikan”, tetapi tidak pernah disebut sebagai ”kekerasan”. Selanjutnya, ka limat ”kekerasan di kota” dipakai untuk mengartikan apa yang sedang dilakukan oleh kaum muda dan bukan pada apa yang sedang dilakukan oleh para polisi atau apa secara umum sedang dilakukan oleh apartheid terhadap masyarakat. Jika seseorang menyerukan cara tanpa ke-kerasan dalam berbagai keadaan yang demikian maka ia akan muncul untuk mengkritik perlawanan masyarakat sambil membenarkan atau paling tidak mengabaikan ke-kerasan yang dilakukan oleh polisi dan negara.84

Orang Kristen di Afrika Selatan mengajukan pertanyaan yang di-tanyakan juga oleh orang Kristen di Israel-Palestina:

Apakah dapat disahkan, khususnya dalam keadaan kita, untuk menggunakan kata ”kekerasan” yang sama da lam lingkup sumpah serapah untuk berbagai tindakan kasar dan represif oleh negara, serta untuk berbagai tindakan

87

4ALKITAB DAN PEMBEBASAN:SEBUAH PERSPEKTIF ORANG

PALESTINA

Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihat-an bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.

Lukas 4:18–19

Bab ini hendak menjelaskan arah utama dari teologi pembebasan Palestina. Karena tidak pernah ada sebelumnya, maka saya

akan mencoba untuk meletakkan batu penjuru bagi teologi itu. Hal tersebut tidak akan melemahkan pokok persoalan yang dibicarakan; tetapi saya akan berusaha mengangkat berbagai persoalan teologis yang utama seperti yang saya amati selaku seorang Kristen Palestina melalui interaksi dengan anggota jemaat, kolega, dan orang Kristen lainnya dalam pelayanan saya selama 20 tahun terakhir.

160 Semata-mata Keadilan

kita berpihak pada para pengungsi dan yang dideportasi, bersama mereka yang menderita dan menjadi korban keti-dakadilan, kita berpihak pada mereka yang berkabung dan kehilangan, bersama mereka yang lapar dan miskin. De ngan mengacu pada Firman Allah melalui nabi Yesaya pasal 1 ayat 17:

”belajarlah berbuat baik; usahakanlah kea dilan, ken-dalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah per kara janda-janda!”

Kita berseru bagi semua orang beriman untuk berdoa dan bekerja demi keadilan dan kedamaian bagi semua orang di wilayah kita.83

Kalimat ini tidak benar-benar kuat, tetapi sangat jelas. Beberapa orang Yahudi Israel dan bahkan orang Arab menyatakan sikapnya melalui berbagai surat kabar dengan bahasa yang lebih keras. Namun, ketika pernyataan para pimpinan komunitas Kristen tersebut diedarkan ke seluruh surat kabar Arab Yerusalem Timur, orang Israel menyensor untuk mencegah publikasinya. Ini merupakan sebuah kesadaran yang jelas bahwa negara itu melihat semacam potensi dari pernyataan bersama gereja-gereja.

Tantangan bagi orang Kristen Palestina, bahkan seluruh orang Palestina, adalah perlawanan tanpa kekerasan. Bagaimanapun, hal ini tidak dapat dikatakan tanpa kualifi kasi-kualifi kasi pen-ting tertentu, sehingga tidak akan ditafsirkan secara naif dan se-derhana. Sejak pendirian Negara Israel pada tahun 1948, dan lebih digemakan lagi setelah pendudukan Tepi Barat dan Gaza pada ta-hun 1967, warga Palestina telah menghadapi salah satu tentara yang tertangguh di dunia. Sejak intifada pada Desember 1987, war ga Palestina diperhadapkan dengan kekerasan oleh negara dan kekerasan dari penduduk religius yang fanatik. Negara Israel hidup dalam sebuah negara yang menderita paranoia. Se tiap perlawanan negara, bahkan perlawanan yang benar-benar tanpa kekerasan, di-taf sirkan sebagai menggerogoti keamanan negara. Negara tersebut sedang menghancurkan dirinya sendiri sebagai akibat dari ketakutan yang tidak normal tentang kedamaian. Negara Israel berada pada masa-masa terbaik untuk berperang, bukan masa-masa kedamaian. Para prajurit Israel terlatih dengan baik untuk melawan ”musuh” dalam peperangan. Mesin perangnya merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Namun, negara itu sepenuhnya tidak tertolong

Jeritan Orang Palestina... 159

dirinya, namun secara keseluruhan ini terbukti tidak produktif, ter -wujud dalam pembunuhan besar-besaran ribuan manusia.82 Penga-laman yang keras telah memperkuat keabsahan jalan Yesus bagi mereka, sehingga saya tetap merasa orang Kristen Timur telah di-bawa untuk memahami bahwa jalan Yesus adalah jalan kasih dan damai. Beberapa di antara mereka telah memperdebatkan hal ini dengan sengit. Mereka mungkin berharap untuk menolaknya. Mereka mungkin merasa bahwa itu bersifat mengalah dan lemah dalam konteks kekerasan institusional yang sedang bertumbuh di sekitar mereka. Namun, mereka tahu bahwa jalan Yesus bukanlah jalan peperangan melainkan jalan damai.

Saya selalu percaya bahwa Gereja di Israel-Palestina dapat me-mainkan peranan yang kuat dalam mempromosikan keadilan dan kedamaian melalui cara-cara tanpa kekerasan secara aktif. Saya per caya bahwa para penguasa telah melakukannya di masa lalu dan terus melakukan apa yang dapat mereka lakukan untuk menjaga gereja tetap tidak aktif secara politis karena mereka menyadari ke-kuasaan potensial gereja dalam lingkungan Barat. Para penguasa ber usaha untuk mengendalikan hierarki, entah dengan memberi-kan keistimewaan tertentu bagi mereka atau dengan mengadakan cara-cara licik seperti surat kaleng, untuk membuat mereka tetap diam dan terpinggirkan. Sebuah contoh untuk kasus ini adalah apa yang terjadi pada puncak intifada bulan Januari 1988, ketika para pimpinan komunitas Kristen memutuskan untuk menyatakan solidaritasnya bersama warga Palestina yang sedang berada dalam situasi pendudukan. Para pimpinan gereja tersebut menyatakan:

Peristiwa-peristiwa menyakitkan yang baru saja terjadi di Tanah kita telah mengakibatkan begitu banyak korban, yang terbunuh maupun terluka, merupakan indikasi-indikasi yang jelas tentang penderitaan masyarakat kita yang memilukan di Tepi Barat dan di Jalur Gaza. Peristiwa-peristiwa tersebut juga merupakan ekspresi nya ta aspirasi masyarakat kita untuk mencapai hak-hak hukumnya dan realisasi harapan-harapan mereka. Kita, para Pimpinan Komunitas Kristen di Yerusalem, ingin menyatakan dalam segala kejujuran dan kejelasan bahwa kita berpihak pada kebenaran dan keadilan me-lawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan. Kita berpihak pada mereka yang menderita dan tertindas,

88 Semata-mata Keadilan

DUA PERSOALAN UTAMAPersoalan utama yang pertama, yang menempati posisi teratas da ri persoalan lainnya dan menjadi inti masalah Palestina adalah per-soalan keadilan. Sejak 1948 dan pembentukan negara Israel, orang Palestina di mana pun telah membicarakan ketidakadilan yang me-reka alami—bagi orang muda dan tua, berpendidikan dan tidak ber pendidikan, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan, religius dan sekuler, Islam dan Kristen—mereka semua berbicara tentang masalah keadilan. Mereka semua mengingat apa yang terjadi pada tahun 1948 dan 1967, dan mereka menghubungkan kisah tentang kehilangan Palestina dengan kisah tentang kehilangan yang mereka alami secara pribadi.

Saya telah mendengar beberapa orang Yahudi di Israel yang berkata bahwa ada suatu perbedaan besar antara klaim orang Pa-lestina dan orang Yahudi terhadap tanah itu. Perhatian orang Pa-lestina terfokus pada hilangnya rumah, keluarga, bisnis, dan mung-kin desanya. Ketidakadilan baginya berkaitan dengan ke nyataan bah wa ia harus dipisahkan dari seluruh harta miliknya. Perhatian orang Yahudi lebih tertuju pada seluruh tanah itu, tidak hanya pada bagian-bagian tertentu.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa pembedaan semacam itu adalah upaya sebagian orang Yahudi untuk memperkuat klaim me reka, suatu rasionalisasi yang hanya bisa diterima oleh orang-orang yang bodoh dan berprasangka saja. Ketika orang Palestina bicara tentang ketidakadilan, mereka sedang berbicara tentang tra-gedi Palestina. Ketika mereka menuturkan kisah mereka sendiri, ki sah itu disampaikan untuk memberi gambaran yang hidup dan menegaskan betapa besarnya ketidakadilan serta pelecehan yang ditujukan kepada orang Palestina; kalau orang Yahudi tidak menu-turkan kisah pribadi mereka tentang bagaimana mereka ke hilangan rumah-rumah dan desa-desa mereka di Palestina, itu ka rena mereka tidak memilikinya.

Setiap teologi pembebasan harus mengangkat persoalan ke adil-an. Itulah persoalan utama bagi masyarakat Palestina tanpa meman-dang apa agamanya.

Bagi orang Kristen Palestina, ada masalah utama kedua yang per lu dihadapi oleh suatu teologi pembebasan, yaitu Alkitab. Alkitab biasanya dipandang sebagai sebuah sumber kekuatan, menawarkan berbagai jalan keluar dan menuntun manusia pada iman dan kese la-

Alkitab dan Pembebasan 89

mat an. Namun, anehnya—cukup mengejutkan—Alkitab telah digu-na kan oleh beberapa orang Kristen Barat dan Yahudi seba gai suatu cara yang lebih mendukung ketidakadilan daripada keadilan. Para teolog pembebasan melihat Alkitab sebagai sebuah sumber dinamis bagi pemahaman mereka tentang pembebasan. Namun ji ka beberapa bagian dari Alkitab diperlakukan secara harfi ah pada konteks kita masa kini, Alkitab seakan-akan lebih menawarkan per bu dakan daripada kemerdekaan, ketidakadilan daripada keadilan kepada masyarakat Palestina, serta kematian bagi kehidupan na sional dan politiknya. Banyak orang Kristen yang baik telah dise satkan oleh berbagai kata dan gambaran tertentu dari Alkitab yang biasanya digunakan dalam ibadah umum; kata-kata yang memperoleh ko-no tasi baru sejak didirikannya negara Israel. Contohnya, ketika orang Kristen mengucapkan Benedictus, dengan kalimat pembuka ”Terpujilah Tuhan, Allah Israel, sebab Ia melawat umat-Nya dan mem bawa kelepasan baginya”,1 apa maknanya bagi mereka pada saat ini? Israel manakah yang mereka pikirkan? Apa itu kelepasan? Sejarawan terkenal, Arnold J. Toynbee, berpendapat:

Selama hidup saya, pertautan mental dengan nama ”Is-rael” telah berubah bagi komunitas-komunitas religius, orang Yahudi dan orang Kristen, di mana dalam liturgi me reka nama ini sering muncul. Ketika masih kanak-kanak, saya ikut menyanyikan Mazmur di gereja, nama ”Israel” tidak menunjuk pada sebuah negara di muka bumi ini. Tidak ada negara yang memiliki nama itu dan nama itu juga tidak menunjuk pada Kerajaan Israel ku-no yang dihancurkan pada tahun 722 SM oleh bangsa Asyur. Sejarah Israel Kuno akrab bagi saya. Namun, na-ma tersebut, ketika saya menyebutnya dalam liturgi, meng andung makna sebuah komunitas religius dari para penyembah setia Allah Israel Kuno—Allah Sejati yang esa dalam kepercayaan orang Yahudi, Kristen, dan Islam pada masa kini. ”Israel” menandakan ”umat Allah”, dan kita se laku para penyembah Allah adalah warga Israel yang hidup, namun hanya dengan syarat tertentu. Keanggotaan kita bergantung pada ketaatan kita terhadap perintah Allah dan mengikuti ajaran-Nya sebagaimana yang telah dinyatakan-Nya melalui mulut para nabi-Nya.

158 Semata-mata Keadilan

Khotbah di Bukit.79 Bagi orang Kristen Timur, ini merupakan tradisi mereka, lingkungan pergaulan Injil mereka, warisan mereka.

Orang Kristen Timur juga telah mengungkapkan kepada orang Barat bagaimana sikap-sikap Kristen terhadap peperangan dan kon -fl ik, dan telah menderita secara tidak adil sebagai hasilnya. Ber-bagai Perang Salib merupakan ”peperangan suci” yang dilakukan oleh gereja Barat, tidak dalam rangka menanggapi ketidakadilan melainkan dalam rangka mempertahankan iman Kristen—sebuah ekspresi iman Kristen Barat yang secara luas digambarkan dalam Perjanjian Lama. Berbagai Perang Salib meninggalkan warisan yang begitu menyakitkan bagi orang Kristen Timur, yang membayar mahal selama berabad-abad karena mereka berbagi gelar ”Kristen” dengan para pengikut Perang Salib.

Orang Kriten Barat mengembangkan sikap lain terhadap pe-perangan setelah Konstantinianisasi kekristenan pada abad ke-4—teori ”perang adil”. Tujuan dari perang-adil tersebut adalah untuk mempertahankan keadilan dan memulihkan kedamaian; sebuah perang yang dapat dibiayai secara sah oleh negara (sambil mengamati peraturan-peraturan tertentu).

Walaupun pandangan-pandangan ini telah muncul di dalam ge-reja dengan berbagai bentuk pada waktu yang berbeda-beda dalam sejarah, teori perang adil, merujuk pada sejumlah perkembang an dan modifi kasi, sangat sering didukung.80 Namun, satu-satunya ca-ra hidup sungguh-sungguh masuk akal bagi orang Kristen Timur ada lah cara Yesus. Untuk memulainya, orang Kristen Timur, ter-masuk orang Kristen Palestina, tetap hidup dalam se buah du nia pra-Konstantinopel. Mereka merupakan sebuah kelompok mino ritas di berbagai negara di Timur Tengah. Mereka harus menghidupkan iman dan kesaksiannya, setiap hari, dalam berbagai situasi yang sulit. Mereka harus melanjutkan untuk menjadi garam dan te-rang dalam komunitas-komunitasnya.81 Meskipun mereka tidak di-kucilkan dari teman senegaranya yang berbeda, terutama dari segi iman keagamaan, kerangka acuan mereka adalah pengajaran dan kehidupan Yesus—dalam konteks ini, jalan tanpa kekerasan.

Telah dikatakan bahwa saya tidak mau meninggalkan kesan bahwa orang Kristen selalu mempratikkan sikap pasif. Tidak seperti itu. Mereka telah hidup selama berabad-abad dalam berbagai mas-yarakat yang keras, menjadi sasaran berbagai penyerangan sengit dari sesama dan pemerintah. Kadang-kadang, tanpa putus asa, mereka telah dipulihkan untuk berjuang melindungi dan mempertahankan

Jeritan Orang Palestina... 157

Negara Israel dan juga orang-orang yang menyatakan dirinya taat secara religius, harus memperhatikan kebenaran Alki tab: bahwa perhatian utama Allah adalah kepada para korban ketidak adilan. Ketika gagasan alkitabiah dan teologis ini dipahami, ini harus meng-hasilkan tanggung jawab politik.

Setiap orang yang digenggam oleh kebenaran tentang Allah ingin hidup dalam iman ini. Mereka tahu ”bahwa kebenaran, di ma-na setiap klaim yang dimiliki manusia bertentangan dengan orang lain, mendapat perlindungan khusus dari Allah sumber anugerah. Sama seperti ia hidup oleh anugerah Allah maka seorang manusia tidak dapat menghindari klaim ini. Ia tidak dapat menghindari pertanyaan-pertanyaan tentang hak asasi manusia. Ia hanya dapat menghendaki dan menegaskan sebuah pernyataan yang didasarkan pada keadilan.”78

JALAN TANPA KEKERASAN

Kebanyakan orang Palestina, entah Islam ataupun Kristen, beriman teguh kepada Allah. Jadi, jaminan bahwa Allah berpihak pada orang-orang tertindas dan korban ketidakadilan merupakan sebuah sumber pengharapan dan penghiburan bagi mereka. Bagaimanapun, harapan di tengah ketidakadilan dan penindasan dapat menghasilkan kepasifan, dan bisa membuat frustrasi. Harapan yang sesungguh-nya kepada Allah keadilan seharusnya menjadi harapan yang aktif dan dinamis, mengajak orang untuk menjadi kawan sekerja Allah. Sebuah teologi pengharapan bagi warga Palestina bertumbuh dari konsep Allah yang berpihak pada orang-orang tertindas dan kaum tertindas bekerja bersama Allah demi kehidupan yang lebih baik serta melawan para penindas dan dosanya. Harapan menjadi sebuah pendorong bagi para pemimpin Gereja untuk aktif terlibat bersama para korban ketidakadilan dalam menghadapi para penindas yang adikuasa. Untuk melakuan hal ini, Gereja perlu menyadari tradisi kekristenannya tentang perlawanan terhadap kekerasan.

Sikap orang Kristen yang mendasar terhadap konfl ik dan pe-perangan akrab dengan orang Kristen di Timur Tengah, yaitu sikap Yesus—jalan tanpa kekerasan. Sangatlah sulit untuk mempelajari kehidupan Yesus dalam Injil-injil dan tidak menyimpulkan bahwa tanpa kekerasan merupakan fi losofi -Nya. Hal itu diperkuat dalam

90 Semata-mata Keadilan

Konotasi spiritual tradisional dari nama ”Israel” ini sekarang telah digantikan dengan konotasi politik dan mi liter. Sekarang, jika saya ke gereja dan mencoba untuk turut menyanyikan Mazmur, dalam sekejap saya menjadi tawar hati ketika nama ”Israel” terucap dari bibir saya. Nama tersebut saat ini berubah menjadi gambaran tentang suatu negara kecil bergaya Eropa Tengah, dengan partai-partai politik yang berselisih seperti di banyak ne-gara, dengan politik luar negeri yang kaku—dan gagal—menghargai tetangga-tetangganya dan terus menyerukan orang-orang Yahudi sedunia untuk mengirimkan uang bagi mereka atau berkunjung langsung. Gambaran ini telah menghapus gam baran yang pernah ada dalam pikiran kita. Gambaran itu telah menghapusnya, siapa pun kita: orang Yahudi atau Kristen, orang Yahudi diaspora atau warga Israel, orang beragama atau agnostik. Politik Israel masa kini bagi kita semua telah menghilangkan, atau paling tidak, membayangkan hilangnya, tradisi Yahudi-Kristen dalam Israel spiritual. Ini sungguh-sungguh suatu tragedi.2

Jika ini benar-benar terjadi di kalangan orang Kristen Barat, maka lebih menyakitkan lagi apa yang memang telah terjadi di kalangan orang Palestina atau kelompok-kelompok Kristen lainnya di Timur Tengah. Pendirian negara Israel adalah sebuah gempa dahsyat yang telah mengguncang hal paling mendasar dari kepercayaan mereka.3 Sejak itu, tidak ada teologi Kristen Palestina yang dapat menghindari untuk berurusan dengan persoalan Alkitab: Bagaimana Alkitab, yang rupanya telah menjadi salah satu masalah dalam konfl ik Arab-Israel, dapat menjadi salah satu solusi? Bagaimana Alkitab, yang selama ini digunakan untuk mengutuk aspirasi nasional seluruh mas yarakat tersebut, dapat kembali menawarkan berkat bagi me-reka? Bagaimana Alkitab, yang melaluinya banyak orang telah di-tuntun menuju keselamatan, pada dirinya sendiri diselamatkan dan ditebus?

Dua keprihatinan ini—keadilan dan Alkitab—akan sangat me-ngu ras perhatian kita. Kebanyakan isu lain dalam suatu teologi pembebasan bagi orang Kristen Palestina, seperti yang akan kita lihat, muncul dari kedua pokok tersebut. Dua isu ini bahkan saling berhubungan. Saya akan mengaturnya demikian, mulai dengan

Alkitab dan Pembebasan 91

persoalan Alkitab; kemudian dalam bab berikut, berpindah pada persoalan keadilan; dan akhirnya, memberi perhatian kepada pa-ra korban ketidakadilan serta berbagai tantangan yang mereka ha-dapi.

ALKITAB: MASALAH ATAU SOLUSI?

Penyalahgunaan Alkitab secara PolitisBagi kebanyakan orang Kristen Palestina, seperti bagi banyak orang Kristen Arab lainnya, pandangan terhadap Alkitab, khususnya Alkitab Ibrani atau Perjanjian Lama,4 telah dipengaruhi secara ber lawanan oleh pembentukan negara Israel. Banyak persoalan yang sebelumnya tersembunyi tiba-tiba muncul ke permukaan. Allah dalam Alkitab, yang diyakini sampai sekarang sebagai Allah yang menyelamatkan dan membebaskan, telah dipandang oleh orang Palestina sebagai Allah yang memihak dan melakukan diskriminasi. Sebelum pembentukan negara Israel, Perjanjian Lama diakui sebagai bagian dari kitab su ci Kristen, yang menunjukkan dan memberi kesaksian tentang Yesus. Sejak pembentukan negara itu, beberapa penafsir Yahudi dan Kristen telah membaca Perjanjian Lama secara umum sebagai sebuah teks Zionis, sehingga Alkitab hampir menjadi sesuatu yang menjijikkan bagi orang Kristen Palestina. Akibatnya, Perjanjian Lama secara umum telah salah dipergunakan di kalang an para rohaniwan maupun kaum awam. Gereja sudah tidak mampu berbicara tentang berbagai istilah yang ambigu, pertanyaan, dan paradoks—khususnya dengan aplikasi langsungnya terhadap peristiwa-peristiwa abad ke-20 di Palestina. Pertanyaan mendasar dari banyak orang Kristen, en tah terucap atau tidak, adalah: Bagaimana Perjanjian Lama dapat menjadi Firman Allah yang menerangi pengalaman orang Kristen Pa-lestina sementara penggunaannya mendukung Zionisme?

Hal yang terkandung dalam pertanyaan tentang Alkitab Ibrani adalah konsep kita tentang Allah. Dengan pengecualian terhadap be-berapa orang dalam komunitas-komunitas Kristen di Timur Tengah, keberadaan Allah tidak diragukan. Yang selama ini dipertanyakan secara serius adalah sifat dan karakter Allah. Seperti apakah Allah yang sesungguhnya? Apa hubungan Allah dengan negara Israel yang baru? Apakah Allah hanya memihak kepada orang Yahudi? Apakah ini Allah keadilan dan perdamaian? Pertanyaan-pertanyaan hambar

156 Semata-mata Keadilan

Dalam merancang Theory of Justice-nya, John Rawls mengakui dua prinsip utama untuk keadilan. Yang pertama harus berhubungan dengan kemerdekaan yang sama bagi semua orang. Yang kedua menegaskan bahwa manusia biasanya hidup dalam kesenjangan sosial dan ekonomi, namun kesenjangan ini ”ditata sedemikian rupa sehingga...memberi manfaat paling besar untuk yang paling kurang beruntung.”75 Teori ini didasarkan pada prinsip alkitabiah bahwa Allah peduli terhadap orang miskin serta para korban ketidakadilan dan penindasan.

Perhatian ilahi dan keberpihakan nyata terhadap orang yang lemah dan tertindas merupakan sebuah pendorong yang kuat bagi anak-anak Allah untuk bertanggung jawab secara aktif mewakili orang-orang yang lemah di dunia. Barth kembali sangat menolong mengungkapkan hal ini. Orang dipanggil

untuk mendukung mereka yang menderita. Mengapa? Karena mereka menyatakan diri kepada orang itu sama seperti orang itu dalam pandangan Allah; karena kehi-dupan, keramahan, tindakan penuh kasih dari Allah ba-ginya dibuat dalam kenyataan bahwa Allah sendiri dalam ke adilan-Nya menyediakan keadilan bagi dirinya, orang miskin dan malang, karena ia dan seluruh manusia berada dalam hadirat Allah, seperti mereka yang hak-haknya dapat diperoleh dari Allah sendiri.76

Diskusi ini menunjukkan kepada kita dari sudut pandang orang Kristen Palestina tentang ke mana Allah berpihak terkait dengan pe nindasan. Orang tertindas tidak selamanya lebih adil dari orang yang menindas—penyelamatan Allah bagi bangsa Israel dari Mesir terjadi bukan dari kebaikan mereka, melainkan dari keadilan dan belas kasih Allah.77 Ini sangat membantu bagi warga Palestina, bukan hanya untuk nilai pendidikannya, yaitu mengingatkan mereka bah-wa mereka tidak dapat mengklaim keadilan dan belas kasih dari Allah sebagai sebuah hadiah, tetapi juga karena hal itu mengizinkan mereka untuk menegaskan kembali imannya kepada Allah yang adalah adil dan benar serta yang berpihak ”tanpa syarat” kepada mereka yang lemah dan tertindas. Penegasan iman ini mengandung di dalamnya penghiburan dan harapan.

Namun, untuk menolong seseorang menegaskan kembali iman-nya kepada Allah keadilan dan kebenaran hanyalah sebagian dari tugas Alkitab. Pemerintah adikuasa, dalam kasus ini para pemimpin

Jeritan Orang Palestina... 155

Dalam mendiskusikan tentang Allah dan keadilan di kitab Amos, Robert Coote meletakkan empat premis teologis yang didasarkan pada seruan Amos melawan orang-orang yang berkuasa pada masa-nya, yang sebenarnya bertanggung jawab atas ketidakadilan dalam masyarakat. Pertama, Allah adalah ”agen yang melebihi dunia dan bertindak di dalam dunia”. Kedua, ”agen ini bertindak berdasarkan keadilan.”69 Keadilan bagi Amos berarti keselamatan bagi mereka yang lemah dan tertindas. Dalam pandangannya bangsa Israel se-harusnya sudah mengetahui hal ini, karena mereka telah mengalami ketidakadilan dan telah menerima keadilan Allah.70 Ketiga, ”ia yang bertindak dalam dunia memilih keadilan menuju kehidupan.” Allah memilih ”kehidupan bagi kaum lemah sebelum kehidupan bagi orang yang kuat”, dan ”mereka yang mengambil kehidupan orang lemah akan kehilangan hidupnya sendiri”, Akhirnya, ”ia yang bertindak dalam dunia akan berusaha membuat keseimbangan kekuasaan dengan mengangkat kemanusiaan untuk memperkenalkan keadilan Allah.”71

Alkitab memperlihatkan sebuah keberpihakan ilahi terhadap kaum lemah dan tertindas di dunia. Karl Barth menyatakan:

Allah selalu berpihak tanpa syarat dan dengan penuh belas kasih pada sisi ini dan hanya pada sisi ini saja: menentang yang tinggi dan mewakili yang lebih rendah; melawan mereka yang sudah menikmati hak dan keistimewaan serta mewakili mereka yang disangkal haknya dan yang sangat kekurangan.72

Serupa dengan itu, John Bennett telah mencacat bahwa:

Cinta Allah kepada semua manusia secara tidak langsung telah menyatakan sebuah perhatian strategis terhadap para korban dalam masyarakat, orang lemah, orang yang dieksploitasi, orang yang diabaikan, yang merupakan ma-yoritas dalam ras manusia.73

Yang disebut Barth sebagai ”berpihak tanpa syarat”, dan oleh Bennet sebagai ”perhatian strategis”, dengan jujur diistilahkan Reinhold Niebuhr sebagai sebuah ”keberpihakan dalam ke murahan”:

Keadilan bukanlah keadilan yang setara melainkan se-buah keberpihakan dalam kemurahan bagi orang miskin. Keadilan selalu bersandar pada belas kasihan bagi para janda dan anak yatim.74

92 Semata-mata Keadilan

semacam itu dapat muncul ke permukaan dan jawabannya sudah jelas. Namun, pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan bagian da ri sederetan pertanyaan yang sedang terus diperdebatkan oleh banyak orang Kristen, baik di dalam maupun di luar Palestina. In-tinya adalah tentang pribadi Allah yang terdalam. Karakter Allah se-dang dipertaruhkan. Integritas Allah terus dipertanyakan.

Secara umum dikatakan bahwa gereja di Israel-Palestina tidak berdaya dan pasrah berhadapan dengan berbagai pertanyaan ini. Ti dak diragukan lagi bahwa sikap apatis terhadap gereja merebak di kalangan orang Kristen. Pertanyaan tajam dan penting yang telah dan masih terus muncul adalah: Bagaimanakah gereja, tanpa me-no lak bagian apa pun dari Alkitab, mampu menghubungkan inti pesan Alkitab—konsepnya tentang Allah—dengan orang Palestina? Jawabannya terletak pada bagaimana kita berteologi. Satu-satunya jembatan antara Alkitab dengan manusia adalah teologi. Tentu saja sebuah teologi yang diungkapkan secara alkitabiah; suatu teologi yang membebaskan; suatu teologi yang akan mengontekstualisasi dan menafsir sambil tetap setia pada inti pesan alkitabiah. Jika teologi yang demikian belum tercapai, manusia akan cenderung mengabai-kan dan melupakan bagian-bagian Alkitab yang tidak disukai.

Beberapa orang Kristen, termasuk para pendeta, telah menemu-kan cara untuk memberlakukan teks melalui cara alegoris. Yang lain nya menggunakan cara yang saya sebut spiritualisasi. Walaupun berbagai cara ini atau yang lainnya dapat sangat membantu, namun tidak dapat mengatasi penyalahgunaan Alkitab secara politis. Kita juga melihat, khususnya di Barat abad ini, ilmu tentang Alkitab telah menghasilkan langkah-langkah nyata dalam aplikasi metode-metode kritis terhadap studi Alkitab. Perangkat ilmiah seperti ini dapat menjelaskan banyak ambiguitas yang ada dan membantu pa ra mahasiswa untuk memahami teks sedekat mungkin dengan teks aslinya—pengarang, tanggal, sumber, konteks, dan sebagainya. Jika metode-metode tersebut tidak diarahkan dan diungkapkan de-ngan pemahaman teologis yang lebih luas, maka metode-metode ter-sebut cenderung meninggalkan potongan-potongan teks dan lebih membingungkan daripada menjelaskan persoalan-persoalan iman.

Lazim dikatakan bahwa semua metode ini tidak menyoroti so-al apakah suatu teks adalah Firman Allah atau bukan. Bagi orang Kristen Palestina, pertanyaan inti yang menjadi prioritas utama ada lah apakah apa yang sedang dibaca dalam Alkitab adalah Firman Allah bagi mereka dan apakah itu mencerminkan hakikat,

Alkitab dan Pembebasan 93

maksud, dan kehendak Allah bagi mereka. Dengan perkataan lain, apakah yang sedang dibaca itu merupakan sebuah pengetahuan autentik dari Allah tentang siapa Allah sesungguhnya? Apakah itu merupakan pengetahuan autentik dari Allah tentang pribadi-pribadi atau berbagai relasi atau tentang sifat dan sejarah manusia? Sebagai pembandingnya, apakah hal tersebut yang selama ini dide-ngar sebagai sebuah refl eksi tentang pemahaman manusia yang au tentik tentang Allah dalam tahap perkembangannya? Apakah itu merupakan pernyataan autentik manusia tentang manusia lain atau tentang sifat manusia dalam tahap perkembangan yang ada? Atau, secara blak-blakan, apakah itu secara mendasar merupakan pernyataan dari manusia yang diletakkan pada mulut Allah, sehingga akhirnya membingungkan sebagai sebuah pesan autentik dari Allah kepada manusia? Apakah fi rman tersebut merefl eksikan sebuah pe san yang autentik dan sah dari Allah bagi kita saat ini? Apakah kebenaran abadi dalam Alkitab dan apa yang disesuaikan dengan keadaan? Apa yang abadi dan apa yang sementara? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan penting bagi orang Kristen Palestina, yang jawabannya akan sangat menentukan apa yang Allah katakan atau tidak dikatakan bagi mereka dalam Alkitab.

Pokok Hermeneutik AlkitabOrang Kristen Palestina sedang mencari sebuah hermeneutik5 yang akan membantu mereka mengidentifi kasikan autentisitas Firman Allah dalam Alkitab dan untuk melihat makna sejati dari teks-teks Alkitab yang sering disebutkan oleh kaum Zionis Yahudi dan kaum fundamentalis Kristen untuk membenarkan berbagai pernyataan serta prasangka mereka yang subjektif.

Kriteria yang dicari oleh orang Palestina harus mencakup pe-ngertian yang alkitabiah dan teologis, agar tidak hanya berbalik menjadi alat untuk menentang orang Yahudi dan kaum Zionis Kristen, serta mendukung berbagai pernyataan dan prasangka sub-jektif orang Palestina. Hermeneutik tersebut harus menyuarakan ke-benaran dari Allah yang kita kenal—yang hakikat dan karakternya tidak berubah, terus-menerus dinamis tapi bukan plin-plan dan macam-macam, yang merespons tanpa dikekang oleh waktu, tempat, atau berbagai keadaan.

Ukuran hermeneutik ini bagi orang Kristen Palestina semata-mata adalah Yesus Kristus sendiri. Karena di dalam, melalui, dan

154 Semata-mata Keadilan

bagi mereka: contohnya, berkas-berkas yang tersisa di ladang, pengumpulan buah zaitun dan kebun anggur, serta perpuluhan setiap tiga tahun menjadi milik mereka.63 Lebih dari itu, mereka ha-rus diperlakukan dengan benar di pengadilan.64 Karena mereka tidak memiliki manusia sebagai pelindung, maka Allah menjadi penengah; karena tidak ada lagi orang yang menjadi pembelanya, maka Allah akan menjadi pengacaranya:

Janganlah merampasi orang lemah, karena ia lemah,dan janganlah menginjak-injak orang yang berkesusahan di pintu gerbang.

Sebab TUHAN membela perkara mereka,dan mengambil nyawa orang yang merampasi mereka.65

Kelompok-kelompok ini mewakili kaum tertindas. Sehing ga, perlin-dungan dan perhatian ilahi diperluas kepada semua orang yang menderita akibat ketidakadilan dan penindasan:

Celakalah mereka yang menentukan ketetapan-ketetapan yang tidak adil,

dan mereka yang mengeluarkan keputusan-keputusan kelaliman,

untuk menghalang-halangi orang-orang lemah mendapat keadilan

dan untuk merebut hak orang-orang sengsara di antara umat-Ku,

supaya mereka dapat merampas milik janda-janda,dan dapat menjarah anak-anak yatim!66

Para nabi tidak hanya menyuarakan nubuat tentang hukuman Allah terhadap para penindas; mereka juga berjanji bahwa Allah akan mempertahankan kaum tertindas. Amos berbicara tentang keadilan bagi kaum tertindas sejak awal, berdasarkan kenyataan yang ada.67 Allah akan menjadi penyelamat bagi mereka yang tertindas:

Dari langit Engkau memperdengarkan kepu tusan-Mu;bumi takut dan tertegun,

pada waktu Allah bangkit untuk memberi penghukuman,untuk menyelamatkan semua yang tertin das di bumi.68

Jeritan Orang Palestina... 153

kekuasaan. Usaha-usaha itu gagal karena penghapusan paksa atau karena sebuah kepercayaan yang tidak semestinya.59 Paradoks dari kekuasaan adalah karena kekuasaan merupakan komponen penting untuk mencapai serta menopang keadilan dan kedamaian. Pada saat yang sama, kekuasaan juga terus-menerus mengancam untuk menghancurkan keadilan dan kedamaian. Selanjutnya, hampir ti-dak mungkin bagi manusia dan pemerintah untuk mengendalikan seluruh kekuasaan. Manusia tidak memiliki kekuatan moral yang ”cukup manjur untuk menghancurkan efek-efek beracun dari ke-kuasaan terhadap karakter.”60 Menyadari bahaya-bahaya yang de-mi kian, tantangan di Timur Tengah, pada saat keadilan dicapai bagi warga Palestina, adalah untuk memelihara keadilan dengan cara digunakan sesering mungkin dan sedapat-dapatnya tanpa kekerasan, sehingga mencegah penghancuran jutaan manusia dan penyangkalan yang tak terhindar atas hal-hal yang telah dicapai oleh keadilan dan kedamaian.

SEBUAH TEOLOGI BAGI PARA KORBAN KETIDAKADILAN

Konsep tentang Allah sebagai yang inklusif dalam hal karakter dan adil dalam segala jalan-Nya menjadi lebih jelas ketika kita mengakui para penerima keadilan Allah. Di seluruh Kitab Suci Ibrani dan Per-janjian Baru, Allah menunjukkan perhatian khusus bagi mereka yang kurang mampu, mereka yang tidak beruntung, dan lemah. Si fat Allah ini, seperti kepedulian akan kesejahteraan bagi kaum lemah, tidak hanya khas pada salah satu bagian Alkitab, namun me rupakan ciri kitab Taurat, kitab para Nabi, dan tulisan Sastra, serta Perjanjian Baru.61

Sedikitnya ada empat kelompok masyarakat yang menerima sebutan khusus sebagai objek perhatian khusus Allah—para jan-da, anak yatim, orang miskin, dan orang asing (yang singgah atau tak dikenal).62 Mereka adalah orang-orang tak berdaya dalam ma-syarakat. Para janda tidak punya suami, para yatim tidak punya ayah, orang miskin tidak punya uang, orang asing tidak punya kerabat atau tempat tinggal di tanah itu. Orang-orang inilah yang menjadi fokus kasih ilahi karena terlalu mudah untuk dieksploitasi. Sebagai konsekuensi, Alkitab memiliki ketentuan demi perlindungan

94 Semata-mata Keadilan

karena Kristus, orang Kristen telah menerima pengetahuan yang terbuka ke dalam hakikat dan karakter Allah. Bagi orang Kristen, berbicara tentang pengetahuan akan Allah berarti berbicara tentang pengetahuan akan Allah melalui Kristus: inilah sumber terbaik pengetahuan akan Allah; inilah konsep Allah yang dimatangkan melalui periode sejarah alkitabiah. Bagi orang Kristen, hal tersebut telah digenapi dalam pemahaman Yesus Kristus tentang hakikat dan karakter Allah. Pemahaman akan Allah ini dipertahankan bagi ki ta dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus, yang ki ta sebut Kristus, inkarnasi Allah. Yesus sang Kristus kemudian men-jadi—dalam diri-Nya dan ajaran-Nya—hermeneutik sejati, kunci menuju pemahaman akan Alkitab, dan melampaui Alkitab menuju pemahaman akan tindakan Allah sepanjang sejarah. Dengan perka-taan lain, Firman tentang inkarnasi Allah dalam Yesus sang Kristus menafsirkan bagi kita fi rman Allah dalam Alkitab.

Oleh karena itu, untuk memahami Allah, orang Kristen Pales-tina, sebagaimana orang Kristen lainnya, memulainya dengan Kristus dan mundur ke Perjanjian Lama lalu maju ke Perjanjian Baru, serta melampaui semuanya. Ini menjadi dasar pemikiran utama bagi orang Kristen.

Akan tetapi, karena situasi yang dipersulit oleh kejahatan ma-nusia, kita menemukan bahwa penggunaan hermeneutik ini tidak berarti bahwa semua persoalan teologis yang kita hadapi dapat terpecahkan secara otomatis; namun kita dapat menemukan bahwa hermeneutik baru ini (yang pada akhirnya tidak lagi baru dalam gereja) sungguh-sungguh membebaskan. Lantas, Alkitab bagi orang Kristen Palestina dapat tetap dipakai secara utuh, sementara isinya dapat dinilai dengan hermeneutik ini dan diperiksa dengan teliti oleh pikiran Kristus.

Sangatlah penting secara teologis untuk membiarkan pikiran Kristus lahir dalam berbagai situasi dan peristiwa. Sebagaimana yang dijelaskan oleh C.H. Dodd:

Mungkin salah satu keistimewaan yang paling menonjol dari gerakan Kristen perdana adalah kemunculan kembali kepercayaan bahwa manusia dapat mengenal Allah secara langsung.... Yesus Kristus, dengan sebuah keyakinan, yang bagi tradisionalisme pada masa-Nya tampak sebagai penghujatan, menegaskan bahwa Dia mengenal Sang Bapa dan Dia dipersiapkan agar orang lain juga ma suk

Alkitab dan Pembebasan 95

dalam pengenalan itu. Dia melakukan itu, tidak dengan membawa tradisi baru tentang Allah, melainkan dengan membuat orang lain di sekitarnya menjadi para pe ka bar dalam cara-Nya sendiri kepada Allah. Ini yang dimaksudkan Paulus dengan pernyataan ”memiliki pikiran Kristus”. Dengan memiliki pikiran tersebut, kita benar-benar me-ngenal Allah. Jelasnya demikian, keyakinan yang teguh menguatkan Paulus sebagai seorang misionaris: namun ia juga mengharapkannya dalam diri orang-orang yang dito batkannya. Kepada mereka juga ”fi rman tentang pe-ngetahuan” datang ”dengan roh yang sama”. Ia berdoa supaya Allah mengaruniakan roh hikmat dan wahyu da-lam pengetahuan akan diri-Nya. Pengetahuan yang de-mikian, sebagaimana yang diberikan secara cuma-cuma kepada Paulus, hanyalah sebagian, namun merupakan pengetahuan nyata, pribadi, dan tak dapat ditolak. Dalam persa habatan di antara manusia ada suatu pengetahuan yang saling menguntungkan yang tidak pernah lengkap atau bebas dari misteri: namun Anda dapat mengetahui dengan pasti bahwa sahabat Anda ”bukanlah orang yang melakukan hal yang demikian”, atau sesuatu yang Anda telah dengar ”hanya seperti dia”. Anda memiliki penge-tahuan yang benar, yang memberikan sebuah kriteria. Demikianlah pengetahuan yang dimiliki orang Kristen tentang Bapanya.6

Kriteria ini memberi keyakinan yang besar kepada orang Kristen, dan memberikan cara pendekatan bagi mereka terhadap berbagai permasalahan yang mereka jumpai.

Beberapa Aplikasi PraktisPenggunaan hermeneutik ”baru” ini terbuka bagi semua orang Kristen, bahkan untuk iman yang sederhana. Namun, hal itu membutuhkan pengetahuan tentang berbagai catatan alkitabiah dan menuntut penggunaan akal budi manusia—akal budi yang telah diterangi oleh wahyu Allah dalam Kristus. Ini karena manusia memiliki kapasitas untuk menyerap pengertian tentang Allah sebagaimana hal itu telah berkembang dan matang dalam sejarah Alkitab melalui berbagai cerita, puisi, dan peristiwa historis yang tampaknya sederhana dan

152 Semata-mata Keadilan

PARADOKS KEKUASAANSecara ringkas, penting untuk menekankan kembali dimensi teologis tentang kecurangan kekuasaan dan efek-efek yang membayanginya. Ada sebuah kecenderungan alami untuk menghubungkan keadilan dan kekuasaan secara bersama. Keduanya disatukan di dalam Allah, tetapi tidak dalam manusia. Di dalam Allah, kekuasaan dan ke adilan ditemukan dalam kebaikan dan cinta; kekuasaan selalu diarahkan untuk pembangunan keadilan dan kedamaian di antara manusia. Kekuasaan dan keadilan tidak didasarkan pada kebaikan dan keadilan yang melekat pada manusia, melainkan dalam ke-cenderungan mereka terhadap dosa dan kejahatan. Sebagai ganti penggunaan kekuasaan untuk membangun serta memelihara ke-adil an dan kedamaian, kekuasaan dengan mudah diubah menjadi pembesaran diri sendiri dan penindasan terhadap orang lain. Dengan kata lain, orang yang memiliki kekuasaan dan menggunakannya kapan pun mereka mau, biasanya merasa bingung terhadap dirinya dengan Allah. Berbicara secara teologis, ini menjadi ancaman ter-besar dalam penyelewengan kekuasaan. Itu pemberhalaan dalam bentuk yang paling kejam, dan manusia terlalu mudah dapat meng-alaminya.

Ambiguitas, kecurangan, dan perusakan oleh kekuasaan harus diungkapkan karena kekuasaan menjadi suatu ilah yang di puja dan dipatuhi. Tuntutan-tuntutan kekuasaan meningkat setiap hari. Pihak pendudukan harus menambah kekuasaannya yang memaksa untuk memelihara pengendaliannya. Ilah kekuasaan meningkatkan tuntutannya dan pada akhirnya menumpuk kehancuran terhadap penggunanya. Adalah tugas orang Kristen untuk tidak sekadar mem perhatikan bahaya mendasar ini, tetapi untuk mengungkapkan kekeliruannya.

Tidak ada perlawanan terhadap kekuasaan dimungkinkan ketika kebohongan yang mendukung, yang membenarkan kekuasaan itu, diterima secara sah. Ketika garis perta-hanan pertama dan utama tak terputuskan, tidak akan terjadi pemberontakan. Sebelum berbagai ketidakadilan, penyelewengan, atau penindasan dapat dilawan, kebo-hongan yang dite mukan harus disadari dengan jelas.58

Akhirnya, kita dapat mengamati di dalam sejarah bahwa banyak usaha gagal untuk mencapai keadilan dan kedamaian melalui penggunaan

Jeritan Orang Palestina... 151

”Ketakutan dapat dengan mudah menuntun kita pada keberanian dan kebutuhan untuk menggabungkan ke ber-hasil an yang dimenangkan oleh keberanian dapat me nyu-guhkan ketakutan-ketakutan baru.... Kekuasaan, sekali tercapai, menempatkan individu atau kelompok pada sa-tu posisi kemasyhuran yang membahayakan se hing ga keamanan hanya mungkin terjadi dengan mem perluas kekuasaan.”55

Pokok ini sangat relevan dengan konfl ik Israel-Palestina dan dapat digambarkan dengan sangat baik oleh keberadaan Negara Israel itu sendiri. Keinginan untuk hidup bagi masyarakat Yahudi, setelah abad-abad penyebaran dan penderitaan, telah terekspresikan dalam pembentukan Negara Israel. Fenomena seperti ini dapat dihubungkan dengan naluri manusia untuk bertahan hidup. Bagaimanapun, naluri kelangsungan hidup ini mudah mengembangkan ambisi-ambisi im-perialistik. Baju baja pertahanannya menjadi baju baja agresinya, yang selanjutnya mengarah pada ekspansi. Keinginannya untuk hidup menjadi keinginannya untuk berkuasa. Semangat manusia mengandung campuran ajaib dari ketakutan akan kepunahan dan cinta akan kekuasaan. Sekali kekuasaan telah dimiliki, individu atau kelompok akan menemukan diri mereka berada pada posisi sensitif, ketika mereka tergoda untuk percaya bahwa keamanan dapat dipelihara hanya dengan memperluas kekuasaan mereka. Ini diterjemahkan ke dalam penambahan wilayah baru dan penaklukan penduduknya. Sesudah itu, kedamaian temporer dapat diraih; ba-gaimanapun, itu selalu merupakan kedamaian yang tidak mudah dan goyah, karena merupakan kedamaian yang tidak adil. Kekuasaan rupanya mengorbankan keadilan demi mencapai kedamaian dan kemudian menghancurkannya.56 Kedamaian tidak pernah tercapai dengan sebuah penyesuaian rasio dan moral tentang hak-hak, na mun melalui paksaan dari pihak yang lebih berkuasa. Dengan demikian, kedamaian akan kekal sampai mereka yang lemah menjadi cukup kuat untuk menantang paksaan itu. ”Kekuasaan yang sama, yang mendorong ketakutan untuk mencegah tindakan langsung, juga menciptakan banyak kebencian yang menjamin munculnya pemberontakan terakhir.”57 Oleh karena itu, bahaya tentang sebuah konfl ik di masa mendatang terus-menerus terbayang.

96 Semata-mata Keadilan

apa adanya.7 Mereka dapat merasakan cara Allah menyatakan diri-Nya kepada laki-laki dan perempuan dalam Perjanjian Lama, wa-laupun mereka terbatas karena kemanusiaannya, dalam terang wahyu melalui peristiwa Inkarnasi.

Dengan demikian, aplikasi yang konstan dari hermeneutik ini merupakan kunci terbaik bagi orang Kristen dalam menafsir dan me mahami pesan alkitabiah. Kemudian, pemahaman teologis ini dapat menentukan keabsahan dan otoritas Alkitab bagi kehidupan orang Kristen. Hal itu dilandaskan pada pengetahuan dan kasih Allah sebagaimana yang terungkap dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus. Wahyu Allah, sifat, tujuan, dan ke hendak Allah seperti yang diungkapkan dalam Kristus, menjadi kriteria yang dengannya orang Kristen dapat mengukur keabsahan dan otoritas pesan alkitabiah bagi kehidupan mereka.

Ketika dihadapkan dengan salah satu bagian sulit dalam Alkitab atau dengan peristiwa kontemporer yang membingungkan, kita per-lu mengajukan pertanyaan sederhana seperti: Apakah cara saya men dengar hal ini merupakan cara agar saya dapat mengenal Allah dalam Kristus? Apakah ini cocok dengan gambaran tentang Allah yang telah diungkapkan Yesus kepada saya? Apakah tepat dengan karakter Allah yang saya kenal melalui Kristus? Jika demikian, maka bagian tersebut sah dan otoritatif. Jika tidak, maka saya tidak dapat menerima keabsahan dan otoritasnya.

Hal ini menempatkan kita dalam sebuah kebingungan: Apakah semua pengetahuan akan Allah bersifat subjektif? Tidakkah itu men jadi soal penilaian sewenang-wenang yang bergantung pada pan dangan setiap individu? Bahaya itu selalu ada. Namun, risiko tersebut diperkecil jika dengan setia kita membiarkan diri kita dite-rangi dengan gambaran Allah dalam Kristus menurut Perjanjian Baru. Di sini ada sebuah pengetahuan objektif yang tidak dapat di-sangkal orang, walaupun terbatas karena kemanusiaannya. Jadi, kita tidak mendekati teks semata-mata dengan subjektivitas. Teks Perjanjian Baru menyediakan sebuah pandangan tentang Allah bagi kita—sifat, karakter, dan kehendak Allah. Subjektivitas dan objek-tivitas bertemu, dan, dengan dituntun oleh Roh Kudus, kita dapat membiarkan pikiran Kristus lahir dalam berbagai peristiwa konkret dalam sejarah atau dalam berbagai teks konkret dalam Alkitab; kita dapat menyimpulkan apakah Allah dipuaskan atau tidak dipuaskan dengan bertanya apakah hal tersebut cocok atau tidak cocok dengan karakter Allah sebagaimana yang kita pelajari melalui Kristus. Pem-

Alkitab dan Pembebasan 97

be basan terjadi melalui pengaplikasian dan penggunaan kunci hermeneutis ini. Teks-teks Alkitab dan berbagai peristiwa atau krisis kontemporer menjadi suatu kesempatan untuk mendengarkan dan membicarakan Firman Allah pada masa kini. Kita tidak perlu me-mak sa suatu teks untuk menghasilkan sebuah penjelasan yang menyenangkan atau menyatakan sesuatu demi melegitimasi ideo logi atau prasangka kita sendiri; kita bebas membuka diri untuk men-dengarkan apa yang dikatakan oleh Allah dalam Kristus kepada kita melalui teks itu pada saat ini.

Mungkin bisa lebih sederhana. Betapa sering orang Kristen Pa-les tina diperhadapkan dengan situasi eksistensial yang sulit: mereka frustrasi; merasa putus asa; merasa bahwa Allah melawan mereka. Namun, penggunaan kunci hermeneutis ini dapat membantu mereka untuk memahami bagaimana Allah aktif terlibat dalam situasi mere-ka dan bagaimana Allah berbicara kepada mereka.

Segala sesuatu menjadi lebih jelas ketika kita menerapkan her meneutik ini terhadap teks-teks tertentu dari Alkitab. Ada bebe-rapa bagian dalam Perjanjian Lama yang berbagai pandangan dan bahkan pernyataan teologisnya tidak perlu diakui oleh orang Kris ten pada masa kini, karena mencerminkan sebuah tahap awal pema-haman manusia tentang wahyu Allah yang bertentangan dengan pe-mahaman manusia tentang Allah sebagaimana yang disingkapkan dalam Yesus Kristus. Walaupun tidak menentukan pandangan atau kewajiban tertentu pada orang Kristen kontemporer, bagian-bagian ini tetap berharga secara pedagogis. Nilai teks-teks tersebut terletak pada aspek negatifnya: teks-teks tersebut menjelaskan apa yang bukan Allah, sama banyaknya dengan penjelasan tentang apa Allah itu sebenarnya. Teks-teks tersebut menawarkan kepada orang Kristen gambaran tentang Allah yang kontradiksi dengan cara Allah dikenal dan dipahami melalui Yesus Kristus. Dilihat dari perspektif ini, seluruh Alkitab bernilai, tetapi tidak semua bagiannya memiliki nilai dan otoritas yang sama.8 Setiap bagian Alkitab yang membawa manusia pada sebuah pemahaman tentang pernyataan diri Allah dalam Kristus memiliki otoritas dan keabsahan bagi orang Kristen. Oleh karena itu, Alkitab tetap merupakan Firman Allah, ”bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran”,9 namun tetap tunduk pada konsep otoritatif, yaitu pernyataan Allah dalam Kristus.

150 Semata-mata Keadilan

memungkinkan kemustahilan dan dalam politik memungkinkan ke-kejaman.”49 Konfl ik Israel-Palestina memberikan sebuah persoalan penting baik dari sisi orang Yahudi maupun orang Palestina. Ci-ta-cita mutlak bagi banyak kaum Zionis adalah pencapaian Israel Raya.50 Pada saat yang sama, bagi banyak orang Palestina, cita-cita absolut adalah memperoleh kembali seluruh tanah Pa lestina.51

Sebuah cita-cita absolut seperti itu tidak akan tercapai tan pa me-makai kekuatan, dan spekulasi proses pencapaian cita-cita ab solut ini akan memberikan risiko atas kehidupan jutaan orang. Keadilan tidak memiliki tempat dalam spekulasi yang demikian; kekuasaan militer pasti akan mengambil alih. Berbagai kelaliman dan ke be-ngisan akan menjadi konsekuensi yang tak tertahankan. Ketika yang absolut menjadi tujuan, tidak perlu dipertanyakan lagi tentang cara-caranya, selama mereka meraih tujuan itu.52 Beberapa orang mungkin dapat membantah bahwa ekstremisme yang demikian hanya dapat diperiksa oleh pengembangan rasionalitas dan pertumbuhan keinginan baik yang diilhami secara religius.53 Situasi di Israel, yang sejak tahun 1967 didukung keras oleh semangat religius, tidak membenarkan satu teori pun. Pengejaran tujuan absolut meniadakan kemungkinan untuk meletakkan fanatisme ini di bawah pengaruh akal budi dan hati nurani. Hanyalah kekuatan dan kekerasan yang merupakan alat untuk mencapai cita-cita tersebut. Dalam beberapa kasus, keadilan dikorbankan oleh kekuasaan dan dikurbankan di atas altar keterpaksaan.

Bidang kedua, yang sangat mirip dengan yang pertama, harus ber urusan dengan kecurangan kekuasaan yang muncul ketika hasrat hidup manusia untuk hidup aman diubah menjadi penaklukan dan pengendalian orang lain sebagai satu-satunya cara yang mungkin ditempuh untuk memperoleh keamanan tersebut. Niebuhr pernah berkata bahwa ”tidak seperti makhluk ciptaan lainnya, ma nusia dianugerahi dan dikutuk dengan sebuah imajinasi yang memperluas nafsunya melampaui kebutuhan hidup.”54 Di alam, kita dapat meng-amati bahwa hewan membunuh hanya ketika mereka lapar dan ber-kelahi atau lari hanya ketika mereka dalam bahaya. Namun gerak hati manusia untuk mempertahankan diri dapat dengan mudah diubah menjadi sebuah hasrat untuk membesar kannya, sehingga keinginan untuk hidup diubah menjadi keinginan berkuasa:

Jeritan Orang Palestina... 149

se buah rasa keadilan. Rasa keadilan, seperti yang dikatakan oleh Niebuhr, adalah ”hasil pikiran, bukan hasil perasaan. Itu merupakan hasil dari desakan akan budi atas konsistensi.”46 Bagaimanapun, kemampuan akal budi untuk menjadi konsisten dihalangi oleh kemabukan dan kecurangan kekuasaan. Jauh lebih mudah bagi pe-merintahan represif rezim militer untuk berusaha menjadi der mawan daripada menjadi adil. Simpati dan kedermawanan dalam beberapa kasus merupakan tempat memamerkan kemunafi kan. Ini diarahkan oleh kepentingan pribadi atau kepentingan nasional dari penguasa dan keengganan mereka untuk memberikan keadilan bagi orang lain ketika bentrok dengan kepentingan pribadi atau nasionalnya.

Bahkan yang lebih menakutkan lagi adalah sebuah ke pentingan nasional suatu negara—dan kekuasaan para pemimpin yang ingin mengejar ambisinya yang tidak adil dan egois—dapat menjadi kuat. Dalam hal ini, demokrasi maupun agama tidak mampu me lem-butkannya. Napoleon pernah berhasil dalam memanfaatkan sen-timen demokratis di Prancis ketika menciptakan sebuah tirani yang membuat Eropa banjir darah: sungguh mengejutkan bahwa ”impian kesetaraan, kemerdekaan, dan persaudaraan Revolusi Pran cis da pat berbalik dengan cepat menjadi mimpi buruk imperialisme Napoleon.”47 Sebuah ilustrasi klasik tentang penyelewengan sentimen religius adalah penjelasan Presiden Amerika Serikat William McKinley (1897–1901) kepada sekelompok rohaniwan tentang bagaimana ia bisa tiba pada keputusan menjajah Filipina:

Saya menyusuri Gedung Putih setiap malam sampai la rut; dan saya tidak malu untuk berkata kepada Anda, tuan-tuan, bahwa lebih dari satu malam saya berlutut dan berdoa kepada Allah yang Mahakuasa untuk memperoleh terang dan petunjuk-Nya. Dan pada satu malam terjadilah hal demikian—tidak ada yang bisa kita lakukan selain meng ambil alih semuanya, dan untuk mendidik warga Fi lipina, dan mengangkat, memberikan peradaban, serta mengkristenkan mereka. Dengan anugerah Allah, kita da pat melakukan apa yang terbaik bagi mereka, sebagai saudara-saudara yang kepadanya juga Kristus telah mati. Dan kemudian, saya masuk kamar dan tidur nyenyak.48

Contoh kecurangan lebih lanjut diamati ketika mereka yang ber-kuasa mengejar sebuah tujuan absolut: ”Dalam agama, (absolutisme)

98 Semata-mata Keadilan

Untuk menggambarkan pokok ini, kita dapat melihat kisah run tuhnya Yerikho (Yos. 6), yang melibatkan perintah Allah untuk ”menumpas dengan mata pedang segala sesuatu yang di dalam kota itu, baik laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda, sampai kepada lembu, domba, dan keledai”.10 Untuk hal seperti ini perlu ditambahkan juga deklarasi yang diucapkan Yosua sebelumnya kepada anak-anak Israel, ”Dan kota itu dengan segala isinya akan dikhususkan bagi TUHAN untuk dimusnahkan”.11 Apakah bagian itu, yang dihubungkan dengan Allah, konsisten dengan bagaimana Allah dinyatakan dalam Yesus Kristus? Jika tidak, kita harus mengatakan bahwa itu hanya merupakan pemahaman manusia tentang sifat dan tujuan Allah yang digantikan atau diperbaiki oleh pernyataan da lam Kristus. Dengan perkataan lain, bagian-bagian semacam itu merupakan pengungkapan suatu tahap perkembangan pemahaman manusia tentang Allah yang perlu kita lihat, dalam terang pernyataan Kristus, sebagai bagian yang belum memadai dan belum lengkap.

Ilustrasi nyata lainnya yang dapat dikatakan dari kehidupan Elisa:

Elisa pergi dari sana ke Betel. Dan ketika ia sedang mendaki, keluarlah anak-anak dari kota itu, lalu mencemoohkan dia serta berseru kepadanya: ”Naiklah botak, naiklah botak!” Lalu berpalinglah ia ke belakang, dan ketika ia melihat mereka, dikutuknyalah mereka demi nama TUHAN. Maka keluarlah dua ekor beruang dari hutan, lalu mencabik-cabik dari mereka empat puluh dua orang anak.12

Masalah yang dimunculkan oleh bagian ini dari perspektif orang Kristen dapat diungkapkan dengan mengajukan berbagai pertanyaan teologis berikut: Apa yang bagian ini ajarkan tentang Allah? Apakah bagian tersebut merefl eksikan pemahaman akan kehendak Allah yang dapat diterima oleh orang Kristen dalam terang pengetahuan mereka akan pernyataan Allah dalam Kristus? Jika tidak, dapatkah bagian itu dianggap sah dan otoritatif bagi kehidupan mereka?

Bagian-bagian semacam ini dan yang serupa dengan itu harus selalu dibaca secara historis dan kontekstual. Dalam Sitz im Leben-nya, bagian-bagian tersebut merefl eksikan pemahaman manusia ten tang Allah yang sangat berbeda dengan Allah dalam Kristus yang telah dialami oleh orang Kristen—Allah kasih, keadilan, dan perdamaian. Bagi gereja di Timur Tengah, bagian-bagian semacam

Alkitab dan Pembebasan 99

itu tidaklah memiliki wibawa dan absah bagi pemahaman manusia akan Allah.

Sungguh tragis ketika orang mengajukan rincian bagian-bagian tertentu Perjanjian Lama, mengangkat bagian-bagian tersebut ke dalam abad ke-20, dan bermaksud mengimplementasikan tuntutan-tuntutannya pada masa kini. Alkitab kemudian menjadi senjata ampuh dalam genggaman beberapa orang militan beraliran keras yang siap bertindak sesuai perintah Allahnya untuk menekan, mem-bunuh, dan membantai lawan-lawannya.

Satu kasus yang terjadi misalnya cara beberapa orang militan Yahudi kontemporer yang memperdebatkan penggunaan istilah ”genosida” ketika berhadapan dengan masalah Arab. Pada 1984, Rabi Moshe Segal—yang dulunya bersekutu dengan teroris bawah tanah Menachem Begin, Kelompok Irgun—membandingkan penduduk Pa-lestina di Tepi Barat dan Gaza dengan orang Amalek. Kita dapat mengingat kembali kisah orang Amalek dalam 1 Samuel 15: Raja Saul mengutus tentara untuk memerangi orang Amalek sebagai ben tuk balas dendam atas penyerangan yang terjadi pada bangsa Israel ketika mereka sedang dalam pengembaraan beberapa generasi sebelumnya setelah peristiwa eksodus dari Mesir. Saul dengan jelas, secara khusus, diperintahkan oleh Nabi Samuel—sesuai perintah Allah—untuk menjatuhkan herem, atau larangan, dan untuk meng-hapus ingatan tentang Amalek dari muka bumi.13

Beginilah fi rman TUHAN semesta alam: ”Aku akan mem-balas apa yang dilakukan orang Amalek kepada orang Israel, karena orang Amalek menghalang-halangi mereka, ketika orang Israel pergi dari Mesir. Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai.”14

Rabi Segal mencatat, ”Kita perlu mengasihani seluruh ciptaan... na-mun perlakuan terhadap orang Amalek—adalah hal yang berbeda. Perlakuan terhadap mereka yang akan mencuri tanah kita—itu ber-beda. Perlakuan terhadap mereka yang menumpahkan darah kita—berbeda.”15

Bagaimana mungkin seorang manusia beradab mengutarakan pernyataan-pernyataan demikian? Sang rabi sedang mengangkat

148 Semata-mata Keadilan

pasitas makhluk hidup biasa yang tidak memungkinkan mereka untuk memberikan kepada orang lain apa yang diklaim untuk di-ri mereka.”44 Kekuasaan menjadi sebuah senjata ampuh untuk ke-untungan pribadi maupun nasional tanpa sedikit pun pengakuan atas hak orang lain; kepentingan pribadi atau kepentingan nasional membutakan akal dan logika. Ini merupakan contoh dalam kon-fl ik Israel-Palestina. Banyak orang Yahudi Barat telah berada di barisan depan perjuangan demi hak asasi manusia di Amerika Se-rikat dan Eropa, dan mereka telah mengklaim bahwa komitmen me-reka bertumbuh dari warisan kaya Yudaisme dan berakar dalam pengajaran-pengajaran etis para nabi. Paradoksnya, banyak di an-tara mereka yang kurang mampu melihat tindakan ketidakadilan yang dilakukan oleh Negara Israel. Sekali berbagai ketidakadilan di-sebutkan, mereka merasa terancam dan menjadi defensif. Mereka cepat merasionalkan dan menghakimi berbagai tindakan yang tidak adil itu. Tindakan seperti itu akan mereka kutuk jika dilakukan oleh pihak lain selain Negara Israel.45

Sebuah rasionalisasi umum menunjukkan berbagai prestasi besar Negara Israel dalam meningkatkan standar-standar pendidikan dan ekonomi dari para warga negara berkebangsaan Arab dan bagi mereka yang hidup di wilayah pendudukan. ”Orang Arab tidak per nah memiliki yang sebaik itu” merupakan klaim yang umum. Kemurahan hati dan kebajikan Israel dianggap sebagai kompensasi yang cukup untuk setiap kesusahan dan ketidakadilan yang dapat dirasakan oleh orang Arab. Namun, seperti yang sering dikatakan, ”seorang budak dengan perut kenyang tetaplah seorang budak”; mas yarakat yang telah menderita akibat ketidakadilan lebih mencari keadilan daripada sebuah standar kehidupan yang lebih tinggi.

”DESAKAN AKAL BUDI TERHADAP KONSISTENSI”

Sudah menjadi bagian dari kecurangan kekuasaan bahwa peme-rintahan yang represif secara keliru memercayai bahwa melalui kebajikan mereka dapat meletakkan dasar kebenaran bagi ber-bagai relasi harmonis dengan masyarakat yang mereka pimpin. Pemerintahan yang demikian tidak dapat melihat bahwa apa yang sangat dibutuhkan masyarakat bukanlah kebajikan, melainkan

Jeritan Orang Palestina... 147

ketidakadilan, yang akhirnya membuat rezim itu bersalah atas ba-nyak ketidakadilan dan penyelewengan kekuasaan serupa atau bah kan yang lebih besar. Kedua kekuatan, yaitu keadilan dan ke-kuasaan yang sangat dibutuhkan untuk saling melengkapi, telah men jadi dua musuh yang saling bertentangan di Israel dan telah menciptakan sebuah lingkaran setan kekerasan dan penderitaan bagi ribuan warga Palestina.39

Adalah bagian dalam tragedi manusia bahwa keadilan di antara manusia tidak selamanya diberikan, namun hampir selalu harus diperjuangkan. Penguasa menolak untuk memberikan keadilan, dan kekuasaan harus ditantang dengan kekuasaan daripada de ngan pendekatan moral atau rasio.40 Bahkan proses-proses yang me -ra gukan ini menjadi semakin tidak efektif dalam sebuah dunia di mana kekuasaan tidak disebarkan secara merata. Jika tidak ada kekuatan yang sepadan dengan kekuatan para penjahat dan yang tidak memperbaiki kesalahan yang mereka lakukan, ketidakadilan cenderung diabadikan dan ditingkatkan.

Keseimbangan antara kekuasaan yang berhadapan dengan ke-kuasaan ini juga memiliki dilema dalam dunia masa kini. Kekuasaan dapat di pergunakan oleh setiap negara adikuasa, Amerika dan (eks) Uni Soviet, untuk menghalangi serangan dari yang lainnya; namun itu tidak juga mencegah mereka memupuk berbagai konfl ik yang saling menghancurkan di antara negara-negara yang lebih kecil da-lam prosesnya, serta menciptakan banyak kesempatan terjadinya agresi dan ketidakadilan di dalam negara-negara kecil itu. Ini dapat terjadi baik secara langsung atau tidak langsung.41 Keseimbangan antara kekuasaan dan tingkat kedamaian terpelihara di antara kekuasaan-kekuasaan raksasa, sementara negara-negara yang lebih kecil dan lebih lemah dibinasakan dan dihancurkan serta jutaan manusia menderita dan mati.42

Untuk memahami luasnya dilema antara kekuasaan dan ke-adilan, sangat penting untuk menitikberatkan pada kecurangan ke-kuasaan. Dua di antaranya berkaitan langsung dengan konfl ik di Timur Tengah.

Yang pertama adalah apa yang disebut Reinhold Niebuhr ”ke-terbatasan pikiran dan imajinasi manusia, ketidak mampuan ma-nusia untuk menjauhkan kepentingan-kepentingan pribadinya.”43 Sifat manusia adalah seperti itu; meskipun dapat dipikirkan oleh setiap orang untuk mengakui hak dan kebutuhan keluarganya, ke-rabatnya, dan para sahabatnya, ”ada batasan yang jelas dalam ka-

100 Semata-mata Keadilan

ba han dari Alkitab Ibrani yang diaplikasikan pada suatu tahap pe rkembangan orang Israel lebih dari 3.000 tahun yang lalu dan menggunakannya pada abad ke-20 untuk menghasut pemusnahan seluruh manusia! Karena ia menamakan orang Palestina sebagai ”Amalek”, maka mereka tidak termasuk dalam kategori ”seluruh cip-taan”, sehingga ”belas kasihan” tidak berlaku atas mereka. Kita dapat melihat logika jahat di balik kata-kata tersebut, ketika ia menuduh orang Palestina mencuri ”tanah kami” dan menumpahkan ”darah kami”. Namun, dalam kenyataannya, orang Yahudi Israel yang sela-ma ini telah mencuri tanah di berbagai wilayah Israel-Palestina dan menumpahkan darah orang Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Jelas, perkataan sang rabi dapat diterima oleh kaum militan sayap kanan yang berpegang pada klaim atas tanah pada ribuan tahun yang lalu.

Kasus Rabi Segal tidak dapat dianggap sebagai sebuah insiden yang tertutup. Seorang pakar yang lebih dihormati, Rabi Israel Hess dari Bar Ilan University di Israel, menerbitkan artikel ”The Genocide Ruling of Torah”, yang juga membandingkan orang Arab dengan orang Amalek dan dengan tegas menyatakan bahwa pemusnahan mereka telah dimandatkan oleh Taurat.16

Beberapa kaum liberal Israel telah mengkritik pernyataan se-ma cam itu, serta menyadari semua itu sama dengan genosida, yang menimbulkan malapetaka dan penghancuran terhadap ribuan manusia. Namun, pernyataan dari kaum militan tersebut meng-ungkapkan sebuah konsep Allah yang bersifat primitif dan kesukuan, Allah nasionalis yang lebih peduli pada tanah daripada manusianya, lebih suka perang daripada perdamaian. Sebagaimana yang sering dikatakan oleh Rabi Meir Kahane (pendiri Jewish Defense League dan anggota sayap kanan radikal dari Knesset, parlemen Israel), ”Allah kita adalah Allah yang membalas dendam.”17 Sungguh menakutkan membayangkan kata-kata hasutan seperti apa yang dapat diha-silkan. Dengan gamblang, dalam terang kunci hermeneutis kita, konsep-konsep yang demikian harus ditolak. Kata-kata tersebut tidak berasal dari Allah yang benar.

Ilustrasi-ilustrasi semacam itu memperlihatkan pentingnya peng ujian ketika kita menyampaikan perkataan dan perbuatan Allah kepada orang banyak. Karena apa yang dilaporkan sebagai perkataan dan perbuatan Allah dalam bagian-bagian tertentu dari Alkitab tidak serta-merta sama dengan Firman Allah atau pengetahuan yang autentik tentang Allah. Allah memang menyatakannya bagi ki-

Alkitab dan Pembebasan 101

ta melalui sejarah, namun pernyataan ini telah disampaikan me-lalui perantaraan manusia. Manusia tidak hanya terbatas dengan pengetahuan sains dan historis pada masanya; mereka juga sama terbatasnya dalam pengetahuan religius, yakni dalam pengertian dan pandangan tentang Allah. Bagi orang Kristen, gambaran normatif Allah semata-mata telah digenapi dalam Yesus Kristus. Oleh karena itu, keprihatinan para pastor-teolog adalah bagaimana menolong jemaat untuk mengenal Allah, untuk memahami Alkitab, dan kemu-dian bertumbuh dalam iman serta kasih Allah. Hal ini tidak selalu memberikan kemudahan bagi keruwetan keadaan manusia yang parah. Namun, inilah tantangan bagi semua orang Kristen yang, de-ngan pertolongan dan tuntunan Roh Kudus, ingin menghidupkan imannya secara lebih bermakna dan bermanfaat.

Tiga Tema Sentral AlkitabDengan menggunakan hermeneutik ini—menafsirkan kisah tindakan Allah dalam sejarah dengan terang pengetahuan kita akan Allah dalam Kristus—Alkitab dapat dimiliki kembali oleh orang Kristen Palestina. Tanpa melunakkan atau memaksakannya, Alkitab dapat dikontekstualisasikan sehingga dapat berbicara kepada semua orang dengan berbagai kondisi mereka saat ini. Saya telah memilih tiga tema alkitabiah dari Alkitab Ibrani, yang dipahami dalam semangat kunci hermeneutis kita, yang saya yakin sangat berguna bagi orang Kristen Palestina maupun orang Kristen lainnya sebagai bagian dari teologi pembebasan mereka.

Nabot dan Allah Keadilan (1Raja-raja 21)

Kebanyakan teologi pembebasan menggunakan kisah Eksodus (Ke-luaran) sebagai paradigma mereka. Namun, cara di mana pesan tersebut telah diselewengkan oleh kaum Zionis religius dan funda-mentalis Kristen, yang melihatnya sebagai panggilan agar orang Ya-hudi kembali secara fi sik ke tanah itu pada abad ini, telah mem-buat kisah itu sulit diterima oleh orang Palestina pada saat ini. Mung kin ini mengejutkan banyak orang. Oleh karena itu, saya akan menjelaskannya secara singkat.

Kisah-kisah alkitabiah Eksodus dari Mesir, yang dibaca dalam pe ngertian konsep primitif tentang Allah secara tidak kritis, telah di-sadur oleh banyak kaum Zionis religius Yahudi dan fundamentalis

146 Semata-mata Keadilan

merusak, meracuni, dan menipu kita. Nabi Mikha menunjukkan sebuah contoh, ketika berbicara kepada petinggi rakyat Yehuda, yang melihat bahwa kekuasaan yang mereka miliki telah memberi hak untuk bertindak sesuka hati. Sumber segala impian mereka adalah kesempatan yang muncul dari kekuasaan mereka. Kekuatan telah menjadi hak mereka.35

Celakalah orang-orang yang merancang kedur janaandan yang merencanakan kejahatan di tem pat tidurnya;

yang melakukannya di waktu fajar,sebab hal itu ada dalam kekuasaannya;

yang apabila menginginkan ladang-ladang, me re ka merampasnya,

dan rumah-rumah, mereka menye robot nya;yang menindas orang dengan rumahnya,

manusia dengan milik pusakanya!36

Perkataan Mikha tampaknya relevan dengan konfl ik Israel-Palestina, di mana kaum Zionis yang penuh kuasa telah mengungkapkan de-ngan sangat tepat apa yang diperingatkan oleh Mikha supaya tidak dilakukan oleh para pendengarnya. Kekuasaan terkadang meracuni orang-orang yang memilikinya dan mengaburkan rasa benar atau salah sehingga mereka dapat memutuskan dan merasionalkan tin -dak an mereka yang sangat buruk. Di bawah kedok ”keamanan na-sional” atau ”kepentingan nasional”, semua bentuk ketidakadilan dapat dilakukan. Sebuah peringatan yang berkaitan dengan itu di te mukan dalam literatur hikmat yang menunjukkan sebuah ke-cenderungan dalam diri manusia: ”Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya.”37 Kekuasaan dapat berefek meracuni manu-sia. Pada satu sisi, saya yakin orang Yahudi Israel akan setuju bahwa keadilan jauh lebih baik untuk mereka daripada ketidakadilan; pada sisi yang lain, sekali mereka berada pada sebuah tampuk kekuasaan, pengertian mereka tentang keadilan menjadi kabur. Seperti yang dicanangkan oleh Coote, ”Apa yang lebih baik bagi kita pada saat kita tak berdaya tidak selalu baik bagi orang lain pada saat kita se-dang berkuasa.”38

Berbagai dilema dan paradoks yang demikian menggarisbawahi berbagai kudeta yang sering terjadi di banyak negara. Sebuah rezim politik menumbangkan rezim lainnya dalam rangka memperbaiki

Jeritan Orang Palestina... 145

untuk menunjukkan dilema teologis tentang kekuasaan dalam Ne-gara Israel.

Kekuasaan yang saya maksudkan adalah kemampuan sese-orang atau satu kelompok untuk menghasilkan sebuah tindakan, guna membawa perubahan, dan mencoba mencapai sebuah tuju-an yang diharapkan. Ada berbagai jenis kekuasaan yang berbeda-beda. Yang paling jelas di dunia pada saat ini adalah kekuasaan militer, politik, dan ekonomi. Secara teologis, Allah, yang adalah Allah keadilan, adalah juga Allah dari kekuasaan dan kekuatan. Di dalam Allah, keadilan dan kekuasaan dipadukan seutuhnya se-ba gai keadilan dan cinta Allah. Allah, sumber segala kekuasaan, mem berikan kekuasaan kepada manusia untuk menggenapi tuju-an suci keadilan dan kedamaian di bumi. Karena itu, keadilan di-percayakan Allah kepada manusia; namun seperti halnya ber bagai kepercayaan yang lain, kekuasaan dapat digunakan entah secara bertanggung jawab atau benar-benar diselewengkan. Kekuasaan da-pat membawa berkat atau menjadi sebuah kutukan. Konsekuensi yang demikian tidak melekat dalam kekuasaan itu sendiri melain-kan dalam kondisi manusia yang penuh dosa yang menaruh ke kua-saan pada penggunaannya secara bertanggung jawab atau ti dak. Kekuasaan dapat digunakan untuk memelihara keadilan, ke da-mai an dan keteraturan dalam masyarakat; atau kekuasaan dapat menghancurkan segalanya. Dalam kondisi yang paling buruk, ke-kuasaan dapat menjadi sebuah ”racun yang membutakan mata pe-mahaman moral dan melemahkan tujuan moral itu.”34

Kekuasaan sangat erat terkait dengan keadilan, sama halnya bahwa keduanya dengan mudah dapat dicampuradukkan. Ini se-tiap hari tergambarkan oleh klaim-klaim yang kerap muncul dari penguasa—sering kali oleh para kepala pemerintahan—bahwa ke-kuasaan mereka diperoleh secara adil dan digunakan untuk tu juan keadilan.

Kepemilikan kekuasaan oleh manusia tidak selalu menghasil-kan atau menjamin keadilan. Hanya kekuasaan Allah yang selalu menciptakan keadilan. Lebih dari itu, keadilan pada dirinya sendiri penuh dengan kekuasaan. Karena bertentangan dengan segala hal yang tampak, dunia ini seharusnya dipimpin oleh keadilan. Allah, yang di dalamnya keadilan dan kekuasaan menyatu, tidak akan membiarkannya.

Bagaimanapun, pelaksanaan keadilan dan kekuasaan oleh Allah tidak selalu tepat oleh manusia. Terlalu mudah kekuasaan

102 Semata-mata Keadilan

Kristen ke dalam abad ke-20. Ini tidak dapat diterima secara teologis dari sudut pandang orang Kristen. Bagi orang Yahudi yang datang untuk membangun negara Israel, perjalanan mereka menuju Pa-lestina merupakan sebuah eksodus dari berbagai bangsa di mana mereka telah hidup dan suatu kepulangan menuju tanah perjanjian. Jelas, bagi mereka gambaran tersebut telah menghubungkan masa lalu yang kuno dengan masa kini.

Akan tetapi, penyaduran yang tidak kritis ini telah menempatkan orang Palestina sebagai orang Kanaan kuno yang mendiami tanah ter sebut pada waktu itu dan yang dengan perintah Allah harus dica-but hak kepemilikannya. Dalam pikiran banyak orang, Eksodus dan penaklukan Kanaan merupakan sebuah tema yang menyatu dan tak terpisahkan, karena untuk eksodus, diperlukan tanah perjanjian. Memilih motif penaklukan tanah per janjian berarti mengundang keinginan untuk penindasan, asimilasi, pengendalian, atau penca-but an hak penduduk pribumi. Itulah meng apa hal ini sulit, dalam teologi Pembebasan Palestina, untuk menemukan keseluruhan mak na peristiwa Eksodus. Kisah itu pada akhirnya dapat diklaim ulang ketika orang Palestina menikmati eksodus mereka sendiri dan kembali ke tanah air mereka. Namun, harapan saya adalah bahwa eksodus dan kepulangan mereka tidak terjadi dalam penaklukan, penindasan, atau pencabutan hak milik. Tentu saja konsep tentang Allah yang begitu mengerikan tidak diterima. Alih-alih berbagai perang dan pertumpahan darah dalam Alkitab, saya berharap orang Palestina dapat kembali untuk berbagi tanah Israel-Palestina. Ini merupakan bentuk kepulangan yang di kehendaki Allah yang telah kita saksikan dalam seluruh wahyu Alkitab—Allah keadilan, belas kasih, dan perdamaian.

Sebuah tema yang lebih relevan ditemukan dalam kisah Nabot dan kebun anggurnya, sebuah kisah kuno dengan sebuah nada yang baru. Kematian dan pengambilalihan hak Nabot serta keluarganya telah ribuan kali dihidupkan sejak pembentukan negara Israel. Jika direduksi ke intinya, kisah tersebut mewujudkan tragedi Palestina sebagaimana juga penindasan terhadap hak setiap individu. Akan tetapi, kisah ini lebih dari sekadar sebuah kisah tragedi, karena pada jantung kisah tersebut ada Allah sebagai Allah keadilan, Allah yang memimpin sejarah, yang tidak pernah melupakan, dan tidak membiarkan ketidakadilan merajalela selamanya.

Nabot (sebuah nama yang berhubungan dengan kata Arab na-bata, yang berarti ”bertunas” atau ”bertumbuh”) memiliki tanah

Alkitab dan Pembebasan 103

di Yisreel, tidak jauh dari Beisan/Beth Shean.18 Sebagai warisan dari para leluhurnya, tanah itu sangat berharga baginya, bahkan suci, sebagaimana yang berlaku dalam berbagai kebudayaan Timur Tengah lainnya.

Tanah milik Nabot itu terletak berdampingan dengan istana Raja Ahab (869–850 SM) di Yisreel, sebagai ibu kota kedua. Sang raja ingin memperluas tanahnya dan mau membeli tanah milik Nabot. Nabot menolaknya. Itu bukan persoalan tentang uang; tanah itu merupakan harta warisan keluarga yang diturunkan dari generasi ke generasi dan ia tidak akan pernah keluar dari tradisi itu.

Sang raja gusar dan marah. Ia sangat menginginkan tanah itu, namun uang dalam jumlah yang besar pun tidak mengubah pikiran Nabot. Istri Ahab, Ratu Isebel, memiliki solusi yang sempurna. Secara diam-diam ia merencanakan untuk melawan Nabot melalui sebuah kons pirasi yang melibatkan peranan para ”tua-tua dan pemuka” kota dan kesaksian orang-orang dursila.

Nabot diadili dan difi tnah telah menghujat Allah dan raja. Tan-pa seorang pun yang membelanya, Nabot dihukum mati dengan cara dilempari batu. Rupanya, anak-anak laki-lakinya pun dibunuh dengan cara demikian.19 Tanah Nabot pun diambil alih dan dicaplok oleh sang raja.

Nabi Elia diperintahkan Allah untuk menentang raja karena ke jahatan yang tersembunyi. Perjumpaan mereka terjadi di kebun anggur Nabot, di mana Elia menyatakan penghakiman ilahi bagi sang raja dan istrinya. Beberapa tahun kemudian, sang raja terbunuh dalam peperangan; kira-kira 10 tahun setelah itu, istrinya mati dengan cara yang sangat mengenaskan. Keadilan yang pasti dan tepat dibagikan sebagai hukuman atas kejahatan.

Kisah Nabot memberi sebuah paradigma alkitabiah yang sentral bagi teologi pembebasan Palestina. Dalam menyajikan kisah ini, saya ingin menekankan tiga hal:

1. Kisah tersebut mengungkapkan sikap tidak kompromi Allah da lam hal keadilan. Tanah tersebut adalah milik Nabot dan ke-luar ganya. Karena ia tidak berdaya dan tidak dibela, ia di kor -bankan dan tanahnya diambil alih. Penguasa memiliki sarana untuk mewujudkan tindakan curang mereka. Mereka punya banyak kaki tangan. Mereka dapat menuduh siapa pun yang mereka pilih, membuang, dan mengambil alih tanahnya. Orang Palestina sama dengan kisah Nabot. Keadilan bagi mereka

144 Semata-mata Keadilan

Mengingat prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari masyarakat seperti yang tercatat dalam pa-sal 1 dan 55 Perjanjian PBB, serta ditegaskan kembali dalam Deklarasi Prinsip-prinsip Hukum Internasional Tentang Relasi dan Kerja Sama yang Bersahabat di Antara Bangsa-bangsa (De wan Legislatif PBB), mengakui bahwa masyarakat Pa lestina diberikan hak hidup dan menentukan nasib yang setara, sesuai dengan Perjanjian PBB.33

Karena Israel menolak untuk memberikan penentuan nasib sendiri kepada warga Palestina, maka mereka tetap hidup di negara mereka sendiri di bawah hukum pendudukan yang tidak adil, yang secara perlahan menanggalkan hak-hak mereka atas tanah dan negara sendiri.

Contoh-contoh ini, walaupun singkat, dengan jelas menggam-barkan ambiguitas dalam hubungan antara keadilan dan hukum yang ada di Israel-Palestina sebagai akibat dari keengganan Ne gara Israel untuk tunduk pada hukum internasional dan memberikan ukuran keadilan yang setara kepada warga Palestina yang telah dituntut dan diklaim dari negara itu.

Namun, walaupun ada semua ambiguitas ini, hukum internasi-onal tetap mejadi sebuah faktor penting yang dapat memainkan peran yang sangat menentukan dalam meraih keadilan dan kedamaian di Timur Tengah jika Israel mau mengikutinya. Ini membutuhkan sebuah dedikasi yang mendalam terhadap keadilan bagi semua orang, bahkan bagi musuh sekalipun, yang, maaf untuk dikatakan, selama ini tidak ditunjukkan oleh Israel.

DILEMA TEOLOGIS TERHADAP KEKUASAAN DAN KEADILAN

Kekuasaan, seperti halnya hukum, adalah sebuah kekuatan yang sangat berhubungan dengan keadilan; yang merupakan sarana un-tuk meningkatkan keadilan di dunia, namun terlalu sering disa-lah gunakan. Anugerah bahwa hukum dan kekuasaan seharusnya dilimpahkan kepada manusia dengan mudah dapat berbalik menjadi sebuah kutuk dalam berbagai situasi konfl ik. Tujuan saya adalah

Jeritan Orang Palestina... 143

Cattan dengan analisis hukum yang saksama telah memperlihatkan bahwa baik Deklarasi Balfour maupun Resolusi Pembagian Wilayah Palestina bukanlah landasan yang sah untuk sebuah tindakan di bawah hukum internasional.30 Bahkan jika kita mengakui bagi Israel tentang keabsahan kedua dokumen tersebut dalam hukum internasional, kita selanjutnya harus mengakui bahwa Israel tidak memenuhi berbagai syarat untuk perlindungan hak asasi manusia yang ditentukan dalam kedua dokumen itu. Deklarasi Balfour secara khusus menyatakan bahwa ”tidak boleh terjadi hal-hal yang dapat mem bahayakan hak-hak sipil dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang sedang hidup di Palestina”. Re solusi Pembagian Wilayah menjamin ”kepada semua orang hak yang sama dan non-diskriminatif dalam aspek sipil, politik, ekonomi, dan ke-agamaan serta kebebasan menikmati hak asasi manusia serta ke-bebasan fundamental, termasuk kebebasan beragama, berbahasa, berbicara dan publikasi, pendidikan, berkumpul dan berpikir”. [Bab I, Bagian B (10)(d)]

Dalam Konvensi Warga Sipil Jenewa tahun 1949—di mana pemerintah Israel merupakan salah satu pendukung utamanya—pasal 49 (6) menyatakan bahwa ”Penguasa pendudukan tidak boleh mengusir penduduk sipil atau mengalihkan penduduk sipilnya sendiri ke dalam wilayah pendudukannya”. Pasal 49 (1) melarang individu maupun kelompok melakukan ”pemindahan paksa” dan ”deportasi” warga sipil dari wilayah pendudukan.31 Bahkan jika kita membiarkan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini selama pembentukan Ne gara Israel seperti yang muncul dari ketidakdewasaannya, ba-gaimana kita dapat mengadili berbagai pelanggaran yang berulang kali ter jadi sejak tahun 1967 di Dataran Tinggi Golan, Gaza, dan Tepi Barat, termasuk yang terjadi di Yerusalem Timur? Pada tanggal 26 November 1973, dengan pemungutan suara 109 berbanding 0, Komite Politik Khusus Dewan Legislatif PBB meloloskan sebuah re-solusi yang menyatakan berlakunya empat Konvensi Jenewa tahun 1949 bagi konfl ik Timur Tengah dan bagi seluruh wilayah yang diduduki.32 Posisi hukum internasional menjadi jelas, namun tidak dapat dilaksanakan.

Pada tanggal 8 Desember 1979, Dewan Legislatif PBB, dengan lebih dari dua per tiga suara mengajukan berbagai pertanyaan pen-ting, memutuskan bahwa warga Palestina diberi hak untuk me-nentukan nasib sendiri:

104 Semata-mata Keadilan

telah dicemoohkan. Namun, mereka merasa dibebaskan keti-ka mengingat bahwa Allah adalah Allah yang hidup dan ti dak melupakan umat-Nya. Allah memegang teguh keadilan; se perti yang ditulis Rasul Paulus kepada orang Kristen di Ga latia, ”Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermain-kan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.”20

2. Secara teologis, negara Israel telah bersalah atas perlakuan buruk yang sama seperti Ahab. Ahab tahu bahwa di hadapan Allah semua manusia sama, termasuk raja.21 Hal ini berbeda dengan cara pandang orang Kanaan. Baal, dewa orang Kanaan, cenderung mendukung status quo, di mana para petinggi di posisi teratas. Jadi, hak dan keistimewaan seorang raja dapat diperluas dengan sewenang-wenang demi memperoleh apa pun yang dikehendaki atau diharapkannya. Namun, hukum etis Yahweh, yang diperjuangkan oleh para nabi, diberlakukan tanpa memihak pada siapa pun: hak, kekayaan, dan kehidupan setiap orang berada di bawah perlindungan ilahi.22 Kapan saja ketidakadilan terjadi, Allah turut campur tangan membela yang miskin, yang lemah, dan yang tak berdaya.

3. Bagian akhir kisah Nabot menampilkan ganti rugi yang se-sung guhnya. Keadilan yang tegas tanpa belas kasih telah di-ungkapkan, walaupun terjadi setelah selang waktu tertentu. Saya tidak ingin terlalu menekankan pada akibat kejahatan Ahab dan caranya serta istrinya mengalami akhir hidup yang menyakitkan. Memang, sebagai orang Kristen, dan dalam terang kunci hermeneutis kita, saya tidak menganjurkan keadilan tanpa belas kasih. Saya sangat menyadari bahwa pada saat ini, sebagaimana pada masa Nabot, banyak orang tetap menyukai penggunaan hukum yang tegas—”mata ganti mata dan gigi ganti gigi”. Seperti yang akan saya tunjukkan kemudian, saya ditolak oleh rumusan tertentu, yang hanya menciptakan lebih banyak ketidakadilan. Saya akan membela keadilan yang di-sertai dengan belas kasih; bukan sebuah penipisan keadilan, melainkan pemberlakuan keadilan secara dinamis dan kreatif untuk mencapai perdamaian di tanah itu. Karena itu, tanpa me nekankan bagian akhir dari kisah tersebut dan tanpa mera malkan berbagai konsekuensi ketidakadilan, saya ingin menegaskan tema dasar keadilan Allah yang memberikan ha-rapan kebebasan bagi mereka yang tertindas.

Alkitab dan Pembebasan 105

Para Nabi Palsu—Sebuah Peringatan Bahaya (1 Raja-raja 22)

Episode ini merupakan sambungan kisah Ahab dan mengandung banyak pelajaran penting berhadapan dengan konfl ik Israel-Pales-tina.

Singkatnya, kisah tersebut mengemukakan sebuah kampanye militer yang direncanakan oleh Raja Ahab terhadap orang-orang Aram. Ia men da pat bantuan dari tetangganya di selatan, Raja Yosafat, yang kemung kinan adalah pengikutnya. Seperti lazim terjadi pada zaman Alkitab, sebelum suatu keputusan militer yang penting ditetapkan, kedua raja mencari tahu nubuat dari Allah. Empat ratus orang na bi dikumpulkan yang, dengan hiruk-pikuk, menubuatkan bahwa seruan melawan orang-orang Aram akan berhasil dan raja akan menang. Seorang nabi bahkan terlalu jauh mendramatisasi kekalahan yang tak dapat dihindari oleh orang-orang Aram. Para nabi nasionalis ini setuju bahwa keputusan militer Raja Ahab sudah sesuai dengan kehendak Allah.

Karena beberapa alasan, Yosafat sedikit sulit dan curiga ter-hadap keputusan itu, dan bertanya kepada Ahab apakah ia sudah bertanya kepada semua nabi. Ahab menjelaskan bahwa ada satu orang yang belum ditanyai, yakni Mikha bin Yimla: ”Aku membenci dia, sebab tidak pernah ia menubuatkan yang baik tentang aku, melainkan malapetaka.”23

Mikha dipanggil ke hadapan para pembesar kerajaan se bagai-mana mestinya. Ketika dipaksa untuk mengatakan kebenaran dan mengungkapkan nubuatan Allah, Mikha memberitakan mala petaka atas seruan perang itu. Dengan kemarahan yang sangat besar, seorang nabi palsu menampar wajah Mikha, dan raja Ahab memerintahkan untuk menangkap Mikha karena nubuatnya yang negatif. Episode itu disimpulkan dengan mempertahankan nubuatan Mikha: penyerangan tersebut gagal, dan Ahab mati dalam pertempuran melawan orang-orang Aram.

Ada beberapa peringatan yang ditemukan dalam kisah ini. Dengan menggunakan kunci hermeneutis kita, berbagai peringatan itu dapat membawa sebuah pembebasan.

1. Sering kali pihak penguasa (para pemimpin dan pemerintah) hanya ingin mendengarkan apa yang menyenangkan hati me-re ka. Mereka mencari dukungan untuk berbagai kebijakan mereka dan tidak selalu peduli dengan moralitas tindakan me-reka. Mereka ingin agar masyarakat menyetujui, menye suaikan

142 Semata-mata Keadilan

di antara mereka tidak memenuhi persyaratan secara hukum.22 War ga Palestina telah diperbolehkan membawa beberapa kasus ke Mahkamah Agung di Yerusalem, namun semua hasilnya tidak pernah memberi harapan. ”Alasannya pertama-tama terletak pada sejumlah larangan untuk menentukan nasib sendiri yang ditetapkan oleh Pengadilan dalam pernyataan hukum yang mengizinkan sidang untuk menghindari urusan dengan persoalan-persoalan menjeng-kel kan yang dimunculkan oleh pendudukan.”23 Beberapa persoalan ini termasuk penolakan Pengadilan untuk memberlakukan hasil Konvensi Jenewa Keempat; penelitian cermat yang terbatas terhadap klaim-klaim tentang ”tujuan-tujuan keamanan”; penggunaan ber-bagai badan hukum yang pura-pura sebagai pengganti per si dangan; berbagai rintangan psikologis; biaya yang harus dike luarkan dalam usaha menuju Mahkamah Agung; dan keadaan Mahkamah Agung yang sukar di tem bus oleh para pengacara Tepi Barat.24 Itulah pengalaman warga Palestina, yaitu bahwa Mahkamah Agung telah mengalah pada otoritas pemerintahan militer di Tepi Barat dan Gaza. Jadi, Mahkamah Agung secara diam-diam telah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan hak politik warga Palestina.25

Akibat berbagai ambiguitas ini, yang diyakini oleh warga Pales-tina membentuk berbagai ancaman nyata, sejak awal mereka telah minta naik banding kepada komunitas internasional, yaitu pada PBB dan hukum internasional. Namun, sampai saat ini, kita tetap menghadapi berbagai ambiguitas yang sesungguhnya. Hukum inter-nasional tidak ada gunanya dan tidak memberikan hasil apa-apa kecuali bila dihargai dan dilaksanakan. Hukum tersebut harus ”di-ajukan secara konsisten dalam rangka mempromosikan objektivi-tas dan keseragaman dalam hubungannya dengan hukum.”26 Dalam konfl ik Israel-Palestina, ada lebih banyak perlindungan terhadap pe-perangan dan kekerasan daripada terhadap hukum internasional. Bahkan telah dinyatakan oleh beberapa pihak bahwa hukum inter-nasional belum dicoba dengan serius untuk menyelesaikan konfl ik Timur Tengah.27 Contoh-contoh berikut diberikan untuk menjelaskan pokok yang penting ini.

Telah dinyatakan dalam Deklarasi Kemerdekaan Israel pada tanggal 14 Mei 1948 bahwa dua dasar hukum untuk pendirian Negara Israel adalah Deklarasi Balfour pada tanggal 2 November 191728 dan Resolusi Pembagian Wilayah Palestina oleh Dewan Legislatif PBB tahun 1947.29 Dalam buku Palestine and International Law, Henry

Jeritan Orang Palestina... 141

kehidupan mereka di Israel, Tepi Barat, dan Gaza dengan ke takutan yang mendalam.18

Berbagai ambiguitas yang demikian tampaknya tidak dapat di atasi ketika banyak hukum negara itu bersifat diskriminatif dan tidak adil terhadap masyarakat pribumi tanah itu. Di dunia masa kini, ada sebuah tanda baik untuk menghadapi semua hukum yang diskriminatif dan tidak adil.19 Hukum internasional—sebuah kumpulan prinsip yang menentukan berbagai batasan penggunaan kekuasaan nasional—dibentuk melalui persetujuan di antara sebuah komunitas bangsa-bangsa. Dengan menjauhkan berbagai kepen-tingan nasional yang individual, hukum itu menampilkan sebuah ekspresi dan catatan tentang hal-hal terbaik yang dilakukan oleh komunitas internasional dalam pelaksanaan kemanusiaan yang adil dan tidak berpihak bagi semua orang. Secara ideal, berbagai hukum nasional harus berada dalam keharmonisan dengan hukum internasional.20

Ambiguitas kedua ditemukan dalam bagaimana cara hukum itu dibuat dan ditetapkan. Ini semata-mata bergantung pada sikap para penguasa yang membuat keputusan, yang—sama dengan para pembuat hukum—tidak dapat sepenuhnya keluar dari sejumlah subjektivitas tertentu, berat sebelah, dan kepentingan pribadi: ”Se-tiap keputusannya mengekspresikan tidak hanya arti hukum, tidak hanya rohnya, tetapi juga roh sang hakim, termasuk semua dimensi yang melekat padanya sebagai seorang pribadi.”21

Sekilas pandang terhadap situasi hukum di Tepi Barat dan di Gaza mengungkapkan berbagai ambiguitas yang melekat dan pe-nindasan terhadap apa yang harus dipatuhi oleh warga Palestina. Sistem hukum yang berlaku di sini merupakan sebuah hukum cam pur aduk antara hukum Ottoman, hukum Inggris, hukum Yor-dania, serta hukum sipil dan militer Israel. Sidang-sidang militer Israel memiliki hak hukum atas penduduk Palestina, yang tidak diizinkan untuk naik banding. Warga Palestina di Tepi Barat dan di Gaza hidup dalam ikatan yang tidak kurang dari 12.000 per-aturan yang dikeluarkan oleh gubernur militer sejak 1967. Pada tahun 1988, lebih dari 50% tanah warga Palestina telah dirampas dengan menggunakan perundangan yang diberlakukan oleh peme-rintahan militer dalam pelanggaran yang mencolok terhadap hukum internasional yang menyinggung persoalan penjajahan tanah-tanah. Semua hakim di persidangan adalah para tentara Israel, beberapa

106 Semata-mata Keadilan

diri, dan melegalkan apa yang sedang mereka lakukan. Setiap kritikan yang muncul dianggap merusak dan negatif; harus diberangus.

2. Akan selalu ada orang-orang ”yes-men/women”, mereka yang meng gaungkan rasa nasionalis dan menjadi budak praktik poli-tik seperti ke-400 nabi palsu tersebut. Meskipun harus melihat berbagai peristiwa dengan mata keadilan, mereka ha nya melihat kebenaran dan keadilan melalui mata negara. Me muji apa yang mereka katakan dan lakukan, mereka merasa diri lebih unggul daripada rakyat dan penentu kehidupan bangsa. Kenyataannya tidak. Mereka adalah para nabi palsu, dan percaya kepada me-re ka hanya membawa pada kehancuran.

3. Mereka yang melihat berbagai peristiwa dengan mata keadilan pasti tidak disukai dan sering kali dibenci. Bukan kesuksesan dan popularitas yang menarik bagi mereka, melainkan moralitas. Bukan tangan kuat dari negara yang menekan mereka, me-lainkan keinginan Allah akan keadilan. Berbagai pernyataan dan slogan nasionalistik yang sempit sama sekali bukan per-kataan yang berasal dari Allah; orang-orang yang patuh tidak selamanya baik untuk negara. Laki-laki dan perempuan yang mencari keadilan memilih untuk bebas. Mereka memilih un-tuk bersikap kritis walaupun akibatnya harus dikucilkan dan didiamkan. Mereka lebih menjunjung keadilan daripada po-pularitas.

Mikha bin Yimla berani melawan tantangan besar, bersuara menen-tang ke-400 nabi lainnya. Ia berani mengutarakan kebenaran yang tidak populer karena mampu melihat sebuah ketidakadilan di balik topeng kekuasaan Ahab yang tidak menyenangkan Allah. Dan ia disiksa karena hal itu.

Peringatan ini ditujukan kepada semua orang yang, alih-alih mengarahkan pandangannya pada keadilan, lebih mendukung ne -gara apa pun secara membuta, khususnya negara yang telah me-lakukan ketidakadilan.

Seruan Seorang Pengungsi—Berharap pada Allah (Mazmur 42 & 43)

Tema alkitabiah ketiga yang menyertakan pembebasan dan harapan di dalamnya bagi orang Kristen Palestina terdapat dalam Mazmur 42 dan 43.

Alkitab dan Pembebasan 107

Dari perspektif seorang Palestina, kedua Mazmur yang indah ini dapat digunakan sebagai seruan nyata seorang pengungsi. Pe-mazmur rupanya telah diusir dari tanah airnya. Hidup sebagai se-orang pengungsi di Yordania atau Lebanon, ia ingat masa-masa ba-hagia, para sahabat dan tetangga, ibadat komunitas—khususnya perayaan-perayaan besar, ketika orang merayakannya bersama-sama dengan kegembiraan, dengan berbagai lagu dan pujian bagi Allah. Ia mengenang keterlibatannya dalam berbagai perayaan yang penuh sukacita ini.

Ketika ia mengingat kembali masa lalu tersebut, sang Pemazmur menyadari keadaan masa kininya yang menyakitkan: dibuang da-ri negaranya, dicabut dari rumahnya sendiri, hidup dengan kese-dihan dan putus asa, frustrasi dan menderita...air bergolak dan la ut an bergemuruh mewakili berbagai persoalan dan bencana yang dialaminya. Kenangannya akan Palestina begitu indah dan menyenangkan, namun kenangan itu membuat kenyataan masa ki-ni sulit diterima. Ia hanya berharap kepada Allah. Percaya kepada Allah merupakan satu-satunya cara menuju masa depan yang lebih baik; berharap kepada Allah merupakan satu-satunya obat dan penyembuhan bagi semangat yang tertindas. Jadi, ia tidak akan menyerah pada keputusasaan. Allah akan membela hak-haknya. Allah akan datang menolong dan membawa keselamatan baginya.

Dalam Mazmur 43, sang Pemazmur berdoa meminta pembelaan Allah atas hak-haknya, menyadari bahwa ketidakadilan telah terjadi, bahwa ia sedang berhadapan dengan orang-orang yang tidak beriman, pembohong, dan tidak adil. Ia meminta Allah untuk mengangkat berbagai persoalan yang dihadapinya dan mengembalikan dirinya ke tanah airnya. Sukacita dan harapannya akan tetap di dalam Allah.

Bagi orang Kristen Palestina, kedua Mazmur ini mengandung arti khusus:

1. Allah mendengar seruan orang yang tertindas. Di mana pun me reka berada, Allah tidak jauh dari mereka. Mereka yang te-lah ditindas dan dicabut dari tempat hidupnya memiliki Allah sebagai pembela. Bagi orang Kristen Palestina, ini secara khusus berarti bahwa walaupun tragedi Palestina terjadi, mereka tidak boleh kehilangan imannya terhadap Allah. Iman tidak boleh di tinggalkan. Di tengah kehidupan seorang pengungsi dan di tengah kehidupan pada masa pembuangan, Allah bersama me-reka. Iman harus menjadi sebuah hubungan yang hidup, yang

140 Semata-mata Keadilan

KETIKA KEADILAN MENGANDUNG KETIDAKADILAN

Bagi banyak orang, keadilan telah tiba untuk memaknai sebuah sis tem pengaturan yang tidak memihak pada ketidakpuasan yang tertata di bawah hukum. Hukum, bagaimanapun, dapat mengandung banyak ambiguitas. Dalam pengalaman orang Palestina bersama Ne-gara Israel, terdapat dua ambiguitas, yang satunya memperhatikan mereka yang membuat hukum dan yang lainnya memperhatikan bagaimana hukum ditetapkan.

Hukum dibangun oleh orang yang memiliki kekuasaan. Me-reka lah yang berperan dalam penyusunan undang-undang yang men ciptakan berbagai hukum baru. Banyak masalah muncul di sini karena hukum-hukum yang demikian cenderung memihak pada sebagian penduduk—mereka yang berkuasa—lebih dari yang lain-nya. Dengan baik, Paul Tillich menyatakan hal ini:

Keadilan dari sebuah sistem perundangan secara erat terkait dengan keadilan sebagaimana yang dirasakan oleh kelompok yang sedang memerintah, dan keadilan ini mengekspresikan prinsip-prinsip tentang benar dan salah serta prinsip-prinsip yang dengannya kelompok penguasa menegaskan, menopang, dan mempertahankan kekuasaannya sendiri. Roh hukum tersebut dengan erat menyatukan roh keadilan dengan roh para penguasa, dan itu berarti bahwa keadilannya mengandung ketidak adilan.16

Hukum-hukum yang penting ditujukan untuk melayani kebaikan dan kesejahteraan kelompok yang sedang memimpin. Hal-hal yang baik bagi mereka akan dijadikan sebagai hukum. Ini merupakan pan-dangan utilitarian klasik tentang keadilan. Apa yang baik dijelaskan secara terpisah dari apa yang benar; dan apa yang benar dijelaskan sebagai membesar-besarkan apa yang baik.17 Dalam kasus Negara Israel, ini berarti bahwa nilai keadilan yang menentukan apa yang baik adalah nilai keadilan yang memihak pada orang Yahudi Israel. Apa yang baik bagi mereka diputuskan tanpa dihubungkan dengan apa yang benar. Apa yang baik bagi penguasa menjadi benar dan oleh karena itu menjadi hukum. Akibat ambiguitas utilitarian ini, orang Palestina memandang beberapa hukum yang mengatur

Jeritan Orang Palestina... 139

Beginilah fi rman TUHAN:”Taatilah hukum dan tegakkanlah keadilan....Berbahagialah orang yang melakukannya,dan anak manusia yang berpegang kepa da nya”14

Semua orang yang berpegang pada tradisi profetis menyadari bahwa ayat-ayat ini menyatakan sebuah pengetahuan yang dalam tentang sifat, kehendak, dan harapan Allah.

Tidak ada lagi sejarah dari sekelompok umat tertentu (Israel) melainkan sejarah seluruh manusia, kerajaan-kerajaan du nia...Tidak satu kelompok pun...dapat meng-klaim Allah, karena Allah adalah gelora keadilan di tengah semua kelompok dan kelas manusia. Realitas Allah tidak secara eksklusif milik satu kelompok tertentu, karena re alitas-Nya adalah milik semua orang.... Allah bebas meng guncang chauvinisme, menolak untuk dimiliki, di-kendalikan, dan dijadikan sebagai ilah pengurus rumah oleh kelompok mana pun. Allah, seperti halnya pengalaman yang begitu menyakitkan yang dibuktikan kebanyakan agama, sangat setia kepada diri-Nya (keadilan). Ketaatan Allah tidak berarti bahwa setiap orang akan dikasihi, tetapi bahwa pemberian keadilan tidak akan pernah pudar dari realita manusia.... Apa yang telah dipilih Allah melebihi se gala hal yang lainnya bukanlah satu bangsa, melain kan kehidupan yang adil dari seluruh bangsa.15

Visi Allah menjadi dasar Alkitabiah dan teologis untuk mendekati berbagai masalah keadilan di dunia—Allah berharap dan menuntut seluruh bangsa untuk hidup dengan adil. Di atas dasar inilah saya akan bergerak maju untuk menguji hubungan keadilan dengan ber bagai bidang kehidupan lainnya di Negara Israel berhadapan dengan orang Palestina. Pengalaman orang Palestina adalah bahwa Israel telah menginjak-injak hak-hak mereka. Walaupun kita dapat memikirkan dari berbagai bidang yang berbeda-beda di mana hal itu telah terjadi, saya telah memilih untuk menitikberatkan pada dua hal saja: hukum dan kekuasaan.

108 Semata-mata Keadilan

menolong mereka menghadap Allah secara jujur, seperti yang dilakukan sang Pemazmur, dengan segala frustrasi, di lema, dan bahkan keraguan mereka.

2. Orang Palestina harus hidup dalam percaya dan harapan, di-dasarkan pada iman kepada Allah keadilan yang hidup. Manusia boleh meninggalkan kita; para pemimpin bangsa-bangsa mung-kin berdiam diri di hadapan ketidakadilan; masa depan kemanu-sia an mungkin terlihat suram; bahkan ketidakadilan mungkin terlihat lebih diutamakan. Walaupun semua itu terjadi, o rang Kristen harus memelihara kepercayaannya kepada Allah. Allah akan bertindak. Kepercayaan dan harapan merupakan dua faktor pembebas yang sangat dibutuhkan orang Kristen. Ke-per cayaan membebaskan kita dari berbagai realitas masa kini yang begitu gelap. Harapan mencerahkan dan membebaskan masa depan kita.

3. Dengan iman, kepercayaan, dan pengharapan dalam Allah, ha-silnya pasti ada, walaupun tidak kasat mata. Sekalipun lawan mungkin tidak beriman, pembohong, dan tidak adil, bukan merekalah yang menentukan kata akhir. Allah pasti akan membela apa yang benar dan adil.

SUATU TEOLOGI YANG MENANTANG NASIONALISME

Para pakar dapat mengidentifi kasi sejumlah tema penting dalam Alkitab—antara lain politeisme versus monoteisme, janji dan peng ge-napan, hukum dan anugerah, dosa dan pengampunan, iman dan kerja. Pasangan tema lainnya adalah universalisme dan partikularisme—apakah Allah inklusif atau eksklusif dalam kasih-Nya kepada manusia. Alkitab merupakan sebuah rekaman ketegangan yang dinamis, kadang keras, antara konsep ketuhanan dari kaum nasionalis dan universalis. Bagi orang Kristen Palestina, tema ini merupakan salah satu persoalan teologis yang paling mendasar, karena tema itu dikaitkan langsung dengan konsep tentang Allah. Inilah mengapa dibutuhkan perhatian dalam suatu teologi pembebasan orang Palestina.

Ketegangan antara konsep Allah yang inklusif dan eksklusif da-pat ditemukan di seluruh Alkitab. Keduanya terhubung secara dina-mis, selalu saling memengaruhi dan menggerakkan. Memang sulit

Alkitab dan Pembebasan 109

untuk menunjuk pada penanggalan yang spesifi k kapan pan dangan inklusif tentang kedaulatan Allah mulai berperan dalam pikiran be-berapa karakter dalam Alkitab Ibrani. John Ferguson menyatakan bahwa bibit universalisme terletak pada perjanjian itu sendiri:

Allah tidak terhubung secara permanen dengan Israel. Jika Israel berhenti untuk hidup, Allah tidak ber henti hi-dup. Hubungan-Nya dengan Israel adalah hubungan yang dijanjikan, bukan organik. Jika Israel kalah, itu karena Allah menarik dukungan-Nya; Allah tidak kalah. Ini kemu-dian berarti bahwa apa yang dilakukan-Nya kepada Israel dulu dapat Dia lakukan juga bagi semua orang. Perjanjian itu mengandung dalam dirinya bibit-bibit universalisme.24

Tepat pada abad ke-8 SM, Amos mampu mengungkapkan sebuah konsep universalis tentang Allah dengan sangat jelas:

”Bukankah kamu sama seperti orang Etiopia bagi-Ku, hai orang Israel?” demikianlah fi rman TUHAN. ”Bukankah Aku telah menuntun orang Israel keluar dari tanah Mesir, orang Filistin dari Kaftor, dan orang Aram dari Kir?”25

Konsep universalis ini mulai terbentuk selama pengalaman Pem-buangan setelah tahun 587 SM. Namun, ini tidak berarti kita dapat menelusuri suatu garis perkembangan yang pasti dan tetap dalam mendewasakan pengetahuan kita tentang Allah. Tetap ada ketegangan yang berkelanjutan antara ide lama dan ide yang lebih baru. Ide lama, yang lebih meresap, mengemukakan tentang keeksklusifan Allah, yang melibatkan suatu hubungan khu sus dan unik dengan Israel. Ide yang lebih baru memunculkan pandangan tentang keinklusifan Allah. Keduanya bukanlah kubu yang terpisah tegas dan dibedakan, dengan para pendukung pandangan universalis dan inklusif pada sa-tu sisi dan mereka yang menolaknya pada sisi lain. Nabi yang sama dapat memiliki kedua pandangan tersebut, menegaskan keduanya, beralih dari yang satu ke yang lainnya; atau sebagaimana sering ter jadi, para redaktur di kemudian hari mungkin telah diyakinkan bahwa pandangan sang nabi diseimbangkan dengan memasukkan pan dangan lainnya. Seorang nabi seperti Deutero-Yesaya tetap da-pat mengekspresikan suatu pandangan nasionalis yang sempit pa da masa itu, meskipun memiliki konsep Allah yang agung dan universalis.26

138 Semata-mata Keadilan

bermegah karena kekuatannya, janganlah orang kaya ber megah karena kekayaannya, tetapi siapa yang mau bermegah, baiklah bermegah karena yang berikut: bahwa ia memahami dan mengenal Aku, bahwa Akulah TUHAN yang menunjukkan kasih setia, keadilan dan kebenaran di bumi; sungguh, semuanya itu Kusukai, demikianlah fi rman TUHAN.”10

Keadilan Allah meluas melampaui batasan-batasan satu bangsa un-tuk meliputi seluruh dunia:

Tetapi TUHAN bersemayam untuk selama-lama nya,takhta-Nya didirikan-Nya untuk menja lan kan penghakiman.

Dialah yang menghakimi dunia dengan kea dilandan mengadili bangsa-bangsa dengan kebe naran.

Demikianlah TUHAN adalah tempat perlindungan bagi orang yang terinjak,

tempat perlindungan pada waktu kese sakan.11

Tidak hanya manusia yang harus dimuliakan di dalam Allah yang demikian; Allah sendiri pun diagungkan dalam keadilan:

Tetapi TUHAN semesta alam akan ternyata mahatinggi dalam keadilan-Nya,dan Allah yang mahakudus akan menyatakan kekudusan-Nya dalam kebenaran-Nya.12

Para nabi menekankan keadilan dan kebenaran lebih dari persem-bahan korban. Berbagai perbuatan yang tidak adil mengingkari iba-dah umat:

Sungguh, apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban-korban bakaran dan korban-korban sajianmu,

Aku tidak suka,dan korban keselamatanmu berupa ternak yang tambun,

Aku tidak mau pandang....Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air

dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.13

Bagi para nabi, moralitas dan agama tidak terpisahkan. Kesatuan di antara keduanya muncul dari sifat yang sangat alamiah Allah-Pencipta, Allah dengan harapan-harapan yang eksplisit:

Jeritan Orang Palestina... 137

beri penjelasan bahwa orang Yahudi memiliki sebuah tradisi yang baik, tradisi alkitabiah yang penuh makna yang kepadanya mereka dapat kembali. Itu merupakan bagian dari kegeniusan Alkitab, yaitu bahwa Alkitab memelihara sebuah catatan yang mencakup hal-hal yang baik dan yang buruk. Beberapa hal disentuh dan diubah pada beberapa tempat oleh redaktur berikutnya, namun pada dasarnya ada usaha yang sungguh-sungguh untuk menampilkan manusia dan beraneka peristiwa dengan apa adanya.

Dengan mengutip ucapan lama Musa: ”kepadamu kuperhadap-kan kehidupan dan kematian, berkat dan kutuk. Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu,”4 saya ingin mengajukan prinsip yang sama untuk pesoalan keadilan. Di dunia pada masa kini, kemungkinan melakukan keadilan atau ketidakadilan ada di hadapan kita semua. Orang yang berkuasa mempunyai pilihan untuk hidup dan bertindak adil, atau hidup dan bertindak secara tidak adil. Itulah mengapa saya bersikeras bah-wa dalam pokok-pokok tertinggi inspirasi dan pemahaman akan Allahnya, Perjanjian Lama menampilkan Allah sebagai yang Esa, Pencipta dunia, aktif dalam sejarah; Allah dari keadilan, kebenaran, dan belas kasih. Abraham Heschel mengatakan bahwa kebenaran adalah ”pancangan Allah dalam sejarah manusia”—ketika para nabi berbicara, mereka tidak berbicara atas nama hukum moral, tetapi demi Allah keadilan.5 Kebenaran ”adalah jantung Allah, inti hidup; dan tidak ada seorang pun yang tidak mengenal keadilan dapat me-ngenal Dia.”6

Dalam Kitab Suci Ibrani, Allah disebutkan sebagai Allah ke-adilan.7 Keadilan merupakan tali pengukur yang dipakai Allah dan kebenaran adalah tali sipat-Nya.8 Keadilan menjadi sifat kehadiran Allah dan diidentifi kasikan dalam segala jalan-Nya:

Gunung Batu, yang pekerjaan-Nya sempurna,karena segala jalan-Nya adil,

Allah yang setia, dengan tiada kecurangan,adil dan benar Dia.9

Keadilan, kebenaran, dan kebaikan Allah diberikan kepada seluruh manusia di bumi. Manusia harus memegahkan dirinya dalam me-ngenal kebenaran Allah:

Beginilah fi rman TUHAN: ”Janganlah orang bijaksana ber-megah karena kebijaksanaannya, janganlah orang kuat

110 Semata-mata Keadilan

Ketegangan antara kedua pandangan tersebut tidak pernah lenyap. G. Ernest Wright menulis bahwa Perjanjian Lama berakhir tan pa sebuah solusi yang pasti atas persoalan keselamatan.27 Hal serupa dapat dikatakan tentang ketegangan yang terjadi antara konsep Allah dari kaum universalis dan nasionalis. Ketika periode alkitabiah mendekati sebuah akhir, ketegangan tersebut bahkan te lah mencapai bagian klimaks namun tidak terpecahkan kembali dalam lembaran Perjanjian Lama. Resolusinya melampaui masa al-kitabiah.

Ada kemungkinan untuk menemukan tiga aliran tradisi berbe-da dalam Alkitab Ibrani, yaitu kelompok nasionalis, kelompok ber-orientasi Taurat, dan kelompok yang menekankan profetis. Se tiap kelompok merefl eksikan pemahaman tentang Allah yang berbeda-beda. Aliran-aliran tradisi ini merentang dan mengalir dari seluruh literatur Perjanjian Lama (bahkan dalam beberapa bagian Perjanjian Baru) diselang-selingi dalam Alkitab dengan suatu ketegangan dina-mis di antara mereka. Marilah kita melihat bagaimana ketiga aliran tradisi tersebut muncul dari Perjanjian Lama dan meninggalkan je-jak yang tidak terhapuskan dalam sejarah.

Sumber inspirasi bagi tradisi nasionalis sebagian besar berasal dari berbagai kitab dalam Alkitab yang secara umum dirujuk sebagai para nabi awal, atau mantan nabi: Yosua, Hakim-hakim, 1 dan 2 Samuel, serta 1 dan 2 Raja-raja. Kitab-kitab ini dicirikan oleh minat-nya untuk melaporkan penggunaan peperangan guna mencapai tu juan nasional bangsa Israel. Para pendukung selanjutnya dari tra disi ini percaya bahwa orang Yahudi memiliki suatu hubungan khu sus dan istimewa dengan Allah. Yahweh adalah Allah mereka dalam pengertian yang unik: mereka mengingat berbagai tindakan Allah yang luar biasa pada masa lalu dan ditentukan bahwa Allah akan melakukan tindakan yang sama pada masa kini. Masa lalu di-idealkan dan mereka percaya bahwa hal itu bisa diklaim kembali. Mereka menolak untuk menerima kenyataan tentang kelemahan relatif mereka berhadapan dengan kekuatan besar pada masa itu, yaitu Romawi.

Mereka beriman kepada Allah Israel dan Tuhan Semesta. Jika Allah menjadi lesu, Dia dapat diarahkan melalui aktivitas mereka sendiri. Ini merupakan suatu pendekatan yang murni nasionalistik dan militeristik, yang bertujuan mewujudkan kembali kemerdekaan Yahudi. Melalui contoh pemberontakan Makabe pada abad ke-2 SM, semangat itu juga muncul dalam kebangkitan kaum Zelot dan

Alkitab dan Pembebasan 111

pemberontakannya pada tahun 66 dan 132 M. Kaum Zelot berperang atas nama Allah sebagaimana yang mereka bayangkan. Mereka sangat yakin bahwa Allah pasti akan ikut campur tangan mewakili mereka dan datang menolong mereka:

Prinsip dasar dari kaum Zelot sebagaimana yang diucapkan oleh pendirinya, Yudas dari Galilea, adalah Yahweh berdaulat atas Israel. Artinya, mereka tidak menerima fi gur manusia, apalagi orang kafi r, sebagai Tuhan, dan menolak untuk menerima sumber-sumber apa pun tentang Tanah Suci Yahweh sebagai penghormatan atas seorang penguasa asing yang mengklaim keilahian semacam itu. Perlawanan pasti menimbulkan penderitaan; namun kaum Zelot telah siap untuk memikul salib dan mati sebagai martir dalam keyakinan bahwa pengorbanannya tidak akan sia-sia dan bahwa Allah pasti akan menolong menyelamatkan Israel.28

Ini jelas merupakan sebuah konsep yang sempit tentang Allah. Ka um Zelot dibutakan dan sangat terobsesi dengan pandangan ini. Me reka berhasil dalam menarik dan memengaruhi loyalitas banyak orang Yahudi dan untuk sementara dapat mengatasi orang Romawi. Namun, akhirnya mereka membawa bangsanya ke dalam kehancuran dan menjerumuskan diri sendiri ke jurang kenistaan setelah tahun 135.

Sumber inspirasi bagi tradisi yang berorientasi Taurat diterima dari berbagai kitab Taurat (Hukum) dan dari ketaatan padanya. Para penganut terbesar tradisi ini adalah kaum Farisi.29 Mereka adalah keturunan Hasidim abad ke-2 SM, di mana sebagian dari mereka bergabung dengan Yudas Makabe dalam pemberontakan melawan orang Yunani. Ketika Demetrius Soter merampas takhta Asyur pada tahun 162 SM dan memberikan kebebasan beragama bagi orang Yahudi, kaum Hasidim menarik dukungannya terhadap Yudas dan puas hidup dalam perdamaian dengan kaum Hellenis sepanjang me-reka dapat beribadah kepada Allah dan mendalami Taurat.30 Peng-hancuran Bait Allah pada tahun 70 dan kejatuhan terakhir kaum Zelot pada tahun 135 adalah bukti nyata ambruknya kekuatan militer. Yang tersisa hanyalah kaum Farisi yang membangun Yudaisme ber pusat pada Taurat. Setiap tulisan profetis, eskatologis, atau apokaliptik yang berupaya untuk menghitung waktu penyelamatan Mesianik Israel ditekan: ”Kiranya kutukan surga berlaku atas mereka yang menghitung-hitung hari penantian akan Mesias dan kemudian

136 Semata-mata Keadilan

hargai yang te pat.1 Webster’s New World Dictionary menjelaskan keadilan sebagai ”1. Kualitas hidup berbudi. 2. Tidak memihak; ke-jujuran/kewajaran. 3. Kualitas hidup benar atau tepat.”2

Menarik bahwa defi nisi Aristoteles tentang keadilan dibingkaikan dalam bentuk negatif (”menahan dari”), sementara pendekatan Webster’s lebih bersifat positif (”kualitas kehidupan/menjadi”). Kita dapat mengatakan bahwa keadilan memiliki dua dimensi: positif dan negatif, yang di dalam dan di luar, menjadi dan melakukan. Itu merupakan sebuah kualitas yang harus kita miliki—menjadi ber-budi dan jujur/adil. Keadilan juga merupakan sebuah hubungan yang harus kita pelihara—bukan meraup keuntungan dengan cara mengambil apa yang menjadi milik orang lain. Setiap dimensi itu pen ting; masing-masing dapat dilihat sebagai perluasan alami dari yang lainnya. Kualitas yang di dalam menghasilkan aspek relasi di luar dari sebuah kehidupan yang adil dengan orang lain.

Krisis keadilan dalam konfl ik Israel-Palestina semakin diper-bu ruk dengan apa yang telah menjadi krisis keadilan dalam ko-munitas Yahudi itu sendiri, sejak pemberontakan Desember 1987, di dalam maupun di luar negara itu, dan oleh sebuah krisis dalam cara orang lain mengenal orang Yahudi Israel. Pada kenyataannya, teka-teki besarnya adalah bagaimana masyarakat Yahudi yang te-lah mengalami penderitaan dan penindasan di tangan Nazi da-pat berbalik dan menimbulkan begitu banyak penderitaan serta penindasan bagi orang lain? Mengapa harga pemberdayaan orang Yahudi, setelah Holocaust dalam masa pembentukan Negara Israel, berupa penindasan dan penderitaan warga Palestina?

Adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat besar bahwa manusia dengan terlalu gampang melupakan bagaimana rasanya menjadi orang yang tak berdaya dan tertindas. Mereka mengingat penderitaan mereka—secara terus-menerus mengingatkan dunia tentang hal itu—namun kenangan itu tampaknya tidak selamanya memengaruhi mereka dalam cara mereka sendiri memberlakukan kekuasaannya terhadap orang lain. Penganiayaan dan penindasan yang mereka lakukan terhadap orang yang tidak berdaya dalam kekuasaan mereka tampak menjadi sebuah penyangkalan mendasar terhadap penderitaan masa lalunya, sebuah ketidaksetiaan terhadap masa lalu mereka sendiri.3

Itulah mengapa saya sengaja memilih untuk sebanyak mungkin tetap berada dalam parameter-parameter alkitabiah pada studi ini: untuk meminta tradisi profetis Kitab Suci Ibrani, dalam rangka mem-

135

5JERITAN ORANG PALESTINA UNTUK

KEADILAN DAN BELAS KASIH

”Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang ba ik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?”

Mikha 6:8

PENYALAHGUNAAN KEADILAN

Persoalan yang paling mendasar dan penting dari konfl ik Israel-Palestina adalah persoalan keadilan. Kata itu sendiri telah se-

ring digunakan dan disalahgunakan pada masa kini. Setiap orang mencari keadilan untuk tujuannya, baik bangsa atau diri sendiri, namun apa yang sebenarnya mereka maksudkan dengan keadilan sering kali tidak tepat. Yang lebih penting, bagaimana keadilan bisa adil bagi sebagian orang ketika dirasakan tidak adil bagi yang lainnya? Karena itu, penting untuk memulai dengan sebuah defi nisi kata ”keadilan”.

Aristoteles menjelaskan keadilan sebagai menahan diri dari pleonexia, yaitu mengumpulkan keuntungan untuk seseorang de-ngan cara merampas apa yang menjadi milik orang lain—kekayaan, upah, jabatan; atau dengan menyangkal hak seseorang—misalnya, pemenuhan janji, pembayaran utang, atau perwujudan rasa meng-

112 Semata-mata Keadilan

men ciptakan kegelisahan politik dan sosial dalam masyarakat”. Ke-yakinan religius yang melebihi kekuatan politik mulai mempererat rasa kebersamaan masyarakat Yahudi, khususnya yang hidup di diaspora.31 Penebusan Israel sepenuhnya berada dalam tangan Allah. Kalau itu terjadi, maka akan terjadi secara spiritual, dengan campur tangan ilahi, dan ”tanpa perbuatan tangan manusia”.32

Banyak pujian untuk transformasi ini yang ditujukan kepada Rabi Yokhanan ben Zakkai, yang dianggap sebagai juruselamat Yu-daisme.33 Pada tahun 68 M, ben Zakkai melarikan diri dari Yeru-salem dalam sebuah peti jenazah dan, dengan seizin Vespasianus, membangun sebuah sekolah akademi Yahudi di Javneh, di selatan kota Tel Aviv. Ben Zakkai berpendapat bahwa ”praktik peribadahan yang tidak terganggu, khususnya dalam mempelajari Taurat, ja uh lebih penting daripada memperoleh atau mempertahankan kebebas-an politik”.34

Sumber inspirasi utama bagi kaum Farisi dan keturunannya adalah Taurat. Hukum-hukumnya ditafsirkan dan tradisi-tradisi-nya dikembangkan. Secara perlahan, hal ini melahirkan Yudaisme Rabinik, yang menghasilkan Talmud dan Mishnah. Walaupun sudah ada se buah konsep tetang Allah yang matang, Yudaisme Rabinik me-nun jukkan suatu kecenderungan ke arah legalisme dan pengucilan diri, khusus nya berhadapan dengan sikap bermusuhan dari kekris-tenan Eropa. Konsepnya tentang Allah sering memperlihatkan keeksklu sifan. Dengan munculnya emansipasi dari kehidupan ghetto Yahudi di Eropa dan pengaruh Pencerahan, beberapa orang Yahudi, khususnya di Jerman, mulai menekankan karakter universalis Yu daisme.35 Salah satu contohnya adalah kemunculan Yudaisme Reformasi, yang mengakui inti Yudaisme sebagai kode etik, moralitas, dan keadilannya.36

Aliran ketiga adalah tradisi profetis. Disebut demikian karena ins pirasi utamanya ditarik dari para nabi besar dalam Alkitab Ibrani.37 Karena itu, kata profetis digunakan karena men jelaskan dengan sa-ngat baik tentang etos tradisi ini melalui kedalaman, kebesaran, dan kematangan pemahamannya mengenai Allah.

Nabi-nabi yang muncul kemudian mampu menghasilkan ke-benaran-kebenaran besar tentang sifat Allah yang universal dan inklusif, meskipun gagasan-gagasan ini tertata dalam sejumlah besar materi yang picik, nasionalis, dan eksklusif. Persepsi-persepsi yang demikian tidak dibatasi dalam tulisan-tulisan para nabi yang muncul kemudian; tetapi terpancar melalui bagian-bagian lain Alkitab Ibrani,

Alkitab dan Pembebasan 113

walaupun terkadang redup, dalam konteks prasangka manusia dan kepentingan nasional. Deutero-Yesaya mengekspresikan suatu pandangan yang sangat nasionalis dalam pasal 45:22–23, dan tetap melihat Allah sebagai juruselamat seluruh dunia:

Berpalinglah kepada-Ku dan biarkanlah dirimu diselamat kan, hai ujung-ujung bumi! Sebab Akulah Allah dan tidak ada yang lain

Semua orang akan bertekuk lutut di hadapan-Ku, dan akan bersumpah setia dalam segala bahasa.38

Kitab Yunus juga dipastikan adalah salah satu suara yang paling ke ras menentang pandangan eksklusif tentang Allah. Yunus siap menerima belas kasih Allah sejauh itu ditujukan bagi dirinya dan bukan untuk orang lain. Terbukti, ia siap memilih kematian daripada mengakui belas kasih Allah bagi orang lain.39 Pesan dalam kitab Yunus adalah pesan yang kuat tentang belas kasih Allah terhadap musuh bebuyutan Israel, bangsa Asyur. Namun, berbagai gam baran terbaik tentang sifat inklusif Allah adalah seperti yang diberikan oleh para nabi, yang memandang Allah sebagai Allah ke-adilan dan kebenaran yang menuntut kehidupan etis dari seluruh bangsa. Demikianlah Amos menyuarakan penghakiman Allah atas Moab karena kekejaman yang mereka lakukan bukan terhadap Israel, melainkan kepada Edom.40

Beberapa pakar bahkan pernah menyatakan bahwa pengem-bangan literatur apokaliptik dalam Alkitab Ibrani mencerminkan perkembangan pemahaman tentang Allah. John Shea mengatakan bahwa ”Wahyu adalah sebuah lompatan yang melampaui nasional-isme” dan bahwa bahasa apokaliptik adalah hasil dari suatu ”ke-hausan akan totalitas”. Allah tidak lagi hanya memperhatikan satu bangsa saja, melainkan semua bangsa.41

Salah seorang pendukung tradisi profetis ini adalah Yesus, dan kemudian Gereja, walaupun gereja kerap kali menyimpang dari ama nat Yesus. Yesus mengambil inspirasi dari para nabi dan ber pe gang pada tradisi mereka. Walaupun Yesus juga merupakan produk dari suatu zaman yang sangat dipengaruhi oleh literatur apokaliptik, Dia menekankan aktivitas Allah dalam sejarah, sehingga kembali menekankan tradisi profetis yang besar itu. Yesus menolak pemahaman kaum Zelot tentang Allah.42 Sama halnya, Dia juga bersikap kritis terhadap konsep Allah yang legalistik yang dianut oleh

Alkitab dan Pembebasan 133

Yesus pernah ada, berjalan di jalan yang pernah Yesus lewati. Akan tetapi, juga sama pentingnya bagi para peziarah Kristen untuk berjumpa dengan batu-batu hidup tanah itu—orang-orang Kristen. Mengunjungi tempat-tempat suci merupakan pengalaman yang sa-ngat menggugah bagi banyak orang; berjumpa dengan orang ”suci” dapat menjadi pengalaman yang sangat berharga dan kaya bagi ke-duanya. Mengunjungi museum dapat memberikan suatu perasaan dan apresiasi yang penting bagi seseorang tentang masa lalu; namun mengunjungi gereja-gereja yang ada di tanah itu, beribadah bersama orang Kristen pribumi, dan berjumpa dengan mereka secara pribadi dapat memberikan kepada para peziarah suatu rasa apresiasi atas apa yang ada sekarang dan pengalaman yang tak ternilai, serta pe-ngetahuan yang mendalam tentang komunitas-komunitas Kristen di tanah itu, yang sedang hidup dan berkobar-kobar, yang bersama para leluhurnya terus-menerus telah bersaksi tentang Kristus se-lama 2.000 tahun terakhir.

Orang-orang Kristen pribumi yang berhak tinggal di Israel-Palestina saat ini bertanggung jawab terhadap para peziarah Kristen dari seluruh dunia—untuk membuat peziarahan mereka menjadi pengalaman yang menyegarkan kembali imannya. Tanggung jawab dan hak mereka adalah menjadi tuan dan nyonya rumah bagi para saudara seiman dari luar negeri.

Yesus Kristus, Raja Damai

Orang Kristen percaya bahwa pesan dari satu-satunya damai yang benar-benar autentik pertama kali digemakan kembali dari perbukitan Betlehem:

”Kemuliaan bagi Allah di tempat yang maha tinggidan damai sejahtera di bumidi antara manusia yang berkenan kepada-Nya.”98

Oleh karena itu, orang Kristen Palestina menyadari tang gung jawab-nya sebagai pembawa damai. Sebagaimana akan dijelaskan dalam Bab 6, mereka harus terlibat secara aktif dalam karya keadilan, per-damaian, dan rekonsiliasi, terpanggil untuk mengingat perkataan Yesus:

Berbahagialah orang yang membawa damai,karena mereka akan disebut anak-anak Allah.99

114 Semata-mata Keadilan

kaum Farisi, dan berulang kali mencoba untuk menarik perhatian mereka pada esensi tradisi profetis:

Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Fa-risi, hai kamu orang-orang munafi k, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang sa-tu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.43

Pada masa Yesus, konsep tentang Kerajaan Allah memiliki sebuah makna eskatologis dan apokaliptik. Yesus memakai konsep ini, na-mun sering kali memberikan pengertian yang sangat konkret dan historis. Dalam khotbah Yohanes Pembaptis, sebagai contoh, sangat mungkin bahwa Yohanes mengharapkan sebuah fi gur apokaliptik untuk mengikut Dia, yang memiliki ”penampi di tangan-Nya, dan mem bersihkan tempat pengirikan-Nya dan mengumpulkan gandum-Nya ke dalam lumbung, tetapi debu jerami akan dibakar-Nya dalam api yang tidak terpadamkan”.44 Atas pertanyaan murid-murid Yohanes, ”Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” Yesus menjawab, ”Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik.”45 Dengan perkataan lain, Yesus sedang meneguhkan sejarah dan tindakan Allah dalam sejarah. Pemerintahan Allah sedang di-hadirkan dalam kekuatan dan dalam sejarah di tengah pelayanan Yesus. Hal merepresentasikan lagi kembalinya tradisi profetis:

Bagi Yesus, Kerajaan Allah itu jelas pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Kehadiran pemerintahan Allah yang berkuasa meniadakan kecurigaan apokaliptik tentang tindakan historis. Hal tersebut membelokkan per -bandingan eskatologis dari penggunaannya pada ma sa kini—apokaliptikalisme—kepada akar semulanya—pema-haman profetis.46

Berpegang pada tradisi profetis yang akbar berarti menyadari pe-matangan pemahaman tentang Allah dari para nabi. Yesus mere-presentasikan hubungan yang berkelanjutan dengan tradisi profetis. Memang benar bahwa dalam bahan profetis, keinklusifan Allah diekspresikan secara sporadis. Akan tetapi, dalam Perjanjian Baru, bahan tersebut mendapat perhatian yang konsisten dan terus-

Alkitab dan Pembebasan 115

menerus di tengah konsep-konsep nasionalistik dan legalistik utama pada masa itu, termasuk di antara murid-murid Yesus sendiri. Kon-sep Yesus tentang Allah berbenturan dengan pandangan orang-orang pada zaman-Nya, mengubah dan meruntuhkan beberapa pan dangan, sambil menjauhkan yang lainnya dan membangun se-mangat permusuhan.47 Mengubah konsep eksklusif orang tentang Allah terbukti merupakan sebuah revolusi yang paling sukar terjadi. Bahkan orang-orang terdekat Yesus pun tidak mudah beralih ke konsep baru ini, dan juga tidak mampu untuk menyesuaikan pengaruhnya yang kuat bagi diri mereka dan bagi gereja. Perjanjian Baru penuh dengan berbagai gambaran yang mengesankan tentang revolusi yang Yesus perkenalkan dalam konsep Allah ini. Memang, seluruh Perjanjian Baru dapat dilihat sebagai sebuah kesaksian kepada Allah yang ”begitu mengasihi dunia” sehingga mengutus Yesus Kristus untuk mati baginya.48

Matius, sebagai contoh, ingin menyampaikan bahwa silsilah Ye sus seharusnya mengungkapkan karakter Allah yang universalis. Karena itu, nenek moyang Yesus, juga meliputi para perempuan asing—perempuan Kanaan, Moab, dan Het.49 Malah, para tamu per-tama yang menyembah bayi Kristus adalah orang majus yang bukan Yahudi.50 Sama halnya, satu-satunya tanah yang menyediakan ke-selamatan bagi Sang Mesias bukanlah tanah Israel, melainkan ta-nah Mesir yang asing.51 Dua mukjizat penyembuhan Yesus yang pertama menurut Injil Matius dilakukan terhadap seorang Yahudi yang sakit kusta dan hamba seorang perwira Romawi. Kedua kisah itu diceritakan tanpa membedakan Yahudi maupun bukan Yahudi, seolah-olah memang begitulah seharusnya. Yesus bahkan memuji iman perwira Romawi itu, ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di an-tara orang Israel... Banyak orang akan datang dari Timur dan Barat dan duduk makan bersama-sama dengan Abraham, Ishak dan Ya-kub di dalam Kerajaan Sorga.”52 Bahkan kisah penyembuhan putri seorang perempuan Siro-Fenesia, yang oleh beberapa orang di-gunakan untuk menunjukkan kefanatikan Yesus dan cara pandang-Nya yang eksklusif, dalam kenyataan mendukung karakter-Nya yang inklusif. Beberapa penafsir mengemukakan bahwa Yesus te-lah mengasumsikan posisi orang Yahudi, atau mungkin beberapa murid-Nya, terhadap orang bukan Yahudi, yang umumnya mereka anggap sebagai ”anjing”, hanya untuk menanggalkan paham itu dan menyatakan bahwa Kerajaan Allah terbuka bagi semua orang.53

132 Semata-mata Keadilan

Palestina; gereja lahir di Palestina seperti halnya para mu-rid dan pengikut Yesus yang pertama adalah orang Pa-lestina. Di Yerusalem pada hari Pentakosta Roh Kudus dicurahkan, Injil tentang Kristus yang hidup pertama ka li diberitakan di Yerusalem, dan dari Yerusalem para sak-sinya pergi ke ujung-ujung bumi.

Orang Kristen Palestina yang hidup saat ini adalah keturunan da-ri orang Kristen perdana itu, walaupun ini bukan alasan untuk menjadi angkuh. Dengan kerendahan hati yang layak untuk Tuhan mereka, mereka menerimanya sebagai suatu kesetiaan yang di da-lam nya membawa tanggung jawab untuk melayani. Orang Kristen Palestina saat ini adalah generasi baru dari sekelompok besar ke-saksian tentang Yesus yang telah ada sebelum mereka, dan yang akan menyusul mereka sampai kedatangan Kristus kembali, sesuai kehendak Allah. Mereka dan para leluhurnya telah mempertahankan suatu kesaksian yang hidup tentang Yesus dan Kebangkitan-Nya se-jak permulaan gereja, dan mereka harus melihat diri mereka secara dinamis melanjutkan kesaksian semacam itu di tanah tersebut, yakni bersaksi tentang Kebangkitan.

Kesaksian Tanah Kami tentang Alkitab

Seorang ahli Alkitab yang cemerlang pada abad ke-19, ketika mengunjungi Palestina pada 1860–1861, menyebutnya sebagai ”Injil ke-5”. Ia melihat suatu ”kecocokan langsung antara teks dengan tempat-tempatnya, suatu harmoni yang ajaib antara Injil dengan wilayah itu”.96 Pengetahuan dan pengalaman pribadi secara langsung tentang tanah yang disebutkan dalam Alkitab dapat mendukung catatan-catatan Injil dengan memperkaya dan memperdalam iman serta kesetiaan orang percaya.

Dalam Catechetical Lectures-nya, St. Sirilus dari Yerusalem (304–386) mengakui beraneka tempat di Palestina memberikan kesaksian yang benar tentang Kristus. Situs-situs seperti Sungai Yordan, Da-nau Galilea, dan Bukit Zaitun baginya merupakan kesaksian yang mengesankan tentang Yesus Kristus.97 Yang benar bagi St. Sirilus, uskup agung Yerusalem pada abad ke-4, tetap benar saat ini dalam pengalaman para peziarah yang tak terhitung jumlahnya. Palestina adalah Injil ke-5 bagi mereka. Iman peziarah dapat dihidupkan me lalui kunjungan ke tempat-tempat suci, dan berada di tempat

Alkitab dan Pembebasan 131

”Kekayaan Ini Milik Allah”—Kepentingan Tanah bagi Orang Kristen PalestinaSalah satu tradisi sangat indah yang dapat dilihat oleh para pe-lancong di antara orang Arab di Timur Tengah adalah cara mereka menyampaikan pengakuan tentang kepemilikan Allah atas tanah. Ketika orang membangun rumah, banyak yang meminta kepada pa-ra tukang untuk mengukir tulisan Arab yang tebal pada sebuah batu dengan salah satu dari dua kalimat yang biasanya akan muncul di atas ambang pintu rumah: entah Almulk lillah, yang berarti ”keka-yaan adalah milik Allah” atau Hatha min fudli Rubbi, ”rumah ini telah dibangun sebagai hasil kemurahan hati Tuhanku”.

Dengan mengakui bahwa segala yang hidup dan semua tanah secara pasti adalah milik Allah, orang Kristen Palestina, seperti se-mua orang Palestina lainnya, menghargai tanah itu dan setia pada hal tersebut karena merupakan tanah kelahiran mereka dan tanah para leluhur mereka. Itulah tanah air mereka, watan.

Orang-orang yang dilahirkan dan dibesarkan di Israel-Palestina, menyadari bahwa sesungguhnya merupakan suatu hak istimewa di-lahirkan di tanah yang telah menjadi saksi atas peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah. Tanah itu menjadi tanah suci untuk tiga agama monoteistik—Yahudi, Islam, dan Kristen. Setiap agama dengan ca-ra nya sendiri, dan menggunakan kosa kata imannya, harus meng-ekspresikan pentingnya tanah itu kepada ke turunannya dan jutaan orang yang mengunjunginya.

Sebagai bagian dari suatu teologi pembebasan Palestina, saya akan memberikan perhatian pada pentingnya tanah itu bagi orang Kristen, khususnya ketika keberadaan orang Kristen pribumi me-nyu sut dengan cepat karena emigrasi. Ada tiga hal penting yang menjelaskan dan menginspirasikan kesetiaan orang Kristen Palestina untuk tanah itu:

Tanah Palestina Menjadi Tempat Terjadinya Peristiwa Inkarnasi yang Besar

Yesus lahir di Betlehem, besar di Nazaret, dibaptis di Su-ngai Yordan, hampir seluruh masa hidup-Nya dihabiskan di Galilea, disalibkan, mati dan dikuburkan di Yerusalem. Kebangkitan Yesus terjadi di Yerusalem. Oleh karena itu, para saksi pertama Peristiwa Kebangkitan adalah orang

116 Semata-mata Keadilan

Bahkan jika interpretasi ini sama sekali tidak diterima, anak pe-rempuan itu telah disembuhkan, dan itulah cerminan karakter Yesus yang sebenarnya.

Berdasarkan Injil Lukas, sifat Allah yang inklusif diekspresikan oleh Yesus dalam kerangka pelayanan-Nya. Dalam sinagoga di Naza-ret, Yesus membaca tulisan Nabi Yesaya. Setelah menyesuaikan kata-kata itu bagi diri-Nya sendiri, Yesus berkata:

Pada zaman Elia terdapat banyak perempuan janda di Israel.... Tetapi Elia diutus bukan kepada salah seorang d ari mereka, melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon.... Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorangpun dari mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang Siria itu.54

Inilah kata-kata pemicu yang mengakibatkan Yesus diusir dari kota-Nya sendiri.

Pelayanan Yesus terhadap orang Samaria di Sikhar mengeks-presikan konsep universalis-Nya tentang Allah.55 Pada bagian lain, Dia menyembuhkan 10 orang kusta, yang salah satu di antaranya ada lah seorang Samaria. Orang Samaria itulah satu-satunya orang yang berterima kasih, sehingga merefl eksikan sebuah persepsi spi-ritual yang lebih besar dari ke-9 orang (Yahudi) kusta lainnya.56 Se-rupa dengan itu, perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati menggambarkan kasih yang lebih besar kepada sesama yang mem buat orang Samaria yang terhina itu berbeda dari imam dan orang Lewi.57

Tidaklah mudah bagi para murid pertama untuk keluar dari konsep-konsep tradisi eksklusif dan nasionalis. Bahkan setelah pe-ristiwa Kebangkitan, mereka menunjukkan pemahaman yang belum lengkap tentang sifat inklusif Allah. ”Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?”58 Keseluruhan kitab Ki-sah Para Rasul, dari perspektif kita, tampak sebagai jawaban untuk pertanyaan ini yang meruntuhkan berbagai implikasi nasionalis nya dan memindahkan Injil dari pusat orang Yahudi di Yerusalem ke jantung penyembahan berhala di Roma.59

Paulus dalam surat-suratnya berulang kali menekankan sifat inklusif Allah.

Alkitab dan Pembebasan 117

Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. ... Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.60

Penulis surat Efesus menyebut keinklusifan Allah sebagai suatu mis teri yang diperoleh melalui wahyu, dan kemudian memusatkan perhatian pada maknanya yang besar:

Yaitu bagaimana rahasianya dinyatakan kepadaku dengan wahyu, ...rahasia Kristus, yang pada zaman angkatan-angkatan dahulu tidak diberitakan kepada anak-anak ma nusia, tetapi yang sekarang dinyatakan di dalam Roh kepada rasul-rasul dan nabi-nabi-Nya yang kudus, yaitu bahwa orang-orang bukan Yahudi, karena Berita Injil, tu-rut menjadi ahli-ahli waris dan anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus.61

Penulis Injil Yohanes menyatakan dengan tegas dalam bagian pem-bukaannya, seolah-olah sedang menyusun ”kejadian” (genesis) baru bagi dunia:

Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.62

Pemahaman inklusif tentang Allah ini, yang ada dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, disebarkan pula dalam tradisi kekristenan. Puncak terbesarnya ditemukan dalam pemahaman Yesus tentang Allah, dan kemudian diteruskan dalam gereja perdana sampai sekarang. Teologi pembebasan Palestina berpegang pada tradisi alkitabiah autentik serta menegaskan karakter dan sifat Allah yang inklusif.

130 Semata-mata Keadilan

Pembuangan bukanlah janji tentang tanah dan kebangsaan, melain-kan tentang pencurahan Roh Allah atas manusia:

Sebab Aku akan mencurahkan air ke atas tanah yang haus,dan hujan lebat ke atas tempat yang kering.

Aku akan mencurahkan Roh-Ku ke atas ketu runanmu,dan berkat-Ku ke atas anak cucumu.

Mereka akan tumbuh seperti rumput di tengah-tengah air,seperti pohon-pohon gandarusa di tepi sungai.95

Terobosan teologis Yesaya yang luar biasa ini didasarkan pada ke-sadarannya bahwa janji Allah tentang pencurahan Roh Allah atas manusia secara esensial lebih penting daripada memiliki tanah. Hu bungan dengan Allah tidak bergantung pada hidup di tanah itu. Allah tanpa tanah jauh lebih penting daripada tanah tanpa Allah. Dengan Roh Allah yang tercurah atas manusia, mereka dapat men-jadi pembawa berkat Allah dan menjadi saksi Allah di mana pun mereka berada. Itulah mengapa para nabi besar tidak pernah ragu atau segan untuk mengingatkan bahwa mereka bisa kehilangan tanah itu.

Yang ingin saya coba katakan pada situasi masa kini adalah: jika negara Israel bersikeras dengan obsesi real estate-nya, negara itu hanya menimbun kehancuran pada dirinya dan semua orang yang hidup di tanah itu. Anugerah hanya datang ketika Israel menjauhkan konsep picik Allah yang nasionalis dan merangkul gambaran Allah yang lebih universal. Demi keberlangsungan hidupnya sendiri, orang Israel dan Yahudi harus mengakui bahwa Allah adalah Allah seluruh alam semesta, yang hidup dan peduli kepada semua manusia, Allah yang menginginkan keadilan dan belas kasih. Keselamatan bagi orang Yahudi di Israel dan orang Palestina di Palestina kini dan di sini terletak pada pengakuan kebenaran akan perkataan nabi Mikha:

Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut TUHAN dari padamu: se-lain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu? (Mi. 6:8).

Alkitab dan Pembebasan 129

satu-satunya konsep yang berharga tentang Allah—Allah yang benar. Konsep itu cocok dengan sifat Allah, Allah yang adalah Allah segala sesuatu, inklusif dalam sifat-Nya, adil dalam segala cara. Kita tidak dapat menyangkal keberadaan rangkaian konsep nasionalis tentang Allah dalam Alkitab Ibrani, namun kita dapat menunjuk pada sebuah pengembangan tren universalis yang kuat, yang direfl eksikan dalam karya Deutero-Yesaya dan kitab Yunus, sebagai dua contoh.

Obsesi terhadap tanah itu telah membawa malapetaka atas orang Yahudi pada berbagai zaman yang berbeda dalam sejarah masa lalu mereka, karena itu bukanlah tanah yang membawa berkah bagi manusianya, melainkan kesetiaan kepada Allah keadilan, kebenaran, dan pengasih. Adalah benar bahwa tanah Israel-Palestina selama ini telah dipilih sebagai tempat terjadinya peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah, namun saya tidak percaya bahwa tanah itu pada hakikatnya lebih suci daripada tanah-tanah lainnya. Jika Allah telah melakukan perkara-perkara besar di sini, Allah telah melakukan ba nyak perkara besar di berbagai tempat. Jika Allah mengasihi ta-nah ini dan penghuninya, itu merupakan sebuah tanda—sebuah sak ramen—bahwa Allah mencintai setiap tanah dan penghuninya. Seluruh bumi adalah kepunyaan Tuhan. Ini semua merupakan du-nia milik Allah. Seluruh dunia harus menjadi kudus. Semuanya ber sifat sakramental. Ketika Allah memerintahkan Musa untuk me lepas kasutnya karena ia berdiri di tanah yang suci, itu terjadi di Sinai dan bukan di Kanaan (Eretz Yisrael).94 Saya kembali pada desakan saya, secara teologis, apa yang dipertaruhkan sekarang dalam konfl ik politik di wilayah Tepi Barat dan Gaza tidak lain dari cara kita memahami sifat Allah.

Sejarah mengajarkan kepada kita siapa pun yang hanya memu-satkan hati dan pikirannya untuk tanah itu akan dikutuk dan dibuang dari tanah itu. Ini yang terjadi pada mereka yang terlibat Perang Suci, orang-orang Kristen yang terperangkap. Akan tetapi, tanah itu dapat menjadi suci bagi mereka yang menaruh kepercayaannya pada Allah seluruh semesta, yang sifatnya tidak berubah—Allah yang adil bagi semua ciptaan, yang menginginkan kebaikan dan belas kasih bagi semua orang yang hidup di tanah ini dan setiap tanah lainnya.

Kenneth Bailey, yang telah menafsirkan literatur profetis selama bertahun-tahun, mengatakan bahwa seorang nabi besar masa Pem-buangan yang kita sebut Deutero-Yesaya membuat sebuah pene-muan yang menakjubkan bahwa janji Allah bagi manusia setelah

118 Semata-mata Keadilan

TEOLOGI TENTANG ALLAH KEADILAN DAN ZIONISME

Aliran ke-3 dari tradisi profetis yang telah dibahas dalam studi ini tidak hanya demi kepentingan orang Kristen Palestina, namun juga bagi orang Kristen Barat dan bagi orang Yahudi. Kebanyakan orang Yahudi tidak akan menerima keabsahan persepsi kita tentang Perjanjian Baru sebagai kelanjutan tradisi profetis; itu dapat saya pahami. Untuk mengangkatnya, kita perlu menggunakan Alkitab me reka (Perjanjian Lama orang Kristen) dan perkembangannya da-lam Talmud. Namun, seperti telah saya tunjukkan, karena sumber dari ketiga tradisi tersebut—nasionalis, Taurat-sentris, dan profetis—adalah Perjanjian Lama, yakni Alkitab Ibrani, saya setidaknya dapat berharap untuk didengar oleh mereka.

Yang cukup jelas dari pandangan seorang Kristen Palestina, dan dalam terang analisis di atas, adalah bahwa munculnya gerakan kaum Zionis pada abad ke-20 merupakan sebuah kemunduran ko munitas Yahudi di dalam sejarah masa lalunya yang panjang, dengan bentuk-bentuk konsepnya tentang Allah yang paling dasar dan primitif.63 Zionisme telah berhasil menghidupkan kembali tra-disi nasionalis dalam Yudaisme. Inspirasinya diambil bukan dari berbagai pemikiran mendalam tentang Alkitab Ibrani, melain kan dari bagian-bagian yang memperlihatkan suatu konsep yang sem pit dan eksklusif tentang Allah suku.64 Akibatnya, Deklarasi Kemerdekaan Negara Israel tidak lebih daripada sekadar topeng yang menutupi ide-ide kemunduran ini:

[Negara Israel] akan didasarkan pada prinsip-prinsip ke-merdekaan, keadilan, dan perdamaian sebagaimana yang dibayangkan oleh nabi-nabi Israel; akan mengupayakan kesetaraan sosial dan politik sepenuhnya kepada seluruh warga negaranya, tanpa membeda-bedakan agama, ras, atau jenis kelamin... 65

Walaupun tidak diakui mengikat secara legal, deklarasi ini mewakili sebuah cita-cita yang besar. Dari sudut pandang orang Palestina dalam pengalaman mereka bersama Negara Israel, cita-cita yang ”di ba yangkan oleh nabi-nabi Israel” ini tidak pernah terwujud sebagaimana mestinya.

Alkitab dan Pembebasan 119

Lebih dari itu, walaupun gerakan kaum Zionis pada awalnya tidak berbasis religius,66 gerakan itu telah menggunakan agama demi keuntungannya dan telah muncul (khususnya setelah perang 1967) dengan sebuah karakter yang jelas-jelas religius.67 Tentu saja para pendukung paling fanatik dari Zionisme masa kini adalah kelompok militan religius, orang-orang yang mengabdi pada idealisme pemben-tukan sesuatu yang mereka sebut Israel Raya. ”Jika kita tidak dapat memiliki Israel Raya, maka kita tidak menginginkan perdamaian.”68 Militansi serupa juga ditunjukkan oleh Kepala Rabi Nissim, pe-mimpin kelompok Yahudi Sephardim Israel, pada Juni 1967. Ketika ditanya tentang penarikan orang Israel dari wilayah-wilayah yang telah diduduki secara paksa selama perang 1967, ia menjawab, ”Hal itu dilarang oleh Taurat kepada seluruh umat Yahudi, termasuk pe-merintah Israel, untuk mengembalikan walaupun hanya sejengkal pun wilayah Eretz Israel yang sekarang kami kuasai.”69 Dengan du-kungan kaum Ortodoks Yahudi, perkembangan religius dari berbagai kebijakan pemerintah Israel merupakan sebuah indikasi mengenai seberapa jauh agama Yahudi telah dipengaruhi oleh cita-cita kaum Zionis dan tradisi nasionalis. Ini terjadi dengan mengorbankan tradisi profetis dan dengan tekanan dari ajaran yang lebih tinggi dalam keyakinan Yudaisme dan dari Allah yang digambarkan oleh tradisi profetis sebagai Allah keadilan. Dalam tulisannya yang berjudul ”Judaism in Israel” di Religion in the Middle East, Norman Bentwich mengemukakan ke inginan orang Yahudi Ortodoks untuk mengubah halakha guna mengadaptasikannya dalam kehidupan Israel masa kini. Kemudian ia menambahkan:

Sebuah cacat yang genting dari halakha adalah diskri-minasi terhadap orang-orang bukan Yahudi dalam hu-kum Yahudi. Kegagalan dari paguyuban para rabi dan partai-partai politik religius untuk menentang kebijakan pembalasan pemerintah terhadap para gerilyawan Arab sebagian dapat diakibatkan oleh penerimaan mereka ter-hadap dua standar tindakan, terhadap orang Yahudi dan orang bukan Yahudi.70

Dari perspektif saya sebagai seorang Kristen Palestina, Zionisme merupakan suatu langkah mundur dalam perkembangan Yudaisme. Yang secara tegas telah ditolak oleh masyarakat Yahudi pada abad ke-2 M, dengan kekalahan kaum Zelot, akhirnya diterima kembali oleh banyak orang Yahudi 1.800 tahun kemudian. Ini dilakukan

128 Semata-mata Keadilan

Allah dibatasi oleh batas-batas tanah itu, bahwa Allah tidak ber-tindak di luar garis itu. Sulit bagi mereka untuk membayangkan ber doa kepada Allah di tanah asing, di luar dari apa yang mereka pi kirkan sebagai tanah air Allah. Konsep picik tentang Allah ini tetap bertahan walaupun ada pernyataan keras dari Amos, yang menyatakan sebuah konsep yang lebih luas tentang Allah. Memang, bagi Amos, Allah juga aktif di luar tanah itu. Allah memiliki penge-tahuan yang mendalam serta keprihatinan yang tinggi pada negeri-negeri sekitar—Damsyik, Gaza, Tyra, Edom, Amon, dan Moab, seperti halnya kepada Yehuda dan Israel.93 Konsep Allah yang terikat pada tanah akhirnya hancur dengan penawanan oleh Babel. Di sana, bangsa Israel harus belajar bahwa Allah tidak dibatasi oleh tanah ”mereka”.

Pada kenyataannya, beberapa peristiwa penting—jika tidak da-pat dikatakan sebagai peristiwa-peristiwa paling penting—dalam sejarah Israel purba terjadi di luar garis perbatasan tanah itu. Ki-sah Eksodus, pemberian Taurat, penetapan janji Allah, semuanya terjadi di luar tanah itu. Nabi terbesar Yudaisme, Musa, tidak per-nah menginjakkan kakinya di tanah itu. Talmud Babilonia Agung di kompilasikan di luar tanah itu. Di antara para nabi besar ada juga Deutero-Yesaya pada masa Pembuangan, yang bernubuat di luar tanah itu. Yeremia mengakhiri pelayanannya di Mesir; Yehezkiel menyelesaikan pelayanannya di Babel. Kita dapat terus-menerus me nunjukkan dari bahan Alkitab betapa seringnya pemahaman ma-nusia akan Allah begitu terbatas, picik, dan salah. Pada awalnya, pemahaman itu bersifat kesukuan dan wilayah. Perlu waktu ratusan tahun bagi mereka untuk menyadari bahwa Allah adalah Allah atas seluruh dunia—bukan hanya Allah di atas segala allah, dan bukan hanya Allah mereka secara eksklusif, melainkan satu-satunya Allah sejati, Allah seluruh dunia. Melalui sejarahnya, bangsa itu ter-ombang-ambing di antara gambaran yang sempit dan gambaran yang luas tentang Allah, antara memberikan atribut karakter Allah secara eksklusif atau inklusif. Seperti yang sudah saya tunjukkan sebelumnya, kita dapat menunjuk pada rangkaian yang berbeda-beda di antara materi Alkitab yang menekankan persepsi nasionalis atau universalis tentang Allah.

Saya tidak ragu bahwa pemahaman universalis tentang Allah—yang telah berkembang walaupun menghadapi resistensi—adalah kon sep yang lebih benar. Saya berkata demikian bukan karena cocok dengan tujuan saya sebagai seorang Palestina, namun hanya itulah

Alkitab dan Pembebasan 127

seluruh pemerintah dan masyarakat setiap negeri. Allah meng hen-daki setiap manusia untuk hidup berdasarkan standar kudus dari keadilan.

Yang bersifat khusus telah menjadi universal. Anugerah kepedu-lian Allah kepada satu bangsa tertentu diuniversalkan mencakup se-tiap orang dan setiap tanah. Akibatnya, setiap bangsa dapat berkata tentang negerinya sendiri, ”ini adalah tanah milik Allah, negeri milik Allah, ini adalah salah satu bagian dari dunia milik Allah. Ini adalah tanah milik Allah dan Dia menuntut hidup dalam keadilan dan ke-benaran di tanah kita.”

Anugerah yang demikian jelas tidak mengecualikan orang Ya-hudi atau negara Israel modern. Tidak juga membenarkan klaim mereka atas janji kuno—suatu permintaan yang menyingkapkan pengetahuan yang sangat eksklusif dan terbatas tentang Allah da lam satu tahap perkembangan manusia—untuk membenarkan penca-butan seluruh penduduk dan pengambilalihan tanah mereka pada abad ke-20. Berpegang teguh pada pemahaman akan Allah dalam pasal-pasal yang terbatas dan eksklusif berarti berkhianat terhadap seluruh warisan alkitabiah.

Tragedi dari banyak kaum Zionis masa kini adalah bahwa me-reka telah mengurung dirinya dalam konsep Allah yang nasionalis ini. Mereka terjebak di dalamnya dan hanya akan terbebaskan jika mereka membuang gambaran primitif tentang Allah menjadi sebuah gambaran yang lebih universal.

Konsep Tentang Allah

Usulan saya yang kedua sangat terkait dengan yang pertama. Dari pandangan teologi pembebasan orang Palestina, seluruh persoalan tanah itu harus berpusat pada sebuah pembahasan teologis tentang sifat Allah: siapa Allah dan seperti apakah Allah itu? Apakah karakter Allah berubah? Jika sifat manusia dalam keberdosaannya tetap se-perti apa adanya, apakah itu selanjutnya berarti bahwa karakter dan sifat Allah juga tidak berubah? Sungguh, Allah tidak berubah. Allah itu kasih baik kemarin maupun hari ini! Sifat dan karakter Allah seperti kebaikan, cinta, belas kasih, kebenaran dan keadilan semuanya sangat konsisten.

Warisan alkitabiah menyodorkan banyak bukti tentang bagai-mana pemahaman manusia tentang Allah dan tentang tanah harus dibagi-bagi. Pada awal sejarah mereka, bangsa Israel berpikir bah wa

120 Semata-mata Keadilan

dengan mengorbankan dan bahkan melemahkan prinsip dan tun -tutan tertinggi dalam agama Yahudi. Yudaisme etis, dengan cara pandang universalisnya, telah tersapu dengan munculnya su-atu konsep eksklusif yang rasial tentang suatu masyarakat dan allahnya.71

Tragedi Negara Israel masa kini adalah bahwa negara tersebut telah menutup dirinya sendiri dan menjebak rakyatnya pada ke-buntuan, di mana tidak ada jalan keluar lebih jauh ketika negara itu mendukung pemahaman yang eksklusif tentang Allah ini.

Ironisnya, Israel saat ini berada pada posisi yang sama dengan Palestina pada tahun 1947. Rakyat Palestina menolak pembagian wilayah Palestina, bersikeras bahwa seluruh wilayah Palestina ada-lah milik mereka. Sayangnya, mereka tetap kehilangan termasuk ba-gian yang seharusnya masih menjadi milik mereka. Pada sisi lain, orang Yahudi, yang dulu sangat berhasrat untuk menerima apa yang menjadi bagian mereka, akhirnya mengambil seluruh wilayah itu. Pada akhir tahun 1980–an keadaan sudah terbalik. Banyak orang Palestina, yang dulu pernah memiliki seluruh tanah itu, sekarang sudi berkompromi dan menerima sepenggal wilayah, sementara banyak orang Yahudi, di luar pemahaman religius yang eksklusif tentang Allah yang mengklaim tanah itu, tidak sudi untuk menyerahkan sebagian dan membaginya dengan orang-orang Palestina. Akankah pada akhirnya mereka juga kehilangan seluruh wilayah itu?

Melampaui Klaim Kaum Zionis Atas TanahSejak tahun 1967, persoalan tanah telah menjadi begitu sentral dalam konfl ik antara Israel dan Palestina yang perlu ditangani sebagai persoalan serius dalam suatu teologi pembebasan Palestina.

Orang Yahudi dan Palestina sama-sama mengklaim hak yang tak dapat disangkal lagi atas setiap jengkal tanah yang sama—Pa-lestina. Orang Palestina mendasarkan klaim mereka pada fakta se jarah: mereka telah hidup di tanah itu berabad-abad lamanya. Kemungkinan besar para leluhur beberapa dari mereka telah hidup di tanah itu sejak zaman dahulu. Tanah tersebut tidak pernah didiami oleh satu populasi homogen dalam kurun waktu tertentu; Alkitab, sebagaimana juga sejarah, memperlihatkan hal tersebut. Alkitab Ibrani sendiri mencatat bahwa banyak masyarakat purba—termasuk orang Het, Amori, Kanaan, Feris, Hewi, Yebus, Gesur, Maakha,72 dan Filistin—hidup di tanah itu sebelum suku-suku Ibra-

Alkitab dan Pembebasan 121

ni purba bergabung dengan mereka. Tanah itu ditaklukkan dan dijajah. Kerajaan-kerajaan besar datang silih berganti—kerajaan Asyur, Babel, Persia, Yunani, dan Romawi. Penduduknya berpindah dan berubah. Banyak orang bercampur dan berasimilasi membentuk masyarakat Palestina pada abad-abad awal era kita.

Dengan penaklukan Palestina oleh Islam Arab pada abad ke-7, hampir semua orang yang tinggal di tanah itu (kebanyakan adalah orang Kristen dan sebagian orang Yahudi) perlahan-lahan diarab-kan dalam hal bahasa dan budaya. Mereka tergabung dengan orang Muslim Arab yang jumlahnya semakin bertambah. Akibatnya, penduduk asli Palestina, walaupun dengan latar belakang agama yang berbeda-beda, seterusnya hidup di tanah itu selama sekitar 1.300 tahun terakhir. Bertahun-tahun, negeri tersebut menyaksikan pergeseran gerakan berbagai suku, puak, keluarga, namun pada dasarnya para penduduk pribumi tetap hidup di tanah itu.

Orang Yahudi, pada sisi lain, akan mengklaim bahwa tanah itu telah diberikan oleh Allah kepada mereka dalam perjanjian kepada Abraham lebih dari 3.000 tahun yang lalu.73 Mereka menduduki ta-nah itu dengan penaklukan Kanaan (sekitar tahun 1250—1200 SM). Se lama tinggal di tanah itu, mereka membangun sebuah kerajaan bersatu yang pertama dan kemudian dua kerajaan terpisah di utara dan di selatan kawasan tersebut. Kerajaan utara dihancurkan pada tahun 722 SM oleh Kerajaan Asyur, dan kerajaan selatan dihan-curkan pada tahun 587 SM oleh Kerajaan Babel. Akan tetapi, mereka tetap hidup di tanah itu dalam jumlah yang tidak menentu. Sekalipun sejak abad ke-3 M hanya terdapat komunitas Yahudi yang kecil dan tersebar yang tinggal di tanah itu, mayoritas orang Yahudi (yang hidup di diaspora di luar negeri itu, yang selalu mendoakan ”tahun yang akan datang, di Yerusalem”), tidak pernah melupakannya. Beberapa di antara mereka telah kembali pada abad ke-20 dan membangun negara Israel pada tahun 1948.

Anti-Semitisme Barat, yang dititikpuncaki dengan pembantaian Holocaust pada awal 1940-an, membantu percepatan proses imigrasi Yahudi ke Palestina dan mempertinggi desakan pemben tukan sebuah tanah air orang Yahudi.

Kebanyakan orang Palestina tidak menyangkal adanya keja-hatan anti-Semitisme atau kekejaman Holocaust. Namun mereka merasa bahwa solusi ”masalah Yahudi”—sebuah fenomena Barat yang hanya sedikit atau sama sekali tidak ada urusan dengan tempat tinggal mereka, Palestina—telah mengorbankan mereka,

126 Semata-mata Keadilan

yang membentuk bumi dan menjadikannya dan yang me-ne gakkannya,—dan Ia menciptakannya bukan supaya ko-song, tetapi Ia membentuknya untuk didiami—: ”Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain”.87

Dalam literatur masa pasca-pembuangan, ada perpindahan kepen-tingan yang tidak dapat dipungkiri dari persoalan tanah menjadi per-soalan kemanusiaan.88 Beberapa ahli pun bahkan akan menunjuk bah wa kitab Ruth merefl eksikan suatu dimensi universal dalam Yu daisme pasca-pembuangan, yang di dalamnya tanah selain dari Ye huda dianggap sangat penting.89 Kita telah melihat bagaimana ke-seluruhan sejarah kaum Farisi mencerminkan suatu konsentrasi pa da Taurat daripada pengendalian politik di tanah itu.90

Ringkasnya: ketika konsep mereka tentang Allah makin matang, manusia mulai memahami bahwa perhatian Allah tidak dibatasi atau difokuskan hanya pada satu tanah khusus, tetapi atas seluruh tanah. Davies menekankan bahwa ”doktrin tentang janji tanah sama sekali tidak boleh dipisahkan dari Yahweh sebagai pencipta alam se mesta”.91 Dengan perkataan lain, pemahaman kita tentang Allah pada saat ini membantu kita untuk menyimpulkan bahwa Allah yang diterima oleh bangsa Israel sebagai Allah pemilik ”tanah Kanaan” adalah juga Allah yang kemudian kita kenal sebagai Allah pemilik seluruh dunia:

Sebab TUHAN adalah Allah yang besar,dan Raja yang besar mengatasi segala allah. Bagian-bagian bumi yang paling dalam ada di tangan-Nya,puncak gunung-gunung pun kepunyaan-Nya. Kepunyaan-Nya laut, Dialah yang menjadi kan nya,dan darat, tangan-Nyalah yang membentuk nya.92

Tanah yang telah Allah pilih pada satu waktu tertentu dalam sejarah untuk satu kelompok masyarakat tertentu saat ini diterima sebagai sebuah paradigma, sebuah model, karena kepedulian Allah kepada setiap orang dan setiap tanah. Sebagaimana Allah memerintahkan bangsa Israel untuk menaati hukum-hukum-Nya dalam kehidupan mereka di tanah itu, demikian juga Allah menuntut hal yang sama dari seluruh manusia di tanah-tanah yang mereka huni. Tuntutan Allah yang paling menonjol adalah bangsa Israel tidak boleh menajiskan atau mencemari tanah itu dengan ketidakadilan, supaya tanah itu tidak membuang mereka keluar, menjadi sebuah peringatan kepada

Alkitab dan Pembebasan 125

mendudukinya; tidak akan lanjut umurmu di sana, tetapi pastilah kamu punah.83

W.D. Davies menambahkan bahwa tanah tersebut ketika dinajiskan akan mendorong keluar penghuninya karena kesuciannya. ”Impli-kasinya adalah bahwa bahkan Taurat pun tidak dapat memberikan kesucian pada tanah itu. Tanah tersebut telah dicirikan dengan ke-sucian sebelum Israel membawa Taurat masuk: tanah itu telah suci pada masa pendudukan orang Kanaan karena Yahweh memilikinya dan diam di tengah-tengahnya.”84

Dalam terang konfl ik kontemporer atas tanah itu, dan pan-dangan keliru yang sering terdengar bahwa orang Yahudi datang ke suatu negeri yang terabaikan—dan bahwa merekalah yang mengem-bangkan, membangun, dan membuat gurun pasirnya berbunga—Yosua 24:13 mengumandangkan suatu nada modern tentangnya:

Demikianlah Kuberikan kepadamu negeri yang kamu per-oleh tanpa bersusah-susah dan kota-kota yang tidak ka-mu dirikan, tetapi kamulah yang diam di dalamnya; juga kebun-kebun anggur dan kebun-kebun zaitun yang tidak kamu tanami, kamulah yang makan hasilnya.85

Untuk tujuan kita, persoalan dasar yang perlu selalu diingat ada-lah desakan—sangat mencolok dalam Alkitab—bahwa tanah itu sungguh-sungguh milik Allah. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa 3.000 tahun yang lalu bangsa Israel, dengan konteks mereka sendiri pada waktu itu dan dengan pemahaman mereka tentang Allah pada tahap sejarah tersebut, diterima lebih dari kenyataan mendasar bahwa tanah itu adalah benar milik Allah.

Selanjutnya kita dapat berkata bahwa sebagai hasil dari pengem-bangan pengetahuan akan Allah dalam Perjanjian Lama, Allah lam-bat laun diterima bukan hanya sebagai Allah Israel, melainkan Allah seluruh dunia:

TUHAN-lah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya.86

Konsep ini menjadi lebih jelas ketika kita beralih pada masa pem-buangan dan pasca-pembuangan:

Sebab beginilah fi rman TUHAN,yang menciptakan langit,—Dialah Allah—

122 Semata-mata Keadilan

membuat mereka kehilangan hak atas tanah Palestina. Orang Pa-lestina berpendapat bahwa jika masyarakat di berbagai wilayah men dasarkan klaim mereka terhadap wilayah tersebut di atas janji-janji ilahi atau penaklukan, maka dunia kita akan berantakan. Kita akan menghadapi sebuah pergeseran demografi besar-besaran, ke-kacauan sosial, dan ketidak adilan pribadi sebagaimana yang dialami oleh orang Palestina dalam genggaman orang Yahudi pada tahun 1948 dan 1967.

Saya sudah mencoba sejauh ini untuk mencatat posisi dasar orang Yahudi Israel dan orang Palestina. Mudah untuk mengamati klaim-klaim yang bertentangan di antara kedua kelompok tersebut, khususnya ketika dilihat dari sisi-sisi yang mendukungnya.

Persoalan Tanah—Dua UsulanPada masa lalu, banyak orang berupaya untuk menemukan pen-jelasan yang memadai terhadap persoalan di kawasan tersebut. Ada tiga pandangan dasar yang diusulkan.

1. Janji tanah kepada Abraham dan keturunannya termasuk ke dua anaknya, Ismail dan Ishak. Karena, diklaim demikian, orang Yahudi adalah keturunan anak laki-laki yang lebih muda, Ishak, dan orang Arab adalah keturunan anak laki-laki yang lebih tua, Ismail, mereka harus membagi tanah itu.

2. Sebelum hadirnya kaum Zionis dan pembentukan Negara Is-rael, keturunan Abraham telah hidup di tanah itu. Penduduk asli Palestina, baik Muslim, Yahudi atau Kristen, adalah kaum monoteis dengan garis hubungan yang kuat kepada Abraham. Ingatan orang-orang ini, tradisi, kepercayaan, dan bahkan leluhur rasnya membuat mereka melihat diri mereka sebagai anak-anak Abraham. Abraham adalah leluhur mereka, baik secara fi sik maupun spiritual.

3. Kebanyakan kaum Zionis yang datang dari Eropa Timur sama sekali bukan kaum Semit dan mungkin tidak ada hubungan darah dengan bangsa Israel alkitabiah.74 Mereka baru saja ber-pindah ke dalam Yudaisme. Kaum Arab Semitik, tentu saja, lebih berhak atas tanah itu daripada kaum Zionis Eropa Timur ini yang, dari sudut pandang orang Palestina, dianggap sebagai penjajah abad ke-20.

Alkitab dan Pembebasan 123

Ini hanyalah contoh dari bentuk teorisasi yang selama ini telah digunakan. Walaupun teori-teori tersebut menarik dan menjadi dis kusi yang hidup, saya tidak pernah menemukan teori-teori ini sungguh menolong dalam mencari sebuah solusi, dan saya tidak setuju dengan beberapa asumsi dasarnya. Situasi eksistensial yang menyerang kami sebagai orang Palestina adalah kehadiran se ke-lompok manusia yang kuat dan berkuasa di atas tanah Palestina, banyak yang fanatik di antara mereka, yang menolak untuk berbagi tanah itu dengan penduduk historisnya. Beberapa di antara mereka bertindak keterlaluan untuk menerapkan pemahaman dan interpretasi mereka sendiri tentang janji-janji alkitabiah atas tanah itu dan, tanpa segan-segan, menyangkal hak-hak, mengusir, bahkan mengabaikan penduduk pribumi.

Tanpa mengklaim objektivitas yang total, sebagai seorang Kris-ten Palestina dan dalam terang kunci hermeneutis yang sudah saya usulkan, saya akan melihat persoalan tanah tersebut secara alkitabiah dan teologis. Ini tidak dimaksudkan untuk menjadi se-buah studi yang rinci; beberapa ahli, misalnya W.D. Davies, telah menulis banyak buku tentang pokok ini.75 Tujuan saya di sini adalah untuk membuatnya ringkas dan fokus. Saya ingin mengusulkan dua pandangan pribadi saya.

Bumi adalah Milik Tuhan

Jelas dalam Alkitab Ibrani bahwa tanah Kanaan sungguh-sungguh milik Allah. Dalam Heksateukh,76 tanah tersebut selalu dirujuk seba-gai ”Tanah Kanaan”. Dalam Yosua 24:8, tanah itu disebut sebagai negeri orang Amori. Menarik bahwa istilah ”tanah Israel” (Eretz Yisrael) tidak muncul sampai dengan kitab 1 Samuel 13:19. Istilah itu jarang muncul dalam Alkitab Ibrani, hanya muncul enam kali dalam seluruh kitab suci itu.77 Sangat jelas alasannya bahwa tanah tersebut adalah milik Allah. Allah adalah penguasanya.

Dalam Imamat 25:23, klaim suci terhadap tanah tersebut de-ngan sangat kuat menekankan bahwa bangsa Israel diakui sebagai pendatang dan orang asing:

”Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik ta nah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku.”

Kemudian, pembagian tanah ke dalam bagian yang berbeda-beda untuk suku-suku Israel, peraturan-peraturan tentang panen, dan

124 Semata-mata Keadilan

perintah untuk memberlakukan Sabat atas tanah tersebut bagi Tuhan perlu dipahami dalam terang kepemilikan Allah atas tanah itu.78

Konsekuensinya, karena tanah itu milik Allah, dan bangsa Is-rael hanyalah pengurusnya, Allah ”telah menentukan atas tanah itu—juga atas alamnya—suatu peraturan atau pola atau hukum suci, atas pelanggaran akibat adanya pembubaran, yang berbalik mengacaukan tatanan yang ada menjadi tidak teratur”.79 Inilah sanksi untuk perintah tersebut.

Maka janganlah najiskan negeri tempat kedu dukanmu, yang di tengah-tengahnya Aku diam, sebab Aku, TUHAN, diam di tengah-tengah orang Israel.80

Dalam kitab Yeremia, hal itu menjadi jelas bahwa penajisan atas tanah itu telah terjadi:

...Tetapi segera setelah kamu masuk, kamu menajiskan tanah-Ku; tanah milik-Ku telah kamu buat menjadi keke-jian.81

Dan lagi:

Aku akan mengganjar dua kali lipat kesalahan dan dosa me reka, oleh karena mereka telah menajiskan negeri-Ku dengan bangkai dewa-dewa mereka yang menjijikkan dan telah memenuhi tanah milik-Ku dengan perbuatan mereka yang keji.82

Oleh karena itu, siapa pun yang ingin hidup di tanah itu harus meng hargai sang pemilik tanah. Pengabaian terhadap Allah ber arti menajiskan tanah itu, melanggar sifat sucinya, dan pasti meng-akibatkan kehilangan atas tanah itu; dan dapat mengarah pada peng hancuran yang lebih besar:

Apabila kamu beranak cucu dan kamu telah tua di ne-geri itu lalu kamu berlaku busuk dengan membuat pa-tung yang menyerupai apa pun juga, dan melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, Allahmu, sehingga kamu menimbulkan sakit hati-Nya, maka aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini, bahwa pastilah kamu habis binasa dengan segera dari ne-geri ke mana kamu menyeberangi sungai Yordan untuk