51
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sosiologi merupakan suatu ilmu yang masih muda, walau telah mengalami perkembangan yang cukup lama. Sejak manusia mengenal kebudayaan dan peradaban, masyarakat manusia sebagai proses pergaulan permasalahan kemasyarakatan dan gejala-gejala masyarakat memasuki tahap akhir yaitu tahap ilmiah. Oleh sebab itu, dia menyarankan semua penelitian terhadap masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri. Globalisasi didunia telah menimbulkan pergeseran dalam peran media, baik cetak maupun elektronik: apa yang harus diberitakan dan bagaimana sikap dan perilaku wartawan dalam pencarian dan penyebaran berita. Pergeseran peran media beserta awaknya ini di Indonesia, terutama sejak awal Era Reformasi, juga berimplikasi terhadap nilai-nilai yang dianut perempuan 1

Sosiologi dan Media

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sosiologi merupakan suatu ilmu yang masih muda,

walau telah mengalami perkembangan yang cukup lama.

Sejak manusia mengenal kebudayaan dan peradaban,

masyarakat manusia sebagai proses pergaulan

permasalahan kemasyarakatan dan gejala-gejala

masyarakat memasuki tahap akhir yaitu tahap ilmiah.

Oleh sebab itu, dia menyarankan semua penelitian

terhadap masyarakat ditingkatkan menjadi suatu ilmu

tentang masyarakat yang berdiri sendiri.

Globalisasi didunia telah menimbulkan pergeseran

dalam peran media, baik cetak maupun elektronik: apa

yang harus diberitakan dan bagaimana sikap dan perilaku

wartawan dalam pencarian dan penyebaran berita.

Pergeseran peran media beserta awaknya ini di

Indonesia, terutama sejak awal Era Reformasi, juga

berimplikasi terhadap nilai-nilai yang dianut perempuan

1

dalam media. Maka dari itulah dalam makalah ini kami

akan membahas mengenai Sosiologi dan Media.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa konsep Sosiologi?

2. Jelaskan Perspektif Konflik, fungsionalisme, dan

Feminisme?

3. Bagaimana media dapat memberikan hegemoni kepada

masyarakat?

4. Bagaimana konstruk-konstruk sosiologi perempuan dalam

pembicaraan publik?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui konsep sosiologi

2. mengetahui mengenai Sosiologi dan Media

3. Mengetahui konstruk sosiologi perempuan dalam

pembicaraan publik.

2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sosiologi

3

Kata sosiologi berasal dari kata sofie, yang

berarti bercocok tanam atau bertaman, kemudian

berkembang menjadi socius, dalam bahasa latin yang

berarti teman, kawan. Berkembang lagi menjadi kata

sosial, artinya berteman, bersama, berserikat.

Secara khusus kata sosial maksudnya adalah hal-hal

mengenai berbagai kejadian dalam masyarakat yaitu

persekutuan manusia, dan selanjutnya dengan pengertian

itu untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam

kehidupan bersama (Shadily, 1993:1-2).

Dengan kata lain menurut Hassan Shadily, sosiologi

adalah ilmu masyarakat atau ilmu kemasyarakatan yang

mempelajari manusia sebagai anggota golongan atau

masyarakatnya (tidak sebagai individu yang terlepas

dari golongan atau masyarakatnya), dengan ikatan-ikatan

adat, kebiasaan, kepercayaan atau agamanya, tingkah

laku serta keseniannya atau yang disebut kebudayaan

meliputi segala segi kehidupannya (1993:2).

Pitirin Sorokin (Soekanto, 2003:19), mengemukakan

sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari :

4

a. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka

macam gejala-gejala sosial (misalnya : antara

gejala ekonomi dan agama, keluarga dengan moral,

hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan

politik, dan lain sebagainya).

b. Hubungan dengan pengaruh timbal balik antara

gejala sosial dengan gejala nonsosial (misalnya:

gejala geografis, biologis, dan sebagainya).

c. Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.

Roucek dan Warren (Soekanto, 2003;19) mengemukakan

bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan

antara manusia dalam kelompok. William F. Ogburn dan

Meyer F. Nimkoff (Soekanto, 2003:19) berpendapat bahwa

sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap

interaksi sosial dan hasilnya yaitu organisasi sosial.

Selo soemardjan dan Soelaeman Soemardi (Soekanto,

2003:20) mengatakan bahwa sosiologi adalah ilmu

masyarakat ialah ilmu yang mempelaari struktur sosial

dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan

5

sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan

antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-

kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga

sosia, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosia.

Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara

berbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh

timbal balik antara segi kehidupan hukum dan segi

kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dengan

segi kehidupan ekonomi, dan lain sebagainya. Salah satu

proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal

terjadi perubahan-perubahan dalam struktur sosial.

Pembentukan struktur sosial dan terjadinya proses

sosial dan kemudian adanya perubahan-perubahan sosial

tidak lepas dari adanya aktivitas interaksi sosial yang

menjadi salah satu ruang lingkup sosiologi.

Interaksi sosial merupakan suatu hubungan dimana

terjadi proses saling pengaruh mempengaruhi antara para

individu, antara individu dengan kelompok maupun antara

kelompok (Soekanto, 2003-423

6

2.2 Media

Kata media berasal dari bahasa latin Medius yang

secara harfiah berarti “tengah, perantara, atau

pengantar”. Menurut McLuhan media adalah semua saluran

pesan yang dapat digunakan sebagai sarana komunikasi

dari seseorang kepada orang lain yang tidak ada

dihadapannya.

Menurut McLuhan Media pada hakikatnya telah benar-

benar mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan

bertingkah laku manusia itu sendiri. Kita saat ini

berada pada era revolusi, yaitu revolusi masyarakat

menjadi massa, oleh karena kehadiran media massa tadi.

Perjalanan sebuah teknologi yang mengisi hari-hari atau

hidup manusia sudah sebegitu hebatnya merasuki

kehidupan paling pribadi dari manusia itu sendiri

sampai media atau teknologi bisa dikatakan sebagai

perpanjangan dari diri kita atau ekstensi. Hal ini

memperlihatkan “kebodohan” manusia di hadapan teknologi

dimana hanya bisa diam termangu dan cenderung pasrah

akan segala serangan yang diberikan. Dalam hal inilah

7

sebuah teknologi dapat dikatakan sebagai suatu hal yang

buruk (padahal sebelumnya, teknologi adalah wujud benda

yang netral), dan justru meng-amputasi beberapa skill

atau kemampuan kita (deskilling).

 Hal yang menjadi dasar pemikiran McLuhan

McLuhan pertama kali pada tahun 1962 dalam

tulisannya “The Guttenberg Galaxy: The Making of

Typographic Man.” Ide dasar teori ini adalah bahwa

perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara

berkomunikasi akan membentuk pula keberadaan manusia

itu sendiri. Teknologi membentuk individu bagaimana

cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan

teknologi tersebut akhirnya mengarahkan manusia untuk

bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi

yang lain. Misalnya dari masyarakat suku yang belum

mengenal huruf menuju masyarakat yang memakai peralatan

komunikasi cetak, ke masyarakat yang memakai peralatan

komunikasi elektronik.

8

McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh

bagaimana cara kita berkomunikasi. Paling tidak, ada

beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama, penemuan

dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan

budaya. Kedua, perubahan di dalam jenis-jenis

komunikasi akhirnya membentuk kehidupan manusia.

Ketiga, sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa kita

membentuk peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya

peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu

akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita

sendiri. Manusia belajar, merasa dan berpikir terhadap

apa yang akan kita lakukan karena pesan yang diterima

teknologi komunikasi menyediakan untuk itu. Artinya,

teknologi komunikasi menyediakan pesan dan membentuk

perilaku kita sendiri.

 Pengaruh dalam perkembangan teknologi dan media saat

ini

9

Pemikiran McLuhan sangat berkembang dalam

perjalanan media dan teknologi yang berkembang pada

zaman sekarang. Dari hal ini dapat dipastikan bagaimana

perkembangan media yang sebegitu besarnya, justru

dihadapkan dengan ketidak siapan dari penerimanya,

yaitu manusia. Peningkatan teknologi menyebabkan

dominasi sosial yang justru berasal dari kaum elite,

ilmuwan, insinyur, dan manager yang tidak lagi

mengedepankan moral. Salah satu contoh yang dapat

dilihat adalah keberadaan televisi yang menyiarkan

tayangan berbau kekerasan atau SARA. Lantaran terlalu

lancang dan berani menyiarkan hal tersebut, dihadapkan

dengan ketidaksiapan akan penerimanya (yang waktu itu

juga mungkin masih berada dalam suatu khalayak pasif),

menyebabkan tayangan tersebut menjadi hal yang dianggap

benar dan boleh terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Hal inilah yang membuat banyak orang yang melakukan

kekerasan dalam kehidupan nyata. “Kebodohan” dan

penurutan kita pada teknologi tersebut juga diiringi

10

dengan ketidaksiapan akan regulasi atau peraturan yang

dimiliki oleh pemerintah.

Perjalanan manusia dan teknologi dalam sebuah

determinasi teknologi merupakan perjalanan dua arah.

Dalam perjalanan pertama, adanya masyarakat yang mulai

berubah baik dari segi peradaban, pengetahuan dan

kebudayaan menjadi lebih maju dan modern, maka

membutuhkan dan melahirkan suatu model komunikasi dan

didukung oleh teknologi yang berbeda. Apa yang ia

pikirkan dan  lakukan merupakan perbuatan aktif yang

dijalani secara sadar demi memenuhi kebutuhan hidupnya

baik oleh kebutuhan primer, sekunder ataupun informasi.

Hal ini yang menjadikan manusia tetap adalah dewa dalam

hidupnya dimana apapun yang dilakukan merupakan

penyesuaian dengan lingkungan yang senantiasa berubah

dan dinamis dari waktu ke waktu. Proses perjalanan

seperti ini kiranya tidak terlalu mengharukan atau

masih bisa diterima oleh akal sehat lantaran

mengutamakan manusia sebagai makhluk hidup paling

sempurna dan mulia ketimbang makhluk lainnya.

11

Tetapi fase selanjutnya yang merupakan arah

kebalikannya, menjabarkan bahwa teknologi layaknya

“Tuhan” dari perjalanan hidup yang dilakukan oleh

manusia dari hari ke hari. Manusia dianggap sebagai

orang yang pasif dan hanya menerima apa saja yang

disodorkan oleh teknologi. Walaupun teknologi itu

adalah buatan manusia, tetapi manusia berbalik menjadi

penyembah teknologi, Apapun yang dilakukan tidak jauh

dan tidak boleh terlepas dari apa yang disampaikan oleh

teknologi. Apa yang boleh dan tidak boleh, layak dan

tidak layak untuk diperbuat mengacu pada apa yang

disampaikan oleh teknologi. Pemanfaatan ini seperti

memberikan pentunjuk bahwa manusia sendiri juga

dimanfaatkan oleh teknologi, dimana teknologi juga

bukan merupakan perpanjangan tangan yang netral

melainkan mengandung beragam kepentingan di dalamnya.

Secara perlahan namun pasti, teknologi yang di-dewa-kan

tersebut mengantarkan pada perubahan masyarakat dan

untuk kemudian, berbalik pada siklus yaitu mempengaruhi

perkembangan teknologi.

12

2.3 Fungsi Media

Harold Lasswell dan Charles Wright merupakan bagian

dari pakar yang benar-benar serius mempertimbangkan

fungsi media.

2.3.1 Pengawasan (Surveillance)

Pengawasan, fungsi pertaa memberi informasi,

menyeiakan berita. Dalam membentuk fungsi ini, meia

sering kali memperingatkan kita akan bahaya yang

mungkin terjadi seperti kondisi cuaca yang ekstrem atau

berbahaya atau ancaman militer. Fungsi pengawasan juga

termasuk berita yang tersedia di media yang penting

dalam ekonomi publik dan masyarakat, seperti laporan

bursa pasar, lalu lintas, cuaca an sebagainya.

2.3.2 Korelasi (Correlation)

Korelasi adalah seleksi dan interpretasi informasi

tentang lingkungan. Media sering kali memasukkan kritik

dan cara bagaimana seseorang harus bereaksi terhadap

13

kejadian tertentu. Karena itu korelasi merupakan bagian

media yang berisi editorial dan propaganda. Fungsi

korelasi bertujuan untuk menjalankan norma sosial dan

menjaga konsensus dengan mengekspos penyimpangan,

memberikan status dengan cara menyorotiiniviu terpilih,

dan dapat berfungsi untuk mengawasi pemerintah

2.3.3 Penyampaian warisan sosial

Penyampaian warisan sosial merupakan suatu fungsi

dimana media menyampaikan informasi, nilai, dan norma

dari norma satu generasi ke generasi berikutnya atau

dari anggota masyarakat ke kaum pendatang. Dengan cara

ini mereka bertujuan untuk meningkatkan kesatuan

masyarakat dengan cara memperluas dasar pengalaman umum

mereka.

2.3.4 Hiburan (Entertainment)

Sebagian besar isi media mungkin dimaksudkan sebagai

hiburan , bahkan disurat kabar sekalipun, mengingat

banyaknya kolom, fitur dan bagian selingan. Media hiburan

dimaksudkan untuk memberi waktu istirahat dari masalah

setiap hari dan mengisi waktu luang. Media mengekspos

14

budaya massa berupa seni dan musik pada berjuta-juta

orang dan sebagian orang merasa senang karena bisa

meningkatkan rasa dan pilihan publik dalam seni.

2.4 Konsep Sosiologi

Ilmu sosial lahir pada tahun 1842 yang dirintis

oleh "Auguste Comte" dari Perancis melalui

bukunya"Positive Philosophy".Fokus kajiannya adalah

segala bentuk kehidupan masyarakat.

Berikut adalah pengertian sosiologi dari beberapa

ahli :

1. G.A. Lunberg:Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari

tingkah laku sosial orang-seorang dan kelompok.

2. Pitirim A.Sorokin:Sosialogi adalah ilmu yang

me,pelajari hubungan dan pengaruh timbalbalik

antara aneka macam gejala sosial,hubungan dan

pengaruh gejala sosial dengan non sosial,dan ciri-

ciri umum dari semua jenis gejala sosial.

3. Prof. Selo Soemardjan:Sosiologi adalah ilmu yang

mempelajari struktur sosial,proses sosial,dan

15

perubahan-perubahan sosial.Struktur sosial adalah

keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang

pokok,yaitu kaidah-kaidah sosial,lembaga-lembaga

sosial,kelompok-kelompok sosial,dan lapisan

soial.Proses sosial adalah pengaruh timbal-balik

dari berbagaisegi kehidupan sosial (ekonomi dan

politik,hukum,dan agama).

Ciri-ciri pokok sosiologi sebagai berikut :

1. Sosiologi bersifat empiris,artinya didasarkan

pada observasi-observasi segala kenyataan

dimasyarakat.

2. Sosiologi bersifat teoritis,artinya merupakan

abstraksi dari hasil-hasil observasi

yangmenjelaskan hubungan kausalitas.

3. Sosiologi bersifat kumulatif,artinya teori

sosiologi dibentuk atas dasar teori-teori

lama yangkemudian disempurnakan.

4. Sosiologi bersifat nonetis,artinya yang

dipersoalkan bukan baik

16

buruknyafakta,tetapibertujuan untuk

menjelaskan fakta-fakta secara analisis.

Adapun sifat-hakikat sosiologi sebagai berikut.

1. Sosiologi termasuk kelompok ilmu-ilmu sosial

yang objek studinya adalah masyarakat.

2. Sosiologi bukan disiplin ilmu yang

normatif,tetapi kategoris.Artinya sosiologi

hanyamembatasi diri pada apa yang trjadi dewasa

ini dan bukan yang seharusnya terjadi.

3. Sosiologi merupakan ilmu murni dan bukan ilmu

terapan,artinya sosiologi bertujuan

untukmengembangkan ilmu secara teoritis.

4. Sosiologi bersifat abstrak,artinya yang

diperhatikan adalah bentuk dan pola-pola

peristiwadalam masyarakat.

5. Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan

pengertian-pengertian dan pola-pola umum

sehingga berupa ilmu umum.

17

2.5 Perspektif Media

Untuk menelaah sesuatu, kita harus memulai

dengan membuat beberapa asumsi tentang sifat-sifat yang

akan kita pelajari. Misalnya, menurut orang-orang

yunani kuno alam semesta beroprasi/berjalan sesuai

dengan perilaku para dewa. Sebaliknya para ilmuan

berasumsi bahwa alam semesta itu bersifat tertib dan

berjalan menurut cara-cara yang teratur, yang mungkin

bisa kita ungkapkan. Oleh karna itu Newton

mengembangkan hukum gaya berat setelah mengamati bahwa

apel selalu jatuh kebawah, tidak pernah keatas.

Seperangkat asumsi kerja disebut suatu “prespektif”,

suatu “pendekatan” atau kadang-kadang disebut juga

“paradigma”. Berikut adalah beberapa prespektif-

prespektif yang di gunakan dalam sosiologi.

2.5.1Perspektif Fungsionalis

Dalam perspektif ini, suatu masyarakat dilihat

dalam suatu jaringan kelompok yang bekerja sama secara

terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak

teratur menurut suatu perangkat peraturan dan nilai

18

yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut.

Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil

dengan suatu kecenderungan kearah keseimbangan, untuk

mempertahankan suatu sistem kerja yang selaras dan

seimbang.

Dalam prespektif fungsionalis, dengan Talcot

Parson (1937), Kigsley davis (1937) dan Robert Merton

(1957)m sebagai para juru bicara yang terkemuka, setiap

kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu dan

terus menerus, karena hal itu fungsional. Jadi sekolah

mendidik anak- anak, mempersiapkan para pegawai,

mengambil tanggung jawab orang tua murid dalam sebagian

waktu pada siang hari dan sebagainya.

Corak perilaku timbul karena secara fungsional

bermanfaat. Didaerah perbatasan Amerika dimana terdapat

beberapa pengnapan dan hanya sedikit orang yang mampu

menyewanya, tumbuhlah suatu pola sikat yaang keramah-

tamahan. Keluarga-keluarga yang tengah bepergian pada

waktu malam, merupakan tamu-tamu yang disambut hangat

oleh setiap penduduk. Dengan bertambah mantapnya daerah

19

perbatasan, pola keramah- tamahan ini tak lagi penting

dan menurun. Jadi pola-pola prilaku timbul untuk

memenuhi kebutuhan dan hilang bila kebutuhan itu

berubah.

Perubahan sosial mengganggu keseimbangan

masyarakat yang stabil, namun tidak lama kemudian

terjadi keseimbangan baru. Sebagai contoh, dalam

sebagian besar sejarah, keluarga-keluarga besar sangat

didambakan. Tingkat kematian tinggi dan keluarga besar

membantu untuk meyakinkan adanya beberapa yang selamat.

Khususnya di Amerika, suatu benua yang sangat luas,

yang belum memiliki tenaga kerja untuk melaksanakan

pekerjaan , secara fungsional keluarga besar

bermanfaat. Keluarga-keluarga ini menyediakan tenaga

kerja, persaudaraan dan jamina masa tua dan merupakan

hal yang baik, baik bagi perorangan maupun masyarakat.

Kini dengan padatnya penduduk dunia, dengan

tingkatkematian yang rendah, keluarga bukanlah rakhmat.

Dengan kata lain, keluarga besar menjadi gangguan

fungsional dan mengancam kesejahteraan masyarakat maka

20

keseimbangan baru seddang dalam proses dimana ganti

tingkat kematian dan tingkat kelahiran yang tinggi,

(mudah-mudahan) kita akan mengalami tinggak kematian

dan kelahiran yang rendah. Jadi suatu nilai atau

kejadian pada suatu waktu atau tempat menjadi

fungsional pada saat dan tempat yang berbeda.

Bila suatu perubahan sosial tertentu mempromosikan

suatu keseimbangan yang serasi, hal tersebut dianggan

fungsional. Bila perubahan sosial tersebut mengganggu

keseimbangan, hal tersebut merupakan gagguan

fungsional. Bila perubahan sosial tidak membawa

pengaruh, maka hal tersebut tidak fungsional. Dalam

suatu negara demokratis, partai partai politik adalah

fungsional sedangkan pemboman, pembunuhan, dan

terorisme politik adalah gangguan fungsional, dan

perubahan perubahan dalma kamus politik atau perubahan

dalam lambang partai, adalaha tidak fungsional.

Fungsionalis dalam media

21

Media dalam kacamata fungsionalisme merupakan

pemegang posisi penting dan memberikan pengaruh pada

suatu sistem sosial yang besar. Fungsionalisme memiliki

asumsi bahwa apapun yang ada dalam sistem merupakan

sesuatu yang “bebas-nilai”, sehingga secara langsung

fungsionalisme menawarkan suatu cara pandang perihal

keseimbangan peran media dalam masyarakat. Fungsionalis

berargumentasi bahwa ilmu sosial tidak memiliki basis

dan kebutuhan untuk membuat penilaian atas media,

karena dalam praksisnya Merton menganggap media

memiliki dua fungsi yaitu manifest function

(diproyeksikan dan dapat diamati) dan latent function

(tidak dapat diproyeksi dan kurang mudah diamati).

Adapun beberapa kekuatan fungsional adalah : Posisi

media dan pengaruhnya di dalam sebuah system social

yang lebih luas, Menawarkan pandangan yang seimbang

tentang peran media dalam masyarakat dan didasarkan

pada penelitian empiris dan panduan. Meski begitu,

teori ini memiliki kekurangan, yaitu : Terlalu menerima

status quo, Menegaskan bahwa disfungsi adalah

22

"seimbang" dengan adany fungsi, Menegaskan bahwa fungsi

negative yang laten adalah "Seimbang" dengan fungsi

yang positif dan Jarang memungkinkan kesimpulan pasti

tentang Peran media dalam masyarakat. Hal yang menjadi

ciri khas fungsionalisme adalah menganggap disfungsi

sebagai konsekuensi logis sebagai keseimbangan dari

fungsi yang diberikan. 

Fungsionalisme juga menganggap fungsi negatif yang

laten merupakan keseimbangan dari fungsi positif yang

muncul. Yang menarik lainnya adalah berdasarkan

penelitian Harold Mendelsohn (1966). Dia memberi

perhatian bahwa orang-orang banyak disalahpahami

tentang pengaruh televise. Menurut Mendelsohn, kritik

masyarakat massa paternalistik dan elitis. Mereka salah

menduga karena hiburan televisi dianggap menarik dan

menyebabkan orng menjauh daro bentuk pendidikan politik

atau agama yang membosankan dimana mereka sendiri ingin

mempromosikannya. Mendelsohn berpendapat bahwa orang

membutuhkan pelarian relaksasi dan tidak berbahaya

seperti yang tawarkan televisi. Selanjutnya, Mendelson

23

membuat teori hiburan massa yang dikutip dari

penelitian psikologi. Teori ini berdasarkan pada adanya

sejumlah kecil orang yang mungkin kecanduan televise. 

Adapun kekuatan teori hiburan massa adalah :

Menekankan pada pengaruh prososial media dan Memberikan

penjelasan meyakinkan mengapa orang mencari hiburan di

media. Sementara kekurangan teori ini adalah Terlalu

menerima status quo dan Memberi gambaran negatif ke

rata-rata orang dari penggunaan media mereka. Pada

gilirannya, teori fungsional dianggap semakin tidak

relevan, dan lahirlah teori system (system theories)

sebagai pengganti teori fungsional tersebut. Sebuah

system terdiri dari kumpulan bagian yang saling

berhubungan, dan jika salah satu bagian berubah makan

akan menyebabkan bagian lainnya juga berubah. Teori

sistem memiliki kelebihan yaitu dapat

terkonseptualisasi dari teori pada level makro maupun

mikro, selalu menampilan komunikasi sebagai suatu

proses.

24

Sedangkan kekurangan dari teori ini adalah

mengalami kesulitan menilai relasi kausalitas. Sering

terlalu sederhana untuk mewakili pola komunikasi yang

kompleks, dianggap oleh beberapa orang sebagai terlalu

mekanistik dan tidak manusiawi dan memfokuskan

perhatian pada struktur diamati dengan mengabaikan

substansi komunikasi. Pembahasan tentang pengaruh media

juga datang dari orang-orang yang tertarik pada

pengaruh kekerasan yang termediasi terhadap penonton

dan prilakunya. Televisi dan anak-anak adalah fokus

penyelidikan ini. Kognisi sosial dalam penggunaan media

beroperasi pada tiga jalan yaitu : (Bandura, 1971,

1994) 1. Pembelajaran observatif 2. Efek larangan

(inhibitory) 3. Efek ajakan (disinhibitory) Teori

kognisi sosial terbukti merupakan pisau analisis yang

tajam untuk memahami bagaimana orang belajar perilaku

dari televisi.

Dengan membedakan antara imitasi dan identifikasi

dan mengidentifikasi model prilaku yang berbeda dari

penonton, seperti pembelajaran observatif, efek

25

larangan, efek ajakan, dan vicarious reinforcement

(penguatan yang lebih kuat akibat dari melihat

dibanding melakukannya langsung)., itu membantu

menjelaskan bagaimana individu belajar dari media.

Bahkan sebagai ide-ide ini telah diterapkan untuk new

media seperti video game. Adapun yang menjadi kekuatan

dari teori social kognitif adalah Menunjukkan hubungan

kausal antara media dan perilaku, Berlaku untuk seluruh

penonton dan di seluruh situasi, Memiliki kekuatan

penjelas yang kuat (misalnya, menolak katarsis,

menekankan pentingnya lingkungan dan konten isyarat). 

Sedangkan kelemahan dari teori ini adalah

penelitian di Laboratorium menimbulkan pertanyaan

tentang generalisasi, penelitian eksperimental mungkin

melebih-lebihkan kekuatan media, memiliki kesulitan

menjelaskan efek jangka panjang dari konsumsi media,

meremehkan orang-orang yang aktif menggunakan media

pesan dan terlalu fokus terlalu sempit pada individu

dari pada tentang efek budaya. Penelitian mengenai

isyarat prilaku dan efek mencoba untuk menambahkan

26

beberapa kekhususan teori kognisi sosial, seperti

halnya perspektif perkembangan. Kemajuan lain adalah

pertimbangan variabel kontekstual yang berbeda, aspek

penyajian kekerasan dalam isi media itu sendiri, dalam

menentukan jumlah pembelajaran yang didapat dari

mekanisme tontonan.

Simpulan lainnya adalah rekonsepsi dari teori

perihal penonton-muda yang aktif menonton televisi

meskipun tidak mengabaikan efek media, tidak

menunjukkan bahwa penonton muda mendapatkan pengaruh

lebih besar dari penonton yang lebih tua. Demonstrasi

efek media yang signifikan pada individu secara alami

meningkatkan atas studi kritis, efek media pada tingkat

makro terutama di bidang komunikasi massa dan

sosialisasi anak. Gagasan awal media sebagai jendela

awal dunia baru-baru ini telah diperbarui dan

diperluas, atau bahkan akan mendapatkan suatu

redifinisi, atau juga melenyapkan batas lingkungan

kanak-kanak itu sendiri.

27

2.5.2Perspektif Konflik

Prespektif konflik secara luas terutama

didasarkan pada karya Karl Marx ( 1818-1883), yang

melihat pertentangan dan eksloploitasi kelas sebagai

penggerak utama kekuatan-kekuatan dalam sejarah.

Setelah untuk waktu yang lama prespektif konflik di

abaikan oleh para sosiolog, baru-baru ini prespektif

tersebut telah di bangkitkan kembali oleh C. Wright

Mills ( 1956-1959), dan beberapa sosiolog lain. Para

fungsionalis meliahat keadaan normal masyarakat sebagai

suatu keseimbangan yang mantap, namun para teoritis

konflik melihat masyarakat sebagai berada dalam konflik

yang terus menerus diantara kelompok dan kelas.

Sekalipun Marx memusatkan perhatiannya antar kelas

untuk pemilikan antar kekayaan yang produktif, para

teoritis konflik modern berpandangan sedikit lebih

sempit. Mereka melihat perjuangan meraih kekuasaan dan

penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan.

28

Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat

sebagai terikat bersama karena kekuatan kelompok atau

kelas yang dominan. Mereka mengklaim bahwa “ nilai-

nilai bersama fungsionalis sebagai suatu ikatan

pemersatu tidaklah benar-benar kosensus yang benar,

sebaliknya konsensus tersebut adalah ciptaan kelompok

atau kelas yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai

serta peraturan mereka terhadap semua orang.

2.5.3Perspektif Feminisme

Teori feminisme merupakan label generik untuk

perspektif atau kelompok teori yang mengeksplorasi

makna konsep-konsep gender. Teori feminis mengamati

bahwa banyak aspek kehidupan terlepas dari sex biologis

dipahami dalam pengertian kualitas gender , termasuk

bahasa, kerja, peran keluarga, pendidikan, sosialisasi

dan sebagainya. Kritik feminis bertujuan untuk

membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian

kekuasaan itu. Kebanyakan teori feminis menekankan

sifat opresif dari relasi gender.

29

Teori feminisme beranjak dari asumsi bahwa gender

adalah sebuah kategori yang dapat ditembus untuk

memahami pengalaman manusia. Gender merupakan

konstruksi yang , meskipun bermanfaat didominasi oleh

pria dan cenderung mendiskriminasi terhadap wanita.

Teori feminis berupaya menantang asumsi-asumsi gender

yang hidup dalam masyarakat dan mencapai cara yang

lebih membebaskan wanita dan pria untuk hidup di dunia.

Dengan cara ini, teori feminis menukik ke akar

pengalaman manusia menuntut perubahan struktur sosial-

budaya dan linguistik yang menetukan relasi antara

wanita dan pria.

a. Feminisme Liberal

Berpandangan bahwa perempuan dapat menikkan posisi

mereka dalam keluarga dan masyarakat melalui kombinasi

inisiatif dan prestasi individual (misalnya pendidikan

tinggi), diskusi rasional dengan kaum laki-laki,

khususnya suami, yang dapat dikonsepsikan sebagai upaya

memperbaiki peran jender mereka, cara pengambilan

keputusan sehubungan dengan pengasuhan anak, yang akan

30

memberikan kemungkinan bagi perempuan untuk mengejar

karir, dan memperthankan hukum yang memberikan hak

kepada aborsi legal dan melindungi perempuan dari

diskriminasi seks (misalnya  pasal- VII Civil Rights

Act).

b.     Feminisme Radikal

Feminisme radikal atau cultural mengacu kepada

verasi yang sedikit berbeda dalam teori feminis, yang

berakar pada akhir era 1960-an dan awal 1970-an

(misalnya Firestone, 1979; Atkinson, 1979). Pendekatan

ini (lihat Dworkin, 1979) berpandangan bahwa penindasan

atas perempuan terutama terjadi karena patriarki , yang

beroprasi baik pada level keluarga dan pada level

budaya, di mana citra seksis perempuan diobjektifkan

sehingga menindas mereka. Feminisme radikal mirip

dengan feminism lesbian atau separatism lebian dalam

kritiknya  atas keluarga heteroeksis sebagai sumber

utama penindasan atas perempuan. Ini sekaligus

mengantisipasi berbagai tema dalam teori homoseksual,

yang didiskusikan kemudin, misalnya hegemoni

31

heteroeksisme, yang memproduksi pandangan terbelah

tentang maskulinitas dan feminitas.

Feminime berpandangan bahwa feminis perlu

meruntuhkan atau secara radikal memperbaiki keluarga

dan menciptakan budaya non-misoginis di mana perempuan

tidak dijadikan objek. Feminisme radikal memasukkan

tapi tidak terbatas pada kritik tajam atas

heteroeksisme, yang tidak hanya berpandangan bahwa

semua orang pada dasarnya heteroseksual tapi juga

menambahkan bahwa perempuan mendapatkan identitaa

mereka karena berpaangan (khususnya, menikah) dengan

laki-laki dan mempunyai anak. Feminisme lesbian

merupakan feminis radikal adalah separatis

lesbiankarena merek menasihati perempuan untuk

berpasangan hanya dengan perempuan. Feminisme radikal

tidak membutuhkan penyangkalan personal atas

heteroseksualitas. Dia tidak memrlukan pemikiran ulung

radikal tentang kelarga, termasuk psndangan ulsng

radikal tentang heteroseksualitas wajib Juga diperlukan

komimen untuk menciptakan satu budaya di mana perempuan

32

tidak mengidentifikasikan diri dan nilai mereka dalam

hubungan hal mereka dengan laki-laki.

c. .    Feminisme Sosialis

Feminisme spesialis sperti Zillah Einstein dan

Heidi Hartmann berpendapat bahwa perempuan tidak dapat

meraih keadilan sosial tanpa memubarkan patriarki dan

kapitalisme. Meskipun terdapat debat anar feminis

sosialis (misalnya lihat Walby, 1990; Delphy, 1984)

tentang cara terbaik untuk menkonseptualisasikan

hubungan kapitalisme dan patriarki dan “beban” apa yang

memberikan kepada patriarki dn kapitalisme sumber

penindasan atas perempuan, pada umumnya mereka setuju

bahwa Marxisme dan feminism harus bersatu agar dapat

memperjuangkan kondisi perempuan saat ini sebaik-

baiknya. Feminis sosialis menekankan aspek jender dan

ekonomis dalam penindasan atas kaum perempuan. Mereka

berpedapat bahwa perempuan dapat dilihat sebagai

penghuni kelas ekonomi dalam pandangan Marx dan “kelas

seks”, sebagaimana disebut oleh Shulamith Firestone

33

Artinya, perempuan menampilkan pelayanan berharga bagi

kapitalisme baik sebagai pekerja maupun istri yang

tidak menerima upah atas kerja domestic mereka.

d.     Feminisme Posmodern

Teori feminis postmodern (lihat, misalnya Flax,

1990; Hekman, 1990; Lather, 1991; Brodribb, 1992) telah

mendapatkan bbanyak perhatian dan perlu mendapatkan

bagian khusus di sini. Dalam banyak hal, feminis

postmodern menerjemahkan kerangka kerja mereka dari

teori postmodern yang didiskusikan pada bab 2 dan 3.

Mereka menerapkan teori perbedaan dan kritik teoritisi

Perancis atas modernitas pada masalah perempuan. Teori

feminis postmodern mula-mula mendapatkan suara dari

feminis Perancis seperti Irigay, Kristeva dan Cixous,

yang mengambil karya mereka dari tafsir psikonalisis

postmodern Lacan. Para feminis Perancis ini belum

memproduksi banyak teori sosial yang sisematis. Namun

mereka menulis esai dalam tafsir sastra, filsafat,

budaya dan psikoanilisis yang menentang banyak konveksi

stalistik atas teori sosial kritis karena mereka

34

mencoba menunjukan apa yang mereka sebut dengan

L’ecriture feminine, atau tulisan perempuan (lihat

Meese, 1992).

Tema kunci pertama feminisme postmodern adalah

pertanyaan bahwa pembebesan diraih melalui narativitas,

pengkisahan, yang membentuk identitas feminis dan

menciptakan budaya feminis. Ini adalah alas an mengapa

feminis Perancis mengahbiskan banyak waktu untuk

menteorikan tulisan sebagai satu aktivitas yang

terjenderkan. Mereka melihat perempuan dan laki-laki

yang “menceritakan” (berbicara dan menulis) dunia

dengan cara yang berbeda mencerminkan sifat yang

berbeda, hubungan dengan kenirsadaran, dan posisi

subjek mereka.Selama posmodernis menyatakan bahwa

manusia sebagian besar diposisikan oleh bahasa dan

wacana mereka, mudah kiranya untuk melihat mengapa

feminis Perancis menempatkan begitu banyak penekanan

pada narativitas feminis sebagai sarana pembebasan,

identitas dan penciptaan budaya.

35

2.6 Konstruk-konstruk Sosiologi perempuan dalam

pembicaraan publik

Persoalan yang kerap sekali dikemukakan dalam

perbincangan mengenai peranan wanita didalam masyarakat

adalah wanita tidak berperan dominan didalam bidang

media. Didalam wacana media, wanita diposisikan bukan

sebagai subyek pengguna bahasa, tetapi sebagai “obyek

tanda” yang dimasukkan kedalam sistem tanda didalam

sistem komunikasi ekonomi kapitalisme. Bibir, mata,

pipi, rambut, paha, betis, pinggul, perut, buah dada,

semuanya menjadi fragmen-fragmen tanda didalam media

patriarki, yang digunakan untuk menyampaikan mana

tertentu. Semua fragmen-fragmmen tanda ini menjadi

obyek fetish yang bersifat metonimis. Artinya semua

fragmen tanda tersebut seakan-akan mewakili totalitas

tubuh dan jiwa wanita itu sendiri.

Peran dominan tubuh wanita sebagai tanda citra

media khususnya iklan dan televisi sebetulnya

mengandung didalamnya satu kontradiksi. Tubuh wanita

digunakan didalam media sebagai cara menjual komoditi,

36

sementara wanita itu sendiri mempunyai peran dominan

didalam konsumsi (melihat ikla, menonton tv,

berbelanja). Artinya , wanita lebih banyak mengonsumsi

citra dirinya sendiri dibandingkan pria.

Bagi Laura Mulvey, perjuangan gender adalah

perjuangan untuk mengubah relasi memandang/dipandang.

Didalam dunia yang diatur berdasarkan kesenjangan

seksual, kesenangan memandang dibedakan antara

aktif/pria dan pasif/wanita, khususnya yang terdapat di

dalam wacana film. Untuk mengatasi kesenjangan makna

didalam media tersebut diatas. Bagi Jackie Stacey yang

harus dilakukan khususnya didalam film adalah dengan

mengubah struktur yang memandang bahwa pria lebih aktif

sedangkan wanita pasif.

Kini lebih dari tiga dasawarsa setelah terbitnya

buku Feminine Mystique karya Betty Friedan pada tahun

1963 yang sudah menjadi klasik dan dianggap sebagai

tonggak gerakan feminis kontemporer itu, kita melihat

pergolakan luar biasa dari diskursus feminisme, bai

dibidang kajian ilmiah-akademis maupun yang setidaknya

37

menunjukkan nuansa jatuh-bangunnya gerakan kaum wanita

diberbagai penjuru dunia. Perlu diingat bahwa kaum

feminisme ini memang banyak variannya. Ada perbedaan

fundamental diantara sekian banyak kategori tentang

teori feminis. Namun secara esensial sebagai garis

besar kita bisa menyederhanakan dari sekian banyak

kategori itu menjadi dua kelompok, yakni reformasi dan

transformasi. Klompok “reformer” mencari perubahan

terhadap struktur yang ada dengan cara berjuang untuk

mencapai hak-hak yang sama dengan pria. Sedangkan

kelompok “transformer” mencari suatu tatanan gender

yang baru, yang akan membebaskan semua wanita melalui

perubahan yang radikal dalam sistem yang sudah ada.

Bagaimanapun, baik aliran transformis maupun reformis

adalah sisi lain dari mata uang yang sama, digerakkan

oleh suatu kesadaran politik yang sama, digerakkan oleh

suatu kesadaran politik yang umum:”sistem telah

dikendalikan”.

Karenannya meskipun kaum feminis memiliki

perspektif politik yang berbeda, namun secara umum

38

mereka menaruh perhatian terhadap kedudukan wanita

dalam masyarakatnya dalam ruang publik. Gerakan kaum

feminis bertolak dari upaya untuk memahami bagaimana

cara supaya fungsi-fungsi sistem sosial, politik dan

ekonomi yang ada, bisa diubah hingga sekurang-kurangnya

menjadi lebih egaliter, kooperatif, dan tidak bersikap

eksploitatif terhadap kaum wanita.

Ontologi feminis membuktikan bahwa proses

penggenderan sesungguhnya berakar dalam gagasan di

zaman pencerahan, yaitu suatu gerakan filsafat Eropa

yang muncul dari tahun 1700-an yang secara historis

berbarengan dengan keyakinan ilmu kedokteran bahwa kaum

pria dari spesies manusia membawa miniatur bayi dalam

spermanya. Pemikiran ini terorganisasikan didalam

“diktator dualisme”. Kediktatoran dualisme ini terus

bertahan dan menjadi sangat sukses dalam mendoktrin

kita supaya percaya bahwa wanita bertentang dengan

pria.

Kaum feminis berargumen bahwa media massa ikut

memelihara dan mengkukuhkan pertentangan ini. Dalam

39

kisah-kisah berita misalnya, pengalaman wanita, kultur

wanita, kehidupan wanita, olahraga wanita

digeneralisasikan dan didefinisasikan dalam

perbandingan dengan norma yang dikonstruksi secara

lahraga wanita digeneralisasikan dan didefinisasikan

dalam perbandingan dengan norma yang dikonstruksi

secara lahraga wanita digeneralisasikan dan

didefinisasikan dalam perbandingan dengan norma yang

dikonstruksi secara lahraga wanita digeneralisasikan

dan didefinisasikan dalam perbandingan dengan norma

yang dikonstruksi secara lahraga wanita

digeneralisasikan dan didefinisasikan dalam

perbandingan dengan norma yang dikonstruksi secara

lahraga wanita digeneralisasikan dan didefinisasikan

dalam perbandingan dengan norma yang dikonstruksi

secara lahraga wanita digeneralisasikan dan

didefinisasikan dalam perbandingan dengan norma yang

dikonstruksi secara lahraga wanita digeneralisasikan

dan didefinisasikan dalam perbandingan dengan norma

yang dikonstruksi secara lahraga wanita

40

digeneralisasikan dan didefinisasikan dalam

perbandingan dengan norma yang dikonstruksi secara

sosial, wanita tentu saja dihadapkan dengan laki-laki.

Dalam kaitan ini media telah ikut mempertahankan status

qou “kediktatoran dualisme” yang membelah dunia

sehingga seluruh diskursusnya menunjukkan kecenderungan

dualisme cara berpikir seperti yang diwariskan

pemikiran zaman Pencerahan tersebut.

Sementara kaum feminis juga telah lama meneriakkan

bahwa media massa mainstream ternyata mengabaikan

perempuan secara umum, khususnya gerakan-gerakan

perempuan atau feminisme. Dan tindakan ini dilakukan

dengan cara yang rapi dan menyeluruh. Dengan begitu ia

menanggung konsekuensi-konsekuensi yang mengganggu

proses demokrasi. Bahkan menurut Naomi Wolf dalam

karyanya Fire With Fire (1993) misalnya, untuk

menyumbat kemajuan perempuan bisa digunakan untuk

melestarikan dan memupuk apa yang disebut Wolf sebagai

“apartheid gender”. “Apartheid gender” dalam media

massa yang dijalankan lewat kontrol terhadap proses

41

pemilihan, pemaknaan dan penyajian informasi yang

sangat ampuh untuk menjinakkan perempuan.

Lebih lanjut mengenai pandangan Wolf (1993),

apartheid gender dalam media massa ternyata telah

menimbulkan akibat-akibat yang harus ditanggung oleh

perempuan. Akibat-akibat itu antara lain :

1. Mematikan perdebatan, sehingga membuat saluran

politik perempuan terhambat.

2. Disebabkan para redaktur media massa merasa

tidak perlu meliput isu-isu yang akan

mempengaruhi lebih dari separuh pembaca,

pendengar atau pemirsa merekapun gagal

memberikan informasi yang diperlukan oleh lebih

dari separuh penduduk negerinya tentang cara

menentukan pilihan terbaik sesuai dengan

kepentingan mereka masing-masing adalah bagian

dari keniscayaan konsep demokrasi, para redaktur

itu justru gagal memenuhi tanggung jawab mereka.

3. Bias ini biasanya melecehkan gerakan perempuan,

dan akibatnya mengasingkan perempuan pada

42

umumnya dari wakil-wakil mereka di institusi-

institusi demokrasi dalam masyarakat modern.

4. Lantaran isu-isu yang berpengaruh terhadap

perempuan hampir tidak pernah menembus ruang

oublik untuk diangkat dalam dialog yang bebas,

maka jadinya komentar-komentar umum yang bisa

lolos ke gelanggang politik dihargai terlalu

tinggi, meski komentar-komentar itutidak berbudi

bahasa, miskin nuansa, tidak melalui tanya jawab

silang. Karenannya komentar-komentar itu lebih

sering menanggung bebang berat berupa posisi

kaku defensif , bukannya massa yang luwes dengan

gagasan-gagasan bebas yang bisa berubah dan

karena itu argumen mereka gampang dipatahkan

(Cf.Wolf,1993).

Dalam rentang sejarah yang panjang itu, kritik dan

penelitian media tentang bagimana representasi

perempuan dalam media telah menjadi debat tersendiri

diatara lingkaran feminis yang “memusuhi” media.

Penelitian tentang bagaimana wanita ditampilan dalam

43

muatan atau isi media memang sudah banyak dilakukan

oleh kaum feminis. Mungkin saja mereka memiliki

pandangan politik dan metodologi yang berbeda dari para

peneliti ilmu sosial tradisional yang barangkali juga

masih didominasi oleh pendekatan kuantitatif dan

paradigma empirisme-positivistik atau cara berpikir

dulistik.

Bagaimanapun, hingga tahun 1980-an, para peneliti

media dilingkaran feminis telah mewariskan kepada kita

mengenai berbagai gambaran yang saling melengkapi dan

tampak suram tentang potret wanita dimedia massa.

Karenannya, menurut catatan salah seorang ilmuwan

komunikasi feminis terkemuka, gambaran suram mengenai

wanita dalam media yang sebenarnya dihasilkan dari

penelitian ilmu sosial tradisional tersebut, tetap

perlu dosertakan mengingat dua kecenderungan yang

terjadi belakangan. Pertama, kecenderungan penelitian

yang mempermasalahkan cara berpikir kita terhadap isi

media dan gambaran wanita. Kedua, adalah perubahan isi

44

media itu sendiri yang seakan-akan telah menyelesaikan

masalah kaum feminis mengenai gambaran kaum wanita.

Debat yang muncul didalam lingkaran feminis sendiri

dalam perjumpaannya dengan pertanyaan yang telah

bertahun-tahun diburu dalam teori media kritis. Studi

feminis dianggap punya dampak inovatif dalam memahami

problema baru ini. Karena itu, studi feminis mengenai

media setidaknya bisa membantu merefleksikan ambiguitas

diseputar pertanyaan-pertanyan konseptual tentang

kekuasaan media, ambiguitas yang secara kuat bertalian

di dalam konteks pasca strukturalisme, pasca feminisme,

dan pasca modernisme dengan krisis utopia sosial dan

gagasan tentang emansipasi, dan akhirnya dengan krisis

cara-cara pengetahuan dan tindakan legitimasi.

Perempuan memang patut bersyukur karena citra dalam

berbagai media massa perlahan berubah. Kini daftar

perempuan yang mengisi sejarah bangsa dan peradaban

meningkat luar biasa. Perempuan kini tidak lagi selalu

diliput karena “first Lady of President”, tapi karena

45

mereka adalah “First President Lady” di berbagai

negara.

Perempuan juga perlu senang bahwa kini, ia tak lagi

menunggu dilihat sebagai objek keindahan badaniah untuk

dipandang dan dinikmati, tapi mereka diliat sebagai

manusia multidimensional. Tidak hanya memilik badan

yang gemulai, wajah yang mempesona, mata yang indah,

rambut terurai, tapi kii perempuan dilihat sebagai

mahluk utuh terdiri atas badan, jiwa, dan mahluk yang

mempunyai kemampuan berpikir, berkarya, berbuat,

mengambil keputusan, memimpin, dan sebagainya.

Sungguhpun hal menggembirakan diatas terjadi, tidak

berarti bahwa media massa sudah memberikan gambaran

ideal terhadap perempuan, tengoklah bagaimana perempuan

dikoleksikan dalam media: iklan, halaman depan tabloid,

dan majalah hiburan masih banyak yang memakai wajah dan

bentuk badan perempuan sebagai daya tariknya.

Perempuan juga perlu mengawasi serta berani

mengoreksi dan menggugat pesan-pesan media massa. Di

Amerika, kelompok perempuan dapat mengajukan kritik

46

pada iklan program televisi. Hal ini dilakukan dengan

cara mengirim surat protes kepada perusahaan yang

memproduksi barang yang diiklankan atau televisi yang

menyiarkan program yang dinilai kurang baik. Kita kini

memang sedang berada di dalam era informasi. Perempuan

memanfaatkan teknologi informasi ini untuk meningkatkan

kemampuannya, kesempatan dan citra dirinya.

Contoh Kasus

Nia Dinata dikenal sebagai seorang sutradara dan

produser film muda nan kreatif. Awal karirnya sebagai

sutradara berangkat dari pembuat video klip dan film

iklan.

Pada awal 2000, Nia kemudian mendirikan perusahaan

film independen Kalyana Shira Film. Nia kemudian

menjadi sutradara untuk film CA BAU KAN (2002) yang

diangkat dari novel dengan judul sama karya novelis

Remy Sylado. 

Film yang bersetting sejarah 1930-an, menceritakan

kisah tokoh pejuang berkebangsaan Tionghoa dengan

47

dibintangi oleh Ferry Salim dan Lola Amria. Berikutnya

pada 2004, dia menyutradarai film ARISAN!dengan Surya

Saputra, Cut Mini dan Tora Sudiro. Film ini mendapat

banyak penghargaan, termasuk dari Festival Film

Indonesia dan MTV Movie Awards.

Sejumlah film yang disutradarai dan

diproduseri Nia, di antaranya MERAIH MIMPI (2009),

BERBAGI SUAMI (2006), JANJI JONI (2005) (PRODUSER),

AJANG AJENG (2004), ARISAN! (2003), JONI BE BRAVE

(2003), BIOLA TAK BERDAWAI (2003) dan CA BAU KAN

(2002).

Setelah sempat tak terdengar namanya, pada tahun

2011 Nia Dinata muncul lagi ke permukaan lewat judul

ARISAN! 2. Dan kini Nia sedang disibukkan dengan film

terbarunya yang berjudul BATIK OUR LOVE STORY. Ini

merupakan sebuah film dokumenter yang menceritakan

sejarah panjang kain batik.

Dari Nia Dinata kita dapat belajar bahwa perempuan

tidak hanya menjadi objek dari media itu sendiri,

48

tetapi perempuan bisa menjadi seorang sutradara sebuah

film yang bekerja dibalik layar, bukan didepan layar.

BAB III KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Kata sosiologi berasal dari kata sofie, yang

berarti bercocok tanam atau bertaman, kemudian

berkembang menjadi socius, dalam bahasa latin yang

49

berarti teman, kawan. Berkembang lagi menjadi kata

sosial, artinya berteman, bersama, berserikat.

Secara khusus kata sosial maksudnya adalah hal-hal

mengenai berbagai kejadian dalam masyarakat yaitu

persekutuan manusia, dan selanjutnya dengan pengertian

itu untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam

kehidupan bersama (Shadily, 1993:1-2).

Kata media berasal dari bahasa latin Medius yang

secara harfiah berarti “tengah, perantara, atau

pengantar”. Menurut McLuhan media adalah semua saluran

pesan yang dapat digunakan sebagai sarana komunikasi

dari seseorang kepada orang lain yang tidak ada

dihadapannya.

Fungsi Media :

1. Pengawasan (Surveillance)

2. korelasi (Correlation)

3. Penyampaian warisan sosial

4. Hiburan (Entertainment)

sifat-hakikat sosiologi sebagai berikut.

50

6. Sosiologi termasuk kelompok ilmu-ilmu sosial

yang objek studinya adalah masyarakat.

7. Sosiologi bukan disiplin ilmu yang

normatif,tetapi kategoris.Artinya sosiologi

hanyamembatasi diri pada apa yang trjadi dewasa

ini dan bukan yang seharusnya terjadi.

8. Sosiologi merupakan ilmu murni dan bukan ilmu

terapan,artinya sosiologi bertujuan

untukmengembangkan ilmu secara teoritis.

Perspektif Sosiologi Media

a. Perspektif Fungsionalisme

b. Perspektif Konflik

c. Perspektif Feminisme

51