25
1 BAB 1 THAHARAH A. Definisi dan Urgensi Thaharah (Bersuci) Thaharah menurut bahasa adalah bersih dan terbebas dari kotoran yang Nampak-seperti bersih dan terbebas dari kotoran yang Nampak – seperti najis yang berasal dari air kencing atau yang lainnya- dan najis secara maknawi- berupa aib dan kemaksiatan. Kata At-That-hir berarti membersihkan ; yaitu penetapan bahwa suatu tempat itu terbebas dari kotoran. [Al Lubab Fi Syarh Al Kitab (1/10) Ad-Dur Al Mukhtar (1/79)] Adapun thaharah menurut istilah syara` adalah membersihkan segala sesuatu yang menghalangi sahnya shalat, baik dari hadats atau najis dengan menggunakan air atau yang lainnya, atau dengan menggunakan debu. [Al Mughni, Ibnu Qudamah (1/12) cet. Hajar] B. Hukum Thaharah Bersih dari najis dan menghilangkannya merupakan suatu kewajiban bagi yang tahu akan hukum dan mampu melaksanakannya. Dalam hal ini Allah berfirman, :”Dan pakaianmu bersihkanlah.” (Qs. Al Muddatsir [74]: 4) juga terdapat dalam firmannya, “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf yang I`tikaf yang ruku dan yang sujud.” (Qs. Al Baqarah [2]: 125) Adapun bersih dari hadats, maka merupakan suatu kewajiban yang sekaligus sebagai syarat sah shalat. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi SAW, ة ﯿ “Shalat tidak diterima tanpa –didahului- dengan bersuci” [Shahih, Muslim 224] C. Macam-Macam Thaharah Para ulama membagi thaharah secara syar`I menjadi dua bagian : 1. Thaharah hakikiyah: yaitu bersuci dari kotoran, maksudnya adalah bersuci dari najis, hal ini biasanya terdapat pada badan, pakaian dan tempat-tempat selain keduanya. 2. Thaharah hukmiyah: yaitu bersuci dari hadast, hal ini khusus yang terdapat pada badan. Thaharah pada poin ini terbagi menjadi tiga bagian: - Thaharah kubra : yaitu najis yang hanya bisa suci dengan mandi - Thaharah sugra : yaitu najis yang bisa suci dengan wudhu. - Pengganti dari keduanya tatkala mengalami udzur, yaitu dengan cara bertayamum.

“Shalat tidak diterima tanpa –didahului- dengan bersuci ” [Shahih, Muslim 224

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB 1

THAHARAH

A. Definisi dan Urgensi Thaharah (Bersuci)

Thaharah menurut bahasa adalah bersih dan terbebas dari kotoran yang Nampak-seperti bersih

dan terbebas dari kotoran yang Nampak – seperti najis yang berasal dari air kencing atau yang

lainnya- dan najis secara maknawi- berupa aib dan kemaksiatan.

Kata At-That-hir berarti membersihkan ; yaitu penetapan bahwa suatu tempat itu terbebas

dari kotoran. [Al Lubab Fi Syarh Al Kitab (1/10) Ad-Dur Al Mukhtar (1/79)]

Adapun thaharah menurut istilah syara` adalah membersihkan segala sesuatu yang menghalangi

sahnya shalat, baik dari hadats atau najis dengan menggunakan air atau yang lainnya, atau dengan

menggunakan debu. [Al Mughni, Ibnu Qudamah (1/12) cet. Hajar]

B. Hukum Thaharah

Bersih dari najis dan menghilangkannya merupakan suatu kewajiban bagi yang tahu akan

hukum dan mampu melaksanakannya. Dalam hal ini Allah berfirman, :”Dan pakaianmu

bersihkanlah.” (Qs. Al Muddatsir [74]: 4) juga terdapat dalam firmannya, “Bersihkanlah rumah-Ku

untuk orang-orang yang thawaf yang I`tikaf yang ruku dan yang sujud.” (Qs. Al Baqarah [2]: 125)

Adapun bersih dari hadats, maka merupakan suatu kewajiban yang sekaligus sebagai syarat sah

shalat. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi SAW,

طھو بغیر صالة تقبل ال “Shalat tidak diterima tanpa –didahului- dengan bersuci” [Shahih, Muslim 224]

C. Macam-Macam Thaharah

Para ulama membagi thaharah secara syar`I menjadi dua bagian :

1. Thaharah hakikiyah: yaitu bersuci dari kotoran, maksudnya adalah bersuci dari najis, hal ini

biasanya terdapat pada badan, pakaian dan tempat-tempat selain keduanya.

2. Thaharah hukmiyah: yaitu bersuci dari hadast, hal ini khusus yang terdapat pada badan.

Thaharah pada poin ini terbagi menjadi tiga bagian:

- Thaharah kubra : yaitu najis yang hanya bisa suci dengan mandi

- Thaharah sugra : yaitu najis yang bisa suci dengan wudhu.

- Pengganti dari keduanya tatkala mengalami udzur, yaitu dengan cara bertayamum.

2

BAB 2

NAJIS

Thaharah Hakikiyah

A. Definisi Najis

Najis adalah lawan kata dari suci, dan najis itu sendiri adalah sesuatu yang kotor secara

syar`I, dimana hal itu mewajibkan bagi setiap muslin untuk mensucikan diri darinya dan

mencuci semua yang terkena najis tersebut.

B. Najis dibagi menjadi :

1) Najis Mughallazah (Berat)

Najis Mughallazah ialah najis berat. Najis ini terdiri daripada anjing dan babi serta

benda-benda yang terjadi daripadanya. Cara menyucikan najis Mughallazah:

a. Bersihkan bahagian yang terkena najis.

b. Basuh sebanyak tujuh kali. Sekali daripadanya mesti menggunakan tanah bersih

yang dicampur dengan air.

c. Gunakan air mutlak untuk membuat basuhan seterusnya (sebanyak enam kali)

sehingga hilang bau, warna dan rasa.

2) Najis Mukhaffafah (Ringan)

Najis mukhaffafah ialah najis ringan. Najis mukhaffafah ialah air kencing kanak-kanak

lelaki berusia di bawah dua tahun yang tidak makan atau minum sesuatu yang lain selain

susu ibu. Cara menyucikan najis mukhaffafah:

a. Basuh bahagian yang terkena najis dan lap.

b. Percikkan air di tempat yang terkena najis.

c. Lap dengan kain bersih sehingga kering.

3) Najis Mutawassitah (Pertengahan)

Najis mutawassitah ialah najis sederhana, yaitu segala sesuatu yang keluar dari

dubur/qubul manusia atau binatang, cairan yang memabukkan, bangkai (kecuali bangkai

manusia, ikan dan belalang), serta susu, tulang dan bulu dari hewan yang haram

dimakan.

3

Najis mutawassitah terbagi dua Yaitu: "Najis Ainiyah" yaitu najis yang berwujud

(tampak dan dapat dilihat), misalnya kotoran manusia atau binatang; dan "Najis

Hukmiyah" yaitu najis yang tidak berwujud (tidak tampak dan tidak terlihat), seperti air

kencing yang kering. Cara menyucikan najis mutawassitah:

a. Basuh dengan menggunakan air bersih hingga hilang warna, bau dan rasa najis

tersebut.

b. Basuh sehingga tiga kali dengan air mutlak.

4) Najis-najis lain

Selain tiga jenis najis di atas, masih terdapat satu najis lagi iaitu "Najis Ma'fu" (najis

yang dima'afkan), contohnya nanah atau darah yang cuma sedikit, debu atau air kotor

yang memercik sedikit dan sulit dihindarkan.

C. Macam-Macam Najis dari hadits

Hal-hal yang ditunjuk oleh dalil syar`I sebagai suatu yang najis adalah sebagai berikut :

1. Kotoran Manusia dan Air Seninya

Keduanya dianggap sebagai suatu yang najis menurut kesepakatan para ulama. Adapun

kotoran manusia, dalil yang mendasari kenajisannya adalah sabda Nabi SAW,

طھور لھ التراب فان األذئ بنعلھ احدكم وطئ اذا “Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka

sesungguhnya debu menjadi penyuci baginya” [Muttafaqun Alaih : Al Bukhari (135),

Muslim (225)]

Dalil lain yang mendasarinya adalah keumuman hadits-hadits yang memerintahkan

untuk beristinja, yang akan dipaparkan pada bagian yang akan datang.

Adapun dalil yang mendasari najisnya air seni, adalah seperti yang tertera dalam

riwayat Anas: Bahwa seorang A`rab kencing di dalam masjid, maka sebagian orang

berdiri –untuk mencegahnya agar tidak kencing di masjid-, lalu Nabi SAW bersabda,

تزرموه ال دعوه “Biarkanlah dia, jangan kalian mencegahnya”

Anas berkata, “Setelah orang itu selesai –buang air seni-, Rasulullah meminta

seember air, kemudian disiramkan padanya.” [Muttafaq Alaih; Al Bukhari (6025) dan

Muslim (284)]

4

2. Madzi dan Wadi

Madzi adalah air yang lembut dan lengket, ia keluar di saat syahwat sedang

memuncak, seperti saat –kedua pasangan- bercumbu atau ketika ingat hal-hal yang

berkaitan dengan persetubuhan atau saat timbul hasrat untuk bersetubuh. Ketika keluar,

ia tidak muncrat dan tidak disertai rasa capek setelah keluarnya, bahkan bisa jadi

seseorang tidak merasakan keluarnya air madzi atau wadi. Dua hal tersebut bisa terjadi

baik pada seorang laki-laki maupun perempuan, namun hal itu lebih banyak terjadi pada

perempuan. [Aihat Fath Al Bari` (1/379), Syarah Muslim dari An-Nawawi (1/599)

Para ulama sepakat bahwa madzi hukumnya najis [Lihat Al Majmu` dari An-Nawawi

(2/6), Al Mughni dari Ibnu Qudamah (1/168)], oleh karena itu Nabi SAW

memerintahkan untuk mencuci kemaluan dari hal itu. Dalam hadits yang diriwayatkan

oleh Syaikhani Nabi SAW pernah bersabda kepada seseorang yang bertanya tentang

madzi.

ضأ ویتو ذكره یغسل “Hendaknya mencuci kemaluannya, lalu berwudlu” [Muttafaqun Alaih; Al Bukhari

(269) dan Muslim (303)]

Adapun wadi adalah air yang berwarna putih dan kental, ia keluar setelah air seni.

Menurut kesepakatan para ulama, wadi hukumnya najis.

Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “-Tiga hal;-Mani, Wadi dan Madzi; adapun mani adalah

yang mewajibkan seseorang untuk mandi, adapun wadi dan madzi maka cucilah

kemaluan, kemudian wudlulah sebagaimana kamu wudlu untuk shalat” [Sumam Al

Baihaqi (1/115) dan di-shahih-kan oleh Al Albani dalam Shahih Sunnan Abu Daud

(190)]

3. Darah Haid

Berdasarkan hadits Asma` binti Abu Bakar, dia berkata, “Seorang perempuan pernah

dating kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah! Baju salah seorang diantara

kami ada yang terkena darah haid, lalu apakah yang harus diperbuat?` maka beliau

menjawab,

فیھ تصلي ثم, تنضحھ ثم, بالماء تقرصھ ثم, تحتھ

“Hendaklah dia mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, dan menyiramnya,

setelah itu shalatlah dengannya.”[Muttafaqun Alaih; Al Bukhari (227) dan Muslim

(291)]

5

4. Kotoran Hewan yang Dagingnya Tidak Boleh Dimakan

Dari Abdullah bin Mas`ud, dia berkata, “Suatu ketika- Nabi SAW hendak buang air

besar, lalu beliau bersabda,

حجارأ بثالثة ائتني “Ambilkan aku tiga batu”

Lalu aku – hanya- mendapatkan dua batu dan sebuah kotoran –keledai- maka beliau

memegang dua bata itu dan membuang kotoran, sambil bersabda, “itu adalah najis”

[Shahih, Al Bukhari (156), At-Tirmidzi (17), An Nasa’I (42) dan Ibnu Khuzaimah

dengan tambahan kata “keledai”]

Maka hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya

adalah najis.

5. Air Liur Anjing

Nabi SAW bersabda,

أوالھن اتمر سبع یغسلھ أن الكلب فیھ ولغ إذا أحدكم إناء طھور

بالتراب“Cara mensucikan bejana adalah salah seorang di antara kalian jika seekor anjing

menjilat dalam bejana tersebut, hendaklah mencinya tujuh kali, salah satuanya dengan

debu” [Shahih,Muslim (279)

Hal ini menunjukkan bahwa air liur anjing najis.

6. Daging Hewan yang Tidak Boleh dimakan

Hal ini bedasarkan hadits Anas RA, ia berkata, “Kami mendapatkan daging keledai –

yaitu pada saat perang Khaibar- lalu Rasulullah SAW bersabda,

أونجس مرفإنھارجسالح لحوم عن ینھیانكم ورسولھ اهللا إن “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian (makan) dari daging keledai,

karena sesungguhnya ia adalah rijs (keji), atau najis.” [HR. Muslim (1940), Ahmad

(3/121) dan dalam riwayat Al Bukhari tanpa lafazh, “Najis”]

Juga berdasarkan hadits Salamah Al Aka`, ia berkata, “Ketika waktu mulai sore, dimana

daerah Khaibar telah ditaklukkan oleh mereka, lalu mereka menyalakan banyak api,

kemudian Rasulullah SAW bersabda :

6

أي على: لحم،قل على: قالوا شيءتوقدون؟ أي النارعلى ماھذه

. واكسروھا أھریقوھا: فقال اإلنسیة، الحمر لحم على: قالوا لحم؟

اك أوذ ونغسلھا؟ یقھا نھر أو اهللا، یارسول: رجل فقال

“Api apa ini, untuk apa kalian menyalakannya?” Mereka menjawab, “Untuk –

membakar- daging.” Beliau bertanya, “Daging apa?” Mereka menjawab, “Daging

keledai yang jinak.” Maka beliau bersabda, “Tumpahkanlah dia dan pecahkanlah

(bejananya).” Maka seseorang berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah boleh kita

tumpahkan kemudian mencucinya?” Maka beliau menjawab, “Ya, seperti itu.” [HR.

Muslim (1802)]

Dari nash dua hadits ini menunjukkan bahwa daging keledai kampung yang digunakan

sebagai tunggangan adalah najis, hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW yang terdapat

dalam hadits pertama, “Sesungguhnya ia adalah najis” , dan atas perintahnya SAW

pada hadits kedua; yaitu perintah untuk memecahkan bejana, kemudian boleh

memakainya setelah dicuci untuk kedua kalinya.

D. Apakah Khamer Dianggap Najis?

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum khamer, pendapat mereka terbagi menjadi dua

bagian:

Pertama; sesungguhnya ia adalah najis, dan ini merupakan pendapat madzhab jumhur ulama,

diantaranya adalah empat imam madzhab, dan syeikh Islam sependapat dengan mereka, adapun

dalil yang mereka pakai adalah, firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman,

sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan

anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.” (Qs. Al Maa`idah [5]: 90).

Mereka mengatakan bahwa kata ar-rijs yang terdapat dalam ayat tersebut berartu adalah najis,

karenanya mereka menghukumi najis pada dzat khamer itu sendiri.

Kedua; bahwa khamer adalah suci.

Pendapat ini dianut oleh Rabiah, Al-Laits, Al Muzani dan yang lainnya dari ulama salaf yang

dikuatkan pula oleh Asy-Syaukani, Ash-Shan`ani, Ahmad Syakir dan Al Albani

rahimahumullah, dan inilah pendapat yang rajih (kuat), adalah sebagai berikut :

1. Dalam ayat tersebut tidak ada yang menunjukkan najisnya khamer, di mana hal ini ditinjau

dari beberapa segi:

7

Bahwa lafazh “rijs” mempunyai banyak makna,[Lihat pada An-Nihayah, Ibnu Atsit dan

(Lisan Arab), dan (Mukhtarus Shahih) dan Tafasir] diantaranya: kotoran, haram,

kejelekan, adzab, lahnat, kufur, keburukan, dosa, najis dan yang lainnya.

Kami tidak hanya mengambil dari satu perkataan ulama salaf. Diantara mereka ada juga

yang menafsirkan bahwa lafazh “ar-rijs” berarti keburukan.

Lafazh “rijs” termaktub dalam Al Qur`an tidak hanya pada satu tempat, ia terdapat pada

tiga tempat dan tidak satupun yang memaknai “Ar-rijs” sebagai suatu najis, seperti

tersebut dalam firman Allah SWT, “Begitulah Allah menampakkan siksa kepada orang-

orang yang tidak beriman”.(Qs. Al An`aam [6]: 125) dalam ayat ini lafazh “Ar-rijs”

berarti adzab atau siksaan. Juga tersapat dalam dirman Allah SWT yang menjelaskan

tentang orang munafik, “Karena sesungguhnya mereka itu najis dan tempat mereka

adalah jahanam”. (Qs. At-Taubah [9]: 95) yang dimaksud disini adalah amalah amalan

mereka adalah najis yaitu jelek. Dalam firman Allah SWT juga disebutkan “Maka

jauhilaholehmu berhala-hala yang najis itu”. (Qs. Al Hajj [22]: 30). Dikatakan bahwa

berhala-hala adalah sesuatu yang najis, karena ia menjadi penyebab datangnya sesuatu

yang najis atau adzab, dan yang dimaksud bukanlah najis yang Nampak. Jadi hakekat

dari dzat batu dan berhala-berhala adalah tidak najis. Juga dalam firman Allah SWT,

”Katakanlah, tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku…karena

sesungguhnya semua itu kotor.” (Qs. Al An`aam [6]: 145) mengandung dua

kemungkinan.

Khamer termaktub dalam ayat yang berpasangan dengan Al Anshab (berjudi) dan Al

Azlam (Mengundi nasib), semua memiliki makna “Ar Rijs” namun tidak najis secara

syar`I seperti yang tertera dalam firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang

musyrik adalah najis” (Qs. At Taubah [9]: 28), hal ini seperti tertera dalam dalil-dalil

yang shahih yang memiliki makna bahwa sebenarnya orang-orang musyrik tidak najis.

Sesungguhnya pengharaman terhadap khamer tidak menunjukkan hokum najisnya

khamer itu sendiri, namun hokum najis yang dimaksiud untuk hokum haram pada hal-

hal tersebut. Oleh karena itu, diharamkannya mengenakan sutra dan emas untuk laki-laki

tidak menunjukkan bahwa keduanya najis, sebab keduanya adalah suci baik ditinjau

secara syara` dan ijma`.

“Ar-rijs” yang ada pada ayat tersebut dikaitkan dengan kalimat `min amalis-setan` yaitu

bentuk amal yang najis, artinya jelek, haram atau dosa, karena hal ini memang

hukumnya najis.

2. Di antara dalil yang dijadikan dasar kesucian khamer adalah hadits Anas, -di dalamnya

terdapat kalimat- “…maka Rasulullah SAW memerintahkan dengan berseru, `Bukankah

8

khamer telah diharamkan…` ia berkata “Maka aku pun mengeluarkan dan

menumpahkannya sampai bercucuran di jalan-jalan Madinah.” [Al Bukhari (2332) Muslim

(1980)]

3. Hadits yang mengkisahkan tentang seseorang yang membawa dua ransel yang berisi

khamer, “….Maka Nabi SAW bersabda,

بیعھا حرم شربھا حرم الذي اهللا إن “Sesungguhnya Allah yang telah mengharamkan untuk meminumnya, Dia-pun

mengharamkan untuk menjualnya` Maka orang itu membuka dua ransel itu hingga

membuang apa yang ada di dalam kedua ransel tersebut…” [Shahih, HR. Muslim (1206)

dan Malik (1543)]

Jika khamer itu najis, pasti Nabi SAW memerintahkan untuk menyiram dengan air

pada tanah itu guna mensucikannya, sebagaimana Nabi SAW memerintahkan untuk

mrnyiram air senin seorang A`rabi, dan Nabi SAW juga pasti memerintahkan untuk

senantiasa berhati-hati dan menjaga diri darinya. Juga, pasti Nabi memerintahkan orang

yang memiliki dua ransel itu untuk mencucinya.

4. Hukum asal dari khamer adalah suci, dan tidak ada perubahan dari kesucian itu melainkan

dengan perubahan yang benar, serta belum ada dalil yang menunjukkan kenajisannya.

Dengan demikian hal ini tetap pada hokum asalnya. Wallahu A`lam.

E. Apakah darah dianggap Najis?

Darah dibagi menjadi beberapa bagian:

1. Darah manusia

Mengenai darah manusia, ada perbedaan pendapat antara para ulama, namun

pendapat yang masyhur menurut ulama ahli fikih bahwa darah adalah najis. Mereka

tidak memiliki dalil, kecuali apa yang termaktub dalam Al Qur`an, “Katakanlah :

Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukannya kepadaku, sesuatu yang

diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,

atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor.” (Qs.

Al An`aam [6]: 145)

Mereka memandang bahwa hukum haram terdapat dalam ayat tersebut menunjukkan

kenajisannya, hal ini sebagaimana mereka lakukan pada khamer. Hokum ini tidak hanya

dinukil dari satu orang ulama saja, namun hokum najis ini adalah sebuah ijma` yang

diambil dari mereka.mengenai perincian hokum ini akan dibahas selanjutnya.

9

Namun kita juga menjumpai pendapat sekelompok ulama muta`akhirin di antaranya

adalah As-Syaukani, Shiddiq Khan, Al Albani dan Ibnu Utsai`min rahimahumullah,

mereka berpendapat bahwa darah adalah suci, hukum ini diambil karena tidak adanya

kesepakatan tetap dari ulama. Adapun dalil mereka adalah sebagai berikut :

1. Sesungguhnya hukum asal dari segala sesuatu adalah suci, hingga ada dalin yang

menunjukkan kenajisannya, dan kami tidak mengetahui bahwa Nabi SAW yang

memerintahkan untuk mencuci darah kecuali darah haid, sementara banyak orang

yang terkena darah disebabkan oleh luka dan lainnya. Jika darah itu najis, pasti Nabi

SAW menjelaskannya agar membersihkan diri dari hal tersebut.

2. Umat Islam tetap melaksanakan shalat, padahal di badan mereka masih ada luka

yang mengeluarkan banyak darah, yang tidak sampau pada hal-hal yang dima`afkan.

Juga tidak ada riwayat dari Nabi SAW yang memerintahkan untuk mencucinya, serta

tidak ada riwayat bahwasannya mereka sangat berhati-hati dalam masalah itu.

Al Hasan berkata, “Kita dapati umat Islam tetap melaksanakan shalat meskipun

mereka masih dalam keadaan terluka.” [Sanad-nya shahih, HR. Al Bukhari,

Mualllaq (1/336) dan diteruskan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan Sanad yang

shahih seperti dalam Al Fath (1/337)]

Peristiwa yang terjadi pada seorang sahabat Al Anshari pada saat melaksanakan

salat malam, dan dipanah oleh orang musyrik, kemudian dia mencabutnya dan

meletakkan anak panah itu hingga ia terkena panah sebanyak tiga kali, kemudian

dia ruku` dan sujud hingga menyelesaikan shalatnya, sementara darahnya masih

bercucuran. [Shahih HR. Al Bukhari (1/336) dan dilanjutkan oleh Ahmad dan

yang lainnya dan dia adalah shahih]

Al Albani berkata, [Taman Al Minnah (51,52)] “Hadits ini mempunyai hukum

marfu`, sebab sangat tidak mungkin Rasulullah tidak mengetahuinya. Jika darah

yang banyak itu membatalkan –suatu ibadah- pasti Nabi SAW menjelaskannya,

sebab mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan adalah sesuatu

yangtidaj diperbolehkan, seperti yang diketahui dalam ilmu ushul fikih. Seandainya

dalam hal ini Rasulullah tidak mengetahui, maka tidak ada yang diketahui oleh

Allah dalam bumi dan di langit. Dan, jika membatalkan atau najis, pasti Allah akan

mewahyukan tentang hal itu kepada Nabi SAW. Tentu sangat mustahil Allah tidak

mengetahui segala sesuatu yang ada dan terjadi dimuka bumi dan di langit.

Dalil lain adalah, seperti pada peristiwa terbunuhnya Umar bin Khaththab dalam

shalatm padahal dia mengalami luka yang parah dan bercucuran darah. [Shahih HR.

10

Malik (82) dan darinya Al Baihaqi (1/357) dan yang lainnya dengan sanad yang

shahih]

3. Berdasarkan pada hadits Aisyah –yang berisi tentang kisah wafatnya Sa`ad bin

Mu`ad- dia berkata, “Sa`ad bin Muadz pernah terluka pada pelipis matanya saat

perang Khandak karena dipanah oleh seorang laki-laki, lalu Rasulullah SAW

membuatkan kemah di masjid agar mudah untuk dijenguk, ketika malam tiba,

melebarlah lukanya, lalu mengalirlah darah dari lukanya hingga membasahi kemah

yang ada di sampingnya, mereka berkata, `Hai penghuni kemah, apa yang kalian

kirim kepada kami?` ketika mereka melihatnya, ternyata luka Sa`ad telah pecah, dan

darahnya memancar derasnya kemudian beliau meninggal dunia.” [HR. Bukhari

(240) dan Muslim (1794)]

Saya berpendapat bahwa tidak ada nash yang menyebutkan bahwa Nabi

SAW memerintahkan untuk menyiram darah tersebut, apalagi saat itu mereka berada

dalam masjid, seperti beliau memerintahkan para sahabat untuk menyiram air seni

seorang A`rabi.

4. Ibnu Rusyid ketika menyebutkan perbedaan pendapat antar ulama mengenai darah

ikan, dia menyebutkanb bahwa penyebab perbedaan pendapat antara meereka adalah

perselisihan mengenai bangkai ikan. Maka barangsiapa yang menganggap bahwa

bangkai ikan termasuk dalam keumuman hukum yang mengharamkan, maka dia

berarti telah menjadikan darahnya termasuk dalam keumuman hukum tersebut.

Adapun orang yang menganggap bahwa bangkainya diluar dari keumuman hukum

yang mengharamkannya, maka dia tidak memasukkan darah dalam keumuman

hukum yang mengaharamkannya sebagai bentuk qiyas terhadap bangkai, kami

katakana bahwa mereka berpendapat bahwa bangkai manusia adalah suci, maka hal

ini secara otomatis juga menganggap suci darahnya. Hal ini seperti kaidah yang

mereka pakai.

Karena itu Ibnu Rusyd berpendapat bahwa nash yang ada hanya

menunjukkan najisnya darah haid, dan yang selain itu tetap pada hukum asalnya,

seperti yang disepakati oleh kedua golongan yang berbeda pendapat; ia adalah suci.

Dan, hukum yang ada tidak menjadi haram atau yang lainnya kecuali ada dalil lain

yangbbisa dijadikan sebagai hujjah atas hal tersebut.

Jika dikatakan,“Tidak bisakah diqiyaskan terhadap darah haid yang dihukumi

sebagai darah yang najis?

Kami katakan, “Ini adalah qiyas ma`al fariq (qiyas dua hal yang berbeda):

11

Sesungguhnya darah haid adalah darah alami pada seorang wanita, dalam hal ini Nabi

SAW bersabda

ادم بنات على اهللا كتبھ شيء ھذا إن “Sesungguhnya hal ini telah Allah tetapkan pada kaum perempuan” [Al Bukhari (294)

dan Muslim (1211)]

Nabi SAW juga bersabda berkenaan dengan darah istihadhah,

عرق دم إنھ “Sesungguhnya ia adalah darah dari urat”[Al Bukhari (327) Muslim (333)]

- Darah haid adalah darah kental dan berbau tidak menyenangkan, ia seperti air seni

dan kotoran manusia (tinja), ia bukan seperti darah yang tidak keluar dari dua jalur

tersebut.

2. Darah hewan yang dimakan dagingnya

Komentar dalam hal ini sama dengan komentar untuk darah manusia dari sisi tidak

adanya dalil yang menunjukkan najisnya darah tersebut, sehingga hal itu dikembalikan

pada hukum asalnya.

Pendapat yang menyatakan bahwa darah tersebut suci diperkuat juga dengan dalil

sebagai berikut :

Hadits Ibnu Mas`ud, dia berkata , “Nabi SAW pernah melaksanakan shalat di

rumahnya, sedangkan Abu Jahal dan para sahabatnya sedang duduk, mereka saling

berbicara hingga ada yang mengatakan, “Siapakah diantara kalian yang –berani-

mengambil hewan sembelihan si fulan, kemudian mengambil kotoran, darah dan

tahinya, lalu dating dengan membawa semua itu. Setelah itu mendekatinya (Nabi

SAW) dengan pelan-pelan, dan ketika sujud dia meletakkan di atas pundaknya.

Maka bangkitlah orang yang paling jahat diantara mereka –untuk melakukan apa

yang diisyaratkan, ketika Rasulullah SAW sedang sujud ia meletakkan –kotoran-

kotoran tersebut –diantara pundak beliau, namun beliau tetap diam dalam keadaan

bersujud, lalu mereka tertawa.” [Al Bukhari (240) dan Muslim (1794)]

Dari pemaparan cerita di atas menunjukkan bahwa jika darah itu najis, maka

Nabi SAW pasti membuang bajunya atau keluar dari tempat shalatnya.

Riwayat shahih dari Ibnu Mas`ud, bahwa dia pernah melaksanakan shalat dan di atas

perutnya terdapat kotoran dan darah hewan yang telah dia sembelih, dan dia tidak

berwudhu lagi.” [Sanad-nya shahih, Mushannaf Abdur Razak (1/25) dan Ibnu Abi

Syaibah (1/392)]

12

Meskipun atsar ini masih dipertentangkan untuk dijadikan sebagai dalil,

karena Ibnu Mas`ud tidak berpendapat bahwa kesucian badan dan pakaian

merupakan syarat sah shalat, beliau berpendapat hal itu hanya mustahabbah (hal

yang disukai) saja.

Saya berpendapat, “Jika terdapat ijma` atas najisnya darah, maka kami tidak

akan mempedulikan dalil-dalil yang digunakan oleh ulama` muta`khirin, dan jika

tidak ada, maka hal itu dikembalikan kepada hukum asalnya; yaitu suci. Namun kami

tidak membutuhkan dalil-dalil ini,

Yang Nampak bagiku –setelah berusaha untuk mempelajari dan memilih

pendapat tentang kesucian darah selama sepuluh tahun- bahwa ijma` pada

permasalahan ini adalah tsabit (tetap tidak bisa diganggu gugat), yang mana telah

dinukil tidak hanya dari satu ulama dan belum ada yang membantahnya. Nukilan-

nukilan pendapat yang paling baik adalah apa yang dinukil dari Imam Ahmad,

kemudian apa yang dinukil oleh Ibnu Hazm –hal ini selain apa yang disangka bahwa

madzhabnya menganggap darah adalah suci- diantaranya adalah sebagai berikut:

o Ibnu Qayyim dalam kitab Ighatsat Al-Lahfan (1/240) berkata, “Ahmad pernah

ditanya, `Apakah darah dan nanah menurutmu dihukumi sama?” dia menjawab,

‘Tidak, adapun tentang darah tidak ada perbedaan pendapat tentang hal itu.”

o Murrah berkata, ‘Nanah menurutku lebih ringan dibandingkan dengan darah.’

o Ibnu Hazm telah menukil dalam kitab Maratib Al Ijma’, dia berkata “Para ulama

sepakat tentang najisnya darah.”

o Kesepakatan ini dinukil pula oleh Al Hafidz dalam kitab Al Fath (1/420), Ibnu

Abdul Bar berkata dalam kitab At-Tamhid (22/230), “Semua darah hukumnya

seperti darah haid, kecuali darah yang sedikit yang tidak masuk dalam kategori

najis. Namun menurut kesepakatan umat Islam bahwa hukum darah yang

mengalir adalah najis.

Ibnu Arabi dalam kitab Ahkam Al Qur`an (1/79) berkata, “Para ulama sepakat bahwa

darah hukumknya haram dan najis jika dimakan dan diambil manfaatnya, dan Allah

telah menetapkan hal ini secara muthlak, juga telah menetapkannya pada surat Al

An`aam yang berkaitan dengan darah yang mengalir. Para ulama membawa nash

mutlak dengan nash muqayyad.

An-Nawawi dalam Al Majmu` (2/576) berkata, “Dalil-dalil atas hukum najisnya

darah telah jelas, dan aku tidak melihat perbedaan pendapat dari kalangan kaum

muslimin, melainkan aoa yang dikisahkan dalam kitab Al Hawi tentang sebagian

golongan dari ulama ahli kalam, bahwasannya mereka berkata bahwa darah adalah

13

suci, akan tetapi pendapat dari golongan itu tidak dianggap sebagai ijma’, atau hanya

sebuah perbedaan pendapat belaka.”

Saya berpendapat, “Menurut saya, pendapat yang paling kuat adalah yang

mengatakan bahwa darah adalah najis, hal itu disebabkan adanya ijma’ walaupun

telah dinukil dari Imam Ahmad rahimahumullah seperti yang diterangkan di atas,

dimana dia berpendapat suci. Wallahu A`lam.”

F. Hukum Cairan Yang Keluar Dari Kemaluan Wanita Atau Yang Biasa Disebut

“Vagina Basah”

Dalam masalah vagina basah, para ulama berbeda dalam menyikapinya, hingga

pendapat mereka terbagi menjadi dua bagian. [Al Mughni (2/88) dan Al Majmu’ (1/570)]

Pertama; bahwa itu adalah najis. Sebab segala sesuatu yang keluar dari vagina –selain

seorang anak-, maka hukumnya sama dengan madzi, mereka mendasarkan pendapatnya

pada hadits Zaid bin Khalid, bahwasanya dia pernah bertanya kepada Utsman bin Affan RA,

dia berkata “Apa pendapatmu jika seorang suami menggauli istrinya, namun dia tidak

mengeluarkan mani?” Utsman menjawab, “Hendaknya dia berwudhu sebagaimana wudhu

yang dilakukan untuk shalat dan juga mencuci penisnya.” Utsman berkata, “Aku mendengar

hal ini dari Rasulullah SAW…” (Al Hadits). [HR. Al Bukhari (223) dan Muslim (347),

mansukh)]

Dalam hadits Ubay bin Ka`b disebutkan bahwa dia pernah bertanya, “Wahai

Rasulullah, bagaimana jika seorang suami menggauli istrinya, namun dia tidak

mengeluarkan air mani?” Rasulullah bersabda,

ضأویصلى یتو ثم المرأةمنھ مامس یغسل “Mencuci bagian yang menyentuh –vagina wanita-, kemudian berwudhu dan shalat.”[HR.

Al Bukhari (293) dan Muslim (346), mansukh)]

Mereka berkata, “Maka Nabi SAW memerintahkan untuk mencuci aoa yang

menyentuh kemaluan wanita menunjukkan najisnya cairan kemaluan wanita.”

Bantahan:

Bahwa dua hadits tersebut mansukh dengan hadits-hadits yang memerintahkan untuk

mencuci, seperti yang akan dijelaskan pada pembahasan berikut. Insya Allah.

Adapun perintah untuk mencucinya dikhawatirkan ada madzi yang keluar darinya

atau dari vagina wanita. Mereka juga mendasarkan hukum najisnya cairan yang keluar dari

vagina pada sesuatu yang keluar dari dua lubang (depan dan belakang). Hal ini sesuai

dengan kaidah, bahwa sesuatu yang keluar dari dua lubang adalah najis, selain mani.

14

Kedua: bahwa cairan pada vagina wanita adalah suci, [Lihat: Jami`Ahkam An-Nisa’ (1/68)

dari Syeikh kami Musthafa bin Al Adawi-Khafidahullah] madzhab ini mendasarkan

pendapatnya pada dalil-dalil berikut:

1. Bahwa Aisyah RA pernah mengerik mani dari pakaian Nabi SAW, usai melakukan

hubungan badan, sebab beliau tidak pernah bermimpi sama sekali. Dan, beliau juga

menjumpai cairan pada vagina Aisyah. Jika kita menghukumi najjis pada cairan vagina

perempuan, maka kita juga menghukumi najisnya mani, karena mani itu keluar dari

vagina, maka dia menjadi najis karena adanya cairan tersebut.

2. Cairan pada vagina adalah sesuatu yang jelas, sebab ia sering terjadi pada wanita, dan

tidak diragukan lagi bahwa hak itu ada pada wanita-wanita di jaman Nabi SAW,

sebagaimana yang dialami oleh wanita-waniya jaman ini, dan belum ada riwayat bahwa

Nabi SAW menyuruh mereka untuk membersihkan diri darinya atau wudhu karenanya.

3. Bahwa tempat keluarnya cairan itu bukan pada saluran air seni yang najis.

4. Para ahli fikih berpendapat, “Semua yang keluar dari dua lubang adalah najis kecuali

mani, maka perkataan ini tidak pasti kebenarannya, karena bukan dari Nabi SAW serta

bukan merupakan kesepakatan para ulama, bahkan ada sebagian yang keluar dari dua

jalan yang tidak membatalkan wudhu, seperti darah istihadhah. Lihatlah pembahasan

yang akan dating.

Saya katakan:

Pendapat yang saya yakini rajih (kuat)–dengan perincian sebagai berikut-: jika cairan itu

keluar dari perempuan di saat berhubungan dengan suaminya atau ketika ada keinginan

untuk berjima’ dan semacamnya, maka yang demikian itu adalah madzi, dimana

hukumnya adalah najis yang mewajibkan seseorang bersuci, dan secara otomatis

membatalkan wudhu. Akan tetapi jika cairan itu keluar dari vagina perempuan pada

waktu-waktu biasa, saat sedang hamil, ketika kerja berat atau banyak berjalan, maka hal

ini menurut hukum asalnya adalah suci, karena tidak ada dalil yang menyatakan najisnya

hal tersebut. Wallahu A`lam.

G. Benda-benda yang termasuk najis

Suatu barang (benda) menurut hukum aslinya adalah suci selama tak ada dalil yang

menunjukkan bahwa benda itu najis. Benda najis itu diantaranya:

1. Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia

Adapun bangkai binatang laut seperti ikan dan bangkai binatang darat yang tidak

berdarah ketika masih hidupnya seperti belalang serta mayat manusia, semuanya suci.

Firman Allah Swt.:

15

المیتھ علیكم حرمت “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, “ (Al-Maidah: 3)

Adapun bangkai ikan dan binatang darat yang tidak berdarah, begitu juga mayat

manusia, tidak masuk dalam arti bangkai yang umum.

Lagipula seandainya mayat manusia itu najis, tentunya kita disuruh memandikannya,

karena kita tidaklah disuruh mencuci najis ‘ain lainnya, bahkan najis-najis ‘ain lainnya

itu tidak dapat dicuci. Maka suruhan terhadap kita untuk memnadikan mayat itu suatu

tanda bahwa mayat manusia bukan najis, hanya ada keyakinan terkena najis sehingga

kita disuruh memandikannya.

2. Darah

Segala macam darah itu najis, selain hati dan limpa.

Firman Allah Swt.:

الخنزیر ولحم والدم المیتة علیكم حرمت“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi” (Al-maidah: 3)

Sabda Rasulullah Saw.:

والجرادوالكبدوالطحال السمك:ودمان لنامیتتان احلت “telah dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah: ikan dan

belalang, hati dan limpa.” (Riwayat Ibnu Majah)

Dikecualikan juga darah yang tertinggal di dalam daging binatang yang sudah

disembelih, begitu juga darah ikan. Kedua macam darah ini suci atau dimaafkan, artinya

diperbolehkan atau dihalalkan.

3. Nanah

Segala macam nanah itu najis, baik yang kental maupun yang cair, karena nanah itu

merupakan darah yang sudah busuk.

4. Segala benda cair yang keluar dari dua pintu 2)

اهللا صل اهللا رسول اسأل ان رجلامذاءفاستحییت كنت:قال علي عن

ویتوضأ ذكره یغسل فقال المقدادفسألھ فأمرت وسلم علیھ Dari Ali (khalifah ke empat). Ia berkata, “saya sering keluar mazi, sedangkan saya malu

menanyakan kepada Rasulullah Saw. Maka saya suruh miqdad menanyakannya. Miqdad

lalu bertanya kepada beliau. Jawab beliau, “hendaklah ia basuh kemaluannya dan

berwudhu.” (riwayat muslim)

5. Arak; setiap minuman keras yang memabukkan

16

Firman allah Swt.;

الشیطان عمل من رجس والازلام انماالخمروالمیسروالانصاب

“ Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi

nasib dengan panah adalah Termasuk perbuatan syaitan.” (Al-Maidah: 90)

6. Anjing dan babi

Semua hewan suci, kecuali anjing dan babi.

Sabda Rasulullah Saw.;

اولاھن مرات سبع یغسلھ ان الكلب فیھ ولغ اذا احدكم اناء طھور

cara mencuci bejana seseorang dari kamu apabila dijilati anjing, hendaklah“ باتراب

dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah”. (Riwayat

Muslim)

7. Bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya selagi hidup.

Hukum bagian-bagian badan binatang yang diambil selagi hidup ialah seperti

bangkai. Maksudnya, kalau bangkainya najis, maka yang dipotong itu juga najis, seperti

babi atau kambing. Kalau bangkainya suci, yang dipotong sewaktu hidupnya pun suci

pula, seperti yang diambil dari ikan hidup. Dikecualikan bulu hewan yang halal

dimakan, hukumnya suci.

Firman allah Swt.;

اصوافھاواوبارھاواشعارھااثاثا ومن“dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat

rumah tangga “ (An-Nahl: 80)

Semua najis tidak dapat dicuci, kecuali arak. Jika ia sudah menjadi cuka dengan

sendirinya, maka ia menjadi suci apabila cukup syarat-syaratnya, seperti yang akan

diterangkan nanti begitu juga kulit bangkai, dapat menjadi suci dengan cara disamak.

17

BAB III

Thaharah Hukumiyah

A. Macam-macam Air

1. Air suci dan menyucikan / air mutlak

Perubahan air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifatnya “suci- menyucikan”-

walaupun perubahan itu terjadi pada salah satu dari semua sifatnya yang tiga (warna,

rasa, dan baunya)- adalah sebagai berikut:

a. Berubah karena tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir di batu belerang.

b. Berubah karena lama tersimpan, seperti air kolam.

c. Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti berubah disebabkan ikan atau

kiambang.

d. Berubah karena tanah yang suci, begitu juga segala perubahan yang sukar

memeliharanya, misalnya berubah karena daun-daunan yang jatuh dari pohon-pohon

yang berdekatan dengan sumur atau tempat-tempat air itu.

Hukumnya ialah bahwa air suci lagi menyucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya dan

menyucikan bagi lainnya. Di dalamnya termasuk macam-macam air berikut:

1. Air hujan, salju, es, dan air embun, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

١١: األ نفال. وینزل علیكم من السماءماءلیطھركم بھ

Artinya: “Dan diturunkan-Nya padamu hujan dari langit buat menyucikanmu.” (Al-

Anfal: 11)

Dan firman-Nya:

٤٨: الفر قان.وأنزلنامن السماءماءطھورا

Artinya: “Dan Kami turunkan dari langit air yang suci lagi menyucikan.” (Al-

Furqan: 48)

Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a., katanya: adalah Rasulullah saw. bila

membaca takbir di dalam shalat diam sejenak sebelum membaca Al-Fatihah, maka

saya tanyakan: Demi kedua orang tuaku wahai Rasulullah! Apakah kiranya yang

Anda baca ketika berdiamkan diri di antara takbir dengan membaca Al-Fatihah?

Rasulullah pun menjawab:

18

اللھم باعدبیني وبین خطایاي كماباعدت بین المشرق أقول

والمغرب، اللھم نقني من خطایاي كما ینقى الثوب الأبیض من

ردالدنس، اللھم أغسلني من خطایاي بالثلج والماءوالب

Artinya:

Saya membaca: ”Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau

menjauhkan Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah daku sebagaimana

dibersihkannya kain yang putih dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dari

kesalahan-kesalahanku dengan salju, air, dan embun.” (H.R. Jama’ah kecuali

Turmudzi)

2. Air laut, berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya: Seorang laki-laki

menanyakan kepada Rasulullah, katanya: Ya Rasulullah, kami biasa berlayar di

lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudhuk,

akibatnya kami akan kehausan, maka bolehkah kami berwudhuk dengan air laut?

Berkata Rasulullah saw.:

ھوالطھورماؤاه لحل میتتھ

Artinya: “Laut itu airnya suci lagi menyucikan, dan bangkainya halal untuk

dimakan.” (Diriwayatkan oleh yang berlima)

Berkata Turmudzi: Hadits ini hasan lagi shahih, dan ketika kutanyakan kepada

Muhammad bin Ismail al Bukhari tentang hadits ini, jawabnya ialah: Hadits itu

shahih.

3. Air telaga, karena apa yang diriwayatkan dari Ali r.a. artinya bahwa Rasulullah saw.

meminta seember penuh dari air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya

buat berwudhuk.” (H.R. Ahmad)

4. Air yang berubah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan

bercampur dengan apa yang menurut galibnya tidak terpisah dari air seperti

kiambang dan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu tetap

termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang

dapat disebut air secara mutlak ialah tanpa kait, boleh dipakai untuk bersuci. Firman

Allah Ta’ala:

٦:الما ئدة. (فلم تجدواماءفتیمموا )

19

Artinya: “Jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayamumlah kamu!” (Al-

Maidah: 6)

2. Air suci tetapi tidak menyucikan

Zatnya suci, tetapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk dalam

bagian ini ada tiga macam air, yaitu:

a. Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan suatu benda

yang suci, selain dari perubahan yang tersebut di atas, seperti air kopi, teh, dan

sebagainya.

b. Air sedikit, kurang dari dua qullah, sudah terpakai untuk menghilangkan hadas atau

menghilangkan hukum najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya dan tidak pula

bertambah timbangannya.

c. Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan pohon

kayu (air nira), air kelapa, dan sebagainya.

3. Air yang bernajis

Air yang termasuk bagian ini ada dua macam:

a. Sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis. Air ini tidak boleh dipakai lagi, baik

airnya sedikit ataupun banyak, sebab hukumnya seperti najis.

b. Air bernajis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Air ini kalau sedikit -berarti

kurang dari dua qullah- tidak boleh dipakai lagi, bahkan hukumnya sama dengan

najis.

Kalau air itu banyak, berarti dua qullah atau lebih, hukumnya tetap suci dan

menyucikan.

Sabda Rasulullah saw.:

اوریحھ اولونھ طعمھ عل شيءالاماغلب الماءلاینجسھ

Artinya: “Air itu tak dinajisi sesuatu, kecuali apabila berubah rasa, warna, atau

baunya.” (Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi).

Banyaknya air dua qullah adalah kalau tempatnya empat persegi panjang, maka

panjangnya 1 ¼ hasta, lebar 1 ¼ hasta, dan dalam 1 ¼ hasta. kalau tempatnya

bundar, maka garis tengahnya 1 hasta, dalam 2¼ hasta, dan keliling 3 1/7 hasta.

Hasta (dzira’) dalam kitab-kitab fiqih klasik, selain adanya rekaman konversi ulama

dari qullah ke rithl, juga ada ditemukan ukuran qullah yang dikonversi oleh ulama

dengan satuan besaran panjang kala itu yakni hasta.

20

Syafi’iyah mengatakan bahwa air dua qullah adalah air yang memenuhi wadah yang

ukurannya 1,25 hasta (panjang) x 1,25 hasta (lebar) x 1,25 hasta' (tinggi).

Adapun mazhab Hanbali diketahui memiliki pendapat yang berbeda. Mengenai

berapa ukuran hasta, ada 2 pendapat ulama kontemporer mengenai hal ini.Menurut

sebagian ulama, panjang 1 hasta adalah 46,2 cm, sedangkan yang lain berpendapat

48 cm. Sehingga ukuran 2 qullah menurut kedua pandangan tersebut adalah :

a) Menurut pandangan pertama : 2 qullah = 57, 75 cm x 57,75 cm x 57, 75 cm =

192.599,8 cm. Jika dihitung dalam liter menjadi 192,599 liter, ( karena 1 liter

= 1.000 cm).

b) Menurut pendapat kedua : 2 qullah = 60 cm x 60 cm x 60 cm = 216.000 cm,

atau 216 liter.

4. Air yang makruh

Yaitu yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak. Air ini

makruh dipakai untuk badan, tetapi tidak makruh untuk pakaian; kecuali air yang

terjemur di tanah, seperti air sawah, air kolam, dan tempat-tempat yang bukan bejana

yang mungkin berkarat. Sabda Rasulullah saw.:

اهللا صلى فقال الشمس ماءفى عنھاانھاسخنت اهللا عائشةرضى عن

--) البیھقى رواه. (البرص یورث یاحمیراءفانھ لھاالتفعلى وسلم علیھ

اسلم فقھ - “Dari Aisyah. Sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari, maka

Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Janganlah engkau berbuat demikian, ya Aisyah.

Sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak.” (Riwayat

Baihaqi)

B. Hukum air musta’mal/ yang terpakai/ bekas terpakai

Yaitu air yang telah terpisah dari anggota-anggota orang yang berwudhuk dan mandi.

Hukumnya suci lagi menyucikan sabagai halnya ia mutlak tanpa berbeda sedikit pun. Hal itu

ialah mengingat asalnya yang suci, sedang tiada dijumpai suatu alasan pun yang

mengeluarkannya dari kesucian itu.

21

Juga karena hadits Rubaiyi’ binti Mu’awwidz sewaktu menerangkan cara wudhuk

Rasulullah saw., katanya: “Dan disapunya kepalanya dengan sisa wudhuk yang terdapat

pada kedua tangannya.”

Juga dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. berjumpa dengannya di salah satu jalan kota

Madinah, sedangkan waktu ia dalam keadaan junub. Maka ia pun menyelinap pergi dari

Rasulullah lalu mandi, kemudian datang kembali. Ditanyakanlah oleh Nabi saw.; kemana ia

tadi, yang dijawabnya bahwa ia datang sedang dalam keadaan junub dan tak hendak

menemaninya dalam keadaan tidak suci itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw.:

)الجمعة رواه. (لاینجس المؤمن إن اهللا سبحان

Artinya: “Mahasuci Allah, orang Mukmin itu tak mungkin najis.” (H.R. Jama’ah)

Jalan mengambil hadits ini sebagai alasan ialah karena disana dinyatakan bahwa orang

Mukmin itu tak mungkin najis. Maka tak ada alasan menyatakan bahwa air itu kehilangan

kesuciannya semata karena bersentuhan, karena itu hanyalah bertemunya barang yang suci

dengan yang suci pula hingga tiada membawa pengaruh apa-apa.

Berkata Ibnu Mundzir: “Diriwayatkan dari Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, ‘Atha’,

Makhul, dan Nakha’i bahwa mereka berpendapat tentang orang yang lupa menyapu

kepalanya lalu mendapatkan air dijanggutnya: Cukup bila ia menyapu dengan air itu. Ini

menunjukkan bahwa air musta’mal itu menyucikan, dan demikianlah pula pendapatku.”

Dan mazhab ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Malik dan Syafi’I, dan

menurut Ibnu Hazmin juga merupakan pendapat Sufyan As-Sauri, Abu Tsaur, dan semua

ahli Zhahir.

C. Menolak Anggapan Air Musta’mal Karena Bekas Diciduk Oleh Orang Yang

Berwudlu’ Untuk Membasuh Muka

اهللا توضألناوضوءرسول:لھ قیل أنھ عاصم زیدبن بن عبداهللا عن

یده أدخل ثم فغسلھماثلاث یدیھ على فدعابإناءفأكفأمنھ.م ص

أدخل ثلاث،ثم ذلك علواحدةفف كف من واستنشق فاستخرجھافمضمض

یھ ید فاستخرجھافغسل یده أدخل ثلاث،ثم وجھھ فاستخرجھافغسل یده

22

بیدیھ فأقبل برأسھ فاستخرجھافمسح یده أدخل مرتین،ثم المرفقین إلي

م ص اهللا ھكذاوضوءرسول:قال الكعبین،ثم إلى رجلیھ غسل وأدبر،ثم “Dari Abdillah bin Zaid bin Ashim, bahwa ia pernah diminta: Berwudlu’lah untuk kami,

sebagaimana wudlu’ Rasul saw.! Lalu ia minta bejana, kemudian ia menuangkannya

atas kedua tangannya, lalu ia basuh tiga kali, kemudian ia memasukkan kedua

tangannya lalu mengeluarkannya, kemudian berkumur dan mengisap air hidung dari

satu telapak tangan, kemudian ia berbuat demikian tiga kali, lalu memasukkan

tangannya kemudian mengeluarkannya, lalu membasuh wajahnya tiga kali, kemudian

memasukkan tangannya, lalu mengeluarkannya, kemudian membasuh kedua tangannya

sampai siku-siku dua kali, kemudian memasukkan tangannya, lalu mengeluarkannya,

kemudian mengusap kepalanya, yaitu ia jalankan kedua tangannya ke belakang, lalu ia

kembalikannya, kemudian membasuh kedua kakinya sampai mata kaki, lalu berkata:

Demikianlah wudlu’ Rasul saw.” HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim, dan lafadznya dari

Ahmad.

D. Hukum air dua qullah ketika kejatuhan najis

ھو و. م ص اهللا ل سو ر سمعت: قل ب الخطا بن عمر بن هللا عبدا وعن

ع السبا من با، ینر وما ض ر الاء من ة لفلا با ن یكو ء الما عن یسءل

لخمسة ا اه و ر.=الخبث یحمل لم تینقل ء الما ن كا ذ إ: ل فقا ب وا لد وا

“Dari Abdillah bin Umar bin Khathab, ia berkata: Aku mendengar Rasul saw. bersabda;

dikala ia sedang ditanya tentang air di padang Sahara dan berulang-ulangnya (datang) di

situ, binatang- binatang buas dan hewan-hewan: “Kalau air itu dua qullah, maka tidak

mengandung kotoran.” (H.R. Imam yang lima).

بئریضاعة،وھي اهللا،أتتوضأمن یارسول قیل:قال سعیدالخدري أبي عن

اهللا رسول والنتن؟فقال ابالكل ولحوم فیھاالحیض بئریلقي

شيء الماءطھورلاینجسھ.ص .

“Dari Abi Sa’id Al Khudri, ia berkata: (Rasul) ditanya: Ya Rasulullah, apakah engkau

pernah berwudhu dari (air) sumur Budla’ah, yaitu sumur tempat membuang darah-darah

haid, daging-daging anjing, dan bangkai? Lalu Rasul saw. menjawab: “Air itu suci, tidak

23

dinajiskan oleh sesuatu”. HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi, dan tirmidzi berkata:

Hadits ini hasan, dan Ahmad berkata: Hadits sumur Budla’ah shahih.

بئرتطرح بئربضاعة،وھي من لك یستقي إنھ:داود دوأبيروایةلأحم وفي

إن.ص اهللا رسول ،فقال وعذرالناس الكلاب النساءولحم فیھامحاتض

شيء الماءطھورلاینجسھ

“Dan di dalam satu riwayat bagi Ahmad dan Abi Dawud (dikatakan): Apakah engkau

pernah diberi air dari sumur Budla’ah, yaitu sumur yang ditempati membuang darah-darah

haid wanita, daging anjing-anjing, dan kotoran manusia? Lalu Rasul saw. menjawab:

“Sesungguhnya air itu suci, tidak dapat dinajiskan oleh apapun.”

عمقھا،قلت بئربضاعةعن قیم سألت:سعیدقال قتیبةبن سمعت:أبوداود قال

قال.العورة دون فإذانقص؟قال:قلت.العانت إل:؟قال فیھاالماء أكثرمایكون

ذرعتھ علیھاثم فددتھ بئربضاعةبردائي درتق:أبوداود

ھل:إلیھ فأدخلني البستان باب لي فتح الذي وسألت.فإذاعرضھاستةأذرع

ءمتغیراللونفیھاما لا،ورأیت علیھ؟فقال غیربناؤھاعماكان

“Abu Dawud berkata: Aku mendengar Quthaibah bin Sa’id, ia berkata: Aku pernah

menanyakan bangunan sumur Budla’ah tentang dalamnya, aku bertanya: Apakah air sumur

itu banyak? Lalu ia menjawab: Setinggi pantat. Aku bertanya: Kalau berkurang sampai

dimana? Ia menjawab: Dibawah aurat. Abu Dawud berkata: Aku pernah mengukur sumur

Budla’ah dengan selendangku, kemudian aku rentangkan di atasnya, lalu aku ukur dengan

dzira’ku, maka lebarnya enam dzira’. Dan aku bertanya kepada orang yang membukakan

pintu kebun dan memasukkan aku ke dalamnya: Apakah pernah diubah bangunannya dari

keadaan asalnya? Lalu ia menjawab: Tidak! Dan aku mengetahui di dalamnya, air yang

berubah warnanya.

شيء ینجسھ لم"وروایةلأحمد ماجھ لفظابن وفي

Dan dalam lafadz Ibnu Majah, dan satu riwayat bagi Ahmad (dikatakan): “Tidak dapat

dinajiskan oleh apapun.”

24

Adapun hadits Abdullah bin Umar r.a. bahwa Nabi saw. barsabda: “Jika air sampai dua

qullah, maka ia tidaklah mengandung najis.” (H.r yang berlima), maka ia adalah

Mudhtharib, artinya tidak karuan, baik sanad maupun matannya.

Berkata Ibnu ‘Abdil Barr di dalam At-Tahmid: “Pendirian Syafi’I mengenai hadits dua

qullah, adalah mazhab yang lemah dari segi penyelidikan, dan tidak berdasar dari segi

alasan.

E. Hukum air yang tergenang

الماءالدائم فى أحدكم ،،لایغتسلن:قال. ص النبي ھریرةأن أبي عن

مسلم رواه( تناوال یتناولھ:قال یفعل؟ وھوجنب،،فقالوایاأباھریرةكیف

(وابنماجھ

“Dari Abi Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda: “Janganlah sekali-kali salah seorang di

antara kamu mandi di dalam air yang diam, sedang ia dalam keadaan junub”, lalu mereka

bertanya: Wahai Abi Hurairah, lalu bagaimana ia harus berbuat? Ia menjawab: ia

menciduknya dengan cidukan. (HR Muslim dan Ibnu Majah).

بنت الربیع حدثتنى:قال عقیل بن محمد بن عبداهللا عن سفیانالثوري عن

رأسھ.م ص ومسح"وفیھ-م ص وضوءالنبي فذكرحدیث-عفراء معوذبن

ناصیتھ،وغسل إلى رده ثم.بدأبمؤخره.مرتین ه ید في وضوئھ من ابقيبم

ثلاثاثلاثا رجلیھ ":

قال"بیدیھ ماءكان فضل من رأسھ مسح.م ص رسولاهللا إن

من بعضھم فیھ تكلم ولكن.صدوق عقیل ابن مدمح بن عبداهللا:الىترمذي

بحدیثھ یحتجون والحمیدي أحمدوإسحاق كان:ري البخا وقال.حفظھ قبل

“Dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Abdillah bin Muhammad bin Uqail, ia berkata: Aku diberi

tahu Rubayyi’ binti Mu’awwadz bin Afra’ lalu menyebutkan hadits wudhunya Nabi saw.

dan di dalamnya (terdapat): “Dan Nabi saw. mengusap kepalanya dua kali dengan air sisa

wudhunya yang di tangannya; Ia memulainya dari belakang (kepalanya), kemudian ia

25

teruskan ke ubun-ubunnya, dan membasuh kedua kakinya tiga kali tiga kali”. HR Ahmad

dan Abi Dawud dengan diringkas, dan lafadz Abu Dawud: (dikatakan): “Sesungguhnya

Rasul saw. mengusap kepalanya dengan sisa air yang ada di dua tangannya”. Tirmidzi

berkata: Abdullah bin Muhammad bin Uqail adalah orang baik. Tetapi sebagian mereka (ahli

hadits) membicarakannya dari segi hafalannya. Dan Al Bukhari berkata: Adalah Ahmad,

Ishaq, dan Humaidi menjadikan hadits Abdullah sebagai hujjah.

Para ulama bersepakat bahwa boleh hukumnya berwudhu di air yang tidak mengalir apabila

tidak bernajis. Kecuali Ibnu Sirin yang berpendapat, tidak boleh menggunakannya.

Para ulama bersepakat jika ada najis yang jatuh pada air yang sedikit maupun banyak lalu

mengubah rasa, atau warna, atau baunya; maka air itu najis selama masih seperti itu.

Para ulama bersepakat bahwa air yang banyak seperti sungai nil, lautan, dan sejenisnya. Jika

terkena najis namun tidak mengubah warna, rasa, dan baunya; maka status hukumnya tidak

berubah dan boleh untuk bersuci.

*Ajin adalah air yang sudah lama tidak mengalir di suatu tempat sehingga rasa atau

warnanya berubah namun tidak tampak ada sesuatu yang bernajis. Beginilah redaksi yang

terdapat pada kitab: Al-Fa’iq 2/17, dan An-Nihayah 1/26-27.

Para ulama bersepakat bahwa keluarnya kotoran dari dubur, kencing dari kemaluan dan hal

ini berlaku juga kepada wanita, keluar mani, keluar angin dari dubur, hilangnya kesadaran

dengan cara apapun ; semua itu adalah hadas yang membatalkan kesucian dan mewajibkan

berwudhu lagi.

Para ulama bersepakat bahwa darah istihadhah/ penyakit membatalkan kesucian. Rabi’ah

menyelisihi ijma’ itu dan berkata bahwa itu tidak membatalkan kesucian.

Rabi’ah bin Abu ‘Abdurrahman Farrukh, maula/ bekas budak tamim bin murrah, kunyah/

nama panggilannya Abu ‘Utsman. Rabi’ah digelar imam/ pemuka agama, faqih, mujtahid

dan mufti Madinah dan Syaikh/ guru Malik. Yahya bin Sa’id Al-Anshari berkata, saya tidak

melihat seseorang yang lebih cerdas dari Rabi’ah. Wafat pada tahun 136H