Upload
unj
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAGIAN I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem pendidikan di Negara Indonesia tidak
mungkin dipenuhi tanpa adanya suatu perencanaan
strategik pendidikan nasional yang andal.
Perencanaan itu juga bukan perencanaan biasa, tetapi
suatu bentuk perencanaan yang mampu mengatasi
perubahan kebutuhan dan tuntutan, yang bisa terjadi
karena perubahan lingkungan global. Pendidikan
nasional bagi negara berkembang seperti Indonesia
merupakan program besar, yang menyajikan tantangan
tersendiri. Hal ini karena jumlah penduduk yang luar
biasa banyaknya, mencapai sekitar 240 juta jiwa dan
posisinya tersebar ke berbagai pulau. Ditambah lagi
Indonesia merupakan masyarakat multi-etnis dan
sangat pluralistik, dengan tingkat sosial-ekonomi
yang beragam. Hal ini menuntut adanya sistem
pendidikan nasional yang strategis karena begitu
kompleks dan beragamnya budaya, suku, dan bahasa
sehingga mampu memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat
Indonesia.
Globalisasi yang menjangkau seluruh bagian
wilayah dunia membuat Indonesia tidak bisa
terisolasi. Perkembangan teknologi telekomunikasi
2
dan informasi, membuat segala hal yang terjadi di
dunia internasional berpengaruh juga ke Indonesia.
Oleh karena itu, Indonesia memerlukan suatu
perencanaan strategik dalam sistem pendidikan
nasionalnya, agar sanggup menghadapi berbagai
tantangan tersebut.
Penerapan perencanaan strategis di dunia
pendidikan baru berkembang sekitar satu dekade yang
lalu. Di saat lembaga-lembaga pendidikan dipaksa
harus berhadapan dengan berbagai perubahan baik di
dalam maupun di luar lingkungan lembaga, dan dipaksa
harus tanggap terhadap berbagai tantangan yang
timbul seperti halnya menurunnya dukungan keuangan,
pesatnya perkembangan teknologi, dan berubahnya
struktur kependudukan, dan tertinggalnya program-
program akademik. Sebagai dampak dari kondisi ini,
sejumlah lembaga pendidikan kemudian menggunakan
perencanaan strategis sebagai alat untuk meraih
manfaat dan perubahan strategis untuk menyesuaikan
diri dengan pesatnya perubahan lingkungan (Rowley,
Lujan, & Dolence, 1997).
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
(STKIP) Nias Selatan merupakan Perguruan Pinggi
pertama yang ada di Kabupaten Nias Selatan dimana
sebelum pemekaran wilayah merupakan satu-satunya
Perguruan Tinggi di kepulauan Nias, yaitu Institut
3
Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Pemda Nias yang
membuka kampus daerah di Telukdalam dan menjadi
cikal bakal dari lahirnya STKIP Nias Selatan yang
sebelumnya disebut IKIP Gunungsitoli Kampus II di
Telukdalam. IKIP Gunungsitoli Kampus II di
Telukdalam dimulai sejak tahun 2002 yang lalu. Oleh
Yayasan penyelenggara pendidikan di Telukdalam mulai
menyusun rencana pendirian lembaga pendidikan ini
menjadi lembaga pendidikan yang mandiri dan berdiri
sendiri. Pada tahun 2008 akhirnya STKIP Nias Selatan
yang sebelumnya IKIP Gunungsitoli Kampus II di
Telukdalam mendapatkan izin operasional sendiri dari
kementerian pendidikan dengan nomor 156/D/O/2008.
Dan pada tahun 2011 semua program Studi yang ada di
STKIP Nias Selatan sudah terakreditasi, sehingga
pada Desember 2012 yang lalu merupakan wisuda
perdana di STKIP Nias Selatan yang berjumlah 149
orang wisudawan dari 7 (tujuh) program studi.
Mahasiswa pada tahun pertama diselenggarakannya
program kelas daerah di Telukdalam pada tahun 2002
hanya berjumlah 125 orang disemua program studi yang
ada. Namun, sejak mendapatkan ijin operasional tahun
2008 hingga sekarang mengalami peningkatan jumlah
mahasiswa di STKIP Nias Selatan, seperti tabel di
bawah ini.
4
Tabel Data Mahasiswa STKIP Nias Selatan
No. Progam Studi JumlahMahasiswa
TahunAkreditasi
1 Pendidikan Pancasila Kewargaan Negara (PPKn) 430 orang
SK NO 051/BAN-PT/Ak-XIV/S1/I/2012, Tgl, 27 Januari 2012
2 Pendidikan Ekonomi (PE) 354 orangSK NO. 032/BAN-PT/Ak-XV/S1/X/2012 Tgl, 18 Oktober2012
3 Pendidikan Matematika (PM) 297 orang
SK NO.017/BAN-PT/Ak-XV/S1/VI/2012, Tgl 19 Juli 2012
4 Pendidikan Biologi (PB) 347 orangSK NO.047/BAN-PT/Ak-XIV/S1/XII/2012 Tgl, 27 Desember 2011
5 Pendidikan Bahasa Inggeris (PBI) 206 orang
SK NO. 044/BAN-PT/Ak-XIV/S1/XII/2011, Tgl, 15 Desember 2011
6 Pendidikan Bahasa Indonesia (PBInd) 456 orang
SK NO. 047/BAN-PT/Ak-XII/2011 Tgl, 29 Desember 2011
7 Bimbingan dan Konseling(BK) 316 orang
SK NO. 051/BAN-PT/Ak-XIV/S1/I/2012 Tgl, 27 Januari 2012
Sumber: BAAK STKIP Nias Selatan, 2013
Berdasarkan tabel di atas, dengan tingginya
kesadaran masyarakat dalam mendorong anaknya
mendapatkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi,
maka dibutuhkan suatu perencanaan strategik yang
handal dalam menampung dan memfasilitasi masyarakat
Nias secara umum dalam memenuhi Tujuan Pendidikan
Nasional sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
5
Nasional dengan “Implementasi Rencana Strategi
(Renstra) Pengembangan dan Pembangunan Sekolah
Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Nias
Selatan”.
BAGIAN II
PEMBAHASAN
A. Perencanaan Strategik
Strategi merupakan tindakan yang bersifat
incremental (senantiasa meningkat) dan terus–menerus,
serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang
apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa
depan. Dengan demikian, strategi hampir selalu
dimulai dari apa yang dapat terjadi dan bukan
dimulai dengan apa yang terjadi. Thompson (1998)
menyebutkan manajemen strategi merupakan proses
manajerial untuk membentuk visi strategi, penyusunan
obyektif, penciptaan strategi mewujudkan dan
melaksanakan strategi dan kemudian sepanjang waktu
melakukan penyesuaian dan koreksi terhadap visi,
obyektif strategi dan pelaksanaan tersebut.
Perencanaan (planning), pengorganisasian
(organizing), menggerakkan atau memimpin (actuating
atau leading), dan pengendalian (controlling)
6
merupakan fungsi-fungsi yang harus dijalankan dalam
proses manajemen. Jika digambarkan dalam sebuah
siklus, perencanaan merupakan langkah pertama dari
keseluruhan proses manajemen tersebut. Perencanaan
dapat dikatakan sebagai fungsi terpenting diantara
fungsi-fungsi manajemen lainnya. Apapun yang
dilakukan berikutnya dalam proses manajemen bermula
dari perencanaan. Daft (1988:100) menyatakan: “When
planning is done well, the other management functions can be done
well.”
Perencanaan pada intinya merupakan upaya
penentuan kemana sebuah organisasi akan menuju di
masa depan dan bagaimana sampai pada tujuan itu.
Dengan kata lain, perencanaan berarti pendefinisian
tujuan yang akan dicapai oleh organisasi dan
pembuatan keputusan mengenai tugas-tugas dan
penggunaan sumber daya yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan itu. Sedangkan rencana (plan) adalah
hasil dari proses perencanaan yang berupa sebuah
cetak biru (blueprint) mengenai alokasi sumber daya
yang dibutuhkan, jadwal, dan tindakan-tindakan lain
yang diperlukan dalam rangka pencapaian tujuan.
Dalam pengertian tersebut, tujuan dan alokasi
sumber daya merupakan dua kata kunci dalam sebuah
rencana. Tujuan (goal) dapat diartikan sebagai
kondisi masa depan yang ingin diwujudkan oleh
7
organisasi. Dalam organisasi, tujuan ini terdiri
dari beberapa jenis dan tingkatan. Tujuan pada
tingkat yang tertinggi disebut dengan tujuan
strategis (strategic goal), kemudian berturut-turut
di bawahnya dijabarkan menjadi tujuan taktis
(tactical objective) kemudian tujuan operasional
(operational objective). Tujuan strategis merupakan
tujuan yang akan dicapai dalam jangka panjang,
sedangkan tujuan taktis dan tujuan operasional
adalah tujuan jangka pendek yang berupa sasaran-
sasaran yang terukur.
Masing-masing tingkatan tujuan tersebut
terkait dengan proses perencanaan. Tujuan strategis
merupakan tujuan yang harus dicapai pada tingkat
rencana strategis (strategic plan). Tujuan taktis
dan tujuan operasional masing-masing merupakan
tujuan-tujuan yang harus dicapai pada rencana taktis
(tactical plan) dan rencana operasional (operational
plan).
Perencanaan strategik (strategic planning)
dipandang sebagai mode baru dalam perencanaan. Kata
“strategi” berasal dari bahasa Yunani, strategos,
yang berarti “seperangkat umum manuver, yang
dilaksanakan untuk mengatasi musuh di medan
pertempuran.” Kata “strategi” itu bahkan telah
digunakan oleh pemikir militer kuno Cina, Sun Tzu,
8
dan pemimpin Perancis, Napoleon. Pendekatan
perencanaan yang awalnya diyakini sebagai ilmunya
kaum militer tersebut selanjutnya diterapkan pada
organisasi atau pun perusahaan bisnis.
Perencanaan strategis (strategic planning)
merupakan bagian dari proses managemen strategis
yang terkait dengan proses identifikasi tujuan
jangka panjang dari sebuah lembaga atau organisasi,
penggalian gagasan dan pilihan-pilihan, pengambilan
langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan, dan pemantauan
(monitoring) kemajuan atau kegagalan dalam rangka
menentukan strategi di masa depan (Nickols dan
Thirunamachandran, 2000). Secara historis,
perencanaan strategis bermula dari dunia militer.
Perkembangan selanjutnya, perencanaan strategis
diadopsi oleh dunia usaha pada tahun 1950-an dan
berkembang pesat dan sangat populer pada tahun 1960
hingga 1970-an, dan berkembang kembali tahun 1990-an
Mintzberg (1994) sebagai "process with particular benefits
in particular contexts."
Peristiwa itu menyadarkan orang akan perlunya
perencanaan yang lebih fleksibel, mampu memprediksi
lingkungan yang cepat berubah serta mampu berjalan
seiring dengan ketidakpastian keadaan. Perencanaan
strategik justru muncul sebagai paradigma alternatif
9
dalam bidang perencanaan, menggantikan model
perencanaan lama atau konvensional, yakni
perencanaan jangka panjang (long-term planning)
maupun perencanaan standar yang obyektif.
B. Perbedaan Dasar antara Perencanaan Strategik dan
Konvensional
Logika dasar dari perencanaan strategik
adalah bahwa dalam lingkungan dunia yang berubah
secara pesat dan tak menentu, suatu organisasi
memerlukan kemampuan untuk perubahan perencanaan dan
manajemen secara cepat. Maka kemampuan untuk
senantiasa melakukan penangkapan lingkungan
eksternal dari organisasi, serta upaya terus-menerus
untuk senantiasa melakukan penelaahan kemampuan dan
kelemahan internal, menjadi prasyarat bagi
organisasi untuk tetap strategik dan relevan.
Pada perencanaan konvensional yang merupakan
paradigma lama, perencanaan berangkat dari penetapan
tujuan jangka panjang. Berdasarkan tujuan tersebut,
segenap daya dikelola untuk mencapai tujuan
tersebut. Sebaliknya, perencanaan strategik memiliki
logika yang berbeda. Justru perencanaan strategik
berangkat dari misi, mandat, dan nilai-nilai yang
menjadi dasar suatu organisasi untuk berkembang,
serta visi organisasi di masa mendatang.
10
Analisis yang mengaitkan antara misi dan
visi, serta perkembangan lingkungan eksternal serta
kekuatan dan kelemahan internal ini, akan membawa
organisasi menemukan arah menuju yang paling
strategik. Dengan begitu, organisasi akan tetap
menjadi relevan. Disisi lain, organisasi juga tidak
mungkin menjadi pendukung yang efektif bagi
kesejahteraan komunitasnya, kecuali organisasi
tersebut meningkatkan kemampuannya untuk berpikir
dan bertindak strategik. Ada empat hal pokok yang
membedakan perencanaan strategik dengan perencanaan
jangka panjang (konvensional) bagi organisasi,
yaitu:
Pertama, meskipun keduanya berfokus pada
organisasi dan apa yang harus dikerjakan organisasi
untuk memperbaiki kinerjanya, perencanaan strategik
lebih memfokuskan pada pengidentifikasian dan
pemecahan isu-isu. Sedangkan perencanaan jangka
panjang lebih memfokuskan pada pengkhususan sasaran
(goals) dan tujuan (objectives), serta menerjemahkannya
ke dalam anggaran dan program kerja.
Kedua, perencanaan strategik lebih menekankan
pada penilaian terhadap lingkungan di luar dan di
dalam organisasi, daripada yang dilakukan
perencanaan jangka panjang. Para perencana jangka
panjang cenderung menganggap bahwa kecenderungan
11
masa kini akan berlanjut hingga masa depan.
Sedangkan perencana strategik memperkirakan
munculnya kecenderungan baru, diskontinuitas dan
berbagai kejutan.
Ketiga, para perencana strategik lebih
mungkin untuk mengumpulkan versi yang diidealkan
–“visi keberhasilan”—dan mengusahakan bagaimana visi
itu dapat tercapai, ketimbang perencana jangka
panjang. Karena rencana-rencana sering diarahkan
oleh visi keberhasilan, maka arah pada perencanaan
strategik sering mencerminkan perubahan kualitatif.
Sebaliknya, pada perencanaan jangka panjang, arah
sering kali merupakan ekstrapolasi garis lurus dari
keadaan sekarang, yang berlanjut lurus ke masa depan
berdasarkan kecenderungan yang ada sekarang.
Keempat, perencanaan strategik lebih
berorientasikan tindakan (action oriented) ketimbang
perencanaan jangka panjang. Perencana strategik
biasanya mempertimbangkan suatu rentang masa depan
yang mungkin, dan memfokuskan pada implikasi
keputusan dan tindakan masa sekarang, sehubungan
dengan rentang tersebut. Maka para perencana
strategik dapat mempertimbangkan berbagai arus yang
mungkin dalam keputusan dan tindakan, untuk berusaha
menangkap sebanyak mungkin peluang yang terbuka bagi
organisasi, agar organisasi dapat menanggapi
12
kemungkinan yang tak terduga dengan tepat dan
efektif.
Dalam buku yang berjudul Perencanaan Strategis
bagi Organisasi Sosial, Bryson mengangkat peran
kepemimpinan dalam mewujudkan perencanaan strategis.
Peran kepemimpinan tersebut menurut Bryson ada 10
hal, yaitu;
1. memahami konteks
2. memahami orang-orang yang terlibat, termasuk diri
sendiri, mensponsori proses
3. memperjuangkan proses
4. memfasilitasi proses
5. mengembangkan kepemimpinan kolektif
6. menggunakan dialog dan diskusi untuk menciptakan
proses yang bermakna
7. membuat dan melaksanakan tugas
8. menegakkan norma
9. menyelesaikan perselisihan dan mengelola konflik
dan
10. menyatukan semuanya.
C. Manfaat Perencanaan Strategik Berdasarkan Pengalaman
Empiris
Manfaat perencanaan strategis pada sektor publik
hampir sama dengan manfaat pada sektor swasta yaitu
1) Menjadikan instansi reaktif dalam menghadapi
13
perubahan situasi yang dinamis dan kompleks. 2) Alat
manajerial yang penting, 3) Mengelola untuk hasil
(managing for result), 4) Mengubah orientasi instansi
menjadi instansi berorientasi masa depan, 5)
Mejadikan instansi adaptif dan flexibel, 6)
Menjadikan instansi mampu memenuhi harapan unit
pengguna/ pelanggan, dan 7) Meningkatkan komunikasi
horizontal dan vertikal melalui peningkatan
koordinasi. Selain sudah terbukti bagi organisasi
militer dan perusahaan bisnis, perencanaan strategik
juga dapat bermanfaat bagi lembaga pendidikan,
organisasi sosial, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
ataupun organisasi nirlaba (non-profit) lainnya.
Berdasarkan pengalaman empiris, ada sejumlah
indikasi manfaat perencanaan strategik bagi lembaga
pendidikan atau organisasi sosial yang
menggunakannya. Yaitu:
Pertama, perannya sangat berarti dalam membantu
organisasi untuk menetapkan isu strategik yang perlu
dan relevan untuk diperjuangkan. Banyak lembaga
pendidikan dan organisasi sosial tidak mampu
menetapkan isu strategik, sehingga perjalanan
organisasi bersifat rutin ataupun reaktif.
Kedua, perencanaan strategik bermanfaat untuk
menyadarkan keseluruhan anggota ataupun pemangku
kepentingan (stake-holders) organisasi mengenai visi,
14
misi, mandat, serta nilai-nilai yang dianut oleh
organisasi. Hal ini penting untuk menghindari
organisasi tanpa kejelasan visi dan misi, atau hanya
sebagian kecil elit organisasi yang memahami misi dan
visi organisasi, sementara sebagian besar anggotanya
tidak memahami atau tidak terlibat dalam
menetapkannya.
Ketiga, organisasi sosial yang memiliki
perencanaan strategik tidak hanya dapat membantu
suatu organisasi tetap relevan dengan perubahan
lingkungan sosial-politik, namun bahkan mampu
mempengaruhi, mengarahkan dan membentuk sistem
sosial, politik, dan ekonomi, sesuai dengan visi dan
misi organisasi.
Terakhir, perencanaan strategik sangat
bermanfaat untuk memungkinkan konsolidasi organisasi
secara berkala, yang akan membawa pada suasana
meningkatnya partisipasi keseluruhan anggota dalam
proses pengambilan keputusan yang mendasar, serta
menghindarkan terjadinya proses keterasingan
(alienasi) bagi elit organisasi terhadap massa
anggotanya.
D. Implementasi Perencanaan Strategik pada Sistem
Pendidikan Nasional di STKIP Nias Selatan
15
Perencanaan strategik juga dapat
diimplementasikan pada sistem pendidikan nasional.
Perencanaan pendidikan sendiri adalah salah satu
kebijakan pemerintah yang terkait dengan kebijakan-
kebijakan publik lainnya. Fungsi dari setiap
keputusan publik juga diintegrasikan dengan
keputusan-keputusan lainnya.
Proses perencanaan pendidikan di Indonesia
diarahkan pada relevansi, efisiensi, dan efektivitas
pendidikan, sehinga sasaran pendidikan akan tercapai
sesuai dengan tujuan yang telah digariskan. Ini pada
awalnya adalah pendekatan perencanaan konvensional.
Hanya saja dalam tataran implementasi, apa yang
telah digariskan seringkali berbeda dengan kenyataan
di lapangan, sehinga optimalisasi kinerja manajemen
pendidikan belum berjalan sesuai harapan. Dalam hal
inilah, diperlukan perencanaan strategik yang
tanggap terhadap tuntutan perubahan, tanpa melupakan
misi, visi, mandat dan nilai-nilai yang telah
ditetapkan.
Paradigma perencanaan lama yang bersifat
sentralisasi juga telah bergeser dengan lahirnya
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 jo No. 32 Tahun 2004
tentang Otonomi Daerah dan Undang-undang No. 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah. UU ini memberi kewenangan yang lebih luas
16
pada provinsi, kabupaten dan kota untuk mengelola
daerahnya masing-masing sesuai dengan aspirasi
masyarakat dan potensi yang dimilikinya. Dan, tentu
juga, agar pemerintah daerah bisa bersikap adaptif
dan kreatif terhadap perubahan lingkungan eksternal
yang cepat dan dinamis.
Dengan digariskannya kebijakan tentang Otonomi
Daerah, termasuk di bidang penyelenggaraan
pendidikan, maka implikasinya berdampak pada
perubahan sistem perencanaan.
a. Tingkat Strategi
Di dalam manajemen strategik swasta
dikenal adanya jabaran tingkat strategi:
1) Corporate Strategi:
Grand strategy yaitu: bidang yang digeluti
Enterprise strategy berupa pengumpulan atau
reaksi terhadap: respons masyarakat
2) Bisnis Strategi berupa:
Keunggulan komparatif
Keunggulan kompetitif
3) Fungsional Strategi berupa:
Fungsional ekonomi: uang, pasar, sumber
daya, pengembangan
fungsional manegemen: POAC (Planning,
Organizing, Actuating, Controlling)
Isu strategik kontrol
17
b. Isi Tipe Strategi:
1) Corporate: misi, tujuan, nilai, inisiatif
2) Program: implementasi dan dampak
3) Pendukung sumber daya: kinerja tenaga,
uang, teknologi
c. Institusional: kemampuan organisasi
1) Identifkasi stakeholder utama
2) Identifikasi lingkungan luar (O-T)
3) Identifikasi lingkungan internal (S-W)
4) Mempetakan Interaksi SWOT, sebagai berikut:
Sebagaimana implementasi pada perubahan sistem
perencanaan tersebut, STKIP Nias Selatan menggunakan
perencanaan strategik dengan analisis SWOT. Karena
melalui analisis SWOT STKIP Nias Selatan akan melihat
peluang dan ancaman yang ada dari sisi eksternal
perguruan tinggi dan tanpa mengesampingkan pengaruh-
pengaruh lain berupa kekuatan dan kelemahan dari sisi
internal. Hasil analisis tersebut dapat digambarkan
pada matriks di bawah ini.
Tabel Implementasi Perencanaan Strategik STKIP NiasSelatan dengan Strategi Analisis SWOT
EksternalInternal
Opportunity Treath
Strength DukunganPemerintah dan PT
Kompetisi danakreditasi
18
Tetangga serta UUWeakness PT Pertama
Dan KemampuanBiaya dari orang
tua
PendidikanDan Mindset
Sumber: dimodifikasi dan adaptasi dari matriks
analisis SWOT
Adapun arti atau makna dari tabel tersebut di atas
adalah:
1) SO : Dukungan Pemerintah daerah dan Pusat serta
Perguruan Tinggi lain dan Undang-Undang Pendidikan
Tinggi dalam mencapai pertumbuhan tinggi posisi
kompetitif. Menghabiskan dana besar dan dengan
harapan akan hasil besar.
2) WO : STKIP Nias Selatan merupakan satu-satunya
Perguruan Tinggi Pertama di Nias Selatan pasca
pemekaran Kabupaten Nias menjadi dua kabupaten.
Terdapatnya dukukungan dari orang tua sebagai
kekuatan yang harus dimiliki oleh lembaga
pendidikan tinggi tersebut, karena orang tua ingin
menyekolahkan anaknya dekat dengan tempat
tinggalnya tanpa meninggalkan kampung halamannya
dalam membantu orang tua. Hal ini walau mengalami
pertumbuhan rendah tetapi memiliki posisi
kompetitif. Hasil dapat diharapkan besar karena
posisi pasar kuat, diharapkan adanya investasi
karena pertumbuhan pasar naik (daya minat kuliah
19
atau sekolah tinggi akibat pemberian gratis
pendidikan) posisi ini dapat dipakai untuk
menciptakan dana surplus bagi organisasi yang cash
flownya negatif.
3) ST : Meningkatnya kompetitif Perguran Tinggi karena
untuk menghasilkan lulusan mahasiswa pertama semua
program studi harus terakreditasi, bila tidak
terakreditasi maka program studi tersebut tidak
dapat meluluskan mahasiswa, bahkan wisuda tidak
akan dilaksanakan di prodi tersebut. Posisi ini
dapat dipakai untuk membatalkan portofolio dan
legalisasi prorgam studi atau dapat pula dijadikan
sebagai pendorong penjualan (agar mendapatkan
akreditasi program studi). Posisi ini memiliki
kemungkinan memperoleh suntikan dana dari
pemerintah maupun dri LSM lokal dan internasional
di masa yang akan datang.
4) WT : Tantangan dan ancaman perguruan tinggi
terdapat pada proses perubahan tingkah laku
dimana secara teoritik bahwa pendidikan sebagai
agen perubahan. Manusia Nias dihadapkan pada
tingkat peradaban bangsa (mindset). Posisi ini
memungkinkan adanya upaya untuk menghapuskan dari
portofolio organisasi (likuidasi). Maka,
tantangan dan ancaman ini harus segera diatasi
oleh manajemen perencanaan strategik. Dituntut
20
adanya kontrol manajemen sebagai pengambil
keputusan.
Dalam hal ini, STKIP Nias Selatan akan
mengimplementasikan faktor-faktor SWOT yang terjadi
dalam organisasi, bila organisasi kependidikan ini
diposisikan pada sebuah perusahaan dan industri, maka
efek perusahaan (Firm effect) adalah lebih besar dari efek
industri (industry effect). Internal dan Eksternal Factor
Analysis Summary-nya dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel Internal dan Eksternal Factor Analysis
Summary dengan matriks analisis SWOT
STRENGTHS(S)
WEAKNESS(W)
OPPORTUNIES(O)
STRATEGI SODengan Kekuatanmeraih peluang
STRATEGI WOMengatasi
kelemahan untukmenangkap
peluang yangsesuai
THREAT(T)
STRATEGI STDengan Kekuatan
menghadapitantangankelemahan
STRATEGI WTMengatasi
kelemahan untukmengalahkan
ancaman
IFASEFAS
21
Sumber: dimodifikasi penulis,2013
Berdasarkan matriks di atas, maka dapat dijelaskan
beberapa langkah dalam memahami dan mengimplementasikan
strategi ini baik dari sisi internal maupun dari sisi
eksternal, yaitu:
a. Dari sisi Strategi SO, dengan Kekuatan meraih
Peluang
1) Undang-Undang serta Peraturan Daerah yang
mendukung lembaga pendidikan yang ada.
2) Berdirinya lembaga pendidikan tinggi sebagai
sarana dalam meningkatkan sumberdaya manusia yang
ada di pulau Nias.
3) Tingginya keinginan masyarakat dalam
menyekolahkan anaknya
b. Dari sisi Strategi WO, mengatasi Kelemahan untuk
menangkap Peluang
1) Banyaknya peserta didik (mahasiswa) perlu
tenaga pengajar yang mampu menjadi agen-agen
perubahan
2) Penyantun perguruan tinggi, dalam hal ini
Yayasan Pendidikan Nias Selatan harus
menyediakan manajemen yang andal untuk siap
berkompetisi dalam pengelolaan lembaga
Pendidikan Tinggi.
c. Dari sisi Strategi ST, dengan Kekuatan menghadapi
22
tantangan Kelemahan
1) Ketersediaan fasilitas, sarana dan prasarana
2) Ketersediaan sumberdaya yang ada
3) Ketersediaan Manajemen dan sumberdaya manusia
yang tidak terencana dengan baik
4) Nilai-nilai budaya yang ada harus mampu
menyeimbangkan perubahan glogal dan membendung
arus modernisasi dan kemajuan iptek.
d. Dari sisi Kelemahan dan Ancaman (WT)
1) Kurangnya dukungan pemerintah
2) Lemahnya peran lembaga swadaya masyarakat
3) Tidak adanya peningkatan sumberdaya manusia
yang ada, misalnya melalui pendidikan,
pelatihan, training atau penataran.
4) Lulusan yang ada tidak dapat memenuhi standar
Stakeholder
e.Interaksi S-W-O-T
1) Klasifikasi issu strategi berdasarkan input-
proses-output yang terjadi dilingkungan
organisasi
2) Klarifikasi setiap issue yang muncul baik dari
faktor internal maupun issue dari faktor
eksternal
3) Klasifikasi kompetitors
4) Rangking, apa yang menjadi prioritas untuk segera
diselesaikan baik di tingkat manajerial maupun di
23
tingkat staf.
5) Identifikasi kekuatan dan kelemahan
6) Siap berkompetisi
E. MBPT sebagai Wujud Implementasi Perencanaan
Strategik
Dalam mengimplementasikan desentralisasi di
bidang pendidikan, sebagai wujud konkret dari
implementasi perencanaan strategik, maka
diterapkanlah Manajemen Berbasis Perguruan Tinggi
(MBPT). Dengan MBPT, Perguruan Tinggi menjadi lebih
leluasa bergerak dalam mengelola sumberdayanya,
sehingga mutu dapat ditingkatkan. Pemberdayaan
institusi dengan memberikan otonomi yang lebih
besar tersebut merupakan sikap tanggap pemerintah
terhadap tuntutan masyarakat, sekaligus sebagai
sarana peningkatan efisiensi pendidikan.
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menetapkan manajemen berbasis
sekolah (school based management) sebagai prinsip
utama yang harus dipegang teguh dalam pengelolaan
semua satuan pendidikan. Ketentuan ini kemudian
dipertegas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 49 ayat (1) pada Peraturan Pemerintah ini
menyatakan: “Pengelolaan satuan pendidikan pada
24
jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan
manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan
kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan,
dan akuntabilitas.”
Untuk menjamin terimplementasikannya manajemen
berbasis sekolah, PP nomor 19/2005 tersebut juga
menetapkan bahwa proses pengambilan keputusan di
tingkat satuan pendidikan juga harus sejalan dengan
nafas manajemen berbasis sekolah. Pada intinya
pengambilan keputusan harus dilakukan dengan
melibatkan pihak-pihak pemangku kepentingan
(stakeholders) yang terwadahi dalam Komite Sekolah.
Artinya, perguruan tinggi ataupun institusi
pendidikan tinggi mampu untuk mengadaptasi undang-
undang tersebut sehingga kulalitas dan mutu
pendidikan tinggi dapat bersaing sebagaimana
tuntutan dan kebutuhan bangsa.
Terkait dengan Pengambilan Keputusan, beberapa
hal penting yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
tersebut meliputi bidang-bidang pengambilan
keputusan, prosedur pengambilan keputusan dan
pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan
keputusan itu. Pengambilan keputusan bidang
akademik dilakukan melalui rapat Senat Perguruan
Tinggi yang dipimpin oleh Ketua STKIP Nias Selatan.
Sedangkan bidang non-akademik pengambilan keputusan
25
dilakukan oleh Dewan Pendidikan dalam hal ini
komite sekolah/madrasah atau yayasan penyantun
perguruan tinggi yang dihadiri oleh ketua institusi
atau kepala sekolah. Rapat dewan pendidik dan
komite sekolah/madrasah atau yayasan penyantun
perguruan tinggi dilaksanakan atas dasar prinsip
musyawarah mufakat yang berorientasi pada
peningkatan mutu satuan pendidikan.
Rencana kerja yang harus dibuat oleh satuan
pendidikan meliputi Rencana Kerja Jangka Menengah
(5 tahun) dan Rencana Kerja Tahunan. Rencana Kerja
Satuan Pendidikan harus disetujui melalui rapat
senat akademik setelah memperhatikan pertimbangan
dari Dewan Pendidikan ataupun Komite
Sekolah/Madrasah atau Yayasan penyantun perguruan
tinggi.
Beberapa standar pengelolaan yang dikemukakan
di atas mengisyaratkan bahwa sejak saat ini sekolah
sebagai satuan pendidikan memiliki peran, wewenang
dan tanggung jawab yang sangat strategis dan jauh
lebih luas di bandingkan masa sebelumnya. Institusi
dituntut untuk lebih mandiri, lebih mampu membangun
hubungan kemitraan dengan dan memperkuat
partisipasi semua pemangku kepentingan
(stakeholders), bersikap lebih terbuka dan
akuntabel.
26
Kewenangan yang begitu luas yang diberikan
kepada sekolah tersebut pada gilirannya menuntut
setiap sekolah mereformasi dirinya. Setiap sekolah
harus beralih dari budaya dan manajemen yang
bersifat “menunggu dan bertindak sesuai kebijakan
atas” yang bersifat konvensional kepada sebuah
budaya dan manajemen baru yang menempatkan hasil
telaah diri sebagai titik awal usaha pengembangan,
kemandirian dan akuntabilitas sebagai instrumen
utama dalam proses pengembangan dirinya, dan
peningkatan mutu sebagai muara dan tujuan utama
dari setiap usaha pengembangan itu.
Dalam pengelolaan yang demikian itu, proses
perencanaan akan menjadi perangkat yang esensial
dalam pengelolaan sekolah. Dalam kaitannya dengan
standar pengelolaan satuan pendidikan, sistem
perencanaan pengembangan lembaga yang diterapkan
pada setiap sekolah harus mampu memfasilitasi dan
mengakomodasi lima pilar utama yang digariskan
dalam standar pengelolaan itu kemandirian,
kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan
akuntabilitas.
Kepala sekolah atau pimpinan tertinggi dalam
institusi pendidikan adalah sosok kunci yang
menentukan terwujudnya berbagai standar pengelolaan
satuan pendidikan sebagaimana disebutkan di atas.
27
Kompetensi pemimpin di bidang perencanaan dan
pengambilan berbagai keputusan strategis menjadi
prasyarat keberhasilan pengembangan sekolah. Untuk
itu kepala sekolah atau pimpinan harus mampu
membangun kemandirian sekolah melalui penguatan
kompetensinya di bidang perencanaan pengembangan
sekolah.
Dalam konteks perencanaan strategik, MBS
memungkinkan organisasi sekolah lebih tanggap,
adaptif, kreatif, dalam mengatasi tuntutan
perubahan akibat dinamika eksternal, dan pada saat
yang sama mampu menilai kelebihan dan kelemahan
internalnya untuk terus meningkatkan diri.
Tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi,
mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan
efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola
sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat dan
penyederhanaan birokrasi.
Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi
orangtua, kelenturan pengelolaan sekolah,
peningkatan profesionalisme guru, serta hal lain
yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang
kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada
tumbuhnya partisipasi masyarakat (stake-holders),
terutama yang mampu dan peduli terhadap masalah
pendidikan.
28
Implikasi perencanaan strategik, yang berwujud
desentralisasi manajemen pendidikan, adalah
pemberian kewenangan yang lebih besar kepada
kabupaten dan kota untuk mengelola pendidikan dasar
dan menengah sesuai dengan potensi dan kebutuhan
daerahnya. Juga, melakukan perubahan kelembagaan
untuk memenuhi dan meningkatkan efisiensi dan
efektivitas dalam perencanaan dan pelaksanaan,
serta memberdayakan sumber daya manusia, yang
menekankan pada profesionalisme.
Perwujudan perencanaan strategik dalam
pelaksanaan MBS memerlukan upaya penyelarasan,
sehingga pelaksanaan berbagai komponen sekolah
tidak tumpang tindih, saling lempar tugas dan
tanggung jawab. Dengan begitu, tujuan yang telah
ditetapkan –sebagai konkretisasi visi dan misi
organisasi—dapat dicapai secara efektif, efisien,
dan relevan dengan keperluannya.
Kepala sekolah adalah sosok kunci yang
menentukan terwujudnya berbagai standar pengelolaan
satuan pendidikan.Kompetensi kepala sekolah di
bidang perencanaan dan pengambilan berbagai
keputusan strategis menjadi prasyarat keberhasilan
pengembangan sekolah. Untuk itu kepala sekolah
harus mampu membangun kemandirian sekolah melalui
29
penguatan kompetensinya di bidang perencanaan
pengembangan sekolah.
F. Otonomi Perguruan Tinggi sebagai Wujud Perencanaan
Strategis
Otonomi universitas ternyata sudah dipikirkan
sejak dahulu oleh founding fathers pendidikan
Indonesia. Dalam Kongres Pendidikan, 4-6 Agustus
1947, di Surakarta—di antaranya dihadiri oleh Ki
Hajar Dewantara, Soepomo, Soenario Kolopaking, dan
Presiden Soekarno—telah dibahas soal otonomi.
Soepomo menginginkan agar fungsi universitas di
Indonesia sejajar dengan universitas di Eropa dan
Amerika, yaitu pusat ilmu pengetahuan dan
kebudayaan, tempat dilahirkannya calon pemimpin
bangsa. Untuk itu, universitas harus menjadi badan
hukum yang otonom. Soenario Kolopaking menegaskan
bahwa negara harus menyelenggarakan universitas
yang berbentuk badan hukum dan mempunyai
kemerdekaan seluas-luasnya dalam mengabdi ilmu
pengetahuan.
Pada 1950-an, sekali lagi dinyatakan oleh
Soepomo (Menteri Pendidikan) bahwa—karena fungsi
30
dan sifatnya—universitas tak diperkenankan menjadi
jawatan di bawah administrasi Kementerian
Pendidikan karena akan menghambat semangat akademi
dan menghalangi perkembangan kehidupan universitas.
Pemerintah harus memberi otonomi sepenuhnya pada
universitas. Beliau berharap bahwa kejayaan
Sriwijaya yang pernah menjadi pusat politik dan
pengetahuan di Asia akan kembali terjadi pada
universitas di Indonesia pada masa depan.
Praktik penyelenggaraan pendidikan yang buruk
dan berbagai ketidakpastian selama ini harus segera
diakhiri, setidaknya dilandasi oleh RUU Perguruan
Tinggi ini. Otonomi universitas akan dijalankan
dengan prinsip yang benar agar perguruan tinggi
dapat mengembangkan diri seluasnya dalam memenuhi
Tri Dharma Perguruan Tinggi dan menyejajarkan diri
dengan tuntutan ilmu pengetahuan modern.
Apa artinya otonomi? Dalam Magna Charta
Universitatum, otonomi adalah keseluruhan kemampuan
institusi untuk mencapai misinya berdasarkan
pilihannya sendiri. Dalam RUU PT Pasal 74, otonomi
diartikan: (a) universitas mengelola sendiri
lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan
tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat; (b) otonomi dilaksanakan sesuai dengan
dasar dan tujuan serta kemampuan perguruan tinggi;
31
(c) dasar dan tujuan serta kemampuan tersebut
dinilai oleh Menteri; (d) otonomi pengelolaan
perguruan tinggi diatur dalam peraturan pemerintah.
Otonomi Perguruan Tinggi dijalankan dengan
prinsip akuntabilitas, transparansi, dan nirlaba.
Otonomi dan akuntabilitas adalah dua sisi dari koin
yang sama. Akuntabilitas memampukan institusi
meregulasi kebebasan yang ada padanya dengan cara
otonom. Otonomi dilaksanakan dalam bidang akademik
(penetapan norma, kebijakan operasional, dan
pelaksanaan Tri Dharma) dan non-akademik
(organisasi, keuangan, kemahasiswaan, sumber daya
dosen dan karyawan, sarana dan prasarana).
Diharapkan dalam kondisi semacam ini akan semakin
terbangun inovasi, kreativitas, dan keunggulan
karya akademik.
Kekhawatiran masyarakat, otonomi universitas
akan menyebabkan ketiadaan akses bagi masyarakat
kurang mampu tak beralasan. Standar biaya dan tarif
diatur oleh Menteri (Pasal 95), didukung oleh APBN
dan APBD (Pasal 96), penerimaan mahasiswa baru
diatur dan gratis (Pasal 77), perguruan tinggi
negeri mencari mahasiswa tidak mampu (Pasal 78),
bahkan ada jaminan pendanaan bagi yang lulus (Pasal
80). Komersialisasi pendidikan dijawab melalui
Pasal 70 yang mengatakan, pengaturan oleh
32
pemerintah kuat, pemilik tunggal, dan prinsip
nirlaba. Pemerintah tetap mendanai (Pasal 90, 96,
97)
Dengan demikian, kita melihat bahwa otonomi
bukanlah tujuan, melainkan cara untuk mencapai
pemenuhan hak asasi warga masyarakat terhadap
pendidikan. Negara tetap berkewajiban mendanai,
mengatur, dan mengawasi, bukan justru mengambil
dana dari masyarakat. Semua universitas di dunia
harus mengantisipasi perubahan yang tidak
terbendung, terutama kemajuan teknologi informasi.
Pada masa depan, produksi dan reproduksi ilmu
pengetahuan secara signifikan akan ditentukan
arahnya oleh sumber daya pendidik yang berkualitas
dan perpustakaan digital yang tidak mengenal batas
ruang.
Kerja dan temuan ilmiah akan semakin mampu
menjelaskan berbagai persoalan kemanusiaan,
mendukung pembangunan kesejahteraan dan peradaban
dunia. Jika hal ini dibebankan pada birokrasi
pemerintah, gelombang perubahan ini tidak akan
dapat dikejar. Inilah rupanya yang dimaksud oleh
Soepomo sebagai ”membinasakan (menghambat) semangat
akademik”.
Di negara-negara maju, seperti di Skandinavia
(Norwegia, Swedia, Finlandia, Denmark), universitas
33
didanai 100 persen oleh pemerintah. Masyarakat
dibebaskan dari bayaran, tetapi status universitas
adalah otonom penuh. Saat ini universitas di Asia,
seperti India dan China; di ASEAN, seperti
Singapura dan Malaysia, semakin menjadi otonom. Para
ilmuwan menyadari betul bahwa hanya dengan otonomi
dan desentralisasi akan diciptakan universitas kelas
dunia yang modern dan inovasi dapat dilakukan
secara lebih efektif daripada jika dilakukan dalam
birokasi pemerintah.
Apabila ingin sejajar dengan dunia,
universitas di Indonesia harus terbuka terhadap
perubahan dan mengikuti perkembangan kemajuan
universitas di negara-negara lain itu. Universitas
adalah kekuatan moral dan niat baik untuk
memampukan dirinya sendiri adalah suatu keharusan.
Jika hal ini tidak dilakukan sekarang, sejarah akan
mencatat utang kita kepada generasi muda yang
kehilangan kesempatan menjadi calon pemimpin bangsa
serta manusia Indonesia yang berkualitas dan
berkarakter sebagaimana dicita-citakan oleh pendiri
negeri kita.
G. Manfaat Perencanaan Strategik
STKIP Nias Selatan sebagai perguruan tinggi
satu-satu yang ada di Kabupaten Nias Selatan,
34
memahami bahwa perencanaan strategi sangat penting
sebagai proses dalam mencapai tujuan organisasi.
1. Berguna bagi perencanaan untuk perubahan dalam
lingkungan dinamik yang kompleks. Perencanaan
strategik adalah proaktif, sehingga organisasi
publik disarankan untuk proaktif mencari dan
melakukan perubahan, dan bukannya bersikap reaktif
terhadap situasi.
2. Berguna untuk pengelolaan hasil-hasil (managing for
results). Perencanaan strategik merupakan suatu
proses dari diagnosis, penetapan tujuan (objective
setting), dan pembangunan strategi (strategy building)
yang merupakan bagian penting dari manajemen yang
berorientasi pada hasil. Perencanaan strategik
berlandaskan pada pertimbangan yang hati-hati dari
suatu kapasitas dan lingkungan organisasi yang
mengarahkan pada keputusan-keputusan pengalokasian
sumber-sumber daya yang signifikan.
3. Perencanaan strategik merupakan suatu alat
manajerial yang penting. Sektor publik diharapkan
untuk memfokuskan perhatian pada pencapaian dan
peningkatan outcomes setiap tahun. Dengan kata
lain, hasil-hasil seyogianya mulai difokuskan pada
efisiensi dan efektivitas operasional. Perencanaan
strategik memungkinkan sektor publik mengembangkan
suatu sistem yang memfasilitasi peningkatan terus-
35
menerus (continuous improvement) pada semua tingkat
dalam manajemen organisasi.
4. Perencanaan strategik berorientasi masa depan.
Perencanaan strategik melibatkan suatu usaha untuk
membantu membentuk dan membimbing pada apa yang
diharapkan oleh manajemen, apa yang harus
dilakukan, dan mengapa itu dilakukan. Perencanaan
strategik membutuhkan pengumpulan informasi
berskala makro, suatu eksplorasi alternatif-
alternatif, dan merupakan suatu landasan bagi
implikasi masa depan dari keputusan-keputusan
sekarang.
5. Perencanaan strategik mampu beradaptasi
(adaptable). Meskipun perencanaan dilakukan untuk
jangka panjang, peninjauan ulang dan pembaharuan
secara teratur (regular reviews and updates) untuk
menentukan kemajuan dan menilai ulang validasi
dari rencana—berdasarkan pada isu-isu strategik
yang tidak tercakup dalam penilaian internal
maupun eksternal—akan membuat perencanaan
strategik menjadi fleksibel dan mampu beradaptasi.
Dengan demikian rencana dapat diperbaharui untuk
membuat penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan
untuk menanggapi lingkungan yang berubah dan
memanfaatkan peluang atau kesempatan yang
menguntungkan. Perencanaan strategik menetapkan
36
target untuk kinerja (targets for performance),
memfasilitasi cara-cara untuk memeriksa kemajuan,
dan memberikan panduan atau petunjuk untuk
rencana-rencana operasional dan anggaran (budgets)
yang sedang berlangsung.
6. Perencanaan strategik adalah penting untuk
mendukung pelanggan. Perencanaan strategik
menetapkan hal-hal yang dapat dilakukan oleh
organisasi untuk memenuhi ekspektasi pelanggan.
Agen-agen pemerintah harus mengakui bahwa mereka
memiliki pelanggan (customers) dan pihak-pihak yang
berkepentingan (stakeholders). Hal ini mengharuskan
adanya perubahan sikap yang didukung oleh proses
perencanaan strategik, di mana identifikasi
kebutuhan pelanggan menjadi hal yang mendasar.
7. Perencanaan strategik mempromosikan komunikasi.
Perencanaan strategik memudahkan komunikasi dan
partisipasi, mengakomodasi keinginan dan nilai-
nilai yang berbeda, membantu pembuatan keputusan
yang teratur, dan menjamin keberhasilan dari
implementasi sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan
(goals and objectives). Perencanaan strategik
meningkatkan komunikasi tidak hanya dari manajer
atas kepada karyawan atau sebaliknya, tetapi juga
lintas fungsi/divisi dan program-program.
38
BAGIAN III
SIMPULAN
Berbagai uraian di atas, dapat dibuat
simpulan sebagai berikut:
1. Pendidikan nasional bagi negara yang berpenduduk
begitu besar, multi-etnis, multi-religius,
beragam tingkat sosial-ekonomi seperti Indonesia
merupakan program besar, yang menuntut adanya
sistem pendidikan nasional yang kompleks dan
perencanaan strategis yang andal.
2. Perencanaan yang dibutuhkan itu juga bukan lagi
perencanaan konvensional biasa, tetapi
perencanaan yang mampu mengatasi perubahan
kebutuhan dan tuntutan, yang bisa terjadi karena
perubahan lingkungan global. Maka, Indonesia
memerlukan perencanaan strategik dalam sistem
pendidikan nasionalnya. Perencanaan strategik
bersifat lebih fleksibel, mampu memprediksi
lingkungan yang cepat berubah serta mampu
berjalan seiring dengan ketidakpastian keadaan.
3. Perencanaan strategik muncul sebagai paradigma
alternatif, menggantikan model perencanaan lama,
yakni perencanaan jangka panjang (long-term planning)
maupun perencanaan standar yang obyektif.
39
Perbedaan dasar antara perencanaan strategik dan
konvensional adalah: Pada perencanaan
konvensional, perencanaan berawal dari penetapan
tujuan jangka panjang. Berdasarkan tujuan
tersebut, segenap daya dikelola untuk mencapai
tujuan tersebut. Sebaliknya, perencanaan
strategik memiliki logika yang berbeda. Karena
perencanaan strategik berawal dari misi, mandat
atau wewenang, dan nilai-nilai yang menjadi dasar
suatu organisasi untuk berkembang, serta visi
organisasi di masa mendatang.
4. Pengalaman empiris menunjukkan, selain sudah
terbukti bagi organisasi militer dan perusahaan
bisnis, perencanaan strategik juga dapat
bermanfaat bagi lembaga pendidikan, organisasi
sosial, lembaga swadaya masyarakat (LSM), ataupun
organisasi nirlaba (non-profit) lainnya, misalnya
pada pada lembaga yang dikelola oleh Yayasan
Pendidikan Nias Selatan, yaitu STKIP Nias
Selatan.
5. Perencanaan strategik dapat diimplementasikan
pada STKIP Nias Selatan sebagaimana pada sistem
pendidikan nasional. Saat ini, paradigma
perencanaan lama yang bersifat sentralisasi telah
bergeser ke arah desentralisasi, dengan
kewenangan yang lebih luas pada provinsi,
40
kabupaten dan kota untuk mengelola daerahnya
masing-masing sesuai aspirasi masyarakat dan
potensi yang dimilikinya. Dan, tentu juga, lebih
bersifat adaptif terhadap perubahan lingkungan
eksternal yang cepat dan dinamis.
6. Sebagai wujud dari implementasi perencanaan
strategik, diterapkanlah Manajemen Berbasis
Perguruan Tinggi (MBPT). Dengan MBPT, sekolah-
sekolah yang selama ini dikontrol ketat oleh
pusat dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) menjadi lebih
leluasa. Dalam konteks perencanaan strategik,
MBPT memungkinkan organisasi sekolah lebih
tanggap, adaptif, kreatif, dalam mengatasi
tuntutan perubahan akibat dinamika eksternal, dan
pada saat yang sama mampu menilai kelebihan dan
kelemahan internalnya untuk terus mengembangkan
dan meningkatkan diri.
7. Otonomi bukanlah tujuan, melainkan cara untuk
mencapai pemenuhan hak asasi warga masyarakat
terhadap pendidikan. Negara tetap berkewajiban
mendanai, mengatur, dan mengawasi, bukan justru
mengambil dana dari masyarakat.
Dengan demikian, pengertian manajemen strategis
tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sebelumnya
terutama berkaitan dengan perencanaan strategis.
41
Berry dan Wechsler menjelaskan pengertian
perencanaan strategis sebagai suatu proses
sistematis untuk mengelola organisasi dan arah
mendatang dalam hubungan dengan lingkungan dan
permintaan stakeholder eksternal, mencakup perumusan
strategi, analisis kekuatan dan kelemahan internal
maupun eksternal, identifikasi stakeholder,
implementasi tindakan strategis, dan manajemen isu.
42
Daftar Pustaka
Bryson, John M.2008. Perencanaan Strategis Bagi Organisasi
Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daft,Robert L.201988.New Era of Mangement.
Mintzberg, H. (1994). The Rise and Fall of Strategic Planning. New
York, NY: The Free Press.
Nickols, K. and Thirunamachandran, R. (2000). Strategic
Planning in Higher Education: A Guide for Heads of Institutions,
Senior Managers and Members of Governing Bodies. In
Website: www.hefce.ac.uk.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. 2005.
Jakarta: Sekretariat Jenderal Departeman
Pendidikan Nasional.
Rowley, D. J., Lujan, H. D., & Dolence, M.G. (1997).
Strategic Change in Colleges and Unviversities. San
Francisco, CA: Jossey-Bass Publishers.
43
Sa’ud, Udin Syaefudin, dan Abin Syamsuddin Makmun
(2007). Perencanaan Pendidikan: Suatu Pendekatan
Komprehensif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Thomson Jr. A. A. dan Strickland III, A.J., Strategic
Management: Concept and Cases. Boston: Irwin
McGraw-Hill, 1998.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
Tentang Guru Dan Dosen. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Departemen Pendidikan Nasional.
IMPLEMENTASI RENCANA STRATEGI (RENSTRA) PENGEMBANGANDAN PEMBANGUNAN SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN (STKIP) NIAS SELATAN
Disusun dalam memenuhi tugas Mata Kuliah: Manajemen Perencanaan Strategik
Dosen Pengampu: Prof. Dr.Sutjipto