Upload
uin-malang
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB 1
THAHARAH
A. Definisi dan Urgensi Thaharah (Bersuci)
Thaharah menurut bahasa adalah bersih dan terbebas dari kotoran yang Nampak-seperti bersih
dan terbebas dari kotoran yang Nampak – seperti najis yang berasal dari air kencing atau yang
lainnya- dan najis secara maknawi- berupa aib dan kemaksiatan.
Kata At-That-hir berarti membersihkan ; yaitu penetapan bahwa suatu tempat itu terbebas
dari kotoran. [Al Lubab Fi Syarh Al Kitab (1/10) Ad-Dur Al Mukhtar (1/79)]
Adapun thaharah menurut istilah syara` adalah membersihkan segala sesuatu yang menghalangi
sahnya shalat, baik dari hadats atau najis dengan menggunakan air atau yang lainnya, atau dengan
menggunakan debu. [Al Mughni, Ibnu Qudamah (1/12) cet. Hajar]
B. Hukum Thaharah
Bersih dari najis dan menghilangkannya merupakan suatu kewajiban bagi yang tahu akan
hukum dan mampu melaksanakannya. Dalam hal ini Allah berfirman, :”Dan pakaianmu
bersihkanlah.” (Qs. Al Muddatsir [74]: 4) juga terdapat dalam firmannya, “Bersihkanlah rumah-Ku
untuk orang-orang yang thawaf yang I`tikaf yang ruku dan yang sujud.” (Qs. Al Baqarah [2]: 125)
Adapun bersih dari hadats, maka merupakan suatu kewajiban yang sekaligus sebagai syarat sah
shalat. Hal ini berdasarkan pada sabda Nabi SAW,
طھو بغیر صالة تقبل ال “Shalat tidak diterima tanpa –didahului- dengan bersuci” [Shahih, Muslim 224]
C. Macam-Macam Thaharah
Para ulama membagi thaharah secara syar`I menjadi dua bagian :
1. Thaharah hakikiyah: yaitu bersuci dari kotoran, maksudnya adalah bersuci dari najis, hal ini
biasanya terdapat pada badan, pakaian dan tempat-tempat selain keduanya.
2. Thaharah hukmiyah: yaitu bersuci dari hadast, hal ini khusus yang terdapat pada badan.
Thaharah pada poin ini terbagi menjadi tiga bagian:
- Thaharah kubra : yaitu najis yang hanya bisa suci dengan mandi
- Thaharah sugra : yaitu najis yang bisa suci dengan wudhu.
- Pengganti dari keduanya tatkala mengalami udzur, yaitu dengan cara bertayamum.
2
BAB 2
NAJIS
Thaharah Hakikiyah
A. Definisi Najis
Najis adalah lawan kata dari suci, dan najis itu sendiri adalah sesuatu yang kotor secara
syar`I, dimana hal itu mewajibkan bagi setiap muslin untuk mensucikan diri darinya dan
mencuci semua yang terkena najis tersebut.
B. Najis dibagi menjadi :
1) Najis Mughallazah (Berat)
Najis Mughallazah ialah najis berat. Najis ini terdiri daripada anjing dan babi serta
benda-benda yang terjadi daripadanya. Cara menyucikan najis Mughallazah:
a. Bersihkan bahagian yang terkena najis.
b. Basuh sebanyak tujuh kali. Sekali daripadanya mesti menggunakan tanah bersih
yang dicampur dengan air.
c. Gunakan air mutlak untuk membuat basuhan seterusnya (sebanyak enam kali)
sehingga hilang bau, warna dan rasa.
2) Najis Mukhaffafah (Ringan)
Najis mukhaffafah ialah najis ringan. Najis mukhaffafah ialah air kencing kanak-kanak
lelaki berusia di bawah dua tahun yang tidak makan atau minum sesuatu yang lain selain
susu ibu. Cara menyucikan najis mukhaffafah:
a. Basuh bahagian yang terkena najis dan lap.
b. Percikkan air di tempat yang terkena najis.
c. Lap dengan kain bersih sehingga kering.
3) Najis Mutawassitah (Pertengahan)
Najis mutawassitah ialah najis sederhana, yaitu segala sesuatu yang keluar dari
dubur/qubul manusia atau binatang, cairan yang memabukkan, bangkai (kecuali bangkai
manusia, ikan dan belalang), serta susu, tulang dan bulu dari hewan yang haram
dimakan.
3
Najis mutawassitah terbagi dua Yaitu: "Najis Ainiyah" yaitu najis yang berwujud
(tampak dan dapat dilihat), misalnya kotoran manusia atau binatang; dan "Najis
Hukmiyah" yaitu najis yang tidak berwujud (tidak tampak dan tidak terlihat), seperti air
kencing yang kering. Cara menyucikan najis mutawassitah:
a. Basuh dengan menggunakan air bersih hingga hilang warna, bau dan rasa najis
tersebut.
b. Basuh sehingga tiga kali dengan air mutlak.
4) Najis-najis lain
Selain tiga jenis najis di atas, masih terdapat satu najis lagi iaitu "Najis Ma'fu" (najis
yang dima'afkan), contohnya nanah atau darah yang cuma sedikit, debu atau air kotor
yang memercik sedikit dan sulit dihindarkan.
C. Macam-Macam Najis dari hadits
Hal-hal yang ditunjuk oleh dalil syar`I sebagai suatu yang najis adalah sebagai berikut :
1. Kotoran Manusia dan Air Seninya
Keduanya dianggap sebagai suatu yang najis menurut kesepakatan para ulama. Adapun
kotoran manusia, dalil yang mendasari kenajisannya adalah sabda Nabi SAW,
طھور لھ التراب فان األذئ بنعلھ احدكم وطئ اذا “Jika salah seorang di antara kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka
sesungguhnya debu menjadi penyuci baginya” [Muttafaqun Alaih : Al Bukhari (135),
Muslim (225)]
Dalil lain yang mendasarinya adalah keumuman hadits-hadits yang memerintahkan
untuk beristinja, yang akan dipaparkan pada bagian yang akan datang.
Adapun dalil yang mendasari najisnya air seni, adalah seperti yang tertera dalam
riwayat Anas: Bahwa seorang A`rab kencing di dalam masjid, maka sebagian orang
berdiri –untuk mencegahnya agar tidak kencing di masjid-, lalu Nabi SAW bersabda,
تزرموه ال دعوه “Biarkanlah dia, jangan kalian mencegahnya”
Anas berkata, “Setelah orang itu selesai –buang air seni-, Rasulullah meminta
seember air, kemudian disiramkan padanya.” [Muttafaq Alaih; Al Bukhari (6025) dan
Muslim (284)]
4
2. Madzi dan Wadi
Madzi adalah air yang lembut dan lengket, ia keluar di saat syahwat sedang
memuncak, seperti saat –kedua pasangan- bercumbu atau ketika ingat hal-hal yang
berkaitan dengan persetubuhan atau saat timbul hasrat untuk bersetubuh. Ketika keluar,
ia tidak muncrat dan tidak disertai rasa capek setelah keluarnya, bahkan bisa jadi
seseorang tidak merasakan keluarnya air madzi atau wadi. Dua hal tersebut bisa terjadi
baik pada seorang laki-laki maupun perempuan, namun hal itu lebih banyak terjadi pada
perempuan. [Aihat Fath Al Bari` (1/379), Syarah Muslim dari An-Nawawi (1/599)
Para ulama sepakat bahwa madzi hukumnya najis [Lihat Al Majmu` dari An-Nawawi
(2/6), Al Mughni dari Ibnu Qudamah (1/168)], oleh karena itu Nabi SAW
memerintahkan untuk mencuci kemaluan dari hal itu. Dalam hadits yang diriwayatkan
oleh Syaikhani Nabi SAW pernah bersabda kepada seseorang yang bertanya tentang
madzi.
ضأ ویتو ذكره یغسل “Hendaknya mencuci kemaluannya, lalu berwudlu” [Muttafaqun Alaih; Al Bukhari
(269) dan Muslim (303)]
Adapun wadi adalah air yang berwarna putih dan kental, ia keluar setelah air seni.
Menurut kesepakatan para ulama, wadi hukumnya najis.
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “-Tiga hal;-Mani, Wadi dan Madzi; adapun mani adalah
yang mewajibkan seseorang untuk mandi, adapun wadi dan madzi maka cucilah
kemaluan, kemudian wudlulah sebagaimana kamu wudlu untuk shalat” [Sumam Al
Baihaqi (1/115) dan di-shahih-kan oleh Al Albani dalam Shahih Sunnan Abu Daud
(190)]
3. Darah Haid
Berdasarkan hadits Asma` binti Abu Bakar, dia berkata, “Seorang perempuan pernah
dating kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah! Baju salah seorang diantara
kami ada yang terkena darah haid, lalu apakah yang harus diperbuat?` maka beliau
menjawab,
فیھ تصلي ثم, تنضحھ ثم, بالماء تقرصھ ثم, تحتھ
“Hendaklah dia mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, dan menyiramnya,
setelah itu shalatlah dengannya.”[Muttafaqun Alaih; Al Bukhari (227) dan Muslim
(291)]
5
4. Kotoran Hewan yang Dagingnya Tidak Boleh Dimakan
Dari Abdullah bin Mas`ud, dia berkata, “Suatu ketika- Nabi SAW hendak buang air
besar, lalu beliau bersabda,
حجارأ بثالثة ائتني “Ambilkan aku tiga batu”
Lalu aku – hanya- mendapatkan dua batu dan sebuah kotoran –keledai- maka beliau
memegang dua bata itu dan membuang kotoran, sambil bersabda, “itu adalah najis”
[Shahih, Al Bukhari (156), At-Tirmidzi (17), An Nasa’I (42) dan Ibnu Khuzaimah
dengan tambahan kata “keledai”]
Maka hal ini menunjukkan bahwa kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya
adalah najis.
5. Air Liur Anjing
Nabi SAW bersabda,
أوالھن اتمر سبع یغسلھ أن الكلب فیھ ولغ إذا أحدكم إناء طھور
بالتراب“Cara mensucikan bejana adalah salah seorang di antara kalian jika seekor anjing
menjilat dalam bejana tersebut, hendaklah mencinya tujuh kali, salah satuanya dengan
debu” [Shahih,Muslim (279)
Hal ini menunjukkan bahwa air liur anjing najis.
6. Daging Hewan yang Tidak Boleh dimakan
Hal ini bedasarkan hadits Anas RA, ia berkata, “Kami mendapatkan daging keledai –
yaitu pada saat perang Khaibar- lalu Rasulullah SAW bersabda,
أونجس مرفإنھارجسالح لحوم عن ینھیانكم ورسولھ اهللا إن “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian (makan) dari daging keledai,
karena sesungguhnya ia adalah rijs (keji), atau najis.” [HR. Muslim (1940), Ahmad
(3/121) dan dalam riwayat Al Bukhari tanpa lafazh, “Najis”]
Juga berdasarkan hadits Salamah Al Aka`, ia berkata, “Ketika waktu mulai sore, dimana
daerah Khaibar telah ditaklukkan oleh mereka, lalu mereka menyalakan banyak api,
kemudian Rasulullah SAW bersabda :
6
أي على: لحم،قل على: قالوا شيءتوقدون؟ أي النارعلى ماھذه
. واكسروھا أھریقوھا: فقال اإلنسیة، الحمر لحم على: قالوا لحم؟
اك أوذ ونغسلھا؟ یقھا نھر أو اهللا، یارسول: رجل فقال
“Api apa ini, untuk apa kalian menyalakannya?” Mereka menjawab, “Untuk –
membakar- daging.” Beliau bertanya, “Daging apa?” Mereka menjawab, “Daging
keledai yang jinak.” Maka beliau bersabda, “Tumpahkanlah dia dan pecahkanlah
(bejananya).” Maka seseorang berkata, “Wahai Rasulullah! Apakah boleh kita
tumpahkan kemudian mencucinya?” Maka beliau menjawab, “Ya, seperti itu.” [HR.
Muslim (1802)]
Dari nash dua hadits ini menunjukkan bahwa daging keledai kampung yang digunakan
sebagai tunggangan adalah najis, hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW yang terdapat
dalam hadits pertama, “Sesungguhnya ia adalah najis” , dan atas perintahnya SAW
pada hadits kedua; yaitu perintah untuk memecahkan bejana, kemudian boleh
memakainya setelah dicuci untuk kedua kalinya.
D. Apakah Khamer Dianggap Najis?
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum khamer, pendapat mereka terbagi menjadi dua
bagian:
Pertama; sesungguhnya ia adalah najis, dan ini merupakan pendapat madzhab jumhur ulama,
diantaranya adalah empat imam madzhab, dan syeikh Islam sependapat dengan mereka, adapun
dalil yang mereka pakai adalah, firman Allah SWT, “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan
anak panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan.” (Qs. Al Maa`idah [5]: 90).
Mereka mengatakan bahwa kata ar-rijs yang terdapat dalam ayat tersebut berartu adalah najis,
karenanya mereka menghukumi najis pada dzat khamer itu sendiri.
Kedua; bahwa khamer adalah suci.
Pendapat ini dianut oleh Rabiah, Al-Laits, Al Muzani dan yang lainnya dari ulama salaf yang
dikuatkan pula oleh Asy-Syaukani, Ash-Shan`ani, Ahmad Syakir dan Al Albani
rahimahumullah, dan inilah pendapat yang rajih (kuat), adalah sebagai berikut :
1. Dalam ayat tersebut tidak ada yang menunjukkan najisnya khamer, di mana hal ini ditinjau
dari beberapa segi:
7
Bahwa lafazh “rijs” mempunyai banyak makna,[Lihat pada An-Nihayah, Ibnu Atsit dan
(Lisan Arab), dan (Mukhtarus Shahih) dan Tafasir] diantaranya: kotoran, haram,
kejelekan, adzab, lahnat, kufur, keburukan, dosa, najis dan yang lainnya.
Kami tidak hanya mengambil dari satu perkataan ulama salaf. Diantara mereka ada juga
yang menafsirkan bahwa lafazh “ar-rijs” berarti keburukan.
Lafazh “rijs” termaktub dalam Al Qur`an tidak hanya pada satu tempat, ia terdapat pada
tiga tempat dan tidak satupun yang memaknai “Ar-rijs” sebagai suatu najis, seperti
tersebut dalam firman Allah SWT, “Begitulah Allah menampakkan siksa kepada orang-
orang yang tidak beriman”.(Qs. Al An`aam [6]: 125) dalam ayat ini lafazh “Ar-rijs”
berarti adzab atau siksaan. Juga tersapat dalam dirman Allah SWT yang menjelaskan
tentang orang munafik, “Karena sesungguhnya mereka itu najis dan tempat mereka
adalah jahanam”. (Qs. At-Taubah [9]: 95) yang dimaksud disini adalah amalah amalan
mereka adalah najis yaitu jelek. Dalam firman Allah SWT juga disebutkan “Maka
jauhilaholehmu berhala-hala yang najis itu”. (Qs. Al Hajj [22]: 30). Dikatakan bahwa
berhala-hala adalah sesuatu yang najis, karena ia menjadi penyebab datangnya sesuatu
yang najis atau adzab, dan yang dimaksud bukanlah najis yang Nampak. Jadi hakekat
dari dzat batu dan berhala-berhala adalah tidak najis. Juga dalam firman Allah SWT,
”Katakanlah, tidaklah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku…karena
sesungguhnya semua itu kotor.” (Qs. Al An`aam [6]: 145) mengandung dua
kemungkinan.
Khamer termaktub dalam ayat yang berpasangan dengan Al Anshab (berjudi) dan Al
Azlam (Mengundi nasib), semua memiliki makna “Ar Rijs” namun tidak najis secara
syar`I seperti yang tertera dalam firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang
musyrik adalah najis” (Qs. At Taubah [9]: 28), hal ini seperti tertera dalam dalil-dalil
yang shahih yang memiliki makna bahwa sebenarnya orang-orang musyrik tidak najis.
Sesungguhnya pengharaman terhadap khamer tidak menunjukkan hokum najisnya
khamer itu sendiri, namun hokum najis yang dimaksiud untuk hokum haram pada hal-
hal tersebut. Oleh karena itu, diharamkannya mengenakan sutra dan emas untuk laki-laki
tidak menunjukkan bahwa keduanya najis, sebab keduanya adalah suci baik ditinjau
secara syara` dan ijma`.
“Ar-rijs” yang ada pada ayat tersebut dikaitkan dengan kalimat `min amalis-setan` yaitu
bentuk amal yang najis, artinya jelek, haram atau dosa, karena hal ini memang
hukumnya najis.
2. Di antara dalil yang dijadikan dasar kesucian khamer adalah hadits Anas, -di dalamnya
terdapat kalimat- “…maka Rasulullah SAW memerintahkan dengan berseru, `Bukankah
8
khamer telah diharamkan…` ia berkata “Maka aku pun mengeluarkan dan
menumpahkannya sampai bercucuran di jalan-jalan Madinah.” [Al Bukhari (2332) Muslim
(1980)]
3. Hadits yang mengkisahkan tentang seseorang yang membawa dua ransel yang berisi
khamer, “….Maka Nabi SAW bersabda,
بیعھا حرم شربھا حرم الذي اهللا إن “Sesungguhnya Allah yang telah mengharamkan untuk meminumnya, Dia-pun
mengharamkan untuk menjualnya` Maka orang itu membuka dua ransel itu hingga
membuang apa yang ada di dalam kedua ransel tersebut…” [Shahih, HR. Muslim (1206)
dan Malik (1543)]
Jika khamer itu najis, pasti Nabi SAW memerintahkan untuk menyiram dengan air
pada tanah itu guna mensucikannya, sebagaimana Nabi SAW memerintahkan untuk
mrnyiram air senin seorang A`rabi, dan Nabi SAW juga pasti memerintahkan untuk
senantiasa berhati-hati dan menjaga diri darinya. Juga, pasti Nabi memerintahkan orang
yang memiliki dua ransel itu untuk mencucinya.
4. Hukum asal dari khamer adalah suci, dan tidak ada perubahan dari kesucian itu melainkan
dengan perubahan yang benar, serta belum ada dalil yang menunjukkan kenajisannya.
Dengan demikian hal ini tetap pada hokum asalnya. Wallahu A`lam.
E. Apakah darah dianggap Najis?
Darah dibagi menjadi beberapa bagian:
1. Darah manusia
Mengenai darah manusia, ada perbedaan pendapat antara para ulama, namun
pendapat yang masyhur menurut ulama ahli fikih bahwa darah adalah najis. Mereka
tidak memiliki dalil, kecuali apa yang termaktub dalam Al Qur`an, “Katakanlah :
Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukannya kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor.” (Qs.
Al An`aam [6]: 145)
Mereka memandang bahwa hukum haram terdapat dalam ayat tersebut menunjukkan
kenajisannya, hal ini sebagaimana mereka lakukan pada khamer. Hokum ini tidak hanya
dinukil dari satu orang ulama saja, namun hokum najis ini adalah sebuah ijma` yang
diambil dari mereka.mengenai perincian hokum ini akan dibahas selanjutnya.
9
Namun kita juga menjumpai pendapat sekelompok ulama muta`akhirin di antaranya
adalah As-Syaukani, Shiddiq Khan, Al Albani dan Ibnu Utsai`min rahimahumullah,
mereka berpendapat bahwa darah adalah suci, hukum ini diambil karena tidak adanya
kesepakatan tetap dari ulama. Adapun dalil mereka adalah sebagai berikut :
1. Sesungguhnya hukum asal dari segala sesuatu adalah suci, hingga ada dalin yang
menunjukkan kenajisannya, dan kami tidak mengetahui bahwa Nabi SAW yang
memerintahkan untuk mencuci darah kecuali darah haid, sementara banyak orang
yang terkena darah disebabkan oleh luka dan lainnya. Jika darah itu najis, pasti Nabi
SAW menjelaskannya agar membersihkan diri dari hal tersebut.
2. Umat Islam tetap melaksanakan shalat, padahal di badan mereka masih ada luka
yang mengeluarkan banyak darah, yang tidak sampau pada hal-hal yang dima`afkan.
Juga tidak ada riwayat dari Nabi SAW yang memerintahkan untuk mencucinya, serta
tidak ada riwayat bahwasannya mereka sangat berhati-hati dalam masalah itu.
Al Hasan berkata, “Kita dapati umat Islam tetap melaksanakan shalat meskipun
mereka masih dalam keadaan terluka.” [Sanad-nya shahih, HR. Al Bukhari,
Mualllaq (1/336) dan diteruskan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan Sanad yang
shahih seperti dalam Al Fath (1/337)]
Peristiwa yang terjadi pada seorang sahabat Al Anshari pada saat melaksanakan
salat malam, dan dipanah oleh orang musyrik, kemudian dia mencabutnya dan
meletakkan anak panah itu hingga ia terkena panah sebanyak tiga kali, kemudian
dia ruku` dan sujud hingga menyelesaikan shalatnya, sementara darahnya masih
bercucuran. [Shahih HR. Al Bukhari (1/336) dan dilanjutkan oleh Ahmad dan
yang lainnya dan dia adalah shahih]
Al Albani berkata, [Taman Al Minnah (51,52)] “Hadits ini mempunyai hukum
marfu`, sebab sangat tidak mungkin Rasulullah tidak mengetahuinya. Jika darah
yang banyak itu membatalkan –suatu ibadah- pasti Nabi SAW menjelaskannya,
sebab mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan adalah sesuatu
yangtidaj diperbolehkan, seperti yang diketahui dalam ilmu ushul fikih. Seandainya
dalam hal ini Rasulullah tidak mengetahui, maka tidak ada yang diketahui oleh
Allah dalam bumi dan di langit. Dan, jika membatalkan atau najis, pasti Allah akan
mewahyukan tentang hal itu kepada Nabi SAW. Tentu sangat mustahil Allah tidak
mengetahui segala sesuatu yang ada dan terjadi dimuka bumi dan di langit.
Dalil lain adalah, seperti pada peristiwa terbunuhnya Umar bin Khaththab dalam
shalatm padahal dia mengalami luka yang parah dan bercucuran darah. [Shahih HR.
10
Malik (82) dan darinya Al Baihaqi (1/357) dan yang lainnya dengan sanad yang
shahih]
3. Berdasarkan pada hadits Aisyah –yang berisi tentang kisah wafatnya Sa`ad bin
Mu`ad- dia berkata, “Sa`ad bin Muadz pernah terluka pada pelipis matanya saat
perang Khandak karena dipanah oleh seorang laki-laki, lalu Rasulullah SAW
membuatkan kemah di masjid agar mudah untuk dijenguk, ketika malam tiba,
melebarlah lukanya, lalu mengalirlah darah dari lukanya hingga membasahi kemah
yang ada di sampingnya, mereka berkata, `Hai penghuni kemah, apa yang kalian
kirim kepada kami?` ketika mereka melihatnya, ternyata luka Sa`ad telah pecah, dan
darahnya memancar derasnya kemudian beliau meninggal dunia.” [HR. Bukhari
(240) dan Muslim (1794)]
Saya berpendapat bahwa tidak ada nash yang menyebutkan bahwa Nabi
SAW memerintahkan untuk menyiram darah tersebut, apalagi saat itu mereka berada
dalam masjid, seperti beliau memerintahkan para sahabat untuk menyiram air seni
seorang A`rabi.
4. Ibnu Rusyid ketika menyebutkan perbedaan pendapat antar ulama mengenai darah
ikan, dia menyebutkanb bahwa penyebab perbedaan pendapat antara meereka adalah
perselisihan mengenai bangkai ikan. Maka barangsiapa yang menganggap bahwa
bangkai ikan termasuk dalam keumuman hukum yang mengharamkan, maka dia
berarti telah menjadikan darahnya termasuk dalam keumuman hukum tersebut.
Adapun orang yang menganggap bahwa bangkainya diluar dari keumuman hukum
yang mengharamkannya, maka dia tidak memasukkan darah dalam keumuman
hukum yang mengaharamkannya sebagai bentuk qiyas terhadap bangkai, kami
katakana bahwa mereka berpendapat bahwa bangkai manusia adalah suci, maka hal
ini secara otomatis juga menganggap suci darahnya. Hal ini seperti kaidah yang
mereka pakai.
Karena itu Ibnu Rusyd berpendapat bahwa nash yang ada hanya
menunjukkan najisnya darah haid, dan yang selain itu tetap pada hukum asalnya,
seperti yang disepakati oleh kedua golongan yang berbeda pendapat; ia adalah suci.
Dan, hukum yang ada tidak menjadi haram atau yang lainnya kecuali ada dalil lain
yangbbisa dijadikan sebagai hujjah atas hal tersebut.
Jika dikatakan,“Tidak bisakah diqiyaskan terhadap darah haid yang dihukumi
sebagai darah yang najis?
Kami katakan, “Ini adalah qiyas ma`al fariq (qiyas dua hal yang berbeda):
11
Sesungguhnya darah haid adalah darah alami pada seorang wanita, dalam hal ini Nabi
SAW bersabda
ادم بنات على اهللا كتبھ شيء ھذا إن “Sesungguhnya hal ini telah Allah tetapkan pada kaum perempuan” [Al Bukhari (294)
dan Muslim (1211)]
Nabi SAW juga bersabda berkenaan dengan darah istihadhah,
عرق دم إنھ “Sesungguhnya ia adalah darah dari urat”[Al Bukhari (327) Muslim (333)]
- Darah haid adalah darah kental dan berbau tidak menyenangkan, ia seperti air seni
dan kotoran manusia (tinja), ia bukan seperti darah yang tidak keluar dari dua jalur
tersebut.
2. Darah hewan yang dimakan dagingnya
Komentar dalam hal ini sama dengan komentar untuk darah manusia dari sisi tidak
adanya dalil yang menunjukkan najisnya darah tersebut, sehingga hal itu dikembalikan
pada hukum asalnya.
Pendapat yang menyatakan bahwa darah tersebut suci diperkuat juga dengan dalil
sebagai berikut :
Hadits Ibnu Mas`ud, dia berkata , “Nabi SAW pernah melaksanakan shalat di
rumahnya, sedangkan Abu Jahal dan para sahabatnya sedang duduk, mereka saling
berbicara hingga ada yang mengatakan, “Siapakah diantara kalian yang –berani-
mengambil hewan sembelihan si fulan, kemudian mengambil kotoran, darah dan
tahinya, lalu dating dengan membawa semua itu. Setelah itu mendekatinya (Nabi
SAW) dengan pelan-pelan, dan ketika sujud dia meletakkan di atas pundaknya.
Maka bangkitlah orang yang paling jahat diantara mereka –untuk melakukan apa
yang diisyaratkan, ketika Rasulullah SAW sedang sujud ia meletakkan –kotoran-
kotoran tersebut –diantara pundak beliau, namun beliau tetap diam dalam keadaan
bersujud, lalu mereka tertawa.” [Al Bukhari (240) dan Muslim (1794)]
Dari pemaparan cerita di atas menunjukkan bahwa jika darah itu najis, maka
Nabi SAW pasti membuang bajunya atau keluar dari tempat shalatnya.
Riwayat shahih dari Ibnu Mas`ud, bahwa dia pernah melaksanakan shalat dan di atas
perutnya terdapat kotoran dan darah hewan yang telah dia sembelih, dan dia tidak
berwudhu lagi.” [Sanad-nya shahih, Mushannaf Abdur Razak (1/25) dan Ibnu Abi
Syaibah (1/392)]
12
Meskipun atsar ini masih dipertentangkan untuk dijadikan sebagai dalil,
karena Ibnu Mas`ud tidak berpendapat bahwa kesucian badan dan pakaian
merupakan syarat sah shalat, beliau berpendapat hal itu hanya mustahabbah (hal
yang disukai) saja.
Saya berpendapat, “Jika terdapat ijma` atas najisnya darah, maka kami tidak
akan mempedulikan dalil-dalil yang digunakan oleh ulama` muta`khirin, dan jika
tidak ada, maka hal itu dikembalikan kepada hukum asalnya; yaitu suci. Namun kami
tidak membutuhkan dalil-dalil ini,
Yang Nampak bagiku –setelah berusaha untuk mempelajari dan memilih
pendapat tentang kesucian darah selama sepuluh tahun- bahwa ijma` pada
permasalahan ini adalah tsabit (tetap tidak bisa diganggu gugat), yang mana telah
dinukil tidak hanya dari satu ulama dan belum ada yang membantahnya. Nukilan-
nukilan pendapat yang paling baik adalah apa yang dinukil dari Imam Ahmad,
kemudian apa yang dinukil oleh Ibnu Hazm –hal ini selain apa yang disangka bahwa
madzhabnya menganggap darah adalah suci- diantaranya adalah sebagai berikut:
o Ibnu Qayyim dalam kitab Ighatsat Al-Lahfan (1/240) berkata, “Ahmad pernah
ditanya, `Apakah darah dan nanah menurutmu dihukumi sama?” dia menjawab,
‘Tidak, adapun tentang darah tidak ada perbedaan pendapat tentang hal itu.”
o Murrah berkata, ‘Nanah menurutku lebih ringan dibandingkan dengan darah.’
o Ibnu Hazm telah menukil dalam kitab Maratib Al Ijma’, dia berkata “Para ulama
sepakat tentang najisnya darah.”
o Kesepakatan ini dinukil pula oleh Al Hafidz dalam kitab Al Fath (1/420), Ibnu
Abdul Bar berkata dalam kitab At-Tamhid (22/230), “Semua darah hukumnya
seperti darah haid, kecuali darah yang sedikit yang tidak masuk dalam kategori
najis. Namun menurut kesepakatan umat Islam bahwa hukum darah yang
mengalir adalah najis.
Ibnu Arabi dalam kitab Ahkam Al Qur`an (1/79) berkata, “Para ulama sepakat bahwa
darah hukumknya haram dan najis jika dimakan dan diambil manfaatnya, dan Allah
telah menetapkan hal ini secara muthlak, juga telah menetapkannya pada surat Al
An`aam yang berkaitan dengan darah yang mengalir. Para ulama membawa nash
mutlak dengan nash muqayyad.
An-Nawawi dalam Al Majmu` (2/576) berkata, “Dalil-dalil atas hukum najisnya
darah telah jelas, dan aku tidak melihat perbedaan pendapat dari kalangan kaum
muslimin, melainkan aoa yang dikisahkan dalam kitab Al Hawi tentang sebagian
golongan dari ulama ahli kalam, bahwasannya mereka berkata bahwa darah adalah
13
suci, akan tetapi pendapat dari golongan itu tidak dianggap sebagai ijma’, atau hanya
sebuah perbedaan pendapat belaka.”
Saya berpendapat, “Menurut saya, pendapat yang paling kuat adalah yang
mengatakan bahwa darah adalah najis, hal itu disebabkan adanya ijma’ walaupun
telah dinukil dari Imam Ahmad rahimahumullah seperti yang diterangkan di atas,
dimana dia berpendapat suci. Wallahu A`lam.”
F. Hukum Cairan Yang Keluar Dari Kemaluan Wanita Atau Yang Biasa Disebut
“Vagina Basah”
Dalam masalah vagina basah, para ulama berbeda dalam menyikapinya, hingga
pendapat mereka terbagi menjadi dua bagian. [Al Mughni (2/88) dan Al Majmu’ (1/570)]
Pertama; bahwa itu adalah najis. Sebab segala sesuatu yang keluar dari vagina –selain
seorang anak-, maka hukumnya sama dengan madzi, mereka mendasarkan pendapatnya
pada hadits Zaid bin Khalid, bahwasanya dia pernah bertanya kepada Utsman bin Affan RA,
dia berkata “Apa pendapatmu jika seorang suami menggauli istrinya, namun dia tidak
mengeluarkan mani?” Utsman menjawab, “Hendaknya dia berwudhu sebagaimana wudhu
yang dilakukan untuk shalat dan juga mencuci penisnya.” Utsman berkata, “Aku mendengar
hal ini dari Rasulullah SAW…” (Al Hadits). [HR. Al Bukhari (223) dan Muslim (347),
mansukh)]
Dalam hadits Ubay bin Ka`b disebutkan bahwa dia pernah bertanya, “Wahai
Rasulullah, bagaimana jika seorang suami menggauli istrinya, namun dia tidak
mengeluarkan air mani?” Rasulullah bersabda,
ضأویصلى یتو ثم المرأةمنھ مامس یغسل “Mencuci bagian yang menyentuh –vagina wanita-, kemudian berwudhu dan shalat.”[HR.
Al Bukhari (293) dan Muslim (346), mansukh)]
Mereka berkata, “Maka Nabi SAW memerintahkan untuk mencuci aoa yang
menyentuh kemaluan wanita menunjukkan najisnya cairan kemaluan wanita.”
Bantahan:
Bahwa dua hadits tersebut mansukh dengan hadits-hadits yang memerintahkan untuk
mencuci, seperti yang akan dijelaskan pada pembahasan berikut. Insya Allah.
Adapun perintah untuk mencucinya dikhawatirkan ada madzi yang keluar darinya
atau dari vagina wanita. Mereka juga mendasarkan hukum najisnya cairan yang keluar dari
vagina pada sesuatu yang keluar dari dua lubang (depan dan belakang). Hal ini sesuai
dengan kaidah, bahwa sesuatu yang keluar dari dua lubang adalah najis, selain mani.
14
Kedua: bahwa cairan pada vagina wanita adalah suci, [Lihat: Jami`Ahkam An-Nisa’ (1/68)
dari Syeikh kami Musthafa bin Al Adawi-Khafidahullah] madzhab ini mendasarkan
pendapatnya pada dalil-dalil berikut:
1. Bahwa Aisyah RA pernah mengerik mani dari pakaian Nabi SAW, usai melakukan
hubungan badan, sebab beliau tidak pernah bermimpi sama sekali. Dan, beliau juga
menjumpai cairan pada vagina Aisyah. Jika kita menghukumi najjis pada cairan vagina
perempuan, maka kita juga menghukumi najisnya mani, karena mani itu keluar dari
vagina, maka dia menjadi najis karena adanya cairan tersebut.
2. Cairan pada vagina adalah sesuatu yang jelas, sebab ia sering terjadi pada wanita, dan
tidak diragukan lagi bahwa hak itu ada pada wanita-wanita di jaman Nabi SAW,
sebagaimana yang dialami oleh wanita-waniya jaman ini, dan belum ada riwayat bahwa
Nabi SAW menyuruh mereka untuk membersihkan diri darinya atau wudhu karenanya.
3. Bahwa tempat keluarnya cairan itu bukan pada saluran air seni yang najis.
4. Para ahli fikih berpendapat, “Semua yang keluar dari dua lubang adalah najis kecuali
mani, maka perkataan ini tidak pasti kebenarannya, karena bukan dari Nabi SAW serta
bukan merupakan kesepakatan para ulama, bahkan ada sebagian yang keluar dari dua
jalan yang tidak membatalkan wudhu, seperti darah istihadhah. Lihatlah pembahasan
yang akan dating.
Saya katakan:
Pendapat yang saya yakini rajih (kuat)–dengan perincian sebagai berikut-: jika cairan itu
keluar dari perempuan di saat berhubungan dengan suaminya atau ketika ada keinginan
untuk berjima’ dan semacamnya, maka yang demikian itu adalah madzi, dimana
hukumnya adalah najis yang mewajibkan seseorang bersuci, dan secara otomatis
membatalkan wudhu. Akan tetapi jika cairan itu keluar dari vagina perempuan pada
waktu-waktu biasa, saat sedang hamil, ketika kerja berat atau banyak berjalan, maka hal
ini menurut hukum asalnya adalah suci, karena tidak ada dalil yang menyatakan najisnya
hal tersebut. Wallahu A`lam.
G. Benda-benda yang termasuk najis
Suatu barang (benda) menurut hukum aslinya adalah suci selama tak ada dalil yang
menunjukkan bahwa benda itu najis. Benda najis itu diantaranya:
1. Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia
Adapun bangkai binatang laut seperti ikan dan bangkai binatang darat yang tidak
berdarah ketika masih hidupnya seperti belalang serta mayat manusia, semuanya suci.
Firman Allah Swt.:
15
المیتھ علیكم حرمت “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, “ (Al-Maidah: 3)
Adapun bangkai ikan dan binatang darat yang tidak berdarah, begitu juga mayat
manusia, tidak masuk dalam arti bangkai yang umum.
Lagipula seandainya mayat manusia itu najis, tentunya kita disuruh memandikannya,
karena kita tidaklah disuruh mencuci najis ‘ain lainnya, bahkan najis-najis ‘ain lainnya
itu tidak dapat dicuci. Maka suruhan terhadap kita untuk memnadikan mayat itu suatu
tanda bahwa mayat manusia bukan najis, hanya ada keyakinan terkena najis sehingga
kita disuruh memandikannya.
2. Darah
Segala macam darah itu najis, selain hati dan limpa.
Firman Allah Swt.:
الخنزیر ولحم والدم المیتة علیكم حرمت“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi” (Al-maidah: 3)
Sabda Rasulullah Saw.:
والجرادوالكبدوالطحال السمك:ودمان لنامیتتان احلت “telah dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah: ikan dan
belalang, hati dan limpa.” (Riwayat Ibnu Majah)
Dikecualikan juga darah yang tertinggal di dalam daging binatang yang sudah
disembelih, begitu juga darah ikan. Kedua macam darah ini suci atau dimaafkan, artinya
diperbolehkan atau dihalalkan.
3. Nanah
Segala macam nanah itu najis, baik yang kental maupun yang cair, karena nanah itu
merupakan darah yang sudah busuk.
4. Segala benda cair yang keluar dari dua pintu 2)
اهللا صل اهللا رسول اسأل ان رجلامذاءفاستحییت كنت:قال علي عن
ویتوضأ ذكره یغسل فقال المقدادفسألھ فأمرت وسلم علیھ Dari Ali (khalifah ke empat). Ia berkata, “saya sering keluar mazi, sedangkan saya malu
menanyakan kepada Rasulullah Saw. Maka saya suruh miqdad menanyakannya. Miqdad
lalu bertanya kepada beliau. Jawab beliau, “hendaklah ia basuh kemaluannya dan
berwudhu.” (riwayat muslim)
5. Arak; setiap minuman keras yang memabukkan
16
Firman allah Swt.;
الشیطان عمل من رجس والازلام انماالخمروالمیسروالانصاب
“ Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah adalah Termasuk perbuatan syaitan.” (Al-Maidah: 90)
6. Anjing dan babi
Semua hewan suci, kecuali anjing dan babi.
Sabda Rasulullah Saw.;
اولاھن مرات سبع یغسلھ ان الكلب فیھ ولغ اذا احدكم اناء طھور
cara mencuci bejana seseorang dari kamu apabila dijilati anjing, hendaklah“ باتراب
dibasuh tujuh kali, salah satunya hendaklah dicampur dengan tanah”. (Riwayat
Muslim)
7. Bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya selagi hidup.
Hukum bagian-bagian badan binatang yang diambil selagi hidup ialah seperti
bangkai. Maksudnya, kalau bangkainya najis, maka yang dipotong itu juga najis, seperti
babi atau kambing. Kalau bangkainya suci, yang dipotong sewaktu hidupnya pun suci
pula, seperti yang diambil dari ikan hidup. Dikecualikan bulu hewan yang halal
dimakan, hukumnya suci.
Firman allah Swt.;
اصوافھاواوبارھاواشعارھااثاثا ومن“dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat
rumah tangga “ (An-Nahl: 80)
Semua najis tidak dapat dicuci, kecuali arak. Jika ia sudah menjadi cuka dengan
sendirinya, maka ia menjadi suci apabila cukup syarat-syaratnya, seperti yang akan
diterangkan nanti begitu juga kulit bangkai, dapat menjadi suci dengan cara disamak.
17
BAB III
Thaharah Hukumiyah
A. Macam-macam Air
1. Air suci dan menyucikan / air mutlak
Perubahan air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifatnya “suci- menyucikan”-
walaupun perubahan itu terjadi pada salah satu dari semua sifatnya yang tiga (warna,
rasa, dan baunya)- adalah sebagai berikut:
a. Berubah karena tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir di batu belerang.
b. Berubah karena lama tersimpan, seperti air kolam.
c. Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti berubah disebabkan ikan atau
kiambang.
d. Berubah karena tanah yang suci, begitu juga segala perubahan yang sukar
memeliharanya, misalnya berubah karena daun-daunan yang jatuh dari pohon-pohon
yang berdekatan dengan sumur atau tempat-tempat air itu.
Hukumnya ialah bahwa air suci lagi menyucikan, artinya bahwa ia suci pada dirinya dan
menyucikan bagi lainnya. Di dalamnya termasuk macam-macam air berikut:
1. Air hujan, salju, es, dan air embun, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
١١: األ نفال. وینزل علیكم من السماءماءلیطھركم بھ
Artinya: “Dan diturunkan-Nya padamu hujan dari langit buat menyucikanmu.” (Al-
Anfal: 11)
Dan firman-Nya:
٤٨: الفر قان.وأنزلنامن السماءماءطھورا
Artinya: “Dan Kami turunkan dari langit air yang suci lagi menyucikan.” (Al-
Furqan: 48)
Juga berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a., katanya: adalah Rasulullah saw. bila
membaca takbir di dalam shalat diam sejenak sebelum membaca Al-Fatihah, maka
saya tanyakan: Demi kedua orang tuaku wahai Rasulullah! Apakah kiranya yang
Anda baca ketika berdiamkan diri di antara takbir dengan membaca Al-Fatihah?
Rasulullah pun menjawab:
18
اللھم باعدبیني وبین خطایاي كماباعدت بین المشرق أقول
والمغرب، اللھم نقني من خطایاي كما ینقى الثوب الأبیض من
ردالدنس، اللھم أغسلني من خطایاي بالثلج والماءوالب
Artinya:
Saya membaca: ”Ya Allah, jauhkanlah daku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau
menjauhkan Timur dan Barat. Ya Allah, bersihkanlah daku sebagaimana
dibersihkannya kain yang putih dari kotoran. Ya Allah, sucikanlah daku dari
kesalahan-kesalahanku dengan salju, air, dan embun.” (H.R. Jama’ah kecuali
Turmudzi)
2. Air laut, berdasarkan hadits Abu Hurairah r.a. katanya: Seorang laki-laki
menanyakan kepada Rasulullah, katanya: Ya Rasulullah, kami biasa berlayar di
lautan dan hanya membawa air sedikit. Jika kami pakai air itu untuk berwudhuk,
akibatnya kami akan kehausan, maka bolehkah kami berwudhuk dengan air laut?
Berkata Rasulullah saw.:
ھوالطھورماؤاه لحل میتتھ
Artinya: “Laut itu airnya suci lagi menyucikan, dan bangkainya halal untuk
dimakan.” (Diriwayatkan oleh yang berlima)
Berkata Turmudzi: Hadits ini hasan lagi shahih, dan ketika kutanyakan kepada
Muhammad bin Ismail al Bukhari tentang hadits ini, jawabnya ialah: Hadits itu
shahih.
3. Air telaga, karena apa yang diriwayatkan dari Ali r.a. artinya bahwa Rasulullah saw.
meminta seember penuh dari air zamzam, lalu diminumnya sedikit dan dipakainya
buat berwudhuk.” (H.R. Ahmad)
4. Air yang berubah disebabkan lama tergenang atau tidak mengalir, atau disebabkan
bercampur dengan apa yang menurut galibnya tidak terpisah dari air seperti
kiambang dan daun-daun kayu, maka menurut kesepakatan ulama, air itu tetap
termasuk air mutlak. Alasan mengenai air semacam ini ialah bahwa setiap air yang
dapat disebut air secara mutlak ialah tanpa kait, boleh dipakai untuk bersuci. Firman
Allah Ta’ala:
٦:الما ئدة. (فلم تجدواماءفتیمموا )
19
Artinya: “Jika kamu tiada memperoleh air, maka bertayamumlah kamu!” (Al-
Maidah: 6)
2. Air suci tetapi tidak menyucikan
Zatnya suci, tetapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk dalam
bagian ini ada tiga macam air, yaitu:
a. Air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan suatu benda
yang suci, selain dari perubahan yang tersebut di atas, seperti air kopi, teh, dan
sebagainya.
b. Air sedikit, kurang dari dua qullah, sudah terpakai untuk menghilangkan hadas atau
menghilangkan hukum najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya dan tidak pula
bertambah timbangannya.
c. Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan pohon
kayu (air nira), air kelapa, dan sebagainya.
3. Air yang bernajis
Air yang termasuk bagian ini ada dua macam:
a. Sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis. Air ini tidak boleh dipakai lagi, baik
airnya sedikit ataupun banyak, sebab hukumnya seperti najis.
b. Air bernajis, tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Air ini kalau sedikit -berarti
kurang dari dua qullah- tidak boleh dipakai lagi, bahkan hukumnya sama dengan
najis.
Kalau air itu banyak, berarti dua qullah atau lebih, hukumnya tetap suci dan
menyucikan.
Sabda Rasulullah saw.:
اوریحھ اولونھ طعمھ عل شيءالاماغلب الماءلاینجسھ
Artinya: “Air itu tak dinajisi sesuatu, kecuali apabila berubah rasa, warna, atau
baunya.” (Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi).
Banyaknya air dua qullah adalah kalau tempatnya empat persegi panjang, maka
panjangnya 1 ¼ hasta, lebar 1 ¼ hasta, dan dalam 1 ¼ hasta. kalau tempatnya
bundar, maka garis tengahnya 1 hasta, dalam 2¼ hasta, dan keliling 3 1/7 hasta.
Hasta (dzira’) dalam kitab-kitab fiqih klasik, selain adanya rekaman konversi ulama
dari qullah ke rithl, juga ada ditemukan ukuran qullah yang dikonversi oleh ulama
dengan satuan besaran panjang kala itu yakni hasta.
20
Syafi’iyah mengatakan bahwa air dua qullah adalah air yang memenuhi wadah yang
ukurannya 1,25 hasta (panjang) x 1,25 hasta (lebar) x 1,25 hasta' (tinggi).
Adapun mazhab Hanbali diketahui memiliki pendapat yang berbeda. Mengenai
berapa ukuran hasta, ada 2 pendapat ulama kontemporer mengenai hal ini.Menurut
sebagian ulama, panjang 1 hasta adalah 46,2 cm, sedangkan yang lain berpendapat
48 cm. Sehingga ukuran 2 qullah menurut kedua pandangan tersebut adalah :
a) Menurut pandangan pertama : 2 qullah = 57, 75 cm x 57,75 cm x 57, 75 cm =
192.599,8 cm. Jika dihitung dalam liter menjadi 192,599 liter, ( karena 1 liter
= 1.000 cm).
b) Menurut pendapat kedua : 2 qullah = 60 cm x 60 cm x 60 cm = 216.000 cm,
atau 216 liter.
4. Air yang makruh
Yaitu yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak. Air ini
makruh dipakai untuk badan, tetapi tidak makruh untuk pakaian; kecuali air yang
terjemur di tanah, seperti air sawah, air kolam, dan tempat-tempat yang bukan bejana
yang mungkin berkarat. Sabda Rasulullah saw.:
اهللا صلى فقال الشمس ماءفى عنھاانھاسخنت اهللا عائشةرضى عن
--) البیھقى رواه. (البرص یورث یاحمیراءفانھ لھاالتفعلى وسلم علیھ
اسلم فقھ - “Dari Aisyah. Sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari, maka
Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Janganlah engkau berbuat demikian, ya Aisyah.
Sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak.” (Riwayat
Baihaqi)
B. Hukum air musta’mal/ yang terpakai/ bekas terpakai
Yaitu air yang telah terpisah dari anggota-anggota orang yang berwudhuk dan mandi.
Hukumnya suci lagi menyucikan sabagai halnya ia mutlak tanpa berbeda sedikit pun. Hal itu
ialah mengingat asalnya yang suci, sedang tiada dijumpai suatu alasan pun yang
mengeluarkannya dari kesucian itu.
21
Juga karena hadits Rubaiyi’ binti Mu’awwidz sewaktu menerangkan cara wudhuk
Rasulullah saw., katanya: “Dan disapunya kepalanya dengan sisa wudhuk yang terdapat
pada kedua tangannya.”
Juga dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. berjumpa dengannya di salah satu jalan kota
Madinah, sedangkan waktu ia dalam keadaan junub. Maka ia pun menyelinap pergi dari
Rasulullah lalu mandi, kemudian datang kembali. Ditanyakanlah oleh Nabi saw.; kemana ia
tadi, yang dijawabnya bahwa ia datang sedang dalam keadaan junub dan tak hendak
menemaninya dalam keadaan tidak suci itu. Maka bersabdalah Rasulullah saw.:
)الجمعة رواه. (لاینجس المؤمن إن اهللا سبحان
Artinya: “Mahasuci Allah, orang Mukmin itu tak mungkin najis.” (H.R. Jama’ah)
Jalan mengambil hadits ini sebagai alasan ialah karena disana dinyatakan bahwa orang
Mukmin itu tak mungkin najis. Maka tak ada alasan menyatakan bahwa air itu kehilangan
kesuciannya semata karena bersentuhan, karena itu hanyalah bertemunya barang yang suci
dengan yang suci pula hingga tiada membawa pengaruh apa-apa.
Berkata Ibnu Mundzir: “Diriwayatkan dari Hasan, Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, ‘Atha’,
Makhul, dan Nakha’i bahwa mereka berpendapat tentang orang yang lupa menyapu
kepalanya lalu mendapatkan air dijanggutnya: Cukup bila ia menyapu dengan air itu. Ini
menunjukkan bahwa air musta’mal itu menyucikan, dan demikianlah pula pendapatku.”
Dan mazhab ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Malik dan Syafi’I, dan
menurut Ibnu Hazmin juga merupakan pendapat Sufyan As-Sauri, Abu Tsaur, dan semua
ahli Zhahir.
C. Menolak Anggapan Air Musta’mal Karena Bekas Diciduk Oleh Orang Yang
Berwudlu’ Untuk Membasuh Muka
اهللا توضألناوضوءرسول:لھ قیل أنھ عاصم زیدبن بن عبداهللا عن
یده أدخل ثم فغسلھماثلاث یدیھ على فدعابإناءفأكفأمنھ.م ص
أدخل ثلاث،ثم ذلك علواحدةفف كف من واستنشق فاستخرجھافمضمض
یھ ید فاستخرجھافغسل یده أدخل ثلاث،ثم وجھھ فاستخرجھافغسل یده
22
بیدیھ فأقبل برأسھ فاستخرجھافمسح یده أدخل مرتین،ثم المرفقین إلي
م ص اهللا ھكذاوضوءرسول:قال الكعبین،ثم إلى رجلیھ غسل وأدبر،ثم “Dari Abdillah bin Zaid bin Ashim, bahwa ia pernah diminta: Berwudlu’lah untuk kami,
sebagaimana wudlu’ Rasul saw.! Lalu ia minta bejana, kemudian ia menuangkannya
atas kedua tangannya, lalu ia basuh tiga kali, kemudian ia memasukkan kedua
tangannya lalu mengeluarkannya, kemudian berkumur dan mengisap air hidung dari
satu telapak tangan, kemudian ia berbuat demikian tiga kali, lalu memasukkan
tangannya kemudian mengeluarkannya, lalu membasuh wajahnya tiga kali, kemudian
memasukkan tangannya, lalu mengeluarkannya, kemudian membasuh kedua tangannya
sampai siku-siku dua kali, kemudian memasukkan tangannya, lalu mengeluarkannya,
kemudian mengusap kepalanya, yaitu ia jalankan kedua tangannya ke belakang, lalu ia
kembalikannya, kemudian membasuh kedua kakinya sampai mata kaki, lalu berkata:
Demikianlah wudlu’ Rasul saw.” HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim, dan lafadznya dari
Ahmad.
D. Hukum air dua qullah ketika kejatuhan najis
ھو و. م ص اهللا ل سو ر سمعت: قل ب الخطا بن عمر بن هللا عبدا وعن
ع السبا من با، ینر وما ض ر الاء من ة لفلا با ن یكو ء الما عن یسءل
لخمسة ا اه و ر.=الخبث یحمل لم تینقل ء الما ن كا ذ إ: ل فقا ب وا لد وا
“Dari Abdillah bin Umar bin Khathab, ia berkata: Aku mendengar Rasul saw. bersabda;
dikala ia sedang ditanya tentang air di padang Sahara dan berulang-ulangnya (datang) di
situ, binatang- binatang buas dan hewan-hewan: “Kalau air itu dua qullah, maka tidak
mengandung kotoran.” (H.R. Imam yang lima).
بئریضاعة،وھي اهللا،أتتوضأمن یارسول قیل:قال سعیدالخدري أبي عن
اهللا رسول والنتن؟فقال ابالكل ولحوم فیھاالحیض بئریلقي
شيء الماءطھورلاینجسھ.ص .
“Dari Abi Sa’id Al Khudri, ia berkata: (Rasul) ditanya: Ya Rasulullah, apakah engkau
pernah berwudhu dari (air) sumur Budla’ah, yaitu sumur tempat membuang darah-darah
haid, daging-daging anjing, dan bangkai? Lalu Rasul saw. menjawab: “Air itu suci, tidak
23
dinajiskan oleh sesuatu”. HR Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi, dan tirmidzi berkata:
Hadits ini hasan, dan Ahmad berkata: Hadits sumur Budla’ah shahih.
بئرتطرح بئربضاعة،وھي من لك یستقي إنھ:داود دوأبيروایةلأحم وفي
إن.ص اهللا رسول ،فقال وعذرالناس الكلاب النساءولحم فیھامحاتض
شيء الماءطھورلاینجسھ
“Dan di dalam satu riwayat bagi Ahmad dan Abi Dawud (dikatakan): Apakah engkau
pernah diberi air dari sumur Budla’ah, yaitu sumur yang ditempati membuang darah-darah
haid wanita, daging anjing-anjing, dan kotoran manusia? Lalu Rasul saw. menjawab:
“Sesungguhnya air itu suci, tidak dapat dinajiskan oleh apapun.”
عمقھا،قلت بئربضاعةعن قیم سألت:سعیدقال قتیبةبن سمعت:أبوداود قال
قال.العورة دون فإذانقص؟قال:قلت.العانت إل:؟قال فیھاالماء أكثرمایكون
ذرعتھ علیھاثم فددتھ بئربضاعةبردائي درتق:أبوداود
ھل:إلیھ فأدخلني البستان باب لي فتح الذي وسألت.فإذاعرضھاستةأذرع
ءمتغیراللونفیھاما لا،ورأیت علیھ؟فقال غیربناؤھاعماكان
“Abu Dawud berkata: Aku mendengar Quthaibah bin Sa’id, ia berkata: Aku pernah
menanyakan bangunan sumur Budla’ah tentang dalamnya, aku bertanya: Apakah air sumur
itu banyak? Lalu ia menjawab: Setinggi pantat. Aku bertanya: Kalau berkurang sampai
dimana? Ia menjawab: Dibawah aurat. Abu Dawud berkata: Aku pernah mengukur sumur
Budla’ah dengan selendangku, kemudian aku rentangkan di atasnya, lalu aku ukur dengan
dzira’ku, maka lebarnya enam dzira’. Dan aku bertanya kepada orang yang membukakan
pintu kebun dan memasukkan aku ke dalamnya: Apakah pernah diubah bangunannya dari
keadaan asalnya? Lalu ia menjawab: Tidak! Dan aku mengetahui di dalamnya, air yang
berubah warnanya.
شيء ینجسھ لم"وروایةلأحمد ماجھ لفظابن وفي
Dan dalam lafadz Ibnu Majah, dan satu riwayat bagi Ahmad (dikatakan): “Tidak dapat
dinajiskan oleh apapun.”
24
Adapun hadits Abdullah bin Umar r.a. bahwa Nabi saw. barsabda: “Jika air sampai dua
qullah, maka ia tidaklah mengandung najis.” (H.r yang berlima), maka ia adalah
Mudhtharib, artinya tidak karuan, baik sanad maupun matannya.
Berkata Ibnu ‘Abdil Barr di dalam At-Tahmid: “Pendirian Syafi’I mengenai hadits dua
qullah, adalah mazhab yang lemah dari segi penyelidikan, dan tidak berdasar dari segi
alasan.
E. Hukum air yang tergenang
الماءالدائم فى أحدكم ،،لایغتسلن:قال. ص النبي ھریرةأن أبي عن
مسلم رواه( تناوال یتناولھ:قال یفعل؟ وھوجنب،،فقالوایاأباھریرةكیف
(وابنماجھ
“Dari Abi Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda: “Janganlah sekali-kali salah seorang di
antara kamu mandi di dalam air yang diam, sedang ia dalam keadaan junub”, lalu mereka
bertanya: Wahai Abi Hurairah, lalu bagaimana ia harus berbuat? Ia menjawab: ia
menciduknya dengan cidukan. (HR Muslim dan Ibnu Majah).
بنت الربیع حدثتنى:قال عقیل بن محمد بن عبداهللا عن سفیانالثوري عن
رأسھ.م ص ومسح"وفیھ-م ص وضوءالنبي فذكرحدیث-عفراء معوذبن
ناصیتھ،وغسل إلى رده ثم.بدأبمؤخره.مرتین ه ید في وضوئھ من ابقيبم
ثلاثاثلاثا رجلیھ ":
قال"بیدیھ ماءكان فضل من رأسھ مسح.م ص رسولاهللا إن
من بعضھم فیھ تكلم ولكن.صدوق عقیل ابن مدمح بن عبداهللا:الىترمذي
بحدیثھ یحتجون والحمیدي أحمدوإسحاق كان:ري البخا وقال.حفظھ قبل
“Dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Abdillah bin Muhammad bin Uqail, ia berkata: Aku diberi
tahu Rubayyi’ binti Mu’awwadz bin Afra’ lalu menyebutkan hadits wudhunya Nabi saw.
dan di dalamnya (terdapat): “Dan Nabi saw. mengusap kepalanya dua kali dengan air sisa
wudhunya yang di tangannya; Ia memulainya dari belakang (kepalanya), kemudian ia
25
teruskan ke ubun-ubunnya, dan membasuh kedua kakinya tiga kali tiga kali”. HR Ahmad
dan Abi Dawud dengan diringkas, dan lafadz Abu Dawud: (dikatakan): “Sesungguhnya
Rasul saw. mengusap kepalanya dengan sisa air yang ada di dua tangannya”. Tirmidzi
berkata: Abdullah bin Muhammad bin Uqail adalah orang baik. Tetapi sebagian mereka (ahli
hadits) membicarakannya dari segi hafalannya. Dan Al Bukhari berkata: Adalah Ahmad,
Ishaq, dan Humaidi menjadikan hadits Abdullah sebagai hujjah.
Para ulama bersepakat bahwa boleh hukumnya berwudhu di air yang tidak mengalir apabila
tidak bernajis. Kecuali Ibnu Sirin yang berpendapat, tidak boleh menggunakannya.
Para ulama bersepakat jika ada najis yang jatuh pada air yang sedikit maupun banyak lalu
mengubah rasa, atau warna, atau baunya; maka air itu najis selama masih seperti itu.
Para ulama bersepakat bahwa air yang banyak seperti sungai nil, lautan, dan sejenisnya. Jika
terkena najis namun tidak mengubah warna, rasa, dan baunya; maka status hukumnya tidak
berubah dan boleh untuk bersuci.
*Ajin adalah air yang sudah lama tidak mengalir di suatu tempat sehingga rasa atau
warnanya berubah namun tidak tampak ada sesuatu yang bernajis. Beginilah redaksi yang
terdapat pada kitab: Al-Fa’iq 2/17, dan An-Nihayah 1/26-27.
Para ulama bersepakat bahwa keluarnya kotoran dari dubur, kencing dari kemaluan dan hal
ini berlaku juga kepada wanita, keluar mani, keluar angin dari dubur, hilangnya kesadaran
dengan cara apapun ; semua itu adalah hadas yang membatalkan kesucian dan mewajibkan
berwudhu lagi.
Para ulama bersepakat bahwa darah istihadhah/ penyakit membatalkan kesucian. Rabi’ah
menyelisihi ijma’ itu dan berkata bahwa itu tidak membatalkan kesucian.
Rabi’ah bin Abu ‘Abdurrahman Farrukh, maula/ bekas budak tamim bin murrah, kunyah/
nama panggilannya Abu ‘Utsman. Rabi’ah digelar imam/ pemuka agama, faqih, mujtahid
dan mufti Madinah dan Syaikh/ guru Malik. Yahya bin Sa’id Al-Anshari berkata, saya tidak
melihat seseorang yang lebih cerdas dari Rabi’ah. Wafat pada tahun 136H