Upload
independent
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Serangan Umum 1 Maret 1949 Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Serangan Umum 1 Maret 1949
Bagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia
Tanggal 1 Maret 1949
Lokasi Yogyakarta
Hasil Kemenangan stategis Indonesia
Kemenangan taktis Belanda
Pihak yang terlibat
Indonesia Belanda
Komandan
Soeharto Van Mook
Kekuatan
Tidak diketahui Tidak diketahui
Korban
300 prajurit tewas dan 53
anggota polisi tewas.
6 orang tewas dan diantaranya
adalah 3 orang anggota polisi;
selain itu 14 orang mendapat
luka-luka.
Rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti.
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap
kota Yogyakarta secara secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi
militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil
setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia
internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan
demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan
Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan
pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk
2 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta
sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
[sunting]Latar belakang
Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI
mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan
memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase
lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota
yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh
daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah
terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang
sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan
pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan
mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan
melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio
Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima
Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna meng-
counter propaganda Belanda.
Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan
Panglima Besar Sudirman, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima
Divisi II, Kolonel Gatot Subrotodan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter
spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu
menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung, pada bulan September dan Oktober 1949,
Hutagalung dan keluarga tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di (dahulu) Jl. Widoro No. 10,
Yogyakarta.
Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama
Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan
(Pemerintah Darurat Republik Indonesia – PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk
membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa
disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia)
dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI
dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda
berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Panglima
Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan
pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III.
Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman,
sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima
Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang
dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain
3 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir
Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu
Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun,
Bupati BanjarnegaraR. A. Sumitro Kolopaking dan Bupati Sangidi.
Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan
gagasan yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, dan kemudian dibahas bersama-sama yaitu:
1. Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II
dan III,
2. Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,
3. Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
4. Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,
5. Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:
Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki
oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat,
Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan.
Tujuan utama dari ini rencana adalah bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian
juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan
eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus
melihat perwira-perwira yang berseragam TNI.
Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan
oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar,
Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara
spektakuler adalah Yogyakarta.
Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran
utama adalah:
1. Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam,
akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.
2. Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya
anggota delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB.
3. Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM
lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi.
Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur
Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa
serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatihdalam
menyerang pertahanan tentara Belanda.
Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai
Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan
pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat
dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.
Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti
disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar
berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai
sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah
dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-
anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat
Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan
ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama
yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris.
4 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara
Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik.
Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupangyang
bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan
Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai
penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.
Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten
menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan
apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan
mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang
kuat seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar
3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7
jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III,
namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu,
serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan
operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga
bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat.
Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun,
Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan
pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus
selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan.
Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan
dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan
ditetapkan oleh pemerintah militer setempat.
Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah
dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan
Rakyat Total - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop)
tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat
dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian.
Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah
Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front.
Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati
tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil
pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-
masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbingpada 18
Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II
Kolonel Gatot Subroto.
Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah
yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan
pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di
wilayahWehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima
Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10,
Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan.
Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-
pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain
juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adikBambang Sugeng), seorang
mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung)
dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal.
Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh
dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap
serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang
sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala
5 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam
pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.
Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui
pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah
Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera
mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang
akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.
Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap
bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan
rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada
siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari
Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk
menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugengbeserta
rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat
berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung
alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan
Letkol.Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu
gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah
gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi
III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta
ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan.
Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1
Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan
semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan.
Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25
Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi.
Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.
Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada
tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade
10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.
[sunting]Jalannya serangan Umum
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh
wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta
koar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX,
sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur [[Magelta-
kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh
Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, LetkolBahrun dan
Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di
wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda
dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan
telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari
sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota.
Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke
batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim
Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk
Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta
selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula,seluruh pasukkan
TNI mundur
6 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat
menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang
sedang diserang secara besar-besaran – Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat
memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta.
Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai
di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.
[sunting]Kerugian di kedua belah pihak
Dari pihak Belanda, tercatat 6 orang tewas, dan diantaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu
14 orang mendapat luka-luka. Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan serangan terebut,
keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali. Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti
biasa, malam harinya dan hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.
Pada hari Selasa siang pukul 12.00 Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan
pasukan di Jawa Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen (komandan
pasukan di Yogya) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk Yogya) telah mengunjungi kraton
guna membicarakan keadaan dengan Sri Sultan.
Dalam serangan terhadap Yogya, pihak Indonesia mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit
tewas, 53 anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan pasti. Menurut majalah
Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949, korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949
tercatat 200 orang tewas dan luka-luka.
[sunting]Perkembangan setelah serangan umum 1 maret
Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi menggambarkan betapa
gembiranya mereka mendengar siaran radio yang ditangkap dari Burma, mengenai serangan besar-
besaran Tentara Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi Headlinesdi
berbagai media cetak yang terbit di India. Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis kepada dr. W.
Hutagalung, ketika bertemu di tahun 50-an di Pulo Mas, Jakarta.
Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia, mempermalukan
Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak lama setelah Serangan Umum 1 Maret
terjadi Serangan Umum Surakarta yang menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI yang paling
gemilang karena membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan
penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota
Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat - artileri, pasukan infantri dan
komando yang tangguh. Serangan umum Solo inilah yang menyegel nasib Hindia Belanda untuk
selamanya.
[sunting]Kontroversi dalam Serangan Umum 1 Maret
[sunting]Pada era Orde Baru
Hingga awal tahun 1970-an, serangan atas Yogyakarta 1 Maret 1949, sama sekali tidak pernah
ditonjolkan, karena para pejuang waktu itu menilai, bahwa episode ini tidak melebihi episode-episode
perjuangan lain, yaitu pertempuran heroik di Medan (Medan Area, Oktober 1945), Palagan
Ambarawa (12 – 15 Desember 1945), Bandung Lautan Api (April 1946), Perang Puputan
Margarana Bali (20 November 1946), Pertempuran 5 hari 5 malam di Palembang (1 – 5 Januari 1947)
dan juga tidak melebihi semangat berjuang Divisi Siliwangi, ketika melakukan long march, yaitu
berjalan kaki selama sekitar dua bulan – sebagian bersama keluarga mereka - dari Yogyakarta/Jawa
Tengah ke Jawa Barat, dalam rangka melancarkan operasi Wingate untuk melakukan perang gerilya
di Jawa Barat, setelah Belanda melancarkan Agresi II tanggal 19 Desember 1948. Dan masih banyak
lagi pertempuran heroik di daerah lain. Hingga waktu itu, yang sangat menonjol dan dikenal oleh
rakyat Indonesia adalah perjuangan arek - arek Suroboyo pada Pertempuran di Surabaya / Peristiwa
10 November 1945, yang dimanifestasikan dengan pengukuhan tanggal 10 November sebagai Hari
Pahlawan.
7 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Dari sumber-sumber yang dapat dipercaya serta dokumen-dokumen yang terlampir dalam tulisan ini,
terlihat jelas bahwa perencanaan dan persiapan serangan atas Yogyakarta yang kemudian
dilaksanakan pada 1 Maret 1949, dilakukan di jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III -
dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat - berdasarkan instruksi
dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti
juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat
posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB.
Serangan tersebut melibatkan berbagai pihak, bukan saja dari Angkatan Darat, melainkan juga AURI,
Bagian Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah (Pejabat PDRI di Jawa) dan Pepolit dari
Kementerian Pertahanan. Pasukan yang terlibat langsung dalam penyerangan terhadap Yogyakarta
adalah dari Brigade IX dan Brigade X, didukung oleh pasukan Wehrkreis I dan II, yang bertugas
mengikat Belanda dalam pertempuran di luar Wehrkreis III, guna mencegah atau paling tidak
memperlambat gerakan bantuan mereka ke Yogyakarta. Tidak mungkin seorang panglima atau
komandan, tidak mengerahkan seluruh kekuatan yang ada di bawah komandonya, untuk menghadapi
musuh yang jauh lebih kuat. Perlu diingat, ketika Belanda menduduki Ibukota RI, Yogyakarta, tanpa
perlawanan dari TNI, karena dari semula telah diperhitungkan, kekuatan TNI tidak sanggup menahan
serangan Belanda. Juga tidak mungkin seorang panglima atau komandan pasukan memerintahkan
melakukan serangan terhadap suatu sasaran musuh yang kuat, tanpa memikirkan perlindungan
belakang. Selain itu, juga penting masalah logistik; suply (pasokan) perlengkapan dan perbekalan
untuk ribuan pejuang serta perawatan medis yang melibatkan beberapa pihak di luar TNI.
Dalam perencanaan dan pelaksanaan, juga melibatkan bagian Pepolit (Pendidikan Politik Tentara)
Kementerian Pertahanan. Selain itu, juga terlihat peran Kolonel T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf
Angkatan Perang (KSAP). Untuk penyiaran berita mengenai serangan tersebut ke luar negeri,
melibatkan pemancar radio AURI di Playen, dan pemancar radio Staf Penerangan Komisariat Pusat,
yang waktu itu berada di Wiladek.
Cukup kuat alasan untuk meragukan versi yang mengatakan, bahwa seorang komandan brigade
dapat memberi tugas kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, yang berada dua tingkat di
atasnya, untuk membuat teks (dalam bahasa Inggris) yang akan disampaikan kepada
pihak AURIuntuk kemudian disiarkan oleh stasiun pemancar AURI. Dengan demikian, menurut versi
ini, perencanaan serta persiapan serangan dilakukan di jajaran brigade, kemudian "memberikan
instruksi" kepada sejumlah atasan, termasuk Panglima Divisi.
Perlu diketahui, bahwa selama perang gerilya, berdasarkan Instruksi No. 1/MBKD/1948 tertanggal 22
Desember 1948 yang dikeluarkan oleh Panglima Tentara dan Teritorium Jawa/Markas Besar
Komando Jawa (MBKD), Kolonel Abdul Haris Nasution, dibentuk Pemerintah Militer di seluruhJawa.
Struktur dan hirarki militer berfungsi dengan baik dan garis komando sangat jelas.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, tidak mungkin seorang komandan pasukan dapat
menggerakkan pasukan-pasukan lain yang bukan di bawah komandonya tanpa seizin atasan.
Seandainya ada gerakan pasukan lain, pasti harus dengan perintah dari atasan, dan tidak mungkin
dilakukan oleh komandan yang satu level. Apalagi menugaskan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang
yang dalam hirarki militer berada dua tingkat di atasnya, dan pihak Kementerian Pertahanan serta
pihak AURI, yang memiliki/mengoperasikan pemancar radio. Berdasarkan bukti dan dokumen yang
ada, serangan tersebut jelas melibatkan berapa pihak di luar Brigade X/Wehrkreis III; bahkan terlihat
peran beberapa atasan langsung Letkol Suharto.
Masih terdapat cukup bukti serta dokumen yang menunjukkan, bahwa kendali seluruh operasi di
wilayah Divisi III tetap berada di pucuk pimpinan Divisi III, yaitu Kolonel Bambang Sugeng. Hal ini
terbukti dengan jelas, a.l. dengan adanya Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang
ditujukan kepada Komandan Wehrkreis II Letkol. M. Bachrun, di mana jelas disebutkan, bahwa
Instruksi Rahasia tersebut sehubungan dengan perintah yang diberikan kepada Komandan Wehrkreis
III, Letkol Suharto. Juga disebutkan, bahwa pasukan yang langsung membantu dalam serangan ke
kota adalah Brigade IX.
8 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Dalam naskah otobiografi Letnan Kolonel (Purn.) dr. W. Hutagalung disebutkan, bahwa
Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini hadir dalam rapat perencanaan, sehingga tidak diperlukan lagi
Instruksi tertulis.
Instruksi Rahasia tersebut merupakan kelanjutan dari Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1
Januari 1949 yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, untuk antara lain: "... mengadakan
perlawanan serentak terhadap Belanda sehebat-hebatnya... yang dapat menarik perhatian dunia
luar...".
Dari dokumen ini dapat dilihat dengan jelas, bahwa tujuan semua serangan besar-besaran adalah
untuk menarik perhatian dunia internasional, dan sejalan dengan Perintah Siasat 1 yang dikeluarkan
oleh Panglima Besar Sudirman pada bulan Juni 1948.
Dokumen ketiga yang membuktikan bahwa seluruh operasi tersebut ada di bawah kendali Panglima
Divisi III/GM III, adalah Perintah Siasat No. 9/PS/19, tertanggal 15 Maret 1949. Perintah diberikan
kepada komandan Wehrkreis I (Letkol. Bachrun) dan II (Letkol. Sarbini), untuk meningkatkan
penyerangan terhadap tentara Belanda di daerah masing-masing, dalam upaya untuk mengurangi
bantuan Belanda ke Yogyakarta dan tekanan Belanda terhadap pasukan Republik di wilayah
Wehrkreis III yang membawahi Yogyakarta, setelah dilaksanakan serangan atas Yogyakarta tanggal 1
Maret 1949.
Dengan demikian, tiga dokumen yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, Kolonel Bambang
Sugeng, yaitu:
1. Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949,
2. Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, dan
3. Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949,
membuktikan bahwa sejak awal bergerilya, seluruh operasi di wilayah Divisi III, tetap diatur dan
dikendalikan oleh Panglima Divisi III/Gubernur Militer III. Dokumen-dokumen tersebut diperkuat antara
lain dengan catatan harian Kolonel Simatupang, Wakil KSAP, dan otobiografi Letkol dr.Wiliater
Hutagalung, Perwira Teritorial, serta kemudian di dalam berbagai tulisan dari A.H. Nasution, yang
waktu itu adalah Panglima Tentara & Teritorium Jawa/MBKD. Selain itu, semua dokumen
menunjukkan, bahwa Panglima Divisi III selalu memberikan instruksi dan melibatkan ketiga
Wehrkreise tersebut; dengan demikian menjadi jelas, bahwa komando operasi ada di tangan Panglima
Divisi, dan bukan di tangan Komandan Brigade.
Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, cocok dengan catatan harian Simatupang tertanggal 18
Februari 1949 yang dimuat dalam buku Laporan dari Banaran, di mana tertera: Kolonel Bambang
Sugeng, yang sedang mengunjungi daerah Yogyakarta (dia adalah Gubernur Militer
daerahYogyakarta - Kedu - Banyumas - Pekalongan - sebagian dari Semarang) datang dan bermalam
di Banaran.
Juga apabila mencocokkannya dengan tulisan Budiarjo terbukti, bahwa Simatupang banyak terlibat
dalam persiapan serangan tersebut. Hal ini dapat dilihat, bahwa Simatupang telah mempersiapkan
teks dalam bahasa Inggris tanggal 28 Februari, sehari sebelum serangan terjadi dan meminta teks
tersebut disiarkan oleh pemancar AURI Playen, setelah serangan dilaksanakan tanggal 1 Maret 1949.
Juga dari catatan Simatupang dapat dilihat, bahwa di Wiladek mereka juga telah "dipersiapkan" untuk
menyiarkan berita mengenai serangan atas Yogyakarta. Tidak tertutup kemungkinan,
bahwa Simatupang juga memberikan teks yang akan dibacakan seperti halnya di Playen, karena
dalam catatan hariannya, Simatupang sendiri tidak menyebutkan nama Budiarjo ketika dia
menyampaikan teks yang akan dibacakan di Playen. Di sini terlihat jelas, bahwa "Serangan
Spektakuler" tersebut adalah suatu skenario -rekayasa- untuk konsumsi dunia internasional.
Catatan harian tersebut, yang tertulis dalam buku Laporan dari Banaran, sekaligus juga menunjukkan
keterlibatan besar dari Simatupang, yang dalam hirarki militer beberapa tingkat di atas Suharto. Buku
Laporan dari Banaran diterbitkan pertama kali tahun 1960, ketika Suharto belum menjadi Presiden,
dan episode perjuangan tersebut belum diekspos menjadi mercu suar, dan sejarah tidak ditulis untuk
kepentingan penguasa.
9 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Selain itu, melihat besarnya operasi tersebut serta keterlibatan berbagai pihak, yang dalam hirarki
militer berada di posisi lebih tinggi, sangat tidak mungkin, bahwa komando operasi dipegang oleh
seorang komandan brigade. Dalam instruksi No. 1/MBKD/1948, tertanggal 25 Desember 1948, butir 5,
Kolonel Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menegaskan: "Peliharalah terus hierarchie
ketentaraan"
Perencanaan serangan tersebut sangat dirahasiakan, sehingga selain pucuk pimpinan tertinggi militer
dan sipil, pada waktu itu hampir tidak ada anggota staf di jajaran bawah, yang mengetahui mengenai
rencana tersebut, bahkan staf Gubernur Militer sekalipun. Seorang pelaku sejarah menyampaikan,
bahwa dia sebagai anggota staf GM III yang berada di lereng gunung Sumbing, baru mengetahui
mengenai serangan tersebut setelah serangan dilancarkan. Begitu juga dengan para pelaksana di
lapangan, tidak mengetahui mengenai perencanaan serta Grand Design serangan umum,
sebagaimana diungkapkan oleh seorang pelaku di lapangan, Kol. (Purn.) A. Latief (waktu itu
komandan kompi, berpangkat Kapten).
Jadi sangat jelas, bahwa setiap komandan hanya mengetahui sebatas tugas yang diberikan
kepadanya dan mempunyai wewenang hanya atas pasukannya. Pernyataan Suharto, seperti
disampaikan dalam otobiografinya, selain tidak logis dan tampak hanya mengarang cerita belaka,
dapat dibantah berdasarkan bukti yang ada.
Memang tidak semua prajurit dapat atau boleh mengetahui keberadaan Panglima Besar yang menjadi
incaran tentara Belanda. Akan tetapi pucuk pimpinan militer dan sipil, dapat selalu berkomunikasi
dengan Jenderal Sudirman, walaupun tempat persembunyiannya selalu berpindah-pindah, bahkan di
beberapa tempat, hanya satu atau dua hari saja. Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh
Kapten Suparjo Rustam, ajudan Panglima Besar Sudirman, tercatat kegiatan Panglima Besar, antara
lain:
"Tanggal 27.12.1948. Meninggalkan desa Karangnongko (di sungai Brantas, Jawa Timur) dan pindah
ke desa di lereng Gunung Wilis. Pak Dirman mengutus Kolonel Bambang Supeno supaya mencari
hubungan dengan Pemerintah pusat di Jawa, yang menurut kabar ada di gunung Lawu. Tidak lama
setelah Kol. Bambang Supeno berangkat, datang pula Kol. Sungkono (Panglima Divisi/Gubernur
Militer Jawa Timur). Tanggal 10.1.1949, Bambang Supeno kembal. Tanggal 11.1.1949 di
desa Wayang, pertemuan dengan Menteri Pembangunan Supeno dan Menteri KehakimanSusanto
Tirtoprojo. Selama beberapa hari setelah tanggal 12.1.1949 banyak tamu-tamu dari berbagai kota dan
daerah datang menemui Pak Dirman.”
Selama perjalanan, Kapten Suparjo (ajudan Panglima Besar), selalu mengirimkan utusan untuk
memberikan berita kepada KBN-KBN, di mana rombongan berada. Tercatat antara lain:
"Tanggal 8.2.1949, di desa Pringapus. Mengirimkan beberapa orang ke Yogyakarta, di
antaranya Harsono Cokroaminoto untuk mendapatkan keterangan-keterangan mengenai politik,
Letnan Basuki dan dr. Suwondo (dokter pribadi Panglima Besar) untuk mencari obat-obatan,
KaptenCokropanolo untuk menghadap Sri Sultan … Orang-orang yang dikirim ke Yogya hampir
semuanya ditangkap Belanda, yang tidak ditangkap hanya dr. Suwondo dan Kapten Cokropranolo.
Tanggal 3.3.1949 di desa Sobo, datang utusan dari Kolonel Gatot Subroto dengan satu kompi tentara
dipimpin Letkol. Su'adi, untuk mengawal Pak Dirman"
Dari catatan perjalanan yang ditulis oleh ajudan Panglima Besar terlihat, bahwa Panglima
Divisi/Gubernur Militer serta pembesar sipil, dapat selalu mengetahui keberadaan Panglima Besar,
dan Panglima Besar dapat mengirim utusan untuk bertemu dengan pimpinan militer dan sipil, seperti
beberapa menteri yang tidak ditangkap Belanda.
Juga terdapat kejanggalan mengenai pernyataan Suharto tersebut, yaitu bahwa dia mengambil
keputusan tersebut, karena kesulitan menghubungi Panglima Besar Sudirman. Pertama, hal itu
sebenarnya tidak dapat dia lakukan, karena Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade X, masih
mempunyai atasan langsung, yaitu Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III, yang markasnya
hanya berjarak sekitar dua hari berjalan kaki dari markas Wehrkreis III. Juga ada Kolonel A.H.
Nasution, Panglima Tentara dan Teritorium Jawa, dan Markas Besar Komando Jawa berada di
desa Manisrenggo, di lereng gunung Merapi. Selain itu masih ada Kolonel Simatupang, Wakil Kepala
10 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Staf Angkatan Perang, yang bermarkas di pedukuhan Banaran, desa Banjarsari di lereng gunung
Sumbing, tidak jauh dari markas Divisi III. Tentu menjadi suatu pertanyaan besar, untuk apa seorang
komandan brigade ingin berhubungan langsung dengan Panglima Besar, dengan melewati tiga jajaran
di atasnya. Semua markas-markas di wilayah Divisi III berada dalam radius sekitar 24 jam berjalan
kaki.
Uraian Sumual, yang waktu itu adalah Komandan SWK-103 A, Sektor Barat, menunjukkan dengan
tegas, bahwa perintah serangan umum datang dari Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang
Sugeng, dan bukan gagasan Suharto atau perintah dari Hamengku Buwono IX.
Buku yang diterbitkan SESKOAD, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, mengandung
sangat banyak kontroversi. Di satu sisi, buku tersebut dilengkapi dengan berbagai dokumen otentik
yang sangat penting, namun di sisi lain, kesimpulan yang diambil hanya mengarah kepada yang telah
digariskan oleh penguasa waktu itu, yaitu: Pemrakarsa dan Komandan Operasi Serangan Umum
adalah Suharto. Banyak dokumen dilampirkan dalam buku tersebut, termasuk yang dikeluarkan oleh
Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng, yaitu Perintah Siasat tertanggal 1
Januari 1949, dan yang terpenting adalah Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, di mana jelas
tertera Instruksi kepada Komandan Daerah III Letkol Suharto dan Komandan Daerah I Letkol. M.
Bachrun. Di samping kedua surat tersebut, Perintah Siasat yang dikeluarkan tanggal 15 Maret 1949
menunjukkan, bahwa Bambang Sugeng tetap memegang kendali operasi dan selalu melibatkan
seluruh potensi yang ada di bawah komandonya.
Selain itu, juga terdapat kalimat yang memberi gambaran, bahwa serangan
terhadap Yogyakarta tersebut adalah bagian dari operasi Gubernur Militer III, yang juga melibatkan
pasukan di bawah komando Gubernur Militer II. Koordinasi pada tingkat Gubernur Militer, jelas tidak
mungkin dilakukan oleh seorang komandan Brigade: Serangan yang akan dilaksanakan
oleh Wehrkreis III sesungguhnya merupakan operasi sentral dari seluruh operasi yang dilaksanakan
oleh GM III Kolonel Bambang Sugeng. Pasukan tetangga yang pada saat itu sedang melaksanakan
operasi untuk mengimbangi serangan Wehrkreis III ialah pasukan GM II yang melaksanakan operasi
di daerah Surakarta dan Wehrkreis II Divisi III yang melaksanakan operasi di daerah Kedu/Magelang.
Buku yang diterbitkan oleh SESKOAD untuk glorifikasi Suharto, sekaligus mengecilkan peran banyak
atasan Suharto, dan bahkan hanya dengan beberapa baris kalimat, sangat menjatuhkan nama baik
Presiden Sukarno serta pimpinan sipil lain, yang -setelah pertimbangan yang matang- memutuskan
untuk tidak ke luar kota.
Sebagaimana telah dituliskan di muka, bahwa keputusan untuk tetap tinggal di kota, diambil setelah
dilakukan Sidang Kabinet yang berlangsung dari pagi sampai siang. Selain itu, Panglima
Besar Sudirman dan Kolonel Simatupang sendiri juga berada di Istana. Para penulis
bukuSESKOAD sama sekali tidak menyebutkan adanya Sidang Kabinet, percakapan antara
Presiden Sukarno dengan Panglima Besar dan surat perintah Wakil Presiden/Menteri Pertahanan,
yang ditujukan kepada seluruh Angkatan Perang, yang diserahkan langsung kepada Wakil Kepala
Staf Angkatan Perang, Kolonel Simatupang, seusai Sidang Kabinet di Istana. Buku SESKOAD juga
tidak menjelaskan, siapa kelompok yang "mendongkol" dan akan menculik Presiden serta Wakil
Presiden untuk dibawa ke luar kota. Mengenai kegiatannya sepanjang tanggal 19 Desember
1948, Simatupang menulis sangat rinci dalam buku Laporan dari Banaran, dan tidak menyebutkan
bertemu dengan "kelompok yang mendongkol" tersebut. Seandainya memang benar ada rencana
"penculikan" Presiden dan Wakil Presiden, pasti hal itu telah ditulis dalam catatan hariannya.
[sunting]Pada era reformasi
Versi lain yang kemudian juga dikenal adalah, bahwa perintah serangan tersebut datang
dari Hamengku Buwono IX (HB IX). Menurut versi ini, Hamengku Buwono IX memanggil Letkol
Suharto dan berbicara empat mata, di mana HB IX memberi perintah kepada Suharto untuk
melaksanakan serangan atas kota Yogyakarta, dan HB IX telah menetapkan waktu penyerangan,
yaitu tanggal 1 Maret 1949. Sebagaimana dikemukakan di atas, hirarki dan garis komando militer
berfungsi dengan baik selama perang gerilya. Dengan demikian, tidak mungkin seseorang yang
berada di luar garis komando dapat memberikan perintah kepada komandan pasukan untuk
11 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
mengadakan suatu operasi militer, di mana juga akan melibatkan pihak dan pasukan lain. Untuk
melibatkan pasukan dengan komandan yang sejajar dengan dia saja sudah tidak mungkin, karena
harus ada persetujuan dari atasan; apalagi memberikan instruksi kepada atasan dan pihak di luar
Angkatan Darat. Dengan demikian apabila disebutkan, bahwa perintah serangan diberikan oleh
seseorang yang berada di luar garis komando militer, adalah sangat tidak masuk akal. Apalagi
memberi instruksi langsung kepada komandan pasukan yang satu level, tanpa melibatkan atasan.
Pemberian perintah memang dimungkinkan, seandainya gerakan pasukan tersebut sangat terbatas
pada pasukan yang dipimpin langsung oleh seorang komandan, tanpa melibatkan pasukan lain, serta
tidak memerlukan persiapan yang besar, di mana masalah logistik dapat ditangani sendiri. Di
beberapa bagian, buku SESKOAD berusaha untuk tidak mengabaikan peran HB IX, di mana
disebutkan, bahwa selain Suharto, HB IX sangat rajin mendengarkan siaran radio luar negeri. Juga
berdua mempunyai gagasan untuk segera mengadakan serangan umum, sejalan dengan Surat
Perintah Siasat No. 4 dari Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Hanya yang mengherankan
adalah disebutkannya Perintah Siasat No. 4 tertanggal 1 Januari 1949, dan bukan Instruksi Rahasia
tertanggal 18 Februari 1949, yang secara eksplisit menyebutkan Instruksi dari Panglima
Divisi Bambang Sugeng kepada Komandan Daerah (Wehrkreis) III, Letnan Kolonel Suharto, untuk
melakukan serangan atas Ibukota Yogyakarta antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949.
Juga dikutip dari biografi HB IX, keterangan yang sehubungan dengan serangan umum, tetapi tidak
dilanjutkan dengan kalimat yang menyebutkan bahwa HB IX memanggil Suharto untuk menghadap: ...
Apalagi ketika ia mendengar berita dari siaran radio luar negeri, bahwa pada akhir Februari 1949
masalah antara Indonesia dengan Belanda akan dibicarakan di forum PBB. Bagaimana caranya untuk
memberi tahu kepada dunia internasional bahwa RI masih hidup, bahwa Belanda sama sekali tidak
menguasai keadaan. Ia kemudian mendapat satu akal ... ... Namun ia harus cepat bertindak karena
waktu telah mendesak. Ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk
menghubungi Panglima Besar di tempat markas gerilya meminta persetujan untuk melaksanakan
siasat.
Di sini berakhir kutipan dari biografi HB IX, sedangkan dalam buku yang ditulis oleh Tim Lembaga
Analisis Informasi (TLAI), Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949, kutipan tersebut selanjutnya
berbunyi: ... HB IX kemudian dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Suharto. Dalam
pertemuan di rumah kakaknya, GBPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13 Februari 1949, ia
menanyakan kesanggupan Suharto untuk menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua
minggu. Itulah satu-satunya pertemuan HB IX - Suharto dalam hubungan dengan rencana Serangan
Umum 1 Maret. Kontak-kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir.
Keterangan tersebut sebenarnya sekaligus membantah ungkapan Suharto, yang dalam otobiografinya
menyebutkan bahwa: ... sulit menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman, yang tempat
bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas ...
Setelah Suharto tidak berkuasa, barulah ada keberanian beberapa orang untuk membantah
versi Suharto tersebut, termasuk orang-orang yang di masa Suharto berkuasa, terlibat dalam
konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah, bahkan hadir dalam Seminar SESKOAD dan ikut dalam
pembuatan Film "Janur Kuning". Di era yang diharapkan dimulainya reformasi termasuk pelurusan
penulisan sejarah, muncul pengkultusan baru yang masih memakai pola yang telah diterapkan
oleh Suharto dan merekayasa legenda baru. Beberapa sumber berita dikutip, tetapi semua
kesimpulan diarahkan kepada kerangka baru yang telah disiapkan, yaitu adanya pemrakarsa dan
pelaksana; dan segala sesuatu seputar serangan tersebut tidak berubah. Tidak pernah ada
penjelasan, mengenai apa yang dimaksud dengan pemrakarsa. Hal ini dilakukan oleh pendukung HB
IX.
Sebenarnya, bila mengenal sosok HB IX yang dikenal sangat low profile dan dekat dengan rakyat,
sangat diragukan bahwa HB IX akan menyetujui semua langkah yang ditempuh untuk menciptakan
suatu legenda baru untuk mengkultuskan dirinya. Versi ini juga mengekspos, seolah-olah serangan
terhadap Yogyakarta tersebut menjadi tindakan, yang memaksa Belanda kembali ke meja
perundingan di PBB di Lake Success (Tempat bersidang Dewan Keamanan pada waktu itu
adalah Lake Success, Amerika Serikat, dan Paris, Prancis).
12 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Brigjen. (Purn.) Marsudi seperti dikutip berbagai media, a.l. situs web koridor.com tertanggal 23 Juni
2000, menyebutkan, bahwa Hamengku Buwono IX yang memberikan perintah kepada Suharto.
Koridor.com menuliskan:"Salah satu pelaku Serangan Oemoem (SO) 1 Maret Brigjen (Purn) C
Marsoedi menegaskan, ide serangan terhadap kekuatan militer Belanda, yang menduduki ibukota
RI Yogyakarta; pada Siang hari datang dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Dalam seminar tentang Peranan Wehrkreise III Pada Masa Perang Kemerdekaan II 1948-1949 di
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (Jarahnitra) Yogyakarta, Kamis, Marsoedi mengemukakan,
tidaklah benar bila ide itu berasal dari Soeharto, yang saat itu menjadi KomandanWehrkreise
III berpangkat Overstee (Letkol) dan kemudian menjadi orang pertama Orde Baru.
Menurut dia, juga tidak benar Soeharto pada masa itu tidak pernah menghadap Sri Sultan HB IX.
"Saya sendiri yang menjadi penghubung antara HB IX dengan Soeharto," katanya. Ia menjelaskan,
pada 14 Februari 1949, Soeharto diantar masuk ke Kraton Yogyakarta melalui nDalem Prabeya, dan
kemudian bertemu empat mata dengan Sri Sultan HB IX di kediaman GBPH Prabuningrat, saudara Sri
Sultan yang juga menjadi tangan kanan HB IX. Pertemuan itu berlangsung dalam suasana gelap
karena seluruh lampu dimatikan. Saat menghadap Sri Sultan, Soeharto mengenakan busana
pranakan, jenis baju tradisional khusus bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta. Bahkan saat keluar dari
pertemuan itu, Soeharto sempat memerintahkannya dengan kalimat pendek. "Tunggu perintah lebih
lanjut," kata Marsoedi menirukan ucapan Soeharto waktu itu. Ia mengungkapkan, sebelum
bertemu Soeharto, Sri Sultan pada 1 Februari berkirim surat kepada Panglima Besar Soedirman dan
kemudian dijawab oleh Bapak TNI ini agar menghubungi Letkol Soeharto di Blibis."
Sebelum itu, dalam wawancara dengan Tabloid Tokoh, Marsudi mengatakan (Lihat Tabloid mingguan
Tokoh, No. 01, Tahun ke-1, 9 - 16 November 1998): "Gubernur Militer Bambang Sugeng itu 'kan
Panglima Divisi, di atasnya Pak Harto, di bawah Panglima Besar. Peranan Panglima Divisi tak terasa,
tetapi sebagai panglima, beliau tentu menerima informasi dari Panglima Besar. Situasinya mendesak.
Sarana komunikasi terbatas. Karena itu ada hirarki yang diterjang".
Sangat tidak tepat, apabila Marsudi menyebutkan "Peranan Panglima Divisi tak terasa." Marsudi, yang
waktu itu berpangkat Letnan dan hanya menjabat sebagai komandan Sub-Wehrkreis 101, tentu tidak
pada posisi untuk menerima instruksi/perintah langsung dari Panglima Divisi, karena Panglima Divisi
cukup memberikan instruksi/perintah kepada komandan Brigade/Wehrkreis, sesuai dengan hirarki
militer. Marsudi yang setelah usai Perang Kemerdekaan II terus akrab dengan para perwira yang
dahulu di Staf Gubernur Militer (SGM), Staf Divisi serta pimpinan brigade, seharusnya cukup
mendengar dan mengetahui peranan Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng.
Panglima Divisi Kolonel Bambang Sugeng, selain yang langsung memimpin rapat pimpinan tertinggi
militer dan sipil di wilayah Gubernur Militer III pada 18 Februari 1949 -di mana disusun "Grand Design"
Serangan Umum tersebut- juga memimpin sendiri rombongan dengan melakukan perjalanan kaki
berhari-hari dari lereng Gunung Sumbing, menuju Brosot untuk menyampaikan "Grand Design" itu
kepada pihak-pihak yang terkait, seperti Kolonel Simatupang, Kolonel Wiyono dari PEPOLIT dan
termasuk kepada Letkol Suharto.
Dari dokumen-dokumen yang telah disebutkan di atas, juga sebagaimana tertera dalam catatan harian
Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel Simatupang tertanggal 18 Februari 1949, sebenarnya
sudah sangat jelas peran Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng. Kemudian
sehubungan dengan alasan "sarana komunikasi terbatas" maka "ada hirarki yang diterjang,",
sebagaimana terlihat dalam beberapa catatan di atas, demikian juga dengan pernyataan Suharto,
alasan tersebut telah terbantah. Memang hal itu yang selalu dikemukakan oleh bawahan, oleh karena
mereka tidak mengetahui, bahwa atasan tertinggi mereka tidak mempunyai kesulitan untuk saling
berkomunikasi, sehingga dengan demikian, tidak ada alasan untuk menerjang hirarki. Selain itu,
pernyataan Marsudi telah terbantah oleh keterangan HB IX sendiri, yang menyebutkan bahwa HB IX
dapat berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman. Sebagai komandan Sub-Wehrkreis dengan
pangkat Letnan, Marsudi tidak termasuk jajaran yang dapat atau boleh mengetahui persembunyian
Panglima Besar Sudirman, yang menjadi sasaran utama tentara Belanda. Bahkan atasannya sendiri,
yaitu Letkol Suharto, juga tidak termasuk jajaran yang dapat mengetahui tempat persembunyian
Panglima Besar.
13 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Begitu juga dengan kesimpulan yang disusun oleh Tim Lembaga Analisis Informasi, bahwa
pemrakarsa Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tim ini mengutip
a.l. biografi Takhta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, di mana
dikutip: "Waktu telah mendesak, ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk
menghubungi Panglima Besar (Sudirman) di persembunyiannya, meminta persetujuannya untuk
melaksanakan siasatnya dan untuk langsung menghubungi komandan gerilya... HB IX kemudian
dapat mendatangkan komandan gerilya, Letkol Soeharto. Dalam pertemuan di rumah
kakaknya, GBPH Prabuningrat, di kompleks Keraton sekitar 13 Februari 1949, ia menanyakan
kesanggupan Soeharto untuk menyiapkan suatu serangan umum dalam waktu dua minggu....Kontak-
kontak selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir. ...Melalui kurir pula ia
memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa "pendudukan Yogya" oleh pasukan gerilya
dianggapnya sudah cukup."
Mereka yang pernah ikut gerilya pasti melihat, bahwa hal-hal yang diungkapkan di atas, tidak mungkin
dilakukan, yaitu orang yang tidak berada di garis komando memberikan perintah langsung kepada
seorang komandan pasukan untuk melaksanakan suatu serangan besar, tanpa sepengetahuan
atasan komandan pasukan tersebut, apalagi operasi militer tersebut melibatkan berbagai pasukan
yang tidak di bawah komando yang bersangkutan. Bahkan juga angkatan lain, selain Angkatan Darat,
dalam hal ini AURI di Playen yang memiliki pemancar radio. Dari otobiografi almarhum Marsekal
Madya TNI (Purn.) Budiarjo, mantan Menteri Penerangan, dan buku Simatupang yang terbit pertama
kali tahun 1960, jelas menunjukkan ikutsertanya Kolonel Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan
Perang dalam perencanaan dan persiapan. Selain itu masih ada dokumen tertanggal 18 Februari
1949, yang sangat jelas menuliskan perintah kepada komandan Daerah I (Wehrkreis I) untuk
mengadakan serangan atas "Iboekota Yogyakarta" antara tanggal 25 Februari - 1 Maret 1949.
Pemberi perintah adalah Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kolonel Bambang Sugeng. Tampaknya
menurut versi pendukungnya, wewenang HB IX sangat besar, yaitu selain menetapkan tanggal
penyerangan, hanya melalui kurir pada sore hari tanggal 1 Maret 1949, ia memberi instruksi kepada
Suharto agar serangan tersebut dihentikan, seperti dituliskan: ... Melalui kurir pula ia
memberitahu Soeharto pada sore hari 1 Maret bahwa "pendudukan Yogya" oleh pasukan gerilya
dianggapnya sudah cukup.
Dari semua keterangan dan bukti yang ada, pertempuran di dalam kota Yogyakarta hanya
berlangsung paling lambat hingga sekitar pukul 11.00, karena pada saat itu bantuan
tentara Belanda dari Magelang telah tiba di Yogyakarta. Film yang dibuat tahun limapuluhan mengenai
serangan tersebut berjudul "6 jam di Yogya", masih mendapat masukan dari beberapa perwira di
jajaran atas, sehingga jalan ceriteranya cukup otentik. Serangan dimulai tepat pukul 06.00, dan
apabila pertempuran berlangsung sekitar enam jam, berarti memang paling lambat berakhir sekitar
pukul 12.00. Dengan demikian, sangat tidak mungkin perintah penghentian pertempuran diberikan
sore hari. Walaupun dengan menyatakan bahwa instruksi tersebut berdasarkan perintah HB IX, yang
notabene tidak ada di garis komando Divisi III, sangat diragukan, bahwa Letnan Kolonel Suharto, yang
hanya Komandan Brigade dapat memberikan instruksi, perintah atau apapun namanya kepada para
atasannya. Juga adalah suatu hal yang tidak mungkin, bahwa HB IX telah menetapkan tanggal
penyerangan, tanpa membahas terlebih dahulu dengan pimpinan militer dan sipil lain, berapa
kekuatan pasukan yang dapat dikerahkan oleh Suharto dan bagaimana perlindungan belakang atas
kemungkinan bantuan tentara Belanda dari kota lain seperti Magelang, Semarang dan Solo, serta
dukungan logistik dan paramedis yang diperlukan untuk suatu operasi militer besar-besaran.
Di sini terlihat, bahwa mereka yang menyusun “skenario” untuk peran HB IX tidak mengetahui
mengenai perencanaan suatu operasi militer yang besar, yang melibatkan beberapa pasukan. Walau
pun berbagai sumber yang dikutip sebenarnya bertolak belakang, namun kemudian TLAI membuat
kesimpulan, bahwa Hamengku Buwono IX bukan hanya pemrakarsa, melainkan juga yang
menetapkan tanggal pelaksanaan dan memegang kendali operasi, yaitu dengan memberi perintah
untuk menghentikan pertempuran, karena dianggapnya "sudah cukup". Dikemukakan juga kesaksian
seseorang, yang disebutkan sebagai seorang putra dari anak buah Budiarjo, perwira AURI yang
ditemui Simatupang. Selanjutnya TLAI menuliskan:...kata Letkol Suharto, yang kemudian tercatat
dalam sejarah sebagai Komandan Pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949 itu.
14 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
TLAI tidak menyebutkan buku sejarah mana, atau di mana pernah tertera, bahwa HB IX adalah
pemrakarsa, dan Suharto adalah komandan pelaksana Serangan Umum 1 Maret 1949. Hal tersebut
memberikan kesan, bahwa kelompok yang mempunyai kekuasaan dan dana, dapat membayar "pakar
sejarah" untuk menulis sesuai seleranya, dan membiayai penerbitan buku tersebut, seperti yang
selama ini dilakukan pada zaman Orde Baru. Dengan demikian sejarawan seperti ini, tidak berbeda
dengan "tukang jahit.
“Skenario” yang terbaru terkesan sangat berlebihan, dan mungkin dapat dikatakan telah melampaui
batas kewajaran, sebagaimana dilukiskan dalam buku yang ditulis oleh tiga orang pakar sejarah.
Berikut ini kutipan lengkap dari buku tersebut (tanpa terputus dan tidak diubah titik-komanya): "...
kemudian Presiden dan Wapres di Gedung Agung ditangkap dan diasingkan sehingga mutlaklah kala
itu kedudukan "pemerintah" kita diserahkan pada Syafruddin Prawiranegara dilain fihak kedudukan
kiranya tinggal Mentri Koordinator Keamanan yang dijabat oleh Sri Sultan HB IX, merupakan
pimpinan RI yang tetap di Yogyakarta, dimana kraton berada maka praktis perjuangan kita hanya
menggunakan jalan Diplomasi Politik kepada dunia Internasional/PBB, dimana hal ini semenjak
perpindahan pemerintah RI di Yogya tersebut Sri Sultan HB IX dengan telah terbentuknya Laskar
Mataram tanggal 7 Oktober 1945 kiranya menjadi tumpuan utama perjuangan gerilya yang
dikomandoi oleh satuan Wehrkreis. Demikianlah sebagai seorang Negarawan yang matang dalam
Kalkulasi dan Strategi perjuangan yang didukung dengan Kewenangan sebagai Mentri Koordinator
Keamanan maka mulailah beliau menyusun rancangan sengan menggunakan beberapa faktor
pendukung yang masih ada serta kelemahan dan Point of Return yaitu semisal pendapat Belanda
yang mengatakan Pemerintah RI telah "hilang" semenjak Sukarno-Hattadiasingkan Posisi TNI sudah
sangat "lemah" dan Unforce tidak bisa lagi sebagai benteng penjaga Negara dan Pemerintah,
kekacauan terjadi dimana-mana, "kemiskinan" ekonomi-sosial yang cukup parah mengakibatkan
pemerintah dianggap gagal mengelola negara dan masyarakat, maka kiranya dengan minimalnya
pendukung ini yang nota bene semua nilai-nilai tersebut didistribusikan kepada International Law pada
waktu itu sebagai dasar akhir maka Sri Sultan berpendapat bahwa distribusi dari Aturan Internasional
tersebutlah terletak kelemahan kita sekaligus "Jalan Keluar" dari "kemiskinan", jadi beliau
mendasarkan pada dasar hukumnya dan bukan pada level indikasinya ..."
Menurut tulisan ini, Laskar Mataram yang terbentuk tanggal 7 Oktober 1945, menjadi tumpuan utama
perjuangan gerilya yang dikomandoi oleh satuan Wehrkreis. Agak mengherankan, karena dalam
banyak penulisan buku sejarah perjuangan, tidak pernah disinggung peranan Laskar Mataram
tersebut. Memang ketika Belanda melancarkan agresi militernya tanggal 19 Desember 1948, Re-
Ra (Reorganisasi - Rasionalisasi) di tubuh TNI belum tuntas, sehingga masih banyak laskar dan
satuan bersenjata, yang belum dilebur atau diintegrasikan ke TNI.
Buku yang baru diluncurkan tanggal 1 Maret 2001 dengan judul Pelurusan Sejarah. Serangan
Oemoem 1 Maret 1949, disebut oleh Prof. Dr. Ir. Sri Widodo, Msc, dalam kata sambutannya,
sebagai:"...kajian ilmiah oleh pakar sejarah dan data kesaksian pelaku sejarah menjadi dasar utama
dalam penulisan buku ini...".
Secara garis besar, buku tersebut tidak berbeda jauh dengan buku dari TLAI, hanya ditambahkan
transkrip rekaman wawancara HB IX dengan BBC pada tahun 1986, serta sejumlah kesaksian,
terutama dari pegawai keraton Yogyakarta. Tidak ada dokumen dari tahun 1948/1949 yang
memperkuat semua kesaksian. Pembenaran versi ini juga berdasarkan kutipan wawancara dari
berbagai media massa, tanpa ada dokumen pembuktiannya. Sebenarnya, ketiga penulis yang adalah
Sarjana Hukum, tentu mengetahui, bahwa dari segi hukum, pengakuan seseorang-ataupun tidak
mengakui suatu tindakan- bukanlah suatu alat bukti yang kuat. Yang berhubungan langsung dengan
latar belakang serangan tersebut, sebagian besar hanyalah polemik mengenai versi pertama, yaitu
pemrakarsa adalah Letnan Kolonel Suharto, dan sepintas lalu disinggung mengenai versi ketiga, yang
dikemukakan oleh Letnan Kolonel TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, mantan
Kwartiermeestergeneraal Staf "Q" TNI AD, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perwira Teritorial.
Di halaman 71, sehubungan dengan kedatangan Kolonel Simatupang di desa Playen, tempat
pemancar radio AURI, tertulis kesaksian Herman Budi Santoso, SH, yang menceriterakan
pengalamannya waktu itu (usia 15 tahun):"...yang ternyata T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan
untuk menemui pak Bud (Budiarjo-pen.)...dan Pak Simatupang mengatakan bahwa Sri Sultan telah
15 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
mengontak Pak Dirman tentang ide penyiaran yang diprakarsai Sri Sultan termasuk gagasan untuk SU
1 Maret 1949, pak Bud saat itu Kapten juga melaporkan bahwa pak Sabar juga telah menerima kode
dan isi perintah rahasia dari kurir Pangsar Sudirman..."
memang, adalah suatu novum, yaitu"...T.B. Simatupang, yang diutus Sri Sultan untuk menemui pak
Bud.." Namun, para pakar sejarah terebut tidak melampirkan bukti atau dokumen yang dapat
mendukung kebenaran "kesaksian" tersebut, karena hingga kini tidak ada tercatat di dokumen mana
pun mengenai instruksi/perintah Hamengku Buwono IX kepada Kolonel Simatupang. Demikian juga
catatan Simatupang, yang tidak pernah menyebutkan adanya pertemuan dengan HB IX atau perintah
dari HB IX dan bahkan tidak selama berlangsungnya perang gerilya, Simatupang tidak pernah menulis
adanya peran HB IX dalam perlawanan bersenjata. Selain itu, Simatupang juga tidak menulis nama
perwira AURI yang ditemuinya di Playen. Seandainya ada perintah tersebut, tentu Simatupang
mencatat dalam buku hariannya, dan yang dicatatnya adalah pertemuan dengan Kolonel Bambang
Sugeng, Panglima Divisi III/GM III yang menyampaikan rencana untuk menyerang Yogyakarta, dan
dalam catatan harian mengenai kedatangannya di Wiladek, Simatupang menulis:..Tanggal 1 Maret
1949, setelah kami melalui Kota-Kabupaten Wonosari, yang telah dibumihanguskan, maka kami tiba di
Wiladek tidak jauh dari Ngawen. Di Wiladek kami bertemu dengan saudara-saudara Sumali dan Ir.
Dipokusumo, yang bersama-sama memimpin Staf Penerangan Komisariat Pusat Pemerintah di Jawa.
Mereka menunggu-nunggu kabar dari Yogyakarta, sebab hari itu juga, yakni tanggal 1 Maret 1949,
pasukan-pasukan kita akan melancarkan "SO" atau serangan umum (oemoem) atas kota. Inilah
serangan yang beberapa waktu yang lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Sugeng di Banaran.
Saudara-saudara Sumali dan Dipokusumo telah bersiap-siap untuk menyiarkan "SO" ini melalui
pemancar radio dekat Banaran ke Sumatera dan New Delhi, yang kemudian akan berita itu kepada
dunia. Khusus pada tingkat sekarang ini, di mana Belanda sedang ngotot, maka sebuah berita yang
agak sensasional mengenai serangan umum atas Yogyakarta pasti akan mempunyai efek sangat baik
bagi kita…
Dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang banyak melampirkan fotocopy surat-menyurat yang
penting, termasuk dari HB IX dan Panglima Besar Sudirman. Demikian juga dengan Nasution, yang
selain melampirkan copy dari dokumen asli, juga menulis transkrip sejumlah besar dokumen-dokumen
selama perang gerilya. Namun tidak ada satu dokumen pun yang menyinggung atau menyatakan
keterlibatan HB IX dalam suatu operasi militer.
Juga dalam bukunya, Budiarjo tidak menyebutkan bahwa kedatangan Simatupang adalah atas
perintah dari HB IX untuk menemuinya. Hingga saat ini belum ada dokumen yang menyebut adanya
keterkaitan antara Hamengku Buwono IX baik dengan Simatupang, maupun dengan Panglima Divisi
III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng. Juga secara keseluruhan, belum ditemukan sumber otentik
atau dokumen mengenai keterlibatan HB IX dalam salah satu operasi militer. Demikian juga Nasution,
dalam semua bukunya tidak pernah menyinggung adanya keterlibatan HB IX dengan serangan umum
di wilayah Divisi III, ataupun terhadap Yogyakarta. Satu-satunya buku (naskah) yang secara eksplisit
menyebutkan adanya surat HB IX kepada Panglima Besar Sudirman yang diterima di dekat Pacitan
pada awal bulan Februari 1949, adalah naskah buku dr. W. Hutagalung, yang hingga kini belum
diterbitkan. Jadi agak mengherankan, bahwa Herman Budi Santoso, tanpa ada suatu sumber
pembuktian, dapat menuliskan: "... T.B. Simatupang yang diutus Sri Sultan untuk menemui Budiarjo..."
Pada dasarnya, selain memuat transkrip wawancara HB IX dengan BBC, serta melampirkan sejumlah
kesaksian, tidak ada bukti atau dokumen baru, selain dari dokumen yang selama ini telah dikenal.
Bahkan beberapa kesaksian menyebutkan, bahwa selain mendengarkan radio kemudian meminta izin
kepada Panglima Besar Sudirman untuk melancarkan serangan terhadap Yogyakarta, HB IX juga
yang menetapkan tanggal serangan, memberikan perintah untuk penghentian serangan,
memerintahkan Wakil KSAP Kolonel Simatupang, untuk menyampaikan teks siaran ke pemancar
radio AURI di Playen; singkatnya, juga dalam buku ini semua peran yang dahulu diklaim oleh Suharto,
kini dilimpahkan kepada HB IX, dengan demikian mengangkat HB IX menjadi super hero yang baru.
Walau pun pada beberapa dokumen jelas disebutkan bahwa serangan tersebut adalah operasi militer
di bawah komando Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, dan tidak ada satu pun
dokumen otentik yang mendukung, para penulis dengan tegas telah menetapkan HB IX sebagai
pemrakarsa serangan, dan Marsudi menyatakan, bahwa penulisan tersebut telah "final".
16 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Adalah suatu hal yang baru, yaitu upaya untuk mengukuhkan "kajian ilmiah" tersebut dengan
Keputusan Presiden Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam harian Kompas
tertanggal 28 Februari 2001, halaman 9, ditulis:Bahkan DPRD (DI Yogyakarta-pen.) sendiri telah
menulis surat kepada Presiden Abdurrahman Wahid untuk menerbitkan keputusan presiden, untuk
meluruskan fakta sejarah itu. "...de facto penggagas SO 1 Maret itu adalah HB IX almarhum, tetapi
secara de jure harus dirumuskan dalam keputusan presiden, karena menyangkut sejarah bangsa ini."
demikian Budi Hartono.
Hal baru ini boleh dikatakan mungkin "unik", yaitu suatu penulisan sejarah minta dikukuhkan melalui
SK Presiden. Bahkan Suharto pun tidak pernah mengeluarkan SK (Surat Keputusan) Presiden, atau
memerintahkan lembaga-lembaga negara untuk mengukuhkan versinya.
Untuk meletakkan sesuai proporsinya, perlu sekali lagi ditegaskan, bahwa "Serangan Spektakuler" -
bahkan seluruh serangan umum di wilayah Divisi III- tersebut bukanlah pemicu perundingan antara
Belanda dan Republik Indonesia. Agresi Belanda yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, dilakukan
saat perundingan antara Indonesia dan Belanda sedang berlangsung. Perundingan tersebut difasilitasi
oleh Komisi Jasa Baik Dewan Keamanan PBB, yang waktu itu lebih dikenal sebagai Komisi Tiga
Negara (KTN). Namun, keberhasilan "Serangan Umum" (serangan secara besar-besaran yang
serentak dilancarkan) di seluruh wilayah Divisi II dan III, termasuk "serangan spektakuler" terhadap
Yogyakarta dan hampir bersamaan dilakukan di wilayah Divisi I dan IV, menambah jumlah
keberhasilan serangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di seluruh Indonesia, sebagai bukti bahwa
TNI masih ada. Keberhasilan "Serangan Umum" tersebut adalah berkat kerjasama serta dukungan
berbagai pihak. Sangat banyak orang dan pihak yang terlibat langsung dalam perencanaan, persiapan
dan pelaksanaan, sehingga bukan hanya satu atau dua orang saja yang berjasa, melainkan banyak
sekali. Juga tidak hanya Angkatan Darat saja yang terlibat, melainkan juga Angkatan Udara dan
Kementerian Pertahanan sendiri serta pimpinan sipil, untuk memasok perbekalan bagi ribuan pejuang.
Dan yang terpenting, adanya dukungan rakyat Indonesia di daerah-daerah pertempuran.
Selain itu harus pula diingat, bahwa perlawanan bersenjata dilakukan tidak hanya di sekitar
Yogyakarta atau Jawa Tengah saja, tetapi hampir di seluruh Indonesia, yaitu di Jawa Barat, Jawa
Timur, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan ini adalah bagian dari seluruh potensi perjuangan
kemerdekaan: Diplomasi dan Militer. Perlawanan bersenjata tidak hanya dilakukan oleh tentara
reguler/TNI saja, melainkan juga banyak kalangan sipil yang ikut dalam pertempuran, sebagaimana
dituturkan dalam buku Setiadi Kartohadikusumo:"Pemuda-pemuda yang membantu PMI (Palang
Merah Indonesia), kalau malam juga ikut menjalankan pertempuran sebagai gerilyawan. Ada
beberapa orang yang tertembak mati dengan masih memakai tanda Palang Merah di bahunya,
sebagaimana terjadi di Balokan, di muka stasion KA Tugu dan di Imogiri."
Melihat begitu banyak pihak yang berperan dalam pembahasan, perencanaan, persiapan dan
pelaksanaan, tentu tidak pada tempatnya, apabila untuk keseluruhan episode tersebut direduksi
menjadi peran dua orang, yaitu hanya ada pemrakarsa dan pelaksana; selebihnya, dianggap tidak
penting. Di samping itu, masih sangat diragukan kebenaran versi yang mendukung kedua story
tersebut.
Penulis setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa penulisan sejarah adalah suatu "never
ending process", suatu proses yang tidak akan berakhir, karena sering dapat ditemukan bukti baru,
sehingga dengan demikian penulisan sebelumnya perlu direvisi atau mendapat penilaian baru.
Oleh karena itu, selama tidak ditemukan dokumen atau bukti otentik yang dapat membuktikan perintah
atau pun penugasan dari HB IX, baik kepada Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng,
yang adalah atasan langsung dari Letkol Suharto, maupun kepada Kolonel A.H. Nasution -Panglima
Tentara & Teritorium Jawa/Markas Besar Komando Jawa- atau kepada Kolonel T.B. Simatupang -
Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang-, berdasarkan dokumen, bukti-bukti yang ada, serta sesuai
hirarki dalam pemerintahan militer dan garis komando, dapat dengan tegas dinyatakan, bahwa
perencanaan, persiapan, penugasan, pelaksanaan serta komando operasi militer yang dilancarkan di
seluruh wilayah Divisi III/GM III -termasuk serangan terhadap Yogyakarta- tanggal 1 Maret 1949,
berada di pucuk pimpinan Divisi III/GM III dan kendali operasi sejak awal berada di tangan Panglima
Divisi III Kolonel Bambang Sugeng.
17 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Perkembangan kontroversi serangan umum 1 maret
Sebenarnya latar belakang serangan 1 Maret atas Yogyakarta, Ibukota RI waktu itu yang diduduki
Belanda, tidak perlu menjadi kontroversi selama lebih dari duapuluh tahun, apabila beberapa pelaku
sejarah tidak ikut dalam konspirasi pemutarbalikan fakta sejarah. Juga apabila meneliti tulisan T.B.
Simatupang, saat peristiwa serangan tersebut adalah Wakil II Kepala Staf Angkatan Perang.
Simatupang telah menulis secara garis besar mengenai hal-hal seputar serangan tersebut, dari mulai
perencanaan sampai penyebarluasan berita serangan itu. Buku itu pertama kali diterbitkan pada tahun
1960. Diterbitkan ulang pada tahun 1980.
Cukup banyak pelaku sejarah yang masih hidup dan mengetahui mengenai hal-hal tersebut di atas,
terutama mantan anggota Divisi III dan Staf Gubernur Militer III. Namun dengan berbagai alasan, dua
versi tersebut beredar selama puluhan tahun, walaupun beberapa kali telah ada penulisan yang
berbeda dengan dua versi tersebut dan bukti-bukti cukup banyak.
Selain itu cuplikan dari manuskrip buku Letkol TNI (Purn.) dr. Wiliater Hutagalung, yang sehubungan
dengan serangan atas Yogyakarta tersebut, telah dimuat di majalah bulanan Bonani Pinasa, Medan,
edisi November dan Desember tahun 1992 (ketika Suharto masih Presiden); Tabloid Tokoh, 6 - 16
November 1998; Mingguan Tajuk, 4 Maret 1999 dan Suara Pembaruan, Sabtu, 6 Maret 1999 (ditulis
oleh Sabam Siagian).
Setelah membaca manuskrip tersebut, pada tahun 1995, Suharto menyampaikan, agar buku tersebut
tidak diterbitkan. Namun, pada akhir tahun 1997, dimana suasana reformasi sudah mulai dirasakan,
manuskrip tersebut disampaikan kepada Jenderal TNI (Purn.) A.H. Nasution untuk diminta
pendapatnya untuk memberi sepatah kata. Nasution memberi dukungan agar manuskrip tersebut
diterbitkan, dan menulis kata sambutan.
Usai perang gerilya, dua orang perwira yang bergerilya di wilayah Gunung Sumbing, mendapat
promosi kenaikan jabatan. Pada bulan September 1949, Kolonel Bambang Sugeng menjadi Kepala
Staf "G" (General = Umum) dan ketika Simatupang ditugaskan untuk ikut menjadi anggota delegasi
Republik dalam KMB di Den Haag, Bambang Sugeng diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan
Perang. Perwira kedua yang mendapat kenaikan jabatan adalah Letnan Kolonel dr. Wiliater
Hutagalung, yang diangkat menjadi Kwartiermeestergeneral Staf "Q" TNI AD (Kepala Staf "Q" – Head
Quarter). Mengenai dr. W. Hutagalung, dalam buku Laporan dari Banaran, Simatupang mencatat: "dr
Hutagalung, aktif berjuang melawan Inggris di Surabaya tahun 1945. Tahun 1948 ditunjuk sebagai
wakil Angkatan Bersenjata pada Komite Hijrah yang menangani penarikan mundur tentara Republik
dari wilayah yang diduduki Belanda."
Salah satu keputusan Konperensi Meja Bundar adalah penyerahan seluruh perlengkapan militer
Belanda yang ada di Indonesia, kepada TNI (Tentara Nasional Indonesia). Pada perundingan dengan
pihak Belanda untuk serah terima perlengkapan militer tersebut, delegasi Indonesia dipimpin oleh
Kwartiermeester-generaal Staf "Q" Letnan Kolonel Dr. W. Hutagalung. Wakilnya adalah Kolonel
G.P.H. Djatikusumo [Diceriterakan oleh alm. Kol TNI (Purn.) Alex E. Kawilarang dalam pertemuan
pada 9 November 1999 di Gedung Joang ’45, Menteng Raya 31]. Dalam pelaksanaan serah terima,
Hutagalung dibantu oleh Kapten Mangaraja Onggang Parlindungan Siregar, yang menangani
penerimaan dan registrasi perlengkapan militer, dan dr. Satrio, yang menangani penerimaan dan
registrasi perlengkapan medis.
Pada 29 Februari 2000, bertempat di Gedung Joang '45, Jl. Menteng Raya No. 31, diselenggarakan
diskusi mengenai "Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949" dan jumpa pers oleh Aliansi
Reformasi Indonesia (ARI) dan Exponen Pejuang Kemerdekaan RI & Generasi Muda Penerus RI.
Selain dihadiri oleh putra - putri alm. Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Bambang Sugeng, juga
hadir Dr. Anhar Gonggong, yang mengakui bahwa dia baru pertama kali melihat dokumen Instruksi
Rahasia Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng, tertanggal 18 Februari 1949 tersebut
(Diskusi dan Jumpa Pers tersebut diliput dan diberitakan oleh beberapa media cetak, dan dua stasiun
radio yang memberitakan langsung dari Gedung Joang).
Tanggal 2 Maret 2001, Aliansi Reformasi Indonesia (ARI) bekerjasama dengan Yayasan Pembela
Tanah Air, menyelenggarakan Diskusi Panel dengan mengundang wakil dari masing-masing versi.
18 | S O 1 M a r e t 1 9 4 9
Untuk wakil versi pertama, yaitu Suharto pemrakarsa serangan 1 Maret 1949, semula panitia
mengundang Paguyuban Wehrkreis III dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk mengirim
seorang pembicara, yang akan mewakili versi pertama. Namun Paguyuban Wehrkreis III menjawab,
bersedia mengirim pembicara dalam Diskusi Panel, namun baik Paguyuban Wehrkreis III maupun
Yayasan Serangan Umum 1 Maret, menyatakan tidak mewakili versi manapun. Sebagai panelis
mewakili Paguyuban Wehrkreis III adalah Brigjen TNI (Purn.) KRMT Soemyarsono, SH (Beliau juga
hadir dalam acara Ulang Tahun ke 91 dari dr. Wiliater Hutagalung pada 20 Maret 2001, yang
diselenggarakan di Gedung Joang ’45, yang juga dihadiri teman-teman sdeperjuangan dr. W.
Hutagalung dari Jawa Timur –seperti Komjen POL (Purn.) Dr. M. Jasin, alm. Mayjen (Purn.) EWP
Tambunan, alm Mayjen (Purn.) KRMH H Jono Hatmodjo- dan Jawa Tengah).
Panitia juga mengundang Julius Pourwanto, wartawan harian Kompas, yang pernah menulis sesuai
dengan versi pertama, yaitu Suharto adalah pemrakarsa serangan tersebut untuk menjadi nara
sumber. Semula Pourwanto telah menyatakan kesediaannya, namun satu hari sebelum
penyelenggaraan Pourwanto mengirim fax, yang menyatakan bahwa dia mendapat tugas lain dari
harian Kompas.
Untuk versi kedua, semula ditanyakan kesediaan Atmakusumah Astraatmaja, penyunting biografi
Hamengku Buwono IX, di mana dituliskan, bahwa HB IX pemrakarsa serangan tersebut. Namun
Atmakusumah menyampaikan, berhalangan untuk hadir sebagai pembicara, karena sudah ada
komitmen di tempat lain. Kemudian panitia menghubungi Penerbit Media Pressindo di Yogyakarta,
yang menerbitkan buku "Kontroversi serangan Umum 1 Maret 1949", yang disusun oleh Tim Lembaga
Analisis Informasi (TLAI) di mana disebutkan, bahwa HB IX adalah pemrakarsa serangan itu. Karena
tidak mengetahui alamat TLAI, panitia memohon kepada penerbit, untuk meneruskan undangan
kepada TLAI, namun sama sekali tidak ada jawaban, baik dari TLAI, maupun dari penerbit.
Melalui telepon, penulis menghubungi Brigjen TNI (Purn.) Marsudi di Yogyakarta. Marsudi, yang sejak
jatuhnya Suharto, dikenal sebagai pendukung versi kedua, yaitu HB IX pemrakarsa serangan. Namun
Marsudi menyampaikan, bahwa tanggal 1 Maret 2001, di Yogyakarta akan diluncurkan buku baru
untuk meluruskan penulisan sejarah. Buku tersebut menyatakan bahwa HB IX adalah pemrakarsa
serangan umum 1 Maret 1949. Menurut Marsudi, bagi pihaknya penulisan itu sudah final, dan tidak
bersedia mendiskusikan hal tersebut. Hingga saat ini belum terlaksana suatu diskusi terbuka, di mana
hadir wakil-wakil dari tiga versi yang berbeda.