Upload
khangminh22
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI
KEMASYARAKATAN
(Studi Putusan Mahkamah Agung Terhadap NW dan HTI)
SKRIPSI
Oleh:
M.KHAIRUL WARDI
NPM: 5236900FH15
PROGARAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS GUNUNG RINJANI
SELONG
2019
ii
ANALISIS PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI
KEMASYARAKATAN
(Studi Putusan Mahkamah Agung Terhadap NW dan HTI)
SKRIPSI
Diajukan Untuk memenuhi persyaratan Memperoleh Gelar Serjana Hukum
pada Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Gunung Rinjani
Oleh:
M.KHAIRUL WARDI
NPM: 5236900FH15
PROGARAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS GUNUNG RINJANI
SELONG
2019
vii
MOTTO
Jalani hidup sesuai dengan porsi dan kemampuan diri sendiri
Jangan pernah memakai ukuran dan porsi orang lain
“Hidup sesuai dengan kemampuan jangan sesuai dengan kemauan”
viii
KATA PENGANTAR
Pujisyukurkitapanjatkankehadirat Allah Yang MahaEsaataskesehatan
yang di berikankepadakitasehingga penulisdapatmenyelesaikanperoposal
rencana penelitianinisesuaidengan yang kitaharapkan.
Proposal rencana penelitian ini berjudul “ANALISIS PENDIRIAN DAN
PEMBUBARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN” (Studi Putusan
Mahkamah Agung Terhadap NW dan HTI)ini disusun untuk memenuhi
syarat penyusunan skripsi upaya penyelesaian tugas ahir serjana setrata satu
(S1) Fakultas Hukum di Universitas Gunung Rinjani.
Dalam peroses penulisan proposal rencana penelitian ini saya banyak
mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari pembimbing utama maupun
pembimbing pendamping sehingga penyusunan ini dapat terselsaikan. Untuk
itu penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Bapak Basri Muliani. SH.,MH selaku dekan fakultas hukum
Universitas Gunung Rinjan;
2. Bapak Haerul Maksum, SH.,MH. Selaku pembimbing utama yang telah
banyak memberikan masukan dan saran dalam penyusunan proposal
ini.
3. Bapak Mukhtar Halidi, SH.,MH. Selaku pembimbing pendamping yang
tidak bosan-bosanya memberikan bimbingan, serta memberikan petujuk
kepada penulis.
4. Para dosen pengampu mata kuliah pada Program Ilmu Hukum Fakultas
Hukum yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman selama
menempuh pendidikan strata satu (S1).
ix
5. Para karyawan Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani, atas
segala pelayanan dan bantuannya selama penulis mengikuti
perkuliahan.
6. Keluarga besarku terutama Ibu yang telah banyak memberikan
semangat dan doa kepada penulis sehingga dapat menyelsaikan
perkuliahan ini.
7. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gunung Rinjani
atas bantuan dan kerjasama sehingga penulis dapat menyelesaikan
perkuliahan ini.
8. Teman-teman seperjuangan keluarga sehimpunan, Himpunan
Mahasiswa Islam saudara M. Ahwal Usri Yusro, Rudi Hadi Suwandi
yang selalu menyemangati dan memberikan masuakan yang positif
untuk menyelsaiakan pendidikan seperti tujuan HMI pertama Insan
Akademis yang terdapat dalam lima kualitas Insan Cita.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyususnan proposal
rencana penelitian skripsi ini, saya yakim akan mampu
menyelsaiakanya.
Ahirnya hanya kepada Allah SWT penulis berserah diri , dan semoga
usaha yang sudah saya lakukan dapat bermamfaat bagi saya pribadi dan orang
lain. Amin
Penulis,
M. KHAIRUL WARDI
xi
ANALISIS PENDIRIAN DAN PEMBUBARAN ORGANISASI
KEMASYARAKATAN
(Studi Putusan Mahkamah Agung Terhadap NW dan HTI)
ABSTRAK
Semanagat partisipasi masyarakat membangun bangsanya terlihat
sejak sebelum dan sesudah Indonesia merdeka, salah satu caranya
yaknimendirikan Organisasi Kemasyarakatan berdasarkan ketentuan undang-
undang, Ormas yang berbadan hukum berdasarkan Staatsblad 1870 Nomor: 64
tentang perkumpulan-perkumpulan Berbadan Hukum (Rechtspersoonlijkhied
van Vereenigingen) yang berdiri sebelum Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia dan konsisten mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, tetap diakui keberadaan dan kesejahteraannya sebagai aset bangsa,
tidak perlu melakukan pendaftaran sesuai dengan ketentuan undang-undang
ini, harus ada kata penegasan dalam penggalan “perlu” agar tidak dilakukan
berdasarkan kepentingan salah satu pihak,organisasi wajib memiliki AD dan
ART untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan aktivitas organisasi,
pengesahan sebagai Badan Hukum perkumpulan diterbitkan oleh Menteri yang
menyelenggarakan urusan Pemerintah di bidang Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Ormas dilarang menyebarkan ajaran dan tindakan yang bertentangan
dengan Pancasial, seperti Atheisme, Marxisme dan Leninisme, sehingga
undang-undang nomor 17 tahun 2013 tentang ormas tidak lagi memadai
pemerintah menerbitkan Perppu Nomor 2 tahun 2017 untuk mejelaskan lebih
luar tentang ajaran/paham yang dilarang.
Metode yang digunakan jenis penelitian ini tergolong normatif fokus
kajianya peraturan peraturan Perundang-Undangan dan Perppu pendirian dan
pembubaran Organisasi Kemasyarakatan dan mengkaji hasil Putusan
Mahkamah Agung.Dalam skripsi ini mengkaji 2 (dua) rumusan masalah yakni:
1. Bagaimanakahprosedur pendirian organisasi masyarakat berdasarkan
peraturan perundang-undangan Nomor 17 Tahun 2013?
2. Bagaimanakah mekanisme pembubaran Ormas menurut Perppu
Nomor 2 Tahun 2017?
Pendirian ormas berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
dan mekanisme pembubaran ormas berdasarkan Perppu Nomoe 2 tahun 2017
dan dipadukan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 37 K/TUN/2016
Nahdlatu Wathan (NW) dan Putusan Nomor 27 K/TUN/2019 Perkumpulan
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Kata Kunci: Pendirian, Pembubaran, Ormas.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN ............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN PERBAIKAN ...................................... v
LEMBAR UJIAN .................................................................................. vi
HALAMAN MOTTO ........................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................... viii
PERNYATAAN ..................................................................................... x
ABSTRAK ........................................................................................... xi
DAFTAR ISI .......................................................................................... xiii
BAB I: PENDAHULUAN .................................................................
A. Latar Belakang ........................................................................
................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah...................................................................
................................................................................................ 6
C. Tinjauan dan Mamfaat Penelitian ...........................................
................................................................................................ 6
D. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................
................................................................................................ 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................
A. Pengertian Organisasi Kemasyarakatan .................................
................................................................................................ 8
xiv
B. Peran dan Tanggung Jawab Organisasi Kemasyarakatan ......
................................................................................................ 11
C. Perbedaan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga
Swadaya Masyarakat ..............................................................
................................................................................................ 16
BAB III: METODE PENELITIAN .....................................................
A. Jenis Penelitian ....................................................................... 24
B. Metode Pendekatan................................................................. 24
C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ............................................ 25
D. Teknik dan Pengumpulan Bahan Hukum ............................... 25
E. Analisis Bahan Hukum ...........................................................
................................................................................................ 26
F. Analisis Hasil Putusan Mahkamah Agung .............................
................................................................................................ 26
BAB IV: PEMBAHASAN ....................................................................
A. PengertianOrganisasi Kemasyarakatan .................................. 27
B. SejarahLahirnyaOrganisasiKemasyarakatan .......................... 28
C. LegalitasHukumOrganisasiKemasyarakatan Yang
SudahBerdiriSebelumKemerdekaanDitinjau Dari
Undang-Undang No.17 Tahun 2013 ...................................... 33
D. KajianHasilPutusanMahkamahAgung Nomor
37 K/TUN/2016TerhadapOrganisasiKemasyarakatan
xv
NahdlatulWathan .................................................................... 39
E. PembubaranHizbutTahrir Indonesia Putusan Mahkamah
Agung Nomor 27 K/TUN/2019Berdasarkan PERPPU
Nomor 2Tahun 2017 ............................................................... 56
BAB V: PENUTUP ...............................................................................
A. Kesimpulan ............................................................................. 78
B. Saran ....................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam membangun bangsa dapat dicapai melalui sebuah proses yang
diawali dengan kesadaran rakyatnya baik secara individu, maupun
bermasyarakat, yang berjalan sesuai dengan landasan dan tujuan yang sama.
Dalam hal ini diperlukan suatu wadah untuk mengakomodir individu dalam
kelompok untuk menjalankan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang
dimasyarakat.
Membangun dalam arti luas, dapat dilakukan dalam berbagai macam
cara dan bidang kehidupan. Mulai dari mengungkapkan pendapat tentang
sesuatu hal yang berkenaan dengan kepentingan masyarakat, bangsa dan
negara, dan dilakukan melalui rumusan atau konsep tentang bagaimana
membangun masyarakat yang bebas dalam berfikir untuk menemukan ide-ide
yang diwujudkan dalam bentuk organisasi masyarakat yang tentunya dapat
membangun cita-cita bangsa Indonesia.Dalam organisasitersebut masyarakat
dapat menyelenggarakan dan menjalankan sesuai dengan cita-cita bersama.
Dalam membangun sebuah organisasi masyarakat, diperlukan sebuah gerakan
yang diwadahi oleh organisasi yang bertujuan untuk membangun masyarakat
guna mencapai hasil yang efektif dan terorganisir, guna menghimpun dan
mengakomudir individu-individu dalam kelompok atau organisasi.
Implementasi dari partisipasi masyarakat dalam membangun bangsa
selaras dengan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945, berdasarkanperaturan perundang-undangan yang berlaku
organisasi masyarakat telah ada regulasinya yaitu termuat dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Sehingga partisipasi akan berjalan sesuai denga visi dan misi dalam sebuah
organisasimasyarakat tersebut dalammenjaga kepentingan bangsa dan negara.
Berkaitan dengan hal ini, dalam Undang-Undang Dasar Negara RI 1945
dalam pasal 28 berbunyi:
2
“Kemerdekaan beserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan
lisan, tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Jadi,
dalam Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 telah menjamin untuk
berkumpul dan menyatukan pemikiran dan dalam membentuk sebuah
organisasi masyarakat.1
Menurut Tirta Nugraha Mursitama dalam pasal 28 Undang-
Undang Dasar Negara RI 1945 secara substansial mempunyai empat makna
kemerdekaan untuk dapat diekspresikan oleh masyarakat dalam kerangka
membangun bangsa dan Negara, yaitu:2
a. Kemerdekaan seseorang atau masyarakat untuk berserikat;
b. Kemerdekaan seseorang atau masyarakat untuk berkumpul;
c. Kemerdekaan seseorang atau masyarakat untuk mengeluarkan
pendapat atau pikiran secara lisan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan dalam Pasal 1 Menyebutkan,
“Pengertian organisasi kemasyaratan adalah organisasi yang didirikan
dan di bentuk oleh masyarakatan secara sukarela berdasarkan
kesamaaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegitan, dan
tujuan untuk berpartisipasi dalam pembanguna demi tercapainya
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
pancasila.”3
Dalam membangun sebuah organisasi masyarakat diawali dengan
kesadaran masyarakat baik secara individu atau kelompok masyarakat yang
berjalan dengan landasan dan tujuan yang sama. Cita-cita dalam
melaksanakan tujuan kegiatan dan kepentingan bersama yang di bangun
dengan kesadaran individu dan berkelompok yang diyakini dapat
memecahkan kepentingan bersama dalam sebuah wadah yang populer dengan
1Pasal 28, Undang-undang nomor 17 tahun 2013 2 Tirta Nugraha Mursitama, Pengkajian Hukum Tentang Peran Dan Tanggungjawab
Organisasi Kemasyarakatan Dalam Pemberdayaan Masyaraka, Jakarta:Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI,2011,hal.5
3Pasal 1, Undang- undang nomor 17 tahun 2013
3
nama organisasi kemasyarakatan, bentuk organisasi dibentuk oleh kelompok
masyarakat berdasarkan beberapa kesamaan kegiatan, profesi, tujuan dan
fungsi.Seperti agama, pendidikam,budaya, ekonomi, hukum dan sebagainya.
Menurut M. Bilillah dan Abdul Hakim G. Nusantara
mengungkapkan:4
“Umumnya Ormas Indonesia mencerminkan kebangkitan kesadaran
golongan masyarakat menengah terhadap masalah kemiskinan,
ketidakadilan sosial dan masalah hak asasi manusia. Kini Ormas di
Indonesia dapat pula dikatakan sebagai cerminan kesadaran tentang
dampak program pembanguan yang dilaksanakan pemerintah serta
tindakan yang diambilnya dalam melaksanakan program tersebut.”
Di Indonesia sebagian dari Organisasi masyarakar bergerak dalam
kegiatan positif dengan menyertakan masyarakat menjaga lingkungan hidup
seperti (Walhi), membantu masyarakat dalam bidang hukum (LBH APIK),
serta dibiang lainya dengan melakukan peranan yang aktifitasnya
kemasyarakatan dilakukan secara damai dengan memberdayakan masyarakat,
disisi lain terdapat pula organisasi kemasyarakatan yang melakukan kegiatan
kurang terpuji antara lain yang telah diberitakan yaiti Front Pembela Islam
(FPI) yang selalu mengatasnamakan agama dalam kegiatannya, aksi dari
anggota Front Pembela Islam tak jarang melakukan aksi kekerasan dan
perusakan yang mereka anggap salah.Namun, dari segi hukum segala jenis
perusakan dan tindak kekerasan adalah secara tegas dilarang.
Penyaluran aspirasi melalu organisasi, diyakini mendapat perhatian
dari banyak pihak jika bentuk kegiatannya teratur dan terarah sesuai dengan
tujuan organisasi masyarakat itu, karena aspirasi yang di sampaikan
merupakan aspirasi dari organisasi bukan atas nama pribadi, dan membawa
kepentingan anggotanya. Dalam konteks berkehidupan berbangsa dan
bernegara yang mengedepankan aspek berdemokrasi dalam tatanan
pelaksanaannya, merupakan hal yang wajar muncul organisasi-organisasi
baru, karena semakin dibukanya kesempatan dalam menyampaikan pendapat
4M. Billah, Masyarakat sosial, Bandung: angkasa, 1998, hal.95
4
dan berkumpul sehingga semakin terbuka kemungkinan akan adanya
perbedaan pendapat.
Penghormatan terhadap perbedaan pendapat, membawa konsekuensi
berkembangnya wadah-wadah organisasi baru. Kelompok-kelompok
masyarakat yang memiliki kesadaran akan pentingnya perjuangan melalui
lembaga akan semakin selektif dalam memilih wadah yang sesuai dengan
kesamaan etnis, ideologi dan sebagainya. Pilihan masyarakat terhadap
organisasi masyarakat tersebut dilakukan dengan kesadaran diri untuk ikut
aktif secara langsung dalam kegitan organisasi masyarakat tersebut. Dalam
sebuah organisasi masyarakat tidak jarang organisasi tersebut mementingkan
kelompoknya sendiri sehingga menimbulkan tindakan-tindakan anarkis
dikehidupan masyarakat.
Menurut Tirta Nugraha Musitama mengungkapkan:5
“Tindakan anarkis dalam pemahaman mereka adalah sebagai bentuk
jawaban konkret atas tidak berjalannya mekanisme hukum yang ada
saat ini. Dalam mengatasi permasalahan, organisasi masyarakat ada
yang menggunakan tindakannya sendiri dalam menindaklanjuti
permasalahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tindakan
yang demikian, tanpa disadari sesungguhnya merupakan perbuatan
melawan hukum. Namun, dilain pihak hal ini seolah-olah dibiarkan
atau kurang adanya ketegasan, dari aparat penegak hukum atas
berbagai bentuk tindakan anarkis yang terjadi selama ini.”
Organisasi kemasyarakatan memperoleh tempat dan kesempatan untuk
berkembang seiring dengan demokrasi yang terjadi disemua sektor kehidupan
berbangsa dan bernegara, yaitu dimana hak asasi manusia memperoleh
tempat yang cukup dan dihormati oleh sistem yang berkembang saat ini.
Kebebasan tersebut terkadang cenderung tanpa kendali dan tanpa batas,
sehingga beberapa kelompok masyarakat berbicara dan bertindak untuk dan
atas nama hak asasi manusia, sehingga terkadang mengabaikan makna Hak
Asasi Manusia itu sendiri, yaitu bahwa kebebasan memperoleh ruang dan
penghormatan atas Hak Asasi Manusia.
5Tirta Nugraha Mursitama, Op, cit. Hal. 37
5
Fenomena tindakan anarkis yang dilakukan sekelompok orang,baik
atas nama organisasi maupun perorangan sudah banyak diberitakan di media
massa, baik elektronik maupun cetak. Secara pisikologis, fenomena ini
kurang baik dan tidak menguntungkan. Artinya pemerintah harus segera
tanggap dan bertindak cepat agar fenomena tindakan kekerasan dan
pengerusakan tidak menjadi budaya baru yang berkembang ditengah-tengah
masyarakat, karena tindakan kekerasan dan pengerusakan pada hakikat
bertentangan dengan esensi Hak Asasi Manusia itu sendiri sedangkan disisi
lain pembiaran tindakan kekerasan dan pengerusakan yang diberitakan secara
terus-menerus secara langsung merupakan bentuk diligimasinya fenomena
kekerasan untuk tumbuh ditengah-tengah masyarakat kita. Apabila hal ini
terus dibiarkan secara tidak terkendali, tidak mustahil akan mendorong
berkembang paham-paham primodialisme secara sempit, yang akan bermuara
pada terganggunya dan goyahnya persatuan bangsa untuk itu Organisasi
Masyarakat sudah mesti di bubarkan.
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang organisasi
kemasyarakatan belum diatur secara jelas beberapa pasal yang mengatur
masalah pendirian organisasi masyarakat dan tidak adanya pengaturan yang
jelas masalah pembubaran organisasi masyarakat dan organisasi masyarakat
yang bagaimana yang mesti dibubarkan untuk itu didalam Undang-Undang
tersebut terdapat norma kosong dan perlu adanya penambahan pasal terkait
belum adanya pengaturan yang jelas mengenai mekanisme pembubaran
organisasi masyarakat tersebut.
Namun organisasi masyarakat yang sesuai dengan kehidupan masyarakat
dan membantu masyarakat disekitarnya layak untuk dipertahankan serta
diberdayakan namun ada juga yang mengatasnamakan organisasi masyarakat
demi kepentingan sendiri atau organisasi tersebut dapat membahayakan
kehidupan masyarakat sehingga organisasi tersebut perlu dibubarkan.
Pembubaran organisasi masyarakat tersebut telah di atur dalam Undan-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Artinya
6
ketika seseorang melakukan tindakan anarkis, hukum Pidana dapat digunakan
sebagai sarana dalam penindakan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat di rumuskan masalah
yaitu sebagai berikut:
3. Bagaimanakah prosedur pendirian organisasi masyarakat berdasarkan
peraturan perundang-undangan Nomor 17 Tahun 2013?
4. Bagaimanakah mekanisme pembubaran Ormas menurut Perppu
Nomor 2 Tahun 2017?
C. Tujuan Dan Mamfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui pengatura pendirian dan pembubaran organisasi
masyarakat berdasarkan undang-undang nomor 17 tahun 2013 tentang
organisasi kemasyarakatan.
1. Manfaat penelitian
Dari penelitian yang peneliti lakukan ini diharpkan akan memberikan
manfaat sebagai berikut:
a. Manfaat teoritis memberikan sumbangan pemikirandalam
membangun ilmu hukum pada umumnya dan ilmu pemerintah pada
khususnya, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan
dalam peneliliti maupun penulis hukum sejenis untuk tahap
berikutnya;
b. Manfaat prakis memberikan sumbangan pemikiran kepada para
pihak masalah yang kepentingan dan memberikan jawaban
terhadap permasalahan yang diteliti;
Hasil penelitian ini yang diharapkan dapat memberikan pengetahuan
bagi masyarakat serta motivasi bagi pemerintah maupun pihak-pihak yang
7
terkait peraturan pendirian dan pembubaran organisasi masyarakat di
indonesia
D. Ruang Lingkup Penelitian
Mengingat luas dan kompleksnya topik kajian yang diangkat dalam
penelitian ini maka perlu dilakukan pembatasan diluar lingkup pelelitian.
Pembatasan ruang lingkup penelitian ini dimaksudkan untuk menghindari
penelitian ini tidak menyimpang terlalu jauh dari pokok permasalahan yang
diangkat, tujuan dan fungsi organisasi masyarakat serta mekanisme pendirian
dan pembubaran organisasi masyarakat berdasarkan putusan Mahkamah
Agung dan dipadukan dengan Undang-undang nomor 17 tahun 2013 tentang
organisasi kemasyarakatan dan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang
organisasi kemasyaraktan.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian organisasi kemasyarakatan
Organisasi kemasyarakatan merupakan organisasi yang berdiri
ditengah-tengah masyarakat, yang di dirikan secara sukarela berdasarkan
ketentuan Undang-Undang nomor 17 tahun 2013 tentang organisasi
kemasyarakatan seperti yang tertuang pada pasa 1, bahwa hadirnya organisasi
didalam masyarakat dikarenakan masyarakat membutuhkan suat wadah
sebagai upaya menjembatani aspirasi masyarakat itu sendiri.
Organisasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Organon” dan istilah
latin, yaitu :
“Organum” yang berarti alat, bagian, anggota,atau badan.6 Menurut
Baddudu-Zain, organisasi adalah susunan, aturan atau perkumpulan
dari kelompok orang tertentu dengan latar ideology (cita-cita) yang
sama.
Selanjutnya Chester 1. Barnard, memberikan pengertian organisasi
sebagai suatu system dari aktivitas kerja sama yang dilakukan oleh dua orang
atau lebih.
Lebih lanjut ada tiga ciri dari suatu organisasi,yaitu.7
a. Adanya sekelompok orang
b. Antar hubungan yang terjadi dalam suatu kerjasama yang
harmonis
c. Kerjasama didasarkan atas hak, kewajiban atau tanggung jawab
masing-masing orang untuk mencapai tujuan.
6M. Manualang, Dasara-Dasar Manajemen, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1983, hal 67 7M. Manulang, op,cit. Hal 68
9
Secara hakiki, organisasi merupakan upaya atau proses terpeliharanya
persatuan dalam rangka mempertahankan keutuhan organisasi dalam
mencapai tujuan organisasinya. Dalam konteks ini, Sandong P. Siagin
memandang apa itu organisasi dengan melihat dari sisi hakikat organisasi,
dan organisasi dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu:8
1. Organisasi dipandang sebagai wadah;
2. Organisasi dapat dipandang sebagai proses;
3. Organisasi sebagai kumpulan orang.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa sebuah organisasi
merupakan wadah yang dimana wadah tersebut dibentuk oleh para
pemrakarsa organisasi yang kemudian menjadi anggota organisasi tersebut.
Terbentuknya suatu wadah organisasi itu berangkat dari adanya kesamaan
visi, misi, dan/atau ideologi, karena kesamaan visi dan misi ideologi itu
kemudian menetapkan tujuan yang sama, terbentuk secara struktur dari mulai
pimpinan tertinggi sampai terendah serta menetapkan arah kebijakan dan
program kerjanya dalam mencapai tujuan organisasi. Berangkat dari uraian
tersebut, suatu organisasi secara hakiki harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:9
1. Adanya pendiri sebagai pemrakarsa terbentuknya suatu wadah
organisasi tertentu;
2. Mempunyai anggota yang jelas, dimana para pemrakarsa biasanya
sekaligus juga menjadi anggota organisasi yang bersangkutan;
3. Mempunyai landasan hukum internal organisasi, sebagi aturan main
dalam menjalankan roda organisasi yang disebut Anggaran Dasar dan
Anggoran Rumah Tangga (AD/ART) organisasi;
4. Adanya kepengurusan organisasi, Organisasi yang baik mempunyai
struktur organiasi pada setiap tingkatan wilayah
8Sondang P. Siagian, 1998, Filsafat Administrasi, Jakarta: Gunung Agung, hal 68 9Ibid, hal.968
10
kepengurusannyadengan kewenangan dan tanggung jawab pada setiap
tingkatan kepengurusan yang jelas (job description);
5. Mempunyai arah kebijakan dan program kerja yang jelas, yang
berlandaskan visi dan misi guna mencapai tujuan organisasi;
6. Mempunya sistem kaderisasi dan regenerasi yang jelas, yang
berlandaskan pada aspek moralitas, loyalitas, integritas, tanggung
jawab, dan prestasi.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan kemasyarakatan ialah:
“Berasal dari kata masyarakat yang berarti kumpulan individu yang
menjalin kehidupan bersama sebagai satu kesatuan yang besar saling
membutuhkan, memiliki ciri-ciri yang sama sebagai kelompok
sedangkan yang dimaksud dengan kemasyarakatan adalah hal-hal
yang menyangkut dengan masyarakat”
Sejalan dengan itu, yang dimaksud dengan masyarakat jumlah
manusia dalam arti seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang
mereka anggap sama; sedangkan kata “kemasyarakatan” diartiakan sebagai
prihal (mengenai) masyarakat.10
Menurut badudu-zaen, pengertian organisasi kemasyarakatan dapat
menggabungkan pengertian organisasi dengan pengertian kemasyarakatan,
sebagaimana uraian diatas arti organisasi kemasyarakatan adalah sekelompok
orang, yang mempunyai visi misi, ideologi, tujuan yang sama, mempunyai
anggota yang jelas, mempunyai kepengurusan yang struktur sesuai hierarki,
kewenangan, dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka
memperjuangkan anggota dan kelompoknya dibidang/mengenai/prihal
kemasyarakatan seperti pendidikan, kesehatan, keagamaan, kepemudaan, dan
lain-lain dalam arti kemasyarakatan seluas-luasnya.11
10Badudu-Zain,op,cit,872 11Ibid,873
11
Sesuai dengan ciri organisasi kemasyarakatan di atas, maka organisasi
kemasyarakatan bisa beragam macamnya, tetapi secara umum dapat
dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu :
1. Organiasi kemasyarakatan yang bergerak dalam satu bidang khusus.
Organisasi kemasyarakatan yang termasuk dalam kelompok ini,
biasanya adalah organisasi profesi seperti, persatuan advokat Indonesia
(Paradi), asosiasi persatuan Serjana Hukum Indonesia (APHI)
Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Indonesia Mining Associtation
(IMA) Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI),, Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Asosiasi Pedagang Pasar
Seluruh Indonesia (HNSI)), dan lain-lain;
2. Organisasi kemasyarakatan yang bergerak dan/atau mempunyai
kegiatan bidang kemasyarakatan lebih dari satu khususan, sperti
Muhammadiyah, PBNU, Persis, PUI, HKBP, dan lain-lain dimana
dalam praktiknya selain organiasi keagamaan atau dakwah, juga
bergerak dalam bidang kemasyarakatan lainnya seperti pendidikan,
kesehatan, dan persoalan-persoalan sosial lainya.
B. Peran dan Tanggung Jawab Organisasi Kemasyarakatan
Kemajuan teknologi menciptakan kemudahan dalam berbagai aspek
kehidupan salah satunya adalah sarana komunikasi,sarana komunikasi dengan
mudah dapat diakses bukan saja negara secara kelembagaan, tetapi juga dapat
dipergunakan oleh setiap individu. Kenyataan ini selain memberikan dampak
positif, juga sedikit banyak mempengaruhi pola dan pergeseran budaya dalam
negeri masing-masing. Kemudahan komunikasi dan akses oleh individu
dibeberapa negara telah menggeser paradigma pola pikir masyarakat, yaitu
semakin tingginya harapan dan tuntutan akan hak-hak dari yang sebelumnya
hanya terbatas pada pemenuhan kesejahteraan lahiriah semata, bergeser
menjadi tuntutan kesejahteraan secara lebih luas, yang termasuk didalamya
hak-hak untuk memperolah kesempatan berekspresi secara politik.
Terbukanya akses interaksi antara individu warga negara dengan
warga negara lainnya, telah memperluas teori zoon politicon yang dikemukan
aristoteles. Kalau pada saat itu aristoteles mungkin hanya melihat bahwa
manusia sebagai mahluk sosial dalam kaitan hubungan antar manusia dalam
12
arti kehidupan bermasyarakat dalam konteks negara, hubungan dan akses
terbatas pada ruang lingkup anggota negara yang bersangkutan, maka dalam
konteks zoon politicon yang berlangsung saat ini adalah interaksi antara
individu tidak hanya terbatas pada lingkup yang sempit sebagaimana pada
zaman aristoteles hidup, tetap terjadi yang bersifat lintas benua. Hal ini
ditandai dengan berlangsungnya hubungan antar individu yang bersifat lintas
agama, suku bangsa, tingkat sosial, dan pradaban. Dengan demikian negara
dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, tidak akan dapat
dipisahkan dari pengaruh global.12
Pengaruh dunia internasional dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara suatu negara pada saat ini tidak bisa dihindari. Kesepakatan
perdagangan internasional untuk tidak melakukan penolakan atas arus barang
yang masuk kesuatu negara. Kondisi secara langsung akan mengorbankan
kepentingan dan keberlangsungan kegiatan ekonomi Negara tertentu yang
secara teknis dan ekonomis belum siap menerima kesamaan persaingan bebas
tersebut.
Globalisasi kenyataannya belum bisa bersahabat dengan rakyat
Indonesia karna belum siap bersaing terlihat dengan semakin memburuknya
perekonomian, surplus perdagangan dalam negeri tidak berkorelasi dengan
capaian kesejahteraan rakyat secara keseluruhan, karena pertumbuhan itu
hanya merupakan pertumbuhan makro. Hal ini tidak berkorelasi kesejahtraaan
rakyat karena masih banyaknya jumlah rakyat miskin yang ada. Kondisi itu
kemudian diperparah oleh perilaku buruk birokrat negara yang korup.
Perubahan ini kemudian digunakan oleh sekelompok masyarakat untuk
mengadakan aktivitas di berbagai bidang kehidupan (budaya, politik,
ekonomi, dan agama) serta pengaruh globalisasi yang berlangsung terus
menerus tanpa batas ruang dan waktu, telah mendorong terjadinya perubahan
struktur dalam masyarakat, dan semakin berkembang suatu masyarakat maka
12E. Fernando M. Manulang, Menggapai Hukum Berkeadilan (Tinjauan Hukum Kodrat
Dan Antinomi Nilai), Jakarta: Kompas,2007, hal. 352
13
semakin banyak kelompokan dan lembagaan yang terbentuk. Dengan
demikian susunan masyarakat tidak hanya didukung oleh perseorangan
sebagai anggota masyarakat, tetapi juga oleh pengelompokan tersebut.
Kenyataan tersebut mendorong terbentuknya kelompok-kelompok
yang kecil dalam masyarakat yang menguasai berbagai sektor ekonomi.
Untuk menghindari kondisi itu terus berkembang (kesejahteraan sosial di
dalam masyarakat) maka harus dirumuskan sebuah regulasi dalam bentuk
peraturan perundang-undangan yang berfungsi melakukan rekayasa agar
mendorong terciptanya keseimbangan di dalam masyarakat. Dengan
demikian hukum benar-benar digunakan sebagai rekayasa sosial untuk
mendorong kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik, yaitu terciptanya
struktur sosial masyarakat yang seimbang antara proporsi kekuatan
masyarakat kelas atas, menengah, maupun bawah yang menyebabkan
terjadinya interaksi yang bersifat saling membutuhkan dan saling menguatkan
satu sama lain.
Jadi, bukan hubungan atau interaksi yang timpang, dimana
berjalannya hubungan penindasan dan pemerasan sumber daya masyarakat
miskin sebagai mesin ekonomi oleh dan bagi kepentingan kelompok atas dan
menengah. Dalam sejarah disebutkan bahwa revolusi dan perlawanan
kalangan bawah yang secara sadar menurut kesetaraan, keadilan, dan
perlakuan yang sama justru pada ahirnya menimbulkan instabilitas dalam
kelompok masyarakat. Keberadaan organisasi kemasyarakatan dalam hal ini
sangat berperan turut serta menyuarakan kepentingan masyarakat.Pada era
reformasi ini dengan segala kelebihan dan kekurangannya, secara konkret
berupaya untuk mencoba menghadapi tantangan dan memenuhi harapan
rakyat yang semakin tingggi tuntutannya atas persoalan kemasyarakatan yang
bersifat semakin komlpeks. Dengan demikian masalah sosial, ekonomi, dan
budaya yang dihadapi semakin kompleks. Sehingga, kita tidak dapat lagi
14
hanya mengandalkan bentuk-bentuk organisasi pemerintah yang
konvensional untuk mengatasinya.13
Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa:
Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (lokal) sama-
sama terlibat dalam upaya eksperimental kelembagaan yang mendasar dengan
aneka bentuk organisasi baru yang diharapkan lebih mendorong keterlibatan
sektor swasta dalam mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam
mengatasi persoalan ekonomi yang trus menerus.14
Selanjutnya,selain eksperimental kelembagaan pemerintah sebagaimana
diuraikan diatas, jika dikaitkan dengan lembaga swasta sebagaimana
dimaksud Jimly, bahwa bukan hanya terbatas pada lembaga swasta yang
secara kelembagaan berkaitan erat langsung dengan persoalaan ekonomi
semata, seperti perseroan terbatas dan atau kelembagaan keuangan lainya,
yang dianggap dapat memecahkan persoalan kebutuhan biaya untuk
mendorong bergeraknya sektor ekonomi didaerah terkait yang secara
finansial tidak dapat dibiayai atau dilakukan oleh pemerintah akibat
keterbatasan anggaran yang tersedia. Sebagaimana diuraikan diatas, bahwa
persoalan negara dan pemerintah bukan semata-mata urusan yang berkaitan
dengan ekonomi saja, tetapi meliputi berbagai aspek kehidupam budaya,
politik, agama, dan lain-lain. Dengan demikian lembaga kemasyarakatan
tersebut dapat diartikan sebagai lembaga lain yang keberadaannya bukan
dibawah organisasi pemerintah. Lembaga kemasyarakatan tersebut dapat
berupa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan
(ormas). Kedua lembaga ini sebagai lembaga swasta, karena berciri
kemandirian, yaitu didirikan dan dibangun atas prakarsa dan kesadaran para
pendiri dan anggota atau pengurusnya, sehingga secara struktur lebih
independen karena secara umum berada di luar struktur pemerintahan resmi.
13Jimly ASShiddiqie, Perkembanagan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca-Reformasi,
Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal.7 14Ibid, hal. 10
15
Sejarah tentang keberadaan dan kiprah organisasi kemasyaraktan yang
terbentuk jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, maka ormas mempunyai
peran penting dan sentral dalam membangun dan membina kesadaran
berbangsa dan bernegara para anggota ormas khususnya dalam masyarakat
pada umumnya. Ormas-ormas ini tidak saja bergerak dalam tataran
keagamaan, tetapi telah merambah pada beberapa gerakan dan persoalan soal
kemasyarakatan pada umumnya,antara lain:
1) Kegiatan pendidikan dengan medirikan lembaga pendidikan mulai dari
tingkat pra-sekolah (taman kanak-kanak) sampai dengan tingkat
perguruan tinggi;
2) Kegiatan pelayanan kesehatan, dengan muculnya berbagai rumah sakit
yang didirikan atas prakarsa ormas-ormas
3) Kegiatan pelayanan sosial lainnya, misalnyan pembinaan anak terlantar
dan anak-anak jalanan berupa rumah-rumah singgah.
Keberadaan organisasi kemasyarakatan (Ormas) di Indonesia tidak
bisa lepas dari faktor sejarah, reformasi, demokrasi dan desentralisasi.
Masing-masing memiliki karateristik, perbedaan karakteristik ormas ini bisa
dilihat atau karakteristik hubungan keagamaan, etnisitas hingga hubungan
dengan pemerintah daerah.
Menurut Wilson dalam buku E. Fernando M. Manulang
mengungkapkan:15
”Seiring dengan pergantian rezim serta desentralisasi ormas di Indonesia
pun seolah terbagi-bagi diberbagai daerah. Dengan semboyan yang
mereka miliki, seperti ormas anti KKN, berjuang untuk HAM, cinta
damai, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta ikut menegakkan
hukum, membuat Ormas memperoleh simpati diri cara-cara kekerasan,
keberadaan Ormas di Indonesia telah masuk diberbagai ranah, baik itu
memang secara jelas menujukan sebagai Ormas layaknya preman
mengandalkan kekerasan dalam setiap aktivitas,berhubungan dengan
sektor bisnis, hingga masuk di rumah politik”.
Menurut Wilson mengungkapkan selama ini banyakOrganisasi
Masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan partai politik tertentu.
15E. Fernando M. Manulang, op, Cit. Hal. 56
16
Mobilitas mereka pun semakin tinggi masuk hingga ranah bisnis sehingga
Organisasi Masyarakat dan pemerintah sangat memungkinkan untuk saling
kerja sama dan memberikan keuntungan.16
C. Perbedaan Organisasi Kemasyarakatan dan Lembaga Swadaya
Masyarakat
Saat ini terdapat kelompok atau organisasi lain selain organisasi
kemasyarakatan yang peran dan bergerak untuk dan demi kepentingan
masyarakat. Namun, secara organisasi bentuknya relatif lebih sederhana
apabila dibandingkan dengan Organisasi Kemasyarkatan pada umumnya,
tetapi dalam tataran kiprahnya di tengah-tengah masyarakat mempunyai
peran dan suara (biasanya dalam konteks kritik, khususunya dalam membela
kepentingan masyarakat yang termarjinalkan, yang disebabkan oleh kebijakan
pemerintah yang kurang tepat) yang terkadang mampu mengalahkan peran
organisasi kemasyarakatan. Organisasi ini lebih di kenal dengan nama
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Secara harfiah, LSM selanjutnya
mulai timbul secara permanen pada awal tahun 1970-an. Organisasi ini
semula diberi istilah Organisasi Non Government Organiziation disingkat
NGO. (NGO dipergunakan di dalam perserikatan bangsa bangsa atau PBB,
yaitu:17
Lembaga swadaya masyarakat atau Non Gevernment Organization
adalah sebutan untuk organisasi yang diprakarsai, dibangun serta
dikembangkan oleh pihak swasta yang mempunyai komitmen dengan proses
prubahan sosial yang lebih menguntungkan masyarakat lapisan bawah,
dimana organisasi ini memilikiideologi pembangunan, yaitu partisipasi.
Melihat karakter dan akar keberangkatan pembentukan LSM, maka
dalam kenyataanya LSM dapat diartikan secara luas, yang berarti bahwa:18
16Tirta Nugraha Mursitama, Op,cit.hal. 45
17Ibid, hal. 21 18Ibid, hal 22
17
“Setiap organisasi yang dibentuk atas prakarsa sendiri dan dalam
kegiatannya menghidupi dirinya sendiri, dan tidak dibentuk atas
prakarsa masyarakat dapat dikategorikan sebagai LSM. Namun, bukan
dalam tataran kiprahnya selalu bertentangan dengan kebijakan dan
program pemerintah. LSM dapat juga menempatkan diri sebagai
parner pemerintah, yaitu melakukan filling atau mengisi program-
program yang belum dapat dilakukan oleh pemerintah”
Pemilihan nama LSM dianggap lebih familiar, lebih luas, dan
akomodatif dari sisi koprahnya ditengah-tengah masyarakat, dibandingkan
dengan pemakaianOrnop yang dianggap selalu berkonotasi selalu
berseberangan danatau menentang kebijakan pemerintah. Pendapat itu
muncul tidak lain karena tendensi Ornop lebih pada titik berat organisasi
yang bukan dibentuk oleh pemerintah. Dengan demikian “Ornop” bukan
hanya LSM, akan tetapi meliputi semua organisasi di luar organisasi
pemerintah. Ciri-ciri menurut Emil Salim adalah :19
1. Bebas mencari anggota, memilih, dan menentukan pimpinan
pengurusnya;
2. Bukan organisasi massa;
3. Keanggotaan terbatas, bisa berasaskan minat, hobi, profesi, atau
orientasi yang sama;
4. Orientasi pembangunan;
5. Motif nirlaba;
6. Bukan bagian atau perpanjangan lengan pemerintah atau aparat,
dan tidak tergantung pada pembinaan aparat;
7. Bersedia bekerja dalam system pemerintah yang berlaku dan bebas
bergerak kealam ruang kendala pemerintah yang ada;
8. Dimungkinkan melakukan kerjasama dan mempunyai forum
kerjasama;
9. Menerima asas pancasila.
Menurut Emil Sebastian Saragih, mengungkapkan bahwa istilah
anggota tidak ada dalam LSM, yang ada partisipasi, mitra kerja, atau
dampingan. Lebih lanjut yang disebut LSM menurut sebastian Saragih
adalah:20
“Organisasi masyarakat mempunyai otonomi sendiri-sendiri dan sangat
kreatif dalam proses pemecahan masalah. Dia juga biasa berhubungan
19Emil Salim, Tanpa Pamrih Dalam Rangka Pembinaan Pedesaan, Jakarta:LP3ES, 2010
hal. 69 20Sabastian Saragih, Membedah Paruh LSM, Jakarta: Puspa Swara, 1995, hal.5
18
dengan siapa saja dalam proses pemecahan masalah : yang pasti LSM
adalah organisasi yang memiliki pengurus, tetapi tidak mempunyai
anggota, yang ada mitra kerja. Posisi kelompok dampingan dengan
organisasi kemasyarakatan”.
Sifat kemandirian, otonomi, kreatif dalam mencari solusi atas
masalah yang dihadapi, dengan orientasi program langsung menyentuh
kepentingan dan kebutuhan masyarakat kalangan bawah adalah ciri lain dari
LSM. Sehingga LSM secara kelembagaan mempunyai ciri-ciri yang sangat
spesifik baik dari sisi orientasi program maupun pola kerja yang lakukan
dibidang dengan organisasi lainnya. Menurut Suwarto ciri-ciri itu adalah.21
1. Kegiatannya berkelanjutan dan tetap berpihak kepada masyarakat
lemah;
2. Tidak birokratis ataupun hierarkis, dibangun atas dasar
kebersamaan;
3. Kegiatannya didasarkan pada masalah dan kebutuhannya nyata
masyarakat lemah, dan berangkat dari pemahaman masyarakat
tersebut;
4. Proses yang dilakukan adalah proses penyadaran.
Selanjutnya, M. Nasihim Hasan mengemukakan bahwa:ciri LSM
adalah bersifat independen, non-profit, dan mekanisme pengambilan
keputusan dilakukan secara kolektif. Lebih jelasnya mengemukakan ciri-ciri
LSM sebagai berikut:22
a) Didirikan atas inisiatif kelompok;
b) Independen dalam menentukan kebijakan, program maupun sasaran;
c) Berorientasi non-prifit dan kerjasama atas pembelian;
d) Merupakan area partisipasi masyarakat dan pengambil keputusan
secara kolektif.
21Swarto Yuni, LSM Skretariat Bina Desa, Jakarta, Laporan Akhir Penelitian, Peningkatan
Pengembangan Partisipasi Dan Kerjasama LSM Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka Pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta, Bappeda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 1995, hal.13
22M. Nasihimhasan, Kerjasama LSM Pemerintah Dan Kendalanya, Lombok:Artikel, Buletin Yayasan Swadaya Membangun, Edisi XXVIII, Tanggal 16-31 Maret 1989, Hal. 9-11
19
Dari uraian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa LSM
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:23
1. Didirikan atas inisiatif dan kesadaran kelompok;
2. Bersifat independen dalam menentukan kebijakan, program, dan
sasaran program;
3. Sasaran program berorientasi pada kalangan masyarakat bawah;
4. Bersifat melakukan pembinaan dan penyadaran kelompok binaannya;
5. Keanggotaannya terbatas, bahkan tidak mempunyai anggota;
6. Terbuka melakukan kerjasama melalui pola kemitraan;
7. Tidak birokrasi dan hierarkis.
Mencari beberapa pengertian LSM sebagaimana diuraikan diatas,
maka secara teoritis dapat melihat perbedaannya dengan organisasi
kemasyarakatan, terutama kalo kita lihat dari sudut pandang organisasi
kemasyaraktan yang besar dan yang telah lama berdiri jauh sebelum
kemerdekaan indonesia diproklamasiakan seperti NU, Muhammadiyah, atau
organisasi kemahasiswaan seperti HMI, GMNI, PMKRI, PMII, dan lain-
lainnya. Dari pengertian LSM dan wujud organisasi kemasyarakatan yang
telah ada, maka organisasi kemasyarakatan (ormas) secara organisasi lebih
gemuk, adanya hierarki organisasi, serta mempunyai sistem regenerasi dan
mekanisme pergantian kepemimpinan yang telah mapan. 24
Lebih lanjut ciri-ciri Ormas adalah :
a. Didirikan atas dasar inisiatif dan dengan kesadaran sendiri;
b. Mempunyai keterikatan ideologi;
c. Cenderung berorientasi untuk kepentingan anggota;
d. Dalam kiprah organisasinya, cenderung politis;
e. Mempunyai anggota yang jelas;
f. Mempunyai sistem regenerasi dan mekanisme siklus pergantian
kepemimpinan yang telah mapan, misalnya melalui Muhtamar,
Monas, Kongres, Muswil, Musda, dan lain-lain.
g. Sedikit birokratis dan mempunyai kepengurusan secara berjenjang.
Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Nomor 17 Tahun
2013 pasal 9 tentang pendirian. Organisasi didirikan oleh 3 (tiga) orang warga
negara Indonesia atau lebih,kecuali Ormas yang berbadan Hukum Yayasan.
23Ibid, hal.13 24Ibid, hal.101
20
Pada pasal 10 di jelaskan kembali mengenai Ormas :
(1) Ormas sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 dapat di bentuk
a. Badan hukum; atau
b. Tidak berbadan hukum.
(2) Ormas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
a. Berbasis anggota
b. Tidak berbasis anggota
Mekanisme pendirian organisasi kemasyarakatan melelui tahapan-
tahapan yang ada mulai dari proses administrasi seperti yang didapat pada
pasal 15 tentang pendaftaran diantaranya sebagai berikut.
1) Organisasi berbadan hukum dinyatakan terdafar setelah
mendapatkan pengesahan badan hukum.
2) Pendaftara Ormas berbadan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3) Dalam hal telah memperoleh setatus badan hukum, Ormas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memerlukan surat
terdaftar
Berbeda dengan Ormas yang tidak berbadan hukum yakni pada pasal 16
1) Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) huruf b dilakukan dengan
pemberian surat keterangan terdaftar.
2) Pendaftaran Ormas yang tidak berbadan hukum memnuhi
persyaratan:
a. Akta pendirian yang dikeluarkan oleh notaris yang memuat
AD atau ART;
b. Memiliki program kerja;
c. Susunan pengurus ;
21
d. Surat keterangan domisili;
e. Nomor pokok wajib pajak atas nama Ormas;
f. Surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan atau
tidak dalam perkara pengadilan; dan
g. Surat pernyataan kesanggupan melaporkan kegiatan
Dalam menjalankan kegiatan organisasinya, berdasarkan Pasal 59
undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan,terdapat larangan-larangan bagi ormas .25
(a) Menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan
bendera atau lambang negara Republik Indonesia menjadi
bendera atau lambang ormas.
(b) Menggunakan nama, lambang,bendera, atau atribut yang sama
dengan nama, lambang, atau atribut lembaga pemerintah.
(c) Menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera
negara lain atau lambang, atau bendera Ormas.
(d) Menggunakan nama, lambang,bendera, atau simbol organisasi
yang mempunyai persamaan pada pokok atau keseluruhannya
dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi
gerakan sparatis atau organisasi terlarang; atau
(e) Menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar
yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan nama, lambang, bendera, atau tanda
gambar Ormas lain atau partai politik.
1. Ormas dilarang:
a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau
golongan;
b. Melakukan penyalahgunaan, penistaan atau penodaan terhadap
agama yang dianut di Indonesia;
c. Melakukan tindakan sparatis yang mengancam kedaulatan Negera
Kesatuan Republik Indonesia;
d. Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketentraman dan
ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;
atau
25Lihat pasal 59 UU No.17 Tahun 2013
22
e. Melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak
hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Ormas dilarang:
a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau
golongan;
b. Melakukan penyalahgunaan, penistaan atau penodaan terhadap
agama yang dianut di Indonesia;
c. Melakukan tindakan sparatis yang mengancam kedaulatan Negera
Kesatuan Republik Indonesia;
d. Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketentraman dan
ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;
atau
e. Melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak
hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Ormas dilarang:
a. Menerima dari atau memberikan kepada pihak mana pun sumbangan
dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; atau
b. Mengumpulkan dana untuk partai politik.
4. Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran
atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Sanksi administrasi sebagai mana dimaksud pasal 60 ayat (1) terdiri atas;
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian bantuan danatau hibah;
c. Penghentian sementara egitan;danatau
d. Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status
badan hukum
Melihat kondisi Negara Kesatuan RI dari sejak awal kemerdekaan
yakni pada masa orde lama, orde baru sampai dengan Reformasi banyak
sekali organisasi-organisasi yang bermunculan berdiri di Indonesia baik itu
23
organisasi pemuda kemahasiswaaan bahkan Organisasi Kemasyarakatan,
tentunya ini Hal yang baik untuk membantu Pemerintah dalam menjalankan
tugas-tugasnya terutama di bidang sosial dalam membina dan membimbing
masyarakat untuk menjalankan kehidupan bermasyarakat.Dalam berbagai
macam aspek dan latar belakang berdirinya suatu organisasi ada yang
bergerak dalam bidang sosial bahkan ada lembaga organisasi berbenturan
terhadap kepentingan pemerintah maka organisasi tersebut terkadang ikut
andil dalam menyuarakan berbagai macam aspirasi.
Sejauh penglihatan saya sebagai generasi reformasi persoalan yang
sangat menonjol antara pemerintah dalam menginterfensi kebebasan bahkan
membelenggu organisasi yang dianggap memiliki citra yang kurang baik
dikacamata penguasa seperti yang saya katakan diatas dari sejak orde lama
sampai saaat ini, reformasi permasalahan yang sangat menonjol yaitu
persoalan ideologi suatu organisasi sehingga pemerintah menginterfensi
dengan alasan melanggar ideologi Pancasila. Kita melihat pada masa orde
baru pada zaman presiden Suharto yang dimana beliau menekankan semua
organisasi yang ada di Indonesia wajib berpedoman pada Pancasila dan bagi
organisaasi yang tidak menaati maka akan dibubarkan.
24
BAB III
METODE PENELITIAN
Dari sudut pandang teori hukum, ilmu hukum dibedakan menjadi
ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empiris. Pandangan positifikasi
melahirkan ilmu hukum empiris, sedangkan normatif melahirkan ilmu hukum
normatif. Dengan demikian, kajian terhadap hukum dapat dilakukan secara
normatif dan dapat pula dilakukan secara empiris yang masing-masing
memiliki karakteristik dan metode yang berbeda. Metode penelitian
merupakan prosedur dan teknik untuk menjawab permasalahan penelitian,
karena itu penggunaan metode penelitian senantiasa disesuaikan dengan
kebutuhan penelitian.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong dalam jenis penelitian hukum normatif,
hukum normatif yaitu penelitian yang mengkaji peraturan perundang-
undangan dalam satu tata hukum koheren.26 Dalam hal ini hukum sebagai
norma positif yang berlaku pada suatu waktu tertentu dan diterbitkan sebagai
produk suatu kekuasaan politik tertentu yang memiliki legitimasi. Ada juga
pendapat yang mengatakan bahwa manakala permasalahan dan tujuan
penelitian studi hukum mencerminkan ranah ideal dari hukum (filsafat, asas-
asas hukum, kaidah hukum, logika sistimatika dan pengertian-pengertian
pokok dari hukum), maka penelitiannya adalah normatif atau doktrinal.27
B. Metode Pendekatan
Untuk mencari penerapan pendirian dan pembubaran Organisasi
Masyarakat Di Indonesia, maka untuk dapat memberikan pemahaman
mengenai persoalan hukum (Legal issue) secara lebih holistik dari pendirian
26Soetandyo Wignjosoebroto, “Sebuah Pengantar Ke Arab Perbincangan Tentang
Pembinaan Penelitian Hukum Dalam Pjp Ii” BPHN Departemen Kehakiman, 1995, Hal.5 27Paulus hadisupratpto,”metode penelitian hukum positif, pendekatan bahan-bahan
hukum, teknik pengumpulan bahan hukum dan analisis bahann hukum”, makalah, seminar metode penelitian hukum, forum komunikasi mahasiswa pascaserjana ilmu hukum, fakultas hukum, Malang: Unuversitas Brawijaya, 2008, hal 5
25
Dan Pembubaran Organisasi Masyarakat Di Indonesia tersebut akan
dipergunakan beberapa pendekatan yaitu :
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) yaitu dengan
mengkaji dan meneliti peraturan perundangan yang berhubungan
dengan pendirian dan Pembubaran Organisasi Masyarakat Di
Indonesia.
b. Pendekatan konseptual (konseptual aproach), yaitu pendekatan yang
dilakukan dengan mengkaji pendapat para ahli yang berkaitan dengan
penelitian yang dibahas.
c. Pendekatan hasil putusan Majlis Hakim yang memiliki kekuatan
hukum tetap (inkrah).
C. Jenis Dan Sumber Bahan Hukum
Berdasarkan kekuatan mengikatnya, bahan hukum dapat
dikualifikasikan menjadi bahan hukum primer, sekunder dan bahan hukum
tersier.28
a. Bahan hukum primer (primary legal resource) yaitu bahan hukum
yang mengikuti dan diperoleh dari peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pendirian dan pembubaran Organisasi
Masyarakat di Indonesiayaitu, Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 Tentang Organisasi Masyarakat serta peraturan perundang-
undangan yang mendukung dengan topik yang akan diteliti.
b. Bahan hukum sekunder (secondary legal resourse) yaitu bahan hukum
yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti
buku-buku, hasil penelitian, jurnal ilmiah, artikel dan sebagainya.
c. Bahan hukum tersier (tertiary legal reasource) yaitu bahan hukum
yang dapat memberikan petujuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan
lain-lain.
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam proses pengumpulan data, penelitian menggunakan studi
dokumenter, yaitu mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang berupa
peraturan perundang-undangan, jurnal, literatur, putusan majlis hakim dan
28Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum,Cetakan Ketiga, Jakarta:Iniversitas
Indonesia (UI-PRESS). 1986. Hal 53
26
karya tulis yang berhubungan dengan pendirian dan pembubaran organisasi
masyarakat di indonesia.
E. Analisis Bahan Hukum
Metode analisis bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah metode normatif dalam optik deskriptif dengan penalaran deduktif-
indukatif untuk menghasilkan proposisi atau konsep sebagai jawaban dari
permasalahan atau hasil temuan penelitian.
F. Analisis Hasil Putusan Mahkamah Agung
Metode analisis hasil putusan Mahkamah Agung terhadap Organisasi
Kemasyaraktan sebagai bahan kajian berdasarkan perturan Perundang-
Undangan yang berlaku untuk dijadikan landasan dalam memutusakan
sengketa Organisasi kemasyarakatan.
27
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Pengertian Organisasi Kemasyarakatan
Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian
dalam menjalankan kehidupannya. Dalam menjalankan hidup individu
membutuhkan interaksi antara individu satu dengan individu yang lain, untuk
itu manusia membuat suatu perkumpulan mulai dari tingkatan keluarga yang
tentunya memiliki struktur secara otomatis tanpa harus melalui kesepakatan
atau mufakat internal keluarga dan tidak terlepas dengan aturan-aturan yang
harus ditaati dalam keluarga tersebut. Begitu juga dengan perkumpulan-
perkumpulan besar seperti organisasi kemasyarakatan (Ormas) yang dibentuk
dan didirikan oleh masyarakat secara sukarela dan aktivitasnya langsung
bersentuhan dengan masyarakat dengan tujuan untuk berpartisispasi dalam
pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila.
Setiap Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang didirikan oleh warga
negara Indonesia yang tentunya tidak terlepas dari regulasi yang ada. Dalam
hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
organisasi kemasyarakatan yang mengatur tata cara pendirian sampai dengan
tata cara pembubarannya organisasi kemasyarakatan, juga menyebutkan
tentang asas, ciri, dan sifat dari ormas itu sendiri, Dimana asas ormas itu tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pada era Presiden Suharto atau yang biasa kita sebut orde baru,
Republik Indonesia diramaikan wacana pemerintah Pancasila sebagai asas
tunggal. Sehingga organisasi jenis apapun bentuknya mau tidak mau harus
mengikuti hal itu, organisasi yang tidak mentaati maka akan siap menerima
konsekuensi sanksi yang di berikan oleh pemerintah bahkan sanksi
pembubaran.
28
Pada masa reformasi presiden Susilo Bambang Yudhoyono didalam
pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan tidak begitu jauh berbeda dengan isi pada pasal 1 ayat 1
Perppu ormas akan tetapi setiap masa kepemimpinan pemerintahan tentunya
menemukan permasalah yang berbeda seiring perkembangan zaman lebih-
lebihnya tentang organisasi kemasyarakatan, sehingga pemerintah berupaya
menelsaikan persoalan tersebut melalui kewenangan yang diberikan oleh
undang-undang menerbitkan Perppu.
Pada masa reformasi pemerintah Presiden Republik Indonesia Joko
Widodo melalui Perpu definisi Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana
yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017,
alasan Pemerintah menerbitkan Perpu 2 Tahun 2017 melalui Mengko
Polhukam Wiranto menerangkan, ia menilai bahwa kegiatan-kegiatan ormas
tersebut bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Sehingga, dapat
mengancam terhadap eksistensi bangsa dan telah menimbulkan konflik di
masyarakat.
Sehingga UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas tidak lagi
memadai sebagai sarana untuk mencegah meluasnya ideologi yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, baik dari aspek substantif
terkait dengan norma, larangan dan sanksi serta prosedur hukum yang ada.
B. Sejarah Lahirnya Organisasi Masyarakat
Kehadiran Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia merebak
kebersamaan dengan meningkatnya program pembangunan yang sekaligus
menimbulkan marginalisasi masyarakat. Kewajiban dan tanggung jawab
ormas sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan
ART) yang dimulai dalam organisasi non pemerintah (NGO) dengan mitos
berdedikasi kepada masyarakat, sehingga melahirkan gerakan alternatif dan
inovatif, yang umumnya mengandung kesan bermacam-macam, terbentuk
dari simpatik hingga sinisme. Kegiatan ormas yang umumnya kritis tapi juga
bergantung pada proposal dana, kadang juga menimbulkan tanda tanya.
29
Terlepas dari kelemahan internalnya, keberadaan ormas sendiri
dipandang bermanfaat. Dalam keberadaannya yang tidak utuh itulah
masyarakat menyimpan harapan, sementara yang lain juga mencurigakan.
Apa sebenarnya LSM atau ormas ini kadang sulit didefinisikan.29
Istilah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mulai populer sekitar
tahun 1970-an sebagai pengganti istilah sebelumnya yaitu Organisasi Non
Pemerintah (ORNOP) yang merupakan terjemahan langsung dari istilah
bahasa inggris Non Government Organization (NGO). Diperkirakan istilah
LSM lazim digunakan, beranjak dari rujukan yang dikemukakan Dr.
SarinoMangun Pronoto dalam pertemuan antara ORNOP di ungaran, Jawa
Tengah pada tahun 1978.
Dalam pertemuan tersebut diusulkan nama pengganti ORNOP
dengan sebutan Lembaga Pembinaan Swadaya Masyarakat (LPSM) dan yang
terakhir berubah menjadi LSM. Perubahan istilah yang dilakukan dengan
pertimbangan karena timbulnya kesandan anggapan negatif bahwa istilah
ORNOP seakan-akan sebagai lawan pemerintah.30 Sedangkan aktivitas yang
dilakukan anggotanya sendiri pada waktu itu ada kesadaran bahwa mereka
sendiri dilandasi dengan satu misi positif yakni mengembangkan kemandirian
dan membangun keswadayaan.
Oleh karena itu bentuk kegiatan yang dipandang bermamfaat bagi
masyarakat dan keberadaannya tidak bisa diabaikan dalam perkembangan
LSM diformalkan penggunaannya melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok lingkungan hidup, sebagaimana
disebutkan LSM berperan sebagai penunjang bagi pengelola hidup yang
mencakup antara lain kelompok profesi, hobi dan minat.
Karena dalam Undang-Undang tersebut mencakup pengertian LSM
secara umum yang dapat menampung seluruh ruang lingkup LSM yang
meliputi bidang hukum, sosial kemasyarakatan, pembangunan pedesaan,
ekonomi, koperasi dan sebagainya. Pemerintah dalam hal ini selaku
29Nia Karni Winayanti,Dasar Hukum Pendirian dan Pembubaran Ormas, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011, hal.5
30Ibid, hlm. 8
30
departemen dalam negeri membuat pengertian baru dalam rangka
kebijaksanaannya tertuang dalam instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 8
Tahun 1990 Tentang pembinaan LSM. Dalam peraturan ini LSM diartikan
sebagai suatu komponen kemasyarakatan yang bercirikan keswadayaan,
kemandirian dan kebersamaan dalam rangka meningkatkan partisipasinya
untuk mensukseskan pembangunan nasional.
Berdirinya Budi Utomo pada tanggal 5 Mei 1908 yang kemudian
dapat membangkitkan bangsa ini dengan membentuk kelompok-kelompk
terlihat dari berdirinya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang
diikuti dengan adanya Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon. Secara historis
keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia diawali oleh perjalanan
perjalanan yang didukung oleh kelompok-kelompok atau organisasi
kemasyarakatan yang mempunyai keinginan dan tujuan sama yaitu
kemerdekaan Indonesia yang terwujud pada tanggal 17 Agustus 1945.31
Dalam pejalanan perjuangan kemerdekaan Indonesia kehadiran beberapa
organisasi merupakan fakta yang tidak terbentukan karena organisasi-
organisasi pada zaman itu mempunyai tujuan yang sama menghantarkan
membangun kesadaran masyarakat Indonesia sehingga mampu
memerdekakan Indonesia. Organisasi-organisasi tersebut sampai saat ini,
masih diakui keberadaanya dan berkembang dengan cara melakukan
kiprahnya di tengah-tengah masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan
sosial kemasyarakatan, misalnya organisasi keagamaan, yang bergerak
dibidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
Organisasi-organisasi dimaksud diantaranya:32
1. Tahun 1908, Budi Oetomo berbasis subkultur jawa
2. Tahun 1911,Serikat Dagang Islam, kaum enterpreneur Islam
modernis yang bersifat ekstrovert dan politis;
3. Tahun 1912, Muhammadiyah dari kultur Islam modernis yang
bersifat introvert dan social;
4. Tahun 1912, Indiche Party dari subkultur campuran yang
mencerminkan elemen politis nasionalisme nonrasial dengan
31Ibid, hlm. 3 32Ibid, hlm. 6
31
slogan “tempat yang memberi nafkah yang menjadikan Indonesia
sebagai tanah airnya”.
5. Tahun 1913, Indische Social Democratiche Vereninging
6. mengejawantahkan nasionalisme politik radikal dan berorientasi
Marxist.
7. Tahun 1915, Trikoro Dharmo, sebagai imbrio Jong Java.
8. Tahun 1918, Jong Java;
9. Tahun 1925, Manifesto Politik;
10. Tahun 1926, Nahdlatoel ‘Ulama (NU) dari subkultur santri dan
ulama serta pergerakan lain seperti subetnis Jong Ambon, Jong
Sumatera, maupun Jong Selebes yang melahirkan pergerakan
nasionalisme yang berjati diri Indonesia
11. Tahun 1928, Sumpah Pemuda 28 oktober 1928;
12. Tahun 1931, Indonesia Muda
Keberadaan Organisasi Kemasyarakatan diatas merupakan sejarah
tumbuh dan berkembang kesadaran sekaligus ekspresi kebebasan
mengeluarkan pendapat dalam konteks berserikat dan berkumpul.Pada masa
Indonesia masih dalam belenggu penjajah jauh sebelum merdeka, secara
konkret banyak organisasi kemasyarakatan lainnya berdiri sampai saat ini.
Pada pemerintahan orde baru, secara konkret banyak organisasi
kemasyarakatan lainnya berdiri meski sistem politik pada saat itu kurang
memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk berekspresi. Pembatasan
dan larangan untuk kegiatan yang mengarah pada hal-hal politik harus tunduk
dan patuh pada satu kendali, yaitu stabilitas nasional.33 Dalam konteks
organisasi kemasyaraktan dan partai politik dikendalikan melalui instrumen
asas tunggal bahwa semua organisasi baik organisasi kemasyarakatan dan
partai politik harus berasas tunggal, yaitu Pancasila. Sampai saat ini masih
terdapat Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) warisan pemerintah orde baru,
karena memang ada beberapa ormas yang sengaja, tumbuh, dan berkembang
sebagai penguat kekuasaan pemerintah orde baru. Disisi lain ormas-ormas
yang tumbuh dan berkembang dengan keterbatasan berekspresi karena tidak
berafiliasi dengan kekuasaan orde baru namun tetap mampu menunjukan jati
diri dan eksistensinya. Ormas-ormas yang tumbuh dan berkembang pada
33Ibid, hlm. 11
32
masa pemerintahan orde baru baik yang berafiliasi dengan kekuasaan maupun
tidak, misalnya :34
a. Ormas Kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Perhimpunnan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
b. Ormas SOKSI;
c. Kosgoro;
d. Ormas Kepemudaan seperti Pemuda Pancasila, AMPI, FK-PPI
e. Ormas-ormas yang lahir pasca reformasi dengan latar belakang
ideologi, nama, jenis, serta jumlahnya yang sangat banyak.
Organisasi-organisasi kemasyarakatan diatas, lahir dari suatu
kesadaran dan sangat mamperdayakan masyarakat karena organisasi
merupakan manifestasi dari kepedulian dan peran serta masyarakat, dalam
pembangunan bangsa, yang diwujudkan dalam berbagai bentuk program dan
kegiatan kemasyarakatan sesuai dengan visi dan misinya masing-masing.
Didalamnya menyampaikan pandangan, kritik, dan konsep tandingan atas
berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Namun, kritik dan konsep
tandingan tersebut tetap berada dalam kerangka dan bermuara pada
terciptanya kesejahteraan masyarakat.35 Menyadari tumbuh dan
berkembangnya kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui organisasi
kemasyarakatan yang mengalami perkembangan sejak awal tahun 1980-an
maka pemerintah bersama DPR akhirnya menerbitkan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan, sebagai landasan
hukum dan pengakuan secara legal atas keberadaan dan kiprah organisasi-
organisasi dimaksud dan pada tahun 2013 tepatnya dalam rapat paripurna
DPR-RI pada 2 juli 2013. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal
22 Juli 2013 telah menandatangani pengesahan berlakuknya Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan pengganti
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
34Artikel, Masalah Yang Akan Muncul Dalam Peleksanaan Undang-Undang Organisasi
Masyarakat. Di ambil dari www.jurnalparlemen .com, 28 Desember 2013 35Ibid, hlm.24
33
C. LEGALITAS HUKUM ORMAS YANG SUDAH BERDIRI SEBELUM
KEMERDEKAAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 17
TAHUN 2013
Semenjak Indonesia masih dalam masa perjuangan mengusir dan
melawan penjajah, tidak sedikit pula nyawa-nyawa rakyat Indonesia yang
terenggut dalam melakukan perlawanan demi merebut kemerdekaan yang
sampai saat ini kita rasakan sebagai generasi selanjutnya. Akan tetapi tidak
sedikit pula perkumpulan-perkumpulan yang bergerak dibidangnya masing-
masing dan bahkan ikut serta melawan penjajah kala itu seperti yang kita
kenal saat ini yang namanya Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) semenjak
sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, sampai dengan Era Reformasi
saat ini begitu tumbuh dan berkembang pendirian organisasi kemasyarakatan
yang tentunya dari masa ke masa perkembangannya ini akan menjadi
perhatian pemerintah untuk mengatur dan membentuk regulasi untuk menata
agar tidak menyimpang dari Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia
yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 ada beberapa pasal
didalamnya menyesuaikan terkait dengan legalitas keberadaan Organisasi
Kemasyarakatan yang berdiri sebelum kemerdekaan diantaranya terdapat
didalam Pasal 83, Pasal 84, Pasal 85 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang ketentuan peralihan.36
Untuk itu perlu penulis menguraikan bunyi pasal-pasal tersebut
sebagai berikut:
1. Dalam Pasal 83 berbunyi:
a. Ormas yang telah berbadan hukum sebelum berlakunya Undang-
Undang ini tetap diakui keberadaannya sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini;
36Lihat pasal 83 Huruf a, b dan c UU No. 17 Tahun 2013
34
b. Ormas yang telah berbadan hukum berdasarkan Staatsblad 1870
Nomor 64 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum
(Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen) yang berdiri sebelum
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan konsisten
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetap
diakui keberadaan dan kesejahteraannya sebagai aset bangsa, tidak
perlu melakukan pendaftaran sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang ini;
c. Surat keterangan terdaftar yang sudah diterbitkan sebelum
Undang-Undang ini berlaku, tetap berlaku sampai akhir masa
berlakunya; dan
d. Ormas yang didirikan oleh warga negara asing, warga negara asing
bersama warga negara Indonesia, atau badan hukum asing yang
telah beroperasi harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-
Undang ini dengan jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun
terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
2. Dalam Pasal 84 berbunyi:
Pada saat Undang-Undang ini muli berlaku, semua Peraturan
Perundang-Undangan yang terkait dengan Ormas, dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini.
3. Dalam Pasal 85 berbunyi:
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 44, Tambahan Lembaran
Republik Indonesia Nomor 3298) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Artinya Negara memperhatiakan keberadaan ormas dari masa ke
masa, sejak Indonesia belum merdeka bahkan sampai setelah Indonesia
merdeka sebagai aset bangsa yang selalu membantu pemerintah menyentuh
35
masyarakat dalam menyampaiakan dan mengontrol program-program agar
bisa dirasakan sampai kalangan paling bawah dengan berbagai macam aspek
latar belakang begraoun ormas itu sendiri,
BAGAN 1 : PENDIRIAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN
KETERANGAN
1. Organisasi masyarakat didirikan oleh 3 (tiga) orang warga Negara
Indonesia.
2. Organisasi masyarakat dapat dibentuk berbadan hukum dan tidak
berbadan hukum.
ORGANISASI KEMASYARAKATAN
3 ORANG WARGA NEGARA INDONESIA
TIDAK BERBADAN
HUKUM
BERBADAN HUKUM
PERKUMPULAN YAYASAN
BERBASIS
ANGGOT
A
TIDAK BERBASIS
ANGGOTA
36
3. Organisasi masyarakat yang berbadan hukum dapat berbentuk
perkumpulan dan yayasan.
4. Organisasi masyarakat yang berbadan hukum berbentuk perkumpulan
didirikan dengan berbasis anggota.
5. Organisasi masyarakat berbadan hukum berbentuk yayasan didirikan
dengan tidak berbasis anggota.
6. Organisasi masyarakat yang berbadan hukum berbentuk perkumpulan
berdasarkan pada perundang-undangan.
7. Organisasi masyarakat yang berbadan hukum berbentuk yayasan
didirikan dengan tidak berbasis anggota berdasarkan pada Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2001
8. Organisasi masyarakat yang tidak berbadan hukum tidak ada
penjelasan lebih lanjut
Jika dicermati Pasal 10 ayat (2) tidak berbasis anggota itu merupakan
yayasan, dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 Tentang Yayasan
Pasal 1 ayat 1, merupakan sebuah wadah yang berbadan hukum yang tidak
berbasisi anggota berbeda halnya dengan ormas yang identiknya berbasisi
anggota yang cukup banyak.
Kenyataan didalam praktik, memperlihatkan yang disebut yayasan
adalah suatu badan yang menjalankan usaha yang bergerak dalam segala
macam badan usaha, baik yang bergerak dalam usaha yang nonkomersial
maupun yang secara tidak langsung bersifat komersial.
Untuk dapat mengetahui yayasan itu menurut pandangan para ahli,
diantaranya sebagia berikut :
1. Menurut Poerwaderminta dalam kamus umumnya memberikan
pengertian yayasan sebagai berikut :
a. Badan yang didirikan dengan maksud mengusahakan sesuatu
seperti sekolah dan lain sebaginya (sebagai badan hukum
bermodal, tetapi tidak mempunya anggota).
37
b. Gedeung-gedung yang teristimewa untuk sesuatu maksud yang
tertentu (seperti : rumah sakit dsb).37
4. Menurut Achmad Ichsan Yayasan tidaklah mempunyai anggota, karena
yayasan terjadi dengan memisahkan suatu harta kekayaan berupa uang
atau benda lainya untuk maksud-maksud idiil yaitu (sosial, keagamaan
dan kemanusiaan) itu.Sedangkan pendirinya dapat berupa pemerintah
atau orang sipil sebagai penghibah, dibentuk suatu pengurus untuk
mengatur pelaksanaan tujuan itu.38
5. Menurut Zainul Bahri dalam kamus umum memberikan definisi yayasan
sebagai badan hukum yang didirikan untuk memberikan bantuan untuk
tujuan sosial.39
6. Yayasan adalah suatu paguyuban atau badan yang pendiriannya disahkan
dengan akta hukum atau akta yang disahkan oleh notaris, dimana yayasan
itu aktifitas bergerak di
bidang sosial, misalnya mendirikan sesuatu atau sekolah.40
Tabel 1 : Perbedaan Organisasi Kemasyarakatan dan Yayasan
No Unadang-Undang
Nomor : 17 Tahun
2013 Tentang
Organisasi
Kemasyarakatan
Perppu Nomor : 2 Tahun
2017 Tentang Perubahan
UU No. 17/2013 tentang
Organisasi
Kemasyarakatan
Undang-
Undang Nomor
: 16 Tahun
2001 Tentang
Yayasan
37Chatamarasjid ais, Badan Hukum Yayasan, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandung, Cet., Ke-1,
2002, hlm.81. 38Achmad Ichsan, Hukum Dagang, Pradnya Paramitha, Jakarta, Cet. Ke-5, 1993 hlm.110 39Zainul Bahri, Kamus Umum Khususu Bidang Hukun dan Politik, PT Angkasa, Bandung,
Cet. Ke-1, 1996, hlm. 367 40Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum,Aneka Ilmu, Semarang, hlm. 925
38
1. Organisasi
Kemasyarakatan
adalah organisasi yang
didirikan dan di
bentuk oleh
masyarakat secara
sukarela berdasarkan
kesamaan aspirasi,
kehendak,
kepentingan, kegiatan,
dan tujuan untuk
berpastisipasi dalam
pembangunan demi
tercapainya tujuan
Negara Kesatuan
Republik Indonesia
yang berdasarkan
Pancasila.
Pasal 1 ayat 1 di ubah
berbunyi Organisasi
Kemasyarakatan yang biasa
di sebut Ormas adalah
Organisasi yang didirikan
dan dibentuk oleh
masyarakat secara sukarela
berdasarkan kesamaan
aspirasi, kehendak,
kebutuhan, kepentingan,
kegiatan, dan tujuan untuk
berpartisipasi dalam
pembangunan demi
tercapainya tujuan Negara
Kesatuan Repuklik
Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara
Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1934.
Yayasan adalah
badan hukum
yang terdiri
atas kekayaan
yang
dipisahkan
untuk mencapai
tujuan tertentu
dibidang sosial,
keagamaan,
dan
kemanusiaan
yang tidak
mempunyai
anggota.
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat sangat jelas perbedaan antara
organisasi kemasyarakatan dengan yayasan itu sangatlah berbeda dan tidak
bisa disatukan dengan peraturan perundang-undangan yang sama karena
dapat menimbulkan kerancuan atau salah tafsir oleh masyarakat.
Perkumpulan juga dapat dimaknai sebagai pengelompokan individu
atau anggota-anggota masyarakat yang terorganisir secara sistimatis untuk
tujuan atau kepentingan tertentu dengan ciri-ciri :
a. Terorganisir secara sistimatis.
39
b. Terbentuk karena memiliki tujuan tertentu.
c. Hubungan anggotanya bersifat contiactual
Maka Peraturan Perundang-Undangan yang termuat dalan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
mengatur sedemikian bagaimana tata cara pendirian organisasi masyarakat
sampai dengan tata cara pembubaran organisasi kemasyarakatan meskipun
terkadang ada beberapa pasal yang dianggap kabur atau kekosongan sehingga
pemerintah berupaya melakukan revisi demi melengkapi peraturan
perundang-undangan yang dianggap belum begitu jelas yang tentunya tetap
mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 yang berlandaskan Pancasila
yang dijadikan Ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
D. KAJIAN HASIL PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 37
K/TUN/2016 TERHADAP ORGANISASI KEMASYARAKATAN
NAHDLATUL WATHAN
Organisasi Nahdlatul Wathan organisasi kemasyarakatan terbesar di
Lombok Nusa Tenggara Barat, sejak berdirinya organisasi ini banyak
menberikan kontribusi kepada negara sampai saat ini masih eksisi berdiri
kokoh, didirikan di Pancor, Kabupaten Lombok Timur oleh TGKH
Muhammad Zainuddin Abdul Majid yang dijuluki Tuan Guru Pancor serta
Abul Masajid wal Madaris (Bapak Masjid-majid dan Madrasah-Madrasah)
pada tanggal 1 maret 1953 bertepatan dengan tanggal 15 Jumadil Akhir 1372
Hijriyah. Organisasi ini mengelola sejumlah lembaga pendidikan dari tingkat
dasar hingga perguruan tinggi yang tentunya sudah banyak memberikan
kontribusi terhadap masyarakat setempat terutama dibidang pendidikan.
Organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Wathan mempunyai pengurus
dimasing-masing tingkatannya atau yang biasa disebut organisasi struktural,
memiliki kepengurusan dari tingkatan tertinggi organisasinya sampai
tingkatan yang paling bawah yang diatur sesuai dengan Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga. Seiring berjalannya waktu tentunya estapet
40
kepemimpinan Organisasi Nahdlatul Wathan jatuh kepada generasi-generasi
selanjutnya. Tentunya pemerintah menyiapkan regulasi untuk mengatur
bagaimana tata cara mendirikan organisasi kemasyarakatan yang tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013.
Didalam tubuh internal organisasi Nahdlatul Wathan terjadi dualisme
pengurus antara NW Pancor dan NW Anjani. Seperti yang kita ketahui bahwa
mekanisme pengambilan keputusan tertinggi diatur dalam AD/ART yang
disebut Muktamar yang sudah menjadi kesepakatan bersama dalam upaya
pergantian Pengurus Besar (PB) yang dilakukan satu kali dalam lima tahun.
Dalam kompetisi pergantian pimpinan Organisasi Nahdlatul Wathan ada yang
menang dan ada yang kalah sudah pasti tentunya. Pimpinan organisasi atau
yang disebut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdaltul Watahan.
Dijelaskan dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2013 tentang kepengurusan.41
A. Dalam Pasal 29 berbunyi:
1. Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan dipilih secara
musyawarah dan mufakat.
2. Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan sebagaimana
a. 1 (satu) orang ketua atau sebutan lain;
b. 1 (satu) orang sekretaris atau sebutan lain;
c. 1 (satu) orang bendahara atau sebutan lain.
3. Kepengurusan Ormas di setiap tingkatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertugas dan bertanggung jawab atas
pengelolaan Ormas.
B. Dalam Pasal 30 berbunyi:
1. Struktur kepengurusan, sistem pergantian, hak dan kewajiban
pengurus, wewenang pembagian tugas, dan hal lainnya yang
berkaitan dengan kepengurusan diatur dalam AD danatau ART.
41Lihat pasal 29, 30, 31 UU No 17 Tahun 2013
41
2. Dalam hal ini terjadi perubahan kepengurusan, susunan
kepengurusan yang baru diberitahukan kepada kementrian,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
terjadinya perubahan kepengurusan.
C. Dalam Pasal 31 berbunyi:
1. Pengurus yang berhenti atau yang diberhentikan dari
kepengurusan tidak dapat membentuk kepengurusan dan/atau
memndirikan Ormas yang sama.
2. Dalam hal pengurus yang berhenti atau diberhentikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk kepengurusan
danatau mendirikan Ormas yang sama.Keberadaan kepengurusan
danatau Ormas yang sama tersebut tidak diakui oleh Undang-
Undang ini.
Didalam tubuh internal organisasi Nahdlatul Wathan mekanisme
forum pengambilan keputusan yang sah tertinggi dalam organisasi
kemasyarakat Nahdlatul Wathan yakni Muktamar sesua dengan AD/ART
organisasi, muktamar di laksanakan 5 (lima) tahun sekali dengan agenda
pokok menyampaikan Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus Besar serta
memilih pengurus baru, dalam form muktamar Ke-XIII yang diadakan di
Mataram pada tanggal 5 mei 2014. Di menangkan oleh Hj. Siti Raihanun
Zainiddin AM sebagai pengurus besar, akan tetapi terjadi sengketa masalah
badan hukum dikarenakan pihak yang mendaftarakan organisasi ini bukan
pengurus yang terpilih melalui forum muktamar melalui Menkomham dan
mengeluarkan SK nomor : AHU-00297,60,10.2014, yang seharusnya
mendaftarkannya pengurus yang sah di pilih melalui forum yang sah,
sehingga dimunculkan objek sengketa gugatan dalam gugatan Surat
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor:-AHU
00297.60.10.2014, tentang Pendaftaran Organisasi Nahdlatul Wathan sebagai
Badan Hukum Perkumpulan, tertanggal 11 Juli 2014. Bahwa penggugat baru
42
mengetahui adanya objek sengketa pada tanggal 5 Agustus 2014, melalui
surat Direktur Jnderal Kesatuan Bangsa dan Politik Kementrian Dalam
Negeri RI No. 220/2593 D,III yang dikirimkan kepada penggugat, yang berisi
tentang informasi bahwa berdasarkan hasil pengecekan database Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Organisasi Nahdlatul Wathan telah
terdaftar sebagai Badan Hukum Perkumpulan di Kementrian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia.
Bahwa gugatan didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta, pada tanggal 08 Oktober 2014, oleh karena itu gugatan sesuai
dengan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang No.5 Tahun 1986 tentang
Pengadilan Tata Usaha Negara, yaitu masih dalam tenggang waktu 90
(sembilan puluh) hari sejak saat diterimanya surat Keputusan Tergugat42.
Melihat uraian diatas bahwa terjadi miss komunikasi antara pengurus yang
sudah diangkat dan ditetapkan melalui forum pengambilan keputusan
tertinggi yakni Muktamar. Terjadi gejolak yang menimbulkan ego konflik
internal pun tidak menemukan titik temu sehingga konflik yang terjadi masuk
ke ranah pengadilan, penggugat dalam hal ini NW Pancor dengan dasar-
dasar gugatan sebagai berikut :43
1. Bahwa berdasarkan Akte No. 48 tanggal 29 Oktober 1956, dibuat
dan sahkan oleh Hendrik Alexander Malada, Notaris Pembantu di
Mataram. Selanjutnya pendirian organisasi Nahdlatul Wathan
tersebut telah didaftarkan dan ditetapkan oleh Mentri Kehakiman
RI melalui Surat No.J.A.5/105/5, tanggal 17 Oktober 1960 dan
diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI No. 90, tanggal 8
November 1960, dan Terdaftar di Kementrian Dalam Negeri RI
No. SKT : 01-00/0066/D.III.4/III/ 2012;
2. Bahwa Nahdlatul Wathan adalah organisasi kemasyarakatan yang
bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan dakwah islamiyah,
beralamatkan di Jalan Kaktus No. 1-3 Mataram, Nusa Tenggara
Barat dan Pondok Pesantren Syaik Zainiddin NW Anjani Jalan
Raya Mataram, Labuan Lombok Km. 49 Anjani Lombok Timur,
Nusa Tenggara Barat, didirikan oleh H. Muh Zainuddin atau lebih
dikenal dengan sebutan Maulana Syeikh TGKH. Muhammad
42Putusan. Mahkamah Agung 43Putusan. Mahkamah Agung
43
Zainuddin Abdul Madjid sebagai Ketua Umum dan A.Qadir
Ma’arif sebagai Sekretaris Umum;
Dari objek sengketa yang diajukan di Mahkamah Agung oleh pihak
Pemohon Kasasi/penggugat melawan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia dianggap bertentangan dengan asas-asas umum pemerintah yang
baik, bahwa obyek sengketa yang diterbitkan Termonon Kasasi dahulu
sebagai Terbanding I Tergugat II Intervensi di Mahkamah Agung dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang dan melanggar Asas-Asas Umum
Pemerintah yang baik khususnya Asas Tertib Penyelenggaraan Administerasi
Negara, Asas Kepastian Hukum dan Asas Kecermatan;44
a. Asas Tertib Penyelenggaraan Administrasi Negara, bahwa
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sebagai sebuah
organisasi kemasyarakatan, Nahdlatul Wathan telah berbadan
hukum dan terdaftar pada : Departemen Kehakiman RI (sekarang
Kementrian Hukum dan HAM RI) melalui penetapan Menteri
Kehakiman No. J.A.5/105/5, tanggal 17 Oktober 1960 dan
diumumkan dalam Tambhan Berita Negara RI No. 90 tanggal 8
November 1960;
Kementrian Dalam Negeri melalui Surat Keterangan Terdaftar
dari Negeri RI No. 01-00/0066/D.III.4/III/2012 tanggal 30 Maret
2012;
Kementrian Agama RI melalui surat Rekomendasi dari Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama RI No.
Dj.II.3/BA.05/022/2010 tanggal 10 Januari 2010;
(sampai dengan saat ini, ketiga keputusan dari pejabat tata usaha
negara tersebut belum pernah dibatalkan atau dicabut oleh
karenanya masih berlaku);
Tindakan Tergugat menerbitkan objek sengketa mencerminkan
adanya ketidaktertiban penyelenggaran Administrasi Negara oleh
Tergugat kerena tampa melakuka penelitian terlebih dahulu,
tergugat dengan serta merta menerbitkan objek sengketa;
b. Asas Kepastian Hukum, bahwa sebagaimana diuraikan sebelunya
putusan-putusan Tata Usaha Negara yang telah melegalkan dan
memcatatkan pendaftaran Nahdlatul Wathan masih berlaku dan
belum pernah dicabut atau dibatalkan, maka dengan demikian
tindakan Tergugat yang mendaftarkan Nahdlatul Wathan (vide
objek sengketa) adalah sebuah tindakan yang menimbulkan
ketidakpastian hukum kerena telah mendelegasikan keputusan
Tata Usaha Negara sebelumnya;
44Hasil Putusan. Mahkamah Agung.
44
c. Asas Kecermatan, bahwa tergugat ceroboh dan tidak cermat
dalam melakukan penelitian atas kebenaran syarat-syarat
permohonan yang diajukan oleh pihak lain serta tidak cermat
karna tidak meneliti Keputusan-Keputusan Tata Usaha Negara
yang telah terbit sebelumnya berkaitan dengan organisasi
kemasyarakatan Nahdlatul Wathan, baik keputusan Menteri
Kehakiman sendiri, Keputusan Menteri Dalam Negeri RI serta
Rekomendasi Kementrian Agama RI.
Berdasarkan uraian diatas, maka tindakan tergugat dalam menerbitkan
objek sengketa a quo telah bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta asas-asas umum pemerintah yang baik, seperti
yang tertuang pada pasal 53 ayat 2 (dua) Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, karena beralasan hukum untuk dibatalkan atau
dinyatakan tidak sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Kompetensi terbagi menjadi 2 menurut ketentuan hukum yakni
kompetensi relatif dan kompetensi absolut, secara bahasa dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan
(memutuskan sesuatu). Kompetensi Relatif kewenangan suatu pengadilan
untuk memeriksa suatu perkara berdasarkan wilayah objek sengketa,
mengadili, dan memutus suatu perkara berdasarkan dengan jenis dan
tingkatan pengadilan yang ada, sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan jenis dan
lingkungan pengadilan dibedakan atas Pengadilan Umum berdasarkan
perkara yang ditangani, seperti Pengadilan Militer mengadili anggota militer,
Pengadilan Agama mengadili, dan Pengadilan Tata Usaha Negara
(Pengadilan Administrasi). Sedangkan, berdasarkan tingkatannya pengadilan
terdiri atas Pengadilan Tingkat Pertama yang biasanya keberadaannya
disetiap kebupaten kota seperti Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama,
Pengadilan Tinggi atau pengadilan tingkat kedua (Banding),dan Mahkamah
Agung(PengadilanTingkatKasasi) bisa dikatakan sebagai muara peradialan
dalam menengani perkara.
45
Dengan demikian jumlah pengadilan tingkat pertama ditentukan oleh
jumlah pemerintah daerah tingkat II (Kabupaten/Kotamadya) yang ada,
jumlah pengadilan tingkat tinggi (banding) sebanyak jumlah pemerintahan
tingkat(provinsi). Sedangkan, Mahkamah Agung Peradilan tingkat ke 3 atau
(kasasi) hanya ada di pusat yakni ibukota Negara sebagai ujung tombak dari
semua lingkungan peradilan yang ada. Untuk mengetahui kompetensi dari
suatu pengadilan dalam menangani, memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara : Pertama, dapat dilihat dari pokok sengketanya. Kedua dengan
melakukan pembedaan atas atribusi dan delegasi.Ketiga dengan melakukan
pembedaan atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Dapat dilihat dari
pokok sengketanya, apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan
hukum privat, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa
(hakim pengadilan umum). Atas dasar pertimbangan Majelis Hakim terhadap
gugatan tergugat mengajukan eksepsi terkait dengan kompetensi absolut
kewenangan pengadilan yang mengadili suatu perkara berdasarkan
keberadaan tempat wilayah pengadian Tata Usaha Negara dengan konflik
yang ditangani seperti pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut:
a. Bahwa konsepsi kompetensi Absolut ini berkenaan dengan tidak
berwenangnya secara absolut berdasarkan ketentuan hukum formal
(acara), dalam hal ini tidak berwenangnya Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Jakarta mengadili perkara yang di ajukan
Penggugat yang pada dasarnya patut diduga merupakan
permasalahan perselisihan hak (keperdataan), yakni
mempermasalahkan keabsahan di antara 2 (dua) kubu perkumpulan
Nahdlatul Wathan Pancor
b. Bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada dasarnya tidak
mempunyai kewenangan menguji keabsahan diantara 2 (dua) kubu
Nahdlatul Wathan sebagaimana disebut diatas, khususnya
menentukan hasil Muktamar Nahdlatul Wathan yang sah dan yang
berhak menggunakan nama Nahdlatul Wathan;
46
c. Bahwa objek sengketa pada dasarnya bukanlah ditujukan untuk
menentukan keabsahan salah satu diantara 2 (dua) kubu yang
bersebrangan. Dalam proses Pengesahan Badan Hukum melalui
“Layanan AHU Online”,khusus perkumpulan, pemohon atau
notaris terlebih dahulu mengajukan permohonan persetujuan
penggunaan nama perkumpulan yang hendak dipakai, sebelum
mengajukan permohonan pengesahan sebagai badan hukum. Dalam
proses permohonan persetujuan pengguna nama tersebut, tergugat
telah memberikan peringatan kepada pemohon atau notaris terkait
dengan keabsahan penggunaan nama perkumpulan, salah satunya
bahwa penggunaan nama tersebut telah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hal ini membuktikan bahwa jika dalam
penggunaan nama tersebut ternyata terbukti sebaliknya atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka terdapat
konsekuensi hukum yang harus ditanggung oleh Pemohon atau
Notaris (selebihnya akan Tergugat uraikan secara lengkap dalam
Pokok Perkara);
d. Terkait dengan benar tidaknya atas penggunaan nama sebagaimana
dimaksud diatas, sepatutnya hal tersebut merupakan kewenangan
Pengadilan Negeri, karena permasalahan terkait merupakan
permasalahan keperdataan, yakni masalahnya untuk menentukan
pihak mana mempunyai hak untuk menggunakan nama Nahdlatul
Wathan;
e. Bahwa sekalipun objek sengketa merupakan produk Tata Usaha
Negara, namun yang menjadi permasalahan dalam perkara a quo
bukanlah mengenai proses atau prosedural penerbitan objek
sengketa, melainkan substansi yang bersifat keperdataan, dengan
demikian sudah jelas dan terang bahwa pada dasarnya perkara yang
diajukan oleh penggugat adalah perkara perdata yang seharusnya
diajukan kepada Pengadilan Negeri;
47
Oleh karena itu gugatan penggugat telah salah alamat dalam
pengajuan gugatan perkara a quo, maka berdasarkan hukum acara yang
berlaku, Majelis Hakim Tata Usaha Negara Jakarta dalam perkara tata usaha
negara ini sepatutnya menyatakan tidak berwenang memeriksa dan mengadili
perkara ini.
Bahwa setelah meninggalnya TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid pada tanggal 21 Oktober tahun 1997, Nahdlatul Wathan mengalami
perpecahan dan konflik internal khususnya menyangkut siapakah yang akan
menggantikan TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid untuk
memimpin Organisasi Keagamaan Nahdlatul Wathan dan juga sebagai
pemimpin umat Islam di Lombok dalam konteks yang lebih luas, Bahwa
dalam tradisi pesantren dan ormas Islam tradisional pada umumnya mewarisi
generasi Penerus kepada anak laki-laki. Hal ini berlaku juga pada Nahdlatul
Wathan sebagaimana tersurat dalam wasiat Pendiri Organisasi Nahdlatul
Wathan Kyai Hamzanwadi dalam buku Wasiat Renungan Masa Pengalaman
Baru, Khusus untuk keluarga NW, Pancor Bermi, 9 Dzulhijjah 1401 H, 7
Oktober 1981 M., yang memfatwakan bahwa organisasi Nahdlatul Wathan
harus dipimpin oleh laki-laki, Namun mengingat pendiri Perkumpulan
“Nahdlatul Wathan” TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid hanya
memiliki dua anak perempuan, yakni Hj. Siti Rauhun (kakak) dan Hj. Siti
Raihanun (adik). kondisi ini kemudian melahirkan kekosongan tokoh sentral
sebagai pimpinan ditubuh Nahdlatul Wathan, konflik internal Nahdlatul
Wathan mengalami puncak pada saat diselenggarakannya Muktamar
Nahdlatul Wathan ke-X di Praya Lombok Tengah pada tahun 1998, sebagai
akibat persaingan memperebutkan posisi pemimpin organisasi Nahdlatul
Wathan dan munculnya bakal calon perempuan untuk menjadi pemimpin
organisasi Nahdlatul Wathan, Bahwa Hj. Siti Rauhun (kakak) menolak untuk
dicalonkan sebagai Ketua Umum Nahdlatul Wathan dengan alasan fatwa dari
pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi Nahdlatul Wathan harus dipimpin oleh
laki-laki. Sementara di sisi yang lain, salah satu kubu mendukung Hj. Siti
48
Raihanun (adik) menjadi Ketua Umum Pengurus Besar (PB) NW. kondisi ini
kemudian menyebabkan Pimpinan sidang pada Muktamar Nahdlatul Wathan
ke X Tahun 1998 di Praya yang berjumlah 9 (Sembilan) orang yang diketuai
oleh H. Maksum Ahmad, Bahwa pada saat yang sama pada Muktamar X di
Praya tahun 1998 tersebut terjadi permasalahan lain yaitu, adanya situasi yang
tidak kondusif.
Judex Facti tingkat pertama dan tingkat banding lalai dalam menerapkan
Hukum dan/atau tidak menerapkan hukum sebagai mertinya;
1. Bahwa Judex Facti Tingkat Pertama telah lalai dalam menerapkan
hukum,terlihat dalam pertimbangan hukum pada halaman 94 sampai
dengan 96,aline 1 (satu) Putusan PTUN Jakarta, sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa atas dasar ketentuan diatas, guna menghindari
berlarut-larutnya penyelesaian konflik internal NW sebagai akibat
proses hukum yang memakan waktu yang panjang dan perdebatan
yang bersifak legalistic formal, serta penyakit saling
klaim...…………dst.;
2. Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama pada
halaman 94 sampai dengan 96 sebagaimana tersebut diatas, apabila
dikaitkan dengan Bukti Tergugat II Intervensi No. 33, yaitu berupa
Buku Hizib Nahdlatul Wathan dan Nadlatul Banat yang dihimpun
oleh TGKH M. Zaenudin Abdul Majid dan dilengkapi dengan
terjemahannya ……..…..dst…..Tahun 2007, serta Bukti Tergugat II
Intervensi No. 34, yaitu berupa Foto-foto kegiatan perayaan hari ulang
tahun NW ke-27 Tahun 2007, sangat tidak berkesesuaian dengan fakta
bukti, yaitu Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor :
AHU-00297.60.10.2014, tanggal 11 Juli 2014 tentang Pengesahan
Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Nahdlatul Wathan, yang
merupakan Akta Pendirian BARU Badan Hukum Perkumpulan NW,
yang menjadi Objek Sengketa didalam Gugatan Pemohon Kasasi
(dahulu Penggugat/Terbanding);
49
Mohon Perhatian Majelis Hakim Agung Yang Mulia,
3. Bahwa bagaimana mungkin Badan Hukum Perkumpulan Nahdlatul
Wathan versi Termohon Kasasi II (dahulu Tergugat II Intervensi/
Terbanding) yang baru berdiri pada tanggal 11 Juli 2014, kemudian
merayakan hari Ulang Tahun NW yang ke-27 pada Tahun 2007,
dimana Termohon Kasasi II mengklaim dirinya sebagai Pengurus
Besar NW yang SAH dari hasil Muktamar ke-10, di Praya pada Tahun
1999, hal ini sebagaimana Fakta Hukum dalam pertimbangan hukum
Judex Facti Tingkat Pertama halaman 87, angka 8, Putusan PTUN
Jakarta;
4. Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama pada
halaman 86 sampai dengan 87, angka 6 tidak berkesesuaian dengan
fakta bukti dipersidangan karena berdasarkan fakta bukti, didalam
Anggaran Dasar dan Anggaran Dasar Rumah Tangga (AD-ART) NW
tidak tercantum/disebutkan secara Tegas dan Lugas bahwa NW harus
di pimpin oleh laki-laki, demikian pula tidak tercantum/disebutkan
didalam buku Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru Khusus
Untuk Keluarga NW, Pancor Bermi, 9 Dzulhijah
1401 H, 7 Oktober 1981 M, halaman 99, ditulis oleh TGKH
Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid (Pendiri NWDI, NBDI, NW) (vide : buku
terlampir) sebagaimana pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama pada
halaman 87 alinea 1, Putusan PTUN Jakarta, sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa uraian fakta-fakta hukum diatas menunjukkan
bahwa telah terjadi perpecahan dan konflik internal Organisasi
Nahdlatul Wathan, yang meliputi perbedaan pandangan tentang
kedudukan perempuan untuk menjadi pemimpin organisasi Nahdlatul
Wathan dan tidak dijalankannya FATWA dari pendiri Nahdlatul
Wathan, yang memfatwakan bahwa Organisasi Nahdlatul Wathan
harus dipimpin oleh laki-laki. Hal demikian tercantum dalam wasiat
Pendiri Organisasi NW Kyai Hamzanwadi (Pendiri NWDI dan NW,
50
dalam buku Wasiat Renungan Masa Pengalaman Baru, khusus
Keluarga NW, Pancor Bermi, 9 Dzulhijah 1401 H, 7 Oktober 1981 M,
halaman 99, yang berbunyi : Azas NW jangan diubah, sepanjang masa
sepanjang sanah, Sunnah Jama’ah dalam aqidah, Mahzab Syafi’I
dalam syariah”;
5. Bahwa pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama pada
halaman 87 sampai dengan 96 dalam Putusan PTUN Jakarta, sangat
keliru dan tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya dan telah
melakukan kesalahan fatal dalam pertimbangan hukum perkara a quo.
Hal ini dapat terlihat dimana Objek Sengketa dalam perkara a quo
bukanlah tentang Wasiat Pendiri NW ataupun tentang kedudukan
perempuan sebagai pemimpin perkumpulan sebagaimana kutipan
pertimbangan hukum Judex Facti Tingkat Pertama pada halaman 87
sampai dengan 96 dalam Putusan PTUN Jakarta, oleh karena didalam
buku Renungan Buku Wasiat Pendiri NW, pada halaman 99 buku
tersebut tidak tertulis Wasiat Pendiri NW sebagaimana dalam
pertimbangan hukum tersebut diatas;
6. Hal ini jelas Judex Facti pada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
telah melakukan kesalahan berat, oleh karena telah mengutip sesuatu
hal yang tidak pernah diajukan dalam persidangan;
Penulis mengkaji bahwa ada hal yang tidak sesuai menyimpang dari
mekanisme peraturan perundang-undangan sehingga dari memicu munculnya
sebuah komplik misalnya SK yang di terbitkan dari Mengkumham pada tahun
2014 Nomor AHU-00297.60.10.2014, itu artinya organisasi kemasyarakatan
Nahdaltul Wathan di daftarkan kembali pada tahun 2014 seolah-olah
organisasi ini berdiri pada tahun itu, jauh berbanding arah kalo penulis
sandingkan pada Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 yang terdapat pada
pasal 83 yakni Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:45
45 Lihat pasal 83 UU No 17 tahun 2013
51
Penulis mengkaji bunyi pasal 83 konteks bahasa yang digunakan
masih tergolong menggunakan bahasa yang bersifat anjuran, artinya bahasa
yang digunakan tidak begitu menegaskan misalnya pada bagian penggalan
kata “tidak perlu melakukan pendaftaran sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang ini” kata perlu masih bisa di konotasikan berdasarkan keperluan,
kebutuhan bahkan kepentingan, sehingga ketika ada organisasi kemasyarakat
yang terjadi komflik ditubuh internal organisasi yang bisa saja menimbulkan
perpecahan kepengurusan dan menimbulkan dualisme dalam 1 (satu) bentuk
organisasi yang sama sebagaian atau keseluruhan, sehingga organisasi yang
berdiri sebelum atau sesudah Kemerdekaan Indonesia yang mengacu pada
Staatsblad pasal 83 Undang-Undang Ormas akan dimamfaatkan sebelah
pihak berlomba-lomba mendaftarkan kembali organisasi berdasarkan
keperluan kebutuhan dan/atau kepentingan salah satu pihak.
Sehingga di internal tubuh kepengurusan ada yang merasa dirugikan
komplik internal Nahdatul Wathan sangat dahsyat butuh proses lama
meredamlan komlik tersebut yang seharusnya pemerintah menjadiakan hal itu
menjadi kajian yang lebih serius dalam mengambil langkah trutama dalam
menerbitkan status badan hukum setiap ormas bahkan kalo kita sama-sama
pahami undang-undang tentang Ormas itu sendir bisa dianggap cukum
komplit tinggal bagai mana upaya penerapan yang baik sehingga tidak
memicu hal-hal yang tidak kita inginkan dalam hal pendaftaran misalnya
yang terdapat pada pasal 12 huruf (f) surut pernyataan tidak sedang dalam
sengketa kepengurusan atau dalam perkara pengadilan akan tetapi sangat
berbea dari regulasi peraturan perundang-undangan.
Peranan pengadilan harus memberiakan kepastaian berdasrkan aturan
perundang-undangan sehingga tidak memunculkan dua badan hukum dengan
lembaga nama yang sama untuk mengantisipasi gesekan-gesekan sosial yang
akan ditimbulkan. Dalam Undang-Undang Nomor : 17 Tahun 2013 tentang
52
organisasi kemasyarakatan terdapat larangan-larangan pada Pasal 59 Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang hal-hal yang dilarang.46
Pasal 59 berbunyi sebagai berikut;
(1) Ormas dilarang
a. Menggunakan bendera atau lambang yang sama dengan bendera
atau lambang negara Republik Indonesia menjadi bendera atau
lambang ormas;
b. Menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama
dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintah;
c. Menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara
lain atau lembaga atau badan internasional menjadi nama, lembaga,
atau bendera Ormas;
d. Menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi
yang mempunyai persamaan pada pokonya atau keseluruhannya
dengan, nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi gerakan
separatis atau organisasi terlarang; atau
e. Menggunakan nama, lambang, bendera, atau tanda gambar yang
mempunyai persamaan pada pokonya atau keseluruhan dengan
nama, lambang, bendera, atau tanda gambar ormas lain atau partai
politik
(2) Ormas dilarang
a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau
golongan;
b. Melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap
agama yang dianut di Indonesia;
c. Melakukan kegiatan sparatis yang mengancam kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
46Lihat pasal 59 UU No 17 Tahun 2013
53
d. Melakukan tindakan kekerasan, menggangu ketentraman dan
ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;
atau
e. Melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ormas dilarang
a. Menerima dari atau memberikan kepada pihak mana pun
sumbangan dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b. Mengumpulkan dana untuk parai politik.
(4) 0rmas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran
atau paham yang bertentangan dengan Pancasila
Jadi, sangat jelas hal-hal yang dilarang dalam Undang-undang Nomor 17
Tahun 2013 mengenai keberadaan atau pendirian organisasi kemasyarakatan,
demi menghindari ketertiban sehingga konflik-konflik yang bisa saja terjadi
dimasing-masing organisasi kemasyarakatan dikarenakan kepentingan
sehingga memicu adanya konflik antar ormas yang satu dengan yang lain atau
bahkan konflik internal dalam satu tubuh ormas sehingga menimbulkan
sengketa dan bahkan menerbitkan dua badan hukum ormas yang sama baik
itulambang, bendera secara sebagian maupun secara keseluruhan, untuk
mengantisipasi hal tersebut maka undang-undang ormas sangat jelas
mengatur hal-hal yang dilarang.
Mengacu pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 37 K/TUN/2016
dalam peroses peradilan pengadialan Mahkamah Agung atau tingakat Kasasi,
adapun para pihak diantaranya Hj. Sitti Raihanun Zainuddin, AM, TGH. Lalu
Abdul Muhyi Abidin, M.A., dalam putusan ini menjabat masing-masing
sebagai Ketua Umum Pengurus Besar dan Sekertaris Jenderal Pengurus
Besar, selanjutnya memberiakan kuasa kepada H. Rofiq Ashari, SH., Hj. BQ.
Diana Susilawaty, SH., Herwinsyah, SH., Pria Ramadhan, SH. Dan Dewi
Ameliah, SH., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 1 oktober 2015,
54
sebagai Pemohon Kasasi dahulu sebagai pembanding/penggugat melawan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, memberikan kuasa pada Prof.
Harkrisnowo, SH., M.A., Ph.D., Kadari Agus Rahardjo, Maftuh, Hendra
Andy Setya Gurning, Iwan Setiawan, Hilda Mulyain, Prihartono Kurniawan,
Paraitody Ritno Hakim dan Daniel Duardo Noorwijonarko., Kesemuanya
Warganegara Indonesia, Pekerjaan Pegawai Pada Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia RI, alamat di gedung Sentra Mulia Jalan HR. Rasuna
Said Kav. X-6/8 Lantai 6, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus Nomor : M.HH.HM.07.03-30, tanggal 12 November 2014, Dr.
Tgkh M. Zainul Majdi, M.A., Kewarganegaraan Indonesia, Pekerjaan
Gubernur Nusa Tenggara Barat, dalam hal ini bertindak dalam Jabatannya
selaku Ketua Umum Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Wathan,
berkedudukan di Pancor, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara
Barat, Tgh. Hudatullah Muhibbuddin Abdul Aziz., Kewarganegaraan
Indonesia, dalam hal ini bertindak dalam jabatannya selaku Rais’am Dewan
Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Wathan, berkedudukan di Pancor,
Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Selanjutnya
memberi kuasa kepada: Herman Saputra, SH., MH. dan Burhanudin, SH.,
keduanya adalah Advokat berkantor pada Kantor Hukum Burhanuddin, SH.
& Rekan, beralamat di Jalan gili Meno Nomor 2 BTN Griya Pagutan Indah,
Pagutan Barat, Kota Mataram - NTB, kewarganegaraan Indonesia,
berdasarkan Surat kuasa Khusus Nomor 02 desember 2014 Termohon Kasasi
dahulu sebagai Terbanding I, II/Tergugat dan Tergugat II Intervensi
Dalam proses hukum yang dilakuakan dari tingkat Pengadilan Tata
Usaha Negara sanpai pada tingakat pengadilan Mahkamah Agung atau Kasasi
Majlis Hakim Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum untuk
memberikan sebuah kepastian hukum dari proses yang dilakukan yakni
pertimbangan hukum Menimbang, bahwa terhadap hal-hal tersebut
Mahkamah Agung berpendapat Bahwa alasan-alasan tersebut dapat
55
dibenarkan, karena Judex Facti telah salah menerapkan hukum dengan
pertimbangan sebagai berikut:
Bahwa Keputusan Tata Usaha Negara Objek Sengketa berupa
Surat Keputusan Menteri hukum dan Ham Asasi Manusia nomor: AHU-
00297.60.10.2014 tanggal 11 Juli 2014 tentang pendaftaran Organisasi
Nahdlatul Wathan sebagai badan hukum perkumpulan telah diterbitkan oleh
Tergugat bertentangan dengan hukum, karena sebelumnya telah berdiri
organisasi dengan nama yang sama dan telah didaftarkan serta ditetapkan
oleh Menteri Kehakiman RI melalui Surat No.J.A.5/105/5, tanggal 17
Oktober 1960 dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara No.90 tanggal
8 November 1960 dan Terdaftar di Kementerian Dalam Negeri RI No.
SKT:01-00/0066/D.III.4/III/2012 tanggal 30 Maret 2012. Tergugat
seharusnya tidak menerbitkan objek sengketa karena pengesahan badan
hukum perkumpulan tidak dapat diberikan apabila sudah ada perkumpulan
dengan nama yang sama sebelumnya.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut pendapat
Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan
kasasi dari Pemohon Kasasi : NAHDATUL WATHAN; Menimbang, bahwa
oleh sebab itu Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
186/B/2015/PT.TUN.JKT., tanggal 28 Agustus 2015 yang menguatkan
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
203/G/2014/PTUN.JKT., tanggal 16 April 2015 tidak dapat dipertahankan
dan harus dibatalkan. Selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri
perkara ini sebagaimana disebut dalam amar putusan di bawah ini;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim Agung telah membaca dan
mempelajari Jawaban Memori Kasasi, namun tidak ditemukan hal-hal yang
dapat melemahkan alasan kasasi dari Pemohon Kasasi; Menimbang, bahwa
dengan dikabulkannya permohonan kasasi, maka Termohon Kasasi
56
dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk
membayar biaya perkara dalam semua tingkat pengadilan;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait;
MENGADILI,
Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi:
NAHDLATUL WATHAN tersebu; Membatalkan Putusan Putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
186/B/2015/PT.TUN.JKT., tanggal 28 Agustus 2015 yang menguatkan
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
203/G/2014/PTUN.JKT., tanggal 16 April 2015;
MENGADILI SENDIRI,
Mengabulkan gugatan Penggugat;Membatalkan Surat Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor AHU-00297.60.10.2014
menghukum para termohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam
semua tingkat pengadilan, yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar
Rp 500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah)
E. PEMBUBARAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA PUTUSAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 27 K/TUN/2019 BERDASARKAN
PERPU NOMOR 2 TAHUN 2017
57
Setiap warga negara memiliki Hak dan Kewajiban menjaga keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap individu berhak
mendapatkan perlindungan dan negara menjamin hal itu. Setiap warga negara
juga berhak membentuk suatu perkumpuan atau berserikat bersama individu-
individu lainya dan hal itu pemerintah menjanin, melalui peraturan
perundang-undangan organisasi kemasyarakatan selama organisasi tersebut
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, setiap
warga negara berhak menyampaikan aspirasinya baik itu secara individu
maupun organisasi yang tempat mereka bernaung atau organisasi masyarakat
kebebasan menyampaiakan pendapat di muka umum. Berkaitan dengan hal
ini, dalam Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
terdapat pada Pasal 28 berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran baik dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia telah menjamin untuk berkumpul dan menyatukan pikiran dalam
membentuk sebuah wadah organisasi kemasyarakatan.
Kebebasan dalam artian yang sesuai dengan kaidah hidup bersosial
dan bermasyarakat, karna kita sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup
sendirian dan hal yang wajib pasti kita membutuhkan orang lain. Begitu pula
ketika seorang individu-individu ingin menyatukan persepsi, berdiskusi untuk
menyatukan tujuan perlu kiranya membentuk sebuah wadah dalam hal ini
adalah organisasi masyarakat sebagai jalan atau instrumen dalam mencapai
sebuah tujuan, membentuk sebuah wadah yang dinamakan organisasi
kemasyarakatan tentunya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang mengatur tata
cara mendirikan organisasi kemasyarakatan sedemikian rupa mulai dari nama,
lambang, atribut-atribut seperti bendera bahkan aktifitas organisasi itu sendiri
agar hal-hal yang dilakukan tidak melanggar aturan-aturan dan tidak
mengganggu ketertiban umum atau bahkan sampai mengancam keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
58
Akan tetapi, meskipun ada peraturan perundang-undangan yang
mengatur hal tersebut, ada pula organisasi yang melakukan tindakan yang
kurang baik sehingga pemerintah mengambil langkah dalam upaya menjaga
persatuan dan keutuhan bangsa.
BAGAN 2: MEKANISME DALAM PEMBUBARAN ORGANISASI
KEMASYARAKATAN
Keterangan :
1. Pemerintah atau Pemerintah daerah memberikan sanksi administratif
kepada ormas yang melakukan pelanggaran, sanksi administratif
berupa peringatan tertulis, penghentian bantuan, dan pencabutan surat
keterangan terdaftar dan status badan hukum.
2. Ormas yang melakukan pelanggaran diberikan sanksi administratif
berupa peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali.
3. Ormas yang sudah mendapatkan peringatan tertulis sebanyak 3 kali
tetapi tetap melakukan pelanggaran maka akan dihentikan
mendapatkan bantuan.
PEMERINTAH ATAU
PEMERINTAH DAERAH
SANKSI ADMINISTRATIF
ORMAS
TIDAK
BERBADAN
HUKUM
BERBADAN
HUKUM
PENGHENTIAN
SEMENTARA KEGIATAN
Pencabutan Surat
Keterangan
Terdaftar Dan
Status Badan
Hukum
Penghentian
Bantuan
Peringatan Tertulis
59
4. Ormas yang sudah mendapat peringatan tertulis dan penghentian
mendapat bantuan tetapi tetap melakukan pelanggaran maka akan
dicabut surat Keterangan terdaftar dan setatus badan hukum.
5. Ormas yang berbadan hukum yang sudah mendapat peringatan tertulis,
penghentian bantuan, dan pencabutan surat keterangan terdaftar dan
status badan hukum maka kegiatan ormas tersebut dihentikan
sementara.
6. Ormas yang tidak berbadan hukum tidak diatur secara khusus dalam
bab atau pasal tersendiri seperti pendirian ormas.
Table 3: mekanisme Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan
No Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2013 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan
Perppu Nomor 2 Tahun
2017 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan
1. Dalam Pasal 61 organisasi
masyarakat yang telah melakukan
pelanggaran maka organisasi
masyarakat tersebut dapat dikenai
berupa sanksi administratif yaitu
terdiri atas;
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian bantuan
dan/atau hibah;
c. Penghentian sementara
kegitan;dan/atau
d. Pencabutan surat
keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan
hukum.
Apabila organisasi masyarakat tidak
mematuhi sampai peringatan tertulis
ketiga maka pemerintah daerah
dapat melakukan penghentian
sementara terhadap kegiatan
organisasi masyarakat tersebut,
Didalam pasal 61 organisasi
masyarakat yang telah
melakukan pelanggaran maka
organisasi masyarakat tersebut
dapat dikenai berupa sanksi
administratif yaitu terdiri atas;
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian kegiatan;
dan/atau
c. Pencabutan surat
keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan
hukum.
Terdapat sedikit perbedaan
yakni pengurangan poin yang
dicabut poin (c) yang terdapat
pada undang-undang nomor
17 tahun 2013 yang berbunyi
“penghentian sementara
kegitan” ormas yang sudah
dijatuhkansanksiadministratif.
60
namun apabila organisasi
masyarakat bersifat nasional maka
pemerintah wajib melakukan
pertimbangan hukum dari
Mahkamah Agung. Dengan tahapan-
tahapan proses yakni Permohonan
pembubaran Organisasi Masyarakat
berbadan hukum dibawa ke ranah
pengadilan tingkat pertama
Pengadilan Negeri oleh kejaksaan
hanya atas permintaan tertulis dari
menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintah di bidang hukum
dan hak asasi manusia. Diajukan
kepada ketua Pengadilan Negeri
setempat sesuai dengan tempat atau
domisili hukum Organisasi
Masyarakat ke panitra untuk
mencatat pendaftaran permohonan
pembubaran Organisasi
Kemasyarakat sesuai dengan tanggal
pengajuan serta harus disertai
dengan bukti penjatuhan sanksi
administratif oleh Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
Sumber : Bahan Hukum Diolah
Di dalam pasal 61 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor: 2 Tahun 2017 organisasi kemasyarkatan yang
sudah dijatuhkan sanksi administratif.47
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian kegiatan; dan/atau
c. Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan
hukum.
Lebih jelasnya lagi diuraikan pada Pasal 62 menyebutkan peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada Pasal 61 tentang penjatuhan sanksi
47Lihat pasal 61 Perppu Ormas Nomor 2 Tahun 2017
61
administratif menurut ketentuan Perppu nomor 2 Tahun 2017 tentang
Organisasi Kemasyarakatan,48
(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1)
huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh)
hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.
(2) Dalam hal ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mentri dan mentri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dan hak
asasi manusia sesuai dengan kewenangan menjatuhkan sanksi
penghentian kegiatan.
(3) Dalam hal ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak
asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan
surat keterangan terdaftar atau setatus badan hukum.
Apabila organisasi kemasyarakatan tidak mematuhi sanksi
administrasi sampai dengan peringatan tertulis maka pemerintah daerah
dapat menghentikan sementara kegiatan organisasi tersebut, namu apabila
apabila organisasi masyarakat berbentu struktural dari tingkatan nasional
sampai tingkat daerah maka pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum
dari Mahkamah Agung.
Pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena
dianggap telah melakukan pelanggaran peraturan Perundang-Undangan yang
mengatur tentang organisasi kemasyarakatan, melalui putusan pengadilan
tingkat Pengadilan Mahkamah Agung atau tingkat Kasasi Putusan Nomor: 27
K/TUN/2019 hasil putusan sebagai berikut:49
48 Lihat pasal 62 Perppu Ormas Nomor 2 Tahun 2017 49Direktori Putusan Nomor 27 K/TUN/2019 Mahkamah Agung Republik Indonesia
putusan.mahkamahagung.go.id
62
Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),beralamat di Gedung
Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia, Crown Palace, Jalan Prof. Dr.
Soepomo, S.H. Nomor 231, Jakarta Selatan, yang diwakili oleh Ir. H.
Ismail Yusanto, M.M., jabatan Anggota sekaligus menjabat Sekretaris
Umum/Juru Bicara Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia; Selanjutnya
dalam hal ini diwakili oleh kuasa Prof. Dr. Yusril Ihza
Mahendra,S.H.,M.Sc., dan kawan-kawan,kewarganegaraan Indonesia, para
Advokat pada Ihza & Ihza Law Firm, beralamat di Jakarta Selatan,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 070/SK.TUN/I&I/X/18, tanggal
8 Oktober 2018;
Pemohon Kasasi;
Lawan menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, tempat kedudukan di Jalan H.R. Rasuna Said Kav 6 – 7
Kuningan, Jakarta Selatan 12940;Dalam hal ini diwakili oleh kuasa
Cahyo Rahadian Muzhar, S.H., LL.M., kewarganegaraan Indonesia,
jabatan Plt. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum/Direktur
Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia dan kawan-kawan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
Nomor M.HH.HH.07.04-50.1, tanggal 25 Oktober 2018;
Termohon Kasasi;
Mahkamah Agung tersebut;Perkumpulan hizbut tahrir indonesia
(hti), beralamat di Gedung Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia, Crown
Palace, Jalan Prof. Dr. Soepomo, S.H. Nomor 231, Jakarta Selatan, yang
diwakili oleh Ir. H. Ismail Yusanto, M.M., jabatan Anggota sekaligus
menjabat Sekretaris Umum/Juru Bicara Perkumpulan Hizbut Tahrir
Indonesia; Selanjutnya dalam hal ini diwakili oleh kuasa Prof. Dr. Yusril
Ihza Mahendra, S.H., M.Sc., dan kawan-kawan, kewarganegaraan
Indonesia, para Advokat pada Ihza & Ihza Law Firm, beralamat di Jakarta
Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 070/SK.TUN/I&I/X/18,
tanggal 8 Oktober 2018;
63
Pemohon Kasasi;
Lawan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia, tempat kedudukan di Jalan H.R. Rasuna Said Kav 6 – 7
Kuningan, Jakarta Selatan 12940;Dalam hal ini diwakili oleh kuasa
Cahyo Rahadian Muzhar, S.H., LL.M., kewarganegaraan Indonesia,
jabatan Plt. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum/Direktur
Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia dan kawan-kawan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus
Nomor M.HH.HH.07.04-50.1, tanggal 25 Oktober 2018;
Termohon Kasasi;
Mahkamah Agung tersebut Membaca surat-surat yang
bersangkutan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari putusan ini
menimbang, bahwa berdasarkan surat-surat yang bersangkutan,Penggugat
dalam gugatannya memohon kepada Pengadilan untuk memberikan
putusan sebagai berikut Dalam Penundaan:
1. Mengabulkan permohonan penundaan objek sengketa;
2. Memerintahkan Tergugat untuk menunda pelaksanaan Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan
Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia,
tanggal 19 Juli 2017, dalam sengketa yang sedang berjalan sampai
dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-
30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
64
surat keputusan Nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang
Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), tanggal 19 Juli 2017;
3. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian
Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
tanggal 19 Juli 2017;
4. Menghukum Tergugat membayar biaya yang timbul dalam
perkara a quo;
Atau apabila Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta
berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);
Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut, Tergugat mengajukan
eksepsi sebagai berikut;
- Eksepsi terhadap kedudukan hukum (Legal Standing) Penggugat;
- Tentang Asas Praduga Rechmatig;
- Hanya subjek hukum yang berhak mengajukan gugatan;
Menimbang, bahwa gugatan tersebut ditolak oleh Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta dengan Putusan Nomor 211/G/2017/PTUN-JKT.,
tanggal 7 Mei 2018, kemudian di tingkat banding putusan tersebut
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dengan
Putusan Nomor 196/B/2018/PT.TUN.JKT., tanggal 19 September 2018;
Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada
Pemohon Kasasi pada tanggal 27 September 2018, kemudian terhadapnya
oleh Pemohon Kasasi diajukan permohonan kasasi secara lisan pada
tanggal 9 Oktober 2018, permohonan tersebut diikuti dengan Memori
Kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut pada tanggal 19 Oktober
2018 menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-
65
alasannya telah sampaikan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan
dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-
undang, oleh karena itu permohonan kasasi tersebut secara formal dapat
diterima;
Menimbang, bahwa berdasarkan Memori Kasasi yang diterima pada
tanggal 19 Oktober 2018, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Putusan ini, Pemohon Kasasi meminta agar:
1. Menerima permohonan kasasi Pemohon Kasasi/Penggugat;
2. Mengabulkan permohonan kasasi Pemohon
Kasasi/Penggugat untuk seluruhnya;
3. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Jakarta Nomor 196/B/2018/PT.TUN.JKT., tanggal 19 September
2018;
Mengadili Sendiri Dalam Penundaan:
1. Mengabulkan permohonan penundaan objek sengketa;
2. Memerintahkan Termohon Kasasi/Tergugat untuk menunda
pelaksanaan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017
tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-00282.60.10.2014
tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut
Tahrir Indonesia, tanggal 19 Juli 2017, dalam sengketa yang
sedang berjalan sampai dengan adanya keputusan yang
berkekuatan hukum tetap;
Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat untuk
seluruhnya;
2. Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-30.AH.01.08
Tahun 2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-
66
00282.60.10.2014 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum
Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), tanggal 19 Juli 2017;
3. Mewajibkan Termohon Kasasi/Tergugat untuk mencabut
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang
Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor AHU-00282.60.10.2014 tentang
Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), tanggal 19 Juli 2017;
4. Menghukum Termohon Kasasi/Tergugat membayar biaya yang
timbul dalam perkara a quo;
Menimbang, bahwa terhadap Memori Kasasi, sehingga Termohon Kasasi
di Mahkamah Agung telah mengajukan Kontra Memori Kasasi pada
tanggal 2 November 2018 yang pada intinya agar menolak permohonan
kasasi dari pihak Pemohon Kasasi;
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah
Agung berpendapat yakni:
Menimbang, bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,putusan
Judex Facti sudah benar dan tidak terdapat kesalahan dalam penerapan
hukum, dengan pertimbangan sebagai berikut:
− bahwa Pemohon Kasasi/Dahulu Penggugat telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 59 ayat (4) huruf c Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disebut Perppu
Ormas) yang prosedur penjatuhan sanksinya singkat dan cukup
meminta pertimbangan dari instansi terkait in casu Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI oleh
karenanya secara prosedural tindakan Termohon Kasasi/Dahulu
Tergugat telah sesuai dengan Pasal 61 ayat (4) Perppu Ormas;
− bahwa selanjutnya melalui pendekatan historis, Para Pendiri Bangsa
67
telah menyepakati Pancasila sebagai dasar Negara Republik
Indonesia sedangkan Pemohon Kasasi/Dahulu Penggugat telah
melakukan kegiatan yang mengembangkan paham yang
bertentangan dengan Pancasila oleh karenanya secara substansi
tindakan Pemohon Kasasi/Dahulu Penggugat telah melanggar Pasal
59 ayat (4) huruf c Perppu Ormas beserta penjelasannya sehingga
cukup alasan hukum kepada Pemohon Kasasi/Dahulu Penggugat
dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 60
ayat (2) juncto Pasal 61 ayat (3) Perppu Ormas;
− bahwa dengan demikian penerbitan keputusan tata usaha negara
objek sengketa tidak mengandung cacat yuridis dari segi
kewenangan, prosedur maupun substansi serta tidak bertentangan
dengan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik oleh karenanya
gugatan Pemohon Kasasi/Dahulu Penggugat harus ditolak;
Menimbang, bahwa di samping itu alasan-alasan tersebut pada
hakikatnya mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena
pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak
dilaksanakan atau ada kesalahan dalam pelaksanaan hukum, sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, putusan
Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, karenanya permohonan kasasi tersebut harus ditolak,
dan sebagai pihak yang kalah Pemohon Kasasi dihukum membayar biaya
perkara selama perkara tingkat kasasi;
Memperhatikan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun
68
1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, serta peraturan
perundang-undangan lain yang terkait;
MENGADILI:
1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi:
PERKUMPULAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI);
2. Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara pada
tingkat kasasi sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu Rupiah);
Dengan demikian Mahkamah Agung menolak gugatan, pemohon
ditolak karena penggugat telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 59 ayat
(4) huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan (selanjutnya disebut Perppu Ormas) yang
prosedur penjatuhan sanksinya singkat dan cukup meminta pertimbangan dari
instansi terkait in casu. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan
Keamanan RI secara prosedural tindakan termohon kasasi/dahulu tergugat
telah sesuai dengan Pasal 61 ayat (4) Perppu Ormas;bahwa selanjutnya
melalui pendekatan historis, para pendiri bangsa telah menyepakati Pancasila
sebagai dasar Negara Republik Indonesia sedangkan pemohon kasasi atau
dahulu penggugat telah melakukan kegiatan yang mengembangkan paham
yang bertentangan dengan Pancasila oleh karenanya secara substansi tindakan
Pemohon kasasi atau dahulu Penggugat telah melanggar Pasal 59 ayat (4)
huruf c, yang pada intinya agar menolak permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi; Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan kasasi tersebut.
Mahkamah Agung berpendapat: Menimbang, bahwa alasan-alasan
tersebut tidak dapat dibenarkan, putusan Judex Facti sudah benar dan tidak
69
terdapat kesalahan dalam penerapan hukum, dengan pertimbangan sebagai
berikut: bahwa pemohon kasasiatau dahulu penggugat telah melakukan
pelanggaran terhadap Pasal 59 ayat (4) huruf c Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(selanjutnya disebut Perppu Ormas) yang prosedur penjatuhan sanksinya
singkat dan cukup meminta pertimbangan dari instansi terkait in casu.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI oleh
karenanya secara prosedural tindakan termohon Kasasi atau dahulu telah
tergugat sesuai dengan Pasal 61 ayat (4) Perppu Ormas; bahwa selanjutnya
melalui pendekatan historis, para pendiri bangsa telah menyepakati Pancasila
sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Sedangkan, pemohon kasasi atau
penggugat dahulu telah melakukan kegiatan yang mengembangkan paham
yang bertentangan dengan Pancasila. Oleh karena itu, secara substansi
tindakan pemohon kasasi atau dahulu penggugat telah melanggar Pasal 59
ayat (4) huruf c Perppu Ormas beserta penjelasannya sehingga cukup alasan
hukum kepada pemohon kasasi atau penggugat dahulu dikenakan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (2) juncto Pasal 61 ayat
(3) Perppu Ormas; bahwa dengan demikian penerbitan keputusan tata usaha
negara objek sengketa tidak mengandung cacat yuridis dari segi kewenangan,
prosedur maupun substansi serta tidak bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Oleh karena itu, gugatan pemohon kasasi atau
penggugat dahulu harus ditolak, menimbang bahwa disamping itu alasan-
alasan tersebut pada hakikatnya mengenai penilaian hasil pembuktian yang
bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal ini tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan
pada tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada
kesalahan dalam pelaksanaan hukum, sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, dan
perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
70
Untuk itu perlu penulis menguraikan bunyi Pasal 59 Peraturan
Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan sebagai berikut. bunyi Pasal 59 diubah sehingga lebih jelas
penjelasanya mengenai hal-hal larangan ormas, sebagai batasan organisasi
kemasyarakatan seperti yang tertuang pada pasal 59 Perppu Ormas Nomor 2
Tahun 2017.50
(1) Ormas dilarang:
a. Menggunakan nama, lambang, bendera, atau atribut yang sama
dengan nama, lambang, bendera, atau atribut lembaga pemerintah;
b. Menggunakan dengan tanpa izin nama, lambang, bendera negara
lain atau lembaga/badan internasional menjadi nama, lambang, atau
bendera Ormas; dan/atau
c. Menggunakan nama, lambang, bendera atau tanda gambar yang
mempunyai persamaan pada pokonya atau keseluruhanya dengan
nama, lambang, bendera, atau tanda gambar Ormas lain atau partai
politik.
(2) Ormas dilarang:
a. Menerima dari atau memberikan kepada pihak manapun
sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
b. Mengumpulkan dana untuk partai politik.
(3) Ormas dilarang
a. Melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau
golongan;
b. Melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap
agama yang dianut di Indonesia;
c. Melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketentraman dan
ketertiban umum,atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial;
dan/atau
50lihat pasal 59 Perppu ormas Nomor 2 Tahun 2013
71
d. Melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak
hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ormas dilarang:
a. Menggunakan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi
yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi terlarang;
b. Melakukan kegiatan separatis yang mengecam kedaulatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia; dan/ atau
c. Menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham
yang bertentangan dengan Pancasila.
Organisasi Masyarakat yang terbukti bersalah maka Organisasi
Masyarakat tersebut dapat dibubarkan oleh Pengadilan, namun yang menjadi
permasalahan dalam hal ini adalah tidak mungkin organisasi masyarakat
begitu mudah untuk dibubarkan sama halnya dengan organisasi masyarakat
Hizbut Tahrir Indonesia yang kerap melakukan tindakan anarkis seperti yang
sering diberitakan media televisi, begitu panjang proses yang harus dilalui
bahkan sampai pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017
sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan, dikarenakan Undang-Undang 17 tahun 2013
masih ada hal-hal yang belum termuat didalamnya.
Serta di dalam undang-undang tersebut tidak jelas mengatur kesalahan
seperti apa yang dilakukan suatu organisasi masyarakat sehingga organisasi
masyarakat tersebut layak untuk dibubarkan dan bagaimana kriterianya, hal
ini merupakan adanya hal yang belum diatur atau tidak begitu jelas penjelasan
pasal-pasal didalamnya, misalnya dalam Perppu nomor 2 tahun 2017 pasal 59
ayat 4 hurup c yang berbunyi “menganut, mengembangkan, serta
menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasil”, tidak
begitu dijelaskan begitu detail paham yang di mksud sehingga akan
menimbulkan banyak persepsi dan penapsiran, hanya menjelaskan ajaran atau
paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran ateisme,
72
komunisme/ marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan
mengganti/ mengubah Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, sehingga penegakan dan penerapan hukum oleh pihak
yang berwenang khususnya di Negara Kesatuan Republik Indonesia sering
kali menghadapi kendala berkaitan dengan perkembangan masyarakat,
bagaimana kasus yang telah terjadi menggambarkan sulitnya penegak hukum
atau aparat hukum mencari cara agar hukum dapat sejalan dengan norma
yang hidup di tengah masyarakat.
Namun, perkembangan masyarakat lebih cepat dari perkembangan
aturan Perundang-Undangan, sehingga perkembangan dalam masyarakat
tersebut menjadi titik tolak dari keberadaan suatu peraturan. Dalam
kehidupan bermasyarakat pasti ada gejala-gejala sosial maka diperlukan suatu
sistem hukum komprensif untuk menciptakan kehidupan sosial
bermasyarakat yang harmonis dan teratur dalam menjalakan kehidupan sosial.
Kenyataan hukum atau praturan perundang-undangan yang dibuat tidak
mencakup seluruh perkara yang timbul dalam masyarakat dan memunculkan
perbaharuan peraturan Perundang-Undangan sehingga kesan yang ada terlalu
politis yang menimbulkan opini ditengah-tengah masyarakat aturan itu hanya
melindungi kepentingan penguasa bukan melindungi kepentingan negara.
Oleh karena itu, organisasi kemasyarakatan Hizbut Tahtir Indonesia
yang dianggap melakukan tindakan pelanggaran, pemerintah dalam hal ini
Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan dan menghapus 17 pasal
norma didalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi
kemasyarakatan terkait dengan penghapusan kewenangan pengadilan untuk
menilai dan memutuskan apakah organisasi kemasyarakatan yang dituduh
pemerintah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang sehingga layak
untuk dibubarkan dan pemberian berbagai sanksi pidana terhadap mereka
yang merupakan anggota organisasi kemasyarakatan yang dianggap
73
menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham yang bertentangan
dengan Pancasila dan dasar peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
itu, organisasi kemasyarakatan pemohon yang ikut mendirikan dan
membinanya dibubarkan secara sepihak oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Jadi, menurut penulis tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk
menghapus 17 pasal dalam undang-undang nomor 17 Tahun 2013 kemudian
digantikan dengan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2013 yang menghapus kewenangan badan peradilan, pemerintah
terkesan tidak percaya lagi dengan badan peradilan yang ada untuk mengadili
semua jenis perkara di Indonesia, sehingga fungsi dan wewenang badan
peradilan yang mengadili suatu perkara tertentu sesuai dengan kewenangan
dan jenis perkara yang seharusnya melalui tahapan proses badan peradilan
pemerintah dengan begitu saja menggunakan kekuasaannya mengambil
kewenangan badan peradilan walaupun secara kewenangan pemerintah
diberikan kewenangan oleh Undang-Undang untuk menerbitkan Peraturan
Pemerintah sebagai pengganti undang-undang yang telah ada, hal yang
ditakutkan sebagai warga negara yang dibawah kepemimpinannya semua
kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang digunakan dengan tidak
sewajarnya demi memuluskan kepentingannya, mengendalikan hal-hal yang
dianggap sebagai penghambat segala bentuk kebijakannya, kesannya terlalu
politis, bukan melindungi kepentingan negara atau menjaga keutuhan bangsa
Indonesia akan tetapi lebih kepada melindungi kepentingan penguasa dalam
menerbitkan segala bentuk kebijakan selama berada dalam kekuasaan.
Pentingnya badan peradilan untuk dibuat agar setiap warga negara
bisa melewati tahapan demi tahapan proses peradilan dalam mencari keadilan
dan penegakan hukum sehingga ketika suatu perkara yang anggapannya
dituduhkan kepada organisasi kemasyarakatan tidak serta merta langsung
untuk dibubarkan. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya kewenangan
pengadilan untuk menilai dan memutuskan suatu perkara yang dimasud,
sedangkan perkara organisasi masyarakat yang di tuduh melakukan
74
pelanggaran menurut penilaian pemerintah dan memutuskan hanya bermuara
kepada pemerintah berarti perkara tersebut sudah final dan memiliki kekuatan
hukum tetap. Itu artinya tidak ada lagi upaya hukum yang dilakukan oleh
pihak yang dituduhkan melakukan pelanggaran.
Peraturan perundang-undangan sebenarnya dibuat sebagai panduan
bersikap tindakan masyarakat yang dapat menentukan mana yang boleh dan
mana yang tidak boleh. Hukum yang stabil sebagai ajang dapat menjadi
ukuran yang pasti dimasyarakat. Namun, hukum yang berjalan di tempat pada
kenyataanya hukum akan menjadi usang yang tertinggal jauh oleh
perkembangan masyarakat yang menyebabkan terjadinya kekosongan hukum
(kekosongan peraturan perundang-undangan) terhadap hal-hal atau keadaan
yang berkembang dalam masyarakat yang pastinya belum diatur atau jika
sudah diatur namun tidak jelas bahkan tidak lengkap atau sudah usang. Untuk
itu sangat diperlukan suatu hukum yang stabil, update atau fleksibel yang
mampu mengikuti perkembangan zaman.
Peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang berlaku pada
suatu negara dalam suatu waktu tertentu merupakan suatu sistem yang formal
tentunya sulit untuk mengubah atau mencabutnya walaupun sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang harus diberlakukan
ditengah-tengah masyarakat tersebut.
Akibat yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan bahasa hukum
yang masih sempit, sehingga menimbulkan banyak persepsi, terhadap hal-hal
atau keadaan yang tidak atau belum diatur dapat terjadi ketidakpastian hukum
sehingga pemerintah lagi-lagi menerbitkan peraturan perundang-undangan
untuk menggantikan peraturan perundang-undangan yang sudah ada
dianggap sudah tidak relevan dengan keadaan dan seketika itu diberlakukan
sebagai acuan dalam upaya melakukan penilaian dan memutuskan suatu
perkara, sehingga kesan terhadap pemerintah terlalu gegabah menggunakan
kewenangan kekuasannya walaupun itu hal yang genting dan mendesak
75
upaya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal inilah
yang menyebabkan kebingungan dan keraguan dalam masyarakat mengenai
kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh Pemerintah berupa peraturan
perundang-undangan.
Namun pada Pasal 59 ayat (1) mengenai larangan bagi organisasi
kemasyarakatan hanya mengatur hal yang tidak boleh dilakukan oleh
organisasi kemasyarakatan tapi tidak menjelaskan dan menjabarkan lebih
lanjut atau lebih luas jika lembaga tersebut menggunakan logo atau lambang
yang sama dengan negara langsung bisa dibubarkan, seharusnya mengenai
larangan tersebut alangkah lebih baiknya disebut dan berikan penjelasan yang
secara sistematis dan terperinci sehingga organisasi yang ada sudah
mengetahui secara detail mengenai hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh
organisasi tersebut.
Mengenai organisasi kemasyarakatan yang merupakan anderbo atau
sayap dari partai politik tidak menutup kemungkinan yang bertujuan sebagai
penyalur aspirasi masyarakat yang tidak mungkin dihindari untuk
mengumpulkan dana untuk partai politik. Di kalangan masyarakat sekarang
ini banyak organisasi masyarakat yang didirikan oleh partai politik dan
mendapatkan dana dari partai politik, karena organisasi masyarakat di bentuk
untuk menjaring pendapatan dan pemasukan dari masyarakat dalam hal ini
juga menjadi kepentingan dari partai politik untuk membentuk organisasi
masyarakat.51
Jika terdapat kekosongan hukum maka langkah-langkah yang harus
dilakukan dalam mengatasi terjadinya kokosongan hukum adalah sebagai
berikut:52
a. Penemuan hukum (rechtsviding) oleh hakim
51komisi Hukun Nasional, Pendapat KHN tentang RUU Organisasi Masyarakat. J
akarta,2013, hlm. 9 52C.S.T. Kamus, Op.cit.,hlm.71
76
Meski didalam pasal-pasal membutukan penjelasan dan penafsiran
yang jelas, sehingga interpretasi atau penafsiran peraturan perundang-
undangan bisa diberlakukan secara positif. Usaha penafsiran terhadap hukum
positif yang ada bisa diterapkan pada setiap kasus yang terjadi, karna ada
kalanya undang-undang tidak jelas, tidak lengkap, atau mungkin tidak relevan
dengan zaman (out of date).
Berdasarkan Pasal 22 A.B. (Algamene Bepalingen van Wetgeping
voor Indonesia; Stb. 1847 : 23) dan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 Tentang Pokok-Pokok Kekuasan Kehakiman seorang hakim
tidak boleh menangguhkan atau menolak memeriksa perkara dengan dalih
Undang-Undang tidak sempurna atau tidak ada aturan hukum. Kondisi
Undang-Undang terkadang tidak lengkap atau tidak jelas karna kemajian
zaman tatanan kehidupan sosial bermasyarakat begitu cepet berubah-ubah
maka seorang hakim harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Penemuan hukum dianggap sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh
hakim atau petugas hukum lainnya terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang
konkret atau dengan bahasa lain penemuan hukum adalah upaya konkritisasi
peraturan hukum yang bersifat umum dan abstrak berdasarkan pristiwa yang
real terjadi. Dengan kata lain, hakim harus menyesuaikan Undang-Undang
dengan hal-hal yang konkret. Oleh karena itu, peraturan-peraturan yang ada
tidak dapat mencakup segala peristiwa yang timbul dalam masyarakat.53
Selain itu, apabila suatu peraturan perundang-undangan isinya tidak
jelas maka hakim berkewajiban untuk menafsirkan sehingga dapat diberikan
keputusan dan kepastian hukum yang bener-benar adil dan sesuai dengan
kontek kejadian dan maksud hukum , yakni mencapai kepastian hukum.
Walaupun hakim ikut menemukan hukum dan dituntut paham hukum,
menciptakan peraturan perundang-undangan, namun kedudukan hakim
bukanlah sebagai pemegang kekuasaan legislatif ataupun eksekutif (sebagai
53Banyamin Hoessein, Op.cip.,hlm. 26
77
badan pembentuk perundang-undangan) yang diberikan kewenangan untuk
membuat undang-undang sebagaimana DPR dan Pemerintah (Presiden).
Keputusan hakim tidak mempunyai kekuatan hukum yang berlaku seperti
peraturan umum yang pemberlakuannya secara nasional dan wajib dijadikan
rujukan dalam memutuskan suatu perkara. Keputusan hakim hanya berlaku
kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Ini ditegaskan dalam pasal 21 A.B.
(Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia; Stb. 1847 : 23) yang
menyatakan bahwa “hakim tidak dapat memberikan keputusan yang akan
berlaku seperti peraturan umum” keputusan hakim juga diakui sebagai
sumber hukum formal, dengan demikian oleh peraturan perundang-undangan
yang diakui bahwa pekerjaan hakim merupakan faktor pembentuk hukum,
seorang hakim bertindak selaku pembentuk hukum dalam hal peraturan
perundang-undangan tidak menyebutkan sesuatu ketentuan untuk
menyelesaikan suatu perkara yang terjadi dalam masyarakat.
Artinya, hakim harus menyesuaikan Undang-Undang dengan cara
yang konkret, karena peraturan-peraturan tidak mencakup segala peristiwa
yang terjadi dalam masyarakat. Lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 19, 17
KUH Perdata (BW).
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan serta diperkuat dengan
kejadian-kejadian konkret, berdasarkan hasil putusan pengadilan lebih khusus
lagi ditingkat Kasasi (Mahkamah Agung), yang mengadili perkara sengketa
organisasi kemasyarakatan dalam puya memdapatkan legalitas pengakuan
secara administrasi negara dan mekanisme pembubaran ormas melanggar
peraturan perundang-undangan, berdasarkan tahapan-tahapan mekanisme
penjatuhan sanksi baik berupa sanksi teguran, administrasi, peroses
pengadilan dan bahkan sanksi dari pemerintah.
1. Mekanisme pendirian Organisasi Masyarakat berdasarkan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2013
Setiap warga negara memiliki hak berserikat dan membentuk suatu
perkumpulan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yakni:Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi
kemasyarakatan, dengan syarat pendirian “Ormas didirikan 3 (tiga) orang
warga negara Indonesia atau lebih, kecuali Ormas yang berbadan hukum
yayasan” ormas yang didirikan memilikin kegiatan yang sesuai dengan
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang sudah disepakati
bersama tentunya setiap kegiatan yang dilakukan tidak bertentangan dan tidak
mengganggu ketertiban umum, setiap ormas yang sudah dibentuk wajib
mendaftarkan sebagai status badan hukumnya terkecuali ormas yang berdiri
sebelun atau sesudah merdeka diatur dalam Staatsblad 1870 Nomor 64
tentang perkumpulan-perkumpulan berbadan hukum tanpa harus dilakuakan
pendaftaran kembali tetap diakaui keberadaanya oleh negara sebelum di
terbitkanya undang-undang tentang ormas , baik itu ormas struktural yang
memiliki tingkatan organisasi dari skala Nasional maupun skala lokal yang
79
memiliki kepengurusan yang jelas dari tingkatan pusat sampai tataran daerah
agar semua kegiatan tidak melanggar ketentuan Undang-Undang yang
dilakukan oleh ormas. Jelas pertanggung jawabannya yakni pimpinan ormas
yang bersangkutan.
Setiap organisasi kemasyaraktan yang berdiri hanya diperbolehkan
memiliki 1 (satu) status badan hukum, tidak boleh memiliki status badan
hukum dalam 1 bentuk ormas yang memiliki kesamaan sebagian atau
keseluruhan dengan ormas yang lain baik itu nama, lambang, bendera, atau
tanda gambar yang memiliki kesamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan dengan ketentuan larangan-
larangan.
2. Mekanisme Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan Berdasarkan
Perppu Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
Mekanisme pembubaran organisasi kemasyarakatan tidak begitu
dijelaskan secara detail didalam pasal-pasal yang berkaitan dengan
pembubaran organisasi kemasyarakatan yang ada pada Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan, sehingga
pemerintah mengambil alih sesuai dengan kewenangannya menerbitkan
Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan dalam upaya
memberikan sanksi terhadap ormas yang dianggap melakukan pelanggaran
peraturan perundang-undangan, tetapi didalam Perppu yang diterbitkan oleh
pemerintah dalam hal ini jabatan Presiden menghapus beberapa pasal yakni
17 pasal, bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang organisasi
kemasyarakatan mendesak untuk segara dilakukan perubahan karena belum
mengatur secara konferehensif mengenai keormasan yang bertentangan
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, ketentuan Perppu nomor 2 tahun 2017 sanksi dijatuhkan secara
bertahap-tahap yakni peringatan tertulis, penghentian kegiatan sampai dengan
pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutab setatus badan hukum.
80
B. SARAN
Berdasarkan hasil pembahasan analisis hasil kajian putusan
Mahkamah Agung terkait dengan sengketa pengurusan organisasi
kemasyarakatan Nahdalatul Wathan dan bagaimana mekanisme pembubaran
Hizbut Tahrir Indonesia, sehingga ada beberapa hal yang penulis sarankan
dalam tulisan ini sebagai pedoman atau acuan untuk menyelesaikan kasus
terkait pembentukan dan pembubaran Organisasi Kemasyarakatan
Seharusnya Pemerintah memberikan edokasi dalam upaya merapkan
aturan perundang-undangan yang sudah diterbitkan dalam hal ini penanganan
sengketa organisasi kemasyarakat yang di atur dalam undang-undang ormas,
banyak yang menyipang dari undang-undang nomor 17 tahun 2013 dalam
menangani komplik ditubuh ormas seperti menerima pendaftaran ormas yang
sedang bersetri di internal tubuh ormas, seharusnya pemerintah dalam hal ini
Pemerintah melalui menkumham harus lebih jeli melihat segala aspek yang
berkembang sehingga dalam menerbitkan SK ormas yang bersangkutan tidak
menimbulkan komplik kembali atau setiap ormas yang sudah jelas berseteru
menkumham dalam menerbitkan SK lebih mengacu pada hasil peroses
peradilan sengketa yang sudah diputuskan oleh pengadilan disetiap tingkat
maka harus memastikan aktifitas-aktifitas organisasi bener-bener
dinonaktifkan dalam hal organisasi kemasyarakatan satu lembaga yang
memiliki dua badan pengengrusan yang sama atau bisa kita kenal dualisme,
makan kalau hal ini dibiarkan akan memicu timbulnya komplik yang sama
penegak hukum harus merespon dengan cepat agar gejolak yang ada di tubuh
internal organisasi kemasyarakatan agar tidak menimbulkan konflik
berkepanjangan sehingga terjadi tindakan yang tiak kita inginkan, untuk
menghindari hal-hal yang tidak di inginkan terjadi, segera ditangani dan
diberikan solusi perdamai dan bersatu.
Kaitannya dengan pembubaran organisasi kemasyarakatan pemerintah
menerbitkan Perppu secara benar, terperinci dan sistematis khususnya
masalah sanksi agar jarak pemberlakuanya bisa digunakan fleksibel, bisa
81
menyesuaikan dengan keadaan zaman, dan tidak menimbulkan kesan terlalu
politis dalam setiap pergantian pemerintahan menimbulkan persepsi hanya
kepentingan pemerintah.
82
Daftar Pustaka
A. Buku-buku
Achmad Ichsan, Hukum Dagang, Pradnya Paramitha, Jakarta, Cet. Ke-5,
1993.
Bududu-Zain, 2011, Kamus Umum Bahasa Indinesia, Jakarta:
PustakaSinar Harapan.
Chatamarasjid ais, Badan Hukum Yayasan, PT. Citra Aditiya Bakti,
Bandung, Cet., Ke-1, 2002.
Dra.Nia Kania Winayanti, 2011, Dasar Hukum Pendirian Dan
Pembubaran Ormas, Yokyakarta: Pusta Yustisial.
E.Farnando M. Manullang, 2007, Menggapa Hukum Berkeadilan
(Tinjauan Hukum Kodrat Dan Antinomi Nilai) Jakatra: Kompas.
Emil Salim, 2010, Tanpa Pamrih Dalam Rangka Pembinaan Pedesaan,
Jakarta:Jp3es
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga
Negara Pasca-Reformasi, Jakarta:Konstitusi Press
M. Billah, 1998, Masyarakat Sosial, Bandung: Angkasa.
M. Billah, Masyarakat sosial, Bandung: angkasa, 1998, hal.95
M. Manulang, 1989, Dasar-Dasar Manejmen,Jakarta: Ghalia Indonesia
M. Nasihimhasan, Kerjasama Lsm Pemerintah Dan Kendalanya,
Lombok:Artikel, Buletin Suadaya Membangun, Edisi Xxviii,
Tanggal 16-13 Maret 1989
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 27 K/TUN/2019
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 37 K/TUN/2016
Nia Karni Winayanti,Dasar Hukum Pendirian dan Pembubaran Ormas,
Pustaka Yustisia, Yogyakarta.
Paulus Hadisupratpto, 2008,”Metode Penelitian Hukum Normatif,
Pendekatan, Bahan-Bahan Hukum, Teknik Pengumpulan Bahan
Hukum Dan Analisisi Bahan Hukum”, Makalah, Seminar Metode
Penelitian Hukum, Forum Komunuikasi Mahasiswa Pascaserjana
Ilmu Hukum, Fakutas Hukum, Malang: Universitas Brawijaya.
Rahman Yusup, Perkumpulan Dalam Organisasi Masyarakat
(Membangun Pola Kehidupan Bermasyarakat), Citra Suara,
Jakarta, 2007.
S. Wijowasito, kamus Umum Bahasa Indonesia, Ichtiar Baru – Van
Hoeve, Jakarta, 1981.
Sabastian Saragih, 1995, Membedah Paruh Lsm, Jakarta: Puspa Swara.
83
Soekanto, Soerjono. 1986. Penagtar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga,
Jakarta: Universitas Indonesia (Ui-Press).
Soetandyo Wignjosoebroto, 1995, “Sebuah Pengantar Ke Arah
Pembincang Tentang Pembinaan Penelitian Hukum Dalam Pjp
Ii” Jakarta : BPHN Departemen Kehakiman.
Sondang P. Siagian, 1995, Filsafat Administrasi, Jakarta: Gunung Agung.
Suwarto Yuni, Lsm Sekretariat Bina Desa, 1995, Jakarta: Laporan Ahir
Penelitian, Peningkatan Pengembangan Partisipasi Dan
Kerjasama Lsm Dengan Pemerintah Daerah Dalam Rangka
Pembangunan Daerah Istimewa Yogyakarta, Bappeda Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tirta Nugraha Mursitama, Pengkajian Hukum Tentang Peran Dan
Tanggungjawab Organisasi Kemasyarakatan Dalam
Pemberdayaan Masyaraka, Jakarta:Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan
Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia
RI.
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum,Aneka Ilmu, Semarang.
Zainul Bahri, Kamus Umum Khususu Bidang Hukun dan Politik, PT
Angkasa, Bandung, Cet. Ke-1, 1996.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, UUD 1945
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1986 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986
KUH Perdata
Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi
Masyarakat
C. Internet
putusan.mahkamahagung.go.id
84
Artikel, Masalah Yang Akan Muncul Dalam Peleksanaan Undang-
Undang Organisasi Masyarakat. Di ambil dari www.jurnalparlemen .com,
28 Desember 2013
https://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan_Tata_Usaha_Negara